Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i—rahimahullah—dia berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali melalui perdagangan yang terjadi atas dasar kerelaan di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29). Dan Allah Ta’ala berfirman, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
(Asy-Syafi’i berkata): Allah menyebutkan jual beli di beberapa tempat dalam Kitab-Nya dengan indikasi kebolehannya. Maka, penghalalan jual beli oleh Allah ‘Azza wa Jalla mencakup dua makna:
Pertama: Bahwa Dia menghalalkan segala bentuk jual beli yang dilakukan oleh kedua pihak yang berakad, yang memiliki wewenang atas apa yang mereka perjualbelikan, dengan dasar kerelaan di antara mereka. Ini adalah makna yang paling jelas.
Kedua: Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menghalalkan jual beli selama tidak dilarang oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang menjelaskan maksud Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, ini termasuk ketentuan yang telah Allah tetapkan dalam Kitab-Nya dan dijelaskan tata caranya melalui lisan Nabi-Nya. Atau termasuk keumuman yang dimaksudkan untuk kekhususan, sehingga Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menjelaskan apa yang dimaksud dengan penghalalan dan pengharamannya. Atau termasuk dalam kedua hal tersebut, atau keumuman yang dibolehkan kecuali yang diharamkan melalui lisan Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan yang semakna dengannya. Sebagaimana wudhu diwajibkan bagi setiap orang yang berwudhu, tidak samar baginya untuk memenuhi kesempurnaan bersuci.
Apapun makna yang dimaksud, Allah Ta’ala telah mewajibkan hamba-Nya untuk taat kepada Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dalam hal jual beli yang dilakukan atas dasar kerelaan. Kami berargumen bahwa yang dimaksud Allah ‘Azza wa Jalla dengan penghalalan jual beli adalah yang tidak diharamkan melalui lisan Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bukan yang diharamkan melalui penjelasannya.
(Asy-Syafi’i berkata): Pada dasarnya, semua bentuk jual beli adalah boleh selama dilakukan atas kerelaan kedua belah pihak yang berakad dan memiliki wewenang atas apa yang mereka perjualbelikan, kecuali yang dilarang oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan yang semakna dengan larangan beliau. Yang dilarang dengan izin-Nya termasuk dalam makna yang terlarang, sedangkan yang berbeda dengannya kami bolehkan berdasarkan penjelasan tentang kebolehan jual beli dalam Kitab Allah Ta’ala.
(Asy-Syafi’i berkata): Kesimpulan dari semua jual beli yang diperbolehkan, baik yang tunai maupun yang tidak, serta yang termasuk dalam makna jual beli, adalah bahwa akad tidak mengikat penjual dan pembeli sampai keduanya sepakat untuk bertransaksi dengan kerelaan, tanpa melibatkan hal yang dilarang atau atas sesuatu yang dilarang. Keduanya harus berpisah setelah akad di tempat transaksi dengan kerelaan. Jika syarat ini terpenuhi, akad mengikat keduanya, dan tidak boleh dibatalkan kecuali dengan hak khiyar, cacat yang ditemukan, syarat yang disepakati, atau hak khiyar melihat (meski Asy-Syafi’i berpendapat khiyar ru’yah tidak diperbolehkan).
(Asy-Syafi’i berkata): Pada dasarnya, jual beli terbagi menjadi dua, tidak ada yang ketiga:
- Jual beli dengan sifat yang dijamin oleh penjual. Jika barang sesuai dengan sifatnya, pembeli memiliki hak khiyar.
- Jual beli barang tertentu yang dijamin oleh penjual dalam bentuk fisiknya. Jika barang tersebut rusak, penjual hanya bertanggung jawab atas barang yang dijualnya.
Tidak ada jual beli yang diperbolehkan selain dua bentuk ini, dan keduanya dibedakan dalam
Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata: Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, *”Dua orang yang berjual beli masing-masing memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan atau membatalkan) selama mereka belum berpisah, kecuali dalam jual beli khiyar.”*
Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, Nafi’—mantan budak Ibnu Umar—mendiktekan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar mengabarkan kepadanya, Rasulullah ﷺ bersabda, *”Jika dua orang berjual beli, maka masing-masing memiliki hak khiyar atas jual belinya selama mereka belum berpisah atau jual beli mereka dengan khiyar.”* Nafi’ berkata, “Abdullah (bin Umar) jika membeli sesuatu dan ingin mengikat jual belinya, ia berjalan sedikit kemudian kembali.”
Imam Syafi’i berkata: Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar.
Imam Syafi’i berkata: Seorang yang terpercaya mengabarkan kepada kami dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Abul Khalil dari Abdullah bin Harits dari Hakim bin Hizam, Rasulullah ﷺ bersabda, *”Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama belum berpisah. Jika mereka jujur dan transparan, keberkahan akan ada dalam jual beli mereka. Jika mereka berdusta dan menyembunyikan cacat, keberkahan akan hilang dari jual beli mereka.”*
Yahya bin Hassan—seorang yang terpercaya—mengabarkan kepada kami dari Hammad bin Zaid dari Jamil bin Murrah dari Abul Wadhi’, ia berkata, “Kami pernah dalam suatu peperangan, lalu seorang teman kami menjual kuda kepada seseorang. Ketika kami hendak berangkat, ia berselisih dengan pembelinya hingga membawanya ke Abu Barzah. Abu Barzah berkata kepadanya, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, *”Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama belum berpisah.”*'”
Imam Syafi’i berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tambahan. Orang yang menyampaikannya kepadaku tidak hafal persis, tetapi aku mendengar dari yang lain bahwa keduanya bermalam satu malam, lalu paginya mereka mendatangi Abu Barzah. Ia berkata, ‘Aku tidak melihat kalian berpisah,’ dan ia memberikan hak khiyar karena mereka bermalam di satu tempat setelah jual beli.”
Imam Syafi’i berkata: Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, ia berkata, “Jika jual beli telah mengikat, ia boleh memilih setelahnya.” Ia berkata, “Pilihlah, jika mau ambil, jika mau tinggalkan.” Aku bertanya, “Jika ia memilih setelah jual beli mengikat, lalu mengambilnya, kemudian menyesal sebelum berpisah dari tempat mereka, apakah harus diterima?” Ia menjawab, “Aku tidak menganggapnya demikian. Jika ia memilih setelah jual beli mengikat…”
Abdul Wahhab bin Abdul Majid Ats-Tsaqafi mengabarkan kepada kami dari Ayyub bin Abi Tamimah dari Muhammad bin Sirin dari Syuraih, ia berkata, “Dua saksi yang adil menyatakan bahwa kalian berpisah setelah rela dengan jual beli atau salah satu memberi hak khiyar kepada yang lain setelah jual beli.”
Imam Syafi’i berkata: “Inilah pendapat yang kami ambil, dan ini juga pendapat mayoritas ahli Hijaz serta ahli atsar di berbagai negeri.”
Imam Syafi’i berkata: “Setiap dua orang yang berjual beli, baik secara salam (pesan), utang, barang tunai, sharf (pertukaran mata uang), atau lainnya, selama mereka belum berpisah dari tempat atau majelis mereka berjual beli, masing-masing berhak membatalkan jual beli. Jual beli hanya mengikat jika mereka berpisah atau salah satu memberi hak khiyar setelah jual beli dan yang lain memilih melanjutkan.”
Imam Syafi’i berkata: “Sabda Rasulullah ﷺ, *’Kecuali jual beli khiyar,’* mengandung dua makna. Yang paling jelas menurut ahli bahasa dan paling sesuai dengan Sunnah serta qiyas adalah bahwa khiyar bagi dua pihak jual beli tetap ada hingga mereka berpisah, kecuali jika jual beli itu dengan khiyar. Khiyar tidak terputus setelah akad jual beli menurut Sunnah hingga mereka berpisah. Berpisah artinya meninggalkan tempat mereka berjual beli, baik secara fisik atau dengan memberi hak khiyar.”
Imam Syafi’i berkata: “Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa jual beli mengikat dengan berpisah setelah kesepakatan, atau dengan akad kesepakatan disertai khiyar, seperti seseorang mengatakan, ‘Aku jual barang ini dengan harga sekian, dengan hak khiyar,’ lalu yang lain menjawab, ‘Aku memilih untuk membeli.’ Namun, kami tidak mengambil pendapat ini. Pendapat kami adalah jual beli tidak mengikat kecuali dengan berpisah atau salah satu memberi hak khiyar setelah jual beli dan yang lain memilih melanjutkan.”
Imam Syafi’i berkata: “Jika dua orang berjual beli suatu barang, baik sudah serah terima atau belum, masing-masing memiliki hak khiyar hingga mereka berpisah atau salah satu memberi hak khiyar setelah jual beli. Jika salah satu memberi hak khiyar, jual beli mengikat sebagaimana jika mereka berpisah. Jika barang rusak di tangan pembeli sebelum berpisah atau khiyar, ia menanggung nilainya, berapapun harganya, karena jual beli belum sempurna.”
Imam Syafi’i berkata: “Jika barang rusak di tangan penjual sebelum diserahkan, baik sebelum atau setelah berpisah, jual beli batal dan bukan tanggungan pembeli hingga ia menerimanya. Jika ia menerima lalu mengembalikannya sebagai titipan, statusnya seperti titipan lainnya. Jika mereka berpisah lalu barang rusak, itu menjadi tanggungan pembeli dan ia harus membayar harganya.”
Imam Syafi’i berkata: “Jika yang dibeli adalah budak perempuan lalu dibebaskan pembeli sebelum berpisah atau khiyar, dan penjual memilih membatalkan jual beli, ia berhak melakukannya, dan pembebasan pembeli batal karena ia membebaskan sesuatu yang belum sepenuhnya dimilikinya. Jika penjual yang membebaskannya, pembebasannya sah karena kepemilikan pembeli belum sempurna kecuali setelah berpisah atau khiyar.”
Imam Syafi’i berkata: “Demikian pula jika pembeli tergesa-gesa dan menyetubuhi budak itu sebelum berpisah tanpa sepengetahuan penjual, lalu penjual memilih membatalkan jual beli, ia berhak melakukannya, dan pembeli wajib membayar mahar semisal kepada penjual. Jika pembeli menghamili lalu penjual memilih membatalkan, ia berhak melakukannya, budak itu tetap miliknya, dan pembeli wajib membayar mahar semisal. Anak yang lahir dibebaskan karena statusnya syubhat, dan pembeli wajib membayar nilai anak itu saat dilahirkan. Jika penjual yang menyetubuhinya, budak itu tetap miliknya, dan persetubuhan itu dianggap sebagai pilihan untuk membatalkan jual beli.”
Imam Syafi’i berkata: “Jika salah satu dari dua pihak jual beli meninggal sebelum berpisah, ahli warisnya menggantikan posisinya dan memiliki hak khiyar sebagaimana yang dimilikinya. Jika salah satu menjadi bisu atau hilang akal sebelum berpisah, hakim menunjuk seseorang untuk mewakilinya dan memberinya pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli. Jika salah satu sudah memilih lalu yang lain sadar dan ingin membatalkan keputusan itu, ia tidak bisa melakukannya kecuali jika keputusan itu tidak mengikat.”
Imam Syafi’i berkata: “Jika yang dibeli adalah budak perempuan lalu melahirkan, atau hewan ternak lalu beranak sebelum berpisah, kedua pihak tetap memiliki hak khiyar. Jika mereka memilih melanjutkan jual beli atau berpisah, anaknya menjadi milik pembeli karena akad jual beli sudah terjadi saat anak masih dalam kandungan. Demikian pula semua khiyar dengan syarat yang sah dalam akad asal.”
[Bab Perbedaan Pendapat tentang Hal yang Mewajibkan Jual Beli]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Sebagian orang menyelisihi kami dalam hal yang mewajibkan jual beli. Mereka berkata, “Jika akad jual beli telah terjadi, maka ia menjadi wajib. Aku tidak peduli apakah salah satu dari mereka tidak memberikan hak khiyar (memilih) kepada yang lain sebelum atau setelah jual beli, dan mereka tidak berpisah setelahnya.”
(Imam Syafi’i) berkata: Lalu dikatakan kepada sebagian yang berpendapat demikian, “Apa dalil yang mendasari pendapatmu ini?” Ia menjawab, “Allah telah menghalalkan jual beli, dan ini adalah jual beli. Allah hanya menghalalkan bagi pembeli apa yang belum ia miliki. Aku tidak mengenal jual beli kecuali dengan ucapan, bukan dengan perpisahan fisik.”
Aku (Imam Syafi’i) berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu jika ada orang yang membantahmu dengan argumen yang sama seperti argumenmu, ia berkata seperti yang kau katakan, ‘Allah telah menghalalkan jual beli, dan aku tidak mengenal jual beli yang halal dan yang haram, sementara keduanya sama-sama disebut jual beli.’ Apa dalil yang bisa kau ajukan untuk membantahnya?”
Ia menjawab, “Karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang beberapa jenis jual beli. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah penjelas dari Allah tentang makna yang dikehendaki-Nya.”
(Imam Syafi’i) berkata: Aku berkata kepadanya, “Kau memiliki dalil dalam larangan, tetapi kami tidak mengetahui bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menetapkan sunnah dalam jual beli yang lebih kuat daripada sabdanya, ‘Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah.'”
Sesungguhnya Ibnu Umar, Abu Barzah, Hakim bin Hizam, dan Abdullah bin Amr bin Al-Ash meriwayatkannya, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi mereka dengan satu huruf pun yang bertentangan dengan riwayat dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Rasulullah juga melarang menjual satu dinar dengan dua dinar, tetapi Usamah bin Zaid membantahnya dengan hadis lain dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyelisihinya. Maka kami dan kalian dilarang dari menjual satu dinar dengan dua dinar, dan kami mengatakan bahwa hadis ini lebih kuat.
Bagi yang menyelisihi kami, mereka berargumen seperti yang kau kemukakan, bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dan larangan riba bertentangan dengan apa yang diriwayatkan. Hadis itu juga diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Abbas, Urwah, dan umumnya fuqaha Makkah.
Jika kami membedakan antara hadis-hadis dan memilih yang lebih banyak dan lebih kuat, meskipun terdapat perbedaan riwayat dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu kami memiliki hujjah atas yang menyelisihi kami, bukankah riwayat dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang tidak diselisihi oleh siapa pun lebih layak untuk dipegang?
Ia menjawab, “Ya, jika memang seperti yang kau katakan.”
Aku berkata, “Ini memang seperti yang kukatakan. Apakah kau mengetahui ada riwayat lain dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyelisihinya?”
Ia menjawab, “Tidak, tetapi aku berpendapat bahwa hadis itu tetap dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- seperti yang kau katakan, dan aku berpendapat demikian. Tetapi maknanya bukan seperti yang kau pahami.”
Aku berkata, “Jelaskan makna yang kau pahami.”
Ia berkata, “Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah dalam ucapan.”
Aku berkata, “Pendapatmu ini batil dan tidak bisa diterima dalam bahasa.”
Ia bertanya, “Mengapa batil? Bagaimana mungkin bahasa tidak memungkinkannya?”
Aku menjawab, “Mereka belum melakukan tawar-menawar sebelum berjual beli, lalu mereka melakukan tawar-menawar sebelum akad, kemudian setelah tawar-menawar mereka melakukan jual beli. Nama ‘dua orang yang berjual beli’ tidak berlaku bagi mereka sampai mereka benar-benar berjual beli dan berpisah dalam ucapan tentang akad.”
Ia berkata, “Berikan aku dalil selain yang kau sebutkan tadi.”
(Imam Syafi’i) berkata: Aku berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu jika aku dan kamu menawar barang seseorang, lalu ia berkata, ‘Istriku talak jika kalian berdua telah berjual beli dalam barang ini.'”
Ia menjawab, “Talak tidak terjadi karena kalian belum berjual beli kecuali dengan akad.”
Aku berkata, “Menurutmu, akad jual beli adalah berpisah dalam ucapan tentang jual beli?”
Ia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Bagaimana jika aku menagih hakku darimu, lalu kau berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan berpisah denganmu sampai kau memberiku hakku.’ Kapan aku melanggar sumpah?”
Ia menjawab, “Jika kau berpisah secara fisik sebelum ia memberimu hakmu.”
Aku berkata, “Seandainya kau tidak memahami bahasa Arab kecuali ini, bukankah ini menunjukkan bahwa pendapatmu batil dan bahasa tidak memungkinkannya, baik dengan makna ini maupun yang lain?”
Ia berkata, “Sebutkan yang lain.”
Aku berkata, “Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan bahwa ia meminta penukaran seratus dinar. Lalu Thalhah bin Ubaidillah memanggilku, dan kami berunding sampai kami sepakat untuk menukar. Ia mengambil emas dan membolak-balikkannya di tangannya, lalu berkata, ‘Sampai bendaharaku atau bendaharamu datang dari hutan.'”
(Imam Syafi’i) berkata: Aku ragu, dan Umar mendengarnya. Umar lalu berkata, “Demi Allah, jangan kau berpisah dengannya sampai kau mengambil darinya.” Kemudian ia berkata, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, ‘Emas dengan perak adalah riba kecuali secara tunai.'”
Aku berkata kepadanya, “Bukankah dengan ini kita berpendapat bahwa jika dua orang yang menukar uang berpisah dari tempat mereka bertransaksi, maka penukaran itu batal? Dan jika mereka belum berpisah, penukaran itu tidak batal?”
Ia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Apa yang membuatmu memahami dari hadis ini bahwa ‘berpisah’ adalah perpisahan fisik setelah akad, bukan berpisah dari pembicaraan jual beli? Karena jika kau mengatakan bahwa dua orang yang menukar uang berpisah dari pembicaraan jual beli sebelum serah terima sebagian penukaran, maka kau harus mengatakan bahwa penukaran tidak halal sampai mereka rela, seimbang, dan masing-masing mengetahui apa yang ia beri dan terima. Kemudian mereka mewajibkan jual beli dalam penukaran setelah serah terima atau bersamanya.”
Ia berkata, “Aku tidak mengatakan ini.”
Aku berkata, “Aku tidak melihat pendapatmu bahwa ‘berpisah’ adalah berpisah dalam ucapan kecuali sebagai kebodohan atau pengingkaran terhadap bahasa.”
(Imam Syafi’i) berkata: Aku berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu jika seseorang berkata kepadamu, ‘Aku akan mengikatmu dengan sumpah,’ lalu kau mendengar dirimu berkata, ‘Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah,’ dan menurutmu ‘berpisah’ adalah berpisah dalam ucapan. Sementara kau juga mengatakan bahwa jika dua orang yang menukar uang berpisah sebelum serah terima, maka penukaran itu menjadi riba, padahal mereka dalam makna dua orang yang berjual beli, karena dua orang yang menukar uang adalah dua orang yang berjual beli. Jika mereka berpisah dari ucapan sebelum serah terima, penukaran itu batal.”
Ia berkata, “Ini tidak tepat.”
Aku berkata, “Lalu bagaimana kau membantah pendapatmu sendiri?”
Ia berkata, “Umar mendengar Thalhah dan Malik telah menukar uang, tetapi penukaran itu tidak batal. Ia melihat bahwa sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, ‘Secara tunai,’ maksudnya adalah mereka tidak boleh berpisah sampai saling menyerahkan.”
Aku berkata, “Mereka berpisah dari ucapan.”
Ia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Lalu jika bahasa memungkinkan apa yang kau katakan dan apa yang dikatakan oleh yang menyelisihimu, bukankah pendapat orang yang mendengar hadis lebih layak untuk diikuti? Karena ia yang mendengar hadis, sehingga ia memiliki keutamaan dalam mendengar dan mengetahui maknanya serta bahasa?”
Ia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Mengapa kau tidak memberikan hak ini kepada Ibnu Umar, padahal ia mendengar hadis dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, ‘Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah’? Jika ia membeli sesuatu yang disukainya dan ingin memastikannya, ia berpisah dengan temannya, berjalan sedikit, lalu kembali.”
“Mengapa kau tidak memberikan hak ini kepada Abu Barzah, padahal ia mendengar dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, ‘Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar,’ dan ia memutuskan demikian? Mereka telah mengakui bahwa mereka telah berjual beli, tetapi mereka masih bersama pada malam itu, lalu esok harinya mereka datang kepadanya, dan ia memutuskan bahwa masing-masing memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual belinya.”
(Imam Syafi’i) berkata: Jika ada yang berkata, “Kau mengatakan pendapatku batil?” Aku menjawab, “Ya.”
Ia berkata, “Aku merasa cukup dengan sedikit dari yang kau sebutkan. Aku akan bertanya kepadamu.”
Aku berkata, “Silakan bertanya.”
Ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu ketika Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, ‘Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan khiyar’? Bukankah beliau memberikan hak khiyar kepada mereka sampai dua waktu, dan khiyar berakhir pada salah satunya?”
Aku menjawab, “Apa dua waktu itu?”
Ia berkata, “Berpisah dalam ucapan.”
Aku bertanya, “Lalu apa waktu kedua?”
Ia menjawab, “Aku tidak mengetahuinya, jadi biarkan saja.”
Aku berkata, “Bagaimana pendapatmu jika aku menjual sesuatu kepadamu dan menyerahkannya, lalu aku berkata, ‘Kamu memiliki hak khiyar sampai malam hari ini. Jika kamu memilih untuk melanjutkan jual beli sebelum malam, apakah jual beli ini sah?'”
Ia menjawab, “Ya.”
Aku bertanya, “Kapan hak khiyarmu berakhir dan jual beli mengikatmu sehingga kamu tidak bisa membatalkannya?”
Ia berkata, “Jika hari telah berlalu dan aku tidak memilih untuk membatalkan jual beli, maka hak khiyar berakhir. Atau jika aku memilih untuk melanjutkan jual beli sebelum malam, hak khiyar untuk membatalkan berakhir.”
Aku berkata, “Mengapa kau tidak memahami bahwa ini adalah berakhirnya hak khiyar bagi dua orang yang berjual beli jika mereka berpisah setelah jual beli atau salah satu memberikan hak khiyar kepada yang lain?”
(Imam Syafi’i) berkata: Ia berkata, “Biarkan saja.”
Aku berkata, “Ya, setelah aku mengetahui bahwa kau sengaja meninggalkan hadis, dan tidak samar bagiku bahwa berakhirnya hak khiyar dalam jual beli adalah dengan berpisah atau memberikan hak khiyar, seperti yang kau pahami dalam jawabanmu sebelumnya.”
Lalu aku berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu jika ada yang mengklaim bahwa hak khiyar berlaku sampai suatu waktu, dan kau mengklaim bahwa waktu itu adalah ketika mereka berpisah dalam ucapan. Apakah dikatakan kepada dua orang yang sedang menawar, ‘Kalian berdua memiliki hak khiyar’?”
Ia menjawab, “Ya, penawar boleh memilih untuk membatalkan atau melanjutkan, dan penjual boleh memilih untuk mewajibkan atau membatalkan.”
Aku berkata, “Bukankah mereka sudah seperti ini sebelum tawar-menawar?”
Ia menjawab, “Ya.”
Aku bertanya, “Apakah tawar-menawar menetapkan hukum baru bagi mereka selain hukum sebelumnya? Atau apakah ada yang tidak tahu bahwa seseorang berhak atas hartanya, jika ia mau ia memberikannya, dan jika ia mau ia menahannya?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Aku berkata, “Lalu dikatakan kepada seseorang, ‘Kamu memiliki hak khiyar atas hartamu yang belum kau wajibkan kepada orang lain.’ Penawar menurutmu belum mewajibkan hartanya kepada orang lain. Kau telah membuat kebatilan dalam jawabanmu.”
Ia berkata, “Mengapa aku tidak boleh mengatakan kepadamu, ‘Kamu memiliki hak khiyar atas hartamu’?”
Aku menjawab, “Karena alasan yang telah kujelaskan. Jika kau mengatakan itu sampai suatu waktu, kau telah meninggalkan pendapatmu.”
Ia bertanya, “Di mana?”
Aku berkata, “Kau berpendapat bahwa siapa pun yang memiliki hak khiyar sampai suatu waktu, jika ia memilih, hak khiyarnya berakhir, seperti yang kau katakan ketika kau memberinya hak khiyar sehari. Jika hari telah berlalu, hak khiyar berakhir.”
Ia menjawab, “Benar, begitu juga jika ia mewajibkan jual beli, maka ia sampai suatu waktu.”
Aku berkata, “Aku tidak mewajibkan sesuatu kepadanya sebelum ia mewajibkan jual beli, sehingga ia memiliki pilihan. Jika boleh dikatakan, ‘Kamu memiliki hak khiyar atas hartamu,’ maka tidak boleh dikatakan, ‘Kamu memiliki hak khiyar sampai suatu waktu.’ Yang benar adalah, ‘Kamu memiliki hak khiyar selamanya.'”
Ia berkata, “Jika aku mengatakan bahwa waktunya adalah ketika ia mengeluarkannya dari kepemilikannya?”
Aku menjawab, “Jika ia mengeluarkannya dari kepemilikannya, maka itu milik orang lain. Apakah boleh dikatakan kepada seseorang, ‘Kamu memiliki hak khiyar atas harta orang lain’?”
(Imam Syafi’i) berkata: Aku berkata, “Bagaimana pendapatmu jika seorang yang bodoh membantahmu dengan argumen seperti argumenmu, ia berkata, ‘Kau telah mengatakan bahwa dua orang yang menawar disebut dua orang yang berjual beli, dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, ‘Mereka berdua memiliki hak khiyar selama belum berpisah.’ Menurutmu, ‘berpisah’ bisa berarti berpisah secara fisik atau berpisah dalam ucapan. Jika mereka berpisah secara fisik, mereka tidak memiliki hak khiyar lagi. Pemilik harta wajib menyerahkan barang yang dijual dengan harga yang disepakati, dan pemilik barang wajib menyerahkan barangnya dengan harga yang ditawar, dan ia tidak boleh membatalkan penawarannya jika mereka telah berpisah.'”
Ia berkata, “Itu tidak tepat.”
Aku berkata, “Pendapatmu juga tidak tepat.”
(Imam Syafi’i) berkata: Ia berkata, “Bukankah buruk jika aku menguasai barangmu dan kamu menguasa
(Imam Syafi’i berkata): Mengenal benda-benda adalah dengan melihat nama yang lebih umum dan mencakup, yang membedakannya dari kelompok lain yang asalnya sama. Itulah jenis (genus). Asal segala yang tumbuh dari bumi adalah tanaman, kemudian dibedakan dengan nama-nama. Dikatakan, ini adalah biji-bijian, lalu biji-bijian dibedakan lagi dengan nama-nama. Nama-nama yang membedakan biji-bijian termasuk dalam kelompok pembeda, seperti kurma, kismis, gandum, jagung, jelai, dan sejenisnya. Inilah kelompok pembeda yang termasuk dalam jenis (genus) yang haram jika ada kelebihan sebagian atas sebagian lain jika berasal dari satu jenis. Hal ini juga berlaku pada emas dan perak, keduanya diciptakan dari bumi atau berada di dalamnya, awalnya berupa bijih (tambang), kemudian dibedakan dengan nama emas dan perak, serta bijih dan lainnya seperti tembaga, besi, dan sebagainya.
(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Hukum untuk benda kering dari satu jenis makanan adalah satu, tidak ada perbedaan, seperti hukum emas dengan emas dan perak dengan perak. Karena Rasulullah ﷺ menyebutkan larangan (riba) pada emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan garam dalam satu penyebutan dan memberikan hukum yang sama. Maka tidak boleh dibedakan hukum-hukumnya dalam keadaan apa pun, karena Rasulullah ﷺ telah menyatukannya.
Ar-Rabi’ berkata (Imam Syafi’i berkata): Gandum adalah satu jenis, meskipun berbeda dan beragam dalam nama, sebagaimana emas berbeda dan beragam dalam nama. Tidak boleh emas ditukar dengan emas kecuali sama beratnya, timbangan dengan timbangan, dan serah terima langsung. Beliau juga berkata: Asal gandum adalah takaran, dan segala yang asalnya takaran tidak boleh dijual dengan yang sejenis menggunakan timbangan dengan timbangan, atau timbangan dengan takaran.
Beliau berkata: Tidak mengapa menukar gandum dengan gandum secara sama takarannya, serah terima langsung, dan keduanya tidak boleh berpisah sebelum saling menerima. Jika mereka berpisah sebelum serah terima, maka jual beli itu batal, sebagaimana dalam pertukaran emas dengan emas, tidak ada perbedaan.
Beliau juga berkata: Tidak mengapa menukar gandum berkualitas baik yang satu mud-nya senilai satu dinar dengan gandum jelek yang satu mud-nya tidak bernilai seperenam dinar, atau gandum baru dengan gandum lama, atau gandum putih bersih dengan gandum hitam buruk, asalkan sama takarannya, serah terima langsung, dan tidak berpisah sebelum saling menerima, selama gandum salah satu pihak adalah satu jenis dan gandum penjual juga satu jenis.
Segala yang tidak boleh kecuali dengan takaran sama dan serah terima langsung, maka tidak baik menjual sesuatu yang disertai barang lain. Tidak baik menukar satu mud kurma ‘ajwa dan satu dirham dengan dua mud kurma ‘ajwa, atau satu mud gandum hitam dan satu dirham dengan dua mud gandum yang diangkut, kecuali makanan dengan makanan tanpa ada campuran lain, atau membeli sesuatu dari jenis lain tanpa disertai barang dari jenisnya.
(Imam Syafi’i berkata): Kurma adalah satu jenis. Tidak mengapa membeli satu sha’ kurma dengan satu sha’ kurma lainnya, serah terima langsung, dan keduanya tidak boleh berpisah sebelum saling menerima.
Tidak mengapa jika satu sha’ dari salah satunya adalah satu jenis dan sha’ yang lain juga satu jenis untuk diambil, meskipun yang satu jelek dan yang lain kurma ‘ajwah dengan ‘ajwah, atau yang jelek dengan shaihani dengan shaihani. Namun, tidak baik jika satu sha’ dari salah satunya terdiri dari dua jenis kurma yang berbeda dan sha’ yang lain dari satu jenis kurma. Juga tidak baik jika mereka saling menukar kurma dengan kurma secara timbangan, baik dalam karung, keranjang, atau selainnya. Sekalipun karung dan keranjangnya dihilangkan, tetap tidak boleh menjualnya dengan timbangan. Sebab, berat kurma bisa berbeda-beda; satu sha’ bisa berbobot beberapa ritl, sedangkan sha’ lainnya lebih berat dari itu. Jika ditakar, satu sha’ dengan lebih dari satu sha’ secara takaran, begitu pula setiap takaran tidak boleh dijual dengan yang sejenis secara timbangan, dan setiap timbangan tidak boleh dijual dengan yang sejenis secara takaran.
Jika dua jenis berbeda, tidak mengapa untuk membelinya secara takaran, meskipun asalnya adalah timbangan atau secara kasar (juzaf). Karena kita hanya memerintahkan penjualannya berdasarkan asal untuk menghindari perbedaan (tafadhul). Jika sesuatu yang diperbolehkan adanya perbedaan, kita tidak peduli bagaimana mereka bertransaksi asal saling menerima sebelum berpisah.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula setiap jenis makanan atau minuman kering, hukumnya seperti yang telah saya jelaskan mengenai gandum dan kurma, tanpa perbedaan sedikit pun. Ini berbeda dengan sya’ir dengan sya’ir, jagung dengan jagung, salt dengan salt, millet dengan millet, beras dengan beras, dan segala yang dimakan manusia baik yang mereka tanam atau tidak, seperti biji hanzhal, gula ‘usyr, dan lainnya yang dimakan manusia meski tidak ditanam. Begitu pula setiap makanan kering seperti asbīūsy dengan asbīūsy, tsfā’ dengan tsfā’, shā’tar dengan shā’tar. Jika sesuatu dijual dengan timbangannya dari jenis yang sama, tidak boleh dikonversi ke takaran. Jika dijual secara takaran, tidak boleh dikonversi ke timbangan, karena perbedaan dalam kekeringan, ringan, dan keringnya.
Beliau juga berkata: Demikian pula setiap makanan dan minuman yang Allah keluarkan dari pohon atau bumi dalam keadaan aslinya. Adapun sesuatu yang jika dibiarkan tetap basah selamanya, maka dalam jenis ini ada illat yang akan saya jelaskan insya Allah. Sedangkan sesuatu yang dikeringkan manusia dari buah, itu adalah sesuatu yang mereka percepat kematangannya. Meskipun tidak dipindahkan dan dibiarkan, ia akan mengering, dan semisalnya.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Zaitun adalah buah ciptaan Allah. Jika manusia membiarkannya utuh, tidak akan keluar minyak darinya. Ketika mereka memerasnya, barulah keluar minyak. Namanya diambil dari pohon zaitun, sehingga buah dari pohon yang menghasilkan minyak disebut zaitun. Semua yang keluar dari minyak zaitun adalah satu jenis, diperbolehkan seperti halnya gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma, dan berlaku padanya apa yang berlaku pada gandum dan kurma tanpa perbedaan.
Ada juga minyak yang dihasilkan dari lobak, disebut minyak lobak. Namun, ini bukan sesuatu yang dikenal di negeri kami sehingga memiliki nama induk. Saya tidak mengenalnya disebut minyak kecuali dalam makna bahwa ia adalah lemak tanpa nama yang digunakan untuk sebagian kegunaan minyak. Ia berbeda dengan minyak zaitun dalam rasa, aroma, dan asalnya (zaitun adalah pohon, sedangkan lobak adalah tanaman).
Ini mengandung dua kemungkinan makna. Yang lebih tepat menurut saya -wallahu a’lam- adalah tidak boleh menghukuminya sebagai minyak (zait).
Namun, ditetapkan bahwa minyak termasuk dalam kategori minyak-minyak, sehingga diperbolehkan menjual satu bagian darinya dengan dua bagian minyak zaitun. Hal ini karena jika seseorang mengatakan, “Aku memakan minyak” atau “Aku membeli minyak,” sudah diketahui bahwa yang dimaksud adalah minyak zaitun, sebab nama tersebut khusus untuknya dan tidak berlaku untuk minyak lobak. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa minyak adalah satu jenis, sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan takaran yang sama.
Sementara itu, *sulith* (minyak biji wijen) adalah minyak dari biji *jaljalan* (wijen), yang merupakan jenis berbeda dari minyak lobak maupun minyak zaitun. Oleh karena itu, tidak masalah menukar satu bagian darinya dengan dua bagian dari salah satu minyak tersebut.
Demikian pula minyak dari biji-bijian dan kacang-kacangan; setiap minyak yang berasal dari sumber berbeda dianggap sebagai jenis yang terpisah. Misalnya, minyak pinus, minyak biji hijau, minyak mustard, minyak wijen, minyak biji aprikot, minyak almond, dan minyak kenari. Setiap minyak yang dihasilkan dari biji atau buah yang berbeda dianggap sebagai jenis tersendiri, sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan takaran yang sama, secara tunai. Namun, jika minyak tersebut berasal dari biji atau buah yang berbeda, diperbolehkan menukar satu bagian dengan dua bagian dari jenis lain, asalkan bukan transaksi utang.
Contohnya, tidak masalah menukar minyak mustard dengan minyak lobak, minyak mustard dengan minyak almond, atau minyak almond dengan minyak kenari. Kembalikan asal-usulnya pada sumbernya. Jika berasal dari sumber yang sama, maka dianggap satu jenis, seperti gandum. Namun, jika berasal dari dua sumber berbeda, maka dianggap dua jenis terpisah, seperti gandum dan kurma.
Dengan demikian, semua minyak yang dikonsumsi untuk makanan atau minuman tunduk pada hukum yang sama seperti kurma dan gandum. Namun, jika ada minyak yang sama sekali tidak dikonsumsi (misalnya untuk obat), maka tidak termasuk dalam larangan riba, sehingga boleh diperjualbelikan satu bagian dengan sepuluh bagian, baik tunai maupun utang, atau satu bagian dengan satu atau dua bagian dari jenis lain.
Riba hanya berlaku pada makanan, minuman, emas, dan perak. Jika ada yang berargumen bahwa semua minyak disebut dengan nama yang sama (minyak), maka jawabannya sama seperti biji-bijian (gandum, jagung, beras) yang meskipun disebut “biji,” tetapi jenisnya berbeda sehingga boleh ada kelebihan dalam pertukaran asalkan tunai.
Adapun madu, semua jenisnya dianggap satu jenis. Tidak boleh menukar madu dengan madu kecuali dengan takaran yang sama, secara tunai. Madu lebah berbeda dengan pemanis lain yang berasal dari tebu atau buah, sehingga boleh menukar madu dengan sari tebu atau sari anggur.
Demikian pula, semua makanan atau minuman yang diolah dari bahan berbeda boleh dipertukarkan dengan kelebihan asalkan tunai. Namun, jika makanan tersebut diolah (dimasak), tidak boleh ditukar antara yang mentah dan matang karena proses memasak mengurangi berat atau volumenya.
Jika ada bahan yang tidak bisa diperas kecuali dicampur dengan lainnya, maka tidak boleh diperjualbelikan dengan jenis yang sama kecuali dengan takaran yang sama, karena kadar campurannya tidak diketahui.
[Bab Makanan dari Dua Jenis yang Dicampur]
Diriwayatkan dari Ar-Rabi’, Imam Syafi’i berkata:
Dalam hadis dan qiyas, jika dua jenis makanan berbeda, boleh ada kelebihan dalam pertukaran asalkan tunai, tetapi tidak boleh secara utang. Ini berdasarkan hadis ‘Ubadah bin Ash-Shamit.
Contohnya, boleh menukar satu *mudd* gandum dengan dua *mudd* jewawut, satu *mudd* gandum dengan dua *mudd* beras, atau satu *mudd* kurma dengan dua *mudd* kismis. Garam (baik dari gunung atau laut) dianggap satu jenis.
Demikian pula emas dan perak; boleh ada kelebihan dalam pertukaran asalkan tunai.
[Bab Kurma Basah dengan Kurma Kering]
Imam Syafi’i berkata:
Kurma basah akan menjadi kurma kering. Rasulullah ﷺ melarang menjual kurma basah dengan kurma kering karena pertukaran seperti itu mengandung ketidakpastian dalam takaran.
Daging (baik dari hewan buruan, unggas, atau ternak) dianggap satu jenis, sehingga tidak boleh ada kelebihan dalam pertukaran dan harus dengan takaran yang sama, dalam keadaan kering.
Tidak boleh menjual buah-buahan basah dengan kering, atau secara tebakan dengan takaran. Hukumnya sama seperti kurma basah dengan kurma kering.
Buah-buahan seperti semangka, mentimun, atau wortel yang tidak bisa dikeringkan tidak boleh diperjualbelikan dengan takaran atau timbangan karena sifat basahnya yang mudah berubah. Namun, boleh menukar semangka dengan mentimun secara bebas karena jenisnya berbeda.
Setiap makanan atau minuman yang bisa berubah jika dikeringkan tunduk pada aturan yang sama. Jika tidak bisa dikeringkan (seperti mentimun), maka tidak boleh diperjualbelikan dengan takaran atau timbangan.
[Bab Makanan dari Dua Jenis yang Dicampur]
Jika dua jenis makanan berbeda dicampur, boleh ada kelebihan dalam pertukaran asalkan tunai, seperti emas dengan perak.
Madu dianggap satu jenis, sehingga tidak boleh ada kelebihan dalam pertukaran, baik tunai maupun utang. Madu harus murni, tanpa campuran lilin.
Demikian pula gandum yang bercampur kotoran atau sekam tidak boleh ditukar dengan gandum murni karena mengandung ketidakpastian.
Jika makanan diolah (seperti susu yang dicampur air), tidak boleh diperjualbelikan kecuali kadar campurannya diketahui.
Semua aturan ini berdasarkan prinsip yang sama: menghindari riba dan ketidakpastian dalam transaksi.
[Bab tentang Jual Beli Daging]
(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Demikian juga daging, tidak boleh menjual daging domba dengan daging domba lainnya, satu pon dengan satu pon, yang satu kering dan yang lainnya basah, atau keduanya basah. Karena daging tidak berkurang secara seragam akibat perbedaan sifat dan makanan yang dikonsumsinya. Ada yang cepat menyusut saat dikeringkan, ada yang lambat, dan tingkat kekeringannya pun berbeda tergantung sifat dan kelembutannya. Oleh karena itu, daging hanya boleh dijual dalam keadaan kering setelah mencapai batas maksimal pengeringannya, timbangan dengan timbangan, dari jenis yang sama, seperti kurma yang ditakar dengan takaran dari jenis yang sama, serta harus serah terima langsung (tunai).
Jika ada yang bertanya, “Apakah timbangan dan takaran berbeda dalam jual beli barang kering?” Jawabannya, bisa sama atau berbeda. Jika ditanya, “Kami sudah tahu jika sama, lalu kapan berbeda?” Dijawab, “Kurma yang sudah disebut kering tetapi belum mencapai batas maksimal pengeringannya, jika dijual takaran dengan takaran, tidak berkurang dalam takaran. Namun, jika disimpan lama, beratnya akan berkurang karena semakin kering, semakin ringan hingga mencapai batas maksimal.”
Adapun yang dijual berdasarkan berat, saya berpendapat bahwa daging tidak boleh dijual kecuali sudah mencapai batas maksimal kekeringannya. Karena bisa saja ada perbedaan berat atau ketidakjelasan jika daging masih mengandung air. Jika di daerah lembab, daging yang sudah kering lalu terkena embun hingga menjadi berat lagi, tidak boleh dijual berdasarkan berat dalam keadaan basah akibat embun hingga kembali kering. Keadaan saat terkena embun sama seperti awalnya, sehingga tidak boleh dijual kecuali sudah benar-benar kering.
Pendapat tentang berbagai jenis daging ada dua:
- Daging kambing satu jenis, daging unta satu jenis, daging sapi satu jenis, daging rusa satu jenis, dan setiap daging yang namanya berbeda meski masih dalam kategori umum (seperti hewan ternak atau hewan buruan) dianggap jenis berbeda.
– Jika mengikuti pendapat ini, maka daging domba dan kambing, besar atau kecil, jantan atau betina, dianggap satu jenis seperti gandum atau kurma yang beragam. Tidak boleh dijual kecuali kering sempurna, timbangan dengan timbangan, tunai. Jika boleh ada kelebihan dalam pertukaran, maka timbangan tidak lagi bermakna kecuali kedua pihak tahu persis apa yang dibeli dan dijual. Boleh juga dijual secara kasar (tidak ditimbang) asalkan tunai, seperti pertukaran kurma dengan kismis atau gandum dengan jagung.
– Pendapat ini juga berlaku untuk daging hewan jinak dan liar. Tidak boleh menukar daging burung dengan daging burung lain kecuali sudah kering sempurna, timbangan dengan timbangan, tunai, seperti daging kambing. Namun, boleh menukar daging rusa dengan daging kelinci, basah dengan basah atau kering dengan kering, sama atau lebih, timbangan atau secara kasar, karena jenisnya berbeda.
- Semua daging dianggap satu jenis, seperti semua kurma dianggap satu jenis.
– Jika mengikuti pendapat ini, maka ikan juga termasuk satu jenis karena sama-sama penghuni air. Namun, pendapat ini lemah karena jika diterapkan, berarti semua penghuni darat (hewan jinak dan liar) juga satu jenis, atau minimal hewan buruan satu jenis karena termasuk kategori “hewan buruan.”
– Pendapat ini juga mengharuskan anggapan bahwa semua buah (seperti kismis, kurma, dan lainnya) satu jenis, yang jelas tidak boleh menurut saya.
Allah Yang Maha Tahu.
[Bab tentang Barang yang Selalu Basah]
(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Jenis makanan atau minuman yang selalu basah jika disimpan (seperti minyak, mentega, lemak, susu, cuka, dll.) tidak termasuk dalam kategori barang yang bisa kering. Kecuali jika didinginkan hingga membeku atau diolah dengan panas hingga berubah sifat.
Perbedaan antara barang yang bisa kering (seperti kurma) dengan yang selalu basah:
- Kelembaban kurma berasal dari sari makanan saat masih di pohon, sehingga jika dipisahkan dari sumbernya, ia akan kering. Sedangkan minyak atau susu tidak berkurang jika dipisahkan dari sumbernya dan tidak akan kering kecuali diolah.
- Barang yang selalu basah tidak akan kering sendiri kecuali diubah dengan campuran atau pemanasan.
Oleh karena itu, hukumnya berbeda. Contoh:
– Susu segar boleh ditukar dengan susu asam, asalkan sama jenisnya (susu kambing dengan susu kambing, tidak boleh susu sapi dengan susu kambing), takaran dengan takaran, tunai.
– Tidak boleh menukar susu dengan keju kering (aqith) karena keju adalah susu yang diolah, sehingga pertukaran menjadi tidak jelas.
– Tidak boleh menukar mentega dengan minyak dari jenis yang sama, tetapi boleh jika jenisnya berbeda (seperti minyak zaitun dengan minyak lobak).
Barang yang tidak boleh dijual kecuali sama takaran/timbangan dan tunai juga tidak boleh dibagi dengan cara perkiraan (seperti membagi buah di pohon). Harus ditakar atau ditimbang. Kebutuhan mendesak tidak membolehkan yang haram, kecuali dalam keadaan darurat (seperti menyelamatkan nyawa).
Allah Yang Maha Tahu.
[Catatan: Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa formal dan struktur hukum fikih dalam Bahasa Indonesia.]
(Diceritakan kepada kami) Ibnu ‘Uyainah dari Ibnu Syihab dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan dari Umar bin Al-Khaththab dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – seperti makna hadits Malik dan beliau bersabda: “Hingga datang kepadaku penjaga harta dari hutan,” maka aku menghafalnya tanpa keraguan.
(Asy-Syafi’i berkata): Diceritakan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Abu Sa’id Al-Khudri: bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan sebagian lainnya. Janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan sebagian lainnya. Janganlah kalian menjual yang tidak ada dengan yang ada.”
(Asy-Syafi’i berkata): Hadits Umar bin Al-Khaththab dan Abu Sa’id Al-Khudri dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan beberapa makna, di antaranya pengharaman menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, serah terima langsung, dan tidak boleh menjual yang tidak ada dengan yang ada. Hadits Umar menambahkan dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwa apa yang diharamkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berupa makanan yang ditakar sama seperti pengharaman pada emas dan perak, tidak berbeda. Dan ‘Ubadah telah menyebutkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – makna yang serupa, bahkan lebih banyak dan lebih jelas.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami mengharamkan selain yang disebutkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dari makanan dan yang ditakar karena ia termasuk dalam makna yang disebutkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Demikian pula kami mengharamkan makanan yang ditimbang karena takaran sepadan dengan timbangan, sebab ia adalah jual beli yang diketahui oleh penjual dan pembeli, dengan ukuran yang diketahui melalui takaran atau lebih, karena timbangan lebih mendekati kepastian daripada takaran. Maka tidak ditemukan makna yang lebih dekat pada kepastian selain takaran dan timbangan, sehingga keduanya disepakati bahwa tujuannya adalah agar diketahui dan bahwa keduanya adalah makanan. Maka timbangan diqiyaskan kepada takaran dalam maknanya, dan makanan yang ditakar namun tidak disebutkan namanya diqiyaskan kepada makna makanan yang telah disebutkan.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak boleh mengqiyaskan timbangan pada makanan dengan timbangan pada emas, karena emas bukanlah makanan. Demikian pula perak, seandainya kami mengqiyaskannya dan meninggalkan makanan yang ditakar, berarti kami mengqiyaskan kepada yang lebih jauh dari yang seharusnya dijadikan qiyas. Dan menurut para ulama, tidak boleh mengqiyaskan kepada yang lebih jauh sementara yang lebih dekat ditinggalkan. Kami pun berkewajiban untuk tidak membayar dinar dengan makanan yang ditimbang atau lainnya, sebagaimana tidak boleh membayar dinar dengan perak yang ditimbang. Dan aku tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan muslimin bahwa dinar dan dirham boleh dibayarkan untuk segala sesuatu, kecuali satu sama lain—tidak boleh emas dengan emas, tidak pula perak dengan perak, kecuali fulus (uang tembaga), karena sebagian ulama memakruhkannya.
[Bab Tentang Pertukaran (Sharaf)]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Tidak diperbolehkan menukar emas dengan emas, perak dengan perak, atau sesuatu yang termasuk makanan dan minuman dengan sesuatu yang sejenis, kecuali dengan takaran yang sama, serah terima langsung (tunai). Jika barang tersebut ditimbang, maka harus timbang dengan timbang. Jika ditakar, maka takar dengan takar. Tidak boleh menjual sesuatu yang asalnya ditimbang dengan sesuatu yang sejenisnya secara takaran, atau sesuatu yang asalnya ditakar dengan sesuatu yang sejenisnya secara timbangan.
Tidak boleh menjual emas dengan emas secara takaran, karena keduanya bisa memenuhi satu takaran tetapi berbeda beratnya, atau tidak diketahui berapa berat masing-masing. Begitu pula kurma dengan kurma secara timbangan, karena keduanya bisa berbeda meskipun beratnya sama dalam takaran, sehingga menjadi tidak jelas takarannya.
Tidak ada kebaikan jika kedua pihak yang bertransaksi berpisah dari tempat transaksi sebelum saling menerima barang, dan tidak ada hak yang tersisa bagi salah satu pihak atas yang lain. Jika masih ada hak yang tersisa, maka transaksinya batal. Baik pembeli membeli untuk dirinya sendiri atau sebagai wakil orang lain, baik ia meninggalkan (haknya) karena lupa atau sengaja, transaksi tetap batal.
Jika jenis barang berbeda, seperti emas dengan perak, kurma dengan kismis, atau gandum dengan jelai, maka diperbolehkan adanya kelebihan pada salah satunya, asalkan serah terima langsung dan tidak berpisah sebelum saling menerima. Jika mereka berpisah sebelum menerima seluruh barang yang dibeli, maka seluruh transaksi batal. Tidak masalah jika mereka berlama-lama di tempat transaksi atau pergi bersama ke tempat lain untuk menyelesaikan pembayaran, karena mereka belum berpisah. Yang dimaksud berpisah adalah berpisah secara fisik, dan yang membatalkan transaksi adalah berpisah sebelum saling menerima.
Setiap makanan dan minuman yang sejenis diqiyaskan seperti ini. Jika jenisnya berbeda, maka boleh menjual salah satunya dengan yang lain secara borongan (tanpa takaran/timbangan), karena asal jual beli itu halal jika dilakukan secara borongan, dan kelebihan diperbolehkan jika jenisnya berbeda. Tidak ada makna lain dalam borongan selain ketidaktahuan mana yang lebih banyak. Jika seseorang sengaja tidak peduli mana yang lebih banyak, maka tidak masalah melakukan transaksi borongan.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh membeli emas yang bercampur atau disertai barang lain dengan emas, baik campurannya sedikit maupun banyak, karena prinsip yang kami pegang adalah bahwa emas dengan emas yang tidak jelas atau ada kelebihan adalah haram dari kedua sisi. Begitu pula perak dengan perak. Jika jenisnya berbeda, maka boleh membeli salah satunya dengan yang lain meskipun disertai barang lain.
Tidak masalah membeli perak yang dirangkai dengan manik-manik menggunakan emas, karena yang terjadi hanyalah kelebihan antara emas dan perak, dan itu diperbolehkan. Begitu pula membeli perak yang dirangkai dengan batu mulia menggunakan emas, karena kelebihan antara emas dan perak diperbolehkan. Setiap barang yang dijual dinilai sesuai bagiannya dari harga.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar satu dinar dengan dua puluh dirham, lalu ia menerima sembilan belas dirham dan tidak menemukan satu dirham lagi, maka tidak boleh berpisah sebelum menerima satu dirham tersebut. Namun, tidak masalah jika ia mengambil sembilan belas dirham sesuai nilai bagiannya dari dinar dan mengurangi nilai satu dirham yang belum diterima. Kemudian, jika ia mau, ia bisa membeli barang lain dengan sisa nilai dinar tersebut, asalkan saling menerima sebelum berpisah. Tidak masalah juga jika sisa nilai dinar itu ditahan sampai ia mengambilnya kapan pun ia mau.
(Ar-Rabi’ berkata): Abu Ya’qub Al-Buwaithi berkata: “Tidak masalah menerima dinar secara tunai.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar satu dinar dengan sepuluh dirham, atau beberapa dinar dengan beberapa dirham, lalu ditemukan satu dirham palsu, maka:
– Jika kepalsuannya karena cacat cetakan atau buruknya kualitas perak, pembeli boleh menerimanya atau mengembalikannya. Jika dikembalikan, maka seluruh transaksi batal karena itu satu transaksi. Jika disyaratkan boleh mengembalikan, maka transaksi sah dan syarat itu berlaku, baik disebutkan atau tidak. Jika disyaratkan tidak boleh mengembalikan, maka transaksi batal karena syarat tersebut.
– Jika kepalsuannya karena terbuat dari tembaga atau selain perak, maka pembeli tidak boleh menerimanya.
Sebelumnya, jika pembeli mengubah apa yang dibelinya, maka jual beli tersebut batal di antara mereka. Tidak mengapa seseorang menukar dirham dengan penukar uang, dan setelah menerimanya serta berpisah, ia menyimpannya. Jika seseorang menukar sesuatu, ia tidak boleh berpisah dari penukar sebelum menerimanya, dan tidak boleh mewakilkannya kepada orang lain kecuali jika jual beli dibatalkan, kemudian ia mewakilkan orang lain untuk menukarkannya. Tidak mengapa jika setelah penukaran dan serah terima, mereka pergi untuk menimbang dirham tersebut. Demikian pula, tidak mengapa jika ia pergi sendiri untuk menimbangnya.
Jika seseorang menggadaikan dinar kepada orang lain dengan dirham, kemudian menjual dinar tersebut dengan dirham dan menerimanya, tidak mengapa ia menerimanya setelah penukar menerimanya. Jika seseorang memiliki dinar titipan pada orang lain, lalu menukarkannya, dan orang yang memegang dinar tidak mengakui bahwa ia telah menghabiskannya sehingga ia menjadi penanggung, atau bahwa dinar tersebut masih ada di tangannya saat penukaran, maka penukaran tersebut tidak baik karena tidak dijamin atau tidak tersedia. Ada kemungkinan dinar tersebut telah hilang saat itu, sehingga penukaran menjadi batal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan barang kepada orang lain, lalu mereka sepakat untuk membatalkan gadai tersebut dan menggantinya dengan barang lain, tidak mengapa selama gadai tersebut berupa dinar dan diganti dengan dirham, atau budak diganti dengan budak lain. Tidak ada unsur jual beli dalam hal ini, sehingga tidak berlaku hal-hal yang dibenci dalam jual beli. Kami tidak menyukai transaksi dengan orang yang sebagian besar hartanya berasal dari riba, hasil haram, atau perolehan harta melalui perampasan dan segala yang haram. Namun, jika seseorang bertransaksi dengan orang seperti itu, kami tidak membatalkan transaksi tersebut karena mereka mungkin memiliki harta halal. Kami tidak mengharamkan sesuatu yang jelas haram kecuali jika seseorang membeli barang haram yang ia ketahui, atau dengan harga haram yang ia ketahui. Hal ini berlaku sama bagi Muslim, dzimmi, dan harbi, karena segala yang haram tetap haram.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh menjual emas dengan emas jika salah satunya mengandung unsur selain emas. Namun, tidak mengapa menjual emas dan pakaian dengan dirham.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang sepakat untuk menukar uang, tidak mengapa jika mereka membeli perak, lalu menyimpannya pada salah satu pihak hingga mereka menjualnya atau melakukan apa pun yang mereka inginkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika salah satu dari mereka membeli perak, lalu mengajak orang lain sebagai mitra, dan mitra tersebut menerimanya, kemudian menyimpannya setelah penerimaan, tidak mengapa. Namun, jika ia berkata, “Aku mengajakmu sebagai mitra selama perak itu masih di tanganku hingga kita menjualnya,” maka hal itu tidak diperbolehkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual pakaian kepada orang lain dengan harga setengah dinar, lalu menjual pakaian lain dengan harga setengah dinar secara tunai atau dengan tempo yang sama, maka ia berhak menerima satu dinar. Jika dalam akad jual beli terakhir disyaratkan bahwa ia berhak menerima satu dinar, syarat tersebut sah. Jika ia berkata, “Satu dinar tidak boleh diberikan dalam dua bagian, tetapi harus diberikan sekaligus,” maka jual beli pertama sah, sedangkan jual beli kedua tidak sah. Jika syarat ini tidak disebutkan, lalu ia memberikan satu dinar penuh, jual beli tersebut sah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang memiliki emas yang telah dibentuk, lalu mereka sepakat bahwa salah satu membeli bagian yang lain dengan berat yang sama atau emas seberat itu, dan mereka saling menerima sebelum berpisah, tidak mengapa. Jika seseorang menukar uang dengan orang lain, tidak mengapa ia menerima sebagian dan memberikan sebagian yang telah diterimanya kepada orang lain, atau memerintahkan penukar untuk memberikan sisanya kepada orang lain, selama mereka belum berpisah dari tempat mereka hingga semua transaksi selesai. Bagaimana jika ia menukar satu dinar dengan dua puluh dirham, menerima sepuluh dirham, lalu menerima sepuluh dirham lagi sebelum berpisah? Hal ini tidak mengapa.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli perak dari orang lain dengan harga lima setengah dinar, lalu memberikan enam dinar dan berkata, “Lima setengah untuk yang ada padaku, dan setengahnya sebagai titipan,” tidak mengapa.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mewakilkan orang lain untuk menukar atau menjual sesuatu, lalu wakil tersebut menjualnya kepada dirinya sendiri dengan harga lebih tinggi, sama, atau lebih rendah, hal itu tidak sah. Karena logikanya, jika seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual, ia tidak mewakilkannya untuk menjual kepada dirinya sendiri. Seperti jika ia berkata, “Jual ini kepada si fulan,” lalu wakil menjualnya kepada orang lain, jual beli tersebut tidak sah karena ia hanya mewakilkan kepada si fulan, bukan orang lain.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar satu dinar dengan sepuluh dirham, lalu penukar menimbang sepuluh setengah dirham, tidak mengapa jika ia memberikan setengah dirham dengan setengah perak, selama penjualan ini terpisah dari syarat pertama. Demikian pula, jika ia menjual pakaian dengan harga setengah dinar, lalu pembeli memberikan satu dinar, dan penjual pakaian memberikan setengah dinar emas, tidak mengapa karena ini adalah transaksi baru, bukan transaksi pertama. Namun, jika akad jual beli dilakukan untuk pakaian dan setengah dinar dengan satu dinar, akad tersebut batal karena satu dinar dibagi untuk setengah dinar dan pakaian.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar dirham dengan dinar, lalu dirham tersebut tidak mencukupi…
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:
Dirham-dirham itu dipinjamkan, lalu dia melunasi seluruh pembayarannya, maka tidak mengapa.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa menjual emas dengan perak secara kasar, baik yang sudah dicetak maupun belum, karena yang terpenting adalah salah satunya lebih banyak dari yang lain, dan ini tidak masalah. Juga tidak mengapa membeli dirham dari penukar uang dengan emas yang ditimbang, lalu menjual dirham tersebut kepadanya atau kepada orang lain dengan emas yang ditimbang atau kurang, karena setiap transaksi adalah terpisah. Ar-Rabi’ berkata: Jangan berpisah sebelum transaksi pertama selesai.
(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah SAW melarang emas dengan emas, dan yang dilarang hanyalah pertukaran dengan takaran dan timbangan yang sama, serta harus tunai. Untuk bahan pokok sejenis dengan emas, takaran harus sama. Tidak baik mengambil sesuatu dengan timbangan yang lebih sedikit, baik dalam bentuk jual beli yang dikenal atau tidak. Yang dikenal tidak serta-merta menghalalkan atau mengharamkan jual beli. Jika seseorang memberi hadiah satu dinar, dan yang lain membalas dengan dinar yang lebih berat atau ringan, tidak mengapa.
(Imam Syafi’i berkata): Untuk pinjaman, jika seseorang meminjamkan sesuatu lalu mengambil kurang dari yang dipinjamkan, tidak mengapa karena itu termasuk pemberian sukarela. Begitu juga jika hakim memberi lebih dari berat emasnya, tidak mengapa karena ini bukan termasuk jual beli. Jika ada pinjaman emas, lalu membeli perak dan saling menerima sebelum berpisah, semua ini boleh selama tunai. Jika ada emas yang dibayar kemudian, lalu datang dengan lebih banyak, tidak mengapa, baik itu kebiasaan atau tidak. Jika seseorang memiliki hutang dirham kepada orang lain, dan orang itu memiliki hutang dinar kepadanya, baik sudah jatuh tempo atau belum, lalu mereka menukarkannya, itu tidak boleh karena itu hutang dengan hutang. Malik berkata: Jika sudah jatuh tempo, boleh; jika belum, tidak boleh.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki hutang emas tunai kepada orang lain, lalu diberi perak tanpa transaksi jual beli tertentu, itu bukan jual beli, dan emas tetap menjadi hutang. Jika diberi perak untuk satu atau dua dinar dan saling menerima, tidak mengapa. Jika seseorang menyewa rumah dengan emas, lalu penyewa memberi sebagian haknya dalam bentuk emas, tidak mengapa. Tapi jika memberi perak padahal emas belum jatuh tempo, tidak baik. Jika seseorang menunda pembayaran dinar ke tempo tertentu, tidak mengapa, dan dia bisa mengambilnya kapan saja. Jika meminjamkan fulus atau dirham, lalu pemerintah membatalkannya, dia hanya berhak mendapatkan fulus atau dirham yang dipinjamkan.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa meminjamkan fulus untuk tempo tertentu karena tidak termasuk riba. Jika meminjamkan dirham dengan syarat setara satu dinar atau setengah dinar, dia hanya berhak mendapatkan dirhamnya, bukan dinar. Jika meminjamkan setengah dinar lalu diberi satu dinar, dan berkata, “Ambil setengah untukmu dan jual sisanya dengan dirham,” maka dia berhak atas setengah dinar emas. Jika dia berkata, “Jual dengan dirham, lalu ambil setengah untukmu dan kembalikan setengahnya,” maka itu menjadi hutang dirham, bukan setengah dinar.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual baju dengan syarat 20 dirham setara satu dinar, jual beli itu rusak karena nilai tukar 20 dirham tidak diketahui.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki hutang dinar atau dirham yang diangsur, lalu ingin melunasinya sekaligus, itu boleh. Jika seseorang memiliki hutang, lalu diberi sesuatu untuk dijual selain emas, dan menerima emas senilai itu, tidak ada masalah kecuali jika dikatakan, “Aku tidak akan melunasi kecuali kamu menjual untukku.” Ini tidak disukai sebagai kehati-hatian bagi hakim. Jika seseorang memiliki hutang satu dinar, lalu diberi dirham yang terkumpul tanpa penukaran sampai cukup untuk satu dinar, lalu ingin menukarkannya, tidak baik karena ini hutang dengan hutang. Jika dirham diberikan langsung lalu dijual, tidak mengapa. Tidak mengapa menggunakan dirham selama tidak diberikan sebagai pembayaran dinar, melainkan sebagai pinjaman. Jika perak dipadukan dengan benda lain seperti cincin, pedang, atau pisau, tidak boleh dibeli dengan perak karena nilainya tidak diketahui. Emas juga demikian. Jika perak ada pada pedang, boleh dibeli dengan emas. Jika ada emas, boleh dibeli dengan perak. Jika ada emas dan perak, tidak boleh dibeli dengan keduanya, tapi dengan barang lain.
(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa tidak boleh membeli benda yang mengandung perak seperti pedang dengan emas atau perak, karena dalam transaksi ini ada penukaran dan jual beli yang tidak jelas porsinya.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik membeli tanah tambang karena mengandung perak yang tidak diketahui jumlahnya. Tidak boleh membeli hasil tambang yang baru keluar satu atau dua hari. Jika seseorang meminjamkan 1000 dirham dengan syarat menukarnya dengan 100 dinar, transaksi itu rusak, dan 100 dinar harus dikembalikan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminta orang lain melunasi satu dinar atau setengah dinar, lalu pemilik hutang menerima pakaian, makanan, atau dirham sebagai gantinya, hakim boleh mengambil yang lebih rendah antara satu dinar atau nilai yang dibayarkan. Tidak baik membeli perhiasan dari ahli waris dengan cara mengompensasi hutang almarhum.
(Abu Ya’qub berkata): Menurutku, maksudnya ahli waris tidak boleh menjual dan mengompensasi saat transaksi, lalu mengompensasi setelahnya, karena itu termasuk jual beli dengan tempo. Ini pendapat Abu Muhammad.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminta orang lain membeli perak untuk diajak kerjasama dan dibayarkan tunai, tidak baik, baik dengan maksud baik atau tidak.
(Imam Syafi’i berkata): Kerjasama dan penjualan ulang adalah bentuk jual beli yang halal selama memenuhi syarat jual beli. Jika seseorang menjual perhiasan atau mengajak kerjasama setelah menerima dan menimbang, dan tidak berpisah sebelum saling menerima, itu boleh. Jika berpisah sebelum saling menerima, transaksi rusak. Jika seseorang memiliki hutang dinar, lalu diberi lebih, kelebihan itu milik pemberi kecuali dihibahkan. Tidak mengapa menunda pembayaran selama bisa diambil kapan saja. Jika diberi kurang, sisanya tetap hutang. Tidak mengapa menundanya atau membayar dengan barang lain yang halal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan atau barang lain dengan satu dinar, lalu dinar itu kurang berat, penjual tidak wajib menerimanya kecuali jika cukup. Jika transaksi dibatalkan dan dijual setelah diketahui beratnya, tidak mengapa. Jika ingin memaksa transaksi dengan mengurangi nilai, itu tidak boleh bagi penjual atau pembeli.
(Imam Syafi’i berkata): Pelunasan bukan jual beli. Jika seseorang memiliki hutang emas, lalu diberi sebagian sebagai sukarela, tidak mengapa. Begitu juga jika pemilik hutang menerima kurang, ini tidak boleh dalam jual beli. Jika seseorang membeli baju dengan setengah dinar, lalu memberi satu dinar dan berkata, “Ambil setengah untukmu dan hutangkan setengahnya,” tidak mengapa. Jika memiliki hutang setengah dinar, lalu diberi satu dinar, melunasi setengah dan menunda setengahnya dengan barang tertentu sebelum berpisah, tidak mengapa.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli baju dengan satu dinar tempo satu bulan, dengan syarat jika dinar jatuh tempo ditukar dengan dirham tertentu untuk dua bulan, tidak baik dan haram karena tiga alasan: dua transaksi dalam satu, dua syarat dalam satu, dan emas dengan dirham tempo. Jika seseorang menukar emas dengan tambahan satu mitsqal, tidak mengapa membeli mitsqal itu dengan barang lain tunai atau tempo, asalkan jelas. Tidak mengapa membelinya dengan dirham tunai jika diterima sebelum berpisah. Jika salah satu emas lebih berat, tidak mengapa pemilik kelebihan memberikannya kepada yang lain, karena ini bukan transaksi pertama. Jika salah satu emas kurang, dan pemilik kelebihan memberikannya, tidak mengapa. Jika dalam satu transaksi ada dua barang berbeda nilai, seperti kurma Barhi dan Ajwa dijual bersama dengan takaran tertentu, itu tidak boleh karena nilai tidak seimbang.
Tidak mengapa menukar dinar Hashemiyah lengkap dengan yang kurang asalkan timbangan sama. Jika memiliki kelebihan berat atau kualitas, tidak mengapa selama timbangannya sama. Emas dengan emas harus sama timbangan dan tunai. Batas tunai adalah sebelum berpisah. Jika berpisah sebelum saling menerima, transaksi rusak. Penimbangan dilakukan dengan meletakkan emas di kedua sisi timbangan. Jika seimbang, transaksi sah. Jika menggunakan alat timbang lain dan seimbang, tidak masalah. Jika berbeda jelas, tidak sah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli emas dengan emas, tidak mengapa menjual sebagian atau seluruhnya dengan dirham atau barang lain. Jika seseorang menjual barang dengan 100 dinar, dia berhak mendapatkan 100 dinar utuh, tidak lebih atau kurang kecuali disepakati. Jika seseorang melunasi 100 dinar dengan kualitas lebih rendah tetapi lebih banyak jumlah atau beratnya, tidak mengapa jika sukarela. Jika ada syarat saat transaksi atau pelunasan, tidak baik karena ini emas dengan emas lebih banyak.
Tidak mengapa menjual baju dengan satu dinar dikurangi sebagian emas yang diketahui, seperti seperempat atau sepertiga. Tidak baik menjual baju dengan satu dinar dikurangi satu dirham atau satu mud gandum, karena harganya tidak jelas. Tidak mengapa menjual baju dan dirham yang dilihat, atau baju dan satu mud kurma yang dilihat, dengan satu dinar.
(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika menjual baju dan emas yang dilihat, tidak boleh karena ada penukaran dan jual beli yang tidak jelas porsinya. Tapi jika menjual baju dan satu mud kurma dengan satu dinar yang dilihat, boleh karena ini murni jual beli.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik menyerahkan satu dinar dikurangi satu dirham, tapi boleh menyerahkan satu dinar dikurangi sekian.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli sesuatu dengan pecahan dirham, lalu mengambil perak atau barang lain senilai pecahan itu, tidak mengapa. Begitu juga jika membeli barang dengan setengah dinar, lalu memberi satu dinar dan mengambil sisa senilai setengah dinar dalam emas atau barang lain, tidak mengapa. Ini berlaku di semua negara. Tidak boleh sesuatu yang diharamkan di satu negara dihalalkan di negara lain. Tidak baik menukar perak dengan perhiasan perak dan memberi upah, karena ini perak dengan perak lebih banyak. Tidak baik memberi batu mulia kepada tukang emas untuk dibuat cincin dengan upah. Ini juga pendapat Malik.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik seseorang memberi 100 dinar di Madinah dengan syarat diberi yang sama di Mekah untuk tempo tertentu atau tidak, karena ini bukan pinjaman atau jual beli. Pinjaman adalah sesuatu yang bisa diambil dan harus diterima di mana saja. Jual beli emas harus saling menerima di tempat sebelum berpisah. Jika ingin transaksi sah, pinjamkan emas. Jika menulis untuk dikirim ke suatu tempat dan diterima, tidak mengapa. Siapa pun yang ingin… (terjemahan berlanjut sesuai teks asli).
Mengambilnya dari pihak yang dibayar, pihak yang dibayar tidak boleh menolak, baik itu memiliki manfaat baginya atau tidak. Siapa yang memberikan pinjaman (salaf) lalu melunasinya dengan yang lebih baik dalam jumlah dan timbangan, maka itu tidak mengapa selama tidak disyaratkan dalam akad salaf. Jika seseorang menuntut harta kepada orang lain dan mendatangkan saksi, sementara pihak yang berutang mengingkari, lalu si berutang meminta agar diakui utangnya hingga satu tahun, jika ia berkata, “Aku tidak akan mengakuinya kecuali dengan penundaan,” maka hal itu dibenci baginya, kecuali jika diketahui bahwa harta itu memang menjadi haknya. Dalam hal ini, aku tidak membencinya bagi pemilik harta, tetapi aku membencinya bagi pihak yang berutang.
[Bab Jual Beli Barang]
(Imam Syafi’i berkata) – rahimahullah – Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – berkata, “Yang dilarang oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – adalah menjual makanan sebelum diterima.” Ibnu Abbas juga berpendapat bahwa semua barang serupa dengan makanan. Pendapat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas, wallahu a’lam. Karena tidak ada makna khusus pada makanan yang tidak ada pada jual beli lainnya, kecuali satu hal: jika aku membeli sesuatu dari seseorang, aku membeli barang yang nyata atau yang dijamin. Jika aku membeli barang yang dijamin, itu bukan barang nyata, dan penjual bisa bangkrut sehingga aku menjual sesuatu yang jaminannya ada pada orang yang kubeli darinya. Aku menjualnya sebelum barang itu sepenuhnya berada dalam kekuasaanku. Tidak boleh menjual apa yang belum sepenuhnya menjadi milikku. Jika yang kubeli adalah barang nyata dan barang itu rusak, akad jual beli antara aku dan penjual batal. Jika aku menjualnya sebelum kepemilikanku sempurna, yaitu jaminannya masih dariku, maka aku menjual sesuatu yang belum sepenuhnya menjadi milikku. Selain itu, barang itu masih dijamin oleh orang yang kubeli darinya. Jika aku menjualnya, berarti aku menjual sesuatu yang dijamin oleh orang lain. Jika kau mengklaim bahwa aku yang menjamin, maka tanggunganku sama seperti penjual. Bagaimana jika barang itu rusak di tangan penjual, apakah aku harus menanggungnya? Jika jawabannya tidak, berarti aku menjual sesuatu yang tidak aku tanggung, dan tidak boleh menjual apa yang tidak aku tanggung. Jika dikatakan bahwa aku yang menanggung, itu bukan cara jual beli yang benar. Bagaimana aku menjamin sesuatu yang sudah dijamin oleh orang lain? Sekalipun tidak ada alasan seperti yang kujelaskan, Sunnah telah menunjukkan larangan ini, dan barang-barang lain memiliki makna yang sama dengan makanan.
(Imam Syafi’i berkata): Allah berfirman, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Dan firman-Nya, “Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29). Setiap jual beli yang dilakukan dengan keridhaan kedua belah pihak adalah boleh, termasuk kelebihan dalam semua jenis jual beli, kecuali jual beli yang diharamkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yaitu emas dan perak secara tunai, serta makanan dan minuman yang termasuk dalam kategori makanan. Semua yang dimakan dan diminum manusia tidak boleh dijual dengan jenis yang sama kecuali dengan takaran yang sama, jika ditimbang maka harus sama timbangannya, jika ditakar maka harus sama takarannya, secara tunai. Ini berlaku untuk emas, perak, dan semua jenis makanan. Jika mereka berpisah sebelum saling menerima barang, jual beli itu batal. Demikian juga jual beli ‘araya (kurma basah dengan kurma kering), karena termasuk makanan. Jika mereka berpisah sebelum saling menerima, jual beli itu batal.
Jika dua jenis barang berbeda dan tidak termasuk dalam riba, tidak mengapa menukar satu dengan dua atau lebih secara tunai, tetapi tidak boleh secara tempo. Jika kelebihan diperbolehkan antara satu dengan yang lain, tidak mengapa menukar secara taksiran, atau taksiran dengan yang sudah diketahui takarannya. Semua yang dimakan manusia sebagai obat, seperti ihilaj, tsfaa, dan semua obat, dihukumi seperti makanan. Adapun selain ini, seperti yang dimakan hewan tetapi tidak dimakan manusia, seperti qarazh, qadhb, biji kurma, rumput, atau barang-barang yang tidak dimakan seperti kertas, pakaian, dan lainnya, atau hewan, tidak mengapa ada kelebihan antara satu dengan yang lain, baik secara tunai maupun tempo, jauh atau dekat, karena termasuk dalam kategori jual beli yang dihalalkan Allah dan keluar dari larangan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang kelebihan dalam pertukaran. Ini juga termasuk dalam ketetapan halal dari Rasulullah dan para sahabat setelahnya.
(Imam Syafi’i berkata): Seorang yang terpercaya mengabarkan dari Al-Laits, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – membeli seorang budak dengan dua budak. (Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa ia menjual untanya dengan empat unta yang dijamin di Rabdzah. (Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan dari Shalih bin Kaisan, dari Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bahwa Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – menjual unta bernama ‘Ashifir dengan dua puluh unta secara tempo. (Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan dari Ibnu Syihab, dari Al-Musayyib bahwa ia berkata, “Tidak ada riba dalam hewan, yang dilarang hanya al-mudhafan, al-malaqih, dan habl al-hablah.” (Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan dari Ibnu Syihab bahwa ia ditanya tentang satu unta dengan dua unta secara tempo, ia menjawab, “Tidak mengapa.” (Imam Syafi’i berkata): Ibnu ‘Ulayyah mengabarkan – insya Allah – Ar-Rabi’ ragu – dari Salamah bin ‘Alqamah – ragu – dari Muhammad bin Sirin bahwa ia ditanya tentang jual beli besi dengan besi, ia menjawab, “Allah yang lebih tahu, tetapi dahulu mereka menjual baju besi dengan baju besi.”
(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa menukar satu unta dengan dua unta sejenis atau lebih, baik tunai maupun tempo. Jika keluar dari kategori yang tidak boleh ada kelebihan, maka tunai dan tempo sama saja. Tidak mengapa meminjamkan semua hewan kecuali budak perempuan. Meminjamkan budak perempuan dibenci karena jika seseorang meminjamkan budak perempuan, ia bisa mengembalikannya dalam keadaan yang sama. Jika ia meminjamkannya dan menjadikannya miliknya melalui salaf, berarti ia bisa menidurinya lalu mengembalikannya. Allah – subhanahu wa ta’ala –, Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam –, dan kaum Muslimin telah menjaga kehormatan wanita. Wanita tidak boleh dinikahi kecuali dengan wali dan saksi. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang seorang laki-laki berduaan dengan wanita, baik di perjalanan maupun di rumah. Larangan ini tidak berlaku untuk selain wanita. Harta bisa digadaikan atau dijual tanpa saksi, tetapi wanita tidak demikian hingga Allah menjaganya dengan wali dan saksi. Kami membedakan hukum kehormatan wanita dan lainnya sebagaimana Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslimin membedakannya.
Jika seseorang menjual kambing dengan dinar secara tempo, lalu ketika dinar jatuh tempo ia memberinya kambing dari jenis yang sama atau berbeda, itu sama saja. Tidak boleh kecuali jika tunai. Dinar dan dirham tidak termasuk dalam kategori barang yang dibeli, sehingga tidak boleh dijual sebelum diterima. Tidak mengapa salaf pada semua hewan dengan sifat dan tempo yang jelas. Salaf dalam hal ini adalah membeli, dan membeli berbeda dengan meminjam, sehingga boleh dilakukan pada budak perempuan. Tidak ada kebaikan dalam salaf kecuali jika dijamin oleh pemberi pinjaman dan tampaknya akan kembali.
Tidak baik meminjamkan untuk buah di kebun tertentu atau hasil ternak tertentu, karena ini bisa ada atau tidak. Siapa yang meminjamkan untuk barang atau hewan, lalu ketika jatuh tempo penjual memintanya untuk membelinya dengan harga yang sama, lebih rendah, lebih tinggi, atau dengan barang lain yang berbeda atau sama, maka tidak baik menjualnya dalam keadaan apa pun karena itu adalah jual beli sebelum diterima.
Jika seseorang meminjamkan untuk suatu barang dengan tempo, lalu penerima pinjaman membayar sebelum tempo, tidak mengapa. Tetapi tidak baik membayar lebih awal dengan syarat dikurangi atau ditambah, karena ini adalah akad baru selain akad pertama. Juga tidak baik memberinya barang selain jenis yang dipinjamkan, karena ini adalah akad baru. Hanya boleh memberinya barang yang sama persis seperti kesepakatan atau lebih, sebagai bentuk kebaikan. Jika memberinya kurang dari kesepakatan tanpa syarat, tidak mengapa, seperti jika dilakukan setelah tempo. Jika memberinya dengan syarat, tidak baik karena mengurangi dengan syarat percepatan. Demikian juga tidak boleh mengambil sebagian yang dipinjamkan dan barang lain, karena itu adalah jual beli sebagian yang belum diterima. Siapa yang meminjamkan untuk suatu jenis, lalu penerima pinjaman memberinya barang yang lebih baik dari kesepakatan, ia boleh menerimanya. Jika tidak, itu seperti membeli yang tidak diketahui, seolah ia meminjamkan satu sha’ kurma ajwah yang bagus, lalu diberi yang kurang bagus. Jika diberi yang terbaik dan diminta tambahan, maka tambahan itu tidak diketahui, bukan takaran yang ditambah atau terpisah dari akad pertama, sehingga jika menambah berarti membeli yang tidak diketahui. Dikatakan juga bahwa jika meminjamkan untuk kurma ajwah lalu ingin menggantinya dengan sha’ihan, tidak boleh karena ini adalah jual beli kurma ajwah dengan sha’ihan sebelum diterima, sedangkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang menjual makanan sebelum diterima.
Demikian juga semua jenis yang dipinjamkan, baik makanan, barang, atau lainnya, boleh menerima yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kesepakatan jika saling ridha, karena itu masih satu jenis. Tidak boleh menerima dari jenis yang berbeda, karena saat itu berarti menjual apa yang dibeli sebelum diterima. Juga tidak boleh menerima yang jelek jika meminjamkan yang bagus dengan syarat ditambah, alasan
dengan mengatakan: hadis seorang wanita dan kamu berhujah dengan hadis seorang wanita yang tidak kamu ketahui lebih dari bahwa suaminya meriwayatkan darinya.
Seandainya ini termasuk hadis orang yang hadisnya sahih, apakah yang terjadi selain bahwa Zaid bin Arqam dan Aisyah berselisih? Karena kamu tahu bahwa Zaid tidak menjual kecuali apa yang dia anggap halal baginya, sedangkan Aisyah menganggapnya haram. Dan kamu mengklaim bahwa qiyas sejalan dengan pendapat Zaid, lalu mengapa kamu tidak mengikuti pendapat Zaid yang didukung qiyas, sementara di beberapa kasus kamu justru mengikuti qiyas sehingga meninggalkan sunnah yang sahih?
Dia berkata: “Bukankah pendapat Aisyah bertentangan dengan pendapat Zaid?” Dijawab: “Kamu tidak tahu, mungkin dia hanya menyelisihinya karena dia menjual hingga waktu pembayaran, dan kita menyelisihinya dalam hal ini karena itu adalah tempo yang tidak pasti. Adapun jika dia membelinya dengan harga lebih rendah dari yang dijual, mungkin Aisyah sama sekali tidak menyelisihinya dalam hal itu. Mungkin dia menganggap jual beli hingga waktu pembayaran itu batal dan menganggap penjualannya hingga waktu pembayaran tidak boleh, sehingga dia berpendapat bahwa penjual tidak memiliki apa yang dia jual.”
Tidak masalah seseorang memberi pinjaman untuk sesuatu yang belum dia miliki. Jika seseorang menunjukkan barang kepada orang lain dan berkata, “Beli ini, aku akan memberimu keuntungan sekian,” lalu orang itu membelinya, maka pembelian itu sah. Orang yang mengatakan, “Aku akan memberimu keuntungan,” memiliki hak pilih: jika mau, dia bisa melanjutkan penjualan, atau membatalkannya. Begitu juga jika dia berkata, “Belikan aku barang dengan deskripsi tertentu, atau barang apa pun yang kamu mau, aku akan memberimu keuntungan,” maka semuanya sama, penjualan pertama sah, dan orang yang memberikan janji memiliki hak pilih.
Hal yang sama berlaku jika dia mengatakan, “Aku akan membelinya darimu dengan tunai atau utang.” Penjualan pertama sah, dan keduanya memiliki hak pilih dalam penjualan berikutnya. Jika mereka memperbarui transaksi, itu sah. Namun, jika mereka bertransaksi dengan mewajibkan diri pada perjanjian pertama, maka itu batal karena dua alasan:
- Mereka bertransaksi sebelum penjual memiliki barang.
- Itu mengandung risiko, seperti, “Jika kamu membelinya dengan syarat ini, aku akan memberimu keuntungan sekian.”
Jika seseorang membeli makanan dengan tempo lalu menerimanya, tidak masalah menjualnya kembali kepada penjual asal atau orang lain, baik secara tunai atau tempo. Ini berlaku baik untuk barang tertentu maupun tidak tertentu.
Jika seseorang menjual barang secara tunai atau tempo, lalu pembeli menawar dan menyepakati harga, atau menjualnya dengan diskon, atau barang itu rusak di tangannya, lalu penjual meminta pembeli untuk mengurangi harganya atau menghibahkan seluruhnya, itu terserah penjual. Jika dia mau, dia bisa melakukannya, dan jika tidak, dia tidak wajib karena harga itu sudah tetap.
Hal ini sama saja, baik berdasarkan kebiasaan atau tidak, dan baik terjadi di transaksi pertama atau setelah seratus transaksi. Kebiasaan tidak memiliki pengaruh yang menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Begitu juga dengan janji, baik sebelum atau setelah akad. Jika akad jual beli didasarkan pada janji bahwa jika ada diskon dalam penjualan, maka dia juga akan mendapat diskon, maka jual beli itu batal karena harganya tidak pasti.
Transaksi jual beli, nikah, atau apa pun tidak pernah batal kecuali karena akad. Jika akadnya sah, tidak ada yang bisa membatalkannya, baik sebelum maupun setelahnya. Sebaliknya, jika akadnya rusak, tidak ada yang bisa memperbaikinya kecuali dengan akad baru yang sah.
Jika seseorang membeli makanan dengan satu dinar yang harus dibayar dalam sebulan, kecuali jika makanan itu dijual sebelum itu, maka dia harus membayar sesuai harga jual, ini tidak baik karena tempo tidak pasti. Namun, jika dia menjualnya dengan tempo satu bulan tanpa syarat tambahan dalam akad, lalu berkata, “Jika aku menjualnya, aku akan membayarmu sebelum sebulan,” maka itu boleh dan hanya janji. Jika dia mau, dia bisa menepatinya, dan jika tidak, dia tidak wajib karena itu tidak merusak akad.
Jika seseorang membeli makanan dengan harga tertentu untuk tempo tertentu, sementara makanan itu diterima secara tunai, tidak masalah menjualnya kembali segera atau setelah beberapa waktu, baik kepada penjual asal atau orang lain, secara tunai atau tempo, karena transaksi kedua berbeda dengan transaksi pertama.
Jika seseorang memberi pinjaman dalam bentuk barang atau makanan yang berubah hingga tempo tertentu, dia tidak wajib menerimanya sampai tempo itu tiba. Ketika tempo tiba, dia dipaksa untuk menerimanya, baik barang itu ditawarkan satu jam atau satu tahun sebelum tempo. Jika kedua pihak sepakat untuk menerimanya lebih awal, itu tidak masalah, baik satu tahun atau satu jam sebelum tempo.
Jika seseorang membeli hewan atau barang lain yang tidak ada di tempat, sementara pembeli mengenalinya secara spesifik, maka pembelian itu sah.
Konten barang menjadi tanggungan penjual hingga diterima oleh pembeli. Jika pembeli belum melihatnya, ia berhak memilih (khiyar) ketika melihatnya, baik terdapat cacat maupun tidak, baik barang tersebut telah dideskripsikan maupun tidak. Jika pembeli membeli barang tertentu yang tidak dijamin oleh penjual, maka statusnya sama, yaitu pembelian barang tertentu (bukan berdasarkan sifat). Meskipun barang sesuai dengan deskripsi, jika pembeli belum melihatnya, ia tidak wajib menerima kecuali jika menghendaki. Hal ini berlaku baik barang tersebut diterima dalam keadaan hidup atau mati sesuai deskripsi. Namun, jika pembelian dilakukan berdasarkan sifat yang dijamin hingga waktu tertentu, dan barang datang sesuai deskripsi, pembeli wajib menerimanya, suka atau tidak, karena pembelian ini bukan atas barang tertentu.
Jika pembeli menemukan barang dengan sifat yang dijamin di tangan penjual dan ingin mengambilnya, penjual berhak mencegahnya selama ia memberikan pengganti dengan sifat yang sama. Ini adalah perbedaan antara jual beli barang tertentu dan jual beli berdasarkan sifat. Barang tertentu tidak boleh dialihkan ke barang lain kecuali pembeli setuju, sedangkan jual beli berdasarkan sifat boleh dialihkan ke sifat lain selama memenuhi minimal deskripsi.
Pembayaran tunai boleh dilakukan untuk barang yang tidak ada (ghaib) atau barang yang ada, dengan hak khiyar. Ini bukan termasuk jual beli salam (pesanan). Jika seseorang membeli barang dengan tempo kemudian secara sukarela membayar tunai, itu diperbolehkan. Jika pembelian dilakukan tanpa menyebut tempo, maka harus tunai, dan pembeli tidak wajib membayar hingga barang diterima.
Jika seseorang membeli budak atau pelayan yang telah dilihat sebelumnya tetapi tidak hadir saat transaksi, dan penjual telah dibebaskan dari tanggungan cacat, lalu barang datang dan pembeli mengklaim cacat bertambah, maka klaim pembeli yang diikuti sumpah yang berlaku. Tidak boleh menjual barang ghaib dengan syarat jika rusak maka penjual mengganti dengan yang serupa. Namun, boleh membeli barang untuk orang lain dengan pembayaran tempo, dihitung sejak akad dilakukan. Jika pembeli mengatakan, “Saya beli dengan tempo satu bulan sejak barang diterima,” maka akadnya batal karena penerimaan bisa terjadi hari itu atau sebulan kemudian.
[Bab Jual Beli Barang Ghaib dengan Tempo]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual budak yang ghaib dengan emas yang menjadi piutangnya pada orang lain, atau budak yang berada di negeri lain, maka jual belinya batal. Demikian pula jika ia menjual budak dan menyerahkannya, kecuali jika penjual menyerahkan dan pihak lain menerima pengalihan utang. Namun, jika penjual mengatakan, “Ambil emasku yang ghaib, dan jika tidak ditemukan, pembeli yang menanggung,” maka jual belinya batal karena tempo tidak jelas dan dialihkan ke tanggungan lain.
(Imam Syafi’i berkata): Siapa yang memesan kain pada penenun yang masih dalam proses tenun, maka tidak sah, baik dibayar tunai atau tidak, karena tidak tahu bagaimana hasil akhirnya. Ini bukan jual beli barang tertentu atau berdasarkan sifat yang dijamin. Namun, boleh membeli rumah, baik yang ada maupun ghaib, dengan pembayaran tunai atau sistem muzara’ah (bagi hasil). Jual beli dengan hak khiyar juga diperbolehkan.
Jika seseorang membeli dengan hak khiyar dan pembeli menerima barang, maka pembeli menanggung risiko hingga barang dikembalikan dalam keadaan semula. Hak khiyar bisa milik penjual, pembeli, atau kedua pihak. Jika penjual menjual barang dengan hak khiyar, hanya pihak yang memiliki hak khiyar yang boleh membatalkan, bukan pihak yang terkena hak khiyar.
Jual beli dengan hak khiyar diperbolehkan. Jika seseorang membeli budak perempuan, pembeli boleh menerimanya tanpa wajib menahan untuk istibra’ (menunggu haid). Pembeli bisa melakukan istibra’ sendiri. Jika pembeli menerima, barang menjadi tanggungan dan miliknya. Jika penjual menghalangi, barang diserahkan kepada pihak adil untuk istibra’, dan menjadi tanggungan penjual hingga diterima pembeli. Pembeli boleh menjualnya kembali, tetapi penjual tidak boleh menjual hingga pembeli mengembalikan atau akad dibatalkan.
Jika pembeli budak dengan hak khiyar meninggal sebelum memilih, ahli warisnya menggantikan posisinya. Jika penjual menjual barang dengan syarat keridhaan pembeli dalam waktu tertentu (misal tiga hari), maka jika pembeli ridha, jual beli sah. Jika ingin membatalkan, ia berhak. Jika ia menyerahkan hak batalkan kepada orang lain, itu tidak sah kecuali dengan penunjukan wakil.
(Imam Syafi’i berkata): Jika jual beli dilakukan dengan syarat keridhaan pihak lain, hanya pihak yang disyaratkan yang berhak membatalkan, bukan penjual. Jika penjual mengatakan, “Saya akan meminta persetujuan,” ia tidak boleh membatalkan hingga benar-benar meminta persetujuan dan diperintahkan untuk membatalkan.
Tidak sah membeli hewan tertentu dengan penyerahan setahun kemudian, karena bisa berubah atau mati. Juga tidak sah menjual hewan dengan syarat boleh dikendarai, sedikit atau banyak. Tidak boleh menjual hewan dengan syarat bisa diperah susunya, kecuali jika disebutkan sifatnya tanpa syarat. Jika seseorang menjual anak budak perempuan dengan syarat ia menyusui dan menafkahinya selama setahun atau kurang, jual belinya batal karena anak bisa meninggal sebelum setahun.
[Bab Jual Beli Pohon yang Sudah Berbuah]
(Imam Syafi’i meriwayatkan dari Sufyan, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang menjual pohon kurma setelah penyerbukan, maka buahnya milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya.”
(Imam Syafi’i berkata): Hadis ini shahih, dan kami berpegang padanya. Jika kebun dijual setelah penyerbukan, buah milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. Jika kebun dijual sebelum penyerbukan, buah milik pembeli.
Penyerbukan adalah proses memasukkan serbuk jantan ke bunga betina. Jika sebagian pohon sudah diserbuki, seluruh buah kebun itu milik penjual, seperti halnya jika sebagian buah sudah memerah atau menguning, boleh dijual meski sebagian belum.
Kapas yang dijual saat masih dalam biji dan belum pecah, milik pembeli. Jika biji sudah pecah, milik penjual, seperti status buah kurma sebelum dan sesudah penyerbukan.
(Imam Syafi’i meriwayatkan dari Atha’): Seorang lelaki menjual kebun berbuah di masa Rasulullah ﷺ tanpa menyebut buahnya. Ketika akad sudah tetap, mereka berselisih, dan Rasulullah memutuskan buah untuk penjual karena dialah yang menyerbuki.
Jika kebun dijual dan sebagian pohon sudah diserbuki, buah pohon itu di tahun itu milik penjual. Jika ada yang belum diserbuki, buahnya milik pembeli.
Demikian pula jika seseorang menjual pohon jantan setelah penyerbukan betina, buahnya milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. Jika dijual sebelum penyerbukan, buah milik pembeli.
Perbedaan iklim memengaruhi waktu penyerbukan. Jika kebun dijual sebelum diserbuki, buah milik pembeli meski kebun lain sudah diserbuki.
Jika seseorang menjual kebun yang sebagian pohonnya sudah mulai diserbuki, statusnya seperti kebun yang sudah diserbuki seluruhnya, karena waktu penyerbukan sudah tiba dan buah sudah terlihat.
Jika budak atau pohon berbuah dijual tanpa menyebut harta atau buahnya, maka itu tetap milik penjual. Jika pembeli mengaku ingin buah, klaimnya tidak diterima, dan jual beli tetap sah.
Demikian pula jika seseorang memerdekakan budak yang memiliki harta, niatnya menentukan. Jika ia tidak berniat memerdekakan hartanya, harta itu tetap milik tuannya.
Kami berpegang pada pendapat ini dalam masalah buah dan budak.
Jika kebun dijual dan sebagian pohon sudah diserbuki, buah pohon itu di tahun itu milik penjual.
Dia belum diserbuki dan belum muncul; karena hukum buah kurma pada tahun itu sama seperti ketika kebaikannya terlihat tetapi belum diserbuki. (Dia berkata): Jika buah tersebut terkena bencana di tangan pembeli yang membeli pokok kebun, yang menghancurkan sebagian atau seluruhnya, maka pembeli tidak berhak menuntut kembali buah yang rusak atau sebagian darinya kepada penjual. Jika ada yang bertanya, mengapa dia tidak bisa menuntutnya padahal buah itu memiliki bagian dari harga? Dijawab: Karena buah itu hanya sah dijual sebagai bagian tambahan. Tidakkah kamu lihat bahwa jika buah itu dijual terpisah, penjualannya tidak halal sampai memerah? Ketika buah itu menjadi bagian dari penjualan pokok kebun, penjualannya menjadi halal, dan hukumnya sama seperti hukum pokok kebun dan pohon kurma yang boleh dijual baik kecil maupun besar. Buah itu dianggap telah diterima karena penerimaan pohonnya, dan bencana yang menimpanya sama seperti bencana yang menimpa pohon. Jika pembeli terkena bencana pada pohon setelah menerimanya, maka kerugian itu menjadi tanggungannya.
Jika seseorang membeli kebun yang berisi buah yang belum diserbuki, dia berhak mendapatkan pohon beserta buahnya setelah diserbuki, atau dengan syarat setelah diserbuki. Jika dia memilih syarat untuk mendapatkan buah bersama pohon, tetapi sebelum menerimanya sebagian buah terkena bencana, maka ada dua pendapat: Pertama, dia berhak memilih untuk membatalkan pembelian karena tidak menerima sesuai yang dibeli. Atau dia bisa mengambil bagiannya dari harga sesuai harga kebun atau buah, lalu dilihat berapa bagian yang rusak. Kemudian jumlah tersebut dikurangi dari harga asli. Jika harga aslinya seratus dan kerusakan sepersepuluh dari yang dibeli, maka dikurangi satu dinar dari harga asli, bukan dari nilai yang rusak, karena itu sesuatu yang keluar dari akad jual beli akibat bencana. Demikian juga segala sesuatu yang termasuk dalam akad jual beli, seperti tanaman, pohon kurma, atau lainnya. Jika sesuatu terkena bencana setelah akad tetapi sebelum diterima pembeli, maka pembeli berhak memilih untuk membatalkan pembelian karena tidak menerima sesuai yang dibeli, atau mengambil sisanya sesuai bagiannya dari harga, karena dia telah memilikinya dengan kepemilikan yang sah. Pada dasarnya, setiap pihak berhak atas bagiannya dari harga yang disebutkan, dan pembeli tidak memiliki hak pilih dalam hal ini.
(Dia berkata): Demikian juga buah yang dibeli bersama pokok kebun
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
“Jual buah hingga musibah berlalu,” kata Utsman. Aku bertanya kepada Abdullah, “Kapan itu?” Dia menjawab, “Saat bintang Tsuraya terbit.”
(Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sufyan mengabarkan kepada kami dari Amr bin Dinar dari Abu Ma’bad. Al-Rabi’ berkata, aku mengira dari Ibnu Abbas bahwa dia menjual buah dari budaknya sebelum dimakan, dan dia tidak melihat ada riba antara dia dan budaknya.
(Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ dari Jabir, insya Allah, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang menjual buah hingga tampak matangnya.” Ibnu Juraij berkata, aku bertanya, “Apakah Jabir khususkan kurma atau buah?” Dia menjawab, “Bahkan pohon kurma, dan kami tidak melihat setiap buah kecuali seperti itu.”
(Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Amr dari Thawus bahwa dia mendengar Ibnu Umar berkata, “Jangan membeli buah hingga tampak matangnya,” dan kami mendengar Ibnu Abbas berkata, “Jangan menjual buah hingga dimakan.”
(Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Humaid bin Qais dari Sulaiman bin Atiq dari Jabir bin Abdullah, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang menjual buah beberapa tahun.”
(Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abu Zubair dari Jabir dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang serupa. Dengan semua ini kami berpendapat, dan dalam sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – terdapat petunjuk, di antaranya bahwa tanda matangnya buah yang dihalalkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – untuk dijual adalah memerah atau menguning. Dan petunjuk ketika beliau bersabda, “Jika Allah mencegah buah, dengan apa seseorang mengambil harta saudaranya?” bahwa beliau melarang menjual buah yang dibiarkan hingga mencapai puncak musimnya, kecuali beliau melarang apa yang dipotong darinya. Karena apa yang dipotong tidak terkena musibah yang mencegahnya, tetapi yang dilarang adalah apa yang dibiarkan dalam waktu yang memungkinkan musibah. Kurma muda dan semua yang belum menjadi basr boleh dijual untuk dipotong di tempatnya, karena itu keluar dari larangan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang jual beli dan masuk dalam apa yang dihalalkan Allah dari jual beli.
(Dia berkata): Tidak halal menjualnya sebelum tampak matangnya untuk dibiarkan hingga mencapai musimnya, karena itu termasuk dalam makna yang diperintahkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – untuk tidak dijual hingga mencapainya.
(Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, dia berkata, “Jangan dijual hingga dimakan sedikit atau banyak dari kurma basah.” Ibnu Juraij berkata, aku bertanya kepadanya, “Bagaimana jika ada banyak kurma muda bersama kurma basah?” Dia menjawab, “Ya, kami mendengar jika sudah dimakan darinya.”
(Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata kepada Atha’, “Kebun yang ada pohon kurma, lalu berbuah dan dimakan darinya sebelum kebun, sedangkan kebun itu berisi kurma muda.” Dia menjawab, “Cukup baginya jika sudah dimakan darinya, maka boleh dijual.”
(Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata kepada Atha’, “Setiap buah seperti itu, tidak boleh dijual hingga dimakan darinya?” Dia menjawab, “Ya.” Ibnu Juraij berkata, aku bertanya, “Bagaimana dengan anggur, delima, atau buah pir?” Dia menjawab, “Ya.” Ibnu Juraij berkata, aku bertanya kepadanya, “Bagaimana jika ada sesuatu dari itu yang terpisah dan berubah sebelum dimakan darinya, apakah boleh dibeli sebelum dimakan darinya?” Dia menjawab, “Tidak, tidak ada apa pun hingga dimakan darinya.”
Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa Atha’ berkata, “Segala sesuatu yang tumbuh dari bumi yang dimakan, seperti semangka, mentimun, atau sayuran, tidak boleh dijual hingga dimakan darinya, seperti pohon kurma.” Sa’id berkata, “Sayuran hanya dijual dalam ikatan.”
(Al-Syafi’i berkata): Sunnah sudah cukup dari semua yang disebutkan beserta lainnya. Ketika “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang menjual buah hingga keluar dari keadaan seluruhnya mentah, lalu mengizinkannya jika sebagian sudah memerah atau menguning,” maka beliau mengizinkannya jika tampak matang dan bisa dimakan, keluar dari keadaan seluruhnya kurma muda dan sebagian besarnya sudah seperti itu. Keadaan itu adalah ketika mengeras sehingga secara lahiriah mencegah dari musibah karena keras bijinya, meskipun belum mencapai tingkat kekerasan yang sempurna. Jika belum mencapai batas ini, maka setiap buah dari pohon adalah sama, tidak berbeda jika satu buah sudah terlihat seperti buah kurma yang awal matangnya terlihat, maka halal menjual semua buah itu. Sama saja setiap buah dari pohon, baik yang tetap atau tidak, karena dalam makna buah kurma jika seperti yang dijelaskan, tumbuh sehingga pembeli melihatnya, lalu tidak tumbuh lagi setelahnya pada waktu itu sesuatu yang belum muncul dan sudah terlihat, tidak ada penghalang yang mencegahnya untuk dilihat seperti buah kurma.
Pohon kurma mengabarkan kepada kami, Ar-Rabi’ berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’, “Bagaimana dengan henna, kapas, dan tebu yang tidak dimakan?” Ia menjawab, “Ya, tidak boleh dijual hingga tampak kematangannya.”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Asy-Syafi’i berkata, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’, “Bolehkah menjual tebu?” Ia menjawab, “Tidak, kecuali setiap potongan ketika sudah matang, karena bisa saja bagian lainnya terkena cacat.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, Asy-Syafi’i berkata, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa seseorang bertanya kepada Atha’, “Apakah kapas dipanen dua kali setahun?” Ia menjawab, “Tidak, kecuali setiap kali panen.”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Asy-Syafi’i berkata, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa Ziyad mengabarkan kepadanya dari Ibnu Thawus dari ayahnya bahwa ia berkata tentang kapas, “Kamu menjualnya satu ikat.” Ia berkata, “Satu ikat, satu panen ketika terbuka.” Ibnu Juraij berkata, dan Ziyad berkata, “Apa yang kami katakan berlaku ketika biji kapas terbuka, dijual, dan selainnya tidak dijual. Itu satu panen ketika terbuka.”
(Asy-Syafi’i berkata): Apa yang dikatakan Atha’ dan Thawus tentang hal ini adalah seperti yang mereka katakan, insya Allah, dan itu sesuai dengan makna Sunnah. Allah yang lebih tahu. Setiap buah yang bisa dimakan boleh dijual ketika sudah bisa dimakan, dan apa yang tidak dimakan boleh dijual ketika sudah layak dipetik. Ia berkata, segala sesuatu yang dipotong dari pokoknya, seperti tebu, tidak boleh dijual kecuali setiap potongan saat panen. Demikian pula segala sesuatu yang dipotong dari pokoknya tidak boleh dijual kecuali saat dipotong, tidak boleh ditunda. Contohnya seperti tebu, sayuran, tanaman wangi, bawang merah, dan sejenisnya. Pembukaan kapas adalah ketika kulitnya pecah hingga kapas terlihat dan tidak ada penutup yang menutupinya. Menurutku, ini menunjukkan larangan menjual buah yang masih tertutup. Jika ada yang bertanya, “Mengapa kamu mengatakan tebu tidak boleh dijual kecuali saat dipanen?” Maka jawabannya, karena panen adalah awal kematangannya. Jika dikatakan, “Buah bisa dibiarkan setelah matang,” maka jawabannya, buah berbeda dalam hal ini karena harganya sudah tetap ketika matang, tidak ada lagi yang keluar dari pohonnya, hanya semakin matang. Sedangkan tebu jika dibiarkan, akan keluar bagian baru yang belum termasuk dalam akad jual beli dan belum terlihat. Jika Rasulullah ﷺ melarang menjual buah sebelum matang, padahal buah itu terlihat, maka menjual sesuatu yang belum terlihat dan belum matang lebih terlarang lagi karena tidak terlihat. Jika belum matang, pembeli bisa membeli tebu sepanjang satu hasta atau lebih, lalu membiarkannya hingga tumbuh lagi sehasta atau lebih, sehingga pembeli mendapatkan bagian yang belum keluar dari tanah dan belum termasuk dalam akad jual beli. Jika dibiarkan, pembeli bisa memanfaatkannya, berbeda dengan buah yang dipetik mentah.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika kita membatalkan jual beli tebu seperti yang dijelaskan, maka menjual tebu untuk satu tahun, kurang, atau lebih, atau dua kali panen juga batal karena itu termasuk menjual sesuatu yang belum ada, seperti menjual janin budak atau pohon kurma untuk beberapa tahun. Rasulullah ﷺ melarang hal itu dan melarang mengambil buah yang sudah terlihat sebelum terbebas dari cacat.
(Asy-Syafi’i berkata): Adapun menjual semangka ketika sudah matang, maka semangka memiliki kematangan seperti kurma basah. Jika sudah terlihat, boleh menjual semangka saat itu. Sedangkan mentimun dimakan kecil dan segar, kematangannya adalah ketika sudah mencapai ukuran maksimal atau sebagiannya, lalu dibiarkan hingga buah kecilnya menyusul jika pembeli menghendaki, seperti membiarkan semangka hingga buah kecilnya matang jika pembeli menghendaki, dan memetiknya satu per satu seperti memetik kurma. Tidak ada alasan bagi yang mengatakan semangka dan mentimun tidak boleh dijual sebelum matang, dan boleh membelinya setelah matang sehingga pemiliknya berhak atas hasil tanamannya, mengambil semua yang keluar. Jika terkena cacat hingga sepertiga, pembeli bisa mengurangi harganya.
(Asy-Syafi’i berkata): Menurutku, ini termasuk hal yang tidak kusangka seseorang bisa keliru di dalamnya. Rasulullah ﷺ melarang menjual buah sebelum matang agar tidak terkena cacat, maka bagaimana mungkin tidak dilarang menjual sesuatu yang belum ada sama sekali dan cacat bisa menimpa pohonnya sejak awal tumbuh? Ini haram dari beberapa sisi, termasuk menjual untuk beberapa tahun, menjual sesuatu yang belum dimiliki, menanggung pemiliknya, dan lainnya. Bagaimana mungkin awal menjual mentimun dan semangka sebelum matang tidak dihalalkan, seperti tidak halalnya menjual buah sebelum matang, padahal keduanya sudah terlihat? Sementara itu, dihalalkan menjual sesuatu yang belum terlihat sama sekali dan tidak diketahui apakah akan ada atau tidak, bagaimana keadaannya, atau berapa banyak yang tumbuh. Apakah boleh membeli buah kurma untuk tiga tahun ke depan? Jika tidak boleh kecuali setiap kali berbuah dan setelah matang, maka mentimun dan semangka juga demikian. Hasil panen mentimun sekali tidak menghalalkan menjual panen berikutnya yang belum ada. Pohon kurma lebih layak untuk tidak berubah di tempat yang tidak kekeringan dan lebih dekat daripada mentimun yang asalnya adalah sayuran yang dimakan ulat, rusak oleh racun, dingin, dan dimakan ternak, serta hasil panennya bervariasi. Jika ini dibolehkan, maka boleh juga membeli anak kambing dan setiap betina. Jika seseorang membeli anak domba yang sudah dilihat, boleh membeli anak berikutnya yang belum dilihat. Ini tidak boleh. Atau jika mentimun pertama kali dipanen seribu buah, kedua lima ratus, ketiga seribu lagi, lalu pohonnya mati, bagaimana menilai kerusakan pada yang belum ada? Apakah sepertiga dari panen pertama, lebih sedikit, atau lebih banyak? Atau jika tumbuh berbeda di satu daerah lebih banyak daripada daerah lain, atau di satu daerah kadang lebih banyak daripada kali lain, bagaimana menilai kerusakannya? Bagaimana jika pembeli mendapatkan hasil banyak sekali dan sedikit di kali lain jika hasilnya bervariasi? Air bisa membuat hasilnya berlipat ganda dari sebelumnya atau kurang dari yang diketahui, dan hasilnya bisa sangat berbeda. Dalam qiyas, ia harus menanggung apa yang tampak dan tidak boleh mengembalikan apa pun. Aku bertanya, “Apakah kamu berpendapat demikian?” Ia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Jika kamu membeli kerang berisi mutiara dengan dinar, lalu menemukan mutiara di dalamnya, itu untukmu. Jika tidak menemukan, akad jual beli tetap berlaku?” Ia menjawab, “Ya, itu pendapatku untuk segala sesuatu yang diciptakan. Jika kamu membeli tampilan luarnya sesuai ciptaannya, jika tidak ada isinya, tidak ada hak bagimu.” Aku bertanya, “Begitu juga jika menjual bulir gandum dengan jerami setelah dipanen?” Ia menjawab, “Ya, bulir gaimanapun keadaannya.” Aku bertanya, “Begitu juga jika membeli telur dan minyak wangi, ia membeli sesuai isinya. Jika rusak atau baik, itu untuknya?” Ia menjawab, “Aku tidak berpendapat demikian.” Aku bertanya, “Lalu kamu meninggalkan pendapatmu?” Ia berkata, “Jika kamu memberi pilihan untuk bulir gandum dari cacat?” Aku berkata, “Cacat bisa terjadi pada apa yang telah dijelaskan sebelumnya dan di dalamnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika kamu memberi pilihan, maka pembeli bulir gandum selalu punya pilihan karena ia tidak tahu apakah hasilnya sedikit atau banyak, dan tidak bisa mengetahuinya kecuali dengan biaya sewa. Jika sewanya menjadi tanggunganku, maka itu menjadi tanggunganku dalam jual beli yang tidak memenuhi. Jika menjadi tanggungan penjual, maka ia yang menanggung, dan aku punya pilihan jika melihat hasilnya sedikit untuk mengambil atau meninggalkannya karena aku membeli sesuatu yang belum kulihat. Tidak boleh baginya menjual bulir gandum selamanya seperti yang dijelaskan.
(Asy-Syafi’i berkata): Sebagian yang hadir dan setuju dengannya berkata, “Kamu keliru dalam hal ini, dan pendapatmu salah.” Ia bertanya, “Dari mana?” Orang itu berkata, “Bagaimana jika seseorang membeli bulir gandum dengan seribu dinar, apakah kamu kira ia menginginkan kulitnya yang tidak bernilai satu dinar pun?” Kami bertanya, “Lalu apa yang ia inginkan?” Ia menjawab, “Ia menginginkan bijinya.” Kami bertanya, “Apakah ia menginginkan yang tersembunyi?” Ia menjawab, “Ya.” Kami bertanya, “Apakah ia punya pilihan jika melihatnya?” Ia menjawab, “Ya.” Kami bertanya, “Siapa yang menanggung biaya panen dan pengirikannya?” Ia menjawab, “Pembeli.” Kami bertanya, “Jika ia memilih mengembalikan, apakah ia bisa mengambil kembali biaya panen dan pengirikan?” Ia menjawab, “Tidak, dan ia bisa mengembalikan karena cacat atau tanpa cacat.” Kami bertanya, “Jika terkena bencana sebelum dipanen?” Ia menjawab, “Itu menjadi tanggungan pembeli karena ia membeli secara spekulatif, kapan saja ia bisa mengambilnya seperti membeli makanan secara spekulatif. Jika ia membiarkannya dan makanan itu rusak, itu menjadi tanggungannya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Aku melihatmu memutuskan bahwa pembeli punya pilihan seperti ketika membeli kain dalam peti yang belum dilihat atau budak perempuan di rumah yang belum dilihat. Bagaimana jika peti terbakar atau budak perempuan mati setelah diserahkan kepadanya, apakah ia harus membayar harganya atau nilainya?” Ia menjawab, “Aku tidak berpendapat demikian, dan aku kembali berpendapat itu menjadi tanggungan penjual hingga pembeli melihat dan menerimanya.” Aku bertanya, “Lalu siapa yang menanggung biayanya hingga pembeli melihat?” Aku bertanya, “Bagaimana jika membeli sesuatu yang tersembunyi, bukankah menurutmu ia harus menunjukkannya?” Ia menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Apakah ini seperti peti yang tersembunyi?” Ia berkata, “Jika aku mengatakannya?” Aku bertanya, “Apakah kamu menyamakan gandum dalam karung atau kain dalam peti tanpa biaya dengan budak yang jauh yang memerlukan biaya pengambilan seperti biaya panen dan pengirikan?” Ia menjawab, “Mungkin aku mengatakannya.” Aku berkata, “Samakan seperti itu.” Yang lain berkata, “Tidak sama. Kami membolehkannya berdasarkan atsar.” Aku bertanya, “Atsar apa?” Ia berkata, “Diriwayatkan dari Nabi ﷺ.” Aku bertanya, “Apakah sahih?” Ia menjawab, “Tidak, dan yang tidak sahih tidak bisa jadi hujjah.” Ia berkata, “Tapi kami menetapkannya dari Anas bin Malik.” Kami berkata, “Riwayat dari Anas bin Malik tidak seperti yang kamu inginkan. Jika sahih, mungkin itu seperti menjual barang yang tersembunyi, pembeli punya pilihan setelah melihatnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Setiap buah yang tumbuh, jika ada bagian lain yang tumbuh sebelum bagian pertama dipanen, tidak boleh dijual selamanya jika tidak bisa dibedakan dari tanaman pertama yang termasuk dalam akad jual beli, yaitu harus diambil sebelum bercampur dengan yang lain yang tidak termasuk dalam akad. Setiap buah dan tanaman yang tertutup kulit atau pembungkus, dan ketika sampai ke pemiliknya bisa dikeluarkan dari kulit atau pembungkusnya tanpa merusaknya, maka yang aku pilih adalah tidak boleh menjualnya di pohon atau di tempatnya selama masih tertutup.
Jika ada yang bertanya, “Apa dalil orang yang membatalkan jual beli dalam hal ini?” Jawabannya, insya Allah, dalilnya adalah aku tidak tahu seorang pun yang membolehkan seseorang membeli daging kambing yang masih tertutup kulit sebelum disembelih, karena kulit menutupi daging. Demikian pula biji-bijian yang terpisah oleh pembungkus seperti gandum, kacang, jewawut, dan segala sesuatu yang bijinya dalam tangkai dan terpisah oleh sesuatu lebih menutupi daripada kulit menutupi daging. Kulit hanya menutupi sebagian daging, dan kambing bisa diraba untuk mengetahui gemuk atau kurusnya, tapi itu hanya rabaan, bukan penglihatan. Biji dalam pembungkus tidak bisa diraba untuk mengetahui isi atau kosongnya, itu seperti gemuk atau kurus, dan tidak bisa dilihat warnanya hitam atau kuning dalam pembungkus. Ini bisa terjadi pada biji, tapi tidak pada daging kambing karena kehidupan menghalangi perubahan daging, berbeda dengan biji yang bisa berubah dari putih ke hitam karena cacat dalam pembungkusnya. Pembungkus bisa berisi banyak atau sedikit biji, dan dalam satu tangkai bisa ada satu biji atau tidak ada sama sekali di sebelahnya, dan keduanya terlihat sama tanpa perbedaan, dengan biji yang berbeda dalam kekosongan, kepenuhan, atau perubahan. Sehingga kedua pihak yang berakad tidak tahu apa yang mereka transaksikan.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak menemukan ulama yang mengambil zakat gandum dalam pembungkusnya atau zakat biji-bijian berkulit dalam kulitnya. Aku juga tidak menemukan mereka membolehkan jual beli gandum dengan gandum dalam tangkainya secara takaran atau timbangan karena perbedaan pembungkus dan isinya. Jika mereka menolak mengambil zakat sepersepuluh dalam pembungkusnya—padahal zakat adalah bagi hasil untuk yang berhak—dan menolak membaginya dalam tangkainya, maka lebih pantas mereka menolak menjualnya. Aku tidak menemukan mereka membolehkan menjual misk dalam wadahnya atau biji-bijian dalam karung, dan tidak memberi pilihan melihat bagi pembeli sebelum melihat bijinya. Jika mereka membolehkannya secara spekulatif, karung tidak menghalangi seperti pembungkusnya, dan mereka memberi pilihan bagi pembeli setelah melihatnya. Yang membolehkan menjual biji dalam pembungkusnya tidak memberi pilihan kecuali karena cacat. Aku tidak melihat mereka membolehkan menjual gandum dengan jerami setelah dipanen. Yang membolehkan menjualnya saat masih berdiri seharusnya juga membolehkan menjualnya dengan jerami setelah dipanen, diirik, dan belum dibersihkan. Seharusnya juga membolehkan menjual gandum dan jerami dalam karung. Jika dikatakan, “Gandum tidak bisa dibedakan dari jerami,” maka jawabannya, begitu juga gandum yang masih berdiri tidak bisa dibedakan dalam tangkainya. Jika dikatakan, “Aku membolehkan menjual gandum dalam tangkainya karena pemilik memiliki gandum, jerami, dan tangkainya,” maka konsekuensinya ia harus membolehkan menjual gandum dengan jerami, gandum dengan tanah, dan semacamnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku menemukan Nabi ﷺ mengambil zakat kurma dengan perkiraan karena tampak dan tidak tertutup. Aku tidak menemukan dari Nabi atau ulama bahwa zakat biji-bijian diambil dengan perkiraan, meskipun pemiliknya membutuhkannya dalam keadaan basah, karena tidak bisa diketahui seperti pengetahuan tentang buah kurma dan anggur, dan hal-hal serupa.
Kelembaban ada pada kulit luarnya. Jika kulitnya terlepas, kekeringan dan kerusakan akan masuk, memengaruhi rasa dan bau, serta mengurangi daya tahannya. Kulit itu tidak dilepas kecuali saat akan dimakan, mengeluarkan minyak, atau untuk mempercepat pemanfaatannya. Aku tidak menemukannya seperti telur yang jika kulitnya dilepas, isinya akan rusak dan busuk. Namun, jika telur itu matang, ia tidak akan rusak meski kulitnya dilepas. Orang-orang biasanya menyimpan kurma dengan bijinya karena tidak akan baik tanpa biji. Begitu pula saat mereka memperjualbelikannya. Mereka tidak menyimpan gandum dan biji-bijian dalam sekamnya, dan tidak demikian cara mereka memperjualbelikannya di pasar atau desa mereka. Melepas kulit dari biji-bijian tidak merusaknya seperti halnya mengeluarkan biji dari kurma akan merusaknya. Kenari, almond, jeruk keprok, dan sejenisnya akan cepat berubah dan rusak jika kulitnya dilepas dan disimpan. Kenari memiliki dua lapis kulit: lapisan luar yang biasanya dibuang orang, dan lapisan dalam yang tetap melekat. Tidak diperbolehkan menjual kenari tanpa lapisan luar, tetapi boleh dijual dengan lapisan dalam yang masih melekat karena ia tetap baik tanpa lapisan luar, tetapi tidak baik tanpa lapisan dalam. Hal yang sama berlaku untuk jeruk keprok dan segala sesuatu yang memiliki dua lapis kulit.
Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan menjual semua jenis ini jika sudah kering di tangkainya. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa ia membolehkannya, meski riwayat itu tidak kuat dari orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada Ibnu Sirin. Seandainya riwayat itu kuat, kami akan mengikutinya, tetapi kami tidak mengetahuinya. Menurut qiyas, semua itu tidak diperbolehkan kecuali jika dibatalkan.
Dikatakan juga bahwa diperbolehkan menjual kenari, almond, jeruk keprok, dan segala sesuatu yang memiliki kulit yang biasa disimpan orang bersama kulitnya, karena jika kulitnya dilepas, kelembabannya akan hilang, rasanya berubah, dan cepat rusak—seperti telur dan pisang dalam kulitnya. Jika ada yang bertanya, “Apa perbedaan antara yang engkau perbolehkan dijual dengan kulitnya dan yang tidak?” Katakanlah, “Ini adalah sesuatu yang tidak akan baik jika disimpan tanpa kulitnya. Jika kulitnya dilepas, ia tidak layak disimpan. Orang biasanya melepas kulitnya hanya saat akan dimakan atau diperas. Kulitnya tidak dikumpulkan kecuali untuk satu atau sepasang buah. Sedangkan sekam biji-bijian menampung banyak biji, di mana satu atau dua biji mungkin berada dalam sekam yang berbeda, sehingga ada sekam yang terlihat kosong dan yang lain berisi biji. Ini berbeda dengan telur yang memenuhi cangkangnya, atau kenari dan almond yang jarang terlepas dari kulitnya karena padat. Kerusakannya diketahui dari perubahan rasa atau kosongnya isi. Jika demikian, pembeli boleh mengembalikan yang rusak kepada penjual. Kerusakan gandum bisa karena hampa, tetapi jika kukatakan ‘kembalikan yang seperti ini,’ aku tidak bisa memastikannya karena gandum bercampur. Kerusakan satu biji gandum hanya diketahui jika terpisah, dan jika sudah tercampur, banyak biji rusak yang tidak terdeteksi. Karena itu, aku membolehkan penjualan yang belum terlihat dan berpotensi rusak.”
[BAB PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG JUAL BELI TANAMAN YANG MASIH BERDIRI]
(Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata):
“Kami berbeda pendapat dengan sebagian orang mengenai jual beli gandum yang masih dalam bulirnya dan yang semakna dengannya. Mereka sepakat membolehkannya, tetapi berbeda pendapat dalam hal biji-bijian terkait sebagian alasan yang kami tanyakan tentang kebolehannya.
Aku bertanya kepada salah seorang dari mereka:
‘Apakah engkau membolehkannya berdasarkan alasan yang sama ketika engkau membolehkan jual beli gandum yang masih berdiri di tempatnya atau yang hadir di tempat itu tetapi tidak terlihat oleh pembeli, baik dalam karung, kantong, wadah apa pun, atau nampan?’
Dia menjawab:
‘Tidak, karena jika aku membolehkannya dengan alasan itu, berarti aku memberinya hak khiyar (memilih) ketika dia melihatnya.’
Aku bertanya lagi:
‘Lalu dengan alasan apa engkau membolehkannya?’
Dia menjawab:
‘Karena bulir itu sudah menjadi miliknya, maka dia berhak atas apa yang tercipta di dalamnya, baik cacat maupun tidak, sebagaimana seseorang yang memiliki budak perempuan—anak yang ada dalam kandungannya menjadi miliknya, baik si budak melahirkan atau tidak, atau anaknya cacat, aku tidak menolaknya sedikit pun dan tidak memberinya hak khiyar.’
Aku berkata kepadanya:
‘Adapun budak yang hamil, tujuan jual belinya adalah tubuhnya sendiri, dia dibeli untuk dimanfaatkan. Anaknya seperti yang engkau sebutkan, begitu pula dengan pohon. Apakah dalam bulir gandum ada sesuatu yang dibeli selain yang tersembunyi, sehingga yang tersembunyi tidak memiliki hukum, seperti anak, budak yang hamil, atau buah pada pohon? Atau tidak?’
Dia bertanya:
‘Apa maksudmu dengan ini?’
Aku menjawab:
‘Bagaimana pendapatmu jika engkau membeli budak yang hamil, bukankah akad jual belinya hanya berlaku untuk dirinya, bukan anaknya? Begitu pula dengan pohon yang berbuah. Jika berbuah atau budak itu melahirkan, itu menjadi milikmu karena tidak ada hukum baginya kecuali hukum ibunya. Buah tidak memiliki hukum kecuali hukum pohonnya, dan tidak ada bagian harga untuk salah satunya. Jika tidak ada buah atau anak, harganya tidak berkurang. Jika berbuah banyak, sehat, atau tidak, atau cacat, itu hak pembeli. Apakah menurutmu gandum dalam kulitnya juga seperti itu?’
Dia berkata:
‘Jika aku katakan “ya”?’
Aku berkata:
‘Lalu apa itu jual beli?’
Dia berkata:
‘Jika aku katakan apa yang engkau lihat?’
Aku berkata:
‘Jika aku tidak menemukan dalam pendapatku sesuatu yang jelas?’
Dia berkata:
‘Aku harus mengatakan bahwa itu mengikat, seperti budak perempuan yang tidak ada anak dalam kandungannya, tetapi tidak seperti itu—karena yang dibeli adalah budaknya, bukan kandungannya, dan yang dibeli adalah bijinya, bukan kulitnya. Jadi, keduanya berbeda di sini dan bertentangan dengan jual beli kacang dan semisalnya. Sebab, menyimpan biji setelah keluar dari kulitnya berbeda dengan menyimpan almond dan sejenisnya dengan kulitnya. Ini masuk dalam apa yang kujelaskan dan tidak bisa diqiyaskan dengan hal-hal seperti ini. Tetapi kami mengikuti atsar (riwayat).’
Aku berkata:
‘Seandainya riwayat itu sahih, tentu kami lebih layak mengikutinya.'”
[BAB PENJUALAN ARAYYA]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual buah hingga nampak matangnya, dan melarang menjual kurma dengan kurma.” Abdullah berkata: Dan Zaid bin Tsabit menceritakan kepada kami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan dalam ‘ariyya.
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Isma’il Asy-Syaibani atau yang lain, dia berkata: “Aku menjual hasil pucuk pohon kurmaku dengan seratus wasaq. Jika lebih, maka untuk mereka, dan jika kurang, maka menjadi tanggunganku.” Lalu aku bertanya kepada Ibnu Umar, dan dia menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal ini, kecuali beliau memberikan keringanan dalam penjualan ‘ariyya.”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami), dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Zaid bin Tsabit, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan kepada pemilik ‘ariyya untuk menjualnya dengan takarannya.”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami), dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Dawud bin Al-Hushain dari Abu Sufyan, maula Ibnu Abi Ahmad, dari Abu Hurairah, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan dalam penjualan ‘ariyya untuk kurang dari lima wasaq atau lima wasaq.” Dawud ragu, dia berkata: “Lima wasaq atau kurang dari lima wasaq.”
(Asy-Syafi’i berkata): Dikatakan kepada Mahmud bin Labid, atau Mahmud bin Labid berkata kepada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam—entah Zaid bin Tsabit atau yang lain—, “Apa ‘ariyya kalian ini?” Dia menjawab: “Fulan dan fulan,” lalu menyebutkan beberapa nama orang Anshar yang membutuhkan. Mereka mengeluh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kurma basah datang, sementara mereka tidak memiliki uang tunai untuk membeli kurma basah yang bisa mereka makan bersama orang lain, padahal mereka memiliki kelebihan makanan dari kurma kering. Maka, beliau memberikan keringanan kepada mereka untuk menjual ‘ariyya dengan takaran kurma kering yang ada di tangan mereka, sehingga mereka bisa memakannya dalam keadaan basah.
(Dia berkata): Hadits Sufyan menunjukkan makna seperti hadits ini.
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami), dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Basyir bin Yasar, dia berkata: Aku mendengar Sahl bin Abi Hathmah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual kurma dengan kurma, kecuali beliau memberikan keringanan dalam ‘ariyya untuk dijual dengan takarannya sebagai kurma yang akan dimakan oleh pemiliknya dalam keadaan basah.”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami), dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “melarang muzabana,” dan muzabana adalah menjual kurma dengan kurma, kecuali beliau memberikan keringanan dalam ‘ariyya.
(Asy-Syafi’i berkata): Hadits-hadits sebelumnya menunjukkan hal ini jika ‘ariyya termasuk dalam penjualan kurma basah dengan kurma kering, yang dilarang dalam muzabana, tetapi dikeluarkan dari larangan menjual sesuatu dengan takaran yang sama. Jadi, ‘ariyya termasuk dalam larangan-larangan tertentu tetapi dikeluarkan dengan hukum yang berbeda—entah karena larangan tersebut tidak ditujukan padanya atau karena beliau memberikan keringanan khusus. Yang logis adalah bahwa beliau mengizinkan orang yang tidak halal baginya membeli kurma basah dengan kurma kering, sebagaimana dia boleh membelinya dengan dinar dan dirham, sehingga masuk dalam kategori halal atau terlepas dari makna haram.
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dimakan oleh pemiliknya dalam keadaan basah,” adalah kabar bahwa pembeli ‘ariyya membelinya untuk dimakan, menunjukkan bahwa dia tidak memiliki kurma basah di tempat lain yang bisa dimakan selain itu. Seandainya pemilik kebun diizinkan membeli ‘ariyya untuk dimakan, maka dia sudah memiliki kebunnya sendiri yang lebih banyak dari ‘ariyya, sehingga bisa makan dari kebunnya tanpa perlu membeli ‘ariyya yang termasuk dalam larangan seperti yang telah dijelaskan.
(Dia berkata): Pembeli ‘ariyya dengan kurma kering tidak boleh membeli ‘ariyya kecuali dengan cara ditakar seperti zakat. Dikatakan, “Sekarang, dalam keadaan basah, nilainya sekian, dan jika kering, akan menjadi sekian.” Lalu dia memberikan kurma kering sesuai takaran yang disepakati sebelum mereka berpisah. Jika mereka berpisah sebelum penyerahan, maka jual belinya batal, karena saat itu terjadi pertukaran kurma dengan kurma, salah satunya tidak ada di tempat, sedangkan yang lain ada. Ini haram menurut sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesepakatan mayoritas ulama Muslim.
(Dia berkata): “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual ‘ariyya kecuali untuk lima wasaq atau kurang,” menunjukkan apa yang telah dijelaskan, bahwa keringanan itu hanya untuk orang yang tidak halal baginya. Seandainya ‘ariyya seperti jual beli lainnya, maka penjualan lima wasaq atau kurang akan sama saja.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:
Dan lebih banyak lagi yang serupa, tetapi diizinkan baginya dengan syarat bisa dimakan untuk kelonggaran baginya dan keluarganya, serta dilarang mengambil lebih dari itu meskipun pemilik kebun mengizinkannya secara khusus karena gangguan yang dialami oleh orang yang masuk ke kebunnya. Jika gangguan yang dialami oleh orang yang masuk ke kebunnya lebih dari lima wasaq, atau lebih besar gangguannya dibandingkan jika kurang dari lima wasaq, maka jika dia dilarang membeli kecuali lima wasaq, dia tetap terkena gangguan jika telah melebihi lima wasaq.
(Dia berkata): Maksud dari sunnah dan yang saya hafal dari kebanyakan orang yang saya temui yang membolehkan jual beli ‘ariyah adalah bahwa itu diperbolehkan bagi orang yang membelinya dari orang yang tidak halal baginya di tempat tersebut, seperti kurma dengan perkiraan, dan bahwa jual beli tidak boleh dilakukan sampai dia menerima pohon kurma beserta buahnya, dan pemilik pohon kurma menerima kurma dengan takarannya.
(Dia berkata): Tidak boleh menjualnya dengan takaran kasar dari kurma, karena itu termasuk jenis yang tidak boleh sebagiannya dijual dengan sebagian lainnya secara kasar. Jika ‘ariyah dijual dengan sesuatu yang bisa dimakan atau diminum selain kurma, maka tidak mengapa dijual secara kasar, dan tidak boleh menjualnya sampai keduanya saling menerima sebelum berpisah. Saat itu, itu seperti menjual kurma dengan gandum atau gandum dengan jagung. Pemilik ‘ariyah tidak boleh menjual ‘ariyah lebih dari lima wasaq atau kurang, dan lebih saya sukai jika yang dijual kurang dari itu, karena tidak ada keraguan dalam hal itu.
(Dia berkata): Jika seseorang membeli lima wasaq, saya tidak membatalkan jual beli dan tidak membaginya untuknya. Jika dia membeli lebih dari lima wasaq, saya membatalkan seluruh akad, karena itu terjadi pada hal yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
(Dia berkata): Tidak mengapa jika pemilik kebun menjual ‘ariyah kepada lebih dari satu orang, semuanya membeli kurang dari lima wasaq, karena setiap dari mereka tidak dilarang berpisah setelah diizinkan membeli takaran ini. Jika itu halal bagi setiap dari mereka, maka tidak haram bagi pemilik kebun untuk menjual hartanya, dan itu halal bagi yang membelinya meskipun itu mencakup seluruh kebunnya.
(Dia berkata): ‘Ariyah dari anggur sama seperti ‘ariyah dari kurma, tidak ada perbedaan, karena keduanya diperkirakan bersama.
(Dia berkata): Setiap buah yang tampak dari pohon yang tetap, seperti persik, aprikot, pir, prem, dan sejenisnya, berbeda dengan kurma dan anggur, karena buah-buahan itu tidak diperkirakan karena terpisah-pisah dan daun-daun menghalanginya. Saya lebih suka jika itu tidak diperbolehkan seperti yang saya jelaskan. Jika seseorang mengatakan itu diperbolehkan meskipun tidak diperkirakan, maka itu termasuk keringanan dalam hal yang dilarang dari selainnya untuk dijual dengan perkiraan, maka itu dibolehkan sebagai sebuah pendapat, dan Allah lebih tahu.
(Dia berkata): Jika ‘ariyah dijual dengan takaran atau timbangan dari sesuatu yang bisa dimakan atau diminum, maka tidak boleh berpisah sampai saling menerima. Yang dihitung dari sesuatu yang bisa dimakan atau diminum menurut saya sama seperti yang ditakar atau ditimbang, karena itu bisa dimakan dan ditimbang, halal untuk ditimbang atau ditakar, dan ada orang yang menimbang atau menakarnya. Jika dijual dengan barang dagangan yang dijelaskan, seperti kain dari jenis yang diukur, kayu dari jenis yang diukur, besi yang dijelaskan dan ditimbang, tembaga, atau selain yang bisa dimakan dan diminum, seperti emas, perak, hewan, dan pembeli menerima ‘ariyah serta menetapkan tempo untuk pembayaran, maka itu halal dan jual beli diperbolehkan, seperti jual beli makanan yang dibeli dengan barang dagangan dan makanan diterima tetapi barang dagangan belum diterima, baik itu tunai atau tempo.
(Dia berkata): ‘Ariyah tidak boleh dijual dengan sesuatu dari jenisnya secara kasar, seperti menjual ‘ariyah pohon kurma dengan kurma secara kasar, atau dengan kurma dari pohon yang serupa atau lebih banyak, karena ini haram kecuali dengan takaran yang sama, kecuali khusus untuk ‘ariyah, karena perkiraan di dalamnya menggantikan takaran berdasarkan hadis dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kurma dari pohon kurma boleh dijual secara kasar dengan buah anggur atau pohon lainnya secara kasar, karena tidak mengapa kelebihan dalam sebagian dari ini dibandingkan yang lain yang ada di tanah. Pendapat saya adalah tidak mengapa seseorang membeli ‘ariyah kurang dari lima wasaq meskipun dia kaya, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika membolehkannya, tidak mengecualikan bahwa itu halal untuk satu orang dan tidak untuk yang lain. Jika alasannya seperti yang saya jelaskan, maka hadis dari beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- datang dengan kebolehan yang mutlak dan tidak melarangnya untuk siapa pun. Kami katakan itu halal untukmu dan untuk orang seperti kamu, seperti sabda beliau tentang kurban dengan jadza’ah yang mencukupimu tetapi tidak mencukupi selainmu, dan seperti Allah -‘azza wa jalla- mengharamkan bangkai kecuali untuk orang yang terpaksa. Ini lebih mirip dengan mengusap khuf, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengusap khuf saat safar, tetapi tidak melarang orang yang mukim untuk mengusap. Banyak kewajiban yang turun karena sebab tertentu bagi suatu kaum, tetapi itu berlaku untuk mereka dan orang-orang secara umum kecuali yang Allah -‘azza wa jalla- jelaskan bahwa itu halal karena darurat atau khusus.
(Dia berkata): Tidak mengapa jika seseorang membeli ‘ariyah lalu memakannya atau menjualnya, karena dia telah memiliki buahnya. Tidak mengapa membelinya di tempat yang memiliki kebun di tempat itu karena kesesuaian buahnya, kelebihannya, atau kedekatannya, karena kebolehan itu umum, bukan khusus, kecuali jika ada hadis yang mengkhususkannya.
(Dia berkata): Jika pemilik ‘ariyah halal membelinya, maka halal baginya untuk menghadiahkannya, memakannya, menjualnya, menyimpannya, dan segala yang halal baginya dalam hartanya. Jika kamu memiliki sesuatu yang halal, maka semua ini halal bagimu, dan kamu telah memiliki ‘ariyah dengan halal.
(Dia berkata): ‘Ariyah ada tiga jenis: pertama seperti yang kami jelaskan, kedua ketika pemilik kebun mengkhususkan sekelompok orang dan memberi seseorang buah satu atau dua pohon kurma atau lebih sebagai ‘ariyah untuk dimakan. Ini seperti pemberian domba, di mana seseorang memberi orang lain satu atau dua ekor domba atau lebih untuk diminum susunya dan dimanfaatkan. Orang yang diberi ‘ariyah boleh menjual buahnya, mengeringkannya menjadi kurma, dan melakukan apa pun yang dia lakukan dengan hartanya, karena dia telah memilikinya.
(Dia berkata): Jenis ketiga dari ‘ariyah adalah ketika seseorang memberikan satu atau lebih pohon kurma dari kebunnya kepada orang lain untuk dimakan buahnya, dihadiahkan, dikeringkan menjadi kurma, dan dilakukan apa pun yang dia suka, serta menjual sisa buah dari kebunnya. Ini dipisahkan dari yang dijual secara keseluruhan.
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Diriwayatkan bahwa petugas zakat kebun memerintahkan penaksir untuk meninggalkan bagi pemilik rumah dari kebun mereka sejumlah yang mereka makan dan tidak menaksirnya untuk mengambil zakatnya. Dikatakan dengan qiyas bahwa dia meninggalkan apa yang diberikan sebagai ‘ariyah untuk orang miskin dan tidak menaksirnya. Ini dijelaskan dalam kitab Al-Kharsh.
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): ‘Ariyah yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- izinkan untuk dijual adalah ketika sekelompok orang mengeluh kepada beliau bahwa kurma basah sudah ada tetapi mereka tidak memiliki emas atau perak untuk membelinya, sedangkan mereka memiliki kelebihan kurma dari makanan tahunan mereka. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengizinkan mereka membeli ‘ariyah dengan perkiraan kurma untuk dimakan sebagai kurma basah. ‘Ariyah tidak boleh dibeli dengan perkiraan kecuali seperti yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tetapkan, yaitu diperkirakan sebagai kurma basah, lalu dikatakan takarannya sekian dan dikurangi sekian jika menjadi kurma kering. Pembeli membelinya dengan takaran kurma itu dan menyerahkannya sebelum berpisah. Jika mereka berpisah sebelum saling menerima, maka jual beli itu rusak. ‘Ariyah tidak boleh dibeli lebih dari lima wasaq dengan apa pun. Jika kurang dari lima wasaq, jual beli itu boleh, baik pembelinya kaya atau miskin, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang menjual kurma basah dengan kurma kering dan muzabanah. ‘Ariyah termasuk dalam larangan umum karena itu jual beli secara kasar dengan takaran dan kurma dengan kurma basah. Kami menyimpulkan bahwa ‘Ariyah bukan termasuk yang dilarang untuk orang kaya atau miskin, tetapi perkataan beliau tentangnya bersifat umum yang maksudnya khusus. Seperti larangan shalat setelah Subuh dan Ashar bersifat umum, tetapi beliau mengizinkan shalat untuk tawaf di siang atau malam hari dan memerintahkan orang yang lupa shalat untuk mengerjakannya ketika ingat. Kami menyimpulkan bahwa larangan umum itu sebenarnya khusus, yaitu larangan untuk shalat sunnah. Adapun shalat wajib, tidak dilarang. Seperti sabda beliau, “Bukti ada pada penggugat dan sumpah ada pada tergugat,” tetapi beliau juga memutuskan dengan qasamah dan sumpah bersama saksi. Kami menyimpulkan bahwa yang beliau maksud dengan penggugat dan tergugat adalah khusus, sedangkan sumpah bersama saksi dan qasamah adalah pengecualian dari yang beliau maksud. Penggugat dalam qasamah bersumpah tanpa bukti, dan penggugat dengan saksi bersumpah dan mendapatkan haknya. Kebutuhan dalam ‘ariyah, jual beli, dan lainnya sama.
(Asy-Syafi’i berkata): ‘Ariyah hanya berlaku untuk kurma dan anggur, karena tidak ada yang bisa diperkirakan selain keduanya. Tidak mengapa menjual seluruh buah kebun sebagai ‘ariyah asalkan tidak ada yang membeli lebih dari lima wasaq.
(Ar-Rabi’ meriwayatkan): Asy-Syafi’i berkata, Sufyan meriwayatkan dari Humaid bin Qais dari Sulaiman bin ‘Atiq dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang menjual buah bertahun-tahun dan memerintahkan untuk menggugurkan musibah.
(Asy-Syafi’i berkata): Saya sering mendengar Sufyan meriwayatkan hadis ini, tetapi tidak menyebut perintah menggugurkan musibah. Dia hanya menyebut larangan menjual buah bertahun-tahun, lalu menambahkan perintah menggugurkan musibah. Sufyan berkata bahwa Humaid menyebutkan pembicaraan sebelum perintah menggugurkan musibah yang tidak saya hafal, jadi saya menahan diri untuk menyebutkannya karena tidak tahu bagaimana pembicaraannya. Namun, dalam hadis itu ada perintah menggugurkan musibah.
(Ar-Rabi’ meriwayatkan): Asy-Syafi’i berkata, Sufyan meriwayatkan dari Abuz-Zubair dari Jabir dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- hadis serupa.
(Ar-Rabi’ meriwayatkan): Asy-Syafi’i berkata, Malik meriwayatkan dari Abur-Rajal Muhammad bin Abdurrahman dari ibunya, ‘Amrah, bahwa dia mendengar seorang laki-laki membeli buah kebun di zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu merawatnya sampai terlihat kekurangannya. Dia meminta pemilik kebun untuk menggugurkannya, tetapi pemilik kebun bersumpah tidak akan melakukannya. Ibu si pembeli pergi kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan menceritakan hal itu. Beliau bersabda, “Dia bersumpah untuk tidak berbuat baik.” Pemilik kebun mendengarnya, lalu datang kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata, “Wahai Rasulullah, itu untuknya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan dalam hadisnya dari Jabir dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang menggugurkan musibah seperti yang saya ceritakan. Bisa jadi pembicaraan yang tidak dihafal Sufyan dari hadis Muhammad menunjukkan bahwa perintah menggugurkannya seperti perintah berdamai dengan setengah atau sedekah sunnah sebagai dorongan untuk kebaikan, bukan kewajiban. Hadis ini bisa mengandung dua makna, dan karena tidak ada indikasi mana yang lebih utama, kami tidak boleh memutuskan tanpa hadis sahih dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menetapkannya.
(Asy-Syafi’i berkata): Hadis Malik dari ‘Amrah adalah mursal, dan kami tidak menetapkan hadis mursal.
(Asy-Syafi’i berkata): Seandainya hadis ‘Amrah sahih, itu menunjukkan tidak bolehnya menggugurkan musibah karena sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- “Dia bersumpah untuk tidak berbuat baik.” Jika itu kewajiban, lebih tepat dikatakan itu wajib baginya baik dia bersumpah atau tidak, karena setiap orang yang memiliki kewajiban harus menunaikannya.
(Dia berkata): Jika seseorang membeli buah lalu dibiarkan sampai terkena musibah, kami tidak memutuskan penjual harus menggugurkan harganya.
(Dia berkata): Jika Sufyan tidak meragukan hadisnya dan sunnah menetapkan menggugurkan musibah, maka musibah sedikit atau banyak yang terjadi karena alam, bukan ulah manusia, harus digugurkan. Menggugurkan sepertiga atau lebih tetapi tidak menggugurkan kurang dari sepertiga tidak berdasar hadis, qiyas, atau logika.
(Dia berkata): Jika saya memutuskan menggugurkan musibah, alasannya hanya mengikuti hadis yang sahih, bukan qiyas. Saya tidak mengatakan qiyas dengan rumah yang disewa setahun atau kurang, lalu diserahkan untuk disewa, kemudian roboh sebelum setahun. Penyewa hanya wajib membayar sewa untuk hari yang dia gunakan, bukan setahun penuh. Manfaat rumah hanya ada selama rumah di tangannya. Jika manfaat rumah terputus karena roboh, dia hanya wajib membayar sewa yang tidak bisa dia gunakan. Jika ada yang bertanya mengapa buah kurma tidak diqiyaskan dengan sewa rumah, padahal kamu membolehkan menjual buah kurma dan membiarkannya sampai waktu tertentu seperti menyerahkan rumah untuk disewa, saya jawab: rumah disewa setahun lalu roboh sebelum setahun berbeda dengan buah kurma yang diterima sebelum matang. Buah kurma bisa diambil kapan saja, sedangkan rumah wajib dibayar sewanya meskipun tidak ditinggali. Buah kurma bisa diambil kapan saja oleh pembeli, dan dia bisa memilih membiarkannya sampai matang untuk dijual lebih mahal. Jika saya menggugurkan musibah setelah kebun matang atau sebagian besar matang, padahal pembeli bisa memotong dan menjualnya sebagai kurma basah atau mengeringkannya sebagai kurma, maka saya telah membedakan antara buah kurma dan rumah. Rumah wajib dibayar sewanya meskipun tidak ditinggali, karena penyewa mampu menempatinya tetapi memilih tidak melakukannya.
(Dia berkata): Jika qiyas dengan rumah dibolehkan, itu hanya sebelum buah matang, karena itu bukan waktu manfaatnya. Setelah matang, keduanya berbeda.
(Dia berkata): Ini hal yang saya memohon petunjuk Allah. Jika saya memutuskan demikian, saya akan menggugurkan segenggam kurma basah atau mentah yang hilang seperti menggugurkan sewa satu hari jika rumah roboh sebelum itu, atau menggugurkan segenggam gandum jika seseorang membeli satu sha’ dan menerimanya kecuali segenggam yang hilang. Tidak boleh menggugurkan banyak dengan alasan tidak sampai kepadanya, tetapi tidak menggugurkan sedikit yang sama alasan. Jika saya memutuskan menggugurkan musibah dan terjadi perselisihan, penjual mengatakan tidak ada musibah atau musibah hanya menghilangkan satu gantang, sedangkan pembeli mengatakan seribu gantang, maka perkataan penjual dengan sumpah yang diterima, karena harga tetap menjadi tanggungan pembeli. Pembeli tidak bisa dibebaskan hanya dengan ucapannya, dan dia harus membuktikan kerugiannya.
(Dia berkata): Musibah mencakup segala yang menghilangkan buah sebagian atau seluruhnya tanpa ulah manusia.
Para fuqaha? Dikatakan, ya, jika tidak ada pendapat lain, maka orang tidak diwajibkan mengikutinya. Jika ditanyakan, “Bagaimana pendapat anaknya?” Dijawab, “Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Amr bin Dinar tentang orang yang menjual buah lalu terkena musibah (jā’ihah).” Dia berkata, “Menurutku, jika dia (penjual) mau, dia tidak perlu mengganti.” Sa’id berkata, “Maksudnya adalah penjual.”
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia menjual kebun kurmanya, lalu pembelinya terkena musibah. Dia mengambil kembali harganya, tetapi aku tidak tahu apakah ini sah atau tidak. Dia berkata, “Barangsiapa yang mengganti kerugian akibat musibah, maka dia hanya menggantinya dengan syarat bahwa penerimaan buah itu dianggap sah jika selamat. Dan jika buah kurma terkena sesuatu yang menyebabkan cacat, seperti kekeringan yang membuatnya kerdil, atau serangan hama, atau cacat lainnya, maka pembeli berhak memilih: mengambilnya dalam keadaan cacat atau mengembalikannya. Jika dia telah mengambil sebagian buah, lalu bisa dikembalikan, dia harus mengembalikannya. Jika sudah tidak ada, dia wajib mengganti dengan yang serupa jika ada, atau dengan nilainya jika tidak ada yang serupa.” Dia juga berkata, “Dihitung bagian yang sudah diambil sesuai porsinya dari harga, dan sisanya dikembalikan dengan sisa harga yang menjadi tanggungannya, kecuali jika dia memilih untuk mengambilnya dalam keadaan cacat. Jika musibah menimpa setelah buah itu cacat, maka dia berhak mengambil kembali bagian harganya karena musibah berbeda dengan cacat.”
(Imam Syafi’i berkata): Dan mungkin saja dia wajib mengganti jika merusak buah sebelum memetiknya atau melampaui batas dalam mengambilnya, sehingga mengambil lebih dari yang seharusnya. Dia harus menuntut penjual karena buah itu belum diserahkan kepadanya, seperti jika seseorang membeli budak tetapi belum menerimanya, atau membeli beberapa budak dan menerima sebagian tetapi belum menerima sebagian lainnya, lalu ada orang yang merusak salah satu budak, membunuhnya, merampasnya, atau budak itu mati karena sebab alami. Dalam hal ini, pembeli boleh membatalkan transaksi, dan penjual berhak menuntut orang yang merusak atau merampas atas perbuatannya. Budak yang mati menjadi tanggungan penjual. Secara umum, pendapat dalam hal ini adalah bahwa buah yang dijual di pohonnya dan diserahkan kepada pembeli menjadi tanggungan penjual sampai pembeli menerima semua yang dibelinya. Penjual tidak terbebas dari tanggungan sampai pembeli mengambilnya atau memerintahkan untuk mengambilnya dari pohon, seperti seseorang yang membeli makanan di rumah atau kapal dengan takaran tertentu. Apa yang sudah diterima pembeli, penjual terbebas darinya. Apa yang belum diterima, jika dicuri atau terkena bencana, menjadi tanggungan penjual. Jika terkena cacat, pembeli berhak memilih: mengambilnya atau mengembalikannya.
(Imam Syafi’i berkata): Sebaiknya, orang yang mengganti kerugian akibat musibah mengganti semua yang rusak, sedikit atau banyak, dan memberi pilihan kepada pembeli: jika sebagian rusak, dia boleh mengembalikan transaksi atau mengambil sisanya sesuai porsi harganya, selama kurma belum matang seluruhnya. Jika kurma sudah matang seluruhnya hingga siap dipetik, maka tidak ada ganti rugi untuk musibah apa pun.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian juga segala buah yang sudah matang lalu terkena musibah, sebaiknya tidak ada ganti rugi karena pembeli sudah bisa memetiknya dan memiliki kesempatan untuk mengambilnya, tetapi dia tidak melakukannya setelah memungkinkan. Jadi, pendapat dasarnya adalah bahwa buah menjadi tanggungan penjual sampai dua syarat terpenuhi: penyerahan kepada pembeli dan pembeli mampu mengambilnya setelah buah matang dan siap dipetik. Tidak ada pendapat lain yang benar menurutku. Apa yang rusak setelah buah matang menjadi tanggungan pembeli.
(Imam Syafi’i berkata): Ini mencakup bahwa pembeli dianggap telah menerima dan mampu memetik, meskipun belum matang, karena jika dia memetik sebelum matang, itu adalah haknya dan dia wajib membayar seluruh harga.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli buah lalu menerimanya, kemudian terkena musibah, maka sama saja apakah musibah itu terjadi sebelum atau setelah buah kering, selama belum dipetik. Sama saja apakah musibah itu menimpa satu buah atau seluruhnya. Hanya ada dua pendapat dalam hal ini: Pertama, jika dia telah menerima buah dan diketahui bahwa dia menundanya hingga waktu panen, maka itu tidak dianggap sebagai penerimaan, sehingga dia hanya menanggung apa yang sudah diterima. Seperti seseorang yang membeli makanan dengan takaran, menerima sebagian, dan sebagian lainnya rusak sebelum diterima—dia tidak menanggung yang rusak karena belum diterima, hanya menanggung yang sudah diterima. Kedua, jika penerimaan buah berarti dia berkuasa atasnya, bisa memetik atau meninggalkannya, maka apa yang rusak di tangannya menjadi tanggungannya, bukan penjual. Adapun yang keluar dari ini…
Makna tersebut tidak boleh dikatakan bahwa penjual menjamin sepertiga jika terkena musibah atau lebih, dan tidak menjamin kurang dari sepertiga. Ini adalah pembelian satu kali dan penerimaan satu kali, jadi bagaimana mungkin dia menjamin sebagian yang diterima dan tidak menjamin sebagian lainnya? Bagaimana pendapatmu jika seseorang mengatakan, “Tidak ada jaminan sampai seluruh harta musnah,” karena saat itulah musibah terjadi? Atau jika dia berkata, “Jika satu bagian dari seribu bagian musnah,” apakah argumen terhadap keduanya kecuali apa yang telah kami jelaskan?
(Imam Syafi’i berkata): Musibah mencakup semua bencana, baik yang berasal dari langit maupun dari manusia.
(Imam Syafi’i berkata): Musibah berlaku pada semua buah yang dibeli, baik yang mengering maupun tidak, dan juga pada segala sesuatu yang dibeli dan dibiarkan sampai waktu panen, lalu terkena musibah sebelum waktunya. Maka, orang yang menetapkan musibah itulah yang menetapkannya, karena penerimaan belum sempurna. Jika seseorang menjual buah kepada orang lain dengan syarat dibiarkan sampai panen, lalu air terputus dan buah itu tidak bisa baik kecuali dengan air, maka pembeli memiliki pilihan: mengambil semua buah dengan semua harga atau mengembalikannya karena cacat yang masuk. Jika dia mengembalikannya karena cacat dan telah mengambil sebagian, maka yang diambilnya adalah sesuai bagiannya dari harga asli. Jika mereka berselisih, maka perkataan pembeli yang diikuti. Jika seseorang membeli buah kebun, maka penyiraman adalah tanggung jawab pemilik harta, karena buah tidak akan baik tanpa penyiraman, dan pembeli tidak berkewajiban apa pun. Jika mereka berselisih tentang penyiraman dan pembeli menginginkan lebih dari yang disiram penjual, maka tidak dilihat pada perkataan salah satu dari mereka, tetapi ditanyakan kepada ahli ilmu. Jika mereka mengatakan bahwa penyiraman yang baik hanya sekian, maka penjual dipaksa untuk melakukannya. Jika mereka mengatakan bahwa ini sudah baik, dan jika ditambah akan lebih baik, maka penjual tidak dipaksa untuk menambah lebih dari yang baik. Jika penjual mensyaratkan penyiraman pada pembeli, maka jual beli itu rusak karena penyiraman adalah sesuatu yang tidak diketahui. Jika diketahui, kami batalkan karena itu adalah jual beli dan sewa.
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Malik mengabarkan kepada kami dari Rabi’ah bahwa Al-Qasim bin Muhammad pernah menjual buah kebunnya dan mengecualikan sebagian darinya.
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Bakr bin Amr bahwa kakeknya, Muhammad bin Amr, menjual kebunnya yang disebut Al-Ifraq seharga empat ribu dan mengecualikan buah atau kurma seharga delapan ratus dirham—aku ragu.
(Ar-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Malik mengabarkan kepada kami dari Abi Ar-Rijal dari ibunya, Amrah, bahwa dia pernah menjual buah-buahannya dan mengecualikan sebagian darinya.
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Bolehkah aku menjual kebunku kepadamu kecuali lima puluh gantang atau takaran tertentu?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Ibnu Juraij berkata, ‘Jika aku katakan itu dari bagian hitam—hitamnya kurma basah?’ Dia menjawab, ‘Tidak.'”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Bolehkah aku menjual pohon kurmaku kepadamu kecuali sepuluh pohon yang aku pilih?’ Dia menjawab, ‘Tidak, kecuali jika kita mengecualikan pohon-pohon tertentu sebelum jual beli, dengan mengatakan ini dan ini.'”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata kepada Atha’, “Bolehkah seseorang menjual pohon kurmanya, anggurnya, gandumnya, budaknya, atau barang dagangannya apa pun dengan syarat aku menjadi mitramu dengan seperempat atau bagian tertentu?” Atha’ menjawab, “Tidak masalah dengan itu.”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Bolehkah aku menjual buah kebunku kepadamu seharga seratus dinar selain biaya budak?’ Dia menjawab, ‘Tidak, karena biaya budak tidak diketahui dan tidak ada batas waktunya, sehingga jual beli itu rusak.'”
(Imam Syafi’i berkata): Apa yang dikatakan Atha’ dalam semua ini adalah seperti yang dia katakan, insya Allah, dan itu sesuai dengan makna Sunnah, ijma’, dan qiyas atas keduanya atau salah satunya. Itu karena tidak boleh melakukan jual beli dengan harga yang tidak diketahui. Jika seseorang membeli kebun seharga seratus dinar dan biaya budak, maka harganya disebutkan tetapi tidak diketahui, sehingga jual beli itu rusak. Jika seseorang menjual buah kebunnya dan mengecualikan takaran tertentu, maka yang dijual tidak diketahui. Bisa saja dia mengecualikan satu mud, tetapi tidak tahu berapa mud dari kebun itu—apakah satu bagian dari seribu, seratus, kurang, atau lebih. Jika dia mengecualikan takaran, maka yang dibeli tidak diketahui, tidak terjamin, dan tidak pasti. Bisa jadi musibah menimpa, sehingga satu mud menjadi setengah buah kebun atau satu bagian dari seribu bagian saat dijual. Begitu juga jika dia mengecualikan pohon-pohon tertentu yang dipilih atau dipilah, karena bisa jadi dalam pilihan atau pemilahan ada pohon yang lebih mahal atau lebih baik karena banyak buah atau kualitasnya. Maka, tidak boleh mengecualikan pohon dari kebun tanpa jumlah atau takaran tertentu, atau bagian kecuali bagian yang diketahui, atau pohon kecuali pohon yang diketahui.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia menjual kebun kecuali seperempat, setengah, atau tiga perempatnya, atau kebun kecuali pohon-pohon tertentu yang ditunjuk, maka transaksi hanya berlaku untuk yang tidak dikecualikan. Jika kebun itu berisi seratus pohon dan dia mengecualikan sepuluh pohon, maka transaksi hanya berlaku untuk sembilan puluh pohon yang jelas. Jika dia mengecualikan seperempat kebun, maka transaksi hanya berlaku untuk tiga perempat kebun, dan penjual menjadi mitra dengan seperempat, seperti jika beberapa orang membeli kebun bersama mitra sesuai bagian yang mereka beli.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual buah kebunnya seharga empat ribu dan mengecualikan seribu, maka jika akad jual beli berdasarkan ini, dia hanya menjual tiga perempat kebun. Jika dia berkata, “Aku mengecualikan buah seharga seribu sesuai harga harinya,” maka itu tidak boleh, karena jual beli terjadi tanpa diketahui oleh penjual atau pembeli, atau salah satu dari mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Begitu juga jika seseorang menjual kambing yang sudah genap satu tahun, sapi, atau unta yang sudah dikenai zakat, maka pembeli memiliki pilihan untuk membatalkan jual beli karena dia tidak menerima apa yang dibelinya secara utuh, atau mengambil sisanya sesuai bagiannya dari harga. Namun, jika dia menjual unta kurang dari dua puluh lima, maka jual beli itu sah, dan penjual wajib membayar zakat unta yang sudah genap satu tahun di tangannya, sedangkan pembeli tidak wajib membayar zakat untuk itu.
(Imam Syafi’i berkata): Contoh lain adalah seseorang yang menjual budak yang sudah halal darahnya karena murtad, pembunuhan sengaja, atau potong tangan karena pencurian. Jika budak itu dibunuh, maka jual beli batal, dan dia harus mengembalikan apa yang diterima. Jika tangan budak itu dipotong, maka pembeli memiliki pilihan untuk membatalkan jual beli atau melanjutkannya, karena cacat pada tubuh berbeda dengan kekurangan jumlah. Jika pembeli adalah takaran tertentu, maka jika kurang dalam takaran, dia bisa mengambil sesuai bagiannya dari harga jika pemilik setuju, atau membatalkan jual beli. Jika seseorang berkata, “Aku menjual kepadamu buah pohon kurma yang kamu pilih,” maka itu tidak boleh, karena jual beli terjadi atas sesuatu yang tidak diketahui. Jual beli hanya rusak dari sisi ini. Adapun menjual buah dengan lebih dari itu, maka dia tidak wajib memberikan apa pun. Bagaimana mungkin dia menjual sesuatu yang tidak wajib baginya? Tetapi itu tidak sah kecuali jika diketahui.
(Imam Syafi’i berkata)—semoga Allah merahmatinya—buah dijual dalam dua jenis: buah yang ada zakatnya dan buah yang tidak ada zakatnya. Untuk buah yang tidak ada zakatnya, jual belinya sah tanpa masalah, karena semuanya milik pembeli. Adapun buah yang ada zakatnya, jual belinya sah dengan syarat dia mengatakan, “Aku menjual kepadamu kelebihan dari buah kebunku ini setelah zakat,” dan zakatnya adalah sepersepuluh atau setengah sepersepuluh jika disiram dengan tenaga. Ini seperti yang kami jelaskan dalam pengecualian, seolah-olah dia menjual sembilan per sepuluh kebun atau sembilan per sepuluh buahnya dan setengah per sepuluh buahnya.
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Bolehkah aku menjual buah kebunku ini seharga empat ratus dinar selain zakat?’ Dia menjawab, ‘Ya, karena zakat bukan milikmu, melainkan milik orang miskin.'”
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia menjual buah kebunnya dan diam tentang bagian zakat dan jumlahnya, maka ada dua pendapat. Pertama, pembeli memiliki pilihan untuk mengambil kelebihan setelah zakat sesuai bagiannya dari total harga, yaitu sembilan per sepuluh atau sembilan setengah per sepuluh dari total, atau membatalkan jual beli karena dia tidak menerima semua yang dibeli. Kedua, jika dia mau, dia bisa mengambil kelebihan setelah zakat dengan seluruh harga, atau meninggalkannya.
(Ar-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i memiliki pendapat ketiga dalam hal ini, yaitu bahwa seluruh transaksi batal karena dia menjual sesuatu yang dimiliki dan tidak dimiliki. Karena transaksi menggabungkan jual beli yang haram dan halal, maka seluruh transaksi batal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika penjual kebun berkata, “Zakatnya tanggunganku,” maka jual beli tidak mengikat pembeli kecuali jika dia mau. Itu karena pemerintah berhak mengambil zakat dari buah yang ada di tangannya, dan tidak wajib mengambil buah lain sebagai gantinya. Begitu juga kurma basah tidak dianggap sebagai buah, karena pemerintah berhak mengambil sepersepuluh kurma basah. Jika pemerintah memutuskan untuk mengganti sepersepuluh kurma basah dengan buah seperti kurma basah jika menjadi kurma kering, atau pembeli membelinya setelah itu, aku berharap jual beli itu sah. Namun, jika pembelian dilakukan sebelum ini, maka itu seperti seseorang yang membeli dari buah kebun yang ada zakat sepersepuluh, karena zakat diambil dari kurma basah. Sebagian orang mengatakan bahwa zakat diambil dari sepersepuluh harga kurma basah karena dia adalah mitra dalam kepemilikan. Jika demikian, maka jual beli terjadi atas seluruhnya, dan pembeli tidak menerima semuanya. Dalam salah satu pendapat, dia memiliki pilihan antara mengambil sembilan per sepuluh dengan sembilan per sepuluh harga atau mengembalikan semuanya.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami membolehkan jual beli antara mereka jika kedua pihak tahu bahwa ada zakat pada buah, sehingga pembeli membeli dan penjual menjual kelebihan setelah zakat, dan zakat diketahui oleh mereka.
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa Atha’ berkata, “Jika kamu menjual buahmu dan tidak menyebutkan zakat, baik kamu maupun pembelimu, maka zakat menjadi tanggungan pembeli.” Dia berkata, “Zakat itu untuk kebun.” Atha’ menjawab, “Itu untuk pembeli.” Ibnu Juraij berkata, “Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu menjualnya sebelum atau setelah diperkirakan?’ Dia menjawab, ‘Ya.'”
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah berkata hal yang sama dengan Atha’, “Zakat itu untuk pembeli.”
(Imam Syafi’i berkata): Apa yang mereka berdua katakan adalah benar. Zakat itu untuk benda tertentu, di mana pun dia berpindah, zakat tetap berlaku. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang mewarisi, zakat diambil dari kebunnya? Begitu juga jika buahnya dihibahkan, disedekahkan, atau dimiliki dengan cara apa pun.
(Imam Syafi’i berkata): Ada pendapat lain dalam hal ini: Jika zakat sudah wajib pada buah, lalu dijual, maka zakat tetap pada buah, dan pembeli memiliki pilihan antara mengambil selain zakat sesuai bagiannya dari harga atau membatalkan jual beli.
(Imam Syafi’i berkata): Adapun jika buah dihibahkan, disedekahkan, atau diwarisi dari seseorang, dan zakat sudah wajib atau belum, maka semua ini tercatat dalam kitab zakat dengan perinciannya.
(Imam Syafi’i berkata): Ada juga yang berpendapat bahwa zakat menjadi tanggungan penjual, dan jual beli sah, serta seluruh buah menjadi milik pembeli.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemerintah berhak mengambil zakat dari buah, maka buah itu tidak sepenuhnya menjadi milik pembeli. Jika penjual kebun berkata akan memberinya buah lain sebagai gantinya, maka dia telah mengalihkan zakat ke benda lain yang bukan tempat wajib zakat, padahal benda aslinya masih ada.
(Imam Syafi’i berkata): Orang yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa jika seseorang wajib membayar satu dinar dari empat puluh dinar, maka dia boleh memberikan satu dinar lain sebagai gantinya. Begitu juga pendapatnya tentang hewan ternak dan jenis zakat lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Firman Allah Ta’ala, “Ambillah zakat dari harta mereka” (QS. At-Taubah: 103), menunjukkan bahwa jika zakat wajib pada harta tertentu, maka zakat diambil dari harta itu, bukan dari lainnya. Karena itu, aku berpendapat dan memilih pendapat pertama bahwa jual beli mengikat untuk bagian yang tidak ada zakatnya dan tidak mengikat untuk bagian yang ada zakatnya, jika penjual dan pembeli tahu apa yang dijual dan dibeli.
(Imam Syafi’i berkata): Jika penjual menyebutkan zakat kepada pembeli dan menjelaskannya, lalu pemerintah mengambil lebih dari itu, maka pemerintah seperti perampas untuk kelebihan yang diambil. Pendapat tentang ini seperti pendapat tentang perampas. Orang yang tidak menanggung musibah berkata, “Ini adalah orang yang merampas hartaku, dan penjual tidak bersalah atas perbuatan orang lain. Pembeli telah menerima apa yang dibeli.” Adapun orang yang menanggung musibah, dia menanggungnya karena penerimaan belum sempurna. Sepertinya dia wajib mengurangi harga sesuai kezaliman yang terjadi dan memberi pilihan setelah kezaliman untuk membatalkan jual beli atau mengambil sesuai bagiannya dari harga, karena dia tidak menerima seperti yang dijual.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Kezaliman bukan musibah,” maka dijawab, “Apa makna musibah? Bukankah itu kerusakan harta seseorang? Kezaliman adalah kerusakan.” Jika dia berkata, “Musibah adalah yang berasal dari langit,” maka dijawab, “Bagaimana pendapatmu tentang sesuatu yang kubeli tetapi belum kuterima, lalu terkena musibah dari langit yang merusaknya, apakah jual beli batal?” Jika dia menjawab, “Ya,” maka dikatakan, “Jika terkena musibah dari manusia, maka aku memiliki pilihan antara membatalkan jual beli atau mengambilnya dan menuntut manusia itu dengan nilainya.” Jika dia menjawab, “Ya,” maka dikatakan, “Kamu telah menyamakan musibah dari langit dengan musibah dari manusia atau lebih
Lalu aku memberikan hak khiyar (memilih) kepada pembeli. Aku telah menimbulkan kerugian bagi penjual karena mengharuskan mencabut tanaman di kebun dan tanah yang dibeli, kemudian pembeli berhak mengembalikannya tanpa adanya cacat, sehingga hal ini banyak merugikan penjual.
(Dia berkata): Ini berbeda dengan budak yang dibeli dalam keadaan tidak hadir atau barang dagangan. Keduanya bisa diperlihatkan kepada pembeli melalui orang yang dipercaya untuk mendeskripsikannya, lalu pembeli membelinya. Kemudian pembeli memiliki hak khiyar melihat. Dalam hal ini, penjual tidak dirugikan saat pembeli melihatnya, berbeda dengan kerugian yang dialami penjual jika tanaman yang sudah dicabut.
Jika aku membolehkan penjualan tanpa adanya cacat, maka pembeli akan terikat meskipun ada cacat kecil, besar, atau bentuk yang tidak normal. Dengan demikian, pembeli membeli sesuatu yang belum dilihat dan aku memaksanya menerima sesuatu yang tidak disukainya.
Jika aku membolehkan penjualan berdasarkan sifat yang ditimbang, berarti aku membolehkan penjualan sifat-sifat yang tidak dijamin. Padahal, sifat hanya boleh dijual jika dijamin.
(Dia berkata): Jika barang diserahkan dengan sifat dan timbangan tertentu, lalu barang itu sesuai dengan sifatnya, maka salaf (pesanan) itu sah. Sebab, penjual berkewajiban menyediakannya di mana pun tanpa terkait tanah yang tanamannya mungkin rusak atau baik. Oleh karena itu, tidak boleh menjual sesuatu dalam kondisi seperti ini kecuali dengan sifat yang dijamin dan ditimbang, atau sampai tanaman dicabut dan dilihat oleh pembeli.
(Dia berkata): Ini tidak seperti kacang, telur, atau semisalnya yang tidak bisa dinilai kecuali setelah matang, lalu dikeluarkan dan dijual apa yang tersisa, seperti sayuran. Itu tidak bisa dinilai kecuali jika tetap dalam kulitnya. Jika kulitnya terlihat, bisa diketahui isinya. Namun, dalam hal ini, tidak ada indikasi tentang isinya. Bahkan jika luarnya terlihat, daunnya mungkin besar tetapi isinya kecil atau besar.
[Pasal tentang Pembelian Barang yang Bagian yang Dimakan Ada di Dalamnya]
(Imam Syafi’i berkata): Siapa yang membeli jeruk, kenari, almond, kacang tanah, atau telur, lalu memecahkannya dan menemukannya rusak atau cacat, kemudian ingin mengembalikannya dan mengambil kembali uangnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
- Dia boleh mengembalikannya dan mengambil kembali uangnya, karena tidak mungkin mengetahui cacat, kerusakan, atau kebaikannya kecuali dengan memecahkannya. Jika tujuan pembelian adalah isinya, maka penjual memberinya hak untuk itu. Ini adalah satu pendapat.
(Dia berkata): Siapa yang berpendapat demikian seharusnya juga mengatakan bahwa pembeli yang memecahkan wajib mengembalikan kulitnya kepada penjual jika kulit itu memiliki nilai. Jika kulitnya tidak berguna seperti kulit jeruk atau lainnya, maka dia boleh mengembalikannya. Jika tidak, nilai kulit diperhitungkan, dan isinya dianggap baik. Pembeli dikurangi bagian harga kulit yang tidak dikembalikan dan berhak mendapatkan sisa uangnya, meskipun nilai kulit hanya satu bagian dari seribu.
- Pendapat kedua: Jika pembeli memecahkannya, dia tidak boleh mengembalikannya kecuali jika penjual mengizinkan. Dia hanya berhak mendapatkan selisih antara harga barang dalam kondisi baik dan rusak.
Telur ayam yang rusak tidak memiliki nilai karena kulitnya tidak berguna. Jika dipecahkan, pembeli berhak mendapatkan uangnya kembali. Adapun telur burung unta, kulitnya memiliki nilai. Maka, pembeli tetap bertanggung jawab, karena terkadang nilai kulitnya lebih mahal daripada isinya. Jika dia tidak mengembalikan kulit dalam keadaan utuh, dia hanya berhak mendapatkan selisih nilai antara yang tidak rusak dan yang rusak.
Dalam pendapat pertama, dia boleh mengembalikannya tanpa kewajiban apa pun, karena penjual memberinya hak untuk membuka isinya, kecuali jika dia merusaknya saat memecahkan, padahal bisa memecahkannya tanpa merusak. Maka, dia hanya berhak mendapatkan selisih harga tanpa mengembalikan barang.
(Imam Syafi’i berkata): Adapun mentimun, blewah, atau buah yang basah, pembeli boleh mencicipinya dengan alat tipis dari besi atau kayu yang dimasukkan ke dalamnya untuk mengetahui rasanya—apakah pahit atau blewahnya asam. Dia boleh mengembalikannya tanpa kewajiban apa pun atas lubang kecilnya dalam kedua pendapat, karena penjual memberinya hak untuk itu atau lebih, dan lubang kecil tidak merusak.
Namun, pendapat yang mengatakan dia tidak boleh mengembalikannya tetap berlaku.
Kecuali sebagaimana dia mengambilnya dengan mengatakan bahwa dia mengembalikan selisih antara nilainya dalam keadaan utuh dan nilainya dalam keadaan rusak.
(Dia berkata): Jika dia memecahkannya, dia tidak boleh mengembalikannya, tetapi dia harus mengganti selisih nilai antara barang dalam keadaan utuh dan rusak, kecuali jika penjual bersedia menerimanya dalam keadaan pecah dan mengembalikan harganya. Karena dia sebenarnya bisa merasakan isinya jika barang itu utuh, tidak seperti kenari yang tidak bisa dirasakan isinya hanya dengan melubanginya—yang tercium hanya aromanya, bukan rasanya. Adapun cacing, tidak bisa diketahui dengan mencicipi. Jadi, jika dia memecahkannya dan menemukan cacing, menurut pendapat pertama dia boleh mengembalikannya, sedangkan menurut pendapat kedua dia hanya boleh meminta selisih nilai.
Jika seseorang membeli sesuatu yang masih basah seperti mentimun atau melon, lalu menyimpannya sampai mengering dan rusak, kemudian menemukannya sudah busuk karena pahit atau berulat, maka jika kerusakan itu disebabkan oleh hal yang biasa terjadi pada pembeli, kesaksian dan sumpah penjual yang diutamakan. Contohnya seperti telur yang disimpan lama kemudian ditemukan busuk—kerusakan telur adalah hal yang wajar. Wallahu a’lam.
[Masalah jual beli gandum dalam tangkainya]
Ar-Rabi’ meriwayatkan: Aku berkata kepada Asy-Syafi’i bahwa Ali bin Ma’bad meriwayatkan hadits dari Anas: “Rasulullah SAW membolehkan jual beli gandum dalam tangkainya jika sudah memutih.” Asy-Syafi’i menjawab: “Jika hadits itu sahih, kami akan mengikutinya. Ini merupakan pengecualian dari kaidah umum, karena Nabi SAW melarang jual beli gharar (penipuan), sementara jual beli gandum dalam tangkainya termasuk gharar karena tidak terlihat. Begitu juga jual beli rumah dan fondasi yang tidak terlihat, atau jual beli tumpukan barang yang sebagian tertutup. Kami membolehkannya sebagaimana Nabi SAW membolehkannya, sehingga ini menjadi pengecualian dari kaidah umum. Demikian pula, kami membolehkan jual beli gandum dalam tangkainya jika sudah memutih—jika hadits itu sahih—sebagaimana kami membolehkan jual beli rumah dan tumpukan barang.”
[Pasal jual beli tebu dan anting]
Ar-Rabi’ berkata: Asy-Syafi’i menyampaikan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, bahwa dia berkata tentang tebu: “Tidak boleh dijual kecuali dalam bentuk potongan atau ikatan.”
Asy-Syafi’i berkata: “Inilah pendapat kami. Anting tidak boleh dijual kecuali sepasang, dan pembeli harus segera memotongnya setelah membeli, tidak boleh menundanya lebih lama dari waktu yang diperlukan untuk memotongnya pada hari itu.”
Jika seseorang membelinya dalam keadaan masih tumbuh dengan syarat dibiarkan beberapa hari agar tumbuh lebih panjang atau lebih besar, lalu dalam waktu itu ada pertambahan, maka jual beli itu tidak sah dan harus dibatalkan. Sebab, akarnya milik penjual, sedangkan pertumbuhan yang terlihat milik pembeli. Jika dibiarkan tumbuh, berarti ada bagian dari harta penjual yang berpindah ke pembeli tanpa transaksi yang jelas. Ini berarti memberikan pembeli sesuatu yang tidak dia beli dan mengambil dari penjual sesuatu yang tidak dia jual—sesuatu yang tidak jelas, tidak terlihat, tidak bisa diukur, dan tidak bisa dibedakan mana milik penjual dan mana milik pembeli. Maka, jual beli itu batal dari berbagai sisi.
Jika dia membelinya untuk dipotong tetapi menundanya padahal memotongnya masih mungkin dalam waktu yang lebih singkat, maka jual beli itu batal karena syarat awalnya tidak terpenuhi, yaitu tercampurnya harta penjual yang tidak bisa dibedakan. Seperti jika seseorang membeli gandum secara borongan dengan syarat jika ada gandum tambahan yang dituangkan, itu termasuk dalam pembelian, lalu dituangkan gandum milik penjual yang tidak dijual, maka jual beli itu batal. Karena barang yang dibeli tidak bisa dibedakan dan tidak diketahui jumlahnya dari yang tidak dibeli, sehingga tidak bisa diberikan yang dibeli dan ditahan yang tidak dibeli. Ini sama seperti menjual sesuatu yang sudah ada dan sesuatu yang belum ada tanpa jaminan apakah masuk dalam jual beli atau tidak. Jual beli semacam ini tidak diperselisihkan keabsahannya di kalangan Muslim—sudah pasti batal.
Contoh lain, jika seseorang mengatakan, “Aku menjual kepadamu sesuatu yang akan tumbuh di tanahku dengan harga sekian. Jika tidak tumbuh atau hanya sedikit yang tumbuh, kamu tetap harus membayar,” maka jual beli itu batal. Begitu juga jika dia mengatakan, “Aku menjual kepadamu sesuatu yang akan datang dari daganganku dengan harga sekian. Jika tidak datang, kamu tetap harus membayar.”
Namun, jika dia membelinya seperti yang dijelaskan dan menundanya tanpa syarat selama beberapa hari—padahal memotongnya masih mungkin dalam waktu lebih singkat—maka pembeli boleh memilih: membiarkan kelebihan itu tanpa harga atau membatalkan jual beli.
Seperti halnya jika seseorang menjual gandum borongan, lalu dituangkan gandum miliknya, maka penjual boleh memilih: menyerahkan yang dijual dan kelebihannya, atau membatalkan jual beli karena tercampurnya yang dijual dan yang tidak dijual.
Jika jual beli itu batal dan tebu terkena kerusakan yang menghancurkannya di tangan pembeli, maka pembeli harus menanggung nilainya. Jika kerusakan hanya mengurangi nilainya, pembeli menanggung selisihnya, dan tanaman kembali ke penjual. Setiap pembeli dalam jual beli yang rusak wajib mengembalikan barang seperti saat diterima atau lebih baik, serta menanggung kerusakan atau penyusutan nilainya jika terjadi pada segala sesuatu.
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) : Ia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata, diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Thawus dari Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – ia berkata, “Adapun yang dilarang oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk dijual sebelum diterima adalah *makanan*.” Ibnu Abbas menambahkan dengan pendapatnya, “Dan aku mengira segala sesuatu serupa dengannya (tidak boleh dijual sebelum diterima).”
(Berkata Asy-Syafi’i) : “Inilah pendapat yang kami ambil. Barangsiapa membeli sesuatu, apapun itu, ia tidak boleh menjualnya hingga menerimanya. Sebab, orang yang menjual apa yang belum diterima telah masuk dalam makna yang diriwayatkan oleh sebagian orang *dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau berkata kepada ‘Itab bin Usaid ketika mengutusnya ke penduduk Mekah: ‘Larang mereka menjual apa yang belum mereka terima dan mengambil keuntungan dari apa yang belum mereka tanggung.’*”
(Berkata Asy-Syafi’i) : “Ini adalah menjual apa yang belum diterima dan mengambil keuntungan dari apa yang belum dijamin. Ini juga sesuai dengan qiyas dari hadis Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa *beliau melarang menjual makanan hingga diterima*. Barangsiapa membeli makanan dengan takaran, maka penerimaannya adalah dengan menakar. Dan barangsiapa membelinya secara borongan (tanpa takaran), maka penerimaannya adalah memindahkannya dari tempatnya jika barang semisalnya biasa dipindahkan.” Diriwayatkan oleh Ibnu Umar *dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa dahulu mereka biasa membeli makanan secara borongan, lalu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengutus seseorang untuk memerintahkan mereka memindahkannya dari tempat pembelian ke tempat lain*. Ini tidak lain agar mereka tidak menjualnya sebelum dipindahkan.”
(Berkata Asy-Syafi’i) : “Dan barangsiapa memiliki makanan karena disahkan oleh akad jual beli dari…”
Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
Jual beli tidak boleh dilakukan sebelum barang diterima. Jika seseorang memiliki barang karena warisan, ia boleh menjualnya karena barang tersebut tidak dijamin oleh orang lain dengan harga. Demikian pula, barang yang dimiliki melalui cara selain jual beli boleh dijual sebelum diterima, kecuali jika barang tersebut dijamin oleh orang lain dengan kompensasi yang harus dibayar jika barang hilang.
Ransum yang dibagikan oleh penguasa kepada masyarakat boleh dijual sebelum diterima, tetapi orang yang membelinya tidak boleh menjualnya sebelum menerimanya karena pembeli belum menerimanya, dan barang tersebut masih dijamin oleh penjual dengan harga pembelian sampai diterima atau uang dikembalikan kepada penjual.
Jika seseorang membeli makanan dari orang lain, lalu pembeli menulis surat kepada penjual untuk menerimakan makanan tersebut kepada dirinya sendiri, maka penjual tidak dianggap telah menerimakan makanan kepada dirinya sendiri. Penjual tetap bertanggung jawab sampai makanan tersebut diterima oleh pembeli atau wakil pembeli (bukan penjual), baik ada saksi maupun tidak.
Jika seseorang mewakilkan orang lain untuk membelikan makanan, lalu wakil tersebut membelinya, kemudian diwakilkan lagi untuk menjualnya kepada orang lain, maka penjualan harus dilakukan secara tunai, bukan dengan utang. Jika diizinkan untuk berutang, maka itu diperbolehkan, seolah-olah ia sendiri yang membeli dan menjualnya. Namun, jika diwakilkan untuk menjual kepada dirinya sendiri, maka penjualan tersebut tidak sah.
Jika wakil mengatakan telah menjual kepada orang lain, lalu uangnya hilang atau pembeli melarikan diri, dan penjual mempercayainya, maka sesuai dengan perkataannya. Jika penjual tidak mempercayainya, maka wakil harus membuktikan bahwa ia telah menjualnya. Wakil tidak bertanggung jawab jika pembeli melarikan diri, bangkrut, atau uang yang diterima darinya hilang, karena dalam hal ini wakil berstatus sebagai penjaga amanah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual makanan kepada seorang Nasrani, lalu Nasrani tersebut menjualnya lagi sebelum menerimanya, maka penjual tidak boleh menakar untuk Nasrani tersebut sampai Nasrani atau wakilnya hadir untuk menakarnya sendiri.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman berupa makanan, lalu menjual makanan tersebut sebelum menerimanya, maka tidak sah. Namun, jika ia menjual makanan dengan spesifikasi tertentu dan berniat untuk memenuhinya dari makanan tersebut, maka tidak masalah karena ia boleh memenuhinya dari makanan lain. Jika makanan yang diterima tidak sesuai spesifikasi, ia tidak wajib memberikannya. Jika sesuai, ia boleh menahannya. Jika makanan tersebut hilang, ia harus memberikan pengganti dengan spesifikasi yang sama.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman atau menjual makanan, lalu pembeli hadir saat penakaran dan berkata, “Takarlah untukku,” maka tidak sah karena itu termasuk menjual makanan sebelum diterima. Jika pembeli berkata, “Takarlah untuk diriku sendiri, lalu ambil dengan takaran yang aku hadirkan,” juga tidak sah karena ia menjual takaran. Penjual tidak terbebas sampai makanan ditakar oleh pembeli, dan kelebihan atau kekurangannya menjadi tanggungan pembeli. Ini sesuai hadis Nabi ﷺ yang melarang menjual makanan sebelum ditakar.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual makanan yang masih menjadi tanggungannya, lalu makanan tersebut jatuh tempo dan penjual membawa pemilik makanan ke tempat penyimpanan dan berkata, “Pilih makanan yang kamu suka untuk kuberikan,” maka hal ini tidak disukai. Jika pemilik makanan memilih dan penjual membelikannya lalu menyerahkannya, maka tidak sah karena penjual membeli lalu menjual sebelum menerimanya. Jika penjual menerimanya untuk dirinya sendiri lalu menakarnya untuk pembeli, maka sah. Pembeli boleh mengembalikannya jika tidak sesuai spesifikasi, karena kepuasan hanya mengikat sebagian penerimaan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika makanan telah jatuh tempo, penjual tidak boleh memberikan uang kepada pemilik makanan untuk membeli makanan untuk dirinya sendiri, karena ia tidak bisa menjadi wakil untuk dirinya sendiri dalam penerimaan. Ia harus mewakilkan orang lain untuk menyerahkannya.
Jika seseorang membeli makanan, lalu makanan tersebut keluar dari tangannya sebelum diterima—baik karena hadiah, sedekah, atau pelunasan utang—maka tidak boleh dijual oleh penerima sampai ia menerimanya, karena penerima hanya menerima atas nama pembeli seperti wakil pembeli.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki buah lalu menjualnya dengan menyisihkan sebagian tertentu, maka penjualan hanya berlaku untuk bagian yang dijual, bukan yang disisihkan. Bagian yang disisihkan tetap menjadi miliknya dan boleh dijual karena tidak termasuk dalam pembelian.
(Imam Syafi’i berkata): Pinjaman tidak sah sampai pemberi pinjaman menyerahkan uang kepada penerima pinjaman sebelum mereka berpisah dari tempat transaksi. Pinjaman harus dengan takaran umum yang diketahui, bukan takaran khusus yang tidak jelas jika hilang. Makanan harus memiliki spesifikasi yang jelas, baik, bersih, dan waktu penyerahan yang pasti. Makanan harus dari daerah yang umum, bukan khusus, dan harus baru (hasil satu atau dua tahun). Tidak boleh mengatakan “yang terbaik” atau “yang terburuk” karena batasannya tidak jelas. Pinjaman makanan boleh dilakukan untuk penyerahan segera atau tempo.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman dinar untuk makanan dengan beberapa waktu jatuh tempo yang berbeda, maka tidak sah menurutku karena waktu jatuh tempo harus satu dan pembayaran terpisah. Makanan dengan jatuh tempo lebih dekat lebih berharga daripada yang lebih jauh. Namun, ulama lain membolehkannya seperti jual beli barang yang berbeda. Ini berbeda karena barang yang berbeda dibayar tunai, sedangkan ini tempo, dan barang tersebut berasal dari satu jenis.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang membeli makanan yang dijamin dengan spesifikasi tertentu, baik untuk penyerahan segera atau tempo, lalu mereka berpisah sebelum uang diterima, maka transaksi batal karena ini utang dengan utang.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan dengan spesifikasi tertentu yang dijamin saat panen, sebelum atau sesudah panen, maka tidak masalah. Jika membeli dari tanah tertentu tanpa spesifikasi, maka tidak baik karena bisa jadi baik atau buruk. Jika membeli dari lumbung yang dijamin, juga tidak baik karena bisa hilang sebelum ditumbuk.
(Imam Syafi’i berkata): Pinjaman makanan untuk satu tahun sebelum ditanam diperbolehkan asalkan tidak untuk tanaman tertentu. Pinjaman untuk gandum atau biji-bijian yang beragam tidak baik karena kualitasnya berbeda.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman makanan yang telah jatuh tempo, lalu peminjam ingin mengalihkan kepada orang lain yang memiliki makanan serupa dari pembelian, maka tidak baik karena ini sama dengan menjual makanan sebelum diterima. Namun, jika peminjam menjadikannya wakil untuk menerima makanan, maka boleh. Jika makanan hilang di tangan wakil, ia berstatus penjaga amanah. Jika tidak hilang dan peminjam ingin melunasinya, maka sah.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, jika seseorang membeli makanan yang telah jatuh tempo, lalu mengalihkannya kepada orang lain yang memiliki makanan dari pinjaman, maka tidak sah karena ini termasuk menjual makanan sebelum diterima. Pengalihan ini adalah penjualan makanan yang dimiliki kepada orang lain dengan makanan yang menjadi tanggungannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan dengan takaran, lalu pembeli membenarkan takarannya, maka tidak boleh untuk tempo. Jika makanan telah diterima, maka klaim tentang takaran didasarkan pada penerima dengan sumpah, baik kurang banyak atau sedikit, atau lebih sedikit atau banyak. Ini berlaku untuk pembelian tunai atau tempo. Hal ini berdasarkan hadis Nabi ﷺ. Aku mewajibkan siapa pun yang mensyaratkan takaran atau spesifikasi untuk memenuhinya. Jika ada yang berkata, “Pembeli telah membenarkannya, mengapa tidak dibebaskan seperti cacat?” Jawabannya: Jika pembenaran bisa menggantikan pembebasan cacat, maka jika disyaratkan seratus tetapi hanya ditemukan satu, pembeli tidak boleh menuntut apa pun, seperti jaminan keselamatan yang jika dibebaskan dari cacat, pembeli tidak boleh menuntutnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan dengan takaran, ia tidak boleh mengambilnya dengan timbangan kecuali membatalkan transaksi pertama dan memulai transaksi baru dengan timbangan. Ia juga tidak boleh mengambilnya dengan takaran lain kecuali takaran yang digunakan dalam pembelian, kecuali takaran tersebut dikenal setara. Ini berlaku untuk satu jenis makanan atau dua jenis yang berbeda. Ini rusak dari dua sisi: pertama, mengambil dengan syarat yang berbeda; kedua, mengambil pengganti yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari yang seharusnya. Pengganti ini menggantikan penjualan dan minimal bersifat tidak diketahui apakah sama, lebih sedikit, atau lebih banyak.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman gandum dengan spesifikasi tertentu, lalu saat jatuh tempo penjual memberikan gandum yang lebih baik dengan kerelaan atau lebih buruk dengan kerelaan pembeli, maka tidak masalah. Keduanya rela dengan kelebihan atau kekurangan. Ini bukan jual beli makanan dengan makanan. Jika penjual memberikan selain gandum, seperti jelai atau jenis lain, maka tidak sah karena ini jual beli makanan dengan lainnya sebelum diterima. Hal yang sama berlaku untuk kurma dan jenis makanan lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman makanan untuk tempo, lalu mempercepat penyerahan sebelum jatuh tempo dengan kerelaan, baik makanan yang sama atau lebih buruk, maka tidak masalah. Aku tidak pernah mempertimbangkan prasangka dalam hukum, hanya memutuskan berdasarkan yang tampak.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman gandum, lalu saat jatuh tempo ingin mengambil tepung atau sari gandum, maka tidak sah. Ini rusak dari dua sisi: pertama, mengambil yang berbeda dari pinjaman; kedua, ini jual beli makanan sebelum diterima. Meskipun dikatakan satu jenis, ini mengambil yang tidak diketahui dari yang diketahui, seperti menjual satu takar gandum dengan satu takar tepung yang mungkin setara dengan satu sepertiga takar gandum. Hal yang sama berlaku untuk sari gandum.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman makanan yang telah jatuh tempo, lalu peminjam meminta penjual untuk menjualnya makanan lain dengan tempo untuk diterimakan, maka tidak baik jika kesepakatan dibuat atas hal ini. Kami tidak membolehkan kesepakatan yang memberi hak kepada seseorang untuk melarang orang lain memperlakukan hartanya sesuai keinginannya, karena penjualan belum sempurna. Namun, jika penjual menjualnya tanpa syarat, tunai atau tempo, maka tidak masalah. Demikian pula jika menjual selain makanan. Jika kedua pihak berniat untuk melunasi dengan pembelian tunai atau tempo tanpa kesepakatan penjualan, maka tidak masalah.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, jika seseorang memberikan pinjaman makanan untuk tempo, lalu saat jatuh tempo meminta penjual untuk menjualnya makanan dengan tunai atau tempo untuk melunasi, maka jika kesepakatan dibuat atas hal ini, tidak sah. Jika dijual tanpa syarat, maka tidak masalah, baik tunai atau tempo.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman makanan, lalu menerimanya, kemudian membelinya kembali dari pemberi pinjaman dengan tunai atau utang setelah penerimaan, maka tidak masalah karena makanan telah menjadi tanggungan penerima dan pemberi pinjaman telah terbebas. Jika makanan telah jatuh tempo dan peminjam berkata, “Lunasi dengan syarat aku membelinya,” lalu melunasinya dengan makanan yang sama atau lebih rendah, maka tidak masalah. Ini hanya janji yang boleh dipenuhi atau tidak. Jika diberikan makanan yang lebih baik dengan syarat ini, maka tidak sah karena syarat tidak mengikat dan mengambil kelebihan yang tidak seharusnya. Wallahu a’lam.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Prinsip yang aku pegang adalah bahwa setiap akad yang sah secara zahir tidak aku batalkan karena kecurigaan atau kebiasaan tertentu antara penjual dan pembeli. Aku tetap membolehkannya selama zahirnya sah, namun aku membenci niat mereka jika niat itu—sekiranya diungkapkan—akan merusak keabsahan jual beli. Sebagaimana aku tidak suka seseorang membeli pedang dengan niat untuk membunuh, tetapi tidak haram bagi penjual untuk menjualnya kepada orang yang diduga akan menggunakannya untuk membunuh secara zalim, karena mungkin saja pedang itu tidak digunakan untuk membunuh. Aku juga tidak membatalkan transaksi ini.
Demikian pula, aku tidak menyukai seseorang menjual anggur kepada orang yang diduga akan memfermentasinya menjadi khamr, tetapi aku tidak membatalkan penjualannya karena ia menjualnya sebagai sesuatu yang halal, dan mungkin saja anggur itu tidak akan dijadikan khamr sama sekali. Begitu pula dengan pemilik pedang, mungkin ia tidak akan membunuh siapa pun dengannya. Sebagaimana aku membatalkan nikah mut’ah.
Jika seorang menikahi wanita dengan akad yang sah, tetapi berniat hanya menahannya sebentar (sehari atau lebih), nikahnya tidak aku batalkan. Yang kubatalkan hanyalah akad yang rusak sejak awal.
—
[Bab Sunnah dalam Hak Memilih (Khiyar)]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Tidak mengapa menjual semua jenis makanan secara *juzaf* (tidak ditakar/timbang), baik yang biasa ditakar, ditimbang, atau dihitung, baik dalam wadah atau tidak. Namun, jika dalam wadah dan pembeli belum melihat barangnya, ia berhak khiyar (memilih untuk melanjutkan atau membatalkan) setelah melihatnya.
(Ar-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i kemudian menarik pendapatnya dan mengatakan: “Tidak boleh menjual dengan khiyar ru’yah (hak memilih setelah melihat barang) atau menjual barang yang tidak ada di tempat, karena barang itu mungkin rusak dan penjual tidak wajib menggantinya. Jika ia menjualnya secara *juzaf* di tanah, lalu setelah dipindahkan ternyata tertumpuk di toko, bukit, atau batu, ini termasuk kekurangan yang memberi pembeli hak khiyar: ia boleh menerima atau menolaknya.”
Tidak masalah membeli separuh hasil kebun secara *juzaf*, sehingga pembeli menjadi mitra pemilik separuh lainnya. Namun, *juzaf* tidak boleh dilakukan untuk makanan secara tempo (kredit), sesuai sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, kecuali jika *juzaf* diperbolehkan untuk segala hal seperti budak, hewan ternak, dan lainnya. Pembeli tetap berhak khiyar setelah melihat barang dan menolaknya jika ada cacat, karena setiap barang berbeda.
Makanan yang ditakar atau ditimbang dari jenis yang sama hampir serupa.
(Imam Syafi’i berkata):
Tidak masalah seseorang mengatakan, “Aku membeli semua tumpukan ini, setiap *irdab* seharga satu dinar.” Tetapi jika ia mengatakan, “Aku membeli tumpukan ini, setiap *irdab* seharga satu dinar dengan syarat engkau memberiku tambahan tiga *irdab*,” atau, “dengan syarat aku mengurangi satu *irdab*,” ini tidak baik karena jumlah pastinya tidak diketahui, sehingga tidak jelas berapa *irdab* yang dikurangi atau ditambahkan.
(Imam Syafi’i berkata):
Tidak baik membeli secara *juzaf*, takaran, hitungan, atau jual beli apa pun dengan syarat, “Aku membeli satu *mudd* darimu seharga sekian,” atau, “Engkau menjual ini seharga sekian,” baik tunai atau tempo, dijamin atau tidak. Ini termasuk dua transaksi dalam satu akad. Misalnya, jika aku membeli budak seharga seratus dengan syarat menjual rumahku seharga lima puluh, maka harga budak adalah seratus, tetapi bagiannya dari harga rumah (lima puluh) tidak jelas. Demikian pula harga rumah adalah lima puluh, tetapi bagiannya dari budak tidak jelas. Harga harus diketahui dengan pasti.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika takarannya sudah diketahui, lalu sebagiannya berkurang (sedikit atau banyak) tetapi tidak diketahui berapa yang hilang, aku tidak melarang menjualnya secara *juzaf*.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika seseorang memiliki hak makanan yang harus segera diberikan (bukan dari jual beli), tidak mengapa ia menerima barang lain selain jenisnya asalkan serah terima dilakukan sebelum berpisah, seperti emas, perak, atau barang lain. Namun, aku tidak membolehkannya sebelum jatuh tempo jika berupa makanan khusus. Untuk selain makanan, tidak masalah.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika seseorang meminjamkan makanan kepada orang lain, tidak mengapa ia menerima pengembalian dengan makanan sejenis yang lebih baik, lebih buruk, atau sama, asalkan kedua pihak rela dan tidak ada syarat saat peminjaman. Demikian pula, tidak masalah menerima barang lain selain jenisnya dengan nilai lebih, asalkan serah terima sebelum berpisah. Jika ini dari jual beli, tidak boleh menerima selain jenisnya karena termasuk menjual makanan sebelum menerimanya. Namun, tidak masalah menerima makanan sejenis (lebih baik/buruk) sebelum atau setelah jatuh tempo jika kedua pihak rela.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika seseorang membeli makanan yang sudah jelas spesifikasinya, lalu jatuh tempo, kemudian diminta untuk meminjamkannya, ia boleh menyuruh pembeli untuk menagihnya. Setelah makanan itu diterima, ia boleh meminjamkan atau menjualnya. Ini tidak masalah selama ia hanya mewakilkan penerimaan untuk dirinya sendiri, lalu kemudian meminjamkan/menjualnya setelah menerima. Awalnya ia hanya wakil dan berhak menolak pinjaman/penjualan serta mengambil makanan dari tangan pembeli. Jika ada syarat, “Begitu kau terima, pinjamkan/juallah padaku,” ini bukan pinjaman atau jual beli yang sah, dan ia berhak upah layaknya untuk penagihan.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika seseorang datang kepada pemilik tanaman dan berkata, “Wakilkan aku untuk memanen dan mengiriknya, lalu aku menakarnya dan itu menjadi pinjaman bagiku,” ini tidak baik. Ia berhak upah layaknya untuk panen dan pengirikan jika melakukannya, dan pemilik makanan boleh mengambil makanannya. Jika ia rela memanen dan mengirik tanpa syarat, lalu meminjamkannya, ini tidak masalah. Hukumnya sama, sedikit atau banyak, dalam hal halal dan haram.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika seseorang meminjamkan makanan dengan syarat menerima yang lebih baik, lebih banyak, atau lebih sedikit, ini tidak baik. Ia berhak menerima yang setara jika makanan itu habis. Jika makanan aslinya masih ada, ia boleh mengambilnya. Jika tidak ada yang setara, ia berhak nilainya. Jika pinjaman tanpa syarat, lalu pemberi memberi lebih baik/lebih buruk secara sukarela dan penerima rela, ini tidak masalah. Jika tidak ada kerelaan, ia berhak yang setara.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika seseorang meminjamkan makanan dengan syarat penerimaan di negeri lain, ini rusak. Penerimaan harus di negeri tempat pinjaman diberikan.
Jika pinjaman diberikan di satu negeri, lalu mereka bertemu di negeri lain, penerima boleh menagih makanan atau meminta ganti jika makanan telah habis. Namun, pemberi tidak wajib memberikannya di negeri pertemuan. Penerima boleh memilih: menerima makanan setara di negeri asal pinjaman, atau mengambil nilainya saat itu di negeri pertemuan.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika peminjam menawarkan makanan di negeri lain tetapi pemberi menolak, pemberi tidak boleh dipaksa menyerahkan makanan yang dijamin di negeri lain. Ini berlaku untuk semua barang yang memerlukan biaya pengangkutan.
(Imam Syafi’i berkata):
Aku berpendapat bahwa nilai makanan yang dirampas di satu negeri dan ditemui di negeri lain harus diganti. Jika barang asli atau yang setara masih ada, berikanlah. Jika tidak, berikan nilainya sebagai pengganti. Jika makanan dihabiskan di suatu negeri, lalu mereka bertemu di negeri lain, aku tidak memutuskan untuk memberi yang setara karena hak aslinya adalah menerima di negeri tempat pinjaman diberikan, untuk menghindari kerugian atau kelebihan bagi salah satu pihak. Jika tidak ada barang asli atau yang setara, aku putuskan dengan nilai dan memaksanya untuk menerimanya.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika ini dari jual beli, jawabannya adalah tidak memaksa salah satu pihak untuk menerima/menyerahkan di negeri lain selain tempat transaksi. Nilai tidak boleh diberikan karena termasuk menjual makanan sebelum diterima. Pihak yang harus menyerahkan dipaksa untuk menyelesaikan penerimaan di negeri itu atau mewakilkannya, dengan tenggat waktu. Jika tidak diserahkan sampai tenggat, ia boleh ditahan sampai menyerahkannya.
(Imam Syafi’i berkata):
Semua pinjaman adalah tunai, baik diberi tenggat waktu atau tidak. Jika diberi tenggat lalu dibayar sebelum waktunya, penerima dipaksa untuk menerimanya karena pinjaman tidak memiliki tenggat kecuali jika diikhlaskan. Jika dari jual beli, penerima tidak dipaksa menerima sebelum jatuh tempo. Ini berlaku untuk semua barang yang berubah jika disimpan, karena ia menerimanya dengan spesifikasi tertentu yang mungkin berubah saat jatuh tempo.
Jika ada perubahan pada barang di tangan pemiliknya, kami memaksanya untuk memberikan makanan pengganti, dan mungkin ada biaya penyimpanan yang dikeluarkan, serta kebutuhan akan barang tersebut muncul pada waktu yang telah ditentukan. Segala sesuatu yang memerlukan biaya penyimpanan atau berubah di tangan pemiliknya tidak boleh dipaksa untuk diambil sebelum jatuh tempo. Sedangkan sesuatu yang tidak berubah dan tidak memerlukan biaya penyimpanan, seperti dirham, dinar, atau sejenisnya, boleh dipaksa untuk diambil sebelum jatuh tempo.
(Imam Syafi’i berkata): Dalam syirkah dan tawliyah, jual beli adalah bagian dari transaksi yang halal sesuai dengan ketentuan jual beli yang halal dan haram sesuai dengan ketentuan jual beli yang haram. Di mana jual beli dianggap halal, maka itu halal, dan di mana jual beli dianggap haram, maka itu haram. Iqalah (pembatalan jual beli) adalah pembatalan transaksi, dan tidak masalah dilakukan sebelum serah terima karena itu membatalkan akad jual beli antara kedua pihak dan mengembalikan mereka ke keadaan sebelum transaksi.
(Dia juga berkata): Jika seseorang meminjamkan seratus dinar kepada orang lain untuk seratus irdab makanan dengan tempo, lalu ketika jatuh tempo, peminjam meminta untuk menyerahkan lima puluh irdab dan membatalkan transaksi untuk lima puluh irdab lainnya, maka itu diperbolehkan. Jika dia berhak membatalkan transaksi untuk seratus irdab, maka lima puluh irdab lebih layak untuk dibatalkan. Jika dia berhak menerima seratus irdab, maka lima puluh irdab lebih layak untuk diterima. Ini adalah bentuk transaksi yang paling jauh dari jual beli dan pinjaman yang dilarang. Jual beli dan pinjaman yang dilarang adalah ketika akad dilakukan atas jual beli dan pinjaman sekaligus, seperti mengatakan, “Aku menjual ini kepadamu dengan syarat kamu meminjamkan aku sesuatu.” Hukum pinjaman adalah harus tunai, sehingga jual beli terjadi dengan harga yang diketahui dan tidak diketahui, padahal jual beli hanya sah dengan harga yang diketahui. Dalam kasus ini, peminjam hanya memiliki makanan, dan akad hanya terjadi atas makanan tersebut. Karena akadnya sah dan halal baginya untuk menerima semua makanan atau membatalkan transaksi sepenuhnya, maka dia juga boleh menerima sebagian dan membatalkan sebagian. Ini juga pendapat Ibnu Abbas, yang ketika ditanya tentang hal ini, menjawab, “Ini adalah kebiasaan yang baik dan indah.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminjamkan hewan atau barang kepada orang lain untuk makanan dengan tempo, lalu ketika jatuh tempo, peminjam meminta pembatalan transaksi, maka itu diperbolehkan, baik hewan tersebut masih ada atau sudah hilang. Karena jika iqalah dianggap sebagai jual beli makanan sebelum serah terima, itu tidak diperbolehkan. Namun, ini adalah pembatalan transaksi, dan pembatalan transaksi berarti membatalkan akad, sehingga tidak masalah, baik hewan tersebut masih ada atau sudah hilang. Jika hewan sudah hilang, maka peminjam harus mengganti nilainya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membatalkan transaksi makanan dan mengubahnya menjadi dinar yang harus dibayar, maka dia tidak boleh menjadikannya sebagai pinjaman untuk sesuatu sebelum menerimanya. Sama halnya jika dia memiliki dinar pinjaman atau titipan di tangan orang lain, dia tidak boleh menjadikannya sebagai pinjaman sebelum menerimanya. Jika seseorang meminjamkan seratus dinar untuk dua jenis kurma dan menyebutkan modal masing-masing, lalu ingin membatalkan transaksi untuk salah satunya, itu diperbolehkan karena ini adalah dua transaksi terpisah. Namun, jika modal masing-masing tidak disebutkan, maka ini adalah jual beli yang tidak disukai, meskipun sebagian ulama membolehkannya. Bagi yang membolehkannya, tidak memperbolehkan pembatalan sebagian sebelum serah terima karena kedua transaksi tersebut adalah satu kesatuan dengan bagian harga yang tidak diketahui kecuali dengan penilaian, dan penilaian tersebut tidak pasti.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik jika aku menjual kurma tertentu atau yang sudah dijelaskan dengan syarat kamu membeli kurma dariku dengan harga tertentu. Ini adalah dua transaksi dalam satu akad, karena aku tidak memiliki kepemilikan penuh atas barang ini dengan harga yang diketahui kecuali dengan syarat harga lain untuk barang lain, sehingga transaksi terjadi dengan harga yang diketahui dan bagian syarat dalam jual beli ini tidak diketahui. Hal yang sama berlaku untuk transaksi kedua. Jual beli hanya sah dengan harga yang diketahui.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminjamkan seratus irdab kepada orang lain, lalu menerima sepuluh irdab atau lebih sedikit atau lebih banyak, kemudian peminjam meminta untuk mengembalikan sepuluh irdab yang telah diterima dan membatalkan transaksi, maka jika pengembalian dilakukan secara sukarela, iqalah sah dan tidak masalah. Namun, jika pengembalian dilakukan dengan syarat, “Aku tidak akan mengembalikan ini kecuali kamu membatalkan transaksi antara kita,” maka itu tidak baik. Jika seseorang memiliki dinar pada orang lain, lalu peminjam meminjamkan dinar kepada orang lain untuk makanan, dan pemilik dinar meminta untuk menjadikan dinar tersebut sebagai pinjaman atau tawliyah, maka itu tidak baik karena tawliyah adalah jual beli, dan ini adalah jual beli makanan sebelum serah terima serta utang dengan utang, yang dibenci baik untuk tempo maupun tunai.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli dari orang lain…
Seratus gantang makanan, lalu dia menerimanya darinya. Kemudian penjual yang memenuhi syarat memintanya untuk membatalkan seluruh atau sebagian transaksi, maka itu tidak masalah. Malik berkata: “Tidak masalah membatalkan seluruhnya, tetapi tidak boleh membatalkan sebagian saja.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika sekelompok orang membeli makanan dari seseorang, lalu sebagian dari mereka membatalkan transaksi sedangkan yang lain menolak, maka itu tidak masalah. Siapa pun yang membeli makanan dari seseorang dengan takaran, tetapi belum menakar dan menerima kejujuran penjual dalam takaran, kemudian penjual atau orang lain memintanya untuk berserikat dalam makanan itu sebelum ditakar, maka itu tidak baik. Sebab, pembeli belum dianggap menerima barang sampai dia menakarnya. Penjual wajib memenuhi takaran. Jika makanan rusak di tangan pembeli sebelum takaran terpenuhi, maka pembeli bertanggung jawab atas takaran tersebut. Pernyataan tentang takaran adalah hak pembeli disertai sumpah. Jika pembeli berkata, “Aku tidak tahu takarannya,” maka dia disumpah. Dikatakan kepada penjual, “Klaimlah takaran sesukamu.” Jika dia mengklaim, maka dikatakan kepada pembeli, “Jika kamu membenarkannya, maka dia berhak atas takaran yang ada di tanganmu. Jika kamu mendustakannya, dan kamu bersedia bersumpah atas sesuatu yang kamu sebutkan, maka kamu lebih berhak atas sumpah. Jika kamu menolak, maka sumpah kembali kepadanya, dan dia bersumpah atas klaimnya lalu mengambilnya darimu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Syirkah (kemitraan) dan tawliyah (penjualan dengan harga pokok) adalah jenis jual-beli. Yang halal dalam jual-beli, halal di sini, dan yang haram dalam jual-beli, haram di sini. Siapa pun yang membeli makanan atau lainnya, lalu belum menerimanya sebelum mengajak orang lain berserikat atau menjualnya dengan harga pokok, maka syirkah dan tawliyah itu batal. Ini termasuk menjual makanan sebelum menerimanya. Sedangkan iqalah (pembatalan transaksi) adalah pembatalan jual-beli.
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa pun yang membeli makanan, lalu menakar sebagiannya dan membayar harganya, kemudian meminta pembatalan sebagian, maka itu tidak masalah.
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa pun yang memberikan hutang makanan kepada seseorang, lalu penjual berkata, “Aku berserikat denganmu dalam makanan ini,” maka itu tidak diperbolehkan.
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa pun yang menjual makanan kepada seseorang dengan harga tempo, lalu pembeli menerimanya dan penjual menyesal, kemudian meminta pembatalan dan menambah sesuatu, maka itu tidak baik karena iqalah bukan jual-beli. Jika dia ingin membuat akad jual-beli baru, maka itu diperbolehkan. Malik berkata: “Tidak masalah,” karena itu adalah jual-beli baru.
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa pun yang menjual makanan tunai dengan harga tempo, lalu tempo telah jatuh, maka tidak masalah mengambil makanan sebagai pembayaran. Tidakkah kamu melihat bahwa jika dia mengambil makanan lalu ternyata tidak sah, dia berhak kembali dengan uang, bukan makanan? Demikian juga jika dia mengalihkan pembayaran kepada orang lain. Malik berkata: “Semua itu tidak baik.”
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa pun yang membeli makanan dengan setengah dirham dengan syarat dia memberikan makanan senilai setengah dirham secara tunai atau tempo, atau memberikan pakaian, dirham, atau barang lain senilai setengah dirham, maka jual-beli itu haram dan tidak sah. Ini termasuk dua transaksi dalam satu akad.
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang menjual makanan dengan setengah dirham per dirham, baik tunai atau tempo, maka tidak masalah memberinya satu dirham yang setengahnya sebagai harga, lalu membeli makanan atau apa pun yang dia inginkan dengan setengahnya, asalkan serah terima terjadi sebelum berpisah. Baik makanan itu dari jenis yang dijual atau bukan, karena ini adalah transaksi baru, bukan bagian dari akad pertama.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan dari orang lain dengan satu dinar tunai, lalu menerima makanan tetapi penjual belum menerima dinar, kemudian penjual membeli makanan dari pembeli dengan satu dinar dan menerima makanan tetapi pembeli belum menerima dinar, maka tidak masalah menjadikan dinar tersebut sebagai hapus utang. Namun, tidak boleh menjual satu dinar dengan satu dinar secara utang, karena itu termasuk utang dengan utang. Tetapi, masing-masing dapat membebaskan pihak lain dari kewajiban dinar tanpa syarat. Jika ada syarat, maka itu tidak baik.
(Asy-Syafi’i berkata): Dasar pendapat ulama tentang jual-beli tempo adalah riwayat bahwa ‘Aliyah bint Anfa’ menceritakan…
Aku mendengar Aisyah—atau seorang wanita dari Abu Safar—meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang wanita bertanya kepadanya tentang penjualan yang dia lakukan kepada Zaid bin Arqam dengan harga tertentu hingga waktu pembayaran (tunai), lalu dia membelinya kembali darinya dengan harga lebih rendah secara tunai. Aisyah berkata, “Buruk apa yang kau beli dan buruk apa yang kau jual. Beritahu Zaid bin Arqam bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah membatalkan jihadnya bersama Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—kecuali jika dia bertaubat.”
(Asy-Syafi’i berkata): Bisa jadi Aisyah—jika riwayat ini sahih darinya—mencela penjualan tersebut karena pembayarannya tertunda tanpa batas waktu yang jelas, dan ini termasuk yang tidak dia benarkan. Bukan karena dia mencela pembelian secara tunai setelah menjualnya secara tempo. Seandainya para sahabat Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—berselisih pendapat dalam suatu masalah, sebagian mengatakan sesuatu dan sebagian lain berbeda, maka prinsip kami adalah mengambil pendapat yang sesuai dengan qiyas. Dan yang sesuai dengan qiyas dalam hal ini adalah Zaid bin Arqam.
Secara keseluruhan, kami tidak menetapkan riwayat seperti ini dari Aisyah, terlebih Zaid bin Arqam tidak menjual kecuali apa yang dia anggap halal dan tidak membeli yang semisalnya. Seandainya seseorang menjual atau membeli sesuatu yang kami anggap haram, sedangkan dia menganggapnya halal, kami tidak akan menyatakan bahwa Allah menghapus amalannya.
Jika ada yang bertanya, “Dari mana qiyas-nya dibandingkan pendapat Zaid?” Aku jawab, “Bagaimana menurutmu tentang akad jual beli pertama, bukankah harga telah tetap baginya secara penuh?” Jika dia menjawab, “Ya,” maka dikatakan, “Lalu, apakah akad jual beli kedua itu sama dengan yang pertama?” Jika dia menjawab, “Tidak,” maka dikatakan, “Apakah haram baginya menjual hartanya secara tunai meskipun dia membelinya secara tempo?” Jika dia menjawab, “Tidak, jika dia menjualnya kepada orang lain,” maka dikatakan, “Lalu siapa yang mengharamkannya darinya?”
Jika dia berkata, “Seolah barang itu kembali kepadanya atau dia membeli sesuatu secara kredit dengan harga lebih rendah secara tunai,” maka dikatakan, “Jika engkau mengatakan sesuatu yang tidak terjadi, maka tidak pantas bagi siapa pun untuk menerimanya darimu. Bagaimana jika masalahnya sama, tetapi dia menjualnya seratus dinar secara kredit lalu membelinya kembali seratus atau dua ratus dinar secara tunai?” Jika dia menjawab, “Boleh,” maka dikatakan, “Pasti ada kesalahan, baik di sana maupun di sini, karena tidak boleh baginya membeli seratus dinar kredit dengan dua ratus dinar tunai.”
Jika engkau berkata, “Aku hanya membeli barang darinya,” maka dikatakan, “Seharusnya engkau mengatakan itu sejak awal dan tidak mengatakan sesuatu yang tidak terjadi. Tidakkah engkau melihat bahwa jika akad jual beli terakhir dengan tunai dibatalkan, barang akan dikembalikan dan hutang tetap seperti semula? Dengan begitu, engkau tahu bahwa ini adalah akad jual beli yang berbeda.”
Jika engkau berkata, “Aku hanya menuduhnya,” kami katakan, “Dia lebih sedikit kecurangannya terhadap hartanya dibandingkan dirimu. Maka janganlah engkau berprasangka buruk jika itu kesalahan, lalu engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan. Karena Allah ‘Azza wa Jalla menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, sedangkan ini adalah jual beli, bukan riba.”
Telah diriwayatkan kebolehan jual beli hingga waktu pembayaran dari beberapa ulama, sementara yang lain meriwayatkan sebaliknya. Kami memilih untuk tidak menjual dengan cara itu karena pembayaran bisa tertunda atau dipercepat. Sedangkan batas waktu harus jelas, baik dengan hari tertentu atau bulan, sebagaimana dasar dalam Al-Qur’an. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
*”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah penanda waktu bagi manusia dan haji.'”* (QS. Al-Baqarah: 189)
Dan firman-Nya,
*”Dan berdzikirlah kepada Allah dalam beberapa hari yang terbilang.”* (QS. Al-Baqarah: 203)
Serta firman-Nya,
*”Maka (wajib mengganti) pada hari-hari yang lain.”* (QS. Al-Baqarah: 184)
Allah telah menetapkan waktu dengan bulan sebagaimana dengan hitungan hari, sedangkan pembayaran bukan termasuk ketetapan-Nya—Tabaraka wa Ta’ala—karena bisa tertunda atau dipercepat. Sementara bulan tidak pernah tertunda lebih dari sehari.
Jika seseorang membeli barang dari orang lain dan menerimanya, lalu harganya dibayar tempo, tidak mengapa dia membelinya kembali dari pembeli tersebut atau dari orang lain secara tunai dengan harga lebih rendah atau lebih tinggi, atau dengan hutang yang sama, atau dengan barang lain yang nilainya setara. Akad jual beli kedua tidak terkait dengan yang pertama. Tidakkah engkau melihat bahwa pembeli pertama boleh—jika barang itu adalah budak—menyetubuhinya, menghadiahkannya, memerdekakannya, atau menjualnya kepada siapa pun dengan harga lebih rendah atau lebih tinggi dari harga belinya secara kredit? Jika demikian, siapa yang mengharamkannya bagi pembeli?
Bagaimana mungkin seseorang menyangka bahwa ini adalah kepemilikan baru dengan harga baru, bukan dengan dinar yang tertunda? Bahwa ini adalah harga baru, bukan lanjutan dari transaksi sebelumnya? Jika ini boleh bagi penjual, mengapa tidak boleh bagi orang lain yang membelinya?
(Asy-Syafi’i berkata): Makanan dan minuman sama seperti dinar dan dirham, tidak ada perbedaan dalam hukum. Jika engkau menjual satu jenis dengan jenis yang sama, tidak boleh kecuali sama, tunai, dan sejenis (timbangan dengan timbangan, takaran dengan takaran), sebagaimana dinar dengan dinar harus tunai dan sama beratnya, tidak boleh takaran dengan takaran. Jika jenisnya berbeda, tidak mengapa ada kelebihan salah satunya asalkan tunai, tetapi tidak boleh tempo.
Emas dapat diperbaiki dengan perak secara tafadhul (berlebih).
Tidak boleh dilakukan secara nasi’ah (penundaan), dan jika kedua jenis berbeda, maka kelebihan pada salah satunya diperbolehkan. Tidak masalah membelinya secara juzaf (timbangan kasar) dengan juzaf, karena yang paling utama dalam juzaf adalah adanya tafadhul, dan tafadhul tidak masalah. Jika sesuatu terbuat dari emas, perak, makanan, atau minuman, dan manusia mengolahnya sehingga menghasilkan sesuatu yang berbeda nama dari aslinya, maka barang tersebut tidak boleh ditukar dengan barang aslinya, betapapun banyak pengolahannya. Misalnya, jika seseorang mengambil dinar dan mengubahnya menjadi baskom, kubah, atau perhiasan apa pun, tidak boleh ditukar dengan dinar kecuali dengan timbangan yang sama. Begitu pula jika seseorang mengambil kurma dan memasukkannya ke dalam karung atau guci—baik bijinya dibuang atau tidak—tidak boleh dijual dengan kurma secara timbangan, karena asalnya adalah takaran, dan timbangan dengan timbangan bisa berbeda dalam takaran aslinya. Demikian pula, gandum tidak boleh ditukar dengan tepung, karena tepung berasal dari gandum, dan bisa saja hasil tepung dari gandum lebih banyak atau sedikit dari tepung yang dijual, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam jenis yang mengandung riba. Hal yang sama berlaku untuk gandum dengan sawiq (tepung gandum panggang), gandum dengan roti, atau gandum dengan faludzaj (makanan manis) jika patinya berasal dari gandum. Minyak wijen dengan wijen atau minyak zaitun dengan zaitun juga tidak diperbolehkan seperti yang telah dijelaskan. Kurma yang tersebar juga tidak boleh ditukar dengan kurma yang dipadatkan, karena asal kurma adalah takaran.
(Imam Syafi’i berkata): Jika engkau menjual sesuatu dari makanan, minuman, emas, atau perak dengan sesuatu dari jenis yang sama, maka tidak boleh kecuali dengan takaran atau timbangan yang sama. Barang yang dijual harus satu jenis, baik bagus atau buruk, dan barang yang dibeli juga harus satu jenis. Tidak masalah jika barang yang dibeli lebih bagus atau lebih buruk dari yang dijual. Tidak diperbolehkan mengambil 50 dinar Marwani dan 50 dinar Hadba dengan 100 dinar Hasyimiyah atau lainnya. Demikian pula, tidak boleh mengambil satu sha’ kurma Bardi dan satu sha’ kurma Lawun dengan dua sha’ kurma Shaihani. Aku membenci hal ini karena jika transaksi menggabungkan dua hal berbeda, maka masing-masing dijual dengan bagian harganya sendiri. Misalnya, harga satu sha’ Bardi adalah 3 dinar, satu sha’ Lawun 1 dinar, dan satu sha’ Shaihani setara 2 dinar. Maka, satu sha’ Bardi setara dengan tiga perempat dua sha’ Shaihani (1,5 sha’), dan satu sha’ Lawun setara dengan seperempat dua sha’ Shaihani (0,5 sha’). Ini berarti kurma ditukar dengan kurma secara tafadhul. Hal yang sama berlaku untuk emas, perak, dan segala sesuatu yang mengandung riba dalam kelebihan sebagian atas sebagian lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Setiap makanan yang awalnya basah lalu mengering tidak boleh ditukarkan dalam keadaan basah dengan yang kering, karena Nabi ﷺ pernah ditanya tentang kurma basah dengan kurma kering, beliau bersabda, “Apakah kurma basah berkurang jika mengering?” Mereka menjawab, “Ya,” maka beliau melarangnya.” Kami melihat konsekuensinya, maka kami juga melarang kurma basah dengan kurma basah, karena jika keduanya mengering, penyusutannya berbeda sehingga ada kelebihan dalam konsekuensinya. Demikian pula, semua makanan yang tidak mengering—jika termasuk jenis yang bisa mengering—tidak boleh ditukar dalam keadaan basah dengan yang basah, baik dengan takaran, timbangan, atau jumlah. Tidak boleh menukar jeruk dengan jeruk atau semangka dengan semangka secara timbangan, takaran, atau jumlah. Jika jenisnya berbeda, maka kelebihan diperbolehkan, tetapi tidak boleh dilakukan secara nasi’ah. Tidak masalah menukar satu jeruk dengan satu semangka atau sepuluh semangka, dan begitu pula dengan yang lainnya. Jika ada makanan basah yang tidak pernah mengering dengan sendirinya—seperti minyak, samin, madu, atau susu—maka boleh ditukar dengan yang sejenis, asalkan dengan takaran atau timbangan yang sama, tanpa kelebihan, kecuali jika jenisnya berbeda. Tidak boleh menukar kurma dengan kurma kecuali jika kekeringannya sudah maksimal. Meskipun kekeringannya sudah maksimal, jika sebagian lebih mengembang dari yang lain, tidak masalah selama ditukar dengan takaran yang sama.
(Imam Syafi’i berkata): Jika sesuatu tersembunyi, seperti kenari, almond, atau makanan yang bagian dalamnya dimakan…
Jika masuk ke dalamnya, maka tidak ada kebaikan dalam sebagiannya dengan sebagian yang lain, baik dalam jumlah, takaran, maupun timbangan. Jika berbeda, maka tidak mengapa karena bagian yang dimakan tersembunyi dan kulitnya berbeda dalam berat dan ringan, sehingga selalu tidak diketahui dengan yang tidak diketahui. Jika dipecah dan bagian yang dimakan keluar, maka tidak mengapa sebagian dengan sebagian lainnya secara langsung, seperti dengan seperti, jika takaran maka dengan takaran, jika timbangan maka dengan timbangan. Dan tidak boleh menukar roti dengan roti.
Dalam jumlah, timbangan, atau takaran, karena jika masih basah bisa mengering dan berkurang. Jika sudah kering, tidak bisa ditakar dan asalnya adalah takaran, maka tidak ada kebaikan dalam timbangan karena kita tidak bisa mengubah timbangan menjadi takaran.
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) : Dia berkata.
(Imam Syafi’i berkata) : Asalnya adalah timbangan dan takaran di Hijaz. Segala sesuatu yang ditimbang pada zaman Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – maka asalnya adalah timbangan, dan segala sesuatu yang ditakar maka asalnya adalah takaran. Apa yang diada-adakan oleh manusia yang menyelisihi hal itu dikembalikan kepada asalnya.
(Imam Syafi’i berkata) : Jika seseorang membeli buah kurma atau pohon kurma dengan gandum dan saling menerima, maka tidak mengapa dalam jual beli karena tidak ada tenggat waktu. Aku menganggap penerimaan pada pohon kurma sebagai penerimaan, seperti penerimaan barang secara borongan jika pembeli membiarkannya tanpa penghalang, maka tidak mengapa. Jika aku meninggalkannya, maka itu dari pihakku, dan jika terjadi kerusakan, itu tanggung jawabku karena aku yang menerimanya. Jika aku membelinya dengan syarat tidak menerimanya hingga besok atau lebih, maka tidak ada kebaikan dalam transaksi itu karena aku membeli makanan dengan makanan dengan tenggat waktu. Begitu juga jika membelinya dengan emas dan perak, tidak sah jika aku membelinya dengan syarat menerimanya besok atau lusa karena mungkin saja besok atau lusa barangnya tidak ada. Dan tidak ada kebaikan dalam menukar susu murni dengan susu yang sudah diaduk.
Karena dalam susu yang diaduk terdapat air, jadi itu campuran air dan susu. Jika tidak ada air tetapi menteganya sudah dikeluarkan, tidak boleh ditukar dengan susu yang menteganya belum dikeluarkan karena telah dikeluarkan sesuatu yang merupakan bagian dari zat dan manfaatnya. Begitu juga tidak ada kebaikan dalam menukar kurma yang sudah diperas dan sarinya dikeluarkan dengan kurma yang sarinya belum dikeluarkan, takaran dengan takaran.
Karena telah dikeluarkan sesuatu dari zatnya. Jika tidak berubah dari bentuk aslinya, maka tidak mengapa.
(Imam Syafi’i berkata) : Tidak boleh menukar susu dengan susu kecuali sama dengan sama, takaran dengan takaran, secara langsung. Tidak boleh jika dicampur air pada sebagian dengan sebagian yang lain yang sudah dicampur air atau yang belum dicampur air, karena itu adalah air dan susu dengan susu yang tidak diketahui. Susu-susu itu berbeda-beda, jadi boleh menukar susu kambing dengan susu domba dan kambing biasa, tetapi tidak dengan susu kijang. Susu sapi boleh dengan susu kerbau dan sapi ternak, tetapi tidak dengan susu sapi liar. Susu unta boleh dengan susu unta ternak dan unta Baktria.
Semua ini termasuk jenis: kambing satu jenis, sapi satu jenis, dan unta satu jenis. Setiap jenis berbeda dengan yang lain, jadi boleh menukar sebagian dengan sebagian lain dengan kelebihan secara langsung, tetapi tidak boleh dengan penundaan. Boleh menukar yang ternak dengan yang liar dengan kelebihan. Begitu juga daging-dagingnya berbeda, boleh ada kelebihan dalam sebagian dengan sebagian lain secara langsung, tetapi tidak boleh dengan penundaan. Boleh menukar yang basah dengan yang kering jika berbeda, basah dengan basah, atau kering dengan kering. Jika dari jenis yang sama, seperti daging kambing dengan daging kambing, tidak boleh basah dengan basah atau basah dengan kering, tetapi boleh jika sudah kering sempurna, sebagian dengan sebagian dengan timbangan. Mentega seperti susu.
(Imam Syafi’i berkata) : Tidak ada kebaikan dalam menukar satu takar mentega dengan dua takar susu, atau keju dengan susu karena keju bisa dibuat dari susu, kecuali jika susu dan keju berbeda maka tidak mengapa.
(Imam Syafi’i berkata) : Jika mentega susu dikeluarkan, tidak mengapa dijual dengan mentega atau samin karena tidak ada mentega atau samin dalam susu. Jika menteganya belum dikeluarkan, tidak boleh ditukar dengan samin atau mentega. Tidak ada kebaikan dalam minyak kecuali sama dengan sama, secara langsung, jika dari jenis yang sama. Jika berbeda, tidak mengapa ada kelebihan dalam sebagian dengan sebagian lain secara langsung, tetapi tidak boleh dengan penundaan. Tidak mengapa menukar minyak zaitun dengan minyak lobak, atau minyak lobak dengan minyak wijen dengan kelebihan.
(Imam Syafi’i berkata) : Tidak ada kebaikan dalam menukar cuka anggur dengan cuka anggur kecuali sama. Tidak mengapa menukar cuka anggur dengan cuka kurma atau cuka tebu karena asalnya berbeda, jadi boleh ada kelebihan dalam sebagian dengan sebagian lain. Jika cuka tidak bisa didapatkan kecuali dengan air, seperti cuka kurma atau cuka kismis, tidak boleh ditukar sebagian dengan sebagian lain karena air bisa banyak atau sedikit. Tidak mengapa jika berbeda. Minuman yang tidak memabukkan seperti cuka.
(Imam Syafi’i berkata) : Tidak mengapa menukar kambing hidup yang tidak memiliki susu saat dijual dengan susu secara langsung, tetapi tidak ada kebaikan jika…
Di dalamnya ada susu ketika dijual dengan susu; karena susu yang ada di dalamnya memiliki bagian dari susu yang diletakkan tidak diketahui, dan jika disembelih tidak ada susu di dalamnya maka tidak mengapa dengan susu dan tidak ada kebaikan di dalamnya disembelih dengan susu hingga tempo, dan tidak mengapa berdiri tanpa susu dengan susu hingga tempo; karena itu adalah barang dengan makanan; dan karena hewan bukan makanan, maka tidak mengapa dengan apa yang disebut dari jenis hewan dengan makanan apa pun yang kamu inginkan hingga tempo; karena hewan bukan termasuk makanan dan bukan termasuk yang mengandung riba, dan tidak mengapa dengan kambing untuk disembelih dengan makanan hingga tempo.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tidak mengapa dengan kambing dengan susu jika kambing itu tidak ada susu di dalamnya, karena saat itu statusnya seperti barang dengan makanan. Yang dimakan adalah segala yang dimakan oleh anak Adam dan dijadikan obat, bahkan hingga buah myrobalan dan aloe, maka itu seperti emas dengan emas dan perak dengan emas. Dan segala yang tidak dimakan oleh anak Adam tetapi dimakan oleh hewan ternak, maka tidak mengapa sebagiannya dengan sebagian lain dengan kelebihan, tunai atau hingga tempo yang diketahui.
(Berkata Asy-Syafi’i): Makanan dengan makanan jika berbeda jenis seperti emas dengan perak, sama saja. Diperbolehkan di dalamnya apa yang diperbolehkan, dan diharamkan di dalamnya apa yang diharamkan.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika jenis ikan berbeda, maka tidak mengapa sebagiannya dengan sebagian lain dengan kelebihan. Demikian juga daging burung jika jenisnya berbeda, dan tidak ada kebaikan dalam daging segar dengan asin atau yang dimasak. Dan tidak dengan yang kering dalam segala keadaan, dan tidak diperbolehkan yang segar dengan segar atau yang kering dengan segar hingga keduanya kering atau hingga jenisnya berbeda, maka diperbolehkan dalam segala keadaan bagaimana pun.
(Berkata Ar-Rabi’): Barangsiapa yang menganggap burung merpati termasuk dari jenis burung dara, maka tidak diperbolehkan daging burung merpati dengan daging burung dara dengan kelebihan. Tidak diperbolehkan kecuali tunai, sama dengan sama, jika sudah mencapai kekeringannya. Jika bukan dari jenis burung dara, maka tidak mengapa dengan kelebihan.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tidak boleh menjual daging dengan hewan dalam segala keadaan, baik dari jenisnya atau bukan dari jenisnya.
(Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari Sa’id bin Al-Musayyib: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang menjual hewan dengan daging.”
(Berkata Asy-Syafi’i): Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Al-Qasim bin Abi Bazah, ia berkata: “Aku datang ke Madinah dan menemukan unta yang telah disembelih dan dibagi menjadi beberapa bagian, setiap bagian dijual dengan seekor anak kambing. Aku ingin membeli satu bagian, lalu seorang lelaki dari penduduk Madinah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang menjual yang hidup dengan yang mati.’ Aku bertanya tentang lelaki itu dan dikabarkan kepadaku bahwa dia orang baik.” Ia berkata: Ibnu Abi Yahya mengabarkan kepada kami dari Shalih maula At-Tau’amah dari Ibnu Abbas dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa dia tidak menyukai menjual hewan dengan daging.
(Berkata Asy-Syafi’i): Sama saja apakah hewan itu dagingnya dimakan atau tidak.
(Berkata Asy-Syafi’i): Sama saja apakah daging dan hewan berbeda atau tidak berbeda, dan tidak mengapa dengan salaf (pesan terlebih dahulu) dalam daging jika kamu menyerahkan apa yang dipesan sebelum mengambil sedikit pun dari daging tersebut, dan menyebutkan daging apa itu, ukuran, tempat, dan tempo di dalamnya. Jika kamu meninggalkan sesuatu dari ini, maka tidak sah, dan tidak ada kebaikan dalam tempo kecuali satu. Jika temponya satu, kemudian dia ingin mengambil sebagian setiap hari, dia boleh mengambilnya, dan jika ingin meninggalkan, dia boleh meninggalkan.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tidak ada kebaikan dalam mengambil daging domba yang sudah halal diganti dengan daging sapi; karena itu adalah menjual makanan sebelum diterima.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tidak ada kebaikan dalam salaf untuk kepala. Juga tidak untuk kulit karena kulit tidak bisa diukur dengan pasti dan sifatnya berbeda-beda dalam ketipisan dan ketebalan, serta tidak seragam dalam takaran atau timbangan. Tidak diperbolehkan salaf untuk kepala karena tidak seragam dalam berat atau tidak bisa ditentukan sifatnya sehingga sah seperti hewan yang dikenal sifatnya. Tidak boleh dibeli kecuali tunai.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tidak mengapa dengan salaf untuk ikan segar jika ditentukan dengan berat dan sifat dari kecil atau besar, dan jenis ikan yang disebutkan tidak berbeda saat sudah halal. Jika ada kesalahan dalam hal ini, maka tidak sah.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tidak mengapa dengan salaf untuk semua hewan, baik budak, ternak, atau burung, jika sifatnya bisa ditentukan dan tidak berbeda saat sudah halal. Sama saja apakah bisa diambil manfaat hidupnya atau tidak. Jika sesuatu dari ini sudah halal, dan dari apa pun dibeli, tidak boleh bagi pemiliknya untuk menjualnya sebelum menerimanya atau mengalihkannya kepada orang lain. Tetapi dia boleh membatalkan transaksi asal dan mengambil uangnya. Tidak boleh seseorang menjual kambing dan mengecualikan sesuatu darinya, baik kulit atau lainnya, dalam perjalanan atau di rumah. Sekalipun hadits itu sah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -.
Dalam perjalanan kami telah memutuskan, baik dalam perjalanan maupun di tempat tinggal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang melakukan transaksi dengan syarat seperti ini, maka jual belinya batal. Jika yang dikecualikan itu diambil dan hilang, penjual boleh menuntut pembeli untuk mengganti nilai daging pada hari ia mengambilnya.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak diperbolehkan seseorang memesan susu kambing tertentu, baik disebutkan takarannya atau tidak, sebagaimana tidak boleh memesan makanan dari tanah tertentu. Jika susu itu berasal dari kambing yang tidak ditentukan, maka tidak masalah. Demikian pula jika makanan itu bukan dari tanah tertentu, maka tidak masalah.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh memesan susu kambing tertentu untuk sebulan, kurang dari itu, atau lebih dengan takaran yang diketahui, sebagaimana tidak boleh memesan buah dari kebun tertentu atau tanaman tertentu. Tidak boleh melakukan pesanan dengan deskripsi kecuali untuk sesuatu yang dijamin tidak akan habis dari tangan orang pada waktu jatuh tempo. Tidak boleh menjual susu kambing tertentu untuk sebulan—atau kurang atau lebih—karena susu kambing bisa berkurang, bertambah, habis, atau terkena musibah. Ini adalah jual beli sesuatu yang belum tercipta dan sesuatu yang jika tercipta, tidak dapat dijamin jumlahnya dengan takaran karena bisa berkurang atau bertambah, serta tidak memiliki sifat tetap karena bisa berubah. Oleh karena itu, transaksi ini haram dari segala sisi.
Demikian pula, tidak halal menjual buah mentimun yang masih dalam tahap pertumbuhan, meskipun bagian pertama sudah baik, karena bagian selanjutnya belum terlihat dan bisa jadi sedikit, busuk, atau cacat. Ini adalah transaksi yang haram dari segala sisi. Tidak diperbolehkan jual beli kecuali atas barang yang dilihat langsung oleh pembeli atau jual beli yang dijamin sesuai dengan sifat yang telah disepakati.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik seseorang menyewa sapi tetapi mengecualikan susunya, karena di sini ada jual beli yang haram dan sewa-menyewa.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik seseorang membeli makanan yang sudah ada dari orang lain dengan syarat penjual harus menyerahkannya di kota tertentu dan membawanya ke tempat lain, karena ini rusak dari beberapa sisi. Salah satunya, jika pembeli menerimanya di kota tersebut, penjual sudah terbebas dari tanggungan, dan pembeli yang harus membawanya. Jika barang itu rusak sebelum sampai ke tujuan, tidak jelas berapa bagian harga jual dan berapa bagian sewa, sehingga harganya tidak pasti. Jual beli tidak sah dengan harga yang tidak pasti.
Jika ada yang berpendapat bahwa barang itu tetap menjadi tanggungan pembawa sampai diserahkan di kota yang disepakati, ini berarti ia membeli dengan syarat penyerahan di kota tertentu. Namun, jika penjual sudah menyerahkan barang, ia sudah terbebas dari tanggungan. Tidak ada penjual yang menyerahkan barang lalu masih menanggung risikonya. Jika dikatakan bahwa barang itu menjadi tanggungan lagi, atas dasar apa? Tidak ada dalam akad salam, jual beli, atau perampasan. Jika dikatakan tanggungan berdasarkan jual beli pertama, ini berarti satu barang dijual dua kali dan diserahkan dua kali, padahal satu barang tidak boleh diserahkan dua kali.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik dalam segala hal yang mengandung riba dalam kelebihan satu bagian atas bagian lain. Jika seseorang membeli mentega atau minyak dengan timbangan termasuk wadahnya, jika wadah itu disertakan dalam timbangan, maka tidak baik. Tetapi jika dibeli dengan timbangan lalu wadahnya dikosongkan dan ditimbang terpisah, maka tidak masalah, baik wadahnya dari besi, tembikar, atau kulit.
(Imam Syafi’i berkata): Siapa pun yang membeli makanan yang dilihatnya di rumah, lubang, lumbung, atau tempat penyimpanan, maka hukumnya sama. Jika bagian bawahnya berbeda kondisinya dari yang dilihat di atas, pembeli boleh memilih untuk menerima atau menolak, karena ini adalah cacat. Ia tidak wajib menerima cacat tersebut kecuali jika ia rela, baik cacatnya banyak atau sedikit.
(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah ﷺ melarang menjual buah-buahan hingga tampak matangnya. Jika seseorang memiliki kebun, dan bintang Tsuraya telah terbit, bijinya mengeras, serta sebagian buah mulai memerah atau menguning, maka boleh menjualnya dengan syarat buah itu dibiarkan hingga dipetik. Jika tanda-tanda itu belum terlihat di kebun tersebut, maka tidak boleh menjualnya meskipun sudah terlihat di kebun sekitarnya, karena kebun itu berbeda dengan sekitarnya. Ini berlaku jika kebun itu seluruhnya kurma dan jenisnya seragam. Namun, jika kebun itu terdiri dari kurma dan anggur atau kurma dan buah lainnya, dan salah satu jenis sudah matang, jenis lainnya yang belum matang tidak boleh dijual.
Tidak sah dan tidak boleh membeli sesuatu yang bagian yang dibeli berada di bawah tanah seperti wortel, bawang, lobak, dan sejenisnya. Namun, boleh membeli bagian yang tampak dari daunnya karena bagian yang tersembunyi bisa berkurang atau bertambah, ada atau tidak ada, mengecil atau membesar, dan tidak bisa dilihat secara langsung. Oleh karena itu, boleh membelinya selama tidak terikat dengan sifat tertentu yang menjadikannya tidak sah. Jika bagian yang tersembunyi kemudian muncul, pemilik asli berhak memilih (meneruskan atau membatalkan). Aku tidak mengetahui bahwa jual beli ini keluar dari tiga kategori ini.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dalam jual beli tanaman yang masih berdiri ada hadis sahih dari Rasulullah ﷺ yang membolehkannya dalam kondisi tertentu, maka itu diperbolehkan dalam kondisi tersebut dan tidak diperbolehkan dalam kondisi yang bertentangan. Jika tidak ada hadis dari Rasulullah ﷺ tentang hal ini, maka tidak boleh menjualnya dalam keadaan apa pun karena ia tersembunyi, bisa berkurang atau bertambah, rusak atau baik, sebagaimana tidak boleh menjual gandum dalam karung atau tempat penyimpanan—padahal keduanya lebih pantas untuk diperbolehkan daripada tanaman.
Tidak boleh menjual tanaman muda (qashīl) kecuali dengan syarat dipotong di tempatnya jika tanaman itu bisa tumbuh kembali. Jika dibiarkan, akad jual belinya batal karena muncul sesuatu yang tidak termasuk dalam transaksi. Jika tanaman muda itu tidak bisa tumbuh kembali atau bertambah, tetap tidak boleh dijual kecuali dengan syarat dipotong di tempatnya. Jika pembeli memotong atau mencabutnya, itu haknya. Jika tidak mencabutnya, pemilik tanah berhak memotongnya jika menghendaki, dan buahnya milik pembeli karena ia membeli pokoknya. Kapan pun pemilik tanah ingin mencabutnya, ia boleh melakukannya. Jika pemilik tanah membiarkannya hingga buah matang, tidak masalah, dan penjual tidak berhak atas buah tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Jika bulir atau biji sudah muncul dan dibeli dengan syarat dipotong di tempatnya, tidak masalah. Namun, jika disyaratkan untuk dibiarkan, itu tidak baik. Jika seseorang membeli buah yang belum tampak kematangannya dengan syarat memotongnya, jual beli itu sah, dan ia wajib memotongnya kapan pun pemilik pohon menghendaki. Jika pemilik pohon membiarkannya secara sukarela, tidak masalah, dan buahnya tetap milik pembeli. Jika pemilik pohon meminta untuk dipotong, ia harus memotongnya.
Jika buah dibeli dengan syarat dibiarkan hingga matang, jual beli itu tidak sah. Jika sebagian dipotong, ia harus mengganti dengan yang serupa, tetapi aku tidak mengetahui contohnya. Jika tidak ada yang serupa, ia harus membayar nilainya, dan akad jual belinya batal. Tidak ada jual beli kurma yang sah kecuali dengan pembayaran tunai atau tempo yang jelas—yaitu hari tertentu dari bulan tertentu atau awal bulan tertentu. Tidak boleh menjual dengan pembayaran saat panen atau saat pemotongan karena waktunya bisa maju atau mundur. Allah Ta’ala berfirman:
*”Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”* (QS. Al-Baqarah: 282)
Dan firman-Nya:
*”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah penanda waktu bagi manusia dan haji.'”* (QS. Al-Baqarah: 189)
Maka tidak ada penentuan waktu kecuali dengan bulan atau tahun-tahun bulan.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak sah menjual tanaman muda—baik berupa biji atau tunas—dengan syarat dibiarkan, kecuali ada hadis dari Nabi ﷺ tentang hal itu. Jika tidak ada hadis, maka itu tidak baik.
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa membeli pohon kurma yang sudah berbuah (ibār), buahnya milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya. Jika pembeli mensyaratkannya, itu boleh karena buah itu ada di pohonnya. Jika buah belum mencapai tahap ibār, buah itu milik pembeli. Jika penjual mensyaratkannya, itu juga boleh karena pemilik pohon membiarkan buah tetap ada di pohonnya saat menjualnya, dengan syarat dipotong. Jika disyaratkan untuk dibiarkan, jual beli itu tidak sah karena ia menjual buah yang belum tampak kematangannya dengan syarat dibiarkan hingga waktu tertentu, padahal bisa saja terkena hama sebelum waktu itu.
Jika sebagian buah disyaratkan, itu tidak boleh kecuali jika bagiannya jelas, seperti separuh, lalu disyaratkan untuk dipotong. Jika kemudian dibiarkan, itu tidak dilarang. Syarat dalam jual beli sama seperti jual beli itu sendiri—boleh jika jual belinya sah, dan batal jika jual belinya batal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika satu pohon kurma sudah berbuah (ibār), buahnya milik penjual. Jika belum ada yang berbuah, buahnya milik pembeli. Sebagaimana jika satu pohon sudah matang, boleh dijual meskipun sisanya belum matang. Jika tidak ada yang matang sama sekali, tidak boleh dijual.
Tidak ada buah yang mirip dengan kurma dalam hal ini kecuali kapas, karena ia keluar dalam kelopaknya seperti kurma, lalu pecah. Jika sudah pecah, ia seperti kurma yang sudah ibār. Jika kelopak kurma pecah tetapi belum ibār, statusnya seperti ibār karena orang-orang segera melakukan ibār saat kelopak pecah—jika tidak, buahnya rusak.
Jika ada buah yang muncul dalam kelopak lalu pecah, maka statusnya seperti ibār pada kurma. Jika buah muncul tanpa kelopak atau kelopaknya tidak rontok, kemunculannya seperti ibār kurma karena sudah tampak. Jika seseorang menjualnya dalam keadaan seperti itu, buahnya milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya.
Barangsiapa menjual tanah yang ada tanaman di bawah atau di atas tanah, maka (hukumnya berlaku sesuai ketentuan di atas).
Jika tanaman belum mencapai (batas tertentu), maka tanaman itu milik penjual, dan tanaman terpisah dari tanah.
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa menjual buah kebunnya tetapi mengecualikan takaran tertentu, baik sedikit maupun banyak, maka jual beli itu batal. Karena takaran bisa setengah, sepertiga, lebih sedikit, atau lebih banyak, sehingga pembeli tidak membeli sesuatu yang ia ketahui, begitu pula penjual. Tidak boleh mengecualikan sesuatu dari jual beli borongan kecuali yang tidak termasuk dalam penjualan, seperti beberapa pohon kurma yang dikecualikan secara spesifik, sehingga ia menjual selain itu. Atau jika ia mengecualikan sepertiga, seperempat, atau satu bagian dari borongan, maka yang tidak dikecualikan termasuk dalam penjualan, sedangkan yang dikecualikan tidak termasuk. Namun, jika ia menjual borongan tanpa tahu jumlahnya dan mengecualikan takaran tertentu, maka itu tidak sah. Karena penjual tidak tahu apa yang ia jual, dan pembeli tidak tahu apa yang ia beli. Contoh lain, jika seseorang menjual kebun tetapi mengecualikan satu atau lebih pohon kurma tanpa menyebutkannya secara spesifik, sehingga ia bebas memilih mana yang dikecualikan, maka itu tidak sah. Karena bagian pohon itu dalam kebun tidak diketahui jumlahnya. Demikian pula semua jual beli borongan.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh seseorang menjual sesuatu lalu mengecualikan sebagian untuk dirinya atau orang lain, kecuali yang dikecualikan itu benar-benar di luar penjualan dan tidak termasuk dalam akad jual beli, seperti yang telah dijelaskan. Jika ia menjual buah kebun dengan syarat bahwa buah yang jatuh dari pohon menjadi miliknya, maka jual beli itu batal. Karena buah yang jatuh bisa sedikit atau banyak. Bagaimana jika semua buah jatuh? Apakah semuanya menjadi miliknya? Atau jika separuhnya jatuh, apakah ia mendapatkan separuh buah dengan membayar seluruh harga? Jadi, pengecualian hanya boleh dilakukan seperti yang telah dijelaskan.
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa menjual buah kebun seseorang, lalu menerimanya dan mereka berpisah, kemudian ia ingin membelinya kembali seluruhnya atau sebagian, maka itu tidak masalah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa rumah yang di dalamnya ada pohon kurma dengan buah yang sudah matang, dengan syarat buah itu menjadi miliknya, maka itu tidak sah. Karena itu menggabungkan sewa dan jual beli. Sewa bisa batal jika rumah rusak, sementara buah pohon yang dibeli tetap ada tanpa bagian harga yang jelas. Padahal jual beli harus dengan harga yang diketahui. Jika ada yang berargumen bahwa seseorang boleh membeli satu atau dua budak, atau satu atau dua rumah dalam satu akad, maka jawabannya: Ya, tetapi jika jual beli batal pada salah satu objek, maka seluruhnya batal. Karena budak adalah kepemilikan fisik, sedangkan sewa bukan kepemilikan fisik melainkan hak manfaat, dan manfaat bukan benda yang tetap. Jadi, jika ingin membeli buah dan menyewa rumah, sewa lah rumah secara terpisah dan beli buah secara terpisah. Kemudian, berlaku dalam pembelian buah apa yang berlaku dalam jual beli buah tanpa sewa, dan diharamkan apa yang diharamkan dalam jual beli tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak masalah menjual dua kebun yang saling ditukar, baik sejenis atau berbeda, selama tidak ada buah di dalamnya. Jika ada kurma dan jenisnya berbeda, maka tidak masalah, baik buah sudah matang atau belum. Namun, jika buahnya sejenis, maka itu tidak sah.
(Ar-Rabi’ berkata): Jika aku menjual kepadamu satu kebun dengan kebun lain yang keduanya berbuah, dan buahnya berbeda—misalnya kebun anggur atau kismis ditukar dengan kebun kurma yang berbuah busr atau ruthab—maka jual beli itu sah, dengan syarat masing-masing mendapatkan kebun beserta isinya. Namun, jika kedua kebun memiliki buah yang sama, seperti kebun kurma dengan kurma, maka tidak sah. Karena aku menjual kebun beserta buahnya dengan kebun dan buah lainnya, padahal pertukaran buah dengan buah tidak diperbolehkan.
(Ar-Rabi’ berkata): Menurutku, makna “al-qashil” yang disebutkan Imam Syafi’i adalah tanaman yang sudah berbulir. Jika belum berbulir dan masih berupa sayuran, lalu dibeli untuk dipotong, maka tidak masalah.
(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah ﷺ pernah bekerja sama dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil separuh, dan Ibnu Rawahah melakukan perkiraan (khars) antara mereka dan Nabi. Nabi juga memperkirakan kurma Madinah dan memerintahkan untuk memperkirakan anggur penduduk Thaif, lalu mengambil sepersepuluh dari hasil perkiraan itu, serta separuh dari penduduk Khaibar berdasarkan perkiraan. Jadi, tidak masalah membagi hasil anggur dan kurma dengan perkiraan, tetapi tidak boleh membagi hasil selain keduanya dengan perkiraan. Karena hanya pada dua jenis itulah Rasulullah ﷺ memerintahkan perkiraan, dan tidak ada riwayat bahwa beliau memerintahkannya untuk selain itu.
Dan keduanya (kurma dan anggur) berbeda dengan buah-buahan lainnya karena keduanya dapat dikumpulkan, tidak ada penghalang seperti daun atau lainnya, serta perkiraan hasilnya (khiras) hampir pasti dan jarang meleset. Tidak ada pembagian pohon selain keduanya berdasarkan khiras, begitu pula buahnya setelah dipisahkan dari pohonnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika sekelompok orang memiliki kebun dengan buah yang belum matang dan ingin membaginya, tidak boleh membaginya berdasarkan buah dalam keadaan apapun. Begitu pula jika buahnya sudah matang, tidak boleh dibagi karena pohon dan tanah memiliki porsi nilai tersendiri, begitu pula buahnya. Pembagian berdasarkan buah akan menimbulkan ketidakpastian, baik melalui khiras maupun jual beli. Pembagian hanya boleh dilakukan jika mereka membagi pokoknya (tanah dan pohon), sedangkan buahnya menjadi milik bersama, baik belum matang atau sudah. Namun, jika buah sudah matang, boleh membaginya secara terpisah dengan khiras. Jika ingin membagi buah beserta pohonnya, harus melalui transaksi jual beli dengan menilai setiap bagian (tanah, pohon, dan buah), lalu menyelesaikannya dengan transaksi tersebut, bukan dengan undian.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kebun terdiri dari kurma dan anggur,
boleh membagi salah satunya dengan yang lain meskipun ada buahnya, karena perbedaan nilai buah tidak termasuk riba jika transaksi dilakukan secara tunai. Apa yang diperbolehkan dalam kondisi darurat, boleh juga dalam kondisi biasa, dan sebaliknya.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh melakukan salam (pesanan) pada buah kebun tertentu karena bisa saja habis atau tidak sesuai. Salam pada kurma basah hanya boleh jika waktu penyerahan saat buah sudah matang. Jika sebagian sudah diterima lalu buah yang dipesan habis sebelum sisanya diterima, pembeli berhak mengambil kembali modalnya dan mengembalikan nilai bagian yang sudah diambil. Ada juga pendapat bahwa ia hanya membayar sesuai bagian yang diambil, seperti seseorang yang membeli 100 gantang, mengambil 50, lalu 50 sisanya rusak—ia boleh mengembalikan 50 gantang atau membayar sesuai bagiannya dan mengambil sisa modalnya. Ia juga boleh menunda hingga bisa menerima kurma basah di musim berikutnya dengan spesifikasi yang sama, sebagaimana haknya dalam transaksi makanan yang belum tersedia.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak sah seseorang membeli satu atau beberapa pohon kurma dari pemilik kebun dengan syarat ia memetiknya kapan saja, setiap sha’ dijual satu dinar. Ini bukan jual beli barang tak tentu (juzaf) yang menjadi milik pembeli setelah diterima, juga bukan jual beli takaran yang diserahkan di tempat. Jika penyerahan ditunda hingga mendekati musim berbuah, ia menjadi tanggungan pembeli. Transaksi ini batil dari segala sisi.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak sah membeli sesuatu untuk dipetik dengan cara apa pun, kecuali membeli pohon kurma tertentu yang diserahkan saat itu juga, sehingga menjadi tanggungan pembeli. Ia boleh memetik dan memotong buahnya kapan saja, atau membelinya lalu buahnya dipotong saat itu. Tidak ada jual beli yang sah kecuali jual beli barang tertentu yang bisa diserahkan tanpa halangan, atau berdasarkan spesifikasi yang dijamin penjualnya. Berlaku sama untuk tempo dekat, tunai, atau tempo jauh—tidak ada perbedaan. Tidak ada jual beli yang sah kecuali dengan harga yang jelas saat akad.
Jika seseorang memberikan salaf (pinjaman dengan pengembalian berbentuk kurma basah, kurma kering, atau lainnya), maka semuanya sama. Jika ia ingin mengambil separuh modal dan separuh hasil salaf, itu boleh selama ia bisa membatalkan seluruh salaf dan mengambil kembali modalnya. Mengapa tidak boleh mengambil separuh hasil salaf dan separuh modal? Jika ada yang mengatakan Ibnu Umar memakruhkannya, Ibnu Abbas justru membolehkannya, dan ini sesuai qiyas. Namun, ia tidak boleh mengambil separuh hasil salaf lalu membeli makanan atau lainnya dengan sisa modal, karena itu termasuk jual beli makanan sebelum diterima. Sebaiknya ia membatalkan transaksi hingga yang ada hanya hutang tunai.
Jika seseorang memberikan salaf berupa kurma basah dengan tempo tertentu, lalu kurma habis sebelum haknya diterima—baik karena kelalaian, penjual menghindar, atau kabur—maka pembeli boleh memilih antara mengambil modalnya (karena ia dirugikan) atau menunggu hingga kurma dengan spesifikasi yang sama tersedia lagi. Boleh melakukan salaf pada buah kurma basah di luar musimnya asal disyaratkan penyerahan saat musimnya. Tidak ada salaf yang baik kecuali pada sesuatu yang terjamin keberadaannya saat waktu penyerahan. Jika salaf diberikan pada sesuatu yang kadang ada kadang tidak, maka tidak sah, seperti salaf pada kebun atau tanah tertentu.
Salaf dalam hal itu batal, dan jika ia menerima salafnya, maka ia harus mengembalikan apa yang telah diterimanya dan mengambil modalnya.
Allah Ta’ala berfirman: *”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”* (QS. Al-Baqarah: 282).
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata:) Perintah Allah ‘azza wa jalla tentang penyaksian dalam jual beli mengandung dua kemungkinan:
Pertama: sebagai petunjuk atas manfaat kesaksian, dan boleh ditinggalkan tanpa menjadikan pelakunya berdosa.
Kedua: sebagai kewajiban yang jika ditinggalkan, pelakunya berdosa.
Pendapat yang aku pilih adalah hendaknya kedua pihak yang berjual beli tidak meninggalkan kesaksian. Sebab jika mereka mengikutsertakan saksi, tidak ada lagi keraguan dalam diri mereka. Jika itu wajib, mereka telah menunaikannya. Jika sekadar petunjuk, mereka telah mengambil manfaatnya. Segala yang Allah anjurkan, baik wajib maupun sunah, adalah keberkahan bagi yang melakukannya.
Tidakkah engkau perhatikan bahwa kesaksian dalam jual beli—jika itu sekadar petunjuk—akan mencegah salah satu atau kedua pihak dari berbuat zalim karena adanya bukti? Jika tidak ada saksi, kezaliman bisa terjadi dan pelakunya berdosa. Begitu pula jika terjadi kelupaan atau pengingkaran, saksi akan mencegah dosa tersebut, termasuk bagi ahli waris setelahnya.
Tidakkah engkau lihat jika salah satu pihak mengangkat wakil untuk menjual, lalu ia sendiri menjual kepada seseorang dan wakilnya menjual kepada orang lain tanpa diketahui mana yang lebih dulu, maka pembeli pertama tidak bisa dibenarkan hanya berdasarkan klaim penjual. Namun, jika ada saksi yang membuktikan urutan transaksi, pembeli pertama berhak mendapatkannya. Jadi, kesaksian adalah cara untuk mencegah perselisihan dan menegakkan hak.
Setiap perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya ﷺ adalah kebaikan yang tak tergantikan bagi yang meninggalkannya.
Jika ada yang bertanya, “Manakah dari dua makna itu yang lebih sesuai dengan ayat ini: kewajiban kesaksian atau sekadar petunjuk?” Maka yang lebih mendekati—wallahu a’lam, dan kepada-Nya aku memohon taufik—adalah bahwa itu bersifat petunjuk, bukan kewajiban yang membuat orang yang meninggalkannya berdosa.
Jika ditanya, “Apa dalilnya?”
Dijawab: Allah ‘azza wa jalla berfirman, *”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”* (QS. Al-Baqarah: 275). Dia menyebutkan bahwa jual beli itu halal tanpa menyertakan syarat adanya bukti. Sedangkan dalam ayat hutang (*”Jika kalian berhutang dengan hutang berjangka…”* QS. Al-Baqarah: 282), yang juga termasuk jual beli, Allah memerintahkan kesaksian. Ini menunjukkan bahwa perintah kesaksian dalam ayat tersebut bersifat kehati-hatian, bukan kewajiban mutlak.
Aku (Imam Syafi’i) berkata: Allah Ta’ala berfirman, *”Jika kalian berhutang dengan hutang berjangka, maka tulislah.”* (QS. Al-Baqarah: 282).
Kemudian beliau berkata dalam konteks ayat {Dan jika kamu dalam perjalanan dan tidak menemukan penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Namun, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya} [Al-Baqarah: 283]. Ketika Allah memerintahkan untuk mengambil jaminan jika tidak menemukan penulis, kemudian membolehkan untuk meninggalkan jaminan seraya berfirman {Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain}, ini menunjukkan bahwa perintah pertama bersifat anjuran, bukan kewajiban yang membuat orang yang meninggalkannya berdosa. Wallahu a’lam.
Diriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah membeli seekor kuda dari seorang badui, lalu si badui itu mengingkari transaksi tersebut karena hasutan sebagian orang munafik, sementara tidak ada bukti tertulis antara mereka. Seandainya hal itu wajib, tentu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak akan bertransaksi tanpa bukti. Aku juga menerima riwayat dari beberapa orang yang sesuai dengan pendapatku, bahwa tidak ada dosa bagi yang meninggalkan persaksian, dan jual beli tetap sah selama kedua pihak mengakuinya. Ketiadaan bukti tidak membatalkannya, berbeda dengan nikah yang bisa dibatalkan karena perbedaan hukum keduanya.
Yang dimaksud adalah as-Salam (jual beli pesanan). (Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Allah Ta’ala berfirman {Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis menuliskannya di antara kamu dengan adil} [Al-Baqarah: 282].
– hingga firman-Nya – {dan hendaklah bertakwa kepada Allah Tuhannya} [QS. Al-Baqarah: 283] (Imam Syafi’i berkata): Ketika Allah ‘azza wa jalla memerintahkan untuk menulis, kemudian memberikan keringanan untuk menghadirkan saksi jika dalam perjalanan dan tidak menemukan penulis, hal ini mengandung kemungkinan bisa menjadi kewajiban atau sekadar petunjuk. Ketika Allah jalla tsana’uh berfirman {maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang} [QS. Al-Baqarah: 283], sedangkan barang jaminan bukanlah tulisan atau kesaksian, lalu Dia berfirman {Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah bertakwa kepada Allah Tuhannya} [QS. Al-Baqarah: 283], maka Kitabullah ‘azza wa jalla menunjukkan bahwa perintah-Nya untuk menulis, kemudian menghadirkan saksi, lalu barang jaminan adalah petunjuk, bukan kewajiban bagi mereka. Karena firman-Nya {Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya} [QS. Al-Baqarah: 283] merupakan kebolehan bagi mereka untuk saling percaya sehingga meninggalkan tulisan, saksi, dan barang jaminan. (Imam Syafi’i berkata): Namun, aku lebih menyukai adanya tulisan dan saksi karena itu adalah petunjuk dari Allah dan sebagai bentuk kehati-hatian bagi penjual dan pembeli. Sebab, jika keduanya saling percaya, bisa saja salah satu atau kedua pihak meninggal, sehingga hak tidak diketahui.
Penjual terhadap pembeli, maka kerugian menjadi tanggungan penjual atau ahli warisnya, dan haknya menjadi gugur. Sedangkan pembeli bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak ia inginkan. Bisa saja akal pembeli berubah sehingga terjadi hal ini, atau penjual mungkin keliru dan tidak mengakuinya, sehingga ia terjatuh dalam kezaliman tanpa disadari. Hal itu juga berdampak pada penjual, yang kemudian mengklaim sesuatu yang bukan haknya. Maka, tulisan dan kesaksian menjadi pembatas antara keduanya dan ahli waris mereka, sehingga tidak terjadi hal-hal yang telah kujelaskan.
Seyogianya, orang-orang yang beragama memilih apa yang telah Allah anjurkan sebagai petunjuk. Barangsiapa meninggalkannya, berarti ia telah meninggalkan kebijaksanaan dan perintah yang tidak kusukai untuk ditinggalkan—tanpa bermaksud mengatakan bahwa hal itu haram baginya, berdasarkan penjelasan ayat setelahnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman, *”Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya.”* (QS. Al-Baqarah: 282). Ayat ini bisa diartikan sebagai kewajiban bagi orang yang diminta untuk menulis. Jika seseorang meninggalkannya, maka ia telah bermaksiat. Namun, bisa juga diartikan seperti yang kami jelaskan dalam kitab *Jam’u al-‘Ilm*, bahwa para penulis yang hadir tidak boleh mengabaikan penulisan hak antara dua orang. Jika satu orang sudah menunaikannya, itu sudah mencukupi bagi yang lain, sebagaimana kewajiban mereka untuk menshalati dan menguburkan jenazah. Jika sudah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terbebas dari dosa. Seandainya semua penulis yang hadir meninggalkannya, aku khawatir…
Mereka berdosa, tetapi seolah-olah aku tidak melihat mereka keluar dari dosa, dan siapa pun yang melakukannya, itu sudah cukup bagi mereka. (Berkata Asy-Syafi’i): Ini yang paling mirip dengan maknanya, dan Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui.
(Berkata Asy-Syafi’i): Firman Allah Yang Maha Agung {Dan janganlah saksi-saksi menolak apabila mereka dipanggil} [Al-Baqarah: 282] mengandung kemungkinan seperti yang aku jelaskan, yaitu bahwa setiap saksi yang diminta sejak awal untuk bersaksi boleh menolak. Namun, juga mungkin bahwa itu adalah kewajiban bagi siapa saja yang hadir dalam kebenaran untuk bersaksi, dan cukup sebagian dari mereka yang memenuhi syarat untuk kesaksian. Jika mereka telah bersaksi, mereka telah membebaskan yang lain dari dosa. Tetapi jika mereka yang hadir meninggalkan kesaksian, aku khawatir mereka akan terjebak dalam kesulitan—bahkan, aku tidak ragu tentang hal ini. Ini yang paling mirip dengan maknanya, dan Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui.
Dia berkata: Adapun orang yang kesaksiannya telah didahului, seperti yang disaksikan atau mengetahui hak seorang Muslim atau kafir dzimmi, maka tidak boleh baginya menolak untuk memberikan kesaksian ketika diminta di tempat yang menjadi keputusan hak. (Berkata Asy-Syafi’i): Pendapat ini berlaku untuk semua utang, baik yang terdahulu maupun selainnya, seperti yang telah aku jelaskan. Dan aku lebih menyukai kesaksian dalam setiap hak yang wajib, seperti jual beli dan lainnya, dengan mempertimbangkan hal-hal yang mungkin terjadi, seperti yang telah aku sebutkan, serta perubahan akal.
(Berkata Asy-Syafi’i): Dalam firman Allah Yang Maha Perkasa {Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan adil} [Al-Baqarah: 282] terdapat petunjuk tentang penetapan perwalian, dan hal itu dibahas dalam kitab Al-Hajr. (Berkata Asy-Syafi’i): Dan firman Allah…
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan…” (QS. Al-Baqarah: 282) mencakup semua jenis utang dan juga khusus untuk salaf (pinjaman). Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat ini berkaitan dengan salaf. (Diriwayatkan kepada kami) Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Ayyub dari Qatadah dari Abu Hassan Al-A’raj.
Dari Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – berkata: “Aku bersaksi bahwa salaf (pesanan dengan pembayaran di muka) yang dijamin hingga batas waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan diizinkan, kemudian Dia berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan…’ (QS. Al-Baqarah: 282).”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seperti yang dikatakan Ibnu Abbas tentang salaf, kami berpendapat demikian untuk setiap utang berdasarkan qiyas (analogi) padanya, karena maknanya sama. Salaf diperbolehkan dalam Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, atsar (riwayat), dan tidak diperselisihkan oleh ulama yang aku ketahui.
(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Abdullah bin Katsir dari Abul Minhal dari Ibnu Abbas: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – datang ke Madinah, sementara mereka melakukan salaf (pesanan) kurma untuk satu atau dua tahun, terkadang beliau mengatakan dua atau tiga tahun. Maka beliau bersabda: ‘Barangsiapa melakukan salaf, hendaknya ia melakukannya dengan takaran, timbangan, dan waktu yang jelas.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Aku menghafalnya seperti yang disampaikan Sufyan berkali-kali.
(Asy-Syafi’i berkata): Dan orang yang kupercayai mengabarkan dari Sufyan bahwa ia berkata seperti ucapanku dan menyebutkan batas waktu yang jelas.
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa ia mendengar Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – berkata: “Kami tidak melihat masalah dengan salaf perak dengan perak secara tunai.”
(Asy-Syafi’i berkata): Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Amr bin Dinar bahwa Ibnu Umar membolehkannya.
(Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ bahwa ia berkata: “Tidak masalah seseorang melakukan salaf makanan dengan sifat dan harga yang jelas hingga waktu tertentu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ibnu ‘Ulayyah mengabarkan kepada kami dari Ayyub dari Muhammad bin Sirin bahwa ia ditanya tentang gadai dalam salaf, lalu ia menjawab: “Jika jual belinya halal, maka gadai termasuk yang diperintahkan.”
(Asy-Syafi’i berkata): Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Amr bin Dinar bahwa ia tidak melihat masalah dengan gadai dan penjamin dalam salam (pesanan) dan lainnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Salam adalah salaf, dan menurut pendapatku, tidak masalah dengan gadai dan penjamin di dalamnya karena ia termasuk jual beli, dan Allah memerintahkan gadai. Setidaknya, perintah-Nya menunjukkan kebolehannya. Salam termasuk jenis jual beli.
(Asy-Syafi’i berkata): Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa ia tidak melihat masalah seseorang melakukan salaf dengan mengambil gadai atau penjamin.
(Asy-Syafi’i berkata): Gadai dan penjamin boleh digabungkan, dan hak dapat dijamin sesuai kemampuannya.
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pernah menggadaikan baju besinya kepada Abusy Syahm, seorang Yahudi dari Bani Zhafar.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia tidak melihat masalah seseorang menjual sesuatu dengan tempo meski ia tidak memiliki barang aslinya.
(Asy-Syafi’i berkata): Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Nafi’, maula Ibnu Umar, dari Ibnu Umar yang serupa.
(Asy-Syafi’i berkata): Dalam Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – terdapat petunjuk, di antaranya: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – membolehkan salaf jika yang dipesan jelas takaran, sifat, timbangan, dan batas waktunya.” Ini menunjukkan bahwa jika salaf dalam takaran, harus jelas takarannya; jika disebutkan, harus jelas waktunya; jika dalam timbangan, harus jelas timbangannya.
Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – membolehkan salaf kurma dua tahun dengan takaran, timbangan, dan waktu yang jelas—padahal kurma bisa basah—berarti beliau membolehkan salaf yang dijamin meski tidak pada musimnya, karena jika dipesan dua tahun, sebagiannya pasti di luar musim.
(Asy-Syafi’i berkata): Salaf bisa berupa penjualan barang yang belum dimiliki penjual. Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang Hakim menjual barang yang belum ia miliki, tetapi membolehkan salaf, kami memahami bahwa beliau tidak melarang apa yang diperintahkan. Kami tahu bahwa larangan untuk Hakim adalah jika barang tidak dijamin, yaitu dalam jual beli barang konkret.
Salaf (jual beli sifat) dan jual beli barang konkret sama dalam larangan menjual yang dilarang, tetapi berbeda dalam hal jual beli borongan (tanpa takaran) yang boleh jika pembeli melihat barangnya, sedangkan dalam salaf hanya boleh dengan takaran, timbangan, atau sifat yang jelas.
(Asy-Syafi’i berkata): Salaf dengan sifat dan waktu yang jelas tidak diperselisihkan oleh ulama yang aku ketahui.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku menulis atsar-atsar ini setelah sebelumnya menulis.
Dari Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’, bukan karena sesuatu dari ini menambah kekuatan Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, atau jika bertentangan dengannya dan tidak menjaganya akan melemahkannya. Namun, ini adalah apa yang Allah tetapkan untuk menghilangkan alasan. Tetapi kami mengharapkan pahala dalam membimbing orang yang mendengar apa yang kami tulis, karena dalam tulisan kami terdapat sebagian yang dapat melunakkan hati mereka untuk menerimanya. Seandainya kelalaian menjauh dari mereka, niscaya mereka akan seperti kami dalam mencukupkan diri dengan Kitab Allah ‘azza wa jalla, kemudian Sunnah Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam -, dan mereka tidak perlu ketika Allah ‘azza wa jalla memerintahkan tentang gadai dalam hutang untuk mengatakan bahwa hal itu diperbolehkan dalam salaf; karena kebanyakan salaf adalah hutang yang dijamin.
(Imam Syafi’i berkata): Jika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – membolehkan jual beli makanan dengan sifat tertentu hingga tempo, maka – wallahu a’lam – jual beli makanan dengan sifat tunai lebih diperbolehkan; karena tidak ada makna dalam jual beli kecuali dengan sifat yang dijamin oleh pemiliknya. Jika dijamin untuk tempo, maka lebih layak dijamin untuk tunai, dan tunai lebih cepat daripada tempo. Yang lebih cepat menghilangkan makna gharar (penipuan), dan ia bersamaan dalam hal dijamin oleh penjual dengan sifat tertentu.
[Pasal tentang apa yang diperbolehkan dalam salaf]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Tidak diperbolehkan keseluruhan salaf hingga terkumpul beberapa syarat: Pemberi salaf harus menyerahkan harga barang yang disalafkan, karena dalam sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Barangsiapa memberi salaf, hendaklah ia memberi,” beliau hanya mengatakan “berilah” dan tidak mengatakan “berjual belilah” atau “jangan beri.” Nama taslif tidak berlaku padanya hingga ia memberikan apa yang disalafkan sebelum berpisah dari orang yang diberi salaf. Juga harus disyaratkan bahwa salaf diberikan dalam sesuatu yang ditakar dengan takaran atau ditimbang dengan timbangan, serta takaran dan timbangan yang dikenal umum. Adapun timbangan yang diperlihatkan kepadanya atau takaran yang diperlihatkan lalu keduanya mensyaratkannya, maka tidak diperbolehkan, karena jika keduanya berselisih atau barang itu rusak, tidak diketahui berapa ukurannya. Tidak masalah jika takaran itu telah dibatalkan oleh penguasa atau tidak, selama dikenal. Jika kurma, sebutkan jenisnya seperti kurma shaikhani, burdi, ‘ajwah, janib, atau jenis kurma yang dikenal. Jika gandum, sebutkan syamiyah, maisaniyah, misriyah, maushiliyah, atau jenis gandum yang dijelaskan. Jika jagung, sebutkan merah, nathis, atau jenis yang dikenal. Jika jelai, sebutkan dari jelai daerah tertentu. Jika berbeda, sebutkan sifatnya dan katakan pada masing-masing apakah baik, buruk, atau sedang, serta sebutkan tempo yang diketahui jika salaf itu berjangka. Jika tidak berjangka, maka tunai.
(Imam Syafi’i berkata): Dan aku suka jika disyaratkan tempat penerimaannya. (Imam Syafi’i berkata): Jika yang disalafkan adalah budak, sebutkan budak Nubia berumur lima atau enam tahun, atau sudah baligh, atau jelaskan warnanya apakah hitam, kuning, atau gelap, dan sebutkan bebas dari cacat. Demikian juga budak lainnya dengan sifat, umur, warna, dan bebas dari cacat, kecuali jika ingin mengatakan kecuali bekas luka, kemerahan, kekuningan, kehitaman yang pekat, atau kebotakan. Jika salaf dalam unta, sebutkan unta dari ternak Bani Fulan, berumur dua tahun, tidak kurus, bebas dari cacat, bentuknya bagus, merah, sisi tubuhnya berbulu lebat, berumur empat tahun atau sudah dewasa. Demikian juga hewan ternak lainnya, jelaskan keturunannya, jenisnya, warnanya, umurnya, nasabnya, dan kebebasannya dari cacat, kecuali jika disebutkan cacat tertentu yang dijauhi penjual. (Imam Syafi’i berkata): Dan jelaskan pakaian berdasarkan jenisnya: dari linen, katun, tenunan suatu daerah, ukuran lebar dan panjang, ketebalan, kehalusan, kualitas baik atau buruk, atau sedang, dan makanan apakah sudah lama atau baru, atau tidak terlalu lama, serta jelaskan dengan panen tahun tertentu lebih tepat. (Imam Syafi’i berkata): Demikian juga tembaga, jelaskan apakah putih, kuning, atau merah.
Besi: baik laki-laki atau perempuan atau dengan jenis kelamin jika memiliki dan timbal.
(Dia berkata): Dan minimal yang diperbolehkan dalam salaf dari ini adalah menggambarkan apa yang telah disalafkan dengan sifat yang diketahui oleh para ahli ilmu jika terjadi perbedaan antara pemberi salaf dan penerima salaf. Jika sifat tersebut tidak diketahui, atau sampai batas waktu yang tidak diketahui, atau ukuran yang tidak diketahui, atau pemberi salaf tidak menyerahkan harga pada saat pemberian salaf dan sebelum berpisah dari tempat mereka, maka salaf tersebut batal. Jika batal, maka modal dikembalikan kepada pemberi salaf. (Dia berkata): Segala sesuatu yang memiliki sifat yang dikenal oleh para ahli ilmu tentang barang yang disalafkan, maka salaf diperbolehkan. (Dia berkata): Tidak masalah seseorang memberikan salaf pada kurma basah sebelum buah pohon kurma muncul, asalkan ditetapkan waktu yang memungkinkan kurma basah tersebut, begitu juga dengan buah-buahan yang ditakar dan memiliki sifat. Demikian pula, diperbolehkan memberikan salaf sampai satu tahun pada makanan baru ketika haknya jatuh tempo. (Asy-Syafi’i berkata): Kebaruan dalam makanan dan buah adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan dalam syaratnya, karena bisa jadi makanan tersebut baik tetapi lama dan berkurang kualitasnya karena usia. (Asy-Syafi’i berkata): Jika dalam sesuatu yang disalafkan disyaratkan makanan terbaik seperti ini atau makanan terburuk seperti ini, atau syarat tersebut diterapkan pada pakaian, budak, atau barang lainnya, maka salaf tersebut batal; karena tidak bisa dipastikan mana yang terbaik atau terburuk selamanya, tetapi bisa dipastikan mana yang baik dan buruk; karena kita mengambilnya berdasarkan minimal yang termasuk dalam kategori baik dan buruk.
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- “Barangsiapa yang memberikan salaf, hendaknya dalam takaran yang diketahui dan tenggat waktu yang diketahui” menunjukkan bahwa tenggat waktu tidak sah kecuali jika diketahui. Demikian juga firman Allah Ta’ala, “Jika kamu berhutang sampai waktu yang ditentukan” [Al-Baqarah: 282]. (Asy-Syafi’i berkata): Tidak sah jual beli sampai waktu pembagian, panen, pemotongan, atau hari raya Nasrani, karena ini tidak diketahui; karena Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa waktu-waktu tersebut berdasarkan hilal untuk umat Islam, sebagaimana firman-Nya, “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, ‘Itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan haji'” [Al-Baqarah: 189]. Dan firman-Nya, “Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an” [Al-Baqarah: 185]. Dan firman-Nya, “Musim haji adalah bulan-bulan yang diketahui” [Al-Baqarah: 197]. Dan firman-Nya, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan haram” [Al-Baqarah: 217]. Dan firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Allah dalam hari-hari yang terhitung” [Al-Baqarah: 203]. (Asy-Syafi’i berkata): Maka Allah Ta’ala memberitahukan bahwa hilal adalah penanda waktu secara umum, dan dengan hilal juga penanda hari-hari dari hilal. Dan Dia tidak menjadikan tanda bagi umat Islam kecuali dengannya. Barangsiapa yang memberitahukan dengan selainnya, maka dia memberitahukan dengan sesuatu yang tidak diajarkan oleh Allah. (Asy-Syafi’i berkata): Jika tidak demikian, maka tidak mungkin tanda tersebut bisa berupa panen atau pemotongan, karena hal itu bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla, “waktu yang ditentukan”, dan waktu yang ditentukan adalah sesuatu yang tidak berbeda. Dan diketahui bahwa panen dan pemotongan bisa maju atau mundur tergantung kekeringan atau basahnya tanah, dingin atau panasnya musim dan tahun. Dan Allah tidak menjadikan waktu untuk sesuatu yang bisa berubah kecuali jika diketahui. Pembagian dari penguasa bisa maju atau mundur, dan Paskah Nasrani menurutku bertentangan dengan perhitungan Islam dan apa yang diajarkan oleh Allah Ta’ala, karena bisa jadi suatu tahun terjadi di satu bulan dan tahun lainnya di bulan lain. Jika kita memperbolehkannya, maka kita memperbolehkan sesuatu yang tidak diketahui, dan itu tidak disukai; karena tidak diketahui dan bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kita tetapkan waktunya. Dan tidak diperbolehkan kecuali berdasarkan perkataan Nasrani dengan perhitungan hari-hari mereka, sehingga kita dalam agama kita hanya mengetahui berdasarkan kesaksian Nasrani yang tidak kita terima kesaksiannya dalam hal apa pun. Dan ini menurut kami tidak halal bagi seorang muslim pun. (Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, apakah ada yang mengatakan hal ini setelah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-? Kami jawab, kami tidak membutuhkan apa pun selain apa yang telah kami jelaskan dari petunjuk Al-Qur’an, Sunnah, dan qiyas. Dan telah diriwayatkan oleh seorang yang hadisnya tidak sepenuhnya kuat. (Telah mengabarkan kepada kami) Sufyan bin ‘Uyainah dari Abdul Karim Al-Jazari dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata.
Jangan menjual hingga waktu pemberian, hingga musim panen, atau hingga musim pengirikan.
(Diceritakan kepada kami) Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij bahwa ‘Atha ditanya tentang seorang yang menjual makanan dengan syarat, “Jika penyerahan makanan ditunda, maka makananmu tahun depan dianggap sebagai salaf.” Ia menjawab, “Tidak boleh, kecuali hingga waktu yang ditentukan.” Dua tenggat ini tidak jelas mana yang akan dipenuhi untuk penyerahan makanannya. (Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang menjual budak seharga seratus dinar hingga waktu pemberian, hingga musim panen, atau hingga musim pengirikan, maka jual beli itu batal. Jika pembeli ingin membatalkan syarat dan mempercepat pembayaran, itu tidak diperbolehkan karena akad jual beli sudah batal. Tidak ada jalan bagi keduanya untuk memperbaiki akad yang batal kecuali dengan membuat perjanjian jual beli baru.
(Berkata Asy-Syafi’i): Salaf adalah jual beli yang dijamin dengan sifat tertentu. Jika dipilih untuk memiliki tenggat waktu, itu diperbolehkan. Jika tunai, itu lebih utama karena dua alasan: pertama, ia dijamin dengan sifat tertentu seperti utang yang dijamin dengan sifat tertentu; kedua, semakin cepat pembeli menerimanya, semakin baik untuk menghindari penipuan atau risiko yang mungkin terjadi dibandingkan dengan penundaan. (Diceritakan kepada kami) Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij bahwa ia bertanya kepada ‘Atha tentang seorang yang memberikan emas sebagai salaf untuk makanan yang akan diserahkan sebelum malam, sementara emas telah diberikan sebelum malam tetapi makanan belum ada padanya. ‘Atha menjawab, “Tidak boleh, karena ia sudah tahu bagaimana pasar dan berapa harganya.” Ibnu Juraij berkata, “Aku katakan padanya, ‘Salaf hanya sah untuk sesuatu yang ditunda.’ Ia menjawab, ‘Tidak, kecuali untuk sesuatu yang ditunda di mana pasar tidak diketahui—apakah akan untung atau tidak.'” Ibnu Juraij kemudian mengatakan bahwa ‘Atha menarik kembali pendapatnya setelah itu. (Berkata Asy-Syafi’i): Maksudnya, ia membolehkan salaf secara tunai. (Berkata Asy-Syafi’i): Pendapat yang ia tarik kembali lebih aku sukai daripada pendapat awalnya. Pengetahuan tentang pasar tidak merusak jual beli, baik diketahui oleh salah satu pihak atau tidak. Misalnya, jika seseorang menjual emas atau barang dan mengetahui pasarnya sementara pembeli tidak, atau sebaliknya, apakah hal itu merusak jual beli? (Berkata Asy-Syafi’i): Tidak ada dalam hal ini yang merusak jual beli, baik secara kredit maupun tunai.
(Berkata Asy-Syafi’i): Siapa yang melakukan salaf hingga musim panen atau pengirikan, maka jual belinya batal.
(Berkata Asy-Syafi’i): Aku tidak mengetahui musim panen kecuali ia tertunda—bahkan aku pernah melihatnya terjadi di bulan Dzulqa’dah, lalu di bulan Muharram tanpa ada masalah pada pohon kurma. Namun, jika pohon kurma sakit atau tumbuh di daerah yang berbeda, musim panen bisa lebih maju atau mundur dari ini.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jual beli hingga waktu “ash-shadr” (hari keberangkatan dari Mina) diperbolehkan. Namun, jika seseorang di luar Mekah mengatakan, “Hingga keluarnya jamaah haji atau hingga kembalinya jamaah haji,” maka jual beli itu batal karena tidak jelas. Tenggat waktu tidak boleh bergantung pada tindakan manusia karena mereka bisa mempercepat atau menunda perjalanan. Juga tidak boleh bergantung pada buah pohon atau musim panen karena waktu itu bervariasi dalam bulan-bulan yang telah Allah tetapkan sebagai tanda: *”Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan…”* (QS. At-Taubah: 36). Musim panen terjadi setelah musim gugur, dan musim gugur sendiri bisa berbeda-beda dalam bulan-bulan yang telah Allah tetapkan—terkadang terjadi di satu bulan, lalu berpindah ke bulan berikutnya. Jadi, tenggat tidak boleh bergantung pada hal yang bertentangan dengan bulan-bulan yang Allah tetapkan atau tindakan manusia, melainkan harus pada hal yang tidak bisa dipercepat atau ditunda oleh manusia, seperti waktu yang Allah tetapkan.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang melakukan salaf hingga bulan tertentu, lalu mengatakan, “Jika tidak memungkinkan, maka hingga bulan berikutnya,” maka itu batal sampai tenggatnya jelas satu waktu tertentu.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tenggat waktu hanya sah jika ditetapkan saat akad jual beli dan sebelum kedua pihak berpisah dari tempat transaksi. Jika mereka berpisah tanpa menetapkan tenggat, lalu kemudian menetapkannya, itu tidak sah kecuali jika mereka membuat akad jual beli baru. (Berkata Asy-Syafi’i): Demikian pula, jika seseorang memberikan seratus dirham sebagai salaf untuk satu takar makanan yang akan diserahkan di bulan tertentu, lalu mengatakan, “Jika tidak memungkinkan, maka di bulan berikutnya,” itu tidak diperbolehkan karena ada dua tenggat, bukan satu. Jika ia mengatakan, “Aku akan menyerahkannya antara waktu penyerahan hingga akhir bulan,” ini adalah tenggat yang tidak terbatas. Begitu pula jika ia mengatakan, “Tenggatmu adalah bulan tertentu, dari awal hingga akhir,” tanpa menyebut satu tenggat yang jelas, maka tidak sah sampai disebutkan satu tenggat yang pasti. (Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang melakukan salaf hingga bulan tertentu, lalu mengatakan, “Jika tertahan, maka bagimu begini,” itu adalah jual beli yang batal. Namun, jika ia mengatakan, “Hingga Ramadhan tahun tertentu,” itu diperbolehkan, dengan tenggat mulai dari terlihatnya hilal Ramadhan hingga berakhirnya bulan Ramadhan atau hari-hari tertentu di dalamnya.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Imam Syafi’i berkata: “Jika seseorang mengatakan ‘Aku menjual ini kepadamu sampai hari tertentu,’ maka transaksi tidak berakhir hingga fajar pada hari tersebut. Jika dia mengatakan ‘sampai waktu zuhur,’ maka berakhir ketika waktu zuhur tiba pada awal waktunya. Namun jika dia mengatakan ‘sampai akhir bulan tertentu,’ maka itu tidak jelas (majhul) dan transaksinya batal.”
Imam Syafi’i berkata: “Jika dua orang bertransaksi tanpa tenggat waktu, lalu mereka menetapkan tenggat sebelum berpisah dari tempat transaksi, maka tenggat itu mengikat. Namun jika mereka berpisah sebelum menetapkan tenggat, lalu kemudian menetapkannya, itu tidak sah kecuali dengan memperbarui akad jual beli. Awalnya aku membolehkan karena transaksi belum selesai. Jika sudah selesai dengan perpisahan, mereka tidak boleh menetapkan tenggat kecuali dengan akad baru.”
Imam Syafi’i berkata: “Demikian pula jika mereka bertransaksi dengan tenggat waktu, lalu membatalkan tenggat sebelum berpisah, maka tenggat yang baru berlaku. Jika mereka membatalkan tenggat setelah berpisah dan menggantinya dengan tenggat lain tanpa membatalkan transaksi, maka transaksi pertama tetap sah dengan tenggat awalnya, sedangkan tenggat baru hanya sebagai janji. Pembeli boleh memenuhi atau tidak memenuhinya.”
Imam Syafi’i berkata: “Tidak boleh memberikan pinjaman 100 dinar untuk 10 takar gandum, dengan lima takar diserahkan pada waktu tertentu dan lima takar lagi pada waktu setelahnya, karena nilai lima takar yang tertunda lebih rendah daripada yang diserahkan lebih awal. Ini menyebabkan ketidakjelasan nilai masing-masing bagian, sehingga transaksi tidak sah.”
Imam Syafi’i berkata: “Tidak boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, emas dengan perak, atau perak dengan emas secara salam (pesanan). Namun, boleh menjual salah satunya dengan barang lain seperti tembaga, fulus (uang logam rendah), perunggu, timah, besi, atau barang timbangan/takaran seperti makanan dan minuman, serta barang lain yang boleh diperjualbelikan.”
Imam Syafi’i berkata: “Aku membolehkan salam dalam fulus karena berbeda dengan emas dan perak, yaitu fulus tidak terkena zakat dan bukan sebagai alat tukar seperti dirham dan dinar. Emas dan perak wajib zakat, sedangkan fulus tidak. Aku melihat asal fulus dari tembaga yang tidak ada ribanya. Jika ada yang bertanya siapa yang membolehkan salam dalam fulus, aku jawab banyak ulama yang membolehkannya. Misalnya, Qaddah meriwayatkan dari Muhammad bin Aban dari Hammad bin Ibrahim yang membolehkannya, dan Sa’id al-Qaddah juga berpendapat demikian. Ulama yang membolehkan salam dalam tembaga pasti membolehkannya dalam fulus.”
Imam Syafi’i berkata: “Jika ada yang berargumen bahwa fulus berlaku seperti dinar dan dirham di beberapa daerah, jawabannya: itu tergantung syarat dan tempat. Misalnya, gandum di Hijaz berlaku seperti dinar dan dirham, tetapi fulus tidak. Jika dikatakan gandum bukan alat tukar untuk barang konsumsi, fulus juga demikian. Jika seseorang berutang senilai satu dirham atau kurang, tidak boleh dibayar dengan fulus, harus dengan emas atau perak. Jika ada yang melarang fulus karena alasan ini, seharusnya mereka juga melarang salam dalam gandum (karena jadi alat tukar di Hijaz) atau jagung (karena jadi alat tukar di Yaman). Fulus hanya jadi alat tukar dengan syarat tertentu. Misalnya, jika seseorang berutang satu daniq, tidak boleh dipaksa menerima fulus, harus perak. Aku juga mendengar di beberapa daerah, orang menggunakan gerabang sebagai pengganti fulus. Apakah boleh melarang salam dalam gerabang?”
Imam Syafi’i berkata: “Perhatikanlah, emas dan perak, baik yang sudah dicetak jadi dinar/dirham atau belum, tidak boleh diperjualbelikan dengan kelebihan, harus sama beratnya. Baik yang sudah dicetak maupun belum, statusnya sama. Barang yang sudah dicetak atau belum tetap sebagai alat tukar, tidak ada bedanya. Karena alat tukar yang sah adalah dirham dan dinar, bukan perak mentah. Tidak boleh ada kelebihan antara yang sudah dicetak dan belum. Hukum riba berlaku sama bagi keduanya. Lalu bagaimana bisa fulus yang sudah dicetak dianggap sah?”
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
“Berbeda dengan yang tidak dipukul? Ini tidak berlaku pada emas dan perak.
(Imam Syafi’i berkata): Setiap kelebihan pada sebagian dari sesuatu yang termasuk riba, maka tidak boleh menjual sesuatu darinya dengan sesuatu darinya secara tempo, atau sesuatu darinya dengan lainnya dalam sesuatu darinya saja, atau dengan lainnya. Tidak boleh juga menjual kambing yang masih memiliki susu dengan susu secara tempo, hingga menjualnya dalam keadaan sudah diperah tanpa susu, tanpa samin, atau tanpa mentega. Karena bagian susu yang ada dalam kambing dengan sebagian susu yang ditangguhkan tidak diketahui jumlahnya, mungkin lebih atau kurang. Susu tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan takaran yang sama dan secara tunai. Demikianlah seluruh bab ini dan analoginya.
(Imam Syafi’i berkata): Menurutku, berdasarkan apa yang telah aku jelaskan dari Sunnah dan qiyas, tidak halal meminjamkan sesuatu yang dimakan atau diminum yang ditakar dengan sesuatu yang ditimbang yang juga dimakan atau diminum. Tidak boleh meminjamkan satu mud gandum dengan satu ritl madu, atau satu ritl madu dengan satu mud kismis. Semua ini dianalogikan dengan emas yang tidak boleh dijual dengan perak, dan perak yang tidak boleh dijual dengan emas. Analoginya adalah tidak boleh meminjamkan makanan yang ditimbang dengan makanan yang ditakar, atau sebaliknya, atau selainnya dalam kondisi apa pun. Ini seperti meminjamkan dinar dengan dirham. Tidak boleh juga meminjamkan satu jenis makanan dengan jenis makanan lain secara tempo.
(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Tidak mengapa meminjamkan barang dengan barang sejenis selama bukan makanan atau minuman. Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Atha’, ia berkata: Tidak mengapa menjual barang dengan barang, salah satunya tunai dan lainnya tempo. Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Atha’, ia ditanya: Bolehkah menjual barang dengan barang, keduanya tempo? Ia tidak menyukainya. Kami berpendapat seperti ini: Tidak boleh menjual utang dengan utang. Ini diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dari satu sisi.
(Imam Syafi’i berkata): Setiap yang boleh diperjualbelikan sebagiannya dengan sebagian lainnya dengan kelebihan dari segala sesuatu, boleh meminjamkan sebagiannya dengan sebagian lainnya, kecuali emas dengan perak, perak dengan emas, serta makanan dan minuman yang satu dengan lainnya. Karena hal-hal tersebut keluar dari makna ini. Tidak mengapa meminjamkan satu mud gandum dengan seekor unta, seekor unta dengan dua unta, atau seekor kambing dengan dua kambing. Sama saja apakah kambing atau anak kambing dibeli dengan dua kambing yang dimaksudkan untuk disembelih atau tidak, karena keduanya diperjualbelikan sebagai hewan, bukan daging dengan daging, atau daging dengan hewan. Hal yang serupa dengan ini adalah hewan buruan dengan dua hewan buruan yang telah disifati, kecuali yang telah aku jelaskan.
(Imam Syafi’i berkata): Makanan atau minuman yang tidak ditimbang atau ditakar, menurutku dianalogikan dengan yang ditakar atau ditimbang dari makanan atau minuman. Jika ada yang bertanya: Bagaimana engku mengqiyaskan makanan dan minuman yang tidak ditakar atau ditimbang dengan yang ditakar atau ditimbang? Aku jawab: Aku menemukan dasar jual beli ada dua: sesuatu yang kelebihannya termasuk riba, dan sesuatu yang kelebihannya tidak termasuk riba. Yang kelebihannya termasuk riba adalah emas dan perak, keduanya berbeda dari segala sesuatu dan tidak boleh diqiyaskan dengan selainnya karena perbedaannya. Keduanya adalah harga untuk segala sesuatu dan boleh dibeli dengan keduanya segala sesuatu selain keduanya, baik tunai maupun tempo. Begitu juga dengan gandum, jewawut, kurma, dan garam, yang merupakan makanan yang ditakar dan disebut dalam Sunnah larangan kelebihan pada setiap jenisnya dengan sesuatu dari jenis yang sama. Maka kami mengqiyaskan yang ditakar dan ditimbang dengan keduanya. Kami juga menemukan sesuatu yang dijual tidak dengan takaran atau timbangan, sehingga kelebihan pada sebagiannya dibolehkan, seperti hewan, pakaian, dan semisalnya yang tidak ditimbang. Karena makanan yang tidak ditakar menurut kebanyakan orang, atau yang ditimbang menurut mereka adalah makanan, maka makanan yang tidak ditakar atau ditimbang memiliki kesamaan makna dengan makanan yang ditakar atau ditimbang. Kami juga menemukan penduduk berbagai negeri berbeda pendapat: sebagian menimbang dengan timbangan, banyak penduduk negeri menimbang daging, banyak yang tidak menimbangnya, dan banyak yang menjual kurma basah secara borongan. Perbuatan mereka dalam hal ini berbeda-beda, tetapi semuanya bisa diterima dengan timbangan atau takaran. Sebagian dari mereka menakar sesuatu yang tidak ditakar oleh lainnya. Kami menemukan semuanya bisa diterima dengan timbangan. Banyak ulama menimbang daging, banyak yang tidak menimbangnya, banyak ulama menjual kurma basah secara borongan, dan perbuatan mereka dalam hal ini berbeda-beda. Semuanya bisa diterima dengan timbangan atau takaran, atau keduanya. Maka mengqiyaskannya dengan makanan dan minuman yang ditakar atau ditimbang lebih utama bagi kami daripada mengqiyaskannya dengan yang dijual secara bilangan.”
Pakaian dan barang lainnya yang tidak dimakan; karena kami menemukan bahwa hal-hal tersebut terpisah darinya dalam hal yang telah dijelaskan, dan bahwa hal-hal tersebut tidak diperbolehkan kecuali dengan sifat, ukuran, jenis, dan usia pada hewan, serta sifat yang tidak ditemukan pada yang dimakan. (Imam Syafi’i berkata): Tidak sah menurut qiyas pendapat kami ini, satu delima dengan dua delima dalam jumlah bukan berat, tidak pula satu apel dengan dua apel, tidak pula satu semangka dengan dua semangka. Tidak sah menjual satu jenis dengan jenis yang sama kecuali dengan timbangan yang setara, tangan ke tangan, seperti yang kami katakan pada gandum dan kurma. Jika berbeda, tidak mengapa ada kelebihan pada salah satunya asalkan tangan ke tangan. Tidak ada kebaikan dalam penundaan pembayaran. Tidak mengapa satu delima ditukar dengan dua apel atau lebih dalam jumlah dan berat, sebagaimana tidak masalah satu takar gandum ditukar dengan dua takar kurma atau lebih, atau satu takar gandum ditukar dengan kurma secara kasar, baik lebih sedikit atau lebih banyak. Karena jika tidak ada riba dalam kelebihan tersebut secara tunai, aku tidak peduli jika tidak ditakar, sebab aku hanya memerintahkan untuk menakarnya jika tidak halal kecuali dengan yang setara. Namun jika perbedaan diperbolehkan, larangan hanya berlaku jika tidak ditakar agar tidak ada kelebihan, sehingga tidak ada alasan untuk mengharamkannya jika takaran ditinggalkan. Jika satu jenis dijual dengan jenis yang sama, tidak sah dalam jumlah, hanya sah dalam timbangan yang setara. Hal ini telah ditulis di tempat lain dengan alasan-alasannya.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh melakukan salam (pesanan) pada makanan atau minuman dengan makanan atau minuman dalam keadaan apa pun, sebagaimana tidak boleh memesan perak dengan emas. Tidak sah menjualnya kecuali secara tunai, seperti menjual perak dengan perak atau emas dengan emas.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak sah dalam hal makanan apa pun untuk melakukan salam berdasarkan jumlah, karena tidak memiliki sifat seperti hewan, ukuran pakaian, atau kayu. Salam hanya boleh dilakukan dengan berat atau takaran yang diketahui, jika memang bisa ditakar. Tidak boleh melakukan salam pada kenari, telur, ranj, atau lainnya berdasarkan jumlah karena perbedaannya dan tidak adanya batasan yang diketahui seperti pada yang lain.
(Imam Syafi’i berkata): Lebih aku sukai untuk tidak melakukan salam secara kasar pada emas, perak, makanan, pakaian, atau apa pun. Tidak boleh melakukan salam pada sesuatu kecuali jika telah dijelaskan sifatnya. Jika berupa dinar, maka harus disebutkan cetakannya, kualitasnya, dan beratnya. Jika berupa dirham, maka demikian pula, dan harus disebutkan apakah terang, gelap, atau ciri lainnya. Jika berupa makanan, katakanlah kurma jenis Shihani yang baik, takarannya sekian. Demikian pula jika berupa gandum. Jika berupa pakaian, katakanlah jenis Marwi, panjang sekian, lebar sekian, tipis, tebal, atau baik. Jika berupa unta, katakanlah jenis Tsani, Mahri, merah, berperawakan besar atau sedang. Jelaskan semua yang dipesan sebagaimana engkau menjelaskan semua yang dipesan dan serahkan sebagai hutang yang tunai. Menurutku, tidak sah jika tidak demikian. Jika ada yang kurang atau dalam pesanan terdapat hutang, aku khawatir itu tidak diperbolehkan, karena keadaan yang dipesan berbeda dengan keadaan yang dipesan dengannya.
Inilah perbedaan antara salam dengan jual beli barang nyata. Tidakkah engkau melihat bahwa tidak mengapa seseorang membeli unta yang telah dilihat oleh penjual dan pembeli meski tidak dijelaskan sifatnya, dengan buah kebun yang sudah tampak matang dan telah dilihat? Pandangan mereka pada barang yang tidak dijelaskan sifatnya atau buah yang dijual sama dengan penjelasan sifat dalam pesanan. Namun, ini tidak boleh dalam salam. Misalnya, jika aku berkata, “Aku memesanmu buah kurma dari pohon yang baik, satu tandan, sedikit, atau sedang,” karena tandan kurma berbeda dari dua sisi: Pertama, dari tahun ke tahun, bisa lebih banyak atau lebih sedikit tergantung kekeringan atau hal lain yang hanya Allah tahu. Sebagian mungkin ringan, sebagian berat. Karena aku tidak menemukan ulama yang membolehkan jual beli barang nyata secara kasar tanpa penjelasan sifat—karena melihat lebih utama daripada penjelasan—tetapi menolaknya dalam salam, maka mereka membedakan hukum keduanya. Mereka membolehkan jual beli barang nyata tanpa tempo, tetapi tidak membolehkan jual beli salam berjangka.
Allah Yang Maha Tahu berfirman bahwa sebagaimana barang yang dijual berjangka harus diketahui dengan sifat, takaran, timbangan, dan lainnya, demikian pula harga harus diketahui dengan sifat, takaran, dan timbangan, sehingga harga jelas sebagaimana barang yang dijual jelas. Salam tidak boleh dengan sifat dan timbangan yang tidak diketahui pada sesuatu yang belum dilihat, sehingga menjadi hutang yang tidak jelas.
(Imam Syafi’i berkata): Siapa yang berpendapat demikian, berpendapat bahwa jika salam batal, pemesan berhak mendapatkan modalnya kembali. Sifat yang diketahui harus dibayar dengan sifat yang diketahui, bukan dengan barang nyata yang tidak jelas. Tidak boleh sifat yang diketahui dibayar dengan sifat yang diketahui dalam bentuk barang nyata yang tidak jelas.
Sifat ‘ain (barang yang dilihat langsung).
(Imam Syafi’i berkata): Kami menemukan pendapat yang berbeda dari orang yang mengatakan pendapat ini sebagai mazhab yang mungkin, meskipun kami telah memilih apa yang kami jelaskan. Yaitu, ada yang mengatakan bahwa jual beli secara juzaf (taksiran) hanya diperbolehkan jika orang yang menaksir telah melihat langsung barangnya, sehingga penglihatan langsung oleh penaksir itu seperti sifat (deskripsi) untuk barang yang tidak terlihat atau bahkan lebih. Tidakkah kamu melihat bahwa tidak boleh membeli buah kebun secara juzaf dengan hutang, dan hutang tidak halal kecuali harus disebutkan sifatnya jika barangnya tidak terlihat? Jika buah itu hadir (terlihat) secara juzaf, bukankah itu seperti barang yang tidak terlihat tetapi disebutkan sifatnya? (Imam Syafi’i berkata): Orang yang berpendapat seperti ini seharusnya membolehkan salaf (pesanan dengan pembayaran di muka) secara juzaf untuk dinar, dirham, dan segala sesuatu, serta mengatakan bahwa jika transaksi salaf dibatalkan, maka keputusan ada pada penjual karena dialah yang diambil darinya beserta sumpahnya, seperti seseorang membeli rumah secara langsung dengan buah kebun, lalu transaksi dibatalkan, maka keputusan tentang harga ada pada penjual. Sedangkan orang yang berpendapat pertama, bahwa salaf tidak boleh kecuali untuk barang yang telah diterima dan disebutkan sifatnya seperti deskripsi barang yang tidak terlihat, mengatakan seperti yang kami jelaskan. (Imam Syafi’i berkata): Pendapat pertama lebih aku sukai di antara dua pendapat ini, dan Allah lebih tahu.
Qiyas dari pendapat yang aku pilih adalah tidak boleh memesan 100 dinar untuk 100 sha’ gandum dan 100 sha’ kurma yang telah disebutkan sifatnya, kecuali jika disebutkan modal masing-masing, karena transaksi telah terjadi tetapi harga masing-masing tidak diketahui. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memesan 200 sha’ gandum, 100 sha’ untuk bulan tertentu dan 100 sha’ untuk bulan berikutnya, maka menurut pendapat ini tidak boleh, karena tidak disebutkan harga masing-masing secara terpisah, dan jika ditetapkan, 100 sha’ dengan tempo lebih dekat lebih tinggi nilainya daripada 100 sha’ dengan tempo lebih jauh, sehingga transaksi terjadi untuk 200 sha’ tanpa diketahui bagian harga masing-masing. (Imam Syafi’i berkata): Ada yang membolehkannya, tetapi ini termasuk dalam apa yang kami jelaskan, yaitu jika masing-masing dinilai pada hari transaksi sebelum wajib diserahkan, padahal yang dinilai adalah yang wajib diserahkan, sedangkan ini belum wajib diserahkan, maka transaksi telah terjadi padahal nilainya tidak diketahui.
(Imam Syafi’i berkata): Dalam pendapat ini, tidak boleh memesan untuk dua hal yang berbeda atau lebih, meskipun disebutkan modal masing-masing jenis dan temponya, sehingga transaksi itu tidak menjadi gabungan dari jual beli yang berbeda. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memesan 100 dinar untuk 200 sha’ gandum, di mana 100 sha’ seharga 60 dinar untuk tempo tertentu dan 40 dinar untuk 100 sha’ yang jatuh tempo bulan tertentu, maka itu boleh, karena meskipun satu transaksi, ia terdiri dari dua penjualan dengan harga yang diketahui.
(Imam Syafi’i berkata): Ini berbeda dengan jual beli barang konkret dalam hal ini. Jika seseorang membeli dari orang lain dengan 100 dinar untuk 100 sha’ gandum, 100 sha’ kurma, 100 sha’ biji sesawi, dan 100 sha’ wijen, itu diperbolehkan meskipun tidak disebutkan harga masing-masing jenis, karena setiap jenis dinilai sesuai bagiannya dari 100 dinar. Namun, tidak boleh memesan dengan takaran lalu mengambil dengan timbangan, atau memesan dengan timbangan lalu mengambil dengan takaran, karena kamu mengambil yang bukan hakmu, bisa kurang atau lebih, akibat perbedaan takaran dan timbangan saat masuk ke dalam ukuran dan beratnya. Makna takaran berbeda dengan timbangan dalam hal ini.
(Imam Syafi’i berkata): Begitu pula jika seseorang memesan dua kain, satu dari Herat dan satu dari Marv yang telah disebutkan sifatnya, tidak boleh memesan salah satunya kecuali disebutkan modal masing-masing. Demikian juga dua kain dari Marv, karena keduanya tidak sama. Ini tidak seperti gandum atau kurma yang satu jenis, karena ini tidak berbeda dan sebagiannya sama dengan sebagian lain. Tetapi jika seseorang memesan dua jenis gandum, yaitu gandum hitam dan gandum yang diangkut dengan takaran, tidak boleh sampai disebutkan modal masing-masing, karena keduanya berbeda.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Prinsip yang aku jadikan dasar dalam salaf dan perbedaan di dalamnya termasuk dalam nash sunnah.
Dan petunjuknya, wallahu a’lam. Karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- apabila memerintahkan salaf (salam) dalam takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, dan tempo yang diketahui, maka terdapat dalam perintah beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa apa yang diizinkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah sesuatu yang diketahui sifatnya oleh penjual dan pembeli secara sama. (Dia berkata): Jika salaf terjadi dengan ketentuan ini, maka boleh. Namun jika pengetahuan penjual dan pembeli berbeda tentang sifatnya, atau termasuk sesuatu yang tidak dapat dijangkau sifatnya, maka tidak boleh; karena hal itu keluar dari makna yang diizinkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Orang-orang hanya melakukan jual beli dengan takaran dan timbangan sesuai makna yang telah aku jelaskan, yaitu diketahui oleh mereka bahwa timbangan menghasilkan sesuatu yang dijual secara diketahui, begitu pula takaran yang diketahui atau mendekatinya. Dan apa yang ditakar kemudian memenuhi takaran sepenuhnya tanpa dikurangi sedikit pun hingga takaran terpenuhi, sedangkan jika ada bagian takaran yang kosong, maka boleh. Seandainya boleh menakar sesuatu yang dikurangi dalam takaran hingga tampak penuh padahal bagian dalamnya tidak penuh, maka takaran tidak memiliki makna, dan ini tidak diketahui; karena pengurangan bisa berbeda, sedikit atau banyak, sehingga menjadi tidak diketahui oleh penjual dan pembeli. Jual beli dalam Sunnah dan ijma’ tidak boleh jika tidak diketahui oleh salah satu dari keduanya. Jika tidak boleh karena salah satu pihak tidak mengetahuinya, maka lebih tidak boleh lagi jika keduanya tidak mengetahuinya. (Dia berkata): Terdapat dalam hadits Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- ketika beliau melarang mereka dari salaf kecuali dengan takaran, timbangan, dan tempo yang diketahui, sebagaimana telah aku jelaskan sebelumnya. Dan dahulu mereka melakukan salaf pada kurma untuk satu atau dua tahun, sedangkan kurma bisa berupa ruthab (kurma basah), sementara ruthab tidak ada selama dua tahun penuh, melainkan hanya ada pada waktu tertentu dalam setahun. Kami hanya membolehkan salaf pada ruthab di luar musimnya jika kedua pihak telah menyepakati pengambilannya pada waktu ketika ruthab itu ada; karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membolehkan salaf untuk dua atau tiga tahun dengan sifat yang jelas, sebab beliau tidak melarang kecuali dengan takaran, timbangan, dan tempo yang jelas, dan beliau tidak melarang untuk dua atau tiga tahun. Diketahui bahwa dalam satu atau dua tahun, ruthab tidak ada selama sebagian besar waktunya. Tidak boleh melakukan salaf pada sejumput atau satu mud ruthab dari kebun tertentu untuk satu hari; karena bisa saja terkena musibah dan tidak ada pada hari itu. Jika tidak boleh untuk lebih dari satu hari, maka salaf hanya boleh pada sesuatu yang dijamin keberadaannya, baik sedikit maupun banyak. Seandainya aku membolehkan ini untuk satu mud ruthab dengan takaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dari kebun tertentu, maka aku juga membolehkannya untuk seribu sha’ jika kebun itu mampu menghasilkan sebanyak itu. Tidak ada perbedaan antara sedikit dan banyak dalam hal ini.
(Asy-Syafi’i berkata) -rahimahullah-: Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: “Tidak boleh menekan, menggoyang, atau menggetarkan.” (Asy-Syafi’i berkata): Siapa yang melakukan salaf dalam takaran, maka dia tidak boleh menekan isi takaran, menggoyangkannya, atau menutup bagian atasnya dengan tangannya. Dia hanya berhak mengambil apa yang diberikan oleh takaran. Dia tidak boleh melakukan salaf dalam takaran sesuatu yang berbeda dalam takaran, seperti sesuatu yang bentuknya berbeda, membesar, atau mengeras; karena bisa saja terdapat ruang kosong di antara isinya yang tidak terisi, sehingga masing-masing pihak tidak tahu berapa yang diberikan dan berapa yang diterima. Takaran hanya untuk memenuhi. Jika seperti ini, maka tidak boleh dilakukan salaf kecuali dengan timbangan, dan juga tidak boleh dijual dengan takaran dalam keadaan apa pun; karena jika dijual dengan takaran, takaran tidak terpenuhi. Tidak mengapa melakukan salaf dalam takaran dengan takaran yang sudah tidak digunakan jika ukurannya diketahui secara umum oleh orang-orang yang adil dan ahli dalam hal itu. Jika tidak ada dua orang adil yang mengetahuinya, atau seseorang menunjukkan takaran dan berkata, “Takarlah untukku dengan ini,” maka salaf tidak boleh dilakukan dengannya. Demikian pula halnya dengan timbangan; karena bisa saja rusak dan tidak diketahui ukurannya, sehingga kedua pihak berselisih dan salaf menjadi rusak. Sebagian orang merusak salaf dalam hal ini dan membolehkannya untuk sesuatu yang tidak jelas (juzaf), padahal maknanya sama. Tidak ada riwayat tentang salaf dalam takaran kecuali dengan sifat yang jelas, sebagaimana kami jelaskan dalam sifat-sifat takaran dan timbangan.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Salam dalam gandum di semua negeri adalah sama, baik sedikit atau banyak hasil negeri tersebut. Jika yang disalamkan ada pada waktu yang ditetapkan untuk penyerahannya, maka tidak ada perbedaan. Dan jika gandum tersebut dideskripsikan sebagai gandum yang diangkut, hasil setempat, jenis Buzanjaniyah, baik atau buruk, dari panen tahun ini atau panen tahun sebelumnya, serta disebutkan tahun dan sifat-sifatnya, maka salam tersebut sah. Namun jika ada sesuatu yang ditinggalkan dari deskripsi ini, maka tidak sah karena perbedaan kualitas, tua atau baru, dan kebersihannya. (Imam Syafi’i berkata): Harus disebutkan tempat penyerahan dan waktu penyerahannya. Jika ada yang ditinggalkan dari hal ini, maka tidak sah. (Imam Syafi’i berkata): Ulama lain berpendapat bahwa jika deskripsi tempat penyerahan ditinggalkan, tidak mengapa, dan penyerahan dapat dilakukan di tempat yang disepakati saat akad salam. (Imam Syafi’i berkata): Terkadang salam dilakukan dalam perjalanan di suatu negeri yang bukan tempat tinggal salah satu dari mereka, dan tidak ada gandum di sekitarnya. Jika ia dibebani untuk mengangkutnya ke sana, itu akan memberatkannya dan orang yang menerima salam. Salam juga bisa dilakukan dalam perjalanan di laut. (Beliau berkata): Segala sesuatu yang memerlukan biaya pengangkutan, baik makanan maupun lainnya, menurutku tidak sah jika meninggalkan syarat tempat penyerahan, seperti yang telah kujelaskan mengenai makanan dan lainnya.
Jika salam dilakukan dalam gandum dengan takaran, maka ia wajib menyerahkan gandum yang bersih dari sekam, kotoran, tanah, kerikil, biji-bijian lain, dan campuran lainnya. Sebab, jika kita memutuskan bahwa ia boleh menerimanya dengan campuran tersebut, berarti kita belum memenuhi takarannya secara adil karena tercampur dengan hal-hal itu. Sebab, hal itu mempengaruhi takaran. Jika ia dipaksa menerima campuran ini, berarti ia dipaksa menerima makanan yang kurang dari yang seharusnya tanpa ia ketahui, dan takaran yang tidak ia sepakati dalam salam.
(Imam Syafi’i berkata): Ia tidak boleh menerima sesuatu dari barang yang disalamkan dalam kondisi cacat, seperti berjamur, rusak, atau lainnya, atau apa yang menurut ahli di bidangnya dianggap sebagai cacat.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jagung sama seperti gandum, harus dideskripsikan jenisnya, warnanya, kualitasnya (baik atau buruk), baru atau lama, panen tahun tertentu atau tahun sebelumnya, takarannya, dan waktu penyerahannya. Jika ada yang ditinggalkan dari hal ini, maka tidak sah. (Imam Syafi’i berkata): Jagung terkadang dikubur, dan sebagian penguburan merusaknya. Jika hal itu merusak jagung, penjual tidak boleh menyerahkannya kepada pembeli. Demikian juga segala cacat pada jagung. Ia wajib menyerahkan jagung yang bersih dari serangga jika serangga itu menempel, sebagaimana gandum juga harus bersih.
(Imam Syafi’i berkata): Ada jagung yang berwarna kemerahan di bagian atasnya, seperti warna kulit apel atau beras, dan bukan kulit yang bisa dikupas seperti dedak gandum setelah digiling. Sebelum digiling atau dihancurkan, kulit tersebut tidak bisa dibersihkan. Kami berpendapat bahwa salam dalam gandum yang masih berkulit atau jagung yang masih memiliki kulit tidak sah, karena kulit dan sekam adalah lapisan di atas kulit asli biji yang merupakan bagian dari biji itu sendiri, sebagaimana ciptaannya. Lapisan tersebut tidak bisa dipisahkan selama biji masih utuh kecuali dengan penggilingan atau penghancuran. Jika dipisahkan dengan penghancuran, biji tidak akan utuh lagi karena itu adalah bagian dari kesempurnaan ciptaannya, seperti kulit yang melengkapi penciptaannya dan tidak terpisahkan. Sedangkan sekam dan kulit jagung bisa dipisahkan, dan bijinya tetap utuh tanpa kerusakan.
(Beliau berkata): Jika ada yang menganggap serupa dengan kenari dan almond yang memiliki kulit, maka kenari dan almond memiliki kulit yang tidak bisa bertahan lama jika dikupas, karena jika kulitnya dibuang, ia akan cepat rusak. Sedangkan biji-bijian lain bisa dibersihkan dari kulitnya tanpa merusak bijinya.
mengubah ciptaannya sehingga tetap tidak rusak. (Imam Syafi’i berkata): Pendapat mengenai jelai sama seperti jagung, kulit luarnya dibuang dan sisanya seperti kulit gandum yang telah dibuang kulit luarnya, sehingga boleh diberikan dengan kulit yang melekat pada ciptaannya sebagaimana boleh pada gandum. (Imam Syafi’i berkata): Jelai juga dideskripsikan seperti jagung dan gandum; jika jenisnya berbeda, setiap jenis biji-bijian dideskripsikan berdasarkan asal daerahnya. Jika bijinya berbeda dalam satu jenis, maka dideskripsikan dengan kehalusan dan kekasarannya karena perbedaan kehalusan dan kekasaran hingga menjadi sifat yang jika diabaikan akan merusak akad salam. Sebab, nama kualitas bisa berlaku pada yang halus dan yang kasar, dan harganya pun berbeda, sehingga yang halus lebih murah daripada yang kasar.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Al-‘alas adalah jenis gandum yang memiliki dua biji dalam satu kulit, lalu dibiarkan begitu saja karena lebih tahan lama hingga siap digunakan untuk dimakan. Ketika akan digunakan, dimasukkan ke penggilingan ringan untuk mengupas kulitnya sehingga menjadi biji utuh, kemudian baru digunakan. (Imam Syafi’i berkata): Hukumnya sama seperti gandum dengan kulitnya; tidak boleh akad salam kecuali setelah kulitnya dibuang karena dua alasan: perbedaan kulit dan tersembunyinya biji sehingga tidak diketahui sifatnya. Deskripsi sifat, jenis, kekasaran, dan kehalusannya sama seperti gandum, jagung, dan jelai. Apa yang diperbolehkan pada mereka, diperbolehkan pula pada al-‘alas, dan apa yang ditolak pada mereka, ditolak pula pada al-‘alas.
[Bab Kacang-Kacangan]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak boleh melakukan akad salam pada kacang-kacangan yang masih dalam kulitnya hingga dikupas dan terlihat. Tidak boleh juga hingga disebutkan namanya, seperti kacang arab, lentil, kacang ful, atau kacang hijau, dan setiap jenisnya harus spesifik. Jika berbeda, setiap jenis harus dideskripsikan dengan nama yang dikenal sebagai jenisnya, seperti yang kami katakan pada gandum, jelai, dan jagung. Hukum yang berlaku pada mereka juga berlaku pada kacang-kacangan, dan yang ditolak pada mereka juga ditolak di sini. Begitu pula setiap jenis biji-bijian seperti beras, jawawut, sekoi, atau lainnya, dideskripsikan seperti gandum dan kulitnya harus dibuang. Apa yang diperbolehkan pada gandum dan jelai, diperbolehkan pula pada mereka, dan apa yang batal pada mereka, batal pula di sini. (Imam Syafi’i berkata): Semua biji-bijian dikategorikan berdasarkan hal yang merusak atau memperbaikinya, dan kulit yang melekat padanya seperti kulit gandum boleh dijual bersamanya karena kulit tersebut bukanlah kulit luar.
[Bab Salam pada Kurma Basah dan Kering]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Hukum kurma sama seperti biji-bijian; tidak boleh akad salam pada kurma hingga dideskripsikan jenisnya, seperti barni, ajwah, shaihani, atau burdi. Jika jenis-jenis ini berbeda di berbagai daerah hingga sangat berbeda, tidak boleh akad salam hingga disebutkan, “Dari kurma burdi daerah ini atau ajwah daerah itu.” Tidak boleh menyebut daerah kecuali daerah yang luas, subur, dan aman—atas izin Allah—dari bencana yang bisa menghabiskan seluruh hasilnya. Jika disyaratkan kurma baru atau basah saat akad salam pada kurma basah. (Beliau berkata): Kurma juga dideskripsikan sebagai kasar, mentah, halus, bagus, atau jelek, karena nama kualitas bisa berlaku pada yang halus dan yang lebih bagus, sedangkan nama keburukan bisa berlaku pada yang kasar, sehingga makna keburukannya bukanlah kehalusan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika akad salam dilakukan pada kurma, pembeli hanya boleh menerimanya dalam keadaan kering karena…
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Ia akan mengambil kurma hingga kering dan tidak boleh mengambil kurma yang cacat. Tanda cacat adalah jika orang yang berpengalaman melihatnya dan mengatakan ini cacat. Ia juga tidak boleh mengambil kurma yang memiliki satu buah busuk karena itu termasuk cacat dan mengurangi nilai hartanya. Demikian pula kurma yang terlalu kering, kekurangan air, atau mengalami kerusakan akibat kehausan, karena semua itu termasuk cacat. Jika ada hutang dalam bentuk kurma basah, ia tidak boleh mengambil kurma basah yang kecil, rusak, atau kecut. Ia hanya boleh mengambil kurma yang matang seluruhnya, bukan yang setengah matang, hampir berbuah, atau sudah mulai berubah, karena itu bukan kurma basah atau termasuk cacat pada kurma basah. Hal yang sama berlaku untuk semua jenis kurma basah dan kering, anggur, serta buah-buahan lain yang dihutangkan dalam keadaan basah atau kering. (Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh melakukan hutang piutang dalam makanan kecuali dengan takaran atau timbangan. Adapun dengan jumlah, tidak boleh. Diperbolehkan menghutangkan buah tin kering, aprikot kering, dan semua buah yang dikeringkan dengan takaran seperti kurma. Juga diperbolehkan menghutangkan buah yang ditakar dalam keadaan basah seperti kurma basah, dengan ketentuan sifat, nama, dan jenisnya sama seperti kurma basah. Jika ada perbedaan warna, tidak boleh kecuali warna tersebut dijelaskan, sebagaimana dalam budak harus dijelaskan warnanya. (Imam Syafi’i berkata): Setiap jenis makanan yang berbeda jenisnya dan memiliki keunggulan dalam warna atau ukuran, tidak boleh kecuali dijelaskan warna dan ukurannya. Jika ada yang tidak dijelaskan, tidak sah. Karena istilah kualitas bisa merujuk pada yang kecil atau besar, yang putih atau hitam, terkadang yang hitam lebih baik dari yang putih atau sebaliknya. Semua takaran dan timbangan pada dasarnya memiliki makna yang sama, hanya sedikit perbedaan secara keseluruhan, insya Allah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menghutangkan suatu jenis kurma, lalu diberikan yang lebih baik atau lebih buruk dengan kerelaan kedua belah pihak tanpa membatalkan syarat, itu tidak masalah karena ini adalah pembayaran, bukan jual beli. Namun jika diberikan gandum atau selain kurma sebagai gantinya, tidak boleh karena itu berbeda jenis. Ini termasuk jual beli yang belum diterima, yaitu jual beli kurma dengan gandum.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik melakukan hutang piutang dalam makanan dengan jumlah karena tidak bisa dipastikan sifatnya, berbeda dengan hewan yang bisa ditentukan umur dan sifatnya, atau pakaian yang bisa diukur. Diperbolehkan menghutangkan dengan menyebut sifat dan timbangan, di mana timbangan berperan seperti ukuran pada pakaian. Diperbolehkan juga menghutangkan jenis melon tertentu, menyebutnya besar atau kecil, atau melon lokal dengan berat tertentu. Selama memenuhi timbangan, jumlah tidak diperhitungkan, yang penting memenuhi minimal sifat dan timbangan, seperti emas atau perak yang tidak dilihat jumlahnya. Jika ada perbedaan ukuran besar atau kecil, pemberi harus memberikan yang paling minimal sesuai sifatnya, lalu memenuhinya dengan timbangan. Hal yang sama berlaku untuk quince, mentimun, aprikot, dan lainnya yang biasa dijual secara borongan dalam wadah. Hutang piutang hanya sah dengan timbangan karena takarannya bisa berbeda. Jika takaran tidak terpenuhi hingga ada bagian kosong, tidak sah. (Imam Syafi’i berkata): Jika ada perbedaan jenis dalam hutang piutang seperti mentimun, melon, atau lainnya yang tidak ditakar, setiap jenis harus disebutkan dengan sifatnya. Jika tidak, hutang piutang itu batal. Ketentuan pembatalan dan keabsahannya jika jenisnya berbeda sama seperti penjelasan sebelumnya tentang gandum, kurma, dan lainnya.
[Pasal tentang Hutang Piutang dengan Timbangan]
(Imam Syafi’i berkata): Timbangan berbeda dengan takaran dalam beberapa hal, dan timbangan lebih mudah dipastikan.
Dan lebih jauh dari itu, para ulama tidak berselisih mengenai takaran; karena sesuatu yang melimpah atau tidak melimpah dalam timbangan adalah sama; sebab semuanya kembali pada penimbangan, sedangkan yang melimpah dalam takaran jelas berbeda. Tidak ada perbedaan dalam timbangan yang dapat membatalkan transaksi salaf (utang-piutang) karena perbedaan dalam timbangan, sebagaimana terjadi dalam takaran seperti yang kami jelaskan. Tidak ada transaksi salaf yang rusak karena timbangan yang diketahui kecuali karena faktor selain timbangan. Tidak masalah melakukan transaksi salaf dengan timbangan meskipun barang itu biasanya dijual dengan takaran, atau sebaliknya, selama barang itu tidak melimpah dalam takaran, seperti minyak yang cair. Jika pada masa Nabi ﷺ dan setelahnya minyak dijual dengan timbangan di Madinah, maka tidak masalah melakukan transaksi salaf dengan takaran. Begitu pula jika biasanya dijual dengan takaran, tidak masalah melakukan transaksi salaf dengan timbangan. Hal yang sama berlaku untuk samin, madu, dan sejenisnya.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana cara penjualannya pada masa Nabi ﷺ?” Kami jawab, “Allah yang lebih tahu. Namun, berdasarkan yang kami ketahui dari praktik jual-beli, jika jumlahnya sedikit dijual dengan takaran, sedangkan dalam jumlah besar dijual dengan timbangan.” Bukti dari riwayat-riwayat juga mendukung hal ini. Umar bin Khattab رضي الله عنه berkata, “Aku tidak akan makan samin selama samin dijual dengan ukuran awaq (takaran kecil).” Awaq menyerupai takaran. Transaksi salaf yang sah tidak rusak karena timbangan kecuali karena sifat barang. Jika sifatnya tidak jelas dan kualitasnya berbeda sehingga harganya beragam, maka tidak boleh karena itu termasuk majhul (tidak diketahui) menurut ahli ilmu. Apa saja yang majhul bagi mereka tidak diperbolehkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminjamkan dengan timbangan, lalu ingin membayarnya dengan takaran, itu tidak boleh. Sebab, suatu barang bisa ringan atau lebih berat dari jenis lainnya. Jika ia membayar dengan takaran, bisa jadi lebih sedikit atau lebih banyak dari yang dipinjamkan, sehingga terjadi pertukaran makanan wajib dengan yang tidak jelas atau tidak setara. Yang diperbolehkan adalah membayar dengan yang jelas. Jika ia membayar tepat sesuai hak, itu sudah cukup. Jika ia memberi lebih sebagai sukarela di luar perjanjian, itu merupakan kebaikan darinya. Jika ia memberi kurang tetapi pihak pembeli meridhai kekurangannya, itu juga boleh sebagai bentuk kerelaan pembeli. Namun, jika keduanya sengaja tidak menakar dengan tepat dan menggantinya dengan timbangan yang tidak pasti, maka ini tidak boleh. Jika ini diperbolehkan, maka membayar secara kasar (tanpa takaran atau timbangan) juga akan diperbolehkan, padahal itu bukan kerelaan dari kedua belah pihak.
[Pembahasan Timbangan Madu]
Timbangan untuk madu (Imam Syafi’i berkata): Minimal yang diperbolehkan dalam transaksi salaf madu adalah meminjamkan dengan takaran atau timbangan yang jelas, waktu yang jelas, dan sifat yang jelas (misalnya madu baru), serta menyebutkan “mad
Penurunan dari apa yang telah disepakati sebelumnya, dan yang lain adalah bahwa setiap jenis dari ini mungkin cocok untuk sesuatu yang tidak cocok untuk yang lain, atau mencukupi dalam hal yang tidak mencukupi untuk yang lain, atau menggabungkan keduanya. Tidak diperbolehkan memberikan selain apa yang telah disepakati jika manfaatnya berbeda. (Dia berkata): Dan apa yang telah saya jelaskan tentang madu lebah, thyme, dan lainnya dari setiap jenis madu dalam madu seperti jenis yang berbeda dalam mentega tidak mencukupi kecuali sesuai dengan deskripsinya dalam perjanjian sebelumnya, jika tidak, perjanjian sebelumnya menjadi rusak. Tidakkah kamu melihat bahwa jika saya menyerahkan dalam mentega dan mendeskripsikannya tetapi tidak menjelaskan jenisnya, itu menjadi rusak karena mentega kambing berbeda dari mentega domba, dan mentega semua domba berbeda dari sapi dan kerbau? Jadi, jika deskripsi tidak mencakup jenis yang berbeda, perjanjian sebelumnya menjadi rusak, seperti jika saya menyerahkan gandum dan tidak menyebutkan jenisnya, apakah itu Mesir, Yaman, atau Syam. Demikian juga, jika dia tidak mendeskripsikan madu berdasarkan warnanya, itu menjadi rusak karena harganya berbeda berdasarkan kualitas warna dan kegunaannya. Demikian juga, jika dia tidak mendeskripsikan asal daerahnya, itu menjadi rusak karena perbedaan hasil daerah, seperti perbedaan makanan daerah atau pakaian daerah seperti Marw, Herat, Ray, dan Baghdad. Demikian juga, jika dia tidak mengatakan madu baru atau madu waktu tertentu karena perbedaan antara madu lama dan baru. Jika dia mengatakan madu waktu tertentu, dan madu itu biasanya ada di bulan Rajab, tetapi dia menyebutkan jatuh tempo di bulan Ramadhan, maka sudah diketahui berapa lama waktu yang telah berlalu. Hal ini berlaku untuk semua yang berbeda antara yang lama dan baru, seperti mentega, gandum, atau lainnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Dan segala sesuatu yang menurut ahli pengetahuan merupakan cacat dalam jenis yang telah disepakati, tidak mengikat perjanjian sebelumnya. Demikian juga, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan deskripsi yang disepakati. Jika dia mensyaratkan madu dari madu lebah Sarw dan madu dari daerah tertentu, lalu diberikan sesuai deskripsi warna dan madu daerah, tetapi dikatakan ini bukan madu Sarw murni, melainkan campuran Sarw dan lainnya, itu tidak mengikat, seperti mentega sapi yang dicampur dengan mentega domba tidak mengikat jika perjanjian sebelumnya hanya untuk salah satu jenis mentega. Jika dia mengatakan, “Saya menyerahkan kepadamu sekian pon madu atau sekian takar madu dengan lilin,” itu tidak sah karena banyak atau sedikitnya lilin, berat atau ringannya. Demikian juga jika dia mengatakan, “Saya menyerahkan kepadamu sarang madu dengan berat atau jumlah,” karena tidak diketahui berapa banyak madu dan lilin di dalamnya.
(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Mentega seperti yang telah saya jelaskan tentang madu, dan setiap makanan yang serupa dengannya seperti yang telah saya jelaskan. Dalam mentega, dia bisa mengatakan mentega kambing, mentega domba, atau mentega sapi. Jika mentega kerbau berbeda, dia mengatakan mentega kerbau, tidak boleh diganti dengan yang lain. Jika di suatu daerah mentega jenis tertentu berbeda, dia mengatakan mentega domba tertentu, seperti di Mekah: mentega domba Najd atau mentega domba Tihamah, karena keduanya berbeda dalam warna, deskripsi, rasa, dan harga. (Dia berkata): Pendapat tentang ini seperti pendapat tentang madu sebelumnya. Apa pun yang cacat dan tidak sesuai dengan deskripsi perjanjian sebelumnya, tidak mengikat. Mentega lama dapat dibedakan dari madu lama karena lebih cepat berubah. Ada mentega yang diasap dan ada yang tidak, yang diasap tidak mengikat karena itu adalah cacat.
[Perjanjian dalam Minyak]
(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Minyak jika berbeda, tidak sah kecuali dideskripsikan dengan sifat dan jenisnya. Jika umurnya mengubahnya, dideskripsikan sebagai baru atau disebut hasil perasan tahun tertentu, sehingga pembeli dan penjual tahu berapa lama waktu yang telah berlalu. Pendapat tentang cacat dan perbedaannya seperti pendapat tentang cacat mentega dan madu. (Dia berkata): Semua bumbu, seperti saus dan lainnya, jika berbeda, setiap jenis harus disebutkan. Jika berbeda antara yang lama dan baru, harus disebutkan.
Modernitas dan pembebasan. Jika madu dan samin berbeda dalam hal ini, maka waktu tidak akan mengubahnya, dan tidak akan mengubahnya. Jus tahun tertentu tidak cukup selain itu. Pembahasan tentang cacatnya sama dengan pembahasan tentang cacat pada yang sebelumnya. Segala yang dianggap oleh para ulama sebagai cacat pada jenisnya tidak mengharuskan pembelinya kecuali jika ia rela melakukannya secara sukarela.
(Dia berkata): Tidak ada kebaikan dalam mengatakan tentang sesuatu, “Saya menyerahkannya kepadamu dalam kondisi terbaiknya,” karena batas terbaiknya tidak pernah bisa ditentukan. Adapun yang terburuk, saya tidak menyukainya, tetapi itu tidak merusak jual beli karena jika dia memberikan yang lebih baik dari yang terburuk, itu adalah kelebihan yang diberikan secara sukarela dan tidak sepenuhnya keluar dari sifat keburukan.
(Dia berkata): Apa yang dibeli dari lauk pauk dengan takaran harus ditakar, dan apa yang dibeli dengan timbangan bersama wadahnya tidak boleh dibeli dengan timbangan dalam wadah karena perbedaan wadah dan ketidakmampuan menentukan batas beratnya. Jika seseorang membeli secara borongan dengan syarat timbangan, maka dia tidak boleh mengambil yang diketahui dari berat yang dibeli kecuali jika penjual dan pembeli sepakat setelah menimbang minyak dalam wadah untuk meninggalkan sisa minyak yang ada. Jika mereka tidak sepakat dan ingin menetapkan yang wajib, wadah harus ditimbang sebelum diisi dengan lauk, kemudian ditimbang setelah diisi, lalu berat wadah dikurangi. Jika ada minyak di dalamnya, ditimbang, lalu dikosongkan, wadah ditimbang lagi, kemudian minyak dan apa yang telah dimasukkan ke dalamnya diambil, dan itu murni dari kotoran dan campuran lainnya yang tidak murni.
[Salaf dalam Mentega]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Salaf dalam mentega sama seperti dalam samin. Dinamakan mentega kambing, mentega domba, atau mentega sapi, dan disebut Najdi atau Tihami, tidak cukup selain itu. Disyaratkan dalam takaran atau timbangan, dan disyaratkan mentega hari itu karena akan berubah keesokan harinya di Tihamah hingga menjadi asam, berubah dalam panas, dan berubah dalam dingin dengan perubahan yang lebih ringan. Di Najd, masih bisa dimakan meskipun mentega hari itu tidak sama dengan mentega keesokan harinya. Jika sesuatu dari ini ditinggalkan, salaf tidak sah, dan pemberi salaf tidak boleh memberinya mentega yang basi karena saat itu bukan lagi mentega hari itu, melainkan mentega yang telah berubah dan dimasukkan kembali ke dalam kantong berisi susu yang diaduk untuk menghilangkan perubahannya, sehingga menjadi cacat pada mentega karena dibuat baru padahal tidak baru. Mentega bisa berubah dari bentuk aslinya dan rasanya berubah. Pembahasan tentang apa yang dianggap cacat oleh para ulama adalah bahwa itu harus ditolak, seperti pembahasan tentang apa yang telah kami jelaskan sebelumnya.
[Salaf dalam Susu]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Salaf dalam susu diperbolehkan seperti dalam mentega, dan batal seperti batal dalam mentega jika tidak menyebutkan kambing, domba, atau sapi. Jika itu unta, harus disebut susu unta betina, unta jantan, atau unta campuran. Dalam semua ini, harus disebut susu dari hewan yang digembalakan atau diberi makan karena perbedaan susu dari hewan yang digembalakan dan diberi makan, serta keunggulannya dalam rasa, kesehatan, dan harga. Jika hal ini diabaikan, salaf tidak sah, dan hanya sah jika disebut “haleeb” (susu segar) atau susu hari itu karena akan berubah keesokan harinya.
(Imam Syafi’i berkata): Haleeb adalah susu yang diperah saat itu juga, dan batas akhir sifat haleeb adalah ketika manisnya berkurang, saat itulah ia keluar dari nama haleeb.
(Dia berkata): Jika salaf dilakukan dengan takaran, tidak boleh menakarnya dengan buihnya karena itu menambah takarannya dan bukan susu yang bertahan seperti susu. Tetapi jika salaf dilakukan dengan timbangan, tidak masalah baginya untuk menimbangnya dengan buih karena itu tidak menambah beratnya. Jika para ulama berpendapat bahwa itu menambah berat, maka jangan ditimbang sampai buihnya mereda, seperti tidak boleh ditakar sampai buihnya mereda.
(Dia berkata): Tidak ada kebaikan dalam memesan susu yang telah diaduk (difermentasi) terlebih dahulu; karena susu tidak akan menjadi teraduk kecuali dengan mengeluarkan menteganya, dan mentega tidak bisa dikeluarkan kecuali dengan menambahkan air. Pembeli tidak tahu berapa banyak air yang ada di dalamnya karena air tersembunyi dalam susu, bahkan penjual pun mungkin tidak mengetahuinya karena dia menuangkannya tanpa takaran dan menambahkannya berulang kali. Air bukanlah susu, jadi tidak boleh seseorang memesan satu takar susu lalu memberikan sembilan persepuluh takar susu dan sepersepuluhnya air, karena pada saat itu dia tidak bisa membedakan antara air dan susunya. Jika airnya tidak diketahui, itu lebih merusak karena dia tidak tahu berapa banyak susu dan air yang diberikan.
(Dia berkata): Tidak ada kebaikan dalam memesan susu dengan menyebutnya “asam”, karena susu bisa disebut asam setelah sehari, dua hari, atau beberapa hari, dan semakin asamnya berarti semakin berkurang kualitasnya, tidak seperti susu manis yang disebut manis dan diambil dalam jumlah minimal yang masih bisa disebut manis meskipun ada sifat lain. Kelebihan dari minimal yang disebut manis adalah keuntungan bagi pembeli dan kemurahan hati dari penjual. Sedangkan peningkatan keasaman susu, seperti yang dijelaskan, adalah kerugian bagi pembeli. Jika disyaratkan susu sehari atau susu dua hari, yang dimaksud adalah susu yang diperah pada hari itu atau dua hari itu, dengan syarat tidak asam, dan untuk susu unta, tidak terlalu tajam rasanya. Jika di suatu daerah tidak mungkin susu tidak menjadi asam dalam waktu tersebut, maka tidak baik memesannya dengan sifat seperti itu karena tidak bisa ditentukan batas keasamannya atau ketinggian rasa tajamnya. Tidak bisa dikatakan ini awal waktu keasamannya atau ketajamannya, sehingga harus diterima begitu saja, padahal peningkatan keasaman adalah kerugian bagi pembeli, seperti yang dijelaskan dalam masalah sebelumnya.
Tidak ada kebaikan dalam menjual susu yang masih di dalam kambing, meskipun hanya satu kali perahan, karena tidak diketahui berapa jumlahnya dan bagaimana keadaannya. Ini bukan jual beli barang yang bisa dilihat, juga bukan sesuatu yang dijamin oleh pemiliknya dengan sifat tertentu, dan ini keluar dari jual beli yang diizinkan dalam Islam. (Asy-Syafi’i berkata): Sahabat kami, Sa’id bin Salim, mengabarkan dari Musa, dari Sulaiman bin Yasar, dari Ibnu Abbas bahwa dia tidak menyukai penjualan bulu yang masih di tubuh domba atau susu yang masih di dalam kambing kecuali dengan takaran.
[Pemesanan Keju Basah dan Kering]
(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – pemesanan keju basah yang masih segar seperti pemesanan susu tidak diperbolehkan kecuali dengan menyebut sifat keju hari itu atau mengatakan “keju basah segar”, karena kesegarannya diketahui, sedangkan keju yang sudah lama berbeda dengan yang segar. Kesegaran adalah sifat yang bisa dibatasi. Tidak baik mengatakan “sudah lama”, karena bisa berarti ketika kesegarannya hilang, itu disebut lama, atau setelah beberapa hari, itu disebut lama. Bertambahnya hari adalah pengurangan kualitas, seperti bertambahnya keasaman pada susu yang mengurangi kualitasnya. Tidak boleh dikatakan “sudah lama” karena tidak bisa dipisahkan kapan awal masuknya ke dalam kategori lama dari tahap setelahnya sehingga tidak bisa dibatasi dengan sifat tertentu. Jawabannya sama seperti jawaban tentang keasaman susu. Tidak ada kebaikan dalam pemesanan keju kecuali dengan timbangan, bukan dengan jumlah, karena keju tidak seragam, sehingga penjual dan pembeli tidak bisa mengetahui batas yang jelas. Disyaratkan juga keju kambing, domba, atau sapi, seperti yang dijelaskan tentang susu, karena keduanya sama dalam hal ini. (Dia berkata): Keju basah adalah susu yang dicampur dengan rennet, lalu airnya dipisahkan dan dadihnya diperas. Jika dipesan dalam keadaan basah, aku tidak peduli apakah disebut kecil atau besar, asalkan masih bisa disebut keju. (Dia berkata): Tidak masalah memesan keju kering dengan timbangan dan dengan sifat keju domba atau sapi seperti yang dijelaskan. Adapun unta, aku tidak berpikir ada keju dari unta. Bisa juga disebut keju dari suatu daerah, karena keju dari berbagai daerah berbeda-beda. Lebih baik jika disebut “keju yang dibuat sebulan yang lalu” atau “keju tahun ini” jika itu diketahui, karena keju yang baru masuk tahap kering bisa lebih berat daripada yang sudah lama kering. (Dia berkata): Jika ini tidak disebutkan, tidak merusak akad, karena kita membolehkan hal seperti ini dalam daging. Daging saat baru disembelih lebih berat daripada setelah beberapa jam mengering, dan buah yang baru kering hampir tidak berkurang beratnya dibandingkan setelah sebulan atau lebih. Hanya boleh dikatakan “keju yang tidak terlalu lama”. Selama keju yang diberikan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ahli keju bahwa ini tidak termasuk kategori lama, maka boleh diterima, meskipun sebagian lebih segar daripada yang lain.
Salaf dalam Keju
Salaf adalah minimal yang dapat disebut sebagai keju segar, dan pemberi salaf secara sukarela memberikan lebih dari itu. Tidak ada kebaikan dalam menyebut keju sebagai “keju tua” atau “lama” karena batas minimal yang dapat disebut sebagai “tua” atau “lama” tidak terbatas, begitu pula akhirnya. Semakin banyak malam berlalu pada keju yang disebut “tua,” semakin berkurang nilainya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang rasa asam susu. Setiap cacat pada keju menurut ahli—seperti kadar garam berlebihan, rasa asam, atau lainnya—tidak menjadi tanggungan pembeli.
Salaf dalam Kolostrum
(Imam Syafi’i berkata): Tidak masalah melakukan salaf dalam kolostrum dengan takaran yang jelas. Tidak ada kebaikan kecuali dengan takaran, dan tidak boleh dengan takaran volume karena kolostrum bisa mengeras dan menyusut dalam takaran. Hukumnya sama seperti susu dan keju. Penjual boleh menyebutkan jenis hewan (kambing, domba, sapi) atau menyebutnya “segar,” dengan minimal yang dapat disebut “segar,” dan penjual secara sukarela memberikan yang lebih baik. Tidak boleh menyebut selain “segar” karena batas awal dan akhirnya tidak jelas, dan semakin jauh dari kesegaran berarti kerugian bagi pembeli.
Salaf dalam Wol dan Rambut
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada kebaikan dalam salaf untuk wol atau rambut domba tertentu jika penyerahannya ditunda sehari atau lebih, karena bencana bisa menghancurkan atau mengurangi sebelum hari tersebut, atau merusaknya dari sisi lain. Begitu pula tidak ada kebaikan dalam salaf untuk susu, mentega, samin, kolostrum, atau keju domba tertentu—meski dengan takaran atau timbangan jelas—karena bencana bisa menghancurkannya atau mengurangi hasilnya. Bahkan jika diperah saat pembelian, bencana bisa terjadi sebelum penyerahan.
(Imam Syafi’i menjelaskan): Jika hal ini diizinkan, lalu bencana menghancurkan sebagian salaf dan kita memaksa penjual mengganti dengan sifat yang sama, itu zalim karena penjual menjual sifat dari domba tertentu, tetapi kita mengalihkannya ke domba lain. Padahal jika barang tertentu rusak, kita tidak boleh mengalihkannya. Jika tidak dialihkan, berarti kita membolehkan jual beli barang tidak tertentu dengan sifat yang harus dipenuhi saat jatuh tempo, padahal jual beli yang sah dalam Islam harus berupa barang tertentu atau sifat tertentu yang dijamin penjual hingga diserahkan.
(Imam Syafi’i menambahkan): Jika tidak boleh melakukan salaf pada buah kebun tertentu atau gandum ladang tertentu karena risiko bencana, maka susu hewan dan hasil ternak lainnya juga memiliki risiko serupa—bahkan lebih cepat terkena bencana. Demikian pula segala sesuatu yang terkait dengan barang tertentu yang bisa hilang dari tangan orang. Tidak ada kebaikan dalam salaf kecuali jika barangnya sudah ada di tempat yang disepakati saat akad, tanpa kemungkinan perubahan. Jika bisa berubah, salaf tidak sah karena tidak terjamin penyerahannya. Ini berlaku untuk semua kasus serupa.
Salaf dan Qiyasnya, serta tidak mengapa melakukan salaf pada sesuatu yang belum dimiliki orang saat transaksi, asalkan disyaratkan tempat pengambilannya pada waktu ketika barang tersebut sudah tersedia di tangan masyarakat.
[Salaf pada Daging]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Setiap daging yang tersedia di suatu daerah dan tidak berbeda (kualitas/kuantitasnya) pada waktu jatuh tempo, maka salaf diperbolehkan. Sedangkan daging yang berubah pada saat jatuh tempo, tidak baik dilakukan salaf. Jika di suatu daerah tidak berubah saat jatuh tempo, tetapi di daerah lain berubah, maka salaf diperbolehkan di daerah yang stabil dan batal di daerah yang tidak stabil—kecuali untuk barang yang tidak rusak saat diangkut, seperti pakaian atau sejenisnya. Adapun makanan basah yang berubah saat diangkut antar daerah, salaf tidak diperbolehkan di daerah yang tidak stabil. Demikian pula semua barang: jika stabil di suatu daerah, salaf boleh; jika tidak stabil, salaf tidak boleh—terutama untuk makanan basah.
[Sifat Daging dan Ketentuan Salaf]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Salaf pada daging tidak sah kecuali dengan menyifatkannya secara detail, seperti:
– *Daging kambing jantan, sudah dikebiri atau jantan dewasa.*
– *Anak kambing yang masih menyusu atau sudah disapih, gemuk atau kurus.*
– *Dari bagian tertentu (misal paha), dengan syarat timbangan.*
– *Daging unta harus lebih spesifik (karena perbedaan pakan dan perawatan).*
Jika disyaratkan *”daging gemuk”*, penjual wajib memberikan minimal standar kegemukan, tetapi boleh memberi lebih. Namun, mensyaratkan *”daging kurus”* tidak disukai karena tingkat kekurusan bervariasi dan merugikan pembeli.
Ketentuan Tulang dalam Daging:
Tulang tidak dipisahkan dari daging dalam transaksi karena sulit dibedakan (berbeda dengan biji dalam kurma). Sunnah Nabi menunjukkan jual beli kurma dengan bijinya, demikian pula daging dengan tulangnya—ini didukung oleh qiyas dan ijma’.
Salaf pada Lemak:
Jika melakukan salaf pada lemak perut atau ginjal dengan menyebut timbangan, diperbolehkan. Tetapi jika hanya disebut *”lemak”* tanpa rincian, tidak sah karena jenis lemak berbeda-beda. Demikian pula lemak ekor (al-ilya), harus ditimbang dan dijelaskan ukurannya.
*(Catatan: Teks diterjemahkan secara literal dengan menjaga makna fikih aslinya.)*
[Salaf dalam Daging Hewan Buruan]
Daging hewan buruan (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Seluruh daging hewan buruan sama seperti yang telah aku jelaskan mengenai daging hewan ternak. Jika hewan itu berada di negeri di mana keberadaannya stabil tanpa perbedaan pendapat mengenai waktu yang dihalalkan, maka salaf (jual beli pesanan) dalam hal itu diperbolehkan. Namun, jika keberadaannya tidak stabil atau hanya ditemukan pada waktu tertentu, salaf tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan di mana tidak ada perbedaan pendapat. Beliau berkata, “Aku tidak menganggap hewan buruan ada di suatu negeri secara terus-menerus kecuali seperti ini. Sebab, ada negeri yang tidak memiliki hewan buruan sama sekali, dan jika ada, pemburunya bisa saja gagal atau berhasil mendapatkannya. Di negeri-negeri tertentu, ada daging yang boleh diperjualbelikan setiap hari atau sebagian daging tertentu yang lebih mudah didapat daripada yang lain. Seperti kambing, unta, atau sapi yang hampir selalu tersedia, sehingga pihak pemesan (mustaslif) bisa memastikan penjual menyembelih hewan untuk memenuhi hak pembeli, karena penyembelihan bisa dijamin dengan pembelian. Namun, perburuan tidak bisa dijamin seperti hewan ternak. Jika di suatu negeri daging hewan ternak atau sebagiannya sulit didapat pada waktu pesanan dibuat, maka salaf tidak diperbolehkan pada waktu itu.”
Salaf dalam daging hewan buruan hanya diperbolehkan jika hewan itu ada di suatu negeri dengan ketentuan seperti daging hewan ternak, yaitu harus menyebut jenisnya secara spesifik, seperti daging kijang, kelinci, rusa, sapi liar, keledai liar, atau jenis tertentu lainnya, baik kecil maupun besar. Daging harus dideskripsikan sebagaimana penjelasan sebelumnya, baik yang masih utuh atau sudah dibersihkan, tanpa ada perbedaan kecuali jika ada kondisi tertentu yang tidak berlaku pada daging hewan ternak. Misalnya, ada hewan yang diburu dengan cara tertentu sehingga dagingnya baik, sementara yang lain diburu dengan cara yang membuat dagingnya kurang baik. Jika tidak disebutkan syarat perburuan tertentu, maka merujuk pada ahli ilmu. Jika mereka menyatakan sebagian daging itu rusak, maka kerusakan itu adalah cacat yang tidak mengikat pembeli. Namun, jika mereka mengatakan itu bukan kerusakan melainkan hanya perbedaan kualitas, maka itu bukan cacat dan tidak boleh dikembalikan ke penjual, melainkan tetap menjadi tanggungan pembeli. Hal ini juga berlaku pada kambing, di mana sebagian dagingnya lebih baik dari yang lain, dan tidak boleh dikembalikan kecuali jika rusak.
Beliau berkata, “Jika salaf dalam hewan buruan diperbolehkan, maka ketentuannya sama seperti hewan ternak, yaitu harus dengan spesifikasi umur, jenis, dan sifat.”
Salaf dalam Daging Unggas
Salaf diperbolehkan dalam semua jenis daging unggas dengan deskripsi fisik dan ukuran, meskipun tidak ada ketentuan umur. Unggas dijual berdasarkan ukuran (besar atau kecil) dan sifatnya. Jika memungkinkan, boleh dijual secara terpotong dengan deskripsi yang jelas. Jika tidak bisa dipotong karena kecil, maka cukup dideskripsikan jenis dan ukurannya. Salaf dalam daging unggas harus dengan timbangan, bukan jumlah, karena daging unggas yang sudah disembelih adalah makanan yang hanya boleh dijual dengan timbangan. Jika salaf dilakukan dengan timbangan, pembeli tidak wajib menerima kepala atau kaki (di bawah paha) karena tidak ada daging di bagian itu, dan kepala tidak termasuk bagian yang dimaksud ketika menyebut “daging.”
Salaf dalam Ikan
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Salaf dalam ikan diperbolehkan jika waktu penyerahan ikan tersebut adalah saat ikan masih mudah ditemukan di pasar setempat. Namun, jika waktu penyerahan adalah saat ikan sulit didapat, maka salaf tidak diperbolehkan, sebagaimana ketentuan dalam daging hewan buruan dan ternak.
Beliau berkata, “Jika melakukan salaf dalam ikan, harus disebutkan jenis ikannya (seperti ikan asin atau segar) dengan timbangan yang jelas. Tidak boleh melakukan salaf kecuali dengan menyebut jenis ikannya secara spesifik, karena ikan memiliki perbedaan seperti daging dan lainnya. Salaf dalam ikan hanya boleh dengan timbangan, bukan jumlah.”
Jika ada yang bertanya, “Mengapa salaf diperbolehkan dalam hewan hidup dengan jumlah tertentu, tetapi tidak pada ikan?”
Jawabannya: Hewan hidup dibeli untuk dua tujuan:
- Manfaat selama hidup (seperti tenaga atau susu), yang merupakan manfaat terbesarnya.
- Untuk disembelih dan dimakan.
Oleh karena itu, aku membolehkan pembelian hewan hidup untuk manfaat utama, tetapi tidak membolehkannya untuk ikan.
Membeli dalam keadaan sudah disembelih dengan jumlah. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang mengatakan, “Aku menjual kepadamu daging kambing betina yang sudah berumur dua tahun,” tanpa menyebutkan beratnya, maka aku tidak membolehkannya? Karena jumlah daging tidak bisa diketahui hanya dengan sifatnya, melainkan harus dengan timbangan. Orang-orang biasanya membeli makanan dan minuman secara borongan (tanpa timbangan) untuk barang yang mereka lihat langsung, tetapi untuk barang yang harus dijamin, mereka tidak membelinya secara borongan.
(Imam Syafi’i) berkata: “Qiyas dalam salaf (pesanan) untuk daging ikan adalah dengan ditimbang. Pembeli tidak wajib menimbang bagian ekor yang tidak ada dagingnya, tetapi wajib menimbang bagian yang disebut ekor jika masih ada dagingnya. Begitu pula, kepala tidak wajib ditimbang, tetapi bagian antara kepala dan ekor wajib ditimbang, kecuali jika ikan tersebut besar, maka boleh disebutkan bagian tertentu yang dipesan, asalkan bagian itu bisa dipastikan seperti pada hewan ternak. Jika tidak bisa dipastikan, maka berlaku seperti penjelasan tentang burung.”
### Salaf untuk Kepala dan Kaki
(Imam Syafi’i) berkata: “Menurutku, tidak boleh melakukan salaf (pesanan) untuk kepala, baik kecil maupun besar, atau kaki, karena kami tidak membolehkan salaf kecuali untuk hewan utuh yang bisa diukur dengan panjang, takaran, atau timbangan. Adapun jumlah saja (tanpa ukuran), tidak boleh, karena bisa terjadi kebingungan antara yang disebut kecil padahal berbeda atau besar padahal berbeda. Jika tidak ada patokan seperti timbangan, panjang, atau takaran, kami tidak membolehkannya tanpa batasan.
Orang-orang biasanya tidak menimbang kepala karena ada bagian yang dibuang, seperti bulu, rambut, ujung bibir, hidung, kulit pipi, dan semacamnya yang tidak dimakan dan tidak diketahui jumlah pastinya. Jika mereka menimbangnya, berarti mereka juga menimbang bagian yang tidak dimakan. Ini berbeda dengan biji kurma atau kulit kenari yang masih bisa dimanfaatkan, sedangkan bagian-bagian tadi tidak berguna sama sekali.”
(Imam Syafi’i) melanjutkan: “Seandainya ada orang yang memaksakan untuk membolehkannya, menurutku tidak boleh memerintahkan seseorang untuk membenarkannya kecuali dengan timbangan. Wallahu a’lam. Namun, ada pendapat lain di kalangan ahli fikih yang lebih longgar dalam hal ini.”
### Dua Jenis Jual Beli
(Imam Syafi’i) berkata: “Aku telah menjelaskan di tempat lain bahwa jual beli ada dua jenis:
- Jual beli barang yang ada di tempat, boleh dilakukan secara tunai atau kredit asalkan barangnya sudah diserahkan.
- Jual beli barang yang dijelaskan sifatnya dan dijamin oleh penjual, harus diserahkan segera atau sampai tempo tertentu. Jenis ini tidak boleh kecuali pembeli telah membayar harganya sebelum mereka berpisah.
Kedua jenis ini sama jika disyaratkan tempo, jaminan, atau salah satunya tunai sementara yang lain kredit. Misalnya, jika aku menjual barang kepadamu dan menyerahkannya, sementara harganya dibayar tempo, maka barang itu dianggap tunai dan harganya kredit.
Jika seseorang memberikan 100 dinar untuk makanan yang sudah dijelaskan sifatnya dengan tempo, maka 100 dinar itu tunai, sedangkan barangnya dijamin harus diserahkan. Tidak ada kebaikan dalam utang dengan utang.
Jika seseorang membeli 30 pon daging dengan satu dinar dan mengambilnya sehari satu pon, dengan tempo mulai hari itu sampai sebulan, maka transaksi ini batal. Dia harus mengembalikan daging yang sudah diambil atau nilainya jika tidak ada yang serupa. Ini termasuk utang dengan utang.
Namun, jika dia membeli satu pon terpisah dan 29 pon setelahnya dalam transaksi berbeda, maka satu pon itu sah, sedangkan 29 pon lainnya batal. Mengambilnya satu per satu tidak mengubah statusnya menjadi utang selama tidak diambil sekaligus.
Tidakkah kamu melihat bahwa dia tidak bisa mengambil satu pon setelah yang pertama kecuali dengan jeda waktu? Ini berbeda dengan seseorang yang membeli makanan secara kredit dan mengambilnya sedikit demi sedikit saat menakar, karena tempat pengambilannya sama dan dia bisa mengambil semuanya sekaligus jika mampu. Jika ini dibolehkan, maka orang bisa membeli 30 sha’ gandum dengan satu dinar dan mengambilnya sehari satu sha’.”
(Imam Syafi’i) menambahkan: “Hukum ini juga berlaku untuk kurma, buah-buahan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diserahkan seketika saat akad.”
Dan penjualnya tidak dapat menolak untuk menyerahkan sebagian dari barang tersebut ketika pembeli mulai menerima seluruhnya, maka tidak boleh dianggap sebagai hutang. (Dia berkata): Jika ini diperbolehkan dalam daging, maka akan diperbolehkan dalam segala hal seperti pakaian, makanan, dan lainnya. (Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang mengatakan bahwa ini diperbolehkan dalam daging dan mengatakan bahwa ini seperti rumah yang disewa seseorang untuk suatu jangka waktu, maka dia wajib membayar sewa sesuai dengan lamanya dia menempatinya.
(Dia berkata): Ini berlaku untuk rumah, tetapi tidak seperti yang dia katakan. Jika dia menganggap daging sama dengan makanan, itu lebih tepat daripada menyamakannya dengan tempat tinggal, karena tempat tinggal dan makanan pada dasarnya berbeda dalam asal dan cabangnya. Jika dia bertanya: Apa perbedaan antara keduanya dalam cabang? Katakan: Bagaimana pendapatmu jika aku menyewakan rumah kepadamu selama satu bulan dan aku menyerahkannya kepadamu, tetapi kamu tidak menempatinya, apakah kamu tetap wajib membayar sewa? Dia menjawab: Ya. Aku berkata: Dan jika aku menyerahkannya kepadamu sekejap mata, jika jangka waktu sewa telah berlalu, apakah kamu tetap wajib membayar sewanya? Dia menjawab: Ya. Aku berkata: Bagaimana jika aku menjual kepadamu tiga puluh pon daging dengan tempo dan menyerahkan satu pon kepadamu, lalu tiga puluh hari berlalu dan kamu hanya menerima satu pon pertama, apakah kamu terbebas dari tiga puluh pon seperti kamu terbebas dari sewa tiga puluh hari?
Jika dia menjawab tidak, maka dikatakan: Karena setiap hari dia perlu menyerahkan satu pon daging kepadamu, dan dia tidak terbebas dari kewajibannya kecuali dengan menyerahkannya. Dia menjawab: Ya. Dan dikatakan kepadanya: Ini tidak seperti rumah. Jika dia berkata tidak, maka dikatakan: Tidakkah kamu melihat keduanya berbeda dalam asal, cabang, dan namanya? Lalu mengapa kamu menyamakan daging dengan makanan yang serupa dalam riba, timbangan, dan takaran, lalu membandingkannya dengan sesuatu yang tidak serupa? Atau bagaimana pendapatmu jika aku menyewakan rumah itu kepadamu lalu rumah itu runtuh, apakah aku wajib memberimu rumah lain dengan sifat yang sama?
Jika dia menjawab tidak, maka dikatakan: Jika dia menjual daging kepadamu dengan sifat tertentu dan dia memiliki ternak, lalu ternaknya mati, apakah dia wajib memberimu daging dengan sifat yang sama? Jika dia menjawab ya, maka dikatakan: Tidakkah kamu melihat keduanya berbeda dalam segala hal? Lalu bagaimana kamu menyamakan satu dengan yang lain?
Dan jika seseorang memesan daging kambing tertentu dengan timbangan dari tempat tertentu, maka dia harus diberi dari tempat itu dari satu kambing. Jika tempat itu tidak mampu memenuhi sifat pesanan, maka dia harus memberinya dari kambing lain dengan sifat yang sama. Jika dia memesan makanan lain dan diberi sebagian makanannya yang lebih baik dari syaratnya, maka dia tidak berhak meminta sisanya dengan kualitas lebih baik jika syaratnya telah dipenuhi, dan tidak ada kewajiban lebih dari itu.
[Bab Pesanan dalam Minyak Wangi dengan Timbangan]
(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya –: Segala minyak wangi yang terus beredar di tangan manusia dan memiliki sifat yang dikenal serta memiliki timbangan, maka boleh dipesan. Jika nama minyak itu mencakup berbagai kualitas yang berbeda, maka tidak boleh dipesan kecuali disebutkan jenis yang dipesan, seperti kurma yang memiliki nama umum tetapi dibedakan dengan nama-nama yang beragam. Maka tidak boleh memesannya kecuali dengan menyebut jenis yang dipesan dan menyebut kualitasnya, baik atau buruk. Ini adalah dasar pesanan dalam minyak wangi dan qiyasnya. Misalnya, minyak kasturi ada yang abu-abu, hijau, putih, dan lainnya.
Tidak boleh memesannya kecuali disebutkan apakah abu-abu atau hijau, baik atau buruk, potongan utuh dengan berat tertentu. Jika menginginkan yang putih, harus disebutkan putih. Jika menginginkan satu potong, harus disebutkan satu potong. Jika tidak disebutkan demikian atau hanya disebutkan potongan utuh, maka itu tidak sah karena harganya berbeda dan keluar dari sifat yang dipesan. Jika disebutkan minyak kasturi dan dijelaskan warna serta kualitasnya, maka dia berhak menerima minyak kasturi dengan warna dan kualitas itu, baik kecil atau besar. Jika ada minyak kasturi yang berbeda berdasarkan negara asal dan dikenal dari negaranya, maka tidak boleh dipesan kecuali disebutkan dari negara tertentu, seperti pakaian yang harus disebutkan asalnya dari Marw atau Herat.
(Dia berkata): Sebagian ahli ilmu tentang misik berpendapat bahwa itu adalah pusat hewan seperti kijang yang dikeluarkannya pada waktu tertentu, seolah-olah itu adalah darah yang terkumpul. Seolah-olah dia berpendapat bahwa tidak boleh berparfum dengannya karena sifat yang dijelaskan. (Dia berkata): Bagaimana kamu membolehkan berparfum dengan sesuatu padahal ahli ilmu memberitahumu bahwa itu dikeluarkan dari hewan hidup, dan apa yang dikeluarkan dari hewan hidup dianggap seperti bangkai yang tidak boleh dimakan? (Dia berkata): Aku menjawabnya dengan hadits dan ijma’.
Dan sebagai qiyas, dia berkata, “Sebutkan qiyas dalam hal ini.” Aku menjawab, “Hadis lebih utama bagimu.” Dia berkata, “Aku akan bertanya kepadamu tentang itu, sebutkan qiyas dalam hal ini.” Aku berkata, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.’ (QS. An-Nahl: 66). Maka, Dia menghalalkan sesuatu yang keluar dari hewan hidup jika berasal dari hewan yang memenuhi dua makna thayyib (baik), dan bukan bagian anggota tubuh yang mengurangi karena keluarnya sehingga tidak kembali seperti semula. Dan Dia mengharamkan darah dari hewan yang disembelih atau hidup, sehingga tidak halal bagi siapa pun untuk memakan darah yang mengalir dari sembelihan atau lainnya. Seandainya kita mengharamkan darah karena keluar dari hewan hidup, tentu kita akan menghalalkannya dari hewan yang disembelih. Tetapi kita mengharamkannya karena kenajisannya, dan nash Al-Qur’an menyebutkan hal itu, seperti air kencing dan kotoran, karena bukan termasuk yang thayyib, berdasarkan qiyas atas apa yang wajib dibersihkan dari yang keluar dari hewan hidup seperti darah. Dan dalam air kencing dan kotoran, masuk sesuatu yang thayyib dan keluar yang khabits (kotor). Aku juga menemukan anak hewan yang keluar dari hewan hidup itu halal, dan telur yang keluar dari induknya yang hidup juga halal, karena ini termasuk yang thayyib. Lalu bagaimana engkau mengingkari kesturi yang merupakan puncak dari yang thayyib, jika keluar dari hewan hidup, untuk menjadi halal? Dan engkau cenderung menyamakannya dengan anggota tubuh yang terpotong dari hewan hidup, padahal anggota tubuh yang terpotong dari hewan hidup tidak akan kembali lagi dan jelas mengurangi, sedangkan ini (kesturi) menurutmu akan kembali seperti keadaan sebelum terlepas darinya. Apakah ia lebih mirip dengan susu, telur, dan anak hewan, atau lebih mirip dengan darah, air kencing, dan kotoran?” Dia menjawab, “Bahkan lebih mirip dengan susu, telur, dan anak hewan, jika ia kembali seperti semula, lebih mirip dengan itu daripada anggota tubuh yang terpotong darinya. Dan jika ia lebih thayyib daripada susu, telur, dan anak hewan, maka ia halal, dan yang tingkat thayyib-nya di bawah susu dan telur juga halal, karena ia thayyib. Bahkan ia lebih halal karena lebih tinggi tingkat thayyib-nya, dan tidak mirip dengan kotoran yang khabits.”
Dia berkata, “Lalu apa hadisnya?” Aku menjawab, “Az-Zanji mengabarkan kepada kami dari Musa bin ‘Uqbah: ‘Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menghadiahkan kepada An-Najasyi beberapa wadah kesturi. Beliau berkata kepada Ummu Salamah, “Aku telah menghadiahkan kepada An-Najasyi beberapa wadah kesturi, dan aku tidak mengira dia akan meninggal sebelum hadiah itu sampai kepadanya. Jika hadiah itu kembali kepada kita, aku akan memberimu sebagian.” Ketika hadiah itu kembali, beliau memberikannya kepada Ummu Salamah dan orang lain.'”
Dia juga berkata, “Ibnu Umar pernah ditanya tentang kesturi, apakah ia termasuk wewangian? Dia menjawab, ‘Bukankah ia termasuk wewangian terbaik kalian?’ Sa’ad pernah memakai wewangian dengan kesturi dan dzarirah (jenis wewangian), dan di dalamnya ada kesturi. Ibnu Abbas juga memakai ghaliah (jenis wewangian) sebelum ihram, dan di dalamnya ada kesturi. Aku tidak melihat orang-orang di sekitar kami berselisih tentang kebolehannya.'”
Dia berkata, “Seseorang berkata kepadaku, ‘Aku mendengar bahwa ambar adalah sesuatu yang dimuntahkan oleh ikan dari perutnya, lalu bagaimana engkau menghalalkan harganya?’ Aku menjawab, ‘Beberapa orang yang aku percayai mengabarkan kepadaku bahwa ambar adalah tumbuhan yang diciptakan Allah Ta’ala di dasar laut.’ Sebagian dari mereka berkata, ‘Kami pernah terdampar di sebuah pulau karena angin, dan kami melihat dari atasnya ada tumbuhan yang muncul dari air, di atasnya ada ambar. Akarnya memanjang seperti leher kambing, dan amberanya terbentang di cabangnya. Kemudian kami mengamatinya dan melihatnya membesar. Kami menunda mengambilnya dengan harapan akan semakin besar. Tiba-tiba angin bertiup dan menggerakkan laut, lalu memotongnya, dan amberanya keluar bersama ombak.’ Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa ambar seperti yang mereka gambarkan. Orang yang mengatakan bahwa ikan atau burung memakannya karena kelembutan dan harumnya, itu keliru. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada hewan yang memakannya kecuali akan mati, sehingga ikan yang memakannya mati dan laut memuntahkannya, lalu diambil, perutnya dibelah, dan amberanya dikeluarkan.'”
Dia berkata, “Lalu apa pendapatmu tentang apa yang dikeluarkan dari perutnya?” Aku menjawab, “Dicuci dari kotoran yang menempel, dan halal untuk dijual serta dipakai sebagai wewangian, karena ia padat, tebal, tidak menjijikkan, dan tidak bercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merusak semuanya. Hanya bagian luarnya yang terkena najis, seperti kulit yang terkena najis, lalu dicuci sehingga suci. Begitu juga benda dari emas, perak, tembaga, timah, besi, atau kulit yang terkena najis, dicuci sehingga suci.”
Dia berkata, “Apakah ada hadis tentang ambar?” Aku menjawab, “Aku tidak mengetahui seorang ulama pun yang melarang jual beli ambar, dan tidak ada ulama yang ahli tentang ambar yang mengatakan tentang ambar kecuali seperti yang kukatakan kepadamu, bahwa ia adalah tumbuhan, dan tidak ada sesuatu pun dari tumbuhan yang haram.”
Dia berkata, “Apakah ada atsar tentangnya?” Aku menjawab, “Ya. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, ‘Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, ‘Sufyan mengabarkan kepada kami…'”
Dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, dia ditanya tentang ambar, lalu menjawab, “Jika ada sesuatu (yang wajib dizakati) di dalamnya, maka di dalamnya ada seperlima (zakat).”
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) : Dia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Adzinah bahwa Ibnu Abbas berkata, ‘Tidak ada zakat pada ambar, karena ia hanyalah sesuatu yang dihanyutkan oleh laut.'”
(Asy-Syafi’i berkata) : “Tidak boleh menjual misk (kasturi) dengan timbangan di dalam wadah, karena misk tersembunyi dan tidak diketahui berapa beratnya dibandingkan berat kulit dan kayunya. Kayu juga memiliki perbedaan yang besar, sehingga tidak boleh (dijual) sampai dijelaskan jenisnya, asal negaranya, dan ciri-ciri yang membedakannya dari yang lain, sebagaimana tidak boleh (menjual) pakaian kecuali dengan menyebut jenis-jenisnya. Perbedaan pada misk lebih besar daripada kurma. Terkadang aku melihat satu *mann* (ukuran berat) seharga dua ratus dinar, sedangkan satu *mann* dari jenis lain seharga lima dinar, dan keduanya dianggap baik sesuai jenisnya. Demikian pula pendapat tentang semua barang para penjual wewangian yang berbeda berdasarkan negara, warna, atau ukuran—tidak boleh melakukan salaf (pesanan dengan pembayaran di muka) sampai hal-hal itu disebutkan. Sedangkan barang yang tidak berbeda dalam hal apa pun, cukup dijelaskan kualitas baik atau buruknya, serta nama dan beratnya secara umum.”
“Tidak boleh melakukan salaf pada sesuatu yang dicampur dengan ambar, baik yang murni ambar atau yang dicampur (palsu)—(keraguan dari Ar-Rabi’)—jika syaratnya adalah sesuatu dengan tanahnya, atau sesuatu dengan kulitnya (jika kulitnya tidak bermanfaat), atau sesuatu yang bercampur dengan lainnya sehingga tidak diketahui kadar masing-masing, maka salaf tidak boleh dilakukan.”
(Dia berkata) : “Mengenai tikus, jika termasuk hasil tangkapan laut yang hidup di laut, maka tidak masalah. Tetapi jika hidup di darat dan termasuk jenis tikus, maka tidak boleh menjual atau membelinya kecuali jika sudah disamak. Jika sudah disamak, maka penyamakannya menjadi pensuciannya, sehingga tidak masalah untuk diperjualbelikan.”
“Dia juga berkata tentang setiap kulit yang digunakan untuk wewangian dan segala sesuatu yang samar darinya, seperti obat-obatan para ahli obat dan lainnya, pendapatnya sama seperti ini. Hanya saja, tidak halal menjual kulit anjing atau babi, baik yang sudah disamak maupun yang belum, dan tidak boleh sesuatu pun dari keduanya atau salah satunya.”
[Bab Salaf pada Barang-Barang Ahli Obat]
Bab Barang-Barang Ahli Obat (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya –: “Barang-barang ahli obat semuanya berupa obat-obatan, seperti barang-barang penjual wewangian: tidak berbeda. Barang yang berbeda jenis, warna, atau lainnya harus disebutkan jenisnya. Barang yang berbeda dan disebutkan beratnya, yang baru atau lama—karena jika sudah berubah, tidak akan berfungsi seperti ketika baru—dan barang yang bercampur dengan lainnya tidak boleh (dijual), seperti yang telah kusebutkan tentang barang-barang penjual wewangian.”
“Tidak boleh melakukan salaf pada sesuatu darinya kecuali secara terpisah atau bersama barang lain yang masing-masing diketahui beratnya dan diambil dalam keadaan terpisah. Adapun melakukan salaf pada dua jenis yang tercampur atau beberapa jenis seperti obat-obatan berbentuk pil atau yang digabungkan tanpa diaduk atau dibentuk, maka itu tidak boleh karena tidak bisa dipastikan batasannya, tidak diketahui berat masing-masing, serta kualitas baik atau buruknya ketika sudah tercampur.”
(Asy-Syafi’i berkata) : “Segala sesuatu yang ditimbang yang tidak dimakan atau diminum, jika seperti ini, maka qiyas-nya seperti yang telah kujelaskan—tidak berbeda. Jika berbeda, sebutkan jenis-jenisnya. Jika berbeda warnanya, sebutkan warnanya. Jika hampir sama, sebutkan beratnya. Berdasarkan ini, bab dan qiyas-nya seperti ini.”
(Dia berkata) : “Barang-barang ahli obat dan lainnya yang samar pengetahuannya, yang tidak bisa dipisahkan dari jenis yang berbeda, serta yang tidak termasuk di dalamnya—jika ketika dilihat pengetahuan tentangnya umum di kalangan orang-orang yang adil dan berilmu dari kalangan Muslim—maka tidak boleh melakukan salaf. Sekalipun pengetahuannya umum di kalangan dokter non-Muslim, ahli obat non-Muslim, budak Muslim, atau orang yang tidak adil, aku tidak membolehkan salaf. Aku hanya membolehkannya pada apa yang kudapati pengetahuannya umum di kalangan orang-orang Muslim yang adil dan berilmu tentangnya, minimal ada dua orang yang adil bersaksi tentang pembedaannya.”
“Barang-barang ahli obat yang haram: tidak halal dijual atau dibeli. Apa yang tidak halal dibeli, maka…”
Penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Tentang Salam (Pembayaran di Muka) dalam Barang-barang yang Dilarang
Salam diperbolehkan dalam hal ini karena salam termasuk jenis jual beli. Namun, tidak halal memakan, meminum, atau menggunakan barang-barang yang haram. Jika barang tersebut seperti pohon yang tidak diharamkan kecuali karena berbahaya (misalnya racun), maka tidak boleh membeli racun untuk dimakan atau diminum. Namun, jika digunakan untuk pengobatan luar yang tidak masuk ke dalam tubuh, dan barang tersebut suci, aman, tidak membahayakan, serta bermanfaat untuk mengobati penyakit, maka tidak masalah membelinya.
Tidak baik membeli sesuatu yang tercampur dengan daging ular atau obat-obatan sejenis, karena ular adalah hewan yang haram dan termasuk yang tidak baik. Demikian pula susu hewan yang tidak halal dimakan (selain manusia) atau urin hewan yang tidak halal dimakan, semuanya najis dan tidak halal kecuali dalam keadaan darurat.
Kesimpulan:
Semua yang haram dimakan dari makhluk bernyawa (kecuali yang diharamkan karena memabukkan) dan segala yang haram dari tanah atau tumbuhan (kecuali karena berbahaya seperti racun) tidak boleh digunakan dalam obat. Jika berasal dari makhluk bernyawa yang haram dimakan, maka tidak halal. Jika bukan dari yang haram dimakan, maka tidak masalah.
—
Bab Salam dalam Mutiara dan Barang Berharga Lainnya
(Imam Syafi’i berkata):
Menurutku, tidak boleh melakukan salam dalam mutiara, zamrud, yakut, atau batu permata lainnya. Sebab, jika aku mengatakan, “Aku membeli mutiara bulat murni dengan berat sekian dan deskripsi panjang sekian,” berat mutiara dengan sifat seperti itu bisa berbeda-beda. Ada yang lebih berat atau lebih ringan, sehingga harganya pun berbeda.
Begitu pula dengan yakut dan batu lainnya. Jika dalam hal yang ditimbang saja bisa berbeda, apalagi jika tidak ditimbang—perbedaan ukuran kecil dan besar akan lebih signifikan. Meskipun aku menyebutkannya sebagai “murni” dan memberinya standar minimal kemurnian, tetap akan terjadi kerusakan (gharar) karena ada yang lebih berat atau lebih ringan. Mutiara kecil bisa lebih berat, sementara yang besar justru lebih ringan, sehingga harganya sangat berbeda.
Aku juga tidak bisa mendeskripsikan ukurannya secara pasti tanpa timbangan, karena istilah “besar” tidak terukur tanpa berat. Karena perbedaan berat sangat memengaruhi harga, maka jika tidak ditimbang, perbedaannya akan lebih besar. Wallahu a’lam.
—
Bab Salam dalam Logam Selain Emas dan Perak
(Imam Syafi’i berkata):
Tidak masalah melakukan salam dalam emas, perak, atau barang lain seperti tembaga, besi, atau timah dengan berat dan sifat yang jelas. Ketentuannya sama seperti penjelasan sebelumnya tentang salam.
Jika dalam jenis logam tersebut ada variasi warna (misalnya ada yang putih dan merah), maka harus disebutkan warnanya. Begitu pula jika berbeda dalam tingkat kelembutan, kekerasan, atau kemurnian—semua harus dideskripsikan. Jika satu saja sifatnya tidak disebutkan, salam menjadi tidak sah. Demikian pula jika tidak menyebut kualitas (baik atau buruk), salam juga batal.
Hal yang sama berlaku untuk besi, timah, timah hitam (zāwūq), arsenik, tawas, belerang, batu celak, dan semua barang yang ditimbang. Ketentuannya serupa dengan aturan salam sebelumnya.
—
Catatan:
Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa formal dan tetap mempertahankan makna asli teks Arab klasik. Istilah fikih seperti “salam” (pembayaran di muka) dan “gharar” (ketidakjelasan) tidak diubah agar konsisten dengan literatur syariah.
[BAB SALAM (PEMESANAN) PADA GETAH POHON]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Demikian pula salam pada kemenyan, mastik, perekat, dan semua jenis getah pohon. Jika berasal dari satu jenis pohon seperti kemenyan, disebutkan sifat putihnya dan bahwa ia bukan jenis jantan. Jika ada bagian yang dikenal oleh ahli sebagai jenis jantan (jika dikunyah rusak), maka disebutkan. Jika berasal dari berbagai pohon seperti perekat, disebutkan jenis pohonnya dan perbedaannya. Jika dari satu pohon, dijelaskan seperti keterangan kemenyan. Tidak ada perbedaan ukuran kecil atau besar yang perlu disebutkan dengan timbangan. Tidak wajib menimbang untuk pemesan jika dicampur kayu manis atau pohon yang tercabut bersama getahnya, kecuali getah murni.
[BAB SALAM PADA TANAH ARMENIA, TANAH DANAU, DAN TANAH BERTERA]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku melihat tanah yang menurut ahli diklaim sebagai tanah Armenia dari tempat tertentu yang dikenal, serta tanah yang disebut tanah danau dan tanah bertera. Keduanya digunakan dalam obat. Aku mendengar sebagian ahli menyatakan bahwa keduanya sering dicampur tanah lain yang tidak memiliki manfaat atau kualitas serupa, bahkan seratus ritl (takaran) tidak setara dengan satu ritl dari keduanya. Di Hijaz, ada tanah lokal yang mirip dengan yang diklaim sebagai tanah Armenia.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada kerancuan antara tanah asli dan campuran menurut ahli, maka salam tidak boleh dilakukan. Jika dua Muslim yang adil dapat memastikan keasliannya, salam diperbolehkan dengan ketentuan seperti obat-obatan lain: harus dijelaskan warna, jenis, dan asalnya, serta ditakar dengan ukuran jelas.
[BAB JUAL BELI HEWAN DAN SALAM PADANYA]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Malik mengabarkan dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abu Rafi’: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- meminjam seekor unta muda, lalu datang unta zakat. Beliau memerintahkan Abu Rafi’ untuk membayar unta tersebut. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku hanya menemukan unta dewasa terbaik.’ Beliau bersabda, ‘Berikan itu, sebab sebaik-baik manusia adalah yang terbaik dalam membayar hutang.’”
(Imam Syafi’i berkata): Hadis shahih ini menjadi pegangan kami. Ini menunjukkan bolehnya menjamin hewan dengan sifat tertentu dalam salam atau barter. Setiap transaksi hewan harus menyebut jenis, sifat, dan umur, seperti dinar (dijelaskan cetakan dan timbangannya) atau makanan (dijelaskan takarannya). Hadis ini juga menunjukkan bolehnya membayar lebih baik secara sukarela tanpa syarat.
(Rabi’ mengabarkan): Syafi’i menyampaikan dari Yahya bin Hassan dari Al-Laits bin Sa’d dari Abu Az-Zubair dari Jabir: “Seorang budak datang membaiat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk hijrah tanpa menyatakan statusnya. Tuannya menuntutnya, lalu Nabi bersabda, ‘Juallah dia,’ dan membelinya dengan dua budak hitam. Setelah itu, beliau selalu menanyakan status seseorang sebelum membaiat.”
(Imam Syafi’i berkata): Kami berpegang pada ini, yaitu kebolehan menukar satu budak dengan dua budak.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
“Membayar harga sesuatu yang ada di tangannya dianggap seperti menerimanya (diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata, diriwayatkan oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij bahwa Abdul Karim Al-Jazari mengabarkan kepadanya bahwa Ziyad bin Abi Maryam, mantan budak Utsman bin Affan, mengabarkan kepadanya: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang petugas zakat untuknya, lalu petugas itu datang membawa unta yang gemuk. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau bersabda: ‘Engkau telah binasa dan membinasakan.’ Petugas itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku biasa menjual dua atau tiga unta muda dengan satu unta gemuk secara tunai. Aku tahu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membutuhkan unta gemuk.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalau begitu, tidak mengapa.’ (Asy-Syafi’i berkata): Ini adalah riwayat yang terputus dan tidak bisa dijadikan hujjah. Kami hanya mencatatnya karena seorang yang terpercaya mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Umar bin Hafs, atau Abdullah bin Umar bin Hafs sendiri yang mengabarkannya kepada kami.
(Asy-Syafi’i berkata): Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Engkau telah binasa dan membinasakan’ maksudnya ‘Engkau telah berdosa dan menghabiskan harta orang-orang’, yaitu mengambil sesuatu yang bukan hak mereka. Dan perkataan petugas itu ‘Aku tahu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membutuhkan unta gemuk’ maksudnya adalah apa yang diberikan oleh orang-orang yang berzakat di jalan Allah, dan diberikan kepada ibnu sabil dan lainnya dari para penerima zakat ketika mereka membutuhkannya. Wallahu a’lam.
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata, diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas bahwa dia ditanya tentang satu unta ditukar dengan dua unta. Dia menjawab: ‘Bisa saja satu unta lebih baik dari dua unta.’
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata, diriwayatkan oleh Malik dari Shalih bin Kaisan dari Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bahwa Ali bin Abi Thalib menjual untanya yang bernama ‘Ushayfir dengan dua puluh unta dengan pembayaran tempo.
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata, diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia membeli seekor tunggangan dengan empat unta yang dijamin, yang akan diserahkan oleh pemiliknya di Rabdzah.
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata, diriwayatkan oleh Malik bahwa dia bertanya kepada Ibnu Syihab tentang menjual hewan, dua dengan satu dengan pembayaran tempo? Dia menjawab: ‘Tidak mengapa.’
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata, diriwayatkan oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyab bahwa dia berkata: ‘Tidak ada riba dalam hewan. Yang dilarang dalam hewan hanya tiga: al-mudhmin (yang dijamin), al-malaqih (yang diharapkan kandungannya), dan habl al-hablah (janin dalam kandungan). Al-mudhmin adalah apa yang ada di punggung unta, al-malaqih adalah apa yang ada di perut betina, dan habl al-hablah adalah jual beli yang dilakukan orang-orang jahiliyah, di mana seseorang membeli unta sampai unta betina melahirkan, lalu melahirkan apa yang ada di perutnya.’
(Asy-Syafi’i berkata): Apa yang dilarang dari ini sebagaimana yang dilarang, wallahu a’lam. Ini bukan jual beli barang yang jelas, bukan pula berdasarkan sifat, dan termasuk jual beli yang mengandung gharar (ketidakpastian), sehingga tidak halal. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau ‘melarang jual beli habl al-hablah’, dan hal ini dibahas di tempat lain.
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata, diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari Atha’ bahwa dia berkata: ‘Boleh membeli satu unta dengan dua unta secara tunai, dan salah satunya ditambah dengan uang perak, dan uang perak itu dengan tempo.’ Dia berkata: ‘Inilah pendapatku secara keseluruhan. Tidak mengapa seseorang memberikan uang muka untuk unta dan semua hewan dengan usia, sifat, dan tempo, sebagaimana uang muka untuk makanan. Tidak mengapa seseorang menjual satu unta dengan dua unta yang sejenis atau lebih, baik tunai maupun tempo, atau satu unta dengan dua unta plus tambahan dirham, baik tunai maupun tempo, selama salah satu dari dua transaksi itu semuanya tunai atau semuanya tempo. Tidak boleh dalam satu transaksi ada yang tunai dan ada yang tempo. Aku tidak peduli mana yang tunai dan mana yang tempo, dan tidak boleh mendekati atau menjauhi unta, karena itu termasuk riba hewan dengan hewan. Ini berdasarkan bahwa ini termasuk jual beli yang diperbolehkan dan tidak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan keluar dari makna yang diharamkan yang khusus dihalalkan, dan setelahnya dari orang-orang yang kami sebutkan dan kami diamkan penyebutannya.’
Dia berkata: ‘Aku hanya tidak suka dalam penyerahan bahwa salah satu dari dua transaksi itu terbagi, sebagian tunai dan sebagian tempo. Karena jika aku memberikan uang muka dua unta, satu untuk yang aku beri uang muka secara tunai dan yang lain tempo, dalam dua unta tempo, maka dalam jual beli itu ada utang dengan utang. Dan jika aku memberikan uang muka dua unta tunai dalam dua unta tempo dengan dua tempo.'”
Berbeda
Nilai dua unta yang berbeda dalam penjualan tempo tidak diketahui dibandingkan dengan dua unta tunai; karena jika keduanya memiliki sifat yang sama, unta yang penyerahannya ditunda nilainya lebih rendah daripada yang diserahkan sebelumnya. Akibatnya, penjualan yang ditunda tidak diketahui bagian masing-masing unta, dan demikian pula tidak boleh menyerahkan dinar dalam satu transaksi dengan dua tempo. Begitu juga, unta seharga dua puluh unta secara tunai dan tempo tidak termasuk riba dalam hewan. Tidak masalah menjual hewan secara kredit, berdamai atasnya, atau membuat perjanjian tertulis. Hewan dengan sifat dan usia seperti dinar, dirham, dan makanan tidak bertentangan. Segala yang boleh dijadikan harga dengan sifat, takaran, atau timbangan, maka hewan juga boleh dengan sifat dan usia. Boleh meminjamkan hewan dalam takaran, timbangan, dinar, dirham, dan barang-barang lainnya, baik sejenis maupun tidak, dengan tempo tertentu, dan dijual secara tunai tanpa riba. Tidak dilarang menjualnya dengan akad yang sah kecuali menjual daging dengan hewan secara mengikuti, selain itu tidak dilarang.
(Dia berkata): Segala yang dalam jual belinya tidak mengandung riba, baik dalam penambahan tempo atau tidak, maka tidak masalah meminjamkan sebagiannya dalam sebagian lainnya, baik sejenis maupun berbeda jenis, selama tambahan di dalamnya diperbolehkan. Wallahu a’lam.
[Bab Sifat Hewan Jika Dibeli secara Utang]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang meminjamkan (memberi utang) untuk seekor unta, utang tersebut tidak sah kecuali dengan menyebutkan, “Dari hewan ternak Bani Fulan,” seperti mengatakan “kain Marwi,” “kurma Barqi,” atau “gandum Mesir,” karena perbedaan jenis daerah, pakaian, kurma, dan gandum. Juga harus menyebutkan umurnya, seperti “berumur empat tahun,” “enam tahun,” “bazal (unta muda),” atau usia tertentu yang dipinjamkan. Usia hewan harus diketahui seperti ukuran kain atau takaran makanan, karena ini adalah hal terdekat untuk memastikannya, sebagaimana takaran dan ukuran adalah hal terdekat dalam makanan dan pakaian. Juga harus menyebutkan warnanya, karena hewan berbeda dalam warna, dan sifat warna pada hewan seperti corak pada kain atau warna sutera. Semua harus dideskripsikan sejelas mungkin. Harus disebutkan juga jenis kelaminnya karena perbedaan antara jantan dan betina. Jika salah satu dari ini diabaikan, utang hewan tersebut tidak sah.
(Dia berkata): Lebih baik menyebutkan “bebas dari cacat,” meskipun jika tidak disebutkan, hewan itu tetap harus bebas cacat. Juga lebih baik menyebutkan “gemuk,” sehingga minimal memenuhi kriteria gemuk. Jika tidak disebutkan, tidak harus sangat gemuk, karena kegemukan berlebihan adalah cacat. Hewan itu juga tidak boleh sakit atau cacat, meskipun tidak disyaratkan.
(Dia berkata): Jika hewan ternak Bani Fulan beragam, maka peminjam berhak menerima yang paling rendah kualitasnya sesuai keinginannya. Jika pemberi utang memberi yang lebih baik, itu adalah bentuk kebaikan tambahan. Ada pendapat bahwa jika hewan ternak mereka sangat beragam, utang tidak sah kecuali jenis hewan tertentu dari mereka disebutkan.
(Dia berkata): Semua hewan, seperti unta, tidak sah diutangkan kecuali dengan ketentuan yang sama seperti unta.
(Dia berkata): Jika utang dalam kuda, ketentuannya sama seperti unta. Lebih baik jika utang dalam kuda, warna dan ciri khasnya disebutkan. Jika tidak, peminjam berhak menerima kuda dengan warna apa pun (bahim), dan jika ada ciri khusus, ia boleh memilih menerima atau menolaknya, sementara penjual boleh memilih menyerahkan kuda dengan ciri tersebut atau memberikan warna bahim.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Begitu juga dengan warna kambing. Jika warnanya dideskripsikan, seperti putih atau abu-abu, atau dengan ciri yang dikenal, maka itu yang diutangkan. Jika tidak disebutkan, peminjam berhak menerima kambing dengan warna apa pun (bahim). Ini berlaku untuk semua hewan ternak, seperti sapi, bagal, keledai, dan lainnya yang dijual. Demikianlah ketentuan dalam bab ini dan analoginya.
Hal yang sama berlaku untuk budak laki-laki dan perempuan, di mana usia, warna kulit, jenis, dan ciri fisik seperti rambut keriting atau lurus harus dideskripsikan.
(Dia berkata): Jika usia, warna, dan jenis disebutkan, utang sah. Jika salah satu diabaikan, utang tidak sah. Ketentuan untuk budak dan pelayan sama seperti sebelumnya. Menyebutkan ciri fisik lebih baik, tetapi jika tidak, budak tersebut harus bebas cacat, seperti dalam jual beli biasa. Hanya saja, mereka berbeda dalam satu hal: jika rambutnya keriting.
Dia membelinya secara tunai tanpa deskripsi, maka dia berhak memilih untuk mengembalikannya jika tahu bahwa (rambutnya) lurus. Sebab, dia membeli dengan anggapan rambutnya keriting, sedangkan rambut keriting lebih mahal daripada rambut lurus. Namun, jika dia membelinya dalam keadaan lurus lalu menjadi keriting, kemudian diserahkan kepada pemberi pinjaman, dia tidak boleh mengembalikannya karena transaksi itu tetap mengikatnya dengan kondisi rambut lurus. Rambut lurus bukanlah cacat yang membolehkan pengembalian, melainkan hanya penyimpangan dari keindahan yang lebih rendah dibandingkan penyimpangan lainnya, berbeda dengan perbandingan antara keindahan dengan keindahan atau kemanisan dengan kemanisan.
(Dia berkata): Tidak diperbolehkan melakukan salam (pesanan) pada seorang budak perempuan dengan sifat tertentu yang harus dipenuhi sementara dia hamil, atau pada hewan betina yang sedang bunting, karena kandungan adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah. Itu adalah syarat yang tidak ada pada objek transaksi, sehingga termasuk jual beli yang tidak diketahui (gharar). Membeli janin dalam kandungan juga tidak sah karena tidak diketahui keberadaannya, apakah akan lahir atau tidak. Demikian pula, tidak sah melakukan salam pada unta dengan sifat tertentu beserta anaknya yang juga dideskripsikan, atau pada budak perempuan, atau hewan betina yang sedang bunting.
(Dia berkata): Namun, jika seseorang melakukan salam pada budak perempuan, unta, atau hewan betina dengan sifat tertentu tanpa menyebut “anaknya” atau “anak unta/kambing tertentu”, maka transaksi itu sah. Baik itu salam pada hewan kecil atau besar dengan sifat dan usia yang mencakup keduanya, atau pada hewan besar dengan kriteria serupa.
(Dia berkata): Aku membolehkan salam pada budak dengan deskripsi tertentu karena termasuk transaksi salam pada dua hal (induk dan anak). Namun, aku tidak menyukai penyebutan “anaknya” meskipun dideskripsikan, karena bisa saja ia melahirkan atau tidak, dan bisa memenuhi sifat itu atau tidak. Aku juga tidak menyukai jika disebut “beserta anaknya” meski tanpa deskripsi, karena itu termasuk jual beli objek tanpa sifat dan sesuatu yang tidak dijamin. Tidakkah kau lihat bahwa aku tidak membolehkan salam pada anak-anak hewan untuk satu tahun? Sebab, bisa jadi ia melahirkan atau tidak, dan jumlah anaknya bisa sedikit atau banyak. Salam dalam konteks ini berbeda dengan jual beli barang konkret.
(Dia berkata): Jika seseorang melakukan salam pada unta, hewan ternak, budak dengan sifat tertentu (sebagai tukang roti), atau budak perempuan (sebagai penata rambut), maka salam itu sah. Dia berhak menerima standar minimal yang masih disebut “penata rambut” atau “tukang roti”, kecuali jika sifat yang dideskripsikan sama sekali tidak ada di negeri tempat salam dilakukan, maka tidak sah.
(Dia berkata): Jika seseorang melakukan salam pada hewan betina yang sedang menyusui dengan syarat harus dalam masa laktasi, ada dua pendapat:
- Pendapat pertama: Sah, dan jika ternyata ia dalam masa laktasi, maka sesuai kesepakatan seperti masalah sebelumnya, meski jumlah susunya bervariasi seperti perbedaan kemampuan berjalan atau bekerja.
- Pendapat kedua: Tidak sah, karena itu adalah transaksi kambing dengan susu. Syaratnya adalah pembelian untuknya, sedangkan susu adalah sesuatu yang terpisah darinya dan bukan hasil usahanya, melainkan ciptaan Allah seperti kotoran. Jika syarat salam seperti ini, maka batil, sebagaimana batil jika seseorang berkata, “Aku melakukan salam padamu untuk unta dengan deskripsi tertentu beserta susunya yang tidak terukur atau tidak dideskripsikan.” Ini mirip dengan ketidaksahan salam pada budak perempuan yang hamil. Pendapat kedua lebih sesuai dengan qiyas, dan Allah lebih tahu.
(Dia berkata): Salam pada seluruh hewan, jual beli hewan dengan selainnya, atau sebagian dengan sebagian lainnya, berlaku sama, baik hewan ternak maupun bukan, termasuk unta, sapi, kambing, kuda, dan semua hewan yang biasa dimiliki manusia dan halal diperjualbelikan. Semua boleh dilakukan salam dengan deskripsi, kecuali budak perempuan—kami memakruhkan salam pada mereka, tidak pada hewan lainnya. Kami tidak memakruhkan salam *pada* mereka, tetapi memakruhkan jika *mereka* yang dijadikan objek salam. Adapun anjing dan babi, tidak boleh diperjualbelikan baik dengan utang maupun barang.
(Dia berkata): Hewan buas yang tidak bermanfaat telah dijelaskan di tempat lain. Segala yang haram dijual, haram pula dilakukan salam, karena salam adalah bentuk jual beli.
(Dia berkata): Setiap salam pada hewan atau lainnya yang disyaratkan dengan sesuatu lain, jika syaratnya adalah sesuatu yang sah dilakukan salam secara terpisah, maka salam itu sah. Seolah-olah aku melakukan salam pada objek utama dan objek tambahan yang dideskripsikan. Namun, jika syaratnya tidak sah dilakukan salam secara terpisah, maka salam itu batal. Tidak boleh melakukan salam pada hewan tertentu milik seseorang atau dari daerah tertentu, atau pada keturunan hewan ternak seseorang. Salam hanya sah pada hewan yang biasa dimiliki manusia tanpa terputus, seperti penjelasan tentang makanan dan lainnya.
(Ar-Rabi’ berkata): (Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak boleh meminjamkan budak perempuan kepadamu, tetapi boleh meminjamkan segalanya.
selain itu dalam bentuk dirham dan dinar; karena budak perempuan dijaga lebih ketat daripada yang lain. Jadi, ketika aku meminjamkan seorang budak perempuan kepadamu, aku berhak mengambilnya kembali darimu karena aku tidak menerima ganti darimu untuknya. Maka, kamu tidak boleh menyetubuhi budak perempuan milikku yang aku ambil kembali darimu. Wallahu a’lam.
[Pasal Perbedaan Pendapat tentang Hewan sebagai Utang]
Atau menukar dua hewan dengan satu hewan.
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata:
Sebagian orang menyelisihi kami dalam masalah hewan. Mereka berkata, “Hewan tidak boleh dijadikan utang sama sekali.” Mereka bertanya, “Bagaimana kalian membolehkan hewan dijadikan utang padahal ia tidak ditakar, tidak ditimbang, dan sifatnya berbeda antara dua budak meskipun harganya sama dalam dinar? Begitu pula antara dua unta, meskipun ada perbedaan harga?”
Kami menjawab, “Kami mengambil pendapat ini berdasarkan hal yang paling utama bagi kami, yaitu sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam meminjamkan unta dan melunasinya, serta qiyas terhadap sunnah beliau lainnya. Ulama tidak berselisih dalam hal ini.”
Dia berkata, “Sebutkan dalilnya.”
Aku menjawab, “Adapun sunnah yang tegas adalah beliau pernah meminjamkan unta. Sedangkan sunnah yang kami jadikan dalil adalah beliau menetapkan diyat dengan seratus unta, dan aku tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan muslimin bahwa diyat itu dengan unta berumur tertentu dan dibayar dalam tiga tahun. Juga, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menebus tawanan Hawazin yang belum diberikan kepada para sahabat dengan unta yang ditentukan, enam atau lima ekor, dengan tempo.”
Dia berkata, “Aku tidak mengetahui hal ini.”
Kami berkata, “Betapa banyak ilmu yang tidak kau ketahui.”
Dia bertanya, “Apakah riwayat itu sahih?”
Aku menjawab, “Ya, tapi isnadnya tidak ada di hadapanku.”
Dia berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa diyat termasuk sunnah.”
Aku berkata, “Bukankah kau juga mengakui—tanpa menyelisihi kami—bahwa seorang tuan boleh membuat perjanjian mukatabah dengan budaknya berdasarkan sifat tertentu, dan seorang suami boleh menikahi wanita dengan mahar budak atau unta berdasarkan sifat tertentu?”
Dia menjawab, “Ya.”
Lalu dia berkata, “Tetapi diyat itu wajib dibayar tanpa menyebut spesifik untanya.”
Aku berkata, “Begitu pula diyat dalam emas, wajib dibayar tanpa menyebut spesifiknya, tetapi dengan mata uang yang berlaku dan timbangan yang diketahui, tidak boleh ditolak. Demikian pula unta diyat wajib dibayar oleh keluarga pelaku (aqilah) dengan unta berumur tertentu dan tidak cacat. Seandainya ada yang ingin mengurangi umurnya, itu tidak boleh. Jadi, menurutku, kau telah menetapkan unta sebagai utang dengan tempo tertentu dan membolehkannya sebagai utang. Kau juga membolehkan mahar wanita dengan tempo dan sifat tertentu, serta perjanjian mukatabah dengan tempo dan sifat tertentu. Seandainya kami tidak memiliki riwayat apa pun kecuali kesepakatan kita bahwa hewan bisa menjadi utang dalam tiga situasi ini, bukankah pendapatmu bahwa hewan tidak boleh jadi utang akan terbantah dan alasanmu gugur?”
Dia berkata, “Apakah nikah boleh tanpa mahar?”
Aku balik bertanya, “Lalu mengapa kau menetapkan mahar seperti wanita yang dinikmati (tanpa mahar jelas), dan kau menganggap persetubuhan seperti kerusakan barang dalam jual beli fasid sehingga wajib membayar nilainya?”
Dia berkata, “Kami memakruhkan salam dalam hewan karena Ibnu Mas’ud memakruhkannya.”
Kami bertanya, “Apakah salam berbeda dengan salaf (utang) atau jual beli dengannya? Atau keduanya sama?”
Dia menjawab, “Semua itu sama. Jika boleh dijadikan utang dalam satu kondisi, maka boleh dijadikan utang dalam semua kondisi.”
Aku berkata, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menjadikannya utang dalam salaf dan diyat, dan kau tidak menyelisihi kami bahwa hewan juga bisa jadi utang dalam dua situasi lain: mahar dan mukatabah. Jika kau berkata, ‘Tidak ada riba antara budak dan tuannya,’ maka aku bertanya, ‘Bolehkah seorang tuan membuat perjanjian mukatabah dengan syarat tertentu, seperti memberinya hasil buah yang belum matang, atau memberinya anak yang lahir selama masa mukatabah—sebagaimana boleh jika budak itu tetap miliknya—lalu tuannya mengambil hartanya?’”
Dia menjawab, “Hukumnya seperti hukum budak.”
Kami berkata, “Kami jarang melihatmu berpegang pada suatu argumen kecuali kau tinggalkan. Hanya kepada Allah kami memohon pertolongan. Kami juga tidak melihatmu membolehkan dalam mukatabah kecuali apa yang kau bolehkan dalam jual beli. Lalu, bagaimana kau membolehkan hewan sebagai utang dalam mukatabah tetapi tidak dalam salaf? Bagaimana pendapatmu jika riwayat dari Ibnu Mas’ud yang memakruhkan salam dalam hewan benar-benar sahih dan tidak diperselisihkan, sedangkan menurutmu salam adalah utang seperti yang kami jelaskan dalam salaf dan lainnya—apakah pendapat seseorang bisa menentang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan ijma’ ulama?’”
Dia menjawab, “Tidak.”
Aku berkata, “Tetapi kau justru menjadikannya sebagai hujah secara tegas dalam beberapa kesempatan, padahal dalam prinsip pendapatmu sendiri kau menganggap riwayat itu tidak sahih.”
Dia bertanya, “Dari mana?”
Aku menjawab, “Riwayat itu terputus. Dan Asy-Sya’bi—yang lebih senior daripada perawi yang menyebutkan kemakruhannya—mengatakan bahwa itu hanyalah salaf.”
Dia memiliki dalam pejantan unta tertentu dan ini dibenci menurut kami dan semua orang, ini adalah penjualan pejantan dan yang dijamin atau keduanya. Dan aku berkata kepada Muhammad bin Al-Hasan: Engkau telah mengabarkan kepadaku dari Abu Yusuf dari ‘Atha’ bin As-Sa’ib dari Abu Al-Bahtari bahwa sepupu ‘Utsman datang ke sebuah lembah dan melakukan sesuatu pada unta seseorang, memotong susu untanya dan membunuh anaknya. Maka dia datang kepada ‘Utsman, dan di sisinya ada Ibnu Mas’ud. ‘Utsman menerima keputusan Ibnu Mas’ud, yang memutuskan agar dia memberikan unta seperti untanya dan anak seperti anaknya. ‘Utsman melaksanakan keputusan itu. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia memutuskan dalam hewan dengan hewan yang serupa sebagai hutang, karena jika diputuskan di Madinah dan diberikan di lembahnya, itu adalah hutang. Dan ditambahkan bahwa diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa dia berpendapat seperti pendapatnya. Dan kalian meriwayatkan dari Al-Mas’udi dari Al-Qasim bin ‘Abdurrahman, dia berkata: Aslam kepada ‘Abdullah bin Mas’ud dalam wasafa salah seorang dari mereka adalah Abu Za’idah, maula kami. Jika pendapat Ibnu Mas’ud berbeda dalam hal itu menurutmu, lalu seseorang mengambil sebagian tanpa sebagian lainnya, bukankah itu haknya? Dia berkata: Ya. Aku berkata: Dan jika tidak ada perbedaan pendapat selain dari Ibnu Mas’ud? Dia berkata: Ya. Aku berkata: Lalu mengapa engkau menyelisihi Ibnu Mas’ud, sedangkan bersamanya ada ‘Utsman dan makna Sunnah serta ijma’? Dia berkata: Maka di antara mereka ada yang berkata: Seandainya engkau menganggap bahwa tidak boleh salam padanya, tetapi boleh diserahkan, dan bisa menjadi diyat, kitabah, mahar, atau unta dengan dua unta secara nasi’ah. Aku berkata: Katakanlah jika engkau mau. Dia berkata: Jika aku mengatakannya? Aku berkata: Maka dasar pendapatmu bahwa hewan tidak boleh menjadi hutang adalah salah secara keseluruhan. Dia berkata: Jika aku meninggalkannya? Aku berkata: Kalian meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia membolehkan salam dalam hewan, dan dari seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain, dia berkata: Kami meriwayatkannya. Aku berkata: Jika seseorang mengikuti pendapat keduanya atau salah satunya tanpa pendapat Ibnu Mas’ud, apakah boleh baginya? Dia berkata: Ya. Aku berkata: Jika bersama pendapat keduanya atau salah satunya ada qiyas berdasarkan Sunnah dan ijma’? Dia berkata: Maka itu lebih utama untuk dikatakan. Aku berkata: Apakah engkau menemukan qiyas pada orang yang membolehkan salam dalam hewan sesuai dengan yang kujelaskan? Dia berkata: Ya, dan aku tidak tahu mengapa para sahabat kami meninggalkannya. Aku berkata: Apakah engkau akan kembali membolehkannya? Dia berkata: Aku berhenti dalam hal ini. Aku berkata: Apakah orang lain dimaafkan jika berhenti pada apa yang jelas baginya? (Dia berkata): Dan sebagian dari mereka yang dahulu berpendapat seperti pendapat ahli atsar telah kembali membolehkannya, padahal sebelumnya dia membatalkannya. (Asy-Syafi’i berkata): Muhammad bin Al-Hasan berkata: Sesungguhnya sahabat kami berkata bahwa ada satu hal yang masuk padamu di mana kalian meninggalkan dasar pendapatmu, yaitu kalian tidak membolehkan meminjam budak perempuan khususnya, tetapi kalian membolehkan menjualnya dengan hutang dan meminjamkannya. Aku berkata: Bagaimana pendapatmu jika kami meninggalkan pendapat kami dalam satu hal dan tetap berpegang padanya dalam segala hal, apakah kami dimaafkan? Dia berkata: Tidak. Aku berkata: Karena itu salah? Dia berkata: Ya. Aku berkata: Apakah orang yang salah sedikit lebih baik keadaannya atau orang yang salah banyak? Dia berkata: Orang yang salah sedikit, dan tidak ada maaf baginya. Aku berkata: Engkau mengakui banyak kesalahan tetapi enggan meninggalkannya, sedangkan kami tidak salah dalam dasar pendapat kami. Kami membedakannya dengan apa yang lebih sedikit darinya dalam perbedaan hukum menurut kami dan menurutmu. Dia berkata: Sebutkan. Aku berkata: Bagaimana pendapatmu jika aku membeli darimu seorang budak perempuan yang disifati dengan hutang, apakah aku memilikinya kecuali sifatnya? Dan jika engkau memiliki seratus budak perempuan dengan sifat itu, tidak ada satu pun yang tertentu, dan engkau boleh memberikan yang mana saja yang kau mau. Jika engkau melakukannya, maka aku memilikinya saat itu? Dia berkata: Ya. Aku berkata: Dan engkau tidak boleh mengambilnya dariku seperti engkau tidak boleh mengambilnya jika engkau menjualnya di tempatmu dan menerima harganya? Dia berkata: Ya, dan setiap penjualan dengan harga adalah kepemilikan seperti itu. Dia berkata: Ya. Aku berkata: Bagaimana pendapatmu jika aku meminjamkanmu seorang budak perempuan untuk mengambilnya darimu setelah aku menerimanya saat itu juga dan setiap saat? Dia berkata: Ya. Aku berkata: Apakah engkau boleh menyetubuhi budak perempuan kapan saja engkau mengambilnya atau engkau istibra’ dan menyetubuhinya? Dia berkata: Lalu apa bedanya dengan yang lain? Aku berkata: Persetubuhan. Dia berkata: Sesungguhnya dalam hal itu ada makna dalam persetubuhan yang tidak ada pada laki-laki atau hewan lainnya. Aku berkata: Dengan makna itulah engkau membedakan keduanya? Dia berkata: Lalu mengapa tidak boleh baginya untuk meminjamkannya, jika dia menyetubuhinya, dia tidak mengembalikannya tetapi mengembalikan yang serupa? Aku berkata: Apakah boleh aku meminjamkanmu sesuatu lalu engkau boleh menghalangiku darinya padahal belum rusak? Dia berkata: Tidak. Aku berkata: Lalu bagaimana engkau membolehkan jika dia menyetubuhinya, aku tidak punya jalan padanya padahal dia tidak rusak, dan jika itu boleh, tidak ada pendapat yang sah dalam hal itu? Dia berkata: Bagaimana jika aku membolehkannya, tidak ada pendapat yang sah dalam hal itu? Aku berkata: Karena jika aku memberinya kekuasaan untuk meminjamkannya, aku telah membolehkan kemaluannya untuk orang yang meminjamnya. Jika dia tidak menyetubuhinya sampai tuannya mengambilnya, maka aku membolehkannya untuk tuannya. Maka kemaluan itu halal untuk seorang laki-laki lalu haram baginya tanpa mengeluarkannya dari kepemilikannya, tidak memindahkan kepemilikan budak perempuan kepada orang lain, dan tidak ada talak. (Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata. (Asy-Syafi’i berkata): Dan setiap kemaluan yang halal, maka diharamkan dengan talak atau mengeluarkan apa yang dimilikinya kepada…
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:
Milik orang lain atau hal-hal yang tidak termasuk dalam pinjaman, dia berkata: “Apakah kamu bisa menjelaskannya dengan yang lain yang kita ketahui?” Aku menjawab: “Ya, berdasarkan analogi bahwa Sunnah membedakannya.” Dia berkata: “Sebutkan.” Aku berkata: “Bagaimana pendapatmu tentang wanita yang dilarang bepergian kecuali bersama mahram, dilarang berduaan dengan laki-laki tanpa mahram, dan dilarang menikah tanpa wali?” Dia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Apakah kamu memahami makna larangan ini selain apa yang telah diciptakan dalam diri manusia berupa syahwat terhadap wanita dan dalam diri wanita terhadap laki-laki, sehingga diatur agar tidak terjerumus dalam yang haram, kemudian diatur dalam yang halal agar tidak dianggap meremehkan atau menipu?” Dia berkata: “Tidak ada makna lain selain ini atau serupa.” Aku berkata: “Apakah kamu menemukan hewan betina dalam makna-makna ini, atau laki-laki atau hewan jantan?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Maka jelaslah perbedaan Kitab dan Sunnah antara mereka, dan larangan itu hanya untuk menjaga dari apa yang telah diciptakan dalam diri mereka berupa syahwat?” Dia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Dengan ini kami membedakannya, dan lainnya yang cukup dalam hal ini insya Allah.” Dia bertanya: “Apakah kamu berpendapat dengan sadar dzari’ah?” Aku menjawab: “Tidak, dan tidak ada makna dalam dzari’ah. Maknanya hanya dalam berdalil dengan khabar yang lazim, qiyas, atau yang masuk akal.”
[Bab Pinjaman dalam Pakaian]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, (Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i), dia berkata, (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij) bahwa dia bertanya kepada Ibnu Syihab tentang pakaian dengan dua pakaian secara hutang, dia menjawab: “Tidak masalah, dan aku tidak mengetahui seorang pun yang membencinya.” (Asy-Syafi’i berkata): “Apa yang aku sampaikan bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mewajibkan penduduk Najran pakaian tertentu yang dikenal oleh ulama Mekah dan Najran, dan aku tidak mengetahui perbedaan pendapat bahwa boleh melakukan salam (pesanan) dalam pakaian dengan sifat tertentu.” Dia berkata: “Sifat-sifat dalam pakaian yang tidak bisa diabaikan, dan tidak boleh melakukan salam sampai mencakup semua, seperti seseorang berkata kepadamu: ‘Aku memesan pakaian Marwi, Harawi, Razi, Balkhi, atau Baghdad, panjang sekian, lebar sekian, tebal, tipis, atau halus.’ Jika dia membawa sesuai sifat minimal yang ditetapkan, maka itu sah, dan dia secara sukarela memberikan kelebihan dalam kualitas jika sifatnya terpenuhi. Aku menyebut ‘tipis’ karena sebutan tipis mencakup perbedaan yang sangat kecil, dan semakin tipis semakin meningkatkan kualitas pakaian. Aku tidak menyebut ‘tebal’ secara mutlak karena sebutan tebal bisa mencakup pakaian tipis dan kasar. Jika dia memberikan yang kasar, itu lebih buruk dari yang tipis, dan jika memberikan yang tipis, itu lebih buruk dari yang kasar, dan keduanya termasuk dalam sebutan tebal.” Dia berkata: “Seperti yang aku jelaskan dalam bab sebelumnya, jika pembeli menetapkan syarat minimal yang termasuk dalam nama, dan nama itu mencakup sesuatu yang lebih baik, maka itu mengikat pembeli karena kebaikan adalah tambahan yang diberikan penjual secara sukarela. Jika mencakup yang lebih buruk, maka tidak mengikat karena keburukan adalah kekurangan yang tidak disukai pembeli.” (Dia berkata): “Jika dia mensyaratkan tebal dan padat, dia tidak boleh memberikan yang tipis meskipun lebih baik, karena dalam pakaian ada alasan bahwa yang tebal dan padat lebih hangat di musim dingin, lebih sejuk di musim panas, dan mungkin lebih tahan lama. Ini adalah alasan yang mengurangi nilainya, meskipun harga yang lebih tipis lebih mahal, karena itu bukan yang dipesan dan disyaratkan untuk kebutuhannya.” (Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Dia berkata, (Asy-Syafi’i berkata): “Jika memesan pakaian dari negeri yang memiliki tenunan dan cara pembuatan berbeda, yang masing-masing dikenal dengan nama selain nama pembuatnya, tidak boleh melakukan salam sampai dia menjelaskan seperti sebelumnya dan mengatakan: ‘Pakaian ini dan itu dari negeri ini.’ Jika dia mengabaikan sesuatu dari ini, salam tidak sah karena itu adalah jual beli ghaib yang tidak dijelaskan, seperti tidak boleh dalam kurma sampai disebut jenisnya.” (Dia berkata): “Semua jenis pakaian yang dipesan seperti ini, jika berupa wasyi (bercorak), dinisbatkan seperti Yusufi, Najrani, Fari’, atau dengan nama yang dikenal. Jika bukan wasyi seperti ‘ashab (kain bergaris), habarah (kain halus), atau sejenisnya, jelaskan: ‘Pakaian habarah dari buatan negeri ini, tipis rumahnya, atau dirajut bersambung,’ atau jelaskan sifat atau jenis dan negerinya. Jika cara pembuatan di negeri itu berbeda, katakan: ‘Dari buatan ini,’ untuk cara pembuatan tertentu.”
Diketahui bahwa dalam salam (jual beli pesanan) tidak sah tanpa menyebutkan spesifikasi, begitu pula pada pakaian katun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai kain tenun. Hal yang sama berlaku pada kain putih, sutra, thayalisah (jenis kain), wol, dan ibrisam (sutra kasar). Jika pakaian dibuat dari sutra mentah, linen, atau katun, harus disebutkan sifatnya. Jika tidak menjelaskan benangnya ketika dibuat dari benang berbeda, kapas yang diolah halus, atau kapas kasar, maka tidak sah. Namun, jika dibuat dari satu jenis bahan di daerah yang telah dikenal, tidak masalah tidak menjelaskan benangnya asalkan menjelaskan ketebalan, cara pembuatan, dan ukurannya. Dia (Imam Syafi’i) berkata tentang segala sesuatu yang disalamkan, baik yang berkualitas baik atau buruk, maka wajib memenuhi semua yang termasuk dalam nama kualitas, kekurangan, atau sifat yang disyaratkan. Dia juga berkata, jika melakukan salam pada wasy (kain bergambar), tidak sah sampai wasy tersebut memiliki sifat yang dikenal oleh ahli ilmu yang adil. Tidak ada gunanya menunjukkan contoh kain dan menyepakatinya melalui perantara yang adil jika wasy tidak dikenal seperti yang dijelaskan, karena contoh kain bisa hilang sehingga wasy tidak dikenali.
[Bab Salam dalam Kulit dan Kulit Mentah]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Tidak boleh melakukan salam pada kulit unta, sapi, kulit domba mentah, kulit, atau kulit yang tipis maupun lainnya. Kulit hanya boleh dijual dengan dilihat langsung. Hal ini karena kita tidak boleh mengkiaskannya dengan pakaian. Seandainya kita mengkiaskannya dengan pakaian, maka tidak halal kecuali dengan ukuran dan sifatnya, sementara ukuran tidak mungkin ditetapkan pada kulit karena perbedaan bentuknya yang tidak bisa diukur dengan pasti. Seandainya kita mengkiaskannya dengan hewan yang diperbolehkan salam dengan sifat tertentu, itu juga tidak sah, karena salam pada unta diperbolehkan dengan menyebut sifatnya seperti unta milik Bani Fulan, berusia dua atau empat tahun, sehingga usia pada hewan ibarat ukuran pada pakaian. Penyebutan usia (seperti ruba’i atau bazal) menunjukkan ukuran yang semakin besar sampai batas maksimal, dan ini sudah dikenal dan pasti seperti halnya ukuran. Ini tidak mungkin diterapkan pada kulit, karena tidak bisa dikatakan “kulit sapi berusia dua atau empat tahun” atau “kulit domba seperti itu”, juga tidak bisa dibedakan dengan mengatakan “sapi hasil ternak daerah tertentu”, karena hasil ternak berbeda-beda ukurannya. Karena kulit tidak bisa dipastikan seperti hewan yang masih hidup yang bisa diketahui ukurannya berdasarkan daerah asalnya, maka kulit berbeda dengan hewan dalam hal ini. Selain itu, pada hewan, ada yang usianya lebih muda dari yang seumuran, dan yang lebih muda justru lebih baik menurut pedagang karena lebih kuat dan tahan beban saat hidup. Sehingga seseorang bisa membeli unta seharga dua puluh unta atau lebih yang lebih besar darinya karena kelebihan dalam perdagangan dan daya tahan, dan ini bisa dipastikan sifat dan jenisnya. Namun, ini tidak berlaku pada kulit. Kulit tidak memiliki kehidupan, kelebihannya hanya pada ketebalan, keluasannya, kekerasannya, atau bagian tertentu darinya. Karena tidak ada dalil yang bisa diikuti atau qiyas yang sah terhadap sesuatu yang diperbolehkan salam, maka tidak boleh memperbolehkan salam pada kulit. Wallahu a’lam. Kami berpendapat, karena batasannya tidak bisa ditentukan, kami menolak salam pada kulit dan tidak memperbolehkannya secara tempo (utang), sebab jual beli tempo hanya sah jika barangnya diketahui, sementara kulit tidak bisa diketahui sifatnya dengan pasti.
[Bab Salam dalam Kertas]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Jika kertas dikenal dengan sifat tertentu seperti kain yang dikenal dengan sifat, ukuran, panjang, lebar, kualitas, kehalusan, ketebalan, dan keseragaman pembuatannya, maka boleh dilakukan salam dengan sifat-sifat tersebut. Tidak sah sampai semua sifat ini terkumpul. Jika kertas berbeda-beda antara satu desa atau daerah, tidak boleh sampai disebut “buatan desa tertentu”, “kawasan tertentu”, atau “daerah tertentu”. Jika ada yang terlewat dari ini, maka salam tidak sah. Ketentuannya sama seperti barang lain yang diperbolehkan salam. Jika…
Berikut adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Tidak dapat dikendalikan dengan ini, maka tidak ada kebaikan dalam salaf di dalamnya, dan aku tidak menganggapnya dengan ini kecuali terkendali atau pengendaliannya lebih tepat dari pengendalian pakaian atau sejenisnya.
[Bab Salaf dalam Kayu dengan Ukuran]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Barangsiapa yang melakukan salaf dalam kayu jati, lalu ia mengatakan ‘kayu jati yang baik, panjang kayunya sekian, tebalnya sekian, dan warnanya sekian’, maka ini diperbolehkan. Jika ia meninggalkan sesuatu dari ini, maka tidak diperbolehkan. Kami hanya membolehkan ini karena keseragaman tumbuhnya dan bahwa kedua ujungnya tidak mendekati tengahnya, atau seluruh bagian antara kedua ujungnya dari tumbuhnya. Jika kedua ujungnya berbeda dan saling mendekati, dan jika ia mensyaratkan ketebalan tertentu, lalu kayu itu datang dengan salah satu ujung sesuai ketebalan dan ujung lainnya lebih tebal, maka kelebihan itu adalah sukarela, dan pembeli wajib menerimanya. Jika kayu itu datang dengan kekurangan panjang, atau salah satu ujungnya kurang tebal, maka pembeli tidak wajib menerimanya karena ini adalah pengurangan dari haknya.”
Dia berkata: “Segala sesuatu yang tumbuhnya seragam sehingga bagian antara kedua ujungnya tidak lebih tipis dari ujungnya, atau salah satunya dari yang baik, atau kepalanya persegi sehingga memungkinkan untuk diukur, atau bulat sempurna sehingga memungkinkan untuk diukur, dan disyaratkan padanya seperti yang aku jelaskan dalam kayu jati, maka salaf di dalamnya diperbolehkan dengan menyebut jenisnya. Jika ada jenis yang berbeda sehingga sebagian lebih baik dari yang lain, seperti kayu dom, maka kayunya bisa lebih baik dari kayu sejenisnya karena keindahannya, sehingga tidak bisa tidak harus menyebut jenisnya, sebagaimana tidak bisa tidak harus menyebut jenis pakaian. Jika ia tidak menyebut jenisnya, maka salaf di dalamnya batal. Untuk yang tidak berbeda, kami membolehkan salaf dengan sifat dan ukuran seperti yang aku jelaskan.”
Dia berkata: “Apa pun yang salah satu atau kedua ujungnya lebih besar dari yang lain, dan bagian antara ujungnya atau di antaranya berkurang, maka salaf di dalamnya tidak diperbolehkan karena saat itu lebarnya tidak terdefinisi, sebagaimana tidak boleh melakukan salaf dalam pakaian yang panjangnya terdefinisi tetapi lebarnya tidak.”
Dia berkata: “Berdasarkan ini, salaf dalam kayu yang dijual dengan ukuran semuanya dan qiyasnya tidak diperbolehkan sampai setiap kayunya terdefinisi dan terbatas seperti yang aku jelaskan. Demikian juga kayu meja, harus dijelaskan panjang, lebar, jenis, dan warnanya.”
Dia berkata: “Tidak masalah melakukan islam (salam) dalam kayu dengan kayu, dan tidak ada riba dalam selain takaran dan timbangan dari makanan dan minuman semuanya, emas, perak, dan selain ini. Tidak masalah ada kelebihan dalam sebagian dari yang lain, tangan ke tangan atau tempo, baik salam maupun bukan salam, selama diketahui.”
[Bab Salam dalam Kayu dengan Timbangan]
(Ar-Rabi’) berkata: (Imam Syafi’i) berkata: “Kayu yang kecil tidak boleh dilakukan salaf dengan jumlah atau ikatan, dan tidak diperbolehkan sampai disebutkan jenisnya, seperti ‘kayu samak hitam’ atau ‘kayu eboni’ dengan menjelaskan warnanya dan ketebalan dari jenis itu atau bahwa sebagiannya tipis. Jika kamu membeli secara keseluruhan, katakanlah ‘yang tipis, sedang, atau tebal dengan berat sekian’. Jika kamu membelinya yang berbeda, katakanlah ‘sekian pon tebal, sekian pon sedang, dan sekian pon tipis’. Tidak diperbolehkan selain ini. Jika kamu meninggalkan sesuatu dari ini, maka salafnya batal. Aku lebih suka jika kamu mengatakan ‘yang baik’. Jika kamu tidak mengatakannya, maka tidak ada akad bagimu karena akad mencegah kebaikan, dan itu adalah cacat yang mengurangi nilainya. Segala sesuatu yang memiliki cacat yang mengurangi nilai untuk tujuan yang diinginkan, maka pembeli tidak wajib menerimanya. Demikian juga segala sesuatu yang dibeli untuk perdagangan seperti yang aku jelaskan, tidak diperbolehkan kecuali dengan ukuran yang diketahui atau timbangan yang diketahui seperti yang aku jelaskan.”
Dia berkata: “Jika kamu membeli kayu bakar untuk dibakar, jelaskan kayu samar, salm, hamdh, arak, qardh, atau ar’ar, dengan menjelaskan ketebalan, sedang, dan tipis, serta ditimbang. Jika kamu meninggalkan sesuatu dari ini, maka tidak diperbolehkan. Tidak boleh melakukan salaf dengan jumlah, ikatan, atau tanpa penjelasan.”
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
[Bagian Salam dalam Kayu Busur]
Kayu yang sudah ditimbang (diketahui ukurannya) boleh dilakukan salam, sedangkan kayu yang tidak ditimbang atau tidak dijelaskan kekasaran, kehalusan, dan jenisnya, jika ada satu saja yang ditinggalkan, maka salam menjadi batal. (Imam Syafi’i) berkata: Adapun kayu busur, tidak boleh dilakukan salam kecuali dengan syarat yang jarang ditemukan. Jika syarat itu ada, maka boleh. Yaitu dengan menyebutkan: “Kayu syuhathah, batang dari tumbuhan tanah tertentu, dataran atau pegunungan, halus atau sedang, panjang sekian, lebar sekian, dan lebar ujungnya sekian,” serta harus lurus tumbuhnya dan seragam ketebalan antara kedua ujungnya. Setiap kayu yang memenuhi syarat ini boleh dilakukan salam, dan yang tidak memenuhi tidak boleh. Sebab kayu dari berbagai tanah berbeda-beda, antara dataran dan pegunungan berbeda, yang sedang dan halus juga berbeda. Semua jenis kayu busur seperti syariyan, nab’, atau lainnya yang memenuhi syarat ini boleh dilakukan salam. Boleh juga disebut “khutha” atau “falaqah,” di mana falaqah lebih tua dari khutha, sedangkan khutha adalah yang masih muda. Tidak baik melakukan salam dalam anak panah, baik dari syuhath, qana, atau lainnya, karena sifatnya tidak bisa dipastikan dan hanya dibedakan berdasarkan ketebalan, yang sulit diukur secara tepat. Tidak bisa dianggap sah dengan ketebalan minimal seperti pada kain.
[Bagian Salam dalam Wol]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Tidak boleh melakukan salam dalam wol sampai disebutkan: “Wol domba dari negara tertentu,” karena wol domba berbeda-beda tergantung negara. Warna wol harus disebutkan karena perbedaan warna wol. Harus disebutkan baik, murni, atau sudah dicuci untuk menghindari kotoran yang menambah berat. Panjang wol harus disebutkan (panjang atau pendek) karena perbedaan panjangnya, dan harus dengan berat yang diketahui. Jika satu saja dari ini ditinggalkan, salam menjadi batal. Jika wol yang diberikan memenuhi minimal ukuran panjang, kualitas, warna putih, dan kemurnian, serta berasal dari domba negara yang disebutkan, maka pembeli wajib menerima. Jika wol betina dan domba jantan berbeda dan bisa dikenali setelah dicukur, maka harus disebutkan wol jantan atau betina. Jika tidak berbeda dan tidak bisa dibedakan setelah dicukur, cukup dengan menyebut panjang dan sifat lainnya, maka salam boleh dilakukan. Tidak boleh melakukan salam dalam wol domba tertentu karena domba bisa mati atau terkena musibah. Salam hanya boleh dilakukan pada sesuatu yang jelas sifatnya, dijamin ada, dan tidak meleset. Tidak boleh dalam wol domba tertentu karena bisa meleset atau tidak sesuai sifat, meski waktunya hanya sebentar, sebab musibah bisa datang saat itu. Demikian juga semua salam yang dijamin, tidak baik dilakukan pada sesuatu yang spesifik karena bisa meleset. Tidak baik juga melakukan salam dalam wol tanpa sifat dan hanya diperlihatkan wol lalu dikatakan: “Aku akan menerimanya darimu dengan putih, murni, dan panjang seperti ini,” karena wol bisa rusak dan sifatnya tidak diketahui, sehingga salam menjadi tidak jelas. Jika salam dilakukan pada bulu unta atau bulu kambing, tidak boleh kecuali dengan syarat seperti wol, dan yang batal sama seperti dalam wol.
[Bagian Salam dalam Kapas]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Tidak baik melakukan salam dalam kapas dengan bijinya, karena biji hanya kulit yang dibuang saat kapas diproses. Tidak boleh sampai disebutkan: “Kapas dari negara tertentu,” harus disebutkan baik atau jelek, putih murni atau kecoklatan, dengan berat dan waktu yang jelas. Jika satu saja ditinggalkan, salam tidak boleh. Sebab kapas dari berbagai negara berbeda dalam kehalusan, kekasaran, panjang serat, dan warnanya.
Tidak ada kebaikan dalam jual beli salam (pesanan) pada kapas di tanah tertentu seseorang seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tetapi boleh dilakukan salam dengan sifat yang aman di tangan orang. Jika ada perbedaan antara kapas lama dan baru, disebutkan apakah kapas tahun lalu atau baru, atau kapas satu atau dua tahun. Jika kapas masih basah, disebutkan sebagai kering, tidak boleh selain itu. Jika dilakukan salam dengan kapas yang sudah dibersihkan dari bijinya, itu lebih baik menurutku. Aku juga tidak melihat masalah jika dilakukan salam dengan bijinya, karena biji kapas seperti biji kurma.
[Bab Salam dalam Sutera dan Linen]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika sutera bisa dijelaskan dengan menyebutkan asal negaranya, warna, kejernihan, kebersihan, bebas dari cacat, dan beratnya, maka tidak masalah melakukan salam. Tidak ada kebaikan jika satu pun dari hal ini diabaikan. Jika tidak bisa dipastikan, salam tidak boleh dilakukan. Begitu juga dengan linen. Tidak baik melakukan salam dengan mengambil barang tertentu yang ada di tempat penjual, karena barang tertentu bisa rusak atau berubah. Salam dalam hal ini dan semisalnya tidak diperbolehkan kecuali dengan sifat yang jelas. Jika panjang sutera atau linen berbeda-beda, maka harus disebutkan panjangnya. Jika tidak berbeda, cukup dengan timbangan, dan itu sudah mencukupi insya Allah. Jika salam dilakukan dengan takaran, tidak boleh ditukar dengan timbangan karena perbedaan antara takaran dan timbangan. Begitu pula jika salam dilakukan dengan timbangan, tidak boleh ditukar dengan takaran.
[Bab Salam dalam Batu dan Penggilingan serta Batu Lainnya]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak masalah melakukan salam dalam batu bangunan, meskipun batu berbeda-beda dalam warna, jenis, dan ukuran. Namun, salam tidak boleh dilakukan sampai disebutkan warnanya, seperti hijau, putih, kuning, atau merah, dengan nama yang dikenal dan dikaitkan dengan kekerasannya, serta dipastikan tidak ada retakan atau “kala” (batu bulat keras yang mudah pecah saat dipukul dan tidak cocok untuk bangunan kecuali sebagai lapisan luar). Ukuran batu harus dijelaskan, seperti berapa batu yang bisa dibawa unta (dua, tiga, empat, atau enam) dengan berat yang diketahui, karena beban bisa berbeda. Jika dua batu dibawa unta tetapi tidak seimbang, harus ditambahkan batu kecil. Salam dalam hal ini tidak boleh kecuali dengan timbangan atau dibeli secara langsung sebagai jual beli barang yang dilihat (jual beli juzaf).
Demikian juga, tidak boleh melakukan salam dalam “naql” (batu kecil) kecuali dengan menjelaskan ukuran kecilnya, isian, atau bagian dalamnya yang dikenal oleh ahlinya. Harus ditimbang karena tidak bisa ditakar. Tidak boleh kecuali disebutkan keras, dan jika disebutkan keras, tidak boleh yang lunak, rapuh, atau mudah pecah.
Tidak masalah membeli marmer dengan menjelaskan setiap lembarnya berdasarkan panjang, lebar, ketebalan, kejernihan, dan kualitasnya. Jika marmer memiliki serat yang berbeda-beda, harus dijelaskan seratnya. Jika tidak ada, cukup dengan penjelasan sebelumnya. Jika setelah sampai ternyata berbeda, harus ditunjukkan kepada ahli. Jika mereka mengatakan barang tersebut sesuai dengan nama…
Kualitas dan kemurnian serta ukuran panjang, lebar, dan ketebalan yang telah disyaratkan menjadi kewajiban. Jika salah satu dari ini kurang, maka tidak wajib dipenuhi. Dikatakan: Tidak masalah melakukan salaf (pesanan) untuk batu pualam dengan ukuran dan berat seperti yang dijelaskan sebelumnya untuk batu-batuan, serta kemurniannya. Jika terdapat jenis dan warna yang berbeda, maka harus dijelaskan jenis dan warnanya. Dikatakan juga: Tidak masalah membeli wadah dari pualam dengan deskripsi panjang, lebar, kedalaman, ketebalan, dan cara pembuatannya jika terdapat perbedaan dalam pembuatannya. Deskripsikan cara pembuatannya. Jika ditambah dengan berat, itu lebih baik. Namun, jika berat tidak disebutkan, tidak merusak akad insya Allah Ta’ala. Jika ada batu-batuan dari tempat berbeda yang kualitasnya berbeda, seperti batu dari satu daerah lebih baik dari daerah lain, maka tidak boleh kecuali disebutkan asal batu dan dijelaskan sifatnya. Begitu pula jika batu dari satu daerah memiliki jenis yang berbeda, maka harus dijelaskan jenis batu tersebut.
[Pasal Salaf pada Kapur dan Gips]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Tidak masalah melakukan salaf pada kapur, gips, dan bahan bangunan. Jika perbedaannya sangat mencolok, maka tidak boleh melakukan salaf kecuali disebutkan kapur dari daerah tertentu atau gips dari daerah tertentu, disyaratkan kualitas baik atau buruk, warna putih, kecoklatan, atau warna lain jika memang berbeda warnanya. Harus disyaratkan takaran, berat, dan waktu yang jelas. Tidak baik melakukan salaf dalam bentuk muatan atau takaran kasar karena bisa berbeda. (Imam Syafi’i) berkata: Tidak masalah membelinya dalam bentuk muatan, takaran, atau secara borongan jika barang dan kedua pihak yang bertransaksi hadir. Begitu pula dengan tanah liat, tidak masalah melakukan salaf dengan takaran yang jelas. Tidak baik dalam bentuk muatan, takaran kasar, atau borongan. Tidak boleh kecuali dengan takaran dan sifat, baik atau buruk, serta tanah liat dari daerah tertentu. Jika warnanya berbeda di daerah itu dan ada yang lebih unggul, jelaskan warnanya: hijau, abu-abu, atau hitam. Jika disebutkan kualitas baik, maka harus terbebas dari segala cacat. Jika terdapat kandungan garam, kerikil, batu, atau pasir kasar, itu tidak boleh karena bertentangan dengan kualitas baik. Begitu pula jika kapur atau gips yang dipesan, harus sesuai deskripsi. Jika kapur atau gips sudah terkena hujan, pembeli tidak wajib menerima karena itu cacat. Jika sudah lama disimpan sehingga rusak, pembeli juga tidak wajib menerima karena itu cacat. Hujan tidak merusak tanah liat jika setelah kering kembali seperti semula.
[Pasal Salaf dalam Jumlah]
(Ar-Rabi’ meriwayatkan): Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata: Tidak boleh melakukan salaf dalam bentuk jumlah kecuali untuk hewan yang bisa dipastikan umur, sifat, dan jenisnya, pakaian yang bisa dipastikan jenis, hiasan, dan ukurannya, kayu yang bisa dipastikan jenis, sifat, dan ukurannya, serta hal serupa. Tidak boleh salaf untuk semangka, mentimun, timun, delima, quince, persik, pisang, kenari, atau telur apa pun jenisnya, baik ayam, merpati, atau lainnya. Begitu pula barang lain yang diperjualbelikan dalam jumlah selain yang dikecualikan, karena perbedaan jumlah. Tidak ada yang bisa dipastikan dari sifat atau jual beli dalam jumlah yang tidak diketahui, kecuali jika bisa ditakar atau ditimbang sehingga bisa dipastikan dengan takaran dan timbangan.
[BAB SALAM DALAM MAKANAN YANG DIUKUR DENGAN TAKARAN ATAU TIMBANGAN]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Prinsip dasar salam dalam barang yang diperjualbelikan ada dua jenis. Barang yang ukurannya kecil dan seragam bentuknya dapat ditakar, dan tidak menyebabkan kekosongan dalam takaran ketika ditakar. Tidak boleh satu bagiannya menonjol dalam takaran, seperti bagian bawahnya lebar dan ujungnya runcing, atau bagian bawah dan atasnya lebar sedangkan tengahnya runcing. Jika ada bagian yang berada di sampingnya, lebar bagian bawahnya akan menghalangi bagian tersebut untuk menempel, sehingga menyebabkan kekosongan dalam takaran. Jika lapisan di atasnya juga demikian, maka tidak boleh ditakar. Kami berargumen bahwa orang-orang meninggalkan takaran untuk barang semacam ini karena alasan ini, dan tidak boleh melakukan salam dengan takaran untuk barang seperti ini.
Demikian pula barang yang besar dan keras, sehingga ketika dimasukkan ke dalam takaran, satu bagian akan menumpuk secara melintang di atas bagian lainnya, menyebabkan celah di antara bagian yang berdiri di bawahnya. Bagian yang melintang di atasnya akan menutupi celah di bawahnya, dan bagian lainnya akan menumpuk di atasnya, sehingga ada ruang kosong dalam takaran. Contohnya adalah delima, quince, mentimun, terung, dan sejenisnya yang memiliki sifat seperti yang telah saya jelaskan. Tidak boleh melakukan salam dengan takaran untuk barang-barang ini, meskipun kedua pihak yang bertransaksi rela melakukannya.
Adapun barang yang kecil dan dapat memenuhi takaran tanpa meninggalkan celah yang jelas, seperti kurma atau yang lebih kecil lagi dengan bentuk yang seragam, seperti wijen dan sejenisnya, boleh dilakukan salam dengan takaran. (Imam Syafi’i) berkata: Semua yang telah saya sebutkan tidak boleh dilakukan salam dengan takaran, tetapi tidak masalah dilakukan salam dengan timbangan. Setiap jenis barang harus disebutkan namanya yang dikenal, dan jika disyaratkan ukuran besar atau kecil, maka jika yang diserahkan memenuhi syarat ukuran minimal untuk disebut besar dan sesuai timbangan, itu boleh bagi pembeli. Adapun untuk ukuran kecil, minimal harus memenuhi syarat untuk disebut kecil, dan saya tidak perlu membahasnya lebih lanjut.
(Imam Syafi’i) berkata: Contohnya adalah jika seseorang mengatakan, “Saya melakukan salam kepadamu untuk melon Khurasani atau semangka Syam, atau delima Imlisi atau delima Harrani.” Untuk delima, tidak boleh tidak harus disebutkan rasanya, apakah manis, pahit, atau asam. Adapun semangka, rasanya tidak beragam. Dia juga harus menyebutkan ukurannya, besar atau kecil. Demikian pula untuk mentimun, dia harus menyebutkan mentimun panjang atau mentimun bulat, dan untuk ketimun, dia harus menyebutkan ukuran besar atau kecil dan timbangannya. Tidak baik jika hanya mengatakan mentimun besar atau kecil, karena tidak jelas berapa besar atau kecilnya, kecuali jika dia mengatakan sekian dan sekian ritl untuk ukuran kecil dan sekian dan sekian ritl untuk ukuran besar. Demikian pula untuk labu dan sejenisnya. Ini berlaku untuk seluruh bab ini dan analoginya.
(Imam Syafi’i) berkata: Tidak masalah melakukan salam untuk semua jenis sayuran jika setiap jenisnya disebutkan namanya, seperti endive, selada, bawang prei, atau selada, dan jenis apa pun yang dilakukan salam dengan timbangan yang diketahui. Tidak boleh kecuali dengan timbangan. Jika tidak menyebutkan jenis atau timbangannya, maka salam tidak boleh dilakukan. (Imam Syafi’i) berkata: Jika ada barang yang ukuran kecil dan besarnya berbeda, maka tidak boleh kecuali disebutkan kecil atau besar, seperti kembang kol yang ukuran kecil dan besarnya berbeda, atau lobak, wortel, dan sejenisnya yang ukuran kecil dan besarnya memengaruhi rasa dan harga.
(Imam Syafi’i) berkata: Boleh melakukan salam untuk kenari dengan timbangan, meskipun tidak menyebabkan kekosongan dalam takaran seperti yang telah saya jelaskan. Boleh dilakukan salam dengan takaran, tetapi lebih aku sukai dan lebih tepat dengan timbangan. Adapun tebu: Jika disyaratkan tempatnya pada waktu yang tidak terputus dari tangan orang-orang di negeri tersebut, maka tidak masalah melakukan salam dengan timbangan. Tidak boleh melakukan salam dengan timbangan kecuali disyaratkan sifat tebunya jika berbeda-beda. Jika bagian atasnya tidak manis dan tidak bermanfaat, tidak boleh diperjualbelikan kecuali disyaratkan untuk memotong bagian atas yang seperti itu. Jika diperjualbelikan dengan membuang kulitnya dan memotong pangkal akarnya dari bawah, maka tidak masalah.
(Imam Syafi’i) berkata: Tidak boleh melakukan salam untuk tebu dengan ikatan atau jumlah, karena tidak dapat dipastikan batasannya dengan cara itu, meskipun sudah dilihat dan diperiksa. (Imam Syafi’i) berkata: Tidak baik membeli tebu, sayuran, atau barang sejenis lainnya dengan mengatakan, “Saya membeli darimu tanaman ini dan itu.”
Fidan, dan tidak boleh sekian ikat sayuran hingga waktu tertentu; karena hasil tanam itu berbeda-beda, bisa sedikit atau banyak, bagus atau jelek, dan kami merusaknya karena perbedaan dalam jumlah sedikit atau banyak seperti yang telah dijelaskan, bahwa itu tidak bisa diukur, tidak ditimbang, dan tidak diketahui jumlah sedikit atau banyaknya. Tidak boleh membeli ini kecuali dengan melihat langsung. Demikian juga tebu, padi muda, dan segala yang tumbuh dari bumi, tidak boleh menjualnya secara salam (pesanan) kecuali dengan timbangan atau takaran yang jelas, bukan dari tanah tertentu. Jika menjualnya secara salam dari tanah tertentu, maka akad salamnya batal.
Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Demikian juga tidak boleh dalam tebu, padi muda, rumput kering, atau lainnya dengan ikatan atau muatan, tidak boleh kecuali dengan timbangan yang jelas. Begitu juga buah tin dan lainnya, tidak boleh kecuali dengan takaran atau timbangan, dan dari jenis yang diketahui jika jenisnya berbeda. Jika ada yang ditinggalkan dari hal ini, maka tidak boleh akad salam di dalamnya, dan Allah lebih tahu.”
### [Bab Jual Beli Tebu dan Padi Muda]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: ‘Telah mengabarkan kepada kami Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata tentang tebu: “Tidak boleh dijual kecuali dengan potongan (batang).”
Asy-Syafi’i berkata: “Dengan ini kami berpendapat, tidak boleh menjual padi muda kecuali satu ikatan ketika sudah mencapai masa panen, dan pemiliknya mengambil hasil panennya saat membelinya, tidak boleh menundanya lebih lama dari waktu yang memungkinkan untuk memanennya pada hari itu.”
Asy-Syafi’i berkata: “Jika seseorang membelinya dalam keadaan masih tumbuh dengan syarat dibiarkan beberapa hari agar lebih panjang atau lebih besar, lalu dalam hari-hari itu bertambah, maka jual beli itu tidak sah dan akadnya batal. Karena asalnya milik penjual, sedangkan pertumbuhan yang terlihat milik pembeli. Jika bertambah panjang sehingga sebagian dari milik penjual berpindah ke milik pembeli yang belum termasuk dalam akad jual beli, maka pembeli telah diberi sesuatu yang tidak dibelinya, dan diambil dari penjual sesuatu yang tidak dijualnya. Kemudian diberikan kepadanya sesuatu yang tidak jelas, tidak terlihat, tidak bisa ditentukan sifatnya, dan tidak bisa dibedakan mana milik penjual dan mana milik pembeli, sehingga rusak dari berbagai sisi.”
Dia berkata: “Jika seseorang membelinya untuk dipotong, lalu menundanya padahal memungkinkan untuk dipotong dalam waktu yang membuatnya bertambah panjang, maka jual belinya batal jika syaratnya seperti yang disebutkan, yaitu membiarkannya sehingga bercampur dengan milik penjual yang tidak bisa dibedakan. Seperti jika seseorang membeli gandum secara borongan dengan syarat jika ada gandum miliknya yang tercampur, maka termasuk dalam jual beli. Jika yang tercampur adalah gandum milik penjual yang tidak dibeli, maka jual belinya batal karena yang dibeli tidak bisa dibedakan dan tidak diketahui kadarnya dari yang tidak dibeli, sehingga tidak bisa diberikan yang dibeli dan dicegah yang tidak dibeli. Dalam semua ini, penjual menjual sesuatu yang sudah ada dan sesuatu yang belum ada tanpa jaminan, sehingga jika masuk dalam jual beli, maka termasuk, jika tidak, maka tidak. Jual beli semacam ini termasuk yang tidak diperselisihkan keabsahannya oleh kaum Muslimin.
Karena jika seseorang mengatakan, ‘Aku menjual kepadamu sesuatu yang tumbuh di tanahku dengan harga sekian, jika tidak tumbuh atau tumbuh sedikit, harganya tetap harus dibayar,’ maka jual belinya batal. Demikian juga jika dia mengatakan, ‘Aku menjual kepadamu sesuatu yang datang dari daganganku dengan harga sekian, jika tidak datang, harganya tetap harus dibayar,’ maka itu batal.”
Dia berkata: “Tetapi jika seseorang membelinya seperti yang dijelaskan dan menundanya tanpa syarat beberapa hari, padahal bisa dipotong dalam waktu lebih singkat, maka pembeli memiliki hak khiyar (pilihan) untuk membiarkan kelebihannya tanpa harga atau membatalkan jual beli. Seperti jika seseorang menjual gandum borongan, lalu tercampur dengan gandum miliknya, maka penjual berhak memilih antara menyerahkan yang dijual dan kelebihannya atau membatalkan jual beli karena bercampurnya yang dijual dengan yang tidak dijual.”
Dia berkata: “Jika jual beli batal dan tebu terkena musibah yang merusaknya di tangan pembeli, maka pembeli harus menanggungnya sesuai nilainya. Jika terkena musibah yang mengurangi kualitasnya, maka pembeli menanggung kerugiannya, dan tanaman tetap milik penjual.”
Setiap pembeli yang melakukan pembelian yang rusak wajib mengembalikannya sebagaimana dia menerimanya atau yang lebih baik, dan menjaminnya jika rusak, serta menjamin kekurangannya jika ada kekurangan dalam segala hal.
[Bab Salam dalam Benda yang Dicampur untuk Kebutuhan Lain]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Setiap jenis yang boleh dilakukan salam (pesanan) secara terpisah, lalu dicampur dengan sesuatu yang bukan sejenisnya tetapi masih tetap ada (dalam campuran tersebut), dan tidak bisa dipisahkan dalam keadaan apa pun kecuali air, sedangkan benda yang dicampurkan tetap ada di dalamnya, serta termasuk jenis yang sah untuk salam, dan keduanya bercampur tanpa bisa dibedakan—maka tidak sah melakukan salam pada keduanya. Sebab, ketika keduanya bercampur dan tidak bisa dibedakan, aku tidak tahu berapa bagian yang diterima dari masing-masing. Dengan demikian, aku telah melakukan salam pada sesuatu yang tidak jelas (majhul).
Contohnya, jika seseorang memesan 10 rithal suwaik (tepung campuran) kacang almond, maka gula dan minyak almond tidak bisa dibedakan, begitu pula almond jika dicampur dengan salah satunya. Sehingga, pembeli tidak tahu berapa bagian gula, minyak almond, atau almond yang dia terima. Karena seperti ini, akadnya menjadi jual beli yang tidak jelas (gharar).
Demikian pula jika memesan suwaik yang dicampur minyak dengan takaran, karena aku tidak tahu berapa takaran suwaik dan berapa minyaknya. Padahal, suwaik bisa bertambah takarannya karena minyak. Sekalipun takarannya tidak bertambah, tetap tidak sah karena aku membeli suwaik dan minyak, sedangkan minyaknya tidak jelas meskipun suwaiknya diketahui.
(Imam Syafi’i berkata):
Dalam makna yang lebih luas, salam juga tidak sah jika memesan faludzaj (makanan manis dari tepung, madu, dll.). Bahkan jika dikatakan “yang dominan manis” atau “yang dominan lemak”, tetap tidak sah karena aku tidak tahu berapa kadar tepung, madu, gula, atau lemak (samn atau lainnya) di dalamnya. Aku juga tidak tahu apakah rasa manisnya berasal dari madu lebah atau lainnya, atau dari jenis madu apa. Begitu pula dengan kadar lemaknya.
Seandainya faludzaj bisa diketahui kadarnya, atau suwaik yang banyak minyaknya diketahui, tetapi karena tercampur tanpa bisa dipisahkan, maka tetap tidak jelas. Dalam makna yang sama, salam juga tidak sah jika memesan beberapa rithal hais (campuran kurma, keju kering, dan samn), karena tidak diketahui kadar kurma, keju kering, dan samn di dalamnya.
(Imam Syafi’i berkata):
Dalam makna yang serupa, salam juga tidak sah pada daging yang dimasak dengan bumbu, garam, dan cuka. Begitu pula ayam yang diisi dengan tepung dan bumbu, atau tepung saja, atau lainnya, karena pembeli tidak tahu berapa banyak bumbu yang digunakan atau berapa bagian ayam dan isiannya, mengingat ukuran perut ayam dan isiannya berbeda-beda.
Sekalipun bisa ditakar dengan timbangan, tetap tidak sah, karena meskipun berat totalnya bisa diketahui, tetapi berat masing-masing komponen tidak bisa dipastikan, begitu pula takarannya.
(Imam Syafi’i berkata):
Ada alasan lain yang merusak keabsahannya, yaitu jika disyaratkan tepung yang bagus atau madu yang bagus, maka kualitas tepung atau madu setelah diolah tidak bisa diketahui karena pengaruh api dan percampuran keduanya. Sehingga, tidak bisa dipastikan apakah sesuai dengan syarat atau tidak.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika melakukan salam pada daging panggang dengan timbangan atau daging masak, tidak sah. Sebab, salam pada daging hanya sah jika disertai sifat tertentu (seperti kadar lemak), sedangkan pada daging panggang, kadar lemaknya bisa tidak jelas jika tidak sangat gemuk, atau bisa saja kurus sehingga tidak bisa dibedakan bagian yang kurus dan yang berlemak jika hampir sama.
Apalagi jika dagingnya sudah dimasak, semakin sulit diketahui bagian berlemaknya, karena bagian kurus bisa tercampur dengan bagian berlemak, dan ada bagian daging yang tidak mengandung lemak sama sekali. Jika daging dipotong, sebagiannya mungkin menunjukkan kadar lemak, tetapi jika menyatu dengan bagian lainnya, sulit dibedakan.
(Imam Syafi’i berkata):
Tidak sah melakukan salam pada sesuatu yang diserahkan dalam keadaan berubah, karena tidak bisa dipastikan apakah itu benda yang sama, baik takarannya berubah atau tidak.
Misalnya, seseorang memesan satu sha’ gandum dengan syarat akan dibayarkan dalam bentuk tepung, baik disebutkan takaran tepungnya atau tidak. Sebab, jika dia mensyaratkan jenis dan kualitas gandum tertentu, lalu gandum itu diubah menjadi tepung, maka tepung tersebut menjadi samar dalam dua hal:
- Bisa jadi gandum yang disyaratkan mengandung banyak air, lalu digiling dengan gandum yang mirip (seperti gandum Syam).
Tidak berair, dan ini tidak menyelesaikan, dan yang lain adalah bahwa dia tidak mengetahui takaran tepung; karena bisa bertambah banyak jika digiling dan berkurang, dan pembeli tidak memenuhi takaran gandum, melainkan menerima perkataan penjual (dia berkata): Dan mungkin orang lain merusaknya dari sudut lain dengan mengatakan bahwa penggilingannya adalah sewa yang memiliki nilai yang tidak disebutkan dalam pokok pinjaman. Jadi jika dia memiliki izin, maka harga gandum tidak diketahui dari nilai sewa, sehingga menjadi pinjaman yang tidak jelas (Asy-Syafi’i berkata): Dan ini adalah sudut pandang lain yang ditemukan oleh orang yang merusaknya dalam mazhab, dan Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui.
(Dia berkata): Dan ini tidak seperti meminjamkannya dalam tepung yang dijelaskan; karena dia tidak menjamin gandum yang dijelaskan dan mensyaratkan pekerjaan dalam keadaan apa pun, dia hanya menjamin tepung yang dijelaskan. Demikian juga, jika dia meminjamkannya untuk kain yang dijelaskan dengan ukuran yang digunakan untuk menggambarkan pakaian, itu diperbolehkan. Tetapi jika dia meminjamkannya untuk benang yang dijelaskan dengan syarat dibuatkan pakaian, itu tidak diperbolehkan karena sifat benang tidak diketahui dalam pakaian, dan bagian benang dari bagian pekerjaan tidak diketahui. Jika pakaian itu dijelaskan, sifatnya diketahui (dia berkata): Dan segala sesuatu yang dipinjamkan dan bisa diperbaiki dengan sesuatu darinya dan bukan yang lain, maka syaratnya adalah perbaikan, dan itu tidak masalah, seperti meminjamkan untuk pakaian yang dijahit atau diwarnai atau lainnya dari pewarnaan benang. Ini karena pewarnaan di dalamnya seperti warna asli pakaian dalam kecokelatan dan keputihan, dan pewarnaan tidak mengubah sifat pakaian dalam kehalusan, kekasaran, atau lainnya, seperti tepung berubah dengan pengadukan, dan warnanya tidak diketahui, dan mungkin dibeli atasnya, serta rasanya, dan kebanyakan dibeli atasnya. Tidak baik meminjamkan untuk pakaian yang dijelaskan dengan syarat diwarnai secara celup karena batas pencelupan tidak bisa ditentukan, dan ada pakaian yang menyerap lebih banyak celupan daripada yang lain dalam ukuran, dan transaksi terjadi pada dua hal terpisah, satu pakaian dan yang lain pewarnaan. Jadi pakaian, meskipun diketahui diwarnai dengan jenisnya, pewarnaannya tidak diketahui jumlahnya dan itu dibeli, dan tidak baik membeli dengan tenggat waktu yang tidak diketahui. Ini tidak seperti meminjamkan untuk pakaian bergaris karena pewarnaan adalah hiasannya, dan pakaian tidak dibeli kecuali dengan pewarnaan ini yang melekat padanya seperti pekerjaan menenun, dan warna benang di dalamnya tetap tidak mengubah sifatnya. Jika seperti ini, diperbolehkan. Jika pakaian dibeli tanpa pewarnaan kemudian pewarnaan dimasukkan sebelum pakaian diterima dan pewarnaan diketahui, itu tidak diperbolehkan karena alasan yang telah dijelaskan bahwa benang pakaian tidak diketahui, dan jumlah pewarnaan tidak diketahui.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak masalah meminjamkan untuk pakaian yang dijelaskan yang akan diberikan kepadanya dengan pemotongan yang diketahui atau dicuci dengan bersih dari tepung yang digunakan untuk menenunnya. Tidak baik meminjamkan untuk pakaian yang telah dipakai atau dicuci sekali karena bisa dicuci sekali setelah rusak dan sebelumnya, sehingga batasnya tidak bisa ditentukan. Tidak baik meminjamkan untuk gandum yang dibasahi karena pembasahan tidak bisa ditentukan batasnya, dan gandum bisa berubah sehingga sifatnya tidak bisa ditentukan seperti ketika kering. Tidak baik meminjamkan untuk kayu cendana yang dibasahi meskipun berat pembasahan dijelaskan; karena tidak mungkin menimbang pembasahan dan memisahkan beratnya dari berat kayu, dan tidak bisa dikontrol karena mungkin ada campuran lain yang mencegah indikasi pembasahan untuk kualitas kayu. Demikian juga, tidak baik meminjamkan untuk minyak wangi atau minyak apa pun yang mengandung beban; karena sifatnya tidak diketahui, jumlah yang dimasukkan tidak diketahui, dan yang dimasukkan tidak bisa dibedakan (dia berkata): Tidak masalah meminjamkan untuk minyak biji ban sebelum dicampur dengan sesuatu dengan berat, tetapi aku tidak menyukainya jika dicampur; karena jumlah campurannya tidak diketahui. Jika dijelaskan dengan aroma, aku tidak menyukainya karena batas aroma tidak bisa ditentukan. Dia berkata, dan aku tidak menyukainya untuk semua minyak wangi sebelum diterima. Demikian juga jika meminjamkan untuk minyak yang diberi wewangian atau pakaian yang diberi wewangian; karena batas wewangian tidak bisa ditentukan seperti warna dan lainnya yang telah disebutkan, bahwa minyak dari berbagai negara berbeda dalam ketahanan aroma terhadap air, keringat, dan usia dalam kehangatan dan lainnya. Jika mensyaratkan minyak dari negara tertentu yang telah disebutkan, itu tidak jelas seperti kejelasan pakaian yang diketahui dari negara pembuatnya, warna, dan lainnya. Dia berkata: Tidak masalah meminjamkan untuk baskom atau wadah dari tembaga merah, putih, kuningan, timah, atau besi, dan mensyaratkannya dengan kapasitas yang diketahui, ditempa atau dicetak, dengan kerajinan yang diketahui, dan menggambarkannya dengan ketebalan atau kehalusan, serta menetapkan tenggat waktu seperti halnya pakaian. Jika dia membawanya sesuai dengan nama sifat dan syarat yang disepakati, itu mengikatnya dan dia tidak boleh menolaknya (dia berkata): Demikian juga setiap…
Terjemahan ke Bahasa Indonesia:
Wadah dari Jenis yang Sama dengan Sifat yang Ditentukan
Seperti baskom atau botol, jika sifatnya ditentukan, maka itu sah. Jika ditentukan dengan syarat volume dan berat, itu lebih tepat. Jika hanya ditentukan volume tanpa berat, tetap sah, seperti membeli kain dengan ukuran dan sifat tertentu. Namun, pembayaran harus dilakukan saat itu juga. Ini adalah jual beli dengan sifat yang dijamin, sehingga pembayaran harus tunai dan barang harus sesuai deskripsi.
Jika disyaratkan membuat baskom dari campuran tembaga dan besi atau tembaga dan timah, itu tidak sah karena tidak bisa dipastikan proporsi masing-masing. Ini berbeda dengan pewarnaan kain, yang hanya bersifat hiasan dan tidak mengubah sifat aslinya.
Pembelian Barang yang Dibuat Khusus
Tidak diperbolehkan memesan topi berisi kapas karena berat dan sifat kapas tidak bisa ditentukan dengan pasti. Begitu juga dengan sepatu atau sandal yang dijahit, karena ukuran panjang, lebar, atau bahan kulitnya tidak bisa dipastikan. Barang semacam ini hanya boleh dibeli secara tunai.
Namun, boleh memesan piring atau gelas dengan ukuran, kedalaman, dan bahan yang jelas. Jika terbuat dari kaca, jenis dan ketebalan kaca harus ditentukan. Lebih baik jika beratnya juga ditentukan, meski tidak wajib.
Pembelian Bata
Boleh membeli bata dengan panjang, lebar, dan ketebalan tertentu, serta jenis tanah liat yang jelas. Jika disertai berat, lebih baik. Jika tidak, tetap sah selama volumenya jelas.
Larangan Membeli Susu untuk Diproses
Tidak boleh membeli susu dengan syarat diolah menjadi keju, karena tidak bisa dipastikan berapa kayu bakar yang digunakan atau risiko susu yang mungkin rusak selama proses.
Bab: Pembayaran Diperbolehkan dengan Mengambil Sebagian Modal dan Sebagian Piutang
Jika seseorang meminjamkan emas untuk makanan dengan sifat tertentu, dan saat jatuh tempo penjual masih memiliki makanan yang harus dipenuhi, pembeli boleh mengambil seluruhnya, sebagian, atau menunda pembayaran. Ia juga boleh membatalkan transaksi sebagian atau seluruhnya jika disepakati.
Namun, jika makanan sudah jatuh tempo dan penjual menawarkan barang lain sebagai pengganti, itu tidak boleh karena Rasulullah ﷺ bersabda, *”Barangsiapa membeli makanan, jangan menjualnya sebelum menerimanya sepenuhnya.”*
Pembatalan Bukan Penjualan
Pembatalan transaksi bukanlah jual beli, melainkan penghapusan perjanjian sebelumnya. Jika ada yang bertanya tentang dalilnya, ini berdasarkan logika yang jelas dan cukup.
Pertanyaan tentang Riwayat Sahabat
Jika ditanya apakah ada riwayat dari sahabat Rasulullah ﷺ tentang hal ini, jawabannya adalah tidak disebutkan secara khusus dalam teks ini.
*(Catatan: Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa hukum Islam klasik yang formal dan jelas.)*
– صلى الله عليه وسلم -? Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Atha’, dan Amr bin Dinar (diberitakan oleh Ar-Rabi’) berkata, diberitakan oleh Asy-Syafi’i berkata, diberitakan oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij bahwa Atha’ tidak mempermasalahkan jika seseorang mengambil kembali sebagian modalnya, menangguhkan pembayaran, atau mengambil sebagian barang dan menangguhkan sisanya. (Diberitakan oleh Ar-Rabi’) berkata, diberitakan oleh Asy-Syafi’i berkata, diberitakan oleh Sa’id bin Salim Al-Quddah dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’: “Aku meminjamkan satu dinar untuk sepuluh farq (takaran), lalu jatuh tempo. Bolehkah aku mengambil lima farq jika aku mau dan mencatat setengah dinar sebagai hutang?” Atha’ menjawab: “Ya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Karena jika ia membatalkan sebagian, maka ia berhak atas modal dari bagian yang dibatalkan, baik ia menuntutnya atau menundanya. Sebab, jika hutang telah jatuh tempo, boleh mengambilnya atau menangguhkannya kapan saja. (Diberitakan oleh Ar-Rabi’) berkata, diberitakan oleh Asy-Syafi’i berkata, diberitakan oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Amr bin Dinar bahwa ia tidak mempermasalahkan mengambil sebagian modal dan sebagian makanan, atau mengambil sebagian makanan dan mencatat sisa modal. (Diberitakan oleh Ar-Rabi’) berkata, diberitakan oleh Asy-Syafi’i berkata, diberitakan oleh Sufyan dari Salamah bin Musa dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Yang dikenal adalah mengambil sebagian makanan dan sebagian dinar.”
(Diberitakan oleh Ar-Rabi’) berkata, diberitakan oleh Asy-Syafi’i berkata, diberitakan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’: “Seorang laki-laki meminjamkan kain untuk makanan, lalu ia menawarkan harga kain saat itu.” Atha’ menjawab: “Tidak, kecuali modalnya atau kainnya.” (Asy-Syafi’i berkata): Perkataan Atha’ tentang kain adalah bahwa kain juga tidak boleh dijual sampai dilunasi, seolah-olah ia berpendapat seperti makanan. (Diberitakan oleh Ar-Rabi’) berkata, diberitakan oleh Asy-Syafi’i berkata, diberitakan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’: “Aku meminjamkan makanan, lalu jatuh tempo, lalu ia menawarkan makanan lain, farq dengan farq, tanpa kelebihan antara yang diberi dan yang dihutang.” Atha’ menjawab: “Tidak masalah, itu bukan jual-beli, melainkan pembayaran.” (Asy-Syafi’i berkata): Ini seperti perkataan Atha’, insya Allah Ta’ala.
Karena ia meminjamkannya dengan sifat tertentu, bukan barang tertentu. Jika ia datang dengan sifat yang sama, maka itu adalah pembayaran haknya. Sa’id bin Salim berkata: “Jika ia meminjamkan gandum Syam, lalu mengambil gandum lain, tidak masalah.” Ini seperti pendapatnya dalam emas. (Asy-Syafi’i berkata): Ini, insya Allah, seperti perkataan Sa’id. Tetapi jika seratus farq jatuh tempo yang dibeli dengan seratus dinar, lalu ia membayar dengan seribu dirham, itu tidak boleh. Yang boleh hanya pembatalan. Jika dibatalkan, maka modalnya tetap menjadi haknya. Jika terbebas dari makanan dan berubah menjadi emas, mereka boleh bertransaksi dengan emas sesuka hati atau saling menerima sebelum berpisah dari barang atau lainnya.
[Bab Mengalihkan Pinjaman ke Lainnya]
(Diberitakan oleh Ar-Rabi’) berkata, diberitakan oleh Asy-Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Sa’id bahwa keduanya berkata: “Siapa yang meminjamkan dalam jual-beli, jangan dialihkan ke lainnya, dan jangan dijual sampai diterima.” Ia berkata: “Ini seperti yang diriwayatkan dari keduanya, insya Allah Ta’ala. Ini menunjukkan bahwa barang yang dibeli tidak boleh dijual sampai diterima, sesuai pendapat kami bahwa setiap jual-beli tidak boleh dijual sampai dilunasi.” (Diberitakan oleh Ar-Rabi’) berkata, diberitakan oleh Asy-Syafi’i berkata, diberitakan oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Atha’ bahwa ia ditanya tentang seorang laki-laki yang membeli barang tidak tunai dan telah membayar harganya, lalu ketika melihatnya, ia tidak puas, lalu mereka ingin mengalihkan jual-beli ke barang lain sebelum harga diterima. Atha’ menjawab: “Tidak boleh.” Seolah-olah barang datang tidak sesuai sifat, dan mengalihkan jual-beli ke barang lain adalah menjual barang sebelum diterima.
Ia berkata: “Jika seseorang meminjamkan dirham untuk seratus sha’ gandum, dan rekannya meminjamkan dirham untuk seratus sha’ gandum, dengan sifat dan waktu jatuh tempo yang sama atau berbeda, tidak masalah. Masing-masing berhak atas seratus sha’ gandum dengan sifat dan tempo tersebut, dan tidak dianggap qishash (tukar-menukar). Sebab, jika gandum ditukar dengan gandum, itu adalah jual-beli makanan sebelum diterima dan pertukaran dirham dengan dirham, karena penyerahannya di hari berbeda termasuk jual-beli tempo. Barangsiapa meminjamkan makanan dengan takaran atau timbangan, lalu pinjaman jatuh tempo, lalu pemilik pinjaman berkata: ‘Ambillah semua makananku…'”
Wanita dan Pisahkan di Tempatmu Sampai Aku Datang untuk Memindahkannya
Lalu dia melakukannya dan makanan dicuri, maka itu menjadi tanggungan penjual. Ini tidak dianggap sebagai penerimaan oleh pemilik makanan. Bahkan jika penjual menakar untuk pembeli atas perintahnya sampai dia menerima atau wakilnya menerima, barulah penjual terbebas dari tanggungan saat itu.
### Bab Hak Pilih dalam Salam (Pesanan)
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Tidak boleh ada hak pilih dalam transaksi salam. Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Aku membeli darimu 100 sha’ kurma seharga 100 dinar yang akan aku bayar sekarang, dengan tempo satu bulan, dengan syarat aku berhak memilih setelah kita berpisah dari tempat transaksi ini, atau kamu yang berhak memilih, atau kita berdua berhak memilih,” maka jual beli seperti ini tidak sah. Berbeda dengan jual beli barang nyata di mana kedua pihak boleh mengatur hak pilih hingga tiga hari.
Demikian pula, jika dia berkata, “Aku membeli darimu 100 sha’ kurma seharga 100 dinar dengan syarat aku berhak memilih selama sehari. Jika aku rela, aku akan memberimu dinar; jika tidak, transaksi antara kita batal,” maka ini tidak sah. Sebab ini adalah jual beli barang yang disifatkan, dan jual beli seperti ini tidak sah kecuali jika pembeli menerima harganya sebelum mereka berpisah. Karena penerimaan dalam salam adalah penerimaan kepemilikan. Jika dia menerima uang orang lain dengan syarat ada hak pilih, maka itu bukan penerimaan kepemilikan.
Hak pilih juga tidak boleh diberikan kepada salah satu pihak. Jika hak pilih ada pada pembeli, penjual tidak memiliki apa yang telah dia berikan. Jika hak pilih ada pada penjual, dia tidak memiliki apa yang dia jual, karena mungkin dia memanfaatkan uangnya lalu mengembalikannya. Maka, jual beli dalam salam hanya sah jika tanpa hak pilih.
Demikian pula, tidak boleh seseorang memberikan pinjaman 100 dinar kepada orang lain dengan syarat dia akan menyerahkan 100 sha’ barang yang disifatkan pada waktu tertentu, lalu ketika jatuh tempo, pihak yang berutang makanan memiliki hak pilih antara menyerahkan barang pesanan atau mengembalikan modalnya. Transaksi harus pasti antara keduanya.
Juga tidak boleh dia mengatakan, “Jika kamu menahanku dari modalku, maka aku berhak tambahan sekian.” Dua syarat seperti ini tidak boleh kecuali jika syaratnya satu dan jelas.
### Bab Kewajiban Pemberi Pinjaman (Musallif) Terhadap Peminjam (Musallaf) dari Syaratnya
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Jika peminjam menghadirkan barang yang dipesan (salam) berupa makanan, lalu terjadi perselisihan tentangnya, maka orang yang berilmu tentang hal itu harus dimintai pendapat. Jika syarat pembeli adalah makanan yang baik dan baru, maka ditanyakan, “Apakah ini baik dan baru?” Jika mereka menjawab, “Ya,” lalu ditanya lagi, “Apakah ini termasuk dalam kategori kualitas baik?” Jika mereka menjawab, “Ya,” maka peminjam wajib menerima minimal yang termasuk dalam kategori sifat tersebut, baik dari segi kualitas maupun lainnya. Pemberi pinjaman (musallif) terbebas dari tanggungan, dan peminjam (musallaf) wajib menerimanya.
Hal yang sama berlaku untuk pakaian. Misalnya, jika dikatakan, “Ini kain dari tenunan Yaman, jenis Yusufi, panjang sekian, lebar sekian, halus atau tebal, baik atau buruk, dan apakah termasuk kategori kualitas baik?” Jika mereka menjawab, “Ya,” maka minimal yang termasuk kategori kualitas baik membebaskan pemberi pinjaman dan mewajibkan peminjam.
Demikian pula untuk kain halus dan segala sesuatu yang disifati dengan kualitas tertentu. Jika barang memenuhi minimal sifat dan kualitas yang disyaratkan, maka itu membebaskan pemberi pinjaman. Sebaliknya, jika yang disyaratkan adalah barang buruk, maka barang buruk itulah yang wajib diterima.
(Imam Syafi’i berkata):
Said bin Salim Al-Qaddah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, dia berkata, “Jika kamu memberi pinjaman (salam), maka ketika hakmu jatuh tempo, pastikan barang yang dipesan sesuai syarat yang telah kamu bayar. Kamu tidak punya hak pilih jika syarat telah dipenuhi.”
(Imam Syafi’i berkata):
Jika barang yang datang melebihi kualitas terbaik melebihi minimal yang termasuk kategori kualitas baik, maka kelebihan itu adalah bentuk kebaikan (tathawwu’) dari pemberi pinjaman, dan pembeli wajib menerimanya. Sebab, kelebihan dalam kategori kualitas baik adalah lebih baik baginya, kecuali dalam kondisi tertentu yang akan dijelaskan nanti, insya Allah Ta’ala.
[BAB PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA DUA PIHAK YANG BERJUAL BELI DALAM SALAF JIKA PIHAK YANG MEMBERI SALAF MELIHATNYA]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Seandainya seseorang memberikan salaf kepada orang lain berupa emas untuk makanan yang telah dijelaskan sifatnya, seperti gandum, kismis, kurma, jelai, atau lainnya, dan ia memberikan salaf untuk jenis kurma yang jelek, lalu si penerima salaf memberikan kurma yang lebih baik dari yang jelek atau yang bagus dengan yang lebih baik dari yang wajib diberikan—selama tidak keluar dari jenis yang disalafkan, baik itu kurma ‘ajwah, shaihani, atau lainnya—maka pihak yang memberi salaf wajib menerimanya. Sebab, yang jelek tidak mencukupi kecuali yang bagus, dan ada kelebihan padanya. Demikian pula jika kita mewajibkan standar minimal yang bisa disebut “bagus,” lalu ia memberikan yang lebih tinggi kualitasnya, maka yang lebih tinggi itu lebih mencukupi daripada yang lebih rendah. Ia telah memberikan yang lebih baik dari yang wajib, dan tidak keluar dari jenis yang wajib disebut “bagus,” sehingga tidak keluar dari syarat ke selain syarat. Namun, jika berbeda nama atau jenis, ia tidak boleh dipaksa menerimanya dan boleh memilih antara menolak atau menerima.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula pendapat ini berlaku untuk semua jenis kismis dan makanan yang diketahui takarannya. Beliau menjelaskan: Seandainya seseorang memberikan salaf untuk kurma ‘ajwah, lalu si penerima memberikan kurma barani (yang lebih baik berkali-kali lipat), aku tidak memaksanya untuk menerimanya karena itu berbeda jenis dari yang disalafkan. Bisa jadi ia menginginkan ‘ajwah untuk suatu keperluan yang tidak cocok dengan barani. Demikian pula semua makanan jika jenisnya berbeda, karena ini berarti memberikan di luar syarat, meskipun lebih baik.
(Imam Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku untuk madu. Dalam madu, tidak cukup tanpa menyebut sifatnya, apakah putih, kuning, atau kehijauan, karena warnanya mempengaruhi nilai. Demikian pula segala sesuatu yang memiliki warna yang membedakannya dari yang lain, baik hewan maupun selainnya.
Beliau berkata: Jika seseorang memberikan salaf berupa perak putih yang bagus, lalu si penerima membawa perak putih yang melebihi standar minimal “bagus,” atau jika ia memberikan salaf berupa emas merah yang bagus, lalu si penerima membawa emas merah yang melebihi standar minimal “bagus,” maka ia wajib menerimanya. Demikian pula jika ia memberikan salaf berupa kuning merah yang bagus, lalu si penerima membawa merah yang melebihi standar minimal “bagus,” ia wajib menerimanya.
Namun, jika ia memberikan salaf berupa kuning merah, lalu si penerima membawa putih—sementara putih cocok untuk keperluan yang tidak cocok untuk merah—maka ia tidak wajib menerimanya jika kedua warna berbeda dalam hal kegunaan, di mana salah satunya tidak cocok. Pembeli hanya wajib menerima yang sesuai dengan sifat yang disalafkan. Demikian pula jika warnanya mempengaruhi harga, pembeli hanya wajib menerima sesuai sifat salafnya. Adapun jika warnanya tidak mempengaruhi harga atau kegunaan bagi pembeli, dan salah satunya tidak lebih bernilai, maka perbedaannya hanya pada nama, sehingga warna tidak dipertimbangkan.
[BAB KEWAJIBAN DALAM SALAF JIKA BERBEDA DENGAN SIFAT]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang memberikan salaf untuk kain marwi yang tebal, lalu si penerima membawa kain tipis yang lebih mahal dari yang tebal, aku tidak mewajibkannya menerimanya. Sebab, kain tebal lebih menghangatkan daripada yang tipis dan mungkin lebih tahan lama. Selain itu, itu menyalahi sifat yang disepakati.
Beliau berkata: Demikian pula jika seseorang memberikan salaf untuk seorang budak dengan sifat tertentu, misalnya “tampan,” lalu si penerima membawa budak yang melebihi sifatnya kecuali dalam ketampanan, aku tidak mewajibkannya menerimanya karena ia tidak tampan dan keluar dari sifat yang disepakati.
Demikian pula jika ia memberikan salaf untuk budak dengan sifat “berbadan besar dan kuat,” lalu si penerima membawa budak yang tampan tapi tidak kuat—meskipun lebih mahal—ia tidak wajib menerimanya. Sebab, yang kuat lebih bermanfaat daripada yang tampan, sementara yang tampan lebih mahal. Aku tidak pernah mewajibkan penerimaan sesuatu yang lebih baik dari syarat kecuali jika sesuai dengan sifatnya dan melebihinya. Adapun jika ia menambah…
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
[Pasal tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam salam]
(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Tidak boleh melakukan salam (pesanan dengan pembayaran di muka) pada gandum dari tanah milik seseorang tertentu dengan sifat tertentu, karena bencana mungkin menimpanya pada waktu jatuh tempo salam, sehingga penjual tidak wajib memberikannya sesuai sifat yang disepakati dari sumber lain. Sebab transaksi terjadi pada barang tersebut, dan pembeli telah memanfaatkan uangnya untuk sesuatu yang tidak wajib dipenuhi. Jual beli terbagi dua tanpa ada ketiga: jual beli barang tunai tanpa tempo, dan jual beli berdasarkan sifat dengan tempo atau tanpa tempo, yang menjadi tanggungan penjual. Jika menjual berdasarkan sifat dari komoditas tertentu, pembeli boleh mengambil dari mana saja. Beliau berkata: Jika keluar dari jenis jual beli yang diperbolehkan, maka jual beli barang yang tidak diketahui lebih pantas untuk dibatalkan.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula buah dari kebun tertentu, hasil ternak tertentu, desa tertentu yang tidak terjamin, atau keturunan hewan tertentu. Jika yang dipesan adalah sesuatu yang biasanya terjamin tidak terputus sumbernya dan tidak berubah pada waktu jatuh tempo, maka boleh. Jika yang dipesan adalah sesuatu yang biasanya tidak terjamin kelestarian sumbernya, maka tidak boleh. Beliau berkata: Begitu pula jika memesan susu hewan ternak tertentu dengan takaran dan sifat tertentu, tidak boleh, meskipun diambil dan diperah saat itu juga, karena bencana mungkin terjadi sebelum semua pesanan terpenuhi. Kami tidak membolehkan dalam hal ini kecuali seperti yang telah dijelaskan: jual beli barang tertentu yang tidak menanggung selainnya jika rusak, atau jual beli berdasarkan sifat yang terjamin tidak langka di tangan orang saat jatuh tempo.
Adapun sesuatu yang mungkin langka di tangan orang, maka salam di dalamnya batal. (Imam Syafi’i berkata): Jika melakukan salam yang batal dan telah diterima, harus dikembalikan. Jika sudah habis, wajib mengganti dengan yang serupa jika ada, atau nilainya jika tidak ada, dan modal harus dikembalikan. Demikianlah seluruh pasal ini dan analoginya.
[Pasal tentang perbedaan pendapat antara pemberi dan penerima salam]
(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Jika pemberi dan penerima salam berselisih, misalnya pembeli berkata, “Aku memesan 100 dinar untuk 200 sha’ gandum,” sedangkan penjual berkata, “Engkau memesanku 100 dinar untuk 100 sha’ gandum,” maka penjual harus bersumpah bahwa ia hanya menjual 100 sha’ untuk 100 dinar yang diterimanya. Jika ia bersumpah, pembeli diberi pilihan: menerima 100 sha’ yang diakui penjual, atau bersumpah bahwa ia membeli 200 sha’ karena penjual mengklaim kepemilikan 100 dinar untuk 100 sha’, sementara pembeli mengingkarinya. Jika pembeli bersumpah, transaksi batal.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika mereka berselisih tentang barang yang dibeli, misalnya pembeli berkata, “Aku memesan 200 dinar untuk 100 sha’ kurma,” sedangkan penjual berkata, “Tapi engkau memesanku 100 sha’ jagung,” atau pembeli berkata, “Aku memesan 100 sha’ kurma jenis Barhi,” sedangkan penjual berkata, “Tapi engkau memesanku 100 sha’ kurma Ajwah,” atau pembeli berkata, “Aku memesan barang dengan sifat tertentu,” sedangkan penjual berkata, “Tapi engkau memesanku barang tanpa sifat tertentu,” maka penyelesaiannya seperti yang dijelaskan: penjual bersumpah, lalu pembeli memilih antara menerima pengakuan penjual tanpa sumpah, atau bersumpah untuk membebaskan diri dari klaim penjual, dan transaksi batal.
(Ar-Rabi’ berkata): Jika pembeli mengambil barang sementara penjual mengingkarinya, maka jika penjual mengakui, pembeli boleh mengambilnya; jika tidak, tidak boleh.
Dia diperbolehkan jika mengingkarinya, dan akad salam (pesanan) batal setelah mereka berdamai.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika mereka sepakat tentang barang tetapi berbeda pendapat tentang tenggat waktu, di mana pemberi pinjaman mengatakan tenggatnya satu tahun, sedangkan penjual mengatakan dua tahun, maka penjual harus bersumpah dan pembeli diberi pilihan. Jika pembeli menerima, (itu sah). Jika tidak, dia harus bersumpah dan akadnya dibatalkan. Jika harga dalam semua kasus ini berupa dinar, dirham, atau makanan, maka harus dikembalikan dalam bentuk yang sama. Jika tidak ada, maka dikembalikan nilainya.
Demikian pula jika pinjamannya berupa barang yang tidak ditakar atau ditimbang, lalu barang itu hilang, maka harus dikembalikan nilainya. Beliau berkata: Pendapat yang sama berlaku untuk jual beli barang nyata jika mereka berselisih tentang harga, tenggat waktu, atau barang yang dijual. Misalnya, penjual mengatakan, “Aku menjual budak ini kepadamu dengan harga seribu,” dan budak itu sudah tidak ada, sedangkan pembeli mengatakan, “Aku membelinya darimu dengan harga lima ratus,” dan budak itu sudah mati. Maka keduanya harus bersumpah, dan nilai budak itu dikembalikan, meskipun nilainya kurang dari lima ratus atau lebih dari seribu. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula setiap perselisihan mengenai takaran, kualitas, atau tenggat waktu.
Beliau juga berkata: Jika mereka sepakat tentang jual beli dan tenggat waktu, lalu penjual mengatakan, “Belum ada bagian dari tenggat waktu yang berlalu,” atau “Hanya sedikit yang berlalu,” sedangkan pembeli mengatakan, “Seluruhnya sudah berlalu,” atau “Hanya tersisa sedikit,” maka perkataan penjual yang diikuti sumpahnya yang diterima, dan pembeli harus mendatangkan bukti.
(Imam Syafi’i berkata) – rahimahullah -: Akad jual beli mereka tidak batal dalam hal ini karena mereka telah sepakat tentang harga, barang, dan tenggat waktu. Adapun jika mereka berselisih tentang dasar akad, seperti pembeli mengatakan, “Aku membeli dengan tenggat satu bulan,” sedangkan penjual mengatakan, “Aku menjual dengan tenggat dua bulan,” maka keduanya harus bersumpah dan saling mengembalikan, karena perselisihan mereka terkait hal yang membatalkan akad, sedangkan dalam kasus sebelumnya tidak ada perselisihan.
(Imam Syafi’i berkata): Seperti halnya seseorang yang menyewa orang lain selama satu tahun dengan sepuluh dinar, lalu pekerja mengatakan, “Waktunya sudah habis,” sedangkan penyewa mengatakan, “Belum habis,” maka perkataan penyewa yang diterima, dan pekerja harus mendatangkan bukti, karena dia mengakui sesuatu yang dia klaim telah keluar darinya.
[Bab Salam (Pesanan) pada Barang Tertentu, Baik yang Hadir Maupun Tidak]
(Imam Syafi’i berkata) – rahimahullah -: Jika seseorang meminjamkan seratus dinar kepada orang lain untuk barang tertentu dengan syarat barang itu diterima setelah satu hari atau lebih, maka akad salam itu rusak. Jual beli barang tertentu tidak sah jika barang itu dijamin oleh penjual dalam segala kondisi, karena tidak ada jaminan barang itu tidak hilang, dan pemiliknya tidak memiliki hak untuk mengambilnya kapan saja dia mau. Penjual tidak boleh menghalangi pembeli untuk mengambil barang begitu harga dibayarkan, meskipun dengan tenggat waktu, karena barang itu bisa rusak dalam waktu tersebut, sekalipun sebentar. Dengan demikian, pembeli membeli sesuatu yang tidak dijamin oleh penjual dalam kondisi tertentu yang harus dipenuhi, sementara penjual tidak memiliki kepemilikan penuh atas barang itu untuk diserahkan ketika hak pembeli sudah jatuh tempo dan dia mampu menerimanya.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, tidak sah menyewa hewan tunggangan tertentu dengan bayaran di muka untuk dikendarai setelah satu hari atau lebih, karena hewan itu bisa mati atau mengalami kerusakan sehingga tidak bisa dikendarai. Namun, boleh meminjamkan dengan jaminan muatan yang diketahui. Jual beli barang tertentu tidak sah dengan tenggat waktu; yang boleh ditangguhkan hanyalah jual beli yang dijamin dengan sifat tertentu.
Demikian pula, tidak boleh mengatakan, “Aku menjual budak perempuanku ini dengan budakmu, dengan syarat kamu menyerahkan budakmu setelah satu bulan,” karena budak itu bisa melarikan diri, mati, atau berkurang nilainya dalam waktu satu bulan.
(Imam Syafi’i berkata): Kerusakan akad semacam ini karena keluar dari ketentuan jual beli yang diakui dalam Islam, dan karena harga di dalamnya tidak diketahui. Yang dianggap diketahui adalah apa yang diterima pembeli atau apa yang dia tinggalkan penerimaannya, sementara penjual tidak boleh menghalanginya.
Beliau berkata: Tidak masalah jika aku menjual budakku ini atau menyerahkannya kepadamu dengan imbalan budak yang sudah jelas sifatnya, dua budak, satu unta, dua unta, satu kayu, atau dua kayu, asalkan itu jelas sifatnya dan dijamin, karena hakku terletak pada sifat yang dijamin oleh pembeli, bukan pada barang yang bisa rusak, berkurang, atau hilang sehingga tidak dijamin.
[Bab Penghalang Pemegang Hak untuk Mengambil Haknya]
(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Jika hak seorang Muslim telah jatuh tempo, dan haknya telah jatuh tempo dengan cara apa pun, lalu pihak yang berhak dipanggil untuk mengambilnya tetapi menolak, maka… (terjemahan dilanjutkan sesuai teks asli).
Hak yang ada pada pemilik hak untuk mengambil haknya, namun jika pemilik hak menolak, maka penguasa wajib memaksanya untuk mengambil haknya agar pemilik utang terbebas dari kewajibannya dan menyerahkan apa yang menjadi haknya tanpa pengurangan sedikit pun, serta tidak ada kerugian yang ditimpakan kecuali pemilik hak berkenan membebaskannya tanpa imbalan apa pun. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia menawarkan untuk mengambil haknya sebelum jatuh tempo, dan haknya berupa emas, perak, tembaga, bijih, atau barang selain makanan, minuman, atau hewan yang memerlukan pakan atau biaya, maka dia dipaksa untuk mengambil haknya kecuali jika dibebaskan. Sebab, haknya telah diberikan lebih awal sebelum jatuh tempo, dan aku tidak mempertimbangkan perubahan nilainya. Jika pada waktunya nilainya lebih tinggi atau lebih rendah, aku akan berkata kepada pemilik hak: “Jika engkau mau, tahanlah.” Bisa jadi pada saat jatuh tempo, nilainya lebih tinggi atau lebih rendah dari saat penyerahan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Apa dalil dari apa yang engkau jelaskan?” Aku menjawab: Diriwayatkan bahwa Anas bin Malik mencatat perjanjian pembebasan budaknya dengan pembayaran berjangka. Budak itu ingin mempercepat pembayaran agar bisa merdeka, tetapi Anas menolak menerimanya sebelum jatuh tempo. Budak itu kemudian mendatangi Umar bin Khattab—semoga Allah meridhainya—dan menceritakan hal tersebut. Umar berkata, “Anas menginginkan warisan,” lalu dalam hadis itu disebutkan bahwa Umar memerintahkan Anas untuk menerima pembayaran tersebut dan membebaskan budak itu.
(Imam Syafi’i berkata): Ini sesuai dengan qiyas. (Dia berkata): Jika utang itu berupa makanan atau minuman, pemilik hak tidak boleh dipaksa menerimanya sebelum jatuh tempo, karena dia mungkin ingin mengonsumsinya dalam keadaan segar pada waktunya. Jika dipercepat, dia terpaksa meninggalkan konsumsinya atau menerimanya dalam keadaan sudah berubah karena disimpan lebih awal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika utang itu berupa hewan yang memerlukan pakan atau penggembalaan, pemilik hak tidak boleh dipaksa menerimanya sebelum jatuh tempo, karena dia akan menanggung biaya pakan atau penggembalaan hingga waktunya tiba, sehingga menimbulkan beban tambahan. Adapun selain itu, seperti emas, perak, bijih, pakaian, kayu, batu, dan lainnya, jika diserahkan, maka utang telah lunas, dan penerima dipaksa untuk menerimanya dari yang berutang.
(Imam Syafi’i berkata): Demikianlah seluruh bab ini dan qiyasnya. Aku tidak mengetahui pendapat lain yang dibolehkan selain yang kujelaskan, atau ada yang mengatakan bahwa tidak boleh memaksa seseorang untuk menerima sesuatu yang menjadi haknya sebelum jatuh tempo. Jadi, dia tidak boleh dipaksa menerima dinar atau dirham sebelum waktunya, karena mungkin dia tidak memiliki tempat penyimpanan yang aman, atau barang itu bisa rusak di tangannya, sehingga dia lebih memilih untuk dijamin oleh pihak yang mampu daripada menerimanya dan mengalami kerusakan karena berbagai alasan, termasuk yang telah kusebutkan. Di antaranya juga, bisa saja ada penagih utang atau keluarga yang meminta jika mengetahui bahwa dia telah menerima haknya. Namun, kami melarang hal ini karena kami tidak melihat ada yang berbeda pendapat bahwa jika seseorang memiliki utang kepada orang lain, lalu yang berutang meninggal, maka hartanya diserahkan kepada para kreditur meskipun ahli waris tidak menginginkannya, agar warisan dan wasiat tidak tertahan. Mereka dipaksa menerimanya karena itu lebih baik bagi mereka. Namun, utang piutang (salam) berbeda dengan utang biasa dalam beberapa hal.
[Bab: Salam pada Kurma yang Habis]
(Imam Syafi’i berkata)—semoga Allah merahmatinya—jika seseorang memberikan pembayaran di muka (salam) untuk kurma atau anggur yang akan matang pada waktu tertentu, maka itu boleh. Jika kurma atau anggur itu habis hingga tidak tersisa sama sekali di daerah tempat salam dilakukan, ada yang berpendapat bahwa pemberi salam boleh memilih: jika mau, dia bisa mengambil sisa uang salamnya. Misalnya, jika dia memberikan salam seratus dirham untuk seratus mud, lalu dia telah menerima lima puluh mud, maka dia bisa mengambil kembali lima puluh dirham. Atau jika mau, dia bisa menunggu hingga musim kurma berikutnya, lalu mengambil kurma dengan sifat dan takaran yang sama seperti yang disepakati. Hal yang sama berlaku untuk anggur dan buah-buahan basah lainnya yang habis pada musim tertentu. Ini adalah satu pendapat.
Dia juga berkata: Ada yang berpendapat bahwa jika seseorang memberikan salam seratus dirham untuk sepuluh sha‘ kurma, lalu dia menerima—
Lima wasaq kurma basah telah habis, maka lima wasaq itu setara dengan lima puluh dirham karena itu adalah bagiannya dari harga. Akad jual beli dibatalkan untuk sisa kurma basah, dan lima puluh dirham dikembalikan kepadanya.
(Imam Syafi’i berkata): “Ini adalah pendapatku, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.” Seandainya ia memberikan salam (pesanan) untuk kurma basah, ia tidak wajib menerimanya dalam keadaan kering atau campuran, dan ia berhak menerima kurma basah seluruhnya. Ia juga tidak wajib menerimanya kecuali yang baik, tidak pecah, tidak cacat karena busuk, kekeringan, atau lainnya. Demikian pula anggur, ia hanya boleh menerimanya dalam keadaan matang tanpa cacat. Begitu pula semua jenis buah-basah yang dipesan, ia hanya boleh menerimanya sesuai sifatnya tanpa cacat.
Dia berkata: “Demikian pula segala sesuatu yang dipesan, ia tidak boleh menerimanya dalam keadaan cacat. Jika memesan susu yang telah diaduk, ia tidak boleh menerimanya dalam keadaan basi atau telah diaduk dengan air yang tak diketahui takarannya, karena air bukanlah susu.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang memesan sesuatu, lalu diberikan dalam keadaan cacat (yang mungkin tersembunyi), lalu separuhnya dimakan atau rusak, sementara separuh lainnya masih ada—misalnya kurma basah yang separuhnya dimakan atau rusak—ia berhak menerima separuhnya dengan separuh harga dan dapat menuntut pengurangan selisih harga antara kurma cacat dan yang baik. Jika terjadi perselisihan tentang cacat tersebut sementara barang masih di tangan pembeli dan belum digunakan, lalu penjual berkata: ‘Aku menyerahkannya kepadamu dalam keadaan bebas cacat,’ sedangkan pembeli berkata: ‘Tidak, engkau menyerahkannya dalam keadaan cacat,’ maka perkataan penjual yang diterima, kecuali jika cacat yang diklaim biasanya tidak muncul setelah penyerahan. Jika barang telah rusak, dan penjual berkata: ‘Yang rusak darinya bebas cacat, sedangkan yang tersisa cacat,’ maka perkataan penjual yang diterima, kecuali jika barang tersebut adalah satu kesatuan yang tidak mungkin rusak sebagian tanpa merusak seluruhnya, seperti satu semangka atau satu labu. Dalam semua kasus yang perkataan penjual diterima, ia harus bersumpah.”
[Kebolehan Gadai]
Kitab Ar-Rahn Al-Kabir – Kebolehan Gadai
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
*”Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”* (QS. Al-Baqarah: 282).
Dan Dia ‘Azza wa Jalla berfirman:
*”Jika kamu dalam perjalanan dan tidak menemukan penulis, maka hendaklah ada barang gadai yang dipegang…”* (QS. Al-Baqarah: 283).
(Imam Syafi’i berkata): “Jelas dalam ayat ini perintah untuk menulis (akad) baik dalam keadaan mukim maupun safar. Allah Tabaraka Ismuhu menyebutkan gadai jika mereka dalam perjalanan dan tidak menemukan penulis. Dapat dipahami—dan Allah lebih mengetahui—bahwa mereka diperintahkan untuk menulis dan menggadaikan sebagai kehati-hatian bagi pemilik hak agar memiliki jaminan dan pengingat, bukan sebagai kewajiban mutlak untuk menulis atau mengambil gadai. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
*’Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya…’* (QS. Al-Baqarah: 283).
Maka dapat dipahami bahwa jaminan dalam hak (utang) saat safar atau kesulitan tidaklah terlarang—dan Allah lebih mengetahui—baik dalam keadaan mukim maupun tidak. Tidak masalah menggadaikan untuk utang yang jatuh tempo atau yang tertunda, baik dalam keadaan mukim maupun safar. Pendapatku ini tidak kuketahui adanya perselisihan.”
Telah diriwayatkan:
*”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada Abu Syahm, seorang Yahudi.”*
Ada yang mengatakan itu untuk utang, sedangkan utang itu harus segera dibayar.
(Imam Syafi’i berkata):
Asy-Syafi’i) berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Ad-Darawardi dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya – ‘alaihimas salam – beliau berkata, ‘Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi bernama Abu Asy-Syahm.'” (Asy-Syafi’i) berkata: “Dan Al-A’masy meriwayatkan dari Ibrahim dari Al-Aswad dari ‘Aisyah, ‘Bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – wafat sedangkan baju besinya masih dalam keadaan tergadai.'”
(Asy-Syafi’i) berkata: “Maka Allah – Jalla Tsanā’uhu – mengizinkan gadai dalam utang, dan utang adalah hak yang mengikat. Maka setiap hak yang dimiliki atau mengikat dengan cara apa pun, boleh dilakukan gadai atasnya. Namun, tidak boleh melakukan gadai atas sesuatu yang tidak mengikat.”
“Seandainya seseorang menuntut hak kepada orang lain, lalu dia mengingkarinya, kemudian mereka berdamai dan orang itu menggadaikan sesuatu sebagai jaminan, maka gadai tersebut batal. Sebab, perdamaian atas pengingkaran tidak mengikat. Jika seseorang berkata, ‘Aku menggadaikan rumahku kepadamu untuk sesuatu yang akan engkau utangkan atau juallah kepadaku,’ lalu orang itu memberikan utang atau menjualnya, maka itu bukanlah gadai. Sebab, gadai telah terjadi, sementara pihak penerima gadai belum memiliki hak. Allah – ‘Azza wa Jalla – mengizinkan gadai hanya dalam hal di mana penerima gadai memiliki hak, sebagai petunjuk bahwa gadai tidak sah kecuali setelah hak mengikat atau bersamanya. Adapun sebelumnya, jika belum ada hak, maka tidak ada gadai.”
[Bab: Penyempurnaan Gadai dengan Serah Terima]
Allah – ‘Azza wa Jalla – berfirman: “Maka hendaklah barang gadai itu diserahkan.” (QS. Al-Baqarah: 283).
(Asy-Syafi’i) berkata: “Karena telah dipahami bahwa barang gadai bukanlah kepemilikan penuh bagi penerima gadai (sehingga dia boleh menjualnya), dan juga bukan kepemilikan manfaat (sehingga dia boleh menyewakannya), maka gadai tidak sah kecuali dengan apa yang Allah – ‘Azza wa Jalla – tetapkan, yaitu harus diserahkan. Jika tidak sah, maka pemberi gadai berhak mengambil kembali barang yang belum diserahkan oleh penerima gadai. Demikian pula, jika pemberi gadai mengizinkan penerima gadai untuk menerimanya, tetapi penerima gadai belum menerimanya sampai pemberi gadai menarik kembali barang gadainya, maka itu boleh baginya. Sebab, gadai tidak sah kecuali dengan serah terima. Hal ini seperti hibah yang tidak sah kecuali dengan serah terima dan hal-hal yang semakna dengannya.”
“Jika pemberi gadai meninggal sebelum penerima gadai menerima barang gadai, maka penerima gadai tidak berhak mengambil barang tersebut, dan dia sama dengan para kreditur lainnya. Jika pemberi gadai tidak meninggal, tetapi bangkrut sebelum penerima gadai menerima barang gadai, maka penerima gadai dan para kreditur lainnya memiliki hak yang sama. Sebab, gadai belum sempurna. Jika pemberi gadai menjadi bisu atau gila sebelum penerima gadai menerima barang gadai, dan tidak ada kuasa untuk menyerahkannya, maka penerima gadai tidak berhak mengambil barang gadai tersebut. Bahkan jika pemberi gadai menyerahkannya dalam keadaan tidak waras, penerima gadai tidak boleh menerimanya. Barang gadai hanya sah jika pemberi gadai memiliki wewenang penuh atas hartanya pada saat menggadaikan dan pada saat menyerahkannya.”
“Jika seseorang menggadaikan budak, lalu budak itu melarikan diri dan pemberi gadai memberikan kuasa kepada penerima gadai untuk menangkapnya, tetapi penerima gadai tidak mampu menangkapnya sampai pemberi gadai meninggal atau bangkrut, maka itu bukanlah gadai. Jika penerima gadai tidak mampu menangkapnya sampai pemberi gadai menarik kembali barang gadainya, maka penerima gadai tidak berhak mengambilnya. Jika seseorang menggadaikan budak, lalu budak itu murtad dari Islam, kemudian pemberi gadai menyerahkannya dalam keadaan murtad atau menyerahkannya dalam keadaan muslim lalu budak itu murtad, maka status budak tetap sebagai barang gadai. Jika budak itu bertobat, maka statusnya tetap sebagai gadai. Jika dia dibunuh karena murtad, maka itu adalah hak yang mengikat, dan dia keluar dari kepemilikan pemberi dan penerima gadai.”
“Jika seseorang menggadaikan budak, tetapi belum diserahkan sampai dia menggadaikannya kepada orang lain dan menyerahkannya, maka gadai kedua yang diserahkan adalah sah, sedangkan gadai pertama yang tidak diserahkan dianggap tidak ada. Demikian pula, jika seseorang menggadaikan budak tetapi belum diserahkan sampai dia memerdekakannya, maka budak itu bebas dan keluar dari status gadai. Jika dia menggadaikannya tetapi belum diserahkan sampai dia membuat perjanjian pembebasan (mukatab), maka budak itu keluar dari status gadai. Demikian pula jika dia menghibahkannya, memberikannya sebagai mahar, mengakuinya sebagai milik orang lain, atau menjadikannya budak mudabbar (akan merdeka setelah tuannya meninggal), maka budak itu keluar dari status gadai dalam semua kasus ini.”
(Ar-Rabi’) berkata: “Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa jika seseorang menggadaikan budak, tetapi penerima gadai belum menerimanya sampai dia menjadikannya mudabbar, maka budak itu tidak keluar dari status gadai karena status mudabbar. Sebab, jika dia menggadaikannya setelah menjadikannya mudabbar, gadai itu tetap sah karena dia masih boleh menjualnya setelah status mudabbar. Karena dia boleh menjualnya, maka dia juga boleh menggadaikannya.”
(Asy-Syafi’i) berkata: “Jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain, lalu dia meninggal…”
Penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Sebelum menerima barang gadai, pemberi gadai berhak melarang penerima gadai mengambilnya dari ahli warisnya. Jika ia mengizinkan, ia dapat menyerahkannya sebagai gadai. Bahkan jika penerima gadai tidak meninggal tetapi kehilangan akal sehat sehingga harta kekayaannya diambil alih oleh hakim, pemberi gadai tetap berhak melarang orang yang ditunjuk hakim tersebut mengambil barang gadai, karena ia juga berhak melarang penerima gadai. Ia juga boleh menyerahkannya dengan status gadai seperti sebelumnya, sebagaimana ia berhak menyerahkannya kepada penerima gadai atau melarangnya.
Jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan kepada orang lain tetapi belum menyerahkannya, lalu ia menyetubuhinya sebelum penyerahan, kemudian setelah persetubuhan itu ia menyerahkan budak tersebut dan ternyata hamil, serta pemberi gadai mengakui kehamilan itu, maka budak tersebut keluar dari status gadai karena tidak diserahkan dalam keadaan hamil, sehingga tidak sah menggadaikannya dalam keadaan hamil darinya.
Demikian pula jika ia menyetubuhinya sebelum akad gadai, lalu budak tersebut hamil dan diakui olehnya, maka budak itu keluar dari status gadai meskipun sudah diserahkan, karena ia menggadaikannya dalam keadaan hamil. Jika ia menggadaikan budak perempuan yang tidak bersuami tetapi belum menyerahkannya, lalu tuannya menikahkannya sebelum penyerahan, kemudian menyerahkannya, maka pernikahan itu sah dan status gadai tetap berlaku. Suaminya tidak boleh dilarang menyetubuhinya dalam keadaan apa pun.
Jika seseorang menggadaikan budak perempuan, ia tidak boleh menikahkannya tanpa izin penerima gadai, karena hal itu mengurangi nilai budak tersebut dan menghalangi penjualannya jika hamil, serta hak penjualannya telah jatuh. Penerima gadai juga tidak boleh menikahkannya. Jika salah satu pihak menikahkannya tanpa persetujuan pihak lain, pernikahan itu batal hingga keduanya sepakat.
Jika seseorang menggadaikan budak laki-laki dan memberikan kuasa kepada penerima gadai untuk menerimanya, lalu penerima gadai menyewakannya sebelum menerimanya dari pemberi gadai atau orang lain, maka budak tersebut belum dianggap sebagai barang gadai yang sah.
(Imam Syafi’i berkata): Sahabat kami, Sa’id bin Salim, mengabarkan dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’: “Aku menerima seorang budak sebagai gadai, lalu aku menyewakannya sebelum menerimanya.” Atha’ menjawab: “Itu belum dianggap sebagai penerimaan.” (Imam Syafi’i berkata): Penyewaan bukanlah penerimaan, dan barang tersebut belum sah sebagai gadai hingga diterima. Jika penerima gadai menerima barang gadai untuk dirinya sendiri atau seseorang menerimanya atas namanya dengan izinnya, maka itu dianggap sebagai penerimaan, seperti penerimaan oleh wakilnya.
(Imam Syafi’i berkata): Sahabat kami, Sa’id bin Salim, mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Amr bin Dinar bahwa ia berkata: “Jika engkau menerima seorang budak sebagai gadai dan menyerahkannya kepada orang lain, itu dianggap sebagai penerimaan.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika wali orang yang berada di bawah pengampuan atau hakim menerima barang gadai untuk orang tersebut, maka penerimaan oleh hakim atau wali dianggap sah seperti penerimaan oleh orang yang tidak berada di bawah pengampuan untuk dirinya sendiri. Demikian pula jika hakim atau wali menunjuk orang lain untuk menerima barang gadai, penerimaan oleh orang tersebut dianggap sah. Pemberi gadai berhak melarang hakim atau wali mengambil barang gadai selama belum diterima. Wali boleh menggadaikan harta orang yang berada di bawah pengampuan untuk kepentingannya, dan keduanya boleh menggadaikannya dalam rangka pengelolaan yang baik, seperti menjual harta tersebut dan menggunakan kelebihan hasilnya sebagai gadai. Namun, tidak boleh meminjamkan harta mereka dan menggadaikannya, karena tidak ada kelebihan dalam pinjaman, dan ia bertanggung jawab atasnya. Orang yang berada di bawah pengampuan tidak boleh menggadaikan hartanya sendiri meskipun itu untuk kepentingannya, sebagaimana ia tidak boleh menjual atau membeli untuk dirinya sendiri meskipun itu menguntungkannya.
[Penerimaan Barang Gadai dan Hal-Hal yang Mengeluarkannya dari Status Gadai]
(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Dan barang-barang gadai yang diserahkan.” (QS. Al-Baqarah: 283). (Imam Syafi’i berkata): Jika barang gadai telah diterima sekali, maka akad gadai telah sempurna, dan penerima gadai lebih berhak atasnya daripada kreditur pemberi gadai. Pemberi gadai tidak boleh mengambilnya kembali hingga hutangnya lunas. Sebagaimana barang yang dijual menjadi tanggungan penjual hingga diterima pembeli, sekali diterima, tanggungan beralih kepada pembeli. Jika pembeli mengembalikannya kepada penjual dengan cara disewa atau dititipkan, barang tersebut tetap milik pembeli, dan tanggungannya tidak batal. Demikian pula hibah dan sejenisnya tidak sempurna hingga diterima penerima. Jika penerima hibah telah menerimanya sekali, lalu meminjamkannya kembali kepada pemberi hibah atau menyewakannya kepada orang lain, hal itu tidak membatalkan hibah.
Penerima gadai yang telah menerima barang gadai sekali lalu mengembalikannya kepada pemberi gadai dengan cara disewa, dipinjamkan, atau lainnya, tidak membatalkan status gadai selama pemberi gadai tidak membatalkan akad atau barang tersebut masih dalam penguasaannya. (Imam Syafi’i berkata): Sahabat kami, Sa’id bin Salim, mengabarkan dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’: “Aku menerima barang gadai, lalu aku menyewakannya kepada pemberi gadai.” Atha’ menjawab: “Ya, barang itu tetap milikmu, hanya saja engkau menyewakannya kepadanya.” Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya kepada Atha’: ‘Bagaimana jika pemberi gadai bangkrut dan barang itu masih bersamanya?’ Atha’ menjawab: ‘Engkau lebih berhak atasnya daripada krediturnya.'”
(Imam Syafi’i berkata): Maksudnya adalah seperti yang telah dijelaskan, bahwa jika engkau telah menerima barang gadai sekali lalu menyewakannya kepada pemberi gadai, statusnya seperti budak milikmu yang engkau sewakan kepadanya, karena mengembalikannya setelah penerimaan tidak mengeluarkannya dari status gadai.
Dia berkata: “Rahn (gadai) tidak dianggap diterima kecuali jika diterima oleh penerima gadai (murtahin) atau seseorang selain pemberi gadai (rahin) atas perintah penerima gadai, sehingga ia menjadi wakil dalam penerimaannya. Jika seseorang menggadaikan sesuatu kepada orang lain dan penerima gadai mewakilkan kepada pemberi gadai untuk menerimanya dari dirinya sendiri, lalu pemberi gadai menerimanya dari dirinya sendiri, maka itu tidak dianggap sebagai penerimaan. Seseorang tidak bisa menjadi wakil atas dirinya sendiri untuk orang lain dalam penerimaan, sebagaimana jika seseorang memiliki hak atas dirinya lalu mewakilkan dirinya untuk menerimanya dari dirinya sendiri, lalu melakukannya dan barang itu rusak, maka ia tidak terbebas dari hak tersebut, berbeda jika yang menerima adalah wakil orang lain. Seseorang tidak bisa menjadi wakil atas dirinya sendiri dalam keadaan apa pun kecuali dalam keadaan di mana ia menjadi wali bagi orang yang menerima untuknya, seperti jika ia memiliki anak kecil lalu membeli untuk anaknya dari dirinya sendiri dan menerimanya untuk anaknya, atau menghadiahkan sesuatu kepada anaknya dan menerimanya, maka penerimaan dari dirinya sendiri dianggap sebagai penerimaan untuk anaknya karena ia mewakili anaknya.
Demikian pula jika seseorang menggadaikan anaknya sebagai rahn lalu menerimanya dari dirinya sendiri untuk anaknya. Jika anaknya sudah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan, maka hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika anaknya sendiri yang menerimanya atau wakil anaknya selain ayahnya.
Jika seseorang memiliki budak yang disimpan sebagai titipan, rumah, atau barang di tangan orang lain, lalu ia menggadaikannya dan memberikan izin untuk menerimanya, kemudian telah berlalu waktu yang memungkinkan penerimaan sementara barang itu masih di tangannya, maka itu dianggap sebagai penerimaan. Jika pemberi gadai mengakui bahwa penerima gadai telah menerima barang gadai dan penerima gadai membenarkannya atau mengklaim telah menerimanya, maka barang gadai dianggap telah diterima meskipun tidak disaksikan oleh siapapun. Baik barang gadai itu tidak ada di tempat atau ada di tempat, karena penerima gadai bisa menerimanya di wilayah tempat ia berada, dan itu dianggap sebagai penerimaan kecuali dalam satu hal, yaitu jika keduanya sepakat atas sesuatu yang tidak mungkin diterima pada waktu itu, seperti jika seseorang berkata, ‘Saksikanlah bahwa hari ini aku menggadaikan rumahku yang berada di Mesir,’ sementara keduanya berada di Mekah, dan ia mengklaim telah menerimanya. Maka jelas bahwa jika gadai terjadi hari ini, tidak mungkin barang itu diterima di Mekah pada hari yang sama, dan hal-hal semacam ini.
Jika rumah berada di tangannya karena sewa atau titipan, statusnya sama seperti jika tidak berada di tangannya—tidak dianggap sebagai penerimaan sampai berlalu waktu yang memungkinkan barang itu berada di tangannya sebagai gadai, bukan karena sewa atau titipan, atau gadai bersama sewa/titipan atau salah satunya. Keberadaan barang di tangannya bukan karena gadai berbeda dengan keberadaannya karena gadai.
Jika tidak ditentukan waktunya dan pemberi gadai mengakui bahwa ia telah menggadaikan rumahnya di Mekah dan penerima gadai telah menerimanya, lalu pemberi gadai berkata, ‘Aku baru menggadaikannya hari ini,’ sementara penerima gadai berkata, ‘Tidak, engkau telah menggadaikannya kepadaku pada waktu yang memungkinkan penerimaan,’ maka perkataan penerima gadai yang selalu dipegang sampai pemberi gadai mengakui bahwa barang itu memang belum diterima.
Jika pemberi gadai meminta penerima gadai bersumpah atas klaimnya bahwa ia telah mengakui penerimaan padahal belum menerimanya, maka hal itu boleh dilakukan karena gadai tidak sah sampai barang benar-benar diterima. Dan Allah—Subhanahu wa Ta’ala—yang lebih tahu.
### [Apa yang Dianggap sebagai Penerimaan dalam Gadai dan Apa yang Tidak, serta Apa yang Boleh Digadaikan]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): “Segala sesuatu yang dianggap sebagai penerimaan dalam jual beli, maka itu juga dianggap sebagai penerimaan dalam gadai, hibah, dan sedekah, tanpa perbedaan. Oleh karena itu, boleh menggadaikan hewan, budak, dinar, dirham, tanah, dan lainnya. Boleh juga menggadaikan sebagian dari rumah, sebagian dari budak, sebagian dari pedang, sebagian dari mutiara, atau sebagian dari pakaian, sebagaimana semua ini boleh diperjualbelikan. Penerimaannya adalah dengan menyerahkan kepada penerima gadai tanpa penghalang, sebagaimana penerimaan dalam jual beli, seperti penerimaan budak, pakaian, atau apa saja yang boleh diambil penerima gadai dari tangan pemberi gadai.
Penerimaan atas barang yang tidak bisa dipindahkan, seperti tanah, rumah, atau tanaman, adalah dengan menyerahkannya tanpa penghalang. Penerimaan sebagian dari barang yang tidak bisa dipindahkan sama seperti penerimaan keseluruhannya, yaitu dengan menyerahkannya tanpa penghalang. Adapun penerimaan sebagian dari barang yang bisa dipindahkan, seperti pedang, mutiara, atau semisalnya, adalah dengan menyerahkan hak penerima gadai atasnya hingga penerima gadai dan pemberi gadai meletakkannya di tangan orang yang adil, atau di tangan rekan pemilik yang bukan pemberi gadai, atau di tangan penerima gadai. Jika salah satu dari ini terpenuhi, maka itu dianggap sebagai penerimaan. Jika setelah penerimaan, penerima gadai menyerahkannya kembali kepada pemberi gadai atau orang lain, itu tidak mengeluarkannya dari status gadai, sebagaimana telah dijelaskan. Barang gadai hanya keluar dari statusnya jika gadai dibatalkan atau hak yang menjadi dasar gadai telah dilunasi.
Jika pemberi gadai mengakui bahwa penerima gadai telah menerima barang gadai dan penerima gadai mengklaim hal yang sama, maka dihukumi bahwa gadai telah sempurna berdasarkan pengakuan pemberi gadai dan klaim penerima gadai. Bahkan jika barang gadai berupa sebagian dari sesuatu yang tidak ada di tempat, lalu pemberi gadai mengakui bahwa penerima gadai telah menerimanya dan penerima gadai mengklaim hal yang sama, maka hal itu tetap sah.”
Penerjemahan ke Bahasa Indonesia:
Penerima gadai (murtahin) membolehkan pengakuan (iqrar) karena mungkin barang gadai diterima untuknya, sementara dia tidak hadir, sehingga penerimaan dianggap sah melalui orang yang diperintahkan untuk menerimanya.
Jika seseorang memiliki budak yang berada di tangan orang lain melalui sewa atau titipan, lalu dia menggadaikan budak tersebut dan memerintahkan penerima gadai untuk menerimanya, maka ini dianggap sebagai gadai yang sah setelah berlalu waktu sejak penggadaian, selama budak tersebut masih berada di tangan penerima gadai. Sebab, budak tersebut telah diterima setelah proses gadai. Namun, jika budak yang digadaikan tidak hadir di hadapan penerima gadai, penerimaan tidak dianggap sah sampai budak tersebut dibawa ke hadapannya. Jika budak dibawa setelah diizinkan untuk menerimanya, maka penerimaan dianggap sah, seperti halnya dalam jual beli.
Jika budak berada di tangan penjual dan pembeli memerintahkan untuk menerimanya, penerimaan dianggap sah karena budak sudah berada di tangan pembeli. Dengan demikian, jual beli dianggap sempurna. Jika budak mati, maka kerugian ditanggung oleh pembeli. Namun, jika budak tidak hadir, penerimaan tidak dianggap sah sampai pembeli hadir setelah transaksi, barulah penerimaan dianggap sah setelah kehadirannya dan budak berada di tangannya.
Demikian pula, jika seseorang menitipkan pakaian atau barang lain yang tidak bergerak dengan sendirinya (seperti titipan, pinjaman, atau sewa), lalu menggadaikannya dan mengizinkan penerima gadai untuk menerimanya sebelum penerimaan fisik, selama barang tersebut tidak hilang dari rumahnya, maka penerimaan dianggap sah. Namun, jika barang tersebut tidak berada di rumahnya, penerimaan tidak dianggap sah sampai ada tindakan penerimaan.
Jika barang digadaikan di pasar atau masjid, sementara barang tersebut masih di rumah, dan penerima gadai diizinkan untuk menerimanya, penerimaan tidak dianggap sah sampai penerima gadai pergi ke rumah dan barang tersebut masih ada di sana. Penerimaan baru dianggap sah saat itu karena ada kemungkinan barang tersebut telah dibawa keluar dari rumah oleh pemiliknya atau orang lain. Penerimaan hanya dianggap sah jika barang benar-benar hadir di hadapan penerima gadai atau wakilnya tanpa ada penghalang.
Jika barang gadai berupa tanah atau rumah yang tidak hadir di hadapan penerima gadai, sementara barang tersebut statusnya titipan di tangan penerima gadai atau wakilnya, dan penerima gadai diizinkan untuk menerimanya, penerimaan tidak dianggap sah sampai penerima gadai atau wakilnya benar-benar hadir dan menerima barang tersebut tanpa penghalang. Sebab, jika barang tidak hadir, mungkin ada halangan yang mencegah penerimaan, sehingga penerimaan tidak sah kecuali jika penerima gadai atau wakilnya benar-benar menerimanya tanpa penghalang.
Jika dalam kasus-kasus ini telah berlalu waktu yang memungkinkan penerima gadai mengirim utusan untuk menerima barang gadai, lalu penerima gadai mengaku telah menerimanya, maka penerimaan dianggap sah karena penerimaan bisa dilakukan meskipun penerima gadai tidak hadir secara langsung.
Jika seseorang menggadaikan barang, lalu pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin) sepakat menunjuk seorang penengah (adil) untuk menerima barang tersebut, dan penengah tersebut menyatakan telah menerimanya, tetapi kemudian pemberi gadai dan penerima gadai berselisih—pemberi gadai menyatakan penengah tidak menerimanya, sementara penerima gadai menyatakan penengah telah menerimanya—maka yang dipegang adalah pernyataan pemberi gadai. Penerima gadai harus membuktikan dengan bukti bahwa penengah benar-benar telah menerimanya. Sebab, penengah bertindak sebagai wakil penerima gadai, dan kesaksian penengah tidak dapat diterima karena dia bersaksi atas tindakannya sendiri.
Orang yang diperintahkan untuk menerima barang gadai tidak bertanggung jawab atas kerugian penerima gadai jika dia ditipu. Demikian pula, jika debitur bangkrut atau barang gadai rusak, dan dia mengaku telah menerimanya padahal tidak, maka dia tidak bertanggung jawab atas apa pun, tetapi dia telah berbuat salah dengan berbohong.
Jika semua barang gadai yang disebutkan sebelumnya berada di tangan penerima gadai karena pemberi gadai mengambilnya secara paksa (ghashab), lalu menggadaikannya sebelum penerima gadai menerimanya, dan penerima gadai diizinkan untuk menerimanya, maka gadai dianggap sah. Namun, barang tersebut tetap menjadi tanggungan orang yang mengambilnya secara paksa sampai dia mengembalikannya kepada pemilik asli atau pemilik asli membebaskannya dari tanggungan. Perintah untuk menerima barang tidak membebaskan orang yang mengambil secara paksa dari tanggungan.
Hal yang sama berlaku jika barang berada di tangan penerima gadai karena pembelian yang tidak sah (fasad), karena penerima gadai tidak bisa menjadi wakil pemilik barang untuk dirinya sendiri. Misalnya, jika dia diperintahkan untuk menerima hak untuk dirinya sendiri dari dirinya sendiri, lalu barang tersebut rusak, dia tidak dibebaskan dari tanggungan.
Namun, jika pemberi gadai dan penerima gadai sepakat menyerahkan barang kepada seorang penengah (adil), maka orang yang mengambil secara paksa atau pembeli dengan transaksi tidak sah dibebaskan dari tanggungan jika wakil pemilik barang mengaku telah menerimanya atas perintah pemilik. Pengakuan ini dianggap seperti pengakuan pemilik bahwa penerimaan telah dilakukan, dan gadai dianggap sah.
Jika penengah yang ditunjuk untuk menerima barang gadai kemudian menyatakan tidak menerimanya, maka pernyataan ini tidak dapat dipercaya untuk membebaskan orang yang mengambil secara paksa atau pembeli dengan transaksi tidak sah dari tanggungan. Mereka tetap bebas dari tanggungan, seperti halnya jika pemilik barang sendiri mengaku telah menerimanya. Penerimaan dianggap sah berdasarkan pengakuan penengah yang ditunjuk.
Jika seseorang menggadaikan dua budak, atau satu budak dan makanan, atau satu budak dan rumah, atau dua rumah, lalu salah satunya diterima sementara yang lain tidak, maka yang diterima dianggap sebagai gadai yang sah untuk seluruh hak, sementara yang tidak diterima dianggap keluar dari gadai sampai pemberi gadai menyerahkannya. Gadai yang telah diterima tidak batal hanya karena sebagian belum diterima.
Yang bersamanya dalam perjanjian gadai, dan tidak seperti jual beli dalam hal ini.
Demikian pula jika salah satu pihak menerima (barang gadai), sementara yang lain meninggal atau salah satu menerima dan yang lain menolak, maka yang diterima menjadi gadai dan yang tidak diterima keluar dari perjanjian gadai.
Begitu juga jika seseorang menghadiahkan dua rumah, dua budak, atau satu rumah dan satu budak, lalu salah satunya diserahkan dan yang lain ditahan, maka yang diserahkan menjadi milik penerima, sedangkan yang ditahan tidak menjadi haknya.
Demikian pula jika tidak ditahan tetapi salah satunya hilang, maka hibah atas yang hilang tidak sah sampai ia diberi kuasa untuk menerimanya dan menerimanya atas perintahnya.
Jika seseorang menggadaikan sesuatu, lalu barang gadai tersebut mengalami cacat—misalnya budak menjadi buta, terpotong, atau cacat lainnya—dan tetap diserahkan, maka statusnya tetap sebagai gadai.
Jika diterima kemudian mengalami cacat di tangan penerima gadai, statusnya tetap sebagai gadai.
Demikian pula jika berupa rumah yang runtuh, tembok yang pohon kurmanya roboh, atau mata airnya hancur, statusnya tetap sebagai gadai.
Penerima gadai berhak mencegah pemberi gadai menjual kayu pohon kurma atau bangunan rumah karena semuanya termasuk dalam jaminan gadai.
Kecuali jika yang digadaikan hanya tanah tanpa bangunan dan pohon, maka penerima gadai tidak berhak melarang apa pun yang tidak termasuk dalam jaminan.
Jika seseorang menggadaikan tanah rumah tanpa menyebut bangunan, atau menggadaikan tembok tanpa menyebut tanamannya, maka hanya tanah yang menjadi gadai, bukan bangunan atau tanaman.
Hanya yang disebutkan secara eksplisit yang masuk dalam perjanjian gadai.
Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan bangunan rumah,” maka hanya bangunan yang menjadi gadai, bukan tanahnya.
Tanah dan bangunan hanya menjadi gadai jika disebutkan secara jelas: “Aku menggadaikan tanah rumah, bangunannya, dan seluruh isinya.”
Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan pohon kurmaku,” maka hanya pohon kurma yang menjadi gadai, bukan tanah atau bangunan di atasnya.
Kecuali jika ditulis: “Aku menggadaikan tembokku dengan batas tanah, tanamannya, bangunannya, dan segala hak yang melekat padanya,” maka semuanya menjadi gadai.
Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan sebagian rumahku” atau “sebagian dari rumahku,” maka ini tidak sah sebagai gadai meskipun seluruh rumah diserahkan, kecuali disebutkan secara jelas berapa bagiannya—seperempat, kurang, atau lebih—sebagaimana dalam jual beli.
Demikian pula jika ia menyerahkan rumah sambil berkata, “Aku menggadaikannya kecuali bagian yang kita sepakati” atau “kecuali sebagiannya,” maka ini tidak sah sebagai gadai.
[Yang mengeluarkan gadai dari tangan penerima gadai dan yang tidak]
(Imam Syafi’i berkata):
Intinya, gadai keluar dari tangan penerima gadai jika pemberi gadai dibebaskan dari kewajiban yang dijamin dengan gadai—baik dengan pembayaran atau penghapusan hak oleh penerima gadai—atau jika hak yang dijamin dengan gadai itu gugur dengan cara apa pun.
Dengan demikian, gadai kembali ke kepemilikan pemberi gadai seperti sebelum digadaikan, atau jika penerima gadai menyatakan, “Aku membatalkan gadai” atau “Aku menghapus hakku atasnya.”
Jika seseorang menggadaikan berbagai barang—seperti tepung, unta, kambing, barang dagangan, dirham, dan dinar—sebagai jaminan atas seribu dirham, seratus dinar, atau sejenisnya, lalu pemberi gadai melunasi seluruh utangnya kecuali satu dirham atau sedikit gandum, maka seluruh barang gadai tetap menjadi jaminan atas sisa utang tersebut.
Pemberi gadai, krediturnya, atau ahli warisnya tidak berhak mengambil sebagian barang gadai sampai penerima gadai menerima seluruh haknya, karena gadai tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan, lalu penerima gadai mengizinkan pemberi gadai untuk memerdekakannya tetapi tidak dilaksanakan, atau mengizinkan untuk menikahinya tetapi tidak dilakukan, atau dinikahi tetapi tidak hamil, maka budak tersebut tetap statusnya sebagai gadai.
Gadai hanya batal jika penerima gadai mengizinkan pembebasan sebagaimana jika ia memerintahkan untuk memerdekakan budaknya sendiri dan budak itu benar-benar dimerdekakan.
Jika dia tidak membebaskannya, maka budak perempuan itu tetap dalam kepemilikannya sebagaimana keadaan semula. Demikian pula jika penerima gadai mengembalikannya kepada pemberi gadai setelah menerimanya sebagai gadai sekali saja, lalu berkata, “Nikmatilah hubungan intim dan pelayanannya,” maka budak itu tetap dalam status gadai tanpa keluar dari pegadaian. Jika budak perempuan itu hamil dari hubungan intim lalu melahirkan atau keguguran dengan janin yang sudah tampak bentuknya, maka dia menjadi umm walad bagi tuannya (pemberi gadai) dan keluar dari status gadai. Pemberi gadai tidak wajib menggantinya dengan gadai lain karena dia tidak melampaui batas dalam hubungan intim.
Begitu pula jika penerima gadai mengizinkannya untuk memukul budak itu, lalu dia memukulnya hingga meninggal, maka pemberi gadai tidak wajib menggantinya dengan budak lain sebagai pengganti gadai karena dia tidak melampaui batas dalam memukul.
Jika seseorang menggadaikan budak perempuan kepada orang lain, lalu dia menyewakannya, kemudian pemberi gadai berhubungan intim dengannya (baik dengan kerelaan atau paksaan), maka jika budak itu tidak melahirkan, status gadainya tetap berlaku, dan penerima gadai tidak berhak menuntut kompensasi (ʿaqr) karena budak itu adalah milik pemberi gadai. Namun, jika budak itu masih perawan dan hubungan intim mengurangi nilainya, penerima gadai berhak menuntut pemberi gadai atas kerugian tersebut, baik sebagai tambahan gadai atau sebagai ganti rugi sesuai keinginan pemberi gadai, sebagaimana layaknya tindakan kriminal terhadapnya. Hal yang sama berlaku jika budak itu sudah pernah menikah lalu hubungan intim merusak kesuciannya atau mengurangi nilainya. Jika hubungan intim tidak mengurangi nilainya, penerima gadai tidak berhak menuntut apa pun, dan budak itu tetap dalam status gadai.
Jika budak itu hamil dan melahirkan, padahal pemberi gadai tidak diizinkan berhubungan intim dan tidak memiliki harta lain selain budak tersebut, maka ada dua pendapat:
- Budak itu tidak boleh dijual selama hamil. Setelah melahirkan, budak itu dijual, tetapi anaknya tidak dijual. Jika persalinan mengurangi nilainya, pemberi gadai wajib menanggung kerugian tersebut. Jika budak itu meninggal karena persalinan, pemberi gadai wajib mengganti nilainya dalam keadaan sehat sebagai pengganti gadai atau membayar ganti rugi jika mampu.
- Jika pemberi gadai membebaskannya setelah menggadaikannya dan tidak memiliki harta lain selain budak itu, maka pembebasan itu batal, dan budak itu dijual untuk melunasi hutang. Jika nilainya seribu tetapi hanya digadaikan sebesar seratus, maka dia dijual sebesar seratus, dan sisanya tetap sebagai budak milik tuannya. Dia tidak boleh digauli dan akan merdeka jika tuannya meninggal (menurut pendapat yang menyatakan umm walad merdeka setelah tuannya wafat), tetapi tidak merdeka sebelumnya.
Jika pemberi gadai menggadaikan budak itu lalu membebaskannya sebelum melahirkan dan tidak memiliki harta lain, maka budak itu dijual sebesar hutang, dan sisanya merdeka. Jika hutangnya melampaui nilainya, sisa budak itu merdeka dan tidak dijual kepada pemegang hutang.
Pendapat kedua menyatakan bahwa jika pemberi gadai membebaskannya atau menjadikannya umm walad, maka budak itu merdeka dan tidak boleh dijual dalam kedua kondisi tersebut karena dia adalah pemilik yang merugikan dirinya sendiri, dan tidak ada kewajiban membayar nilai budak tersebut. Pendapat ini berlaku untuk semua budak, baik laki-laki maupun perempuan.
Jika umm walad dijual dalam status gadai seperti yang dijelaskan, lalu tuannya memilikinya kembali, maka dia menjadi umm walad baginya karena anak dan hubungan intim tersebut. Pembebasan atau hubungan intim tanpa izin penerima gadai adalah pelanggaran, berbeda jika dilakukan dengan izin.
Jika pemberi gadai dan penerima gadai berselisih tentang hubungan intim atau pembebasan—misalnya, pemberi gadai mengaku diizinkan berhubungan atau membebaskan, sedangkan penerima gadai menyangkal—maka perkataan penerima gadai yang diikuti sumpah lebih diutamakan. Jika penerima gadai enggan bersumpah, pemberi gadai dapat bersumpah bahwa dia diizinkan, lalu budak itu keluar dari status gadai. Jika pemberi gadai tidak bersumpah, budak perempuan itu dapat disumpah apakah dia diizinkan dibebaskan atau digauli. Jika dia bersumpah, maka dia merdeka atau menjadi umm walad. Jika tidak bersumpah, status gadainya tetap.
Jika penerima gadai meninggal, dan pemberi gadai mengaku diizinkan membebaskan atau berhubungan hingga melahirkan, maka dia harus membawa bukti. Jika tidak ada bukti, status gadai tetap. Jika ahli waris penerima gadai bersedia bersumpah bahwa mereka tidak tahu ayah mereka mengizinkannya, maka sumpah itu cukup tanpa tambahan.
Jika pemberi gadai meninggal dan ahli warisnya mengklaim bahwa penerima gadai mengizinkan hubungan atau pembebasan, maka penerima gadai harus bersumpah bahwa dia tidak mengizinkannya seperti penjelasan sebelumnya.
Semua ini berlaku jika pemberi gadai tidak mampu. Jika dia mampu, maka nilai budak perempuan itu diambil darinya dalam kasus pembebasan atau kehamilan, lalu dia boleh memilih antara mengganti nilainya sebagai gadai (jika lebih besar dari hutang) atau membayar ganti rugi. Jika memilih ganti rugi dan ada kelebihan, kelebihan itu dikembalikan kepadanya.
Jika penerima gadai mengaku mengizinkan pemberi gadai berhubungan dengan budaknya, lalu berkata, “Anak dalam kandungan ini bukan darimu, melainkan dari suami yang kamu nikahkan atau budak lain,” sedangkan pemberi gadai mengakuinya sebagai anaknya, maka anak itu sah sebagai keturunannya tanpa perlu sumpah karena nasab telah tetap. Budak itu menjadi umm walad baginya berdasarkan pengakuannya, dan penerima gadai tidak dapat menyangkal anak itu. Sumpah tidak diperlukan karena keputusan telah mengeluarkan umm walad dari status gadai.
Jika pemberi gadai dan penerima gadai berselisih—pemberi gadai mengaku diizinkan berhubungan hingga melahirkan, sedangkan penerima gadai menyangkal—maka perkataan penerima gadai lebih diutamakan disertai sumpah.
Perkataan adalah perkataan pemberi gadai. Jika pemberi gadai dalam keadaan kesulitan dan budak perempuan itu hamil, maka tidak boleh dijual sampai melahirkan, kemudian baru dijual. Anaknya tidak boleh dijual. Jika ada bukti bahwa pemberi gadai telah mengizinkan pemberi hutang untuk menggauli budak perempuannya selama periode tertentu dan kemudian melahirkan anak yang mungkin berasal dari tuannya dalam periode tersebut, maka anak itu diakui sebagai anaknya. Namun, jika tidak mungkin anak itu berasal dari tuannya sama sekali, dan pemberi gadai mengatakan anak itu dari orang lain, maka budak perempuan itu boleh dijual, tetapi anaknya tidak boleh dijual sama sekali, dan anak itu tidak termasuk dalam gadai bersama budak perempuan tersebut.
Jika seseorang menggadaikan budak perempuan yang sudah bersuami atau suaminya setelah gadai dengan izin pemberi gadai, maka suaminya tidak dilarang menggaulinya dan memiliki keturunan darinya. Jika budak itu melahirkan, anaknya tidak termasuk dalam gadai. Jika dia hamil, ada dua pendapat:
- Tidak boleh dijual sampai melahirkan, kemudian budak perempuan itu tetap sebagai gadai, sedangkan anaknya tidak termasuk dalam gadai.
- Boleh dijual dalam keadaan hamil, dan status anak mengikuti ibunya sampai terpisah. Setelah terpisah, anak itu tidak termasuk dalam gadai.
Jika seseorang menggadaikan budak perempuan, dia tidak boleh menikahkannya tanpa izin pemberi gadai karena itu mengurangi nilainya dan menghalangi penjualan jika hamil. Pemberi gadai juga tidak boleh menikahkannya karena dia tidak memilikinya. Hal yang sama berlaku untuk budak laki-laki yang digadaikan. Jika salah satu pihak menikahkan budak tersebut, pernikahannya batal kecuali jika keduanya setuju sebelum akad nikah.
Jika seseorang menggadaikan sesuatu sampai batas waktu tertentu, lalu pemberi gadai meminta izin pemberi hutang untuk menjual gadai tersebut dan diizinkan, maka penjualannya sah. Pemberi hutang tidak boleh mengambil sebagian dari harganya, dan pemberi gadai tidak boleh menggantinya dengan gadai lain. Selama belum dijual, pemberi gadai boleh mencabut izinnya. Jika dia mencabut izin dan penjualan tetap dilakukan, maka penjualannya batal.
Jika pemberi hutang mengizinkan penjualan dengan syarat harganya diberikan kepadanya, tetapi pemberi gadai menjualnya tanpa memenuhi syarat, maka penjualannya batal. Jika mereka berselisih tentang syarat tersebut, maka harus ada bukti. Jika terbukti bahwa izin diberikan dengan syarat harga harus diberikan kepada pemberi hutang, tetapi tidak dipenuhi, maka penjualannya batal.
Jika pemberi gadai mengizinkan penjualan gadai yang hutangnya belum jatuh tempo dengan syarat harganya diberikan kepadanya, maka penjualannya sah, dan pemberi gadai wajib menyerahkan harganya. Jika gadai itu rusak atau hilang di tangan pembeli, pembeli harus mengganti nilainya, kecuali pemberi hutang rela menerima pembayaran sebelum jatuh tempo tanpa syarat sebelumnya.
Jika pemberi gadai mengizinkan penjualan dengan syarat uangnya menjadi gadai baru, penjualannya tidak sah. Jika hutang sudah jatuh tempo dan pemberi gadai mengizinkan penjualan untuk melunasi hutang, maka penjualannya sah, dan pemberi gadai harus menyerahkan harganya. Jika harganya lebih kecil dari hutang, pemberi hutang berhak mengambil seluruhnya dari harta pemberi gadai.
Jika pemberi hutang mengizinkan penjualan tanpa syarat, pemberi gadai harus menyerahkan harganya, kecuali jika hutang lebih kecil dari harga gadai, maka cukup membayar hutangnya. Jika pemberi hutang mengizinkan penjualan sebelum jatuh tempo, dia boleh mencabut izin selama belum dijual. Setelah dijual, pemberi hutang tidak boleh menuntut harganya sebagai hutang, karena izin penjualan berarti melepaskan hak gadai.
Jika pemberi gadai mengizinkan penjualan, tanggung jawab ada pada pemberi gadai, dan dia boleh mencabut izin kecuali jika menyatakan telah membatalkan gadai.
Dia mengatakan bahwa tidak ada hak untuk menarik kembali gadai, dan dalam gadai dia seperti kreditur lainnya. Jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan kepada orang lain, lalu penerima gadai menyetubuhinya, maka hukuman hadd diterapkan padanya. Jika budak itu melahirkan, anaknya adalah budak dan nasab mereka tidak diakui. Jika dia memaksanya, dia wajib membayar mahar, tetapi jika tidak memaksa, tidak ada mahar. Jika dia mengaku tidak tahu, dia tidak dimaafkan kecuali jika dia baru masuk Islam atau tinggal di daerah terpencil atau semacamnya.
Jika pemilik budak mengizinkannya dan dia tidak tahu, hukuman hadd dihindarkan, dan anak diakui sebagai miliknya dengan membayar nilai anak itu saat lahir, dan mereka bebas. Ada dua pendapat tentang mahar: satu mengatakan dia wajib membayar mahar seperti biasanya, yang lain mengatakan tidak ada mahar karena dia telah mengizinkannya. Jika dia memilikinya, budak itu tidak menjadi umm walad baginya, dan budak itu dijual sementara dia dan tuannya dihukum karena memberi izin.
(Rabi’ berkata): Jika dia memilikinya suatu hari, budak itu menjadi umm walad baginya dengan pengakuannya bahwa dia adalah ayah anaknya dan dia memilikinya.
(Syafi’i berkata): Jika dia mengaku bahwa pemberi gadai—sang pemilik—menghibahkan, menjual, meminjamkan, atau menyedekahkan budak itu kepadanya sebelum persetubuhan, atau memberikannya sebagai qisas, maka budak itu menjadi umm walad dan keluar dari gadai jika pemberi gadai membenarkannya atau ada bukti, baik pemberi gadai masih hidup atau sudah meninggal. Jika tidak ada bukti untuk klaimnya, budak dan anaknya tetap budak selama kepemilikan pemberi gadai diketahui, dan tidak keluar dari kepemilikannya kecuali dengan bukti yang sah.
Jika penerima gadai ingin, ahli waris pemberi gadai dapat disumpah tentang pengetahuan mereka terkait klaim kepemilikan budak itu. (Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa anaknya bebas dengan membayar nilainya, hukuman hadd dihindarkan, dan dia wajib membayar mahar yang setara.
[Kebolehan Syarat Gadai]
(Syafi’i berkata)—rahimahullah—: Allah Ta’ala mengizinkan gadai bersama utang, dan utang bisa berasal dari jual beli, pinjaman, atau hak lainnya. Gadai diperbolehkan dalam semua hak ini, baik disyaratkan dalam akad atau digadaikan setelah hak itu tetap. Gadai dipahami sebagai tambahan jaminan bagi pemilik hak, diizinkan dan halal, bukan bagian dari hak itu sendiri. Jika seseorang menjual sesuatu seharga seribu dengan syarat menggadaikan barang tertentu yang diketahui kedua pihak, jual beli itu sah, tetapi gadai tidak sempurna sampai penerima gadai menerimanya atau melalui perantara yang disepakati. Jika diserahkan sebelum diajukan ke hakim, jual beli mengikat. Begitu juga jika penjual menyerahkannya untuk diterima tetapi pembeli meninggalkannya, jual beli tetap sah.
(Syafi’i berkata): Jika diajukan ke hakim dan pemberi gadai menolak menyerahkan barang gadai, hakim tidak bisa memaksanya karena gadai hanya sah dengan penerimaan. Begitu juga jika seseorang menghadiahkan sesuatu tetapi tidak menyerahkannya, hakim tidak bisa memaksa karena hadiah hanya sah dengan penerimaan. Jika seseorang menjual dengan syarat gadai tetapi pemberi gadai tidak menyerahkannya, penjual boleh memilih melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya karena dia tidak rela hanya mengandalkan tanggungan pembeli tanpa gadai. Begitu juga jika sebagian gadai diserahkan dan sebagian ditahan. Demikian pula jika dijual dengan syarat ada penjamin tertentu, tetapi penjamin tidak diberikan sampai penjamin meninggal, penjual boleh memilih melanjutkan jual beli tanpa penjamin atau membatalkannya karena dia tidak rela hanya mengandalkan tanggungan pembeli.
Jika situasinya tetap dan pembeli ingin membatalkan jual beli tetapi pemberi gadai atau penjamin menolak, pembeli tidak berhak karena tidak ada kerugian yang memicu hak pilih baginya. Jual beli tetap pada tanggungannya, dan tambahan gadai atau tanggungan orang lain tidak membebaninya. Tidak ada kerusakan dalam jual beli karena tidak ada pengurangan harga yang merusak akad, hanya pengurangan jaminan non-kepemilikan untuk penerima gadai, dan tidak ada syarat fasid yang merusak jual beli.
Hal yang sama berlaku untuk semua hak seseorang atas orang lain yang disertai syarat gadai atau penjamin. Jika hak itu timbal balik, seperti jual beli, dia boleh memilih menerima…
Penggantian sebagaimana dalam jual beli. Jika barang gadai ada dalam pinjaman tanpa jual beli atau ada hak sebelumnya tanpa gadai, lalu dia menggadaikan sesuatu tetapi tidak menyerahkannya, maka hak tetap seperti semula. Untuk pinjaman, dia boleh mengambilnya kapan saja, dan untuk hak selain pinjaman, dia boleh mengambilnya kapan saja jika hak itu tunai.
Jika seseorang menjual sesuatu seharga seribu dengan syarat menggadaikan barang jaminan yang disetujui atau memberikan jaminan dan penjamin yang disepakati, atau apa pun yang disepakati pembeli dan penjual atau salah satunya tanpa menyebutkan barang tertentu, maka jual belinya batal karena ketidakjelasan bagi penjual dan pembeli atau salah satunya mengenai syarat yang disepakati. Tidakkah kamu lihat, jika dia datang dengan penjamin atau barang gadai lalu dia berkata, “Aku tidak menerimanya,” maka tidak ada alasan baginya untuk menerima barang gadai atau penjamin tertentu yang telah diberikan.
Jika dia menjual sesuatu seharga seribu dengan syarat memberikan budaknya yang mereka kenal sebagai jaminan, lalu dia memberikannya sebagai gadai tetapi tidak diterima, maka dia tidak boleh membatalkan jual beli karena tidak mengurangi syarat yang telah mereka sepakati bersama. Demikian pula, jika dia menjual sesuatu seharga seribu dengan syarat menggadaikan hasil hari itu atau hamba sahaya yang datang dari perantauan atau semacamnya, maka jual beli itu batal dengan makna serupa atau lebih dari masalah sebelumnya.
Jika seseorang membeli sesuatu dengan syarat menggadaikan barang tertentu, lalu pembeli meninggal sebelum menyerahkan gadai kepada penerima gadai, maka gadai itu tidak sah, dan ahli warisnya tidak wajib menyerahkannya. Jika mereka menyerahkannya secara sukarela tanpa ada ahli waris lain atau pemilik wasiat, maka itu sah sebagai gadai, dan penerima gadai boleh menjualnya karena hutangnya telah jatuh tempo. Jika mereka tidak melakukannya, penjual boleh memilih antara membatalkan atau menyelesaikan jual beli.
Jika penjual yang mensyaratkan gadai adalah yang meninggal, maka hutangnya tetap sesuai tenggat jika berjangka atau tunai jika tunai. Ahli warisnya menggantikan posisinya. Jika pembeli menyerahkan gadai kepada mereka, maka jual beli sah. Jika tidak, mereka boleh memilih membatalkan atau menyelesaikan jual beli sebagaimana hak orang tua mereka, jika gadai itu tidak ada.
(Imam Syafi’i berkata): Jika gadai atau barang yang dibeli tidak ada, maka dia boleh memilih antara menyelesaikan jual beli dengan mengambil harganya atau membatalkannya dengan mengambil nilainya, sebagaimana aku berikan pilihan jika dia menjual budak lalu budak itu mati. Pembeli berkata, “Aku membelinya dengan lima ratus,” sedangkan penjual berkata, “Aku menjualnya dengan seribu.” Dia boleh mengambil pengakuan pembeli atau mengambil nilainya setelah pembeli bersumpah atas klaimnya. Aku tidak menyuruhnya bersumpah di sini karena pembeli tidak mengklaim kebebasan dari sesuatu sebagaimana dia mengklaim kebebasan dari kelebihan lima ratus.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual sesuatu dengan harga tunai atau berjangka, atau ada hak tanpa gadai, dan tidak ada syarat gadai saat akad, lalu pembeli secara sukarela menggadaikan barang tertentu dan menyerahkannya, kemudian pemberi gadai ingin mengambil kembali gadai karena itu sukarela, maka dia tidak boleh kecuali jika penerima gadai mengizinkan, sebagaimana jika gadai itu disyaratkan.
Demikian pula, jika gadai disyaratkan lalu diserahkan, kemudian dia menambah gadai lain atau beberapa gadai dan menyerahkannya, lalu dia ingin mengambilnya atau sebagiannya, maka itu tidak boleh, meskipun nilai gadai berlipat dari hutangnya. Jika dia menambah beberapa gadai atau menggadaikan beberapa sekaligus tetapi hanya menyerahkan sebagian, maka yang diserahkan sah sebagai gadai, sedangkan yang tidak diserahkan tidak sah, dan yang sudah diserahkan tidak batal karena yang tidak diserahkan.
Jika seseorang menjual sesuatu dengan syarat barang yang dijual itu sendiri menjadi gadai bagi penjual, maka jual beli itu batal karena pembeli tidak memiliki barang kecuali jika barang itu ditahan darinya. Ini berbeda dengan menggadaikan barang miliknya sendiri. Tidakkah kamu lihat, jika dia menghadiahkan barang miliknya sendiri, itu sah, tetapi jika dia membeli sesuatu dengan syarat menghadiahkannya, itu tidak sah.
Baik mereka mensyaratkan gadai diserahkan kepada penjual atau orang lain yang adil, jika penerima gadai meninggal, gadai tetap berlaku, dan ahli warisnya memiliki hak yang sama. Jika pemberi gadai meninggal, gadai tetap berlaku dan tidak batal karena kematiannya atau kematian salah satu dari mereka.
Ahli waris pemberi gadai memiliki hak yang sama untuk melunasi hutang dan mengambil gadai atau menjualnya karena hutang orang tua mereka telah jatuh tempo. Mereka boleh memaksa penerima gadai untuk menjualnya dan mencegahnya menahan gadai dari penjualan, karena gadai bisa rusak atau hilang selama ditahan, sehingga tanggungan orang tua mereka tidak lunas, dan mungkin ada kelebihan nilai dari hutang yang menjadi hak mereka.
Jika penerima gadai tidak ada, hakim dapat menunjuk seseorang untuk menjual gadai dan menyerahkan haknya kepada pihak yang adil jika tidak ada wakil yang bisa melakukannya.
Jika seseorang memiliki hak tanpa gadai, lalu dia menggadaikan sesuatu, maka gadai itu sah.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Jika hak itu tunai atau tempo, dan jika hak itu tunai atau tempo, lalu orang yang menggadaikan (rahin) berkata: “Saya menggadaikan kepada Anda dengan syarat Anda menambah tempo untuk saya,” lalu dilakukan, maka gadai itu batal. Hak yang tunai tetap seperti semula, dan hak yang tempo tetap pada tempo awalnya, sedangkan tempo tambahan tidak berlaku. Kreditur rahin dalam gadai yang batal memiliki hak yang sama dengan penerima gadai (murtahin). Demikian pula, jika tidak disyaratkan penundaan tempo, tetapi disyaratkan untuk menjual sesuatu, meminjamkan, atau mengerjakan sesuatu dengan imbalan harga sebagai syarat untuk menggadaikan, tetapi gadai tidak dilakukan, maka gadai tidak sah. Gadai juga tidak sah untuk hak yang wajib sebelum diserahkan, kecuali rahin secara sukarela menyerahkannya tanpa tambahan apa pun dari murtahin. Jika seseorang berkata: “Jual budakmu kepadaku dengan harga seratus dengan syarat aku menggadaikan kepadamu seratus dan hakmu yang sebelumnya sebagai gadai,” maka gadai dan jual beli semuanya batal. Jika budak itu binasa di tangan pembeli, ia bertanggung jawab atas nilainya. Jika penerima gadai mengakui bahwa barang gadai yang ada di tangannya telah diterimanya sebagai gadai, maka aku menganggapnya sebagai gadai, dan aku tidak menerima perkataan orang yang adil yang mengatakan: “Aku tidak menerimanya,” jika penerima gadai mengatakan bahwa orang yang adil itu telah menerimanya.
[Perbedaan Barang yang Digadaikan dan Hak yang Menjadi Dasar Gadai]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika rumah, budak, atau harta bergerak berada di tangan seseorang, lalu seseorang berkata: “Si Fulan menggadaikannya kepadamu untuk ini,” tetapi si Fulan berkata: “Aku tidak menggadaikannya kepadamu, tetapi aku menitipkannya, atau memberimu kuasa, atau kamu merampasnya,” maka perkataan pemilik rumah, harta, atau budak yang dipegang. Karena orang yang memegangnya mengakui kepemilikan pemilik dan mengklaim hak atasnya, maka klaimnya tidak diterima kecuali dengan bukti. Demikian pula, jika orang yang memegangnya berkata: “Aku menggadaikannya kepadamu dengan seribu,” dan tergugat berkata: “Aku berutang seribu kepadamu, tetapi aku tidak menggadaikannya seperti klaimmu,” maka perkataan tergugat yang diterima, dan ia wajib membayar seribu tanpa gadai sebagaimana pengakuannya. Jika ada dua rumah di tangan seseorang, dan ia berkata: “Si Fulan menggadaikan keduanya kepadaku dengan seribu,” tetapi si Fulan berkata: “Aku hanya menggadaikan salah satunya (disebutkan secara spesifik) dengan seribu,” maka perkataan pemilik rumah yang mengatakan bahwa itu bukan gadai selain yang disebutkan.
Demikian pula, jika ia berkata: “Aku menggadaikan salah satunya dengan seratus,” maka hanya sah sebagai gadai dengan seratus. Jika orang yang memegang keduanya berkata: “Aku menggadaikan keduanya dengan seribu,” tetapi pemilik dua rumah berkata: “Aku hanya menggadaikan salah satunya (tanpa menyebutkan yang mana) dengan seribu,” maka tidak ada satu pun yang sah sebagai gadai, dan ia tetap wajib membayar seribu berdasarkan pengakuannya tanpa gadai. Karena pada dasarnya tidak boleh seseorang berkata kepada orang lain: “Aku menggadaikan salah satu dari dua rumahku ini,” tanpa menyebutkan yang mana, atau “salah satu dari dua budakku,” atau “salah satu dari dua pakaianku.” Gadai tidak sah kecuali barangnya disebutkan secara spesifik.
Jika ada rumah di tangan seseorang, dan ia berkata: “Si Fulan menggadaikannya kepadaku dengan seribu dan menyerahkannya kepadaku,” tetapi si Fulan berkata: “Aku menggadaikannya dengan seribu, tetapi tidak menyerahkannya kepadamu, melainkan kamu merampasnya, atau seseorang menyewanya dariku dan menempatinya, atau ia sendiri menyewanya dan menempatinya tanpa aku menyerahkannya sebagai gadai,” maka perkataan pemilik rumah yang diterima. Gadai tidak sah jika pemilik rumah mengatakan itu bukan gadai, sehingga perkataannya yang dianggap. Jika ia mengakui gadai tetapi penerima gadai tidak menerimanya, maka itu bukan gadai.
Jika ada rumah di tangan seseorang, dan ia berkata: “Si Fulan menggadaikannya kepadaku dengan seribu dinar dan menyerahkannya kepadaku,” tetapi si Fulan berkata: “Aku menggadaikannya dengan seribu dirham atau seribu fulus dan menyerahkannya kepadamu,” maka perkataan pemilik rumah yang diterima.
Jika ada budak di tangan seseorang, dan ia berkata: “Si Fulan menggadaikannya kepadaku dengan seratus,” dan budak itu membenarkannya, tetapi pemilik budak berkata: “Aku tidak menggadaikannya dengan apa pun,” maka perkataan pemilik budak yang diterima, dan budak tidak memiliki hak bersuara.
Jika kasusnya sama, tetapi pemilik budak berkata: “Aku tidak menggadaikannya dengan seratus, tetapi aku menjualnya dengan seratus,” maka budak itu bukan gadai atau jual beli jika kedua pihak berselisih dalam klaim masing-masing.
Jika ada budak yang dimiliki dua orang, lalu seseorang berkata: “Kalian berdua menggadaikannya kepadaku dengan seratus dan aku menerimanya,” lalu salah satu pemilik membenarkannya, sedangkan yang lain berkata: “Aku tidak menggadaikannya dengan apa pun,” maka separuhnya sah sebagai gadai dengan lima puluh, dan separuhnya bebas dari gadai. Jika rekan pemilik budak bersaksi terhadap pemilik lain dengan klaim penerima gadai, dan ia orang yang adil, maka penerima gadai harus bersumpah bersamanya, dan separuh bagiannya sah sebagai gadai dengan lima puluh. Tidak ada pengaruh dari kesaksian penerima gadai yang menguntungkan dirinya sendiri atau menolak klaim terhadapnya.
kesaksiannya, dan aku tidak menolak kesaksian seorang lelaki yang memiliki sesuatu atasnya jika dia bersaksi untuk orang lain.
Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, dan berada di tangan dua orang yang mengklaim bahwa mereka menggadaikannya bersama sebesar seratus, lalu kedua orang itu mengakui bahwa salah satu dari mereka menggadaikannya sendirian sebesar lima puluh dan menyangkal klaim pihak lain, maka mereka terikat dengan apa yang mereka akui, dan tidak terikat dengan klaim pihak lain yang mereka sangkal. Jika mereka mengakui bersama bahwa budak itu digadaikan kepada keduanya, tetapi mereka berkata, “Dia digadaikan sebesar lima puluh,” sementara pihak lain mengklaim seratus, maka mereka hanya terikat dengan apa yang mereka akui.
Jika salah satu pemberi gadai berkata kepada salah satu penerima gadai, “Aku menggadaikannya kepadamu sebesar lima puluh,” dan yang lain berkata kepada penerima gadai lainnya, “Aku menggadaikannya kepadamu sebesar lima puluh,” maka hak masing-masing atas budak itu adalah separuh, yaitu seperempat budak digadaikan kepada yang diakui sebesar dua puluh lima. Pengakuan mereka terhadap diri sendiri diperbolehkan, tetapi tidak terhadap orang lain. Jika keduanya termasuk orang yang kesaksiannya diterima, dan masing-masing bersaksi terhadap rekannya dan dirinya sendiri, maka kesaksian mereka diterima, dan masing-masing diwajibkan membayar dua puluh lima dinar berdasarkan pengakuannya dan dua puluh lima dinar lagi berdasarkan kesaksian rekannya, jika penggugat bersumpah bersama saksi.
Jika seribu dinar berada di tangan seorang lelaki, lalu dia berkata, “Aku menggadaikannya sebesar seratus dinar atau seribu dirham,” tetapi pemberi gadai berkata, “Aku menggadaikannya kepadamu sebesar satu dinar atau sepuluh dirham,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti, karena penerima gadai mengakui kepemilikan seribu dinar tersebut, sementara dia menuntut hak atasnya. Perkataan pemberi gadai lebih diutamakan dalam hal klaim yang diajukan terhadapnya.
Jika pemberi gadai dan penerima gadai berselisih, dan penerima gadai berkata, “Kau menggadaikan budakmu yang bernama Salim kepadaku sebesar seratus,” sementara pemberi gadai berkata, “Tidak, aku menggadaikan budakku yang bernama Muwaffaq kepadamu sebesar sepuluh,” maka pemberi gadai harus bersumpah, dan Salim tidak tergadai sama sekali. Jika klaimnya benar bahwa Muwaffaq digadaikan sebesar sepuluh dinar, maka Muwaffaq sah sebagai gadai. Jika penerima gadai mendustakannya dan berkata, “Salim yang digadaikan sebesar itu,” maka Muwaffaq maupun Salim tidak sah sebagai gadai, karena hal itu membebaskan Muwaffaq dari status gadai.
Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan rumahku kepadamu sebesar seribu,” tetapi pihak lain menyanggah, “Tidak, aku membelinya darimu sebesar seribu,” dan mereka sepakat bahwa seribu itu telah diterima, maka mereka harus saling bersumpah. Uang seribu itu tetap menjadi tanggungan pihak yang menerimanya tanpa status gadai atau jual beli. Demikian pula jika seseorang berkata, “Seandainya aku menggadaikan rumahku kepadamu sebesar seribu, maka aku telah menerimanya darimu,” tetapi pihak penerima gadai berkata, “Tidak, aku membeli budakmu dengan uang seribu itu,” maka mereka harus saling bersumpah. Rumah itu tidak sah sebagai gadai, dan budak itu tidak sah sebagai barang jualan. Uang seribu tetap menjadi tanggungan tanpa status gadai atau jual beli.
Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan rumahku kepadamu sebesar seribu, dan aku telah menerima rumah itu, tetapi aku belum menerima uang seribu darimu,” sementara penerima gadai berkata, “Tidak, aku telah menerima uang seribu,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti, karena dia tidak mengakui adanya utang seribu yang mengikatnya. Dia harus bersumpah bahwa dia tidak menerima uang seribu, lalu rumah itu bebas dari status gadai karena tidak ada uang yang diterima sebagai jaminan.
Jika seseorang memiliki utang seribu dirham atas orang lain, lalu dia menggadaikan sebuah rumah sebagai jaminan, dan pemberi gadai berkata, “Aku menggadaikan rumah ini kepadamu sebesar seribu dirham untuk jangka waktu satu tahun,” sementara penerima gadai berkata, “Tidak, seribu dirham itu harus dibayar tunai,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti, dan penerima gadai harus membuktikan klaimnya.
Demikian pula jika pemberi gadai berkata, “Aku menggadaikannya sebesar seribu dirham,” tetapi penerima gadai berkata, “Tidak, sebesar seribu dinar,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti. Dalam semua hal yang tidak dapat dibuktikan kecuali dengan perkataannya, maka perkataannya yang diutamakan. Sebab, jika dia berkata, “Aku tidak menggadaikannya kepadamu,” maka perkataannya yang diikuti.
Jika seseorang memiliki dua utang atas orang lain, satu dengan jaminan gadai dan satu tanpa jaminan, lalu dia melunasi seribu, kemudian mereka berselisih, di mana pemberi gadai berkata, “Aku melunasi utang yang dengan jaminan gadai,” tetapi penerima gadai berkata, “Tidak, yang tanpa jaminan,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti. Tidakkah kamu melihat bahwa jika dia datang dengan seribu dan berkata, “Ini uang seribu yang aku gadaikan kepadamu,” lalu penerima gadai menerimanya, maka dia wajib melepaskan jaminan gadainya dan tidak boleh menahannya dengan alasan, “Kau masih berutang seribu lainnya.” Jika dia menahannya setelah menerima pembayaran, maka dia telah melampaui batas dengan penahanan itu. Jika jaminan gadai itu rusak di tangannya, maka dia harus mengganti nilainya. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti perkataan pihak yang membayar. Wallahu a’lam.
[Hukum Barang yang Boleh Digadaikan]
(Imam Syafi’i berkata—rahimahullah—):
Setiap barang yang boleh dijual dari orang dewasa merdeka yang tidak berada di bawah pengampuan, maka boleh digadaikan. Demikian pula, siapa saja yang berhak…
Untuk menggadaikan atau digadaikan oleh orang merdeka yang sudah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan, diperbolehkan baginya menggadaikan dengan atau tanpa pengawasan; karena ia boleh menjual atau menghibahkan hartanya dalam segala kondisi. Jika hibah hartanya diperbolehkan, maka menggadaikannya tanpa pengawasan juga diperbolehkan. Namun, seorang ayah tidak boleh menggadaikan harta untuk anaknya, begitu pula wali anak yatim, kecuali jika ada keuntungan bagi mereka. Meminjamkan harta mereka dengan jaminan gadai tidak diperbolehkan, dan siapa pun yang melakukannya harus menanggung kerugian atas harta yang dipinjamkannya.
Seorang mukatab (budak yang sedang menebus dirinya) dan budak yang diizinkan berdagang boleh menggadaikan harta jika hal itu bermanfaat bagi harta mereka dan menambah nilainya. Namun, meminjamkan harta dan menggadaikannya tidak diperbolehkan bagi mereka. Mereka boleh menjual hartanya, mengambil keuntungan, lalu menggadaikannya. Bagi mereka yang tidak diperbolehkan menggadaikan kecuali untuk kelebihan harta miliknya sendiri, anaknya, anak yatim yang diwalikan, mukatab, atau budak yang diizinkan, tidak boleh menggadaikan apa pun karena gadai adalah amanah dan utang adalah kewajiban. Gadai dalam segala hal merugikan mereka, kecuali dalam kondisi darurat seperti ketakutan akan pemindahan harta mereka atau situasi serupa.
Kami tidak membolehkan gadai dari pihak yang telah disebutkan, kecuali menurut pendapat yang menganggap bahwa seluruh gadai dijamin. Adapun harta yang tidak dijamin, menggadaikannya tanpa pengawasan tidak diperbolehkan karena bisa rusak, dan pemberi gadai tidak terbebas dari tanggungan. Baik laki-laki, perempuan, Muslim, atau non-Muslim, semua boleh menggadaikan harta sesuai ketentuan yang telah dijelaskan. Seorang Muslim boleh menggadaikan kepada non-Muslim, dan sebaliknya, tanpa paksaan, kecuali jika seorang Muslim menggadaikan mushaf Al-Qur’an kepada non-Muslim. Jika hal itu terjadi, kami tidak membatalkannya tetapi menyerahkannya kepada seorang Muslim yang adil dan memaksa non-Muslim tersebut jika menolak.
Saya tidak menyukai jika seorang non-Muslim menggadaikan budak Muslim, baik kecil maupun dewasa, agar Muslim tidak dihinakan di bawah kekuasaan non-Muslim atau dipaksa makan babi atau minum khamr. Jika hal itu terjadi, gadainya tidak dibatalkan. Saya juga tidak menyukai gadai budak perempuan dewasa atau hampir dewasa yang mungkin diinginkan oleh seorang Muslim, kecuali jika penerima gadai memegangnya dan menyerahkannya kepada pemiliknya, seorang wanita, atau mahramnya. Jika pemiliknya menggadaikannya kepada seorang laki-laki dan menyerahkannya, gadainya tidak dibatalkan. Hal yang sama berlaku jika digadaikan kepada non-Muslim, tetapi non-Muslim dipaksa untuk menyerahkannya kepada seorang Muslim yang adil, dan lebih disukai jika diserahkan kepada seorang wanita. Jika tidak ada wanita, diserahkan kepada laki-laki adil yang bersama seorang wanita adil. Jika pemberi dan penerima gadai sepakat untuk menyerahkan budak perempuan kepada orang yang tidak terpercaya, mereka dipaksa untuk menerima penyerahan kepada pihak yang adil. Jika mereka menolak, saya akan memilih pihak adil untuk mereka, kecuali jika mereka sepakat untuk menyerahkannya kepada pemilik atau penerima gadai.
Selain manusia, saya tidak keberatan dengan gadai hewan atau lainnya, baik dari Muslim maupun non-Muslim. Nabi SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi. Jika seorang wanita dewasa dan cakap, baik perawan atau janda, boleh menjual atau menggadaikan dirinya. Jika dia sudah menikah, boleh menggadaikan atau menjual dirinya tanpa izin suaminya, dan boleh menghibahkan hartanya kepada suaminya atau orang lain jika dia cakap, seperti suaminya dengan hartanya. Jika seorang wanita, laki-laki, Muslim, non-Muslim, merdeka, atau budak berada di bawah pengampuan, tidak boleh menggadaikan apa pun, sebagaimana tidak boleh menjualnya. Jika seseorang yang tidak boleh menggadaikan melakukannya, gadainya batal, dan penerima gadai tidak memiliki hak atas harta yang digadaikan.
Jika orang yang berada di bawah pengampuan menggadaikan sesuatu tetapi tidak diserahkan olehnya atau walinya kepada penerima gadai, dan tidak diajukan kepada hakim untuk dibatalkan sampai pengampuan dicabut, maka gadai pertama tidak sah sampai gadai baru dilakukan setelah pencabutan pengampuan dan diserahkan kepada penerima gadai. Jika hal itu dilakukan, gadainya sah. Jika seseorang menggadaikan harta dan penerima gadai menerimanya sebelum pengampuan, kemudian dia berada di bawah pengampuan, gadai tetap sah, dan penerima gadai berhak atasnya sampai haknya terpenuhi.
Seorang yang memiliki banyak utang boleh menggadaikan hartanya sampai penguasa menahan hartanya, sebagaimana dia boleh menjualnya sampai penguasa menahan hartanya. Jika orang yang tidak berada di bawah pengampuan menggadaikan harta kepada orang yang berada di bawah pengampuan, dan gadai itu terkait dengan penjualan, maka penjualannya batal, dan pemberi gadai harus mengembalikan barangnya jika masih ada atau nilainya jika tidak ada. Gadai juga batal jika hak yang menjadi dasar gadai batal. Hal yang sama berlaku jika seseorang menyewa rumah, tanah, atau hewan dan menggadaikannya, maka gadai dan sewa batal. Jika dia menempati, mengendarai, atau menggunakannya, dia harus membayar sewa atau upah yang setara. Demikian pula jika orang yang berada di bawah pengampuan meminjamkan harta dan orang yang tidak berada di bawah pengampuan menggadaikannya, gadainya batal karena pinjaman tersebut.
Batil dan atasnya dikembalikan salaf dengan yang sama, dan tidak boleh dia menginfakkan sesuatu darinya. Jika dia menginfakkannya, maka dia harus menggantinya dengan yang serupa jika ada, atau nilainya jika tidak ada yang serupa. Dan setiap gadai yang dibatalkan karena syarat dalam gadai, kerusakan gadai, atau kerusakan jual beli yang melatarbelakangi gadai, aku tidak meminta orang yang menggadaikan untuk membawa gadai lain dalam keadaan apa pun. Demikian pula, jika syarat dalam gadai dan jual beli sah tetapi gadai tersebut disita, aku tidak meminta orang yang menggadaikan untuk membawa gadai lain.
Dia berkata: Jika dua orang yang tidak terlarang melakukan jual beli yang rusak dan salah satunya menggadaikan kepada yang lain sebagai gadai, maka jual beli dan gadai tersebut batal. Kesimpulan ilmu ini adalah bahwa setiap hak yang asalnya sah boleh dijadikan gadai, dan setiap jual beli yang tidak sah maka gadainya rusak jika pembeli atau penyewa tidak memiliki apa yang dijual atau disewa. Penerima gadai tidak memiliki hak atas gadai tersebut. Gadai hanya sah bagi yang menggadaikan sesuai dengan apa yang dia berikan sebagai jaminan. Jika apa yang dia berikan batal, maka gadainya juga batal.
Jika seseorang menukar budak dengan budak, rumah dengan rumah, atau barang dengan barang, dan salah satunya menambah dinar yang ditangguhkan dengan syarat dia menggadaikan tambahan dinar tersebut sebagai gadai yang jelas, maka jual beli dan gadainya sah jika sudah diterima.
Jika seseorang menerima gadai dari orang lain untuk dirinya sendiri atau orang lain atas perintahnya dan pemilik gadai, maka gadainya sah. Jika yang menerima adalah anak orang yang menggadaikan, istrinya, ayahnya, atau kerabatnya, atau anak penerima gadai, atau salah satu dari yang disebutkan, atau budak penerima gadai, maka gadainya sah. Namun, jika budak orang yang menggadaikan yang menerima untuk penerima gadai, itu tidak sah karena penerimaan budaknya sama seperti penerimaan dirinya sendiri.
Jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain dan penerima gadai mengeluarkan biaya tanpa perintah orang yang menggadaikan, maka itu dianggap sukarela. Jika dia menggadaikan tanah kharaj, maka gadainya batal karena tanah itu tidak dimiliki. Jika ada tanaman atau bangunan milik orang yang menggadaikan, maka tanaman dan bangunan itu bisa dijadikan gadai. Jika dia membayar kharaj atasnya, itu dianggap sukarela dan tidak bisa menuntut kembali dari orang yang menggadaikan kecuali jika dia membayar atas perintahnya.
Demikian pula, jika seseorang menyewa tanah dari orang lain yang telah menyewanya, lalu penyewa membayar sewa untuk penyewa pertama, maka jika dia membayar dengan izinnya, dia bisa menuntut kembali. Jika tanpa izin, itu dianggap sukarela dan tidak bisa menuntut kembali.
Gadai sah dengan setiap hak yang melekat, seperti mahar atau lainnya, baik antara dzimmi, harbi yang mendapat perlindungan (musta’min), musta’min dengan muslim, sebagaimana sah antara muslim, tidak ada perbedaan.
Jika gadai dengan mahar lalu terjadi talak sebelum hubungan suami-istri, maka separuh hak batal dan gadai tetap seperti semula, kecuali sedikit dan gadai tetap berlaku.
Jika seseorang menerima gadai berupa kurma atau gandum, lalu hak jatuh tempo, kemudian dia menjual gadai yang ada di tangannya dalam bentuk kurma atau gandum, maka jual beli itu tertolak. Tidak boleh menjualnya kecuali dengan dinar atau dirham, lalu dibelikan gandum atau kurma untuk diberikan kepada pemilik hak.
Tidak boleh menggadaikan dalam akad qiradh karena gadai tidak dijamin kecuali jika pemilik modal mengizinkan qiradh untuk menggadaikan dengan utang yang diketahui. Demikian pula, tidak boleh menerima gadai kecuali jika pemilik modal mengizinkannya untuk menjual dengan utang. Jika dia menjual dengan utang, maka gadai adalah tambahan baginya. Gadai hanya sah dalam harta pemilik modal. Jika dia menggadaikan untuk orang lain, maka dia menanggungnya, dan gadai tidak sah.
[Cacat dalam Gadai]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Gadai ada dua jenis: gadai dalam hak asli yang tidak wajib kecuali dengan syarat, yaitu ketika seseorang menjual dengan syarat menggadaikan sesuatu yang mereka sebutkan. Jika seperti ini, lalu gadai memiliki cacat fisik atau cacat fungsi yang mengurangi nilainya, dan penerima gadai mengetahui cacat itu sebelum akad, maka dia tidak memiliki hak khiyar (pilihan), dan gadai serta jual beli tetap sah. Jika penerima gadai tidak mengetahuinya lalu mengetahuinya setelah jual beli, maka dia memiliki hak khiyar antara membatalkan jual beli atau menetapkannya, serta menetapkan gadai dengan pengurangan nilai.
Cacat yang memberikan hak khiyar adalah segala sesuatu yang mengurangi nilai, sedikit atau banyak, bahkan bekas yang tidak mengganggu fungsi. Jika dia sudah mengetahuinya, maka tidak ada hak khiyar. Jika gadai itu terbunuh atau murtad dan dia mengetahuinya…
Penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Jika barang gadai kemudian digadaikan, maka gadai tersebut tetap berlaku. Jika barang tersebut dibunuh (rusak) di tangan penerima gadai, maka penjualan tetap sah, dan gadai telah keluar dari tangannya. Jika tidak dibunuh (rusak), maka status gadai tetap seperti semula. Demikian pula jika barang tersebut dicuri lalu dipotong di tangan penerima gadai, status gadai tetap berlaku. Jika penerima gadai tidak mengetahui kemurtadan, pembunuhan, atau pencurian tersebut, lalu menggadaikannya, kemudian barang itu dibunuh atau dipotong di tangannya, ia berhak membatalkan penjualan.
Jika pemberi gadai tidak menipu penerima gadai dengan cacat pada barang dan menyerahkannya dalam keadaan baik, lalu barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat di tangan penerima gadai, maka gadai tetap berlaku. Namun, jika pemberi gadai menipu dengan cacat pada barang dan penerima gadai menerimanya, lalu barang tersebut mati sebelum ia memilih untuk membatalkan penjualan, ia tidak berhak membatalkannya karena barang gadai telah hilang. Ini berbeda jika barang dibunuh atau dipotong di tangannya. Hal yang sama berlaku untuk semua cacat pada barang gadai, baik hewan maupun lainnya.
Jika pemberi dan penerima gadai berselisih tentang cacat pada barang, dan pemberi gadai berkata, “Aku menggadaikan barang ini dalam keadaan baik,” sementara penerima gadai berkata, “Engkau menggadaikannya dalam keadaan cacat,” maka perkataan pemberi gadai yang diterima dengan sumpah jika cacat tersebut termasuk yang biasa terjadi. Penerima gadai harus membuktikan klaimnya. Jika ia berhasil membuktikannya, ia berhak memilih seperti yang telah dijelaskan.
Jika seseorang menggadaikan budak atau lainnya dengan syarat diberi pinjaman, maka apakah ia menemukan cacat pada barang gadai atau tidak, hal itu sama saja. Ia berhak memilih untuk mengambil pinjamannya segera, meskipun awalnya disebutkan sebagai pinjaman berjangka. Pinjaman tidak sama dengan penjualan, dan gadai yang diberikan secara sukarela oleh pemberi gadai. Misalnya, jika seseorang menjual barang secara kredit tanpa syarat gadai, lalu setelah akad jual beli selesai, pemberi gadai menggadaikan barang tersebut, maka gadai ini bersifat sukarela. Penerima gadai tidak berhak membatalkan penjualan jika terdapat cacat pada barang gadai, karena penjualan telah sah tanpa gadai. Namun, ia boleh membatalkan gadai jika ingin, atau membatalkan penjualan jika itu adalah haknya yang ia tinggalkan.
Boleh menggadaikan budak yang murtad, pembunuh, atau yang terkena hukuman had, karena hal itu tidak menghilangkan status perbudakannya. Jika budak tersebut dibunuh, maka ia keluar dari status gadai. Jika seseorang murtad dari Islam lalu menggadaikan budaknya, maka siapa yang membolehkan penjualan budak murtad, ia juga membolehkan penggadaiannya, dan sebaliknya.
(Imam Syafi’i berkata): “Gadai orang murtad boleh seperti halnya penjualannya.”
[Gadai mencakup dua hal yang berbeda, seperti pakaian, tanah, bangunan, dan lainnya.]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang menggadaikan tanahnya tanpa menyebut bangunan di atasnya, maka hanya tanah yang tergadai, bukan bangunannya. Demikian pula jika ia menggadaikan tanah tanpa menyebut pohon-pohonnya, baik yang tersebar atau tidak, maka hanya tanah yang tergadai, bukan pohon-pohonnya. Jika ia menggadaikan pohon-pohon dengan jarak di antaranya, maka hanya pohon yang tergadai, bukan jaraknya. Hanya yang disebutkan yang termasuk dalam gadai.
Jika seseorang menggadaikan buah yang sudah keluar dari pohon sebelum boleh dijual beserta pohonnya, maka pohon dan buahnya tergadai secara sah, karena jika pemberi gadai meninggal atau hutang jatuh tempo, penerima gadai boleh menjualnya segera. Demikian pula jika hutang berjangka, karena pemberi gadai rela menjualnya sebelum jatuh tempo atau jika ia meninggal sehingga hutang jatuh tempo.
Jika hutang dalam gadai ini berjangka, lalu buah sudah matang dan dijual, pemberi gadai boleh memilih apakah hasil penjualannya digunakan untuk melunasi hutang atau tetap digadaikan bersama pohon hingga hutang jatuh tempo.
Jika hutang sudah jatuh tempo dan penerima gadai ingin menjual buah sebelum matang tanpa pohon, itu tidak boleh. Demikian pula jika ia ingin memotong dan menjualnya tanpa izin pemberi gadai. Jika buah digadaikan tanpa pohon, baik masih kuncup, sudah diserbuki, atau dalam keadaan apa pun sebelum matang, gadai tidak sah, baik hutang jatuh tempo atau berjangka, kecuali jika disyaratkan bahwa penerima gadai boleh memotong atau menjualnya saat hutang jatuh tempo. Ini karena kebiasaan buah dibiarkan hingga matang.
Bukankah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang menjual buah sebelum matang? Ini agar diketahui bahwa buah harus dibiarkan hingga matang. Namun, boleh menjual buah dengan syarat dipotong sebelum matang, karena itu bukan larangan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Demikian pula semua buah dan tanaman yang digadaikan sebelum matang, jika tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan kecuali dengan syarat seperti itu.
Bahwa buah tersebut harus dipotong ketika hak jatuh tempo, lalu dijual dalam keadaan terpotong sebagaimana adanya. Jika penjualan buah telah jatuh tempo, maka gadainya juga jatuh tempo, baik hak itu berjangka maupun tunai. Jika buah telah matang tetapi hak belum jatuh tempo, pemilik tidak boleh menjualnya jika sudah kering kecuali dengan izin penerima gadai. Jika penerima gadai menyetujui, nilainya menjadi gadai, kecuali jika pemilik secara sukarela menjadikannya sebagai pelunasan. Saya tidak pernah menjadikan utang berjangka sebagai tunai, kecuali jika pemilik utang secara sukarela menyetujuinya. Jika seseorang menggadaikan buah, maka pertambahan dalam ukuran dan kualitasnya termasuk dalam gadai, sebagaimana pertambahan gadai di tangannya juga termasuk gadai. Jika ada sebagian harga yang keluar, maka itu digadaikan, dan jika setelahnya keluar lagi, maka yang keluar tidak terpisah dari yang pertama digadaikan, sehingga gadai pada yang pertama dan yang keluar tidak sah karena gadai saat itu tidak jelas. Gadai tidak sah sampai buah dipotong di tempatnya atau disyaratkan untuk dipotong dalam waktu tertentu sebelum buah yang keluar setelahnya muncul, atau setelah keluar sebelum menjadi jelas apakah itu termasuk gadai pertama atau tidak. Jika ini terpenuhi, maka gadai sah.
Jika dibiarkan hingga keluar buah setelahnya yang tidak dapat dibedakan sampai diketahui, ada dua pendapat. Pertama: gadai menjadi batal sebagaimana jual beli batal, karena saya tidak bisa membedakan yang tergadai dengan yang tidak. Kedua: gadai tidak batal, dan perkataan pemilik gadai dianggap benar mengenai jumlah buah yang digadaikan dari yang tercampur, seperti jika seseorang menggadaikan gandum atau kurma yang kemudian tercampur dengan gandum atau kurma milik pemilik. Pendapatnya dianggap benar mengenai jumlah gandum yang digadaikan disertai sumpah.
(Rabi’ berkata): Syafi’i memiliki pendapat lain dalam jual beli, yaitu jika seseorang menjual buah tetapi belum diserahkan hingga muncul buah lain di pohonnya yang tidak dapat dibedakan dari yang dijual sebelumnya, penjual memiliki hak memilih antara menyerahkan buah baru bersama yang pertama (sebagai tambahan) atau membatalkan jual beli karena tidak tahu berapa banyak yang dijual dari buah yang baru muncul. Menurut saya, gadai juga seperti itu. Jika penerima gadai rela menerima tambahan bersama gadai pertama, gadai tidak batal.
Jika seseorang menggadaikan tanaman dengan syarat dipanen ketika hak jatuh tempo dalam keadaan apa pun lalu dijual, tetapi tanaman bertambah dengan tumbuhnya yang belum ada sebelumnya, gadai tidak sah karena tidak bisa dibedakan antara yang tergadai dengan yang tumbuh setelahnya. Jika ada yang bertanya, apa bedanya buah yang awalnya kecil lalu menjadi besar dengan tanaman? Jawabannya: buah itu satu, hanya membesar seperti budak yang digadaikan bertambah besar atau gemuk setelah sebelumnya kurus. Ketika dipotong, tidak ada lagi yang tersisa, sedangkan tanaman dipotong bagian atasnya dan tumbuh lagi bagian bawahnya, lalu dijual sedikit demi sedikit. Yang keluar darinya bukan bagian gadai, sedangkan pertambahan pada buah masih termasuk buah. Tidak boleh menjualnya sedikit pun kecuali dipotong di tempatnya, lalu potongan lainnya dijual secara terpisah. Demikian juga, tidak boleh menggadaikannya kecuali seperti bolehnya menjualnya.
Jika seseorang menggadaikan buah, maka pemilik wajib menyiram, merawat, memanen, dan mengeringkannya, sebagaimana ia menanggung nafkah budak. Jika pemilik ingin memotongnya sebelum waktunya atau penerima gadai menginginkannya, keduanya dilarang melakukannya sampai ada kesepakatan. Jika sudah tiba waktunya, pemilik dipaksa memotongnya karena itu bagian dari perawatannya. Begitu juga jika penerima gadai menolak, ia dipaksa. Jika buah telah menjadi kurma, diserahkan kepada orang yang ditunjuk untuk menerima gadai atau lainnya. Jika orang yang ditunjuk menolak kecuali dengan upah, pemilik diperintahkan untuk menyediakan tempat penyimpanan karena itu bagian dari perawatan. Jika tidak, maka disewa untuknya.
Tidak boleh seseorang menggadaikan sesuatu yang belum halal dijual saat digadaikan, meskipun akan halal setelah beberapa waktu. Contohnya: menggadaikan janin budak perempuan sebelum lahir dengan syarat jika lahir menjadi gadai, atau menggadaikan apa yang dilahirkan budak atau hewan ternaknya, atau hasil pohon kurmanya dengan syarat dipotong di tempatnya. Tidak boleh menggadaikan sesuatu yang bukan miliknya sepenuhnya, seperti buah yang sudah matang tetapi tidak dimiliki melalui pembelian atau tidak memiliki pohonnya. Contoh lain: seseorang diberi sedekah bersama orang lain berupa buah kurma, sehingga mungkin ada yang mengurangi haknya tanpa tahu berapa yang digadaikan.
Tidak boleh seseorang menggadaikan kulit bangkai yang belum disamak karena harganya belum halal. Jika sudah disamak, boleh digadaikan karena harganya halal. Jika digadaikan sebelum disamak lalu pemilik menyamaknya, itu keluar dari gadai karena akad gadainya tidak sah saat penjualannya belum halal.
Seorang laki-laki diberi hibah atau sedekah yang tidak haram, lalu ia menggadaikannya sebelum menerimanya, kemudian ia menerimanya, maka barang itu keluar dari gadai karena ia menggadaikannya sebelum kepemilikannya sempurna. Jika ia membuat akad gadai setelah menerimanya, maka itu diperbolehkan.
Jika seseorang diwasiatkan seorang budak tertentu, lalu pemberi wasiat meninggal dan penerima wasiat menggadaikan budak itu sebelum ahli waris menyerahkannya kepadanya, maka jika wasiat itu termasuk dalam sepertiga harta, gadai itu sah karena ahli waris tidak boleh melarangnya jika termasuk dalam sepertiga. Penerimaan atau tidak penerimaan dalam hal ini sama saja. Pemberi hibah atau sedekah boleh melarangnya sebelum barang itu diterima.
Jika seseorang mewarisi seorang budak dari seseorang dan tidak ada ahli waris lain selain dirinya, lalu ia menggadaikan budak itu, maka gadai itu sah karena ia adalah pemilik budak tersebut melalui warisan. Demikian juga jika ia membeli seorang budak, melunasi harganya, lalu menggadaikannya sebelum menerimanya.
Jika seseorang menggadaikan budak mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) lalu budak itu gagal memenuhi kewajibannya sebelum keputusan pembatalan gadai, maka gadai itu batal karena yang diperhatikan adalah akad gadai, bukan keputusan.
Jika seseorang membeli seorang budak dengan hak khiyar (hak memilih) selama tiga hari, lalu ia menggadaikannya, maka gadai itu sah dan itu berarti ia telah melepaskan hak khiyarnya serta mengikatkan diri pada jual beli budak tersebut. Jika hak khiyar ada pada penjual atau pada kedua belah pihak (penjual dan pembeli), lalu pembeli menggadaikan budak itu sebelum tiga hari berlalu atau sebelum penjual memutuskan untuk melanjutkan jual beli, kemudian tiga hari berlalu atau pembeli memilih melanjutkan jual beli, maka gadai itu batal karena akad gadai terjadi saat kepemilikannya atas budak itu belum sempurna.
Jika dua orang mewarisi tiga budak dari seseorang dan belum membaginya, lalu salah satu dari mereka menggadaikan satu atau dua budak dari ketiganya, kemudian ia membagi warisan dengan rekannya dan mengambil budak yang digadaikannya, maka bagiannya dari budak itu tetap tergadai karena itulah yang ia miliki sebelumnya. Bagian yang ia dapatkan setelah gadai keluar dari gadai kecuali jika ia membuat akad gadai baru atasnya. Jika pemilik wasiat berhak atas sebagian dari budak itu, maka bagian yang diambilnya keluar dari gadai, dan bagian yang tidak diambilnya tetap tergadai.
(Rabi’ berkata:) Ada pendapat lain bahwa jika seseorang menggadaikan sesuatu yang sebagian miliknya dan sebagian milik orang lain, maka seluruh gadai itu batal karena akad gadai menggabungkan dua hal: yang ia miliki dan yang tidak ia miliki. Ketika akad menggabungkan keduanya, seluruhnya menjadi batal. Demikian juga dalam jual beli. (Ia berkata:) Pendapat ini lebih dekat dengan pandangan umum Syafi’i.
Jika seseorang memiliki saudara yang menjadi ahli warisnya, lalu saudaranya meninggal dan ia menggadaikan rumahnya tanpa mengetahui kematian saudaranya, kemudian terbukti bahwa saudaranya telah meninggal sebelum gadai rumah itu, maka gadai itu batal.
Gadai tidak sah kecuali jika orang yang menggadaikan adalah pemilik barang tersebut dan ia tahu bahwa dirinya adalah pemiliknya. Demikian juga jika ia berkata, “Aku telah mewakilkan pembelian budak ini, maka aku menggadaikannya kepadamu jika budak itu dibeli untukku,” lalu ternyata budak itu telah dibeli untuknya, maka itu bukanlah gadai.
Jika penerima gadai tahu bahwa barang itu telah menjadi milik pemberi gadai melalui warisan atau pembelian sebelum digadaikan, maka pemberi gadai harus bersumpah. Jika ia bersumpah, gadai itu batal. Jika ia menolak, penerima gadai boleh bersumpah atas klaimnya, dan gadai itu tetap sah.
Demikian juga jika seseorang melihat orang yang tidak ia kenali lalu berkata, “Jika orang ini si Fulan, maka aku menggadaikannya kepadamu,” maka itu bukanlah gadai kecuali jika ia menerimanya dan membuat akad gadai baru saat penerimaan, sebelumnya, atau sesudahnya.
Begitu pula jika seseorang melihat sebuah kotak dan berkata, “Dulu di dalam kotak ini ada pakaian tertentu,” dan pemberi gadai serta penerima gadai mengenali pakaian itu, lalu ia berkata, “Jika pakaian itu ada di dalamnya, maka itu menjadi gadai untukmu,” maka itu bukanlah gadai meskipun pakaian itu ada di dalamnya.
Demikian juga jika kotak itu berada di tangan penerima gadai sebagai titipan dan di dalamnya ada pakaian, lalu pemberi gadai berkata, “Aku telah menjadikan pakaianku yang tertentu di kotak ini sebagai gadai,” sementara di dalamnya ada pakaian lain atau pakaian yang ia sebut bersama pakaian lain, maka itu bukanlah gadai. Jika di dalamnya hanya ada pakaian yang ia sebut dan tidak ada yang lain, itu pun bukanlah gadai.
Begitu pula jika ia berkata, “Aku menggadaikan kepadamu apa yang ada di dalam karungku,” lalu ia menyerahkan karung itu sementara pemberi gadai tidak mengetahui isinya, maka itu bukanlah gadai. Demikian juga jika pemberi gadai tahu isinya tetapi penerima gadai tidak mengetahuinya. Gadai tidak sah kecuali jika pemberi dan penerima gadai mengetahui barangnya, dan pemberi gadai tahu bahwa itu adalah miliknya yang halal untuk dijual.
Tidak boleh menggadaikan klaim hak atas seseorang karena klaim hak bukanlah sesuatu yang dimiliki. Itu hanyalah kesaksian atas kewajiban seseorang. Sesuatu yang menjadi kewajiban bukanlah barang nyata yang boleh digadaikan. Hanya barang nyata yang boleh digadaikan, dan itu pun harus diketahui oleh pemberi dan penerima gadai serta harus diterima.
Jika seseorang menerima barang dagangan atau warisan yang sebelumnya tidak ia ketahui jumlahnya, lalu seseorang menerimanya atas namanya dengan atau tanpa perintah, kemudian pemilik yang menerimanya menggadaikan barang itu sementara ia sendiri tidak tahu jumlahnya, maka gadai itu tidak sah kecuali jika penerima gadai menerimanya dan mengetahui apa yang digadaikan sebagaimana pengetahuan pemberi gadai.
Wallahu a’lam.
[Penambahan dalam Gadai dan Syarat di Dalamnya]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seseorang menggadaikan barang kepada orang lain dan barang gadai itu telah diterima oleh penerima gadai, kemudian si pemberi gadai ingin menggadaikan barang yang sama kepada pihak selain penerima gadai pertama atau menambah nilai gadainya, hal itu tidak diperbolehkan. Jika ia tetap melakukannya, gadai kedua tidak sah. Sebab, penerima gadai pertama berhak menahan kepemilikan barang tersebut hingga dijual untuk melunasi haknya.
Jika seseorang menggadaikan barang senilai seribu, lalu ia meminta penerima gadai untuk menambah seribu lagi dan menjadikan barang gadai pertama sebagai jaminan tambahan bersama seribu pertama, maka gadai kedua tidak sah. Barang itu tetap tergadai hanya untuk seribu pertama dan tidak tergadai untuk seribu tambahan. Sebab, barang itu telah sepenuhnya menjadi jaminan untuk seribu pertama, sehingga tidak ada hak tambahan untuk menahan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya atau dari para kreditur selain hak yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hal ini berbeda dengan seseorang yang menyewa rumah selama setahun dengan harga sepuluh, lalu menyewanya lagi tahun berikutnya dengan harga dua puluh. Sebab, tahun pertama berbeda dengan tahun berikutnya. Jika rumah itu runtuh setelah tahun pertama, ia berhak mendapatkan kembali dua puluh yang merupakan hak untuk tahun berikutnya. Namun, dalam gadai, hanya ada satu akad gadai yang tidak boleh dipisah menjadi dua, atau digadaikan dua kali dengan dua syarat berbeda sebelum akad pertama dibatalkan.
Sebagaimana tidak boleh seseorang menyewa rumah yang sama dalam satu tahun dengan harga sepuluh, lalu menyewanya lagi di tahun yang sama dengan harga dua puluh kecuali sewa pertama dibatalkan. Begitu pula, tidak boleh seseorang membeli sesuatu dengan seratus, lalu membelinya lagi dengan dua ratus kecuali pembelian pertama dibatalkan dan dilakukan akad baru. Jika ia ingin menggadaikan barang yang sama dengan akad baru, ia harus membatalkan akad gadai pertama dan membuat akad baru dengan nilai dua ribu.
Jika akad gadai tidak dibatalkan, tetapi penerima gadai bersaksi bahwa barang gadai itu dipegangnya dengan nilai dua ribu, kesaksian itu sah dan gadai dianggap bernilai dua ribu selama tidak diketahui bagaimana prosesnya. Namun, jika kedua pihak mengakui bahwa ini adalah gadai kedua setelah gadai pertama tanpa pembatalan, maka gadai tetap sah hanya untuk seribu pertama, sedangkan seribu tambahan tidak memiliki jaminan.
Jika seseorang memiliki piutang seribu dirham kepada orang lain, lalu ia menggadaikan barang sebagai jaminan, gadai itu sah karena sebelumnya tidak ada kewajiban gadai. Demikian pula jika ia menambah seribu lagi dan menggadaikan barang untuk kedua nilai itu, gadai tersebut sah. Namun, jika ia memberikan seribu dan menggadaikan barang, lalu setelahnya ia meminta agar seribu sebelumnya juga dijadikan jaminan bersama, hal itu tidak sah kecuali dengan membatalkan akad pertama dan membuat akad baru untuk kedua nilai sekaligus.
Jika seseorang memiliki piutang seribu dirham tanpa gadai, lalu ia meminta tambahan seribu dengan syarat menggadaikan barang untuk kedua nilai itu secara bersamaan, gadai itu batal karena tambahan seribu itu merupakan utang baru yang dikaitkan dengan gadai sebelumnya.
Jika seseorang berkata, “Beli budak ini dengan seribu, dengan syarat aku memberimu rumahku sebagai gadai untuk utang seribu ini dan utang seribu sebelumnya yang tanpa jaminan,” maka jual beli itu batal. Syarat semacam ini dalam gadai tidak sah karena termasuk penambahan utang atau bagian dari jual beli yang tidak jelas.
Jika seseorang menggadaikan barang senilai seribu dan telah diterima penerima gadai, lalu ia menambah barang gadai lain bersama barang pertama untuk utang yang sama, gadai pertama dan tambahannya sah. Sebab, gadai pertama tetap utuh untuk seribu, sedangkan tambahannya adalah jaminan baru yang diberikan oleh pemberi gadai, sehingga diperbolehkan sebagaimana bolehnya seseorang memiliki hak tanpa gadai, lalu menggadaikan sesuatu untuk hak tersebut.
[Pasal Syarat yang Merusak Gadai]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Diriwayatkan dari Abu Hurairah—radhiyallahu ‘anhu—”Barang gadai boleh dikendarai dan diperah susunya.” Hal ini tidak boleh kecuali jika pengendarian dan pemerahan itu dilakukan oleh pemilik barang (pemberi gadai), bukan penerima gadai. Sebab, hak mengendarai dan memerah hanya dimiliki oleh pemilik aset, sedangkan kepemilikan aset berbeda dengan pemanfaatan seperti mengendarai atau memerah.
Jika seseorang menggadaikan budak, rumah, atau barang lain, maka hak menempati rumah, menyewa budak, atau memanfaatkan barang gadai tetap milik pemberi gadai. Penerima gadai tidak berhak atas manfaat apa pun. Jika penerima gadai mensyaratkan agar ia boleh menempati rumah, menggunakan budak, atau memanfaatkan barang gadai, syarat itu tidak sah.
Sesuatu manfaat gadai, baik yang ada maupun dari jenis gadai apa pun, baik itu rumah, hewan, atau lainnya, maka syarat tersebut batal. Jika seseorang meminjamkan seribu dengan syarat menggadaikan barang sebagai jaminan, dan penerima gadai mensyaratkan manfaat gadai untuk dirinya sendiri, maka syarat itu batal karena itu merupakan tambahan pada pinjaman. Jika seseorang menjual barang seharga seribu dengan syarat pembeli menggadaikannya seharga seribu dan penerima gadai mendapat manfaat gadai, maka syarat itu rusak dan jual belinya juga rusak. Sebab, manfaat tambahan dari gadai merupakan bagian dari harga yang tidak diketahui, padahal jual beli hanya sah dengan harga yang jelas.
Tidakkah kamu lihat, jika seseorang menggadaikan rumah dengan syarat penerima gadai boleh menempatinya sampai hutang dilunasi, maka hutang bisa dilunasi besok atau bertahun-tahun kemudian. Namun, nilai sewa dan bagiannya dalam jual beli tidak diketahui, padahal bagian jual beli harus jelas. Selain itu, transaksi ini juga rusak karena menggabungkan jual beli dan sewa. Jika dibuat jelas, misalnya, “Aku menggadaikan rumahku kepadamu selama setahun dengan syarat kamu boleh menempatinya selama tahun itu,” maka jual beli dan gadainya tetap rusak karena ini adalah gabungan jual beli dan sewa yang tidak jelas porsinya. Tidakkah kamu lihat, jika sewa batal karena rumah disita atau runtuh, lalu kamu menilai sewa dan barang yang dijual seharga seribu, lalu mengurangi bagian sewa dari seribu itu, maka seribu itu dianggap sebagai harga jual beli. Namun, jika pembeli tidak diberi hak khiyar (hak memilih), berarti dua kepemilikan dibeli dengan seribu, lalu salah satunya gugur, dan pembeli tidak diberi hak khiyar atas sisanya, padahal dia membelinya bersama yang lain. Atau jika kamu memberi hak khiyar, berarti jual beli kepemilikan berkurang karena disertai sewa yang bukan bagian dari kepemilikan.
Tidakkah kamu lihat, jika rumah runtuh di awal tahun, lalu kamu menilai sewa tahun itu di awal, nilai sewa di akhir tahun tidak diketahui karena bisa naik atau turun? Segala sesuatu dinilai berdasarkan harga pasarnya saat itu, dan tidak bisa dinilai jika tidak ada pasar yang jelas. Jika kamu berkata, “Aku akan menilai setiap waktu yang telah berlalu dan menunda sisanya sampai tiba waktunya,” maka kamu akan ditanya, “Apakah kamu membiarkan harta orang ini tertahan di tangan orang lain sampai waktu tertentu, padahal tidak ada penundaan yang disepakati?”
Jika ada yang bingung dan berkata, “Kamu membolehkan ini dalam sewa jika berdiri sendiri, seperti menyewa rumah setahun lalu rumah runtuh setelah sebulan, maka sisa sewa dikembalikan,” jawabannya adalah: Ya, tetapi bagian sewa bulan yang telah diambil sudah jelas karena kita hanya menilainya setelah diketahui berapa yang telah berlalu, dan tidak ada jual beli di sini. Ini murni sewa. Jika seseorang menggadaikan barang dengan syarat penerima gadai tidak boleh menjualnya saat jatuh tempo kecuali dengan harga tertentu, atau tidak boleh menjualnya sampai mencapai nilai tertentu, atau tidak boleh menjualnya jika pemilik gadai tidak ada, atau tidak boleh menjualnya kecuali dengan izin seseorang, atau tidak boleh menjualnya kecuali dengan keridhaan pemilik gadai, atau tidak boleh menjualnya jika pemilik gadai meninggal sebelum jatuh tempo, atau tidak boleh menjualnya setelah jatuh tempo kecuali setelah sebulan, maka gadai dalam semua kondisi ini rusak dan tidak sah, sehingga tidak ada penghalang untuk menjualnya saat jatuh tempo.
(Imam Syafi’i berkata:) Jika seseorang menggadaikan budak dengan syarat jika hutang jatuh tempo dan gadai sedang sakit, maka tidak boleh dijual sampai sembuh, atau kurus tidak boleh dijual sampai gemuk, atau syarat sejenisnya, maka gadai dalam semua kondisi ini batal. Jika seseorang menggadaikan kebun dengan syarat hasil buahnya termasuk dalam gadai, atau tanah dengan syarat tanamannya termasuk dalam gadai, atau hewan ternak dengan syarat anaknya termasuk dalam gadai, maka hanya kebun, tanah, atau hewan ternak itu sendiri yang sah sebagai gadai, sedangkan buah kebun, tanaman, atau anak hewan tidak termasuk jika gadai untuk hutang yang sudah ada sebelum gadai.
(Rabi’ berkata:) Ada pendapat lain: Jika seseorang menggadaikan kebun dengan syarat hasil buahnya termasuk dalam gadai, atau tanah dengan syarat tanamannya termasuk dalam gadai, maka seluruh gadai batal karena menggadaikan sesuatu yang diketahui dan tidak diketahui, yang ada dan yang belum ada, bahkan jika jumlah yang akan ada diketahui. Karena itu, gadai menjadi batal.
(Rabi’ berkata:) Pembatalan lebih utama. (Imam Syafi’i berkata:) Ini seperti seseorang menggadaikan rumah dengan syarat menambah rumah lain yang serupa, atau budak dengan nilai tertentu. Namun, jika jual beli terjadi dengan syarat gadai ini, maka gadai batal dan penjual berhak memilih karena syaratnya tidak terpenuhi. Jika seseorang menggadaikan hewan ternak dengan syarat pemiliknya berhak atas susu dan anaknya, atau kebun dengan syarat pemiliknya berhak atas buahnya, atau budak dengan syarat tuannya berhak atas hasil kerjanya, atau rumah dengan syarat pemiliknya berhak atas sewanya, maka gadai itu sah karena itu adalah hak pemiliknya meskipun tidak disyaratkan.
(Imam Syafi’i berkata:) Setiap syarat…
Pembeli mensyaratkan kepada penjual bahwa syarat tersebut adalah untuk pembeli. Seandainya pembeli tidak mensyaratkannya, syarat itu tetap diperbolehkan seperti syarat ini, karena memang haknya meskipun tidak disyaratkan.
[Kumpulan Hal yang Boleh dan Tidak Boleh Dijadikan Rahn]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata):
Rahn yang diterima dari pihak yang boleh merahnkan dan yang boleh dirahankan terbagi menjadi tiga jenis: sah, cacat, dan rusak.
- Rahn yang Sah:
Yaitu segala sesuatu yang kepemilikannya sempurna bagi orang yang merahnkannya, rahn tersebut tidak terkait dengan tindak pidana (jinaayah) yang membebani dirinya sendiri, sehingga pihak yang dirugikan lebih berhak atasnya daripada pemiliknya sampai haknya terpenuhi. Kepemilikan tersebut juga tidak mewajibkan hak bagi selain pemiliknya, baik berupa rahn, sewa, jual-beli, kitabah (perjanjian pembebasan budak), budak perempuan yang melahirkan atau dimerdekakan sebagian, atau hak lain yang lebih diutamakan daripada pemiliknya sampai masa tersebut berakhir. Jika pemilik merahankan barang ini kepada seseorang dan penerima rahn (murtahin) menerimanya, maka ini adalah rahn yang sah tanpa cacat.
- Rahn yang Cacat:
Misalnya seseorang memiliki budak laki-laki, budak perempuan, atau rumah, lalu budak tersebut melakukan kejahatan (jinaayah) terhadap seseorang—baik sengaja atau tidak—atau merusak harta orang lain, sementara korban atau walinya tidak menuntut sampai pemiliknya merahankan budak atau rumah itu dan murtahin menerimanya. Jika bukti kejahatan sudah ada sebelum rahn atau pemilik rahn (raahin) dan murtahin mengakuinya, maka rahn tersebut batal dan terhapus. Demikian pula jika pemilik kejahatan membebaskan budak dari tuntutan atau berdamai dengan pemiliknya, rahn menjadi batal karena walinya lebih berhak atas hak dalam kepemilikan budak tersebut sampai ganti rugi kejahatan atau nilai kerusakan hartanya terpenuhi.
Jika nilai kejahatan hanya satu dinar, sementara nilai budak ribuan dinar, kelebihan nilainya tidak boleh dijadikan rahn. Jika pemiliknya merahankan sebagian kemudian merahankan sisanya setelah rahn pertama, rahn kedua tidak sah karena menghalangi penjualan dan menambah hak murtahin pertama yang lebih berhak daripada pemiliknya. Baik murtahin mengetahui kejahatan itu sebelum atau setelah rahn, atau mengatakan, “Aku menerima rahn dari kamu atas sisa setelah dikurangi nilai kejahatan,” rahn tetap tidak sah karena masih ada beban kejahatan.
Demikian pula, tidak boleh merahnkan sesuatu yang masih terikat rahn lain atau tidak memiliki sisa nilai yang bebas.
Contoh lain: Jika seseorang merahnkan budak atau rumah senilai 100 dinar, lalu melunasi 99 dinar dan masih tersisa 1 dinar, kemudian dia merahkannya lagi kepada orang lain, rahn kedua tidak sah karena nilai rumah atau budak bisa berkurang dan tidak diketahui seberapa besar pengurangannya.
- Rahn yang Rusak:
Jika seseorang merahnkan budak lalu murtahin menerimanya, kemudian raahin mengakui bahwa budak tersebut telah melakukan kejahatan sebelum rahn dan walinya menuntut, ada dua pendapat:
– Pendapat pertama: Perkataan raahin diterima karena dia mengakui hak atas budaknya, sementara utang kepada murtahin belum lunas.
– Pendapat kedua: Murtahin harus bersumpah bahwa dia tidak mengetahui kejahatan itu sebelum rahn. Jika dia bersumpah dan menyangkal atau tidak mengakui kejahatan sebelum rahn, maka pengakuan raahin bahwa budaknya berbuat jahat sebelum rahn diperdebatkan dengan dua pendapat:
- Budak tetap sebagai rahn, dan tidak diambil hartanya meskipun pemiliknya mampu, karena raahin hanya mengakui satu hal dengan dua hak milik dua orang (hak korban kejahatan dan hak murtahin).
- Jika budak itu mampu, diambil dari pemilik nilai terendah antara harga budak atau ganti rugi kejahatan untuk diberikan kepada korban, karena pemilik mengakui adanya hak dalam kepemilikan budak yang merugikan korban dengan merahkannya. Ini seperti memerdekakan budak yang telah berbuat jahat dalam keadaan mampu.
Ada juga yang berpendapat bahwa pemilik wajib menanggung nilai terendah antara harga budak atau ganti rugi, sementara status rahn tetap berlaku dan tidak boleh dibatalkan karena pemilik tidak bisa dipercaya sepenuhnya atas murtahin. Dia hanya merugikan korban, bukan murtahin.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Pihak yang menggadaikan, meskipun dalam kesulitan finansial, barang gadainya tetap dalam status gadai. Jika barang gadai keluar dari status gadai dan masih dalam kepemilikannya, maka tanggung jawab kerusakan ada padanya. Jika barang gadai keluar dari status gadai karena dijual, tanggung jawabnya berada pada pemilik sebelumnya, dengan nilai yang lebih rendah antara harga jual atau kerusakan.
Jika ada saksi yang bersaksi tentang kerusakan sebelum barang digadaikan, dan barang gadai adalah dua budak, maka wali korban bersama saksinya harus bersumpah. Kerusakan lebih diutamakan daripada status gadai hingga korban mendapatkan ganti rugi, kemudian sisa nilai barang gadai menjadi penggantinya. Jika pihak yang menggadaikan ingin bersumpah bahwa budak tersebut merusak, hal itu tidak diperbolehkan karena hak atas kerusakan ada pada orang lain, dan seseorang tidak boleh bersumpah atas hak orang lain.
Jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain tetapi belum diserahkan, lalu pemilik mengaku membebaskannya, atau budak tersebut melakukan kerusakan, atau digadaikan sebelumnya, maka pengakuan tersebut sah karena budak belum sepenuhnya menjadi barang gadai. Barang gadai menjadi sah ketika sudah diserahkan. Jika setelah digadaikan dan diserahkan, pemilik mengaku membebaskannya, atau mengaku budak tersebut melakukan kerusakan, maka jika pemilik mampu, nilai budak diambil dan dijadikan barang gadai. Jika pemilik tidak mampu dan penerima gadai menolak, budak dijual sesuai hak penerima gadai. Jika ada sisa, sisa tersebut dibebaskan. Jika budak terbebas dari status gadai karena pengakuan pembebasan, maka budak tersebut bebas. Jika dijual, pemilik sebelumnya dapat memilikinya kembali dengan cara apa pun, karena dia telah mengaku bahwa budak tersebut merdeka.
Jika seseorang menggadaikan budak perempuan dan diserahkan, lalu dia mengaku telah menyetubuhinya sebelum gadai, maka jika budak tersebut tidak melahirkan, status gadai tetap berlaku. Jika ada bukti bahwa dia menyetubuhinya sebelum gadai, budak tersebut tidak keluar dari status gadai hingga melahirkan. Jika dia melahirkan dan ada bukti pengakuan penyetubuhan sebelum gadai, maka budak tersebut keluar dari status gadai. Jika dia mengaku menyetubuhinya sebelum gadai dan budak melahirkan kurang dari enam bulan sejak gadai, anak tersebut diakui sebagai anaknya, dan budak tersebut keluar dari status gadai.
(Berkata Ar-Rabi’): Abu Ya’qub Al-Buwaithi berkata, demikian juga menurutku, jika budak melahirkan dalam waktu maksimal kehamilan wanita, yaitu empat tahun, anak tersebut diakui sebagai anaknya, meskipun pengakuan penyetubuhan sebelum gadai. Ar-Rabi’ berkata, ini juga pendapatku.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika budak melahirkan enam bulan atau lebih sejak gadai, dan pemilik mengaku menyetubuhinya, pengakuan tersebut dianggap seperti pengakuan pemiliknya membebaskannya atau lebih lemah. Status gadai tetap berlaku, dan budak tidak dijual hingga melahirkan. Anaknya diakui sebagai anak merdeka karena pengakuannya. Kapan pun dia memilikinya, budak tersebut menjadi umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya). Jika penerima gadai tidak mengakui atau menyangkal dalam semua masalah ini, dikatakan: Jika kamu menyangkal dan bersumpah, kami akan menganggap barang gadai sebagai milikmu. Jika tidak bersumpah, kami akan meminta pemilik bersumpah atas apa yang dikatakannya sebelum gadai, dan kami akan mengeluarkan barang gadai dari status gadai karena pembebasan atau karena budak tersebut sebagai umm walad. Demikian juga jika dia mengaku melakukan kerusakan dan penerima gadai tidak bersumpah atas pengetahuannya, korban atau walinya lebih berhak atas budak tersebut jika mereka bersumpah.
Jika seseorang membeli budak perempuan, menggadaikannya, dan diserahkan, lalu dia atau penjual mengatakan bahwa pembelian dilakukan dengan syarat tertentu, dan syarat tersebut tidak sah, maka ada dua pendapat. Pertama: gadai batal karena hanya boleh menggadaikan apa yang dimiliki, dan dia tidak memiliki apa yang digadaikan. Demikian juga jika dia menggadaikannya lalu mengaku merampasnya dari seseorang atau menjualnya sebelum gadai. Pemilik harus bersumpah atas apa yang dikatakan kepada penerima gadai, sedangkan pihak yang diakui tidak perlu bersumpah.
Pendapat kedua: gadai tetap sah, dan pengakuan tidak membatalkan gadai. Ada dua pendapat tentang pengakuan tersebut. Pertama: dia harus membayar ganti rugi kepada pihak yang diakuinya sebagai perampas. Jika budak dikembalikan, dia bisa menyerahkannya kepada pihak yang diakui jika mau dan mengembalikan uangnya. Jika budak dikembalikan karena dijual kepada yang diakuinya sebagai pembeli, atau dikembalikan kepada yang diakuinya sebagai penjual dalam transaksi tidak sah. Ar-Rabi’ berkata, ini pendapat yang lebih benar.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang menggadaikan budak laki-laki atau perempuan yang murtad dari Islam dan diserahkan kepada penerima gadai, gadai tersebut sah. Mereka harus diminta bertobat. Jika bertobat, baik; jika tidak, mereka dihukum mati karena murtad. Demikian juga jika mereka merampok, mereka dihukum mati jika membunuh. Jika mencuri, tangan mereka dipotong. Jika ada hukuman had yang harus dijalankan, hukuman tersebut tetap dilaksanakan meskipun mereka dalam status gadai. Dalam semua ini, status gadai tidak berubah, baik hukuman dijalankan atau dibatalkan, karena ini adalah hak Allah atas mereka, bukan hak manusia. Demikian juga jika mereka melakukan hal-hal tersebut setelah gadai, status gadai tidak berubah. Jika mereka digadaikan setelah melakukan kerusakan, korban lebih berhak atas mereka daripada pemilik yang menggadaikan. Jika pemilik memaafkan atau menebus mereka, atau kerusakan kecil sehingga salah satunya dijual, maka status gadai batal karena korban lebih berhak atas mereka daripada penerima gadai saat gadai terjadi. Jika mereka digadaikan dan diserahkan, lalu melakukan kerusakan setelah gadai, kemudian dibebaskan dari kerusakan karena dimaafkan oleh korban…
Atas dirinya atau walinya, perdamaian, atau cara apa pun yang membebaskan dari jual beli, keduanya tetap dalam status gadai; karena asal gadai itu sah dan hak atas keduanya telah gugur.
Jika seseorang memerdekakan budaknya setelah masa tertentu (tadbir) lalu menggadaikannya, gadai itu batal karena kemerdekaan budak itu mungkin terjadi sebelum jatuh tempo gadai, sehingga kemerdekaan tidak gugur dan gadai tidak sah. Jika dia berkata, “Aku mencabut tadbir atau membatalkan tadbir lalu menggadaikannya,” maka ada dua pendapat:
- Gadai itu sah. Begitu pula jika dia berkata setelah gadai, “Aku telah mencabut tadbir sebelum menggadaikannya,” maka gadai itu sah. Namun, jika dia berkata setelah gadai, “Aku mencabut tadbir dan menetapkan gadai,” maka gadai tidak sah kecuali dengan memperbarui akad gadai setelah pencabutan tadbir.
- Gadai tidak sah, dan pencabutan tadbir tidak berlaku kecuali dengan mengeluarkan budak dari kepemilikannya melalui jual beli atau cara lain sehingga tadbir batal. Jika dia memilikinya lagi lalu menggadaikannya, gadai itu sah karena kepemilikan kedua berbeda dari yang pertama. Ini seperti memerdekakan budak secara bertahap yang tidak batal kecuali jika budak keluar dari kepemilikannya sebelum merdeka. Hal serupa berlaku bagi yang memerdekakan budak pada waktu tertentu.
Jika seseorang berkata, “Jika aku masuk rumah, kamu merdeka,” lalu menggadaikannya, maka berlaku ketentuan di atas. Jika dia menggadaikan budak lalu melakukan tadbir setelahnya, tadbir itu tertunda hingga hak gadai jatuh tempo. Kemudian dikatakan, “Jika ingin menetapkan tadbir, bayarlah hak si pemberi gadai atau berikan nilai budak yang ditadbir sebagai pembayaran haknya. Jika tidak mau, batalkan tadbir dengan menjual budak itu.” Jika pencabutan tadbir dilakukan setelah hak gadai jatuh tempo, kami akan mengambil nilai budak dan memberikannya kepada si pemberi gadai. Jika tidak ditemukan, budak yang ditadbir dijual untuk melunasi haknya.
Alasan kami tidak mengambil nilainya sebelum hak gadai jatuh tempo adalah karena hak itu memiliki tempo. Jika budak bebas dari tadbir, si penerima gadai tidak boleh menjualnya, dan tadbir bukan kemerdekaan instan yang bisa batal. Karena itu, kami menunda pengambilan nilainya hingga hak gadai jatuh tempo, baru keputusan diambil.
Jika seseorang menggadaikan budak lalu melakukan tadbir, kemudian si pemberi gadai meninggal:
– Jika ada harta warisan yang cukup untuk melunasi hak gadai, budak yang ditadbir merdeka dari sepertiga harta.
– Jika tidak ada harta selain budak yang ditadbir, budak itu dijual sebesar hak gadai. Jika ada sisa, sepertiga sisa itu merdekakan budak.
– Jika ada harta yang bisa melunasi sebagian hak gadai, sebagian dibayar dan budak dijual untuk sisa utang, lalu sisa budak dimerdekakan dari sepertiga.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menggadaikan budak yang telah dimerdekakan dalam setahun atau lebih, gadai itu batal karena kemerdekaan yang melekat padanya. Ini lebih jelas daripada kasus tadbir—gadai sama sekali tidak sah dalam kondisi ini. Jika dia menggadaikan budak lalu memerdekakannya dalam setahun atau lebih, ketentuannya sama seperti budak yang digadaikan lalu ditadbir.
Jika seseorang menggadaikan budak hasil pembelian yang tidak sah, gadai itu batal karena dia tidak memiliki objek gadai. Jika kasusnya tidak diajukan ke hakim hingga dia memiliki budak itu secara sah, pengakuan atas gadai pertama tidak berlaku kecuali dengan memperbarui akad gadai setelah kepemilikan sah.
Jika seseorang menggadaikan budak milik orang lain yang tidak diketahui (hidup atau sudah meninggal), lalu penerima gadai menerimanya, kemudian diketahui bahwa si meninggal mewasiatkan budak itu kepada si pemberi gadai, gadai batal karena saat menggadaikan, dia tidak memilikinya. Jika si pemberi gadai menerima wasiat itu, gadai tetap batal hingga dia menggadaikannya lagi dalam status kepemilikan sah.
Jika tidak ada bukti dan penerima gadai mengklaim bahwa si pemberi gadai memiliki budak itu saat menggadaikan, maka gadai dianggap sah, dan penerima gadai harus bersumpah bahwa budak itu milik si pemberi gadai saat digadaikan. Jika dia enggan bersumpah, si pemberi gadai boleh bersumpah bahwa dia tidak memilikinya saat menggadaikan, lalu gadai batal.
Jika seseorang menggadaikan sari buah yang masih manis (belum fermentasi), gadai sah selama masih dalam kondisi itu. Jika berubah menjadi cuka, minuman campuran, atau sesuatu yang tidak memabukkan dalam jumlah banyak, gadai tetap sah. Ini seperti menggadaikan budak yang kemudian cacat, atau budak cacat yang sembuh—gadai tetap sah karena objek gadai masih sama. Namun, jika berubah menjadi minuman memabukkan yang haram dijual, gadai batal karena objeknya menjadi haram, seperti menggadaikan budak yang kemudian meninggal.
Jika sari buah digadaikan lalu si pemberi gadai menambahkan cuka, garam, atau air sehingga menjadi cuka, gadai tetap sah. Jika berubah menjadi khamr lalu ditambahkan cuka, garam, atau air sehingga menjadi cuka, gadai batal sejak menjadi khamr karena khamr haram dimiliki. Menurut pendapatku, khamr tidak halal. Wallahu a’lam.
Jika suatu barang rusak karena perbuatan manusia, kemudian sari buah berubah menjadi khamr lalu menjadi cuka tanpa campur tangan manusia, maka statusnya tetap sebagai gadai. Aku tidak mengira ia akan kembali menjadi khamr lalu berubah lagi menjadi cuka tanpa perbuatan manusia, kecuali jika awalnya memang cuka. Maka, tidak perlu mempertimbangkan perubahan yang terjadi dari sari buah hingga menjadi cuka, karena peralihannya dari rasa manis ke asam sama seperti peralihan dari rasa manis awal ke rasa lainnya. Hukumnya mengikuti status akhirnya jika perubahan terjadi tanpa campur tangan manusia.
Jika pihak yang menggadaikan (rahin) dan penerima gadai (murtahin) sepakat untuk menggadaikan sari buah tertentu, lalu sari buah itu diterima sebagai gadai, kemudian berubah menjadi khamr di tangan murtahin, maka status gadainya batal. Penjual tidak berhak membatalkan akad jual beli karena rusaknya barang gadai, sebagaimana jika ia menggadaikan budak lalu budak itu meninggal, ia tidak boleh membatalkan akad karena kematian budak tersebut.
Jika mereka berdua berakad untuk menggadaikan sari buah ini, lalu ketika digadaikan langsung berubah menjadi khamr, maka pihak rahin berhak memilih (khiyar) karena akad gadai tidak sempurna. Jika mereka berselisih tentang status sari buah tersebut—rahin mengatakan, “Aku menggadaikannya sebagai sari buah, lalu berubah menjadi khamr di tanganmu,” sedangkan murtahin berkata, “Engkau menggadaikannya sebagai khamr”—maka ada dua pendapat:
- Pendapat pertama: Perkataan rahin yang diterima, karena perubahan seperti ini mungkin terjadi. Seperti jika seseorang menjual budak, lalu ditemukan cacat yang bisa muncul setelahnya. Jika pembeli berkata, “Engkau menjualnya dalam keadaan cacat,” sedangkan penjual berkata, “Cacat itu muncul di tanganmu,” maka perkataan penjual diterima dengan disertai sumpah. Menurut pendapat ini, khamr harus dibuang, tidak sah sebagai gadai, tetapi akad jual beli tetap berlaku.
- Pendapat kedua: Perkataan murtahin yang diterima, karena rahin tidak mengakui telah menyerahkan sesuatu yang halal digadaikan dalam kondisi apa pun, sebab khamr haram dalam segala keadaan. Ini berbeda dengan cacat yang tidak menghalangi kepemilikan budak. Murtahin berhak memilih antara menetapkan haknya tanpa gadai atau membatalkan akad jual beli.
Jika seseorang menggadaikan barang dengan syarat murtahin boleh memanfaatkannya—seperti menempati rumah atau menunggang hewan—maka syarat tersebut batal. Seandainya akad jual beli dilakukan dengan syarat seperti ini, penjual berhak memilih antara membatalkan akad atau melanjutkannya tanpa syarat tersebut. Gadai tidak batal selama murtahin menghendakinya, karena yang batal adalah syarat tambahan, bukan akad gadainya.
(Berkata Ar-Rabi’): Ada pendapat lain bahwa jika jual beli dilakukan dengan syarat seperti ini, maka akadnya batal secara mutlak, dan ini yang lebih sahih.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tidak mengapa seseorang menggadaikan budak perempuan yang memiliki anak kecil, karena ini tidak termasuk memisahkan anak dari ibunya.
[Gadai yang Rusak]
(Berkata Asy-Syafi’i—rahimahullah): Gadai yang rusak adalah jika seseorang menggadaikan budak mukatab (yang sedang mengangsur kebebasannya) sebelum ia dinyatakan gagal membayar. Jika budak itu gagal membayar, gadai tidak berlaku sampai ada akad gadai baru setelah kegagalannya. Jika seseorang menggadaikan umm walad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya), maka gadainya rusak menurut pendapat ulama yang melarang menjual atau menggadaikan umm walad.
Termasuk gadai yang rusak adalah menggadaikan barang yang haram dijual, seperti khamr, bangkai, babi, atau barang yang tidak dimiliki sepenuhnya. Misalnya, seseorang berkata, “Aku menggadaikan rumah yang kutinggali ini,” lalu menyerahkannya, atau “Aku menggadaikan budak yang ada di tanganku sebagai pinjaman atau sewa,” lalu menyerahkannya dengan klaim, “Aku akan membelinya,” padahal belum. Gadai tidak sah kecuali jika akad dan serah terima terjadi secara sah, dengan syarat rahin adalah pemilik penuh yang boleh menjual barang tersebut sebelum atau saat akad gadai.
Jika akad gadai dilakukan saat barang tidak sah digadaikan, lalu diserahkan saat sudah sah, gadai tetap tidak berlaku sampai kedua syarat (akad dan kepemilikan sah) terpenuhi bersamaan. Contoh: seseorang menggadaikan rumah yang masih dalam status gadai orang lain, lalu gadai pertama batal dan rumah diserahkan. Gadai baru tidak sah sampai ia membuat akad baru saat rumah sudah bebas dari status gadai sebelumnya atau kepemilikan orang lain.
Tidak boleh seseorang menggadaikan hak piutang yang dimilikinya atas orang lain, baik orang yang berutang itu mengakui atau tidak. Sebab, pengakuan utang bukanlah barang nyata yang bisa digadaikan, melainkan sekadar pengakuan hak dalam tanggungan pihak yang berutang. Pengakuan bukanlah kepemilikan, dan tanggungan utang juga bukan barang yang bisa dimiliki. Maka, menurut pendapat yang membolehkan jual beli utang, gadai dalam hal ini tidak sah. Wallahu a’lam.
Dan siapa yang tidak membayarnya.
Bagaimana pendapatmu jika orang yang berutang melunasi hak yang dijaminkan, bukankah pemilik hak telah menerima haknya dan terbebas dari utang? Jika utang telah lunas, maka jaminan untuk utang tersebut batal tanpa perlu pembatalan dari pemegang hak, tanpa penagihan haknya, atau tanpa pembebasan darinya. Tidak diperbolehkan jaminan kembali kepada pemberi utang tanpa persetujuan pemegang hak. Jika ada yang berkata, “Lalu jaminannya beralih pada apa yang dia terima,” maka jawabannya adalah jika dia menjaminkan sekali berupa kitab dan harta, padahal jaminan hanya sah jika objeknya diketahui. Jika seseorang memiliki harta yang tidak ada di tempat dan berkata, “Aku menjaminkan hartaku yang tidak ada padamu,” maka tidak sah sampai harta itu diterima, sedangkan harta tersebut belum diterima saat dijaminkan. Ini rusak dari segala sisi.
Jika seseorang menjaminkan budak kepada orang lain dan menerimanya, lalu pemegang hak menjaminkan budak itu kepada orang asing atau berkata, “Hakku atas budak yang kujaminkan untukmu adalah jaminan,” dan menyerahkannya, maka jaminan itu tidak sah karena dia tidak memiliki budak yang dijaminkan. Dia hanya memiliki hak dalam tanggungan pemilik budak yang dijadikan jaminan. Jika pemilik melunasinya, maka jaminan lepas dari tanggungan. Atau bagaimana pendapatmu jika pemberi utang pertama melunasi haknya atau dibebaskan oleh pemegang hak, bukankah jaminannya batal?
(Dia berkata): Jika ada yang berkata, “Hak yang dijaminkan bisa diganti dengan penerimaan hak tersebut,” maka jawabannya adalah ini seperti seseorang menjaminkan budak yang tidak dia miliki, lalu menjaminkan lagi budak atau dinar tanpa persetujuan pemegang hak lainnya. Bagaimana pendapatmu jika seseorang menjaminkan budak untuk dirinya sendiri, lalu ingin memberi pemegang hak pengganti budak yang lebih baik dan lebih mahal, apakah itu diperbolehkan? Jika dikatakan tidak, maka demikian pula tidak boleh menjaminkan budak milik orang lain meskipun dijaminkan untuknya, karena jika haknya ditagih, jaminan itu lepas. Jika belum diterima, dia menjaminkan hak yang dia miliki atasnya.
Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Aku menjaminkan budak pertamaku yang kudapat atau budak yang kutemukan di rumahku,” lalu muncul budak miliknya atau dia menemukan budak di rumah dan menyerahkannya, maka jaminan itu batal. Jaminan tidak sah kecuali dibentuk atas objek tertentu. Demikian pula mutiara yang keluar dari kerangnya, atau buah yang keluar dari kebunnya padahal tidak ada buah, maka jaminan dalam semua ini batal sampai dia membuat jaminan baru setelah objeknya ada dan diterima.
Jika seseorang berkata, “Aku menjaminkan rumah mana pun yang kau pilih atau budak mana pun yang kau inginkan,” lalu memilih sebagian dan menyerahkannya, itu bukan jaminan berdasarkan pernyataan pertama sampai diperbarui. Jika seseorang menjaminkan hak tinggal di rumah yang diketahui dan menyerahkannya, itu bukan jaminan karena hak tinggal bukan objek tetap yang ditahan. Jika tempat tinggal itu ditahan, tidak ada manfaat bagi penahan, justru merugikan jaminan.
Jika dia berkata, “Aku menjaminkan hak tinggal rumahku,” maksudnya menyewakannya dan mengambil sewanya, maka dia menjaminkan sesuatu yang tidak diketahui, bisa sedikit atau banyak, ada atau tidak. Jika dia berkata, “Aku menjaminkan hak tinggal rumahku,” maksudnya dia menempatinya, maka ini bukan sewa yang sah atau jaminan, karena jaminan tidak memberi manfaat bagi pemegang hak kecuali dengan harganya. Jika dia tinggal dengan syarat ini, maka dia wajib membayar sewa sesuai tempat tinggalnya.
Jika seseorang memiliki budak dan menjaminkannya kepada orang lain, lalu berkata kepada orang lain, “Aku menjaminkan bagian dari budak yang kujaminkan kepada si Fulan yang tersisa setelah haknya,” dan pemegang hak pertama menerima serta menyerahkan budak, maka apakah pemegang hak kedua menerima atau tidak, jaminan itu batal karena dia tidak menjaminkan sepertiga, seperempat, atau bagian tertentu dari budak, melainkan sesuatu yang tidak diketahui berapa bagiannya dari budak atau harganya. Jaminan seperti ini tidak sah, dan budak tetap menjadi jaminan untuk pemegang hak pertama.
Jika seseorang menjaminkan budak seharga seratus, lalu menambah seratus lagi dan berkata, “Jadikan kelebihan dari seratus pertama sebagai jaminan untuk seratus berikutnya,” maka budak hanya terikat untuk seratus pertama, bukan seratus berikutnya. Ini seperti kasus sebelumnya. Jika pemberi utang mengakui bahwa budak dijaminkan untuk dua ratus sekaligus dalam satu transaksi, dan pemegang hak mengklaim hal itu, atau kedua orang itu bersama-sama menjaminkan budak untuk hak mereka dan menyebutkannya, maka aku membenarkannya. Tetapi jika dia mengakui menjaminkannya setelah jaminan pertama, maka tidak diterima dan jaminan tidak sah.
Dia berkata: Jika seseorang memiliki utang seratus kepada orang lain dan menjaminkan rumah, lalu meminta tambahan jaminan selain rumah dan menyerahkannya, maka jaminan itu sah. Ini seperti seseorang yang memiliki utang tanpa jaminan, lalu menjaminkan sesuatu dan menyerahkannya, maka jaminan itu sah. Ini berbeda dengan dua kasus sebelumnya.
Jika seseorang menjaminkan rumah seharga seribu, lalu pemegang hak mengakui kepada orang lain bahwa rumah itu dijaminkan untuknya dan si Fulan seharga dua ribu (seribu ini dan seribu lainnya), dan pemberi utang mengakui seribu untuk klaim jaminan yang diakui pemegang hak tanpa jaminan…
Jika penggadai mengingkari, maka perkataan adalah milik pemilik gadai. Uang seribu yang tidak diakui sebagai gadai tetap menjadi tanggungannya tanpa gadai dalam gadai ini, dan yang lebih utama adalah gadai yang diakuinya. Jika penerima gadai mengakui bahwa rumah ini adalah miliknya bersama orang lain dan mengaitkannya dengan uang seribu atas namanya antara dia dan orang yang diakuinya, maka pengakuannya mengikat, dan uang seribu dibagi dua antara mereka. Ini seperti seseorang yang memiliki hak atas orang lain, lalu mengakui bahwa hak tersebut milik orang lain, maka hak itu menjadi milik orang lain sesuai pengakuannya.
Jika seseorang menyerahkan hak kepada orang lain dan berkata, “Aku menggadaikannya beserta isinya,” lalu penerima gadai menerima dan rela, maka gadai berlaku beserta isinya jika ada sesuatu di dalamnya. Namun, gadai itu batal karena penerima gadai tidak tahu apa isinya. Bagaimana jika tidak ada isinya atau isinya tidak berharga? Jika penerima gadai berkata, “Aku menerimanya karena mengira ada sesuatu yang berharga di dalamnya,” bukankah dia telah menggadaikan sesuatu yang tidak diketahui? Padahal gadai tidak sah kecuali diketahui. Demikian juga dengan karung beserta isinya, kantong beserta isinya, atau rumah beserta perabotannya. Jika dia menggadaikan dalam semua ini hanya haknya tanpa isinya, atau hanya mengatakan “hak” tanpa menyebut sesuatu tertentu, maka hanya hak yang menjadi gadai. Demikian juga rumah tanpa isinya, dan semua yang disebutkan tanpa isinya. Penerima gadai berhak memilih untuk membatalkan gadai atau menjualnya jika ada tanggungan, atau menggadaikan hak tanpa isinya. Ini menurut salah satu pendapat.
Pendapat kedua: Jika ada penjualan, maka itu batal dalam segala hal. Adapun kantong, tidak sah menggadaikannya kecuali dengan mengatakan “tanpa isinya,” karena hak dan rumah biasanya memiliki nilai, sedangkan kantong biasanya tidak bernilai. Yang diinginkan dalam gadai adalah isinya. Jika seseorang menggadaikan pohon kurma yang berbuah tanpa menyebut buahnya, maka buah tidak termasuk gadai, baik masih kuncup, muda, atau lainnya. Jika buah sudah keluar, baik kuncup atau lainnya, dan penerima gadai mensyaratkannya bersama pohon, maka itu boleh dan menjadi gadai bersama pohon karena bisa dilihat. Demikian juga jika buah digadaikan setelah keluar dan terlihat, gadai sah. Dia boleh membiarkannya di pohon sampai matang, dan penggadai wajib menyirami dan merawatnya sebagaimana merawat budak yang digadaikan. Jika seseorang menggadaikan pohon kurma tanpa buah dengan syarat buah yang keluar termasuk gadai, atau hewan ternak tanpa anak dengan syarat anaknya termasuk gadai, maka gadai atas buah dan anak ternak itu batal karena dia menggadaikan sesuatu yang diketahui dan tidak diketahui.
Siapa yang membolehkan ini dalam buah, maka—wallahu a’lam—harus membolehkan seseorang menggadaikan hasil pohon kurma atau anak ternaknya dalam setahun. Dia juga harus mengatakan, “Aku menggadaikan kepadanya apa yang dihasilkan pohon kurmaku atau ternakku tahun ini, atau buah kurma atau anak ternak.” Semua ini tidak boleh. Jika gadai dilakukan seperti ini, maka gadai batal. Jika dia mengambil sebagian buah, maka dia harus mengganti dengan yang serupa. Demikian juga anak ternak atau nilainya jika tidak ada yang serupa. Gadai atas pohon dan ternak sebagai benda tidak batal karena kerusakan syarat yang disertakan, menurut pendapat yang membolehkan menggadaikan dua budak lalu salah satunya ternyata merdeka, atau budak, atau kendi anggur. Yang sah tetap sah, dan yang ditolak ditolak bersamanya.
Ada pendapat lain: seluruh gadai batal dalam hal ini sebagaimana batal dalam jual beli, tidak berbeda. Jika satu transaksi gadai menggabungkan dua hal, satu sah dan satu tidak, maka keduanya batal. Ini pendapat yang diambil oleh Ar-Rabi’, dan dia berkata ini yang lebih sahih dari dua pendapat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan anjing, tidak sah karena tidak bernilai. Demikian juga segala yang tidak halal dijual, tidak boleh digadaikan. Jika dia menggadaikan kulit bangkai yang belum disamak, gadai tidak sah. Jika disamak setelahnya, tetap tidak sah. Jika digadaikan setelah disamak, gadai sah karena saat itu boleh dijual.
Jika seseorang mewarisi rumah bersama ahli waris lain yang tidak hadir, lalu dia menggadaikan haknya, tidak sah sampai dia menyebut setengah, sepertiga, atau satu bagian. Jika disebutkan dan diterima penerima gadai, maka sah. Jika seseorang menggadaikan sesuatu dengan syarat jika tidak melunasi hutang saat jatuh tempo maka gadai menjadi milik penerima gadai, maka gadai batal dan penerima gadai sama dengan kreditur lain. Tidak menjadi miliknya karena ini bukan gadai atau jual beli yang sah. Jika barang rusak di tangan penerima gadai sebelum jatuh tempo, dia tidak menanggungnya, dan haknya tetap seperti gadai sah atau batal. Jika rusak setelah jatuh tempo di tangannya, dia menanggung nilainya, dan nilainya dibagi antara pemilik hak karena di tangannya sebagai jual beli batal. Jika gadai dengan syarat ini adalah tanah lalu dibangun sebelum jatuh tempo, bangunan harus dirobohkan karena dibangun sebelum dijadikan jual beli, sehingga dia membangun tanpa izin.
Oleh karena itu, benteng tersebut, meskipun dibangun setelah masa hak, tanahnya tetap milik pemberi gadai, dan bangunannya milik orang yang membangunnya. Pemilik tanah boleh mengambil alih bangunan tersebut dengan membayar nilainya saat masih berdiri, dan tidak boleh mengeluarkannya tanpa membayar nilai bangunan. Sebab, pembangunannya dilakukan dengan izin berdasarkan transaksi yang tidak sah. Bangunan itu hanya bisa dikeluarkan dengan izin pemilik tanah setelah membayar nilainya dalam keadaan utuh.
Jika seseorang menyerahkan barang kepada orang lain dan berkata, “Segala sesuatu yang kubeli darimu atau dibeli darimu oleh si Fulan dalam dua hari, dua tahun, atau selamanya, maka barang ini menjadi jaminannya,” maka gadai tersebut batal. Gadai tidak sah kecuali untuk hak yang jelas dan diketahui.
Demikian pula, jika seseorang menyerahkan barang sebagai jaminan untuk sepuluh (unit) atas dirinya atau orang lain, lalu berkata, “Segala hak yang menjadi kewajibanku padamu, maka barang ini menjadi jaminannya bersama sepuluh itu,” atau “Segala hak yang akan menjadi kewajibanku padamu, maka ini menjadi jaminannya,” maka barang itu hanya menjadi jaminan untuk sepuluh yang diketahui saat diserahkan, bukan untuk hak yang mungkin timbul kemudian, karena hak tersebut belum diketahui saat penyerahan gadai.
Jika barang tersebut rusak di tangan penerima gadai, baik sebelum atau setelah pembelian atau timbulnya hak, penerima gadai tidak bertanggung jawab, sebagaimana gadai yang sah atau tidak sah tidak dijamin jika rusak.
Jika seseorang menggadaikan rumah senilai seribu, lalu menambah hutang seribu lagi dan menjadikan rumah itu jaminan untuk dua ribu, maka rumah itu tetap menjadi jaminan hanya untuk seribu pertama, bukan seribu kedua. Jika rumah itu dijual karena hutang, penerima gadai berhak mendapatkan seribu pertama dari hasil penjualan, dan kreditur lain berhak atas seribu kedua dari sisa hasil penjualan atau harta lainnya.
Jika ingin menjadikan rumah itu jaminan untuk dua ribu, maka gadai pertama harus dibatalkan terlebih dahulu, lalu dibuat perjanjian baru untuk dua ribu. Jika mereka sepakat mengubah nilai gadai dari seribu menjadi dua ribu, maka pengakuan mereka mengikat karena gadai pertama batal dan diganti dengan gadai baru yang sah untuk dua ribu.
Jika pengakuan mengikat pemiliknya, maka:
Jika seseorang menggadaikan barang yang mudah rusak dalam waktu singkat, seperti sayuran, semangka, mentimun, pisang, atau sejenisnya, dan hak tersebut jatuh tempo, maka tidak masalah menggadaikannya, dan barang itu boleh dijual atas nama pemberi gadai. Jika jangka waktu gadai belum tiba dan barang belum rusak, maka tidak masalah. Namun, jika jangka waktunya menyebabkan barang rusak, maka aku tidak menyukainya tetapi tidak membatalkannya. Alasan aku tidak membatalkannya adalah pemberi gadai boleh menjualnya sebelum jatuh tempo asalkan memenuhi hak penerima gadai tanpa syarat.
Jika pemberi gadai meninggal segera, barang itu boleh dijual. Namun, jika mereka mensyaratkan bahwa barang tidak boleh dijual sampai jatuh tempo atau jika pemberi gadai meninggal, barang tidak boleh dijual sampai waktu tertentu, padahal barang itu akan rusak dalam waktu tersebut, maka gadai itu batal.
Jika seseorang menggadaikan barang yang bisa diawetkan, seperti daging segar yang bisa dikeringkan atau kurma yang bisa dikeringkan, maka gadai itu sah dan aku tidak keberatan. Penerima gadai tidak boleh mengeringkannya tanpa izin pemberi gadai. Jika penerima gadai meminta penjualan barang karena khawatir rusak, hal itu tidak boleh kecuali dengan izin pemberi gadai.
### Penambahan Gadai
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan budak perempuan yang hamil, lalu melahirkan, atau budak yang tidak hamil kemudian hamil dan melahirkan, maka anaknya tidak termasuk dalam gadai. Sebab, gadai hanya mencakup kepemilikan budak, bukan apa yang dihasilkannya.
Demikian pula, jika seseorang menggadaikan hewan ternak yang sedang bunting, lalu melahirkan, atau hewan yang tidak bunting kemudian bunting dan melahirkan, maka anaknya tidak termasuk dalam gadai.
Begitu juga jika seseorang menggadaikan kambing yang sedang berproduksi susu, maka susunya tidak termasuk dalam gadai, karena susu bukan bagian dari kambing itu sendiri.
*(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat yang mengatakan bahwa jika susu sudah ada dalam kambing saat digadaikan, maka…*
Jika dia menggadaikannya bersamanya, maka jika dia menjualnya, susu itu adalah milik pembelinya. Demikian pula hasil ternak jika ternak itu sedang bunting, dan anak dari budak perempuan jika dia hamil pada hari dia menggadaikannya. Maka apa yang terjadi setelah itu dari susu, itu bukan termasuk gadai. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia menggadaikan seorang budak perempuan yang memakai perhiasan, maka perhiasan itu tidak termasuk dalam gadai. Demikian pula jika dia menggadaikan pohon kurma atau pohon lainnya lalu berbuah, maka buahnya tidak termasuk dalam gadai karena itu bukan bagian dari pohon. Dia berkata: Prinsip dasar memahami hal ini adalah bahwa pemberi pinjaman memiliki hak atas kepemilikan barang gadai, bukan atas hal lain. Apa yang muncul darinya yang dapat dibedakan darinya, maka itu tidak termasuk.
Demikian pula jika dia menggadaikan seorang budak lalu budak itu bekerja, maka hasil kerjanya tidak termasuk dalam gadai karena itu bukan bagian dari budak. Anak, hasil ternak, susu, dan semua hasil dari barang gadai adalah milik penggadai. Pemberi pinjaman tidak berhak menahan apa pun darinya. Jika seseorang menggadaikan seorang budak kepada orang lain dan menyerahkannya kepadanya, maka budak itu tetap dalam status gadai di tangannya. Pemiliknya tidak boleh dilarang untuk menyewakan budak itu kepada siapa pun yang dia kehendaki. Jika pemberi pinjaman ingin menghadiri penyewaannya, dia boleh melakukannya. Jika pemiliknya ingin mempekerjakan budak itu, dia boleh melakukannya, dan pada malam hari budak itu kembali kepada orang yang memegang gadai. Jika pemiliknya ingin membawa budak itu keluar dari kota, dia tidak boleh melakukannya tanpa izin pemberi pinjaman. Demikian pula, jika pemberi pinjaman ingin membawa budak itu keluar dari kota, dia juga tidak boleh melakukannya. Jika budak itu sakit, penggadai menanggung biaya perawatannya, dan jika dia meninggal, penggadai menanggung biaya penguburannya karena dialah pemiliknya, bukan pemberi pinjaman.
Aku tidak menyukai gadai budak perempuan kecuali jika dia diserahkan kepada wanita yang terpercaya agar tidak disentuh oleh laki-laki yang bukan pemiliknya. Namun, aku tidak membatalkan gadainya jika dia digadaikan. Jika orang yang memegang gadai memiliki keluarga, aku akan menempatkannya bersama mereka. Jika tidak ada wanita di tempatnya dan penggadai meminta agar orang yang memegang gadai tidak menyendiri dengan budak perempuan itu, aku akan mengizinkan gadai itu dan melarang laki-laki selain pemiliknya untuk menyentuhnya karena Rasulullah ﷺ melarang seorang laki-laki menyendiri dengan wanita. Aku juga berkata bahwa jika kedua belah pihak setuju, budak perempuan itu boleh diserahkan kepada seorang wanita yang akan menjaganya.
Jika pemiliknya ingin mengambil budak perempuan itu untuk melayaninya, itu tidak diperbolehkan untuk menghindari penyendirian yang bisa menyebabkan kehamilan. Jika penggadai tidak menginginkannya, maka kedua belah pihak harus menyerahkan budak itu kepada seorang wanita dalam keadaan apa pun. Jika mereka tidak melakukannya, mereka dipaksa untuk melakukannya. Jika pemiliknya mensyaratkan kepada pemberi pinjaman bahwa budak itu harus berada di tangannya atau di tangan orang lain, dan tidak ada keluarga di antara mereka, lalu dia meminta untuk membawanya keluar, maka aku akan memindahkannya kepada wanita yang terpercaya. Aku tidak akan pernah mengizinkan laki-laki selain pemiliknya untuk menyendiri dengan budak perempuan itu. Pemilik budak perempuan itu wajib menanggung nafkahnya saat hidup dan biaya penguburannya saat meninggal.
Demikian pula, jika dia menggadaikan hewan ternak yang membutuhkan makanan, maka pemiliknya wajib memberinya makan, dan hewan itu harus kembali kepada pemberi pinjaman atau orang yang memegang gadai. Pemilik hewan tidak boleh dilarang menyewakan atau menungganginya. Jika dalam gadai ada hewan yang bisa diperah atau dikendarai, maka penggadai berhak memerah atau menungganginya.
(Sufyan mengabarkan kepada kami dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, dia berkata: “Barang gadai boleh dikendarai dan diperah.”)
(Imam Syafi’i berkata): Perkataan Abu Hurairah—wallahu a’lam—menunjukkan bahwa siapa pun yang menggadaikan hewan yang bisa diperah atau dikendarai, penggadai tidak boleh dilarang memerah atau mengendarainya karena dia memiliki kepemilikan atas hewan itu. Hewan itu tetap bisa diperah dan dikendarai seperti sebelum digadaikan. Penggadai tidak dilarang memerah atau mengendarainya karena itu bukan bagian dari barang gadai yang sebenarnya.
Demikian pula, jika dia menggadaikan hewan ternak yang digembalakan, maka pemiliknya wajib menggembalakannya, dan dia berhak memerah susu serta mengambil hasil ternaknya. Hewan itu harus kembali kepada pemberi pinjaman atau orang yang memegang gadai. Jika dia menggadaikan hewan ternak dan berada di pedalaman, lalu tempat itu mengalami kekeringan dan pemberi pinjaman ingin menahannya, itu tidak diperbolehkan. Dia akan diberitahu: “Jika kamu setuju, biarkan pemiliknya membawanya ke tempat lain. Jika tidak, kamu dipaksa untuk menyerahkannya kepada orang yang adil yang akan membawanya ke tempat lain jika pemiliknya memintanya.” Jika pemilik hewan ingin pindah tanpa alasan kekeringan dan pemberi pinjaman ingin tetap tinggal, maka pemilik hewan akan diberitahu: “Kamu tidak boleh membawanya keluar dari kota tempat kamu menggadaikannya kecuali ada bahaya yang mengancamnya, dan tidak ada bahaya baginya. Kamu boleh menunjuk siapa pun untuk mengurusnya.”
Jika pemberi pinjaman ingin pindah tanpa alasan kekeringan, dia akan diberitahu: “Kamu tidak boleh memindahkannya dari kota tempat kamu menerima gadai dan di hadapan pemiliknya kecuali dalam keadaan darurat. Berundinglah dengan siapa pun yang kamu inginkan untuk menetap di rumah selama tidak ada kekeringan. Jika kamu tidak melakukannya, kamu dipaksa untuk menyerahkannya kepada seseorang yang akan menjaganya.” Jika tanah tempat hewan itu digadaikan tidak mengalami kekeringan dan tempat lain lebih subur, maka tidak ada yang dipaksa untuk memindahkannya. Jika terjadi kekeringan dan kedua belah pihak ingin pindah ke dua tempat yang sama-sama subur, dan pemilik hewan ingin hewan itu bersamanya sementara pemberi pinjaman juga ingin hewan itu bersamanya, maka akan dikatakan: “Jika kamu tinggal bersama di satu tempat, hewan itu tetap dengan pemberi pinjaman atau orang yang memegang gadai. Jika kamu tinggal di tempat yang berbeda, kamu dipaksa untuk menyerahkannya kepada orang yang adil di tempat yang dituju oleh pemilik hewan agar dia bisa memanfaatkan susu dan hasilnya.” Siapa pun yang mengajak ke tempat yang membahayakan hewan itu, maka itu tidak diperbolehkan karena hak penggadai atas kepemilikan hewan dan hasilnya, serta hak pemberi pinjaman atas kepemilikan hewan.
Jika dia menggadaikan hewan ternak yang berbulu, maka bulunya tetap milik pemiliknya.
Atau bulu atau rambut, jika pihak yang menggadaikan (rahin) ingin memotongnya, maka itu boleh baginya; karena bulu, rambut, atau wolnya adalah sesuatu yang berbeda seperti susu dan anak ternak. Baik utang sudah jatuh tempo atau belum, atau apakah penerima gadai (murtahin) telah menjualnya atau tidak, hal ini sama seperti status susu.
(Ar-Rabi’ berkata): Telah dikatakan bahwa jika bulunya sudah ada pada hewan saat digadaikan, maka itu termasuk dalam gadai dan boleh dipotong, serta tetap menjadi bagian dari gadai. Ini agar tidak tercampur dengan bulu yang tumbuh kemudian, karena bulu yang tumbuh setelahnya adalah milik rahin.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan hewan ternak atau hewan peliharaan, lalu ia ingin mengawinkannya, tetapi murtahin menolak, maka murtahin tidak berhak melarangnya. Namun, jika hewan yang digadaikan adalah jantan dan rahin ingin mengawinkannya, maka ia boleh melakukannya karena mengawinkan termasuk manfaat hewan tersebut tanpa merugikan nilainya, dan rahin tetap memiliki hak atas manfaatnya. Jika hewan itu bisa dikendarai atau disewakan, murtahin tidak boleh melarangnya untuk disewakan asalkan diberi makan.
Jika seseorang menggadaikan budak laki-laki dan ingin menikahkannya, atau budak perempuan dan ingin menikahkannya, maka ia tidak boleh melakukannya karena pernikahan akan mengurangi nilai budak tersebut dan menimbulkan risiko kerusakan atau tuntutan. Namun, jika yang digadaikan adalah budak kecil, ia boleh mengajarinya adab karena itu adalah sunnah, baik bagi mereka, dan dapat meningkatkan nilainya. Demikian pula jika budak atau hewan ternak membutuhkan pengobatan seperti berbekam, minum obat, atau perawatan dokter hewan seperti pemotongan bulu, pembersihan kuku, atau pengobatan lainnya, murtahin tidak boleh melarangnya. Jika rahin menolak mengobatinya, ia tidak boleh dipaksa. Jika murtahin berkata, “Aku akan mengobatinya dan membebankan biayanya pada rahin,” maka itu tidak diperbolehkan.
Begitu juga jika hewan ternak terkena kudis, murtahin tidak boleh melarang rahin mengobatinya, tetapi rahin juga tidak boleh dipaksa mengobatinya. Jika pengobatan itu bermanfaat dan tidak membahayakan, seperti memberi garam, mengolesi minyak (di luar musim panas), menggosok dengan ter ringan, memberikan obat tetes hidung, memijat kaki, atau memberi makanan bergizi, maka murtahin boleh melakukannya tanpa bisa dilarang dan tidak boleh menuntut biaya dari rahin.
Namun, jika pengobatan itu berisiko, seperti berbekam atau minum obat keras yang bisa membunuh, maka murtahin tidak boleh melakukannya pada budak atau hewan. Jika ia melakukannya dan menyebabkan kerusakan, ia harus menanggung ganti rugi kecuali jika pemilik mengizinkannya.
Jika barang gadai adalah tanah, rahin tidak boleh dilarang menanam tanaman yang bisa dipanen sebelum atau saat utang jatuh tempo. Namun, untuk tanaman yang tumbuh setelah jatuh tempo, ada dua pendapat:
- Pendapat pertama: Rahin dilarang menanamnya jika menurut pendapat yang tidak membolehkan penjualan tanah tanpa tanaman. Jika rahin melanggar dan menanam tanpa izin, tanamannya tidak boleh dicabut sampai utang jatuh tempo. Jika ia melunasi utang, tanamannya boleh tetap ada. Jika tanah dijual dalam keadaan ditanami dan nilainya mencukupi utang, ia tidak boleh mencabut tanamannya. Jika tidak mencukupi kecuali dengan mencabut tanaman, ia diperintahkan untuk mencabutnya kecuali ada pembeli yang bersedia membeli tanah tersebut dengan syarat tanaman dicabut, lalu ia boleh membiarkannya jika mau. Ini menurut pendapat yang membolehkan penjualan tanah beserta tanamannya.
- Pendapat kedua: Rahin tidak dilarang menanam sama sekali, tetapi dilarang menanam pohon atau membangun kecuali ia berkata, “Aku akan mencabutnya jika utang jatuh tempo,” maka ia tidak boleh dilarang.
Jika rahin ingin membuat mata air atau sumur di tanah gadai:
– Jika itu menambah nilai tanah atau tidak mengurangi nilainya, maka tidak dilarang.
– Jika itu mengurangi nilai tanah dan tidak ada kompensasi untuk kerugiannya (misalnya, tanah menjadi lebih murah karena adanya sumur), maka dilarang. Jika rahin melakukannya tanpa izin, ia tidak boleh dituntut sampai utang jatuh tempo, lalu statusnya seperti tanaman atau bangunan.
Demikian pula untuk segala perubahan pada tanah gadai: jika tidak merugikan, tidak dilarang; jika merugikan, dilarang. Perubahan tersebut tidak termasuk dalam gadai kecuali rahin memasukkannya, dan jika itu tidak mengurangi nilai gadai, ia tidak dilarang.
Jika yang digadaikan adalah pohon kurma, rahin boleh memangkas daun dan pelepahnya selama tidak membunuh pohon atau mengurangi nilainya secara signifikan. Namun, ia dilarang melakukan hal yang merusak pohon.
Jika sejumlah pohon kurma digadaikan dalam satu areal dan rahin ingin memindahkan sebagiannya, tetapi murtahin menolak, maka perlu ditanyakan kepada ahli pertanian:
– Jika mereka berpendapat bahwa nilai tanah dan pohon lebih tinggi jika dibiarkan, maka rahin tidak boleh memindahkannya.
– Jika mereka berpendapat bahwa nilai tanah dan pohon lebih tinggi jika sebagian dipindahkan (karena jika tidak, sebagian akan mati atau mengurangi manfaat), maka ia boleh memindahkan sebagian hingga tersisa yang tidak saling merugikan.
– Jika mereka berpendapat bahwa memindahkan semuanya lebih baik untuk tanah dalam jangka panjang, tetapi berisiko tidak tumbuh dengan baik, maka pemilik tanah tidak boleh memindahkan semuanya. Ia hanya boleh memindahkan yang tidak mengurangi nilai tanah jika semuanya mati.
Hal serupa berlaku jika rahin ingin mengubah saluran airnya. Jika itu tidak merugikan pohon atau tanah, maka diperbolehkan. Jika merugikan, maka dilarang.
Jika dalam minuman terdapat beberapa pohon kurma, dan dikatakan bahwa mayoritas harga tanah adalah dengan memotong sebagian pohon, maka pemberi gadai boleh meninggalkan atau memotongnya. Seluruh pohon yang dipotong, termasuk batang dan pelepahnya, tetap dalam status gadai. Demikian pula dengan jantungnya. Adapun pelepah yang biasanya tidak dipotong jika pohon masih berdiri, tidak boleh dipotong oleh pemilik pohon. Sedangkan buahnya, pelepah yang biasanya bisa dipotong jika pohon masih berdiri, serta seratnya, berada di luar gadai dan menjadi milik pemilik pohon. Jika sesuatu dicabut dari pohon itu dan ditanam di tanah yang digadaikan, maka itu tetap termasuk dalam gadai karena objek gadai mencakupnya.
Jika dipindahkan ke tanah lain yang bukan bagian gadai, hal itu tidak diperbolehkan jika memiliki nilai. Pemilik wajib menjualnya dan menjadikan hasil penjualan sebagai tambahan gadai atau membiarkannya sebagaimana adanya. Jika penerima gadai berkata kepada pemberi gadai, “Singkirkan kerusakan dari pohonmu,” maka pemberi gadai tidak wajib melakukannya karena hak kepemilikan pemberi gadai lebih kuat daripada hak penerima gadai atas barang gadai.
(Imam Syafi’i berkata:) Jika seseorang menggadaikan tanah tanpa pohon kurma, lalu pohon kurma tumbuh di atasnya, maka pohon itu tidak termasuk dalam gadai. Begitu pula dengan tanaman lainnya. Jika penerima gadai meminta pemilik tanah untuk mencabut pohon itu, maka jika pemilik tanah secara sukarela memasukkan pohon itu ke dalam gadai, ia tidak wajib mencabutnya karena pohon itu menambah nilai tanah. Namun, jika pemilik tanah menolak memasukkannya ke dalam gadai, ia tidak wajib mencabutnya sampai hak gadai jatuh tempo. Jika nilai tanah tanpa pohon sudah mencukupi hak penerima gadai, pohon tidak perlu dicabut. Jika tidak mencukupi, pemilik pohon diberi pilihan: memenuhi hak penerima gadai dengan memasukkan pohon atau sebagiannya ke dalam gadai, atau mencabut pohon tersebut.
Jika pemberi gadai bangkrut karena utang kepada banyak orang, dan situasinya tetap sama, tanah beserta pohonnya dijual. Hasil penjualan dibagi antara nilai tanah tanpa pohon dan nilai pohon. Penerima gadai tanah mendapat bagian sesuai nilai tanah, sedangkan kreditur lainnya mendapat bagian sesuai nilai pohon. Hal yang sama berlaku jika pemberi gadai menanam pohon, membangun, atau menanam tanaman di tanah gadai.
Jika seseorang menggadaikan tanah beserta pohon kurma, lalu terjadi perselisihan—pemberi gadai mengklaim ada pohon baru yang tumbuh setelah gadai, sementara penerima gadai menyatakan semua pohon termasuk dalam gadai—maka ahli ilmu pertanian dimintai pendapat. Jika mereka menyatakan pohon seperti itu mungkin tumbuh setelah gadai, maka klaim pemberi gadai diterima dengan sumpah, dan pohon itu dianggap di luar gadai. Namun, jika ahli menyatakan pohon seperti itu tidak mungkin tumbuh dalam waktu tersebut, klaim pemberi gadai tidak diterima, dan pohon itu dianggap termasuk dalam gadai.
Jika ada klaim bahwa pohon tersebut adalah hasil tanam manual (bukan tumbuh alami), ahli kembali dimintai pendapat. Jika memungkinkan, pohon itu dianggap di luar gadai. Jika tidak, tetap termasuk dalam gadai. Untuk bangunan yang diperselisihkan, jika waktu yang telah berlalu memungkinkan pembangunan sebagian, maka bagian yang tidak mungkin dibangun dalam waktu tersebut dianggap termasuk dalam gadai, sedangkan bagian yang mungkin dibangun dianggap di luar gadai. Misalnya, tembok setinggi 10 hasta: jika hanya 1 hasta yang mungkin dibangun sebelum gadai, sisanya dianggap setelah gadai.
Jika pohon kecil digadaikan lalu tumbuh besar, statusnya tetap sebagai gadai karena objek gadai adalah pohon itu sendiri. Demikian pula jika buah kecil digadaikan lalu matang. Jika tanah dan pohon kurma yang digadaikan rusak atau sumber airnya hilang, pemberi gadai tidak wajib memperbaikinya, dan penerima gadai juga tidak boleh memperbaikinya dengan menuntut ganti rugi—baik pemberi gadai ada atau tidak. Jika penerima gadai memperbaikinya, itu dianggap sebagai tindakan sukarela. Jika perbaikan justru menimbulkan kerusakan, penerima gadai bertanggung jawab atas kerusakan tersebut karena dianggap melampaui batas.
Jika budak atau hamba sahaya digadaikan, lalu pemberi gadai tidak ada atau sakit, penerima gadai yang menanggung biaya hidup mereka dianggap bersukarela. Biaya itu tidak dapat ditagih kecuali melalui keputusan hakim yang memutuskan utang atas pemberi gadai. Sebab, makhluk hidup tidak boleh dibiarkan mati tanpa hak. Namun, benda mati seperti tanah dan tanaman tidak masalah dibiarkan rusak. Hewan ternak yang digadaikan, jika biasanya diberi makan, wajib diberi makan. Jika hewan itu digembalakan, tidak wajib diberi makan karena memang begitulah cara pemeliharaannya.
Jika hewan kurban yang digadaikan kurus dan hak gadai sudah jatuh tempo, penerima gadai boleh memaksa pemberi gadai menjualnya. Jika hak gadai belum jatuh tempo, penerima gadai tidak boleh memaksa pemberi gadai menyembelih dan menjual daging serta kulitnya, karena Allah mungkin menurunkan hujan yang memperbaiki kondisi hewan tersebut. Jika hewan terkena penyakit seperti kudis, pemberi gadai tidak wajib mengobatinya karena penyakit itu bisa sembuh sendiri. Jika daerahnya mengalami kekeringan yang membahayakan hewan, pemilik wajib memindahkannya ke tempat lain jika memungkinkan.
Karena ia hanya diambil untuk digembalakan. Jika berada di tempatnya dan terlindungi oleh semak yang menahannya, atau jika penggembalaan lebih baik baginya, pemiliknya tidak diwajibkan untuk menggembalakannya, sebab hewan itu tidak akan binasa selama ada perlindungan. Namun, jika ternak itu berupa unta, kambing, atau sapi yang digembalakan di tempatnya, lalu peminjam meminta penggada untuk menggembalakannya di tempat lain, hal itu tidak menjadi kewajiban penggada, karena penyakit bisa datang bukan dari padang rumput. Jika padang rumput tersedia, tidak ada kewajiban untuk menggantinya, begitu pula dengan air. Jika tidak tersedia, penggada wajib menggembalakannya jika mampu, kecuali jika ia secara sukarela memberinya pakan.
Jika seseorang menggadaikan budak dan mensyaratkan hartanya sebagai gadai, maka budak itu statusnya sebagai gadai, harta yang telah diterima sebagai gadai, dan yang belum diterima tidak termasuk dalam gadai.
[Jaminan Gadai]
(Imam Syafi’i —rahimahullah— berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ibnu Syihab dari Ibnu Musayyab bahwa Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wasallam— bersabda: *”Gadai tidak tertutup dari pemiliknya yang menggadaikannya; baginya manfaatnya dan baginya pula kerugiannya.”* (Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang terpercaya dari Yahya bin Abi Anisah dari Ibnu Syihab dari Ibnu Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi —shallallahu ‘alaihi wasallam— dengan hadis serupa atau makna yang tidak bertentangan.
(Imam Syafi’i berkata): Kami berpegang pada hal ini, dan di dalamnya terdapat dalil bahwa segala sesuatu yang digadaikan tidak menjadi tanggungan penerima gadai, karena Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wasallam— bersabda: *”Gadai adalah milik pemilik yang menggadaikannya, sehingga jika terjadi sesuatu, tanggungannya ada pada pemilik, bukan pada orang lain.”* Kemudian beliau menegaskan lagi dengan sabdanya: *”Baginya manfaatnya dan baginya pula kerugiannya.”* Manfaatnya adalah keselamatan dan pertambahannya, sedangkan kerugiannya adalah kerusakan dan berkurangnya. Maka tidak boleh kecuali tanggungan itu ada pada pemiliknya, bukan pada penerima gadai.
Tidakkah engkau melihat, seandainya seseorang menggadaikan cincin senilai satu dirham kepada orang lain, lalu cincin itu rusak? Barangsiapa berpendapat bahwa dirham penerima gadai hilang bersama cincin, berarti ia beranggapan bahwa kerugiannya ditanggung oleh penerima gadai, karena dirhamnya hilang bersamanya. Sementara penggadai bebas dari tanggungan, karena ia telah menerima pembayaran dari penerima gadai dan tidak menanggung kerugian apa pun. Ini bertentangan dengan hadis Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wasallam— dan firman Allah —Subhanahu wa Ta’ala— *”Gadai tidak tertutup”*, yakni penerima gadai tidak berhak menahan hak penggadai saat jatuh tempo, tidak berhak memanfaatkan jasa atau manfaat dari gadai tersebut, karena manfaatnya tetap milik penggadai. Sebab Nabi —shallallahu ‘alaihi wasallam— bersabda: *”Ia milik pemilik yang menggadaikannya.”* Manfaatnya termasuk keuntungannya.
Jika Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wasallam— tidak membedakan antara satu gadai dengan lainnya, maka tidak boleh ada sebagian gadai yang ditanggung dan sebagian yang tidak. Sebab segala sesuatu tidak lepas dari status amanah atau hukum yang serupa. Kerusakan yang tampak maupun tersembunyi dari amanah dianggap sama, atau semuanya ditanggung. Kerusakan yang tampak maupun tersembunyi dari tanggungan juga dianggap sama.
Seandainya tidak ada hadis tentang gadai, maka berdasarkan qiyas, gadai tidak ditanggung, karena pemiliknya menyerahkannya tanpa paksaan dan memberikan hak kepada penerima gadai untuk menahannya. Penerima gadai tidak boleh mengeluarkannya dari tangannya sampai haknya dilunasi. Tidak ada alasan untuk menanggungnya, karena yang ditanggung hanya jika terjadi pelampauan batas, seperti perampasan, penjualan tanpa izin, tidak menyerahkan ketika diminta, atau meminjamkan manfaatnya kepada selain pemiliknya sehingga harus menanggungnya seperti utang. Sedangkan gadai tidak termasuk dalam makna-makna ini.
Jika seseorang menggadaikan sesuatu kepada orang lain, lalu penerima gadai menerimanya, kemudian gadai itu rusak di tangannya, maka tidak ada tanggungan, dan hak tetap berlaku seperti sebelum gadai. (Imam Syafi’i berkata): Penerima gadai atau pihak yang memegang gadai tidak menanggung apa pun kecuali jika melampaui batas, seperti dalam kasus titipan atau amanah. Jika mereka melampaui batas, maka mereka menanggung; jika tidak, gadai statusnya seperti amanah.
Jika penggadai menyerahkan gadai kepada penerima gadai, lalu memintanya kembali, tetapi penerima gadai menolak dan gadai itu rusak di tangannya, maka ia tidak menanggung apa pun, karena itu adalah haknya. Jika penggadai melunasi hak penerima gadai atau mengalihkannya kepada pihak lain dengan keridhaan…
Penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Hak Gadai dengan Pemindahan Hutang atau Pelepasan Hak Gadai
Jika penerima gadai (murtahin) telah melepaskan hak gadainya dengan cara apa pun, lalu pemberi gadai (rahin) meminta barang gadaiannya tetapi penerima gadai menahannya padahal ia mampu menyerahkannya, kemudian barang gadai itu rusak di tangan penerima gadai, maka penerima gadai wajib mengganti nilai barang gadai tersebut berapa pun harganya. Kecuali jika barang gadai tersebut berupa takaran atau timbangan yang masih ada sejenisnya di pasaran, maka ia hanya wajib mengganti dengan barang yang serupa yang telah rusak di tangannya, karena ia telah melampaui batas dengan menahan barang tersebut.
Jika pemilik barang gadai (rahin) menyewakannya, lalu penerima gadai meminta untuk mengambilnya dari penyewa dan mengembalikannya kepada pemilik, tetapi ia tidak bisa melakukannya, atau barang gadai tersebut hilang tanpa sepengetahuan penerima gadai, kemudian barang itu rusak setelah pemberi gadai dibebaskan dari hutang dan sebelum penerima gadai sempat mengembalikannya, maka penerima gadai tidak wajib mengganti.
Demikian pula jika barang gadai berupa budak yang melarikan diri atau unta yang kabur, kemudian pemberi gadai dibebaskan dari hutang, penerima gadai tidak wajib mengganti karena ia tidak menahan dan masih mungkin mengembalikannya. Baik dalam gadai yang sah maupun yang rusak, statusnya sama-sama tidak wajib diganti, sebagaimana dalam qiradh (mudharabah) yang sah dan rusak juga sama-sama tidak wajib diganti.
Jika pemberi gadai mensyaratkan kepada penerima gadai bahwa ia bertanggung jawab atas kerusakan barang gadai, maka syarat tersebut batal, sebagaimana jika ia mensyaratkan hal serupa dalam qiradh atau titipan, syarat itu juga batal. Jika pemberi gadai menyerahkan barang gadai dengan syarat penerima gadai bertanggung jawab atas kerusakannya, maka akad gadai tersebut rusak (fasid), dan penerima gadai tidak wajib mengganti jika barang itu rusak. Demikian juga jika ia melakukan qiradh dengan syarat pihak pengelola (mudharib) bertanggung jawab atas kerugian, maka akad qiradh tersebut rusak dan tidak wajib mengganti.
Jika seseorang menggadaikan barang dengan syarat bahwa jika ia tidak melunasi hutang pada waktu tertentu, penerima gadai berhak menjual barang tersebut, maka akad gadai tersebut rusak, dan barang tetap milik pemberi gadai. Demikian juga jika ia menggadaikan rumah senilai seribu dengan syarat bahwa pihak ketiga akan menggadaikan rumahnya jika rumah si fulan tidak cukup menutupi hutang atau terjadi kerusakan yang mengurangi nilai hutang, karena rumah kedua kadang statusnya sebagai gadai, kadang tidak, dan digadaikan untuk sesuatu yang tidak jelas, sehingga akad gadai tersebut rusak karena ada tambahan syarat yang tidak sah.
Jika seseorang menggadaikan rumahnya senilai seribu dengan syarat penerima gadai menjamin rumahnya jika terjadi kerusakan, maka akad gadai tersebut rusak karena pemberi gadai hanya menerima gadai dengan syarat barangnya dijamin. Jika rumah tersebut rusak, penerima gadai tidak wajib mengganti apa pun.
Pelampauan Batas dalam Gadai (At-Ta’addi fi Ar-Rahn)
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyerahkan barang sebagai gadai kepada orang lain, penerima gadai tidak boleh memindahkan barang tersebut dari daerah tempat barang itu digadaikan kecuali dengan izin pemilik barang. Jika ia memindahkannya tanpa izin dan barang itu rusak, ia wajib mengganti nilainya pada hari pemindahan, karena saat itu ia telah melampaui batas. Setelah nilai barang diambil darinya, pemilik barang boleh memilih antara menjadikannya sebagai pelunasan hutang atau tetap sebagai gadai hingga jatuh tempo.
Jika penerima gadai memindahkan barang dari daerah tersebut lalu mengembalikannya kepada pemilik sebelum akad gadai dibatalkan, ia terbebas dari tanggungan dan berhak menerimanya kembali sebagai gadai. Jika pemilik barang berkata, “Aku menyerahkannya kepadamu sebagai amanah, tetapi kepercayaanmu telah berubah karena pelampauan batas dengan memindahkannya, maka aku menariknya dari gadai,” ia tidak berhak melakukannya. Namun, jika ia ingin menyerahkannya kepada pihak ketiga yang disepakati bersama, hal itu boleh dilakukan kecuali jika penerima gadai memilih untuk tetap menahannya.
Hal yang sama berlaku jika penerima gadai tidak melampaui batas tetapi keadaannya berubah dari saat akad, seperti karena masalah keuangan atau kebangkrutan. Jika dalam kondisi seperti ini penerima gadai menolak untuk menyerahkan barang kepada pihak ketiga yang adil, ia bisa dipaksa melakukannya jika pemberi gadai tidak mau barang tetap di tangannya.
Jika penerima gadai tidak berubah keadaannya, baik karena pelampauan batas maupun hal lain yang mengurangi kepercayaan, dan pemberi gadai meminta barang dikeluarkan dari tangannya, permintaan tersebut tidak boleh dipenuhi. Demikian juga jika seseorang dititipkan barang gadai lalu keadaannya berubah sehingga mengurangi kepercayaan, maka pihak mana pun yang meminta agar barang dikeluarkan dari tangannya berhak melakukannya—baik pemberi gadai karena itu adalah miliknya, maupun penerima gadai karena itu adalah jaminan hutangnya. Jika keadaannya tidak berubah dan salah satu pihak meminta pengeluaran barang, hal itu tidak boleh kecuali jika kedua belah pihak sepakat.
Jika mereka sepakat mengeluarkan barang dari tangan penerima gadai dan melakukannya, kemudian pemilik barang ingin membatalkan gadai atau penerima gadai ingin mengambilnya kembali, hal itu tidak boleh dilakukan meskipun penerima gadai masih terpercaya, karena pemberi gadai tidak lagi menerima kepercayaannya. Jika mereka sepakat menyerahkan barang kepada orang tertentu, maka itu boleh dilakukan.
atau dua orang atau seorang wanita, maka mereka berdua memiliki hak untuk menempatkannya di tangan orang yang mereka sepakati. Jika mereka berselisih mengenai orang yang akan ditunjuk, dikatakan kepada mereka, “Bersepakatlah.” Jika mereka tidak melakukannya, hakim memilih orang yang lebih baik dari antara yang diajukan oleh masing-masing pihak, asalkan orang tersebut terpercaya, lalu menyerahkannya kepadanya. Jika tidak ada satupun dari yang diajukan terpercaya, dikatakan, “Ajukan orang lain.” Jika mereka tidak melakukannya, hakim memilih orang terpercaya untuknya dan menyerahkannya kepadanya.
Jika pihak adil yang memegang gadai (bukan pemberi gadai atau penerima gadai) ingin mengembalikannya tanpa alasan atau dengan alasan, sementara penerima gadai dan pemberi gadai hadir, maka ia boleh melakukannya dan tidak boleh dipaksa untuk menahannya. Jika keduanya atau salah satunya tidak hadir, ia tidak boleh mengeluarkannya dari tangannya sendiri. Jika ia melakukannya tanpa perintah hakim dan barang itu rusak, ia bertanggung jawab. Jika hakim datang dan ia memiliki alasan (seperti bepergian, kesibukan, atau sakit, meskipun ia menetap), hakim boleh memerintahkannya untuk mengeluarkannya. Jika tidak ada alasan, hakim memerintahkannya untuk menahannya jika keduanya dekat hingga mereka datang atau menunjuk wakil. Jika mereka jauh, hakim tidak wajib memaksanya untuk menahannya.
Ini adalah perwakilan tanpa manfaat baginya, dan ia diminta untuk melakukannya. Jika ia rela menahannya, silakan; jika tidak, ia boleh menyerahkannya kepada pihak adil atau lainnya. Jika pihak adil yang memegang gadai melampaui batas dalam hal gadai, atau penerima gadai melampaui batas, keduanya bertanggung jawab sebagaimana penerima gadai bertanggung jawab jika melampaui batas. Jika ia melampaui batas dan mengeluarkan gadai sehingga rusak, ia bertanggung jawab. Jika penerima gadai melampaui batas sementara gadai ada di tangan pihak adil, ia bertanggung jawab hingga mengembalikannya ke tangan pihak adil. Setelah dikembalikan, ia terbebas dari tanggung jawab, seperti jika mengembalikannya kepada pemberi gadai, karena pihak adil adalah wakil pemberi gadai.
Jika pihak yang memegang gadai meminjamkannya dan barang itu rusak, ia bertanggung jawab karena melampaui batas. Nilainya ditentukan berdasarkan ucapannya disertai sumpah. Jika ia mengatakan, “Gadai itu adalah mutiara murni dengan berat sekian dan nilai sekian,” maka dinilai dengan harga terendah untuk mutiara dengan sifat tersebut. Jika klaimnya sesuai atau lebih tinggi, ucapannya diterima. Jika klaimnya tidak sesuai, ucapannya ditolak, dan nilai ditentukan berdasarkan harga terendah untuk sifat tersebut, dan ia harus membayar disertai sumpah.
Demikian juga, jika ia meninggal dan mewasiatkan gadai kepada orang lain, salah satu dari mereka boleh mengeluarkannya karena mereka telah menyetujui kepercayaannya dan tidak bersepakat untuk mempercayai orang lain. Jika orang yang ditunjuk tidak hadir atau meninggal, dan ia terpercaya, mereka boleh bersepakat atau hakim menunjuk orang terpercaya seperti yang dijelaskan. Jika penerima gadai meninggal dan ahli warisnya sudah dewasa, mereka menggantikan posisinya. Jika ada anak kecil, wali menggantikannya. Jika tidak ada wali terpercaya, hakim menggantikan posisinya untuk menyerahkan gadai ke tangan orang terpercaya.
[Penjualan Gadai dan Siapa yang Memegang Gadai]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain dengan syarat bahwa jika haknya jatuh tempo ia boleh menjualnya, ia tidak boleh menjualnya kecuali dengan kehadiran pemilik budak atau wakilnya. Ia tidak boleh menjadi wakil penjual untuk dirinya sendiri. Jika ia menjual untuk dirinya sendiri, penjualan itu batal dalam segala kondisi. Ia harus mendatangi hakim agar hakim memerintahkan seseorang untuk menjual dan menghadirkannya. Hakim wajib memerintahkan pemilik budak untuk menjual jika terbukti dengan saksi. Jika pemilik menolak, hakim memerintahkan orang lain untuk menjual atas namanya.
Jika hutang memiliki jatuh tempo dan pihak yang memegang gadai melampaui batas dengan menjualnya sebelum jatuh tempo, penjualan itu batal, dan ia bertanggung jawab atas nilainya jika barang hilang. Hutang tidak menjadi jatuh tempo hanya karena penjual adalah penerima gadai atau pihak adil yang memegang gadai. Hak yang tertunda tidak menjadi jatuh tempo karena pelampauan batas oleh penjual. Demikian juga jika ia melampaui batas atas perintah pemberi gadai.
Jika gadai berada di tangan pihak adil yang tidak memiliki hak atas harta dan diwakilkan oleh pemberi gadai serta penerima gadai untuk menjualnya, ia boleh menjualnya selama keduanya tidak membatalkan perwakilan. Jika salah satu membatalkan perwakilan, ia tidak boleh menjual setelah pembatalan. Penjualan oleh hakim atas pemberi gadai diperbolehkan jika diminta oleh penerima gadai.
Jika pihak yang memegang gadai menjual dengan izin pemberi gadai, penerima gadai, dan hakim, tetapi dengan harga yang tidak wajar menurut standar orang berpengalaman, penjualan itu batal. Demikian juga jika hakim menjual dengan cara seperti itu, penjualannya batal. Jika dijual dengan harga wajar sesuai izin pemberi dan penerima gadai, penjualan itu sah meskipun ada harga yang lebih tinggi. Jika dijual dengan harga yang diperbolehkan dan belum final, hingga datang…
Menambah harga sebelum kenaikan dan membatalkan penjualan. Jika tidak dilakukan, maka penjualannya dianggap batal karena ia telah menjual sesuatu yang ternyata ada lebih banyak, dan pembeli berhak membatalkannya.
Apabila hak telah jatuh tempo dan peminjam meminta agar jaminan dijual, tetapi pemberi pinjaman menolak, atau sebaliknya, maka hakim memerintahkan untuk menjualnya. Jika keduanya menolak, hakim menunjuk dua orang yang adil untuk melakukan penjualan. Jika hakim memerintahkan orang yang adil untuk menjual, atau jika jaminan berada di tangan selain pemberi pinjaman dan dijual atas perintah peminjam dan pemberi pinjaman, lalu harganya hilang, penjual tidak menanggung kerugian atas harga yang hilang di tangannya.
Jika pihak yang ditunjuk untuk menjual meminta upah atas jasanya, ia tidak berhak kecuali ada syarat sebelumnya, karena ia melakukan hal itu secara sukarela, baik ia termasuk orang yang biasa melakukannya atau tidak. Hakim tidak berhak memberikan upah kepada orang lain jika ia menemukan orang yang adil untuk menjual secara sukarela. Jika ia adil dalam penjualannya dan memanggil peminjam serta pemberi pinjaman dengan adil, siapa pun yang datang dengan adil dan bersedia menjual jaminan, ia diperintahkan untuk menjualnya dan menanggung biayanya. Jika tidak menemukan orang yang bersedia, ia boleh menyewa seseorang untuk menjual jaminan dan memasukkan upahnya ke dalam harga jaminan karena itu termasuk perbaikan jaminan, kecuali jika peminjam atau pemberi pinjaman bersedia melakukannya secara sukarela.
Jika penjual melampaui batas dengan menahan harga setelah menerimanya atau menjualnya dengan pembayaran hutang lalu pembeli kabur atau semacamnya, ia harus menanggung nilai jaminan. Abu Ya’qub dan Abu Muhammad berkata: “Dalam kasus menahan harga, ia harus membayar semisalnya, dan dalam penjualan dengan hutang, ia harus membayar nilainya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika jaminan dijual, pemberi pinjaman lebih berhak atas harganya hingga haknya terpenuhi. Jika harganya tidak mencukupi, para kreditur peminjam menuntut sisa hartanya yang tidak dijaminkan. Jika ia ingin membagi dengan mereka sebelum jaminannya dijual, itu tidak diperbolehkan. Hartanya ditahan hingga jaminannya dijual, lalu mereka membagi kelebihan dari jaminannya. Jika jaminannya rusak sebelum dijual atau harganya hilang sebelum diterima, mereka menuntut seluruh jaminannya.”
Jika jaminan dijual kepada seseorang lalu harganya hilang, harganya tetap menjadi tanggungan peminjam hingga pemberi pinjaman menerimanya.
Demikian pula jika harta milik kreditur dijual atas permintaan mereka, lalu ditahan untuk dibagi, kemudian rusak, kerugiannya ditanggung oleh pihak yang hartanya dijual, bukan krediturnya. Harganya tetap menjadi milik pihak yang dijual hingga krediturnya menerima hak mereka.
Jika seseorang menggadaikan rumah senilai seribu, lalu peminjam meninggal, dan pemberi pinjaman meminta penjualannya, hakim memerintahkan untuk menjualnya. Jika rumah itu dijual kepada seseorang seharga seribu, lalu uangnya hilang di tangan orang adil yang ditunjuk hakim, kemudian seseorang mengklaim rumah itu sebagai milik almarhum, maka hakim dan orang adil tidak menanggung kerugian atas uang yang hilang di tangannya karena ia adalah pihak yang dipercaya. Pemilik sah rumah mengambil alih rumah, dan seribu milik pemberi pinjaman tetap menjadi hutang peminjam yang akan ditagih jika ada harta. Demikian pula seribu milik pembeli menjadi hutang peminjam karena ia membayar untuk harta yang tidak diserahkan. Jika peminjam memiliki harta, pembeli berhak menagihnya. Tanggung jawab tetap pada almarhum yang rumahnya dijual, baik ia tidak memiliki harta selain rumah atau kaya, karena tanggung jawabnya sama seperti jika ia menjual untuk dirinya sendiri. Pembeli jaminan atas perintahnya tidak memiliki tanggung jawab.
(Asy-Syafi’i berkata): “Penjualan properti, tanah, hewan, dan jaminan lainnya sama saja. Jika peminjam dan pemberi pinjaman menyerahkan penjualan kepada orang adil yang tidak memiliki hak atas jaminan, ia boleh menjual tanpa perintah penguasa.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Untuk properti dan tanah, lebih baik menunggu kenaikan harga lebih lama dibanding barang lain. Jika tidak menunggu dan menjual dengan harga yang wajar, penjualannya sah. Jika menjual dengan harga tidak wajar, tidak sah. Demikian pula jika menunggu lalu menjual dengan harga tidak wajar, tidak sah. Jika menjual dengan harga wajar, sah karena ia telah memanfaatkan kesempatan dengan cepat. Namun, menunggu lebih disukai dalam segala hal kecuali untuk hewan dan barang yang mudah rusak.”
Adapun hewan dan makanan segar, tidak perlu ditunda penjualannya.
Jika orang adil yang ditunjuk untuk menjual jaminan mengatakan, “Aku telah menyerahkan harganya kepada pemberi pinjaman,” tetapi pemberi pinjaman mengingkarinya, maka perkataan pemberi pinjaman yang dianggap benar, dan penjual harus membuktikan penyerahannya. Jika ia menjual lalu mengatakan, “Harga itu hilang di tanganku,” perkataannya diterima dalam hal yang tidak terkait klaim penyerahan.
Jika diperintahkan untuk menjual tanpa syarat tertentu, lalu ia menjual dengan pembayaran hutang dan hutang itu hilang, ia menanggungnya karena melampaui batas dalam penjualan. Demikian pula jika diperintahkan menjual dengan dirham tetapi ia menjual dengan dinar, atau sebaliknya, lalu harganya hilang, ia menanggungnya. Jika tidak hilang, penjualannya batal karena termasuk penjualan yang melampaui batas, dan seseorang tidak boleh menguasai harta orang lain dengan cara yang salah.
Jika peminjam dan pemberi pinjaman berselisih, peminjam meminta dijual dengan dinar, sedangkan pemberi pinjaman meminta dengan dirham, maka… (terjemahan dilanjutkan sesuai konteks lengkap).
Dia tidak boleh menjual dengan salah satu dari keduanya karena hak pemegang gadai dalam harga gadai dan hak penggadai dalam kepemilikan serta harganya. Hakim kemudian datang dan memerintahkannya untuk menjual dengan mata uang setempat, lalu menggunakannya untuk tujuan gadai tersebut, baik berupa dinar atau dirham. Jika dia menjual setelah terjadi perselisihan dengan menggunakan mata uang gadai, dia bertanggung jawab, dan penjualannya batal karena keduanya memiliki hak dalam gadai tersebut.
Jika dia menjual sesuai perintah awal dan tidak ada perselisihan setelahnya dengan mata uang yang sesuai hak, maka penjualannya sah. Jika dia mengirim gadai ke suatu negeri dan menjualnya di sana serta menerima harganya, penjualannya sah, tetapi dia bertanggung jawab jika harganya hilang. Penjualan diizinkan karena tidak melampaui batas dalam penjualan, melainkan dalam mengeluarkan barang yang dijual, seperti seseorang yang menjual budak dan mengeluarkan harganya. Penjualan sah dengan izin tuannya, tetapi dia bertanggung jawab atas harganya jika mengeluarkannya tanpa perintah tuannya.
[Dua Orang Menggadaikan Satu Barang]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika dua orang menggadaikan seorang budak kepada seseorang, dan penerima gadai menerimanya dari keduanya, maka gadai itu sah. Jika mereka menggadaikannya bersama-sama, lalu salah satunya menyerahkan budak tersebut sedangkan yang lain tidak, maka separuh yang diserahkan tergadai dan separuh yang tidak diserahkan tidak tergadai hingga diserahkan. Jika sudah diserahkan, maka menjadi tergadai. Jika penerima gadai membebaskan haknya atau menuntutnya dari salah satu penggadai, separuh yang dibebaskan dari hak tersebut keluar dari gadai, sedangkan separuh sisanya tetap tergadai hingga penggadainya dibebaskan dari hak terkait. Hal ini berlaku untuk segala sesuatu yang mereka gadai bersama, baik budak, hamba sahaya, barang, atau lainnya.
Jika mereka menggadaikan dua budak dalam satu akad gadai, hukumnya sama seperti satu budak. Jika kedua penggadai sepakat bahwa satu budak menjadi gadai untuk salah satunya dan budak lainnya untuk yang lain, lalu salah satunya melunasi dan meminta budak yang menjadi bagiannya dibebaskan, hal itu tidak diperbolehkan. Separuh dari masing-masing budak keluar dari gadai, dan separuh lainnya tetap tergadai karena mereka menyerahkan gadai dalam satu kesepakatan. Masing-masing dari dua gadai tersebut separuhnya tergadai untuk masing-masing penggadai, sehingga mereka tidak boleh membaginya atau mengalihkan hak mereka dari separuh satu budak ke yang lain.
Jika masing-masing menggadaikan satu budak secara terpisah, lalu mereka bertukar budak tersebut—sehingga budak yang digadaikan oleh Abdullah menjadi milik Zaid, dan budak yang digadaikan oleh Zaid menjadi milik Abdullah—lalu Abdullah melunasi dan meminta budaknya yang digadaikan oleh Zaid dibebaskan karena sekarang menjadi miliknya, hal itu tidak diperbolehkan. Budak Abdullah yang digadaikan dan menjadi milik Zaid keluar dari gadai, sedangkan budak Zaid yang menjadi milik Abdullah tetap tergadai hingga Zaid membebaskannya. Karena Zaid yang menggadaikannya dan memilikinya, maka budak itu tidak keluar dari gadai Zaid hingga Zaid membebaskannya atau dibebaskan dari hak terkait.
Jika dua budak dimiliki bersama oleh dua orang dan mereka menggadaikannya kepada seseorang, lalu mereka berkata, “Mubarak sebagai gadai dari Muhammad, dan Maimun sebagai gadai dari Abdullah,” maka sesuai dengan perkataan mereka. Siapa pun yang melunasi, budak yang digadaikan atas namanya dibebaskan, dan tidak ada bagian lain yang dibebaskan untuknya.
Jika kondisi masalah sama tetapi ditambah syarat bahwa siapa pun yang melunasi lebih dulu berhak membebaskan separuh dari kedua budak atau memilih salah satu budak yang ingin dibebaskan, maka gadai tersebut batal. Karena masing-masing tidak menjadikan haknya murni pada gadainya tanpa melibatkan gadai rekannya, sehingga setiap gadai terkait syarat rekannya—terkadang tergadai sepenuhnya dan terkadang keluar dari gadai tanpa pembebasan hak dari penggadai.
Jika kondisi masalah sama, tetapi kedua penggadai mensyaratkan bahwa jika salah satu melunasi kewajibannya, gadainya tidak dibebaskan hingga yang lain juga melunasi, maka syarat tersebut batil. Karena seharusnya gadai keluar jika tidak ada hak orang lain di dalamnya, dan tidak boleh tergadai kecuali dengan ketentuan yang jelas, bukan dengan ketentuan yang tidak pasti. Syarat yang membuatnya terkadang tergadai dengan ketidakpastian dan risiko membuatnya terkadang keluar dari gadai jika keduanya melunasi, tetapi tidak keluar jika salah satu belum melunasi tanpa tahu sisa kewajiban yang lain, padahal awalnya gadai tersebut terpisah.
Jika kondisi masalah sama, lalu mereka mensyaratkan bahwa jika salah satu melunasi kewajibannya tanpa kewajiban rekannya, maka dia keluar… *(terputus)*
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Hipotek Bersama dan Sisa Uang yang Tidak Dijadikan Jaminan
Jika dua orang menggadaikan sesuatu bersama, dan sebagian uang yang tersisa tidak dijadikan jaminan, maka gadai tersebut batal. Sebab, dalam kondisi ini, satu bagian menjadi jaminan sementara bagian lainnya tidak, tanpa penjelasan yang jelas. Hal ini karena tidak diketahui mana yang akan dipenuhi dan mana yang masih menjadi tanggungan hutang.
Contohnya, jika seseorang menggadaikan seorang budak kepada orang lain selama satu tahun dengan syarat bahwa jika hutang dilunasi dalam satu tahun, budak tersebut bebas dari gadai. Jika tidak, budak itu tetap menjadi jaminan, maka gadai tersebut batal. Demikian pula jika seseorang menggadaikan budak dengan syarat bahwa jika hutang dibayar pada waktu yang ditentukan, budak bebas dari gadai. Jika tidak, budak tersebut keluar dari jaminan dan rumahnya dijadikan jaminan, padahal rumah itu bukan bagian dari gadai. Maka, gadai atas budak tersebut batal karena ia masuk dan keluar dari jaminan tanpa pembebasan dari hutang yang terkait.
Jika seseorang menggadaikan sesuatu dengan syarat bahwa jika hutang dibayar, jaminan bebas. Jika tidak, jaminan itu boleh dijual, maka gadai tersebut batal. Sebab, ada syarat bahwa jaminan berstatus gadai dalam satu kondisi dan boleh dijual dalam kondisi lain.
Gadai Satu Benda oleh Dua Orang
(Imam Syafi’i –rahimahullah– berkata): Jika seseorang menggadaikan seorang budak kepada dua orang dengan nilai seratus, maka separuhnya menjadi jaminan masing-masing senilai lima puluh. Jika salah satunya membayar lima puluh, maka itu menjadi haknya, bukan rekan pemegang gadai lainnya. Separuh budak yang menjadi jaminan dari salah satu pemegang gadai bebas dari jaminan.
Demikian pula jika pemberi gadai membebaskan haknya, pembebasan itu hanya berlaku untuk dirinya, bukan rekan pemegang gadai lainnya. Separuh budak bebas dari jaminan, sementara separuhnya tetap menjadi jaminan.
Jika keduanya membayar lima puluh atau sembilan puluh bersama-sama, seluruh budak tetap menjadi jaminan sampai salah satu dari mereka melunasi seluruh haknya, sehingga bagiannya bebas dari jaminan. Atau jika keduanya melunasi bersama, maka seluruh hak mereka dibebaskan dari jaminan.
Perbedaan antara Dua Pemberi/Pemegang Gadai dengan Satu Orang
Dua orang yang menggadaikan atau menerima gadai berbeda dengan satu orang. Misalnya, dua orang membeli budak lalu menemukan cacat. Salah satu ingin mengembalikan karena cacat, sementara yang lain ingin mempertahankan pembelian. Maka, hal itu diperbolehkan bagi keduanya. Namun, jika pembelinya hanya satu orang dan ingin mengembalikan separuh budak sementara separuhnya dipertahankan, itu tidak diperbolehkan.
Gadai Budak antara Dua Orang
(Imam Syafi’i –rahimahullah– berkata): Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu mereka mengizinkan seseorang untuk menggadaikannya kepada dua orang lain senilai seratus, kemudian pemegang gadai menunjuk seorang wakil untuk menerima hak mereka. Jika pemberi gadai membayar lima puluh sebagai hak salah satu pemegang gadai, maka itu menjadi hak orang tersebut, dan separuh budak bebas dari jaminan. Sebab, masing-masing pemegang gadai memiliki separuh hak.
Hal yang sama berlaku jika pembayaran diberikan kepada salah satu pemegang gadai atau melalui wakil mereka. Jika wakil menerima pembayaran tanpa menyebutkan untuk siapa, lalu pemberi gadai mengatakan itu untuk salah satu pemegang gadai, maka itu menjadi hak orang tersebut.
Jika pemberi gadai berkata, “Ini pelunasan hutangku,” dan wakil belum menyerahkannya kepada siapa pun, lalu pemberi gadai memerintahkan untuk menyerahkan kepada salah satu pemegang gadai, maka itu menjadi hak orang yang ditunjuk.
Jika wakil menyerahkan pembayaran kepada kedua pemegang gadai, lalu pemberi gadai mengatakan itu untuk salah satu, maka pemegang gadai yang lain tidak berhak mengambil kembali uang yang telah diterimanya.
Hak Pemegang Gadai dalam Jual Beli
Jika pemegang gadai tahu bahwa budak itu milik dua orang dan gadai itu terkait dengan jual beli, ia tidak berhak membatalkan transaksi meskipun salah satu pemilik menebus haknya. Ini seperti jika dua orang menggadaikan budak, salah satunya boleh menebus tanpa persetujuan pemegang gadai.
Jika pemegang gadai tidak tahu bahwa budak itu milik dua orang, lalu pemberi gadai melunasi sebagian hutang, maka ada dua pendapat:
- Pemegang gadai berhak membatalkan jual beli.
- Tidak ada hak membatalkan.
Demikian terjemahan teks tersebut dalam Bahasa Indonesia.
Karena jika budak tidak dibebaskan kecuali sekaligus, itu lebih baik bagi penerima gadai. Pendapat lain: tidak ada pilihan baginya karena budak itu digadaikan seluruhnya. Wallahu a’lam.
[Gadai Dua Benda oleh Satu Orang]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang menggadaikan dua budak, atau seorang budak dan sebuah rumah, atau seorang budak dan barang-barang senilai seratus, lalu ia melunasi lima puluh dan ingin mengeluarkan dari gadai sesuatu yang nilainya kurang dari setengah atau setengahnya, hal itu tidak diperbolehkan. Ia tidak boleh mengeluarkan apa pun hingga melunasi seluruh hak penerima gadai. Demikian pula jika ia menggadai dinar, dirham, atau bahan makanan sejenis, lalu melunasi setengah haknya dan ingin mengeluarkan setengah bahan makanan, dinar, atau dirham, atau kurang dari itu, hal itu tidak diperbolehkan. Tidak ada yang bisa dibebaskan dari gadai kecuali sekaligus, karena pelunasan dipercepat untuk membebaskan seluruh gadai atau bagian yang dibutuhkan.
Jika dua orang bersama-sama menggadaikan barang-barang seperti budak, rumah, tanah, atau barang senilai seratus, lalu salah satunya melunasi bagiannya, dan penerima gadai serta orang yang belum melunasi ingin mengeluarkan seorang budak yang nilainya kurang dari setengah gadai, hal itu tidak diperbolehkan. Bagiannya tetap tergadai hingga penerima gadai mendapatkan haknya sepenuhnya. Bagian masing-masing dari apa yang digadaikan keluar dari gadai, yaitu bagian orang yang telah melunasi.
Jika yang digadaikan adalah dinar, dirham, atau bahan makanan sejenis, lalu salah satunya melunasi bagiannya dan ingin mengambil setengah gadai, sementara yang lain berkata, “Aku meninggalkan di tanganmu sama dengan apa yang kuambil tanpa penilaian,” maka itu diperbolehkan. Dua orang dalam gadai tidak sama dengan satu orang dalam hal ini. Jika mereka menggadaikan emas, perak, atau bahan makanan sejenis, lalu salah satunya melunasi dan rekannya setuju untuk membagi, penerima gadai wajib menyerahkannya karena bagiannya telah bebas dari gadai dan tidak ada kerumitan dalam bagiannya, sebab apa yang diambil sama dengan yang tersisa dan tidak perlu dinilai selainnya. Tidak boleh menahan gadai salah satunya jika haknya telah dilunasi sementara gadai lainnya belum.
[Izin Seseorang kepada Orang Lain untuk Menggadaikan atas Namanya]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memberi izin kepada orang lain untuk menggadaikan budaknya, tetapi tidak menyebutkan jumlah atau menyebut sesuatu lalu digadaikan dengan selainnya—bahkan jika nilainya lebih rendah—gadai itu tidak sah. Gadai hanya sah jika pemilik budak menyebutkan jumlah dan penggadai menggadaikannya sesuai yang disebutkan atau lebih rendah, sesuai izin. Misalnya, jika diizinkan menggadai seratus dinar tetapi digadaikan lima puluh dinar, itu boleh karena izin mencakup lima puluh atau lebih. Namun, jika digadaikan seratus satu dinar, gadai itu tidak sah. Demikian pula jika penerima gadai membatalkan haknya atas kelebihan seratus, gadai tetap tidak sah.
Jika diizinkan menggadai seratus dinar tetapi digadaikan seratus dirham, gadai tidak sah, seperti jika disuruh menjual seharga seratus dirham tetapi dijual seratus dinar atau seratus kambing, penjualan tidak sah karena penyimpangan. Jika penerima gadai berkata, “Aku mengizinkannya menggadai seratus dinar,” sementara pemilik budak berkata, “Aku hanya mengizinkan lima puluh dinar atau seratus dirham,” maka perkataan pemilik budak yang diterima dengan sumpah, dan gadai batal.
Jika diizinkan menggadai seratus dinar dengan tempo, tetapi pemilik budak berkata, “Aku hanya mengizinkan tunai,” maka perkataan pemilik budak yang diterima dengan sumpah, dan gadai batal. Demikian pula jika diizinkan menggadai hingga satu bulan tetapi digadaikan hingga satu bulan satu hari, gadai batal. Jika dikatakan, “Gadaikan sesukamu,” lalu digadaikan sesuai nilainya, lebih rendah, atau lebih tinggi, gadai batal karena gadai lebih mirip dengan tanggungan daripada jual beli. Izin diberikan untuk menjadikannya tanggungan, sehingga tidak boleh menanggung selain yang diketahui sebelumnya. Jika diizinkan menggadai seratus dinar untuk satu tahun, tetapi pemilik berkata, “Aku bermaksud menggadaikannya…”
Jika gadai dilakukan dengan tunai, maka gadai tersebut batal karena pemilik hak gadai dapat mengambilnya jika hak atas gadai berupa tunai dengan menebus gadai di tempatnya.
Demikian pula, jika seseorang menggadaikan barang dengan nilai seratus secara tunai dan berkata, “Aku mengizinkanmu untuk menggadaikannya dengan nilai seratus hingga waktu yang ditentukan,” maka perkataannya dianggap sah, dan gadai tersebut batal. Sebab, ia mungkin melunasi seratus untuk gadai setelah satu tahun, sehingga lebih mudah baginya daripada harus membayar tunai. Tidak diperbolehkan seseorang memberi izin kepada orang lain untuk menggadaikan budaknya tanpa menyebutkan nilai gadai dan tenggat waktunya.
Begitu juga jika seseorang berkata kepada orang lain, “Apa pun hak yang kamu miliki atas si Fulan, aku telah menggadaikan budak atau rumahku ini kepadamu,” maka gadai tersebut batal sampai diketahui hak apa yang dimilikinya atas si Fulan. Perkataannya selalu dianggap benar, dan dalam segala hal yang perkataannya dianggap sah, ia harus bersumpah.
Jika ia mengetahui haknya atas si Fulan dan berkata, “Ambillah hartaku sesukamu sebagai gadai,” lalu memberikan kuasa untuk mengambil apa pun yang diinginkan, maka gadai tersebut batal sampai jelas nilainya dan diterima setelah diketahui, bukan dengan pilihan berada di tangan penerima gadai.
Demikian pula, jika pemberi gadai berkata, “Aku telah menggadaikan hartaku sesukamu,” lalu penerima gadai mengambilnya. Tidakkah kamu lihat bahwa jika pemberi gadai berkata, “Aku bermaksud menggadaikan rumahku kepadamu,” sedangkan penerima gadai berkata, “Aku bermaksud menerima gadai budakmu,” atau pemberi gadai berkata, “Aku memilih menggadaikan budakku,” sedangkan penerima gadai berkata, “Aku memilih kamu menggadaikan rumahmu,” maka gadai tidak sah atas sesuatu yang mereka sepakati bersama.
Jika pemberi gadai berkata, “Aku bermaksud menggadaikan rumahku,” lalu penerima gadai menjawab, “Aku menerima apa yang kamu maksud,” rumah tersebut tidak sah sebagai gadai sampai mereka memperbarui kesepakatan dan penerima gadai menerimanya.
Jika seseorang mengizinkan orang lain untuk menggadaikan budaknya dengan nilai tertentu, tetapi penerima gadai belum menerimanya sebelum pemberi gadai membatalkan gadai, maka penerima gadai tidak boleh mengambilnya. Jika ia melakukannya, gadai tersebut batal.
(Imam Syafi’i berkata:) Jika seseorang mengizinkan dan menyerahkan gadai, lalu ingin membatalkannya, ia tidak boleh melakukannya. Jika pemberi izin ingin mengambil kembali gadai dengan menebusnya, dan hak tersebut harus dibayar tunai, ia dapat menuntut pemberi gadai dan menjual hartanya sampai melunasi hak kreditur. Namun, jika kreditur tidak mau menyerahkan gadai yang ada padanya, atau jika izin diberikan untuk menggadai hingga tenggat waktu tertentu, ia tidak boleh menuntut sebelum jatuh tempo. Setelah jatuh tempo, ia dapat melakukannya seperti dalam kasus pembayaran tunai.
[Izin untuk Melunasi atas Nama Pemberi Gadai]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata:) Jika seseorang melunasi utang tunai atau utang berjangka dengan izin, maka pemberi izin dapat menuntut pemberi gadai untuk membayar tunai. Namun, jika melunasinya tanpa izin, baik utang tunai maupun berjangka, ia dianggap sukarela melunasi dan tidak berhak menuntut pemberi gadai.
Jika terjadi perselisihan, di mana pemberi gadai berkata, “Kamu melunasi tanpa perintahku,” sedangkan pemberi izin gadai berkata, “Aku melunasi atas perintahmu,” maka perkataan pemberi gadai yang dilunasi lebih diutamakan. Sebab, dialah yang memiliki utang, dan pelunasan tanpa izin tidak mengikat kecuali dengan pengakuannya atau bukti yang sah.
Jika penerima gadai bersaksi bahwa pemilik budak yang memberi izin telah melunasi atas perintah pemberi gadai, kesaksiannya diterima jika tidak ada sisa utang. Ia juga harus bersumpah bersama kesaksiannya. Tidak ada kepentingan penerima gadai dalam hal ini yang membuat kesaksiannya ditolak.
Demikian pula jika masih ada sisa utang dan penerima gadai bersaksi bahwa pelunasan dilakukan dengan izin pemberi gadai, kesaksiannya tetap sah, sebagaimana makna sebelumnya.
Jika seseorang mengizinkan untuk menggadaikan budak tertentu, tetapi yang digadaikan adalah budak lain, lalu mereka berselisih—pemilik budak berkata, “Aku mengizinkanmu menggadaikan Salim, tetapi kamu menggadaikan Mubarak,” sedangkan pemberi gadai berkata, “Aku hanya menggadaikan Mubarak, dan itulah yang kamu izinkan,” maka perkataan pemilik budak lebih diutamakan, dan Mubarak tidak sah sebagai gadai.
Jika mereka sepakat bahwa izin diberikan untuk menggadaikan Salim dengan seratus tunai, tetapi pemilik budak berkata, “Aku memerintahkanmu menggadaikannya dari si Fulan, tetapi kamu menggadaikannya dari orang lain,” maka perkataan pemilik budak lebih diutamakan, dan gadai tersebut batal. Sebab, izin mungkin diberikan karena kepercayaan pada seseorang, bukan pada orang lain.
Demikian pula jika pemilik berkata, “Jual ini kepada si Fulan dengan seratus,” tetapi ia menjualnya kepada orang lain dengan seratus atau lebih, penjualan tersebut tidak sah karena izin hanya diberikan untuk pembeli tertentu.
Si seseorang menjual (budak tertentu) tanpa diizinkan untuk menjual yang lain.
Dan jika seorang laki-laki mengizinkan orang lain untuk menggadaikan budaknya (tertentu) kepada seseorang, lalu dia juga mengizinkan orang lain untuk menggadaikan budak yang sama, kemudian masing-masing dari mereka menggadaikannya secara terpisah, dan diketahui siapa yang lebih dulu menggadaikannya, maka gadai pertama sah dan yang kedua batal.
Jika kedua penerima gadai berselisih tentang siapa yang lebih dulu menerima gadai, dan salah satu berkata, “Gadai saya lebih dulu,” sementara yang lain juga mengatakan hal yang sama, dan masing-masing membenarkan atau mendustakan pihak lain—atau jika kedua pemberi izin gadai membenarkan salah satu dan mendustakan yang lain—maka perkataan dan kesaksian kedua pemberi izin tidak diterima dalam keadaan apa pun, karena mereka memiliki kepentingan pribadi dalam hal ini.
Adapun kepentingan mereka:
– Yang mengklaim gadainya sah berarti mengupayakan keabsahan jual beli atas dirinya sendiri, sehingga harga jual tetap dalam status gadai selama gadai itu berlaku, bukan pada hartanya yang lain.
– Sedangkan yang menolak keabsahan gadai pihak lain berarti mengklaim bahwa gadainya lebih akhir, sehingga pemilik gadai yang mengizinkannya berhak mengambilnya dengan menebus gadai, meskipun debitur meninggalkannya.
Jika pemilik budak yang digadaikan membenarkan salah satu dari dua pihak yang bersengketa, maka perkataannya yang diikuti, karena gadai adalah hartanya, dan dalam penggadaian terdapat kerugian baginya, bukan manfaat.
Jika pemilik budak tidak mengetahui dan tidak tahu gadai mana yang lebih dulu, maka tidak ada gadai yang sah atas budak tersebut.
Jika budak yang digadaikan berada dalam kepemilikan kedua pihak yang bersengketa, atau masing-masing mengajukan bukti bahwa budak itu pernah berada di tangannya, dan bukti-bukti tersebut tidak menunjukkan waktu yang membuktikan siapa yang lebih dulu memegang gadai, maka tidak ada gadai yang sah.
Namun, jika bukti menunjukkan waktu yang membedakan, maka gadai diakui untuk pihak yang lebih dulu memegangnya.
Jika salah satu penerima gadai meminta pihak lain bersumpah atas klaimnya, maka ia boleh memintanya bersumpah. Jika mereka meminta pemilik bersumpah, maka ia bersumpah berdasarkan pengetahuannya.
Tetapi jika mereka atau salah satunya meminta pemberi gadai bersumpah, maka ia tidak diharuskan bersumpah, karena jika ia mengakui atau mengklaim sesuatu, pengakuannya tidak mengikat, dan klaimnya tidak diterima.
Jika seseorang menggadaikan budaknya kepada dua orang dan mengakui kepada masing-masing bahwa ia menerima seluruh gadai, lalu masing-masing mengklaim bahwa gadai dan penerimaannya lebih dulu daripada pihak lain tanpa bukti, dan gadai tidak berada di tangan salah satunya, lalu pemberi gadai membenarkan salah satu klaim, maka perkataan pemberi gadai yang diikuti, dan tidak ada sumpah atas pihak yang mengklaim gadainya lebih akhir.
Jika ada bukti yang mendukung pihak yang dianggap pemberi gadai bahwa gadainya lebih akhir, padahal sebenarnya lebih dulu, maka bukti lebih diutamakan daripada perkataan pemberi gadai, dan pemberi gadai tidak wajib memberikan gadai lain atau nilai gadainya.
Jika pemberi gadai mengaku tidak tahu mana yang lebih dulu, lalu masing-masing diminta bersumpah, sementara ia mengaku tahu bahwa gadainya lebih dulu, maka ia harus bersumpah bahwa ia tidak tahu mana yang lebih dulu, dan gadai tersebut batal.
Demikian juga jika gadai berada di tangan kedua pihak bersamaan.
Jika gadai berada di tangan salah satu dan pemberi gadai membenarkan pihak yang tidak memegang gadai, maka ada dua pendapat:
- Perkataan pemberi gadai yang diikuti, terlepas dari apakah hak yang diakui lebih sedikit atau lebih banyak, karena tanggungannya tidak lepas dari hak pihak yang dianggap gadainya lebih akhir, dan kepemilikan gadai di tangan tidak berpengaruh karena gadai tidak dimiliki hanya dengan memegangnya.
- Perkataan pemegang gadai yang diikuti, karena ia memiliki hak gadai seperti penerima gadai lainnya.
[Risalah tentang Gadai]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata):
Jika seseorang menyerahkan barang kepada orang lain dan berkata, “Gadaikan ini kepada si Fulan,” lalu ia menggadaikannya, kemudian pemberi barang berkata, “Aku hanya memerintahkannya untuk menggadaikannya kepadamu dengan nilai sepuluh,” sementara penerima gadai berkata, “Ia datang membawa pesanmu agar aku memberimu pinjaman dua puluh, lalu aku memberikannya,” tetapi sang utusan mendustakannya, maka perkataan utusan dan pengirim yang diikuti, tanpa mempertimbangkan nilai gadai.
Jika utusan membenarkan penerima gadai dengan mengatakan, “Aku menerima dua puluh darimu dan menyerahkannya kepada pengirim,” tetapi pengirim mendustakannya, maka perkataan pengirim yang diikuti dengan sumpahnya bahwa ia hanya memerintahkan sepuluh dan tidak memberikan lebih dari itu. Dengan demikian, gadai hanya sah untuk sepuluh, dan utusan menanggung sepuluh yang ia akui.
Dengan menerima sepuluh yang diakui oleh pengirim telah diterima.
Jika seseorang menyerahkan pakaian kepada orang lain untuk digadaikan kepada seseorang, dan utusan berkata, “Aku diperintahkan untuk menggadaikan pakaian ini kepada si Fulan dengan sepuluh, maka aku menggadaikannya,” sedangkan pengirim berkata, “Aku memerintahkanmu untuk meminjam sepuluh dari si Fulan tanpa gadai dan tidak mengizinkanmu menggadaikan pakaian,” maka perkataan pemilik pakaian yang dipegang, dan sepuluh tersebut tetap menjadi tanggungannya.
Jika kasusnya tetap sama dan pengirim berkata, “Aku memerintahkamu untuk mengambil sepuluh sebagai pinjaman atas budakku si Fulan,” sedangkan utusan berkata, “Tidak, atas pakaianmu ini atau budakmu ini,” sementara budak yang disebut berbeda dari yang diakui pengirim, maka perkataan pengirim yang dipegang, dan sepuluh tersebut tetap menjadi tanggungannya. Tidak ada gadai atas apa yang digadaikan utusan atau yang diakui pengirim, karena tidak ada gadai kecuali jika diperbarui dalam hal gadai.
Jika kasusnya tetap sama dan orang yang diperintah menyerahkan pakaian atau budak yang diakui pengirim bahwa dia memerintahkan untuk menggadaikannya, maka budak itu tergadai, sedangkan pakaian yang diingkari pengirim bahwa dia memerintahkannya untuk digadaikan keluar dari status gadai.
Jika penerima gadai menghadirkan bukti bahwa pengirim memerintahkan untuk menggadaikan pakaian, sementara pengirim menghadirkan bukti bahwa dia memerintahkan untuk menggadaikan budak, bukan pakaian, dan orang yang diperintah tidak menggadaikan budak atau dia melarang menggadaikan pakaian, maka bukti penerima gadai yang diterima, dan aku membenarkan apa yang dia buktikan sebagai gadai. Sebab, jika aku menganggap kedua bukti itu benar secara bersamaan, satu tidak membatalkan yang lain. Bukti penerima gadai bahwa pemilik pakaian memaksa untuk menggadaikannya mungkin benar tanpa menyangkal bukti pemberi gadai bahwa dia melarang menggadaikannya atau memerintahkan untuk menggadaikan selainnya. Sebab, dia mungkin melarang menggadaikannya setelah sebelumnya mengizinkan dan menggadaikannya, maka gadai itu tidak batal. Atau dia melarang menggadaikannya sebelum digadaikan, lalu mengizinkannya, maka jika digadaikan, gadai itu tidak batal. Jadi, jika keduanya benar dalam kondisi tertentu, tidak diberlakukan hukum yang bertentangan yang mustahil kecuali salah satunya bohong.
[Syarat Jaminan Gadai]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata:) Jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain dengan seratus, dan gadai diserahkan kepada tangan seorang yang adil dengan syarat bahwa jika terjadi kerusakan pada barang gadai yang mengurangi nilainya dari seratus, atau barang gadai hilang atau rusak, maka seratus itu menjadi tanggungan pihak lain, atau kerugian pada barang gadai menjadi tanggungan pihak lain atau orang yang memegang gadai hingga pemilik hak mendapatkan kembali gadainya atau pihak yang memegang gadai atau pihak lain menanggung kerugian pada barang gadai, maka jaminan dalam semua itu gugur. Sebab, jaminan tidak sah kecuali atas sesuatu yang pasti. Tidakkah kamu lihat bahwa jika gadai memadai, tidak ada jaminan atas apa pun, tetapi jika berkurang, maka dijamin sesuai syarat, kadang satu dinar, kadang dua ratus dinar, kadang seratus? Ini berarti jaminan kadang ada, kadang tidak, dan jaminannya tidak pasti. Jaminan tidak sah kecuali atas sesuatu yang pasti.
Jika seseorang menggadaikan sesuatu kepada orang lain dengan jaminan seratus, dan seseorang menjamin seratus itu atas nama pemberi gadai, maka jaminan itu mengikat baginya, dan penerima jaminan berhak menuntutnya berdasarkan jaminan itu, bukan dari pihak yang berutang. Dikatakan, barang gadai boleh dijual.
Jika seseorang memiliki hak atas orang lain hingga tempo tertentu, lalu dia menambah tempo dengan syarat menggadaikan sesuatu, lalu digadaikan, maka gadai itu batal, dan utang kembali ke tempo awalnya.
[Klaim Pemberi Gadai dan Ahli Waris Penerima Gadai]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata:) Jika penerima gadai meninggal dan ahli warisnya mengklaim sesuatu atas barang gadai, maka perkataan pemberi gadai yang dipegang. Demikian juga perkataannya jika penerima gadai masih hidup dan mereka berselisih. Begitu pula perkataan ahli waris pemberi gadai.
Jika penerima gadai meninggal dan pemberi gadai atau ahli warisnya mengklaim bahwa almarhum telah menerima haknya atau membebaskannya, maka mereka harus menghadirkan bukti. Perkataan ahli waris pemilik hak yang dipegang jika hak seseorang telah diketahui, maka itu tetap menjadi kewajiban pihak yang berutang dan tidak gugur kecuali dengan pembebasan dari pemilik hak atau bukti yang sah.
Dengan sesuatu yang mereka buktikan secara langsung, maka itu mengikatnya. Jika seseorang menggadaikan barang kepada orang lain dengan nilai seratus dinar, kemudian penerima gadai meninggal atau kehilangan akalnya, dan pemberi gadai menghadirkan bukti bahwa ia telah melunasi sepuluh dinar dari haknya yang terkait dengan gadai tersebut dan masih tersisa sembilan puluh dinar, maka jika ia melunasinya, barang gadai dibebaskan. Jika tidak, barang gadai dijual di tempatnya dan sembilan puluh dinar diambil darinya. Jika bukti mengatakan, “Ia melunasi sesuatu yang tidak kami ketahui jumlah pastinya,” atau bukti mengatakan, “Penerima gadai mengakui di hadapan kami bahwa ia menerima sesuatu yang tidak kami ketahui jumlah pastinya,” maka keputusan diserahkan kepada ahli warisnya jika penerima gadai telah meninggal. Dikatakan kepada mereka, “Akui sesuatu yang kalian ketahui dan bersumpah bahwa kalian tidak mengetahui lebih dari itu, lalu ambillah sisa hak kalian.”
Jika pemberi gadai yang meninggal dan penerima gadai masih hidup, maka keputusan diserahkan kepada penerima gadai. Jika penerima gadai berkata, “Ia telah melunasi sebagian hakku, tetapi aku tidak tahu jumlah pastinya,” maka dikatakan kepada pemberi gadai (jika masih hidup) atau ahli warisnya (jika telah meninggal), “Jika kalian mengklaim sesuatu, mintalah ia bersumpah. Jika ia bersumpah, ia terbebas darinya.” Kami akan menerima pengakuannya atas sesuatu yang ia akui dan ia bersumpah bahwa tidak lebih dari itu.
[Kejahatan Budak yang Digadaikan terhadap Tuannya]
Dan kepemilikan tuannya, baik sengaja atau tidak sengaja (Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Jika seseorang menggadaikan budaknya, lalu budak itu melakukan kejahatan terhadap tuannya yang mengharuskan qishash (hukuman setimpal), maka wali tuannya memiliki pilihan antara melakukan qishash atau memaafkannya tanpa mengambil apa pun dari budak tersebut. Jika ia memilih qishash, maka gadai atas budak itu batal. Jika ia memaafkannya tanpa mengambil apa pun, budak tetap dalam status gadai. Jika ia memaafkannya dengan mengambil diyat (tebusan) dari nilai budak tersebut, maka ada dua pendapat:
- Kejahatan budak terhadap tuannya yang mengakibatkan kematian tuannya sama seperti kejahatan terhadap orang asing, tidak ada perbedaan. Pendapat ini berargumen bahwa jika wali memilih diyat daripada qishash, kejahatan itu tidak batal karena diyat menjadi hak ahli waris, dan ahli waris bukan pemilik budak saat kejahatan terjadi, sehingga haknya atas budak batal karena budak menjadi miliknya.
- Kejahatan itu dianggap tidak ada (hadiyah) karena ahli waris hanya memiliki hak setelah almarhum memilikinya. Pendapat ini berargumen bahwa jika almarhum bukan pemilik, diyat tidak bisa digunakan untuk melunasi utangnya.
Jika tuannya memiliki dua ahli waris dan salah satu memaafkan tanpa mengambil diyat, maka menurut pendapat pertama, pengampunan itu sah, dan budak tetap dalam status gadai. Jika ahli waris lainnya memaafkan dengan mengambil diyat, separuh budak dijual untuk diyat, dan separuh lainnya tetap sebagai gadai. Jika ahli waris yang tidak memaafkan menerima separuh harga budak (jika setara atau kurang dari diyat), separuh lainnya tetap gadai.
Jika tuannya memiliki ahli waris yang masih kecil dan dewasa, dan yang dewasa ingin membunuh budak tersebut, mereka tidak boleh melakukannya sampai yang kecil dewasa. Jika penerima gadai ingin menjual budak sebelum ada pengampunan dari ahli waris, ia tidak boleh, tetapi ia dapat menuntut haknya seperti kreditor tanpa gadai. Jika setelah pembagian hak kreditor masih ada sisa hak, dan sebagian ahli waris yang dewasa memaafkan tanpa mengambil diyat, hak mereka atas budak tetap sebagai gadai yang dijual untuk melunasi hak mereka.
Jika salah satu ahli waris yang dewasa memaafkan qishash, maka qishash tidak boleh dilakukan, dan bagian ahli waris yang belum dewasa dijual jika mereka tidak memaafkan. Menurut pendapat yang menyatakan bahwa harga budak menjadi milik ahli waris karena kejahatan terhadap tuannya, mereka berhak atas warisan dari diyat kecuali jika ada kelebihan harga budak, maka kelebihan itu kembali sebagai gadai.
Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan terhadap tuannya (pemberi gadai) dengan sengaja yang mengharuskan qishash tetapi tidak sampai membunuh, maka tuannya boleh memilih antara qishash atau memaafkan. Jika ia memaafkan tanpa mengambil apa pun, budak tetap dalam status gadai. Jika ia berkata, “Aku memaafkan dengan mengambil diyat dari nilai budak,” itu tidak diperbolehkan, dan budak tetap gadai. Tuannya tidak memiliki utang atas budaknya. Jika kejahatannya terhadap tuannya adalah sengaja tanpa qishash atau tidak sengaja, maka itu dianggap tidak ada (hadiyah) karena tuannya tidak berhak atas apa pun dari budak selain hak sebelumnya. Ia tidak memiliki utang atas budak karena budak adalah miliknya, dan seseorang tidak berutang atas miliknya sendiri.
Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan terhadap budak lain milik tuannya, baik membunuh atau kurang dari itu, maka pilihan ada pada tuannya (pemberi gadai). Jika ia mau, ia boleh melakukan qishash dalam pembunuhan atau kejahatan lain yang mengharuskan qishash. Jika ia mau, ia boleh memaafkan dengan atau tanpa syarat.
Dua wajah yang dimaafkan, maka budak tetap dalam status gadainya. Jika dimaafkan tanpa syarat atau dimaafkan dengan imbalan harta yang diterima, budak tetap dalam status gadainya, dan tidak ada hak harta atas budak tersebut. Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan terhadap budak milik pemberi gadai yang digadaikan kepada orang lain, maka pemilik budak berhak memilih antara qisas (balasan setara) atau memaafkan tanpa mengambil imbalan apa pun. Pilihan mana pun yang diambil adalah haknya, dan pemegang gadai budak yang menjadi korban tidak boleh menghalanginya.
Jika pemilik budak memilih untuk memaafkan dengan mengambil imbalan harta, maka harta tersebut menjadi gadai di tangan pemegang gadai budak yang menjadi korban. Jika pemilik budak kemudian membatalkan pilihan mengambil imbalan setelah memilihnya, hal itu tidak diperbolehkan karena hak pemegang gadai telah melekat padanya.
(Imam Syafi’i berkata): “Demi hak pemegang gadai, aku membolehkan pemilik yang menggadaikan untuk mengambil ganti rugi atas kejahatan pemegang gadai terhadap budaknya dari pembebasan budak pelaku. Pemegang gadai tidak boleh melarang pemilik untuk memaafkan tanpa imbalan harta, karena harta tidak menjadi tanggungan pelaku kecuali jika dipilih oleh wali korban.”
Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan terhadap umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya), mudabbar (budak yang akan merdeka setelah tuannya meninggal), atau mu’taq (budak yang akan dimerdekakan pada waktu tertentu) milik pemberi gadai, maka statusnya sama seperti kejahatan terhadap budaknya sendiri, dan budak tetap dalam status gadainya.
Jika budak yang digadaikan membunuh mukatab (budak yang sedang dalam proses merdeka dengan pembayaran) tuannya dengan sengaja, maka tuannya berhak memilih antara qisas atau memaafkan. Jika qisas ditinggalkan, budak tetap dalam status gadainya. Jika kejahatan terhadap mukatab berupa luka, maka mukatab berhak memilih antara qisas atau memaafkan dengan mengambil imbalan harta. Jika dimaafkan dengan imbalan harta, budak pelaku dijual dan uang tebusan diserahkan kepada mukatab.
Jika diputuskan bahwa budak pelaku harus dijual kepada mukatab sebagai ganti rugi, lalu mukatab meninggal atau bangkrut sebelum penjualan, maka tuannya berhak menjual budak tersebut untuk menutupi ganti rugi. Kelebihan harga atau sisa nilai budak tetap menjadi gadai, karena penjualan ini berdasarkan kepemilikan baru, bukan kepemilikan awal. Jika budak dijual saat mukatab masih hidup lalu dibeli kembali oleh tuannya, tuannya tidak wajib mengembalikannya sebagai gadai karena diperoleh dengan kepemilikan baru.
Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan terhadap anak, saudara, atau kerabat pemberi gadai yang menyebabkan kematian, dan pemberi gadai adalah ahli waris korban, maka pemberi gadai berhak memilih antara qisas atau memaafkan dengan atau tanpa diyat (tebusan darah). Jika memaafkan dengan diyat, budak dijual dan keluar dari status gadai. Jika pemberi gadai membelinya kembali, budak menjadi miliknya dan tidak wajib dikembalikan sebagai gadai karena diperoleh dengan kepemilikan baru.
Jika pemegang gadai berkata: “Aku menyerahkan budak dan membatalkan gadainya, dan hakku beralih sebagai utang pemberi gadai,” maka dikatakan: “Jika kamu rela, silakan. Jika tidak, kamu tidak bisa dipaksa, dan kami akan berusaha menjualnya. Jika ada kelebihan harga, itu menjadi gadaimu. Jika tidak, hakmu telah terpenuhi.” Jika pemberi gadai memperoleh budak kembali melalui pembelian atau pelepasan gadai, dia tidak wajib mengembalikannya sebagai gadai karena kepemilikan baru membatalkan yang sebelumnya.
Sebagai contoh, jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain, lalu budak tersebut diklaim oleh pihak ketiga, maka budak keluar dari status gadai. Jika pemberi gadai memperolehnya kembali, dia tidak wajib mengembalikannya sebagai gadai karena dua alasan:
- Jika awalnya digadaikan tanpa hak, maka gadai tidak sah.
- Kepemilikan baru berbeda dari kepemilikan awal.
Alasan mengapa kejahatan budak yang digadaikan terhadap anak tuannya atau ahli warisnya tidak batal adalah karena ganti rugi wajib diberikan kepada korban, bukan kepada tuannya atau pemegang gadai. Tuannya hanya mewarisi hak korban setelah kematiannya, dan ini adalah kepemilikan baru.
Jika seseorang menggadaikan budaknya, lalu budak tersebut menyerang anaknya sendiri (baik sebagai budak atau bukan) dan membunuh (sengaja/tidak sengaja) atau melukai (sengaja/tidak sengaja), maka tidak ada qisas antara ayah dan anak. Ganti rugi menjadi tanggungan budak yang digadaikan, dan tuannya tidak boleh menjual atau mengeluarkannya dari gadai karena tidak ada utang atas budaknya.
Jika anak yang terbunuh digadaikan kepada orang lain (bukan pemegang gadai ayahnya), maka budak ayah (pelaku) dijual, dan harga budak korban yang digadaikan menjadi pengganti gadai di tangan pemegang gadai. Jika anak digadaikan kepada orang lain selain pemegang gadai ayahnya, ayah (pelaku) dijual, dan harga anak menjadi pengganti gadai. Tuannya tidak boleh memaafkan karena tidak ada qisas dalam kasus ini, hanya kewajiban harta atas budak.
Dimaafkan untuk hak pemberi gadai di dalamnya.
Jika seorang ayah dan anak sama-sama dimiliki oleh seseorang dan masing-masing menggadaikan seorang budak secara terpisah, lalu si anak membunuh ayahnya, maka pemilik ayah berhak membunuh si anak atau memaafkan pembunuhan itu tanpa kompensasi harta. Demikian pula jika si anak melukai ayah dengan luka yang mengharuskan qishash, pemilik ayah berhak menuntut qishash atau memaafkan tanpa kompensasi harta. Jika ia memilih memaafkan dengan kompensasi harta, maka si anak dijual dan hasil penjualannya dijadikan pengganti dari diyat yang menjadi tanggungannya.
Jika pembunuhan ini terjadi secara tidak sengaja dan kedua budak digadaikan kepada dua orang yang berbeda, maka pemilik tidak mendapatkan apa-apa dari pemaafan tersebut. Budak pelaku dijual, dan hasil penjualannya dijadikan gadai untuk pemegang gadai budak korban, karena tidak ada ketetapan atas keduanya selain harta, tanpa pilihan bagi wali korban, baik ia orang asing maupun pemilik.
Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri, baik sengaja maupun tidak, maka itu dianggap sia-sia. Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan terhadap istrinya atau umm walad-nya hingga menyebabkan keguguran, maka:
– Jika budak perempuan itu dimiliki oleh orang lain dan dinikahi oleh budak yang digadaikan, diyatnya menjadi hak pemilik budak perempuan. Budak yang digadaikan dijual, dan nilai janin diberikan kepada pemilik, kecuali jika nilai budak melebihi diyat janin, maka cukup dijual sebesar nilai janin.
– Kejahatan terhadap janin dianggap sama seperti kejahatan terhadap orang lain secara tidak sengaja. Pemilik tidak berhak memaafkannya karena hak pemberi gadai, dan sisa nilai budak tetap sebagai gadai.
Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan sengaja terhadap orang merdeka, maka korban atau walinya dapat memilih diyat dengan menjual budak yang digadaikan (baik dengan emas atau perak), lalu membeli unta dengan hasil penjualannya dan menyerahkannya kepada korban jika masih hidup atau walinya jika sudah meninggal. Hal yang sama berlaku jika kejahatan itu tidak sengaja. Jika walinya memilih memaafkan tanpa mengambil kompensasi apa pun, maka status budak tetap sebagai gadai.
[Pengakuan Budak yang Digadaikan atas Kejahatan]
Jika seseorang menggadaikan seorang budak kepada orang lain dan penerima gadai menyerahkannya, lalu penerima gadai mengklaim bahwa budak itu telah melakukan kejahatan sengaja terhadapnya atau terhadap seseorang yang menjadi walinya—yang dalam kasus seperti ini mengharuskan qishash—kemudian budak yang digadaikan mengakuinya sementara pemberi gadai mengingkari atau tidak mengakuinya, maka pengakuan budak itu mengikat dan dianggap seperti bukti yang sah.
Menerima gadai budak yang telah berbuat jahat tidak membatalkan klaim atas kejahatan yang terjadi sebelum, setelah, atau bersamaan dengan penggadaian. Penerima gadai memiliki pilihan antara:
- Menuntut qishash,
- Memaafkan tanpa kompensasi harta, atau
- Memaafkan dengan kompensasi harta.
Jika ia memilih qishash, maka itu dilaksanakan. Jika memilih memaafkan tanpa kompensasi, status budak tetap sebagai gadai. Jika memilih kompensasi harta, budak dijual untuk menutupi diyat, dan kelebihan hasil penjualannya tetap sebagai gadai.
Jika budak mengaku melakukan kejahatan tidak sengaja atau sengaja yang tidak mengharuskan qishash, atau jika budak itu Muslim sementara penerima gadai kafir dan budak mengaku melakukan kejahatan sengaja, atau mengaku berbuat jahat terhadap anaknya sendiri atau orang yang tidak bisa diqishash dalam kondisi apa pun, maka pengakuannya batal. Sebab, ia mengaku—dalam status perbudakannya—tentang harta yang menjadi tanggungannya, dan pengakuan seperti itu sama seperti mengaku tentang harta yang menjadi tanggungan tuannya, karena pembebasan atau penjualannya untuk dibebaskan adalah hak tuannya selama ia masih dimiliki.
Hal yang sama berlaku baik pengakuan itu terkait penerima gadai atau orang asing selain penerima gadai. Jika yang menggantikan posisi orang asing atau penerima gadai adalah tuannya sendiri, lalu budak mengaku melakukan kejahatan terhadap tuannya sebelum atau setelah penggadaian, sementara penerima gadai mendustakannya, maka:
– Jika kejahatan itu termasuk yang mengharuskan qishash, maka qishash dapat dilaksanakan terhadap budak. Jika dilaksanakan, maka selesai; jika tidak, status budak tetap sebagai gadai.
– Jika kejahatan itu sengaja terhadap anak pemberi gadai atau orang yang menjadi walinya hingga menyebabkan kematian, lalu budak yang digadaikan mengakuinya, maka pengakuannya sah. Tuannya (pemberi gadai) berhak membunuhnya atau memaafkan dengan kompensasi harta yang menjadi tanggungannya, sebagaimana halnya terhadap orang asing. Jika memaafkan tanpa kompensasi, status budak tetap sebagai gadai.
Pengakuan budak yang digadaikan atau yang tidak digadaikan tidak sah terhadap dirinya sendiri kecuali jika ia termasuk orang yang dapat dikenai hudud. Jika ia termasuk orang yang dapat dikenai hudud, pengakuannya hanya sah dalam kasus yang mengharuskan qishash.
Jika budak yang digadaikan mengaku melakukan kejahatan tidak sengaja terhadap selain tuannya, dan penerima gadai membenarkannya sementara pemilik budak mendustakannya, maka keputusan dipegang oleh pemilik budak disertai sumpah, dan status budak tetap sebagai gadai. Jika budak dijual karena gadai…
Pemberi pinjaman tidak dihukum untuk memberikan harganya, atau sebagian darinya, kepada korban, meskipun dalam pengakuannya ia mengakui bahwa ia lebih berhak atas harga budak tersebut daripada korban. Karena pengakuannya mengandung dua makna. Pertama: ia mengakuinya sebagai harta orang lain, dan pengakuan atas harta orang lain tidak diterima. Kedua: ia hanya mengakui sesuatu untuk korban jika terbukti miliknya, sedangkan hartanya tidak berada dalam tanggungan pemberi gadai. Ketika hartanya tidak lagi berada dalam tanggungan pemberi gadai selain budak tersebut, maka gugur pula hukum untuk mengeluarkan harga budak dari tangannya. Namun, sebagai tindakan kehati-hatian, pemberi pinjaman sebaiknya memberikan sebagian dari harganya kepada korban sesuai dengan kadar kerusakan (diyat). Jika ia mengingkarinya, maka ia boleh mengambil diyat tersebut dari harga budak, tetapi tidak boleh mengambilnya dari harta pemberi gadai selain harga budak.
Demikian pula jika budak dan tuannya mengingkari kerusakan, sedangkan pemberi pinjaman mengakuinya. Jika pemberi pinjaman mengklaim bahwa budak yang digadaikan di tangannya telah melakukan kerusakan secara tidak sengaja, dan budak tersebut mengakuinya sedangkan pemberi gadai mengingkarinya, maka perkataan pemberi gadai yang diikuti. Budak tidak dikeluarkan dari gadai, dan pemberi pinjaman boleh mengambil haknya dari gadai melalui dua cara: dari pokok hak dan kerusakan, jika ia yakin bahwa pengakuannya benar.
Jika seseorang mengklaim kerusakan secara tidak sengaja terhadap budak yang digadaikan untuk anaknya yang menjadi walinya sendiri atau bersama wali lain, dan budak tersebut mengakuinya sedangkan tuannya mengingkarinya, maka perkataan tuannya yang diikuti, dan budak tetap dalam status gadai. Hal ini sama seperti kasus klaim orang asing terhadap budak atas kerusakan tidak sengaja, pengakuan budak dan pemberi pinjaman, serta penyangkalan pemiliknya.
(Kerusakan yang Dilakukan oleh Budak yang Digadaikan terhadap Orang Lain)
(Imam Syafi’i berkata): Jika budak yang digadaikan melakukan kerusakan atau dikenai kerusakan, maka hukum kerusakannya sama seperti budak yang tidak digadaikan. Pemiliknya (pemberi gadai) adalah pihak yang berperkara. Dikatakan kepadanya: “Jika kamu menebusnya dengan seluruh diyat kerusakan, maka itu adalah sukarela, dan budak tetap dalam status gadai. Jika tidak, kamu tidak dipaksa untuk menebusnya, dan budak akan dijual untuk menutupi kerusakan tersebut.” Kerusakan lebih diutamakan daripada gadai, sebagaimana kerusakan lebih diutamakan daripada kepemilikanmu. Gadai lebih lemah daripada kepemilikan, karena hak gadai hanya berlaku berdasarkan kepemilikanmu.
Jika kerusakan tidak mencapai nilai budak yang digadaikan, dan pemiliknya tidak bersedia menebusnya secara sukarela, maka tuannya atau pemberi pinjaman tidak dipaksa untuk menjualnya kecuali sebesar kerusakan tersebut. Sisanya tetap dalam status gadai, dan tidak dijual seluruhnya kecuali jika kerusakan melampaui nilainya, kecuali jika pemberi gadai dan pemberi pinjaman sepakat untuk menjualnya. Jika mereka sepakat, maka budak dijual, diyat dibayarkan, dan pemiliknya boleh memilih antara menjadikan sisa harganya sebagai pelunasan haknya atau membiarkannya sebagai gadai pengganti budak, karena ia menggantikan posisinya.
Penyerahan oleh pemberi pinjaman tidak membatalkan penjualan seluruh budak pelaku kerusakan, meskipun ada kelebihan besar dari kerusakan. Gadai tidak batal kecuali haknya di dalamnya hapus atau pemberi gadai dibebaskan dari hak yang menjadi dasar gadai. Aku tidak mengira ada orang berakal yang memilih harga budaknya menjadi gadai yang tidak dijamin daripada menjadi pelunasan utangnya sehingga tanggungannya terbebas dari yang telah diterimanya.
Jika ia memilih untuk menjadikannya sebagai gadai, maka pemberi pinjaman tidak boleh memanfaatkan harganya. Jika pemberi gadai ingin menerimanya untuk dimanfaatkan, itu tidak diperbolehkan. Manfaat dari harga (dinar atau dirham) tidak sama dengan manfaat dari budak sebagai aset. Jika budak dijual karena kerusakan atau sebagiannya, pemberi gadai tidak diwajibkan untuk menggantinya dengan gadai lain, karena penjualan itu dilakukan berdasarkan hak yang melekat padanya, bukan karena kerusakan yang dilakukannya.
Jika pemberi pinjaman ingin menebus kerusakan tersebut, dikatakan kepadanya: “Jika kamu melakukannya, itu adalah sukarela, dan kamu tidak boleh menuntutnya kembali dari pemilik budak. Budak tetap dalam status gadai.” Jika ia menebusnya atas perintah tuannya dan tuannya menjaminnya, maka ia boleh menuntut kembali tebusannya dari tuannya, dan itu tidak menjadi gadai kecuali dijadikan sebagai gadai baru bersama hak sebelumnya.
(Ar-Rabi’ berkata): Maksud perkataan Syafi’i adalah kecuali jika ia ingin membatalkan gadai pertama dan menjadikannya sebagai gadai atas apa yang sebelumnya digadaikan dan apa yang ditebusnya dengan izin tuannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kerusakan yang dilakukan budak gadai adalah sengaja, dan korban atau walinya ingin membalas, maka itu diperbolehkan. Gadai tidak menghalangi hak yang melekat pada leher atau tubuhnya. Seandainya budak melakukan kerusakan sebelum digadaikan, lalu korban menuntutnya, maka itu juga diperbolehkan, sebagaimana jika kerusakan terjadi setelah digadaikan.
Setelah menjadi barang gadai, tidak ada perbedaan dalam hal itu, dan tidak mengeluarkannya dari status gadai jika ia menghasilkan sesuatu sebelum digadaikan kemudian digadaikan, atau setelah digadaikan jika tidak dijual akibat tindakan kriminal.
Jika budak yang digadaikan melakukan tindakan kriminal, dan ia memiliki harta atau memperoleh harta setelah tindakan kriminal tersebut atau diberi hadiah, maka hartanya menjadi milik tuannya yang menggadaikannya, bukan pemegang gadai. Tindakan kriminalnya menjadi tanggungannya, sama seperti budak yang tidak digadaikan. Jika budak yang digadaikan dijual dan penjual serta pembeli belum berpisah sebelum ia melakukan tindakan kriminal, pembeli berhak mengembalikannya karena ini merupakan cacat yang muncul setelah transaksi, dan ia boleh mengembalikannya meski tanpa cacat. Jika ia melakukan tindakan kriminal lalu dijual, dan pembeli mengetahui tindakan kriminalnya sebelum atau setelah berpisah, ia berhak mengembalikannya karena ini merupakan cacat yang disembunyikan. Jika budak dijual dan kedua pihak telah berpisah atau salah satu memilih untuk melanjutkan transaksi setelah penjualan, lalu budak melakukan tindakan kriminal, itu menjadi tanggungan pembeli, dan penjualan tidak dapat dibatalkan karena ini terjadi setelah kepemilikan sepenuhnya beralih ke pembeli. Jika budak yang digadaikan melakukan tindakan kriminal dengan sengaja, korban atau walinya berhak memilih antara diyat atau qisas. Jika memilih diyat, itu menjadi tanggungan budak yang akan dijual untuk menutupinya, seperti dalam kasus tindakan kriminal tidak sengaja. Jika memilih qisas, itu menjadi haknya.
Jika budak yang digadaikan melakukan tindakan kriminal dan tuannya tidak menebusnya sehingga harus dijual untuk menutupi kerugian, tuannya tidak diwajibkan menggantinya dengan barang gadai lain karena penjualan ini dilakukan berdasarkan hak, bukan karena kesalahan tuannya. Jika tuannya menyuruh budak melakukan tindakan kriminal dan ia sudah baligh serta berakal, maka tuannya berdosa, tetapi tidak diwajibkan mengganti gadai jika budak dijual atau dihukum mati. Jika budak masih kecil atau tidak mengerti, dan dijual untuk menutupi kerugian, tuannya diwajibkan membayar senilai harganya sebagai pengganti, yang akan menjadi gadai baru, kecuali jika memilih untuk menjadikannya qisas dari haknya. Jika gadai telah sah dengan serah terima, pemegang gadai lebih berhak atasnya daripada kreditur lain, ahli waris, atau wali tuannya jika ia meninggal, sampai haknya terpenuhi, dan kelebihan nilai menjadi milik mereka.
Jika seseorang mengizinkan orang lain untuk menggadaikan budaknya, lalu budak yang digadaikan melakukan tindakan kriminal, tanggung jawab atas tindakan kriminal itu ada pada budak tersebut. Ada dua pendapat mengenai apakah pemilik budak yang memberi izin dapat menuntut orang yang menggadaikannya atas kerugian akibat tindakan kriminal budak atau kerusakan yang terjadi sebelum ditebus, seperti halnya jika budak itu dipinjamkan sebagai ‘ariyah (pinjaman) bukan digadaikan. Pendapat pertama menyatakan bahwa ini seperti ‘ariyah, sehingga ia bertanggung jawab seperti dalam pinjaman. Pendapat kedua menyatakan ia tidak bertanggung jawab karena manfaat budak tetap untuk pemiliknya, tidak seperti ‘ariyah yang manfaatnya beralih. Pendapat kedua ini lebih tepat menurut saya. Wallahu a’lam.
[Jinayat terhadap Budak yang Digadaikan dalam Kasus Qisas]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan budaknya kepada orang lain, dan pemegang gadai menerimanya, lalu budak yang digadaikan melakukan tindakan kriminal terhadap budak lain milik pemberi gadai, pemegang gadai, atau pihak lain hingga menyebabkan kematian, maka pihak yang berperkara dalam tindakan kriminal ini adalah pemilik budak yang menggadaikannya. Hakim tidak perlu menunggu kehadiran pemegang gadai atau wakilnya, karena qisas adalah hak pemilik, bukan pemegang gadai. Jika terbukti ada qisas, hakim harus memberi pilihan kepada pemilik budak antara qisas atau mengambil nilai budaknya, kecuali jika ia memaafkan. Jika memilih qisas, pelaku diserahkan kepadanya untuk dihukum, dan pemegang gadai tidak berhak menuntut penggantian, sama seperti jika budak mati. Jika ia memaafkan tanpa mengambil ganti rugi, itu haknya karena itu adalah nyawa miliknya. Jika memilih mengambil nilai budaknya, hakim akan memerintahkan pembayaran kepada pemegang gadai jika gadai masih di tangannya, kecuali jika memilih menjadikannya qisas dari hak pemegang gadai. Jika memilih tidak mengambil qisas tetapi mengambil nilai budaknya, lalu…
Dia ingin memaafkan tanpa mengambil nilai budaknya, itu tidak diperbolehkan baginya, dan nilai budaknya diambil lalu dijadikan jaminan. Demikian pula jika dia memilih mengambil uang kemudian berkata, “Aku akan membunuh pembunuh budakku,” itu juga tidak diperbolehkan baginya. Jika dia memilih mengambil uang, qisas menjadi batal karena dia telah mengambil salah satu dari dua pilihan hukum dan meninggalkan yang lain.
Jika dia memaafkan harta yang menjadi haknya setelah memilih atau mengambilnya—baik lebih dari nilai budaknya, sama, atau kurang—itu tidak boleh karena dia memberikan sesuatu yang telah menjadi jaminan bagi pihak lain. Jika dia terbebas dari kewajiban harta dengan membayar hak pemegang jaminan dari hartanya selain harta yang dijaminkan, atau pemegang jaminan membebaskannya, maka harta yang dia maafkan terkait budak pelaku dikembalikan kepada pemilik budak pelaku. Sebab, memaafkan adalah pembebasan dari sesuatu yang ada di tangan orang yang dimaafkan, seperti pemberian yang telah diterima. Harta itu dikembalikan karena adanya hak pemegang jaminan di dalamnya. Jika hak itu sudah tidak ada, maka pemberian maaf sebelumnya menjadi sah bagi pemilik budak pelaku.
Jika pemegang jaminan menuntut haknya dari nilai budak yang diambil, dia tidak wajib mengganti apa pun dari harta yang dibayarkan kepada yang dimaafkan. Jika ada sisa setelah haknya terpenuhi, sisa itu dikembalikan kepada pemilik budak yang dimaafkan. Jika pemilik budak yang menggadaikan ingin memberikan kelebihan itu kepada pemegang jaminan, itu tidak diperbolehkan.
Jika nilai budak yang terbunuh yang dijaminkan ditetapkan dalam dirham, sedangkan hak pemegang jaminan dalam dinar, dan pemilik budak mengambilnya lalu menyerahkannya kepada pemegang jaminan, kemudian pemilik budak ingin memberikannya kepada pemegang jaminan sebagai haknya, tetapi pemegang jaminan menolak, itu tidak diperbolehkan. Harta itu harus dijual, lalu pemegang hak dan pemilik budak yang dimaafkan diberi kelebihan dari hasil penjualannya.
Saya melarang pemilik budak yang mampu untuk membatalkan pengampunan hartanya setelah memilihnya, sebagaimana saya melarang jika dia memerdekakan budaknya dalam keadaan mampu. Hukum memerdekakan berbeda dari yang lain. Jika ada cara untuk memerdekakan dengan pengganti, saya akan melaksanakannya. Sedangkan memaafkan harta bertentangan dengan itu. Jika dia memaafkan sesuatu yang orang lain lebih berhak atasnya sampai haknya terpenuhi, maka pengampunannya bagi pihak lain batal. Seperti jika dia menghadiahkan budaknya yang dijaminkan kepada seseorang atau menyedekahkannya secara terlarang, perbuatannya itu dibatalkan sampai pemegang jaminan menerima haknya dari harga jaminan. Pengganti jaminan memiliki kedudukan yang sama dengan jaminan, tidak ada perbedaan.
Jika tiga budak melakukan kejahatan terhadap budak yang dijaminkan, hakim harus memberi pilihan kepada pemilik budak yang terbunuh antara qisas, mengambil nilai budaknya, atau memaafkan. Jika dia memilih qisas terhadap mereka, itu diperbolehkan menurut pendapat yang membolehkan membunuh lebih dari satu orang sebagai balasan satu nyawa. Jika dia memilih qisas terhadap salah satu dan mengambil nilai budak dari dua lainnya, itu juga diperbolehkan. Kedua budak itu dijual seperti yang dijelaskan, dan nilai budaknya menjadi jaminan dari hasil penjualan mereka. Jika dia memilih mengambil nilai budaknya dari keduanya, lalu ingin memaafkan mereka atau salah satunya, jawabannya sama seperti kasus budak tunggal yang memilih mengambil nilai budak dari jaminan kemudian memaafkannya.
Hakim sebaiknya memastikan kehadiran pemegang jaminan atau wakilnya sebagai langkah berhati-hati, agar pemilik jaminan tidak memilih mengambil uang kemudian meninggalkannya atau menyia-nyiakannya sehingga budak pelaku melarikan diri. Jika pemilik jaminan memilih mengambil uang dari pelaku atas budaknya, lalu menyia-nyiakannya hingga pelaku kabur, pemilik jaminan tidak menanggung apa pun karena kelalaiannya dan tidak wajib memberikan jaminan pengganti. Keadaannya seperti jika budaknya yang dijaminkan kepada seseorang lalu kabur. Hak tidak berubah statusnya meskipun jatuh tempo, kecuali jika pemilik jaminan melampaui batas.
Jika seorang merdeka dan budak melakukan kejahatan sengaja terhadap budak yang dijaminkan, setengah nilai budak yang dijaminkan menjadi tanggungan orang merdeka dari hartanya dan harus dibayar tunai sebagai jaminan, kecuali jika pemilik jaminan rela menjadikannya qisas jika berupa dinar atau dirham. Untuk budak pelaku, pemilik budak korban diberi pilihan antara membunuhnya, memaafkannya, atau mengambil nilai budaknya. Jika budak pelaku meninggal, kewajiban atas kejahatannya gugur. Jika orang merdeka meninggal, setengah nilai budak diambil dari hartanya. Jika orang merdeka bangkrut, dia menjadi debitor, dan semua yang diambil darinya menjadi jaminan. Seluruh hak tetap menjadi tanggungan pemilik jaminan dan tidak gugur meskipun jaminan atau penggantinya rusak.
Jika kejahatan terhadap budak yang dijaminkan bukan pembunuhan tetapi termasuk yang bisa diqisas, hukumnya sama seperti kejahatan pembunuhan. Pemilik jaminan diberi pilihan antara qisas untuk budaknya, memaafkan tanpa kompensasi, atau mengambil diyat. Jika dia memilih diyat, prosedurnya seperti yang dijelaskan. Budak korban tidak memiliki hak memilih; hak itu hanya ada pada pemiliknya karena kejahatan itu menghasilkan harta yang menjadi milik pemiliknya, bukan budak itu sendiri.
Jika pelaku kejahatan terhadap budak yang dijaminkan adalah budak milik pemilik jaminan atau budak miliknya bersama orang lain, hukumnya sama seperti kasus-kasus sebelumnya.
Anak atau lainnya, perkataan mengenai budak orang lain, baik anaknya atau bukan, sama seperti perkataan dalam masalah-masalah sebelumnya. Pemilik budak yang bersalah boleh memilih antara qishash atau memaafkan qishash tanpa mengambil apa pun; karena ia hanya menuntut qishash yang diberikan hak padanya untuk meninggalkannya.
Jika qishash tidak dimaafkan kecuali dengan memilih ganti rugi berupa harta, maka pemilik wajib menebus budaknya yang bersalah jika ia sendirian menanggung seluruh diyat (denda) atas kejahatan tersebut. Setelah itu, ia boleh memilih antara menjadikannya sebagai qishash atau menyerahkannya sebagai gadai. Jika diyat kejahatan berupa emas atau perak seperti hutang, dan ia ingin menjadikannya qishash, maka boleh dilakukan. Jika diyat berupa unta atau selain hutang, dan ia ingin menjualnya untuk melunasi pemegang gadai hingga haknya terpenuhi atau tidak tersisa dari harganya, maka boleh dilakukan.
Namun, jika ia ingin menjualnya dan menjadikan harganya sebagai gadai, itu tidak diperbolehkan; karena pengganti dari budak yang digadaikan menempati posisinya, dan ia tidak boleh menjual penggantinya sebagaimana ia tidak boleh menjual budak itu dan menjadikan harganya sebagai gadai, atau menukarnya dengan yang lain. Jika diyat kejahatan budak berupa dinar sementara hutang berupa dirham, maka dinar itu menjadi gadai. Pemegang gadai tidak boleh menjadikan harga budak yang dijual dalam kejahatan sebagai dirham seperti hutang lalu menjadikannya gadai. Ia wajib menjadikannya gadai sebagaimana budaknya dijual dengan kedua jenis itu.
Jika kejahatan budak peminjam yang tidak digadaikan terhadap budaknya yang digadaikan dalam hal yang mengandung qishash selain jiwa, maka hukumnya sama tanpa perbedaan.
Jika seseorang menggadaikan dua budak kepada dua orang berbeda, lalu salah satu budaknya menyerang budak lainnya hingga membunuh atau melukainya dengan kejahatan yang mengandung qishash selain jiwa, maka hukumnya sama seperti budak yang tidak digadaikan dan budak orang lain yang menyerang budaknya. Pemilik boleh memilih antara membunuh, qishash atas lukanya, atau memaafkan tanpa mengambil apa pun. Jika ia memaafkan, budak yang digadaikan tetap dalam statusnya. Jika ia memilih mengambil harta, budak yang digadaikan dijual, lalu nilai budak yang digadaikan yang terbunuh dijadikan gadai sebagai penggantinya, kecuali jika peminjam memilih menjadikannya qishash.
Jika kejahatan berupa luka, maka diyat luka budak yang digadaikan dijadikan gadai bersama budak yang digadaikan sebagai bagian dari aset gadai. Jika kejahatan berupa luka yang tidak mencapai nilai budak yang bersalah, peminjam dan pemegang gadai dipaksa untuk menjual sebagian budak sebesar diyat kejahatan. Mereka tidak dipaksa menjualnya kecuali jika menghendaki, dan sisanya tetap sebagai gadai.
Jika pemilik hak yang dirugikan, pemilik budak yang digadaikan yang bersalah, dan pemegang gadainya sepakat bahwa pemilik budak yang dirugikan menjadi mitra pemegang gadai dalam kepemilikan budak yang bersalah sebesar nilai kejahatan, hal itu tidak diperbolehkan; karena budak yang dirugikan adalah milik peminjam, bukan pemegang gadai. Ia dipaksa menjual sebagian gadai kecuali jika pemegang gadai memaafkan haknya.
Jika seseorang menggadaikan budak, lalu budak itu mengaku melakukan kejahatan sengaja yang mengandung qishash, sementara peminjam dan pemegang gadai mendustakannya, maka perkataan budak dan korban yang diterima, dengan pilihan antara qishash atau mengambil harta. Jika kejahatan itu sengaja tanpa qishash atau tidak sengaja, maka pengakuan budak gugur selama status perbudakan.
Jika pemilik budak yang digadaikan atau tidak digadaikan mengaku bahwa budaknya melakukan kejahatan, maka:
– Jika kejahatan itu mengandung qishash, pengakuannya gugur jika budak mengingkari.
– Jika tidak mengandung qishash, pengakuannya mengikat budak karena itu adalah harta, dan ia hanya mengaku atas hartanya.
(Abu Muhammad berkata): Ada pendapat lain bahwa budak tidak keluar dari tangan pemegang gadai hanya karena pengakuan pemilik bahwa budaknya terkena kejahatan tanpa qishash; karena ia hanya mengaku atas budak yang digadaikan, dan pemegang gadai lebih berhak atasnya hingga haknya terpenuhi. Setelah haknya terpenuhi, pihak yang diakui kejahatannya oleh pemilik berhak atas budak hingga kejahatannya terpenuhi.
[Kejahatan terhadap Budak yang Digadaikan dalam Hal yang Mengandung Diyat]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika orang lain melakukan kejahatan terhadap budak yang digadaikan yang tidak mengandung qishash sama sekali—misalnya pelakunya orang merdeka sehingga tidak ada qishash darinya untuk hamba sahaya, atau pelakunya ayah, kakek, ibu, nenek budak yang dirugikan, atau pelaku belum baligh atau gila, atau kejahatan yang tidak mengandung qishash seperti ma’mumah (luka tembus kepala) atau jaifah (luka tembus perut)—
Kejahatan yang dilakukan secara tidak sengaja maka pemilik budak yang digadaikan menjadi pihak yang berperkara dalam kejahatan tersebut. Jika pemegang gadai menghendaki, ia dapat hadir dalam persidangan. Apabila pelaku dihukum membayar diyat (uang tebusan) atas budak yang digadaikan, pemilik budak yang menggadaikan tidak boleh memaafkannya atau mengambil diyat kejahatan tersebut tanpa persetujuan pemegang gadai. Pemilik budak yang menggadaikan diberi pilihan antara menjadikan diyat kejahatan sebagai pengurang utang yang menjadi beban budak atau menyerahkan diyat tersebut kepada pemegang gadai melalui pihak yang memegang gadai hingga hak tersebut jatuh tempo.
Aku tidak mengira ada orang yang berakal akan memilih diyat kejahatan diserahkan tanpa jaminan daripada menjadikannya sebagai pengurang utang. Hal ini berlaku sama apakah kejahatan tersebut menyebabkan kematian budak yang digadaikan atau tidak, selama kejahatan itu memiliki diyat tanpa qishash (hukum balas). Jika diyat kejahatan berupa emas atau perak, dan pemilik yang menggadaikan meminta untuk menahannya dan memanfaatkannya—seperti memanfaatkan pelayanan budak, mengendarai hewan yang digadaikan, atau menempati atau menyewakan rumah—maka hal itu tidak diperbolehkan. Sebab budak, hewan, dan rumah adalah aset tetap yang diketahui dan tidak berubah. Budak dan hewan dapat dimanfaatkan tanpa merugikan mereka dan akan dikembalikan kepada pemegang gadai, sedangkan rumah tidak berpindah dan tidak merugikan pemegang gadai jika ditempati. Adapun dinar dan dirham tidak memerlukan biaya bagi yang menggadaikannya dan tidak memberikan manfaat kecuali jika digunakan untuk hal lain.
Pemilik yang menggadaikan tidak boleh mengalihkan gadai ke bentuk lain karena itu berarti menggantinya, dan ia tidak berhak melakukan penggantian. Sebab uang dapat bercampur dan dilebur, sehingga aslinya tidak dapat dikenali. Jika ada perdamaian dengan kerelaan pemegang gadai, maka diyat kejahatan dapat berupa unta yang diserahkan kepada pihak yang memegang gadai. Pemilik yang menggadaikan wajib memberi makan dan merawat unta tersebut, dan ia boleh menyewakannya atau memanfaatkannya sebagaimana ia berhak melakukannya jika unta itu miliknya sendiri yang digadaikan. Jika pemegang gadai meminta agar unta dijual dan dijadikan emas atau perak, maka hal itu tidak diperbolehkan karena unta adalah bentuk gadai yang telah disepakati, sama seperti jika pemilik yang menggadaikan meminta penggantian gadai, hal itu juga tidak diperbolehkan.
Jika pemilik yang menggadaikan ingin berdamai dengan pelaku atas budaknya dengan sesuatu selain yang diwajibkan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Sebab yang diwajibkan sudah mewakilinya, dan berdamai dengan selain itu berarti menggantinya—seperti jika diwajibkan dinar tetapi ia ingin berdamai dengan dirham—kecuali jika pemegang gadai merelakannya. Jika pemegang gadai merelakan, maka apa yang diterima sebagai akibat kejahatan atas gadainya menjadi gadai baginya.
Jika pemilik budak yang digadaikan ingin memaafkan diyat kejahatan atas budaknya, maka hal itu tidak diperbolehkan kecuali jika pemegang gadai membebaskannya atau pemilik yang menggadaikan melunasi haknya secara sukarela. Bahkan jika kejahatan atas budak berkali-kali lipat lebih besar daripada hak pemegang gadai, ia tidak boleh mengurangi sedikit pun dari kejahatan tersebut, sebagaimana jika nilai budak meningkat di tangannya, ia tidak boleh mengambil kelebihan nilainya dari status budak tersebut kecuali jika pemilik budak yang menggadaikan secara sukarela menyerahkan seluruh hak pemegang gadai atas budak tersebut secara tunai. Jika ia melakukannya, maka itu diperbolehkan. Namun jika pemegang gadai ingin meninggalkan gadai dan tidak mengambil haknya secara tunai, maka hal itu tidak diperbolehkan, dan ia dipaksa untuk menerimanya kecuali jika ia ingin membatalkan haknya, maka haknya batal jika ia membatalkannya.
(Penulis berkata): Kejahatan atas budak perempuan yang digadaikan sama seperti kejahatan atas budak laki-laki yang digadaikan, tidak ada perbedaan kecuali dalam kejahatan yang berdampak pada selain dirinya. Misalnya, jika perutnya dipukul hingga keguguran, maka diyat janin diambil dan menjadi milik pemiliknya, tidak digadaikan bersamanya. Jika kejahatan menyebabkan kerusakan padanya yang mengurangi nilai tanpa luka yang meninggalkan bekas, maka pelaku hanya wajib membayar diyat janin, karena janinlah yang diputuskan hukumnya. Jika kejahatan atas budak perempuan menyebabkan luka dengan diyat tertentu atau memerlukan kompensasi (hukuman), dan ia keguguran, maka pelaku wajib membayar diyat luka atau kompensasi tersebut, yang menjadi gadai bersama budak perempuan, karena hukumnya terkait dengan dirinya, bukan janin. Adapun diyat janin menjadi milik pemiliknya yang menggadaikan, karena janin tidak termasuk dalam gadai.
Kejahatan atas setiap hewan yang digadaikan sama seperti kejahatan atas setiap budak yang digadaikan, tidak ada perbedaan kecuali bahwa pada hewan, kerusakan dan luka mengurangi nilainya, sedangkan luka pada budak dinilai seperti luka pada orang merdeka dalam hal diyat. Ada satu perbedaan: jika seseorang melakukan kejahatan pada hewan betina hingga keguguran dan janinnya mati, maka pelaku hanya wajib membayar penurunan nilai hewan tersebut akibat kejahatan berdasarkan nilai pada hari kejahatan terjadi dan saat keguguran yang mengurangi nilainya. Pelaku wajib membayar penurunan nilainya, yang menjadi gadai bersamanya. Jika kejahatan menyebabkan keguguran janin hidup yang kemudian mati di tempat, maka ada dua pendapat:
Pertama: Pelaku wajib membayar nilai janin saat keguguran karena ia telah melakukan kejahatan atasnya, dan tidak wajib membayar jika keguguran tidak mengurangi nilai induknya lebih dari itu.
Nilai janin (janin hewan) tidak dihitung kecuali jika terdapat luka yang menyebabkan cacat, maka penanggung jawab harus membayar nilai janin beserta kerugiannya, sebagaimana pendapat mengenai budak perempuan—keduanya tidak berbeda. Pendapat kedua menyatakan bahwa penanggung jawab wajib membayar nilai janin yang lebih tinggi atau kerugian yang mengurangi nilai induknya. Hal ini berbeda dengan kasus budak perempuan karena tidak ada qishas (hukum balas) untuk hewan dalam keadaan apa pun, sedangkan manusia memiliki qishas terhadap sebagian pelaku kejahatan.
Setiap kerusakan pada barang gadai non-manusia atau non-hewan dihitung berdasarkan berkurangnya nilai barang tersebut tanpa perbedaan. Barang gadai tetap berlaku bersama sisa barang yang rusak, kecuali jika pemilik memilih untuk menjadikannya sebagai qishas. Nilai kerusakan pada barang gadai non-manusia (seperti emas atau perak) harus dibayar, kecuali jika barang tersebut diukur atau ditimbang dan ada padanannya—misalnya gandum yang dihabiskan oleh seseorang, maka ia wajib mengganti dengan gandum serupa.
Jika terjadi kerusakan pada gandum yang digadaikan yang merusak fisiknya—seperti membusuk, memerah, atau menghitam—maka pelaku harus membayar selisih nilai gandum yang sehat sebelum kerusakan dan setelah kerusakan. Pelaku wajib membayar kerugian dalam bentuk dinar, dirham, atau mata uang yang umum digunakan di wilayah tempat kejahatan terjadi. Jika dinar lebih umum, maka pembayaran dalam dinar; jika dirham lebih umum, maka dalam dirham. Semua nilai dihitung berdasarkan dinar atau dirham.
Kerusakan pada budak dinilai dalam dinar atau dirham, bukan unta atau selain dinar dan dirham, kecuali pelaku, pemilik gadai, atau penerima gadai setuju untuk menerima pembayaran dalam bentuk lain yang sah. Jika budak yang digadaikan rusak atau hilang, maka penggantinya menjadi barang gadai baru. Pembayaran kerusakan juga menjadi bagian dari gadai, kecuali pemilik memilih untuk menjadikannya qishas.
Jika pemilik merusak budaknya sendiri yang digadaikan, hukumnya sama seperti kerusakan oleh orang lain—hak penerima gadai tidak boleh diabaikan. Pemilik tetap harus membayar diyat (denda) seperti orang lain. Jika ia memilih qishas, maka hak penerima gadai berkurang sesuai nilai diyat. Hal yang sama berlaku jika kerusakan dilakukan oleh anak, orang tua, atau istri pemilik gadai.
Jika budak milik pemilik (yang tidak digadaikan) merusak budaknya yang digadaikan, pemilik boleh memilih:
- Membayar diyat secara sukarela,
- Menganggapnya sebagai qishas terhadap hak gadai, atau
- Menjual budak yang merusak dan menggunakan hasilnya untuk membayar diyat, yang kemudian menjadi bagian gadai.
Kerusakan ini tidak diabaikan karena mengurangi nilai gadai penerima gadai, kecuali jika seseorang menggadaikan dua budak kepada satu penerima gadai dan salah satunya merusak yang lain—baik sengaja atau tidak—karena tidak ada qishas untuk hewan.
Pemilik gadai hanya berhak atas budak yang digadaikan sesuai hak sebelum kerusakan, dan penerima gadai hanya berhak atas budak perusak sesuai hak gadai sebelumnya. Oleh karena itu, kerusakan tersebut dianggap sia-sia.
Contoh: Jika seseorang menggadaikan satu budak seharga 1.000 dirham dan budak lain seharga 100 dinar (atau gandum timbangan), lalu salah satunya merusak yang lain, kerusakan itu dianggap sia-sia karena penerima gadai berhak atas keduanya, dan pemilik juga tetap memiliki keduanya—status kepemilikan sebelum dan sesudah kerusakan sama.
Jika seseorang menggadaikan dua budak kepada dua penerima gadai berbeda dan salah satu budak merusak yang lain, kerusakan itu diperlakukan seperti kerusakan oleh budak orang lain. Pemilik boleh memilih:
- Membayar diyat penuh, sehingga budak perusak tetap menjadi gadai, atau
- Menjual budak perusak dan menggunakan hasilnya untuk membayar diyat, yang kemudian menjadi gadai. Jika ada sisa, itu menjadi hak penerima gadai budak perusak. Jika ada kelebihan nilai setelah membayar diyat dan pemilik serta penerima gadai sepakat untuk menjualnya, maka kelebihannya menjadi gadai, kecuali pemilik memilih qishas.
Jika salah satu pihak ingin menjual tetapi yang lain menolak, mereka tidak bisa dipaksa selama ada sebagian harga yang cukup untuk menutup diyat.
Kerusakan oleh penerima gadai, orang tua, anak, atau budaknya terhadap barang gadai diperlakukan sama seperti kerusakan oleh orang lain—tidak ada perbedaan.
Jika hak itu segera (jatuh tempo) dan pemilik barang gadai (rahin) ingin menjadikan kerusakan (janiyah) sebagai qishas (pengganti hutang), maka boleh. Jika hak itu masih berjangka dan rahin ingin menjadikannya qishash, ia boleh melakukannya. Jika rahin tidak menghendaki, penerima gadai (murtahin) harus mengeluarkan nilai kerusakan tersebut, yang kemudian diserahkan kepada pihak yang adil yang memegang barang gadai. Jika barang gadai berada di tangan murtahin dan rahin ingin mengeluarkan barang gadai serta denda (arsh) kerusakan dari tangannya, dan kerusakan itu disengaja, maka itu haknya; karena kerusakan yang disengaja mengubah status barang gadai yang dipegangnya.
Jika kerusakan itu tidak disengaja, rahin tidak boleh mengeluarkannya dari tangan murtahin kecuali statusnya berubah dari amanah menjadi sesuatu yang bertentangan dengannya.
Jika seorang budak digadaikan dan mengalami kerusakan, maka rahin terbebas dari tanggungan gadai atas budak tersebut kecuali sebesar satu dirham atau kurang, baik budak itu memiliki kelebihan nilai atau tidak. Jika budak itu digadaikan sepenuhnya, ia tidak bisa dikeluarkan dari gadai kecuali tidak ada lagi sisa tanggungan. Demikian pula, tidak boleh mengeluarkan sebagian dari denda kerusakan, karena statusnya sama dengan barang gadai. Begitu pula jika ada beberapa budak yang digadaikan bersama, tidak ada yang bisa dikeluarkan dari gadai kecuali dengan membebaskan seluruh hak.
Jika seseorang menggadaikan setengah budaknya, lalu rahin merusak budak itu, ia wajib membayar setengah denda kerusakan kepada murtahin seperti yang dijelaskan, sedangkan setengahnya lagi gugur karena kerusakan itu terjadi pada bagian miliknya sendiri yang tidak ada hak orang lain di dalamnya. Jika kerusakan dilakukan oleh pihak luar, maka setengah denda menjadi gadai dan setengahnya lagi menjadi milik pemilik budak.
Jika pemilik budak memaafkan seluruh kerusakan, maka pemaafan atas bagian miliknya sah, tetapi pemaafan atas bagian yang menjadi hak murtahin tidak berlaku. Jika murtahin memaafkan kerusakan tanpa persetujuan rahin, pemaafannya batal karena ia tidak memiliki hak atas kerusakan tersebut; ia hanya berhak menahan sampai hutangnya dilunasi.
Baik hak murtahin jatuh tempo sekarang atau berjangka, jika ia berkata, “Aku menjadikan kerusakan ini sebagai qishash dari hakku,” itu tidak boleh jika haknya belum jatuh tempo. Jika haknya sudah jatuh tempo dan berupa dinar, sementara kerusakan dinilai dalam dinar atau dirham, maka qishash boleh dilakukan jika sejenis. Jika kerusakan dinilai dalam dirham sementara hutang dalam dinar, atau sebaliknya, qishash tidak boleh karena tidak sejenis.
Jika nilai hak lebih besar dari denda kerusakan, tidak boleh memaksa pemilik budak menerima pembayaran dalam bentuk yang tidak sepadan, seperti menerima makanan sebagai pengganti dinar atau sebaliknya.
Jika seorang budak merusak budak yang digadaikan, dan pemilik budak pelaku ingin menyerahkan budaknya sebagai budak yang merdeka karena kerusakan tersebut, itu tidak wajib bagi rahin kecuali jika ia menghendaki. Jika rahin setuju tetapi murtahin tidak, murtahin tidak bisa dipaksa, begitu pula sebaliknya, karena hak mereka adalah atas denda, bukan atas status budak tersebut.
Jika rahin dan murtahin ingin mengambil budak pelaku sebagai ganti kerusakan, sementara nilai kerusakan setara atau lebih besar dari nilai budak, tetapi pemilik budak pelaku menolak, mereka tidak berhak memaksa, karena hak atas kerusakan berbeda dari hak atas status budak. Status budak hanya bisa dijual, dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutang.
[Ar-Rahn Ash-Shaghir]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) ia berkata: (Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i -rahimahullah-), beliau berkata: “Dasar kebolehan gadai terdapat dalam Kitab Allah -Azza wa Jalla-: *’Jika kamu dalam perjalanan dan tidak menemukan penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.’* (QS. Al-Baqarah: 283).” (Asy-Syafi’i berkata): “Sunnah menunjukkan kebolehan gadai.”
Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai kebolehannya. Muhammad bin Isma’il bin Abi Fudaik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyib bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Gadai tidak tertutup bagi pemiliknya yang menggadaikannya. Baginya manfaatnya dan baginya pula tanggungannya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Hadits ini bersifat umum tentang gadai, dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengkhususkan satu jenis gadai tertentu sepengetahuan kami. Istilah gadai mencakup sesuatu yang jelas atau samar kerusakannya. Makna sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- (dan Allah Ta’ala lebih tahu) “gadai tidak tertutup oleh sesuatu” artinya jika hilang, tidak hilang begitu saja. Jika pemiliknya ingin menebusnya, ia tidak tertutup di tangan penerima gadai, seolah-olah penerima gadai berkata: “Aku telah menerimanya, maka ia menjadi milikku sesuai yang kuberikan untuknya.” Hal ini tidak mengubah syarat yang disepakati atau lainnya. Gadai tetap milik penggadai selamanya hingga ia mengeluarkannya dari kepemilikannya dengan cara yang sah.
Bukti atas hal ini adalah sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Gadai milik pemilik yang menggadaikannya,” kemudian beliau menjelaskan dan menegaskannya dengan bersabda: “Baginya manfaatnya dan baginya pula tanggungannya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Manfaatnya” berarti keamanan dan pertambahannya, sedangkan “tanggungannya” berarti kerusakan dan berkurangnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Seandainya seseorang menggadaikan barang senilai satu dirham dengan satu dirham, lalu barang itu rusak, maka hilanglah dirham tersebut tanpa membebani penggadai, karena yang rusak adalah harta penerima gadai, bukan harta penggadai. Sebab, penggadai telah mengambil satu dirham sebagai harga gadainya. Jika barang gadai rusak, penerima gadai tidak mendapatkan penggantian apa pun, sehingga ia tidak menanggung kerugian. Ia hanya kehilangan sesuatu yang setara dengan apa yang diambil dari harta orang lain. Maka, kerugian itu menjadi tanggungan penerima gadai, bukan penggadai.
Dia (Asy-Syafi’i) berkata: Jika kerugian menjadi tanggungan penerima gadai, berarti itu berasal dari penerima gadai, bukan penggadai. Pendapat ini bertentangan dengan riwayat dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
(Asy-Syafi’i berkata): Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama bahwa gadai adalah milik penggadai, dan jika ia ingin mengambilnya dari tangan penerima gadai, ia tidak bisa melakukannya berdasarkan syarat yang disepakati. Penggadai juga bertanggung jawab atas nafkahnya selama masih hidup dan berada di tangan penerima gadai, serta bertanggung jawab atas kafannya jika mati, karena itu adalah miliknya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika gadai dalam Sunnah dan ijma’ ulama adalah milik penggadai, maka penggadai menyerahkannya (bukan karena dipaksa atau menjualnya). Jika penggadai ingin mengambilnya kembali, ia tidak bisa, dan dihukum berdasarkan pengakuannya bahwa barang itu berada di tangan penerima gadai sesuai syarat. Lalu, apa alasan menjamin penerima gadai, sementara hakim memutuskan untuk menahannya sebagai jaminan hak yang disyaratkan pemiliknya? Pemiliknya juga bertanggung jawab atas nafkahnya. Yang wajib menjamin adalah orang yang melampaui batas dengan mengambil sesuatu yang bukan haknya atau menahan sesuatu yang menjadi milik orang lain yang wajib diserahkan, sementara ia tidak berhak menahannya.
Contohnya, jika seseorang membeli budak dari orang lain, lalu ia menyerahkan harganya, tetapi penjual menahan budak tersebut. Ini mirip dengan ghasab (perampasan). Penerima gadai tidak termasuk dalam makna ini—ia bukan pemilik gadai sehingga diwajibkan menjualnya, lalu menghalangi pemiliknya untuk memilikinya atau menyerahkannya. Gadai tetap milik penggadai, sehingga penerima gadai tidak melampaui batas dengan mengambil atau menahan gadai. Tidak ada alasan untuk menjaminnya dalam situasi apa pun. Ia hanyalah orang yang mensyaratkan untuk dirinya atas pemilik gadai suatu syarat yang halal dan mengikat sebagai jaminan haknya, mencari manfaat untuk dirinya, dan berhati-hati terhadap debitur—bukan berjudi dalam gadai. Sebab, jika gadai rusak, haknya juga hilang, maka penggadaiannya menjadi judi. Jika gadai selamat, haknya ada; jika rusak, haknya hilang.
Jika demikian, ini justru merugikan penerima gadai dalam beberapa kondisi. Sebab, jika haknya tetap menjadi tanggungan penggadai dan melekat pada seluruh hartanya selamanya, itu lebih baik baginya daripada haknya hanya terikat pada sebagian hartanya sebesar haknya. Jika barang itu rusak, penerima gadai yang rugi, sementara tanggungan penggadai bebas.
(Asy-Syafi’i) berkata: Kami tidak melihat tanggungan seseorang terbebas kecuali dengan membayar kepada kreditur apa yang menjadi haknya atau menggantinya dengan sesuatu yang disepakati, sehingga kreditur memiliki pengganti dan debitur bebas darinya, atau pemilik hak rela membebaskannya. Penerima gadai dan penggadai tidak termasuk dalam makna pembebasan atau penyelesaian.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata: “Tidakkah engkau melihat bahwa penerima gadai mengambil gadai seperti melunasi haknya?” Aku jawab: Jika itu melunasi haknya, dan gadainya adalah budak perempuan, maka ia telah memilikinya dan halal baginya untuk menikahinya, serta tidak wajib mengembalikannya kepada penggadai kecuali jika mereka berdua rela untuk melakukan transaksi baru. Di sisi lain, penerima gadai tidak bisa meminta haknya yang seharusnya dibayar setahun kemudian untuk diambil hari ini tanpa kerelaan debitur. Maka, ini bukan pelunasan.
Lalu bagaimana? Aku jawab: …
Ia tertahan di tangan pemberi pinjaman dengan haknya, dan tidak ada tanggungan atasnya dalam hal itu. Lalu dikatakan kepadanya dengan kabar, sebagaimana rumah yang tertahan dengan sewa di dalamnya, kemudian rumah itu rusak karena roboh atau sebab kerusakan lainnya, maka tidak ada tanggungan bagi penyewa. Jika penyewa telah membayar sewa sebelumnya, ia dapat meminta kembali dari pemilik rumah. Begitu pula jika seorang budak disewakan atau unta dikontrakkan, maka ia tertahan berdasarkan syarat, dan tidak ada tanggungan pada keduanya, atau pada orang merdeka sekalipun jika disewakan lalu binasa.
(Imam Syafi’i berkata): Sesungguhnya gadai itu adalah jaminan seperti penjaminan. Seandainya seseorang memiliki hak seribu dirham atas orang lain, lalu sekelompok orang menjadi penjamin atasnya saat hak itu jatuh tempo atau setelahnya, maka hak tetap pada yang berutang, sedangkan para penjamin bertanggung jawab seluruhnya. Jika yang berutang tidak melunasi, maka pemilik hak dapat menagih para penjamin sesuai syarat yang disepakati. Yang berutang tidak terbebas sedikit pun hingga haknya terpenuhi seluruhnya. Jika para penjamin binasa atau menghilang, hal itu tidak mengurangi haknya, dan ia dapat menagih kembali pada yang berutang asal.
Demikian pula gadai, kebinasaannya atau berkurangnya tidak mengurangi hak penerima gadai. Sunnah yang menjelaskan bahwa gadai tidak dijamin, dan seandainya tidak ada sunnah, kami tidak mengetahui para ulama berselisih dalam hal yang kami jelaskan bahwa gadai adalah milik pemberi gadai, dan penerima gadai berhak menahannya sesuai haknya tanpa melampaui batas, menunjukkan jelas bahwa gadai tidak dijamin.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa gadai jika berupa barang yang kebinasaannya jelas seperti rumah, kebun kurma, atau budak, berbeda dengan sebagian lainnya yang menyatakan gadai yang kebinasaannya tersembunyi. (Imam Syafi’i berkata): Istilah gadai mencakup yang kebinasaannya jelas dan tersembunyi. Hadis datang secara umum dan jelas, dan yang bersifat umum dan jelas tetap pada keumumannya kecuali ada penjelasan dari sumbernya atau perkataan umum yang menunjukkan kekhususan atau makna batin. Kami tidak mengetahui adanya penjelasan seperti itu dari Rasulullah ﷺ yang dapat dijadikan rujukan. Jika hal ini boleh tanpa penjelasan, maka boleh pula bagi seseorang untuk mengatakan bahwa gadai yang hilang jika binasa, hak penerima gadai juga binasa jika kebinasaannya jelas; karena yang kebinasaannya jelas tidak berada dalam posisi amanah, seolah keduanya rela dengan isinya atau dijamin nilainya.
Adapun yang kebinasaannya tersembunyi, pemiliknya rela menyerahkannya kepada penerima gadai, meski tahu risikonya, maka ia adalah amanah. Jika binasa, tidak mengurangi harta penerima gadai. Pendapat ini tidak sah jika boleh dikhususkan tanpa dalil.
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat yang benar menurut kami adalah bahwa gadai seluruhnya amanah, karena pemiliknya menyerahkannya dengan rela dan hak yang melekat padanya seperti penjaminan. Gadai tidak keluar dari status amanah. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang kebinasaannya jelas atau tersembunyi dalam amanah sama-sama tidak dijamin, atau jika dijamin, maka keduanya sama, kecuali ada sunnah atau aturan yang membedakannya tanpa pertentangan. Kami tidak mengetahui hal itu bersama yang berpendapat demikian dari sahabat kami.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian ulama juga berpendapat demikian, namun tidak ada yang lebih kuat dari sabda Rasulullah ﷺ.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian orang menyelisihi kami dalam hal gadai, mereka berpendapat jika seseorang menggadaikan barang dengan haknya, maka gadai itu dijamin. Jika gadai binasa, maka dilihat: jika nilainya kurang dari utang, penerima gadai dapat menagih sisa dari pemberi gadai. Jika nilainya sama atau lebih, penerima gadai tidak menagih apa pun, dan pemberi gadai juga tidak menagih apa pun.
(Imam Syafi’i berkata): Seolah dalam pendapat mereka, seseorang menggadaikan seribu dirham untuk utang seratus dirham. Jika seribu dirham binasa, maka seratus dengan seratus, dan sisanya sembilan ratus adalah amanah. Atau seseorang menggadaikan seratus dengan seratus, jika seratus binasa, maka gadai sesuai isinya. Atau seseorang menggadaikan lima puluh dirham untuk utang seratus dirham, jika lima puluh binasa, maka hilang lima puluh, lalu penerima gadai menagih sisa lima puluh dari pemberi gadai.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula dalam pendapat mereka tentang barang yang nilainya seperti yang kami sebutkan.
(Imam Syafi’i berkata): Lalu dikatakan kepada sebagian yang berpendapat demikian, pendapat ini tidak lurus menurut ahli ilmu. Mereka menjawab berdasarkan akal, karena kalian menjadikan satu gadai kadang dijamin seluruhnya, kadang sebagian, kadang sebagian sesuai isinya, kadang menagih sisa. Dalam pendapat kalian, ia tidak dijamin sebagaimana yang seharusnya dijamin; karena apa—
Dalam (jaminan) hanya yang dijamin dengan barangnya, jika hilang maka nilainya, dan tidak dengan hak yang ada di dalamnya. Dari mana kalian mengatakan ini? Ini tidak bisa diterima kecuali dengan riwayat yang mewajibkan orang untuk menerimanya, dan mereka tidak punya pilihan selain menyerahkannya.
Mereka berkata: Kami meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata: “Keduanya saling menanggung kelebihan.” Kami katakan: Jika beliau berkata “Keduanya saling menanggung kelebihan,” maka itu bertentangan dengan pendapat kalian dan menunjukkan bahwa tidak ada bagian amanah di dalamnya. Sedangkan perkataan Ali bahwa seluruhnya dijamin, baik ada kelebihan atau tidak, sama seperti semua jaminan yang jika hilang maka nilainya yang berlaku.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami katakan: Kalian telah meriwayatkan itu dari Ali – karramallahu wajhah – dan itu sahih menurut kami melalui riwayat sahabat-sahabat kami. Namun, kalian menyelisihinya. Dia bertanya: Di mana? Kami jawab: Kalian mengklaim bahwa beliau berkata “Keduanya saling menanggung kelebihan,” sementara kalian mengatakan jika seseorang menggadaikan seribu dengan seratus dirham, maka seratus dengan seratus, dan sisanya sembilan ratus sebagai amanah. Sedangkan riwayat dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – menyatakan bahwa penggadai berhak menuntut penerima gadai atas sembilan ratus tersebut.
Dia berkata: Kami meriwayatkan dari Syuraih bahwa ia berkata: “Gadai itu sesuai dengan nilai yang ada di dalamnya, meskipun hanya cincin besi.” Kami katakan: Kalian juga menyelisihinya. Dia bertanya: Di mana? Kami jawab: Kalian mengatakan jika seseorang menggadaikan seratus dengan seribu, atau cincin senilai satu dirham dengan sepuluh, lalu barang gadai rusak, maka pemilik hak (penerima gadai) berhak menuntut penggadai sembilan ratus dari pokoknya dan sembilan dari pokok cincin. Sedangkan Syuraih tidak mengembalikan satu pun dari keduanya dalam kondisi apa pun.
Dia berkata: Mush’ab bin Tsabit meriwayatkan dari ‘Atha bahwa seorang laki-laki menggadaikan kuda kepada orang lain, lalu kuda itu mati. Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Hakmu telah hilang.”
(Asy-Syafi’i berkata): Dikatakan kepadanya: Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Mush’ab bin Tsabit dari ‘Atha, ia berkata: Al-Hasan berpendapat demikian, lalu menyebutkan perkataan ini. Ibrahim berkata: ‘Atha merasa heran dengan apa yang diriwayatkan Al-Hasan. Beberapa orang yang terpercaya mengabarkan kepadaku dari Mush’ab dari ‘Atha dari Al-Hasan. Sebagian orang yang kupercaya juga mengabarkan bahwa seorang ulama meriwayatkannya dari Mush’ab dari ‘Atha dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan diam tentang Al-Hasan.
Dikatakan kepadanya: Para sahabat Mush’ab meriwayatkannya dari ‘Atha dari Al-Hasan. Ia menjawab: Ya, demikian juga yang kami dengar. Namun, riwayat ‘Atha terputus, dan kebetulan dari Al-Hasan juga terputus.
(Asy-Syafi’i berkata): Di antara yang menunjukkan kelemahan riwayat ini menurut ‘Atha—jika ia benar meriwayatkannya—adalah bahwa ‘Atha berfatwa yang bertentangan dan berpendapat berbeda dalam hal ini. Ia mengatakan bahwa barang yang jelas kerusakannya adalah amanah, sedangkan yang tersembunyi, keduanya saling menanggung kelebihan. Ini lebih kuat riwayatnya darinya. Ada juga yang meriwayatkan darinya bahwa keduanya saling menanggung secara mutlak. Kami tidak ragu bahwa ‘Atha—insya Allah—tidak meriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – sesuatu yang ia yakini lalu berpendapat yang bertentangan. Selain itu, aku tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkan ini dari ‘Atha secara marfu’ kecuali Mush’ab. Dan orang yang meriwayatkan ini dari ‘Atha secara marfu’ justru sependapat dengan Syuraih bahwa “gadai itu sesuai dengan nilai yang ada di dalamnya.”
Dia bertanya: Bagaimana bisa sependapat? Kami jawab: Bisa saja kuda itu lebih besar, sama, atau lebih kecil dari nilai hak yang ada. Dan tidak ada riwayat bahwa Nabi menanyakan nilai kuda. Ini menunjukkan bahwa jika beliau mengatakannya, beliau berpendapat bahwa gadai itu sesuai dengan nilai yang ada di dalamnya.
Dia bertanya: Lalu mengapa kalian tidak mengambil pendapat ini? Kami jawab: Seandainya riwayat ini sendirian, ia tidak termasuk riwayat yang bisa dijadikan hujjah. Apalagi kami telah meriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – perkataan yang jelas dan terperinci, beserta argumen yang kami sebutkan dan kami diamkan.
Dia bertanya: Mengapa kalian menerima riwayat mursal dari Ibnul Musayyab, tetapi tidak menerimanya dari selainnya? Kami jawab: Kami tidak menemukan bahwa Ibnul Musayyab meriwayatkan secara mursal kecuali ada indikasi yang membenarkannya. Tidak ada jejaknya dari seorang pun—sepanjang pengetahuan kami—kecuali dari perawi tsiqah yang dikenal. Jadi, siapa pun yang seperti keadaannya, kami terima riwayat mursalnya. Sedangkan yang lain, mereka menyebutkan nama yang tidak dikenal, atau meriwayatkan dari orang yang dihindari, atau meriwayatkan secara mursal dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – atau dari sebagian sahabat yang tidak dijumpai, dengan riwayat yang aneh dan tidak ada penguatnya. Maka kami membedakan mereka karena perbedaan riwayat mereka. Kami tidak memihak siapa pun, tetapi kami berpendapat berdasarkan bukti yang jelas tentang keshahihan riwayatnya.
Beberapa ulama telah mengabarkan kepadaku dari Yahya bin Abi Unaisah dari Ibnu Syihab dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – seperti hadits Ibnu Abi Dzi’b.
Dia bertanya: Mengapa kalian tidak mengambil pendapat Ali dalam hal ini? Kami jawab: Jika riwayat dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – sahih menurut kami, maka kami, kalian, dan semua ulama sepakat bahwa kami tidak boleh meninggalkan apa yang datang dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – untuk mengambil yang datang dari selain beliau.
Dia berkata: Abdul A’la At-Taghlibi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib yang mirip dengan pendapat kami. Kami katakan: Riwayat dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – bahwa “keduanya saling menanggung kelebihan” lebih sahih.
Dari riwayat Abdul A’la, dan kami telah melihat para pengikut kalian melemahkan riwayat Abdul A’la yang tidak ada penentangnya dengan pelemahan yang sangat keras, lalu bagaimana dengan riwayat yang ditentang oleh orang yang lebih dekat kepada kebenaran dan lebih berhak atasnya?
(Imam Syafi’i berkata): Dikatakan kepada orang yang berpendapat demikian, “Engkau telah keluar dari apa yang diriwayatkan dari Atha’ yang marfu’, dan dari dua riwayat yang paling sahih dari Ali -radhiyallahu ‘anhu-, dan dari Syuraih, serta dari apa yang kami riwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada pendapat yang engkau riwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’i. Padahal, diriwayatkan pula dari Ibrahim pendapat yang berlawanan, dan seandainya riwayat dari Ibrahim tidak berbeda menurut anggapanmu, pendapatnya tetap tidak mengikat. Engkau juga telah mengatakan pendapat yang kontradiktif, keluar dari pendapat umum manusia. Tidak ada pendapat manusia dalam hal ini kecuali memiliki sisi kebenaran, meskipun lemah, kecuali pendapat kalian yang sama sekali tidak memiliki sisi kebenaran yang kuat maupun lemah. Kemudian, kalian tidak segan-segan melemahkan orang yang menyelisihi pendapat orang yang mengatakan bahwa keduanya saling menuntut kelebihan, dengan mengatakan, ‘Ia tidak menyerahkannya sebagai amanah atau jual beli, melainkan menahannya karena sesuatu. Jika barang itu rusak, keduanya saling menuntut kelebihannya.’ Demikian pula setiap barang yang dijamin, jika rusak, penjamin harus membayar nilainya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Ini lemah, karena bagaimana mungkin keduanya saling menuntut kelebihannya? Jika seperti jual beli, maka ia adalah apa adanya. Jika ditahan karena hak, apa artinya ia dijamin padahal tidak ada perampasan dari pihak penerima gadai, tidak pula pelanggaran dalam penahanannya, sementara ia membolehkan penahanan itu?”
(Imam Syafi’i berkata): “Alasan orang yang berpendapat bahwa gadai adalah apa adanya adalah bahwa pemberi dan penerima gadai telah rela bahwa hak ada pada barang gadai. Jika barang itu rusak, maka rusaklah hak itu karenanya, sebab ia seperti pengganti dari hak. Ini lemah. Selama keduanya tidak rela, maka kepemilikan pemberi gadai atas barang gadai tetap jelas sampai penerima gadai memilikinya. Seandainya penerima gadai memilikinya, ia tidak bisa dikembalikan kepada pemberi gadai.”
(Imam Syafi’i berkata): “Sunah telah tetap menurut kami -dan Allah Ta’ala lebih mengetahui- kami katakan, tidak ada hujah selain Sunah, dan tidak ada dalam Sunah kecuali mengikutinya, meskipun ia adalah pendapat yang paling sahih dari awal hingga akhir.”
(Dia berkata): Dikatakan kepada sebagian orang yang berpendapat seperti yang kami sebutkan, “Engkau telah salah karena menyelisihi Sunah dan salah karena menyelisihi apa yang engkau katakan sendiri.” Dia bertanya, “Di mana aku menyelisihi apa yang aku katakan?” Aku menjawab, “Engkau mencela kami karena kami berpendapat bahwa itu adalah amanah, dan hujah kami adalah apa yang telah kami sebutkan dan selainnya, yang cukup dalam hal ini. Lalu bagaimana engkau mencela pendapat yang engkau sendiri setuju dengan sebagiannya?” Dia berkata kepadaku, “Di mana?” Aku menjawab, “Engkau berpendapat bahwa gadai itu dijamin.” Dia berkata, “Ya.” Kami bertanya, “Pernahkah engkau melihat barang yang dijamin rusak, lalu penjamin membayar nilainya berapapun harganya?” Dia menjawab, “Tidak, kecuali gadai.” Kami berkata, “Jika gadai menurutmu dijamin, mengapa tidak seperti ini jika nilainya seribu dan digadaikan sebesar seratus? Mengapa penerima gadai tidak menjamin sembilan ratus jika ia dijamin seperti yang engkau sebutkan?” Dia berkata, “Ia adalah amanah dalam kelebihannya.” Kami bertanya, “Apakah makna kelebihan berbeda dengan selainnya?” Dia menjawab, “Ya, karena kelebihan bukan gadai.” Kami berkata, “Jika engkau katakan itu bukan gadai, apakah pemiliknya boleh mengambilnya?” Dia menjawab, “Pemiliknya tidak boleh mengambilnya sampai melunasi apa yang ada padanya.” Kami bertanya, “Mengapa?” Dia menjawab, “Karena itu gadai.” Kami berkata, “Jadi itu adalah satu gadai yang ditahan dengan satu hak, sebagiannya dijamin dan sebagiannya amanah.” Dia menjawab, “Ya.” Kami berkata, “Apakah engkau menerima pendapat seperti ini dari orang yang menyelisihimu? Seandainya orang lain mengatakan ini, engkau akan melemahkannya dengan sangat keras menurut pandanganmu, dan engkau akan berkata, ‘Bagaimana mungkin satu hal yang diserahkan dengan satu sebab, sebagiannya amanah dan sebagiannya dijamin?'”
(Imam Syafi’i berkata): Kami berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang seorang budak perempuan yang nilainya seribu digadaikan sebesar seratus, dan seribu dirham digadaikan sebesar seratus? Bukankah budak perempuan itu seluruhnya digadaikan sebesar seratus, dan seribu dirham seluruhnya digadaikan sebesar seratus?” Dia menjawab, “Ya.” Kami berkata, “Semuanya tergadai, tidak boleh diambil, dan tidak boleh dimasukkan orang lain ke dalam gadai bersamanya, karena semuanya digadaikan dengan seratus, diserahkan dengan satu penyerahan karena satu hak, sehingga tidak ada sebagian yang terlepas dari sebagian lainnya.” Dia menjawab, “Ya.” Kami berkata, “Sepersepuluh budak perempuan itu dijamin dan sembilan per sepuluhnya amanah, seratus dijamin dan sembilan ratus amanah?” Dia menjawab, “Ya.” Kami berkata, “Lalu apa yang engkau cela dari pendapat kami bahwa itu tidak dijamin, sementara engkau sendiri mengatakan sebagian besarnya tidak dijamin?”
(Imam Syafi’i berkata): Dikatakan kepadanya, “Jika budak perempuan itu diserahkan dengan sembilan per sepuluhnya keluar dari jaminan, dan seribu dirham juga demikian, lalu apa pendapatmu jika harga budak perempuan itu turun hingga menjadi seratus?” Dia menjawab, “Seluruh budak perempuan itu dijamin.” Dikatakan, “Jika setelah turun, harganya naik hingga menjadi dua ribu?” Dia menjawab, “Kelebihannya keluar dari jaminan, dan setengah per sepuluhnya menjadi dijamin, sedangkan sembilan belas bagian dari dua puluh bagian tidak dijamin.” Kami berkata, “Lalu jika turun lagi hingga menjadi seratus?” Dia menjawab, “Ya, seluruhnya kembali dijamin.” Dia berkata, “Demikian pula budak-budak perempuan atau barang gadai yang bernilai sepuluh ribu digadaikan sebesar seribu, maka sembilan…”
Sepersepuluh mereka keluar dari gadai dengan jaminan dan sepersepuluh dijamin padanya. Maka aku berkata kepada sebagian mereka, “Seandainya orang lain mengatakan ini, kalian mungkin akan berkata, ‘Tidak halal bagimu berbicara dalam fatwa sementara kamu tidak tahu apa yang kamu ucapkan. Bagaimana mungkin satu gadai dengan satu hak, sebagiannya amanah dan sebagiannya dijamin, lalu bertambah sehingga yang semula dijamin keluar dari jaminan? Karena jika menurut kalian ia diserahkan seharga seratus dan nilainya seratus, maka semuanya dijamin. Jika bertambah, sebagiannya keluar dari jaminan. Kemudian jika berkurang, ia kembali ke dalam jaminan.'”
Dan dia mengklaim bahwa jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan dengan harga seribu, sementara nilainya seribu, lalu budak itu melahirkan anak-anak yang bernilai ribuan, maka budak perempuan itu seluruhnya dijamin, sedangkan anak-anaknya seluruhnya tergadai tetapi tidak dijamin. Pemiliknya tidak boleh mengambil mereka karena mereka tergadai, tetapi tidak dijamin. Kemudian jika ibu mereka meninggal, mereka menjadi dijamin sesuai perhitungan. Jadi, mereka semua pada suatu saat tergadai dan keluar dari jaminan, dan pada saat lain sebagian mereka masuk ke dalam jaminan sementara sebagian lainnya keluar.
(Asy-Syafi’i berkata): Maka dikatakan kepada orang yang berpendapat demikian, “Tidak ada yang lebih buruk dan lebih kontradiktif daripada pendapat kalian yang aku ketahui.” Seorang yang kupercaya memberitahuku tentang sebagian orang yang dianggap berilmu di antara mereka, bahwa dia berkata, “Jika seseorang menggadaikan budak perempuan dengan harga seribu, lalu melunasi seribu itu kepada penerima gadai dan menerimanya darinya, kemudian menuntut budak perempuan itu, lalu budak itu meninggal sebelum diserahkan kepadanya, maka kerugiannya ditanggung oleh penggadai, dan uang seribu itu menjadi milik penerima gadai karena itu adalah haknya.” Jika demikian, berarti mereka telah sepakat dengan pendapat kami dan meninggalkan seluruh pendapat mereka. Dan ini tidak lebih aneh daripada apa yang telah kami jelaskan dan hal-hal serupa lainnya yang kami diamkan.
(Asy-Syafi’i berkata): Lalu seseorang di luar mereka berkata kepadaku, “Kami berpendapat bahwa gadai mencakup apa yang ada di dalamnya. Tidakkah kamu melihat bahwa ketika gadai diserahkan, maksudnya dengan sesuatu yang spesifik? Ini menunjukkan bahwa penggadai dan penerima gadai telah rela bahwa hak itu ada pada barang gadai.” Kami menjawab, “Itu tidak menunjukkan seperti yang kamu katakan.” Dia bertanya, “Bagaimana?” Kami menjawab, “Mereka hanya bertransaksi dengan ketentuan bahwa hak itu tetap pada pemilik gadai, dan gadai itu sebagai jaminan bersama hak, seperti halnya jaminan.” Dia berkata, “Sepertinya lebih dekat pada kerelaan?” Kami menjawab, “Kerelaan hanya terjadi jika mereka saling menjualbelikannya, sehingga menjadi milik penerima gadai. Saat itulah ada kerelaan dari keduanya, dan tidak kembali ke kepemilikan penggadai kecuali dengan akad jual beli baru. Ini menurut pendapat kami. Sedangkan menurut pendapatmu, itu milik penggadai. Lalu di mana kerelaan keduanya sementara itu milik penggadai, untuk berpindah dari kepemilikan penggadai ke penerima gadai? Jika kamu mengatakan kerelaan hanya terjadi jika barang itu rusak, maka seharusnya kerelaan itu terjadi saat akad dan penyerahan. Padahal akad dan penyerahan terjadi sementara itu masih milik penggadai, dan status hukumnya tidak berubah dari saat penyerahan, karena menurut kami dan menurutmu, hukum dalam setiap akad didasarkan pada saat akad.”
[Gadai Bersama]
(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Tidak masalah seseorang menggadaikan separuh tanahnya, separuh rumahnya, atau satu saham dari saham-saham yang masih berserikat (belum dibagi), selama keseluruhannya diketahui dan bagian yang digadaikan juga diketahui. Tidak ada perbedaan antara ini dan jual beli. Sebagian orang berpendapat bahwa gadai tidak sah kecuali jika diterima secara fisik dan terpisah, tidak bercampur dengan lainnya. Mereka berargumen dengan firman Allah Ta’ala, “Maka barang jaminan yang diterima.” (QS. Al-Baqarah: 283).
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berkata, “Mengapa gadai tidak sah kecuali jika diterima secara fisik dan terpisah, padahal bisa saja diterima secara fisik meskipun masih berserikat dan belum terpisah?” Seorang penanya berkata, “Bagaimana mungkin diterima secara fisik sementara kamu tidak tahu bagian mana yang dimaksud? Dan bagaimana mungkin diterima secara fisik pada seorang budak sementara budak tidak bisa dibagi?”
Aku menjawab, “Penerimaan fisik, jika dianggap sebagai satu istilah, tidak mungkin menurutmu kecuali dengan satu makna, padahal ia bisa memiliki berbagai makna.” Dia berkata, “Tidak, itu hanya satu makna.” Aku berkata, “Bukankah kamu menerima fisik dinar, dirham, dan benda kecil dengan tangan? Dan menerima fisik rumah dengan menyerahkan kunci, serta tanah dengan penyerahan?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Ini jelas berbeda.” Dia berkata, “Semuanya disatukan oleh fakta bahwa itu terpisah dan tidak bercampur dengan apa pun.” Aku berkata, “Kamu telah meninggalkan pendapat pertama dan mengatakan pendapat lain, dan insya Allah kamu akan meninggalkannya juga.” Dan aku berkata, “Sepertinya menurutmu penerimaan fisik tidak pernah terjadi kecuali pada sesuatu yang terpisah dan tidak bercampur.” Dia menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Lalu apa pendapatmu tentang separuh rumah dan separuh tanah?”
Dan setengah budak dan setengah pedang yang kubeli darimu dengan harga yang diketahui?” Dia berkata, “Boleh.” Aku bertanya, “Dan aku tidak wajib membayar harganya sampai engkau menyerahkan apa yang kubeli agar aku menerimanya?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Ketika aku membeli, aku berniat membatalkan transaksi. Aku katakan, engkau menjual kepadaku setengah rumah secara bersama-sama, aku tidak tahu apakah bagian timur rumah itu atau bagian baratnya, dan setengah budak yang tidak bisa dipisahkan selamanya, tidak bisa dibagi, dan engkau tidak mengizinkanku untuk membaginya karena ada kerugian di dalamnya. Maka, aku membatalkan transaksi antara aku dan engkau.” Dia berkata, “Itu bukan hakmu.” Menerima setengah rumah, setengah tanah, setengah budak, dan setengah pedang berarti menyerahkannya tanpa ada penghalang di antaranya. Aku berkata, “Engkau tidak membolehkan jual beli kecuali jika diketahui, sedangkan ini tidak diketahui.” Dia menjawab, “Meskipun tidak diketahui secara spesifik dan terpisah, semuanya diketahui dan bagianmu dari keseluruhan sudah dihitung.” Aku berkata, “Meskipun sudah dihitung, aku tidak tahu di mana letaknya.” Dia berkata, “Engkau adalah mitra dalam keseluruhan.” Aku berkata, “Maka itu tidak diterima karena tidak terpisah, dan engkau mengatakan bahwa apa yang tidak terpisah tidak dianggap diterima, sehingga gadai menjadi batal. Engkau juga berkata bahwa penerimaan berarti harus terpisah.” Dia menjawab, “Bisa terpisah dan bisa juga tidak terpisah.”
Aku bertanya, “Bagaimana bisa dianggap diterima padahal tidak terpisah?” Dia menjawab, “Karena keseluruhan diketahui, dan jika keseluruhan diketahui, maka sebagiannya bisa dihitung.” Aku berkata, “Engkau telah meninggalkan pendapatmu yang pertama dan kedua. Jika ini seperti yang engkau jelaskan, mengapa jual beli diperbolehkan padahal jual beli hanya sah jika diketahui? Engkau menganggapnya diketahui dan sempurna dengan penerimaan, karena menurutmu jual beli tidak sempurna sampai pembeli diwajibkan membayar harganya kecuali jika sudah diterima. Maka, menurutmu ini dianggap penerimaan. Namun, engkau berpendapat bahwa dalam gadai ini bukan penerimaan, sehingga tidak bisa lepas dari kesalahanmu: apakah pendapatmu bahwa dalam gadai tidak ada penerimaan, atau pendapatmu bahwa dalam jual beli ada penerimaan.”
(Imam Syafi’i berkata): Penerimaan adalah istilah umum yang mencakup berbagai makna tergantung konteks. Selama sesuatu itu diketahui, atau keseluruhan diketahui dan bagian dari keseluruhan adalah bagian yang diketahui, serta diserahkan tanpa ada penghalang, maka itu dianggap penerimaan. Penerimaan emas, perak, pakaian, atau tanah berarti diserahkan di tempatnya tanpa ada penghalang. Penerimaan banyak rumah dan tanah adalah dengan menyerahkan kunci atau tanda kepemilikannya, budak diserahkan di hadapan penerima, dan kepemilikan bersama atas tanah atau lainnya berarti tidak ada penghalang. Semua ini adalah bentuk penerimaan yang berbeda, tetapi disatukan oleh istilah “penerimaan.” Meskipun caranya berbeda, yang menyatukannya adalah bahwa objek dan keseluruhannya diketahui, tidak ada penghalang, dan diserahkan. Jika demikian, maka itu dianggap diterima. Apa yang dianggap penerimaan dalam jual beli, juga dianggap penerimaan dalam gadai, tidak ada perbedaan.
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mendengar seorang pun di kalangan kami yang menyelisihi pendapatku bahwa gadai dalam hal ini diperbolehkan. Perbedaan pendapat yang ada tidak bisa dijadikan dalil dengan atsar sebelumnya yang wajib diikuti, karena ini bukan qiyas atau sesuatu yang logis. Mereka terjerumus dalam mengikuti pendapat yang mewajibkan mereka membedakan dua hal ketika atsar membedakannya, sampai mereka menyelisihi atsar dalam sebagian hal karena mereka menganggap beberapa hal sama. Kemudian muncul hal-hal yang tidak ada atsarnya, dan mereka membedakannya berdasarkan pendapat mereka sendiri. Padahal, kami dan mereka sepakat bahwa atsar harus diikuti sebagaimana datangnya, sedangkan dalam hal yang kami katakan dan kami putuskan dengan pendapat, kami tidak menerima kecuali qiyas yang benar berdasarkan atsar.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemberi gadai dan penerima gadai melakukan transaksi dengan syarat gadai, yaitu barang gadai diserahkan ke tangan penerima gadai, maka itu boleh. Jika mereka menyerahkannya ke tangan orang yang adil, itu juga boleh. Tidak ada hak bagi salah satu dari mereka untuk mengeluarkannya dari tempat penyerahan kecuali jika mereka sepakat untuk mengeluarkannya. (Imam Syafi’i berkata): Jika dikhawatirkan terjadi sesuatu pada barang yang diserahkan, dan salah satu pihak meminta untuk mengeluarkannya, maka hakim sebaiknya memeriksa apakah keadaannya telah berubah dari kepercayaan sebelumnya sehingga tidak lagi amanah, lalu mengeluarkannya dan memerintahkan mereka untuk berdamai. Jika mereka melakukannya, baik; jika tidak, hakim memutuskan untuk mereka sebagaimana dia memutuskan perkara lain yang tidak mereka sepakati. Jika orang yang memegang barang gadai meninggal, maka mereka harus berdamai, atau hakim akan memutuskan untuk mereka jika mereka tidak mau berdamai.
(Imam Syafi’i berkata): Jika penerima gadai meninggal dan barang gadai masih di tangannya, sedangkan pemberi gadai tidak rela dengan wasiat atau ahli warisnya, maka dikatakan kepada ahli waris—jika sudah baligh—atau walinya—jika belum baligh—, “Berundinglah dengan pemilik gadai.” Jika mereka melakukannya, baik; jika tidak, hakim akan menyerahkannya kepada orang yang adil, karena pemberi gadai tidak rela dengan kepercayaan ahli waris atau wali. Karena ahli waris berhak menahan barang gadai sampai haknya terpenuhi, maka dia berhak untuk berunding sebagaimana kami jelaskan jika dia memiliki wewenang atas hartanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemberi gadai meninggal…
Agama adalah keadaan, dan gadai dijual. Jika hutang terlunasi, maka itu sudah cukup. Jika ada kelebihan dari harga gadai, dikembalikan kepada ahli waris orang yang meninggal. Jika nilai gadai kurang dari hutang, pemilik hak menuntut sisa haknya dari harta warisan orang yang meninggal, dan dia setara dengan kreditur lainnya terkait sisa hutangnya.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada seorang pun dari kreditur yang boleh ikut serta dalam harga gadainya sampai dia melunasinya. Namun, dia boleh ikut dengan kreditur lainnya jika masih ada haknya dalam harta orang yang meninggal selain yang digadaikan, jika gadainya dijual tetapi tidak mencukupi.
(Imam Syafi’i berkata): Jika gadai berada di tangan seorang yang adil, dan keduanya menyerahkannya kepada orang adil itu untuk dijual, maka dia boleh menjualnya ketika jatuh tempo. Jika dia menjualnya sebelum jatuh tempo tanpa izin dari keduanya, maka penjualannya batal. Jika barangnya hilang, dia harus menanggung nilainya jika diinginkan oleh pemberi gadai atau penerima gadai, terutama jika nilainya lebih tinggi dari harga jualnya. Jika tidak, pemberi gadai berhak menerima harga jual gadai, sedikit atau banyak. Jika mereka sepakat untuk menahan nilai tersebut hingga jatuh tempo, maka boleh. Jika tidak, mereka boleh menyerahkannya kepada orang lain, karena menjual gadai sebelum jatuh tempo bertentangan dengan amanah.
Jika dia menjualnya setelah jatuh tempo dengan harga yang tidak wajar menurut standar umum, penjualan bisa dibatalkan jika diinginkan. Jika barangnya sudah tidak ada, ada dua pendapat:
- Dia menanggung nilainya sepenuhnya, membayar hak pemilik hutang, dan kelebihannya menjadi milik pemilik gadai.
- Dia hanya menanggung selisih dari harga yang tidak wajar, karena jika dia menjual dengan harga yang wajar, penjualannya sah. Jadi, dia hanya menanggung apa yang seharusnya tidak dia lakukan.
(Imam Syafi’i berkata): Batasan harga wajar sangat bervariasi tergantung naik turunnya harga dan spesifikasi barang. Dua orang ahli yang adil dalam bidang barang tersebut harus dimintai pendapat: “Apakah para ahli biasa menjual dengan harga seperti ini?” Jika mereka menjawab “ya,” maka sah. Jika “tidak,” maka dibatalkan jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, berlaku pendapat seperti yang telah dijelaskan.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak perlu memperhatikan harga wajar menurut orang yang bukan ahli. Beberapa sahabatnya berpendapat bahwa batasan harga wajar adalah sepertiga dari sepuluh. Jika lebih dari sepertiga, para ahli tidak akan menerimanya.
(Imam Syafi’i berkata): Para ahli dalam permata, sutera, dan budak biasanya menerima selisih harga hingga tiga dirham atau lebih. Namun, untuk gandum, minyak, mentega, dan kurma, mereka tidak menerima lebih dari satu dirham per lima puluh, karena barang-barang ini lebih umum dan mudah dinilai.
(Imam Syafi’i berkata): Jika orang yang dipercaya menjual gadai dan uangnya hilang, dia dianggap amanah, dan hutang tetap menjadi tanggungan pemberi gadai.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemilik gadai, penerima gadai, orang yang dipercaya, dan penjual berselisih—misalnya, penjual mengatakan “aku jual seharga seratus,” sementara yang lain mengatakan “lima puluh”—maka perkataannya yang diterima, dan dia harus bersumpah jika diminta.
Jika pemberi gadai dan penerima gadai berselisih tentang nilai gadai—pemberi gadai mengatakan “aku menggadaikannya seharga seratus,” sementara penerima gadai mengatakan “dua ratus”—maka perkataan pemberi gadai yang diikuti.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka berselisih tentang barang gadai—pemberi gadai mengatakan “aku menggadaikan budak senilai seribu,” sementara penerima gadai mengatakan “seratus”—maka perkataan penerima gadai yang diikuti.
Jika pemilik budak mengatakan “aku menggadaikannya kepadamu seharga seratus” atau “ini titipan,” sementara yang memegangnya mengatakan “tidak, aku menggadaikannya seharga seribu,” maka perkataan pemilik budak yang diutamakan, karena mereka sepakat tentang kepemilikannya, sementara yang memegangnya mengklaim lebih dari yang diakui pemiliknya.
(Imam Syafi’i berkata): Sekadar budak berada di tangan penerima gadai tidak membuktikan klaimnya tentang nilai gadai yang lebih tinggi.
Jika pemberi gadai mengatakan “aku menggadaikannya seharga seribu dan sudah kuberikan kepadamu,” sementara penerima gadai mengatakan “tidak,” maka perkataan penerima gadai yang diikuti, karena dia mengakui seribu tetapi mengklaim telah dibebaskan.
Jika pemberi gadai mengatakan “aku menggadaikan budak dan kamu merusaknya,” sementara penerima gadai mengatakan “dia mati,” maka perkataan penerima gadai yang diikuti. Pemberi gadai tidak bisa membebankan tanggungan.
Jika pemberi gadai mengatakan “aku menggadaikan budak seharga seribu dan kamu merusaknya,” sementara penerima gadai mengatakan “ini bukan budak yang dimaksud,” maka pemberi gadai tidak bisa menuntut penerima gadai atas budak yang diklaim, dan budak yang diklaim sebagai gadai tidak sah sebagai gadai karena pemiliknya tidak mengakuinya.
Jika mereka sepakat tentang hutang seribu dirham, tetapi pemilik hutang mengatakan “aku menggadaikan rumahmu,” sementara pemilik rumah mengatakan “tidak,” maka perkataan pemilik rumah yang diikuti.
(Imam Syafi’i berkata):
Boleh menggadaikan dinar dengan dinar dan dirham dengan dirham, baik gadai tersebut sama, lebih sedikit, atau lebih banyak dari hak (utang), dan ini bukanlah jual beli.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminjam budak dari orang lain untuk digadaikan, lalu ia menggadaikannya, maka gadai tersebut sah selama kedua pihak mengakuinya atau ada bukti yang kuat, sebagaimana sahnya gadai jika pemilik budak sendiri yang menggadaikannya. Jika pemilik budak ingin mengeluarkannya dari gadai, ia tidak boleh melakukannya kecuali jika penggadai atau pemilik budak secara sukarela melunasi seluruh utang. (Imam Syafi’i berkata): Pemilik gadai berhak menuntut penggadai untuk menebusnya kapan saja ia mau, karena ia meminjamkannya tanpa batas waktu, baik saat utang masih berlaku atau setelahnya. (Imam Syafi’i berkata): Jika ia meminjamkannya dengan syarat, “Gadaikanlah sampai satu tahun,” lalu penggadai melakukannya, kemudian pemilik budak berkata, “Tebuslah sebelum satu tahun,” maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: Pemilik budak berhak menuntut penggadai untuk melunasi utangnya dengan menjual hartanya hingga ia mengembalikan budak tersebut seperti saat ia menerimanya. Dalil pendapat ini adalah, “Jika aku meminjamkan budakku kepadamu untuk melayanimu selama satu tahun, aku berhak mengambilnya sekarang juga. Dan jika aku memberimu pinjaman seribu dirham hingga satu tahun, aku berhak menagihnya sekarang juga.” Pendapat kedua: Pemilik budak tidak berhak mengambilnya sebelum satu tahun, karena ia telah mengizinkan budak tersebut menjadi jaminan utang bagi pihak lain, sehingga statusnya seperti penjamin utang. Hal ini berbeda dengan izin menggadaikan untuk jangka waktu tertentu, atau pinjaman yang diberikan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kedua pihak sepakat bahwa budak dipinjam untuk digadaikan, dan pemilik berkata, “Aku mengizinkanmu menggadaikannya sebesar seribu,” sedangkan penggadai dan penerima gadai berkata, “Kamu mengizinkanku menggadaikannya sebesar dua ribu,” maka perkataan pemilik budak yang diikuti, yaitu seribu. Seribu sisanya menjadi tanggungan penggadai dalam hartanya untuk penerima gadai. (Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang meminjam budak dari seseorang, lalu mereka menggadaikannya kepada orang lain sebesar seratus, kemudian salah satu dari mereka membayar lima puluh dan berkata, “Ini bagianku dari utang,” maka tidak ada jaminan dari satu pihak terhadap pihak lainnya, meskipun mereka bersama-sama dalam gadai. Separuh budak telah bebas, dan separuhnya masih tergadai. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminjam budak dari dua orang, lalu menggadaikannya sebesar seratus, kemudian ia membayar lima puluh dan berkata, “Ini tebusan untuk hak si fulan atas budak, sedangkan hak si fulan lainnya masih tergadai,” maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: Tebusan hanya berlaku jika dibayar sekaligus. Tidakkah kamu lihat, jika seseorang menggadaikan budaknya sendiri sebesar seratus, lalu ia membayar sembilan puluh dan berkata, “Aku menebus sembilan persepuluh bagian, dan sisanya tetap tergadai,” maka tidak ada bagian yang ditebus, karena gadai tersebut satu budak dengan satu utang, sehingga tebusan harus dilakukan sekaligus. Pendapat kedua: Karena kepemilikan budak dibagi dua, maka boleh menebus separuh bagian satu pihak tanpa separuh bagian pihak lainnya, sebagaimana jika seseorang meminjam satu budak dari satu orang dan budak lain dari orang lain, lalu ia menggadaikan keduanya, ia boleh menebus satu budak tanpa yang lain. Meskipun kepemilikan kedua orang tersebut atas satu budak tidak terpisah, hukum jual beli dan gadai mereka sama seperti dua pemilik budak yang terpisah.
(Imam Syafi’i berkata): Wali atau pengasuh anak yatim boleh menggadaikan atas nama anak yatim, sebagaimana mereka boleh menjual untuk keperluan yang penting bagi anak yatim. Orang yang diberi izin berdagang, budak mukatab, budak yang dimiliki bersama, dan kafir dzimmi juga boleh menggadaikan. Tidak masalah seorang Muslim menggadaikan kepada orang kafir, atau orang kafir menggadaikan kepada Muslim, segala sesuatu kecuali mushaf Al-Qur’an dan budak Muslim. Kami tidak suka jika seorang Muslim berada di bawah kekuasaan orang kafir dengan alasan yang menyerupai perbudakan. Meskipun gadai bukan perbudakan, budak hampir tidak bisa menghindari penghinaan dari orang yang menguasainya karena pemiliknya menyerahkannya. (Imam Syafi’i berkata): Jika seorang budak menggadaikan dirinya sendiri, kami tidak membatalkannya, tetapi kami tidak menyukainya karena alasan yang telah kami sebutkan. Jika ada yang berkata, “Aku akan menuntut penggadai untuk menebusnya hingga penerima gadai yang kafir mendapatkan haknya secara sukarela, atau budak tersebut berada di tangannya dengan alasan yang diperbolehkan untuk digadaikan. Jika mereka tidak mencapai kesepakatan, aku akan membatalkan akad jual beli,” maka ini adalah salah satu mazhab. Adapun selain budak, tidak masalah menggadaikannya kepada orang kafir. Jika mushaf Al-Qur’an digadaikan, kami akan berkata, “Jika kamu rela mengembalikan mushaf dan hakmu tetap berlaku, maka itu boleh. Atau kamu berdua sepakat pada selain mushaf yang boleh berada di tanganmu. Jika tidak sepakat, kami akan membatalkan akad jual beli antara kalian, karena Al-Qur’an terlalu agung untuk berada di tangan orang kafir yang bisa mengeluarkannya dari tangannya. Rasulullah ﷺ melarang orang Muslim yang tidak suci menyentuhnya, dan melarang membawanya ke negeri musuh.”
(Diriwayatkan oleh Ibrahim dan lainnya dari Ja’far dari ayahnya): “Nabi ﷺ pernah menggadaikan baju besinya kepada Abu Syahm, seorang Yahudi.”
(Imam Syafi’i berkata): Harta orang murtad disita. Jika ia menggadaikan sesuatu setelah penyitaan, maka menurut sebagian sahabat kami, gadai tersebut tidak sah dalam keadaan apa pun. Sebagian lainnya berpendapat, gadai tidak sah kecuali jika ia kembali masuk Islam sehingga ia memiliki hartanya kembali, maka gadai sah. Jika ia menggadaikannya sebelum hartanya disita, maka gadai tersebut sah, sebagaimana orang kafir harbi diperbolehkan melakukan apa saja dengan hartanya sebelum…
Diterjemahkan dari teks hukum Islam ke dalam Bahasa Indonesia:
Diambil darinya, dan sebagaimana diperbolehkan bagi seorang laki-laki dari kalangan Muslim atau dzimmi untuk mengelola hartanya sebelum para kreditur menuntutnya. Namun, jika para kreditur telah menuntut, maka tidak diperbolehkan baginya mengelola hartanya hingga mereka mendapatkan hak mereka atau dia dibebaskan dari kewajiban tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Seorang mudharib (pengelola modal dalam qirad/mudharabah) tidak boleh menggadaikan (harta qirad), karena kepemilikan sepenuhnya adalah milik pemilik modal, baik ada keuntungan dalam qirad atau tidak. Mudharib hanya memiliki hak atas keuntungan yang disyaratkan baginya jika proyek qirad berhasil, sehingga modal qirad kembali kepadanya sesuai syarat. Jika tidak berhasil, dia tidak mendapatkan apa-apa. Dia juga berkata: Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, dan salah satunya mengizinkan yang lain untuk menggadaikan budak tersebut, maka gadai itu sah, dan seluruh budak itu menjadi jaminan untuk seluruh hutang, tidak boleh sebagiannya ditebus tanpa sebagian lainnya.
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa jika orang yang menggadaikan menebus bagiannya, maka bagian itu terbebas, dan dia dipaksa untuk menebus bagian rekannya jika rekannya menghendaki. Jika dia menebus bagian rekannya, maka hak kreditur tetap pada separuh budak yang tersisa. Jika salah satu pemilik budak tidak mengizinkan rekannya menggadaikan bagiannya, maka hanya separuh budak yang digadaikan sah, sedangkan separuh lainnya tidak sah. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang melampaui batas dengan menggadaikan budak orang lain tanpa izin, maka gadai itu tidak sah? Demikian pula, gadai menjadi batal pada bagian yang tidak dimiliki oleh orang yang menggadaikan.
(Imam Syafi’i berkata): Dua orang boleh menggadaikan satu benda yang sama.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan yang kemudian melahirkan, atau kebun yang berbuah, atau hewan ternak yang beranak, maka para ulama kami berselisih pendapat. Sebagian berkata: Anak budak, hasil ternak, dan buah kebun tidak termasuk dalam gadai, karena itu bukan bagian yang digadaikan oleh pemiliknya dan tidak ada hak orang lain yang melekat padanya. Anak budak hanya mengikuti dalam jual beli jika dia lahir setelah kepemilikan pembeli. Jika janin sudah ada saat kepemilikan penjual, maka dia mengikut dalam pembebasan, karena pembebasan terjadi sebelum kelahiran, sehingga statusnya belum menjadi hamba. Buah kebun hanya mengikut dalam jual beli jika belum diserbuki; jika sudah diserbuki, buah itu milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya.
(Imam Syafi’i berkata): Pembebasan dan jual beli berbeda dengan gadai. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang menjual, dia memindahkan kepemilikan budak, kebun, atau ternak kepada orang lain? Demikian pula, jika dia membebaskan budak perempuan, dia mengeluarkannya dari kepemilikannya karena ketentuan Allah, dan budak itu menjadi merdeka. Gadai tidak mengeluarkan harta dari kepemilikan, statusnya tetap miliknya, hanya terhalang oleh hak penahanan untuk jaminan hutang. Ini seperti seorang budak yang disewakan: penyewa lebih berhak atas manfaatnya sesuai perjanjian, tetapi kepemilikan tetap pada pemilik. Demikian pula, jika budak perempuan digadaikan dan melahirkan, anaknya tidak termasuk dalam gadai, karena gadai seperti penjaminan, dan hanya mencakup apa yang secara eksplisit dimasukkan ke dalamnya.
Diriwayatkan dari Mutharrif bin Mazin dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya bahwa Mu’adz bin Jabal memutuskan dalam kasus orang yang menggadaikan pohon kurma yang berbuah: penerima gadai harus memperhitungkan buahnya sebagai pengurang pokok hutang. Sufyan bin Uyainah juga menyebutkan hal serupa.
(Imam Syafi’i berkata): Saya menduga Mutharrif menyebutkan ini dalam hadits pada tahun haji Rasulullah SAW.
(Imam Syafi’i berkata): Pernyataan ini mengandung beberapa makna. Yang paling jelas adalah bahwa pemberi dan penerima gadai sepakat buah termasuk dalam gadai, atau hutang sudah jatuh tempo dan pemberi gadai mengizinkan penerima gadai menjual buahnya untuk melunasi hutang. Bisa juga hutang masih berjangka, tetapi ada kesepakatan lain. Ini mungkin juga menunjukkan bahwa sebelumnya ada kebiasaan yang menganggap buah milik penerima gadai, tetapi setelah hukum Nabi SAW ditetapkan, hal itu dilarang. Karena tidak ada ketentuan yang jelas, maka interpretasi ini tidak boleh diambil kecuali ada kesepakatan. Semua ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan buah tidak termasuk dalam gadai.
Dinding jika tidak disyaratkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin tidak ada penampakan yang bertentangan sehingga bisa dihukum?” Aku jawab, “Bagaimana pendapatmu jika seseorang menggadaikan dinding kepada orang lain, lalu dinding itu menghasilkan buah untuk penerima gadai? Buah itu dijual, dan harganya dihitung sebagai bagian dari pokok utang. Dengan demikian, ia menjual untuk dirinya sendiri tanpa izin dari penggadai. Padahal, dalam hadis tidak disebutkan bahwa penggadai mengizinkan penerima gadai untuk menjual buah atau bahwa penerima gadai boleh mengambilnya dari pokok utang jika utangnya berjangka waktu sebelum jatuh tempo. Tidak ada seorang pun yang aku ketahui membolehkan hal ini. Jadi, makna hadis dalam hal ini hanya bisa dipahami melalui takwil.”
(Imam Syafi’i berkata): Karena hadis ini demikian, maka pendapat yang paling sahih menurut kami adalah bahwa buah, anak ternak, atau hasil ternak tidak termasuk dalam gadai. Wallahu a’lam.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berpendapat, “Kecuali jika kedua belah pihak mensyaratkan saat akad gadai bahwa anak ternak, hasil ternak, atau buah termasuk dalam gadai,” maka hal itu mungkin boleh menurutku. Aku membolehkannya karena hal itu bukan kepemilikan, sehingga tidak boleh memiliki sesuatu yang belum ada. Ini mirip dengan makna hadis Mu’adz. Wallahu a’lam. Jika tidak terlalu jelas, itu hanya sebuah pendapat. Seandainya bukan karena hadis Mu’adz, aku tidak melihat ada yang membolehkannya.
(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika seseorang menggadaikan hewan ternak atau pohon kurma dengan syarat bahwa hasil ternak atau buah termasuk dalam gadai, maka akad gadainya batal karena ia menggadaikan sesuatu yang tidak diketahui, tidak bisa dipastikan, dan mungkin ada atau tidak ada. Ini pendapat yang paling sahih menurut mazhab Syafi’i.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa buah, hasil ternak, dan anak budak perempuan termasuk dalam gadai bersama budak, hewan ternak, dan dinding karena itu bagian darinya. Apa pun yang dihasilkan atau dihadiahkan kepada barang gadai adalah milik pemiliknya. Hasilnya tidak sama dengan kerusakan (ganti rugi) karena kerusakan adalah harga pengganti atau sebagian darinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika penggadai menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai atau pihak yang adil, lalu ia ingin mengambilnya untuk keperluan pelayanan atau lainnya, itu tidak diperbolehkan. Jika ia memerdekakannya, Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ tentang budak yang digadaikan lalu dimerdekakan oleh tuannya, maka pembebasannya batal atau dibatalkan.
(Imam Syafi’i berkata): Ini memiliki alasan, yaitu jika seseorang berpendapat bahwa budak tersebut terikat oleh hak yang membuat tuannya tidak bisa mengambilnya untuk sementara waktu, maka pembebasannya lebih tidak boleh. Jika dalam keadaan yang tidak memperbolehkan pembebasan dan hakim membatalkannya, lalu ia menebusnya setelah itu, pembebasan yang sudah dibatalkan hakim tidak berlaku.
Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa jika penggadai memerdekakan budak, maka dilihat: jika ia memiliki harta yang cukup untuk menebus nilai budak, nilai itu diambil sebagai pengganti gadai, dan pembebasannya dilaksanakan karena ia adalah pemilik. Demikian juga jika pemilik utang membebaskannya atau melunasinya, budak itu kembali ke pemiliknya, dan utang yang terkait dengan pembebasannya batal, maka pembebasannya dilaksanakan karena ia adalah pemilik. Alasan yang menghalangi pembebasan adalah hak orang lain, sehingga jika itu batal, pembebasan bisa dilaksanakan.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian orang berpendapat bahwa budak itu merdeka tetapi harus bekerja untuk menebus nilainya. Yang mengatakan ia merdeka berargumen bahwa pemilik budak tidak boleh menjualnya—padahal ia pemilik—tidak boleh menggadaikannya, atau mengambilnya untuk sementara waktu. Jika ditanya, “Mengapa, padahal ia pemilik dan pernah menjualnya dengan sah?” Dijawab, “Karena ada hak orang lain yang menghalanginya untuk mengeluarkannya dari gadai.” Jika dikatakan, “Jika engkau melarangnya mengeluarkannya dengan tebusan yang mungkin ia berikan kepada pemilik utang atau menggantikannya dengan gadai lain, atau engkau berkata, ‘Aku akan menjualnya agar tidak rusak, lalu menyerahkan harganya sebagai gadai,'” maka aku jawab, “Tidak, kecuali dengan izin penerima gadai.” Engkau melarangnya—padahal ia pemilik—untuk menggadaikannya kepada orang lain, sehingga membatalkan gadai jika dilanggar. Engkau juga melarangnya—padahal ia pemilik—untuk memanfaatkannya sementara waktu. Argumenmu adalah bahwa ia telah mengikatkan hak orang lain padanya. Lalu, bagaimana engkau membolehkannya memerdekakannya sehingga mengeluarkannya dari gadai secara permanen? Engkau melarang hal yang kecil tetapi membolehkan yang lebih besar. Jika dikatakan, “Suruh ia bekerja,” maka memaksanya bekerja juga zalim terhadap budak dan penerima gadai.
Bagaimana pendapatmu jika budak perempuan itu bernilai ribuan tetapi tidak mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhannya? Atau jika utangnya jatuh tempo atau sampai hari tertentu, lalu ia memerdekakannya, mungkin budak itu mati tanpa harta, atau budak perempuan itu bekerja seratus tahun tetapi tidak cukup untuk melunasi utang, atau penggadai bangkrut tanpa satu dirham pun? Dengan begitu, hak penerima gadai hilang, dan ia tidak mendapat manfaat dari gadainya. Terkadang, utang dianggap batal jika barang gadai rusak karena ia menjadi penanggung jawab. Terkadang, engkau melihat pihak yang berutang dan membolehkan pemiliknya memerdekakan budak, sehingga merugikan pemberi utang. Ini pendapat yang kontradiktif. Orang yang menggadaikan barang seharusnya dalam kondisi lebih baik daripada yang tidak menggadaikan.
Penerjemahan ke Bahasa Indonesia:
Tentang Pemberi Gadai dan Penerima Gadai
Menurut pendapat mayoritas ulama, orang yang menggadaikan dirinya berada dalam kondisi lebih buruk daripada yang tidak menggadaikan. Tidak ada yang lebih mudah bagi seseorang yang meremehkan tanggungannya daripada meminta pemilik gadai untuk meminjamkannya, baik untuk melayaninya atau menggadaikannya lagi. Jika pemilik gadai menolak, ia akan berkata, “Aku akan melepaskannya dari tanganmu dengan memerdekakannya,” sehingga hak penerima gadai hilang dan tidak ditemukan pelunasan dari pemberi gadai.
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak tahu apakah ia bisa menuntut hutang kepada orang yang dimerdekakan atau tidak. (Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau membolehkan memerdekakan budak jika ia memiliki harta, sedangkan engkau tidak berkata seperti pendapat ‘Atha’ dalam hal ini?” Dijawab, “Setiap harta yang engkau miliki boleh dimerdekakan kecuali jika merugikan hak orang lain. Jika memerdekakannya merusak hak orang lain, aku tidak membolehkannya. Jika tidak merugikan hak siapa pun, dan aku mengambil gantinya serta menjadikannya sebagai gadai seperti sebelumnya, maka hilanglah alasan yang membuat pembebasan itu batal. Demikian juga jika hak yang ada padanya telah dilunasi, baik dengan mengambil dari penerima gadai atau dibebaskan.”
Syarat Sah Gadai
Gadai tidak sah kecuali dengan serah terima. Jika seseorang menggadaikan sesuatu tetapi tidak menyerahkannya atau tidak diserahkan kepada pihak yang adil, maka gadai itu batal. Serah terima adalah seperti yang telah dijelaskan di awal kitab dengan berbagai pendapat.
Peminjaman dan Penyewaan Barang Gadai
Jika penerima gadai meminjamkan atau menyewakan barang gadai, baik olehnya sendiri atau oleh pihak yang adil, sebagian sahabat kami berkata, “Ini tidak mengeluarkannya dari status gadai, karena jika dipinjamkan, penerima gadai bisa mengambilnya kapan saja. Jika disewakan, penyewa seperti orang asing yang menyewa barang gadai dengan izin pemiliknya. Sewa adalah hak pemilik, sehingga penerima gadai berhak mengambil kembali barang gadai karena sewa itu batal.” Demikian pendapat ini. (Imam Syafi’i berkata): Jika dua pihak berakad untuk menggadaikan budak, lalu budak itu digadaikan dan diserahkan, atau digadaikan setelah akad jual beli, semuanya boleh. Jika sudah digadaikan, pemberi gadai tidak boleh mengeluarkannya dari gadai, seperti jaminan yang boleh dilakukan setelah jual beli dan berada di tangan penerima gadai.
Jika Budak yang Dijadikan Gadai Ternyata Merdeka
(Imam Syafi’i berkata): Jika dua pihak berakad untuk menggadaikan budak, ternyata budak itu merdeka, penjual boleh memilih antara membatalkan akad atau melanjutkannya, karena ia membeli dengan jaminan yang tidak terpenuhi. Jika mereka berakad untuk menggadaikan tetapi tidak diserahkan, gadai itu batal karena gadai hanya sah dengan serah terima.
Ganti Rugi atas Barang Gadai
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika orang lain merusak budak yang digadaikan, baik merusak seluruhnya, sebagian, atau mengurangi nilainya, dan ada ganti rugi (diyat), maka pemilik budak (pemberi gadai) yang berhak menuntut. Jika penerima gadai ingin hadir, ia boleh menghadirkan. Jika ganti rugi diberikan, diserahkan kepada penerima gadai jika barang gadai ada di tangannya, atau kepada pihak adil yang memegangnya. Pemberi gadai diberitahu, “Jika engkau mau, serahkan ganti rugi itu kepada penerima gadai sebagai pelunasan hakmu. Jika tidak, ganti rugi itu ditahan di tangan penerima gadai atau pihak yang memegang gadai sampai jatuh tempo.”
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengira ada orang berakal yang memilih hartanya tertahan tanpa bisa dimanfaatkan sampai jatuh tempo, atau sesuatu yang tertahan tanpa jaminan jika rusak tanpa tanggungan dari yang memegangnya. Hak asli tetap berlaku seperti semula, dan ganti rugi bisa menjadi pelunasan hutangnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemberi gadai berkata, “Aku akan mengambil ganti rugi karena budak itu milikku,” itu tidak boleh, karena ganti rugi mengurangi nilai budak. Apa yang diambil dari ganti rugi menggantikan tubuh budak, sebagai pengganti dari tubuhnya. Jika pemilik tidak boleh mengambil tubuh budak, demikian juga tidak boleh mengambil ganti rugi atas tubuh atau bagiannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika anak penerima gadai merusak budak, hukumnya sama seperti orang asing. Jika penerima gadai sendiri yang merusak, juga seperti orang asing, kecuali pemilik budak boleh memilih antara menjadikan kewajiban ganti rugi sebagai harga tebusan atau tidak.
Budak itu sebagai pengganti dari hutangnya atau diakui sebagai gadai yang berada di tangannya jika gadai itu ada di tangannya. Jika gadai itu berada di tangan orang yang adil, maka diambil dari hartanya sejumlah yang diperlukan lalu diserahkan kepada orang yang adil.
(Imam Syafi’i berkata): Jika budak yang digadaikan melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri, dikatakan kepada pemegang gadai: “Tebus budakmu dengan seluruh nilai kejahatan atau serahkan dia untuk dijual.” Jika dia menebusnya, maka penggadai memiliki pilihan antara menjadikan tebusan itu sebagai pengganti hutang atau menjadikannya sebagai gadai seperti sebelumnya. Jika budak itu diserahkan untuk dijual, maka budak itu dijual dan harganya menjadi gadai seperti budak yang menjadi korban kejahatan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika budak pemegang gadai melakukan kejahatan terhadap budak penggadai yang digadaikan, yang tidak sampai menghilangkan nyawa, maka pendapat tentang hal ini sama seperti pendapat tentang kejahatan yang menghilangkan nyawa. Pemegang gadai diberi pilihan antara menebusnya dengan seluruh nilai kejahatan atau menyerahkannya untuk dijual. Jika dia menyerahkannya, budak itu dijual dan harganya menjadi seperti yang telah dijelaskan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dalam gadai ada dua budak dan salah satunya melakukan kejahatan terhadap yang lain, maka kejahatan itu dianggap batal. Karena kejahatan itu menjadi tanggungan budak, bukan harta tuannya. Jadi, jika satu budak melakukan kejahatan terhadap yang lain, seolah-olah dia melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri. Sebab, pemilik penggadai tidak berhak atas apa pun kecuali apa yang digadaikan untuk orang lain. Tuannya tidak berhak atas budak pelaku kecuali hartanya, dan pemegang gadai tidak berhak atas budak pelaku kecuali apa yang menjadi milik orang yang menggadaikannya dan apa yang menjadi gadai baginya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika gadai itu adalah seorang hamba sahaya perempuan lalu melahirkan anak, kemudian anaknya melakukan kejahatan terhadapnya, maka perlakuan terhadap anak itu sama seperti budak milik tuan jika dia melakukan kejahatan terhadapnya, karena anak itu tidak termasuk dalam gadai.
(Imam Syafi’i berkata): Jika budak milik penggadai melakukan kejahatan terhadap budaknya yang digadaikan, dikatakan kepadanya: “Kamu telah merusak budakmu dengan budakmu, dan budakmu yang merusak itu seluruhnya atau sebagiannya digadaikan untuk hak orang lain. Kamu memiliki pilihan untuk menebus budakmu dengan seluruh nilai kejahatan. Jika kamu melakukannya, kamu bisa memilih antara menjadikannya sebagai pengganti hutang atau menjadikannya sebagai gadai pengganti budak yang digadaikan, karena pengganti gadai menempati posisinya. Atau, kamu bisa menyerahkan budak pelaku untuk dijual, lalu harganya menjadi gadai pengganti yang menjadi korban.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika penggadai melakukan kejahatan terhadap budaknya yang digadaikan, maka dia telah melakukan kejahatan terhadap budak milik orang lain yang ada hak gadai di dalamnya. Sebab, tuannya bisa melarangnya dan menjualnya, sehingga pemegang gadai lebih berhak atas harganya daripada tuannya atau para krediturnya. Dikatakan kepadanya: “Meskipun kamu melakukan kejahatan terhadap budakmu, kejahatanmu itu mengeluarkannya dari gadai atau mengurangi nilainya. Jika kamu mau, nilai kejahatanmu terhadapnya bisa menjadi pengganti hutangmu. Jika kamu mau, serahkan dia untuk menjadi gadai pengganti budak yang digadaikan.” Ini berlaku jika hutang sudah jatuh tempo. Jika hutang masih berjangka, maka nilai kejahatan diambil sebagai gadai, kecuali jika pelaku (penggadai) dan pemegang gadai sepakat untuk menjadikannya sebagai pengganti hutang.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kejahatan dilakukan oleh orang lain dengan sengaja, maka pemilik budak penggadai berhak menuntut qishash dari pelaku jika ada qishash antara mereka. Jika pelaku menawarkan perdamaian atas kejahatan itu, pemilik tidak wajib menerimanya. Dia berhak menuntut qishash dan tidak boleh diganti dengan yang lain, karena qishash telah tetap baginya dan dia tidak melampaui batas dengan menuntutnya. Sebagian orang berpendapat: “Dia tidak berhak menuntut qishash, dan pelaku wajib membayar nilai kejahatan, suka atau tidak.”
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat ini jauh dari qiyas pendapat mereka sendiri, yang membolehkan penggadai memerdekakan budak jika dia memerdekakannya, lalu budak itu harus bekerja. Orang yang berpendapat seperti ini juga membolehkan qishash budak terhadap orang merdeka dan mengklaim bahwa Allah telah menetapkan qishash dalam pembunuhan dan menyamakan nyawa dengan nyawa. Dia juga berpendapat bahwa jika wali korban ingin mengambil diyat dalam pembunuhan sengaja, itu tidak boleh, karena Allah telah mewajibkan qishash kecuali jika pelaku dan wali korban berdamai.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia berpendapat bahwa pembunuhan wajib diqishash menurut hukum Allah, dan walinya menginginkan qishash, tetapi dia melarangnya, maka dia telah membatalkan apa yang dia klaim sebagai hukum dan menghalangi tuan dari haknya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia berkata: “Pembunuhan itu membatalkan hak pemegang gadai,” maka demikian pula dia telah membatalkan hak penggadai. Begitu juga jika budak bunuh diri atau mati, hak pemegang gadai menjadi batal. Hak pemegang gadai dalam segala keadaan tetap pada pemilik budak. Jika dia berpendapat bahwa ini lebih baik bagi keduanya, maka dia telah memulai dengan menzalimi pelaku dengan mengambil hartanya, padahal menurutnya hanya qishash yang wajib, dan menghalangi tuan dari apa yang dia klaim sebagai kewajiban. Bisa jadi budak itu harganya sepuluh dinar, dan hak gadai berlaku selama setahun, lalu seseorang menawarkan seribu dinar karena sangat menginginkannya. Dikatakan kepada pemilik budak: “Ini keuntungan besar, ambillah untuk melunasi hutangmu.” Kreditur mengatakan itu, sementara pemilik budak dalam keadaan membutuhkan. Orang yang berpendapat untuk membatalkan qishash dengan alasan untuk kepentingan pemilik dan pemegang gadai, sebenarnya…
Pemilik budak boleh dipaksa untuk menjualnya, meskipun itu demi kebaikan kedua belah pihak. Namun, orang-orang tidak boleh dipaksa untuk mengeluarkan harta mereka dengan cara yang tidak mereka inginkan, kecuali jika ada hak orang lain yang harus dipenuhi. Pemberi gadai tidak berhak menjual barang gadai sebelum jatuh tempo.
(Imam Syafi’i berkata): Jika budak yang digadaikan melakukan tindakan pidana, maka pemiliknya memiliki pilihan: membayar tebusan sesuai nilai kerusakan yang ditimbulkan—jika dilakukan, status budak tetap sebagai barang gadai—atau menyerahkan budak untuk dijual. Jika budak diserahkan, pemilik tidak diwajibkan menggantinya dengan barang lain, karena penyerahan itu dilakukan berdasarkan hak yang telah ditetapkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika nilai kerusakan lebih rendah dari harga budak yang diserahkan, lalu budak dijual, maka korban akan menerima ganti rugi sesuai nilai kerusakan, dan sisa hasil penjualan budak tetap menjadi barang gadai.
[Kebangkrutan]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) : Dia berkata, “Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata, ‘Diriwayatkan oleh Malik dari Yahya bin Sa’id dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ‘Umar bin Abdul Aziz dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Siapa saja yang bangkrut, lalu seseorang menemukan barang miliknya masih utuh, maka dia lebih berhak atas barang tersebut.”
(Asy-Syafi’i berkata) : Dan diriwayatkan oleh Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi bahwa dia mendengar Yahya bin Sa’id berkata, “Diriwayatkan kepadaku oleh Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm bahwa ‘Umar bin Abdul Aziz menceritakan kepadanya bahwa Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam menceritakan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – berkata, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Siapa yang menemukan barang miliknya masih utuh pada seseorang yang bangkrut, maka dia lebih berhak atas barang tersebut.”
(Diriwayatkan) oleh Muhammad bin Isma’il bin Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi’b, dia berkata, “Telah menceritakan kepadaku Abu Al-Mu’tamir bin ‘Amr bin Rafi’ dari Ibnu Khaldah Az-Zuraqi – yang dahulu menjadi qadhi di Madinah – bahwa dia berkata, ‘Kami mendatangi Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – mengenai seorang teman kami yang bangkrut, lalu beliau berkata, “Inilah yang telah diputuskan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – : ‘Siapa saja yang meninggal atau bangkrut, maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika menemukannya masih utuh.'”
(Asy-Syafi’i berkata) : Kami berpegang pada hadits Malik bin Anas dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dari Yahya bin Sa’id, serta hadits Ibnu Abi Dzi’b dari Abu Al-Mu’tamir mengenai kebangkrutan. Dalam hadits Ibnu Abi Dzi’b terdapat kandungan yang sama dengan hadits Malik dan Ats-Tsaqafi tentang kebangkrutan, dan menjadi jelas bahwa hal itu berlaku baik dalam kematian maupun kehidupan. Kedua hadits tersebut sahih dan bersambung.
Dalam sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – : “Siapa yang menemukan barang miliknya masih utuh, maka dia lebih berhak atasnya,” terdapat penjelasan bahwa beliau memberikan hak kepada pemilik barang jika barangnya masih utuh untuk membatalkan transaksi pertama jika dia menghendaki, sebagaimana beliau memberikan hak syuf’ah kepada yang berhak jika dia menghendaki. Sebab, siapa pun yang diberikan hak atas sesuatu, maka terserah padanya apakah dia ingin mengambil atau meninggalkannya.
Jika barang tersebut mengalami kerusakan, cacat, terpotong, atau lainnya, atau justru bertambah, maka semuanya sama. Dikatakan kepada pemilik barang, “Engkau lebih berhak atas barangmu daripada para kreditur jika engkau menghendaki.” Karena kami hanya menjadikan hal itu sebagai pembatalan akad pertama berdasarkan kondisi barang saat ini jika pemilik barang memilihnya.
Dia (Asy-Syafi’i) berkata, “Jika aku tidak memberikan hak kepada ahli waris orang yang bangkrut, atau kepadanya selama hidupnya untuk menolak barangnya selama dia belum terbebas dari tanggungan dengan melunasi sendiri, maka aku juga tidak memberikan hak kepada para kreditur untuk menolak barang tersebut jika mereka menghendaki. Apa hak para kreditur untuk menolaknya?”
Para kreditur tidak lebih dari pihak yang sukarela membayarkan hutang untuk orang yang berhutang. Namun, orang yang berhutang tidak wajib mengambil hartanya dari selain pemilik piutang. Seperti jika seseorang memiliki piutang pada orang lain, lalu ada yang berkata, “Aku akan melunasi untukmu,” maka dia tidak wajib menerimanya sehingga hutang temannya lunas. Atau jika hal ini diwajibkan bagi mereka sehingga mereka harus mengambilnya meski tidak menginginkannya, maka ini tidaklah mengikat.
Siapa yang memutuskan bahwa mereka harus mengambil harta tersebut, maka dia telah keluar dari hadits Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pertama, karena dia telah menemukan barang miliknya masih utuh pada orang yang bangkrut. Jika dia dicegah mengambilnya, berarti dia dicegah dari hak yang diberikan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – kepadanya. Kemudian, dia diberi sesuatu yang mustahil, sehingga baik pemberi maupun penerima telah berbuat zalim.
Sebab, jika pemberi itu memberikan kepada kreditur sehingga menjadikannya sebagai bagian dari hartanya untuk dibayarkan kepada…
Pemilik barang yang tidak bangkrut memiliki hak untuk memaksa penerimaan barang tersebut. Namun, ketika kreditur lain datang dan menuntut hak mereka, pemilik barang dicegah dari mengambil barangnya yang seharusnya diberikan oleh Rasulullah SAW hanya kepadanya, bukan kepada semua kreditur. Dia diberi ganti rugi, padahal ganti rugi hanya berlaku untuk sesuatu yang hilang, sedangkan barangnya masih ada. Keputusan ini menjadi tidak valid karena mengganti rugi sesuatu yang masih ada. Selain itu, keputusan tersebut memberinya sesuatu yang tidak akan aman baginya, karena ketika kreditur lain datang dan ikut menuntut, mereka akan menjadi pesaingnya. Padahal, barang itu seharusnya menjadi miliknya secara eksklusif dari pemberi. Namun, dia dipaksa memberi dengan syarat mengambil kelebihan barang, lalu kreditur lain datang dan ikut menuntut barang tersebut.
Jika ada yang bertanya, “Mengapa aku tidak memasukkannya ke dalam hal ini, padahal itu adalah sukarela?” Dijawab, “Jika itu sukarela, mengapa engkau memberinya ganti rugi atas barang yang diberikan secara sukarela? Pemberian sukarela tidak memerlukan ganti rugi. Engkau justru menjadikannya sebagai transaksi jual beli yang tidak sah dan penuh risiko.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual kebun kurma yang berbuah atau pohon yang sudah berputik kepada orang lain, dan pembeli memisahkan buahnya, lalu mengambil dan memakannya, kemudian pembeli bangkrut, penjual berhak mengambil kebunnya karena itu adalah hartanya yang jelas. Namun, dia harus berbagi dengan kreditur lainnya terkait bagian buah yang telah dibeli dan dihabiskan pembeli dari harga pokok penjualan. Harga pokok dibagi antara kebun dan buah. Jika nilai buah seperempat dari harga, penjual mengambil kebun dengan bagian tiga perempat harga, dan menuntut nilai buah yang seperempat, berdasarkan nilai saat diterima, bukan saat dimakan, karena peningkatan nilai terjadi di bawah kepemilikannya.
Jika buah diterima dalam kondisi utuh dan kemudian terkena bencana, penjual berhak menuntut bagiannya dari harga, karena bencana terjadi setelah kepemilikan. Jika penjual menjual kebun dan buah yang masih hijau, lalu pembeli bangkrut saat buah sudah matang atau mengering, penjual berhak mengambil kebun dan buah karena itu adalah hartanya yang jelas, meskipun nilainya meningkat, seperti menjual budak kecil dan mengambilnya saat sudah besar. Jika sebagian buah dimakan dan sebagian lagi masih ada, penjual mengambil yang tersisa dan menuntut bagian harga buah yang dijual bersama kreditur lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku jika menjual anak-anak hewan, biji yang sudah tumbuh, atau tanaman yang sudah atau belum tumbuh bersama tanah, lalu pembeli bangkrut. Penjual berhak mengambil tanah dan semua yang dijual dalam kondisi tumbuh. Jika barang tersebut hilang, penjual menuntut bagiannya dari harga saat transaksi.
Jika seseorang membeli budak atau hamba dalam kondisi kecil atau sakit, lalu budak itu meninggal atau dimerdekakan, penjual berhak menuntut harga pembelian. Jika budak tumbuh besar atau sembuh setelah dibeli dalam kondisi sakit dan kecil, penjual berhak mengambilnya dalam kondisi sehat dan besar karena itu adalah hartanya yang jelas, dan pertumbuhan berasal dari dirinya, bukan buatan manusia. Demikian juga jika budak diajari keterampilan, penjual berhak mengambilnya dalam kondisi terampil. Jika pembeli memberi pakaian atau harta kepada budak, penjual berhak mengambil budak, sedangkan kreditur berhak mengambil harta budak, karena harta itu bukan bagian dari budak dan merupakan milik pembeli, bukan penjual.
Jika budak yang dijual memiliki harta yang disisihkan pembeli, lalu harta itu dihabiskan atau hilang di tangan budak, penjual berhak mengambil budak tanpa kreditur dan menuntut nilai harta dari harga penjualan untuk dibagi dengan kreditur.
Jika seseorang menjual kebun tanpa buah, lalu berbuah, dan pembeli bangkrut, buah itu milik pembeli, baik sudah matang atau belum. Pemilik kebun diberi pilihan: mengambil kebun dengan syarat buah dibiarkan sampai panen, atau meninggalkan kebun dan berbagi dengan kreditur. Hal yang sama berlaku jika menjual budak perempuan yang melahirkan, lalu pembeli bangkrut. Penjual berhak mengambil budak perempuan, tetapi tidak berhak atas anaknya. Jika pembeli bangkrut saat budak hamil, penjual berhak mengambil budak dan janinnya sebagai bagian dari budak.
Jika barang yang dijual adalah budak perempuan yang melahirkan sebelum kreditur bangkrut, penjual berhak mengambil budak perempuan tetapi tidak berhak atas anak-anaknya, karena mereka lahir di bawah kepemilikan kreditur. Pembatalan transaksi awal terjadi karena kebangkrutan dan pilihan penjual, bukan karena transaksi itu batal sejak awal. Jika barang yang dijual adalah rumah yang dibangun atau tanah yang ditanami, lalu kreditur bangkrut, penjual berhak mengambil rumah dan tanah dalam kondisi aslinya.
Ketika dia menjualnya, dan aku tidak memberinya tambahan; karena itu tidak termasuk dalam transaksi jual beli, melainkan sesuatu yang terpisah dari tanah milik pembeli. Kemudian aku memberinya pilihan antara memberikan nilai bangunan dan tanamannya yang menjadi miliknya, atau memiliki bagian tanah tanpa bangunan, sementara bangunan yang ada dijual kepada para kreditur secara merata, kecuali jika para kreditur dan debitur sepakat untuk mencabut bangunan dan tanamannya serta menjamin pemilik tanah atas berkurangnya nilai tanah akibat pencabutan, maka itu diperbolehkan.
Jika barang yang dijual berupa sesuatu yang terpisah-pisah seperti budak, unta, kambing, pakaian, atau makanan, lalu pembeli menghabiskan sebagian dan penjual menemukan sebagian lagi, maka penjual berhak atas bagian yang ditemukan sesuai dengan bagian harganya. Jika setengah harga telah diterima, maka dia menjadi kreditur untuk setengah sisanya, begitu pula jika lebih atau kurang. Dia berkata: Jika Rasulullah ﷺ memberinya seluruhnya karena itu adalah hartanya yang jelas, maka sebagiannya juga hartanya yang jelas, dan itu lebih sedikit dari seluruhnya. Siapa yang memiliki seluruhnya, maka dia juga memiliki sebagiannya, kecuali jika dia memiliki sebagian, maka kepemilikannya berkurang, tetapi pengurangan itu tidak menghalangi kepemilikan.
Jika seseorang menjual tanah kepada orang lain, lalu pembeli menanamnya, kemudian debitur bangkrut, dan pemilik tanah menolak mengambil tanah dengan nilai tanamannya, sementara debitur menolak mencabut tanamannya dan menyerahkan tanah kepada pemiliknya, maka pemilik tanah tidak memiliki pilihan. Jika dia ingin mengambil tanahnya dan membiarkan buahnya sampai masa panen jika debitur dan kreditur mengizinkannya, maka itu diperbolehkan. Debitur tidak bisa melarangnya. Jika dia memilih untuk meninggalkannya dan bergabung dengan para kreditur untuk menuntut haknya, maka itu juga diperbolehkan. Demikian pula jika dia menjual tanah kosong, lalu pembeli menanaminya, kemudian bangkrut, maka hukumnya seperti menjual tembok lalu pohon kurma berbuah. Jika pemilik tanah atau pemilik pohon kurma ingin menerimanya dan membiarkan tanaman sampai panen atau buah sampai masa petik, lalu pohon kurma rusak sebelum itu karena ulah manusia, bencana alam, atau banjir yang merusak tanah, maka tanggung jawabnya ada pada pemilik yang menerimanya, bukan pada debitur yang bangkrut. Karena ketika dia menerimanya, dia menjadi pemiliknya. Jika dia ingin menjual, dia bisa menjual; jika ingin menghadiahkan, dia bisa menghadiahkan.
Jika ada yang bertanya: Bagaimana mungkin seseorang memiliki sesuatu yang tidak sepenuhnya menjadi miliknya? Karena orang yang diberi hak untuk mengambilnya tidak memiliki kepemilikan penuh, sebab dia terhalang untuk memetik buah kurma, mengambil pelepah, atau melakukan apa pun yang merugikan buah milik debitur, serta terhalang untuk membuat sumur atau hal lain yang merugikan tanaman debitur. Jawabannya adalah berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barangsiapa menjual pohon kurma yang sudah berbuah, maka buahnya milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya.” Rasulullah ﷺ membolehkan pembeli memiliki pohonnya sementara penjual memiliki buahnya sampai masa petik. Dia berkata: Jika pemilik tanah menyerahkan tanah kepada debitur yang bangkrut, lalu para kreditur berkata: “Panenlah tanamannya dan jual sebagai sayuran, berikan kami harganya.” Sementara debitur berkata: “Aku tidak mau, aku biarkan sampai waktu panen karena itu lebih menguntungkan bagiku, dan tanaman tidak perlu disiram atau dikelola.” Maka pendapat para kreditur yang harus diikuti untuk menjualnya.
Jika tanaman perlu disiram dan dirawat, lalu seseorang secara sukarela menanggung biayanya untuk debitur, mengeluarkan biaya tersebut, dan menyerahkannya kepada yang berwenang, lalu tanamannya tumbuh hingga diperkirakan jika dibiarkan, debitur tidak bisa menahannya sampai panen, maka para kreditur berhak menjualnya. Jika Rasulullah ﷺ memberinya seluruhnya karena itu adalah hartanya yang jelas, maka sebagiannya juga hartanya yang jelas, dan itu lebih sedikit dari seluruhnya. Siapa yang memiliki seluruhnya, maka dia juga memiliki sebagiannya, kecuali jika dia memiliki sebagian, maka kepemilikannya berkurang, tetapi pengurangan itu tidak menghalangi kepemilikan. Dia berkata: Jika barang yang dijual adalah seorang budak, dan dia menerima setengah harganya, lalu debitur bangkrut, maka dia memiliki setengah budak sebagai mitra dengan debitur, dan setengah sisanya dijual untuk para kreditur sesuai contoh yang telah disebutkan. Dia tidak perlu mengembalikan apa yang telah diterima karena itu sudah menjadi haknya. Jika dikatakan bahwa dia harus mengembalikan sebagian yang telah diterima, maka berarti jika dia menerima seluruh harganya, dia harus mengembalikannya dan mengambil barangnya. Pendapat seperti ini bertentangan dengan Sunnah dan qiyas.
Jika ada dua budak atau dua pakaian yang dijual seharga dua puluh, dan dia menerima sepuluh sementara sepuluh sisanya belum dibayar, maka dia menjadi mitra pemilik setengahnya. Setengahnya menjadi miliknya, dan setengahnya untuk para kreditur yang dijual untuk melunasi hutangnya. Jika masalahnya tetap sama, dia menerima setengah harga, lalu setengah barangnya rusak, dan tersisa salah satu pakaian atau salah satu budak dengan nilai yang sama, maka dia lebih berhak atasnya daripada para kreditur karena itu adalah hartanya yang jelas ketika debitur bangkrut. Sedangkan harga yang telah diterima hanyalah pengganti. Seandainya keduanya masih utuh, dia bisa mengambilnya, lalu mengambil…
Beberapa pengganti dan sebagian barang masih tersisa, hal itu seperti keduanya berdiri bersama. Jika ada yang berpendapat bahwa penggantinya adalah keduanya bersama-sama, maka ia telah mengambil setengah harga ini dan setengah harga itu. Apakah ada sesuatu yang menjelaskan apa yang kukatakan selain yang telah disebutkan?
Dikatakan: Ya, yaitu keduanya bersama-sama memiliki harga yang sama, setara nilainya, lalu dijual dalam satu transaksi, dan pembayaran diterima. Penjual mengambil lima puluh dari harga keduanya, kemudian salah satu pakaian rusak, dan ia menemukan cacat pada yang lain, lalu mengembalikannya dengan separuh harga yang tersisa tanpa mengembalikan apa pun yang telah diambil. Yang telah diambil menjadi harga barang yang rusak dari keduanya. Seandainya keduanya bukan barang yang dijual, melainkan digadaikan seharga seratus, lalu diambil sembilan puluh, dan salah satunya hilang, maka yang lain tetap menjadi gadai untuk sepuluh yang tersisa. Demikian pula jika keduanya masih ada, harga tidak dibagi untuk keduanya, melainkan seluruhnya dibebankan pada keduanya, dan sisanya juga pada keduanya.
Seperti halnya dalam gadai, jika mereka adalah budak yang digadaikan seharga seratus, lalu dibayar sembilan puluh, maka mereka bersama-sama tetap menjadi gadai untuk sepuluh. Tidak ada seorang pun dari mereka yang keluar dari gadai, dan tidak ada bagiannya sampai pemilik hak menerima haknya sepenuhnya. Ketika jual beli dalam petunjuk hukum Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—ditangguhkan, jika ia mengambil harganya, maka jual beli tetap berlaku; jika tidak, jual beli dibatalkan. Maka pengambilannya seperti barang gadai nilainya, bahkan lebih dari status barang gadai, karena ia mengambil seluruhnya tanpa harus dijual seperti barang gadai, sehingga ia bisa menerima haknya dan mengembalikan kelebihan harganya kepada pemiliknya. Dengan demikian, hal ini sesuai dengan makna Sunnah.
(Asy-Syafi’i berkata): Dalam kasus dua sekutu, jika salah satunya bangkrut, sekutu lainnya tidak menanggung apa pun dari hutang kecuali jika ia mengakui bahwa ia meminjamkannya dengan izinnya, atau keduanya bersama-sama, maka statusnya seperti hutang yang dipinjamkan dengan izin tanpa adanya persekutuan. Persekutuan mudharabah yang batil tidak ada, yang ada hanyalah persekutuan biasa.
Allah—Tabaraka wa Ta’ala—berfirman: *“Dan jika (orang berhutang) dalam kesulitan, maka berilah tenggat waktu sampai ia mampu.”* (QS. Al-Baqarah: 280). Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda: *“Menunda pembayaran oleh orang yang mampu adalah kezaliman.”* Maka, tidak ada tuntutan terhadap orang yang berhutang dalam kesulitan sampai ia mampu. Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak menyebut penundaan pembayaran sebagai kezaliman kecuali jika pelakunya kaya. Jika ia dalam kesulitan, maka tidak ada tuntutan atasnya sampai ia mampu. Jika tidak ada tuntutan atasnya, maka tidak ada tuntutan atas upah kerjanya, karena upahnya adalah hasil kerja tubuhnya. Jika tidak ada tuntutan atas tubuhnya, dan tuntutan hanya pada hartanya, maka tidak ada jalan untuk memaksanya bekerja. Demikian pula, ia tidak boleh dipenjara, karena tidak ada tuntutan atasnya dalam kondisi seperti ini.
Jika para kreditor menuntut seorang laki-laki dan ingin mengambil seluruh hartanya, maka harus ditinggalkan baginya dari hartanya sejumlah yang ia butuhkan, minimal yang mencukupi dirinya dan keluarganya untuk makan dan minum sehari. Ada yang berpendapat bahwa jika ia dipenjara karena pembagian hutang, maka harus diberikan nafkah untuknya dan keluarganya setiap hari, minimal yang mencukupi, sampai pembagian hartanya selesai. Dan ditinggalkan untuk mereka nafkah pada hari terakhir pembagian hartanya, serta pakaian minimal yang ia butuhkan, baik di musim dingin maupun panas. Jika ia memiliki pakaian yang harganya mahal, maka harus dijual, dan ditinggalkan baginya pakaian minimal seperti yang telah kujelaskan. Jika semua pakaiannya mewah dan melebihi batas, maka harus dibelikan untuknya dari harganya pakaian minimal yang ia butuhkan, seperti yang biasa dipakai oleh orang yang setara keadaannya dan yang menjadi tanggungan nafkahnya pada waktu itu, baik musim dingin maupun panas. Jika ia meninggal, maka ia dikafani dari hartanya sebelum dibagikan kepada kreditor, dan kuburnya digali dengan biaya minimal yang mencukupi, kemudian kelebihan hartanya dibagi. Rumah dan pelayannya harus dijual, karena ia bisa mengganti pelayan, dan bisa mendapatkan rumah.
Dia berkata: Jika ada orang yang melakukan pelanggaran terhadapnya sebelum kebangkrutan, dan ia tidak menerima diyatnya kecuali setelah kebangkrutan, maka para kreditor lebih berhak atas diyat tersebut jika ia menerimanya, karena itu adalah bagian dari hartanya, bukan harga sebagiannya.
Jika ia diberi hadiah setelah kebangkrutan, ia tidak wajib menerimanya. Jika ia menerimanya, maka itu menjadi milik kreditor, bukan miliknya. Demikian pula segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang secara sukarela, ia tidak wajib menerimanya, dan tidak ada yang masuk ke dalam hartanya kecuali jika ia menerimanya, kecuali warisan. Jika ia mewarisi, maka ia menjadi pemilik, dan ia tidak bisa menolak warisan, tetapi kreditor berhak mengambilnya darinya.
Jika ada orang yang sengaja melanggar haknya, dan ia memiliki pilihan antara mengambil diyat atau qisas, maka ia boleh memilih qisas dan tidak wajib mengambil uang, karena ia tidak menjadi pemilik uang kecuali jika ia menghendakinya. Demikian pula jika pelaku pelanggaran menawarkan uang kepadanya.
Jika ada orang yang merusak hartanya sebelum kebangkrutan, lalu berdamai dengan sesuatu setelah kebangkrutan, jika yang disepakati adalah nilai dari apa yang dirusak dengan harga yang diketahui, dan perusak ingin memberinya lebih dari nilainya, maka ia tidak wajib menerima kelebihan tersebut, karena kelebihan itu seperti hadiah.
Jika orang yang berhutang bangkrut, dan ada saksi yang bersaksi untuknya atas hak terhadap orang lain, tetapi orang itu menolak untuk bersumpah bersama saksi tersebut…
Kami membatalkan haknya jika kami menyumpah pihak yang digugat, dan tidak memberikan hak kepada para kreditur untuk bersumpah; karena dia tidak memiliki hak kecuali setelah sumpah. Maka ketika dia tidak memiliki hak, dia tidak wajib bersumpah. Demikian pula jika ada klaim terhadapnya tetapi dia menolak bersumpah dan mengembalikan sumpah, lalu pihak yang bangkrut menolak bersumpah, maka haknya batal. Para kreditur tidak berhak bersumpah dalam keadaan apa pun karena mereka tidak memiliki hak kecuali apa yang dimilikinya, dan dia tidak memiliki hak kecuali setelah sumpah.
Jika dia melakukan kejahatan setelah dinyatakan bangkrut, baik sengaja atau menghabiskan harta, maka korban kejahatan atau pihak yang hartanya dihabiskan memiliki hak yang sama seperti kreditur atas hartanya yang ditahan untuk mereka, baik sudah dijual atau belum, selama belum dibagikan. Jika sudah dibagikan, maka kami meninjau: jika kejahatan terjadi sebelum pembagian, dia berhak atas bagian yang sudah dibagikan karena haknya melekat sebelum hartanya dibagi. Jika kejahatan terjadi setelah pembagian, dia tidak berhak karena mereka sudah memiliki bagian yang diberikan kepada mereka dan sudah keluar dari kepemilikan pihak yang bangkrut. Kejahatan dan penghabisan harta adalah utang yang wajib dibayar.
Jika hakim menetapkan pengampuan atasnya dan memerintahkan untuk menahan hartanya agar dijual, lalu seorang budaknya melakukan kejahatan, dia tidak berhak menebusnya. Hakim memerintahkan untuk menjual pelaku kejahatan agar korban mendapat ganti rugi. Jika ada sisa, dikembalikan ke hartanya untuk diberikan kepada kreditur. Jika tidak ada sisa dari harganya dan korban tidak mendapatkan ganti rugi, maka kejahatannya batal karena itu terkait dengan status budak, bukan tanggung jawab tuannya. Jika budak pihak yang bangkrut menjadi korban kejahatan, tuannya adalah lawan dalam perkara. Jika haknya terbukti, dan pelakunya adalah budak, dia berhak membalas jika kejahatan itu bisa dibalas, atau mengambil ganti rugi dari nilai budak pelaku. Jika kreditur ingin meninggalkan pembalasan dan mengambil uang, itu tidak diperbolehkan karena mereka tidak memiliki hak atas uang kecuali setelah dipilih untuk mereka. Jika kejahatan itu tidak bisa dibalas dan hanya ada ganti rugi, tuannya tidak bisa memaafkan ganti rugi karena itu adalah harta yang wajib dibayar dalam segala keadaan, sehingga tidak bisa dihibahkan dan harus dikembalikan ke hartanya untuk melunasi utangnya.
Jika seseorang membeli gandum, minyak, mentega, atau barang sejenis yang ditakar atau ditimbang dari orang lain, lalu mencampurnya dengan yang sejenis atau yang lebih rendah kualitasnya, kemudian pihak yang berutang bangkrut, pembeli berhak mengambil barangnya secara fisik karena masih utuh seperti semula dan membaginya dengan kreditur berdasarkan takaran atau timbangan hartanya. Demikian pula jika dicampur dengan yang lebih rendah, jika dia mau, karena dia tidak mengambil kelebihan melainkan kekurangan. Jika dicampur dengan yang lebih baik, ada dua pendapat: pertama, dia tidak berhak karena kita tidak bisa mengembalikan hartanya tanpa menambah dengan harta pihak yang berutang, dan kita tidak boleh memberinya kelebihan. Ini adalah pendapat yang lebih kuat. Kedua, dilihat nilai madunya dan nilai madu yang dicampur, lalu penjual diberi pilihan: menjadi mitra sesuai nilai madunya dari madu penjual dan meninggalkan kelebihan takaran madunya, atau melepaskannya dan menjadi kreditur seolah madunya adalah satu sha’ senilai dua dinar, sedangkan madu mitranya satu sha’ senilai empat dinar. Jika dia memilih menjadi mitra dengan dua pertiga sha’ dari madunya dan madu mitranya, itu diperbolehkan, dan dia meninggalkan kelebihan satu sha’. Pendapat ini menyatakan bahwa ini bukan jual beli melainkan kerugian dari takarannya. Jika dia menjual gandum lalu digiling, ada dua pendapat, dan yang lebih dekat adalah dia berhak mengambil tepung dan memberikan nilai penggilingan kepada kreditur karena itu tambahan dari hartanya.
Demikian pula jika dia menjual pakaian lalu dicelup, dia berhak mengambil pakaiannya dan kreditur berhak atas celupannya, menjadi mitra dalam nilai tambahan dari pencelupan. Jika dia menjual pakaian lalu dijahit, dia berhak mengambil pakaiannya dan kreditur berhak atas nilai tambahan dari jahitan. Jika dia menjual pakaian lalu dipendekkan, dia berhak mengambil pakaiannya dan kreditur berhak atas nilai tambahan dari pemendekan. Jika ada yang bertanya, “Anda berpendapat bahwa perampas tidak mendapatkan apa pun dari pemendekan karena itu adalah efek,” kami jawab bahwa pihak yang bangkrut berbeda dengan perampas karena pihak yang bangkrut bekerja pada apa yang dia miliki dan halal baginya, sedangkan perampas bekerja pada apa yang tidak dia miliki dan tidak halal baginya. Tidakkah Anda lihat bahwa pihak yang bangkrut membeli tanah lalu membangun di atasnya, dan bangunannya tidak dihancurkan, sedangkan bangunan perampas dihancurkan? Dia membeli sesuatu lalu menjualnya, dan penjualannya tidak dibatalkan, sedangkan penjualan perampas dibatalkan. Dia membeli budak lalu memerdekakannya, dan pembebasannya sah, sedangkan pembebasan perampas tidak sah.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika masalahnya tetap seperti itu, lalu seseorang bangkrut dan—
Pakaian yang dipendekkan oleh tukang potong, dijahit oleh penjahit, atau dicelup oleh pewarna dengan upah, maka pemilik pakaian boleh mengambil pakaiannya. Jika pekerjaan tukang potong menambah nilai pakaian sebesar lima dirham, sedangkan upahnya satu dirham, maka tukang potong berhak mengambil satu dirham dan menjadi mitra pemilik pakaian dalam kepemilikan pakaian tersebut. Pemilik pakaian lebih berhak atas pakaian daripada para kreditur. Empat dirham sisanya dibagi antara para kreditur, tukang potong, dan pemilik pakaian. Jika pekerjaannya menambah nilai pakaian sebesar satu dirham, sedangkan upahnya lima dirham, maka tukang potong menjadi mitra pemilik pakaian dengan satu dirham dan berbagi dengan para kreditur dalam harta orang yang bangkrut sebesar empat dirham.
Jika nilai tambah pada pakaian lima dirham dan upahnya satu dirham, kami berikan satu dirham kepada tukang potong sebagai mitra dalam pakaian, sedangkan empat dirham sisanya menjadi bagian para kreditur sebagai mitra dalam pakaian. Jika ada yang bertanya, “Mengapa tukang potong lebih berhak atas upahnya daripada para kreditur dalam pakaian?” Jawabannya adalah karena ia lebih berhak jika ada nilai tambah pada pakaian. Jika pemilik pakaian menolak, para kreditur tidak boleh mengambil kelebihan nilai yang dihasilkan oleh pekerjaan tukang potong, karena itu adalah hak miliknya. Jika mereka bertanya, “Mengapa jika nilai tambah melebihi upah, tidak diberikan seluruhnya kepadanya, sedangkan jika kurang dari upah, tidak dibatasi hanya pada nilai tambah, seperti dalam jual beli?” Kami jawab, “Ini bukan jual beli yang jelas, tetapi sewa-menyewa yang mengikat pihak yang berhutang. Karena sewa itu tetap berlaku, ia lebih berhak atasnya, sebagaimana dalam gadai. Tidakkah kamu lihat jika ada gadai senilai sepuluh dirham dengan satu dirham, ia diberi satu dirham dan para kreditur sembilan dirham? Jika gadai senilai satu dirham dengan sepuluh dirham, ia diberi satu dirham dan berbagi dengan para kreditur sembilan dirham.”
Jika ada yang bertanya, “Mengapa dalam hal ini ia lebih berhak atas gadai daripada jual beli?” Katakanlah, “Begitu juga pendapatmu tentang pakaian yang dijahit atau dicuci seseorang, bahwa ia boleh menahannya sampai diberi upah, seperti dalam gadai, karena ada pekerjaan yang melekat padanya. Ia tidak menyerahkannya sampai pekerjaannya dibayar.” Jika ada yang bertanya, “Apa pendapatmu?” Jawabnya, “Aku tidak membolehkannya menahan pakaian, juga tidak membolehkan pemilik pakaian mengambilnya. Aku memerintahkan pakaian itu dijual, lalu masing-masing diberi haknya jika pemilik bangkrut. Jika pemilik bangkrut, penjahit lebih berhak atas nilai tambah pada pakaian. Jika upahnya lebih besar daripada nilai tambah, ia mengambil nilai tambah karena itu hak miliknya, sedangkan sisa upah menjadi hutang yang dibagi dengan para kreditur. Jika tidak bangkrut dan pakaian telah dikerjakan, tetapi pemilik tidak setuju pakaian ditahan penjahit, maka diambil dari keduanya sampai diputuskan seperti yang kujelaskan, atau pakaian dijual dan upahnya dibayar dari harganya. Itulah pendapatku.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa penjahit adalah kreditur dalam upahnya, karena pekerjaannya pada pakaian bukan hak miliknya, melainkan hanya efek pada pakaian. Ini adalah pandangan yang mungkin.
Jika seseorang menyewa pekerja untuk toko, pertanian, atau kebun dengan upah tertentu yang bukan bagian dari objek sewa, seperti takaran makanan yang dijamin, emas, perak, atau menyewa toko untuk berjualan kain, atau menyewa seseorang untuk mengajari budak, menggembala kambing, atau melatih unta, lalu penyewa bangkrut, maka pekerja itu setara dengan kreditur lainnya. Sebab, tidak ada harta pekerja yang tercampur atau menambah nilai objek sewa, seperti pewarnaan atau pemendekan pakaian yang menambah nilai dari harta tukang celup atau penjahit. Pekerjaan mereka berbeda dari objek sewa dan tidak melekat padanya.
Tidakkah kamu lihat bahwa nilai pakaian yang belum dicelup, dijahit, atau dipendekkan berbeda dengan yang sudah? Nilai tambah dari pekerja diketahui, tetapi tidak ada pekerjaan pihak lain yang melekat pada pakaian di toko, hewan ternak, atau budak yang diajari. Pekerja hanya kreditur biasa. Tidakkah kamu lihat jika ia mengurus tanaman, tanah, air, dan tanaman adalah milik penyewa? Pekerjaannya hanya menanam, bukan menambah nilai, karena pertumbuhan adalah ketentuan Allah dan berasal dari harta penyewa, bukan hasil kerja pekerja. Tidakkah kamu lihat jika tanaman rusak, ia tetap mendapat upah, tetapi jika pakaian rusak di tangannya, ia tidak mendapat upah karena pekerjaannya tidak diserahkan kepada penyewa?
Jika seseorang menyewa tanah dari orang lain dan membeli…
Air terakhir kemudian menanam tanah dengan benihnya, kemudian si penghutang bangkrut setelah panen. Pemilik tanah dan pemilik air adalah mitra bagi para kreditur, dan mereka tidak lebih berhak atas apa yang keluar dari tanah, maupun atas air. Hal ini karena mereka tidak memiliki modal nyata dalam biji-bijian yang tumbuh dari modal si penghutang, bukan dari modal mereka. Jika ada yang berkata: “Tetapi tanaman itu tumbuh dengan air ini dan di tanah ini,” kami jawab: Modal nyata milik si penghutang, bukan milik mereka. Air telah habis digunakan di tanah, tanaman adalah aset yang ada, sedangkan tanah tidak ada dalam tanaman. Pengelolaannya di dalamnya bukan berarti menjadi bagian darinya, sehingga kami memberinya modal nyatanya.
Jika seseorang bermaksud mengatakan: “Aku membuat mereka lebih berhak atas makanan daripada para kreditur,” maka dia telah memberikan kepada mereka sesuatu yang bukan modal nyata mereka, lalu memberinya sesuatu yang mustahil. Jika ada yang bertanya: “Apa yang mustahil dalam hal ini?” Kami jawab: Jika dia mengklaim bahwa pemilik tanaman, pemilik tanah, dan pemilik air adalah mitra, maka berapa bagian yang diberikan kepada pemilik tanah, pemilik air, dan pemilik makanan? Jika dia mengklaim bahwa itu milik mereka sampai mereka mendapatkan hak mereka, maka dia telah membatalkan bagian kreditur dari harta si penanam. Mereka tidak lebih berhak daripada para kreditur kecuali setelah si penghutang bangkrut. Si penghutang telah bangkrut, dan ini adalah gandumnya, di mana tidak ada tanah atau air di dalamnya.
Jika dia bangkrut sementara tanaman masih kecil di tanahnya, pemilik tanah berhak menuntut bagian dari kreditur sesuai lamanya tanah berada di tangan si penanam sampai dia bangkrut. Kemudian dikatakan kepada si bangkrut dan krediturnya: “Kamu dan mereka tidak boleh menikmati tanahnya. Dia berhak membatalkan sewa sekarang, kecuali jika kalian rela membayar sewa tanah yang setara sampai panen. Jika tidak, cabutlah tanamannya, kecuali jika dia rela meninggalkannya untuk kalian.” Kami menganggap kebangkrutan sebagai pembatalan jual beli dan pembatalan sewa. Jika sewa dibatalkan, pemilik tanah lebih berhak atasnya, kecuali jika dia membayar sewa yang setara, karena si penanam tidak melampaui batas.
Dia berkata: “Jika seseorang menjual budak kepada orang lain, lalu menggadaikannya, kemudian bangkrut, maka penerima gadai lebih berhak atas budak itu daripada para kreditur. Budak itu dijual untuknya sesuai haknya. Jika masih ada sisa dari budak itu, penjual lebih berhak atasnya.” Jika ada yang bertanya: “Jika kamu menerapkan ini dalam gadai, mengapa tidak menerapkannya dalam penyamakan dan pencucian pakaian seperti gadai, sehingga dia lebih berhak daripada pemilik pakaian?” Dijawab: “Karena keduanya berbeda.” Jika ditanya: “Di mana perbedaannya?” Kami jawab: “Penyamakan dan pencucian adalah sesuatu yang ditambahkan oleh penyamak dan pencuci pada pakaian. Jika kami memberinya upahnya dan kelebihan pada pakaian, kami telah memberinya modal nyatanya. Kami tidak memberinya lebih dari pakaian itu dan memasukkan sisa modalnya ke dalam harta si penghutang.”
Dia berkata: “Jika pakaian itu rusak di tangan penyamak atau penjahit, kami tidak membebankan apa pun kepada penyewa, karena itu hanya tambahan yang dia buat. Jika pemilik pakaian tidak memenuhinya, dia tidak berhak. Gadai berbeda dari ini karena bukan tambahan pada budak, melainkan penjaminan sesuatu pada dirinya yang mirip dengan jual beli. Jika budak itu mati, itu menjadi tanggungan pemiliknya yang menggadaikan, tidak batal dengan kematian budak seperti sewa batal dengan rusaknya pakaian.” Jika ada yang berkata: “Keduanya bisa bertemu di satu tempat dan berpisah di tempat lain,” kami jawab: “Ya, kami menyatukannya di mana mereka bertemu dan memisahkannya di mana mereka berpisah. Tidakkah kamu lihat bahwa jika budak digadaikan dan kami memberi penerima gadai hak lebih sampai dia mendapatkan haknya dari penjual dan kreditur, kami telah memberinya sebagian dari hukum jual beli? Jika budak mati, kami mengembalikan penerima gadai dengan haknya. Jika ini adalah hukum jual beli sepenuhnya, penerima gadai tidak akan dikembalikan dengan apa pun. Jadi, kami menyatukannya dengan jual beli di mana mereka serupa dan memisahkannya di mana mereka berbeda.”
Jika seseorang menyewa tanah, pemilik tanah menerima seluruh sewanya, dan tanaman masih di tanah itu, membutuhkan penyiraman dan perawatan, lalu si penyewa bangkrut, dikatakan kepada para kreditur: “Jika kalian rela mengeluarkan biaya untuk tanaman sampai panen, lalu menjualnya dan mengambil pengeluaran kalian bersama modal kalian, itu boleh. Tetapi itu hanya berlaku jika pemilik tanaman yang bangkrut setuju. Jika dia tidak setuju, dan kalian rela merawatnya dan mengeluarkan biaya tanpa menuntut kembali apa pun yang kalian lakukan, silakan. Jika tidak, juallah dalam keadaan seperti itu. Kalian tidak dipaksa mengeluarkan biaya untuk sesuatu yang tidak kalian inginkan.”
Dia berkata: “Begitu juga jika itu adalah budak yang sakit, dia dijual dalam keadaan sakit, meskipun harganya turun.”
Dia berkata: “Jika seseorang membeli budak, rumah, barang, atau apa pun yang berbentuk aset dari orang lain, tetapi belum menerimanya sampai penjual bangkrut, pembeli lebih berhak atasnya dengan harga yang telah disepakati. Itu mengikat baginya, suka atau tidak suka para kreditur. Jika dia membeli sesuatu yang telah dijelaskan sifatnya, seperti budak tertentu, unta tertentu, makanan, atau barang lain dalam jual beli deskriptif, dan telah membayar harganya, dia sama dengan para kreditur dalam hal hak dan kewajiban. Jika harganya—
Beberapa hal yang dibeli seperti budak tertentu, rumah tertentu, atau pakaian tertentu dengan makanan yang telah ditentukan sifatnya hingga tempo tertentu atau lainnya, maka penjual rumah yang digunakan untuk membeli makanan tersebut lebih berhak atas rumahnya. Sebab, ia adalah penjual sekaligus pembeli, tidak keluar dari transaksi jual-belinya. Demikian pula, jika ia memberikan pinjaman berupa perak yang telah dibentuk, emas, atau dinar dalam bentuk fisiknya, lalu ia menemukannya masih utuh dan diakui oleh para kreditur atau penjual, maka ia lebih berhak atasnya. Namun, jika barang tersebut tidak dapat dikenali atau telah habis, maka ia sama seperti kreditur lainnya.
Jika seseorang menyewa rumah dari orang lain, lalu penyewa bangkrut, maka sewa tetap berlaku hingga masa berakhirnya, sebagaimana keabsahan jual-beli, baik si bangkrut itu meninggal atau masih hidup. Demikian pula pendapat sebagian ulama di daerah kami mengenai sewa. Namun, dalam hal pembelian, ia berpendapat bahwa jika si pembeli meninggal, maka ia sama seperti kreditur lainnya.
Banyak orang yang berbeda pendapat dengan kami mengenai sewa, mereka membatalkannya jika penyewa atau yang menyewakan meninggal, karena kepemilikan rumah telah berpindah dari yang menyewakan, dan manfaatnya telah berpindah dari penyewa. Mereka berpendapat bahwa sewa tidak seperti jual-beli. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang menyewa rumah lalu rumah itu runtuh, si penyewa tidak wajib membangunnya kembali, dan penyewa dapat mengambil kembali sisa biaya sewanya? Jika ini adalah jual-beli, ia tidak bisa mengambil kembali apa pun.
Pendapat kami—semoga Allah merahmati kami dan dia—adalah bahwa sewa lebih lemah, karena kami memisahkannya dari harta orang yang bangkrut. Jika si penyewa meninggal, ia menjadikannya milik penyewa, tetapi membatalkan jual-beli sehingga tidak menjadi milik penjual. Jika kami memisahkan keduanya, maka jual-beli lebih layak untuk tetap menjadi milik penjual daripada sewa menjadi milik penyewa, karena sewa bukan kepemilikan penuh. Namun, jika kami menggabungkannya, tidak sepatutnya memisahkan keduanya.
Jika seseorang menyewa pengangkutan makanan ke suatu tempat, lalu penyewa bangkrut atau meninggal, maka penyewanya sama seperti kreditur lainnya, karena ia tidak memiliki keterampilan khusus dalam makanan tersebut. Jika ia bangkrut sebelum makanan diangkut, ia boleh membatalkan sewa, karena penyewa tidak boleh memberikannya sesuatu dari hartanya tanpa persetujuan kreditur lainnya. Penyewa juga tidak boleh dipaksa menerima sesuatu dari harta orang yang bangkrut kecuali jika kreditur lainnya mengizinkan.
Jika makanan telah diangkut sebagian lalu penyewa bangkrut, maka ia berhak atas sebagian biaya sewa sesuai jarak yang telah ditempuh, yang akan dibagi bersama kreditur lainnya. Ia juga boleh membatalkan pengangkutan di tempat tersebut—jika ia mau—jika tempat itu tidak merusak makanan, seperti padang pasir atau sejenisnya.
Jika seseorang menyewa unta tertentu dari orang lain, lalu sebagian unta mati, maka penyewa tidak wajib menggantinya. Jika penyewanya bangkrut dan sebagian unta mati, penyewa tidak boleh menuntut penggantian dari pemilik unta atau harta penyewanya, kecuali dari sisa biaya sewa yang telah dibayarkan, di mana ia akan sama seperti kreditur lainnya. Unta yang disewa tetap menjadi milik penyewa hingga masa sewa berakhir, kemudian menjadi bagian dari harta penyewa yang bangkrut.
Jika mereka menyewa pengangkutan yang dijamin tanpa menentukan unta tertentu, dan setiap orang diberikan unta tertentu, maka penyewa boleh mengambilnya dari mereka dan menggantinya dengan unta lain. Jika hak mereka adalah tanggungan dalam tanggung jawab penyewa, maka jika unta mati dan penyewa bangkrut, mereka semua sama-sama berhak atas sisa unta sesuai bagian pengangkutan mereka, karena itu dijamin dalam hartanya, bukan unta tertentu.
Jika seseorang menyewa unta dari orang lain, lalu si penyewanya kabur, dan penyewa melaporkannya kepada penguasa dengan membawa bukti, maka jika penguasa berwenang memutuskan untuk orang yang tidak hadir, ia akan menyumpah penyewa bahwa haknya tetap berlaku dalam sewa tanpa ada alasan pembatalan, menyebutkan biaya sewa dan pengangkutan, lalu menyewakannya kepada orang lain sebagaimana menjual harta orang tersebut jika pengangkutan dijamin.
Jika pengangkutan berupa unta tertentu, ia tidak boleh menyewakannya kepada orang lain. Hakim akan memberi pilihan kepada penyewa: menyewa dari orang lain dan menuntut biaya sewa dari si kabur, atau memerintahkan seorang yang adil untuk memberi makan unta dengan biaya minimal dan mengeluarkannya sebagai sukarela, bukan paksaan, lalu menagihnya sebagai utang kepada pemilik unta. Apa yang telah diberikan kepada unta sebelum keputusan hakim adalah sukarela.
Jika si pemilik unta memiliki kelebihan unta, ia boleh menjualnya dan memberi makan untanya jika ia termasuk orang yang… (terjemahan berlanjut sesuai teks asli yang lengkap).
Menghilangkan yang tidak hadir, dan tidak memerintahkan siapa pun untuk menafkahinya, serta tidak membatalkan sewa. Hal ini dilakukan hanya jika dia tidak memiliki kelebihan unta. Dia berkata: Jika dia menjual kelebihan untanya dan tidak memiliki harta selain unta, kemudian datang pemilik unta, penjualan tidak dibatalkan dan uangnya diberikan kepadanya serta diperintahkan untuk menafkahi untanya. Dia berkata: Sebagai tindakan kehati-hatian bagi yang menyewa unta, dia harus mengambilnya dengan menunjuk seorang wakil yang terpercaya dan menyetujui keputusannya dalam menjual apa yang dia lihat dari untanya dan barang-barangnya, lalu memberi makan untanya dari hartanya, menjadikannya saksi atas utang yang diberikan untuk untanya dan pemberian makan, mewajibkannya untuk itu, dan menyumpahnya untuk tidak membatalkan perjanjian. Jika dia tidak hadir, wakil tersebut yang menangani hal itu.
Dia berkata: Jika sekelompok orang menyewa unta tertentu dan kemudian bangkrut, setiap orang berhak menunggang untanya sendiri. Unta tidak boleh dijual sampai mereka mendapatkan muatannya. Jika unta tidak tertentu dan diberikan kepada setiap orang seekor unta, mereka saling bergantian jika muatan berkurang, sebagaimana mereka saling bergantian dalam harta lainnya sampai muatan merata. Kemudian datanglah kreditur mereka yang tidak memiliki muatan untuk mengambil unta sesuai dengan jumlah hak mereka, sementara pemilik muatan mendapatkan nilai muatan mereka.
Jika seseorang memberikan budak tertentu sebagai mahar kepada seorang wanita, baik sudah diserahkan atau belum, kemudian dia bangkrut, budak itu tetap milik wanita tersebut. Hal yang sama berlaku jika budak itu dijual, dihadiahkan sebagai sedekah yang mengikat, atau diakui sebagai barang rampasan atau miliknya. Namun, jika budak itu dihadiahkan, diberikan sebagai hibah, atau disedekahkan tanpa ikatan dan belum diserahkan sebelum kebangkrutan, penerima tidak berhak memintanya atau menerimanya. Jika penerima mengambilnya setelah hakim menyita hartanya, itu harus dikembalikan karena kepemilikan hanya sah dengan penyerahan dalam hadiah, sedekah, atau hibah.
Jika debitur bangkrut dengan harta yang diketahui oleh semua kreditur dan setiap kreditur mengetahui hak masing-masing, debitur menyerahkan hartanya kepada kreditur, sedikit atau banyak. Jika kreditur membeli harta itu dengan hak mereka atau membebaskan debitur saat menerimanya, debitur bebas dari kewajiban, sedikit atau banyak. Setiap kreditur berhak atas harta sesuai dengan haknya: pemilik dua ratus mendapat dua bagian, pemilik seratus mendapat satu bagian. Jika harta diserahkan tanpa pembelian atau pembebasan dan sisa harta tidak mencukupi, tidak ada jual beli atau gadai. Jika tidak ada jual beli, kreditur lain bergabung dalam pembagian. Jika kebangkrutan terjadi setelah penyerahan dan harta masih utuh, kreditur bertanggung jawab karena menerimanya sebagai pelunasan. Jika belum final, jual beli dilanjutkan dengan melibatkan kreditur baru. Jika sudah terjadi jual beli, debitur berhak memilih antara menerima semua hasil penjualan atau menuntut kreditur atas nilai harta jika hilang, kecuali jika harta masih ada, jual beli dibatalkan, kecuali jika kreditur diberi kuasa untuk menjual.
Jika harta debitur dijual untuk kreditur yang telah membuktikan klaimnya, kemudian debitur mendapatkan harta baru dan memiliki utang baru, kreditur lama dan baru memiliki hak yang sama atas harta baru. Setiap utang sebelum hakim menetapkan pembatasan tetap berlaku, dan setiap kreditur mendapat bagian sesuai haknya. Hal yang sama berlaku jika hakim membatasi debitur, menjual hartanya, melunasi kreditur, kemudian debitur mendapatkan harta baru dan berutang lagi. Kreditur lama dan baru memiliki hak yang sama, dan debitur tidak lagi dibatasi setelah pembatasan pertama dan penjualan harta karena pembatasan hanya untuk penjualan harta, bukan karena kebodohan.
Dia berkata: Jika situasinya tetap sama dan muncul kreditur lama yang berutang sebelum kebangkrutan pertama, mereka dimasukkan dalam pembagian harta pertama sesuai dengan hak masing-masing, kemudian bersama kreditur baru dalam harta yang diperoleh setelah kebangkrutan kedua dengan hak yang sama.
Jika seorang pria menjual barang kepada pria lain, pembeli menerimanya dengan hak membatalkan dalam tiga hari, kemudian penjual atau pembeli bangkrut sebelum tiga hari, keduanya memiliki hak yang sama untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli sesuai keinginan. Alasan mereka bisa melanjutkan jual beli adalah karena ini bukan jual beli baru. Buktinya, jika mereka tidak membicarakan pembatalan atau kelanjutan sampai tiga hari berlalu, jual beli tetap sah meskipun tidak ada pilihan atau penolakan dari salah satu pihak.
Dari keduanya hingga tiga hari berlalu, maka jual belinya mengikat seperti jual beli tanpa hak khiyar (pilihan).
Dia berkata: “Barangsiapa menemukan barang miliknya pada orang yang bangkrut, maka dia lebih berhak atasnya jika menghendaki, baik orang yang bangkrut itu meninggalkannya, atau para kreditur ingin mengambilnya, atau orang tersebut tidak bangkrut; karena dia tidak memilikinya kecuali jika menghendaki, sehingga tidak boleh dipaksa untuk memiliki sesuatu yang tidak diinginkannya kecuali dalam warisan. Sebab, jika dia mewarisi sesuatu lalu mengembalikannya, maka itu bukan haknya, dan para kreditur berhak mengambilnya sebagaimana mereka mengambil seluruh hartanya. Dan masing-masing dari keduanya boleh membatalkan atau melanjutkan jual beli selama masa khiyar, baik para kreditur menyukainya atau tidak; karena jual beli terjadi atas barang yang masih ada hak khiyar di dalamnya.”
Dia berkata: “Jika seseorang memberikan pinjaman (salam) untuk makanan atau lainnya dengan sifat tertentu, lalu jatuh tempo dan peminjam bangkrut, maka dia tidak boleh mengambilnya tanpa sifat yang disepakati kecuali jika para kreditur setuju; karena dia mengambil sesuatu yang tidak dibelinya.” Dia berkata: “Jika dia diberi yang lebih baik dari apa yang dipinjamkannya, jika berasal dari jenis yang berbeda, dia tidak wajib menerimanya meskipun para kreditur menghendakinya; karena kelebihan tersebut adalah hibah, dan dia tidak wajib menerima hibah. Namun, para kreditur berhak mengambil dari orang yang berutang sesuai dengan haknya secara spesifik. Jika berasal dari jenis yang sama, dia wajib menerimanya jika para kreditur setuju, meskipun dia tidak suka; karena tidak ada mudarat baginya dalam kelebihan tersebut. Hal ini berlaku untuk budak dan selainnya, di mana kelebihan tidak bertentangan, selama kelebihan tersebut tidak merusak kesesuaian seperti halnya kekurangan.”
[Bab: Bagaimana Harta Orang yang Bangkrut Dijual]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Hakim sebaiknya memerintahkan penjualan harta orang yang bangkrut melalui seorang yang amanah yang akan menjual hartanya, dan memerintahkan orang yang bangkrut untuk hadir dalam penjualan atau menunjuk wakil jika dia menghendaki. Hakim juga memerintahkan para kreditur yang hadir untuk menyaksikannya. Jika penjualan ditinggalkan oleh penjual atau pembeli atau sebagian dari mereka, maka orang yang amanah tersebut boleh menjualnya. Harta orang yang berutang yang dijual terbagi dua:
- Yang dijadikan jaminan (rahn) sebelum dia dituntut.
- Yang tidak dijadikan jaminan.
Jika harta yang dijadikan jaminan dijual, maka hasil penjualannya diserahkan kepada pemegang jaminan saat itu juga, jika dia telah membuktikan jaminannya di hadapan hakim dan bersumpah atas kebenaran haknya. Jika ada kelebihan dari nilai jaminan, maka kelebihan itu ditahan, dan seluruh hasil penjualan harta yang bukan jaminan ditahan hingga hartanya terkumpul dan dibagikan kepada para kreditur.”
Dia berkata: “Jika seseorang menjual jaminannya tetapi tidak cukup untuk menutupi haknya, maka dia diberikan kekurangan dari harga jaminannya, dan sisa haknya disamakan dengan hak para kreditur lainnya. Jika seorang kreditur menjadikan harta debitur sebagai jaminan tetapi belum menerimanya sebelum para kreditur lain menuntut, maka jaminan tersebut batal, dan para kreditur berbagi secara merata.
Demikian pula jika jaminannya batal karena pemegang hak membatalkannya, atau jika jaminannya tidak sah karena suatu sebab, maka jaminan itu tidak berlaku, dan para kreditur berbagi secara merata. Jika harta dijadikan jaminan untuk dua orang sekaligus, maka keduanya dianggap seperti satu orang. Jika harta dijadikan jaminan untuk satu orang dan diterima, lalu dijadikan jaminan lagi untuk orang lain setelahnya, maka pemegang jaminan pertama diberikan seluruh haknya, dan sisa dari harga jaminan dibagikan kepada pemegang jaminan kedua seperti kreditur lainnya; karena tidak boleh menjaminkan sesuatu yang sudah dijaminkan sebelumnya sehingga tidak sah karena alasan tertentu.”
Dia berkata: “Jika seseorang menjaminkan hartanya tetapi pemegang jaminan belum menerimanya, lalu orang yang berutang bangkrut, maka jaminan tersebut batal. Setiap jaminan yang batal karena suatu sebab menjadi bagian dari harta orang yang bangkrut, dan tidak ada seorang pun dari para kreditur yang lebih berhak atasnya; mereka berbagi secara merata.”
Dia berkata: “Tidak boleh menjaminkan buah di pohon atau tanaman yang masih tumbuh karena tidak bisa diserahkan dan tidak jelas. Namun, boleh setelah buah dipetik atau tanaman dipanen dan diserahkan.”
[Bab: Pengumpulan Hasil Penjualan Harta Orang yang Berutang]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Hakim tidak boleh memerintahkan penjualan harta debitur sampai dia hadir dan para kreditur yang hadir dimintai pendapatnya. Hakim berkata: ‘Setujukah kalian dengan orang yang aku tunjuk untuk menangani hasil penjualan harta debitur kalian, hingga aku membagikannya kepada kalian?'”
Dan terhadap orang yang berutang, jika ia memiliki hak bersama kalian, jika mereka sepakat pada orang yang terpercaya, dia tidak akan mengkhianatinya. Namun jika mereka sepakat pada orang yang tidak terpercaya, dia tidak akan menerimanya; karena dia tidak boleh menyerahkan kecuali kepada yang terpercaya. Sebab itu adalah harta orang yang berutang hingga dilunasi untuknya. Jika ada kelebihan, itu menjadi miliknya, dan jika ada kekurangan, itu menjadi tanggungannya. Bisa jadi muncul utang kepada pihak lain, seperti sebagian yang tidak setuju dengan pengaturan ini di tangannya. Jika mereka berpisah, mereka diminta memilih dua orang terpercaya untuk menggabungkannya. Dia berkata: Demikian juga kebanyakan jika mereka menerima, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang meminta upah atas hal itu. Jika mereka meminta upah, dia menyerahkannya kepada satu orang agar upahnya lebih sedikit. Dia wajib memilih yang terbaik untuk mereka dan yang tidak hadir jika ada bersama mereka, dan berkata kepada para kreditur: “Hadirkan dia agar kalian menghitung atau menunjuk siapa pun yang kalian kehendaki.” Hal yang sama dikatakan kepada yang berutang, dan dia meminta agar harta yang diatur di tangannya dijamin dengan memberikannya pinjaman tunai. Jika dia melakukannya, itu tidak dianggap sebagai amanah, dan dia berusaha agar itu menjadi tanggungan. Jika dia menemukan orang terpercaya yang mampu menjamin, dan menemukan yang lebih terpercaya tetapi tidak menjamin, dia menyerahkannya kepada yang menjamin. Jika mereka tidak menunjuk siapa pun atau menunjuk yang tidak terpercaya, dia memilih untuk mereka.
Dia berkata: Dan lebih aku sukai bagi yang mengurus ini untuk diberi rezeki dari baitulmal. Jika tidak ada, tidak diberikan apa pun hingga mereka membuat perjanjian. Jika tidak sepakat, dia berusaha untuk mereka dan tidak memberikannya apa pun, sementara dia menemukan orang terpercaya yang menerima lebih sedikit. Demikian juga dia berkata kepada mereka tentang orang yang menawar lebih tinggi dalam lelang, dan tentang seseorang yang menakar makanan atau memindahkannya ke tempat di pasar, serta segala yang terkait perbaikan barang yang dijual. Jika pemilik harta datang atau mereka menunjuk yang mencukupi, orang lain tidak boleh ikut campur. Jika mereka tidak datang, dia menyewa orang yang mencukupi dengan upah terendah yang ditemukan. Jika harta orang yang bangkrut dijual kepada kreditur tertentu atau beberapa kreditur secara terpisah, mereka sama seperti yang haknya telah tetap sebelum harta dibagi. Tidak boleh menyerahkan sesuatu dari hartanya kepada yang membeli kecuali setelah menerima pembayaran. Jika harta berada di tangan orang adil atau penjual hingga pembeli membayar, lalu harta itu rusak, itu menjadi tanggungan harta orang yang bangkrut, bukan pembeli, hingga dia menerimanya. Jika pembeli menerimanya di tempat, dan penjual tidak tahu, lalu pembeli kabur atau menghabiskannya hingga bangkrut, itu menjadi tanggungan harta orang yang bangkrut, bukan kreditur. Demikian juga jika orang adil menerima pembayaran atau sebagiannya, lalu tidak menyerahkannya kepada kreditur hingga harta itu rusak, itu menjadi tanggungan harta orang yang bangkrut, bukan kreditur, hingga mereka menerimanya. Tanggung jawab atas penjualan berada pada orang yang bangkrut, karena itu adalah penjualan hartanya untuk memenuhi kewajiban. Jadi, itu adalah penjualan untuknya dan atasnya, dan yang paling berhak menanggung adalah pemilik harta yang dijual. Qadi atau wakilnya tidak menanggung apa pun, dan tidak ada tanggung jawab atas keduanya atau salah satunya. Jika sesuatu dari harta orang yang bangkrut dijual kepada kreditur, lalu haknya dikembalikan, itu dikembalikan ke harta orang yang bangkrut.
[Pasal tentang Tanggung Jawab dalam Harta Orang yang Bangkrut]
(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – jika harta seseorang dijual karena utang setelah kematiannya, sebelumnya, atau karena kebangkrutan, atau jika dia sendiri yang menjualnya, semuanya sama. Kami tidak melihat tanggung jawab penjualan untuk mayit berbeda dengan yang hidup. Tanggung jawab dalam harta mayit sama seperti harta orang hidup, tidak ada perbedaan dalam hal ini menurutku. Jika seseorang meninggal atau bangkrut dengan utang seribu dirham dan meninggalkan rumah yang dijual seharga seribu dirham, lalu wakil qadi menerima seribu dirham tersebut, kemudian uang itu rusak di tangannya, sementara rumah diklaim haknya, maka tidak ada tanggung jawab atas kreditur yang menjualnya. Tanggung jawab ada pada mayit yang hartanya dijual atau orang yang bangkrut. Jika ditemukan harta mayit atau orang yang bangkrut, lalu pembeli yang telah memberi seribu dirham dikembalikan uangnya, karena itu diambil darinya melalui penjualan yang tidak sah, dan kreditur diberikan hak mereka. Jika tidak ditemukan harta, tidak ada tanggungan atas qadi atau wakilnya, dan rumah dikembalikan kepada yang berhak. Pembeli rumah diberitahu:
Harta milikmu telah binasa, dan engkau adalah penagih utang terhadap orang yang meninggal dan orang yang bangkrut. Kapan pun engkau menemukan hartanya, ambillah. Dan dikatakan kepada penagih utang: “Kamu belum menerima pembayaran penuh, maka tidak ada tanggungan atasmu. Jika kami menemukan harta milik orang yang meninggal, kami akan memberikannya kepadamu. Jika kalian berdua menemukannya, maka bagilah secara adil, tidak boleh salah satu dari kalian mendahului yang lain.”
[Pasal tentang Menangguhkan Penjualan Harta Orang yang Bangkrut]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Hewan ternak adalah harta orang yang bangkrut atau mayit yang memiliki utang yang paling utama untuk segera dijual. Jika berada di wilayah yang ramai, penjualannya tidak boleh ditunda lebih dari tiga hari, kecuali jika para ahli berpendapat bahwa menundanya selama tiga hari akan menghasilkan harga lebih tinggi dibandingkan menjualnya dalam satu atau dua hari. Jika hal ini hanya berlaku pada sebagian hewan tertentu, maka tundalah penjualan hewan yang demikian selama tiga hari, sementara yang lainnya tidak. Biaya pemeliharaannya diambil dari harta mayit karena itu termasuk perbaikan, sebagaimana biaya perawatannya juga diambil dari harta mayit.
Rumah-rumah boleh ditunda penjualannya sesuai pendapat ahli yang memahami nilai properti, hingga harganya mencapai atau mendekati nilai maksimal, tergantung lokasi dan ketinggian nilainya. Tanah, mata air, dan aset lainnya juga boleh ditunda sesuai penjelasan di atas, hingga para ahli menilai harganya telah optimal atau mendekati puncaknya. Jika ada wilayah lain yang harga pasarnya lebih tinggi, penundaan boleh dilakukan hingga diketahui harga di wilayah tersebut.
Jika qadhi menjual harta mayit atau orang bangkrut, dan pembeli telah menyelesaikan transaksi di tempat akad, kemudian ada penawaran lebih tinggi, penjual tidak boleh membatalkan transaksi kecuali dengan kerelaan pembeli. Pembeli boleh memilih untuk membatalkan atau menambah harga, tetapi itu bukan kewajiban. Qadhi boleh memintanya, tetapi jika menolak, tidak dianggap zalim, dan transaksi tetap sah. Penjualan harta mayit atau orang bangkrut, baik dengan syarat khiyar atau lainnya, serta tanggung jawabnya, sama seperti jual beli harta pribadi, tidak terpisah.
[Pasal tentang Jual Beli, Pembebasan Budak, dan Pengakuan Utang]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Jual beli, pembebasan budak, pengakuan utang, dan pembayaran sebagian utang oleh seseorang—baik dia bangkrut atau tidak, berutang atau tidak—semuanya diperbolehkan. Pembebasan budak dan jual belinya tidak boleh dibatalkan, termasuk kelebihan hartanya, kecuali jika para penagih utang melaporkannya ke qadhi.
Saat dilaporkan ke qadhi, mereka harus bersaksi bahwa hartanya telah dibekukan. Setelah itu, dia tidak boleh menjual, menghibahkan, atau merusak hartanya. Jika melakukannya, ada dua pendapat:
- Transaksi ditangguhkan. Jika utangnya lunas dan ada sisa harta, transaksi itu boleh disahkan karena pembekuan bukanlah pelarangan mutlak, melainkan seperti harta orang sakit yang bebas setelah sembuh.
- Transaksi tersebut batal karena hartanya telah dilarang untuk dikelola.
Namun, pembekuan tidak boleh menghalanginya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Jika menjual harta, dia dan keluarganya berhak mendapat nafkah sehari, serta biaya penguburan jika dia atau tanggungannya meninggal, sesuai standar yang layak.
Setelah dilaporkan ke qadhi, transaksi masih sah hingga qadhi benar-benar membekukan hartanya. Jika seseorang mengakui utang atau hak setelah pembekuan, tetapi mengklaim itu terjadi sebelum pembekuan, ada dua pendapat:
- Pengakuannya sah, dan penerima hak masuk dalam daftar kreditur bersama yang diakui sebelum pembekuan, jika ada bukti. Pendapat ini mengqiyaskannya dengan orang sakit yang mengakui utang saat sakit.
- … (lanjutan tidak diterjemahkan sesuai permintaan).
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Dia mengakui untuk mereka dalam keadaan sehat, dan mereka memiliki bukti. Hal ini dapat diterima melalui qiyas dan termasuk dalam kasus jika seseorang mengakui sesuatu yang diketahui milik orang lain, baik karena merampasnya, menitipkannya, atau memiliki alasan lain, maka pengakuannya mengikat. Siapa pun yang berpendapat demikian juga menerapkannya pada setiap orang yang hartanya dihentikan (dibekukan) dan membenarkan pengakuannya atas apa yang ada di tangannya atau lainnya dalam keadaan tersebut, sebagaimana dia membenarkannya sebelum keadaan itu. Ini adalah pendapat yang saya pegang.
Pendapat kedua: Jika seseorang mengakui hak yang mengikatnya dengan cara tertentu, baik terkait sesuatu yang menjadi tanggungannya atau sesuatu yang ada di tangannya, maka pengakuannya dianggap mengikat untuk hartanya jika terjadi sesuatu setelah ini. Argumen terbaik dari pendukung pendapat ini adalah bahwa pembekuan hartanya dalam keadaan ini bagi para kreditur seperti menggadaikan hartanya untuk mereka, sehingga mereka didahulukan untuk mendapatkan hak mereka. Jika ada sisa, itu diberikan kepada orang yang diakui haknya. Jika tidak ada sisa, hak mereka tetap menjadi tanggungannya. Pendapat ini mencakup hal yang tidak masuk akal, karena tidak ada qiyas dengan orang sakit yang hartanya dibekukan atau orang yang di bawah pengampuan yang pengakuannya selalu batal. Juga, gadai hanya sah jika diketahui dengan jelas, sedangkan ini tidak diketahui karena kreditur yang datang akan memasukkan haknya ke dalam harta orang tersebut, dan harta yang ditemukan tidak diketahui olehnya atau krediturnya.
Pendapat ini juga mencakup kasus jika seseorang dikenal miskin, seperti tukang emas atau tukang cuci yang bangkrut, tetapi di tangannya ada perhiasan atau pakaian bernilai besar, maka perhiasan dan pakaian itu dianggap miliknya sampai dia melunasi krediturnya. Pendapat ini juga bisa diterapkan pada seorang makelar yang memegang budak-budak bernilai ribuan dinar, meskipun diketahui dia tidak memiliki harta besar, lalu dia bangkrut, maka budak-budak itu dianggap miliknya dan dijual untuk melunasi utangnya. Pendapat ini juga menyatakan bahwa seseorang dianggap memiliki apa yang ada di tangannya meskipun tidak mengklaimnya, tetapi tidak seharusnya ada yang berpendapat demikian. Jika seseorang meninggalkan sebagian pendapat ini, dia meninggalkan qiyas dan pendapatnya menjadi tidak konsisten. Dia mungkin juga terikat jika seorang budak dijual dan dia mengaku budak itu melarikan diri, lalu kreditur menuduhnya ingin merusak, maka pengakuannya tidak diterima, hartanya dijual, dan dia bertanggung jawab. Pendapat ini banyak kelemahannya, sedangkan pendapat pertama adalah pendapat saya. Saya memohon kepada Allah Yang Maha Perkasa untuk memberikan taufik dan pilihan terbaik dengan rahmat-Nya.
[Bab tentang hibah orang yang bangkrut]
(Bab tentang hibah orang yang bangkrut – Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:) Jika seseorang memberikan hibah kepada orang lain dengan syarat imbalan, dan penerima hibah menerima serta mengambilnya, kemudian dia bangkrut sebelum memberikan imbalan, maka bagi yang membolehkan hibah dengan imbalan, penerima hibah diberi pilihan: memberikan imbalan atau mengembalikan hibah jika masih utuh. Si pemberi hibah juga memiliki hak memilih terkait imbalan. Jika dia memberikan imbalan, nilainya atau kelipatannya harus diberikan.
Nilai hibahnya, maka tidak diperbolehkan baginya untuk menarik kembali hibahnya dan menjadikannya milik para kreditur. Jika imbalan yang diberikan kurang dari nilainya, namun dia rela, maka kerelaannya diperbolehkan, meskipun para kreditur tidak menyukainya.
(Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika seseorang memberikan hibah, maka hibah tersebut batal karena dia tidak rela memberikannya kecuali dengan imbalan. Karena imbalannya tidak diketahui, hibah itu batal, seperti halnya jika dia menjualnya dengan harga yang tidak diketahui, maka jual belinya batal. Ini adalah kepemilikan dengan imbalan, dan karena imbalannya tidak diketahui, maka lebih mirip dengan jual beli, karena jual beli melibatkan imbalan, dan ini juga melibatkan imbalan. Karena imbalannya tidak diketahui, maka hibah itu batal.
(Syafi’i berkata): Jika hibah telah hilang di tangan penerima hibah, maka imbalan yang diberikan dan disetujui oleh pemberi hibah diperbolehkan. Jika dia tidak rela, maka dia berhak atas nilai hibahnya. Jika seseorang memberikan hibah kepada orang lain dengan harapan mendapatkan imbalan, kemudian pemberi hibah bangkrut sementara hibah masih ada, maka jika dia memilih untuk tetap pada hibahnya atau menerima imbalan, imbalan itu menjadi milik pemberi hibah. Jika dia rela dengan sedikit imbalan meskipun para kreditur tidak menyukainya, itu diperbolehkan. Demikian juga jika dia memilih untuk tidak menerima imbalan dan berkata, “Aku tidak memberikannya untuk imbalan.” Jika dia tidak rela dengan nilainya, maka dia berhak atas hibahnya, baik nilainya berkurang atau bertambah. Ada pendapat lain bahwa dia tidak boleh menarik kembali hibahnya. Jika hibah itu hilang karena kematian, penjualan, atau pembebasan, maka pemberi hibah tidak mendapatkan apa-apa karena dia telah memilikinya tanpa syarat. Jika hibah itu hilang setelah menjadi miliknya, dia tidak mendapatkan apa-apa karena apa yang menjadi haknya telah hilang, dan tidak ada jaminan tertentu baginya, seperti halnya dalam syuf’ah (hak beli preferensial) yang hilang, maka dia tidak mendapatkan apa-apa.
[Bab Jatuh Tempo Utang Orang yang Meninggal dan Utang yang Ditanggung]
(Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang meninggal dan memiliki piutang dengan jatuh tempo tertentu, maka piutang itu tetap pada jatuh temponya dan tidak segera jatuh tempo karena kematiannya. Namun, jika utang orang yang meninggal memiliki jatuh tempo tertentu, maka menurut pendapat yang saya ketahui dari para ulama yang saya temui, utang itu segera jatuh tempo dan dibagikan kepada para kreditur. Jika ada sisa, maka itu menjadi hak ahli waris dan wasiatnya, jika ada. Dia juga berkata: Dan menurut pendapat yang lebih kuat -Wallahu a’lam- argumen dari mereka yang berpendapat demikian, dengan kesepakatan mereka, adalah bahwa karena para kreditur lebih berhak atas harta orang yang meninggal selama hidupnya daripada dirinya sendiri, maka mereka lebih berhak atas hartanya setelah kematiannya daripada ahli warisnya. Jika kita membiarkan utang mereka sampai jatuh tempo seperti saat hidupnya, berarti kita menghalangi orang yang meninggal untuk terbebas dari tanggungannya dan menghalangi ahli waris untuk mengambil kelebihan dari utang kreditur ayahnya. Mungkin juga argumen mereka adalah sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya sampai utangnya dilunasi.”
(Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa’d dari ayahnya, dari Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya sampai utangnya dilunasi.”)
(Syafi’i berkata): Karena kafannya diambil dari pokok hartanya, bukan dari hak kreditur, dan jiwanya tergantung pada utangnya, serta harta adalah miliknya, maka lebih tepat jika utangnya segera dilunasi karena jiwanya tergantung pada utangnya. Tidak boleh harta orang yang meninggal hilang begitu saja tanpa diberikan kepada kreditur atau ahli warisnya, karena tidak boleh ahli waris mengambilnya tanpa memenuhi hak kreditur. Jika utangnya ditunda sampai jatuh tempo, maka ruhnya akan tetap tergantung pada utangnya, dan hartanya berisiko hilang sehingga tidak bisa melunasi tanggungannya, juga tidak menjadi hak ahli warisnya. Maka, tidak ada solusi yang lebih baik daripada segera melunasi utangnya, kemudian memberikan sisanya kepada ahli waris.
[Bab Utang Orang yang Bangkrut yang Jatuh Tempo dan yang Belum]
(Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang bangkrut dan memiliki utang dengan jatuh tempo tertentu, banyak ulama yang berpendapat bahwa utang-utang tersebut segera jatuh tempo, seperti halnya utang orang yang meninggal. Pendapat ini didasarkan pada analogi bahwa hartanya dihentikan seperti harta orang yang meninggal, dan dia dicegah untuk melunasi utang sesuai keinginannya. Ini juga mencakup bahwa jika mereka memberlakukan hukum seperti orang yang meninggal padanya…
Hendaknya mereka masuk dari orang yang mengakui sesuatu bersama para krediturnya, dan demikian pula mereka mengeluarkan dari tangannya apa yang dia akui untuk seseorang sebagaimana yang mereka lakukan terhadap orang sakit yang mengakui kemudian meninggal. Dan mungkin saja dijual kepada orang yang hutangnya telah jatuh tempo, sedangkan mereka yang hutangnya belum jatuh tempo ditunda; karena dia tidak mati, sebab dia masih bisa memiliki, sedangkan orang mati tidak bisa memiliki. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.
Dia berkata: Dan apa yang menjadi hak orang yang meninggal berupa hutang dari orang lain, maka itu sampai pada waktu jatuh temponya. Hartanya tidak menjadi halal karena kematiannya atau karena kepailitannya.
[BAB TENTANG PENAHANAN ORANG YANG PAILIT]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang memiliki harta yang terlihat di tangannya dan tampak darinya sesuatu, kemudian para pemilik hutang menuntutnya dan membuktikan hak-hak mereka, maka jika dia mengeluarkan harta atau ditemukan hartanya yang tampak yang mencukupi untuk membayar hutang-hak mereka, mereka diberikan hak-hak mereka, dan dia tidak ditahan. Namun jika tidak tampak hartanya dan tidak ditemukan sesuatu yang mencukupi untuk membayar hak-hak mereka, maka dia ditahan dan dijual hartanya sebanyak yang bisa didapatkan. Jika dia mengaku butuh, maka dia diminta mendatangkan bukti atas kebutuhannya, dan diterima darinya bukti tentang kebutuhan dan bahwa dia tidak memiliki apa-apa jika mereka adalah orang-orang yang adil dan mengenalnya sebelum penahanan. Aku tidak akan menahannya, dan pada hari aku menahannya serta setelah beberapa waktu dia habiskan dalam penahanan, aku juga akan menyumpahnya dengan nama Allah bahwa dia tidak memiliki apa-apa dan tidak menemukan cara untuk membayar krediturnya, baik dengan uang tunai, barang, atau cara apa pun. Kemudian aku akan membebaskannya dan melarang krediturnya untuk menekannya setelah dibebaskan. Aku tidak akan mengembalikannya ke penahanan sampai mereka membawa bukti bahwa dia telah mendapatkan harta. Jika mereka membawa bukti bahwa terlihat harta di tangannya, aku akan menanyakannya. Jika dia mengatakan itu harta mudharabah yang belum aku kelola atau sudah aku kelola tetapi belum menghasilkan atau tidak ada kelebihan untukku, maka aku akan menerima alasannya dan menyumpahnya jika mereka menghendaki. Jika dia mengingkari, aku juga akan menahannya sampai dia membawa bukti seperti pertama kali dan menyumpahnya seperti sebelumnya. Aku tidak akan menyumpahnya dalam salah satu dari dua penahanan sampai dia membawa bukti, dan aku akan bertanya tentangnya kepada orang yang mengenalnya untuk memberitahukan kebutuhannya. Tidak ada batas waktu penahanan selain untuk mengungkap keadaannya. Jika hakim telah yakin dengan apa yang kujelaskan, maka tidak boleh menahannya, dan tidak sepatutnya mengabaikan pertanyaan tentangnya.
Dia berkata: Semua yang menjadi kewajibannya dari berbagai sebab adalah sama, baik dari tindak pidana, titipan, pelanggaran, mudharabah, atau lainnya. Mereka akan membagi hartanya secara proporsional, kecuali jika salah seorang dari mereka memiliki harta tertentu yang bisa diambil darinya, dan tidak ada yang ikut serta dalam harta itu selain dia. Orang merdeka tidak boleh ditahan karena hutang jika tidak ditemukan hartanya, dan tidak boleh ditahan jika diketahui bahwa dia tidak memiliki apa-apa; karena Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280). Jika seorang kreditur ditahan, dinyatakan pailit, dan disumpah, kemudian muncul kreditur lain, maka tidak ada penahanan atau sumpah baru kecuali jika dia mendapatkan kelapangan setelah penahanan, maka dia ditahan untuk kreditur kedua dan pertama. Jika dia ditahan, disumpah, dinyatakan pailit, dan dibebaskan, kemudian mendapatkan harta lagi, maka dia boleh melakukan apa saja dengan hartanya, seperti memerdekakan, menjual, menghadiahkan, atau lainnya, sampai penguasa memberlakukan penyitaan baru; karena penyitaan pertama bukanlah penyitaan yang sah karena dia tidak dianggap cakap. Penyitaan itu hanya untuk mencegahnya menguasai hartanya dan membaginya kepada krediturnya. Jadi, apa yang dia dapatkan setelah itu tidak terkena penyitaan.
Jika seseorang dinyatakan pailit dan memiliki barang-barang yang terdeskripsi, aset dari penjualan, pinjaman, tindak pidana, mahar istri, dan lainnya yang menjadi kewajibannya, maka semuanya sama. Para pemilik barang akan membagi sesuai nilainya pada hari kepailitan, dan apa yang mereka dapatkan akan dibelikan barang sesuai syarat mereka. Jika mereka mendapatkan hak mereka sepenuhnya, maka itu sudah cukup. Jika tidak mendapatkan sepenuhnya, atau hanya setengah, kurang, atau lebih, kemudian dia mendapatkan harta lagi, maka para pemilik barang berhak menuntut sisa nilai barang mereka pada kepailitan kedua untuk dibelikan; karena mereka berhak mengambil barang mereka jika menemukan hartanya, atau sebagian jika tidak menemukan semuanya.
[BAB TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG KEPAILITAN]
Aku bertanya kepada Abu Abdillah: Apakah ada yang berbeda pendapat denganmu tentang kepailitan? Dia menjawab: Ya, sebagian orang berbeda pendapat dengan kami tentang kepailitan.
Dia mengklaim bahwa jika seorang laki-laki menjual barang kepada laki-laki lain secara tunai atau dengan tempo, dan pembeli menerima barang tersebut, kemudian pembeli bangkrut sementara barang itu masih utuh, maka barang tersebut menjadi harta milik pembeli, dan penjual serta kreditur lainnya memiliki hak yang sama. Aku bertanya kepada Abu Abdillah, “Apa dalil yang mereka gunakan?” Dia menjawab, “Salah seorang dari mereka berkata kepadaku, ‘Bagaimana pendapatmu jika seorang laki-laki menjual seorang budak perempuan dan menyerahkannya kepada pembeli, bukankah pembeli telah memilikinya secara sah sehingga halal baginya untuk menikaminya?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Bagaimana jika dia menikaminya lalu budak itu melahirkan anak darinya, atau dia menjualnya, memerdekakannya, atau menyedekahkannya, kemudian dia bangkrut, apakah engkau akan menarik kembali sesuatu dari ini dan mengembalikannya sebagai budak?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Dia berkata, ‘Karena dia telah memilikinya secara sah.’
Aku berkata, ‘Ya.’ Dia bertanya, ‘Lalu bagaimana engkau membatalkan kepemilikan yang sah?’ Aku menjawab, ‘Aku membatalkannya dengan sesuatu yang tidak seharusnya bagiku, bagimu, atau bagi seorang muslim yang mengetahuinya, kecuali jika ada yang membatalkannya untuknya.’ Dia bertanya, ‘Apa itu?’ Aku menjawab, ‘Sunnah Rasulullah ﷺ.’ Dia berkata, ‘Bagaimana jika aku tidak menerima riwayat yang engkau sampaikan?’ Aku menjawab, ‘Kalau begitu, engkau berada dalam posisi kebodohan atau pembangkangan.’ Dia berkata, ‘Itu hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah sendirian.’
Aku berkata, ‘Kami tidak mengetahui riwayat tentang hal itu dari Nabi ﷺ kecuali dari Abu Hurairah saja, dan itu sudah cukup sebagai bukti untuk menetapkan sunnah.’ Dia bertanya, ‘Apakah engkau menemukan bahwa orang-orang menerima riwayat dari Abu Hurairah yang tidak diriwayatkan oleh orang lain, atau dari selainnya?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Dia bertanya, ‘Di mana itu?’ Aku berkata, ‘Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang wanita tidak boleh dinikahi bersama bibinya (dari pihak ayah atau ibu).” Kami dan engkau menerima hadis ini, padahal tidak ada seorang pun yang meriwayatkannya dari Nabi ﷺ selain dia.’ Dia berkata, ‘Benar, tetapi orang-orang telah sepakat tentangnya.’
Aku berkata, ‘Itu justru lebih mewajibkan hujjah atasmu, bahwa orang-orang sepakat menerima hadis Abu Hurairah sendirian tanpa meragukannya, karena Allah ﷻ berfirman, “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu…” (QS. An-Nisa: 23) dan firman-Nya, “Dan dihalalkan bagimu apa yang selain itu…” (QS. An-Nisa: 24).’
Aku juga berkata kepadanya, ‘Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, cucilah tujuh kali.” Kami menerima seluruh hadisnya, dan engkau juga menerimanya secara keseluruhan. Aku berkata, “Anjing menajiskan air sedikit jika menjilatnya,” dan engkau tidak meragukannya meskipun Abu Qatadah meriwayatkan, “Dari Nabi ﷺ tentang kucing bahwa ia tidak menajiskan air.” Padahal kami dan engkau sepakat bahwa kucing tidak halal dimakan, tetapi engkau tidak mengqiyaskan anjing kepadanya sehingga engkau mengatakan anjing tidak menajiskan air dengan jilatannya, padahal hadis itu hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah.’
Dia berkata, ‘Kami menerimanya karena orang-orang menerimanya.’ Aku berkata, ‘Jika mereka menerimanya dalam satu atau beberapa kasus, maka wajib bagimu dan mereka untuk menerima riwayatnya dalam kasus lain. Jika tidak, berarti engkau memilih seenaknya, menerima yang engkau suka dan menolak yang engkau suka.’
Dia berkata, ‘Kami tahu bahwa Abu Hurairah meriwayatkan beberapa hal yang tidak diriwayatkan oleh orang lain, seperti hadis al-musharra’ (penipuan dalam penjualan susu), hadis tentang pekerja, dan lainnya. Apakah engkau tahu riwayat lain yang hanya diriwayatkan oleh satu perawi?’
Aku menjawab, ‘Ya, Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak ada zakat pada hasil pertanian kurang dari lima wasaq.” Kami, engkau, dan kebanyakan ahli fatwa mengikuti hadis ini, sementara engkau meninggalkan pendapat sahabatmu dan Ibrahim An-Nakha’i yang mengatakan ada zakat pada setiap hasil bumi, sedikit atau banyak. Mereka berdua mungkin berdalil dengan firman Allah ﷻ, “Dan berikanlah haknya pada hari memetik hasilnya.” (QS. Al-An’am: 141), yang tidak menyebut sedikit atau banyak, dan sabda Nabi ﷺ, “Pada yang disirami hujan, sepersepuluh, dan yang disirami dengan pengairan, seperduapuluh.”‘
Dia berkata, ‘Benar.’
Kami juga menyebutkan hadis Abu Tsa’labah Al-Khusyani bahwa Nabi ﷺ melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, yang tidak diriwayatkan oleh orang lain sepengetahuanku kecuali dari jalur Abu Hurairah, dan itu bukan hadis yang terkenal di kalangan para perawi. Namun, kami dan engkau menerimanya, sementara orang-orang Makkah menyelisihi kami dan berhujjah dengan firman Allah ﷻ, “Katakanlah: ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…'” (QS. Al-An’am: 145), dan firman-Nya, “Dan sungguh, Allah telah menjelaskan apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119), serta perkataan Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ubaid bin Umair.
Kami berpendapat bahwa satu riwayat dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada hujjah dalam takwil atau hadis dari selain Nabi ﷺ jika bertentangan dengan hadis Nabi ﷺ.
Dia berkata, ‘Apa yang engkau sebutkan memang seperti itu.’ Aku berkata, ‘Jika seperti ini, mengapa engkau tidak menjadikannya hujjah?’
Dia menjawab, ‘Hujjah kami untuk tidak menerima pendapatmu tentang kebangkrutan hanyalah ini.’ Kami berkata, ‘Engkau tidak memiliki hujjah, karena aku mendapati engkau dan orang lain menerima riwayat semacam ini dalam kasus lain.’
Seorang lain berkata, ‘Kami meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pendapat yang mirip dengan pendapat kami.’ Kami menjawab, ‘Ini tidak bisa dijadikan hujjah menurut kami dan engkau, karena prinsip kami berdua adalah jika ada sesuatu yang sah dari Nabi ﷺ, maka tidak ada hujjah dari pendapat siapa pun yang bertentangan dengannya.’
Dia berkata, ‘Kalau begitu…’
Kami berkata, “Kami tidak mengetahui Abu Bakar, Umar, atau Utsman—semoga Allah meridhai mereka—pernah memutuskan seperti yang kalian riwayatkan mengenai kepailitan.” Kami juga berkata, “Kalian tidak meriwayatkan bahwa mereka, atau salah satu dari mereka, pernah mengatakan, ‘Tidak ada zakat pada hasil kurang dari lima wasaq,’ ‘Seorang wanita tidak boleh dinikahkan bersama bibinya dari pihak ayah atau ibunya,’ atau pengharaman semua binatang buas yang bertaring.” Maka kami cukupkan dengan hadis dari Nabi ﷺ dalam hal ini.
Kami berkata, “Itu sudah cukup dan tidak memerlukan yang lain. Yang lainnya hanyalah mengikuti dan tidak berarti apa-apa jika sesuai. Jika diperlukan, diikuti; jika bertentangan, ditinggalkan, dan yang diambil adalah sunnah.” Dia menjawab, “Begitulah pendapat kami.” Kami berkata, “Ya, secara umum, tetapi itu tidak cukup dalam perincian.”
Dia berkata, “Aku tidak sendirian dalam hal yang kalian kritik. Banyak orang dari kalanganmu dan lainnya sepakat denganku—mereka mengambil sebagian hadis dan menolak yang lain.” Aku berkata, “Jika kalian memuji mereka dalam hal ini, masukkanlah mereka dalam kesepakatanmu.” Dia menjawab, “Jika begitu, aku harus selektif dalam ilmu.” Aku berkata, “Katakan apa yang kalian mau, karena kalian telah mencela orang yang melakukannya. Maka tinggalkanlah apa yang kalian cela, dan jangan jadikan hal yang tercela sebagai hujah.”
Dia berkata, “Aku ingin bertanya sesuatu.” Aku menjawab, “Tanyalah.” Dia bertanya, “Bagaimana kalian membatalkan kepemilikan yang sah?” Aku balik bertanya, “Apakah pertanyaan ini punya dasar dalam riwayat Nabi ﷺ?” Dia menjawab, “Tidak, tapi aku ingin tahu apakah ada contoh lain selain ini?”
Aku berkata, “Ya. Bagaimana jika ada rumah yang aku jual kepadamu, lalu ada yang menuntut hak syuf’ah? Bukankah pembeli adalah pemilik sah yang boleh menjual, menghibahkan, atau menjadikannya mahar atau sedekah? Dia juga boleh merobohkan atau membangunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Lalu jika datang orang yang berhak syuf’ah, dia mengambilnya dari yang memegangnya?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Apakah itu berarti kepemilikan sah dibatalkan?” Dia menjawab, “Ya, tapi aku membatalkannya berdasarkan sunnah.”
Aku berkata lagi, “Bagaimana jika seorang lelaki memberikan mahar berupa budak perempuan dan ternak kepada istrinya, lalu budak itu melahirkan dan ternak beranak? Jika suami atau istri meninggal sebelum berhubungan, bukankah mahar itu tetap menjadi milik istri? Dia boleh memerdekakan atau menjual budak dan ternak itu, dan kepemilikannya sah dalam semua hal itu?” Dia menjawab, “Benar.” Aku bertanya lagi, “Lalu jika suami menceraikannya sebelum mengambil budak atau ternak itu, dan semuanya masih di tangan istri, apa hukumnya?” Dia menjawab, “Kepemilikan itu batal, dan suami berhak separuh budak dan ternak jika tidak ada anak, atau separuh nilainya jika ada anak, karena itu muncul selama dalam kepemilikannya.”
Kami bertanya, “Lalu bagaimana kepemilikan sah dibatalkan?” Dia menjawab, “Dengan Kitab.” Kami berkata, “Kami tidak melihat celaanmu dalam harta orang pailit kecuali seperti dalam kasus syuf’ah dan mahar, atau bahkan lebih.” Dia berkata, “Hujahku adalah Kitab atau sunnah.” Kami menjawab, “Begitu pula hujah kami dalam harta orang pailit adalah sunnah, lalu mengapa kalian menyelisihinya?”
Aku berkata kepada Syafi’i, “Kami sepakat denganmu dalam harta orang pailit jika masih hidup, tapi berbeda pendapat jika dia meninggal. Hujah kami adalah hadis Ibnu Syihab yang telah kau dengar.”
(Syafi’i berkata), “Dalam apa yang kami baca dari Malik, Ibnu Syihab meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Siapa yang menjual barang, lalu pembelinya bangkrut sebelum penjual menerima pembayaran, dan penjual menemukan barang itu masih utuh, dia lebih berhak atasnya. Jika pembeli meninggal, penjual barang sama dengan kreditor lainnya.'”
Lalu dia bertanya kepadaku, “Mengapa kalian tidak mengambil hadis ini?” Aku menjawab, “Karena ia mursal. Orang yang menyelisihi kami—seperti yang kau sebutkan—juga menolaknya, meskipun sebenarnya tidak ada alasan baginya untuk menyelisihinya, karena dia menolak hadis dan berpendapat lain. Sedangkan kalian menetapkan hadis, tapi dalam perincian, kalian menyelisihi sebagian dan mengikuti sebagian.”
Dia bertanya lagi, “Lalu mengapa tidak mengambil hadis Ibnu Syihab?” Aku menjawab, “Yang aku ambil lebih utama, karena hadis yang kau pegang itu muttashil, di mana Nabi ﷺ menggabungkan antara kematian dan kepailitan. Sedangkan hadis Ibnu Syihab terputus. Sekalipun tidak ada yang menyelisihinya, ahli hadis tidak akan menetapkannya. Seandainya tidak ada alasan lain untuk meninggalkannya kecuali ini saja, sudah sepantasnya bagi yang paham hadis untuk meninggalkannya dari dua sisi. Selain itu, Abu Bakar bin Abdurrahman meriwayatkan dari Abu Hurairah sebuah hadis yang tidak menyebutkan apa yang diriwayatkan Ibnu Syihab secara mursal. Jika dia meriwayatkan semuanya, aku tidak tahu dari siapa dia meriwayatkan. Bisa jadi dia meriwayatkan awal hadis dan mengakhirinya dengan pendapatnya sendiri.”
(Syafi’i berkata), “Dalam hadis Abu Bakar dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ disebutkan, ‘…maka dia lebih berhak atasnya.’ Ini lebih mirip jika tambahan setelahnya adalah pendapat Abu Bakar, bukan riwayat. Padahal dalam sunnah Nabi ﷺ, jika seseorang menjual barang kepada orang lain, pembeli menjadi pemilik sah yang boleh melakukan apa saja seperti pemilik harta lainnya—memperbudak, menjual, atau memerdekakan budak, meskipun belum menerima pembayaran.”
Harga barang tersebut. Jika pembeli bangkrut dan barang masih berada di tangan pembeli, penjual berhak membatalkan akad jual beli. Begitu pula, pihak yang memiliki hak syuf’ah boleh mengambil syuf’ah, meskipun pembelian itu sah. Jika pembeli yang memiliki barang dengan hak syuf’ah meninggal, maka pihak yang berhak syuf’ah boleh mengambilnya dari ahli warisnya, sebagaimana ia berhak mengambil dari tangan pembeli itu sendiri. Lalu, mengapa hal ini tidak berlaku bagi orang yang menemukan barang miliknya pada orang yang bangkrut, meskipun pemilik asli telah meninggal? Sebagaimana hak penjual tetap berlaku selama pemilik hidup, dan sebagaimana kami katakan dalam syuf’ah.
Bagaimana mungkin ahli waris mewarisi hak untuk menahan barang dari almarhum, padahal mereka hanya mewarisi dari almarhum? Almarhum sendiri tidak memiliki hak untuk mencegah penjual membatalkan transaksi jika harga barang belum dibayar lunas. Dengan demikian, ahli waris hanya mewarisi hak yang dimiliki almarhum atau bahkan kurang dari itu. Namun, kalian justru memberikan hak lebih kepada ahli waris dibandingkan pewaris mereka. Jika perbedaan antara hidup dan mati dianggap sah, seharusnya almarhum lebih berhak untuk mengambil barang miliknya sendiri, karena ia sudah meninggal dan tidak mendapatkan manfaat apa pun, sedangkan orang yang hidup dan bangkrut masih diharapkan bisa membayar utangnya. Kalian justru melemahkan yang kuat dan menguatkan yang lemah, serta mengabaikan sebagian hadis Abu Hurairah dan hanya mengambil sebagian.
Dia (Abu Hurairah) berkata: “Ini bukan termasuk yang kami riwayatkan.” Kami menjawab: “Meskipun kalian tidak meriwayatkannya, hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi terpercaya dari perawi terpercaya lainnya. Ketidakhadiran riwayat kalian tidak melemahkannya, karena banyak hadis yang tidak kalian riwayatkan, tetapi hal itu tidak melemahkannya.”
### [Baligh al-Rusyd (Kecakapan Hukum)]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata):
Kondisi ketika seorang laki-laki atau perempuan mencapai kecakapan hukum sehingga mereka berhak mengelola harta mereka, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Jika kalian melihat mereka telah memiliki kecakapan (rusyd), maka serahkanlah harta mereka kepadanya…” (QS. An-Nisa’: 6).
(Imam Syafi’i berkata): Ayat ini menunjukkan bahwa hak pengawasan (hajr) tetap berlaku atas anak yatim hingga mereka memenuhi dua syarat: baligh dan rusyd (kecakapan). Baligh adalah sempurnanya usia 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali jika laki-laki sudah ihtilam (mimpi basah) atau perempuan sudah haid sebelum usia 15 tahun, maka itu sudah dianggap baligh.
Firman Allah “maka serahkanlah harta mereka kepadanya” menunjukkan bahwa jika mereka telah mencapai baligh dan rusyd, tidak ada seorang pun yang berhak mengelola harta mereka, dan merekalah yang paling berhak atas harta mereka. Mereka boleh melakukan transaksi sebagaimana orang yang sudah lepas dari perwalian. Baik laki-laki maupun perempuan dalam hal ini sama.
Rusyd—wallahu a’lam—adalah kebaikan dalam agama hingga kesaksiannya sah, serta kemampuan mengelola harta dengan baik. Kecakapan mengelola harta diketahui melalui pengujian terhadap anak yatim tersebut. Pengujian ini berbeda tergantung kondisi orang yang diuji.
Jika ia termasuk orang yang aktif di masyarakat, maka kecakapannya bisa dilihat dari interaksinya dalam jual beli sebelum dan sesudah baligh, hingga diketahui bahwa ia menjaga hartanya, menambahnya, dan tidak menyia-nyiakannya untuk hal yang tidak bermanfaat. Pengujian terhadap orang seperti ini lebih mudah.
Namun, jika ia termasuk orang yang dijauhkan dari pasar, maka pengujiannya lebih sulit dibandingkan yang pertama.
(Imam Syafi’i berkata): Kepada orang yang berada di bawah perwalian, diberikan nafkah untuk sebulan. Jika ia bisa mengelolanya dengan baik, membeli kebutuhannya dengan tepat, maka ia diuji dengan pemberian sedikit harta. Jika terlihat ia mampu menjaga dan mengelolanya dengan bijak, maka hartanya diserahkan kepadanya.
Pengujian terhadap perempuan—karena sedikitnya interaksi mereka dalam jual beli—lebih sulit. Perempuan diuji oleh wanita lain atau mahramnya dengan cara yang sama, yaitu dengan memberikan nafkah dan melihat bagaimana ia mengelola pembelian kebutuhan. Jika terlihat kecakapannya dalam mengelola nafkah—seperti yang dijelaskan pada anak laki-laki yang sudah baligh—maka sedikit hartanya diserahkan. Jika ia bisa mengelolanya dengan baik, maka seluruh hartanya diserahkan, baik ia sudah menikah atau belum. Pernikahan tidak menambah atau mengurangi kecakapannya, sebagaimana tidak memengaruhi kecakapan anak laki-laki.
Kurang darinya dan mana saja yang dinikahi sedangkan dia tidak rasyd (belum dewasa akalnya) dan memiliki anak, maka walinya menguasai hartanya; karena syarat Allah -Azza wa Jalla- adalah menyerahkan harta ketika telah menggabungkan antara rasyd dan baligh, sedangkan pernikahan bukan termasuk salah satunya. Dan siapa saja yang berada di bawah perwalian hartanya, maka dia berhak melakukan apa saja dengan hartanya sebagaimana yang dilakukan oleh pemilik harta lainnya, baik itu perempuan maupun laki-laki, baik yang sudah bersuami maupun yang belum. Suami tidak memiliki hak perwalian atas harta istrinya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama yang saya ketahui bahwa laki-laki dan perempuan, jika masing-masing telah mencapai baligh dan rasyd, maka harta mereka diserahkan kepada mereka secara sama; karena mereka termasuk anak yatim. Jika mereka telah keluar dari perwalian, maka status mereka sama seperti orang lain, di mana masing-masing berhak melakukan apa saja dengan hartanya sebagaimana orang yang tidak berada di bawah perwalian orang lain.
Jika ada yang berkata: “Perempuan yang bersuami berbeda dengan laki-laki, dia tidak boleh memberikan hartanya tanpa izin suaminya,” maka katakanlah kepadanya bahwa Kitabullah -Azza wa Jalla- dalam perintah-Nya untuk menyerahkan harta kepada anak yatim ketika mereka telah mencapai rasyd menunjukkan kebalikan dari apa yang kamu katakan. Karena siapa pun yang telah Allah -Azza wa Jalla- keluarkan dari perwalian, tidak ada seorang pun yang berhak menguasainya kecuali jika terjadi kebodohan atau kerusakan pada dirinya. Demikian pula laki-laki dan perempuan, atau hak seorang Muslim atas harta mereka. Adapun jika tidak demikian, maka laki-laki dan perempuan sama. Jika kamu membedakan antara keduanya, maka kamu harus membawa bukti atas perbedaanmu terhadap dua hal yang disamakan.
Jika ada yang berkata: “Telah diriwayatkan bahwa ‘perempuan tidak boleh memberikan hartanya sedikit pun tanpa izin suaminya’,” maka jawabannya: Kami telah mendengarnya, tetapi riwayat itu tidak kuat sehingga tidak wajib bagi kami untuk mengikutinya. Al-Qur’an menunjukkan kebalikannya, kemudian Sunnah, kemudian atsar, kemudian akal sehat. Jika dia berkata: “Sebutkan ayat Al-Qur’an,” maka kami katakan: Ayat di mana Allah -Azza wa Jalla- memerintahkan untuk menyerahkan harta kepada mereka dan menyamakan antara laki-laki dan perempuan. Tidak boleh membedakan antara keduanya tanpa dalil yang mengikat.
Jika dia berkata: “Apakah kamu menemukan dalam Al-Qur’an petunjuk selain ini yang mendukung pendapatmu?” Jawabnya: Ya. Allah -Azza wa Jalla- berfirman:
“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya, padahal kamu telah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (perempuan) memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Dan pemaafan lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan karunia di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki wajib menyerahkan separuh mahar kepada perempuan, sebagaimana dia wajib menyerahkan hak kepada laki-laki lain yang berhak atasnya. Sunnah juga menunjukkan bahwa perempuan berhak memaafkan (membebaskan) sebagian dari hartanya, dan Allah -Azza wa Jalla- menganjurkan untuk memaafkan serta menyebutkan bahwa hal itu lebih dekat kepada takwa. Dia menyamakan antara perempuan dan laki-laki dalam kebolehan memaafkan hak yang wajib bagi masing-masing.
Allah -Azza wa Jalla- juga berfirman:
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)
Dia menjadikan pemberian mahar yang wajib bagi perempuan sebagai hak yang harus diserahkan suami kepada mereka, sebagaimana mereka menyerahkan hak kepada laki-laki lain yang berhak atas mereka. Dan dihalalkan bagi laki-laki untuk mengambil apa yang dengan rela diberikan oleh istrinya, sebagaimana dihalalkan bagi mereka mengambil apa yang dengan rela diberikan oleh orang lain dari harta mereka. Tidak ada perbedaan antara hukum mereka, istri-istri mereka, dan orang lain dalam hal penyerahan hak-hak mereka.
Allah -Azza wa Jalla- juga berfirman:
“Dan jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.” (QS. An-Nisa’: 20)
Dan firman-Nya:
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang pembayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229)
Dia menghalalkan jika pemberian itu berasal dari perempuan, sebagaimana dihalalkan bagi laki-laki untuk mengambil harta orang lain tanpa batasan sepertiga, lebih sedikit, atau lebih banyak. Dan Dia mengharamkannya jika berasal dari laki-laki, sebagaimana diharamkan merampas harta orang lain.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman:
“Dan bagimu (para suami) mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa’: 12)
Dia tidak membedakan antara suami dan istri dalam hal masing-masing berhak berwasiat atas hartanya, dan bahwa hutang masing-masing menjadi tanggungan atas hartanya. Jika demikian, maka perempuan berhak memberikan hartanya kepada…
Dia (perempuan) bertindak tanpa izin suaminya dan berhak menahan maharnya serta memberikannya, tanpa mengurangi sedikit pun. Jika diceraikan, dia berhak mengambil separuh dari apa yang diberikan suaminya, bukan separuh dari apa yang dibeli di bawah nilai mahar tersebut. Jika mahar menjadi haknya, dia boleh menahannya dan semisalnya.
Jika ada yang bertanya: “Di manakah Sunnah dalam hal ini?” Aku (Imam Syafi’i) menjawab: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa’id dari ‘Amrah binti Abdurrahman, yang mengabarkan kepadanya bahwa Habibah binti Sahl Al-Anshariyah adalah istri Tsabit bin Qais bin Syammas. Suatu ketika, Rasulullah ﷺ keluar untuk shalat Subuh dan menemukan Habibah binti Sahl di depan pintunya saat fajar. Rasulullah ﷺ bertanya, “Siapa ini?” Dia menjawab, “Aku Habibah binti Sahl, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ada apa denganmu?” Dia berkata, “Aku dan Tsabit bin Qais tidak bisa hidup bersama.” Ketika Tsabit bin Qais datang, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ini Habibah binti Sahl, dia telah menyampaikan apa yang Allah kehendaki.” Habibah berkata, “Wahai Rasulullah, semua yang dia berikan padaku masih ada padaku.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Ambillah darinya.” Maka Tsabit mengambilnya, dan Habibah pun kembali ke keluarganya.
(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari seorang mantan budak Shafiyyah binti Abi Ubaid bahwa dia menebus dirinya dari suaminya dengan segala yang dimilikinya, dan Abdullah bin Umar tidak mengingkarinya.
(Imam Syafi’i berkata): Sunnah ini menunjukkan seperti yang ditunjukkan Al-Qur’an bahwa jika seorang wanita menebus dirinya dari suaminya, halal bagi suaminya untuk mengambil tebusan darinya. Seandainya dia tidak berhak atas hartanya seperti laki-laki yang tidak dibatasi haknya, maka tidak halal baginya untuk menebus diri.
Jika ada yang bertanya: “Di manakah qiyas dan logika dalam hal ini?” Aku menjawab: Jika Allah ﷻ membolehkan suaminya mengambil apa yang diberikannya, ini hanya berlaku bagi yang berhak atas hartanya. Jika hartanya bisa diwariskan dan dia bisa melarang suaminya mengambilnya, maka dia seperti pemilik harta lainnya.
Seandainya ada yang berpendapat berdasarkan hadits yang tidak kuat bahwa dia tidak boleh memberi tanpa izin suaminya kecuali yang diizinkan, maka tidak ada alasan kecuali jika suaminya adalah walinya. Namun, jika seorang laki-laki menjadi wali bagi laki-laki atau perempuan lain, lalu dia memberinya sesuatu, tidak halal baginya mengambilnya, karena pemberiannya sama seperti pemberian kepada orang lain.
Jika dikatakan bahwa suaminya adalah mitra dalam hartanya, maka ditanya: “Apakah mitra separuh?” Jika dia menjawab “Ya,” maka dikatakan: “Berbuatlah dengan separuh lainnya sesukamu, dan suami berbuat dengan separuhnya sesukanya?” Jika dia berkata, “Sedikit atau banyak,” aku katakan: “Tetapkanlah bagian untuknya dari hartanya.” Jika dia berkata, “Hartanya tergadai padanya,” maka ditanya: “Berapa nilai gadainya hingga dia bisa menebusnya?” Jika dia berkata, “Tidak tergadai,” maka dikatakan: “Katakanlah sesukamu, karena suami bukan mitra dalam hartanya, tidak berhak mengambil sedikit pun, hartanya tidak tergadai sehingga bisa ditebus, dan suami bukan walinya.”
Seandainya suaminya adalah walinya tetapi dia boros, maka kami akan mencabut perwaliannya dan menunjuk orang lain. Siapa pun yang keluar dari pendapat-pendapat ini tidak akan menemukan dalil yang bisa diikuti, tidak ada qiyas, dan tidak logis.
Jika seorang wanita boleh memberi sepertiga dari hartanya dan tidak lebih, maka dia tidak dianggap berada di bawah perwalian, suaminya bukan mitra, hartanya tidak tergadai padanya, dia tidak dilarang mengelola hartanya, dan tidak dibiarkan bebas bersamanya. Kemudian, dia diizinkan memberi sepertiga demi sepertiga hingga hartanya habis. Jadi, apa yang menghalanginya dari hartanya?
Jika ada yang berkata, “Dia dinikahi karena kemudahan (hartanya),” maka ditanya: “Bagaimana jika dia menikahi perempuan miskin, lalu kemudian dia kaya? Apakah suami akan membiarkannya dan hartanya?” Jika dia menjawab “Ya,” berarti dia mengeluarkannya dari pembatasan. Jika “Tidak,” berarti dia melarangnya dari apa yang tidak ditipunya.
Atau bagaimana jika dia berkata, “Aku tertipu, maka aku tidak akan membiarkannya mengeluarkan hartanya untuk merugikanku?” Maka ditanya: “Bagaimana jika dia tertipu, misalnya dikatakan perempuan itu cantik, ternyata tidak, atau dikatakan kaya, ternyata miskin? Apakah maharnya dikurangi atau dikembalikan?”
Atau bagaimana jika pendapat ini diterapkan pada perempuan, tetapi jika laki-laki yang kaya menikahi perempuan terhormat, dan dia memberi tahu bahwa dia hanya menikah karena kekayaannya, lalu dia menipunya dan menyedekahkan seluruh hartanya? Jika ini dibolehkan baginya, maka dia telah menzaliminya dengan melarangnya dari hartanya yang dihalalkan untuknya.
Jika dikatakan, “Dia dipaksa membelikan peralatan seperti kebiasaan,” karena ini adalah kebiasaan masyarakat di tempat kami—misalnya, perempuan menyedekahkan seribu dirham tetapi membeli peralatan lebih dari sepuluh ribu, padahal dia miskin dan hanya punya pakaian dan alas tidur—maka kebiasaan masyarakat juga menunjukkan bahwa laki-laki miskin yang terhormat bisa menikahi perempuan kaya, lalu dia berkata, “Dia akan mengelola hartaku.”
Ini adalah pernikahan dan dia membelanjakan dari hartanya, dan hal-hal serupa seperti yang telah dijelaskan, serta hal-hal baik yang biasa dilakukan orang. Hakim berwenang memutuskan berdasarkan yang wajib, bukan yang indah atau yang biasa dilakukan orang.
(Imam Syafi’i berkata): Bukti dapat diterapkan terhadap yang menyelisihi kami dengan lebih dari yang telah dijelaskan, dan dalam hal yang lebih sedikit dari yang dijelaskan pun ada buktinya. Tidak ada pendapat yang benar dalam hal ini kecuali berdasarkan makna Kitabullah -Azza wa Jalla-, Sunnah, atsar, dan qiyas bahwa maharnya adalah harta dari hartanya, dan bahwa jika dia telah baligh, dia berhak mengelola hartanya sebagaimana laki-laki, tanpa perbedaan antara dia dan laki-laki.
[Bab Pengampuan terhadap Orang yang Telah Baligh]
[Bab Perbedaan Pendapat tentang Pengampuan]
Bab Pengampuan terhadap Orang yang Telah Baligh (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Pengampuan terhadap orang yang telah baligh didasarkan pada dua ayat dalam Kitabullah -Azza wa Jalla-, yaitu firman Allah -Tabaraka wa Ta’ala-:
*”Maka hendaklah yang berutang itu mengimlakan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun darinya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau tidak mampu mengimlakan sendiri, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur.”* (QS. Al-Baqarah: 282).
(Imam Syafi’i berkata): Allah -Azza wa Jalla- hanya menyeru kewajiban-Nya kepada orang yang telah baligh, baik laki-laki maupun perempuan, dan menjadikan pengakuan sebagai haknya. Dalam Kitabullah terdapat perintah Allah -Ta’ala- agar orang yang berutang mengimlakan sendiri, dan pengimlakan itu adalah pengakuannya. Ini menunjukkan kebolehan pengakuan bagi yang mengakuinya. Dan Allah -Yang Maha Mengetahui- tidak memerintahkan seseorang untuk mengimlakan sebagai pengakuan kecuali yang telah baligh, karena pengakuan orang yang belum baligh, diamnya, atau pengingkarannya adalah sama menurut ahli ilmu sepengetahuanku, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.
Kemudian Allah berfirman tentang orang yang berutang agar dia mengimlakan:
*”Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau tidak mampu mengimlakan sendiri, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur.”* (QS. Al-Baqarah: 282).
Allah menetapkan perwalian atas orang yang lemah akal, lemah (keadaannya), atau yang tidak mampu mengimlakan sendiri, dan memerintahkan walinya untuk mengimlakan atas namanya karena Allah menempatkan wali tersebut dalam urusan harta yang tidak bisa dia kelola sendiri.
(Imam Syafi’i berkata): Telah dikatakan bahwa “yang tidak mampu mengimlakan” bisa berarti orang yang tidak waras akalnya, dan itu adalah makna yang paling mendekati. Wallahu a’lam.
Ayat lainnya adalah firman Allah -Tabaraka wa Ta’ala-:
*”Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Jika kamu melihat mereka telah memiliki kematangan akal, maka serahkanlah harta mereka kepadanya.”* (QS. An-Nisa: 6).
Allah -Azza wa Jalla- memerintahkan agar harta mereka diserahkan jika mereka telah mencapai baligh dan kematangan akal. Jika Allah memerintahkan penyerahan harta ketika dua syarat terpenuhi, maka ini menunjukkan bahwa jika salah satu syarat tidak terpenuhi, harta tidak diserahkan. Jika tidak diserahkan, berarti mereka masih dalam pengampuan, sebagaimana jika mereka belum baligh meskipun sudah matang akalnya, harta tidak diserahkan. Demikian pula jika mereka telah baligh tetapi belum matang akalnya, harta tidak diserahkan, dan pengampuan tetap berlaku sebagaimana sebelum baligh.
Demikian pula pendapat kami dan mereka dalam setiap perkara yang disyaratkan dua hal atau lebih. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka tidak diterima. Kami berpendapat bahwa syarat Allah *”dari orang-orang yang kamu ridhai sebagai saksi”* (QS. Al-Baqarah: 282) adalah dua orang yang adil, merdeka, dan Muslim. Jika dua orang itu merdeka dan Muslim tetapi tidak adil, atau adil tetapi tidak merdeka, atau adil dan merdeka tetapi bukan Muslim, maka kesaksian mereka tidak sah hingga ketiga syarat terpenuhi.
(Imam Syafi’i berkata): Penetapan tentang pengampuan -Wallahu a’lam- sudah cukup jelas tanpa perlu penafsiran lebih lanjut. Qiyas pun menunjukkan pengampuan. Bagaimana pendapatmu jika seseorang yang hampir baligh tetapi akalnya lemah tetap dalam pengampuan, lalu setelah baligh justru lebih lemah akalnya dan lebih merusak hartanya—bukankah dia harus tetap dalam pengampuan? Alasan pengampuan itu tetap ada padanya.
Jika dia menunjukkan kematangan akal sehingga hartanya diserahkan, lalu kemudian diketahui bahwa akalnya tidak matang lagi, maka pengampuan dikembalikan karena dia kembali pada kondisi yang mengharuskan pengampuan, sebagaimana jika seorang saksi awalnya adil lalu berubah, kesaksiannya ditolak. Jika kemudian dia kembali adil, kesaksiannya diterima lagi. Demikian pula jika dia menunjukkan perbaikan setelah sebelumnya merusak, hartanya boleh diberikan kembali. Perempuan dan laki-laki dalam hal ini sama.
Karena nama yatim mengumpulkan mereka dan nama ujian mengumpulkan mereka, dan Allah Ta’ala tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki dalam harta mereka. Jika laki-laki dan perempuan keluar dari status sebagai wali, maka perempuan diperbolehkan atas hartanya sebagaimana laki-laki diperbolehkan atas hartanya, baik dia memiliki suami atau tidak. Kekuasaannya atas hartanya seperti kekuasaan laki-laki atas hartanya, tidak ada perbedaan.
(Imam Syafi’i berkata): Dalam firman Allah Azza wa Jalla, “Dan ujilah anak-anak yatim itu” (QS. An-Nisa: 6), maksudnya adalah ujilah mereka. Laki-laki menguji perempuan sesuai dengan kemampuan. Seorang laki-laki yang sering ke pasar dan bergaul dengan orang lain dalam transaksi sebelum, selama, dan setelah baligh, tidak sulit untuk mengetahui keadaannya berdasarkan pengalaman sebelumnya. Dapat diketahui bagaimana akalnya dalam menerima dan memberi, serta bagaimana agamanya. Sedangkan laki-laki yang sedikit bergaul, pengujiannya lebih lambat dibandingkan yang telah disebutkan. Jika kerabat dekatnya mengenalinya dalam waktu tertentu—meski lebih lama—dan mereka memandangnya adil, memuji kebijakannya dalam menerima dan memberi, serta bersaksi bahwa dia baik dalam agama dan bijak dalam mengelola hartanya, maka keduanya telah mencapai kedewasaan dalam agama dan kehidupan. Wali mereka diperintahkan untuk menyerahkan harta mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Jika perempuan diuji oleh orang-orang adil dari keluarganya atau yang mengetahui kebaikan agamanya serta kebijakannya dalam menerima dan memberi, maka dia berada dalam kondisi seperti dua laki-laki tadi—meski prosesnya lebih lambat karena sedikitnya pergaulannya dengan umum. Perempuan yang sering ke pasar dan tidak menjaga diri lebih cepat diuji dibanding yang menjaga diri, sebagaimana salah satu dari dua laki-laki tadi. Jika perempuan telah mencapai kedewasaan—sebagaimana dijelaskan pada laki-laki—walinya diperintahkan menyerahkan hartanya.
(Imam Syafi’i berkata): Aku melihat sebagian hakim memerintahkan untuk menguji orang yang tidak sepenuhnya dipercaya dengan memberikan sedikit hartanya. Jika dia mengelolanya dengan baik, sisanya diberikan. Jika merusak, kerusakan pada sedikit lebih ringan daripada seluruhnya. Kami melihat ini sebagai cara pengujian yang baik, wallahu a’lam.
Ketika harta diserahkan kepada perempuan atau laki-laki, sama saja—baik perempuan itu perawan, bersuami, atau janda—sebagaimana laki-laki dalam berbagai keadaannya. Dia berkuasa penuh atas hartanya seperti laki-laki, dan diperbolehkan baginya apa yang diperbolehkan baginya, baik dia memiliki suami atau tidak. Tidak ada perbedaan antara mereka dalam hal apa pun yang diperbolehkan atas harta masing-masing. Demikianlah hukum Allah Azza wa Jalla dan petunjuk Sunnah. Jika dia menikah, maharnya adalah hartanya sendiri, yang boleh dia pergunakan sesuka hati seperti harta lainnya.
Bab Perbedaan Pendapat tentang Pembatasan (Hajr)
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Sebagian orang menyelisihi kami dalam masalah hajr (pembatasan). Mereka berkata, “Tidak ada pembatasan atas orang merdeka yang baligh, baik laki-laki maupun perempuan, meski mereka bodoh (safih).” Sebagian ahli ilmu yang membela pendapat ini bertanya kepadaku, “Dari mana kamu mengambil dalil pembatasan atas dua orang merdeka yang berhak atas harta mereka?” Aku menyebutkan apa yang ada dalam kitabku atau sebagian maknanya. Dia berkata, “Ada sesuatu yang perlu kamu pertimbangkan.” Aku bertanya, “Apa itu?” Dia berkata, “Bagaimana jika orang yang dibatasi (mahjur) memerdekakan budaknya?”
Aku menjawab, “Itu tidak sah.”
Dia bertanya, “Mengapa?”
Aku berkata, “Seperti halnya budak atau mukatab tidak boleh memerdekakan diri.”
Dia berkata, “Karena itu merugikan hartanya?”
Aku menjawab, “Ya.”
Dia berkata, “Bukankah talak dan memerdekakan sama, baik dalam keadaan serius atau main-main?”
Aku berkata, “Siapa yang berhak melakukannya? Jika seorang laki-laki menjual lalu berkata, ‘Aku main-main,’ atau mengakui hak orang lain lalu berkata, ‘Aku main-main,’ jual beli dan pengakuannya tetap sah, dan dikatakan kepadanya, ‘Kamu bermain-main atas dirimu sendiri.'”
Dia bertanya, “Apakah talak dan memerdekakan berbeda?”
Aku menjawab, “Ya, menurut kami dan kamu.”
Dia berkata, “Bagaimana bisa, padahal keduanya merugikan harta?”
Aku menjawab, “Talak memang merugikan harta, tetapi suami dihalalkan dalam pernikahan sesuatu yang sebelumnya tidak halal. Dia diberi wewenang untuk mengharamkan yang halal itu—bukan mengharamkan harta yang dikelola orang lain. Itu adalah pengharaman dengan ucapannya atau perbuatannya. Sebagaimana dia berkuasa atas faraj (istri) yang tidak dimiliki orang lain, demikian pula dia berkuasa mengharamkannya. Tidakkah kamu melihat bahwa jika dia meninggal, istrinya tidak mewarisinya, tetapi dia boleh menghibahkan atau menjualnya?”
Maka tidak halal bagi orang lain untuk mengambilnya sebagai hadiah, atau menjualnya. Budak itu diwariskan darinya dan dijual atas namanya sehingga dimiliki oleh orang lain. Dia boleh mengurus dirinya sendiri dengan menjual atau menghadiahkannya sehingga dimiliki oleh orang lain. Jadi, budak adalah harta dalam segala kondisi, sedangkan wanita bukan harta dalam kondisi apa pun. Wanita hanyalah kesenangan, bukan harta yang dimiliki. Kita mengeluarkan nafkah untuknya dan mencegahnya dari kerusakan. Tidakkah kamu melihat bahwa budak diizinkan untuk menikah dan berdagang, sehingga dia memiliki hak untuk menceraikan atau mempertahankan istrinya tanpa campur tangan tuannya? Namun, tuannya berhak mengambil semua hartanya jika tidak ada utang, karena harta adalah kepemilikan, sedangkan kemaluan dalam pernikahan adalah kesenangan, bukan kepemilikan seperti harta.
Aku berkata kepadanya: “Kamu menafsirkan Al-Qur’an tentang sumpah dengan saksi, tetapi menurut kami, penafsiranmu tidak tepat, sehingga kamu membatalkan sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku menemukan bahwa Al-Qur’an menunjukkan adanya pembatasan hukum (hajr) terhadap orang dewasa, maka aku meninggalkan pendapatmu.” Aku juga berkata kepadanya: “Kamu berkata tentang salah seorang sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika dia mengatakan suatu pendapat, sedangkan dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang secara zhahir bertentangan dengan pendapatnya, kami tetap mengikuti pendapatnya karena dia lebih memahami Kitabullah – azza wa jalla. Namun, kami menemukan sahabatmu meriwayatkan tentang hajr dari tiga sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tetapi kamu menyelisihi mereka padahal mereka bersama Al-Qur’an.”
Dia bertanya: “Siapa sahabat yang kamu maksud?” Aku menjawab: “Muhammad bin Al-Hasan atau orang lain yang terpercaya dalam hadits mengabarkan kepada kami dari Ya’qub bin Ibrahim dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya, bahwa Abdullah bin Ja’far melakukan suatu transaksi jual beli. Maka Ali – radhiyallahu ‘anhu – berkata: ‘Aku akan mendatangi Utsman dan meminta agar kamu dibatasi (dihajr).’ Ketika hal itu sampai kepada Ibnu Ja’far, Az-Zubair berkata: ‘Aku adalah mitramu dalam transaksimu.’ Ali pun mendatangi Utsman dan berkata: ‘Batalkan transaksi ini!’ Az-Zubair berkata: ‘Aku adalah mitranya.’ Utsman lalu berkata: ‘Apakah aku akan membatalkan transaksi seseorang yang mitranya adalah Az-Zubair?’ Ali – radhiyallahu ‘anhu – tidak akan meminta pembatasan kecuali jika dia melihatnya diperlukan. Sedangkan Az-Zubair, seandainya hajr itu batil, tentu dia akan berkata: ‘Tidak boleh membatasi orang merdeka yang sudah baligh.’ Begitu pula Utsman. Semua mereka memahami hajr dalam hadits sahabatmu.”
Dia berkata: “Sahabat kami, Abu Yusuf, telah kembali kepada pendapat tentang hajr.” Aku menjawab: “Kembalinya dia kepada pendapat itu tidak menambah kekuatannya, dan meninggalkannya juga tidak melemahkannya. Jika dia meninggalkannya lalu kembali kepadanya, hanya Allah yang tahu bagaimana pendapatnya dalam hal ini.”
Dia bertanya: “Apa yang kamu ingkari?” Aku menjawab: “Kamu mengklaim bahwa dia kembali berpendapat bahwa jika seorang merdeka mengurus hartanya dengan bijak, lalu dia membeli dan menjual, kemudian keadaannya berubah setelah sebelumnya dianggap bijak, maka hajr diberlakukan atasnya. Kami juga berpendapat demikian. Namun, kamu juga mengklaim bahwa jika hajr diberlakukan, semua transaksi jual beli sebelumnya dibatalkan. Bagaimana menurutmu jika seorang saksi awalnya adil sehingga kesaksiannya diterima, lalu keadaannya berubah, apakah putusan hukum berdasarkan kesaksiannya dibatalkan atau tetap berlaku sejak hari dia berubah?” Dia berkata: “Dia memang mengatakan hal itu, dan kami mengingkarinya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Dia bertanya: “Apakah ada di antara sahabatmu yang menyelisihi pendapatmu tentang hajr dan hak asuh anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan?” Aku menjawab: “Tidak ada seorang pun dari sahabatku terdahulu yang menyelisihi pendapatku dalam hal ini. Bahkan, sebagian dari mereka menyampaikan hal yang sama dengan pendapatku.”
Dia bertanya lagi: “Apakah kamu menemukan seseorang di daerahmu yang berpendapat berbeda dengan pendapatmu ini?” Aku menjawab: “Telah diriwayatkan kepadaku dari sebagian ulama di daerah kami bahwa mereka menyelisihi pendapatku. Aku juga berkata bahwa ada yang berpendapat lain tentang harta wanita jika dia menikah dengan seorang laki-laki.” Dia bertanya: “Apa pendapat mereka?” Aku menjawab: “Sesuatu yang tidak perlu kamu dengar.” Kemudian aku menyampaikan sesuatu yang aku hafal dan dia juga menghafalnya. Dia berkata: “Kesalahan dalam hal ini sangat jelas bagi orang yang mendengarnya dengan akal sehat.”
(Asy-Syafi’i berkata): Seorang pengklaim mengabarkan kepadaku bahwa orang yang berpendapat demikian mengatakan: “Jika seorang wanita menikah dengan mahar seratus dinar, dia dipaksa untuk membeli perhiasan yang sesuai dengan maharnya. Begitu pula jika maharnya sepuluh dirham. Jika suaminya menceraikannya sebelum berhubungan, dia berhak mengambil kembali separuh dari apa yang telah dibelinya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Dia juga wajib membagikan kapur barus, arsenik, dan wewangian kepadanya. Jika ada yang bertanya: “Apa konsekuensi bagi orang yang berpendapat demikian?” Dikatakan kepadanya: “Konsekuensinya lebih besar daripada pendapat lainnya.” Jika dia bertanya: “Apa itu?” Dikatakan kepadanya: “Allah – azza wa jalla – berfirman: ‘Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh, padahal kamu sudah menetapkan mahar untuk mereka, maka (berikanlah) separuh dari apa yang telah kamu tetapkan.’ (QS. Al-Baqarah: 237). Jika mahar yang ditetapkan dan diberikan adalah seratus dinar, maka orang yang berpendapat demikian mengatakan bahwa suami berhak mengambil kembali separuh dari barang yang dibeli, bukan dinar. Ini bertentangan dengan ketetapan Allah – tabaraka wa ta’ala.”
Jika ada yang berkata: “Kami berpendapat demikian karena kami mewajibkannya atas wanita.”
(Ar-Rabi’ berkata): Maksudnya, mereka mewajibkan wanita untuk membeli perhiasan dari mahar yang diberikan, dan suami berhak mengambil kembali separuh dari perhiasan tersebut menurut pendapat mereka. Sedangkan menurut pendapat Asy-Syafi’i, suami hanya berhak mengambil separuh dari apa yang diberikan, baik berupa dinar atau lainnya, karena wanita tidak diwajibkan membeli perhiasan kecuali jika dia menghendakinya. Ini sesuai dengan makna firman Allah – tabaraka wa ta’ala -: ‘Maka separuh dari apa yang telah kamu tetapkan.’ (QS. Al-Baqarah: 237).”
[PERDAMAIAN]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) berkata: Asy-Syafi’i -rahimahullah- mendiktekan kepada kami, beliau berkata: Pada dasarnya, perdamaian itu seperti jual beli. Apa yang diperbolehkan dalam jual beli, maka diperbolehkan dalam perdamaian, dan apa yang tidak diperbolehkan dalam jual beli, maka tidak diperbolehkan dalam perdamaian. Kemudian, perdamaian bercabang-cabang dan berlaku atas sesuatu yang memiliki nilai, seperti luka-luka yang memiliki diyat (kompensasi), antara seorang wanita dan suaminya yang memiliki mahar, dan semua ini menggantikan harga.
Menurutku, perdamaian tidak boleh kecuali atas perkara yang diketahui (ma’ruf), sebagaimana jual beli tidak boleh kecuali atas perkara yang diketahui. Diriwayatkan dari Umar -radhiyallahu ‘anhu-: “Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” Termasuk perkara haram dalam perdamaian adalah jika dilakukan atas sesuatu yang tidak diketahui (majhul), yang seandainya itu adalah jual beli, maka haram.
Jika seseorang meninggal dan ahli warisnya adalah seorang wanita, anak, atau kalalah (kerabat tanpa orang tua atau anak), lalu sebagian ahli waris berdamai dengan sebagian lainnya, maka jika perdamaian itu dilakukan dengan pengetahuan dari para pihak yang berdamai tentang hak-hak mereka atau pengakuan mereka atas hak-hak mereka, serta kedua pihak saling menerima sebelum berpisah, maka perdamaian itu sah. Namun, jika dilakukan tanpa pengetahuan mereka tentang jumlah hak mereka atau hak para pihak yang berdamai, maka perdamaian itu tidak sah, sebagaimana tidak sah menjual harta seseorang yang tidak diketahui.
Jika seseorang menuntut orang lain atas budak atau lainnya, atau menuntutnya atas kejahatan yang disengaja atau kelalaian yang boleh diperjualbelikan, maka perdamaian boleh dilakukan secara tunai atau utang. Namun, jika pihak yang dituntut mengingkari, maka perdamaian itu batal, dan keduanya kembali pada hak asalnya. Pihak penuntut dapat menuntut kembali tuntutannya, dan pihak yang memberi dapat mengambil kembali apa yang telah diberikannya.
Jika perdamaian dibatalkan, baik si penuntut mengatakan, “Aku membebaskanmu dari apa yang kutuntut darimu,” atau tidak mengatakannya sebelumnya, maka pembebasan itu hanya berlaku jika apa yang diambilnya telah sempurna. Ini tidak lebih dari seperti jual beli yang rusak. Jika jual beli itu tidak sempurna, maka masing-masing kembali pada hak miliknya sebagaimana sebelum transaksi.
Jika dua orang ingin berdamai, tetapi pihak yang dituntut enggan mengakui, maka tidak mengapa jika seorang pihak asing mengakui atas nama pihak yang dituntut atas kejahatan atau harta yang dituntut, lalu membayarkan sebagai perdamaian, maka itu sah. Pihak yang memberi tidak boleh menuntut kembali kepada pihak yang berdamai yang dituntut, dan pihak yang berdamai yang menuntut tidak boleh menuntut kembali pihak yang dituntut, karena ia telah menerima kompensasi dari haknya, kecuali jika perdamaian mereka didasarkan pada kerusakan, maka mereka kembali seperti sebelum perdamaian.
(Asy-Syafi’i) berkata: Jika seseorang menuntut hak atas rumah kepada orang lain, lalu pihak yang dituntut mengakui tuntutannya dan berdamai dengan memberikan unta, sapi, kambing, budak, kain yang jelas, dinar, dirham yang jelas, atau makanan dengan tempo tertentu, maka perdamaian itu sah, sebagaimana sah jika itu dijual dengan tempo tersebut.
Jika seseorang menuntut bagian dari rumah, lalu pihak yang dituntut mengakuinya dan berdamai dengan memberikan rumah tertentu yang dimilikinya atau hak tinggal untuk beberapa tahun, maka itu sah, sebagaimana sah jika mereka membagi atau menyewakan bagian rumahnya. Namun, jika ia berkata, “Aku berdamai denganmu untuk tinggal di rumah ini,” tanpa menyebut waktu, maka perdamaian itu rusak, karena ini tidak boleh, kecuali dengan tempo yang diketahui. Demikian pula jika berdamai untuk menyewa tanah ini selama beberapa tahun untuk ditanami atau bagian dari rumah lain, jika disebutkan dan jelas, maka sah, sebagaimana sah dalam jual beli dan sewa. Jika tidak disebutkan, maka tidak sah, sebagaimana tidak sah dalam jual beli dan sewa.
(Asy-Syafi’i) berkata: Jika seseorang memasang atap atau teras di jalan umum, lalu seseorang menuntutnya untuk melarangnya, lalu mereka berdamai dengan sesuatu agar ia membiarkannya, maka perdamaian itu batal, karena ia mengambil sesuatu yang tidak dimilikinya. Perlu dilihat: jika pemasangannya tidak merugikan, maka dibiarkan, tetapi jika merugikan, maka dilarang.
Demikian pula jika ia ingin memasang atap di jalan milik seseorang atau sekelompok orang yang bukan jalan umum, lalu ia berdamai dengan mereka dengan mengambil sesuatu agar mereka membiarkannya memasang, maka perdamaian ini batal, karena ia memasang di temboknya sendiri dan di udara yang tidak dimilikinya di bawah atau atasnya. Jika ia ingin menetapkan kayu dan syarat antara dia dan mereka sah, maka hendaknya ia meletakkannya di kayu yang ditopang oleh tembok mereka dan temboknya sendiri, sehingga itu menjadi pembelian kayu penyangga. Kayu itu harus jelas atau jelas letaknya, atau ia memberi mereka sesuatu sebagai imbalan agar mereka mengizinkannya memasang kayu dan menjadi saksi.
Mereka sendiri telah mengakui kepadanya mengenai muatan kayu ini dan jumlah ketentuannya dengan hak yang mereka ketahui untuknya, sehingga setelah itu mereka tidak boleh mencabutnya.
Dia berkata: Jika seseorang mengklaim hak atas sebuah rumah atau tanah, lalu pihak yang diklaim mengakuinya dan menyelesaikan klaim tersebut dengan memberikan pelayanan budak, menunggang hewan, menggarap tanah, menempati rumah, atau sesuatu yang termasuk dalam kategori sewa, kemudian pihak pengklaim atau yang diklaim meninggal (atau salah satunya), maka penyelesaian itu sah. Para ahli waris pengklaim berhak atas hunian, tunggangan, penggarapan tanah, pelayanan, atau apa pun yang telah disepakati dalam perdamaian tersebut.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika hewan yang disepakati untuk ditunggangi, rumah yang disepakati untuk ditempati, atau tanah yang disepakati untuk digarap rusak—jika kerusakan terjadi sebelum pihak yang berdamai mengambil manfaat apa pun—maka haknya atas rumah tetap ada, dan perjanjian sewa menjadi batal. Namun, jika kerusakan terjadi setelah dia mengambil sebagian manfaat, maka perdamaian tetap berlaku sesuai dengan apa yang telah dia terima (separuh, sepertiga, atau seperempat), sedangkan sisanya batal, dan dia dapat kembali pada hak aslinya atas hunian yang disepakati.
Dia berkata: Demikian pula jika dia berdamai dengan memberikan budak tertentu, pakaian tertentu, atau rumah tertentu, tetapi belum menerimanya sebelum barang itu rusak, maka perdamaian itu batal, dan dia kembali pada pengakuan aslinya. Namun, jika dia berdamai dengan memberikan budak berdasarkan sifat tertentu (dengan deskripsi atau tanpa deskripsi), pakaian dengan sifat tertentu, dinar, dirham, takaran, atau timbangan dengan sifat tertentu, maka perdamaian itu sah, dan pihak yang berdamai wajib memberikan sesuai dengan sifat yang disepakati.
Jika dia berdamai dengan memberikan seperempat bagian tanah dari rumah yang diketahui, itu sah. Jika dia berdamai dengan memberikan beberapa hasta dari rumah tertentu, dan dia mengetahui ukuran rumah tersebut serta pihak yang berdamai juga mengetahuinya, maka itu sah—ini dianggap sebagai bagian dari keseluruhan. Namun, jika dia berdamai dengan memberikan beberapa hasta tanpa mengetahui total ukurannya (apakah sepertiga, seperempat, lebih, atau kurang), maka itu tidak sah karena ketidakjelasan jumlah.
Jika dia berdamai dengan memberikan makanan secara global (tanpa takaran), uang secara global, atau seorang budak, itu sah. Namun, jika hak atas barang tersebut disangkal sebelum atau setelah penerimaan, atau barang itu rusak sebelum diterima, maka perdamaian batal. Jika dia berdamai dengan memberikan budak tertentu tetapi tidak menyerahkannya, maka dia berhak memilih untuk melihatnya. Jika memilih menerimanya, perdamaian sah; jika memilih menolaknya, perdamaian batal.
(Ar-Rabi’ berkata): (Asy-Syafi’i berkata) kemudian: Tidak boleh membeli budak tertentu atau barang lain dengan pembayaran tertunda sambil memberikan hak pilih untuk melihatnya, karena jual beli tidak boleh melebihi jual beli barang yang dilihat oleh pembeli dan penjual saat transaksi, atau jual beli berdasarkan deskripsi yang dijamin sampai waktu tertentu, di mana penjual wajib menyediakannya dari mana pun. Adapun budak tertentu dengan pembayaran tertunda—jika rusak, jual beli batal—maka terkadang jual beli sah dan terkadang batal, padahal jual beli hanya sah jika pasti berlaku dalam segala kondisi.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula segala sesuatu yang disepakati dalam perdamaian berupa barang tertentu yang tidak hadir, maka ada hak pilih untuk melihatnya.
(Ar-Rabi’ berkata): Asy-Syafi’i menarik kembali pendapatnya tentang hak pilih melihat barang tertentu.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia menerimanya lalu barang itu rusak di tangannya dan terdapat cacat, dia boleh menuntut ganti rugi sebesar nilai cacat tersebut. Jika tidak ada cacat tetapi sebagian barang itu disangkal haknya (misalnya separuh atau satu bagian dari seribu bagian), maka penerima budak berhak memilih: melanjutkan perdamaian sesuai bagian yang sah atau membatalkan seluruh perdamaian.
(Ar-Rabi’ berkata): Pendapat Asy-Syafi’i adalah jika suatu barang dijual lalu sebagiannya disangkal haknya, maka seluruh jual beli batal karena transaksi itu menggabungkan hal yang halal dan haram, sehingga seluruhnya batal. Demikian pula dengan perdamaian.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang mengklaim hak atas rumah, lalu seorang pihak asing (bukan tergugat) mengakui klaim itu atas nama tergugat dan berdamai dengan memberikan budak tertentu, itu sah. Namun, jika budak itu ternyata cacat dan dikembalikan atau haknya disangkal, maka pihak asing tidak berkewajiban apa pun, dan pengklaim kembali pada tuntutan aslinya atas rumah. Demikian pula jika perdamaian dilakukan dengan barang tertentu. Jika pihak asing berdamai dengan memberikan dinar, dirham, barang berdasarkan deskripsi, atau budak berdasarkan deskripsi, lalu menyerahkannya, tetapi kemudian haknya disangkal, maka pengklaim boleh menuntut penggantian dengan dinar, dirham, atau barang serupa sesuai deskripsi.
Jika pihak asing berdamai dengan memberikan dinar tertentu (dengan koin spesifik), itu sama seperti budak tertentu—jika haknya disangkal atau ada cacat lalu dikembalikan, pengklaim tidak bisa menuntut pihak asing dan harus kembali pada klaim aslinya. Jika pihak asing berdamai tanpa izin tergugat dan memberikan sesuatu secara sukarela, dia tidak boleh menuntut pengembalian dari tergugat. Dia hanya boleh menuntut jika tergugat memerintahkannya untuk berdamai.
Dia berkata: Jika seseorang mengklaim hak atas rumah kepada orang lain, lalu berdamai dengan menempati rumah tertentu untuk tahun-tahun yang ditentukan, atau atas atap (salah satu bagian rumah), itu sah.
Jika suatu hak yang dikenal (ma’ruf) ditempatkan pada sebuah rumah yang diperbolehkan, lalu rumah atau atapnya runtuh sebelum ditempati, maka hak tersebut kembali ke pemilik aslinya. Namun, jika kerusakan terjadi setelah ditempati, kesepakatan (shulh) tetap berlaku sesuai lamanya hunian, dan hak yang tersisa batal sebanding dengan sisa waktu yang belum digunakan.
Jika seseorang mengklaim hak atas sebuah rumah yang berada di tangan orang lain sebagai pinjaman, titipan, atau sewa, dan kedua pihak mengakuinya atau ada bukti yang sah, maka tidak ada perselisihan antara pemilik klaim dan orang yang memegang rumah. Jika seseorang tidak setuju untuk memutuskan perkara atas orang yang tidak hadir, maka kesaksiannya tidak diterima. Jika ia khawatir saksi-saksinya akan meninggal, ia dapat meminta mereka bersaksi atas kesaksian mereka.
Jika orang yang memegang rumah mengakui klaim tersebut, putusan tidak boleh didasarkan pada pengakuannya karena ia mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Namun, jika mereka berdamai atas sebagian klaim, perdamaian itu sah, dan pihak yang berdamai bertindak sukarela. Jawaban dalam hal ini sama seperti kasus sebelumnya di mana pihak asing berdamai atas klaim.
Jika seseorang mengklaim sesuatu tanpa merincinya dan berdamai atas sebagian dari klaim tersebut, perdamaian itu tidak sah. Demikian pula, tidak sah jika klaim diajukan atas sesuatu yang spesifik tanpa pengakuan terlebih dahulu. Namun, jika pengakuan diberikan, perdamaian diperbolehkan.
Jika seseorang mengakui klaim yang diajukan secara umum dengan mengatakan, “Kamu benar dalam klaimmu terhadapku,” lalu berdamai atas sebagian dari klaim itu, perdamaian itu sah—seperti halnya jika mereka sepakat atas transaksi jual-beli yang hanya diketahui melalui perkataan mereka meskipun barangnya tidak disebutkan secara spesifik. Misalnya, seseorang mengatakan, “Inilah yang kubeli darimu, yang kita sama-sama ketahui. Setelah ini, aku tidak memiliki tuntutan lagi atasmu terkait apa yang telah kubeli.”
Jika sebuah rumah dimiliki oleh dua orang dan mereka berselisih atas seluruh kepemilikan, lalu berdamai dengan pembagian satu pihak mendapat sepertiga dan pihak lain dua pertiga, atau satu pihak mendapat satu bagian rumah dan pihak lain sisanya, perdamaian itu sah jika dilakukan setelah pengakuan. Namun, jika dilakukan dalam keadaan saling menyangkal, perdamaian tidak sah, dan mereka kembali ke klaim awal.
Jika seseorang mengklaim hak atas orang lain dan berdamai setelah pengakuan, tetapi tidak ada bukti yang jelas, misalnya pihak yang berdamai mengatakan, “Aku berdamai denganmu atas tanah ini,” sedangkan pihak lain mengatakan, “Tidak, aku berdamai denganmu atas pakaian,” maka perkataan pihak yang didukung sumpah dianggap benar, dan ia berhak menuntut tanah tersebut.
(Abu Muhammad berkata): Menurut dasar pendapat Syafi’i, jika dua pihak berselisih tentang isi perdamaian, mereka harus saling bersumpah, dan mereka kembali ke posisi awal perselisihan—sama seperti dalam jual beli. Jika mereka berselisih dan bersumpah, tidak ada transaksi yang sah setelah sumpah.
(Syafi’i berkata): Jika sebuah rumah dimiliki oleh beberapa ahli waris, lalu seseorang mengajukan klaim atasnya—sementara sebagian ahli waris tidak hadir atau hadir—dan salah satu ahli waris mengakui klaim tersebut lalu berdamai dengan menyerahkan sejumlah dinar atau dirham yang dijamin, perdamaian itu sah. Ahli waris yang berdamai bertindak sukarela dan tidak boleh menuntut kembali apa yang telah ia berikan kepada saudara-saudaranya karena ia memberikannya tanpa perintah mereka, terutama jika mereka menolak klaim tersebut.
Jika ia berdamai dengan menyatakan bahwa haknya terpisah dari saudara-saudaranya, maka ia hanya membeli haknya sendiri. Jika saudara-saudaranya menolak, mereka berhak menuntut. Jika ia berhasil mendapatkan haknya, ia boleh mempertahankannya, dan saudara-saudaranya berhak menuntut hak mereka melalui syuf’ah (hak beli preferensial). Jika ia gagal, ia dapat membatalkan perdamaian dan mengambil kembali apa yang telah diberikan. Sementara itu, ahli waris lain berhak atas bagian yang diakui untuk mereka.
(Syafi’i berkata): Jika sebuah rumah dipegang oleh dua orang yang mewarisinya, lalu seseorang mengklaim hak atas rumah itu—salah satu ahli waris menolak, sedangkan yang lain mengakui dan berdamai atas haknya sendiri tanpa menyertakan hak saudaranya—perdamaian itu sah. Jika saudaranya ingin menggunakan hak syuf’ah atas bagian yang didamaikan, ia boleh melakukannya.
Jika dua orang mengklaim sebuah rumah yang dipegang orang lain, mengatakan bahwa itu warisan dari ayah mereka, dan orang itu menolak—lalu salah satu dari mereka berdamai atas klaimnya—perdamaian itu batal. Namun, jika orang itu mengakui klaim salah satu pihak dan berdamai atas bagian yang diakui, saudaranya boleh bergabung dan menuntut separuh dari bagian yang diakui—karena mereka menyatakan bahwa hak itu dibagi dua.
Jika kasusnya sama, tetapi masing-masing menuntut separuh tanah yang dipegang orang itu—lalu ia mengakui separuh untuk satu pihak dan menolak separuh untuk pihak lain—maka separuh yang diakui menjadi milik pihak yang diakui, sedangkan separuh yang ditolak tetap dalam sengketa. Jika ia berdamai atas bagian yang ditolak, perdamaian itu hanya berlaku untuk dirinya, bukan saudaranya.
Jika ia mengakui seluruh tanah untuk satu pihak—padahal klaim awal hanya separuh—dan tidak mengakui separuh untuk pihak lain, maka pihak yang diakui berhak atas seluruh tanah tanpa tuntutan balik. Namun, jika klaim awal menyatakan separuh, ia berhak menuntut separuh yang tersisa.
(Syafi’i berkata): Jika dua orang mengklaim sebuah rumah sebagai warisan, dan orang yang memegangnya mengakui klaim mereka lalu berdamai dengan salah satu pihak, saudaranya tidak boleh ikut serta dalam perdamaian itu tetapi berhak menuntut syuf’ah.
Jika seseorang mengklaim rumah milik orang lain, dan orang itu mengakuinya lalu berdamai setelah pengakuan dengan membolehkan penghunian oleh pemegang rumah, maka statusnya menjadi pinjaman (ariyah) jika ia menghendakinya.
Selesaikanlah, dan jika dia berkehendak tidak menyelesaikannya, dan jika yang lebih tinggi tidak mengakui untuk menempatinya maka perdamaian itu batal, dan keduanya kembali pada asal perselisihannya. Jika seseorang membeli rumah lalu membangunnya menjadi masjid, kemudian datang orang lain mengklaimnya, dan pembangun masjid mengakui klaim tersebut, maka jika ada sisa dari rumah itu, itu miliknya. Jika dia tidak menyedekahkan masjid, maka itu miliknya, dan dia dapat menuntut ganti rugi atas bagian rumahnya yang dihancurkan. Jika dia berdamai dalam hal ini, maka itu diperbolehkan.
Jika tergugat mengingkari, tetapi orang-orang yang masjid dan rumah berada di antara mereka mengakui dan berdamai, maka perdamaian itu sah. Jika seseorang menjual rumah kepada orang lain, lalu seseorang mengklaim sesuatu atas rumah itu, dan penjual mengakui klaim tersebut serta berdamai, maka perdamaian itu sah. Demikian pula jika seseorang merampas rumah orang lain, baik menjualnya atau tidak, lalu orang lain mengajukan klaim, dan dia berdamai setelah mengakui klaim tersebut atas sesuatu, maka perdamaian itu sah. Hal yang sama berlaku jika rumah itu berada di tangannya sebagai pinjaman atau titipan.
Jika seseorang mengklaim rumah yang ada di tangan orang lain, dan orang itu mengakuinya kemudian mengingkarinya, lalu berdamai, maka perdamaian itu sah, dan pengingkaran tidak merugikannya karena haknya telah tetap dengan pengakuan pertama, baik dengan kesepakatan atau bukti. Jika penerima harga rumah dalam perdamaian mengingkari bahwa dia mengakui rumah itu, dan berkata, “Aku hanya berdamai atas pengingkaran,” maka perkataannya diterima dengan sumpah, dan perdamaian dibatalkan, sehingga keduanya kembali pada perselisihan.
Jika seseorang berdamai atas klaim yang diakuinya dengan pelayanan budak selama setahun, lalu budak itu terbunuh tanpa sengaja, maka perdamaian batal. Pihak yang berdamai tidak wajib membelikan budak lain, dan pemilik budak juga tidak wajib membelikan budak lain. Demikian pula jika perdamaian atas hak tinggal di rumah, lalu rumah itu dihancurkan atau roboh. Jika perdamaian atas pelayanan budak tertentu selama setahun, lalu pemiliknya menjualnya, maka pembeli boleh memilih: melanjutkan penjualan dan mendapatkan hak pelayanan, atau membatalkan penjualan. Pendapat lain menyatakan penjualan batal karena menghalangi haknya.
Jika budak itu dimerdekakan oleh pemiliknya, maka pembebasan sah, dan pelayanan tetap berlaku hingga akhir tahun, dengan hak menuntut pemilik. Penyewaan dianggap seperti jual beli dalam pandangan kami, tidak dibatalkan selama penyewa masih utuh. Pemilik pelayanan boleh menyuruh orang lain melayani atau menyewakan kepada orang lain untuk pekerjaan serupa, tetapi tidak boleh membawanya keluar kota tanpa izin pemilik.
Jika seseorang mengklaim rumah, tergugat mengakuinya, lalu berdamai dengan memberikan budak senilai 100 dirham dan 100 dirham tunai, tetapi sebelum budak diserahkan, budak itu melukai orang merdeka atau budak lain, maka pihak yang berdamai boleh memilih: menerima budak lalu menebusnya, menyerahkannya untuk dijual, mengembalikannya kepada pemilik dan membatalkan perdamaian, atau tidak boleh menerima sebagian perdamaian sebesar 100 dirham. Jika budak sudah diterima lalu melukai, perdamaian tetap sah, seperti budak yang dibeli lalu melukai.
Jika ditemukan cacat pada budak, dia tidak boleh mengembalikannya dan menahan 100 dirham, karena ini satu transaksi yang harus diterima atau ditolak seluruhnya, kecuali jika pihak lain setuju. Jika budak itu diklaim orang lain, dia boleh memilih: menerima 100 dirham sebagai separuh perdamaian dan mengembalikan separuhnya, karena transaksi melibatkan dua hal, salah satunya tidak sah.
(Rabi’ berkata): Prinsipnya, jika sebagian perdamaian atau jual beli terbukti tidak sah, maka seluruhnya batal karena transaksi menggabungkan hal halal dan haram. (Syafi’i berkata): Jika yang tidak sah adalah cacat pada dirham, dan penjualan dilakukan dengan dirham tertentu, maka berlaku seperti pada budak. Jika dijual dengan dirham bernilai, maka dikembalikan dengan dirham serupa. Jika perdamaian dengan budak dan penerima menambahkan pakaian, lalu budak itu diklaim orang lain, maka perdamaian batal, dan dia dapat mengambil kembali pakaiannya atau nilainya jika sudah rusak.
Jika setelah serah terima, budak terluka, perdamaian tidak bisa dibatalkan, seperti halnya membeli budak lalu terluka. Jika ditemukan cacat pada pakaian, dia boleh memilih: menerima atau mengembalikan dan membatalkan perdamaian, tidak boleh mengembalikan sebagian. Jika budak diklaim orang lain, perdamaian batal, kecuali jika dia memilih menerima bagian selain budak tanpa menuntut nilainya.
(Rabi’ berkata): Jika budak diklaim orang lain, perdamaian batal dalam makna…
Imam Syafi’i berkata dalam tempat lain:
(Imam Syafi’i berkata): “Jika perdamaian melibatkan seorang budak dan seratus dirham, lalu pihak tergugat menambahkan seorang budak atau lainnya, kemudian ternyata budak yang diterima (salah satunya) adalah orang merdeka, maka perdamaian itu batal. Keadaannya seperti seseorang yang membeli budak, lalu budak itu ternyata merdeka. Jika budak yang diklaim sah miliknya adalah budak yang diberikan oleh penggugat atau tergugat, maka dikatakan kepada pihak yang memegang budak tersebut: ‘Anda berhak membatalkan perdamaian, kecuali jika Anda rela meninggalkan pembatalan dan menerima apa yang ada di tangan Anda bersama budak itu.’ Ia tidak boleh dipaksa untuk membatalkannya. Demikian pula semua klaim sah terkait hal yang didamaikan. Jika ini adalah transaksi salam (pesanan), lalu budak yang dipesan ternyata merdeka dalam barang yang dijelaskan hingga waktu yang ditentukan, maka transaksi salam itu batal.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika yang dipesan adalah dua budak dengan nilai yang sama, lalu salah satunya ternyata merdeka, maka pihak yang memesan berhak memilih antara membatalkan transaksi salam dan mengembalikan budak yang tersisa di tangannya, atau melanjutkan transaksi dengan membayar separuh harga untuk budak yang sah hingga waktu yang ditentukan.”
(Ar-Rabi’ berkata): “Semua ini batal dan terputus.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika sebuah rumah berada di tangan dua orang, masing-masing menempati bagian terpisah, lalu mereka berselisih tentang halaman, maka halaman itu dibagi dua karena berada di tangan keduanya. Jika salah satu ingin bersumpah, kami meminta rekannya bersumpah atas klaimnya. Jika keduanya bersumpah, maka halaman itu dibagi dua. Jika tidak bersumpah dan berdamai dengan salah satu pihak mengakui hak lainnya, perdamaian itu sah. Demikian pula jika rumah itu terdiri dari satu atau beberapa bagian, bagian bawah dipegang satu pihak yang mengklaimnya dan bagian atas dipegang pihak lain yang juga mengklaimnya, lalu mereka berselisih tentang halaman, maka halaman itu dibagi dua seperti yang dijelaskan.”
“Jika ada tembok antara dua rumah, satu milik seseorang dan lainnya milik orang lain, dan tembok itu tidak terhubung dengan bangunan salah satunya secara langsung, melainkan hanya menempel atau terhubung dengan bangunan keduanya, lalu mereka berselisih tanpa bukti, maka mereka bersumpah dan tembok itu dibagi dua. Dalam hal ini, tidak diperhatikan siapa yang memiliki bagian luar, dalam, setengah bata, atau ikatan tali, karena tidak ada petunjuk dalam hal itu. Jika keadaan masalah tetap sama dan salah satu memiliki tiang, sementara yang lain tidak memiliki apa-apa, maka keduanya disumpah, tiang diakui sebagaimana adanya, dan tembok dibagi dua karena seseorang bisa memanfaatkan tembok orang lain dengan tiang, baik dengan izin atau tanpa izin.”
“Jika tembok ini terhubung dengan bangunan salah satu pihak secara langsung (sejak awal pembangunan) dan terpisah dari bangunan pihak lain, maka tembok itu diberikan kepada pemilik bangunan yang terhubung. Jika tembok terhubung setelah selesai, seperti dengan mengganti satu bata dengan yang lebih panjang, maka keduanya disumpah dan tembok dibagi dua. Jika mereka berselisih lalu berdamai dengan saling mengakui klaim, perdamaian itu dibolehkan. Jika diputuskan tembok itu milik bersama, tidak boleh ada yang membuat lubang atau membangun di atasnya tanpa izin rekannya. Mereka diajak untuk membaginya jika mau. Jika lebarnya satu hasta, masing-masing mendapat setengah hasta sepanjang tembok, lalu dikatakan: ‘Jika ingin menambah lebar dari rumahmu satu hasta lagi agar tembok itu sepenuhnya milikmu, itu boleh. Jika ingin membiarkannya seperti itu tanpa pembagian, silakan.'”
“Jika tembok antara dua orang dirobohkan, lalu mereka berdamai bahwa satu pihak mendapat sepertiga dan pihak lain dua pertiga, dengan syarat masing-masing boleh membangun sesuai keinginan, maka perdamaian itu batal. Jika mereka ingin membagi tanahnya, itu diperbolehkan, baik atas keinginan bersama atau salah satu saja. Jika dibiarkan, saat dibangun kembali, tidak boleh ada yang membuat pintu atau lubang tanpa izin rekannya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika sebuah rumah dipegang satu orang lalu diklaim orang lain, lalu mereka berdamai bahwa satu pihak mendapat atap tanpa bangunan di atasnya dan bagian bawah untuk pihak lain, maka menurut pendapatku, perdamaian hanya sah dengan pengakuan. Jika keduanya mengakui, aku membolehkannya dan memberikan bagian atas untuk satu dan bagian bawah untuk lainnya. Aku membolehkan pihak yang diakui haknya untuk membangun sesuai keinginan jika ia mengakui boleh membangun di atasnya. Tidak sah jika ia membangun tanpa pengakuan, baik ada bangunan di atasnya atau tidak. Jika seseorang menjual atap rumah tanpa bangunan di atasnya dengan syarat pembeli boleh…”
Dia membangun di temboknya dan tinggal di atapnya, dan dinamakan puncak bangunan, aku memperbolehkan hal itu sebagaimana aku memperbolehkan menjual tanah tanpa bangunan di atasnya. Tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali dalam satu hal: bahwa siapa pun yang menjual rumah tanpa bangunan di atasnya, maka pembeli boleh membangun sesukanya. Namun, jika seseorang menjual atap beserta tanahnya atau tanah beserta puncak tembok, aku perlu mengetahui seberapa besar bangunannya karena ada bangunan yang tidak mampu ditopang oleh tembok-tembok tersebut.
Dia berkata: Jika ada sebuah rumah di tangan seseorang yang memiliki tangga di bagian bawah menuju bagian atas, lalu pemilik bagian bawah dan atas memperdebatkan tangga tersebut, dan tangga itu merupakan jalan bagi pemilik bagian atas, maka tangga itu milik pemilik bagian atas, bukan pemilik bagian bawah, setelah sumpah. Baik tangga itu berbentuk melengkung atau tidak, karena tangga dibuat sebagai jalur meskipun dimanfaatkan bagian bawahnya. Jika orang-orang membuat tangga untuk dimanfaatkan dan membuat punggungnya sebagai anak tangga tanpa menjadikannya sebagai jalan, maka tangga itu dibagi antara pemilik bagian bawah dan atas karena memiliki dua manfaat: satu di tangan pemilik bagian bawah dan satu lagi di tangan pemilik bagian atas setelah keduanya bersumpah.
Jika rumah bagian bawah di tangan satu orang dan bagian atas di tangan orang lain, lalu mereka memperdebatkan atapnya, maka atap itu dibagi antara keduanya karena bagi masing-masing, atap itu adalah penutup bagi bagian bawah dan lantai bagi bagian atas. Jadi, atap itu dibagi setengah setelah tidak ada bukti dan setelah keduanya bersumpah. Jika mereka sepakat untuk meruntuhkan bagian atas dan bawah karena alasan tertentu atau tanpa alasan, itu boleh bagi mereka, dan mereka harus membangun kembali bersama seperti semula. Pemilik bagian bawah wajib membangun jika dia meruntuhkannya dengan janji akan membangun kembali atau meruntuhkannya tanpa alasan. Jika rumah itu roboh, pemilik bagian bawah tidak dipaksa untuk membangun. Jika pemilik bagian atas rela membangun bagian bawah seperti semula dan membangun bagian atasnya, itu diperbolehkan, tetapi dia tidak boleh melarang pemilik bagian bawah untuk tinggal atau meruntuhkan tembok kapan pun dia mau. Jika pemilik bagian bawah datang dengan nilai bangunannya, dia boleh mengambilnya, dan bangunan itu menjadi milik pemilik bagian bawah, kecuali jika si pembangun memilih untuk meruntuhkan bangunannya, maka itu haknya. Lebih baik bagi pemilik bagian atas untuk membangunnya dengan keputusan hakim.
Jika mereka mengakui bahwa pemilik bagian bawah menolak membangun dan pemilik bagian atas membangun tanpa keputusan hakim, itu diperbolehkan seperti halnya dengan keputusan hakim. Jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain yang tumbuh tinggi hingga cabangnya menjalar ke rumah orang lain, maka pemilik pohon harus memotong bagian yang masuk ke rumah tersebut, kecuali jika pemilik rumah mengizinkannya tetap ada. Jika pemilik rumah mengizinkannya, itu haknya. Jika dia ingin mengizinkannya dengan imbalan tertentu, itu tidak diperbolehkan karena jika itu dianggap sebagai sewa atau pembelian, itu seperti menyewa udara tanpa tanah atau dasar. Tidak masalah membiarkannya sebagai bentuk kebaikan. Jika dua orang berselisih tentang mata air, sumur, sungai, atau aliran air, lalu mereka berdamai dengan melepaskan klaim masing-masing atas salah satu mata air, sumur, atau sungai tersebut, dan menyepakati bahwa satu mata air utuh menjadi milik satu pihak dan mata air lainnya milik pihak lain, maka perdamaian itu sah setelah pengakuan dari keduanya, seperti halnya menjual sebagian hak atas suatu benda.
Jika sebuah sungai dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan mereka sepakat untuk memperbaikinya dengan membangun atau menimbun, dengan biaya ditanggung bersama, itu diperbolehkan. Jika sebagian mengajak bekerja sama dan sebagian menolak, yang menolak tidak bisa dipaksa selama tidak ada kerugian. Begitu pula jika ada kerugian, mereka tidak bisa dipaksa. Allah lebih tahu. Katakan kepada mereka: “Jika kalian mau, relakanlah perbaikan itu, dan ambil air bersama. Kapan pun kalian ingin meruntuhkan bangunannya, kalian boleh melakukannya, karena kalian pemilik bangunan itu sampai dia memberikan bagian biayanya dan memiliki bersama kalian.” Hal yang sama berlaku untuk mata air dan sumur.
Jika seseorang mengklaim kayu, talang, atau lainnya di tembok orang lain, lalu pemilik tembok berdamai dengan memberinya sesuatu, itu diperbolehkan jika diakui. Jika seseorang mengklaim tanaman di tanah orang lain dan berdamai dengan sejumlah uang, itu sah karena dia boleh menjual tanamannya yang masih hijau kepada yang memotongnya. Jika tanaman itu milik dua orang dan salah satunya berdamai dengan menyerahkan separuh tanaman, itu tidak sah karena tanaman tidak boleh dibagi dalam keadaan hijau. Tidak diperbolehkan memotongnya kecuali disetujui. Jika seseorang mengklaim sesuatu dalam rumah dan berdamai dengan rumah, kebun, atau lainnya, dia berhak memilih melihatnya terlebih dahulu seperti dalam jual beli. Jika dia mengaku sudah melihatnya sebelum berdamai, tidak ada hak memilih kecuali jika keadaannya berubah dari saat dilihat.
Dia berkata: Jika seseorang mengklaim…
Seorang laki-laki mengakui adanya hutang dirham kepada orang lain, lalu mereka berdamai dengan menggantinya dengan dinar. Jika mereka saling menerima sebelum berpisah, maka itu diperbolehkan. Namun, jika mereka berpisah sebelum saling menerima, maka hutang dirham tetap berlaku dan perdamaian tidak sah. Jika sebagian telah diterima dan sebagian lagi belum, perdamaian sah untuk bagian yang telah diterima dan batal untuk bagian yang belum, asalkan pihak yang menerima dinar rela.
(Rabi’ berkata): Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa perdamaian ini tidak sah sama sekali karena ia berdamai dengan menukar dinar dengan dirham yang akan diterimanya. Ini mirip dengan pertukaran mata uang (sharf); jika tersisa satu dirham, seluruh transaksi pertukaran batal. Ini sesuai dengan makna pendapat Syafi’i di tempat lain:
Jika seseorang mengklaim bagian dalam sebuah rumah, lalu pihak yang diklaim mengakuinya dan berdamai dengan menyerahkan budak tertentu, pakaian tertentu, atau barang yang dijelaskan sifatnya dengan tempo tertentu, itu diperbolehkan. Namun, ia tidak boleh menjual barang yang dijadikan alat damai sebelum menerimanya, sebagaimana ia tidak boleh menjual barang yang dibeli sebelum menerimanya. Perdamaian adalah bentuk jual beli; apa yang sah dalam jual beli, sah dalam perdamaian, dan apa yang batal dalam jual beli, batal pula dalam perdamaian. Baik barang itu bersifat tertentu atau terdeskripsi, ia tidak boleh menjualnya sebelum menerima. Begitu pula segala sesuatu yang dijadikan alat damai, seperti takaran atau barang tertentu, tidak boleh dijual sebelum diterima, baik dari pihak damai maupun pihak lain. Sebab, “Nabi ﷺ melarang menjual makanan yang dibeli sebelum diterima.” Segala sesuatu yang dibeli dalam pandangan kami memiliki status yang sama, karena ia masih menjadi tanggungan penjual, sehingga tidak boleh menjual sesuatu yang masih menjadi hak orang lain.
Jika seseorang mengklaim sesuatu kepada orang lain, lalu pihak yang diklaim mengakuinya dan berdamai dengan menyerahkan dua budak tertentu, kemudian satu budak diterima sementara yang lain mati sebelum diserahkan, maka pihak yang berdamai boleh memilih: mengembalikan budak yang sudah diterima dan menuntut haknya atas rumah, atau melanjutkan perdamaian untuk bagian budak yang sudah diterima sementara haknya atas rumah disesuaikan dengan bagian budak yang mati sebelum diserahkan. Jika perdamaian hanya atas satu budak lalu budak itu mati, perdamaian batal dan haknya atas rumah tetap berlaku. Jika budak tidak mati, tetapi ada orang yang melukainya hingga tewas, ia boleh memilih: melanjutkan perdamaian dan menuntut pelaku, atau membatalkan perdamaian dan menyerahkan tuntutan kepada pemilik budak (penjual). Hal yang sama berlaku jika budak dibunuh oleh budak lain atau orang merdeka.
Jika perdamaian berupa pelayanan budak selama satu tahun, lalu budak itu dibunuh dan pemiliknya menerima uang tebusan, pihak yang berdamai tidak bisa dipaksa untuk memberikan budak pengganti. Jika sebagian pelayanan sudah dilakukan, perdamaian sah untuk bagian yang sudah dilaksanakan dan batal untuk sisa pelayanan yang tidak terpenuhi. Jika budak tidak mati tetapi terluka, lalu pemiliknya memilih untuk menjualnya, statusnya sama seperti kematian atau kepemilikan paksa.
Jika seseorang mengklaim sesuatu kepada orang lain, lalu pihak yang diklaim mengakuinya dan berdamai dengan memberikan aliran air, maka sah jika ia menyebut lebar tanah yang dialiri, panjangnya, dan batasnya, asalkan ia memiliki tanah tersebut. Jika tidak disebutkan rinciannya, perdamaian tidak sah kecuali dengan menyatakan, “Air mengalir di tempat ini dan itu untuk waktu tertentu,” sebagaimana sewa tidak sah kecuali dengan tempo tertentu. Jika hanya disebutkan “aliran air” tanpa rincian, tidak sah.
Jika ia berdamai dengan memberikan pengairan untuk tanahnya dari sungai atau mata air untuk waktu tertentu, itu tidak sah. Namun, sah jika ia berdamai dengan memberikan sepertiga atau seperempat mata air, asalkan ia memilikinya. Begitu pula jika ia berdamai dengan memberikan air untuk ternaknya selama satu bulan, itu tidak sah.
Jika sebuah rumah dimiliki dua orang, di mana satu pihak memiliki bagian lebih sedikit dan menolak pembagian karena tidak lagi bisa memanfaatkannya, ia tetap dipaksa untuk membagi. Begitu pula jika rumah dimiliki banyak orang dan hanya satu yang bisa memanfaatkannya sementara yang lain tidak, mereka dipaksa untuk membagi bagi yang mengajukan pembagian, dan bagian lainnya dikumpulkan jika mereka menghendaki. Pembagian dilakukan jika salah satu pihak bisa memanfaatkannya, meski sedikit, sementara jika merugikan semua, tidak perlu dibagi.
[Hawalah]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i secara imla’, dia berkata: Pendapat kami – dan Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui – adalah seperti yang dikatakan oleh Malik bin Anas: Jika seseorang mengalihkan haknya kepada orang lain (menghawalahkan), lalu orang yang dialihkan haknya (al-muhal ‘alaih) itu bangkrut atau meninggal, maka orang yang mengalihkan hak (al-muhil) tidak boleh menuntut kembali haknya selamanya. Jika ada yang bertanya, apa dalilnya? Malik bin Anas berkata: Diriwayatkan kepada kami dari Abuz-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Menunda pembayaran oleh orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika salah seorang di antara kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia menerimanya.” Jika ada yang bertanya, apa hubungannya ini dengan pendapatmu? Dikatakan: Bagaimana pendapatmu jika al-muhal (orang yang dialihkan haknya) boleh menuntut kembali al-muhil (seperti pendapat Muhammad bin Al-Hasan) ketika al-muhal ‘alaih bangkrut semasa hidup atau meninggal dalam keadaan bangkrut? Apakah hak itu kembali kepada al-muhil? Bagaimana jika dia dialihkan kepada orang yang bangkrut, sedangkan haknya itu menggantikan posisi al-muhil? Bukankah itu justru menambah kebaikan? Jika orang yang bangkrut itu mampu, maka haknya tetap ada. Jika tidak, haknya tetap pada tempatnya semula. Tidak ada kemungkinan lain kecuali seperti ini.
Adapun pendapat kami, jika kamu telah terbebas dari hakmu dan orang lain yang menanggungnya, maka kebebasan itu tidak boleh berubah menjadi tanggungan. Jika hawalah tidak diperbolehkan, bagaimana mungkin aku terbebas dari hutangku jika aku menghawalahkanmu? Jika kamu bersumpah dan aku bersumpah bahwa tidak ada hakmu atasku, maka kami telah bebas. Jika kemudian (al-muhal ‘alaih) bangkrut, lalu aku menuntutmu kembali setelah aku bebas dengan suatu transaksi yang telah disepakati sebagai hal yang sah di kalangan muslimin.
Muhammad bin Al-Hasan berargumen dengan perkataan Utsman tentang hawalah dan kafalah: “Pemiliknya boleh menuntut kembali, harta muslim tidak boleh diambil paksa.” Namun, dasar argumennya ini terbantah dari dua sisi. Sekalipun benar berasal dari Utsman, itu bukanlah dalil, karena statusnya masih diragukan dari Utsman. Dan sekalipun benar dari Utsman, hadis Utsman masih bisa ditafsirkan lain.
Jika seseorang mengalihkan hak kepada orang lain, lalu al-muhal ‘alaih bangkrut atau meninggal tanpa meninggalkan harta, maka al-muhtaal (pihak yang dialihkan haknya) tidak boleh menuntut kembali al-muhil, karena hawalah memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. Apa yang telah dipindahkan tidak boleh dikembalikan. Hawalah berbeda dengan hamalah (jaminan). Apa yang telah dialihkan tidak kembali kecuali dengan perjanjian baru untuk mengembalikannya. Kami selalu mengambil hak dari al-muhal ‘alaih, bukan dari al-muhil dalam segala kondisi.
[BAB PENANGGUNGAN]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) (Berkata Asy-Syafi’i) – rahimahullah – : Jika seseorang menanggung atau menjamin hutang orang lain, lalu penanggung meninggal sebelum hutang jatuh tempo, maka pihak yang ditanggung boleh menagih hutang tersebut dari penanggung. Jika hutang telah dibayar, maka pihak yang berhutang dan penanggung terbebas dari kewajiban. Ahli waris penanggung tidak boleh menuntut balik dari pihak yang ditanggung atas apa yang telah mereka bayarkan sampai hutang tersebut jatuh tempo. Demikian pula jika pihak yang berhutang meninggal, pemilik hak boleh menagih dari hartanya. Jika hartanya tidak mencukupi, pemilik hak tidak boleh menagih sampai hutang jatuh tempo.
Dalam riwayat lain tentang penangguhan: (Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) : Berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i: Jika seseorang menanggung atau menjamin hutang orang lain, lalu penanggung meninggal sebelum hutang jatuh tempo, maka pihak yang ditanggung boleh menagih hutang tersebut dari penanggung. Jika hutang telah dibayar, pihak yang berhutang dan penanggung terbebas dari kewajiban. Ahli waris penanggung tidak boleh menuntut balik dari pihak yang ditanggung atas apa yang telah mereka bayarkan sampai hutang tersebut jatuh tempo. Demikian pula jika pihak yang berhutang meninggal, pemilik hak boleh menagih dari hartanya. Jika hartanya tidak mencukupi, pemilik hak tidak boleh menagih sampai hutang jatuh tempo.
(Berkata Asy-Syafi’i) : Jika seseorang memiliki hutang pada orang lain, lalu orang lain menjamin hutang tersebut, maka pemilik hutang boleh menagih dari keduanya atau salah satunya. Tidak ada yang terbebas sampai hutang dilunasi jika penjaminan bersifat mutlak. Jika penjaminan dengan syarat, pemilik hutang boleh menagih penjamin sesuai syarat yang disepakati, bukan di luar itu.
Jika seseorang berkata kepada orang lain: “Apa yang diputuskan untukmu atas si fulan, atau yang disaksikan untukmu atasnya, atau semisalnya, maka aku menjaminnya,” ini bukanlah jaminan yang mengikat karena keputusan atau kesaksian bisa ada atau tidak. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban atasnya. Ini bukanlah penangguhan, melainkan hanya risiko.
Jika seseorang menanggung hutang orang yang telah meninggal setelah mengetahuinya dan mengetahui kepada siapa hutang itu, maka penanggungan itu mengikat, baik mayit meninggalkan harta atau tidak. Jika budak yang diizinkan berdagang menjadi penjamin, penjaminannya batal karena penjaminan adalah mengonsumsi harta, bukan memperolehnya. Karena kita melarangnya menghabiskan hartanya, sedikit atau banyak, maka kita juga melarangnya menjadi penjamin yang akan membebani hartanya.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Uyainah dari Harun bin Ri`ab dari Kananah bin Nu’aim, dari Qabishah bin Al-Mukhariq, ia berkata: “Aku pernah menanggung hutang, lalu aku mendatangi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan meminta izin. Beliau bersabda: ‘Wahai Qabishah, meminta-minta itu haram kecuali dalam tiga kondisi: seseorang yang menanggung hutang, maka halal baginya meminta.'” (Dan disebutkan haditsnya).
(Berkata Asy-Syafi’i) : Jika seseorang mengakui bahwa ia menjamin hutang untuk orang lain dengan syarat memiliki hak pilih (khiyar), sementara pihak yang dijamin membantah adanya hak pilih dan tidak ada bukti, maka jika pengakuan dianggap utuh, ia harus bersumpah bahwa ia hanya menjamin dengan hak pilih, lalu dibebaskan. Padahal penjaminan dengan hak pilih tidak sah. Jika ada yang berpendapat bahwa pengakuannya sebagian mengikat, maka ia tetap dibebani penjaminan setelah pihak yang dijamin bersumpah bahwa penjaminan diberikan tanpa hak pilih. Penjaminan dengan hak pilih tidak diperbolehkan.
Berlaku tanpa pilihan, maka penjamin tidak diwajibkan membayar kecuali jika disebutkan sejumlah harta yang dijaminnya.
Penjaminan tidak berlaku dalam had, qisas, atau hukuman. Penjaminan hanya berlaku terkait harta. Jika seseorang menjamin orang lain terkait luka yang disengaja, maka jika yang diinginkan adalah qisas, penjaminannya batal. Namun jika yang diinginkan adalah diyat (ganti rugi) atas luka tersebut, maka penjaminan tetap berlaku karena itu adalah penjaminan dengan harta. Jika seseorang membeli rumah dari orang lain, lalu seseorang menjamin tanggungan atau kebebasan rumah tersebut, kemudian rumah itu diklaim oleh pihak lain, maka pembeli dapat menuntut kembali harganya kepada penjamin jika dia mau, karena penjamin telah menjamin kebebasannya, dan kebebasan itu adalah harta yang harus diserahkan. Jika seseorang mengambil penjamin untuk dirinya, lalu mengambil penjamin lain lagi, sedangkan penjamin pertama belum dibebaskan, maka keduanya tetap sebagai penjamin untuk dirinya.
[Perusahaan]
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: “Perusahaan mudharabah (bagi hasil) adalah batal, dan aku tidak mengetahui sesuatu di dunia ini yang batal jika bukan perusahaan mudharabah yang batal. Kecuali jika dua orang yang berserikat menganggap mudharabah sebagai pencampuran harta dan kerja dalam harta tersebut serta pembagian keuntungan, maka ini tidak masalah. Inilah perusahaan yang sebagian orang dari timur menyebutnya sebagai perusahaan ‘inan (modal bersama). Jika keduanya berserikat secara mudharabah dan mensyaratkan bahwa mudharabah bagi mereka adalah makna ini, maka perusahaannya sah. Dan apa yang diperoleh salah satu dari mereka di luar harta yang mereka serikatkan, baik dari perdagangan, sewa, harta karun, hibah, atau selain itu, maka itu miliknya sendiri tanpa melibatkan rekannya. Namun, jika mereka menganggap bahwa mudharabah bagi mereka adalah berserikat dalam segala sesuatu yang mereka peroleh dengan cara apa pun, baik karena harta maupun lainnya, maka perusahaan antara keduanya rusak. Aku tidak mengetahui perjudian kecuali dalam hal ini atau yang lebih ringan darinya, yaitu dua orang berserikat dengan dua ratus dirham, lalu salah satu dari mereka menemukan harta karun, maka harta itu dibagi antara keduanya. Bagaimana pendapatmu jika mereka mensyaratkan hal ini tanpa mencampurkan harta, apakah itu diperbolehkan? Atau bagaimana pendapatmu jika seseorang diberi hibah atau menyewakan dirinya untuk suatu pekerjaan lalu memperoleh harta dari pekerjaan atau hibah, apakah orang lain ikut menjadi sekutu dalam harta tersebut? Sungguh, mereka telah mengingkari hal yang lebih ringan dari ini.”
[Agensi]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) : Dia berkata, Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Asy-Syafi’i secara imla’, dia berkata: Jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil (agensi), maka wakil tersebut tidak boleh menunjuk orang lain sebagai penggantinya, baik karena sakit, kepergian, atau alasan lainnya. Sebab, pihak yang memberi kuasa hanya merelakan orang tersebut sebagai wakilnya dan tidak merelakan orang lain. Namun, jika dia berkata, “Dia boleh menunjuk siapa pun yang dia anggap layak,” maka hal itu diperbolehkan dengan persetujuan pemberi kuasa.
Jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil tetapi tidak menyatakan dalam kuasanya bahwa wakil tersebut berwenang untuk mengakui (tuntutan), berdamai, membebaskan (kewajiban), atau menghibahkan, maka segala tindakan wakil dalam hal tersebut batil. Sebab, dia tidak diberi kuasa untuk itu, sehingga tidak sah menjadi wakil dalam hal yang tidak didelegasikan.
Jika seseorang menunjuk wakil untuk menuntut hudud atau qisas, agensi tersebut diterima untuk memastikan bukti. Namun, ketika had atau qisas hendak dilaksanakan, aku tidak akan menjatuhkan hudud atau qisas sampai pihak yang berhak hadir. Sebab, dia mungkin mencabut kuasanya sehingga qisas batal atau memaafkan.
Jika seseorang memiliki piutang pada orang lain, lalu datang seseorang mengaku diwakili oleh pemilik piutang dan pihak yang memegang harta membenarkannya, aku tidak akan memaksanya untuk menyerahkan harta itu kecuali jika pemilik piutang mengakui pemberian kuasa atau ada bukti yang sah. Begitu pula jika pengaku wakil tersebut menuntut hutang kepada pemilik harta, pihak yang memegang harta tidak dipaksa untuk menyerahkannya. Sebab, pengakuannya atas nama orang lain tidak sah.
Jika seseorang menunjuk wakil di hadapan hakim untuk suatu perkara, hakim mencatat bukti agensi dan menetapkannya sebagai wakil, baik lawan hadir atau tidak. Lawan tidak berhak menolak hal ini.
Jika seseorang bersaksi bahwa dia memberi kuasa kepada orang lain untuk segala urusan, besar maupun kecil, tanpa penjelasan lebih lanjut, agensi tersebut tidak sah. Sebab, kuasa tersebut bisa mencakup jual-beli, penjagaan harta, pembayaran, atau hal lain. Karena mengandung banyak kemungkinan, agensi tidak sah sampai dijelaskan secara rinci, seperti untuk jual-beli, sewa, penyimpanan, sengketa, pengelolaan, atau lainnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku menerima agensi dari laki-laki atau perempuan, baik yang memiliki uzur maupun tidak. Dahulu, Ali -radhiyallahu ‘anhu- pernah menunjuk Abdullah bin Ja’far sebagai wakil di hadapan Utsman saat Ali hadir. Utsman pun menerimanya. Sebelumnya, Ali juga pernah menunjuk Aqil bin Abi Thalib sebagai wakil, dan aku menduga hal itu terjadi di masa Umar, mungkin juga di masa Abu Bakar. Ali pernah berkata, “Sungguh, berdebat itu melelahkan, dan setan hadir di dalamnya.”
[Ringkasan tentang apa yang boleh diakui jika tampak jelas]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): «Ma’iz mengakui perbuatan zina di hadapan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau merajamnya.» «Dan Nabi memerintahkan Anas untuk mendatangi istri seorang lelaki, jika ia mengaku berzina, maka rajamlah ia.»
(Imam Syafi’i berkata): Ini sesuai dengan ketetapan Allah -Tabaraka wa Ta’ala- bahwa seseorang bertanggung jawab atas apa yang ia nyatakan secara lahir, dan ia adalah penanggung jawab atas dirinya sendiri. Maka, siapa pun yang mengaku—dari kalangan orang dewasa yang tidak terganggu akalnya—terhadap sesuatu yang mengharuskan hukuman badan, baik hadd, qishash, pukulan, potong tangan, atau hukuman mati, maka pengakuannya itu mengikat, baik ia merdeka atau budak, dalam keadaan terbatas haknya atau tidak. Sebab, semua ini termasuk kewajiban yang berkaitan dengan badan, dan pengakuan tidak gugur terkait hal yang membebani badannya. Karena pembatasan hanya berlaku pada hartanya, bukan badannya. Begitu pula budak, meskipun ia adalah milik orang lain, sebab kerugian pada badannya adalah kewajiban yang tetap berlaku, sebagaimana ia wajib berwudhu untuk shalat. Ini adalah pendapat yang tidak aku ketahui ada perselisihan di antara ulama yang kuriwayatkan. Aisyah -radhiyallahu ‘anha- pernah memerintahkan potong tangan seorang budak yang mengaku mencuri, baik hukuman itu karena hak Allah atau hak manusia.
(Imam Syafi’i berkata): Apa yang diakui oleh dua orang merdeka yang sudah baligh dan tidak terbatas haknya dalam harta, maka pengakuan itu mengikat sesuai apa yang mereka akui. Sedangkan pengakuan dua orang merdeka yang terbatas haknya dalam harta, tidak mengikat keduanya—baik selama masih dalam pembatasan maupun setelahnya—dalam hukum dunia. Namun, di hadapan Allah -‘Azza wa Jalla-, mereka tetap wajib menunaikannya jika keluar dari pembatasan kepada pihak yang diakui. Hal ini berlaku sama dari sisi mana pun pengakuan itu terjadi, selama hanya berkaitan dengan harta mereka, seperti pengakuan atas kesalahan tidak sengaja atau sengaja yang tidak ada qishash, jual beli, memerdekakan budak, atau menghabiskan harta. Semua itu gugur dalam hukum dunia.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka mengaku melakukan kesengajaan yang mengharuskan qishash, maka itu mengikat, dan wali korban berhak memilih antara qishash atau mengambil diyat dari harta mereka. Sebab, keduanya memiliki kewajiban terkait jiwa mereka. Ketika Allah -‘Azza wa Jalla- menetapkan qishash, itu menunjukkan bahwa wali korban boleh memaafkan qishash dan mengambil diyat, sebagaimana ditunjukkan oleh Sunnah. Maka, pengakuan dua orang yang terbatas haknya tetap mengikat, dan wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil ganti rugi. Begitu pula budak yang sudah baligh jika mengaku melukai atau membunuh yang mengharuskan qishash, wali korban boleh memilih qishash atau memaafkan dengan diyat yang dibebankan pada kemerdekaan budak, meskipun budak itu adalah milik tuannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika budak mengaku melakukan kesalahan sengaja tanpa qishash atau tidak sengaja, maka tidak ada kewajiban selama masih budak, tetapi ia wajib menanggungnya jika suatu hari merdeka dengan hartanya.
(Imam Syafi’i berkata): Pengakuan dua orang yang terbatas haknya atau budak terkait perampasan, pembunuhan, atau selainnya yang tidak ada hadd, maka pengakuan itu batal. Batal bagi orang merdeka yang terbatas haknya dalam segala hal, dan batal bagi budak selama masih dalam perbudakan. Namun, ia wajib membayar diyat atas kesalahan yang diakui jika merdeka, sebab pembatalan itu karena ia tidak memiliki hak milik selama masih budak—berbeda dengan pembatasan pada orang merdeka dalam hartanya.
(Imam Syafi’i berkata): Sama saja, baik budak yang diizinkan berdagang atau tidak, yang berakal atau kurang akal, selama ia sudah baligh dan tidak terganggu akalnya—kecuali pengakuan budak dalam hal yang didelegasikan dan diizinkan padanya, seperti perdagangan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang merdeka yang terbatas haknya atau budak mengaku mencuri dalam kasus yang mengharuskan potong tangan, maka mereka semua dipotong tangannya. Dua orang merdeka itu wajib mengganti nilai curian dari hartanya, sedangkan budak menanggungnya dengan kebebasannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika gugur kewajiban ganti rugi bagi yang terbatas haknya karena pembatasan atau bagi budak karena pengakuan terkait kebebasannya, maka aku tidak memotong tangan salah satu dari mereka. Sebab, keduanya tidak gugur kecuali bersama, dan tidak sah kecuali bersama.
Bersama-sama.
(Imam Syafi’i berkata): Dan jika mereka mengaku bersama-sama atas pencurian, berapa pun jumlahnya, tidak ada potong tangan dalam hal ini.
Aku membatalkan pengakuan mereka bersama-sama dari orang yang berada di bawah perwalian, karena keduanya dilarang mengelola harta mereka, dan dari budak, karena dia mengaku dengan lehernya tanpa hukuman pada tubuhnya. Demikian pula, apa yang diakui oleh murtad dari mereka dalam keadaan kemurtadannya, aku tetap memberlakukannya sebagaimana sebelum kemurtadannya.
[Pengakuan yang Belum Balig]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang laki-laki yang belum balig atau perempuan yang belum haid, dan belum genap 15 tahun, mengaku atas hak Allah atau hak manusia terkait tubuh atau hartanya, maka semua itu gugur darinya. Karena Allah -Azza wa Jalla- hanya mewajibkan perintah dan larangan kepada orang yang berakal dan balig.
(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal ini, kami tidak melihat bukti, dan perkataan yang diterima adalah pengakuan orang tersebut jika dia berkata, “Aku belum balig,” sedangkan beban pembuktian ada pada penggugat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang khuntsa musykil (tidak jelas jenis kelaminnya) yang sudah mimpi basah tetapi belum genap 15 tahun mengaku, maka pengakuannya ditangguhkan. Jika dia mengalami haid dalam keadaan musykil, pengakuannya tidak sah sampai dia genap 15 tahun. Demikian pula jika dia haid tetapi belum mimpi basah, pengakuan khuntsa musykil tidak diterima dalam keadaan apa pun sampai dia genap 15 tahun. Ini berlaku sama untuk orang merdeka dan budak. Jika majikan budak atau ayah anak berkata, “Dia belum balig,” sedangkan budak atau anak itu berkata, “Aku sudah balig,” maka perkataan anak atau budak itu yang diterima jika sesuai dengan kenyataan. Jika tidak sesuai, perkataannya tidak diterima meskipun ayahnya membenarkannya. Tidakkah kamu lihat bahwa jika dia mengaku, sementara secara umum diketahui bahwa orang seperti itu belum genap 15 tahun, pengakuannya tidak diterima? Jika aku membatalkan pengakuannya dalam keadaan ini, aku tidak memberlakukan hukuman atas orang merdeka atau budak setelah balig atau setelah merdeka. Namun, mereka tetap wajib menunaikan hak-hak sesama di hadapan Allah -Azza wa Jalla-.
[Pengakuan Orang yang Tidak Sadar]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Siapa pun yang terkena penyakit apa pun, sehingga akalnya terganggu, lalu dia mengaku dalam keadaan tidak sadar, maka pengakuannya dalam segala hal gugur. Karena tidak ada kewajiban atasnya dalam keadaan tersebut. Baik penyakit itu disebabkan oleh sesuatu yang dia makan atau minum untuk pengobatan sehingga menghilangkan akalnya, atau karena sebab yang tidak diketahui.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang minum khamr atau anggur yang memabukkan hingga mabuk, maka pengakuan dan perbuatannya terkait hak Allah atau manusia tetap berlaku. Karena dia termasuk orang yang terkena kewajiban, dan ada hal yang haram dan halal baginya. Dia berdosa karena mengonsumsi yang haram, dan perbuatannya tidak gugur. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah memberikan hukuman cambuk karena minum khamr.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang dipaksa minum khamr hingga hilang akalnya, lalu dia mengaku, pengakuannya tidak sah karena dia tidak berdosa dalam hal itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia mengaku dalam keadaan sehat bahwa dia melakukan sesuatu saat tidak sadar, maka tidak ada hukuman had baginya, baik hak Allah maupun manusia. Misalnya, jika dia mengaku memotong kaki, membunuh, mencuri, menuduh zina, atau berzina, maka tidak ada qishash, potong tangan, atau hukuman zina. Namun, wali korban pembunuhan atau luka boleh mengambil diyat dari hartanya jika mau. Demikian pula, korban pencurian boleh mengambil nilai barang curian. Sedangkan korban tuduhan zina tidak mendapat apa-apa karena tidak ada diyat untuk qadzaf (tuduhan zina). Hal yang sama berlaku untuk orang balig yang mengaku melakukan hal ini saat kecil. Tidakkah kamu lihat bahwa jika dia mengaku dalam keadaan tidak sadar atau saat kecil, lalu aku membatalkannya, tetapi kemudian ada bukti yang sah, maka aku mengambil dari hartanya, bukan dari tubuhnya? Pengakuannya setelah balig lebih kuat daripada bukti yang ada.
Jika dia mengaku setelah merdeka bahwa dia melakukan salah satu dari ini saat masih menjadi budak yang balig, maka aku memberinya hukuman budak dalam semua hal. Jika itu tuduhan zina, aku memberinya 40 cambuk; jika zina, 50 cambuk dan aku asingkan selama setengah tahun jika belum pernah dihukum sebelumnya.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Pengakuan dan Qishash
Jika seseorang mengaku memotong tangan atau kaki orang merdeka dengan sengaja, maka qishash diambil darinya, kecuali jika korban memilih untuk mengambil diyat (uang tebusan). Demikian pula jika ia membunuh. Jika ia mengaku melakukan hal itu terhadap budak, maka qishash juga diambil darinya, karena jika seorang budak melakukan kejahatan terhadap budak lain lalu dimerdekakan, ia tetap wajib qishash. Namun, ia berbeda dengan orang merdeka dalam hal pengakuan harta—jika ia dimerdekakan, pengakuannya tentang harta tetap mengikatnya, karena pengakuannya seperti pengakuan seseorang atas kesalahan tidak sengaja, sehingga menjadi tanggungan hartanya sendiri, bukan tanggungan keluarganya (aqilah). Jika ada bukti atas kejahatan tidak sengaja saat ia masih budak, maka tuannya wajib membayar nilai budak tersebut atau nilai kerusakan, mana yang lebih rendah, karena status kemerdekaannya menghalangi penjualannya.
Pengakuan Anak Kecil
(Imam Syafi’i berkata): Pengakuan anak kecil terkait hudud Allah, hak manusia, atau hak harta tidak sah, baik ia diizinkan berdagang oleh ayah, wali, atau hakim. Hakim pun tidak boleh mengizinkannya berdagang. Jika hal itu terjadi, pengakuannya batal, begitu pula jual belinya. Jika pengakuannya sah karena diizinkan berdagang, maka harusnya pengakuan lain seperti menceraikan istri, menuduh zina, atau melukai juga sah karena dilakukan atas perintah ayahnya. Namun, perintah ayah dalam berdagang bukanlah izin khusus untuk pengakuan, sehingga tidak ada yang mengikatnya seperti orang dewasa.
Paksaan dan Maknanya
(Imam Syafi’i berkata): Allah berfirman, *”Kecuali orang yang dipaksa namun hatinya tetap tenang dalam iman.”* (QS. An-Nahl: 106).
Kekafiran memiliki konsekuensi seperti perceraian, hukuman mati, dan perampasan harta. Namun, Allah menggugurkan hukum paksaan dalam semua bentuk, karena jika yang terberat (kekafiran) dihapus, maka yang lebih ringan juga gugur.
Paksaan terjadi ketika seseorang berada di bawah kekuasaan orang yang tidak bisa ia lawan, seperti penguasa, perampok, atau penindas, dan ia benar-benar takut akan siksaan fisik atau kematian jika menolak perintah.
Jika ia dalam kondisi demikian, maka gugurlah hukum atas apa yang dipaksakan, baik dalam jual beli, pengakuan hak, hudud, pernikahan, pembebasan budak, atau talak. Namun, jika ia tidak benar-benar merasa terancam, maka pengakuannya tetap mengikat.
Jika seseorang dipenjara atau diancam lalu ia mengaku karena takut, tetapi kemudian dibebaskan dan mengaku lagi tanpa paksaan, maka pengakuan itu sah. Demikian pula jika ia disiksa lalu dibebaskan dan mengaku tanpa tekanan.
Jika ia dipenjara dan mengira penahanan hanya sebentar atau tidak separah yang dikhawatirkan, maka hukum paksaan tetap gugur karena ketidakpastian akan keselamatannya. Namun, jika setelah dibebaskan ia mengaku, maka pengakuannya sah.
Penyebab, maka ia menimbulkan sesuatu yang mengikatnya. Jika ada hal baru yang muncul baginya, itu tetap setelah penyebab pemukulan, dan pengakuannya gugur.
Dia berkata: Jika seseorang mengatakan kepada orang lain, “Aku mengakui padamu tentang ini, tapi aku dipaksa,” maka perkataannya diterima disertai sumpahnya. Sedangkan pihak yang diakui harus mendatangkan bukti bahwa pengakuan itu diberikan tanpa paksaan.
(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa siapa pun yang mengakui sesuatu, maka itu mengikatnya kecuali jika diketahui bahwa ia dipaksa.
(Asy-Syafi’i berkata): Perkataannya diterima jika ia sedang dipenjara, meskipun ada saksi yang menyatakan bahwa ia tidak dipaksa. Jika dua saksi bersaksi bahwa si Fulan mengakui kepada si Fulan saat dipenjara atau di hadapan penguasa tentang sesuatu, lalu yang disangkakan berkata, “Aku mengaku karena tekanan penjara atau paksaan penguasa,” maka perkataannya diterima disertai sumpahnya, kecuali ada bukti bahwa ia mengaku di hadapan penguasa tanpa paksaan. Tidak perlu dikhawatirkan ketika mereka bersaksi bahwa ia mengaku tanpa paksaan atau tidak dipenjara karena hal yang diakuinya. Ini adalah ketentuan yang tercantum secara teks dalam kitab Al-Ikrah. Ar-Rabi’ ditanya tentang kitab Al-Ikrah, ia menjawab, “Aku tidak mengetahuinya.”
[Kumpulan Pengakuan]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Menurutku, tidak boleh memaksa seseorang untuk mengakui kecuali maknanya jelas. Jika pengakuannya mengandung dua makna, aku mengikatnya dengan yang paling ringan dan menjadikan perkataannya sebagai pegangan. Aku hanya mengikatnya dengan makna lahir yang jelas dari pengakuannya, meskipun hati cenderung pada makna lain. Demikian pula, aku tidak memperhatikan alasan pengakuan jika ucapannya memiliki makna lahir yang bisa berbeda dari alasannya, karena seseorang mungkin menjawab berlawanan dengan alasan pembicaraannya, sesuai dengan ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla dalam urusan antarmanusia yang didasarkan pada zahirnya.
[Pengakuan atas Sesuatu yang Tidak Dijelaskan]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang mengatakan, “Si Fulan memiliki hak atas hartaku,” atau “padaku,” atau “di tanganku,” atau “telah…”
Telah menghabiskan harta yang besar atau dikatakan sangat besar atau besar sekali, maka semuanya sama dan dia akan ditanya tentang maksudnya. Jika dia berkata, “Aku maksudkan satu dinar, satu dirham, atau kurang dari satu dirham yang termasuk dalam kategori harta, baik sedikit maupun lainnya,” maka perkataannya diterima disertai sumpah. Begitu pula jika dia berkata, “harta yang kecil, sangat kecil, atau kecil sekali,” karena semua yang ada di dunia ini termasuk sedikit. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kenikmatan hidup di dunia ini hanyalah sedikit dibandingkan akhirat.” (QS. At-Taubah: 38). Sedikitnya harta di dunia bisa mendatangkan pahala atau siksa yang besar. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan jika (amalan itu) seberat biji sawi pun, pasti Kami akan membalasnya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47).
Segala sesuatu yang diberi pahala atau siksa atasnya disebut banyak. Demikian pula jika dia berkata, “Dia memiliki harta pertengahan, tidak sedikit dan tidak banyak,” karena jika ini berlaku untuk yang banyak, maka yang lebih sedikit lebih layak. Begitu juga jika dia berkata, “Dia memiliki harta yang banyak tetapi sedikit.” Atau jika dia berkata, “Fulan memiliki harta yang banyak kecuali sedikit,” maka itu diperbolehkan. Namun, tidak diperbolehkan jika dia berkata, “Dia memiliki harta,” kecuali jika masih ada sisa harta yang sedikit.
Jika dia berkata, “Dia memiliki harta yang melimpah, harta yang remeh, atau harta yang mencukupi,” maka semuanya termasuk dalam kategori harta yang banyak. Sebab, sedikit harta bisa mencukupi jika diberkahi, sedangkan banyak harta bisa sia-sia jika tidak dikelola dengan baik.
(Imam Syafi’i berkata): Jika orang yang mengakui hutang masih hidup, aku akan berkata kepadanya, “Berikanlah kepada orang yang kamu akui hutangnya sesuai keinginanmu dari apa yang termasuk dalam kategori harta, dan bersumpahlah bahwa kamu tidak mengakui lebih dari yang kamu berikan.” Jika dia menolak memberikan apa pun, aku akan memaksanya untuk memberikan sedikit harta yang sah dan bersumpah bahwa dia tidak mengakui lebih dari itu. Jika dia bersumpah, aku tidak akan memaksanya lebih. Jika dia menolak bersumpah, aku akan berkata kepada penggugat, “Tuntutlah apa yang kamu mau.” Jika dia menuntut, aku akan menyuruh orang itu bersumpah. Jika dia bersumpah, dia bebas. Jika dia menolak, aku akan mengembalikan sumpah kepada penggugat. Jika penggugat bersumpah, dia berhak menerima. Jika tidak, dia tidak mendapatkan apa pun karena penolakanmu, kecuali jika dia bersumpah meskipun kamu menolak.
(Imam Syafi’i berkata): Jika orang yang mengakui hutang tidak ada (ghaib) dan mengakui harta dalam bentuk yang dikenal seperti perak atau emas, lalu pengakunya meminta agar diberikan apa yang diakui, kami akan berkata, “Jika kamu mau, tunggulah kedatangannya, atau kami akan menulis kepada hakim di negerinya. Jika kamu mau, kami akan memberimu sedikit harta yang sah dari hartanya dan mempersaksikan bahwa itu adalah tanggunganmu. Jika dia datang dan mengakui lebih dari itu, kamu akan diberi sisanya. Jika dia tidak mengakui lebih atau menyangkal, kamu telah menerima sedikit harta yang sah.”
Jika dia hanya mengatakan “harta” tanpa merincinya, kami tidak akan memberikannya kecuali jika dia bersumpah atau jika dia meninggal, maka ahli warisnya bersumpah dan memberikan sedikit harta dari miliknya. Hal yang sama berlaku jika orang yang mengakui hadir tetapi tidak waras. Penggugat harus bersumpah bahwa dia tidak dibebaskan dari pengakuan tersebut dengan cara apa pun, dan orang yang tidak hadir atau tidak waras tetap memiliki hak pembelaan jika ada.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika orang yang mengakui meninggal, maka ahli warisnya tetap memiliki hak pembelaan jika ada alasan untuk membantah pengakuan tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pengakui ingin ahli waris orang yang meninggal bersumpah, aku tidak akan menyuruh mereka bersumpah kecuali jika mereka mengaku mengetahui lebih banyak. Jika mereka mengaku mengetahuinya, aku akan menyuruh mereka bersumpah bahwa ayah mereka tidak mengakui lebih dari yang telah diberikan.
[Pengakuan atas Sesuatu yang Terbatas]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika seseorang berkata, “Aku berhutang lebih dari harta Fulan,” kepada orang lain, baik dia mengetahui harta Fulan tersebut atau tidak, atau berkata, “Aku berhutang lebih dari apa yang ada di tangannya,” baik dia mengetahui jumlahnya atau tidak, maka hukumnya sama. Aku akan menanyakan maksudnya. Jika dia berkata, “Aku maksudkan lebih banyak karena hartaku halal dan halal itu banyak, sedangkan harta Fulan yang kusebut haram dan sedikit karena kenikmatan dunia itu sedikit,” atau jika dia berkata, “Aku berkata demikian karena hartaku lebih abadi,” maka itu lebih banyak dari segi keabadian dibanding harta Fulan atau apa yang ada di tangannya.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Ia merusaknya lalu menerima ucapannya beserta sumpahnya sesuai keinginannya, baik dalam jumlah maupun nilai, dan hal itu seperti pernyataan pertama. Jika ia meninggal, bisu, atau dikalahkan, maka seperti orang yang berkata kepadanya, “Aku punya banyak harta.” Jika ia berkata, “Si fulan memiliki lebih banyak dari sisa harta yang ada di tanganku atau jumlah harta yang ada di tangan si fulan,” maka keputusannya adalah jika ia tahu bahwa jumlah harta di tangan si fulan adalah sekian, maka pernyataan pengakuan bersama sumpahnya berlaku. Jika ia berkata, “Aku tahu bahwa jumlah harta di tangannya adalah sepuluh dirham, lalu aku mengaku untuknya sebelas dirham,” maka ia harus bersumpah bahwa ia tidak mengaku lebih dari itu, dan keputusannya adalah ucapannya.
Jika pihak yang diakui menghadirkan saksi bahwa ia tahu ada seribu dirham di tangannya, aku tidak akan membebaninya lebih dari yang ia katakan. Jika sebelumnya diketahui bahwa ia tahu ada seribu dirham di tangannya, maka harta itu keluar dari tangannya dan menjadi milik orang lain. Demikian pula jika ia menghadirkan bukti bahwa ia berkata kepadanya atau saksi-saksi berkata, “Kami bersaksi bahwa ia memiliki seribu dirham,” lalu ia berkata kepadanya, “Aku memiliki lebih dari hartamu,” maka keputusannya adalah ucapannya. Sebab, ia mungkin mendustakan saksi-saksi dan mendustakan klaim tentang hartanya, meskipun hal itu terkait dengan ucapan mereka. Ia mungkin tahu bahwa jika ia membenarkan mereka, hartanya telah hilang, sehingga ia hanya dibebani sesuai pengakuannya. Jika ia berkata, “Aku tahu ia memiliki seribu dinar, lalu aku mengaku untuknya lebih dari jumlah itu dalam fulus,” maka keputusannya adalah ucapannya.
Demikian pula jika ia berkata, “Aku mengaku lebih dari jumlah itu dalam gandum atau lainnya,” maka keputusannya adalah ucapannya beserta sumpahnya. Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Kamu berutang seribu dinar kepadaku,” lalu ia menjawab, “Aku memiliki emas lebih dari yang kamu miliki, lebih dari seribu dinar emas,” maka keputusan tentang emas yang jelek atau yang belum dicetak adalah ucapan yang mengaku. Jika ia berkata, “Kamu berutang seribu dinar kepadaku,” lalu ia menjawab, “Aku memiliki lebih dari hartamu,” aku tidak akan membebaninya lebih dari seribu dinar dan aku akan bertanya, “Berapa hartamu?” Jika ia menjawab satu dinar, dirham, atau fulus, aku akan membebaninya kurang dari satu dinar, dirham, atau fulus, karena ia mungkin mendustakan klaim seribu dinar. Demikian pula jika ada saksi yang membuktikan hal itu, baik sebelum atau setelah kesaksian, karena ia mungkin mendustakan saksi. Aku tidak akan membebaninya kecuali ia berkata, “Aku tahu ia memiliki seribu dinar, lalu aku mengaku lebih dari itu dalam emas.” Jika ia berkata, “Aku berutang sesuatu,” aku akan membebaninya sesuai apa yang ia sebut sebagai sesuatu yang diakuinya.
[Pengakuan untuk Budak dan Orang yang Dibatasi Haknya]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata:) Jika seseorang mengaku kepada budak orang lain—baik yang diizinkan berdagang atau tidak—atau kepada orang merdeka, laki-laki atau perempuan, yang dibatasi haknya atau tidak, maka pengakuannya mengikat untuk masing-masing mereka. Pemilik budak berhak mengambil apa yang diakui untuk budaknya, dan wali orang yang dibatasi haknya berhak mengambil apa yang diakui untuk mereka. Demikian pula jika ia mengaku untuk orang gila, sakit, atau orang yang dilindungi (musta’man), mereka berhak menerimanya. Jika ia mengaku kepada seseorang di negeri perang tanpa paksaan, aku akan memberlakukan pengakuannya. Demikian pula pengakuan tawanan jika mereka musta’man di negeri perang kepada penduduk perang atau sesama mereka tanpa paksaan, aku akan memberlakukannya seperti Muslim memberlakukan di Darul Islam. Ia berkata: Demikian pula dzimmi dan harbi musta’man yang mengaku kepada Muslim, musta’man, atau dzimmi, aku akan memberlakukan semua itu.
[Pengakuan untuk Hewan]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata:) Jika seseorang mengaku untuk unta milik orang lain, hewan ternaknya, rumahnya, atau unta ini…
Untuk hewan ini atau rumah ini atas sesuatu, aku tidak mewajibkannya sesuatu yang dia akui; karena hewan dan benda mati tidak memiliki sesuatu apa pun. Jika dia mengatakan, “Atas unta ini, hewan ini, atau rumah ini, begini dan begitu,” aku tidak mewajibkan pengakuannya; karena tidak ada kewajiban atasnya kecuali dia menjelaskannya. Misalnya, jika dia mengatakan, “Karena mereka, hutang dialihkan kepadaku atau dibebankan dariku atau dibebankan atas mereka,” padahal tidak ada pengalihan atau pembebanan atasnya. Namun, jika dia melanjutkan perkataannya dengan mengatakan, “Karena mereka, aku melakukan kesalahan yang mengharuskanku membayar begini dan begitu,” maka itu adalah pengakuan yang mengikat bagi pemiliknya.
Demikian pula, jika dia berkata kepada pemiliknya, “Atas mereka, begini dan begitu,” aku mewajibkannya, meskipun dia tidak menambahkan penjelasan lebih lanjut; karena dia mengaitkan pengakuan itu kepada pemilik, dan mungkin ada kewajiban yang timbul karenanya. Namun, jika dia berkata kepada pemilik unta ini, “Atas kandungannya, begini,” aku tidak mewajibkannya; karena tidak ada kewajiban atas kandungannya sama sekali. Jika itu adalah janin, tidak ada kesalahan yang berlaku karena janin belum lahir. Jika bukan janin, tentu lebih tidak mungkin ada kewajiban atas sesuatu yang tidak pernah menjadi sebab utang.
[Pengakuan atas Kandungan]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang mengatakan, “Barang ini—yang dia jelaskan—di tangannya adalah budak, rumah, harta, seribu dirham, atau sekian takar gandum untuk kandungan wanita ini,” baik wanita merdeka atau ummu walad (budak yang melahirkan anak tuannya), maka ayah janin atau walinya berhak menuntut hal itu. Jika dia mengakuinya untuk kandungan budak wanita milik seseorang, maka pemilik budak wanita itu yang berhak menuntut.
Jika pengakuan tidak dikaitkan dengan sesuatu yang spesifik, maka pengakuannya mengikat asalkan wanita itu melahirkan anak hidup dalam waktu kurang dari enam bulan. Jika dia melahirkan dua anak, laki-laki dan perempuan, dua laki-laki, atau dua perempuan, maka pengakuan itu dibagi rata di antara mereka. Jika dia melahirkan satu hidup dan satu mati, pengakuan itu berlaku untuk yang hidup. Jika semuanya lahir mati, pengakuan itu gugur.
Demikian pula, jika dia melahirkan satu atau dua anak hidup setelah genap enam bulan sejak pengakuan, pengakuan itu gugur; karena mungkin janin terbentuk setelah pengakuannya. (Imam Syafi’i berkata): Aku hanya menerima pengakuan jika diketahui bahwa itu ditujukan untuk manusia yang sudah tercipta. Jika dia mengakui untuk janin, lalu wanita itu melahirkan dua anak—satu sebelum enam bulan dan satu setelah enam bulan—maka pengakuan itu sah untuk keduanya, karena mereka adalah satu janin yang sebagian keluar sebelum enam bulan, dan hukum yang keluar setelahnya sama.
Jika seseorang mengaku untuk kandungan seorang wanita, lalu seseorang memukul perutnya sehingga keguguran janin mati, pengakuan itu gugur. Jika janin lahir hidup lalu mati, maka jika jelas bahwa janin sudah terbentuk sebelum pengakuan, pengakuan itu tetap berlaku. Jika meragukan atau mungkin terbentuk setelah pengakuan, maka pengakuan itu gugur.
(Imam Syafi’i berkata): Aku menerima pengakuan untuk kandungan wanita karena kandungan itu bisa dimiliki melalui wasiat. Selama ada kemungkinan kepemilikan, aku tidak membatalkan pengakuan kecuali jika dikaitkan dengan sesuatu yang tidak mungkin dimiliki oleh kandungan, seperti mengatakan, “Dia meminjamkan seribu dirham untuk kandungan wanita ini,” atau “Dia membebaskan seribu dirham atas kandungan wanita ini,” atau hal serupa yang tidak mungkin berlaku bagi kandungan.
Namun, jika dia mengatakan, “Untuk kandungan wanita ini, ada budak atau seribu dirham miliknya yang aku rampas,” maka pengakuan itu mengikat; karena mungkin dia mewasiatkan sesuatu untuk janin itu lalu dirampas. Demikian juga jika dia mengatakan, “Aku menzaliminya,” atau “Aku meminjam darinya,” karena mungkin ada wasiat untuk janin itu yang dipinjam. Begitu pula jika dia mengatakan, “Aku menghilangkannya untuknya,” karena ini berbeda dengan mengatakan, “Aku meminjaminya untuk kandungannya,” sebab kandungan tidak mungkin meminjam.
Jika dia mengatakan, “Untuk kandungan wanita ini, ada seribu dirham yang diwasiatkan ayahku untuknya,” maka itu menjadi milik janin. Jika wasiat itu batal karena janin lahir mati, seribu dirham itu kembali ke ahli waris ayahnya. Jika dia mengatakan, “Fulan mewasiatkannya untuknya melalui aku,” lalu wasiat itu batal, maka seribu dirham itu untuk ahli waris si pemberi wasiat.
Jika dia mengatakan, “Untuk kandungan wanita ini, ada seribu dirham yang dipinjamkan ayahnya kepadaku atau yang aku rampas dari ayahnya,” maka pengakuan itu untuk ayahnya. Jika ayahnya sudah meninggal, maka itu menjadi harta warisan.
Dari dia, dan jika masih hidup maka itu miliknya, dan dia tidak berkewajiban atas apa yang ada di dalam perut wanita, meskipun dia berkata kepadanya, “Atas seribu dirham yang engkau rampas dari milikku atau yang ada dalam kepemilikanku,” lalu aku memaksanya untuk mengaku, kemudian janin itu keluar dalam keadaan mati, maka ahli warisnya meminta untuk mengambilnya dari orang yang mengaku. Jika dia mengingkari, aku akan menyumpahnya, dan aku tidak membebankan apa pun padanya.
Jika dia berkata, “Si fulan mewasiatkan ini untuknya, lalu aku merampasnya,” atau “Aku mengaku merampasnya dengan dusta,” maka itu dikembalikan kepada ahli waris si fulan. Jika dia berkata, “Aku menghadiahkan rumahku untuk janin ini,” atau “Aku menyedekahkannya untuknya,” atau “Aku menjualnya kepadanya,” maka tidak ada kewajiban atasnya karena semua ini tidak sah untuk janin, dan janin juga tidak memiliki kewajiban.
Jika seseorang mengaku tentang sesuatu yang ada di perut seorang budak perempuan, maka pengakuannya tidak sah.
[Pengakuan Merampas Sesuatu yang Ada dalam Sesuatu]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata:) Jika seseorang berkata, “Aku merampas ini darimu dalam ini,” maka perkataannya dianggap hanya pada yang dirampas, bukan wadahnya. Misalnya, jika dia berkata, “Aku merampas bajumu atau budakmu atau makananmu pada bulan Rajab tahun ini,” maka dia menyebut waktu perampasan dan jenis barang yang diakuinya dirampas. Begitu pula jika dia berkata, “Aku merampas gandum darimu di negeri ini,” atau “di padang pasir,” atau “di tanah si fulan,” atau “di tanahmu,” maka yang dimaksud adalah bahwa tempat itu hanya penunjuk lokasi perampasan, bukan bagian dari yang dirampas, seperti bulan yang menunjukkan waktu perampasan.
Contohnya seperti perkataanmu:
– “Aku merampas gandum darimu di tanah,” atau “gandum dari tanah.”
– “Aku merampas minyak dalam wadah,” atau “minyak dari wadah.”
– “Aku merampas kapal di laut,” atau “kapal dari laut.”
– “Aku merampas unta di padang rumput,” atau “unta dari padang rumput,” atau “unta di negeri ini,” atau “unta dari negeri ini.”
– “Aku merampas domba jantan di antara kuda,” atau “domba jantan dari kumpulan kuda,” artinya domba itu berada bersama kuda.
– “Aku merampas budak di antara budak perempuan,” atau “budak dari budak perempuan,” artinya budak itu berada bersama budak perempuan.
– “Aku merampas budak di antara kambing,” atau “budak di antara unta,” atau “budak dari kambing,” atau “budak dari unta.”
Ini seperti perkataannya, “Aku merampas budak dalam karung,” atau “budak di dekat penggilingan,” bukan berarti karung atau penggilingan itu yang dirampas, melainkan hanya menjelaskan bahwa budak itu berada di situ, seperti dia menyebut budak itu di antara unta atau kambing.
Demikian pula jika dia berkata, “Aku merampas gandum darimu di kapal,” atau “di karung,” atau “di keranjang,” atau “dalam takaran,” maka yang dirampas adalah gandumnya, bukan wadahnya. Perkataan “di kapal” atau “di karung” sama maknanya dengan “dari kapal” atau “dari karung,” tidak ada perbedaan.
Begitu juga jika dia berkata:
– “Aku merampas bajumu yang bagus di saputangan,” atau “pakaian di karung.”
– “Aku merampas sepuluh baju dalam satu baju,” atau “satu baju dalam sepuluh baju.”
– “Aku merampas dinar dalam kantong.”
Semua ini sama saja, baik dia mengatakan “di dalam ini” atau “dari ini.” Dia hanya menanggung apa yang dia akui merampasnya, bukan wadahnya.
Imam Syafi’i juga berkata:
– Jika dia berkata, “Aku merampas batu permata di cincin,” atau “cincin di batu permata,” atau “pedang di sarung,” atau “sarung di pedang,” maka yang dirampas adalah yang disebut, bukan pasangannya. Batu permata bisa dilepas dari cincin, dan cincin bisa dilepas dari batu permata. Pedang bisa digantung di sarung atau dilepas darinya.
– Jika dia berkata, “Aku merampas hiasan pedang,” atau “hiasan di pedang,” maka yang dirampas adalah hiasannya, karena hiasan bisa dilepas dari pedang.
– Jika dia berkata, “Aku merampas gagang pedang,” atau “sarung pedang,” maka yang dirampas adalah bagian itu, bukan pedang utuhnya.
Contoh lain:
– Jika dia berkata, “Aku merampas burung di sangkar,” atau “burung di jaring,” atau “burung di tali,” maka yang dirampas adalah burungnya, bukan sangkar, jaring, atau talinya.
– Jika dia berkata, “Aku merampas minyak di tempayan,” atau “minyak di kantong,” atau “madu di tempayan kecil,” atau “kurma di karung,” maka yang dirampas adalah minyak, madu, atau kurmanya, bukan wadahnya.
Demikian pula jika dia berkata:
– “Aku merampas tempayan berisi minyak,” atau “sangkar berisi burung,” atau “tempayan kecil berisi samin,” maka yang dirampas adalah tempayan, sangkar, atau tempayan kecilnya, bukan isinya. Dia tidak dianggap merampas keduanya kecuali jika dia menjelaskan, seperti berkata, “Aku merampas tempayan kecil dan saminnya,” atau “tempayan dan minyaknya.” Jika dia berkata seperti itu, barulah dia dianggap merampas kedua hal tersebut.
Dan perkataannya yang dipegang adalah jika dia berkata, “Aku merampas samin dalam tempayan kecil,” atau … (terjemahan berlanjut sesuai teks asli).
Kami menyebutkan sebuah guci lemak yang tidak mengandung lemak, maka perkataannya dianggap valid mengenai lemak apa yang dia akui dan guci apa yang dia akui. Jika dia berkata, “Aku merampas pelana di atas keledaimu atau gandum di atas keledaimu,” maka dia dianggap merampas pelana saja, bukan keledainya, dan gandum saja, bukan keledainya. Demikian pula jika dia berkata, “Aku merampas keledaimu yang ada pelananya atau keledaimu yang berpelana,” maka dia dianggap merampas keledainya saja, bukan pelananya. Begitu juga jika dia berkata, “Aku merampas pakaian dalam sebuah kotak,” maka dia dianggap merampas pakaiannya saja, bukan kotaknya. Dan jika dia berkata, “Aku merampas kotak yang berisi pakaian,” maka dia dianggap merampas kotaknya saja, bukan pakaiannya.
[Pengakuan Merampas Sesuatu dengan atau tanpa Jumlah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Aku merampas sesuatu darimu,” tanpa menyebut lebih dari itu, maka perkataannya tentang sesuatu itu dianggap valid. Jika dia mengklaim tidak merampas apa pun, hakim wajib memaksanya untuk mengakui sesuatu yang bisa disebut sebagai “sesuatu.” Jika dia menolak, dia harus dipenjara sampai mengakui hal tersebut. Jika dia mengaku, maka pengakuan itu diterima jika penggugat membenarkannya. Jika tidak, dia harus bersumpah bahwa dia hanya merampas apa yang disebutkan, lalu dibebaskan dari tuntutan lainnya. Jika dia meninggal sebelum mengakui apa pun, maka perkataan ahli warisnya dianggap valid, dan mereka harus bersumpah bahwa dia tidak merampas selain yang disebutkan. Harta almarhum ditahan sampai mereka mengakui sesuatu dan bersumpah bahwa mereka tidak mengetahui hal lain.
Jika dia berkata, “Aku merampas sesuatu darimu,” lalu mengaku merampas sesuatu—baik karena dipaksa hakim atau tanpa paksaan—itu sama saja, dan dia hanya terikat dengan pengakuan itu. Jika yang diakui adalah sesuatu yang halal dimiliki, dia dipaksa untuk menyerahkannya. Jika barang itu sudah tidak ada, dia harus membayar nilainya jika memang memiliki nilai. Perkataannya tentang nilai barang itu dianggap valid. Jika barang itu tidak halal dimiliki, dia hanya disumpah bahwa dia tidak merampas selain yang disebutkan dan tidak dipaksa menyerahkannya.
Contohnya, jika dia mengaku merampas budak, hewan ternak, pakaian, uang, atau keledai, dia dipaksa menyerahkannya. Begitu juga jika dia mengaku merampas anjing, dia dipaksa menyerahkannya karena anjing halal dimiliki. Jika anjing itu mati di tangannya, dia tidak dipaksa membayar apa pun karena anjing tidak memiliki nilai jual. Jika dia mengaku merampas kulit bangkai yang belum disamak, dia dipaksa menyerahkannya. Jika sudah tidak ada, dia tidak dipaksa membayar nilainya karena tidak bernilai kecuali jika sudah disamak. Jika sudah disamak, dia harus menyerahkan kulit itu atau nilainya jika sudah hilang.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia mengaku merampas khamar (minuman keras) atau babi, dia tidak dipaksa menyerahkannya. Khamar harus dituangkan, dan babi harus disembelih serta dianggap tidak bernilai jika salah satu pihak adalah Muslim. Keduanya tidak memiliki nilai dan tidak halal dimiliki dalam keadaan apa pun. Jika dia mengaku merampas gandum dan gandum itu sudah tidak ada, dia harus menggantinya dengan yang sejenis. Jika tidak ada yang sejenis, dia harus membayar nilainya. Hal ini berlaku untuk semua barang yang memiliki pengganti sejenis.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang yang kaya berkata, “Aku merampas sesuatu dari si fulan yang juga kaya,” atau “sesuatu yang menjadi miliknya,” maka hukumnya sama seperti orang miskin yang mengaku kepada orang miskin. Apa pun yang dia akui—baik uang, sebutir gandum, atau lainnya—perkataannya dianggap valid dengan disertai sumpah.
Jika dia berkata, “Aku merampas beberapa barang darimu,” maka dia disuruh menyerahkan tiga barang karena itu adalah jumlah minimal dalam bahasa umum masyarakat. Tiga barang apa pun yang dia sebutkan—entah tiga uang logam, satu uang logam dan satu dirham dan satu kurma, tiga kurma, tiga dirham, tiga budak, atau satu budak, satu budak perempuan, dan satu keledai—semuanya dianggap valid karena masing-masing bisa disebut sebagai “sesuatu,” baik beragam atau sejenis.
Jika dia hanya berkata, “Aku merampas darimu,” tanpa tambahan, atau “Aku merampas darimu apa yang kamu tahu,” maka dia tidak diwajibkan menyerahkan apa pun karena bisa saja yang dia maksud adalah merampas kebebasanmu, seperti memaksamu masuk masjid atau rumah tanpa maksud buruk, atau merampas hakmu dengan melarangmu masuk rumah. Dia tidak dihukum sampai dia berkata, “Aku merampas sesuatu darimu.”
Jika dia berkata, “Aku merampas sesuatu darimu,” lalu mengklaim, “Maksudku adalah dirimu sendiri,” maka itu tidak diterima karena ucapan “Aku merampas sesuatu darimu” secara jelas berarti merampas suatu benda. Jika dia berkata, “Aku merampas darimu,” dan mengulanginya berkali-kali, maka tetap dianggap sebagai satu pengakuan.
Saya tidak memberatkannya dengan sesuatu apa pun; karena dia mungkin telah memaksakan dirinya sendiri seperti yang telah saya jelaskan. Dia berkata: “Jika dia ditanya dan menjawab, ‘Saya tidak memaksanya untuk sesuatu apa pun, termasuk dirinya sendiri,’ maka saya tidak memberatkannya dengan apa pun; karena dia tidak mengakui bahwa dia telah memaksanya untuk sesuatu.”
[Pengakuan tentang merampas sesuatu, kemudian si perampas mengklaim]
(Imam Syafi’i —rahimahullah— berkata): Jika seseorang mengakui bahwa dia telah merampas tanah milik orang lain, baik yang memiliki tanaman atau tidak, atau rumah yang memiliki bangunan atau tidak, atau sebuah tempat tinggal, maka semua ini termasuk tanah, dan tanah tidak dapat dipindahkan. Meskipun bangunan dan tanaman mungkin bisa dipindahkan, jika si pengakui perampasan setelah atau bersamaan dengan ucapannya mengatakan, “Saya hanya mengakui merampas sesuatu darimu di daerah tertentu,” maka perkataannya diterima. Apa pun yang dia serahkan di daerah tersebut yang sesuai dengan nama yang dia akui, maka tidak ada kewajiban lain baginya. Jika pihak yang dirampas mengklaim selain itu, si perampas harus bersumpah bahwa dia tidak merampas selain itu, dan perkataannya yang dipegang. Jika si perampas meninggal, maka perkataan ahli warisnya yang dipegang. Jika mereka berkata, “Kami tidak mengetahui apa pun,” maka pihak yang dirampas diperintahkan untuk mengklaim apa saja yang sesuai dengan deskripsi tersebut di daerah itu. Jika dia mengklaim, ahli waris diperintahkan untuk bersumpah bahwa mereka tidak mengetahuinya. Jika mereka bersumpah, mereka terbebas; jika tidak, mereka wajib memberikan sebagian yang sesuai dengan pengakuan si perampas. Jika mereka menolak bersumpah, pihak yang dirampas dapat bersumpah dan berhak atas apa yang dia klaim.
Jika pihak yang dirampas menolak bersumpah, begitu pula ahli waris, maka harta si mayit ditahan sampai ahli waris memberikan sedikitnya yang sesuai dengan pengakuan si perampas dan mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengetahui perampasan lainnya. Mereka tidak boleh mewarisi hartanya kecuali dengan cara yang telah dijelaskan.
Seandainya si perampas berkata, “Saya merampas sebuah rumah di Mekah,” kemudian dia berkata, “Saya mengakuinya tanpa dasar, dan saya tidak mengenal rumah yang saya rampas darinya,” maka dikatakan kepadanya, “Jika kamu memberikannya sebuah rumah di Mekah, apa pun rumahnya, dan kamu bersumpah bahwa kamu tidak merampas selain itu, maka kamu terbebas. Jika kamu menolak dan dia mengklaim rumah tertentu, maka kamu diperintahkan untuk bersumpah bahwa kamu tidak merampasnya. Jika kamu bersumpah, kamu terbebas; jika tidak, dia boleh bersumpah dan berhak atas rumah itu.” Jika dia menolak dan enggan bersumpah, dia akan dipenjara selamanya sampai dia memberikan sebuah rumah dan bersumpah bahwa dia tidak merampas selain itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengakui bahwa dia merampas barang yang dapat dipindahkan, seperti budak, hewan, pakaian, makanan, emas, atau perak, lalu dia berkata, “Saya merampas ini darimu di daerah tertentu,” dengan ucapan yang jelas, tetapi pihak yang dirampas membantah dan berkata, “Kamu tidak merampasnya di daerah itu,” maka perkataan si perampas yang dipegang, karena dia hanya mengakui perampasan di daerah yang dia sebutkan. Jika yang dia akui merampas adalah dinar, dirham, emas, atau perak, maka dia harus menyerahkannya dalam bentuk apa pun, karena tidak ada biaya untuk membawanya. Begitu pula jika dia meminjamkan dinar atau dirham atau menjualnya di suatu daerah, dia harus menyerahkannya di mana pun diminta.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula dengan batu permata, zamrud, atau mutiara yang dia akui merampasnya di suatu daerah, maka dia harus menyerahkannya di tempat itu. Jika tidak memungkinkan, maka dia membayar nilainya. Jika yang dia akui merampas adalah budak, pakaian, barang bawaan, hewan, atau hamba sahaya yang memerlukan biaya pengangkutan, maka pihak yang dirampas boleh menunjuk wakil untuk mengambilnya di daerah tersebut. Jika si perampas meninggal sebelum menyerahkannya, maka nilai barang itu dibayarkan di daerah tersebut, atau dia boleh mengambil nilainya di daerah tempat perampasan diakui. Dia tidak diwajibkan memberikan makanan yang sama di daerah itu karena perbedaan kualitas, kecuali jika kedua belah pihak sepakat, maka transaksi itu dibolehkan.
(Imam Syafi’i berkata): Hal serupa berlaku untuk pakaian dan barang lain yang memerlukan biaya pengangkutan. Begitu pula jika seorang budak dirampas di suatu daerah, kemudian si perampas berkata, “Budak itu telah melarikan diri atau hilang,” maka dia dihukum untuk membayar nilainya. Tidak ada yang dianggap sebagai utang dalam hal ini. Jika dia dihukum membayar nilai barang yang hilang, baik budak, makanan, atau lainnya, si perampas tidak boleh memilikinya. Dia wajib menyerahkannya kepada pemilik asli yang dirampas. Jika pemilik asli hadir, dia dipaksa untuk menerimanya dan mengembalikan uangnya. Jika pemilik tidak memiliki uangnya, dia diperintahkan untuk menjual budak itu kembali dengan harga yang disepakati jika kedua belah pihak rela, sehingga kepemilikan sah baginya. Jika tidak, budak itu dijual atas nama pemilik, dan si perampas diberi ganti rugi sesuai yang dia ambil. Jika ada kelebihan, dikembalikan kepada pemilik; jika tidak, tidak ada yang dikembalikan.
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Jika harga budak itu berkurang dari yang diberikan kepadanya karena perubahan pasar, maka budak itu dikembalikan kepada pemiliknya dengan kelebihan (selisihnya).
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemilik budak memiliki hutang, aku tidak akan melibatkan para kreditur dalam harga budak tersebut, karena budak itu telah diberikan nilainya kepada si perampas. Beliau berkata: Demikian juga yang aku lakukan terhadap ahli waris orang yang dirampas jika orang yang dirampas itu meninggal. Aku memutuskan budak itu untuk si perampas, tetapi aku hanya menerapkan hal itu pada harta orang yang meninggal, bukan pada harta mereka sendiri.
Demikian pula dengan makanan yang dirampas, lalu dihadirkan, dan si perampas bersumpah bahwa itu adalah makanan yang sama, juga pakaian dan lainnya seperti budak—tidak ada perbedaan. Jika si perampas menghadirkan budak dalam keadaan mati, maka itu dianggap seperti tidak menghadirkannya, dan aku tidak membatalkan keputusan pertama. Namun, jika budak itu dihadirkan dalam keadaan cacat—apapun cacatnya, baik sakit atau sehat—aku menyerahkannya kepada pemiliknya dan menghitung hasil kerja budak sejak hari perampasan serta kerugian akibat cacat pada tubuhnya, lalu aku mewajibkan si perampas sebagaimana yang telah kujelaskan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika si perampas menghadirkan makanan dalam keadaan rusak, aku mewajibkannya untuk mengganti makanan itu dan membebankan kerugian akibat kerusakan padanya. Jika makanan itu sudah busuk hingga tidak bisa dimanfaatkan dan tidak memiliki nilai, aku mewajibkan si perampas untuk menggantinya, dan itu dianggap seperti kehancuran atau kematian budak. Dia wajib mengganti dengan makanan sejenis jika ada, atau nilainya jika tidak ada yang sejenis.
Jika hakim berkata ketika barang rampasan (seperti budak atau lainnya) tidak hadir, “Berikan nilainya kepada si perampas,” lalu si perampas melakukannya, kemudian hakim berkata kepada yang dirampas, “Bebaskan dia dari penahanan atau jadikan itu sebagai milikmu dengan kerelaan hatimu,” dan kepada si perampas, “Terimalah itu,” maka itu lebih kusukai. Namun, aku tidak memaksa salah satu dari mereka untuk menerimanya.
[Pengakuan Merampas Rumah Lalu Menjualnya]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seseorang mengaku, “Aku merampas rumah ini, budak ini, atau apapun,” maka pengakuannya dicatat dan disaksikan. Namun, jika sebelumnya dia telah menjualnya kepada seseorang, menghadiahkannya, menyedekahkannya, memberikannya sebagai wakaf, atau semacamnya, maka ada dua pendapat.
Pertama: Pemilik rumah diberitahu, “Jika kamu memiliki bukti kepemilikan atau pengakuan si perampas sebelum barang itu dialihkan, maka rumah itu diambil untukmu. Jika tidak ada bukti, pengakuan si perampas tidak diterima karena dia tidak memilikinya saat mengaku.” Kita memutuskan agar barang rampasan diganti dengan nilainya karena dia mengaku telah menghabiskannya padahal itu milik orang lain. Hal yang sama berlaku jika itu budak lalu dibebaskan.
Begitu juga jika dua orang menuduhnya merampas rumah yang sama, lalu si perampas mengaku merampasnya dari salah satu mereka dan mengakuinya sebagai miliknya, kemudian mengaku merampasnya dari orang lain dan mengakuinya sebagai miliknya, sementara yang pertama tidak pernah memilikinya, maka rumah itu diberikan kepada yang pertama karena dia telah memilikinya melalui pengakuan, sedangkan nilainya diberikan kepada yang kedua karena si perampas mengaku telah merusaknya.
Beliau berkata: Demikian pula segala sesuatu yang diakui dirampas dari seseorang, lalu diakui dirampas dari orang lain.
Pendapat kedua: Jika keduanya hanya menuntut bahwa dia merampas rumah atau barang yang dia akui untuk mereka, maka itu menjadi milik yang pertama, dan yang kedua tidak mendapatkan apa pun dari si perampas karena keduanya membebaskannya dari tanggungan barang yang diakuinya.
Orang yang berpendapat ini berkata: “Bagaimana jika dia mengaku menjual rumah ini kepada si A seharga seribu, lalu mengaku menjualnya kepada si B seharga seribu juga, padahal rumah itu bernilai ribuan? Apakah kamu akan menjadikannya sebagai penjualan untuk si A dan mewajibkan si B menerima nilainya, lalu si perampas membayar seribu karena telah merusaknya? Atau, bagaimana jika dia membebaskan budak, lalu mengaku menjualnya kepada seseorang sebelum pembebasan? Apakah kamu akan memberikan nilainya kepada pembeli sementara pembebasan tetap berlaku? Atau, bagaimana jika dia menjual budak, lalu mengaku telah membebaskannya sebelum penjualan? Apakah penjualan itu batal atau tetap sah? Seharusnya, budak itu bisa berkata, ‘Kamu menjualku dalam keadaan merdeka, maka berikanlah harganya.’ Bagaimana jika si perampas meninggal, lalu ahli warisnya berkata, ‘Kamu menjual ayah kami dalam keadaan merdeka, maka berikanlah harganya atau lebih karena kamu telah merusaknya’—apakah dia wajib membayar sesuatu? Ataukah pengakuannya tentang kepemilikan orang lain tidak sah sehingga dia tidak perlu menanggung apa pun?”
[Pengakuan merampas sesuatu dari salah satu dari dua orang ini]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang mengaku bahwa dia telah merampas budak ini atau benda tertentu ini dari salah satu dari dua orang, sementara keduanya sama-sama mengklaimnya dan menyatakan bahwa pihak lain yang bersengketa tidak pernah memiliki bagian apa pun darinya, dan dia diminta bersumpah atas pengakuan perampasan tersebut, maka dikatakan kepadanya:
– Jika engkau mengakui untuk salah satunya dan bersumpah untuk yang lain, maka benda itu menjadi milik orang yang engkau akui, dan engkau tidak bertanggung jawab kepada yang lain.
– Jika engkau tidak mengaku, engkau tidak dipaksa lebih dari bersumpah dengan nama Allah bahwa engkau tidak tahu dari siapa benda itu dirampas. Kemudian benda itu dikeluarkan dari tanganmu dan ditahan untuk diselesaikan, sementara keduanya menjadi pihak yang bersengketa.
Jika keduanya sama-sama menghadirkan bukti, maka tidak ada yang lebih berhak atas yang lain, karena salah satu bukti membatalkan yang lain, dan statusnya tetap seperti sebelum adanya bukti. Kemudian masing-masing bersumpah bahwa budak ini adalah miliknya dan telah dirampas oleh yang lain.
– Jika keduanya bersumpah, maka benda itu tetap ditahan selamanya sampai mereka berdamai.
– Jika salah satu bersumpah dan yang lain menolak, maka benda itu menjadi milik yang bersumpah.
– Jika salah satu menghadirkan bukti sementara yang lain tidak, maka benda itu diberikan kepada yang memiliki bukti, dan si perampas tidak bertanggung jawab atas apa pun yang telah dijelaskan.
Jika seseorang mengatakan: “Aku merampas budak atau hamba sahaya tertentu ini dari orang ini,” sementara orang itu mengklaim bahwa keduanya dirampas bersamaan, maka dikatakan kepada yang mengaku:
– “Bersumpahlah bahwa engkau tidak merampas salah satunya yang engkau pilih, dan serahkan yang lain.”
– Jika dia berkata: “Aku bersumpah tidak merampas keduanya,” itu tidak diperbolehkan, dan dikatakan: “Salah satunya menjadi miliknya karena pengakuanmu, jadi bersumpahlah atas salah satu yang engkau pilih.”
– Jika dia menolak, maka dikatakan kepada penggugat: “Bersumpahlah atas salah satu yang engkau pilih.” Jika dia bersumpah, maka benda itu menjadi miliknya.
– Jika dia berkata: “Aku bersumpah untuk keduanya,” maka dikatakan kepada tergugat: “Jika engkau bersumpah, baik. Jika tidak, kami akan meminta penggugat bersumpah dan menyerahkan keduanya kepadanya.”
Jika benda itu hilang di tangannya atau salah satunya, maka hukumnya tetap berlaku seolah-olah masih ada, kecuali jika kami memaksanya untuk bertanggung jawab atas salah satunya, maka dia harus mengganti nilainya karena kehilangan.
Jika keduanya menolak untuk bersumpah, dan pihak yang dirampas meminta agar benda itu ditahan, maka ditahan sampai si perampas mengaku salah satunya dan bersumpah.
Jika si perampas mengaku salah satunya untuk pihak yang dirampas, tetapi pihak yang dirampas mengklaim bahwa budak itu mengalami cacat saat di tangannya, maka perkataan si perampas diterima dengan sumpahnya—jika cacat itu wajar terjadi di pihak yang dirampas.
[Pinjaman]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i berkata: Semua pinjaman adalah tanggungan, baik hewan ternak, budak, rumah, maupun pakaian—tidak ada perbedaan di antara semuanya. Barangsiapa meminjam sesuatu lalu barang itu rusak di tangannya, baik karena perbuatannya atau bukan, ia tetap menanggungnya. Barang-barang tidak lepas dari dua kemungkinan: menjadi tanggungan atau bukan. Barang yang termasuk tanggungan, seperti hasil rampasan atau semisalnya, maka baik kerusakannya terlihat jelas atau tersembunyi, tetap menjadi tanggungan bagi yang merampas atau yang meminjam, baik ia berbuat zalim atau tidak. Adapun barang yang bukan tanggungan, seperti titipan, maka baik kerusakannya terlihat atau tersembunyi, pernyataan tentangnya adalah hak yang dititipkan disertai sumpahnya.
Sebagian orang menyelisihi pendapat kami tentang pinjaman. Mereka berkata, “Tidak ada yang ditanggung kecuali jika ada pelanggaran.” Lalu ditanyakan kepada mereka, “Dari mana pendapat ini?” Mereka mengklaim bahwa Syuraih pernah berkata demikian. Lalu mereka bertanya, “Apa dalil kalian tentang kewajiban menanggung pinjaman?” Kami menjawab, “Rasulullah ﷺ pernah meminjam dari Shafwan, lalu beliau bersabda, ‘Pinjaman ini adalah tanggungan yang wajib dikembalikan.'”
Mereka berkata, “Bagaimana jika kami katakan bahwa jika peminjam mensyaratkan tanggungan, maka ia menanggung; tetapi jika tidak mensyaratkan, ia tidak menanggung?” Kami menjawab, “Jika demikian, engkau telah meninggalkan pendapatmu sendiri.” Mereka bertanya, “Di mana?” Kami berkata, “Bukankah pendapatmu bahwa pinjaman tidak ditanggung kecuali jika ada syarat?” Mereka mengiyakan. Kami bertanya lagi, “Lalu apa pendapatmu tentang titipan jika yang menitipkan mensyaratkan penanggung atau mudharib (pengelola)?” Mereka menjawab, “Tidak menjadi penanggung.” Kami bertanya lagi, “Apa pendapatmu tentang orang yang meminjam jika ia mensyaratkan bahwa ia tidak menanggung?” Mereka menjawab, “Syaratnya tidak berlaku, dan ia tetap menanggung.” Kami berkata, “Lalu mengembalikan amanah kepada asalnya dan barang tanggungan kepada asalnya, sehingga syarat pada keduanya batal?” Mereka menjawab, “Ya.” Kami berkata, “Maka seharusnya engkau juga berkata demikian tentang pinjaman. Dan itulah yang disyaratkan Nabi ﷺ bahwa pinjaman adalah tanggungan, dan tidak disyaratkan kecuali yang wajib.” Mereka bertanya, “Lalu mengapa beliau mensyaratkan?” Kami menjawab, “Karena ketidaktahuan Shafwan; saat itu ia masih musyrik dan tidak mengetahui hukum. Seandainya ia mengetahuinya, syarat itu tidak berpengaruh karena pada dasarnya pinjaman adalah tanggungan tanpa syarat, sebagaimana syarat jaminan dan pembebasan akad dalam jual beli tidak berpengaruh. Seandainya tidak disyaratkan pun, ia tetap wajib menjamin, membebaskan, atau mengembalikan sebelum rusak. Adakah yang berpendapat demikian?” Kami berkata, “Cukup dalam hal ini.”
Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga pernah berkata bahwa pinjaman adalah tanggungan. Pendapat Abu Hurairah tentang unta yang dipinjam lalu rusak adalah bahwa ia wajib menanggungnya.
Jika dua orang berselisih tentang seekor hewan, pemiliknya berkata, “Aku menyewakannya untuk pergi ke tempat tertentu dengan bayaran sekian,” sedangkan pengendaranya berkata, “Aku mengendarainya sebagai pinjaman darimu,” maka pernyataan pengendara yang diterima disertai sumpahnya, dan ia tidak wajib membayar sewa.
(Asy-Syafi’i berkata): Kemudian, pernyataan yang diterima adalah pernyataan pemilik hewan, dan ia berhak mendapatkan sewa yang semisal. Jika pengendara berkata, “Engkau meminjamkannya kepadaku,” sedangkan pemilik hewan berkata, “Engkau merampasnya dariku,” maka pernyataan peminjam yang diterima.
(Asy-Syafi’i berkata): Orang yang dititipi tidak menanggung kecuali jika melanggar. Jika ia melanggar, ia tidak akan terbebas dari tanggungan selain dengan menyerahkan barang titipan kepada pemiliknya. Bahkan jika ia mengembalikannya ke tempat semula, karena awalnya ia adalah penerima amanah, lalu keluar dari status amanah, maka pemilik barang tidak memberinya kepercayaan baru. Ia tidak terbebas sampai menyerahkan barang tersebut kepada pemiliknya.
[Ghasab (Perampasan)]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) berkata: (Asy-Syafi’i) berkata: Jika seseorang merobek pakaian orang lain, baik robekan kecil atau besar yang dapat diukur ujung-ujungnya secara memanjang atau melebar, atau merusak barang milik orang lain baik sebagian atau seluruhnya, atau melakukan tindakan yang menyebabkan budak menjadi buta, memotong tangan, atau melukai hingga tulang tampak, maka semua itu sama. Nilai barang atau hewan (selain budak) dinilai secara utuh, baik dalam keadaan rusak atau sehat, atau dalam keadaan terluka namun telah sembuh. Pemilik barang atau hewan tersebut berhak menerima selisih nilai antara harga dalam kondisi utuh dan rusak/luka. Kerusakan yang terjadi menjadi miliknya, baik bermanfaat atau tidak. Tidak seorang pun berhak memiliki sesuatu yang dirusaknya melalui tindakan melawan hukum. Kepemilikan tidak dapat hilang kecuali pemilik menghendakinya. Seseorang tidak dapat memiliki sesuatu kecuali dengan kerelaan, kecuali dalam warisan.
Adapun budak yang menjadi korban tindakan melawan hukum, nilainya dinilai dalam keadaan utuh sebelum kerusakan terjadi. Kemudian dilihat besarnya kerusakan, dan pemilik budak diberi ganti rugi (‘arsh) berdasarkan nilai budak dalam keadaan sehat, sebagaimana orang merdeka menerima ‘arsh atas tindakan melawan hukum yang menimpanya berdasarkan diyat (uang tebusan), sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi. Jika nilai budak dinilai seperti orang merdeka menerima diyat saat masih hidup.
Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali melalui perdagangan yang saling ridha.” (QS. An-Nisa’: 29). Dan firman-Nya: “Yang demikian itu karena mereka mengatakan bahwa jual beli sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Aku tidak mengetahui seorang pun dari kaum Muslimin yang berselisih pendapat bahwa tidak ada seorang pun yang boleh dipaksa memiliki sesuatu kecuali dengan kerelaannya, kecuali dalam warisan. Karena Allah Ta’ala memindahkan kepemilikan orang yang meninggal kepada ahli warisnya, baik mereka suka atau tidak.
Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang diwasiati, dihibahkan, disedekahi, atau dimiliki sesuatu, dia tidak wajib memilikinya kecuali jika menghendaki? Aku tidak mengetahui seorang pun dari kaum Muslimin yang berselisih pendapat bahwa kepemilikan seorang Muslim tidak dapat hilang dari tangannya kecuali jika dia sendiri yang melepaskannya melalui jual beli, hibah, atau lainnya, atau melalui pembebasan budak, atau hutang yang wajib dibayar sehingga hartanya dijual. Semua ini adalah perbuatannya sendiri, bukan orang lain.
Jika Allah Ta’ala mengharamkan penguasaan harta orang lain kecuali melalui jual beli yang saling ridha, dan kaum Muslimin sepakat dengan pendapat yang telah kusampaikan, maka dari mana kesalahan seseorang yang merusak budakku lalu mengklaim memilikinya melalui kerusakan tersebut? Padahal aku berhak menerima nilainya sebelum kerusakan terjadi. Seandainya sebelum kerusakan dia memberiku beberapa kali lipat harganya, dia tidak berhak memilikinya kecuali jika aku rela. Seandainya aku menghibahkannya kepadanya, dia tidak wajib menerimanya kecuali jika menghendaki. Jika dia tidak dapat memilikinya melalui hibah yang halal kecuali dengan kerelaanku, dan tidak dapat memaksaku menjualnya kecuali jika aku rela, lalu bagaimana dia bisa memilikinya ketika dia bermaksiat kepada Allah Ta’ala? Bagaimana mungkin kepemilikanku hilang karena maksiat orang lain kepada Allah, dan aku dipaksa menerima sesuatu yang tidak kusukai, baik kerusakan itu terjadi karena kesalahan atau sengaja? Bagaimana mungkin kerusakan itu memberiku hak tertentu, lalu jika aku memilih untuk menahan budakku, hak itu menjadi gugur? Bagaimana mungkin kerusakan itu bertentangan dengan hukum yang berlaku, sementara aku berhak menahan budakku, menerima ‘arsh-nya, dan menerima ganti rugi atas kerusakan yang tidak menghancurkannya? Jika kerusakan itu menghancurkannya, maka pelaku semakin besar dosanya kepada Allah, dan aku dipaksa menerima kerusakan yang menghancurkan hartaku. Hakku gugur ketika besar, tetapi tetap ada ketika kecil. Kepemilikan terjadi ketika dia bermaksiat dan dosanya besar, tetapi tidak terjadi ketika dosanya kecil. Tidak sepatutnya seseorang menyanggah pendapat ini karena bertentangan dengan hukum Allah, kesepakatan kaum Muslimin, qiyas, dan akal sehat, serta mengandung kontradiksi internal.
Asy-Syafi’i berkata: Jika seseorang merampas seorang budak perempuan yang bernilai seratus, lalu nilainya bertambah di tangannya karena diajari keterampilan…
Dia mengambilnya dan sembilan ratus bersamanya, seperti jika dia merampasnya saat nilainya seribu, lalu menemukannya saat nilainya seratus, dia mengambilnya dan selisihnya, yaitu sembilan ratus. Dia berkata: “Begitu juga jika si perampas menjualnya, menghadiahkannya, membunuhnya, atau menghabiskannya sehingga tidak ditemukan dalam bentuk aslinya, maka si perampas bertanggung jawab atas nilainya pada saat tertinggi sejak dirampas hingga hancur. Hal yang sama berlaku untuk penjualan, kecuali pemilik budak memiliki pilihan dalam penjualan. Jika dia ingin mengambil harga yang dijual oleh si perampas, baik lebih tinggi atau lebih rendah dari nilainya, karena itu adalah harga barang miliknya atau nilainya pada saat tertinggi.”
(Asy-Syafi’i) berkata: “Dia hanya berhak atas budaknya, dan penjualannya batal karena dia menjual sesuatu yang bukan miliknya. Penjualan oleh perampas adalah batal.” Jika ada yang bertanya: “Bagaimana dia merampasnya dengan harga seratus, sementara dia menjaminnya saat nilainya seratus, lalu nilainya meningkat hingga seribu dalam tanggungannya, kemudian mati atau rusak—apakah dia harus menanggung nilainya pada saat peningkatan?” Dijawab: “Jika Allah menghendaki—karena dia tidak berhenti menjadi perampas, penanggung, atau pelanggar sejak hari perampasan hingga hilang atau dikembalikan dalam keadaan rusak. Hukumnya sama pada setiap tahap karena kewajibannya adalah mengembalikannya, dan dia tetap sebagai penanggung dan pelanggar. Oleh karena itu, pemilik yang dirampas berhak menuntut nilainya saat seratus, menemukannya saat seribu, dan mengambilnya beserta dua puluh anaknya. Hukum peningkatan pada tubuh atau anaknya sama seperti hukum tubuhnya saat dirampas—dia memiliki tambahan dari dirinya dan anaknya sebagaimana dia memilikinya dalam keadaan berkurang saat dirampas. Tidak ada perbedaan antara membunuhnya beserta anaknya atau mereka mati di tangannya, karena jika seperti yang dijelaskan, dia memiliki anaknya sebagaimana dia memilikinya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika seseorang merampas budak perempuan lalu budak itu mati atau dibunuh di tangannya, dia menanggungnya dalam kedua keadaan.”
Dia berkata: “Jika seseorang merampas budak perempuan lalu menjualnya, dan budak itu mati di tangan pembeli, maka pemilik yang dirampas memiliki pilihan untuk menuntut si perampas membayar nilai budaknya pada harga tertinggi sejak dirampas hingga mati. Jika dia menuntutnya, pemilik tidak berhak apa-apa dari pembeli, dan si perampas tidak berhak apa-apa dari pembeli kecuali nilai budak atau harga jualnya. Atau, pemilik bisa menuntut pembeli. Jika dia menuntutnya, pembeli bertanggung jawab atas nilai budak pada harga tertinggi sejak diterima hingga mati di tangannya. Pembeli dapat menuntut si perampas untuk selisih antara nilai yang dibayarkan dan nilai budak saat diterima, sehingga dia hanya bertanggung jawab sesuai nilainya.”
Dia berkata: “Jika pemilik ingin mengesahkan penjualan, itu tidak sah karena kepemilikan yang cacat. Kepemilikan cacat hanya bisa sah dengan penjualan baru. Begitu juga jika budak mati di tangan pembeli dan pemilik ingin mengesahkan penjualan, itu tidak sah, dan pemilik berhak atas nilainya. Jika budak melahirkan anak di tangan pembeli, lalu sebagian mati dan sebagian hidup, pemilik boleh memilih menuntut si perampas atau pembeli. Jika dia menuntut si perampas, dia tidak berhak menuntut pembeli. Jika dia menuntut pembeli dan budak sudah mati, pembeli dapat menuntut kembali nilai budak, maharnya, dan nilai anak yang lahir hidup, tetapi tidak untuk anak yang lahir mati. Pembeli dapat menuntut penjual untuk semua yang dia bayarkan, bukan hanya nilai budak dan maharnya.”
“Jika budak ditemukan masih hidup, pemilik mengambilnya sebagai budak dan maharnya, tetapi tidak mengambil anaknya.” Dia berkata: “Jika si perampas yang menghamilinya sehingga melahirkan anak, sebagian hidup dan sebagian mati, pemilik mengambil budak dan nilai anak yang mati pada harga tertinggi, serta memperbudak yang hidup. Si perampas tidak seperti pembeli—pembeli tertipu, sedangkan si perampas hanya menipu dirinya sendiri. Si perampas juga terkena hukuman had jika tidak ada keraguan, dan tidak ada kewajiban mahar.”
(Ar-Rabi’) berkata: “Jika budak itu menuruti si perampas sementara dia tahu itu haram dan dia berzina, maka tidak ada mahar karena itu adalah mahar pelacuran, dan Rasulullah ﷺ melarang mahar pelacuran. Jika budak itu mengira…”
Bahwa hubungan intim itu halal, maka dia wajib membayar mahar seperti maharnya. Jika perempuan itu dirampas secara paksa, maka maharnya adalah milik pemiliknya, sedangkan pelakunya dianggap berzina dan anaknya menjadi budak.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang dirampas jika dia memilih untuk mengesahkan penjualan, mengapa penjualan itu tidak sah?” Dijawab—insya Allah Ta’ala—penjualan hanya mengikat dengan kerelaan pemilik dan pembeli. Tidakkah kamu lihat bahwa meskipun pembeli rela, si korban perampasan tetap memiliki budak perempuannya sebagaimana sebelumnya seandainya tidak ada penjualan? Penjualan di sini tidak memiliki pengaruh kecuali seperti syubhat (keraguan), dan syubhat tidak mengubah kepemilikan si korban perampasan. Jadi, si korban berhak mengambil budak perempuan itu, dan penjualan tidak bermanfaat bagi pembeli. Status budak itu tetap seperti semula milik si korban perampasan.
Jika pembeli tidak berhak menahannya, dan jika dia tahu bahwa penjual adalah perampas yang tidak diberi kuasa, maka anaknya akan menjadi budak. Tidak sepatutnya seseorang mengira bahwa pembeli tidak boleh mengesahkan penjualan kecuali jika dia menyatakan kerelaan baru, sehingga terjadilah akad jual beli baru. Jika ada yang ragu dan berkata, “Seandainya pemilik budak perempuan itu memberi izin sebelum penjualan, tentu penjualan itu sah. Lalu, jika dia memberi izin setelah penjualan, mengapa tidak sah?” Dijawab—insya Allah Ta’ala—izin sebelum penjualan menghilangkan hak khiyar (hak memilih) pemilik, sehingga dia tidak boleh menolak penjualan, dan budak itu menjadi milik pembeli. Jika dia menghamilinya, dia tidak berhak atas nilai anaknya karena budak itu milik pembeli, halal bagi pembeli untuk menggaulinya, menjualnya, menghadiahkannya, atau memerdekakannya. Namun, jika dijual tanpa izinnya, dia berhak membatalkan penjualan, dan penjualan itu tidak sah kecuali barang belum dimiliki.
Haram bagi penjual untuk menjual dan haram bagi pembeli untuk menggauli jika dia tahu, dan anaknya akan menjadi budak. Jika dia menjual atau memerdekakannya, penjualan atau pembebasannya tidak sah. Jadi, izin sebelum penjualan membuat yang diberi izin seperti penjual yang sah, sedangkan izin setelah penjualan adalah pembaruan akad, dan akad baru hanya mengikat dengan kerelaan penjual dan pembeli. Demikian pula, siapa pun yang menjual atau menikahkan tanpa kuasa, tidak sah kecuali dengan pembaruan akad jual beli atau nikah.
Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau mewajibkan mahar pada pembeli, padahal hubungan intimnya tampak halal baginya? Mengapa engkau membatalkannya dengan mahar, padahal dialah yang menggauli?” Dijawab—insya Allah Ta’ala—kewajiban membayar mahar karena hubungan intim yang syubhat menghilangkan had (hukuman) bagi budak atau perempuan merdeka, sehingga ada kewajiban mahar. Hubungan intim ini menghilangkan had dan anak diakui karena syubhat. Jika dia berkata, “Dia menggauli apa yang dia anggap miliknya,” kami katakan itulah syubhat yang menghilangkan had, tetapi kami tidak menganggapnya sebagai pemilik sah karena kami mengembalikan budak itu dan mewajibkannya membayar nilai anak. Jika anak-anak lahir dari hubungan intim yang dia anggap halal, kami mewajibkannya membayar nilai mereka, maka hubungan intim lebih utama untuk dijamin karena ia penyebab kelahiran anak.
Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau mewajibkannya membayar nilai anak-anak yang tidak ditemukan oleh pemilik kecuali sudah meninggal?” Dijawab, karena pemilik berhak atas budak perempuan dan anak-anaknya yang lahir sebagai budak jika dia digauli tanpa syubhat. Si perampas wajib mengembalikan mereka saat lahir, tetapi karena tidak dikembalikan hingga meninggal, dia wajib membayar nilainya, seperti jika induknya mati. Karena pembeli menggaulinya dengan syubhat, hak si korban perampasan adalah nilai pengganti saat anak-anak lahir, sehingga nilai itu tetap wajib dibayar, baik mereka hidup atau mati, karena jika hidup pun mereka tidak akan dijadikan budak.
Dikatakan: Jika seseorang merampas budak perempuan lalu menggaulinya setelah perampasan, dan dia bukan orang yang bodoh (tidak tahu hukum), maka budak itu diambil darinya, dia wajib membayar ‘uqr (kompensasi), dan had zina dijatuhkan. Jika dia termasuk orang yang bodoh dan berkata, “Aku mengira aku berhak atasnya dan ini adalah alasan yang dimaafkan,” maka had tidak dijatuhkan, tetapi budak dan ‘uqr diambil darinya.
Dikatakan: Jika seseorang merampas budak perempuan lalu menjualnya, baik dijual di musim haji, di atas mimbar, atau di bawah terowongan, hak si korban perampasan sama dalam semua kondisi. Jika ada orang lain melukai atau membunuh budak itu saat di tangan pembeli atau perampas, maka yang memegangnya mengambil diyat (uang darah), lalu jika si korban perampasan berhasil mengambilnya kembali, dia boleh memilih antara mengambil diyat dari yang memegangnya (jika berupa nyawa) atau menuntut nilai budak itu. Jika lukanya parah, dia boleh memilih antara mengambil diyat dari pelaku atau menuntut yang memegangnya atas kerugian akibat luka tersebut. Demikian pula jika pembeli membunuh atau melukainya. Jika perampas yang membunuhnya, maka pemilik berhak menerima nilai tertinggi budak itu pada hari pembunuhan atau nilai maksimal yang pernah dicapai, karena dia tetap bertanggung jawab atasnya.
Jika barang yang dirampas adalah pakaian, lalu si perampas menjualnya kepada seseorang yang kemudian memakainya, kemudian pemilik aslinya menuntut haknya, maka ia berhak mengambil kembali pakaiannya serta selisih nilai antara harga saat dirampas dan nilai yang berkurang karena pemakaian. Misalnya, nilai saat dirampas sepuluh, lalu berkurang lima karena dipakai, maka ia mengambil pakaiannya dan lima. Ia juga berhak memilih untuk menuntut pembeli yang memakainya atau si perampas. Jika si perampas yang menanggung, ia tidak berhak menuntut pembeli yang memakainya.
Demikian pula jika yang dirampas adalah hewan tunggangan, lalu dikendarai hingga lelah, maka pemilik berhak mengambil kembali hewannya serta selisih nilai yang berkurang dari kondisi saat dirampas. Dalam menilai, perubahan harga pasar tidak dipertimbangkan, melainkan hanya perubahan kondisi fisik barang yang dirampas.
Contohnya, jika seseorang merampas budak sehat senilai seratus dinar, lalu budak itu sakit sehingga nilainya turun menjadi lima puluh dinar, maka pemilik berhak mengambil budaknya dan lima puluh dinar. Begitu pula jika yang dirampas adalah anak kecil yang baru lahir senilai satu dinar, lalu tumbuh besar di tangan si perampas dan menjadi cacat, atau nilai budak secara umum naik atau turun, maka pemilik berhak mengambil budaknya dan selisih nilainya dalam kondisi sehat sebelum cacat. Selisih ini dibebankan kepada si perampas karena ia berkewajiban mengembalikan budak dalam kondisi sehat.
Hal serupa berlaku untuk pakaian baru yang dirampas senilai sepuluh, lalu dipakai hingga lusuh, sementara harga pakaian secara umum naik. Pemilik berhak mengambil pakaiannya dan selisih nilai antara kondisi baru dan lusuh. Jika si perampas mengembalikan pakaian dalam kondisi baru tetapi harganya turun menjadi lima karena harga pasar turun, ia tidak perlu membayar apa pun karena mengembalikan dalam kondisi sama seperti saat dirampas.
Jika seseorang merampas budak perempuan, lalu terjadi cacat karena alam atau perbuatan orang lain, baik terjadi di tangan si perampas atau pembeli, maka pemilik berhak mengambil budaknya dan memilih untuk menuntut selisih nilai akibat cacat tersebut dari si perampas. Jika ia menuntut dari pembeli, pembeli dapat menuntut balik si perampas karena transaksi tidak sah.
Jika seseorang merampas hewan tunggangan, rumah, atau barang lain yang memiliki manfaat, maka ia wajib membayar sewa standar sejak mengambil hingga mengembalikan, terlepas dari apakah ia memanfaatkannya atau tidak. Jika ia menyewakannya dengan harga lebih tinggi, pemilik boleh memilih antara mengambil kelebihan sewa atau sewa standar. Namun, hak atas manfaat hanya milik pemilik asli, bukan si perampas.
Pendapat lain yang salah adalah bahwa si perampas boleh menikmati manfaat tanpa tanggung jawab. Pendapat yang benar adalah ia wajib mengembalikan manfaat atau nilai sewa, terlepas dari apakah ia memanfaatkannya atau tidak.
Wallahu a’lam.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dia bebas dari segala ucapan yang tidak menjadikan hal itu sebagai tanggungannya, juga tidak menjadikannya milik pemilik jika pemiliknya adalah pihak yang dirampas.
(Ar-Rabi’ berkata): Maksud perkataan Asy-Syafi’i adalah pihak yang dirampas tidak boleh mengambil kecuali sewa yang setara; karena sewaannya batal. Hanya saja, bagi yang menempati, jika pemilik rumah berhak atasnya, dia wajib membayar sewa yang setara, dan tidak ada pilihan baginya untuk mengambil sewa yang ditetapkan oleh perampas; karena sewaan itu telah batal.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang merampas tanah lalu menanaminya dengan pohon kurma atau tanaman lain, membangun di atasnya, atau membuat saluran air, maka dia wajib membayar sewa tanah yang setara sesuai kondisi saat dirampas. Si pembangun atau penanam wajib mencabut bangunan atau tanamannya. Jika dia mencabutnya, dia harus menanggung kerusakan tanah akibat pencabutan hingga tanah dikembalikan dalam kondisi semula saat diambil, dan dia juga wajib membayar nilai kerusakannya.
Beliau berkata: Hal yang sama berlaku untuk saluran air dan segala sesuatu yang dia buat di tanah itu. Dia tidak berhak menetapkan hak atas sesuatu yang zalim. Nabi ﷺ bersabda, “Tidak ada hak bagi yang zalim.” Pemilik tanah juga tidak berhak memiliki harta si perampas, dan perampas tidak memberikannya kepadanya. Baik pencabutan itu bermanfaat bagi perampas atau tidak, karena pemilik berhak melarang sedikit hartanya sebagaimana melarang banyak hartanya.
Demikian pula jika dia menggali sumur, pemilik berhak menimbunnya meskipun penimbunan itu tidak bermanfaat baginya. Jika dia merampas rumah lalu menghiasinya, pemilik berhak mencabut hiasan itu meskipun pencabutan tidak bermanfaat. Jika dia memindahkan tanah dari tempatnya, pemilik berhak mengembalikan tanah yang dipindahkan hingga mengembalikannya dalam kondisi semula saat dirampas. Dia tidak boleh membiarkan sedikit pun hartanya dimanfaatkan oleh pihak yang dirampas, sebagaimana pihak yang dirampas tidak boleh membatalkan hartanya yang ada di tangan perampas.
Jika seseorang menafsirkan sabda Nabi ﷺ, “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan,” maka ini adalah ungkapan global yang tidak bisa dipahami seseorang kecuali ada penafsiran lain. Makna yang benar adalah: tidak boleh membebani seseorang dengan harta yang bukan kewajibannya, dan tidak boleh menghalangi seseorang dari hartanya yang merugikan. Setiap orang berhak atas apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
Jika ada yang berkata: “Aku menetapkan hukum baru untuk kepentingan orang lain atas harta mereka, dan melarang mereka atas harta mereka demi kepentingan mereka,” maka bisa dikatakan kepadanya—insya Allah—bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang memiliki rumah berukuran tiga hasta di tiga hasta di tanah orang lain yang bernilai tinggi, diberikan seratus ribu dinar atau lebih, sementara nilai rumah itu hanya satu atau dua dirham, dan diberikan pula sebagai gantinya rumah lain beserta harta atau budak? Apakah dia bisa dipaksa menerima banyak dengan sedikit? Atau bagaimana jika seseorang memiliki sepetak tanah di antara tanah orang lain yang tidak bernilai satu dirham, lalu diminta menjual jalur untuk dilewati dengan imbalan dunia? Apakah dia bisa dipaksa menjual sesuatu yang tidak bermanfaat baginya demi keuntungan besar? Atau bagaimana dengan seorang penjahit yang bersumpah tidak akan menjahit untuk orang lain, lalu orang itu melarangnya menjahit untuknya meskipun diberi seratus dinar atau lebih? Apakah dia bisa dipaksa menjahit?
Atau bagaimana dengan seseorang yang memiliki budak wanita buta yang tidak bermanfaat, lalu ditawarkan anaknya sebagai ganti dengan harta berlimpah? Apakah dia bisa dipaksa menjualnya? Jika dikatakan tidak ada satu pun dari mereka yang bisa dipaksa untuk kepentingan orang lain, maka kami katakan: Semua ini dilakukan untuk merugikan diri sendiri dan merugikan peminta hingga menggabungkan dua hal. Jika dia berkata, “Meskipun merugikan diri sendiri dan orang lain, dia berbuat dengan hartanya sesuai haknya,” maka dikatakan: Demikian pula penggali sumur di tanah orang lain, penghias dinding orang lain, dan pemindah tanah ke tanah orang lain—dia hanya melakukan apa yang menjadi haknya dan melarang apa yang menjadi haknya atas hartanya.
Jika pengembalian tanah atau penimbunan sumur menghalangi pemilik tanah dari manfaatnya sementara waktu, maka dikatakan kepada yang ingin mengembalikan tanah: Kamu boleh memilih mengembalikannya dengan membayar sewa tanah selama masa penghalangan manfaat, atau membiarkannya. Kepada pemilik tanah, dikatakan: Kamu boleh memilih meminta penggali sumur menimbunnya dalam segala kondisi, dan tidak ada kewajiban bagimu kecuali jika lokasi sumur memiliki manfaat saat rata, maka kamu berhak mendapat imbalan manfaat tersebut karena dia telah menghalangimu dari sebagian tanahmu.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika perampas memindahkan tanah dari tanah yang dirampas yang bermanfaat bagi tanah tersebut tanpa merugikannya, maka pemilik berhak memintanya dikembalikan. Jika tidak mungkin mengembalikannya dalam kondisi apa pun, maka tanah dinilai dalam kondisi saat diambil dan tanah itu dinilai dengan tanah yang dipindahkan.
Kemudian, orang yang merampas (ghashab) wajib menanggung selisih antara dua nilai (sebelum dan sesudah kerusakan), meskipun ia mampu mengembalikannya dalam kondisi apapun, bahkan jika biayanya besar, ia tetap harus menanggungnya.
Dia (Imam Syafi’i) berkata: Jika seseorang memotong tangan atau kaki hewan orang lain atau melukainya, baik luka kecil maupun besar, maka hewan tersebut dinilai dalam keadaan terluka atau terpotong, lalu ia menanggung selisih antara dua nilainya. Tidak seorang pun boleh mengambil harta orang lain karena tindakan kriminal selamanya.
Dia berkata: Jika seseorang menghadirkan seorang saksi bahwa seorang laki-laki merampas budak perempuan ini pada hari Kamis, dan saksi lain bahwa ia merampasnya pada hari Jumat, atau seorang saksi bahwa ia merampasnya dan saksi lain bahwa ia mengaku merampasnya, atau seorang saksi bahwa ia mengaku merampasnya pada hari Kamis dan saksi lain bahwa ia mengaku merampasnya pada hari Jumat, maka semua ini dianggap bertentangan. Sebab, perampasan pada hari Kamis berbeda dengan perampasan pada hari Jumat, tindakan merampas berbeda dengan pengakuan merampas, dan pengakuan pada hari Kamis berbeda dengan pengakuan pada hari Jumat. Maka, dikatakan kepadanya dalam semua kasus ini: “Bersumpahlah bersama saksi mana pun yang kamu pilih, dan kamu berhak atas budak perempuan itu.” Jika ia bersumpah, ia berhak memilikinya.
Dia berkata: Jika sebidang tanah berada di tangan seseorang, lalu orang lain mengklaim bahwa itu adalah tanahnya, dan ia menghadirkan seorang saksi yang bersaksi bahwa tanah itu miliknya—entah karena membelinya dari pemiliknya, mewarisinya, dihadiahkan oleh pemiliknya, atau tanah mati yang ia hidupkan—dan ia menjelaskan salah satu cara kepemilikan yang sah, kemudian ia menghadirkan saksi lain bahwa tanah itu berada dalam penguasaannya (hazah), maka kesaksian bahwa tanah itu “dikuasai” bukanlah kesaksian yang sah. Bahkan jika banyak saksi adil bersaksi demikian, selama mereka tidak menambahkan penjelasan lain, karena “penguasaan” bisa berarti kepemilikan, pinjaman, sewa, tanah yang berbatasan dengan miliknya, tanah di dekat tempat tinggalnya, atau pemberian dari pemiliknya. Karena tidak ada makna yang lebih jelas dari yang lain, kesaksian ini tidak sah sampai mereka menambahkan penjelasan bahwa tanah itu miliknya. Ia boleh bersumpah bersama saksi yang bersaksi atas kepemilikannya dan berhak atas tanah itu.
Dia berkata: Jika saksi pertama bersaksi tentang kepemilikan seperti yang dijelaskan, dan saksi kedua bersaksi bahwa ia menguasainya (hazah), maka jika ia mengatakan “menguasainya dengan kepemilikan,” kedua kesaksian itu bersatu. Tetapi jika ia hanya mengatakan “menguasainya” tanpa tambahan, kesaksian itu tidak bersatu. Ia boleh bersumpah bersama saksi kepemilikan dan berhak atas tanah itu.
Dia berkata: Jika seseorang merampas budak perempuan dari orang lain, lalu menjualnya kepada orang lain dan menerima pembayaran, kemudian uang itu hilang di tangannya, lalu pemilik asli budak itu datang sementara budak masih ada, maka pemilik asli berhak mengambil budak itu dan selisih nilai jika ada kerugian. Pembeli dapat menuntut penjual untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan, baik penjual dalam keadaan mampu atau tidak.
Dia berkata: Jika seseorang merampas hewan orang lain atau memaksanya menyewakannya, lalu hewan itu hilang karena tindakan melampaui batas (ta’addi), maka pemilik hewan yang dirampas atau disewa paksa berhak menuntut nilai hewannya. Jika kemudian hewan itu ditemukan kembali, sebagian ulama—termasuk Abu Hanifah—berpendapat bahwa pemilik tidak berhak mengambil hewan itu kembali, karena ia telah menerima gantinya, dan pengganti itu dianggap seperti jual beli.
(Imam Syafi’i berkata): Jika hewan itu ditemukan, ia harus mengembalikan hewan tersebut dan mengembalikan uang yang telah diterima, jika hewan itu masih dalam kondisi seperti saat dirampas atau dirusak. Jika hewan itu berkurang nilainya, ia mengambil hewan itu dan selisih kerugiannya, dan mengembalikan sisa uang dari nilai kerugian tersebut. Ini tidak sama dengan jual beli, karena jual beli terjadi atas dasar kerelaan kedua belah pihak, di mana pemilik menyerahkan barangnya dengan rela, sedangkan perampasan dan pelampauan batas adalah tindakan kriminal. Pemilik hewan tidak menjual hewannya.
Tidakkah kamu melihat bahwa jika hewan itu masih ada, ia tidak berhak mengambil nilainya? Ketika ia mengambil nilai hewan itu, itu karena hewannya dianggap hilang. Jika hewan itu ditemukan kembali, berarti “kehilangan” itu batal, dan hewan itu kembali ada. Jika ini dianggap jual beli, tidak sah menjual hewan yang tidak ada. Jika pun sah dan hewan itu hilang, si perampas atau pelampau batas boleh menuntut uangnya kembali. Jika hewan itu ditemukan dalam keadaan cacat, ia boleh mengembalikannya karena cacat tersebut.
Jika ada yang berkata: “Ini tidak mirip jual beli, tapi mirip tindakan kriminal (jinaayat).” Katakan kepadanya: “Bagaimana jika seseorang merusak mata orang lain hingga memutih, lalu dihukum membayar diyat, kemudian putihnya hilang? Orang yang berpendapat demikian akan mengatakan bahwa ia harus mengembalikan diyat dan mengembalikan mata itu. Jika dihukum membayar lima ekor unta karena mencabut gigi anak kecil, lalu gigi itu tumbuh kembali, ia harus mengembalikan diyat yang telah dibayarkan.” Jika ia menyamakannya dengan tindakan kriminal, pendapatnya akan kontradiktif. Jika ia mengatakan ini tidak sama dengan tindakan kriminal karena tindakan kriminal bersifat permanen sedangkan hewan ini kembali ada, maka status “hilang” itu telah batal.
Jika ini terjadi tanpa putusan hakim—misalnya seseorang merampas hewan orang lain atau memaksanya menyewakannya, lalu hewan itu hilang karena pelampauan batas, kemudian mereka berdamai dengan membayar nilainya—
Sesuatu yang nilainya lebih dari hewan ternak, sama, atau kurang, maka pendapat tentangnya seperti pendapat dalam hukum hakim; karena ia hanya berdamai atas apa yang wajib bagi perampas dari apa yang telah dihabiskan. Ketika hartanya tidak dihabiskan, maka perdamaian terjadi atas sesuatu yang tidak diketahui olehnya atau pemilik hewan ternak. Jika si perampas berkata kepadanya, “Aku akan membelinya darimu sementara ia ada di tanganku dan aku telah mengetahuinya,” lalu ia menjualnya dengan sesuatu yang telah diketahui, sedikit atau banyak, maka jual beli itu sah. Jika si perampas membawa hewan ternak itu dalam keadaan cacat dengan cacat yang biasa terjadi, lalu ia mengaku tidak melihatnya sebelumnya dan penjual menipunya dengan itu, maka perkataan penjual yang dipegang dengan sumpahnya, kecuali si perampas bisa membuktikan bahwa cacat itu ada di tangan si perampas saat penjualan, atau cacat itu jenis yang tidak biasa terjadi, maka ia boleh mengembalikan hewan ternak itu, dan si perampas wajib mengganti kerugian atas nilai yang berkurang.
Jika si pelaku ghasab (perampas) atau penyewa berkata, “Hewan ternak itu hilang, aku akan memberimu nilainya,” dan hal itu dikatakan tanpa keputusan hakim, maka dalam hal ini—wallahu a’lam—hanya ada dua pendapat:
- Ini dianggap jual beli baru, dan tidak dibolehkan karena tidak boleh menjual hewan yang sudah mati.
- Ini dianggap ganti rugi jika hewan itu benar-benar hilang atau rusak, maka dibolehkan karena itu kewajiban dalam hukum asal.
Jika ada yang berpendapat demikian, maka ketika diketahui hewan itu tidak hilang, pemilik hewan berhak mengambilnya kembali dan si perampas wajib mengembalikan apa yang telah diambil, karena ia hanya mengambil apa yang wajib baginya seandainya hewan itu hilang. Jika hewan tidak hilang, maka kepemilikan asli tetap berlaku.
Atau ada pendapat ketiga: Karena ia rela dengan perkataannya dan tidak meminta sumpah (seperti hakim yang akan memintanya bersumpah jika hewan hilang), maka ia tidak boleh menarik kembali dalam keadaan apa pun.
Adapun jika ada yang berkata, “Jika hewan itu masih ada di tangan si perampas dan ia berbohong untuk mengambilnya, maka pembeli boleh mengambilnya. Tetapi jika hewan tidak ada di tangan si perampas lalu kemudian ditemukan, pembeli tidak boleh mengambilnya,” ini tidak benar dalam sudut pandang mana pun. Sebab jika transaksi itu sah dalam semua keadaan, maka ia tetap sah dan tidak batal. Jika ia sah selama hewan tidak ada, lalu batal ketika hewan ada, maka hewan itu ada dalam kedua keadaan, mengapa ia boleh dikembalikan dalam satu keadaan dan tidak dalam lainnya? Jika transaksi itu fasid (rusak), maka ia batal dalam semua keadaan. Pendapat ini tidak sah, tidak fasid, dan tidak sah dalam makna fasid di akhirnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual budak laki-laki atau perempuan kepada orang lain dan pembeli menerimanya, lalu penjual mengakui kepada orang lain bahwa budak itu adalah miliknya yang dirampas, maka kami katakan kepada pengakuan perampasan: “Jika engkau bisa membuktikan perampasan, kami akan menyerahkannya kepadamu dan membatalkan jual beli. Jika tidak bisa membuktikan, maka pengakuan penjual hanya menetapkan hak bagimu atas dirinya sendiri dan membatalkan hak orang lain yang telah tetap sebelum pengakuannya. Ia tidak bisa dipercaya dalam membatalkan hak orang lain, tetapi dipercaya atas dirinya sendiri, sehingga ia wajib mengganti nilai budak yang diakuinya sebagai rampasan.”
Kecuali jika pembeli menemukan cacat atau memiliki hak khiyar (pilihan), maka ia boleh mengembalikannya berdasarkan khiyar cacat atau khiyar syarat. Jika ia mengembalikannya, maka si pengaku wajib menyerahkannya kepadamu. Jika pembeli membenarkan bahwa penjual adalah perampas, ia boleh mengembalikannya dan menuntut kembali harga yang telah dibayarkan jika ia mau.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang merampas budak dari orang lain lalu menjualnya, kemudian si perampas menjadi pemilik budak itu melalui warisan, hibah, jual beli sah, atau cara kepemilikan lainnya, lalu ia ingin membatalkan jual beli pertama karena ia menjual sesuatu yang bukan miliknya—jika pembeli membenarkannya atau ada bukti—maka jual beli itu batal, baik ia menginginkannya atau tidak, karena ia menjual sesuatu yang tidak boleh dijual. Jika tidak ada bukti dan pembeli berkata, “Engkau hanya mengklaim sesuatu yang merusak jual beli,” maka perkataan pembeli yang dipegang dengan sumpahnya.
Jika penjual berkata, “Aku menjual kepadamu apa yang aku miliki,” lalu ada bukti bahwa ia merampasnya kemudian memilikinya, dan pembeli tidak membenarkannya, maka jual beli tetap sah karena bukti itu hanya bersaksi untuk penjual, bukan melawannya. Bukti itu bersaksi bahwa budak itu kembali menjadi miliknya, sehingga bersaksi untuknya, bukan melawannya.
Jika ia mendustakan bukti mereka, maka jual beli tidak batal secara hukum karena pendustaannya terhadap bukti. Namun, dalam kehati-hatian, sebaiknya mereka memperbarui jual beli atau pembeli mengembalikannya.
Jika bukti menunjukkan bahwa budak itu harus keluar dari tangan keduanya, maka bukti diterima karena itu melawan penjual.
Jika ia menjualnya dan pembeli menerimanya, lalu membebaskannya, kemudian ada bukti perampasan dan si korban perampasan atau ahli warisnya menuntut, maka pembebasan dibatalkan karena jual beli itu fasid, dan budak dikembalikan kepada si korban.
Jika tidak ada bukti dan si perampas serta pembeli mengakui klaim perampasan, maka perkataan salah satu dari mereka tidak diterima dalam hal pembebasan. Pembebasan tetap berlaku, dan kami memaksa si perampas mengganti nilai budak sesuai harga tertingginya.
Dan jika dia mencintai, kami mengembalikannya kepada pembeli yang memerdekakan. Jika kami mengembalikannya kepada pembeli yang memerdekakan, maka dia berhak menuntut penjual yang merampas sesuai dengan apa yang telah diambil darinya; karena dia telah mengakui bahwa dia menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan hak perwalian tertunda karena sang pemerdeka mengakui bahwa dia memerdekakan sesuatu yang bukan miliknya.
Dia berkata: Jika seseorang merampas budak perempuan dari orang lain lalu menjualnya kepada seseorang, dan si pembeli tahu bahwa budak itu hasil rampasan, kemudian si korban perampasan datang dan ingin membatalkan penjualan, maka penjualan itu tidak sah karena asal penjualannya adalah haram. Maka, tidak seorang pun boleh mengesahkan yang haram, tetapi dia boleh membuat perjanjian jual beli baru yang halal dan bukan yang haram. Jika ada yang bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika seseorang menjual budak perempuannya sendiri dengan mensyaratkan hak pilih (khiyar) untuk dirinya? Bukankah penjualan itu sah dan dia berhak memilih untuk melanjutkannya sehingga mengikat si pembeli, karena hak khiyar ada padanya, bukan pada si penjual?” Jawabnya: “Benar.” Jika dia bertanya lagi, “Lalu apa perbedaan antara kedua kasus tersebut?” Jawabnya: “Yang ini menjual budak yang dia miliki secara sah dengan akad jual beli yang halal, dan dia memiliki hak khiyar sesuai syaratnya, serta si pembeli tidak bermaksiat kepada Allah, begitu pula si penjual. Sedangkan si perampas dan pembeli yang tahu bahwa budak itu hasil rampasan adalah orang yang bermaksiat kepada Allah. Yang satu menjual sesuatu yang bukan haknya, dan yang lain membeli sesuatu yang tidak halal baginya. Maka, tidak boleh mengqiyaskan yang haram dengan yang halal karena keduanya bertolak belakang. Tidakkah kamu lihat bahwa jika pembeli dari pemilik budak mensyaratkan hak khiyar untuk dirinya, maka dia berhak memilih, sebagaimana si penjual jika dia mensyaratkannya? Apakah pembeli budak hasil rampasan juga berhak memilih untuk menerima atau mengembalikannya? Jika dia menjawab tidak, maka dikatakan: “Bagaimana jika si perampas mensyaratkan hak khiyar untuk dirinya?” Jika dia menjawab tidak, karena yang mensyaratkan hak khiyar itu bukan pemilik budak, maka dikatakan: “Tetapi jika pemiliknya mensyaratkan hak khiyar, itu sah.” Jika dia menjawab, “Ya,” maka dikatakan kepadanya: “Tidakkah kamu lihat bahwa keduanya berbeda dalam segala hal? Lalu bagaimana mungkin mengqiyaskan dua hal yang sepenuhnya berbeda?”
Dia berkata: Jika seseorang merampas budak perempuan dari orang lain, lalu si perampas mengaku bahwa dia merampas budak tersebut dan mengatakan, “Harganya sepuluh,” sedangkan si korban perampasan mengatakan, “Harganya seratus,” maka yang dianggap adalah perkataan si perampas disertai sumpah. Penilaian tidak didasarkan pada sifat (deskripsi) karena penilaian berdasarkan sifat tidak bisa pasti. Bisa jadi dua budak memiliki sifat, warna, dan usia yang sama, tetapi nilai keduanya sangat berbeda karena faktor seperti kecerdasan, akal, atau kemampuan berbicara. Maka, hal itu hanya bisa dipastikan dengan melihat langsung. Dikatakan kepada pemilik budak: “Jika kamu rela, baiklah. Jika tidak, dan kamu bisa menghadirkan bukti, maka kami akan memberimu hak berdasarkan buktimu. Jika tidak bisa, maka si perampas akan disumpah, dan perkataannyalah yang dianggap.” Jika si korban menghadirkan dua saksi bahwa si perampas merampas budaknya dan budak itu binasa di tangannya, tetapi kedua saksi tidak bisa membuktikan nilainya, maka penilaian harganya berdasarkan perkataan si perampas disertai sumpah. Jika kedua saksi mendeskripsikan budak itu dalam keadaan sehat, sehingga diketahui bahwa nilainya lebih tinggi dari yang dikatakan si perampas, tetap yang dianggap adalah perkataan si perampas karena mungkin saja ada penyakit atau cacat tersembunyi yang membuat harganya turun seperti yang dikatakannya. Selama perkataan si perampas memungkinkan, maka itulah yang dianggap disertai sumpah. Demikian juga pendapat tentang orang yang harus menanggung kerugian duniawi dalam bentuk apa pun—selama perkataannya memungkinkan, maka itulah yang dianggap. Tidak ada yang diambil darinya selain apa yang dia akui, kecuali dengan bukti. Tidakkah kamu lihat bahwa dalam kebanyakan tuntutan, kami menganggap perkataan tergugat (disertai sumpah)? Jika seseorang mengatakan, “Dia merampas milikku,” atau “Dia punya utang padaku,” atau “Dia memegang titipanku,” maka perkataannyalah yang dianggap disertai sumpah, dan kami tidak memaksanya untuk mengakui sesuatu yang tidak dia akui. Jika kami memberinya hak ini dalam kasus yang lebih besar, maka dalam kasus yang lebih kecil tentu lebih layak untuk diberi. Penilaian tidak boleh dilakukan terhadap sesuatu yang tidak terlihat, karena kita tahu bahwa dua budak bisa memiliki sifat yang sama, tetapi salah satunya lebih mahal karena faktor yang tidak terlihat jelas. Maka, penilaian hanya bisa dilakukan terhadap apa yang dilihat langsung. Tidakkah kamu lihat bahwa untuk sesuatu yang dilihat langsung, kami hanya menyerahkan penilaian kepada ahli yang mengetahui nilainya pada hari penilaian? Mereka tidak boleh menilai sebelum memeriksa cacat dan penyakit, kemudian membandingkannya dengan yang lain. Sebagian besar yang mereka lakukan adalah memperkirakan nilai berdasarkan harga pasaran saat itu. Jika demikian, maka tidak boleh melakukan penilaian terhadap sesuatu yang tidak terlihat. Jika dia berkata, “Sifatnya begini, tetapi aku tidak tahu nilainya,” kami akan berkata kepada pemilik pakaian, “Klaimlah nilainya sesukamu.” Jika dia melakukannya, kami akan berkata kepada si perampas, “Dia telah mengklaim seperti yang kamu dengar. Jika kamu mengetahuinya, berikanlah tanpa sumpah. Jika tidak, akui sesuai keinginanmu, kami akan menyumpahmu, dan kamu harus memberikannya kepadanya.” Jika dia menolak bersumpah, kami akan mengalihkan sumpah kepadanya (si penggugat). Jika dia bersumpah, dia berhak atas apa yang diklaim jika si tergugat tetap menolak bersumpah. Jika si tergugat bersumpah setelah penjelasan ini, maka dia telah memenuhi kewajibannya. Jika dia menolak, kami akan menyumpah si penggugat, lalu memaksanya untuk menyerahkan semua yang dia klaim. Jika si tergugat ingin bersumpah setelah sumpah si penggugat, kami tidak akan mengizinkannya. Jika si penggugat menghadirkan bukti…
Lebih sedikit dari apa yang telah disumpah oleh penggugat, kami memberikannya dengan bukti, dan bukti lebih utama daripada sumpah yang palsu.
Dia berkata: Jika seseorang merampas makanan dari orang lain, baik berupa gandum, kurma, atau makanan lainnya, lalu menghabiskannya, maka dia wajib menggantinya dengan yang serupa jika ada yang serupa dalam kondisi apa pun. Jika tidak ada yang serupa, maka dia wajib membayar nilainya sebesar harga tertinggi yang pernah ada.
Dia berkata: Jika seseorang merampas aset dari orang lain, seperti pohon yang berbuah atau hewan ternak yang berkembang biak, dan dia mengambil manfaat dari wol atau susunya, maka pemilik aset atau hewan ternak berhak mengambil kembali ternaknya atau asetnya dari si perampas jika masih dalam kondisi yang sama atau lebih baik saat dirampas. Jika ada kerusakan, dia mengambilnya dengan kerusakan tersebut dan menuntut ganti rugi atas semua buah atau hasil yang dihabiskan. Dia harus menggantinya dengan yang serupa jika ada, atau membayar nilainya jika tidak ada yang serupa. Demikian pula nilai dari hasil ternak, susu yang diambil (harus diganti dengan yang serupa atau nilainya jika tidak ada yang serupa), serta wol atau bulunya (harus diganti dengan yang serupa atau nilainya jika tidak ada yang serupa). Dia berkata: Jika si perampas memberi makan ternak tersebut, merawatnya saat sakit, menyewa penjaga untuknya, atau menyirami pohonnya, maka dia tidak berhak atas apa pun dari hal tersebut.
(Asy-Syafi’i berkata): Pada dasarnya, apa yang dihasilkan oleh si perampas dari barang rampasan terbagi menjadi dua. Pertama: benda yang masih ada dan dapat dibedakan, dan benda yang masih ada tetapi tidak dapat dibedakan. Kedua: efek yang bukan berupa benda yang masih ada. Adapun efek yang bukan berupa benda yang masih ada, seperti yang kami jelaskan tentang hewan ternak yang dirampas saat masih kecil, atau budak yang dirampas saat masih kecil dan dalam keadaan sakit, lalu si perampas mengobati mereka dengan biaya yang sangat besar hingga pemiliknya datang dan menemukan bahwa biaya yang dikeluarkan sudah berkali-kali lipat dari harga mereka. Padahal, hartanya hanya berupa efek pada mereka, bukan benda yang masih ada. Tidakkah kamu melihat bahwa biaya perawatan hewan atau budak adalah sesuatu yang memperbaiki tubuh, bukan sesuatu yang tetap ada bersama tubuh? Itu hanyalah efek. Demikian pula pakaian yang dicuci dan dijemur, atau tanah liat yang dirampas lalu dibasahi air dan diaduk menjadi bata. Semua ini adalah efek, bukan benda yang masih ada dari hartanya, sehingga dia tidak berhak atas apa pun karena bukan benda yang dapat dibedakan untuk diberikan, bukan benda yang menambah nilainya, dan tidak ada seperti pewarna pada pakaian yang membuatnya menjadi mitra pemilik.
Adapun benda yang masih ada tetapi tidak dapat dibedakan, seperti seseorang yang merampas pakaian senilai sepuluh dirham, lalu mewarnainya dengan za’faran sehingga nilainya bertambah lima dirham. Maka dikatakan kepada si perampas: Jika kamu mau, kamu bisa mengambil kembali za’faran dengan syarat menanggung kerusakan pada pakaian. Atau jika mau, kamu bisa menjadi mitra dalam kepemilikan pakaian dengan bagian sepertiga, sedangkan pemilik pakaian mendapat dua pertiga. Tidak ada pilihan lain. Demikian pula semua pewarna yang menempel dan menambah nilai. Jika dia mewarnainya dengan pewarna yang menambah nilai, lalu pewarna tersebut diambil kembali, maka nilai pakaian akan dinilai. Jika pewarna menambah nilai, sedikit atau banyak, maka berlaku ketentuan di atas. Jika pewarna tidak menambah nilai, dikatakan kepadanya: Kamu tidak memiliki hak atas harta yang menambah harta orang lain sehingga bisa menjadi mitra. Jika mau, ambil kembali pewarnamu dengan menanggung kerusakan pakaian, atau biarkan saja.
Dia berkata: Jika pewarna justru merusak pakaian, dikatakan kepadanya: Kamu telah merugikan pemilik pakaian dan menyebabkan kerusakan. Jika mau, ambil kembali pewarnamu dan tanggung kerusakan pakaian. Atau jika tidak mau, kamu tidak berhak atas pewarnamu dan tetap harus menanggung kerusakan pakaian dalam semua kondisi.
Dia berkata: Di antara hal yang dicampur oleh si perampas dengan barang rampasan sehingga tidak dapat dibedakan adalah jika dia merampas satu takar minyak, lalu menuangkannya ke dalam minyak sejenis atau lebih baik. Maka dikatakan kepada si perampas: Jika mau, berikan kepadanya satu takar minyak yang serupa. Atau jika mau, ambil satu takar dari minyak campuran ini, tanpa tambahan jika minyakmu sama dengan minyaknya, dan kamu harus melepas kelebihan jika minyakmu lebih baik. Si korban perampasan tidak punya pilihan karena tidak ada kerugian. Jika si perampas menuangkan minyak tersebut ke dalam minyak yang lebih buruk, maka dia wajib mengganti dengan minyak yang serupa karena minyaknya telah rusak akibat dicampur dengan yang lebih buruk. Jika dia menuangkan minyaknya ke dalam bahan lain seperti ban (minyak biji), syiriq (minyak nabati), minyak wangi, samin, atau madu, maka dia wajib mengganti semuanya karena minyak tidak bisa dipisahkan lagi. Dia tidak boleh hanya memberikan satu takar minyak yang serupa, karena bahan campuran tersebut bukan minyak. Seandainya dia menuangkannya ke dalam air, jika air bisa dipisahkan hingga minyak murni tanpa air dan pencampuran air tidak merusaknya, maka si korban perampasan wajib menerimanya. Jika pencampuran air merusaknya, baik seketika atau nanti, maka si perampas wajib memberikan satu takar minyak yang serupa sebagai gantinya.
(Ar-Rabi’ berkata): Dia harus memberikan minyak itu sendiri meskipun sudah tercampur air, dan menanggung kerusakannya. Ini sesuai dengan makna perkataan Asy-Syafi’i.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang merampas minyak, lalu memanaskannya di atas api hingga berkurang…
Dia harus menyerahkannya kepadanya, dan jika takarannya berkurang, maka jika api mengurangi nilainya, dia harus mengganti kerugiannya. Jika api tidak mengurangi nilainya, maka tidak ada kewajiban baginya.
Jika dia merampas gandum baru dan mencampurnya dengan yang buruk, maka berlaku seperti yang dijelaskan dalam kasus minyak: dia harus menggantinya dengan yang sejenis sesuai takarannya, kecuali jika dia bisa memisahkannya hingga bisa dikenali. Jika dia mencampurnya dengan yang sejenis atau lebih baik, maka berlaku seperti yang dijelaskan dalam kasus minyak. Jika dia mencampurnya dengan jelai, jagung, atau biji-bijian selain gandum, maka dia harus memisahkannya hingga bisa menyerahkannya dalam bentuk aslinya sesuai takarannya. Jika takarannya berkurang, dia harus menanggungnya.
Jika dia merampas gandum yang baik, lalu terkena air, busuk, dimakan serangga, atau mengalami kerusakan, maka dia harus menyerahkannya dan membayar selisih nilai antara saat perampasan dan saat penyerahan. Jika dia merampas tepung dan mencampurnya dengan tepung yang lebih baik, sejenis, atau lebih buruk, maka berlaku seperti yang dijelaskan dalam kasus minyak.
Jika dia merampas za’faran dan kain, lalu mewarnai kain dengan za’faran, maka pemilik kain boleh memilih untuk mengambil kain yang telah diwarnai karena itu adalah za’farannya dan kainnya. Dia tidak berhak atas apa pun selain itu, atau nilai kain dalam keadaan putih dan za’faran dalam keadaan utuh. Jika nilainya 30, maka kain yang diwarnai dinilai dengan za’faran. Jika nilainya 25, maka dia harus membayar 5 karena telah mengurangi nilainya.
Demikian pula jika dia merampas mentega, madu, dan tepung, lalu membuatnya menjadi adonan, maka yang dirampas boleh memilih untuk mengambilnya dalam bentuk adonan. Perampas tidak berhak atas kayu bakar, panci, atau pekerjaan karena itu hanya berdampak pada nilai, bukan bentuk aslinya. Atau, nilai madu, mentega, dan tepung dinilai terpisah. Jika nilainya 10 dalam bentuk adonan bernilai 7, maka dia harus membayar 3 karena telah mengurangi nilainya.
Jika dia merampas hewan dan jelai, lalu memberi makan hewan dengan jelai, maka dia harus mengembalikan hewan dan jelai karena dia yang menghabiskannya. Tidak ada jejak jelai yang bisa diambil dari hewan, hanya bekasnya.
Jika dia merampas makanan dan memberikannya kepada yang dirampas tanpa sepengetahuan yang dirampas, maka itu dianggap sebagai pemberian sukarela, dan dia tetap harus menanggung makanan tersebut. Jika yang dirampas tahu itu makanannya dan memakannya, maka tidak ada kewajiban karena kekuasaannya hanya atas mengambil makanannya, dan itu telah dilakukan.
Jika terjadi perselisihan, di mana yang dirampas berkata, “Aku memakannya tanpa tahu itu makananku,” dan perampas berkata, “Kamu memakannya dan tahu itu makananku,” maka perkataan yang dirampas yang diterima dengan sumpah, jika ada kemungkinan hal itu tidak diketahui.
(Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika dia memakannya, baik tahu atau tidak, maka sesuatu miliknya telah sampai kepadanya, dan perampas tidak berkewajiban kecuali jika pekerjaannya mengurangi nilai, maka dia harus mengganti kerugian akibat pengurangan tersebut.
(Syafi’i berkata): Jika dia merampas emas lalu mencampurnya dengan tembaga, besi, atau perak, maka emas harus dipisahkan dengan api. Jika api mengurangi berat emas, maka dia harus mengganti berat yang berkurang dan menyerahkan emasnya. Kemudian, jika api mengurangi nilai emas, dia harus mengganti selisih nilainya.
Jika dia meleburnya dengan emas sejenis, lebih baik, atau lebih buruk, maka ini tidak bisa dipisahkan, dan aturannya seperti dalam kasus minyak.
Jika dia merampas emas dan membentuknya menjadi batang, lalu menambahkan batang emas milik orang lain atau batang tembaga/perak, maka keduanya harus dipisahkan. Dia harus menyerahkan batang emasnya dengan berat yang sama saat dirampas. Kemudian, nilai emas saat dikembalikan dibandingkan dengan saat dirampas. Jika nilainya lebih rendah, dia harus membayar selisihnya. Jika sama atau lebih tinggi, dia hanya mengambil emasnya tanpa hak atas kelebihan karena kelebihan itu hanya hasil pekerjaan.
Jika dia merampas kambing betina dan mengawinkannya dengan kambing jantan hingga melahirkan, maka kambing dan anaknya milik yang dirampas. Perampas tidak berhak atas sperma kambing jantan karena dua alasan: (1) harga sperma pejantan tidak halal, dan (2) itu hanya sesuatu yang dimasukkan ke dalam kambing betina dan berubah menjadi sesuatu lain yang bukan miliknya, melainkan milik pemilik kambing betina.
Jika dia merampas emas mentah lalu mencetaknya menjadi dinar, maka pemilik emas mentah boleh mengambil dinar jika berat dan nilainya sama atau lebih tinggi. Perampas tidak berhak atas kelebihan hasil pekerjaannya karena itu hanya efek. Jika beratnya berkurang, dia harus mengambil dinar dan mengganti berat yang berkurang. Jika nilainya juga berkurang, dia harus mengambil dinar, mengganti berat yang berkurang, dan selisih nilainya.
Penurunan nilai. Dia berkata: Jika seseorang mengambil kayu milik orang lain lalu memotongnya menjadi papan, pemilik kayu berhak mengambil papan tersebut. Jika nilai papan sama atau lebih tinggi dari kayu asli, dia boleh mengambilnya tanpa memberikan kompensasi kepada pengambil, karena kontribusi pengambil hanya berupa tenaga, bukan material. Jika nilai papan lebih rendah, pemilik kayu tetap mengambilnya dan pengambil harus menanggung selisih nilai.
Dia menambahkan: Jika pengambil mengubah papan tersebut menjadi pintu tanpa menambahkan material lain, aturan yang sama berlaku. Namun jika dia menambahkan material seperti besi atau kayu lain, dia harus memisahkan kontribusinya sebelum mengembalikan milik pemilik asli. Pemilik berhak menerima kembali bagiannya dan menuntut ganti rugi jika ada penurunan nilai, kecuali pengambil rela melepaskan haknya.
Hal serupa berlaku jika papan digunakan untuk membuat kapal atau tembok. Pengambil wajib membongkarnya untuk mengembalikan material asli beserta ganti rugi.
Dalam kasus benang yang digunakan untuk menjahit pakaian atau lainnya, jika seseorang mengambil benang lalu menggunakannya untuk menjahit luka manusia/hewan, dia harus mengganti nilainya. Namun, pemilik benang tidak boleh mencabut jahitan dari makhluk hidup.
Jika ada yang bertanya: *”Apa bedanya mencabut benang dari pakaian (yang merusak pakaian) dengan mencabutnya dari luka (yang menyakiti pasien)?”*
Jawabannya: Merobohkan tembok atau mencabut papan dari kapal tidak haram karena tidak melukai makhluk hidup. Namun, mencabut jahitan luka menyakiti pasien dan diharamkan kecuali atas izin syariat (seperti hukuman mati). Hak tidak boleh diambil dengan cara maksiat.
(Pendapat lain dari Ar-Rabi’):
– Jika benang digunakan pada hewan yang *tidak halal dimakan*, tidak boleh dicabut karena Nabi ﷺ melarang penyiksaan hewan.
– Jika pada hewan *halal dimakan*, benang boleh dicabut karena hewan tersebut boleh disembelih.
(Asy-Syafi’i berpendapat):
Jika pengambil tidak mampu mengganti kerugian (misalnya setelah mencelup kain), dia tidak boleh dipaksa membersihkan celupan itu jika berisiko merusak kain.
Hukum Ganti Rugi oleh Keluarga (Aqilah):
Jika seorang merdeka melukai budak secara tidak sengaja, keluarganya menanggung diyat (ganti rugi). Ada yang bertanya: *”Mengapa budak tidak dianggap sebagai harta biasa?”*
Jawabannya: Allah mewajibkan pembebasan budak dan diyat untuk korban manusia, tidak berlaku untuk harta/hewan. Konsensus ulama menyatakan pembunuh budak juga wajib membebaskan budak, mirip dengan kasus orang merdeka.
Jika ada yang bertanya: *”Mengapa diyat budak tidak setara dengan orang merdeka?”*
Jawabannya: Besaran diyat telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam riwayat-riwayat, jumlahnya hanya dapat diketahui melalui kabar. Tidakkah kamu melihat bahwa keluarga (al-‘aqilah) menanggung diyat orang merdeka laki-laki dan perempuan meskipun keduanya berbeda, serta diyat Yahudi, Nasrani, dan Majusi, padahal menurut kita mereka berbeda dengan Muslim? Begitu pula, mereka menanggung diyat budak, yaitu nilainya. Jika ada yang bertanya, “Apa perbedaan antara budak dan hewan dalam hal ini?” Dijawab, “Ya, di kalangan umum, qishas berlaku bagi budak dalam kasus jiwa, sedangkan menurut kita berlaku untuk jiwa dan selainnya. Hal ini tidak berlaku antara dua unta jika salah satunya membunuh yang lain. Budak juga terkena kewajiban dari Allah seperti haramnya yang haram dan halalnya yang halal, serta mereka memiliki kehormatan sebagai Muslim, yang tidak dimiliki hewan.”
Jika pelaku adalah budak yang mencederai orang merdeka atau budak lain, keluarganya tidak menanggung, begitu pula tuannya. Ganti rugi menjadi tanggungannya sendiri, bukan tanggung jawab tuannya. Ia akan dijual untuk membayar diyat kepada wali korban. Jika ada sisa dari harganya, dikembalikan kepada pemiliknya. Jika tidak ada sisa atau harganya tidak mencukupi diyat, sisa tanggungannya gugur karena kerusakan hanya menjadi tanggungannya sendiri, bukan orang lain. Tidak ada kewajiban bagi tuannya atau keluarganya untuk menanggung, baik dalam kasus orang merdeka maupun budak, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Ini menunjukkan bahwa diyat terkait pelaku, bukan korban. Tidakkah kamu melihat bahwa jika diyat terkait korban, keluarga pelaku harus membayar harga budak jika orang merdeka membunuhnya? Karena keluarga tidak menanggung itu, dan kesalahan budak terhadap orang merdeka atau budak lain menjadi tanggungannya sendiri, maka demikian pula kesalahan orang merdeka terhadap budak atau orang merdeka lain menjadi tanggungan keluarganya. Orang merdeka menanggung diyat seperti halnya keluarganya menanggung untuknya.
Dia berkata: Jika seseorang meminjam hewan dari orang lain ke suatu tempat, lalu menyimpang ke tempat lain, dan hewan itu rusak selama penyimpangan atau setelah dikembalikan ke tempat peminjaman sebelum sampai ke pemiliknya, maka ia bertanggung jawab. Ia tidak terbebas dari tanggungan kecuali jika mengembalikannya kepada pemiliknya dalam keadaan utuh, dan ia wajib membayar sewa sejak penyimpangan beserta ganti rugi. Dia berkata: Jika seseorang menyewa hewan dari Mesir ke Aylah, lalu menyimpang ke Makkah, dan hewan itu mati di Makkah—padahal harganya saat diterima dari pemiliknya adalah sepuluh, kemudian berkurang karena perjalanan hingga menjadi lima di Aylah, lalu ia membawanya dari Aylah—maka ia hanya menanggung nilainya dari tempat penyimpangan. Ia harus membayar sewa hingga Aylah sesuai kontrak, membayar nilai hewan di Aylah sebesar lima, dan membayar sewa yang wajar untuk perjalanan dari Aylah ke Makkah, bukan berdasarkan perhitungan sewa awal.
Dia berkata: Jika seseorang menghadiahkan makanan kepada orang lain, lalu penerima hadiah memakannya, atau menghadiahkan pakaian yang kemudian dipakai hingga rusak dan hilang, kemudian seseorang mengklaimnya dari pemberi hadiah, maka pihak yang berhak memilih untuk menuntut pemberi hadiah karena dialah penyebab kerusakan hartanya. Jika ia mengambil makanan senilai atau harga pakaiannya, pemberi hadiah tidak berhak menuntut penerima jika hadiah itu diberikan tanpa imbalan. Penerima hadiah mengambil makanan senilai atau harga pakaiannya karena dialah yang merusaknya. Jika ia mengambilnya, ada perbedaan pendapat apakah penerima bisa menuntut pemberi hadiah. Ada yang mengatakan tidak bisa, karena pemberi hadiah tidak menerima imbalan sehingga tidak bisa dituntut balik. Ia hanya tertipu oleh sesuatu yang sebenarnya bisa ditolak. Dia berkata: Jika seseorang meminjam pakaian selama satu atau dua bulan, lalu memakainya hingga rusak, kemudian orang lain mengklaimnya, ia berhak mengambil pakaian itu dan nilai kerusakan akibat pemakaian sejak hari pinjam. Ia boleh memilih untuk menuntut peminjam yang memakainya atau orang yang mengambil pakaiannya. Jika ia menuntut peminjam yang memakainya, dan kerusakan terjadi selama di tangannya, ia tidak bisa menuntut pemberi pinjaman sebelumnya karena kerusakan akibat perbuatannya sendiri, dan ia tidak tertipu hartanya sehingga tidak bisa menuntut. Jika pemberi pinjaman (bukan pemakai) menanggungnya, maka bagi yang berpendapat bahwa pinjaman harus diganti, pemberi pinjaman bisa menuntut peminjam karena ia bertanggung jawab. Bagi yang berpendapat pinjaman tidak harus diganti, pemberi pinjaman tidak bisa menuntut apa pun karena ia mengizinkan pemakaian. Ini pendapat sebagian ulama Timur. Pendapat pertama adalah qiyas dari sebagian ulama Hijaz kita, sesuai dengan riwayat, dan ini yang kita pegang. Andaikata kasusnya sama tetapi bukan pinjaman melainkan penyewaan pakaian, maka…
Jawabannya sama seperti jawaban pada kasus pertama, kecuali bahwa penyewa jika menanggung sesuatu dapat menuntut kembali kepada pemberi sewa; karena ia telah tertipu oleh sesuatu yang diambil sebagai gantinya. Ia memakainya dengan anggapan bahwa hal itu diperbolehkan dengan imbalan, dan pemilik pakaian berhak mengambil nilai sewa pakaiannya.
Dia berkata: Jika seseorang mengajukan klaim terhadap orang lain dan meminta agar tergugat bersumpah, maka hakim harus menyumpahnya. Kemudian, hakim menerima bukti dari penggugat. Jika bukti yang sah terbukti, maka hakim akan memutuskan berdasarkan bukti tersebut, karena bukti yang adil lebih utama daripada sumpah palsu. Sama saja apakah saksi penggugat yang meminta sumpah hadir di kota atau tidak, hal ini tidak melampaui salah satu dari dua kemungkinan: baik tergugat jika bersumpah akan bebas dalam segala hal, baik ada bukti yang diajukan atau tidak, atau ia hanya bebas jika tidak ada bukti yang diajukan. Jika ada bukti, maka putusan harus diambil berdasarkan bukti tersebut. Kedekatan atau jarak saksi tidak berarti apa-apa. Namun, jika saksi tidak adil, maka cukup dengan sumpah pertama, dan tidak ada sumpah ulang. Kami menyumpahnya pertama kali karena putusan terhadap tergugat ada dua kemungkinan. Pertama: tidak ada bukti terhadapnya, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya. Atau kedua: ada bukti terhadapnya, maka putusan pertama gugur dan putusannya adalah ia harus menanggung berdasarkan bukti yang sah, sesuai dengan apa yang diklaim penggugat atau lebih dari yang dibuktikan oleh saksi.
Dia berkata: Jika seseorang merampas gandum dari orang lain lalu menggilingnya menjadi tepung, maka perlu dilihat. Jika nilai tepung sama atau lebih tinggi dari nilai gandum, maka perampas tidak mendapatkan keuntungan tambahan dan juga tidak berkewajiban apa-apa, karena ia tidak mengurangi nilai gandum. Namun, jika nilai tepung lebih rendah dari nilai gandum, maka perampas harus menanggung selisih antara nilai tepung dan gandum. Perampas tidak mendapatkan apa-apa dari proses penggilingan, karena itu hanya efek samping, bukan nilai intrinsik.
[Masalah Pemerkosaan]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i—rahimahullah—berkata: Tentang seorang laki-laki yang memaksa perempuan atau budak perempuan untuk berzina, maka bagi masing-masing dari mereka berhak mendapat mahar seperti mahar biasanya, tidak ada hukuman hadd atau ta’zir bagi mereka. Sedangkan bagi pemerkosa, dikenakan hukuman rajam jika dia sudah menikah (tsayyib), atau dicambuk dan diasingkan jika dia masih perjaka (bikr).
Muhammad bin Al-Hasan berpendapat: Tidak ada hukuman hadd atau ta’zir bagi kedua perempuan tersebut, sedangkan pemerkosa dikenakan hukuman hadd, dan tidak wajib membayar mahar. Hukuman hadd dan mahar tidak bisa dikenakan bersamaan. Argumen yang digunakan dalam hal ini adalah riwayat dari Qais bin Ar-Rabi’ dari Jabir dari Asy-Sya’bi, tetapi ia menganggap bahwa riwayat seperti ini tidak bisa dijadikan hujah. Sebagian pengikut kami berargumen dengan riwayat bahwa Malik mengabarkan dari Ibnu Syihab bahwa Marwan bin Al-Hakim pernah memutuskan bahwa seorang perempuan yang dipaksa harus diberikan maharnya oleh pemerkosanya. Orang yang berhujah dengan ini berkata: “Marwan adalah seorang yang pernah bertemu dengan banyak sahabat Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan memiliki ilmu serta sering diajak bermusyawarah dalam masalah ilmu. Ia memutuskan hal ini di Madinah tanpa meriwayatkannya dari Nabi.” Namun, Muhammad bin Al-Hasan berpendapat bahwa keputusan Marwan tidak bisa dijadikan hujah.
Abu Hanifah berkata: “Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, lalu untuk menghindari hukuman hadd, ia memaksanya hingga menyetubuhinya, maka hukuman hadd gugur dan berubah menjadi tindak kriminal yang wajib dibayar dengan hartanya.” Pendapat ini bertentangan dengan pendapat pertama.
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ia seorang pezina, maka hukuman hadd harus dilaksanakan sebelum ia menyetubuhinya, karena penyetubuhan tidak mengeluarkannya dari status zina, justru menambah dosanya.”
(Ar-Rabi’ berkata): Pendapat Asy-Syafi’i adalah bahwa jika seseorang bersumpah untuk melakukan suatu perbuatan dalam waktu tertentu, lalu ia meninggal sebelum waktu itu atau orang yang ia sumpahi untuk berbuat sesuatu telah tiada sebelum waktunya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah karena ia dalam keadaan terpaksa. Namun, jika ia bersumpah untuk melakukan suatu perbuatan tanpa menyebut waktu, lalu ia mampu melakukannya tetapi tidak melakukannya hingga ia meninggal atau orang yang dimaksud telah tiada, maka ia dianggap melanggar sumpah.