(Al-Rabi’) berkata: Al-Syafi’i berkata: Allah Ta‘ālā berfirman, “Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan, sebagai hukuman dari Allah.” (al-Mā’idah: 38). Al-Syafi’i berkata: Sebagian orang mengatakan bahwa siapa pun yang termasuk pencuri, maka tangannya dipotong sesuai hukum Allah tanpa melihat hadits.

Al-Syafi’i berkata: Aku berkata kepada sebagian orang, mereka berdalil dengan zahir al-Qur’an, lalu apa dalil yang menolaknya? Ia menjawab: Jika terdapat Sunnah dari Rasulullah ﷺ, maka Sunnah tersebut menjadi penjelas makna dari kehendak Allah. Maka kami katakan: Benar sebagaimana engkau katakan. Sunnah yang sahih dari Rasulullah ﷺ bahwa pemotongan tangan berlaku atas pencurian seharga ¼ dinar ke atas.

Al-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Ibn Syihab dari ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman dari ‘Ā’ishah –raḍiyallāhu ‘anhā– bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Potong tangan karena pencurian ¼ dinar ke atas.”

Al-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah ﷺ memotong tangan pencuri perisai yang nilainya tiga dirham.

Al-Syafi’i berkata: Kedua hadits ini sejalan karena tiga dirham saat zaman Nabi ﷺ setara dengan ¼ dinar, karena nilai tukar saat itu adalah 12 dirham = 1 dinar. Nilai ini juga ditetapkan oleh ‘Umar dalam penetapan diyat: 12.000 dirham untuk ahli perak, dan 1.000 dinar untuk ahli emas. ‘Ā’ishah, Abū Hurairah, dan Ibn ‘Abbās menyebutkan diyat 12.000 dirham.

Al-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr dari ayahnya dari ‘Amrah bahwa seorang pencuri mencuri buah utrujjah pada masa ‘Utsmān, lalu ‘Utsmān memerintahkan untuk menilai buah itu dan nilainya tiga dirham, lalu ia memotong tangan pencuri tersebut.

Al-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibn ‘Uyaynah dari Ḥumayd al-Ṭawīl, ia berkata: Aku mendengar Qatādah bertanya kepada Anas bin Mālik tentang pemotongan tangan. Anas menjawab: Aku hadir saat Abū Bakr memotong tangan seorang pencuri atas barang yang tidak seharga tiga dirham, atau beliau berkata: “Aku tidak suka memiliki barang itu seharga tiga dirham.”

Al-Syafi’i berkata: Maka aku berkata kepada sebagian orang: Ini adalah Sunnah Rasulullah ﷺ, yang menetapkan bahwa pemotongan berlaku atas pencurian ¼ dinar ke atas. Maka bagaimana engkau berkata: Tidak dipotong kecuali atas pencurian 10 dirham ke atas? Ia menjawab: Kami meriwayatkan dari Syarīk dari Manṣūr dari Mujāhid dari Ayman dari Nabi ﷺ, semakna dengan pendapat kami.

Aku berkata: Apakah kamu tahu siapa Ayman? Ayman yang diriwayatkan darinya oleh ‘Aṭā’ adalah seorang perawi yang kecil, mungkin lebih muda dari ‘Aṭā’, dan ia meriwayatkan dari Rabi‘ bin Imra’ah Ka‘b dari Ka‘b. Maka sanad ini munqaṭi‘ (terputus), dan hadits munqaṭi‘ tidak bisa menjadi hujjah.

Ia berkata: Kami meriwayatkan dari Syarīk bin ‘Abdillāh dari Mujāhid dari Ayman bin Umm Ayman, saudara seibu Usāmah. Aku berkata: Engkau tidak memahami perawi kami. Ayman, saudara Usāmah, gugur bersama Nabi ﷺ pada Perang Ḥunayn, sebelum Mujāhid lahir. Maka tidak mungkin Mujāhid meriwayatkan darinya.

Ia berkata: Kami meriwayatkan dari ‘Amr bin Shu‘ayb dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa Nabi ﷺ memotong tangan pencuri karena nilai perisai. ‘Abdullāh berkata: Nilai perisai saat Nabi ﷺ adalah satu dinar.

Al-Syafi’i berkata: Maka aku katakan bahwa ini adalah pendapat ‘Abdullāh bin ‘Umar. Dan dalam riwayat ‘Amr bin Shu‘ayb disebutkan bahwa perisai dulu dan kini adalah barang dagangan dengan harga bermacam-macam. Maka jika Rasul ﷺ memotong tangan atas pencurian senilai ¼ dinar, maka tentu lebih dari itu pun lebih utama untuk dipotong.

Engkau mengatakan bahwa ‘Amr bin Shu‘ayb tidak diterima riwayatnya, namun engkau gunakan riwayatnya ketika sesuai dengan pendapatmu, dan engkau tolak saat bertentangan. Bagaimana engkau bisa menolak riwayatnya lalu menjadikannya hujjah atas para perawi jujur dan terpercaya, padahal ia tidak meriwayatkan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat kami?

Ia berkata: Kami meriwayatkan pendapat kami dari ‘Alī –raḍiyallāhu ‘anhu. Kami jawab: Riwayat tersebut melalui al-Zu‘āfarī dari al-Sha‘bī dari ‘Alī. Kami juga diberitahu oleh para murid Ja‘far bin Muḥammad dari Ja‘far dari ayahnya bahwa ‘Alī –raḍiyallāhu ‘anhu– berkata: “Potong tangan atas pencurian ¼ dinar ke atas.” Hadits Ja‘far dari ‘Alī lebih sahih daripada riwayat al-Zu‘āfarī.

Ia berkata: Kami meriwayatkan dari Ibn Mas‘ūd bahwa ia berkata: “Tidak dipotong tangan kecuali atas pencurian 10 dirham.” Kami jawab: Sufyān al-Thawrī meriwayatkan dari ‘Isā bin Abī ‘Azah dari al-Sha‘bī dari Ibn Mas‘ūd bahwa Rasulullah ﷺ memotong tangan pencuri atas pencurian lima dirham. Ini lebih dekat kepada kebenaran dari riwayat sebelumnya.

Ia berkata: Kami meriwayatkan dari ‘Umar bahwa beliau tidak memotong tangan atas pencurian 8 dirham.

(Al-Syafi‘i berkata): Aku berkata: Riwayat dari ‘Umar itu tidak sahih. Ada juga yang meriwayatkan dari Ma‘mar dari ‘Aṭā’ al-Khurasānī dari ‘Umar bahwa ia berkata: “Pemotongan (tangan) berlaku atas pencurian ¼ dinar ke atas.” Namun, ia (riwayat itu) tidak dijadikan hujjah karena tidak tsabit.

(Al-Syafi‘i berkata): Tidak ada hujjah dari siapa pun jika berseberangan dengan Rasulullah ﷺ. Maka, kaum Muslimin wajib mengikuti beliau, dan tidak boleh meninggalkan hadits sahih hanya karena mengikuti zahir al-Qur’an.

[Pencuri yang Diampuni Barang Curian]

(Al-Syafi‘i – – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Ibn Syihāb dari Ṣafwān bin ‘Abdillāh bin Ṣafwān, bahwa Ṣafwān bin Umayyah diberitahu bahwa siapa yang tidak hijrah akan binasa, maka ia datang ke Madinah dan tidur di masjid dengan menjadikan selendangnya sebagai bantal. Lalu datang seorang pencuri dan mengambil selendang itu dari bawah kepalanya. Ṣafwān membawanya ke Nabi ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar tangan si pencuri dipotong. Ṣafwān berkata: “Aku tidak bermaksud demikian, wahai Rasulullah. Aku menganggapnya sebagai sedekah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Mengapa engkau tidak melakukannya sebelum engkau membawanya kepadaku?”

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari ‘Amr bin Dīnār dari Ṭāwūs, dengan makna yang sama dalam kisah Ṣafwān dari Nabi ﷺ.

(Al-Syafi‘i berkata): Seseorang berkata: “Tangan pencuri itu tidak dipotong, karena had tidak ditegakkan sebelum ia memiliki (mendapat) barang yang menjadikan tangannya layak dipotong.” Maka dikatakan kepada sebagian yang berpendapat seperti itu: “Kami tidak rela meninggalkan Sunnah hanya karena keliru dalam membuat qiyās, atau meninggalkannya.” Ia ditanya: “Apa qiyās-nya?” Kami katakan: “Kapan had menjadi wajib bagi pencuri? Saat mencuri atau saat ditegakkan had?” Ia menjawab: “Saat mencuri.” Kami berkata: “Begitulah pendapatmu dan kami pun berpendapat demikian.

Seandainya ada pencuri yang mencuri barang yang belum mencapai nisab (¼ dinar), lalu ditahan oleh imam agar diusut kasusnya, kemudian sebelum dibuktikan, harga barang itu naik mencapai nisab, maka tetap tidak dipotong tangannya, karena saat mencuri, nilainya belum mencukupi.” Ia setuju.

Kami berkata lagi: “Jika seorang budak mencuri dari tuannya, lalu imam menahannya dan si tuan membebaskannya, maka tidak dipotong, karena saat mencuri ia masih budak. Jika seorang mukatab mencuri lalu melunasi tanggungan dan merdeka, maka tetap tidak dipotong, karena saat mencuri ia belum merdeka.

Jika budak mencaci orang merdeka dan saat kasusnya sampai ke imam ia sudah merdeka, maka hukum cambuk berlaku baginya sebagai budak karena makian terjadi saat ia budak.

Demikian pula jika orang yang dicaci adalah budak dan ia merdeka saat kasus sampai ke hakim, maka ia tidak bisa menuntut, karena saat kejadian ia adalah budak.

Jika budak berzina lalu dimerdekakan saat itu juga, dan kasusnya dibawa ke hakim, maka hukum cambuk tetap berlaku sebagai budak, karena perzinaan terjadi saat ia budak.” Ia menjawab: “Ya.”

Dikatakan kepadanya: “Pencuri selendang Ṣafwān mencurinya saat Ṣafwān masih pemiliknya, dan had sudah wajib atasnya, bahkan Rasulullah ﷺ telah menetapkan hukum potong tangan, dan Ṣafwān masih pemiliknya. Maka bagaimana bisa hukum potong tangan dibatalkan?” Ia menjawab: “Ṣafwān telah menghibahkan had-nya (haknya atas hukum tersebut).”

Dikatakan lagi: “Dalam riwayat, yang dihibahkan Ṣafwān adalah selendangnya, bukan had-nya.” Ia menjawab: “Aku berbeda pendapat dengan temanku. Aku mengatakan: Jika hakim sudah memutuskan, lalu pemberian maaf datang setelahnya, maka tetap dipotong. Tetapi jika pemberian maaf datang sebelum hakim memutuskan, maka tidak dipotong. Karena keputusan hakim seperti pelaksanaan had.”

Kami katakan: “Ini juga keliru.” Ia bertanya: “Kenapa keliru?” Kami jawab: “Apa pendapatmu jika seseorang mengaku mencuri, atau berzina, atau minum khamr, lalu hakim menetapkan had terhadap mereka, dan ketika akan dilaksanakan, mereka menarik kembali pengakuannya?” Ia menjawab: “Maka had tidak ditegakkan.” Kami katakan: “Bukankah engkau mengatakan bahwa keputusan hakim sama seperti pelaksanaan had?” Ia menjawab: “Tidaklah sama.” Kami bertanya: “Lalu mengapa engkau menyamakannya?”

[Tentang Orang yang Terpotong Tangan dan Kaki Lalu Mencuri]

(Al-Syafi‘i – – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari ‘Abd al-Raḥmān bin al-Qāsim dari ayahnya, bahwa Abū Bakr al-Ṣiddīq – raḍiyallāhu ‘anhu – memotong tangan kiri seorang pencuri, padahal orang itu sebelumnya telah terpotong tangan dan kakinya. Dan ‘Abdullāh bin ‘Umar meriwayatkan dari Nāfi‘ dari Ṣafiyyah bint Abī ‘Ubayd dari Abū Bakr dengan makna yang sama.

(Al-Syafi‘i berkata): Lalu seseorang berkata: “Jika tangan dan kakinya sudah terpotong lalu ia mencuri, maka cukup dipenjara dan dicambuk, karena ia tidak lagi mampu berjalan.” Maka dikatakan: “Telah kami riwayatkan hal ini dari Rasulullah ﷺ, dan dari Abū Bakr di Madinah (Dar al-Hijrah), dan ‘Umar menyaksikannya serta menyetujui Abū Bakr. Bahkan telah diriwayatkan bahwa ‘Umar juga melakukan hal yang sama. Maka bagaimana bisa kalian menyelisihi hal ini?”

Lalu dikatakan: “Bukankah ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – mengatakan demikian?” Maka kami menjawab: “Kalian juga meriwayatkan dari ‘Alī beberapa hal yang janggal tentang hukum potong tangan, namun kalian tidak mengikutinya, seperti bahwa ia memotong ujung-ujung jari seorang anak kecil, atau bahwa ia memotong kaki dari tengah telapak kaki. Semua riwayat itu tidak sahih menurut kami.”

Maka bagaimana kalian meninggalkan sunnah Rasulullah ﷺ yang jelas, juga amalan Abū Bakr dan ‘Umar di Madinah, serta apa yang diketahui oleh para ulama, lalu kalian berhujjah dengan perkataan ‘Alī sendirian?

Lihatlah saat Allah Ta‘ālā berfirman:

{والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما}

“Dan pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan mereka berdua.” [Al-Mā’idah: 38]

Tidak disebutkan tangan dan kaki kecuali dalam konteks perampok (muhārib).

Kalau ada yang mengatakan: “Aku hanya memotong satu tangan, tidak lebih, karena kalau dipotong tangan dan kakinya maka akan hilang kekuatan dan kemampuannya berjalan, maka ia akan menjadi binasa.” Maka apa hujjah atasnya selain sunnah dan atsar yang sudah berlaku?

Tangan dan kaki adalah tempat untuk pelaksanaan hudud. Jika keduanya hilang, maka berarti telah binasa. Coba lihat, saat Allah menetapkan hukuman cambuk bagi pezina dan pencaci (qadzdzāf), jika mereka mengulanginya, maka hukuman diulang juga setiap kali mereka mengulang perbuatannya.

Kalau seseorang berkata: “Dia sudah dihukum sekali, maka tidak boleh diulang.” Apa hujjah atasnya? Bukankah dikatakan: “Selama tempat hukuman masih ada, maka hukum tetap dijalankan?” Maka demikian pula untuk tangan dan kaki: selama tempat untuk dipotong masih ada, maka dilakukan pemotongan.

Jika seseorang telah terpotong tangan dan kaki, maka ia sudah binasa (mustaḥlaq), lalu mengapa mereka tidak mencegah kebinasaan ini, dan malah menjadikan kebinasaan sebagai alasan untuk meninggalkan hukum potong tangan kiri?

Bagaimana mungkin mereka menjalankan hukuman mati kepada orang yang memang harus dibunuh – yang jelas-jelas merupakan kebinasaan sempurna – tetapi di sini mereka menghindar dari potong tangan karena khawatir akan membinasakan, padahal bertentangan dengan sunnah dan atsar?

Bagaimana jika seseorang mencuri dan dipotong tangan kanan dan kaki kiri oleh empat orang yang berbeda – masing-masing memotong satu anggota – apakah mereka mengatakan, “Karena empat anggota ini habis, maka ia menjadi binasa, maka cukup satu atau dua anggota saja?”

Kalau ada yang berkata: “Karena Allah berfirman: {والجروح قصاص} (dan luka-luka itu ada qishāshnya) [Al-Mā’idah: 45], maka aku menafsirkan: Jika kondisi orang yang akan dijatuhi qishāsh sama dengan kondisi korban, maka dilakukan. Tapi jika tidak, maka diganti dengan denda (diyah), karena menyempurnakan semua anggotanya berarti membinasakan.”

Lalu apa hujjah atasnya selain: “Untuk qishāsh ada batasnya, demikian pula pemotongan (dalam hudud) juga ada batasnya”?

Dan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā lebih mengetahui.

[Bab: Usia Anak Laki-Laki yang Jika Telah Mencapainya Maka Tangannya Dipotong Bila Mencuri]

(Al-Syafi‘i – – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyān bin ʿUyainah dari ʿAbdullāh bin ʿUmar dari Nāfiʿ dari Ibnu ʿUmar bahwa ia berkata:

“Aku diperlihatkan kepada Rasulullah pada hari Uhud, sedangkan aku berumur empat belas tahun, maka beliau menolakku. Dan aku diperlihatkan kepada beliau pada hari Khandaq, dan aku berumur lima belas tahun, maka beliau menerimaku.”

Nāfiʿ berkata: Aku menceritakan hal ini kepada ʿUmar bin ʿAbd al-ʿAzīz, lalu ia berkata:

“Inilah batas antara anak-anak dan dewasa.”

Kemudian ia menulis kepada para gubernurnya agar menetapkan anak umur lima belas tahun masuk kelompok pasukan tempur (mukātalah), sedangkan yang berumur empat belas termasuk kelompok anak-anak (dzurriyah).

(Al-Syafi‘i berkata): Maka berdasarkan inilah kami berkata: hudud (hukuman pidana) ditegakkan atas orang yang telah mencapai usia lima belas tahun, walaupun ia belum mimpi basah; karena telah dipisahkan antara pasukan tempur dan anak-anak, dan perintah berperang hanya berlaku bagi orang yang wajib melaksanakan kewajiban agama.

Barang siapa telah terkena kewajiban agama, maka berlaku pula atasnya hukum hudud. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.

Rasulullah ﷺ sendiri telah menerima anak umur lima belas tahun untuk ikut perang.

Kemudian ada yang berkata:

“Hudud tidak ditegakkan atas anak laki-laki hingga berumur sembilan belas tahun bila belum mimpi, dan tidak atas anak perempuan hingga berumur tujuh belas.”

Maka aku tidak tahu apa maksudnya dengan batas usia tersebut, dan atas dasar apa ia menetapkannya.

Bagaimana jika seseorang mengatakan:

“Aku tidak menegakkan hudud atas seseorang hingga ia mencapai usia empat puluh tahun, karena itu adalah usia yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an.”

Apa hujjah atasnya?

Jika ia membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, padahal perempuan dihukumi baligh ketika haid, dan laki-laki ketika mimpi, maka itulah waktu wajibnya hudud atas mereka.

Apa hujjahnya membuat perbedaan sebagaimana yang ia klaim?

Para sahabatnya sendiri menyelisihinya dan sepakat dengan kami, mereka berkata:

“Hudud ditegakkan atas orang yang telah mencapai umur lima belas tahun, baik laki-laki maupun perempuan.”

Dan mereka berdalil dengan hadis Ibnu ʿUmar tersebut.

[Tentang Buah Segar yang Dicuri]

(Al-Syafi‘i – – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Yaḥyā bin Saʿīd dari Muḥammad bin Yaḥyā bin Ḥibbān dari Rāfiʿ bin Khadīj, bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak ada potong tangan atas pencurian buah (yang masih di pohon) dan kayu kurma kecil (yang basah).”

Dan telah mengabarkan kepada kami Ibnu ʿUyainah dari Yaḥyā bin Saʿīd dari Muḥammad bin Yaḥyā bin Ḥibbān dari pamannya Wāsiʿ bin Ḥibbān dari Rāfiʿ bin Khadīj, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Tidak ada potong tangan atas pencurian buah dan kayu basah kurma.”

(Al-Syafi‘i berkata): Berdasarkan ini kami mengatakan:

Tidak dikenakan potong tangan atas pencurian buah yang masih tergantung (di pohon), atau yang tidak disimpan dengan aman (ghair muḥraz), juga tidak atas pencurian jantung batang kurma (jummār), karena itu bukanlah muḥraz.

Ini mirip dengan hadis ʿAmr bin Syuʿaib.

(Al-Syafi‘i berkata): Ada sebagian orang yang berhujah dengan hadis Rāfiʿ dan berkata:

“Ini menunjukkan bahwa tidak ada potong tangan atas pencurian buah yang masih tergantung. Oleh karena itu kami katakan bahwa buah segar tidak dikenai hukum potong tangan.”

(Al-Syafi‘i berkata): Maka aku berkata kepadanya:

“Kalau engkau memahami hadis ini demikian, maka ‘tsamar’ (buah) adalah kata yang umum mencakup buah segar dan kering, seperti kurma kering dan kismis. Maka, apakah engkau juga menggugurkan potong tangan atas pencurian kurma yang disimpan di rumah?”

Ia menjawab: “Tidak.”

Maka aku berkata:

“Begitu pula halnya dengan buah segar yang dijaga dan disimpan (muḥraz), karena kata ‘tsamar’ mencakup semua itu sebagaimana engkau mengerti.”

Aku berkata:

“Bagaimana pendapatmu jika dua orang dzimmi (non-Muslim) berzina? Apakah engkau menghukumi keduanya dengan hukum Islam atau hukum mereka?”

Ia berkata: “Kalau aku katakan dengan hukum mereka?”

Kami jawab:

“Kalau begitu engkau harus menerima bahwa dalam hukum mereka bisa terjadi hal yang dibatalkan oleh hukum Islam – seperti, pencuri menjadi budak bagi yang dicurinya. Maka apakah engkau akan membolehkannya?”

Ia berkata: “Tidak, aku tidak menjadikannya budak. Aku tetap memotong tangannya.”

Kami jawab:

“Berarti engkau kadang menghukumi mereka dengan hukum Islam dan kadang dengan hukum Ahlul Kitab. Tapi engkau juga membolehkan jual beli khamr dan babi di antara mereka. Bagaimana bisa engkau menegakkan hudud atas mereka, tetapi pada sisi lain membolehkan hal yang dilarang dalam Islam?”

(Al-Syafi‘i berkata): Temannya menyelisihinya dan berkata:

“Dua orang Yahudi dirajam jika berzina, dan seorang Yahudi perempuan bisa dihukum karena menggauli Muslim.”

Kemudian ia kembali dan menyetujui mereka dalam membolehkan harga khamr dan babi.

Ini pembahasan yang sangat panjang.

[Bab Pengasingan dan Pengakuan dalam Zina]

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik, dari Ibn Syihāb, dari ʿUbaydullāh bin ʿAbdillāh bin ʿUtbah bin Masʿūd, dari Abū Hurayrah dan Zayd bin Khālid al-Juhanī – semoga Allah meridai keduanya – bahwa keduanya mengabarkan kepadanya:

“Bahwa dua orang laki-laki bersengketa di hadapan Rasulullah ﷺ. Salah seorang dari keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah, putuskanlah perkara antara kami dengan Kitab Allah.’ Yang lainnya — yang lebih faqih di antara keduanya — berkata, ‘Benar, wahai Rasulullah, putuskan antara kami dengan Kitab Allah dan izinkan aku berbicara.’ Beliau bersabda, ‘Berbicaralah.’ Ia berkata, ‘Sesungguhnya anakku bekerja pada orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya. Aku diberitahu bahwa anakku harus dirajam. Maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan milikku. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu, dan mereka mengabarkan kepadaku bahwa yang wajib atas anakku hanyalah cambuk seratus kali dan pengasingan satu tahun, sedangkan rajam adalah untuk istrinya.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memutuskan perkara antara kalian berdua dengan Kitab Allah: kambing dan budak perempuanmu dikembalikan kepadamu, anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan beliau memerintahkan Anīs al-Aslamī agar pergi menemui istri orang itu; jika dia mengaku, maka rajamlah dia.’ Maka ia pun mengaku, dan dia dirajam.”

(Al-Syafi‘i berkata): Dengan ini kami berpendapat, dan di dalamnya terdapat hujjah bahwa orang yang mengaku sekali dapat dirajam jika pengakuannya tetap. Ibnu ʿUyaynah juga meriwayatkan dengan sanad ini dari Nabi ﷺ.

ʿUbādah bin al-Ṣāmit juga meriwayatkan tentang cambuk dan pengasingan dari Nabi ﷺ.

(Al-Syafi‘i berkata): Sebagian orang menyelisihi hadis ini sebagaimana aku sebutkan padamu. Ia berkata: Tidak dirajam orang yang mengaku hanya sekali, dan tidak dirajam sampai ia mengaku empat kali. Padahal Nabi ﷺ memerintahkan Anīs untuk merajamnya jika dia mengaku. Dan ʿUmar bin al-Khaṭṭāb juga memerintahkan Abū Wāqid al-Laythī dengan hal yang serupa. Dia juga berkata: Jika pezina mengaku, maka wajib bagi imam untuk memulai merajam, kemudian diikuti oleh orang-orang. Dan jika ada bukti (syahadah), maka perajaman dimulai oleh para saksi, lalu imam, lalu orang-orang.

(Al-Syafi‘i berkata): Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk merajam Māʿiz dan beliau tidak hadir. Beliau juga memerintahkan Anīs agar pergi ke seorang wanita; jika dia mengaku maka rajamlah, dan tidak bersabda: “Beritahukan aku agar aku hadir.” Aku juga tidak mengetahui bahwa beliau memerintahkan agar rajam dilakukan di hadapannya. Seandainya kehadiran imam adalah syarat, niscaya beliau akan hadir. Begitu pula ʿUmar memerintahkan Abū Wāqid al-Laythī agar pergi ke seorang wanita; jika dia mengaku, maka rajamlah dia, tanpa memerintahkan agar beliau dihadirkan. Aku juga tidak mengetahui seorang imam pun yang menghadiri rajam, bahkan ʿUṯmān bin ʿAffān memerintahkan untuk merajam seorang wanita dan beliau tidak menghadirinya.

(Al-Syafi‘i berkata): Orang yang berzina dalam keadaan sudah menikah (muhshan) dirajam dan tidak dicambuk. Cambuk telah dinasakh (dihapus) dari orang yang sudah menikah. Allah Taʿālā berfirman: “Dan wanita-wanita di antara kalian yang berbuat keji” (QS. al-Nisāʾ: 15) sampai ayat “jadikanlah jalan keluar bagi mereka”. Ini sebelum turunnya ayat-ayat hudūd.

Lalu al-Ḥasan meriwayatkan dari Ḥiṭṭān al-Ruqāshī dari ʿUbādah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah menjadikan jalan keluar untuk mereka: yang sudah menikah dengan yang sudah menikah — dicambuk seratus kali dan dirajam.”

Inilah awal turunnya hukuman cambuk. Kemudian ʿUmar bin al-Khaṭṭāb berkata di atas mimbar: “Rajam itu tertulis dalam Kitab Allah, wajib atas siapa yang berzina jika dia telah menikah.” Namun, beliau tidak menyebutkan cambuk. Rasulullah ﷺ merajam Māʿiz dan tidak mencambuknya. Rasulullah ﷺ memerintahkan Anīs agar pergi ke wanita itu; jika dia mengaku maka rajamlah dia. Semua ini menunjukkan bahwa cambuk telah dinasakh dari orang yang sudah menikah. Semua imam yang kami ketahui merajam tanpa mencambuk.

Jika ada yang berkata: Aku tidak mengasingkan seorang pun. Maka dikatakan kepada sebagian orang yang berkata demikian: Mengapa engkau menolak pengasingan dalam zina, padahal itu tsabit dari Nabi ﷺ, Abū Bakr, ʿUmar, ʿUṯmān, ʿAlī, Ibn Masʿūd, dan masyarakat sampai hari ini? Ia berkata: Aku menolaknya karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahram.”

Aku berkata kepadanya: Perjalanan wanita adalah sesuatu yang dikenakan perlindungan bagi wanita dalam hal-hal yang bukan kewajiban. Ia telah dilarang untuk berkhalwat di dalam kota dengan laki-laki dan diperintahkan untuk tetap di rumah. Dikatakan kepadanya bahwa salatnya di rumahnya lebih utama, agar tidak menimbulkan fitnah, dan tidak difitnahkan oleh orang lain. Ini bukan termasuk hal yang wajib atasnya.

Apakah kamu melihat jika seseorang berkata yang meremehkan sunnah: Aku tidak akan mencambuknya karena mereka berbuat bebas — apa hujjah terhadapnya selain meninggalkan hujjah dari al-Qur’an dan hadis?

Apakah kamu melihat jika kamu beralasan menolak pengasingan dengan hadis “wanita tidak boleh bepergian tiga hari kecuali bersama mahram”, yang bukan termasuk had zina? Ia berkata: Karena keduanya sama-sama memiliki unsur safar.

Aku berkata: Jika dua hadis dari dua bab berbeda berkumpul dalam satu makna, apakah kamu menghapus salah satunya dengan yang lain? Ia berkata: Ya.

Aku berkata: Jika pengasingan adalah termasuk hal yang paling tsabit dari Rasulullah ﷺ dan para imam setelahnya, dan masyarakat sampai hari ini melaksanakannya, lalu kamu berkata seperti itu hanya karena sama-sama mengandung unsur safar — maka apakah kamu menghalalkan bagi wanita safar tiga hari atau lebih dengan tanpa mahram? Ia berkata: Tidak.

Aku berkata: Lalu mengapa kamu menghapus salah satunya dengan yang lain, dan tidak membiarkan kami melakukan hal serupa terhadapmu?

Aku berkata: Apakah kamu melihat jika kamu beralasan menolak pengasingan karena safar tanpa mahram, lalu seorang gadis berzina di Baghdad dan kamu cambuk dia, lalu datang ayahnya dan saudara-saudaranya yang semuanya mahram baginya, dan berkata: “Ia telah rusak di Baghdad, dan keluarganya di al-Madāʾin.” Dan kamu membolehkan safar bersama mahram ke tempat yang lebih jauh, dan membolehkan kurang dari tiga hari dengan non-mahram — maka kedua hal itu telah berkumpul. Kami adalah mahramnya, maka asingkanlah dia dari Baghdad, dan bawalah dia dengan mahram ke kampungnya. Ia berkata: Aku tidak akan mengasingkannya karena ia memiliki kuasa atas dirinya sendiri.

Aku berkata: Maka telah hilang dua alasan yang kamu jadikan hujjah. Seandainya kamu meninggalkan pengasingan karena dua alasan itu, niscaya kamu akan mengasingkannya dalam dua keadaan ini.

Aku berkata kepadanya: Apakah kamu melihat jika ia berada di perkampungan dan tidak ada hakim (qāḍī) kecuali sejauh tiga hari atau lebih, lalu seseorang menuduhnya atau ia melakukan tindakan yang terkena hadd, apakah ia dibawa ke qāḍī? Ia berkata: Ya.

Aku berkata: Apakah dengan non-mahram? Ia berkata: Ya. Aku berkata: Maka kamu telah membolehkan dia untuk safar tiga hari atau lebih dengan non-mahram.

Ia berkata: Itu karena hal itu adalah kewajiban. Aku berkata: Maka ini menurut pendapatmu adalah wajib, dan kamu membolehkannya, namun kamu melarang apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah ﷺ dan diberitakan oleh Allah padanya.

(Al-Syafi‘i berkata): Aku berkata kepadanya: Jika kamu beralasan dengan wanita dalam apa yang kamu sebutkan, apakah laki-laki membutuhkan mahram? Ia berkata: Tidak. Aku berkata: Maka mengapa kamu tidak mengasingkannya? Ia berkata: Karena ini adalah satu hadd. Jika telah gugur dari salah satunya, maka gugur pula dari yang lain.

Aku berkata: Ini juga termasuk syubhat kalian yang kalian jadikan alasan, padahal kalian tahu kalian salah di dalamnya, atau kalian mengetahui tempat kesalahannya. Ia berkata: Bagaimana?

Aku berkata: Apa pendapatmu jika seorang muḥshan merdeka berzina dengan seorang gadis, atau dengan seorang budak wanita, atau dengan wanita yang dipaksa? Ia berkata: Atas orang muḥshan dalam semua ini adalah rajam, atas gadis adalah seratus cambukan, atas budak wanita lima puluh, dan atas wanita yang dipaksa tidak ada apa-apa.

Aku berkata: Demikian juga jika wanita itu muḥshan, lalu yang berzina dengannya adalah budak — maka dia dirajam dan budak itu dicambuk lima puluh kali? Ia berkata: Ya. Aku berkata: Mengapa? Bukankah karena kamu memberikan kepada masing-masing dari keduanya hukum hadd dirinya, dan tidak kamu pindahkan darinya hanya karena ada yang bersamanya? Ia berkata: Ya.

Aku berkata: Maka mengapa tidak kamu asingkan laki-laki jika dia tidak butuh mahram dan pengasingan adalah hadd-nya?

Ia berkata: Umar pernah mengasingkan seseorang lalu berkata: Aku tidak akan mengasingkan setelahnya. Aku berkata: Umar mengasingkan seseorang karena khamr, dan pengasingan dalam sunnah adalah atas pezina dan pelaku homoseks, dan dalam al-Qur’an adalah atas muḥārib, dan itu berbeda dari pengasingan keduanya, dan bukan atas yang lain. Jika Umar melihat adanya pengasingan dalam khamr, lalu ia tinggalkan, maka khamr tidak sama dengan zina. Umar juga mengasingkan dalam zina. Lalu mengapa kamu tidak berhujjah dengan pengasingan Umar dalam zina? Kita telah sepakat bahwa tidak ada hujjah pada siapa pun jika telah ada hujjah dari Rasulullah ﷺ.

(Al-Syafi‘i berkata): Ada yang berkata: Aku tidak akan merajam kecuali dengan pengakuan empat kali, karena pengakuan itu menggantikan empat kesaksian. Kami berkata: Jika seseorang mengaku empat kali lalu mencabutnya, apakah tetap dirajam? Ia berkata: Tidak.

Kami berkata: Maka ini menunjukkan adanya perbedaan antara pengakuan dan kesaksian. Apakah kamu melihat jika kamu berkata bahwa pengakuan menggantikan kesaksian, lalu mengapa kamu menetapkan bahwa pencuri cukup mengaku sekali untuk dipotong tangannya? Mengapa kamu tidak syaratkan dua kali?

Jika seseorang mengaku kepada orang lain akan haknya, kamu menetapkannya selamanya — maka kamu menjadikan pengakuan lebih kuat dari kesaksian sekali waktu, dan lebih lemah darinya di waktu lain?

Ia berkata: Pengakuan bukanlah bagian dari kesaksian. Akan tetapi al-Zuhrī meriwayatkan bahwa seseorang mengaku kepada Nabi ﷺ sebanyak empat kali.

Kami berkata: Ibn al-Musayyib meriwayatkan bahwa ia mengaku berkali-kali dan Rasulullah ﷺ terus mengulanginya, namun tidak menyebutkan jumlahnya. Hal itu terjadi di awal Islam karena ketidaktahuan manusia tentang apa yang wajib atas mereka.

Apakah kamu tidak melihat bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang orang yang mengaku: “Apakah dia sedang sakit atau terkena gangguan jiwa?” Beliau tidak melihat ada orang yang Allah tutupi dosanya lalu ia mengaku kecuali karena ia tidak tahu hadd-nya.

Apakah kamu tidak melihat bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Datanglah engkau wahai Anīs kepada istri orang ini, jika ia mengaku maka rajamlah dia,” dan tidak menyebutkan jumlah pengakuan. ʿUmar juga memerintahkan Abū Wāqid al-Laythī dengan hal serupa, dan tidak memerintahkannya dengan jumlah pengakuan.

[Apa yang Diriwayatkan tentang Hukuman bagi Seorang Laki-laki terhadap Budaknya (Amah) yang Berzina]

(Al-Syafi’i berkata) – rahimahullah -: Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Ibnu Syihāb dari ʿUbayd bin ʿAbdillāh bin ʿUtbah dari Abū Hurayrah dan Zayd bin Khālid al-Juhanī – semoga Allah meridai keduanya – bahwa Rasulullah ﷺ ditanya tentang budak perempuan (amah) apabila ia berzina dan belum pernah menikah. Maka beliau bersabda: “Jika ia berzina, maka deralah dia. Kemudian jika ia berzina lagi, deralah dia. Lalu jika ia berzina lagi, deralah dia. Kemudian juallah dia, meskipun hanya seharga seutas tali rambut.” Ibnu Syihāb berkata: Aku tidak tahu apakah (jual itu) setelah yang ketiga atau keempat.

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari ʿAmr bin Dīnār dari al-Ḥasan bin Muḥammad bin ʿAlī bahwa Fāṭimah, putri Rasulullah ﷺ, menjatuhkan hukuman had kepada seorang budaknya yang telah berzina.

(Al-Syafi‘i berkata): Kaum Anṣār dan orang-orang setelah mereka menjatuhkan hukuman had kepada para budak perempuan mereka. Ibnu Masʿūd memerintahkan hal itu. Abū Barzah menjatuhkan had kepada budak wanitanya.

Jika ada yang berkata: Seorang laki-laki tidak boleh menjatuhkan had kepada budaknya, karena itu wewenang imam, dan beralasan: bagaimana mungkin pemilik budak tidak paham tentang had? Kami katakan: Yang menjatuhkan had adalah orang yang mengerti tentangnya.

Kami juga berkata kepada sebagian dari mereka yang berpendapat demikian: Allah Taʿālā berfirman, “Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyūz-nya, maka nasehatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (QS. al-Nisā’: 34)

(Al-Syafi‘i berkata): Maka Allah mengizinkan seorang laki-laki memukul istrinya, padahal ia seorang wanita merdeka, bukan budak. Mereka berkata: Itu bukan hukuman had. Aku katakan: Jika Allah mengizinkan pemukulan dalam perkara yang bukan had, maka tentu dalam perkara had yang memiliki batas (jumlah pukulan) lebih layak untuk diizinkan; karena had ada batasnya yang tidak boleh dilebihi, sedangkan pukulan biasa (ta’dib) tidak ada batasnya.

Maka bagaimana engkau membolehkan dalam yang satu dan membatalkan dalam yang lain?

Ia berkata: Kami meriwayatkan dari Ibnu ʿAbbās sesuatu yang mendukung pendapat kami. Aku katakan: Apakah ada hujjah dalam ucapan siapa pun jika sudah ada ketetapan dari Rasulullah ﷺ? Ia menjawab: Tidak. Maka aku katakan: Mengapa engkau berhujah dengan ucapan itu, padahal tidak dikenal secara pasti dari Ibnu ʿAbbās?

Sebagian mereka berkata kepadaku: Jika engkau membiarkan orang-orang menjatuhkan hukuman kepada budak mereka, tidakkah di antara manusia ada yang bodoh? Apakah orang bodoh pantas memikul urusan had?

(Al-Syafi‘i berkata): Aku berkata kepadanya: Ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan agar budak yang berzina dijatuhi had, maka itu berlaku bagi setiap orang yang memiliki budak, dan had itu batasnya jelas dan dikenal.

Ia berkata: Mungkin perintah itu hanya ditujukan kepada orang-orang yang berilmu. Aku katakan: Tidak ada seorang pun yang berakal yang tidak mengetahui bahwa had atas budak perempuan adalah 50 kali cambuk.

Kami tanyakan kepadanya: Bagaimana menurutmu jika seorang laki-laki khawatir akan nusyūz dari istrinya, atau melihat sesuatu yang ia benci darinya, bolehkah ia memukulnya? Ia menjawab: Ya.

Aku bertanya: Mengapa? Ia berkata: Karena Allah telah memberikan rukhṣah untuk memukul wanita, dan Rasulullah ﷺ mengizinkan seorang suami untuk mendidik istrinya.

Kami katakan: Jika seseorang beralasan dalam memukul wanita karena nusyūz dengan alasan yang sama seperti yang kamu gunakan dalam had, dan lebih lagi, karena had memiliki batas jumlah sedangkan ta’dib tidak memiliki batas — jika engkau mengizinkan orang yang tidak berilmu memukul, tidakkah engkau khawatir dia melampaui batas?

Ia berkata: Katakan padanya: “Pukul, tapi jangan melebihi batas.” Kami berkata: Berapa batasnya?

Ia berkata: Batas yang diketahui oleh manusia. Aku bertanya: Berapa yang mereka tahu? Ia berkata: Pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak mencapai had.

Kami katakan: Pukulan yang tidak mencapai had bisa satu pukulan, tiga puluh sembilan, atau tujuh puluh sembilan. Yang mana dari jumlah ini boleh digunakan untuk memukul istri?

Ia berkata: Yang diketahui manusia.

Kami katakan: Jika dikatakan padamu bahwa yang dimaksud itu hanya untuk orang yang berilmu. Ia berkata: Kewajiban antara orang berilmu dan orang bodoh adalah sama.

Kami berkata: Lalu mengapa engkau mencela kami karena mengikuti perintah Nabi ﷺ bahwa seseorang menjatuhkan had pada budaknya yang berzina? Lalu engkau mengatakan bahwa orang berilmu pun tidak boleh menjatuhkan had pada budaknya?

Jika alasanmu karena kebodohan orang bodoh, maka seharusnya engkau membolehkan orang berilmu menjatuhkannya. Namun engkau tidak membolehkannya untuk siapa pun. Engkau justru mencampuradukkan kebodohan orang bodoh padahal orang berakal tidak akan keliru dalam 50 pukulan yang tidak melukai.

Kemudian engkau justru membolehkan orang bodoh memukul istrinya tanpa menentukan jumlah pukulan. Jika engkau mengikuti hadis dari Nabi ﷺ, maka tidak boleh seseorang menakwilkannya secara semena-mena, karena hadis tersebut bersifat umum bagi orang berilmu dan orang bodoh.

Ia berkata: Ya. Kami berkata: Lalu mengapa engkau tidak mengikuti hadis yang lebih kuat dari Nabi ﷺ bahwa seorang laki-laki menjatuhkan had pada budaknya, lalu engkau lebih memilih hadis yang lebih lemah, dan menyamakan antara orang bodoh dan orang berilmu, lalu setelah itu melarang keduanya dari menjatuhkan had?

Tidak ada cara menjelaskan kesalahan suatu pendapat yang lebih jelas daripada ini.

(Al-Syafi‘i berkata): Orang yang menolak hal ini tidak mendasarkan pendapatnya pada alasan kebodohan. Jika ia menjadikannya sebagai alasan, maka seharusnya ia membolehkannya untuk orang berilmu dan tidak untuk orang bodoh. Namun ia tidak membolehkannya untuk keduanya, padahal ia menolak hadis yang lebih kuat dan mengambil hadis yang lebih lemah. Sedangkan kami mengambil keduanya. Dan kami memohon taufik kepada Allah Taʿālā.

[Bab Tentang Orang Cacat Sejak Lahir (Bukan Karena Sakit) dan Hukuman Had]

Telah mengabarkan kepada kami al-Rabīʿ, ia berkata: (Al-Syafi‘i berkata) – rahimahullah -: Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari Yaḥyā bin Saʿīd dan Abū al-Zinād, keduanya dari Abū Umāmah bin Sahl bin Ḥanīf: “Bahwa ada seorang laki-laki — salah seorang dari dua perawi berkata: ‘orang yang buta’; yang lain berkata: ‘lumpuh’ — yang tinggal bersama para budak perempuan Saʿd, lalu ia menghamili salah satu wanita. Maka ia ditanya dan mengakui perbuatannya. Lalu Nabi ﷺ memerintahkan agar ia dijatuhi had dengan pelepah kurma.” Salah seorang berkata: “Dengan pelepah kurma basah.”

(Al-Syafi‘i berkata): Dengan ini kami berpendapat, yaitu apabila seseorang lemah tubuhnya dan tidak kuat menahan pukulan cambuk dan tampak bahwa jika dipukul dengan cambuk dalam had bisa menyebabkan kematian secara lahiriah, maka dia dipukul dengan pelepah kurma, karena Allah telah menetapkan hudūd, sebagian darinya bisa menyebabkan kematian seperti rajam dan qishāṣ.

Sedangkan hudūd berupa cambuk, Rasulullah ﷺ telah menjelaskan cara pelaksanaannya. Dan Allah telah menjelaskan hukuman ini dalam Kitab-Nya, lalu Nabi ﷺ menjelaskannya dalam sunnahnya, bahwa maksud dari pukulan bukanlah untuk membinasakan, melainkan untuk menakut-nakuti manusia dari perbuatan keji, dan juga mungkin sebagai bentuk penyucian.

Maka apabila diketahui bahwa pelaksanaan had pada orang yang buta atau lemah akan membinasakannya, maka ia dipukul sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ.

Jika dikatakan: Bisa jadi orang yang sehat pun binasa karena pukulan, sedangkan orang yang lemah justru selamat. Maka dikatakan: Pelaksanaan had itu didasarkan pada kondisi yang tampak, sedangkan ajal adalah urusan Allah Taʿālā.

(Al-Syafi‘i berkata): Adapun wanita hamil dan orang sakit, maka had mereka ditunda hingga wanita hamil melahirkan dan orang sakit sembuh. Hal ini berbeda dengan orang yang lemah karena penciptaan tubuhnya.

Sebagian orang berbeda pendapat dengan kami dan berkata: “Aku tidak mengenal had kecuali satu bentuk saja, walaupun orang tersebut lemah sejak lahir.”

Aku berkata: Menurutmu, apakah kewajiban shalat lebih besar atau had? Ia berkata: Semua kewajiban itu besar.

Kami berkata: Bukankah orang yang tidak mampu berdiri dalam shalat diperbolehkan duduk, dan yang tidak mampu duduk diperbolehkan dengan isyarat?

Begitu juga had bisa digugurkan dari orang yang tidak mampu menjalankannya.

(Al-Rabīʿ berkata): Maksudnya adalah apabila ada pencuri yang mencuri sedangkan ia tidak memiliki tangan maupun kaki, maka hakim tidak dapat melaksanakan hukuman potong anggota tubuh terhadapnya.

Orang itu berkata: Itu termasuk mengikuti hukum dan keadaan darurat.

Kami katakan: Begitu pula menjatuhkan had pada orang yang lemah dengan pelepah kurma adalah mengikuti Rasulullah ﷺ, dan itu tidak boleh ditentang karena termasuk keadaan darurat.

[Kesaksian dalam Kasus Zina]

(Al-Syafi’i berkata) – rahimahullah -: Allah Ta‘ala berfirman tentang para penuduh zina: “Mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi? Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka di sisi Allah adalah orang-orang yang dusta.” (QS. al-Nūr: 13)

(Al-Syafi’i berkata): Maka tidak boleh dalam kasus zina jumlah saksi kurang dari empat, berdasarkan ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla kemudian berdasarkan ketetapan Rasulullah ﷺ. Jika jumlah mereka tidak mencapai empat, maka mereka dihukumi sebagai para penuduh (qadzhif). Begitulah ʿUmar bin al-Khaṭṭāb memutuskan terhadap mereka, maka beliau menjatuhkan hukuman cambuk kepada mereka seperti cambukan terhadap para penuduh. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari siapa pun yang kutemui di negeri kami bahwa dalam kasus zina tidak boleh kurang dari empat saksi, dan bahwa apabila tidak terpenuhi jumlah itu maka mereka dijatuhi hukuman sebagai para penuduh. Tidak ada satu pun bentuk kesaksian yang serupa dengan kesaksian dalam kasus zina.

(Al-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Suhayl dari ayahnya dari Abū Hurayrah: “Bahwa Saʿd bin ʿUbādah berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku mendapati seorang lelaki bersama istriku? Apakah aku harus menundanya hingga aku mendatangkan empat saksi?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ya.’”

(Al-Syafi’i berkata): Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa jumlah saksi dalam zina adalah empat, dan bahwa tidak boleh bagi siapa pun selain imam (penguasa) untuk menjatuhkan hukuman bunuh atau hukuman lain hanya berdasarkan apa yang ia lihat sendiri.

(Al-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Yaḥyā bin Saʿīd dari Ibn al-Musayyib bahwa seorang lelaki di Syam mendapati istrinya bersama seorang lelaki, lalu ia membunuhnya atau membunuh keduanya. Maka Muʿāwiyah menulis surat kepada Abū Mūsā al-Ashʿarī untuk meminta pendapat ʿAlī tentang kasus ini. Lalu ʿAlī berkata, “Ini perkara yang tidak dikenal di wilayah Irak. Aku memintamu dengan sungguh-sungguh agar engkau mengabarkannya kepadaku.” Lalu ia mengabarkannya, maka ʿAlī berkata, “Aku adalah Abū al-Ḥasan. Jika dia tidak mendatangkan empat orang saksi, maka serahkanlah dia untuk dijatuhi hukuman.”

(Al-Syafi’i berkata): Dengan semua hal ini kami berpendapat, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari kalangan ahli ilmu yang terdahulu mengenai hal ini.

(Al-Syafi’i berkata): Sebagian orang berkata, “Jika seseorang membunuh seseorang lain di rumahnya, lalu para wali si terbunuh menuntutnya, kemudian si pembunuh berkata: ‘Aku mendapati dia di rumahku hendak mencuri, maka aku membunuhnya’, maka kami periksa: jika yang terbunuh dikenal sebagai pencuri, maka kami tidak menjatuhkan hukuman qishāṣ kepada si pembunuh dan kami bebani dia dengan diyat (denda darah). Jika tidak dikenal sebagai pencuri, maka kami serahkan si pembunuh kepada wali si terbunuh untuk dibalas.”

(Al-Syafi’i berkata): Maka aku berkata kepadanya, “Rasulullah ﷺ tidak mengizinkan Saʿd bin ʿUbādah untuk membunuh seseorang yang ia dapati bersama istrinya kecuali setelah menghadirkan empat saksi. Dan ʿAlī bin Abī Ṭālib berkata, ‘Jika tidak mendatangkan empat saksi, maka serahkan dia untuk dihukum.’ Maka bagaimana engkau menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ dan atsar dari ʿAlī?”

Ia berkata, “Kami meriwayatkan dari ʿUmar bin al-Khaṭṭāb bahwa ia menggugurkan hukuman itu.” Aku berkata, “Telah diriwayatkan dari ʿUmar bahwa ia berkata, ‘Ini adalah orang yang dibunuh oleh Allah. Demi Allah, dia tidak akan diberi diyat selamanya.’ Menurut kami, hal itu karena ʿUmar mendapati bukti pada si terbunuh atau wali si terbunuh mengakui hal yang mewajibkan dibunuhnya si terbunuh.”

Aku bertanya, “Apakah kalian meriwayatkan hal ini dalam hadis?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Maka hadis itu harus dipahami sesuai dengan zahirnya.” Ia berkata, “Kalian menyelisihi zahirnya.” Aku berkata, “Di mana letaknya?”

Kami katakan: “ʿUmar tidak bertanya apakah si terbunuh dikenal berzina atau tidak, sementara kamu tidak mengizinkan hukuman terhadap seseorang yang dikenal berzina kecuali ada bukti. ʿUmar tidak menetapkan diyat, sedangkan kamu menetapkan diyat.”

Ia berkata, “Aku hanya meng-qiyaskan hal itu dengan keputusan ʿUmar yang lain.” Aku bertanya, “Apa itu?” Ia berkata, “ʿAmr bin Dīnār meriwayatkan bahwa ʿUmar menulis tentang seorang dari Bani Shaybān yang membunuh seorang Nasrani dari penduduk Ḥīrah, ‘Jika si pembunuh dikenal sering membunuh, maka bunuhlah dia. Jika tidak, biarkanlah dia.’”

Aku berkata, “Itu tidak sahih dari ʿUmar. Jika pun sahih menurutmu, apakah kamu berpendapat dengannya?” Ia menjawab, “Tidak. Bahkan menurutku, siapa pun yang membunuh seorang Nasrani maka ia harus dibunuh, baik ia dikenal suka membunuh atau tidak.”

Aku berkata, “Apakah pantas bagi seseorang yang menisbatkan diri pada ilmu untuk mengklaim suatu kisah dari seorang perawi, padahal perawi tersebut tidak memutuskan sebagaimana yang ia klaim, lalu ia menyelisihi isi riwayat tersebut, kemudian melakukan qiyās terhadapnya? Jika ia tidak mengambilnya dalam permasalahan aslinya, maka tidak boleh ia menyerupakan hal lain dengannya.”

(Al-Syafi’i berkata): Aku juga berkata kepadanya: “Kamu keliru dalam qiyās-mu. Riwayat dari ʿUmar menunjukkan bahwa ia memeriksa keadaan si pembunuh, apakah ia dikenal sebagai pembunuh atau tidak. Maka jika dikenal, ia dihukum. Jika tidak, dibiarkan. Sedangkan kamu tidak meneliti si pencuri atau si pembunuh, tapi kamu malah melihat kepada si terbunuh.”

Ia berkata, “Lalu apa pendapatmu?” Aku menjawab, “Aku berpendapat berdasarkan sunnah yang sahih dari Rasulullah ﷺ, juga atsar dari ʿAlī bin Abī Ṭālib, dan pendapat para ahli ilmu.”

Ia berkata, “Apa maksudmu dengan pendapat para ahli ilmu?” Aku berkata, “Tidakkah kamu melihat bahwa seseorang bisa berada di suatu negeri dan tidak dikenal sebagai pencuri di sana, lalu ia dibunuh. Ketika penduduk negeri itu ditanya tentangnya, mereka tidak tahu, padahal ia dikenal sebagai pencuri di negeri lain?”

Ia menjawab, “Ya, bisa jadi.”

Aku bertanya, “Apakah mungkin seseorang dikenal sebagai pencuri lalu bertobat?” Ia menjawab, “Ya.”

Aku bertanya, “Apakah mungkin seseorang dimusuhi oleh seseorang, lalu orang itu memanggilnya untuk suatu pekerjaan, kemudian membunuhnya dan berdalih bahwa dia masuk ke rumahnya?” Ia menjawab, “Ya.”

Aku bertanya, “Apakah mungkin seseorang yang sebelumnya tidak mencuri, lalu ia memulai mencuri dan dibunuh karenanya?” Ia menjawab, “Ya.”

Aku bertanya, “Jika semua kemungkinan ini dan lebih banyak lagi ada pada diri si pembunuh dan si terbunuh menurutmu, bagaimana mungkin kamu membolehkan perkataanmu itu tanpa kitab, sunnah, atsar, atau qiyās atas atsar?”

Ia berkata, “Lalu apa yang kamu katakan?”

Aku menjawab, “Jika ada saksi-saksi yang menyaksikan perbuatan yang menjadikan darahnya halal, maka aku gugurkan haknya dan tidak menetapkan diyat maupun qishāṣ. Jika tidak ada saksi, maka aku serahkan urusannya kepada wali si terbunuh, dan aku tidak menerima ucapan si pembunuh, dan aku mengikuti sunnah lalu atsar dari ʿAlī bin Abī Ṭālib, dan aku tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk membunuh siapa yang mereka benci lalu menuduhnya mencuri secara dusta.”

[Bab Bahwa Hudud (hukuman) adalah Penebus Dosa]

(Al-Syafi’i berkata) – rahimahullah -: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Ibn Syihab dari Abu Idris dari ‘Ubādah bin al-Ṣāmit, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda: ‘Baiatlah aku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun,’ lalu beliau membacakan ayat kepada mereka. Maka barang siapa yang menepatinya, maka pahalanya di sisi Allah. Dan barang siapa yang melakukan sesuatu dari hal itu lalu dihukum, maka hukuman itu adalah penebus dosanya. Dan barang siapa yang melakukan sesuatu dari hal itu lalu Allah menutupinya, maka urusannya terserah kepada Allah, jika Dia menghendaki maka Dia mengampuninya, dan jika Dia menghendaki maka Dia mengazabnya.”

(Al-Syafi’i berkata): Aku tidak mendengar hadis tentang hudud yang lebih jelas dari ini. Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tahukah kalian? Bisa jadi hudud diturunkan sebagai penebus dosa.” Ini semakna dengan yang sebelumnya, bahkan lebih jelas.

Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah ﷺ sebuah hadis yang dikenal di sisi kami, meski sanadnya tidak bersambung menurut pengetahuanku, yaitu: “Barang siapa di antara kalian yang melakukan perbuatan keji, maka hendaklah ia menutupinya dengan penutup dari Allah, karena barang siapa yang membuka aibnya kepada kami, maka kami akan menegakkan hukum Allah atasnya.”

(Al-Syafi’i berkata): Dan telah diriwayatkan bahwa Abu Bakar memerintahkan seseorang di zaman Nabi ﷺ yang terkena hudud untuk menyembunyikannya, dan Umar juga memerintahkannya. Ini adalah hadis yang sahih dari keduanya.

(Al-Syafi’i berkata): Kami menyukai jika seseorang terkena hudud untuk menyembunyikannya dan bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, serta tidak mengulangi maksiat kepada Allah, karena Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.

[Bab Hukuman Zina bagi Ahludz Dzimmah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan Islam)]

Allah Ta‘ala berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ mengenai Ahli Kitab: “Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah perkara mereka.” (QS. al-Mā’idah: 42), sampai ayat: “di antara mereka dengan adil.” (QS. al-Mā’idah: 42)

(Al-Syafi’i berkata) – rahimahullah -: Dalam ayat ini terdapat penjelasan – wallāhu a‘lam – bahwa Allah Ta‘ala memberikan pilihan kepada Nabi ﷺ apakah hendak memutuskan perkara mereka atau berpaling dari mereka. Namun jika beliau memutuskan, maka beliau wajib memutuskan dengan adil, yakni dengan hukum Allah Ta‘ala yang telah diturunkan kepada Nabi-Nya ﷺ, hukum yang murni, yang merupakan wahyu terakhir dari Allah Ta‘ala.

Allah Ta‘ala berfirman: “Dan putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan jangan ikuti hawa nafsu mereka, dan waspadalah terhadap mereka agar mereka tidak menyesatkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Mā’idah: 49)

(Al-Syafi’i berkata): Dalam ayat ini terdapat kandungan yang sama dengan ayat sebelumnya, yaitu perintah dari Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya ﷺ untuk memutuskan dengan hukum yang diturunkan oleh Allah kepadanya.

(Al-Syafi’i berkata): Aku mendengar dari orang yang aku percaya dari kalangan ahli ilmu, bahwa maksud firman Allah: “Dan putuskanlah perkara mereka dengan apa yang diturunkan Allah” adalah perintah wajib, jika beliau memutuskan.

(Al-Syafi’i berkata): Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dua orang Yahudi yang berzina dengan merajam mereka. Ini merupakan makna dari firman Allah: “Dan jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah dengan adil.” Dan juga merupakan makna dari firman Allah: “Putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah.”

Dalil yang jelas bahwa siapa pun yang diputuskan hukum atasnya dari kalangan pemeluk agama Allah, maka ia diputuskan dengan hukum Islam. Maka hukum yang kami berlakukan terhadap Muslim, kami berlakukan pula terhadap non-Muslim, dan itu berlaku baik atas mereka maupun untuk mereka.

(Al-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Nāfi‘ dari Ibn ʿUmar: “Bahwa Nabi merajam dua orang Yahudi yang berzina.” Abdullah (bin Umar) berkata: “Aku melihat si lelaki menutupi perempuan itu untuk melindunginya dari lemparan batu.”

(Al-Syafi’i berkata): Maka Allah Ta‘ala memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk memutuskan di antara mereka dengan hukum yang diturunkan Allah secara adil, lalu Rasulullah ﷺ memutuskan dengan rajam, dan itu adalah sunnah bagi pezina muhṣan dari kalangan Muslimin. Ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim ketika memutuskan perkara mereka kecuali dengan hukum Islam.

(Al-Syafi’i berkata): Seseorang berkata kepadaku: “Sesungguhnya firman Allah: ‘Dan putuskanlah perkara mereka dengan apa yang diturunkan Allah’ telah menasakh (menghapus) firman-Nya: ‘Jika mereka datang kepadamu, maka putuskanlah atau berpalinglah dari mereka.’” Maka aku berkata kepadanya: “Suatu nasakh hanya dapat ditetapkan dengan berita dari Nabi , atau dari sebagian sahabatnya yang tidak diselisihi, atau dengan ijma’ para ahli fiqih. Apakah kamu memiliki salah satu dari itu?” Ia menjawab: “Tidak.”

Aku bertanya: “Apakah kamu punya dalil bahwa pilihan tersebut belum di-nasakh?” Aku menjawab: “Bisa jadi makna firman Allah: ‘Dan putuskanlah perkara mereka dengan apa yang diturunkan Allah’ adalah: jika engkau hendak memutuskan perkara.”

Dan sebagian sahabatmu meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri dari Simāk bin Ḥarb dari Qabūs bin Mukhāriq bahwa Muḥammad bin Abī Bakr menulis surat kepada ʿAlī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – tentang seorang Muslim yang berzina dengan wanita dzimmah. Maka ʿAlī menulis kepadanya bahwa si Muslim dikenai hudud dan wanita dzimmah itu diserahkan kepada ahli agamanya.

(Al-Syafi’i berkata): Jika ini sah menurutmu, maka itu menunjukkan bahwa imam diberi pilihan apakah mau memutuskan perkara di antara mereka atau tidak. Kalau memang wajib bagi imam untuk memutuskan perkara dalam suatu kondisi, tentu ia harus memutuskan perkara dalam satu had yang dijatuhkan kepada seorang Muslim, tetapi tidak dijatuhkan kepada seorang dzimmah perempuan. Ia berkata: “Kenapa perempuan dzimmah tidak dijatuhi had?” Aku menjawab: Karena ia tidak ridha dengan hukumannya, dan karena imam diberi pilihan apakah mau memutuskan perkara atasnya atau tidak. Ia bertanya: “Kapan imam wajib memutuskan perkara mereka?” Aku menjawab: Jika di antara mereka dan seorang Muslim atau musta’man ada urusan hukum, maka tidak boleh bagi seorang Muslim atau musta’man untuk diputuskan perkara kecuali oleh seorang Muslim. Tidak boleh juga imam memberikan jaminan keamanan terhadap darah dan harta musta’man, lalu memperbolehkan ada yang memutuskan perkara atasnya selain seorang Muslim.

Ia berkata: “Tapi ini kasus zina satu, di mana Ali – raḍiyallāhu ‘anhu – mengembalikan perempuan dzimmah kepada pemeluk agamanya.” Kami katakan: Itu karena tidak ada sesuatu dari si perempuan kepada Muslim yang harus diambil, dan tidak pula sebaliknya. Maka tidak ada keputusan hukum antara keduanya. Itu adalah had (hukuman), maka dijatuhkan atas Muslim. Jika hadis kalian tentang Ali sah, maka itu karena perempuan dzimmah tidak ridha dengan hukumnya dan imam diberi pilihan untuk memutuskan atau tidak.

(Al-Syafi’i berkata): Ia berkata: “Bukankah telah diriwayatkan dari Bajālah bahwa Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – menulis: ‘Pisahkanlah antara setiap yang maḥram dari kaum Majusi, dan laranglah mereka dari zamm-zamah (nyanyian ritual)’?” Aku katakan kepadanya: Bajālah adalah orang yang tidak dikenal, bukan perawi terkenal, dan tidak diketahui bahwa Jazʾ bin Muʿāwiyah adalah pegawai Umar – raḍiyallāhu ‘anhu. Dan kami bertanya kepadamu: Jika kamu katakan seperti yang kami katakan, kenapa kamu berhujah dengan sesuatu yang kamu sendiri tahu tidak bisa dijadikan hujah? Dan jika kamu tetap mengambil hadis Bajālah, maka hadis itu sebenarnya mendukung pendapat kami. Karena Umar hanya melarang mereka jika memang beliau melarang hal tersebut atas kaum Muslimin. Karena orang-orang yang maḥram tidak halal bagi kaum Muslimin, dan zamm-zamah tidak pantas bagi seorang Muslim.

Dan ini menunjukkan – jika memang hadis itu sah – bahwa mereka (dzimmi) dibebani hukum sebagaimana kaum Muslimin. Maka aku membebani mereka sebagaimana aku membebani kaum Muslimin, dan aku mengikuti mereka sebagaimana aku mengikuti kaum Muslimin. Ia berkata: “Tidak.” Aku katakan: “Berarti kamu menyelisihi apa yang kamu riwayatkan dari Umar.” Ia berkata: “Bagaimana jika aku hanya mengikuti mereka dalam perkara yang Umar ikuti?” Aku berkata: “Kenapa kamu hanya mengikuti satu perkara, padahal kamu tahu mereka melakukannya? Kenapa tidak kamu ikuti juga selain itu yang kamu tahu mereka masih mengerjakannya, dan kamu tahu bahwa Umar hanya mengikuti mereka dalam sesuatu yang telah sampai kepadanya bahwa mereka tetap melakukannya, padahal hal itu haram. Maka kamu harus tahu bahwa Umar menempatkan mereka dalam hukum yang sama dengan kaum Muslimin.”

Kamu tahu bahwa Allah Ta‘ala memerintahkan untuk memutuskan perkara mereka dengan adil, lalu Rasulullah ﷺ memutuskan perkara mereka dengan rajam. Dan itu adalah sunnah beliau terhadap pezina muḥṣan dari kalangan Muslimin. Dan beliau ﷺ bersabda: “Akan aku putuskan perkara kalian dengan kitab Allah ‘Azza wa Jalla.” Kemudian kamu menyatakan bahwa Umar mengharamkan atas mereka apa yang diharamkan atas kaum Muslimin, dan kamu juga meriwayatkan bahwa Ali – raḍiyallāhu ‘anhu – menyerahkan wanita Nashrani kepada pemeluk agamanya. Maka semua yang kami riwayatkan dan yang kamu riwayatkan adalah hujah bagi kami. Segala sesuatu yang kamu klaim tahu tapi kami tidak tahu pun sebenarnya adalah hujah bagi kami, dan tidak bertentangan dengan pendapat kami. Sedangkan kamu menyelisihi hujah yang kamu sendiri bawa.

Seseorang bertanya: “Kenapa kamu tidak memutuskan perkara mereka jika mereka datang kepadamu secara bersama-sama atau sendiri-sendiri?” Aku katakan: Adapun jika datang sendiri-sendiri, maka Allah Ta‘ala berfirman: “Jika mereka datang kepadamu” (al-Mā’idah: 42), maka ini menunjukkan bahwa yang datang itu sekelompok, bukan sebagian saja. Dan juga menunjukkan bahwa imam diberi pilihan apakah mau memutuskan perkara atau berpaling. Dan jika memutuskan, maka dia harus memutuskan dengan hukum sebagaimana terhadap Muslim.

(Al-Syafi’i berkata): Aku belum mendengar seorang pun dari ahli ilmu di negeri kami yang menyelisihi bahwa dua orang Yahudi yang dirajam oleh Rasulullah ﷺ dalam perkara zina adalah dua orang muwādaʿ (yang memiliki perjanjian damai), bukan dzimmi.

(Al-Syafi’i berkata): Seseorang berkata: “Tidak boleh imam memutuskan perkara atas muwādaʿīn (orang-orang yang terikat perjanjian) meski mereka ridha dengan hukumannya.” Ini bertentangan dengan sunnah. Kami mengatakan: Jika keduanya ridha dengan hukum imam, dan imam memilih untuk memutuskan, maka ia berhak memutuskan perkara atas mereka.

(Al-Syafi’i berkata): Dahulu Ahli Kitab memiliki perjanjian damai dengan Rasulullah ﷺ di sekitar Madinah. Sedangkan penduduk Khaybar, Fadak, Wādī al-Qurā, Makkah, Najran, dan Yaman berada dalam status perjanjian damai atau dzimmah, dan hukum beliau ﷺ berlaku atas mereka. Kemudian setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, hukum beliau tetap berlaku di masa Abu Bakar, kemudian di awal masa kekhalifahan Umar hingga Umar mengusir mereka berdasarkan informasi dari Rasulullah ﷺ. Dan demikian pula berlaku hukum beliau di Syam, Irak, Mesir, dan Yaman. Lalu di masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Talib – raḍiyallāhu ‘anhumā – kami tidak mengetahui adanya putusan hukum antara mereka. Jika memang ada yang memutuskan, pasti ada riwayat yang menyebutkannya, walau hanya sebagian.

(Al-Syafi’i berkata): Ahludz dzimmah adalah manusia biasa, tidak diragukan bahwa mereka saling menzalimi, berselisih, dan menuntut hak. Mereka (sebagian) memahami apa hak mereka dan apa kewajiban mereka. Dan tidak diragukan bahwa penuntut akan mencari siapa yang dapat mengambilkan haknya, dan yang dituntut akan mencari siapa yang bisa menyelamatkannya. Dan bisa jadi masing-masing berharap pada hakim Muslim, karena pengetahuannya, atau kebodohannya terhadap hukum. Jika memang wajib bagi hakim Muslim untuk memutuskan perkara mereka meski sebagian dari mereka saja yang datang, niscaya mereka akan datang bersama-sama dalam beberapa keadaan.

(Al-Syafi’i berkata): Kami tidak mengetahui seorang pun dari ahli ilmu yang meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ tentang putusan hukum terhadap mereka kecuali terhadap dua orang muwādaʿīn yang dirajam. Tidak pula dari salah seorang sahabatnya kecuali yang diriwayatkan oleh Bajālah, yang sesuai dengan hukum Islam, dan dari Simāk bin Ḥarb dari Ali – raḍiyallāhu ‘anhu – yang sesuai dengan pendapat kami bahwa imam tidak wajib memutuskan kecuali jika ia menghendaki.

(Al-Syafi’i berkata): Dua riwayat ini – meski tidak bertentangan dengan kami – tidak dikenal di sisi kami. Kami berharap tidak termasuk orang yang menolak hujah terhadap lawan debatnya lalu menerima berita dari orang yang tidak dikenal keilmuannya.

(Al-Syafi’i berkata): Seseorang berkata: “Kalau kamu tidak memutuskan perkara mereka, maka mereka akan kembali kepada hakim mereka dan diputuskan dengan hukum yang tidak benar menurutmu.” Aku katakan: Kalau mereka kembali ke hakim mereka dan diputuskan dengan hukum batil, sedangkan aku tidak memutuskan, maka aku bukan termasuk yang ikut dalam hukum mereka. Apakah menurutmu lebih besar bahayanya jika aku tidak memutuskan perkara satu dirham antara mereka? Telah aku jelaskan bahwa Allah memberikan pilihan kepada Rasul-Nya ﷺ untuk memutuskan atau berpaling. Aku telah menunjukkan dalil bahwa pilihan tersebut tetap berlaku, karena Rasulullah ﷺ dan para khalifah setelahnya tidak memutuskan perkara mereka.

Apakah kamu menganggap bahwa membiarkan mereka tidak dihukum lebih besar bahayanya daripada membiarkan mereka dalam kesyirikan kepada Allah Ta‘ala? Jika kamu mengatakan: “Allah telah mengizinkan mengambil jizyah dari mereka,” padahal diketahui bahwa mereka tetap dalam kesyirikan, maka membiarkan mereka atas hal yang lebih ringan dari kesyirikan tentu lebih pantas.

(Al-Syafi’i berkata): Ia berkata: “Bagaimana jika mereka menolak datang ke hakim mereka?” Aku katakan: Aku beri pilihan: kembali ke hakim mereka atau membatalkan perjanjian dzimmah. Jika mereka memilih kembali, padahal aku tahu mereka diputuskan dengan hukum batil menurutku, apakah itu menjadikanku sebagai bagian dari mereka?

(Al-Syafi’i berkata): Aku katakan: Aku tidak ikut serta dalam hukum mereka. Aku hanya menepati perjanjian dzimmah mereka, yaitu mereka aman di negeri Muslim, tidak dipaksa masuk Islam. Mereka senantiasa meminta keputusan ke hakim mereka dengan kerelaan mereka sendiri. Jika mereka menolak, aku katakan: Kalian tidak diberi jaminan keamanan untuk menolak dan menzalimi. Pilihlah: batalkan perjanjian atau kembalilah kepada hakim kalian seperti biasanya. Jika mereka memilih membatalkan, maka kami batalkan. Jika mereka kembali ke hakim mereka, maka itulah yang mereka lakukan selama ini. Kami tidak menghalangi mereka. Maka kami tidak termasuk orang yang ikut dalam hukum mereka. Kami hanya melarang mereka dari penolakan.

(Al-Syafi’i berkata): Aku katakan kepada sebagian orang yang berpendapat demikian: “Bagaimana jika musuh menyerang mereka dan menawan mereka, lalu mereka dicegah dari kesyirikan, minum khamar, dan makan babi? Apakah aku wajib menyelamatkan mereka jika mampu demi perjanjian dzimmah?” Ia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa jika kamu menyelamatkan mereka, nanti mereka akan kembali minum khamar, makan babi, dan syirik. Maka jangan diselamatkan, karena kamu jadi ikut serta.” Apa hujahnya? Ia menjawab: “Hujahnya: aku menyelamatkan mereka demi jaminan perjanjian dzimmah.” Aku bertanya: “Apakah kamu punya dalil bahwa dzimmah mewajibkan penyelamatan?” Ia menjawab: “Tidak, tetapi secara akal, jika mereka tinggal di negeri Muslim, maka kamu wajib melindungi mereka.” Aku berkata: “Kamu katakan: aku wajib melindungi mereka seperti Muslimin, padahal mereka berbeda dalam kewajiban terhadap kaum Muslim.” Ia menjawab: “Ya, berbeda.”

(Al-Syafi’i berkata): Jika kita boleh memerangi musuh demi melindungi mereka, padahal kita tahu mereka dalam kesyirikan, dan kita boleh menyelamatkan mereka dari tawanan, maka membiarkan mereka kembali ke hakim mereka yang memutuskan perkara dengan hukum yang tidak kita yakini adalah lebih ringan – wallāhu a‘lam.

(Al-Syafi’i berkata): Ia berkata: “Kalau kamu membolehkan memutuskan perkara mereka, bagaimana kamu akan melakukannya?” Aku menjawab: Jika mereka berkumpul dan ridha padaku, aku lebih suka untuk tidak memutuskan, sebagaimana telah aku jelaskan. Karena seandainya itu adalah keutamaan, tentu para imam sebelumnya akan melakukannya. Jika aku ridha bahwa hal itu boleh, aku tidak akan memutuskan sebelum aku jelaskan bahwa aku hanya akan memutuskan berdasarkan hukum Islam: aku hanya menerima kesaksian dari orang-orang merdeka Muslim yang adil. Jika mereka ridha, maka aku akan memutuskan. Jika tidak, maka aku tidak akan memutuskan. Dan inilah cara aku memutuskan.

Ia bertanya: “Apa hujahmu bahwa kamu tidak menerima kesaksian mereka satu sama lain?” Aku menjawab: Firman Allah Ta‘ala: “Ambillah dua saksi dari kalangan kalian” (al-Baqarah: 282), dan: “Dan persaksikanlah dua orang yang adil di antara kalian” (at-Ṭalāq: 2). Dalam dua ayat ini – wallāhu a‘lam – terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud adalah kaum Muslim, bukan selainnya.

Aku tidak melihat kaum Muslim berbeda pendapat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Muslim merdeka yang adil, bukan budak yang adil atau orang bebas yang tidak adil. Jika kaum Muslim sepakat bahwa yang dimaksud adalah Muslim merdeka dan adil, maka budak yang adil dan Muslim yang tidak adil tentu lebih baik daripada orang musyrik, bagaimanapun keadaan agamanya. Maka bagaimana aku bisa menerima kesaksian yang lebih buruk dan menolak yang lebih baik tanpa dalil dari kitab, sunnah, atsar, atau ijma’ para ahli fiqih?

(Al-Syafi’i berkata): Barang siapa yang membolehkan kesaksian ahludz dzimmah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam), maka orang yang paling adil menurutnya adalah yang paling besar kesyirikannya kepada Allah, yang paling banyak sujud kepada salib, dan paling rajin ke gereja. Lalu seseorang berkata: “Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman saat membahas wasiat: ‘dua orang yang adil dari kalian atau dua orang lain dari selain kalian’ [al-Mā’idah: 106]?” (Al-Syafi’i berkata): – Wallāhu a‘lam – tentang makna apa yang dimaksudkan dari ayat ini. Sebab penafsiran suatu ayat yang mungkin mengandung beberapa makna hanya bisa dijelaskan dengan sunnah atau atsar dari para sahabat Rasulullah yang tidak ada yang menyelisihinya, atau perkara yang telah menjadi ijma’ para fukaha.

Aku mendengar orang yang menafsirkan ayat ini bahwa maksudnya adalah dari selain kabilah kalian, yakni dari kalangan Muslim juga. Ia berdalil dengan firman Allah: ‘Tahanlah mereka berdua setelah salat, lalu keduanya bersumpah kepada Allah jika kalian ragu’ [al-Mā’idah: 106], sampai ayat ‘di antara orang-orang yang berdosa’ [al-Mā’idah: 106]. Ia berkata: salat adalah kewajiban bagi kaum Muslimin, dan kaum Muslimin merasa berdosa jika menyembunyikan kesaksian karena Allah. Adapun orang-orang musyrik, mereka tidak memiliki salat yang sah, dan mereka tidak merasa berdosa jika menyembunyikan kesaksian terhadap atau dari kaum Muslimin.

(Al-Syafi’i berkata): Aku juga mendengar orang yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh firman Allah Ta‘ala: ‘Dan persaksikanlah dua orang yang adil dari kalian’ [aṭ-Ṭalāq: 2] – Wallāhu a‘lam. Aku melihat para mufti dari ahli Madinah dan pengikut sunnah memberikan fatwa bahwa kesaksian non-Muslim yang adil tidak boleh diterima.

(Al-Syafi’i berkata): Itulah pendapatku.

(Al-Syafi’i berkata): Aku berkata kepada orang yang menyelisihi kami dalam masalah ini dan membolehkan kesaksian ahludz dzimmah: “Apa dalilmu membolehkannya?” Maka ia berdalil dengan firman Allah: ‘atau dua orang lain dari selain kalian’ [al-Mā’idah: 106]. Aku berkata: Sesungguhnya Allah Ta‘ala hanya menyebut ayat ini dalam konteks wasiat seorang Muslim yang dalam perjalanan. Apakah kamu membolehkan kesaksian mereka dalam wasiat seorang Muslim yang sedang dalam perjalanan?” Ia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya: “Apakah kamu menyuruh mereka bersumpah ketika bersaksi?” Ia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya: “Mengapa tidak, padahal kamu telah menafsirkan bahwa ayat itu turun mengenai wasiat seorang Muslim?” Ia menjawab: “Karena ayat tersebut sudah dimansukh.” Aku berkata: “Jika ayat itu dimansukh dalam konteks turunnya, kenapa kamu justru menetapkannya dalam konteks yang tidak diturunkan?”

Seseorang berkata: “Kami membolehkan kesaksian mereka demi memudahkan mereka dan agar hak-hak mereka tidak hilang.” (Al-Syafi’i berkata): Aku berkata: “Bagaimana kamu boleh mencari kemudahan bagi mereka dengan menyelisihi hukum Allah, bahwa para saksi yang diperintahkan untuk diterima adalah kaum Muslimin?”

(Al-Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya: Pendapatmu ini salah dari banyak sisi: Pertama, karena ia menyelisihi apa yang kamu sendiri klaim sebagai hukum Allah, bahwa kesaksian yang dijadikan dasar hukum adalah kesaksian orang-orang Muslim yang merdeka. Dan kami tidak menemukan seorang pun dari para imam kaum Muslimin yang membolehkan kesaksian mereka. Kedua, pendapatmu juga salah dalam klaim bahwa itu demi memudahkan mereka.

(Al-Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya: Bagaimana pendapatmu tentang budak-budak yang adil yang berkumpul di tempat kerja atau perdagangan, lalu sebagian dari mereka bersaksi untuk sebagian yang lain? Ia menjawab: “Kesaksian mereka tidak sah.” Aku berkata: “Padahal tidak ada orang lain selain mereka di tempat itu.” Ia berkata: “Meskipun demikian.” Aku berkata: “Bagaimana jika mereka berada di dalam penjara?” Ia berkata: “Tetap tidak sah.” Aku bertanya: “Bagaimana dengan para penghuni penjara, atau orang-orang di daerah pedalaman yang menjadi pemburu, jika mereka adalah orang-orang merdeka namun tidak adil, dan mereka bersaksi satu sama lain?” Ia berkata: “Kesaksian mereka tidak sah.” Aku bertanya: “Bagaimana jika mereka berkata: Tidak ada orang lain di antara kami, dan jika kesaksian kami ditolak, maka darah dan harta kami akan sia-sia?” Ia menjawab: “Meskipun demikian, aku tidak membiarkan itu.” Aku berkata: “Bagaimana jika mereka memohon agar kamu mempermudah mereka dengan membolehkan sebagian dari mereka bersaksi untuk sebagian yang lain?” Ia menjawab: “Aku tidak akan memberikan kemudahan dengan menyelisihi hukum Allah.”

Aku bertanya: “Kalau mereka berkata: Apa hukum Allah?” Ia menjawab: “Para saksi adalah orang-orang Muslim yang adil dan merdeka.” Aku berkata: “Antara budak yang adil – yang jika ia dimerdekakan satu saat sebelum bersaksi maka kesaksiannya sah – dengan dzimmi yang masuk Islam, manakah yang lebih dekat pada syarat Allah?” Ia menjawab: “Tentu budak yang adil.” Aku bertanya: “Mengapa kamu menolak yang lebih dekat dengan syarat Allah, tetapi kamu justru menerima yang lebih jauh? Jika salah satu dari keduanya boleh, maka yang lebih pantas adalah budak, bukan dzimmi; atau orang merdeka yang tidak adil, bukan dzimmi. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin kecuali ia lebih baik daripada ahludz dzimmah. Bagaimana mungkin kamu menolak kesaksian seorang Muslim hanya karena kamu tahu ia berbohong kepada sesama manusia, sementara kamu menerima kesaksian seorang dzimmi yang berbohong kepada Allah Ta‘ala?”

(Al-Syafi’i berkata): Seseorang berkata: “Bukankah Syuraiḥ membolehkan kesaksian mereka dalam perkara yang terjadi di antara mereka?” Aku berkata: “Bagaimana menurutmu jika Syuraiḥ berkata suatu pendapat yang tidak memiliki lawan sepadan dan tidak ada kitab yang mendukungnya, apakah pendapatnya bisa dijadikan hujah?” Ia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya: “Lalu bagaimana kamu menjadikan pendapatnya sebagai hujah melawan ayat al-Qur’an dan pendapat para ulama ahli sunnah dari Madinah?”

(Al-Syafi’i berkata): Jika ada orang yang berdalil dengan ayat ‘atau dua orang lain dari selain kalian’ [al-Mā’idah: 106], dan berkata bahwa ‘selain kalian’ artinya selain agama kalian, lalu kenapa kamu tidak membolehkannya dalam konteks wasiat Muslim yang sedang dalam perjalanan seperti yang disebut dalam ayat itu? Dan jika kamu boleh menerima kesaksian dari sebagian orang musyrik, maka bagaimana jika ada orang yang berkata: “Aku membolehkan kesaksian penyembah berhala, karena mereka tidak memiliki kitab yang mereka ubah dan ganti, mereka hanya mengikuti leluhur mereka. Sedangkan ahlul kitab telah mengganti dan mengubah kitab mereka.” Maka ia menolak kesaksian ahlul kitab dan menerima penyembah berhala.

Jika ia berkata: “Di antara ahlul kitab ada yang jujur dan amanah,” maka kami katakan: “Di antara penyembah berhala juga ada yang jujur, amanah, dan menjaga kehormatan.”

(Al-Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui orang yang menyelisihi kami dalam memutuskan perkara di antara ahlul kitab kecuali dia telah meninggalkan nash al-Qur’an dan sunnah, lalu ia berpaling kepada atsar atau qiyas yang ia riwayatkan, atau kepada hal yang diketahui oleh para ulama. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ia hanya tidak tahu atau telah salah memahami.

(Al-Syafi’i berkata): Salah satu dari mereka berkata kepadaku, “Jika engkau memutuskan perkara di antara mereka, berarti engkau membatalkan pernikahan tanpa wali dan tanpa saksi, padahal itu dibolehkan menurut mereka?” Aku berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Apakah engkau juga membatalkan di antara mereka transaksi jual beli khamar dan babi?” Aku berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Jika sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain, atau seseorang membunuh salah satu dari mereka, apakah engkau juga tidak menetapkan diyatnya?” Aku menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Bukankah itu harta mereka, dan engkau mengakui mereka memilikinya?” Aku berkata kepadanya, “Mengakui bahwa mereka memilikinya tidak mengharuskan aku memutuskan perkara untuk mereka dengannya.” Ia berkata, “Mengapa engkau tidak wajib memutuskan perkara bagi mereka atas dasar apa yang engkau akui?” Aku berkata kepadanya, “Bukankah aku mengakui mereka atas kemusyrikan dan mengakui bahwa anak-anak dan budak mereka juga berada di atasnya?” Ia berkata, “Ya.” Aku berkata, “Jika salah satu budak mereka masuk Islam, dan aku memutuskan bahwa ia harus keluar dari kepemilikannya, bukankah aku memujinya atas keislamannya dan memaksa tuannya untuk menjualnya, serta tidak membiarkannya tetap diperbudak atau dikembalikan ke dalam kekafiran?” Ia berkata, “Ya.” Aku berkata, “Bukankah aku mengakuinya dalam suatu kondisi, lalu tidak aku putuskan baginya sesuai pengakuanku, padahal ia berada dalam kondisi yang aku akui sebelumnya?” Ia berkata, “Ya.” Aku berkata, “Bukankah aku juga mengakui mereka atas hukum hakim-hakim mereka, padahal aku tahu bahwa mereka memutuskan dengan kebatilan?” Ia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Sebagian hukum mereka adalah bahwa jika seseorang mencuri dari orang lain, maka pencuri menjadi budak bagi yang dicuri, dan mereka mengakui itu jika mereka meridhainya. Lalu bagaimana jika mereka datang kepadamu dan meminta keputusan bahwa pencuri adalah budak bagi yang dicuri darinya, apakah engkau akan memutuskan demikian?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Sebagian hukum mereka adalah bahwa seseorang tidak boleh menikahi lebih dari satu wanita, dan tidak boleh menceraikannya. Dan sebagian hukum mereka juga menyatakan bahwa wanita tidak boleh menikah dengan lebih dari satu laki-laki. Maka bagaimana jika mereka datang kepadamu dan meminta agar hukum itu ditegakkan di antara mereka, apakah engkau akan memaksakan itu kepada mereka?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Aku lihat engkau mengakui mereka atas beberapa hukum mereka, tetapi ketika mereka datang kepadamu engkau tidak memutuskan bagi mereka sesuai itu, dan engkau memutuskan perkara atas mereka dengan hukum Islam.”

(Al-Syafi’i berkata): Aku berkata kepada sebagian mereka: “Bagaimana jika mereka datang kepadamu untuk meminta keputusan, dan ternyata sebagian mereka telah melakukan riba terhadap sebagian yang lain, padahal itu halal menurut mereka?” Ia menjawab: “Aku batalkan riba.” Aku berkata: “Bagaimana jika mereka datang kepadamu dan ternyata seseorang telah menikahi mahramnya menurut kitab Allah?” Ia berkata: “Aku batalkan pernikahan itu.” Aku berkata: “Bagaimana jika dua orang Majusi datang kepadamu dan salah satu dari mereka telah membakar kambing milik yang lain yang telah dibeli di hadapanmu seharga seratus ribu, dan ia telah mendapat untung seratus ribu, lalu kambing itu dibakar seluruhnya karena menurut mereka itulah cara penyembelihan, lalu salah satu dari mereka atau seorang Muslim berkata, ‘Orang ini telah membakar hartaku yang kubeli di hadapanmu dan aku untung sama jumlahnya’? Apakah engkau akan mewajibkan penggantian rugi atasnya?” Ia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya: “Mengapa tidak, padahal ini harta yang engkau akui miliknya dan perdagangan yang engkau ketahui lalu dibakar?” Ia berkata: “Itu haram.” Aku bertanya: “Bagaimana jika ia berkata, ‘Bukankah khamar dan babi itu halal?’” Ia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Lalu mengapa engkau membolehkan penjualannya menurutmu dan mewajibkan ganti rugi atas orang yang mengonsumsinya, jika memang mereka bisa dijadikan harta milik, padahal keduanya haram? Sedangkan bangkai yang juga bisa dijadikan harta dan sebelumnya halal sebelum dibunuh menurutmu serta kulitnya halal setelah disamak, tidak engkau tetapkan penggantiannya?” Padahal bangkai dan babi tidak pernah halal menurutmu dan tidak akan pernah halal.

(Al-Syafi’i berkata): Salah satu dari mereka berkata kepadaku: “Pendapat kami ini memang rusak dan tidak lurus. Lalu apa hujjahmu dalam pendapatmu?” Aku menjelaskan kepadanya berdasarkan kitab Allah Ta’ala bahwa kami wajib memutuskan di antara mereka dengan hukum-Nya yang diturunkan kepada Nabi-Nya ﷺ, kemudian dengan keputusan Rasulullah ﷺ yang beliau tetapkan di antara kaum Muslimin dalam perkara rajam.

(Al-Syafi’i berkata): Aku juga berkata kepadanya: Ibrahim bin Sa‘d telah meriwayatkan kepada kami dari Ibn Syihab dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah dari Ibn ‘Abbas, bahwa ia berkata: “Bagaimana mungkin kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, sementara kitab kalian yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya ﷺ adalah berita yang paling baru, kalian membacanya murni dan tidak tercampur. Bukankah Allah telah mengabarkan kepada kalian dalam kitab-Nya bahwa mereka telah mengubah kitab Allah dan menuliskannya dengan tangan mereka lalu berkata: ‘Ini dari sisi Allah,’ agar mereka dapat menjualnya dengan harga yang murah. Maka celakalah mereka atas apa yang ditulis tangan mereka dan celakalah mereka atas apa yang mereka perbuat.” Tidakkah ilmu yang telah datang kepada kalian mencegah kalian untuk bertanya kepada mereka? Demi Allah, kami tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang datang bertanya kepada kalian tentang apa yang Allah turunkan kepada kalian.” Aku juga berkata kepadanya: “Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk memutuskan perkara di antara mereka dengan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya ﷺ. Dan Dia mengabarkan bahwa mereka telah mengganti kitab-Nya yang diturunkan dan menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu berkata: ‘Ini dari sisi Allah,’ untuk memperoleh keuntungan dunia. Maka celakalah mereka atas apa yang ditulis tangan mereka dan celakalah mereka atas apa yang mereka perbuat.”

(Al-Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya: Para sahabatmu telah meninggalkan apa yang telah kami sebutkan dari hukum Allah dan kemudian keputusan Rasulullah ﷺ. Ketika dikatakan kepada mereka: “Mengapa kalian menegakkan had terhadap mu‘ahad (non-Muslim yang dalam perlindungan Islam) meskipun mereka tidak menganggap itu sebagai bagian dari agama mereka, lalu kalian tidak menegakkan had qadzaf (tuduhan zina) di antara mereka, padahal itu bagian dari hukum mereka?” Mereka menjawab: “Karena hukum Allah Ta’ala atas makhluk-Nya adalah satu, dan karena itulah kami batalkan zina di antara mereka, dan pernikahan laki-laki dengan mahramnya menurut kitab Allah meskipun hal itu dibolehkan di antara mereka.” Maka ketika dikatakan kepada mereka: “Jika demikian, hukum Allah mengharuskan kalian memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum Islam.” Mereka menjawab: “Ya.” Maka ketika dikatakan kepada mereka: “Lalu mengapa kalian membolehkan penjualan babi dan mewajibkan penggantiannya di antara mereka, padahal hukum Islam tidak membolehkan harta dari barang yang haram?” Mereka menjawab: “Itu adalah harta mereka, dan mereka juga membatalkan harta mereka satu sama lain.”

(Al-Syafi’i berkata): Maka sebagian dari mereka kembali kepada pendapat kami dan berkata: “Ini adalah pendapat yang lurus sesuai dengan kitab Allah Azza wa Jalla dan sunnah Nabi-Nya ﷺ, dan tidak ada perbedaan.” Dan sebagian lagi tetap bertahan dengan pendapatnya meskipun aku telah menjelaskan kepada kalian tentang kontradiksi mereka, dan aku pun cukupkan dari menjelaskan sisanya.

[Bab: Hudud untuk Peminum Khamr]

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibn ‘Uyaynah dari Ibn Syihab dari Qabīṣah ibn Dhuaib yang meriwayatkan sampai kepada Nabi ﷺ, beliau bersabda:

“Jika ia minum khamr, maka deralah; lalu jika ia minum lagi, maka deralah; lalu jika ia minum lagi, maka deralah; lalu jika ia minum lagi, maka bunuhlah.”

Lalu dibawalah seorang lelaki yang telah minum, maka beliau menderanya. Lalu ia dibawa lagi untuk kedua kali, maka beliau menderanya. Lalu ia dibawa lagi untuk ketiga kali, maka beliau menderanya. Lalu ia dibawa lagi untuk keempat kali, maka beliau menderanya dan tidak membunuhnya. Maka itu menjadi keringanan. (Sufyān berkata): Kemudian al-Zuhrī berkata kepada Manṣūr ibn al-Mu‘tamir dan Mukhawwil, “Jadilah kalian utusan penduduk Irak dengan hadis ini.”

(Al-Syafi‘i berkata): Perintah membunuh telah dimansukh (dihapus) dengan hadis ini dan yang lainnya. Ini termasuk hal yang tidak aku ketahui adanya perbedaan pendapat di antara ahli ilmu.

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Ibn Syihab dari Abū Salamah ibn ‘Abd al-Raḥmān dari ‘Ā’isyah bahwa ia berkata:

“Rasulullah ﷺ ditanya tentang al-bita‘, lalu beliau bersabda: ‘Setiap minuman yang memabukkan adalah haram.’”

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Ibn Syihab dari al-Sā’ib ibn Yazīd bahwa ia mengabarkannya bahwa ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb radhiyallāhu ‘anhu keluar menemui mereka lalu berkata:

“Sesungguhnya aku mencium bau minuman ṭilā’ dari si fulan, dan aku akan menanyainya tentang apa yang ia minum. Jika ternyata memabukkan, maka aku akan menderanya.” Maka ‘Umar pun menderanya dengan hukuman hadd secara penuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibrāhīm ibn Muḥammad dari Ja‘far ibn Muḥammad dari ayahnya bahwa ‘Alī ibn Abī Ṭālib radhiyallāhu ‘anhu berkata:

“Tidaklah aku didatangkan dengan seseorang yang minum khamr, nabīdh, atau sesuatu yang memabukkan, kecuali aku akan menegakkan hadd atasnya.”

(Al-Syafi‘i berkata): Sebagian orang berkata: “Khamr itu haram, begitu pula yang memabukkan dari setiap minuman. Dan tidak menjadi haram sesuatu yang memabukkan kecuali setelah ia memabukkan, dan tidak ditegakkan hadd terhadap orang yang meminum nabīdh memabukkan kecuali jika ia mabuk.”

Maka dikatakan kepada sebagian yang berkata seperti ini: “Bagaimana engkau menyelisihi apa yang telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ, yang telah tetap dari ‘Umar, dan telah diriwayatkan dari ‘Alī, dan tidak seorang pun dari para sahabat Rasulullah ﷺ yang menyelisihi?”

Ia berkata: “Kami meriwayatkan dari ‘Umar bahwa ia meminum sisa minuman seseorang, lalu ‘Umar menegakkan hadd atasnya.”

Kami berkata: “Kalian meriwayatkannya dari seseorang yang majhūl menurut kalian, yang riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah.”

Ia berkata: “Lalu bagaimana cara mengetahui bahwa sesuatu itu memabukkan?”

Kami menjawab: “Kami tidak menegakkan hadd terhadap siapa pun kecuali jika ia benar-benar mabuk, atau ia mengatakan bahwa ia meminum khamr, atau ada yang bersaksi atasnya, atau ia mengatakan: aku meminum sesuatu yang memabukkan, atau ia meminum dari satu wadah bersama sejumlah orang, lalu sebagian dari mereka mabuk—maka hal itu menunjukkan bahwa minuman itu memabukkan. Adapun jika tidak diketahui sifatnya, maka tidak ditegakkan hadd atasnya, dan tidak pula dihukum ta‘zīr. Karena hukum hanya ditegakkan jika yakin, dan terhadap hal ini ada pembahasan panjang. Dan aku mendengar al-Syafi‘i berkata: ‘Apa yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka sedikitnya juga haram.’”

(Al-Syafi‘i berkata): Ada yang bertanya, “Kenapa jika seseorang minum sembilan takaran tidak mabuk, lalu ketika minum yang kesepuluh ia mabuk, maka kesepuluh itu haram?”

Dikatakan kepadanya: “Bagaimana jika ia minum sepuluh takaran namun tidak mabuk, lalu ia keluar dan tertiup angin hingga ia mabuk?”

Jika ia berkata: “Itu haram.” Maka dikatakan padanya: “Bagaimana mungkin sesuatu yang diminum seseorang secara halal, dan masuk ke perutnya secara halal, lalu ketika tertiup angin menjadi haram?”

[Bab Memukul Perempuan]

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibn ‘Uyaynah dari al-Zuhrī dari ‘Ubaydullāh ibn ‘Abdullāh ibn ‘Umar dari Iyās ibn ‘Abdillāh ibn Abī Dhubāb, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

“Janganlah kalian memukul perempuan-perempuan hamba Allah.”

Kemudian datanglah ‘Umar dan berkata: “Wahai Rasulullah, perempuan telah menjadi berani terhadap suami-suami mereka.” Maka beliau memberi izin untuk memukul mereka.

Lalu banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad ﷺ, semuanya mengadukan suami-suami mereka.

Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Telah mendatangi keluarga Muhammad malam ini tujuh puluh perempuan, semuanya mengadukan suami-suami mereka. Kalian tidak akan menemukan mereka (para suami yang dipukul istrinya) sebagai orang-orang terbaik di antara kalian.”

(Al-Syafi‘i berkata): Rasulullah ﷺ telah memberi izin memukul perempuan jika mereka berani melawan suami-suaminya.

Dan telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ mengizinkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak membekas dan bersabda: “Hindarilah wajah.”

(Al-Syafi‘i berkata): Allah عز وجل telah memberi izin memukul mereka jika ditakuti pembangkangan mereka, sebagaimana firman-Nya:

“Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyūz-nya” hingga: “carilah jalan terhadap mereka.” (QS. al-Nisā’: 34)

(Al-Syafi‘i berkata): Jika pukulan ditinggalkan, itu lebih aku sukai karena sabda Nabi ﷺ: “Orang-orang terbaik di antara kalian tidak memukul.”

Dan jika Allah kemudian Rasulullah ﷺ mengizinkan memukul wanita-wanita merdeka, maka bagaimana mungkin seseorang mencela orang yang menegakkan had zina atas budaknya, padahal telah datang sunnah tentang hal itu dan dilakukan oleh para sahabat Rasulullah ﷺ setelahnya?

[Cambuk yang digunakan untuk hukuman]

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Zayd ibn Aslam bahwa seorang laki-laki mengakui telah berzina pada masa Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ memintakan cambuk untuknya. Lalu dibawakan cambuk yang patah, maka beliau bersabda: “Lebih dari ini.”

Lalu dibawakan cambuk baru yang keras yang belum dipotong ujungnya, maka beliau bersabda: “Di antara keduanya.”

Lalu dibawakan cambuk yang telah digunakan dan sudah lentur, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar ia dicambuk dengan itu.

Kemudian beliau bersabda: “Wahai manusia, telah tiba waktunya bagi kalian untuk berhenti dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah. Siapa yang melakukan salah satu dari kekotoran ini, hendaklah ia menyembunyikannya di bawah tutupan Allah, karena siapa yang membuka dirinya kepada kami, kami akan menegakkan hukum Allah atasnya.”

(Al-Syafi‘i berkata): Ini adalah hadis munqathi‘ (terputus sanadnya), namun aku melihat sebagian ahli ilmu di kalangan kami mengetahuinya dan mengamalkannya, maka kami pun berpegang padanya.

(Al-Syafi‘i berkata): Tidak sampai pada batas hukuman cambuk hingga meneteskan darah dalam semua had dan hukuman, karena meneteskan darah dari cambukan termasuk penyebab kebinasaan, padahal maksud dari had bukanlah membinasakan, melainkan sebagai pencegahan atau penghapus dosa.

[Bab Waktu Pelaksanaan Hukuman dan Pemaafan]

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibrāhīm ibn Muḥammad dari ‘Abd al-‘Azīz ibn ‘Abdullāh ibn ‘Abdullāh ibn ‘Umar dari Muḥammad ibn Abī Bakr ibn Muḥammad ibn ‘Amr ibn Ḥazm dari ‘Amrah dari ‘Ā’isyah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Berilah kelapangan kepada orang-orang terhormat atas kesalahan mereka.”

(Al-Syafi‘i berkata): Aku mendengar dari ahli ilmu yang mengenal hadis ini dan berkata: “Diberi kelapangan bagi orang-orang terhormat atas kesalahannya selama bukan had (hukuman yang telah ditetapkan).”

(Al-Syafi‘i berkata): Orang-orang terhormat yang dimaksud dengan kesalahannya adalah orang yang tidak dikenal berbuat jahat, lalu ia tergelincir satu kali kesalahan.

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Abū al-Rijāl dari ibunya, ‘Amrah bint ‘Abd al-Raḥmān bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Allah melaknat orang yang mencuri secara sembunyi-sembunyi dan wanita yang mencuri secara sembunyi-sembunyi.”

(al-Rabī‘ berkata): Yang dimaksud adalah al-nabbāsh (pencuri kubur) dan al-nabbāshah (wanita pencuri kubur).

(Al-Syafi‘i berkata): Telah diriwayatkan hadis-hadis mursal dari Nabi ﷺ dalam bab hukuman dan batas waktunya, namun kami tinggalkan karena sanadnya terputus.

[Sifat Hukuman Pengasingan (al-Nafy)]

(Al-Rabi‘ mengabarkan) bahwa (Al-Syafi‘i berkata): Hukuman pengasingan (al-nafy) ada tiga bentuk:

Salah satunya adalah pengasingan yang dinyatakan secara nash dalam Kitab Allah Azza wa Jalla, yaitu firman-Nya tentang para perampok:

“atau diasingkan dari bumi” (QS. al-Mā’idah: 33)

Pengasingan ini maksudnya adalah mereka dikejar dan ditolak keberadaannya. Maka kapan saja mereka tertangkap, ditegakkan atas mereka hukum Allah Ta‘ālā, kecuali jika mereka bertaubat sebelum tertangkap, maka gugurlah hak Allah, dan tetap atas mereka hak-hak manusia.

Pengasingan dalam Sunnah ada dua bentuk:

Pertama, yang tsabit dari Rasulullah ﷺ, yaitu pengasingan pezina ghayr muḥṣan (yang belum menikah), yakni dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.

Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda:

“Sungguh aku akan memutuskan di antara kalian dengan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla,”

kemudian beliau memutuskan hukuman cambuk dan pengasingan bagi ghayr muḥṣan.

Kedua, diriwayatkan dari Nabi ﷺ secara mursal bahwa beliau mengasingkan dua orang mukhannats (laki-laki menyerupai perempuan) yang ada di Madinah; salah satu dari mereka dipanggil Hayt, dan yang lain Māti‘.

Terdapat riwayat bahwa salah satunya diasingkan ke wilayah Huma. Ia tetap berada di tempat itu pada masa hidup Nabi ﷺ, kemudian masa hidup Abu Bakar dan Umar.

Ketika ia mengeluhkan kesempitan hidup, salah seorang pemimpin mengizinkannya untuk masuk ke Madinah sekali dalam seminggu pada hari Jumat untuk berdagang, lalu ia kembali keluar.

Aku telah melihat para sahabat kami mengenal riwayat ini dan mengamalkannya, dan aku tidak menghafal adanya seorang pun dari mereka yang menyelisihinya, meskipun kekuatannya tidak setegas nash tentang pengasingan pezina.

[Hukum Hak Asuh Anak Setelah Perceraian]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dan ia memiliki anak darinya, maka sang ibu lebih berhak terhadap anak tersebut hingga mencapai usia tujuh atau delapan tahun.

Setelah itu, anak diberi pilihan untuk memilih kepada siapa ia ingin tinggal.

Sementara nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayah selama anak tinggal bersama ibunya.

Jika si ibu menikah, maka nenek menjadi pengganti ibu.

Jika nenek memiliki suami, maka kedudukannya seperti ibu yang menikah: tidak diputuskan hak asuh untuknya.

(Al-Rabi‘ berkata): Jika suami dari nenek adalah kakek kandung si anak, maka ia lebih berhak atas anak tersebut.

Jika bukan kakeknya, maka ia tidak lebih berhak.

[Wanita Budak yang Menipu Laki-laki]

(Al-Syafi‘i berkata): Hadis Mālik menyebutkan bahwa Umar atau Utsman pernah memutuskan hukum dalam kasus seorang budak wanita yang menipu seorang laki-laki (mengaku sebagai perempuan merdeka), lalu laki-laki itu menikahinya.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang perempuan menipu laki-laki dengan dirinya, lalu ternyata ia adalah budak milik orang lain, maka dia tetap menjadi milik tuannya.

Sementara suaminya tetap diwajibkan membayar mahar karena telah menggaulinya, dan mahar itu menjadi milik tuannya.

Anak-anak hasil hubungan tersebut tetap merdeka.

Suaminya wajib membayar nilai (kompensasi) anak-anak tersebut berdasarkan harga mereka pada hari mereka lahir, bukan pada hari mereka diambil, karena anak-anak itu tidak berada dalam status perbudakan.

[Tentang Sa‘d bin ‘Ubādah dan Kesaksian dalam Tuduhan Zina]

(Al-Syāfi‘ī berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah bahwa Sa‘d bin ‘Ubādah berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menemukan seorang lelaki bersama istriku, apakah aku menunggunya hingga mendatangkan empat orang saksi?” Rasulullah menjawab: “Ya.”

(Al-Syāfi‘ī berkata): Maka siapa pun yang membunuh seseorang tanpa bukti yang mewajibkan pembunuhan, maka atasnya berlaku hukum qishāsh. Seandainya orang-orang dibenarkan begitu saja dalam hal ini, maka seseorang bisa saja memasukkan orang lain ke rumahnya lalu membunuhnya dan berkata: “Aku menemukannya sedang berzina dengan istriku.”

[Hanya Tiga yang Dihalalkan Darahnya]

(Diriwayatkan) dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:

“Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan: kufur setelah iman.”

Dan diriwayatkan pula dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:

“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.”

Dan tidaklah orang yang kafir setelah beriman serta mengganti agamanya lepas dari dua hal:

  • Bisa jadi karena kalimat kufur dan pergantian agama itu sendiri sudah mewajibkan hukuman mati meski ia bertaubat, sebagaimana pezina pun dihukum meskipun ia bertaubat.
  • Atau bisa jadi karena ia menetap dalam kekafiran dan tidak bertaubat.

Tidak ada perbedaan antara orang yang mengganti agamanya dengan agama yang dikenal maupun yang tidak dikenal.

Jika dikatakan: “Jika dia kembali ke Nashraniyah, lalu bertaubat, maka diterima taubatnya, dan dia telah meninggalkan salib dan gereja,”

padahal bisa saja dia tetap dalam Nashraniyah secara tersembunyi tanpa diketahui benar kembalinya kepada Allah.

Maka tidak ada bedanya apakah dia kembali pada agama yang ditampakkan atau tidak.

Orang-orang munafik pun tetap menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran, dan Allah telah mengabarkan hal itu kepada Rasul-Nya ﷺ.

Allah menjadikan perhitungan hati mereka di sisi-Nya, dan Nabi ﷺ tetap memperlakukan mereka sebagai Muslim dalam pernikahan, warisan, dan memberikan bagian ghanimah saat mereka ikut perang.

[Had Pencurian, Perampokan, dan Zina]

Had pencurian:

Al-Rabi‘ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syāfi‘ī mengabarkan kepada kami, ia berkata:

Allah berfirman: “Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan, sebagai hukuman dari Allah.” (QS. al-Mā’idah: 38)

(Al-Syāfi‘ī berkata): Ibn ‘Uyaynah dan al-‘Amrī mengabarkan kepada kami dari Ibn Syihab dari ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahmān dari ‘Āisyah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Potong tangan karena mencuri sebesar seperempat dinar atau lebih.”

(Al-Syāfi‘ī berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah ﷺ memotong tangan pencuri dalam kasus tameng yang nilainya tiga dirham.

Maka Sunnah Nabi ﷺ menunjukkan bahwa yang dipotong adalah pencuri yang baligh dan berakal, dan ini dijelaskan dalam bab lain.

Dan had ‘Āisyah dan Ibn ‘Umar sama: karena tiga dirham saat itu setara seperempat dinar.

(Al-Syāfi‘ī berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullah bin Abī Bakr bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari ‘Āmrah binti ‘Abd al-Rahmān bahwa seseorang mencuri buah utrujah di masa ‘Utsmān bin ‘Affān r.a.

Maka ‘Utsmān memerintahkan agar dinilai, dan dinilai senilai tiga dirham dengan hitungan 12 dirham = 1 dinar, lalu tangannya dipotong.

Malik berkata: utrujah adalah buah yang biasa dimakan manusia.

(Al-Syāfi‘ī berkata): Maka hadis ini menunjukkan bahwa satu dinar = 12 dirham.

Juga menunjukkan bahwa pemotongan tangan berlaku atas pencurian buah segar meskipun tidak bisa dikeringkan, karena utrujah tidak bisa dikeringkan.

Maka segala sesuatu yang memiliki nilai—mushaf, pedang, dan lainnya—jika nilainya mencapai seperempat dinar, maka tangan dipotong.

Tetapi jika yang dicuri adalah khamr atau babi, maka tidak dipotong karena keduanya haram diperjualbelikan.

Begitu juga alat musik seperti ṭunbūr dan mizmar, tidak ada potong tangan padanya.

(Al-Syāfi‘ī berkata): Ibn ‘Uyaynah mengabarkan kepada kami dari Ḥumayd al-Ṭawīl, bahwa dia mendengar Qatādah bertanya kepada Anas bin Mālik tentang hukum potong tangan.

Anas berkata: “Aku hadir bersama Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq, dan dia memotong tangan seorang pencuri karena barang yang aku sendiri tidak mau memilikinya meski seharga tiga dirham.”

(Al-Syāfi‘ī berkata): Beberapa orang mengabarkan kepada kami dari Ja‘far bin Muhammad dari ayahnya dari ‘Alī bin Abī Ṭālib r.a. bahwa beliau berkata:

“Potong tangan karena pencurian seperempat dinar ke atas.”

(Al-Syāfi‘ī berkata): Kami mengambil berdasarkan semua riwayat ini.

Jika seorang pencuri ditangkap, maka barang curiannya dinilai pada hari dia mencuri.

Jika nilainya seperempat dinar atau lebih, dipotong tangannya.

Jika kurang dari seperempat dinar, maka tidak dipotong.

Jika dia ditahan karena belum ada bukti dan kemudian nilai barang naik hingga lebih dari seperempat dinar, tetap tidak dipotong.

Namun jika saat mencuri nilainya seperempat dinar, lalu ditahan hingga nilainya turun di bawah seperempat dinar, maka tetap dipotong karena penilaian berdasarkan hari pencurian.

Segala sesuatu yang bernilai seperempat dinar, baik itu makanan basah atau kering, kayu, atau lainnya, jika dipindahkan dari kepemilikan orang lain maka dihukum potong tangan.

Dasarnya adalah seperempat dinar.

Jika dirham naik hingga 2 dirham = 1 dinar, maka dipotong tangan untuk nilai setara seperempat dinar, yaitu setengah dirham.

Jika dirham jatuh hingga 100 dirham = 1 dinar, maka dipotong tangan jika nilainya 25 dirham.

Karena dirham hanya semacam komoditas seperti pakaian dan hewan.

Jika seseorang mencuri seperempat dinar atau setara nilai itu—misal senilai sepuluh kambing, maka potong tangan tetap berlaku.

Begitu juga jika mencuri barang senilai seperempat dinar, meskipun itu seperempat kambing.

Karena dasar pemotongan tangan adalah nilai dinar, dan dirham hanyalah barang tukar, maka tidak dipandang mahal atau murahnya dirham.

Dinar yang menjadi acuan adalah dinar timbangan (mithqāl).

Jika di suatu negeri dinarnya kurang dari mithqāl, maka tidak dipotong tangan sampai mencapai nilai seperempat dinar mithqāl, seperti pada masa Rasulullah ﷺ.

Tidak dipotong tangan kecuali jika mencuri dari tempat aman (ḥirz), dan pelakunya baligh serta berakal.

[Bab tentang usia ketika laki-laki dan perempuan dikenakan hudud]

(Al-Syafi‘i –  – berkata): Sufyān bin ‘Uyaynah memberitakan kepada kami, dari ‘Abdullah bin ‘Umar bin Ḥafṣ, dari Nāfi‘, dari Ibn ‘Umar, ia berkata: “Aku diperlihatkan kepada Nabi pada tahun Perang Uhud dalam usia empat belas tahun, maka beliau menolakku. Dan aku diperlihatkan kepada beliau pada tahun Khandaq dalam usia lima belas tahun, maka beliau menerimaku.” Nāfi‘ berkata: Lalu aku menyampaikan hal ini kepada ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, maka ‘Umar berkata: “Ini adalah perbedaan antara anak-anak dan yang layak ikut berperang.” Kemudian ia menulis surat kepada para gubernurnya agar menetapkan bagian ghanimah untuk anak usia lima belas tahun sebagai tentara, dan usia empat belas tahun sebagai anak-anak.

(Al-Syafi‘i berkata): Maka kami mengambil hukum ini dari Kitab Allah ‘azza wa jalla dan perkataan ini. Allah berfirman: “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk nikah; jika kamu telah mengetahui pada mereka kecerdasan, maka serahkanlah kepada mereka hartanya” (QS. an-Nisā’: 6).

Barang siapa telah mencapai usia menikah di antara laki-laki—yaitu ihtilām (mimpi basah)—dan perempuan—yaitu haidh—maka ia keluar dari status anak-anak dan dikenai seluruh hudud, termasuk had mencuri dan lainnya. Barang siapa belum mencapai tanda-tanda itu, maka jika telah berusia lima belas tahun sempurna, maka hudud ditegakkan atasnya.

[Bab tentang apa yang disebut sebagai tempat aman (ḥirz), dan keadaan orang yang menerima pemberian atau memiliki barang curian setelah dicuri]

(Al-Syafi‘i –  – berkata): Malik mengabarkan kepada kami, dari Ibn Syihāb, dari Ṣafwān bin ‘Abdullah bahwa Ṣafwān bin Umayyah pernah dikatakan kepadanya bahwa orang yang tidak berhijrah akan binasa, lalu ia datang ke Madinah dan tidur di masjid dengan menjadikan rida’-nya sebagai bantal. Lalu datang seorang pencuri yang mengambil rida’-nya dari bawah kepalanya. Ṣafwān menangkap si pencuri dan membawanya kepada Nabi ﷺ, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar tangannya dipotong. Maka Ṣafwān berkata: “Aku tidak menginginkan hal ini, aku menganggap itu sebagai sedekah baginya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Mengapa tidak engkau lakukan itu sebelum engkau membawanya kepadaku?”

Sufyān meriwayatkan kepada kami dari ‘Amr dari Ṭāwūs dari Nabi ﷺ semisalnya.

(Al-Syafi‘i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Yaḥyā bin Sa‘īd dari Muḥammad bin Yaḥyā dari pamannya, Wāsi‘ bin Ḥabbān, bahwa Rāfi‘ bin Khadīj memberitahunya bahwa ia mendengar Nabi ﷺ bersabda:

“Tidak dipotong tangan karena mencuri buah atau pelepah kurma.”

Sufyān meriwayatkan kepada kami dari Yaḥyā bin Sa‘īd dari Muḥammad bin Yaḥyā bin Ḥabbān dari pamannya Wāsi‘ dari Rāfi‘ bin Khadīj dari Nabi ﷺ semisalnya.

Malik meriwayatkan kepada kami dari Ibn Abī Ḥusain dari ‘Amr bin Syu‘aib dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:

“Tidak ada hukum potong tangan pada buah yang masih tergantung di pohon, namun jika telah diletakkan di tempat pengeringan (al-jarīn), maka berlaku hukum potong tangan.”

(Al-Syafi‘i berkata): Maka lihatlah selalu pada keadaan ketika si pencuri mencuri. Jika ia telah mencuri dan memisahkan barang curian dari tempat amannya (ḥirz), maka saat itu had wajib ditegakkan.

Jika barang curian itu dihibahkan kepada pencuri sebelum hukuman ditegakkan, atau ia memilikinya melalui cara-cara kepemilikan lainnya, maka tetap dipotong; karena yang menjadi patokan adalah keadaan saat ia mencuri, dan pada saat itu ia bukanlah pemilik barang.

Aku juga memandang pada tempat pencurian: jika dalam kondisi itu, masyarakat umum menganggapnya sebagai tempat aman, maka dikenai had; namun jika masyarakat tidak menganggapnya sebagai tempat aman, maka tidak dikenai had.

Rida’ Ṣafwān adalah tempat aman karena ia tidur di atasnya, maka siapa pun yang berada di tempat terbuka dan tidur di atas pakaiannya—baik di padang pasir, pemandian, atau tempat lain—maka itu dianggap tempat aman, sebab begitulah kebiasaan masyarakat menjaga barang di tempat tersebut.

Lihat pula barang dagangan di pasar: jika disusun di tempat jualannya, diikat tali, atau makanan diletakkan dalam karung dan dijahit, maka jika dicuri darinya, dikenai had; karena masyarakat biasa mengamankannya seperti itu.

Demikian pula unta seseorang jika sedang berjalan bersamanya dan diikat sebagian dengan sebagian lainnya, lalu barang atau salah satu unta itu dicuri, maka dipotong.

Begitu juga jika ia mengumpulkan untanya di padang pasir, mendudukkan mereka dalam keadaan terlihat olehnya, lalu ada yang mencuri, maka dipotong.

Begitu pula kambing yang dikumpulkan dalam kandang dan ia tidur di dekatnya, maka itu tempat aman.

Jika ia turun di padang pasir, mendirikan kemah, dan memasukkan barang ke dalamnya lalu tidur di dalamnya, maka jika dicuri dari dalam kemah, maka dipotong; karena tidurnya di dalam kemah merupakan perlindungan untuk barang dan kemahnya.

Namun tempat aman berbeda-beda, dan dihitung menurut apa yang umum digunakan masyarakat sebagai perlindungan.

Kebun berpagar tidak dianggap sebagai tempat aman bagi kurma atau buah-buahan; karena kebanyakan pagar itu bisa dimasuki dari segala sisi.

Maka siapa yang mencuri dari pohon yang masih tergantung di kebun tidak dipotong. Namun jika telah dikumpulkan ke tempat penyimpanan (jarīn), maka dipotong; karena umum diketahui bahwa tempat penyimpanan itu adalah tempat aman, sedangkan pagar kebun tidak.

Jika seseorang tidur di padang pasir dan meletakkan pakaiannya di depannya, atau para pedagang meninggalkan barang dagangan mereka di kios tanpa pelindung, tidak disusun, tidak diikat, atau meletakkan barang besar seperti gentong di pasar tanpa diikat, maka jika dicuri darinya, tidak dipotong; karena masyarakat tidak menganggapnya sebagai tempat aman.

Jika seseorang melepas untanya untuk merumput atau membiarkannya berjalan tanpa ikatan di jalan, atau mendudukannya di padang pasir tanpa tidur di dekatnya, atau ia mendirikan kemah tetapi tidak tidur di dalamnya, lalu barang atau hewan dicuri, maka tidak dipotong; karena masyarakat tidak menganggapnya sebagai tempat aman.

Dan rumah-rumah yang tertutup adalah tempat aman (ḥirz) bagi apa yang ada di dalamnya. Maka jika pencuri mencuri dari rumah yang terkunci, lalu ia membuka kunci atau membobol rumah atau mencabut pintunya, kemudian mengeluarkan barang dari tempat amannya, maka ia dipotong (tangannya).

Namun jika rumah itu terbuka, lalu ia masuk dan mencuri darinya, maka tidak dikenakan hukum potong. Akan tetapi, jika di balik pintu yang terbuka itu ada ruang (ḥujrah) yang terkunci atau rumah dalam rumah (dār) yang terkunci, lalu ia mencuri dari sana, maka ia dipotong.

Dikatakan pula: jika ada penghalang berupa ruang atau rumah meski tidak terkunci, maka itu termasuk tempat aman (ḥirz).

Begitu pula rumah-rumah di pasar: jika dalam keadaan terbuka lalu seseorang masuk dan mencuri dari dalamnya, maka ia tidak dipotong, meskipun pemiliknya ada di dalamnya. Ini termasuk khiyānah (pengkhianatan), karena keberadaan seseorang di dalam rumah itu tidak menjadikannya sebagai tempat aman (ḥirz),

(kata al-Rabi‘:) kecuali bila penglihatan pemilik rumah mengawasi seluruh isi rumah atau ia sedang menjaga dan kecolongan, lalu seseorang mencuri darinya barang senilai seperempat dinar, maka pencuri itu dipotong.

(al-Syafi‘i berkata:) Jika sebuah rumah memiliki ruangan, kemudian memiliki bagian dalam (dār), lalu seseorang mengeluarkan barang curian dari ruangan dan ruang dalam, tetapi rumah itu sepenuhnya milik orang yang kecurian, maka tidak dipotong hingga ia mengeluarkannya dari seluruh bagian rumah itu, karena rumah tersebut adalah tempat aman (ḥirz) secara keseluruhan.

Namun jika rumah itu dimiliki secara bersama (musytarak), lalu pencuri mengeluarkan barang dari ruangan dan rumah ke halaman bersama, maka ia dipotong, karena rumah yang dimiliki bersama tidak menjadi tempat aman bagi salah satu dari mereka secara khusus.

Jika seseorang membobol rumah dan mengeluarkan barang curian seluruhnya melalui lubang itu, maka ia dipotong.

Namun jika ia hanya meletakkannya sebagian di dalam lubang lalu orang lain mengambil dari luar, maka ia tidak dipotong, karena ia tidak mengeluarkannya dari seluruh tempat amannya.

Akan tetapi, jika ia melemparkannya atau memindahkannya ke tempat yang bukan tempat aman, atau melemparkannya ke jalan, maka ia dipotong.

(al-Syafi‘i berkata:) Jika beberapa orang membawa barang dari rumah dan barang itu mereka bawa bersama-sama, maka jika mereka bertiga dan nilainya mencapai tiga perempat dinar, maka mereka dipotong. Namun jika kurang dari itu, maka tidak dipotong.

Namun jika mereka membawanya secara terpisah, maka siapa yang membawa barang senilai seperempat dinar, maka ia dipotong, dan siapa yang membawa kurang dari itu, maka tidak dipotong.

Demikian pula jika pencuri mencuri kain lalu merobeknya, atau perhiasan lalu memecahkannya, atau seekor kambing lalu menyembelihnya di dalam tempat aman, kemudian ia mengeluarkannya dari tempat itu, maka barang tersebut dinilai dalam keadaan yang ia keluarkan, yaitu kain yang telah robek, perhiasan yang telah pecah, dan kambing yang telah disembelih. Jika nilainya dalam kondisi seperti itu mencapai seperempat dinar, maka ia dipotong.

Yang diperhitungkan adalah nilainya dalam keadaan saat dikeluarkan dari tempat aman, bukan nilainya saat masih utuh di tempat asal.

Jika nilainya kurang dari seperempat dinar dalam kondisi ketika dikeluarkan, maka ia tidak dipotong.

Namun ia wajib mengganti nilainya saat masih utuh, jika ia telah merusaknya. Jika tidak, maka ia wajib mengembalikannya dan mengganti kekurangannya karena kerusakan.

Jika sekelompok orang masuk ke rumah dan membobolnya bersama-sama, lalu sebagian dari mereka mengeluarkan barang curian, maka yang mengeluarkan saja yang dipotong, bukan yang tidak ikut mengeluarkannya.

Demikian pula jika sebagian mereka berjaga di pintu atau di tempat lain untuk mengawasi, maka hanya yang mengambil barang dari dalam rumah yang dipotong, sedangkan yang tidak mengambil tidak dipotong.

Inilah hukum umum dalam bab ini.

Siapa yang mencuri budak kecil atau budak non-Arab dari tempat aman (ḥirz), maka ia dipotong.

Namun siapa yang mencuri orang yang berakal atau mampu melawan, maka tidak dipotong, karena itu termasuk tipu daya.

Jika ia mencuri anak kecil dari tempat yang bukan tempat aman, maka tidak dipotong.

Seorang yang membongkar kuburan dan mengeluarkan kafan dari seluruh bagian kubur, maka ia dipotong, karena itu adalah tempat aman bagi kafan.

Namun jika ia tertangkap sebelum mengeluarkan kafan dari seluruh kubur, maka ia tidak dipotong selama kafan itu belum keluar dari seluruh tempat amannya.

[Pemotongan tangan budak karena pengakuannya dan pemotongannya dalam keadaan kabur (ābiq)]

(al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari ‘Abdullah bin Abi Bakar bin Hazm dari ‘Amrah binti ‘Abdurrahman bahwa ‘Aisyah pergi ke Makkah bersama dua hamba perempuan miliknya dan seorang budak milik keluarga ‘Abdullah bin Abi Bakar al-Shiddiq. Lalu ‘Aisyah mengirimkan bersama dua hamba perempuan itu kain berbordir yang dijahitkan padanya secarik kain hijau. Maka budak itu mengambil kain tersebut, membukanya, mengeluarkannya, lalu menggantinya dengan kain kasar atau bulu domba, kemudian menjahitnya kembali. Ketika dua hamba perempuan itu sampai di Madinah, mereka menyerahkan kain itu kepada pemiliknya. Ketika dibuka, ditemukan kain kasar dan tidak ditemukan kain berbordir. Maka kedua hamba perempuan itu berbicara kepada ‘Aisyah, istri Nabi , atau menulis kepadanya, dan mereka menuduh budak itu.

Budak itu ditanya dan mengakui. Maka ‘Aisyah, istri Nabi , memerintahkan agar tangannya dipotong, dan beliau berkata: “Pemotongan tangan dilakukan pada nilai seperempat dinar atau lebih.”

(al-Syafi‘i berkata): Dalam pandangan kami, itu adalah barang yang disimpan dengan aman bersama kedua hamba perempuan, lalu dicuri dari tempat amannya. Maka dengan itu, budak dihukum dengan pengakuannya terhadap dirinya sendiri dalam hal yang membahayakan tubuhnya, meskipun itu mengurangi nilainya.

Dan budak itu tetap dipotong, karena ia mencuri, dan Allah SWT telah memerintahkan untuk memotong tangan pencuri. Dan kami tetap memotongnya meskipun dia dalam keadaan kabur (ābiq), karena maksiat kepada Allah dengan kabur tidak menambah kebaikan baginya.

(al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi‘ bahwa seorang budak mencuri dari Ibn ‘Umar dalam keadaan kabur, lalu Ibn ‘Umar mengirimnya kepada Sa‘id bin al-‘Āṣ — gubernur Madinah — agar dipotong tangannya, tetapi Sa‘id menolak memotong tangannya dan berkata, “Tangan budak kabur tidak dipotong jika mencuri.”

Maka Ibn ‘Umar berkata kepadanya: “Dalam kitab Allah mana engkau menemukan ini?” Maka Ibn ‘Umar memerintahkan agar tangan budak itu dipotong.

(al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ruzaiq bin Hakim bahwa ia menangkap seorang budak kabur yang mencuri, lalu ia menulis surat kepada ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz: “Aku mendengar bahwa budak kabur yang mencuri tidak dipotong.” Maka ‘Umar membalas suratnya:

“Sesungguhnya Allah SWT berfirman: {Dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan dari apa yang mereka kerjakan, dan sebagai hukuman dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana} [al-Mā’idah: 38]. Maka jika barang curiannya mencapai seperempat dinar atau lebih, maka potonglah tangannya.”

[Pemotongan seluruh anggota tubuh (karena mencuri)]

(al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari ‘Abd al-Rahman bin al-Qasim dari ayahnya bahwa seorang laki-laki dari Yaman, yang telah terpotong tangan dan kakinya, datang kepada Abu Bakar al-Shiddiq dan mengadukan bahwa pejabat di Yaman telah menzaliminya.

Ia biasa salat malam, maka Abu Bakar berkata: “Demi ayahmu, malamnya tidak seperti malam pencuri.”

Kemudian perhiasan milik Asma’ binti ‘Umays — istri Abu Bakar — hilang, lalu laki-laki itu ikut mencari bersama mereka sambil berkata: “Ya Allah, timpakanlah azab-Mu pada siapa yang telah memasuki rumah keluarga saleh ini.”

Ternyata perhiasan itu ditemukan di tukang emas yang mengaku bahwa orang yang buntung itu yang membawanya. Lalu orang itu mengakui atau ada yang bersaksi atasnya.

Maka Abu Bakar memerintahkan agar tangannya yang kiri dipotong dan berkata: “Sungguh doanya terhadap dirinya sendiri lebih berat bagiku daripada pencuriannya.”

(al-Syafi‘i berkata): Maka dengan ini kami berpendapat, apabila seseorang mencuri pertama kali, dipotong tangan kanannya dari pergelangan, lalu dibakar (diseterika) dengan api.

Jika mencuri kedua kali, dipotong kaki kirinya dari pergelangan, lalu dibakar dengan api.

Jika mencuri ketiga kali, dipotong tangan kirinya dari pergelangan, lalu dibakar dengan api.

Jika mencuri keempat kali, dipotong kaki kanannya dari pergelangan, lalu dibakar dengan api.

Jika mencuri kelima kali, maka ia dipenjara dan diberi hukuman ta‘zīr.

Dan setiap pencuri yang tidak memenuhi syarat untuk dipotong, maka ia dikenakan hukuman ta‘zīr.

(al-Syafi‘i berkata): Anggota tubuh dipotong dengan cara yang paling ringan dampaknya dan paling aman, dan yang aku ketahui adalah:

Ia didudukkan dan dipegang kuat, lalu tangannya ditarik dengan benang hingga terlihat sendinya, kemudian dipotong dengan besi yang tajam, lalu dibakar (diseterika).

Jika ada cara yang lebih lembut dan lebih aman dari ini, maka digunakan cara itu, karena tujuan pemotongan hanyalah untuk menegakkan hudud, bukan untuk membinasakan tubuh.

[Orang yang wajib dipotong tangannya]

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Tidak dipotong tangan pencuri dan tidak ditegakkan had selain hukuman mati terhadap wanita hamil, orang sakit yang parah, atau orang yang sedang sakit, atau pada hari yang sangat dingin atau sangat panas, atau dalam kondisi yang mengandung risiko kebinasaan.

Di antara hal yang berisiko kebinasaan yang menyebabkan pelaksanaan hudud ditunda hingga sembuh adalah jika tangan pencuri dipotong lalu belum sembuh dan ia mencuri lagi, maka pelaksanaan (hudud kedua) ditunda sampai tangannya sembuh.

Demikian pula jika seseorang dicambuk lalu kulitnya belum sembuh hingga ia terkena had lain, maka pelaksanaannya ditunda hingga kulitnya sembuh. Demikian pula setiap luka atau penyakit yang dialami.

[Hal-hal yang tidak menyebabkan pemotongan karena merupakan bentuk pengkhianatan]

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibn Syihab dari al-Sa’ib bin Yazid bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr al-Hadrami datang membawa budaknya kepada ‘Umar bin al-Khaththab – raḍiyallāhu ‘anhu – dan berkata, “Potonglah tangan budak ini karena dia telah mencuri.”

‘Umar bertanya, “Apa yang dia curi?”

Ia menjawab, “Cermin istriku seharga enam puluh dirham.”

Maka ‘Umar berkata, “Lepaskan dia, tidak ada pemotongan tangan atasnya. Pelayan kalian mencuri harta kalian sendiri.”

(al-Syafi‘i berkata): Dengan ini kami berpendapat, dan apabila seorang budak mencuri dari harta tuannya – baik yang dipercayakan padanya maupun tidak – maka lebih utama untuk tidak dipotong, karena hartanya sendiri mengambil sebagian hartanya.

(al-Syafi‘i berkata): Telah dikatakan oleh sahabat kami, jika seorang suami mencuri dari istrinya, atau istri mencuri dari suaminya dalam rumah yang mereka tinggali bersama, maka tidak dipotong tangan salah satu dari keduanya.

Jika budak suami mencuri dari istri, atau budak istri mencuri dari suami, dan budak itu melayani mereka, maka tidak dipotong karena termasuk pengkhianatan.

Namun jika suami mencuri dari istri atau istri mencuri dari suami dari rumah yang dipagari yang tidak mereka tinggali bersama, atau budak istri mencuri dari suami atau budak suami mencuri dari istri dan bukan termasuk pelayan mereka berdua, maka dipotong siapa pun dari mereka yang mencuri.

(al-Syafi‘i berkata): Ini adalah pendapat, dan aku melihat bahwa maksud perkataan ‘Umar “Pelayan kalian dan harta kalian,” maksudnya adalah pelayan pribadi kalian. Tetapi perkataan ‘Umar “pelayan kalian” juga bisa berarti “budak kalian,” maka aku melihat – wallāhu a‘lam – bahwa sebaiknya untuk kehati-hatian, seorang suami tidak dipotong karena mencuri dari istri, begitu pula sebaliknya, dan tidak pula dipotong budak salah satu dari mereka karena mencuri dari harta yang lain, karena ada atsar (riwayat) dan syubhat dalam hal itu.

(al-Syafi‘i berkata): Demikian pula jika seorang laki-laki mencuri harta ayahnya, ibunya, kakeknya, atau hartanya anak atau cucunya, maka tidak dipotong tangan salah satu dari mereka.

Jika dalam satu rumah terdapat kerabat atau bukan kerabat, lalu sebagian mereka mencuri dari sebagian lainnya, maka tidak dipotong, karena itu termasuk pengkhianatan.

Demikian pula para pembantu rumah tangga yang tinggal bersama mereka tanpa upah, maka tidak dipotong jika mencuri karena itu pun termasuk pengkhianatan.

Demikian pula orang yang meminjam suatu barang lalu mengingkarinya, atau yang dititipi sesuatu lalu mengingkarinya, maka tidak dipotong, karena pemotongan hanya berlaku bagi orang yang mengeluarkan barang dari tempat yang dijaga tanpa adanya syubhat. Inilah makna pemotongan karena mencuri.

(al-Syafi‘i berkata): Mencopet bukan seperti mencuri, maka tidak ada pemotongan tangan karena mencopet, karena barang tidak diambil dari tempat yang dijaga dan tidak termasuk dalam kategori perampokan.

(al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibn Syihab bahwa Marwan bin al-Hakam didatangkan seseorang yang mencopet barang, maka ia hendak memotong tangannya, lalu ia mengirim kepada Zaid bin Tsabit untuk menanyakan hal itu.

Zaid menjawab: “Tidak ada pemotongan tangan karena mencopet.”

(al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang menempatkan orang lain dalam rumahnya atau menyewakannya, lalu ia mengunci rumah itu darinya, kemudian pemilik rumah mencuri dari rumah itu, maka tangannya dipotong. Ini seperti orang asing yang mencuri dari rumah tersebut.

[Tanggungan pencuri terhadap barang curian]

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Jika barang curian ditemukan masih berada di tangan pencuri sebelum tangannya dipotong, maka barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya dan pencuri tetap dipotong.

Jika pencuri telah melakukan sesuatu terhadap barang curian tersebut yang mengurangi nilainya, maka barang itu dikembalikan kepadanya dan ia bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Jika pencuri telah merusaknya, maka ia tetap dipotong dan juga harus membayar nilai barang tersebut pada hari ia mencurinya. Ia wajib mengganti kerugian sesuai nilai barang saat dicuri, jika barang telah binasa.

Demikian pula halnya dengan perampok jalanan (qāṭi‘ ṭarīq) dan siapa pun yang merusak harta orang lain dalam kasus yang mengharuskan atau tidak mengharuskan pemotongan, maka semuanya sama, dan orang yang merusak bertanggung jawab.

Pemotongan adalah hak Allah, tidak menggugurkan kewajiban mengganti kerugian terhadap manusia.

[Hudud bagi Perampok Jalanan]

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Allah Ta‘ala berfirman: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib” (al-Mā’idah: 33).

(al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim dari Ṣāliḥ maula al-Tu’amah dari Ibn ‘Abbās mengenai perampok jalanan: jika mereka membunuh dan merampas harta, maka mereka dibunuh dan disalib. Jika mereka membunuh tapi tidak mengambil harta, maka mereka dibunuh tanpa disalib. Jika mereka hanya mengambil harta tanpa membunuh, maka dipotong tangan dan kaki mereka secara silang. Jika mereka melarikan diri, maka dikejar hingga tertangkap dan ditegakkan hudud atas mereka. Jika mereka hanya menakut-nakuti di jalanan tanpa merampas harta, maka mereka diasingkan dari negeri.

(al-Syafi‘i berkata): Kami berpendapat sesuai dengan ini, dan hal itu sesuai dengan makna kitab Allah Ta‘ala. Sesungguhnya hudud itu ditetapkan bagi orang yang telah masuk Islam. Adapun orang musyrik, maka tidak berlaku atas mereka hudud kecuali hukuman mati, perbudakan, atau jizyah. Perbedaan hukuman hudud bagi perampok didasarkan pada perbedaan perbuatan mereka sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Abbās – semoga Allah meridai keduanya – insya Allah.

(QS. al-Mā’idah: 34): “Kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kalian menangkap mereka”

Barang siapa yang bertaubat sebelum tertangkap, maka gugur hak Allah darinya, namun ia tetap dimintai pertanggungjawaban terhadap hak manusia.

Tidak dipotong tangan perampok kecuali jika ia merampas harta senilai seperempat dinar atau lebih, dengan qiyas kepada sunnah dalam kasus pencuri.

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Para perampok yang terkena hukuman hudud ini adalah mereka yang menodong orang-orang dengan senjata, merampas mereka secara terang-terangan di padang pasir dan jalanan. Menurutku ini juga berlaku di daerah perkampungan maupun pedesaan, bahkan jika terjadi di kota maka dosanya lebih besar, tetapi hukumannya sama. Jika para perampok menyerang sekelompok orang atau seseorang secara terang-terangan bersenjata, dan tindakan mereka beragam – ada yang membunuh dan mengambil harta, ada yang hanya membunuh, ada yang hanya mengambil harta, ada yang hanya ikut serta dan menakutkan – maka masing-masing dihukum sesuai perbuatannya sebagaimana dijelaskan.

Bagi yang membunuh dan mengambil harta, maka dibunuh dan disalib. Aku lebih menyukai dimulai dari membunuh dulu sebelum disalib, karena membunuh dengan disalibkan lebih menyakitkan dan mirip dengan penyiksaan. Ada yang berpendapat ia disalib dahulu lalu ditusuk hingga mati.

Jika hanya membunuh tanpa merampas, maka ia dibunuh dan diserahkan kepada keluarganya untuk dikuburkan, atau dikuburkan oleh orang lain.

Jika hanya mengambil harta tanpa membunuh, maka dipotong tangan kanannya lalu dicaut, kemudian kaki kirinya dan dicaut juga pada tempat yang sama, lalu dilepas.

Siapa yang hanya hadir dan menakutkan, atau menjadi pelindung (penjaga) kelompok perampok, maka dihukum ta‘zīr dan dipenjara.

Baik perbuatan mereka terjadi bersamaan dalam satu kejadian, maupun kelompok yang sama melakukan tindakan yang berbeda-beda – seperti membunuh, membunuh dan merampas, atau hanya merampas – maka masing-masing dari mereka dikenakan hudud sesuai dengan kadar perbuatannya. Jika hanya menakutkan tanpa membunuh atau mengambil harta, maka mereka dihukum ta‘zīr.

Jika mereka menakutkan dan juga melukai, maka dilakukan qishāṣ terhadap luka tersebut, selain dihukum ta‘zīr dan dipenjara.

Jika perampok membunuh satu orang dan melukai yang lain, maka dilaksanakan qishāṣ atas luka tersebut lalu ia dibunuh. Jika ia hanya merampas dan melukai, maka dilaksanakan qishāṣ atas luka lalu dipotong. Hak-hak Allah tidak menghalangi hak-hak manusia dalam kasus luka dan selainnya.

Jika luka yang ditimbulkan bukan jenis yang bisa dibalas dengan qishāṣ tapi tergolong sengaja (‘amdan), maka dibayar seluruh diyat-nya dari harta pelaku, dan ditagih sebagai utang.

Jika pelaku telah dibunuh atau dipotong dan para korban luka memaafkan, maka itu hak mereka.

Jika para wali korban pembunuhan memaafkan darah pembunuhan tersebut, maka pemaafan mereka tidak menggugurkan hak Allah terhadap pelaku, dan tetap wajib atas pemerintah untuk membunuhnya jika perbuatannya termasuk yang mewajibkan hukuman mati.

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Aku menghafal dari sebagian ulama sebelum kami bahwa mereka berkata: para perampok dibunuh walaupun yang mereka bunuh adalah seorang budak atau seorang dzimmi karena hendak mengambil harta.

Hal ini berbeda dari pembunuhan biasa (yang tidak termasuk ghīlah/pembunuhan tipu daya).

(al-Syafi‘i berkata): Perkataan itu memiliki landasan, karena Allah menyebutkan hukuman bunuh dan salib bagi yang memerangi dan membuat kerusakan di bumi. Maka bisa jadi, jika hal itu terjadi pada seorang budak atau dzimmi, tetap dianggap sebagai tindakan memerangi atau membuat kerusakan.

Dan bisa juga dianggap bahwa jika perbuatannya termasuk yang mengharuskan qishāṣ, maka hukumnya berlaku.

Namun aku memandang hal ini berbeda dari jalur qishāṣ lainnya, karena darah pelaku tidak bisa dijaga (dimaafkan) dengan ampunan dari wali korban. Jika ada kesepakatan damai dalam hal itu, maka damai tersebut tidak sah, dan tindakannya dianggap batal, karena hukuman ini adalah bagian dari hudud Allah.

Tidak ada dalil tegas yang wajib diikuti dalam hal ini, juga tidak ada ijma‘ yang kuikuti, dan tidak pula ada qiyās yang utuh, maka aku memohon petunjuk kepada Allah dalam masalah ini.

[Kesaksian dan Pengakuan dalam Kasus Pencurian, Perampokan, dan Lainnya]

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Tidak ditegakkan hudud atas pencuri atau perampok kecuali dengan dua cara: yaitu dengan dua orang saksi adil yang bersaksi atas hal yang mengharuskan hudud, atau dengan pengakuan yang ditegaskan atas dirinya sampai ditegakkan hudud.

Dan wajib bagi imam (hakim) untuk menanyai dua saksi dalam kasus pencurian hingga mereka berkata: “Si Fulan telah mencuri” dan menetapkannya dengan jelas – meskipun mereka tidak menyebutkan nama dan nasabnya – serta menyebutkan bahwa ia mencuri barang milik si Fulan senilai seperempat dinar atau lebih, dan dihadirkan pula orang yang kehilangan barang tersebut, yang mengakui bahwa barang itu miliknya sebagaimana disebutkan oleh saksi. Jika orang tersebut mendustakan para saksi, maka pencuri tidak dipotong. Jika tidak hadir, maka pencuri ditahan hingga ia hadir, lalu mengakui atau mendustakan para saksi. Sekali pengakuan cukup, selama tidak menariknya setelah itu.

Jika para saksi tidak mengetahui nilai barang, mereka bersaksi dengan menyebutkan barang secara langsung atau sifat yang jelas, lalu mereka menyatakan bahwa nilainya lebih dari seperempat dinar, dan mengatakan bahwa barang tersebut dicuri dari tempat yang merupakan ḥirz (tempat penyimpanan yang layak), dan mereka menjelaskan sifat ḥirz tersebut, karena bisa jadi menurut mereka itu ḥirz, namun menurut ahli ilmu tidak. Jika semua ini telah terkumpul, maka ditegakkan hudud atas pelaku.

Demikian pula dua orang saksi bersaksi atas perampok dengan menyebutkan identitas mereka (meskipun tidak dengan nama dan nasab) bahwa mereka menodong dengan senjata terhadap si Fulan atau sekelompok orang tertentu dan menakut-nakuti mereka serta melakukan tindakan yang mengharuskan hudud.

Jika mereka bersaksi bahwa mereka mengambil barang, maka kesaksiannya seperti kesaksian pada pencurian, yaitu menyebutkan barang secara langsung, atau nilai, atau ciri, sebagaimana telah disebutkan. Dihadirkan pula para pemilik barang dan wali dari korban pembunuhan.

Jika dua orang dari rombongan korban bersaksi bahwa para pelaku menodong mereka dan mengambil dari mereka atau sebagian mereka, maka kesaksian itu tidak diterima, karena mereka adalah pihak yang terlibat (خصمان). Namun mereka boleh bersaksi bahwa para pelaku tersebut menodong orang-orang itu, dan melakukan berbagai hal sementara mereka menyaksikannya.

Hakim tidak wajib menanyai mereka apakah mereka berada bersama korban, karena kebanyakan kesaksian atas perampok seperti itu. Jika mereka bersaksi bahwa orang-orang tersebut menodong dan sebagian dari mereka melakukan perbuatan tertentu, tanpa bisa ditentukan siapa pelakunya, maka tidak ditegakkan hudud hanya dengan kesaksian tersebut – baik dalam kasus perampokan maupun pencurian.

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Tidak sah kesaksian perempuan dalam kasus hudud. Tidak sah kesaksian satu orang laki-laki saja, ataupun satu saksi dengan sumpah dalam kasus pencurian atau perampokan, atau dalam penetapan siapa pelaku luka atau pembunuhan, ataupun siapa yang mengambil barang secara spesifik.

Jika tidak ada dua saksi, dan pemilik barang datang dengan satu saksi, maka ia bersumpah bersama saksi tersebut dan berhak mengambil barangnya jika masih ada, atau nilainya saat dicuri jika telah hilang. Karena ini menyangkut harta, maka ia berhak atasnya, tapi pencuri tidak dipotong.

Jika ia datang dengan satu saksi dan dua perempuan, maka ia berhak atas barangnya atau nilainya, karena ini menyangkut harta, dan kesaksian perempuan diterima dalam hal tersebut. Demikian pula berlaku dalam tuntutan terhadap perampok atas harta yang mereka ambil.

Jika yang dituntut adalah luka yang bisa ditegakkan qishāṣ, dan hanya ada satu saksi, maka terdakwa bersumpah dan bebas. Jika luka tidak bisa ditegakkan qishāṣ, dan ada satu saksi, maka penggugat bersumpah bersama saksi dan mendapatkan diyat luka.

Jika ia bersaksi bahwa pencurian terjadi dari ḥirz atau bukan ḥirz, maka ia bersumpah bersama saksi dan mendapatkan barangnya atau nilainya jika telah hilang.

Tidak ada orang yang dipotong tangannya atau dikenai qishāṣ luka hanya dengan satu saksi dan sumpah, atau satu saksi dan dua perempuan.

Jika pencuri mengakui pencurian dan menyebutkan barang dan nilainya serta termasuk yang mengharuskan potong tangan, maka ia dipotong. Al-Rabī‘ berkata: Kecuali jika ia menarik pengakuannya, maka ia tidak dipotong. Namun ia wajib membayar nilai barang yang ia akui telah rusak.

(al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Demikian juga bagi perampok. Jika mereka mengakui telah membunuh si Fulan, melukai si Fulan, dan mengambil harta si Fulan atau sebagian darinya – maka cukup satu pengakuan dari masing-masing untuk menetapkan hal itu atas diri mereka. Maka masing-masing dikenai hukuman sesuai pengakuannya. Ditegakkan hudud, dilakukan qishāṣ atas luka, dan mereka wajib membayar harta seperti jika hal itu ditetapkan melalui dua saksi yang adil.

Jika mereka menarik pengakuan sebelum hudud ditegakkan, maka tidak ditegakkan atas mereka hukuman potong, bunuh, atau salib dalam kasus perampokan. Namun hak-hak manusia tetap harus ditunaikan. Pencuri wajib membayar nilai barang yang dicuri, dan perampok membayar harta yang ia akui telah diambil. Jika dalam pengakuan disebutkan bahwa ia membunuh si Fulan, maka ia diserahkan kepada wali korban: jika mereka mau, mereka membunuhnya; jika mereka mau, mereka mengambil diyat; dan jika mereka memaafkan, maka itu sah, karena ia tidak dibunuh sebagai hudud, tetapi berdasarkan pengakuan – yang telah ia cabut. Namun jika ia tetap pada pengakuannya, maka ia dibunuh, dan darahnya tidak bisa ditebus dengan maaf dari wali.

Jika ia mengaku telah melukai dan bisa dikenai qishāṣ, maka dilakukan qishāṣ. Jika tidak, maka dibayar diyat dari hartanya. Jika ia berkata bahwa ia melukai karena kesalahan, maka dibayar dari hartanya, bukan oleh ‘āqilah (keluarganya), karena itu pengakuan pribadi.

Jika sebagian tangan pencuri telah dipotong berdasarkan pengakuan, lalu ia mencabutnya, maka sisa tangannya tidak dipotong – kecuali jika ia sendiri meminta agar dipotong demi maslahat dirinya, maka hakim boleh melakukannya atau tidak.

Jika tangan seorang perampok telah dipotong berdasarkan pengakuannya, lalu ia mencabutnya, maka kakinya tidak dipotong – kecuali ada bukti yang sah. Baik ia mencabut pengakuan sebelumnya atau setelahnya, baik karena takut, ataupun tidak merasakannya – hak-hak manusia tetap harus dipenuhi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

(al-Syafi‘i berkata): Allah Ta‘ala menyebutkan dalam al-Qur’an mengenai taubat perampok, “kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kalian menangkap mereka” (al-Mā’idah: 34).

Maka siapa yang menakuti orang di jalanan dan melakukan pembunuhan, luka, atau mengambil sebagian harta – ulama kami berbeda pendapat:

Sebagian mengatakan: Semua hak Allah yang merupakan hudud gugur, tetapi hak manusia tidak gugur. Maka atas pelaku: ditegakkan qishāṣ jika luka bisa dibalas, dibayar diyat jika tidak, dan dibayar nilai harta. Jika ia membunuh, diserahkan kepada ahli waris korban; jika mereka ingin membunuh, maka ia dibunuh; jika mereka memaafkan, maka boleh. Karena ini merupakan qishāṣ, bukan hudud. Dan ini pendapat yang aku ambil.

Sebagian lain berkata: Semua hukuman gugur dari dirinya – baik hak Allah maupun hak manusia – kecuali jika barang milik orang lain masih ada, maka harus dikembalikan.

(al-Syafi‘i berkata): Wallahu a‘lam, pencuri juga diperlakukan serupa secara qiyās. Maka, hukuman potong tangan gugur darinya, tetapi ia tetap membayar nilai barang yang ia curi jika telah rusak.

[Hudud untuk Pezina Muhshan]

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ud dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa keduanya mengabarkan kepadanya:

“Dua orang laki-laki mengadukan perkara mereka kepada Rasulullah ﷺ. Salah satu dari mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, putuskan perkara antara kami berdasarkan Kitabullah.’ Lalu yang satunya – dan dia lebih memahami di antara keduanya – berkata: ‘Benar, wahai Rasulullah, putuskan antara kami berdasarkan Kitabullah dan izinkan aku berbicara.’

Beliau bersabda: ‘Bicara.’

Ia berkata: ‘Anakku menjadi buruh pada orang ini, lalu dia berzina dengan istrinya. Aku mendengar bahwa atas anakku dikenakan hukuman rajam. Maka aku menebus anakku dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada ahli ilmu, dan mereka mengabarkan kepadaku bahwa atas anakku hanya dikenakan hukuman seratus kali cambukan dan pengasingan selama setahun, sedangkan rajam adalah bagi istrinya.’

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

‘Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memutuskan antara kalian berdua dengan Kitabullah.

Adapun kambing dan budakmu, maka dikembalikan kepadamu. Anakmu akan dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.’

Kemudian beliau memerintahkan kepada Anis al-Aslami agar mendatangi istri laki-laki itu, ‘Jika ia mengakui, maka rajamlah dia.’ Maka perempuan itu mengakui, dan Anis pun merajamnya.”

Malik berkata: “al-‘Asīf adalah pekerja upahan.”

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata: “Aku mendengar ‘Umar bin al-Khattab – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata:

‘Hukuman rajam itu terdapat dalam Kitabullah – yaitu hak atas laki-laki dan perempuan yang berzina apabila mereka telah muhshan (pernah menikah dan telah melakukan hubungan suami istri) – jika telah tegak bukti dengan saksi, atau karena kehamilan, atau karena pengakuan.’”

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah merajam seorang laki-laki dan perempuan dari kalangan Yahudi yang berzina.

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa‘id dari Sulaiman bin Yasar dari Abu Waqid al-Laitsi, bahwa ‘Umar bin al-Khattab – raḍiyallāhu ‘anhu – sedang berada di Syam, lalu datang seorang lelaki kepadanya dan memberitahukan bahwa dia mendapati istrinya bersama lelaki lain. Maka ‘Umar mengutus Abu Waqid al-Laitsi kepada istrinya untuk menanyakannya. Abu Waqid mendatanginya dan di sekitarnya terdapat sejumlah wanita. Ia memberitahukan apa yang disampaikan oleh suaminya kepada ‘Umar, dan mengatakan kepadanya bahwa ia tidak akan dihukum hanya berdasarkan ucapan suaminya, lalu ia pun memberi isyarat padanya untuk mencabut pengakuannya, namun ia tetap bertahan dan menegaskan pengakuannya, maka ‘Umar memerintahkan untuk merajamnya.

(Al-Syafi‘i berkata): Maka dengan Kitabullah, sunnah Rasulullah , dan perbuatan ‘Umar, kami mengambil hukum ini seluruhnya.

Apabila seseorang menikah dengan perempuan merdeka – baik muslimah, yahudiyah, atau nasraniyah – atau ia tidak mampu menikahi yang merdeka lalu menikahi budak perempuan, dan ia telah menggaulinya setelah baligh, maka ia menjadi muhshan.

Demikian juga, perempuan merdeka – baik muslimah atau ahli kitab – apabila telah menikah dengan laki-laki merdeka atau budak dan telah digauli setelah ia baligh, maka ia pun muhshan.

Siapa pun dari keduanya yang berzina – baik dengan pasangan muḥṣan, atau budak, atau perempuan yang dipaksa – maka ditegakkan atas mereka hukuman untuk muḥṣan.

Tidak ada perbedaan apakah perempuan yang muḥṣan berzina dengan budak, orang merdeka, atau orang gila – tetap ditegakkan hudud atas masing-masing.

Hukuman bagi muḥṣan laki-laki dan perempuan adalah dirajam dengan batu hingga mati, kemudian mereka dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan.

Tidak wajib bagi imam (hakim) menghadiri pelaksanaan rajam, begitu pula para saksi. Karena Rasulullah merajam seorang laki-laki dan perempuan tanpa hadir di tempat pelaksanaan, demikian juga ‘Umar dan ‘Utsman – sejauh yang kami ketahui – tidak menghadiri pelaksanaan rajam. Dan para saksi atas pezina juga tidak wajib hadir.

Jumlah minimum yang menyaksikan pelaksanaan cambuk atau rajam adalah empat orang, sebagaimana firman Allah Ta‘ala:

“Dan hendaklah disaksikan hukuman keduanya oleh sekumpulan orang-orang mukmin.” (QS. An-Nūr: 2)

[Kesaksian dalam Perkara Zina Harus Empat Orang]

Kesaksian dalam perkara zina adalah empat orang. (Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seorang laki-laki belum menikah berzina dengan perempuan yang sudah menikah, maka perempuan dirajam dan laki-laki dicambuk seratus kali serta diasingkan selama satu tahun. Kemudian setelah itu, diizinkan masuk kembali ke negeri tempat ia diasingkan.

Keduanya – laki-laki dan perempuan yang merdeka – apabila berzina maka keduanya diasingkan. Dan hukuman had terhadap pezina tidak ditegakkan kecuali dengan kesaksian dari empat orang saksi yang adil.

Kemudian hakim akan meminta saksi-saksi itu menjelaskan bahwa mereka benar-benar melihat kejadian tersebut secara langsung, yakni melihat kemaluan laki-laki masuk ke dalam kemaluan perempuan sebagaimana masuknya kayu celak ke tempatnya. Jika mereka benar-benar membuktikannya seperti itu, maka ditegakkan hukuman had terhadap pezina laki-laki dan perempuan.

Atau jika pengakuan datang dari salah satu atau kedua pelaku zina tersebut. Jika salah satunya mengaku dan pengakuannya sah, maka ditegakkan had atasnya. Jika satu mengaku dan satu lagi tidak, maka had ditegakkan atas yang mengaku saja.

Jika seorang berkata, “Dia mengaku telah berzina denganku” atau perempuan berkata, “Dia mengaku telah berzina denganku, maka tegakkanlah had padanya,” tidak ditegakkan had atas orang yang dituduh, karena masing-masing dari mereka hanya mengaku atas orang lain, bukan atas diri sendiri. Meskipun hal itu bisa menjadi qadzaf (tuduhan zina), tapi tidak cukup untuk dijadikan dasar hukuman zina.

(Al-Syafi‘i berkata): Apabila seseorang yang mengaku itu menarik kembali pengakuannya sebelum hukuman ditegakkan, maka pengakuannya diterima dan had tidak ditegakkan – baik rajam maupun cambuk. Jika dia menarik pengakuannya setelah hukuman sudah dimulai, baik itu rajam atau cambuk, maka hukuman dihentikan, baik dia menyebutkan alasannya atau tidak.

Allah Ta‘ala berfirman tentang budak perempuan yang telah menikah:

“Maka atas mereka setengah dari hukuman bagi perempuan-perempuan yang merdeka yang telah menikah.” (QS. An-Nisā: 25)

(Al-Syafi‘i berkata): Ulama yang aku hafal pendapatnya mengatakan bahwa pengertian ‘telah menikah’ bagi budak perempuan adalah keislamannya. Jika budak perempuan muslimah berzina, maka ia dicambuk 50 kali, karena hukuman cambuk bisa dibagi dua, sedangkan hukuman rajam tidak bisa dibagi dua. Demikian pula untuk budak laki-laki.

Karena sesungguhnya hukum hudud antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda menurut Al-Qur’an, Sunnah Nabi , maupun kesepakatan kaum muslimin. Maka keduanya, baik budak laki-laki maupun perempuan, tidak ditegakkan had kecuali dengan kesaksian empat orang saksi seperti halnya terhadap orang merdeka, atau dengan pengakuan mereka sendiri. Dalam hal ini, keduanya tidak berbeda dengan orang merdeka.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang pengasingan budak. Sebagian mengatakan: tidak diasingkan karena mereka juga tidak dirajam. Sebagian lain berkata: mereka diasingkan setengah tahun – dan ini yang aku minta petunjuk kepada Allah untuk kebenarannya.

(Al-Rabi‘ berkata): Pendapat Imam Syafi‘i adalah bahwa budak laki-laki dan budak perempuan diasingkan selama setengah tahun.

(Al-Syafi‘i berkata): Pemilik budak berhak menegakkan had zina terhadap budaknya. Jika mereka melakukannya, maka tidak ada lagi hak bagi pemerintah untuk mengulangi hukuman atas mereka.

Kita tidak menghukum orang Ahlul Kitab (Yahudi/Nasrani) dalam perkara hudud kecuali jika mereka datang kepada kita dengan kerelaan. Jika mereka datang dengan rela, maka kita memiliki pilihan: boleh menghukumi atau meninggalkan. Jika kita memilih untuk menghukumi, maka kita menghukumi mereka dengan hukum Islam:

– kita rajam laki-laki dan perempuan merdeka yang telah menikah jika berzina,

– kita cambuk 100 kali bagi yang belum menikah,

– kita asingkan selama setahun,

– dan kita cambuk budak laki-laki dan perempuan sebanyak 50 kali, sebagaimana hukum dalam Islam.

[Apa Saja yang Menggugurkan Had Zina dan Apa yang Tidak Menggugurkan]

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seorang laki-laki memaksa perempuan (memerkosa) maka had ditegakkan atas laki-laki itu dan tidak atas perempuan, karena ia dipaksa. Dan perempuan berhak mendapatkan mahar yang setara, baik ia perempuan merdeka maupun budak.

Jika perempuan itu seorang budak, dan tindakan pemerkosaan mengurangi nilai jualnya, maka pelaku harus membayar ganti rugi atas pengurangan nilai tersebut selain dari mahar. Begitu juga jika perempuan itu adalah orang merdeka dan si pelaku melukainya, maka dihitung juga nilai luka (arsh)-nya bersama mahar. Mahar karena jima‘, arsh karena luka.

Jika perempuan itu meninggal karena perbuatannya, maka pelaku wajib membayar diyah – jika perempuan itu merdeka, diyah orang merdeka; jika budak, maka nilainya.

Jika ada laki-laki yang tertangkap bersama seorang perempuan, lalu ia membawa saksi bahwa ia telah menikahinya, tetapi ia tahu bahwa perempuan itu masih dalam masa iddah dari suami lain, atau bahwa perempuan itu adalah mahramnya, atau ia tahu bahwa ia menikahi perempuan itu saat dalam kondisi haram (misalnya sedang ihram), maka had zina tetap ditegakkan padanya.

Begitu pula jika perempuan itu berkata seperti itu. Namun jika ia berkata: “Saya mengira bahwa suamiku telah meninggal dan saya telah menjalani masa iddah, lalu saya menikah,” maka had tidak ditegakkan atasnya, dan dia hanya dikenai mahar karena jima‘.

Dalam setiap kondisi di mana kami menggugurkan had, tetap wajib membayar mahar karena telah melakukan hubungan badan.

[Bab: Orang Dewasa yang Murtad]

(Al-Rabi‘ bin Sulaiman meriwayatkan): (Imam Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Allah Ta‘ala berfirman:

“Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan agama seluruhnya hanya milik Allah.” (Al-Anfal: 39)

“Bunuhlah orang-orang musyrik di mana pun kamu temui mereka” (At-Taubah: 5)

“Dan siapa yang murtad dari agamanya lalu mati dalam keadaan kafir, maka gugurlah amal mereka” (Al-Baqarah: 217)

Dan Allah juga berfirman:

“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya amalmu akan sia-sia dan kamu akan termasuk orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

Kami diberi kabar oleh orang yang terpercaya, dari Hammad bin Zaid, dari Yahya bin Sa‘id, dari Abu Umamah bin Sahl, dari Utsman bin ‘Affan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga perkara:

  1. Kafir setelah beriman,
  2. Zina setelah menikah,
  3. Membunuh jiwa tanpa hak.”

(Al-Syafi‘i berkata): Maka tidak boleh darah seorang Muslim ditumpahkan kecuali karena salah satu dari tiga hal ini. Di antaranya adalah kufur setelah iman, kecuali jika pelaku bertaubat dari kekufurannya.

Dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul ﷺ menunjukkan bahwa maksud kufur setelah iman dalam hadis itu adalah jika tidak bertaubat. Telah disebutkan dalam banyak dalil bahwa orang yang murtad lebih besar dosanya dibanding musyrik sejak awal. Karena orang murtad telah keluar dari Islam yang sebelumnya melindungi darah dan hartanya, lalu kembali kepada keadaan yang menjadikan darahnya halal.

Orang yang murtad lebih buruk dibandingkan orang kafir asli karena amal salihnya gugur, sedangkan orang kafir asli bisa diampuni jika masuk Islam.

Rasulullah ﷺ sendiri memperlakukan orang musyrik yang ditangkap dalam perang dengan berbagai macam tindakan: ada yang dibunuh, ada yang dibiarkan hidup, ada yang dijadikan tebusan, dan ada yang dimerdekakan. Tetapi tidak ada satu pun ulama yang membolehkan memaafkan orang murtad, atau menjadikannya tebusan, atau dibiarkan begitu saja. Dia hanya diberi dua pilihan: masuk Islam atau dibunuh.

Bab Apa yang Menyebabkan Darah Menjadi Haram Karena Islam

(Al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Allah Ta‘ala berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ:

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasul Allah. Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya, dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munāfiqūn: 1)

hingga ayat “mereka tidak mengerti.”

(Al-Syafi‘i berkata): Maka Allah telah menjelaskan bahwa menampakkan keimanan, baik dari orang yang sebelumnya musyrik lalu beriman, atau orang yang telah beriman lalu kembali kafir lalu kembali menampakkan keimanan, maka darahnya tetap terlindungi, baik ia kembali kepada kekafiran secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Karena para munafik itu tidak memiliki agama yang nyata—seperti agama dengan hari raya, pergi ke gereja, dan sejenisnya—tetapi kekafiran mereka adalah kekafiran karena pengingkaran dan pengabaian. Hal ini dijelaskan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya ﷺ.

Allah Ta‘ala mengabarkan bahwa mereka (munafik) menjadikan sumpah sebagai pelindung, maksudnya – wallahu a‘lam – dari pembunuhan. Kemudian Allah menyebut bahwa mereka beriman lalu kafir, yaitu kafir setelah beriman, lalu menyembunyikan kekafiran mereka, dan saat ditanya mereka mengaku beriman dan bertobat, padahal di antara mereka dan Allah tetap dalam kekafiran.

Allah berfirman:

“Mereka bersumpah kepada Allah bahwa mereka tidak mengucapkannya, padahal mereka telah mengucapkan perkataan kufur dan telah kafir setelah mereka berislam.” (QS. At-Taubah: 74)

Mereka mengingkari kekufuran mereka, padahal Allah menyatakan bahwa mereka kafir dan telah berdusta. Allah menamakan mereka sebagai munafik karena menampakkan keimanan tetapi tidak benar-benar beriman.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu di dasar neraka yang paling bawah dan kamu tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka.” (QS. An-Nisā’: 145)

Maka Allah mengabarkan tentang kekafiran para munafik, dan Dia menjadikan apa yang mereka tampakkan dari keimanan sebagai pelindung dari hukuman di dunia, meskipun mereka menyembunyikan kekafiran. Dan Rasulullah ﷺ menjelaskan hal ini sebagaimana diturunkan dalam Kitabullah.

Nabi ﷺ menerima orang yang menampakkan keimanan, meskipun sebelumnya kafir, atau mengaku iman setelah kafir, maka darahnya menjadi haram untuk ditumpahkan, dan diberlakukan hukum-hukum Islam seperti waris, pernikahan, dan lainnya.

Allah hanya menjadikan hukum atas manusia berdasarkan apa yang tampak, karena tidak ada yang mengetahui batin manusia selain Allah. Maka siapa pun yang berakal, hendaknya mengabaikan semua dugaan dalam hukum, dan tidak menghukumi seseorang kecuali dengan bukti yang nyata. Demikian juga sunnah Nabi ﷺ tidak menyelisihi prinsip ini.

Dalil-Dalil Hadis

Diriwayatkan oleh Yahya bin Hassan, dari al-Laits bin Sa‘d, dari Ibnu Syihab, dari ‘Aṭā’ bin Yazīd, dari ‘Ubaidullah bin ‘Adiyy bin al-Khiyār, dari al-Miqdād bin al-Aswad:

Ia berkata: Aku berkata kepada Rasulullah : “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku berjumpa dengan orang kafir lalu kami berperang, kemudian ia menebas tanganku hingga terputus, lalu ia berlindung di balik pohon dan berkata, ‘Aku telah masuk Islam karena Allah’. Apakah boleh aku membunuhnya setelah ia mengatakan demikian?”

Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu bunuh dia.”

Aku berkata: “Wahai Rasulullah, padahal dia telah memotong tanganku, lalu mengatakan itu setelahnya, apakah aku tetap tidak boleh membunuhnya?”

Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu bunuh dia. Jika kamu membunuhnya, maka kedudukannya sebanding dengan kedudukanmu sebelum kamu membunuhnya, dan kamu berada di posisinya sebelum ia mengucapkan kalimat tersebut.”

(Al-Syafi‘i berkata): Maka Rasulullah ﷺ memberitahukan bahwa Allah mengharamkan darah orang tersebut hanya karena ia menampakkan keimanan, meskipun dalam kondisi takut. Dan tidak diperbolehkan membunuhnya, meskipun sangat mungkin bahwa ia mengucapkan syahadat hanya karena takut mati.

Larangan Membunuh Munafik yang Menampakkan Islam

Diriwayatkan oleh Malik, dari Ibnu Syihab, dari ‘Aṭā’ bin Yazīd al-Laitsi, dari ‘Ubaidullah bin ‘Adiyy bin al-Khiyār:

Bahwa ada seorang laki-laki berbisik kepada Rasulullah , dan kami tidak tahu apa isi bisikannya, hingga Rasulullah ﷺ mengeraskan suaranya, dan ternyata ia sedang meminta izin untuk membunuh seorang munafik.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bukankah dia bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?”

Orang itu menjawab: “Benar, tapi ia tidak jujur dengan syahadatnya.”

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bukankah dia salat?”

Ia menjawab: “Benar, tapi salatnya tidak benar.”

Maka Nabi ﷺ bersabda:

“Mereka itulah orang-orang yang Allah larang aku untuk membunuh mereka.”

Hadis Perlindungan Darah karena Syahadat

Diriwayatkan oleh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu –, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

“Aku akan terus memerangi manusia hingga mereka mengatakan: La ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan haknya. Dan perhitungan mereka ada pada Allah.”

(Al-Syafi‘i berkata –  –): Dan ini sejalan dengan apa yang telah kami tulis sebelumnya, baik dari Kitab Allah maupun dari Sunnah Nabi-Nya , bahwa hukum hanya dijatuhkan atas dasar apa yang tampak (lahir), dan Allah Ta‘ala-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi, karena Dia Maha Mengetahui ucapan mereka dan perhitungan mereka berada di tangan-Nya.

Begitu pula firman Allah ‘azza wa jalla dalam ayat lain:

“Tidak ada tanggung jawab sedikit pun atasmu terhadap perhitungan mereka.” (QS. Al-An‘ām: 52)

Dan Umar – رضي الله عنه – pernah berkata kepada seseorang yang ia ketahui tentang agama orang itu (dalam keadaan yang diragukan):

“Apakah engkau seorang mukmin?”

Ia menjawab, “Ya.”

Maka Umar berkata: “Aku mengira engkau hanya ingin berlindung (dari hukuman).”

Ia berkata, “Apakah dalam keimanan tidak cukup bagiku sebagai perlindungan?”

Umar berkata: “Ya, tentu cukup.”

Rasulullah ﷺ juga bersabda tentang seseorang yang dikabarkan masuk neraka, lalu salah seorang sahabat berjalan bersamanya hingga orang itu terluka parah karena perang, kemudian membunuh dirinya sendiri. Rasulullah ﷺ tidak mencegah (dari menghukumi) bahwa darahnya telah terlindungi karena keimanan yang ia tampakkan sebelumnya, meskipun beliau mengetahui kemunafikannya dan—jika ada pengetahuan dari Allah tentang orang itu—tetap tidak menggugurkan perlindungan darahnya selama ia menampakkan iman.

[Cabang Pembahasan Murtad]

(Al-Syafi‘i berkata): Maka setiap orang yang sebelumnya tidak pernah beriman, kemudian ia menampakkan keimanan dalam kondisi apa pun, selama bukan dalam keadaan terpaksa karena dikalahkan, dipenjara, atau ditawan, maka keimanannya melindungi darahnya dan mewajibkan atasnya hukum-hukum keimanan. Ia tidak boleh dibunuh hanya karena disangka bahwa ia hanya beriman karena takut atau paksaan.

Begitu pula orang yang telah beriman lalu murtad kemudian menampakkan kembali keimanan, maka sama hukumnya: apakah ia pernah disaksikan murtad lalu mengingkarinya dan kembali beriman, atau ia mengaku kafir lalu kembali mengaku iman, atau tidak disaksikan siapa pun tetapi ia mengaku murtad lalu beriman kembalikapan pun ia menampakkan iman, maka darahnya tidak boleh ditumpahkan.

Dan (Al-Syafi‘i berkata): Tidak peduli apakah ia telah melakukan hal ini berulang kali atau baru sekali, maka darahnya tetap dilindungi dan diberlakukan atasnya hukum orang beriman secara lahiriah. Namun, jika berulang kali keluar-masuk Islam, maka sebaiknya ia dihukum ta‘zīr.

Sama saja apakah ia:

  • Lahir sebagai Muslim, lalu murtad,
  • Atau kafir lalu masuk Islam, kemudian murtad,
  • Atau murtad ke Yahudi, Nasrani, Majusi, atau kepada paham pengingkaran atau ateisme,

Kapan pun ia menampakkan Islam, maka darahnya dilindungi dan berlaku hukum Islam atas dirinya, dalam keadaan apa pun dan kepada agama apa pun ia berpindah sebelumnya.

Namun, jika ia tetap dalam kekufuran, maka ia harus ditawari untuk bertobat (istitabah). Jika ia menampakkan tobat, maka berlaku hukum Islam atasnya; jika menolak dan tetap dalam kekufuran, maka dibunuh saat itu juga.

Jika seseorang tidak segera dibunuh setelah ditawari tobat, lalu dibiarkan selama tiga hari, atau enam hari, atau lebih, kemudian ia menyatakan keimanannya, maka darahnya kembali terlindungi dan berlaku hukum Islam atasnya.

Jika ia murtad dalam keadaan mabuk, lalu bertobat juga dalam keadaan mabuk, maka tidak langsung dibebaskan, hingga ia sadar dan menyatakan tobat dalam keadaan sadar. Begitu pula tidak boleh langsung dibunuh jika ia menolak bertobat dalam keadaan mabuk, hingga ia sadar, dan jika ia tetap menolak, maka ia dibunuh.

Jika ia sadar lalu menyatakan keimanan, maka diterima. Jika ia tetap menolak setelah sadar, maka baru dibunuh. Jika ia bertobat dalam keadaan mabuk lalu meninggal sebelum sadar, maka ia tetap dihukumi Muslim, dan hartanya diwarisi oleh ahli waris Muslim.

Namun jika ia murtad dalam keadaan sadar, lalu kemudian menjadi gila, maka ia tidak dibunuh hingga ia sadar kembali, lalu ditawari bertobat. Jika ia menolak, maka ia dibunuh. Jika ia meninggal dalam keadaan tidak sadar, maka hartanya menjadi milik baitulmal, bukan diwarisi.

Sama hukumnya dalam murtad dan hukuman mati: pria, wanita, budak, hamba sahaya, selama mereka adalah:

  • Orang yang sudah baligh,
  • Dan telah menyatakan iman, baik sejak lahir Muslim maupun masuk Islam kemudian murtad.

(Al-Syafi‘i berkata –  –):

Apabila seorang laki-laki murtad lalu menikahi wanita muslimah, atau seorang perempuan murtad dinikahi oleh laki-laki muslim, maka pernikahannya tidak sah, karena tidak halal bagi seorang muslim atau muslimah untuk menikahi orang murtad, tidak pada saat ijab qabul dan tidak setelahnya, sampai masing-masing dari mereka kembali masuk Islam terlebih dahulu.

Dan jika keduanya telah murtad, lalu keduanya saling menikahi atau dinikahkan dalam keadaan kufur (murtad), maka pernikahan itu tidak sah, sebab hukum pernikahan bagi orang-orang yang murtad adalah batal selama mereka belum kembali masuk Islam.

[Hukum waris orang murtad]

Dan orang yang murtad dari Islam, lalu meninggal dalam keadaan murtad, maka:

  • Tidak mewarisi dan tidak diwarisi oleh ahli warisnya dari kalangan muslim,
  • Dan hartanya menjadi fay’ (masuk baitulmal kaum muslimin).

Namun, jika ia masuk Islam kembali sebelum meninggal, maka kembali berlaku hukum Islam atas dirinya, termasuk hak waris dan hukum jenazah.

[Shalat jenazah untuk orang murtad]

Jika seseorang meninggal dalam keadaan murtad, maka tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.

Karena ia bukan bagian dari kaum muslimin.

[Pengulangan murtad]

Dan apabila seseorang berulang kali murtad lalu kembali masuk Islam, maka:

  • Darahnya tetap dilindungi, karena tobatnya berlaku setiap kali ia menampakkan kembali keislamannya,
  • Akan tetapi, ia layak dihukum ta’zīr karena meremehkan agama dan mengulang-ulang kemurtadan.

Namun, bila ia berulang kali murtad dan tidak kembali masuk Islam, maka:

  • Ia diberi kesempatan bertobat,
  • Jika tetap menolak, maka dibunuh.

[Rujuk ke Islam menyelamatkan darah]

(Al-Syafi‘i berkata): Maka setiap orang yang menampakkan Islam, baik:

  • Setelah murtad, atau
  • Setelah berkali-kali murtad dan masuk Islam lagi, atau
  • Setelah lahir dalam kekufuran lalu masuk Islam,

maka darahnya tidak halal (tidak boleh ditumpahkan), dan berlaku atasnya hukum Islam secara penuh, selama ia tidak kembali murtad.

Dan jika ia menampakkan keislaman karena takut dibunuh, maka hukumnya tetap sebagai seorang muslim, sebab kita hanya menghukumi berdasarkan apa yang tampak, dan urusan hatinya adalah urusan Allah.

(Al-Syafi‘i berkata): Pengakuan terhadap iman ada dua bentuk. Barang siapa berasal dari kalangan penyembah berhala atau dari kaum yang tidak memiliki agama yang mengaku sebagai agama kenabian atau memiliki kitab, lalu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, maka ia telah mengakui keimanan. Dan kapan pun ia murtad darinya, maka ia dibunuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Adapun orang yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, mereka mengaku mengikuti agama Musa dan Isa – semoga salawat dan salam Allah atas keduanya – padahal mereka telah mengubahnya. Telah diwajibkan kepada mereka untuk beriman kepada Muhammad – صلى الله عليه وسلم – dan mereka telah kafir dengan tidak beriman kepadanya dan tidak mengikuti agamanya, selain kekafiran mereka karena berdusta atas nama Allah sebelumnya. Telah dikatakan kepadaku bahwa sebagian dari mereka tetap berada dalam agamanya, bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, sambil berkata, “Dia tidak diutus kepada kami.” Jika di antara mereka ada yang seperti itu, lalu salah seorang dari mereka berkata: “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya,” maka ini belum cukup sebagai pengakuan iman sampai ia berkata, “Sesungguhnya agama Muhammad adalah benar dan wajib diikuti,” dan ia berlepas diri dari agama yang bertentangan dengan agama Muhammad – صلى الله عليه وسلم – atau agama Islam. Maka ketika ia telah mengucapkan hal itu, ia telah menyempurnakan pengakuan terhadap keimanan. Jika setelah itu ia murtad, maka ia diminta untuk bertobat. Jika ia bertobat, diterima; jika tidak, maka dibunuh.

Dan jika di antara mereka ada sekelompok yang dikenal tidak mengakui kenabian Muhammad – صلى الله عليه وسلم – kecuali jika telah masuk Islam, atau mereka meyakini bahwa siapa yang mengakui kenabiannya maka ia wajib masuk Islam, lalu mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, maka mereka telah menyempurnakan pengakuan iman. Jika mereka murtad setelah itu, maka mereka diminta bertobat. Jika bertobat, diterima; jika tidak, dibunuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Tidak dibunuh orang yang mengaku beriman kecuali jika ia mengakuinya setelah baligh dan berakal.

(Al-Syafi‘i berkata): Barang siapa mengaku beriman sebelum baligh meskipun berakal, lalu ia murtad sebelum atau setelah baligh, dan tidak bertobat setelah baligh, maka tidak dibunuh, karena imannya tidak terjadi setelah baligh. Ia diperintahkan untuk beriman dan dipaksa untuk itu tanpa dibunuh jika tidak mau. Jika ia mengaku beriman dalam keadaan baligh namun sedang mabuk karena khamr, lalu ia murtad, maka diminta bertobat. Jika bertobat, diterima; jika tidak, dibunuh. Jika ia kehilangan akal bukan karena mabuk, maka tidak diminta bertobat dan tidak dibunuh jika ia menolak bertobat.

Seandainya ada seorang laki-laki dan istrinya sama-sama mengaku beriman lalu murtad, dan tidak diketahui apakah mereka sebelumnya pernah mengaku beriman atau tidak, atau mereka pernah mengaku lalu tetap dalam kemurtadan di negeri Islam atau negeri kafir, lalu mereka melahirkan anak sebelum mengaku beriman atau setelah murtad atau setelah kembali dari murtad, maka hukumnya sama saja, selama terdapat dua orang saksi yang menyaksikan pengakuan iman mereka sebelumnya.

Jika anak-anak mereka yang belum baligh tumbuh dalam kemusyrikan sebelum orang tuanya masuk Islam, dan tidak mengenal selain syirik, lalu mereka terlihat sebelum baligh dan setelah berakal, maka mereka diperintahkan untuk beriman dan dipaksa untuk itu, tidak dibunuh jika mereka menolak. Namun jika telah baligh, diberi tahu bahwa jika mereka tidak beriman, mereka akan dibunuh. Maka jika tidak beriman, dibunuh.

Demikian pula jika mereka tidak diketahui hingga setelah baligh. Dan sama saja apakah yang masuk Islam lebih dulu ayah atau ibu mereka, atau mereka dilahirkan setelah salah satu orang tua masuk Islam dan tetap dalam keislaman, atau dalam kemurtadan. Maka hukum anak tersebut mengikuti keislaman orang tua yang mengaku Islam lebih dulu, atau jika keduanya masuk Islam sebelum anak baligh.

(Al-Syafi‘i berkata): Dibunuh orang yang murtad dari Islam meskipun ia sedang sakit, baik ia laki-laki, perempuan, budak, budak mukatab, ummu walad, atau orang tua renta, selama mereka berakal dan tidak bertobat. Tidak dibunuh wanita hamil sampai ia melahirkan, kemudian dibunuh jika tidak bertobat.

Maka jika laki-laki atau perempuan yang murtad menolak kembali kepada iman, maka dibunuh di tempat, karena Nabi – صلى الله عليه وسلم – bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” Dan dalam sabdanya tentang hal-hal yang menghalalkan darah: “Kufur setelah iman.”

Batasan yang ditunjukkan oleh Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bahwa seorang murtad dibunuh adalah ketika ia menolak kembali kepada iman. Tidak ditentukan harus diberi tenggang waktu tiga hari atau lebih atau kurang kecuali dalam satu keadaan, yaitu saat menolak kembali kepada iman. Karena bisa jadi ia menolak bertobat setelah tiga hari, namun bisa juga ia bertobat seketika, baik sebelum ditangkap atau sesudahnya.

Barang siapa keislamannya disebabkan keislaman orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu ia menolak Islam, maka ia diberitahu bahwa jika ia tidak masuk Islam, maka ia akan dibunuh. Walaupun diberi tenggang waktu satu jam atau satu hari, maka itu lebih aku sukai daripada memperlakukan murtad setelah ia sendiri yang menyatakan Islam.

[Kesaksian atas orang murtad]

(Al-Syafi‘i berkata – rahimahullah ta‘ala): Jika dua orang saksi bersaksi bahwa seorang laki-laki atau perempuan telah murtad dari keimanan, maka mereka ditanya. Jika keduanya mendustakan para saksi, maka dikatakan kepada mereka: bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, serta berlepas dirilah dari semua agama yang bertentangan dengan Islam. Jika mereka mengakui hal itu, maka tidak diselidiki lebih jauh dari itu, dan itu dianggap sebagai tobat mereka. Jika mereka mengakui dan bertobat, maka diterima tobat mereka.

[Harta dan istri orang murtad]

(Al-Syafi‘i berkata – rahimahullah ta‘ala): Jika seorang laki-laki murtad dari Islam dan dia memiliki istri, atau seorang perempuan murtad dan dia memiliki suami, lalu ia lalai dari pengawasan atau dipenjara sehingga tidak dibunuh, atau hilang akalnya setelah murtad, atau melarikan diri ke negeri musuh, atau kabur dari negeri Islam dan tidak bisa ditangkap, maka semua keadaan ini sama dalam hubungan antara dia dan pasangannya: perceraian tidak terjadi hingga masa idah sang istri berlalu sebelum ia bertobat dan kembali kepada Islam. Jika masa idahnya habis sebelum ia bertobat, maka ia telah terpisah (bain) darinya, dan tidak ada jalan baginya untuk kembali. Perpisahan ini merupakan pembatalan nikah, bukan talak.

Dan jika sang istri mengklaim bahwa masa idahnya telah habis dalam keadaan yang memungkinkan ia jujur dalam klaimnya, maka ia dipercaya, dan suaminya tidak memiliki jalan kembali kepadanya meskipun ia kembali kepada Islam. Jika ia berkata, setelah satu hari atau lebih atau kurang: “Aku telah mengalami keguguran janin yang telah tampak bentuknya atau sebagian bentuknya,” lalu suaminya kembali kepada Islam dan mengingkari klaimnya, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya.

Al-Rabi‘ berkata: Dalam hal ini terdapat pendapat lain, yaitu jika ia berkata bahwa ia mengalami keguguran janin yang telah tampak bentuknya atau sebagian bentuknya, maka perkataannya tidak diterima kecuali dengan kesaksian empat orang perempuan atas klaimnya, karena hal itu adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh para perempuan.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ia berkata bahwa masa idahnya telah habis dengan mengalami tiga kali haid dalam waktu yang tidak mungkin terjadi tiga haid, maka klaimnya tidak diterima. Namun jika ia mengklaimnya setelah jangka waktu yang memungkinkan terjadinya tiga haid, maka perkataannya diterima dengan sumpah.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ia meninggal dan tidak mengklaim telah habis masa idah sebelum suaminya kembali kepada Islam, lalu suaminya kembali setelah kematiannya, maka ia tidak mewarisinya karena ia meninggal dalam keadaan ia seorang musyrik. Tetapi jika ia kembali kepada Islam sebelum masa idahnya habis, maka keduanya tetap dalam status pernikahan, hanya saja ia tidak diperbolehkan mencampurinya hingga ia masuk Islam.

Jika istrinya meninggal setelah ia kembali kepada Islam dan tidak menyatakan bahwa masa idah telah habis, maka ia berhak mewarisinya. Jika sang istri yang murtad, maka hukum tentang apa yang menyebabkan halal dan haramnya hubungan, perpisahan dan kebersamaan dengannya, sama seperti jika suami yang murtad dan istrinya tetap beriman, tidak ada perbedaan dalam hal ini kecuali bahwa jika perempuan yang murtad dari iman, maka tidak ada nafkah untuknya dari harta suaminya selama masa idah atau setelahnya, karena dialah yang menyebabkan keharaman dirinya bagi suaminya.

Demikian pula jika ia murtad masuk ke agama Nasrani atau Yahudi, maka ia tidak halal baginya (suaminya), karena tidak boleh dipertahankan atasnya. Namun jika yang murtad adalah suami, maka ia tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya selama masa idahnya, karena istrinya belum benar-benar terpisah (bain) darinya kecuali setelah masa idahnya habis. Dan kapan pun suami masuk Islam sementara istrinya masih dalam masa idah, maka ia tetap sebagai istrinya.

Jika dalam kasus talak raj‘i, suami masih wajib memberi nafkah karena ia dapat merujuk istrinya kapan saja, maka dalam kasus ini lebih layak lagi untuk wajib memberi nafkah. Jika salah satu dari pasangan murtad dan suami belum pernah menggauli istrinya, maka mereka terpisah (bain) dan perpisahan itu adalah pembatalan nikah tanpa talak karena istri tidak memiliki masa idah. Jika yang murtad adalah suami, maka ia wajib memberikan setengah mahar karena pembatalan berasal darinya. Namun jika istri yang murtad, maka ia tidak berhak mendapatkan apa pun karena pembatalan berasal darinya.

Jika suami murtad dan istrinya adalah seorang Yahudi atau Nasrani, maka hukum terkait kehalalan dan keharamannya, serta kewajiban suami terhadapnya tetap sama seperti halnya dengan perempuan muslimah. Tetapi jika dalam kondisi yang sama istri yang murtad dan suami masih muslim, maka ia tidak halal baginya hingga ia masuk Islam atau kembali ke agama yang dengannya ia dulu halal (Yahudi atau Nasrani). Ia tidak terpisah (bain) darinya kecuali setelah masa idahnya habis, dan ia tidak dibunuh karena telah berpindah dari satu kekufuran ke kekufuran lain.

Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara lelaki merdeka yang muslim atau budak, dan perempuan merdeka yang muslimah atau hamba sahaya.

Jika suami murtad lalu menjatuhkan talak kepada istrinya saat dalam keadaan murtad, atau bersumpah untuk tidak mencampurinya (îla’), atau melakukan zhihar, atau menuduh istrinya berzina (qadzaf) saat istrinya masih dalam masa idah, atau jika istrinya yang murtad lalu suami melakukan hal-hal tersebut, maka semua tindakan tersebut ditangguhkan pelaksanaannya. Jika suami kembali kepada Islam sementara istrinya masih dalam masa idah, maka semua tindakan tersebut berlaku atas istrinya, dan mereka berdua dapat melakukan li‘an (saling melaknat). Jika ia tidak kembali kepada Islam hingga masa idah habis atau istrinya meninggal, maka semua tindakan tersebut tidak berlaku, dan li‘an dilakukan hanya untuk menggugurkan hukuman had. Begitu pula jika istri yang murtad dan suami masih muslim, kecuali bahwa tidak ada hukuman had bagi orang yang menuduh perempuan murtad berzina.

Jika suami menceraikan istrinya yang masih muslimah lalu ia murtad, atau istrinya murtad lalu ia merujuknya selama masa idah, maka rujuk itu tidak sah, karena rujuk adalah tindakan yang menjadikan perempuan kembali halal bagi suami. Jika dilakukan dalam keadaan tidak halal, maka tidak sah. Jika setelah rujuk itu, ia masuk Islam, maka rujuknya tidak dianggap sah, dan ia bisa merujuk lagi dengan niat baru jika ia menghendakinya.

Jika mereka berbeda pendapat setelah masa idah berlalu, lalu suami berkata, “Aku kembali masuk Islam kemarin, dan idahmu baru habis hari ini,” dan istri berkata, “Aku baru melihatmu kembali Islam hari ini,” maka perkataan istri yang dipegang disertai sumpahnya, dan suami wajib membawa bukti bahwa ia telah kembali Islam kemarin. Jika keduanya sepakat bahwa suami telah kembali masuk Islam kemarin, namun istri berkata, “Idahku telah habis sebelum kemarin,” maka perkataannya diterima disertai sumpahnya.

Jika suami kembali kepada Islam lalu istrinya berkata, “Idahku belum habis hingga engkau kembali kepada Islam,” kemudian ia berkata setelah itu, “Sebenarnya idahku sudah habis,” maka ia tetap menjadi istrinya dan tidak diterima klaim barunya bahwa ia sudah keluar dari status istri. Jika sebelum suami kembali kepada Islam tidak terdengar pernyataan apa pun darinya, lalu setelah suami masuk Islam ia berkata, “Idahku telah habis,” maka perkataannya diterima dengan sumpahnya.

Jika seorang laki-laki murtad dan berada di negeri (tidak melarikan diri) serta ia memiliki ibu-ibu anak (ummuhāt awlād), budak perempuan yang dimerdekakan secara bertahap (mudabbirāt), budak laki-laki mudabbir, budak yang sedang membayar perjanjian kemerdekaan (mukātab/mukātabah), serta budak-budak lainnya, juga hewan dan harta benda lainnya, maka semua itu dihentikan penggunaannya darinya (tidak boleh digunakan oleh si murtad), dan ia dilarang menggauli ibu anaknya maupun budak perempuannya yang lain.

Semua hartanya, selain budak perempuan, diletakkan di tangan seorang yang adil (untuk dijaga), dan budak perempuannya diletakkan di tangan seorang perempuan terpercaya. Budak laki-laki yang telah baligh diperintahkan untuk bekerja dan nafkahnya diambil dari hasil kerjanya. Kelebihan dari hasil kerja mereka diambil (untuk dikelola), dan budak perempuan, ibu anak, dan lainnya yang memiliki keahlian diperintahkan bekerja. Siapa saja dari mereka yang tidak punya keahlian disewakan kepada perempuan yang dapat dipercaya. Sedangkan yang sakit dari kalangan laki-laki atau perempuan, atau anak-anak yang belum bisa bekerja, maka diberikan nafkah dari hartanya hingga mereka sembuh atau cukup umur untuk bekerja, lalu diperintahkan bekerja sebagaimana telah disebutkan.

Jika orang yang murtad itu melarikan diri ke negeri musuh atau ke tempat lain yang tidak diketahui keberadaannya, maka statusnya tetap sama: hartanya ditahan, seluruh hewannya dijual, kecuali yang tidak memungkinkan untuk dijual seperti ibu anak, budak mukātab, perempuan yang menyusui anaknya, atau pelayan yang merawat istrinya. Nafkah tetap diberikan untuk istri, anak-anak kecil, orang sakit, dan siapa saja yang wajib dinafkahi olehnya seperti pelayan dan ibu anak, dari hartanya. Perjanjian kemerdekaan para budaknya tetap diambil dan mereka akan merdeka bila telah membayar lunas, dan hak wala’ mereka tetap untuknya.

Jika ia kembali masuk Islam, maka seluruh hartanya dikembalikan kepadanya, kecuali yang telah dijual; karena penjualan dilakukan atas dasar maslahat orang yang hartanya akan berpindah tangan, dan ketika itu ia tidak memiliki kuasa terhadap hartanya. Jika masa idah istrinya telah selesai, maka nafkah terputus darinya, dan ia tidak memiliki hak lagi terhadap istrinya jika ia masuk Islam setelah masa idah selesai.

Jika ia gila atau kehilangan akalnya setelah murtad, maka ditunggu dua atau tiga hari. Jika ia tetap tidak sadar, maka hartanya dijual seperti penjualan atas orang yang melarikan diri. Segala hasil usaha selama masa murtadnya diperlakukan seperti harta yang ia miliki sebelum murtad. Jika ia kembali masuk Islam, maka seluruh hartanya dikembalikan kepadanya. Jika ia mati atau dibunuh sebelum sempat kembali masuk Islam, maka seperlima dari hartanya diambil untuk bagian khumus, dan sisanya (empat per lima) diberikan kepada kaum muslimin.

Demikian pula, jika seorang Nasrani mati tanpa ahli waris, maka hartanya diambil seperlima untuk khumus, dan sisanya diberikan kepada kaum muslimin.

Jika keluarga dari orang murtad yang telah masuk Islam mengklaim bahwa ia telah masuk Islam sebelum meninggal, maka mereka wajib mendatangkan bukti. Jika mereka membawakan bukti, maka hartanya diberikan kepada mereka sesuai aturan waris. Jika tidak, maka ia dianggap tetap murtad sampai terbukti sebaliknya. Jika saksi yang bersaksi adalah orang-orang yang mendapat warisan, maka kesaksian mereka tidak diterima.

Begitu pula jika orang murtad membuat wasiat dengan berkata, “Jika aku mati, maka untuk si Fulan dan si Fulan ini dan itu,” lalu ia meninggal, dan yang menjadi ahli waris bersaksi bahwa ia telah kembali masuk Islam, maka kesaksian mereka tidak diterima karena mereka memiliki kepentingan dalam sahnya wasiat yang sebenarnya telah batal karena kemurtadannya.

Jika ia telah bertaubat lalu meninggal, kemudian diklaim bahwa ia kembali murtad lalu meninggal dalam keadaan murtad, maka hukum asalnya tetap pada taubatnya hingga ada bukti bahwa ia murtad lagi setelah taubat. Karena seseorang tetap dihukumi berdasarkan sesuatu yang telah dikenal darinya sampai terbukti sebaliknya.

Jika hakim telah membagikan harta waris dalam kedua kondisi (dalam kondisi kemurtadan atau setelah taubat) dan kemudian muncul bukti yang menunjukkan sebaliknya (misalnya setelah diketahui ia taubat lalu meninggal), maka hakim menarik kembali harta itu dari orang-orang yang telah menerima untuk dikembalikan kepada ahli warisnya. Demikian pula jika harta telah dibagikan setelah kematian dalam keadaan ia dikenal telah taubat, kemudian terbukti bahwa ia murtad setelah taubat dan meninggal dalam keadaan murtad, maka hakim menarik kembali harta tersebut dari ahli waris dan penerima wasiatnya, lalu menyerahkannya kepada pihak khumus dan kaum muslimin.

Orang yang di paksa murtad

Allah Ta’ala berfirman: “Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman. Akan tetapi, siapa yang lapang dadanya untuk kekafiran, maka mereka mendapat kemurkaan Allah.” (An-Nahl: 106)

(Al-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Seandainya seseorang ditawan oleh musuh lalu dipaksa untuk kufur, maka istrinya tidak menjadi haram baginya dan tidak diperlakukan dengan hukum murtad. Telah terjadi pada masa Nabi ﷺ bahwa sebagian orang yang masuk Islam dipaksa untuk kufur, lalu mereka mengucapkannya, kemudian datang kepada Nabi ﷺ dan mengabarkan penderitaan yang mereka alami, maka turun ayat tersebut. Nabi ﷺ tidak memerintahkan mereka menjauhi istrinya dan tidak menerapkan hukum apapun atasnya sebagaimana terhadap orang murtad.

Jika orang yang dipaksa untuk kufur itu meninggal di negeri musuh dan tidak tampak taubatnya, maka harta warisnya tetap diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim. Jika ia berhasil lolos dan kembali ke negeri Islam, maka dikatakan padanya: “Tampakkan Islam.” Jika ia melakukannya, maka tidak dihukumi murtad. Tetapi jika ia menolak menampakkan Islam, maka ia dihukumi sebagai murtad karena menolak menampakkan keislamannya, dan diterapkan hukum murtad atasnya.

Jika seseorang ditawan atau menjadi mu’ahad (orang yang diberi jaminan keamanan) di negeri musuh, kemudian dua saksi bersaksi bahwa ia memakan daging babi dan meminum khamar, tetapi tidak bersaksi bahwa ia mengucapkan kekufuran secara jelas dan tidak juga menyatakan dirinya murtad, lalu ia meninggal, maka hartanya diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim. Kecuali jika mereka mengakui bahwa ia murtad, maka hartanya menjadi harta fai’. Jika sebagian mereka mengakui kemurtadannya dan sebagian tidak, maka bagian warisan dari yang tidak mengakui tetap diberikan kepada mereka, sedangkan bagian yang mengakui kemurtadannya ditahan sampai kemurtadannya dapat dipastikan. Dalam pendapat lain, harta itu dianggap rampasan karena mereka mengakui sesuatu yang mereka miliki, sehingga tidak ditahan.

Jika dua saksi bersaksi bahwa mereka mendengar orang itu murtad dan berkata bahwa ia murtad karena dipaksa, atau murtad ketika sedang dikenai hukuman, atau ketika dipenjara, maka hartanya tidak dianggap rampasan, dan warisannya tetap diberikan kepada ahli warisnya yang muslim. Tetapi jika mereka berkata: “Ia murtad dalam keadaan aman dan bebas,” maka itu dianggap sebagai murtad, dan hartanya menjadi rampasan.

Jika ahli warisnya mengklaim bahwa ia telah kembali masuk Islam, maka klaim mereka tidak diterima kecuali ada bukti. Jika mereka membawa bukti bahwa mereka melihatnya melakukan shalat kaum muslimin pada suatu waktu setelah kesaksian atas kemurtadannya, maka hal itu diterima dari mereka dan mereka berhak mewarisi hartanya.

Jika hal ini terjadi di negeri Islam dan orang yang murtad tidak berada dalam keadaan darurat, maka klaim dari ahli warisnya tidak diterima kecuali ada dua saksi yang menyatakan bahwa ia telah bertaubat setelah murtad. Tidak diterima juga pernyataan dari ahli warisnya bahwa ia murtad dalam keadaan dipenjara atau dihukum, jika bukti tidak menunjukkan bahwa ia dipenjara atau dihukum untuk murtad.

[Apa yang dilakukan oleh orang murtad terhadap hartanya ketika dalam kemurtadannya]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Apabila seseorang murtad dari Islam namun hartanya belum dihentikan (belum disita), maka apa pun yang ia lakukan terhadap hartanya adalah sah, sebagaimana ia boleh berbuat terhadap hartanya sebelum kemurtadannya. Namun jika sudah dihentikan (disita), maka ia tidak memiliki wewenang untuk merusak atau memperjualbelikan hartanya, baik dengan ganti rugi maupun tidak, selama masih dalam status disita.

Jika ia memerdekakan, atau membuat akad kitabah (perjanjian pembebasan budak), atau menjadikannya mudabbar (budak yang dijanjikan bebas setelah tuannya wafat), atau membeli, atau menjual sesuatu — maka seluruh tindakan itu berstatus muwaqqaf (ditangguhkan). Tidak ada satu pun yang sah selama ia dalam keadaan murtad. Namun, jika ia kembali masuk Islam, maka seluruh tindakan tersebut menjadi sah, kecuali jual beli — jika pembeli membatalkannya maka jual belinya pun batal, karena ia tidak dilarang secara mutlak terhadap hartanya pada saat itu, tetapi hartanya hanya ditangguhkan untuk dieksekusi apabila ia tidak bertobat sampai wafat, sehingga hartanya menjadi harta fai’, atau jika ia bertobat maka harta tersebut kembali sebagaimana semula menjadi miliknya.

(Al-Syafi’i berkata): Jika saat dalam kemurtadannya ada sesuatu yang berada dalam genggamannya dan ia mengakui bahwa barang tersebut milik orang lain secara spesifik, maka orang tersebut boleh mengambilnya darinya saat ia masih murtad. Begitu pula jika ia mengakui utang kepada pihak lain, maka ia tetap bertanggung jawab terhadap pengakuannya tersebut. Harta miliknya boleh diambil untuk membayar kewajiban sebagaimana halnya pada orang lain yang tidak murtad.

Jika dalam kemurtadannya ia berkata tentang salah satu budaknya: “Ini adalah budak yang saya beli” atau “diberikan kepadaku sebagai hibah, dan ia adalah orang merdeka,” maka budak itu merdeka, dan tidak perlu menunggu ia masuk Islam terlebih dahulu, karena pengakuannya untuk hak orang lain berlaku, bukan sebagai tindakan merusak terhadap hartanya sendiri tanpa sebab yang kuat. Hal ini sebagai bentuk kehati-hatian terhadap hak orang lain, bukan sebagai bentuk pelarangan terhadapnya.

(Dalam pendapat lain): Jika ia telah disita, maka ia diperlakukan sebagaimana orang yang dikenai penyitaan secara penuh dalam seluruh kondisinya sampai ia kembali kepada Islam dan dicabut penyitaannya.

[Kejahatan yang dilakukan oleh orang murtad]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Apabila seorang murtad melakukan kejahatan terhadap manusia dalam masa kemurtadannya berupa kejahatan yang disengaja dan termasuk yang bisa dikenakan qishāsh, maka pihak yang menjadi korban berhak memilih antara melakukan qishāsh atau mengambil ganti rugi setara dengan kejahatan tersebut dari harta pelaku, baik harta yang dimilikinya sebelum murtad maupun yang diperolehnya sesudahnya. Keduanya sama saja. Demikian pula jika kejahatan itu disengaja namun tidak dapat dikenai qishāsh, atau berupa pembakaran dan perusakan terhadap milik orang lain, maka seluruhnya ditanggung dari hartanya dan tidak gugur karena kemurtadannya.

(Kata beliau): Jika kejahatannya dilakukan tanpa sengaja (khatha’), maka tanggung jawabnya ditanggung dari hartanya sebagaimana yang biasanya dibebankan kepada keluarganya (‘āqilah) dan ditangguhkan sampai waktu jatuh temponya. Jika ia meninggal, maka tanggungan itu menjadi segera ditunaikan, dan keluarga (‘āqilah) tidak menanggung apa pun dari kejahatan yang dilakukannya dalam masa kemurtadannya. Jika kejahatan itu menyebabkan kematian, maka diyatnya diambil dari hartanya dalam tempo tiga tahun. Jika ia dibunuh atau mati dalam keadaan murtad, maka diyat itu langsung ditunaikan (tidak dicicil).

Jika kejahatan itu dilakukan ketika masih muslim kemudian ia murtad, maka: jika kejahatannya disengaja, maka statusnya seperti orang yang murtad; dan jika kejahatannya tidak disengaja, maka diyatnya ditanggung oleh keluarga (‘āqilah), karena kejahatan itu terjadi saat ia masih muslim, sehingga tanggung jawabnya tetap.

Jika ia murtad lalu membunuh, dan wali dari korban menghendaki pembalasan qishāsh, maka wali berhak menegakkan qishāsh. Jika ia dibunuh dalam keadaan murtad, maka hartanya menjadi milik kaum muslimin sebagaimana telah dijelaskan. Jika ia memotong atau melukai orang lain, lalu kami membalas dengan qishāsh dan kemudian membunuhnya karena kemurtadannya, maka bila pemerintah tergesa-gesa membunuhnya atas dasar murtad sebelum qishāsh, atau jika ia mati dalam keadaan murtad sebelum qishāsh, maka wali darah atau korban luka berhak menuntut diyat penuh dari harta pelaku yang murtad.

Jika pelaku kejahatan adalah budak laki-laki atau perempuan yang murtad, dan ia melakukan kejahatan terhadap orang yang berhak atas qishāsh darinya, maka wali korban berhak memilih antara qishāsh atau menerima diyat. Jika ia memilih qishāsh, maka ia boleh menegakkannya. Jika ia memilih diyat, maka diyat diambil dari tubuh si budak, kecuali jika tuannya menebusnya. Jika tuannya menebus, maka ia dibunuh karena murtad. Jika tidak ditebus, ia tetap dibunuh karena murtad, kecuali jika ia bertobat. Dalam hal itu, ia dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada wali korban setara dengan nilai kejahatan yang diperbuatnya, dan kelebihannya (jika ada) dikembalikan kepada tuannya.

Jika si budak murtad dan melakukan kejahatan, lalu ia gila, dan wali darah memilih diyat, sementara tuannya tidak menebusnya, maka si budak dijual dalam keadaan murtad dan gila. Uang hasil penjualannya diberikan kepada wali korban setara dengan nilai kejahatan, dan sisanya dikembalikan kepada tuannya. Jika ia sembuh dan tidak bertobat, maka ia dibunuh karena murtad. Ia tidak boleh dijual kecuali setelah bersih dari kemurtadan dan kegilaannya.

Apa yang dilakukan budak ketika murtad berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang lain sebelumnya, karena kejahatan tidak gugur dari anak kecil, orang yang dibatasi kewenangannya, atau budak, sebab kejahatan itu terjadi tanpa izin dari korban. Adapun utang, maka gugur dari orang yang dibatasi (hak miliknya), dan dari para budak selama mereka dalam status budak, karena utang terjadi dengan izin dari pihak yang memberikan.

[Kejahatan terhadap orang murtad]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang murtad dari Islam lalu seseorang melakukan kejahatan terhadapnya, maka jika kejahatannya berupa pembunuhan, maka tidak ada diyat (denda darah) dan tidak ada qishāsh, dan pelakunya diberi hukuman ta‘zīr, karena wewenang untuk menghukum berada di tangan penguasa, dan penguasa tidak boleh membunuhnya sebelum ia ditawari untuk bertobat. Jika kejahatan itu di bawah tingkat pembunuhan, maka hukumnya juga demikian.

Jika yang melukai adalah si murtad kemudian ia masuk Islam lalu korban meninggal karena luka itu, maka kejahatan tersebut tidak ada kompensasi karena dilakukan dalam keadaan di mana tidak diberlakukan diyat atau qishāsh.

Jika si murtad melukai seseorang dengan memotong tangannya, kemudian ia bertobat lalu memotong kakinya, maka korban berhak menuntut qishāsh atas luka kedua (kaki) karena luka itu terjadi saat pelaku sudah muslim. Jika korban meninggal dunia, maka keluarga korban hanya berhak atas setengah diyat karena kematian terjadi akibat dua luka: satu pada saat tidak berlaku diyat, dan satu lagi pada saat berlaku diyat.

[Utang yang ditanggung oleh orang murtad]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang murtad dan sebelumnya ia memiliki utang yang dibuktikan dengan saksi sebelum ia murtad, maka utang tersebut wajib dibayar jika telah jatuh tempo. Jika masih ada tenggat waktu, maka tetap menunggu jatuh temponya, kecuali jika ia meninggal maka utang tersebut menjadi segera ditagih. Begitu pula setiap utang yang diakui sebelum murtad.

(Kata beliau): Jika utang itu tidak diketahui melalui bukti (saksi) atau pengakuan sebelum murtad, dan hanya diketahui dari pengakuannya saat murtad, maka pengakuannya sah dan berlaku atas dirinya. Apa yang ia akui sebagai utang saat murtad sebelum hartanya disita, maka itu wajib atasnya. Namun jika ia berutang setelah hartanya disita, maka jika utang itu berupa jual beli maka jual belinya dibatalkan, dan jika berupa pinjaman maka ditangguhkan. Jika ia mati dalam keadaan murtad maka pinjaman itu batal, dan jika ia masuk Islam maka pinjaman itu menjadi tanggungan, karena dengan masuk Islam kita mengetahui bahwa hartanya belum keluar dari kekuasaannya.

(Al-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i juga memiliki pendapat lain, bahwa jika seseorang melukai orang murtad lalu ia masuk Islam dan kemudian korban meninggal, maka qishāsh gugur karena ada unsur syubhat, dan ia cukup mengganti diyat. Ia juga memiliki pendapat lain bahwa tidak ada kewajiban apa pun atas pelaku, karena si murtad memang layak untuk dibunuh. Sebagaimana jika seseorang memotong tangan seseorang karena qishāsh lalu korban meninggal akibat pelaksanaan qishāsh tersebut, maka tidak ada kewajiban apa pun atas pelaku qishāsh, karena hal itu adalah hak. Begitu pula jika seseorang melukai murtad, lalu pelaku bertobat dan korban meninggal, maka tidak ada tanggungan atas pelaku, karena lukanya dilakukan pada waktu yang membolehkan hal itu, dan orang murtad memang pantas dibunuh.

[Utang yang dimiliki oleh orang murtad]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang murtad memiliki piutang yang telah jatuh tempo, maka piutang tersebut diambil dari pihak yang berutang dan ditahan dalam hartanya. Jika belum jatuh tempo, maka tetap menunggu sampai jatuh tempo. Jika murtad itu mati atau dibunuh karena kemurtadannya sebelum jatuh tempo, maka piutang tersebut tetap berada dalam status waktu jatuh tempo. Apabila piutang itu sudah diterima, maka menjadi bagian dari fai’ (harta milik umum umat Islam).

(Al-Rabi’) berkata: Dalam kasus seseorang melukai orang murtad, kemudian si murtad masuk Islam lalu meninggal, maka terdapat dua pendapat: yang pertama, bahwa pelakunya wajib membayar diyat karena korban meninggal dalam keadaan muslim. Pendapat kedua, tidak ada kewajiban atas orang yang melukainya, meskipun korban masuk Islam lalu meninggal, karena pukulan itu terjadi saat ia masih dalam keadaan murtad, maka yang membunuhnya adalah hak itu sendiri, dan tidak ada kewajiban atas pelaku luka tersebut.

[Sembelihan Orang Murtad]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Sembelihan orang murtad tidak boleh dimakan, apa pun agama yang menjadi tempat kemurtadannya, karena keringanan hanya diberikan pada sembelihan Ahli Kitab yang diakui atas agama mereka.

(Kata beliau): Jika ia menyerang kambing milik seseorang dan menyembelihnya tanpa izin, maka ia wajib mengganti nilainya dalam keadaan hidup. Begitu pula terhadap setiap barang yang dikonsumsinya.

Jika seseorang menyuruhnya menyembelih dan mengetahui bahwa dia murtad, atau tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban ganti rugi karena ia tidak melampaui batas. Namun, pemilik kambing tidak boleh memakannya.

(Kata beliau): Jika ia menyembelih untuk dirinya sendiri, atau menghabiskan harta miliknya, atau membunuh budaknya sendiri, maka tidak wajib mengganti rugi, karena jika ia mati dalam keadaan murtad, maka semua harta yang ditemukan menjadi fai’, dan jika ia kembali kepada Islam, maka kita ketahui bahwa ia hanya berbuat terhadap hartanya sendiri dan tidak ada kewajiban mengganti harta sendiri terhadap diri sendiri.

[Pernikahan Orang Murtad]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Tidak halal bagi orang murtad untuk menikah, baik sebelum atau sesudah hartanya disita, dengan wanita muslimah karena ia adalah musyrik, atau dengan wanita musyrik karena hal itu tidak halal baginya, atau dengan wanita Ahli Kitab karena ia tidak diakui dalam agamanya.

Jika ia menikah dan berhubungan dengan salah satu dari mereka, maka wanita tersebut berhak atas mahar yang sepadan dan akad nikahnya batal.

Orang murtad tidak boleh menikahkan putrinya, budaknya, atau perempuan yang menjadi walinya, baik muslimah maupun musyrikah, dengan laki-laki muslim ataupun musyrik. Jika ia menikahkan, maka nikahnya batal. Allah-lah yang memberi taufik.

[Perbedaan Pendapat tentang Orang Murtad]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Sebagian orang di daerah kami berbeda pendapat dengan kami dalam dua hal tentang orang murtad.

Pertama, salah satu dari mereka berkata: Barang siapa lahir dalam keadaan Islam lalu murtad, maka ia harus dibunuh, apa pun agama yang ia peluk, dan ia dibunuh meskipun bertobat.

Yang lain berkata: Jika ia kembali kepada agama yang tampak seperti Yahudi atau Nasrani, maka ia ditawari untuk bertobat, jika ia bertobat maka diterima, jika tidak, maka dibunuh. Namun, jika ia kembali kepada agama yang tersembunyi seperti zindik (ateisme) atau yang tidak tampak, maka ia dibunuh dan tobatnya tidak diterima. Saya kira ia menyamakan antara yang lahir dalam Islam dan yang tidak, dan agama yang tampak maupun tersembunyi.

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Sebagian sahabat kami dari kalangan ulama Madinah, Makkah, timur, dan lainnya sepakat dengan kami bahwa tidak boleh membunuh orang yang menampakkan tobat, dan tidak ada perbedaan antara orang yang lahir dalam Islam dan yang masuk Islam setelah kafir, baik ia beragama yang tampak maupun tersembunyi, karena semuanya adalah kekufuran.

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Dalil terhadap orang yang membedakan antara yang lahir dalam Islam dan yang tidak adalah bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukum-Nya, dan kami tidak mengetahui adanya kitab yang diturunkan, atau sunnah yang telah berlalu, atau seorang pun dari kaum muslimin yang membedakan dalam hukum hudud antara yang lahir dalam kekufuran lalu masuk Islam dan yang lahir dalam Islam.

Pembunuhan atas orang murtad adalah bagian dari hudud, yang tidak boleh ditangguhkan oleh seorang imam. Tidak boleh bagi siapa pun, kecuali mereka yang wajib ditaati, membedakan dalam hal hudud. Allah Maha Mengetahui.

Pembebanan hujah terhadap orang yang berkata bahwa tobat diterima jika kembali kepada agama yang tampak, dan tidak diterima jika kembali kepada agama yang tersembunyi

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Kalau bukan karena kelalaian sebagian pendengar—dan bisa jadi orang yang berniat ikhlas untuk menjelaskan kepada mereka diberi pahala—niscaya aku tidak akan membebani diri untuk menjelaskan ini. Karena cukup bagi dua pendapat tersebut untuk hanya diriwayatkan agar diketahui bahwa keduanya bukanlah mazhab yang mungkin disangka oleh orang berilmu sebagai kebenaran dalam keadaan apa pun. Dan karena Kitab Allah, lalu Sunnah Nabi-Nya , lalu akal sehat dan qiyas menunjukkan sesuatu yang berbeda dari apa yang dikatakan oleh orang-orang tersebut. Allah-lah yang Maha Mengetahui.

Di antara penjelasan paling ringkas bahwa perkara ini tidak seperti yang mereka katakan adalah dengan menyebut hadis Rasulullah ﷺ: “Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” Maka apakah perkataan ini dapat dipahami dengan salah satu dari dua makna berikut? Apakah maksudnya: siapa yang mengganti agamanya lalu tetap dalam penggantiannya, maka dibunuh sebagaimana orang-orang kafir dalam medan perang dibunuh? Ataukah bahwa sekadar mengganti agama meskipun bertobat tetap menyebabkan pembunuhan, seperti halnya hukuman zina setelah menikah atau pembunuhan jiwa tanpa alasan yang dibenarkan?

Dan dikatakan pula: “Mengapa engkau menerima tobat orang yang kembali kepada agama yang tampak seperti Yahudi dan Nasrani?” Apakah karena kamu yakin bahwa jika ia menampakkan tobat maka sungguh tobatnya benar, atau karena bisa saja ia menampakkannya sementara dalam batinnya tetap kafir, atau bahkan berpindah kepada agama tersembunyi?

Mengapa kamu menolak tobat orang yang menampakkan tobat padahal sebelumnya menyembunyikan kemusyrikan? Apakah kamu mengetahui secara pasti bahwa tobatnya tidak benar? Ataukah mungkin ia bertobat dengan sebenar-benarnya? Maka tidak halal bagi siapa pun untuk mengklaim bahwa ia mengetahui hal itu, karena tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui hakikat tobat ini selain orang yang melakukannya. Allah-lah satu-satunya yang mengetahui perkara gaib.

Jika ada seseorang berkata: “Orang yang menyembunyikan kekufuran diterima tobatnya karena lemahnya kekufuran tersebut, dan orang yang menampakkan kekufuran tidak diterima tobatnya karena jelas-jelas telah membangkang terhadap Allah,” maka apa dalil atas pendapat ini?

Bukankah ini adalah perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah saja? Bukankah hukum Allah dalam urusan dunia adalah menerima apa yang tampak dari manusia, dan Allah-lah yang mengurus batin mereka?

Tidak ada yang diberi hak untuk menghukumi selain atas dasar yang tampak, baik itu nabi yang diutus maupun makhluk selainnya. Allah sendirilah yang memegang perkara batin mereka karena Dia satu-satunya yang mengetahui batin manusia.

Demikianlah hujah terhadap orang yang berkata demikian. Allah Ta‘ala memberitakan tentang sebagian kaum Arab badui:

{Orang-orang Arab badui berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kalian belum beriman, tapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (secara lahiriah),’ karena iman belum masuk ke dalam hati kalian.”} [al-Hujurat: 14]

Ini menunjukkan bahwa iman belum masuk ke hati mereka, dan bahwa mereka menampakkan keislaman secara lahiriah, dan dengan itu darah mereka dilindungi. Mujahid berkata dalam menafsirkan ayat “kami telah tunduk (aslamna)”: maksudnya kami tunduk karena takut dibunuh dan diperangi.

(Al-Syafi‘i berkata): Allah juga memberitakan tentang kaum munafik dalam banyak ayat Al-Qur’an bahwa mereka menampakkan keimanan dan menyembunyikan kemusyrikan. Dia memberitakan bahwa balasan mereka berdasarkan ilmu-Nya adalah berada di tingkatan neraka paling bawah,

{Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di tingkatan paling bawah dari neraka, dan kamu tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka.} [an-Nisa’: 145]

Allah menjelaskan bahwa hukum mereka di akhirat adalah neraka karena ilmu-Nya terhadap batin mereka, dan hukum-Nya terhadap mereka di dunia adalah melindungi darah mereka karena tampaknya keimanan.

Allah juga memberitakan tentang golongan lain:

{Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit berkata: “Janji Allah dan Rasul-Nya kepada kita hanyalah tipuan belaka.”} [al-Ahzab: 12]

Ini adalah kutipan tentang mereka dan kelompok lain bersamanya, sebagaimana yang diberitakan tentang kekufuran kaum munafik secara khusus. Juga diberitakan bahwa iman belum masuk ke dalam hati kaum Arab badui.

Setiap orang dari mereka yang darahnya dilindungi di dunia karena penampakan Islam—padahal Allah mengetahui mereka dalam keadaan syirik—adalah bukti bahwa tidak ada seorang pun selain Allah yang berhak menghukumi batin manusia. Nabi ﷺ diberi tugas untuk menghukumi atas dasar lahiriah.

Nabi ﷺ hidup bersama mereka dan tidak membunuh satu pun dari mereka, tidak memenjarakan mereka, tidak menghukum mereka, tidak mencegah mereka dari bagian ghanimah saat berperang, tidak melarang mereka menikahi kaum mukminin, tidak menghalangi warisan, dan tetap menyolatkan jenazah mereka serta memberlakukan semua hukum Islam atas mereka.

Padahal mereka adalah kaum munafik, orang yang di dalam hatinya ada penyakit, dan kaum Arab badui yang tidak memiliki agama yang jelas—mereka hanya menampakkan Islam dan menyembunyikan kekufuran dan ateisme.

Allah Ta‘ala berfirman:

{Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah bersama mereka ketika mereka merancang sesuatu yang tidak diridhai-Nya.} [an-Nisa’: 108]

Jika ada yang berkata: “Bisa jadi orang-orang yang disebutkan itu tidak menampakkan kekufuran secara terang-terangan yang bisa didengar oleh manusia, melainkan Allah yang memberitakan rahasia mereka,” maka sungguh telah terdengar dari sejumlah mereka kekufuran yang disaksikan di hadapan Nabi ﷺ.

Di antara mereka ada yang mengingkarinya dan bersaksi dengan kesaksian yang benar, lalu Nabi ﷺ membiarkannya karena apa yang ia tampakkan. Di antara mereka juga ada yang mengakui tuduhan atas dirinya lalu berkata, “Aku bertobat kepada Allah,” dan bersaksi dengan kesaksian yang benar, maka Nabi ﷺ pun membiarkannya karena apa yang ia tampakkan.

Di antara mereka juga ada yang diketahui oleh Nabi ﷺ atas kemunafikannya—telah dikabarkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari al-Zuhri dari Usamah bin Zaid—beliau berkata: “Aku menyaksikan tiga majelis kemunafikan ‘Abdullah bin Ubayy.”

Jika ada yang berkata: “Bukankah Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ:

{Dan janganlah kamu salat atas salah seorang dari mereka yang mati selama-lamanya dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.} [at-Taubah: 84–85]”

Dijawab: Ini justru memperjelas pendapat kami dan membantah orang yang menyelisihi kami.

Adapun larangan salat Nabi ﷺ atas mereka, maka salat beliau—semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya—berbeda dengan salat orang lain. Aku berharap bahwa ketika Allah memerintahkan beliau untuk tidak menyolatkan orang-orang munafik, itu karena salat beliau membawa ampunan. Maka Allah telah memutuskan bahwa mereka tidak akan diampuni karena mereka menetap di atas keburukan. Maka dilarangnya beliau salat atas mereka karena mereka tidak layak diampuni.

Jika ada yang berkata: Apa dalil atas hal ini?

Dikatakan: Rasulullah tidaklah melarang salat atas mereka sebagai seorang Muslim, dan beliau tidak membunuh seorang pun dari mereka setelah itu. Meninggalkan salat atas jenazah itu diperbolehkan jika sebagian kaum Muslimin sudah menunaikannya. Maka, ketika dibolehkan meninggalkan salat atas jenazah seorang Muslim jika sudah ada sekelompok orang yang menyolatkannya, maka tidak ada makna dalam meninggalkan salat yang dapat mengubah hukum lahiriah Islam di dunia.

Hudzaifah tetap bergaul dengan mereka dan mengenal mereka satu per satu, kemudian tetap bergaul dengan mereka di masa Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma—dan mereka tetap menyolatkan mereka. Ketika jenazah diletakkan dan Umar melihat Hudzaifah, jika Hudzaifah memberi isyarat untuk duduk, maka Umar pun duduk. Dan jika Hudzaifah berdiri bersamanya, maka Umar ikut menyolatkannya. Tidak ada yang menghalangi dia, Abu Bakar sebelumnya, atau pun Utsman setelahnya dari membolehkan kaum Muslimin menyolatkan mereka dan menjalankan seluruh hukum Islam terhadap mereka. Sementara yang meninggalkannya hanya melakukannya dalam makna seperti yang telah dijelaskan: bahwa jika diperbolehkan meninggalkan salat atas seorang Muslim yang dikenal sebagai Muslim, maka lebih utama lagi untuk dibolehkan meninggalkan salat atas orang-orang munafik.

Jika dikatakan: “Mungkin ini adalah kekhususan Nabi ﷺ.”

Dikatakan: Mengapa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali radhiyallahu ‘anhum, dan yang lainnya tidak membunuh seorang pun dari mereka, padahal mereka tidak terhalangi oleh hukum Islam? Aisyah radhiyallahu ‘anha telah memberitahukan bahwa ketika Rasulullah ﷺ wafat, kemunafikan mencuat di Madinah.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ada seseorang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ tidak melaksanakan satu pun hukuman dari hukum-hukum Allah terhadap siapa pun di zamannya, maka sungguh itu keliru. Beliau adalah orang yang paling tegak dalam menjalankan hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepadanya. Beliau bersabda tentang seorang perempuan yang mencuri, lalu ada yang ingin memberi syafaat padanya:

“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah: jika yang mencuri dari kalangan orang terhormat, mereka biarkan; dan jika yang mencuri dari kalangan orang lemah, mereka potong tangannya.”

Ada sebagian orang yang beriman, lalu murtad, kemudian menampakkan kembali keimanan, tetapi Rasulullah ﷺ tidak membunuhnya. Dan beliau membunuh orang-orang murtad yang tidak menampakkan keimanan. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan: laa ilaaha illallaah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka menjadi terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka atas Allah.”

Ini menunjukkan bahwa hukum mereka secara lahir adalah bahwa darah mereka terlindungi dengan menampakkan keimanan, dan perhitungan batin mereka atas Allah. Rasulullah ﷺ juga bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah memegang urusan batin kalian dan menggugurkan hukum dari kalian berdasarkan bukti-bukti lahir. Maka bertobatlah kalian kepada Allah dan sembunyikanlah (dosa) kalian di balik penutup Allah, karena siapa yang menampakkan perbuatannya kepada kami, maka kami akan menghukuminya berdasarkan Kitab Allah.”

Beliau juga bersabda:

“Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian. Kalian datang padaku dengan perselisihan. Mungkin sebagian dari kalian lebih fasih dalam hujahnya daripada yang lain. Maka aku menetapkan hukum berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa yang aku tetapkan hukum untuknya atas dasar sesuatu yang bukan haknya, maka janganlah ia mengambilnya. Sungguh, aku telah memotongkan baginya sepotong dari api neraka.”

Ini menunjukkan bahwa seluruh hukum beliau adalah atas dasar yang lahiriah. Bahwa tidak halal baginya untuk menetapkan apa yang Allah haramkan, dan bahwa Allah lah yang memegang urusan batin. Umar bin Khattab berkata kepada seseorang yang menampakkan Islam padahal dikenal menyimpang:

“Aku kira kamu hanyalah seorang yang sedang berlindung (berpura-pura).”

Orang itu menjawab: “Bukankah dalam Islam ada perlindungan bagiku?”

Umar menjawab: “Benar. Sesungguhnya dalam Islam ada perlindungan bagi siapa pun yang berlindung dengannya.”

Dan seandainya orang yang berkata tersebut tidak mengetahui semua yang telah kami sebutkan kecuali ia menyetujui bahwa murtad harus dibunuh dan hartanya menjadi harta fai’ (milik negara), maka hukumnya menurut dia adalah seperti hukum orang musyrik yang memerangi. Dan dasar dari ucapannya dalam hal orang yang memerangi adalah: jika seseorang menampakkan keimanan dalam keadaan apa pun—baik sebagai tawanan, di bawah ancaman pedang, atau dalam keadaan lainnya, atau dari agama mana pun dia kembali—maka darahnya menjadi haram (tidak boleh ditumpahkan). Maka seharusnya ia tidak membunuh orang yang menampakkan keimanan dalam keadaan apa pun dan dari agama mana pun ia kembali.

(Al-Rabi‘ berkata): Jika Al-Syafi‘i mengatakan “sebagian orang dari negeri kami,” maka maksudnya adalah orang-orang Timur. Dan jika ia mengatakan “sebagian dari sahabat kami” atau “sebagian dari penduduk kota kami,” maka maksudnya adalah Malik.

[Perbedaan pendapat sebagian orang tentang hukum murtad bagi laki-laki dan perempuan]

(Al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata): Beberapa orang berbeda pendapat dengan kami mengenai hukum murtad, baik pada laki-laki maupun perempuan. Ia berkata: “Jika seorang wanita merdeka murtad dari Islam, maka ia dipenjara dan tidak dibunuh. Sedangkan jika seorang budak perempuan murtad, maka ia diserahkan kepada kaum (pemiliknya), dan mereka diperintahkan untuk memaksanya masuk Islam.”

Ia berdalil bahwa wanita tidak dibunuh karena murtad berdasarkan riwayat yang diriwayatkan dari ‘Āṣim, dari Abū Razīn, dari Ibn ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā bahwa wanita yang murtad dari Islam hanya dipenjara dan tidak dibunuh.

Lalu seseorang yang mengikuti pendapat ini berbicara kepadaku, dan saat itu hadir sekelompok orang yang ahli dalam ilmu hadis. Maka kami menanyai mereka tentang hadis ini, dan aku tidak mengetahui seorang pun dari mereka yang tidak mengatakan bahwa hadis ini salah. Dan bahwa orang yang meriwayatkannya bukanlah termasuk orang yang diterima oleh para ulama hadis.

Maka aku berkata kepadanya: “Engkau telah mendengar ucapan para ahli hadis yang tidak diragukan keilmuannya terhadap hadis yang engkau riwayatkan. Dan sungguh telah diriwayatkan dari Abū Bakr bahwa ia telah membunuh beberapa wanita yang murtad dari Islam. Lalu kenapa engkau tidak mengambil pendapat itu?”

Ia berkata: “Sesungguhnya aku tidak membunuh wanita karena murtad, berdasarkan qiyās kepada sunnah, yaitu bahwa Nabi ﷺ melarang membunuh wanita dari kalangan ahli ḥarb (musuh). Maka wanita yang telah mendapat perlindungan Islam menurutku lebih utama untuk tidak dibunuh.”

Aku berkata kepadanya: “Apakah engkau menyamakan mereka dengan wanita ahli ḥarb hanya karena sama-sama dalam keadaan syirik?”

Ia menjawab: “Tidak.”

Aku berkata: “Bukankah Nabi ﷺ juga melarang membunuh orang tua renta dan pekerja upahan, selain melarang membunuh wanita?”

Ia menjawab: “Ya.”

Aku berkata: “Jika begitu, bagaimana jika orang tua renta atau pekerja itu murtad, apakah engkau akan membunuh mereka atau tidak, berdasarkan analogimu kepada ahli ḥarb?”

Ia menjawab: “Aku akan membunuh mereka.”

Aku berkata: “Bagaimana jika seorang lelaki murtad lalu menjadi rahib (menyendiri di tempat ibadah)?”

Ia menjawab: “Aku akan membunuhnya.”

Aku berkata: “Padahal engkau tidak membunuh para rahib dari kalangan ahli ḥarb.”

Ia menjawab: “Tidak.”

Aku bertanya lagi: “Apakah engkau mengambil harta orang tua, pekerja upahan, dan rahib dari ahli ḥarb, tetapi tidak mengambil harta orang murtad?”

Ia menjawab: “Ya.”

Aku berkata: “Kenapa? Apakah karena orang murtad tidak serupa dengan ahli ḥarb?”

Ia menjawab: “Ya, tidak serupa.”

Aku berkata: “Benar. Namun engkau telah mengetahui bahwa orang murtad tidak sama dengan ahli ḥarb. Tetapi engkau ingin menyamarkan kepada orang-orang bodoh agar mereka menerima pendapatmu. Maka ketika engkau berkata, ‘Aku tidak membunuh wanita dari kalangan ahli ḥarb’, kemudian engkau menyamakan mereka dengan wanita yang telah memiliki perlindungan Islam—maka ucapan seperti ini cepat diterima oleh hati orang-orang awam karena kebodohan dan kelemahan akal mereka. Padahal engkau mengetahui bahwa tidak ada dalam ucapan tersebut kecuali suatu kedudukan yang mendekati perbuatan dosa, kecuali jika Allah mengampuninya.”

“Dan jika ini disebut sebagai ijtihād, maka siapa saja yang menyandarkanmu kepada ilmu qiyās, maka ia adalah orang bodoh dalam hal qiyās. Bagaimana pendapatmu: Jika menurutmu hukum bagi wanita murtad adalah tidak dibunuh, maka bagaimana engkau memenjarakannya padahal engkau tidak memenjarakan wanita ahli ḥarb? Karena wanita ahli ḥarb hanya diperbudak dan hartanya dirampas. Sedangkan wanita murtad ini tidak kau beri keamanan dan tidak pula kau ambil hartanya.”

[Dialog al-Syafi‘i tentang Hukum Membunuh Perempuan Murtad]

Al-Syafi‘i berkata: “Bagaimana menurutmu, jika penahanan itu memang hak yang wajib atasnya (perempuan murtad), maka mengapa engkau tidak memberlakukan penahanan itu kepada budak perempuan yang murtad ketika keluarganya membutuhkannya? Atau bagaimana sikapmu terhadap keluarga budak perempuan tersebut yang membutuhkannya, sementara jika ia mencuri engkau memotong tangannya, dan jika ia membunuh maka engkau membunuhnya, tetapi ketika ia murtad engkau serahkan kepada keluarganya hanya karena mereka membutuhkannya?”

Ia menjawab: “Benar.”

Aku berkata: “Karena hukum tidak boleh digugurkan dari budak perempuan sebagaimana tidak digugurkan dari wanita merdeka?”

Ia menjawab: “Benar.”

Aku berkata: “Lalu bagaimana engkau menggugurkan hukum penahanan darinya jika itu memang suatu kewajiban dalam kasus ini? Dan mengapa engkau menahan wanita merdeka jika penahanan itu bukan kewajiban?”

Aku melanjutkan: “Apakah engkau tidak menganggap bahwa wanita merdeka ini termasuk dalam cakupan sabda Rasulullah ﷺ: ‘Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia’, sehingga ia juga termasuk yang mengganti agamanya dan karenanya ia dibunuh? Ataukah sabda ini khusus berlaku bagi laki-laki saja, tidak untuk perempuan? Jika demikian, lalu siapa yang memerintahkanmu untuk menahannya? Apakah engkau pernah melihat ada penahanan yang seperti ini sebelumnya? Sesungguhnya penahanan hanya diberlakukan untuk memperjelas hukum hudud. Dan sekarang sudah jelas kekufurannya, maka jika memang ia harus dibunuh, maka bunuhlah. Dan jika tidak, maka menahannya adalah sebuah kezaliman.”

Ia pun bertanya: “Lalu menurutmu bagaimana seharusnya?”

Aku menjawab: “Menurutku, membunuh wanita murtad adalah dalil yang nyata dalam Sunnah Rasulullah ﷺ, berdasarkan sabdanya: ‘Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia’, dan sabdanya: ‘Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga perkara: (1) kekufuran setelah keimanan, (2) perzinaan setelah pernikahan sah, dan (3) membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan’. Maka wanita murtad itu adalah orang kafir setelah beriman, sehingga halal darahnya, sebagaimana orang yang berzina setelah menikah atau orang yang membunuh jiwa lain secara zalim juga dibunuh. Tidak boleh satu hudud ditegakkan lalu yang lainnya ditinggalkan.”

“Aku juga berkata, kalaupun tidak ada nash, maka qiyas (analogi hukum) tetap menunjukkan bahwa ia harus dibunuh. Sebab Allah Ta‘ala tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam urusan hudud. Allah Ta‘ala berfirman: ‘Laki-laki pencuri dan perempuan pencuri, potonglah tangan keduanya’ (QS. al-Mā’idah: 38), dan: ‘Perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali’ (QS. an-Nūr: 2), dan: ‘Orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berzina) lalu mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah mereka sebanyak delapan puluh kali’ (QS. an-Nūr: 4).”

“Maka kaum Muslimin sepakat bahwa perempuan yang menuduh wanita baik-baik (tanpa bukti) juga harus didera delapan puluh kali, tidak dibedakan dari laki-laki. Lalu bagaimana engkau bisa membedakan antara perempuan dan laki-laki dalam hukuman had (hukum pidana Islam)?”

Al-Syafi‘i melanjutkan: “Semoga Allah mengampuninya. Maka kami berkata kepadanya: ‘Dalil nash berpihak kepada kami, begitu pula qiyas (analogi hukum). Namun engkau malah mengklaim menggunakan qiyas padahal engkau justru menyalahgunakannya.’”

Ia pun berkata: “Sungguh, Abū Yūsuf juga berkata seperti pendapat kalian. Ia berpendapat bahwa perempuan murtad harus dibunuh.”

Aku (al-Syafi‘i) pun berkata: “Semoga itu menjadi kebaikan baginya.”

(Al-Syafi‘i berkata): Perkataan orang itu tidak menambah kekuatan pada pendapat kami, dan tidak pula perselisihannya melemahkan kami. Aku berkata kepada sebagian orang yang mengatakan pendapat tersebut, “Kalian juga telah menyelisihi al-Kitab dan Sunnah dalam hal lain tentang orang murtad.”

Aku berkata, “Bukankah orang hidup itu pemilik harta mereka?”

Ia menjawab, “Benar.”

Aku berkata, “Sesungguhnya Allah memindahkan kepemilikan harta orang hidup kepada ahli waris mereka setelah kematian mereka karena orang mati tidak memiliki apa pun?”

Ia menjawab, “Benar.”

Aku berkata, “Maka orang hidup berbeda dengan orang mati?”

Ia menjawab, “Ya.”

Aku berkata, “Bagaimana menurutmu tentang orang murtad yang berada bersama kita di negeri Islam, dalam keadaan sebagai tawanan atau melarikan diri atau menjadi gila setelah murtad — bukankah ia masih memiliki hartanya dan tidak diwarisi karena ia masih hidup, dan tidak halal pula menagih hutangnya yang belum jatuh tempo?”

Ia menjawab, “Benar.”

Aku berkata, “Kalau begitu bagaimana jika ia murtad di Ṭarsūs (wilayah perbatasan) lalu melarikan diri ke negeri musuh, kemudian menjadi rahib atau ikut berperang dan kita melihatnya — apakah engkau ragu bahwa ia masih hidup?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Aku berkata, “Bukankah Allah hanya mewariskan harta orang mati kepada ahli warisnya? Allah berfirman:

‘Jika seorang laki-laki mati dan tidak mempunyai anak, dan dia mempunyai saudari perempuan, maka saudarinya itu mendapat setengah dari harta yang ditinggalkan’ (QS. an-Nisā’: 176),

dan Dia berfirman:

‘Dan bagi kalian (para suami) setengah dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak. Tetapi jika mereka mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan…’ (QS. an-Nisā’: 12).”

Ia berkata, “Benar.”

Aku berkata, “Lalu bagaimana bisa engkau mengklaim bahwa orang murtad diwarisi sebagaimana orang mati, dan bahwa hutangnya yang belum jatuh tempo menjadi halal, serta umm al-walad (budak yang melahirkan anak darinya) dan budak yang telah dijanjikan merdeka menjadi merdeka — hanya karena ia lari ke negeri musuh — padahal kita yakin bahwa ia masih hidup?! Apakah engkau ragu bahwa ini semua bertentangan dengan Kitab Allah? Engkau telah mewarisi dari orang hidup, padahal Allah hanya mewarisi dari orang mati. Dan orang mati tidaklah sama dengan orang hidup. Dalam pewarisan dari orang hidup ini terdapat pertentangan dengan hukum Allah Ta‘ala.”

“Dan engkau telah masuk ke dalam perkara yang engkau sendiri cela pada diriku — padahal engkaulah yang lebih layak dicela. Engkau mengikuti pendapatmu sendiri. Maka aku berkata kepadamu: Umar dan ‘Utsmān telah memutuskan bahwa istri orang hilang harus menunggu selama empat tahun, kemudian beriddah seperti perempuan yang ditinggal mati, lalu boleh menikah lagi. Sedangkan orang hilang adalah orang yang tidak terdengar kabarnya — dan dalam banyak kasus, kemungkinan besar ia telah mati. Dan sering kali terjadi perceraian antara suami dan istri karena berbagai sebab, seperti suami tidak mampu menggaulinya atau sebab lain, untuk mencegah mudarat. Maka ketika kepergian suaminya mengandung mudarat, dan dugaan kuat ia sudah mati, tetap tidak boleh wanita itu menikah hingga ada keyakinan kematiannya. Karena Allah hanya mewajibkan iddah setelah kematian. Namun engkau malah berhukum berdasarkan pendapatmu sendiri, yang tidak memiliki dalil pendahulu, dan engkau menetapkan warisan dari orang hidup dalam satu hari, padahal Allah hanya mewariskan dari orang mati.”

“Maka jika engkau tidak membantah ucapanku ini, maka ketahuilah bahwa engkau tidak mencela pendapat dua imam (Umar dan ‘Utsmān), melainkan engkau telah jatuh dalam perkara yang lebih besar dan lebih layak dicela daripada mereka.”

“Aku juga berkata kepadanya: ‘Engkau beranggapan bahwa setiap perkataan yang tidak memiliki dalil dari al-Qur’an atau Sunnah tidak boleh diikuti kecuali jika ia berupa khabar yang pasti (nas) atau qiyas.’ Maka aku bertanya: ‘Apakah pendapatmu bahwa wanita murtad tidak dibunuh itu bersumber dari khabar?’”

Ia menjawab, “Tidak, kecuali bahwa jika orang itu melarikan diri ke negeri musuh, maka aku tidak mampu membunuhnya atau memintanya bertaubat.”

Aku berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu jika ia melarikan diri di negeri Islam — apakah engkau mampu membunuhnya atau memintanya bertobat dalam keadaan ia melarikan diri?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Aku berkata, “Demikian pula jika ia menjadi gila setelah murtad atau akalnya hilang karena suatu sebab — apakah engkau bisa membunuhnya atau memintanya bertobat?”

Ia menjawab, “Benar.”

Aku berkata, “Jadi alasanmu bahwa engkau tidak bisa membunuhnya atau memintanya bertobat juga berlaku dalam dua keadaan ini, dan aku tidak melihatmu membagi warisannya atau memutuskan atasnya seperti orang mati dalam dua keadaan ini. Maka aku tidak menerima ucapanmu karena bertentangan dengan Kitabullah, kecuali jika engkau bersikap konsisten. Dan sungguh yang engkau cela dari orang lain lebih ringan daripada yang engkau lakukan.”

(Aku berkata kepadanya): “Bagaimana jika murtad dan melarikan diri ke negeri musuh menjadikannya seperti orang mati — bukankah seharusnya jika ia kembali setelah melarikan diri ke negeri musuh dan bertaubat, engkau tetap menerapkan hukum orang mati atasnya?”

Ia menjawab, “Tidak, aku tidak akan menerapkannya karena ia telah kembali.”

Aku berkata, “Kalau begitu, murtad dan pelariannya tidak menjadikannya seperti orang mati.”

(Imam al-Syafi‘i berkata): Aku berkata kepada sebagian dari mereka, “Bagaimana pendapatmu jika engkau telah memutuskan atasnya saat ia berada di negeri musuh dengan hukum orang mati: engkau membebaskan umm al-walad dan budak-budak yang dijanjikan merdeka, menghalalkan utangnya yang belum jatuh tempo, membagi warisannya kepada ahli warisnya. Kemudian ia kembali bertaubat dan semua yang disebut tadi masih berada di tangan orang-orang yang telah menerimanya, serta umm al-walad dan budak masih ada. Apakah hukum yang telah engkau buat itu boleh tetap berlaku atau harus dibatalkan?”

Ia menjawab, “Tidak boleh kecuali dengan dikembalikan atau diteruskan.”

Aku berkata, “Silakan engkau putuskan, pilih mana yang engkau kehendaki: apakah engkau membatalkannya atau tetap meneruskannya.”

Ia menjawab, “Aku meneruskannya dalam urusan budak yang dijanjikan merdeka dan umm al-walad, mereka tidak kembali menjadi budak. Dan dalam hal utang, maka tidak kembali kepada jatuh temponya walaupun aku menemukannya dalam bentuk barang, karena hukum sudah berlaku padanya. Namun jika aku mendapati hartanya di tangan ahli warisnya, maka aku akan mengembalikannya, karena itu adalah hartanya dan dia masih hidup.”

Aku berkata, “Sesungguhnya engkau telah memutuskan atas seluruh hartanya dengan hukum orang mati, maka bagaimana bisa engkau meneruskan sebagian dan membatalkan sebagian? Bagaimana jika ada orang berkata, ‘Aku meneruskan bagian warisan ahli warisnya karena mereka bisa membantu jika ia butuh dan ia juga bisa mewarisi mereka, sedangkan aku membatalkan utangnya dan pembebasan budaknya’ — apakah orang seperti itu tidak lebih masuk akal darimu, meskipun perkara ini tidak boleh difatwakan?”

(Aku berkata kepadanya): “Apakah orang murtad itu masih dihukumi sebagai seorang mukmin atau sudah kafir?”

Ia menjawab, “Sudah kafir.”

Aku berkata, “Sesungguhnya telah sampai kepada kami riwayat dari Ibnu ‘Uyaynah, dari al-Zuhri, dari ‘Ali bin al-Ḥusayn, dari ‘Amr bin ‘Uthmān, dari Usāmah bin Zayd — semoga Allah meridhai mereka — bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Orang Muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang Muslim.’ Maka bagaimana mungkin engkau mewariskan harta orang murtad (yang kafir) kepada orang Muslim?”

Ia menjawab, “Karena sebelumnya ia memiliki kehormatan sebagai seorang Muslim.”

Aku berkata, “Bagaimana jika sebagian anaknya mati dalam keadaan murtad — apakah engkau akan mewarisi darinya?”

Ia menjawab, “Tidak, karena ia seorang kafir.”

Aku berkata, “Sungguh jauhnya engkau — semoga Allah memperbaiki keadaan kita semua — dari sikap konsisten dalam menegakkan kebenaran atas dirimu sendiri atau mengikuti Sunnah. Jika engkau berpendapat bahwa karena ia sebelumnya memiliki kehormatan sebagai seorang Muslim maka ia boleh diwarisi, maka seharusnya ia pun boleh mewarisi. Tapi jika engkau berpendapat bahwa keluarnya ia dari Islam telah menggugurkan itu, lalu engkau mengubah hukumnya sehingga engkau membunuhnya dan menjadikannya dalam posisi yang lebih buruk daripada orang musyrik dan musuh perang (ahl al-ḥarb), karena mereka bisa engkau biarkan hidup tapi tidak halnya dengan orang murtad, maka bagaimana mungkin engkau membolehkan mewarisi dari orang kafir?”

(Imam al-Syafi‘i berkata): Semoga Allah merahmatinya — lalu ia berkata atau salah seorang dari yang hadir yang mendukung pendapatnya atau mereka berdua berkata: “Kami berpegang pada hal ini karena ‘Ali – semoga Allah meridhainya – membunuh seorang murtad dan membagikan warisannya kepada ahli warisnya yang Muslim.”

Aku berkata kepadanya, “Aku mendengar dari orang-orang yang ahli dalam hadis dari kalangan kalian bahwa para huffāẓ (penghafal hadis) tidak menghafal dari ‘Ali – semoga Allah meridhainya – bahwa ia membagikan hartanya kepada ahli waris yang Muslim, dan kami khawatir bahwa tambahan tersebut adalah kekeliruan.

Aku berkata kepadanya, “Menurutmu, bukankah pokok dari mazhab para ulama adalah jika sesuatu telah sah dari Nabi maka tidak ada hujah bagi siapa pun yang menyelisihinya?”

Ia menjawab, “Benar.”

Aku berkata, “Sungguh telah sah dari Nabi bahwa beliau bersabda: ‘Orang Muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang Muslim’. Maka bagaimana mungkin engkau menyelisihi hal ini?”

(Imam al-Syafi‘i berkata): Semoga Allah merahmatinya — lalu ia berkata: “Mungkin yang dimaksud adalah orang kafir yang belum pernah masuk Islam.”

Aku berkata, “Apakah menurutmu hadis tersebut menunjukkan hal itu?”

Ia menjawab, “Bisa jadi.”

Aku berkata, “Jika hal itu engkau perbolehkan, maka engkau juga harus memperbolehkan orang murtad mewarisi anak dan istrinya jika mereka mati dalam keadaan Muslim sementara ia dalam keadaan murtad, dan engkau harus menjadikan hukumnya seperti orang Islam dalam warisan.”

Ia berkata, “Saya tidak mengatakan demikian.”

Aku berkata, “Tepat. Engkau juga tidak boleh mengalihkan makna hadis dari zhahirnya tanpa adanya dalil baik di dalam hadis itu maupun di luar hadis dari orang yang meriwayatkannya. Kalau begitu, boleh saja seseorang mengatakan hal ini berlaku khusus untuk penyembah berhala dari kalangan musyrikin, sedangkan ahli kitab boleh diwarisi oleh Muslim sebagaimana mereka boleh menikahi perempuan mereka.”

Ia berkata, “Aku hanya mengatakan demikian karena ada sesuatu yang aku riwayatkan dari ‘Ali – semoga Allah meridhainya – dan mungkin ‘Ali mengetahui sabda Nabi ﷺ tersebut.”

Aku berkata, “Apakah engkau mengetahui bahwa ‘Ali – semoga Allah meridhainya – meriwayatkan hal tersebut dari Nabi ﷺ sehingga kita bisa mengatakan bahwa ia memang meriwayatkannya? Dan engkau pun tidak mengatakan hal itu kecuali berdasarkan ilmu?”

Ia menjawab, “Aku tidak mengetahuinya.”

Aku berkata, “Jadi memungkinkan bahwa ‘Ali – semoga Allah meridhainya – tidak pernah mendengarnya?”

Ia menjawab, “Ya, mungkin, dan hal itu masuk akal jika memang luput dari pengetahuannya.”

(Imam al-Syafi‘i berkata): Semoga Allah merahmatinya — maka dikatakan kepadanya, “Hal itu tidak sahih dari ‘Ali – semoga Allah meridhainya – dan kalian telah berbicara kepada kami seolah-olah itu sahih. Maka tidak ada hujah bagimu di dalamnya, bahkan hujah digunakan untuk menentangmu lebih daripada yang kau sangka menjadi hujah bagimu. Jika memang itu sah, maka pendapat yang kau klaim berlaku untukmu juga berlaku untuk yang lainnya. Dan jika tidak sah, maka engkau telah berdalil dengan sesuatu yang tidak sah sebagai hujah.”

Ia berkata, “Apa maksudmu?”

Aku menjawab, “Telah diriwayatkan bahwa Mu‘āż bin Jabal – semoga Allah meridhainya – mewariskan dari seorang kafir, yang aku duga adalah seorang dzimmi (non-Muslim yang berada dalam perlindungan Islam), dan diriwayatkan pula bahwa Mu‘āwiyah mewariskan dari seorang kafir untuk seorang Muslim, dan tidak mewariskan dari Muslim untuk kafir. Hal ini karena sampai kepadanya bahwa sebagian orang enggan masuk Islam karena takut kehilangan warisan dari ayah-ayah mereka. Hal ini disukai oleh Masrūq bin al-Ajda‘ dan juga orang lain, lalu mereka berkata, ‘Kami mewarisi dari mereka tetapi mereka tidak mewarisi dari kami — sebagaimana kami halal menikahi perempuan mereka sedangkan mereka tidak halal menikahi perempuan kami.’

Juga diriwayatkan dari Muḥammad bin ‘Ali bahwa orang Muslim bisa mewarisi dari orang kafir, demikian pula dari Sa‘īd bin al-Musayyib. Dalam makna ini terdapat perkataan dari Mu‘āż bin Jabal juga. Maka, atas dasar ini bisa saja engkau dikatakan tidak mengetahui sabda Nabi ﷺ atau hadis itu tidak sampai kepadanya, sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang telah kami sebutkan.”

Ia berkata, “Tidak boleh jika suatu perkara telah datang dari Nabi kecuali diambil secara keseluruhan, dan tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan dalil darinya atau dari orang yang meriwayatkan hadis darinya. Bisa saja sebagian hadisnya luput dari Mu‘āż dan selainnya.”

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata): Maka dikatakan kepadanya, “Jarang sekali kami melihatmu berhujah dengan sesuatu kecuali hal itu berbalik menjadi hujah atasmu yang sama bahkan lebih. Kemudian kamu mengklaim itu bukan hujah, namun hal itu tidak mencegahmu untuk kembali menggunakan hujah yang serupa. Jika ini karena kebodohan, maka sebaiknya kamu menahan diri dari berfatwa. Namun jika ini sengaja untuk memperdaya orang yang bodoh, maka itu lebih buruk bagimu di hadapan Allah عز وجل, dan sangat mungkin hal itu tidak dibenarkan bagimu. Sungguh kamu telah menjadikan banyak orang awam dan tergesa-gesa menjadi orang-orang yang berfatwa dalam hal yang bertentangan dengan kitab dan sunnah.”

Sebagian mereka berkata, “Apakah kamu meriwayatkan sesuatu dari salah seorang sahabat Nabi ﷺ mengenai warisan orang murtad?”

Aku menjawab, “Ketika Rasulullah ﷺ telah menjelaskan bahwa orang kafir tidak mewarisi dari orang Muslim, dan orang murtad adalah kafir, maka dalam sunnah sudah cukup bahwa hartanya adalah harta orang kafir dan tidak ada ahli waris baginya. Maka hartanya adalah fay’.”

Telah diriwayatkan bahwa Mu‘āwiyah – semoga Allah meridhainya – menulis surat kepada Ibn ‘Abbās dan Zayd bin Thābit – semoga Allah meridhai keduanya – menanyakan tentang warisan orang murtad. Maka keduanya menjawab, “Untuk Bayt al-Māl.”

(Imam al-Syafi‘i berkata): Maksudnya bahwa hartanya menjadi fay’.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata): Maka seseorang bertanya, “Bagaimana engkau menghitung seperlimanya?”

Aku menjawab, “Harta itu terbagi menjadi tiga: zakat (shadaqah), rampasan perang yang diperoleh karena pertempuran, dan harta yang bukan termasuk dari dua jenis tadi. Adapun fay’ maka pembagiannya telah disebutkan dalam surah al-Ḥasyr, yaitu seperlima untuk Rasulullah ﷺ dan empat perlima untuk kaum Muslimin dari kalangan ahl al-fay’.”

Salah satu dari mereka berkata, “Sebagian sahabatmu mengklaim bahwa Ibn Khaṭl telah murtad lalu dibunuh oleh Nabi ﷺ, namun tidak disebutkan bahwa Nabi ﷺ mengambil hartanya sebagai rampasan.”

Aku berkata kepadanya, “Kalian mengaku sebagai orang yang sabar dalam berdebat dan bersikap adil, serta kalian menuduh para sahabat kami sebagai orang-orang yang lalai dan tidak mengikuti jalan dialog. Maka bagaimana mungkin engkau berpegang pada ucapan satu orang saja — padahal menurutmu sendiri ia dan sahabat-sahabatnya seperti yang kamu gambarkan?”

Ia berkata, “Apakah engkau mengetahui bahwa Nabi ﷺ menyita harta Ibn Khaṭl?”

Aku menjawab, “Aku tidak mengetahuinya, dan aku juga tidak mengetahui bahwa beliau mewariskannya kepada ahli warisnya yang Muslim, bahkan aku tidak tahu bahwa ia memiliki harta.”

Aku lanjutkan, “Menurutmu, jika boleh berprasangka bahwa Nabi ﷺ tidak menyita hartanya hanya karena tidak ada riwayat yang menyebutkannya, maka apakah boleh bagi seseorang untuk berprasangka bahwa beliau menyita hartanya?”

Ia menjawab, “Boleh, dan tidak boleh keduanya secara pasti. Kemudian boleh bagi orang ketiga untuk mengatakan bahwa ia tidak memiliki harta. Dan jika prasangka diperbolehkan, boleh juga dikatakan bahwa ia memiliki harta dan Nabi ﷺ menyita sebagian darinya.”

Ia menjawab, “Tidak boleh.”

Ia berkata, “Sebagian sahabatmu mengklaim bahwa ada seseorang yang murtad di masa ‘Umar – semoga Allah meridhainya – lalu melarikan diri ke negeri musuh, namun ‘Umar tidak menyita hartanya, demikian juga ‘Uthmān sesudahnya.”

Kami katakan, “Kami tidak mengetahui bahwa hal itu sahih dari ‘Umar atau dari ‘Uthmān. Dan andai benar, maka itu lebih mendekati pendapat kami daripada pendapatmu.”

Ia berkata, “Bagaimana bisa?”

Aku berkata, “Engkau mengklaim bahwa jika seseorang melarikan diri ke negeri musuh, maka hartanya dibagi (sebagai rampasan perang). Sementara kalian meriwayatkan bahwa ‘Umar dan ‘Uthmān tidak membaginya. Kamu juga berkata bahwa keduanya tidak menyentuh hartanya. Bisa jadi hartanya berada di tangan orang yang dipercaya, atau ditanggung oleh seseorang yang memegangnya, dan belum sampai kepada mereka berita kematiannya, lalu mereka ambil hartanya sebagai fay’.”

(Al-Syafi‘i berkata): Maka salah seorang dari mereka berkata, “Bagaimana engkau mengatakan bahwa jika salah satu dari pasangan suami istri murtad, maka pernikahan tidak batal kecuali setelah habis masa iddah?” Aku berkata, “Aku mengatakannya karena hal itu maknanya sejalan dengan hukum Rasulullah .” Ia berkata, “Di mana?” Aku berkata, “Jika sepasang suami istri musyrik menikah, lalu salah satunya masuk Islam, maka yang lain menjadi haram baginya.” Ia berkata, “Maka Nabi menjadikan batas akhir terputusnya istri dari suaminya adalah habisnya masa iddah sebelum yang lainnya masuk Islam.” Aku berkata, “Demikianlah makna hadis dari siapa yang meriwayatkannya dari Nabi , bahwa jika dua orang muslim telah menikah lalu salah satunya melakukan sesuatu yang menyebabkan keharaman bagi pasangannya, maka jika ia kembali (masuk Islam) sebelum masa iddah istri habis, maka keduanya tetap berada dalam ikatan pernikahan seperti dua orang kafir harbi.” Ia bertanya, “Adakah di antara sahabatmu yang menyelisihi ini?” Aku berkata, “Jika ada yang perkataannya menjadi hujah, maka aku tidak mengetahuinya. Dan engkau mengetahui keadaan para sahabatku. Maka apa faedah pertanyaanmu tentang perkataan orang yang tidak diperhitungkan, apakah ia setuju atau menyelisihimu?”

[Lanjutan Bab Jinayat] [Tabrakan Kapal dan Penunggang Kuda]

Tabrakan dua kapal dan dua penunggang kuda. Al-Rabi‘ mengabarkan kepada kami, ia berkata, Al-Syafi‘i berkata: Jika dua penunggang kuda bertabrakan dan tidak ada salah satunya yang lebih dahulu menabrak, lalu keduanya mati bersama kudanya, maka setengah dari diyat masing-masing ditanggung oleh ‘aqilah dari lawannya. Karena secara lahiriah, masing-masing mati akibat dari kejahatannya sendiri dan kejahatan orang lain. Maka bagian kejahatan dirinya sendiri digugurkan dan dituntutlah bagian dari kejahatan orang lain. Demikian pula kuda mereka, kecuali bahwa setengah dari nilai kuda masing-masing ditanggung oleh harta lawannya, bukan oleh ‘aqilahnya.

Demikian juga jika sepuluh orang melempar dengan manjaniq atau ‘arādah lalu batu mengenai mereka bersama-sama dan membunuh masing-masing dari mereka, maka diyat setiap yang mati ditanggung oleh ‘aqilah sembilan orang lainnya sebanyak sembilan persepuluh. Karena ia mati akibat perbuatan mereka dan perbuatannya sendiri, maka perbuatannya sendiri tidak ditanggung, sementara perbuatan mereka ditanggung. Ia berkata: Demikian pula jika dua orang melempar dengan manjaniq lalu batu memantul kembali mengenai mereka berdua hingga salah satunya mati, maka ‘aqilah yang tersisa dari mereka menanggung setengah diyat yang mati, seperti pada kasus sebelumnya. Ia berkata: Jika keduanya mati bersama, maka ‘aqilah masing-masing menanggung setengah diyat dari yang lainnya. Demikianlah seluruh bab ini dan qiyasnya.

Ia berkata: Jika dalam satu tindak pidana terdapat pelaku yang wajib diyat dan yang tidak wajib diyat, maka yang wajiblah yang menanggung dan bagian yang tidak wajib ditinggalkan. Sebagaimana telah kami sebutkan tentang seseorang yang melakukan tindak pidana bersama orang lain terhadap dirinya sendiri, maka bagian dirinya digugurkan dan diputuskan atas bagian dari yang lainnya. Seperti manusia dan binatang buas sama-sama menyerang manusia lalu ia mati dan tindakan tersebut merupakan kesalahan dari manusia, maka setengah diyat korban ditanggung oleh ‘aqilah dari pelaku (manusia), dan bagian dari binatang buas adalah gugur.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika dua kapal bertabrakan lalu keduanya rusak, dan tidak mungkin bagi masing-masing awak kapal yang bertabrakan itu untuk menghindarkannya dari tabrakan dengan cara atau keadaan apapun, baik dengan membahayakan kapal dan penumpangnya atau tanpa membahayakan, maka hukumnya seperti dua penunggang kuda yang bertabrakan. Jika memang tidak mungkin menghindar dalam kondisi apa pun, maka apa yang mereka lakukan adalah gugur (tidak ada tanggungan). Ia berkata: Jika di dalam kapal terdapat para pekerja upahan yang melakukan suatu pekerjaan yang menyebabkan kapal tenggelam, dan pemilik kapal bersama mereka serta menyuruh mereka melakukan pekerjaan itu, dan tidak ada di dalam kapal sesuatu pun kecuali milik pemilik kapal, maka tidak ada tanggungan atas para pekerja tersebut dan tidak pula atas pemilik kapal.

Namun jika ada barang milik orang lain di dalam kapal, dan perintah pemilik kapal kepada mereka adalah termasuk dalam hal yang menurut ahli laut merupakan bagian dari perbaikan dan keselamatan kapal, maka tidak ada tanggungan atasnya maupun atas mereka. Tapi jika perintah itu bukan merupakan bagian dari perbaikan, maka menurut pendapat yang mewajibkan tanggungan atas pekerja, maka pemilik kapal juga ikut menanggung jika ia mengambil upah atas kapal tersebut. Dan para pekerja tidak menanggung kerusakan yang terjadi pada pemilik kapal karena mereka melakukannya atas perintahnya. Jika pemilik barang ikut bersama barangnya dan ia yang memerintahkan pekerjaan itu, maka para pekerja tidak menanggungnya karena dilakukan atas perintahnya, menurut salah satu dari dua pendapat. Ia berkata: Jika di kapal terdapat para pekerja dan tidak ada pemilik kapal di situ, lalu mereka melakukan perbuatan tersebut, maka siapa yang mewajibkan tanggungan atas pekerja maka ia mewajibkan tanggungan atas mereka, dan siapa yang tidak mewajibkannya, maka tidak mewajibkan, kecuali jika mereka melakukan sesuatu yang bukan merupakan perbaikan bagi kapal, maka itu termasuk tindak pidana yang mereka tanggung.

[Masalah tukang bekam, tukang khitan, dan dokter hewan]

(Al-Rabi‘ mengabarkan kepada kami) ia berkata (Al-Syafi‘i berkata – semoga Allah merahmatinya): Jika seseorang menyuruh orang lain untuk membekamnya, atau mengkhitan anaknya, atau mengobati hewannya, lalu mereka mati karena perbuatannya, maka jika perbuatannya itu adalah seperti yang biasa dilakukan oleh orang yang ahli dalam bidang tersebut menurut pengetahuan para ahli di bidangnya, dan merupakan kebaikan bagi yang diberi tindakan, maka tidak ada tanggungan atasnya. Namun jika ia melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh orang yang menginginkan kebaikan dan ia mengetahuinya, maka ia menanggungnya (bertanggung jawab), dan ia tetap berhak mendapatkan upah atas apa yang telah dikerjakannya, baik hasilnya selamat maupun celaka.

Abu Muhammad berkata: Ada juga pendapat lain, yaitu jika ia melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh orang semisalnya, maka ia tidak berhak mendapatkan upah sedikit pun karena ia dianggap melampaui batas, dan pekerjaan yang ia lakukan itu tidak diperintahkan, maka ia bertanggung jawab dan tidak mendapat upah; ini adalah pendapat yang lebih kuat, dan ini merupakan makna dari ucapan Al-Syafi‘i. (Al-Syafi‘i berkata): Aku tidak mengetahui seorang pun yang mewajibkan tanggungan atas para pelaku profesi ini, dan tidak mewajibkan tanggungan atas mereka, sebagai alasan bagi yang tidak mewajibkan tanggungan atas para pelaku profesi. Karena jika mereka menggugurkan tanggungan dari orang yang tidak jauh berbeda dengan para pelaku profesi ini, maka wajib pula menggugurkannya dari para pelaku profesi itu sendiri. Aku tidak mengetahui jika aku bertanya kepada salah seorang dari mereka, lalu ia membedakan di antara keduanya dengan alasan yang lebih dari sekadar mengatakan bahwa yang satu diberi izin dan yang lain juga diberi izin. Aku tidak menemukan perbedaan yang nyata di antara keduanya kecuali perbedaan yang sekilas terlintas dalam pikiranku. Manusia kadang membedakan sesuatu dengan hal yang lebih jauh dan lebih samar, dan itu bukanlah perbedaan yang jelas. Hal ini karena segala sesuatu yang memiliki ruh bisa saja mati karena takdir Allah Azza wa Jalla, bukan karena sebab yang diketahui oleh manusia. Maka jika orang-orang ini melakukan sesuatu terhadapnya lalu ia mati, tidak tampak bahwa ia mati karena tindakan mereka, karena bisa saja ia mati karena sebab lain. Maka mereka tidak menanggung karena mereka diberi izin atas apa yang mereka lakukan. Adapun makhluk yang tidak bernyawa, maka kerusakannya ditetapkan dengan sesuatu yang dibuat oleh manusia atau kejadian yang terlihat. Siapa yang membedakan dengan perbedaan ini, maka akan terkena sanggahan bahwa jika mereka melakukan tindakan yang melampaui batas, engkau menganggap mereka menyebabkan kematian itu, walaupun mungkin ada sebab lain. Maka demikian pula seharusnya engkau katakan tentang semua pelaku profesi.

Ia berkata: Jika seseorang menyewa orang lain untuk memanggangkan roti tertentu dalam sebuah tungku atau oven, lalu roti itu gosong, maka ditanyakan kepada ahli dalam hal tersebut. Jika diketahui bahwa ia memanggang roti dalam keadaan yang tidak biasa digunakan, baik karena pemanasan tungku yang terlalu besar, bara apinya terlalu kuat, atau dibiarkan dalam waktu yang tidak biasa, maka itu semua dianggap sebagai pelanggaran, dan ia menanggungnya menurut pendapat yang mewajibkan tanggungan atas pekerja. Namun jika mereka mengatakan bahwa keadaan saat memanggang dan cara meninggalkannya merupakan bentuk perbaikan, bukan kerusakan, maka ia tidak menanggung menurut pendapat yang tidak mewajibkan pekerja menanggung, dan menanggung menurut pendapat yang mewajibkan.

Ia berkata: Jika seseorang titipkan bejana dari kaca kepada orang lain, lalu orang yang dititipi mengambil bejana itu dengan tangannya untuk diamankan di rumahnya, kemudian terkena sesuatu bukan dari perbuatannya lalu pecah, maka ia tidak menanggungnya. Namun jika pecah karena perbuatannya, baik karena kesalahan atau sengaja, sebelum sampai ke rumah atau setelah sampai, maka ia menanggungnya.

[Masalah orang yang menyewa hewan tunggangan lalu memukulnya hingga mati]

(Al-Rabi‘ mengabarkan kepada kami) ia berkata (Al-Syafi‘i berkata – semoga Allah merahmatinya): Jika seseorang menyewa hewan tunggangan dari orang lain, lalu ia memukulnya atau menariknya dengan tali kekang atau mencambuknya hingga mati, maka ditanyakan kepada orang-orang yang ahli dalam hal berkendara. Jika apa yang ia lakukan itu termasuk yang biasa dilakukan oleh orang awam dan menurut mereka tidak dikhawatirkan menyebabkan kematian, atau ia melakukan penarikan dan pemukulan sebagaimana biasa dilakukan terhadap hewan seperti itu dalam situasi yang serupa, maka aku tidak menganggapnya sebagai tindakan melampaui batas dan tidak ada tanggungan atasnya. Namun jika ia melakukan tindakan tersebut dalam kondisi yang dapat menyebabkan kematian menurut kebiasaan, atau melakukannya di tempat yang tidak sepatutnya dilakukan, maka ia menanggung akibatnya dalam segala kondisi karena itu termasuk tindakan melampaui batas.

Demikian pula halnya dengan orang yang meminjam (bukan menyewa); jika pemiliknya tidak menghendaki agar ia menanggung kerusakan, maka ia tidak menanggung. Namun jika pemiliknya memang ingin menjadikan pinjaman itu sebagai tanggungan, maka peminjam wajib menanggung, baik ia melampaui batas ataupun tidak.

Adapun pelatih kuda, maka kebiasaan para pelatih adalah memukul hewan untuk melatihnya berjalan dan memacu lebih kuat daripada penunggang biasa. Jika ia melakukan tindakan yang menurut para ahli pelatihan merupakan bagian dari perbaikan dan pendidikan hewan tanpa berlebihan yang nyata, maka ia tidak menanggung meskipun hewan tersebut cacat. Namun jika ia melakukan sebaliknya, maka ia dianggap melampaui batas dan harus menanggung. Orang yang meminjam hewan dalam hal ini sama kedudukannya dengan orang yang menyewa dalam hal berkendara—jika ia melampaui batas maka ia wajib menanggung, jika tidak maka tidak wajib menanggung.

(Al-Rabi‘ berkata): Pendapat yang kami pegang tentang peminjam adalah bahwa ia wajib menanggung, baik melampaui batas maupun tidak, berdasarkan hadis Nabi ﷺ: “Barang pinjaman itu harus ditanggung,” yang maknanya demikian. Dan ini merupakan pendapat terakhir dari dua pendapat Al-Syafi‘i.

(Al-Syafi‘i berkata): Gembala, jika ia melakukan sesuatu yang biasa dilakukan para gembala dan tidak ada kebaikan untuk hewan kecuali dengan itu, dan apa yang biasa dilakukan oleh para pemilik ternak terhadap ternaknya sendiri untuk memperbaikinya, serta jika pemilik ternak melihat orang lain melakukannya terhadap ternaknya maka dianggap sebagai perbaikan, bukan kerusakan, maka gembala tidak menanggung meskipun terjadi kerusakan. Namun jika ia melakukan sesuatu yang menurut para pemilik ternak merupakan tindakan melampaui batas, lalu terjadi kerusakan, maka ia wajib menanggungnya menurut pendapat yang mewajibkan tanggungan atas pekerja. Dan siapa yang mewajibkan tanggungan atas pekerja, maka ia juga mewajibkan tanggungan atas gembala dalam segala keadaan.

[Jinayat (Tindak Pidana) oleh Guru Mengaji]

(Al-Rabi‘ mengabarkan kepada kami), ia berkata: (Al-Syafi‘i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Guru mengaji dan semua manusia berbeda dengan penggembala hewan dan para pekerja. Jika salah seorang dari mereka memukul seseorang, baik untuk memperbaiki perilaku atau tidak, lalu orang yang dipukul itu meninggal, maka ada diyat (denda darah) atasnya yang ditanggung oleh ‘aqilah (keluarga laki-laki dari pihak ayah) pelaku. Tidak ada yang menggugurkan kewajiban diyat dan qishash atas orang yang melukai manusia di negeri Islam kecuali imam (penguasa) yang menegakkan hudud (hukuman), karena hal itu bersifat wajib dan tidak halal baginya untuk meninggalkannya.

Jika seorang imam menghukum (ta‘zīr) lalu orang yang dihukum meninggal di tangannya, maka wajib atasnya diyat dan kaffarah, meskipun ia menganggap bahwa ta‘zīr tersebut dibolehkan. Karena ta‘zīr adalah bentuk didikan, bukan hudud dari hukum-hukum Allah Ta‘ala. Dan ta‘zīr boleh ditinggalkan, dan orang yang tidak melakukannya tidak berdosa. Bukankah engkau melihat bahwa berbagai perkara telah terjadi pada masa Rasulullah ﷺ yang bukan termasuk hudud, dan beliau tidak menghukum pelakunya? Seperti perbuatan ghulūl (penggelapan rampasan perang) di jalan Allah dan selainnya, dan beliau tidak menegakkan hudud terhadapnya, bahkan memaafkannya.

Tempat kedua yang tidak diberlakukan diyat dan qishash adalah jika seseorang menyerahkan dirinya kepada tukang khitan, lalu dikhitan olehnya, atau kepada dokter, lalu ia membedah urat nadi atau memotongnya karena khawatir penyakit atau bahaya, lalu meninggal, maka tidak dikenakan diyat dan qishash. Karena ia melakukan hal itu dengan izin dari korbannya, dan perbuatannya itu seperti perbuatan seseorang terhadap dirinya sendiri, jika orang yang diperlakukan itu adalah orang merdeka yang baligh atau budak dengan izin tuannya. Jika budak tersebut tanpa izin tuannya, maka pelaku menanggung harga budak tersebut.

Jika seseorang berkata: Bagaimana bisa imam tidak wajib qishash saat melukai atau memotong tangan karena pencurian, atau mencambuk karena hudud, dan tidak dikenakan diyat atau qishash, tapi ketika ia menghukum dengan ta‘zīr yang memang ia boleh melakukannya, lalu yang dihukum meninggal, ia wajib menanggungnya?

Dijawab: Hudud dan qishash adalah kewajiban dari Allah Azza wa Jalla atas wali (penguasa), tidak halal baginya untuk meninggalkannya. Adapun ta‘zīr sebagaimana yang telah aku jelaskan, adalah perkara yang dilakukan oleh sebagian penguasa sebagai bentuk didikan, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya.

Telah dikatakan bahwa Umar pernah mengutus seseorang kepada seorang perempuan karena suatu kabar tentangnya, lalu perempuan itu gugur kandungannya. Maka Umar meminta pendapat, lalu seseorang berkata kepadanya, “Engkau adalah seorang pendidik.” Maka Ali – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: “Jika ia berijtihad, maka ia keliru. Jika tidak berijtihad, maka ia telah menipu. Atasmu diyat.” Maka Umar berkata, “Aku mewajibkanmu untuk tidak duduk hingga engkau membayarnya dari keluargamu.” Dengan ini kami berpendapat bahwa kesalahan imam ditanggung oleh ‘aqilah-nya, bukan dari baitul mal.

Ali bin Abi Ṭalib – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: “Tidak ada seorang pun yang meninggal karena hukuman hadd yang membuatku merasa bersalah, karena itu hak yang membunuhnya. Kecuali orang yang mati karena hadd khamr (minuman keras), karena itu perkara yang kami adakan setelah Rasulullah ﷺ. Maka barang siapa yang mati karena itu, diyat-nya dari baitul mal atau atas imam.”

Guru mengaji, para budak, dan para pekerja jauh lebih lemah dan lebih sedikit uzurnya dalam hal memukul daripada imam yang mendidik masyarakat karena maksiat yang tidak ada had-nya. Maka mereka lebih layak untuk menanggung kematian yang terjadi karena pukulan mereka dibandingkan imam.

Adapun hewan, maka itu termasuk harta benda, dan hukumnya berbeda dengan jiwa manusia. Tidakkah engkau lihat bahwa seseorang melempar sesuatu lalu mengenai manusia, maka ia wajib memerdekakan budak meskipun ia tidak berniat bermaksiat, dan tidak berdosa karena kesalahan, tetapi tetap wajib membayar diyat. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla mengancam pembunuh dengan sengaja dengan neraka, sedangkan hewan tidak termasuk dalam makna ini.

Manusia dididik melalui perkataan dan mereka memahaminya, tidak demikian dengan hewan. Maka jika pemilik hewan melepaskan hewannya kepada seseorang dalam hal yang diperbolehkan, lalu orang itu melakukannya, maka itu berarti ia melakukannya atas perintah pemiliknya, atau atas perintah hakim. Maka itu seperti ia melakukannya atas perintahnya jika tidak melampaui batas. Dan jika pemilik memerintahkannya dengan kezaliman, seperti menyuruh membunuhnya, lalu ia membunuh, maka ia tidak wajib membayar ganti rugi karena ia melakukannya atas perintahnya, dan tidak wajib menanggung harta yang dihancurkannya atas perintah. Meskipun ia berdosa. Namun jika ia menyuruhnya membunuh ayahnya, lalu ia membunuhnya, maka perintah itu tidak menggugurkan tanggungan, berbeda dengan hewan.

Al-Rabi‘ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata: Semua pekerja upahan (ajīr) kedudukannya sama. Maka jika ada sesuatu yang rusak di tangan mereka bukan karena kesengajaan mereka, maka dalam hal ini tidak boleh dikatakan kecuali salah satu dari dua pendapat:

Salah satunya adalah bahwa setiap orang yang menerima upah atas suatu pekerjaan, maka ia wajib menanggung kerusakan sampai ia mengembalikannya dalam keadaan selamat, atau ia menggantinya, atau mengganti kekurangannya. Siapa yang berpendapat demikian, maka hujjahnya adalah bahwa orang yang amanah (amīn) adalah orang yang diberi sesuatu secara suka rela karena kepercayaannya, bukan orang yang diberi upah atas apa yang diberikan kepadanya. Dan memberinya upah adalah bentuk pembedaan antara dia dengan orang yang dipercaya yang menerima barang tanpa imbalan.

Atau seseorang berkata bahwa tidak ada jaminan atas pekerja sama sekali, karena orang yang wajib menanggung adalah orang yang melampaui batas, yaitu yang mengambil sesuatu bukan haknya, atau mengambil barang untuk kemanfaatan dirinya, baik ia diberi kuasa untuk menghabiskannya seperti dalam pinjaman (salaf) yang menjadi miliknya dan boleh ia belanjakan lalu menggantinya, atau ia meminjam sesuatu yang boleh ia manfaatkan, maka ia menanggung karena ia mengambil barang tersebut untuk manfaat dirinya, bukan manfaat pemiliknya. Kedua keadaan ini merupakan kerugian bagi pemberi pinjaman dan pemberi pinjaman barang, bukan keuntungan bagi mereka. Sedangkan tukang dan pekerja upahan yang tidak termasuk dalam makna ini, maka tidak wajib menanggung dalam kondisi apa pun kecuali jika ia yang merusakkannya, sebagaimana orang yang diberi titipan menanggung apa yang dirusakkan oleh tangannya.

Tidak ada sunnah yang aku ketahui dalam hal ini, dan tidak ada atsar yang sahih menurut para ahli hadis dari salah seorang sahabat Nabi ﷺ. Ada riwayat dari Umar dan Ali – raḍiyallāhu ‘anhumā – namun tidak sahih menurut ahli hadis. Dan jika riwayat itu sahih dari keduanya, maka orang yang menetapkannya wajib menanggung, maka ia harus mewajibkan jaminan atas semua pekerja, baik pekerja pribadi, pekerja bersama, pekerja penjaga, pekerja penggembala, pekerja angkut, dan pekerja teknis, karena jika Umar mewajibkan jaminan atas para tukang, maka tidak ada makna dari jaminan tersebut kecuali karena mereka menerima upah atas barang yang dititipkan. Maka setiap orang yang menerima upah adalah seperti mereka. Dan jika Ali bin Abi Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – mewajibkan jaminan atas penatu dan tukang celup, maka demikian pula semua tukang dan siapa pun yang menerima upah. Bahkan, gembala pun dikatakan sebagai pekerja karena menggembala, dan pengangkut barang pun karena mengangkat barang.

Namun pendapat sebagian tabi‘in menyatakan seperti yang aku sebutkan sebelumnya, bahwa ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Dan siapa yang mewajibkan pekerja menanggung dalam setiap keadaan, maka ketika barang tersebut bersama pekerja sebagaimana aku sebutkan — seperti ia membawanya di atas punggungnya, atau mengerjakan sesuatu untuknya di rumah atau di tempat lain, dan pemilik barang hadir atau mewakilkan kepadanya untuk menjaganya, lalu barang tersebut rusak dengan cara apa pun selama tidak ada pelaku kerusakan yang diketahui — maka tidak ada jaminan atas tukang atau pekerja. Demikian pula jika ada orang lain yang merusaknya, maka tidak ada jaminan atasnya dan jaminan atas pelaku perusakan. Tapi jika pemilik barang pergi darinya atau membiarkannya hingga tidak dijaga, maka ia wajib menanggung kerusakannya dalam keadaan apa pun barang itu rusak.

Jika pemilik barang hadir bersamanya dan ia mengerjakan suatu pekerjaan pada barang itu, lalu barang rusak karena pekerjaan itu, lalu pekerja berkata, “Inilah cara pengerjaan yang benar, dan aku tidak melampaui batas,” namun pemilik barang berkata, “Ini bukan cara yang benar, engkau telah melampaui batas,” dan di antara keduanya ada saksi atau tidak ada, maka ditanyakan kepada dua orang ahli dalam bidang tersebut. Jika keduanya berkata, “Memang beginilah cara pengerjaannya,” maka tidak wajib menanggung. Namun jika keduanya berkata, “Ia melampaui batas dalam pekerjaan ini,” maka ia wajib menanggung, sekecil apa pun pelanggaran itu. Jika tidak ada saksi, maka perkataan tukang diterima dengan sumpahnya, dan ia tidak wajib menanggung.

Dan jika engkau mendengar aku mengatakan “perkataan si fulan yang diterima,” maka itu bukan semata-mata karena ia berbicara, tetapi karena ia mengklaim sesuatu yang mungkin terjadi dalam berbagai keadaan. Jika ia mengklaim sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam kondisi apa pun, maka perkataannya tidak diterima.

Dan siapa yang mewajibkan jaminan atas tukang dalam keadaan barang tidak dijaga lalu barang dirusak oleh orang lain, maka pemilik barang berhak memilih untuk menuntut tukang, karena tukang harus mengembalikannya dalam keadaan selamat. Jika ia menuntut tukang, maka tukang boleh menuntut pelaku kerusakan. Jika ia menuntut pelaku kerusakan, maka pelaku tidak bisa menuntut kembali kepada tukang. Jika tukang yang dituntut lalu bangkrut, maka pemilik barang boleh menuntut pelaku kerusakan. Dalam kasus ini, pelaku kerusakan seperti penanggung utang (ḍāmin). Demikian pula, jika pemilik barang menuntut pelaku kerusakan lalu pelaku bangkrut, ia bisa menuntut tukang, kecuali jika ia telah memaafkan masing-masing dari keduanya ketika menuntut yang lain, maka tidak bisa menuntut kembali. Tukang dalam semua keadaan boleh menuntut pelaku kerusakan jika ia yang dituntut, tetapi pelaku kerusakan tidak boleh menuntut tukang dalam keadaan apa pun jika ia yang dituntut lebih dulu.

Al-Syafi‘i berkata: Jika seseorang menyewa orang lain untuk mengangkut barang dengan ukuran berat atau takaran tertentu dan dari negeri tertentu, lalu terjadi kelebihan atau kekurangan dalam berat atau takaran, dan keduanya sepakat bahwa pemilik baranglah yang melakukan penimbangan dan pengukuran, maka kami tanyakan kepada ahli dalam bidang tersebut: apakah memang bisa terjadi kelebihan atau kekurangan antara dua hasil penimbangan atau takaran?

Jika mereka berkata, “Ya, bisa bertambah atau berkurang,” maka kami katakan bahwa kekurangan menjadi milik pemilik barang, karena kekurangan bisa saja terjadi seperti yang dikatakan oleh para ahli tanpa ada pelanggaran atau kerusakan. Maka selama kekurangan bisa saja terjadi atau tidak terjadi, kami katakan: bila kamu mau, kami akan menyuruh si pengangkut bersumpah bahwa ia tidak berkhianat dan tidak melampaui batas sehingga merusak barangmu, lalu tidak ada tanggungan atasnya.

Dan kami katakan kepada pengangkut dalam hal kelebihan sebagaimana kami katakan kepada pemilik barang dalam hal kekurangan: jika kelebihan itu mungkin terjadi karena suatu sebab tanpa disengaja, dan kekurangan juga bisa terjadi, dan ternyata sekarang terjadi kelebihan, maka jika kamu tidak mengklaim kelebihan itu milikmu, maka kelebihan itu milik pemilik barang dan kamu tidak berhak atas ongkosnya. Namun jika kamu mengklaimnya, maka kami penuhi hak pemilik barang secara utuh dan tidak kami serahkan kelebihan itu kepadamu kecuali setelah kamu bersumpah bahwa kelebihan itu bukan milik pemilik barang, barulah kamu bisa mengambilnya.

Jika kelebihan itu berupa tambahan yang tidak biasa terjadi seperti itu, maka kami penuhi hak pemilik barang dan kami katakan bahwa kelebihan itu bukan milik pemilik barang. Maka jika kelebihan itu milikmu, ambillah. Jika bukan milikmu, maka kami anggap itu sebagai harta yang berada di tanganmu yang tidak ada pengklaimnya. Dan kami katakan: bersikap wara‘ (berhati-hati) adalah jangan memakan sesuatu yang bukan milikmu. Jika pemilik barang mengklaim kelebihan itu dan kamu membenarkannya, maka kelebihan itu milik pemilik barang, dan ia wajib membayar ongkos pengangkutan sepadan dengan kelebihan itu.

Jika engkau yang menakar makanan atas perintah pemilik makanan dan tidak ada orang kepercayaannya bersamamu, maka kami katakan kepada pemilik makanan: “Engkau mengakui bahwa kelebihan ini adalah milik pengangkut.” Maka jika pengangkut mengklaimnya, maka kelebihan itu miliknya, dan ia wajib membayar ongkos sesuai dengan takaran yang disewakan, dan wajib bersumpah bahwa ia rela kelebihan itu diangkutkan untuknya.

Kemudian, si pengangkut berkewajiban memberimu gandum seperti milikmu di negeri asal pengangkutan, karena ia telah melampaui batas, kecuali jika engkau rela menerimanya di tempat engkau berada, maka tidak boleh ada yang menghalangi antara engkau dan barang milikmu, dan tidak ada ongkos tambahan karena pelanggaran itu.

Jika engkau berkata: “Aku rela barang itu diangkutkan untukku sebanyak takaran tertentu dengan ongkos tertentu, dan apa yang lebih dari itu aku bayar sesuai takarannya,” maka ongkos dalam takaran asal adalah sah, dan untuk kelebihannya tidak sah. Makanan itu milikmu dan dia berhak atas ongkos sepadan untuk seluruh barang.

Jika terjadi kekurangan yang tidak lazim terjadi, maka hukumnya seperti pada masalah pertama. Siapa yang berpendapat bahwa pengangkut harus menanggung, maka ia wajib menanggung kekurangan dari takaran dan tidak gugur darinya sedikit pun. Dan siapa yang berpendapat bahwa ia tidak menanggung, maka ia tidak wajib menanggung dan dikurangi dari ongkos sepadan dengan kekurangan tersebut. Wallāhu a‘lam.

[Bab Kesalahan Dokter dan Imam dalam Pendisiplinan]

Al-Rabi‘ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, ia berkata: Aku berkata kepada Al-Syafi‘i – raḥimahullāh –: Apa pendapatmu tentang seorang lelaki yang memukul istrinya yang nusyūz lalu ia meninggal karena pukulan itu? Atau imam memukul seseorang untuk mendidik atau menegakkan ḥadd lalu ia mati? Atau tukang khitan yang sedang mengkhitan lalu orang itu mati? Atau seseorang menyuruh orang lain memotong sebagian tubuhnya lalu ia mati? Atau guru yang mendidik anak kecil, dan seorang lelaki yang mendidik anak yatim lalu anak itu mati, dan semisal dengan itu?

Al-Syafi‘i berkata: Pokok persoalan ini terbagi menjadi dua keadaan: dalam salah satunya wajib membayar diyat (ʿaql), dan dalam yang lainnya tidak.

Adapun yang tidak diwajibkan diyat ialah hal-hal yang tidak halal dilakukan oleh imam kecuali atas siapa yang memang layak menerima hukuman tersebut. Maka jika orang yang dihukum itu mati karenanya, maka tidak ada kewajiban atas yang menghukumnya dan pelaksana hukuman mendapat pahala, seperti seseorang yang berzina dan belum menikah, lalu ia dicambuk, atau mencuri barang yang menyebabkan hukum potong tangan lalu ia dipotong, atau melukai orang lain lalu dibalas secara qishāṣ, atau menuduh orang lain berzina lalu ia dicambuk karena qazaf. Maka semua yang termasuk dalam jenis ḥadd yang ditetapkan oleh Allah dalam Kitab-Nya atau melalui sunnah Rasul-Nya ﷺ, jika seseorang mati karenanya, maka hak yang membunuhnya dan tidak ada diyat atau kaffārah atas imam.

Adapun jenis kedua yang menggugurkan kewajiban diyat adalah jika seseorang memerintahkan dokter untuk membedah lukanya, atau memotong anggota tubuh karena khawatir penyakit menyebar, atau membuka pembuluh darah, atau memerintahkan tukang bekam untuk membekamnya, atau tukang kauter untuk membakarnya, atau ayah anak atau tuan budak menyuruh tukang khitan mengkhitan lalu orang itu mati karena itu, dan pelaksana perintah tidak melampaui batas dari apa yang diperintahkan, maka tidak ada diyat dan tidak ada tanggungan atasnya jika niatnya baik, insya Allah. Karena dokter dan tukang bekam melakukannya untuk kebaikan, atas perintah dari orang yang bersangkutan atau walinya (ayah atau tuan), yang boleh bertindak atas nama mereka sebagaimana jika mereka sudah baligh.

Adapun jika penguasa menghukum seseorang dalam hal yang bukan merupakan ḥadd yang wajib karena Allah, lalu orang yang dihukum mati, maka atas penguasa wajib membayar diyat dan kaffārah.

Lalu terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang wajib membayar diyat dari pihak penguasa. Pendapat yang aku pilih, dan yang aku dengar dari para ulama yang aku percayai, adalah bahwa diyat ditanggung oleh ʿāqilah (kerabat laki-laki) penguasa. Sementara sebagian ulama dari wilayah timur berpendapat: diyat dari baitul māl, karena penguasa menghukum demi kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka diyat menjadi tanggungan mereka dari harta mereka.

Demikian pula seorang lelaki yang menghukum istrinya lalu ia meninggal, maka diyat ditanggung oleh ʿāqilah-nya. Dan demikian pula semua perkara yang tidak diwajibkan atas penguasa untuk ditegakkan karena Allah Taʿālā, baik ḥadd maupun qatl, dan tidak dilakukan atas dasar izin dari orang yang bersangkutan demi kemanfaatan baginya, lalu ia mengalami kematian karena tindakan dari penguasa atau orang lain, maka kewajiban diyat tidak gugur.

Jika ada yang bertanya: Mengapa engkau menetapkan bahwa penguasa boleh menghukum dan boleh menegakkan ḥadd, tetapi engkau menggugurkan diyat atas orang yang mati karena ḥadd dan menetapkannya atas yang mati karena hukuman (taʾdīb)?

Maka kami jawab: Karena ḥadd adalah kewajiban atas penguasa untuk ditegakkan, dan jika ia meninggalkannya, maka ia berdosa karena melalaikannya. Sedangkan taʾdīb (hukuman mendidik) adalah perkara yang hanya dibolehkan berdasarkan ijtihad, dan boleh ditinggalkan, dan pelakunya tidak berdosa jika meninggalkannya.

Bukankah engkau melihat bahwa Rasulullah ﷺ mengetahui ada sebagian orang yang melakukan ghulūl (penggelapan harta rampasan perang), tetapi beliau tidak menghukum mereka? Dan jika hukuman itu wajib seperti ḥadd, niscaya beliau tidak akan membiarkannya. Sebagaimana sabda beliau ﷺ ketika ada perempuan bangsawan mencuri, lalu ada yang meminta syafaat: “Seandainya Fāṭimah binti Muḥammad mencuri, pasti aku potong tangannya.”

Allah Taʿālā juga berfirman:

{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ} [An-Nisā’: 92]

Yang diketahui secara umum bahwa kesalahan itu adalah seseorang melempar sesuatu lalu mengenai orang lain, namun bisa juga memiliki makna lain.

(Al-Syāfi‘ī berkata): Aku tidak mengetahui ada seorang pun dari kalangan ahli ilmu yang berselisih bahwa seseorang boleh memanah binatang buruan atau sasaran latihan. Jika ia memanah salah satunya dan tidak melihat ada manusia atau kambing milik orang lain, lalu panah itu mengenai seseorang atau kambing milik orang lain, maka ia wajib membayar diyat jika manusia itu meninggal, atau membayar harga kambing jika kambing itu mati. Aku dapati bahwa hukum mereka membolehkan panah itu jika dilakukan dengan niat tidak membinasakan seorang Muslim atau harta milik Muslim. Aku dapati pula bahwa ia boleh meninggalkan aktivitas memanah itu, sebagaimana imam boleh meninggalkan pemberian hukuman.

Hal yang dilakukan oleh imam namun ia boleh meninggalkannya, serupa dengan memanah yang dilakukan seseorang dan hukumnya mubah, namun jika dari panah itu terjadi kerusakan, maka sang pemanah menanggungnya. Hal ini lebih serupa dengan memanah daripada dengan hudud (hukuman syar‘i) yang diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk ditegakkan. Bahkan, hukuman lebih layak untuk ditanggung jika menimbulkan kematian dibandingkan panah, sebab tidak ada yang berbeda pendapat bahwa memanah itu mubah, sedangkan dalam hal hukuman masih ada perbedaan pendapat; sebagian orang membenci hukuman, sebagian membatasi kadar hukuman, dan sebagian lainnya melarang menambahnya.

Dalam makna yang sama dengan pemanah adalah seseorang yang mendidik istrinya (dengan memukul), karena dia memiliki pilihan untuk tidak melakukannya, dan tidak melakukannya lebih baik baginya, karena Nabi ﷺ bersabda setelah memberi izin untuk memukul: “Orang terbaik di antara kalian tidak akan memukul.” Maka orang yang memukul lebih layak menanggung (jika terjadi kematian), karena ia dengan sengaja memukul yang menyebabkan kematian, berbeda dengan pemanah yang sama sekali tidak bermaksud mengenai sasaran yang terkena.

(Al-Syāfi‘ī berkata): Jika ada yang bertanya: Apakah ada makna lain selain ini? Maka ini sudah cukup. Dan telah diriwayatkan bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: “Tidak ada seorang pun yang mati karena hudud yang membuatku merasa bersalah, karena kebenaranlah yang membunuhnya, kecuali orang yang dihukum karena minum khamr. Itu adalah sesuatu yang kami adakan setelah Nabi ﷺ, maka jika ia mati karena itu, diyatnya wajib — aku tidak tahu apakah dari baitul mal atau dari orang yang menjatuhkan hukuman itu.” Al-Syāfi‘ī ragu dalam hal ini.

(Al-Syāfi‘ī berkata): Telah sampai kepada kami bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – pernah mengutus seseorang kepada seorang perempuan karena mendengar sesuatu tentangnya, maka perempuan itu terkejut dan ketakutan hingga keguguran. Maka ‘Umar meminta pendapat tentang kegugurannya itu, dan ‘Alī – raḍiyallāhu ‘anhu – mengatakan suatu ucapan yang aku tidak hafal, tetapi aku tahu maksudnya adalah bahwa atasnya (Umar) ada diyat. Maka ‘Umar memerintahkan ‘Alī untuk menanggungnya dari keluarganya.

Padahal ‘Umar berhak mengutus utusan, dan imam juga berhak menjatuhkan hukuman karena minum khamr menurut kebanyakan ulama. Maka ketika pengutusan tersebut menyebabkan kerusakan terhadap perempuan yang dikirimi atau kandungannya, lalu ‘Alī dan ‘Umar sepakat bahwa atasnya ada diyat, ini seperti yang telah kami jelaskan: bahwa seseorang berhak memanah dengan syarat tidak mengenai siapa pun, dan jika ternyata mengenai seseorang, maka ia wajib menanggungnya. Maka mereka – wallāhu a‘lam – berpendapat bahwa walaupun ia memiliki hak untuk mengirim utusan, namun ia tetap wajib memastikan bahwa tidak ada yang binasa karena itu. Maka jika terjadi kebinasaan, ia menanggungnya, dan dosa diangkat darinya.

[Bab Unta yang Menyerang (al-Jamal aṣ-Ṣa’ūl)]

Al-Rabi‘ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syafi‘i berkata: Muhammad bin al-Hasan meriwayatkan bahwa penduduk Madinah berpendapat, “Jika seekor unta menyerang seseorang, lalu orang itu menghadirkan bukti bahwa unta itu benar-benar menyerangnya dan ia memukulnya saat penyerangan hingga membunuh atau melukainya, maka tidak ada tanggungan atasnya. Namun jika tidak ada bukti selain pengakuannya sendiri, maka ia wajib menanggung.” Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat, “Ia tetap menanggung dalam kedua kondisi tersebut, karena tidak ada tindakan dari hewan yang membuat darahnya halal atau membolehkan melukainya.”

Muhammad bin al-Hasan dan yang lainnya yang sependapat dengannya berkata satu pendapat yang telah aku kumpulkan dan aku sampaikan menurut apa yang aku ingat darinya, baik dari ucapan salah satunya atau keduanya. Ketika ia bertanya, “Apa pendapatmu tentang hal yang diperselisihkan ini?” Aku menjawab, “Aku berpendapat sebagaimana yang diriwayatkan dari para sahabat kami.” Ia bertanya, “Apa hujjahmu?” Aku berkata, “Sesungguhnya Allah عز وجل mengharamkan darah kaum Muslimin kecuali dengan hak, dan kaum Muslimin yang aku ketahui dari kalangan ahli ilmu tidak berselisih bahwa jika seorang Muslim hendak menyerangku di tempat di mana tidak ada pintu untuk aku tutup, dan aku tidak memiliki kekuatan untuk menahannya serta tidak ada jalan untuk melarikan diri, sedangkan satu-satunya cara untuk melindungi diriku dari serangannya adalah dengan memukulnya menggunakan senjata yang aku miliki seperti pedang atau lainnya, maka aku boleh memukulnya untuk mencegah kehormatanku yang Allah haramkan untuk dilanggar. Jika pukulan itu menyebabkan kematiannya, maka tidak ada diyat atas diriku, tidak pula qishāṣ, dan tidak pula kaffārah, karena aku melakukan tindakan yang dibolehkan bagiku. Maka jika hal ini berlaku pada seorang Muslim, maka unta itu tentu lebih rendah kehormatannya dan lebih kecil nilainya, dan lebih layak untuk dibolehkan hal yang semisal ini terhadapnya.”

Ia berkata, “Unta tidak dibunuh jika membunuh, sedangkan seorang Muslim dibunuh jika ia membunuh.” Aku menjawab, “Aku tidak menyalahi pendapatmu dalam hal ini. Namun, apa yang kau anggap keduanya sama?” Aku menggabungkan antara keduanya di titik kesamaan, dan membedakan keduanya di tempat perbedaan. Aku berkata bahwa seorang Muslim dalam keadaan seperti yang aku jelaskan, ketika ia berniat melakukan serangan, maka aku tidak membunuhnya kecuali karena adanya serangan itu. Kalau bukan karena serangan, tentu darahnya tidak halal bagiku.”

Aku bertanya, “Apakah niat saja sudah dianggap sebagai tindakan penyerangan (jināyah)?” Ia menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Apa pendapatmu jika seseorang berniat menyerangku tetapi dihalangi oleh sungai, parit, kakinya patah, atau tangannya patah, atau ia ditahan seseorang sehingga ia tidak bisa menyentuhku dengan tangan atau senjata? Apakah halal bagiku untuk membunuhnya?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku bertanya, “Jika ia dalam posisi bisa menjangkauku lalu aku berhasil merebut senjatanya hingga ia tidak lagi mampu menyerangku, apakah halal bagiku untuk membunuhnya?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku bertanya, “Jika aku melukainya sehingga ia tidak mampu membunuhku, sedangkan ia masih berniat menyerang, apakah halal bagiku membunuhnya?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku bertanya, “Jika ia hanya berniat menyerangku dan tidak membawa alat untuk membunuh, apakah halal bagiku membunuhnya?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Kudengar engkau menyebutkan berbagai keadaan di mana darahnya tetap haram. Maka jika engkau membolehkan membunuhnya hanya karena niat, seharusnya engkau juga membolehkannya dalam semua keadaan tersebut.”

Ia bertanya, “Lalu dengan apa engkau membolehkan darahnya?” Aku menjawab, “Aku membolehkan darahnya hanya karena menjaga kehormatanku yang Allah haramkan untuk dilanggar. Maka ketika aku tidak memiliki jalan lain untuk menjaga kehormatanku selain memukulnya, maka aku memukulnya. Jika dalam proses pencegahan itu ia terbunuh, maka ia telah membinasakan dirinya sendiri. Tapi jika tidak sampai binasa, maka aku tidak halal membunuhnya setelah aku merasa aman darinya.”

Demikian pula dalam berbagai kondisi yang telah aku jelaskan sebelum aku memukulnya. Seandainya aku sudah dapat menahannya tanpa memukul, maka tidak halal bagiku untuk memukulnya. Demikian pula unta: jika aku tidak bisa mencegahnya kecuali dengan cara yang sama seperti aku mencegah seorang Muslim — yaitu dengan memukulnya — maka aku memukulnya, dan jika pukulan itu menyebabkan kematiannya, tidak ada tanggungan atasku. Namun jika ia sudah dalam keadaan tidak membahayakan diriku, maka tidak halal bagiku memukulnya. Dan jika aku memukulnya lalu ia mati, maka aku wajib membayar ganti rugi. Maka aku tidak menghalalkan membunuhnya hanya karena jināyah (penyerangan), karena jināyah adalah perbuatan, bukan sekadar niat. Namun aku membolehkannya untuk melindungi kehormatanku. Hal yang sama berlaku untuk orang gila dan anak kecil. Wallāhu a‘lam.

(Al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata): Jika seseorang mengakui bahwa seekor hewan miliknya sedang berada di tangan orang lain, lalu orang yang menguasai hewan itu mengingkari atau tidak mengingkari tetapi tidak mengakui, maka orang yang mengaku (sebagai pemilik) diminta menghadirkan bukti. Jika ia membawa bukti bahwa itu adalah hewannya dan para saksi mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya penjualan atau hibah, atau mereka berkata, “Ia tidak menjual dan tidak menghadiahkan,” maka kesaksian mereka tidak ditolak karena itu, karena yang dituntut adalah pengetahuan. Maka pemegang hewan itu diminta bersumpah dengan nama Allah bahwa hewan itu tidak pernah keluar dari miliknya dengan cara apa pun, kemudian dikembalikan kepadanya.

Jika seseorang memberikan barang seperti budak sebagai pembayaran di muka untuk makanan, pakaian, barang, dinar, dirham, atau lainnya, lalu ternyata barang yang diberikan sebagai pembayaran itu adalah milik orang lain (dikuasai secara tidak sah), maka transaksi batal. Karena barang yang diberikan adalah barang tertentu, dan penjualannya berarti menjual sesuatu yang tidak ia miliki. Ini berlaku pada transaksi barang-barang tertentu: siapa yang menjual suatu barang atau membeli dengan barang tertentu, maka transaksi itu adalah transaksi atas barang itu. Jika ternyata barang itu milik orang lain, maka jual belinya batal.

Namun jika transaksi dilakukan berdasarkan deskripsi barang (bukan barang tertentu) yang dijamin, lalu pembeli menerima barang dan ternyata barang itu milik orang lain, maka transaksi tidak batal. Karena akad jual beli tidak tertuju pada barang itu secara khusus, tetapi pada deskripsi tertentu yang menjadi tanggungan penjual seperti utang. Ia tidak bebas dari tanggungan itu kecuali dengan menyerahkan barang yang sesuai deskripsi. Maka setiap kali barang yang sesuai deskripsi itu disita oleh pihak ketiga, penjual tetap bertanggung jawab hingga menyerahkan penggantinya.

Jika seseorang menukar dinar tertentu dengan dirham tertentu, lalu salah satu dari keduanya ternyata milik orang lain, maka transaksi batal, dan tidak ada perbedaan antara dinar, dirham, dan lainnya.

(Al-Rabi‘ berkata): Siapa yang membeli barang tertentu dengan barang tertentu, lalu salah satu dari keduanya disita oleh pemilik aslinya, maka seluruh transaksi batal. Karena satu akad mencampurkan antara halal dan haram, maka semuanya batal. Dan ini adalah pendapat Al-Syafi‘i.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang membeli seorang budak perempuan dari pasar, atau bukan dari pasar, lalu ia menghamilinya karena menyangka ia merdeka, atau menikahinya karena ia mengira budak itu merdeka, lalu budak itu melahirkan anaknya dan kemudian datang tuannya yang asli menuntutnya, maka ia wajib membayar mahar sepadan kepada tuannya dan juga nilai anak-anak yang lahir darinya sejak hari kelahiran mereka, karena saat itulah mereka mulai memiliki status hukum di dunia. Pemiliknya berhak mengambil budak itu sebagai budaknya, sementara anak-anaknya merdeka karena penipuan.

Jika budak itu mengakui bahwa ia budak dan dinikahi atas dasar itu, maka anaknya adalah budak. Jika dua budak perempuan menjadi milik dua orang, lalu keduanya membagi dan salah satu budak menjadi milik salah seorang dari mereka dan kemudian mengandung anak darinya, lalu orang lain menuntut kepemilikan budak itu, maka orang itu berhak mengambilnya, menuntut mahar sepadan dan nilai anaknya. Anak-anak itu tetap merdeka, dan pembagian sebelumnya batal dan budak itu kembali menjadi milik bersama.

Jika seseorang membeli seorang budak perempuan lalu ia meninggal dalam penguasaannya, maka kematian itu dianggap sebagai kehilangan. Jika kemudian datang orang yang menuntut hak milik atas budak tersebut, maka ia boleh menuntut nilai budak itu kepada orang yang membelinya. Dan orang yang budaknya meninggal itu boleh menuntut harga dari penjual. Jika budak itu telah melahirkan anak, maka anak-anaknya merdeka dan pembelinya wajib membayar nilai mereka sejak kelahiran.

Jika kasus tetap seperti itu dan budak tidak mati, tetapi ia bertambah nilainya di tangan pembeli, atau berkurang karena cedera dari pembeli, orang lain, atau karena bencana dari langit, maka ia dikembalikan dalam bentuk aslinya. Ini tidak disebut sebagai kehilangan, tetapi disebut sebagai kelebihan atau kekurangan. Ia dikembalikan sebagaimana adanya: jika bertambah, maka tidak ada hak bagi pembeli atas tambahan tersebut; jika berkurang, maka ia wajib menanggung kekurangannya kecuali jika ia telah menerima ganti rugi lebih dari kekurangannya, maka ia harus mengembalikan kelebihannya dan tetap menanggung sisa kekurangannya. Kekurangan akibat tindakan orang lain menjadi tanggung jawab pembeli karena budak itu adalah milik orang lain. Adapun perubahan harga di pasar bukan termasuk bagian dari tubuh, karena mungkin saja budak yang digadaikan awalnya seharga 100 karena harga pasar sedang tinggi, lalu ia bertambah gemuk namun pasar menurun, sehingga harganya menjadi 50. Apakah bisa dikatakan kepada orang yang memeliharanya hingga kini budaknya dua kali lebih baik dari saat pertama diambil bahwa ia harus membayar setengah nilainya karena harga pasar turun? Ini tidak benar. Ia hanya wajib menanggung kekurangan pada tubuh, karena itu adalah kerusakan pada zat barang yang digadaikan. Adapun penurunan harga pasar bukanlah karena kesalahannya atau akibat perbuatannya.

Jika seseorang menjual tanah kepada orang lain, lalu pembeli membangun atau menanami pohon di atasnya, lalu orang lain menuntut separuh tanah itu dan pembeli memilih untuk tetap memiliki separuhnya dengan membayar separuh harga, maka tanah itu dibagi, dan bagian yang menjadi milik penuntut dibersihkan dari bangunan dan pohon. Pembeli wajib mencabutnya dan mengangkutnya, dan ia boleh menuntut penjual atas kerugian dari bangunan dan pohon serta atas separuh harga. Demikian pula jika tanah itu dimiliki bersama oleh dua orang, maka keduanya harus membaginya.

(Al-Rabi‘ berkata): Pendapat terakhir Al-Syafi‘i adalah bahwa jika sebagian dari barang yang dibeli ternyata milik orang lain, maka seluruh jual beli batal, karena akadnya mencampur antara yang halal dan yang haram, sehingga semuanya batal.

(Al-Rabi‘ berkata): Pemilik tanah mengambil tanahnya, dan orang yang membangun atau menanam pohon mencabutnya, dan menuntut penjual atas kerugian yang ditanggungnya, karena penjual telah menipunya, maka ia berhak mengambil darinya apa yang ia rugi.

[Bab Minuman (al-Asyribah)]

Al-Rabi‘ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syafi‘i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyaynah mengabarkan kepada kami dari al-Zuhri dari Abu Salamah bin ‘Abd al-Raḥmān dari ‘Ā’isyah – raḍiyallāhu ‘anhā – bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap minuman yang memabukkan adalah haram.”

Dan Malik mengabarkan kepada kami dari Ibn Syihab dari Abu Salamah dari ‘Ā’isyah – raḍiyallāhu ‘anhā – bahwa ia berkata: “Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang al-bita‘, maka beliau menjawab: ‘Setiap minuman yang memabukkan adalah haram.’”

Dan Malik mengabarkan kepada kami dari Zayd bin Aslam dari ‘Aṭā’ bin Yasār bahwa Rasulullah ﷺ ditanya tentang al-ghubayrā’, lalu beliau bersabda: “Tidak ada kebaikan di dalamnya,” dan beliau melarangnya. Malik berkata dari Zayd bin Aslam: Al-ghubayrā’ adalah as-sukkarakah (minuman memabukkan).

Malik mengabarkan kepada kami dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa minum khamr di dunia, lalu tidak bertaubat darinya, maka ia diharamkan darinya di akhirat.”

Malik mengabarkan kepada kami dari Isḥāq bin ‘Abd Allah bin Abī Ṭalḥah dari Anas – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: Aku memberi minum Abu Ṭalḥah al-Anṣārī, Ubay bin Ka‘b, dan Abu ‘Ubaydah bin al-Jarrāḥ dengan minuman dari faḍīkh (perasan kurma) dan kurma, lalu datang seseorang kepada mereka dan berkata: “Sesungguhnya khamr telah diharamkan.” Maka Abu Ṭalḥah berkata: “Wahai Anas, berdirilah dan pecahkan semua bejana itu.” Maka Anas berkata: Aku pun berdiri dan mengambil lesung dan menghancurkannya dengan bagian bawahnya hingga semua pecah.

Sufyān bin ‘Uyaynah mengabarkan kepada kami dari Muḥammad bin Isḥāq dari Ma‘bad bin Ka‘b bin Mālik dari ibunya – yang telah shalat ke dua kiblat – bahwa Rasulullah ﷺ melarang mencampur dua jenis bahan dalam pembuatan minuman, dan bersabda: “Campurkan masing-masing secara terpisah.”

Sufyān mengabarkan kepada kami dari Abī Isḥāq dari Ibn Abī Awfā bahwa Rasulullah ﷺ melarang nabīdh dalam jar berwarna hijau, putih, dan merah.

Sufyān mengabarkan kepada kami dari Sulaymān al-Aḥwal dari Mujāhid dari ‘Abd Allah bin ‘Amr bin al-‘Āṣ berkata: “Ketika Rasulullah ﷺ melarang penggunaan wadah tertentu, dikatakan kepada beliau: ‘Tidak semua orang memiliki siqā’ (wadah kulit),’ maka beliau memberi izin menggunakan jar kecuali yang dilapisi ter (zift).”

Sufyān mengabarkan kepada kami dari al-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurayrah – raḍiyallāhu ‘anhu – bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan membuat nabīdh dalam ad-dubbā’ dan al-muzaffat.” Abu Hurayrah menambahkan: “Dan jauhilah al-ḥanātim dan an-naqīr.”

Sufyān berkata: Aku mendengar al-Zuhri berkata: Aku mendengar Anas berkata: Rasulullah ﷺ melarang membuat nabīdh dalam ad-dubbā’ dan al-muzaffat.

Sufyān mengabarkan kepada kami dari Ibn Ṭāwūs dari ayahnya, bahwa Abu Tamīm al-Jayshānī bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang al-bita‘, maka beliau bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram.”

Sufyān bin ‘Uyaynah mengabarkan kepada kami dari Abī al-Zubayr dari Jābir bahwa Nabi ﷺ membuat nabīdh untuk dirinya dalam wadah kulit, jika tidak ada maka dari batu.

Malik mengabarkan kepada kami dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah ﷺ berkhutbah kepada orang-orang di salah satu peperangan, dan Ibn ‘Umar berkata: Aku mendatanginya, tetapi beliau telah selesai. Maka aku bertanya: “Apa yang beliau katakan?” Mereka menjawab: “Beliau melarang kita membuat nabīdh dalam ad-dubbā’ dan al-muzaffat.”

Malik mengabarkan kepada kami dari al-‘Alā’ bin ‘Abd al-Raḥmān dari ayahnya dari Abu Hurayrah bahwa Rasulullah ﷺ melarang membuat nabīdh dalam ad-dubbā’ dan al-muzaffat.

Malik mengabarkan kepada kami dari Zayd bin Aslam dari ‘Aṭā’ bin Yasār bahwa Rasulullah ﷺ melarang mencampur kurma kering dengan kurma mentah, dan mencampur kurma dengan az-zuhw (kurma setengah matang).

Malik mengabarkan kepada kami dari Ibn Wa‘lah al-Miṣrī bahwa ia bertanya kepada Ibn ‘Abbās tentang perasan anggur, maka Ibn ‘Abbās berkata: “Seseorang menghadiahkan kepada Rasulullah ﷺ satu wadah besar berisi khamr, lalu beliau bersabda: ‘Apakah engkau tidak tahu bahwa Allah telah mengharamkannya?’” Orang itu menjawab: “Tidak.” Lalu ia membisikkan sesuatu kepada orang di sebelahnya. Beliau bertanya: “Apa yang kau bisikkan kepadanya?” Ia menjawab: “Aku menyuruhnya menjualnya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya yang mengharamkan meminumnya juga mengharamkan menjualnya.” Maka beliau membuka wadah itu dan menumpahkan isinya.

Sufyān mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dīnār dari Ṭāwūs dari Ibn ‘Abbās bahwa sampai kepada ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – bahwa seseorang menjual khamr, maka beliau berkata: “Semoga Allah membinasakan si fulan! Ia menjual khamr. Apakah ia tidak tahu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Diharamkan atas mereka lemak, lalu mereka melelehkannya dan menjualnya.’”

Sufyān mengabarkan kepada kami dari Abī al-Juwayriyah al-Jurmi bahwa ia berkata: “Aku adalah orang Arab pertama yang bertanya kepada Ibn ‘Abbās, saat itu beliau bersandar di Ka‘bah. Aku bertanya tentang al-bādhīq, maka ia menjawab: ‘Nabi Muhammad ﷺ telah mendahului al-bādhīq, dan setiap yang memabukkan adalah haram.’”

Malik mengabarkan kepada kami dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa beberapa orang Irak berkata kepadanya: “Kami membeli buah kurma dan anggur lalu kami peras menjadi khamr dan kami jual.” Maka ‘Abd Allah berkata: “Aku bersaksi kepada Allah dan para malaikat-Nya serta siapa saja yang mendengar dari kalangan jin dan manusia bahwa aku tidak memerintahkan kalian untuk menjualnya, tidak pula membelinya, tidak memerasnya, dan tidak memberikannya kepada orang lain. Karena ia adalah najis dari perbuatan setan.”

Malik mengabarkan kepada kami dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa ia berkata: “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram.”

Malik mengabarkan kepada kami dari Dāwūd bin al-Ḥuṣayn dari Wāqid bin ‘Amr bin Sa‘d bin Mu‘ādh dan dari Salamah bin ‘Awf bin Salāmah; keduanya mengabarkan dari Maḥmūd bin Labīd al-Anṣārī bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – ketika datang ke Syam, penduduk Syam mengeluhkan penyakit dan beratnya tanah mereka. Mereka berkata: “Yang cocok bagi kami hanyalah minuman ini (yaitu minuman keras).” Maka ‘Umar berkata: “Minumlah madu.” Mereka berkata: “Madu tidak cocok bagi kami.” Maka beberapa orang dari penduduk berkata: “Maukah engkau jika kami buatkan untukmu dari minuman ini sesuatu yang tidak memabukkan?” Ia menjawab: “Ya.” Maka mereka memasaknya hingga dua pertiga menguap dan tinggal sepertiganya, lalu mereka membawanya kepada ‘Umar. Maka ‘Umar mencelupkan jarinya ke dalamnya lalu mengangkat jarinya, dan terlihat cairan itu kental. Maka ‘Umar berkata: “Ini ṭilā’, seperti pelumas unta.” Maka ‘Umar memerintahkan mereka untuk meminumnya. Lalu ‘Ubādah bin al-Ṣāmit berkata: “Sungguh engkau telah menghalalkannya.” Maka ‘Umar berkata: “Tidak, demi Allah! Ya Allah, aku tidak menghalalkan bagi mereka sesuatu yang Engkau haramkan atas mereka, dan tidak pula mengharamkan atas mereka sesuatu yang Engkau halalkan bagi mereka.”

Malik mengabarkan kepada kami dari Ibn Syihāb dari al-Sā’ib bin Yazīd bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – keluar kepada orang-orang dan berkata: “Aku mencium bau minuman dari si Fulan, dan ia mengaku bahwa ia meminum ṭilā’. Aku akan bertanya tentang minuman itu; jika ia memabukkan, aku akan mencambuknya.” Maka ‘Umar mencambuknya dengan jumlah cambukan hadd yang lengkap.

Muslim bin Khālid mengabarkan kepada kami dari Ibn Jurayj, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aṭā’: “Apakah orang dicambuk karena bau minuman?” Ia menjawab: “Bau itu bisa jadi dari minuman yang tidak bermasalah. Tetapi jika mereka berkumpul atas satu minuman, lalu salah seorang dari mereka mabuk, maka mereka semua dicambuk dengan hadd penuh.”

(Al-Syāfi‘ī berkata): Perkataan ‘Aṭā’ sama dengan pendapat ‘Umar, tidak bertentangan. Tidak diketahui adanya kemabukan dalam minuman kecuali setelah seseorang mabuk darinya, maka barulah diketahui bahwa minuman itu memabukkan, lalu hadd ditegakkan atas peminumnya, meskipun yang lain tidak mabuk, berdasarkan qiyās dengan khamr.

Sufyān mengabarkan kepada kami dari al-Zuhri dari al-Sā’ib bin Yazīd bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – keluar untuk menyalatkan jenazah, dan al-Sā’ib mendengarnya berkata: “Aku mencium bau minuman dari ‘Ubaydullah dan teman-temannya, dan aku akan bertanya tentang apa yang mereka minum. Jika memabukkan, aku akan mencambuk mereka.” Sufyān berkata: Ma‘mar mengabarkan kepadaku dari al-Zuhri dari al-Sā’ib bin Yazīd bahwa ia hadir saat ‘Umar mencambuk mereka.

Sufyān mengabarkan kepada kami dari al-Zuhri dari Qabīṣah bin Dhuaib bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika ia minum (khamr), maka cambuklah. Jika ia minum lagi, cambuklah. Jika ia minum lagi, cambuklah. Jika ia minum lagi, maka bunuhlah.” Al-Zuhri ragu apakah itu setelah yang ketiga atau keempat. Maka dibawalah seseorang yang telah minum, lalu beliau mencambuknya. Kemudian ia minum lagi, lalu dicambuk lagi. Kemudian ia minum lagi, lalu dicambuk lagi. Namun pembunuhan ditinggalkan, dan itu menjadi rukhsah (keringanan). Sufyān berkata: Al-Zuhri berkata kepada Manṣūr bin al-Mu‘tamir dan Mukhawwil: “Jadilah kalian duta bagi penduduk Irak dalam menyampaikan hadits ini.”

Sufyān mengabarkan kepada kami dari Ma‘mar dari al-Zuhri dari ‘Abd al-Raḥmān bin Azhar bahwa ia berkata: “Aku melihat Nabi ﷺ pada tahun Hunayn bertanya tentang perlengkapan Khālid bin al-Walīd, lalu aku berlari mencarinya hingga menemukannya. Kemudian dibawalah kepada Nabi ﷺ seseorang yang meminum (khamr), maka beliau bersabda: ‘Pukul dia.’ Maka mereka memukulnya dengan tangan, sandal, ujung baju, dan melemparkan debu ke arahnya. Kemudian Nabi ﷺ bersabda: ‘Cercalah dia.’ Maka mereka mencercanya, lalu beliau membiarkannya.”

Ketika masa Abū Bakr – raḍiyallāhu ‘anhu – ia bertanya kepada orang-orang yang hadir saat pemukulan tersebut, lalu mereka menilainya sebanyak empat puluh kali. Maka Abū Bakr menetapkan hadd khamr sebanyak empat puluh kali sepanjang hidupnya. Kemudian ‘Umar – raḍiyallāhu ‘anhu – saat orang-orang semakin banyak meminum khamr, ia berkonsultasi kepada ‘Alī – raḍiyallāhu ‘anhu – dan ia menetapkan hukuman delapan puluh kali cambukan.

Malik mengabarkan kepada kami dari Thawr bin Zayd al-Dīlī bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkonsultasi tentang orang yang meminum khamr, maka ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: “Menurut kami, cambuklah dia delapan puluh kali, karena jika ia minum, ia mabuk. Jika ia mabuk, ia mengigau. Jika ia mengigau, ia berdusta.” Maka ‘Umar mencambuk orang yang minum khamr delapan puluh kali.

(Al-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Telah sampai kepada kami dari al-Ḥusayn bin Abī al-Ḥasan bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: “Tidak ada seorang pun yang kami tegakkan atasnya ḥadd lalu ia mati, membuatku merasa berat, karena kebenaranlah yang membunuhnya. Kecuali ḥadd khamr, karena itu sesuatu yang kami tetapkan setelah Nabi . Maka barang siapa mati karena itu, maka atasnya diyat — entah beliau berkata: ‘dari Baitul Māl’ atau ‘atas imam’.”

Ibnu Abī Yaḥyā mengabarkan kepada kami dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: “Tidaklah seseorang dibawa kepadaku karena minum khamr atau nabīdh memabukkan, melainkan aku menegakkan ḥadd atasnya.”

Sufyān mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dīnār dari Abī Ja‘far Muḥammad bin ‘Alī bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib mencambuk al-Walīd dengan cambuk yang memiliki dua ujung.

Sufyān mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dīnār dari Abī Ja‘far bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: “Jika hari ini Qudāmah tidak dicambuk, maka tidak ada seorang pun yang akan dicambuk setelahnya.” Padahal Qudāmah adalah seorang Badri (ikut Perang Badar).

Aku (perawi) mendengar Al-Syāfi‘ī berdalil dalam pembahasan tentang minuman memabukkan. Ia berkata: “Apa pendapatmu jika sepuluh orang minum dan tidak ada yang mabuk? Jika ia berkata, ‘halal,’ maka dikatakan kepadanya: ‘Bagaimana jika mereka keluar lalu terkena angin dan mabuk?’ Jika ia berkata, ‘haram,’ maka dikatakan kepadanya: ‘Apakah ada sesuatu yang ketika masuk ke dalam tubuh hukumnya halal lalu menjadi haram karena angin?’”

Dan pendapat Al-Syāfi‘ī adalah: “Apa yang jika banyaknya memabukkan, maka sedikitnya juga haram.”

Malik mengabarkan kepada kami dari al-‘Alā’ dari ayahnya dari Abū Hurayrah bahwa Rasulullah ﷺ melarang membuat nabīdh dalam ad-dubbā’ dan al-muzaffat.

[Bab Walimah]

Al-Rabī‘ bin Sulaymān mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syāfi‘ī membacakannya kepada kami dari hafalannya, ia berkata: “Memenuhi undangan walimah adalah hak. Walimah yang dikenal adalah walimah pernikahan. Setiap undangan yang diadakan karena pernikahan, kelahiran, khitan, atau peristiwa gembira yang lain, lalu seseorang diundang padanya, maka nama walimah berlaku atasnya. Namun aku tidak memberi keringanan bagi siapa pun untuk meninggalkannya. Jika ia meninggalkannya, aku tidak menganggapnya berdosa, kecuali dalam walimah nikah.”

Jika ada yang berkata: “Apakah antara keduanya berbeda padahal keduanya dilakukan pada peristiwa gembira dan termasuk hak seorang Muslim untuk menyenangkan saudaranya?” Maka dijawab: “Ya, keduanya bisa disamakan dari sisi itu. Tapi keduanya berbeda karena aku tidak mengetahui bahwa Nabi ﷺ pernah meninggalkan walimah nikah dan aku tidak mengetahui bahwa beliau pernah berwalimah pada selainnya.”

Dan: “Nabi memerintahkan ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf untuk mengadakan walimah meskipun hanya dengan seekor kambing,” dan aku tidak mengetahui bahwa beliau memerintahkan demikian kepada selainnya — aku kira beliau tidak pernah memerintahkan itu kepada siapa pun selainnya — bahkan Nabi ﷺ sendiri berwalimah untuk Ṣafiyyah saat dalam safar hanya dengan campuran sya’ir dan kurma.

(Al-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Jika orang yang diundang sedang berpuasa, maka ia menghadiri undangan, mendoakan keberkahan, lalu berpamitan dan pergi. Kami tidak mewajibkan ia untuk makan, tetapi aku lebih menyukai jika ia membatalkan puasanya jika puasanya tidak wajib — kecuali jika ia telah meminta izin sebelumnya kepada pemilik walimah untuk tetap berpuasa.

(Al-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): ‘Abd al-Wahhāb mengabarkan kepada kami dari Ayyūb dari Ibn Sīrīn bahwa ayahnya pernah mengundang sekelompok sahabat Nabi ﷺ, di antara mereka ada Ubay bin Ka‘b, dan ia mendatangi mereka, memberi doa keberkahan, lalu pergi.

(Al-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Sufyān bin ‘Uyaynah mengabarkan kepada kami, ia mendengar ‘Abd Allah bin Abī Yazīd berkata: Ayahku mengundang ‘Abd Allah bin ‘Umar, lalu ia datang dan duduk. Ketika makanan disajikan, ‘Abd Allah bin ‘Umar mengulurkan tangannya dan berkata, “Ambillah, bismillāh,” lalu ia menarik tangannya dan berkata, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”

(Al-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibn Jurayj — (Al-Syāfi‘ī berkata): Aku tidak tahu dari ‘Aṭā’ atau selainnya — ia berkata: “Utusan Ibn Ṣafwān datang kepada Ibn ‘Abbās ketika ia sedang menguras air zamzam untuk mengundangnya. Maka ia memerintahkan orang-orangnya untuk berdiri, namun ia sendiri meminta izin untuk tidak hadir. Dan ia berkata: ‘Jika dia tidak memberiku izin, aku akan datang kepadanya.’”

(Al-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Jika seseorang mampu untuk memenuhi undangan walimah tanpa ada uzur, maka tidak boleh ia meninggalkannya hanya karena keramaian atau sedikit orang. Aku tidak mengetahui bahwa keramaian dapat menggugurkan kewajiban. Dan siapa yang wajib memenuhi undangan adalah orang yang dituju langsung oleh pemilik walimah dengan undangannya.

Adapun jika ada orang yang berkata kepadanya: “Pemilik walimah memerintahkanku untuk mengundang siapa saja yang aku lihat,” dan engkau termasuk yang ia lihat layak untuk diundang, maka engkau tidak wajib datang, karena pemilik walimah tidak secara langsung menujukan undangan kepadamu. Akan tetapi aku lebih menyukai jika ia tetap datang.

Adapun orang yang tidak diundang lalu datang dan ikut makan, maka tidak halal baginya makan tersebut kecuali jika pemilik walimah menghalalkannya untuknya.

[Jika seseorang diundang ke walimah yang di dalamnya terdapat kemaksiatan]

Jika seseorang diundang ke walimah dan di dalamnya terdapat kemaksiatan seperti minuman memabukkan atau khamr atau bentuk kemaksiatan lain yang tampak jelas, maka ia harus melarang mereka. Jika mereka menyingkirkan kemaksiatan itu, maka ia boleh duduk. Namun jika tidak, maka aku tidak menyukai ia duduk di sana. Dan jika ia sudah tahu sebelumnya bahwa akan ada kemaksiatan di sana, maka aku tidak menyukai ia menjawab undangan itu dan tidak memasuki tempat yang terdapat maksiat.

Jika ia melihat gambar-gambar makhluk bernyawa di tempat undangan, maka ia tidak boleh masuk ke rumah yang terdapat gambar-gambar itu jika gambar-gambar itu dipajang dan tidak diinjak. Namun jika gambar itu berada di tempat yang diinjak (seperti karpet), maka tidak mengapa ia masuk. Jika gambar itu bukan makhluk bernyawa, seperti gambar pohon, maka tidak mengapa. Larangan hanya berlaku pada gambar makhluk bernyawa yang merupakan ciptaan Allah.

Jika gambar-gambar itu berada di tirai yang menutupi rumah, maka tidak mengapa masuk rumah tersebut. Tidak ada sesuatu yang aku benci dari tirai itu selain pemborosan. Aku menyukai jika seseorang diundang ke makan, maka ia menjawab undangan itu.

(Al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata): Telah sampai kepada kami bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Jika dihadiahkan kepadaku kaki kambing, aku menerimanya. Jika aku diundang ke hidangan dari bagian bawah kaki kambing, aku mendatanginya.”

(Al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Ishaq bin ‘Abd Allah bin Abī Ṭalḥah dari Anas bin Mālik bahwa Nabi ﷺ mendatangi Abu Ṭalḥah bersama sekelompok sahabatnya dan makan di rumahnya, dan itu bukan dalam walimah.

(Al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata): Istri Sa‘d bin al-Rabī‘ mengundang Nabi ﷺ bersama sekelompok sahabatnya, maka beliau datang dan makan di rumahnya.

(Al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata): Aku mengingat bahwa Nabi ﷺ pernah menghadiri undangan yang bukan dalam rangka walimah.

[Sedekah Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh]

Ini adalah dokumen yang ditulis oleh Muḥammad bin Idrīs bin al-‘Abbās al-Syāfi‘ī dalam keadaan sehat dan berwenang atas hartanya. Tertanggal pada bulan Ṣafar tahun 203 H. Bahwa Allah عز وجل telah menganugerahkan kepada Abū al-Ḥasan bin Muḥammad bin Idrīs sejumlah harta, maka Muḥammad bin Idrīs mengambil dari harta anaknya Abū al-Ḥasan bin Muḥammad sebanyak 400 dinar emas yang bagus dan sempurna beratnya, dan Muḥammad bin Idrīs menjamin kepada anaknya bahwa ia berutang sejumlah itu.

Muḥammad bin Idrīs juga menghadirkan saksi bahwa ia telah menyedekahkan kepada anaknya Abū al-Ḥasan tiga budak, yaitu:

  1. Budak muda berkulit kemerahan, kasim, bernama Ṣāliḥ.
  2. Budak Nubia, tukang roti, bernama Bilāl.
  3. Budak tukang pemutih pakaian bernama Sālim.
  4. Dan seorang budak perempuan berkulit putih bernama Fulānah.

Muḥammad bin Idrīs menyerahkan mereka kepada anaknya dari dirinya sendiri, maka mereka menjadi milik Abū al-Ḥasan dan keluar dari kepemilikan Muḥammad bin Idrīs.

Muḥammad bin Idrīs juga menyaksikan bahwa ia telah menyedekahkan kepada anaknya semua perhiasan miliknya, yaitu dua gelang tangan, dua gelang kaki, dan satu kalung, semuanya dari emas. Ia juga memberikan perhiasan yang serupa dari perak, lalu menyerahkannya kepada ibunya untuk menjaga dan menyimpannya untuk anaknya. Maka semua yang ia sedekahkan telah menjadi harta anaknya.

Muḥammad bin Idrīs juga menyaksikan bahwa ia telah menyedekahkan rumah tempat tinggalnya yang terletak di lereng Tsaniyyah Kudā di Mekah, di seberang rumah Munīrah, di sebelah kiri jalan keluar dari Mekah menuju lembah Muḥammad bin Idrīs. Rumah itu adalah salah satu dari dua rumah milik besar Muḥammad bin Idrīs. Salah satu rumah itu ia bangun di sebelah rumah yang dikenal dengan milik Jābir bin Muḥammad.

Batas rumah itu adalah:

  1. Sebelah pertama: lereng Kudā.
  2. Sebelah kedua: pelataran depan rumah besar Muḥammad bin Idrīs.
  3. Sebelah ketiga: jalan di lembah Muḥammad bin Idrīs.
  4. Sebelah keempat: jalan utama menuju Ḏū Ṭuwā.

Rumah kedua adalah bangunan dari batu di atas gunung, tempat penyimpanan kecil. Rumah ini dikenal sebagai milik Fulan bin ‘Abd al-Jabbār dan juga dikenal sebagai rumah ‘Amr al-Mu’adhdhin.

Muḥammad bin Idrīs menyedekahkan dua rumah tersebut, lengkap dengan hak, tanah, bangunan, jalan, dan semua yang berkaitan dengannya, kepada anaknya Abū al-Ḥasan sebagai sedekah muḥarramah (tidak boleh dijual dan diwariskan), hingga diwarisi oleh Allah, Pemilik langit dan bumi.

Abū al-Ḥasan berhak menikmati manfaat rumah tersebut selama hidupnya sebagaimana hak penerima wakaf. Tidak ada hak bagi siapa pun selain dirinya, sampai ibunya merdeka. Jika ibunya merdeka, maka ia mendapat bagian yang sama dengannya. Jika Abū al-Ḥasan wafat, maka dua rumah itu menjadi milik anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan selama mereka bersambung nasab kepada Abū al-Ḥasan. Ibu mereka tetap mendapat bagian seperti mereka sampai ia wafat.

Jika Abū al-Ḥasan dan anak-anaknya telah wafat, maka dua rumah itu menjadi milik ibunya sampai ia wafat. Jika ia wafat, maka menjadi milik Fāṭimah dan Zaynab, dua putri Muḥammad bin Idrīs, dan anak-anaknya (jika ada). Selama keturunan terus bersambung kepada Abū al-Ḥasan atau kepada Muḥammad bin Idrīs, baik melalui anak laki-laki maupun perempuan.

Jika mereka telah punah, maka dua rumah itu menjadi wakaf untuk keluarga al-Syāfi‘ī dari keturunan Shāfi‘ bin al-Sā’ib. Jika mereka punah juga, maka untuk Bani al-Muṭṭalib bin ‘Abd Manāf yang hadir di Mekah. Jika mereka punah juga, maka untuk kaum fakir, miskin, musafir, dan jamaah haji serta umrah.

Muḥammad bin Idrīs telah menyerahkan dua rumah ini kepada Aḥmad bin Muḥammad bin al-Walīd al-Azraqī untuk disampaikan kepada Abū al-Ḥasan dan orang-orang yang disebut dalam wasiat ini. Maka dua rumah itu telah keluar dari kepemilikan Muḥammad bin Idrīs dan menjadi milik sesuai isi kitab ini. Para saksi pun hadir untuk menyaksikan bahwa Abū al-Ḥasan adalah anak yang masih kecil dan bahwa ayahnya bertindak untuknya sebagai wali.

[Masalah-Masalah Tersebar]

[Tentang al-Baḥīrah, al-Waṣīlah, al-Sā’ibah, dan al-Ḥām]

(Al-Rabī‘ bin Sulaymān memberitakan kepada kami, ia berkata:)

(Al-Shāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Allah Ta‘ālā berfirman:

{Mā ja‘ala Allāhu min baḥīratin wa lā sā’ibatin wa lā waṣīlatin wa lā ḥāmin} (QS. al-Mā’idah: 103),

maka tidak dimungkinkan ayat ini bermakna kecuali bahwa Allah tidak menjadikan hal-hal itu sah sebagaimana yang mereka buat, dan ini merupakan pembatalan terhadap apa yang mereka jadikan (dari hewan-hewan itu) tanpa berdasarkan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

(Al-Shāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Mereka (orang-orang Arab) menjadikan al-baḥīrah, al-sā’ibah, al-waṣīlah, dan al-ḥām dengan makna yang tidak didasarkan kepada ilmu agama. Aku telah banyak mendengar dari berbagai kabilah Arab yang meriwayatkan tentang hal ini, dan riwayat mereka itu bersatu dalam suatu pemahaman yang mereka yakini berasal dari tradisi umum yang diturunkan turun-temurun dan tidak mereka ragukan, bahkan dianggap sebagai pengetahuan yang umum di tengah masyarakat.

Apa yang mereka riwayatkan secara bersama adalah bahwa al-baḥīrah adalah unta betina yang telah melahirkan beberapa kali, lalu pemiliknya membelah telinganya dan membebaskannya. Susunya diperah dan dituangkan di tanah lapang, namun mereka tidak memperbolehkan mengambil manfaat darinya. Sebagian mereka mengatakan, jika unta itu telah melahirkan lima kali, maka dijadikan baḥīrah. Ada juga yang mengatakan, hanya jika semua anaknya adalah betina.

Adapun al-sā’ibah adalah budak yang dimerdekakan oleh seseorang ketika terjadi suatu peristiwa seperti sembuh dari penyakit atau sebagai bentuk rasa syukur lainnya. Ia berkata kepada budaknya, “Aku memerdekakanmu sebagai sā’ibah,” maksudnya aku telah membebaskanmu dan tidak lagi berhak atasmu, baik atas tubuhmu maupun wala’ (loyalitas)mu. Maka, ia tidak lagi mendapat manfaat dari budaknya tersebut sebagaimana ia tidak berhak atas kepemilikannya.

Sebagian mengatakan bahwa al-sā’ibah juga bisa berarti unta yang dilepaskan oleh pemiliknya karena berhasil memenuhi suatu kebutuhan atau dengan sengaja dilepaskan tanpa sebab, dan tidak boleh ada orang yang menguasainya.

(Al-Shāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Aku melihat bahwa semua kebiasaan mereka ini dari sisi amal menyerupai pembebasan budak (taṭawwu‘).

Al-waṣīlah adalah kambing betina yang beranak berkali-kali. Jika ia melahirkan anak betina setelah kelahiran sebelumnya yang telah ditentukan, dikatakan: “Ia telah menyambung saudaranya.” Sebagian mengatakan, jika ia melahirkan lima kali, setiap kali sepasang anak betina, maka disebut waṣīlah, karena setiap kelahiran menyambung yang sebelumnya. Sebagian lagi mengatakan bisa juga dengan tiga, lima, atau tujuh kelahiran.

Adapun al-ḥām adalah jantan dari unta yang telah mengawini betina selama sepuluh tahun, maka dilepaskan dan dikatakan: “Telah diharamkan punggungnya,” artinya tidak boleh lagi dimanfaatkan untuk mengangkut beban. Sebagian mereka mengatakan jika dari keturunannya lahir sepuluh ekor, maka diharamkan punggungnya.

(Al-Shāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Orang-orang Arab yang berilmu lebih tahu tentang hal ini daripada sebagian ahli tafsir. Aku juga mendengar sebagian ahli tafsir yang menyebutkan makna sebagaimana yang aku dengar dari orang Arab.

Dalam riwayat mereka terdapat penjelasan bahwa mereka menjadikan hewan-hewan ini sebagai bentuk pelaksanaan nadzar atau amal tanpa nadzar, atau karena merasa memiliki kewajiban yang harus ditunaikan. Jika mereka melakukannya, mereka menganggap bahwa hewan itu telah keluar dari kepemilikan mereka, sebagaimana halnya harta yang diberikan kepada orang lain, dan mereka berharap memperoleh berkah dan kemuliaan dengan hal itu.

(Al-Shāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Perbuatan mereka ini mencakup hal-hal berikut: yaitu mengandung makna kebaikan dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah dalam aspek manfaat, namun disertai dengan syarat yang bukan berasal dari kebajikan. Maka, kebaikannya tetap berlaku dan syarat yang bukan dari kebaikan ditolak.

Misalnya, seseorang memerdekakan budaknya sebagai sā’ibah, maksudnya: “Engkau merdeka dan bebas, aku tidak lagi memiliki hak atasmu dan wala’mu.” Maka, pembebasannya itu sah sebagaimana dalam al-Qur’an dan sunnah, serta dikenal di kalangan kaum Muslimin. Namun, syarat bahwa wala’ tidak kembali kepada pemilik adalah batal menurut Kitab Allah, berdasarkan firman Allah:

{Mā ja‘ala Allāhu min baḥīratin wa lā sā’ibatin wa lā waṣīlatin wa lā ḥāmin} (QS. al-Mā’idah: 103).

Wallāhu a‘lam.

Karena kami telah menjelaskan bahwa ayat itu tidak bermakna selain dua makna:

Pertama, bahwa membebaskan budak sebagai sā’ibah bukanlah suatu kebajikan, sebagaimana baḥīrah, waṣīlah, dan ḥām bukanlah amal yang diridhai Allah sebagaimana yang dilakukan para pemiliknya. Maka ketika Allah membatalkan syarat-syarat mereka itu, maka semua hewan tersebut tetap pada asal kepemilikan sebelumnya.

(Al-Shāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Jika ada yang berkata: “Dapatkah engkau tunjukkan dalam Kitab Allah selain dari ini bahwa suatu syarat yang rusak, bila dikaitkan dengan harta yang dikeluarkan seseorang tanpa konteks pembebasan budak, maka ia kembali ke asal kepemilikan?” Maka dijawab: “Ya.”

Allah Ta‘ālā berfirman:

{Fattaqū Allāha wa dharū mā baqiya mina al-ribā} (QS. al-Baqarah: 278)

dan

{Wa in tubtum falakum ru’ūsu amwālikum lā taẓlimūna wa lā tuẓlamūn} (QS. al-Baqarah: 279).

Dan terdapat ijma‘ bahwa jika seseorang menjual dengan akad yang batil, maka harta tetap milik penjual, tidak keluar dari miliknya kecuali dengan akad yang sah.

Demikian pula, jika seorang wanita menikah dengan akad yang rusak, maka ia tetap pada status semula, bukan istri bagi siapa pun.

(Al-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Mungkin ada yang berkata, berdasarkan zhahir ayat tersebut, jika ia bukan termasuk ahli ilmu, bahwa syarat dalam kasus al-sā’ibah dibatalkan sebagaimana dibatalkan dalam al-baḥīrah, al-waṣīlah, dan al-ḥām, dan bahwa semuanya kembali kepada kepemilikan pemiliknya, tidak keluar dari miliknya, dan bahwa tidak ada pembebasan (‘itq) untuk al-sā’ibah, karena susunan ayat itu satu.

(Al-Syāfi‘ī berkata): Ini adalah pendapat yang walaupun dimungkinkan oleh ayat, namun tidak dapat ditegakkan, dan aku tidak mengetahui ada orang yang berpendapat demikian. Sementara ayat itu mengandung makna pertama sebelumnya yang aku sebutkan, yaitu salah satu dari dua makna, bahwa firman Allah – ‘azza wa jalla –:

{mā ja‘ala Allāhu min baḥīratin wa lā sā’ibatin wa lā waṣīlatin wa lā ḥāmin}

(QS. al-Mā’idah: 103)

maksudnya – wallāhu a‘lam – adalah: bukan sebagaimana yang kalian jadikan.

Maka dibatalkan dalam al-baḥīrah, al-waṣīlah, dan al-ḥām, karena pembebasan tidak berlaku pada hewan-hewan, dan hewan-hewan itu tidak lain adalah milik manusia, tidak keluar dari kepemilikan pemiliknya kecuali berpindah kepada pemilik lain dari kalangan manusia.

Sementara al-sā’ibah, jika berasal dari unta dan hewan-hewan ternak, maka sebelum atau sesudah disiibkan tetap sama, tidak bisa memiliki dirinya sendiri, sebagaimana sebelumnya. Namun jika sā’ibah itu berasal dari manusia, maka ia keluar dari kepemilikan pemiliknya kepada sesama manusia yang merdeka dan menjadi pemilik sebagaimana orang yang memerdekakannya menjadi pemilik.

Maka yang dibatalkan oleh Allah – wallāhu a‘lam – dari al-sā’ibah adalah bahwa ia keluar dari wala’-nya sebagaimana diklaim dalam syarat pembebasannya, dan Allah meneguhkan wala’-nya untuk orang yang memerdekakannya, sebagaimana Allah meneguhkan kepemilikan al-baḥīrah, al-waṣīlah, dan al-ḥām bagi pemiliknya.

(Al-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata): Jika ada yang berkata: “Adakah dalil dalam Kitab Allah – ‘azza wa jalla – sebagaimana yang engkau sebutkan tentang perbedaan antara keturunan Adam dengan hewan-hewan dan selain keturunan Adam dari harta benda, atau dari sunnah atau ijma‘?” Maka dijawab: “Ya.”

Jika ada yang bertanya: “Di mana?”

Maka dikatakan: “Allah Ta‘ālā berfirman:

{fa-lā iqtahama al-‘aqabah} sampai kepada {dha mātrabah} (QS. al-Balad: 11–16),

dan ini menunjukkan bahwa memerdekakan budak dan memberi makan adalah hal yang dianjurkan oleh Allah ketika menyebutkan tentang memerdekakan budak.”

Allah juga berfirman tentang zhihār:

{fa-taḥrīru raqabah min qabli an yatamāssā} (QS. al-Mujādilah: 3),

dan dalam kasus pembunuhan tidak sengaja:

{fa-diyyatun musallamatun ilā ahlihi wa taḥrīru raqabah} (QS. al-Nisā’: 92),

dan dalam kasus sumpah:

{fa-kaffāratuhu iṭ‘āmu ‘asharati masākīn min awsati mā tuṭ‘imūna ahlīkum aw kiswatuhum aw taḥrīru raqabah} (QS. al-Mā’idah: 89).

Hukum Allah – tabāraka wa ta‘ālā – terhadap apa yang dimiliki manusia dari manusia lain adalah bahwa mereka dapat mengeluarkan mereka dari kepemilikannya dengan dua cara:

(1) Melepaskan kepemilikan mereka dengan memerdekakan budak sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan perbuatan baik yang sah, dan setelah itu tidak boleh dimiliki oleh siapa pun dari manusia;

(2) Atau, dengan mengalihkan kepemilikan kepada manusia lain yang serupa dengannya, dan kepemilikan tetap sah atas budak itu, sebagaimana sahnya kepemilikan pertama yang mengalihkan.

Maka, hukum Allah – wallāhu a‘lam – terhadap hewan adalah sebagaimana aku sebutkan: bahwa pembebasan tidak berlaku atasnya, dan tidak keluar dari kepemilikan pemiliknya selama masih hidup, kecuali kepada pemilik lain dari manusia yang mengatakan, “Aku telah mengeluarkanmu dari kepemilikanku.” Hal ini berlaku atas segala sesuatu selain keturunan Adam yang dimiliki oleh manusia, baik berupa hewan, harta benda, maupun barang.

Dan aku tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi pendapat bahwa jika seseorang berkata kepada budak-budaknya dari kalangan manusia: “Kalian merdeka,” maka mereka merdeka. Namun jika ia berkata kepada hewan-hewan miliknya: “Kalian merdeka,” maka tidak ada satu pun hewan atau bukan manusia yang menjadi merdeka karenanya.

[Penjelasan makna al-Baḥīrah, al-Sā’ibah, al-Waṣīlah, dan al-Ḥām]

Diriwayatkan dari al-Rabi‘, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami al-Syafi‘i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Hisyām bin ‘Urwah dari ayahnya, dari ‘Ā’isyah –raḍiyallāhu ‘anhā– istri Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bahwa ia berkata:

“Berīrah datang kepadaku dan berkata, ‘Aku telah membuat perjanjian pembebasan (mukātabah) dengan keluargaku dengan membayar sembilan uqiyah, setiap tahun satu uqiyah. Maka tolonglah aku.’ Maka ‘Ā’isyah berkata kepadanya, ‘Jika keluargamu setuju aku membayarnya secara sekaligus, dan perwalianmu (walā’) menjadi milikku, maka aku akan lakukan.’ Maka Berīrah kembali kepada keluarganya dan menyampaikan hal itu, tetapi mereka menolak kecuali jika walā’ tetap menjadi milik mereka. Maka Berīrah kembali kepada ‘Ā’isyah saat Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– sedang duduk di situ. Lalu Berīrah berkata, ‘Aku telah menyampaikan hal itu kepada mereka, tetapi mereka menolak kecuali jika walā’ menjadi milik mereka.’ Maka Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bertanya kepada ‘Ā’isyah dan ia pun menceritakannya. Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bersabda, ‘Belilah dia dan persyaratkan kepada mereka bahwa walā’ untuk mereka, karena walā’ itu milik orang yang memerdekakan.’ Maka ‘Ā’isyah melakukannya. Kemudian Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– berdiri di hadapan manusia, memuji dan menyanjung Allah, lalu bersabda, ‘Amma ba‘du. Mengapa ada orang yang membuat syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah? Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah maka ia batil, walaupun seratus syarat. Ketetapan Allah lebih berhak dan syarat Allah lebih kokoh. Sesungguhnya walā’ itu milik orang yang memerdekakan.’”

Diriwayatkan dari al-Rabi‘, dari al-Syafi‘i, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari Ibn ‘Umar, dari ‘Ā’isyah –raḍiyallāhu ‘anhā– bahwa ia ingin membeli seorang budak wanita untuk dimerdekakan, namun pemiliknya berkata, “Kami jual kepadamu dengan syarat walā’-nya tetap untuk kami.” Maka ia menceritakannya kepada Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam–, lalu beliau bersabda:

“Jangan engkau terhalangi karena itu, karena sesungguhnya walā’ adalah milik orang yang memerdekakan.”

Juga diriwayatkan oleh Mālik dari Yaḥyā bin Sa‘īd dari ‘Amrah binti ‘Abd al-Raḥmān bahwa Berīrah datang minta bantuan kepada ‘Ā’isyah, lalu ‘Ā’isyah berkata:

“Jika keluargamu bersedia aku membayar hargamu secara tunai dan aku memerdekakanmu, aku akan lakukan.” Maka Berīrah menyampaikan kepada keluarganya, tetapi mereka berkata, “Tidak, kecuali walā’ tetap menjadi milik kami.” Mālik berkata, Yaḥyā berkata bahwa ‘Amrah menuturkan bahwa ‘Ā’isyah menyampaikannya kepada Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam–, dan beliau bersabda, “Jangan biarkan itu menghalangimu, belilah dia dan merdekakanlah dia. Karena walā’ itu milik orang yang memerdekakan.”

Al-Rabi‘ juga meriwayatkan dari al-Syafi‘i, dari Mālik dan Ibn ‘Uyaynah, dari ‘Abd Allāh bin Dīnār, dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bersabda:

“Tidak boleh menjual walā’ dan tidak boleh menghibahkannya.”

Dan al-Rabi‘ meriwayatkan dari al-Syafi‘i, dari Muḥammad bin al-Ḥasan, dari Ya‘qūb bin Ibrāhīm Abū Yūsuf, dari ‘Abd Allāh bin Dīnār, dari ‘Abd Allāh bin ‘Umar bahwa Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bersabda:

“Walā’ itu pertalian seperti pertalian nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.”

(Al-Syafi‘i –raḥimahullāh– berkata): Maka dalam hadis ‘Ā’isyah dari Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– tentang Berīrah, terdapat pembatalan syarat para pemiliknya yang menjualnya kepada ‘Ā’isyah bahwa walā’ tetap milik mereka, dan penetapan walā’ bagi Berīrah kepada orang yang memerdekakannya. Ini adalah petunjuk dari makna firman Allah Ta‘ālā:

{Wa lā sā’ibah} (QS. al-Mā’idah: 103)

Bahwa Allah –jalla wa ‘alā– membatalkan bentuk penyia-nyiaan (penyebutan sā’ibah) jika pemiliknya mensyaratkan bahwa dia tidak memiliki walā’ dari budak yang ia merdekakan. Demikian pula Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– membatalkan syarat pemilik Berīrah yang menjualnya bahwa walā’ tetap untuk mereka, dan beliau menetapkan walā’ untuk orang yang memerdekakan. Maka sabda beliau:

“Sesungguhnya walā’ adalah milik orang yang memerdekakan”

mengandung dua makna:

  1. Bahwa tidak ada seorang pun yang memerdekakan lalu ia bisa melepas walā’ dari dirinya sendiri, baik sebelum atau sesudah memerdekakan, dalam keadaan apa pun, termasuk perbedaan agama atau lainnya. Kalau walā’ bisa hilang dari seseorang, maka tentu hilang pula dari ‘Ā’isyah, karena ia tidak memiliki Berīrah kecuali dengan syarat bahwa walā’ tetap untuk penjualnya. Namun Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bersabda:

“Sesungguhnya walā’ adalah milik orang yang memerdekakan.”

  1. Bahwa walā’ tidak boleh dimiliki kecuali oleh orang yang memerdekakan. Maka siapa yang memerdekakan dari makhluk Allah –‘azza wa jalla– siapa pun yang sah untuk dimerdekakan, maka walā’ adalah milik orang yang memerdekakan. Dan tidak boleh ada ketentuan selain itu sama sekali, berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah.

[Bab Penjabaran Hukum ‘Itq (Memerdekakan Budak)]

(Al-Syafi‘i –raḥimahullāh– berkata): Jika seseorang memerdekakan budaknya dengan status sā’ibah, maka ia tetap merdeka dan walā’-nya tetap milik orang yang memerdekakannya. Jika seorang kafir memerdekakan budaknya yang beriman, maka budak itu tetap merdeka dan walā’-nya tetap milik yang memerdekakannya. Begitu juga apabila seorang mukmin memerdekakan budaknya yang kafir, maka ia tetap merdeka dan walā’-nya tetap milik yang memerdekakan. Tidak ada alasan bagi seorang pun dari kalangan ahli ilmu untuk ragu dalam hal ini –wallāhu a‘lam– karena orang yang memerdekakan budaknya sebagai sā’ibah, atau orang kafir yang masuk Islam kemudian memerdekakan budaknya, atau seorang mukmin yang memerdekakan budaknya yang kafir, semuanya tetap termasuk orang-orang yang memiliki kepemilikan atas budaknya, dan sah bagi mereka melakukan ‘itq.

Dalam Kitab Allah Ta‘ālā terdapat dalil yang membatalkan konsep tasyīb (penyia-nyiaan walā’), yaitu bahwa walā’ adalah milik orang yang memerdekakan. Dan dalam firman Allah:

{ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا آباءهم فإخوانكم في الدين ومواليكم} [Al-Aḥzāb: 5]

Dinisbatkan mereka kepada dua hal: ayah-ayah mereka dan kepada walā’, sebagaimana mereka dinisbatkan kepada ayah, mereka juga dinisbatkan kepada walā’.

Dan firman Allah Ta‘ālā:

{وإذ تقول للذي أنعم الله عليه وأنعمت عليه} [Al-Aḥzāb: 37]

Jika seseorang tidak memahami ini dari Kitab Allah, maka dalam sabda Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam–:

“Sesungguhnya walā’ adalah milik orang yang memerdekakan.”

Itu sudah cukup sebagai dalil bahwa baik sā’ibah, orang mukmin yang memerdekakan orang kafir, maupun orang kafir yang memerdekakan orang mukmin, semuanya dianggap sebagai orang yang melakukan ‘itq. Maka terdapat dalam Sunnah Rasulullah –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bahwa:

“Walā’ itu milik orang yang memerdekakan.”

Namun jika mereka bukan pemilik sah, maka tidak ada khilaf di kalangan kaum muslimin bahwa siapa yang memerdekakan sesuatu yang bukan miliknya, maka tidak sah dan yang dimerdekakan tidak menjadi orang merdeka.

[Perbedaan Pendapat dalam Masalah Sā’ibah dan Kafir yang Memerdekakan Mukmin]

(Al-Syafi‘i –raḥimahullāh– berkata): Aku tidak mengingat adanya perbedaan pendapat dari para ahli fikih Makkah dan wilayah Timur dalam hal yang aku sebutkan bahwa walā’ bagi sā’ibah dan budak mukmin yang dimerdekakan oleh orang kafir adalah tetap milik yang memerdekakannya.

Namun aku mendengar dari sebagian ahli hadis Madinah yang berpendapat berbeda. Ada yang mengatakan: walā’-nya diserahkan kepada siapa yang dia kehendaki. Ada pula yang berkata: tidak boleh memilih walā’, walā’-nya menjadi milik kaum muslimin. Dan ada juga yang berkata: jika orang kafir memerdekakan budak muslim, maka walā’-nya untuk kaum muslimin. Jika kemudian tuannya masuk Islam, maka walā’ tidak kembali kepadanya. Jika orang kafir memerdekakan budak kafir lalu budak itu masuk Islam sebelum tuannya, maka walā’-nya untuk kaum muslimin, dan mereka yang mewarisinya jika ia meninggal. Namun jika tuannya masuk Islam sebelum wafat, maka walā’ kembali kepadanya karena sebelumnya walā’ memang telah menjadi miliknya.

Jika budak masuk Islam sebelum tuannya dan tuannya memiliki anak-anak yang muslim, maka walā’-nya menjadi milik anak-anaknya yang muslim.

(Al-Syafi‘i –raḥimahullāh– berkata): Aku telah menjelaskan tempat dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang membatalkan pendapat ini. Bahkan pendapat tersebut saling bertentangan satu sama lain. Jika dikatakan bahwa orang kafir memerdekakan budak kafir dan walā’ menjadi miliknya, lalu si budak masuk Islam sementara tuannya masih kafir, maka dengan masuk Islamnya si budak walā’ berpindah dari tuannya. Jika dikatakan bahwa jika orang kafir memerdekakan budak muslim, maka walā’-nya tidak untuknya meskipun dia masuk Islam, dan jika tuannya punya anak-anak muslim, maka walā’ untuk mereka — bagaimana mungkin anak-anak mewarisi walā’ ayah mereka, padahal walā’ tidak diberikan kepada ayah mereka?

Jika mereka mewarisi walā’, lalu si ayah masuk Islam, apakah walā’ bisa kembali ke ayahnya? Padahal anak-anaknya telah memiliki walā’-nya. Jika anak-anaknya telah memilikinya lebih dulu, maka walā’ tidak bisa kembali ke ayahnya. Tapi jika anak-anak hanya mendapatkannya karena ayah mereka, maka walā’ milik ayahnya, hanya saja ia tidak mewarisinya karena beda agama.

(Al-Syafi‘i –raḥimahullāh– berkata): Apa yang aku sebutkan juga berlaku atas sebagian pendapat ahli fikih dari daerah kami, dan bahkan lebih dari itu. Di antaranya yang ringkas adalah terkait firman Allah Ta‘ālā:

{ما جعل الله من بحيرة ولا سائبة} [Al-Mā’idah: 103]

Bahwa harus ada ketetapan hukum Allah Ta‘ālā yang membatalkan keseluruhan urusan sā’ibah atau sebagian darinya. Karena Allah menyebutkannya bersama pembatalan baḥīrah, waṣīlah, dan ḥām. Jika dikatakan bahwa semua urusan sā’ibah batal, maka tidak sah pula merdekanya seperti tidak sahnya pelepasan kepemilikan atas baḥīrah dan lainnya.

Ini memang mungkin secara lahiriah ayat, tetapi Allah telah membedakan antara pembebasan manusia dari kepemilikan dengan pembebasan binatang. Maka kami sahkan ‘itq pada sā’ibah sebagaimana yang Allah sahkan dan perintahkan. Karena itu, ketika kami mensahkan ‘itq pada sā’ibah, kami pun wajib mengetahui bahwa yang dibatalkan oleh Allah dari sā’ibah adalah tasyīb-nya, yaitu pelepasan walā’ oleh orang yang memerdekakannya.

Ketika Allah membatalkannya, maka walā’-nya tetap milik orang yang memerdekakannya, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil dari ayat-ayat dalam Kitab Allah yang menisbatkan asal walā’ kepada orang yang memerdekakan.

(Al-Syafi‘i –raḥimahullāh– berkata): Orang yang mengatakan pendapat ini wajib ditanya: Apakah sā’ibah itu dimerdekakan oleh pemiliknya? Jika ia menjawab: ya, maka dikatakan kepadanya:

Rasulullah telah menetapkan bahwa walā’ itu untuk orang yang memerdekakan.

Dan jika ia menjawab: tidak, maka dikatakan kepadanya:

Kalau begitu, mengapa sā’ibah itu menjadi merdeka?

Sebab jika tidak dimerdekakan oleh pemiliknya, maka sā’ibah itu tidak menjadi merdeka.

Ia pun harus menghadapi persoalan yang serupa dalam kasus seorang Nasrani memerdekakan budak Muslim. Jika ia berkata bahwa orang Nasrani itu adalah pemilik sah, maka dikatakan padanya:

Rasulullah telah menetapkan bahwa walā’ itu untuk orang yang memerdekakan.

Dan jika ia berkata bahwa orang kafir tidak sah memiliki orang Muslim, maka budak Muslim yang dimerdekakan itu tidak sah menjadi merdeka, sebab ia dimerdekakan oleh orang yang bukan pemiliknya.

Jika ia berkata: Tidakkah engkau melihat bahwa tuannya tidak mewarisinya?

Maka dikatakan kepadanya:

Apa hubungannya antara warisan dan walā’ serta nasab?

Jika ia berkata: Jelaskan bahwa jika seseorang tidak mewarisi, maka walā’-nya tidak tetap, maka dikatakan:

Baik, bagaimana jika tuan membunuh budaknya, apakah ia tetap mewarisi?

Jika ia berkata: Tidak, maka dikatakan kepadanya:

Apakah dengan itu walā’-nya juga hilang?

Jika ia berkata: Tidak, maka dikatakan lagi:

Kalau begitu, sesuatu yang menghalangi warisan tidak otomatis menghapus walā’.

Jika ia berkata: Tapi dalam kasus ini tidak berlaku, maka dikatakan:

Kalau begitu, mengapa engkau mengatakan dalam kasus sebelumnya bahwa hilangnya hak waris berarti hilangnya walā’?

Dan dikatakan kepadanya:

Tidakkah kamu melihat bahwa Allah عز وجل tetap menisbatkan Nabi Ibrahim –kekasih-Nya– kepada ayahnya yang kafir, dan tetap menisbatkan anak Nabi Nuh –yang kafir– kepada Nabi Nuh عليه السلام? Apakah perbedaan agama memutus hubungan ayah dan anak?

Jika ia menjawab: Tidak, maka ditanya lagi:

Apakah ayah mewarisi anaknya dan anak mewarisi ayahnya dalam kondisi ini?

Jika ia berkata: Tidak, maka ditanya:

Apakah hubungan ayah dan anak terputus hanya karena tidak adanya warisan?

Jika ia berkata: Tidak, maka dikatakan:

Kalau begitu, mengapa engkau memutuskan walā’ karena tidak ada warisan, padahal walā’ dan nasab adalah hubungan yang sejajar dari sisi sebab?

Sebab warisan bisa terhalang oleh perbedaan agama, dan bisa juga karena adanya orang lain yang menghalangi, tapi itu tidak memutuskan walā’ maupun nasab.

Dalil terhadap orang yang mengatakan demikian banyak, dan sebenarnya sedikit saja sudah cukup insya Allah.

[Perselisihan Tentang Para Mawālī (Orang-orang yang Memiliki Hubungan Walā’)]

(Al-Syafi‘i –raḥimahullāh– berkata): Sebagian orang sependapat dengan kami dalam masalah sā’ibah dan orang musyrik yang memerdekakan orang Muslim, lalu berkata: Ini adalah nash dari Kitab dan Sunnah. Namun sebagian orang dari wilayah Timur menyelisihi kami. Mereka berkata: Jika seseorang masuk Islam di tangan seseorang, maka orang itu berhak atas walā’-nya. Ia bisa memindahkan walā’-nya kepada orang lain selama belum ada yang membelanjakan (mengganti diyat) untuknya. Jika sudah dibelanjakan, maka ia tidak bisa memindahkan walā’-nya lagi.

Demikian juga menurut mereka tentang anak pungut dan siapa saja yang tidak memiliki walā’. Mereka mengatakan bahwa ia boleh menunjuk siapa pun sebagai mawālī-nya dan memindahkan walā’-nya selama belum ada yang menanggung diyat untuknya. Jika sudah, maka ia tidak boleh lagi memindahkan walā’.

(Al-Syafi‘i –raḥimahullāh– berkata): Maka dikatakan kepada salah seorang dari mereka yang berpendapat demikian: Apa dalilmu? Ia menjawab:

Abdul ‘Azīz bin ‘Umar meriwayatkan dari Ibn Wahb dari Tamīm al-Dārī bahwa ada seseorang yang masuk Islam di tangan seseorang, lalu Rasulullah bersabda: “Engkau adalah orang yang paling berhak atas hidup dan matinya.”

Lalu dikatakan kepadanya: Kalau hadis ini sahih, maka engkau justru telah menyelisihinya.

Ia bertanya: Di mana letak penyelisihanku?

Aku berkata: Engkau menyebut bahwa Nabi bersabda: “Engkau adalah orang yang paling berhak atas hidup dan matinya.”

Ia menjawab: Benar.

Aku berkata: Pernyataanmu itu tidak menunjukkan bahwa masuk Islam seseorang di tangan orang lain menjadikannya mendapat hak sebagaimana hak orang yang memerdekakan (dalam hal walā’).

Aku bertanya: Jika seseorang memerdekakan, apakah ia bisa memindahkan walā’-nya kepada orang lain?

Ia menjawab: Tidak.

Aku berkata: Kalau begitu, engkau telah menyelisihi hadis tersebut. Sebab engkau menyatakan bahwa walā’ hanya tetap jika dia ridha, dan bisa berpindah jika ia pindahkannya kepada orang lain, kecuali jika sudah ada yang mengganti diyat untuknya.

Aku bertanya lagi: Kalau seseorang telah menjalin hubungan walā’ dan diyatnya sudah ditanggung oleh mawālī-nya, lalu ia meninggal dunia, bagaimana bisa ia memindahkan walā’-nya ke orang lain? Padahal walā’-nya telah tetap dan mawālī-nya sudah menanggung diyatnya.

Ataukah engkau berpendapat bahwa masuk Islam seseorang di tangan orang lain atau menjalin walā’ hanya menghasilkan dua kemungkinan:

  1. Bahwa ia memiliki konsekuensi hukum seperti ‘itq, dan walā’ yang ditetapkan tidak boleh dipindah sebagaimana nasab tidak bisa dipindah.
  2. Atau bahwa masuk Islam dan walā’ itu tidak menetapkan apa pun karena keduanya bukan bagian dari makna nasab maupun walā’.

Adapun pendapat yang engkau pilih itu bukanlah salah satu dari dua pendapat yang benar. Engkau menyatakan bahwa walā’ itu tetap, namun sang mawlā (pemilik walā’) boleh memindahkannya sampai ada yang membelanjakan (menanggung diyat) untuknya. Aku bertanya: Bagaimana jika ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) mengatakan, “Kami tidak mau menanggung apa pun darinya, sebab ia bukan kerabat dan bukan pula mawlā kami, dan ia sendiri punya pilihan untuk berpindah dari kami, maka biarkanlah kami dan orang yang menjalin walā’ dengannya juga punya pilihan untuk menolak walā’-nya”?

Kalau begitu, sang mawlā dari tingkatan atas lebih berhak untuk memiliki pilihan ini dibandingkan yang di bawah. Apa jawabanmu?

Jika engkau membolehkan hal ini, maka yang lain pun boleh mengklaim bahwa hak memilih hanya untuk yang di atas, bukan yang di bawah. Dan itu tidak boleh, baik untukmu maupun untuk orang lain.

Aku bertanya: Bagaimana jika sekelompok anak masuk Islam melalui perantara seorang pria Muslim, dan mereka tidak memiliki mawlā — apakah walā’ mereka ditarik seperti walā’ yang ditarik oleh ayah terhadap anak-anaknya jika ia memerdekakan budak?

Jika engkau berkata: Ya, maka engkau telah menetapkan sesuatu yang buruk, yaitu jika mereka masuk Islam maka walā’-nya mengikuti, dan jika berpindah maka walā’-nya pun berpindah. Dan ini buruk, karena berarti mereka punya hak dalam diri mereka sebagaimana mawlā mereka punya hak. Jika engkau berkata: Ayah menarik walā’ mereka, maka engkau telah menghapus hak mereka sendiri. Dan jika engkau berkata: Mereka memiliki hak sebagaimana mawlā mereka, maka berarti walā’ mereka tidak bisa ditarik. Oleh karena itu aku berkata: walā’ mereka tidak bisa ditarik.

Aku berkata: Yang lebih buruk dari itu pun akan menimpamu. Ia menjawab: Aku tahu itu, apakah hadis itu sahih?

Aku menjawab: Tidak, dan engkau pun tahu bahwa hadis itu tidak sahih. Ibn Wahb adalah orang yang tidak dikenal dalam bidang hadis, dan ia tidak pernah bertemu Tamīm al-Dārī. Maka hadis itu tidak sahih dari dua sisi.

Engkau juga berkata tentang anak pungut bahwa ‘Umar berkata kepada orang yang memungutnya: Ia merdeka, dan engkau memiliki walā’-nya.

Lalu engkau berkata: Anak pungut boleh menjalin walā’ dengan siapa pun yang ia kehendaki?

Ia menjawab: Ya, jika tidak dicanangkan oleh penguasa. Jika penguasa menetapkan walā’ untuknya, maka itu keputusan yang mengikat.

Aku bertanya: Apakah walā’ yang ditetapkan penguasa tidak boleh berpindah ketika anak itu sudah baligh? Atau ia tetap boleh memindahkan walā’-nya?

Ia berkata: Ya, ia boleh memindahkannya sebagaimana ia bisa memilih mawlā, lalu memindahkannya, selama belum ada yang menanggung diyat darinya.

Aku berkata: Kalau begitu, walā’ dari penguasa bukanlah keputusan yang mengikat baginya?

Ia menjawab: Benar, bagaimana mungkin itu disebut keputusan yang mengikat?

Aku menjawab: Pertanyaan ini harus engkau jawab, karena engkau yang membuat kaidah tersebut.

Ia berkata: Tidak ada keputusan kecuali jika ada gugatan sebelumnya, dan di sini tidak ada gugatan.

Aku berkata: Katakanlah apa yang engkau kehendaki.

Ia berkata: Jika aku mengatakan demikian, maka itu adalah keputusan.

Aku menjawab: Kalau begitu, engkau kembali pada pendapat yang engkau tolak tadi, yakni bahwa tidak ada keputusan kecuali jika ada gugatan, padahal di sini tidak ada gugatan sebelumnya.

Ia berkata: Kalau begitu aku tidak mengatakannya sebagai keputusan. Aku berkata: ia boleh memindahkan walā’-nya.

Aku berkata: Kalau begitu, engkau telah menyelisihi riwayat dari ‘Umar. Aku tidak mendengarmu berpegang pada satu dalil pun tanpa menyelisihinya.

Ia bertanya: Lalu mengapa engkau meninggalkan dua hadis itu?

Aku menjawab: Karena dalil yang lebih kuat dalam kasus sā’ibah adalah bahwa hukum Allah عز وجل membatalkan konsep tasyīb (pembebasan dengan penghapusan walā’), namun tetap mengesahkan ‘itq (pembebasan), dan menetapkan bahwa walā’ itu untuk orang yang memerdekakan. Dan engkau sendiri telah sepakat dengan kami dalam kasus orang Nasrani memerdekakan orang Muslim, berdasarkan teks Al-Qur’an dan hadis Nabi . Maka dalam kasus ini engkau wajib konsisten.

Akan tetapi pendapatmu tidak konsisten, engkau keluar dari makna Al-Qur’an dan Sunnah.

Ia berkata: Aku mengikuti hadis yang sahih.

Aku jawab: Adapun riwayat yang engkau bawa dari Nabi , itu tidak sahih menurut kami. Dan riwayat dari ‘Umar sekalipun jika sahih, tidak dapat menjadi hujjah jika bertentangan dengan Rasulullah . Terlebih lagi, riwayat itu pun belum sahih.

Dalam sabda Rasulullah ﷺ:

“Sesungguhnya walā’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.”

terkandung dua makna yang jelas:

  1. Bahwa walā’ tidak gugur dari orang yang memerdekakan.
  2. Dan bahwa walā’ tidak boleh diberikan kepada siapa pun kecuali kepada orang yang memerdekakan.

Karena sabda beliau “Sesungguhnya walā’ hanya bagi orang yang memerdekakan” adalah bentuk penafian terhadap orang selainnya. Sebagaimana jika seseorang berkata “Sesungguhnya aku hanya menginginkan ini”, maka ia telah menafikan maksud selainnya.

Dan lafaz innamā (sesungguhnya hanya) datang dengan makna seperti itu.

Namun engkau hanya mengambil satu dari dua makna hadis itu, dan meninggalkan yang lainnya. Itu tidak dibenarkan bagimu, juga tidak bagi siapa pun.

Padahal engkau dan aku sepakat bahwa walā’ itu adalah bagian dari nasab yang tidak dapat gugur.

Ia menjawab: Benar.

Aku bertanya: Bagaimana pendapatmu jika seseorang tidak memiliki ayah dan juga tidak memiliki mawlā — bolehkah ia menyandarkan nasab kepada seseorang hanya dengan kerelaan keduanya?

Ia menjawab: Tidak sah nasab kecuali dari hubungan pernikahan atau sebab yang serupa. Jika tidak ada hubungan nikah atau sebab yang semakna, dan mereka berdua hanya saling ridha untuk saling menasabkan, maka itu tidak sah.

Aku berkata: Begitu pula jika seseorang ingin menafikan nasab anak yang lahir dari istrinya, dan anak itu pun ridha. Itu tetap tidak sah.

Ia menjawab: Ya, sebab penetapan nasab berasal dari hubungan pernikahan, dan penafian nasab juga berasal darinya. Baik yang menafikan maupun yang dinafikan tidak memiliki hak eksklusif, karena nasab itu berdampak pada hak-hak orang lain — seperti warisan dan tanggungan diyat. Maka seandainya seseorang boleh menafikan nasab dari dirinya sendiri, ia tetap tidak boleh menafikannya dari hak orang lain yang punya bagian dalam warisan dan diyatnya.

Ia menjawab: Ya.

Aku berkata: Apakah engkau juga menemukan bahwa mawlā yang memerdekakan juga demikian keadaannya?

Ia menjawab: Sama saja.

Aku berkata: Kalau begitu, mengapa engkau tidak menyatakan hal yang sama dalam kasus mawlā yang menjalin walā’ (al-mawālī)? Maka jangan engkau tetapkan walā’ untuknya kecuali dengan sesuatu yang juga menjadi hak bagi kerabatnya—yakni mereka yang menjalin walā’ dengannya—sehingga mereka juga menanggung diyat darinya. Sebagaimana walā’ dari orang yang memerdekakan tidak gugur, maka hak waris atasnya juga tidak boleh diberikan atau ditolak kecuali berdasarkan dalil yang tetap. Karena hal itu berdampak pada penetapan hukum atas dirinya maupun orang lain—baik yang telah ada maupun yang belum ada.

Aku menyebutkan pula kepadanya beberapa hal selain ini, yang cukup sebenarnya untuk membungkamnya.

Ia berkata: Ada sebagian sahabatmu yang sepakat denganmu dalam hal yang kami tolak, yaitu tentang anak pungut (laqīṭ) dan orang yang menjalin walā’, dan mereka berkata seperti pendapatmu; namun mereka menyalahi pendapatmu dalam masalah sā’ibah dan dzimmī yang memerdekakan Muslim.

Aku berkata: Benar. Namun hujah kami terhadap mereka sama seperti hujah kami terhadapmu, bahkan lebih kuat. Karena engkau bersandar pada syubhat yang tidak dianggap oleh para ulama — meskipun orang awam bisa tertipu olehnya. Sedangkan mereka tidak bersandar pada syubhat yang dapat dijadikan alasan oleh orang awam maupun orang alim.

Persetujuanmu terhadap kami pada bagian yang kamu sepakati menjadi hujah terhadapmu. Dan persetujuan mereka kepada kami pada bagian yang mereka sepakati juga menjadi hujah terhadap mereka.

Tidak boleh bagi siapa pun keluar dari makna Kitabullah atau Sunnah Rasulullah , baik dalam pokok maupun cabang.

Perbedaan antara orang alim dan orang awam adalah bahwa orang alim mengetahui pokok-pokok, maka ia wajib mengikuti cabang-cabangnya. Jika ia memisahkan antara cabang dan pokok, lalu mengeluarkan cabang dari makna pokok, maka ia seperti orang yang berbicara tanpa ilmu — bahkan lebih buruk, karena ia meninggalkan sesuatu yang wajib diikuti padahal ia telah mengetahuinya.

Semoga Allah mengampuni kami dan kalian bersama-sama.

Jika ada yang berkata: Bisa saja mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan.

Aku menjawab: Barang siapa tidak menyadari hal yang sejelas ini, maka semestinya ia tidak pantas menangani fatwa. Karena ini adalah perkara yang tak boleh salah karena begitu jelasnya.

[Bab Penjabaran tentang Bahīrah, Sā’ibah, Waṣīlah, dan Ḥām]

(قال الشافعي – -) :

Ketika Allah عز وجل berfirman:

{ما جعل الله من بحيرة ولا سائبة ولا وصيلة ولا حام}

“Allah tidak pernah mensyariatkan bahīrah, sā’ibah, waṣīlah, dan ḥām.” (QS. al-Mā’idah: 103)

— maka dalam firman Allah tersebut terdapat penjelasan bahwa “yang ditetapkan” adalah apa yang ditetapkan oleh Allah, bukan apa yang kalian tetapkan.

Dan ini merupakan dalil bahwa keputusan Allah adalah membatalkan apa yang kalian tetapkan.

Bahīrah, waṣīlah, dan ḥām termasuk dari binatang ternak yang tidak sah dijadikan sebagai objek ‘itq (pembebasan budak). Pemiliknya mengeluarkan mereka dari kepemilikannya menuju ke status yang bukan kepemilikan manusia. Padahal, harta itu tidak dimiliki kecuali oleh manusia.

Maka, apabila seseorang mengeluarkan sesuatu dari kepemilikannya bukan kepada pemilik manusia yang sah (baik tertentu maupun tak tertentu), maka itu seperti orang yang tidak mengeluarkan apa-apa — benda itu tetap dalam kepemilikannya sebagaimana sebelum ia berkata demikian.

Dan ini adalah dasar dari apa yang kami sebutkan, berdasarkan Kitab Allah عز وجل.

Maka siapa saja yang mengeluarkan sesuatu dari kepemilikannya—baik binatang atau harta lainnya selain manusia—kemudian ia berkata:

“Aku telah memerdekakan ini”, atau “Aku telah memutus kepemilikanku dari ini”, atau “Aku telah mewakafkannya”, atau “Aku telah menjual atau mensedekahkannya”,

tetapi tidak menyebutkan siapa yang menerima pemberian itu (baik secara nama maupun sifat), maka ucapannya batal. Barang tersebut tetap dalam kepemilikannya seperti sebelum ia berkata demikian. Ia tidak bisa mengeluarkannya dari kepemilikannya selama masih hidup, kecuali jika ia mengalihkannya kepada manusia tertentu atau dengan deskripsi yang jelas saat ia melepaskan kepemilikannya.

Dan tidaklah sesuatu itu keluar dari kepemilikannya kecuali telah ada pihak lain yang menjadi pemiliknya — bahkan tidak sampai sekejap mata sekalipun ada jeda.

(قال الشافعي – -) :

Demikian juga, sā’ibah dari unta adalah seperti bahīrah. Begitu pula budak (raqiq) jika dikeluarkan dari kepemilikannya kepada status non-milik seperti binatang atau harta benda lain — kecuali jika dikeluarkan dengan sebab ‘itq (pembebasan) atau mukātabah (perjanjian tebusan budak), karena itu adalah bagian dari sebab pembebasan.

Dan apa pun yang termasuk sebab pembebasan, maka hukumnya berbeda.

 

(قال الشافعي)

Dan apabila bahīrah, waṣīlah, sā’ibah, dan ḥām merupakan bentuk nadzar (janji) dan Allah عز وجل telah membatalkannya, maka dalam hal ini terdapat dalil pula untuk perkara lain bahwa barang siapa bernadzar untuk sesuatu yang bukan ketaatan kepada Allah, maka nadzarnya tidak sah dan tidak wajib baginya membayar kafarat, karena Allah سبحانه وتعالى telah membatalkannya, dan Dia tidak menyebut adanya kewajiban kafarat padanya.

Begitu pula sunnah dari Rasulullah ﷺ telah datang sesuai dengan isi Kitab Allah سبحانه وتعالى.

(قال الشافعي – -)

Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Ṭalḥah bin ‘Abd al-Malik al-Aylī dari al-Qāsim bin Muḥammad dari ‘Ā’isyah رضي الله عنها bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Barang siapa bernadzar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia menunaikannya. Dan barang siapa bernadzar untuk maksiat kepada Allah, maka janganlah ia melakukannya.”

(أخبرنا الربيع)

Berkata al-Rabī‘: Telah mengabarkan kepada kami al-Syāfi‘ī, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibn ‘Uyaynah dan ‘Abd al-Wahhāb bin ‘Abd al-Majīd dari Ayyūb bin Abī Tamīmah dari Abī Qilābah dari Abī al-Muhallab dari ‘Imrān bin Ḥuṣayn bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak ada nadzar dalam kemaksiatan, dan tidak (pula) dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam.”

Dan diriwayatkan pula bahwa seorang perempuan dari Anṣār bernadzar untuk menyembelih unta milik Nabi ﷺ apabila ia pulang dengan selamat dari suatu perjalanan. Maka Nabi ﷺ bersabda:

“Tidak ada nadzar dalam maksiat kepada Allah, dan tidak dalam sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak Adam.”

(قال الشافعي – -)

Allah سبحانه وتعالى tidak memerintahkan, dan Rasulullah ﷺ juga tidak memerintahkan, baik dalam peristiwa yang satu maupun yang lainnya, untuk menunaikan kafarat ketika nadzar tersebut tidak sah.

Kemaksiatan dalam hadis ini adalah ketika perempuan tersebut berniat menyembelih unta milik Nabi ﷺ — padahal ia tidak memilikinya. Oleh karena itu, jika seseorang bernadzar untuk memerdekakan budak milik orang lain, maka tidak sah baginya menunaikannya. Begitu pula jika ia bernadzar untuk menghadiahkan sesuatu yang bukan miliknya, atau nadzar-nadzar lainnya dalam perkara yang bukan merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, maka tidak wajib baginya menunaikannya dan juga tidak ada kafarat atasnya.

(قال الشافعي)

Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari ‘Amr bin Dīnār dari Ṭāwūs:

Bahwa Nabi ﷺ melewati seorang laki-laki bernama Abū Isrā’īl yang sedang berdiri di bawah panas matahari. Lalu Nabi bertanya: “Ada apa dengannya?”

Maka para sahabat menjawab: “Ia telah bernadzar untuk tidak berteduh, tidak duduk, tidak berbicara kepada siapa pun, dan berpuasa.”

Maka Nabi ﷺ bersabda:

“Perintahkan dia untuk berteduh, duduk, berbicara kepada orang lain, dan menyempurnakan puasanya.”

Nabi tidak memerintahkannya membayar kafarat.

 

[Perselisihan tentang nazar dalam hal yang bukan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla]

(Berkata al-Syafi‘i – -):

Seseorang berkata tentang laki-laki yang bernazar ingin menyembelih dirinya sendiri, maka ia menyembelih seekor kambing. Yang lain berkata: menyembelih seratus ekor unta, dan mereka berdua berdalil dengan sesuatu yang diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi . Maka dikatakan kepada orang ini: bagaimana mungkin hal seperti ini bisa ada kafaratnya? Ia berkata: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang orang yang melakukan zihar: {Sesungguhnya mereka benar-benar mengucapkan perkataan yang mungkar dan dusta} [al-Mujādilah: 2], lalu Allah memerintahkan di dalamnya dengan kafarat seperti yang kamu lihat.

(Berkata al-Syafi‘i – -):

Lalu dikatakan kepada sebagian orang yang berpendapat seperti ini: Bagaimana pendapatmu jika Kitab Allah menunjukkan batalnya perkara yang bukan ketaatan kepada Allah, seperti bahīrah, dan tidak mewajibkan kafarat atasnya, dan sunnah Nabi ﷺ juga menunjukkan hal yang sama tentang batalnya nazar tanpa kafarat, serta dalam sabdanya “laa nadzra” terdapat isyarat bahwa nazar itu tidak berlaku bila berisi maksiat, dan jika tidak berlaku, maka seperti tidak pernah terjadi. Tidak ada satu pun manusia yang perkataannya bila bertentangan dengan sabda Nabi ﷺ bisa dijadikan hujjah.

Saya katakan kepadanya: Talak pada masa jahiliah adalah zihar dan ila’. Maka Allah menghukumi tentang ila’ dengan menunggu empat bulan, lalu memilih antara rujuk atau menceraikan, dan tentang zihar dengan kafarat yang ditentukan waktunya dan siapa penerimanya. Allah menetapkan kafarat sebagaimana yang Dia kehendaki. Maka dalam zihar dan pembunuhan, sebagai ganti memerdekakan budak, ditetapkan puasa dua bulan, dan dalam zihar ditambah dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Demikian pula yang dilakukan Rasulullah ﷺ kepada orang yang berhubungan suami istri di bulan Ramadan. Allah juga menetapkan kafarat sumpah dengan memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak, dan jika tidak mampu maka puasa tiga hari. Dan Allah berfirman: {Maka barang siapa di antara kalian sakit atau ada gangguan di kepalanya, maka wajib fidyah: puasa, sedekah, atau sembelihan} [al-Baqarah: 196]. Rasulullah ﷺ menjelaskan dari Allah bahwa puasa adalah tiga hari, sedekahnya memberi makan enam orang miskin satu sha’, dan sembelihan adalah seekor kambing. Maka kafarat adalah bentuk ibadah, dan Allah membuat perbedaannya sebagaimana yang Dia kehendaki, tidak ada yang menolak hukum-Nya.

Apakah kamu menemukan bahwa laki-laki yang bernazar menyembelih dirinya termasuk dalam bab syariat dari Allah atau sunnah Nabi ﷺ, hingga menjadi suatu hukum yang ditentukan dalam Kitab Allah atau Sunnah Rasulullah ﷺ? Ataukah kamu menemukan bahwa seratus unta atau seekor kambing adalah kafarat untuk sesuatu kecuali dalam perkara yang semisal, seperti hewan buruan yang dibunuh oleh orang yang sedang ihram? Apakah kamu temukan kambing sebagai tebusan atas manusia atau kafarat, kecuali apabila memang semisal dengan yang ditimpa?

(Berkata al-Syafi‘i – -):

Jika seseorang berkata: Karena aku melihat bahwa zihar adalah perkataan yang mungkar, dan dalamnya terdapat kafarat, maka aku meng-qiyaskan setiap perkataan mungkar dan dusta agar ada kafaratnya. Maka dikatakan kepadanya: Apa pendapatmu tentang orang yang bersaksi palsu? Apakah ia berkafarat? Bagaimana dengan orang yang melakukan riba dalam jual beli atau menjual barang haram? Apakah ia berkafarat? Bagaimana dengan orang yang menzalimi seorang muslim? Apakah ia berkafarat?

Jika ia berkata: Ya, maka ini bertentangan dengan pendapat para ulama yang kami temui. Jika ia berkata: Tidak, maka ia telah meninggalkan asal mazhab dan ucapannya. Jika ia menetapkan qiyas atas suatu bentuk kafarat, maka ia harus menetapkan juga bentuk kafarat yang semisal. Namun ia tidak menjadikannya sebagai asal maupun qiyas.

Jika seseorang berkata: Jadikanlah itu sebagai asal dari perkataan yang dikatakan, maka dikatakan kepadanya: Sungguh telah terjadi perbedaan pendapat dalam hal itu. Maka mana yang dijadikan sebagai asal? Padahal sunnah telah datang membatalkannya sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan tidak ada hujjah jika bertentangan dengan sunnah.

[Pernyataan atas Pernikahan yang Dibatalkan]

(Berkata al-Rabī‘): Dari sinilah al-Syafi‘i mendiktekan kepada kami kitab ini: Para saksi kitab ini menyatakan bahwa Fulan bin Fulan dan Fulānah binti Fulan telah menyaksikan dalam keadaan sehat jasmani dan akalnya, dan dalam keadaan bebas menjalankan urusannya, pada bulan sekian tahun sekian, bahwa Fulan bin Fulan sebagai suami telah melakukan akad nikah terhadap Fulānah binti Fulan pada bulan sekian tahun sekian, dan yang menjadi wali akad nikahnya dari para walinya adalah Fulan bin Fulan, dan di antara saksi akad tersebut adalah Fulan bin Fulan dan Fulan bin Fulan. Mahar pernikahannya sebesar sekian-sekian, dan disaksikan oleh Fulan dan Fulan.

Kemudian suami (Fulan bin Fulan) dan istri (Fulānah binti Fulan) saling menyatakan dan mengakui di hadapan saksi kitab ini bahwa mereka telah menetapkan bahwa akad nikah yang disebutkan dalam kitab ini bersama saksinya dan mahar yang disebutkan terjadi pada hari terjadinya akad, dan pada waktu itu Fulānah masih dalam masa ‘iddah karena wafatnya suaminya yang terdahulu, Fulan bin Fulan, dan masa ‘iddahnya belum selesai. Maka pernikahannya dinyatakan batal (mufsūkh), dan tidak ada hubungan pernikahan antara Fulan dan Fulānah hingga mereka memperbaharui akad nikah setelah berakhirnya masa ‘iddah Fulānah. Tidak ada tuntutan antara keduanya dalam hal mahar maupun nafkah. Ini disaksikan oleh saksi-saksi tersebut.

[Penulisan Dokumen Pembebasan Budak]

(Berkata al-Syafi‘i – -): Ini adalah sebuah dokumen yang ditulis oleh Fulan bin Fulan al-Fulani dalam keadaan sehat jasmani dan akalnya serta bebas dalam urusannya, pada bulan sekian dari tahun sekian, untuk budaknya yang lahir di rumahnya, yang bernama Fulan bin Fulan: “Aku telah memerdekakanmu demi mengharap ridha Allah Tabaraka wa Ta‘ala dan mencari pahala-Nya. Maka engkau merdeka, tidak ada jalan bagiku atau bagi siapa pun atas perbudakanmu. Bagiku dan bagi keturunanku setelahku, hak wala’ darimu dan dari keturunanmu setelahmu.” Telah menyaksikannya.

Dan jika budak itu orang asing (non-Arab), maka disebutkan sifat, profesinya. Dan jika budak itu seorang kasim (yang dikebiri), maka ditulis: “Ini adalah dokumen yang ditulis oleh Fulan bin Fulan al-Fulani dalam keadaan sehat jasmani dan akalnya serta urusannya, pada bulan sekian dari tahun sekian, untuk budaknya yang kasim yang bernama Fulan, dan dijelaskan jenis dan bentuknya. Aku telah memerdekakanmu dan mengeluarkanmu dari hartaku dan kepemilikanku, demi mengharap pahala Allah Ta‘ala dan keridhaan-Nya. Maka engkau merdeka, tidak ada jalan bagiku atau bagi siapa pun atas perbudakanmu. Bagiku hak wala’ darimu dan bagi keturunanku setelahku.”

Disebutkan demikian karena ia tidak memiliki keturunan. Dan jika budaknya adalah perempuan, maka ditulis untuknya seperti yang ditulis untuk budak kasim. Dan jika wala’ dari keturunannya berpindah kepada majikan, maka tidak sah ditulis: “Bagiku hak wala’mu dan dari keturunanmu setelahmu.” Karena bisa jadi tidak ada wala’ dari keturunannya. Yang sah ditulis adalah ini, bagi laki-laki yang pasti memiliki hak wala’ dari keturunannya dalam semua kondisi. Jika tidak ditulis bagian ini untuk laki-laki pun, tetap ia memilikinya.

Demikian pula untuk budak perempuan dari budak lelaki. Jika ingin hati-hati agar sah menurut semua orang, maka ditulis: “Ini adalah dokumen yang ditulis oleh Fulan bin Fulan al-Fulani dalam keadaan sehat jasmani dan akalnya serta urusannya, pada bulan sekian dari tahun sekian, untuk budaknya perempuan, Fulana binti Fulan, dan disebutkan sifatnya: Aku telah memerdekakanmu demi mengharap pahala Allah Tabaraka wa Ta‘ala. Maka engkau merdeka. Tidak ada jalan bagiku atau bagi siapa pun atas perbudakanmu. Bagiku dan bagi keturunanku setelahku hak wala’mu dan hak wala’ dari setiap keturunanmu dari budak.”

Beliau berkata: Manusia berbeda pendapat, sebagian mereka berkata: jika ia melahirkan dari budak lalu ia dimerdekakan, maka ia mewarisi wala’. Dan inilah pendapat kami. Sementara sebagian yang lain berkata: hak wala’ tetap pada keluarga ibu, dan tidak mengapa jika dalam dokumen hanya dituliskan dari pihak ibu sebagaimana kami jelaskan. Wallahu A‘lam.

[Penyewaan Rumah]

(Berkata al-Syafi‘i – -):

“Ini adalah dokumen yang ditulis oleh Fulan bin Fulan al-Fulani: Aku menyewakan kepadamu rumah yang berada di Fustat, Mesir, di wilayah sekian, dari kabilah sekian. Salah satu batas rumah ini berakhir pada titik sekian, dan batas kedua, ketiga, dan keempat masing-masing sampai pada titik sekian. Aku menyewakan seluruh rumah ini dengan tanahnya, bangunannya, dan fasilitasnya, selama dua belas bulan. Awal bulan adalah bulan Muharram dari tahun sekian dan akhir bulan adalah Dzulhijjah dari tahun sekian, dengan harga sekian dan sekian dinar, dinar yang utuh, murni, baik, seberat standar, dibayar secara tunai. Aku telah menerima semua dinar ini secara utuh dan aku bebas darinya. Aku juga telah menyerahkan rumah ini kepadamu, seperti yang dijelaskan dalam dokumen ini, pada awal bulan Muharram dari tahun sekian, setelah aku dan engkau mengenali semua bagian rumah dan fasilitasnya, dan kita telah menelitinya. Maka rumah ini berada di tanganmu dengan sewa ini hingga masa waktu sewa berakhir. Engkau boleh menempatinya sendiri, bersama keluargamu, atau orang lain yang kau izinkan menempatinya. Tetapi engkau tidak boleh menempatkan alat penggiling binatang, atau usaha pandai besi, atau penatu, atau jenis hunian lain yang merusak bangunan atau menimbulkan kerugian nyata. Engkau hanya boleh memanfaatkannya sebagaimana umumnya orang tinggal.”

“Aku juga menyewakan kepadamu untuk membersihkan seluruh isi tiga sumur mandi (pemandian) di rumah ini, yaitu: sumur yang berada di tempat sekian dari rumah, dan sumur di tempat sekian, dan sumur di tempat sekian. Setelah aku dan engkau melihat sumur-sumur tersebut, dan kita tahu bahwa panjang sumur di tempat sekian masuk ke dalam tanah sepuluh hasta, lebarnya tiga hasta memanjang. Di dalam sumur tersebut terdapat tempat berkumpulnya air mandi dari WC dan air kotor yang bercampur, panjangnya delapan hasta. Di sumur tempat sekian dan sekian, engkau harus membersihkan seluruh isi sumur-sumur ini sebagaimana disebutkan dalam dokumen ini. Engkau harus membersihkannya dari rumahku hingga engkau mengembalikannya kepadaku dalam keadaan tanah kosong tanpa bekas isi sumur, dengan imbalan sekian dan sekian dinar yang berbobot dan baik. Aku telah menyerahkannya kepadamu dan aku bebas darinya, dan engkau menjamin kepadaku sebagaimana yang disebutkan dalam dokumen ini hingga engkau mengembalikannya sebagaimana kau janjikan, yaitu pada akhir bulan Dzulhijjah dari tahun sekian dan sekian. Disaksikan.”

“Dan jika kamu khawatir penyewaan ini dibatalkan, maka orang-orang Iraq membatalkannya dengan perhitungan angka. Jika engkau menyewakannya selama setahun, maka tulislah: ‘Aku menyewakannya selama satu tahun, awalnya bulan sekian, akhirnya bulan sekian, dengan lima puluh dinar, di antaranya bulan pertama (sekian) seharga empat puluh dinar, dan sebelas bulan berikutnya masing-masing sepuluh dinar.’ Wallahu subḥānahū wa ta‘ālā al-muwaffiq.”

[Bab Jika Ingin Menulis Pembelian Budak]

Ini adalah pernyataan bahwa Fulan bin Fulan al-Fulani telah membeli dari Fulan bin Fulan al-Fulani dan Fulan serta Fulan — mereka berdua dalam keadaan sehat jasmani, tidak memiliki penyakit ataupun gangguan lain, bebas dalam urusan hartanya — pada bulan sekian dari tahun sekian. Ia membeli darinya seorang budak laki-laki berpostur sedang, berkulit putih, bertubuh bagus, berambut keriting, bermata lebar, gigi serinya renggang, alisnya tipis melengkung, rupawan, bernama Fulan, dengan harga sekian dinar, dinar-dinar yang utuh, seimbang, dan baik.

Setelah Fulan dan Fulan mengenal dan melihat langsung budak tersebut, Fulan menerima budak itu dari Fulan, dan Fulan menerima pembayaran dari Fulan secara penuh setelah akad jual beli dilakukan dan keduanya berpisah dari tempat akad, hingga masing-masing tidak lagi bersama yang lain, dan mereka telah sama-sama rela dengan transaksi tersebut.

Maka Fulan memiliki atas Fulan hak jual beli Islam dan tanggung jawabnya, tanpa cacat, tanpa penyakit, tanpa aib lahir atau batin, tanpa kekurangan. Maka apa pun yang menimpa Fulan terhadap budak tersebut atau sebagian darinya, maka menjadi tanggungan Fulan untuk menyelesaikannya kepada Fulan, hingga budak itu diserahkan sesuai yang dijanjikan atau uangnya dikembalikan secara utuh, yaitu sekian dinar, dinar-dinar yang bagus dan seimbang. Telah menyaksikan atas pengakuan Fulan dan Fulan, serta pengenalan mereka terhadap orang-orang tersebut dan nasab mereka, yakni Fulan dan Fulan.

[Pembelian Budak Lain]

Ini adalah pernyataan bahwa Fulan bin Fulan al-Fulani telah membeli dari Fulan bin Fulan al-Fulani seorang budak laki-laki muda dari suku Barbar, berpostur sedang, bertubuh bagus, berambut keriting, bermata lebar, gigi serinya renggang, alisnya tipis melengkung, rupawan, bernama Fulan, dengan harga sekian dinar, dinar-dinar yang seimbang, utuh, dan bagus. Fulan bin Fulan telah menyerahkan budak yang dijelaskan dalam surat ini kepada Fulan, dan Fulan telah menerimanya darinya. Fulan juga telah menyerahkan uang tersebut kepada Fulan dan telah bebas darinya.

Mereka berdua telah berpisah setelah melakukan akad jual beli dan penyerahan, dan masing-masing telah mengetahui apa yang dijual dan dibeli. Disaksikan atas pengakuan Fulan dan Fulan, serta pengenalan terhadap nama dan nasab mereka, dan bahwa keduanya dalam keadaan sehat akal dan jasmani, serta sah urusannya saat melakukan jual beli atas budak tersebut, dan mereka meminta kesaksian dalam surat ini pada bulan sekian dari tahun sekian. Disaksikan oleh Fulan dan Fulan.

 

(Berkata al-Syafi‘i – -): Ini adalah minimal yang aku ketahui dalam penulisan tanggungan jual beli.

(Berkata al-Syafi‘i – -): Siapa yang membeli, maka ia berhak atas jaminan Islam — tanpa cacat, tanpa aib, tanpa penyakit, dan tanpa sesuatu yang mengurangi harga budak, baik sedikit maupun banyak. Maka pembeli berhak menyelesaikan masalah tersebut atau meminta pengembalian harga secara utuh. Baik hal itu disyaratkan dalam akad maupun tidak — persyaratan hanya untuk kehati-hatian karena ketidaktahuan hakim. Dan jika tidak disebutkan kondisi fisik dan akal mereka berdua serta keabsahan kepemilikan harta mereka, maka akad tetap sah hingga diketahui sebaliknya. Namun sebaiknya tidak ditinggalkan. Dan jika tidak dilakukan perpisahan setelah jual beli dan penyerahan dengan kerelaan, juga tidak membatalkan. Karena jika keduanya kembali setelah satu hari atau lebih, maka itu berarti telah terjadi perpisahan setelah akad.

Jika tidak disebutkan pelepasan tanggung jawab terhadap harga, dan penyerahan telah terjadi, maka tidak mengapa. Dan jika tidak disebutkan tanggal dalam surat jual beli pun tidak membatalkan, hanya saja aku tidak menyukai ada yang ditinggalkan dalam surat jaminan sebagai bentuk kehati-hatian baik bagi penjual maupun pembeli. Minimal yang sah dalam surat jaminan adalah penyebutan ciri pembeli, harga, dan penyebutan penyerahan. Setelah itu, pembeli berhak atas semua syarat yang telah kami sebutkan meskipun tidak disebutkan dalam akad.

Demikian pula penulisan pembelian budak perempuan, baik kecil maupun besar, hasil tawanan maupun kelahiran rumah, masing-masing dijelaskan jenis dan ciri-cirinya. Disebut “kelahiran rumah” jika memang demikian. Demikian pula dalam pembelian seluruh hewan: unta, sapi, kambing, kuda — baik asli Arab, campuran, kuda pekerja — bagal, keledai, dan hewan lainnya.

Kuda dijelaskan tanda tubuhnya, ditulis: membeli seekor kuda berwarna kemerah-merahan, dengan tanda putih menyebar, berkaki putih hingga lutut, bertubuh sedang, kuat tubuhnya, tulang bahunya keras, bokongnya bundar, bagian kepala bersinar, telinga terpotong, gigi geraham sebelah, dan gigi dewasa di sisi lainnya. Dari jenis kuda yang dikenal dari Bani Fulan, hasil ternak dari daerah tertentu. Lalu dijelaskan proses penyerahan uang dan penyerahan kuda serta perpisahan setelah akad dengan kerelaan seperti dalam pembelian budak, dan jaminannya seperti dalam pembelian budak.

Jika membeli unta, ditulis: membeli seekor unta dari ternak yang dikenal milik Bani Fulan, berwarna coklat kekuningan, besar tubuhnya, dewasa, memiliki tanda milik Bani Fulan di lokasi tertentu, bertubuh kuat, bibir bawah menjuntai, moncong ramping, kepala besar.

Jika hewan memiliki ciri lain, maka dijelaskan cirinya. Kemudian disusun suratnya seperti penulisan budak dan kuda. Aku mengatakan “dari ternak yang dikenal milik Bani Fulan” dan bukan “dari ternak Bani Fulan” sebagai bentuk kehati-hatian dari kemungkinan tuntutan ahli waris dan untuk menjaga kehati-hatian hakim.

Penulisan surat jual beli semua hewan seperti penulisan jual beli budak, kuda, dan unta. Jika budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya menjual bagian miliknya, maka jual beli sah, dan pembeli menggantikan posisi penjual dalam setengah bagian yang dibeli. Jika pemilik setengah budak lainnya menuntut hak syuf‘ah, maka menurutku tidak berhak atas syuf‘ah.

Jika seseorang berkata: “Mengapa tidak diberlakukan hak syuf‘ah dalam segala hal, sebagaimana pada tanah?” Maka dijawab: Kami melihat umat Islam berpendapat bahwa seseorang boleh menjadi pemilik bersama dengan orang lain, dan tidak berhak mengeluarkan orang tersebut dari kepemilikan meskipun dengan membayar nilainya lebih tinggi atau lebih rendah. Begitu pula jika ia wafat dan diwarisi oleh anak-anaknya atau orang lain, tidak bisa dikeluarkan dari hak warisnya kecuali dengan kerelaan. Demikian pula jika bagian miliknya dihibahkan, tidak bisa mengeluarkan penerima hibah tanpa persetujuannya. Dan mereka berkata demikian dalam semua kepemilikan yang diperoleh seseorang dari orang lain selain melalui jual beli — tidak membedakan antara tanah dan selainnya.

Lalu Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bersabda: “Syuf‘ah hanya berlaku pada sesuatu yang belum dibagi. Jika telah dibagi dan batas serta jalan telah ditetapkan, maka tidak ada syuf‘ah.” Maka sunnah Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – menjadi bukti jelas bahwa tidak ada syuf‘ah pada hal-hal yang tidak bisa dibagi. Dan tidak ada sesuatu yang bisa dibagi selain dengan ukuran dan nilai, serta batas tanah, bangunan, dan pohon-pohon di atasnya. Maka kami batasi hak syuf‘ah hanya pada tanah dan yang memiliki tanah secara khusus. Adapun budak, pakaian, dan semua yang bukan tanah atau tidak memiliki tanah seperti tanaman dan bangunan, maka dikeluarkan dari sunnah tentang syuf‘ah dan dikembalikan kepada hukum asal: bahwa siapa pun yang memiliki sesuatu dari orang lain, maka kepemilikannya sah dan tidak bisa diambil tanpa persetujuannya. Wallahu subḥānahū wa ta‘ālā a‘lam.

[Jual Beli dengan Penafian Tanggung Jawab (Barā’ah)]

(Berkata al-Syafi‘i – -): Pendapat yang aku pilih dalam jual beli dengan penafian (barā’ah) adalah bahwa siapa yang menjual hewan dengan barā’ah (penafian tanggung jawab), maka ia bebas dari segala cacat, kecuali cacat yang disembunyikan oleh penjual dari pembeli padahal ia mengetahuinya, sebagaimana keputusan ‘Utsmān bin ‘Affān – رضي الله عنه. Maka jika penjual mengetahui adanya cacat lalu menyembunyikannya, maka jual beli tersebut dibatalkan karena cacat itu. Jika ia berkata, “Aku tidak tahu,” dan ia telah menjualnya dengan barā’ah, maka ucapannya diterima dengan sumpahnya bahwa ia tidak mengetahui adanya cacat yang disembunyikan.

Beberapa ulama menyelisihi kami dalam hal ini. Maka bagi siapa yang ingin mengikuti pendapat kami, hendaklah ia menulis dalam akad:

“Fulan bin Fulan menyerahkan kepada Fulan bin Fulan budak yang disebutkan dalam dokumen ini, yang ia beli darinya, dan telah diterima oleh Fulan setelah Fulan bin Fulan membebaskan dirinya dari tanggung jawab atas segala cacat, baik yang tampak maupun tersembunyi.”

Langkah yang lebih hati-hati adalah tidak menulis ulang dokumen transaksi kecuali dengan redaksi yang disetujui semua hakim, jika memungkinkan.

Sebagian hakim membolehkan redaksi:

“Fulan telah membebaskan dirinya kepada Fulan dari seratus cacat yang ada pada budak yang dibeli ini dan aku telah membebaskannya dari seratus cacat.”

Jika kemudian ditemukan cacat lebih dari seratus, maka boleh dikembalikan; tetapi jika cacat yang ditemukan kurang dari seratus, maka pembeli tidak boleh mengembalikannya karena ia telah dibebaskan dari lebih banyak cacat dari yang ada.

Sebagian hakim tidak membolehkan barā’ah dari cacat yang disembunyikan ataupun yang diketahui, bahkan jika disebutkan jumlahnya sekalipun, kecuali cacat itu telah diperlihatkan oleh penjual kepada pembeli hingga pembeli melihatnya dan mengetahuinya.

Cara paling kuat dalam menulis akad adalah dengan menulis:

“Fulan membebaskan dirinya kepada Fulan dari semua cacat,” kemudian menyebutkan secara rinci — apakah itu luka bakar, bekas luka, kekurangan anggota tubuh, kelebihan anggota, atau lainnya — dengan menjelaskan bentuknya dan letaknya. Kemudian ditulis:

“Dan dari sekian banyak cacat lainnya yang telah ia lihat, Fulan telah mengetahui dan telah membebaskannya darinya setelah mengetahuinya.”

[Perbedaan Pendapat tentang Cacat (al-‘Ayb)]

(Berkata al-Syafi‘i –  -): Jika seseorang menjual seorang budak kepada orang lain tanpa menyatakan barā’ah dari cacat, lalu pembeli menerima budak tersebut, kemudian ia menemukan cacat, dan pembeli berkata kepada penjual, “Cacat ini sudah ada sejak engkau memilikinya,” sedangkan penjual berkata, “Cacat itu muncul setelah ia berada padamu,” maka jika cacat tersebut termasuk yang tidak mungkin muncul baru, seperti jari tambahan atau yang semisalnya yang tercipta sejak lahir, atau bekas luka yang tidak mungkin muncul dalam waktu singkat saat transaksi, maka budak itu dikembalikan kepada penjual tanpa perlu sumpah, jika dua orang ahli terpercaya dari bidang tersebut menyatakan bahwa cacat tersebut memang tidak mungkin muncul belakangan.

Namun jika cacat tersebut tergolong yang mungkin saja terjadi kemudian, maka jual beli tetap sah, dan pembeli tidak bisa membatalkannya.

Maka ucapan penjual diterima dengan sumpahnya, kecuali jika pembeli mendatangkan bukti bahwa cacat itu memang sudah ada sebelumnya, baik dengan pengakuan dari penjual maupun dengan kesaksian dua orang saksi yang melihat cacat tersebut pada budak, maka budak dikembalikan tanpa perlu sumpah. Jika keduanya sepakat bahwa cacat itu memang ada pada budak, namun penjual mengklaim bahwa ia telah membebaskan dirinya dari tanggung jawab terhadap cacat itu (barā’ah), sedangkan pembeli mengingkarinya, maka ucapan pembeli diterima dengan sumpahnya, dan penjual tidak dipercaya bahwa ia telah membebaskan diri kecuali dengan bukti. Jika ia tidak mendatangkan bukti, maka pembeli bersumpah dan hak jual kembali kepadanya.

Dasar pengenalan cacat adalah dengan pernyataan dua orang ahli dalam bidangnya. Jika mereka mengatakan: “Ini adalah cacat yang mengurangi nilai budak, budak perempuan, atau barang yang dibeli, baik berupa hewan maupun selainnya, sedikit atau banyak,” maka itu adalah cacat, dan pembeli berhak memilih untuk mengembalikan atau menerima barang itu. Jika ia memilih tetap membeli setelah mengetahui cacat, maka ia tidak bisa mengembalikannya lagi. Namun jika kemudian diketahui cacat lain yang belum diketahui sebelumnya, maka ia berhak mengembalikan budak karena cacat yang baru ditemukan.

Jika seseorang membeli budak dan ternyata ada cacat yang disembunyikan dan ia baru mengetahuinya setelah muncul cacat baru, maka ia tidak bisa mengembalikan budak karena cacat pertama. Budak dinilai saat sehat dan saat cacat, kemudian selisih harga antara keduanya dikembalikan. Contohnya: ia membeli budak seharga lima puluh dinar, sedangkan harga budak itu jika sehat seratus dinar dan dalam kondisi cacat sembilan puluh, maka ia berhak menerima pengembalian sepersepuluh dari harga jual, yaitu lima dinar. Ia tidak berhak atas sepuluh dinar karena budak itu tidak dijual sesuai nilai sebenarnya. Demikian pula jika ia membeli seharga seratus dinar sementara nilai sebenarnya hanya lima puluh dinar dan cacatnya mengurangi nilai hingga lima dinar, maka ia berhak menerima sepuluh dinar sebagai pengembalian karena itulah dasar harga jual.

Jika penjual rela menerima kembali budak yang cacat tanpa menuntut penggantian nilai cacatnya, maka ia tidak wajib mengembalikannya. Dikatakan kepadanya, “Jika engkau mau, maka terimalah budak itu dalam kondisi cacat, karena jual beli telah sah, kecuali engkau ditipu, maka engkau berhak mengembalikan budak jika mau. Jika tidak, maka pertahankan budak itu dan tidak berhak menuntut ganti rugi atas cacat tersebut.” Jika cacat itu terjadi pada budak perempuan dan pembeli menyetubuhinya tanpa mengetahui cacat tersebut, maka jika budak itu adalah janda, ia boleh mengembalikannya karena cacat tersebut, karena hubungan badan tidak lebih dari sekadar pelayanan. Tetapi jika budak itu masih perawan, maka tidak boleh dikembalikan karena telah kehilangan keperawanan, namun ia berhak menerima pengurangan harga sesuai kadar cacat. Jika ia telah memerdekakan atau menghamilinya, maka itu adalah tindakan yang menghalangi pengembalian, dan ia hanya berhak atas pengurangan harga sesuai kadar cacat. Demikian juga jika budak itu mati di tangannya.

Jika seseorang membeli setengah dari seorang budak, maka ditulis dalam akad:

“Ini adalah pembelian Fulan bin Fulan dari Fulan. Ia membeli setengah dari seorang budak bernama Fulan, remaja, bertubuh sedang, besar kepala, bertulang besar, berpostur sedang, berpenampilan baik, berkulit hitam pekat, seharga sekian dinar emas berbobot, berjenis tunggal, tua, dan bermutu baik. Setelah Fulan bin Fulan dan Fulan melihat budak tersebut dan menyepakati transaksi di tempat itu, lalu mereka berpisah setelah akad berlangsung atas dasar kerelaan, maka Fulan menyerahkan setengah budak tersebut kepada Fulan pembeli, dan pembeli menerimanya sebagaimana seharusnya. Budak yang dijual dihadirkan, dan bagian setengahnya diserahkan kepadanya untuk menggantikan posisi Fulan penjual. Kemudian Fulan menyerahkan pembayaran penuh kepada penjual dan telah selesai, dan Fulan bin Fulan memiliki hak atas penjual dalam akad ini, tanpa penyakit, kerusakan, cela, atau cacat tersembunyi maupun tampak. Maka apa pun yang diderita oleh Fulan dari bagian budak yang dibeli dari Fulan, atau bagian darinya, maka Fulan bertanggung jawab menyelesaikannya, atau mengembalikan harga penuh, yaitu sekian dinar emas berbobot, tua, tunggal, dan bermutu baik. Disaksikan atas pengakuan kedua belah pihak serta pengetahuan mereka tentang nama dan nasab masing-masing, bahwa pada hari akad ini ditulis mereka berdua sehat akal dan jasmani, serta sah bertindak dalam urusan harta mereka. Itu terjadi pada bulan sekian dari tahun sekian.”

Demikian pula akad untuk pembelian sepertiga budak, atau sepertiga budak perempuan, atau hewan tunggangan, dan lainnya. Jika ditemukan cacat dalam bagian budak yang dibeli, maka boleh dikembalikan, meskipun hanya membeli sepersepuluh, karena bagian itu tetap berhak atas bagian cacatnya, sama seperti budak secara keseluruhan. Namun dalam hal penyitaan (istihqāq), ada perbedaan.

Jika seseorang membeli seorang budak, lalu sebagian dari budak itu disengketakan dan ternyata terbukti milik orang lain, maka pembeli memiliki pilihan: mengambil bagian yang tersisa dengan harga yang sesuai, atau mengembalikannya dan meminta pengembalian harga karena barang yang dijual tidak sepenuhnya diserahkan.

Al-Rabi‘ berkata: al-Syafi‘i kemudian merevisi pendapatnya dan berkata: Jika seseorang membeli budak atau sesuatu, lalu sebagian darinya disengketakan dan terbukti bukan miliknya, maka jual beli itu batal, karena satu akad telah mencakup dua hal: yang halal dan yang haram, maka akad tersebut batal dan tidak sah.

(Dia berkata): Jika seseorang membeli setengah dari seorang budak dari satu orang, lalu setengah sisanya disengketakan oleh orang lain yang tidak menjualnya, maka dalam hal ini berbeda hukumnya dengan membeli setengah budak yang tidak disengketakan, dan demikian pula dalam perkara yang serupa dengannya.

Jika seseorang membeli dua orang budak dalam satu transaksi dan ingin menuliskan akad pembeliannya, maka ditulis:

“Ini adalah pembelian Fulan bin Fulan dari Fulan bin Fulan. Ia membeli darinya dua orang budak berkulit hitam, salah satunya adalah budak Nubia berkulit hitam, remaja, berusia lima tahun, berwajah manis, berambut ikal, berpostur tegap, berpenampilan bagus, ringan tubuhnya, rapi giginya, wajahnya tirus. Dan yang lainnya adalah budak Persia bertubuh kekar, berpostur sedang, berkulit hitam pekat, lebar antara kedua pundaknya, berpostur tegap, berambut ikal kasar, tubuhnya bagus, gigi serinya renggang di bagian atas mulutnya, sudah mimpi basah. Fulan bin Fulan membeli kedua budak yang disebutkan sifatnya dalam tulisan ini seharga sekian dinar emas bermutu baik, berbobot, berjenis tunggal, dan tua. Fulan bin Fulan dan Fulan bin Fulan saling bertransaksi atas dua budak itu setelah melihat dan memeriksanya, kemudian Fulan bin Fulan menerima kedua budak itu seperti yang tertulis, dan Fulan bin Fulan menerima pembayaran secara penuh. Keduanya berpisah setelah itu dalam keadaan saling ridha atas jual beli dan saling menerima barang serta pembayaran. Fulan memiliki atas Fulan hak jual beli Islam dan jaminannya, tanpa penyakit, tanpa kerusakan, tanpa cacat yang tampak maupun tersembunyi. Maka apa pun yang terjadi pada Fulan bin Fulan terhadap kedua budak ini, atau salah satunya, atau bagian dari keduanya, maka Fulan bertanggung jawab atas penyelesaiannya, hingga ia menyerahkannya seperti yang dijanjikan, atau mengembalikan harga yang diterimanya secara penuh, yaitu sekian dinar.”

Demikian pula jika ia membeli seorang budak dan seorang budak perempuan, atau tiga budak atau lebih, maka sifat masing-masing dari yang dibeli dijelaskan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, begitu juga harga mereka. Demikian pula jika ia membeli budak dan rumah, atau gabungan barang lain dalam satu transaksi, maka dijelaskan jaminan masing-masing dan sifatnya.

Jika ia membeli dua budak laki-laki dan satu budak perempuan, lalu ingin menuliskan jaminan mereka dan menyebutkan harga masing-masing, maka ditulis:

“Ini adalah pembelian Fulan dari Fulan. Ia membeli darinya seorang budak laki-laki dengan sifat demikian, dan budak laki-laki lainnya dengan sifat demikian, dan seorang budak perempuan dengan sifat demikian. Ia membeli tiga budak tersebut yang disebutkan sifatnya dalam tulisan ini dengan harga seratus dinar. Harga budak Persia dari jumlah seratus dinar itu adalah tiga puluh dinar, harga budak Nubia dua puluh dinar, dan harga budak perempuan lima puluh dinar. Fulan dan Fulan telah bertransaksi atas budak-budak tersebut setelah melihat dan mengenal mereka, dan berpisah setelah akad, dan Fulan telah menerima seluruh pembayaran secara penuh, dan keduanya berpisah dalam keadaan saling ridha. Maka apa pun yang terjadi pada Fulan terhadap apa yang dibeli dari Fulan atau salah satunya, maka Fulan bertanggung jawab atas penyelesaiannya hingga ia menyerahkannya, atau mengembalikan harga secara penuh, yaitu seratus dinar. Fulan memiliki hak atas Fulan dalam jual beli Islam dan jaminannya, tanpa cacat, tanpa kerusakan, tanpa penyakit yang tampak maupun tersembunyi. Disaksikan atas pengakuan Fulan dan Fulan terhadap seluruh isi tulisan ini setelah mereka saling mengetahui dan memahami, dan bahwa pada hari pengakuan ini keduanya dalam keadaan sehat tanpa penyakit dan sah dalam urusan hartanya. Disaksikan oleh Fulan dan Fulan, dan mereka menuliskannya.”

(Dia berkata): Jika kamu ingin menuliskan jaminan atas budak-budak tersebut dengan cara yang lebih jelas dari ini, maka tulislah:

“Ini adalah pembelian Fulan dari Fulan. Ia membeli darinya seorang budak Nubia dengan sifat demikian seharga dua puluh dinar, dan budak Persia dengan sifat demikian seharga dua puluh dinar, dan seorang budak perempuan kelahiran lokal dengan sifat demikian seharga enam puluh dinar. Ia membeli dari Fulan ketiga budak ini, masing-masing dengan harga yang disebutkan. Setelah Fulan dan Fulan mengetahui dan melihat ketiga budak tersebut sebelum dan sesudah jual beli, Fulan menerima mereka dari Fulan, dan Fulan menerima seluruh pembayaran dari Fulan. Keduanya bertransaksi atas dasar hal tersebut dan berpisah setelah jual beli dalam keadaan saling ridha. Fulan memiliki atas Fulan hak jual beli Islam dan jaminannya, tanpa penyakit yang tampak maupun tersembunyi. Maka apa pun yang terjadi kepada Fulan dari salah satu pihak dalam budak-budak tersebut, maka Fulan bertanggung jawab atas penyelesaiannya atau mengembalikan harga secara penuh sesuai dengan harga yang tercantum dalam tulisan ini. Jumlah seluruh harga adalah seratus dinar yang telah dirinci sebagaimana tercantum. Disaksikan atas pengakuan Fulan dan Fulan dan pengetahuan mereka atas nama dan nasab masing-masing, dan bahwa pada hari penulisan ini keduanya dalam keadaan sehat dan sah dalam urusan hartanya. Fulan dan Fulan.”

[Dokumen untuk Budak Mukatab yang Dibacakan oleh Imam al-Syafi’i]

(Berkata Imam al-Syafi’i – -):

Ini adalah surat yang ditulis oleh Fulan bin Fulan pada bulan sekian tahun sekian, dalam keadaan sehat tanpa penyakit dan sah dalam pengelolaan hartanya, untuk budaknya Fulan al-Fulani yang memiliki ciri-ciri demikian dan demikian:

“Engkau telah memintaku untuk memukatabimu atas sekian dinar emas murni, yang akan engkau bayarkan kepadaku secara bertahap selama sepuluh tahun. Setiap tahun engkau membayar kepadaku sekian dinar, dan pembayaran pertamamu jatuh tempo pada akhir tahun sekian. Setiap cicilan jatuh tempo tiap akhir tahun, hingga pembayaran terakhir pada akhir tahun sekian. Maka apabila engkau telah membayar seluruh yang menjadi tanggunganmu, yaitu sekian, maka engkau adalah orang merdeka karena Allah Ta‘ala. Tidak ada hak lagi bagiku atau bagi siapa pun atas dirimu. Aku memiliki hak wala’ atasmu dan atas keturunanmu setelahmu. Jika engkau gagal membayar salah satu cicilan tersebut, maka aku berhak membatalkan perjanjian ini.”

Disaksikan atas pengakuan tuan, Fulan al-Fulani, dan budak tersebut atas isi dokumen ini.

[Dokumen Budak Mudabbar]

(Berkata Imam al-Syafi’i – -):

Ini adalah surat yang ditulis oleh Fulan bin Fulan pada bulan sekian tahun sekian, dalam keadaan sehat tanpa penyakit dan sah dalam pengelolaan hartanya, untuk budaknya Fulan al-Fulani yang memiliki ciri-ciri demikian dan demikian:

“Aku telah menjadikanmu mudabbar. Maka apabila aku meninggal dunia, engkau adalah orang merdeka karena Allah Ta‘ala. Tidak ada hak bagi siapa pun atas dirimu. Aku memiliki hak wala’ atasmu dan atas keturunanmu setelahmu.”

Disaksikan atas pengakuan Fulan bin Fulan sang tuan dan Fulan bin Fulan sang budak atas isi dokumen ini.

[Kitab Pengadilan (al-Aqdhiya)]

(Diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman):

Ia berkata, Muhammad bin Idris al-Syafi’i memberitahukan kepada kami:

Allah-lah yang mengetahui rahasia dan akan memberikan balasan atasnya, dan Dia tidak menjadikan seorang pun dari makhluk-Nya berhak menghukumi kecuali atas yang tampak. Maka jika seorang hakim memutuskan berdasarkan lahiriah yang telah Allah tetapkan kepadanya, maka ia tidak berwenang menyentuh batin yang telah Allah khususkan untuk-Nya. Jika hakim memutuskan, sedangkan orang yang dimenangkan mengetahui bahwa keputusan itu benar secara lahiriah di sisi hakim, tetapi batil menurut pengetahuannya sendiri (secara batin), maka tidak halal baginya untuk mengambilnya. Pengambilannya adalah haram baginya. Seorang hakim tidak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu; ia hanya menghukumi berdasarkan yang tampak sebagaimana kami sebutkan. Adapun halal dan haram, tergantung pada pengetahuan si penggugat dan tergugat. Penjelasan lengkapnya berada dalam Kitab al-Aqdhiya, yaitu Kitab Syahadah wa al-Yamin.

(Berkata al-Syafi’i): Anak itu milik pemilik ranjang melalui hubungan biologis yang sah baik karena kepemilikan budak perempuan atau pernikahan.

(Berkata al-Syafi’i – -): Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Ubaidullah bin Abi Yazid dari ayahnya: Umar mengirim panggilan kepada seorang dari Bani Zuhrah yang tinggal bersama kami. Kami pun pergi bersamanya, dan ia ditanya mengenai anak-anak yang lahir di zaman jahiliah. Ia berkata, “Adapun ranjang, maka milik Fulan. Adapun benih (mani), maka milik Fulan.” Umar berkata, “Engkau benar. Tetapi Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa anak itu milik ranjang.”

(Berkata al-Syafi’i – -): Jika seorang laki-laki mengakui telah menyetubuhi budak perempuannya, maka anak dari budak itu adalah anaknya, kecuali jika ia mengklaim telah melakukan istibra’ (menunggu masa suci) setelah bersetubuh dan tidak lagi menyentuhnya. Penjelasan lengkapnya dalam Kitab al-Thalaq.

(Berkata al-Syafi’i – -): Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri atau menceraikannya, lalu masa iddahnya selesai karena wafat atau cerai, kemudian ia menikah lagi dan melahirkan dari suami yang baru dalam waktu kurang dari enam bulan sejak akad pernikahan, maka anak itu milik suami pertama. Jika suami pertama telah wafat, anak itu tetap dinisbatkan kepadanya. Jika ia masih hidup, maka anak itu dinisbatkan kepadanya, kecuali jika ia menafikannya dengan li’an. Jika suami kedua mengklaim anak itu miliknya, maka anak itu tidak dianggap sebagai anaknya, karena anak itu hanya mungkin berasal dari zina, dan anak hasil zina tidak dinisbatkan. Masa kehamilan paling singkat adalah enam bulan penuh.

(Berkata al-Syafi’i – -): Jika dua laki-laki menyetubuhi seorang budak perempuan dalam satu masa suci, lalu budak itu melahirkan anak dan keduanya mengklaim anak itu, maka dilihat kepada ahli qiyafah (ilmu menyerupakan). Siapa yang diputuskan oleh ahli qiyafah, maka anak itu dinisbatkan kepadanya, dan bagi pasangannya wajib membayar setengah mahar dan setengah harga budak itu. Budak itu menjadi ummu walad (ibu anak) bagi yang mendapatkan anak. Jika tidak ada ahli qiyafah, atau ahli qiyafah menyatakan bahwa anak itu mirip dengan keduanya, maka anak itu tidak menjadi anak keduanya atau salah satunya, hingga anak itu baligh dan memilih siapa yang ia ingin dinisbatkan kepadanya. Jika ia telah memilih, maka yang dipilih tidak boleh menafikannya dengan li’an, dan anak pun tidak boleh menolak nasabnya. Hukum terhadap budak perempuan dan maharnya sesuai dengan yang dijelaskan: bahwa pihak yang mendapatkan anak harus membayar setengah mahar dan setengah harga budak serta setengah harga anak saat lahir. Jika anak itu meninggal sebelum baligh dan belum memilih salah satu dari keduanya, maka warisannya ditahan hingga keduanya berdamai. Jika keduanya atau salah satunya meninggal sebelum anak memilih salah satu, maka dari harta masing-masing disiapkan bagian warisan seolah-olah anak itu anak sah. Jika kemudian anak memilih salah satu, maka ia mengambil warisan dari yang dipilih dan sisa warisan dari yang tidak dipilih dikembalikan kepada ahli warisnya.

(Berkata al-Syafi’i – -): Sebagian orang berkata, “Jika seseorang meninggalkan tiga ratus dinar, lalu dibagi oleh dua anaknya, masing-masing mendapatkan seratus lima puluh dinar. Kemudian salah satu dari keduanya mengakui bahwa ada seorang laki-laki lain yang merupakan saudara mereka, sedangkan yang lainnya menyangkalnya.” Maka pendapat yang aku hafal dari ulama Madinah terdahulu adalah bahwa nasab laki-laki tersebut tidak diakui, dan ia tidak berhak mendapatkan harta sedikit pun, karena saudaranya tidak mengakui bahwa ia memiliki utang atau wasiat, melainkan ia hanya mengklaim hak warisan. Dan warisan hanya berlaku jika nasab terbukti. Karena itu, tidak ada hak baginya tanpa nasab, dan nasab hanya dibuktikan dengan pengakuan dua saudara, bukan satu. Maka ia tidak mendapatkan warisan apa pun, karena warisan adalah cabang dari nasab, dan jika nasab tidak terbukti maka cabangnya pun gugur.

(Berkata al-Syafi’i – -): Malik dan Ibn Abi Layla berkata bahwa nasab tidak sah, tetapi ia boleh mengambil lima puluh dinar dari saudara yang mengakuinya. Mereka berpendapat bahwa ia telah mengakui nasabnya atas dirinya dan atas saudaranya, maka ia hanya dibebani tanggung jawab pengakuannya sendiri dan bukan atas orang lain.

Abu Hanifah –  – berkata bahwa nasab tidak sah, namun ia berhak membagi harta warisan bersama saudara yang mengakuinya karena ia telah mengaku bahwa mereka berdua adalah ahli waris yang setara atas harta ayahnya. Pendapat ini paling jauh dari kebenaran menurut kami, dan Allah Maha Mengetahui. Setiap orang yang mendengar pendapat-pendapat ini, mungkin akan menemukan kecenderungan kepada salah satunya.

(Berkata al-Syafi’i – -): Tidak boleh dicampurkan satu jenis harta dengan jenis lainnya dalam pembagian—tidak boleh mencampur anggur dengan cuka, atau satu jenis pohon dengan jenis lainnya. Jika suatu jenis pohon tumbuh dengan air yang berbeda dengan yang lainnya, maka tidak boleh dibagi bersama karena perbedaan nilai dan cara hidupnya. Maka tidak boleh mencampur hasil pengairan sumur dengan tanaman tadah hujan, atau sebaliknya, atau mencampur ladang tadah hujan dengan pohon kurma yang disiram oleh sungai yang alirannya stabil, karena nilai pasar mereka berbeda-beda. Adapun “ba‘l” adalah tanaman yang akarnya telah mencapai sumber air, sehingga tidak membutuhkan siraman, sedangkan “nadh” adalah tanaman yang disiram dengan air sumur.

(Berkata al-Syafi’i – -): Tidak boleh memberatkan denda (ganti rugi) atas seseorang dalam hal harta. Sanksi hanya berlaku pada tubuh (hukuman fisik), bukan pada harta. Kami meninggalkan pendapat untuk menggandakan denda karena Nabi ﷺ memutuskan dalam kasus unta milik al-Bara’ bin ‘Azib yang merusak kebun, bahwa pemilik hewan bertanggung jawab menjaga ternaknya di siang hari. Sedangkan kerusakan yang terjadi di malam hari adalah tanggungan pemiliknya. Maka kerusakan itu hanya diganti dengan nilai setara, bukan dua kali lipat. Dan tidak diterima klaim sepihak tanpa bukti, karena Nabi ﷺ bersabda: “Bukti atas penggugat, dan sumpah atas tergugat.”

[Adab Hakim dan Hal-hal yang Disunnahkan bagi Hakim]

Diriwayatkan kepada kami oleh al-Rabi‘ bin Sulaiman, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami al-Syafi‘i, Muhammad bin Idris:

Aku menyukai jika seorang hakim memutuskan perkara di tempat terbuka yang bisa diakses oleh masyarakat, tidak terhalangi oleh tabir, dan berada di tengah kota. Hendaknya tidak di dalam masjid karena masjid didatangi banyak orang bukan untuk perkara pengadilan, dan sebaiknya dipilih tempat yang paling cocok baginya dan yang paling mungkin membuatnya tidak cepat merasa bosan di situ.

(Berkata): Jika aku tidak menyukai ia memutuskan perkara di masjid, maka lebih aku benci lagi jika ia menegakkan hudud atau menjatuhkan hukuman ta’zir di dalam masjid.

(Berkata Imam al-Syafi‘i – -): Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan marah. Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan dari ‘Abd al-Malik bin ‘Umayr dari ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara (atau: seorang penguasa tidak boleh mengadili antara dua pihak) dalam keadaan marah.”

(Berkata Imam al-Syafi‘i – -): Hadis Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan marah, dan itu bisa dipahami karena marah akan mengubah akal dan pemahaman. Maka jika seseorang mengetahui bahwa marah telah mengubah akalnya atau pemahamannya, hendaknya ia tidak memutuskan perkara dalam kondisi seperti itu. Jika seseorang sedang sakit, lapar, gelisah, sedih, atau terlalu gembira sehingga itu mengganggu pemahamannya atau akhlaknya, maka aku tidak menyukai jika ia memutuskan perkara. Namun, jika kondisi tersebut tidak mempengaruhi akalnya, pemahamannya, atau akhlaknya, maka ia boleh memutuskan perkara.

Adapun mengantuk, maka ia menguasai hati seperti pengaruh pingsan, maka tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan mengantuk atau ketika hatinya tenggelam oleh kesedihan atau sakit yang mempengaruhi pikirannya.

(Berkata): Aku membenci seorang hakim melakukan jual beli atau memperhatikan urusan nafkah keluarganya atau mengurus sawah ladangnya, karena hal-hal itu lebih menyibukkan pikirannya daripada marah. Semua yang menyibukkan pikirannya saat ia berada di majelis pengadilan, maka aku membencinya. Namun, jika ia tetap melakukan jual beli, maka aku tidak membatalkannya, karena hal itu tidak haram—hanya saja dibenci karena bisa menyibukkan pikiran.

Demikian pula, jika ia memutuskan perkara dalam kondisi yang aku benci itu, maka aku tidak membatalkan keputusannya kecuali jika ia memutuskan bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah, atau hal-hal lain yang menjadi sebab batilnya keputusan.

(Berkata): Jika dua orang bersengketa di hadapan hakim, lalu hakim melihat salah satunya bersikap keras kepala (suka membantah tanpa dasar), maka ia menasihatinya. Jika orang itu mengulanginya, maka hakim boleh menghardiknya, namun tidak boleh memenjarakan atau memukulnya kecuali jika ia melakukan perbuatan yang layak untuk dipenjara atau dipukul. Jika kebenaran sudah nyata baginya, maka hakim menetapkan keputusan atasnya.

[Pengakuan, Ijtihad, dan Hukum Berdasarkan Lahiriah]

Diriwayatkan kepada kami oleh al-Rabi‘ bin Sulaiman, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami al-Syafi‘i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Zainab binti Abi Salamah dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia, dan kalian berselisih perkara kepadaku. Boleh jadi salah seorang dari kalian lebih fasih menyampaikan hujahnya daripada yang lain, maka aku memutuskan untuknya berdasarkan apa yang aku dengar darinya. Maka siapa pun yang aku beri keputusan dari hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, karena aku sesungguhnya memotongkan untuknya sepotong dari api neraka.”

(Berkata al-Syafi‘i – -): Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa para imam (hakim) hanya dibebani untuk memutuskan berdasarkan lahiriah, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: “maka aku memutuskan untuknya berdasarkan apa yang aku dengar darinya”. Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa bisa jadi perkara itu secara batin diharamkan atas orang yang diputuskan untuknya, dan beliau membolehkan memutuskan perkara berdasarkan lahiriah.

Dalam hadis itu juga terdapat dalil bahwa keputusan seorang hakim tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, karena sabdanya: “janganlah ia mengambilnya.” Dan dalil bahwa setiap hak yang ditetapkan bagiku melalui bukti atau keputusan hakim, kemudian aku mengakui sebaliknya, maka perkataanku yang diakui—berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “janganlah ia mengambilnya”—karena secara batin itu bukan miliknya.

Apabila batin telah tampak melalui pengakuannya, dan itu mungkin terjadi, maka ia dihukumi berdasarkan itu, yaitu tidak boleh mengambilnya. Jika ia tidak mengambil, maka berarti tidak sah baginya mengambil, dan pengakuannya membatalkan bahwa ia memiliki hak atas apa yang telah diputuskan baginya.

Ini juga menunjukkan bahwa keputusan atas manusia berdasarkan apa yang diucapkan oleh mereka, meskipun mungkin niat mereka atau yang tersembunyi dari mereka berbeda, karena sabda Nabi ﷺ: “aku memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar dari keduanya”. Maka keputusan itu berdasarkan pada ucapan, bukan pada yang tersembunyi. Apa yang tersembunyi diserahkan kepada diri mereka sendiri.

Juga menjadi dalil bahwa tidak halal bagi seorang hakim untuk memutuskan sesuatu atas seseorang kecuali berdasarkan ucapan yang terucap, dan tidak boleh memutuskan berdasarkan sesuatu yang Allah sembunyikan darinya, seperti niat, sebab, prasangka, atau tuduhan, karena sabda Nabi ﷺ: “berdasarkan apa yang aku dengar dari keduanya.” Dan sabda beliau: “janganlah ia mengambilnya” menunjukkan bahwa keputusan itu berdasarkan ucapan, meskipun batinnya mungkin berbeda, dan Rasulullah ﷺ menyerahkan urusan batin itu kepada mereka.

Barang siapa yang memutuskan berdasarkan dugaan kepada penanya, atau berdasarkan anggapan bahwa ia dilahirkan dengan sifat tertentu, atau bukan berdasarkan ucapan kedua pihak, maka itu bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi ﷺ. Sebab, Allah telah mengkhususkan ilmu gaib bagi-Nya, dan orang ini mengklaim mengetahui hal itu, sementara Rasulullah ﷺ sendiri memutuskan berdasarkan apa yang beliau dengar dan mengabarkan bahwa yang tersembunyi dari mereka bisa jadi berbeda dari lahiriahnya, sebagaimana sabda beliau: “maka janganlah ia mengambilnya.”

Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling layak mengetahui hal ini, karena kedudukannya yang Allah tempatkan dan karena kemuliaan kenabian serta wahyu yang turun kepadanya. Maka beliau menyerahkan perkara gaib kepada masing-masing orang.

Salah satu contohnya adalah keputusan beliau kepada anak yang disengketakan antara dua orang—beliau memutuskannya untuk ‘Abd bin Zam‘ah berdasarkan zahir (karena anak itu lahir di atas ranjang Zam‘ah), namun kepada Saudah beliau bersabda: “Berhijablah darinya,” karena beliau melihat kemiripan yang jelas. Maka beliau tetap memutuskan berdasarkan zahir, yakni ranjang Zam‘ah.

Dan dalam hadis ini juga terdapat dalil bahwa siapa saja yang mengambil harta seorang Muslim secara tidak sah, maka ia telah mengambil potongan dari api neraka. Dan harta fai’ adalah milik kaum Muslimin. Maka berdasarkan qiyas, siapa pun yang diberi bagian dari harta itu padahal ia tidak berhak atau tidak pantas menerimanya, berarti ia telah mengambil dari harta kaum Muslimin, dan seluruh kaum Muslimin lebih berhak untuk dihormati dibandingkan satu orang dari mereka. Maka orang itu telah mengambil potongan dari api neraka.

Jika suatu saat ditemukan hartanya atau ditemukan orang yang wajib mengembalikannya, maka diambil dari hartanya sejumlah yang telah ia ambil secara tidak sah, lalu dikembalikan ke Baitul Mal kaum Muslimin.

(Berkata al-Syafi‘i – -): Telah mengabarkan kepada kami al-Darawardi dari Yazid bin ‘Abdullah bin al-Hād dari Muhammad bin Ibrahim bin al-Hārith dari Bisyr bin Sa‘īd dari Abī Qays maula ‘Amr bin al-‘Āṣ dari ‘Amr bin al-‘Āṣ bahwa ia mendengar Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bersabda:

“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Dan apabila ia memutuskan lalu berijtihad dan keliru, maka baginya satu pahala.”

Yazid berkata: Aku menyampaikan hadis ini kepada Abu Bakr bin Ḥazm, lalu ia berkata: Demikian pula Abu Salamah bin ‘Abd al-Raḥmān telah menceritakan kepadaku dari Abu Hurairah.

(Berkata al-Syafi‘i – -): Makna ijtihad dari seorang hakim hanyalah berlaku ketika tidak terdapat dalam perkara tersebut dalil dari al-Kitab, tidak pula dari Sunnah, dan tidak pula ijma’. Maka apabila ada sesuatu dari itu semua, maka tidak boleh ijtihad.

Jika ada yang bertanya: Dari mana engkau menyimpulkan hal ini padahal hadis Nabi – صلى الله عليه وسلم – secara lahir menunjukkan kebolehan ijtihad? Maka jawabnya adalah: Dalil yang paling dekat adalah sabda Nabi – صلى الله عليه وسلم – kepada Mu‘ādz bin Jabal, “Dengan apa engkau memutuskan?” Ia menjawab, “Dengan Kitab Allah – عز وجل -.” Nabi berkata, “Jika tidak ada?” Ia menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Nabi berkata lagi, “Jika tidak ada?” Ia menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Nabi pun bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah dengan apa yang diridai Rasulullah.”

Nabi – صلى الله عليه وسلم – memberitakan bahwa ijtihad dilakukan setelah tidak ditemukan dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan karena firman Allah – عز وجل -: {وأطيعوا الله وأطيعوا الرسول} [al-Mā’idah: 92], dan aku tidak mengetahui ada perbedaan di antara para ulama dalam hal ini.

Juga hal itu ditemukan dalam sabda Nabi – صلى الله عليه وسلم – “Jika dia berijtihad” Karena ijtihad bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang timbul dari dirinya sendiri. Maka apabila demikian, maka Kitab Allah, Sunnah, dan ijma‘ lebih utama daripada pendapatnya sendiri. Barang siapa berkata bahwa ijtihad lebih utama, maka ia telah menyelisihi Kitab dan Sunnah dengan pendapatnya.

Kemudian ia seperti orang yang berada di Mekkah dan dapat melihat Ka‘bah secara langsung, maka tidak boleh baginya untuk tidak melihat langsung. Dan barang siapa yang jauh dari Ka‘bah maka ia menghadap ke arah kiblat dengan ijtihad.

Jika ada yang bertanya: Apa dalil bahwa hakim tidak boleh berijtihad kecuali di atas Kitab atau Sunnah padahal Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bersabda, “Apabila hakim berijtihad” dan Mu‘ādz berkata, “Aku berijtihad dengan pendapatku,” dan Nabi ridha dengan itu, tidakkah ini menunjukkan kebolehan ijtihad tanpa Kitab dan Sunnah?

Dijawab: Karena firman Allah – عز وجل – {وأطيعوا الله وأطيعوا الرسول} [al-Mā’idah: 92], maka Allah menjadikan manusia sebagai pengikut keduanya. Kemudian Allah tidak membiarkan mereka begitu saja. Dan firman Allah – عز وجل -: {اتبع ما أوحي إليك من ربك} [al-An‘ām: 106], serta firman-Nya: {من يطع الرسول فقد أطاع الله} [an-Nisā’: 80], maka Allah mewajibkan kita untuk mengikuti Rasul-Nya.

Maka apabila Kitab dan Sunnah adalah dua pokok yang diwajibkan oleh Allah – عز وجل – dan tidak ada perbedaan di antara keduanya, dan keduanya adalah sumber hukum

Kemudian ia berkata: “Apabila dia berijtihad”, maka ijtihad itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang muncul dari dirinya sendiri. Dan ia tidak diperintahkan untuk mengikuti dirinya sendiri, melainkan diperintahkan untuk mengikuti selain dirinya. Maka, jika ia berijtihad berdasarkan dua pokok yang telah Allah wajibkan atasnya, maka itu lebih utama daripada ijtihad berdasarkan sesuatu selain keduanya yang tidak diperintahkan untuk diikuti, yaitu pendapatnya sendiri, yang tidak diperintahkan untuk diikuti.

Jika dasar pokok adalah bahwa tidak boleh seseorang mengikuti dirinya sendiri, tetapi harus mengikuti selain dirinya, dan ijtihad adalah sesuatu yang ia ciptakan dari dirinya sendiri, maka istihsan pun masuk kepada pelakunya sebagaimana ijtihad atas dasar selain Kitab dan Sunnah. Barang siapa mengatakan keduanya, maka ia telah mengucapkan sesuatu yang besar, karena ia telah meletakkan dirinya dengan pendapat, ijtihad, dan istihsannya pada tempat selain Kitab dan Sunnah, dan menjadikannya sebagai pokok ketiga yang diperintahkan manusia untuk mengikutinya. Ini bertentangan dengan Kitab Allah – ‘Azza wa Jalla – karena Allah hanya memerintahkan ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.

Orang yang berkata demikian telah menambahkan pendapat lain yang berdiri sendiri tanpa dalil dalam Kitab, Sunnah, ijma‘, maupun atsar. Jika Kitab dan Sunnah ada, maka keduanya adalah pokok; dan jika tidak ada, maka qiyas dilakukan atas dasar keduanya, bukan atas selainnya.

Jika ada yang bertanya: “Apa contoh hal ini?” Maka jawabnya: seperti kiblat. Barang siapa melihat Ka‘bah, ia harus shalat menghadapnya; dan barang siapa jauh darinya, ia menghadap dengan berdalil kepadanya, karena ia adalah asal. Jika ia shalat dengan hanya mengandalkan pendapatnya tanpa berdalil, maka ia salah dan wajib mengulanginya. Begitu juga ijtihad: barang siapa berijtihad atas dasar Kitab dan Sunnah, maka itulah yang benar. Dan barang siapa berijtihad atas selain keduanya, maka ia salah.

Seperti firman Allah Ta‘ala: {فجزاء مثل ما قتل من النعم} (al-Mā’idah: 95), yaitu balasan binatang ternak yang sepadan dengan yang dibunuh. Padahal binatang yang dibunuh mungkin tidak terlihat. Maka, ia berijtihad atas dasar hewan yang dibunuh, lalu melihat yang paling mirip dengannya, dan menghadiahkan (membayarnya). Ini menunjukkan bahwa Allah tidak membolehkan ijtihad kecuali atas dasar pokok, karena Allah memerintahkan yang serupa dengan yang dibunuh, dan yang serupa itu ditentukan dengan dasar, bukan tanpa dasar.

Juga seperti azan Ibn Umm Maktum pada masa Nabi – صلى الله عليه وسلم -, ia seorang buta yang tidak mengumandangkan azan kecuali setelah dikatakan kepadanya: “Engkau telah masuk pagi.” Maka jika ijtihad tanpa dasar dibolehkan, tentu Ibn Umm Maktum boleh azan tanpa diberitahu orang lain bahwa fajar telah terbit. Tapi karena ia tidak memiliki sarana untuk berijtihad atas dasar yang benar, maka tidak sah azannya kecuali setelah diberitahu oleh orang yang telah berijtihad atas dasar tersebut.

Jika ia mengabarkan bahwa fajar telah terbit tanpa ijtihad atas dasar yang sah, maka itu akan menyebabkan pengharaman makan yang halal bagiku, dan penghalalan shalat yang haram bagiku sampai waktunya tiba. Begitu pula jika seorang hakim memutuskan tanpa dasar bahwa seorang laki-laki yang memiliki empat istri telah haram atas salah satunya, atau bahwa yang kelima menjadi halal, maka semua itu hanya dengan pendapatnya sendiri.

Kalau begitu, orang buta pun bisa shalat dengan pendapatnya sendiri, padahal ia tidak punya pendapat (berdasar). Ia bisa saja shalat tanpa mengetahui apakah matahari telah tergelincir atau belum, hanya berdasarkan pendapat. Ia juga bisa berpuasa Ramadhan hanya dengan pendapat bahwa hilal telah terlihat. Ia juga bisa meninggalkan dalil-dalil arah kiblat, lalu hanya mengikuti pendapat sendiri tanpa dasar.

Sebagaimana jika Kitab dan Sunnah telah ada, lalu aku memerintahkan seseorang untuk meninggalkan dalil dan berijtihad dengan pendapat sendiri, maka itu bertentangan dengan firman Allah: {وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره} (al-Baqarah: 144), dan firman-Nya: {حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر} (al-Baqarah: 187), dan sabda Nabi – صلى الله عليه وسلم -: “Berpuasalah karena melihatnya (hilal)”, serta shalat Nabi – صلى الله عليه وسلم – setelah matahari tergelincir.

Jika diperbolehkan bagi siapa saja, baik yang mengetahui Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya – صلى الله عليه وسلم – atau tidak, untuk berijtihad dalam hal yang tidak terdapat dalam keduanya hanya dengan pendapat tanpa qiyas terhadap keduanya, maka ia tidak akan luput dari kemungkinan benar atau salah. Tetapi itu bukan berdasarkan pokok yang diperintahkan untuk diikuti. Maka, jika ia berijtihad atas dasar keduanya, maka ia telah melaksanakan kewajibannya.

Namun, ia telah membolehkan bagi siapa saja yang tidak mengetahui Kitab dan Sunnah, dan bahkan orang yang paling bodoh dalam hal yang tidak terdapat nashnya, untuk memiliki pendapat yang setara dengan orang yang mengetahui keduanya. Karena jika dasarnya adalah bahwa orang yang mengetahui keduanya boleh berijtihad tanpa dasar keduanya, maka orang yang tidak mengetahui pun demikian.

Maka tidak ada perbedaan antara yang tahu dan yang tidak tahu dalam hal ijtihad tanpa dasar. Hanya saja yang tahu lebih utama dari yang tidak tahu karena mengetahui nash, tetapi dalam ijtihad keduanya sama. Ia telah menyamakan antara orang alim dan orang bodoh dalam memahami sesuatu yang tidak memiliki nash, sehingga orang bodoh bisa membuat qiyas sendiri dan meneladani pendapatnya.

Karena jika orang alim saja berijtihad tanpa dasar, maka kebanyakan orang bodoh juga melakukannya, sehingga keduanya setara. Maka setiap orang, baik alim maupun bodoh, jika punya pendapat dan menyukainya, maka boleh mengamalkannya selama tidak ada dalil dari Kitab atau Sunnah. Padahal tidak semua ilmu ada nash dari Kitab dan Sunnah secara tekstual.

Ia telah menjadikan pendapat siapa saja dari manusia, baik bodoh maupun alim, sebagai dasar yang diikuti sebagaimana sunnah, karena ia membolehkan ijtihad tanpa dasar. Dan ini akan menetap dalam dirinya, dan ia akan menganggapnya sebagai haknya, lalu mewajibkan orang lain untuk mengikutinya sebagai kebenaran. Ini bertentangan dengan al-Qur’an, karena Allah telah mewajibkan mereka untuk mengikuti-Nya dan Rasul-Nya – صلى الله عليه وسلم -.

Namun orang yang mengatakan hal ini telah menambahkan pula: mengikuti diri sendiri. Ia telah menempatkan manusia pada posisi yang sangat tinggi tanpa dasar dari Allah atau Rasul-Nya – صلى الله عليه وسلم -.

Jika ada yang berkata: “Bukankah Nabi – صلى الله عليه وسلم – memerintahkan Sa‘d untuk memutus perkara Bani Qurayẓah, lalu Sa‘d memutus berdasarkan pendapatnya, dan Nabi – صلى الله عليه وسلم – bersabda: ‘Engkau telah memutus dengan hukum Allah’?” Maka ini menunjukkan bahwa ia hanya berkata dengan pendapatnya dan hukum tersebut benar, meski tidak didasarkan pada nash dari Nabi – صلى الله عليه وسلم -.

Dan bukankah sekelompok sahabat Nabi – صلى الله عليه وسلم – menemukan ikan besar mati dari laut lalu mereka memakannya, lalu bertanya kepada Nabi – صلى الله عليه وسلم -, dan beliau bersabda: “Apakah masih tersisa dagingnya bersama kalian?”

Ini menunjukkan bahwa mereka memakannya pada saat itu dengan pendapat sendiri. Dan Nabi – صلى الله عليه وسلم – juga mengutus para petugas dan ekspedisi, dan memerintahkan orang untuk menaati mereka selama mereka taat kepada Allah. Sebagian dari mereka pernah melakukan sesuatu dalam peperangan yang dibenci oleh Nabi – صلى الله عليه وسلم -: seperti pria yang berlindung pada pohon lalu dibakar, pria yang diperintahkan masuk ke dalam api, atau yang membawa hadiah, dan semua itu mereka lakukan berdasarkan pendapat sendiri, dan Nabi – صلى الله عليه وسلم – membencinya.

Demikian pula dengan pria yang berkata, “Aku telah masuk Islam karena Allah”, lalu dibunuh, dan Nabi – صلى الله عليه وسلم – membencinya.

Dikatakan kepadanya: Apa yang kamu jadikan hujjah dari ini lebih tepat untuk kami, bukan untukmu. Pertama, Nabi – صلى الله عليه وسلم – memerintahkan bala tentaranya dan para pemimpinnya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan beliau memerintahkan orang yang dipimpin agar menaati pemimpinnya selama mereka taat kepada Allah. Maka jika mereka bermaksiat, tidak ada ketaatan atas mereka.

Dalam dalil yang kamu kemukakan sendiri, terdapat bahwa beliau memerintahkan mereka taat kepada Allah dan para pemimpin mereka jika mereka taat kepada Allah. Jika mereka bermaksiat, tidak boleh ditaati. Dan beliau membenci segala hal yang mereka lakukan dengan pendapat sendiri berupa pembakaran dan pembunuhan, dan membolehkan segala yang mereka lakukan dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Maka kalau tidak ada hujjah bagi kami dalam menolak ijtihad tanpa dasar kecuali hal ini, bahwa Nabi – صلى الله عليه وسلم – membenci dan melarang segala perbuatan berdasarkan pendapat sendiri, maka itu sudah cukup bagi kami.

Dan jika dikatakan: “Tetapi beliau membolehkan pendapat Sa‘d dalam kasus Bani Qurayẓah dan membolehkan makan ikan tersebut tanpa dasar”, maka dijawab: Beliau membolehkannya karena benar, sebagaimana siapa pun yang berpendapat, baik tahu atau tidak, jika di sisi Nabi ada orang yang mengetahui kebenaran dan kesalahannya, maka orang itu boleh membenarkannya jika sesuai dengan kebenaran, bukan karena pendapatnya sendiri tanpa ilmu.

Karena pendapat seseorang tanpa dasar bisa benar dan bisa salah, dan tidak ada seorang pun yang diperintahkan untuk mengikuti kecuali Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya – صلى الله عليه وسلم – yang dijaga dari kesalahan dan dibersihkan darinya. Allah Ta‘ala berfirman: {وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ} (al-Syūrā: 52)

Adapun orang yang pendapatnya kadang salah dan kadang benar, maka tidak ada seorang pun yang diperintahkan untuk mengikutinya. Barang siapa mengatakan kepada seseorang untuk berijtihad dengan pendapat dan istihsannya tanpa dasar, maka ia telah memerintahkan mengikuti orang yang mungkin salah, dan menempatkannya setara dengan Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – yang telah Allah wajibkan untuk diikuti.

Jika orang yang mengatakan ini sadar dan memahami apa yang ia katakan, maka aku melihat bahwa imam wajib melarangnya. Dan jika ia bodoh, maka ia harus diajarkan hingga ia kembali.

Jika dikatakan: “Lalu apa makna sabda Nabi kepadanya: ‘Putuskanlah (hukumlah)’?” Maka dijawab: seperti firman Allah Ta‘ala: {وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ} (Ali ‘Imran: 159), yang bermakna untuk menyenangkan hati orang-orang yang dimintai pendapat atau sebagian dari mereka, dan sebagai bentuk kerelaan terhadap perdamaian serta penghentian perang karena sebab itu, bukan karena Rasulullah membutuhkan pendapat siapa pun. Allah Ta‘ala telah menolong dan menguatkannya. Milik Allah dan Rasul-Nya lah karunia dan keutamaan atas seluruh makhluk, dan seluruh makhluklah yang membutuhkan Allah Ta‘ala.

Maka mungkin sabda Rasulullah ﷺ: ‘Putuskanlah’ itu bermakna demikian. Dan mungkin juga Sa‘d telah mengetahui dari Rasulullah ﷺ suatu sunnah dalam perkara semisal, lalu ia memutuskan berdasarkan itu. Atau bisa jadi ia memutuskan, lalu Allah Ta‘ala membimbingnya kepada perkara yang dikehendaki oleh Rasul-Nya, lalu Rasulullah ﷺ mengetahui kebenarannya dan membenarkannya, atau mengetahui sebaliknya, maka beliau akan beramal dalam perkara itu sesuai ketaatan kepada Allah Ta‘ala.

Jika dikatakan: “Apakah Rasulullah ﷺ menetapkan orang yang mungkin melakukan kesalahan sebagai hakim?” Maka dijawab: Ya. Tidak ada seorang pun dari kalangan manusia yang terbebas dari kesalahan kecuali para nabi – shalawat dan salam Allah atas mereka semua – sebagaimana beliau ﷺ mengangkat para pemimpin (amir) dan sebagian dari mereka melakukan hal-hal yang beliau benci karena kehati-hatian mereka dalam urusan agama, maka beliau mengembalikan mereka dalam hal itu kepada ketaatan kepada Allah Ta‘ala, dan membenarkan apa yang mereka lakukan yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah.

Karena beliau ﷺ hanya membolehkan itu sebagai bagian dari sunnah beliau, sebab Allah Ta‘ala telah memilihnya dengan wahyu dan mengkhususkannya dengan risalah. Maka apa pun yang dilakukan oleh para pemimpin beliau yang beliau benarkan, itu adalah karena ketaatan kepada Allah. Dan apa pun yang beliau benci dari mereka karena dilakukan atas dasar ijtihad sendiri dalam rangka mencari ketaatan kepada Allah, maka beliau membencinya karena Allah.

Tidak ada seorang pun setelah Rasulullah ﷺ yang bisa mengetahui dengan pasti kebenaran atau kesalahan suatu pendapat seseorang. Oleh karena itu, tidak boleh ada orang yang berfatwa dengan pendapatnya sendiri karena tidak ada yang dapat menjelaskan apakah pendapat itu benar atau salah. Kewajiban manusia adalah mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya ﷺ, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Jika ada orang yang tidak memahami keduanya, maka hendaknya ia mengikuti petunjuk (dalil) menuju keduanya. Karena keduanya itulah yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ untuk hamba-hamba-Nya dan mereka diperintahkan untuk mengikutinya.

Jika dikatakan: “Tapi bukankah mereka memakan ikan besar (yang terdampar di laut) tanpa kehadiran Nabi ﷺ dan tanpa dasar hukum?” Maka dijawab: karena keadaan darurat dan kebutuhan mereka untuk memakannya. Dan mereka tidak yakin benar akan kehalalannya. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal itu?

Tidakkah engkau juga melihat bahwa para sahabat Abu Qatadah, ketika ia menangkap hewan buruan, dan mereka tidak dalam keadaan darurat untuk memakannya, mereka menahan diri karena tidak ada dasar (dalil) yang mereka miliki sampai mereka bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu?

[Musyawarah Hakim]

(Imam al-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Aku menyukai seorang qadhi (hakim) untuk bermusyawarah. Namun ia tidak bermusyawarah kecuali kepada orang yang berilmu tentang Kitab (Al-Qur’an), Sunnah, atsar-atsar (riwayat), dan pendapat-pendapat manusia, serta berakal, memahami qiyas (analogi), tidak memutarbalikkan ucapan dan maknanya. Hal ini tidak akan terkumpul dalam diri seseorang hingga ia juga menguasai bahasa Arab. Dan ia tidak boleh bermusyawarah dengannya meskipun sifat-sifat ini ada padanya, hingga ia juga dipercaya dalam agamanya, tidak menginginkan kecuali kebenaran menurutnya.

Dan ia tidak menerima dari orang yang memiliki sifat-sifat ini suatu pendapat yang dia sarankan, kecuali jika ia memberitahunya bahwa saran itu didasarkan pada dalil yang mengikat, seperti Kitab, Sunnah, ijma’, atau qiyas atas salah satunya. Ia juga tidak boleh menerimanya meskipun orang tersebut berkata, “Ini berdasarkan dalil”, sampai ia memahami seperti yang dipahami oleh orang itu dan mengetahui sumbernya. Ia pun tidak boleh menerima pendapat itu meskipun telah memahaminya, sampai ia bertanya: “Apakah ada wajah (makna atau pendapat) lain yang memungkinkan selain yang engkau sebutkan?”

Jika tidak ada wajah lain atau jika pendapat tersebut berasal dari sunnah yang tidak ada perbedaan dalam periwayatannya, maka boleh diterima. Tetapi jika Al-Qur’an memiliki dua wajah (makna), atau sunnah yang diriwayatkan berbeda-beda, atau sunnah yang zhahirnya mengandung dua kemungkinan wajah (makna), maka tidak boleh mengamalkan salah satunya hingga ia menemukan petunjuk dari Kitab, Sunnah, Ijma’, atau Qiyas yang menunjukkan bahwa wajah yang diamalkannya adalah yang wajib diikuti dan lebih utama daripada yang ditinggalkan.

Demikian pula dalam qiyas: tidak boleh mengamalkannya kecuali qiyas tersebut lebih dekat kepada Kitab, Sunnah, atau Ijma’, atau lebih kuat asalnya dibandingkan qiyas yang ditinggalkan. Haram baginya mengamalkan sesuatu selain ini dengan mengatakan “Aku menyukainya (istihsan)”, karena jika ia membolehkan dirinya berucap “aku menyukainya”, maka ia telah membolehkan dirinya membuat syariat dalam agama.

Tidak boleh baginya untuk bertaklid kepada siapa pun dari orang-orang di zamannya, meskipun orang itu lebih utama dalam akal dan ilmu darinya. Dan ia tidak boleh memutuskan (berhukum) kecuali berdasarkan apa yang ia ketahui. Aku perintahkan ia bermusyawarah karena orang yang diajak musyawarah akan mengingatkannya terhadap hal-hal yang ia lalaikan, dan memberinya informasi yang mungkin ia tidak mengetahuinya.

Adapun bertaklid kepada orang yang dimintai pendapat, maka Allah tidak menetapkan hal itu untuk siapa pun setelah Rasulullah ﷺ. Jika berkumpul padanya para ulama pada zamannya atau mereka berpisah, semuanya sama saja: ia tidak boleh menerima (pendapat) kecuali bertaklid kepada Kitab, Sunnah, Ijma’, atau Qiyas yang ditunjukkan kepada dirinya hingga ia memahaminya sebagaimana mereka memahaminya.

Jika dalam akalnya tidak ada kemampuan untuk memahami qiyas ketika ia mendengarnya, atau ketika ia mendengar perbedaan pendapat tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang keliru, maka tidak layak baginya untuk memutuskan (berhukum), dan tidak layak bagi siapa pun untuk mengangkatnya sebagai hakim. Ia harus berusaha menghadirkan pihak-pihak yang berbeda pendapat, karena hal itu lebih kuat dalam menelusuri ilmu dan membuka satu pihak terhadap pihak lain, sehingga mereka saling mengkritik pendapat masing-masing hingga tampak baginya mana pendapat yang paling benar, baik melalui dalil maupun qiyas.

[Putusan Hakim]

(Imam al-Syafi‘i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Jika seorang qadhi telah memutuskan suatu hukum, kemudian ia melihat bahwa kebenaran ada pada selain keputusan tersebut – yakni, jika ia melihat bahwa putusannya yang pertama menyelisihi Kitab, Sunnah, ijma‘, atau makna yang paling sahih dari dua makna yang mungkin terdapat dalam Kitab atau Sunnah – maka ia harus membatalkan keputusan pertamanya terhadap dirinya sendiri. Dan setiap keputusan yang ia batalkan terhadap dirinya, maka ia juga membatalkannya terhadap orang yang telah diputuskan perkara olehnya jika perkara itu diajukan kepadanya kembali. Ia tidak menerima keputusan yang dikirimkan padanya oleh hakim lain.

Namun, jika yang ia lihat hanyalah sebuah qiyas yang lebih baik menurutnya daripada sesuatu yang pernah ia putuskan sebelumnya, dan putusan sebelumnya masih memungkinkan secara qiyas, maka keputusan yang terakhir ini tidak lebih nyata sehingga keputusan yang pertama dianggap salah dalam qiyas. Maka dalam hal ini, ia boleh memulai putusan baru dengan dasar yang terakhir yang ia anggap lebih kuat, tanpa membatalkan keputusan pertama. Dan selama ia tidak membatalkannya terhadap dirinya sendiri, ia juga tidak membatalkannya terhadap siapa pun yang telah diputuskan sebelumnya. Namun, aku tidak menyukai jika ia menjalankan keputusan itu lagi, dan jika hakim lain menulis keputusan tersebut kepadanya, maka ia tidak boleh menjalankannya karena pada saat itu ia memulai putusan baru, dan ia tidak boleh memulai putusan dengan sesuatu yang ia lihat kurang tepat dibandingkan selainnya.

Seorang hakim tidak wajib menelusuri kembali keputusan hakim sebelumnya. Tetapi, jika orang yang telah dijatuhi putusan oleh hakim sebelumnya mengadukan ketidakadilan, maka hakim saat ini harus memeriksa perkara yang diadukan. Jika ia menemukan bahwa keputusan itu bertentangan dengan Kitab, Sunnah, Ijma‘, atau Qiyas, maka ia harus membatalkannya karena itu adalah kesalahan yang tidak bisa ia biarkan. Namun, jika keputusan itu tidak bertentangan dengan hal-hal tersebut, dan yang ia pandang batil hanyalah karena menurutnya ada qiyas lain yang lebih kuat – padahal keduanya sama-sama memungkinkan secara qiyas – maka ia tidak membatalkannya. Sebab, jika kedua makna itu sama-sama memungkinkan, maka tidak bisa dianggap sebagai perpindahan dari kesalahan yang nyata menuju kebenaran yang nyata, sebagaimana dalam hal yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah, atau Ijma‘.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika dua pihak yang bersengketa telah saling menghadirkan bukti dan hujah mereka di hadapan hakim, lalu hakim itu wafat atau diberhentikan, dan digantikan oleh hakim lain, maka hakim baru tidak boleh memutuskan hingga keduanya mengulangi kembali hujah dan bukti mereka di hadapannya. Setelah itu, barulah ia memberikan putusan. Dan hendaknya ia memberi keringanan dalam pengulangan bukti itu, jika mereka termasuk orang yang dikenal dan bisa ditanya. Demikian pula saksi-saksi mereka, harus diulangi kembali penilaian keadilan mereka, namun dengan keringanan dan singkat, agar tidak memakan waktu terlalu lama.

Disukai bagi seorang qadhi atau penguasa untuk mengangkat seseorang yang terpercaya untuk membelikan atau menjualkan barang untuknya. Namun orang itu tidak boleh dikenal sebagai orang yang selalu membeli dan menjual untuknya, karena ditakutkan adanya tindakan memihak berupa penambahan harga saat menjual padanya, atau pengurangan harga saat membeli untuknya. Sebab, hal seperti ini merupakan salah satu bentuk penghasilan buruk yang biasa dilakukan oleh banyak hakim. Akan tetapi, jika ia tidak melakukannya, maka aku tidak akan membatalkan transaksi jual belinya, kecuali jika ia memaksa seseorang untuk melakukan transaksi, maka jual belinya batal, sebagaimana pembatalan jual beli orang awam yang terpaksa.

(Al-Syafi‘i berkata): Aku tidak menyukai jika seorang hakim menolak menghadiri undangan walimah jika ia diundang. Aku juga tidak menyukai jika ia menghadiri sebagian walimah dan meninggalkan yang lain. Hendaknya ia menghadiri semuanya, atau meninggalkan semuanya dengan memberikan alasan, lalu meminta maaf dan meminta mereka merelakannya. Ia juga hendaknya menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, dan menyambut orang yang datang dari perjalanan serta melepas yang hendak pergi.

[Jika Bersengketa di Hadapan Hakim yang Tidak Mengerti Bahasa Pihak yang Bersengketa]

(Imam al-Syafi‘i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Jika dua orang bersengketa di hadapan seorang qadhi yang asing dan tidak memahami bahasa mereka, maka tidak diterima terjemahan darinya kecuali dari dua orang saksi yang adil yang memahami bahasa tersebut tanpa ada keraguan. Jika keduanya ragu, maka tidak diterima terjemahannya dari mereka. Terjemahan ini diperlakukan seperti kesaksian; diterima padanya apa yang diterima dalam kesaksian, dan ditolak padanya apa yang ditolak dalam kesaksian.

[Permasalahan Hakim dan Cara Bertindak Saat Mendengar Kesaksian Para Saksi]

(Imam al-Syafi‘i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Jika para saksi memberikan kesaksian di hadapan hakim, maka jika mereka tidak dikenal, hakim mencatat ciri-ciri fisik masing-masing dari mereka, mencatat nasabnya jika ia memiliki nasab, atau catatan perwaliannya jika diketahui memiliki wali. Hakim juga menanyakan pekerjaannya jika ia memiliki pekerjaan, kunyah-nya jika ia dikenal dengan kunyah, tempat tinggalnya, lokasi tempat berdagangnya, dan tempat ia biasa salat.

Aku menyukai, jika para saksi tidak termasuk orang yang dikenal memiliki reputasi baik dan akal yang matang, agar hakim memisahkan mereka lalu menanyai masing-masing satu per satu mengenai kesaksiannya, hari saat ia menyaksikan kejadian, tempat ia menyaksikannya, siapa yang hadir di sana, dan apakah terjadi percakapan setelah itu. Semua ini harus dicatat.

Demikian pula, jika saksi memiliki reputasi baik namun tidak memiliki akal yang tajam, maka hendaknya hakim memperlakukan mereka seperti yang telah dijelaskan tadi, dan menanyai saksi lainnya yang berada bersamanya dengan pertanyaan serupa, agar dapat mendeteksi adanya cacat dalam kesaksiannya, atau adanya perbedaan antara kesaksiannya dengan kesaksian yang lain, sehingga hakim dapat membuang apa yang wajib dibuang dan menetapkan apa yang wajib ditetapkan.

Namun, jika seseorang telah mengumpulkan reputasi baik dan akal yang matang, maka hakim tidak perlu menahannya lama atau memisahkannya.

Aku menyukai agar para petugas pemeriksa hakim adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dalam makanan dan pergaulan, memiliki akal yang cerdas, terbebas dari permusuhan dengan manusia, dan tidak berat sebelah terhadap siapa pun karena fanatisme atau kebencian. Hendaknya mereka adalah orang-orang yang amanah dalam agama mereka, memiliki kecerdasan dan tidak mudah tertipu, tidak bertanya kepada seseorang tentang musuhnya lalu menyembunyikan yang baik dan menampakkan yang buruk sehingga dianggap celaan, dan tidak bertanya kepada temannya lalu menyembunyikan keburukannya dan menampakkan kebaikannya sehingga dianggap sebagai penilaian baik (ta‘dil).

(Imam al-Syafi’i – rahimahullah – berkata):

Hendaknya seorang hakim berupaya agar tidak dikenal memiliki orang dekat dalam urusan pengaduan, sehingga tidak ada yang bersiasat untuknya. Dan aku memandang bahwa hendaknya dituliskan untuk orang-orang yang mengajukan perkara ciri-ciri para saksi sebagaimana telah aku sebutkan sebelumnya, serta nama-nama orang yang mereka saksikan untuknya dan yang mereka saksikan terhadapnya, dan kadar hal yang mereka saksikan di dalamnya. Kemudian tidak ditanya siapa pun tentang mereka sampai dia diberitahu siapa yang disaksikan untuknya, dan siapa yang disaksikan terhadapnya, serta kadar perkara yang disaksikan.

Karena bisa jadi orang yang ditanya tentang seseorang mengetahui hal yang tidak diketahui oleh hakim, seperti bahwa si saksi adalah musuh orang yang disaksikan atau memiliki kemarahan terhadapnya atau menjadi sekutu dalam perkara yang disaksikan, sehingga hatinya senang untuk menilainya adil dalam perkara kecil namun ragu terhadap perkara besar.

Dan tidak boleh diterima penilaian adil (ta’dil) kecuali dari dua orang, dan begitu juga pertanyaan tentang seseorang hanya boleh dari dua orang. Dan hendaknya disembunyikan dari masing-masing penanya nama yang diberikan kepada yang lain, agar bisa diketahui apakah penilaian mereka serupa atau berbeda. Jika kedua penilaian serupa dalam ta’dil, maka diterima. Jika berbeda, maka ulangi penilaian dengan orang lain. Jika seseorang menilai adil dan yang lain mencela (jarh), maka tidak diterima jarh kecuali dari dua orang saksi. Namun jarh lebih diutamakan dari ta’dil, karena ta’dil berasal dari hal yang tampak, sedangkan jarh bersumber dari hal yang tersembunyi.

Tidak diterima jarh dari siapa pun – baik seorang ahli fikih, orang berakal, orang yang taat beragama, maupun lainnya – kecuali setelah ia menjelaskan sebab-sebab yang membuat orang itu cacat menurut penilaiannya. Jika sebab itu memang termasuk hal yang menyebabkan jarh menurut hakim, maka diterima. Jika bukan, maka tidak diterima. Karena manusia berbeda-beda dalam kecenderungan dan hawa nafsu; sebagian mereka bersaksi atas sebagian lainnya dengan menuduh kafir, dan hal itu tidak boleh diterima oleh hakim, walaupun orang yang menuduh itu orang saleh.

Demi hidupku, orang yang dianggap kafir menurut pandangan seseorang, bisa saja menurut orang lain bukanlah orang yang fasik. Demikian pula sebagian orang menyebut yang lain fasik atau sesat karena perbedaan pandangan, lalu mereka mencelanya. Ada yang menganggap bahwa pengikut aliran tertentu tidak boleh diterima kesaksiannya, lalu mencelanya berdasarkan hal itu. Namun ini bukan alasan untuk mencela seseorang.

Demikian juga seseorang mencela orang lain karena berpendapat bolehnya sesuatu yang diharamkan menurut orang lain, seperti nikah mut’ah, atau berhubungan di dubur, dan semisalnya, yang bukan merupakan alasan jarh menurut para ulama. Maka tidak diterima jarh kecuali dengan kesaksian dari orang yang mencela (jarh) atas orang yang dicela, baik berdasarkan pendengaran atau penglihatan, sebagaimana tidak diterima kesaksian terhadap seseorang dalam hak-hak wajib kecuali demikian.

Banyak orang yang dianggap boleh diterima kesaksiannya justru berlaku zalim, sampai-sampai dianggap bahwa hal kecil yang sebenarnya bukan alasan jarh menjadi sebab dicelanya seseorang.

Aku pernah menghadiri seorang yang saleh mencela seseorang dan bersikeras bahwa ia memang pantas dicela. Lalu ditanya: “Dengan alasan apa engkau mencelanya?” Ia menjawab: “Tidakkah tampak darinya hal-hal yang membuat kesaksiannya tidak layak diterima?” Penanya berkata: “Aku tidak akan menerima darimu kecuali jika engkau menjelaskan.” Ia menjawab: “Aku melihat dia kencing sambil berdiri.” Lalu penanya bertanya: “Apa masalahnya jika ia kencing sambil berdiri?” Ia berkata: “Ia terkena cipratan pada kakinya, betisnya, dan pakaiannya, lalu ia salat sebelum membasuhnya.” Penanya berkata: “Apakah engkau melihat sendiri dia salat sebelum membersihkannya, padahal ia terkena cipratan?” Ia menjawab: “Tidak, tapi aku kira ia akan melakukannya.”

Perilaku semacam ini banyak ditemukan di tengah manusia. Karena jarh itu tersembunyi, maka tidak diterima kecuali dengan penjelasan yang gamblang dari orang yang mencela (jarh), dan tidak diterima ta’dil kecuali dengan penjelasan dari orang yang menilai adil. Ia harus berkata: “Aku menilai dia adil karena aku mengenalnya secara pribadi dan langsung.”

Namun penilaian itu tidak langsung diterima sebelum ditanya sejauh mana ia mengenalnya. Jika ia mengenalnya secara mendalam dan sejak lama, maka diterima. Jika ia mengenalnya hanya secara tampak atau baru-baru ini, maka tidak diterima.

Apa yang Dapat Diterima dari Kesaksian Ahlul Ahwa’ (Pengikut Hawa Nafsu)

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata):

Manusia berselisih dalam menafsirkan Al-Qur’an dan hadits, atau dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, hingga terjadi perbedaan yang sangat besar di antara mereka, dan sebagian dari mereka menghalalkan atas sebagian yang lain perkara-perkara yang kisahnya panjang jika diceritakan. Perselisihan ini telah lama terjadi, sejak masa salaf dan setelah mereka hingga hari ini. Namun kami tidak mengetahui ada seorang pun dari kalangan salaf umat ini yang dijadikan teladan, ataupun dari kalangan tabi’in setelah mereka, yang menolak kesaksian seseorang hanya karena penakwilan, walaupun mereka menganggapnya salah atau sesat, atau menganggap bahwa ia menghalalkan apa yang diharamkan atasnya.

Tidak pernah pula ditolak kesaksian seseorang hanya karena suatu penakwilan yang masih memiliki kemungkinan makna, meskipun penakwilan itu sampai pada tingkat menghalalkan darah dan harta atau sampai pada ucapan yang berlebihan. Sebab kami mendapati bahwa darah adalah perkara paling besar yang dimaksiati kepada Allah setelah syirik, dan ada orang-orang yang karena penakwilan, menghalalkannya dengan berbagai cara, namun para penentang mereka dari kalangan sesama mereka tidak menolak kesaksian mereka hanya karena perbedaan tersebut. Maka setiap orang yang menghalalkan sesuatu karena penakwilan – baik berupa ucapan maupun selainnya – maka kesaksiannya tetap diterima, dan tidak ditolak hanya karena ia salah dalam penakwilan. Karena bisa jadi orang yang menolaknya pun terjatuh dalam kesalahan yang serupa karena penakwilan juga.

Kecuali jika ada di antara mereka yang diketahui menghalalkan memberikan kesaksian palsu terhadap seseorang, karena menganggap bahwa orang itu halal darahnya atau hartanya – maka kesaksiannya ditolak karena kebohongannya. Atau diketahui bahwa dia menganggap boleh memberikan kesaksian untuk orang yang dia percaya, lalu dia bersumpah untuknya atas haknya dan bersaksi dengan pasti, padahal dia tidak menghadiri atau mendengar langsung – maka kesaksiannya ditolak karena kebiasaannya bersaksi palsu. Atau dia diketahui memiliki permusuhan yang nyata terhadap orang yang dia saksikan – maka kesaksiannya ditolak karena adanya permusuhan.

Siapa pun yang termasuk dalam salah satu dari hal-hal tersebut, baik dari kalangan ahlul ahwa’ maupun bukan, maka kesaksiannya ditolak. Dan siapa pun yang selamat dari semua itu, maka kesaksiannya diterima. Kesaksian orang yang meyakini bahwa dusta adalah bentuk kemusyrikan kepada Allah atau dosa yang mengharuskan masuk neraka, lebih layak untuk diterima daripada kesaksian orang yang meremehkan dosa dusta.

Demikian juga, jika seseorang dari kalangan ahlul ahwa’ mencaci sebagian orang dengan anggapan bahwa ia menakwilkannya – bukan karena permusuhan pribadi – maka kami menerima kesaksiannya, karena jika kami menerima kesaksiannya dalam hal yang lebih besar seperti menghalalkan darah, maka kesaksiannya dalam hal mencaci orang lain lebih utama untuk diterima. Sebab dia juga sedang menakwil, dan mencaci itu lebih ringan dari membunuh.

Adapun orang yang mencaci karena fanatisme golongan, atau karena permusuhan pribadi, atau karena ia merasa dicaci lalu membalas dengan cacian, maka ini permusuhan pribadi, dan kesaksiannya terhadap orang yang dia caci karena permusuhan itu ditolak.

Adapun seorang ahli fikih yang ditanya tentang seorang ahli hadits, lalu ia berkata, “Jauhilah haditsnya dan jangan diterima hadits darinya karena ia sering salah atau meriwayatkan sesuatu yang tidak ia dengar,” padahal tidak ada permusuhan di antara mereka, maka ini bukan celaan yang menjadikan pelakunya tercela dalam kesaksiannya. Jika ia bersaksi terhadap orang itu dengan hal semacam ini, kesaksiannya tidak ditolak, kecuali diketahui ada permusuhan di antara mereka – maka penolakannya karena permusuhan, bukan karena ucapannya tadi.

Demikian pula jika dia berkata, “Orang itu tidak mampu memberi fatwa dan tidak menguasainya,” maka ini juga bukan bentuk permusuhan atau ghibah jika dia mengatakannya kepada orang yang dikhawatirkan akan mengikuti si Fulan dan jatuh dalam kesalahan. Ini termasuk kategori kesaksian, dan jika dia bersaksi dengan hal yang lebih besar dari itu, tidaklah termasuk ghibah. Ghibah itu adalah ketika seseorang menyakiti orang lain dengan ucapannya, bukan ketika memberikan kesaksian kepada orang lain untuk mengambil hak dari orang yang disaksikan, baik berupa had, qishash, hukuman, harta, atau had Allah.

Begitu pula seperti yang telah aku sebutkan: jika seseorang tidak tahu aib-aib orang lain, lalu seseorang memperingatkannya agar tidak tertipu dalam urusan agamanya karena orang itu diikuti dalam hal agama, maka ini semua termasuk bentuk kesaksian, bukan ghibah.

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata):

Orang yang menghalalkan nikah mut‘ah, orang yang memberikan fatwa membolehkannya, serta orang yang melakukannya – tidak ditolak kesaksiannya. Demikian pula jika seseorang yang mampu secara finansial menikahi budak perempuan (baik muslimah maupun musyrikah) dan ia menghalalkan pernikahan tersebut, maka kesaksiannya tidak ditolak, karena kami mendapati di antara para mufti dan tokoh masyarakat ada yang menghalalkan hal itu. Demikian juga orang yang menghalalkan jual beli satu dinar dengan dua dinar, atau satu dirham dengan dua dirham secara kontan (tangan dengan tangan), serta orang yang mengamalkannya, karena kami dapati di antara tokoh-tokoh masyarakat ada yang memberikan fatwa dan mengamalkan serta meriwayatkan hal itu. Begitu pula orang yang menghalalkan mendatangi istri dari belakang (dubur) – semua ini menurut kami adalah hal yang makruh dan haram. Meskipun sebagian orang berbeda pendapat dengan kami dalam hal ini dan kami meninggalkan pendapat mereka, namun hal itu tidak mendorong kami untuk mencela mereka atau mengatakan kepada mereka, “Kalian telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan kalian telah keliru,” sebab mereka pun menuduh kami keliru sebagaimana kami menuduh mereka, dan mereka menisbatkan orang-orang yang sependapat dengan kami bahwa mereka telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah Azza wa Jalla.

[Kesaksian Ahlul Asyribah (Peminum Minuman Memabukkan)]

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata):

Siapa yang meminum khamr dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah khamr – yaitu minuman dari anggur murni tanpa campuran air, tanpa dimasak dengan api, lalu difermentasi hingga memabukkan – maka kesaksiannya ditolak, karena pengharaman khamr telah ditegaskan dalam kitab Allah Azza wa Jalla, baik memabukkan atau tidak.

Adapun orang yang meminum selain khamr, seperti campuran anggur dengan air (al-munshaf), dua jenis campuran lainnya, atau selainnya yang tidak lagi disebut sebagai khamr meskipun memabukkan jika diminum banyak, maka menurut kami ia bersalah dan berdosa karena meminumnya, tetapi kami tidak menolak kesaksiannya – sebab hal itu tidak lebih berat dari kesaksian orang yang menghalalkan darah, harta, atau kemaluan yang menurut kami haram, dan kami tetap menerima kesaksian mereka selama tidak mabuk.

Jika ia mabuk karena minuman itu, maka kesaksiannya ditolak karena mabuk adalah hal yang diharamkan oleh seluruh umat Islam, kecuali segelintir golongan yang tidak termasuk golongan orang-orang berilmu.

Apabila orang yang menghalalkan minuman nabidz menghadiri tempat-tempat mabuk bersama orang-orang rendahan dan meninggalkan salat demi minuman tersebut serta menjadikannya sebagai teman akrabnya, maka kesaksiannya ditolak karena ia telah merusak muru’ah (kehormatan diri) dan menampakkan kebodohan. Namun jika tidak melakukan hal-hal tersebut, maka kesaksiannya tidak ditolak hanya karena ia menghalalkan minuman tersebut.

[Kesaksian Ahlul ‘Ashabiyyah (Orang yang Fanatik Golongan)]

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata):

Barangsiapa yang menampakkan sikap fanatik golongan (ʿaṣabiyyah) melalui ucapan, mengajak kepada sikap tersebut, dan menjalin hubungan karenanya – meskipun tidak menyatakan dirinya siap berperang demi golongannya – maka kesaksiannya ditolak, karena ia telah melakukan sesuatu yang haram, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama kaum muslimin tentang hal itu. Seluruh manusia adalah hamba-hamba Allah Ta‘ala. Tak seorang pun keluar dari status sebagai hamba-Nya. Yang paling berhak dicintai adalah yang paling taat kepada-Nya. Di antara orang-orang yang taat kepada Allah, yang paling berhak memperoleh keutamaan adalah yang paling bermanfaat bagi umat Islam secara umum, seperti imam yang adil, alim yang mujtahid, atau orang yang membantu urusan masyarakat umum maupun khusus. Karena ketaatan orang-orang seperti ini mencakup kebaikan secara luas, maka yang banyak ketaatannya lebih baik daripada yang sedikit.

Allah Ta‘ala telah mempersatukan manusia dengan Islam dan menisbatkan mereka kepada-Nya. Maka, itu adalah nasab (kebangsaan) paling mulia.

(Beliau berkata):

Jika seseorang mencintai suatu kaum, maka hendaklah cintanya karena agama. Jika seseorang lebih mengutamakan kaumnya dalam hal kecintaan, selama tidak mendorongnya untuk menzhalimi orang lain atau memberikan sesuatu yang tidak halal, maka itu adalah bentuk silaturahmi, bukan fanatisme. Jarang sekali seseorang tidak memiliki pihak yang dicintai dan yang dibenci. Yang tercela dari kecintaan seseorang terhadap sesama kaumnya adalah jika hal itu membuatnya menzhalimi orang lain, mencela nasab, bersikap fanatik, atau membenci orang hanya karena nasab, bukan karena maksiat kepada Allah atau kejahatan nyata yang dilakukan orang yang dibenci. Seperti mengatakan, “Aku membencinya karena dia berasal dari Bani Fulan” – maka ini adalah bentuk fanatisme murni yang menyebabkan kesaksiannya tertolak.

Jika ada yang bertanya: “Apa dalil dalam hal ini?”

Jawabnya: Allah Ta‘ala berfirman:

{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ}

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. Al-Ḥujurāt: 10),

Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

وكونوا عباد الله إخوانا

“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Maka, siapa pun yang menyelisihi perintah Allah Ta‘ala dan perintah Rasulullah ﷺ dalam perkara ini, tanpa ada alasan yang dibenarkan untuknya – berarti ia telah menetapi suatu bentuk kemaksiatan yang tidak memiliki ruang untuk takwil, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin tentang keharamannya. Maka, orang yang menetapi sikap seperti ini pantas untuk ditolak kesaksiannya.

[Kesaksian Para Penyair]

(Al-Syafi‘i –  – berkata):

Syair adalah perkataan. Yang bagus darinya sebagus perkataan bagus, dan yang buruk darinya seburuk perkataan buruk. Hanya saja ia merupakan perkataan yang kekal dan tersebar luas, maka itu menjadi kelebihan syair dibandingkan perkataan biasa. Maka siapa saja dari para penyair yang tidak dikenal merendahkan kaum muslimin, tidak menyakiti mereka, dan tidak berlebihan dalam hal itu, serta tidak dikenal banyak berdusta dalam pujian-pujiannya, maka kesaksiannya tidak tertolak.

Namun siapa yang sering merendahkan orang lain karena marah atau karena tidak diberi (misalnya tidak diberi harta), hingga itu menjadi sesuatu yang jelas dan tampak nyata, atau siapa yang senang memuji orang lain dengan sesuatu yang tidak benar hingga menjadi nyata dan sangat berlebihan berupa kebohongan murni, maka kesaksiannya ditolak karena dua hal tersebut – bahkan dengan salah satu di antaranya saja.

Jika ia memuji dengan jujur dan kebaikan, atau berlebihan dalam memuji tanpa sampai ke titik dusta murni, maka kesaksiannya tidak tertolak.

Barang siapa menggubah syair asmara (syabib) kepada seorang wanita tertentu yang tidak halal baginya untuk digauli saat ia menggubahnya, dan ia menyebutkan nama wanita itu serta menyebarkan gubahan itu atau gubahan yang semisalnya, maka walaupun ia tidak berzina, kesaksiannya tetap ditolak. Namun jika ia membuat syair asmara tanpa menyebut nama siapa pun, maka kesaksiannya tidak ditolak, karena bisa jadi ia sedang menggubah syair kepada istrinya atau budaknya.

Adapun apakah ia menggunakan syair untuk meminta-minta atau tidak, maka kedudukannya sama.

Serupa dengan syair ini dalam hal yang menyebabkan kesaksian tertolak adalah siapa saja yang merusak kehormatan manusia dan meminta-minta harta mereka. Lalu jika tidak diberi, ia pun mencela mereka.

[Kesaksian Para Periwayat Hadis]

Adapun para periwayat hadis yang dalam riwayatnya terdapat sesuatu yang dibenci oleh orang-orang, maka hal itu tidak menyenangkan, namun tidak sampai menyebabkan kesaksian mereka tertolak. Sebab hampir tidak ada orang dari kalangan periwayat hadis yang luput dari hal ini.

Namun jika hadis yang diriwayatkannya berupa tuduhan kepada keturunan seseorang (seperti menafikan nasab) atau celaan terhadap kehormatan (seperti tuduhan zina), lalu ia banyak meriwayatkannya atau sengaja menyebarkannya, maka kesaksiannya ditolak – meskipun ia tidak banyak meriwayatkannya.

Adapun orang yang meriwayatkan hadis-hadis yang tidak jelas apakah benar atau dusta, meskipun kebanyakan isinya tampak dusta, maka kesaksiannya tidak ditolak karenanya. Begitu juga dengan periwayat zamanmu (wahai penanya), yang menyebarkan kabar angin dan sejenisnya.

[Kesaksian Orang yang Suka Bercanda (Ahli Mazhah)]

Begitu pula dengan orang yang suka bergurau, maka kesaksiannya tidak ditolak selama dalam gurauannya tidak sampai pada penghinaan terhadap nasab, celaan terhadap kehormatan, atau perbuatan keji. Namun jika gurauannya sampai pada hal-hal tersebut dan ia menyebarkannya secara terang-terangan, maka kesaksiannya ditolak.

[Kesaksian Para Pemain (Ahli Permainan)]

(Al-Syafi‘i –  – berkata):

Permainan dadu (nard) lebih dibenci daripada permainan alat musik lainnya menurut orang-orang yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan. Kami juga tidak menyukai permainan catur, meskipun ia lebih ringan dari dadu. Permainan “ḥizzah” dan “qarq” serta segala permainan yang biasa dimainkan manusia juga dibenci, karena permainan bukanlah pekerjaan orang yang beragama dan bermuruah.

Barang siapa bermain salah satu dari permainan ini dengan menghalalkannya, maka kesaksiannya tidak tertolak. Adapun “ḥizzah” adalah potongan kayu berlubang yang mereka gunakan untuk bermain.

Jika seseorang karena permainan ini lalai dari salat, hingga sering melewatkan waktunya dan terus kembali memainkannya hingga kembali melalaikan salat, maka kesaksiannya ditolak karena meremehkan waktu-waktu salat. Sama halnya dengan orang yang duduk (bermalas-malasan) dan tidak menjaga salatnya tanpa lupa atau gangguan akal – maka kesaksiannya pun ditolak.

Jika dikatakan: “Bukankah ia tidak meninggalkan salat sampai keluar waktunya kecuali karena lupa?” Maka dijawab: “Kalau begitu, jangan kembali ke permainan yang menyebabkan lupa.” Dan jika ia kembali padanya padahal tahu bahwa permainan itu membuatnya lupa, maka itu bentuk meremehkan.

Adapun duduk atau lupa tanpa sebab selain lintasan hati yang tidak dapat dicegah oleh siapa pun, maka tidak berdosa atasnya – meski lintasan itu buruk. Namun bermain adalah hal yang bisa dihindari.

Adapun bermain-main seorang laki-laki dengan istrinya, melatih kudanya, mengajarkan kudanya, belajar memanah, atau memanah itu sendiri – semua itu tidak dianggap permainan, dan tidak dilarang.

Seseorang tidak boleh tenggelam dalam aktivitas apapun – baik membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu, atau selainnya – hingga melewatkan waktu salat. Begitu juga ia tidak boleh melakukan salat sunnah hingga melewatkan salat wajib, karena salat wajib lebih utama daripada seluruh salat sunnah.

[Kesaksian Orang yang Mengambil Upah atas Amal Kebaikan]

(Al-Syafi‘i –  – berkata):

Seandainya hakim, qasim (pembagi waris), penulis hakim, petugas divisi catatan, bendahara Baitul Mal, dan para muazin bekerja secara sukarela tanpa mengambil upah, maka hal itu lebih aku sukai.

Namun jika mereka mengambil upah, maka itu tidak haram menurutku. Sebagian dari mereka lebih bisa dimaafkan dalam mengambil upah daripada yang lain.

Dan yang paling aku sukai untuk meninggalkan upah adalah para muazin.

Tidak mengapa seseorang mengambil upah dari orang lain untuk menggantikannya menunaikan haji, jika ia sendiri telah berhaji untuk dirinya.

Tidak mengapa juga mengambil upah untuk menakar (menimbang) barang bagi manusia, atau mengajarkan Al-Qur’an, nahwu, dan sastra (syair) yang tidak mengandung hal tercela.

(Al-Rabi‘ berkata): Aku mendengar Al-Syafi‘i berkata, “Jangan mengambil bayaran untuk adzan, tetapi ambillah ia sebagai bagian dari harta fai’ (harta milik negara).”

[Kesaksian Peminta-minta]

(Imam al-Syāfi‘ī –  – berkata):

Tidak haram meminta-minta dalam keadaan terkena musibah besar (jā’iḥah) yang menimpa harta seseorang, atau karena menanggung diyat (uang darah) dan luka-luka orang lain, atau karena terlilit utang. Semua ini termasuk kondisi darurat dan tidak menyebabkan rusaknya martabat (muru’ah).

Begitu pula jika seseorang terasing di suatu negeri dan tidak dapat kembali ke negerinya kecuali dengan meminta-minta, maka menurutku itu tidak haram baginya, dan tidak menyebabkan kesaksiannya tertolak.

Namun siapa saja yang meminta-minta sepanjang hidupnya, atau sebagian besar hidupnya, padahal ia kaya dan tidak memiliki alasan seperti di atas—ia hanya mengeluh karena merasa miskin—maka ia memakan sesuatu yang tidak halal baginya dan berdusta dengan mengaku-aku kebutuhan. Maka kesaksiannya tertolak.

Jika ia meminta-minta dalam keadaan fakir, tidak mengaku kaya, maka tidak haram baginya meminta, dan jika ia dikenal sebagai orang jujur dan terpercaya, maka kesaksiannya tidak tertolak.

Namun jika kebutuhannya membuatnya terdorong untuk bersaksi palsu, maka kesaksiannya tidak diterima. Hal ini juga berlaku pada orang kaya yang menerima zakat wajib tanpa meminta; jika ia tahu itu haram baginya, maka kesaksiannya tertolak. Tetapi jika ia tidak tahu itu haram baginya, maka kesaksiannya tidak tertolak.

Adapun sedekah yang tidak wajib yang diberikan kepada orang kaya, lalu ia menerimanya, maka tidak haram baginya, dan tidak menyebabkan kesaksiannya tertolak.

[Kesaksian Orang yang Menuduh Zina (Qadzhaf)]

(Imam al-Syāfi‘ī –  – berkata):

Barang siapa menuduh seorang Muslim berzina, maka baik ia dijatuhi hukuman had atau tidak, kami tidak menerima kesaksiannya sampai ia bertaubat. Jika ia telah bertaubat, maka kami menerima kesaksiannya.

Jika tuduhannya dilakukan dalam bentuk kesaksian yang tidak lengkap untuk menetapkan zina (misalnya hanya ada tiga saksi), maka kami tetap menjatuhkan hukuman had atasnya.

Kemudian kami meneliti keadaan orang yang dijatuhi had:

  • Jika ia adalah orang adil saat memberikan kesaksian (artinya bisa diterima kesaksiannya sebelumnya), maka kami katakan padanya: “Bertaubatlah!”
  • Dan taubatnya tidak sah kecuali dengan cara mengkhiānati dirinya sendiri (yakni: mengakui bahwa ia berdusta dalam tuduhannya). Jika ia melakukan hal itu, maka ia telah bertaubat, baik ia dijatuhi hukuman had atau tidak.

Jika ia menolak bertaubat, dan tuduhannya jatuh hukuman had karena ada pengampunan atau sebab lain yang membuat tuduhannya tidak diakui sebagai qadzhaf secara hukum, maka kesaksiannya tidak akan diterima selamanya sampai ia mengakui bahwa ia berdusta.

Demikian pula Umar ibn al-Khaṭṭāb berkata kepada orang-orang yang menjadi saksi terhadap seseorang dalam kasus zina, lalu ia menjatuhkan hukuman had atas mereka. Dua dari mereka bertaubat, maka Umar menerima kesaksian mereka. Sedangkan satu orang tetap bersikeras pada tuduhannya, maka Umar tidak menerima kesaksiannya.

Siapa pun yang saat menuduh keadaannya sudah tidak adil (tidak memenuhi syarat keadilan untuk menjadi saksi), baik dengan kesaksian atau tuduhan biasa, maka tetap kesaksiannya tertolak, apakah ia dijatuhi had atau tidak.

Kesaksiannya tidak diterima sampai ia berubah menjadi pribadi yang adil, dan ia bertaubat dari perbuatannya, yakni dengan mengakui bahwa dirinya berdusta. Dan boleh-boleh saja orang yang pernah dijatuhi had dalam kasus qadzhaf menjadi saksi dalam perkara orang lain yang menuduh, selama ia telah bertaubat dengan benar.

[Kesaksian Anak Zina terhadap Pelaku Zina]

Boleh diterima kesaksian anak zina terhadap seorang laki-laki dalam perkara zina, dan juga kesaksian orang yang pernah dijatuhi hukuman hadd zina jika ia telah bertaubat, dalam perkara hadd zina terhadap orang lain.

Demikian pula halnya dengan orang yang tangannya pernah dipotong karena mencuri, atau yang pernah dikenai qishāsh karena melukai orang lain—jika mereka telah bertaubat.

Tidak ada perbedaan dalam hal ini, kecuali apakah mereka dikenal sebagai orang-orang adil dalam segala hal, atau orang-orang yang cacat keadilannya dalam segala hal. Kecuali jika mereka bersaksi dalam perkara yang mereka sendiri memiliki kepentingan di dalamnya—seperti menjadi lawan perkara, tersangka, memiliki konflik kepentingan (untung rugi), atau apa pun yang juga membuat kesaksian orang adil sekalipun ditolak.

[Kesaksian Orang Badui terhadap Orang Desa, dan Sebaliknya]

Begitu juga, boleh diterima kesaksian seorang badui terhadap orang desa, dan kesaksian orang desa terhadap badui, atau kesaksian orang pendatang terhadap penduduk tetap, dan sebaliknya.

Tidak ada alasan untuk menolak kesaksian semacam ini selama mereka semua adalah orang-orang adil.

Telah diketahui umum bahwa dua orang bisa melakukan transaksi jual-beli tanpa saksi, bertengkar tanpa saksi, bahkan membunuh salah satunya tanpa disaksikan siapa pun. Maka jika kebetulan seorang badui hadir dan menyaksikannya, lalu diminta bersaksi atas apa yang ia lihat, maka kesaksiannya boleh diterima.

Bisa saja ia tidak bersaksi hanya karena tidak diminta, lalu tempat kejadian berubah, atau ia mati, atau mempercayai lawannya hingga tidak mencari saksi lain selain badui tersebut atau dua badui.

Demikian pula, bisa jadi ada saksi lain selain badui itu, namun mereka tidak ada di tempat, atau sudah wafat. Maka tidak ada larangan menerima kesaksian orang badui jika ia adil.[Kesaksian Penyanyi Laki-laki dan Perempuan]

(Imam al-Syāfi‘ī –  – berkata):

Jika seorang laki-laki menjadikan nyanyian sebagai profesi, dikenal dan terkenal dengannya, dan datang orang-orang untuk mendengarkannya, serta ia menganggap hal itu sebagai pekerjaan tetap, maka kesaksiannya tidak diterima, begitu juga perempuan yang demikian.

Hal ini karena nyanyian termasuk dalam jenis permainan (lahwun) yang tercela dan mirip dengan hal batil. Barang siapa menjadikan ini sebagai kebiasaan dan menyukai hal itu bagi dirinya, maka ia telah merendahkan dirinya dan merusak muru’ah (martabat).

Namun, jika seseorang tidak menjadikan nyanyian sebagai profesi, tidak dikenal dengannya, hanya sekadar menyenandungkan nada ketika sedang gembira, tanpa menjadikannya tujuan, tidak didatangi orang untuk itu, dan tidak suka disebut sebagai penyanyi, maka hal itu tidak membuat kesaksiannya gugur. Begitu pula bagi perempuan.

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Tentang seorang laki-laki yang memelihara budak laki-laki dan perempuan sebagai penyanyi, lalu ia mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkannya, dan ia didatangi karena hal itu, maka ini adalah perbuatan tercela yang menjatuhkan kesaksiannya. Hal itu lebih buruk jika penyanyinya perempuan karena mengandung unsur kebodohan dan sifat dayyuts (tidak memiliki rasa cemburu). Jika ia tidak mengumpulkan orang untuk keduanya dan tidak didatangi karena mereka, maka aku membenci perbuatannya, namun tidak sampai menjatuhkan kesaksiannya.

Demikian juga laki-laki yang sering mendatangi rumah-rumah hiburan dan didatangi oleh para penyanyi—jika ia terus-menerus melakukannya, terang-terangan, dan disaksikan orang lain atasnya, maka itu termasuk bentuk kebodohan yang menjatuhkan kesaksiannya. Namun jika ia jarang melakukannya, maka hal itu tidak menjatuhkan kesaksiannya, karena hal itu bukanlah keharaman yang jelas.

[Mendengarkan Hadā’ (nyanyian penggiring unta) dan Syair Arab Badui]

Adapun mendengarkan hadā’ dan nyanyian orang-orang badui, maka tidak mengapa, sedikit ataupun banyak. Begitu pula mendengarkan syair.

Ibn ‘Uyaynah meriwayatkan dari Ibrahim ibn Maysarah, dari ‘Amr ibn al-Sharīd, dari ayahnya, ia berkata:

“Rasulullah memboncengku di belakangnya, lalu bersabda: Apakah engkau hafal sebagian syair Umayyah ibn Abī al-Ṣalt? Aku menjawab: Ya. Lalu beliau berkata: Bacakanlah! Maka aku bacakan satu bait, lalu beliau berkata: Bacakanlah lagi! Hingga aku bacakan seratus bait.”

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Rasulullah ﷺ mendengarkan hadā’ dan rajaz, serta memerintahkan Ibn Rawāḥah untuk melantunkan rajaz dalam perjalanan, lalu ia pun mulai melantunkannya.

Rasulullah ﷺ pernah menemui sekelompok orang dari Bani Tamīm yang bersama mereka ada seseorang yang melantunkan hadā’, lalu beliau memerintahkan mereka untuk bernyanyi menggiring unta. Beliau bersabda: “Sungguh penggiring unta kami kelelahan di akhir malam.”

Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami adalah orang Arab pertama yang menggiring unta dengan nyanyian.”

Beliau bertanya: “Bagaimana bisa?”

Mereka menjawab: “Dulu bangsa Arab sering menyerang satu sama lain, lalu seorang dari kami menyerang dan membawa unta sebagai rampasan, namun unta-unta itu tercerai-berai. Lalu ia memukul budaknya dengan tongkat dan mengenainya di tangan. Maka sang budak pun berteriak: ‘Tanganku! Tanganku!’—dan unta-unta itu mulai berkumpul.”

Beliau bersabda: “Begitulah, lakukan seperti itu!”

Nabi ﷺ tertawa dan bertanya: “Dari kabilah manakah kalian?”

Mereka menjawab: “Kami dari Mudar.”

Beliau bersabda: “Kami juga dari Mudar,” lalu beliau menisbatkan dirinya pada Mudar sepanjang malam itu.

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Maka hadā’ itu seperti pembicaraan yang diindahkan dalam lafaz. Jika hal ini boleh dalam syair, maka memperindah suara dengan zikir dan bacaan Al-Qur’an lebih utama untuk dicintai. Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah tidak mendengarkan sesuatu sebagaimana Ia mendengarkan nabi yang membaca Al-Qur’an dengan indah dan merdu.”

Dan bahwa beliau pernah mendengar ‘Abdullah ibn Qays membaca Al-Qur’an lalu bersabda: “Orang ini telah diberi bagian dari nyanyian keluarga Dawud.”

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Tidak mengapa membaca Al-Qur’an dengan melodi dan memperindah suara dengan berbagai cara. Bacaan yang paling aku sukai adalah yang tartīl dan penuh perasaan.

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Barang siapa yang aku yakini bahwa ia mendatangi jamuan tanpa diundang, tanpa adanya kebutuhan mendesak, dan ia tidak meminta izin kepada pemilik hidangan, lalu ia terus melakukannya, maka aku tolak kesaksiannya. Karena ia memakan makanan yang haram jika jamuan itu disediakan untuk orang tertentu. Adapun jika jamuan itu dari seorang penguasa atau orang yang menyerupai penguasa dan ia mengundang orang banyak, maka itu adalah makanan umum yang boleh dimakan, dan tidak mengapa. Barang siapa berada dalam salah satu keadaan yang menyebabkan kesaksian ditolak, maka kesaksiannya hanya ditolak selama ia tetap dalam keadaan tersebut. Jika ia telah bertobat dan meninggalkannya, maka kesaksiannya diterima kembali.

(Beliau berkata): Jika dalam suatu perayaan ada orang yang melemparkan uang kepada hadirin, lalu seseorang mengambilnya, maka ini tidak menyebabkan kesaksiannya ditolak. Karena banyak orang yang mengira hal itu boleh dan halal, sebab pemiliknya melemparkannya untuk siapa saja yang mengambilnya. Namun menurutku, aku membenci hal itu bagi orang yang mengambilnya karena ia mengambil sesuatu dengan cara mengungguli yang lain, baik karena lebih kuat atau karena kurang rasa malu. Padahal pemiliknya tidak bermaksud memberikan khusus kepadanya, melainkan kepada semua. Maka aku membencinya karena ia tidak tahu bagian dirinya dari bagian orang lain, dan hal itu adalah tindakan memungut secara sembunyi-sembunyi dan kurang pantas.

[Tentang Penulis untuk Hakim]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Menurutku, tidak sepatutnya seorang hakim atau pemimpin dari kalangan kaum Muslimin mengambil penulis dari kalangan dzimmi (non-Muslim), atau menempatkan dzimmi di posisi yang lebih tinggi dari seorang Muslim. Kaum Muslimin perlu dikenalkan agar mereka tidak bergantung kepada selain pemeluk agama mereka. Dan hakim adalah orang yang paling tidak memiliki alasan untuk itu. Seorang hakim tidak boleh mengambil penulis untuk mengurus urusan kaum Muslimin kecuali ia adalah orang yang adil dan diterima kesaksiannya. Ia juga harus cerdas agar tidak mudah ditipu, serta bersemangat agar menjadi seorang ahli fikih yang tidak jatuh dalam kebodohan. Ia juga harus orang yang bersih dan jauh dari sifat tamak. Jika penulis itu hanya menulis untuk urusan pribadi hakim, maka tidak mengapa, begitu juga jika ia ditulis oleh orang yang tidak adil.

[Tentang Para Qassām (Pembagi Warisan atau Harta)]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Qassām (pembagi) dalam hal ini sama seperti yang aku sebutkan tentang penulis: tidak sepatutnya ia kecuali orang yang adil, diterima kesaksiannya, terpercaya, dan mengetahui ilmu hisab minimal. Ia tidak boleh bodoh yang mudah ditipu, dan tidak boleh dikenal sebagai orang yang tamak.

[Tentang Dokumen dan Arsip Hakim]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Jika para saksi memberikan kesaksiannya di hadapan hakim, maka sepatutnya hakim memiliki salinan kesaksian tersebut di arsipnya, dan ia sendiri yang membubuhkan segel dan menyimpannya, atau ia tunjuk seseorang di hadapannya untuk melakukannya. Dokumen itu tidak boleh dibuka kecuali setelah melihat segelnya atau tanda pengenal padanya. Dokumen itu juga tidak boleh jauh darinya. Ia boleh memberikan salinan kepada pihak yang diberi kesaksian jika ia mau. Namun tidak boleh membubuhi segel dan memberikan dokumen asli kepada orang itu tanpa menyimpan salinannya karena bisa saja segelnya dipalsukan dan isi dokumen dimanipulasi.

Jika ia lupa menyimpan salinannya dan telah menyerahkan dokumen yang disegel kepada pihak bersangkutan, lalu dokumen itu dikembalikan dengan segel yang sama, maka dokumen itu tidak boleh diterima kecuali hakim hafal isi atau maknanya. Jika tidak hafal, maka tidak cukup hanya dengan melihat segel, karena tulisan dan segel bisa dimanipulasi.

Aku juga tidak menyukai bila hakim cukup menandatangani kesaksian dengan tulis tangan sendiri atau tulisan penulisnya, kecuali bila dalam tulisannya disebutkan secara jelas bahwa si fulan memberikan kesaksian di hadapan hakim atas isi dokumen ini, misalnya: “bahwa ini adalah harta sejumlah sekian dinar milik fulan terhadap fulan”, atau “rumah ini milik fulan”, dan seterusnya, hingga tidak ada bagian dari isi putusan yang luput dari tulisannya sendiri. Maka jika ia mengenali tulisannya atau tulisan penulisnya dan ingat isinya, ia boleh memutuskan perkara berdasarkan itu.

Namun yang terbaik adalah semua salinan tetap berada dalam arsipnya. Jika hendak menetapkan hukum, ia keluarkan dari arsipnya dan putuskan hukum atasnya. Jika hilang dari arsip dan dari tangan pihak yang bersangkutan, maka tidak boleh diterima kecuali dengan kesaksian orang-orang atas isi kesaksian tersebut, baik penulis maupun bukan.

(Beliau berkata): Jika ada orang-orang bersaksi bahwa hakim telah memutuskan hukum untuk seseorang, namun hakim tidak ingat telah memutuskan hal itu, lalu mereka memintanya untuk menetapkan kembali hukum berdasarkan kesaksian mereka, maka itu tidak sah. Sebab mereka bersaksi atas perbuatan hakim sendiri, sementara ia mengingkarinya. Maka ia tidak menetapkannya, dan tidak pula membatalkannya. Bila hal itu dibawa ke hakim lain, maka hakim yang lain boleh menetapkannya, sebagaimana ia boleh menetapkan kesaksian atas keputusan hakim sebelumnya, karena hakim lain tidak mengetahui dari hakim yang bersangkutan seperti yang diketahui hakim itu sendiri. Jika orang yang ditetapkan hukum terhadapnya datang dengan bukti bahwa hakim itu, saat menjabat, telah mengingkari bahwa ia pernah memutuskan sebagaimana yang disaksikan orang-orang, maka seharusnya ia tidak menetapkannya kecuali ia tahu bahwa hakim itu tidak menyangkalnya.

[Surat dari Hakim kepada Hakim]

(Berkata Imam al-Syāfi‘ī – –):

Seorang hakim boleh menerima surat dari setiap hakim yang adil, dan tidak boleh menerimanya kecuali dengan dua orang saksi yang adil. Ia juga tidak boleh menerimanya hanya dengan dua saksi adil sampai surat tersebut dibuka dan dibacakan di hadapan keduanya, dan keduanya bersaksi atas isi surat tersebut, serta bahwa hakim yang meminta keduanya menjadi saksi telah membaca surat itu di hadapan mereka atau dibacakan kepada mereka, dan ia berkata, “Saksikanlah bahwa ini adalah suratku kepada fulan.” Apabila mereka bersaksi atas hal ini, maka surat itu diterima. Jika keduanya hanya mengatakan, “Ini adalah cap dan suratnya, ia memberikannya kepada kami,” maka surat tersebut tidak boleh diterima.

Aku pernah menghadiri seorang hakim yang menerima surat dari hakim lain yang masih tersegel. Dua orang saksi bersaksi di hadapannya bahwa surat ini dari fulan bin fulan kepadanya, dan ia memberikan kepada kami dan berkata, “Saksikanlah.” Maka hakim itu membukanya dan menerimanya. Lalu hakim yang menerima surat itu mengabarkanku bahwa ia pernah membuka surat lain dari hakim yang sama mengenai perkara yang sama, tetapi ia menangguhkan pelaksanaannya. Ia juga memberitahuku – atau seseorang yang aku percayai kabarnya – bahwa surat itu dikembalikan kepada pengirimnya dan ia diberi tahu bahwa isinya adalah isi surat tersebut. Tetapi hakim pengirim mengingkari bahwa itu adalah suratnya. Diketahui atau dibuktikan bahwa ia memang menulis dan menyegelnya, lalu ada orang yang berbuat tipu daya dengan menukar surat itu dengan surat lain yang mirip, dan menyembunyikan surat aslinya, kemudian mengambil saksi atas surat palsu itu, dan ia menyangka bahwa itu suratnya.

(Berkata Imam al-Syāfi‘ī – –):

Maka ketika hal seperti ini terjadi, tidak sah menerima kesaksian kecuali setelah surat tersebut dibacakan kepada mereka dan mereka memegangnya sebelum mereka kehilangan atau lepas darinya. Hendaknya hakim memerintahkan mereka untuk mengambil salinan surat tersebut dan membubuhkan kesaksian mereka di dalamnya. Jika segelnya pecah atau sebagian isi surat hilang, mereka dapat bersaksi bahwa itu adalah suratnya, maka ia diterima. Tidak ada makna dalam segel itu sendiri; makna sebenarnya adalah dalam isi kesaksian mereka, sebagaimana makna yang ada dalam pengakuan hak dan dokumen serah terima di antara manusia.

(Beliau berkata):

Jika seorang hakim menulis surat kepada hakim lain berdasarkan apa yang telah tetap di hadapannya, kemudian ia meninggal atau diberhentikan sebelum surat itu sampai kepada hakim yang dituju, lalu surat itu sampai, maka tidak boleh ditolak hanya karena kematiannya atau pemberhentiannya. Karena surat itu diterima dengan dasar bukti yang telah ditetapkan, sebagaimana keputusannya juga tetap berlaku. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia telah memutuskan suatu perkara, lalu diberhentikan atau meninggal setelahnya, maka putusannya tetap sah? Maka suratnya pun demikian.

(Berkata Imam al-Syāfi‘ī – –):

Jika seorang hakim menulis surat kepada hakim lain tetapi tidak mencantumkan namanya dalam alamat, atau mencantumkannya dengan kunyah-nya, maka hal itu sama saja. Apabila para saksi memastikan bahwa ini adalah surat darinya kepada hakim tersebut, maka surat itu diterima. Tidakkah engkau melihat bahwa yang diperhatikan adalah bagian putusan dalam surat, bukan isi surat lainnya, atau kata-kata yang bukan bagian dari putusan, ataupun nama. Jika para saksi bersaksi atas nama penulis dan penerima surat, maka surat itu diterima.

(Berkata Imam al-Syāfi‘ī – –):

Surat hakim ada dua macam:

Pertama, surat yang berisi penetapan (fakta), maka hakim yang dituju akan memulai kembali pemeriksaan perkara berdasarkan surat itu.

Kedua, surat yang berisi putusan, maka apabila hakim yang dituju menerimanya, ia akan menyaksikan kepada orang yang diberi keputusan bahwa telah tetap di hadapannya keputusan hakim dari negeri tertentu.

Jika keputusannya atas dasar hak, maka ia melaksanakannya.

Jika keputusannya batil menurut pandangannya secara yakin, maka ia tidak melaksanakannya dan tidak menetapkan isi surat tersebut.

Jika isi putusan adalah sesuatu yang ia pandang batil tetapi merupakan perkara yang diperselisihkan, maka jika menurutnya itu batil karena bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, ijma‘, atau qiyas yang jelas, maka ia harus menolaknya.

Namun jika itu adalah perkara yang masih mungkin diperselisihkan secara qiyas dan tidak ada kejelasan, maka hendaknya ia menetapkan surat itu tetapi tidak menjalankan isinya, dan membiarkan pemilik surat untuk melaksanakan hasil keputusan tersebut, tanpa menjadikan dirinya sebagai pemula keputusan yang ia anggap batil.

Seorang hakim boleh menerima surat hakim lain dalam perkara-perkara hak milik seperti harta, luka, dan lainnya. Tetapi tidak menerimanya sampai isi surat itu benar-benar terbukti dengan bukti yang nyata. Adapun dalam hudud (hukuman) yang merupakan hak Allah عز وجل, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, boleh menerima surat hakim;

Kedua, tidak boleh menerimanya kecuali para saksi memberikan kesaksian di hadapannya langsung. Jika ia menerima surat tersebut, maka ia tidak menerimanya kecuali secara tegas dan meyakinkan.

(Berkata):

Jika seorang hakim menulis surat kepada seseorang tentang hak terhadap seseorang lain di salah satu kota, lalu orang yang disebut dalam surat itu mengakui bahwa dia adalah orang yang dimaksud dalam surat tersebut, baik disebutkan nasabnya maupun tidak, atau disebutkan pekerjaannya atau tidak, maka ia harus memenuhi isinya. Namun jika ia mengingkari, maka tidak dapat diberlakukan atas dirinya kecuali dengan bukti bahwa ia adalah orang yang disebut dalam surat tersebut. Maka jika ia disebut dengan nasab, profesi, suku, atau sesuatu yang dapat dikenali, lalu ia mengingkari, dan ada bukti atas nama dan ciri-ciri itu, maka hak tersebut diberlakukan atas dirinya. Namun jika di kota tersebut atau kota lain terdapat orang lain dengan nama, nasab, suku, dan profesi yang sama, dan orang itu mengingkari bahwa dirinya adalah yang dimaksud, serta mengatakan bahwa bisa jadi orang lain yang dimaksud dalam surat tersebut, maka tidak boleh diputuskan hak terhadapnya kecuali terdapat sesuatu yang membedakannya dengan orang lain, atau ia mengakui, atau terdapat bukti yang tegas bahwa ia adalah orang yang dimaksud. Jika tidak ada hal itu, maka hak tersebut tidak diberlakukan kepadanya.

(Berkata):

Jika di sebuah kota seperti Baghdad terdapat dua orang hakim, lalu salah satunya menulis surat kepada yang lain mengenai sesuatu yang telah ditetapkan melalui bukti, maka tidak seharusnya hakim yang menerima surat itu menerimanya kecuali bukti itu dihadirkan ulang di hadapannya. Surat hakim hanya diterima di kota lain yang tidak mungkin dihadiri oleh para pihak, sedangkan antara dua hakim dalam satu kota, seperti Baghdad, tidak boleh menerima bukti kecuali secara langsung di hadapannya.

Adapun surat hakim kepada amir (penguasa), surat amir kepada hakim, dan surat khalifah kepada hakim – semuanya sama, tidak diterima kecuali dengan adanya bukti sebagaimana dijelaskan dalam surat hakim kepada hakim.

[Upah Para Pembagi Waris (al-Qassām)]

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Selayaknya para pembagi waris (al-qassām) diberi upah dari Baitul Māl, dan mereka tidak mengambil apa pun dari orang-orang, karena para qassām adalah seperti para hakim. Jika mereka tidak diberi (dari Baitul Māl), maka biarkan antara qassām dan orang yang meminta pembagian, lalu mereka boleh menyewa para qassām dengan jumlah yang mereka sepakati, sedikit maupun banyak. Jika di antara orang-orang yang mendapat bagian atau yang dikenai pembagian ada anak kecil, maka urusannya menjadi tanggung jawab walinya.

Jika mereka memberikan upah tertentu kepada qassām atas pembagian tanah, maka hal itu sah. Bila mereka menyebutkan upah untuk setiap orang secara jelas, atau untuk setiap bagian secara jelas, dan mereka adalah orang-orang dewasa yang memiliki hak atas harta mereka, maka itu diperbolehkan. Jika mereka tidak menyebutkan secara per individu, tetapi hanya menyebutkan upah atas keseluruhan, maka itu dihitung menurut besarnya bagian, bukan menurut jumlah orang. Sebab jika dihitung menurut jumlah, bisa jadi aku mengambil dari pemilik bagian kecil sejumlah besar nilai pembagiannya, sehingga aku justru menyebabkan dia kehilangan hartanya karena pembagian tersebut. Maka dari itu, ia hanya dibebani sedikit saja sesuai bagian kecilnya, dan yang memiliki bagian besar juga menanggung lebih banyak.

Namun, dalam hatiku masih ada keraguan atas pengenaan upah terhadap anak kecil, meskipun sedikit, kecuali bila pembagian tersebut benar-benar lebih memberikan manfaat yang nyata baginya dibandingkan apa yang dikeluarkan sebagai upah. Jika tidak demikian, aku masih berat menetapkan atasnya sesuatu, karena dia termasuk orang yang belum bisa memberi persetujuan.

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Jika para qassām bersaksi atas apa yang telah mereka bagi, baik mereka membaginya atas perintah hakim maupun tanpa perintah hakim, maka kesaksian mereka tidak sah karena dua alasan:

Pertama, mereka bersaksi atas perbuatan mereka sendiri.

Kedua, jika orang-orang yang diberi bagian mengingkari bahwa telah dilakukan pembagian terhadap mereka, maka para qassām tidak memiliki hak atas upah. Maka para qassām wajib mendatangkan saksi selain diri mereka sendiri atas apa yang mereka lakukan.

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Jika orang-orang saling ridha terhadap qassām untuk membagi di antara mereka, baik qassām itu ahli dalam pembagian maupun tidak, lalu ia melakukan pembagian, maka aku tidak menetapkan pembagian itu jika dilakukan tanpa perintah hakim, sampai semua pihak mengetahui bagian masing-masing dan mereka menyetujuinya. Jika mereka telah ridha, aku tetapkan pembagian itu seperti halnya bila mereka membagi sendiri. Namun jika di antara mereka ada anak kecil, orang yang tidak hadir, atau orang yang berada di bawah perwalian, maka aku tidak menetapkan pembagian tersebut kecuali dengan perintah hakim. Jika dilakukan dengan perintah hakim, maka aku tetapkan.

Jika para pihak saling berselisih dan menginginkan pembagian, sementara mitra mereka enggan, maka jika barang yang hendak dibagi memungkinkan untuk dibagi dan masih bisa dimanfaatkan masing-masing pihak, aku akan memaksa mereka untuk melakukan pembagian. Jika sisanya tidak bisa dimanfaatkan oleh pemiliknya setelah dibagi, maka aku akan berkata kepada pihak yang tidak setuju, “Jika kalian mau, aku kumpulkan hak kalian sebagai milik bersama dan kalian bisa manfaatkan bersama, sementara bagian yang diminta oleh yang menuntut akan aku pisahkan sesuai keinginannya. Jika kalian mau, aku akan membaginya semua, baik itu bermanfaat bagi kalian maupun tidak.”

Namun, jika seseorang meminta pembagian tetapi hak yang ia peroleh tidak bisa dimanfaatkan, dan juga tidak bermanfaat bagi orang lain, maka aku tidak akan membagi barang tersebut untuknya. Hal ini seperti apabila barang yang dibagi berupa pedang atau budak dan semacamnya. Jika mereka meminta aku untuk menjualnya, lalu membagi hasilnya, maka aku tidak akan menjualnya untuk mereka, tetapi aku katakan: “Silakan kalian berdamai atas hak masing-masing sebagaimana kalian kehendaki,” seolah-olah barang itu adalah pedang, budak, atau selainnya.

[Dua Undian dalam Pembagian]

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Selayaknya bagi qassām (petugas pembagi waris) apabila hendak membagi, agar menghitung terlebih dahulu para penerima bagian dan mengetahui kadar hak mereka. Maka jika ada di antara mereka yang memiliki bagian seperenam, sepertiga, dan setengah, maka pembagian dilakukan dengan dasar bagian terkecil, yaitu seperenam. Lalu ia membuat: untuk pemilik seperenam satu bagian, untuk pemilik sepertiga dua bagian, dan untuk pemilik setengah tiga bagian. Kemudian rumah dibagi menjadi enam bagian, dan nama-nama para penerima bagian ditulis dalam potongan-potongan kertas kecil, lalu digulung dalam tanah liat (bunduq), lalu diaduk bunduq-nya hingga rata.

Kemudian bunduq dilemparkan ke pangkuan seseorang yang tidak hadir saat penggulungannya, atau ke pangkuan seorang budak atau anak kecil. Setelah itu, bagian-bagian diberi nomor: pertama, kedua, ketiga, dan dikatakan: “Masukkan tanganmu dan ambil satu bunduq untuk bagian pertama.” Setelah dikeluarkan, dibuka bunduq itu. Jika keluar nama pemiliknya, maka ia mendapat bagian pertama. Jika ia adalah pemilik seperenam, maka itu bagiannya dan tidak ada bagian lain baginya. Jika ia pemilik sepertiga, maka itu dan bagian setelahnya adalah miliknya. Jika ia pemilik setengah, maka bagian itu dan dua bagian setelahnya adalah miliknya.

Kemudian dikatakan: “Masukkan tanganmu dan ambil satu bunduq untuk bagian kosong berikutnya.” Maka setiap kali bunduq dikeluarkan dan nama ditemukan, pembagian dilakukan sebagaimana dijelaskan, hingga semua bagian habis.

Jika yang dibagi adalah tanah yang memiliki bangunan, atau tidak memiliki bangunan, maka pembagian dilakukan berdasarkan nilai, bukan ukuran. Tanah itu dinilai, lalu dibagi seperti cara di atas. Jika para penerima bagian sudah dewasa dan mereka memilih untuk dibagi berdasarkan ukuran, lalu setelah itu nilai dihitung ulang, kemudian diundi, maka yang keluar undiannya untuk satu bagian, dialah yang mengambilnya. Jika ada kelebihan (nilai), maka dikembalikan ke pihak lain, dan bila ada kekurangan, maka ia membayar kelebihan kepada yang lain.

Kami tidak mengesahkan pembagian seperti ini kecuali setelah setiap orang dari mereka mengetahui bagian yang didapatnya, hak dan kewajibannya, lalu mereka ridha setelah mengetahuinya sebagaimana orang yang membeli sesuatu. Jika mereka ridha, maka aku sahkan saat itu juga, bukan saat awal undian dilakukan. Karena sebelumnya mereka berhak membatalkannya kapan saja. Namun, jika di antara mereka terdapat anak kecil atau orang yang berada dalam perwalian, maka pembagian ini tidak sah kecuali dilakukan seperti cara pertama, yakni setiap orang mendapatkan bagian sesuai undiannya tanpa menambah atau mengurangi apa pun.

(Berkata):

Tidak sah jika seseorang membagi rumah antara beberapa orang, lalu sebagian diberikan bagian bawah (lantai bawah), dan sebagian bagian atas. Sebab hukum asal kepemilikan adalah bahwa siapa yang memiliki bagian bawah, maka ia juga memiliki tanah di bawahnya dan udara di atasnya. Maka jika seseorang diberikan lantai bawah tanpa udara, dan yang lain lantai atas tanpa tanah, maka masing-masing diberikan sesuatu yang bukan hak milik sempurna sebagaimana hukum asal. Maka pembagian harus dilakukan berdasarkan nilai, dan tidak boleh seseorang diberi kecuali yang mencakup tanah di bawahnya dan udara di atasnya.

Jika ada qassām-qassām yang adil di antara masyarakat, maka hakim memerintahkan pihak yang meminta pembagian untuk memilih sendiri dua orang qassām yang adil, jika mereka menghendakinya dari luar. Jika mereka hanya ridha kepada satu orang, maka itu tidak sah hingga mereka sepakat kepada dua orang. Hakim juga tidak boleh menyertakan qassām-nya dalam pembagian upah, agar mereka tidak sewenang-wenang terhadap orang-orang. Tetapi biarkan orang-orang menyewa qassām untuk mereka sendiri dari siapa pun yang mereka inginkan.

[Bagian yang Batal dari Pembagian karena Klaim atas Sebagian Harta]

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Apabila qassām membagi harta di antara mereka, lalu sebagian dari orang-orang yang mendapat bagian mengklaim adanya kesalahan, maka ia dibebani untuk mendatangkan bukti atas kesalahan yang ia klaim. Jika ia berhasil membuktikannya, maka pembagian itu dibatalkan atas dirinya.

(Berkata):

Apabila rumah telah dibagi di antara beberapa orang, lalu sebagian dari rumah itu ternyata menjadi milik orang lain (istihqāq), atau ternyata si mayit memiliki utang dan dijual sebagian dari rumah itu, maka pembagian itu batal. Kepada para ahli waris dikatakan, dalam hal utang dan wasiat: “Jika kalian bersedia memberikan hak para pemilik utang dan wasiat, maka kami akan mengesahkan pembagian tersebut di antara kalian. Namun, jika kalian tidak bersedia, dan kami tidak mendapatkan harta si mayit kecuali rumah ini, maka kami akan menjual sebagian darinya dan membatalkan pembagian.”

(Berkata):

Apabila orang-orang datang dan sepakat bahwa mereka memiliki sebuah rumah bersama, lalu mereka meminta qāḍī untuk membaginya di antara mereka, maka aku tidak menyukai membaginya langsung. Hendaknya qāḍī berkata kepada mereka: “Jika kalian ingin membaginya sendiri, atau ingin seseorang yang kalian ridhai membaginya untuk kalian, maka lakukanlah. Namun jika kalian ingin aku yang membaginya, maka datangkanlah bukti-bukti atas hak kalian yang sah atas rumah itu.” Hal ini karena jika aku membaginya tanpa bukti, lalu kemudian kalian mendatangkan saksi bahwa aku telah membaginya di antara kalian, lalu kalian membawanya ke hakim selainku, maka sangat mungkin ia akan menganggap pembagianku itu sebagai putusan bahwa rumah itu memang milik kalian, padahal bisa jadi rumah itu milik orang lain yang kalian tidak memiliki hak apa pun atasnya. Oleh karena itu, aku tidak akan membaginya kecuali dengan bukti. Ada yang berpendapat bahwa pembagian boleh dilakukan dan qāḍī bersaksi bahwa ia hanya membagi berdasarkan pengakuan mereka. Namun, aku tidak menyukai pendapat ini sebagaimana telah aku jelaskan.

Apabila mayit meninggalkan rumah-rumah yang tersebar, atau rumah-rumah dan budak-budak, atau rumah-rumah dan tanah-tanah, lalu para ahli waris (yang sudah dewasa) sepakat untuk menyelesaikannya sedemikian rupa sehingga sebagian dari mereka mengambil sesuatu tanpa bagian, maka aku tidak menolaknya. Namun jika mereka berselisih, dan sebagian dari mereka meminta agar diberikan satu rumah apa adanya dan mengganti kepada yang lain dengan rumah lain senilai itu, maka hal itu tidak boleh dilakukan. Pembagian dilakukan untuk setiap rumah secara langsung, dan setiap orang mendapatkan haknya. Hal yang sama berlaku untuk tanah, pakaian, makanan, dan semua hal yang bisa dibagi.

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Keadilan wajib atas qāḍī dalam putusan dan dalam memperhatikan perkara. Maka wajib baginya untuk bersikap adil kepada kedua belah pihak dalam cara masuk ke hadapannya, dalam mendengarkan keduanya, dan diam memperhatikan argumen masing-masing hingga selesai. Ia harus memperlihatkan sikap hormat kepada keduanya tanpa memihak. Ia tidak boleh menyambut salah satunya dengan lebih hangat daripada yang lain, tidak mengizinkan satu masuk tanpa yang lain, tidak mengunjungi salah satunya saja, tidak membentak salah satunya tanpa yang lain.

Minimal bentuk keadilan atas mereka berdua adalah ia menahan masing-masing dari mencela lawannya dan menegur siapa pun yang menyerang kehormatan lawannya sesuai kadar perbuatannya. Ia juga tidak boleh memberi arahan atau membisikkan argumen kepada salah satunya. Namun, tidak mengapa jika ketika keduanya telah duduk, ia berkata, “Silakan berbicara,” atau diam sampai salah satunya memulai. Sebaiknya dimulai dari pihak penggugat. Jika penggugat telah selesai menyampaikan argumennya, maka pihak tergugat berbicara. Ia tidak boleh mengundang salah satunya tanpa kehadiran yang lain. Ia juga tidak boleh menerima hadiah dari salah satu dari keduanya, meskipun sebelumnya ia biasa menerima hadiah darinya, hingga selesai proses perkara antara keduanya.

(Berkata al-Syāfi‘ī –  –):

Tidak mengapa jika qāḍī didatangi oleh musafir dan penduduk tetap. Jika jumlah musafir sedikit, tidak mengapa ia memulai dengan mereka. Jika ia menjadwalkan satu hari khusus untuk mereka, selama tidak merugikan penduduk kota dan tetap memudahkan musafir, maka hal itu tidak mengapa. Namun, jika jumlah musafir banyak hingga menyamai jumlah penduduk tetap, maka hendaknya ia menyamaratakan karena semuanya memiliki hak.

Hendaknya qāḍī duduk di tempat yang terbuka, dan mendahulukan orang yang datang lebih dahulu. Ia tidak boleh mendahulukan seseorang yang datang belakangan dari orang lain. Jika ia mendahulukan orang yang datang lebih awal beserta lawannya, dan ia memiliki beberapa lawan lain yang ingin maju bersamanya, maka sebaiknya qāḍī hanya mendengarkan dari dia dan satu orang lawan saja. Jika keduanya selesai, ia suruh mereka berdiri, lalu memanggil orang yang datang berikutnya, kecuali jika orang yang berikutnya itu memiliki urusan yang sangat banyak, dan ia adalah orang terakhir yang dipanggil.

Qāḍī tidak boleh mengeluarkan putusan kecuali setelah tampak jelas baginya kebenaran melalui khabar yang sahih dan wajib diikuti, atau melalui qiyās. Jika belum jelas baginya, maka ia tidak boleh menetapkan keputusan hingga jelas baginya dan ia meminta pendapat dari para ahli ilmu.

(Berkata):

Jika para ahli ilmu memberikan pendapat yang tidak bersumber dari khabar (nash), lalu qāḍī tidak melihat itu sebagai kebenaran, maka tidak sepatutnya ia menetapkan putusan berdasar hal tersebut, meskipun mereka lebih tinggi ilmunya dari dirinya. Karena ilmu itu hanya bisa sah jika didasarkan pada khabar yang wajib atau qiyās yang jelas dan dapat dipahami. Jika dijelaskan qiyās kepadanya dan ia tidak memahaminya, maka orang tersebut salah satu dari dua kemungkinan:

(1) Ia berakal sehat tapi yang memberi nasihat keliru, maka tidak boleh ia menerima dari orang yang salah menurutnya.

(2) Ia orang yang tidak berakal, meski dijelaskan pun tidak paham, maka tidak halal baginya untuk menetapkan hukum, dan tidak boleh pula hukumannya dijalankan. Karena jika kita menolak kesaksian seseorang atas hal yang ia tidak pahami, maka lebih utama lagi kita menolak hukum hakim atas hal yang ia tidak pahami, kecuali jika ternyata putusannya benar, maka putusan yang benar tetap dijalankan, dari siapa pun ia berasal.

(Berkata):

Qāḍī tidak boleh mengarahkan saksi (melatih ucapan saksi), namun ia boleh menghentikannya (mengarahkan perhatian) tanpa mengarahkan isi kesaksiannya. Dan qāḍī tidak boleh membentak saksi, juga tidak boleh memperlakukannya dengan kasar.

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Hendaknya qāḍī memastikan keterangan saksi, lalu ia menuliskannya di hadapannya atau di sisi tempat duduknya. Kemudian ia bacakan ulang kepada saksi saat saksi mendengarkan. Qāḍī tidak boleh menerima kesaksian itu di satu majelis kecuali ia sendiri atau penulisnya menuliskannya secara langsung di hadapannya. Ia tidak boleh membiarkan penulis menulis kesaksian tanpa sepengetahuannya, kecuali jika penulis tersebut membacakannya ulang di hadapannya dan saksi hadir, kemudian qāḍī memberi cap pada dokumen tersebut dan menyimpannya di tempat khusus (qimṭar).

(Berkata):

Jika orang yang disaksikan menginginkannya, ia boleh mengambil salinannya. Hendaknya qāḍī mengelompokkan semua kesaksian yang berkaitan antara dua pihak dalam satu berkas, dan menuliskan ringkasannya dengan menyebutkan nama-nama dan bulan kejadian agar lebih mudah dikenali ketika dicari. Apabila satu tahun telah berlalu, maka ia harus memisahkannya dan menandainya dengan “persengketaan tahun sekian dan sekian”, agar setiap tahun dan bulan terdokumentasi dengan baik.

(Berkata al-Syāfi‘ī – رضي الله تعالى عنه –):

Jika keadaan seseorang tidak diketahui keadilannya, maka hendaknya ditanyakan secara diam-diam. Jika orang tersebut dipandang adil, maka ditanyakan ulang secara terbuka agar diketahui bahwa orang yang dinilai adil secara diam-diam itu memang benar dia, dengan mencocokkan nama dan nasabnya.

(Berkata):

Jika qāḍī menemukan dalam arsipnya (diwān) suatu kesaksian tetapi ia tidak mengingat apa pun dari isi kesaksian itu, maka ia tidak boleh menjatuhkan hukum berdasarkan kesaksian tersebut sampai para saksi mengulang kembali kesaksiannya, atau ada saksi lain yang bersaksi atas kesaksian mereka. Jika dikhawatirkan kesaksian tersebut akan terlupakan dan itu akan merugikan masyarakat, maka qāḍī boleh meminta kepada para saksi saat mereka hadir agar salah satu penulisnya memberikan kesaksian atas kesaksian mereka, dan ia menuliskannya sebagaimana telah disebutkan. Jika ia mengingat kesaksian mereka, maka ia boleh memutuskan hukum berdasarkannya. Jika tidak, maka kesaksian harus ditegaskan kembali oleh orang yang kesaksiannya dapat diterima. Hal ini karena bisa saja terjadi rekayasa terhadap dokumen dengan menyisipkan tulisan yang menyerupai tulisan dan cap qāḍī.

Demikian juga jika ada seseorang menulis kesaksiannya di rumahnya lalu membawanya keluar, maka kesaksiannya tidak dapat diterima sampai ia mengingatkan kembali isi kesaksiannya.

(Berkata):

Segala yang ditemukan di dalam arsip qāḍī setelah ia diberhentikan dari jabatannya—berupa kesaksian atau putusan yang tidak disaksikan (oleh qāḍī)—tidak dapat diterima.

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Sebaiknya penguasa memberikan tunjangan kepada qāḍī yang mencakup pula kebutuhan untuk kertas dan dokumen-dokumennya. Jika demikian, maka qāḍī tidak perlu membebani pihak yang bersengketa untuk membawa kertas. Jika tidak, maka qāḍī boleh berkata kepada penggugat: “Jika engkau mau, bawalah kertas untuk kesaksian para saksimu dan untuk mencatat gugatanmu; jika tidak, aku tidak akan memaksamu, dan aku juga tidak akan menerima kesaksian yang disampaikan secara langsung saat ini tanpa ada catatan, karena bisa terlupakan.”

(Berkata):

Aku menyukai jika qāḍī tidak menerima kesaksian dari seorang saksi kecuali di hadapan pihak yang menjadi tergugat. Namun jika diterima tanpa kehadiran tergugat, tidak mengapa. Dan jika tergugat hadir, maka hendaknya dibacakan kepadanya kesaksian tersebut agar ia mengetahui dalil lawannya, dan juga agar ia mengetahui apakah ia memiliki alasan untuk mencela para saksi atau tidak.

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Jika qāḍī menerima kesaksian terhadap orang yang sedang tidak hadir, lalu ia menuliskannya dan mengirimkan ke qāḍī lain, kemudian orang tersebut datang sebelum surat itu sampai, maka para saksi tidak perlu mengulang kesaksiannya. Qāḍī cukup membacakan kepadanya isi kesaksian beserta salinan nama-nama dan nasab para saksi, serta memberinya kesempatan untuk membantah atau mencari celah terhadap kesaksian itu. Jika ia tidak mampu membantah, maka qāḍī boleh menjatuhkan putusan atasnya.

(Berkata):

Jika surat sudah sampai ke qāḍī yang kedua, maka ia tidak boleh langsung menjatuhkan putusan terhadap orang tersebut kecuali jika orang itu hadir. Ia harus membacakan surat dan nama-nama saksi kepadanya, dan memberinya kelonggaran untuk mencari celah atas kesaksian tersebut. Jika ia mampu menghadirkannya, maka ia bebas; jika tidak, maka dijatuhkan putusan terhadapnya.

 

(Berkata):

Apabila seseorang mendatangkan bukti (saksi) atas budak atau hewan tunggangan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang ia miliki di negeri lain, maka qāḍī bersumpahkannya bahwa budak atau hewan tersebut yang disaksikan oleh para saksi itu benar-benar miliknya, dan bahwa kepemilikannya atasnya tidak terputus dengan cara apa pun. Kemudian qāḍī menulis surat dari negerinya ke negeri-negeri lain, dan seseorang menghadirkan budak atau hewan dengan ciri-ciri tersebut. Sebagian hakim berpendapat agar diberi cap di leher budak atau hewan itu, lalu dikirim ke negeri tersebut, dan ia mengambil penjamin dari orang yang menuntut untuk mendatangkannya. Jika para saksi mengenalinya setelah melihatnya, maka ia diserahkan kepadanya. Jika tidak, maka dikembalikan. Ini adalah pendapat berdasarkan istihsān (pertimbangan terbaik).

Ada pula yang berpendapat bahwa jika sesuai dengan sifat yang disebutkan, maka diputuskan kepemilikannya. Sedangkan menurut qiyās (analogi hukum), tidak boleh diputuskan kepemilikannya sampai para saksi datang ke tempat di mana budak atau hewan itu berada dan menyaksikannya secara langsung. Demikian pula dalam hal budak. Tidak boleh dikeluarkan dari tangan pemegangnya hanya karena cocok sifatnya jika orang itu mengaku memilikinya. Dan tidak diputuskan berdasarkan sifat sebagaimana tidak diputuskan atas orang yang ghaib hanya dengan nama dan nasabnya. Demikian pula semua harta, baik berupa hewan maupun selainnya.

(Berkata):

Segala yang dijual oleh qāḍī, baik dari orang hidup maupun yang telah wafat, maka tidak ada tanggungan padanya. Tanggungan tetap pada barang yang dijual itu sendiri.

Terdapat perbedaan pendapat di antara manusia tentang apakah qāḍī boleh memutuskan berdasarkan ilmu yang ia miliki. Hanya ada dua pendapat yang sah:

Salah satunya mengatakan bahwa ia boleh memutuskan dengan segala sesuatu yang ia ketahui baik sebelum menjabat atau sesudah, baik di dalam majelis pengadilan atau di luar, dalam perkara hak-hak manusia.

Mereka yang berpendapat demikian mengatakan bahwa disyaratkannya dua saksi hanyalah untuk memastikan kebenaran pengakuan secara lahiriah. Maka jika qāḍī boleh menerima kesaksian berdasarkan penilaian lahir, maka ilmu qāḍī lebih kuat dari itu.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa qāḍī tidak boleh memutuskan dengan sesuatu yang hanya ia ketahui, baik dalam majelis pengadilan maupun di luar, kecuali jika ada dua saksi yang bersaksi atas sesuatu yang ia ketahui. Maka ilmu dan ketidaktahuannya sama saja saat ia menjadi hakim. Ia harus memerintahkan penggugat untuk membawa perkara itu kepada qāḍī lain dan ia hanya boleh menjadi saksi seperti muslim lain. Demikian pendapat Syuraiḥ.

Suatu kali seseorang meminta Syuraiḥ untuk memutuskan berdasarkan ilmu yang ia ketahui, maka ia menjawab: “Datanglah kepada amīr dan aku akan menjadi saksi untukmu.”

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Adapun pengetahuan qāḍī terhadap hudūd (hukuman-hukuman Allah) yang tidak ada hak manusia di dalamnya, ada kemungkinan disamakan dengan hak-hak manusia, dan ada kemungkinan dibedakan antara keduanya. Sebab seseorang yang mengaku terhadap hak orang lain lalu menarik kembali pengakuannya maka penarikannya tidak diterima, sedangkan pengakuan terhadap hak Allah yang kemudian ditarik kembali maka penarikannya diterima.

Dan qāḍī itu dipercaya menurut pendapat yang membolehkannya memutuskan dengan ilmu, dan tidak diterima menurut pendapat yang tidak membolehkannya. Namun jika ia menyebut bahwa ada bukti yang sah di hadapannya, maka ucapannya dapat diterima mengenai bukti tersebut.

Demikian pula untuk semua putusan yang ia jatuhkan baik mengenai talak, qishāsh, harta, dan lainnya.

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Apabila qāḍī sudah menetapkan hukum, dan ia masih menjabat sebagai qāḍī, maka orang yang dijatuhi hukum tidak dapat menuntutnya kecuali jika ada bukti atas pengakuan qāḍī bahwa ia telah berbuat zalim, atau terdapat indikasi bahwa putusannya tidak adil. Maka dalam hal ini putusannya bisa dibatalkan dan ia bisa dituntut atasnya.

 

(Berkata):

Apabila seorang qāḍī membeli seorang budak untuk dirinya sendiri, maka kedudukannya seperti pembelian orang lain. Ia tidak boleh memutuskan perkara untuk dirinya sendiri. Jika ia melakukannya, maka putusannya ditolak. Begitu pula jika ia memutuskan perkara untuk anaknya atau ayahnya, atau orang yang tidak diterima persaksiannya (untuk dirinya), maka putusannya tidak sah. Namun ia boleh memutuskan perkara untuk orang-orang yang diterima persaksiannya bagi dirinya, seperti saudara, paman, sepupu, dan maulā (bekas budaknya).

(Berkata al-Syāfi‘ī – –):

Jika seorang qāḍī dicopot dari jabatannya, lalu ia berkata, “Aku telah memutuskan perkara untuk si fulan terhadap si fulan,” maka ucapannya itu tidak diterima kecuali orang yang dimenangkan (dalam perkara) mendatangkan dua orang saksi bahwa ia telah diputuskan kemenangannya sebelum qāḍī tersebut dicopot.

(Berkata):

Aku lebih menyukai jika qāḍī ingin memutuskan perkara terhadap seseorang, maka hendaknya ia mendudukkan orang tersebut, lalu menjelaskan kepadanya dengan berkata: “Kamu telah mengajukan argumen ini, dan telah datang bukti terhadapmu demikian, dan lawanmu berhujah begini, maka aku melihat putusan ini terhadapmu berdasarkan hal ini.”

Hal itu akan lebih menyenangkan bagi hati orang yang diputuskan perkara atasnya, menjauhkan dari tuduhan (berbuat zalim), dan lebih memungkinkan jika qāḍī luput dari suatu hujah maka pihak yang bersangkutan dapat menjelaskannya. Jika setelah dijelaskan ternyata masih ada sesuatu yang perlu ditinjau kembali, maka qāḍī dapat menunda sampai jelas baginya. Jika ternyata tidak ada (yang meragukan), maka ia sampaikan kepada pihak yang kalah bahwa tidak ada hak baginya, dan tunjukkan alasan bahwa ia tidak memiliki hak.

Jika qāḍī tidak melakukannya, maka putusannya tetap sah, hanya saja ia telah meninggalkan ruang untuk meminta kejelasan dan keadilan dari pihak yang diputuskan terhadapnya.

(Berkata):

Aku menyukai agar imam (penguasa) ketika mengangkat qāḍī, maka ia memberi kewenangan untuk melimpahkan sebagian wewenangnya kepada orang lain di wilayah tertentu atau urusan tertentu. Maka keputusan orang yang diangkatnya itu sah. Namun jika tidak diberi kewenangan, maka menurut pendapat orang yang mengharuskan izin dari penguasa, tidak boleh qāḍī melaksanakan atau mengesahkan putusan orang yang diangkat olehnya tanpa wewenang. Jika ia tetap melaksanakannya, maka pelaksanaan itu batal, kecuali apabila pelaksanaan tersebut bersifat memulai kembali perkara (bukan meneruskan putusan sebelumnya).

Jika perkara yang diperselisihkan telah jelas bagi qāḍī, maka lebih aku sukai jika ia menganjurkan kedua belah pihak untuk berdamai dan saling memaafkan, serta menunda putusan satu atau dua hari.

Namun jika keduanya tidak setuju untuk ditunda, maka ia tidak boleh menunda dan harus segera memutuskan jika perkara telah jelas baginya.

Adapun jika perkara masih belum jelas baginya, maka ia tidak boleh memutuskan sampai ia benar-benar memahami (hukumnya), meski harus menunggu lama.

Sebab, memutuskan sebelum jelas merupakan kezaliman, dan menunda putusan setelah jelas juga merupakan kezaliman.

Dan Allah Maha Mengetahui.

[Pengakuan dan Hibah]

(Diriwayatkan dari al-Rabī‘, ia berkata:) Telah mengabarkan kepada kami al-Syāfi‘ī, ia berkata:

Apabila seseorang berkata, “Si Fulan mempunyai tanggungan sesuatu atas diriku,” lalu ia mengingkarinya, maka dikatakan kepadanya, “Akuilah apa saja yang kamu mau dari sesuatu yang disebut syai’ — satu butir kurma, satu fils, atau apa saja yang kamu mau.”

Kemudian ia disuruh bersumpah, “Tidak ada selain ini, dan tidak ada sesuatu pun atas diriku selain ini, dan aku telah bebas darinya.” Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat yang telah diakui. Lalu dikatakan kepadanya, “Sebutkan apa saja yang kamu mau.”

Jika ia menyebutnya, dikatakan kepada orang yang mengaku, “Jika engkau bersumpah atas hal itu, maka engkau bebas. Jika tidak, maka kami kembalikan sumpah kepada penggugat, dan jika ia bersumpah maka kami berikan (tuntutannya) kepadanya, dan kami tidak menahan (tergugat).”

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Begitu juga jika ia berkata, “Dia punya tanggungan harta atas diriku,” maka dikatakan kepadanya, “Akuilah apa saja yang kamu mau,” karena setiap sesuatu yang dinamai sebagai māl (harta) sah (sebagai pengakuan). Begitu juga jika ia mengatakan, “Dia punya tanggungan harta banyak atau harta besar atas diriku.”

Jika ada yang bertanya, “Apa dalilnya dalam hal ini?” Maka dikatakan, “Allah Ta‘ālā telah menyebut amal perbuatan:

{Maka barang siapa berbuat kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya), dan barang siapa berbuat kejahatan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya).} [QS. al-Zalzalah: 7–8]

Maka jika seseorang dibalas atas amal seberat zarrah dalam kebaikan dan keburukan, itu adalah perkara besar. Dan tidak ada harta yang lebih ringan dari seberat zarrah.”

Maka orang miskin yang memandang bahwa satu dirham itu besar, lalu ia berkata, “Si Fulan punya tanggungan harta besar atas diriku,” dan telah dikenal bahwa menurutnya satu dirham adalah besar — apakah layak dipaksa untuk membayar dua ratus dirham?

Sebaliknya, jika seorang khalifah atau orang selevel khalifah yang menganggap sejuta dirham itu sedikit, lalu ia berkata kepada seseorang, “Engkau punya tanggungan harta besar kepadaku,” lalu kamu berkata bahwa ia harus membayar dua ratus dirham, padahal dalam pandangan umum “besar” itu bisa saja lebih dari sejuta dirham — maka engkau telah menzaliminya jika ukuranmu hanya mengikuti bahasa masyarakat.

Dan engkau pun menzhalimi orang miskin tadi yang menganggap satu dirham saja sudah besar.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Jika ia berkata, “Si Fulan punya tanggungan dirham atasku,” lalu ia tambahkan, “banyak” atau “besar”, atau tidak ia tambahkan apa pun, maka sama saja.

Ia tetap diwajibkan membayar tiga dirham, kecuali jika orang yang diakui (sebagai berhak) menuntut lebih banyak, lalu orang yang mengaku disuruh bersumpah. Jika ia bersumpah, maka aku tidak menambah dari tiga dirham. Namun jika ia enggan bersumpah, aku berkata kepada penuntut, “Jika kamu mau, ambillah tiga dirham tanpa bersumpah. Jika tidak, bersumpahlah atas lebih dari tiga dirham, dan ambillah.”

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Dia punya tanggungan seribu dan satu dirham atas diriku,” namun tidak menjelaskan seribu apa, maka dikatakan kepadanya, “Akuilah jenis seribu itu sesukamu, entah fulūs (uang logam), kurma, atau roti, dan berikanlah satu dirham bersamanya. Lalu bersumpahlah bahwa seribu yang engkau akui itu adalah ini.”

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Jika ia berkata, “Cincin ini milik si Fulan, dan batu permatanya (fash) milikku atau milik si Fulan,” maka itu seperti perkataan, “Cincin ini kecuali batu permatanya milik si Fulan atau si Fulan,” maka cincinnya milik si Fulan dan batu permatanya milik dia atau si Fulan.

Begitu juga jika ia berwasiat: “Cincinku ini untuk si Fulan, dan batu permatanya untuk si Fulan,” maka cincinnya diberikan kepada si Fulan, dan batu permatanya kepada orang yang diwasiati.

Hal itu karena batu permata dapat dibedakan dari cincin sehingga ada nama cincin yang tidak memiliki batu permata.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Tidak sah pengakuan seorang laki-laki maupun perempuan kecuali jika keduanya telah baligh, berakal, dan tidak dalam perwalian.

Barang siapa yang tidak sah jual belinya, maka tidak sah pula pengakuannya.

Sama saja apakah ia memiliki ayah atau tidak, apakah ia telah diizinkan berdagang atau belum.

Ini berbeda dengan budak yang telah baligh dan diizinkan berdagang, karena budak tidak sah perdagangannya kecuali dengan izin tuannya. Jika tuannya mengizinkan, maka sah jual belinya, dan sah pengakuannya dalam jual beli dan selainnya.

Anak laki-laki maupun perempuan yang belum baligh — meskipun memiliki harta — maka dalam hukum Allah Ta‘ālā ia tidak dilepas dari harta tersebut, dan tetap diwasiati atasnya hingga baligh dan berakal, maka tidak boleh bagi manusia untuk membebaskan tanggung jawab tersebut darinya, dan tidak sah dilakukan atasnya sesuatu yang tidak sah ia lakukan atas dirinya sendiri — padahal ia adalah orang merdeka dan pemilik harta.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Jika pengakuan orang yang belum baligh tidak sah baik dalam hal jinayah sengaja maupun tidak sengaja, dan juga tidak sah dalam urusan dagang, sedangkan budak sah pengakuannya atas dirinya dalam hal qatl, had, dan pemotongan, maka jelaslah perbedaan keduanya, karena budak terkena batasan hukum (hudūd), sedangkan yang belum baligh tidak terkena hudūd.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Jika seorang budak mengakui jinayah (pembunuhan atau lainnya) secara tidak sengaja, maka tidak wajib atas tuannya dari pengakuannya itu apa pun, karena ia mengaku atas dirinya sendiri. Namun jika ia telah merdeka, maka (tanggung jawab itu) tetap melekat padanya.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Seluruh bentuk pinjaman (‘āriyah) adalah tanggungan: hewan tunggangan, budak, rumah, dan pakaian — tidak ada perbedaan di antara semua itu.

Barang siapa meminjam sesuatu lalu barang itu rusak di tangannya — baik karena perbuatannya sendiri atau bukan — maka ia wajib menanggungnya.

Setiap benda tidak lepas dari dua keadaan: ditanggung atau tidak ditanggung.

Apa yang termasuk ditanggung seperti barang yang dirampas (ghashb) dan semacamnya, maka baik kerusakannya nyata atau tersembunyi tetap menjadi tanggungan si perampas atau si peminjam, baik ia merusaknya atau tidak.

Adapun yang tidak ditanggung seperti titipan (wadī‘ah), maka baik rusaknya nyata atau tersembunyi, perkataan yang diterima adalah milik si penitip dengan sumpahnya. Ia tidak menanggung apa pun kecuali jika ia lalai atau melampaui batas.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Sebagian ulama berbeda pendapat dengan kami dalam hal pinjaman, mereka berkata: tidak ada tanggungan kecuali jika ada pelampauan.

Ketika ditanya, “Dari mana pendapat itu?” Mereka mengklaim bahwa pendapat itu adalah pendapat Syuraiḥ.

Kami katakan, “Kalian telah menyelisihi Syuraiḥ di tempat lain.”

Mereka bertanya, “Apa dalil kalian dalam menetapkan tanggungan atas barang pinjaman?”

Kami menjawab:

“Rasulullah meminjam dari Shafwān. Lalu beliau bersabda: ‘Barang pinjaman yang ditanggung dan dikembalikan.’”

Mereka berkata: “Bagaimana kalau kami mengatakan: Bila peminjam mensyaratkan tanggungan, maka ia menanggung. Bila tidak, maka tidak menanggung?”

Kami menjawab: “Kalau begitu, kalian meninggalkan pendapat kalian sendiri.”

Mereka bertanya: “Di mana letaknya?”

Kami menjawab: “Bukankah kalian mengatakan barang pinjaman tidak ditanggung kecuali bila disyaratkan?”

Mereka menjawab: “Betul.”

Kami berkata: “Lalu bagaimana pendapatmu jika dalam titipan (wadī‘ah) si penjaga barang mensyaratkan bahwa ia menanggung, atau mudārib (pengelola dana) mensyaratkan bahwa ia menanggung?”

Mereka berkata: “Tidak sah persyaratan tanggungan dalam keduanya.”

Kami berkata: “Lalu bagaimana bila peminjam (musta‘īr) mensyaratkan bahwa ia tidak menanggung?”

Mereka menjawab: “Persyaratan itu tidak sah. Ia tetap menanggung.”

Kami berkata: “Maka engkau telah mengembalikan hukum amanah kepada asalnya, dan hukum tanggungan juga kepada asalnya, serta membatalkan syarat keduanya. Maka seharusnya kamu berkata hal yang sama pada kasus pinjaman.”

Kami berkata: “Nabi ﷺ telah menetapkan bahwa barang pinjaman itu ditanggung — dan beliau tidak akan mensyaratkan tanggungan kecuali jika memang wajib.”

Mereka bertanya: “Kalau memang sudah wajib, mengapa masih disyaratkan?”

Kami menjawab: “Karena penerima pinjaman saat itu adalah seorang musyrik yang belum tahu hukum Islam. Kalau ia sudah tahu, tidak mengapa disyaratkan. Sama seperti syarat dalam jual beli: garansi atau pembebasan dari beban budak — padahal tanpa syarat pun itu tetap menjadi kewajiban penjual.”

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Mereka bertanya: “Apakah ada ulama lain yang mengatakan demikian?”

Kami menjawab: “Ini sudah cukup sebagai dalil. Telah berkata Abū Hurairah dan Ibnu ‘Abbās – رضي الله عنهما – bahwa barang pinjaman itu ditanggung.

Abū Hurairah bahkan berkata tentang unta yang dipinjam lalu rusak: ia adalah tanggungan.”

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Jika dua orang berselisih tentang seekor hewan, lalu pemilik hewan berkata, “Aku menyewakannya kepadamu ke tempat ini dan itu dengan ongkos sekian,”

sedangkan orang yang menaikinya berkata, “Aku menaikinya sebagai pinjaman darimu,”

maka yang dipegang adalah ucapan si peminjam dengan sumpahnya, dan ia tidak dikenakan ongkos sewa.

(Abū Muḥammad berkata):

Ada juga pendapat lain: yang dipegang adalah ucapan pemilik hewan karena lawannya telah mengakui bahwa ia menaiki hewan milikku, dan kini ia mengklaim bahwa aku menghalalkannya baginya, maka ia harus mendatangkan bukti. Jika tidak, maka aku bersumpah dan mengambil ongkos sewa sewajarnya.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Jika keadaan tetap seperti itu dan hewan tersebut mati, maka ongkos sewa gugur, tetapi si peminjam tetap menanggung kerugian hewan karena hukum asal barang pinjaman adalah ditanggung,

baik pemilik hewan memang menyewakan hewan atau tidak, karena yang menyewakan bisa saja meminjamkan, dan yang meminjamkan bisa juga menyewakan.

(al-Rabī‘ berkata):

Imam al-Syāfi‘ī juga punya pendapat lain bahwa yang dipegang adalah ucapan pemilik hewan dengan sumpahnya, dan si penunggang wajib membayar ongkos sewa sewajarnya.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Jika aku mengatakan bahwa yang dipegang adalah ucapan pemilik hewan, maka aku mewajibkan ongkos sewa atas si penunggang dan menggugurkan tanggung jawab atas kerusakan.

(al-Rabī‘ berkata):

Setiap kasus di mana ucapan pemilik hewan yang dijadikan pegangan, dan hewan itu tidak dipinjamkan, lalu hewan itu rusak, maka si penunggang tidak menanggung apa pun kecuali jika ia melampaui batas.

(al-Syāfi‘ī – – berkata):

Begitu juga jika seseorang berkata, “Engkau meminjamkannya padaku,” dan pemilik berkata, “Tidak, kau merampasnya dariku,”

maka yang dipegang adalah ucapan si peminjam dan ia tidak wajib menanggung.

Namun jika hewan itu mati di tangannya, maka ia wajib menanggung karena barang pinjaman memang ditanggung — baik ia menungganginya atau tidak.

Jika ia mengembalikannya dalam keadaan utuh, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya — baik ia menungganginya atau tidak.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Sama saja apakah seseorang berkata, “Aku mengambilnya darimu sebagai pinjaman,” atau berkata, “Engkau memberikannya kepadaku sebagai pinjaman,” karena dalam kedua kalimat tersebut subjek perbuatan dikembalikan kepada pemilik hewan — dan demikianlah gaya bahasa orang Arab.

(al-Rabīʿ berkata):

Kemudian al-Syāfiʿī menarik kembali ucapannya dan mengatakan bahwa yang dipegang adalah ucapan pemilik hewan.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Aku menyewanya darimu dengan harga sekian,” dan pemilik hewan berkata, “Aku menyewakannya kepadamu dengan harga sekian (lebih tinggi),” maka jika hewan itu belum dinaiki, keduanya saling bersumpah dan transaksi dibatalkan.

Namun jika hewan itu sudah dinaiki, keduanya tetap saling bersumpah, lalu dikenakan ongkos sewa yang sesuai dengan ongkos sewajarnya — baik lebih dari yang diaku oleh pemilik maupun kurang dari yang diakui oleh si penyewa — karena ketika akad asli sewa itu dianggap batal, maka dasar perhitungannya kembali kepada ongkos sewa yang layak, bukan yang dibatalkan.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Penitip (mustaudaʿ) tidak wajib menanggung kerusakan barang kecuali jika ia menyimpang dari amanah.

Jika ia menyimpang, maka ia tidak bisa keluar dari tanggungan kecuali dengan mengembalikan barang titipan kepada pemiliknya secara langsung.

Kalaupun ia mengembalikannya ke tempat semula (bukan kepada pemiliknya langsung), ia tetap menanggung.

Karena awal mula akadnya adalah amanah, lalu ia menyimpang, maka tidak sah bila ia menganggap telah mendapatkan amanah baru dari pemilik tanpa penegasan.

Maka ia tidak dianggap terbebas sampai benar-benar menyerahkan barang kepada pemiliknya.

Demikian pula halnya dengan barang gadai (rahn).

Jika pihak yang memegang gadai (murtahin) telah dilunasi, kemudian ia menyimpang, lalu mengembalikan barang itu ke rumahnya sendiri, lalu barang tersebut rusak, maka ia wajib menanggung, dan ia tidak terbebas dari tanggung jawab kecuali setelah benar-benar mengembalikannya kepada pemiliknya.

Dan seluruh barang pinjaman — baik yang dimanfaatkan oleh peminjam atau tidak — tetap ditanggung.

Baik berupa rumah, uang dinar atau dirham, makanan, barang berwujud, atau yang lainnya.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Pakaian ini ada di tanganku milik Fulan” atau “dalam kepemilikannya,” atau “milik warisannya,” atau “sebagai haknya,” atau “untuk warisannya,” atau “miliknya,” atau “titipan,” atau “pinjaman,” atau “ada padaku,” maka itu semua statusnya sama: sebagai pengakuan bahwa barang tersebut milik Fulan,

kecuali jika ada lafaz lain yang menafsirkan secara eksplisit, misalnya:

“Barang ini ada padaku sebagai barang gadai milik Fulan yang dititipkan oleh Fulan lain,”

maka barang itu adalah milik orang yang disebut sebagai pemilik, dan tidak ada hak gadai bagi orang kedua kecuali ia mengakuinya.

Dan jika seseorang berkata, “Aku menerimanya melalui tangan Fulan,” atau “Barang ini ada padaku melalui tangan Fulan,” atau “Dalam kepemilikanku melalui tangan Fulan,” maka ini bukan pengakuan bahwa barang itu milik Fulan,

karena secara lahiriah berarti ia hanya menyatakan menerima melalui bantuan atau sebab dari Fulan, bukan sebagai pengakuan kepemilikan.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Fulan punya hak atas diriku sebanyak seribu dinar atau seratus dirham,” lalu ia berkata, “Itu cacat,” atau “Itu palsu,” maka ia tidak dipercaya.

Namun jika ia berkata, “Itu dari cetakan mata uang negeri ini dan itu,” maka ia dipercaya dengan sumpahnya — baik cetakan itu tergolong kelas rendah, menengah, atau laku di negeri lain namun tidak laku di negeri ini.

Hal ini seperti orang yang berkata, “Aku berutang kepadamu sebuah pakaian,” maka ia boleh memberikan pakaian apa pun yang relevan dengan pengakuannya,

meskipun pakaian itu tidak lazim dikenakan oleh penduduk negeri tersebut, atau tidak sesuai dengan status sosial orang yang menjadi kreditur.

Dan jika seseorang berkata, “Aku berutang seribu dirham dari harga budak ini,” lalu kedua belah pihak berselisih: penjual berkata bahwa itu budak sehat, dan pembeli berkata bahwa itu budak sakit — maka keduanya saling bersumpah dan transaksi dibatalkan.

Dan ini sebanding dengan perselisihan terkait pengurangan harga.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika di suatu negeri terdapat standar timbangan yang sudah dikenal — baik itu kurang dari standar umum atau tidak — dalam hal dinar atau dirham, lalu seseorang membeli barang seharga seratus dirham, maka yang berlaku adalah standar mata uang setempat, kecuali jika disyaratkan sesuatu, maka berlaku syarat tersebut, asalkan penjual dan pembeli sama-sama mengetahui kondisi uang yang berlaku di negeri itu.

Jika salah satu dari keduanya tidak tahu, lalu penjual menuntut pembayaran berdasarkan timbangan berat (bukan yang umum di negeri itu), maka ia diberi pilihan antara menerima pembayaran sesuai mata uang negeri atau membatalkan akad setelah saling bersumpah.

Jika seseorang berkata, “Aku berutang dirham hitam (سود),” dan perkataannya bersambung, maka itu berarti dirham hitam.

Jika ia menyambung ucapan dengan mengatakan “yang kurang,” maka berarti dirham hitam yang kurang timbangannya.

Namun jika ia memisahkan ucapannya, lalu setelah itu mengatakan “yang kurang,” maka yang dimaksud adalah dirham yang wazan (berat standar).

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham besar,” maka dituntut darinya dirham wazan kecuali jika ia menjelaskan bahwa yang dimaksud lebih besar dari itu.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham,” maka itu berarti dirham wazan.

Jika ia berkata, “Satu dirham kecil,” maka jika di masyarakat terdapat dirham kecil, maka dituntut darinya satu dirham kecil wazan dari jenis itu, disertai sumpah bahwa yang ia maksud bukan dirham wazan besar.

Begitu pula jika pengakuannya berupa barang yang digasabi (diambil paksa) atau dititipkan.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang mengaku kepada orang yang telah meninggal bahwa ia berutang seratus dirham, lalu ia berkata: “Ini anaknya dan ini istrinya yang sedang hamil,”

maka jika wanita itu melahirkan anak hidup, maka wanita dan anak yang dilahirkan itu berhak mewarisi bagian mereka dari seratus dirham tersebut.

Namun jika anak yang dilahirkan tidak diketahui tanda-tanda kehidupan, maka tidak ada warisan bagi anak tersebut.

Tanda kehidupan anak adalah ia menangis setelah lahir, menyusu, atau menggerakkan tangan atau kaki dengan gerakan hidup — apa pun yang menunjukkan kehidupan, maka itu dianggap hidup.

Dan jika seseorang berwasiat kepada janin (ḥabl) — misalnya berkata: “Untuk janin yang dikandung perempuan ini dari Fulan sekian,” sementara ayahnya masih hidup,

maka jika ia melahirkan anak dalam waktu kurang dari enam bulan dari hari wasiat, maka wasiat berlaku.

Namun jika anak lahir dalam enam bulan atau lebih, maka wasiat batal, karena bisa jadi janin tersebut belum ada saat wasiat, dan baru dikandung setelahnya.

Jika ayahnya telah wafat ketika wasiat dibuat, lalu anak lahir dalam waktu kurang atau lebih dari enam bulan — selama secara hukum dianggap anaknya — maka wasiat tetap sah, karena dipastikan bahwa saat wasiat dibuat memang telah ada kehamilan.

Jika anak yang lahir itu mati, maka tidak ada hak wasiat baginya, kecuali diketahui bahwa ia sempat hidup setelah lahir.

Jika seseorang berkata, “Aku berutang seratus dirham sebagai bilangan,” maka itu berarti seratus dirham yang wazan.

Jika ia berkata, “Aku berutang seratus dirham, setiap sepuluh dirham beratnya lima,” maka berlaku seperti yang ia katakan selama perkataannya bersambung.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham yang kurang sekian dan sekian,” maka itu juga berlaku seperti yang ia katakan, jika ucapannya bersambung.

Namun jika ia berkata, “Satu dirham,” lalu memutus ucapannya, lalu mengatakan, “yang kurang,” maka itu tidak diterima.

Jika suatu negeri seluruh mata uang dirhamnya kurang timbangannya, lalu seseorang mengaku berutang satu dirham, maka yang dituntut adalah satu dirham dari mata uang negeri itu.

Jika seseorang berkata, “Aku berutang dirham,” atau “dari daryhimat (jamak kecil),” atau “dinar,” atau “danayir (jamak kecil),” atau “dirham banyak,” atau “besar,” atau “sedikit,” atau “ringan,” maka yang wajib atasnya adalah tiga dirham dari jenis yang ia akui — apakah dirham atau dinar — dan ia bersumpah jika ada tuntutan lebih dari itu.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Aku telah menghadiahkan rumah ini kepadanya dan ia telah menerimanya,” atau, “Aku telah menghadiahkan rumah ini kepadanya dan ia telah menguasainya,” lalu kemudian ia berkata, “Ia belum menerimanya dan belum menguasainya,” sementara yang diberi hadiah mengatakan, “Aku telah menerima dan menguasainya,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan penerima hadiah.

Jika penerima hadiah itu meninggal, maka pernyataan para ahli warisnya yang dipegang.

Demikian pula jika ia berkata, “Telah berada di tangannya,” baik ketika mengakuinya rumah tersebut berada di tangan pemberi maupun di tangan penerima — tidak menjadi persoalan.

Namun jika ia berkata, “Aku telah memberikannya kepadanya,” atau, “Aku telah melepaskannya kepadanya,” maka dilihat dulu: jika rumah itu berada di tangan penerima hadiah, maka itu berarti telah diterima setelah pengakuan, dan rumah itu menjadi miliknya.

Namun jika rumah itu berada di tangan pemberi atau tangan orang lain dari pihaknya, maka ditanyakan kepadanya maksud dari ucapannya “telah aku lepaskan kepadanya.”

Jika ia berkata: “Hanya sekadar ucapan tanpa penyerahan,” maka ucapannya diterima disertai sumpah, dan ia berhak menahannya karena harta tidak menjadi milik kecuali dengan penerimaan, dan ia tidak mengakui adanya penerimaan.

“Pelepasan” bisa bermakna ucapan semata, maka tidak diwajibkan apapun kecuali berdasarkan kepastian.

Demikian pula jika ia berkata, “Aku telah memberikannya kepadanya dan ia telah memilikinya,” sebab kepemilikan menurutnya bisa terjadi hanya dengan ucapan.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika ia berkata, “Aku telah memberikannya kepadanya kemarin” atau “tahun lalu” dan ia tidak menerimanya, dan penerima berkata, “Justru aku telah menerimanya,” maka ucapan pemberi yang dijadikan pegangan disertai sumpahnya, dan penerima wajib mendatangkan bukti penerimaan.

Jika seseorang memberikan hadiah kepada orang lain, dan barang tersebut berada di tangan penerima, lalu ia menerimanya, maka hadiah menjadi sah karena ia telah menerimanya setelah pemberian.

Namun jika barang tersebut tidak berada di tangan penerima, lalu ia mengambilnya tanpa izin pemberi, maka itu tidak sah.

Karena hadiah tidak sah kecuali dengan ucapan dan penerimaan, dan ucapan hanya sah dari pemberi, demikian pula penerimaan harus dengan izinnya karena ia adalah pemilik, dan tidak boleh ada kepemilikan kecuali setelah disempurnakan.

Pemberi tetap memiliki hak memilih untuk menyerahkan hadiah atau tidak hingga benar-benar menyerahkannya kepada penerima.

Jika ia meninggal, maka hak tersebut beralih kepada ahli waris: mereka boleh menyerahkan hadiah atau tidak, sesuai kehendak mereka.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang memberikan hadiah kepada orang lain dan mengakui bahwa ia telah menerimanya, lalu ia berkata, “Aku hanya mengaku secara lisan bahwa ia telah menerimanya, padahal belum,” maka ia disumpah: jika ia bersumpah bahwa ia memang telah menerimanya, maka hadiah menjadi miliknya.

Namun jika ia menolak bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada pemberi. Jika ia bersumpah, maka hadiah tidak keluar dari kepemilikannya.

Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Engkau telah menghadiahkan budak ini kepadaku dan aku telah menerimanya,” sementara budak itu berada di tangan pemberi atau penerima, lalu pemberi berkata, “Benar,” atau “Ya,” maka itu adalah pengakuan, dan budak itu menjadi milik penerima.

Jika pengakuan itu dalam bahasa asing (ʿajamī), maka kedudukannya sama seperti dalam bahasa Arab.

Jika seseorang berkata, “Aku berutang satu dirham dalam sepuluh,” maka ia ditanya maksudnya: jika ia maksudkan perhitungan, maka ditetapkan sesuai niatnya.

Jika tidak, maka ia ditetapkan berutang satu dirham, disertai sumpahnya.

Demikian pula jika ia berkata, “Satu dirham dalam baju,” maka ditanya apakah ia mengaku satu dirham atau baju yang terdapat di dalamnya satu dirham. Jika ia mengatakan tidak, maka ia hanya berutang satu dirham.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham dalam satu dinar,” maka ditanya apakah maksudnya satu dirham beserta satu dinar.

Jika ia menjawab ya, maka keduanya ditetapkan sebagai hutangnya.

Jika tidak, maka hanya satu dirham yang ditetapkan.

Jika ia berkata, “Satu dirham dalam baju murrī,” maka hukumnya sama.

Karena bisa jadi maksudnya adalah, “Aku berutang satu dirham dalam baju milikku yang murrī.”

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham dalam baju murrī yang aku beli darinya secara tempo,” maka ditanyakan kepada orang yang diakui: jika ia mengakui, maka jual beli itu tidak sah karena merupakan jual beli hutang dengan hutang.

Ia tidak mengakui hutangnya kecuali dengan baju tersebut.

Jika tidak boleh memberikan baju karena merupakan jual beli hutang dengan hutang, maka dirhamnya pun tidak sah diberikan, seperti halnya jika seseorang berkata, “Aku menjualmu budak ini dengan rumah ini,” maka tidak sah ia mendapatkan budak itu kecuali pihak lain mengakui rumahnya.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Aku berutang kepadamu satu baju murrī seharga lima dirham,” lalu ia berkata, “Serahkan baju itu kepadaku dengan harga lima dirham secara tempo hingga waktu tertentu,” dan pemilik baju membenarkannya, maka itu adalah jual beli yang sah.

Ia memiliki kewajiban membayar lima dirham secara tempo.

Maksud dari “Aku serahkan kepadamu dengan harga sekian secara tempo” adalah seperti ungkapan: “Aku serahkan kepadamu sepuluh dirham untuk satu ṣāʿ kurma yang ditentukan, secara tempo hingga waktu tertentu,” atau, “Aku menjual kepadamu satu ṣāʿ kurma seharga sepuluh dirham hingga waktu tertentu.”

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika orang yang mengaku membawa baju dan berkata, “Inilah bajunya,” lalu orang yang diakuinya sebagai pemilik membenarkan atau mendustakannya — maka hukumnya sama: jika ia ridha bahwa baju itu seharga lima dirham, maka ia wajib membayar lima dirham secara tempo.

Namun jika ia tidak menyebutkan waktu tempo, lalu akad salam tersebut menjadi tidak sah, dan keduanya berselisih tentang baju, maka yang dipegang adalah ucapan orang yang mengaku disertai sumpahnya, dan baju dikembalikan kepada pemiliknya.

Jika orang yang diakuinya meminta sumpah, maka aku memberikannya kepadanya.

Setiap orang yang menuntut sumpah dalam perkara yang memiliki sisi yang dapat dibenarkan, maka ia diberi hak untuk bersumpah.

Jika seseorang mengaku bahwa ia berutang satu baju, lalu ia membawa baju dan berkata, “Inilah bajunya,” sedangkan orang yang diakuinya menjawab, “Bukan ini,” maka ucapan orang yang mengaku itulah yang dipegang dengan sumpahnya.

Demikian juga jika ia berkata, “Aku berutang satu budak,” dan ia membawa budak mana pun, maka ucapannya yang dijadikan pegangan disertai sumpah.

Aku tidak melihat pada klaim pihak yang lain.

Demikian juga jika ia berkata, “Ini budakmu seperti yang pernah kau titipkan padaku, dan inilah budak yang kuakui kepadamu,” lalu orang lain berkata, “Bukan, budak ini adalah yang pernah kau titip padaku, dan engkau masih menahan budakku yang pernah kau rampas,” maka yang dipegang adalah pernyataan orang yang mengaku, dan yang menuduh wajib membawa bukti.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang mengaku kepada orang lain, “Aku memiliki utang seribu dirham kepadamu,” lalu ia datang membawa seribu dirham dan berkata, “Inilah seribu dirham yang pernah kuakui sebagai milikmu; dulu ia berada padaku sebagai titipan,” lalu orang yang diakuinya berkata, “Seribu itu adalah titipan, dan masih ada seribu lain yang engkau akui sebagai hutangmu,” maka ucapan orang yang mengaku itulah yang dipegang dengan sumpahnya.

Karena seseorang yang dititipi boleh jadi berkata, “Untuk si fulan ada padaku,” atau, “Aku berutang kepadanya,” karena selama barang belum rusak, maka tanggung jawabnya tetap ada.

Demikian juga boleh jadi sesuatu dititipkan lalu dikhianati, maka berubah menjadi hutang.

Aku tidak akan mewajibkan sesuatu padanya kecuali berdasarkan kepastian.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Aku berutang satu dirham dan satu dirham,” maka ia berutang dua dirham.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham lalu satu dirham,” maka ditanyakan:

– Jika ia maksudkan satu dan satu dirham, maka dua dirham,

– Jika ia maksudkan “lalu satu dirham yang baik,” atau, “dirham yang wajib,” maka hanya satu dirham.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham di bawah satu dirham, atau satu dirham di atas satu dirham,” maka ia berutang dua dirham, kecuali ia berkata, “Satu dirham di atas satu dirham dalam kualitas,” atau, “di bawah satu dirham dalam kualitas buruk,” atau, “aku maksudkan satu dirham tertentu yang nilainya lebih tinggi dari dirham milikku.”

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham bersama satu dirham,” maka demikian pula.

(al-Rabīʿ berkata):

Yang aku ketahui dari pendapat al-Syāfiʿī adalah bahwa tidak menjadi tanggungannya kecuali satu dirham, karena mungkin maksudnya “lebih tinggi dari dirham milikku,” atau, “lebih rendah dari dirham milikku.”

(al-Syāfiʿī berkata):

Demikian pula jika ia berkata, “Satu dirham di atas satu dirham,” lalu ia berkata, “Aku hanya maksud satu dirham,” maka hanya satu dirham.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham yang sebelumnya satu dirham atau setelahnya satu dirham, atau sebelumnya satu dinar atau setelahnya satu dinar,” maka dua-duanya menjadi tanggungannya.

Namun jika ia berkata, “Satu dirham kemudian dinar,” atau, “setelahnya dirham atau dinar,” atau, “satu dirham sebelum dinar,” maka keduanya menjadi hutangnya.

Namun jika ia berkata, “Satu dirham lalu dinar,” maka ia hanya berutang satu dirham kecuali ia maksudkan bahwa ia juga berutang satu dinar.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Aku berutang satu dinar kepadamu, sebelumnya satu qafīz gandum,” maka yang wajib atasnya hanya satu dinar, dan tidak wajib baginya qafīz.

Demikian juga jika ia berkata, “Aku berutang satu dinar, lalu satu qafīz gandum,” maka ia hanya wajib satu dinar, karena ucapan “lalu qafīz gandum” itu tidak relevan, bisa jadi ia hanya berkata bahwa satu qafīz gandum itu lebih baik daripada satu dinar.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham, lalu satu qafīz gandum,” maka keduanya wajib atasnya.

Jika ia berkata, “Satu dirham, tidak, bahkan satu qafīz gandum,” maka itu berarti ia menetapkan pengakuannya atas qafīz dan menarik kembali pengakuan atas dirham, maka tidak diterima penarikan pengakuannya jika si penuntut menuntut keduanya sekaligus.

Jika ia berkata, “Satu dirham, tidak, bahkan dua dirham,” atau “satu qafīz, tidak, bahkan dua qafīz,” maka ia wajib dua dirham atau dua qafīz, karena ia mengakui yang pertama, lalu ucapan “tidak, bahkan” berarti penambahan dari jenis yang sama, sedangkan jika ia berkata, “lalu tidak, bahkan,” itu berarti pernyataan baru terhadap sesuatu yang berbeda dari yang pertama.

Jika ia berkata, “Satu dirham dan dua dirham,” maka itu tiga dirham, atau “satu dirham setelahnya dua dirham” atau “satu dirham sebelumnya dua dirham” maka semua itu sama — semuanya menjadi tiga.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika dua orang saksi bersaksi bahwa seseorang mengakui kepada orang lain satu dirham pada hari Sabtu, lalu dua saksi lain bersaksi bahwa ia mengakui satu dirham kepada orang yang sama pada hari Ahad, maka ia hanya wajib satu dirham — kecuali jika para saksi menyebut bahwa satu dirham itu berasal dari harga barang tertentu, dan yang lainnya menyebut satu dirham dari sebab yang berbeda seperti titipan atau barang rampasan atau yang lainnya, maka hal itu menunjukkan adanya dua sebab berbeda.

Maka orang yang dituduh harus bersumpah bahwa satu dirham yang ia akui pada hari Ahad adalah yang sama dengan yang ia akui pada hari Sabtu. Jika ia bersumpah, ia bebas; jika ia enggan bersumpah, maka orang yang menuduh bersumpah bahwa keduanya berbeda, dan ia mendapatkannya.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Demikian pula jika dua saksi bersaksi pada hari yang berbeda atau satu per satu.

Demikian pula jika ia mengaku kepada hakim dengan satu dirham, lalu ada dua saksi yang bersaksi atas satu dirham juga, kemudian ia berkata, “Satu dirham yang kuakui itu adalah yang disaksikan oleh dua saksi ini,” maka ucapan dialah yang diterima.

Jika seseorang berkata, “Aku memiliki amanah berupa seribu dirham,” maka itu adalah titipan.

Jika ia berkata, “Aku memiliki seribu dirham,” lalu diam, kemudian berkata setelahnya, “Itu titipan,” atau, “telah hilang,” maka ucapan itu tidak diterima, karena ia telah menetapkan jaminan seribu dirham dengan pengakuannya, lalu ia mengklaim sesuatu yang menggugurkan jaminan tersebut, dan ia tidak diterima.

Kami menerimanya sebelumnya karena ia menyambung ucapannya.

Demikian pula jika ia berkata, “Aku punya seribu dirham,” lalu menyambung atau memutus ucapan, maka hukumnya seperti sebelumnya, apakah ia menyambung atau memutus.

Jika ia berkata, “Aku punya seribu dirham sebagai titipan, amanah, atau kerja sama mudhārabah,” maka itu menjadi hutang atasnya — amanah, titipan, atau mudhārabah — jika pihak yang mengakuinya menuntutnya, karena barang titipan bisa jadi berubah status menjadi dijamin jika ia menyalahgunakannya, lalu ia meminjamnya, maka itu menjadi jaminan atasnya.

Namun jika ia berkata, “Diberikan kepadaku seribu dirham sebagai titipan, amanah, atau kerja sama mudhārabah dengan syarat aku bertanggung jawab atasnya,” maka ia tidak menjadi penanggung jawab hanya karena syarat tersebut, selama asal akad itu adalah amanah, kecuali jika ia melakukan sesuatu yang mengeluarkannya dari amanah, baik berupa pelanggaran atau peminjaman.

Jika ia berkata, “Dari hartaku ada seribu dirham,” maka itu dianggap hutang, kecuali jika ia menyambung ucapannya dan berkata bahwa itu adalah titipan, maka itu menjadi titipan.

Jika ia berkata, “Pada budak ini terdapat seribu dirham,” maka ditanyakan maksudnya. Jika ia berkata, “Aku membayar dua ribu dirham untuknya,” maka ditanyakan, “Berapa milikmu dari jumlah itu?” Jika ia berkata, “Aku membayar seluruhnya,” maka itu diterima disertai sumpahnya.

Jika ia berkata, “Kami berdua membelinya,” maka ditanyakan, “Berapa bagianmu?” Jika ia menjawab, “Dua ribu,” maka bagi yang diberi pengakuan mendapat sepertiga.

Jika ia berkata, “Seribu,” maka setengah.

Aku tidak melihat kepada nilai budak itu, apakah tinggi atau rendah, karena keduanya mungkin membeli dengan untung atau rugi.

Demikian pula jika ia berkata, “Aku memiliki seribu dirham dari hartanya secara syarikat,” maka hukumnya sama dengan kasus sebelumnya.

Jika ia berkata, “Dari hartaku seribu dirham,” maka ditanyakan. Jika ia berkata, “Sebagai hibah,” maka dikatakan, “Jika kau mau, berikanlah; jika tidak, tinggalkan.”

Jika ia berkata, “Sebagai hutang,” maka itu menjadi hutang.

Jika ia meninggal dunia sebelum menjelaskan, maka itu menjadi hibah yang tidak wajib, kecuali jika ahli warisnya mengakui hal lain.

Jika ia berkata, “Dari hartaku seribu dirham sebagai hak yang telah kau kenal, atau yang telah aku tanggung, atau hak yang pasti, atau yang memang menjadi hakmu,” maka itu semuanya adalah hutang.

Jika ia berkata, “Dari harta ini seribu dirham,” tanpa menisbatkan harta itu kepada dirinya, maka si penerima berhak atas seribu dirham.

Jika harta itu hanya sejumlah seribu, maka seluruhnya menjadi miliknya.

Jika lebih, maka ia hanya berhak atas seribu.

Jika kurang, maka hanya menerima jumlah yang kurang itu.

Jika yang lain mengklaim bahwa sebagian harta telah dipakai, maka ia diminta bersumpah.

(al-Syāfiʿī – – berkata):

Jika seseorang berkata, “Dari rumah ini bagimu separuhnya,” maka ia mendapatkan separuhnya karena ia mengaku memberinya sesuatu tanpa menisbatkan kepemilikannya kepada dirinya sendiri. Jika orang yang diberi itu menuntut separuh sisanya dan rumah itu berada di tangannya, maka sisanya menjadi miliknya.

Namun jika ia mulai dengan menisbatkan rumah itu kepada dirinya dan berkata, “Dari rumahku ini separuhnya bagimu,” maka ini adalah hibah jika ia mengakuinya sebagai hibah atau ia meninggal sebelum menjelaskan maksudnya. Jika ia belum mati, maka ia ditanya apa maksud ucapannya. Jika ia bermaksud sebagai pengakuan, maka pengakuan itu dianggap sah.

Perbedaan antara keduanya adalah dalam penambahan kepemilikan kepada dirinya atau tidak.

Jika ia berkata, “Dari rumahku ini separuhnya dengan hak yang aku kenal milikmu,” maka separuh rumah itu menjadi miliknya.

Jika ia berkata, “Dari warisan ayahku ada seribu dirham,” maka itu merupakan pengakuan bahwa ayahnya memiliki utang.

Namun jika ia berkata, “Dari warisanku dari ayahku,” maka itu adalah hibah, kecuali jika ia bermaksud sebagai pengakuan, karena ketika ia berkata “dari warisan ayahku,” ia berarti mengakui bahwa harta itu adalah hak ayahnya dan bukan miliknya sendiri.

Jika ia berkata, “Dari warisan ayahku seribu dirham dengan hak yang aku kenal,” maka semuanya adalah pengakuan atas utang ayahnya.

Jika ia berkata, “Aku punya utang seribu dirham sebagai pinjaman” atau “ada padaku,” maka itu adalah utang.

Namun jika itu berkaitan dengan barang, lalu ia berkata, “Padaku ada seorang budak sebagai pinjaman” atau “barang-barang sebagai pinjaman,” maka itu adalah pinjaman, dan ia harus menjaminnya hingga mengembalikannya karena menurut pendapat kami bahwa pinjaman itu harus dijamin hingga dikembalikan.

Jika ia berkata, “Di rumahku ini ada hak,” atau “di rumah ini ada hak,” maka keduanya sama saja, ia mengakui kepemilikan sejumlah hak sesuai pengakuannya dan bersumpah jika pihak lain menuntut lebih dari itu. Demikian pula jika ia mati, maka ahli warisnya mengakui hak sesuai yang mereka ketahui dan bersumpah bahwa mereka tidak mengetahui adanya tambahan dari itu.

Jika ia berkata, “Bagimu hak tinggal di rumah ini,” maka ia mengakui hak tinggal sebanyak yang ia kehendaki, baik sehari, lebih sedikit, atau lebih banyak.

Jika ia berkata, “Rumah ini untukmu sebagai hibah pinjaman” atau “hibah tempat tinggal,” maka itu adalah pinjaman dan tempat tinggal, dan ia boleh melarangnya untuk tinggal di dalamnya atau memberikannya. Jika ia telah memberikannya dan ia telah menerima, maka ia (pemberi) boleh mengusirnya kapan saja, karena hibah tidak sah kecuali setelah diterima. Ia belum menyerahkan seluruhnya sampai ia menjelaskan bahwa maksud ucapannya adalah sebagai pinjaman atau hibah tempat tinggal.

Jika ia berkata, “Engkau berhak tinggal di rumah ini sebagai sewa dengan satu dinar per bulan,” maka jika pihak yang menyewa menerima, maka ia mendapatkannya, jika tidak, maka ia tidak mendapat apa-apa.

Jika ia tidak menyebut jumlah, maka dikatakan kepadanya, “Sebutkan berapa lama masa sewanya? Dan berapa biayanya?” Maka jika ia menyebutkan sedikit atau banyak, maka pihak penyewa memiliki pilihan untuk menerima atau menolaknya.

Jika ia berkata, “Aku berutang seribu dirham kepadamu jika engkau menghendaki” atau “jika engkau suka” atau “jika si Fulan menghendaki” atau “jika si Fulan suka,” maka jika si Fulan tidak menghendaki atau ia tidak menghendaki, maka tidak wajib atasnya apa pun, karena ia tidak mengakui apa pun kecuali dengan syarat bahwa pihak lain menghendakinya, dan itu tidak menjadi hak kecuali dengan kehendak dari pihak yang mengakui.

Jika seseorang berkata, “Engkau berhak atas seribu dirham dariku jika Fulan atau Fulan bersaksi atasnya terhadapku,” lalu mereka bersaksi, maka tidak wajib atasnya karena pengakuan, karena itu adalah bentuk perjudian. Namun wajib atasnya karena kesaksian, jika keduanya adalah orang yang diterima kesaksiannya, atau salah satunya disertai sumpah dari pihak yang lain. Ini seperti ucapannya, “Engkau berhak atas seribu dirham dariku jika Fulan datang” atau “jika Fulan pergi” atau “jika aku berbicara dengan Fulan” atau “jika Fulan berbicara denganmu”—semua ini tergolong judi dan tidak wajib atasnya apa pun.

Jika ia berkata, “Ini milikmu dengan harga seribu dirham jika kamu mau,” lalu pihak yang diajak mau, maka ini adalah jual beli yang sah, dan keduanya masih memiliki hak khiyar (memilih) selama belum berpisah, karena ini adalah jual beli, bukan pengakuan.

Jika ia berkata kepada budaknya, “Engkau merdeka dengan seribu dirham jika engkau mau,” lalu sang budak berkata, “Aku mau,” maka ia menjadi merdeka dan wajib membayar seribu dirham. Begitu pula jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau ditalak dengan seribu dirham jika engkau mau,” lalu ia menyetujuinya, maka ia ditalak dan wajib membayar seribu dirham. Jika mereka tidak menghendakinya (tidak menyatakan “mau”), maka tidak terjadi pembebasan atau talak.

Jika ia berkata, “Baju ini milikmu dengan seribu dirham,” lalu pembeli menerimanya, maka itu adalah jual beli, dan maksudnya adalah: “Jika kamu mau.” Demikian pula setiap pembelian hanya sah jika disetujui oleh pembeli.

Jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau ditalak dengan seribu,” dan kepada budaknya, “Engkau merdeka dengan seribu,” lalu keduanya memilih untuk menerima, maka berlaku talak dan pembebasan.

(al-Rabīʿ berkata): Aku ragu tentang apa yang kudengar mulai dari sini hingga akhir bab pengakuan, tetapi aku mengetahuinya berasal dari pendapat al-Syāfiʿī, dan aku membaca (lafaznya) dari beliau.

Jika seseorang berkata, “Aku berutang seribu dirham,” tanpa menyebut jenis seribu itu, maka dikatakan kepadanya: “Akuilah seribu yang mana saja kau kehendaki; jika engkau kehendaki uang logam kecil (fulūs), atau kurma, atau roti, maka sebutkan dan berikan juga satu dirham tambahan. Bersumpahlah bahwa seribu yang kau akui itu adalah yang telah kau sebutkan.” Karena dalam ucapan “dan satu dirham” tidak terdapat kejelasan bahwa sisanya adalah uang dirham.

Seandainya kita menafsirkan demikian pun, kita tidak akan mewajibkan satu dinar hanya karena ia mengaku satu dirham. Karena ucapannya masih mengandung kemungkinan jenis yang lebih tinggi dari dirham dan yang lebih rendah darinya, maka kita tidak akan mewajibkan yang tertinggi atau yang terendah secara otomatis, tetapi wajib berdasarkan apa yang dia sebut dengan sumpah.

Demikian pula jika ia berkata: “Seribu dan satu untaian gandum,” atau “seribu dan seorang budak,” atau “seribu dan seekor kambing,” maka kita hanya akan mewajibkan apa yang disebut.

Seandainya kita menjadikan kata setelahnya sebagai penjelas dari yang pertama, maka jika ia berkata: “Seribu dan seorang budak,” maka akan diwajibkan atasnya seribu budak dan satu budak. Ini tidak bisa diterima kecuali seperti yang telah aku sebutkan, yakni bahwa seribu adalah sesuatu yang ia kehendaki dan ia beri nama, dan jika ia berkata “seribu takaran”, maka takaran itu juga apa pun yang ia kehendaki—apakah itu tanah liat, batu bata, atau tanah untuk bangunan—selama ia bersumpah.

Jika ia berkata, “Aku berutang seribu kecuali satu dirham,” maka dikatakan kepadanya: “Akuilah seribu yang mana saja kau kehendaki, selama satu dirham dapat dikeluarkan dari situ, dan sisanya tetap ada, sedikit atau banyak.” Seakan-akan ia mengakui seribu fulūs (uang logam kecil) yang senilai beberapa dirham, maka diberikanlah kepada si penuntut, dikurangi satu dirham. Demikian pula jika ia berkata, “Seribu kecuali satu takaran gandum,” atau “seribu kecuali satu budak,” maka ia tetap wajib mengakui adanya sisanya setelah pengecualian, meskipun sedikit.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu kain dalam bungkusan,” maka dikatakan kepadanya: “Bisa jadi engkau mengakui satu kain dan bungkusan, atau engkau hanya mengakui satu kain yang engkau bungkus sendiri,” maka ia diminta menjelaskan: “Aku mengakui satu kain dalam bungkusan milikku,” maka ia wajib satu kain saja dan bersumpah bahwa ia tidak mengakui bungkusan.

Prinsip dasar dari semua ini adalah bahwa aku mewajibkan kepada manusia apa yang pasti dan meninggalkan apa yang meragukan, dan aku tidak menghukumi mereka dengan sesuatu yang hanya dominan (kemungkinan besar).

Demikian pula halnya jika ia berkata: “Kurma dalam karung,” atau “buah dalam botol,” atau “gandum dalam takaran,” atau “air dalam tempayan,” atau “minyak dalam wadah.”

Jika ia berkata, “Aku berutang begini-begini (kadzā kadzā),” maka ia mengakui satu, dan jika ia berkata, “kadzā wa kadzā (begini dan begini),” maka ia mengakui dua. Jika ia berkata, “kadzā wa kadzā dirham,” maka ia wajib membayar dua dirham karena “kadzā” mencakup satu dirham. Jika ia berkata, “kadzā kadzā dirham,” maka ia hanya wajib satu dirham atau lebih, karena “kadzā” bisa bermakna kurang dari satu dirham. Jika ia berkata, “Aku maksudkan bahwa ‘kadzā kadzā’ itu seluruhnya satu dirham,” maka tidak wajib atasnya lebih dari itu.

Bab: Pengakuan Sekutu atas Sekutuannya

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Tidak ada bentuk syirkah mufāwaḍah (penggabungan mutlak seluruh kepemilikan dan tanggungan). Jika seorang pengrajin dari kalangan para tukang mengakui sesuatu untuk seseorang—seorang tukang sepatu mengakui sebuah sepatu, atau tukang cuci mengakui sehelai baju—maka itu hanya menjadi tanggungannya sendiri, bukan tanggungan sekutunya, kecuali jika sekutunya ikut mengakui bersamanya.

Jika dua orang berserikat, maka seluruh bentuk syirkah itu tidak termasuk mufāwaḍah, dan siapa pun dari dua sekutu yang mengakui sesuatu, maka pengakuannya hanya berlaku atas dirinya sendiri, bukan atas pasangannya. Maka pengakuan sekutu sama seperti pengakuan orang yang tidak berserikat.

Jika seseorang mengakui utang untuk orang lain saat sakitnya, dan sebelumnya dia pernah mengakuinya saat sehat, atau terdapat bukti atas utang-utang tersebut, maka pengakuannya saat sakit sama saja dengan pengakuannya saat sehat. Bukti saat sehat dan saat sakit memiliki kekuatan yang sama. Mereka semua (para kreditor) memiliki hak yang sama dan tidak ada satu pun yang diutamakan atas yang lain.

Jika seseorang mengakui utang kepada ahli waris, lalu dia tidak meninggal hingga muncul ahli waris lain yang menghalangi (yang pertama), maka pengakuan itu tetap berlaku. Namun jika tidak muncul ahli waris penghalang, maka menurut pendapat yang membolehkan pengakuan kepada ahli waris dan membedakannya dari wasiat, maka pengakuan itu sah. Dan menurut yang tidak membolehkannya, maka tidak sah.

Jika ia mengakui utang kepada orang yang bukan ahli waris, lalu pewarisnya meninggal, dan orang yang sebelumnya bukan ahli waris menjadi ahli waris, maka pengakuannya menjadi batal. Begitu pula semua bentuk pengakuan lainnya mengikuti pola ini.

Jika dua orang berserikat, lalu salah satunya berwasiat, memerdekakan, mentabarru’, atau membuat perjanjian pembebasan (mukātabah), maka itu semua hanya berlaku atas harta pribadinya, sebagaimana orang yang bukan sekutu.

Jika seseorang mengakui utang kepada janin, maka pengakuan itu tidak sah sampai ia mengatakan, “Aku berutang kepada ayah janin ini atau kepada kakeknya.” Maka pengakuan itu menjadi pengakuan kepada orang yang disebutkan. Jika janin itu mewarisinya, maka dia berhak menerima. Jika ada ahli waris lain, maka dia berbagi bagiannya. Karena hak tersebut pada dasarnya adalah milik orang yang diakui (yakni si ayah), dan janin hanya mendapat bagian warisannya.

Jika seseorang mewasiatkan sesuatu untuk janin, maka wasiat itu sah jika anak tersebut lahir dalam waktu kurang dari enam bulan sejak wasiat dibuat, agar diketahui bahwa saat itu memang ada janin. Namun jika seseorang memberikan hibah, sebatang pohon kurma, atau sedekah yang tidak tergantung (mu‘allaq) kepada janin, maka tidak sah dalam keadaan apa pun, baik ayahnya menerimanya atau menolaknya. Karena hibah, jual beli, dan pernikahan hanya sah atas sesuatu yang sudah terpisah dari ibunya dan memiliki hukum tersendiri. Ini berbeda dengan wasiat, seperti dalam hal memerdekakan.

Jika seseorang memerdekakan janin dari budaknya, lalu si budak melahirkan anak dalam waktu kurang dari enam bulan dari saat pernyataan itu, maka anak tersebut merdeka, karena telah diketahui bahwa ada janin pada waktu itu. Namun jika lahir setelah enam bulan atau lebih, maka pernyataan itu tidak berlaku, karena mungkin janin itu terjadi setelah pernyataan memerdekakan.

Jika seseorang mengakui janin sebagai milik seseorang, maka tidak sah pengakuannya selama ia masih menjadi pemilik ibu janin tersebut. Demikian pula jika ia memberikannya (hibah), maka tidak sah karena hibah saja tidak sah, maka pengakuan pun tidak sah.

Namun jika ia berkata saat mengakui, “Janin ini milik Fulan karena seseorang mewasiatkan ibu janin ini kepadaku,” maka pengakuannya sah jika anak tersebut lahir dalam waktu kurang dari enam bulan sejak wasiat dibuat.

Setiap pengakuan yang mengandung syarat pilihan (khiyār) dari pihak yang mengaku, maka itu batal. Contohnya: ia berkata, “Aku mengakui bahwa aku berutang kepadamu dengan syarat aku boleh memilih (menerima atau tidak) selama sehari atau lebih.” Atau, “Aku berdamai denganmu atas sesuatu, lalu aku mengaku kepadamu dengan syarat aku masih memiliki pilihan selama satu atau dua hari.” Maka tidak sah sampai ia memutuskan pengakuan itu tanpa syarat, tanpa pengecualian.

Demikian pula setiap pengakuan yang mengandung pengecualian, seperti ia berkata, “Aku berutang seribu kepadamu insya Allah,” atau, “jika Fulan menghendaki,” maka tidak sah hingga pengakuannya murni tanpa syarat.

Jika seseorang mengaku bahwa ia menanggung utang untuk orang lain dengan syarat ia memiliki pilihan, dan pihak yang ditanggung menolak adanya syarat pilihan itu, serta tidak ada bukti di antara mereka, maka menurut pendapat yang menjadikan pengakuan sebagai satu kesatuan, orang itu disuruh bersumpah bahwa ia hanya menjamin dengan syarat pilihan, dan ia dibebaskan. Karena penjaminan tidak sah jika ada syarat pilihan.

Namun jika ada yang berpendapat bahwa pengakuan bisa dipecah: bagian yang merugikan tetap berlaku, dan bagian yang menjadi alasan pembatalan ditolak, maka penjaminan dianggap sah setelah pihak yang ditanggung bersumpah bahwa jaminan tersebut tanpa syarat pilihan.

Penjaminan atas diri (al-nafs) yang mengandung syarat pilihan tidak sah. Jika tanpa syarat, maka sah. Namun penjamin atas diri tidak wajib menanggung harta, kecuali ia menyebutkan secara tegas jumlah harta yang ditanggung. Penjaminan tidak sah untuk hudud (hukuman pidana), qishāsh, atau sanksi, tetapi hanya sah untuk perkara harta.

Jika seseorang menjamin terhadap hak seseorang atas luka (jarḥ) yang telah diketahui, dan lukanya disebabkan oleh tindakan sengaja (‘amd), lalu ia berkata: “Aku menjamin kepadamu apa yang menjadi kewajiban pelakunya, baik diyat maupun qishāsh,” maka jika si korban ingin qishāsh, penjaminan itu tidak sah, karena qishāsh tidak bisa dilakukan terhadap penjamin. Namun jika si korban menginginkan arsh al-jarḥ (ganti rugi), maka penjaminan sah karena itu bentuk harta.

Demikian pula jika seseorang membeli rumah dari orang lain, lalu seseorang menjamin kepadanya keutuhan hak milik dan keselamatan properti itu (al-‘uhdah wa al-khalāṣ), kemudian rumah itu terbukti milik orang lain, maka pembeli boleh menuntut kembali harga rumah dari penjamin jika ia mau, karena penjamin telah menjamin keselamatan atau nilai (uang), dan keselamatan itu adalah bentuk harta yang wajib diserahkan.

Jika seseorang mengakui kepada orang lain atas suatu bagian yang tidak terbagi atau bagian yang telah terbagi, maka pengakuan itu sah. Sama saja apakah dia mengatakan: “Separuh rumah ini milik Fulan dari titik ini sampai titik itu,” atau: “Separuh rumah ini milik Fulan,” maka ia bertanggung jawab sesuai pengakuannya. Demikian pula jika ia berkata: “Rumah ini milikmu kecuali separuhnya,” maka yang menjadi milik orang lain adalah separuhnya. Jika ia berkata: “Rumah ini milikmu kecuali dua pertiganya,” maka milik orang lain adalah sepertiganya sebagai mitra bersamanya. Jika ia berkata: “Rumah ini milikmu kecuali ruangan ini,” maka rumah itu menjadi miliknya kecuali ruangan tersebut. Demikian pula jika ia berkata: “Budak-budak ini milikmu kecuali satu orang,” maka budak-budak itu menjadi milik penerima kecuali satu orang, dan ia (pemberi) boleh memilih siapa yang dikecualikan.

Demikian pula jika ia berkata: “Rumah ini milik Fulan, dan ruangan ini milikku,” maka hukumnya seperti ucapan: “Kecuali ruangan ini,” selama pengakuannya saling terhubung karena ini adalah ucapan yang benar, bukan ucapan batil. Jika ia berkata: “Rumah ini milik Fulan, tidak, tapi milik Fulan yang lain,” maka rumah itu menjadi milik yang pertama dan yang kedua tidak mendapat apa pun.

Jika ia berkata: “Aku merampas rumah ini dari Fulan, dan kepemilikannya adalah milik Fulan yang lain,” maka rumah itu menjadi milik orang yang darinya dia mengaku telah merampas, dan ia hanya menjadi saksi bagi yang kedua, dan kesaksiannya tidak diterima karena ia adalah perampas. Jika ia berkata: “Aku merampasnya dari Fulan, tidak, tapi dari Fulan yang lain,” maka pengakuannya atas yang pertama sah, dan ia tidak menanggung apa pun terhadap yang kedua, dan yang kedua menjadi musuh hukum terhadap yang pertama.

Jika ia mengakui suatu benda tertentu kepada satu orang atau lebih, maka ia tidak menanggung apa-apa jika orang lain tidak menuntutnya kecuali rumah tersebut. Maka pengakuannya kepada orang lain tidak dianggap menghalangi tuntutan orang ketiga. Jika ia diputuskan (oleh hakim) untuk memberikan sesuatu tertentu kepada satu orang atau lebih, dan orang ketiga tidak menuntut selain rumah itu, maka ia tidak menanggung apa pun. Tetapi jika ia diputuskan atas sesuatu yang menghalangi (orang lain) dari sesuatu yang menjadi haknya, maka ia bertanggung jawab. Ia hanya menanggung sesuatu yang menjadi penghalang dan tidak dapat dicapai oleh orang tersebut.

Contohnya: Jika ia berkata, “Fulan menitipkan ini padaku,” lalu ia berkata lagi, “tidak, tapi Fulan yang lain.” Maka hukumnya seperti di atas.

[Pengakuan salah satu dari dua anak terhadap saudara]

(Al-Rabi‘ mengabarkan) berkata: (Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang meninggal dan meninggalkan dua orang anak, lalu salah satunya mengakui bahwa ada orang lain sebagai saudaranya, dan ia bersaksi bahwa ayah mereka telah mengaku bahwa orang itu adalah anaknya, maka nasab tersebut tidak bisa ditetapkan, dan orang itu tidak mendapat warisan apa pun. Sebab pengakuannya mencakup dua perkara: satu berpihak padanya, satu merugikannya. Maka saat yang berpihak padanya batal, yang merugikannya pun batal. Ia tidak mengaku kepadanya sebagai utang atau wasiat, tapi mengaku atas harta dan nasab. Jika kami anggap bahwa pengakuan itu batal, maka ia tidak bisa mengambil harta dengannya, sebagaimana jika orang yang diakui itu meninggal, ia tidak akan mewarisinya.

Tidakkah engkau lihat bahwa jika seseorang berkata kepada orang lain, “Kau berutang padaku seratus dinar,” lalu orang itu berkata, “Aku membelinya darimu berupa rumah ini dan aku masih berutang kepadamu,” kemudian orang itu membantah adanya penjualan, atau berkata, “Ayahmu yang menjualnya kepadaku, dan engkau ahli warisnya,” maka pengakuannya itu batal. Karena ia menetapkan atas dirinya utang 100 dinar, lalu ingin mengambil rumah sebagai ganti. Maka ketika tidak sah pengganti itu, tidak sah pula pengakuannya. Semua ini adalah pendapat ulama Madinah terdahulu.

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Muhammad bin al-Hasan – rahimahullah – berkata: Tidak ada seorang pun dari penduduk Madinah yang datang kepada kami kecuali ia berpendapat demikian. Dan Abu Yusuf – rahimahullah – berkata kepadaku bahwa ia tidak pernah bertemu dengan seorang pun dari Madinah kecuali berpendapat seperti itu. Sampai akhirnya mereka berkata pendapat yang berbeda, dan kami mendapatkan hujah terhadap mereka.

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Kami tidak berpegang pada hadis ‘Umar bin Qais dari Umar bin al-Khattab karena tidak sahih. Kami tinggalkan karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada hak bagi akar yang menzhalimi (laysa li ‘irqin ẓālimin ḥaqq).” Dan akar itu ada empat: dua yang tampak dan dua yang tersembunyi. Yang tersembunyi adalah sumur dan mata air, dan yang tampak adalah tanaman dan bangunan. Maka barang siapa menanam di tanah orang lain tanpa izin, tidak ada hak baginya atas tanamannya, karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada hak bagi akar yang menzhalimi.”

Beliau juga berkata: Tidak boleh dibagi antara sawah tadah hujan dengan irigasi, atau antara tanah beririgasi dengan tanah mata air; setiap jenis dibagi sendiri-sendiri.

Beliau berkata: Tidak boleh melipatgandakan denda atas seseorang. Karena Rasulullah ﷺ menetapkan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh hewan pada malam hari menjadi tanggung jawab pemiliknya dengan nilai satu, bukan dua nilai.

Beliau berkata: Waria tidak boleh masuk kepada wanita dan harus diusir. Dan kakek lebih berhak atas cucunya.

Beliau berkata: Jika orang murtad enggan bertobat, maka ia dibunuh karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa mengganti agamanya, bunuhlah dia.” Dan ini adalah orang yang mengganti agamanya. Kita juga berhak membunuh orang musyrik yang telah sampai padanya dakwah dan ia enggan menjawab, tanpa harus menunggu lama. Namun para ahli hadis tidak menetapkan ini sebagai perbuatan Umar. Namun jika seseorang melakukannya, saya berharap itu tidak menjadi masalah.

Mengenai hadis Umar, apakah itu termasuk berita gharib? Umar berkata: “Bagimu adalah hak wala’ atas anak pungut (laqīṭ).”

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Namun anak pungut tidak punya hak wala’, karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya wala’ itu hanya untuk orang yang memerdekakan.” Dan orang itu bukan orang yang memerdekakan. Adapun jika dikatakan bahwa ia merdeka, maka itu benar. Adapun pemberian nafkah kepadanya dari baitul mal, maka kami juga sependapat dengan hal itu. Dan Allah lebih mengetahui.

[Pengakuan Ahli Waris]

Al-Rabi‘ memberitakan kepada kami, ia berkata: Telah membacakan kepada kami al-Syafi‘i — rahimahullāh —, ia berkata: Muhammad bin al-Hasan mengabarkan kepadaku bahwa Abu Hanifah — raḥimahullāh — berkata mengenai seseorang yang meninggal dan meninggalkan dua orang anak serta meninggalkan harta enam ratus dinar, lalu masing-masing dari keduanya mengambil tiga ratus dinar. Kemudian salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ayahnya yang telah wafat pernah mengaku bahwa si fulan adalah anaknya, maka kesaksian ini tidak diterima untuk menetapkan nasab, dan nasab itu tidak dapat disandarkan kepadanya. Tetapi kesaksian tersebut diterima dalam urusan warisan, maka diambil darinya separuh dari yang ada di tangannya.

Demikian pula pendapat penduduk Madinah, hanya saja mereka berkata: diberikan sepertiga dari yang ada di tangannya. Al-Syafi‘i — raḥimahullāh — berkata: Muhammad bin al-Hasan mengabarkan kepadaku bahwa Ibn al-Mājisyūn, yaitu ‘Abd al-‘Azīz bin Abī Salamah, dan sekelompok ulama dari kalangan Madinah yang berada di Irak tidak berselisih pendapat dalam masalah ini, bahwa orang yang diakui tidak mendapatkan bagian warisan apa pun.

Al-Syafi‘i — raḥimahullāh — berkata: Ini adalah pendapat yang benar, karena mereka berkata bahwa yang bersangkutan mengaku bahwa ia memiliki hak pada tangan saudaranya dan pada tangannya sendiri melalui warisan dari ayah mereka. Ia mengklaim bahwa mereka bertiga mewarisi seperti halnya mewarisi ayah mereka. Maka jika kami menetapkan bahwa pokok pengakuan ini tidak menetapkan nasab, dan ia mengklaim bahwa ia memperoleh (harta) karena nasab, bukan karena utang, wasiat, atau sebab lainnya, maka kami memutuskan bahwa ia tidak berhak mendapatkan apa pun.

Aku berkata kepada Muhammad bin al-Hasan: “Seakan-akan engkau mengumpamakannya seperti orang yang berkata: ‘Aku telah menjualmu budak ini dengan seratus dinar, maka engkau berutang padaku, atau rumah ini milikmu, dan untukku adalah budak atau rumah tersebut,’ lalu engkau mengingkari, dan bersumpah bahwa rumah atau budak itu bukan milikmu, maka aku sebenarnya hanya mengaku bahwa rumah atau budak itu milikmu, namun dalam pengakuanku ada sesuatu yang membebaniku seperti halnya memberimu, maka ketika tidak sah bagian yang membebaniku, tidak sah pula bagian yang memberimu.”

Ia berkata: “Ini adalah bentuk qiyas yang dilakukan sebagian orang, bahkan lebih jauh dari itu.” Aku berkata: “Mengapa engkau tidak berpendapat seperti itu?” Ia berkata: “Kami memilih pendapat ini karena kami mendengarnya.”

Al-Syafi‘i — raḥimahullāh — berkata: Nasab seseorang tidak dapat ditetapkan hanya karena pengakuan seseorang bahwa dia anak dari orang lain. Sebab saudara hanya bisa mengakui atas ayahnya, dan jika ia memiliki hak dari ayahnya seperti hak yang lainnya, maka pengakuan nasab tidak diterima. Nasab hanya bisa ditetapkan dengan kesepakatan para ahli waris atau dengan bukti yang menunjukkan pengakuan dari orang yang telah meninggal yang dengannya nasab dapat dikukuhkan.

Ia berhujah dengan hadis mengenai anak dari jariyah milik Zam‘ah, dan ucapan Sa‘d: “Saudaraku berwasiat bahwa anak ini adalah anaknya,” sementara ‘Abd bin Zam‘ah berkata: “Ini adalah saudaraku, anak dari jariyah ayahku, dan ia lahir di atas ranjangnya,” maka Nabi ﷺ bersabda: “Dia adalah milikmu wahai Ibn Zam‘ah, anak itu milik ranjang.”

[Pengakuan Orang-Orang Non-Arab]

Al-Rabi‘ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syafi‘i — raḥimahullāh — berkata: Jika orang-orang non-Arab mengaku adanya hubungan saudara karena kelahiran di masa jahiliah, maka jika mereka datang kepada kita dalam keadaan telah masuk Islam dan tidak ada seorang pun yang memiliki hak wala’ atas mereka karena memerdekakan, maka kami menerima pengakuan mereka sebagaimana kami menerima pengakuan dari selain mereka dari kalangan ahli jahiliah yang telah masuk Islam.

Namun jika mereka adalah orang-orang tawanan yang diperbudak lalu kemudian dimerdekakan, sehingga ada hak wala’ atas mereka, maka pengakuan mereka tidak diterima kecuali dengan bukti yang menetapkan adanya kelahiran dan hubungan yang dikenal sebelum perbudakan. Demikian halnya, baik mereka sedikit atau banyak, baik mereka penduduk sebuah benteng atau bukan.

[Gugatan dan Bukti]

Al-Rabi‘ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syafi‘i —raḥimahullāh— berkata: Segala sesuatu yang ada di tangan seseorang yang menjadi miliknya, lalu ada orang lain yang mengaku bahwa ia memilikinya secara sah, maka kewajiban menghadirkan bukti berada di pihak yang menggugat. Jika ia membawa bukti, maka ia mengambil apa yang ia gugat. Jika ia tidak bisa mendatangkan bukti, maka pihak yang menguasai benda itu bersumpah untuk membatalkan gugatan lawannya. Jika ia bersumpah, maka ia bebas dari tuduhan. Jika ia menolak bersumpah, maka dikatakan kepada si penggugat: “Kami tidak akan memberimu sesuatu hanya karena penolakannya bersumpah, kecuali jika engkau juga bersumpah atas gugatanmu.” Jika ia bersumpah, maka diberikan kepadanya barang yang digugat. Jika ia menolak, maka tidak diberikan kepadanya. Sama saja apakah penggugat mengaku bahwa ia mendapatkannya dari orang yang kini menguasainya melalui cara tertentu atau dari orang lain, atau mengklaim kepemilikan asal atau melalui jalan apa pun. Sama saja apakah antara keduanya terdapat hubungan transaksi atau tidak.

Al-Syafi‘i —raḥimahullāh— berkata: Dasar dalam mengetahui siapa yang menggugat dan siapa yang tergugat adalah melihat siapa yang menguasai barang, kemudian ada orang lain yang mengklaimnya. Maka yang menggugat adalah orang yang wajib membawa bukti, dan tergugat adalah orang yang barang itu berada di tangannya. Ia tidak dituntut menghadirkan alasan atas kebenaran miliknya, kecuali cukup dengan pernyataannya saja. Begitu pula jika seseorang menggugat utang atau hal lainnya, maka ia wajib mendatangkan bukti. Gugatan terhadap hak yang berada dalam tanggungan orang lain seperti gugatan atas barang yang nyata berada di tangan orang lain. Hal ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah —raḥimahullāh.

Al-Syafi‘i —raḥimahullāh— berkata: Jika sebuah rumah atau sesuatu lainnya dimiliki oleh seseorang, lalu ada orang lain yang mengklaim bahwa ia membelinya darinya, dan pemilik menolak, maka kewajiban bukti berada di pihak yang menggugat, karena ia mengklaim hak atas harta orang lain yang berada di tangannya, dan pihak tergugat mengingkarinya. Maka tergugat hanya wajib bersumpah. Jika justru yang mengklaim membeli adalah pihak kedua, sedangkan pemilik menolak, maka ini pun sama. Penggugat yang mengklaim pembelian wajib menghadirkan bukti, karena ia mengklaim kepemilikan atas barang yang sah-sah saja dimiliki oleh pihak lain, maka ia tidak dapat mengambilnya tanpa bukti. Dan orang yang mengingkari jual beli cukup dengan sumpahnya. Ini juga pendapat Abu Hanifah —raḥimahullāh.

Al-Syafi‘i —raḥimahullāh— berkata: Begitu pula jika seseorang menggugat utang, barang hasil rampasan, atau sesuatu lainnya atas orang lain, lalu orang itu mengingkarinya, maka tidak boleh mengambilnya kecuali dengan bukti, dan orang yang mengingkari cukup dengan sumpah. Namun, jika ia mengakui gugatan itu lalu mengaku bahwa ia telah melunasinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

  1. Bahwa gugatan itu tetap mengikatnya, dan pengakuannya bahwa ia telah membayar tidak diterima kecuali dengan bukti. Pendapat ini berlaku baik jika ia menyambungkan pengakuan dengan pernyataan pelunasan ataupun memutuskannya.
  2. Bahwa jika tidak ada yang mengetahui kebenaran hak tersebut kecuali melalui pengakuannya, lalu ia menyambung pengakuan itu dengan pernyataan pembebasan, maka pernyataan itu diterima darinya. Sebab, tidak mungkin seseorang benar dan dusta dalam satu waktu yang sama.

Namun, jika ia memutus pengakuan dan kemudian menyatakan pembebasan setelahnya, maka ia menjadi tergugat dan wajib menghadirkan bukti, sementara pengakuan tetap mengikatnya.

Orang yang berpendapat dengan pendapat kedua biasanya berhujah, “Bagaimana jika seseorang berkata kepada orang lain: ‘Engkau berutang kepadaku seribu dinar dari kota Thabariyyah,’ atau ‘engkau memiliki budak hitam padaku,’ lalu orang itu menggugat seribu dinar berat atau budak Barbar, bukankah pernyataan orang yang dituduh tetap diterima?”

Sama saja dalam dua kasus ini: Jika seseorang mengaku utang, lalu menyatakan bahwa itu adalah utang berjangka, maka:

  • Menurut pendapat pertama: utang itu bersifat segera (langsung jatuh tempo), dan orang itu wajib membawa bukti bahwa itu berjangka.
  • Menurut pendapat kedua: pernyataannya diterima jika ia menyambungkan bahwa itu adalah utang berjangka.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Apabila suatu barang ada di tangan dua orang, baik berupa budak, rumah, atau selainnya, kemudian masing-masing dari keduanya mengklaim memiliki seluruhnya, maka secara lahiriah kepemilikan dibagi dua sama rata antara mereka. Masing-masing dari mereka diminta untuk menghadirkan bukti atas bagian yang berada di tangan pihak lainnya. Jika tidak ada satu pun dari keduanya yang bisa menghadirkan bukti, maka kita meminta keduanya untuk bersumpah atas klaim lawannya. Siapa yang bersumpah maka ia bebas, dan siapa yang menolak bersumpah maka kita alihkan sumpah kepada penggugat. Jika penggugat bersumpah maka ia mengambil haknya, jika menolak maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Gugatan atas setengah dari barang yang ada di tangan pihak lain sama halnya dengan gugatan atas seluruh barang, karena bagian yang ada di tangan pihak lain tidak ada di tangannya.

Adapun Abu Hanifah —raḥimahullāh— berpendapat: masing-masing dari keduanya mendatangkan bukti atas bagian yang ada di tangan pihak lain. Setiap dari mereka memiliki hak untuk meminta sumpah dari pihak lain. Siapa yang bersumpah maka ia terbebas, dan siapa yang menolak sumpah maka ditahan hingga bersumpah.

Abu Yusuf —raḥimahullāh— berpendapat: jika seseorang menolak sumpah maka kami memutuskan perkara atasnya (mengalahkannya).

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Apabila dua orang berselisih mengenai jual beli dan mereka sepakat bahwa telah terjadi transaksi, namun berbeda pendapat dalam hal harga, penjual mengatakan: “Aku menjual kepadamu seharga dua ribu,” sementara pembeli berkata: “Aku membelinya darimu seharga seribu,” dan barang masih ada dalam bentuknya semula, serta tidak ada bukti di antara mereka, maka keduanya diminta untuk bersumpah. Jika keduanya sama-sama bersumpah, maka barang dikembalikan kepada penjual. Barang siapa dari mereka yang menolak sumpah, maka sumpah dialihkan kepada pihak yang menjadi tergugat. Jika pembeli yang menolak bersumpah, maka penjual bersumpah bahwa ia menjual dengan harga dua ribu, dan penjual berhak mendapatkan dua ribu. Jika penjual bersumpah dan pembeli tidak bersumpah, maka penjual berhak atas dua ribu karena telah terkumpul antara sumpahnya dan penolakan sumpah dari pembeli. Begitu pula jika penjual yang menolak sumpah dan pembeli yang bersumpah, maka barang menjadi milik pembeli dengan harga seribu.

Jika barang sudah rusak, maka masing-masing dari mereka mengembalikan nilainya setelah bersumpah. Karena keduanya sepakat bahwa telah terjadi jual beli, namun berbeda dalam nilai harga, dan hukum asal jual beli adalah sah, maka tidak ada perbedaan di kalangan kaum muslimin —sejauh yang aku ketahui— bahwa barang jika masih ada dikembalikan, namun jika sudah rusak maka wajib diganti nilainya selama pada asalnya transaksi tersebut bersifat jaminan. Jika kami menetapkan bahwa pendapat pembeli yang diterima saat barang sudah tidak ada, maka hal itu menyelisihi sunnah dan maknanya. Dan tidak boleh seseorang menyelisihi sunnah dan maknanya.

Sebagian ulama dari daerah timur telah kembali kepada pendapat ini dan menyetujuinya, meskipun berbeda dengan sahabatnya.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Apabila salah satu dari mereka mendatangkan bukti atas klaimnya, maka kami putuskan hak atasnya berdasarkan bukti tersebut.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Apabila seseorang mengaku bahwa ia telah menikahi seorang perempuan, maka aku tidak menerima pengakuannya hingga ia mengatakan, “Aku menikahinya dengan wali dan dua saksi yang adil serta dengan kerelaannya.” Jika ia mengatakan demikian dan perempuan itu mengingkarinya, maka kami suruh perempuan itu bersumpah. Jika ia bersumpah, maka aku tidak memutuskan bahwa perempuan itu adalah istrinya. Dan jika ia menolak bersumpah, aku juga tidak memutuskannya sebagai istrinya hanya karena penolakannya, hingga pihak laki-laki juga bersumpah. Jika ia bersumpah, maka aku putuskan bahwa ia adalah istrinya.

Aku mewajibkan sumpah dalam perkara pernikahan, talak, dan seluruh bentuk gugatan, karena aku dapati bahwa hukum Allah Ta‘ala dan sunnah Nabi-Nya ﷺ menyatakan bahwa Allah mewajibkan sumpah bagi suami yang menuduh istrinya berzina, dan bagi istri yang dituduh. Lalu sunnah menunjukkan bahwa hukum had (cambuk) gugur dari suami karena sumpahnya, padahal seharusnya had itu berlaku. Dan ijma‘ menyatakan bahwa had juga gugur dari istri dengan sumpah. Sunnah juga menunjukkan bahwa terjadi pemisahan dan penafian anak dari suami.

Had adalah hukuman mati, dan penafian anak adalah penafian nasab. Maka sumpah adalah pengganti dari had, yaitu hukuman besar. Aku juga dapati Nabi ﷺ memerintahkan kaum Anshar untuk bersumpah agar mendapatkan darah sahabat mereka, lalu mereka enggan, dan ditawarkan kepada mereka sumpah kaum Yahudi. Maka aku tidak mengetahui adanya hukum dunia yang lebih besar daripada hukum qatl (pembunuhan), had, dan talak. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara manusia dalam penggunaan sumpah dalam perkara harta. Aku dapati Nabi ﷺ bersabda, “Sumpah atas terdakwa (yang dituduh).” Maka tidak boleh ada terdakwa yang dibedakan kecuali dengan dalil tegas yang memisahkannya, padahal hadis-hadis itu bersifat umum untuk seluruh perkara.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Demikian pula apabila perempuan menggugat bahwa laki-laki itu menikahinya, lalu laki-laki itu mengingkarinya, maka perempuan tersebut harus menghadirkan bukti. Jika tidak bisa, maka laki-laki diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, maka ia terbebas. Jika menolak, maka sumpah dikembalikan kepada perempuan. Jika ia bersumpah, maka aku putuskan pernikahan atas laki-laki itu. Demikian juga pada setiap hal yang digugat seseorang terhadap orang lain, baik talak, qadzaf (tuduhan zina), harta, qishash, dan selainnya dari berbagai bentuk gugatan.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Jika seorang suami mengaku bahwa istrinya telah menebus dirinya (khulu‘) darinya dengan budak, rumah, atau sesuatu yang lain, lalu sang istri mengingkari, maka suami harus mendatangkan bukti. Jika ia mendatangkannya, maka khulu‘ ditetapkan dan istri wajib membayar tebusannya. Jika tidak, maka istri diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, ia terbebas dari membayar, dan talak tetap jatuh karena suami telah mengaku melakukan talak yang tidak dapat dirujuk, dan ia mengklaim adanya hak harta atas istrinya.

Jika istri menolak bersumpah, maka sumpah dialihkan ke suami. Jika ia bersumpah, maka ia mendapat apa yang diklaim sebagai tebusan. Jika ia pun menolak bersumpah, maka ia tidak mendapatkan apapun hanya dengan klaimnya atau karena penolakan istri sampai keduanya bertemu: penolakan dari pihak istri dan sumpah dari pihak suami.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Jika seorang budak menggugat kepada tuannya bahwa ia telah dimerdekakan atau dibuat perjanjian pembebasan (mukatabah), lalu sang tuan mengingkari, maka budak harus menghadirkan bukti. Jika ia mendatangkannya, maka ditetapkan baginya hak yang dibuktikan: merdeka atau mukatab. Jika tidak, maka tuannya diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, gugurlah gugatan budak. Jika ia menolak, maka budak diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, ditetapkan haknya.

Jika budak menggugat bahwa ia dijanjikan akan merdeka setelah kematian tuannya (tadbīr), maka menurut yang berpendapat bahwa budak yang dijanjikan demikian tidak boleh dijual, tetap seperti itu. Dan menurut yang membolehkan penjualannya pun tetap serupa, hanya saja dikatakan kepada tuannya, “Sumpah tidak berlaku apa-apa, katakan saja engkau telah menarik kembali niat tadbīr.” Maka tadbīr pun batal.

Jika tuan berkata kepada budaknya: “Aku telah memerdekakanmu dengan tebusan seribu dirham,” lalu budak mengingkari uang tersebut namun mengakui kemerdekaannya, atau mengingkari keduanya, maka tuan menjadi penggugat. Jika tuan mendatangkan bukti, maka budak harus membayar. Jika tidak, maka budak diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, maka ia bebas dan tidak punya tanggungan, karena tuannya telah mengakui kemerdekaannya. Jika budak menolak bersumpah, maka tidak ditetapkan atasnya kecuali tuan juga bersumpah. Jika tuan bersumpah, maka uang tersebut menjadi tanggungan budak. Jika tuan menolak bersumpah, maka tidak ada tanggungan atas budak dan kemerdekaannya tetap berlaku.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Jika seseorang menangkap orang lain dan berkata, “Engkau adalah budakku,” dan orang yang dituduh menjawab, “Bahkan aku adalah orang merdeka dari asal,” maka ucapan yang terakhir yang diterima. Hukum asal manusia adalah merdeka, hingga datang bukti atau pengakuan bahwa ia adalah budak. Maka penggugat harus menghadirkan bukti. Jika ia mampu, maka orang itu menjadi budaknya. Jika orang itu mengaku bahwa ia memang budaknya, maka dia budaknya. Jika tidak ada bukti, maka orang itu harus bersumpah. Jika ia bersumpah, ia bebas. Jika ia menolak, maka tidak ditetapkan sebagai budak hingga si penggugat bersumpah bahwa orang itu adalah budaknya, maka ia pun menjadi budaknya.

Demikian pula hukum budak perempuan sebagaimana budak laki-laki. Demikian juga semua yang dimiliki, kecuali dalam satu makna: jika seseorang (laki-laki atau perempuan) dikenal sebagai orang merdeka, kemudian ia mengaku sebagai budak, maka tidak ditetapkan atasnya status budak.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Jika seseorang menggugat orang lain atas darah (pembunuhan) atau luka selain pembunuhan, baik disengaja atau tidak, maka sama saja, ia wajib menghadirkan bukti. Jika ia mampu menghadirkannya, maka diputuskan sesuai gugatan. Jika tidak ada bukti dan tidak pula ada yang mewajibkan qasāmah (sumpah lima puluh kali) dalam kasus luka selain pembunuhan, maka tergugat disuruh bersumpah. Jika ia bersumpah, ia bebas. Jika ia menolak bersumpah, maka aku tidak menghukumnya hanya karena penolakan sumpah, hingga penggugat bersumpah. Jika penggugat bersumpah, maka aku tetapkan atas tergugat seluruh yang digugatkan kepadanya.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Sumpah dalam perkara darah berbeda dari seluruh sumpah lainnya. Kasus darah tidak gugur kecuali dengan lima puluh sumpah, sedangkan selainnya dapat dimenangkan dan gugur hanya dengan satu sumpah, kecuali dalam kasus li‘ān yang menggunakan empat sumpah, dan kelima adalah la‘nat. Demikian pula pada kasus jiwa dan luka, keduanya sama dalam hal ini: diterima dengan kekurangan dari pihak tergugat yang enggan bersumpah dan sumpah penggugat.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Sebagian ulama – raḥimahumullāh – berbeda pendapat dengan kami dalam hal ini. Mereka menyatakan bahwa siapa saja yang menggugat luka, mata yang dicungkil, tangan yang dipotong, dan semua selain pembunuhan, maka tergugat disumpah. Jika menolak, maka dibalas secara qishāsh: dicungkil matanya, dipotong tangannya, dan berlaku qishāsh pada luka selain nyawa. Mereka menganggap semua gugatan sama. Mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Sumpah atas pihak yang dituduh.” Maka menurut mereka, jika bersumpah bebas, jika menolak maka digugurkan gugatan dan diputuskan kebenaran klaim.

Namun mereka sendiri menyelisihi dalil tersebut dalam kasus pembunuhan. Mereka berkata: Jika tergugat menolak bersumpah dalam gugatan pembunuhan, maka aku enggan membunuhnya, namun aku menahannya hingga ia mengakui lalu dibunuh, atau ia bersumpah dan dibebaskan. Mereka mengatakan hal serupa dalam kasus wanita yang dituduh oleh suaminya lalu ia enggan bersumpah.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Aku tidak mengetahui adanya hal ini dalam sunnah Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menjadikannya hukum yang tetap dan tidak juga membatalkannya. Jika mereka memang membedakan antara pembunuhan dan luka selain nyawa, maka mereka seharusnya tidak menahan tergugat yang menolak bersumpah, dan tidak menghukumnya, jika mereka tidak menganggap penolakan sumpah sebagai dalil. Padahal dari awal, seseorang tidak ditahan hanya karena klaim orang lain. Maka mereka menyelisihi dalil yang menurut mereka sendiri valid. Lalu mereka mengajukan pendapat kedua yang ganjil: bahwa tidak boleh ditahan, tidak pula dibebaskan, karena darah adalah perkara besar, namun mereka mewajibkan diyat atasnya. Ini bertentangan, karena dalam pembunuhan dengan sengaja tidak dikenakan diyat menurut mereka. Mereka pun menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ yang memberi pilihan bagi wali korban antara qishāsh atau diyat. Mereka malah menetapkan diyat tanpa ada pengakuan atau permintaan dari wali korban. Mereka memutuskan perkara antara keduanya berdasarkan pendapat mereka sendiri, bukan karena dalil atau qiyas. Padahal mereka menerima pembunuhan dengan dua saksi hingga menyebabkan eksekusi. Padahal maksimum yang diterima dengan dua saksi dalam luka hanyalah muḍaḥah (luka sampai tulang), bahkan yang lebih ringan dari itu pun diterima. Maka bagaimana bisa mereka bedakan antara darah dan muḍaḥah serta yang lebih kecil darinya?

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Jika seseorang menggugat orang lain bahwa ia telah menjamin seseorang baik secara jiwa atau harta, lalu tergugat mengingkarinya, maka pihak penggugat wajib menghadirkan bukti. Jika tidak ada bukti, tergugat diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, ia bebas. Jika ia menolak, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat. Jika ia bersumpah, maka gugatan ditetapkan atas tergugat. Jika ia menolak, gugatan gugur. Namun, jaminan terhadap jiwa lemah kekuatannya.

Abu Ḥanīfah – raḥimahullāh – berkata: penggugat jaminan wajib mendatangkan bukti. Jika tidak, tergugat bersumpah. Jika ia bersumpah, ia bebas. Jika menolak, maka jaminan wajib atasnya.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Jika seseorang menggugat bahwa ia menyewa satu kamar dari rumah seseorang sebulan seharga sepuluh, dan penyewa mengaku bahwa ia menyewa seluruh rumah itu sebulan seharga sepuluh, maka masing-masing dari keduanya adalah penggugat atas pihak lain. Masing-masing wajib mendatangkan bukti. Jika tidak ada bukti, maka masing-masing disumpah atas gugatan lawannya. Jika masing-masing membawa bukti atas gugatannya, maka kedua bukti itu batal dan mereka saling bersumpah dan mengembalikan (uang/sewa). Jika salah satu dari mereka telah menempati rumah atau sebagian, maka ia wajib membayar sewa sesuai nilai tempat itu secara proporsional.

Demikian pula jika seseorang menggugat bahwa ia menyewa seekor binatang ke Mekah seharga sepuluh, dan pemiliknya mengaku bahwa ia hanya menyewakan ke kota Aylah seharga sepuluh, maka jawabannya sama dengan kasus sebelumnya. Jika salah satu dari mereka mendatangkan bukti dan yang lainnya tidak, maka bukti dari pihak yang membawa bukti diterima. Ini juga pendapat Abu Ḥanīfah.

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Jika dua orang berselisih tentang sebuah rumah dan masing-masing berkata: “Rumah ini milikku, ada di tanganku,” dan keduanya mendatangkan bukti atas klaimnya, maka rumah itu dibagi dua antara mereka. Karena jika kita menerima bukti, maka kita hanya menerima bukti seseorang atas apa yang ada di tangannya, dan kita abaikan bukti atas apa yang ada di tangan pihak lain. Maka kami gugurkan bukti atas kepemilikan pihak lain dan kami anggap seperti rumah di tangan dua orang yang masing-masing mengaku memilikinya, maka diputuskan bahwa masing-masing memiliki separuh. Kami tetap menyumpah masing-masing jika bukti atas klaim pihak lain digugurkan.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seorang hamba berada di tangan seseorang, lalu orang lain mengklaimnya dan menghadirkan saksi bahwa kemarin hamba itu berada di tangannya, maka kesaksian itu tidak diterima. Karena bisa saja sesuatu ada di tangan seseorang padahal bukan miliknya. Namun, jika ia membawa bukti bahwa hamba itu diambil, dirampas, direbut, atau diculik darinya, atau para saksi menyatakan bahwa ia mengutusnya untuk suatu keperluan, lalu si tergugat merampasnya di jalan, atau hamba itu melarikan diri darinya lalu ditangkap oleh si tergugat, maka kesaksian seperti itu diterima dan ia diputuskan berhak atas hamba itu.

Jika tidak ada bukti, maka yang ditangani hamba itu diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, ia bebas. Jika ia enggan, maka sumpah dikembalikan pada penggugat. Jika ia bersumpah, ia mengambil hamba itu. Jika ia enggan, maka gugatan gugur. Aku hanya menyumpahkannya atas klaim lawannya.

(Abu Ya‘qub  berkata):

Kesaksiannya diterima, dan hamba tetap di tangannya seperti semula.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah rumah atau harta lain berada di tangan seseorang lalu orang lain mengklaimnya atau sebagian darinya, dan orang yang memegangnya berkata: “Ini bukan milikku, tapi milik Fulan,” sementara ia tidak membawa bukti, jika Fulan hadir maka ia menjadi lawan perkara atas dirinya. Jika tidak hadir, pengakuannya ditulis, dan penggugat diminta menghadirkan bukti, sedangkan pihak yang memegang barang diminta membela. Jika penggugat membawa bukti, maka diputuskan untuknya terhadap yang memegang barang. Dalam keputusan dituliskan bahwa bukti Fulan diterima setelah pengakuan Fulan yang memegang bahwa rumah itu milik Fulan lain, padahal Fulan yang disebut tidak hadir atau mengutus wakil, lalu disebutkan bahwa bukti menunjukkan milik Fulan (penggugat) sebagaimana tercatat, dan diputuskan atas yang memegang barang, serta Fulan yang diakui sebagai pemilik dipersilakan untuk datang membela.

Jika ia (Fulan) hadir atau melalui wakil, maka sengketa diulang kembali. Jika yang memegang menghadirkan bukti bahwa rumah itu adalah milik Fulan yang tidak hadir, dan ia menitipkannya atau menyewakannya, maka bukti diterima. Ia diminta bersumpah atas ketidakhadiran Fulan bahwa kesaksian saksi-saksinya benar dan bahwa barang itu tidak keluar dari kepemilikannya dengan cara apa pun. Dicatat pula dalam putusan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan bukti dan sumpahnya. Jika Fulan datang, maka ia diajak bersengketa kembali, dan jika ia menghadirkan bukti yang lebih kuat maka diputuskan untuknya, jika tidak maka keputusan pertama dilaksanakan. Jika pihak yang telah menang ingin buku keputusan baru, maka hakim memberikannya dan mencantumkan semua prosesnya.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Tidak ada dalam peradilan terhadap orang yang tidak hadir kecuali dua pendapat: tidak boleh diputuskan terhadap orang yang absen, baik dalam utang maupun lainnya, atau boleh diputuskan setelah pemberian uzur. Kami memilih yang kedua, dan telah kami tuliskan uzur dalam pembahasan lain. Sama saja apakah pengakuan pihak yang memegang barang itu dilakukan sebelum atau sesudah kesaksian — semua ini berlaku dalam semua keadaan.

Jika seseorang mengklaim bahwa rumah adalah miliknya karena menyewakannya, dan orang lain mengklaim bahwa itu adalah miliknya karena ia menitipkannya, maka masing-masing adalah penggugat dan wajib menghadirkan bukti. Jika keduanya membawa bukti, maka rumah dibagi dua. Ini juga pendapat Abu Hanifah رضي الله عنه.

(Al-Rabi‘ berkata): Hafalanku dari Imam al-Syafi‘i bahwa kedua kesaksian itu batal, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.

Jika sebuah rumah atau hamba berada di tangan seseorang, lalu orang lain mengklaim bahwa ia dirampasnya pada waktu tertentu dan membawa bukti, lalu orang lain mengklaim bahwa si tergugat pernah mengaku bahwa barang itu adalah titipan padanya pada waktu setelah perampasan dan membawa bukti, maka putusan diberikan kepada pihak yang membuktikan perampasan. Pengakuan sesudahnya tidak berlaku karena itu terjadi setelah tindakan ghasab.

Jika seseorang mengklaim bahwa ia membeli hamba laki-laki dan perempuan dari seseorang seharga seribu dirham dan telah membayar, sedangkan keduanya masih di tangan penjual, lalu penjual berkata: “Aku hanya menjual hamba laki-laki saja seharga seribu,” maka keduanya saling bersumpah dan transaksi dibatalkan. Wallahu a‘lam.

Bab: Gugatan Warisan

Jika sebuah rumah berada di tangan seseorang lalu dua orang mengklaimnya dan masing-masing membawa bukti bahwa ia mewarisinya dari ayahnya pada waktu tertentu, dan bukti menunjukkan bahwa salah satu dari dua bukti itu pasti dusta meski tidak diketahui siapa, maka ini seperti gugatan nasab — menurut yang mengatakan bahwa jika terbukti salah satu dusta, keduanya gugur, maka kedua bukti ini gugur dan rumah tetap di tangan pemiliknya. Menurut yang lain, bukti yang lebih kuat diprioritaskan. Ada dua pendapat: dibagi dua atau diundi, dan siapa yang keluar namanya, maka ia menang. Jika dua bukti menunjukkan waktu yang berbeda, maka dibagi dua atau diundi, karena bisa jadi kedua bukti itu benar. Jika tidak mungkin keduanya benar, maka seperti kasus pertama. Sama saja dalam semua perkara waris atau hak milik lainnya.

Jika seorang perempuan budak berada di tangan seseorang, lalu seseorang mengklaim bahwa itu adalah milik ayahnya dan menghadirkan bukti bahwa ayahnya wafat dan tidak meninggalkan ahli waris selain dia, lalu orang lain membawa bukti bahwa ia membelinya dari ayah si penggugat dan telah membayar, maka diputuskan kepada si pembeli. Bukti jual beli membatalkan bukti warisan. Begitu pula jika bukti menunjukkan bahwa budak itu adalah sedekah yang diterima, hibah, atau ‘umra yang sah dari orang yang wafat, maka bukti pembeli didahulukan karena saksi warisan bisa jadi benar dalam zahir bahwa mayit memilikinya tanpa tahu bahwa ia sudah mengalihkan kepemilikannya. Jika para saksi berhati-hati dan bersaksi bahwa ia milik si mayit dan tidak tahu bahwa itu telah keluar dari miliknya, maka itu lebih baik. Namun, jika bersaksi secara tegas bahwa itu adalah warisan, maka kesaksian itu hanya berdasarkan pengetahuan, bukan penegasan mutlak. Maka, tidak ada pertentangan antara mereka.

Jika rumah, tanah, kebun, atau desa berada di tangan seseorang, lalu orang lain mengklaim bahwa itu milik ayahnya dan membawa bukti bahwa itu adalah milik ayahnya, tapi tidak menyebutkan bahwa ayahnya wafat dan meninggalkannya sebagai warisan, maka kesaksian tidak berlaku. Tidak bisa diputuskan atas dasar itu sampai disebutkan bahwa harta itu tetap dimiliki ayahnya hingga ia wafat — meski tanpa menyebut kata “warisan”. Begitu pula jika mereka bersaksi bahwa itu milik kakeknya.

Jika rumah berada di tangan seseorang, lalu orang lain menghadirkan dua saksi bahwa ayahnya wafat dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan, lalu orang lain membawa dua saksi bahwa ayah si penggugat menikahi ibu si tergugat, dan ibu itu wafat dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan, maka rumah itu diputuskan kepada anak perempuan, karena ayah si penggugat telah keluar dari kepemilikan rumah itu ketika menikahi perempuan lain — sebagaimana ia keluar dengan menjual. Kesaksian perempuan dalam hal kepemilikan harta sah jika disertai laki-laki. Namun, tidak sah dalam hal warisan dan penetapan nasab karena itu menetapkan hubungan nasab. Sementara kesaksian perempuan hanya sah dalam hal harta murni dan perkara wanita yang tidak dapat dilihat oleh laki-laki.

Bab Kesaksian atas Kesaksian

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika dua orang bersaksi atas kesaksian dua orang lainnya, aku telah melihat banyak hakim dan ahli fatwa yang membolehkannya. Siapa yang membolehkan hal ini, maka ia seharusnya berdalil bahwa keduanya bukanlah saksi atas diri mereka sendiri, tetapi mereka bersaksi atas kesaksian dua orang lain, sehingga masing-masing dari mereka menjadi saksi atas satu orang dari dua saksi sebelumnya.

Bukti yang lebih kuat dari itu adalah bahwa jika keduanya bersaksi atas kesaksian dua orang bahwa seorang budak milik si A, lalu mereka juga bersaksi atas kesaksian dua orang lain bahwa budak itu milik si B, maka mereka tidak dianggap sebagai saksi dusta, karena mereka hanya menyampaikan apa yang dikatakan oleh orang lain. Namun, kalau mereka menjadi saksi langsung atas pokok perkara, tentu mereka tergolong saksi palsu.

Aku juga mendengar pendapat lain yang mengatakan bahwa tidak diterima kesaksian atas seseorang kecuali dari dua orang saksi yang berbeda atas masing-masing orang. Orang yang berpendapat seperti ini seolah berkata: “Aku menempatkan mereka seolah-olah menjadi saksi langsung,” maka tidak ada bagi mereka lebih dari satu kedudukan. Karena jika seseorang bersaksi dua kali atas satu perkara, tidak akan dihitung kecuali satu kali, begitu juga jika dua orang bersaksi atas dua orang lainnya — tidak dihitung kecuali satu kali — maka kesaksiannya tidak sah.

Orang yang berpendapat demikian juga harus mengatakan bahwa keduanya hanya sah jika tidak tercela saat menyampaikan kesaksian atas empat orang berbeda, karena mereka tidak bersaksi berdasarkan penglihatan langsung. Maka dua orang saksi tidak boleh menggantikan kecuali satu orang saksi, karena satu orang tidak sah dijadikan saksi kecuali oleh dua orang.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Tidak boleh diterima kesaksian atas seorang perempuan kecuali oleh dua orang laki-laki. Tidak cukup satu laki-laki dan dua perempuan, karena ini bukan perkara harta.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah rumah berada di tangan seseorang, lalu orang lain menghadirkan bukti bahwa ayahnya telah meninggal dan meninggalkan rumah tersebut sebagai warisan, tapi para saksi tidak menyebutkan siapa saja ahli warisnya, dan mereka juga tidak mengetahuinya, maka hakim harus meminta para ahli waris menghadirkan bukti bahwa mereka adalah anak-anak si fulan secara pasti, dan bahwa mereka tidak mengetahui ada ahli waris lain selain mereka.

Jika mereka bisa menghadirkan bukti itu, maka rumah diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka rumah tetap dalam keadaan tergantung selamanya sampai mereka menghadirkan bukti bahwa mereka benar-benar mewarisinya dan tidak ada ahli waris lain.

Dan tidak boleh mengambil jaminan dari ahli waris atas sesuatu yang telah mereka terima setelah diputuskan menjadi milik mereka. Jika diperbolehkan mengambil jaminan dari mereka, maka seharusnya juga diambil dari setiap orang yang diputuskan mendapatkan rumah atau budak atau piutang dalam perkara yang dimenangkan. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah .

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah rumah berada di tangan seseorang, lalu orang lain mengklaimnya dan membawa bukti bahwa ayahnya telah meninggal dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan setahun yang lalu dan tidak diketahui ada ahli waris lain, kemudian pihak yang memegang rumah juga membawa bukti bahwa ayahnya meninggal dan meninggalkan rumah itu setahun yang lalu, maka rumah tersebut tetap di tangan orang yang sedang memegangnya.

Abu Hanifah  berkata sebaliknya, yakni memutuskannya untuk penggugat.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika pihak yang memegang rumah mengakui bahwa rumah itu dulunya milik ayah penggugat, dan bahwa ayahnya telah membeli rumah itu darinya serta membayar harga, lalu ia menghadirkan bukti atas pengakuannya itu, maka diterima karena rumah berada di tangannya dan ia memiliki alasan yang lebih kuat. Abu Hanifah  berpendapat sama, namun tetap menganggap bahwa posisi pemegang rumah adalah sebagai penggugat dalam hal ini.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika rumah berada di tangan seseorang, lalu orang lain membawa bukti bahwa rumah itu warisan dari ayahnya bersama dua saudara lainnya yang semuanya tidak hadir (tidak berada di tempat), dan disebutkan bahwa tidak diketahui ada ahli waris selain mereka, maka rumah dikeluarkan dari tangan pemilik sekarang, lalu dibagi sebagai warisan, dan bagian orang yang hadir diberikan kepadanya.

Jika saudara-saudaranya yang lain memiliki wakil, maka bagian mereka diberikan kepada para wakil tersebut. Jika tidak, maka bagian mereka ditangguhkan dan rumah disewakan untuk mereka hingga mereka datang.

Abu Hanifah  berkata bahwa bagian orang yang hadir diberikan kepadanya, sementara sisanya tetap berada di tangan orang yang sebelumnya memegang rumah.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah rumah berada di tangan para ahli waris dan salah satu dari mereka tidak hadir, lalu seseorang mengklaim bahwa ia telah membeli bagian dari ahli waris yang tidak hadir itu, maka menurut pendapat yang menyatakan bahwa tidak boleh diputuskan atas orang yang tidak hadir, maka klaim itu tidak diterima karena lawannya (yakni pemilik bagian) tidak hadir, dan tidak satu pun dari ahli waris yang hadir menjadi lawannya — walaupun mereka semua mengakui bahwa bagian tersebut memang milik si ghaib (yang tidak hadir).

Namun, menurut pendapat yang memperbolehkan keputusan untuk orang yang tidak hadir, maka ia akan memutuskan kepemilikan kepada si pembeli berdasarkan bukti yang dibawanya. Abu Hanifah  berkata: Tidak boleh diputuskan terhadap orang yang tidak hadir.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah rumah berada di tangan seorang pria dan keponakannya (anak dari saudara laki-lakinya), lalu paman itu mengklaim bahwa ayahnya meninggal dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan, dan tidak ada ahli waris selain dirinya; sedangkan keponakan itu juga mengklaim bahwa ayahnya meninggal dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan tanpa ada ahli waris lain — dan keduanya tidak memiliki bukti — maka rumah tersebut dibagi setengah–setengah antara mereka berdua.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika rumah itu berada di tangan seorang pria dan keponakannya, lalu paman berkata: “Ini milik ayahku dan saudara laki-lakinya (ayah keponakan), masing-masing separuh.” Dan keponakan mengakui hal itu. Kemudian paman menghadirkan bukti bahwa ayahnya meninggal lebih dulu daripada ayah keponakan, lalu diwarisi oleh ayahnya, dan tidak ada ahli waris lain selain ayahnya, lalu ayahnya meninggal dan diwarisi oleh dirinya sendiri tanpa ahli waris lain.

Sementara keponakan menghadirkan bukti bahwa kakeknya (ayah dari paman dan ayahnya) meninggal lebih dulu, lalu diwarisi oleh dua anaknya, yakni ayahnya dan paman. Kemudian ayahnya (ayah keponakan) meninggal dan diwarisi oleh dirinya sendiri tanpa ahli waris lain.

Maka:

  • Siapa yang berpendapat bahwa dua bukti yang saling bertentangan harus dibatalkan, maka dia akan membatalkan kedua bukti itu dan mengembalikan rumah kepada status asal sesuai pengakuan mereka bahwa rumah itu milik orang tua masing-masing, lalu diwarisi oleh para ahli waris, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
  • Siapa yang berpendapat bahwa diputuskan dengan undian, maka dilakukanlah undian. Siapa yang menang, maka keputusan diberikan kepadanya sesuai dengan bukti yang ia ajukan, dan bukti lawannya dibatalkan.
  • Siapa yang berpendapat bahwa diterima bukti dari masing-masing pihak hanya atas bagian yang berada di tangannya, dan dibatalkan atas bagian yang ada di tangan lawannya, maka rumah itu dibagi dua. Masing-masing mendapatkan setengahnya, dan bagian dari masing-masing dibagikan kepada ahli warisnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.

Abu Hanifah  berkata: “Aku akan memutuskan bagian masing-masing untuk ahli warisnya yang masih hidup, dan yang sudah wafat tidak mewarisi apa pun. Maka aku putuskan setengah rumah untuk keponakan, dan setengahnya untuk paman.”

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan seorang saudara sekandung, lalu hakim mengenalnya atau para saksi bersaksi bahwa ia adalah saudara sekandung, tetapi para saksi maupun hakim tidak mengetahui apakah ia satu-satunya ahli waris — karena ini hanya menyangkut ilmu tentang nasab — maka hakim tidak boleh menyerahkan apa pun kepadanya, karena bisa jadi ia memang saudara, namun bukan ahli waris.

Jika yang diklaim sebagai ahli waris adalah seorang anak, dan para saksi bersaksi bahwa ia adalah anak dari si mayit, tetapi mereka tidak bersaksi tentang jumlah ahli waris dan bahwa ia adalah satu-satunya ahli waris, maka hakim harus menahan harta peninggalan.

Hakim harus menelusuri seluruh wilayah yang pernah didatangi si mayit, untuk memastikan apakah ia memiliki anak lain di sana. Jika pencarian ini telah sampai pada tingkat bahwa jika memang ada anak lain, tentu sudah diketahui, maka anak itu diberikan seluruh harta warisan, setelah ia menyatakan bahwa tidak ada ahli waris lain.

Namun, hakim tidak boleh memberikan harta itu tanpa mengambil jaminan sebesar nilai harta warisan tersebut. Dan dicatat bahwa keputusan diberikan karena tidak ditemukan ahli waris lain.

Jika kemudian datang ahli waris lain, maka penjamin harus memberikan bagian waris kepada ahli waris yang baru datang itu sesuai haknya.

Jika bersama anak tersebut terdapat seorang istri dari si mayit, maka diberikan kepadanya seperempat dari seperdelapan (yaitu 1/32). Namun, tidak diberikan kecuali setelah para saksi bersaksi bahwa ia adalah istri sah si mayit, dan tidak diketahui adanya perceraian.

Perbedaan antara istri dan anak adalah bahwa bagian warisan istri sudah ditentukan minimal dan maksimalnya — yaitu seperdelapan dan seperempat. Sedangkan bagian anak tidak memiliki batas minimal, dan batas maksimalnya adalah seluruh harta warisan. Maka, bagian anak tidak boleh dibagikan sebelum diketahui jumlah seluruh ahli waris, karena jumlahnya bisa banyak atau sedikit.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Tidak sah kesaksian siapa pun yang menyelisihi status sebagai muslim, baligh, merdeka, atas suatu perkara di dunia, karena Allah Ta‘ala berfirman: {dari orang-orang yang kalian ridhai dari para saksi} [al-Baqarah: 282], sedangkan tidak ada keridhaan pada orang yang menyelisihi Islam.

Dan Allah Ta‘ala juga berfirman: {dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil dari kalian} [ath-Thalaq: 2], dan “dari kalian” adalah kaum muslimin, bukan orang yang menyelisihi Islam.

Jika seseorang dikenal sebagai Nasrani, lalu ia wafat dan meninggalkan dua anak laki-laki — salah satunya muslim, dan yang satunya lagi nasrani, kemudian si nasrani mengklaim bahwa ayahnya wafat dalam keadaan nasrani, sementara si muslim mengklaim bahwa ayahnya telah masuk Islam sebelum wafat, lalu ada bukti bahwa si mayit tidak memiliki ahli waris selain dua anak itu, namun tidak ada kesaksian mengenai Islam atau kekafirannya kecuali asal kekufurannya, maka ia dihukumi tetap pada keadaan asalnya, dan warisannya diberikan kepada anak nasrani hingga ada bukti bahwa si mayit telah masuk Islam.

Jika keduanya sama-sama membawa saksi:

  • Si nasrani membawa dua saksi muslim yang menyatakan bahwa ayahnya wafat dalam keadaan nasrani,
  • Sedangkan si muslim membawa dua saksi nasrani yang menyatakan bahwa ayahnya masuk Islam sebelum wafat,

Maka warisan diberikan kepada si nasrani karena kesaksian yang sah adalah milik dua orang muslim, dan kesaksian dua orang nasrani tidak diterima.

Jika seluruh saksi adalah muslim, dan:

  • Dua saksi mengatakan bahwa si mayit wafat dalam keadaan muslim,
  • Dua saksi mengatakan bahwa ia wafat dalam keadaan nasrani,
  • dan tidak diketahui agama asal si mayit,

Maka warisan ditangguhkan (tidak dibagikan) hingga keduanya berdamai dan sepakat, karena keduanya mengakui bahwa harta tersebut adalah milik ayah mereka, namun salah satunya muslim dan yang lainnya kafir. Maka jika warisan dibagikan kepada keduanya, berarti telah mewariskan orang kafir dari muslim atau sebaliknya, dan ini tidak boleh.

Maka ketika sudah pasti bahwa harta itu hanya milik salah satu dari keduanya, namun siapa yang berhak tidak diketahui, harta ditahan selamanya sampai mereka berdamai — dan ini adalah makna dari perkataan al-Syafi‘i dalam tempat lain.

(al-Rabi‘ berkata):

Imam Malik berpendapat bahwa harta dibagi dua antara keduanya.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika ada rumah berada dalam tangan dua orang laki-laki muslim, lalu keduanya mengakui bahwa ayah mereka telah wafat dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan, kemudian salah satunya berkata, “Saya sudah muslim, dan ayah saya juga muslim,” sementara yang satu lagi berkata, “Saya juga sudah muslim,” tetapi yang pertama menyanggah: “Kamu kafir dan baru masuk Islam setelah ayah wafat,” lalu ia menjawab, “Tidak, saya masuk Islam sebelum ayah wafat,” dan dia mengakui bahwa saudaranya memang telah muslim sebelum wafatnya ayah,

maka warisan diberikan kepada yang keislamannya disepakati, dan yang lainnya harus membawa bukti bahwa dia masuk Islam sebelum wafat ayahnya.

Begitu pula jika keduanya adalah budak, lalu salah satu berkata kepada saudaranya, “Kamu dimerdekakan setelah ayahmu wafat,” sementara yang lain berkata, “Tidak, saya dan kamu dimerdekakan sebelum ayah saya wafat,” lalu ia menjawab, “Adapun saya memang telah dimerdekakan sebelum ayah saya wafat, sedangkan kamu setelahnya.”

Maka warisan diberikan kepada yang keadaannya dimerdekakan diakui, dan yang lainnya wajib membawa bukti.

Demikian pula pendapat Abu Hanifah .

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika rumah ada di tangan seorang dzimmi, lalu seorang muslim mengklaim bahwa ayahnya wafat dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan, dan tidak ada ahli waris selain dirinya, serta ia mendatangkan bukti dari kalangan dzimmi, dan kemudian seorang dzimmi juga mengklaim hal yang sama dan membawa bukti dari sesama dzimmi, maka rumah itu tetap milik orang yang sedang memegangnya, dan tidak diputuskan berpindah berdasarkan kesaksian orang-orang dzimmi.

Namun, jika yang bersaksi adalah orang-orang muslim, maka diberikan kepada pihak yang mendatangkan bukti dari kaum muslimin.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika rumah ada di tangan para ahli waris, lalu istri dari orang yang meninggal yang beragama Islam berkata, “Suamiku adalah seorang muslim dan wafat dalam keadaan muslim,” sedangkan anak-anaknya yang sudah dewasa dan kafir berkata, “Tidak, ayah kami wafat dalam keadaan kafir,” kemudian saudara laki-laki dari suami itu (yang juga muslim) datang dan berkata, “Bahkan, saudara saya wafat dalam keadaan muslim,” dan si wanita mengakui bahwa ia memang saudaranya dan ia muslim,

maka jika si mayit dikenal sebagai seorang muslim, ia dihukumi sebagai muslim, dan warisannya berlaku sebagai warisan muslim.

Jika ia dikenal sebagai kafir, maka dihukumi sebagai kafir.

Namun, jika ia tidak dikenal apakah muslim atau kafir, maka warisan ditahan hingga dapat dibuktikan keislamannya atau kekafirannya dengan bukti yang sah.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang muslim wafat dan meninggalkan seorang istri, lalu sang istri berkata,

  • “Saya dulunya adalah budak dan telah dimerdekakan sebelum ia wafat,” atau
  • “Saya dulu adalah wanita dzimmiyah, dan telah masuk Islam sebelum ia wafat,”
  • atau ada bukti bahwa dia dulu budak atau dzimmiyah, dan ia mengklaim telah dimerdekakan dan masuk Islam sebelum wafatnya suaminya,
  • namun ahli warisnya mengingkari dan mengatakan bahwa pembebasan dan keislamannya baru terjadi setelah wafat suami,
  • maka pernyataan ahli waris lebih kuat, dan si istri wajib membawa bukti, karena jika ia dikenal sebagai budak atau dzimmiyah, maka ia tetap dalam status itu hingga terbukti sebaliknya.

Namun jika kasusnya dibalik:

Ahli waris berkata kepadanya, “Kamu dulunya adalah dzimmiyah atau budak yang masuk Islam atau dimerdekakan setelah suami wafat,”

lalu dia menjawab, “Saya sejak dulu adalah muslimah merdeka,”

maka pernyataannya diterima, karena saat ini ia adalah muslimah merdeka, dan tidak dihukumi sebaliknya kecuali dengan bukti atau pengakuan darinya sendiri.

Inilah kaidah asal dalam semua bentuk ilmu — tidak ada perbedaan padanya.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seorang perempuan mengakui bahwa suaminya telah menceraikannya dengan satu talak saat suaminya masih sehat, lalu masa iddah-nya telah habis, kemudian ia berkata, “Ia merujukku sebelum wafatnya,” dan para ahli waris berkata, “Ia tidak merujukmu,” maka pernyataan ahli waris yang diterima, karena si perempuan telah mengakui bahwa dirinya telah keluar dari pernikahan, lalu mengklaim masuk kembali, dan itu tidak bisa terjadi kecuali dengan bukti.

Namun, jika kasusnya tetap seperti itu, dan si perempuan berkata, “Masa iddah-ku belum selesai,” lalu ahli waris berkata, “Iddah-nya telah selesai,” maka yang diterima adalah ucapan si perempuan.

Bab: Dua Klaim yang Salah Satunya Lebih Awal Waktunya dari yang Lain

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seorang budak berada dalam tangan seseorang, lalu seseorang lain mendatangkan bukti bahwa budak itu adalah miliknya sejak dua tahun yang lalu, dan orang yang memegangnya sekarang mendatangkan bukti bahwa budak itu adalah miliknya sejak setahun yang lalu, maka budak itu milik orang yang memegangnya sekarang, karena waktu yang dulu dan yang sekarang sama nilainya.

Begitu juga jika budak itu ada di tangan mereka berdua, dan keduanya sama-sama mendatangkan bukti kepemilikan, maka yang dilihat adalah keadaan saat ini yang menjadi sengketa. Jika keduanya sama-sama bersaksi bahwa mereka memilikinya pada masa sengketa, maka aku tidak memandang siapa yang lebih dahulu memilikinya.

Pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah .

Namun Abu Yusuf  berkata: budak itu milik pengklaim, dan tidak diterima bukti dari orang yang memegang budak tersebut.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seorang perempuan budak berada dalam tangan seseorang, lalu orang lain mengklaim bahwa budak itu miliknya sejak setahun yang lalu, dan ia mendatangkan bukti, kemudian orang yang memegangnya sekarang juga mendatangkan bukti bahwa budak itu berada dalam tangannya sejak dua tahun yang lalu, namun para saksi tidak menyatakan bahwa ia memilikinya, maka aku memutuskan untuk pengklaim.

Demikian pula pendapat Abu Hanifah .

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seekor hewan tunggangan berada dalam tangan seseorang, lalu orang lain mendatangkan bukti bahwa hewan itu adalah miliknya sejak sepuluh tahun yang lalu, kemudian hakim memeriksa usia hewan itu, dan ternyata hewan itu baru berusia tiga tahun, maka bukti orang itu tidak diterima.

Demikian pula pendapat Abu Hanifah .

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah rumah berada dalam tangan seseorang, lalu orang lain mengklaim bahwa itu miliknya, dan ia mendatangkan bukti bahwa rumah itu adalah miliknya sejak satu tahun yang lalu, kemudian orang yang memegang rumah mendatangkan bukti bahwa ia membeli rumah itu dari pengklaim dua tahun yang lalu, dan saat itu pengklaim memilikinya, maka aku memutuskan untuk orang yang membeli, karena aku menetapkan bahwa rumah itu miliknya, dan aku keluarkan dari tangan yang memegangnya sekarang, dan karena aku menetapkannya sebagai miliknya, maka aku sahkan penjualannya.

Tidak ada dalam kesaksian mereka bahwa rumah itu milik si A sejak satu tahun lalu yang membatalkan bahwa rumah itu bisa saja telah menjadi milik si A sejak dua tahun lalu atau lebih.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika para saksi bersaksi bahwa si A menjual rumah itu dengan harga tertentu, dan pembeli telah menerima rumah tersebut, walaupun mereka tidak menyaksikan bahwa si A memilikinya, maka aku tetap memutuskan untuk pembeli.

Namun jika mereka tidak menyaksikan penyerahan rumah, aku tetap menerima kesaksian mereka, dan menetapkan akad jual beli itu sah.

Abu Hanifah  berkata: Aku menerima kesaksian mereka jika mereka bersaksi bahwa pembeli telah menerima rumah, namun jika mereka tidak menyaksikan penyerahan rumah, aku tidak menerima kesaksian mereka.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah tanah berada dalam tangan seseorang bernama Abdullah, lalu seseorang bernama Abdul Malik mendatangkan bukti bahwa ia membelinya dari seseorang bernama Abdurrahman dengan harga tertentu, dan telah ia bayarkan, maka bukti ini tidak diterima, kecuali saksi menyatakan bahwa Abdurrahman menjualnya saat ia memilikinya.

Jika saksi bersaksi bahwa tanah itu milik si pengklaim, dan ia membelinya dari si Fulan dengan harga tertentu, dan telah membayar, maka ini sah.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika saksi bersaksi bahwa penjual menjualnya dan saat itu ia adalah pemilik, atau mereka bersaksi bahwa tanah itu adalah milik pengklaim, dan ia membelinya dari si Fulan dengan harga tertentu, dan telah membayar, maka itu sah.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika para saksi bersaksi bahwa seseorang membeli sesuatu dari orang lain, namun mereka tidak menyebutkan bahwa penjual itu memilikinya saat menjual, maka aku tidak menerima kesaksian mereka.

Namun jika mereka tidak menyatakan barang itu milik pembeli, melainkan bersaksi bahwa itu milik si penjual, dan bahwa si penjual menjual barang tersebut kepada orang ini, dan penjual memilikinya saat menjual, dengan harga tertentu, dan telah menerima pembayaran, meskipun mereka tidak menyebutkan bahwa pembeli menerimanya, aku tetap menerima kesaksian mereka.

Akan tetapi, jika mereka tidak menyatakan bahwa si penjual memilikinya saat menjual, dan tidak menyebutkan bahwa itu milik pembeli, serta tidak menyebutkan penerimaan barang, maka aku tidak menerima kesaksian mereka atas apa pun dari hal itu.

Adapun jika aku telah menerima kesaksian tersebut, dan telah memutuskan perkara berdasarkan kesaksian itu untuk kaum muslimin, lalu kemudian si penjual datang dan mengingkari, maka aku kembalikan urusan padanya, aku siapkan kembali salinan kesaksian yang telah diberikan terhadapnya, dan aku periksa saksi-saksinya sebagaimana ketika awal.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seekor hewan tunggangan berada dalam tangan seseorang, lalu ia mendatangkan bukti bahwa hewan itu miliknya, kemudian orang lain yang asing mendatangkan bukti bahwa hewan itu miliknya juga, maka hewan itu tetap milik orang yang memegangnya sekarang, baik ia mendatangkan bukti bahwa hewan itu miliknya melalui warisan, pembelian, atau lainnya, atau tidak mendatangkan bukti, atau buktinya lebih lama atau lebih baru, atau tidak juga mendatangkan bukti sama sekali, karena yang aku lihat adalah apa yang disaksikan para saksi saat itu, lalu aku putuskan milik yang lebih berhak pada saat tersebut.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah rumah berada dalam tangan dua orang, lalu salah satunya mendatangkan bukti bahwa rumah itu seluruhnya miliknya sejak satu tahun yang lalu, dan yang lain mendatangkan bukti bahwa rumah itu miliknya seluruhnya sejak dua tahun yang lalu, maka rumah itu dibagi dua, karena aku menerima bukti masing-masing hanya untuk bagian yang berada dalam tangannya, dan aku tolak terhadap bagian yang berada dalam tangan orang lain jika ada bukti yang menyatakan sebaliknya.

(Abu Ya‘qub) berkata: Diputuskan untuk yang lebih dulu memiliki seluruhnya.

(Al-Rabi‘) berkata: Itu dibagi setengah-setengah.

(Imam al-Syafi‘i ): Begitu pula jika salah satu dari mereka mendatangkan bukti bahwa ia memiliki separuh atau sepertiga rumah, dan yang lain mendatangkan bukti bahwa ia memiliki seluruh rumah, maka aku berikan bagian yang dibuktikan oleh para saksi kepada pemilik yang lebih kecil, dan sisanya untuk yang lain. Begitu pula berlaku untuk budak perempuan dan yang lainnya.

Bab: Klaim Pembelian, Hibah, dan Sedekah

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah rumah berada dalam tangan seseorang, lalu ada dua orang mengklaim bahwa mereka membelinya — yang satu berkata: “Aku membelinya dengan seratus dirham dan sudah aku bayar,” dan yang lain berkata: “Aku membelinya darinya dengan dua ratus dirham dan sudah aku bayar,” — dan tidak ada dari keduanya yang menyebutkan waktunya, maka masing-masing boleh memilih untuk mengambil setengah rumah dengan setengah dari harga yang disebutkan saksinya, dan ia bisa menuntut kembali setengah uangnya kepada penjual.

Jika keduanya memilih membeli, maka jual beli itu sah untuk keduanya.

Jika salah satunya memilih untuk mengambil dan yang lainnya menolak, maka yang memilih mengambil hanya mendapatkan separuh rumah dengan separuh harga, dan tidak seluruhnya.

(Al-Rabi‘) berkata: Ada pendapat lain bahwa jual belinya seluruhnya dibatalkan, dan dikembalikan kepada pemilik awalnya, setelah keduanya bersumpah.

Siapa yang diakui oleh pemilik awal sebagai yang lebih dahulu membeli, maka rumah itu menjadi milik yang lebih dahulu.

Ini merupakan qiyas dari pendapat Imam al-Syafi‘i.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika rumah atau budak, tanah, hewan tunggangan, budak perempuan, atau pakaian berada dalam tangan seseorang, lalu orang lain mendatangkan bukti bahwa ia membelinya dari Fulan yang memilikinya dengan harga tertentu dan telah ia bayar, kemudian orang lain juga mengklaim membelinya dari orang lain yang juga memilikinya, dan mendatangkan bukti atas itu, maka barang itu diputuskan untuk yang memegangnya sekarang.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika sebuah pakaian berada dalam tangan seseorang, lalu dua orang masing-masing mendatangkan bukti bahwa pakaian itu miliknya, dan bahwa mereka menjualnya kepada orang yang memegangnya seharga seribu dirham, namun saksi tidak mengatakan bahwa pakaian itu milik masing-masing, maka diputuskan pakaian itu dibagi dua, dan masing-masing berhak atas setengah harga dari pembeli, karena masing-masing berhak atas setengahnya.

Jika para saksi menyatakan bahwa pembeli mengakui bahwa ia membeli dari masing-masing, maka ia wajib membayar harga kepada masing-masing, dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah .

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seekor hewan tunggangan berada dalam tangan seseorang, lalu datang orang yang mengklaim bahwa ia telah membelinya dari Fulan seharga seratus dirham dan telah membayar harganya, kemudian orang lain mengklaim bahwa Fulan lain telah memberikannya sebagai hibah dan ia telah menerimanya ketika Fulan itu memilikinya, lalu ada pula orang lain yang mengklaim bahwa ia mewarisinya dari ayahnya saat ayahnya memilikinya, dan ia membawa bukti atas klaim tersebut, serta orang keempat mengklaim bahwa Fulan memberikannya sebagai sedekah ketika memilikinya dan ia juga membawa bukti, maka:

  • Barang siapa yang memutuskan dengan dua bukti yang saling bertentangan ini, ia memutuskannya menjadi empat bagian untuk masing-masing;
  • Barang siapa yang berkata bahwa diundi (dengan undian), maka diputuskan untuk siapa yang keluar undiannya;
  • Dan barang siapa yang berkata bahwa seluruh bukti dibatalkan karena saling bertentangan, maka dibatalkan semua.

(Al-Rabi‘ berkata): Dibatalkan semuanya jika saling bertentangan.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika sewa suatu rumah terjadi secara tidak sah, maka yang dikenakan adalah sewa sesuai rumah semisal selama masa tinggalnya.

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika dua orang berselisih atas harta, maka aku melihat siapa yang memiliki sebab yang lebih kuat dalam klaimnya, maka harta itu diberikan kepadanya.

Jika sebab keduanya sama kuatnya, maka tidak ada satu pun yang lebih berhak, dan mereka berdua sama dalam hak.

Jika barang yang diperselisihkan berada di tangan salah satu dari keduanya, maka yang memegangnya lebih kuat alasannya daripada yang tidak memegang, maka harta itu miliknya dengan sumpah, jika tidak ada bukti dari salah satu pihak.

Jika pihak yang tidak memegang membawa bukti atas klaimnya, maka dikatakan kepada yang memegang: Bukti dari pihak luar yang adil dan tidak menguntungkan dirinya sendiri lebih kuat dibanding hanya karena barang itu ada di tanganmu, sebab barang bisa saja berada di tanganmu tapi bukan milikmu, maka harta itu diberikan kepada yang mendatangkan bukti, karena lebih kuat sebabnya.

Jika keduanya sama-sama membawa bukti, maka mereka sama kuatnya dalam klaim dan bukti, namun yang memegang barang memiliki kelebihan sebab karena posisi tangan, maka harta itu untuknya.

Dan ini selaras dengan qiyas jika tidak ada hadis.

Namun dalam hal ini, terdapat hadis:

(Diriwayatkan oleh al-Rabi‘):

Dari Imam al-Syafi‘i, dari Ibn Abi Yahya, dari Ishaq ibn Abi Furwah, dari ‘Umar ibn al-Hakam, dari Jabir ibn ‘Abdillah:

“Dua orang berselisih atas seekor hewan, masing-masing membawa bukti bahwa hewan itu adalah hasil ternak miliknya (dengan klaim netaj), maka Rasulullah ﷺ memutuskannya untuk orang yang memegangnya.”

Dan ini juga pendapat semua orang yang aku jumpai, dalam kasus klaim netaj dan kasus lain yang tidak mungkin terjadi dua kali.

Namun sebagian ulama dari wilayah timur berbeda pendapat selain dalam netaj. Mereka berkata bahwa jika keduanya membawa bukti, maka diberikan kepada yang tidak memegang, dengan alasan sabda Nabi ﷺ:

“Bukti di atas yang mengklaim, dan sumpah atas yang didakwa.”

Mereka mengklaim bahwa selalu ada satu pihak yang menjadi pengklaim, dan satu pihak lain sebagai terdakwa. Mereka menyebut pengklaim adalah yang tidak memegang barang, dan yang memegang adalah terdakwa, dan menurut mereka tidak diterima bukti dari terdakwa.

Lalu dikatakan kepada mereka:

Bagaimana pendapatmu tentang riwayat kami dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau menerima bukti dari pihak yang memegang barang, dan memutuskannya untuknya, dan menolak bukti dari pihak yang tidak memegang — jika kamu tidak punya hujah lain selain hadis itu, tidakkah engkau sudah dikalahkan dengan jelas?

Jika mereka berkata:

Sesungguhnya beliau ﷺ memutuskannya untuk yang memegang karena beliau membatalkan kedua bukti yang seimbang itu.

Kami katakan:

Jika demikian, maka engkau telah menyatakan bahwa kedua bukti itu, saat seimbang, menjadi tidak sah, dan ini berarti tidak bisa diterima.

Mereka berkata:

Jika dua orang sama-sama mendatangkan bukti atas satu hewan dalam tangan seseorang bahwa hewan itu milik keduanya, maka kedua bukti dibatalkan.

Jika mereka mendatangkan bukti atas satu barang dalam tangan seseorang selain netaj, kedua bukti dibatalkan karena seimbang, dan yang memegang barang diminta bersumpah, sebagaimana orang yang tidak mendatangkan bukti dan tidak ada bukti terhadapnya.

Kami katakan:

Kami tidak berkata demikian.

Dan mereka mengatakan bahwa salah satu bukti pasti dusta, sebab hewan tidak bisa lahir dua kali.

Kami katakan:

Jika engkau mengklaim bahwa salah satunya dusta tanpa tahu siapa, lalu bagaimana engkau membatalkan satu dan menerima yang lain, padahal bisa saja yang engkau batalkan itulah yang benar, dan yang engkau terima justru dusta. Maka katakanlah sesukamu.

Jika ia berkata:

Baiklah, aku menerima hal itu. Tapi aku ingin bertanya.

Aku menjawab: Silakan.

Ia bertanya:

Apakah hadis tentang netaj bertentangan dengan hadis Nabi ﷺ:

“Bukti di atas yang mengklaim, dan sumpah atas yang didakwa”?

Kami menjawab: Tidak.

Ia bertanya:

Siapa yang disebut pengklaim, dan siapa terdakwa?

Aku menjawab:

Terdakwa adalah siapa saja yang mengklaim sesuatu berada di tangannya atau tangan orang lain.

Karena menurut bahasa Arab, “dakwā” adalah ucapan seseorang: “Ini milikku.”

Dan terdakwa adalah siapa pun yang menyatakan bahwa ada hak milik orang lain padanya, baik di tangannya, hartanya, atau perkataannya. Bukan seperti yang kamu maksud.

(Ia berkata): Apa yang menunjukkan seperti yang kau katakan?

Kami katakan: Sesuatu yang aku tidak mengira seorang pun dari kalangan yang paham bahasa akan mengingkarinya.

Ia berkata: Lalu bagaimana dengan sabda Nabi : “Bukti atas yang mengklaim”?

Kami katakan: Sunnah dalam kasus netaj (kelahiran hewan) dan ijma‘ kaum muslimin bahwa apa yang di tangan seseorang dianggap miliknya hingga ada bukti sebaliknya, itu menunjukkan bahwa makna sabda Nabi “Bukti atas yang mengklaim” adalah bagi yang tidak memiliki sebab apapun selain klaimnya, dan “sumpah atas yang didakwa” adalah bagi yang tidak punya sebab kecuali klaim lisan.

Ia berkata: Mana contohnya?

Kami katakan: Ketika seseorang berkata kepada orang lain, “Kamu punya utang padaku,” atau, “Kamu melakukan sesuatu,” lalu orang itu menjawab, “Tidak ada utang padamu,” bukankah pernyataannya diterima dengan sumpahnya?

Ia berkata: Ya.

Kami katakan: Maka ini menunjukkan bahwa orang yang mengklaim kebebasan dari utang atau klaim adalah orang yang tidak dibebani bukti, meskipun dia disebut pengklaim.

Namun, yang tidak memiliki sebab apapun perlu membawa bukti.

Bayangkan jika seseorang mengklaim kebebasan dari utang atau hak lalu mengaku bahwa barang yang di tangannya adalah miliknya dan ada sebab untuk itu, apakah ia tetap diminta membawa bukti?

Ia berkata: Jika aku katakan ia adalah terdakwa, bukankah ia juga pengklaim?

Kami katakan: Jika begitu, ia bisa menjadi pengklaim dan terdakwa sekaligus dalam kasus yang sama. Ini menyalahi klaimmu sebelumnya.

[Masalah bila kedua belah pihak membawa bukti]

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika dua orang bersengketa atas suatu barang yang berada di tangan salah satu dari mereka, dan keduanya membawa bukti, maka bukti yang dipakai adalah bukti dari yang memegang barang.

Selama bukti itu sah digunakan dalam keputusan (misalnya dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan), maka bukti dari pihak lain tidak lebih kuat, sekalipun jumlah saksinya lebih banyak, karena nilai bukti minimal (yang sah) sudah mencukupi.

Dan meskipun sebagian saksi lebih unggul, kita tetap menerima yang minimal jika adil. Jadi kekuatan kedua bukti dianggap setara.

[Hewan peliharaan yang merusak]

Ia berkata tentang unta, sapi, dan hewan sejenis yang merusak tanaman:

“Tidak ada hukum had atau pengusiran terhadap binatang.”

Dan Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa kerusakan dari hewan ditanggung pemiliknya.

Nabi ﷺ juga menetapkan bahwa pemilik hewan wajib menjaga hewannya pada siang hari, dan jika hewan merusak pada malam hari, pemiliknya harus mengganti rugi.

Ini menunjukkan bahwa hewan tidak boleh dijual, diusir, atau dibunuh hanya karena merusak, melainkan pemiliknya yang bertanggung jawab.

[Pengakuan seseorang dan rincian ucapannya]

(Imam al-Syafi‘i  berkata):

Jika seseorang mengakui memiliki utang berupa emas, perak, barang, atau lainnya, lalu menyebutkan rincian seperti jenis barang atau tempo, maka yang dijadikan acuan adalah keseluruhan pengakuan, baik awal maupun akhirnya.

Misalnya ia berkata:

“Saya punya utang 1000 dirham berjenis hitam, atau dari Thabariyyah, atau Yaziidiyyah…” atau

“Saya punya budak dengan kriteria tertentu…” atau

“Saya punya utang makanan jenis tertentu…” atau

“Seribu dirham yang jatuh tempo setahun atau dua tahun.”

Maka seluruh ucapannya dianggap satu kesatuan, karena pengakuan itu hanya sah dengan lisannya, maka tidak bisa dipisah menjadi dua hukum.

Orang yang mengatakan bahwa tempo atau rincian adalah klaim tambahan yang butuh bukti, berarti harus mengatakan bahwa ketika dia menyebut “1000 dirham”, itu adalah uang lokal, dan jika ia menyambung dengan “Thabariyyah”, itu berarti dia mengurangi dari jenis dan bobotnya.

Begitu pula jika ia mengaku punya makanan, lalu menyebutnya “makanan hasil tahun ini”, maka ia dibebani makanan baru.

Jika ia mengatakan:

“Istriku ditalak tiga kecuali satu,”

maka jatuh talak tiga.

Jika ia berkata:

“Budak-budakku merdeka kecuali satu,”

maka semuanya merdeka.

Namun, jika ia berhenti bicara setelah berkata: “Saya berutang seribu dirham,” lalu kemudian menambahkan, “Maksudku kecuali sepuluh,” maka pengakuan pertama tetap sah, dan pengecualian tidak diterima.

Kalau pengecualan setelah diam diterima, maka akan memungkinkan melakukan itu setelah beberapa hari atau waktu.

Jika ia berkata:

“Aku berutang seribu dirham dari harga barang, atau titipan, atau pinjaman,”

dan berkata bahwa itu berjangka, maka hukumnya berjangka, kecuali pinjaman (salam) dan titipan: keduanya bisa diambil kapan saja.

[Hak pemilik untuk menarik kembali]

Pinjaman (salam) adalah pinjaman yang tidak ada imbalannya, maka boleh diambil kapan saja, begitu juga titipan dan semua bentuk peminjaman barang, pemiliknya boleh mengambilnya kapan pun.

Baik si pemberi tertipu atau tidak, tetap pemilik berhak menarik.

Namun etika yang baik adalah menepati janji.

[Utang dengan jatuh tempo dan bepergian]

Jika seseorang berutang kepada orang lain dengan tempo tertentu, lalu ia ingin bepergian, dan pihak yang memberi utang ingin menahannya atau meminta jaminan, maka:

Ia tidak berhak menahannya atau meminta jaminan.

Jika waktu jatuh tempo tiba, maka silakan tagih di mana pun orang itu berada.

Dan harta yang dipinjamkan tetap aman sesuai kesepakatan awal.

Kita tidak bisa menetapkan hak tambahan hanya karena ketakutan atas sesuatu yang belum terjadi.

[Jual beli dengan orang yang tidak mampu]

Jika seseorang menjual barang secara tempo, dan belum menyerahkannya karena tahu pembeli tidak mampu, maka:

Penjual dipaksa menyerahkan barangnya, dan akad tidak dibatalkan hingga jatuh tempo.

Bisa jadi pembeli menjadi mampu sebelum waktunya.

[Sengketa pernikahan]

Jika seorang lelaki mengklaim bahwa ia menikahi seorang wanita dengan wali, saksi, dan kerelaan, maka:

  • Wanita diminta bersumpah.
  • Jika ia bersumpah, tidak terbukti nikahnya.
  • Jika ia menolak, maka sumpah dikembalikan ke pria.
  • Jika pria bersumpah, maka nikah terbukti.
  • Jika tidak, maka tidak terbukti.

Demikian juga bila wanita yang mengklaim pernikahan, maka ia tidak diminta bersumpah hingga ia menyebut bahwa akadnya sah dengan wali dan dua saksi adil serta kerelaannya.

Jika ia tidak menyebut semua itu, tidak diminta bersumpah, sebab bila akadnya cacat, maka otomatis batal, dan tidak sah bersumpah atas sesuatu yang batal.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Jika seseorang mengaku bahwa ia telah memerdekakan budaknya dengan imbalan seribu (dirham), atau lebih, atau kurang, maka ditanyakan kepadanya. Jika ia berkata:

“Aku menjadikannya merdeka jika ia membayar seribu dirham kepadaku”,

maka dikatakan kepada budak itu:

“Jika kamu mau, bayarlah seribu dirham maka kamu merdeka, dan jika tidak, maka kamu tetap budak.”

Jika budak itu mengaku bahwa tuannya telah memerdekakannya secara mutlak tanpa imbalan, maka kami meminta tuannya bersumpah. Jika ia bersumpah, ia bebas dari tuduhan. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada budak. Jika budak bersumpah, maka ia merdeka.

Jika tuan berkata:

“Aku telah memerdekakannya secara mutlak, namun ia menjamin kepadaku seratus dinar sebagai imbalan”,

maka kami menetapkan kemerdekaan itu, dan menjadikan tuannya sebagai pengklaim terhadap seratus dinar. Kami hanya menerima pernyataan tuan jika ia mengatakan bahwa kemerdekaan itu belum terjadi, dan bahwa ia mengaitkan kemerdekaan dengan suatu syarat karena ia belum mengakui adanya kemerdekaan sebelumnya, melainkan mengaku kemerdekaan yang akan terjadi (dengan syarat). Jika budak menerima itu, maka ia merdeka. Jika ia tidak membenarkannya, maka tidak terjadi kemerdekaan sebagaimana disebutkan dalam kasus pertama.

Jika tuan berkata:

“Aku menjual dirinya kepadanya seharga seribu dirham”,

maka jika budak membenarkannya, ia merdeka dan ia berkewajiban membayar seribu dirham.

Jika budak mengaku bahwa ia dimerdekakan dan mengingkari utang seribu dirham, maka ia tetap merdeka, dan tuannya menjadi pihak yang mengklaim, dan budak harus bersumpah.

(Al-Rabi‘ berkata):

Dalam hal ini ada pendapat lain bahwa menjual budak kepada dirinya sendiri adalah tidak sah. Namun jika ia memberikan seratus (dirham), maka ia merdeka dengan syarat tersebut jika tuannya mengatakan:

“Jika kamu memberiku seratus, kamu merdeka”,

dan kemerdekaannya tidak terjadi karena jual beli, karena ia tidak sah dijual.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Demikian juga jika tuannya berkata:

“Aku telah membuat perjanjian mukatabah dengannya seharga seribu”,

lalu budak mengaku bahwa ia telah dimerdekakan.

Jika ada yang berkata:

“Bagaimana mungkin dia tetap sebagai budak padahal dia mampu memerdekakan dirinya sendiri dengan tindakan yang ia lakukan? Sementara jika tuannya memerdekakannya dan dia berkata, ‘Aku tidak menerima kemerdekaan’, maka dia tetap merdeka, dan tidak diberi pilihan untuk tetap menjadi budak.”

Maka dijawab:

Semua yang diakui oleh tuan bahwa kemerdekaan itu telah terjadi di masa lalu, maka itu adalah kemerdekaan yang tetap, tidak tergantung pada persetujuan budak. Seperti jika tuan berkata: ‘Aku menjualmu kepada seseorang dan dia memerdekakanmu’, maka dia merdeka dan tidak wajib membayar harga, kecuali jika ia mengakuinya.

Adapun kemerdekaan yang diklaim akan terjadi kemudian karena suatu tindakan yang dilakukan oleh budak, maka tidak terjadi kemerdekaan kecuali jika ia benar-benar melakukannya. Misalnya, tuan berkata kepada budak:

“Kamu merdeka jika kamu memberiku satu dirham”, atau

“Jika kamu masuk ke dalam rumah”, atau

“Jika kamu menyentuh tanah”, atau

“Jika kamu makan makanan ini”,

maka jika ia melakukan salah satu dari itu, ia merdeka. Jika tidak, maka ia tetap budak. Keputusan itu sepenuhnya berada di tangan budak.

Tuan pun berhak membatalkannya dengan menjualnya, dan membatalkan janjinya, karena kemerdekaan itu belum terjadi. Maka selama syarat itu belum dipenuhi, ia tetap budak.

Semua itu berbeda dengan perjanjian mukatabah, karena dalam perjanjian tersebut, budak memiliki hak atas harta yang dengannya ia bisa menjadi merdeka. Maka dalam hal ini, budak keluar dari status budak secara hukum meskipun belum merdeka sepenuhnya.

Jika tuan menetapkan waktu:

“Jika kamu melakukannya sebelum malam atau sebelum kita berpisah dari majelis”,

lalu budak melakukannya sebelum tuan menjualnya atau membatalkan janji, maka ia merdeka. Jika ia melakukannya setelah waktu berakhir, maka ia tidak merdeka. Jika tidak ada penetapan waktu, maka kapan pun ia melakukannya, ia merdeka. Jika ia awalnya berkata “aku tidak akan melakukannya” lalu melakukannya, ia tetap merdeka.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Jika seekor kambing atau unta atau hewan tunggangan milik seseorang mati, lalu ia menyewa seseorang untuk membuang bangkainya dengan imbalan kulitnya, maka sewa itu tidak sah.

Jika keduanya membatalkan sebelum bangkai dibuang, maka sewa dibatalkan. Jika telah dibuang, maka ia diberi upah yang setara, dan kulit dikembalikan kepada pemilik bangkai, jika ia mengambilnya dengan imbalan.

Jika ada yang bertanya:

“Mengapa sewa ini tidak sah?”

Jawabannya ada dua:

  1. Kulit bangkai tidak boleh diperjualbelikan sebelum disamak. Maka upah pun tidak boleh berdasarkan sesuatu yang tidak sah dijual.
  2. Karena meskipun kulit itu berasal dari hewan sembelihan, tidak sah menjualnya sebelum dikuliti, sebab bisa jadi rusak saat dikuliti, atau tidak dikenali oleh pemiliknya.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Jika seorang budak perempuan mengaku kepada tuannya bahwa ia adalah ummu walad, maka tuan diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, maka budak tetap miliknya. Jika ia menolak bersumpah, maka budak diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, maka ia menjadi ummu walad. Jika tidak, maka ia tetap budak.

Demikian pula jika seorang lelaki mengklaim bahwa seorang lelaki merdeka adalah budaknya, maka ia harus bersumpah seperti kasus ummu walad. Begitu pula semua kasus serupa berlaku demikian.

Aku (al-Syafi‘i) ditanya tentang menjual kotoran yang biasa digunakan sebagai pupuk untuk tanaman:

Tidak boleh menjual kotoran, kencing, atau najis apa pun, baik dari manusia maupun hewan.

Tidak ada satu pun dari makhluk hidup yang najis ketika hidupnya kecuali anjing dan babi, karena keduanya najis selama hidupnya, dan harga mereka tidak halal.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Ibn Abi Yahya menceritakan dari Abdullah bin Dinar dari Ibn Umar bahwa beliau dulu mensyaratkan kepada orang yang menyewa tanahnya agar tidak meminjamkannya kepada orang lain, dan ini terjadi sebelum Abdullah meninggalkan praktik sewa menyewa.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Tulang bangkai tidak boleh dijual.

Jika digunakan untuk membakar di bawah kuali atau semacamnya, aku tidak mengetahui adanya larangan memakan makanan yang dimasak di atasnya.

Tidak boleh memanfaatkan apa pun dari bangkai, kecuali kulit yang telah disamak.

Kalau bukan karena adanya riwayat (hadis) tentang kulit, maka tidak boleh juga memanfaatkannya.

Meskipun bisa dibenarkan secara akal bahwa penyamakan mengubah sifat kulit menjadi sesuatu yang berbeda:

  • Air bisa disimpan di dalamnya,
  • Tidak merusak air,
  • Bau bangkai hilang,
  • Sisa-sisa najis diserap dan hilang.

Adapun tulang dan rambut, maka keduanya tetap dalam keadaan semula, dan tidak ada proses seperti penyamakan yang bisa mengubah keduanya seperti kulit.

Dan bulu sama hukumnya dengan rambut.

 

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang berhak menuntut qishash terhadap orang lain karena pemotongan tangan, luka, atau nyawa—sementara ia adalah wali korban—lalu ia berkata kepada pelaku,

“Aku telah berdamai denganmu atas hakku atas qishash dengan ganti rugi (arsh),”

namun pelaku berkata:

“Aku tidak berdamai denganmu, qishash tetap hakmu. Jika kamu mau, ambillah; jika tidak, tinggalkan.”

Kami katakan kepada pengklaim adanya sulh (perdamaian):

“Pada dasarnya, kamu tidak butuh sulh, karena pada asalnya kamu punya pilihan antara menuntut qishash atau mengambil arsh sebagai pengganti. Maka pengakuanmu tidak membatalkan hakmu, selama pelaku mengingkarinya.”

Namun, jika seseorang mengaku bahwa ia hanya memiliki hak qishash dan tidak berhak menerima harta (ganti rugi), maka tidak gugur hak pelaku qishash hanya karena pengaku itu menyatakan telah menggugurkan haknya dengan menerima harta, sedangkan pelaku mengingkari adanya pembayaran. Maka pelaku bersumpah.

Jika seseorang mendatangkan bukti atas sesuatu yang berada di tangan orang lain, lalu orang yang dituntut meminta hakim untuk menyuruh lawannya bersumpah bersama bukti tersebut, maka permintaan sumpah tidak diterima apabila bukti yang ada adalah dua orang atau lebih.

Namun, jika ia berkata:

“Aku mengetahui bahwa harta itu telah diserahkan atau dialihkan dengan suatu cara kepada orang lain atau dari orang yang menyerahkannya kepadaku,”

maka ia diminta bersumpah, karena itu merupakan klaim lain yang berbeda dari substansi yang dibuktikan oleh saksi. Bisa jadi saksi benar dalam menyatakan bahwa harta itu miliknya, tapi ternyata pemilik telah memindahkannya, dan saksi tidak mengetahuinya. Maka sumpah itu berasal dari aspek lain.

Jika dua saksi menyatakan bahwa rumah itu adalah milik seseorang, ia mati, dan rumah itu diwariskan kepada Fulan dan Fulan, dan mereka menyatakan bahwa tidak ada ahli waris lain selain keduanya, maka kesaksian ini sah.

Namun seyogianya mereka menyatakan:

“Kami tidak mengetahui rumah itu keluar dari tangannya dan kami tidak mengetahui ahli waris selain keduanya,”

karena bisa jadi rumah itu telah berpindah kepemilikan tanpa sepengetahuan mereka, atau ada ahli waris lain tanpa sepengetahuan mereka.

Meskipun begitu, kami tetap menerima kesaksian secara tegas (al-batt), meski ada kemungkinan sebaliknya. Karena tegasnya kesaksian itu bermakna “ilmu” (keyakinan). Dan tidak ada saksi yang menyatakan demikian kecuali dengan ilmu.

Kalau tidak diterima, maka kesaksian akan menjadi sia-sia. Tidakkah engkau lihat bahwa kami menerima kesaksian seseorang yang berkata, “Rumah ini milik Fulan,” walaupun bisa jadi rumah itu bukan miliknya karena dia menjualnya, atau memperolehnya dari orang yang tidak sah, atau merampasnya?

Begitu pula kami menerima sumpah dalam qasamah (sumpah untuk pembunuhan) meskipun pihak yang bersumpah tidak menyaksikan kejadian, dan menerima klaim hak yang berasal dari budak atau anak seseorang, padahal bisa jadi hak itu tidak diketahui.

Mereka yang menyelisihi kami tetap menerima sumpah secara tegas, misalnya dalam kasus:

“Sungguh, aku telah menjual budak ini dalam keadaan tidak kabur dan bebas dari cacat,”

padahal bisa jadi budak itu kabur atau cacat tanpa sepengetahuan penjual.

Kami menerima kesaksian secara tegas (al-batt) maupun berdasarkan ilmu, sebab makna tegas adalah ilmu, karena tegas tidak mungkin terjadi kecuali dengan ilmu.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Seseorang boleh menyewakan rumahnya atau memperkerjakan budaknya sehari atau tiga puluh tahun. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.

Sebab jika ia boleh menyerahkan hak milik rumah atau budaknya kepada orang lain dengan imbalan atau tanpa imbalan, maka lebih layak lagi ia boleh menyerahkan manfaatnya. Dan manfaat itu lebih ringan dari kepemilikan penuh.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang mengakui kepada suatu kaum bahwa ayah mereka telah memberinya pinjaman, dan ia telah melunasinya, atau seseorang mengakui utang kepada seseorang di hadapan kaum tersebut sebagai bentuk pujian bahwa ia telah memberinya pinjaman dan ia telah melunasinya, maka (menurut al-Rabi‘) tidak ada jawaban yang jelas dalam hal ini.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang menyewa rumah dari orang lain dengan dua puluh dinar, dengan syarat bahwa jika rumah itu membutuhkan perbaikan maka biaya perbaikannya ditanggung dari dua puluh dinar tersebut oleh penyewa, maka aku membenci sewa seperti ini karena dua alasan:

  1. Penyewa bertindak sebagai pengurus untuk dirinya sendiri. Jika pemilik rumah ingin memperbaikinya dan melarang penyewa, maka dia telah mengingkari syaratnya. Jika kami memaksa pemilik untuk membiarkan penyewa memperbaiki, maka bisa jadi perbaikan itu dilakukan secara sembarangan, sedikit atau banyak, padahal tidak ada perjanjian jelas yang mengaturnya.
  2. Kadang rumah membutuhkan perbaikan yang tidak membahayakan penyewa jika ditunda. Maka tanggung jawab pemilik hanyalah memperbaiki kerusakan yang membahayakan penyewa.

Jika sewa dilakukan seperti ini, maka sewa dibatalkan, baik sebelum dihuni maupun sesudahnya, dan baik sebelum biaya dikeluarkan maupun setelahnya.

Jika penyewa telah mengeluarkan biaya kurang dari dua puluh dinar, maka klaimnya diterima dengan sumpah.

Jika mencapai dua puluh atau lebih, maka ia telah melampaui batas.

Jika ia memperbaiki sesuatu yang bukan bagian dari rumah, maka dikatakan kepadanya:

“Bongkarlah dan keluarkan jika kamu mau, atau tinggalkan. Tapi kamu tetap harus membayar sewa rumah sepadan karena kamu telah menghuninya.”

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang mengklaim bahwa suatu rumah yang berada di tangan orang lain adalah milik ayahnya, lalu ia mendatangkan saksi bahwa rumah itu adalah rumah ayahnya, maka yang paling benar dari sisi kesaksian adalah bahwa mereka bersaksi bahwa ayahnya telah meninggal dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan.

Jika mereka tidak menyatakan demikian, melainkan hanya bersaksi bahwa rumah itu adalah milik ayahnya dan ia memilikinya, tidak lebih dari itu, maka kami putuskan bahwa rumah itu milik ayahnya, namun tidak kami berikan warisannya kepada anaknya.

Jika ayahnya masih hidup, kami biarkan rumah tetap berada di tangan orang yang menguasainya, sampai sang ayah hadir atau menunjuk wakil, lalu kami lihat pernyataannya.

Jika ayahnya telah meninggal dunia, atau telah wafat pada saat saksi memberikan kesaksiannya, maka kami mewajibkan si anak mendatangkan bukti tentang jumlah ahli waris ayahnya, kemudian kami putuskan rumah itu kepada mereka sesuai bagian warisan masing-masing.

Jika ia hanya bisa membuktikan bahwa ayahnya wafat tanpa mendatangkan bukti jumlah ahli waris, maka kami tahan rumah itu dan hasil sewa (ghallah)-nya sampai ahli warisnya diketahui.

Jika semua ahli waris menuntut, maka rumah dan hasil sewanya diserahkan kepada mereka.

Namun jika sebagian dari mereka mengaku dan sebagian lainnya mendustakan para saksi, maka kami tolak bagian yang mendustakan saksi dari rumah dan hasil sewanya, dan kami serahkan bagian orang yang mengaku.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang berkata:

“Siapa pun yang masuk masjid, maka dia adalah anak pezina,”

maka sungguh buruk ucapannya itu. Namun, tidak ada hukuman had atasnya.

Jika masjid itu adalah masjid jami‘ yang digunakan untuk shalat berjamaah, maka ia layak diberi ta‘zir.

Alasan tidak dijatuhkannya hukuman had adalah karena ia tidak menujukan ucapannya secara khusus kepada seseorang, dan bisa saja orang yang masuk masjid bukanlah termasuk orang yang pantas dikenai hukuman karena fitnah (qadzaf).

Demikian pula, jika ia berkata:

“Siapa yang melemparku batu, atau mencaciku, atau memberiku dirham, atau membantuku, maka dia anak si fulan (anak zina),”

maka tidak ada had dalam hal ini, karena ucapannya bersifat umum dan menggantung pada perbuatan tertentu yang belum terjadi.

Ini sama seperti hukum pembebasan budak sebelum kepemilikan.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang terkena lemparan lalu terluka dengan luka yang membuka tulang (muḍīḥah), kemudian ia berkata:

“Siapa yang melemparku, maka dia anak si fulan (anak zina),”

lalu seseorang berkata:

“Akulah yang melemparmu,”

maka orang itu telah membenarkan tuduhan terhadap dirinya, dan ia wajib membayar diyat luka atau dikenai qishash jika dilakukan dengan sengaja, atau membayar arsh jika dilakukan karena kelalaian.

Namun, ia tidak dianggap telah mencemarkan nama baik orang itu (dengan tuduhan zina), jika si korban berkata:

“Aku tidak bermaksud menuduh dia secara khusus, dan aku tidak tahu bahwa dialah yang melempar.”

Maka cukup baginya untuk mengambil arsh luka dari orang tersebut karena pengakuannya.

Namun, jika korban berkata:

“Aku tahu dia yang melemparku, lalu aku menuduhnya setelah tahu,”

maka ia tidak bisa mengambil haknya atas luka tersebut, dan tidak dijatuhkan had atasnya.

Jika ada yang bertanya:

“Mengapa tidak dijatuhi had, padahal ucapan itu datang setelah perbuatan?”

Dijawab:

“Karena ucapannya tidak ditujukan sebagai tuduhan langsung (qadzaf).”

Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita terhormat yang menjaga kehormatannya tetapi tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah mereka delapan puluh cambukan.” (QS. an-Nūr: 4)

Ayat ini menunjukkan bahwa yang dikenai hukuman had adalah orang yang sengaja menuduh secara langsung, bukan orang yang ucapannya bersifat umum dan tidak menujukan secara langsung.

Contohnya: jika seseorang berkata:

“Jika ada seseorang datang dari Kufah saat ini juga, maka dia adalah anak si fulan,”

lalu benar-benar datang seseorang saat itu, maka tidak dijatuhkan had, karena ucapannya bersifat umum dan tidak ditujukan kepada orang tertentu.

Sama halnya jika seseorang berkata:

“Budakku merdeka jika dia memukulku,”

lalu ia dipukul, maka budak itu merdeka. Tapi jika ia berkata:

“Siapa yang memukulku, maka dia anak si fulan,”

lalu ada yang memukulnya, maka tidak dijatuhi had, karena itu bukan tuduhan qadzaf yang ditujukan secara langsung.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Tidak sah kesaksian perempuan bersama laki-laki maupun sendiri, kecuali pada dua keadaan:

  1. Jika mereka bersaksi pada urusan harta bersama seorang laki-laki,
  2. Atau mereka bersaksi sendiri dalam perkara khusus urusan perempuan yang tidak bisa disaksikan laki-laki.

Jika dua perempuan bersama satu laki-laki bersaksi bahwa mereka mendengar seseorang mengakui bahwa anak ini adalah anaknya, maka kesaksian mereka tidak diterima, karena hal ini tidak menetapkan harta kecuali setelah penetapan nasab.

Sementara, perempuan tidak boleh bersaksi dalam urusan nasab, dan tidak diterima kesaksiannya kecuali dalam dua hal yang telah disebutkan.

Jika nasab tidak terbukti, maka harta tidak diserahkan kepadanya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang mendatangkan bukti bahwa rumah yang berada di tangan orang lain adalah rumah ayahnya, yang meninggal sebagai Muslim merdeka dan meninggalkan rumah itu sebagai warisan,

tetapi kami tidak mengetahui jumlah ahli warisnya,

dan saksi menyebutkan bahwa orang ini adalah salah satu dari ahli warisnya,

maka kami putuskan rumah itu milik ayahnya, atas orang yang menguasainya sekarang.

Namun, kami menahan hak ahli waris yang tidak hadir, sampai mereka datang, menunjuk wakil, atau wafat dan digantikan oleh ahli waris mereka.

Kami menahan rumah tersebut dan menyewakannya,

namun tidak memberikan bagian apa pun kepada ahli waris yang hadir, karena kami tidak tahu apakah bagiannya adalah seluruh rumah, setengahnya, seperseperseratus, atau lebih kecil lagi.

Tidak boleh kami berikan kepadanya sesuatu yang belum pasti merupakan haknya.

Jika ia mendatangkan bukti, maka kami serahkan haknya sesuai dengan apa yang disaksikan, dan kami berikan bagian hasil sewanya juga.

Jika tidak ada bukti, maka statusnya tetap tergantung (mauqūf), baik waktu berlalu lama atau sebentar.

Jika ada yang bertanya:

“Bagaimana dengan seseorang yang wafat dan meninggalkan utang, lalu para penagih utangnya hadir dan membuktikan utangnya, serta bersumpah, sehingga utangnya sah—bagaimana Anda memutuskan bagi mereka padahal mungkin ada penagih lain dengan piutang lebih banyak yang belum hadir?”

Jawabannya:

Harta warisan berbeda dengan utang.

Jika ada yang bertanya:

“Di mana letak perbedaannya?”

Dijawab:

Utang melekat pada tanggungan (dzimmah) orang yang berutang, baik hidup maupun mati.

Ia wajib membayarnya selama hidupnya, dan demikian pula setelah mati.

Orang yang berutang tidak lepas dari tanggungannya kecuali jika melunasinya.

Kalau pun ia masih hidup dan membayar salah satu penagihnya saja, maka itu sah bagi penagih tersebut.

Utang adalah hak penuh dalam tanggungan (dzimmah), dan para penagih lebih berhak atas harta si mayit daripada para ahli warisnya.

Adapun ahli waris, mereka tidak memiliki hak kecuali atas sisa harta peninggalan setelah utang dilunasi.

Mereka tidak mendapatkan hak dari sesuatu yang masih dalam tanggungan si mayit.

Kalau tidak ada sisa, mereka tidak dapat apa-apa, dan si mayit tidak berdosa karena tidak ada warisan untuk mereka, berbeda dengan utang.

Jadi, ketika mereka tidak memiliki hak langsung terhadap si mayit,

dan harta hanya diberikan sesuai ketentuan Allah —tidak boleh lebih atau kurang—

maka tidak sah menetapkan hak milik atas salah satu dari mereka kecuali setelah jelas bagian masing-masing.

Jika hal ini sampai kepada hakim, maka hakim wajib menelusuri dan menulis surat ke negeri tempat si mayit tinggal, untuk mencari tahu ahli warisnya.

Jika tidak ditemukan, maka hartanya tetap tergantung (mauqūf).

Kami minta orang yang menuntut warisan menghadirkan seorang yang dipercaya, yang dapat menahan harta tersebut dengan jaminan.

Jika ia menjamin, maka harta bisa diserahkan kepadanya,

dan itu bukan kezaliman bagi ahli waris yang datang kemudian,

juga bukan penahanan terhadap ahli waris yang telah hadir.

Jika harta ditahan dengan jaminan oleh orang tepercaya, itu lebih baik bagi ahli waris yang belum hadir dibandingkan jika hanya dianggap sebagai amanah.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang mendatangkan bukti bahwa ayahnya telah wafat dan meninggalkan rumah ini,

dan ia satu-satunya ahli waris, maka hakim boleh memutuskan rumah itu untuknya,

dan tidak perlu meminta penjamin darinya.

[Bab Gugatan dalam Jual Beli]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang menjual seorang budak atau barang lainnya kepada orang lain, dan ternyata jual belinya tidak sah (haram), lalu pembeli telah menerima barang yang dibelinya, kemudian barang itu rusak atau binasa di tangannya, maka ia wajib mengembalikan nilainya (harga pasarnya).

Sebab, penjual tidak menyerahkan barang itu kepadanya kecuali dengan imbalan, dan karena imbalannya (yakni akad jual belinya) tidak sah, maka pembeli harus mengembalikan barang yang ia ambil, karena tidak menyerahkan imbalan kepada penjual.

Dan asalnya bukan berupa titipan (amanah).

Jika ia menjual seorang budak kepada pembeli dengan syarat adanya hak khiyār (pilihan membatalkan) bagi pembeli,

lalu pembeli menerima budak itu, kemudian budak itu meninggal di tangannya sebelum ia memilih untuk menetapkan atau membatalkan jual beli, atau sebelum berakhir masa khiyār, maka ia wajib mengganti dengan nilai budak tersebut (yakni: membayar harganya).

Jika ada yang bertanya:

“Apakah jual beli itu dianggap sah walaupun masih dalam masa khiyār?”

Maka dijawab:

Jual beli itu pada dasarnya sah dan halal.

Jika pembeli memerdekakan budak itu, maka merdekanya sah.

Jika budak itu perempuan dan halal digauli, maka boleh digauli.

Jika ingin menjualnya lagi, maka boleh, karena ia telah menjadi milik penuh secara hukum.

Namun, pembeli memiliki hak untuk mengembalikan budak itu karena adanya syarat khiyār.

Oleh karena itu, penerimaan terhadap budak itu bukan sebagai amanah atau hibah,

melainkan dengan syarat ia akan membayar harga kepada penjual,

atau mengembalikan budak itu.

Dan ia tidak mengambilnya dalam akad yang haram, melainkan dalam jual beli yang sah.

Jadi, ketika seseorang mengambil barang melalui jual beli yang tidak sah (haram),

maka ia tetap wajib mengembalikan barang atau nilainya,

karena ia tidak mengambil barang itu sebagai hibah atau amanah,

tetapi dengan imbalan (yang tidak sah),

maka ketika imbalan itu tidak menjadi hak penjual,

maka barang harus dikembalikan jika masih ada,

dan jika sudah rusak atau binasa, maka harus dibayar nilai pasarnya.

Hal ini berlaku baik jika pembeli yang memiliki khiyār,

ataupun penjual,

atau keduanya,

karena penjual tidak pernah menyerahkan budaknya kecuali dengan syarat bahwa ia akan mendapatkan kembali budaknya atau mendapatkan harga.

Kami tidak menetapkan harga (tsaman) kepada penjual, tetapi hanya mengganti nilainya (qīmah),

karena harga itu tidak menjadi haknya secara pasti sebab masih dalam masa khiyār.

Ketika hak itu belum pasti menjadi milik penjual, maka kami kembalikan kepada nilai (harga pasar) budak tersebut.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang laki-laki memiliki istri dan seorang anak darinya, lalu istri tersebut memiliki seorang saudara laki-laki, kemudian mereka berselisih di hadapan hakim. Mereka sepakat bahwa istri dan anak tersebut telah meninggal dunia, namun mereka berselisih tentang urutan kematian.

Saudara laki-laki istri berkata:

“Anak itu mati duluan, baru ibunya mati, maka suaminya (yakni suami si wanita) tidak mendapatkan warisan apapun.”

Sementara sang suami berkata:

“Istriku (ibunya si anak) meninggal lebih dahulu, maka anakku berhak atas warisan dari ibunya, lalu anakku meninggal, maka engkau (wahai saudara istriku) tidak punya hak atas warisan anakku.”

Dan tidak ada bukti dari keduanya.

Maka dalam kasus seperti ini, perkataan saudara laki-laki istri yang dibenarkan, dengan sumpah, karena dia sekarang masih hidup dan saudara perempuannya sudah meninggal, sehingga secara yakin dia adalah ahli warisnya, dan orang yang mengaku bahwa dia terhalang dari warisan (karena anak masih hidup lebih dulu) harus mendatangkan bukti.

“Kami tidak akan menghapus keyakinan (warisan saudara) dengan sangkaan (pernyataan suami).”

Jika anak itu meninggalkan harta, lalu saudara ibunya berkata:

“Aku akan mengambil bagian dari warisan saudara perempuanku (ibunya si anak) melalui warisan anaknya.”

Maka dalam hal ini, saudara tersebut adalah pihak yang mengklaim, karena dia hendak mengambil sesuatu yang masih bersifat kemungkinan, sehingga ia wajib mendatangkan bukti, dan sumpah berada pada pihak ayah (suami).

Kasus Waris karena Perbedaan Agama

Jika hadir dua orang bersaudara, satu Muslim dan satu Nasrani, lalu mereka sepakat bahwa ayah mereka telah wafat dan meninggalkan rumah sebagai warisan. Lalu:

  • Si Muslim berkata: “Ayah kami wafat dalam keadaan Muslim.”
  • Si Nasrani berkata: “Ayah kami wafat dalam keadaan Nasrani.”

Jika mereka sepakat bahwa ayah dulunya Nasrani, kemudian si Muslim berkata:

“Beliau masuk Islam setelah itu.”

Maka warisan diberikan kepada anak Nasrani, kecuali jika si Muslim bisa mendatangkan bukti bahwa ayahnya masuk Islam dan wafat dalam keadaan Muslim.

Jika si Muslim berkata:

“Sejak awal beliau selalu Muslim,”

dan si Nasrani berkata:

“Beliau tetap Nasrani,”

maka warisan dihentikan sementara (mauquf) hingga jelas atau mereka berdua sepakat.

Jika si Nasrani menghadirkan dua saksi Muslim yang bersaksi bahwa ayahnya adalah Nasrani dan wafat dalam keadaan Nasrani, maka warisan diberikan kepada anak Nasrani.

Jika masing-masing menghadirkan saksi atas klaimnya, maka ada dua pendapat:

Pendapat Pertama (seperti pendapat ulama Madinah dan Said bin al-Musayyib, dari Nabi , dan dipraktikkan oleh Marwan, Ibn al-Zubayr, serta riwayat dari ‘Ali رضي الله عنه):

  • Dilakukan undian (qur‘ah) antara dua orang yang berselisih.
  • Siapa yang keluar namanya dalam undian, diambil sumpahnya, dan diberikan warisan.

Dalilnya:

  • Karena keduanya setara dalam klaim dan bukti, dan pasti salah satunya dusta, maka digunakan metode undian sebagaimana:
    • Nabi ﷺ melakukan undian antara dua budak yang dimerdekakan.
    • Nabi ﷺ melakukan pembagian di Khaibar kemudian mengundi.
    • Nabi ﷺ melakukan undian di antara istri-istrinya.

Pendapat Kedua:

  • Warisan dibagi dua sama rata di antara keduanya, karena:
    • Bukti dan klaim seimbang, tidak ada yang lebih kuat.
    • Maka diberikan secara adil, seperti metode ‘awl (proporsionalitas) dalam ilmu faraid.

Namun bagi yang menolak pendapat ini (yakni membagi dua), mereka berargumen:

  • Kedua saksi tersebut bertentangan secara total.
  • Salah satunya pasti dusta, dan secara pasti kita tahu, memberikan separuh warisan kepada yang tidak berhak adalah kezaliman yang disengaja.
  • Dalam undian, meskipun bisa salah, niatnya adalah ijtihad untuk menegakkan keadilan, bukan membagi batil dengan sengaja.
  • Maka kesalahan ijtihad dimaafkan, sementara kesengajaan memberikan hak kepada yang tidak berhak tidak dapat dibenarkan.

Penutup

Imam al-Syafi‘i berkata:

“Dalam hal ini aku meminta petunjuk kepada Allah, dan aku berhenti di tengah (waqf).”

Kemudian beliau berkata:

“Kami tidak memberikan warisan kepada salah satu dari keduanya, namun kami **menunda (menahan) warisan sampai mereka berdamai (ishlāh).”

(Al-Rabi‘ berkata: Ini adalah pendapat terakhir dari Imam al-Syafi‘i dan merupakan pendapat yang paling benar.)

Bab: Sengketa atas Harta yang Tidak di Tangan Pihak Penggugat

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang mengklaim bahwa orang lain telah merampas budaknya, atau bahwa budak itu berada di tangan tergugat karena pembelian tidak sah atau alasan kepemilikan lain yang tidak valid, dan budak itu tidak hadir di pengadilan, maka:

  • Diterima kesaksian atas budak tersebut berdasarkan sifat, nama, dan jenisnya.
  • Namun putusan tidak dijatuhkan sampai budak itu dihadirkan, dan kesaksian diulang kembali secara spesifik pada budak tersebut bahwa:

“Budak inilah yang kami saksikan sifatnya sebelumnya.”

  • Jika hal ini terjadi, maka hakim menetapkan kepemilikan atas budak tersebut kepada pihak penggugat.

Alasan diterimanya kesaksian awal adalah untuk meringankan beban pihak yang tidak punya budaknya di tangan (yaitu penggugat), dan karena bisa jadi pihak tergugat mengakui bahwa budak itulah yang dimaksud dalam kesaksian.

Sengketa Dua Orang atas Harta yang Tidak Dipegang Keduanya

Jika dua orang bersengketa atas suatu barang yang tidak berada di tangan mereka berdua, dan masing-masing membawa saksi, maka terdapat dua pendapat:

  1. Pendapat pertama (dengan undian/قرعة):
    • Diundi siapa yang mendapatkan bagian.
    • Pemenang undian disumpah bahwa saksi-saksinya berkata benar, lalu diputuskan hak milik kepadanya, dan hak lawan gugur.

Ini merupakan pendapat:

  • Said bin al-Musayyib (meriwayatkannya dari Nabi ﷺ),
  • Dipegang oleh sebagian ulama Kufah,
  • Muroqon bin Hakim (al-Awqash) juga mengamalkannya,
  • Demikian pula Mervan bin al-Hakam dan Abdullah bin Zubair, serta riwayat dari Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه.
  1. Pendapat kedua:
    • Harta tersebut dibagi dua karena masing-masing punya bukti sama kuat.

(Al-Rabi‘ mengatakan) Ada juga pendapat ketiga:

Jika tidak berada di tangan siapa pun, maka harta dihentikan (dihold) sampai mereka berdamai.

Jika berada di tangan keduanya, maka dibagi dua.

Sengketa atas Tanah yang Dipegang Tergugat

Jika seseorang mengklaim bahwa sebidang tanah yang berada di tangan orang lain adalah miliknya, dan ia mengajukan saksi yang adil, maka:

  • Hakim menahan tanah tersebut dan mencegah tergugat menjualnya sampai keputusan dibuat.
  • Jika pengadilan memenangkan penggugat, maka:
    • Tanah dikembalikan padanya,
    • Hasil panen (غَلَّة) sejak hari kesaksian juga menjadi miliknya.

Namun:

  • Jika saksi tidak adil, atau tidak mengandung bukti kuat, maka:
    • Tanah tetap berada di tangan tergugat,
    • Tidak dianggap “milik yang disengketakan”,
    • Dan tergugat tidak dicegah mengelolanya,
    • Hanya saja disarankan tidak membuat perubahan besar di atasnya.

Sengketa atas Tanaman

Jika dua orang mengklaim tanaman yang tumbuh di atas tanah milik orang lain, maka:

  1. Jika pemilik tanah mengatakan bahwa ia sendiri yang menanam, maka:
    • Kata-katanya diterima dengan sumpah.
  2. Jika ia berkata:

“Aku memang mengizinkan mereka berdua menanam, tapi aku tidak tahu siapa di antara mereka yang menanamnya.”

Maka:

  • Jika keduanya membawa bukti, maka:
    • Berlaku seperti kasus dua orang yang bersengketa atas sesuatu yang tidak berada di tangan siapa pun (seperti penjelasan sebelumnya: bisa undian, dibagi dua, atau ditahan).
  • Jika hanya salah satu membawa bukti, maka:
    • Yang membawa bukti menang.
  • Jika keduanya mengatakan bahwa tanaman itu berada di tangan mereka berdua, dan pemilik tanah tidak mengklaim, maka:
    • Mereka saling bersumpah,
    • Dan tanaman dibagi dua.

(قال الشافعي – -) : Jika seseorang mendatangkan bukti bahwa seorang budak perempuan adalah miliknya, dan orang lain pun mendatangkan bukti yang sama dan bahwa budak tersebut telah melahirkan anak darinya, maka menurut pendapat yang menggunakan undian, dilakukan undian di antara keduanya. Jika hasil undian menyatakan budak itu milik orang yang darinya budak itu melahirkan, maka ia menjadi miliknya dan tidak ada kewajiban atasnya. Namun jika hasil undian menyatakan budak itu milik pihak lain, maka budak itu menjadi miliknya dan ia dapat menuntut lawannya atas nilai anak budak tersebut pada hari kelahiran dan atas ganti rugi hubungan.

Jika kondisi kasusnya sama, tetapi budak perempuan itu sendiri yang mendatangkan bukti bahwa ia milik seseorang yang sedang tidak hadir dan yang tidak darinya ia melahirkan anak, maka budak itu ditahan dari orang yang memegangnya sekarang dan diserahkan kepada orang yang dipercaya hingga tuannya hadir dan mengklaimnya, sehingga ia bisa menjadi pihak dalam perkara, atau ia membantah bukti tersebut sehingga tidak menjadi pihak. Maka budak itu tetap milik orang yang memegangnya karena bukti itu hanya menunjukkan hak kepada pihak yang tidak hadir.

Adapun yang tidak menggunakan metode undian, maka ia memutuskan budak itu dimiliki bersama oleh keduanya secara setengah-setengah. Pihak yang tidak memegang budak itu membayar setengah dari ganti rugi hubungan, setengah dari nilai anak budak pada saat lahir, dan setengah dari nilai budak itu. Budak itu kemudian dianggap sebagai “umm walad” bagi pihak yang darinya ia melahirkan.

Jika ada yang berkata: dari mana muncul kewajiban ganti rugi hubungan padahal yang berhubungan tidak melakukannya dengan dasar akad nikah? Maka dijawab: jika aku tidak menetapkan ganti rugi kecuali pada orang yang berhubungan atas dasar akad nikah yang sah atau rusak (fasid) yang mewajibkannya sebelum hubungan bahwa dia menikahi wanita yang ia gauli, maka aku harus mengatakan bahwa jika dua orang pria menikahi dua saudara perempuan lalu salah masing-masing menggauli istri saudaranya karena tertukar, maka tidak ada ganti rugi bagi keduanya. Padahal masing-masing tidak menikahi wanita yang ia gauli baik dengan nikah sah maupun fasid. Ketika masing-masing wanita ini mendapatkan mahar berdasarkan dalil (atsar), maka kami jadikan dalil tersebut sebagai dasar bahwa mahar itu diberikan kepada wanita selama hukuman zina gugur darinya, yakni bahwa ia bukan pezina.

Sebagaimana dalam kasus seorang pria memperkosa wanita lalu menggaulinya, maka ia wajib memberikan mahar padanya. Apa yang aku katakan ini bukan karena ada atsar dari seorang yang ucapannya menjadi hujjah atau karena ijma’, tetapi karena aku mendapati bahwa mahar adalah hak wanita. Ketika wanita tersebut dalam hubungan ini tidak dijatuhi hukuman zina karena ia bukan pezina, meskipun laki-lakinya pezina, maka aku menetapkan mahar untuknya, meskipun statusnya lebih lemah dibanding wanita pertama, karena wanita pertama dan yang menggaulinya bukan pezina, sedangkan laki-laki yang memperkosa adalah pezina.

Maka ketika aku menetapkan hukum ini pada wanita yang tertukar (mukhtho’ biha) dan yang diperkosa, serta dalam nikah fasid, maka budak perempuan dan wanita merdeka sama kedudukannya. Dimana pun mahar wajib atas salah satunya, maka wajib pula atas yang lainnya. Karena Allah عز وجل berfirman, “Berikanlah kepada wanita mahar mereka sebagai pemberian wajib.” (QS. An-Nisa: 4)

Tidak halal seorang pun setelah Nabi ﷺ menikahi budak atau wanita merdeka kecuali dengan mahar. Ketika keduanya setara dalam nikah sah dan nikah fasid, lalu kami tetapkan bahwa kekeliruan (khatha’) dan pemerkosaan juga mewajibkan mahar sebagaimana nikah sah, maka demikian pula halnya pada budak perempuan dalam setiap kasus tersebut. Maka siapa yang membedakan keduanya, ia telah membedakan dua hal yang Allah عز وجل telah menyamakannya, dan menyelisihi qiyas yang selaras dengan apa yang Allah سبحانه وتعالى samakan dalam hal mahar.

[Bab: Sengketa atas Anak]

(قال الشافعي – -) : Jika seorang anak yang ditemukan (anak terlantar) dipersengketakan oleh seorang laki-laki merdeka dan seorang budak yang keduanya Muslim, serta seorang dzimmi merdeka dan budak, maka tidak ada perbedaan antara mereka sebagaimana tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal lain yang mereka sengketakan yang termasuk milik mereka. Maka anak itu dilihat oleh ahli qiyāfah (ilmu pencocokan fisik). Jika ahli qiyāfah menetapkannya sebagai anak salah satu dari mereka, maka dia menjadi anaknya dan tidak boleh dinisbatkan selain kepadanya, dan anak itu pun tidak boleh menolak nasab kepadanya dalam keadaan apa pun.

Namun jika ahli qiyāfah menetapkan bahwa anak itu mirip dengan dua orang atau lebih, atau tidak ada ahli qiyāfah, atau ada tapi tidak dapat mengenali, maka anak itu tidak menjadi anak salah satu dari mereka hingga ia baligh dan memilih kepada siapa ia ingin menisbatkan diri. Setelah ia memilih, gugurlah klaim yang lain, dan orang yang ia nisbatkan diri kepadanya tidak boleh menolak nasab itu. Anak itu tetap dianggap merdeka dalam semua keadaan karena anak terlantar adalah merdeka, dan kami menetapkannya sebagai merdeka karena tidak diketahui statusnya, dan hukum asal manusia adalah merdeka hingga terbukti bahwa mereka budak.

Seandainya seseorang berkata: “Ia adalah anakku dari seorang budak perempuan yang aku nikahi,” maka hal itu tidak menjadikan anak itu milik tuan budak tersebut kecuali bila terbukti bahwa ibunya adalah budak milik orang itu. Pengakuan orang lain tidak mengikat atasnya.

Cukup satu orang ahli qiyāfah karena ini adalah tempat keputusan dengan ilmu, bukan tempat kesaksian. Jika ia termasuk tempat kesaksian, maka tidak cukup kecuali dua orang saksi, dan tidak diterima kesaksian dua orang atas sesuatu yang tidak mereka saksikan atau lihat secara langsung. Tapi ini seperti ijtihad seorang hakim yang berilmu dan bisa dijalankan sebagaimana ijtihad itu dijalankan. Tidak perlu ada ahli qiyāfah kedua, tetapi ahli qiyāfah yang dihadirkan haruslah orang yang terpercaya.

Jika para pengklaim anak itu telah meninggal atau sebagian dari mereka, maka dihadirkan kerabat-kerabat mereka. Maka dihadirkan kerabat yang paling dekat nasabnya, bentuk tubuhnya, usianya, dan kampung halamannya dengan anak tersebut. Kemudian dipisahkan para pengklaimnya, lalu diperintahkan ahli qiyāfah untuk menetapkan kepada siapa anak itu dinisbatkan sebagai ayahnya atau kepada kerabat ayah terdekat jika tidak ada ayahnya. Jika ibunya hadir, maka dihadirkan pula kerabat yang paling dekat dengannya sebagaimana dijelaskan tadi. Lalu dimulai dengan menetapkan kepada ibunya, karena ahli qiyāfah dapat mengenali juga pada ibu, dan untuk menilai ketepatan penetapannya terhadap ayah, jika ia benar pada ibu. Jika salah pada ibu, itu menunjukkan kesalahan dalam menilai ayah.

Sebagian orang berbeda pendapat tentang qiyāfah dan berkata bahwa qiyāfah itu batil. Maka kami sebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah mendengar Mujazziz ad-Dalaji, saat ia melihat kaki Usamah dan ayahnya Zaid yang wajahnya tertutup, ia berkata: “Sesungguhnya kaki-kaki ini berasal dari satu orang.” Nabi ﷺ merasa senang mendengarnya dan menceritakannya kepada ‘Aisyah.

Mereka berkata: Itu bukanlah hukum. Kami menjawab: Meskipun tidak menunjukkan adanya hukum, tapi itu menunjukkan bahwa Nabi ﷺ menyetujuinya dan menganggapnya sebagai ilmu. Karena jika itu sesuatu yang tidak layak dijadikan dasar hukum, tentu Nabi ﷺ tidak akan merasa senang dan tidak akan menceritakannya, dan tentu akan melarangnya jika ia akan keliru pada kasus lain. Mereka berkata: “Adakah riwayat lain?” Kami menjawab: Ya.

Diriwayatkan oleh Ibn ‘Ulayyah dari Ḥumayd dari Anas bahwa ia pernah ragu terhadap anaknya, lalu ia memanggil ahli qiyāfah. Diriwayatkan juga oleh Anas bin ‘Iyāḍ dari Hisyām dari ayahnya dari Yaḥyā bin ‘Abdur-Raḥmān bin Ḥāṭib bahwa dua orang laki-laki mempersengketakan seorang anak, lalu ‘Umar memanggil ahli qiyāfah, dan mereka berkata: “Keduanya memiliki kemiripan.” Maka ‘Umar berkata kepada anak itu: “Pilihlah siapa di antara mereka yang engkau inginkan sebagai ayahmu.”

Diriwayatkan pula oleh Mālik dari Yaḥyā bin Sa’īd dari Sulaimān dari ‘Umar dengan makna yang serupa. Diriwayatkan pula oleh Muṭarrif bin Māzin dari Ma’mar dari az-Zuhrī dari ‘Urwah dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb serupa maknanya.

Mereka berkata: “Kami tidak mengatakan demikian, kami berpendapat bahwa ‘Umar berkata: Dia adalah anak kalian berdua, ia mewarisi dari kalian, dan dia menjadi milik yang masih hidup di antara kalian.” Maka aku berkata: “Jika engkau meriwayatkan bahwa ‘Umar memanggil ahli qiyāfah, padahal kamu mengatakan tidak boleh memanggil ahli qiyāfah, maka itu saja sudah membatalkan pendapatmu.”

Mereka menjawab: “Kami meriwayatkan bahwa ia adalah anak dari keduanya, dan itu berbeda dengan yang kalian riwayatkan.” Kami katakan: “Dan kamu pun menyelisihi riwayat itu.” Mereka berkata: “Mengapa kalian tidak mengikuti pendapat itu?” Kami menjawab: “Karena itu tidak sahih dari ‘Umar. Sanad hadits Hisyām itu bersambung dan lebih kuat menurut kami dan menurut kalian daripada hadits yang terputus. Hadits yang kamu riwayatkan itu mursal, sedangkan riwayat Sulaimān bin Yasār dan ‘Urwah lebih kuat dalam meriwayatkan dari ‘Umar daripada yang kamu riwayatkan.”

Mereka berkata: “Kamu telah menyelisihi ‘Umar dalam putusannya bahwa anak itu menjadi milik dua orang.” Aku menjawab: “Bukankah engkau sendiri mengklaim bahwa ‘Umar memutuskan bahwa anak itu menjadi milik keduanya dalam konteks harta warisan?” Mereka menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Begitulah juga.”

(قال الشافعي – -) : Aku berkata: “Engkau mengklaim bahwa jika seorang laki-laki merdeka Muslim, seorang budak Muslim, dan seorang dzimmi memperebutkan seorang anak, maka anak itu dinisbatkan kepada laki-laki merdeka Muslim karena keislamannya. Namun engkau juga mengklaim bahwa jika yang memperebutkan adalah budak Muslim dan dzimmi, maka anak itu dinisbatkan kepada dzimmi karena kemerdekaannya. Maka engkau telah membuat keputusan yang berbeda-beda, sekali berdasarkan Islam dan sekali lagi seolah menjatuhkan Islam, dan engkau mendahulukan kemerdekaan atas Islam. Padahal engkau juga mengklaim bahwa jika mereka bersengketa atas harta, maka engkau akan menyamakan mereka semua. Jika engkau beralasan bahwa ini adalah hukum harta, dan hal itu didasarkan pada keputusan Umar, maka sungguh engkau telah menyelisihinya sebagaimana yang telah kami jelaskan.”

Ia menjawab: “Kami mengatakan itu karena pertimbangan terhadap kepentingan si anak.” Maka kami katakan: “Engkau mengatakan sesuatu yang bukan berdasarkan qiyas maupun atsar, bahkan pendapatmu pun saling bertentangan. Coba bayangkan, jika engkau diberi izin untuk menetapkan hukum atas dasar pertimbangan bagi si anak, maka jika si anak diperebutkan oleh seorang khalifah, orang dengan nasab termulia, paling kaya, paling saleh, dan terbaik akhlaknya, serta oleh orang yang paling hina, paling buruk nasabnya, paling bodoh, paling rusak agamanya, dan paling miskin—apakah engkau akan menyamakan mereka dalam perkara ini?” Ia menjawab: “Apakah aku harus menyamakan mereka semua?” Kami katakan: “Jika begitu, maka tidak bisa kami terima bahwa engkau membuat keputusan atas dasar ‘pertimbangan bagi si anak’, karena jika engkau sungguh mempertimbangkan kebaikan bagi si anak, tentu engkau akan memilih orang yang paling baik untuknya.”

Ia berkata: “Bisa jadi yang satu membaik dan hartanya bertambah, sementara yang lain menjadi rusak dan hartanya berkurang.” Kami katakan: “Demikian pula halnya, bisa jadi si budak merdeka, dan si dzimmi masuk Islam, lalu keduanya menjadi lebih baik daripada orang yang engkau tetapkan sebagai bapaknya sebelumnya.”

Ia berkata: “Di mana lagi aku menyelisihi dalam hal ini selain pada kasus itu?” Aku berkata: “Engkau mengklaim bahwa Abu Yusuf – rahimahullah – berkata, ‘Aku memutuskan anak itu bagi dua orang berdasarkan atsar, demikian pula bagi tiga orang karena tiga itu seperti dua. Tapi jika yang bersengketa empat orang atau lebih, maka aku tidak memutuskan anak itu untuk salah satu pun dari mereka.'” Ia berkata: “Itu semua keliru, dan aku telah meninggalkannya.” Kami berkata: “Silakan katakan yang engkau kehendaki.” Ia berkata: “Aku mengklaim bahwa dua dan tiga itu sama, aku memutuskan anak itu untuk mereka semua.” Kami berkata: “Seperti memutuskan perkara harta?” Ia menjawab: “Ya.” Kami bertanya: “Jika si anak meninggal dan ada seratus orang yang bersengketa, apa yang kau lakukan?” Ia menjawab: “Setiap orang dari mereka mewarisi satu bagian dari seratus bagian warisan ayah, karena keayahannya terhadap anak itu juga terbagi demikian.”

Kami bertanya: “Bagaimana jika salah satu dari ayah itu meninggal dunia?” Ia menjawab: “Maka anak itu mewarisi warisan seorang anak penuh darinya.” Aku berkata: “Bagaimana mungkin ia mewarisi warisan seorang anak penuh, padahal keayahannya hanya sepertusatus bagian? Maka engkau mewariskannya bukan berdasarkan aturan warisan yang berlaku. Sesungguhnya kaum Muslimin mewarisi anak dari ayah sebagaimana mereka mewarisi ayah dari anak. Bagaimana engkau mengklaim bahwa jika si anak meninggal, maka ia menjadi anak dari sembilan puluh sembilan orang ayah, lalu anak-anak dari orang yang meninggal itu tidak mewarisi karena mereka bukan saudara si anak, dan keturunan si anak tidak mewarisi karena mereka bukan keponakan—lalu bagaimana bisa engkau menjadikannya seorang ayah untuk suatu waktu, lalu memutus keayahannya pada waktu yang lain? Pernahkah engkau melihat makhluk seperti ini sebelumnya?”

Ia menjawab: “Aku hanya mengikuti pendapat Umar yang berkata, ‘Anak itu menjadi milik yang masih hidup di antara kalian.'” Kami berkata: “Riwayat itu dari Umar tidak sahih, sebagaimana telah kami jelaskan. Dan jika pun itu sahih, maka pendapat yang lebih utama di antara dua pendapat yang berbeda dari Umar adalah yang paling mendekati qiyas dan akal. Dan baik menurut kami maupun menurutmu, qiyas dan akal yang sesuai dengan Kitab Allah ‘azza wa jalla dan sabda Rasulullah ﷺ serta konsensus kaum Muslimin adalah bahwa tidak ada anak yang memiliki dua orang ayah, dan tidak mewarisi dari dua orang karena keayahannya.”

“Dan jika Umar berkata sebagaimana yang engkau katakan: ‘Anak itu milik yang masih hidup di antara kalian,’ maka ia telah memutus keayahan dari orang yang telah meninggal, dan anak itu tidak mewarisinya, karena warisan hanya terjadi setelah kematian. Jika kematian memutus keayahan, maka tidak ada lagi keayahan, dan tidak ada warisan. Jika anak itu tetap diwarisi, maka ia harus mewarisi sebagaimana warisan dari seorang ayah biasa, yakni hanya sebagian, bukan keseluruhan.”

Aku berkata kepadanya: “Begitulah juga setiap kali satu dari seratus orang itu meninggal, hingga hanya tersisa satu ayah.” Ia berkata: “Ya.” Aku bertanya: “Apa pendapatmu jika ada orang yang belum pernah belajar ilmu, lalu mengklaim bahwa anak itu kadang-kadang menjadi anak seratus orang, dan kadang menjadi anak satu orang, lalu membedakan antara seratus dan satu, bukankah engkau akan berkata kepadanya, ‘Engkau tidak layak berbicara dalam ilmu, karena engkau tidak tahu apa yang engkau katakan’?” Ia menjawab: “Tidak samar bagi kami bahwa qiyas sebagaimana yang engkau sebutkan, dan itu lebih baik dari pendapat kami, namun kami mengikuti atsar, dan dalam atsar tidak ada selain kepatuhan.” Kami berkata: “Atsar sebagaimana yang kami sebutkan, karena engkau tidak menyelisihi kami bahwa yang bersambung (mawṣūl) itu lebih kuat daripada yang terputus (munqaṭi‘), dan atsar kami bersambung. Dan jika kedua atsar itu sama-sama terputus, maka dasar dari pendapat kami dan pendapatmu adalah bahwa jika dua hadis bertentangan, maka kami memilih yang paling sesuai dengan qiyas.”

Dan sungguh engkau telah menyelisihi Umar dalam perkara yang engkau ucapkan sendiri sebagaimana telah kami uraikan, padahal engkau juga menyelisihi Umar dalam hal yang lebih wajib bagimu untuk mengikutinya dibanding perkara ini. Lalu aku menyebutkan kepadanya sejumlah hal yang pendapat Umar berbeda dari pendapat selainnya dari para sahabat Nabi . Ia berkata, “Sesungguhnya aku memiliki satu pertanyaan kepadamu.” Aku menjawab, “Kami telah selesai menyampaikan apa yang menjadi kewajiban kami, dan telah kami tetapkan bahwa pendapat kami berasal dari Umar, dan engkau mengaku bahwa itu adalah qiyas.” Ia bertanya, “Apakah engkau memiliki hujjah lain selain itu?” Kami menjawab, “Apa yang telah kami sebutkan sudah mencukupi.” Ia berkata, “Telah dikatakan bahwa sebagian sahabatmu menakwilkan sebagian ayat Al-Qur’an dalam hal ini.” Aku menjawab, “Benar, sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa firman Allah Azza wa Jalla:

{مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ} [Al-Ahzab: 4]

bermakna: Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua orang ayah dalam Islam.” Dan mereka berdalil dengan lanjutan ayat:

{ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ} [Al-Ahzab: 5]

Ia berkata, “Apakah ayat ini bisa dimaknai selain dari itu?” Kami menjawab, “Ya, sebagian ahli tafsir menyatakan makna lain.” Ia berkata, “Apakah engkau punya hujjah yang menetapkan tafsiran itu?” Kami menjawab, “Sampai kita bisa mengatakan secara pasti tanpa ragu, maka belum. Karena ayat itu masih mungkin dimaknai selain itu, dan belum pernah dikatakan oleh seorang yang perkataannya wajib diikuti. Akan tetapi jika ayat ini memungkinkan dimaknai demikian, dan terdapat ijma‘ bahwa anak jika mewarisi warisan penuh dari seorang ayah, maka si ayah juga mewarisi penuh dari anaknya, maka tidak tepat jika dalam hal ini dikatakan selain pendapat kami.”

Jika seseorang berkata, “Bagaimana jika engkau memanggil qāfah (orang yang ahli menilai kemiripan fisik) untuk anak seorang hamba sahaya perempuan (amat) yang digauli dua laki-laki dengan syubhat (pernikahan fasid), lalu bagaimana jika itu adalah wanita merdeka yang juga digauli karena syubhat, apakah engkau memanggil qāfah juga?” Aku menjawab, “Ya.” Jika ia bertanya, “Dari mana dalilnya?” Kami menjawab, “Terdapat riwayat bahwa Umar memanggil qāfah untuk seorang anak dari wanita, tanpa disebut statusnya sebagai merdeka atau hamba. Ia bisa saja berada di antara unta milik keluarganya dan tetap merupakan wanita merdeka, karena para wanita merdeka biasa menggembala di tengah keluarganya. Demikian juga, bisa saja ia seorang hamba sahaya dan berada di sana.”

“Jika ternyata keputusan qāfah itu hanya pada anak dari hamba sahaya, maka itu menunjukkan bahwa keputusan serupa juga berlaku untuk anak dari wanita merdeka.” Ia bertanya, “Apa dalilnya?” Kami menjawab, “Jika kita membedakan antara nasab dan harta, lalu menjadikan qāfah sebagai saksi atau hakim atau semakna dengan itu, maka sah baginya untuk bersaksi atas anak dari wanita merdeka sebagaimana sah baginya untuk bersaksi atas anak dari hamba sahaya. Maka hukum bagi anak dari wanita merdeka pun sama dengan hukum anak dari hamba sahaya, karena tidak ada perbedaan di antara keduanya. Keduanya adalah anak dari hubungan yang halal atau karena syubhat, dan keduanya bukan hasil dari zina.”

“Apa pendapatmu jika kita tidak menghadirkan qāfah untuk anak dari wanita merdeka yang digauli oleh dua laki-laki karena pernikahan fasid, lalu kita tidak tahu siapa yang terlebih dahulu menggaulinya, atau jika kita menetapkan anak itu bagi keduanya atau menafikan dari keduanya, bukankah hal itu menjadikan kita jatuh dalam kesalahan seperti yang telah kita cela terhadap selain kita dalam dua pendapat yang saling bertentangan?”

“Jika kita tahu siapa yang lebih dahulu menggauli, lalu kita menetapkannya bagi orang itu atau bagi yang lainnya dari dua orang yang menggauli, maka kita jatuh dalam ucapan yang tidak berdasarkan qiyas dan tidak pula atsar. Padahal dalil keduanya sama, maka mengapa kita menetapkannya bagi salah satu dan bukan lainnya?”

“Tetapi kami tidak menjadikannya sebagai hukum harta, dan bukan pula hukum nasab, lalu kami menetapkan suatu hukum yang saling bertentangan. Padahal, kami hanya membedakan hukum harta dan nasab melalui qāfah. Jika kami menolak qāfah dalam suatu kasus, maka kami telah keluar dari pokok mazhab kami dalam hal qāfah.”

(Dikatakan oleh Imam al-Syafi‘i – rahimahullah Ta‘ala –): Apabila seorang Muslim menemukan anak yang terlantar (laqīṭ), maka anak itu adalah seorang Muslim yang merdeka selama belum diketahui bahwa kedua orang tuanya beragama selain Islam. Jika seorang Nasrani mengakui bahwa anak itu adalah anaknya, maka kita nisbatkan anak itu kepadanya dan tetap menjadikannya sebagai seorang Muslim, karena pengakuan tersebut bukanlah suatu pengetahuan pasti dari kita bahwa anak itu seperti yang diakuinya; maka kita tidak akan mengganti Islam kecuali jika kita mengetahui adanya kekufuran.

(Dikatakan oleh Imam al-Syafi‘i – rahimahullah Ta‘ala –): Jika seorang Nasrani mendatangkan dua orang saksi Muslim bahwa anak itu adalah anaknya, dilahirkan di atas tempat tidurnya, maka kita nisbatkan anak itu kepadanya dan kita tetapkan agama anak itu sesuai dengan agama ayahnya sampai ia berbicara tentang dirinya sendiri, karena ini adalah pengetahuan dari kita bahwa ia dilahirkan di atas ranjang ayahnya, dan pengambilan anak itu oleh siapa pun yang menemukannya tidak lebih dari sekadar seperti menemukan barang hilang. Apabila ayahnya mendatangkan bukti setelah anak itu berakal bahwa ia adalah anaknya dan menyifatinya dengan Islam, maka kita tetapkan ia sebagai anaknya dan kita larang ayahnya untuk menjadikannya beragama Nasrani sampai ia baligh dan menetapkan keislamannya; maka kita nisbatkan dia kepada kaum Muslimin dan memutuskan hukum ahlul-dzimmah darinya. Jika ia telah baligh dan enggan masuk Islam, maka ia tidak termasuk golongan orang murtad yang harus dibunuh karena ia belum menetapkan Islam setelah baligh dan setelah hak-hak yang harus ia akui bagi manusia dan Allah Azza wa Jalla menjadi wajib atasnya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia anak seorang Muslim lalu murtad sebelum baligh, maka aku tidak membunuhnya sampai ia baligh dan tetap dalam kemurtadannya. Jika ia berzina sebelum baligh atau menuduh (tanpa bukti), maka aku tidak menerapkan hukuman had atasnya. Sesungguhnya kewajiban had dan pengakuan terhadap hak-hak manusia baru berlaku jika ia mengakuinya setelah baligh. Akan tetapi aku akan menahannya dan menakut-nakutinya agar ia kembali kepada Islam.

(Dikatakan oleh Imam al-Syafi‘i – rahimahullah Ta‘ala –): Apabila seseorang menemukan anak terlantar beserta hartanya, maka seyogianya ia menyerahkannya kepada hakim. Dan sebaiknya hakim, jika orang yang menemukannya terpercaya dalam urusan harta, menyerahkan harta itu kepadanya dan memerintahkannya agar menafkahi si anak dengan cara yang ma‘ruf. Jika ia tidak terpercaya dalam hal harta, maka hendaknya harta anak itu diserahkan kepada orang lain, dan orang itu diperintahkan untuk menafkahi si anak secara ma‘ruf. Jika si anak tidak memiliki harta, maka hendaknya penguasa Muslim menafkahinya. Jika penguasa tidak menafkahinya dan orang yang menemukan anak itu ingin menafkahinya, maka hakim boleh memerintahkannya untuk menafkahi si anak, dan nafkah itu menjadi utang atas anak tersebut ketika ia baligh dan memiliki harta. Namun, jika orang yang menemukannya tidak melakukannya, dan si anak tidak memiliki harta, lalu orang tersebut tetap menafkahinya, maka ia dianggap sebagai orang yang berbuat kebajikan dan tidak dapat menuntut kembali nafkah itu baik setelah anak itu baligh dan menjadi mampu, maupun sebelumnya. Dan sama saja apakah harta itu ditemukan bersama anak terlantar tersebut atau diperolehnya setelah ditemukan.

(Dikatakan oleh Imam al-Syafi‘i – rahimahullāh Ta‘ālā –): Tidak boleh dalam perkara kelahiran dan hal-hal lain yang hanya dapat disaksikan oleh perempuan (karena tersembunyi dari laki-laki) kecuali dengan empat orang perempuan yang adil, karena Allah ‘Azza wa Jalla ketika membolehkan persaksian, Dia mengakhirinya dengan jumlah paling sedikit: dua orang laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan, lalu Dia menjadikan dua perempuan sebanding dengan satu laki-laki dalam hal yang diperbolehkan. Maka ketika kaum Muslimin membolehkan kesaksian perempuan dalam hal-hal yang tersembunyi dari laki-laki, tidak diperbolehkan – dan Allah lebih mengetahui – bagi mereka untuk membolehkan selain berdasarkan hukum asal Allah ‘Azza wa Jalla dalam syahādāt (persaksian), sehingga mereka menjadikan setiap dua perempuan sebanding dengan satu laki-laki. Dan apabila mereka telah melakukannya, maka tidak boleh kecuali empat perempuan.

Demikian pula makna yang terdapat dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan apa yang disepakati oleh kaum Muslimin. Diceritakan kepada kami oleh Muslim dari Ibn Jurayj dari ‘Aṭā’, bahwa ia berkata mengenai kesaksian perempuan dalam perkara perempuan: tidak boleh kurang dari empat orang. Dan telah dikatakan oleh selain kami bahwa satu orang perempuan diperbolehkan karena hal ini termasuk kategori berita (khabar), sebagaimana satu orang boleh dalam berita, bukan termasuk persaksian. Kalau itu termasuk persaksian, maka tidak boleh berapa pun jumlah perempuan – meskipun banyak – atas sesuatu (tanpa disertai laki-laki).

Maka dikatakan kepada sebagian dari orang yang mengatakan demikian: dengan apa engkau berargumen bahwa satu orang perempuan dibolehkan – apakah itu sebagai syahādah atau bukan syahādah? Ia menjawab: sebagai syahādah dalam makna berita. Lalu dikatakan kepadanya: demikian pula dua orang saksi – bahkan lebih dari dua – juga sebagai berita. Ia berkata: dan tidak sah kesaksian perempuan saja selain dalam hal ini. Lalu dikatakan: ya, dan tidak pula sah kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan kecuali dalam perkara khusus; dan tidak sah dalam perkara ḥudūd (hukuman) dan pembunuhan.

Jika engkau mengingkari bahwa dua perempuan saja dianggap bukan satu kesatuan (yakni tidak sempurna) kecuali dalam perkara khusus, maka demikian pula engkau harus mengatakan bahwa satu laki-laki dan dua perempuan itu juga tidak sempurna, dan demikian pula dua laki-laki dalam kesaksian zina karena itu tidak sempurna kecuali empat orang. Demikian juga kesaksian ahludz-dzimmah terhadap seorang Muslim tidaklah sempurna. Maka ketika seluruh kesaksian bersifat khusus kecuali jika genap empat orang saksi, terlebih lagi jika kesaksian itu tentang sesuatu yang tersembunyi dari laki-laki – maka tidaklah kami merujuk kepada qiyās dari hukum Allah dan ijma‘ kaum Muslimin, dan tidak diterima jumlah saksi kurang dari empat perempuan, agar setiap dua orang di antara mereka dianggap setara dengan satu saksi laki-laki.

Ia berkata: kami meriwayatkan dari ‘Alī – raḍiyallāhu ‘anhu – bahwa ia membolehkan kesaksian seorang bidan (qābilah) saja. Aku berkata: seandainya riwayat itu benar dari ‘Alī – raḍiyallāhu ‘anhu – niscaya kami akan mengikutinya insya Allah Ta‘ālā, tetapi riwayat itu tidak sahih menurut kalian dan juga menurut kami dari beliau. Dan ini pun tidak berdasarkan qiyās dari hukum Allah, dan tidak dari sisi diterimanya khabar dari seorang perempuan, dan aku tidak mengetahui makna yang mendasarinya.

(Dikatakan oleh al-Syafi‘i – rahimahullah ta‘ala –): Jika seseorang membeli suatu barang dari orang lain, baik jual beli itu disertai syarat bahwa ia memiliki hak khiyar (pilihan untuk membatalkan) atau penjual yang memilikinya, atau keduanya, atau pembeli atau penjual mensyaratkan adanya khiyar untuk orang lain, lalu pembeli telah menerima barang itu, lalu rusak di tangannya sebelum orang yang memiliki hak khiyar menyatakan ridha, maka ia wajib mengganti nilainya, sedikit atau banyak, karena jual beli belum sah atas barang itu, dan ia wajib mengembalikannya. Barang siapa yang wajib mengembalikan sesuatu yang rusak, maka ia wajib mengganti nilainya; nilai itu menggantikan barang dalam keadaan telah hilang. Ini adalah pendapat mayoritas ulama yang aku temui dari kalangan ahli ilmu, dan berdasarkan qiyas dan atsar.

Ada yang berpendapat bahwa jika seseorang membeli barang dengan hak khiyar lalu rusak di tangannya, maka ia adalah amanah, seolah-olah karena penjual telah mengizinkannya mengambil barang dan harga tidak wajib atasnya kecuali bila jual beli telah sempurna. Maka ia memperlakukannya sebagai amanah, bukan jaminan. Telah diriwayatkan dari orang tersebut bahwa seseorang yang membeli dengan akad yang rusak lalu menerima barang dan rusak di tangannya, maka ia wajib mengganti nilainya. Padahal penjual telah mengizinkannya mengambil barang berdasarkan akad yang tidak mewajibkan harga. Dan menurut hukum Islam, akad ini bukan harga yang sah. Maka jika barang yang dibeli dengan akad fasid saja wajib diganti nilainya ketika rusak, terlebih lagi barang yang dibeli dengan akad halal disertai syarat khiyar satu hari atau satu jam, lalu rusak di tangan pembeli, maka lebih utama untuk diganti nilainya.

Jika anak laki-laki telah baligh, fakir, tidak mampu menikahi wanita merdeka, dan khawatir terjatuh dalam maksiat, maka boleh baginya menikahi budak ayahnya sebagaimana dia boleh menikahi budak orang lain. Anak-anaknya dari budak ayahnya adalah orang-orang merdeka, dan ayahnya tidak boleh memperbudak mereka karena mereka adalah cucu-cucunya. Namun jika ayahnya fakir dan khawatir terjatuh dalam maksiat, lalu ingin menikahi budak anaknya, maka tidak boleh baginya. Anak wajib membantu ayahnya menikah atau memberi budak jika ia mampu.

Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan menggaulinya, lalu dia memiliki anak perempuan dari wanita itu, kemudian ia memiliki budak perempuan tersebut dan menggaulinya, maka haram atasnya ibu wanita itu dan anak perempuan itu. Jika budak tersebut melahirkan anak darinya, maka anak itu menjadi ummu walad yang merdeka dengan wafatnya, dan haram baginya menggaulinya, namun boleh dilayani olehnya dan ia tetap menjadi miliknya seperti ummu walad lainnya. Ia berhak atas kompensasi jika budak itu terluka, juga terhadap harta yang dihasilkannya.

Jika budak itu adalah milik ayahnya dan belum melahirkan, maka ia tetap milik ayahnya, dan si anak wajib membayar ‘aqr kepada ayahnya. Jika dikatakan bahwa seorang lelaki yang menggauli budak dan memiliki anak darinya, kemudian haram baginya budak itu karena ia telah menggauli ibunya melalui pernikahan, maka budak itu merdeka atasnya, karena ia tidak bisa diperjualbelikan, dan ia adalah ummu walad baginya. Maka dikatakan: apakah kamu berkata bahwa seorang lelaki memiliki selain jima‘ dari ummu walad sebelum haram baginya? Jika iya, maka ia tetap memiliki hak atas harta dan jasa budak itu. Maka mengapa kamu batalkan semua itu dan membebaskannya, padahal ia belum mati dan belum dibebaskan?

Jika kamu berkata: “Saya tidak ingin seorang laki-laki berduaan dengan wanita yang haram baginya.” Maka katakan: meski ia adalah miliknya? Jika ia berkata: “Ya.” Maka dikatakan: “Apa pendapatmu jika ia memiliki ibunya, anak perempuannya, saudari sesusu, dan budaknya yang bersuami – apakah boleh ia berduaan dengan mereka?” Jika ia berkata: “Boleh.” Maka katakan: “Engkau telah membiarkannya berduaan dengan empat wanita yang haram dinikahi. Mengapa kamu haramkan satu saja?” Jika ia berkata: “Saya menghalangi hubungan intim antara anak dan budak ayahnya, namun tidak meminta harga budak itu dari ayahnya.” Maka dikatakan: “Menghalangi hubungan intim tidak ada harga padanya. Ganti rugi berlaku untuk tindakan yang menyebabkan kerugian. Maka ketika si ayah melakukan hubungan intim, kami kenakan ‘aqr atasnya, tetapi kami tidak memintanya membayar harga karena ia tidak menyebabkan budak keluar dari kepemilikan si anak.”

Jika ia berkata: “Apa padanan dari hal ini?” Maka dikatakan: “Contohnya adalah seorang wanita yang menyusui budak seseorang agar menjadi maḥram bagi pemiliknya. Maka budak dan anaknya menjadi haram, dan si wanita berdosa, namun ia tidak dituntut membayar ganti rugi apa pun. Padahal jika ia melukai budak itu, ia harus membayar. Karena pengharaman bukanlah kerusakan atau pelepasan hak milik, tidak ada kompensasi padanya. Maka demikian pula si ayah. Bahkan, dalam kasus ayah lebih kuat lagi, karena ia telah diwajibkan membayar ‘aqr, sedangkan wanita tadi tidak.”

(Dikatakan oleh al-Syafi‘i – rahimahullah ta‘ala –): Jika seseorang memiliki saudari sesusu lalu menggaulinya tanpa tahu, kemudian ia hamil dan melahirkan, maka ia menjadi ummu walad (ibu anak) dan dimerdekakan oleh kelahiran itu setelah pemiliknya wafat, serta ia dihalangi untuk digauli lagi karena adanya larangan. Dalam pendapat lain, ia bukan ummu walad dan tidak dimerdekakan oleh wafat pemilik karena ia tidak digauli secara halal, melainkan karena syubhat. Jika ia mengetahuinya haram lalu tetap menggauli, maka sama saja. Dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, jika seseorang melakukan sesuatu yang ia tahu haram, maka ia dijatuhi hukuman zina; kedua, tidak dijatuhi hukuman zina meskipun tahu, karena masih ada keterkaitan kepemilikan. Namun ia dikenai hukuman berat dan dihalangi dari menggaulinya, dan tidak ada kewajiban membayar ‘aqr dalam dua kondisi itu karena ‘aqr dibayar untuk orang lain, dan seseorang tidak mengganti rugi kepada dirinya sendiri. Bukankah jika ia membunuh budaknya, ia tidak mengganti kerugian karena ia membunuh miliknya sendiri?

(Dikatakan oleh al-Syafi‘i – rahimahullah ta‘ala –): Jika seorang Nasrani memiliki perempuan muslimah dan menggaulinya dalam keadaan tidak tahu, maka ia diberitahu dan dilarang untuk memiliki perempuan muslimah lagi, dan perempuan itu dijual darinya. Jika ia melahirkan dari hubungan tersebut, maka dipisahkan darinya dan ditempatkan secara terpisah, ia wajib menafkahinya. Jika ia ingin perempuan itu bekerja untuknya dengan tetap terpisah, maka boleh. Jika ia meninggal, maka ia merdeka. Begitu pula jika ummu walad milik seorang Nasrani masuk Islam, meski telah digauli, maka pendapatnya seperti seseorang yang menggauli saudari sesusu-nya dengan tahu – dalam salah satu pendapat dijatuhi had, dalam pendapat lain hanya dihukum keras. Jika ia ingin menyewakannya kepada wanita untuk bekerja yang mampu dilakukan, maka itu boleh. Ia berhak atas hasil kerjanya dan diyat jika perempuan itu dilukai.

Sebagian orang menyelisihi kami dalam hal ummu walad milik Nasrani yang masuk Islam, mereka berkata: ia langsung merdeka saat masuk Islam. Mereka beralasan dengan dua hal: pertama, karena farjinya telah haram baginya; kedua, karena kami tidak menetapkan kepemilikan orang musyrik atas seorang muslim. Dikatakan kepadanya: alasan pertama itu sangat kamu tinggalkan. Ia bertanya: bagaimana bisa? Kami menjawab: bagaimana menurutmu jika seorang lelaki memiliki ummu walad yang telah digauli oleh anaknya? Bukankah ia haram atasnya? Apakah kamu memerdekakannya karena farjinya menjadi haram? Ia menjawab: tidak. Kami katakan: demikian juga jika ia menggauli ibu atau anak perempuannya, atau ternyata budak itu saudari sesusu – semuanya haram, tapi kamu tidak memerdekakannya. Ia berkata: benar. Kami katakan: jadi kamu telah meninggalkan alasan pertama.

Adapun alasan kedua, kamu pun akan meninggalkannya. Ia bertanya: bagaimana? Kami jawab: bagaimana pendapatmu tentang budak mukatab atau mudabbir milik Nasrani – apakah kamu memerdekakan mereka ketika mereka masuk Islam, atau menjual mereka? Ia menjawab: kami tidak memerdekakan mudabbir kecuali saat wafat tuannya, dan mukatab hanya jika ia lunasi. Kami katakan: lalu siapa yang memiliki mereka sebelum merdeka? Ia menjawab: tetap milik Nasrani, tapi statusnya tergantung wafat. Kami jawab: demikian pula ummu walad milik Nasrani – kepemilikannya tergantung wafat. Jika ia wafat, maka ummu walad merdeka, tidak dijual untuk melunasi utang, dan tidak diwajibkan menyicil. Sedangkan kamu masih memaksa budak mudabbir untuk menyicil dalam membayar utang tuannya.

Ia berkata: bagaimana kalau aku katakan, “ia merdeka dan harus menyicil nilainya?” Kami jawab: maka itu berlaku juga atas mukatab. Ia menjawab: tidak, aku tidak mengatakan itu pada mukatab. Kami katakan: bagaimana jika seorang budak Nasrani masuk Islam, lalu si Nasrani memberikannya kepada seorang Muslim atau Dzimmi, atau membebaskannya, atau menyedekahkannya? Ia berkata: itu semua boleh. Kami tanya: berarti ia benar-benar memiliki budak itu? Ia menjawab: ya. Kami bertanya lagi: bagaimana jika ia masuk Islam di tempat yang tidak ada pasar – apakah kamu menunggunya hingga ada pasar untuk menjualnya? Ia menjawab: ya. Kami tanya lagi: bagaimana jika seseorang melukai budak itu hingga mati – apakah diyatnya untuk si Nasrani dan ia punya hak memberi maaf sebagaimana pemilik muslim? Ia menjawab: ya.

Kami katakan: kamu mengaku bahwa dia benar-benar pemiliknya dalam beberapa kondisi. Ia menjawab: benar, tapi jika memungkinkan, aku akan mengeluarkannya dari kepemilikannya. Kami tanya: dengan memberinya harga pengganti atau tidak? Ia menjawab: aku beri harga pengganti. Kami tanya: apakah kamu melakukan itu juga terhadap ummu walad? Ia menjawab: aku tidak menemukan cara untuk menjualnya, maka aku beri dia pengganti. Kami katakan: kalau kamu tidak bisa menjualnya, maka hukumnya berbeda dengan lainnya. Ia menjawab: benar.

Kami bertanya: siapa yang mengatakan kamu memerdekakannya tanpa pengganti? Ia menjawab: tidak, aku beri pengganti. Kami tanya: berarti kamu jual dia kepada dirinya sendiri sementara ia tidak punya harta – apakah kamu biasa menjual budak kepada orang yang tidak punya harta? Ia menjawab: tidak. Kami bertanya: bagaimana bisa kamu menjualnya kepada dirinya sendiri, padahal ia tak punya apa-apa? Ia menjawab: karena kebebasan. Kami tanya: dari siapa datangnya kebebasan itu, darinya atau dari tuannya? Jika dari tuannya, berarti ia bebas tanpa wajib membayar. Ia berkata: tuannya tidak membebaskannya. Kami tanya: jadi ia bebas dari dirinya sendiri – apakah budak bisa membebaskan dirinya sendiri? Ia menjawab: bebas karena Islam. Kami katakan: budak lain juga masuk Islam tapi tidak kamu bebaskan. Kamu tidak tahu dari mana kamu membebaskannya – kamu hanya menebak, padahal kamu mencela orang yang berhukum dengan dugaan.

(Dikatakan oleh al-Syafi‘i – rahimahullah ta‘ala –): Jika seseorang meminjam seorang jariyah (budak perempuan) dari orang lain lalu ia menggaulinya, maka masalah ini sama dengan masalah seorang perampas (gāṣib) yang menggauli budak perempuan sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Hudūd pada bab “Meniadakan hukuman had dengan syubhat”. Maka ambillah jawabannya dari sana, karena dalilnya berada di sana.

(Dikatakan oleh al-Syafi‘i – rahimahullah ta‘ala –): Jika seorang lelaki menikahkan seorang lelaki lain dengan seorang perempuan dan mengklaim bahwa ia adalah perempuan merdeka, lalu si lelaki itu menggaulinya, kemudian seseorang menuntut bahwa perempuan itu adalah budaknya dan ternyata ia benar, padahal si perempuan sudah melahirkan anak-anak, maka anak-anaknya adalah orang-orang merdeka, dan pemilik yang berhak atas budak itu berhak atas nilainya dan atas budak perempuannya itu. Adapun mahar dapat ia ambil dari suami jika ia menghendaki, dan suami dapat menuntut seluruhnya kepada orang yang menipunya, karena ia telah terkena tanggungan sebab orang tersebut. Dasar dari kami mengembalikan beban rugi kepada penipu adalah berdasarkan beberapa hal, di antaranya: bahwa ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: “Siapa pun lelaki yang menikahi perempuan yang ternyata memiliki penyakit gila, kusta, atau belang, dan ia telah menggaulinya, maka perempuan itu berhak atas mahar karena kemaluan yang telah dihalalkan, dan bagi suaminya gugatan kepada walinya.” Maka beliau mengembalikan kepada penipu apa yang wajib atasnya berupa mahar karena persetubuhan yang terjadi disebabkan penipuan. Demikian pula setiap penipu yang menyebabkan pihak yang tertipu terkena kerugian, maka beban itu kembali kepada si penipu. Tidak ada beda apakah wali tersebut tahu atau tidak terhadap kondisi penyakit si perempuan, karena keduanya tetap dianggap menipu. Jika dikatakan: bisa saja hal itu tersembunyi dari budak? Maka dijawab: Ya, bahkan dari ayahnya pun bisa. Bukankah bisa saja ada bercak belang yang tersembunyi di balik pakaian? Penipu bertanggung jawab baik ia tahu atau tidak, dan antara si penipu dan si perempuan ada hukum khusus, telah kami tulis dalam Kitab al-Nikāḥ.

(Dikatakan oleh al-Syafi‘i – rahimahullah ta‘ala –): Jika seseorang mengizinkan budaknya untuk berdagang, lalu budak itu membeli anak majikannya, atau ayahnya, atau orang yang jika dimiliki akan langsung merdeka karena hubungan nasabnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa orang tersebut tidak menjadi merdeka karena izin tersebut hanya mencakup kepemilikan atas hal-hal yang boleh dimiliki oleh tuannya, bukan atas sesuatu yang tidak boleh dimiliki, sebagaimana seorang yang menyerahkan modal kepada orang lain untuk dimudārabah-kan lalu si mudārib membeli anaknya, maka si anak tidak menjadi merdeka dan mudārib bertanggung jawab atas harga anak itu karena ia telah menggunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu yang tidak boleh ia miliki. Ini merupakan mazhab yang dapat diterima bagi orang yang mengatakannya.

Pendapat kedua: bahwa orang itu merdeka karena pembelian itu sah, dan apapun yang dimiliki oleh budak maka sejatinya menjadi milik tuannya, dan jika seorang tuan memiliki anaknya, maka si anak otomatis merdeka. Jika ada yang bertanya: apa beda antara budak yang diizinkan dan mudārib? Maka dijawab: bahwa dalam pembelian ada hak-hak, di antaranya hak penjual atas pembeli yang tidak boleh dibatalkan selama pembelian itu sah. Karena pembelian ini sah dan mengikat kepada budak, maka tidak mungkin pembelian itu mengikat kecuali jika si tuan dianggap pemilik, maka secara otomatis si anak menjadi merdeka. Sedangkan mudārib, dia memang dikenai pembelian tetapi bukan pemilik sebenarnya seperti pemilik modal. Sedangkan budak dianggap pemilik seperti pemilik modal, maka pendapat kedua ini lebih kuat dan kami berpegang padanya – wallāhu ta‘ālā a‘lam.

Dan tidak ada bedanya apakah budak tersebut memiliki utang atau tidak, atau diizinkan untuk berutang atau tidak, karena para kreditur tidak memiliki hak atas harta budak kecuali setelah dia diadili dan harta budak itu disita. Maka ketika budak itu telah benar-benar memiliki anak tuannya, dan si anak otomatis menjadi merdeka, maka tidak mungkin ia tetap menjadi budak. Dan sang ayah tidak dikenai tanggungan apapun, sedikit ataupun banyak, karena jika para kreditur mengalami kerugian karena si anak merdeka, maka kerugian yang ditanggung oleh sang ayah lebih besar dari itu, dan ia tidak dianggap sebagai orang yang menanggung beban atau merugikan orang lain, serta ia tidak melakukan suatu tindakan perusakan agar diminta ganti rugi.

Jika seorang budak menghabiskan seluruh harta yang dimilikinya karena hibah, hilang, terbakar, atau tenggelam, maka tidak ada tanggungan kepada tuan atas perbuatan itu, dan tuan tidak diperintahkan untuk membelinya, maka ia tidak bertanggung jawab atas apapun. Orang hanya dikenai tanggungan karena perbuatannya sendiri atau perintahnya, bukan karena selain itu, kecuali dalam beberapa kasus denda dan berdasarkan hadis tertentu. Dan jika budak tersebut tidak diizinkan untuk berdagang, lalu ia membeli anak majikannya, maka tidak dianggap sebagai pembelian yang sah, dan anak tersebut tidak menjadi merdeka karena kepemilikan, dan tetap dalam kepemilikan majikan semula.

(Imam al-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Jika orang-orang non-Arab dari negeri syirik mengaku sebagai saudara satu sama lain, maka jika mereka datang kepada kami dalam keadaan Islam dan tidak ada wali atas mereka karena pembebasan (dari perbudakan), kami menerima pengakuan mereka sebagaimana kami menerima pengakuan selain mereka dari kalangan orang-orang jahiliah yang masuk Islam. Tetapi jika mereka adalah tawanan atau budak yang telah dimerdekakan dan masih ada ikatan wala’, maka tidak diterima pengakuan mereka kecuali dengan bukti kelahiran atau pengakuan yang telah dikenal sebelum penawanan. Demikian pula berlaku bagi sedikit atau banyak dari mereka, baik mereka penduduk sebuah benteng atau lainnya.

(Imam al-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Jika dua orang laki-laki adalah saudara, kemudian ayah mereka wafat, lalu salah satunya mengakui adanya ahli waris bersamanya dengan berkata, “Ini saudara laki-lakiku, anak dari ayahku,” namun yang lainnya membantah, maka Muhammad bin al-Hasan mengabarkan kepadaku bahwa pendapat penduduk Madinah — yang selalu kami kenal dan mereka sampaikan — adalah bahwa nasab itu tidak bisa ditetapkan baginya, dan tidak diberikan kepadanya sesuatu dari harta peninggalan.

(Imam al-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Aku menduga bahwa mereka berpendapat bahwa saudara yang diakui itu tidak diakui memiliki hak utang atas ayahnya, tidak wasiat, tidak hak apapun atasnya, dan tidak bagian dari harta ayahnya kecuali jika nasabnya terbukti, maka dia bisa mewarisi dan menanggung diyat untuknya serta seluruh hak sebagai saudara. Karena dasar dari pengakuan itu batal dan tidak menetapkan nasab, maka mereka tidak memberikan hak apapun sebagaimana mereka tidak membebankan sesuatu padanya.

(Imam al-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Muhammad bin al-Hasan — semoga Allah meridhainya — berkata: Ini adalah pendapat yang benar, kemudian mereka mengubahnya dan menetapkan bahwa ia tidak bisa disambungkan nasabnya, tetapi dia mengambil sepertiga dari apa yang ada di tangan saudaranya yang mengakui.

(Imam al-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Aku menduga mereka berpendapat bahwa ia mengakui bahwa saudara yang diakui memiliki sesuatu di tangannya, dan sesuatu juga di tangan saudaranya, maka mereka membolehkan pengakuan terhadap dirinya sendiri, dan membatalkan pengakuan terhadap saudaranya. Dan ini lebih benar daripada pendapat Muhammad bin al-Hasan dan Abu Hanifah — semoga Allah meridhai keduanya — karena keduanya berpendapat bahwa saudara yang diakui berbagi harta yang ada di tangannya setengah-setengah, dan tidak memiliki hak atas yang lainnya, serta tidak menetapkan nasab. Hujah mereka adalah bahwa dia telah mengakui bahwa ia adalah saudaranya, dan mereka setara dalam harta ayahnya.

(Imam al-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Jika masalahnya seperti itu, dan tidak ada warisan, maka nasab tidak ditetapkan. Tidak sah seseorang menetapkan nasab seseorang kepada orang lain, karena saudara hanya bisa mengakui atas nama ayahnya. Jika haknya terhadap ayahnya sama, maka jika ia membantah nasab tersebut, nasab tidak ditetapkan, dan tidak ada nasab yang sah kecuali para ahli waris sepakat mengakuinya bersama, atau ada bukti atas pengakuan si mayit yang hanya bisa menetapkan nasab melalui dirinya sendiri, maka cukup dengan pengakuannya dan nasab ditetapkan.

Jika ada yang berkata: bagaimana engkau memperbolehkan anak seorang laki-laki jika dia adalah ahli warisnya satu-satunya, mengakui seseorang sebagai saudara, lalu engkau menetapkannya sebagai anak dari ayahnya, padahal dia mengakui atas orang lain?

Dijawab: dia mengakui sesuatu yang tidak membahayakan orang yang sudah mati, melainkan membahayakan dirinya dalam hal pengurangan bagian warisnya dari ayahnya. Dan engkau dapatkan dia, jika dia satu-satunya ahli waris ayahnya, maka dia menanggung seluruh hak untuk ayahnya. Tidakkah engkau melihat bahwa dia bisa memaafkan pembunuhan ayahnya dan hal itu sah, sebagaimana jika ayahnya memaafkan luka padanya maka sah maafnya? Tidakkah engkau melihat bahwa dia menegakkan hudud atas orang yang menuduh ayahnya, sebagaimana ayahnya menegakkan hudud atas orang yang menuduhnya? Tidakkah engkau melihat jika ayahnya memiliki bukti atas seseorang dalam hudud, harta, atau qishas, maka dia bisa mengambilkannya; dan setelah wafatnya ayahnya, anaknya pun bisa mengambil hak itu. Tetapi jika anak itu mendustakannya setelah ayahnya wafat, padahal ayahnya menuntutnya, maka kami batalkan, karena anak itu menggantikan posisi ayahnya setelah wafat.

Jika ada yang berkata: apakah ada hadis yang menunjukkan hal ini? Kami katakan: ya, hadis yang semua orang menjadikannya sandaran bahwa anak itu milik ranjang (suami). Jika ditanya, apa hadis itu? Dijawab:

“Abd bin Zam’ah dan Sa’d bin Abi Waqqash bersengketa di hadapan Nabi ﷺ tentang seorang anak dari hamba perempuan milik Zam’ah. Sa’d berkata: Saudaraku ‘Utbah telah mewasiatkan kepadaku bahwa dia adalah anaknya, dan memerintahkanku untuk mengambilnya. Abd bin Zam’ah berkata: Dia adalah saudaraku dan anak dari budak ayahku yang lahir di atas ranjangnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Dia milikmu, wahai Abd bin Zam’ah. Anak itu milik ranjang, dan bagi pezina adalah batu.’ Lalu Nabi ﷺ menetapkannya kepada klaim saudara, dan memerintahkan Saudah untuk berhijab darinya karena beliau melihat kemiripan wajahnya dengan ‘Utbah.”

Dalam hal ini terdapat dalil bahwa beliau tidak menolaknya, dan bahwa perempuan itu telah mengaku sebagaimana yang diakui oleh saudaranya. Maka berdasarkan hal ini, keseluruhan bab ini dan qiyasnya berlaku demikian.

[Putusan dengan Sumpah dan Satu Saksi]

Sumpah dengan satu saksi

(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami) ia berkata (Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami) ia berkata: Abdullah bin al-Harits al-Makhzumi mengabarkan kepada kami, dari Saif bin Sulaiman, dari Qais bin Sa‘d, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibnu ‘Abbas – semoga Allah meridhai keduanya – bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi. ‘Amr berkata: dalam perkara harta.

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dari Rabi‘ah bin ‘Utsman, dari Mu‘adz bin ‘Abdurrahman, dari Ibnu ‘Abbas dan seorang lelaki lain dari sahabat Nabi ﷺ yang namanya disebutkan, namun aku lupa, bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi mengabarkan kepada kami, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdurrahman, dari Sa‘id bin ‘Amr bin Syarhabil bin Sa‘id bin Sa‘d bin ‘Ubadah, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Kami mendapati dalam catatan Sa‘d bin ‘Ubadah bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

(Imam asy-Syafi’i berkata): Dan ‘Abdul ‘Aziz bin al-Muthallib menyebutkan dari Sa‘id bin ‘Amr dari ayahnya, ia berkata: Kami mendapati dalam catatan Sa‘d bin ‘Ubadah yang menyatakan bahwa Sa‘d bin ‘Ubadah bersaksi bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan ‘Amr bin Hazm untuk memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi mengabarkan kepada kami, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdurrahman, dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

(‘Abdul ‘Aziz berkata): Aku menceritakan hal itu kepada Suhail, lalu ia berkata: Rabi‘ah menceritakan itu dariku, dan dia orang terpercaya, bahwa aku menceritakan hal itu kepadanya, tetapi aku tidak mengingatnya.

(‘Abdul ‘Aziz berkata): Suhail pernah terkena penyakit yang mengganggu sebagian akalnya, dan ia lupa sebagian hadisnya. Dan Suhail biasa meriwayatkan dari Rabi‘ah darinya dari ayahnya. Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dari ‘Amr bin Abi ‘Amr, maula al-Muthallib, dari Sa‘id bin al-Musayyib bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Malik mengabarkan kepada kami, dari Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya bahwa Nabi ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

(Imam asy-Syafi’i berkata): Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ja‘far bin Muhammad menceritakan kepadaku, ia berkata: Aku mendengar al-Hakam bin ‘Utaybah bertanya kepada ayahku, sambil meletakkan tangannya di dinding kuburan hendak bangkit: “Apakah Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi?” Ia menjawab: “Ya, dan Ali juga memutuskan dengannya di hadapan kalian.” Muslim berkata: Ja‘far berkata: dalam perkara utang.

(Imam asy-Syafi’i berkata): Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Syu‘aib bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam masalah kesaksian: “Jika seseorang membawa satu saksi, maka ia disumpah bersama saksinya.”

(Imam asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami, dari Abu az-Zinad bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menulis surat kepada ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman bin Zaid bin al-Khattab yang menjadi gubernurnya di Kufah: “Putuskanlah perkara dengan sumpah bersama satu saksi.”

(Imam asy-Syafi’i berkata): Orang terpercaya dari kalangan sahabat kami mengabarkan kepada kami, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Abu az-Zinad bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menulis surat kepada ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman bin Zaid bin al-Khattab yang menjadi gubernurnya di Kufah: “Putuskanlah perkara dengan sumpah bersama satu saksi, karena itu adalah sunnah.” Abu az-Zinad berkata: Maka berdirilah seorang lelaki dari kalangan tokoh mereka dan berkata: “Aku bersaksi bahwa Syuraih telah memutuskan perkara dengan cara ini di masjid ini.”

(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Khalid bin Abi Karīmah, dari Abu Ja‘far bahwa Nabi ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Marwan bin Mu‘awiyah al-Fazari mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ja‘far bin Maimun ats-Tsaqafi menceritakan kepadaku, ia berkata: Aku mengadukan perkara kepada asy-Sya‘bi tentang luka “mauḍiḥah”, lalu tukang periksa luka bersaksi bahwa itu adalah mauḍiḥah, maka orang yang melukai berkata kepada asy-Sya‘bi: Apakah engkau menerima kesaksian satu orang saja terhadapku? Asy-Sya‘bi menjawab: Sungguh tukang periksa telah bersaksi bahwa itu adalah mauḍiḥah, dan yang terluka harus bersumpah untuk hal seperti ini. Maka asy-Sya‘bi memutuskan perkara tersebut.

Husyaim menyebutkan dari Mughirah dari asy-Sya‘bi bahwa penduduk Madinah memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Malik mengabarkan kepada kami bahwa Sulaiman bin Yasar dan Abu Salamah bin ‘Abdurrahman ditanya, “Apakah diputuskan perkara dengan sumpah dan satu saksi?” Keduanya menjawab, “Ya.”

(Hammad bin Zaid menyebutkan dari Ayyub bin Abi Tamimah dari Muhammad bin Sirin bahwa Syuraih memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

Isma‘il bin ‘Ulayyah menyebutkan dari Ayyub dari Ibnu Sirin bahwa ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ud memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

Husyaim menyebutkan dari Hushain, ia berkata: Aku mengadukan perkara kepada ‘Abdullah bin ‘Utbah, lalu dia memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

‘Abdul ‘Aziz bin al-Mājisyūn menyebutkan dari Zurayq bin Hakim bahwa ia menulis surat kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, memberitahukan kepadanya bahwa ia tidak mendapati keputusan dengan sumpah dan satu saksi kecuali di Madinah. Maka ‘Umar menulis balasan kepadanya: “Putuskanlah dengan itu, karena itu adalah sunnah.”

Disebutkan dari Ibrahim bin Abi Habibah dari Dawud bin al-Hushain dari Abu Ja‘far Muhammad bin ‘Ali bahwa Ubay bin Ka‘b memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu saksi.

Dan dari ‘Imran bin Huthayr dari Abu Majliz bahwa Zurārah bin Aufa memutuskan perkara dengan kesaksianku seorang diri.

Diriwayatkan dari Syu‘bah dari Abu Qais, dan dari Abu Ishaq bahwa Syuraih menerima kesaksian masing-masing dari dua orang secara terpisah.

[Perkara yang Diputuskan dengan Sumpah dan Satu Saksi]

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Ketika Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah dan satu saksi dalam masalah harta, dan hal itu berupa perpindahan kepemilikan dari satu pihak ke pihak lain, sehingga orang yang diputuskan menang menjadi pemilik harta yang sebelumnya berada di tangan orang yang dikalahkan, melalui salah satu cara kepemilikan harta, maka setiap perkara yang semakna dengan ini diputuskan dengan cara seperti yang diputuskan oleh Rasulullah ﷺ.

Yaitu, ketika seseorang datang membawa seorang saksi bahwa rumah yang ada di tangan seseorang adalah rumah miliknya yang telah dirampas oleh orang yang menguasainya, atau dia telah menjual rumah itu kepadanya dan menerima pembayarannya, atau cara lain dari bentuk-bentuk kepemilikan, maka ia bersumpah bersama saksinya, dan rumah itu dikeluarkan dari tangan orang yang menguasainya dan dipindahkan kepada pemilik baru yang bersaksi dan bersumpah, sehingga ia memilikinya sebagaimana orang yang sebelumnya memilikinya. Begitu pula hal-hal lain yang dapat dimiliki.

Demikian juga, jika ia membawa saksi atas seorang budak, barang, atau benda tertentu, atau bukan benda tertentu, maka ia bersumpah bersama saksinya dan diputuskan haknya.

Demikian pula jika ia mendatangkan saksi bahwa orang lain berutang kepadanya seribu dirham atau kurang atau lebih, maka ia bersumpah bersama saksinya, dan mengambil seribu dirham tersebut darinya, lalu ia menjadi pemiliknya sebagaimana orang yang sebelumnya memegangnya memilikinya.

(Imam asy-Syafi’i berkata): Demikian juga, jika ia mendatangkan bukti bahwa orang lain telah membakar barang miliknya senilai sekian, atau membunuh budaknya senilai sekian, atau melukainya secara tidak sengaja pada tubuhnya, maka ia bersumpah dalam semua itu bersama saksinya, dan diputuskan baginya ganti rugi harga barang, nilai budak, dan diyat luka, baik sedikit maupun banyak, atas pelaku dari hartanya atau dari ‘āqilah-nya. Karena masing-masing dari yang diputuskan bersalah itu awalnya memiliki apa yang ia miliki, baik secara lahir maupun batin, atau secara lahir saja.

Begitu pula jika ia membawa satu saksi bahwa ia telah memberikan pinjaman seratus dinar berupa makanan yang disifati atau gandum yang disifati, atau selainnya, maka ia bersumpah bersama saksinya, dan orang yang dituduh wajib menunaikan apa yang disaksikan oleh saksi tersebut, dan itu menjadi tanggungan atasnya hingga waktu yang telah ditentukan.

Begitu juga jika ia membawa satu saksi bahwa seseorang telah membeli darinya seorang budak perempuan atau laki-laki seharga seratus dinar, maka ia bersumpah bersama saksinya, dan orang yang dituduh diwajibkan menerima budak tersebut sebagai barang jual beli dengan harga seratus dinar.

Demikian juga jika ia membawa saksi bahwa ia telah menjual budak perempuan itu dengan imbalan budak perempuan lain, atau rumah, maka ia bersumpah bersama saksinya, dan masing-masing dari keduanya terikat dengan jual beli itu. Dan semua ini adalah perpindahan kepemilikan dari satu pihak ke pihak lain.

Demikian pula jika ia membawa bukti atas seseorang bahwa ia telah mencuri sesuatu darinya dari tempat yang tidak terkunci yang nilainya adalah harta, atau mencuri sesuatu dari tempat yang terkunci tetapi nilainya kurang dari seperempat dinar, maka ia bersumpah bersama saksinya, dan pencuri harus mengganti nilai barang curian jika barangnya telah habis, dan pencuri tidak dipotong tangannya.

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang memiliki hak berupa utang, harga jual, diyat luka, atau hak lainnya, lalu orang yang dituduh memiliki hutang mendatangkan satu saksi bahwa ia telah menerima pembayaran dari pemilik hak tersebut, atau telah diampuni, atau telah berdamai dengan menerima sesuatu darinya, maka ia bersumpah bersama saksinya, dan ia terbebas dari semua itu. Ini adalah perpindahan dari apa yang awalnya merupakan tanggungan yang dibebankan kepada yang dituduh menjadi milik pihak yang bersaksi bahwa ia telah bebas darinya.

(Imam asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika diputuskan diyat luka terhadap ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) seseorang, lalu dia mendatangkan satu saksi bahwa korban telah membebaskannya dari diyat tersebut, maka saksi itu ditahan (untuk diteliti pernyataannya). Jika dikatakan bahwa ia telah membebaskannya dari diyat, dan membebaskan pula para penanggung diyat yang turut diputuskan atas mereka, maka kami suruh mereka bersumpah, dan mereka terbebas. Jika sebagian bersumpah dan sebagian tidak, maka yang bersumpah bebas, dan yang tidak bersumpah tidak bebas. Contohnya adalah jika seseorang memiliki piutang seribu dirham atas dua orang, lalu keduanya mendatangkan satu saksi yang bersaksi bahwa keduanya telah dibebaskan darinya, kemudian salah satunya bersumpah dan yang lainnya tidak, maka yang bersumpah bebas, dan yang tidak bersumpah tidak bebas. ‘Āqilah-nya yang bersumpah, dan dia tidak bersumpah bersama mereka, karena kejahatannya menjadi tanggungan ‘āqilah-nya dan dia sendiri tidak menanggung atas dirinya bersama mereka.

Jika saksi mengatakan, “Ia dibebaskan dari kejahatannya,” maka aku juga akan menahannya. Lalu aku katakan, “Ucapanmu bisa bermakna bahwa ia dibebaskan dari diyatnya. Jika itulah yang dimaksud, maka ia bebas darinya. Dan jika ingin menegakkan kesaksian atas pembebasan ‘āqilah, maka mereka bersumpah dan terbebas. Jika tidak terbukti terhadap mereka, maka diyat tetap ditanggung, karena tidak ada yang bersaksi bahwa mereka telah dibebaskan.”

Jika seseorang menjual budak yang cacat, lalu ia mendatangkan satu saksi bahwa ia telah membebaskannya dari cacat itu, atau satu saksi bahwa pembeli telah membebaskannya dari cacat setelah mengetahuinya, maka ia bersumpah bersama saksinya dan terbebas. Dalam hal ini tidak perlu menahannya, sebagaimana perlu ditahan dalam kasus diyat, karena ia telah dibebaskan dari tuntutan bahwa budak itu cacat—dan ini adalah hak terbesar yang bisa dituntut. Jika ia dibebaskan dari hak untuk mengembalikan karena cacat, atau mengambil pengurang harga karena cacat, maka ia bebas, dan ini tidak berlaku kecuali untuk orang yang disaksikan, maka ia bersumpah dan bebas.

(Imam asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang mendatangkan bukti atas orang lain tentang suatu hak, lalu pihak yang dituduh mendatangkan saksi yang menyatakan bahwa pihak penggugat telah mengakui bahwa apa yang disaksikan itu batil, maka ia bersumpah bersama saksinya dan bebas dari tuntutan yang disaksikan terhadapnya. Ini seperti seseorang yang didatangkan bukti bahwa ia memiliki harta, lalu ia mendatangkan saksi bahwa ia telah dibebaskan dari harta tersebut, maka ia bersumpah bersama saksinya dan terbebas.

Jika seseorang mendatangkan saksi semasa hidupnya bahwa ia memiliki hak atas orang lain dalam bentuk apa pun, lalu ia wafat sebelum bersumpah, atau wafat sebelum mendatangkan saksi, kemudian ahli warisnya mendatangkan saksi setelahnya bahwa ia memiliki hak atas orang itu, maka ahli warisnya menggantikan posisinya dalam semua hak yang mereka warisi darinya. Karena Allah Ta‘ala telah memindahkan kepemilikan orang mati kepada orang hidup melalui warisan, sehingga mereka menjadi pemilik atas apa yang dahulu dimiliki oleh si mayit, sesuai bagian warisan yang ditetapkan bagi mereka. Maka mereka menggantikannya dalam hal yang mereka warisi darinya, sesuai bagian warisannya.

Jika ada yang berkata, “Bagaimana ahli waris bersumpah, padahal ia tidak tahu apakah saksi menyaksikan hal yang benar?” Maka dijawab: Ia bersumpah berdasarkan ilmunya. Karena ilmu bisa didapat melalui penglihatan, pendengaran, dan informasi. Jika ia mendengar dari orang yang dipercaya bahwa ayahnya memiliki hak atas seseorang, atau ia mengetahuinya dengan cara apa pun, maka ia bersumpah bersama saksinya sebagaimana ayahnya. Jika ada saksi atas hak yang tidak ia saksikan sendiri, atau saksi bahwa seseorang telah membunuh hewan miliknya yang tidak ia lihat langsung, atau budaknya, maka ia bersumpah bersama saksinya dan mengambil haknya.

Jika sumpah hanya diperbolehkan pada hal-hal yang ia lihat langsung atau dengar dari orang yang dituduh, maka hal itu menyulitkannya.

Para ulama terus menerus membolehkan sumpah bersama satu saksi atas hak yang gaib, selama memungkinkan bahwa orang yang bersumpah memiliki pengetahuan atas kebenaran hak tersebut dengan cara penglihatan, pendengaran, atau berita. Jika demikian, maka setiap orang yang disaksikan memiliki hak karena pengakuan, wasiat, atau sedekah, ia bersumpah bersama saksinya.

Jika sumpah dibatasi hanya pada hal-hal yang disaksikan langsung, maka tidak mungkin ia mengambil hak berdasarkan saksi kecuali atas hal yang ia saksikan sendiri, sehingga jika ayahnya wafat saat ia masih kecil, lalu ada yang bersaksi bahwa ia mewarisi suatu barang tertentu, maka ia tidak bisa mengambilnya karena ia tidak melihat ayahnya, tidak tahu apa yang ditinggalkan, tidak tahu jumlah ahli waris, dan tidak tahu apakah ayahnya memiliki utang atau wasiat. Begitu pula jika ia sudah dewasa namun ayahnya meninggal di tempat jauh, lalu ada yang bersaksi atas harta warisan ayahnya yang juga jauh darinya, maka ia tidak bisa memastikannya karena ia tidak melihat ayahnya memilikinya, dan tidak tahu apakah ayahnya meninggalkannya.

Jika seseorang meninggal dan meninggalkan anak laki-laki dewasa, anak kecil, dan istri, maka anak laki-laki yang dewasa bersumpah dan mengambil bagiannya dari warisan, yaitu setengah dari harta setelah sepertiga untuk istri. Jika istri bersumpah, maka ia mengambil bagian sepertiganya, dan bagian anak kecil ditahan hingga ia dewasa lalu bersumpah atau menolak, maka gugurlah haknya, atau ia wafat sebelum dewasa, maka ahli warisnya menggantikannya dan mereka bersumpah serta mengambil haknya.

Demikian pula jika para ahli waris sudah dewasa namun sebagian dari mereka sedang bepergian, maka yang hadir dan bersumpah mengambil haknya, sedangkan hak para yang tidak hadir ditahan hingga mereka hadir lalu bersumpah dan mengambil haknya, atau mereka menolak bersumpah maka gugurlah hak mereka, atau mereka wafat sebelum itu maka ahli waris mereka menggantikan posisi mereka.

(Imam asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika di antara ahli waris terdapat orang bisu yang memahami isyarat sumpah, maka ia diarahkan untuk memahaminya, lalu jika ia bersumpah, maka ia diberi haknya. Jika ia tidak memahami isyarat dan tidak bisa dipahami, atau ia gila atau hilang akal, maka haknya ditahan hingga ia sembuh dan bersumpah, atau ia wafat, maka ahli warisnya menggantikannya dan bersumpah serta mengambil haknya.

Menurutku tidak boleh jika ada dua ahli waris, lalu salah satunya bersumpah dan mengambil hak saudara ahli warisnya dengan sumpahnya, karena masing-masing hanya menggantikan si mayit dalam hak warisnya, dan hak itu, meskipun berasal dari si mayit, tidak menjadi hak kecuali untuk orang yang hidup melalui warisan, sesuai bagian mereka.

Bukankah engkau melihat bahwa sumpah hanya berlaku dari pihak yang hidup, maka tidak boleh seseorang menggantikan yang memiliki hak dalam setengah harta, lalu mengambil dengan sumpahnya bagian lainnya. Sebagaimana jika dua orang memiliki hak dua ribu dirham atas seseorang, lalu salah satunya mendatangkan satu saksi dan bersumpah, maka ia tidak berhak atas keseluruhan seribu, karena ia tidak memiliki hak milik atas seluruhnya. Jika ia bersumpah, maka ia tidak berhak mengambil bagian orang lain dengan sumpahnya.

Karena Rasulullah ﷺ memutuskan dengan sumpah bersama satu saksi untuk orang yang memiliki hak, dan orang yang memiliki hak adalah yang memiliki semuanya, bukan yang memiliki sebagian dan sisanya milik orang lain.

Jika si mayit memiliki wasiat, lalu pelaksana wasiat mendatangkan satu saksi atas hak si mayit terhadap seseorang, maka pelaksana wasiat tidak bersumpah karena ia bukan pemilik. Maka hak-hak tersebut ditangguhkan, dan setiap kali salah seorang ahli waris mencapai usia dewasa, ia bersumpah dan mengambil haknya sesuai warisannya.

Jika seseorang wafat, dan ia telah mendatangkan satu saksi semasa hidupnya atas hak terhadap seseorang, atau saksi itu didatangkan oleh pelaksana wasiat atau salah satu ahli waris setelah wafatnya, dan si mayit memiliki para penagih utang, lalu dikatakan kepada para ahli waris: “Bersumpahlah dan ambillah hak kalian,” tetapi mereka enggan bersumpah, maka hak mereka gugur. Dan para penagih utang tidak bisa bersumpah, karena Rasulullah ﷺ ketika memutuskan bahwa orang yang mendatangkan satu saksi atas hak terhadap orang lain berhak mengambil dengan sumpah, beliau hanya memberikan hak itu dengan sumpah kepada orang yang disaksikan memiliki hak.

Sumpah bersama satu saksi artinya dikatakan: “Saksi ini telah bersaksi atas suatu hak, dan sungguh hak ini milikku atas si Fulan, dan ia belum membebaskannya.”

Sumpah diberikan kepada ahli waris karena Allah ‘Azza wa Jalla telah memindahkan kepemilikan si mayit kepada ahli warisnya, sehingga ia menggantikan si mayit dalam kepemilikan tersebut, tanpa boleh berbeda dalam bagian yang ditetapkan baginya. Allah menjadikannya pemilik atas apa yang dimiliki si mayit, baik ia suka maupun tidak. Jika ia mewarisi budak yang lumpuh, maka ia wajib memilikinya meskipun ia tidak menginginkannya, sampai ia sendiri melepaskannya dari kepemilikannya.

Orang yang berutang dan orang yang diberi wasiat bukanlah termasuk ahli waris. Mereka bukanlah orang yang memiliki hak secara asal untuk mendapatkan keputusan dengan sumpah bersama satu saksi, dan juga bukan orang yang Allah tetapkan sebagai ahli waris sehingga mereka termasuk dalam makna pemilik hak.

Para penagih utang dan penerima wasiat, meskipun berhak mendapatkan harta si mayit, mereka tidak menggantikannya, dan mereka tidak wajib menanggung hal-hal seperti biaya hidup budak si mayit yang lumpuh.

Jika pemilik hak wafat, lalu ahli warisnya mendatangkan satu saksi dan berkata, “Aku akan bersumpah,” sedangkan penagih utang berkata, “Harta itu milikku, bukan milik ahli waris. Aku yang akan bersumpah,” maka ahli warislah yang bersumpah dan mengambil harta itu, bukan penagih utang, sebagaimana ia mengambilnya bukan karena ayahnya, tetapi karena posisinya sebagai ahli waris.

Jika penagih utang menggantikan posisi ahli waris, maka ia lebih berhak atas harta tersebut saat diwariskan kepada ahli waris dari si mayit, sebagaimana ia lebih berhak atas seluruh hartanya yang ada di tangannya atau yang ia berhak dapatkan dari diyat dan lainnya.

(Imam asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Dalam hal yang telah aku uraikan, insya Allah Ta‘ala terdapat penjelasan perbedaan antara penagih utang, penerima wasiat, ahli waris, dan pemilik hak asal. Ia berkata: Di antara hal yang menegaskannya, insya Allah Ta‘ala, adalah bahwa hak penagih utang hanyalah pada seluruh harta si mayit, bukan pada harta tertentu yang disumpah atasnya. Karena jika muncul harta lain selain harta yang dikatakan kepada penagih, “Bersumpahlah atasnya,” maka para ahli waris berhak memberikannya kepada penagih dari harta yang tampak tersebut, yang tidak disumpah atasnya.

Jika si mayit tidak memiliki harta selain harta yang penagih bersumpah atasnya, lalu datang penagih utang lain, kemudian salah satu dari mereka menolak bersumpah, dan yang lain bersumpah lalu mengambil seluruh utang, maka ia mengambil hak dengan sumpahnya, padahal yang menjadi haknya hanyalah separuhnya. Ini berbeda dengan dua orang yang haknya milik salah satu dari keduanya—jika salah satunya menolak bersumpah, maka gugurlah haknya dan yang bersumpah mengambil haknya.

Ia berkata: Jika ahli waris seseorang mendatangkan satu saksi atas hak yang dimiliki oleh mayitnya, sedangkan ia memiliki para penagih dan wasiat, maka dikatakan kepada para ahli waris, “Bersumpahlah dan ambillah hak kalian.” Jika mereka melakukannya, maka para penagih lebih berhak atas harta itu daripada mereka, dan penerima wasiat turut berbagi bersama mereka dalam sepertiga harta. Jika mereka menolak bersumpah, maka bagian untuk para penerima wasiat digugurkan.

[Penolakan Sumpah dan Cara Sumpah]

(Imam asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Barang siapa memiliki hak untuk bersumpah atas suatu hak bersama seorang saksi, maka dikatakan kepadanya, “Jika engkau bersumpah, maka engkau berhak mengambil hakmu. Jika engkau menolak bersumpah, kami tanyakan: ‘Mengapa engkau menolak?’”

Jika ia berkata, “Aku sedang menunggu satu saksi lagi,” maka kami biarkan ia hingga ia mendatangkannya, lalu ia mengambil haknya tanpa sumpah. Jika ia tidak mendatangkannya, maka kami katakan, “Bersumpahlah dan ambil hakmu.”

Jika ia menolak bersumpah tanpa mendatangkan saksi lain atau sedang meneliti dokumennya atau ingin memastikan, maka kami batalkan haknya untuk bersumpah. Jika setelah itu ia meminta untuk bersumpah, kami tidak memberikannya, karena keputusan telah berlaku untuk membatalkannya.

Jika ia datang dengan saksi lain, maka kami menerimanya, karena yang kami batalkan hanyalah hak untuk bersumpah, bukan hak atas saksi lainnya—baik yang pertama maupun yang kedua.

Jika ia berkata, “Antara aku dan orang itu ada hubungan muamalah,” atau, “Ada seseorang yang aku percaya yang menyaksikannya, dan aku akan menanyakannya,” maka aku beri waktu hingga ia menanyakannya, dan aku tidak memutuskan sesuatu atas orang yang dituduh.

Jika ia bersumpah, ia mengambil haknya. Jika ia enggan bersumpah, aku batalkan haknya untuk bersumpah. Jika kemudian ia meminta sumpah, aku tidak memberikannya karena telah aku batalkan. Jika ia datang dengan saksi lain, aku menerima keduanya karena aku tidak membatalkan saksi—aku hanya membatalkan haknya atas sumpah.

Ia berkata: Jika hak itu berupa dua puluh dinar atau senilai itu, atau darah, atau luka yang disengaja yang mengharuskan qishāsh apa pun bentuknya, atau had, atau perceraian, maka orang yang bersumpah melakukannya di Makkah antara Ka‘bah dan Maqām Ibrāhīm; jika di Madinah maka di atas mimbar Rasulullah ﷺ; jika di Baitul Maqdis maka di dalam masjidnya; dan jika di kota lain maka di dalam masjid kota itu.

Aku lebih suka jika sumpah dilakukan setelah ‘Ashar.

Sebagian hakim di wilayah lain bersumpah di atas mushaf, dan menurutku itu adalah hal yang baik.

(Imam asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika hak itu kurang dari dua puluh dinar atau senilai itu, atau berupa luka tidak sengaja dengan diyat kurang dari dua puluh, maka ia bersumpah di masjid atau di majelis hakim.

(Imam asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Penetapan dua puluh dinar ini merupakan pendapat para ahli fikih dan hakim Makkah.

Apabila seseorang bersumpah atas haknya sendiri, maka ia bersumpah dengan mengucapkan:

“Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui perkara gaib dan nyata, Maha Pengasih, Maha Penyayang, yang mengetahui segala rahasia sebagaimana Dia mengetahui yang tampak, bahwa apa yang disaksikan oleh si Fulan bin Fulan terhadapmu, yaitu (menyebutkan hak secara rinci sebagaimana dalam kesaksian), sungguh hal itu benar adanya dan merupakan hakku atasmu. Aku tidak pernah menerima darimu barang itu sedikit pun, tidak langsung maupun melalui orang lain atas perintahku, dan tidak satu bagian pun darinya. Tidak pula aku menerima melalui selainku atas perintahku, tidak ada satu pun cara di mana engkau terbebas dari tanggunganku, tidak seluruhnya dan tidak sebagian darinya, tidak pula aku membebaskanmu, tidak mengalihkannya kepadamu, tidak mengalihkannya kepada orang lain sehingga sampai kepadamu, dan tidak ada satu pun bentuk yang membuatmu terbebas darinya hingga hari aku bersumpah dengan sumpah ini.”

Jika ia memang telah menerima sebagian atau membebaskan sebagian, maka ia bersumpah seperti yang telah dijelaskan. Ketika sampai pada bagian:

“Aku tidak pernah menagihnya, tidak sedikit pun darinya, dan tidak ada seorang pun yang menagihnya atas perintahku, tidak sedikit pun, dan tidak pernah sampai kepadaku, tidak juga kepada selainku atas perintahku, tidak ada sedikit pun perbuatanku yang menjadikanmu bebas dari hak tersebut atau dari sebagian darinya dengan cara apa pun.”

Kemudian ia melanjutkan rangkaian sumpah tersebut.

Jika ia bersumpah atas rumah, budak, atau lainnya yang ada di tangannya, maka ia bersumpah sebagaimana yang telah dijelaskan. Ia berkata:

“Sesungguhnya rumah yang begini dan begini, dengan batas-batas ini dan itu, adalah rumahku. Aku tidak pernah menjualnya kepadamu, tidak sebagian darinya. Aku tidak pernah memberikannya kepadamu, tidak sebagian darinya. Aku tidak pernah menyedekahkannya kepadamu, tidak sebagian darinya, dan tidak juga kepada orang lain yang bisa menyampaikan kepadamu, tidak sebagian darinya, dengan cara apa pun. Sesungguhnya rumah ini masih dalam kepemilikanku, dan tidak ada satu pun darinya yang keluar dari kepemilikanku kepada siapa pun, tidak kepada engkau maupun kepada yang lain.”

Ia bersumpah terhadap orang lain karena hak orang yang menyuruhnya bersumpah, sebab bisa jadi ia mengalihkannya kepada orang lain lalu sampai kepada orang yang saat ini menguasainya.

Jika yang meminta sumpah adalah seorang ahli kitab (dzimmi), maka ia disumpah:

“Demi Allah yang menurunkan Taurat kepada Musa,” atau dengan lafaz lain yang agung dan diketahui kebenarannya, bukan yang batil. Tidak boleh bersumpah dengan sesuatu yang diagungkan jika tidak diketahui hakikatnya.

Hendaknya dihadirkan orang dari agamanya yang ia segani jika ia bersalah, agar sumpahnya lebih dijaga, insya Allah Ta‘ala.

Ia berkata: Jika hak itu milik orang yang telah wafat dan orang yang bersumpah adalah ahli warisnya, maka ia bersumpah sebagaimana dijelaskan, dengan mengatakan:

“Sesungguhnya hak ini adalah milik si Fulan (mayit), dan ia tetap atasmu. Aku tidak tahu bahwa si Fulan (mayit) pernah menagihnya darimu, tidak sedikit pun. Aku juga tidak tahu bahwa ia telah membebaskanmu dari hak tersebut, tidak seluruhnya, tidak sebagian darinya, dan ia telah meninggal dunia, sedangkan hak itu tetap atasmu hingga hari aku bersumpah dengan sumpah ini.”

Ia berkata: Jika sumpah itu menjadi hak seseorang untuk mengambil dengan sumpah, atau untuk membebaskan diri darinya, lalu ia memulai bersumpah sebelum disumpahkan oleh hakim, maka hakim harus mengulang sumpah atasnya agar sumpah itu sah setelah adanya keputusan hakim.

 

 

[Asal Larangan Membunuh dari Al-Qur’an]

Asal larangan membunuh dari Al-Qur’an, al-Rabi’ memberitakan kepada kami, ia berkata: (al-Syafi’i berkata): Allah Ta‘ala berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk dibunuh) kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkanmu” [al-An‘ām: 151]

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Barang siapa dibunuh secara zalim” [al-Isrā’: 33]

Allah Ta‘ala berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan lain bersama Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar” [al-Furqān: 68]

Dan firman-Nya: “Barang siapa membunuh satu jiwa bukan karena jiwa (dibalas) atau karena membuat kerusakan di bumi” [al-Mā’idah: 32]

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Bacakanlah kepada mereka kisah dua anak Adam dengan benar, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah satunya dan tidak diterima dari yang lain” [al-Mā’idah: 27] sampai “maka ia menjadi orang yang menyesal.” [al-Mā’idah: 31]

Dan firman-Nya: “Barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka Jahanam, kekal di dalamnya” [an-Nisā’: 93]

[Membunuh Anak-Anak]

(al-Syafi’i berkata): – semoga Allah merahmatinya – Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ: “Katakanlah: ‘Mari kubacakan apa yang diharamkan Tuhanmu atas kalian, yaitu janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, berbuat baiklah kepada orang tua, dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin, Kamilah yang memberi rezeki kepada kalian dan mereka, dan janganlah kalian mendekati perbuatan keji, yang tampak maupun tersembunyi” [al-An‘ām: 151]

Dan firman-Nya: “Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya – karena dosa apakah dia dibunuh?” [at-Takwīr: 8–9]

Dan firman-Nya: “Demikianlah sekutu-sekutu mereka menjadikan indah bagi banyak orang musyrik membunuh anak-anak mereka.” [al-An‘ām: 137]

(al-Syafi’i berkata): Sebagian orang Arab membunuh anak perempuan mereka saat masih kecil karena takut miskin dan malu. Maka ketika Allah melarang hal itu dari anak-anak kaum musyrik, itu menunjukkan larangan yang tetap untuk membunuh anak-anak kaum musyrik di wilayah perang. Demikian pula ditunjukkan oleh sunah, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Qur’an mengenai haramnya pembunuhan tanpa hak.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Sungguh merugilah orang-orang yang membunuh anak-anak mereka secara bodoh tanpa ilmu” [al-An‘ām: 140]

(al-Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah memberitahu kami, dari Abu Mu‘āwiyah ‘Amr al-Nakha‘i, ia berkata: Aku mendengar Abu ‘Amr al-Syaibānī berkata: Aku mendengar Ibn Mas‘ūd berkata:

Aku bertanya kepada Nabi ﷺ, “Dosa besar apa yang paling besar?”

Beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu.”

Aku berkata, “Lalu apa lagi?”

Beliau menjawab, “Engkau membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu.”

[Larangan Membunuh dalam Sunnah]

Seorang yang tepercaya memberitakan kepada kami dari Ḥammād dari Yaḥyā bin Sa‘īd dari Abū Umāmah bin Sahl bin Ḥunayf dari ‘Utsmān bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak halal membunuh seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: kekufuran setelah keimanan, zina setelah pernikahan (yakni telah muhshan), atau membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.”

(al-Syāfi‘i – raḥimahullāh – berkata): Yang membolehkan seorang Muslim dibunuh dengan sengaja ada tiga: kekufuran yang tetap setelah iman, zina setelah dia menikah (muhshan), atau membunuh orang lain dengan sengaja tanpa hak. Ini telah ditempatkan pada tempatnya.

(al-Syāfi‘i berkata): ‘Abdul-‘Azīz bin Muḥammad memberitakan kepada kami dari Muḥammad bin ‘Amr dari Abū Salamah dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Aku akan terus memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Lā ilāha illallāh. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah.”

Al-Rabī‘ memberitakan kepada kami, ia berkata: al-Syāfi‘i memberitakan kepada kami, ia berkata: Yaḥyā bin Ḥassān memberitakan kepada kami dari al-Layth bin Sa‘d dari Ibn Syihāb dari ‘Aṭā’ bin Yazīd al-Laythī dari ‘Abdullāh bin ‘Adiyy bin al-Khiyār:

Bahwa al-Miqdād mengabarkan kepadanya bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku bertemu dengan salah seorang dari orang-orang kafir, lalu dia memerangiku, kemudian dia memukul salah satu tanganku dengan pedang hingga putus, lalu dia berlindung di balik pohon dan berkata, ‘Aku telah masuk Islam karena Allah.’ Apakah aku boleh membunuhnya, wahai Rasulullah, setelah ia mengucapkan itu?”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu bunuh dia.”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah memotong tanganku kemudian baru mengatakan itu. Apakah aku boleh membunuhnya?”

Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu bunuh dia. Jika engkau membunuhnya, maka dia berada dalam posisimu sebelum engkau membunuhnya, dan engkau berada dalam posisinya sebelum ia mengucapkan kata yang ia ucapkan.”

(al-Rabī‘ berkata): Makna sabda Nabi ﷺ “Jika engkau membunuhnya maka dia berada dalam posisimu” adalah: dia telah menjadi haram darahnya sebelum engkau membunuhnya. Dan engkau berada dalam posisinya, yaitu halal darahmu, karena engkau membunuhnya sebelum ia mengucapkan kata yang dia ucapkan. Maksudnya, dia halal darah sebelum mengucapkan itu, bukan berarti engkau menjadi kafir sepertinya.

Al-Rabī‘ memberitakan kepada kami, ia berkata: al-Syāfi‘i memberitakan kepada kami, ia berkata: Sufyān bin ‘Uyainah memberitakan kepada kami dari Ayyūb dari Abū Qilābah dari Tsābit bin al-Ḍaḥḥāk bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa membunuh dirinya dengan sesuatu dari dunia, maka dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.”

Muslim bin Khālid memberitakan kepada kami dengan sanad yang tidak kuingat:

“Sesungguhnya Rasulullah melewati seseorang yang terbunuh, lalu beliau berkata: ‘Siapa pelakunya?’ Namun tidak ada yang menyebutkan pelakunya. Maka beliau marah dan bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya penduduk langit dan bumi ikut serta dalam pembunuhannya, pasti Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka.’”

Dan Muslim juga memberitakan kepada kami dengan sanad yang tidak kuingat, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Membunuh seorang mukmin di sisi Allah setara dengan lenyapnya dunia.”

Seorang yang tepercaya memberitakan kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa membantu dalam membunuh seorang Muslim walau dengan setengah kata, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan tertulis di antara kedua matanya ‘terputus dari rahmat Allah’.”

Ini menunjukkan betapa kerasnya ancaman dalam hal pembunuhan.

[Kumpulan Dalil Tentang Kewajiban Qishāsh dalam Pembunuhan Sengaja]

(al-Syāfi‘i – raḥimahullāh – berkata): Allah Yang Maha Luhur dan Maha Mulia berfirman:

“Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya. Maka janganlah ia melampaui batas dalam membunuh.” [al-Isrā’: 33]

(al-Syāfi‘i berkata): Dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Maka janganlah ia melampaui batas dalam membunuh”, maksudnya adalah: jangan membunuh selain si pembunuh. Dan ini serupa dengan apa yang dikatakan – wallāhu a‘lam – dalam firman Allah:

“Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang dibunuh.” [al-Baqarah: 178]

Maka qishāsh itu hanya berlaku terhadap orang yang melakukan perbuatan yang menyebabkan qishāsh, bukan terhadap orang yang tidak melakukannya. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menetapkan kewajiban qishāsh dalam Kitab-Nya, dan sunnah menjelaskan kepada siapa qishāsh itu berlaku dan dari siapa qishāsh itu dituntut.

(al-Syāfi‘i berkata): Ibrāhīm bin Muḥammad memberitakan kepada kami dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:

“Ditemukan pada pegangan pedang Rasulullah sebuah tulisan: Sesungguhnya manusia yang paling berani melawan Allah adalah orang yang membunuh bukan karena membalas pembunuh, memukul bukan karena dibalas pukulan, dan barang siapa mengangkat selain tuan yang membebaskannya sebagai pelindung, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan Allah kepada Muḥammad .”

Al-Rabī‘ memberitakan kepada kami, ia berkata: al-Syāfi‘i memberitakan kepada kami, ia berkata: Sufyān bin ‘Uyainah memberitakan kepada kami dari Muḥammad bin Isḥāq, ia berkata: Aku bertanya kepada Abū Ja‘far Muḥammad bin ‘Alī – raḍiyallāhu ‘anhumā – “Apa isi lembaran yang berada dalam sarung pedang Rasulullah ﷺ?”

Ia menjawab: “Di dalamnya tertulis: Allah melaknat orang yang membunuh bukan karena membalas pembunuh, memukul bukan karena dibalas pukulan, dan barang siapa menjadikan selain tuan yang membebaskannya sebagai pelindung maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan Allah – Jalla Dzikruhu – kepada Muḥammad .”

Al-Rabī‘ memberitakan kepada kami, ia berkata: al-Syāfi‘i memberitakan kepada kami, ia berkata: Sufyān memberitakan kepada kami dari Ibn Abī Laylā dari al-Ḥakam atau dari ‘Īsā bin Abī Laylā, ia berkata:

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa membunuh seorang mukmin secara zalim (tanpa hak), maka ia wajib dibalas qishāsh kecuali jika wali si terbunuh merelakan. Maka barang siapa yang menghalanginya (pelaksanaan qishāsh), maka atasnya laknat Allah dan kemurkaan-Nya, tidak akan diterima darinya amal maupun tebusan.”

Sufyān bin ‘Uyainah memberitakan kepada kami dari ‘Abd al-Malik bin Sa‘īd bin Abjar dari Iyād bin Laqīṭ, dari Abū Rimhah:

“Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah . Lalu ayahku melihat sesuatu di punggung Rasulullah dan berkata: ‘Izinkan aku mengobati yang ada di punggungmu, karena aku seorang tabib.’ Maka beliau bersabda: ‘Engkau adalah orang yang lemah lembut.’

Kemudian Rasulullah bertanya: ‘Siapa orang ini bersamamu?’ Ia menjawab: ‘Ini anakku yang aku hadirkan sebagai saksi.’ Maka Rasulullah bersabda: ‘Ketahuilah, dia tidak menanggung dosamu dan engkau pun tidak menanggung dosanya.’”

[Orang yang Wajib Dikenai Qishāsh dalam Kasus Pembunuhan dan yang Selainnya]

(al-Syāfi‘i berkata): Tidak dikenakan qishāsh atas orang yang tidak wajib atasnya hukum ḥadd, yaitu laki-laki yang belum mimpi basah, perempuan yang belum haid, atau yang belum genap lima belas tahun, serta siapa pun yang hilang akalnya dengan sebab apa pun, kecuali karena mabuk. Maka qishāsh dan ḥadd tetap dikenakan atas orang mabuk sebagaimana terhadap orang yang sehat akalnya. Setiap orang yang kami sebutkan wajib qishāsh, maka ia adalah orang yang baligh dan tidak hilang akalnya. Dan orang yang hilang akalnya karena mabuk tidak disamakan dengan selainnya.

(al-Syāfi‘i berkata): Jika seorang laki-laki baligh, tidak berada dalam perwalian, mengakui bahwa ia melakukan suatu tindak pidana dengan sengaja, dan ia menjelaskannya serta menetapkannya, lalu ia menjadi gila atau hilang akalnya, maka tetap dikenakan qishāsh atas pembunuhan sengaja tersebut, dan diyat kesalahan (arsh al-khaṭā’) diambil dari hartanya. Hilangnya akal tidak menghalangi penegakan hak atas dirinya.

(al-Syāfi‘i berkata): Jika ia mengaku melakukan pelanggaran terhadap hak Allah, seperti zina atau riddah, lalu ia menjadi gila, maka aku tidak menegakkan ḥadd zina atasnya dan tidak membunuhnya karena riddah, karena aku butuh ia tetap waras ketika menetapkan pengakuan atas zina. Begitu juga aku perlu berkata kepadanya saat ia berakal: “Jika engkau tidak kembali ke Islam, aku akan membunuhmu.”

(al-Syāfi‘i berkata): Jika seseorang yang baligh mengaku bahwa ia pernah melakukan suatu tindak pidana terhadap seseorang dengan sengaja, lalu ia berkata, “Aku ketika melakukannya masih kecil,” maka ucapannya diterima, dan ia tidak dikenai qishāsh, tetapi ia wajib membayar diyat (arsh) sebagai kesalahan dari hartanya. Jika ia mengaku bahwa perbuatannya adalah kesalahan (bukan sengaja), maka ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) tidak menanggungnya, dan ia yang menanggungnya dari hartanya sendiri.

Jika ia berkata, “Aku ketika melakukannya sedang hilang akal walau sudah baligh,” maka jika terbukti ia benar-benar hilang akal, maka ucapannya diterima. Tetapi jika tidak diketahui kebenarannya, maka korban tetap bisa menuntut qishāsh darinya.

(al-Syāfi‘i berkata): Jika pengakuannya diterima, maka ia wajib bersumpah jika diminta oleh penggugat.

(al-Syāfi‘i berkata): Jika para saksi bersaksi bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana dengan sengaja terhadap seseorang, maka aku akan bertanya kepada mereka: “Apakah dia saat itu baligh atau masih kecil?” Jika mereka tidak memastikan bahwa dia sudah baligh, dan orang yang dituduh mengingkari perbuatan itu, atau berkata, “Saya melakukannya saat masih kecil,” maka dianggap sebagai tindak pidana anak kecil dan diwajibkan diyatnya dari hartanya, dan tidak dikenai qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata): Jika seseorang yang kadang-kadang gila dan kadang sadar melakukan tindak pidana terhadap seseorang, lalu dia berkata, “Saya melakukannya dalam keadaan gila,” maka ucapannya diterima. Dan jika para saksi bersaksi bahwa ia melakukan tindak pidana namun tidak menetapkan apakah dalam kondisi sadar atau gila, maka hukumnya tetap demikian. Namun jika mereka menetapkan bahwa ia melakukannya dalam keadaan sadar, maka ia dikenai qishāsh.

Demikian juga terhadap orang yang hilang akalnya karena sakit apa pun, atau sebab apa pun selain mabuk. Jika mereka menetapkan bahwa orang gila melakukannya dalam keadaan mabuk, namun mereka berkata, “Kami tidak tahu apakah hilangnya akal karena mabuk atau karena sebab lain yang dideritanya,” maka ucapannya yang diterima. Namun jika mereka menetapkan bahwa dia sedang sadar dari gilanya dan mabuklah yang membuat akalnya hilang, maka dikenakan qishāsh atasnya.

Jika ada saksi bersaksi bahwa ia melakukan tindak pidana dalam keadaan hilang akal, dan saksi lain bersaksi bahwa ia melakukannya dalam keadaan sadar, maka kedua kesaksian itu dibatalkan karena saling menafikan, dan ucapannya sendiri yang diterima disertai sumpah.

Namun jika ia adalah orang yang kadang gila dan kadang sadar, lalu ada saksi bersaksi bahwa ia melakukannya dalam keadaan hilang akal, tapi dia sendiri berkata, “Saya melakukannya dalam keadaan sadar,” maka ucapannya diterima dan ia dikenai qishāsh.

[Bab Pembunuhan Sengaja yang Diwajibkan Qishāsh]

Al-Rabī‘ memberitakan kepada kami, ia berkata: al-Syāfi‘i memberitakan kepada kami, ia berkata: Bentuk pembunuhan terbagi menjadi tiga: pembunuhan sengaja yang di dalamnya terdapat qishāsh—maka wali korban memiliki hak untuk menuntut qishāsh jika ia menghendaki—, pembunuhan sengaja yang tidak ada qishāsh di dalamnya, dan pembunuhan karena kesalahan; dari dua bentuk terakhir ini tidak ada qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata): Adapun pembunuhan sengaja yang mewajibkan qishāsh adalah ketika seseorang sengaja melukai orang lain dengan senjata yang memang dibuat untuk mengalirkan darah dan menembus daging—sesuatu yang dipahami oleh setiap orang sebagai senjata yang digunakan untuk membunuh dan melukai—yaitu besi yang tajam seperti pedang, pisau, belati, ujung tombak, jarum, dan sejenisnya yang jika digunakan untuk memukul atau melempar dapat menembus kulit dan daging bukan karena beratnya, tetapi karena ketajamannya.

(al-Syāfi‘i berkata): Itulah senjata—wallāhu a‘lam—yang Allah perintahkan untuk dibawa dalam salat khauf. Begitu juga setiap benda sejenis yang keras lalu ditajamkan hingga apabila ditusukkan atau dilempar bisa menembus dengan ketajamannya sebelum beratnya, seperti kayu yang ditajamkan, logam seperti tembaga, perak, emas, dan selainnya. Maka siapa yang melukai seseorang dengan sesuatu dari benda ini dan orang tersebut mati karena lukanya, maka dikenakan qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata): Jika ia memukul dengan sisi pedang atau sisi belati atau jarum namun tidak melukai, lalu orang tersebut mati, maka tidak ada qishāsh, kecuali besi tersebut melukai atau memukul keras seperti batu besar yang memecahkan kepala atau batang besi besar dan sejenisnya.

(al-Syāfi‘i berkata): Begitu pula jika ia memukul dengan batang besi ringan yang tidak bisa memecah, atau benda besi yang tidak melukai, atau benda ringan yang tidak melukai, atau ia memukul dengan sisi tajam pedang tapi tidak melukai dan orang itu mati, maka hanya ada diyat (ʿaql), tidak ada qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata): Jika seseorang menggunakan benda dari besi atau selainnya yang diletakkan di ujung tongkat ringan yang menyerupai tombak permainan, lalu ia memukul dengan satu pukulan dan orang itu mati, maka tidak ada qishāsh karena itu bukan alat untuk menumpahkan darah atau membunuh, dan jika menyebabkan kematian, maka karena beratnya, bukan ketajamannya.

(al-Syāfi‘i berkata): Begitu juga jika ia melempar dengan “mi‘rāḍ” (tombak kecil) dan mengenainya dengan sisi yang tidak tajam hingga mati, atau mengenai ujungnya tapi tidak melukai hingga mati.

(al-Syāfi‘i berkata): Demikian pula jika ia memukul dengan batu yang tidak tajam dan ringan lalu mengenai kepala hingga mati, maka tidak ada qishāsh, meskipun melukainya. Demikian pula jika memukul dengan cambuk lalu menembus atau memukul dengan cambuk-cambuk yang menurut pandangan umum tidak menyebabkan kematian, maka tidak ada qishāsh. Tetapi jika orang yang dipukul sudah lemah lalu dipukul sepuluh kali dengan cambuk yang biasanya bisa membunuh orang semisalnya, dan ia mati, maka dikenakan qishāsh. Namun jika masih mungkin bertahan dan dipukul seratus kali padahal menurut kebanyakan orang itu tidak mematikan, lalu ia mati, maka tidak ada qishāsh.

Setiap besi yang tajam dan bisa melukai, lalu digunakan untuk melukai, baik lukanya kecil maupun besar dan menyebabkan kematian, maka dikenakan qishāsh, karena ia melukai dengan ketajamannya. Dan batu melukai karena beratnya. Jika ada batu permata atau jenis batu yang ditajamkan hingga seperti tajamnya besi dan digunakan untuk melukai, lalu korban meninggal, maka dikenakan qishāsh.

Jika tindakan itu dilakukan dengan benda yang secara umum jika digunakan bisa membunuh, seperti memukul kepala atau dada dengan kayu besar hingga hancur, atau memukul pinggangnya hingga mati di tempat, atau tindakan lain yang menurut kebiasaan tidak memungkinkan orang selamat darinya, atau ia memukul dengan tongkat ringan namun secara terus-menerus hingga jumlah pukulannya membuat orang tak mungkin selamat, maka dalam kasus ini dikenakan qishāsh.

Demikian pula jika seseorang memukul bagian pinggang, perut, dada, punggung, atau bokong secara terus-menerus—dua ratus atau tiga ratus pukulan—lalu ia tidak berhenti sampai korban mati atau pingsan lalu meninggal, maka dikenakan qishāsh.

Begitu pula jika seseorang membakar lubang lalu saat menjadi bara api ia melemparkan korban ke dalamnya, atau membakar permukaan tanah lalu melemparkannya ke atasnya dalam keadaan terikat, atau ia mengikatnya untuk ditenggelamkan ke dalam air, lalu korban meninggal di tempat atau kemudian mati karena luka yang dideritanya, maka dalam semua ini dikenakan qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata):

Apabila seseorang membakar api di permukaan tanah lalu melemparkan korban ke dalamnya dalam keadaan lumpuh (tak berdaya) atau masih kecil, maka hukumannya tetap qishāsh. Namun jika korban dalam keadaan sehat dan secara akal dapat dipastikan bahwa ia mampu menyelamatkan diri namun tidak melakukannya lalu mati, maka tidak ada qishāsh. Namun jika ia berusaha menyelamatkan diri tetapi kalah oleh besarnya api atau hebatnya kobaran, maka dikenakan qishāsh.

Demikian pula jika ia dilemparkan ke dalam api lalu terus bergerak berusaha keluar tapi gagal dan mati, atau sempat keluar namun mengalami luka bakar berat yang secara umum tidak mungkin diselamatkan, lalu ia mati karena itu, maka dikenakan qishāsh.

Jika kejadiannya terjadi dalam situasi di mana korban bisa menyelamatkan diri—misalnya di dekat tanah yang tidak terbakar sehingga cukup dengan berguling ke arah itu—atau ia berkata, “Aku tetap tinggal padahal bisa menyelamatkan diri,” atau ucapan lain yang menunjukkan ia mampu menyelamatkan diri, maka tidak ada diyat maupun qishāsh. Namun ada pula pendapat yang mengatakan: dikenakan diyat.

Jika ia dilempar ke air yang dekat dengan tepi pantai dan ia bisa berenang, serta arus air tidak menghanyutkannya, lalu ia mati, maka tidak ada qishāsh. Jika ia tidak bisa berenang, tapi dilempar ke tempat dekat daratan, atau gunung, atau kapal yang tetap (tidak bergerak), dan sebenarnya ia bisa menyelamatkan diri tapi tidak melakukannya, maka juga tidak ada qishāsh.

Namun jika dilempar ke air yang secara umum tidak bisa diselamatkan, lalu ia mati, maka dikenakan qishāsh. Dan jika biasanya bisa selamat dari tempat itu tapi ia malah dimakan ikan, maka tidak ada qishāsh, tapi dikenakan diyat.

(Abū Muḥammad berkata): Ada pula pendapat bahwa, baik ia bisa menyelamatkan diri maupun tidak, maka tidak ada qishāsh, tapi wajib diyat.

(al-Rabī‘ berkata): Pendapat yang paling kuat dari dua pendapat adalah: tidak ada diyat maupun qishāsh dalam kasus jiwa, karena yang menyebabkan kematian adalah dirinya sendiri saat ia bisa menyelamatkan diri tetapi tidak melakukannya. Adapun orang yang melemparkannya ke api, ia hanya dikenai ganti rugi (arsh) atas bagian tubuh yang terbakar saat korban belum sempat menyelamatkan diri.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika ia mencekiknya dan terus-menerus mencekik hingga mati, maka dikenakan qishāsh. Demikian pula jika ia menutup napasnya dengan kain atau selainnya hingga mati, maka dikenakan qishāsh. Namun jika ia meninggalkannya dalam keadaan masih hidup lalu korban mati kemudian, maka tidak ada qishāsh, kecuali jika cekikan atau tekanan tersebut menyebabkan gangguan pernapasan yang berujung pada kematian, maka dikenakan qishāsh.

(al-Rabī‘ berkata): Ada pula pendapat bahwa, baik ia mampu menyelamatkan diri atau tidak, maka tidak dikenakan qishāsh tapi wajib diyat, karena kematian tidak langsung disebabkan oleh tangan pelaku.

(al-Syāfi‘i berkata):

Secara umum, setiap orang yang dibunuh dengan selain senjata tajam sebagaimana yang telah aku sebutkan, maka jika umumnya benda tersebut dapat membunuh orang sepertinya (dalam usia, kondisi kesehatan, dan kekuatan), maka wajib qishāsh. Tapi jika umumnya orang yang terkena seperti itu bisa selamat dan tidak mati, maka tidak dikenakan qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata):

Pukulan ringan pada bagian pinggang biasanya mematikan, sementara pukulan serupa pada punggung, bokong, paha, atau kaki umumnya tidak mematikan. Pukulan ringan juga biasa mematikan pada orang yang kurus lemah, namun biasanya tidak mematikan bagi orang yang kuat. Pukulan ringan cenderung mematikan pada cuaca sangat dingin atau sangat panas, tapi tidak demikian pada kondisi cuaca biasa.

(al-Syāfi‘i berkata):

Barang siapa melukai seseorang, maka harus dilihat pada kondisi waktu ia melukainya. Jika pada waktu itu umumnya luka semacam itu menyebabkan kematian, maka pelaku dikenakan qishāsh. Tapi jika secara umum luka semacam itu tidak menyebabkan kematian, maka tidak ada qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang menutup rumah orang lain dengan lumpur (menyegel pintunya), lalu tidak membiarkannya mendapatkan makanan atau minuman selama beberapa hari hingga ia mati, atau ia menahannya di suatu tempat tanpa menyegelnya tapi tetap mencegahnya mendapatkan makanan dan minuman dalam waktu yang menurut kebiasaan bisa menyebabkan kematian, lalu ia mati, maka pelaku dibunuh sebagai qishāsh. Namun jika korban mati dalam jangka waktu yang umumnya tidak menyebabkan kematian, maka dikenakan diyat (ʿaql), bukan qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika pelaku menahan korban namun tetap memberinya makanan atau minuman, lalu korban tidak meminum minuman itu hingga mati, dan belum lewat waktu yang biasanya menyebabkan kematian jika seseorang tidak diberi makan atau minum, maka tidak ada diyat dan tidak ada qishāsh, karena korban sendiri yang memilih untuk tidak minum, sehingga ia ikut andil membunuh dirinya. Namun jika pelaku menahan makanan dalam jangka waktu yang umumnya bisa membunuh seseorang, maka pelaku dikenakan qishāsh. Jika tidak sampai waktu yang mematikan, maka dikenakan diyat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika aku hendak menegakkan qishāsh atas pelaku dengan cara yang sama seperti perbuatannya, yaitu dengan menahan dan mencegah makanan seperti yang ia lakukan terhadap korbannya, maka jika korban mati dalam jangka itu, maka pelaku telah dibalas setimpal. Jika tidak mati, maka ia dihukum mati dengan pedang.

[Bab Pembunuhan Sengaja dalam Kasus Selain Jiwa (Anggota Tubuh)]

(al-Syāfi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Apa yang terjadi pada selain jiwa (anggota tubuh) berbeda dengan jiwa dalam sebagian hukum terkait pembunuhan sengaja (al-‘amdu). Jika seseorang dengan sengaja mencolok mata orang lain dengan jarinya lalu mata itu rusak, maka dikenakan qishāsh; karena jari bisa menyebabkan kerusakan seperti yang dilakukan senjata dalam kasus jiwa, bahkan bisa lebih parah. Begitu pula jika seseorang memasukkan jarinya ke dalam mata orang lain lalu mata itu mengalami kerusakan hingga tidak sembuh sampai akhirnya hilang penglihatan atau mata itu hancur, maka dikenakan qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata):

Namun jika seseorang menampar kepala orang lain, lalu bengkak, dan kemudian membesar hingga menjadi luka terbuka (muwaḍdihah), maka tidak dikenakan qishāsh, karena umumnya tamparan tidak menyebabkan hal demikian; sehingga dihukumi sebagai kesalahan (khaṭā’).

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang memukul kepala orang lain dengan batu yang tajam, atau batu berat yang tidak tajam hingga menyebabkan luka terbuka atau berdarah, lalu menjadi luka terbuka (muwaḍdihah), maka dikenakan qishāsh; karena kebanyakan batu seperti ini memang menyebabkan akibat seperti itu. Namun jika hanya melemparkan kerikil kecil hingga menyebabkan bengkak lalu kemudian menjadi luka terbuka, maka tidak dikenakan qishāsh, namun dikenakan diyat secara penuh; karena kerikil kecil pada umumnya tidak menyebabkan luka seperti itu.

(al-Syāfi‘i berkata):

Berdasarkan itu, setiap kerusakan selain jiwa yang menyebabkan qishāsh harus dilihat pada alat atau benda yang digunakan untuk melukainya. Jika benda itu secara umum mampu menimbulkan kerusakan seperti halnya senjata besi dalam kasus jiwa, dan memang menimbulkan kerusakan tersebut, maka dikenakan qishāsh. Namun jika alat tersebut biasanya tidak menimbulkan kerusakan demikian kecuali sangat jarang, maka tidak ada qishāsh, tapi dikenakan diyat. Ini sejalan dengan kaidah dalam kasus pembunuhan jiwa terkait penetapan atau penghapusan qishāsh dan penetapan diyat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Secara umum, cara membedakan antara pembunuhan sengaja (al-‘amdu) dan kesalahan (al-khaṭā’) adalah: seseorang memukul orang lain dengan tongkat ringan, atau memukul bagian bokongnya dengan tongkat, atau memukul punggungnya dengan cambuk—yakni dengan pukulan yang secara umum tidak menyebabkan kematian—atau dengan yang lebih ringan dari itu seperti menampar, mendorong, menepuk, atau memukul dengan tali sandal dan sejenisnya. Semua ini termasuk kategori “al-‘amdu al-khaṭā’” (sengaja tapi dihukumi seperti kesalahan), yang tidak dikenakan qishāsh tapi wajib diyat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Sufyān bin ‘Uyainah memberitakan kepada kami dari ‘Alī bin Zayd bin Jud‘ān dari al-Qāsim bin Rabī‘ah dari Ibn ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Ketahuilah bahwa dalam pembunuhan yang disengaja tapi seperti kesalahan (al-‘amdu al-khaṭā’), karena cambuk atau tongkat, terdapat kewajiban seratus ekor unta sebagai diyat, dengan empat puluh di antaranya unta betina bunting.”

‘Abd al-Wahhāb memberitakan kepada kami dari Khālid al-Ḥadhdhā’ dari al-Qāsim bin Rabī‘ah bin ‘Uqbah bin Aws dari seorang sahabat Rasulullah ﷺ.

(al-Syāfi‘i berkata):

Diyat (ganti rugi) dalam kasus ini ditanggung oleh ‘āqilah (keluarga pihak pelaku yang bertanggung jawab atas diyat), karena ia tergolong pembunuhan karena kesalahan (khaṭā’) dalam hukum, meskipun secara perbuatan adalah sengaja dan mungkin untuk dikenai qishāsh, namun tidak diberlakukan qishāsh di dalamnya. Diyat ini wajib dibayar dalam jangka waktu tiga tahun.

(al-Syāfi‘i berkata):

Inilah maksud dari penjelasan saya tentang jenis pukulan yang secara umum tidak menyebabkan kematian. Saya tidak menjumpai satu pun ahli fikih dan ahli ijtihad yang berbeda pendapat mengenai hal ini. Adapun jika seseorang memecahkan kepala orang lain dengan batu atau memukulinya terus-menerus dengan tongkat atau cambuk dalam intensitas yang secara umum menyebabkan kematian, maka ini lebih parah daripada membunuh dengan satu tikaman pisau atau besi ringan di kepala, tangan, atau kaki. Ia lebih cepat mematikan dan lebih layak dikategorikan sebagai pembunuhan yang sulit untuk diselamatkan.

[Hukum dalam Kasus Pembunuhan Sengaja (al-‘Amdu)]

(al-Syāfi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Termasuk ilmu yang bersifat umum dan tidak diperselisihkan oleh siapa pun yang saya temui atau saya dengar dari para ulama Arab adalah bahwa sebelum turunnya wahyu kepada Rasulullah ﷺ, suku-suku Arab berbeda-beda dalam hal keutamaan dan martabat. Di antara mereka terjadi kasus pembunuhan, baik sengaja maupun tidak sengaja, sebagaimana halnya yang terjadi di antara tetangga.

Dulu sebagian mereka saling mengakui keutamaan satu sama lain dalam hal diyat, hingga diyat seseorang yang mulia bisa menjadi beberapa kali lipat dari diyat orang yang lebih rendah darinya. Maka sebagian dari mereka mengambil kebijakan yang lebih adil daripada yang lain. Misalnya, diyat orang dari Bani al-Naḍīr dua kali lipat dari diyat orang dari Bani al-Qurayẓah.

Orang-orang Arab terdahulu, jika ada seorang tokoh terhormat mereka yang dibunuh, maka mereka tidak cukup membalas kepada pelakunya saja, tetapi akan membalas kepada para pembesar kabilah pelaku, meskipun mereka tidak ikut membunuh. Kadang mereka tidak merasa puas kecuali setelah membunuh sejumlah orang dari kabilah tersebut.

Contohnya, ketika sebagian dari Bani Ghanī membunuh Sya’s bin Zuhayr, maka ayahnya, Zuhayr bin Jużaymah, mengumpulkan orang-orang untuk membalasnya. Lalu mereka (Bani Ghanī) atau sebagian dari utusan mereka berkata: “Mintalah diyat atas kematian Sya’s.”

Zuhayr menjawab: “Ada tiga hal yang bisa membuatku puas. Selain itu, aku tidak akan menerima.” Mereka bertanya: “Apa itu?” Dia menjawab:

  1. Kalian menghidupkan kembali Sya’s untukku.
  2. Kalian memenuhi pakaianku dengan bintang-bintang di langit.
  3. Kalian serahkan seluruh Bani Ghanī kepadaku agar aku membunuh mereka semua.

Dan setelah itu pun aku belum tentu merasa telah mendapatkan ganti yang layak.

Ketika Kulaib dari Bani Wā’il dibunuh, mereka saling berperang dalam waktu yang lama. Sebagian dari mereka menjauh dari konflik tersebut. Suatu ketika mereka membunuh seorang anak dari kelompok yang menjauh itu, yang bernama Bujayr. Lalu Bujayr mendatangi mereka dan berkata, “Kalian telah mengetahui bahwa aku telah memisahkan diri dari peperangan. Maka sebagai ganti Kulaib, serahkanlah Bujayr dan hentikanlah peperangan.” Namun mereka menjawab, “Bujayr hanya sebanding dengan tali sandal Kulaib.” Maka mereka pun terus berperang, padahal Bujayr adalah pihak yang tidak terlibat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Dalam peristiwa ini dan lainnya, terkait hukum yang mereka tetapkan di masa jahiliah, turunlah ketetapan hukum yang akan aku jelaskan berikut ini. Allah Ta‘ala menetapkan hukum dengan keadilan dan menyamakan kedudukan seluruh hamba-Nya dalam hukum, baik yang mulia maupun yang rendah:

“Apakah hukum jahiliah yang mereka cari? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang meyakini?” [al-Mā’idah: 50]

Ketika Islam datang, sebagian orang Arab masih saling menuntut darah dan luka. Maka turunlah ayat:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang terbunuh” hingga firman-Nya:

“Itulah keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat.” [al-Baqarah: 178]

Serta ayat berikutnya.

Al-Rabī‘ memberitakan kepada kami, al-Syāfi‘i memberitakan kepada kami, Ma‘ādz bin Mūsā memberitakan kepada kami dari Bukayr bin Ma‘rūf dari Muqātil bin Ḥayyān. Ma‘ādz berkata: Muqātil berkata bahwa ia mengambil tafsir ini dari beberapa orang, dan Ma‘ādz mengingat nama-nama mereka: Mujāhid, al-Ḥasan, dan al-Ḍaḥḥāk bin Muzāḥim.

Mereka menafsirkan firman Allah:

“Barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya sesuatu, maka hendaklah (yang memberi maaf) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat dengan baik.” [al-Baqarah: 178]

Bahwa dalam Taurat, jika seseorang membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia harus dibunuh (di-qishāsh), tidak diberi maaf, dan tidak diterima diyat darinya. Dalam Injil, diwajibkan memberi maaf dan tidak membunuhnya.

Adapun bagi umat Muhammad ﷺ, Allah memberikan keringanan: jika mau, boleh membunuh (sebagai qishāsh); jika mau, boleh mengambil diyat; dan jika mau, boleh memaafkan. Inilah makna firman Allah:

“Itulah keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat.”

Maksudnya, diyat adalah keringanan dari Allah, karena jika tidak mau membunuh, maka cukup diyat.

Lalu Allah berfirman:

“Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka baginya azab yang pedih.”

Maksudnya: siapa yang membunuh setelah menerima diyat, maka ia mendapat azab yang pedih.

Dan dalam firman-Nya:

“Dan dalam qishāsh itu ada kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian bertakwa.” [al-Baqarah: 179]

Artinya: dengan adanya qishāsh, orang-orang akan saling menahan diri untuk tidak membunuh karena takut dibalas dengan hukuman yang sama.

Sufyān bin ‘Uyainah memberitakan kepada kami, ia berkata: ‘Amr bin Dīnār memberitakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Mujāhid berkata, aku mendengar Ibn ‘Abbās berkata:

Dulu pada Bani Isrā’īl hanya diberlakukan qishāsh, tidak ada diyat. Maka Allah Ta‘ala berfirman untuk umat ini:

“Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang terbunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan perempuan. Lalu barang siapa diberi maaf oleh saudaranya sesuatu”

Maksudnya: menerima diyat dalam kasus pembunuhan sengaja.

“Maka hendaklah mengikuti dengan baik dan membayar dengan baik. Itulah keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat.”

Yaitu, keringanan dari apa yang ditetapkan kepada umat sebelum kalian.

“Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka baginya azab yang pedih.”

(al-Syāfi‘i berkata):

Apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Abbās dalam hal ini sesuai dengan maknanya—dan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā lebih mengetahui kebenarannya—begitu pula apa yang dikatakan oleh Muqātil. Karena ketika Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan hukum qishāsh, lalu berfirman:

“Barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya sesuatu, maka hendaklah mengikuti dengan cara yang baik dan membayar dengan baik.” [al-Baqarah: 178]

—maka tidak boleh, wallāhu a‘lam, diartikan bahwa yang dimaksud dengan “diberi maaf” adalah berdamai dengan menerima diyat sejak awal, karena ‘afw (pemaafan) itu adalah penghapusan hak tanpa adanya kompensasi. Maka, yang dimaksud adalah jika wali korban memaafkan dari hukuman qatl (pembunuhan/qishāsh), maka setelah ia memaafkan, tidak ada lagi jalan untuk menuntut hukuman mati. Namun ia memiliki hak atas harta si pembunuh, yaitu berupa diyat korban, sehingga ia mengikuti (menuntut) secara baik, dan pembunuh wajib membayarnya dengan cara yang baik pula.

Seandainya jika memaafkan itu berarti tidak mendapat apa pun, tentu tidak relevan firman Allah: “maka hendaklah mengikuti dengan baik,” karena tidak ada lagi hak untuk dituntut. Demikian juga, tidak ada sesuatu pun yang perlu dibayarkan dengan baik oleh si pembunuh.

(al-Syāfi‘i melanjutkan):

Telah datang pula sunah yang menjelaskan dan sejalan dengan Al-Qur’an mengenai makna tersebut.

Al-Rabī‘ memberitakan kepada kami, al-Syāfi‘i memberitakan kepada kami, Ibn Abī Fudayk memberitakan kepada kami dari Ibn Abī Dhi’b, dari Sa‘īd bin Abī Sa‘īd al-Maqburī, dari Abū Syarīḥ al-Ka‘bī, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan (menjadikan suci) kota Makkah, dan bukan manusia yang mengharamkannya. Maka tidak halal bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah di dalamnya dan tidak pula menebang pohonnya. Jika ada yang mengatakan: ‘Rasulullah dihalalkan (untuk melakukan itu)’, maka katakanlah: Allah menghalalkannya untukku hanya sesaat dari siang hari, dan setelah itu keharamannya kembali seperti sebelumnya. Wahai kaum Khuzā‘ah, kalian telah membunuh seorang dari Hudzayl, dan aku—demi Allah—akan menanggung diyatnya. Maka barang siapa membunuh setelah itu, maka keluarga korban diberi dua pilihan: jika mereka mau, mereka bisa membunuh (qishāsh), dan jika mereka mau, mereka bisa mengambil diyat.”

(al-Syāfi‘i berkata):

Allah Yang Maha Mulia menurunkan firman-Nya:

“Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya. Maka janganlah ia melampaui batas dalam pembunuhan.” [al-Isrā’: 33]

Dapat dikatakan—wallāhu a‘lam—bahwa maksud dari firman-Nya “jangan melampaui batas dalam pembunuhan” adalah: jangan membunuh selain si pembunuh.

(al-Syāfi‘i berkata):

Tentang firman Allah Ta‘ālā: “Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang terbunuh” [al-Baqarah: 178], ayat ini secara khusus berlaku atas dua kelompok yang disebutkan oleh Muqātil bin Ḥayyān dan lainnya—yang pernah aku sebutkan di tempat lain—lalu ayat ini mengatur adab (hukum) bahwa si pembunuhlah yang dibunuh: seorang merdeka jika membunuh sesama merdeka, perempuan dibunuh jika membunuh sesama perempuan, dan tidak dibunuh orang lain selain pembunuh itu. Ini merupakan pembatalan terhadap praktik masa jahiliah yang membalas pembunuhan dengan membunuh orang lain dari keluarga atau kelompok pelaku, apabila korban dianggap lebih mulia daripada pembunuhnya, sebagaimana telah aku jelaskan.

Bukan berarti bahwa seorang laki-laki tidak boleh dibunuh jika membunuh perempuan (selama keduanya merdeka dan Muslim), dan bukan pula berarti bahwa seorang merdeka tidak boleh dibunuh karena membunuh seorang budak—larangan itu muncul dari alasan yang lain.

Dan jika seperti itu, maka lebih mendekati bahwa ayat ini tidak menunjukkan larangan membunuh dua orang karena membunuh satu orang, apabila memang keduanya adalah pelaku pembunuhan.

(al-Syāfi‘i berkata):

Ayat ini bersifat umum bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan qishāsh apabila darah antara pelaku dan korban setara (takāfu’ ad-dimā’), dan kesetaraan itu dinilai berdasarkan status kemerdekaan dan keislaman.

Semua yang telah aku jelaskan ini, baik dalam bentuk umum maupun khusus dari ayat ini, memiliki dalil dari al-Qur’an, sunah, atau ijmak.

(al-Syāfi‘i berkata):

Siapa pun yang membunuh seseorang, maka wali korban memiliki tiga pilihan:

  • jika ia mau, ia boleh membunuh pelaku (qishāsh),
  • jika ia mau, ia boleh mengambil diyat dari pelaku,
  • dan jika ia mau, ia boleh memaafkan pelaku tanpa menuntut diyat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Apabila wali korban memilih untuk mengambil diyat dan tidak menuntut qishāsh, maka keputusan itu sah meskipun pelaku membencinya atau tidak menyetujuinya, karena Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kekuasaan (hak) itu milik wali korban, bukan milik pelaku.

Setiap ahli waris dari korban, baik istri maupun selainnya, memiliki kedudukan yang sama. Maka tidak boleh satu pun dari mereka menuntut pembunuhan (qishāsh) kecuali seluruh ahli waris sepakat atas qishāsh.

Perlu ditunggu pula kehadiran ahli waris yang sedang bepergian hingga ia hadir atau memberi kuasa, dan anak-anak yang belum baligh hingga mereka dewasa. Pelaku ditahan sampai seluruh ahli waris hadir dan anak-anak mencapai usia baligh.

Jika salah satu ahli waris yang tidak hadir atau belum baligh meninggal dunia sebelum memberi keputusan, maka haknya berpindah kepada ahli warisnya, dengan hak yang sama: apakah memaafkan atau menuntut qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika salah satu dari mereka telah mengambil bagiannya dari diyat, maka ia tidak memiliki lagi hak untuk menuntut darah (qishāsh). Begitu pula jika ia memaafkan tanpa mengambil diyat, maka ia tidak lagi memiliki jalan untuk menuntut qishāsh setelah itu.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika si terbunuh memiliki utang dan wasiat, maka para pemberi utang dan ahli wasiat tidak berhak atas kompensasi (diyat) akibat pembunuhan, selama para ahli waris belum memilih untuk mengambil diyat. Namun jika para ahli waris memaafkan dan mengambil diyat, atau salah satu dari mereka memaafkan, maka diyat tersebut menjadi bagian dari harta peninggalan si terbunuh, sehingga para pemberi utang memiliki hak terlebih dahulu, dan ahli wasiat mendapat haknya sesuai bagian yang diwasiatkan.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika para ahli waris tidak memilih antara qishāsh maupun diyat hingga si pembunuh meninggal dunia, maka mereka berhak menuntut diyat dari harta peninggalan si pembunuh, dan mereka membaginya bersama para krediturnya sebagaimana utang biasa.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika mereka sudah memilih qishāsh, lalu si pembunuh mati sebelum qishāsh dilakukan, maka para ahli waris tetap berhak atas diyat dari harta peninggalannya. Sebab harta (diyat) hanya gugur apabila qishāsh telah benar-benar dilaksanakan. Begitu pula jika hakim sudah memutuskan qishāsh setelah pilihan itu ditetapkan, lalu si pembunuh mati sebelum eksekusi, maka mereka berhak atas diyat dari hartanya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika si pembunuh tidak mati, tetapi ia justru dibunuh oleh orang lain karena suatu kesalahan, lalu diyat dibayarkan kepada ahli warisnya, maka harta itu menjadi miliknya dan ahli waris korban pertama tidak lebih berhak atasnya daripada kreditur lain. Mereka tetap hanya berhak atas diyat korban pertama sebagai bagian dari harta pelaku, dan dibagi rata bersama para penagih utang lainnya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang melukai orang lain dengan sengaja, lalu korban memaafkannya atas luka tersebut dan dampak yang timbul, lalu ia meninggal akibat luka itu, maka tidak ada lagi hak untuk menuntut pembunuhan, karena ia telah memaafkan.

Namun, jika ia memaafkan untuk mendapatkan diyat atas luka tersebut, dan ternyata luka itu menjadi sebab kematiannya, maka diyat penuh (diyat jiwa) wajib dibayar.

Jika ia memaafkan baik diyat maupun qishāsh atas luka, lalu ia mati karena luka itu, maka menurut pendapat yang tidak membolehkan wasiat kepada si pembunuh, maka pemaafan itu dianggap batal dan diyat penuh menjadi hak ahli waris. Karena itu dianggap sebagai wasiat untuk si pembunuh, yang tidak sah.

Namun, bagi yang membolehkan wasiat kepada si pembunuh, maka pemaafan itu dihitung sebagai wasiat, dan diberikan kepada pelaku sebatas sepertiga harta (karena termasuk wasiat), dan bagian dari diyat selebihnya tetap menjadi hak ahli waris.

Tentang bagian diyat yang melebihi diyat luka: ada dua pendapat.

  • Yang pertama, bahwa pelaku hanya berhak atas sebesar diyat luka, karena itu adalah milik korban yang telah ia halalkan.
  • Yang kedua, bahwa ia tidak mendapatkan bagian apa pun karena ia hanya memiliki hak setelah korban wafat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika beberapa orang bersama-sama membunuh seseorang dengan sengaja, maka wali korban berhak menuntut qishāsh terhadap salah satu dari mereka saja—menurut pendapat yang membolehkan qishāsh satu orang dengan dua orang—yakni ia boleh membunuh siapa pun yang ia pilih dari para pelaku, atau menuntut diyat dari siapa pun sesuai bagian yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya, jika pelaku ada tiga orang lalu ia memaafkan salah satu, maka ia menuntut dua pertiga diyat dari dua lainnya, atau jika mau ia bisa menuntut qishāsh dari keduanya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika sekelompok orang memukul korban bersamaan hingga mati—salah satu memukul dengan besi tajam, satu lagi dengan tongkat ringan, satu lagi dengan batu atau cambuk—dan semuanya sengaja memukul, maka tidak berlaku qishāsh karena tidak diketahui pasti pukulan mana yang menyebabkan kematian. Padahal, sebagian alat yang digunakan tidak mewajibkan qishāsh.

Dalam kasus ini, pelaku yang menggunakan senjata tajam wajib membayar bagiannya dari diyat menggunakan hartanya sendiri, sementara dua pelaku lainnya (yang memakai alat ringan) diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah mereka.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan (misalnya melempar sesuatu dan mengenai korban secara tidak sengaja), maka para pelaku yang sengaja memukul dengan besi tetap wajib membayar bagian diyat mereka dari harta masing-masing. Sedangkan pelaku yang melakukan kesalahan, diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah-nya sesuai hukum diyat kesalahan (khaṭā’).

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika korban memaafkan seluruh pelaku, maka berlaku dua pendapat sebagaimana sebelumnya—tergantung apakah wasiat kepada pembunuh dianggap sah atau tidak.

Sedangkan pelaku yang melakukan kesalahan dan diyatnya dibayar oleh ‘āqilah, ada dua pendapat pula:

  1. Wasiyat diberikan kepada ‘āqilah, bukan kepada pembunuh; maka bagian dari diyat yang dibayarkan ‘āqilah dihitung sebagai wasiat yang sah, dan dibatasi sepertiga.
  2. Tidak sah sebagai wasiat kepada mereka, karena diyat tidak gugur dari ‘āqilah kecuali gugur dari pelaku; maka pemaafan terhadap pelaku sama dengan pemaafan terhadap ‘āqilah.

(al-Rabī‘ berkata):

Pendapat kedua lebih kuat menurutku.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang pada umumnya dapat dikenai qishāsh, lalu korban sembuh dari luka tersebut, maka korban memiliki hak yang sama atas lukanya seperti halnya hak para wali terhadap kasus pembunuhan. Artinya, korban berhak memilih: apakah ingin menuntut qishāsh atas luka tersebut, atau mengambil diyat luka dari harta pelaku. Bila memilih mengambil diyat, maka pelaku menjadi pihak yang berutang (gharīm), dan korban menjadi salah satu dari para kreditur yang berhak menuntut dari hartanya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika luka itu adalah luka yang dilakukan dengan sengaja namun tidak termasuk kategori yang bisa dikenai qishāsh, maka diyatnya tetap wajib diambil dari harta pelaku secara tunai (langsung), dan korban menjadi kreditur dalam hartanya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang melakukan beberapa tindak pidana terhadap orang lain, maka korban berhak memilih untuk menuntut qishāsh atas sebagian luka dan mengambil diyat atas sebagian lainnya. Demikian pula, jika beberapa orang melakukan pelanggaran terhadap satu orang, maka korban berhak menuntut qishāsh dari sebagian mereka dan mengambil diyat dari sebagian lainnya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika pelaku pembunuhan atau peluka adalah budak, atau seorang dzimmī (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam), atau orang merdeka Muslim, maka wali korban atau korban luka memiliki hak untuk menuntut qishāsh atau memilih diyat dari si dzimmī atau budak. Jika mereka memilih qishāsh dan qishāsh telah dilaksanakan, maka mereka tidak berhak atas selain qishāsh. Namun jika mereka memilih diyat, maka diyat itu diambil dari harta dzimmī secara tunai, dan mereka menjadi kreditur terhadap hartanya.

Jika pelakunya adalah budak, maka budak itu harus dijual dan harganya digunakan untuk membayar diyat. Jika harga budak mencapai jumlah penuh diyat, maka diyat tersebut diserahkan sepenuhnya kepada wali korban atau korban luka. Jika harganya tidak cukup, maka tuannya tidak wajib menutupi sisanya. Jika harga budak melebihi jumlah diyat, maka kelebihannya dikembalikan kepada tuan budak.

Namun jika sang tuan ingin secara sukarela membayar seluruh diyat korban (baik karena pembunuhan atau luka) sebelum menjual budaknya, maka budaknya tidak dijual, karena tuannya telah melunasi semua kewajiban yang seharusnya ditanggung budaknya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika pelaku adalah budak dan korbannya juga budak, maka yang memiliki hak untuk memilih qishāsh atau diyat adalah tuan dari budak korban. Budak tidak memiliki pilihan dalam hal ini, meskipun luka tersebut telah sembuh.

Sama saja apakah budak itu sedang dalam status gadai (rahn) atau tidak. Jika dia dalam keadaan tergadai, lalu tuannya mengambil diyat atas luka, maka ia boleh memilih: apakah diyat tersebut diberikan kepada pemegang gadai sebagai barang jaminan, atau sebagai pelunasan dari utangnya.

Pelaksanaan qishāsh tidak bisa dicegah hanya karena budak sedang tergadai. Sebab, bila diyat diambil, ia bisa dijadikan pengganti tubuh budak jika ia mati atau tubuhnya cacat karena luka.

Ketentuan ini juga berlaku atas budak yang berstatus mudabbir (dibebaskan setelah wafat tuannya) dan umm al-walad (budak yang melahirkan anak dari tuannya). Pemilik tetap memiliki hak qishāsh dan diyat atas budak-budak itu.

Adapun jika yang terluka adalah seorang mukātib (budak yang sedang dalam perjanjian untuk menebus dirinya), maka pilihan qishāsh atau diyat menjadi hak dirinya sendiri, bukan hak tuannya. Jika ia memilih diyat, maka ia bebas mengelolanya sebagaimana ia mengelola hartanya sendiri.

(Abū Muḥammad al-Rabī‘ berkata):

Dalam kasus mukātib yang menjadi korban luka yang dapat dikenai qishāsh, maka menurutku mukātib tidak boleh menuntut qishāsh, karena bisa jadi ia gagal membayar dan kembali menjadi budak, lalu menyebabkan kerugian kepada tuannya karena telah membunuh pelaku (padahal pelaku bisa dibayar diyat). Maka ia hanya boleh mengambil diyat, dan ia lebih berhak atas diyat itu untuk membantunya membayar tebusan dalam akad mukātabah.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika dalam kasus pembunuhan sengaja yang seharusnya dikenai qishāsh, pihak wali korban memilih untuk mengambil diyat (disebut ‘aql), maka diyat tersebut wajib dibayar secara tunai (langsung), baik untuk kasus jiwa maupun selainnya (seperti luka). Semua bentuk pembunuhan sengaja, diyatnya wajib diambil dari harta pelaku, baik ia orang kaya maupun miskin. ‘Āqilah (kerabat laki-laki dari pihak ayah) tidak menanggung apa pun dari pembunuhan sengaja.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika para wali korban atau korban luka ingin memaafkan pembunuhan tanpa meminta diyat maupun qishāsh, maka mereka boleh melakukannya.

Jika ada yang bertanya, “Dari mana dasar membolehkan memaafkan tanpa diyat maupun qishāsh?”, maka jawabannya: dari firman Allah Ta‘ālā:

“Barang siapa yang bersedekah dengannya, maka itu menjadi penebus dosa baginya.” [al-Mā’idah: 45]

Dan dari riwayat Nabi ﷺ bahwa memaafkan qishāsh adalah kafārah (penghapus dosa), atau dalam sabda beliau yang mengandung dorongan untuk memaafkan.

Jika ada yang berkata: “Bukankah Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barang siapa terbunuh salah satu keluarganya, maka ia diberi dua pilihan: membalas (qishāsh), atau mengambil diyat’,” maka jawabannya: benar, itu terkait dua pilihan jika seseorang ingin mengambil sesuatu dari pelaku, yaitu antara membunuhnya atau mengambil hartanya.

Namun, jika memaafkan tanpa mengambil apa pun, maka itu bukan tindakan “mengambil”, melainkan tindakan “meninggalkan” (membebaskan). Sebagaimana dalam sabda Nabi ﷺ:

“Barang siapa menemukan barang miliknya di tangan orang yang tidak punya, maka ia lebih berhak atasnya,”

bukan berarti ia tidak boleh membiarkannya atau memaafkannya. Setiap sesuatu yang seseorang boleh ambil, maka ia juga boleh meninggalkannya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang membunuh orang lain dengan sengaja, lalu pelaku meninggal dunia, maka diyat wajib diambil dari harta peninggalan pelaku. Karena para wali korban pada awalnya memiliki hak untuk memilih antara qishāsh atau diyat, dan jika salah satunya gugur (yakni qishāsh tidak bisa dilakukan karena pelaku meninggal), maka hak mereka tetap ada atas pilihan yang satu lagi, yaitu diyat, sebagaimana pilihan yang tersedia saat pelaku masih hidup.

(al-Syāfi‘i berkata):

Begitu pula dalam kasus luka: jika seseorang melukai orang lain, maka korban memiliki pilihan antara menuntut qishāsh atau diyat. Jika pelaku luka tersebut meninggal sebelum qishāsh dilaksanakan, maka korban boleh mengambil diyat secara tunai dari harta peninggalan pelaku, sebagaimana aku jelaskan.

(al-Syāfi‘i berkata):

Dan tidak ada perbedaan apakah pelaku meninggal karena dibunuh, sakit, atau sebab lain—diyat tetap diambil dari hartanya untuk membayar hak korban pembunuhan atau luka.

Jika seseorang mengalami banyak luka yang masing-masing dapat dikenai qishāsh, maka korban memiliki pilihan untuk menuntut qishāsh atas setiap luka, sebagaimana jika hanya satu luka. Ia juga boleh menuntut qishāsh atas sebagian luka dan mengambil diyat atas sebagian lainnya. Jika ia menginginkan semuanya sekaligus (baik qishāsh maupun diyat dalam kombinasi), maka itu haknya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Misalnya, seseorang memotong tangan, kaki, dan membuat luka terbuka di kepala korbannya—maka korban berhak memilih:

  • memotong tangan dan kaki pelaku, serta menuntut diyat luka kepala, atau
  • menuntut semua qishāsh, atau
  • menuntut semua diyat.
  • Selama korban memiliki hak atas masing-masing luka, maka ia memiliki hak memilih pada sebagian maupun seluruhnya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Demikian pula, para ahli waris dari korban luka atau pembunuhan juga memiliki pilihan setelah korban wafat: jika mereka mau, mereka menuntut qishāsh untuk korban terhadap pelaku atas luka atau kematiannya; jika mereka mau, mereka mengambil diyat. Jika kasusnya berupa luka-luka dan bukan pembunuhan, mereka boleh memilih untuk menuntut sebagian diyat luka dan menuntut qishāsh atas sebagian luka lainnya—semuanya menjadi hak mereka.

(al-Syāfi‘i berkata):

Barang siapa membunuh dua orang dengan satu tindakan (yakni satu perbuatan menyebabkan dua orang mati), atau membunuh lebih dari satu orang dengan satu orang (misalnya, sepuluh orang bersama-sama membunuh satu orang) secara sengaja, maka para wali korban berhak untuk menuntut qishāsh terhadap siapa pun dari para pelaku yang mereka kehendaki, dan mereka juga berhak mengambil diyat dari siapa pun dari mereka yang mereka pilih.

Namun, jika mereka memilih mengambil diyat, maka mereka hanya boleh mengambil dari setiap pelaku bagian yang sesuai dengan porsi tanggung jawabnya. Jadi, jika sepuluh orang membunuh satu orang, maka dari tiap pelaku hanya boleh diambil sepersepuluh dari total diyat. Karena dalam hal diyat, masing-masing pelaku menanggung sesuai porsi keterlibatannya, berbeda dengan qishāsh yang hanya dilakukan terhadap satu orang pelaku.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang memotong kedua tangan dan kedua kaki orang lain, lalu korban meninggal dunia karena luka-luka tersebut, dan ahli warisnya ingin menuntut qishāsh, maka mereka hanya boleh melakukan kepada pelaku apa yang pelaku lakukan terhadap korban (yakni memotong kedua tangan dan kedua kakinya). Jika mereka ingin membunuh pelaku dan sekaligus mengambil diyat atas luka-luka yang telah diderita korban, maka hal itu tidak diperbolehkan.

Jika kasusnya telah menjadi pembunuhan, maka diyat luka tidak lagi diperhitungkan karena luka-luka itu termasuk dalam diyat jiwa (sudah tergabung dalam satu diyat penuh). Ahli waris berhak memilih untuk mengambil diyat jiwa secara penuh dan meninggalkan qishāsh.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika mereka ingin hanya memotong kedua tangan dan kaki pelaku, atau hanya tangannya saja, atau sebagian dari anggota tubuh yang dulu telah dipotong oleh pelaku, dan tidak membunuhnya, maka itu boleh. Jika pengadilan memutuskan bahwa mereka berhak melakukannya, maka boleh bagi mereka menuntut hal itu dan tidak membunuh pelaku.

Namun, jika mereka berkata, “Kami ingin memotong tangannya lalu mengambil sebagian diyat,” maka hal itu tidak diperbolehkan. Karena jika mereka sudah mengambil bagian tubuh yang nilainya setara dengan diyat, maka mereka tidak boleh mengambil lebih darinya, baik berupa bagian tubuh lain ataupun uang.

Namun, jika mereka hanya memotong satu tangan atau satu kaki, lalu ingin mengambil setengah dari diyat, maka itu diperbolehkan. Karena seandainya mereka memilih qishāsh untuk satu tangan dan diyat untuk tangan lainnya, maka itu pun dibolehkan. Tapi itu semua tidak berlaku sampai kondisi korban benar-benar sembuh (tidak dalam keadaan berisiko meninggal).

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika kasusnya sama seperti di atas, namun pelaku juga melukai korban dengan luka tusuk dalam (jā’ifah) di samping memotong tangan dan kakinya, lalu korban meninggal, dan ahli waris berkata: “Kami ingin melukainya dengan luka tusuk yang sama lalu membunuhnya,” maka mereka tidak dihalangi.

Namun, jika mereka hanya ingin melukai dengan luka tusuk tersebut lalu membiarkannya hidup, maka itu tidak dibolehkan. Karena mereka hanya dibolehkan membiarkannya hidup jika itu dilakukan setelah mereka mengqishāsh pelaku atas tindakan yang padanya berlaku qishāsh.

Adapun jika perbuatan pelaku tidak memungkinkan diberlakukan qishāsh (karena tidak setara atau tidak dapat dibalas secara adil), maka mereka tidak boleh meninggalkan hukum qishāsh dan hanya memilih luka semata tanpa menyempurnakan balasan atau memilih salah satu dari dua jalur: diyat penuh atau qishāsh penuh.

[Para Pemilik Hak Qishāsh (Wilayah Hukum Qishāsh)]

(al-Syāfi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Allah Ta‘ālā berfirman:

“Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah menjadikan bagi walinya kekuasaan. Maka janganlah ia melampaui batas dalam membunuh.” [al-Isrā’: 33]

(al-Syāfi‘i berkata): Maka sudah dimaklumi di kalangan para ulama yang menerima khithāb (seruan hukum) dari ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan wali korban pembunuhan adalah orang yang telah Allah tetapkan sebagai ahli warisnya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang terbunuh salah seorang kerabatnya, maka keluarganya diberi dua pilihan: jika mereka mau, mereka boleh membalas (qishāsh); dan jika mereka mau, mereka boleh mengambil diyat.”

Dan tidak terdapat perbedaan di kalangan kaum Muslimin, setahuku, bahwa diyat (kompensasi) merupakan harta warisan yang diwariskan sebagaimana harta lainnya. Maka, setiap ahli waris juga merupakan wali darah (walī ad-dam) sebagaimana mereka memiliki hak warisan lainnya seperti harta benda. Baik itu istri, anak perempuan, ibu, anak laki-laki, atau ayah—semuanya termasuk wali darah, dan tidak ada satu pun dari mereka yang dikeluarkan dari hak ini selama mereka memiliki hak atas harta warisan lainnya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang membunuh orang lain, maka qishāsh tidak boleh dilaksanakan kecuali seluruh ahli waris korban, siapa pun dan di mana pun mereka berada, telah sepakat untuk menuntut qishāsh. Jika mereka telah sepakat, maka qishāsh boleh dilaksanakan.

Apabila si mati memiliki utang dan tidak meninggalkan harta, atau memiliki wasiat, maka para ahli waris tetap berhak untuk menuntut qishāsh, meskipun orang-orang yang berhak atas utang dan wasiat membenci hal itu. Karena mereka (para pemberi utang dan penerima wasiat) bukanlah ahli waris yang menjadi wali darah.

Para ahli waris itu, jika mereka mau, mereka dapat menjadikan pembunuhan itu sebagai dasar untuk mengambil harta (diyat), atau memilih untuk menuntut balas (qishāsh), atau bahkan memaafkan pelaku tanpa mengambil apa pun (baik qishāsh maupun diyat).

Sebab, dalam pembunuhan sengaja, harta (diyat) tidak menjadi hak kecuali jika para ahli waris memilihnya, atau jika korban masih hidup dan memilihnya sendiri.

Jika di antara ahli waris ada yang masih kecil atau sedang tidak hadir (gha’ib), maka qishāsh tidak dapat dilakukan hingga anak-anak itu baligh dan orang yang tidak hadir kembali. Setelah mereka semua hadir dan sepakat atas qishāsh, maka barulah qishāsh boleh dilakukan.

Jika salah satu ahli waris ada yang tidak berakal (ma‘tūh), maka qishāsh tidak bisa dilakukan hingga ia sadar kembali atau meninggal dunia. Jika ia wafat, maka para ahli warisnya yang menggantikan posisinya.

Apabila salah satu dari ahli waris yang sudah baligh memaafkan pelaku, baik dengan diyat maupun tanpa diyat, maka gugurlah hak qishāsh. Adapun ahli waris lainnya, mereka berhak atas bagian diyat sesuai porsi warisan mereka. Jika qishāsh telah gugur karena pemaafan salah satu ahli waris, maka semua warisan berubah menjadi diyat, yang dibagikan kepada seluruh ahli waris yang masih memiliki hak.

[Hukum Qishāsh Jika Ada Lebih dari Satu Wali Darah]

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seorang korban pembunuhan memiliki dua orang wali (ahli waris), dan telah ditetapkan hukum qishāsh bagi keduanya—atau belum sempat ditetapkan—lalu salah satu dari mereka berkata:

“Aku telah memaafkan karena Allah,” atau

“Aku telah memaafkannya,” atau

“Aku telah meninggalkan tuntutan qishāsh darinya,”

—atau pelaku berkata, “Maafkan aku,” dan wali itu menjawab, “Aku telah memaafkanmu,” maka gugurlah hak qishāsh terhadap pelaku. Namun, wali tersebut tetap memiliki hak atas bagian diyat-nya, dan jika ia ingin menuntut bagian diyat itu, maka ia boleh mengambilnya. Karena memaafkan qishāsh tidak otomatis berarti memaafkan diyat; itu adalah dua hal yang berbeda.

Firman Allah Ta‘ālā:

“Barang siapa diberi maaf oleh saudaranya, maka hendaklah menuntut dengan cara yang baik dan membayar dengan baik.” [al-Baqarah: 178]

Maksudnya: pemaafan di sini adalah pemaafan dari qishāsh, bukan dari harta (diyat).

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seorang wali berkata:

“Aku telah memaafkanmu dari qishāsh dan dari diyat,”

maka ia tidak lagi memiliki hak atas qishāsh maupun bagian dari diyat.

Namun jika ia hanya berkata:

“Aku telah memaafkan apa yang wajib atasmu kepadaku,”

maka itu dianggap sebagai pemaafan atas qishāsh saja, bukan pemaafan terhadap diyat. Karena pemaafan seperti itu hanya berlaku untuk salah satu dari dua hak, bukan keduanya.

Allah telah menetapkan qishāsh terlebih dahulu, lalu berfirman:

“Barang siapa diberi maaf oleh saudaranya”

Maka pemaafan secara mutlak maksudnya adalah pemaafan dari qishāsh, karena itu merupakan hak yang lebih besar. Selanjutnya Allah menyebutkan:

“hendaklah menuntut dengan cara yang baik dan membayar dengan baik,”

yang berarti bahwa si pelaku wajib membayar diyat kecuali jika si wali juga memaafkan diyat tersebut.

Jika seseorang berkata:

“Aku telah memaafkanmu dari diyat,”

sementara ia tetap berpegang pada hak qishāsh, maka pemaafan itu tidak menggugurkan hak qishāsh, karena ia belum memilih untuk meninggalkan qishāsh.

Demikian pula, jika ia berkata:

“Aku telah memaafkan diyat,”

kemudian pelaku meninggal, maka wali itu masih berhak mengambil diyat dari hartanya. Karena sebelumnya pemaafan hanya berlaku terhadap diyat, bukan qishāsh. Dan seseorang tidak memiliki hak atas diyat sampai ia memaafkan qishāsh terlebih dahulu.

Jika seorang wali memaafkan baik qishāsh maupun diyat, sedangkan ia memiliki utang, maka pemaafannya tetap sah. Namun jika pemaafan itu terjadi ketika ia sedang sakit dan ia meninggal dalam sakit itu, maka pemaafan tersebut dihitung sebagai wasiat, dan hanya berlaku pada bagiannya dari diyat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seorang korban memiliki dua wali, lalu salah satu dari mereka memaafkan pelaku dari qishāsh, maka yang tersisa dari hak wali yang lain hanyalah bagian diyat, ia tidak lagi berhak menuntut qishāsh.

Jika wali yang memaafkan itu belum dewasa (mahjūr), maka pemaafannya tidak sah, dan wali anak tersebut hanya boleh mengambil diyat dari pelaku. Jika walinya yang memaafkan diyat, maka pemaafan itu juga tidak sah. Demikian pula, jika wali itu berdamai atas sesuatu yang tidak menguntungkan bagi anak (misalnya menerima ganti rugi yang merugikan), maka itu juga tidak sah, kecuali jika akad tersebut dilakukan atas dasar maslahat yang jelas, sebagaimana dalam transaksi jual beli yang dibolehkan atas anak di bawah umur.

[Hukum Pemaafan Qishāsh dan Diyat oleh Orang yang Tidak Cakap Hukum (Mahjūr) dan Warisan Pemaafan]

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika seseorang yang berada dalam perwalian (mahjūr; seperti anak kecil atau orang gila) memaafkan pelaku dari hukuman qishāsh, maka pemaafannya sah (boleh), karena pemaafan terhadap qishāsh itu menguntungkan harta (menyebabkan ia mendapatkan diyat sebagai gantinya).

Namun, jika ia memaafkan diyat (uang pengganti) itu, maka pemaafan tersebut tidak sah, karena itu berarti menghilangkan sebagian harta yang seharusnya menjadi miliknya. Jadi, pemaafan atas harta tidak sah baginya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Barang siapa yang secara syar‘i diperbolehkan memaafkan harta miliknya selain diyat, maka ia juga diperbolehkan memaafkan diyat. Sebaliknya, siapa yang tidak diperbolehkan memaafkan harta selain diyat, maka tidak diperbolehkan pula baginya memaafkan diyat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika salah satu ahli waris berkata:

“Aku telah memaafkan pelaku,” atau

“Aku telah memaafkan hakku terhadap pelaku,”

lalu ia meninggal dunia sebelum memperjelas (apakah maksudnya qishāsh atau diyat), maka ahli warisnya hanya boleh mengambil bagian dari diyat—tidak boleh menuntut qishāsh.

Jika si pelaku mengklaim bahwa ia telah dimaafkan dari qishāsh dan diyat sekaligus, maka ia wajib menghadirkan bukti. Namun, jika ia ingin meminta sumpah dari ahli waris korban bahwa mereka tidak tahu pemaafan itu berlaku atas dua-duanya (qishāsh dan diyat), maka mereka diminta bersumpah, dan mereka tetap berhak atas diyat.

(al-Syāfi‘i berkata):

Jika orang yang memaafkan masih hidup, lalu pelaku mengklaim bahwa ia telah dimaafkan dari darah (qishāsh) dan harta (diyat), maka korban (yang masih hidup) dapat diminta bersumpah sebagaimana dalam kasus gugatan biasa terhadap harta atau hak selainnya.

(al-Syāfi‘i berkata):

Setiap bentuk tindak pidana selain pembunuhan yang bisa dikenakan qishāsh, memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pembunuhan. Korban berhak memilih:

  • menuntut qishāsh,
  • mengambil diyat, atau
  • memaafkan tanpa diyat.

Jika korban meninggal bukan karena luka tersebut sebelum sempat melakukan qishāsh atau memaafkan, maka wali ahli warisnya menggantikan posisinya untuk menuntut qishāsh atau memaafkan. Dan ketentuan hukumnya sama seperti dalam kasus pembunuhan, tanpa ada perbedaan.

[Bab Persaksian dalam Pemaafan Qishāsh]

(dari al-Imām al-Syāfi‘ī, rahimahullāh)

  1. Persaksian Salah Satu Ahli Waris atas Pemaafan Orang Lain:

Jika seseorang terbunuh (baik secara qatl maupun luka) lalu salah satu dari ahli waris korban bersaksi bahwa salah satu dari mereka (ahli waris lain) telah memaafkan pelaku — baik hanya dari qishāsh saja ataupun dari qishāsh dan diyat sekaligus — maka:

  • Tidak ada jalan untuk qishāsh lagi, meskipun saksi tersebut tergolong orang yang tidak diterima persaksiannya secara umum.
  • Hal itu karena persaksiannya adalah bentuk pengakuan (iqrār) bahwa darah si pelaku sudah tidak halal ditumpahkan (karena sudah dimaafkan oleh salah satu pewaris).
  • Namun, jika kesaksiannya berkaitan dengan diyat (harta), maka:
    • Para saksi boleh diminta bersumpah bahwa orang yang mereka sebut itu memang tidak memaafkan harta.
    • Maka saksi itu tetap berhak atas bagiannya dari diyat, dan tidak perlu disumpah soal qishāsh karena qishāsh sudah gugur melalui pengakuan tersebut.
  1. Jika yang Bersaksi Orang yang Shahādah-nya Diterima:
  • Jika saksi itu termasuk orang yang diterima persaksiannya secara hukum, maka:
    • Si pelaku dapat bersumpah bersama persaksian tersebut untuk memperkuat bahwa ia memang telah dimaafkan dari qishāsh dan diyat oleh si ahli waris.
    • Jika ia bersumpah, maka ia terbebas dari bagian diyat milik si ahli waris yang memaafkan, dan sisanya dibayarkan ke para ahli waris lainnya.
  1. Jika Ada Dua Orang Bersaksi Bahwa Seseorang Telah Memaafkan Darah Ayahnya:

Jika dua orang saksi menyatakan bahwa seseorang berkata:

  • “Aku telah memaafkan darah ayahku,”
  • atau “Aku memaafkan Fulan atas darah ayahku,”
  • atau “Aku memaafkan tanggungannya dalam darah ayahku,”

maka semua ini dianggap pemaafan terhadap qishāsh, bukan pemaafan terhadap diyat, kecuali ia secara eksplisit menyatakan bahwa ia juga memaafkan diyat:

“Aku memaafkan darah dan diyatnya.”

  1. Frasa Umum Tidak Berlaku untuk Diyat:

Jika seseorang berkata:

“Aku memaafkan apa yang wajib atasnya terkait darah ayahku, baik berupa qishāsh atau hukuman dalam bentuk harta,”

itu belum cukup untuk membatalkan hak atas diyat, karena bisa jadi dia keliru mengira bahwa ada sanksi harta padahal diyat bukan hukuman, tapi kompensasi.

Maka tidak dianggap memaafkan diyat kecuali secara tegas ia menyatakan:

“Aku memaafkan harta yang wajib atasnya kepada aku (atau kepada ayahku).”

  1. Saling Bersaksi antar Pewaris Tidak Memunculkan Konflik Kepentingan:

Jika dua orang ahli waris bersaksi atas dua orang lainnya bahwa mereka telah memaafkan qishāsh dan diyat, dan sebaliknya dua orang yang dituduh juga bersaksi bahwa saksi telah memaafkan, maka:

  • Semua kesaksian ini diterima.
  • Karena setiap ahli waris berhak memaafkan tanpa perlu izin dari yang lain, maka tidak dianggap sebagai “menarik manfaat untuk diri sendiri” atau syahādah jarrah ilā nafsih.

Kasus: Dua Wali Darah, Salah Satu Membunuh Sendiri

1. Bila Salah Satu Wali Darah Membunuh Tanpa Izin Wali Lain

  • Situasi: Ada dua orang yang menjadi wali darah (ahli waris korban), lalu salah satu membunuh si pembunuh tanpa menunggu izin atau kesepakatan dari wali lainnya.
  • Ada dua pendapat (qawlān):

Pendapat Pertama: Tidak Ada Qishāsh bagi Wali yang Membunuh

  • Alasannya: Karena pembunuhan tersebut dilakukan tanpa izin semua ahli waris, maka termasuk syubhat yang menggugurkan qishāsh.
  • Berdalil dengan firman Allah:

{فقد جعلنا لوليه سلطانا فلا يسرف في القتل} — QS al-Isrā’ 33

Maksudnya: “Kami telah menjadikan bagi wali si terbunuh kekuasaan, maka jangan berlebihan dalam membunuh.”

Maka siapa saja dari para wali yang membunuh bisa dianggap melampaui batas jika tanpa kesepakatan.

  • Ini juga merupakan pendapat mayoritas ahli fatwa Madinah, yang mengqiyaskan kasus ini seperti hudūd:
  • Bila ada dua anak yang mewarisi hak untuk menuntut had, salah satunya memaafkan, maka yang lain tetap boleh menuntut.

Konsekuensi Hukum Menurut Pendapat Pertama:

  • Si wali yang membunuh tidak dikenakan qishāsh, tapi:
    • Jika dia jahil, maka hanya diberi ta‘zīr.
    • Jika dia ‘ālim, maka tetap dihukum karena melanggar proses.
  • Para wali lain boleh:
    • Mengambil bagian dari diyat
    • Jika mereka memaafkan, maka gugur; jika tidak, mereka berhak atasnya.
  • Soal siapa yang membayar diyat:
    • Ada dua pandangan:
      1. Diyat dari harta pelaku qatl (wali yang membunuh), lalu diklaim oleh ahli waris korban yang tidak setuju.
      2. Diyat dibebankan kepada harta saudara si pelaku karena ia yang membunuh ayah mereka tanpa hak.

2. Pendapat Kedua: Wali yang Membunuh Tetap Dikenai Qishāsh

  • Karena ia tidak memiliki otoritas tunggal dalam membunuh, harus ada kesepakatan seluruh wali darah.
  • Jika membunuh tanpa izin, maka dia membunuh secara ilegal dan harus di-qishāsh.

Kasus Tambahan:

Seseorang Mengaku Membunuh Ayahnya Sendiri Karena Membalas Dendam

  • Jika seseorang membunuh, lalu mengaku bahwa dia adalah wali dari si terbunuh:
    • Jika ia mampu mendatangkan bukti bahwa si korban adalah pembunuh ayahnya, maka:
      • Ia tidak dikenai qishāsh.
      • Tetapi tetap dikenai ta‘zīr, dan tidak ada diyat.
    • Jika tidak bisa membuktikan, maka dikenai qishāsh.

Kasus: Mengklaim Telah Diizinkan oleh Wali Lain

  • Jika dua wali, lalu satu membunuh dan mengaku telah diberi izin oleh yang lain:
    • Jika wali lain menyangkal dan bersumpah, maka:
      • Wali yang membunuh wajib membayar bagian diyat wali tersebut.
    • Jika wali lain enggan bersumpah, maka wali pembunuh disumpah dan terbebas dari membayar bagian diyat.

Imam al-Syāfi‘ī dalam bagian ini membahas beberapa kondisi seputar pemaafan (العفو) dalam kasus qishāsh dan diyat, baik dari ahli waris korban maupun dari korban yang masih hidup. Berikut ringkasan dan penjelasan dari dua bab tersebut:

  1. Jika Salah Satu Ahli Waris Telah Memaafkan, Lalu Wali Lain Membunuh

Situasi:

  • Seorang terbunuh, memiliki dua atau lebih ahli waris (awliyā’).
  • Salah satu ahli waris telah memaafkan (عفا) pelaku, namun yang lain tidak tahu, lalu membunuh pelaku.

Ada 2 pendapat Syāfi‘ī:

✦ Pendapat Pertama:

  • Pelaku (wali yang membunuh) terkena qishāsh, karena melakukan pembunuhan tanpa hak.
  • Bila ia dihukum qishāsh, maka ahli warisnya berhak atas porsi diyat dari si pelaku yang terbunuh.

✦ Pendapat Kedua:

  • Jika ia bersumpah bahwa ia tidak tahu bahwa wali lain telah memaafkan, maka:
    • Ia tidak dikenai qishāsh, tapi dihukum (ta‘zīr) dan harus membayar diyat dari hartanya.
    • Dikurangi bagian dari diyat yang jadi haknya sendiri.
  • Jika tidak bersumpah, maka wali-wali dari pelaku (yang terbunuh) bersumpah bahwa ia memang tahu.
    • Lalu, kembali ke dua pendapat: apakah tetap ada qishāsh atau tidak.

🔁 Catatan:

  • Jika seorang hakim telah menetapkan diyat karena adanya pemaafan, lalu salah satu ahli waris membunuh pelaku, maka ia dibunuh pula jika keluarga pelaku menuntut (kecuali mereka memaafkan).

 

  1. Bab: Pemaafan oleh Korban (Jika Masih Hidup)

💠 Jika Korban Masih Hidup dan Sadar:

  • Jika ia berkata:
    • “Aku maafkan pelaku dari janiyahnya padaku,” maka:
      • Qishāsh gugur.
    • Jika berkata: “Aku maafkan qishāsh dan diyat (al-māl),” maka:
      • Jika ia adalah orang yang sah mengelola hartanya (baligh, tidak gila, bukan budak, dsb), gugur juga hak atas diyat.
      • Jika tidak sah mengelola harta (anak kecil, tidak baligh, dll), maka:
        • Qishāsh tetap gugur, namun diyat tetap ditagih karena ia tidak berhak menggugurkan harta.

💠 Jika Setelah Memaafkan, Korban Meninggal karena Luka:

  • Maka:
    • Qishāsh gugur, karena sudah dimaafkan.
    • Tetap ada diyat penuh, karena menjadi pembunuhan (dari luka yang dimaafkan sebelumnya).
    • Jika sebelumnya korban hanya memaafkan sebagian (misalnya diyat luka), maka tetap ditagihkan sisanya.

🔹 3. Jika Ada Luka Bertambah atau Luka dari Orang Lain

  • Jika seseorang melukai, lalu korban memaafkan, lalu luka bertambah parah dan menyebabkan kematian:
    • Maka yang tidak dimaafkan ditagihkan kembali.
    • Jika luka mematikan berasal dari orang lain, maka pelaku pertama tidak menjadi pembunuh, sehingga diyatnya hanya dari luka, bukan jiwa.

🔹 4. Contoh Pemaafan Tidak Sah atau Gantung

  • Misalnya korban berkata:
    • “Aku maafkan apa pun yang terjadi dari luka ini.”
      • Ini masih diperselisihkan: apakah termasuk yang akan terjadi kemudian seperti kematian?
    • Maka:
      • Salah satu pendapat: hanya berlaku pada apa yang sudah wajib saat itu (misalnya diyat luka), bukan kematian yang belum terjadi.
      • Pendapat kedua: semuanya dianggap termasuk, dan gugur semuanya.
      • Pendapat yang lebih kuat (kata al-Rabi‘): tetap ditagih semua, karena diyat jiwa tidak bisa diwakafkan oleh pelaku luka itu sendiri.

(Dikatakan oleh asy-Syafi‘i): Jika suatu janiyah mengenai dua tangan dan dua kaki, kemudian orang tersebut meninggal karena janiyah itu dan dia telah memaafkan, maka dalam pendapat pertama boleh baginya memaafkan dari sepertiga (harta); karena diyat telah menjadi wajib baginya lebih banyak, hanya saja hal itu berkurang karena kematian. Sedangkan dalam pendapat kedua tidak boleh baginya memaafkan; karena itu telah menjadi jiwa (pembunuhan), dan dia adalah seorang pembunuh.

(Dikatakan oleh asy-Syafi‘i): Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Aku telah memaafkanmu dari diyat dan qishash atas seluruh janiyah yang kamu lakukan terhadapku,” lalu orang tersebut melakukan janiyah lagi setelah pernyataan itu, maka pernyataan tersebut tidak dianggap sebagai pemaafan, dan tetap berlaku atasnya diyat dan qishash; karena ia memaafkan atas sesuatu yang belum menjadi hak baginya.

(Dikatakan oleh asy-Syafi‘i): Jika seseorang melakukan janiyah terhadap ayah seseorang berupa luka, lalu anaknya —yang merupakan ahli waris ayahnya— berkata, “Aku telah memaafkan janiyahmu terhadap ayahku, baik diyat maupun qishash,” maka pemaafan tersebut tidak sah; karena janiyah itu milik ayahnya, dan dia tidak memiliki hak untuk menuntutnya kecuali setelah ayahnya meninggal. Jika ayahnya telah meninggal, maka ia boleh mengambil diyat atau menuntut qishash; karena ia belum memaafkan setelah hak itu menjadi miliknya. Jika ia memaafkannya setelah kematian ayahnya dan memaafkan keduanya sekaligus (diyat dan qishash), maka ia tidak berhak lagi atas diyat maupun qishash.

[Janiyah Budak terhadap Orang Merdeka dan Pemaafannya setelah Membelinya]

(Dikatakan oleh asy-Syafi‘i): Jika seorang budak melakukan janiyah terhadap orang merdeka dalam janiyah yang mengandung qishash, maka wajib atasnya qishash atau ganti rugi, dan janiyah serta diyat seluruhnya berada pada tanggungan leher budak. Jika ia dimaafkan dari qishash dan ganti rugi, maka pemaafan itu sah jika orang yang terluka telah sembuh, dan pemaafan berasal dari harta pokoknya. Namun jika ia meninggal karena luka tersebut atau sebab lainnya sebelum sembuh, maka pemaafan tetap sah karena termasuk dari sepertiga (harta peninggalan), yang diperhitungkan bersama para penerima wasiat atas nilai yang lebih kecil dari diyat atau ganti rugi, atau dari harga budaknya — dan tidak ada tanggungan lain selain itu. Kami membolehkan pemaafan tersebut karena itu termasuk wasiat kepada tuan budak, dan tuannya bukanlah pelaku pembunuhan. Jika janiyah budak terhadap orang merdeka berupa luka yang tampak (moḍiḥah), lalu ia berkata: “Aku telah memaafkannya dari qishash dan diyat serta apa yang mungkin timbul dari janiyah tersebut,” maka sah pemaafannya atas luka tersebut, namun tidak sah atas selainnya; karena ia memaafkan sesuatu yang belum menjadi haknya, dan ia tidak mewasiatkan bila nanti menjadi haknya. Namun jika ia berkata: “Jika aku meninggal karena luka ini atau terjadi penambahan, maka penambahannya adalah wasiat untuknya,” maka boleh pemaafan dari sepertiga harta. Bukankah jika seseorang memiliki harta di tangan orang lain lalu ia berkata, “Apa pun keuntungan darinya adalah hadiah untuk si Fulan,” maka itu tidak sah. Tetapi jika ia mengatakan, “Itu adalah wasiat untuk si Fulan,” maka itu sah.

(Dikatakan oleh asy-Syafi‘i): Jika seorang budak melakukan janiyah terhadap orang merdeka, lalu budak tersebut mengakuinya tetapi tidak ada bukti, lalu orang merdeka berkata: “Aku telah memaafkan janiyah dan diyatnya atau apa pun yang mungkin timbul darinya,” maka tidak ada qishash karena telah memaafkan, dan diyat tidak menjadi wajib atas budak kecuali setelah dia merdeka. Maka pemaafan terhadap diyat oleh orang merdeka terhadap budak seperti pemaafan terhadap hukuman (ḥadd), dan berlaku atas budak setelah ia merdeka sebagaimana berlaku atas orang merdeka yang dimaafkan, dan gugur darinya sebagaimana gugur dari orang merdeka.

Jika seorang budak melakukan janiyah terhadap orang merdeka berupa luka yang menampakkan tulang (muḍiḥah) secara sengaja, lalu orang merdeka membeli budak tersebut dari tuannya sebagai ganti dari luka tersebut, maka hal itu dianggap sebagai pemaafan terhadap qishash dalam luka tersebut. Dan jual beli itu tidak sah kecuali keduanya mengetahui nilai luka tersebut, sehingga orang yang terluka membeli budak itu dengan nilai yang diketahui. Demikian pula jika janiyahnya lebih atau kurang dari muḍiḥah; karena harga (jual beli) tidak sah kecuali diketahui oleh penjual dan pembeli.

(Dikatakan oleh asy-Syafi‘i): Jika pembeli menemukan cacat pada budak, maka dia berhak mengembalikannya, dan dia tetap memiliki hak atas lehernya berupa nilai janiyah berapapun nilainya. Jika dia mengambilnya dengan jual beli yang fasid, lalu budak itu mati di tangan pembeli, maka atas pembeli wajib membayar harganya yang akan dibagi (diprorata) dengan nilai janiyah yang wajib pada leher budak tersebut.

Jika seorang budak melakukan janiyah terhadap orang merdeka secara sengaja, lalu tuannya memerdekakan budak itu baik dalam keadaan mengetahui janiyah atau tidak mengetahuinya, maka hukumnya sama. Orang merdeka tersebut berhak melakukan qishash kecuali jika dia memilih untuk mengambil diyat. Jika dia memilih diyat, maka atas tuan budak yang memerdekakannya wajib membayar nilai yang lebih rendah antara nilai janiyah atau harga budak tersebut. Janiyah budak terhadap orang merdeka, baik sengaja maupun tidak, hukumnya sama.

[Janiyah Perempuan terhadap Laki-laki Lalu Dinikahi sebagai Pengganti Janiyah]

(Dikatakan oleh asy-Syafi‘i – rahimahullah –): Jika seorang perempuan melakukan janiyah terhadap seorang laki-laki berupa muḍiḥah baik secara sengaja atau tidak, lalu laki-laki tersebut menikahinya sebagai ganti luka tersebut, maka pernikahan itu menjadi pemaafan atas janiyah dan tidak ada qishash, dan pernikahan itu tetap sah. Jika keduanya mengetahui nilai janiyah tersebut, maka maharnya adalah nilai luka tersebut dalam kasus janiyah sengaja. Jika ia menceraikannya sebelum digauli, maka ia boleh mengambil kembali separuh dari nilai luka tersebut.

Jika ia menikahinya atas dasar luka muḍiḥah yang tidak disengaja, maka pernikahan itu sah, dan perempuan itu mendapatkan mahar yang sepadan dengannya, dan laki-laki itu memiliki hak atas ‘āqilah-nya berupa nilai luka muḍiḥah; karena dia menikahinya berdasarkan piutang yang berada di pihak lain, dan tidak sah menjadikan piutang terhadap pihak lain sebagai mahar.

Semua ini berlaku jika orang yang terluka masih hidup karena janiyah tersebut. Jika janiyah itu, baik sengaja atau tidak, menyebabkan kematian, maka mahar itu sah, dan jika maharnya lebih dari mahar perempuan sepadannya, maka ia dikembalikan kepada mahar yang sepadan, dan kelebihannya dikembalikan; karena itu menjadi wasiat kepada ahli waris, dan tidak sah.

Jika ia melakukan janiyah terhadap budak miliknya, lalu ia menikahinya atas dasar janiyah tersebut, maka pernikahan itu sah seperti ia menikahinya atas janiyah terhadap dirinya sendiri dalam seluruh permasalahan, kecuali bahwa mahar jika sah dan melebihi mahar perempuan sepadannya, dan budak itu meninggal, maka hal itu sah; karena ia tidak melakukan janiyah terhadap tuannya, sehingga tuannya tidak dianggap menerima, dan maharnya tidak berada dalam makna wasiat, maka tidak sah melebihi mahar perempuan sepadannya.

[Kesaksian dalam Kasus Janiyah]

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī – rahimahullāh ta‘ālā –): Diterima dalam kasus pembunuhan dan hudūd selain zina adalah dua orang saksi. Jika luka atau pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka tidak diterima di dalamnya kecuali dua orang saksi laki-laki, dan tidak diterima kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan, serta tidak diterima satu saksi dan sumpah, kecuali jika luka itu disengaja dan termasuk dalam jenis luka yang tidak dikenai qishāsh sama sekali, seperti jū’ifah (luka yang menembus rongga tubuh) atau janiyah dari orang yang tidak bisa dikenai qishāsh, seperti orang gila, anak kecil, muslim terhadap kafir, orang merdeka terhadap budak, atau ayah terhadap anaknya. Maka dalam hal ini diterima kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah; karena itu tetap termasuk dalam kategori harta dalam segala hal.

Jika luka itu berupa hāsyimah (retak tulang) atau ma’mūmah (menembus kepala hingga selaput otak), maka tidak diterima di dalamnya kecuali dua saksi laki-laki; karena orang yang melakukan luka hāsyimah atau ma’mūmah, jika aku ingin mengambilkan qishāsh untuknya dari luka muḍiḥah, maka aku bisa melakukannya; karena itu adalah muḍiḥah ditambah lagi (lebih berat). Maka jika luka yang lebih ringan saja bisa diambilkan qishāsh darinya, maka tidak diterima padanya kesaksian satu saksi dan sumpah, atau satu saksi dan dua perempuan. Namun jika tidak ada qishāsh baik untuk luka ringan maupun berat, maka diterima padanya satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah.

Jika seseorang menuduh orang lain telah melakukan pembunuhan dengan sengaja dan berkata, “Aku telah memaafkan qishāsh” atau berkata, “Aku memiliki hak qishāsh atau harta dan aku akan mengambil harta,” lalu meminta agar kesaksiannya diterima dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan atau satu saksi dan sumpah, maka itu tidak diterima; karena dia belum berhak atas harta hingga dia terlebih dahulu berhak atas qishāsh.

Jika seseorang mengklaim bahwa dirinya telah dilukai oleh orang lain secara sengaja atau tidak sengaja, maka tidak diterima kesaksian dari orang yang mewarisinya dalam keadaan apa pun; karena bisa jadi itu berujung pada kematian, dan dia akan berhak atas diyat melalui kesaksiannya sendiri. Namun jika seseorang memiliki anak dan sepupu, lalu dia mengklaim bahwa dirinya dilukai, dan sepupunya bersaksi untuknya, maka kesaksian itu diterima; karena sepupunya bukan ahli warisnya. Namun jika belum ada keputusan hukum hingga anaknya meninggal, maka kesaksian sepupunya ditolak; karena dia menjadi ahli waris orang yang disaksikan untuknya. Jika keputusan telah ditetapkan, lalu anaknya meninggal, dan sepupunya menjadi ahli waris, maka keputusan itu tidak dibatalkan; karena keputusan telah ditetapkan dalam kondisi yang tidak membawa keuntungan untuk dirinya sendiri.

[Kesaksian dalam Peradilan]

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī – rahimahullāh ta‘ālā –): Jika seseorang mendatangkan dua saksi terhadap seseorang atas pembunuhan yang disengaja, dan orang yang disaksikan termasuk orang yang boleh dikenai qishāsh untuk korban terbunuh tersebut, lalu orang yang disaksikan mendatangkan dua orang dari ‘āqilah-nya (kerabat penanggung diyat), selain anak dan ayahnya, untuk memberikan kesaksian bahwa dua saksi yang bersaksi terhadapnya adalah cacat kesaksiannya, maka aku menerima kesaksian keduanya; karena mereka tidak menanggung diyatnya dalam kasus pembunuhan yang disengaja, sehingga kesaksian mereka tidak menghindarkan beban dari diri mereka.

Jika dituduhkan bahwa dia membunuh karena tidak sengaja dan didatangkan dua saksi atasnya, kemudian orang yang disaksikan mendatangkan dua orang dari ‘āqilah-nya yang memberikan kesaksian mencacatkan saksi-saksi tersebut, maka kesaksian mereka tidak sah; karena mereka sedang menghindarkan beban diyat dari diri mereka. Begitu juga jika mereka termasuk ‘āqilah namun dalam keadaan miskin sehingga tidak berkewajiban menanggung diyat, maka kesaksian mereka tidak diterima; karena mungkin saja di waktu kewajiban diyat datang mereka memiliki harta dan akan diambil diyat darinya, maka kesaksian mereka dianggap menghindarkan beban dari diri sendiri.

Jika dua orang saksi bersaksi atas seseorang bahwa dia melakukan pembunuhan atau luka tidak disengaja, lalu orang yang disaksikan mendatangkan sejumlah orang dari ‘āshabah-nya yang mencacatkan kedua saksi, maka hakim harus meneliti. Jika orang-orang yang mencacatkan tersebut adalah pihak yang pada saat kesaksian terjadi mereka wajib menanggung diyat dari orang yang disaksikan, dan jika hakim memutuskan dengan berdasarkan kesaksian itu, maka kesaksian mereka tidak diterima. Hal ini berlaku jika tidak ada kerabat yang lebih dekat dari mereka yang bisa menanggung diyat. Namun jika ada kerabat yang lebih dekat darinya yang menanggung diyat, sehingga tidak mungkin kedua saksi tadi akan membebani mereka berdua kecuali setelah semua kerabat lainnya meninggal atau tidak mampu membayar, maka kesaksian mereka diterima; karena pada saat mereka bersaksi mereka bukan termasuk dari ‘āqilah-nya.

[Hal-hal yang Diterima Kesaksian dalam Janiyah]

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī – rahimahullāh ta‘ālā –): Aku tidak menerima kesaksian dalam kasus janiyah kecuali sebagaimana aku menerima kesaksian dalam perkara hak-hak, kecuali dalam kasus qasāmah.

Jika seseorang datang dengan membawa dua saksi yang bersaksi bahwa seseorang memukulnya dengan pedang, maka aku tahan keduanya. Jika mereka mengatakan bahwa darahnya mengalir dan dia mati seketika akibat pukulan itu, maka aku menerima kesaksian mereka. Namun jika mereka berkata, “Kami tidak tahu apakah darahnya mengalir atau tidak,” maka aku tidak menganggap orang yang dipukul itu sebagai orang yang terluka. Jika mereka berkata, “Dia memukul kepalanya dan kami melihat darah mengalir,” maka aku tidak menetapkannya sebagai peluka sampai mereka berkata bahwa darah itu mengalir dari pukulannya, lalu aku tidak menyatakannya sebagai luka berdarah (dāmiyah) sampai mereka berkata bahwa itu adalah luka terbuka (muḍiḥah), dan bahwa ini adalah lukanya, atau bahwa itu berada di tempat tertentu.

Jika dia sembuh dari luka itu lalu ingin menuntut qishāsh, maka aku tidak memutuskan qishāsh sampai mereka berkata bahwa luka itu adalah yang ini, atau mereka menyebutkan ukuran panjang dan lebarnya. Jika mereka berkata, “Dia melukainya dengan luka terbuka tapi kami tidak tahu panjangnya,” maka aku tidak menetapkan qishāsh atasnya. Jika mereka berkata, “Dia melukainya di kepalanya, tapi kami tidak mengetahui lokasi tepatnya dari luka itu,” maka aku tidak memutuskan qishāsh karena aku tidak tahu bagian mana dari kepala yang harus diambil sebagai qishāsh, namun aku tetap menetapkan diyat atas pelaku karena mereka telah menetapkan bahwa dia telah melukai kepalanya dengan luka terbuka.

Jika mereka berkata, “Dia memotong salah satu tangannya, dan memang tangannya terpotong, sementara tangan lainnya juga sudah terpotong,” maka qishāsh berlaku selama mereka tidak menentukan tangan mana yang dipotong. Maka atas pelaku dikenakan arsy (ganti rugi luka) dari hartanya karena mereka telah menetapkan bahwa salah satu tangannya telah dipotong.

Jika mereka berkata, “Dia memotong salah satu tangannya,” tapi tidak menunjukkan tangan mana yang dimaksud – apakah tangan yang terpotong sekarang atau tangan satunya lagi – maka dikatakan kepada mereka, “Kalian lemah, karena dia hanya punya dua tangan. Sebutkan.” Jika mereka bisa menjelaskan, maka kesaksian diterima. Jika tidak bisa, tetap diterima dan ditetapkan hukum atas pelaku, namun kesaksian tersebut dianggap lemah.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Demikian pula halnya dengan kedua kakinya, kedua telinganya, dan setiap anggota tubuh yang hanya ada dua — jika dipotong salah satunya. Jika dua orang bersaksi bahwa orang ini memotong tangan orang itu, yang satu berkata terjadi pada hari Kamis, dan yang lain berkata pada hari Jumat, maka kesaksian keduanya tidak diterima jika itu termasuk dalam kasus sengaja, karena adanya perbedaan. Sebab masing-masing dari mereka membebaskan terdakwa dari perbuatan pada hari yang diklaim oleh yang lain bahwa perbuatan itu terjadi. Demikian pula jika dua orang bersaksi bahwa seseorang membunuh di Makkah pada hari tertentu, lalu dua orang lainnya bersaksi bahwa ia membunuh seseorang di Mesir pada hari yang sama, atau melukainya, atau melakukan perbuatan yang mengharuskan hukuman, maka semua ini gugur karena masing-masing dari kedua kelompok saksi tersebut membatalkan kesaksian kelompok lainnya. Hal ini berlaku baik dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, selama tidak ada perbedaan bahwa yang satu hadir dan yang lainnya tidak, maka keduanya batal, karena vonis berdasarkan salah satunya tidak lebih kuat daripada vonis berdasarkan yang lainnya. Aku akan menyuruhnya bersumpah sebagaimana seorang tergugat tanpa saksi. Ini tidak sama dengan kesaksian yang diperkuat oleh berita-berita yang kokoh di dalam hati hakim sehingga dia meyakini kebenarannya — ia tidak bebas dari kesaksian itu meskipun tidak secara pasti seperti berita dari yang lain — sehingga pada kasus seperti itu bisa berlaku qasāmah (sumpah), tapi bukan pada kasus pertama, dan tidak terjadi kecuali ada petunjuk yang jelas.

Jika seorang saksi bersaksi bahwa ia membunuhnya pada hari Kamis, sementara yang lain bersaksi pada hari Jumat, maka kesaksian itu batal; karena masing-masing mendustakan yang lain, dan tidak mungkin dia membunuh pada hari Kamis dan hari Jumat. Demikian pula jika seseorang bersaksi bahwa dia membunuhnya pada pagi hari, sementara yang lain mengatakan sore hari, atau yang satu mengatakan dia mencekiknya sampai mati, dan yang lain mengatakan dia memukulnya dengan pedang sampai mati — maka ini semua merupakan kesaksian yang saling bertentangan, dan tidak memberatkannya.

Jika dua orang bersaksi atas dua orang bahwa mereka membunuh seseorang, lalu para saksi bersaksi bahwa kedua saksi tersebutlah yang membunuhnya, dan kesaksian itu disampaikan dalam satu waktu, jika ahli waris korban mempercayai keduanya, maka kesaksian itu batal, demikian pula jika mereka mendustakan keduanya. Jika mereka menuntut berdasarkan kesaksian yang pertama, maka kesaksian yang kedua batal; karena keduanya bersaksi terhadap mereka bahwa mereka melakukan pembunuhan, maka mereka membela diri dengan kesaksian mereka sebelum bersaksi. Jika mereka tidak menuntut berdasarkan kesaksian apa pun, aku akan membiarkan mereka sampai mereka mengajukan tuntutan seperti yang telah aku jelaskan.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī – rahimahullāh –): Jika mereka datang bersama-sama, maka aku tidak menerima kesaksian mereka; karena tidak ada dalam kesaksian salah satu dari mereka kecuali seperti kesaksian yang lainnya, maka tidak ada yang lebih berhak diterima atau ditolak daripada yang lain.

Jika seorang saksi bersaksi bahwa seseorang mengakui telah membunuh seseorang secara tidak sengaja pada hari selain hari yang disebutkan oleh saksi lainnya, maka pendapat umum mengatakan bahwa ini sah, karena itu adalah kesaksian atas pernyataan (pengakuan), dan demikian pula pengakuan manusia bisa terjadi pada hari berbeda dan majelis berbeda. Ini berbeda dengan kesaksian atas perbuatan. Jika salah satu dari mereka bersaksi bahwa ia mengakui membunuhnya dengan sengaja, dan yang lain bersaksi bahwa ia mengaku membunuhnya tanpa menyebut apakah sengaja atau tidak, maka aku anggap ia sebagai pembunuh, dan aku ambil pernyataan si pelaku. Jika dia mengatakan “sengaja,” maka berlaku qishāsh, dan jika dia mengatakan “tidak sengaja,” maka aku akan menyuruhnya bersumpah bahwa ia tidak membunuh dengan sengaja, dan diyat menjadi tanggungannya dalam tiga tahun.

Jika salah satu bersaksi bahwa ia mengaku membunuh dengan sengaja, dan yang lainnya bahwa ia mengaku membunuh dengan tidak sengaja, maka aku akan menanyainya dan mengambil ucapannya. Jika dia mengatakan tidak sengaja, maka aku menyuruhnya bersumpah atas tuduhan pembunuhan dengan sengaja dan menetapkan diyat atasnya dalam tiga tahun; karena keduanya bersaksi atas pengakuan membunuh — salah satu sengaja, dan yang lainnya tidak sengaja — dan keduanya mungkin benar; karena mereka bersaksi atas pernyataan, bukan perbuatan.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika dua orang bersaksi atas pembunuhan, lalu salah satu dari mereka berkata bahwa pelaku membunuh dengan besi dan yang lain berkata dengan tongkat, maka kesaksian mereka batal; karena keduanya bertentangan, dan tidak mungkin seseorang membunuh dengan besi hingga membinasakan nyawa, dan juga dengan tongkat hingga membinasakan nyawa.

Jika salah satu dari mereka bersaksi bahwa ia membunuh, dan yang lain bersaksi bahwa ia mengakui telah membunuh, maka kesaksian mereka tidak sah. Ini bukan kesaksian yang saling bertentangan yang satu mendustakan yang lain, namun tidak sah karena tidak berkumpul atas satu hal. Jika pembunuhan yang disaksikan atau yang diakui itu tidak disengaja, maka ahli waris korban disumpah bersama saksi mereka dan berhak atas diyat sebagaimana hak-hak lain diperoleh. Jika itu disengaja, maka mereka juga disumpah dengan qasāmah; karena kasus seperti ini mengharuskan qasāmah dalam darah, dan mereka berhak atas diyat melalui qasāmah.

Jika dua orang saksi bersaksi bahwa seseorang membunuh si Fulan, atau bahwa ia membunuh seseorang namun hanya satu saksi yang menetapkan dengan jelas siapa yang dibunuh, maka kesaksian ini tidak tegas. Dalam kasus seperti ini, dilakukan qasāmah terhadap salah satu pelaku sebagaimana dilakukan pada penduduk sebuah desa bahwa salah satu dari mereka yang membunuh.

Jika mereka bersaksi bahwa seseorang membunuh ‘Abdullāh bin Muḥammad atau Sālim bin ‘Abdullāh — tapi tidak diketahui siapa yang dibunuh — maka ini bukan kesaksian yang sah dan tidak bisa dilakukan qasāmah; karena setiap ahli waris dari keduanya jika menuntut, maka tidak lebih berhak daripada yang lainnya.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Aku tidak menerima kesaksian sampai mereka menguatkannya. Jika mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa ia memukul kepalanya dengan pedang, besi, atau tongkat, dan kami melihat luka di kepala,” maka aku tidak menjatuhkan qishāsh sampai mereka berkata, “Ia melukai kepala itu dengan luka ini.”

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Demikian juga jika mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa ia memukulnya dalam keadaan terbungkus kain dan membelahnya dua,” atau “ia melukai dengan luka ini,” tetapi mereka tidak menyatakan bahwa orang itu masih hidup ketika dipukul, maka aku tidak menghukuminya sebagai pembunuh atau pelukai sampai mereka berkata, “Ia memukulnya dalam keadaan hidup,” atau ada bukti bahwa ia masih hidup saat dipukul atau setelah dipukul, sehingga dapat dipastikan bahwa pukulan itu terjadi dalam keadaan hidup. Aku menerima pernyataan pelaku dengan sumpahnya jika tidak ada bukti bahwa luka tersebut bukan perbuatannya dan bahwa ia memukul dalam keadaan mati.

Demikian pula jika mereka bersaksi bahwa suatu kaum masuk ke dalam rumah, lalu hilang, dan rumah itu dihancurkan oleh orang ini terhadap mereka, kemudian ia berkata, “Aku menghancurkannya setelah mereka mati,” maka aku menerima ucapannya sampai ada bukti bahwa mereka masih hidup saat rumah itu dihancurkan.

(Dikatakan oleh ar-Rabī‘): Dan pendapat kedua dari asy-Syāfi‘ī yang serupa adalah bahwa orang yang terbungkus kain dan kaum yang berada di dalam rumah yang dihancurkan dianggap masih hidup sampai terbukti atau dibuktikan dengan saksi bahwa mereka telah mati sebelum rumah itu dihancurkan atas mereka.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Begitu pula jika ia mengaku dengan berkata, “Aku memukulnya lalu memotongnya,” atau, “Aku merobohkan rumah itu atas mereka saat mereka telah mati,” atau berkata, “Aku memukul mulut orang ini dan giginya telah tanggal,” maka ucapannya diterima dengan sumpahnya sampai ada bukti yang menyelisihi ucapannya.

Dan jika dua saksi bersaksi bahwa orang ini memukul orang itu dengan satu pukulan yang menetap, dan luka tersebut tidak sembuh hingga yang dipukul meninggal, maka tidak ada qishāsh atas pelaku kecuali bila ia mengaku bahwa korban meninggal karenanya atau para saksi membuktikan bahwa korban meninggal akibat pukulan itu, baik mereka yang melihat langsung pukulan atau yang tidak melihatnya, tetapi menyaksikan bahwa korban tetap terbaring sakit hingga wafat. Bila demikian keadaannya, maka secara lahir korban meninggal karena luka itu dan atas pelaku ada qishāsh. Bila tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut, maka pelaku bersumpah bahwa korban tidak mati karena luka itu dan dia wajib membayar ganti rugi luka. Jika ia enggan bersumpah, maka para ahli waris bersumpah dan mereka mendapatkan diyat atau qishāsh padanya bila pelaku termasuk orang yang bisa diqishāsh.

Perselisihan antar wali dalam pelaksanaan qishāsh

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī – semoga Allah merahmatinya -): Jika seseorang membunuh orang lain dengan sengaja menggunakan pedang, dan korban memiliki beberapa wali laki-laki dan perempuan, lalu mereka berselisih dalam pelaksanaan qishāsh dan masing-masing ingin menjadi eksekutor pembunuhan, maka dikatakan kepada mereka: hanya satu orang saja yang boleh membunuhnya. Bila kalian menyerahkannya kepada salah satu dari kalian, maka dialah yang berhak membunuhnya. Jika kalian sepakat menyerahkannya kepada orang lain di luar kalian, maka biarkan ia yang membunuhnya. Jika kalian tetap berselisih, maka dilakukan undian di antara kalian, dan siapa yang keluar undiannya maka dialah yang melakukannya. Wanita tidak diikutkan dalam undian dan tidak dibolehkan membunuh karena besar kemungkinan ia tidak mampu membunuh tanpa menyiksa. Demikian pula jika di antara mereka ada yang lumpuh tangan kanannya, lemah, atau sakit dan tidak mampu membunuh kecuali dengan menyiksa, maka undian dilakukan di antara mereka yang mampu membunuh, dan tidak dibiarkan orang yang membunuh dengan cara menyiksa.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika hanya ada satu wali dan ia sakit hingga tidak mampu membunuh kecuali dengan menyiksa, maka dikatakan kepadanya: “Tunjuklah orang lain untuk membunuhnya,” dan tidak dibiarkan ia menyiksa dalam membunuh. Begitu juga bila semua wali adalah perempuan, maka mereka tidak membunuhnya walau melalui undian.

(Dikatakan): Pedang yang digunakan untuk membunuh harus diperhatikan, jika tidak tajam maka diberikan pedang yang tajam.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika wali yang keluar undiannya sehat namun tidak pandai memukul, maka diberikan wali lain untuk membunuhnya dengan tepat.

(Dikatakan): Jika semua wali tidak pandai memukul, maka penguasa memerintahkan orang yang pandai untuk memenggal lehernya.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika pelaku telah dipukul namun belum mati dengan satu pukulan, maka ia dipukul lagi sampai mati dengan pedang paling tajam dan pukulan sekuat-kuatnya yang memungkinkan.

Jika para wali korban telah berkumpul untuk melakukan pembunuhan namun belum membunuhnya hingga salah satu dari mereka wafat, maka dihentikan dahulu pembunuhan sampai semua ahli waris berkumpul lagi dan sepakat. Bila tidak wafat, tapi menjadi gila, maka tidak dibunuh sampai ia sembuh atau meninggal, lalu ahli warisnya menggantikan posisinya. Sama saja apakah ia telah mengizinkan pembunuhan atau belum, karena seseorang bisa saja memberi izin namun kemudian ingin memaafkan.

Jika salah satu ahli waris meninggal lalu pelaku dibunuh, maka keadaannya sama seperti dua orang yang ayahnya dibunuh, lalu salah satunya wafat. Maka, bagian diyat dari yang wafat atau gila ditanggung oleh orang yang membunuh pelaku.

Wali yang dalam pengawasan maupun tidak, dalam hal perwalian darah dan pelaksanaan qishāsh serta memaafkan atas dasar diyat, kedudukannya sama. Jika wali yang dalam pengawasan memaafkan qishāsh tanpa mengambil diyat, maka maafnya sah dan tidak bisa dilakukan qishāsh lagi. Namun, ia tetap mendapat bagiannya dari diyat karena ia tidak boleh membatalkan harta, tetapi boleh tidak menuntut qishāsh.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Apabila para wali mengundi lalu undian jatuh kepada salah seorang dari mereka yang ternyata lemah untuk membunuh, maka undian diulang kepada yang lainnya. Demikian terus diulang hingga keluar undian kepada orang yang mampu membunuh.

[Pelanggaran wakil atau wali dalam pembunuhan]

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī – semoga Allah merahmatinya -): Jika seseorang memukul orang lain dengan satu pukulan lalu orang tersebut meninggal karenanya, kemudian wali korban membunuh pelaku dengan cara memotong tangannya atau kakinya, atau memukul bagian tengah tubuhnya, atau mencincangnya, maka tidak ada diyat, tidak pula qishāsh dan tidak juga kafārah. Tapi pelaku (wali) diberi hukuman yang menyakitkan karena telah melampaui batas dengan mencincang.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika dia datang untuk memenggal leher pelaku lalu memukul kepalanya dari arah leher atau bahunya dan mengatakan, “Aku keliru,” maka ia disumpah bahwa ia tidak sengaja dengan apa yang dilakukannya, dan tidak dihukum. Kemudian dikatakan kepadanya, “Penggallah lehernya.” Namun jika ia memukul ubun-ubun kepala atau bagian tengah kepala atau memukul dengan pukulan yang lazim tidak mungkin salah jika tujuannya leher, maka ia dihukum dan tidak disumpah. Sumpah hanya diberikan kepada orang yang memungkinkan kebenarannya. Lalu dikatakan kepadanya, “Penggallah lehernya.” Jika ia mengatakan, “Aku tidak bisa selain seperti ini,” maka diterima darinya dan dicarikan wakil yang bisa melakukannya. Jika tidak ada yang mau menjadi wakil, maka penguasa mengangkat orang untuk membunuhnya, dan pembunuhan tidak dilakukan hingga mendapatkan izin dari wali. Jika wali mengizinkan, maka ia dibunuh.

Jika penguasa memberi izin kepada seseorang atau kepada seorang perempuan untuk membunuh seorang laki-laki yang telah diputuskan qishāsh padanya, lalu orang tersebut pergi untuk membunuhnya, kemudian wali berkata, “Aku telah memaafkannya,” sebelum pembunuhan dilakukan, namun ia membunuhnya sebelum mengetahui adanya pemaafan, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: Tidak ada tanggungan apa pun atas si pembunuh kecuali jika ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak tahu bahwa telah ada pemaafan, dan tidak pula atas orang yang mengatakan, “Aku telah memaafkannya.”

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Pendapat kedua, ia wajib membayar diyat dan menunaikan kafārah meskipun ia telah bersumpah. Paling ringan keadaannya adalah bahwa ia telah keliru membunuh. Orang yang mengatakan pendapat ini mengatakan: Jika para wali mewakilkan seseorang untuk membunuh seorang yang atasnya qishāsh, lalu wakil itu membawa pelaku ke tempat lain untuk membunuhnya, kemudian para wali atau sebagian dari mereka memaafkan dan menyaksikan pemaafan itu sebelum ia membunuh pelaku, maka pemaafan itu belum sampai kepada wakil hingga ia membunuh pelaku. Maka, atas wakil tidak dikenakan qishāsh karena ia membunuh berdasarkan anggapan bahwa pembunuhan itu halal baginya secara khusus. Namun ia wajib membayar diyat dan kafārah, dan ia tidak bisa menuntut kepada wali yang memerintahkannya karena ia adalah relawan pembunuh. Dan ia disumpah bahwa ia tidak tahu adanya pemaafan. Jika ia bersumpah, maka ia tidak dibunuh dan ia membayar diyat. Jika tidak, maka wali bersumpah bahwa ia tahu dan ia membunuh.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Pendapat ini adalah yang terbaik karena orang yang dibunuh telah menjadi terlarang dibunuh karena adanya pemaafan dari wali. Ini serupa dengan budak yang dimerdekakan, lalu seseorang membunuhnya tanpa mengetahui bahwa ia telah merdeka, maka ia harus membayar diyat orang merdeka. Demikian pula orang kafir yang masuk Islam, lalu seseorang membunuhnya tanpa mengetahui bahwa ia telah masuk Islam, maka diyatnya adalah diyat seorang Muslim.

(Dikatakan oleh ar-Rabī‘): Maksudnya adalah membunuh seorang budak, padahal ia tahu bahwa ia adalah orang merdeka yang Muslim.

[Pembunuhan Seorang Laki-Laki oleh Perempuan]

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī – semoga Allah merahmatinya -): Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama yang aku temui bahwa dua darah (laki-laki dan perempuan) setara selama keduanya sama-sama merdeka dan Muslim. Maka jika seorang laki-laki membunuh perempuan dengan sengaja, ia dibunuh karena perbuatannya. Dan jika perempuan yang membunuh, maka ia pun dibunuh karena perbuatannya. Tidak diambil harta apa pun dari perempuan atau walinya untuk laki-laki jika ia dibunuh karena perempuan, atau sebaliknya jika laki-laki dibunuh karena perempuan. Ia seperti laki-laki yang membunuh laki-laki dalam seluruh hukumnya, jika dilakukan qishash untuknya atau darinya. Begitu pula jika beberapa orang laki-laki membunuh seorang perempuan, atau beberapa perempuan membunuh seorang laki-laki.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Begitu pula luka-luka yang wajib qishash berlaku sama dengannya (perempuan), jika perempuan berhak qishash dalam kasus nyawa, maka ia juga berhak dalam luka-luka yang lebih ringan dari nyawa. Tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali dalam masalah diyat. Jika para wali perempuan menginginkan diyat, maka diyatnya adalah setengah dari diyat laki-laki. Dan jika para wali laki-laki menginginkan diyat dari hartanya (perempuan), maka diyatnya adalah seratus ekor unta, tidak kurang karena ia dibunuh oleh perempuan. Hukum qishash berbeda dengan hukum diyat.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Para wali perempuan dan ahli warisnya sama seperti wali dan ahli waris laki-laki dalam semua hal, kecuali dalam diyat.

Jika seorang perempuan membunuh perempuan lain yang sedang hamil, baik janinnya bergerak atau tidak, maka berlaku qishash atasnya. Namun tidak ada tanggungan atas janinnya kecuali jika janin itu telah keluar darinya. Jika ia keluar dalam keadaan mati sebelum ibunya mati, bersamaan, atau setelahnya, maka semuanya sama, dan wajib membayar “ghurrah” senilai lima ekor unta.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika janin keluar dalam keadaan hidup sebelum atau sesudah ibunya meninggal, maka keadaannya sama. Tidak berlaku qishash jika ia mati, namun wajib membayar diyat. Jika ia laki-laki, maka seratus ekor unta, dan jika perempuan lima puluh ekor unta, baik pembunuhnya laki-laki atau perempuan.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika perempuan yang melakukan pembunuhan sedang hamil dan wajib dibalas dengan qishash, maka ia ditahan hingga melahirkan. Kemudian baru dilakukan qishash darinya setelah melahirkan, meskipun tidak ada yang menyusui anaknya. Aku lebih menyukai jika wali korban dengan suka hati menundanya satu atau beberapa hari hingga ditemukan ibu susu, dan jika tidak, maka ia tetap dibunuh untuk hak wali.

Jika setelah melahirkan, janin tampak bergerak, maka ditunggu hingga ia melahirkan janin tersebut, atau diketahui bahwa ia tidak hamil. Begitu pula jika tidak diketahui ia hamil, namun ia mengaku hamil, maka ditunggu untuk pelaksanaan qishash hingga ia bersih dari kehamilan atau diketahui tidak hamil.

Jika penguasa tergesa-gesa lalu menegakkan qishash padanya sementara ia sedang hamil, maka tidak ada tanggungan atasnya selain dosa. Jika kemudian ia melahirkan janin, maka penguasa wajib menggantinya, bukan orang yang menuntut qishash, dan diyatnya ditanggung oleh keluarga penguasa, bukan dari Baitul Mal. Begitu juga jika keputusan telah dijatuhkan untuk menegakkan qishash, namun wali belum melaksanakan hingga ia melahirkan janinnya, maka janin itu wajib diganti oleh penguasa.

[Seorang Laki-laki Membunuh Beberapa Orang]

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī –  -): Jika seorang laki-laki membunuh beberapa orang, lalu para wali mereka semuanya datang menuntut qishāsh, dan mereka sepakat bahwa ia membunuh sebagian dari mereka sebelum yang lain, atau ada bukti atas hal itu, maka dilaksanakan qishāsh untuk orang yang dibunuh pertama kali, dan diyat untuk yang dibunuh terakhir dibayar dari hartanya.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika mereka datang secara terpisah, aku menyukai agar imam, jika mengetahui bahwa ia membunuh selain orang yang datang kepadanya, mengirim panggilan kepada walinya. Jika wali tersebut menuntut qishāsh, maka pelaku dibunuh karena membunuh orang yang dibunuh pertama. Jika tidak, dan qishāsh dilaksanakan atas pembunuhan yang lain, maka aku membencinya bagi imam, tetapi tidak ada beban atasnya; karena seluruh korban berhak atas qishāsh darinya. Siapa pun dari mereka yang datang dan membuktikan dengan saksi bahwa pelaku membunuh walinya, lalu imam menyerahkannya dan ia tidak langsung membunuhnya hingga datang yang lain dengan bukti bahwa pelaku membunuh walinya, maka pelaku diserahkan kepada wali yang terbunuh lebih dahulu.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika mereka sama-sama memberikan bukti terhadapnya, siapakah yang dibunuh lebih dahulu, maka yang dipegang adalah ucapan pelaku. Jika ia tidak mengakui apa pun, aku menyukai agar imam mengadakan undian di antara mereka: siapa yang terbunuh lebih dahulu, dan siapa pun yang keluar undiannya, maka pelaku dibunuh karenanya dan sisanya diberi diyat dari hartanya. Begitu pula jika pelaku membunuh mereka secara bersamaan, aku menyukai agar imam mengadakan undian di antara mereka.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika seorang laki-laki membunuh dengan sengaja dan para ahli warisnya dewasa, di antara mereka ada anak kecil atau yang sedang bepergian, lalu pelaku lain juga membunuh dengan sengaja dan para ahli warisnya semua dewasa dan mereka menuntut qishāsh, maka pelaku tidak diberikan kepada mereka. Ia ditahan sampai si kecil baligh dan si bepergian hadir, karena bisa jadi mereka memilih untuk memaafkan dan qishāsh menjadi gugur, dan mereka mendapatkan diyat dari hartanya.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika imam menyerahkannya kepada wali dari korban yang dibunuh terakhir dan mengabaikan wali dari korban pertama lalu pelaku dibunuh, maka menurutku itu adalah tindakan buruk dari imam, tetapi tidak ada tanggungan atas mereka karena semuanya memiliki hak penuh atas darahnya.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika ia memotong tangan seorang lelaki dan kaki lelaki lain, lalu membunuh orang ketiga, dan mereka datang bersama-sama menuntut qishāsh, maka dipotong tangan dan kaki lebih dahulu, lalu dibunuh setelahnya.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika ia memotong jari tangan kanan seorang lelaki dan telapak tangan kanan lelaki lain, lalu mereka datang bersama-sama menuntut qishāsh, maka aku laksanakan qishāsh atas jari lebih dahulu, dan aku beri pilihan kepada pemilik telapak tangan antara aku qishāsh tangannya dan ia menerima ganti jari, atau aku berikan ganti untuk telapak tangan.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika aku mulai dengan memotong telapak tangan, maka aku beri pemilik jari kompensasi. Jika ia memotong dua telapak tangan kanan dari dua orang, maka itu seperti membunuh dua jiwa. Dilaksanakan qishāsh untuk siapa pun yang datang lebih dahulu. Jika keduanya datang bersama, maka dilaksanakan qishāsh untuk salah satunya. Jika dilakukan kepada yang terakhir, maka yang pertama mendapatkan diyat untuk tangannya. Demikian pula untuk setiap luka yang ada hak qishāsh, kemudian korban meninggal karenanya, baik karena qishāsh atau sakit atau sebab lain, maka pelaku wajib membayar ganti rugi luka tersebut dari hartanya.

[Tiga Orang Membunuh Seseorang dan Mengenainya dengan Luka]

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī – -): Telah mengabarkan kepada kami Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – membunuh lima atau tujuh orang karena telah membunuh satu orang secara tipu muslihat (ghīlah). Dan ‘Umar berkata: “Seandainya seluruh penduduk Ṣan‘ā bersekongkol membunuhnya, niscaya aku akan membunuh mereka semua.”

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Aku telah mendengar sejumlah ahli fatwa, dan sampai kabar kepadaku bahwa mereka berkata: “Jika dua atau tiga orang atau lebih membunuh seseorang dengan sengaja, maka wali korban boleh membunuh mereka semua.”

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Aku telah membangun seluruh permasalahan ini atas dasar pendapat tersebut. Maka, menurutku, bagi siapa yang berpendapat bahwa dua orang atau lebih dibunuh karena membunuh satu orang, ia juga harus mengatakan bahwa jika dua orang memotong tangan seseorang bersama-sama, maka tangan keduanya dipotong bersama-sama. Begitu juga jika lebih dari dua orang. Apa yang berlaku pada dua orang juga berlaku untuk seratus orang atau lebih. Akan tetapi tangan mereka hanya dipotong bersama-sama apabila mereka memukulnya bersamaan dalam satu pukulan atau memotongnya dalam satu tebasan. Namun jika satu orang memotong dari atas ke setengahnya, dan yang lain dari bawah sampai terputus, maka tangan mereka tidak dipotong. Yang dilakukan adalah menebas bagian sesuai dengan apa yang dilakukan masing-masing, selama masih memungkinkan.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Hal ini juga berlaku dalam luka-luka dan sayatan yang bisa dilakukan qishāsh, dan selainnya, tidak berbeda. Ia berbeda dengan jiwa karena luka bisa dibagi-bagi, sedangkan jiwa tidak dapat dibagi. Maka apabila luka itu dilakukan bersama-sama seperti yang aku sebutkan, maka tidak ada seorang pun dari mereka yang bertanggung jawab sendiri atasnya, dan ini seperti kasus pembunuhan dalam qiyās. Namun jika bisa dibagi, maka ia berbeda dengan kasus pembunuhan.

Jika dua orang atau lebih memukul seseorang dengan alat yang biasa menyebabkan kematian seperti pedang, kaca, tombak, atau besi tajam, dan orang tersebut tidak beranjak dari tempatnya sampai meninggal akibat luka-luka tersebut, maka wali korban boleh membunuh mereka semua jika menginginkannya, atau mengambil diyat. Jika mereka mengambil diyat, maka mereka hanya berhak atas satu diyat yang dibagi di antara para pelaku: jika dua orang, maka masing-masing setengah; jika tiga, maka sepertiga, dan begitu seterusnya. Jika mereka ingin membunuh sebagian dan mengambil diyat dari yang lain, itu boleh. Jika mereka ingin mengambil diyat hanya dari satu orang, maka diambil sesuai bagian keterlibatannya. Jika yang membunuh ada tiga orang, lalu dua dibunuh dan satu dituntut diyat, maka mereka hanya berhak sepertiga. Jika yang membunuh sepuluh orang, maka ia membayar sepersepuluh, dan jika seratus, maka membayar seper seratus dari diyat. Jika satu dari tiga pelaku meninggal, maka wali korban bisa membunuh dua orang sisanya dan mengambil sepertiga diyat dari harta si mati.

Jika seorang pria membunuh bersama seorang anak kecil atau orang gila, maka wali korban boleh membunuh pria tersebut dan mengambil setengah diyat dari si anak kecil atau si gila. Demikian juga jika seorang merdeka dan seorang budak bersama-sama membunuh seorang budak, maka orang merdeka membayar setengah harga budak, dan budak tersebut dihukum mati. Demikian pula jika seorang Muslim dan seorang Nasrani membunuh seorang Nasrani, maka Muslim membayar setengah diyat Nasrani dan Nasrani dihukum mati. Juga, jika seorang pria membunuh anaknya bersama dengan orang lain, maka ayahnya membayar setengah diyat serta dikenakan hukuman, dan orang asing (bukan ayahnya) dikenai qishāsh, jika semua pukulan itu dilakukan dengan sengaja.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika dua orang melakukan luka dengan sengaja, dan satu orang lainnya melakukannya dengan tidak sengaja atau dengan cara yang dihukumi seperti tidak sengaja, seperti memukul dengan tongkat ringan atau batu kecil, lalu korban meninggal, maka tidak ada qishāsh karena tercampur unsur ketidaksengajaan yang tidak menyebabkan qishāsh. Maka dikenakan diyat: pihak yang melakukan kesalahan membayar dari ‘āqilah-nya, sedangkan yang sengaja membayar dari hartanya.

Jika saksi menyatakan bahwa dua orang memukul korban hingga korban tergeletak, lalu orang ketiga lewat dan membelah tubuhnya menjadi dua, dan saksi menyatakan bahwa pembelahan itu terjadi saat ia masih hidup, tetapi tidak diketahui apakah pukulan pertama sudah sampai ke urat leher atau mengeluarkan isi perutnya, maka tidak ada qishāsh atas satu pun dari mereka. Wali korban dapat memilih untuk menuntut siapa pun dari mereka, dan orang yang dituntut itu wajib membayar diyat, sedangkan mereka semua dikenakan ta‘zīr.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Jika tidak terbukti bahwa korban masih hidup saat dibelah, dan para saksi mengatakan, “Kami tidak tahu apakah ia masih hidup,” maka tidak ada kewajiban atas mereka berdua, hingga wali korban bersumpah terhadap salah satu pelaku dan menuntut diyat. Jika wali berkata, “Kami akan bersumpah terhadap mereka berdua,” maka dikatakan kepada mereka: “Jika kalian bersumpah bahwa dua orang pertama melukai dan yang terakhir membelah tubuhnya, itu boleh. Tapi jika kalian bersumpah bahwa kematiannya terjadi karena kedua pukulan tersebut bersamaan, maka itu tidak sah karena yang ketiga telah membelahnya.”

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Aku membatalkan qishāsh di awal karena dua pelaku pertama, jika sudah menimbulkan luka yang mematikan hingga hanya tersisa kehidupan kecil (seperti orang yang akan disembelih), maka orang ketiga tidak dikenai diyat atau qishāsh. Namun jika dua orang itu belum menimbulkan luka mematikan, maka orang ketiga dikenai qishāsh dan dua orang pertama dikenai hukuman atas luka yang ditimbulkan. Maka aku jadikan ini sebagai qasāmah untuk diyat karena masing-masing pelaku punya tanggung jawab, tapi tidak bisa dilakukan qishāsh dalam kasus ini.

Jika saksi menyatakan bahwa seorang pria memukul korban dengan tongkat yang ujungnya ada besi tajam, namun tidak jelas apakah korban mati karena besi atau karena tongkat, maka tidak ada qishāsh karena jika tongkatnya sendiri tidak biasa mematikan, maka tidak menyebabkan qishāsh. Namun tetap dikenai diyat dalam segala kondisi. Jika wali korban bersumpah bahwa korban mati karena besi, maka diyat wajib segera dibayar dari hartanya. Jika tidak bersumpah, maka diyat dibayarkan dalam jangka waktu tiga tahun, karena kematian telah terbukti dan kemungkinan paling rendahnya adalah karena kelalaian (khāṭi’), dan tidak dibebankan kepada ‘āqilah karena tidak terbukti bahwa itu kesalahan murni.

Jika seorang laki-laki memotong jari tangan seseorang, lalu datang orang lain memotong telapak tangannya, atau seseorang memotong tangan orang lain dari persendian siku bawah (kāf), lalu yang lain memotong dari atas siku (mirfaq), kemudian orang itu meninggal dunia, maka keduanya sama-sama dikenai qishāsh. Jari dari pemotong jari dipotong, telapak tangan dari pemotong telapak tangan dipotong, dan tangan dari pemotong tangan dipotong dari siku, kemudian keduanya dihukum mati. Sama saja apakah potongan itu dari tangan yang sama atau dari dua tangan yang berbeda. Sama saja dilakukan bersamaan dengan pemotongan pertama atau beberapa saat setelahnya, selama luka pertama belum sembuh; karena sisa rasa sakitnya masih menjalar ke seluruh tubuh.

Jika dikatakan bahwa luka pertama sudah sembuh karena luka kedua telah memotong bagian sendi yang terhubung dengannya dan luka itu lebih besar, maka akan mungkin juga dikatakan: jika seseorang memotong kedua tangan dan kaki seseorang, lalu orang lain menimpanya dengan luka kepala hingga menembus tulang (mauḍiḥah), lalu korban meninggal dunia, maka dikatakan bahwa pelaku mauḍiḥah tidak dikenai qishāsh atas jiwa; karena rasa sakit dari luka-luka besar telah menyebar ke seluruh tubuh sebelum atau sesudah luka kepala.

Siapa yang memperbolehkan dua orang dibunuh karena satu orang, maka ia seharusnya mengatakan bahwa rasa sakit itu menyebar ke sebagian tubuh tanpa membedakan, sampai-sampai jika dua orang masing-masing memotong satu tangan dari seseorang secara bersamaan dan orang itu meninggal, maka tidak dikenai qishāsh atas jiwa, karena rasa sakit dari masing-masing luka berada di sisi tangan yang dipotong. Akan tetapi, rasa sakit dari luka kecil maupun besar itu menyebar ke seluruh tubuh. Maka orang yang membunuh dua orang karena satu orang, hukum qishāsh atas masing-masing dari mereka seperti pada pelaku pembunuhan tunggal.

Jika diyat diambil, maka atas setiap orang yang menyebabkan luka kecil atau besar dikenai bagian dari diyat jiwa sesuai jumlah pelaku, misalnya sepuluh orang melukai seseorang hingga meninggal, maka masing-masing wajib membayar sepersepuluh dari diyat.

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana dengan firman Allah Ta‘ālā: {Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus pembunuhan: orang merdeka dibalas dengan orang merdeka} (al-Baqarah: 178), apakah ini menunjukkan bahwa tidak dibunuh orang merdeka dengan orang merdeka atau laki-laki dengan perempuan?”

Dijawab: Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat bahwa laki-laki dibunuh karena perempuan. Maka jika tidak ada perselisihan dalam hal ini, maka ayat tersebut bersifat khusus.

Jika dikatakan: “Dalam konteks apakah ayat ini diturunkan?” Dikatakan: Telah mengabarkan kepada kami Mu‘āż bin Mūsā, dari Bukayr bin Ma‘rūf, dari Muqātil bin Ḥayyān, ia berkata: Aku mengambil tafsir ini dari sejumlah orang di antaranya Mujāhid, al-Ḍaḥḥāk, dan al-Ḥasan. Mereka berkata tentang firman Allah Ta‘ālā: {Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus pembunuhan} (al-Baqarah: 178): Permulaan dari itu adalah pada dua kabilah Arab yang saling berperang sedikit sebelum Islam datang. Salah satu dari dua kabilah itu memiliki keunggulan atas yang lain. Maka mereka bersumpah demi Allah bahwa mereka akan membunuh laki-laki karena perempuan dan budak dari kabilah mereka karena orang merdeka. Maka ketika ayat ini diturunkan, mereka rela dan menerima.

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Apa yang mereka katakan serupa dengan apa yang telah disampaikan; karena Allah Ta‘ālā hanya membebankan dosa kepada pelakunya dan tidak menjadikan dosa seseorang ditanggung oleh yang lain. Maka Dia berfirman: {Orang merdeka dibalas dengan orang merdeka} (al-Baqarah: 178), jika orang tersebut – wallāhu a‘lam – telah membunuhnya. {Dan budak dibalas dengan budak} (al-Baqarah: 178), jika budak yang membunuh. {Dan perempuan dengan perempuan} (al-Baqarah: 178), jika perempuan itu yang membunuh, bukan membunuh seseorang yang tidak membunuhnya karena keutamaan korban atas pelaku.

Dan telah diriwayatkan dari Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – bahwa beliau bersabda: “Orang yang paling durhaka terhadap Allah adalah orang yang membunuh selain dari pembunuhnya.”

(Dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī): Penjelasan bahwa aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa laki-laki dibunuh karena perempuan adalah dalil bahwa seandainya ayat ini tidak bersifat khusus, seperti yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir, niscaya laki-laki tidak akan dibunuh karena perempuan. Dan mayoritas ulama yang aku hafal tidak memiliki perbedaan dalam makna ini, dan tidaklah laki-laki dibunuh karena perempuan.

[Pembunuhan Orang Merdeka terhadap Budak]

(Asy-Syāfi‘ī berkata – raḥimahullāh –): Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Ahli Taurat: {Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat): jiwa dibalas dengan jiwa} (al-Mā’idah: 45).

(Kata beliau): Dan tidak boleh – wallāhu a‘lam – dalam hukum Allah Ta‘ālā terhadap Ahli Taurat, jika itu adalah hukum yang jelas, kecuali yang juga sah berdasarkan firman-Nya: {Dan barang siapa dibunuh secara aniaya, maka sungguh Kami telah berikan kepada walinya kekuasaan (untuk menuntut)} (al-Isrā’: 33).

Tidak sah dalam hal ini kecuali setiap jiwa yang diharamkan untuk dibunuh, maka atas orang yang membunuhnya diwajibkan qishāsh.

Dengan ini maka akan mengharuskan bahwa seorang mukmin dibunuh karena membunuh seorang kafir dzimmi, atau kafir musta’man, atau anak kecil, atau perempuan dari kalangan orang-orang kafir harbi; dan juga mengharuskan bahwa laki-laki dibunuh karena membunuh budaknya sendiri atau budak orang lain, baik budak itu muslim maupun kafir, atau seorang laki-laki dibunuh karena membunuh anaknya sendiri.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Atau firman Allah: {Barang siapa dibunuh secara aniaya} (al-Isrā’: 33), berlaku untuk orang yang darahnya sepadan dengan darah si pembunuh – dan setiap jiwa yang qishāsh dapat diterapkan padanya adalah berdasarkan dalil dari Kitab Allah, atau Sunnah, atau ijma‘ – sebagaimana firman Allah: {Dan perempuan dibalas dengan perempuan} (al-Baqarah: 178), hanya jika ia yang membunuh, bukan bahwa laki-laki tidak dibunuh karena perempuan.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Makna ini lebih utama menurutku – wallāhu a‘lam – karena didukung oleh beberapa dalil, di antaranya sabda Rasulullah ﷺ:

“Tidak dibunuh seorang mukmin karena (membunuh) seorang kafir.”

Dan adanya ijma‘ bahwa seseorang tidak dibunuh karena (membunuh) anaknya sendiri, dan ijma‘ bahwa seorang laki-laki tidak dibunuh karena budaknya, atau karena membunuh seorang musta’man dari kalangan harbi, atau karena membunuh perempuan dari kalangan harbi, atau karena membunuh anak kecil.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Demikian pula, orang merdeka tidak dibunuh karena budak dalam keadaan apa pun. Seandainya seorang kafir dzimmi membunuh budak muslim dengan sengaja, ia pun tidak dibunuh karenanya.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Akan tetapi atas orang merdeka jika ia membunuh seorang budak, ia wajib membayar nilai budak itu secara penuh, berapapun nilainya – meskipun seratus ribu dirham atau seribu dinar – sebagaimana jika ia merusak barang miliknya atau membunuh unta miliknya.

Jika ia membunuh budak secara sengaja, maka nilai budak itu ditanggung dari hartanya; dan jika ia membunuhnya karena kelalaian, maka ditanggung oleh keluarga besarnya (‘āqilah).

Bersamaan dengan nilai budak tersebut, ia juga wajib memerdekakan budak sebagai kafārah. Demikian pula jika ia membunuh seorang budak perempuan.

Adapun pembunuhan laki-laki karena perempuan, maka keduanya saling dibalas. Sama saja, apakah perempuan itu masih kecil atau sudah dewasa.

[Pembunuhan terhadap Khuntsā’ (Ganda Kelamin)]

(Asy-Syāfi‘ī berkata – raḥimahullāh –): Jika seorang laki-laki membunuh khuntsā’ musykil (yang tidak jelas jenis kelaminnya) dengan sengaja, maka wali-wali khuntsā’ tersebut berhak menuntut qishāsh, karena khuntsā’ itu tidak lain adalah laki-laki atau perempuan.

Jika mereka menuntut diyat, maka ditetapkan baginya diyat setara perempuan, karena itu yang lebih pasti. Tidak ditetapkan diyat laki-laki ataupun lebih dari diyat perempuan, karena statusnya masih samar.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika khuntsā’ itu jelas sebagai laki-laki, maka diyatnya sebagaimana diyat laki-laki.

Khuntsā’ musykil juga bisa menuntut qishāsh dalam kasus pembunuhan maupun luka. Jika ia menuntut diyat, maka yang didapat adalah diyat perempuan. Jika setelah itu terbukti ia laki-laki, maka ditambahkan hingga setara diyat laki-laki.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika sejak awal ia kencing dari tempat kencing laki-laki dan tanda-tanda kelelakiannya lebih kuat, maka ditetapkan baginya diyat laki-laki. Jika kemudian ia mengalami haid atau keluar sesuatu yang menimbulkan keraguan, maka kelebihannya diganti agar sesuai diyat perempuan.

(Ar-Rabī‘ berkata): Khuntsā’ musykil adalah yang memiliki kemaluan laki-laki dan perempuan. Jika ia kencing dari keduanya tanpa satu pun yang mendahului, dan keduanya berhenti bersamaan, maka tetap disebut musykil.

Namun jika salah satu lebih dahulu, maka yang lebih dahulu itu dijadikan patokan.

Jika keduanya bersamaan, lalu salah satunya berhenti lebih dulu, maka patokan pada yang masih berlanjut.

[Budak Dibunuh oleh Budak]

(Asy-Syāfi‘ī berkata – raḥimahullāh –): Allah Ta‘ālā berfirman: {dan budak dengan budak} (al-Baqarah: 178).

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Maka Allah telah menetapkan hukum qishāsh antar budak sebagaimana menetapkan qishāsh antar orang merdeka. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum jiwa budak dalam hal ini.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika seorang budak membunuh budak lain, atau budak perempuan membunuh budak perempuan lainnya, atau budak laki-laki membunuh budak perempuan, atau sebaliknya – semuanya dibalas sebagaimana orang merdeka: perempuan dibalas oleh perempuan, laki-laki oleh laki-laki, dan perempuan oleh laki-laki, dengan qishāsh.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Budak-budak pun dibunuh jika mereka bersama-sama membunuh satu budak, begitu pula budak perempuan.

Hukum qishāsh bagi mereka seperti halnya orang merdeka. Wali dari budak adalah pemiliknya. Maka pemilik budak yang terbunuh, laki-laki atau perempuan, diberi pilihan: membunuh budak pembunuh atau menerima nilai budaknya, berapa pun nilainya.

Jika ia memilih qishāsh, maka itu haknya. Jika memilih nilai, maka budak pembunuh dijual dan uang hasilnya diberikan kepada pemilik budak yang terbunuh. Jika ada kelebihan nilai, dikembalikan kepada pemilik budak pembunuh.

Jika nilai penjualannya kurang dari nilai budak yang dibunuh, maka kekurangannya menjadi kerugian bagi pemilik budak korban, dan ia tidak menuntut apa pun kepada pemilik budak pembunuh.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika wali budak yang terbunuh memilih untuk membunuh sebagian budak (pelaku) dan mengambil nilai budaknya dari sisanya, maka ia tidak berhak menuntut dari salah satu budak sisanya lebih dari bagian yang sesuai jumlah mereka. Jika mereka sepuluh orang, maka ia hanya berhak atas sepersepuluh nilai budaknya dari masing-masing mereka.

(Kata beliau): Jika sepuluh budak membunuh satu budak secara sengaja, maka tuan dari budak yang terbunuh diberi pilihan: membunuh mereka semua atau mengambil nilai budaknya dari mereka. Jika ia memilih membunuh mereka, itu haknya. Jika ia memilih nilai budak, maka ia hanya mendapat sepersepuluh dari nilai budaknya dari masing-masing budak pelaku. Jika mereka tiga orang, maka ia mendapat sepertiga dari setiap budak pelaku. Dan jika salah satu budak pelaku mati sebelum ditegakkan qishāsh atasnya atau sebelum dijual untuk membayar diyat, maka tuannya tidak bisa dituntut, dan wali budak korban tetap memiliki hak qishāsh atas sisanya atau menuntut diyat dari mereka sesuai jumlah sebagaimana telah dijelaskan.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika seorang merdeka dan seorang budak membunuh seorang budak secara bersama, maka atas orang merdeka dijatuhkan hukuman dan ia wajib membayar setengah dari nilai budak korban, sedangkan tuan dari budak pelaku boleh memilih antara menegakkan qishāsh terhadap budak tersebut atau membayar setengah dari nilai budak korban sebagaimana telah dijelaskan.

Jika seorang budak membunuh orang merdeka, maka ia dibunuh sebagai qishāsh. Ia juga dapat dibalas atas luka yang ditimbulkannya, jika orang merdeka atau ahli warisnya menghendaki qishāsh atas luka tersebut. Jika lukanya dilakukan dengan sengaja, maka berlaku atasnya apa yang berlaku atas pembunuhan: semua ditanggungkan atas budak sebagaimana telah dijelaskan.

Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu ia dibunuh oleh budak lain secara sengaja, maka qishāsh tidak ditegakkan kecuali jika kedua pemiliknya sepakat untuk menuntut qishāsh. Dan siapa pun dari keduanya yang memilih untuk menuntut harga dari budaknya, maka yang lain pun berhak atas bagian yang sama. Tidak ada qishāsh jika salah satunya tidak sepakat dengan yang lain.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika budak itu milik dua orang, lalu ia dibunuh, kemudian keduanya atau salah satunya memerdekakan budak tersebut setelah terbunuh, maka ia tetap dianggap sebagai milik mereka sebelum dimerdekakan, karena pembebasan (manumisi) tidak berlaku pada orang yang sudah mati.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika keduanya memerdekakan budak itu secara bersamaan dalam satu ucapan, atau mereka berdua mewakilkan kepada seseorang untuk memerdekakannya, dan ternyata budak itu masih hidup, maka ia menjadi orang merdeka, dan wali darahnya adalah para mawālī (bekas tuan yang memerdekakannya) jika mereka adalah ahli warisnya. Namun jika ia memiliki ahli waris yang merdeka, maka merekalah yang lebih berhak atas warisannya daripada para mawālī.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika seorang budak dalam status gadai (tergadaikan) lalu dibunuh oleh budak lain secara sengaja, maka tuan (pemilik) budak itu berhak menuntut qishāsh. Pihak yang menggadaikan (murtaḥin) tidak memiliki hak atas darah budak itu — baik untuk memberi maaf atau menuntut diyat — karena sesungguhnya jika tuan budak menghendaki qishāsh, maka itu adalah haknya. Jika ia ingin mengambil harganya (diyat), ia bisa mengambilnya, dan nilai budak tersebut tetap menjadi barang gadai. Tetapi jika ia ingin meninggalkan qishāsh dan tidak mengambil harga budaknya, maka ia tidak boleh melakukannya kecuali setelah melunasi hak murtaḥin atau mengganti budak tersebut dengan barang gadai lain yang senilai, atau jika murtaḥin merelakannya.

Jika budak tergadai itu dibunuh atau membunuh, maka yang menjadi wali darahnya adalah tuannya, dan ia memiliki hak untuk menuntut qishāsh meskipun murtaḥin tidak menyukainya. Ia tidak dituntut untuk memberikan budak lain sebagai pengganti gadai. Demikian pula jika budak tergadai melakukan suatu tindak pidana (jāniyah), maka yang menjadi pihak lawan (khashm) adalah tuannya. Budak tersebut dapat dijual seharga diyatnya (ganti rugi luka), kecuali jika tuannya bersedia menebusnya dengan suka rela, maka budak tersebut tetap menjadi barang gadai. Namun jika murtaḥin yang menebusnya, maka ia hanya bersifat sukarela dan tidak berhak meminta penggantian kepada tuan budak, kecuali jika ia diperintahkan untuk menebusnya.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika budak tergadai dibunuh secara sengaja, maka tuannya berhak menuntut qishāsh atau memaafkan tanpa bayaran, karena ia tidak berhak menuntut diyat dari pembunuhan sengaja kecuali jika ia menghendakinya. Jika budak dibunuh karena kesalahan, atau budak itu membunuh orang lain sehingga terkena qishāsh, maka tuannya tidak boleh memaafkan tanpa membayar nilai budaknya, kecuali setelah membayar utang kepada murtaḥin atau menggantinya dengan barang gadai lain yang senilai.

(Ar-Rabī‘ berkata): Asy-Syāfi‘ī memiliki pendapat lain: jika budak tergadai dibunuh secara sengaja, maka tuannya tetap berhak menuntut qishāsh. Namun jika ia memaafkan qishāsh, dan diyat berubah menjadi harta, maka tuannya tidak boleh memaafkan (membatalkan tuntutan harta), karena nilai tersebut adalah harga tubuh budak, dan ia tidak boleh merugikan hak murtaḥin yang bergantung pada nilai budak tersebut.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Adapun budak mudabbir (yang dijanjikan merdeka setelah kematian tuannya) dan hamba perempuan yang telah melahirkan anak dari tuannya, maka status mereka dalam hal melakukan tindak pidana atau menjadi korban tindak pidana tetap sama seperti budak biasa.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap seorang budak mukātib (yang sedang dalam proses membeli kemerdekaannya) sehingga menyebabkan kematiannya, maka budak tersebut mati dalam status sebagai budak. Dalam hal ini, hukumnya sama seperti budak biasa yang dimiliki seseorang, jika ia mengalami tindak pidana. Namun jika tindak pidana terhadap mukātib terjadi pada selain jiwa (bukan menyebabkan kematian) dan dilakukan secara sengaja oleh seorang budak, maka ia berhak menuntut qishāsh. Tetapi jika ia ingin meninggalkan qishāsh dan memilih menerima ganti rugi (diyat), maka hal itu diperbolehkan. Namun jika ia ingin tidak mengambil qishāsh maupun ganti rugi, maka tidak diperbolehkan, karena ia tidak memiliki kuasa penuh atas hartanya sebagaimana orang merdeka. Dan telah dikatakan bahwa dalam kasus pembunuhan sengaja, memaafkan diyat (harta) tidak diperbolehkan karena ia tidak sepenuhnya memilikinya kecuali dengan kehendaknya.

Jika tidak dimungkinkan menuntut qishāsh, seperti jika yang melakukan kejahatan adalah orang merdeka, atau budak yang tidak berakal, atau anak kecil, maka budak mukātib tidak berhak memaafkan diyat dalam bentuk apa pun. Sebab diyat adalah harta yang dimiliki, dan ia tidak berhak merusak atau membatalkan hak harta tersebut.

(Ar-Rabī‘ berkata): Jika seorang melakukan tindak pidana terhadap budak mukātib selain pembunuhan, maka tidak ada qishāsh.

[Orang Merdeka Membunuh Budak]

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika orang merdeka melakukan tindak pidana terhadap budak secara sengaja, maka tidak ada qishāsh antara mereka. Jika tindak pidana itu menyebabkan kematian budak, maka wajib mengganti nilainya sesuai harga budak saat kejahatan dilakukan, berapa pun nilainya, meskipun senilai diyat orang merdeka. Ganti rugi ini diambil dari harta pelaku kejahatan, bukan dari ‘āqilah-nya (kelompok keluarga penanggung diyat).

Namun jika tindak pidana itu dilakukan karena kesalahan, maka nilai budak dibebankan kepada ‘āqilah pelaku. Jika korbannya adalah budak perempuan atau laki-laki, maka hukumnya sama. Penetapan harga budak merujuk pada pengakuan pelaku kejahatan, karena ia yang menanggung nilai tersebut. Jika tuan budak mengklaim bahwa nilainya lebih besar, maka ia harus membawa bukti.

Jika kejahatan dilakukan karena kesalahan, maka yang menanggung adalah ‘āqilah pelaku. Jika ‘āqilah mengatakan nilai budak hanya seribu dirham dan pelaku mengatakan dua ribu, maka ‘āqilah wajib membayar seribu dirham, dan pelaku membayar dari hartanya sendiri sebesar seribu sisanya. Karena ia telah mengakui bahwa kerugian itu akibat perbuatannya, maka ia tetap wajib menggantinya. Namun pengakuannya tidak berlaku atas ‘āqilah jika mereka membantahnya.

[Jika Budak Melukai Budak Lain]

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika seorang budak melakukan tindak pidana terhadap budak lain, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, maka dalam kasus tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, berlaku hukum qishāsh di antara keduanya. Saya tidak memperhatikan perbedaan nilai (harga) antara kedua budak tersebut. Tuan dari budak yang menjadi korban bebas memilih antara qishāsh (pembalasan) baik terhadap jiwa maupun selainnya, atau memilih arsh (ganti rugi).

Jika ia memilih arsh, maka arsh itu menjadi tanggungan budak pelaku, dan nilainya harus dibayarkan kepada tuan budak korban—berapa pun jumlahnya. Penetapan nilai budak korban mengacu pada pengakuan tuan dari budak pelaku, bukan kepada pengakuan budaknya, karena tanggungan itu berasal dari tubuh (harga) si budak, dan tubuh budak adalah harta milik tuannya.

Demikian pula jika tindak pidana dilakukan karena kesalahan (khaṭā’), maka keputusan nilai tetap mengacu pada pengakuan tuan si pelaku. Jika budak pelaku mengaku bahwa nilai budak korban lebih tinggi, maka pengakuan itu tidak dibebankan kepadanya selama ia masih dalam status budak. Namun jika ia merdeka (dimerdekakan), maka ia harus membayar kelebihan yang ia akui dibandingkan dengan apa yang diakui oleh tuannya.

Hal ini juga berlaku jika pelaku tindak pidana adalah budak yang mudabbir (dijanjikan merdeka setelah tuannya wafat) atau umm walad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya), tidak ada perbedaan di antara keduanya dan budak biasa dalam hukum ini.

Jika pelaku adalah budak mukātib (yang sedang menebus dirinya), maka berlaku hukum qishāsh terhadap budak lain. Jika tuan dari budak korban memilih untuk tidak menuntut qishāsh dan memilih harta (diyat), atau jika tindak pidananya terjadi karena kesalahan, maka keduanya sama saja.

Jika mukātib mengaku bahwa nilai budak korban adalah dua ribu dirham, dan nilai mukātib juga dua ribu atau lebih, namun tuan mukātib mengatakan nilainya hanya seribu, maka ada dua pendapat:

  1. Pendapat pertama, pengakuan si mukātib masih bersifat mu‘allaq (tergantung):
    • Jika si mukātib mampu membayar nilai yang diakuinya sebelum ia dinyatakan gagal menebus dirinya (belum ta‘ajjuz), maka pengakuannya berlaku dan tidak boleh dibatalkan oleh tuannya.
    • Jika ia dinyatakan gagal sebelum menunaikan seluruh yang diakuinya, maka yang berlaku adalah pengakuan tuannya tentang nilai budak korban.

Jika mukātib telah membayar sesuai dengan nilai yang diakui tuannya terhadap budak korban, maka ia tidak dibebani apa pun terkait tindak pidana tersebut. Namun jika ia telah merdeka (setelah itu), maka ia tetap bertanggung jawab atas kelebihan dari pengakuannya (terhadap nilai korban). Jika ia membayar lebih dari nilai yang diakui tuannya, maka tuannya tidak boleh menuntut pengembalian kelebihan itu dari tuan budak korban.

(Ar-Rabī‘ berkata): Jika mukātib membayar lebih dari nilai yang diakui tuannya, lalu ia dinyatakan gagal (dalam pembayaran), maka tuan mukātib dapat meminta kembali kelebihan tersebut dari penerima pembayaran. Lalu, uang itu dikembalikan kepada mukātib dan menjadi miliknya. Jika kelak ia merdeka, maka uang tersebut dapat digunakan untuk menagih utang pengakuannya; jika ia gagal, maka uang itu menjadi milik tuannya sepenuhnya.

  1. Pendapat kedua, pengakuan tersebut tetap sah dan wajib bagi mukātib, karena ia mengaku terhadap harta miliknya. Maka ia bertanggung jawab atasnya kepada tuannya. Jika ia dinyatakan gagal, maka ia dapat dijual untuk menutupi tanggungannya, kecuali jika seseorang menebusnya secara suka rela.

(Asy-Syāfi‘ī berkata):

Apabila seorang mukātib (budak yang sedang menebus dirinya) membunuh beberapa budak secara sengaja, satu demi satu, lalu terjadi perselisihan (antara para pemilik budak), maka pemilik budak yang dibunuh terlebih dahulu lebih berhak menuntut qiṣāṣ. Jika pelaku diserahkan kepada pemilik budak pertama lalu ia memaafkannya, baik dengan imbalan harta maupun tidak, maka ia wajib menyerahkannya kepada pemilik budak yang dibunuh setelah itu. Jika pemilik berikutnya memaafkannya, maka diserahkan lagi kepada pemilik berikutnya, dan begitu seterusnya hingga tidak tersisa seorang pun dari mereka kecuali telah memaafkannya, atau sampai salah satu dari mereka mengeksekusinya.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Putusan diserahkan kepada pemilik pertama dan maafnya tidak menggugurkan hak qiṣāṣ bagi yang lain, karena masing-masing dari mereka berhak menuntut qiṣāṣ atas pembunuhan terhadap budak mereka, sebagaimana halnya jika beberapa orang memiliki hak ḥadd atas seorang lelaki, lalu sebagian dari mereka memaafkan, maka sisanya tetap memiliki hak untuk menegakkan ḥadd. Setiap orang memiliki haknya masing-masing yang tidak menghilangkan hak orang lain. Begitu juga dalam kasus orang yang memotong tangan beberapa lelaki yang mana mereka semua berhak atas qiṣāṣ pada bagian yang sama.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika seseorang membunuh beberapa orang secara sengaja, atau membunuh satu orang lalu meninggal, maka diyat dari korban menjadi tanggungan hartanya secara penuh. Jika ia membunuh beberapa orang lalu murtad dari Islam, lalu dibunuh atau berzina lalu dirajam, maka diyat para korban tetap diambil dari hartanya sebagaimana jika ia mati biasa.

Dan jika seseorang membunuh beberapa orang secara sengaja, lalu seseorang dari luar keluarga korban menyerangnya dan membunuhnya secara sengaja, maka para ahli waris pelaku pembunuhan (yang pertama) berhak menuntut qiṣāṣ, kecuali jika mereka memilih untuk memaafkan dengan imbalan harta (diyat). Jika mereka memaafkan dan menerima diyat, maka harta diyat itu menjadi milik mereka sebagaimana harta warisan lainnya, dan dibagikan secara merata.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika ahli waris si pembunuh memaafkan darah dan harta, maka perlu diperiksa: jika si pembunuh memiliki harta yang cukup untuk membayar diyat para korban, maka pemaafan mereka sah. Jika tidak, maka pemaafan itu tidak sah karena mereka telah menjadikan pembunuhan itu sebagai harta, dan mereka tidak boleh membebaskan hartanya kecuali setelah melunasi seluruh utangnya.

Dan jika seseorang membunuh beberapa orang lalu murtad dari Islam, kemudian para ahli waris korban datang menuntut qiṣāṣ, maka pelaku diminta bertobat. Jika ia bertobat, maka dibunuh atas dasar qiṣāṣ. Jika tidak, maka dikatakan kepada para ahli waris: “Jika kalian mau, ambillah diyat dan tinggalkan qiṣāṣ, lalu kami bunuh dia karena kemurtadannya dan kami ambil sisanya dari hartanya sebagai rampasan.” Jika mereka menyetujui, maka itu sah. Jika kemudian ia bertobat setelah mereka mengambil diyat atau setelah mereka mengatakan bahwa mereka memaafkan qiṣāṣ dengan imbalan harta, atau ia tidak bertobat dan mereka menuntut kembali qiṣāṣ, maka mereka tidak berhak menuntutnya lagi karena telah meninggalkannya sebelumnya.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika mereka menuntut qiṣāṣ dan menolak memaafkan, maka kami serahkan kepada mereka pelaku untuk dieksekusi atas pembunuhan terhadap korban pertama. Kepada korban lainnya kami berikan diyat dari hartanya, dan sisa hartanya menjadi rampasan. Karena menjadi kewajiban kami untuk menunaikan hak manusia atas qiṣāṣ, dan qiṣāṣ harus dilaksanakan meski ia layak dibunuh juga karena kemurtadan atau perzinahan. Jika ia mati dalam keadaan murtad atau tidak murtad namun telah membunuh, maka diyat para korban diambil dari hartanya, dan kami mendahulukan hak manusia atas hak Allah dalam hal pembunuhan.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Demikian pula jika ia berzina dalam keadaan muḥṣan (telah menikah) dan telah membunuh sebelumnya atau setelahnya, maka kami dahulukan pelaksanaan qiṣāṣ. Jika ahli waris korban meninggalkan tuntutan qiṣāṣ, barulah ia dirajam karena zina.

[Luka Banyak Orang terhadap Satu Orang Hingga Meninggal]

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika seorang laki-laki memotong tangan seseorang, lalu orang lain memotong kakinya, yang lain lagi melukainya dengan luka mauḍiḥah, dan yang lain melukainya dengan luka jā’ifah, dan semuanya menggunakan besi atau benda tajam yang berfungsi seperti besi, dan tidak ada satu pun dari luka-luka itu yang sembuh hingga ia meninggal, maka semuanya dianggap sebagai pembunuh, dan semuanya dikenakan qiṣāṣ.

Demikian pula jika seseorang melukai dengan seratus luka dan orang lain hanya satu luka, keduanya tetap dikenakan qiṣāṣ bersama-sama. Ahli waris korban berhak untuk melukai masing-masing dari mereka sejumlah luka yang mereka lakukan. Jika mereka mati karenanya, maka cukup. Jika tidak, maka mereka dipenggal.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika salah satu dari mereka melukai dengan luka jā’ifah yang tidak tembus atau yang tembus, maka ada dua pendapat:

  • Pertama, ahli waris korban boleh melukainya dengan luka jā’ifah Karena bila qiṣāṣ dengan pembunuhan diperbolehkan, maka tidak dilarang untuk melakukan luka tersebut. Aku perintahkan agar pelaksanaannya dilakukan oleh seseorang yang memahami bagaimana cara melukainya secara serupa. Setelahnya, bila masih hidup, baru dilakukan pemenggalan.
  • Kedua, bahwa ia hanya boleh dilukai sebatas apa yang jika dilakukan pada kasus di bawah pembunuhan akan dikenai qiṣāṣ, dan tidak boleh dilakukan luka yang tidak bisa dibalas dalam kasus bukan pembunuhan. Karena bisa jadi ahli waris memilih tidak membunuh, dan ia telah menyakitinya tanpa bisa membalas secara adil.

Jika tiga orang melukai seseorang dengan senjata secara sengaja, lalu ia meninggal setelah luka salah satunya sembuh namun luka yang lain tidak, maka yang dua tetap terkena qiṣāṣ, sedangkan yang lukanya sembuh tidak dikenai qiṣāṣ atas nyawa, tapi ia dikenai qiṣāṣ atas lukanya bila termasuk yang bisa dibalas, atau membayar diyat luka tersebut sesuai nilainya, sedikit atau banyak, sekalipun setara dengan diyat penuh.

Jika seseorang mengaku bahwa ia melukai korban beberapa kali dan para ahli waris korban membenarkannya, maka berlaku demikian. Jika pelaku lain yang bersama dengannya mendustakannya, maka pendustaan mereka tidak diterima. Karena seandainya ia benar-benar membunuh bersama mereka, maka kedustaan mereka tidak bisa menggugurkan hukuman. Maka tidak ada manfaat dari pendustaan mereka jika para ahli waris ingin menuntut pembunuhan mereka.

(Asy-Syāfi‘ī berkata – raḥimahullāh –): Jika para ahli waris korban membenarkannya dan pelaku lain mendustakannya, lalu para ahli waris berkata: “Kami hanya akan menuntut diyat penuh dari dua orang yang bersama pelaku tersebut”, maka mereka tidak boleh melakukannya kecuali kedua pelaku itu mengakui bahwa luka si ketiga telah sembuh, atau ada bukti yang menegaskannya. Karena kedua pelaku itu hanya wajib membayar dua pertiga dari diyat jika ada pelaku ketiga. Jika luka pelaku ketiga telah sembuh, maka keduanya wajib membayar diyat penuh. Tapi hal itu tidak berlaku kecuali mereka sendiri mengakuinya atau ada bukti yang menunjukkan hal itu.

Jika tiga orang melukai korban, lalu dua orang mengakui bahwa luka orang ketiga telah sembuh dan korban meninggal karena luka mereka berdua, dan si pelaku ketiga juga mengklaim demikian, dan para ahli waris membenarkan itu dan menuntut diyat hanya dari dua orang yang mengaku itu, maka tidak boleh. Karena klaim mereka menyatakan bahwa hanya dua pertiga diyat yang menjadi tanggungan mereka. Maka jika dua pelaku itu mengingkari tanggung jawab penuh atas diyat, mereka tetap dibebaskan dari sisanya (sepertiga) selama mereka menolak.

Jika tiga orang membunuh seseorang, salah satunya adalah budak, dan mereka menginginkan pembayaran diyat, maka sepertiga diyat menjadi tanggungan budak (dibebankan kepada leher budak), dan dua pertiganya menjadi tanggungan dua orang yang merdeka. Jika salah satu atau keduanya tidak mampu membayar, maka mereka tetap dituntut, dan tidak ada tanggungan diyat pembunuhan sengaja terhadap keluarga (‘āqilah) orang-orang merdeka, atau terhadap tuan dari budak tersebut, dalam kondisi apa pun.

Telah dikatakan: demikian pula halnya jika pembunuhan itu terjadi secara sengaja dan di antara pelakunya ada orang gila atau anak-anak, atau seorang anak kecil, atau seseorang membunuh anaknya, maka seluruh diyatnya ditanggung oleh harta mereka, dan tidak ada sedikit pun yang menjadi tanggungan ‘āqilah mereka.

Telah dikatakan pula: bahwa ‘āqilah dari anak kecil dan orang yang tidak waras menanggung diyat pembunuhan sengaja seperti halnya mereka menanggung diyat kesalahan — dan Allah Maha Mengetahui.

Jika seseorang melukai orang lain dengan banyak luka, dan orang lain hanya melukainya satu kali, lalu ahli waris korban ingin menuntut qiṣāṣ, maka itu adalah hak mereka. Jika mereka memilih untuk mengambil diyat, maka masing-masing pelaku membayar setengah diyat jika korban meninggal, sehingga dalam pembayaran mereka setara, baik yang melukai dengan banyak luka maupun yang melukai dengan satu luka.

(Ar-Rabī‘ berkata): Dan dari Imam Syāfi‘ī terdapat pendapat lain: bahwa ‘āqilah tidak menanggung pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh anak kecil; jika ia memiliki harta, maka diyat diambil dari hartanya, dan jika tidak, maka menjadi utang atasnya.

[Kasus yang gugur padanya qiṣāṣ dari pembunuhan sengaja]

Ar-Rabī‘ meriwayatkan: Telah mengabarkan kepada kami Imam Syāfi‘ī, dari Muslim, dari Ibn Jurayj — Ar-Rabī‘ berkata: “Saya kira dari ‘Aṭā’, dari Ṣafwān bin Ya‘lā bin Umayyah, dari Ya‘lā bin Umayyah — ia berkata: Aku pernah ikut berperang bersama Nabi ﷺ dalam suatu peperangan. Dan Ya‘lā berkata: ‘Perang itu adalah amal yang paling kuat pengaruhnya dalam diriku.’”

‘Aṭā’ berkata: Ṣafwān berkata: Ya‘lā berkata: Aku punya seorang pekerja. Ia bertengkar dengan seseorang, lalu salah satu dari mereka menggigit tangan yang lain. Maka yang digigit menarik tangannya dari mulut si penggigit hingga gigi seri bagian atas (ṯaniyyah) si penggigit tanggal. Lalu ia mengadukan hal itu kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ menggugurkan haknya atas gigi itu. ‘Aṭā’ berkata: Aku kira ia mengatakan bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Apakah ia akan membiarkan tangannya dalam mulutmu agar kamu menggigitnya seperti unta menggigit?”

Diriwayatkan pula oleh Muslim bin Khālid, dari Ibn Jurayj, bahwa Ibn Abī Mulaykah mengabarkannya dari ayahnya, bahwa seorang lelaki mendatangi Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq, lalu berkata bahwa seseorang telah menggigitnya dan ia menarik tangannya hingga gigi seri si penggigit copot. Maka Abū Bakr berkata: “Giginya telah hilang, jauh darinya!”

(Imam Syāfi‘ī berkata): Inilah yang kami jadikan pendapat: Apabila seseorang menggigit orang lain, lalu yang digigit menarik anggota tubuhnya — baik tangan, kaki, atau kepala — dari mulut si penggigit hingga gigi seri si penggigit tanggal, baik ia mati atau tidak, maka tidak ada diyat, tidak pula qiṣāṣ, dan tidak ada kafarat atas si penarik tangan. Karena menggigit bukan haknya sejak awal, dan bagi orang yang digigit berhak mencegah gigitan itu. Jika ia berhak mencegah, maka ia tidak dikenai hukuman atas apa yang terjadi selama tidak ada unsur melampaui batas.

(Imam Syāfi‘ī berkata): Tidak dianggap melampaui batas ketika seseorang menarik anggota tubuhnya dari mulut si penggigit. Jika ia tidak bisa menariknya dan harus membuka mulut si penggigit dengan tangan satunya — jika yang digigit adalah tangan — atau dengan kedua tangannya — jika yang digigit adalah kakinya — maka itu diperbolehkan. Jika yang digigit adalah tengkuknya dan tangannya tak sampai, maka ia boleh mengangkat kepalanya ke atas atau menundukkannya untuk menarik diri. Jika tidak juga berhasil, maka ia boleh memukul mulut penggigit dengan tangan atau tubuhnya hingga dilepaskan.

Namun jika ia justru membiarkan semua itu dan malah menusuk perut si penggigit dengan pisau, atau mencungkil matanya, atau memukul bagian tubuh lainnya, maka ia wajib membayar ganti rugi atas hal-hal tersebut, karena itu tidak diperbolehkan. Ia tidak wajib membayar ganti rugi atas tindakan yang memang boleh ia lakukan — walaupun tindakan itu menyebabkan kematian si penggigit.

(Imam Syāfi‘ī berkata): Apa pun luka yang ditimbulkan oleh si penggigit kepada orang yang digigit — baik menyebabkan kematian atau luka parah — maka ia wajib menanggung seluruh ganti rugi atas luka itu, karena ia telah melampaui batas.

[Seorang pria menemukan laki-laki lain bersama istrinya lalu membunuhnya, atau masuk rumahnya lalu membunuhnya]

Ar-Rabī‘ meriwayatkan: Telah mengabarkan kepada kami Imam Syāfi‘ī, dari Mālik bin Anas, dari Suhayl bin Abī Ṣāliḥ, dari ayahnya, dari Abū Hurayrah, bahwa Sa‘d berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku menemukan seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku harus menundanya hingga aku mendatangkan empat orang saksi?” Rasulullah ﷺ bersabda:

“Ya.”

Ar-Rabī‘ meriwayatkan dari Imam Syāfi‘ī, dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, bahwa seorang lelaki dari Syam yang bernama Ibn Khaibarī menemukan seorang laki-laki bersama istrinya, lalu ia membunuh laki-laki itu — atau membunuh keduanya. Maka kasus itu menjadi rumit bagi Mu‘āwiyah untuk diputuskan, lalu ia menulis surat kepada Abū Mūsā al-Asy‘arī untuk bertanya kepada ‘Alī bin Abī Ṭālib mengenai hal itu.

Lalu Abū Mūsā bertanya kepada ‘Alī tentang hal itu. ‘Alī berkata: “Ini bukan perkara yang biasa terjadi di negeri kami. Aku bersumpah atasmu untuk memberitahuku!” Maka Abū Mūsā berkata: “Mu‘āwiyah telah mengirimi surat kepadaku tentang ini.” Maka ‘Alī berkata: “Aku adalah Abū al-Ḥasan, jika ia tidak mendatangkan empat orang saksi, maka serahkan ia untuk dijatuhi hukuman qishāṣ.”

(Imam Syafi‘i berkata) – rahimahullah: Dan dengan ini kami berpendapat: jika seorang lelaki menemukan lelaki lain bersama istrinya, lalu ia mengklaim bahwa lelaki tersebut telah menyentuh istrinya dengan cara yang mewajibkan hukuman ḥadd (rajam), dan keduanya sama-sama sudah pernah menikah (muḥṣan), lalu ia membunuh keduanya atau salah satunya, maka ia tidak dianggap benar, dan atasnya dikenakan hukuman qiṣāṣ terhadap siapa pun yang ia bunuh — kecuali jika para wali korban memilih untuk mengambil diyat atau memaafkannya.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika ia mengklaim bahwa para wali korban mengetahui bahwa yang terbunuh telah menyentuh istrinya dengan cara yang mewajibkan hukuman mati — jika korban adalah lelaki — atau bahwa perempuan yang ia bunuh telah dizinai — jika korban adalah perempuan — maka terhadap siapa pun ia membuat tuduhan, orang itu wajib bersumpah bahwa ia tidak mengetahui hal tersebut. Jika ia bersumpah, maka pelaku pembunuhan dikenai qiṣāṣ. Jika ia tidak bersumpah, maka pelaku pembunuhan bersumpah dan ia bebas dari qiṣāṣ dan diyat.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika korban memiliki dua wali, dan si pembunuh menuduh keduanya mengetahui, lalu salah satunya bersumpah bahwa ia tidak tahu, dan yang lainnya enggan bersumpah, lalu si pembunuh bersumpah bahwa lelaki itu telah berzina dengan istrinya, dan menjelaskan bentuk perzinaan yang mewajibkan hukuman ḥadd, maka tidak dikenakan qiṣāṣ atasnya, tetapi ia wajib membayar setengah diyat secara langsung dari hartanya kepada wali yang telah bersumpah bahwa ia tidak mengetahui.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika korban memiliki dua wali, satu sudah dewasa dan satu masih kecil, lalu si wali yang dewasa bersumpah bahwa ia tidak mengetahui, maka si pembunuh tidak dibunuh sampai si kecil baligh lalu bersumpah, atau meninggal dan ahli warisnya menggantikannya. Jika si wali yang dewasa memilih mengambil setengah diyat, maka ia juga mengambilkannya untuk si anak kecil. Setelah itu, si kecil ditunggu sampai baligh dan bersumpah. Jika ia tidak bersumpah dan si pembunuh bersumpah, maka bagian setengah diyat yang telah diambil untuknya harus dikembalikan.

Jika para wali korban mengakui bahwa korban sedang dalam satu selimut bersama istri si pembunuh, dan menunjukkan gerakan orang yang sedang bersetubuh dan telah keluar mani, tetapi mereka tidak mengakui adanya perbuatan yang mewajibkan hukuman ḥadd, maka qiṣāṣ tetap berlaku terhadap si pembunuh.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika mereka mengakui adanya perbuatan yang mewajibkan hukuman ḥadd, dan korban adalah seorang bujangan (belum menikah), dan yang mengklaim bahwa ia muḥṣan adalah para wali seperti saudara laki-lakinya atau anaknya, lalu si pembunuh mengklaim bahwa korban adalah muḥṣan (sudah menikah), maka perkataan para wali yang dipegang, dan si pembunuh dikenai qiṣāṣ; karena tidak ada hukuman mati bagi bujangan dalam kasus zina. Namun jika ia menghadirkan bukti bahwa korban adalah muḥṣan, maka qiṣāṣ dan diyat gugur darinya.

(Imam Syafi‘i berkata – rahimahullah): Di antara dirinya dengan Allah, ia boleh membunuh lelaki dan istrinya jika keduanya muḥṣan dan ia mengetahui bahwa mereka melakukan perzinaan yang mewajibkan hukuman mati. Namun ia tidak dianggap benar dengan klaim itu di hadapan hukum, dan qiṣāṣ tidak gugur darinya. Hal ini juga berlaku jika ia mendapati seseorang menyodomi anaknya atau berzina dengan budaknya — tidak ada perbedaan — qiṣāṣ dan diyat tidak gugur kecuali jika perbuatannya termasuk yang menyebabkan halal darahnya. Dan darah seseorang tidak menjadi halal kecuali karena murtad setelah beriman, atau zina setelah menikah (muḥṣan), atau membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan.

Jika seorang lelaki menemukan lelaki lain sedang menyentuh istrinya dengan cara yang mewajibkan hukuman zina, lalu ia membunuh mereka, dan lelaki itu adalah muḥṣan (sudah menikah) sementara istrinya belum, maka tidak ada hukuman atas pembunuhan terhadap lelaki itu, dan ia dikenai qiṣāṣ atas istrinya.

Jika lelaki itu belum menikah, sedangkan istrinya adalah muḥṣan, maka ia dikenai qiṣāṣ atas lelaki tersebut dan tidak ada hukuman atas pembunuhan terhadap istrinya.

[Laki-laki yang menahan orang untuk dibunuh orang lain]

(Imam Syafi‘i berkata – rahimahullah): Jika seseorang menahan orang lain untuk orang ketiga — baik dengan mengikat, membelenggu tangan, menelentangkannya, atau memegangi tangan atau mengangkat dagunya dari lehernya — lalu orang ketiga membunuhnya, maka si pembunuh dikenai hukuman mati. Adapun orang yang menahannya, tidak dikenai hukuman mati, tidak pula diyat (denda darah), tetapi ia diberi hukuman ta‘zīr dan dipenjara; karena dia bukan pembunuh, dan hukum bunuh hanya dijatuhkan pada pelaku pembunuhan.

[Seseorang membela diri dan kehormatan keluarganya]

Diriwayatkan oleh al-Rabi‘, ia berkata: Imam Syafi‘i memberitahuku, ia berkata: Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan dari al-Zuhrī, dari Ṭalḥah bin ‘Abdullāh bin ‘Awf, dari Sa‘īd bin Zayd bin ‘Amr bin Nufail, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa terbunuh dalam rangka membela hartanya, maka ia syahid.”

Diriwayatkan juga oleh al-Rabi‘, ia berkata: Imam Syafi‘i memberitahuku, ia berkata: ‘Amr bin Shu‘aib meriwayatkan dari ayahnya, dari sebagian keluarganya, dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ bahwa Mu‘āwiyah — atau sebagian gubernur — mengirim utusan untuk menyita tanah al-Wahṭ. Maka ‘Abdullāh bin ‘Amr mengenakan baju besi dan mengumpulkan orang-orang yang mendukungnya lalu duduk di depan pintunya. Ada yang bertanya: “Apakah engkau akan melawan?” Ia menjawab: “Apa yang menghalangiku untuk melawan, padahal aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

‘Barang siapa terbunuh dalam rangka membela hartanya, maka ia syahid?’”

(Imam Syafi‘i berkata): Barang siapa yang hartanya hendak dirampas — baik di daerah ramai atau di tempat sunyi — atau yang ingin diserang adalah dirinya atau keluarganya, maka yang utama adalah ia meminta tolong dan melapor. Jika pelaku tetap memaksa, maka ia boleh membela diri. Jika pelaku tetap hendak mengambil harta atau membunuhnya, atau membunuh keluarganya, atau hendak masuk ke area kehormatannya, atau hendak mencederai, maka ia boleh membela diri. Jika pelaku tidak bisa dihentikan kecuali dengan memukul — baik dengan tangan, tongkat, senjata tajam, atau lainnya — maka ia boleh memukul, tetapi tidak boleh sengaja membunuh. Jika pukulan itu menyebabkan kematian, maka tidak ada diyat, tidak ada hukuman mati, dan tidak ada kafarat.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika ia memukul pelaku atau belum sempat memukul sampai pelaku mundur dan membatalkan niatnya, maka ia tidak boleh memukulnya lagi.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika pelaku tetap menyerang, misalnya melempar, menusuk, atau mencekik, maka ia boleh memukul atau melemparnya untuk menghentikannya. Tapi jika pelaku sudah berhenti, maka tidak boleh memukul atau menyerangnya lagi.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika pelaku berada di tempat yang terpisah — misalnya di seberang sungai, parit, tembok — dan tidak bisa mencapai korban, maka korban tidak boleh memukul pelaku. Tetapi jika pelaku tampak jelas hendak menyerang dan bisa dijangkau oleh korban, maka korban boleh memukulnya.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika pelaku sudah tidak mampu lagi menyerang — misalnya tangannya atau kakinya patah — maka tidak boleh dipukul, karena niat menyerang tidak cukup untuk membolehkan pemukulan kecuali pelaku mampu menyerang.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika korban berada di gunung, benteng, atau parit, dan pelaku tidak bisa mencapai korban, maka tidak boleh dipukul. Tetapi jika pelaku melempar dan lemparannya bisa mengenai korban karena dekat, maka korban boleh membalas. Jika pelaku keluar dari persembunyian dan berada dalam jangkauan serangan, maka korban boleh memukulnya.

(Imam Syafi‘i berkata): Aturan ini berlaku bagi semua yang menyerang — baik Muslim, non-Muslim, orang gila, perempuan, anak kecil, unta liar, atau hewan berbahaya lainnya — karena tujuan serangan adalah mencederai atau membunuh.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika seseorang datang membawa pedang atau senjata lainnya dan mendekat kepada korban, maka korban boleh memukulnya sesuai dengan yang ia perkirakan terjadi. Jika korban yakin akan diserang, maka ia boleh menyerang lebih dulu. Jika tidak, maka ia tidak boleh menyerang. Jika ia menyerang tanpa sebab, maka ia dikenai hukuman atas serangan tersebut berupa qiṣāṣ, diyat, atau kafarat.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika aku menyatakan bahwa seseorang boleh menyerang, lalu serangan itu menyebabkan kematian, maka tidak ada diyat, tidak ada qiṣāṣ, dan tidak ada kafarat. Tetapi jika aku menyatakan tidak boleh menyerang dan orang itu tetap menyerang, maka ia bertanggung jawab atas apa pun yang ditimbulkannya.

(Imam Syafi‘i berkata – rahimahullāh): Jika seseorang menghadapi penyerang lalu memukulnya — dan ia memang berhak memukulnya — kemudian penyerang itu berpaling atau terluka dan jatuh, lalu orang itu memukulnya lagi hingga menyebabkan kematian, maka ia wajib membayar setengah diyat dari hartanya dan juga menunaikan kafarat. Sebab kematiannya terjadi karena sebagian pukulan yang dibolehkan dan sebagian lain yang dilarang.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika seseorang datang menyerang dan ia memukulnya hingga memotong tangan kanannya, lalu penyerang berpaling dan ia memukulnya lagi hingga memotong tangan kirinya, lalu kedua luka itu sembuh, maka korban memiliki hak qishāsh (balasan) untuk tangan kirinya, sedangkan untuk tangan kanannya tidak berlaku qishāsh (karena dilakukan saat membela diri). Namun, jika korban meninggal akibat kedua luka tersebut dan ahli warisnya menginginkan diyat, maka mereka berhak mendapat setengah diyat.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika penyerang kembali menyerang setelah berpaling, lalu orang tersebut memotong kakinya dan korban meninggal, maka ia harus membayar sepertiga diyat; karena kematian terjadi akibat tiga luka: satu luka yang dibolehkan, satu yang tidak dibolehkan, dan satu lagi yang dibolehkan. Maka hukumnya dipisahkan, seperti seolah-olah itu dilakukan oleh tiga orang.

Jika ia melukainya di awal saat masih dibolehkan, lalu setelah penyerang berpaling ia melukainya lagi, maka itu dianggap dua jenis luka. Jika korban meninggal, maka berlaku hukum yang sama — baik sedikit maupun banyak luka dalam satu waktu — ia wajib membayar setengah diyat. Jika ia kembali menyerang dan melukai lagi setelah sebelumnya berpaling, maka ia wajib membayar sepertiga diyat, sebagaimana disebutkan sebelumnya.

(Imam Syafi‘i berkata – rahimahullāh): Apa pun yang mengenai penyerang dari pihak korban — baik saat penyerang mendekat atau berpaling — maka itu sama saja; karena penyerang adalah pelaku kezaliman atas jiwa, harta, atau kehormatan. Maka atas penyerang berlaku qishāsh jika memenuhi syarat, dan diyat jika itu termasuk perkara yang menimbulkan diyat. Jika penyerang adalah orang gila atau yang tidak dikenakan hukuman qishāsh, maka tidak berlaku qishāsh tetapi tetap ada diyat.

Jika penyerang adalah binatang di siang hari, maka tidak ada tanggungan bagi pemiliknya — baik binatang itu buas maupun jinak — selama tidak disertai oleh pemandu, penuntun, atau penunggang.

[Menyerang karena mengintip atau memasuki rumah orang tanpa izin]

Diriwayatkan oleh al-Rabi‘, ia berkata: Imam Syafi‘i memberitahuku, ia berkata: Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Abū al-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Jika seseorang mengintipmu tanpa izin, lalu engkau lemparkan batu kerikil padanya hingga matanya buta, maka tidak ada dosa atasmu.”

Sufyān juga meriwayatkan dari al-Zuhrī, ia berkata: Aku mendengar Sahl bin Sa‘d berkata:

“Seorang laki-laki pernah mengintip dari celah rumah Nabi , dan saat itu Nabi sedang menyisir rambutnya dengan sisir besi. Lalu Nabi bersabda: ‘Jika aku tahu engkau sedang melihatku, pasti aku tusukkan sisir ini ke matamu. Sesungguhnya izin itu disyariatkan karena pandangan mata.'”

Juga diriwayatkan oleh ‘Abd al-Wahhāb al-Thaqafī, dari Ḥumayd al-Ṭawīl, dari Anas bin Mālik:

“Rasulullah berada di rumahnya, lalu melihat seorang laki-laki mengintipnya. Maka beliau mengangkat anak panah (mishqāṣ) yang ada di tangannya — seakan-akan jika laki-laki itu tidak segera pergi, beliau akan menikamnya.”

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Seandainya seseorang sengaja mendatangi lubang, celah, atau lubang tanah di rumah seseorang, lalu ia mengintip kepada wanita-wanita dari keluarga orang tersebut — baik pengintip itu berada di rumahnya sendiri, di rumah orang lain, di jalan umum, atau di pelataran — maka semuanya sama hukumnya: ia berdosa karena sengaja mengintip.

Jika orang yang diintip melempar pengintip dengan batu kecil, atau menusuknya dengan ranting kecil, atau dengan jarum logam (madra) atau benda lain sejenisnya — yang biasanya tidak menyebabkan luka yang dikhawatirkan membunuh (meskipun bisa saja merusak penglihatan) — maka tidak ada diyat (kompensasi), tidak ada qishāsh, dan jika pengintip mati karena itu, maka tidak ada kafarat dan tidak berdosa, insyaAllah, selama pengintip itu masih terus mengintip dan tidak mau menghentikan perbuatannya.

Namun, jika ia sudah berhenti dari mengintip, maka tidak boleh lagi menyakitinya, dan bila disakiti maka pelaku dikenai qishāsh atau diyat sesuai dengan jenis luka yang ditimbulkan.

Jika orang yang diintip langsung menikam pengintip dengan senjata tajam hingga luka berat yang bisa menyebabkan kematian, atau melemparnya dengan batu yang bisa membunuh, maka ia wajib dikenai qishāsh atas perbuatannya. Sebab izin untuk membalas hanya berlaku sebatas untuk menghalangi pandangan, bukan untuk membunuh.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika pengintip tetap bertahan dan tidak mau pergi setelah diminta untuk mundur atau setelah dilempar dengan benda ringan, maka hendaknya orang yang diintip meminta pertolongan. Jika tidak memungkinkan untuk meminta tolong, maka ia boleh mengusirnya. Jika pengintip tetap tidak mau mundur dari tempatnya — baik di tempat terbuka atau tertutup — maka orang yang diintip boleh memukulnya dengan senjata atau benda lain yang bisa membuatnya jera. Bila pengintip mati atau terluka, maka tidak ada diyat dan qishāsh.

Namun, ia tidak boleh langsung menggunakan senjata sebelum melalui tahapan teguran atau melempar dengan benda ringan. Bila pengintip tetap bertahan, barulah boleh menggunakan senjata, karena ia telah melihat sesuatu yang tidak halal baginya.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika tidak diberi balasan saat itu, maka penguasa wajib menghukumnya. Namun, bila pengintip mengintip secara tidak sengaja dan segera mundur, atau ia berkata, “Aku tidak sengaja dan tidak melihat apa pun,” maka tidak boleh disakiti. Bila ia disakiti sebelum sempat mundur dan ia berkata seperti itu, maka tidak ada tanggungan atasnya, karena melihatnya nyata namun maksud hatinya tidak diketahui.

Jika yang mengintip adalah orang buta, lalu ia dipukul, maka pelaku wajib mengganti kerusakan (diyat), karena orang buta tidak bisa melihat apa pun. Jika yang mengintip adalah mahram perempuan yang berada di dalam rumah, maka tidak boleh disakiti sama sekali, namun tetap tidak boleh mengintip, sebab bisa jadi ia melihat aurat yang tidak halal baginya.

Jika ia disakiti saat mengintip, maka pelaku wajib menanggung diyat dan qishāsh, kecuali jika orang yang dilihatnya benar-benar dalam keadaan telanjang, maka ketika itu hukum berlaku sama seperti terhadap orang asing yang mengintip.

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Aku membedakan antara orang yang mengintip pertama kali dengan orang yang bermaksud mengambil harta atau membunuh seseorang, berdasarkan hadis dari Rasulullah ﷺ. Pandangan mata masih bisa dicegah dengan menutupi diri, sementara orang yang datang dengan niat mencelakai nyawa tidak bisa dicegah kecuali dengan kekerasan. Maka aku memperbolehkan menghalangi pandangan dengan batu kecil dan sejenisnya sebagaimana disebutkan dalam hadis, karena orang yang melihat aurat orang lain adalah orang yang melampaui batas, dan ia wajib mundur dari perbuatannya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang menemui orang lain yang hendak mencelakainya, lalu orang yang hendak dicelakai bisa lari dengan kakinya, aku membolehkannya untuk tetap bertahan dan membela dirinya dari niat jahat itu dengan senjata dan selainnya, meskipun itu mengakibatkan kematian pihak penyerang.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang masuk ke rumah orang lain, baik siang maupun malam, dengan membawa senjata lalu diperintahkan keluar dan dia tidak keluar, maka tuan rumah boleh memukulnya meskipun pukulan itu menyebabkan kematiannya. Namun jika dia pergi meninggalkan tempat itu, maka tidak boleh dipukul.

Demikian pula jika seseorang masuk ke kemah di padang pasir, baik di dalamnya terdapat keluarganya atau tidak, atau di dalamnya terdapat hartanya, maka jika ia melihat bahwa orang yang masuk itu hendak mencelakainya atau merampas hartanya atau berbuat kejahatan, maka ia boleh mencegahnya. Begitu juga jika orang itu hendak masuk ke rumahnya atau memaksa masuk.

Sama saja apakah orang yang masuk dikenal sebagai pencuri atau pelaku maksiat atau tidak dikenal demikian.

Namun pembelaan si tuan rumah yang membunuh atau melukai hanya diterima jika ia membawa bukti. Jika ia tidak membawa bukti, maka ia harus menjalani hukuman qishāsh. Jika ia membawa saksi bahwa orang yang dibunuh itu datang kepadanya sambil mengacungkan senjata dan tidak lebih dari itu, lalu ia membunuhnya, maka gugurlah qishāsh darinya. Tapi jika saksi hanya mengatakan bahwa ia melihat orang itu masuk ke rumah tanpa menyebut adanya senjata, atau menyebutkan senjata tapi tidak sedang digunakan, lalu ia membunuhnya, maka ia tetap dikenai qishāsh. Aku tidak menggugurkan qishāsh kecuali bila terbukti bahwa pelaku benar-benar memaksa masuk rumah dan mengacungkan senjata, dan hal itu dibuktikan dengan saksi.

Jika saksi mengatakan bahwa mereka melihat orang itu mendekat di padang pasir tanpa senjata lalu dibunuh oleh orang lain, maka pembunuhnya tetap dikenai qishāsh, karena bisa saja ia mendekat tanpa menakut-nakuti dan tidak ada tanda bahwa ia membawa niat jahat. Namun jika ia mendekat sambil membawa senjata seperti tongkat, tali, busur, atau pedang dan senjata itu diacungkan, lalu ia dibunuh, maka gugurlah qishāsh.

Jika mereka bersaksi bahwa ia mendekat sambil membawa senjata dan lalu dipukul hingga kedua tangannya putus, kemudian ia pergi dan dikejar lalu disembelih, maka pembunuhnya dikenai qishāsh dan juga wajib membayar diyat atas dua tangan yang dipotong. Jika ia memukulnya sekali saat mendekat dan sekali lagi saat pergi lalu ia mati karena dua pukulan itu, maka tidak ada qishāsh, tapi ia harus membayar setengah diyat karena kematiannya disebabkan oleh pukulan yang dibolehkan dan pukulan yang tidak dibolehkan.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika suatu kelompok bertemu dengan kelompok lain untuk merampas harta atau menyerbu keluarga mereka, lalu terjadi pertempuran dan kelompok yang dizalimi membunuh lawan mereka, maka yang dibunuh dari kelompok zalim adalah gugur darahnya. Namun jika yang terbunuh dari pihak penyerang adalah orang-orang yang dipaksa atau tawanan, dan mereka terbunuh karena serangan acak atau tanpa sengaja, maka tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat atas kelompok yang dizalimi, namun tetap ada kafarat. Hal itu seperti muslim yang terbunuh oleh sesama muslim saat perang di negeri musuh.

Namun jika ada yang membunuh mereka dengan sengaja padahal mengetahui bahwa mereka adalah tawanan atau dipaksa, maka ia wajib dikenai qishāsh jika luka yang ditimbulkan menyebabkan kematian, dan wajib membayar diyat jika lukanya tidak menyebabkan kematian. Kecuali jika ia tidak tahu status mereka, atau ia menyerang secara umum tanpa menyasar mereka secara khusus, atau mereka berada dalam kelompok lawan yang sedang menyerangnya.

Jika dua pasukan saling memerangi atas dasar kezaliman, seperti karena perebutan harta rampasan atau fanatisme golongan, lalu salah satu menyerang keluarga pihak lain, maka keduanya sama-sama tidak gugur darahnya dan tetap bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan terhadap lawan. Namun jika seseorang berdiri lalu dipukul dengan sengaja untuk membela diri, maka ia berhak membela diri dan membunuh lawan jika perlu.

Apa yang aku katakan tentang diperbolehkannya memukul orang yang mendekat bergantung pada perasaan hati seseorang terhadap bahaya. Maka ucapan orang yang hendak diserang dipercaya (tentang ketakutannya), baik ia pemberani atau penakut, dan baik penyerangnya dikenal aman atau berbahaya.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Apabila suatu kaum menyerbu kaum lain di tempat tinggal mereka atau di tempat selainnya untuk memerangi mereka, lalu pihak yang diserbu membela diri, maka apa pun yang mereka timpakan kepada pihak penyerang ketika penyerang itu datang kepada mereka adalah gugur (tidak ada diyat atau qishāsh). Namun apa pun yang ditimpakan oleh pihak penyerang kepada mereka, maka berlaku padanya hukum diyat dan qishāsh.

[Tentang seorang lelaki yang membunuh anaknya]

(Al-Rabi’) berkata: Al-Syafi‘i berkata, telah menceritakan kepada kami Mālik dari Yahyā bin Sa‘īd dari ‘Amr bin Shu‘ayb bahwa seorang lelaki dari Bani Mudlij bernama Qatādah memukul anaknya dengan pedang, mengenai betisnya, lalu anak itu meloncat karena lukanya hingga meninggal. Maka Suraqah bin Ju‘shum membawanya menghadap ‘Umar bin al-Khaṭṭāb radhiyallāhu ‘anhu dan menceritakan hal itu. Maka ‘Umar berkata: “Hitung untukku di mata air Qudayd seratus dua puluh unta, sampai aku mendatangimu.” Ketika ‘Umar datang, dia mengambil dari unta-unta itu tiga puluh unta betina usia dua tahun (ḥiqqah), tiga puluh betina usia tiga tahun (jadh‘ah), dan empat puluh unta betina hamil, lalu ia berkata: “Mana saudara si terbunuh?” Dia menjawab, “Ini aku.” Maka ‘Umar berkata: “Ambillah. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Orang yang membunuh tidak mendapat warisan sedikit pun.’

(Al-Syafi‘i berkata): Aku juga menerima dari banyak ulama yang aku temui bahwa seorang ayah tidak dibunuh karena membunuh anaknya. Dan dengan itulah aku berpendapat.

(Al-Syafi‘i berkata): Maka jika demikian, juga berlaku bagi kakek dari pihak ayah, atau kakek yang lebih jauh, karena mereka semua adalah bapak si anak. Demikian pula kakek dari pihak ibu dan yang lebih jauh, karena mereka semua dianggap sebagai bapak juga.

(Ia berkata): Namun tidak gugur hukum jika mereka hanya melukai anaknya (tidak sampai membunuh). Begitu juga jika seorang anak membunuh ayahnya, maka ia dibunuh karena perbuatannya. Dan jika ia membunuh ibunya, atau salah satu kakek atau neneknya dari pihak ayah maupun ibu, maka ia dibunuh karenanya, kecuali jika ahli waris dari yang terbunuh memaafkan.

Jika si anak menjadi pembunuh, maka ia keluar dari hak waris, dan para ahli waris ayahnya yang lain berhak menuntut qishāsh terhadapnya. Demikian pula anak tidak dibalas qishāsh jika hanya melukai ayahnya tanpa membunuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang ayah membunuh anaknya, maka ia wajib membayar diyat yang berat dari hartanya sendiri dan dijatuhi hukuman. Diyat itu adalah seratus ekor unta: tiga puluh ḥiqqah, tiga puluh jadh‘ah, dan empat puluh unta betina hamil, semuanya sudah memasuki tahun kehamilannya. Jika ia membawa unta usia lebih tinggi atau lebih rendah, tidak diterima kecuali para ahli waris korban membolehkan. Dan tidak diterima unta jantan usia tua lebih dari satu tahun.

(Al-Syafi‘i berkata): Seorang pembunuh tidak mewarisi diyat atau harta dari orang yang dibunuh, baik ia membunuhnya dengan sengaja atau tidak sengaja.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika si ayah adalah seorang budak dan anaknya merdeka, lalu ia membunuh anaknya, maka ia tidak dibunuh karena perbuatannya, tetapi diyatnya menjadi tanggungannya. Demikian pula jika anaknya adalah budak.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang anak membunuh ayahnya, maka ia dibalas dengan qishāsh. Demikian pula jika ia hanya melukainya, ia dibalas jika darah keduanya setara. Namun jika anak itu merdeka dan ayahnya budak, maka diyatnya ditanggung oleh anak, dan ia mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada jika membunuh orang lain.

(Ia berkata): Seseorang dibalas karena membunuh pamannya atau bibinya, karena keduanya tidak berada dalam kedudukan orang tua. Sebutan “orang tua” tidak berlaku bagi mereka kecuali hanya karena kekerabatan dengan ayah atau ibu.

(Al-Syafi‘i berkata): Seseorang dibalas jika membunuh anak susuan, karena anak susuan tidak seperti anak nasab.

(Ia berkata): Jika dua orang saling mengklaim seorang anak, lalu salah satu dari mereka membunuhnya sebelum jelas nasabnya, atau sebelum para ahli qiyāfah menetapkan anak itu sebagai anak salah satu dari mereka, maka aku gugurkan qishāsh karena ada syubhat, dan aku tetapkan diyat dari hartanya. Demikian pula jika keduanya sama-sama membunuhnya.

(Ia berkata): Jika keduanya membantah bahwa mereka bukan pembunuh karena anak itu bukan anak mereka, maka aku tidak bunuh mereka; karena bisa jadi salah satu dari mereka memang bukan bapaknya. Namun jika salah satunya mengakui bahwa anak itu anaknya, maka aku akan membunuhnya karena telah membunuh anak yang diakui nasabnya.

(Ia berkata): Jika seorang laki-laki membunuh istrinya yang telah memberinya anak, maka ia tidak dibunuh karenanya, dan anaknya tidak boleh membunuhnya dengan qishāsh, dan tidak ada orang lain bersama anak itu yang boleh menuntut qishāsh. Jika tidak dibunuh karena anaknya yang menjadi ahli waris, maka ia juga tidak boleh dibunuh dengan qishāsh oleh orang lain karena ada bagian warisan bagi anaknya dalam darah itu. Jika si anak masih hidup saat ibunya dibunuh, lalu ia mati dan para ahli waris anak menuntut qishāsh, maka tetap tidak dibunuh karena anak sebelumnya adalah ahli waris sebagian darah tersebut.

Namun jika seseorang membunuh pamannya atau tuannya, padahal ia adalah ahli warisnya, maka ia tetap dibunuh karena pembunuhan tersebut.

[Tentang Membunuh Muslim di Negeri Perang]

(Imam al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Allah Ta‘ālā berfirman: “Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh mukmin (yang lain) kecuali karena kesalahan; dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena kesalahan, maka ia (wajib) memerdekakan seorang budak yang beriman…” (QS. al-Nisāʾ: 92).

(Al-Syafi‘i berkata): Firman-Nya “dari kaum” (QS. al-Nisāʾ: 92), maksudnya: dari kaum yang menjadi musuh kalian.

(Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Marwān bin Muʿāwiyah al-Fazārī dari Ismāʿīl bin Abī Khālid dari Qays bin Abī Ḥāzim, ia berkata: “Suatu kaum berlindung kepada suku Khathʿam. Ketika kaum Muslimin menyerbu mereka, mereka sujud untuk berlindung, namun sebagian mereka dibunuh. Maka hal itu sampai kepada Nabi , lalu beliau bersabda: ‘Berikan kepada mereka setengah diyat karena shalat mereka.’ Lalu beliau bersabda: ‘Ketahuilah, aku berlepas diri dari setiap Muslim yang bersama orang musyrik.’ Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, kenapa?’ Beliau menjawab: ‘Karena api mereka tidak boleh saling bertemu (maksudnya: tidak boleh tinggal bersama dalam satu kamp).’”

(Al-Syafi‘i berkata): Jika hadis ini sahih, maka aku kira Nabi ﷺ memberi diyat tersebut secara sukarela. Dan beliau memberitahu bahwa beliau berlepas diri dari setiap Muslim yang bersama musyrik di negeri musyrik, agar mereka mengetahui bahwa tidak ada diyat dan tidak ada qishāsh bagi mereka. Mungkin juga kejadian itu sebelum turunnya ayat, lalu turunlah ayat tersebut sesudahnya. Dan mungkin pula sabda beliau “Aku berlepas diri…” disebabkan oleh turunnya ayat itu.

(Al-Syafi‘i berkata): Ayat tersebut sebenarnya sudah cukup tanpa takwil, karena Allah Azza wa Jalla menetapkan dalam ayat pertama bahwa jika seseorang mukmin membunuh mukmin lain karena keliru, maka ada diyat dan kafārah. Dan dalam ayat berikutnya, terhadap yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin, hukumnya sama. Namun di antara dua ayat itu Allah berfirman: “Jika dia dari kaum musuh kalian dan dia adalah mukmin, maka (wajib) memerdekakan seorang budak yang beriman” (QS. al-Nisāʾ: 92), tanpa menyebutkan diyat. Ayat itu tidak memungkinkan untuk ditafsirkan selain bahwa yang dimaksud dengan “dari kaum musuh kalian” adalah yang tinggal di negeri musuh yang halal diperangi.

Ketika negeri itu halal diserang dan Rasulullah ﷺ pun menyerang suatu kaum setelah dakwah sampai kepada mereka, maka hal itu menunjukkan bahwa negeri yang di dalamnya terdapat orang yang jika terbunuh maka berlaku diyat atau qishāsh, maka negeri itu tidak halal diserang. Ini adalah hukum dari Allah Azza wa Jalla.

(Al-Syafi‘i berkata): Tidak mungkin dikatakan “seorang dari kaum musuh kalian” kecuali yang berasal dari kaum yang benar-benar musuh, karena mayoritas kaum Muhājirīn berasal dari Quraisy, dan Quraisy mayoritas penduduk Mekah, dan mereka adalah musuh kaum Muslimin. Begitu pula kaum musyrik dari kabilah Arab dan Ajam.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang Muslim memasuki negeri perang, lalu dibunuh oleh seorang Muslim lain, maka si pembunuh wajib memerdekakan budak mukmin, dan tidak ada diyat baginya, selama dia membunuhnya tanpa mengetahui bahwa orang itu Muslim. Demikian pula jika seseorang menyerang lalu membunuh siapa pun yang ia temui, atau bertemu seseorang yang tampak seperti musyrik di negeri mereka lalu membunuhnya, atau membunuhnya saat berada dalam rombongan musuh, atau di jalan-jalan mereka yang biasa mereka lalui, maka semua ini adalah pembunuhan yang disengaja tetapi tergolong keliru, sehingga wajib kafārah saja, karena ia tidak berniat membunuh seorang Muslim.

(Al-Syafi‘i berkata): Begitu juga jika ia membunuhnya ketika ia tawanan, tertawan, atau sedang tidur, atau dalam keadaan yang tidak menunjukkan sebagai musuh, bahkan menyerupai orang Islam; karena orang musyrik bisa menyerupai Muslim dan sebaliknya. Maka hukum kembali pada pengakuan si pembunuh. Jika keluarga si terbunuh menuduh bahwa ia tahu korban adalah Muslim, maka ia disuruh bersumpah. Jika ia bersumpah, bebaslah ia. Namun jika ia menolak bersumpah, maka keluarga korban bersumpah 50 kali bahwa ia tahu si korban Muslim, maka wajib atasnya qishāsh jika ia membunuhnya dengan sengaja. Namun jika ia bermaksud membunuh orang lain tapi terkena si korban, maka diyat ditanggung oleh ʿāqilah (keluarga penanggung) dan ia wajib membayar kafārah.

(Al-Syafi‘i berkata): Begitu pula bagi siapa pun yang membunuh seorang Muslim yang ia ketahui keislamannya, baik ia tawanan, juru damai, pedagang, utusan, atau lainnya, maka jika sengaja, wajib qishāsh; jika tidak sengaja, wajib diyat dan kafārah. Demikian juga antara sesama tawanan: jika mereka membunuh atau melukai satu sama lain, maka diberlakukan hukum qishāsh atas luka, dan ditegakkan hukum-hukum lainnya atas mereka, jika mereka telah masuk Islam dan mengetahui halal dan haram. Dan jika mereka muslim namun belum tahu hukum-hukum Islam, maka tidak ditegakkan hukum atas mereka.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika suatu kaum masuk Islam di negeri perang, lalu mereka melakukan pelanggaran syariat dan mereka mengaku tidak tahu, maka hukuman tidak ditegakkan. Namun jika mereka tahu lalu mengulangi pelanggaran, maka ditegakkan hukum atas mereka. Jika seorang musyrik menyatakan Islam namun belum baligh atau tidak sadar, lalu ada Muslim membunuhnya setelah ia menyatakan Islam, padahal ia tahu keislamannya, maka tidak ada qishāsh baginya karena ia belum sempurna sebagai Muslim—yaitu belum baligh dan tidak dalam keadaan sadar.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang musuh masuk Islam dan ia memiliki anak-anak kecil, sedangkan ibunya tetap kafir, atau ibunya masuk Islam dan ayahnya kafir, maka anak-anak itu mengikuti orang tua yang masuk Islam. Maka siapa pun yang membunuh anak tersebut, wajib qishāsh, dan mereka memiliki hak diyat seperti Muslim lainnya. Tidak diterima alasan “saya tidak tahu bahwa anak ini berstatus Muslim” kecuali jika kedua orang tuanya belum masuk Islam.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika kaum Muslimin menyerang orang-orang musyrik atau bertemu mereka di luar serangan, lalu kaum musyrik menyerang mereka, lalu terjadi pertempuran, lalu sebagian kaum Muslimin membunuh Muslim lainnya, atau melukainya, lalu si pembunuh mengaku tidak tahu bahwa korban adalah Muslim, maka pengakuannya diterima dengan sumpahnya. Maka ia tidak dikenai qishāsh, namun tetap wajib kafārah dan diyat dibayarkan kepada ahli waris korban.

(Imam al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Jika kaum Muslimin berbaris dan kaum musyrikin juga berbaris tanpa saling menyerang, lalu seorang Muslim membunuh Muslim lainnya di barisan kaum Muslimin dan berkata, “Saya mengira dia orang musyrik,” maka ucapannya tidak diterima kecuali bila kemungkinan besar sesuai dengan yang ia duga.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika dikatakan kepada seorang Muslim: “Orang-orang musyrik telah menyerbu kita,” atau ada satu orang dari mereka yang menyerbu, atau mereka melihat seseorang yang menyerbu, lalu ia membunuh seorang Muslim di barisan kaum Muslimin dan berkata, “Saya mengira dia yang menyerbu,” maka ucapannya diterima dengan sumpahnya, dan dia wajib membayar diyat.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ia membunuhnya di barisan kaum musyrikin dan ia tahu bahwa dia adalah orang beriman, maka itu adalah pembunuhan sengaja dan ia wajib dibunuh sebagai qishāsh.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang Muslim menyerang seorang musyrik, lalu musyrik itu bersembunyi di balik seorang Muslim, kemudian si Muslim membunuh Muslim itu dengan sengaja, maka ia wajib qishāsh. Jika ia berkata, “Saya bermaksud membunuh musyrik tapi salah sasaran,” maka ia wajib membayar diyat. Jika ia berkata, “Saya tidak tahu bahwa dia seorang Muslim,” maka tidak wajib diyat dan qishāsh, namun wajib kafārah.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika orang kafir menyerang Muslim atau si Muslim sedang bertarung, lalu ia memukulnya dalam keadaan kafir itu bersembunyi di balik seorang Muslim, dan dia berkata, “Saya bermaksud orang kafir,” maka itu sama. Namun jika ia berkata, “Saya bermaksud membunuh orang beriman,” maka ia wajib qishāsh, karena tidak ada alasan membunuh orang beriman dalam keadaan apa pun.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ia tidak bisa menyerang orang kafir kecuali dengan cara melukai si Muslim, lalu ia memukul si Muslim dan membunuhnya sedangkan ia mengetahui bahwa itu adalah seorang Muslim, lalu ia berkata, “Saya bermaksud membunuh si kafir,” maka ia tetap harus dibunuh sebagai qishāsh karena tidak ada jalan membunuh kafir kecuali dengan membunuh Muslim.

(Diriwayatkan oleh Al-Rabi‘): Ia berkata: (Al-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mutarrif dari Maʿmar bin Rāshid dari al-Zuhrī dari ʿUrwah bin al-Zubayr, ia berkata: “Yamān, ayah Hudzayfah bin al-Yamān, adalah seorang lelaki tua yang berlindung bersama para wanita dalam benteng pada hari Perang Uhud. Ia keluar dari arah kaum musyrikin untuk mencari syahid. Para Muslim menyambutnya dan menebasnya dengan pedang mereka, dan Hudzayfah berkata, ‘Itu ayahku! Itu ayahku!’ tetapi mereka tidak mendengarnya karena sibuknya pertempuran, hingga akhirnya mereka membunuhnya. Maka Hudzayfah berkata, ‘Semoga Allah mengampuni kalian, dan Dia adalah Maha Penyayang dari segala penyayang.’ Maka Nabi menetapkan diyat atas kematian ayahnya.”

[Apa yang Dibunuh oleh Penduduk Negeri Perang terhadap Muslimin dan yang Mereka Ambil dari Harta Mereka]

(Al-Rabi‘ berkata): (Al-Syafi‘i berkata – rahimahullah): Apa yang dilakukan oleh penduduk negeri perang dari kaum musyrik terhadap pembunuhan Muslim, mu‘āhad (yang memiliki perjanjian damai), atau musta’min (yang diberi perlindungan) — baik pembunuhan, melukai, atau mengambil harta — maka mereka tidak dibebani tanggung jawab atasnya, kecuali jika ditemukan harta milik seorang Muslim atau musta’min di tangan mereka, maka harta itu diambil dari mereka, baik mereka masuk Islam atau belum.

Demikian juga jika mereka membunuh satu orang atau sekelompok orang, atau seseorang dari mereka masuk ke negeri Islam dengan sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan, maka setelah ia masuk Islam, ia tidak dituntut atas apa yang telah ia lakukan, dan wali korban tidak memiliki hak untuk menuntut qishāsh, ganti rugi, atau tuntutan lainnya terhadapnya.

Penduduk negeri perang dari kaum musyrikin tidak dibebani ganti rugi atas harta atau hal lainnya yang mereka peroleh, kecuali sebagaimana yang telah aku sebutkan: jika ditemukan di tangan salah seorang dari mereka harta milik seorang Muslim secara pasti, maka harta itu diambil.

Jika ada yang bertanya: “Apa dalil atas hal ini?” Maka jawabannya: Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Katakan kepada orang-orang kafir: Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka akan diampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu’ (QS. al-Anfāl: 38). Dosa-dosa yang telah lalu itu gugur dan berlalu. Dan telah sahih dalam sunnah dari Rasulullah ﷺ bahwa Islam menggugurkan apa yang terjadi sebelumnya antara seorang hamba dan Allah, serta antara sesama manusia.

Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Islam menghapus apa yang sebelumnya.’ Allah Ta‘ālā juga berfirman, ‘Tinggalkan sisa riba (yang belum dibayar)’ (QS. al-Baqarah: 278), dan Dia tidak memerintahkan mereka untuk mengembalikan riba yang telah diambil.

Wahsyi telah membunuh Ḥamzah, lalu ia masuk Islam. Maka tidak diberlakukan qishāsh terhadapnya, tidak dituntut diyat darinya, dan tidak diwajibkan kafārah atasnya. Islam telah menggugurkan perbuatan-perbuatan masa jahiliah. Begitu pula jika yang dilakukan adalah melukai. Karena Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan untuk memerangi kaum musyrik penyembah berhala, ‘Hingga tidak ada lagi fitnah dan agama hanya milik Allah semata’ (QS. al-Baqarah: 193), dan juga firman-Nya: ‘Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah…’ hingga firman-Nya: ‘…dalam keadaan mereka hina’ (QS. al-Tawbah: 29).

Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan: Lā ilāha illā Allāh. Jika mereka mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka ada pada Allah.’ Maksudnya: jika mereka melakukan pelanggaran setelah masuk Islam, maka mereka akan dikenai hukuman, dan jika mereka murtad, maka diberlakukan hukuman qishāsh dan hudud. Tetapi apa yang terjadi sebelum keislaman mereka tidak diberlakukan hukuman atasnya.

(Al-Syafi‘i berkata): Demikian juga, segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang Muslim atau mu‘āhad terhadap kaum musyrik berupa pembunuhan atau mengambil harta sebelum mereka masuk Islam atau mengikat perjanjian damai adalah gugur (tidak dihukum). Namun jika didapati harta mereka di tangan seseorang, maka mereka tidak berhak menuntut kembali harta itu. Jika seseorang dari mereka menguasai sesuatu dari seorang Muslim sebelum masuk Islam, maka ia tidak wajib mengembalikannya, karena darah dan harta mereka pada waktu itu adalah halal.

Namun mereka berbeda dengan kaum Muslimin dalam hal harta milik Muslim yang masih ada di tangan mereka setelah mereka masuk Islam, maka harta itu harus dikembalikan. Karena Allah Azza wa Jalla menetapkan dalam hukum riba bahwa sisa riba harus dikembalikan, tetapi yang sudah diambil dan hilang di masa jahiliah tidak perlu dikembalikan.

(Al-Syafi‘i berkata): Apa pun yang dilakukan oleh seorang ḥarbī musta’min atau dzimmī terhadap seorang Muslim atau mu‘āhad berupa pembunuhan atau pengambilan harta, maka ia wajib menanggung tanggung jawab atasnya. Karena mereka (Muslim dan mu‘āhad) adalah pihak yang dilindungi dan tidak boleh disakiti.

[Apa yang Didapati Kaum Muslimin di Tangan Orang-Orang Murtad dari Harta Milik Kaum Muslimin]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika suatu kaum masuk Islam, lalu murtad dari Islam di negeri Islam, baik mereka berada dalam kondisi kalah atau menang di tempat mereka murtad, dan mereka mengaku bahwa ada seseorang yang mereka ikuti kenabiannya, atau mereka kembali kepada agama Yahudi, Nasrani, Majusi, atau bentuk kekafiran lainnya seperti ateisme atau semacamnya, maka semuanya sama saja. Kaum Muslimin wajib memulai jihad terhadap mereka sebelum memerangi orang-orang kafir yang belum pernah masuk Islam. Jika kaum Muslimin menang atas mereka, maka mereka diminta untuk bertobat. Siapa yang bertobat dan menampakkan kembalinya kepada Islam, maka darahnya diampuni. Namun siapa yang tidak bertobat, maka dibunuh karena kemurtadannya, baik laki-laki maupun perempuan.

(Al-Syafi‘i berkata): Segala sesuatu yang diperoleh oleh kaum murtad dari kaum Muslimin, baik saat murtad atau setelah menampakkan tobat namun masih dalam peperangan atau setelah peperangan, dalam kondisi bertahan atau tidak, atas hasutan atau bukan, maka hukumnya tetap seperti hukum kaum Muslimin. Tidak ada perbedaan dalam hal diyat, qishāsh, dan tanggung jawab atas kerusakan. Sama saja apakah sebelum mereka ditaklukkan atau setelah ditaklukkan, baik mereka bertobat atau tidak, tidak ada perbedaan dalam hal itu.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ditanyakan: Apa yang dilakukan Abu Bakar terhadap orang-orang murtad? Maka dijawab: Ia berkata kepada suatu kaum yang datang menyatakan tobat, “Diyat untuk orang-orang yang kami bunuh kami bayar, sedangkan orang-orang kalian yang terbunuh tidak ada diyatnya.” Maka ‘Umar berkata, “Kami tidak mengambil diyat untuk orang-orang yang terbunuh dari kami.”

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ditanya: Apa maksud perkataan Abu Bakar “diyat untuk orang-orang kami yang terbunuh”? Jawab: Jika mereka terbunuh secara tidak sengaja, maka dibayar diyatnya. Jika mereka wajib membayar diyat karena membunuh secara tidak sengaja, maka mereka juga wajib qishāsh jika membunuh secara sengaja. Dan ini berbeda dari hukum orang-orang kafir asli menurut Abu Bakar. Jika ditanya: Apakah ada yang dibunuh karena membunuh orang dari pihak kami? Maka jawab: Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari mereka yang terbukti membunuh secara sah dengan bukti. Seandainya terbukti, tidak diketahui ada hakim yang membatalkan hak wali darah untuk melakukan qishāsh jika mereka menuntutnya. Kemurtadan tidak menggugurkan diyat atau qishāsh atas mereka, bahkan tidak menambah kebaikan bagi mereka jika tidak menambah keburukan.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ada bukti bahwa seseorang yang murtad telah menyatakan keimanan, kemudian ia dibunuh oleh orang yang mengetahui tobatnya atau tidak mengetahuinya, maka orang itu tetap wajib qishāsh, sebagaimana jika seseorang membunuh orang kafir yang menyatakan keislaman namun tidak diketahui oleh si pembunuh, maka ia tetap dibunuh sebagai qishāsh. Begitu juga jika seseorang membunuh budak yang telah merdeka namun ia tidak mengetahuinya, maka ia juga dibunuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang kafir masuk Islam di negeri perang lalu sekelompok orang menyerbu dan membunuhnya, maka tidak ada diyat baginya, namun wajib kafārah. Namun jika seseorang membunuhnya secara sengaja dalam keadaan dia telah menyatakan keislaman dan si pembunuh mengetahuinya, maka si pembunuh harus dibunuh juga. Jika ia tidak mengetahuinya, maka wajib membayar diyat karena telah membunuh seorang mukmin secara sengaja. Diyat dan qishāsh hanya gugur jika pembunuhan itu tidak disengaja terhadap orang tersebut secara khusus, seperti pembunuhan dalam serangan secara umum, sesuai firman Allah Ta‘ala: “Jika ia (yang terbunuh itu) berasal dari kaum yang memusuhi kalian, sedang dia beriman, maka (wajib) membebaskan seorang budak yang beriman” (QS. al-Nisā’: 92) — maksudnya, wallāhu a‘lam, dari kaum musuh kalian.

[Tentang Tidak Adanya Qishāsh Antara Dua Orang yang Berbeda Agama]

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Allah Ta‘ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang terbunuh” (QS. al-Baqarah: 178).

(Al-Syafi‘i berkata): Makna lahir dari ayat ini – wallāhu a‘lam – adalah bahwa qishāsh hanya diwajibkan atas orang-orang baligh yang dikenai kewajiban qishāsh, karena mereka yang menjadi sasaran perintah dalam hukum syariat. Dan Allah menyebut “saudara” dalam ayat “Maka barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya…” menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sesama mukmin, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. al-Ḥujurāt: 10). Maka tidak berlaku persaudaraan antara mukmin dan kafir.

Dan sunnah Rasulullah ﷺ sesuai dengan makna lahir ayat ini. (Al-Syafi‘i berkata): Aku mendengar dari sejumlah ahli maghāzi dan juga dari yang lainnya bahwa Nabi ﷺ saat Fathu Makkah berkhutbah dan bersabda: “Tidak dibunuh seorang mukmin karena membunuh seorang kafir.” Diriwayatkan pula oleh ‘Imrān bin Ḥuṣayn dari Nabi ﷺ. Diriwayatkan oleh Muslim bin Khālid dari Ibn Abī Ḥusayn dari Mujāhid dan ‘Aṭā’ – dan aku kira juga Ṭāwūs dan al-Ḥasan – bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam khutbahnya tahun Fathu Makkah: “Tidak dibunuh seorang mukmin karena membunuh seorang kafir.”

(Al-Syafi‘i berkata): Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Muṭarrif dari al-Sha‘bī dari Abū Juḥayfah: Aku bertanya kepada ‘Alī – raḍiyallāhu ‘anhu –: “Apakah kalian memiliki sesuatu dari Nabi ﷺ selain al-Qur’an?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah yang membelah biji dan menciptakan manusia, kecuali jika Allah memberi pemahaman kepada seorang hamba dalam al-Qur’an, dan sesuatu yang ada di lembaran ini.” Aku bertanya, “Apa isinya?” Ia menjawab: “Masalah diyat, pembebasan tawanan, dan bahwa tidak dibunuh seorang mukmin karena membunuh seorang kafir.”

(Al-Syafi‘i berkata): Maka tidak dibunuh seorang mukmin, baik ia budak, merdeka, laki-laki, atau perempuan, karena membunuh seorang kafir, dalam kondisi apa pun. Siapa pun yang menyatakan iman, baik dia orang non-Arab atau bisu tapi mengerti isyarat dan shalat, lalu ia membunuh seorang kafir, maka ia tidak dibunuh sebagai qishāsh, tetapi wajib membayar diyat dari hartanya saat itu juga. Tidak peduli apakah ia membunuh kafir itu karena harta atau tidak, maka – wallāhu a‘lam – tidak halal membunuh mukmin karena membunuh kafir dalam kondisi apa pun, baik dalam perampokan jalanan maupun lainnya.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang mukmin membunuh kafir, maka ia dihukum dengan ta‘zīr dan ditahan. Namun ta‘zīr dalam kasus ini tidak sampai hukuman had, dan tahanannya tidak sampai satu tahun. Tetapi ditahan dengan tujuan ujian dan pelajaran.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang kafir membunuh seorang mukmin – baik dia dzimmī, ḥarbī, atau musta’min – maka dia dibunuh sebagai qishāsh. Jika Allah saja menetapkan bahwa darah seorang mukmin dibalas dengan darah sesama mukmin, maka lebih layak lagi darah seorang kafir dibalas jika membunuh seorang mukmin. Hadis Nabi ﷺ juga menunjukkan hal ini: “Barang siapa membunuh seorang Muslim tanpa hak, maka ia dikenai qishāsh.” Ini mencakup semua pelaku pembunuhan.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang membunuh orang lain lalu berkata: “Yang kubunuh itu seorang kafir atau budak,” maka wali korban wajib mendatangkan bukti bahwa korban adalah seorang Muslim yang merdeka. Dan ucapan si pembunuh diterima karena dialah pihak yang dituntut.

(Al-Syafi‘i berkata): Keimanan adalah amal yang dilakukan oleh seorang mukmin yang baligh, atau oleh anak-anak yang belum baligh tapi mendapatkan keimanan karena salah satu orang tuanya telah beriman.

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika kedua orang tua dari seorang anak adalah Muslim, dan anak itu masih kecil, belum baligh, dan belum menyatakan keislaman, lalu ia dibunuh oleh seseorang, maka orang itu dibunuh sebagai qishāsh; karena anak tersebut memiliki hukum Islam, dia berhak mewarisi dan menghalangi warisan, dan mendapatkan seluruh hak-hak keimanan lainnya. Begitu pula jika kedua orang tuanya kafir lalu salah satunya masuk Islam dan anak itu masih kecil, maka hukum anak itu adalah sebagai seorang Muslim karena keislaman salah satu dari orang tuanya. Maka siapa yang membunuhnya setelah Islam salah satu orang tuanya, maka wajib qishāsh atasnya. Namun siapa yang membunuhnya sebelum Islam salah satu dari orang tuanya dari kalangan Muslimin, maka tidak ada qishāsh; karena hukumnya adalah hukum orang kafir.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang anak dilahirkan dalam keadaan kafir, lalu kedua orang tuanya masuk Islam dan anak itu belum menyatakan iman, lalu ia dibunuh sebelum baligh, maka pembunuhnya dibunuh sebagai qishāsh. Namun jika ia dibunuh setelah baligh oleh seorang Mukmin, maka tidak dibunuh sebagai qishāsh; karena status keislamannya bergantung pada Islam salah satu dari orang tuanya selama belum diwajibkan padanya kewajiban (syariat). Jika sudah diwajibkan padanya kewajiban (seperti shalat) maka agama itu adalah agamanya sendiri, seperti seseorang yang beriman dan kedua orang tuanya kafir, maka kekafiran orang tuanya tidak merugikannya. Begitu pula jika seseorang kafir dan kedua orang tuanya beriman, maka keimanan mereka tidak bermanfaat baginya. Jika kedua orang tuanya mengaku bahwa anak itu telah menyatakan iman setelah ia dibunuh dan si pembunuh mengingkarinya, maka ucapan pembunuh diterima dengan sumpahnya, dan mereka (orang tua) wajib mendatangkan bukti bahwa anak itu telah menyatakan Islam.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika kedua orang tua anak adalah Mukmin, lalu si pembunuh mengaku bahwa dia membunuhnya setelah murtad dari Islam, sedangkan para ahli waris berkata bahwa ia membunuhnya saat masih dalam Islam, maka jika anak itu masih kecil, si pembunuh dibunuh sebagai qishāsh. Namun jika anak itu telah baligh, lalu ayahnya bersumpah bahwa ia tidak mengetahui anaknya murtad setelah menyatakan Islam, atau ia mendatangkan saksi bahwa anaknya Muslim, maka diterima dari mereka dan si pembunuh dikenakan qishāsh.

(Al-Syafi‘i berkata): Perbedaan antara kasus ini dan yang sebelumnya adalah bahwa dalam kasus ini, si pembunuh mengakui bahwa korban telah beriman setelah baligh, lalu mengaku murtad. Sedangkan dalam kasus sebelumnya, tidak diakui bahwa korban telah beriman setelah baligh ataupun menyatakan iman, maka tidak berlaku hukum keimanan berdasarkan keimanan orang tua jika tidak diketahui pernyataan iman setelah baligh.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang Muslim membunuh seorang Nasrani, lalu Muslim itu murtad, kemudian ahli waris si Nasrani menuntut qishāsh darinya, dan mereka berkata bahwa dia sekarang adalah kafir, maka qishāsh tidak dijatuhkan atasnya; karena ia membunuhnya saat masih Muslim. Maka ia hanya diwajibkan diyat dari hartanya dan dikenai hukuman ta‘zīr. Jika ia bertobat maka diterima, jika tidak maka dibunuh karena murtad. Demikian juga jika seseorang melukai seorang Nasrani, lalu ia murtad, dan Nasrani itu mati, maka tidak dijatuhi qishāsh karena luka itu terjadi saat pelaku masih Muslim.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang Muslim murtad dari Islam lalu membunuh seorang dzimmi, dan ahli waris dzimmi menuntut qishāsh sebelum ia kembali ke Islam atau setelah ia kembali, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah wajib qishāsh atasnya — dan ini adalah pendapat yang lebih utama, wallāhu a‘lam — karena ia membunuh dalam keadaan bukan Muslim. Pendapat kedua: tidak ada qishāsh atasnya, karena ia tidak tetap dalam agamanya hingga kembali atau dibunuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang melepaskan panah kepada seorang Nasrani namun belum mengenainya hingga si Nasrani masuk Islam, atau kepada seorang budak lalu budak itu dimerdekakan sebelum terkena panah, lalu panah itu membunuhnya, maka tidak ada qishāsh atas si pemanah; karena arah panah itu berdasarkan keadaan saat dilepaskan, dan tidak ada qishāsh antara keduanya. Jika panah mengenai korban saat ia masih dalam keadaan sebelumnya, lalu korban masuk Islam setelahnya, maka si pemanah tetap tidak dijatuhi qishāsh, namun wajib diyat seorang Muslim merdeka dalam kedua kondisi tersebut dan juga kafārah. Ini sama seperti orang yang menembak sasaran namun justru mengenai manusia; karena seseorang hanya bertanggung jawab atas akibat dari lemparannya. Dan dalam kedua kasus ini, korban adalah pihak yang terlarang untuk dijadikan sasaran.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang melepaskan panah kepada orang murtad lalu belum mengenainya hingga orang itu masuk Islam, atau kepada orang ḥarbī lalu ia masuk Islam sebelum terkena, maka ini berbeda dari kasus sebelumnya; karena keduanya adalah pihak yang darahnya halal saat dilepaskan panah, maka tidak ada qishāsh atasnya dalam kondisi apa pun atas apa yang diperoleh dari lemparannya. Namun tetap wajib kafārah dan diyat dua orang Muslim merdeka karena perubahan status korban sebelum terkena panah.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang memukul orang Muslim, lalu orang yang dipukul itu murtad dari Islam, kemudian meninggal karena pukulan itu, maka si pemukul wajib membayar diyat atau bagian dari diyat sesuai kadar luka.

(Al-Rabi‘ berkata): Aku kira yang dimaksud adalah diyat seorang Muslim.

(Al-Syafi‘i berkata): Karena pukulan itu terjadi pada waktu yang menyebabkan qishāsh atau diyat. Maka ketika si korban meninggal dalam keadaan murtad, qishāsh tidak berlaku. Namun si pemukul tetap wajib membayar diyat dari hartanya karena pukulan itu terjadi dalam keadaan tidak halal. Jika luka itu sembuh dan wali korban menuntut qishāsh, maka mereka boleh menuntut, karena luka itu terjadi saat korban masih Muslim.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ia memukul korban saat Muslim, lalu korban murtad, kemudian kembali ke Islam dan mati dalam keadaan Muslim, maka si pemukul wajib membayar seluruh diyat dari hartanya; karena pukulan itu terjadi dalam keadaan terlarang, dan kematiannya juga dalam keadaan terlarang. Maka diyat tidak gugur karena kejadian yang terjadi antara keduanya. Si pemukul tidak melakukan sesuatu atas perubahan itu, dan tidak ada qishāsh atasnya karena kejadian yang datang dari luar, namun tetap wajib kafārah atasnya.

[Syirkah dalam Pembunuhan oleh Pihak yang Tidak Ada Qishash Atasnya]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang membunuh orang lain, lalu turut membunuhnya bersama dia seorang anak kecil, atau orang gila, atau orang ḥarbī (kafir harbi), atau siapa pun yang tidak dikenai qishāsh dalam keadaan apa pun, lalu korban mati karena pukulan mereka berdua, maka jika pukulan keduanya adalah jenis yang menyebabkan qishāsh, maka orang balig dibunuh (dengan qishāsh), dan atas anak kecil setengah diyat dari hartanya, demikian pula orang gila.

(Beliau berkata): Jika seseorang membunuh anaknya lalu seorang orang lain yang bukan keluarganya juga membunuhnya bersamanya, maka ayahnya tidak dibunuh, namun diambil darinya setengah diyat dari hartanya.

Jika orang merdeka dan budak membunuh seorang budak, maka budak dibunuh, dan atas orang merdeka dibayar setengah dari nilai budak itu, sebesar apa pun nilainya, meskipun melebihi nilai diyat.

Jika seorang Muslim dan kafir membunuh seorang kafir, maka kafir dibunuh, dan atas Muslim setengah dari diyatnya.

Jika dua orang memukul seorang laki-laki, yang satu dengan tongkat ringan dan yang lain dengan pedang, lalu orang itu mati, maka tidak ada qishāsh atas salah satu dari keduanya; karena salah satu dari dua tindakan itu bukan jenis tindakan yang menyebabkan qishāsh. Qishāsh hanya berlaku jika seluruh tindakan pembunuhan berasal dari alat yang biasa menyebabkan qishāsh jika menimbulkan kematian.

Jika seseorang memukul orang dengan pedang lalu orang itu digigit ular dan mati, maka tidak ada qishāsh. Dan atas si pemukul wajib setengah diyat secara tunai dari hartanya.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang memukul korban dengan pedang, lalu korban digigit oleh singa, harimau, babi, atau binatang buas lainnya, maka jika gigitan binatang itu termasuk yang lazim menyebabkan kematian dengan luka dalam, maka qishāsh berlaku atas pelaku. Namun jika keluarga korban menghendaki diyat, maka mereka mendapatkan setengahnya.

Jika luka dari binatang buas itu bukan luka yang mematikan atau bukan karena berat atau luka dalam seperti pukulan batu atau benda berat yang tidak melukai, maka tidak ada qishāsh atasnya; karena jika seseorang memukul korban bersamaan dengan pukulan semacam itu, maka tidak ada qishāsh atas keduanya. Maka, karena salah satu dari dua pukulan itu bukan penyebab kematian secara umum, qishāsh gugur. Demikian juga jika lukanya hanya luka ringan seperti goresan dan secara umum tidak menyebabkan kematian karena bukan luka berat atau dalam, maka tidak ada qishāsh atas keduanya.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika binatang buas itu memotong tenggorokan dan urat leher korban, atau mematahkan lehernya, atau merobek perutnya hingga mengeluarkan ususnya, maka binatang buas itulah yang menjadi penyebab kematian. Dan pelaku pertama (manusia) dikenai qishāsh atas lukanya, jika lukanya memang termasuk yang dikenai qishāsh, kecuali jika keluarga korban menginginkan diyat. Maka diyat wajib, jika lukanya bukan jenis luka yang menyebabkan qishāsh.

[Dua Barisan Bertemu dan Salah Satunya Zalim]

(Al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika dua pasukan bertemu dan salah satu dari keduanya adalah pihak yang zalim, lalu seorang dari pihak yang dizalimi terbunuh, lalu keluarganya meminta diyat atau qishāsh, maka dikatakan: “Tuduhkan kepada siapa saja yang kalian mau.” Jika mereka menuduh satu orang atau sekelompok tertentu secara spesifik, maka mereka wajib membawa bukti. Jika mereka mendatangkannya, maka mereka mendapat qishāsh jika memang berlaku, atau diyat jika tidak berlaku qishāsh.

Jika mereka tidak membawa bukti, dikatakan: “Kalau kalian mau, bersumpahlah 50 kali atas orang yang dituduh secara spesifik, dan kalian dapat diyat, tetapi tidak ada qishāsh jika pembunuhan dilakukan secara sengaja. Jika orang yang dituduh bersumpah 50 kali bahwa mereka tidak melakukannya, maka mereka bebas dari diyat dan qishāsh.”

Jika keluarga korban enggan bersumpah dan juga tidak mau meminta lawan bersumpah, maka tidak ada diyat dan tidak ada qishāsh.

Jika mereka mengatakan: “Mereka semua membunuhnya bersama-sama,” dan itu memungkinkan dari jumlah mereka, maka mereka bersumpah. Tetapi jika jumlahnya sangat besar (seperti 100.000) dan tidak mungkin semuanya turut serta, maka mereka hanya boleh menuduh dan bersumpah terhadap orang-orang yang mungkin berpartisipasi. Jika tidak, maka mereka tidak diizinkan bersumpah karena diketahui mereka tidak jujur.

Jika mereka mendatangkan saksi bahwa seseorang telah membunuh korban tetapi tidak bisa memastikan bahwa dialah pelakunya, maka itu bukan kesaksian yang sah. Mereka dikatakan: “Kalau mau, bersumpahlah terhadap satu orang, dan ia wajib membayar diyat.” Jika mereka bersumpah terhadap seseorang, lalu muncul bukti bahwa ia tidak bersalah, maka sumpah itu gugur dan mereka tidak mendapatkan apa pun. Jika setelah itu mereka ingin bersumpah terhadap orang lain, maka tidak diperbolehkan; karena mereka telah membebaskan orang pertama dengan tuduhan awal mereka dan dengan kebohongan dalam sumpahnya. Maka, saya tidak akan menjatuhkan hukuman qishāsh berdasarkan sumpah dalam keadaan apa pun.

Jika mereka berkata setelahnya: “Kami akan bersumpah terhadap semuanya,” maka saya tidak menerimanya dari mereka; karena jika saya membebankan kepada semuanya, saya telah membebankan kepada yang tidak bersalah, dan jika hanya sebagian, saya tidak tahu siapa yang harus dibebankan. Maka, sumpah (qasāmah) hanya sah terhadap orang yang dikenal secara spesifik.

Jika dua orang saling berhadapan dalam duel dan saling memukul dengan senjata yang bisa membunuh, lalu saksi melihat keduanya menyerang tapi tidak tahu siapa yang mulai lebih dulu, maka masing-masing wajib menanggung akibat dari luka yang ia timbulkan. Jika luka itu menyebabkan qishāsh atau diyat, maka berlaku hukum tersebut.

Jika masing-masing mengklaim bahwa lawanlah yang memulai, maka tidak diterima, dan masing-masing wajib bersumpah kepada lawannya bahwa ia tidak memulai. Jika keduanya bersumpah, maka masing-masing menanggung akibat dari lukanya. Jika luka itu termasuk diyat, maka mereka saling menukar (dikompensasikan), dan yang lebih besar mengambil selisihnya. Jika luka itu menyebabkan qishāsh, maka masing-masing dikenai qishāsh sesuai kadar lukanya. Jika keduanya saling membunuh secara sengaja, maka masing-masing dibunuh, dan tidak ada tuntutan di antara mereka berdua.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika salah satu mati dan yang lain masih hidup dengan luka-luka, maka luka-lukanya ditanggung oleh harta si mati. Jika keluarga si mati menginginkan qishāsh, maka mereka mendapatkannya, dan atas pelaku hidup wajib membayar diyat luka korban. Jika mereka memilih diyat, maka keduanya mendapatkan diyat, dan masing-masing disamakan atau diperhitungkan. Jika diyat luka pelaku lebih besar, maka ia menerima selisihnya dari harta si mati. Jika mereka memilih qishāsh, maka si hidup berhak menuntut atas luka-lukanya, dan mereka juga berhak atas qishāsh.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika suatu kaum berada dalam keadaan perang, lalu seorang Muslim bertemu dengan Muslim lain yang datang dari arah kaum musyrik, kemudian ia membunuhnya, maka jika ia berkata, “Aku mengenalnya sebagai seorang Muslim,” maka ia dibunuh karena qishāsh. Namun jika ia berkata, “Aku menyangka dia seorang kafir,” maka ia diminta bersumpah bahwa ia tidak membunuhnya dalam keadaan mengetahui bahwa ia adalah seorang Mukmin, maka ia tidak dibunuh, tetapi wajib membayar diyat dan kafārah, dan tidak ada qishāsh atasnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Namun jika pertemuan itu terjadi di suatu negeri yang bukan dalam keadaan perang, lalu ia berkata, “Aku menyangka dia seorang kafir,” maka alasan itu tidak diterima dan ia dibunuh karena qishāsh. Ia hanya dimaafkan bila tempatnya memang memungkinkan seperti yang ia klaim.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika kaum Muslimin berada dalam satu barisan dan kaum musyrikin berhadapan dengan mereka, dan belum terjadi pertempuran atau saling serang, lalu seseorang membunuh orang lain dari barisan kaum Muslimin dan berkata, “Aku menyangkanya kafir,” padahal yang terbunuh adalah seorang Mukmin, maka ia dibunuh (qishāsh). Namun jika pertempuran telah dimulai dan orang tersebut berada di barisan musyrikin, lalu dibunuh, maka perkataan si pembunuh diterima bersama sumpahnya.

**Al-Rabi‘ berkata, telah mengabarkan kepada kami al-Syafi‘i, berkata, telah mengabarkan kepada kami Mutarraf bin Mazin, dari Ma‘mar, dari al-Zuhri, dari ‘Urwah, bahwa al-Yamān ayah Hudzayfah datang pada hari Uhud dari salah satu benteng dari arah kaum musyrik, lalu kaum Muslim menyangkanya sebagai musyrik, maka mereka mengepungnya dengan pedang mereka hingga membunuhnya. Hudzayfah berkata: “Itu ayahku! Itu ayahku!” tetapi mereka tidak mendengarnya karena kesibukan peperangan. Maka Nabi ﷺ memutuskan untuk membayarkan diyat atasnya. Dan menurut apa yang aku kira, Hudzayfah memaafkannya dan berkata: ‘Semoga Allah mengampuni kalian, dan Dia adalah sebaik-baik pemberi rahmat.’ Maka Hudzayfah pun mendapat kedudukan yang lebih mulia di sisi kaum Muslimin.”

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang dari kaum musyrik datang menuju arah kaum Muslim, lalu dibunuh oleh seorang Muslim dengan sengaja, kemudian keluarga si musyrik mengklaim bahwa ia telah masuk Islam, maka jika mereka mendatangkan bukti atas keislamannya, maka mereka berhak atas diyat dan tidak ada qishāsh, dengan catatan si Muslim mengatakan, “Aku mengiranya masih kafir.” Jika hal ini diterima pada kasus Muslim yang telah diketahui keislamannya, maka juga berlaku bagi yang belum dikenal sebagai Muslim.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang dari kalangan musyrik datang sebagaimana disebutkan, lalu ia dibunuh oleh seorang Muslim, maka diyat tidak wajib hingga keluarganya mendatangkan bukti bahwa ia telah masuk Islam sebelum dibunuh.

Jika seseorang memukul seorang musyrik, lalu si musyrik masuk Islam, kemudian ia mati, maka tidak ada diyat atau qishāsh atas pelaku. Namun jika ia memukul, lalu si musyrik masuk Islam, lalu dipukul lagi dan mati, maka wajib atas pelaku setengah diyat.

Jika seorang musyrik memukul seorang Muslim hingga terluka, lalu ia (si musyrik) masuk Islam, kemudian si Muslim (yang terluka) membunuhnya setelah mengetahui keislamannya, maka ia dibunuh (qishāsh). Namun jika ia membunuhnya setelah keislamannya dan berkata, “Aku tidak tahu bahwa ia telah masuk Islam,” maka atasnya diyat dan kafārah.

[Pembunuhan oleh Pemimpin]

(Imam al-Syafi‘i berkata – raḥimahullāh): Telah sampai kepada kami bahwa Abū Bakr al-Ṣiddīq –raḍiyallāhu ‘anhu– mengangkat seorang pejabat di Yaman. Lalu datang seorang laki-laki yang terpotong tangan dan kakinya mengadu bahwa gubernur Yaman tersebut telah menzaliminya. Maka Abū Bakr berkata: “Jika benar dia menzalimimu, sungguh aku akan membalas darinya untukmu.”

(Imam al-Syafi‘i berkata): Dan kami berpegang kepada hal ini – bahwa jika seorang imam membunuh seperti itu, maka ia harus dibalas.

Jika seorang imam memerintahkan seseorang untuk membunuh orang lain, lalu orang itu melaksanakan perintah tersebut, maka qishāsh wajib atas imam tersebut kecuali jika ahli waris korban memilih menerima diyat. Tidak ada diyat atau qishāsh atas orang yang diperintah, namun menurutku lebih baik ia membayar kafārah, karena ia yang melaksanakan pembunuhan. Hanya saja, ia tidak dihukum qishāsh karena seorang pemimpin bisa saja memerintahkan eksekusi dalam kasus yang dibenarkan seperti orang murtad, penyamun, atau pembunuh.

Namun jika orang yang diperintahkan tahu bahwa ia diperintah untuk membunuh dengan zalim, maka baik ia maupun pemimpin sama-sama dikenai qishāsh, karena keduanya seperti dua orang yang membunuh bersama. Jika orang yang diperintahkan tahu bahwa perintah itu zalim tetapi ia dipaksa, maka tetap berlaku qishāsh atas imam, dan untuk yang dipaksa terdapat dua pendapat:

  • Pertama: Qishāsh juga berlaku atasnya, karena ia tidak boleh membunuh seseorang secara zalim, dan paksaan tidak berlaku dalam hal yang merugikan orang lain.
  • Kedua: Tidak berlaku qishāsh atasnya karena adanya syubhat, tetapi ia harus membayar setengah diyat dan kafārah.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Pemimpin yang merampas kekuasaan atau yang memaksakan dirinya, jika ia memerintah lalu berlaku zhalim dalam wilayahnya, maka ia tetap dikenai hukuman, baik kekuasaannya berlangsung lama atau sebentar.

Jika seseorang yang memimpin sekelompok pencuri atau orang fanatik memerintahkan seseorang untuk membunuh, lalu orang itu melakukannya, maka qishāsh berlaku atas yang diperintah, dan juga atas yang memerintah, jika memang ia benar-benar menguasainya dan tidak bisa ditolak.

Namun jika seseorang di suatu kota atau desa memerintahkan orang lain untuk membunuh seseorang dan orang itu bisa menolak (misalnya dengan bantuan orang lain, atau bisa melarikan diri), maka qishāsh hanya berlaku atas pelaku pembunuhan, dan yang memerintah dikenai hukuman (ta‘zīr). Jika pelaku tidak bisa menolak dengan cara apa pun, maka qishāsh berlaku atas keduanya.

[Jika Tuan Memerintahkan Budaknya untuk Membunuh]

Jika seorang tuan memerintahkan budaknya yang bisu atau anak kecil untuk membunuh seseorang, lalu mereka melakukannya, maka qishāsh hanya berlaku atas sang tuan, bukan atas budak yang tidak mengerti atau anak kecil.

Jika ia memerintahkan budaknya yang sudah dewasa dan berakal untuk membunuh, maka budak tersebut dikenai qishāsh, dan tuannya dihukum (ta‘zīr).

Jika seseorang memerintahkan budak atau anak orang lain untuk membunuh seseorang, lalu mereka melakukannya, dan mereka mampu membedakan antara ayah atau tuannya dengan orang lain, dan tahu bahwa hanya kepada ayah atau tuannya saja mereka wajib taat, maka mereka dianggap sebagai pembunuh, dan sang pemimpin hanya dihukum. Namun jika mereka tidak mampu membedakan (belum mumayyiz), maka pelakunya adalah yang memerintah, dan qishāsh berlaku atasnya jika pembunuhan itu dilakukan secara sengaja.

Jika seseorang menyuruh anaknya yang kecil atau budak orang lain yang bisu untuk membunuhnya (yakni membunuh dirinya sendiri), lalu mereka melakukannya, maka darahnya tidak ada pertanggungjawaban (hadr). Namun jika ia menyuruh mereka melakukan sesuatu yang mereka tidak pahami dampaknya dan perbuatan itu menyebabkan kematian mereka, maka ia tetap menanggung akibatnya, seperti halnya jika ia sendiri yang melakukannya kepada mereka.

Jika ia menyuruh mereka untuk menyembelih diri mereka sendiri, dan mereka benar-benar tidak mengerti akibatnya (anak kecil atau budak yang kehilangan akal), lalu mereka melakukannya dan mati, maka ia menanggung seperti orang yang menyembelih mereka.

Namun jika budak tersebut berakal, maka ia telah berdosa, dan akan dihukum, tetapi tidak dianggap sebagai pembunuh.

Jika seseorang menyuruh anaknya yang sudah dewasa atau budaknya yang berakal untuk membunuh seseorang, lalu mereka melakukannya, maka yang memerintah dihukum (ta‘zīr), dan qishāsh berlaku atas anak atau budak tersebut.

Jika kepala suku menyuruh seseorang dari kaumnya untuk membunuh seseorang, padahal bukan wilayah kekuasaannya, maka pembunuhan itu ditanggung oleh yang melakukan, bukan oleh yang menyuruh.

[Jika Seseorang Memberi Minum Racun atau Memaksa Dimakan Binatang Buas]

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang memaksa orang lain dan memberinya minum racun, dan pemberi minum mengetahui bahwa racun itu pada umumnya mematikan, atau sangat membahayakan, meskipun tidak sampai membunuh, maka jika orang yang diberi minum meninggal, maka pemberi racun dikenai qishāsh.

Jika diragukan apakah racun tersebut benar-benar mematikan, maka ahli waris korban bisa menghadirkan saksi yang adil bahwa racun semacam itu biasanya mematikan. Jika bisa membuktikan, maka berlaku qishāsh. Jika tidak ada bukti, maka pemberi racun bersumpah bahwa ia tidak tahu itu mematikan — maka ia hanya dikenai diyat dan kafārah, tanpa qishāsh, karena ini termasuk khataʾ syibh al-ʿamd (kesalahan yang menyerupai kesengajaan).

Hal ini berlaku baik ia tahu itu racun atau tidak, selama menurut para ahli, racun itu biasanya mematikan. Dan cukup kesaksian dua orang ahli yang melihat kejadian bahwa ia memberi racun secara langsung, bahkan jika yang diberi tidak tahu. Jika racun itu dimasukkan ke makanan seperti madu atau minuman tanpa paksaan, maka ada dua pendapat:

  1. Qishāsh tetap berlaku jika orang itu tidak diberitahu bahwa di dalamnya ada racun.
  2. Tidak berlaku qishāsh, tetapi ia berdosa, karena yang meminumnya tahu dan tidak dipaksa.

Jika seseorang beritahu bahwa ada racun dan orang itu tetap meminumnya lalu meninggal, tidak ada qishāsh atau diyat atas pemberi racun. Jika racun diberikan kepada anak kecil, orang gila, atau orang bisu, maka qishāsh berlaku, karena mereka tidak bisa memahami.

Jika seseorang meletakkan racun di makanan tanpa memerintah untuk memakannya, lalu orang lain makan sendiri, maka tidak ada qishāsh, tetapi ia berdosa. Jika makanan itu milik orang lain, maka ia harus mengganti makanan itu dan membayar kafārah.

Jika ia berkata, “Saya tidak tahu itu racun,” lalu ada saksi bahwa itu memang racun, maka ia tetap membayar diyat, karena orang mati karena perbuatannya, meski qishāsh tidak berlaku, kecuali ada bukti ia tahu racun.

Ada dua pendapat:

  • Qishāsh tidak berlaku karena mungkin tidak tahu itu racun.
  • Qishāsh tetap berlaku, dan tidak diterima klaim bahwa ia tidak tahu.

[Jika Seseorang Menggigitkan Orang ke Binatang Berbisa atau Buas]

Jika seseorang menggigitkan seseorang ke ular atau kalajengking, dan orang itu mati, maka ada dua pendapat:

  1. Jika binatang itu dikenal mematikan di daerah tersebut — seperti ular berbisa di al-Sarāh, al-Ṭāʾif, atau Makkah — maka pemberi gigitan dikenai qishāsh.
  2. Jika binatang itu tidak dikenal mematikan, seperti ular kecil atau kalajengking biasa, maka tidak berlaku qishāsh, tapi hanya diyat karena itu khataʾ syibh al-ʿamd.

Jika seseorang melepaskan ular atau binatang buas, dan binatang itu menggigit dan membunuh, maka tidak ada qishāsh atau diyat, karena bukan perbuatannya secara langsung. Tapi jika ia menekan atau memancing binatang itu agar menggigit, maka ia dikenai qishāsh jika binatang itu biasanya mematikan, atau diyat jika tidak.

Demikian pula dengan binatang buas seperti singa, harimau, serigala, dan sejenisnya. Jika seseorang memegangnya, memancingnya, atau menekannya hingga menyerang seseorang, dan secara umum serangan seperti itu mematikan, maka berlaku qishāsh. Jika serangannya tidak mematikan, maka berlaku diyat.

Jika seseorang melepaskan anjing, ular, harimau, singa, atau serigala, dan salah satunya membunuh orang, maka tidak berlaku qishāsh atau diyat, karena bisa jadi korban bisa melarikan diri atau selamat, dan tidak pasti akan terbunuh. Tetapi pelakunya berdosa (āthim) dan bisa dihukum (taʿzīr).

[Orang yang Melempar Tawanan ke Binatang Buas]

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang memenjarakan tawanan, lalu melemparnya ke hewan buas seperti singa, serigala, atau harimau yang secara umum jika dilemparkan kepadanya akan membunuh, maka bila binatang itu membunuh korban dengan menginjak hingga mati, merobek perutnya, atau mencekiknya hingga mati dengan cara yang tak mungkin diselamatkan, maka pelaku dijatuhi hukuman qishāsh.

Namun jika dilempar ke ular, maka tidak berlaku qishāsh, karena ular tidak selalu membunuh. Jika binatang buas itu bukan tipe yang biasa langsung menyerang dan membunuh, maka tidak ada qishāsh atau diyat. Tapi bila binatang itu umumnya menyerang hingga mati, maka berlaku qishāsh, apalagi jika korban dilempar ke ruangan tertutup atau dirantai sehingga tidak bisa melarikan diri.

Namun, bila hanya dilempar ke padang pasir, dan binatang itu tidak dipancing untuk menyerang, maka pelaku berdosa tetapi tidak dijatuhi qishāsh jika korban mati. Jika binatang itu menyerang korban dengan cara yang ringan (yang jika dilakukan manusia pun tidak sampai membunuh), tapi tetap menyebabkan kematian, maka pelaku hanya membayar diyat dan dihukum (ta‘zīr), tanpa qishāsh.

[Perempuan Hamil yang Dihukum Mati]

Jika seorang perempuan dihukum qishāsh karena membunuh, baik ia hamil atau tidak, maka tetap dikenai qishāsh. Namun, tidak ada tanggung jawab terhadap janinnya, kecuali janin sudah keluar dari tubuhnya. Bila janin lahir hidup, lalu mati, maka berlaku diyat penuh: jika laki-laki 100 ekor unta, jika perempuan 50 unta.

Jika perempuan menyebutkan dirinya hamil, maka hukuman qishāsh ditunda hingga melahirkan. Jika bayinya belum ada yang menyusui, maka sebaiknya ditunggu beberapa hari hingga didapatkan pengganti penyusu. Jika tidak, maka boleh dieksekusi.

Jika tidak diketahui ia hamil, lalu mengaku hamil, maka hukuman ditunda hingga jelas status kandungannya. Jika sudah telanjur dieksekusi oleh hakim sebelum ia melahirkan, maka hakim telah berdosa dan wajib membayar diyat janin, dibayar oleh ʿāqilah (keluarga ayah), bukan dari baitulmal.

[Perubahan Status Korban atau Pelaku Non-Muslim]

Jika seorang Nasrani melukai Nasrani, lalu pelaku masuk Islam, dan korban meninggal setelah itu karena luka tersebut, maka boleh ditegakkan qishāsh, karena keislaman pelaku setelah perbuatan itu tidak menghapus tanggung jawabnya.

Jika korban yang masuk Islam setelah dilukai, maka qishāsh tetap berlaku, karena pelanggaran dilakukan saat korban kafir, dan statusnya tidak berubah dalam hal tanggung jawab.

Namun jika korban melarikan diri ke negeri kafir (Dar al-Ḥarb), maka tidak berlaku qishāsh atas pelaku karena korban telah keluar dari perlindungan Islam, kecuali luka yang dideritanya lebih dari sekadar pembunuhan (misalnya kehilangan kedua tangan dan kaki) — maka ahli waris boleh menuntut qishāsh untuk luka-luka itu. Jika mereka menuntut diyat, maka yang dibayar adalah diyat kematian biasa, bukan ditambah karena luka-luka.

Jika korban tinggal di negeri Islam dalam perlindungan (amān), lalu wafat, maka diyat dan qishāsh tetap berlaku.

[Jika Korban atau Pelaku Kembali ke Negeri Islam]

Jika seorang dzimmi (non-Muslim yang hidup di negeri Islam) melukai seseorang, lalu korban lari ke negeri kafir, kemudian kembali ke negeri Islam dan meninggal karena luka itu, maka ada dua pendapat:

  1. Qishāsh tetap berlaku karena luka dan kematian terjadi dalam perlindungan (amān).
  2. Tidak ada qishāsh, hanya diyat, karena korban sempat meninggalkan perlindungan (amān) saat mati.

Namun, dalam kedua pendapat, diyat tetap dibayar penuh, tidak dikurangi meski ia sempat meninggalkan wilayah Islam.

[Jika Dzimmi Melukai Musta’man yang Kemudian Kembali ke Dar al-Ḥarb dan Mati]

(al-Syafi‘i berkata): Jika seorang dzimmi melukai seorang harbi yang datang dengan jaminan keamanan (musta’man), lalu orang musta’man ini meninggalkan jaminannya dan kembali ke negeri perang, lalu pasukan Muslim menyerang dan menangkapnya sebagai tawanan, kemudian ia mati dalam status budak, maka tidak ada qishāsh atas pelaku luka, karena dia mati dalam keadaan sebagai budak, dan seorang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak.

Tanggung jawab pelaku luka adalah pembayaran yang lebih ringan, yaitu antara:

  • Nilai budaknya saat mati, atau
  • Nilai luka yang diderita ketika masih merdeka.

Contoh:

  • Jika ia seorang Nasrani dan tangannya terpotong, maka nilainya 16⅔ ekor unta (setengah dari diyatnya).
  • Jika ia Majusi atau penyembah berhala, maka nilai luka tangannya adalah setengah dari diyat golongannya.

Jika kemudian mati dan nilai budaknya sama dengan nilai lukanya, maka tidak ada penambahan diyat karena kematian, karena kematiannya tidak menambah nilai kerugian.

Semua diyat luka sebelum kematiannya menjadi hak ahli warisnya, karena luka itu terjadi saat ia masih merdeka dan terlindungi. Maka diyatnya tetap diberikan kepada ahli warisnya, walaupun sekarang mereka tinggal di negeri perang.

Begitu juga jika yang terluka:

  • Kedua tangan dan kakinya terpotong
  • Kedua matanya dibutakan
  • Lalu dia kembali ke negeri perang, lalu mati, dan nilai budaknya lebih rendah dari total nilai luka-lukanya, maka pelaku hanya membayar yang lebih rendah, dan itu diberikan kepada ahli warisnya di negeri perang.

[Jika Musta’man Disakiti, lalu Kembali dan Mati sebagai Budak]

Jika seorang dzimmi melukai musta’man dengan luka sedang (muḍiḥah) lalu korban kembali ke negeri perang dan ditawan, menjadi budak, lalu mati—dan nilai budaknya 20 unta, sementara nilai luka yang diderita sebelumnya hanya ⅓ dari muḍiḥah seorang Muslim, maka:

  • Nilai luka itu menjadi hak ahli warisnya (karena didapat ketika ia masih merdeka).
  • Sisa nilainya (selisih antara luka dan nilai budaknya) ada dua pendapat:
    1. Tidak wajib dibayar karena ia meninggalkan jaminan keamanan (amān).
    2. Wajib dibayar kepada tuannya, karena luka dan kematian terjadi saat ia sudah menjadi milik tuannya (budak).

[Jika Ia Masuk Islam dan Dimerdekakan]

Jika ia masuk Islam setelah menjadi budak, kemudian mati:

  • Maka nilai tambah akibat masuk Islam dihitung dalam:
    • Satu pendapat: Tetap dibayar, karena Islam meningkatkan nilai budaknya.
    • Pendapat lain: Tidak dibayar, karena kepergiannya ke negeri perang membatalkan tambahan nilai itu.

Jika ia dibebaskan oleh tuannya lalu mati sebagai orang merdeka, maka pelaku wajib membayar nilai yang lebih rendah antara:

  • Nilai luka, atau
  • Diyat orang merdeka.

Karena:

  • Ia dilukai saat merdeka.
  • Ia meninggal juga saat merdeka.

Jika ia masuk Islam dan juga dimerdekakan, lalu meninggal dalam keadaan Muslim dan merdeka, maka:

  • Pelaku wajib membayar:
    • Nilai luka.
    • Ditambah diyat orang merdeka (jika mengikuti pendapat yang mewajibkan semua diyat meskipun sempat kembali ke negeri perang).

[Jika Korban Nasrani Melukai Muslim, Lalu Masuk Islam, lalu Mati]

Menurut sebagian pendapat: Jika seorang Nasrani terluka, lalu masuk Islam, lalu mati, maka pelaku membayar diyat seorang Muslim penuh, karena kematian terjadi dalam Islam.

Jika pelaku adalah Muslim dan korban adalah non-Muslim, maka tidak berlaku qishāsh untuk luka tersebut, hanya diyat, karena non-Muslim tidak bisa menjadi sebab qishāsh terhadap Muslim.

[Jika Orang Dipotong Tangannya, Lalu Murtad dan Mati]

Jika seseorang melukai tangan orang lain, lalu korban sembuh dan kemudian murtad lalu mati, maka ahli waris korban tetap berhak melakukan qishāsh atas luka tangan tersebut, karena:

  • Luka dan kesembuhan terjadi saat ia masih Muslim.
  • Meninggalnya setelah murtad tidak membatalkan hak qishāsh terhadap luka sebelumnya.

[Hukum di Antara Ahli Dzimmah dalam Kasus Pembunuhan]

(Al-Syafi‘i berkata – semoga Allah merahmatinya -):

Jika seorang dzimmi membunuh seorang dzimmiyah, atau dzimmi lainnya, atau musta’man (non-Muslim yang mendapat jaminan keamanan) laki-laki maupun perempuan, atau jika sebagian dari mereka melukai sebagian lainnya, maka seluruhnya sama hukumnya. Jika korban luka atau ahli waris korban pembunuhan mengajukan tuntutan, maka kami memutuskan perkara mereka sebagaimana kami putuskan perkara kaum Muslimin di antara mereka sendiri tanpa perbedaan. Kami menerapkan qishāsh di antara mereka sebagaimana kami menerapkannya di antara kaum Muslimin, baik untuk kasus pembunuhan maupun yang lebih ringan darinya.

Adapun pembunuhan sengaja yang tidak dikenakan qishāsh, maka diyat-nya diambil dari harta pelaku. Dan untuk pembunuhan karena kesalahan (khatha’), maka diyat-nya dibebankan kepada ‘āqilah (kerabat penanggung jawab) pelaku, jika ia memiliki ‘āqilah. Jika tidak, maka diyat diambil dari harta pelaku itu sendiri. Orang-orang seagama dengannya tidak dibebani membayar diyat tersebut karena mereka tidak mewarisinya, dan juga bukan kaum Muslimin, karena dia bukan Muslim. Maka harta pelaku akan menjadi harta fai’ (rampasan negara) jika ia tidak memiliki ahli waris.

(Al-Syafi‘i berkata):

Orang penyembah berhala, Majusi, Shabi’in, dan Samiri dapat dikenai qishāsh dari Yahudi dan Nasrani, begitu juga sebaliknya. Perempuan mereka juga dapat dikenai qishāsh dari mereka, karena kekufuran secara keseluruhan dihukumi sebagai satu agama. Kami juga mewariskan sebagian mereka kepada sebagian yang lain karena hubungan kekerabatan, dan musta’man juga dapat menuntut qishāsh terhadap orang-orang mu‘āhad (non-Muslim yang tinggal dengan perjanjian), karena masing-masing mereka memiliki perlindungan (dzimmah). Tidak ada perbedaan antara kaum musyrik dalam hal ini, sebagaimana halnya tidak ada yang membedakan antara sesama Muslim dalam hal qishāsh.

(Al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula, jika seorang harbi yang masuk sebagai musta’man melakukan kejahatan, maka dia tetap dikenai qishāsh. Jika perbuatannya merupakan pembunuhan sengaja yang tidak dapat ditegakkan qishāsh, maka diyat-nya dibebankan ke hartanya. Jika ia tidak memiliki ‘āqilah selain dari kalangan harbi yang tidak tunduk pada hukum Islam, maka kami tidak menetapkan tanggung jawab kepada mereka. Dalam kasus ini, kami membebankan diyat-nya kepada harta pelaku itu sendiri, sebagaimana kami perlakukan dzimmi yang tidak memiliki ‘āqilah. Demikian pula jika mereka melukai atau membunuh seorang Muslim, maka hukumnya tetap sama, tidak berbeda.

(Al-Syafi‘i berkata):

Jika orang dari kalangan dzimmi melukai seorang harbi yang tidak memiliki jaminan keamanan (amān), maka tidak ada ketetapan hukum terhadapnya, sekalipun ahli waris korban mengajukan tuntutan, karena darah orang tersebut tidak terlindungi.

Demikian pula jika pelaku adalah seorang harbi yang masuk sebagai musta’man, maka tidak ada ketetapan hukum terhadapnya—kecuali bahwa jika ‘āqilah dari pihak harbi tidak menanggung diyat kesalahan, maka kami menetapkannya diambil dari hartanya, sebagaimana yang telah kami sebutkan.

(Al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang dari kalangan harbi melakukan tindak kejahatan kemudian melarikan diri ke negeri harbi, lalu kembali lagi sebagai musta’man, maka kami tetap menghukuminya. Karena hukum telah melekat padanya sejak awal dan tidak gugur hanya karena dia sempat melarikan diri ke negeri harbi.

(Al-Syafi‘i berkata):

Jika ia meninggal di negeri harbi setelah melakukan tindak kejahatan dan ia memiliki harta di negeri Muslim, atau jika ia kembali ke negeri Muslim dalam keadaan hidup dan memiliki harta serta jaminan keamanan, maka kami mengambil dari hartanya diyat untuk diserahkan kepada pihak korban, karena kewajiban itu telah ditetapkan atas dirinya. Kapan pun memungkinkan, kami akan mengambil harta tersebut dari hartanya untuk menunaikan kewajiban diyat. Jika kami telah memberikan jaminan keamanan atas hartanya dengan syarat tidak mengambil kewajiban yang melekat padanya, maka hal itu tidak berlaku; karena kewajiban untuk membayar diyat tetap harus ditunaikan dari hartanya.

(Al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula, jika seseorang melakukan tindak pidana (jāniyah) saat berada di wilayah kita, lalu melarikan diri ke negeri harbi, kemudian kita memberikan jaminan keamanan (amān) kepadanya dengan syarat tidak menghukuminya, maka kami tetap menjatuhkan hukuman atasnya. Jaminan keamanan yang diberikan dengan syarat seperti itu tidak sah dan tidak boleh dilakukan.

Demikian juga, jika ia ditawan dan hartanya disita, sementara sebelumnya ia memiliki utang ketika berada dalam perlindungan kita, maka hartanya tidak dianggap sebagai harta rampasan sepenuhnya karena masih ada hak pihak yang memiliki utang atas hartanya—sebagaimana halnya utang.

Baik hartanya diambil sebelum ia tertawan, atau bersamaan dengan penawanannya, atau setelahnya, semuanya sama. Bukankah kamu melihat bahwa jika seseorang memiliki utang, lalu ia melarikan diri ke negeri harbi dan hartanya dirampas serta ia ditawan atau tidak ditawan, kita tetap mengambil utang dari hartanya? Ini tidak berbeda dengan seseorang yang memiliki utang, lalu meninggal, maka kita mengambil utang dari hartanya karena utang itu sudah menjadi tanggungan wajib. Maka rampasan perang atas hartanya tidak lebih kuat dibandingkan warisan bagi seorang Muslim atau dzimmi yang memiliki utang. Sebab Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bahwa warisan hanya boleh diberikan kepada ahli waris setelah diselesaikan utang, dan demikian pula dengan rampasan perang; karena musuh hanya berhak atas harta itu setelah dinyatakan sebagai harta negeri harbi. Demikian juga jika seseorang melakukan tindak pidana saat berstatus musta’man, lalu ia melarikan diri ke negeri harbi dan membatalkan jaminan keamanannya, kemudian ia masuk Islam di negeri harbi dan berhasil menyelamatkan diri dan hartanya, maka kami tetap menjatuhkan hukuman atasnya baik dalam perkara pidana maupun utang yang timbul ketika ia berada di negeri Islam.

(Al-Syafi‘i berkata):

Seluruh hal ini tidak bertentangan dengan hukum jaminan keamanan yang dimiliki oleh seorang budak, karena budak tidak memiliki kepemilikan kecuali dalam kendali tuannya. Sementara dalam seluruh keadaan yang dijelaskan di atas, seseorang itu adalah pemilik dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan seseorang yang menjadi korban tindak pidana dalam statusnya sebagai musuh yang tidak mendapat jaminan keamanan di negeri harbi. Maka seluruh tindak pidana terhadapnya dianggap gugur (tidak dikenai hukuman).

(Al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang Muslim melakukan tindak pidana yang menyebabkan kewajiban diyat dari hartanya, kemudian ia murtad dan melarikan diri ke negeri harbi, baik ia masih hidup, telah meninggal, atau dibunuh karena kemurtadannya, maka kewajiban diyat tetap dibebankan pada hartanya, dan tidak ada bagian dari hartanya yang dianggap rampasan perang sampai kewajiban itu ditunaikan sepenuhnya.

(Al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang dzimmi melakukan tindak pidana terhadap seorang Nasrani, lalu korban pindah agama menjadi Majusi setelah mengalami luka, dan kemudian meninggal dalam keadaan Majusi, maka ada dua pendapat:

  • Pertama, pelaku menanggung yang paling sedikit antara diyat luka sebagai Nasrani dan diyat penuh sebagai Majusi.
  • Kedua, ia dikenai diyat Majusi atau bahkan qishāsh dari dzimmi yang telah melukai, karena korban adalah kafir yang darahnya dilindungi oleh perjanjian sebelumnya. Ini berbeda dengan Muslim yang murtad, karena jika seseorang membunuh Muslim murtad, ia tidak dikenai tanggungan apa pun.

Sedangkan dalam kasus ini, jika seseorang membunuh orang yang berpindah dari satu bentuk kekafiran ke bentuk kekafiran lain (misalnya dari Nasrani ke Majusi), maka pembunuhnya tetap bertanggung jawab. Jika ia seorang Muslim, ia wajib membayar diyat. Dan jika pelaku pembunuhan adalah orang kafir, maka dikenakan qishāsh.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula, jika seorang Nasrani melakukan tindak pidana (menyakiti orang), kemudian ia menjadi zindiq atau menganut agama yang para penganutnya tidak halal sembelihannya, maka terdapat dua pendapat tentang diyat (ganti rugi) terhadap korban:

  1. Ia dikenai kewajiban membayar yang paling sedikit antara diyat luka saat korban masih beragama Nasrani dan diyat penuh seorang Majusi.
  2. Ia dikenai diyat penuh seperti Majusi.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap seorang Nasrani, lalu si korban masuk Yahudi, atau terhadap seorang Yahudi lalu korban masuk Majusi, maka ada dua pendapat juga:

  1. Pelaku wajib membayar yang paling sedikit antara nilai luka saat korban masih beragama sebelumnya (misalnya Nasrani) atau diyat penuh Majusi.
  2. Pelaku dikenai diyat Majusi. Hal itu dianggap sebagai perpindahan (murtad) ke dalam agama yang tidak diakui secara hukum (tidak sah diakui dalam hukum Islam).

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang Nasrani melakukan tindak pidana terhadap sesama Nasrani atau orang musyrik yang darahnya dilindungi (dzimmi) secara tidak sengaja, maka diyat dibebankan kepada ‘āqilah-nya (kerabat yang menanggung diyat). Jika kemudian pelaku murtad dari Nasrani ke Majusi atau agama lain, lalu korban meninggal dunia, maka ‘āqilah pelaku tetap menanggung yang paling sedikit antara diyat luka saat pelaku masih Nasrani atau diyat penuh Majusi. Karena ‘āqilah telah menanggung tanggungan luka itu ketika pelaku masih di atas agama mereka.

Jika lukanya berupa moḍiḥah (luka yang menyingkap tulang), lalu korban meninggal setelah pelaku murtad dari Nasrani, maka ‘āqilah menanggung diyat moḍiḥah, dan pelaku menanggung dari hartanya sendiri kelebihan diyat atas moḍiḥah itu (yakni diyat penuh karena kematian). Jika tidak ada kelebihan atas moḍiḥah, maka ‘āqilah tetap menanggung moḍiḥah karena itu sudah menjadi tanggung jawab mereka sejak awal pelaku melakukan tindak pidana.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang Nasrani melakukan moḍiḥah terhadap seorang Muslim atau dzimmi, kemudian pelaku masuk Islam, dan korban meninggal setelahnya, maka ‘āqilah-nya yang berasal dari kalangan Nasrani menanggung diyat moḍiḥah, sedangkan pelaku menanggung dari hartanya sendiri kelebihan diyat atas moḍiḥah itu.

‘Āqilah dari kalangan Nasrani tidak menanggung kelebihan diyat karena status keislaman pelaku setelahnya telah memutus hubungan kewarisan dan tanggungan antara Muslim dan musyrik. Maka mereka hanya menanggung bagian luka yang terjadi saat pelaku masih seagama dengan mereka.

Demikian pula, jika pelaku dan ‘āqilah-nya sama-sama masuk Islam, maka mereka tidak menanggung diyat kecuali yang wajib ditanggung saat masih di atas agama lama mereka.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang Nasrani melakukan pembunuhan secara tidak sengaja terhadap seseorang, kemudian si pelaku masuk Islam, dan korban baru menuntut ganti rugi (diyat) setelah pelaku menjadi Muslim, maka jika ‘āqilah (kerabat penanggung diyat) dari kalangan Nasrani berkata: “Ia telah menjatuhkan luka ini saat sudah Muslim,” dan kaum Muslimin berkata: “Ia melakukannya saat masih musyrik,” maka pernyataan keduanya ditolak, dan diyat ditanggung oleh harta si pelaku sendiri.

Kecuali jika terdapat bukti bahwa saat pelaku melakukan kejahatan ia masih beragama Nasrani, maka diyat ditanggung oleh ‘āqilah dari kalangan Nasrani sesuai dengan tanggungan yang berlaku ketika ia masih di atas agama itu. Adapun sisanya ditanggung dari harta pelaku. Jika terdapat bukti bahwa ia melakukannya saat sudah Muslim, maka ‘āqilah dari kalangan Muslim akan menanggung diyat itu, jika memang ia memiliki ‘āqilah dari kalangan mereka.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang Nasrani melempar seseorang, namun lemparannya belum mengenai hingga ia masuk Islam, lalu si korban meninggal, maka ‘āqilah dari kalangan Nasrani tidak menanggung diyat karena tindak pidana belum terjadi saat ia masih musyrik. Begitu juga ‘āqilah dari kalangan Muslim tidak menanggungnya karena tindakan melempar dilakukan saat ia masih musyrik. Maka diyat berada di tanggungan pribadi pelaku.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seorang Nasrani murtad ke agama Yahudi atau Majusi, lalu melakukan tindak pidana, maka ‘āqilah dari kalangan Nasrani tidak menanggungnya, karena pelaku telah menganut agama yang tidak diakui. Begitu pula ‘āqilah dari kalangan Yahudi atau Majusi tidak menanggungnya, karena ia tidak diakui sebagai bagian dari mereka. Maka diyat berada dalam tanggungan harta pelaku sendiri. Demikian pula jika ia murtad ke agama lain selain Nasrani, maka tidak ada ‘āqilah dari kedua kelompok tersebut yang menanggung diyat, kecuali jika ia kembali masuk Islam, lalu melakukan tindak pidana. Maka ‘āqilah dari kalangan Muslim akan menanggungnya karena ada hubungan kewalian.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang membunuh seorang Majusi, lalu si pelaku masuk Islam setelah pembunuhan terjadi dan korban meninggal, maka ‘āqilah dari kalangan Majusi tetap menanggung diyat karena mereka adalah penanggungnya saat pelaku masih Majusi, selama tindak pidana itu dilakukan secara tidak sengaja. Namun jika pembunuhan dilakukan secara sengaja, maka diyat ditanggung dari harta pribadi pelaku. Tidak ada ‘āqilah baik dari kalangan Majusi maupun Muslim yang menanggung diyat kecuali untuk kasus pembunuhan tidak sengaja yang didukung dengan bukti.

(al-Rabi‘ berkata):

Ada pendapat lain yang mengatakan: Jika seseorang membunuh saat ia masih Nasrani, lalu ia masuk Islam setelahnya, maka ia tetap dikenai hukuman qishāsh, karena korban terbunuh adalah orang yang sepadan dengan pelaku pada saat kejadian. Keislaman pelaku setelahnya tidak menggugurkan kewajiban qishāsh yang telah ditetapkan sebelumnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Qishāsh berlaku antara semua orang kafir yang memiliki perjanjian (ʿahd), baik keduanya adalah pembayar jizyah, salah satunya adalah musta’man (yang mendapat jaminan keamanan), atau keduanya musta’man. Karena masing-masing dari mereka memiliki jaminan perlindungan darah. Maka Majusi dapat dikenai qishāsh jika membunuh Nasrani atau Yahudi, begitu pula sebaliknya. Setiap orang musyrik yang darahnya dilindungi dikenai qishāsh jika membunuh selainnya, walaupun diyat pelaku lebih kecil dibanding korban, sebagaimana qishāsh berlaku antara laki-laki dan perempuan, atau antara dua budak, walaupun harga atau diyatnya berbeda.

[Riddah Seorang Muslim Sebelum atau Sesudah Melakukan Kejahatan, serta Riddah Korban Setelah Dijahati]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata):

Apabila seorang Muslim secara sengaja melakukan kejahatan terhadap Muslim lain, lalu memotong tangannya, kemudian pelaku murtad, lalu korban meninggal atau dibunuh oleh pelaku, maka murtadnya pelaku tidak menggugurkan tanggung jawabnya. Maka dikatakan kepada wali korban:

“Kalian berhak memilih antara qishāsh atau menerima diyat.”

Jika mereka memilih diyat, maka diyat diambil dari harta si pelaku saat ini. Jika mereka memilih qishāsh, maka pelaku yang murtad diminta untuk bertobat.

  • Jika ia bertobat, maka dihukum qishāsh (dibunuh sebagai balasan).
  • Jika tidak bertobat, maka dikatakan kepada wali korban:
    • “Jika kalian memilih diyat, maka ambillah, dan ia akan dibunuh karena kemurtadannya.”
    • “Namun jika kalian tetap menginginkan qishāsh, maka ia dibunuh karena qishāsh dan hartanya menjadi harta rampasan, karena ia tidak bertobat hingga ajalnya.”

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika pelaku membunuh korban secara tidak sengaja sebelum ia murtad, maka diyatnya dibayar oleh ‘āqilah dari kaum Muslimin. Namun jika ia melukai korban saat ia masih Muslim, lalu ia murtad, kemudian korban meninggal setelah kemurtadan pelaku, maka ‘āqilah menanggung setengah diyat (karena jaminan berlaku saat luka terjadi), sedangkan sisa diyat karena kematian ditanggung dari harta pelaku (yang murtad).

Demikian pula jika luka yang diberikan adalah luka jenis muḍḥiḥah (menyingkap tulang), maka ‘āqilah menanggung setengah dari sepersepuluh diyat (sebagaimana ketentuan luka tersebut), dan sisanya dari harta pelaku murtad. Begitu pula jika luka itu semula menimbulkan kewajiban diyat penuh, kemudian pelaku murtad dan korban meninggal, maka ‘āqilah menanggung seluruh diyat (jika luka itu sudah menimbulkan kewajiban diyat penuh sejak awal), karena tidak ada tambahan diyat dari kematian korban setelah pelaku murtad.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika pelaku melukai korban saat masih Muslim, lalu murtad, kemudian masuk Islam kembali, lalu ia meninggal dan korban juga meninggal, maka ‘āqilah menanggung setengah diyat (seperti sebelumnya). Namun mereka tidak menanggung sisa diyat yang terjadi karena pelaku sempat murtad, sebagaimana jika ia murtad dan melakukan tindak pidana, maka ‘āqilah tidak menanggung kejahatannya. Maka, semua yang muncul dari kejahatannya saat ia murtad ditanggung dari hartanya sendiri.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Dalam masalah ini, ada pendapat lain: bahwa ‘āqilah tetap menanggung semua diyat, karena kejahatan dan kematian korban terjadi saat pelaku masih Muslim.

(al-Rabi‘ berkata):

Pendapat kedua ini menurutku yang paling kuat (ashahhumā ʿindī).

[Jika Pelaku Mengaku Melakukan Kejahatan Saat Murtad]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang yang telah diketahui keislamannya melakukan suatu tindak pidana, kemudian ‘āqilah-nya (kelompok kerabat yang menanggung diyat) mengklaim bahwa ia melakukan kejahatan tersebut saat ia murtad, maka mereka wajib mendatangkan bukti (baiyinah). Jika mereka dapat membuktikannya, maka kewajiban diyat gugur dari mereka dan ditanggung dari harta pelaku. Jika mereka tidak dapat mendatangkan bukti, maka diyat tetap menjadi tanggungan mereka.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika saat perkara ini dibawa kepada hakim pelaku dalam keadaan murtad, lalu ia wafat, kemudian ‘āqilah-nya mengatakan bahwa ia melakukan kejahatan itu saat murtad, maka ucapan mereka diterima bersamaan dengan sumpah, hingga ada bukti yang menunjukkan bahwa ia melakukan kejahatan tersebut saat masih Muslim.

Jika seseorang melakukan suatu tindak pidana, lalu ada bukti bahwa ia sempat murtad, kemudian ia kembali masuk Islam tanpa diketahui secara pasti waktu murtad dan Islamnya, maka ucapan ‘āqilah diterima kecuali ada bukti bahwa kejahatan itu dilakukan saat ia Muslim.

[Jika Orang Murtad Melakukan Kejahatan, Lalu Kembali ke Islam]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang murtad dari Islam, lalu ia memanah seseorang dan panah tersebut mengenainya secara tidak sengaja (khaṭā’), namun panah itu baru mengenai korban setelah pelaku kembali memeluk Islam, maka ‘āqilah tidak menanggung diyatnya. Kejahatan tersebut ditanggung dari harta pelaku, karena saat melepaskan panah ia dalam keadaan murtad, yaitu dalam status yang tidak membuat ‘āqilah menanggung diyat.

Ketentuan kejahatan ditanggung oleh ‘āqilah hanya berlaku jika perbuatan dan akibatnya dilakukan saat pelaku berstatus sebagai orang yang memiliki ‘āqilah (yakni Muslim).

[Jika Korban adalah Murtad, lalu Masuk Islam Saat Terkena Luka]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang murtad dari Islam, lalu ia dilempar oleh seseorang, dan lemparan itu belum mengenainya hingga ia kembali masuk Islam, kemudian ia mati karena lemparan itu, atau hanya terluka karenanya, maka tidak ada qishāsh terhadap pelempar. Sebab saat pelaku melempar, korban masih dalam keadaan murtad—yakni seseorang yang tidak ditanggung jiwanya (tidak mendapat perlindungan hukum darah).

Namun, diyat atas korban tetap wajib diambil dari harta pelaku secara langsung (bukan dari ‘āqilah), baik korban wafat (diyat penuh) maupun hanya terluka (arsh/cacat). Sebab lemparan tersebut dilakukan dengan sengaja.

Diyat tidak gugur, karena tindakan lempar dilakukan saat korban masih murtad. Sebagaimana analogi: seseorang melempar saat belum ihram, kemudian masuk ihram, lalu lemparannya mengenai binatang buruan, maka ia tetap wajib membayar dendanya. Ini serupa dengan seseorang yang melempar ke suatu sasaran, tetapi mengenai manusia.

Demikian pula, apabila seseorang melempar seorang Nasrani atau Majusi, lalu sebelum lemparan mengenai tubuhnya, ia masuk Islam, maka tidak ada qishāsh terhadap pelaku (karena korban belum Muslim saat dilempar). Namun, jika korban meninggal akibat lemparan tersebut, maka pelaku tetap harus membayar diyat Muslim, dan jika hanya terluka, maka membayar arsh seperti terhadap Muslim.

[Jika Pelaku adalah Murtad Saat Melakukan Kejahatan, Lalu Masuk Islam]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang melempar atau memukul orang yang sedang murtad, lalu pelaku (yang awalnya murtad) masuk Islam setelah lemparan atau pukulan mengenai korban, kemudian korban meninggal dunia dalam keadaan Muslim, maka tidak ada diyat (denda darah) dan tidak pula qishāsh (balasan setimpal), karena tindak kejahatan terjadi ketika korban masih dalam keadaan murtad—yakni darahnya tidak dijaga secara syar‘i—dan pelaku tidak melakukan tindakan baru terhadapnya setelah ia menjadi Muslim. Maka tidak ada tanggungan atas pelaku.

Begitu pula jika seseorang memerintahkan orang lain untuk melakukan tindakan medis seperti khitan, mengiris luka, atau memotong anggota tubuh untuk pengobatan lalu orang yang diobati meninggal, maka tidak ada tanggungan (denda) atas pelaku. Sama seperti seorang hakim yang menegakkan hudud (hukuman syar‘i) kepada seorang pelaku, lalu pelaku itu meninggal dunia — hakim tidak menanggung diyatnya.

[Jika Ada Dua Luka: Satu Sebelum dan Satu Setelah Islamnya Korban]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang memotong tangan seorang murtad, lalu si murtad masuk Islam, kemudian penyerang tadi kembali menyerangnya dan melukainya lagi sehingga ia meninggal karena dua luka itu, maka tidak ada qishāsh atasnya kecuali jika ahli waris korban memilih menggugurkan hak mereka atas diyat dan menuntut qishāsh dari luka kedua (yang terjadi setelah korban masuk Islam). Maka mereka berhak atas qishāsh tersebut.

Namun, jika mereka memilih diyat, maka pelaku hanya diwajibkan membayar setengah diyat dari hartanya karena luka kedua dilakukan setelah korban menjadi Muslim dan dilakukan secara sengaja. Adapun setengah sisanya tidak ditanggung karena luka itu terjadi saat korban masih murtad.

Demikian pula jika pelaku luka sebelum dan sesudah Islamnya korban adalah dua orang yang berbeda, maka pelaku kedua menanggung setengah diyat korban.

[Jika Kejahatan Dilakukan atas Seorang Nasrani, Lalu Ia Masuk Islam dan Meninggal]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang menyerang seorang Nasrani dan memotong tangannya dengan sengaja, lalu si Nasrani masuk Islam, kemudian ia meninggal setelah itu, maka pelaku tidak dikenai qishāsh karena kejahatannya dilakukan saat korban masih kafir dzimmi—yakni darahnya tidak setara secara hukum qishāsh.

Namun, pelaku tetap wajib membayar diyat seorang Muslim secara penuh dan langsung dari hartanya. Jika kejahatannya dilakukan tanpa sengaja (khaṭā’), maka diyat itu ditanggung oleh ‘āqilah-nya (kelompok penanggung) selama tiga tahun sebagaimana biasanya diyat kesalahan.

[Perbedaan Antara Kasus Murtad dan Nasrani]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika dikatakan: “Mengapa Anda membedakan antara orang murtad yang dilukai saat murtad lalu masuk Islam dan meninggal, dengan orang Nasrani yang dilukai saat kafir lalu masuk Islam dan meninggal?”

Aku (al-Syafi‘i) menjawab: “Karena kematian dalam kasus pertama terjadi akibat luka yang dilakukan saat darahnya tidak terlindungi dan tidak ada perbuatan tambahan setelah itu dari pelaku yang bisa membuatnya menanggung diyat. Maka tidaklah logis dikenakan diyat atas luka itu. Kasus tersebut seperti orang yang dihukum hudud lalu mati, atau seperti orang yang memerintahkan dokter untuk melakukan pembedahan medis lalu meninggal, maka tidak ada tanggungan atas pelaku karena luka terjadi saat korban tidak dilindungi secara hukum.”

Adapun Nasrani, karena darahnya terlindungi dalam perjanjian dzimmah (perlindungan di bawah negara Islam) dan berada di Darul Islam, serta telah ditetapkan dalam hukum bahwa ada qishāsh jika pembunuhnya setara statusnya, dan diyat juga berlaku jika pelakunya Muslim, maka wajiblah pelaku menanggung akibat dari luka tersebut. Apalagi dalam hal ini ia terbukti melanggar kesucian darah yang dilindungi dan masuk dalam wilayah hukum Islam.

[Perubahan Status Korban karena Dimerdekakan dan Pelaku yang Juga Dimerdekakan Setelahnya]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata):

Apabila seseorang melakukan kejahatan secara sengaja terhadap seorang budak, lalu budak itu dimerdekakan setelah kejadian, kemudian ia meninggal dunia, maka tidak ada qishāsh (balasan setimpal) terhadap pelaku, baik pelaku itu seorang Muslim merdeka, dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), atau musta’man (orang kafir yang masuk ke negeri Islam dengan izin). Namun pelaku wajib membayar diyat (denda darah) setara dengan diyat orang merdeka, langsung dari hartanya sendiri, bukan dari ‘āqilah-nya (kelompok penanggungnya).

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika kejahatan itu berupa pemotongan tangan, lalu budak tersebut meninggal akibat luka itu, maka pelaku wajib membayar diyat penuh budak tersebut. Dari diyat itu, setengah dari nilai budak pada saat ia dijahati—apapun nilainya—menjadi milik tuannya (karena saat itu ia masih budak), sedangkan sisanya menjadi milik ahli waris sang budak yang telah merdeka (karena ia wafat setelah dimerdekakan).

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula jika kejahatannya berupa luka terbuka (موضحة) atau selainnya. Maka yang diberikan kepada korban adalah bagian dari diyat yang telah ia miliki saat masih menjadi budak karena terjadi sebelum kematian. Sedangkan bagian yang timbul karena kematian (setelah ia menjadi orang merdeka) tidak diberikan kepadanya karena ia telah keluar dari status milik (tuannya) ketika meninggal dunia.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika kejahatan itu berupa pencungkilan kedua mata atau salah satunya, dan nilai budak tersebut mencapai 200 ekor unta atau setara dengan 2.000 dinar, maka tidak ada yang wajib atas pelaku kecuali diyat seorang merdeka. Karena kejahatan ini sempurna akibat kematian korban, dan karena korban wafat dalam keadaan merdeka, maka diyat itu seluruhnya menjadi milik tuannya—bukan ahli warisnya. Sebab tuannya telah memiliki diyat (atau bahkan lebih dari itu) sejak kejahatan dilakukan, bukan karena kematiannya. Namun karena korban meninggal dunia dalam keadaan merdeka, sebagian diyat gugur (beralih ke ahli waris), dan hanya sisanya saja yang dibayarkan.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Aku mewajibkan pelaku membayar diyat orang merdeka karena budak tersebut adalah orang yang darahnya dilindungi dalam segala keadaan. Maka aku mewajibkan atas pelaku tanggungan yang muncul dari kejahatan terhadap orang yang terlindungi darahnya, sebagaimana telah aku jelaskan pada bab sebelumnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap seorang budak dengan memotong tangannya, sementara nilai budak itu seratus ekor unta, kemudian budak itu dimerdekakan, lalu ada yang melakukan kejahatan lagi terhadapnya setelah ia merdeka, misalnya dengan memotong kakinya, kemudian budak yang telah merdeka itu meninggal dunia akibat dua luka tersebut, maka keduanya (jika pelaku dua orang) wajib membayar diyat orang merdeka. Dan jika pelakunya hanya satu orang yang melakukan kedua kejahatan tersebut, maka dia tetap wajib membayar diyat orang merdeka.

Setengah dari nilai budak (saat masih menjadi budak) menjadi milik tuan yang memerdekakannya, dan sisanya menjadi hak ahli waris korban (yang telah merdeka), selama setengah dari nilainya ketika masih budak itu tidak lebih dari setengah diyat orang merdeka. Jika ternyata melebihi setengah diyat orang merdeka, maka tidak boleh (diberikan lebih dari itu)—wallāhu a‘lam—kecuali dikembalikan nilainya hingga sesuai setengah diyat orang merdeka. Hal ini karena jika diberikan lebih dari setengah diyat, maka berarti kita membatalkan sebagian dari kejahatan yang terjadi setelah ia menjadi merdeka, padahal kematian korban terjadi akibat dua luka itu secara bersama. Maka tidak sah jika tuannya mendapat lebih dari setengah diyat orang merdeka, atau bahkan sama, jika kejadiannya melibatkan dua kejahatan.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika satu orang melakukan kejahatan terhadapnya sebelum ia merdeka dengan memotong tangannya, lalu orang kedua setelah ia merdeka memotong kakinya, dan orang ketiga juga memotong kaki lainnya setelah merdeka, kemudian ia meninggal, maka pelaku pertama wajib membayar sepertiga diyat orang merdeka, karena aku membebankan diyat orang merdeka kepadanya.

Jika orang yang melakukan kejahatan terhadap budak itu hanya satu, lalu budak itu dimerdekakan dan meninggal dunia karena kejahatan yang dilakukan bersama dua orang lainnya, maka ia wajib membayar sepertiga diyat. Dalam hal ini, ada dua pendapat mengenai bagian yang menjadi hak tuan dari diyat korban:

  • Pertama: tuan hanya berhak atas jumlah yang paling sedikit antara setengah dari nilai budak saat masih menjadi budak, atau sepertiga diyat korban. Aku tidak memberinya lebih dari setengah nilai budak, meskipun nilainya sangat kecil, karena tidak ada kejahatan lain yang terjadi saat korban masih menjadi miliknya. Aku juga tidak melebihkan dari sepertiga diyat orang merdeka, meskipun nilai setengah budak mencapai 100 unta, karena nilai tersebut bisa saja berkurang akibat kematian, dan karena porsi pelaku pertama (yang menjahatinya saat masih budak) dari diyat keseluruhan hanya sepertiganya.
  • Kedua: tuan berhak atas nilai yang paling sedikit antara sepertiga nilai budak saat masih menjadi budak atau sepertiga diyat orang merdeka, karena korban meninggal dunia akibat tiga luka dari tiga orang berbeda. Oleh karena itu, aku katakan bahwa pelaku pemotongan tangan hanya menanggung sepertiga diyat orang merdeka, dan ini tidak berubah. Jika korban wafat dalam keadaan masih budak, maka jawabannya tentu berbeda.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula jika yang melakukan kejahatan terhadapnya empat orang, sepuluh orang, atau lebih. Maka pelaku yang melukainya saat ia masih budak dan kemudian korban meninggal dunia setelah merdeka, ditetapkan wajib membayar bagian dari diyat orang merdeka sesuai proporsinya. Tuan korban hanya menerima bagian terkecil dari diyat yang wajib dibayar oleh pelaku saat korban masih budak, atau nilai luka yang dialami korban saat masih budak.

Contohnya, jika luka tersebut dihargai satu unta saat korban masih budak, lalu karena kematian dan status kemerdekaan korban, nilainya menjadi sepuluh unta atau lebih, maka yang diambil tuan korban hanya satu unta—yakni nilai luka tersebut saat masih menjadi miliknya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika dua orang atau lebih melukai korban saat ia masih budak, dan sisanya melukainya saat ia sudah merdeka, maka hukumnya tetap seperti ini.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang memotong tangan seorang budak, lalu tuannya memerdekakan budak tersebut, kemudian budak yang telah dipotong tangannya itu murtad dari Islam, lalu meninggal dunia, maka pelaku wajib membayar setengah dari nilai budak tersebut saat masih menjadi budak, kecuali jika setengah nilai tersebut melebihi diyat orang merdeka Muslim, maka yang wajib dibayar hanyalah diyat orang merdeka Muslim, dan seluruhnya diberikan kepada tuan budak.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Saya memberikan semuanya kepada tuannya karena nilai ganti rugi (arsh) dari luka tersebut adalah hak tuannya sepenuhnya ketika korban masih menjadi budak Muslim yang terjaga darahnya oleh Islam. Ketika budak itu dimerdekakan, dan terjadi tambahan luka (atau kematian), maka seandainya ia wafat dalam keadaan masih Muslim, warisannya adalah diyat orang merdeka. Maka jika diyat orang merdeka itu lebih sedikit dari nilai luka saat ia masih budak, maka nilai luka yang sudah dijanjikan kepada tuan berkurang. Namun ketika ia wafat dalam keadaan murtad, maka hak untuk diyat karena kematiannya menjadi gugur akibat kemurtadan. Maka tidak boleh ada tambahan hukuman (denda) atas luka kedua karena kemurtadan, dan juga tidak boleh melebihi nilai diyat orang merdeka, karena seandainya ia wafat dalam keadaan Muslim pun, ia tidak berhak lebih dari itu

Bab: Kompilasi Hukum Qishash dalam Kasus Luka Selain Pembunuhan

(Imam al-Syafi‘i – raḥimahullāh – berkata):

Allah telah menyebutkan hukum qishash yang diwajibkan kepada Bani Israil dalam Taurat, sebagaimana firman-Nya:

“Dan telah Kami tetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa” (QS. al-Mā’idah: 45)

hingga firman-Nya:

“maka itu menjadi penebus dosa baginya.” (QS. al-Mā’idah: 45)

Diriwayatkan pula dalam hadis:

Dari ‘Umar bahwa ia berkata, “Aku melihat Rasulullah ﷺ memberikan qishash dari dirinya, Abu Bakar pun memberikan qishash dari dirinya, dan aku juga memberikan qishash dari diriku sendiri.”

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa hukum qishash di kalangan umat ini adalah sebagaimana Allah tetapkan dalam Taurat kepada mereka. Saya juga tidak mengetahui adanya perbedaan bahwa qishash diberlakukan antara dua orang Muslim yang merdeka, baik dalam kasus pembunuhan maupun dalam luka-luka yang memungkinkan dilakukannya qishash, asalkan tidak menyebabkan kematian bagi pelaku yang dikenai qishash.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Qishash dalam luka selain jiwa terbagi dua:

  1. Luka (sayatan atau sobekan) yang dibalas dengan luka sejenis.
  2. Anggota tubuh yang dipotong, dibalas dengan pemotongan anggota tubuh yang sepadan.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang melukai kepala orang lain dengan luka jenis muḍiḥah (luka yang menampakkan tulang kepala), maka ukuran balasannya dihitung dari lebar antara dua tanduk (bagian sisi kepala) milik korban dan pelaku. Jika luka korban sepanjang lebar antara dua telinga pelaku, maka ukuran panjangnya juga diperhitungkan dari pangkal rambut kepala hingga ujung telinga, karena kepala adalah satu anggota tubuh yang tidak dipisah dari akar rambutnya. Maka pembalasan luka (qishash) tidak boleh melewati batas bagian kepala.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula setiap anggota tubuh lain, jika akan dilakukan qishash padanya, maka ukuran luka mengikuti bentuk dan jalur luka yang terjadi padanya, dan tidak boleh melampaui bagian tubuh yang lain.

(Beliau berkata):

Apabila pelaku luka (shajj) memiliki lebar antara dua sisi kepala (tanduk) lebih luas daripada korban, dan luka tersebut telah mengenai dua sisi kepala korban, maka korban diberi pilihan: hendaklah pisau diletakkan dari sisi kepala mana pun yang ia kehendaki, kemudian disayat hingga sepanjang luka yang ia alami, meskipun panjang luka tersebut hanya setengah atau sepertiga jarak antara dua sisi kepala pelaku, atau lebih atau kurang—tidak boleh ditambah dari panjang luka aslinya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang melukai kepala orang lain dengan luka muḍiḥah (yang menampakkan tulang kepala), yang panjangnya mencakup dari ujung batas rambut di dahi hingga ujung batas rambut di belakang kepala, maka pelaku dihukum dengan menyayat setengah kepala korban. Korban diberi pilihan, apakah hendak memulai sayatan dari depan wajahnya atau dari belakang kepalanya. Jika pelaku memiliki kepala yang lebih kecil daripada korban, maka pelaku disayat dari wajah ke belakang kepala, dan kelebihan dari luka yang tidak bisa dibalas dengan qishāsh diganti dengan pembayaran arsh (ganti rugi luka). Ini seperti seseorang yang melukai dua orang: satu menuntut qishāsh dan mendapatkan balasan, sementara yang lain hanya menerima ganti rugi karena tidak memungkinkan dilakukan qishāsh padanya.

Jika korban meminta agar sayatan di kepalanya dibuat ulang supaya seluruh panjang lukanya terpenuhi, maka permintaan itu tidak dikabulkan, karena kita sudah mengambil ukuran dari satu sisi kepala tempat luka tersebut terjadi, maka tidak dibolehkan membaginya menjadi dua arah atau memindahkan luka ke bagian yang tidak sepadan. Demikian pula dalam kasus luka di wajah—tidak boleh memasukkan bagian kepala ke dalam hitungan, juga tidak boleh menyatukan lengan atas dan telapak tangan ke dalam hitungan lengan bawah. Kita mengambil dari bagian lengan bawah sesuai dengan luka yang terjadi, dan jika ada kelebihan luka, maka dibayar dengan arsh. Demikian pula betis: tidak digabungkan dengan kaki ataupun paha, karena masing-masing merupakan anggota tubuh yang berbeda.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika luka korban sembuh tetapi sembuhnya tidak sempurna, atau kulit tidak menyatu kembali dengan baik, sedangkan luka pada pelaku sembuh dengan baik dan kulit menyatu rapi, maka korban tidak berhak mendapat kompensasi selain qishāsh saja jika ia memilih qishāsh.

(Beliau berkata):

Jika seseorang melukai orang lain dengan luka bercabang, maka ia dibalas dengan luka yang sama bentuknya, sebagaimana jika ia membuat luka lurus, maka dibalas dengan luka yang lurus pula.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Setiap bentuk qishāsh memiliki batas maksimal sebagaimana telah dijelaskan. Jika seseorang melukai kepala orang lain dengan luka muḍiḥah, maka ukuran qishāsh-nya adalah menyayat antara kulit dan tulang. Jika luka tersebut menyebabkan tulang retak, hancur, bergeser, atau berdarah, lalu korban meminta qishāsh, maka ia tidak dapat dibalas dengan qishāsh dalam bentuk luka hāsimah (yang menghancurkan tulang), munqilah (yang memindahkan tulang), atau ma’mūmah (yang sampai ke selaput otak), karena tidak memungkinkan untuk melakukan pembalasan berupa patah tulang atau menghancurkannya sebagaimana bisa dilakukan dengan luka di kulit dan daging.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula, tidak boleh dilakukan qishāsh atas orang yang mematahkan jari, tangan, atau kaki terhadap luka yang hanya mengenai kulit dan daging saja, karena tidak mungkin dilakukan pembalasan dengan cara mematahkan tulang seperti patahnya tulang korban. Selain itu, orang yang dijatuhi qishāsh akan mengalami luka pada daging dan kulitnya secara berbeda dengan yang dialami oleh korban.

Demikian pula, tidak ada qishāsh bagi orang yang mencabut rambut dari jenggot, kepala, atau alis, meskipun rambut tersebut tidak tumbuh kembali. Tetapi jika ia mencabut rambut tersebut beserta kulitnya, maka para ahli qishāsh berkata: “Jika kalian mampu memotong yang sepadan beserta kulitnya, maka potonglah; jika tidak, maka tidak ada qishāsh dalam hal ini, melainkan hanya dikenakan arsh (ganti rugi luka).”

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang melukai orang lain dengan luka muḍiḥah (menampakkan tulang) lalu menambahkannya dengan luka hāshimah (menghancurkan tulang) atau ma’mūmah (menembus ke selaput otak), lalu korban meminta qishāsh atas muḍiḥah saja dan meminta arsh atas bagian sisanya (yang tidak mungkin dibalas dengan qishāsh), maka ia berhak atas hal tersebut, karena pelaku telah melukainya dengan luka muḍiḥah atau lebih dari itu.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang melukai orang lain dengan luka di bawah muḍiḥah (tidak sampai menampakkan tulang), maka tidak diberlakukan qishāsh atas luka tersebut, karena tidak memiliki batasan ukuran yang pasti. Jika dilakukan pembalasan sesuai dengan kedalaman luka korban, bisa jadi menyebabkan luka muḍiḥah pada pelaku, mengingat ketebalan dan kerapatan kulit serta daging berbeda-beda antara pelaku dan korban. Terkadang, kedalaman lukanya hanya setengah dari ketebalan kepala pelaku atau lebih sedikit, sementara pada korban bisa jadi sudah hampir mencapai muḍiḥah. Dalam hal ini, pelaku hanya diwajibkan membayar arsh (ganti rugi).

Apabila seseorang melukai orang lain dengan luka yang tidak sampai menyebabkan kematian, dan luka itu tergolong qishāsh, atau jika ia memotong anggota tubuh korban, maka hukumnya sama—apapun alat yang digunakan, baik berupa besi, batu, atau alat lain. Bahkan jika ia memelintir telinga korban hingga putus, atau menariknya hingga putus, atau menampar matanya hingga pecah, atau menusuknya dengan kayu hingga buta, atau memukul dengan batu kecil atau tongkat ringan lalu menimbulkan luka muḍiḥah—maka dalam semua kasus ini, pelaku wajib dikenai qishāsh, karena luka-luka semacam ini tidak serupa dengan pembunuhan yang disengaja.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang menampar mata orang lain hingga penglihatannya hilang, maka mata pelaku pun ditampar. Jika hal itu menyebabkan hilangnya penglihatan, maka selesai. Namun jika tidak, maka orang-orang yang ahli dalam bidang medis dipanggil untuk mengusahakan cara paling ringan agar penglihatan pelaku juga hilang.

(Ia berkata):

Jika seseorang menampar mata orang lain hingga penglihatannya hilang, atau mata itu menjadi putih (berpenyakit), atau penglihatan hilang dan bola matanya menonjol keluar, maka para ahli dipanggil. Jika mereka mampu membuat mata pelaku menjadi buta, memutih, atau menonjol keluar seperti mata korban, maka mereka melakukannya. Jika tidak mampu, maka mereka hanya diminta menghilangkan penglihatan semampunya, dan tidak ada tambahan ganti rugi atas cacat fisik tersebut karena hilangnya penglihatan sudah cukup sebagai balasan terhadap semua kerusakan mata yang mungkin dapat dibalas.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Begitu pula jika seseorang memotong tangan atau jari orang lain hingga meninggalkan bekas buruk setelah sembuh, maka tetap diberlakukan qishāsh terhadap pelaku, dan tidak ada ganti rugi tambahan atas bekas luka tersebut. Demikian pula jika terjadi pada telinga atau anggota tubuh lainnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang memukul kepala orang lain dengan satu pukulan yang mengenai bagian tertentu dari kepalanya dan menyebabkan luka muḍiḥah (yang memperlihatkan tulang) di kedua ujungnya namun tidak di tengahnya—atau malah hanya bagian tengahnya saja yang mengalami muḍiḥah sementara kedua ujungnya tidak—maka balasannya (qishāsh) dilakukan sesuai bagian yang mengalami muḍiḥah, dan bagian yang tidak jelas balasannya diganti dengan arsh (ganti rugi luka). Wallāhu a‘lam.

[Cabang Pembahasan Qishāsh pada Luka di Bawah Hukuman Mati]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Qishāsh itu mencakup dua jenis:

  1. Pemotongan anggota tubuh (ṭarf)
  2. Luka yang mengeluarkan darah (jarḥ).

Tidak ada qishāsh dalam pemotongan anggota tubuh jika dilakukan pada selain sendi (persendian), karena tidak memungkinkan untuk memotongnya selain dari persendiannya tanpa menimbulkan kerusakan yang menyebar ke bagian lain.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Setiap nyawa yang dibunuh dengan nyawa, jika sang pembunuh berstatus layak dibalas, maka berlaku pula qishāsh terhadap luka di bawah pembunuhan.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Aku memberikan hak qishāsh bagi laki-laki terhadap perempuan, dan perempuan terhadap laki-laki, tanpa ada kelebihan pembayaran antara keduanya. Begitu pula budak, berlaku qishāsh sesama mereka, walaupun harga mereka berbeda.

Jika seorang budak, orang merdeka, atau kafir melukai seorang muslim, maka korban boleh meminta qishāsh darinya jika dia mau, karena seandainya ia membunuhnya pun, dia pasti dibunuh (dengan qishāsh). Tetapi jika seorang muslim merdeka melukai atau membunuh orang kafir atau budak, maka tidak ada qishāsh atasnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Qishāsh pada anggota tubuh berlaku dengan nama masing-masing, bukan dengan perbandingan fungsi antar anggota. Maka tangan dibalas dengan tangan, kaki dengan kaki, telinga dengan telinga, hidung dengan hidung, mata dengan mata, gigi dengan gigi—karena semuanya adalah anggota tubuh yang dapat dibalas dengan jelas.

Baik anggota tubuh pelaku lebih bagus dari korban, atau sebaliknya, hal itu tidak mempengaruhi pelaksanaan qishāsh. Sebab yang hilang adalah satu anggota, sebagaimana hilangnya nyawa, yang dianggap setara berdasarkan kehidupan dan status sebagai manusia. Begitu pula anggota tubuh dianggap setara berdasarkan nama dan jumlah, bukan berdasarkan nilai atau kegunaan.

Jika seseorang memotong hidung, telinga, atau mencabut gigi orang lain sehingga benar-benar terlepas, lalu orang yang menjadi korban itu menempelkannya kembali menggunakan darahnya atau menjahit hidung atau telinga, atau menyambung giginya dengan emas atau benda lain sehingga dapat menempel kembali, kemudian ia menuntut qishāsh (balasan setimpal), maka ia berhak atas qishāsh itu. Sebab, hak qishāsh telah tetap baginya karena pemotongan yang telah terjadi.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika korban tidak berhasil menyambungnya kembali, atau mencoba menyambung namun tidak berhasil, lalu pelaku dijatuhi hukuman qishāsh dan ia (pelaku) berhasil menyambung bagian tubuhnya kembali dan menempel secara permanen, maka tidak ada tambahan hukuman atas pelaku selain dari satu kali pemisahan (qath‘/penghilangan) yang telah dilakukan.

Jika korban datang kepada hakim dan meminta agar pelaku dipotong untuk kedua kalinya, maka hakim tidak memenuhi permintaan itu sebagai bagian dari hukuman qishāsh, karena qishāsh sudah dilaksanakan sekali. Kecuali jika ia memotong bagian itu karena pelaku telah menempelkan bagian tubuh yang tidak hidup (misalnya daging mati).

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika ia menyambung bagian tubuh tersebut menggunakan darahnya sendiri, maka aku tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang tercela baginya. Jika yang menyambung adalah pelaku, atau korban, maka masing-masing dari mereka tidak memiliki hak menuntut satu sama lain atas tindakan menyambung itu, apakah berhasil atau gagal.

Bagian Kedua dari Qishāsh: Luka yang Membuka (Mengoyak)

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jenis kedua dari qishāsh adalah luka yang membuka atau mengoyak. Maka pembalasan terhadap luka seperti ini dilakukan berdasarkan panjang luka, bukan dari ujung anggota tubuh atau ujung luka yang luka aslinya.

Jika seseorang memotong anggota tubuh orang lain yang sebagian dari bagian itu tidak berfungsi karena lumpuh atau mati, seperti memotong tangan yang dua jarinya lumpuh, atau tangan yang sudah terpotong sebagian sebelumnya, maka:

  • Jika pelaku tidak memotong dua jari lumpuh dari tangannya sendiri ketika dibalas, dan hanya tangannya yang dipotong, maka itu tidak seimbang meskipun pelaku ridha.
  • Jika korban meminta agar tiga jari pelaku dipotong dan ia menerima kompensasi atas telapak tangan dan dua jarinya yang tersisa (yang tidak dipotong), maka hal itu dibolehkan.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika pelaku pemotongan adalah orang yang kedua jarinya lumpuh (ashall) dan yang menjadi korban adalah orang yang tangannya sempurna, maka pihak yang berhak menuntut qishāsh diberi pilihan:

  • Memotong tangan pelaku sebagai balasan, dan tidak berhak atas hal lain; atau
  • Memotong tiga jari tangan pelaku dan menuntut ganti rugi (arsh) untuk dua jari lumpuh tersebut.

Aku tidak memberinya selain pilihan tersebut jika pelaku hanya memotong telapak tangan korban, karena jari-jari yang lumpuh masih menyumbang nilai estetika dan mengisi tempatnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika pelaku adalah orang yang kehilangan dua jarinya (bukan lumpuh tapi benar-benar terpotong), maka dipotonglah telapak tangannya dan untuk korban yang tangannya terpotong seluruhnya diberikan kompensasi atas dua jarinya yang utuh.

Jika seseorang kehilangan semua jarinya kecuali satu, lalu ia memotong satu jari orang lain, maka ia tetap dibalas dengan pemotongan jari tersebut.

Dan jika ia memotong telapak tangan orang lain, maka korban berhak untuk mendapatkan qishāsh pada telapak tangan, dan juga kompensasi atas empat jari yang terpotong.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika korban hanya memiliki satu jari yang utuh, dan seseorang memotong seluruh telapak tangannya, maka korban hanya dapat menuntut qishāsh atas satu jari, serta menerima kompensasi atas bagian telapak tangan yang lain.

Jika korban kehilangan satu jari saja, lalu pelaku memotong seluruh telapak tangan korban, maka korban dapat membalas dengan memotong empat jari pelaku dan menerima kompensasi atas sisa telapak tangannya yang tidak dibalas. Namun, kompensasi atas telapak tangan tersebut tidak boleh melebihi nilai diyat satu jari, karena telapak tangan hanyalah pelengkap bagi kelima jari, dan semuanya bernilai setara. Maka kompensasinya tidak boleh menyamai nilai satu jari pun.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang memiliki lima jari, lalu telapak tangannya dipotong oleh seseorang yang memiliki enam jari, maka korban tidak berhak melakukan qishāsh atas seluruh tangan pelaku, karena pelaku memiliki satu jari tambahan dibanding korban.

Sebaliknya, jika orang yang memiliki enam jari adalah korban dan pelaku hanya memiliki lima jari, maka korban dapat melakukan qishāsh (memotong tangan pelaku), dan untuk jari tambahan yang hilang darinya, ia menerima kompensasi (ḥukūmah). Namun, nilai kompensasi untuk jari tambahan itu tidak boleh menyamai diyat satu jari, karena jari keenam dianggap sebagai kelebihan dari ciptaan (tidak standar).

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Seandainya ada seseorang yang memiliki lima jari: ibu jari, telunjuk, jari tengah, jari manis, tetapi tidak memiliki jari kelingking, melainkan memiliki satu jari tambahan di tempat lain selain posisi kelingking, lalu seorang laki-laki yang memiliki tangan sempurna memotong tangannya, maka jika ia (yang tangannya dipotong) meminta qishāsh, tidak diberlakukan qishāsh, karena meskipun jumlah jarinya sama, ia memiliki satu jari tambahan yang bukan pada posisi normal, sedangkan pelaku kehilangan satu jari alami (yaitu kelingking).

Namun, jika pihak yang tangannya dipotong meminta qishāsh, maka ia berhak mendapatkannya, karena yang diminta (tangan pelaku) kurang dari yang diambil darinya. Tetapi jika ia meminta qishāsh disertai ganti rugi (arsh), maka tidak dikabulkan; karena ia telah mendapatkan qishāsh dengan jumlah yang setara, walaupun kualitas jari yang dipotong lebih rendah.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang kehilangan satu ruas jari atau beberapa ruas dari jari-jarinya, lalu ia memotong tangan orang yang jari-jarinya utuh, dan kemudian orang yang tangannya terpotong meminta qishāsh disertai arsh, maka ia berhak mendapatkannya. Sebab, kehilangan ruas jari setara dengan kehilangan jari dalam penghitungan.

Namun, jika yang kehilangan ruas jari adalah orang yang tangannya terpotong, lalu ia meminta qishāsh, maka tidak dikabulkan, karena jari-jarinya kurang dari jari-jari pelaku.

Jika tidak ada di antara keduanya yang kehilangan ruas jari, tetapi salah satunya memiliki kuku hitam, atau kuku kasar, atau tangannya memiliki luka lepra, atau borok memakan jaringan, selama tidak menghilangkan bagian anggota tubuh atau tidak membuatnya lumpuh, maka tetap diperbolehkan qishāsh atas seluruh bagian tersebut. Cacat-cacat tersebut tidak mencegah qishāsh dan tidak pula mengurangi diyat (kompensasi darah).

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula halnya dengan jari yang terbuka, berbentuk tidak sempurna, terpuntir, terlalu pendek atau terlalu panjang, atau bergerak tidak terkontrol—selama cacat tersebut tidak menyebabkan kematian atau tidak menunjukkan kehilangan bagian tubuh, maka semua jari itu tetap diperlakukan sama dalam diyat dan qishāsh apabila masih dalam kisaran bentuk tangan manusia pada umumnya.

Jika seorang Muslim merdeka memukul tangan Muslim merdeka lainnya hingga terputus dari pergelangan tangan, lalu orang yang tangannya terputus meminta qishāsh, disukai untuk tidak segera memberlakukan qishāsh sampai luka tersebut sembuh, karena dikhawatirkan menyebabkan kematian.

Tetapi jika ia meminta qishāsh sebelum sembuh, maka boleh dilaksanakan. Saat pelaksanaan, dipanggil seseorang yang mahir dalam memotong, lalu diminta memotong dengan cara yang paling ringan dan segera ditutup lukanya (diseterika atau dibalut) jika korban menghendaki. Demikian pula jika pemotongan terjadi di bagian siku atau bahu, atau jika hanya memotong satu jari atau satu ruas jari—semuanya tidak berbeda dalam perlakuannya.

 

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Aku tidak memberlakukan qishāsh untuk tangan kanan dibalas dengan tangan kiri, atau jari kelingking dibalas dengan jari selain kelingking, baik dari tangan atau kaki. Demikian pula, jika seseorang memotong kaki orang lain dari sendi mata kaki atau sendi lutut, maka qishāsh dilaksanakan dari sendi yang sama.

Namun, jika ia memotong kaki dari sendi pangkal paha (sendi pinggul), aku akan bertanya kepada orang-orang yang ahli dalam hal pemotongan:

“Apakah kalian mampu memotong dari sendi pangkal paha tanpa menyebabkan luka dalam (jahfah) yang mematikan?”

Jika mereka menjawab, “Ya,” maka aku akan melaksanakan qishāsh dari sendi tersebut.

Demikian pula, jika ia mencabut lengan beserta bahunya, maka aku akan membalas dengan mencabut bahunya juga, jika para ahli menyatakan bahwa hal itu bisa dilakukan tanpa melampaui batas.

Namun, jika ia memotong tangan dari atas sendi atau memotong kakinya atau salah satu jari dari atas ruas pertama, lalu korban meminta qishāsh, maka dikatakan kepadanya:

“Jika kamu meminta dari titik yang sama seperti yang dipotong oleh pelaku, maka tidak diberlakukan qishāsh, karena bukan dari sendi. Pemotongan seperti ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan satu tebasan kuat, di mana si pemotong mengangkat tangannya tinggi-tinggi.”

Dan bila itu dilakukan, tidak bisa dipastikan bahwa tebasan itu mengenai sasaran persis seperti yang diterima oleh korban. Bahkan bisa jadi tidak terpotong dalam satu tebasan, atau tulang malah retak, yang menyebabkan kerusakan lebih besar daripada yang diderita korban.

Kalaupun korban berkata, “Kalau begitu, turunkan sedikit saja agar setara dengan kerusakan yang aku terima,” tetap tidak dikabulkan. Karena tebasan mungkin tidak sempurna dalam satu kali atau bahkan dalam beberapa kali. Bila tulangnya patah, maka itu sudah termasuk penyiksaan, dan lebih parah dari yang diterima korban.

Namun, jika korban meminta:

“Potonglah tangannya dari sendi, dan berikan saya kompensasi (ḥukūmah) atas kelebihan luka di atas pergelangan,”

maka kami akan melakukan itu.

Jika ditanya:

“Kenapa engkau menempatkan pisau bukan di tempat asal potongan pelaku dulu?”

Aku katakan:

“Ya, karena itu lebih ringan bagi pelaku, dan bukan tempat yang mematikan, serta tidak aku rusakkan apa pun kecuali setara bahkan kurang dari yang dilakukan pelaku.”

Demikian pula untuk kaki dan jari:

  • Jika jari dipotong dari atas ruas pertama, maka tidak ada qishāsh, dan hanya diberikan kompensasi atas bagian ruas yang hilang.
  • Jika tangan dipotong dari tengah telapak tangan, atau kaki dari tempat serupa, dan ikut terpotong juga jari-jari, lalu korban meminta qishāsh untuk jari-jari saja, maka diperbolehkan.
  • Tetapi jika korban meminta qishāsh untuk bagian tulang yang di atas jari-jari itu, maka tidak dikabulkan, seperti yang telah aku jelaskan sebelumnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang membelah telapak tangan hingga mencapai sendi, lalu korban meminta qishāsh, maka aku akan bertanya kepada ahli:

“Apakah kalian bisa membelahnya seperti itu juga?”

Jika mereka menjawab bisa, maka aku memberlakukan qishāsh berupa sayatan seperti itu, dan aku anggap seperti sayatan di kepala dan anggota tubuh lainnya.

Demikian pula, jika pelaku membelahnya sampai sendi, lalu memotong dari sendi itu sehingga sebagian tangan masih tersisa dan sebagian terpotong, maka bagian yang dibelah akan dibalas dengan qishāsh sayatan, dan bagian yang dipotong dari sendi akan dibalas dengan potongan serupa.

Dan jika seseorang memotong satu jari orang lain, lalu luka itu menjalar ke seluruh telapak tangan hingga seluruhnya terlepas, kemudian korban menuntut qishāsh, maka dikatakan kepadanya:

“Qishāsh hanya dilakukan sepadan dengan potongan yang dilakukan pelaku atau kurang darinya, tidak boleh lebih.”

Maka dikatakan:

“Jika engkau menghendaki, kami akan memotong pelaku dari jari yang sama, dan memberikan kompensasi (arsh) untuk telapak tangan, yaitu sebesar 9/10 dari diyat telapak tangan (karena 1/10 telah dibalas melalui potongan jari).

Namun jika engkau tidak ingin qishāsh atas jari itu, maka engkau akan mendapat diyat penuh untuk telapak tangan.”

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang memotong jari orang lain sebagaimana dijelaskan, lalu korban menuntut qishāsh saat itu juga (sebelum tangan membusuk atau jatuh), maka qishāsh boleh dilakukan langsung.

Tetapi jika setelah jari itu dipotong lalu telapak tangan ikut membusuk dan lepas, maka pelaku dikenai diyat sebesar 4/5 dari diyat telapak tangan, karena 1/5 telah dihitung sebagai balasan dari jari yang sudah dibalas lewat qishāsh.

Namun, jika yang mati dan kehilangan tangan justru adalah pelaku yang dipotong sebagai balasan, maka diyat korban tetap dibayarkan secara penuh, tidak dikurangi sedikit pun, karena pelaku bertanggung jawab penuh atas akibat perbuatannya, sementara kematian pelaku adalah akibat dari proses hukum yang sah (yaitu qishāsh), bukan tindak pidana.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang memotong separuh telapak tangan orang lain dari sendi, lalu luka tersebut menjalar dan menyebabkan seluruh telapak tangan terlepas, lalu korban menuntut qishāsh, maka para ahli qishāsh ditanya:

“Apakah kalian mampu memotong setengah telapak tangan dari sendi, tanpa menambahkan potongan lainnya?”

Jika mereka menjawab, “Ya,” maka kami katakan:

“Potonglah dari sisi yang sama seperti potongan pelaku, lalu biarkan,” dan kepada korban diberikan kompensasi sebesar 25 ekor unta, yaitu setengah diyat tangan, sebagai tambahan atas potongan separuh tangannya.

Begitu juga, jika potongan dilakukan hingga tangan hanya tergantung pada kulit, lalu korban tetap menuntut qishāsh, maka kami memberlakukan qishāsh dan membiarkan tangan pelaku tergantung di kulit, sesuai dengan kondisi luka korban.

Namun jika pelaku qishāsh berkata, “Potonglah seluruhnya agar sembuh,” maka tidak ada larangan bagi tabib untuk menyempurnakan pemotongan demi maslahatnya.

Jika seseorang memotong tangan orang lain, lalu kami laksanakan qishāsh padanya, kemudian pelaku meninggal sebelum sembuh dari luka qishāsh, lalu ada saksi yang menyatakan bahwa kematiannya disebabkan luka qishāsh tersebut, dan ahli warisnya menuntut qishāsh atas kematian, maka kami berikan hak mereka: pelaku qishāsh dihukumi sebagai pembunuh, karena telah menyebabkan kematian.

Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang memotong tangan dan kaki korban lalu korban mati di tempat, atau menyembelih korban, maka kami biarkan ahli warisnya untuk melaksanakan qishāsh penuh, bahkan menyembelih pelaku?

Karena penyembelihan merupakan penghilangan nyawa secara utuh, maka dipersilakan ahli waris untuk melaksanakan bentuk pembalasan tersebut.

(Beliau berkata): Jika seseorang memotong kemaluan seseorang dari pangkalnya lalu korban meminta qishāsh, maka kemaluan pelaku dipotong dari pangkalnya juga.

(Imam al-Syafi’i berkata): Qishāsh berlaku atas pemotongan kemaluan laki-laki jika pelaku memotong kemaluan anak kecil, orang tua renta yang sudah tidak mampu berhubungan, atau memotong kemaluan orang yang dikebiri, maka tetap dipotong, karena semua itu adalah anggota tubuh yang sempurna bagi pemiliknya.

Dan jika pelaku memotong testis laki-laki yang masih utuh terhadap testis orang yang dikebiri tanpa saluran sperma, maka tetap dipotong pula, karena keduanya sama-sama bagian tubuh.

Kemaluan laki-laki yang belum disunat dipotong sebagai qishāsh atas kemaluan yang telah disunat, dan sebaliknya, yang telah disunat dipotong sebagai qishāsh atas yang belum disunat.

Jika seseorang memotong salah satu testis seseorang, sedangkan testis yang lain masih utuh, lalu korban meminta qishāsh, maka para ahli qishāsh ditanya: jika memungkinkan untuk memotong satu testis tanpa merusak testis lainnya, maka dipotonglah satu testis sebagai qishāsh. Jika testis itu dipotong bersama kulitnya, maka dipotong pula dengan kulitnya. Jika dipotong dengan cara disayat keluar (dikeluarkan), maka dilakukan pula hal yang sama terhadap pelaku.

Jika seseorang memotong separuh kemaluan seseorang, lalu kemaluan pelaku diukur dan didapati kurang dari separuh atau lebih panjang dari kemaluan korban, maka qishāsh tetap dilakukan dengan memotong separuh kemaluan pelaku, selama bisa dilakukan tanpa mengakibatkan kebinasaan (kematian), dan korban tidak mendapat apa pun selain itu. Karena ini adalah anggota tubuh, bukan luka biasa yang diukur dengan panjang jengkal.

Jika seseorang memotong salah satu sisi kemaluan seseorang, maka dipotong pula dari sisi yang sama dari kemaluan pelaku, jika memungkinkan.

(Imam al-Syafi‘i –  -): Qishāsh juga dilakukan dari kemaluan yang dapat ereksi terhadap yang tidak dapat ereksi, selama kemaluan korban tidak mengalami kelumpuhan yang membuatnya tidak bisa menegang atau melemas, atau tidak patah yang membuatnya tidak berfungsi. Jika memang seperti itu (tidak berfungsi), maka tidak dilakukan qishāsh terhadap pelaku yang kemaluannya masih sehat.

Jika seseorang memotong hidung seseorang dari bagian lunaknya (mārn), maka hidung pelaku juga dipotong dari bagian lunak. Tidak dipandang apakah hidung pelaku lebih besar atau lebih kecil, karena ia adalah anggota tubuh.

Jika pelaku hanya memotong sebagian dari bagian lunak hidung, maka dipotong dari pelaku seukuran bagian yang terpotong, misalnya jika setengah dari lunak hidung yang dipotong, maka pelaku juga dipotong setengah dari bagian lunaknya.

Ukuran potongannya tidak ditentukan dengan jengkal, sebagaimana telah dijelaskan dalam kasus kemaluan dan anggota tubuh lainnya.

Jika seseorang memotong salah satu sisi hidung, maka dipotong pula dari pelaku satu sisi hidung.

Jika seseorang memotong hidung dari bagian tulang, maka tidak ada qishāsh pada tulang, tetapi jika korban ingin, maka dilakukan pemotongan bagian lunak (mārn), dan diberikan tambahan kompensasi (ḥukūmah) atas bagian tulang yang terpotong.

(Imam al-Syafi’i berkata): Hidung orang yang sehat dipotong sebagai qishāsh atas hidung penderita lepra (ajdzam), selama hidungnya belum jatuh atau bagian dari hidungnya belum hilang. Demikian juga tangannya dipotong jika masih utuh, walaupun terdapat luka lepra di dalamnya, selama jari-jarinya belum hilang sebagian atau seluruhnya.

Telinga dibalas dengan telinga, dan telinga orang yang sehat dibalas dengan telinga orang tuli. Tidak ada kelebihan antara keduanya, karena keduanya adalah anggota tubuh dan tidak ada pendengaran di dalamnya. Jika yang dipotong hanya sebagian telinga, maka dipotong juga sebagian dari telinga pelaku sebagaimana dijelaskan: jika dipotong setengah atau sepertiga, maka dibalas pula dengan setengah atau sepertiga. Sama saja apakah telinga pelaku lebih besar atau lebih kecil dari telinga korban, karena ia adalah anggota tubuh (ṭarf).

Telinga yang sehat dan tidak berlubang dapat dipotong sebagai qishāsh terhadap telinga yang memiliki lubang untuk anting atau hiasan, selama lubangnya tidak merusak telinga. Namun jika telinga rusak oleh lubang itu hingga robek, maka tidak dibalas dengannya. Dalam hal ini, orang yang telinganya robek boleh memilih: jika ia mau, dipotongkan telinga pelaku sesuai ukuran telinga korban sampai batas kerusakan, dan sisanya diberikan kompensasi (diya); dan jika ia tidak mau, maka ia mendapat kompensasi saja. Jika telinga itu dipotong ketika sudah berlubang, maka tidak ada qishāsh karena lubang itu dianggap sebagai perhiasan, bukan cacat atau luka.

Jika seseorang mencabut gigi seseorang yang sudah tumbuh (ṭhalaʿa), maka gigi pelaku dicabut. Jika gigi korban belum tumbuh, maka tidak dilakukan qishāsh sampai giginya tumbuh sepenuhnya dan tidak tumbuh lagi setelah dicabut. Jika telah sempurna tumbuhnya namun tidak tumbuh kembali, maka ditanyakan kepada ahli medis tentang batas waktu normal tumbuhnya. Jika lewat batas dan tidak tumbuh lagi, maka dilakukan qishāsh. Tapi jika sebagian giginya tumbuh kembali, maka tidak ada qishāsh, dan dia hanya mendapatkan kompensasi sesuai seberapa kurang tumbuhnya.

Jika yang dicabut adalah gigi tambahan (zā’idah), atau jari tambahan, atau semacam daging tambahan di bawah telinga (zanmah), lalu pelaku memotongnya, dan korban meminta qishāsh, maka tidak ada qishāsh, tetapi diberikan kompensasi (ḥukūmah). Namun jika pelaku juga memiliki bagian tambahan tersebut, maka berlaku qishāsh, baik itu gigi, jari, atau daging tambahan.

Begitu juga jika seseorang memiliki jari yang bercabang dua di ujungnya, lalu salah satu cabangnya dipotong, maka tidak ada qishāsh dan hanya ada kompensasi—kecuali jika pelaku juga memiliki jari yang sama, maka dilakukan qishāsh.

Jika seseorang memotong jari orang lain yang memiliki dua cabang atau ruas jari, dan pelaku tidak memiliki bentuk seperti itu, maka korban berhak mendapat qishāsh dan tambahan kompensasi, kecuali jika kedua cabang itu tidak berfungsi (mati), maka tidak berlaku qishāsh.

Namun jika pelaku memiliki bentuk jari yang sama dan tidak mati, maka dilakukan qishāsh tanpa kompensasi. Jika jari pelaku memiliki dua cabang sedangkan jari korban hanya satu, maka tidak ada qishāsh, karena jari pelaku lebih besar (lebih sempurna) daripada jari korban.

[Perintah Hakim dalam Pelaksanaan Qishāsh]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Sudah sepantasnya bagi seorang hakim untuk memilih seseorang yang terpercaya dalam pelaksanaan qishāsh. Ketika ia memerintahkannya, ia harus menghadirkan dua orang adil dan berakal, lalu memerintahkan keduanya untuk memeriksa alat tajam yang akan digunakan. Janganlah qishāsh dilaksanakan kecuali dengan alat tajam yang diasah dan disiram air (agar benar-benar tajam), agar tidak menyiksa orang yang dikenai qishāsh.

Sebaiknya hakim memerintahkan orang yang akan melaksanakan qishāsh untuk menandai pisaunya agar tidak menyalahgunakannya dengan menyisipkan racun yang dapat membunuh atau melumpuhkan orang yang dikenai qishāsh. Demikian juga, pisau itu tidak boleh cacat, tumpul, atau bengkok, yang menyebabkan proses pemotongan lambat, terutama di kepala atau wajah, yang dapat menyiksa.

Hakim juga perlu memerintahkan kepada dua orang adil tersebut jika qishāsh dilakukan di bagian tubuh yang berambut seperti wajah atau kepala, agar rambutnya dicukur terlebih dahulu, lalu luka korban diukur panjang dan lebarnya, dan ukuran itu diaplikasikan di kepala pelaku, lalu diberi tanda dengan tinta atau semacamnya. Kemudian pelaksana qishāsh diarahkan untuk membelah sesuai dua tanda itu, agar luka itu sama panjang dan dalamnya seperti luka korban.

Jika pembelahan satu kali lebih mudah, maka dilakukan sekaligus. Jika lebih mudah dilakukan bertahap, maka dilakukan secara bertahap. Jika satu kali lebih mudah, maka dilakukan sekali tarik. Namun jika dikhawatirkan berlebihan, maka diarahkan agar melenceng sedikit dari tepi ke arah yang lebih aman, dan saat mendekati ujung luka, tangannya diperlambat agar tidak melewati batas.

Jika pelaksanaan qishāsh dilakukan sedangkan bagian tubuh pelaku masih berambut, maka itu merupakan kesalahan, tapi tidak ada kewajiban apa pun atas pelaksana, yang dimaksud adalah rambut kepala atau janggut. Adapun jika qishāsh dilakukan pada bagian tubuh berbulu ringan yang tidak menghalangi penglihatan, maka mencukurnya lebih aku sukai, dan bila tidak dicukur, tidak mengapa insya Allah. Namun jika bulunya lebat, maka harus dicukur.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Pelaku qishāsh harus memastikan pelaku kejahatan diposisikan dengan baik dan tidak bergerak, agar alat tajam tidak meleset. Jika pengikatan tidak kuat atau dipegang oleh orang yang tidak sanggup, lalu si pelaku bergerak saat pisau diletakkan di kepalanya dan menyebabkan alat tajam meleset ke tempat lain, maka itu tidak menjadi beban pelaksana qishāsh, sebab dia tidak melewati batas qishāsh, dan kesalahan itu akibat gerakan dari pelaku qishāsh sendiri.

Dalam hal ini, pelaksana qishāsh mengulangi kembali pada tempat yang semestinya, baik dengan mengiris atau memotong hingga sampai ke lokasi luka sebenarnya. Jika qishāsh dilakukan berupa luka, maka dilakukan dalam satu majelis, luka demi luka.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika lukanya terpisah-pisah atau dilakukan oleh beberapa orang, begitu pula jika qishāsh berupa potongan atau gabungan keduanya (luka dan potongan), maka tidak dipotong hingga menyebabkan kematian, kecuali jika pelaksanaan qishāsh dalam satu waktu dapat membahayakan jiwa pelaku, maka hanya diambil sebagian dulu yang tidak membahayakan, kemudian pelaku ditahan hingga sembuh, lalu sisanya dilaksanakan. Jika ia mati sebelum sisanya dilaksanakan, maka sisanya diganti dengan diyat dari hartanya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang melukai orang lain dan juga membunuhnya, maka ia dikenai qishāsh atas luka terlebih dahulu, yang pertama dulu baru yang lainnya, sesuai urutan dan kondisi luka, selama tidak dikhawatirkan akan menyebabkan kematian (bila langsung dilakukan). Jika luka yang dikenai qishāsh itu termasuk yang membahayakan jiwa, maka diambil satu persatu sesuai kemampuan, lalu dilakukan qishāsh. Jika si pelaku mati sebelum pelaksanaan qishāsh selesai, maka ia telah membinasakan dirinya sendiri, dan ahli waris korban tidak punya hak menuntut diyat dari harta pelaku, karena ia yang menyebabkan kematian dirinya.

Namun jika luka yang diderita korban dan pembunuhan itu menimpa dua orang yang berbeda, maka dimulai dari luka, dan qishāsh dilaksanakan sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada luka-luka yang tidak sampai menyebabkan kematian; yaitu dilakukan dalam satu waktu, selama tidak membahayakan. Jika ada bagian luka yang masih tersisa dan tidak membahayakan, maka pelaku ditahan hingga sembuh dan qishāsh dilanjutkan. Jika ia mati sebelum dilaksanakan, ada pendapat bahwa sisa luka dan hak atas nyawa tetap diganti dengan diyat dari hartanya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika luka-luka itu tidak menyebabkan bahaya besar, maka semua luka diqishāsh terlebih dahulu, lalu pelaku diserahkan kepada ahli waris korban untuk dibunuh jika mereka menghendaki.

Jika pelaku langsung diserahkan kepada ahli waris korban untuk dibunuh sebelum qishāsh atas luka dilakukan, maka luka-luka itu diganti dengan diyat dari hartanya, dan tidak gugur hak ahli waris untuk menuntutnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang hanya melakukan luka-luka, bukan pembunuhan, lalu dilaksanakan qishāsh atas sebagian luka dan kemudian pelaku mati, maka ia wajib membayar diyat dari sisa luka yang belum diqishāsh.

Jika seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing memiliki hukuman hudūd, seperti: zina sebagai muhsān (harus dirajam), qazf (tuduhan zina), pencurian (yang dipotong tangan), merampok (yang dipotong tangan dan kaki atau dibunuh), serta membunuh seseorang, maka dimulai dengan hak-hak manusia yang tidak mengandung hukuman mati, lalu hak-hak Allah yang tidak mengandung hukuman mati, dan hukuman mati diletakkan di akhir.

Jadi pertama, ia dicambuk atas qazf, lalu ditahan sampai sembuh. Kemudian ia dirajam karena zina, lalu ditahan hingga sembuh, kemudian dipotong tangan kanannya karena pencurian dan perampokan, lalu kaki kirinya karena perampokan. Setelah itu, baru dihukum mati karena qatl (pembunuhan) atau riddah (kemurtadan). Jika ia mati di tengah pelaksanaan hudūd (misalnya setelah cambukan atau rajam), maka hudūd lainnya gugur darinya.

Jika ia pembunuh dan mati sebelum dibunuh sebagai qishāsh, maka wajib diyat atas jiwanya. Begitu juga jika hanya melukai dan belum sempat dihukum, maka diyat luka tetap wajib. Karena diyat luka dan qatl adalah hak materiil, sedangkan hadd qazf dan pencurian tidak mengandung hak harta sedikit pun.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika yang membunuhnya adalah imam (penguasa) karena qatl atau riddah (bukan setelah pelaksanaan seluruh hudūd), maka ia bersalah, dan seluruh hudūd gugur darinya, sebab pelaku sudah mati dan hudūd bukan hak harta.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Aku menghimpun seluruh hudūd atasnya karena masing-masing adalah kewajiban yang harus ditegakkan, dan tidak boleh meninggalkan satu kewajiban hanya karena ada kewajiban lain yang lebih besar atau lebih kecil, selama masih mungkin dilaksanakan. Demikian pula hak-hak manusia harus diambil semuanya selama mampu dilaksanakan.

Jika orang yang dikenai qishāsh sedang sakit dan tidak dijatuhi hukuman mati, maka tidak dilaksanakan qishāsh atasnya sampai ia sembuh. Jika ia sembuh, barulah dilaksanakan qishāsh.

Demikian pula semua ḥadd (hukuman syar‘i) yang wajib dijatuhkan kepada seseorang karena hak Allah ‘Azza wa Jalla atau yang diwajibkan oleh Allah untuk manusia—maka jika si pelaku sakit dan ia dikenai hukuman mati karena membunuh (jiwa), baik yang dibunuh itu sakit maupun sehat, tetaplah ia dihukum mati. Namun jika ia hanya melukai dan korban meninggal karena luka tersebut, maka pelaku dikenai qishāsh untuk luka dan jiwa sekaligus dalam satu waktu, karena aku menunda pelaksanaan qishāsh dalam perkara selain jiwa untuk menghindari risiko kematian karena penyakit; tetapi jika memang qishāsh-nya adalah karena membunuh, maka aku tidak menundanya hanya karena pelaku sedang sakit.

Demikian pula keadaannya jika pelaksanaan qishāsh berada di negeri yang sangat dingin atau panas, atau pada waktu yang sangat dingin atau panas. Jika qishāsh itu bukan pada nyawa, maka pelaksanaannya ditunda hingga suhu ekstrem itu reda dan pelaksanaan dilakukan pada waktu yang tidak membahayakan dan tidak terlalu berbeda dari keadaan umum. Maka hukum kondisi panas dan dingin ini seperti hukum orang sakit: jika mengenai nyawa, tetap dilaksanakan; jika bukan, maka ditunda.

Laki-laki dan perempuan dalam hal ini sama, kecuali jika perempuan tersebut sedang hamil, maka tidak boleh dilaksanakan qishāsh atau hudūd atasnya sampai ia melahirkan kandungannya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika qishāsh dijatuhkan pada seluruh jari tangan atau sebagian dari jari tangan seseorang, lalu ia berkata: “Potong saja tanganku!” dan pihak korban menyetujui, maka hal itu tidak diterima; tidak boleh dipotong kecuali sesuai dengan bagian yang dia potong dahulu. Aku tidak menerima kesepakatan keduanya atas ketidaktepatan ini, karena itu termasuk ‘udwān (kezaliman).

Dan jika seseorang memotong tangan orang lain yang lumpuh (tidak berfungsi), sementara tangan si pelaku masih sehat, lalu keduanya sepakat agar tangan pelaku yang sehat dipotong sebagai balasan, maka aku tidak akan melakukannya hanya berdasarkan persetujuan mereka. Aku akan menjatuhkan ḥukūmah (ganti rugi) saja.

Sebaliknya, jika tangan korban sehat dan tangan pelaku yang lumpuh, maka korban mendapatkan arsh (ganti rugi) karena adanya kekurangan nilai tangan pelaku dibanding tangannya.

Jika korban merelakan tangannya dipotong sebagai balasan, tetapi si pelaku tidak rela, maka aku akan bertanya kepada para ahli medis: apakah memotong tangan yang lumpuh lebih berisiko menyebabkan kematian dibanding tangan yang sehat? Jika mereka menjawab: “Ya,” maka aku tidak akan melakukannya dalam keadaan apa pun. Namun jika mereka berkata: “Risikonya sama saja dengan memotong tangan yang sehat,” maka aku akan tetap memotongnya, tanpa mempedulikan kesulitan atau beban pelaksanaan qishāsh pada pelaku atau pada korban, selama tindakan pemotongan bisa dilakukan secara akurat tanpa melebihi batas.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila orang yang lumpuh (tangannya) rela dipotong, maka aku tidak memperhatikan kerelaannya. Baik ia rela maupun tidak, hal itu sama saja. Demikian juga halnya pada jari-jari, kaki, dan anggota tubuh lainnya yang lumpuh. Jika orang lumpuh itu memotong tangan orang sehat, lalu orang sehat tersebut meminta pelaksanaan qishāsh dan meminta ganti rugi atas kelebihan nilai antara kedua tangan itu, maka dikatakan kepadanya: “Jika engkau menghendaki, kami akan melaksanakan qishāsh untukmu, tetapi jika engkau memilih qishāsh, maka tidak ada ganti rugi (arsh). Dan jika engkau menginginkan ganti rugi, maka engkau tidak mendapatkan qishāsh.”

Ganti rugi dan qishāsh bisa digabung hanya apabila pemotongan itu terjadi pada anggota tubuh yang memiliki banyak bagian (seperti jari-jari), dan sebagian dipotong serta sebagian tidak, misalnya ia memotong tiga jari dan ternyata yang bisa dibalas hanya dua jari, dan tidak ditemukan jari ketiga yang sebanding, maka dipotong dua jari dan untuk yang ketiga diberikan ganti rugi.

Namun jika ketiga jari yang dipotong itu dalam keadaan lumpuh (tidak berfungsi) dan si korban ingin agar dipotong juga dan diberikan selisih nilai (ganti rugi) antara yang lumpuh dan yang sehat, maka hal itu tidak boleh. Ia hanya boleh memilih antara qishāsh saja atau ganti rugi saja.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Tidak boleh menyalib orang yang dihukum qishāsh karena membunuh, atau orang yang dibunuh karena zina atau murtad—dalam kondisi apa pun. Tidak ada seorang pun yang disalib kecuali pelaku perampokan di jalan yang merampas harta dan membunuh. Maka ia dibunuh dahulu, lalu disalib selama tiga hari, kemudian diturunkan. Semuanya disalatkan kecuali orang murtad, karena tidak disalatkan atas orang kafir.

Jika seseorang dikenai hukuman qishāsh karena membunuh, maka dilaksanakan kepadanya, meskipun ia dalam keadaan sakit atau pada waktu yang sangat panas atau sangat dingin. Karena hukuman itu akan mengakhiri hidupnya, maka tidak perlu ditunda.

Namun jika yang wajib atasnya hanyalah luka atau pemotongan anggota tubuh (yang tidak menyebabkan kematian), maka pelaksanaan tidak dilakukan saat ia sakit atau dalam kondisi cuaca ekstrem panas atau dingin. Ia ditahan terlebih dahulu hingga kondisi itu berlalu, lalu baru dilaksanakan qishāsh.

Wanita hamil tidak di-qishāsh atau dihukum (seperti ḥadd) sampai ia melahirkan bayinya.

Jika seseorang dihukum rajam karena bukti persaksian, maka boleh dilaksanakan dalam keadaan panas, dingin, atau sakit. Namun jika hukuman rajam itu berdasarkan pengakuan pelaku, maka tidak dilaksanakan saat ia sedang sakit, atau saat panas atau dingin ekstrem, karena ia bisa menarik kembali pengakuannya kapan saja sebelum atau sesudah rajam, dan jika ia menariknya, maka hukuman tersebut batal.

[Tambahan Luka]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata):

Apabila seseorang melukai kepala orang lain dengan luka muḍiḥah (yang menampakkan tulang) secara sengaja, lalu luka tersebut semakin membusuk hingga menjadi luka munqallāh (yang menyebabkan perpindahan tulang), atau ia memotong salah satu jarinya lalu membusuk hingga seluruh telapak tangan ikut hilang, lalu korban meminta pelaksanaan qishāsh, maka dikatakan kepadanya: “Jika engkau menghendaki, kami akan melaksanakan qishāsh atas luka muḍiḥah itu, dan kami akan memberimu ganti rugi (arsh) atas selisih antara muḍiḥah dan munqallāh. Adapun munqallāh, maka tidak ada qishāsh atasnya dalam kondisi apa pun.”

Dan jika ia menginginkan, maka ia berhak mendapat qishāsh atas jari yang dipotong dan empat per lima dari (nilai) tangan. Atau jika ia menghendaki, maka ia cukup mengambil ganti rugi (arsh) untuk seluruh tangan dan tidak mendapatkan qishāsh atas apa pun. Karena si pelaku tidak secara langsung menyebabkan hilangnya tangan, meskipun tangan itu hilang akibat luka yang ditimbulkan olehnya. Maka pelaksanaan qishāsh hanya dilakukan atas apa yang secara langsung dipotong atau dilukai, sedangkan ganti rugi seluruhnya diambil dari harta si pelaku, bukan dari ‘aqilah-nya (keluarga penanggung diyat), karena kejadian itu disebabkan oleh tindakannya sendiri.

Jika si pelaku (yang melukai kepala atau memotong jari) mengingkari bahwa luka yang membusuk itu disebabkan oleh tindakannya, maka pernyataannya diterima hingga korban mendatangkan saksi yang menyatakan bahwa luka tersebut terus-menerus dalam keadaan sakit akibat tindakan pelaku dan tidak pernah sembuh hingga menyebabkan kehancuran atau hilangnya anggota tubuh itu. Apabila korban mendatangkan bukti demikian, maka kesaksiannya diterima dan diputuskan bahwa luka tambahan itu akibat tindakannya selama luka itu tidak pernah sembuh.

Namun, jika saksi berkata bahwa luka itu telah sembuh dan pulih, kemudian kembali memburuk sehingga menyebabkan kehancuran, atau luka semakin melebar, lalu si pelaku berkata bahwa itu akibat perbuatan korban sendiri yang menggaruknya atau karena ada orang lain yang menimpakan luka tambahan, maka pernyataan pelaku diterima untuk menggugurkan tanggung jawab atas luka tambahan—kecuali jika ada bukti kuat bahwa luka tersebut memburuk tanpa tindakan dari korban maupun dari orang lain.

(Al-Rabi‘ berkata):

Saya dan Abu Ya‘qub berkata: “Apabila kesaksian menyatakan bahwa luka itu memburuk karena luka pertama yang disebabkan oleh pelaku, maka tanggung jawab atas kerusakan itu tetap dibebankan kepada pelaku, kecuali jika pelaku dapat mendatangkan bukti bahwa luka tersebut memburuk akibat faktor lain di luar perbuatannya.”

[Pengobatan Luka]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata):

Jika seseorang melukai orang lain dengan luka terbuka yang tidak menyebabkan hilangnya anggota tubuh, maka sebaiknya penguasa mengukur luka tersebut secara langsung. Korban diperbolehkan mengobati lukanya dengan cara yang menurut para ahli pengobatan bermanfaat dengan izin Allah Ta‘ala.

Jika ia mengobatinya dengan obat yang menurut para ahli pengobatan tidak memakan daging hidup, tetapi ternyata menyebabkan luka membusuk, maka si pelaku tetap bertanggung jawab atas ganti rugi dari kebusukan luka tersebut karena disebabkan oleh luka awal yang ditimbulkannya.

Apabila si pelaku berkata bahwa korban mengobatinya dengan bahan yang memang memakan daging hidup, dan korban mengingkari hal itu, maka pernyataan korbanlah yang diterima, dan pelaku wajib mendatangkan bukti atas klaimnya tersebut.

Namun, jika terbukti bahwa korban memang mengobati lukanya dengan sesuatu yang memakan daging hidup, maka pelaku tidak bertanggung jawab atas luka tambahan tersebut, dan dia hanya wajib membayar ganti rugi atas luka pertama saja. Adapun luka tambahan itu disebabkan oleh pengobatan keliru, bukan oleh luka awal yang ditimbulkan oleh pelaku.

 

[Kejahatan Korban Terhadap Dirinya Sendiri]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata):

Apabila korban memotong sebagian dagingnya sendiri, maka:

  • Jika yang dipotong adalah daging mati (mayyit), maka itu dianggap sebagai tindakan pengobatan, dan pelaku awal tetap bertanggung jawab atas luka yang memburuk.
  • Jika yang dipotong adalah daging mati dan hidup, maka pelaku tidak bertanggung jawab kecuali atas luka awalnya saja.

Jika aku menyatakan bahwa pelaku bertanggung jawab atas bertambahnya luka, lalu korban meninggal karenanya, maka qishāsh berlaku bagi pelaku bila ia melukai dengan sengaja—kecuali jika ahli waris korban memilih untuk menerima diyah (ganti rugi), maka diyah diambil dari harta pelaku. Jika pelaku melukai secara tidak sengaja (khaṭa’), maka diyah-nya ditanggung oleh ‘āqilah-nya (kerabat pihak ayah).

Namun jika aku katakan bahwa pelaku tidak bertanggung jawab atas luka tambahan, lalu korban mati, maka aku tetapkan atas pelaku hanya setengah dari diyah korban dan tidak diberlakukan qishāsh untuk pembunuhan, meskipun luka itu disengaja. Dalam hal ini, aku anggap sebagai gabungan antara kejahatan pelaku dan kesalahan korban terhadap dirinya sendiri. Maka bagian dari tanggung jawab korban terhadap dirinya sendiri menggugurkan bagian dari kesalahan pelaku terhadapnya.

Demikian pula dalam kasus luka pada anggota tubuh:

  • Jika tangan dilukai dan menjadi membusuk hingga seluruh jari atau telapak tangan hilang, maka pelaku bertanggung jawab atas kerusakan tambahan itu dari hartanya sendiri jika dilakukan secara sengaja.
  • Namun, jika korban sendiri yang memotong tangan atau jarinya, maka pelaku tidak bertanggung jawab atas apa yang dipotong korban itu, kecuali jika ada bukti bahwa bagian yang dipotong adalah daging mati—maka pelaku harus membayar ganti rugi (arsh) untuknya.
  • Jika tidak ada bukti bahwa bagian itu mati, atau justru terbukti bahwa bagian itu masih hidup dan lebih baik untuk dipotong, maka pelaku tidak bertanggung jawab atas bagian tersebut.

Demikian pula bila korban mengalami infeksi parah (aklah) dan lebih baik baginya untuk memotong tangannya agar infeksi tidak menyebar ke tubuh, maka jika ia memotongnya sementara anggota tubuh tersebut masih hidup, pelaku tidak bertanggung jawab atas potongan tersebut.

Namun, jika korban meninggal dunia, maka aku tetapkan bahwa pelaku bertanggung jawab atas setengah diyah, karena secara lahiriah kematian itu disebabkan oleh luka dari pelaku, dan sebagian lainnya akibat tindakan korban terhadap dirinya sendiri.

Jika korban mengobati lukanya dengan racun lalu meninggal, maka pelaku hanya menanggung setengah dari arsh (nilai luka korban), karena korban meninggal akibat kombinasi racun dan luka.

  • Jika racun itu bersifat mematikan seketika seperti menyembelih, maka pelaku hanya bertanggung jawab atas luka awal.
  • Jika racun bisa mematikan namun tidak pasti, maka pelaku bertanggung jawab atas setengah diyah.
  • Jika korban mengobatinya dengan bahan yang tidak diketahui sifatnya, maka pernyataan korban bahwa itu tidak berbahaya diterima (jika ia masih hidup) disertai sumpahnya; dan jika ia telah wafat, maka sumpah diambil dari ahli warisnya. Dalam hal ini, pelaku tetap bertanggung jawab atas dampak luka yang ditimbulkan.

Jika seseorang melukai orang lain, lalu korban menjahit lukanya agar sembuh:

  • Jika jahitan dilakukan pada kulit yang masih hidup, maka pelaku bertanggung jawab atas luka tersebut. Jika korban meninggal setelahnya, maka pelaku menanggung setengah dari diyah, karena kematian itu merupakan gabungan antara luka dan tusukan jahitan korban.
  • Jika jahitan dilakukan pada kulit mati, maka pelaku wajib menanggung diyah

Catatan: Tidak diketahui apakah kulit atau daging tersebut telah mati kecuali dengan pengakuan pelaku atau kesaksian ahli yang terpercaya, karena hukum asalnya adalah bagian tersebut masih hidup sampai dibuktikan kematiannya.

Namun, jika korban hanya membalut lukanya tanpa menjahit, atau menyatukan lukanya dengan darahnya sendiri, atau dengan obat yang tidak memakan daging hidup dan bukan racun, lalu ia meninggal, maka pelaku wajib menanggung penuh atas kematiannya karena korban tidak menimbulkan bahaya apa pun atas dirinya—justru ia hanya berusaha mendapatkan manfaat yang tidak membahayakan.

[Jika Korban Membakar Lukanya]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata):

Jika korban membakar lukanya, maka:

  • Jika pembakaran itu seperti pemijatan dengan wol atau yang sejenis, yang menurut ahli medis bermanfaat dan tidak membahayakan, dan kadarnya tidak melebihi batas yang dibolehkan, maka pelaku (yang melukai) tetap bertanggung jawab atas luka dan semua akibatnya.
  • Namun, jika pembakaran melampaui batas hingga membakar jaringan sehat, atau pembakarannya kadang bermanfaat dan kadang membahayakan, atau ia memasukkan zat ke dalam luka yang membahayakan bagian dalam tubuh, maka ia dianggap telah mencelakakan dirinya sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. Dalam hal ini, pelaku hanya menanggung setengah dari diyah (jika berujung kematian), sedangkan separuh lainnya gugur karena perbuatan korban sendiri.

[Siapa yang Berhak Menjalankan Qishāsh]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata):

Jika seseorang melukai atau memotong anggota tubuh seseorang dan korban meminta agar dibiarkan menuntut qishāsh sendiri, maka tidak boleh diberikan izin demikian. Begitu pula, qishāsh tidak boleh dijalankan oleh wali yang memusuhi pihak pelaku. Qishāsh hanya boleh dilakukan oleh orang yang:

  • Memahami tata cara qishāsh,
  • Bersikap adil dalam pelaksanaannya.

Cukup satu orang saja yang melaksanakan qishāsh karena qishāsh tidak dilakukan oleh dua orang. Namun ia boleh meminta bantuan orang lain yang membantunya, asal bukan orang yang dicurigai punya niat buruk terhadap pelaku.

Pemerintah (penguasa) wajib menggaji orang yang bertugas melaksanakan qishāsh dan menegakkan hudūd seperti dalam kasus pencurian dan lainnya. Mereka harus diberi upah dari bagian khumus (1/5 harta rampasan perang) yang menjadi hak Nabi ﷺ, sebagaimana qāḍī juga digaji.

Jika pemerintah tidak melaksanakannya, maka biaya eksekusi dibebankan kepada pelaku kejahatan (orang yang dijatuhi qishāsh), karena dialah yang wajib membayar setiap hak yang menjadi tanggungannya, dan pelaksanaan qishāsh itu tidak sempurna tanpa menanggung biaya eksekusinya. Ini seperti orang yang harus membayar upah penimbang atau pengukur timbangan.

Qishāsh untuk luka selain jiwa (tidak mengakibatkan mati) tidak boleh dijalankan oleh korban atau walinya sendiri.

[Tata Cara Qishāsh dalam Pembunuhan]

Jika seseorang membunuh orang lain dan ahli waris korban meminta agar diserahkan pembunuhnya untuk dipenggal lehernya, maka permintaan itu dipenuhi. Namun:

  • Imam (penguasa) harus berhati-hati dan memeriksa pedang yang digunakan. Jika tidak tajam, ia harus memerintahkan untuk menggantinya agar tidak menyiksa.
  • Imam memerintahkan agar pembunuh dipenggal sekali pukul, bukan berkali-kali.

Jika ahli waris memukul pelaku di bahu atau kepala, bukan di leher, maka ia dilarang melanjutkan kecuali ia bersumpah bahwa ia tidak sengaja melenceng. Jika ia tidak mau bersumpah, ia dihukum. Jika ia bersumpah, maka dimaafkan dan dibiarkan.

Jika ahli waris tidak mampu menyelesaikan eksekusi dengan benar, maka pemerintah memerintahkan orang lain untuk memenggal pelaku.

Jika pelaku sebelumnya telah menyiksa korban seperti memotong tangan atau kaki korban, atau melukai kepala atau tubuh korban sebelum membunuhnya, lalu ahli waris meminta agar dilakukan hal serupa, maka:

  • Pemerintah menugaskan orang yang ahli dalam melakukan luka serupa.
  • Jika setelah dilukai pelaku masih hidup, maka barulah ia dieksekusi dengan dipenggal oleh wali korban.

Wali hanya dibolehkan mengeksekusi hukuman mati secara ḥasanah (baik), yaitu dengan memenggal atau menyembelih, bukan dengan siksaan.

Jika pelaku membunuh korban dengan cara mencekik atau semisalnya, lalu wali ingin mencekiknya juga, maka dibolehkan sampai batas korban mati. Jika tidak mati juga, maka ia dicegah dan diganti dengan eksekusi pemenggalan.

Jika pelaku membelah tubuh korban dengan satu pukulan dan memisahkan anggota badannya, maka wali boleh memukul pelaku di tempat yang sama. Jika tidak memisahkan tubuh, maka ia hanya diperbolehkan memenggal kepala.

Jika pembelahan itu dilakukan dengan beberapa pukulan, maka wali diberi hak untuk memukul sebanyak itu. Jika setelah itu belum mati, maka dipenggal dengan satu kali pukulan yang paling efektif.

[Kesalahan dalam Pelaksanaan Qishāsh]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata):

Jika seorang pelaksana qishāsh (muktashṣ) diperintahkan untuk mengeksekusi qishāsh, lalu ia menempatkan alat potong (seperti pedang atau pisau) di tempat yang benar, namun ketika ia menariknya, ternyata lebih dari ukuran luka yang semestinya, maka:

  • Para ahli di bidang ini ditanya: apakah mungkin terjadi kesalahan seperti itu?
  • Jika mereka menjawab bahwa kesalahan seperti itu bisa saja terjadi, maka si pelaksana ditanya. Jika ia mengaku bahwa itu benar-benar kesalahan, maka ia disumpah. Setelah itu:
    • Tidak ada hukuman qishāsh atasnya.
    • Diyat (ganti rugi luka berlebih) dibayar oleh ‘āqilah-nya (kelompok kerabat yang menanggung diyat).
  • Namun jika mereka (ahli) menjawab bahwa kesalahan seperti itu tidak mungkin terjadi, maka pihak yang menjadi korban qishāsh (yang dipotong lebih dari seharusnya) berhak menuntut qishāsh atas kelebihan luka itu, kecuali jika ia memilih diyat (ganti rugi) dan diambil dari harta si pelaksana qishāsh.

Jika para ahli berkata: “Mungkin terjadi kesalahan seperti itu”, lalu pelaksana tidak mengaku salah, maka:

  • Korban qishāsh disuruh bersumpah bahwa itu dilakukan dengan sengaja.
    • Jika ia bersumpah, maka ia berhak menuntut qishāsh.
    • Jika ia menolak bersumpah, maka tidak ada tuntutan hingga ia mau bersumpah.

Hal yang sama berlaku jika pelaksana menempatkan alat potong di tempat yang salah dari awal — baik tempat yang rawan terjadi kesalahan maupun tidak. Dalam hal ini, ia diulangi untuk mengeksekusi qishāsh di tempat yang benar. Ia juga tidak lagi dipercayakan untuk melakukan qishāsh karena telah terbukti melakukan kesalahan, baik sengaja maupun tidak.

Jika qishāsh seharusnya dilakukan di tangan kanan, lalu si pelaksana salah dan memotong tangan kiri, atau seharusnya di jari tertentu lalu salah potong jari lain, maka:

  • Jika jenis kesalahan seperti ini bisa terjadi, maka hukuman qishāsh atasnya gugur, dan diyat dibebankan pada ‘āqilah-nya.

(Al-Rabī‘ berkata): Ada pendapat lain bahwa diyat itu ditanggung oleh pelaksana qishāsh langsung dari hartanya, bukan oleh ‘āqilah, karena ia telah memotong dengan sengaja, hanya saja kami tidak memberlakukan qishāsh karena ia menyangka bahwa itu adalah tangan yang harus dipotong. Jadi, potongan itu tetap dianggap dilakukan dengan sengaja.

Jika jenis kesalahan itu dianggap tidak mungkin terjadi, maka si pelaksana qishāsh dikenakan hukuman qishāsh.

Jika luka akibat kesalahan itu telah sembuh, maka qishāsh yang pertama tetap dilanjutkan.

Jika pelaksana qishāsh berkata kepada pelaku: “Keluarkan tangan kirimu!” lalu ia memotongnya, dan ia mengakui bahwa ia tahu qishāsh seharusnya dilakukan pada tangan kanan dan tahu bahwa perintah adalah untuk mengeluarkan tangan kanan, maka:

  • Tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat atas pelaksana.
  • Jika luka akibat kesalahan itu telah sembuh, maka tetap dilakukan qishāsh pada tangan yang benar (kanan).

Namun, jika pelaku mengatakan: “Saya mengeluarkan tangan kiri karena saya tidak tahu bahwa yang dimaksud adalah tangan kanan, atau saya pikir jika saya keluarkan tangan kiri maka akan tetap berlaku qishāsh,” maka:

  • Ia disumpah atas ucapannya.
  • Diyat tangan kiri wajib dibayar oleh pelaksana, tapi tidak ada qishāsh atau hukuman atasnya.

Qishāsh dan diyat gugur hanya jika pelaku qishāsh (yang dipotong) sendiri mengakui bahwa ia sengaja menipu atau menyembunyikan bahwa yang dimaksud adalah tangan kanan.

Jika orang yang menjadi korban qishāsh dalam keadaan tidak sadar atau hilang akal, lalu pelaksana qishāsh melakukan kesalahan:

  • Jika jenis kesalahan itu masih bisa dimaklumi, maka diyat ditanggung oleh ‘āqilah.
  • Jika tidak bisa dimaklumi, maka pelaksana dikenai qishāsh.

Kondisi tidak sadar dari pelaku qishāsh (korban potong) menyebabkan tidak sah pengakuannya, baik dia menipu atau tidak.

[Sunat (Khitan) yang Berujung Kematian]

Jika ayah seorang anak atau pemilik budak memerintahkan ahli sunat untuk menyunat anaknya atau budaknya, lalu anak atau budak itu meninggal, maka:

  • Tidak ada diyat, qishāsh, maupun kafārah (tebusan).
  • Namun, jika ahli sunat melakukannya tanpa izin dari ayah, pemilik, atau hakim, lalu menyebabkan kematian, maka:
    • Ia wajib menunaikan kafārah (membebaskan budak atau puasa dua bulan berturut-turut).
    • Diyat anak dibebankan pada ‘āqilah-nya.
    • Harga budak ditanggung juga.

Jika saat menyunat, ia salah potong hingga mengenai bagian ujung zakar (hasyafah) — dan kesalahan seperti itu mungkin terjadi — maka:

  • Tidak ada qishāsh.
  • Namun diyat sesuai dengan bagian yang masih tersisa harus dibayarkan, dan tanggung jawabnya dibebankan pada ‘āqilah.

[Jika yang Dipotong adalah Zakar dari Pangkalnya]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang memotong zakar dari pangkalnya, yang mana tidak mungkin salah dalam pelaksanaan seperti itu, maka pelakunya dipenjara hingga anak yang dipotongi itu baligh, agar ia dapat memilih antara menuntut qishāsh atau mengambil diyat. Jika anak itu meninggal dunia sebelum baligh, maka hak tersebut berpindah ke ahli warisnya, apakah menuntut qishāsh atau diyat penuh.

Jika salah satu dari keduanya (anak atau budak) mengalami penyakit mematikan di anggota tubuhnya, lalu ayah anak atau tuan dari budak memerintahkan untuk memotong bagian tersebut, dan bagian itu memang bukan bagian yang biasanya menyebabkan kematian, lalu ternyata meninggal, maka tidak ada diyat, qishāsh, maupun kafārah atas pelaksana.

Namun, jika ayah menyuruh seseorang untuk memenggal kepala anaknya, atau membelah tenggorokannya, lalu dilakukan dan anak itu mati, maka:

  • Ayahnya dihukum,
  • Pelaksana dikenakan qishāsh jika anak itu meninggal.

Jika hal tersebut dilakukan atas budak dan si budak mati, maka pelaksana wajib membebaskan satu budak (sebagai kafārah), dan tidak dikenakan qishāsh.

(Al-Rabī‘ berkata): Tidak ada kewajiban membayar harga budak atas pelaksana, karena tindakan tersebut atas perintah tuannya.

Jika seseorang menyuruh membunuh hewan miliknya dan pelaksana melakukannya, maka tidak ada kewajiban membayar ganti rugi, karena hewan itu telah dimusnahkan atas izin pemiliknya.

(Al-Rabī‘ juga berkata): Dalam hal ini, menurutku, budak itu seperti hewan, karena ia adalah harta.

[Tanggung Jawab atas Tindakan terhadap Anak atau Budak Orang Lain]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang membawa seorang anak kecil (yang bukan anaknya atau budaknya dan tidak memiliki wali) kepada seorang tabib atau juru sunat lalu berkata: “Sunatlah ia” atau “Obatilah lukanya” atau “Potonglah bagian tubuh karena penyakit tertentu”, lalu anak itu mati, maka:

  • ‘Āqilah dari tabib atau juru sunat menanggung diyat,
  • Dan pelaksana wajib membayar kafārah (membebaskan budak atau puasa 2 bulan),
  • Dan ‘āqilah tidak menuntut pengembalian ganti rugi dari orang yang menyuruhnya, karena posisinya sama seperti menyuruh orang lain untuk membunuh.

[Qishāsh untuk Anak dan Orang Tidak Sadar]

Qishāsh yang wajib atas nama anak kecil atau orang yang tidak sadar (gila) tidak boleh diambil atau dimaafkan oleh ayah atau walinya siapa pun itu. Pelaku kejahatan dipenjara sampai anak itu baligh atau si gila sadar kembali, lalu mereka bisa memilih: menuntut qishāsh, memberi maaf, atau menuntut diyat. Jika keduanya wafat sebelum itu, maka hak tersebut berpindah ke ahli warisnya.

(Al-Rabī‘ meriwayatkan dari Abu Ya‘qūb):

Jika seseorang menyuruh orang lain untuk melukai orang dewasa yang hilang akalnya, dengan tindakan yang tidak lazim menyebabkan kematian, lalu ia mati, maka diyat ditanggung oleh ‘āqilah pelaksana, bukan oleh yang menyuruhnya, karena pelaksana punya pilihan untuk menolak.

Jika ia berkata: “Ini anakku atau budakku,” lalu memerintahkan untuk melakukan tindakan tertentu hingga menyebabkan kematian, maka:

  • ‘Āqilah pelaksana menanggung diyat orang merdeka dan harga budak.
  • Pelaksana juga wajib membayar kafārah.

[Jika Ayah Menyuruh Memotong Anak]

(Al-Rabī‘ melanjutkan):

Jika yang dipotong adalah anak atau budak milik si penyuruh:

  • Maka tidak ada tanggung jawab diyat atas pelaksana, kecuali ia melakukan hal yang tidak boleh dilakukan bahkan oleh orang tua atau tuan terhadap anak/budaknya. Dalam hal ini, pelaksana tetap wajib membayar kafārah.
  • Jika anak atau budak itu mengalami luka yang berpotensi manfaat, maka tidak ada diyat maupun kafārah.
  • Jika yang diperintahkan justru menyebabkan kerusakan, maka pelaksana menanggung diyat, dan ‘āqilah-nya yang membayar.
  • Jika yang diperintahkan adalah pada anak dewasa yang bisa menolak, maka tidak ada diyat, qishāsh, atau kafārah, kecuali dilakukan tindakan yang secara syariat tidak boleh dilakukan pada diri sendiri.

[Kasus Perintah terhadap Hewan]

Jika seseorang membawa hewan lalu menyuruh orang lain untuk menyembelih atau mengobatinya, lalu hewan itu mati, maka:

  • Jika hewan itu bukan milik yang menyuruh, maka pelaksana wajib membayar ganti rugi.
  • Jika hewan itu milik penyuruh, maka pelaksana tidak menanggung apapun.

[Pelanggaran dalam Eksekusi Qishāsh]

Jika hakim memerintahkan wali korban untuk mengeksekusi qishāsh, namun wali tersebut:

  • Memotong tangan atau kaki pelaku,
  • Mencongkel mata,
  • Melukai dengan berbagai luka sebelum akhirnya membunuh pelaku,

maka:

  • Hakim menghukumnya karena telah melampaui batas,
  • Namun tidak ada diyat, qishāsh, atau kafārah, karena seluruh tubuh pelaku memang telah halal untuk dibunuh.

Namun, imam tidak boleh memberikan izin eksekusi qishāsh kecuali di hadapan dua saksi adil atau lebih yang bisa mencegah terjadinya pelampauan.

Jika hakim memungkinkan seseorang untuk mengeksekusi qishāsh dalam hal luka, bukan pembunuhan, maka itu adalah kesalahan hakim.

Jika pelaksana melakukan kesalahan (misalnya menyayat terlalu dalam), maka:

  • Jika kesalahan itu masih masuk akal, pelaksana disumpah.
  • Jika korban meninggal karena itu, maka pelaksana wajib membayar diyat.
  • Jika luka sembuh, maka pelaksana membayar ganti rugi luka (arsh).

[Tindakan Balas Dendam oleh Ahli Waris Korban]

Jika seseorang membunuh orang lain, lalu terbukti bahwa korban adalah anaknya sendiri dan ia adalah satu-satunya ahli waris, atau ia memotong tangan kanannya lalu terbukti bahwa itu adalah tangannya juga, maka:

  • Tidak ada diyat maupun qishāsh terhadapnya,
  • Namun ia dihukum secara ta‘zīr (hukuman moral) karena mengambil hak qishāsh sendiri.

[Cara Pelaksanaan Qishāsh Sesuai Jenis Pembunuhan]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Segala sesuatu yang aku katakan bahwa pelaku qatl (pembunuhan) dapat di-qishāsh atasnya — bila ia melakukannya terhadap korban — maka wali korban boleh melakukan hal serupa terhadap pelaku.

Contohnya:

Jika pelaku membunuh dengan menghantam kepala korban menggunakan batu besar, maka wali korban diperbolehkan menggunakan batu sejenis dan memukul pelaku sebanyak jumlah pukulan yang sama — tidak boleh melebihi jumlah pukulan yang dilakukan pelaku.

  • Jika satu kali, maka satu kali,
  • Jika dua kali, maka dua kali,
  • Jika lebih, maka sesuai jumlahnya.

Jika setelah itu pelaku masih hidup, maka wali korban boleh membunuhnya dengan pedang. Namun jika tidak memiliki pedang, maka boleh memukulnya dengan alat yang serupa dengan yang digunakan untuk membunuh korban. Karena qishāsh dengan alat selain pedang harus dibatasi sesuai jumlah, dan melebihinya dianggap pelanggaran karena bukan bagian dari bentuk pembunuhan yang wāḍiḥah (jelas dan cepat mematikan). Oleh karena itu, bila nyawa pelaku belum terenggut dengan cara pukulan yang sama, maka nyawanya dihabisi dengan cara yang paling cepat mematikan, yaitu dengan pedang.

Demikian juga jika pelaku membunuh dengan kayu berat atau pukulan kuat di kepala yang menyebabkan retak atau remuk, maka wali korban boleh melakukannya serupa. Namun jika pelaku menggunakan tongkat ringan atau cambuk berulang-ulang hingga membunuh, maka wali korban tidak diperkenankan membalas dengan cara seperti itu, karena pukulan ringan bisa lebih menyakitkan dari yang berat, dan jenis kematian seperti ini tidak dianggap “jelas mematikan”.

Wali korban dapat memilih untuk menggunakan orang lain yang bersikap lembut, dan dapat diperintahkan: “Buatlah pukulan serupa seperti yang dilakukan oleh pelaku,” hingga mencapai jumlah yang sama. Bila pelaku tidak mati, maka ia dipenggal dengan pedang.

Jika pelaku mengikat korban dan melemparkannya ke dalam api:

  • Maka disiapkan api yang sama besar,
  • Wali korban boleh mengikat pelaku dengan tali serupa dan melemparkannya selama durasi yang sama seperti kematian korban,
  • Jika pelaku tidak mati, ia diangkat lalu dipenggal.

Jika pelaku menenggelamkan korban:

  • Maka pelaku dilempar ke air selama waktu yang sama,
  • Jika tidak mati, dipenggal lehernya.

Jika pelaku melempar korban ke dalam jurang:

  • Maka pelaku dilempar ke jurang yang sama atau yang setara dalam kedalaman dan kekerasan tanahnya,
  • Tidak boleh lebih keras dari tempat semula,
  • Jika tidak mati, dipenggal.

Jika pelaku membunuh dengan mencekik korban pakai tali:

  • Maka wali korban boleh mencekiknya dengan tali serupa hingga mati,
  • Tapi jika jenis kematiannya tidak cepat, maka wali tidak boleh mencekik dan langsung membunuhnya dengan cara tercepat (pedang).

Jika pelaku memotong tangan dan kaki korban dari persendian atau melukainya secara serius:

  • Maka wali korban tidak boleh menuntut pembalasan luka atau pemotongan,
  • Tapi bisa melakukannya melalui pelaksana qishāsh yang kompeten,
  • Bila pelaku tetap hidup, ia kemudian dipenggal.

Jika pelaku memotong tubuh korban dan memisahkan dua bagian tubuh:

  • Maka wali korban boleh melakukan hal yang sama,
  • Bila tidak berhasil, maka dipenggal.

Jika wali korban melakukan kesalahan dalam pelaksanaan qishāsh, misalnya:

  • Memukul bagian tubuh lain, bukan bagian yang ditentukan,
  • Maka pelaksana diganti dan dilarang melanjutkan.

[Hak Wali Korban dalam Ganti Rugi dan Qishāsh]

Jika pelaku memotong tangan dan kaki korban lalu melakukan luka berat yang menyebabkan kematian:

  • Maka wali korban boleh memilih antara qishāsh atau diyat (ganti rugi),
  • Namun bila memilih diyat, mereka tidak berhak menuntut ganti rugi untuk luka-luka kecilnya, karena kematian menutup semua itu.

Jika ada beberapa pelaku (dua atau tiga orang):

  • Mereka melukai korban dan luka-luka tersebut menyebabkan kematian,
  • Maka wali korban hanya mendapatkan satu diyat,
  • Jika korban sempat sembuh dari luka-lukanya, lalu meninggal karena sebab lain, maka mereka berhak atas qishāsh atau diyat dari masing-masing pelaku sesuai luka yang mereka sebabkan.

[Sengketa Sebab Kematian dan Kesaksian]

Jika terjadi sengketa antara pelaku dan ahli waris korban tentang sebab kematian:

  • Pelaku berkata: korban mati bukan karena luka dariku,
  • Ahli waris berkata: korban mati karena luka itu,
  • Maka yang dipegang adalah pernyataan ahli waris dengan sumpah mereka,
  • Pelaku harus menghadirkan bukti bahwa luka tersebut telah sembuh sebelum kematian.

Jika tiga orang melukai korban:

  • Satu memotong tangan, satu memotong kaki, satu melukai tubuh,
  • Lalu korban meninggal, dan ahli waris menyatakan ia hanya meninggal karena luka satu pelaku,
  • Maka yang lainnya hanya menanggung diyat luka yang telah sembuh.

Jika mereka berkata: “Korban meninggal karena semua luka bersama-sama,” maka pelaku yang mengaku membunuh hanya dikenai separuh diyat — karena ia menyatakan kematian itu terjadi secara kolektif, bukan semata-mata karena dirinya.

[Ketidakseimbangan Anggota Tubuh dalam Pelaksanaan Qishāsh]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang mematahkan gigi orang lain dari bagian tengahnya, maka aku akan bertanya kepada para ahli (medis atau ahli hukum):

  • Jika mereka berkata, “Kami mampu mematahkan gigi dari tengahnya tanpa merusak bagian sisanya atau menyebabkan retakan,” maka qishāsh
  • Jika mereka berkata, “Kami tidak mampu melakukan itu kecuali akan merusaknya,” maka tidak dilakukan qishāsh karena akan menyebabkan kehancuran total.

Jika seseorang mencabut kuku orang lain lalu korban meminta qishāsh, maka ditanyakan pada para ahli:

  • Jika mereka berkata, “Kami bisa mencabut kuku tanpa merusak bagian lain,” maka qishāsh
  • Jika tidak bisa, maka diberlakukan hukumah (ganti rugi yang diukur secara proporsional, bukan qishāsh penuh).

Jika seseorang memotong satu ruas jari lawannya yang tidak ada kukunya, lalu korban menuntut qishāsh, maka tidak dikabulkan. Demikian juga jika kuku pada ruas itu rusak total sehingga tidak bisa tumbuh atau tidak stabil, karena jari yang rusak berbeda nilai dengan jari yang utuh.

Jika gigi atau kuku yang rusak itu cacat tapi masih bisa berfungsi, dan cacatnya tidak mengurangi faedahnya secara signifikan — seperti perubahan warna, bekas luka ringan, atau kerusakan ringan — maka tetap berlaku qishāsh.

Jika seseorang kehilangan ruas jari tengahnya dan orang lain memotong jari tengah yang utuh miliknya, lalu korban (yang jari tengahnya tidak lengkap) meminta qishāsh, maka tidak dikabulkan. Tidak boleh membalas dengan memotong jari tengah yang utuh hanya karena dirinya pernah kehilangan bagian dari jari tersebut. Begitu juga sebaliknya.

[Perbedaan Bagian Jari dan Urutan Gugatan Qishāsh]

Jika ada dua orang:

  • Seorang kehilangan ruas ujung jari kelingking karena pelaku,
  • Seorang lagi kehilangan ruas tengah dari jari kelingking yang sama,

Kemudian mereka sama-sama menuntut:

  • Maka dimulai dengan pemotongan ruas ujung jari,
  • Lalu pemotongan ruas tengah jari, jika diminta.

Namun jika yang kehilangan ruas tengah datang terlebih dahulu dan meminta qishāsh, maka qishāsh tidak dilakukan karena ia kehilangan bagian tengah, bukan bagian ujung. Ia hanya mendapatkan diyah (ganti rugi).

Jika yang kehilangan bagian ujung datang lebih dulu dan mendapat qishāsh, kemudian yang satu lagi ingin membatalkan diyah-nya demi qishāsh, maka permintaannya tidak dikabulkan karena ia telah menggugurkan hak qishāsh dan memilih diyah.

Begitu pula jika seseorang sebelumnya telah menerima diyah untuk luka bagian tengah jari, lalu kemudian bagian ujung jari tersebut terputus dan ia ingin menuntut qishāsh, maka permintaannya tidak diterima karena ia telah memilih diyah.

Namun, jika bagian ujung jari itu terputus sebelum ia menerima diyah, maka qishāsh dapat dilakukan karena haknya masih utuh.

[Perbandingan Keutamaan dan Keseimbangan dalam Anggota Tubuh]

Jika seseorang memotong tangan orang lain yang:

  • Tangannya kurus, jari-jarinya lemah dan pendek, atau buruk rupa, atau cacat ringan (selain kelumpuhan),
  • Sedangkan pelaku memiliki tangan yang sehat dan bagus,

Maka qishāsh tetap dilakukan. Begitu pula sebaliknya, jika tangan korban lebih sempurna daripada tangan pelaku — tetap dilakukan qishāsh karena tidak ada perbedaan nilai secara hukum.

Namun jika tangan korban memiliki jari yang lumpuh atau jari yang kehilangan satu ruas, sedangkan pelaku memiliki tangan dan jari yang lengkap dan sehat, maka qishāsh tidak dilakukan karena ada kekurangan nilai pada tangan korban. Tapi, jika korban bersedia menerima potongan hanya setara jumlah jari sehatnya dan menggugurkan haknya atas potongan seluruh tangan, maka qishāsh boleh dilakukan.

[Kasus Jiwa dan Anggota Tubuh yang Cacat]

Jika seseorang buta atau tuli dan membunuh orang yang sehat, maka ia tetap dibunuh sebagai balasan (qishāsh), karena tidak ada kekurangan nilai dalam hal jiwa. Namun untuk anggota tubuh selain jiwa seperti tangan, kaki, atau kepala, jika terdapat kekurangan seperti lumpuh, maka perlu diperhatikan nilai kesetaraannya dalam pelaksanaan qishāsh.

Misalnya:

  • Jika seseorang melukai kepala orang lain pada bagian yang berambut penuh, sementara si pelaku botak, maka korban diberi pilihan antara menerima qishāsh atau diyah.
  • Namun jika korban botak, ia tidak berhak qishāsh, karena bagian yang dilukai tidak setara dengan pelaku.
  • Jika hanya memiliki rambut tipis atau sedikit botak tapi masih dapat tertutupi jika rambut tumbuh, maka qishāsh tetap boleh dilakukan.

(al-Rabi‘ berkata):

Abu Ya‘qub berkata: Tidak boleh memotong jari yang sehat sebagai balasan atas jari yang lumpuh atau kehilangan ruas. Dalam hal ini diberlakukan ḥukūmah (ganti rugi proporsional) atau diyah sesuai nilai kerusakan.

[Hilangnya Penglihatan Akibat Tindak Pidana]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Apabila seseorang melukai mata orang lain hingga membutakannya, maka pelaku dikenakan jāniyah (tindak pidana), dan jika korban meminta agar dilakukan pemeriksaan (untuk memastikan kebutaan), maka hal itu dibolehkan karena bukan termasuk tindakan yang merusak (muthlah). Dalam hal ini, diberlakukan qishāsh jika pelakunya melakukan secara sengaja, kecuali jika korban memilih ganti rugi (diat). Jika ia memilih diat, maka nilainya lima puluh ekor unta yang dibayarkan langsung dari harta pelaku (tidak dari keluarga penanggung diyat/‘āqilah).

Namun, jika perbuatannya dilakukan secara tidak sengaja (khaṭāʾ), maka diat-nya tetap lima puluh ekor unta, yang dibebankan kepada ‘āqilah (kerabat laki-laki dari pihak ayah). Pembayaran dilakukan sebagai berikut:

  • Dua pertiga (2/3) dari lima puluh dibayar dalam tahun pertama,
  • Sepertiga (1/3) sisanya dibayar dalam tahun kedua.

Jika mata seseorang terluka atau dipukul hingga memutih (misalnya akibat katarak), lalu ia mengklaim bahwa penglihatannya hilang, maka para ahli penglihatan ditanya:

  • Jika mereka berkata: “Kami mengetahui secara yakin bahwa penglihatannya telah hilang,” maka kesaksiannya tidak diterima untuk qishāsh jika kejadiannya sengaja, kecuali ada dua saksi lelaki merdeka, muslim, dan adil.

Tetapi dalam kasus khaṭāʾ (tidak sengaja), maka cukup satu saksi lelaki dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah korban. Lalu para ahli penglihatan yang diterima kesaksiannya dimintai pendapat. Jika mereka berkata: “Jika penglihatan sudah hilang, tidak mungkin kembali,” dan mereka dapat memastikan bahwa penglihatannya benar-benar hilang, maka diputuskan qishāsh dalam kasus sengaja (jika korban tidak memilih diat), atau diat dalam kasus khaṭāʾ.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika para ahli penglihatan berbeda pendapat dan berkata, “Kami belum bisa memastikan hilangnya penglihatan hingga lewat masa tertentu,” maka keputusan tidak diambil sampai masa tersebut lewat — selama tidak ada kejadian lain yang mempengaruhi mata korban.

Demikian pula jika sebagian ahli berkata demikian dan sebagian lain tidak, maka keputusan ditunda sampai masa tersebut dilalui dan terlihat bahwa penglihatannya benar-benar hilang.

Jika semua ahli sepakat bahwa penglihatan tidak akan kembali, maka cukup sumpah korban dan satu saksi dalam kasus khaṭāʾ, dan diputuskan bahwa matanya telah buta.

Jika ada saksi yang diterima kesaksiannya dan ia menyatakan bahwa penglihatan korban telah hilang, maka keputusannya ditunda hingga tiba masa yang dikatakan para ahli penglihatan sebagai waktu pasti — bahwa jika sampai waktu itu tidak sembuh, maka hilangnya penglihatan telah pasti.

Jika korban wafat sebelum masa tersebut, atau mata terkena sesuatu lagi setelah itu (misalnya tertusuk), maka hukum tetap mengaitkan kebutaan dengan pelaku pertama, kecuali terbukti secara pasti bahwa kebutaan akibat kejadian terakhir. Dalam hal ini:

  • Pelaku pertama dijatuhi qishāsh jika ia bersalah secara sengaja,
  • Dijatuhi diat jika kesalahan tidak sengaja.

Jika pelaku pertama berkata, “Suruhlah korban bersumpah bahwa penglihatannya tidak pernah kembali sejak kejadian pertama hingga kejadian kedua,” maka kami pun akan menyuruh korban bersumpah. Jika korban sudah wafat, maka kami menyuruh ahli waris bersumpah berdasarkan pengetahuan mereka.

Jika pelaku pertama mengatakan, “Saya yakin bahwa penglihatannya tidak hilang,” maka kami menyuruh korban bersumpah bahwa ia memang buta.

Namun, jika korban tidak bersumpah dan malah mengakui bahwa ia bisa melihat kembali, atau jika datang orang-orang yang berkata, “Dia pernah mengatakan bahwa penglihatannya telah pulih,” atau “Kami melihat dia bisa melihat,” maka gugurlah tanggung jawab pelaku pertama dan tanggung jawab dipindahkan ke pelaku yang menyebabkan kebutaan berikutnya.

Tetapi jika tidak ada satu pun yang mengetahui bahwa penglihatan telah pulih selain perkataan korban yang diucapkan setelah kejadian berikutnya, maka tanggung jawab pelaku pertama tetap gugur karena pengakuannya sendiri, dan pelaku kedua tidak dibebani karena kebutaan telah terjadi sebelum dia melakukan apapun — dan tidak ada bukti bahwa penglihatan korban sempat kembali sebelum tindakannya.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika pelaku kedua (yang dituduh menyebabkan kebutaan) bersumpah bahwa ia memang menyebabkan kebutaan tersebut dan bahwa penglihatan korban sudah tidak ada lagi akibat tindakan pelaku pertama, maka sumpah itu diterima — begitu pula jika yang bersumpah adalah ahli waris korban. Namun, dalam semua kasus ini, perkataan ahli penglihatan tetap menjadi acuan ketika korban mengaku sesuai dengan penilaian mereka.

Jika korban berkata, “Aku bisa melihat,” atau “Penglihatanku telah kembali,” atau jika ahli warisnya mengatakan demikian, maka gugurlah tanggung jawab pidana dari pelaku pertama.

Dan jika para ahli penglihatan berkata, “Memang bisa saja penglihatan hilang karena penyakit, lalu sembuh karena pengobatan atau bahkan tanpa pengobatan, dan tidak bisa dipastikan bahwa ia tidak akan kembali — kecuali jika mata tersebut telah rusak total atau dicabut,” serta mereka berkata, “Penglihatan orang ini benar-benar telah hilang dan mustahil kembali, baik sekarang maupun 100 tahun lagi,” maka aku putuskan untuk korban:

  • Qishāsh, jika ganti rugi diminta dalam kasus sengaja,
  • atau diat (ganti rugi) dalam kasus tidak sengaja.

Begitu pula aku menetapkan untuk orang yang giginya dicabut: meskipun ada kemungkinan gigi bisa tumbuh lagi, jika sudah dicabut dan tidak kembali, maka diberlakukan qishāsh atau diat.

Namun, jika para ahli penglihatan berkata, “Kami tidak memiliki pengetahuan yang pasti, selama mata masih utuh,” maka korban harus bersumpah bahwa penglihatannya telah hilang, dan aku putuskan:

  • Qishāsh dalam kasus sengaja (kecuali korban memilih diat),
  • Diat dalam kasus tidak sengaja.

Jika aku sudah menetapkan qishāsh atau diat, lalu penglihatan korban kembali:

  • Jika para ahli menyatakan bahwa memang bisa kembali dengan atau tanpa pengobatan, maka tidak ada hak bagi pelaku untuk meminta kembali apa yang telah diberikan (baik tindakan balasan atau diat). Tidak juga boleh dikembalikan penglihatan pelaku yang telah dicabut karena qishāsh.

Dan jika pelaku adalah orang yang dipotong matanya lalu matanya kembali normal, maka tidak dilakukan qishāsh kembali, dan tidak diambil penggantinya lagi.

Namun, jika para ahli berkata: “Tidak mungkin penglihatan yang benar-benar hilang bisa kembali, tapi kadang kala ada gangguan sementara yang menghalangi penglihatan dan akan sembuh,” lalu pelaku dipotong matanya (karena kesaksian bahwa penglihatan korban benar-benar hilang), tapi kemudian penglihatan korban kembali, maka:

  • Tidak dikembalikan hak kepada pelaku,
  • Tapi pelaku diberi diat (ganti rugi) dari kas negara (yang dikhususkan untuk kepentingan kaum Muslimin) atau dari bagian khumus yang menjadi hak Nabi ﷺ.

Namun, jika korban telah menerima diat dari pelaku atau dari ‘āqilah-nya, lalu penglihatannya kembali, maka diat tersebut harus dikembalikan.

Sebaliknya, jika mata pelaku kembali bisa melihat, tapi penglihatan korban tetap tidak kembali, maka:

  • Boleh dilakukan tindakan kedua terhadap pelaku,
  • Entah dengan qishāsh lagi atau diambil diat lagi — selama korban memilihnya.

Dan jika orang yang matanya rusak adalah anak kecil atau orang yang tidak sadar (gila), maka aku menerima penilaian ahli penglihatan, dan menetapkan bahwa pelaku harus membayar diat jika perbuatan itu dilakukan secara tidak sengaja.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Demikian pula aku tetapkan kewajiban diyat (ganti rugi) atas pelaku dalam kasus pembunuhan sengaja jika tidak bisa dikenakan qishāsh. Aku tidak menunda-nunda pemberian keputusan pada saat itu juga jika orang yang mengaku kehilangan penglihatan adalah orang dewasa yang sadar dan didukung oleh kesaksian para ahli penglihatan.

Namun, jika aku tidak menerima pendapat para ahli penglihatan, maka aku tidak menetapkan apapun atas mata yang masih tampak utuh — baik untuk anak kecil maupun orang yang tidak sadar — sampai si anak baligh atau si sakit sadar dan menyatakan kehilangan penglihatan serta bersumpah atasnya. Atau jika mereka wafat, maka haknya diwakili oleh ahli waris mereka yang juga harus bersumpah bahwa penglihatan itu telah hilang.

Dan jika hilangnya penglihatan itu jelas — seperti karena mata dicungkil atau rusak total — maka aku putuskan:

  • Diyat (ganti rugi) pada semua orang termasuk anak kecil dan orang gila dalam kasus tidak sengaja.
  • Qishāsh untuk orang dewasa dalam kasus sengaja jika diminta.

Dan pelaku dalam kasus sengaja terhadap anak kecil atau orang yang tidak sadar, harus ditahan selamanya sampai si anak baligh atau si sakit sadar, lalu mereka sendiri dapat memilih antara qishāsh, diyat, atau memaafkan. Aku tidak membiarkan pelaku bebas lebih dari waktu si korban mencapai kesadaran atau usia baligh. Begitu pula jika korban wafat, maka ahli warisnya menggantikan haknya. Aku memaksa korban atau ahli warisnya untuk segera memilih antara diyat, qishāsh, atau memaafkan.

Jika para ahli penglihatan mengatakan: “Penglihatan korban belum hilang saat ini, tetapi kita akan menunggu sampai waktu tertentu — jika sampai saat itu belum juga pulih maka telah benar-benar hilang,” maka aku akan menunggu dan menerima pendapat mereka — meskipun pelaku mengingkarinya.

Namun, jika para ahli berkata: “Jika tidak hilang sampai waktu tertentu, maka setelah itu tidak mungkin hilang kecuali karena sebab baru,” maka aku batalkan tuntutan terhadap pelaku (karena hilangnya penglihatan dianggap dari sebab lain).

Jika aku tidak menerima pendapat para ahli, tapi korban berkata: “Saya merasakan penglihatan saya semakin gelap, atau tidak sejelas biasanya, atau terasa berat dan nyeri,” lalu setelah waktu tertentu ia berkata: “Penglihatan saya hilang,” dan rasa sakit itu pun hilang, maka aku suruh ia bersumpah bahwa penglihatannya memang hilang karena tindakan tersebut. Aku terima pengakuannya, aku berikan hak qishāsh (kecuali jika ia memilih diyat), dan aku tidak menerima pengingkaran dari pelaku jika memang terbukti ada tindak pidana.

Namun, jika korban berkata: “Semua keluhan di mataku telah hilang dan mataku telah pulih,” lalu suatu waktu penglihatannya hilang lagi, maka aku anggap itu sebagai hal baru (bukan akibat dari tindak pidana), dan pelaku tidak menanggung apa-apa.

Dan antara orang bermata satu (a‘war) dan orang bermata dua normal, tidak ada perbedaan dalam hal qishāsh maupun diyat.

Demikian pula, jika seseorang memiliki penglihatan lemah tapi belum hilang, maka kedudukannya dalam qishāsh dan diyat sama seperti orang yang memiliki penglihatan sempurna, sebagaimana seseorang yang memiliki tangan lemah dihukumi sama seperti orang yang bertangan kuat.

[Hilangnya sebagian penglihatan]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Jika terdapat bintik putih (leukoma) di mata yang menutupi pusat pandangan, sehingga penglihatan menjadi lebih lemah dibandingkan mata yang sehat, dan diketahui bahwa penglihatannya berkurang setengah atau sepertiga, maka ditetapkan baginya ganti rugi (diyat) sebesar nilai penglihatan yang hilang. Tidak diberlakukan qishāsh dari mata yang sehat, karena hal ini seperti cacat atau lumpuh sebagian pada jari.

Hal ini tidak disamakan dengan berkurangnya penglihatan akibat bawaan lahir, penyakit alami, atau gangguan ringan yang tidak mengurangi kemampuan melihat.

Jika bintik putih itu tidak menutupi pusat pandangan, maka mata tersebut dihukumi seperti mata sehat. Begitu pula dengan cacat lain yang tidak menutupi pandangan sama sekali, maka tidak dianggap sebagai pengurangan penglihatan.

Namun, jika bintik putihnya tipis dan memungkinkan untuk melihat sebagian, maka ada ganti rugi tertentu (ḥukūmah), kecuali jika dapat diukur secara pasti bahwa ia melihat setengah dari kemampuan mata sehatnya. Jika benar begitu, lalu matanya rusak total, maka dikenakan diyat sebesar setengah dari nilai penglihatan, tanpa ada qishāsh, baik kerusakannya disengaja maupun tidak.

[Kekurangan penglihatan sebagian]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Jika seseorang memukul mata orang lain dan aku menerima kesaksian para ahli penglihatan bahwa penglihatannya berkurang, namun tidak bisa ditentukan berapa besar pengurangannya, atau aku hanya menerima pengakuan korban, maka aku mengujinya:

  • Pertama, aku akan menutup mata yang terkena pukulan, lalu aku tampilkan suatu objek di tempat yang tinggi atau datar, dan aku ukur sejauh mana ia bisa melihatnya.
  • Kemudian, aku tutup mata yang sehat dan biarkan hanya mata yang cedera terbuka, lalu aku ulangi tes tersebut.
  • Aku ukur perbandingan daya lihat antara kedua mata.

Jika ternyata ia hanya bisa melihat dengan setengah kemampuan mata yang sehat, maka aku tetapkan diyat sebesar setengah nilai mata, dan tidak ada qishāsh, karena tidak mungkin menyesuaikan kadar qishāsh pada penglihatan yang setengah.

Jika para ahli menyatakan bahwa penglihatan dapat diukur secara presisi, dan mereka menyebut bahwa semakin jauh objek, maka penglihatan semakin lemah, dan mereka bisa mengukurnya dengan tepat, maka aku terima. Namun, jika mereka tidak bisa mengukurnya secara pasti, maka aku gunakan ukuran berdasarkan jarak pandang, karena itu lebih jelas.

Aku tidak melebihkan diyat dari apa yang terbukti melalui pengukuran jarak pandang.

Jika pelaku meminta agar korban disumpah bahwa ia benar tidak bisa melihat sejauh yang diklaim, maka aku minta korban bersumpah sebelum menetapkan ganti rugi.

Aku tidak bertanya pada ahli mata tentang seberapa pasti berkurangnya penglihatan, karena aku pernah dengar dari orang yang jujur dan berpengetahuan bahwa pengurangan daya penglihatan tidak bisa ditentukan secara presisi jika masih ada sisa penglihatan, kecuali dengan uji jarak pandang yang aku jelaskan tadi.

Jika seseorang memukul mata orang lain dan penglihatannya berkurang sebagian karena kesengajaan, tidak dikenakan qishāsh, karena tidak mungkin menyesuaikan pengurangan penglihatan pada pelaku secara proporsional.

Demikian juga jika mata korban memiliki bintik putih, lalu pelaku membuat penglihatannya hilang, maka tidak ada qishāsh.

Qishāsh hanya berlaku jika penglihatan benar-benar hilang total.

  • Jika matanya dicongkel (dikeluarkan), maka mata pelaku pun dicongkel.
  • Jika dipukul hingga matanya menonjol keluar namun tidak copot, maka korban tidak bisa melakukan hal yang sama, karena tidak mungkin meniru hal itu secara presisi.

Jika para ahli mengatakan bahwa hilangnya penglihatan bisa diukur dari jarak pandang dan mereka sepakat tentang itu, maka aku terima.

Namun jika mereka tidak bisa memastikan atau berbeda pendapat, maka aku kembalikan pada hasil pengukuran jarak pandang.

Jika penglihatannya hilang total dan matanya menonjol keluar, maka aku beri pilihan kepada korban:

  • Jika ia ingin mengambil qishāsh, maka pelaku diperlakukan dengan cara yang membuat penglihatannya hilang.
  • Jika tidak, maka ia berhak mengambil diyat.

Jika pelaku memukul hingga mata korban keluar dari tempatnya dan tidak kembali, maka pelaku pun dipukul hingga matanya keluar.

Jika korban berkata bahwa matanya keluar tetapi dapat dikembalikan lagi, namun penglihatannya tetap hilang, maka pelaku juga diperlakukan demikian, karena efeknya adalah kehilangan penglihatan.

Jika matanya kembali ke tempatnya karena masih ada syaraf yang tersisa dan tetap bisa melihat, maka tidak ada qishāsh, karena kondisi itu tidak bisa ditiru secara adil.

Korban tetap diberi pilihan:

  • Jika ingin, maka pelaku dikenai kehilangan penglihatan.
  • Jika tidak, maka cukup dengan diyat.

Jika pelaku memukul hingga mata korban berdarah, tapi penglihatan tidak hilang, maka:

  • Tidak ada qishāsh.
  • Tidak ada diyat penuh.
  • Tetapi ada ganti rugi ringan (ḥukūmah) dan pelaku tetap dihukum karena telah mencederai.

[Perselisihan antara pelaku dan korban tentang penglihatan]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Jika seseorang melakukan tindak penganiayaan pada mata orang lain, lalu ia berkata:

“Saya memang melukainya, tetapi dia sudah buta sebelumnya,”

maka korbanlah yang wajib mendatangkan bukti bahwa ia sebelumnya bisa melihat.

Bukti itu bisa diterima berupa kesaksian, misalnya para saksi melihat bahwa sebelumnya ia bertindak seperti orang yang melihat, menghindari rintangan seperti biasanya orang melihat, dan berperilaku seperti orang awas.

Demikian pula jika yang menjadi korban adalah anak kecil atau orang dengan gangguan jiwa, lalu pelaku berkata:

“Saya melukainya, dan ia memang tidak bisa melihat sejak awal,”

maka yang berlaku adalah: pelaku bersumpah, lalu wali korban harus mendatangkan bukti bahwa mereka sebelumnya bisa melihat — dan bukti itu sah jika terlihat dari perilaku mereka layaknya orang yang melihat.

Begitu pula pada anggota tubuh lain:

  • Jika pelaku memotong telinga dan berkata: “Telinganya memang sudah putus sebelumnya,” maka korban harus mendatangkan bukti bahwa telinganya sebelumnya masih utuh.

Jika seseorang datang kepada orang yang terbaring di bawah kain, lalu membelah tubuhnya menjadi dua, dan berkata, “Dia sudah mati saat saya membelahnya,” maka yang berlaku adalah:

  • Wajib bagi ahli waris korban untuk membuktikan bahwa korban masih hidup sebelum dibunuh.

Jika mereka bisa membuktikannya, maka ucapan pelaku tidak diterima, kecuali jika ia juga bisa mendatangkan bukti kuat bahwa korban sudah meninggal sebelum tindakannya.

(Al-Rabi‘ meriwayatkan) pendapat kedua yang menyatakan bahwa:

  • Orang yang dihancurkan rumahnya, dan terlihat masih hidup sebelumnya, maka kehidupan mereka tetap dihukumi ada sampai si pelaku membuktikan bahwa mereka sudah meninggal sebelum rumahnya dihancurkan.

[Penganiayaan terhadap mata yang masih ada bentuknya (عين قائمة)]

(Imam al-Syafi‘i berkata):

Aku tidak menjumpai satu pun ulama yang menyelisihi bahwa:

  • Tangan lumpuh (شلاء) atau tangan kaku total (tidak bisa membuka maupun menutup) tidak diberi diyat penuh, melainkan hanya diberi ganti rugi (ḥukūmah).

Diyat penuh hanya berlaku jika tangan itu masih berfungsi penuh, bisa membuka dan menutup.

Maka seperti itu pula hukumnya pada mata yang secara fisik masih utuh namun sudah tidak berfungsi atau tidak diketahui fungsi penglihatannya — tidak ada diyat penuh, melainkan hanya ada ganti rugi (ḥukūmah).

Aku mendengar sejumlah ulama mengatakan demikian tentang mata seperti ini, dan aku pun mengikuti pendapat itu.

Bagaimana cara menentukan nilai ganti rugi (ḥukūmah)?

Cara menentukannya adalah sebagai berikut:

  • Bayangkan jika ada seorang budak perempuan yang matanya masih ada (عين قائمة), meskipun ada cacat seperti bintik putih (بياض) atau bintik keras seperti kuku (ظفر), berapa nilainya saat itu?

Misalnya mereka berkata:

“Harganya adalah 50 dinar dalam kondisi matanya masih seperti itu.”

  • Lalu tanyakan, berapa harganya sekarang setelah matanya bengkak atau rusak karena luka (بخق) lalu sembuh?

Misalnya mereka berkata:

“Sekarang nilainya 40 dinar.”

Maka nilai pengurangannya adalah 10 dinar, dan diyatnya adalah seperlima dari total diyat penuh.

Jika mereka mengatakan nilainya sekarang 35 dinar, maka kerugian adalah 15 dinar, yaitu tiga per dua puluh dari diyat penuh (⅕ + ½/5 = 3/10 diyat).

Namun, jika mereka mengatakan bahwa luka itu mengurangi nilai setengah dari harga sebelumnya, maka aku tidak menerima hal itu, karena hal tersebut menurutku keliru dan tidak biasanya mereka menyatakannya demikian.

(Imam al-Syafi‘i berkata):

“Diyat dari mata yang masih berbentuk (عين قائمة) lebih sedikit dari setengah diyat, karena Rasulullah ﷺ menjadikan mata yang sehat bernilai setengah diyat, maka tidak mungkin mata yang hanya tinggal bentuknya saja disamakan dengan mata yang sehat.

Diriwayatkan bahwa Zaid bin Thābit pernah menetapkan 100 dinar untuk mata yang masih ada bentuknya itu. Mungkin maksud beliau adalah penilaian berdasarkan prinsip seperti ini.”

[Hilangnya Pendengaran]

(Dalam pembahasan tentang pendengaran):

(Imam al-Syafi‘i berkata):

  • Tidak ada qishāsh (balasan sepadan) dalam kasus kehilangan pendengaran, karena tidak mungkin dilakukan qishāsh secara adil untuk kasus tersebut.
  • Jika pendengaran hilang seluruhnya, maka dikenakan diyat penuh.
  • Jika seseorang memukul orang lain dan korban berkata,
  • “Aku menjadi tuli,”
  • maka dipanggillah para ahli yang memahami kondisi ketulian.
    • Jika para ahli berkata:
    • “Ketulian ini akan tetap jika sudah lewat masa tertentu,”
    • maka tidak boleh dihukumi sebagai kehilangan pendengaran sampai lewat masa itu.
    • Jika mereka berkata:
    • “Ketulian ini tidak memiliki batas waktu,” maka dilakukan pengujian dengan suara keras.
      • Jika korban masih menjawab, seperti orang yang bisa mendengar, maka tidak diterima klaimnya.
      • Namun, jika korban tidak merespons terhadap suara keras seperti orang tuli, maka pelaku disumpah:
      • “Sungguh pendengarannya telah hilang.”
      • Jika pelaku bersumpah, maka dikenakan diyat penuh.
    • Jika hanya satu telinga yang tidak mendengar, dan terbukti bahwa hanya satu sisi yang kehilangan pendengaran, maka dikenakan setengah diyat, karena itu setara dengan setengah dari keseluruhan fungsi pendengaran.

[Kehilangan Sebagian Pendengaran]

  • Jika pendengaran korban berkurang seluruhnya namun tidak sampai hilang total:
    • Jika penurunan pendengaran itu bisa diukur secara pasti, misalnya dapat ditentukan batas suara yang masih bisa didengar, maka korban berhak atas kompensasi (ḥukūmah) sebesar nilai penurunan pendengaran
    • Namun, Imam Syafi‘i sendiri menyatakan:
    • “Aku tidak mengira bahwa itu bisa diukur secara pasti dalam kondisi apa pun.”
  • Jika seseorang berkata:
  • “Aku tidak bisa mendengar dengan satu telinga,”
  • maka dilakukan pengujian:
    • Tutup telinga yang masih sehat, dan uji apakah telinga yang tersisa benar-benar tidak mendengar.
    • Jika tidak bisa diuji secara pasti, maka ucapan korban diterima disertai sumpah, dan ia berhak mendapat setengah diyat.

Kedua telinga (sebagai organ) berbeda dari pendengaran (fungsi). Maka jika kedua telinga dipotong, berlaku qishāsh; namun jika pendengaran hilang, maka berlaku diyat. Keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan masing-masing berdiri sendiri.

 

[Laki-laki yang sengaja membunuh dua orang dengan satu pukulan atau lemparan]

(Berkata asy-Syāfi‘ī – -): Jika seorang laki-laki dengan sengaja memukul dua orang laki-laki muslim yang sedang berdiri sejajar, duduk, atau berbaring dengan satu pukulan yang disengaja menggunakan pedang atau alat lain yang sejenis, lalu membunuh keduanya, maka atasnya qishāsh untuk masing-masing dari keduanya. Jika ia berkata, “Aku hanya bermaksud membunuh salah satu dari keduanya, sedangkan pedangnya lebih dahulu mengenai yang lain,” maka ia tidak dibenarkan, karena pedang mengenai keduanya sekaligus. Jika ia sengaja menusuk mereka dengan tombak, di mana tombak tidak sampai ke salah satunya kecuali setelah menembus yang pertama, atau ia memukul mereka dengan pedang sedangkan salah satunya berada di atas yang lain, lalu ia berkata, “Aku memang sengaja membunuh keduanya sekaligus,” maka atasnya qishāsh atas masing-masing dari keduanya.

(Berkata asy-Syāfi‘ī): Jika ia berkata saat melempar, menusuk, atau memukul dua orang laki-laki, sedangkan apa yang dilakukan kepada yang satu tidak sampai ke yang lain kecuali setelah mengenainya terlebih dahulu, “Aku bermaksud membunuh yang pertama yang aku tusuk, lempar, atau pukul, dan tidak bermaksud membunuh yang lain,” maka atasnya qishāsh untuk yang pertama, dan atas ‘āqilah-nya diyat untuk yang kedua, karena klaimnya bisa dibenarkan. Namun jika ia berkata, “Aku bermaksud membunuh yang terakhir yang terkena tusukan atau lemparan, dan tidak bermaksud membunuh yang pertama,” padahal disaksikan bahwa ia menusuk, melempar, atau memukul yang pertama terlebih dahulu, maka ia terkena qishāsh untuk keduanya, atas yang pertama karena tidak bisa dibenarkan, dan atas yang kedua karena ia mengaku sengaja membunuhnya.

(Berkata asy-Syāfi‘ī): Jika seseorang memukul orang yang memakai helm dan baju zirah, lalu orang itu terbunuh setelah potongan senjatanya menembus lapisan pelindungnya, maka ia dikenai qishāsh, meskipun ia berkata, “Aku hanya bermaksud mengenai helm dan baju zirah.” Ia tidak dipercaya, karena pelindung itu menyatu dengan tubuhnya.

[Kekurangan pada pelaku kejahatan yang dikenai qishāsh]

(Berkata asy-Syāfi‘ī – -): Jika seseorang membunuh orang lain, dan korban dalam keadaan sehat, sedangkan pelaku dalam keadaan sakit, atau tidak memiliki kedua tangan atau kaki, atau buta, atau mengidap lepra atau belang, lalu ahli waris korban berkata, “Ia lebih rendah daripada kerabat kami,” maka dikatakan kepada mereka: “Selama ia hidup dan kalian menginginkan qishāsh, maka nyawa dibalas dengan nyawa, dan anggota tubuh mengikuti nyawa. Kami tidak peduli apakah tubuhnya utuh atau tidak, sebagaimana jika yang terbunuh itu orang yang sehat dan pelaku dalam kondisi seperti itu atau lebih buruk, kami tetap menegakkan qishāsh atas kalian.” Karena yang dibalas adalah nyawa dengan nyawa, dan tidak dilihat pada anggota tubuh yang hilang atau masih ada.

Jika ahli waris berkata, “Orang ini telah memotong tangan dan kaki kerabat kami sebelum membunuhnya, padahal sekarang ia tidak memiliki tangan dan kaki, maka berikan kami ganti rugi atas tangan dan kaki yang telah hilang,” maka dikatakan kepada mereka: “Jika kalian membunuhnya, maka kalian telah mengambil keseluruhan jiwa dan anggota tubuhnya. Anggota tubuh itu ikut hilang bersama jiwanya, dan tidak ada kompensasi atas anggota tubuh yang telah hilang, sebagaimana juga tidak ada pengurangan terhadap kalian jika yang terbunuh adalah orang yang anggota tubuhnya telah hilang, dan pelakunya orang yang utuh tubuhnya—maka ia tetap dibunuh karenanya, dan pembunuhan itu berarti menghilangkan seluruh anggota tubuhnya.”

Dan apabila seorang laki-laki membunuh orang lain, lalu seorang pihak asing menyerang si pembunuh dan memotong kedua tangannya atau kedua kakinya dengan sengaja, maka ia (si pembunuh) berhak melakukan qishāsh atau mengambil harta (sebagai diyat), jika ia menghendaki. Dan apabila ia mengambil harta, maka wali korban pembunuhan tidak memiliki hak atas harta tersebut dalam keadaan itu hingga ia memilih antara qishāsh karena pembunuhan atau mengambil diyat. Demikian pula jika ia melukainya karena kesalahan, maka wali korban pembunuhan tidak memiliki hak atas harta tersebut. Dikatakan kepadanya: “Jika engkau mau, bunuhlah; dan jika engkau mau, pilihlah untuk mengambil diyat.” Jika ia memilih untuk mengambil diyat, maka diyat tersebut diambil dari harta mana pun yang dimiliki, baik dari harta diyat maupun selainnya.

Dan jika seorang membunuh orang lain, lalu pihak asing menyerang si pembunuh dan melukainya dengan luka apapun, maka wali korban pembunuhan pertama diberikan pilihan untuk membunuhnya dalam kondisi itu, meskipun ia sedang sakit parah yang akan menyebabkan kematian, atau mengambil diyat. Jika ia memilih untuk membunuhnya, maka ia berhak melakukannya. Penyakit atau cacat apapun tidak dapat menghalangi pelaksanaan hukuman mati, karena hukuman mati adalah pembinasaan jiwa. Namun, cacat atau penyakit dapat menghalangi pelaksanaan qishāsh dan hudūd selain pembunuhan, hingga ia sembuh darinya. Dan apabila ia membunuhnya dalam keadaan sakit, maka para ahli waris dari yang terbunuh memiliki hak terhadap pelaku luka tersebut, apakah ingin menuntut qishāsh atau diyat.

Dan jika wali korban memilih untuk membunuhnya, tetapi tidak melakukannya hingga ia mati karena luka yang disebabkan oleh pihak asing tersebut, maka bagi ahli waris korban pembunuhan pertama adalah diyat dari harta si pembunuh. Dan bagi ahli waris si pembunuh pertama, yang kemudian dibunuh oleh pihak asing, mereka berhak atas pelakunya untuk menuntut qishāsh atau diyat. Jika mereka menuntut qishāsh, maka diyat untuk korban pertama diambil dari harta si pembunuh. Dan jika si pembunuh tidak memiliki harta, lalu para ahli waris korban pertama meminta kepada ahli waris dari si pembunuh (yang terbunuh terakhir) untuk mengambil diyat agar dapat diberikan kepada korban mereka, maka itu tidak diperkenankan. Karena si pembunuh adalah orang yang telah melakukan tindakan yang menjadikannya layak dihukum qishāsh, maka hukum Allah Ta‘ālā terhadapnya tidak gugur hanya karena ia tidak memiliki harta, sehingga tidak boleh diberikan diyat kepada ahli waris korban pertama atas korban mereka.

Demikian pula dalam kasus luka: jika seseorang memotong tangan kanan orang lain, lalu orang ketiga memotong tangan kanan si pelaku, dan si pelaku tidak memiliki harta, lalu korban yang pertama berkata, “Tangan kanan ini dulunya milikku, aku ingin menuntut balas darinya, tetapi ia tidak memiliki harta untuk membayar tanganku, maka berikanlah aku dari pelaku yang memotong tangannya ini,” maka dikatakan: “Sesungguhnya bagimu hanya ada pilihan antara qishāsh atau harta, jika engkau tidak memilih salah satunya, maka kami tidak memaksamu untuk mengambil harta sebagaimana yang engkau kehendaki dan menjualkan tangannya sebagai pengganti. Jika suatu saat ia memiliki harta, maka ambillah. Jika tidak, maka itu adalah hak piutang yang tertunda.”

Dan apabila ia berkata, “Aku telah memaafkan baik qishāsh maupun harta,” maka ia tidak dipaksa untuk mengambil salah satunya. Sesungguhnya itu hanya hak, bukan kewajiban. Dan jika ia memiliki utang kepada pihak lain, maka hakim sepatutnya—apabila tangan seseorang dipotong, lalu tangannya dipotong pula—menyaksikan bagi korban pertama bahwa harta si pelaku yang tangannya dipotong belakangan telah ditahan untuknya. Jika telah disaksikan demikian, maka korban yang terakhir berhak untuk melakukan qishāsh kecuali jika ia memilih untuk meninggalkannya.

Dan apabila ia memilih untuk meninggalkannya beserta hartanya, maka dilihat: jika ia memiliki harta yang dapat dibayarkan sebagai diyat tangan orang yang dipotong, maka diyat itu diambil dari hartanya dan pemaafannya diperbolehkan. Jika tidak, maka tidak diperbolehkan pemaafan atas harta, dan hartanya ditahan untuk para krediturnya.

[Keadaan yang jika seseorang membunuh dengannya maka dikenai qishash]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Barang siapa yang melukai seseorang yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, yang disangka oleh orang-orang yang hadir bahwa ia akan mati seketika itu, lalu ia memukulnya dengan benda tajam hingga orang itu mati seketika, maka ia dihukum qishash, karena bisa jadi orang yang disangka mati itu masih bisa hidup. Jika orang-orang yang hadir mengira bahwa orang tersebut telah mati lalu mereka bersaksi bahwa dia sudah mati, kemudian datang orang lain menyembelih atau memukulnya, maka pelakunya dihukum tetapi tidak dikenai diyat maupun qishash. Jika ada seseorang yang telah dilukai oleh orang lain dengan luka-luka yang banyak atau sedikit yang disangka masih bisa hidup dari luka-luka tersebut, atau luka itu tidak mematikan secara langsung, lalu datang orang lain menyembelihnya di tempat, atau membelahnya menjadi dua, atau memukul kepalanya, atau menikamnya dengan pisau hingga ia mati seketika, maka ia adalah pembunuh dan dikenai qishash serta diyat penuh, jika para ahli waris menghendakinya. Adapun pelaku luka sebelumnya hanya dikenai qishash atas lukanya atau diyat luka dan tidak dihukumi sebagai pembunuh, kecuali jika ia telah memotong tenggorokan dan kerongkongannya, karena siapa yang memotong tenggorokan dan kerongkongan, maka tidak mungkin lagi hidup setelah itu. Jika masih ada sisa ruh, itu seperti sisa ruh pada hewan yang disembelih. Begitu pula jika ia memenggal lehernya dan memotong tenggorokan dan kerongkongan, atau membelahnya menjadi dua hingga hanya tergantung kulitnya, atau memotong isi perut dan mengeluarkannya dari tubuh, maka ia dihukum, dan tidak ada diyat atau qishash atasnya. Adapun pelaku luka sebelumnya tetap dikenai qishash atau diyat atas lukanya dan tidak terpengaruh oleh perbuatan pelaku kedua. Jika seseorang hanya memotong tenggorokan tanpa memotong kerongkongan, atau sebaliknya, maka ditanyakan kepada para ahli, jika mereka berkata bahwa seseorang masih mungkin hidup dengan pengobatan selama setengah hari, sepertiga hari, atau lebih, maka pelaku kedua adalah pembunuh, dan pelaku pertama terbebas dari tuduhan pembunuhan. Namun jika mereka berkata bahwa orang tersebut tidak mungkin hidup, dan hanya tersisa ruh sebentar saja, maka pelaku pertama adalah pembunuh dan pelaku kedua tidak. Demikian pula jika seseorang menusuk usus dan melubanginya, karena seseorang masih bisa hidup setelah ususnya tertusuk selama ususnya tidak keluar dari tubuhnya. Usus ‘Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – pernah tertusuk di dua tempat dan beliau masih hidup selama tiga hari. Jika dalam kondisi seperti itu ada seseorang yang membunuhnya, maka ia adalah pembunuh, dan pelaku tusukan sebelumnya terbebas dari pembunuhan dalam hukum. Jika pelaku kedua adalah pembunuh, maka pelaku pertama tidak dihukum atas pembunuhan, hanya atas luka. Jika luka itu disengaja, maka diyat-nya dari hartanya; jika tidak disengaja, maka diyat-nya dari ‘āqilah. Jika pelaku pertama dibenarkan sebagai pembunuh, maka pelaku kedua hanya dikenai hukuman (ta‘zīr), dan tanggung jawab pembunuhan ada pada pelaku pertama.

Baik perbuatan pelaku kedua disengaja atau tidak, jika ia yang dinilai sebagai pembunuh, maka atasnya qishash; jika tidak sengaja, maka atas ‘āqilah-nya diyat. Jika dua orang melukai seseorang dengan luka-luka yang tidak mematikan secara langsung – seperti menyembelih, membelah tubuh, dan semisalnya – lalu datang orang ketiga memukulnya dan ia mati seketika karena pukulan itu, maka jika pukulan itu tidak mematikan secara langsung, lalu ia mati di tempat sebelum sempat mengangkat pukulan itu, maka orang ketiga itulah yang dihukumi pembunuh, bukan dua orang yang melukainya lebih dulu. Namun, jika ia masih hidup beberapa saat setelah itu, baik sebentar maupun lama, maka ia dihukumi dibunuh oleh ketiganya bersama-sama. Ia tidak dianggap dibunuh secara tunggal kecuali pukulan ketiga itu adalah pukulan mematikan seperti sembelihan, pembelahan perut, atau pukulan yang membunuh seketika dan tidak memungkinkan hidup setelahnya.

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Dan jika seseorang dilukai dengan luka-luka, lalu belum sembuh, kemudian datang orang lain dan melukainya lagi hingga mati, lalu para ahli waris korban berkata, “Ia mati seketika karena luka dari orang kedua, bukan dari luka-luka sebelumnya,” sementara si pelaku menyangkal, maka pernyataannya diterima disertai sumpah. Adapun para wali korban luka sebelumnya, jika tidak dapat mendatangkan bukti, maka pelaku kedua dihukumi sebagai pembunuh bersama, dan mereka tidak berhak membunuh pelaku luka sebelumnya, kecuali jika terbukti bahwa korban mati karena luka dari pelaku kedua tanpa dipengaruhi luka sebelumnya. Jika pelaku pertama mengakui bahwa korban mati karena luka dari pelaku kedua dan bukan dari luka-lukanya, maka mereka tidak dikenai qishash atas pembunuhan, hanya atas luka jika para ahli waris menginginkannya.

[Luka-luka setelah luka-luka]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang memotong kedua tangan seseorang atau kedua kakinya atau lebih dari itu, lalu membunuhnya atau melakukan yang lebih dari yang telah disebutkan, dan korban tidak sempat sembuh dari satu pun luka hingga ia dibunuh dengan disembelih atau dipukul sampai mati, maka jika para wali korban menghendaki diyat, mereka hanya mendapatkan satu diyat saja, karena ketika korban menjadi mayat, maka semua luka menjadi ikutannya. Jika mereka menghendaki qishash, maka mereka berhak atas qishash jika pembunuhan itu disengaja seperti yang telah dijelaskan. Perbuatan pelaku luka jika satu orang berbeda dengan jika dua orang. Jika yang melukainya pertama adalah dua orang, lalu salah satu dari mereka membunuhnya, maka pembunuh itu dikenai hukuman pembunuhan atau diyat penuh, dan orang pertama dikenai setengah dari diyat luka jika para ahli waris menghendakinya, apabila keduanya melukainya bersama-sama. Jika hanya satu dari mereka yang melukai, maka atasnya qishash atas luka yang ia lakukan sendirian, atau diyat-nya penuh, karena pembunuhan dilakukan oleh orang lain, maka atasnya seluruh tanggung jawab luka, sebanyak apa pun.

Demikian pula jika dua orang melukai, lalu orang ketiga menyembelih, maka orang ketiga adalah pembunuh, dan atas dua orang pertama adalah diyat atau qishash dari luka-luka. Jika seseorang melukai korban, lalu sembuh dari lukanya, lalu membunuhnya setelah sembuh, maka atasnya diyat penuh atau qishash atas pembunuhan, dan atasnya pula diyat atau qishash atas luka jika luka itu telah sembuh, karena luka dan pembunuhan merupakan dua tindakan terpisah. Seperti jika ia memotong kedua tangan korban, lalu sembuh, kemudian ia membunuhnya, maka atasnya hukuman pembunuhan jika para ahli waris menghendakinya, dan juga diyat atas kedua tangan. Jika mereka menghendaki qishash atas kedua tangan, lalu diyat atas nyawa, atau qishash atas tangan dan pembunuhan sekaligus. Namun jika kedua tangan belum sembuh hingga ia membunuhnya, maka hanya dikenai satu diyat jika mereka menghendaki diyat, atau qishash atas nyawa dan tangan, yakni dipotong dahulu kedua tangannya, lalu dibunuh. Jika mereka membunuhnya tanpa memotong tangannya, maka mereka tidak mendapatkan hak atas kedua tangan karena luka-luka itu belum sembuh, dan luka-luka itu menjadi bagian dari tindakan pembunuhan dan gugur jika pembunuhan telah dilakukan. Jika mereka mengambil diyat penuh, maka mereka tidak bisa memotong tangannya dan mengambil diyat nyawa; mereka hanya bisa memotong tangannya jika hendak membunuhnya saat itu juga secara qishash.

Jika pelaku berkata: “Aku telah memotong kedua tangannya dan belum sembuh hingga aku membunuhnya,” sedangkan para wali korban berkata: “Namun kedua tangannya telah sembuh, lalu ia membunuhnya,” maka pernyataan pelaku diterima, karena jika tidak, maka ia akan dikenai dua diyat jika para wali menghendakinya, dan tidak dibebani lebih dari pengakuannya kecuali dengan bukti atau pengakuannya sendiri. Jika mereka mendatangkan bukti bahwa kedua tangannya telah sembuh, maka pernyataannya tidak diterima hingga mereka menjelaskan kondisi sembuhnya dengan sesuatu yang diketahui oleh para ahli sebagai tanda sembuh, maka diterima. Jika mereka mengatakan: “Telah berlalu masa pemulihannya,” atau semacam itu, maka tidak diterima. Jika bukti sembuhnya telah diterima, lalu pelaku berkata: “Namun kemudian lukanya kambuh setelah sembuh,” dan para wali korban mendustakannya, maka pernyataan para wali yang diterima. Atas pelaku beban pembuktian bahwa luka-luka itu kambuh karena perbuatannya, karena pengakuan atas sembuhnya telah diberikan kepada mereka, maka tidak bisa ditolak dengan klaim pelaku semata.

[Seorang laki-laki membunuh orang lain lalu dibunuh oleh orang asing]

(Imam al-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang membunuh orang lain secara sengaja, lalu orang asing yang bukan ahli waris dari korban datang dan membunuh si pembunuh, maka ditanyakan: apakah pembunuhan itu dibuktikan dengan pengakuan atau saksi? Setelah terbukti dengan pengakuan atau saksi, dan setelah diserahkan kepada para wali korban untuk membunuhnya atau mengambil diyat atau memaafkan—maka semua keadaan itu sama saja. Atas pembunuh asing tersebut wajib qishash, kecuali para ahli waris korban memilih untuk mengambil diyat atau memaafkan. Jika ia mengaku tidak tahu dan mengatakan bahwa ia mengira darahnya halal, maka hal itu tidak menggugurkan kewajiban qishash darinya. Jika ia mengaku bahwa wali korban yang memiliki hak qishash memerintahkannya untuk membunuh si pembunuh, dan wali tersebut mengakuinya, maka tidak ada diyat, qishash, atau hukuman atas si pembunuh karena dia adalah pelaksana perintah wali korban.

Jika ia mengklaim bahwa wali korban yang memiliki hak qishash memerintahkannya membunuh, namun wali tersebut mendustakannya, maka wali korban disumpah bahwa dia tidak memerintahkannya. Jika ia bersumpah, maka atas pembunuh asing itu qishash, dan wali korban berhak atas diyat dari harta pembunuh tersebut. Jika wali enggan bersumpah, maka pembunuh asing itu bersumpah bahwa dia diperintahkan, dan tidak ada yang wajib atasnya, serta tidak ada hak bagi wali korban atas hartanya ataupun harta pembunuh korban mereka.

Jika korban memiliki dua ahli waris dan salah satu dari mereka memerintahkannya membunuh, sedang yang lain tidak, maka dia tidak dibunuh karenanya. Para wali korban dari pihak pembunuh berhak mengambil setengah diyat dari orang asing yang membunuh tanpa izin seluruh ahli waris, dan ahli waris itu dapat mengambil bagian diyat dari harta korban kecuali jika ia memaafkannya. Para ahli waris tidak boleh menuntut orang yang memerintahkan karena ia memang memiliki hak untuk memerintah pembunuhan.

Jika korban hanya memiliki satu ahli waris, dan diputuskan baginya hak qishash, lalu datang orang asing membunuh pembunuh tanpa izinnya, maka para ahli waris korban kedua berhak menuntut qishash atau diyat atas orang asing tersebut. Sedangkan wali korban pertama berhak atas diyat dari harta pembunuh temannya, bukan dari orang yang membunuh pembunuh temannya.

Jika ada seorang yang mengaku di hadapan seorang imam bahwa dia membunuh orang tanpa melakukan perampokan di jalan, lalu imam terburu-buru membunuhnya, maka imam itu wajib dikenai qishash, kecuali para ahli waris memilih untuk mengambil diyat. Karena Allah tidak menjadikan hak pembunuhan pada imam, melainkan pada wali korban, sebagaimana firman-Nya: “Barang siapa dibunuh secara zalim, maka Kami telah jadikan untuk walinya kekuasaan. Maka janganlah ia melampaui batas dalam pembunuhan.” (QS. Al-Isra: 33)

(Imam al-Syafi‘i berkata): Melampaui batas dalam pembunuhan adalah membunuh selain dari si pembunuh — wallahu a‘lam. Demikian juga jika telah diputuskan untuk membunuhnya dan ia diserahkan kepada para wali korban, lalu mereka berkata, “Kami yang akan membunuhnya,” namun kemudian imam yang membunuhnya, maka imam itu terkena qishash. Karena mereka masih bisa memilih untuk tidak membunuh, dan mereka memiliki hak untuk memilih siapa yang akan mengeksekusi. Imam tidak berhak atas darah tersebut, dan begitu pula siapa pun selain para wali. Ini berbeda dari kasus orang yang dihukum rajam oleh imam karena zina lalu dibunuh oleh imam atau orang asing — dalam kasus ini, tidak ada kewajiban apapun atas si pembunuh, karena darahnya memang tidak halal untuk dilindungi kecuali ia mencabut pengakuannya atau saksi-saksi menarik kesaksian mereka. Demikian pula orang murtad yang dibunuh oleh imam atau orang asing — darahnya halal demi hak Allah, bukan karena hak manusia, dan tidak ada hak memaafkan padanya seperti halnya wali korban memaafkan pembunuh orang mereka.

Jika seseorang membunuh orang lain dengan sengaja, lalu orang asing datang dan membunuh si pembunuh, sementara orang asing ini adalah orang yang tidak bisa dibunuh karena membunuh korban—seperti anak kecil yang belum baligh, atau orang yang hilang akal, atau seorang Muslim yang membunuh kafir—maka si pembunuh tetap harus membayar diyat korban. Para ahli waris korban pertama berhak mengambil diyat dari si pembunuh pembunuh mereka. Jika diyat itu mencukupi nilai diyat korban mereka, maka itu menjadi milik mereka. Jika melebihi, maka sisanya dikembalikan kepada ahli waris dari korban pembunuh. Jika kurang, mereka mengambil sisanya dari hartanya. Jika si pembunuh (yang dibunuh) memiliki hutang karena tindak pidana lain, maka para ahli waris korban pertama menjadi sekutu dalam harta diyat itu bersama kreditur lainnya, dan mereka tidak lebih berhak atas harta tersebut dibanding para kreditur lain, karena diyat itu adalah harta dari harta si pembunuh dan mereka tidak lebih berhak atasnya.

[Kejahatan terhadap kedua tangan dan kaki]

(Imam al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika tangan dipotong dari pergelangan telapak, maka baginya setengah diyat. Jika dipotong dari lengan bawah, siku, atau antara lengan bawah dan siku, maka baginya setengah diyat dan tambahan berupa hukūmah (takaran kompensasi tambahan) sesuai kelebihan dari pergelangan. Tambahan itu tidak mencapai diyat penuh, sekalipun sampai ke bahu, tetap hanya diyat telapak tangan. Sama saja apakah itu tangan kanan, kiri, tangan kidal, atau bukan.

Demikian pula dengan kaki: jika salah satunya dipotong dari pergelangan mata kaki, maka baginya setengah diyat. Jika dipotong dari betis, lutut, atau paha hingga seluruh paha, maka baginya setengah diyat dan tambahan berupa hukūmah, sebagaimana dijelaskan pada tangan, dan tambahan itu tidak mencapai diyat penuh. Jika sampai ke pangkal paha, maka baginya diyat kaki sempurna.

Jika tangan dipotong dari bahu atau salah satu kaki dari pangkal paha, dan tidak termasuk dalam kategori luka dalam (jā’ifah), maka hukumnya seperti yang dijelaskan. Namun, jika salah satunya tergolong luka dalam, maka baginya diyat tangan atau kaki serta hukūmah untuk tambahan, dan diyat luka dalam.

Kaki orang pincang, jika telapak kakinya sehat lalu terpotong, dan tangan orang kidal jika telapaknya sehat, maka sama hukumnya dengan tangan orang yang bukan kidal dan kaki orang sehat. Diyat hanya berlaku jika kelima jarinya sempurna. Jika hanya empat jari, maka baginya empat per lima diyat, dan hukūmah untuk telapak. Hukūmah ini tidak mencapai diyat satu jari.

Jika kelima jarinya ada tapi salah satunya lumpuh, maka baginya empat per lima diyat, dan hukūmah untuk telapak dan jari lumpuh. Nilai jari lumpuh lebih besar dari hukūmah telapak karena dianggap hanya empat jari. Jika terdapat enam jari, maka baginya setengah diyat dan hukūmah untuk jari tambahan. Begitu pula jika terdapat dua atau lebih jari tambahan, maka ditambahkan hukūmah sebesar nilai tambahan jari-jari tersebut.

Tidak ada perbedaan antara kaki orang pincang dan kaki orang sehat kecuali jika terjadi kejahatan terhadap keduanya. Jika kaki pincang bertambah parah atau kaki sehat menjadi pincang, maka hukūmah pada kaki sehat lebih besar. Namun jika keduanya terpotong atau lumpuh, maka tidak ada perbedaan.

Jika tangan lumpuh dipotong, maka baginya hukūmah. Kelumpuhan adalah kaku pada telapak tangan hingga jari-jarinya juga kaku, atau hanya jari-jari saja yang kaku. Jika jari-jari selalu dalam keadaan menggenggam tanpa bisa terbuka, atau bisa dibuka namun kembali menggenggam tanpa usaha, atau terbuka tanpa bisa menggenggam, atau hanya menggenggam dengan usaha dan kembali terbuka sendiri, maka itu disebut lumpuh.

Baik kelumpuhan berasal dari kelemahan pada persendian telapak maupun jari, maka dalam keduanya berlaku diyat. Jika kelumpuhan berasal dari kelemahan pada lengan atas atau bahu, maka baginya hukūmah.

Jika jari-jari atau telapak tangan bengkok namun masih bisa menggenggam dan membuka, maka baginya hukūmah. Jika setelahnya mengalami kejahatan lagi, maka baginya diyat penuh. Demikian pula jika jari-jari pernah retak dan sembuh tetap bisa menggenggam dan membuka, meski ada bekas seperti lubang, maka baginya hukūmah ditambah sesuai dengan kecacatan dan rasa sakit. Jika terjadi kejahatan setelahnya, maka baginya diyat penuh.

Tangan laki-laki yang kuat sempurna atau yang lemah dan buruk bentuknya jika jari-jarinya selamat dari kelumpuhan, maka nilai diyatnya tidak berbeda. Demikian pula telapak yang bengkok karena bawaan lahir atau karena luka, jika jari-jari selamat dari kekakuan, maka cacatnya tidak mengurangi nilai diyat.

Hukum kaki sama seperti tangan. Tidak ada perbedaan apakah yang dipotong itu kaki satu-satunya atau satu dari dua kaki—diyat kaki adalah setengah diyat. Demikian pula tangan, apakah satu-satunya atau satu dari dua tangan—diyatnya setengah.

Jika seseorang memiliki dua telapak tangan atau dua tangan yang tumbuh di tangan kanan, atau tumbuh di tangan kiri, atau di kanan dan kiri sekaligus hingga memiliki empat tangan, maka diperiksa. Jika lengan atas dan bawahnya satu dan telapak tangannya terpisah pada satu sendi, dan yang terpotong adalah yang tidak bisa digunakan untuk menggenggam, maka baginya diyat dan qishāsh jika dilakukan dengan sengaja. Jika yang terpotong adalah yang tidak digunakan menggenggam, maka baginya hukūmah dan dianggap seperti jari tambahan pada tangan normal.

Dan jika ia dapat menggunakan kedua tangannya untuk memegang, maka tangan yang lebih kuat digunakanlah yang dianggap sebagai tangan sempurna, baik letaknya lurus di atas sendi lengan bawah atau tidak lurus. Adapun tangan lainnya dianggap sebagai tangan tambahan, baik letaknya lurus di atas sendi lengan bawah atau menyimpang.

Jika kekuatan keduanya sama dan salah satunya lurus di atas sendi lengan bawah, maka tangan yang lurus itulah yang dianggap sebagai tangan utama yang padanya berlaku qishāsh dan diyat penuh, dan yang lain dianggap sebagai tambahan. Jika keduanya tumbuh dari satu tempat di sendi lengan bawah dan tidak ada salah satu yang lebih lurus dari yang lain, dan ia tidak bisa memegang dengan salah satu dari keduanya kecuali seperti dengan yang lainnya, maka keduanya dianggap sebagai dua telapak tangan yang kurang sempurna. Jika salah satunya terpotong sendiri maka tidak sampai diyat satu telapak tangan penuh, tetapi ditetapkan padanya hukūmah yang melebihi setengah diyat satu telapak tangan. Jika keduanya terpotong bersama, maka ditetapkan padanya diyat satu telapak tangan, dan melebihi diyat satu telapak tangan sebagaimana telah dijelaskan bahwa masing-masing ditambah lebih dari setengah diyat satu telapak tangan.

Begitu pula jika satu jari dari keduanya terpotong atau jika telapak tangannya lumpuh atau satu jari dari jari-jarinya. Begitu juga jika ia memiliki dua lengan dan dua bahu dan pangkal pundak, maka hukum padanya sama sebagaimana jika ia memiliki dua telapak tangan dalam satu lengan, tidak berbeda kecuali dalam tambahan hukūmah untuk pemotongan kedua lengan atau kedua bahu, atau dua lengan dengan telapak tangannya, maka ditambah nilai hukūmahnya berdasarkan tambahan rasa sakit dan cacat.

Jika ia memiliki dua telapak tangan dalam satu lengan, salah satunya jari-jarinya tidak lengkap dan yang lainnya lengkap, atau salah satunya memiliki jari tambahan dan yang lainnya lengkap atau kurang, maka telapak tangan yang digunakan untuk bekerja itulah yang dianggap sebagai tangan utama. Jika keduanya digunakan untuk bekerja, maka yang lebih kuat digunakanlah yang utama. Jika kekuatan keduanya sama, maka tangan yang letaknya lebih lurus di lenganlah yang utama. Jika keduanya sama, maka yang lebih lengkap jari-jarinya adalah tangan utama, dan yang lainnya dianggap sebagai tambahan. Jika salah satunya tambahan dan yang lainnya tidak, maka keduanya setara dan tidak ada yang lebih utama dari yang lain sebagai tangan pokok. Begitu juga jika keduanya merupakan tambahan.

Jika seseorang diciptakan dengan dua telapak tangan dalam satu lengan, salah satunya di atas yang lainnya dan terpisah, lalu ia dapat memegang dengan tangan yang di bawah yang digunakan untuk bekerja, baik pegangan itu lemah ataupun kuat, dan tangan itu selamat, serta ia tidak menggunakan yang atas, maka tangan bawah itulah yang dianggap sebagai tangan utama yang padanya berlaku qishāsh dan diyat penuh, dan tangan atas sebagai tambahan. Jika ia tidak dapat menggunakan tangan bawah sama sekali, maka tangan itu seperti lumpuh dan tidak dianggap selamat jari-jarinya kecuali jika ia dapat menggunakannya untuk mengambil sesuatu, meskipun lemah.

Jika ia dapat menggunakan tangan atas, maka itulah tangan utamanya. Jika ia tidak bisa menggunakannya dan hanya terlihat secara fisik sehat, kemudian dipotong, maka tidak berlaku padanya qishāsh dan tidak pula diyat satu telapak tangan penuh. Ia tidak pernah dianggap sebagai tangan yang bisa memegang hanya dengan penampakan luar, kecuali dengan kesaksian bahwa tangan itu digunakan untuk memegang atau semacamnya seperti menggenggam, membuka, atau mengambil sesuatu.

(Al-Syafi‘i berkata –  -): Jika seseorang diciptakan dengan dua telapak kaki pada satu betis, dan ia menginjak dengan keduanya sekaligus, serta jari-jarinya semua selamat, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang lebih berhak disebut sebagai “kaki” dibandingkan yang lain. Jika salah satunya dipotong secara sendiri, maka tidak berlaku qishāsh padanya, dan hanya dikenakan hukūmah yang melebihi setengah dari diyat kaki. Jika keduanya dipotong sekaligus, maka pada pemotongnya berlaku qishāsh dan hukūmah.

Jika yang pertama dipotong, maka padanya berlaku hukūmah, lalu yang kedua dipotong dalam keadaan selamat dan ia masih bisa berjalan di atasnya setelah kehilangan yang pertama, maka pada pemotong yang kedua berlaku qishāsh dan hukūmah untuk pemotongan yang pertama. Namun jika yang memotong yang kedua adalah orang lain, maka tidak berlaku qishāsh pada keduanya, dan masing-masing dikenakan hukūmah yang lebih dari setengah dari diyat kaki.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang yang kehilangan salah satu dari dua kakinya seperti itu berkata: “Qishāshlah dariku hanya sebatas jari-jari saja,” maka tidak dilakukan qishāsh; karena jari-jarinya tidak sama dengan jari-jari orang lain. Jika dua kaki itu tumbuh dari satu betis, salah satunya tumbuh secara lurus dari tempat keluarnya tulang betis, sementara yang lain bengkok atau menyimpang dari keluarnya tulang betis, dan ia menginjak dengan keduanya sekaligus, maka kaki yang lurus pada tempat keluarnya tulang betis itulah yang dianggap sebagai kaki utama dan padanya berlaku qishāsh, sedangkan yang lainnya adalah tambahan dan padanya hanya hukūmah.

Jika yang lurus tersebut lebih pendek dari yang menyimpang, dan ia justru lebih banyak menginjak pada yang menyimpang dengan pijakan yang lurus, kemudian kaki yang menyimpang itu terpotong, maka tidak langsung diberlakukan qishāsh padanya sampai ditinjau ulang. Jika setelah itu ia bisa menginjak lurus pada kaki yang lurus, maka yang lurus itulah yang dianggap sebagai kaki utama, dan yang menyimpang sebelumnya adalah penghalang karena panjangnya. Maka, ketika yang menyimpang hilang, ia bisa menginjak lurus pada yang lurus. Maka pada kaki pertama hanya berlaku hukūmah, bukan qishāsh, dan jika kaki kedua kemudian dipotong, maka barulah berlaku qishāsh dan diyat kaki secara penuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika tidak bisa menginjak sama sekali pada kaki lurus itu, maka kaki yang pertama adalah kaki utama dan padanya berlaku qishāsh jika cedera, serta diyat kaki secara penuh, sedangkan pada kaki kedua jika kemudian cedera hanya berlaku hukūmah.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika kaki itu tidak terpotong tapi hanya terluka hingga menjadi lumpuh dan tidak bisa dipakai menginjak, maka padanya berlaku diyat kaki secara penuh. Jika kemudian kaki itu dipotong dan sebelumnya sudah ditetapkan diyat, lalu ternyata setelah itu ia bisa menginjak menggunakan kaki yang lain, maka keputusan awal tentang diyat dibatalkan, dan diganti dengan hukūmah, kemudian selisih antara hukūmah dan diyat dikembalikan, karena ternyata kaki satunya adalah kaki utama, dan padanya kemudian diberlakukan qishāsh secara penuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Dan hukum atas kaki jika dipotong dari betis atau paha, sama halnya seperti tangan yang dipotong dari lengan bawah atau lengan atas, tidak ada perbedaan.

[Kejahatan terhadap dua pantat]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika kedua pantat laki-laki atau perempuan dipotong, maka pada keduanya dikenakan diyat penuh, dan pada masing-masing setengah diyat. Begitu pula pada pantat anak kecil. Siapa pun yang pantatnya dipotong, besar atau kecil, maka hukumnya sama. Kedua pantat adalah seluruh bagian yang menonjol di atas punggung dari dua tulang pantat hingga bagian atas kedua paha. Apa pun yang dipotong dari keduanya dihitung secara proporsional. Jika memungkinkan untuk melakukan qishāsh terhadap keduanya, maka dikenakan qishāsh jika pemotongannya dilakukan secara sengaja. Apa yang dipotong dari pantat dikenakan diyat secara proporsional. Jika hanya disayat, maka dikenakan hukūmah. Jika bagian pantat dipotong dan terpisah lalu tumbuh kembali atau tidak tumbuh kembali, hukumnya tetap sama. Dan pada bagian yang terpisah dari keduanya dikenakan diyat secara proporsional. Jika dipotong tapi tidak terpisah lalu dikembalikan dan menyatu kembali, maka padanya hanya hukūmah. Ini seperti sayatan yang kemudian sembuh, dan berbeda dengan bagian yang terpisah lalu tumbuh bagian baru, atau bagian yang kembali menyatu sendiri lalu pulih.

[Kejahatan terhadap dua buah zakar]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika satu atau dua buah zakar laki-laki, anak kecil, atau kasim dipotong, maka padanya dikenakan qishāsh jika pemotongan dilakukan secara sengaja, kecuali korban memilih untuk mengambil arsh (ganti rugi), maka padanya dikenakan diyat penuh untuk keduanya. Jika hanya satu yang dipotong, maka padanya setengah diyat, baik kiri maupun kanan. Jika seseorang memotong salah satu buah zakar lalu yang lainnya jatuh akibatnya, maka padanya dikenakan qishāsh jika memungkinkan dilakukan qishāsh terhadap satu dan yang lainnya tetap ada, serta diyat untuk yang jatuh.

Jika seseorang menusuk seseorang lain sebagaimana binatang ditusuk, dan diketahui secara ilmiah bahwa tusukan tersebut menyebabkan kelumpuhan pada buah zakar, maka padanya dikenakan diyat, seperti jika seseorang memukul tangan orang lain lalu menyebabkan lumpuh. Jika hal itu tidak dapat diketahui kecuali dari pengakuan korban, maka perkataan korban diterima dengan sumpah, dan diyat tetap dikenakan kepada pelaku jika hal tersebut diketahui pernah terjadi pada orang lain juga.

Jika kedua buah zakar dikeluarkan namun kulitnya tetap ada, maka dikenakan diyat dan berlaku qishāsh terhadap keduanya. Jika keduanya dipotong bersamaan dengan kulitnya, maka tidak ditambahkan diyat untuk kulitnya, dan berlaku qishāsh dan diyat penuh. Jika kedua buah zakar telah dikeluarkan kemudian kulitnya dipotong, maka untuk kedua buah zakar dikenakan diyat, dan untuk kulit dikenakan hukūmah.

Jika pelaku dan korban berselisih, pelaku mengatakan bahwa ia mencederai korban dalam keadaan korban sudah kasim, sedangkan korban mengaku sebelumnya sehat, maka perkataan korban yang diterima dengan sumpah; karena bagian ini tidak terlihat oleh orang lain dan tidak diperbolehkan membukanya untuk membuktikan.

[Kejahatan terhadap alat kelamin perempuan]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Jika dua bibir kemaluan perempuan dipotong, maka apabila yang memotongnya adalah laki-laki, maka tidak ada qishāsh, karena ia tidak memiliki bagian yang serupa. Jika yang memotong adalah perempuan, maka dikenakan qishāsh jika memungkinkan dilaksanakan, kecuali korban menghendaki diyat, maka baginya diyat penuh. Jika hanya satu bibir dipotong secara sempurna, maka dikenakan setengah diyat. Jika kedua bibir dipotong, maka dikenakan diyat penuh. Jika kedua bibir dan bagian atas dari alat kelamin dipotong, maka dikenakan diyat penuh dan ditambahkan hukūmah untuk bagian atas. Jika hanya bagian atas yang dipotong dan kedua bibir tetap utuh, maka hanya bagian atas yang dikenai hukūmah. Jika kedua bibir ikut terpotong bersama bagian atas, atau keduanya mati sehingga menjadi seperti kelumpuhan pada tangan, maka dikenakan diyat penuh pada keduanya dan hukūmah pada bagian atas. Hal ini berlaku sama, baik bagi perempuan yang telah disunat maupun belum. Jika seorang perempuan telah kehilangan kedua bibir kemaluannya dan bagian yang menyatu tumbuh kembali, lalu seseorang memotong bagian yang tumbuh itu, maka padanya hanya hukūmah. Sama halnya antara bibir kemaluan anak kecil, perempuan tua, dan perempuan muda, tidak ada perbedaan. Begitu pula antara perawan yang belum pernah disentuh dan janda yang sudah pernah digauli, semua memiliki hukum yang sama terhadap bagian-bagian alat kelamin mereka.

[Diyat jari-jari]

Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syafi‘i – rahimahullāh – mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Ḥazm dari ayahnya, bahwa dalam kitab yang ditulis oleh Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Ḥazm disebutkan: “Setiap jari dari bagian itu (yaitu tangan dan kaki) diyatnya sepuluh ekor unta.”

Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Syafi‘i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibn ‘Ulayyah mengabarkan kepada kami dengan sanadnya dari seseorang dari Abū Mūsā, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Pada jari-jari itu diyatnya sepuluh-sepuluh.”

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Kami berpendapat demikian. Maka pada setiap jari yang terpotong dari seorang laki-laki, diyatnya sepuluh ekor unta. Tidak ada perbedaan antara jari kelingking, ibu jari, maupun jari tengah. Diyat ditetapkan berdasarkan nama-nama jari.

(Al-Syafi‘i berkata): Jari-jari tangan dan kaki sama dalam diyat. Jari anak kecil, orang tua, dan orang muda sama. Ibu jari kaki memiliki dua ruas. Jika salah satunya terpotong, maka padanya lima ekor unta. Sedangkan selain ibu jari memiliki tiga ruas. Jika satu ruas terpotong, maka padanya tiga unta sepertiga. Jika seseorang memiliki jari-jari yang semuanya memiliki dua ruas dan seluruhnya berfungsi dengan baik — dapat menggenggam, membuka, dan memegang — maka pada setiap ruasnya setengah diyat jari, yaitu lima ekor unta. Jika jari tersebut lumpuh, lalu dipotong, maka padanya hanya hukūmah.

Jika seseorang memiliki jari dengan dua ruas yang sehat, lalu dipotong dengan sengaja oleh seseorang, maka padanya berlaku qishāsh. Jika salah satu ruas dari jari itu dipotong, maka korban berhak menuntut qishāsh atas ruas yang sama dari pelaku. Jika jari pelaku memiliki tiga ruas, maka selain qishāsh, korban juga berhak atas sepertiga diyat jari. Jika seseorang memiliki empat ruas pada satu jari, maka pada setiap ruasnya seperempat diyat jari, yakni dua ekor unta dan setengah. Hal ini jika jari-jari tersebut sehat. Jika satu ruas dari jari empat ruas itu dipotong secara sengaja oleh orang lain yang memiliki tiga ruas per jari, maka tidak berlaku qishāsh karena ruas itu lebih banyak daripada milik korban. Namun jika pelaku memiliki empat ruas dan korban tiga ruas, maka berlaku qishāsh dan tambahan arsh atas selisih antara seperempat dan sepertiga.

Jika seseorang memiliki jari empat ruas atau dua ruas namun panjangnya melebihi atau kurang dari jari lainnya, dan jari itu sehat, maka diyatnya tetap penuh. Hal ini berbeda dengan gigi yang apabila tanggal bisa tumbuh kembali, sedangkan jari-jari tidak seperti itu.

Jika pada telapak tangan masih tersisa satu jari, dua, tiga, atau empat, lalu telapak dan jari-jari tersebut dipotong, maka orang yang memotong dikenai arsh penuh untuk jari-jari tersebut dan hukūmah penuh untuk telapak tangan, namun nilainya tidak sampai sebanding dengan arsh satu jari. Sama saja apakah telapak tangan itu milik laki-laki atau perempuan, nilai hukūmah telapak tangan tidak sampai arsh satu jari jika bersamaan dengan jari-jari. Dan tidak gugur adanya hukūmah pada telapak tangan kecuali bila arsh tangan secara keseluruhan diambil, maka telapak tangan masuk bersama jari-jari, karena saat itu dianggap sebagai satu tangan yang utuh. Jika jari-jari dipotong dan arsh-nya telah diambil atau telah dimaafkan atau telah dilakukan qishāsh, lalu telapak tangan dipotong, maka padanya dikenai hukūmah sebagaimana penjelasan mengenai hukūmah. Sama saja apakah yang memotong adalah orang yang sama atau lainnya.

Jika seseorang dengan sengaja memotong jari-jari, lalu memotong telapak tangan, maka dilakukan qishāsh sebagaimana perbuatannya — jari-jarinya dipotong, lalu telapak tangannya. Atau jika korban menghendaki, maka dia potong jari-jarinya dan mengambil arsh dari telapak tangannya. Dan pada jari tambahan dikenakan hukūmah.

Jika seseorang diciptakan memiliki satu jari dengan dua ruas ujung (yang memiliki kuku), dan masing-masing memiliki kuku, serta tidak ada yang lebih lurus bentuknya dari yang lain, atau lebih baik gerakannya dari yang lain, lalu seseorang memotong salah satunya, maka tidak dikenakan qishāsh, tetapi padanya ada hukūmah yang melebihi setengah arsh dari satu ruas. Jika dia atau orang lain memotong yang kedua, maka padanya hukūmah yang pertama. Jika keduanya dipotong bersamaan, maka padanya diyat satu jari dan hukūmah untuk kelebihannya.

Jika seseorang diciptakan memiliki sepuluh jari pada satu telapak tangan, maka hukumnya sama seperti jika dia memiliki dua telapak tangan — jari-jari yang lurus sesuai kebiasaan bentuk manusia adalah jari-jari sebenarnya jika semuanya sehat. Demikian pula, jika seseorang memiliki dua jari dan salah satunya dapat menggenggam sedangkan yang lain tidak, maka yang dapat menggenggam lebih berhak disebut sebagai jari.

Jika hal itu terjadi pada kaki, maka hukumnya sama jika ia menginjak dengan semua jari tersebut. Namun jika ia hanya menginjak sebagian dan tidak menginjak yang lain, maka jari-jari yang digunakan untuk menginjak adalah jari-jari sejati yang dikenai diyat sepuluh bagian sepuluh. Sedangkan jari-jari yang tidak digunakan menginjak adalah tambahan. Jika salah satu darinya dipotong, maka padanya dikenakan hukūmah.

Jika seseorang memiliki jari tambahan, dan orang lain juga memiliki jari tambahan pada posisi yang sama, lalu salah satunya memotong jari tambahan yang lain secara sengaja, maka ia dapat dikenai qishāsh jika diinginkan, jika posisi keduanya sama. Namun jika posisi keduanya berbeda, maka tidak dikenai qishāsh.

Jika dua jari tambahan berbeda — salah satunya lebih sempurna, dan memiliki jumlah ruas yang sama, maka keduanya dapat dijadikan qishāsh. Jika jari tambahan dari pelaku memiliki tiga ruas dan milik korban hanya satu ruas, atau hanya menyerupai benjolan, maka tidak dikenai qishāsh, hanya hukūmah. Jika jari tambahan dari korban sebanding dengan milik pelaku, atau sebaliknya, maka korban memiliki pilihan antara qishāsh atau hukūmah dan arsh atas kekurangan jari milik korban dibanding pelaku. Hukūmah lebih rendah daripada jika tidak dilakukan qishāsh.

[Arsy al-Muḍiḥah]

 

Diriwayatkan oleh ar-Rabi‘, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami asy-Syāfi‘ī, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm dari ayahnya bahwa dalam kitab yang ditulis oleh Rasulullah untuk ‘Amr bin Ḥazm disebutkan bahwa pada luka muḍiḥah (yang menampakkan tulang) adalah lima ekor unta.

Telah mengabarkan kepada kami Sufyān bin ‘Uyainah dari Ibnu Ṭāwūs dari ayahnya. Asy-Syāfi‘ī berkata: Kami berpendapat sesuai dengan ini, bahwa pada luka muḍiḥah adalah lima ekor unta, dan itu setengah dari sepersepuluh diyat laki-laki.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Muḍiḥah itu pada kepala dan wajah, semuanya sama; baik bagian depan kepala maupun belakangnya, bagian atas wajah maupun bawahnya, bagian luar dan dalam rahang bawah, dan bagian bawah rambut janggut termasuk wajah, semuanya sama. Termasuk pula bagian di bawah tumbuhnya rambut kepala dari luka muḍiḥah, serta bagian yang muncul di antara telinga dan tempat tumbuh rambut kepala.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Tidak ada bagian tubuh selain kepala dan wajah yang jika terkena luka muḍiḥah dikenakan lima ekor unta. Adapun luka muḍiḥah pada lengan, leher, lengan atas, tulang rusuk, atau dada dan selainnya maka padanya hanya ḥukūmah (nilai ganti berdasarkan pertimbangan hakim).

Muḍiḥah ditetapkan berdasarkan namanya. Apa pun yang menampakkan tulang, baik kecil maupun besar, maka padanya lima ekor unta. Tidak ditambah jika ukurannya besar, sekalipun mengambil seluruh sisi kepala, dan tidak dikurangi jika hanya sekadar lingkar kecil; karena semuanya masuk pada nama muḍiḥah. Begitu pula semua jenis luka di kepala ditetapkan berdasarkan nama-namanya.

Jika seseorang memukul orang lain dengan sesuatu dan melukai kepala dengan luka bersambung di mana sebagian menunjukkan tulang dan sebagian tidak, maka yang dikenakan adalah diyat luka muḍiḥah saja. Begitu pula jika luka tersebut tidak lebih dari menembus kulit pada satu tempat, membedah sedikit tempat lain, dan menampakkan tulang pada tempat lain, maka padanya diyat luka muḍiḥah saja, karena luka itu menyambung.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Jika tersisa sedikit kulit yang tidak robek, walau kecil, kemudian membengkak dan berubah warna menjadi hijau, dan pada dua sisi lainnya tulangnya tampak, namun kulit yang tidak robek menjadi pemisah di antara keduanya, maka keduanya dihitung dua muḍiḥah. Begitu pula jika antara dua muḍiḥah ada bagian kulit yang tidak robek sebagai pemisah.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Jika seseorang membuat luka muḍiḥah dua bagian, dan di antara keduanya masih ada kulit yang tidak robek, lalu kulit itu kemudian rusak dan robek, maka dihitung sebagai satu luka muḍiḥah karena sambungan luka berasal dari satu tindak kejahatan.

Jika pelaku dan korban berbeda pendapat — korban mengatakan bahwa pelaku juga melukai bagian yang sebelumnya belum robek dari kepalanya dan karenanya ia menuntut dua muḍiḥah, sementara pelaku mengatakan bahwa bagian itu robek karena pembusukan dari luka pertamanya — maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan korban dengan sumpahnya; karena hak atas dua muḍiḥah telah tetap baginya dan tidak gugur kecuali dengan pengakuannya atau bukti yang tegak melawannya.

Tidak diberlakukan qishāsh atas luka muḍiḥah kecuali dengan pengakuan pelaku atau dua saksi yang menyatakan bahwa tulangnya telah tampak dan terkena alat seperti penusuk, walau tidak melihat tulangnya karena darah menghalanginya. Atau satu saksi dan dua perempuan menyatakan demikian, karena darah bisa menghalangi pandangan ke tulang, atau satu saksi yang bersaksi disertai sumpah korban — jika kejahatan terjadi karena kelalaian.

Namun jika kejahatan itu dilakukan dengan sengaja, maka tidak diterima satu saksi dengan sumpah atau satu saksi dengan dua perempuan, karena diyat tidak diwajibkan kecuali karena adanya qishāsh.

Jika pelaku dan korban berbeda pendapat mengenai luka muḍiḥah — pelaku mengatakan: “Lukanya tidak menampakkan tulang,” maka yang dipegang adalah pernyataan pelaku disertai sumpah, dan korban wajib mendatangkan bukti.

[Diyat Luka Hāsyimah (Penghancur Tulang)]

(Asy-Syāfi‘ī berkata:) Aku meriwayatkan dari sejumlah orang yang aku temui dan disebutkan kepadaku dari mereka bahwa mereka berkata: Pada luka hāsyimah terdapat diyat sepuluh ekor unta, dan dengan ini aku berpendapat.

(Asy-Syāfi‘ī berkata:) Hāsyimah adalah luka yang selain menampakkan tulang juga menghancurkan tulangnya. Tidak dikenakan diyat hāsyimah kepada pelaku kecuali dengan pengakuannya, atau dengan bukti yang telah dijelaskan bahwa tulangnya memang hancur.

Jika ada bukti yang menegaskan demikian, maka diwajibkan baginya diyat hāsyimah. Jika luka itu besar lalu menghancurkan satu atau beberapa bagian tulang dan di antara bagian itu terdapat tulang yang tidak hancur, maka dihitung sebagai satu hāsyimah, karena merupakan satu tindakan kejahatan.

Jika antara bagian-bagian itu terdapat bagian kepala yang tidak terbelah, tetapi satu pukulan menghancurkan beberapa bagian, dan masing-masing terpisah tidak terhubung selain dengan luka yang sama, maka pada setiap bagian yang terpisah itu dikenakan diyat hāsyimah. Begitu pula halnya untuk al-munqilah dan al-ma’mūmah.

[Diyat Luka Munqilah (Pemindah Tulang)]

(Asy-Syāfi‘ī berkata:) Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa pada al-munqilah terdapat diyat lima belas ekor unta, dan dengan ini aku berpendapat. Ini juga pendapat orang-orang yang aku temui dan aku tidak mengetahui ada perbedaan di antara mereka.

Al-munqilah adalah luka yang mematahkan tulang kepala hingga tulangnya terpecah, lalu tulangnya diangkat dari kepala agar bisa menyatu kembali. Dinamakan munqilah karena tulangnya dipindahkan (nuqilat). Juga disebut al-manqūlah.

Jika telah dipindahkan sebagian tulangnya, baik sedikit maupun banyak, maka wajib atas pelaku diyat sebanyak lima belas ekor unta. Itu setara dengan satu sepersepuluh dan setengah dari diyat jiwa. Tidak dikatakan sebagai munqilah jika belum sampai pada pemindahan tulangnya seperti yang dijelaskan.

[Diyat Luka Ma’mūmah (Tembus ke Otak)]

(Asy-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata:) Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa pada ma’mūmah terdapat sepertiga diyat, dan dengan ini kami berpendapat. Yaitu sepertiga diyat jiwa, sebanyak tiga puluh tiga ekor unta dan sepertiga.

Al-āmah adalah luka yang menembus tulang kepala hingga mencapai otak, sedikit maupun banyak, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam muḍiḥah.

Kami tidak menetapkan bahwa luka itu sebagai ma’mūmah kecuali dengan kesaksian para saksi yang bersaksi bahwa luka itu telah menembus tulang, hingga tidak tersisa penghalang ke otak selain kulit tipis otak. Jika para saksi menetapkan demikian maka itu disebut ma’mūmah, walaupun mereka tidak melihat otaknya.

[Luka di Bawah Muḍiḥah]

(Asy-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata:) Aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan diyat tertentu pada luka di bawah muḍiḥah. Mayoritas pendapat orang-orang yang aku temui mengatakan bahwa tidak ada diyat yang ditentukan untuk luka di bawah muḍiḥah, dan semua luka yang di bawahnya ditentukan dengan ḥukūmah (penilaian ganti rugi oleh hakim). Dengan ini kami berpendapat.

[Luka-luka di Wajah]

(Imam Syafi’i berkata): Luka yang memperlihatkan tulang (al-muḍiḥah) di wajah dan kepala itu sama, tidak ditambah nilai diyatnya meskipun memperburuk tampilan wajah. Demikian pula semua bagian yang memiliki fungsi akal dianggap sama. (Imam Syafi’i berkata): Luka yang menghancurkan tulang (al-hāsyimah) dan luka yang merusak sampai terlihat pecahan tulang (al-munqillah) di kepala dan wajah itu sama hukumnya, juga pada rahang bawah dan seluruh bagian wajah. Demikian pula pada dua rahang dan semua bagian yang mengarah ke otak. Jika luka itu mengenai area di sekitar mulut lalu menembus ke dalam mulut, atau mengenai rahang dan menembus hingga menembus tulang, daging, dan kulit, maka ada dua pendapat: pertama, bahwa itu senilai sepertiga dari diyat jiwa karena telah menembus sebagaimana luka yang sampai ke otak (al-āmmah) dan letaknya seperti kepala; pendapat kedua, tidak demikian nilainya, namun lebih besar dari luka hāsyimah karena tidak menembus ke otak atau rongga tubuh sehingga tidak setara dengan al-mu’mmah atau al-jā’ifah. Jika luka-luka tersebut sudah memiliki nilai diyat yang diketahui dan menyebabkan kecacatan pada wajah, maka tidak ditambahkan diyat karena memperburuk wajah. Jika luka itu di bawah tingkatan al-muḍiḥah, maka ditentukan nilainya secara ijtihadi (taqdir hukum) dan tidak akan menyamai nilai muḍiḥah meskipun dampaknya lebih besar dari muḍiḥah, karena Nabi telah menetapkan nilai lima ekor unta untuk luka muḍiḥah, maka tidak boleh luka yang lebih ringan darinya memiliki nilai yang sama. Setiap luka selain di wajah dan kepala, nilainya ditentukan melalui ijtihad hukum, kecuali luka yang menembus ke rongga tubuh (al-jā’ifah).

[Diyat Luka Jā’ifah]

Al-Jā’ifah

(Imam Syafi’i – – berkata): Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Untuk luka jā’ifah adalah sepertiga dari diyat jiwa,” dan kami berpendapat demikian: bahwa pada luka jā’ifah dikenakan sepertiga diyat, baik luka itu berada di perut, dada, atau punggung, selama tusukan atau luka itu sampai ke rongga tubuh dari arah manapun, baik dari samping, punggung, atau perut, maka nilainya adalah sepertiga dari diyat jiwa, yaitu tiga puluh tiga ekor unta dan sepertiganya. Jika seseorang menusuk paha orang lain hingga menembus rongga tubuh, maka itu disebut jā’ifah. Jika menusuk bagian kerongkongan dan tembus, maka itu juga jā’ifah. Jika menusuk paha dan luka itu menembus hingga sampai rongga tubuh, maka itu juga jā’ifah dan ditambahkan nilai kerusakan di paha karena ini merupakan luka yang menggabungkan dua hal berbeda, sebagaimana jika seseorang melukai kepala orang lain dengan luka muḍiḥah lalu luka itu menjalar ke leher, maka berlaku hukum muḍiḥah dan tambahan taqdir (hukum) karena perbedaan tempat luka. Jika seseorang menusuk orang lain di tenggorokan atau kerongkongannya lalu tembus, maka itu jā’ifah karena keduanya mengarah ke rongga tubuh. Demikian pula jika menusuk dari anus dan menembus, maka itu juga jā’ifah karena mencapai rongga tubuh.

[Luka yang Tidak Termasuk Jā’ifah]

(Imam Syafi’i – – berkata): Jika seorang wanita menyerang wanita perawan lalu merobek selaput daranya, maka jika yang diserang adalah budak, dia wajib mengganti kerugian sesuai nilai yang hilang akibat hilangnya keperawanan. Jika yang diserang adalah wanita merdeka, maka dikenakan taqdir hukum (ḥukūmah) dengan pendekatan berikut: dikatakan, “Bagaimana menurutmu jika wanita itu budak seharga lima puluh ekor unta, berapa nilai kerugiannya karena kehilangan keperawanan?” Jika dikatakan sepersepuluh, maka wajib lima ekor unta; jika lebih atau kurang, maka sesuai nilai itu. Demikian pula jika seseorang merobek selaput dara dengan jarinya atau benda lain selain kemaluannya.

Jika ia merobek dengan kemaluannya, maka ia wajib membayar mahar setara (mahar mitsil) karena telah bersetubuh, dan juga taqdir hukum sebagaimana dijelaskan, sebab kerusakan yang terjadi tidak termasuk bagian dari mahar. Karena jika ia menyetubuhi wanita janda, maka ia tetap wajib membayar mahar mitsil sebagai ganti dari hubungan yang tidak membuat wanita itu dianggap pezina, dan dosa perzinahan tidak menggugurkan kewajiban diyat jika terjadi luka atau kerusakan bersamaan dengan hubungan tersebut.

Jika ia merobek dan menyebabkan lubang tembus (ifḍā’) atau merobek wanita janda sampai tembus, maka ia wajib membayar diyat penuh, karena itu satu jenis luka berat, dan juga wajib mahar mitsil. Jika yang melakukan adalah wanita atau laki-laki tanpa persetubuhan, maka mereka wajib membayar diyat penuh. Ini tidak termasuk kategori luka jā’ifah.

Jika seorang wanita memasukkan batang atau benda ke dalam farji wanita janda atau ke dalam duburnya, atau menekan perutnya hingga keluar kotoran atau darah dari farjinya, maka hal ini tidak termasuk dalam kategori luka jā’ifah. Mereka dihukum (ta’zīr), tetapi tidak ada diyat atas mereka. Demikian pula jika seorang laki-laki melakukannya terhadap wanita atau laki-laki lain. Demikian juga jika memasukkan sesuatu ke tenggorokan orang lain hingga mencapai rongga dalam tubuh, maka diberi hukuman ta’zīr, namun tidak termasuk dalam hukum jā’ifah.

Jika ada luka jā’ifah pada seseorang lalu orang lain memasukkan jari, tongkat, atau ranting ke dalam luka tersebut hingga menyentuh rongga tubuh, maka jika tidak menambah kerusakan luka, tidak ada diyat tambahan; tetapi jika menambah, maka ia wajib mengganti kerusakan tambahan tersebut. Jika ia memasukkan pisau ke dalam luka jā’ifah yang bukan akibat perbuatannya, lalu membelah perut hingga sampai ke rongga tubuh, maka ia wajib membayar diyat jā’ifah. Jika belahannya tidak sampai ke rongga, maka dihitung sebagai taqdir hukum (ḥukūmah). Jika ia menusuk bagian dalam dan menyebabkan kerusakan, maka wajib mengganti nilai kerusakan itu.

Jika ia merobek usus dengan pisau dan korban meninggal, maka ia wajib membayar diyat penuh, karena biasanya korban tidak akan hidup jika ususnya robek, sebagaimana halnya penyembelihan. Jika tidak merobek usus tapi merusaknya dan korban meninggal, maka ia wajib membayar setengah diyat jiwa, dan kematian itu dikaitkan dengan luka pertama, sementara luka keduanya dihitung tambahan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memasukkan tangannya atau tongkat ke tenggorokan atau bagian tubuh lainnya, maka tidak termasuk dalam hukum jā’ifah. Jika perbuatannya menyebabkan korban terus sakit hingga meninggal, maka ia dianggap pembunuh dan wajib membayar diyat penuh. Jika ia menusuk korban dengan luka jā’ifah hingga menembus ke sisi lain atau ia mendorong tombaknya kembali dalam luka tersebut dan membuat luka kedua di sampingnya yang tidak menyatu dengan luka pertama, maka itu dihitung dua luka jā’ifah. Demikian juga jika ia menusuk dengan tombak bercabang dua hingga menghasilkan dua lubang yang terpisah dan tidak menyatu, maka itu dihitung dua luka jā’ifah.

(Imam Syafi’i berkata): Jika perut seseorang tertusuk dan dijahit tapi belum sembuh lalu seseorang menusuk kembali dan membuka jahitan dan menyebabkan luka jā’ifah, maka ia wajib membayar sesuai kerusakan tambahan (ḥukūmah). Jika luka sebelumnya telah sembuh total lalu ia tusuk kembali di tempat yang sama hingga menjadi jā’ifah, maka ia wajib membayar diyat jā’ifah.

Hal ini juga berlaku pada seluruh jenis luka. Jika seseorang melukai kepala orang lain dengan luka muḍiḥah dan belum sembuh lalu orang lain melukai lagi di tempat yang sama, maka ia wajib membayar kerusakan tambahan. Jika luka pertama telah sembuh total, lalu ia melukai dengan muḍiḥah, maka ia wajib membayar diyat penuh muḍiḥah, dan berlaku hukum qishāsh jika dilakukan sengaja. Luka dianggap sembuh jika daging dan kulit telah menyatu meski rambut tidak tumbuh atau warna kulit berubah dari keadaan semula atau berbeda dari bagian tubuh lainnya, selama kulitnya menyatu.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang terkena luka jā’ifah lalu para ahli menyatakan bahwa usus atau bagian dalam perut telah rusak, maka ia wajib membayar diyat jā’ifah dan taqdir hukum (ḥukūmah).

(Imam Syafi’i berkata): Apa pun yang menyebabkan luka jadi jā’ifah, baik dari besi atau benda tajam lain yang sejenis, atau menyebabkan luka dan nyeri hingga berubah menjadi jā’ifah, maka ia wajib membayar diyat jā’ifah. Bahkan jika hanya seperti ujung besi kecil atau sejenisnya yang menimbulkan bekas lalu memburuk hingga menjadi jā’ifah, maka ia tetap wajib membayar diyat.

[Patah Tulang]

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari ‘Umar – raḍiyallāhu ‘anhu – bahwa beliau menetapkan diyat untuk tulang selangka (taraqwah) satu ekor unta, dan untuk tulang rusuk juga satu ekor unta. Tampaknya – wallāhu a‘lam – apa yang dinukil dari ‘Umar adalah bentuk taqdīr hukum (ḥukūmah), bukan batasan nilai diyat yang tetap. Maka setiap tulang yang patah dari tubuh manusia selain gigi, dikenakan ḥukūmah, tidak ada nilai diyat yang pasti padanya. Semua yang diambil dalam kasus ḥukūmah ini berasal dari unta, baik terhadap muslim merdeka, budak, maupun ahlu dzimmah, karena itu semua berasal dari kasus jinayah dan diyat. Jika tulang patah itu sembuh lurus tanpa cacat, maka dikenakan ḥukūmah. Jika sembuh dalam keadaan cacat, maka wajib ḥukūmah sebesar cacat dan kerusakan yang ditimbulkan. Bahkan jika sembuh dengan baik namun ada rasa sakit atau kelemahan, maka tetap dikenakan ḥukūmah.

[Bengkok dan Lumpuh Akibat Patah Tulang]

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mematahkan jari orang lain lalu menjadi lumpuh, maka berlaku diyat penuh untuk jari tersebut. Namun jika tidak lumpuh dan sembuh dalam keadaan bengkok, kurang, atau cacat, maka berlaku ḥukūmah, dan nilainya tidak mencapai diyat jari. Hal yang sama berlaku untuk telapak tangan; jika sembuh dalam keadaan bengkok, maka ada ḥukūmah. Jika jari-jari lumpuh, maka berlaku diyat penuh untuk bagian yang lumpuh. Jika telapak tangan rusak karena bengkok atau yang semisalnya, maka berlaku ḥukūmah.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ini terjadi pada lengan lalu sembuh bengkok dan si pelaku berkata: “Biarkan aku mematahkannya kembali agar bisa sembuh lurus,” maka korban tidak boleh dipaksa menerima, dan pelaku atau ahli warisnya tetap wajib membayar ḥukūmah atas jinayahnya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia mematahkannya lagi setelah sembuh bengkok, lalu sembuh dalam keadaan lurus, maka nilai ḥukūmah tetap sebagaimana kondisi pertama, karena hilangnya kebengkokan adalah akibat dari tindakan baru. Demikian halnya untuk seluruh jenis patah tulang.

(Imam Syafi’i berkata): Jika tangan seseorang patah dan dibalut, namun tangan tersebut masih lemah menggenggam atau kehilangan sebagian kekuatan menggenggam, maka dikenakan ḥukūmah dengan nilai tambahan sesuai cacat dan kelemahannya. Kecuali jika jari-jari mati atau lumpuh, maka berlaku diyat penuh untuk jari-jari tersebut. Demikian pula bengkok dan semua cacat yang menyertainya.

Jika betis atau paha patah lalu sembuh bengkok atau kurang dan terlihat jelas kebengkokannya, maka berlaku ḥukūmah sesuai kadar kerugian akibat bengkok tersebut. Demikian pula jika kaki patah atau jari-jari kaki lumpuh, maka berlaku diyat penuh sebesar lima puluh ekor unta. Jika jari-jari selamat tapi kaki mengalami cacat, maka berlaku ḥukūmah sesuai cacat dan penurunan fungsinya.

Jika kaki atau bagian di atasnya hingga paha atau pinggul patah dan sembuh tapi hanya bisa dipakai berjalan dengan lemah, maka berlaku ḥukūmah dengan tambahan nilai sesuai rasa sakit, kelemahan, dan cacat yang dialami. Demikian pula jika kaki menjadi pendek dan jari-jari tetap utuh sehingga ia hanya bisa menginjak tanah dengan satu sisi kaki dan menggantungkan kaki lainnya, maka dikenakan ḥukūmah sesuai kerusakan yang terjadi.

Jika kerusakan itu menyebabkan ia tidak bisa menekuk atau meluruskan kakinya, dan kakinya selalu tertekuk atau lurus tanpa bisa bergerak serta tidak mampu berjalan bahkan dengan tongkat, maka berlaku diyat penuh sebesar lima puluh ekor unta, baik kerusakannya berasal dari paha, betis, kaki, atau pinggul selama tidak mampu berjalan sama sekali. Jika seseorang melakukan jinayah padanya setelah diyatnya sempurna lalu memotong kakinya, maka ia hanya dikenai ḥukūmah, bukan diyat penuh anggota badan, dan tidak dikenakan qishāsh jika perbuatannya sengaja.

Jika seseorang melakukan jinayah terhadap orang pincang, sementara kakinya masih utuh dan bisa diinjak, lalu ia memotongnya dari sendi, maka berlaku qishāsh jika jinayahnya sengaja. Jika tidak sengaja, maka setengah diyat dibebankan kepada pelaku, dan setengah lagi dibebankan kepada ahli waris pelaku.

Hal yang sama berlaku bagi orang kidal, jika seseorang melakukan jinayah pada tangan kirinya yang jari-jarinya masih utuh dan masih bisa memegang.

Jika seseorang memukul orang lain di antara pinggul atau punggung atau kakinya hingga tidak bisa berjalan padahal kedua kakinya bisa ditekuk dan diluruskan, maka berlaku diyat penuh. Jika ia sudah dibayarkan diyat untuk salah satu dari tiga kasus itu, lalu korban sembuh dan kembali normal, maka diyat itu dikembalikan kepada pelaku.

Jika luka itu tidak membuatnya tidak bisa berjalan, tetapi hanya bisa berjalan dengan bertumpu seperti orang pincang atau menyeret kaki, maka pelaku hanya dikenakan ḥukūmah, bukan diyat. Jika kemudian kakinya dipotong, maka berlaku qishāsh dan diyat penuh karena jari-jari dan kakinya masih sehat, meskipun ia berjalan dengan bertumpu atau lemah, sebagaimana mata tetap mendapat diyat penuh meski penglihatannya lemah.

[Patah Leher dan Tulang Belakang]

(Imam Syafi’i – – berkata): Jika seseorang melakukan jinayah kepada orang lain hingga menyebabkan lehernya terkilir karena jinayah itu sehingga wajahnya berubah arah seperti orang yang menoleh, atau mengenai lehernya tanpa mengubah arah wajahnya namun menyebabkan lehernya kaku hingga tidak bisa menoleh, atau hanya bisa menoleh dengan lemah, sementara ia masih bisa menelan air, makanan, dan air liur serta masih bisa berbicara, maka dikenakan ḥukūmah (takaran ganti rugi) yang ditambah sesuai tingkat rasa sakit, cacat, dan penurunan fungsi. Jika hal itu mengganggu bicaranya atau menyulitkan dalam menelan air, maka nilai ḥukūmah ditambah. Jika sampai tidak bisa menelan makanan kecuali harus disuapi atau tidak bisa mengunyah kecuali dengan susah payah, maka nilai ḥukūmah ditambah lagi, namun tetap tidak mencapai diyat penuh. Jika kerusakan tersebut menyebabkan gangguan pada kemampuan berbicara hingga ia tidak fasih dalam sebagian pembicaraannya, maka berlaku diyat sesuai kadar kerusakan ucapan dan ḥukūmah atas dampak luka lainnya selain gangguan bicara.

(Imam Syafi’i berkata): Jika kemampuan berbicara hilang sepenuhnya, maka berlaku diyat penuh, dan tetap ada ḥukūmah untuk luka yang mengenai leher. Jika ia tidak bisa menelan makanan maupun minuman, menurutku ia tidak akan hidup lama, maka ditunggu. Jika ia meninggal, maka berlaku diyat penuh. Namun jika ia hidup dan bisa menelan makanan dan minuman, maka dikenakan ḥukūmah.

[Patah Tulang Belakang (Shulb)]

(Imam Syafi’i – – berkata): Jika seseorang mematahkan tulang belakang orang lain hingga orang itu tidak bisa berjalan sama sekali, maka pelaku wajib membayar diyat penuh. Jika masih bisa berjalan dengan bertumpu, maka dikenakan ḥukūmah. Jika jalannya tidak terganggu dan tulangnya sembuh dengan lurus, tetap dikenakan ḥukūmah. Jika sembuh tapi dalam kondisi bengkok, maka juga dikenakan ḥukūmah yang ditambah sesuai kadar kebengkokan. Jika korban mengaku kehilangan kemampuan berhubungan badan karena patah tersebut dan ada tanda yang bisa dikenali, maka pengakuannya diterima dengan sumpah, dan pelaku wajib membayar diyat penuh tanpa ḥukūmah, karena hilangnya kemampuan berhubungan badan itu disebabkan oleh cacat pada tulang belakang. Hubungan badan tidak seperti bicara yang terikat langsung dengan anggota tertentu seperti lidah, namun jika kemaluan menjadi lumpuh atau terputus karena patahan tersebut, maka wajib diyat dan ḥukūmah sekaligus, karena telah mengenai anggota tubuh yang berdiri sendiri selain tulang belakang.

(Imam Syafi’i berkata): Jika tidak ada tanda pasti yang menunjukkan hal itu, namun menurut para ahli bahwa memang hubungan badan bisa hilang karena patahnya tulang belakang, maka ditunggu dalam jangka waktu tertentu. Jika selama itu alat kelamin tidak menunjukkan tanda ereksi, maka diyat berlaku. Jika ia bersumpah bahwa tidak ada ereksi, maka diyat dibayarkan untuk hilangnya fungsi hubungan badan, namun diyat itu hanya berlaku jika diketahui secara pasti oleh para ahli bahwa kehilangan fungsi hubungan badan memang bisa disebabkan oleh patahnya tulang belakang. Jika tidak diketahui secara pasti, maka cukup dikenakan ḥukūmah.

Jika tulang belakang patah di bagian sebelum alat kelamin hingga membuatnya sama sekali tidak bisa berhubungan badan, maka wajib diyat untuk kemaluan dan ḥukūmah untuk tulang belakang, selama tidak sampai mengganggu kemampuan berjalan.

[Tulang Tembus (Lubang dalam Tulang)]

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memukul orang lain hingga luka tersebut menembus daging dan tulangnya sampai mengenai otak, atau tulangnya berlubang hingga tembus ke sisi lainnya, maka dikenakan ḥukūmah, bukan sepertiga atau dua pertiga dari diyat anggota tubuh, baik ḥukūmah itu nilainya kurang ataupun lebih. Demikian pula jika tulang dipukul hingga sumsum tulangnya keluar, atau pecah dan tumbuh kembali tulang lain menggantikannya, maka tetap dikenakan ḥukūmah.

[Hilang Akal karena Jinayah]

(Imam Syafi’i –  – berkata): Jika seseorang mematahkan salah satu tulang orang lain atau melakukan jinayah apa pun kepadanya lalu menyebabkan hilangnya akal, maka ia wajib membayar diyat penuh. Tidak ada tambahan arsh (ganti rugi) atas jinayah yang menjadi penyebab hilangnya akal, kecuali jika arsh luka tersebut lebih besar dari diyat, maka ia wajib membayar yang lebih besar antara keduanya, yakni diyat atau arsh. Contohnya: jika ia memotong kedua tangan korban dan melukainya dengan luka ma’mūmah (tembus ke tengkorak bagian dalam) atau luka jā’ifah (tembus ke rongga badan), maka ia wajib membayar diyat ditambah sepertiga dari diyat.

Jika seseorang melakukan jinayah yang tidak menghilangkan akal tapi menguranginya, atau memperlemah lidahnya, atau membuatnya selalu merasa takut, maka dikenakan ḥukūmah (takaran ganti rugi), yang disesuaikan dengan besarnya gangguan. Jika ia melukai bagian tubuh yang bukan tangan, tetapi menyebabkan tangan menjadi lumpuh, maka ia wajib membayar setengah diyat untuk tangan dan arsh atas luka awalnya. Misalnya luka ma’mūmah bernilai sepertiga diyat, dan kelumpuhan tangan setengahnya, maka total yang wajib dibayar adalah nilai kedua luka tersebut.

Jika kaki dan tangan sama-sama lumpuh, maka pelaku wajib membayar diyat penuh atas keduanya, ditambah sepertiga diyat untuk luka ma’mūmah, karena ia telah merusak dua anggota tubuh yang nilai diyatnya telah ditetapkan secara syar‘i.

Jika seseorang terkena luka ma’mūmah yang menyebabkan pengecut, ketakutan, atau pingsan setiap kali mendengar suara petir atau semacamnya, maka disamping diyat luka ma’mūmah, ia juga berhak atas ḥukūmah tambahan; tidak sampai ke tingkat diyat penuh.

Jika akibat jinayah akalnya hilang, maka diyat penuh wajib dibayarkan. Jika bersama hilangnya akal terdapat luka lain yang memiliki nilai arsh tertentu, maka pelaku juga wajib membayar arsh luka tersebut di samping diyat hilangnya akal.

Jika seseorang hanya berteriak atau menakut-nakuti korban lalu akalnya hilang, maka menurutku tidak ada kewajiban diyat selama orang yang diteriaki itu sudah baligh dan berakal, sebab orang dewasa pada umumnya tidak sampai kehilangan akal hanya karena hal semacam itu. Demikian pula jika ia berteriak pada seseorang yang sedang menaiki kendaraan, atau di atas dinding, lalu orang itu terjatuh dan meninggal atau tertimpa sesuatu, menurutku tidak ada kewajiban atas pelaku. Tetapi, jika pelaku berteriak kepada anak kecil atau orang gila yang tidak bisa membedakan situasi, lalu mereka jatuh karena terkejut dan meninggal, maka pelaku wajib menanggung akibatnya.

Demikian pula jika anak kecil kehilangan akalnya akibat teriakan tersebut, maka pelaku wajib membayar diyat. Teriakan kepada anak kecil atau orang gila jika menyebabkan luka, maka pelaku bertanggung jawab, karena mereka tidak bisa membedakan antara teriakan dan hal lainnya.

Jika seseorang menyerang orang dewasa yang berakal dengan pedang, namun tidak sampai melukainya, hanya membuatnya ketakutan hingga kehilangan akal, maka menurutku tidak wajib atas pelaku membayar diyat, karena tidak terjadi jinayah langsung, dan secara umum orang dewasa tidak kehilangan akal karena hal seperti itu.

Jika seseorang mengejar orang lain dengan pedang dan tidak menyentuhnya, lalu orang yang dikejar melompat dari atap rumah hingga meninggal, maka menurutku pelaku tidak wajib membayar diyat, karena korban menjatuhkan dirinya sendiri. Demikian pula jika ia melemparkan diri ke dalam air lalu tenggelam, atau ke dalam api lalu terbakar, atau ke dalam sumur lalu meninggal.

Namun, jika ia buta atau tidak dapat melihat, lalu jatuh ke dalam lubang tersembunyi atau semacamnya atau atap rumah runtuh saat dia ada di atasnya hingga meninggal, maka keluarga pelaku (ʿāqilah) wajib membayar diyat, karena pelaku telah memaksa korban ke arah itu, dan korban tidak melakukan sesuatu yang dapat membatalkan tanggung jawab pelaku.

Begitu juga jika pelaku membuat korban dihadapkan pada hewan buas yang kemudian memangsa dan membunuhnya, atau banteng menyerangnya, atau perampok membunuhnya, maka pelaku tidak wajib apa-apa karena yang membunuh adalah pihak lain.

[Diyat untuk Kulit yang Terkelupas (Sulkh al-Jild)]

(Imam Syafi’i –  – berkata): Jika seseorang mengelupas sebagian kulit tubuh orang lain, namun tidak sampai menjadi luka jā’ifah, lalu kulit tersebut tumbuh kembali dan menyatu, atau kulit lama terlepas dan digantikan kulit baru, maka pelaku dikenakan ḥukūmah (ganti rugi berdasarkan ijtihad hakim). Jika dilakukan secara sengaja dan memungkinkan untuk dilakukan qishāsh, maka pelaku bisa dibalas serupa. Jika tidak memungkinkan, maka ia wajib membayar diyat dari hartanya.

Jika kulit sembuh dengan kondisi cacat, maka nilai ḥukūmah ditambah sesuai besarnya cacat serta rasa sakit yang ditimbulkan. Jika hal itu terjadi pada kepala, tubuh, atau keduanya, lalu rambut tumbuh kembali, maka tetap ada ḥukūmah, jika dilakukan tanpa sengaja, namun nilainya tidak sampai pada diyat penuh. Jika rambut tidak tumbuh kembali, maka nilai ḥukūmah ditambah sesuai cacat dan rasa sakit yang ditimbulkan.

Jika seseorang menuangkan air mendidih ke kepala atau janggut orang lain, atau mencabutnya hingga tidak tumbuh lagi, maka ia wajib membayar ḥukūmah yang ditambah sesuai tingkat kerusakan. Jika rambut tumbuh kembali namun lebih tipis, atau tumbuh lebih sedikit, maka ḥukūmah tetap ada namun dikurangi. Jika rambut tumbuh lebih lebat atau lebih bagus dari sebelumnya, maka ḥukūmah tetap berlaku dan nilainya ditambah.

Jika seorang tukang cukur mencukur rambut kepala seseorang dan rambut tumbuh kembali seperti semula atau lebih baik, maka tidak ada kewajiban ḥukūmah karena itu bukan jinayah. Mencukur rambut kepala termasuk bagian dari ibadah, dan tidak menimbulkan rasa sakit yang berat. Meskipun mencukur janggut tidak diperbolehkan, namun tidak menimbulkan banyak rasa sakit atau kerusakan karena rambut akan tumbuh kembali. Namun, jika rambut tumbuh kembali dalam keadaan berkurang atau tidak tumbuh, maka dikenakan ḥukūmah.

Jika seseorang mencukur selain rambut kepala atau wajah dan rambut tidak tumbuh kembali – pada bagian tubuh manapun, baik pada laki-laki atau perempuan – maka dikenakan ḥukūmah sesuai tingkat kerusakan yang tampak, meskipun kerusakannya sedikit. Ini berlaku pada rambut tubuh yang tampak maupun di perut. Namun pelaku berdosa jika tindakannya menyebabkan terlihatnya aurat, begitu pula jika terhadap perempuan – tidak halal bagi laki-laki menyentuh atau melihatnya kecuali jika ia adalah istrinya.

Hal yang sama berlaku pada bagian leher dari bawah batas tumbuh rambut kepala dan janggut seorang laki-laki. Jika janggut seseorang tumbuh sampai ke tenggorokan lalu dicukur hingga tidak tumbuh lagi, maka pelaku wajib membayar ḥukūmah.

Apa yang telah disebutkan bahwa dalam kasus ini ada ḥukūmah, maka nilainya tidak boleh melebihi ḥukūmah untuk bagian kepala atau janggut, karena efek cacatnya lebih ringan dibandingkan kerusakan rambut kepala atau janggut. Jika rambut tubuh hilang tanpa bekas di kulit, maka diyakini rambut itu lebih mudah dan sempurna untuk tumbuh kembali.

Jika seseorang memukul orang lain namun tidak menyebabkan rambut rontok atau kulit rusak, hanya menyebabkan rasa sakit, maka tidak ada ḥukūmah atasnya, tetapi pelaku tetap diberi hukuman ta‘zīr. (Imam Syafi’i berkata): Jika pukulan tersebut mengubah kulit atau meninggalkan bekas, maka wajib membayar ḥukūmah karena telah terjadi jinayah.

Jika seorang perempuan tumbuh janggut atau kumis atau salah satunya, lalu seseorang mencukurnya, maka ia dikenai hukuman ta’zīr dan ḥukūmah, namun nilai ḥukūmah-nya lebih kecil dibandingkan janggut laki-laki, karena janggut merupakan bagian sempurna dari penciptaan laki-laki, sedangkan bagi perempuan hal itu adalah cacat. Namun, tetap dikenakan ḥukūmah karena perbuatan melampaui batas dan menimbulkan rasa sakit.

(Abu Ya‘qūb berkata): Hal ini jika rambut tidak tumbuh kembali atau tumbuh dalam keadaan kurang. Namun jika rambut tumbuh kembali dan tidak ada kulit yang terpotong, maka hanya dikenakan ta‘zīr. (Al-Rabī‘ berkata): Aku juga berpendapat demikian.

[Memotong Kuku]

(Imam Syafi’i –  – berkata): Jika seseorang sengaja memotong kuku orang lain, maka jika memungkinkan dilakukan qiṣāṣ, maka dilakukan qiṣāṣ. Jika tidak memungkinkan, maka wajib membayar ḥukūmah (ganti rugi berdasarkan ijtihad). Jika kuku tersebut tumbuh kembali dengan sempurna dan tidak cacat, tetap ada ḥukūmah. Jika tumbuh dalam keadaan cacat, maka ḥukūmah-nya lebih besar dibanding saat tumbuh normal. Jika tidak tumbuh kembali sama sekali, maka nilai ḥukūmah-nya lebih besar lagi dari sebelumnya. Namun, nilai ḥukūmah tersebut tidak mencapai kadar diyat satu ruas jari (anmulah) atau bagian bawah kuku dari ruas jari, karena kuku tidak sepenting ruas jari, sehingga ḥukūmah atas kuku tidak menyamai nilai diyat jika yang terpotong adalah bagian ruas jari di bawahnya.

[Mencekik dan Mencekam Seseorang]

(Imam Syafi’i –  – berkata): Jika seseorang mencekik atau mencekam orang lain lalu melepaskannya tanpa meninggalkan bekas luka, maka tidak ada kewajiban ganti rugi, namun ia tetap dikenakan ta‘zīr (hukuman disiplin). Jika ia hanya menahan orang tersebut hingga membuatnya sesak, namun tidak menyakitinya dengan tangan dan tidak pula mencegahnya dari makan dan minum, maka ia berdosa dan tetap dikenakan ta‘zīr, tetapi tidak ada ganti rugi (ghurm) atasnya.

Namun, jika terdapat luka gores (khaḍsh) atau bekas pada tangannya yang tersisa, maka wajib membayar ḥukūmah. Sedangkan jika bekas itu hilang dengan cepat, seperti lebam kehijauan akibat tamparan, maka tidak ada ḥukūmah atasnya.

[al-Ḥukūmah – Penentuan Ganti Rugi Berdasarkan Ijtihad]

(Imam Syafi‘i –  – berkata): Jinayah yang termasuk dalam ḥukūmah adalah setiap luka yang meninggalkan bekas: luka terbuka, goresan, patah tulang, pembengkakan yang menetap, atau perubahan warna kulit yang bertahan. Adapun setiap pukulan atau pembengkakan yang tidak meninggalkan bekas, maka tidak dikenakan ḥukūmah.

Setiap kasus yang disebut ḥukūmah, penilaiannya dilakukan dari beberapa sisi:

Misalnya seseorang melukai kepala atau wajah orang lain dengan luka yang tidak sampai pada tingkat muḍiḥah (menampakkan tulang), maka bekas luka tersebut ditaksir nilainya dibanding luka muḍiḥah. Lalu dipertimbangkan seberapa besar luka yang ada dibanding luka muḍiḥah. Jika para ahli menyatakan luka itu setara dengan setengah muḍiḥah, maka nilai ḥukūmah-nya adalah setengah dari diyat muḍiḥah. Jika lebih atau kurang, maka disesuaikan berdasarkan perkiraan mereka, ditinjau dari sisi rasa sakit, lambatnya penyembuhan, dan sebagainya.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika para ahli berkata, “Kami tidak tahu,” karena tulangnya tertutup lapisan daging yang tebal atau tipis, maka diambil sikap hati-hati. Jika mereka berkata, “Kami yakin ini setengah muḍiḥah, tetapi kami ragu-ragu apakah bisa mencapai dua pertiga,” maka diambil nilai yang diyakini saja, yaitu setengah muḍiḥah, dan tidak ditambahkan dari yang diragukan.

Jika luka tersebut menyebabkan cacat pada wajah atau kepala, maka dilihat nilai luka tersebut sebagaimana dijelaskan. Jika cacat lebih besar nilainya dibanding luka, maka diambil berdasarkan cacatnya. Jika luka lebih besar nilainya dibanding cacatnya, maka diambil berdasarkan luka, dan cacatnya tidak ditambahkan. Jika dikatakan bahwa cacat itu senilai dengan satu muḍiḥah atau lebih, maka nilai cacat itu dikurangi dari nilai muḍiḥah, sebab jika muḍiḥah menimbulkan cacat, nilainya tetap tidak bertambah dari nilai aslinya. Maka jika luka yang lebih ringan dari muḍiḥah menimbulkan cacat yang besar, tidak boleh nilainya melebihi muḍiḥah.

Jika pukulan tersebut tidak melukai tetapi meninggalkan cacat, maka tidak ada ḥukūmah kecuali cacat itu permanen, atau daging mengalami pengelupasan atau pecah. Jika luka itu pada kepala atau wajah, dan tidak sampai muḍiḥah, maka ditanyakan kepada ahli tentang taksiran luka tersebut dibandingkan muḍiḥah. Jika diyakini setengah muḍiḥah, dan hanya ragu-ragu apakah bisa lebih, maka diambil nilai yang diyakini saja.

Jika warna kulit menjadi kehitaman atau kehijauan secara permanen dan menyebabkan cacat pada wajah, maka ditanyakan kepada ahli: apakah itu terjadi karena matinya jaringan daging? Jika iya, maka wajib membayar ḥukūmah. Jika dikatakan, “Kami tidak tahu, tapi jika tidak hilang dalam waktu sekian maka permanen,” maka ditunggu waktu itu. Jika tidak hilang, maka wajib ḥukūmah. Jika ḥukūmah diambil karena dugaan bekas luka tidak akan hilang, lalu ternyata hilang, maka ḥukūmah itu dikembalikan.

Semua bentuk luka, patah tulang, dan cacat berlaku sama dalam hal ḥukūmah terhadap laki-laki merdeka, perempuan, budak, dan ahlu dzimmah. Penilaiannya dihitung berdasarkan diyat mereka sebagaimana harga budak ditaksir dalam jual beli. Untuk orang merdeka, nilainya dihitung berdasarkan fraksi dari diyat total mereka, seperti: untuk seorang Majusi, nilainya berdasarkan taksiran muḍiḥah dalam diyatnya. Begitu juga untuk perempuan, Nasrani, Yahudi, dan laki-laki Muslim merdeka.

Jika luka terjadi pada selain kepala dan wajah, pada anggota tubuh yang memiliki nilai diyat tertentu, maka jika sudah sembuh dan tidak meninggalkan bekas, maka tidak dikenakan lebih dari nilai cacat yang tersisa. Ini karena luka di tubuh tidak memiliki nilai tetap, kecuali jā’ifah, karena berisiko pada kematian.

Jika luka terjadi di ujung jari tangan atau kaki, atau menyebabkan kuku terlepas, dan bekas lukanya lebih besar nilainya dari diyat ruas jari (anmulah), maka tetap tidak boleh nilainya melebihi diyat anmulah. Sebab, jika anmulah dipotong dan menimbulkan cacat, nilainya tetap tidak lebih dari diyatnya. Maka luka yang lebih ringan tidak boleh melebihinya. Demikian juga jika luka berada di bagian tengah atau bawah anmulah, atau jika pada telapak tangan atau kaki, maka tidak boleh nilainya melebihi diyat telapak tangan atau kaki.

Demikian juga jika luka atau cacatnya terjadi pada lengan bawah, lengan atas, betis, atau bagian tubuh lain, tidak boleh nilainya melebihi diyat tangan atau kaki yang sempurna.

Jika luka atau cacatnya meliputi seluruh tubuh, maka hanya dinilai berdasarkan apa yang mencacati korban, dan tidak boleh melebihi diyat orang yang terluka tersebut (jika ia merdeka), atau nilai budak (jika ia budak). Karena memotong kedua tangan nilainya setara dengan diyat penuh.

Jika ditanyakan: Mengapa kamu membatasi nilai ḥukūmah pada bagian tubuh yang tertutup pakaian bisa lebih tinggi dari pada wajah yang terlihat, sedangkan muḍiḥah di wajah hanya sepertengah dari sepersepuluh diyat?

Jawabnya: Karena tidak boleh cacat yang tidak disertai luka memiliki nilai lebih dari luka seperti muḍiḥah yang nyata. Maka, aku menetapkan bahwa jika terjadi di tempat selain wajah, nilainya tidak melebihi muḍiḥah karena luka tersebut nilainya lebih tinggi dari sekadar cacat tanpa luka.

Begitu juga dengan setiap luka dan cacat pada anggota tubuh yang memiliki nilai tetap, tidak boleh melebihi nilainya. Tidak ada diyat yang ditentukan hanya karena cacat atau rasa sakit saja. Bukankah dalam kehilangan telinga berlaku setengah diyat, begitu juga tangan – namun nilai fungsinya berbeda. Kehilangan jari memiliki nilai tiga ekor unta dan sepertiga, sedangkan muḍiḥah lima ekor unta, dan hāsyimah sepuluh unta. Padahal kehilangan jari lebih buruk daripada luka muḍiḥah dan hāsyimah. Kalau bukan karena hal ini, maka cacat akan dinilai sesuai penurunan fungsi, sebagaimana kerusakan barang karena cacat menurunkan nilainya.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika seseorang mematahkan tulang lalu sembuh tanpa cacat struktural (‘atham), maka ada ḥukūmah sesuai rasa sakit, luka, atau kelemahan jika ada. Jika sembuh dengan cacat ‘atham atau cacat lainnya, maka ḥukūmah dikenakan seperti yang dijelaskan, dan tidak boleh nilainya melebihi diyat jika tulangnya dipotong.

Misalnya patah ruas jari atau lengan tidak boleh menyebabkan ḥukūmah melebihi nilai ruas jari atau tangan. Begitu pula paha, betis, kaki, hidung, dan selainnya. Jika tulang rusuk patah dan sembuh, tidak boleh nilainya menyamai diyat jā’ifah, sebab paling besar akibat dari patah rusuk hanya menyerupai jā’ifah, bukan setara dengannya.

[Tabrakan Dua Penunggang (التقاء الفارسين)]

(Imam Syafi‘i –  – berkata): Jika dua orang penunggang bertabrakan – apa pun hewan tunggangan mereka – lalu keduanya meninggal, maka ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) masing-masing wajib membayar setengah dari diyat lawannya. Karena masing-masing dianggap melakukan jinayah terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain, dan kematian keduanya disebabkan oleh benturan dari diri sendiri dan dari lawannya. Maka gugur tanggung jawab atas diri sendiri dan tetap dipungut diyat dari lawan, sebagaimana jika seseorang melukai dirinya sendiri dan orang lain juga melukainya, maka pelaku lain tetap menanggung setengah diyat, karena korban meninggal akibat gabungan dua luka.

Hal serupa juga berlaku jika sekelompok orang menembakkan batu bersama dari manjaniq (ketapel raksasa), lalu batu itu memantul dan membunuh salah satu dari mereka. Jika yang melempar sepuluh orang, maka yang meninggal dianggap terbunuh oleh gabungan jinayah dirinya dan sembilan lainnya. Bagian tanggung jawab dari dirinya sendiri gugur, dan ahli warisnya berhak mendapat sembilan per sepuluh dari diyat, yang diambil dari ‘āqilah masing-masing sembilan orang tersebut (masing-masing menanggung sepersepuluh dari diyat penuh).

Sama saja apakah salah satu dari mereka menunggangi gajah dan yang lain kambing, atau keduanya menunggangi dua hewan yang sepadan atau berbeda – hukumnya tetap. Jika hewan tunggangan mereka juga mati, maka masing-masing bertanggung jawab atas setengah dari nilai hewan milik lawannya, dari harta pribadi.

Jika yang bertabrakan adalah penunggang dan pejalan kaki, maka hukumnya sama seperti dua penunggang. Begitu pula jika dua pejalan kaki saling bertabrakan. Tidak ada perbedaan apakah keduanya buta, normal, atau satu buta dan satu normal – orang buta tetap menanggung jinayah sebagaimana orang yang melihat.

Sama saja apakah hewan tunggangan mereka liar dan tak terkendali, salah satunya saja, atau keduanya terkendali. Jika hewan mereka mundur dan saling membentur lalu keduanya meninggal, atau satu hewan mundur dan yang lain tetap maju, maka berlaku hukum yang sama.

Jika salah satu penunggang adalah budak dan yang lainnya orang merdeka, maka ‘āqilah si merdeka wajib membayar setengah dari nilai budak, berapa pun nilainya. Sedangkan setengah dari diyat orang merdeka berada di leher budak. Jika nilai setengah budak melebihi setengah diyat orang merdeka, maka kelebihannya diberikan kepada tuan budak. Jika jumlahnya tepat, maka disebut qiṣāṣ dan tidak ada lagi hak bagi tuannya. Jika kurang, maka dipotong nilainya, dan tidak ada kewajiban lebih bagi tuannya.

(Al-Rabī‘ berkata): Itu jika budak masih hidup. Tapi jika budak sudah mati, maka jinayah dibebankan ke lehernya (tanpa melibatkan tuannya), dan ‘āqilah orang merdeka tetap membayar setengah dari nilai budak kepada ahli waris orang merdeka – jika nilainya sama atau kurang dari setengah diyat. Sebab nilai budak berlaku seperti jasadnya jika dia hidup. Jika nilainya lebih dari setengah diyat orang merdeka, maka selisihnya dikembalikan ke tuan budak. Jika nilainya tidak cukup, maka tidak ada ganti rugi tambahan.

Jika kedua penabrak sama-sama budak, maka masing-masing menanggung setengah dari nilai lawannya, tetapi karena keduanya meninggal, dan keduanya tidak memiliki harta atau ahli waris yang menanggung, maka tidak ada diyat yang diambil.

Sama saja apakah keduanya adalah penunggang dewasa yang berakal, orang gila, buta, atau kombinasi dari keduanya (misalnya: satu anak-anak, satu dewasa) – selama keduanya menaiki tunggangan sendiri atau dinaikkan oleh orang tua atau walinya. Namun, jika mereka dinaikkan oleh orang lain (bukan wali), dan mereka tidak dapat mengendalikan tunggangan, maka diyat atas siapa pun yang mereka tabrak dibebankan pada ‘āqilah dari orang yang menaikkan mereka – karena menaikkan mereka tanpa kemampuan mengendali adalah tindakan melampaui batas.

(Imam Syafi‘i berkata): Hukum tabrakan yang disengaja atau tidak disengaja tetap sama, kecuali dalam sisi dosa. Tidak ada qiṣāṣ pada kasus tabrakan, karena termasuk kesalahan (khaṭa’ ‘amdan) yang ditanggung oleh ‘āqilah. Diyatnya adalah diyat mughallaẓah (diyat berat) jika keduanya saling berhadapan saat bertabrakan. Jika keduanya saling membelakangi dan tunggangan mereka saling mundur lalu bertabrakan dari belakang, maka diyatnya tetap setengah diyat mughallaẓah. Jika satu orang maju dan satu orang mundur saat tabrakan terjadi, maka orang yang maju wajib menanggung setengah diyat mughallaẓah, dan lawannya menanggung setengah biasa (tidak mughallaẓah), sesuai peran masing-masing dalam penyebab kematian.

[Seseorang Menabrak Orang Lain]

(Imam Syafi‘i –  – berkata): Jika seorang penunggang atau pejalan kaki menabrak seseorang yang sedang berdiri di tempat miliknya atau bukan, atau sedang berbaring atau tertidur, lalu menabraknya hingga meninggal – maka diyat orang yang ditabrak wajib ditanggung oleh ‘āqilah si penabrak, baik orang yang ditabrak melihat dan bisa menghindar maupun tidak bisa melihat (buta) atau tidak mampu menghindar. Semuanya sama: diyatnya ditanggung secara mughallaẓah (diyat berat).

(Imam Syafi‘i berkata): Jika penabrak ikut mati, maka diyatnya gugur (tidak ditanggung siapa pun), karena ia telah melakukan jinayah terhadap dirinya sendiri.

Jika orang yang semula berdiri itu malah berpindah tempat, lalu bertabrakan dengan orang lain dari arah berlawanan dan keduanya mati, maka dianggap keduanya saling bertabrakan. Setengah diyat masing-masing ditanggung oleh ‘āqilah dari yang lainnya karena ia turut aktif dalam bergerak menuju arah tabrakan.

Namun jika perpindahan posisi itu untuk menjauh (menghindar), dan penunggang atau pejalan menabraknya, maka kasusnya seperti ia berdiri saja. Maka ‘āqilah si penabrak wajib membayar diyatnya. Jika penabrak meninggal, maka darahnya tetap tidak ditanggung karena ia telah menjerumuskan diri.

Jika hewan tunggangan keduanya mati karena tabrakan, maka setengah dari nilai masing-masing hewan ditanggung oleh pelaku penabrakan dari harta pribadi (bukan oleh ‘āqilah), karena ‘āqilah tidak menanggung kerugian benda (hewan).

[Tabrakan Dua Kapal (اصطدام السفينتين)]

(Imam Syafi‘i –  – berkata): Jika dua kapal bertabrakan dan salah satunya merusak kapal lainnya, serta menyebabkan kematian orang-orang di dalamnya, atau muatan kapal rusak atau hilang – maka hanya ada dua kemungkinan pendapat:

  1. Orang yang mengendalikan kapal (nakhoda/pemilik/pengemudi) menanggung setengah dari kerusakan yang disebabkan oleh kapalnya terhadap kapal lain.
  2. Atau tidak ada tanggungan sama sekali, kecuali jika ia sebenarnya mampu mengendalikan kapal tersebut bersama awaknya namun ia tidak melakukannya.

Jika kapal memang tidak dapat dikendalikan (karena ombak atau angin besar), maka ia tidak bertanggung jawab. Yang berpendapat demikian mengatakan: pernyataan dari orang yang mengendalikan kapal bahwa ia tak mampu mengendalikannya diterima, selama memang tampak kondisi tidak terkendali.

Jika ia wajib membayar ganti rugi, maka kerusakan harta ditanggung dari hartanya sendiri, sedangkan kematian para penumpang ditanggung oleh ‘āqilah kecuali jika pelakunya budak – maka ditanggung dari nilai lehernya (diri budak itu sendiri).

Tidak ada perbedaan apakah pengemudi kapal itu pemiliknya, orang yang diberi kuasa, atau orang yang bertindak di luar wewenang. Semua bertanggung jawab atas apa yang dilakukan kapal, baik ia yang menyerempet atau diserempet, selama ada keterlibatannya.

Jika kapal bertabrakan dan menyebabkan kerusakan pada dirinya dan kapal lain, maka siapa pun yang bertanggung jawab atas kapal itu, ia juga bertanggung jawab atas akibatnya. Jika dia tidak mampu mengendalikannya, ia bebas dari tanggungan. Tapi jika mampu dan tidak mengendalikan, maka dia bertanggung jawab penuh dan dianggap seperti sengaja menabrak.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika sebuah kapal menabrak kapal lain tanpa unsur kesengajaan, maka tidak ada tanggungan atas barang-barang yang ada di dalamnya, karena mereka menaiki kapal tanpa melanggar hak siapa pun.

Jika kapal dalam kondisi bahaya dan salah satu awak membuang sebagian muatan untuk meringankan beban dan menyelamatkan kapal dan isinya, maka:

  • Jika yang dibuang adalah miliknya sendiri, maka ia menanggung kerugiannya.
  • Jika yang dibuang adalah milik orang lain, maka ia menanggung kerugiannya kepada pemilik barang tersebut, bukan kepada semua penumpang.
  • Jika ada penumpang lain yang menyuruhnya membuang barangnya, maka tidak ada tanggungan, karena ia sendiri yang membuangnya.
  • Tapi jika disuruh dengan janji jaminan, maka yang menyuruh wajib menggantinya.

Jika orang itu menyuruhnya atas nama dirinya sendiri dan seluruh penumpang, maka ia wajib mengganti barang yang dibuang, tapi hanya atas nama dirinya – kecuali jika penumpang lainnya ikut serta secara suka rela.

Jika seseorang melubangi atau merusak kapal sehingga air masuk dan menenggelamkan kapal beserta isinya dan para penumpangnya, maka:

  • Kerugian atas harta ditanggung dari harta pelaku.
  • Diyat kematian para penumpang ditanggung oleh ‘āqilah
  • Tidak peduli apakah pelaku adalah pemilik kapal, pengemudinya, penumpangnya, atau orang luar yang hanya melintas.

[Jinayah yang Dilakukan oleh Penguasa (جناية السلطان)]

Imam Syafi‘i – – berkata:

Jika seorang penguasa menegakkan hudud seperti potong tangan, hukuman atas qadzaf (tuduhan zina), atau zina (selain rajam) terhadap seorang laki-laki atau perempuan, baik merdeka atau budak, lalu orang tersebut meninggal karena hukuman itu, maka kematiannya dianggap sah sebagai hukuman mati; sebab penguasa melaksanakan hak yang wajib dilakukan. Begitu pula jika ia melakukan qishāsh atas luka yang memang layak dibalas, lalu korban meninggal, maka tidak ada diyat (ganti rugi).

Jika seorang peminum khamar atau orang mabuk dipukul dengan sandal, ujung pakaian, tangan, atau yang semacamnya, dan pukulan itu diyakini tidak melebihi empat puluh kali atau persis empat puluh, lalu ia meninggal karenanya, maka kematiannya tetap dianggap sebagai kematian sah karena eksekusi hukum. Dalam hal ini, tidak ada diyat, tidak ada qishāsh, dan tidak ada kafarat atas imam maupun pelaksana hukuman.

Namun, jika imam memukulnya dengan empat puluh cambukan atau lebih sedikit dengan cemeti (alat hukum resmi), atau memukulnya dengan lebih dari empat puluh kali tapi menggunakan sandal atau alat semisalnya lalu korban meninggal, maka diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah imam, bukan dari Baitul Māl.

Diriwayatkan bahwa ʿAlī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ʿanhu – berkata:

“Aku tidak merasa terganggu oleh siapa pun yang mati karena hudud, kecuali yang mati karena hukuman minum khamar; karena hukuman itu adalah sesuatu yang kami tetapkan setelah wafatnya Nabi ﷺ. Maka siapa pun yang mati karena itu, diyatnya wajib, baik dari Baitul Māl atau ditanggung oleh ‘āqilah imam” – Syafi‘i ragu di antara dua pendapat ini.

Disebutkan juga bahwa ‘Umar – raḍiyallāhu ʿanhu – pernah memanggil seorang perempuan, dan karena ketakutan, ia mengalami keguguran. Lalu ia berkonsultasi kepada ʿAlī – raḍiyallāhu ʿanhu – yang menyarankannya untuk membayar diyat janin, dan ia memerintahkan ‘Alī agar membagikan diyat tersebut kepada keluarga perempuan tersebut.

Imam Syafi‘i –  – juga berkata:

Jika seseorang sedang dalam kondisi sakit, atau pada cuaca ekstrem (dingin atau panas yang berbahaya), maka sebaiknya tidak ditegakkan hukuman hudud padanya. Namun jika tetap dilaksanakan dan ia meninggal karenanya, maka tidak ada diyat, tidak ada qishāsh, dan tidak ada kafarat, karena itu adalah hak hukum.

Jika yang dikenai hudud adalah perempuan hamil, maka tidak boleh dilaksanakan hukumannya demi menjaga keselamatan janin. Jika tetap dihukum lalu ia mengalami keguguran, maka pelaksana wajib membayar diyat janin. Jika sang ibu meninggal dan juga keguguran, maka pelaksana tidak menanggung diyat ibunya, hanya janinnya saja. Sebab eksekusi pada ibunya adalah tindakan sah (ḥaqq), sedangkan keguguran janin terjadi akibat perbuatannya secara tidak langsung.

Jika imam menegakkan hudud berdasarkan kesaksian dua budak, atau satu budak dan satu merdeka, atau dari seorang Muslim dan seorang dzimmi, atau dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat adil, lalu orang yang dihukum mati, maka ‘āqilah imam wajib membayar diyat – karena itu adalah kesalahan dalam penerapan hukum.

Demikian pula jika seorang anak kecil atau orang gila mengaku dosa yang berakibat hudud, lalu imam menegakkan hudud dan mereka meninggal, maka diyat ditanggung. Jika mereka tidak mati, tetapi masih menderita luka, bekas, atau kehilangan anggota tubuh (seperti tangan), maka tetap wajib diyat atau ḥukūmah atas luka yang terjadi. Semua diyat ini dibebankan kepada ‘āqilah imam karena kesalahan penegakan hukum.

Jika imam memerintahkan seseorang untuk mencambuk orang lain, tapi tidak menetapkan jumlahnya, lalu orang itu memukul melebihi jumlah pukulan yang diperbolehkan dan menyebabkan kematian, maka imamlah yang bertanggung jawab atas diyatnya, bukan algojo yang memukul.

Jika hukumannya adalah delapan puluh cambukan, lalu kelebihan satu pukulan dan menyebabkan kematian, maka ada dua pendapat:

  1. Imam wajib membayar setengah diyat, seperti halnya jika dua orang melukai korban – satu memukul sekali, yang lain memukul delapan puluh kali – maka diyat dibagi dua.
  2. Imam wajib membayar satu bagian dari delapan puluh satu bagian dari diyat, seperti seolah-olah orang itu terbunuh oleh delapan puluh satu orang, dan masing-masing menanggung satu bagian.

Jika seorang imam (penguasa) memerintahkan seseorang untuk mencambuk orang lain sebanyak 80 kali, lalu algojo keliru dan menambahkan satu cambukan, maka tanggung jawab atas kematian korban ada pada algojo, bukan pada imam.

Namun jika perintah imam bersifat umum seperti: “Pukullah dia sebanyak yang kamu mau,” atau “Menurutmu pantas,” atau “Seberapa perlu menurutmu,” lalu algojo melampaui batas, maka tanggung jawab atas kezaliman itu tetap ada pada algojo.

Berbeda dengan kasus ketika imam memerintah tanpa menyebut jumlah, tapi memantau dan menghitung jumlahnya – maka jika terjadi pelampauan, imamlah yang bertanggung jawab.

Jika imam secara zalim memerintahkan agar seseorang dipukul, maka semua kerusakan akibat perintah tersebut menjadi tanggung jawab imam. Algojo tidak ikut bertanggung jawab, kecuali ia tahu bahwa imam sedang bertindak zalim – misalnya dengan mengatakan: “Saya memukulnya dengan zalim” atau algojo tahu pasti bahwa pemukulan itu tanpa alasan syar‘i. Maka dalam kasus itu, algojo dan imam sama-sama bertanggung jawab.

Jika algojo berkata: “Aku hanya melakukannya karena aku menyangka imam keliru berdasarkan pendapat sebagian ulama,” maka algojo tetap bertanggung jawab. Algojo tidak boleh menindak kecuali ia yakin bahwa perintah imam adalah benar, atau jika sebab pemukulan itu disembunyikan darinya, atau ia berasumsi bahwa imam hanya memerintahkan apa yang memang pantas bagi si terdakwa.

Jika imam menjatuhkan hukuman ta‘zīr (non-hadd) dan orang yang dihukum mati karena itu, maka ‘āqilah imam wajib membayar diyatnya. Demikian pula jika seorang suami takut istrinya nusyūz (membangkang), lalu memukulnya hingga mati atau merusak matanya secara tidak sengaja, maka diyatnya wajib ditanggung oleh ‘āqilah suami.

Jika ditanyakan: “Kenapa diyat tetap wajib padahal ia punya hak untuk memberi ta‘zīr?”

Jawab: Karena tindakan tersebut hanyalah boleh dilakukan berdasarkan ijtihad dan dalam sebagian kondisi bisa ditinggalkan. Sedangkan hudūd (hukuman tetap) wajib ditegakkan dan tidak boleh ditinggalkan sama sekali.

Jika seorang sultan mengutus utusan ke rumah perempuan, lalu karena ketakutan terhadap utusan, perempuan itu keguguran, maka diyat janinnya wajib dibayar oleh ‘āqilah sultan – jika tindakan utusan memang berdasarkan perintahnya. Jika utusan bertindak di luar perintah sultan, maka diyat menjadi tanggung jawab ‘āqilah para utusan.

Perempuan memang sering keguguran karena ketakutan. Namun jika ada seseorang (laki-laki atau perempuan) dipanggil oleh sultan dan meninggal karena ketakutan, maka ‘āqilah sultan tidak wajib membayar diyat, karena kematian karena ketakutan bukanlah hal yang umum terjadi.

Jika sultan memenjarakan seseorang lalu menahan makanan dan minuman (salah satunya atau keduanya), dan orang itu mati seketika, maka sultan tidak bertanggung jawab kecuali ia mengakui bahwa kematiannya disebabkan oleh kelaparan atau kehausan.

Tapi jika ia ditahan dalam waktu lama, cukup untuk menyebabkan kematian karena lapar atau haus, dan ahli waris korban mengklaim bahwa ia mati karena itu, maka diyat wajib dibayar.

Begitu pula jika korban ditahan dalam kondisi sangat lapar atau haus, lalu dibiarkan dalam kondisi itu sampai mati. Atau jika sultan melucuti pakaiannya di musim dingin atau panas ekstrem tanpa penutup tubuh, lalu korban mati, maka sultan bertanggung jawab – asalkan kondisi suhu memang secara umum bisa menyebabkan kematian.

Namun jika suhu tidak terlalu membahayakan secara umum, maka tidak ada tanggung jawab, karena bisa jadi ia mati secara alami tanpa sebab yang nyata. Maka diyat hanya wajib bila diketahui kematian itu berasal dari penyebab logis dan umum.

Jika seseorang memiliki bisul (selulāh) atau gangren di tubuhnya, lalu sultan memerintahkan pemotongan anggota tubuh tempat bisul itu, dan orang tersebut tidak berakal (anak kecil, gila), atau orang berakal tapi dipaksa, lalu ia mati, maka sultan wajib dikenakan qiṣāṣ, kecuali jika ahli waris korban memilih diyat.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa pada orang yang tidak berakal, sultan wajib membayar diyat saja, bukan dikenai qiṣāṣ.

(Abu Ya‘qūb) berkata: anak kecil seperti orang gila.

(Imam Syafi‘i) berkata: Jika orang selain sultan melakukan itu, maka ia dikenai qiṣāṣ, kecuali jika ia adalah ayah dari anak kecil atau wali sah dari orang gila – maka ia hanya wajib membayar diyat dan bebas dari qiṣāṣ karena ada unsur syubhat (keraguan hukum).

Jika seorang pria belum disunat, atau perempuan belum dikhitan, lalu sultan memerintahkan penyunatan mereka dan mereka mengalami luka parah lalu mati, maka sultan tidak bertanggung jawab – karena pada dasarnya tindakan itu wajib dilakukan.

Namun, jika hal itu dilakukan dalam kondisi cuaca ekstrem (dingin atau panas) yang umumnya bisa menyebabkan bahaya serius, maka diyatnya wajib ditanggung oleh ‘āqilah sultan.

Jika sultan memaksa seseorang untuk memanjat pohon kurma atau turun ke sumur, lalu ia terjatuh dan mati, maka sultan dan ‘āqilah-nya wajib membayar diyat. Demikian pula jika seseorang diperintahkan melakukan pekerjaan yang umumnya bisa menyebabkan kematian.

Namun, jika sultan hanya menyuruh seseorang untuk berjalan sebentar dalam pekerjaan ringan, lalu ia meninggal, maka sultan tidak bertanggung jawab – karena itu bukan hal yang membinasakan.

Kecuali jika sultan mengakui bahwa perbuatannya menyebabkan kematian, atau secara medis diketahui bahwa tindakan yang diperintahkan memang bisa menyebabkan kematian, maka ia bertanggung jawab atas diyat.

Jika demikian keadaannya, maka sultan wajib menanggung diyatnya.

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sultan menanggung sebagaimana seseorang yang mempekerjakan budak milik orang lain tanpa izin.

Adapun semua perintah dari sultan yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum kaum Muslimin, dan jika orang yang dipaksa mati karena perintah tersebut, maka sultan bertanggung jawab penuh atas diyatnya.

[Warisan Diyat]

Diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ dari Imam Syafi‘i, dari Sufyan bin ‘Uyaynah, dari az-Zuhri, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – dahulu berkata:

“Diyat itu milik ‘āqilah dan istri tidak mendapat warisan dari diyat suaminya.”

Hingga kemudian Ḍaḥḥāk bin Sufyān memberitahu bahwa Nabi ﷺ menulis surat kepadanya agar mewariskan diyat dari suami kepada istrinya. Maka ‘Umar pun menarik kembali pendapatnya.

Diriwayatkan pula dari Imam Malik, dari Ibn Syihab, bahwa Nabi ﷺ menulis surat kepada Ḍaḥḥāk bin Sufyān agar mewariskan istri Āshīm ad-Dhabbābī dari diyat suaminya. Ibn Syihab menambahkan bahwa Āshīm terbunuh karena kesalahan (khaṭa’).

(Imam Syafi‘i) berkata:

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa diyat, baik dalam kasus pembunuhan sengaja (‘amd) maupun tidak sengaja (khaṭa’), diwarisi oleh para ahli waris sebagaimana harta lainnya, karena diyat adalah harta milik si mayit. Maka kami mengambil hukum ini: bahwa diyat dalam semua kasus diwarisi oleh siapa pun yang mewarisi hartanya.

Jika seseorang terbunuh dan diyatnya telah ditetapkan, lalu salah satu ahli warisnya meninggal setelahnya, maka ia tetap mewarisi bagian dari diyat tersebut.

Contohnya: seseorang dijahati pada pagi hari lalu meninggal dunia, dan anaknya meninggal dunia setelahnya di sore hari, kemudian diyat ayahnya diambil dalam jangka waktu tiga tahun, maka si anak tetap mendapatkan bagian waris dari diyat ayahnya karena ia masih hidup sesaat setelah ayahnya meninggal – sebagaimana ia tetap mewarisi hutang atau piutang ayahnya.

Begitu pula istri dan ahli waris lainnya.

Namun jika si anak kafir dan baru masuk Islam setelah ayahnya meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi, karena kematian ayah terjadi saat ia belum menjadi ahli waris.

Demikian pula jika ia masih berstatus budak lalu merdeka setelah ayahnya meninggal.

Demikian pula istri yang baru menikah setelah peristiwa jinayah, tetap mewarisi diyat jika suaminya meninggal setelah pernikahan.

[Pemaafan Korban dalam Kasus Sengaja dan Tidak Sengaja]

(Imam Syafi‘i –  – berkata):

Jika seseorang melakukan jinayah khaṭa’ (tidak sengaja), lalu korban memaafkannya terkait arsh (nilai luka), maka:

  • Jika korban tidak meninggal, maka pemaafan itu sah.
  • Jika korban meninggal, maka pemaafan dianggap sebagai wasiat, dan hanya berlaku dari sepertiga harta, karena diyat ditanggung oleh ‘āqilah, bukan oleh pelaku secara langsung.

Jika pelaku adalah Muslim dan tidak memiliki ‘āqilah, maka pemaafan tetap sah karena tanggungan berpindah ke umat Islam.

Jika pelaku adalah non-Muslim dzimmi, maka pemaafan tetap sah karena tanggungan atas ‘āqilah-nya (sesama dzimmi).

Namun jika pelaku dzimmi tidak memiliki ‘āqilah, atau pelaku Muslim yang mengaku bersalah atas pembunuhan khaṭa’, maka diyatnya diambil dari harta pribadinya. Dalam hal ini, pemaafan tidak sah karena dianggap sebagai wasiat kepada pembunuh — yang tidak dibolehkan. Ahli waris berhak membatalkannya.

Jika pelaku adalah budak, lalu korban memaafkannya dan setelah itu meninggal, maka pemaafan tetap sah, dan berlaku dari sepertiga harta tuannya, karena budak tidak memiliki harta, dan pemaafan itu berlaku kepada tuannya, bukan kepada budak.

Jika korban berkata: “Saya memaafkan pelaku dari qishāsh,” maka itu tidak otomatis mencakup pemaafan atas diyat, kecuali ia menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah juga memaafkan harta (diyat).

Demikian pula jika ia berkata: “Saya memaafkan luka dan segala akibatnya,” maka perlu ditegaskan bahwa ia juga memaafkan hak diyat.

Jika ia masih hidup, maka ia diminta sumpah untuk memperjelas maksudnya. Jika ia sudah meninggal, maka ahli warisnya diminta bersumpah sesuai pengetahuan mereka.

Jika korban berkata: “Saya memaafkan semua yang wajib dari arsh jinayah,” maka ini termasuk pemaafan terhadap pelaku kafir (karena tidak punya ‘āqilah) dan terhadap orang yang mengaku melakukan jinayah khaṭa’.

Namun ini tidak mencakup pemaafan terhadap ‘āqilah kecuali jika ia mengatakan secara tegas: “Saya memaafkan ‘āqilah-nya.”

Karena ‘āqilah tidak menanggung diyat pelaku secara langsung, maka pemaafan harus ditujukan secara eksplisit.

Jika korban hanya mengatakan: “Saya memaafkan pelaku atas arsh jinayah,” dan pelaku tidak punya ‘āqilah, maka pemaafan itu tidak sah.

Jika luka itu adalah luka terbuka lalu korban memaafkan arsh-nya, kemudian korban meninggal karena luka tersebut, maka ada dua pendapat:

  1. Pemaafan hanya berlaku atas arsh luka, dan tidak berlaku atas tambahan diyat karena kematian. Misalnya korban kehilangan tangan lalu meninggal — maka pemaafan atas luka hanya berlaku atas setengah diyat, dan setengahnya lagi tetap wajib diambil dari sepertiga (sebagai wasiat).
  2. Pemaafan tidak berlaku karena dianggap sebagai pemberian harta kepada pembunuh, yang tidak dibolehkan — maka tidak berlaku sama sekali.

Jika luka terjadi karena kesalahan (khaṭa’) dan nilai lukanya mencapai diyat penuh atau lebih, lalu korban memaafkan, kemudian meninggal, maka pemaafan tetap sah dari sepertiga harta, karena yang dimaafkan sudah wajib sebelumnya.

Jika orang yang tidak cakap hukum (anak kecil, orang gila) mengalami luka dan memaafkan arsh-nya, maka pemaafan itu tidak sah, baik dalam kasus sengaja maupun tidak sengaja — kecuali jika ia memaafkan qishāsh, maka sah.

Jika pemaafan terjadi terhadap diyat penuh karena luka khaṭa’, maka itu dianggap sebagai wasiat kepada ‘āqilah, bukan kepada pembunuh, dan berlaku sesuai perbedaan pendapat tentang sah-tidaknya wasiat kepada orang yang menanggung.

Barang siapa yang membolehkan wasiat kepada ‘āqilah, maka membolehkan pemaafan itu. Jika tidak, maka pemaafan dianggap tidak sah.

[al-Qasāmah (القسامة) – Sumpah Kolektif dalam Kasus Pembunuhan Misterius]

Diriwayatkan oleh ar-Rabī‘ dari Imam Syāfi‘ī, dari Mālik, dari Ibn Abī Laylā, dari Sahl bin Abī Ḥathmah, bahwa sejumlah tokoh dari kaumnya menceritakan kepadanya:

“Abdullāh bin Sahl dan Muḥayyisha pergi ke Khaibar karena penderitaan (kelaparan) yang menimpa mereka. Keduanya kemudian berpencar menjalankan keperluan masing-masing. Lalu Muḥayyisha diberitahu bahwa Abdullāh bin Sahl telah dibunuh dan jasadnya dibuang ke dalam mata air. Maka Muḥayyisha mendatangi orang-orang Yahudi dan berkata, ‘Kalian, demi Allah, yang membunuhnya.’ Mereka membantah, ‘Demi Allah, kami tidak membunuhnya.’ Lalu Muḥayyisha kembali ke Madinah dan memberitahukan hal itu kepada kaumnya. Maka ia datang bersama saudaranya Ḥuwayyisha (yang lebih tua darinya) dan ‘Abdurraḥmān bin Sahl (saudara si terbunuh). Ketika Muḥayyisha hendak berbicara (karena ia yang menyaksikan tempat kejadian), Rasulullah bersabda, ‘Yang lebih tua, yang lebih tua,’ maka Ḥuwayyisha pun berbicara. Setelah itu Muḥayyisha ikut berbicara. Rasulullah kemudian bersabda: ‘Berikan diyat kepada kalian atau bersiaplah untuk perang.’ Lalu beliau menulis surat kepada orang Yahudi, namun mereka tetap bersumpah bahwa mereka tidak membunuhnya. Maka Rasulullah bersabda kepada Ḥuwayyisha, Muḥayyisha, dan ‘Abdurraḥmān: ‘Apakah kalian bersumpah dan memperoleh hak darah saudara kalian?’ Mereka menjawab: ‘Tidak.’ Maka Nabi bersabda: ‘Kalau begitu, Yahudi yang bersumpah.’ Mereka menjawab: ‘Mereka bukan orang Muslim.’ Maka Rasulullah membayar diyat dari harta pribadi beliau, dan mengirim seratus ekor unta hingga dimasukkan ke dalam rumah mereka.”

Sahl berkata, “Salah satu unta berwarna merah menendangku.”

Imam Syafi‘i berkata:

Kami meriwayatkan makna yang sama dari Yahyā bin Sa‘īd dan Sufyān bin ‘Uyainah dari jalur Sahl bin Abī Ḥathmah, meskipun dalam versi Sufyān tidak jelas siapa yang Nabi ﷺ dahulukan untuk bersumpah, apakah kaum Anṣār atau Yahudi. Tetapi dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa beliau mendahulukan kaum Anṣār. Maka kami katakan: itulah yang kami ikuti.

Imam Syafi‘i berkata:

Kami berpendapat bahwa qisāsah (qasāmah) berlaku jika sebabnya seperti kasus di atas, sebagaimana Nabi ﷺ menetapkan qasāmah di dalamnya dan diyat ditetapkan atas pihak tertuduh.

Kapan Qasāmah Berlaku?

Jika seseorang bertanya, “Apa syarat sebab qasāmah seperti yang ditetapkan Rasulullah ﷺ?”

Jawabannya:

  • Khaibar adalah wilayah Yahudi murni – tidak ada selain mereka di sana.
  • Permusuhan antara kaum Anṣār dan Yahudi sudah nyata.
  • Abdullāh bin Sahl pergi setelah ‘Ashar dan ditemukan terbunuh sebelum malam – waktu yang pendek dan mustahil pelaku selain dari kalangan Yahudi.

Maka jika ada seseorang terbunuh di lingkungan suatu kaum yang tidak bercampur dengan selain mereka, dan mereka adalah musuh korban, serta mayat ditemukan di lingkungan itu, maka qasāmah berlaku atas mereka.

Demikian pula:

  • Jika seseorang memasuki rumah lalu keluar dalam keadaan terbunuh dan tidak ada selain penghuni rumah, maka berlaku qasāmah.
  • Atau sekelompok orang berada di gurun atau rumah, lalu salah satunya ditemukan terbunuh, maka qasāmah berlaku atas mereka — karena secara akal kuat dugaan mereka pelakunya.
  • Atau ditemukan mayat di suatu tempat dan hanya ada satu orang di dekatnya yang bajunya berlumuran darah — maka qasāmah berlaku atas orang itu.
  • Atau datang beberapa saksi dari berbagai daerah Muslim, masing-masing bersaksi bahwa seseoranglah pembunuhnya (tanpa saling mengetahui), lalu kesaksian mereka cocok — meski mereka tidak memenuhi syarat persaksian di pengadilan biasa.
  • Bahkan jika hanya ada satu saksi adil bahwa seseoranglah pelakunya, maka semua keadaan ini dianggap sebagai penguat bahwa pelaku adalah orang tersebut, dan wali darah berhak menuntut dengan qasāmah.

Jika terjadi kondisi yang mewajibkan qasāmah atas suatu rumah, desa, atau sekelompok orang, maka wali darah boleh menuntut mereka untuk bersumpah atas satu orang, atau lebih, dari kalangan mereka.

Jika memungkinkan bahwa terdakwa termasuk di antara para pembunuh, maka boleh dilakukan sumpah (qasāmah) atas dirinya sendiri dan juga atas selain dirinya yang mungkin termasuk di antara mereka. Adapun jika tidak ada apa yang telah disebutkan, maka tidak wajib dilakukan qasāmah. Demikian pula tidak wajib qasāmah jika ditemukan orang terbunuh di sebuah desa yang bercampur dengan selain mereka atau dilalui oleh para pelintas jalan, karena memungkinkan ada yang membunuh dari para pelintas dan melemparkan jenazahnya. Apabila qasāmah telah wajib, maka para ahli waris si terbunuh boleh bersumpah meskipun mereka berada jauh dari tempat kejadian, karena memungkinkan mereka mengetahui hal itu melalui pengakuan si pembunuh atau kesaksian yang tegak di sisi mereka, meskipun hakim tidak menerima dari mereka atau selain mereka kecuali pengetahuan yang bukan kesaksian yang pasti. Dan hendaknya hakim berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah bersumpah kecuali setelah yakin.” Sumpah mereka diterima kapan pun mereka bersumpah.

[Siapa yang bersumpah dan dalam kasus apa]

(Al-Syafi‘i) – rahimahullāh – berkata: Yang bersumpah dalam qasāmah adalah ahli waris yang baligh dan berakal, baik dia seorang Muslim atau non-Muslim, orang adil atau tidak, atau orang yang dalam keadaan dibatasi haknya. Qasāmah berlaku antara Muslim terhadap musyrik, musyrik terhadap Muslim, dan sesama musyrik, semuanya sama, karena masing-masing adalah wali darah dan ahli waris diyat korban serta harta peninggalannya. Hanya saja kami tidak menerima kesaksian musyrik terhadap Muslim dan tidak menjadikan ucapannya sebagai petunjuk dalam keadaan apa pun, karena hukum Islam membatalkan pengambilan hak dengan kesaksian orang-orang musyrik.

Al-Syafi‘i berkata: Pemilik budak berhak bersumpah dalam kasus pembunuhan budaknya, baik diyat itu wajib atas orang merdeka atau budak mereka, hanya saja diyat atas orang merdeka diambil dari harta dan ‘āqilah mereka, sedangkan diyat budak berasal dari harganya, berapa pun itu. Jika qasāmah wajib dalam kasus budak yang diizinkan berdagang atau tidak, maka tetap sama, qasāmah adalah milik tuannya, karena budak bukan pemilik. Begitu pula budak mudabbir, umm walad, dan lainnya, karena semua itu bukan pemilik; maka qasāmah milik tuan mereka, bukan mereka.

Jika seorang budak muktāb memiliki budak dan qasāmah wajib baginya, maka ia bersumpah, karena dia adalah pemilik. Namun jika ia belum bersumpah hingga tidak mampu membayar (karena gagal membayar cicilan), maka ia tidak boleh bersumpah dalam keadaan menjadi budak, dan tuannya yang bersumpah. Ketidakmampuannya itu seperti kematiannya, dan budak yang disumpahkan menjadi milik tuannya melalui warisan. Keadaannya seperti seseorang yang memiliki budak, anak, atau lainnya, lalu belum sempat bersumpah hingga mati, maka para ahli warisnya yang bersumpah dan mereka berhak atas diyat, karena mereka menggantikannya dan memiliki hak yang ia miliki.

Barang siapa yang membunuh budak milik umm walad dan tuannya tidak sempat bersumpah hingga ia meninggal dan ia mewasiatkan harga budak tersebut untuk umm walad itu, maka umm walad tersebut tidak bersumpah, tetapi ahli warisnya yang bersumpah. Dia mendapatkan harga budak tersebut, dan jika para ahli waris tidak bersumpah, maka tidak ada hak baginya atau bagi mereka kecuali sumpah para terdakwa.

Jika seseorang berhak atas qasāmah dalam kasus pembunuhan budaknya lalu ia murtad sebelum bersumpah, maka hakim tidak menyuruhnya bersumpah. Jika ia bertaubat, maka ia boleh bersumpah. Jika ia mati atau dibunuh dalam keadaan murtad, maka qasāmah batal, karena tidak ada ahli waris baginya dan hartanya menjadi fai’.

Jika hakim menyuruhnya bersumpah dalam keadaan murtad lalu ia bersumpah dan berhak atas diyat, kemudian ia masuk Islam, maka diyat itu menjadi miliknya. Jika ia mati sebelum masuk Islam, maka diyatnya diambil sebagai fai’. Jika qasāmah wajib atasnya dalam kasus pembunuhan anaknya, lalu ia murtad sebelum bersumpah, maka hukumnya sama seperti kasus budak: hakim menyuruhnya bersumpah, dan jika diyatnya tetap, maka jika ia bertaubat, diberikan kepadanya. Jika ia mati dalam keadaan murtad, maka diyatnya menjadi fai’.

Jika anaknya terluka lalu ayahnya murtad sebelum anaknya mati, kemudian anaknya mati, maka ayahnya tidak menjadi ahli waris dan tidak berhak bersumpah. Maka para ahli waris lainnya yang bersumpah. Jika si ayah kembali masuk Islam, maka ia tidak memiliki warisan anaknya.

Jika seseorang terluka lalu ia murtad dan mati dalam keadaan murtad, dan qasāmah wajib dalam kasusnya, maka qasāmah batal karena tidak ada ahli waris. Tapi jika ia terluka lalu murtad, kemudian kembali masuk Islam sebelum meninggal, lalu mati, maka qasāmah tetap berlaku, karena ia mewarisi.

(Al-Syafi‘i) berkata: Jika seorang budak terluka lalu dimerdekakan, kemudian mati dalam keadaan merdeka, maka qasāmah wajib atas ahli warisnya yang merdeka dan tuannya yang memerdekakannya, sesuai kadar bagian dari luka yang dimiliki masing-masing. Jika tuannya memiliki sepertiga diyat seorang merdeka karena luka itu, maka ia bersumpah sepertiga dari jumlah sumpah, dan para ahli waris bersumpah dua pertiganya sesuai bagian waris mereka.

Qasāmah tidak wajib dalam kasus selain pembunuhan. Jika seseorang terluka di tempat yang mewajibkan qasāmah lalu ia mati di tempat itu, maka qasāmah berlaku. Jika ia terluka lalu hidup setelahnya, dalam waktu lama atau singkat, dalam keadaan sakit hingga ia mati, maka qasāmah tetap berlaku. Jika ia bisa duduk dan berdiri, dan lukanya tidak sembuh, maka tidak ada qasāmah. Jika ia mati dan ahli warisnya berkata bahwa ia terus-menerus sakit di tempat tidur hingga wafat, sementara yang bersumpah berkata bahwa ia bisa duduk dan berdiri, maka ucapan ahli warislah yang diterima dan mereka berhak atas qasāmah, kecuali jika pelaku mendatangkan bukti bahwa korban dapat duduk dan berdiri setelah terluka, maka qasāmah gugur.

Ucapan ahli waris diterima bahwa korban tetap sakit karena diperlukan adanya qasāmah atas jiwa bahwa si fulan telah membunuhnya jika ada sebab yang mewajibkan qasāmah. Jika ahli waris korban berkata: “Ia terus-menerus sakit karena luka hingga mati,” sementara terdakwa berkata: “Ia mati bukan karena luka itu,” atau mereka berkata demikian terhadap seseorang yang ada bukti atau pengakuan dari orang lain bahwa dia melukai dengan sengaja atau tidak, lalu mereka mendatangkan bukti bahwa ia tetap sakit di tempat tidur hingga mati, maka dijadikan mereka bersumpah dalam semua hal, karena korban mati karena luka itu.

Jika penganiayaan terbukti dan ada pengakuan pelaku serta para ahli waris bersumpah bahwa kematian disebabkan oleh luka itu, maka mereka berhak atas diyat dalam qasāmah dan atas qishāṣ jika luka itu disengaja.

Barang siapa yang berhak atas diyat dengan sumpah atau ingin terbebas dari diyat dengan sumpah, maka tidak bisa didapat atau terbebas dari hal itu kecuali dengan lima puluh sumpah. Sumpah dalam kasus darah berbeda dengan sumpah dalam hak milik. Dalam hak milik hanya satu sumpah, sedangkan dalam kasus darah lima puluh sumpah, sebagaimana disyariatkan oleh Rasulullah ﷺ dalam qasāmah. Maka tidak sah sumpah dalam kasus darah, baik untuk membebaskan terdakwa atau untuk menguatkan tuntutan, kecuali lima puluh kali sumpah.

Wallāhu a‘lam.

[Para Ahli Waris yang Bersumpah]

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata): Jika seseorang dibunuh dan qasāmah wajib dalam kasusnya, maka tidak ada yang boleh bersumpah kecuali ia adalah seorang ahli waris, baik pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja. Hal ini karena jiwa tidak bisa dimiliki dengan qasāmah kecuali hanya berupa diyat si terbunuh, dan tidak ada yang berhak atas diyat tersebut kecuali ahli waris, maka tidak boleh ada orang yang bersumpah atas sesuatu yang bukan menjadi haknya, kecuali dia sendiri yang berhak atas harta tersebut, atau Allah menjadikannya sebagai ahli waris.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika qasāmah wajib terhadap seseorang, dan ia memiliki utang dan wasiat, lalu para ahli waris menolak untuk bersumpah, kemudian para pemberi piutang atau penerima wasiat meminta untuk bersumpah, maka hal itu tidak diperbolehkan. Sebab mereka bukanlah pihak yang menjadi korban (yang berhak atas ganti rugi) terhadap para pelaku, dan bukan pula ahli waris yang Allah ﷻ jadikan sebagai pengganti si mayit dalam harta warisannya sesuai bagian mereka.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika si terbunuh meninggalkan dua ahli waris, lalu salah satunya bersumpah dan mendapatkan separuh diyat, maka para pemberi utang dapat mengambil haknya dari bagian itu. Jika masih tersisa, maka para penerima wasiat mengambil sepertiga dari bagian itu, dan mereka tidak boleh bersumpah untuk mendapatkan separuh lainnya. Jika ahli waris yang lain juga bersumpah, maka para pemberi utang dapat mengambil dari tangannya hingga utang mereka lunas. Jika sudah lunas, para penerima wasiat dapat mengambil sepertiga dari bagian tersebut.

Jika para pemberi utang memiliki piutang sebesar seratus dinar dan telah mereka ambil dari separuh diyat yang didapat oleh orang yang bersumpah pertama, lalu orang kedua juga bersumpah, maka orang pertama dapat menuntut orang kedua sebesar lima puluh dinar. Namun, ia tidak bisa menuntut bagian wasiat, karena para penerima wasiat hanya berhak atas sepertiga dari harta yang ada di tangan, tidak seluruhnya seperti pemberi utang.

Orang yang memiliki hubungan kekerabatan namun bukan ahli waris, tidak boleh bersumpah. Begitu pula wali anak yatim dari keturunan si terbunuh tidak boleh bersumpah hingga anak tersebut baligh. Jika anak tersebut meninggal, maka ahli warisnya dapat bersumpah menggantikan posisinya. Jika kerabat yang bukan ahli waris dari si terbunuh meminta untuk melakukan seluruh sumpah, maka tidak diperbolehkan. Namun jika anak si terbunuh, atau istri, atau ibu, atau neneknya meninggal dunia dan kerabat itu menjadi ahli waris mereka, maka ia boleh bersumpah karena telah menjadi ahli waris.

Jika orang yang berhak atas qasāmah sedang tidak hadir, atau tidak sadar, atau masih anak-anak, lalu orang yang tidak hadir tersebut tidak datang, atau datang tapi tidak bersumpah, dan anak-anak belum baligh, atau orang gila belum sembuh, lalu kemudian mereka mencapai umur baligh atau sadar tapi tidak juga bersumpah hingga mereka meninggal dunia, maka ahli waris mereka bersumpah sesuai bagian warisan mereka. Misalnya: seseorang mewarisi sepersepuluh dari harta ayahnya, lalu ia meninggal dan meninggalkan sepuluh orang ahli waris, maka setiap satu orang dari mereka bersumpah satu kali, karena mereka mewarisi sepersepuluh dari sepersepuluh harta si terbunuh — yaitu satu dari seratus bagian. Begitulah hal ini berlaku untuk para ahli waris lainnya yang bersumpah sesuai dengan bagian warisan mereka.

Jika seseorang berkata: “Dalam hadis Ibn Abī Laylā disebutkan bahwa saudara korban dan dua orang lainnya hadir, dan Nabi ﷺ berkata kepada mereka: Kalian bersumpahlah, dan kalian akan mendapatkan hak darah saudaramu — bagaimana mungkin sumpah hanya untuk ahli waris?” Maka aku katakan: bisa jadi Nabi ﷺ berkata demikian kepada salah satu ahli waris korban dan dua lainnya adalah kerabat, atau berkata kepada ahli warisnya saja, dan bermaksud kepada seluruh ahli waris. Jika memang ada ahli waris selain saudaranya, atau jika saudaranya sendiri bukan ahli warisnya, maka maksud Nabi ﷺ tetap kepada para ahli waris.

Jika seseorang bertanya: “Apa dalilnya?” Maka seluruh hukum Allah ﷻ dan sunnah Rasul-Nya ﷺ dalam selain qasāmah menunjukkan bahwa sumpah seseorang tidak bisa membebaskan orang lain, seperti suami yang menuduh istrinya berzina; ia bersumpah untuk membebaskan dirinya dari had, dan menolak anak darinya. Begitu pula dalam harta; orang bersumpah bersama saksi atau ketika tergugat tidak bersumpah, maka sumpah berpindah kepada penggugat dan ia mengambil haknya — dan tidak mungkin seseorang bersumpah lalu orang lain yang mendapat hak atau bebas dari tanggungan.

Maka ketika tidak ada penjelasan dalam hadis bahwa Nabi ﷺ menetapkan hak melalui sumpah seseorang yang bukan ahli waris, dan yang mendapat hak adalah ahli waris, maka tidak diperbolehkan — wallāhu a‘lam — kecuali sumpah itu sejalan dengan maksud Allah ﷻ, Rasul-Nya ﷺ, dan umat Islam, bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan hak melalui sumpah orang lain.

[Penjelasan tentang apa yang menjadi objek sumpah qasāmah]

(Al-Syafi‘i – – berkata): Hendaknya hakim bertanya kepada orang yang berhak melakukan qasāmah: “Siapa yang menurutmu membunuh korban?” Jika dia menjawab: “Si Fulan,” maka hakim bertanya lagi: “Si Fulan saja?” Jika dia menjawab: “Ya,” maka hakim bertanya: “Apakah pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja?” Jika dia menjawab: “Dengan sengaja,” maka hakim menanyakan: “Apa maksudmu dengan sengaja?” Jika dia menjelaskan bentuk pembunuhan yang jika dibuktikan dengan saksi akan mewajibkan qishāsh, maka hakim menyuruhnya bersumpah atas dasar itu. Jika dia menjelaskan bentuk pembunuhan yang termasuk sengaja namun tidak sampai mewajibkan qishāsh dan hanya mengharuskan diyat, maka hakim menyuruhnya bersumpah atas dasar itu setelah ia menetapkan bentuknya.

Jika dia mengatakan, “Si Fulan yang membunuhnya bersama sejumlah orang,” maka hakim tidak menyuruhnya bersumpah sebelum ia menyebutkan nama orang-orang tersebut. Jika ia berkata, “Aku tidak mengenal mereka, tetapi aku bersumpah bahwa si Fulan termasuk di antara mereka yang membunuh,” maka hakim tidak menyuruhnya bersumpah sebelum ia menyebut jumlah orang-orang yang bersama si Fulan. Jika mereka berjumlah tiga, maka ia disumpah atas orang yang disebutnya dan dia berhak atas sepertiga diyat atau atas ‘āqilah-nya. Jika mereka berjumlah empat, maka ia berhak atas seperempatnya. Jika ia tidak dapat menetapkan jumlah mereka, maka ia tidak disumpah; karena tidak diketahui berapa banyak yang harus ditanggung oleh orang yang disebut atau ‘āqilah-nya jika ia bersumpah atasnya.

Jika hakim tergesa-gesa dan menyuruhnya bersumpah sebelum bertanya tentang hal tersebut, maka hakim harus mengulang sumpah kepadanya setelah ia menetapkan jumlah pelaku. Jika hakim tergesa-gesa dan menyuruhnya bersumpah atas pembunuhan oleh si Fulan terhadap si korban tanpa menyebut apakah itu dengan sengaja atau tidak sengaja, maka hakim mengulang sumpah berdasarkan jumlah sumpah yang diwajibkan, karena dalam kasus pembunuhan disengaja diyatnya dari harta pelaku, sedangkan dalam kasus tidak sengaja dari ‘āqilah-nya.

Jika hakim tergesa-gesa dan menyuruhnya bersumpah bahwa si Fulan membunuh bersama orang lain dengan sengaja tanpa menyebut bahwa si Fulan melakukannya sendiri, maka hakim harus mengulang sumpah atas pembunuhan oleh si Fulan sendirian. Jika ia bersumpah atas pembunuhan oleh si Fulan bersama orang lain tanpa menyebut jumlah mereka, maka hakim harus mengulang sumpahnya setelah mengetahui jumlah mereka. Jika ia bersumpah bahwa si Fulan membunuh bersama tiga orang lain yang tidak disebutkan, maka hakim memutuskan bahwa ia berhak atas seperempat diyat atau atas ‘āqilah-nya.

Jika kemudian dia menyebut salah satu dari tiga orang itu dan mengatakan, “Aku menetapkan bahwa orang ini juga terlibat,” maka ia juga harus bersumpah atas orang itu sesuai dengan jumlah sumpah yang diperlukan. Jika hanya ada satu ahli waris, maka ia bersumpah lima puluh kali untuk membuktikan bahwa pembunuhan dilakukan oleh si Fulan dan tiga lainnya. Jika ia hanya mewarisi setengah, maka ia bersumpah dua puluh lima kali, dan sumpah sebelumnya tidak perlu diulang.

Setiap kali ia menetapkan keterlibatan satu orang baru, maka ia harus mengulang sumpah sesuai jumlah yang diwajibkan, sebagaimana jika ia memulai sumpah atas satu orang yang dituduh secara terpisah. Jika terdapat dua ahli waris, dan hakim melalaikan sebagian dari rincian yang harusnya ia sumpahkan, atau ia menyumpahkan satu dari mereka sebanyak lima puluh kali secara keseluruhan, lalu ahli waris kedua datang dan bersumpah dua puluh lima kali, maka sumpah pada ahli waris pertama diulang sebanyak dua puluh lima kali, karena itu adalah bagian sumpah yang menjadi tanggung jawabnya bersama dengan ahli waris lainnya.

Sebab, ia pada awalnya disumpahkan lima puluh kali karena ia tidak dapat memperoleh bagiannya dari diyat kecuali dengan itu, apabila sumpah dari seluruh ahli waris belum genap lima puluh kali.

[Jumlah Sumpah bagi Setiap Orang yang Bersumpah]

(Al-Syafi‘i – – berkata): Tidaklah menjadi hak siapa pun dalam perkara qasāmah hingga genap lima puluh sumpah dari para ahli waris, baik jumlah mereka banyak maupun sedikit. Jika orang yang terbunuh meninggalkan satu orang ahli waris, maka dia bersumpah lima puluh kali dan berhak atas diyat. Jika ia meninggalkan dua orang ahli waris atau lebih, lalu salah satunya masih kecil, atau sedang bepergian, atau hilang akal, atau hadir tetapi dewasa dan enggan bersumpah, lalu yang satunya ingin bersumpah, maka ia tidak ditahan karena keberadaan yang lain yang tidak bisa bersumpah. Haknya terhadap warisan darah tidak hilang hanya karena yang lain menolak bersumpah, tidak percaya atas klaimnya, atau karena masih kecil.

Kepada orang yang ingin bersumpah dikatakan: “Engkau tidak berhak atas diyat dari terdakwa atau dari ‘āqilah mereka kecuali setelah genap lima puluh sumpah. Jika engkau ingin segera, maka bersumpahlah lima puluh kali dan ambillah bagianmu dari warisan—tidak lebih. Jika engkau enggan, maka tunggulah hingga hadir bersama ahli waris lain yang sumpahnya sah, lalu kalian bersumpah lima puluh kali, masing-masing sesuai dengan kewajibannya atau lebih.”

Tidak boleh menambahkan jumlah sumpah kepada seorang ahli waris melebihi bagian warisannya kecuali dalam dua keadaan:

Pertama, seperti telah disebutkan, yaitu jika ada ahli waris yang sedang bepergian, masih kecil, atau enggan bersumpah, lalu salah satu ahli waris ingin bersumpah. Maka ia tidak akan mendapatkan haknya kecuali dengan melengkapi lima puluh sumpah, sehingga jumlah sumpahnya ditambah dalam keadaan ini.

Kedua, jika si mayit meninggalkan tiga anak laki-laki, maka bagian setiap anak adalah tujuh belas sumpah kurang sepertiga sumpah. Dalam qasāmah tidak ada pecahan sumpah. Tidak boleh satu orang bersumpah enam belas kali dan dua pertiga, sedangkan yang lain tujuh belas, dan satu lagi lebih dari tujuh belas. Maka masing-masing dari mereka bersumpah tujuh belas kali, sehingga jumlah sumpah menjadi lebih dari lima puluh dengan tambahan satu sumpah di antara mereka. Demikian pula siapa pun yang mendapat bagian pecahan sumpah, maka ia harus menyempurnakannya menjadi satu sumpah penuh.

Jika yang mewarisi hanya seorang anak, ayah, atau saudara laki-laki, maka cukup dia bersumpah lima puluh kali karena dia memiliki seluruh harta. Siapa pun yang memiliki harta, maka ia bersumpah atas harta itu. Begitu pula jika yang mewarisi hanyalah anak perempuan, dan dia juga merupakan maulāh-nya, maka ia bersumpah lima puluh kali dan mengambil semua diyat: setengah karena nasab dan setengah karena wala’. Demikian juga jika yang mewarisi hanya istri, dan dia adalah maulāh-nya.

Jika orang yang terbunuh meninggalkan lebih dari lima puluh ahli waris yang sama rata dalam warisan—seperti semua anak laki-laki, atau semua saudara laki-laki, atau semua ‘aṣabah yang setara dalam kedekatan—maka masing-masing bersumpah satu kali, meskipun jumlah mereka berlipat-lipat dari lima puluh. Sebab, tidak ada seorang pun yang boleh mengambil harta tanpa bukti atau pengakuan dari terdakwa kecuali dengan sumpahnya sendiri, dan tidak ada yang dapat memiliki sesuatu melalui sumpah orang lain.

Jika di antara mereka terdapat seorang istri yang mewarisi seperempat atau seperdelapan, maka ia bersumpah tiga belas kali untuk seperempat bagian, dengan tambahan untuk menyempurnakan sumpah; atau bersumpah tujuh kali untuk seperdelapan bagian, juga ditambah satu sumpah untuk menyempurnakannya. Hal ini karena tidak diperkenankan seorang ahli waris mengambil bagian sumpah yang berupa pecahan, kecuali ia menyempurnakannya menjadi satu sumpah penuh.

[Penolakan Para Ahli Waris dan Perselisihan Mereka dalam Qasāmah, serta Siapa yang Dituduh]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika orang yang terbunuh memiliki dua orang ahli waris, lalu salah satunya menolak untuk bersumpah, maka hal itu tidak mencegah ahli waris yang lain untuk bersumpah lima puluh kali dan berhak atas bagiannya dari warisan. Demikian pula jika ahli waris jumlahnya banyak dan mereka semua menolak kecuali satu orang. Begitu juga jika orang yang dituduh adalah seorang yang adil dan yang bersumpah bukan orang yang adil, maka sumpahnya tetap diterima; karena ini adalah hak yang diambil melalui sumpah, maka orang yang adil maupun tidak adil sama dalam hal ini, sebagaimana dua orang laki-laki mempunyai saksi lalu salah satu atau lebih dari mereka menolak bersumpah, maka salah satu dari mereka boleh bersumpah dan mengambil haknya. Demikian pula jika seseorang dituduh suatu hak dan sebagian dari mereka mengaku dan sebagian lainnya mengingkari, maka yang mengingkari bersumpah dan bebas dari tanggung jawab, dan yang mengaku diambil darinya apa yang diakuinya.

Jika seseorang memiliki kewajiban untuk bersumpah dalam qasāmah namun belum menyempurnakan sumpahnya hingga meninggal dunia, maka para ahli warisnya memulai sumpah dari awal. Mereka tidak dihitung berdasarkan jumlah sumpah yang telah diucapkan oleh ayah mereka, karena sumpah ayah bukanlah sumpah mereka. Ayahnya tidak mendapatkan apa pun dengan sumpahnya kecuali setelah menyempurnakan jumlah sumpah tersebut. Jika dia belum meninggal, tetapi kehilangan akalnya sebelum menyempurnakan sumpahnya, lalu ia sadar kembali, maka dia menyempurnakan sumpah yang tersisa, dan tidak ada yang gugur dari sumpah-sumpah sebelumnya, karena jumlah sumpah tetap menjadi kewajibannya, baik dilakukan sekaligus atau terpisah di hadapan hakim, maka itu sah. Jika dia bersumpah di hadapan dua hakim, maka wajib bagi hakim untuk mencatat jumlah sumpah yang telah dia lakukan sebelumnya, baik di hadapannya maupun di hadapan hakim lain.

Jika ia telah bersumpah sebagian lalu meminta tenggang waktu kepada hakim, lalu kembali untuk menyempurnakannya, maka sumpah yang sudah lewat tetap dihitung. Jika si mayit memiliki dua orang ahli waris dan salah satunya menuduh seseorang dari kalangan penduduk bahwa ia sendirian yang membunuhnya, lalu ahli waris yang lain membebaskannya dengan mengatakan: “Ia tidak membunuhnya,” maka ada dua pendapat:

Pertama, ahli waris yang menuduh—selama ia tidak membebaskannya—boleh bersumpah lima puluh kali dan berhak atas setengah diyat dari tertuduh, jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja maka diyat dari hartanya, dan jika tidak sengaja maka dari ‘āqilah-nya.

Pendapat ini juga mengatakan bahwa jika seorang yang adil bersaksi bahwa orang tersebut pada waktu pembunuhan berada di negeri yang mustahil baginya datang ke tempat kejadian saat itu juga, padahal semua pihak sepakat dengan waktu kejadian, maka tertuduh tetap tidak bebas dari tuduhan karena saksi satu orang tidak mencukupi.

Namun jika kedua ahli waris adalah orang-orang adil dan mereka bersaksi seperti itu, atau mereka bersaksi atas orang lain bahwa dia yang membunuhnya, maka kesaksian mereka diterima dan tidak ada qasāmah.

Pendapat kedua mengatakan: para ahli waris tidak boleh bersumpah terhadap seseorang yang dibebaskan oleh salah satu dari mereka, selama yang membebaskannya itu memiliki akal. Tetapi jika yang membebaskannya adalah orang yang hilang akal atau anak kecil yang belum baligh, maka ahli waris lainnya boleh bersumpah.

[Hal-Hal yang Membatalkan Hak Ahli Qasāmah karena Perbedaan dan Hal yang Tidak Membatalkannya]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika dua orang ahli waris berselisih tentang siapa yang harus dikenai qasāmah, namun masing-masing klaim mereka memungkinkan untuk sama-sama benar, maka hak mereka dalam qasāmah tidak gugur. Contohnya seperti salah satunya berkata: “Yang membunuh ayahku adalah Abdullah bin Khalid dan seorang pria yang tidak kukenal,” dan yang lain berkata: “Yang membunuh ayahku adalah Zaid bin ‘Āmir dan seorang pria yang tidak kukenal.” Karena bisa jadi Zaid bin ‘Āmir adalah orang yang dikenali oleh yang tidak mengenal Abdullah bin Khalid, dan sebaliknya.

Namun, jika yang menuduh Abdullah berkata: “Aku mengenal Zaid, dan dia bukanlah orang yang membunuh bersama Abdullah,” dan yang mengenal Zaid berkata: “Aku mengenal Abdullah, dan dia bukanlah orang yang membunuh bersama Zaid,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Masing-masing dari mereka boleh bersumpah terhadap yang dia tuduh dan mengambil seperempat diyat darinya. Pendapat ini mengatakan bahwa hak masing-masing terpisah dari hak yang lain, seperti dua orang yang sama-sama memiliki hak terhadap satu orang, lalu salah satu dari mereka menggugurkan haknya karena membatalkan bukti, maka itu tidak menggugurkan hak yang lain. Karena bisa jadi kedua yang dituduh memang membunuh, dan setiap pewaris bisa saja keliru, atau salah satu dari mereka benar-benar tahu siapa yang bersama pembunuh yang ia tuduhkan.

Jika masing-masing dari mereka menuduh orang yang berbeda dari yang dibebaskan oleh saudaranya, bahwa dia membunuh bersama orang yang sudah terbukti membunuh, maka masing-masing dari mereka boleh bersumpah dan mengambil bagian diyat yang sesuai.

Pendapat kedua: Tidak boleh bagi salah satu dari mereka untuk bersumpah sampai mereka berdua sepakat menuduh satu orang, lalu mereka bersumpah terhadapnya. Pendapat ini menyatakan bahwa keduanya tidak seperti dua orang yang memiliki hak terhadap satu orang, lalu salah satunya membatalkan haknya dengan mencabut bukti dan yang lain tetap memperjuangkannya; karena hak dalam qasāmah diambil bukan hanya dari ucapan penuntut, melainkan melalui indikasi dan sumpah keduanya, karena keduanya adalah ahli waris, dan mereka tidak bisa mengambil diyat kecuali dengan sumpah bersama, dan masing-masing dari mereka telah membantah yang lain.

Pendapat ini juga menyatakan: jika dua ahli waris yang berhak atas qasāmah masing-masing menuduh orang yang berbeda bahwa dia satu-satunya yang membunuh ayah mereka, maka tidak sah bagi salah satu dari mereka untuk bersumpah terhadap orang yang mereka tuduh atau orang lain; karena masing-masing telah membebaskan yang lain dengan menuduh hanya satu orang, dan tidak mungkin keduanya benar-benar membunuh sendirian.

Demikian pula jika mereka memiliki ahli waris ketiga dan ia menuduh orang yang mereka tuduh berdua, baik sendirian atau bersama orang lain, maka ia juga tidak bisa bersumpah.

Namun, jika qasāmah sudah wajib atas mereka dan salah satunya menuduh orang tertentu, sedangkan yang lain mengatakan: “Aku tidak mengenalnya,” dan menolak bersumpah, maka yang menetapkan tuduhan boleh bersumpah lima puluh kali dan mengambil bagiannya dari diyat, karena penolakan saudaranya untuk bersumpah bukanlah pembatalan terhadap klaimnya. Jika itu bukan pembatalan, maka dia tetap bisa bersumpah dalam kondisi apa pun.

Begitu pula jika dua ahli waris menuduh bahwa seseorang telah membunuh ayah mereka, lalu salah satu berkata: “Dia membunuh sendirian,” dan yang lain berkata: “Dia membunuh bersama orang lain,” maka yang menuduh sendirian boleh bersumpah dan mengambil seperempat diyat, dan yang lainnya juga boleh bersumpah dan mengambil seperempat diyat. Karena mereka berdua sepakat bahwa orang itu bertanggung jawab atas separuh diyat, dan salah satu dari mereka mengakui bahwa ia bertanggung jawab atas seluruhnya. Dalam pendapat ini, tidak diambil kecuali bagian yang mereka sepakati. Dan orang yang menuduh tambahan tidak bisa bersumpah terhadap tambahan itu, karena saudaranya membantah bahwa orang itu juga membunuh. Maka berdasarkan ini, keseluruhan masalah ini dibangun.

[Kesalahan dan Kesengajaan dalam Qasāmah]

Diriwayatkan dari al-Rabi‘, ia berkata: al-Syafi‘i berkata: Jika qasāmah telah menjadi kewajiban, aku tidak menyuruh ahli waris bersumpah hingga aku tanyakan kepada mereka, “Apakah orang kalian dibunuh secara sengaja atau tidak sengaja?” Jika mereka berkata, “Secara sengaja,” maka aku suruh mereka bersumpah atas pembunuhan secara sengaja, dan aku tetapkan diyat atas harta si pembunuh dalam bentuk langsung dan berat seperti diyat pembunuhan sengaja. Jika mereka berkata, “Tidak sengaja,” maka aku suruh mereka bersumpah bahwa dia membunuhnya secara tidak sengaja, lalu aku tetapkan diyat atas keluarga (‘āqilah) si pembunuh dibayar selama tiga tahun seperti diyat pembunuhan tidak sengaja.

Demikian juga jika (kasus qasāmah itu) terjadi antara Muslim dan Musyrik, atau Musyrik kepada Muslim, atau antara sesama Musyrik yang merdeka, maka tidak ada perbedaan dalam ketentuan ini. Namun, jika qasāmah ditujukan pada seorang budak atau suatu kaum yang di antara mereka ada budak, maka diyat dalam kasus sengaja maupun tidak sengaja adalah tanggungan leher budak itu, bukan pada harta atau keluarga tuannya.

Qasāmah hanya dilakukan di hadapan hakim. Jika mereka bersumpah tanpa izin hakim, maka hakim harus mengulangi sumpah kepada mereka, dan tidak dihitung sumpah-sumpah sebelumnya sebelum hakim menyuruh mereka bersumpah.

[Qasāmah dengan Saksi dan Selainnya]

Al-Syafi‘i berkata: Jika para wali darah bersumpah terhadap seorang laki-laki bahwa ia telah membunuh korban mereka sendirian, lalu mereka mengambil diyat darinya atau dari keluarganya (‘āqilah), kemudian datang dua saksi yang memberikan bukti bahwa orang yang mereka tuduh itu tidak bersalah dalam pembunuhan, maka para wali korban wajib mengembalikan diyat yang telah mereka ambil kepada orang yang mereka ambil darinya.

Contohnya adalah jika dua saksi bersaksi bahwa orang yang mereka tuduh itu pada hari tertentu berada di Mekah, sedangkan korban berada di Madinah, atau bahwa ia berada di sebuah negeri yang tidak mungkin dijangkau ke lokasi korban dalam sehari atau bahkan lebih, atau mereka bersaksi bahwa orang yang dituduh itu berada bersama mereka dari matahari terbit sampai matahari tergelincir, padahal pembunuhan terjadi pada waktu itu, atau semisalnya dari hal-hal yang membuktikan bahwa orang yang dituduh itu tidak membunuh korban mereka.

Namun jika mereka bersaksi bahwa orang lain yang membunuh korban mereka, maka diyat tidak dikembalikan begitu saja sampai diteliti. Jika kesaksian mereka terhadap orang tersebut diterima, maka diyat yang diambil melalui qasāmah dikembalikan kepada orang yang telah diambil darinya. Jika kesaksian mereka terhadap orang tersebut ditolak, maka diyat yang diambil melalui qasāmah tidak dikembalikan hanya karena kesaksian dua orang yang tidak diterima kesaksiannya karena permusuhan atau karena adanya kepentingan pribadi dalam menolak atau membela.

Tidak diterima kesaksian dua orang dari keluarga ‘āqilah orang yang dituduh dalam kasus pembunuhan tidak sengaja, jika mereka memulai kesaksian dengan membebaskan orang yang dituduh dari tanggung jawab dalam kasus pembunuhan tidak sengaja; karena dalam hal itu terdapat pembebasan bagi mereka dari kewajiban membayar diyat.

Dan telah dikatakan: Jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja, maka tidak diterima hal itu untuk terdakwa, karena hal itu merupakan pembebasan dari label pembunuh baginya, dan juga jika kedua saksi itu — apabila dengan kesaksiannya mereka membebaskan diri dari sebagian diyat atau mendatangkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Al-Syafi‘i berkata: Jika mereka tidak memberikan kesaksian yang jelas tentang kebebasannya, maka ia tidak dianggap bebas, seperti halnya apabila korban dibunuh di suatu negeri pada hari Jumat dan tidak diketahui pada jam berapa dia dibunuh, lalu para saksi itu bersaksi bahwa orang yang dituduh bersama mereka sepanjang hari Jumat, atau sebagian hari tanpa menyebut jam tertentu, atau bahwa ia berada di dalam penjara dengan rantai, atau sedang sakit — maka bisa jadi ia membunuh pada waktu yang tidak bersama mereka, atau ia kabur dari penjara dan membunuh, atau membunuh saat masih terbelenggu, atau saat sedang sakit.

Al-Syafi‘i berkata: Jika para saksi bersaksi bahwa para ahli waris mengakui bahwa orang yang dituduh bersumpah tidak membunuh ayah mereka, atau bahwa ia tidak hadir saat ayah mereka dibunuh, atau bahwa pada hari kematian ayah mereka ia tidak mungkin mencapai tempat kematian, atau bahwa mereka telah bersumpah mengetahui bahwa ia tidak membunuh, maka diyat diambil kembali dari mereka, dan penguasa dapat menjatuhi mereka hukuman ta‘zīr karena pengakuan mereka dan mengambil harta dengan cara yang batil.

Namun jika mereka bersaksi bahwa para ahli waris berkata, “Kami tidak tahu siapa yang membunuhnya,” baik sebelum maupun sesudah qasāmah, maka mereka tidak perlu mengembalikan apa pun; karena aku menyuruh mereka bersumpah dalam kondisi aku tahu bahwa mereka tidak menyaksikan langsung. Demikian pula jika mereka bersaksi bahwa para ahli waris berkata, “Kami tidak yakin bahwa dia yang membunuh,” maka mereka tetap boleh bersumpah; karena terkadang orang mempercayai kesaksian tanpa memiliki keyakinan penuh, dan keyakinan itu hanyalah dengan melihat langsung, bukan dari kesaksian.

Jika mereka bersaksi bahwa para ahli waris berkata, “Kami mengambil diyat darinya atau dari keluarganya dengan cara zalim,” maka mereka ditanya, jika mereka menjawab, “Kami mengatakannya karena menurut kami qasāmah tidak menetapkan diyat,” maka mereka disuruh bersumpah demi Allah bahwa mereka tidak bermaksud selain itu, lalu dikatakan kepada mereka: “Itu bukan kezaliman, meskipun kalian menyebutnya demikian.” Jika mereka tidak bersumpah atas hal ini, maka orang yang dituduh bersumpah bahwa ia tidak membunuh, dan diyat dikembalikan.

Jika mereka berkata, “Yang kami maksud dari ucapan ‘kami mengambil diyat secara zalim’ adalah bahwa kami berdusta terhadapnya,” maka diyat dikembalikan dan mereka dijatuhi hukuman.

Jika para ahli waris telah bersumpah terhadap seseorang bahwa dia sendiri yang membunuh ayah mereka, kemudian dua saksi bersaksi terhadap orang lain bahwa dialah yang membunuh ayah mereka, lalu para ahli waris mengklaim darah ayah mereka terhadap orang yang menjadi objek kesaksian dan menuntut qishāsh atau diyat darinya, maka hal itu tidak diterima dari mereka; karena mereka telah mengklaim bahwa pembunuh ayah mereka adalah satu orang, sehingga mereka membebaskan orang lain dengan klaim mereka terhadap orang yang berbeda. Maka mereka harus mengembalikan diyat yang telah mereka ambil melalui qasāmah, karena kesaksian itu menunjukkan bahwa orang yang mereka ambil diyat darinya tidak bersalah, dan mereka telah membebaskannya melalui klaim terhadap orang lain.

Jika mereka tetap pada klaim mereka terhadap orang pertama dan mendustakan kesaksian terhadap orang kedua, maka mereka tidak bisa mengambil diyat atau qishāsh dari orang kedua; karena mereka telah membebaskannya, dan mereka harus mengembalikan diyat yang mereka ambil dari orang pertama, karena dua saksi telah bersaksi atas kebebasannya.

Jika dua saksi bersaksi kepada seseorang atas kebebasannya dari darah seseorang sebagaimana yang telah dijelaskan, kemudian orang yang disaksikan itu mengakui bahwa ia membunuh korban dengan sengaja atau tidak sengaja, maka ia bertanggung jawab atas darah itu sesuai pengakuannya. Jika ia mengaku membunuhnya karena tidak sengaja, maka ia bertanggung jawab atas diyat dalam jangka waktu tiga tahun dari hartanya sendiri, bukan dari ‘āqilah-nya.

Jika para wali darah mengakui bahwa seorang laki-laki tidak membunuh ayah mereka dan menuduh orang lain, lalu orang yang mereka bebaskan mengaku bahwa dialah yang membunuh ayah mereka sendirian, maka ada dua pendapat:

Pertama, dia dihukum berdasarkan pengakuannya dan itu lebih kuat daripada pembebasan mereka atas dirinya, sebagaimana kesaksian atas kebebasannya.

Kedua, ia tidak dihukum berdasarkan pengakuannya karena para wali darah telah membebaskannya dari darah itu, baik mereka mengaku keliru dalam pembebasan tersebut lalu berkata, “Kami sekarang yakin bahwa kaulah yang membunuhnya,” atau tidak.

[Perselisihan antara penggugat dan tergugat dalam perkara darah]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang mengaku bahwa seorang laki-laki telah membunuh ayahnya secara sengaja dengan cara yang mewajibkan qishash, lalu terdakwa mengakui bahwa ia membunuhnya karena tidak sengaja, maka pembunuhan itu dihukumi sebagai kesalahan (khatha’), dan diyat wajib atasnya dalam waktu tiga tahun, setelah ia bersumpah bahwa ia tidak membunuhnya kecuali karena kesalahan. Jika ia enggan bersumpah, maka penggugat bersumpah bahwa ia membunuhnya dengan sengaja, dan ia berhak menuntut qishash.

Demikian pula, jika terdakwa mengaku bahwa ia membunuhnya dengan sengaja, tetapi dengan cara yang tidak mewajibkan qishash.

Jika seseorang menuduh orang lain bahwa ia membunuh ayahnya sendirian secara tidak sengaja, kemudian terdakwa mengaku bahwa ia membunuhnya bersama orang lain, maka yang diikuti adalah pengakuan terdakwa dengan sumpahnya, dan ia hanya menanggung separuh diyat, serta tidak diterima tuduhan bahwa ada orang lain yang turut serta.

Jika ia berkata: “Aku membunuhnya sendirian dengan sengaja, tapi aku saat itu tidak sadar karena sakit,” maka jika terbukti bahwa ia memang sedang sakit dan tidak sadar, maka diterima ucapannya dengan sumpah. Jika tidak terbukti, maka qishash tetap dikenakan setelah wali darah bersumpah bahwa ia membunuh dalam keadaan sadar. Demikian juga jika ada bukti (baiyinah) bahwa ia membunuh, lalu ia berkata: “Aku membunuhnya dalam keadaan tidak sadar.”

(Al-Syafi‘i berkata): Jika ditemukan jenazah di lingkungan suatu kaum, dan bercampur dengan selain mereka, atau di padang pasir, atau masjid, atau pasar, atau di tempat lalu lintas menuju rumah bersama, atau lainnya, maka tidak ada qasāmah atas mereka. Jika para wali korban menuduh penduduk lingkungan tersebut, maka tidak ada yang disuruh bersumpah dari mereka kecuali yang dituduh secara khusus dengan menyebut nama: “Kami menuduh bahwa dialah yang membunuh.” Jika mereka menuduh semuanya dan menyebutkan mereka semua, baik seratus atau lebih, termasuk wanita, pria, dan budak — baik Muslim semuanya, atau Musyrik semuanya, atau campuran antara Muslim dan Musyrik — maka mereka semua harus bersumpah satu per satu, karena jumlah mereka lebih dari lima puluh.

Jika jumlah mereka kurang dari lima puluh, maka jumlah sumpah dilipatgandakan atas mereka. Jika mereka dua puluh lima, maka masing-masing bersumpah dua kali. Jika mereka tiga puluh, maka masing-masing juga bersumpah dua kali, karena setiap orang memiliki tanggungan satu sumpah dan tambahan pecahan sumpah, dan siapa pun yang memiliki pecahan sumpah harus menyempurnakannya menjadi satu sumpah penuh.

Tidak ada keutamaan antara Muslim merdeka atas budak, atau antara budak atas orang merdeka, atau antara pria atas wanita, atau antara wanita atas pria. Setiap orang yang baligh adalah setara dalam hal ini.

Jika di antara mereka terdapat anak kecil yang dituduh, maka ia tidak bersumpah. Jika ia telah baligh, barulah ia bersumpah. Jika ia mati sebelum baligh, maka ia tidak menanggung apa-apa.

Tidak boleh ada seorang pun dari mereka yang bersumpah kecuali yang dituduh secara langsung. Jika mereka telah bersumpah, maka mereka bebas dari tuduhan. Jika mereka enggan bersumpah, maka para wali darah bersumpah lima puluh kali, lalu mereka berhak atas diyat. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka diyat diambil dari harta mereka dan budak mereka menurut porsi masing-masing. Jika pembunuhan karena kesalahan, maka diyat dibebankan kepada ‘āqilah mereka.

Jika wali korban menuduh dua orang dari mereka, lalu salah satunya bersumpah dan yang lain enggan, maka yang bersumpah terbebas, dan para wali korban bersumpah terhadap yang enggan, lalu ia dikenai setengah diyat dari hartanya jika pembunuhan disengaja, atau atas ‘āqilah-nya jika tidak disengaja. Hal ini karena tuduhan mereka adalah bahwa ia membunuh bersama orang lain.

Sama saja dalam penolakan bersumpah, baik orang yang dituduh berada dalam pengampuan (maḥjūr) atau tidak. Jika salah satu dari mereka enggan bersumpah, maka penggugat yang bersumpah.

Demikian pula dalam hal pengakuan; jika orang yang berada dalam pengampuan atau bukan mengakui telah melakukan kejahatan, maka ia menanggung sebagaimana orang lain. Kejahatan itu berbeda dari jual beli.

Telah dikatakan: Tidak ada yang dikenakan kewajiban atasnya kecuali dalam pengakuan atau penolakan sumpah terkait pembunuhan sengaja.

[Bab Pengakuan, Penolakan Sumpah, dan Gugatan dalam Perkara Darah]

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata): Demikian pula budak, hukumnya sama dalam pengakuan terhadap tindak pidana dan penolakan terhadap sumpah dalam hal itu, kecuali dalam satu hal, yaitu bahwa jika seorang budak mengaku telah melakukan tindak pidana yang tidak mengharuskan qishash, maka tidak diambil darinya (diyat) saat itu. Namun jika hakim telah mencatat pengakuannya, lalu budak itu dimerdekakan, maka ia dikenai hukuman tersebut, karena ia saat mengaku, telah mengakui adanya kewajiban harta untuk orang lain, dan tidak sah pengakuannya atas harta milik orang lain. Namun apabila ia telah memiliki harta sendiri, maka pengakuannya berlaku atas hartanya.

Jika mereka menuduh sepuluh orang, dan di antara mereka ada seorang anak kecil, maka bagian diyat yang menjadi tanggungan anak kecil tersebut ditangguhkan dari mereka apabila diyat ditetapkan. Jika kesembilan orang lainnya enggan bersumpah, maka para wali darah bersumpah dan mengambil sembilan per sepuluh dari diyat. Jika si anak telah baligh, lalu ia bersumpah, maka ia terbebas. Namun jika ia enggan, maka wali darah bersumpah dan mengambil sepersepuluh dari diyat darinya, jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika mereka menuduh sekelompok orang dan di antara mereka terdapat orang yang kurang akalnya (mabuk atau gila), maka hukumnya seperti anak kecil, tidak disumpahkan, karena ia tidak dikenai akibat dari pengakuannya atas dirinya. Jika ia sembuh dari kegilaannya, maka ia disumpahkan dan ditanya atas tuduhan terhadapnya. Jika ia enggan, maka wali darah bersumpah dan mengambil bagiannya dari diyat. Jika mereka menuduh suatu kaum dan di antara mereka ada yang mabuk, maka orang mabuk itu tidak disumpahkan hingga ia sadar. Jika ia tetap enggan setelah sadar, maka wali darah bersumpah dan mengambil bagiannya dari diyat.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika ditemukan seorang terbunuh di dalam rumah seseorang secara sendirian, maka dikatakan bahwa orang itu tidak terbebas dari tuduhan kecuali setelah bersumpah lima puluh kali, apabila ia dituduh membunuh.

[Seseorang Tewas di Tengah Kerumunan]

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata): Jika sekelompok orang berkumpul di masjid atau tempat umum selain masjid, lalu mereka berdesak-desakan hingga salah satu dari mereka meninggal karena desakan itu, maka wali dari korban dipersilakan menuduh siapa saja yang ia kehendaki dari mereka. Jika ia menuduh satu orang tertentu atau sekelompok orang yang berada di tempat tersebut saat kematian, atau sekelompok orang yang memungkinkan mereka telah menyebabkan kematian karena desakan, maka tuduhannya diterima dan ia boleh bersumpah, lalu menuntut diyat dari ‘āqilah mereka dalam waktu tiga tahun.

Jika ia menuduh orang-orang yang tidak mungkin menyebabkan desakan karena jumlah mereka sangat banyak — seperti seribu orang di dalam masjid — lalu ia menuduh mereka semua, maka tuduhannya tidak diterima, karena tidak mungkin semua dari mereka melakukan desakan itu.

Jika ia tidak menuduh satu pun secara khusus yang memungkinkan melakukan desakan, maka tidak dilakukan apa-apa terhadap mereka, dan tidak ada diyat maupun qishash yang dijatuhkan.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Demikian pula jika seseorang terbunuh di antara dua barisan dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Demikian juga jika terjadi pembunuhan oleh kerumunan orang.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang dituduh, lalu ia mengingkari bahwa ia berada di tempat kejadian saat korban terbunuh, maka wali korban tidak boleh bersumpah terhadapnya hingga ada bukti bahwa orang itu memang berada di tempat kejadian. Jika ia mengakui, atau ada bukti atas keberadaannya di tempat itu, maka wali korban boleh bersumpah terhadapnya.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Dalam semua perkara yang menyebabkan qasāmah, baik ada bekas senjata pada korban, atau bekas cekikan, atau lainnya, maupun tidak ada bekas sama sekali — tetap dapat dijatuhkan qasāmah — karena bisa saja korban dibunuh tanpa meninggalkan bekas apa pun.

Jika terdakwa mengatakan: “Orangmu itu mati karena sakit yang dideritanya,” atau “Ia mati mendadak,” atau “karena tersambar petir,” atau “kematian lainnya,” maka wali korban tetap berhak melakukan qasāmah, berdasarkan penjelasan bahwa pembunuhan bisa terjadi tanpa meninggalkan bekas.

Jika qasāmah ditolak dengan alasan-alasan seperti itu, maka bisa saja qasāmah ditolak hanya karena korban datang dalam keadaan terluka lalu mati di tempat pelaku.

[Penolakan Terdakwa dalam Kasus Darah terhadap Sumpah]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata): Jika aku tidak menetapkan sumpah bagi para wali darah, lalu seseorang menuduh orang lain bahwa dia telah membunuh ayahnya dengan sengaja, maka aku memerintahkan terdakwa untuk bersumpah lima puluh kali bahwa dia tidak membunuhnya. Jika ia bersumpah, maka dia terbebas dari hukuman qishash maupun diyat. Jika ia mengakui pembunuhan, maka ia dibunuh sebagai qishash, kecuali apabila ahli waris memilih diyat, maka ia mengambilnya dari hartanya, atau memaafkan dari diyat dan qishash.

Jika ia tidak mengakui, dan menolak bersumpah, maka dikatakan kepada ahli waris: bersumpahlah lima puluh kali bahwa dia membunuh, maka engkau berhak menuntut qishash sebagaimana jika dia mengaku.

Jika terdakwa adalah orang yang kurang akal atau masih anak-anak, maka keduanya tidak disumpah, karena jika mereka mengaku dalam keadaan tersebut, maka pengakuannya tidak dikenai tanggungan. Jika si gila sembuh dan anak kecil sudah baligh, maka keduanya disumpah atas gugatan wali darah. Jika keduanya bersumpah, mereka terbebas. Jika mengaku, maka mereka tidak dikenai qishash, tetapi diyat dibebankan pada harta mereka secara langsung jika pembunuhan disengaja, dan jika pembunuhan tidak disengaja maka diyat ditanggung selama tiga tahun, dan tidak ditanggung oleh ‘āqilah mereka karena berdasarkan pengakuan pribadi.

Jika terdakwa menolak bersumpah dan ahli waris pun enggan bersumpah, maka tidak ada tanggungan apapun atas terdakwa.

Demikian pula hukum gugatan terhadap selain pembunuhan, seperti luka yang disengaja atau tidak disengaja, tidak berbeda hukumnya.

Jika gugatan dilakukan terhadap dua orang bahwa mereka membunuhnya dengan tidak sengaja, maka masing-masing bersumpah dua puluh lima kali. Jika salah satunya bersumpah dan yang lain menolak, maka wali bersumpah lima puluh kali terhadap yang enggan, lalu ia berhak atas setengah diyat darinya. Ia tidak berhak diyat kecuali dengan lima puluh sumpah. Sumpah dikembalikan kepada yang telah bersumpah dua puluh lima kali hingga genap lima puluh sumpah, karena tidak ada lima puluh sumpah yang dilakukan bersama. Telah dikatakan pula bahwa keduanya tidak bebas walaupun bersumpah bersama kecuali dengan lima puluh sumpah, dan sumpah orang lain tidak diperhitungkan untuk dirinya.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang menuduh orang lain bahwa dia membunuhnya, lalu terdakwa tidak bersumpah dan juga tidak menolak, atau bersumpah tetapi tidak menyelesaikan sumpah yang bisa membebaskannya hingga dia meninggal, maka wali darah tidak bisa bersumpah untuk menuntut darahnya. Namun, jika dia telah menolak bersumpah semasa hidup, maka wali darah berhak bersumpah dan menuntut darahnya.

[Bab Gugatan Darah]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata): Jika seseorang dituduh telah membunuh seseorang baik sendirian atau bersama orang lain dengan sengaja, maka telah dikatakan: dia tidak terbebas kecuali dengan lima puluh sumpah. Dan ada pula yang mengatakan: dia bebas dengan bagian sumpahnya yaitu dua puluh lima sumpah jika bersumpah bersama terdakwa lain.

Jika yang dituduhkan adalah luka atau luka-luka selain pembunuhan, maka telah dikatakan bahwa sumpah dikenakan berdasarkan kadar diyat. Jika yang dituduhkan adalah tangan, maka dia bersumpah dua puluh lima kali. Jika yang dituduhkan adalah luka “muḍiḥah” (yang membuka tulang), maka dia bersumpah tiga kali.

[Bab Cara Sumpah dalam Kasus Darah]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Jika seseorang dituduh membunuh seseorang dengan sengaja, maka ia bersumpah dengan mengatakan:

“Demi Allah, yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui pengkhianatan mata dan apa yang disembunyikan oleh dada, aku tidak membunuh si fulan, tidak turut serta dalam pembunuhannya, tidak melakukan tindakan apapun terhadapnya, tidak ada yang mengenai tubuhnya dariku, tidak dari tindakanku secara langsung maupun sebab tindakanku, tidak melukainya dan tidak menyentuh anggota tubuhnya sesuatu dariku atau dari perbuatanku.”

Aku menambahkan bagian ini dalam sumpahnya sebagai kehati-hatian, karena bisa jadi seseorang melempar sesuatu tanpa berniat membunuh, lalu lemparannya mengenai korban dan membunuhnya. Atau ia melempar sesuatu, lalu pantulannya atau pecahannya membunuh orang lain. Demikian juga seseorang bisa saja memukul dengan sesuatu yang menurutnya tidak mematikan, lalu ternyata membunuh. Maka aku suruh ia bersumpah dengan redaksi tersebut agar jika ia enggan, maka ia bertanggung jawab atas pengakuannya, dan jika bersumpah maka ia terbebas.

(Imam al-Syafi‘i berkata): Jika ia mengaku membunuh secara tidak sengaja, maka ia bersumpah seperti itu dan ditambahkan kalimat:

“Aku tidak melakukan sesuatu pun yang menyebabkan si fulan binasa.”

Aku menambahkan ini dalam sumpahnya karena bisa saja ia menggali sumur dan seseorang jatuh ke dalamnya lalu mati, atau menaruh batu di jalan lalu seseorang tergelincir dan mati karena itu.

Aku tidak membolehkannya bersumpah dengan lafaz “aku bukan sebab kematiannya” secara mutlak, karena bisa saja orang lain melakukan sesuatu terhadap korban dan si tertuduh juga melakukan sesuatu yang kemudian menyebabkan korban meninggal. Maka ia tetap dianggap sebagai penyebab dan terkena diyat, meski tidak dikenai qishash.

[Sumpah Penggugat atas Pembunuhan]

(Imam al-Syafi‘i – – berkata):

Jika seseorang berhak melakukan qasāmah, maka ia bersumpah dengan:

“Demi Allah, yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui pengkhianatan mata dan apa yang disembunyikan oleh dada, sungguh si fulan telah membunuh si fulan secara tunggal, tidak ada seorang pun yang turut serta dalam pembunuhannya.”

Jika ia menuduh orang lain turut serta, maka ia bersumpah:

“Sungguh si fulan dan si fulan telah membunuh si fulan secara bersama, tidak ada seorang pun yang turut serta dalam pembunuhan itu selain mereka berdua.”

Jika ia tidak mengetahui siapa orang kedua yang turut serta, maka ia bersumpah:

“Sungguh si fulan dan seseorang yang tidak aku ketahui telah membunuh si fulan, tidak ada seorang pun yang turut serta dalam pembunuhan itu selain mereka berdua.”

Jika kemudian ia mengetahui siapa orang kedua tersebut, maka ia ulangi sumpahnya. Sumpah pertama tidak cukup mewakili.

Jika ia bersumpah atas seseorang yang melukai korban, lalu korban hidup beberapa saat setelah terluka lalu meninggal, maka ia bersumpah sebagaimana disebutkan:

“Sungguh si fulan telah membunuh si fulan secara tunggal, tidak ada seorang pun yang turut serta dalam pembunuhan itu.”

Jika pelaku mengaku bahwa korban sudah sembuh dari lukanya dan meninggal karena sebab lain, maka ia (penggugat) bersumpah bahwa korban tidak sembuh hingga meninggal karena luka itu.

[Sumpah Terdakwa karena Pengakuan]

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Jika seseorang mengakui bahwa ia membunuh seseorang bersama orang lain secara tidak sengaja (khaṭāʾ), maka ia bersumpah dengan:

“Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku tidak membunuh si fulan sendirian, dan sungguh si fulan telah memukulnya bersamaku, dan kematiannya terjadi setelah kami memukulnya bersama.”

Aku tidak menyuruhnya bersumpah bahwa kematiannya terjadi karena pukulan mereka berdua, karena bisa saja korban meninggal akibat pukulan salah satu dari mereka saja. Hukum asalnya adalah jika keduanya memukul dan korban mati, maka keduanya dianggap sebagai pelaku pembunuhan.

Jika wali korban mengklaim bahwa si A memukul korban dan si B menyembelihnya atau melakukan sesuatu yang tidak mungkin membuat korban tetap hidup kecuali hanya sebentar layaknya hewan sembelihan, maka pelaku bersumpah sesuai dengan klaim wali korban.

[Sumpah Penggugat Kasus Pembunuhan]

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Jika pelaku menyatakan bahwa kematian korban bukan disebabkan pukulannya, maka wali korban disuruh bersumpah atas klaimnya. Jika wali mengatakan bahwa sejak dipukul oleh si A, korban terus sakit dan terbaring hingga akhirnya meninggal, maka ia disumpah atas klaim bahwa kematian korban disebabkan oleh pukulan si A.

Aku menyuruhnya bersumpah demikian karena bisa jadi korban sakit dan terbaring bukan karena penyakit melainkan karena cedera, atau karena insiden lain yang menyusul kemudian, atau karena dia melukai dirinya sendiri.

Maka sumpahnya diarahkan pada dugaan kuat bahwa kematiannya akibat pukulan tersebut.

Jika ia telah bersumpah bahwa kematiannya karena pukulan tersebut, lalu ia berkata bahwa korban sempat sembuh dari luka itu sebelum wafat, maka tidak ditetapkan diyat maupun qishāsh. Karena yang tampak secara lahiriah, bahwa korban meninggal karena sebab lain jika ia sempat pulih.

Jika pemerintah (penguasa) hanya menyuruhnya bersumpah dengan lafaz “demi Allah”, maka itu sudah cukup. Karena semua sifat Allah adalah sah sebagai sumpah, dan Allah telah menetapkan sumpah dalam kasus li‘ān hanya dengan “demi Allah”.

[Kehati-hatian dalam Sumpah]

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Sebaiknya orang yang memimpin sumpah berhati-hati, dan mengajari si penyumpah dengan redaksi: “Demi Allah, sungguh telah terjadi demikian…” atau “Demi Allah, tidak terjadi demikian…”. Jika si penyumpah hanya mengatakan “Billāh”, maka hal itu sama dengan “Wallāh”, karena keduanya menunjukkan sumpah.

Jika ia salah mengucap dengan i‘rāb yang berbeda seperti membaca “Wallāh” dengan raf‘ atau naṣb, maka lebih baik ia mengulang dengan benar. Namun jika ia tetap melanjutkan, sumpahnya tetap sah.

Jika ia mengatakan “Yā Allāh” bukan “Wallāh” atau “Billāh”, maka sumpahnya tidak diterima. Ia disuruh mengulang sampai memasukkan huruf sumpah “wāw”, “bā’”, atau “tā’”.

Jika ia menyusun serangkaian sumpah lalu berhenti sejenak tanpa alasan seperti terdiam atau lupa, maka hakim akan menyuruhnya mengulang dari awal. Namun jika ia berhenti karena napas atau kesulitan bicara, maka bagian yang sudah ia sumpahkan tetap dihitung.

Jika ia menyelipkan kalimat pengecualian (istithnā’) di tengah-tengah sumpah, lalu melanjutkan sumpah lainnya, maka ia wajib mengulang semua sumpah dari awal tanpa pengecualian.

[Merdekanya Ummu Walad dan Kasus Kejahatan terhadapnya]

Diriwayatkan dari ar-Rabi‘ bahwa Imam al-Syafi‘i berkata:

Jika seorang lelaki menyetubuhi budaknya karena kepemilikan, lalu budak itu melahirkan, maka budak tersebut tetap berstatus budak sepenuhnya. Ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi, kesaksiannya tidak diterima, dan hukum pidananya seperti budak biasa. Demikian pula hukuman hadd padanya. Ia juga tidak wajib haji, tetapi jika ia haji lalu dimerdekakan, maka ia wajib menunaikan haji Islam.

Ia tidak berbeda dengan budak lain kecuali bahwa tuannya tidak boleh menjualnya, dan karena tidak boleh dijual maka tuan tidak boleh mengeluarkannya dari kepemilikannya kecuali dengan memerdekakannya. Ia menjadi merdeka jika tuannya meninggal, dihitung dari harta warisnya.

Karena ia tidak bisa dijual, maka para kreditur tuannya juga tidak boleh menjualnya. Anak yang dilahirkannya bisa menjadikan status ummu walad jika dari janin itu tampak anggota tubuh seperti mata, kuku, jari, atau yang sejenis. Jika ia melahirkan janin yang belum berbentuk, maka akan ditanyakan kepada perempuan-perempuan yang terpercaya. Jika mereka mengatakan janin itu tidak akan muncul kecuali dari jenis manusia, maka budak itu berstatus ummu walad. Jika mereka ragu, maka tidak dianggap sebagai ummu walad.

Ia tidak menjadi ummu walad jika dinikahi dalam kepemilikan orang lain lalu melahirkan, lalu tuannya membeli dia dan anaknya, atau jika hamil ketika masih milik orang lain lalu melahirkan di kepemilikannya, karena anak itu adalah milik dari pemilik sebelumnya. Maka anaknya tetap budak bagi pemilik awal.

Beberapa ulama berpendapat bahwa jika seorang lelaki menikahi budak lalu ia melahirkan, maka kapan saja ia membeli budak itu, maka status ummu walad berlaku. Tetapi pendapat ini menyelisihi nash dan qiyās.

Kalau seseorang berkata, “Jika ia hamil ketika masih dimiliki orang lain lalu melahirkan satu atau dua hari setelah ia beli, maka anak itu tetap dianggap dari budak yang dimilikinya,” maka itu tidak masuk dalam makna yang benar, karena anak yang menyebabkan seorang budak menjadi ummu walad adalah anak yang dikandung dan dilahirkan dalam kepemilikan pemilik yang sama.

Maka ia dapat menikahkannya dengan siapa pun yang ia mau, dan jika budak itu punya keahlian, maka krediturnya boleh menyewakannya. Jika tidak punya keahlian, maka tidak boleh.

Seorang mukātab (budak dalam proses menebus dirinya) tidak boleh mengambil budak sebagai selir. Jika ia melakukannya, maka dicegah karena belum sempurna kepemilikannya. Jika budak tersebut melahirkan anak darinya, maka ia tidak menjadi ummu walad kecuali jika si mukātab merdeka dan menyetubuhinya kembali hingga mengandung setelah ia merdeka.

Seorang mukātab boleh menjual ummu walad miliknya. Begitu juga tuan dari budak mudabbir atau ummu walad boleh mengambil kembali mereka. Karena keduanya tidak memiliki hak menyetubuhi budak dan tidak memiliki harta; semua harta mereka milik tuannya.

Maka tuan dan para kreditur boleh mengambil harta dari budak kecuali mukātab, karena dia berada dalam penghalang antara dirinya dan harta serta tubuhnya. Apa yang bisa diambil oleh tuan, maka juga dapat diambil oleh para krediturnya. Tuannya boleh mengambilnya saat sehat maupun sakit. Jika tuannya meninggal sebelum mengambilnya, maka itu menjadi harta warisan, karena Rasulullah ﷺ dan kesepakatan umat telah menetapkan bahwa tuan dapat mengambil harta budaknya semasa hidup, dan harta itu menjadi warisan setelah tuannya wafat.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Wasiyat seseorang kepada ummu walad-nya sah, karena ia hanya memiliki budak tersebut setelah dimerdekakan. Demikian pula wasiyat kepada budak mudabbir sah jika nilainya masuk sepertiga harta. Jika tidak masuk sepertiga, maka wasiyat tersebut batal, karena ia masih merupakan milik ahli waris.

[Kejahatan terhadap Ummu Walad]

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap ummu walad, maka kejahatan tersebut dihitung sebagaimana kejahatan terhadap budak perempuan biasa. Ia dinilai sebagai budak murni, dan tuannya adalah wali atas haknya dalam kejahatan itu. Tuannya boleh memaafkan, atau menuntut qishash jika termasuk kejahatan yang bisa dibalas, atau mengambil arsh (diyat luka).

Jika ummu walad itu sendiri yang melakukan kejahatan, maka ia wajib menanggung nilai terendah antara harga dirinya atau besarnya kerugian akibat kejahatan tersebut bagi korban. Jika ia melakukan kejahatan lagi sementara tuannya telah menerima ganti rugi penuh dari kejahatan sebelumnya (yakni seluruh harga dirinya), maka ada dua pendapat:

  1. Pendapat pertama: tubuhnya dianggap telah diserahkan kepada korban pertama, sehingga korban kedua menuntut arsh kepada korban pertama dan mereka menjadi sekutu dalam nilai dirinya sesuai proporsi kejahatan. Begitu pula jika ia kembali melakukan kejahatan ketiga, maka korban ketiga menuntut korban pertama dan kedua, dan mereka pun berbagi sesuai kadar kejahatan. Pendapat ini masuk akal, karena jika tubuhnya telah diserahkan kepada korban pertama, tentu ia tidak boleh dipindah ke korban kedua, dan jika diganti dengan nilai harganya maka harusnya korban kedua menerima seluruh nilainya. Maka jika ia terus melakukan kejahatan, hal itu terus terjadi.
  2. Pendapat kedua: tuannya hanya menyerahkan nilai terendah antara harganya atau kerugian kepada setiap korban secara terpisah. Jika nilai dirinya sudah seluruhnya diberikan kepada korban pertama, maka korban kedua tidak menuntut apa-apa dari korban pertama, melainkan menuntut langsung kepada tuannya dengan nilai terendah antara harganya atau kerugian. Dan begitu seterusnya. Pendapat ini masuk akal, karena jika seorang budak melakukan kejahatan lalu dimerdekakan tuannya, maka sang tuan hanya menanggung nilai terendah dari harga budak atau kerugian. Dan ummu walad ini belum dimerdekakan.

(Ar-Rabi‘ berkata): Imam al-Syafi‘i lebih memilih pendapat kedua.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Jika ummu walad dikenai kejahatan, lalu belum sempat hakim menetapkan hukum atasnya hingga tuannya meninggal dunia, maka ia menjadi milik ahli waris tuannya. Karena dengan adanya kejahatan terhadapnya, maka tuannya telah memiliki dirinya secara penuh.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Anak ummu walad memiliki kedudukan yang sama seperti ibunya. Jika ia merdeka, anak-anaknya juga merdeka, baik ia merdeka karena halal maupun haram. Jika ummu walad wafat lebih dahulu daripada tuannya, maka anak-anaknya tetap berada dalam kepemilikan tuannya. Dan ketika tuannya meninggal, mereka menjadi merdeka sebagaimana ibunya akan merdeka dengan kematian tuannya.

Jika ummu walad seorang Nasrani lalu masuk Islam, maka ia dipisahkan dari tuannya dan si tuan wajib menafkahinya dan ia harus bekerja untuknya sebagaimana perempuan lain pada umumnya. Namun jika si tuan masuk Islam, maka keduanya kembali bersama. Jika ia meninggal sebelum masuk Islam, maka ummu walad menjadi merdeka karena kematiannya.

Sebagian ulama berpendapat: jika ummu walad masuk Islam maka ia langsung merdeka dan wajib bekerja untuk menebus dirinya. Diriwayatkan dari al-Awza‘i seperti itu, hanya saja ia mengatakan: ia hanya wajib menebus separuh nilai dirinya. Dan sebagian ulama lain berkata: ia merdeka tanpa kewajiban menebus apa pun.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Jika pendapatnya adalah bahwa si tuan hanya memiliki hak untuk menyetubuhi ummu walad, lalu hak tersebut gugur karena si budak masuk Islam, maka bagaimana bisa ia tetap mengambil hartanya, baik itu harta hibah, sedekah, penemuan harta, atau hasil usahanya? Sebagian dari itu bahkan lebih besar dari nilai dirinya. Maka bagaimana bisa ia keluar dari kepemilikannya sementara menjualnya saja tidak diperbolehkan?

Jika seorang Nasrani tidak boleh menjual mudabbir (budak yang akan dimerdekakan setelah tuannya mati) ketika ia masuk Islam, bagaimana bisa ia menjual ummu walad?

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Hukumnya sama antara ummu walad milik orang Nasrani dan ummu walad milik Muslim yang murtad. (Ar-Rabi‘ berkata): Ummu walad milik orang Nasrani tidak boleh dijual, sebagaimana ummu walad milik Muslim juga tidak boleh dijual.

(Imam al-Syafi‘i –  – berkata):

Seorang Nasrani tidak boleh menjual ummu walad-nya. Jika kami memutuskan bahwa ia harus dipisahkan darinya, maka jual-beli pun tidak diperkenankan, sebagaimana ia juga tidak boleh menjual anaknya atau menjual budak mukatab-nya (yang sedang menebus kebebasan).

Jika seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan ummu walad, atau memerdekakannya, maka tidak ada masa iddah baginya. Ia hanya perlu menjalani istibra’ (pengosongan rahim) dengan satu kali haid. Jika ia tidak mengalami haid karena masih kecil atau sudah tua, maka masa tunggunya adalah tiga bulan—ini lebih kami sukai sebagai bentuk qiyās, karena satu haid adalah tanda lahiriah dari kosongnya rahim, dan kehamilan akan jelas terlihat dalam tiga bulan pada wanita yang tidak haid.

Pendapat kedua mengatakan: cukup satu bulan sebagai pengganti satu haid. (Ar-Rabi‘ berkata): Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam al-Syafi‘i.

(Ar-Rabi‘ berkata): Jika seorang lelaki memiliki ummu walad lalu ia dikebiri atau tidak bisa lagi menyetubuhinya, maka si ummu walad tidak memiliki hak untuk memilih bebas darinya, karena statusnya tidak seperti istri.

[Masalah Diyat Janin]

Diriwayatkan oleh ar-Rabi‘, ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami asy-Syafi‘i secara imla’, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hassan dari al-Laits bin Sa‘d dari Ibn Syihab dari Sa‘id bin al-Musayyib dari Abu Hurairah:

“Bahwasanya Nabi ﷺ memutuskan dalam kasus janin seorang wanita dari Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, maka diyatnya adalah ghurrah berupa seorang budak laki-laki atau perempuan. Lalu wanita yang dikenai hukuman ghurrah tersebut meninggal dunia, maka Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa warisannya diberikan kepada anak-anak dan suaminya, sedangkan diyatnya dibebankan kepada ‘ashabah-nya.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Dalam putusan Rasulullah ﷺ ini dijelaskan bahwa beliau memutuskan terhadap seorang wanita yang menyebabkan kematian janin agar membayar ghurrah, dan bahwa ‘ashabah-nya yang menanggung diyat kesalahan itu. Juga bahwa warisannya untuk anak-anak dan suaminya. Maka dijelaskan pula bahwa diyat kesalahan (‘aql) itu dibebankan kepada ‘aqilah, meskipun mereka bukan ahli waris. Dan warisan hanya diberikan kepada orang-orang yang telah ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.

Dan dijelaskan pula bahwa beliau memutuskan kepada ‘aqilah-nya untuk membayar diyat janin, yang nilainya adalah ghurrah, yaitu tidak ada perbedaan bahwa nilainya setara lima ekor unta. Menurut sebagian selain kami (mazhab lain), bagi pemilik emas senilai 50 dinar dan bagi pemilik perak senilai 600 dirham.

Bahwa pada masa Nabi ﷺ ‘aqilah menanggung setengah dari sepersepuluh diyat jiwa laki-laki, yaitu karena lima ekor unta adalah setengah dari sepersepuluh diyat seorang laki-laki dewasa. Hal ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim an-Nakha‘i dari ‘Ubaid bin Nadhilah dari al-Mughirah bin Syu‘bah bahwa Nabi ﷺ memutuskan dalam kasus janin dengan ghurrah berupa budak laki-laki atau perempuan, dan diyat itu ditanggung oleh ‘aqilah perempuan yang menyebabkannya.

(Asy-Syafi‘i berkata): Inilah juga pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya, yaitu bahwa ‘aqilah hanya menanggung mulai dari setengah sepersepuluh diyat ke atas, dan tidak menanggung kurang dari itu. Sedangkan selain mereka mengatakan bahwa ‘aqilah menanggung semua jenis ganti rugi (arsh), baik besar maupun kecil.

Dan jika Nabi ﷺ telah memutuskan bahwa ‘aqilah menanggung diyat penuh untuk kesalahan yang membunuh jiwa secara tidak sengaja, maka kita memutuskan pula bahwa mereka juga menanggung ganti rugi untuk yang lebih ringan.

Wallahu ta‘ala a‘lam.

Abu Hanifah berpandangan bahwa ‘aqilah hanya menanggung apa yang secara eksplisit ditetapkan oleh Nabi ﷺ saja, dan tidak menggunakan qiyas untuk selain itu. Padahal, pendapat ini akan menyulitkannya di tempat lain, sebagaimana telah kami jelaskan pada tempatnya.

(Asy-Syafi‘i berkata): Dan pendapat selain Abu Hanifah adalah bahwa ‘aqilah menanggung mulai dari sepertiga diyat ke atas, tidak kurang. Tetapi tidak boleh ada dalam masalah ini selain pendapat kami, yaitu bahwa jika seseorang membunuh secara tidak sengaja, maka Nabi ﷺ menetapkan bahwa diyatnya atas ‘aqilah; dan jika kejadiannya terhadap janin, yaitu setengah sepersepuluh diyat, maka itu juga atas ‘aqilah. Dan beliau membedakan antara hukum kesengajaan dan tidak sengaja. Dan kaum Muslim pun telah membedakan antara pembunuhan sengaja yang bebannya dari harta pelaku sendiri, dan pembunuhan tidak sengaja terhadap orang merdeka—baik dalam jiwa maupun luka—yang bebannya dari ‘aqilah, kecuali jika diyatnya dari harta pribadi karena bentuk luka kecil. Jika ‘aqilah menanggung yang besar, maka ia juga menanggung yang kecil jika keduanya berasal dari sebab yang sama.

Adapun Abu Hanifah yang mengatakan: ‘aqilah hanya menanggung sesuai dengan yang ditetapkan Nabi ﷺ, dan tidak lebih, serta menolak qiyas. Maka mengenai pendapat bahwa ‘aqilah hanya menanggung sepertiga diyat ke atas, kami tidak mengetahui adanya hadits sahih dari siapa pun yang bisa dijadikan hujjah, selain pendapat para lelaki yang sekadar ijtihad saja, yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara tanpa dasar nash, atau dengan hadits yang tidak kuat. Dan hadits yang sahih dari Nabi ﷺ adalah bahwa beliau menetapkan setengah sepersepuluh diyat atas ‘aqilah.

Barang siapa mengklaim bahwa itu tidak ditanggung oleh ‘aqilah, maka hendaklah ia meneliti siapa yang menyelisihinya.

Jika dikatakan bahwa hadits munqathi‘ (terputus sanadnya) juga dijadikan hujjah seperti hadits muttashil (bersambung sanadnya), maka telah diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Dhi’b meriwayatkan dari az-Zuhri bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan seseorang yang tertawa dalam shalat untuk mengulang wudhu dan shalat. Padahal, dia tahu bahwa az-Zuhri lebih unggul dalam hafalan daripada orang yang meriwayatkan ini darinya.

Dan Sufyan meriwayatkan kepada kami dari Muhammad bin al-Munkadir bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Saya memiliki harta dan anak-anak, dan ayahku juga punya harta dan anak-anak, namun dia ingin mengambil hartaku untuk memberi makan anak-anaknya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”

Maka hadits-hadits seperti ini terkadang bertentangan, dan jika dikumpulkan bisa menjadi banyak dari jenis munqathi‘. Maka jika seseorang menyalahkan pihak yang tidak menggunakan munqathi‘, padahal ia sendiri menolak muttashil, maka sungguh aneh. Bagaimana bisa hadits muttashil ditolak padahal diriwayatkan oleh para perawi terpercaya, sementara munqathi‘ dijadikan hujjah?

[Kejahatan terhadap Budak]

(Asy-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyān bin ‘Uyainah dari az-Zuhri dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia berkata: Diyat budak ditentukan berdasarkan harganya.

Dan telah mengabarkan kepada kami Yahyā bin Ḥassān dari al-Laits bin Sa‘d dari Ibn Syihāb dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia berkata: Diyat budak ditentukan berdasarkan harganya, sebagaimana luka orang merdeka dihitung dari diyatnya.

Dan Ibn Syihāb berkata: Ada orang-orang selainnya yang mengatakan bahwa budak itu dinilai seperti barang dagangan.

(Asy-Syafi‘i berkata): Pendapat az-Zuhri berbeda dengan sebagian orang yang mengatakan bahwa budak adalah seperti barang dagangan, dan juga berbeda dengan pendapat Sa‘īd bin al-Musayyib. Dan az-Zuhri tidak meriwayatkan di Madinah selain dua pendapat ini. Aku tidak mengetahui ada orang yang mengatakan pendapat selain keduanya sebelumnya.

Ada yang berpendapat bahwa luka “mauḍiḥah” (yang menyingkap tulang), “munqillah” (yang memindahkan tulang), “ma’mūmah” (yang sampai ke otak), dan “jā’ifah” (yang menembus rongga tubuh) pada budak dihitung dari harga budak tersebut, sebagaimana luka orang merdeka dihitung dari diyatnya. Dan untuk selain luka-luka itu, dihitung sebagaimana luka unta, yakni berdasarkan nilai kerugiannya. Ini bukanlah pendapat Sa‘īd, juga bukan pendapat orang-orang yang az-Zuhri meriwayatkan dari mereka.

(Asy-Syafi‘i berkata): Dia (yang berpendapat demikian) ingin menjadikan pendapat Ibn Syihāb dan semisalnya sebagai hujjah yang setara dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Ia tidak menjadikan perkataan Ibn Syihāb, al-Qāsim, ataupun mayoritas sahabat Nabi ﷺ sebagai hujjah atas pendapatnya sendiri. Padahal, jika dikumpulkan hadis-hadis yang bersambung tentang hal ini, jumlahnya banyak.

Maka jika ada yang berani menolak hadis tersebut hanya karena kemungkinan adanya waham (kesalahan), padahal hadis itu diriwayatkan oleh banyak orang yang semuanya menyandarkannya kepada orang yang terpercaya hingga sampai kepada orang yang mendengar langsung dari Nabi ﷺ, lalu bagaimana mungkin seseorang mencela orang yang menolak hadis munqaṭi‘ (yang sanadnya terputus) karena tidak diketahui dari siapa ia meriwayatkan?

Telah diketahui dari banyak perawi bahwa mereka menerima hadis dari orang yang mereka sangka baik, atau dari orang yang tidak mereka kenal dengan baik, atau dari perawi terpercaya tetapi tidak tahu dari siapa ia menerima hadis tersebut sebelumnya. Ahli hadis dari dulu hingga sekarang telah sepakat bahwa mereka tidak menerima riwayat yang mereka jadikan hujjah, halal-haram, kecuali dari orang yang benar-benar amanah dan terpercaya, serta tahu dari siapa ia mendengarnya.

Disebutkan bahwa mereka tidak menyampaikan hadis kecuali dari orang yang tsabit. Dikatakan bahwa ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ ketika ditanya tentang suatu masalah, ia meriwayatkannya dari orang sebelumnya dan mengatakan: “Aku mendengarnya,” tetapi tidak langsung dari perawi yang tsabit. Ini dikabarkan kepada kami oleh Muslim bin Khālid dan Sa‘īd bin Sālim dari Ibn Jurayj darinya. Ini bukan hanya ucapan.

Dan Ṭāwūs ketika seseorang meriwayatkan hadis kepadanya, ia berkata: “Jika orang yang menyampaikannya terpercaya, ambillah. Jika tidak, tinggalkanlah.” Maksudnya, harus dari orang yang hafidz dan tsiqah.

(Asy-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami pamanku, Muḥammad bin ‘Alī, dari Hishām bin ‘Urwah dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Aku mendengar sebuah hadis yang bagus, namun aku tidak mau menyampaikannya karena khawatir akan ditiru oleh orang yang mendengarnya, padahal aku mendengarnya dari orang yang tidak aku percaya, meski ia menyampaikannya dari orang yang aku percaya.”

Sebaliknya, kadang ia mendengar dari orang yang ia percaya, tapi orang itu menyampaikannya dari perawi yang tidak ia percaya.

Sa‘īd bin Ibrāhīm berkata: “Tidak boleh meriwayatkan dari Nabi kecuali dari orang-orang yang terpercaya.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari Yaḥyā bin Sa‘īd, ia berkata: “Aku bertanya kepada salah satu anak ‘Abdullāh bin ‘Umar tentang suatu masalah, namun ia tidak memberikan jawaban. Maka ada yang berkata kepadanya, ‘Kami mengagumi engkau, anak dari imam yang diberi petunjuk, tetapi mengapa engkau tidak menjawab masalah ini?’ Ia menjawab, ‘Sungguh lebih besar di sisi Allah, bagi orang yang mengenal-Nya, dan bagi orang yang berakal dari-Nya, adalah aku berkata sesuatu yang tidak aku ketahui, atau meriwayatkan dari orang yang tidak terpercaya.'”

Ibnu Sīrīn, an-Nakha‘ī, dan banyak tabi‘in lainnya juga memiliki pendirian seperti ini: tidak menerima riwayat kecuali dari orang yang benar-benar dikenal. Aku tidak pernah bertemu ataupun mengetahui dari kalangan ahli hadis siapa pun yang menyelisihi pendapat ini.

Wallāhu a‘lam.

[Diyat karena Pembunuhan Tidak Sengaja terhadap Laki-laki Merdeka Muslim]

Diyat al-khaṭaʾ – Diyat laki-laki merdeka yang muslim.

Telah mengabarkan kepada kami ar-Rabi‘ bin Sulaimān, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami asy-Syāfi‘ī, ia berkata:

Allah Ta‘ālā berfirman:

“Dan tidak sepatutnya bagi seorang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tersalah. Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka (wajiblah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya” (QS. an-Nisā’ [4]: 92).

Maka Allah Tabāraka wa Ta‘ālā telah menetapkan dalam kitab-Nya bahwa bagi pembunuh seorang mukmin secara tidak sengaja diwajibkan membayar diyat kepada keluarganya. Dan Nabi ﷺ menjelaskan besarnya diyat itu, lalu sebagian dari kalangan ahli ilmu menukilkannya dari sebagian lainnya tanpa ada perbedaan di antara mereka bahwa Rasulullah ﷺ menetapkan bahwa diyat seorang muslim adalah seratus ekor unta. Maka ini lebih kuat dibanding riwayat perorangan (khāṣṣah). Dan riwayat dari kalangan khāṣṣah pun ada, dan kami berpegang padanya.

Jadi, seorang muslim yang terbunuh secara tidak sengaja, diyatnya adalah seratus ekor unta.

Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari ‘Alī bin Zayd bin Jud‘ān dari al-Qāsim bin Rabī‘ah dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Ketahuilah, dalam kasus pembunuhan yang menyerupai disengaja (ʿamdu al-khaṭāʾ) seperti membunuh dengan cambuk atau tongkat, maka diyatnya adalah seratus ekor unta, yang diperberat; di antaranya empat puluh ekor unta bunting yang sedang mengandung anaknya.”

Telah mengabarkan kepada kami ‘Abd al-Wahhāb ats-Tsaqafī dari Khālid al-Ḥadhdhā’ dari al-Qāsim bin Rabī‘ah dari ‘Uqbah bin Aws dari seorang sahabat Nabi ﷺ bahwa pada hari penaklukan Makkah Nabi ﷺ bersabda:

“Ketahuilah, dalam kasus pembunuhan karena tidak sengaja yang menyerupai disengaja, seperti terbunuh karena cambuk atau tongkat, maka diyatnya diperberat: seratus ekor unta, empat puluh di antaranya bunting dan mengandung anaknya.”

Telah mengabarkan kepada kami Mālik bin Anas dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm dari ayahnya, bahwa dalam surat yang ditulis Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Ḥazm disebutkan:

“Untuk jiwa (nyawa), diyatnya adalah seratus ekor unta.”

Telah mengabarkan kepada kami Muslim bin Khālid dari Ibn Jurayj dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr tentang diyat dalam kitab Nabi ﷺ kepada ‘Amr bin Ḥazm:

“Untuk jiwa, seratus ekor unta.”

Ibn Jurayj berkata: Aku bertanya kepada ‘Abdullāh bin Abī Bakr, “Apakah kalian ragu bahwa itu adalah surat Nabi ?” Ia menjawab, “Tidak.”

Telah mengabarkan kepada kami Ibn ‘Uyainah dari Ibn Ṭāwūs dari ayahnya, dan telah mengabarkan kepada kami Muslim bin Khālid dari ‘Ubaydullāh bin ‘Umar dari Ayyūb bin Mūsā dari Ibn Syihāb, dan dari Makḥūl dan ‘Aṭā’, mereka berkata:

“Kami dapati masyarakat pada masa Nabi menetapkan bahwa diyat seorang laki-laki merdeka muslim adalah seratus ekor unta.”

Kemudian ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu menetapkan bahwa diyat tersebut bagi penduduk desa adalah seribu dinar atau dua belas ribu dirham. Jika pelakunya adalah orang Arab Badui, maka diyatnya seratus ekor unta. Ia tidak dibebani membayar dengan emas atau perak. Dan diyat orang Arab Badui yang dibunuh oleh orang Arab Badui juga adalah seratus ekor unta.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Diyat laki-laki muslim merdeka adalah seratus ekor unta. Tidak ada diyat selain itu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika tidak ada unta, maka diganti dengan nilainya. Hal ini telah dijelaskan pada tempat lain.

[Diyat Ahludz-Dzimmah (non-Muslim yang dilindungi)]

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Allah Ta‘ālā telah memerintahkan dalam kasus seorang ahludz-dzimmah yang terbunuh secara tidak sengaja, agar dibayar diyat kepada keluarganya. Dan sunnah Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena seorang kafir. Di samping itu, Allah ‘Azza wa Jalla telah membedakan antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, sehingga tidak sah menetapkan hukuman atas pembunuh orang kafir selain dengan diyat, dan tidak boleh menguranginya kecuali berdasarkan dalil yang pasti.

Umar bin al-Khaṭṭāb dan ‘Utsmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhumā menetapkan bahwa diyat seorang Yahudi atau Nasrani adalah sepertiga diyat seorang muslim. Umar juga menetapkan bahwa diyat seorang Majusi adalah delapan ratus dirham, yaitu dua belas dari tiga belas bagian diyat seorang muslim, karena ia berpendapat bahwa diyat seorang muslim adalah dua belas ribu dirham.

Kami tidak mengetahui ada seseorang yang menetapkan diyat mereka lebih rendah dari itu, dan memang ada yang mengatakan bahwa diyat mereka lebih tinggi dari itu. Maka kami menetapkan atas setiap orang yang membunuh salah satu dari mereka dengan yang paling sedikit dari pendapat-pendapat tersebut.

Maka, siapa yang membunuh seorang Yahudi atau Nasrani secara tidak sengaja, sementara korban memiliki perlindungan jiwa: baik karena jangka waktu perjanjian, atau karena membayar jizyah, atau karena perlindungan sesaat, maka diyat yang wajib atas pelaku adalah sepertiga diyat muslim, yaitu tiga puluh tiga satu per tiga ekor unta.

Siapa yang membunuh seorang Majusi atau penyembah berhala yang berada dalam perlindungan, maka diyatnya adalah dua belas dari seratus tiga bagian diyat seorang muslim, yaitu enam ekor unta dan dua pertiga dari seekor unta.

Jenis-jenis unta dalam diyat mereka sama seperti dalam diyat kaum muslimin: jika pembunuhan itu disengaja atau mirip disengaja (ʿamdu syibh khaṭāʾ), maka lima bagian dari diyat adalah unta bunting, dan tiga bagian lainnya adalah: separuhnya unta berusia dua tahun, dan separuhnya lagi berusia tiga tahun.

Adapun jika pembunuhan itu benar-benar tidak sengaja, maka diyatnya terdiri dari lima bagian:

  • lima ekor anak unta betina umur satu tahun (bint makhāḍ),
  • lima betina umur dua tahun (bint labūn),
  • lima jantan umur dua tahun (ibn labūn),
  • lima betina umur tiga tahun (ḥiqqah),
  • lima betina umur empat tahun (jadha‘ah).

Diyat wanita mereka adalah setengah dari diyat laki-laki mereka, sebagaimana diyat wanita muslim adalah setengah dari diyat laki-laki muslim.

Jika sebagian dari mereka membunuh sebagian lainnya, maka keputusan diyat berlaku sesuai yang telah dijelaskan, dan ditanggung oleh ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) dari pelaku yang padanya berlaku hukum tersebut.

Jika salah satu dari mereka (non-Muslim) dibunuh, maka diyatnya sesuai yang disebutkan. Dan jika yang terbunuh adalah seorang budak beragama seperti mereka, maka diyatnya adalah senilai harga budak tersebut, berapa pun nilainya, meskipun melebihi diyat seorang muslim.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika salah satu dari mereka (non-Muslim) membunuh seorang muslim dengan pembunuhan yang tidak bisa dibalas dengan qishāṣ, maka wajib atas pelakunya membayar diyat penuh sebagaimana berlaku pada muslim, dan dibayarkan oleh ‘āqilah-nya jika pembunuhannya tidak disengaja atau mirip disengaja. Jika ia tidak memiliki ‘āqilah, maka diyat diambil dari hartanya.

Jika pembunuhannya disengaja dan ahli waris memilih diyat, maka dibayar dari hartanya, sebagaimana pada kasus muslim. Baik dalam bentuk unta maupun nilainya jika unta tidak ditemukan, selama masih ada ‘āqilah pelaku dan orang yang menerima diyat.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): ‘Āqilah dari dzimmī juga wajib menanggung diyat jika mereka termasuk yang berlaku atas mereka hukum syariat, sebagaimana ‘āqilah kaum muslimin menanggung diyat karena kesalahan.

[Diyat Perempuan]

(Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata): Aku tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dari kalangan ahli ilmu dahulu maupun sekarang bahwa diyat perempuan adalah setengah dari diyat laki-laki, yaitu lima puluh ekor unta.

Jika dijatuhi hukuman membayar diyat karena membunuh seorang perempuan, maka diyatnya adalah lima puluh ekor unta. Jika ia dibunuh dengan sengaja dan keluarga korban memilih diyat, maka diyatnya tetap lima puluh unta, dengan jenis umur unta sebagaimana pada diyat pembunuhan disengaja.

Baik pembunuhnya laki-laki, sekelompok orang, atau perempuan — diyatnya tetap tidak melebihi lima puluh ekor unta.

Luka-luka pada tubuh perempuan pun dihitung berdasarkan setengah dari luka-luka pada tubuh laki-laki. Jika luka itu berupa luka dalam yang membuka tulang (muḍiḥah), maka nilainya setengah dari nilai muḍiḥah laki-laki. Dan demikian pula seluruh jenis luka lainnya.

Jika ada yang bertanya: Apakah dalam penetapan diyat perempuan ada selain kesepakatan (ijmā‘) yang telah disebutkan?

Maka jawabannya: Ya.

Telah mengabarkan kepada kami Muslim bin Khālid dari ‘Abdullāh bin ‘Umar dari Ayyūb bin Mūsā dari Ibn Syihāb, dan dari Makḥūl serta ‘Aṭā’, bahwa mereka berkata:

“Kami dapati masyarakat di masa Rasulullah menetapkan bahwa diyat laki-laki muslim adalah seratus ekor unta.”

Kemudian ‘Umar bin al-Khaṭṭāb menetapkan nilai diyat tersebut bagi penduduk desa sebesar seribu dinar atau dua belas ribu dirham. Sedangkan diyat perempuan muslimah dari penduduk desa adalah lima ratus dinar atau enam ribu dirham.

Jika pembunuh dan korban adalah orang Badui (a‘rāb), maka diyatnya lima puluh ekor unta. Begitu juga jika seorang a‘rābī membunuh perempuan sesama a‘rābī, maka diyatnya lima puluh unta.

Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari Ibn Abī Najīḥ dari ayahnya, bahwa ada seorang laki-laki yang menggagahi seorang perempuan di Makkah. Maka ‘Utsmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhu menetapkan diyatnya sebesar delapan ratus ribu dirham dan sepertiganya.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Utsmān memutuskan hal itu karena memperberat hukuman akibat pembunuhan yang terjadi di tanah haram (Makkah).

[Diyat bagi Khuntsā (berkelamin ganda)]

(Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata): Jika telah jelas bahwa khuntsā (berkelamin ganda) itu laki-laki, baik telah ditetapkan secara hukum atau belum, maka diyat-nya seperti diyat laki-laki. Jika telah jelas bahwa dia perempuan, maka diyat-nya seperti diyat perempuan.

Namun, jika dia tetap dalam keadaan musykil (tidak bisa dipastikan jenis kelaminnya), maka diyat-nya adalah seperti diyat perempuan.

Jika seseorang melukai khuntsā yang masih musykil, lalu dia tidak meninggal hingga akhirnya jelas bahwa dia laki-laki, maka diyat-nya adalah seperti diyat laki-laki.

Begitu pula jika ia mengalami luka, lalu sembuh dan telah dibayarkan arsh (ganti rugi luka) berdasarkan anggapan bahwa dia perempuan, kemudian ternyata terbukti bahwa dia laki-laki, maka dilengkapi sisa arsh-nya sesuai dengan kadar luka laki-laki.

Jika ahli waris khuntsā dan pihak pelaku berselisih, lalu pelaku mengatakan: “Korban adalah perempuan atau musykil,” maka ucapan pelaku diterima dengan sumpah, sedangkan khuntsā atau ahli warisnya wajib membawa bukti bahwa korban adalah laki-laki.

Jika khuntsā meninggal dan para ahli waris berselisih dengan pelaku, kemudian masing-masing membawa bukti bahwa korban adalah laki-laki atau perempuan, maka kedua bukti itu ditolak menurut pendapat yang menyatakan bahwa dua bukti yang saling bertentangan dan seimbang harus ditolak, dan dalam hal ini pendapat pelaku diterima.

Jika khuntsā masih hidup dan dapat dilihat secara langsung, maka hakim memutuskan berdasarkan penglihatannya. Jika para saksi bersaksi bahwa ia adalah laki-laki atau perempuan dengan kesaksian yang mutawatir, maka kesaksian mereka diterima sebagaimana kesaksian dalam perkara lainnya.

Namun, tidak sama antara kasus di mana hakim melihat langsung dan saksi menyaksikan objek saat di hadapan hakim, dengan kasus ketika objek tidak terlihat langsung dan hanya dilihat saat kejadian lampau yang telah berlalu.

[Diyat Janin]

(Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Ibnu Syihāb dari Abū Salamah bin ‘Abdir-Raḥmān dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu:

“Ada dua perempuan dari kabilah Hudzail, salah satunya melempar yang lain dan menyebabkan gugurnya janin. Maka Rasulullah menetapkan dalam janin itu diyat berupa seorang budak laki-laki atau budak perempuan.”

Diriwayatkan pula dari Mālik bin Anas dari Ibnu Syihāb dari Sa‘īd bin al-Musayyib:

“Sesungguhnya Rasulullah menetapkan bahwa dalam kasus janin yang gugur dalam perut ibunya terdapat diyat berupa budak laki-laki atau perempuan.”

Orang yang dijatuhi putusan itu berkata:

“Bagaimana aku harus menanggung sesuatu yang tidak minum, tidak makan, tidak berbicara, tidak menangis, dan bahkan tidak hidup? Bukankah yang seperti itu sia-sia (tidak bernilai)?”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

“Perkataan itu dari saudara-saudara para dukun.”

Telah mengabarkan kepada kami orang terpercaya, yaitu Yaḥyā bin Ḥassān dari al-Layth bin Sa‘d dari Ibnu Syihāb dari Sa‘īd bin al-Musayyib dari Abū Hurairah:

“Rasulullah menetapkan dalam kasus janin perempuan dari Bani Lihyān yang gugur dalam keadaan mati diyat berupa seorang budak laki-laki atau budak perempuan. Kemudian perempuan yang dijatuhi hukuman itu meninggal, lalu Rasulullah memutuskan bahwa warisannya untuk anak-anaknya dan suaminya, dan diyat atas tanggungan ‘āqilah-nya.”

Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari ‘Amr bin Dīnār dari Ṭāwūs dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:

“Aku mengingatkan kalian akan Allah, jika ada seseorang yang mendengar sesuatu dari Rasulullah tentang janin.”

Maka bangkitlah Ḥamal bin Mālik bin an-Nābighah dan berkata:

“Aku berada di antara dua budak perempuan milikku, lalu salah satunya memukul yang lain dengan pemukul datar, hingga menyebabkan gugurnya janin dalam keadaan mati. Maka Rasulullah menetapkan dalam kasus itu diyat berupa satu budak.”

Umar berkata:

“Hampir saja kami memutuskan kasus semacam ini berdasarkan pendapat kami sendiri.”

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Dengan seluruh hadis ini kami mengambil pendapat dalam kasus janin. Perempuan yang dijatuhi diyat oleh Rasulullah ﷺ adalah perempuan muslim merdeka, maka jika janin itu anak dari seorang muslim merdeka karena Islam salah satu atau kedua orang tuanya, maka diyatnya adalah satu budak (laki-laki atau perempuan).

Jika janin itu anak perempuan muslim merdeka dari ayah seorang musyrik atau seorang budak (baik dari nikah atau zina), atau anak dari perempuan muslim merdeka yang ditemukan tanpa diketahui ayahnya (laqīṭ), maka diyatnya tetap satu budak, karena ia mendapat status muslim merdeka melalui Islam dan kebebasan ibunya.

Demikian pula jika janin berasal dari seorang budak perempuan yang digauli oleh tuannya secara sah atau tidak sah, atau ia memiliki sebagian kepemilikan atas budak perempuan tersebut, atau ia menikahi budak perempuan yang disangka sebagai perempuan merdeka — maka semua itu tidak menjadikannya budak, dan diyatnya satu budak.

Setiap janin yang dijadikan muslim dalam segala keadaan karena Islam salah satu orang tuanya, maka ia termasuk janin muslim.

[Syarat Janin yang Berhak Diyat]

Dan kadar paling sedikit sesuatu yang menyebabkan janin berhak atas diyat berupa ghurrah adalah apabila tampak bagian dari bentuk manusia, yang membedakannya dari mudhghah (gumpalan daging) atau ‘alaqah (segumpal darah), seperti jari, kuku, mata, atau bagian lain dari bentuk anak Adam selain dari semua itu. Maka dalam hal itu terdapat ghurrah yang sempurna (yakni budak laki-laki atau budak perempuan).

Jika seseorang menjahati seorang wanita sehingga wanita itu menggugurkan janin di tempat kejadian atau setelahnya, lalu dia (wanita itu) berkata: “Inilah janin yang kugugurkan akibat kejadian itu”, namun pelaku mengingkarinya, maka pernyataan si wanita tidak diterima dan ucapan pelaku diterima dengan sumpahnya. Maka tidak dibebankan diyat kecuali jika ia mengakui, atau terdapat bukti syar‘i, yaitu dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua perempuan, atau empat orang perempuan, bahwa wanita itu telah menggugurkan janin tersebut.

Jika mereka (para saksi) bersaksi bahwa wanita itu menggugurkan sesuatu, namun tidak memastikan bahwa itu janin, lalu wanita itu menunjukkan janin dan mengatakan “Inilah yang kugugurkan”, sementara pelaku mengingkari bahwa itu yang dia gugurkan, maka ucapan pelaku diterima disertai sumpahnya.

Demikian pula, jika wanita itu menggugurkannya lalu menguburnya, dan para saksi tidak bisa memastikan bahwa itu benar-benar janin yang memiliki bentuk manusia, maka diyat tidak dibebankan.

Riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menetapkan diyat janin berupa ghurrah tidak menyebutkan apakah janin itu laki-laki atau perempuan. Maka, baik janin laki-laki maupun perempuan, jika ia gugur dalam keadaan mati, maka pada masing-masingnya berlaku ghurrah berupa budak laki-laki atau budak perempuan.

Putusan Rasulullah ﷺ dalam kasus janin menunjukkan bahwa hukum janin berbeda dengan hukum ibunya. Jika wanita menggugurkan janin dalam keadaan janin mati dan sang ibu masih hidup, maka diyat janin menjadi warisan, sebagaimana jika janin itu dilahirkan hidup kemudian meninggal — maka ia tetap diwarisi, oleh kedua orang tuanya, atau oleh ibunya bersama ahli waris lainnya jika ayahnya telah meninggal.

Jika satu-satunya kerugian yang diderita sang ibu adalah keguguran janin tanpa luka pada tubuhnya, maka ia tidak berhak mendapat kompensasi atas pukulan atau luka, karena meskipun rasa sakit terjadi padanya, kerusakan yang sebenarnya terjadi adalah pada janin di dalam tubuhnya.

Namun jika ia mengalami luka yang memiliki arsh (nilai diyat) atau luka yang memerlukan putusan hukum, maka ia berhak mendapat kompensasi luka, dan diyat janin menjadi hak warisnya dan ayah si janin, atau ahli waris ayahnya jika sang ayah telah meninggal.

(Asy-Syāfi‘i berkata): Dengan ini kami katakan bahwa jika seorang wanita menggugurkan beberapa janin dalam keadaan mati, baik sebelum atau setelah kematiannya, maka semuanya dianggap sama (dari segi hukumnya). Dalam setiap janin yang gugur terdapat diyat berupa ghurrah, dan ia berhak atas warisannya dari janin-janin yang ia gugurkan selama ia masih hidup.

Adapun janin yang ia gugurkan setelah kematiannya, maka ia tidak mewarisi dari janin itu, karena janin belum lahir semasa ibunya masih hidup, dan janin pun tidak mewarisi dari ibunya, karena dia tidak dilahirkan dalam keadaan hidup. Hanya orang hidup yang bisa mewarisi.

Jika wanita tersebut menggugurkan dua janin yang masing-masing memiliki sebagian anggota tubuh manusia yang menyatukan keduanya, maka tidak wajib atas pelaku diyat kecuali untuk satu janin saja. Contohnya, jika gugur dua tubuh dengan satu kepala, atau dua leher dengan dua dada dan dua tangan yang terpisah, dan kaki mereka bersatu (misalnya dua kaki atau empat kaki), namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena terhubung oleh kulit bagian atas, atau seluruh badan terbungkus dalam satu kulit — maka ini dihitung sebagai satu janin.

Namun jika keduanya keluar dari perut dalam satu selaput (kulit) lalu dibelah dan tampak bahwa masing-masing memiliki badan yang terpisah, maka keduanya dihitung sebagai dua janin, dan masing-masing memiliki ghurrah.

Jika keduanya tidak sempurna bentuknya, atau hanya salah satunya yang tampak memiliki bagian tubuh manusia, maka selama keduanya diciptakan dalam bentuk terpisah, maka keduanya tetap dihitung dua janin.

 

[Jika Janin Lahir Hidup Lalu Mati]

Jika seorang wanita melahirkan janinnya dalam keadaan hidup, lalu mati di tempatnya, maka padanya terdapat diyat manusia merdeka secara sempurna. Jika janin tersebut laki-laki, maka diyatnya adalah seratus ekor unta, dan jika perempuan, maka lima puluh ekor unta.

Tidak dianggap hidupnya janin kecuali dengan tanda-tanda seperti menyusu, menangis, bernapas, atau bergerak dengan gerakan yang hanya dimiliki oleh makhluk hidup.

Jika wanita melahirkan dan mengklaim bahwa janinnya hidup saat dilahirkan, maka ucapan pelaku (yang menjadikan ia melahirkan) lebih kuat bahwa janin itu lahir dalam keadaan mati. Ahli waris janin wajib mendatangkan bukti atas klaim hidupnya janin tersebut.

Jika pelaku mengakui bahwa janin keluar dalam keadaan hidup, tetapi āqilah (keluarganya yang menanggung diyat) mengingkari dan menyatakan bahwa janin lahir mati, atau terdapat saksi bahwa janin memang keluar namun tidak dibuktikan apakah hidup atau mati, maka āqilah wajib membayar diyat janin yang mati. Sedangkan pelaku menanggung sisanya, yaitu selisih diyat penuh dengan diyat janin mati.

Jika janin laki-laki, maka pelaku menanggung 95 ekor unta (sembilan per sepuluh dan sepersepuluh diyat laki-laki). Jika perempuan, maka pelaku menanggung 45 ekor unta (sembilan per sepuluh dari diyat perempuan).

Jika ada dua bukti (saksi), satu menyatakan janin lahir hidup dan satu lagi menyatakan lahir mati, maka bukti yang menyatakan hidup lebih kuat, karena kehidupan mungkin saja terjadi tanpa diketahui oleh sebagian saksi, dan diketahui oleh yang lain.

Jika ada dua kesaksian berbeda tentang pengakuan pelaku, yakni satu menyatakan ia berkata: “janin lahir hidup”, sementara yang lain menyatakan: “janin lahir mati”, maka kesaksian ini tidak saling bertentangan sehingga saling menggugurkan.

Jika wanita melahirkan dua janin, salah satunya lebih dahulu atau bersamaan, lalu para saksi menyatakan bahwa mereka mendengar salah satu janin menangis atau bergerak, tetapi mereka tidak bisa memastikan yang mana yang hidup, maka kesaksian mereka diterima, dan āqilah wajib membayar diyat satu janin hidup dan satu janin mati.

Jika keduanya laki-laki, maka diyat janin hidup adalah 100 unta. Jika keduanya perempuan, maka 50 unta. Dan jika satu laki-laki dan satu perempuan, maka diyat yang diwajibkan adalah 50 unta, karena itu yang pasti.

Jika pelaku mengaku bahwa janin yang hidup adalah laki-laki, maka āqilah membayar diyat perempuan (50 unta), dan pelaku menanggung selisihnya (50 unta lagi), yaitu separuh dari diyat laki-laki.

Jika seseorang memukul perut wanita hingga ia melahirkan janin mati, lalu ia (wanita) meninggal dunia, dan setelah itu melahirkan janin hidup lalu meninggal, maka:

  • Wanita tersebut mewarisi janin yang lahir sebelum kematiannya.
  • Janin yang lahir hidup setelah kematian ibunya mewarisi ibunya.
  • Dan warisan janin yang lahir hidup kemudian menjadi hak ahli waris selain ibunya, karena ibunya sudah wafat sebelum ia meninggal.

Jika wanita melahirkan janin dalam keadaan hidup, lalu meninggal, dan janin tersebut juga meninggal, kemudian terjadi perbedaan antara ahli waris ibu dan ahli waris janin:

  • Ahli waris janin berkata: “Ibunya meninggal dulu, maka janin mewarisi ibunya.”
  • Ahli waris ibu berkata: “Janin meninggal dulu, maka ibunya mewarisi janin.”

Maka tidak ada warisan antara keduanya karena tidak bisa dipastikan siapa yang meninggal lebih dahulu. Kasus ini seperti orang-orang yang mati bersama dalam satu kejadian dan tidak diketahui siapa yang lebih dahulu wafat. Maka harta mereka diwariskan oleh para ahli waris masing-masing yang masih hidup, dan masing-masing kelompok bersumpah atas klaim kelompok lainnya.

Jika wanita melahirkan janin hidup lalu seorang lelaki membunuh janin itu, maka pelaku wajib dihukum qishāsh. Sedangkan pelaku yang membuat ibu keguguran, tidak wajib membayar diyat janin, tetapi hanya hukuman (hukumah) untuk sang ibu karena rasa sakit atau luka yang dialaminya seperti luka ringan.

Jika pelaku membunuh janin dengan sengaja, atau melukai ibunya dengan luka yang tidak ada diyatnya, maka ia wajib qishāsh, dan untuk sang ibu tetap ada hukuman (ganti rugi) atas rasa sakitnya.

Jika pelaku membunuh janin secara tidak sengaja, maka diyat janin ditanggung oleh āqilah-nya.

Demikian pula jika ibunya sendiri yang membunuh janinnya secara tidak sengaja, maka diyatnya ditanggung oleh āqilah ibunya. Namun jika ia membunuh secara sengaja, maka diyatnya wajib dari hartanya sendiri.

Demikian pula jika ayah atau kakek atau ibu yang membunuhnya — tidak berlaku qishāsh terhadap orang tua, dan mereka tidak mewarisi janin jika merekalah pelaku pembunuhan, baik sengaja maupun tidak.

Jika janin terbukti hidup, maka diyatnya adalah diyat manusia hidup, baik ia dilahirkan cukup bulan atau prematur.

Wanita yang dikenakan diyat janin pada masa Rasulullah ﷺ adalah wanita yang memukul wanita lain dengan tiang rumahnya. Jika seseorang menjahati wanita hamil lalu menyebabkan keguguran janin mati atau hidup, maka:

  • Jika alat yang digunakan adalah pedang atau sejenisnya yang menyebabkan hukuman qishāsh, maka tidak ada qishāsh atas janin.
  • Jika luka tersebut hanya berdampak pada janin dan menyebabkan keguguran, maka tidak dianggap sebagai pembunuhan sengaja yang mengharuskan qishāsh, sebab yang dikenai luka adalah sang ibu, bukan janin.

Namun jika sang ibu meninggal, maka pelaku wajib qishāsh.

Dan jika ahli waris ibu memilih diyat, maka diyat tersebut:

  • Diambil dari harta pelaku, jika alat yang digunakan termasuk yang mengharuskan qishāsh.
  • Dan jika bukan alat yang biasa digunakan untuk qishāsh, maka diyatnya dibebankan pada āqilah, karena kasus seperti ini termasuk pembunuhan keliru yang mendekati sengaja, sebagaimana yang diputuskan oleh Rasulullah ﷺ.

Dan tidak berlaku qishāsh terhadap pelaku pembunuhan janin, baik ia melukai perut ibunya secara langsung, atau melalui kemaluan atau punggung, selama niatnya memang untuk membunuh janin, atau keduanya (ibu dan janin), karena yang terkena dampak langsung dari luka adalah sang ibu, sedangkan janin hanya terkena imbasnya. Maka tidak berlaku qishāsh terhadap janin dalam hal ini, tetapi berlaku diyat.

[Jika yang Dilukai Adalah غير الحامل (Bukan Ibu Hamil)]

Jika seseorang melukai seorang wanita yang tidak sedang hamil, kemudian ia hamil lalu melahirkan setelah itu, dan diduga bahwa kelahiran itu terjadi karena luka yang dialaminya, maka tidak dikenakan diyat janin terhadap pelaku, kecuali jika ada bukti yang memastikan bahwa janin tersebut lazimnya tidak akan keluar jika bukan karena luka itu.

Jika seorang wanita hamil terkena gangguan dari orang lain, lalu setelah beberapa hari melahirkan janinnya dan berkata: “Sebabnya adalah gangguan orang itu”, namun tidak ada saksi, maka tidak diwajibkan diyat atas pelaku. Kecuali jika pelaku mengaku bahwa ia memang memukul perutnya atau melukai hingga mengakibatkan keguguran.

Jika seorang wanita hamil dipukul oleh dua orang, lalu melahirkan satu janin mati, dan masing-masing mengakui telah memukulnya, maka diyat janin dibagi dua di antara mereka. Jika salah satunya mengaku dan lainnya tidak, maka yang mengaku menanggung separuh diyat, dan yang tidak mengaku bersumpah.

Jika tidak ada yang mengaku, dan tidak ada bukti, maka tidak ada diyat yang dibebankan kepada siapa pun. Namun jika salah satu pelaku terbukti memukulnya dan satunya tidak, maka diyat dibebankan kepada yang terbukti. Jika keduanya terbukti memukul, dan sulit diketahui siapa yang menyebabkan keguguran, maka diyat dibagi rata antara mereka.

[Janin Kembar atau Lebih dari Satu]

Jika seorang wanita melahirkan dua janin karena suatu pukulan, maka pada keduanya ada dua diyat janin (dua ghurrah), selama masing-masing janin memiliki ciri-ciri penciptaan manusia. Jika salah satunya hanya segumpal daging (mudhghah), tidak berbentuk manusia, maka tidak ada diyat padanya. Tetapi jika padanya terdapat tanda penciptaan seperti jari, mata, telinga, atau kuku, maka padanya dikenakan diyat satu janin penuh (ghurrah).

[Status Ghurrah dan Siapa yang Menerima]

Diyat janin (ghurrah) adalah hak waris janin — yakni ayah dan ibunya, atau salah satu dari keduanya jika yang lain telah meninggal.

Jika janin keluar hidup lalu mati, dan pelaku mengakui bahwa yang dilahirkan hidup adalah laki-laki, maka āqilah menanggung diyat perempuan (yang pasti), dan pelaku membayar selisih menuju diyat laki-laki yaitu lima puluh ekor unta.

[Diyat Dihitung dalam Ekor Unta Selama Masih Tersedia]

Semua bentuk diyat — baik janin, wanita, laki-laki, Muslim, dzimmi, maupun budak — dihitung dalam satuan unta selama unta masih bisa didapatkan. Jika tidak tersedia, maka dikonversi ke emas, perak, atau nilai pasar yang sah sesuai dengan harga di daerah tersebut. Dan diyat tetap wajib, tidak gugur dengan hilangnya unta dari pasaran, sebab ini hak yang harus dibayarkan.

[Janin Perempuan Merdeka]

(Imam al-Syāfi‘i berkata): Jika seorang laki-laki melakukan kejahatan terhadap seorang perempuan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, lalu perempuan itu melahirkan janin dalam keadaan mati, maka atas ‘āqilah-nya (penanggung diyat) dikenakan ghurrah berupa seorang budak laki-laki atau perempuan, dan mereka boleh memilih salah satunya dari jenis apa pun yang mereka kehendaki, tetapi tidak boleh mereka serahkan yang memiliki cacat yang menyebabkan barang itu ditolak jika dijual, dan tidak boleh yang dikebiri, karena budak yang dikebiri kurang dari ghurrah, meskipun harganya lebih mahal, sebab Nabi ﷺ menetapkan ghurrah berupa budak laki-laki atau perempuan, dan kami tidak mengetahui adanya budak yang dikebiri di negeri beliau.

Dan mereka boleh menyerahkan ghurrah berupa budak perempuan yang telah mandiri berusia tujuh atau delapan tahun, dan tidak boleh mereka serahkan yang usianya di bawah itu, karena ia belum bisa mandiri pada usia di bawah itu, dan anak tidak diberi pilihan antara kedua orang tuanya kecuali pada usia itu, dan tidak boleh dipisahkan antara budak perempuan dan anaknya dalam penjualan kecuali setelah usia itu. Nilai ghurrah adalah setengah dari sepersepuluh diyat laki-laki Muslim, yaitu pada kasus sengaja atau sengaja seperti keliru nilainya lima ekor unta: dua ekor dari nilai dua khilfah (unta betina hamil) yang paling rendah nilainya dan tiga bagian lainnya dari nilai tiga jadzā‘ dan ḥiqāq yang nilainya setara, dari unta yang dimiliki ‘āqilah pelaku. Jika mereka tidak memiliki unta, maka dari unta di negeri mereka atau yang paling dekat.

Jika kejahatan laki-laki terhadap janin perempuan, dan ia melempar bukan ke ibunya namun justru mengenai ibunya, maka diyat janin atas ‘āqilah-nya adalah ghurrah, yang mereka boleh pilih dari jenis mana saja selain yang telah disebutkan tidak boleh diserahkan, dan nilainya setengah dari sepersepuluh diyat laki-laki dalam diyat kesalahan. (Ia berkata): Dan demikian juga halnya dalam janin budak perempuan Muslimah atau ahli kitab yang dimiliki tuannya jika dijahati oleh harbi yang memiliki jaminan keamanan, dan janin perempuan dzimmi yang dijahati oleh Muslim yang merdeka, dan dalam kasus budak jika ia melakukan kejahatan terhadap salah satu janin yang telah disebutkan, tidak dibedakan dalam kasus kesalahan maupun kesengajaan.

(Ia berkata): Maka dalam kasus kesalahan terhadap ibu janin, dikenakan ghurrah, yang nilainya adalah nilai lima ekor unta: satu ekor dari masing-masing jenis yaitu bint makhāḍ, bint labūn, ibn labūn (jantan), ḥiqqah, dan jadzā‘. Tidak boleh mereka serahkan ghurrah yang tua renta atau lemah untuk bekerja, karena kebanyakan tujuan dari kepemilikan budak adalah untuk bekerja, dan hukum berlaku pada manusia menurut sesuatu yang bermanfaat, bukan pada sesuatu yang tidak bermanfaat karena kelemahannya. Dan jika dilarang menyerahkan ghurrah yang memiliki cacat yang mengurangi kemampuan kerja, maka cacat karena usia tua lebih besar daripada banyak cacat yang menyebabkan penolakan.

Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap janin lalu keluar dalam keadaan hidup, kemudian mati, dan pelaku berkata bahwa ia mati karena sebab lain setelah kejadian itu, bukan karena kejahatan tersebut, sementara ahli warisnya berkata: “Ia mati karena kejahatan itu”, maka jika ia mati di tempat dan kematiannya secara lahiriyah hanya mungkin karena kejahatan itu, maka dikenakan diyat jiwa penuh atas ‘āqilah-nya. Jika dikatakan: “Ia masih hidup beberapa saat, dan mungkin saja ia mati bukan karena kejahatan itu”, maka perkataan pelaku dan ‘āqilah-nya yang dipegang.

Dan atas ahli waris janin dibebankan pembuktian bahwa ia mati karena kejahatan. Aku menerima kesaksian atas kematiannya sebagaimana aku menerima atas kelahirannya, maka diterima kesaksian dari empat perempuan atau satu laki-laki dan dua perempuan jika mereka adil, dan tidak diterima kesaksian dari orang yang menjadi ahli warisnya.

(Ar-Rabī‘ berkata): Ada pendapat lain: bahwa aku tidak menerima kesaksian atasnya kecuali dari dua orang laki-laki yang adil, karena ini termasuk keadaan yang memungkinkan laki-laki melihatnya jika memungkinkan untuk mengeluarkannya hidup-hidup setelah dilahirkan. Adapun jika tidak memungkinkan mengeluarkannya karena cepatnya kematian, maka diterima kesaksian empat perempuan yang bersaksi bahwa ia mati setelah hidup.

(Imam asy-Syāfi‘i berkata): Jika janin dilahirkan hidup, namun kehidupannya tidak sempurna — misalnya lahir kurang dari enam bulan — lalu ia mati, maka dikenakan diyat jiwa merdeka secara sempurna.

Jika ia dilahirkan dalam keadaan yang memungkinkan kehidupan bagi janin lain dalam keadaan seperti itu, maka hukumnya seperti permasalahan sebelumnya.

Jika ia lahir hidup dalam usia enam bulan atau lebih, lalu seseorang membunuhnya dengan sengaja, maka atas pelaku berlaku hukum qishāsh, bagaimana pun keadaannya saat lahir, selama diketahui bahwa ia hidup, meskipun ia lemah dan sangat rapuh.

Jika ia lahir kurang dari enam bulan, lalu seseorang membunuhnya dengan sengaja, dan ahli warisnya menuntut qishāsh, maka jika pada umumnya anak seperti itu bisa hidup selama satu atau dua hari atau satu hari, maka pelaku dikenakan qishāsh.

Jika sekelompok laki-laki bersaksi bahwa seseorang melakukan kejahatan terhadap seorang perempuan hingga ia melahirkan janin, namun mereka tidak menetapkan apakah janin itu hidup atau mati, lalu pelaku berkata: “Ia melahirkannya dalam keadaan mati dan menguburnya,” maka perkataannya diterima disertai sumpah.

Jika ia mengakui bahwa janin itu keluar dalam keadaan mati atau hidup lalu mati, maka diyat ditanggung oleh hartanya sendiri, bukan oleh ‘āqilah-nya, karena itu adalah pengakuan darinya jika tidak dibenarkan oleh ‘āqilah-nya dan tidak ada bukti yang mendukung.

Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap seorang perempuan, lalu perempuan itu berkata: “Aku melahirkan janin,” sementara pelaku berkata: “Kamu tidak melahirkan apa pun,” maka perkataannya diterima. Begitu juga jika perempuan itu datang membawa janin mati, maka perkataannya diterima, karena memungkinkan dia membawa janin milik orang lain.

Jika janin lahir hidup lalu dibunuh oleh orang lain selain pelaku kejahatan terhadap ibunya, maka pelaku pembunuhan itu dikenai qishāsh, dan pelaku kejahatan terhadap ibunya tidak dikenai hukuman apa pun.

Namun, jika pelaku kejahatan terhadap ibunya juga yang membunuh janin itu dengan sengaja, maka atasnya berlaku qishāsh atau diyat dari hartanya jika ahli waris menghendaki, serta pemerintah menetapkan denda untuk luka terhadap ibunya jika luka itu tidak memiliki ketentuan diyat tertentu, dan denda tersebut khusus untuk ibunya, bukan untuk ahli waris janin.

Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap seorang perempuan hingga ia melahirkan janin dalam keadaan mati di tempat, maka atas ‘āqilah pelaku diwajibkan membayar diyat janin tersebut, dan tidak diterima pengingkaran dari pelaku maupun mereka (ahli warisnya) bahwa keguguran itu terjadi bukan karena kejahatannya, karena secara lahiriah itu merupakan akibat dari kejahatan pelaku.

Jika perempuan itu dalam keadaan melahirkan (kontraksi), lalu pelaku melakukan kejahatan terhadapnya hingga ia melahirkan janin mati, kemudian ia berkata: “Ia melahirkannya bukan karena kejahatanku,” maka atas ‘āqilah-nya tetap wajib diyat janin, sebagaimana jika seseorang dalam keadaan sakit parah lalu dibunuh oleh orang lain, maka pelaku tetap bertanggung jawab, baik secara sengaja maupun tidak, karena bisa jadi orang itu akan tetap hidup meskipun diduga akan mati. Begitu juga perempuan yang sedang melahirkan bisa saja tidak langsung melahirkan dan tetap hidup beberapa hari tanpa melahirkan.

Jika perempuan itu sedang dalam proses melahirkan, lalu pelaku melakukan kejahatan terhadapnya hingga ia melahirkan janin dalam keadaan hidup lalu mati di tempat, kemudian pelaku berkata: “Ia tidak melahirkannya karena kejahatanku,” dan perempuan berkata: “Aku menggugurkannya karena kejahatanmu,” maka perkataan perempuan itu diterima, dan atas ‘āqilah pelaku diwajibkan membayar diyat janin yang lahir hidup, baik laki-laki maupun perempuan.

Jika pelaku melakukan kejahatan terhadap perempuan, dan para bidan berada di sekitarnya atau tidak berada di sekitarnya, dan tampak bahwa ia sedang dalam keadaan hamil dan akan melahirkan atau tidak, lalu ia mati dan tidak ada lagi gerakan dari yang ada dalam perutnya, maka diyat dikenakan hanya atas ibu, dan tidak diwajibkan diyat untuk janin, karena tidak ada keyakinan bahwa janin itu mati karena kejahatan pelaku.

Namun jika keluar dari perutnya sesuatu yang menunjukkan adanya bentuk manusia, seperti kepala, tangan, kaki, atau lainnya, lalu ibu dari janin itu mati dan sisa janin tidak keluar, maka pelaku bertanggung jawab atas ibu dan janin, karena telah diketahui bahwa ia melakukan kejahatan terhadap janin di dalam perutnya dengan keluarnya sebagian tubuhnya. Tidak ada perbedaan antara keluarnya sebagian atau seluruh tubuh dalam pengetahuan bahwa itu merupakan kejahatan terhadap janin. Tidakkah engkau melihat bahwa jika perempuan menggugurkan sesuatu seperti gumpalan darah (mudhghah) yang menunjukkan bentuk manusia, maka pelaku tetap diwajibkan membayar diyat atas janin yang sempurna. Kewajiban itu berlaku sejak keluar darinya sesuatu yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan kejahatan terhadap janin, baik sebelum maupun sesudah kematian ibunya.

Jika dari kemaluan seorang perempuan keluar dua kepala janin atau empat tangan yang masing-masing milik dua janin, namun bagian tubuh lainnya belum keluar, maka pelaku diwajibkan membayar diyat atas satu janin saja; karena bisa jadi kedua kepala itu merupakan bagian dari satu janin yang memiliki dua kepala, sehingga kewajiban pelaku hanya satu diyat, karena kemungkinan itu ada. Dan jika aku telah memutuskan adanya diyat atas janin yang lahir hidup lalu mati atau lahir dalam keadaan mati, maka atas pelaku juga diwajibkan memerdekakan seorang budak mukmin.

Jika pelaku melakukan kejahatan terhadap seorang perempuan hingga keluar darinya dua badan dari satu kepala, atau dua janin yang memiliki bagian tubuh yang menyatu, maka ia wajib memerdekakan satu budak. Dan untuk kehati-hatian, sebaiknya ia memerdekakan dua orang. Begitu juga jika keluar dua kepala dari kemaluan seorang perempuan kemudian ia meninggal dunia sebelum seluruh tubuh janin keluar sehingga dapat dikenali, maka aku tidak memutuskan kecuali diyat satu janin saja, dan pelaku diwajibkan memerdekakan satu budak. Namun yang lebih kuat adalah bahwa ia memerdekakan dua orang budak, karena kemungkinan besar kedua kepala itu berasal dari dua tubuh yang terpisah, kecuali jika terbukti melalui penglihatan bahwa keduanya menyatu.

Jika ada sesuatu yang bergerak dalam perut ibunya lalu ibunya mati, maka aku lebih suka jika pelaku tetap memerdekakan budak sebagai bentuk kehati-hatian, maka hendaknya ia memerdekakan dua atau tiga budak, meskipun tidak ada kewajiban yang jelas atasnya karena belum diketahui secara pasti bahwa itu adalah janin. Dan jika ibu serta janinnya mati, maka pelaku harus memerdekakan satu budak karena kematian ibunya dan satu lagi karena kematian janinnya.

[Janin dari Perempuan Ahli Kitab (Dzimmiyah)]

(Al-Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Jika pasangan suami istri dari kalangan dzimmi (non-Muslim yang mendapat perlindungan) sama-sama merdeka dan seagama, lalu seseorang melakukan kejahatan terhadap janin perempuan dari mereka yang seagama dengan suaminya, kemudian janin itu lahir dalam keadaan mati, maka diyatnya adalah sepersepuluh dari diyat ibunya. Namun jika keduanya berbeda agama, maka ditetapkan hukum untuk pihak yang lebih tinggi diyatnya. Maka aku menetapkan diyat janin berdasarkan orang tua yang lebih tinggi derajat diyatnya. Jika salah satu dari kedua orang tuanya adalah Muslim, maka aku tetapkan diyatnya sesuai dengan hukum anak dari seorang Muslim. Contohnya jika seorang perempuan dzimmiyah bersuami Muslim, maka diyat janinnya adalah diyat janin seorang Muslim. Atau jika seorang perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki dzimmi lalu ia masuk Islam, maka diyat janinnya adalah diyat janin seorang Muslimah. Demikian pula jika seorang budak perempuan digauli oleh tuannya dengan kepemilikan yang sah, maka diyat janinnya adalah setengah dari sepersepuluh diyat ayahnya; karena janin itu merdeka karena kemerdekaan ayahnya, dan tidak menjadi milik ayahnya.

Jika ayahnya adalah seorang budak atau mukatab (budak yang sedang dalam proses pembebasan) yang menggauli seorang budak perempuan miliknya, kemudian seseorang melakukan kejahatan terhadap janin dari budak itu sebelum ayahnya dimerdekakan, maka diyat janin tersebut adalah sepersepuluh dari nilai ibunya; karena ayahnya adalah budak, maka tidak ada kelebihan dalam hukum diyat berdasarkan kebebasan ayah atas ibu. Begitu pula jika ibunya adalah seorang Majusi atau penyembah berhala yang menjadi istri seorang Nasrani, maka ditetapkan diyat janinnya sebagaimana diyat janin perempuan Nasrani di bawah suami Nasrani, sebagaimana yang telah disebutkan. Sama saja apakah pelaku kejahatan terhadap janin perempuan dzimmiyah itu adalah seorang Muslim, dzimmi, atau harbi, maka kewajiban diyatnya tetap atas ‘aqilah-nya jika ia termasuk orang yang berlaku atasnya hukum, dan jika tidak, maka diyatnya wajib dari harta pelaku.

Begitu pula jika seorang budak perempuan kafir digauli oleh tuannya baik melalui kepemilikan atau pernikahan oleh seorang Muslim yang tidak mengetahui bahwa ia adalah budak dan perempuan itu mengaku bahwa dirinya merdeka, maka diyat janinnya adalah diyat janin perempuan Muslimah merdeka.

Jika seorang perempuan dzimmiyah hamil dan kemudian seseorang melakukan kejahatan terhadapnya hingga ia melahirkan janin dalam keadaan mati dan ia berkata: “Janin ini adalah hasil zina dengan seorang Muslim,” maka diyat janinnya adalah diyat janin perempuan Nasrani yaitu sepersepuluh dari diyat ibunya; karena nasabnya tidak diakui melalui zina.

Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap seorang perempuan Nasrani hingga ia melahirkan janin dalam keadaan mati dan ia berkata: “Ayahnya adalah seorang Muslim,” namun pelaku mengatakan: “Bapaknya adalah dzimmi atau tidak diketahui siapa,” maka pelaku wajib membayar diyat janin perempuan Nasrani, dan ia harus bersumpah bahwa bapaknya bukan Muslim.

Jika seorang Muslim dan seorang dzimmi bersama-sama menggauli seorang perempuan merdeka karena pernikahan syubhat, lalu seseorang melakukan kejahatan terhadap isi kandungannya hingga ia melahirkan janin dalam keadaan mati, maka atas pelaku diwajibkan diyat janin dari perempuan dzimmiyah yang digauli oleh dzimmi. Jika janin tersebut kemudian dinisbatkan kepada Muslim, maka pelaku wajib menyempurnakan diyat janin perempuan Muslimah merdeka. Namun jika tidak jelas siapa ayahnya, maka pelaku hanya diwajibkan membayar diyat yang paling rendah sampai dapat dipastikan mana yang lebih tinggi.

[Janin Budak Perempuan]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Budak perempuan yang sedang dalam proses pembebasan (mukatabah), budak yang dijanjikan akan merdeka setelah wafat tuannya (mudabbirah), budak yang dijanjikan merdeka pada waktu tertentu, maupun budak yang tidak dijanjikan merdeka, semuanya memiliki janin dengan status janin budak, selama janin tersebut tidak menjadi merdeka karena sebab-sebab yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu apabila ia digauli oleh seorang laki-laki merdeka yang memiliki budak itu atau menikahinya, dan budak itu mengaku dirinya merdeka. Maka untuk janin dari setiap budak perempuan tersebut yang lahir dalam keadaan mati, diyatnya adalah sepersepuluh dari nilai ibunya pada hari saat kejahatan terjadi padanya.

Aku menyatakan demikian karena Rasulullah ﷺ dalam putusannya tidak membedakan antara janin laki-laki dan perempuan, sehingga tidak diperbolehkan membedakan antara kejahatan terhadap janin budak laki-laki dan perempuan. Tidak ada cara untuk menyamakan hukum di antara keduanya kecuali jika diyat masing-masingnya adalah sepersepuluh dari nilai ibunya. Barang siapa yang mengatakan bahwa janin budak laki-laki memiliki diyat setengah dari sepersepuluh nilai jika ia hidup, dan perempuan sepersepuluh dari nilai jika ia hidup, maka ia telah membedakan dua hal yang telah disamakan oleh Rasulullah ﷺ.

Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap seorang budak perempuan hingga ia melahirkan janin dalam keadaan hidup kemudian mati akibat keguguran, maka diyatnya adalah senilai dengan nilai janin tersebut baik laki-laki maupun perempuan, berapa pun nilainya.

[Janin Budak Perempuan yang Dimerdekakan dan Janin Perempuan Dzimmiyah yang Masuk Islam]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seorang laki-laki melakukan kejahatan terhadap seorang budak perempuan yang sedang hamil, lalu ia belum melahirkan janinnya hingga dimerdekakan, atau terhadap seorang perempuan dzimmiyah yang belum melahirkan janinnya hingga masuk Islam, maka diyat janinnya seperti diyat janin perempuan Muslimah merdeka, karena kejahatan dilakukan ketika ia masih dalam status terlarang, sehingga wajib menanggung yang paling berat dari dua kondisi tersebut.

Jika seorang laki-laki memukul perempuan, lalu ia bertahan satu atau dua hari kemudian melahirkan janin, dan ia berkata: “Aku melahirkannya karena pukulan itu,” sementara pelaku berkata: “Bukan karena pukulan itu,” maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan pelaku dengan sumpahnya, dan perempuan harus mendatangkan bukti bahwa ia terus-menerus dalam keadaan luka atau merasakan sakit akibat pukulan itu hingga melahirkan janin. Jika ia membuktikan hal itu, maka kewajiban diyat janin menjadi tanggungan ‘aqilah pelaku. Jika ia dipukul namun tidak merasakan sesuatu, lalu kemudian melahirkan janin, maka pelaku tidak wajib menanggungnya, karena bisa jadi perempuan tersebut memang mengalami keguguran tanpa sebab kejahatan. Pelaku hanya dianggap melakukan kejahatan jika rasa sakit tidak terputus hingga terjadi keguguran, meskipun berlangsung beberapa hari.

Jika seorang budak perempuan dimiliki oleh dua orang lalu salah satu dari mereka melakukan kejahatan terhadapnya kemudian memerdekakannya, lalu ia melahirkan janin sebagai akibat dari kejahatan itu, maka jika pelaku memiliki harta untuk membayar nilai budak, ia wajib menanggung diyat janin seperti janin perempuan merdeka, dan hak perwalian (wala’) menjadi miliknya, sementara rekannya memiliki separuh nilai budak (ibunya), dan tidak memiliki hak terhadap janin, karena hak perwalian bukan miliknya. Ibu dari janin mewarisi sepertiga diyat dan kerabat dari pihak tuannya yang melakukan kejahatan mewarisi dua pertiga, jika janin tidak memiliki nasab yang mewarisi, dan tuan tersebut tidak mewarisinya karena ia adalah pembunuh. Demikian pula jika seseorang melakukan kejahatan terhadap janin istrinya, maka ‘aqilah pelaku wajib membayar diyatnya, dan ibunya mewarisi sepertiga, saudara-saudara janin mewarisi sisanya. Jika tidak ada saudara, maka kerabat dari pihak ayahnya yang mewarisi, dan ayahnya tidak mewarisinya karena ia adalah pembunuh. Jika janin dilahirkan dalam keadaan pelaku tidak memiliki harta, maka rekannya (sesama pemilik budak) berhak atas setengah dari sepersepuluh nilai budak, karena janin adalah janin dari budak perempuan.

Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap seorang budak perempuan hingga ia melahirkan janin, kemudian ia dimerdekakan dan melahirkan janin kedua, maka janin pertama nilainya sepersepuluh dari nilai budak dan menjadi milik tuannya, dan janin kedua nilainya seperti janin orang merdeka, diwarisi oleh ahli waris bersama ibunya.

[Waktu Pembayaran Diyat]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Pembunuhan terbagi menjadi tiga jenis: pembunuhan sengaja (murni), pembunuhan yang menyerupai sengaja, dan pembunuhan murni karena kesalahan (tidak sengaja). Adapun pembunuhan tidak sengaja, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa Rasulullah ﷺ menetapkan diyatnya dibayar dalam tiga tahun. Pembayaran dilakukan sejak hari kematian korban. Setelah satu tahun berlalu dari kematian korban, sepertiga dari diyat wajib dibayar; setelah dua tahun berlalu, sepertiga kedua dibayar; dan setelah tiga tahun, sepertiga terakhir dibayar. Tidak diperhatikan waktu putusan hakim atau keterlambatan pembuktian. Jika bukti tidak muncul kecuali setelah dua tahun dari hari kematian, maka pada saat itu wajib dibayar dua pertiga diyat, karena waktu pembayaran telah jatuh tempo.

Yang aku hafal dari sekelompok ulama adalah bahwa mereka mengatakan hal yang sama mengenai pembunuhan yang menyerupai sengaja (syibh al-‘amd), karena keduanya termasuk kategori kesalahan yang tidak ada qishash di dalamnya. Adapun pembunuhan sengaja, jika diterima diyat dan dimaafkan dari qishash, maka seluruh diyat langsung menjadi tanggungan harta pelaku. Begitu juga dalam pembunuhan sengaja yang tidak dikenai qishash, seperti seorang laki-laki yang membunuh anaknya sendiri atau orang lain yang tidak boleh dibalas. Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga pernah memutuskan untuk langsung mengambil diyat dari pelaku pada satu waktu dalam kasus Ibn Qatadah al-Mudlijy. Diyat dalam pembunuhan sengaja ditanggung oleh harta pelaku, sementara diyat dalam pembunuhan tidak sengaja dan syibh al-‘amd dibebankan kepada ‘aqilah dalam tiga tahun sebagaimana dijelaskan.

Adapun diyat luka, jika nilainya sepertiga atau kurang, maka ‘aqilah wajib membayarnya dalam waktu satu tahun dari hari terjadinya luka. Jika lebih dari sepertiga, maka ‘aqilah membayar sepertiga dalam satu tahun pertama, sisanya hingga dua pertiga dibayar pada tahun kedua, dan kelebihannya dibayar pada tahun ketiga. Inilah makna sunnah, dan tidak terdapat perbedaan di antara para ulama dalam pokok ketentuan pembayaran diyat ini.

[Umur Unta dalam Diyat Pembunuhan Sengaja dan Syibh al-‘Amad]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Naskah sunnah menyebutkan dalam pembunuhan syibh al-‘amad (kesalahan yang menyerupai kesengajaan) adalah seratus ekor unta, di antaranya empat puluh ekor unta betina bunting yang sedang mengandung anaknya. Unta bunting adalah unta betina yang mengandung, dan jarang unta yang berusia dua tahun atau lebih mengandung. Maka setiap unta betina milik ‘aqilah yang sedang mengandung dianggap sebagai unta bunting, dan sah dijadikan diyat selama tidak cacat.

Empat puluh ekor dari total unta tersebut wajib berupa unta bunting. Jika para ahli menyatakan bahwa unta itu adalah unta bunting dan berusia dua tahun, maka sah dijadikan diyat dan ahli waris wajib menerimanya. Jika unta tersebut mengalami keguguran sebelum diserahkan, maka tidak sah dijadikan diyat, karena tidak diserahkan dalam keadaan bunting. Namun jika mengalami keguguran setelah diserahkan, maka sah dijadikan diyat. Jika telah diserahkan dan para ahli menyatakan bahwa unta itu bunting, lalu kemudian diketahui tidak bunting, maka ahli waris korban boleh mengembalikannya dan menuntut diganti dengan unta bunting lain. Jika ahli waris tidak hadir dan berkata, “Unta itu tidak bunting,” maka perkataan mereka diterima dengan sumpah, karena kehamilan hanya diketahui secara lahiriah.

(Al-Rabi’) berkata: Ini menurutku jika penyerahan dilakukan tanpa disaksikan oleh para ahli.

(Al-Syafi’i) berkata: Jika mereka berkata bahwa unta tersebut bukan bunting, lalu para ahli mengatakan itu bunting, maka mereka diwajibkan menerimanya hingga terbukti bahwa ia tidak bunting.

Enam puluh ekor sisanya terdiri dari tiga puluh ekor unta berusia empat tahun (ḥiqqah) dan tiga puluh ekor berusia lima tahun (jadh’ah). Pendapat ini juga diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi ﷺ dan merupakan pendapat banyak ahli ilmu yang kutemui.

Muslim meriwayatkan dari Ibn Juraij bahwa ia bertanya kepada ‘Aṭā’ tentang bentuk beratnya diyat, lalu beliau berkata: “Seratus ekor unta dari semua jenis umur, masing-masing sepertiganya.”

(Al-Syafi’i) berkata: Bentuk pemberat diyat sebagaimana disebutkan oleh ‘Aṭā’, maka pada setiap tahun pembayaran dibayarkan tiga belas ekor dan sepertiga unta bunting, sepuluh jadh’ah, dan sepuluh ḥiqqah. Ia wajib memberikan sepertiga unta (jika tak lengkap) dan menjadi mitra dalam kepemilikannya. Tidak boleh diganti dengan nilai uang jika unta tersedia.

Ini adalah jumlah dan umur unta dalam diyat pembunuhan sengaja yang tidak dibalas dengan qishāṣ, seperti jika seorang pria membunuh anaknya, atau membunuh dalam keadaan gila (bukan karena mabuk), atau anak kecil. Begitu juga diyat yang diberatkan karena pembunuhan di bulan haram, di tanah haram, atau terhadap kerabat dekat. Tidak ditambah jumlah unta dari 100 ekor, yang berbeda hanyalah umurnya. Diyat pembunuhan sengaja seluruhnya menjadi tanggungan pelaku.

[Umur Unta dalam Diyat Kesalahan (Khatha’)]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa dalam pembunuhan syibh al-‘amad diyatnya adalah seratus ekor unta, di antaranya empat puluh ekor bunting, maka ini menunjukkan bahwa diyat pembunuhan tidak sengaja (murni) berbeda dari diyat ini.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, dan mereka menetapkan jumlah seratus ekor unta dalam satu tahun. Namun, tidak ada perselisihan bahwa unta yang digunakan boleh dari jenis termuda dari yang dikatakan wajib, karena nama “unta” mencakup baik muda maupun tua.

Diyat kesalahan terdiri dari lima jenis unta, masing-masing dua puluh ekor: dua puluh betina umur satu tahun (bint makhāḍ), dua puluh betina umur dua tahun (bint labūn), dua puluh jantan umur dua tahun (ibn labūn), dua puluh ḥiqqah (umur tiga tahun), dan dua puluh jadh’ah (umur empat tahun).

Diriwayatkan dari Mālik dari Ibn Syihāb, Rabi’ah, dan mereka mendengar dari Sulaimān bin Yasār bahwa mereka berkata: diyat kesalahan adalah dua puluh bint makhāḍ, dua puluh bint labūn, dua puluh ibn labūn, dua puluh ḥiqqah, dan dua puluh jadh’ah.

[Dalam Memberatkan Diyat]

(Al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Pemberatan diyat berlaku dalam kasus pembunuhan sengaja, syibh al-‘amad, pembunuhan di bulan haram, di tanah haram, dan pembunuhan terhadap kerabat dekat. Pemberatan ini tidak berlaku di luar lima hal ini.

Jika seseorang membunuh kerabat dekatnya di bulan haram dan di tanah haram (yaitu Mekkah), maka tidak diberatkan lebih dari yang telah disebutkan. Sedikit maupun banyaknya pemberatan dalam diyat adalah sama, jika sudah dihitung sebagai diyat yang diperberat.

Diyat yang diperberat juga berlaku untuk luka, kecil maupun besar, sesuai dengan kadar luka dan umur unta sebagaimana diberatkan pada diyat jiwa.

Jika seseorang melukai orang lain dengan luka kepala yang menampakkan tulang (muḍiḥah) secara sengaja, lalu korban memilih menerima diyat, maka pelaku harus memberikan dua unta bunting, satu jadh’ah dan setengah jadh’ah, satu ḥiqqah dan setengah ḥiqqah. Jika ditanya: bagaimana bentuk setengah unta? Jawabannya: dua orang berbagi kepemilikan atas unta tersebut, seperti dalam jual beli biasa.

Hal yang sama berlaku untuk luka yang kurang dari muḍiḥah yang memiliki taksiran diyat berdasarkan ijtihad. Jika lukanya adalah hāsyimah (yang memecah tulang), maka diyatnya adalah sepuluh ekor unta: empat ekor bunting, tiga ḥiqqah, dan tiga jadh’ah. Jika lukanya adalah munqillah (yang memindahkan tulang), maka diyatnya lima belas ekor unta: enam bunting, empat setengah jadh’ah, dan empat setengah ḥiqqah.

Jika ia merusak mata korban, maka diyatnya lima puluh ekor unta: dua puluh bunting, lima belas jadh’ah, dan lima belas ḥiqqah.

Jika diyat yang diberikan karena kesalahan (khatha’) dan luka tersebut adalah muḍiḥah, maka bagian diyatnya diambil dari perhitungan unta muda, seperti yang disebutkan dalam kasus pembunuhan sengaja: lima ekor unta terdiri dari bint makhāḍ, bint labūn, ibn labūn, ḥiqqah, dan jadh’ah.

[Jenis Unta yang Harus Dibayar oleh ‘Āqilah]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Aku telah menghafal dari sejumlah ahli ilmu bahwa mereka berkata: Tidak ada seorang pun yang dibebani selain dari jenis unta miliknya sendiri. Tidak diterima unta yang lebih rendah dari jenis untanya. Mazhab mereka adalah bahwa jika unta miliknya adalah unta Hijaz, ia tidak dibebani membayar dengan unta yang lebih baik dari itu. Dan jika unta miliknya adalah unta Mihr (jenis terbaik), ia tidak boleh membayar dengan yang lebih rendah. Demikian pula halnya unta-unta yang kualitasnya menengah antara Hijaz dan Mihr. Dan dengan inilah aku berpendapat.

Demikian pula jika unta miliknya adalah jenis unta ‘awādī, awrāk, atau khamīṣah. Jika seseorang tinggal di daerah yang tidak memiliki unta, maka ia dibebani membayar dengan unta yang berasal dari daerah tersebut. Jika tidak ada unta di daerah itu, maka ia dibebani unta dari daerah terdekat. Ia tetap wajib membayar dengan unta dalam kondisi apapun, karena Rasulullah ﷺ telah memutuskan demikian, maka jika tersedia, wajib dibayar sebagaimana kewajiban lainnya jika tersedia. Jika orang yang berhak atas diyat meminta selain unta, atau orang yang berkewajiban membayar ingin membayar dengan selain unta, keduanya tidak boleh melakukannya kecuali jika keduanya ridha dengan bentuk pembayaran selain unta, maka boleh dialihkan kepada bentuk yang disepakati, sebagaimana hak-hak lain yang boleh dialihkan jika disetujui kedua belah pihak.

Jika unta milik pelaku dan ‘āqilahnya berbeda jenis dari unta orang lain, lalu terjadi kekeringan atau unta-unta itu menjadi kurus, sakit, atau berpenyakit kudis, maka dikatakan kepada pelaku: “Jika engkau membayar dengan unta sehat sekelas atau lebih baik dari unta milikmu atau unta milik ‘āqilahmu, maka engkau dipaksa menerima karena kelebihan itu sukarela darimu.” Namun jika ia ingin membayar dengan yang lebih buruk dari unta milikmu atau ‘āqilahmu, maka tidak boleh, kecuali yang sebanding selama unta itu tersedia. Jika tidak tersedia, maka ia wajib membayar nilainya berupa unta sehat yang tidak cacat sebanding dengan unta miliknya.

Jika kami menghukuminya untuk membayar dengan nilai, maka kami menghukumi dengan mata uang yang berlaku di tempat tinggal pelaku. Jika menggunakan dirham maka dengan dirham, jika dinar maka dengan dinar. Dan nilai unta tidak ditetapkan kecuali setelah jatuh tempo pembayaran. Maka ketika kami menilai, kami mengambil nilainya saat itu juga. Jika ia tidak mampu membayar atau menunda hingga menemukan unta, maka ia membayar dengan unta dan nilai unta dibatalkan. Dan ketika jatuh tempo cicilan selanjutnya, maka nilai unta dinilai pada hari itu juga.

[Ketika Unta Tidak Tersedia (‘I‘wāz al-Ibil)]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Umum di kalangan ahli ilmu bahwa Rasulullah ﷺ telah menetapkan diyat sebesar seratus ekor unta. Kemudian Umar ra. menilainya dalam bentuk emas dan perak. Pengetahuan yang mantap, insya Allah, adalah bahwa Umar tidak menetapkannya kecuali sesuai dengan nilai unta pada hari itu. Bisa jadi Umar menetapkannya dalam kasus diyat ‘āmmah (pembunuhan sengaja) yang dibayar tunai sekaligus.

Jika Umar menilainya berdasarkan nilai hari itu, maka yang harus diikuti adalah menilai unta setiap kali diyat diwajibkan, berdasarkan harga hari itu, sebagaimana jika ada orang merusak unta milik orang lain dan dinilai pada hari itu, lalu orang lain kembali merusaknya, maka dinilai lagi berdasarkan hari kejadian. Demikian pula kasus pencurian: ketika seseorang mencuri sesuatu lalu mencuri lagi yang serupa, maka nilai masing-masing ditentukan berdasarkan hari kejadian.

Bisa jadi Umar hanya menilai dalam situasi waktu dan tempat tertentu karena kelangkaan unta saat itu, dan penilaian hanya berlaku dengan ridha dari pelaku dan wali korban, sebagaimana dalam hak-hak lainnya yang tidak tersedia lalu dinilai berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Diriwayatkan kepada kami oleh Muslim bin Khālid dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar dari Ayyūb bin Mūsā dari Ibn Syihāb dan Makḥūl serta ‘Aṭā’, mereka berkata: “Kami dapati orang-orang pada masa Rasulullah ﷺ menetapkan diyat orang Muslim merdeka sebesar seratus ekor unta, dan Umar menilainya bagi penduduk desa sebesar seribu dinar atau dua belas ribu dirham. Jika korbannya berasal dari kalangan badui (Arab desa), maka diyatnya tetap seratus unta, tidak dibebani dengan emas atau perak.”

Ini menunjukkan bahwa Umar tidak menetapkan nilai unta bagi mereka yang masih memiliki unta, dan hanya menetapkan nilai jika unta tidak tersedia, karena unta ada pada orang Arab badui, maka mereka tidak dibebani emas atau perak. Emas dan perak hanya diwajibkan atas penduduk desa karena unta tidak tersedia di kalangan mereka, sebagaimana aku jelaskan sebelumnya – wallāhu a‘lam – bahwa hukum diyat tidak berubah.

Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Jurayj dari ‘Amr bin Syu‘ayb, ia berkata: “Rasulullah ﷺ dahulu menilai unta kepada penduduk desa sebesar empat ratus dinar atau setara dengan nilai perak, lalu membaginya berdasarkan harga unta. Jika harga unta naik, maka nilainya dinaikkan, dan jika harga unta turun, nilainya diturunkan, sesuai harga pasar.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Jurayj dari ‘Amr bin Syu‘ayb: Abu Bakar ra. menetapkan harga seratus unta sebesar enam ratus hingga delapan ratus dinar ketika kekayaan melimpah dan harga unta naik.

Diriwayatkan oleh Muslim bin Khālid dari Ibn Jurayj dari Ibn Ṭāwūs dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Atas semua orang – penduduk desa dan badui – diyatnya adalah seratus ekor unta, baik bagi Arab desa maupun kota.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Jurayj, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aṭā’: Apakah diyat dibayar dengan ternak atau emas? Ia menjawab: Dahulu dibayar dengan unta, sampai datang masa Umar bin al-Khaṭṭāb ra. lalu ia menilai unta sebesar dua puluh dan seratus dinar untuk setiap unta. Maka jika orang desa ingin membayar dengan seratus unta, ia tidak membayar dengan emas. Itulah hukum yang pertama.

(Al-Syafi‘i berkata): Kami mengambil seluruh ini. Maka selama unta tersedia, maka dibayar dengan unta. Jika tidak tersedia, maka nilainya ditentukan sebagaimana aku jelaskan. Karena siapa pun yang wajib membayar sesuatu, ia tidak dibebani nilainya selama barang tersebut tersedia. Tidakkah engkau lihat bahwa seseorang yang diwajibkan menyerahkan barang tertentu, tidak diambil darinya kecuali barang itu, dan jika tidak tersedia maka dibayar dengan nilai pada hari ia wajib membayar?

Mungkin pula penilaian unta itu karena yang wajib membayar diyat tidak memiliki unta, atau unta ada namun di tempat lain dalam negeri tersebut, maka unta dinilai. Namun kemungkinan pertama lebih mendekati – wallāhu a‘lam.

Apa yang telah diriwayatkan terkait penilaian diyat mendukung apa yang aku sebutkan – wallāhu a‘lam – bahwa diyat tidak dinilai kecuali dengan dinar dan dirham, sebagaimana hak lain juga tidak dinilai kecuali dengan dua jenis itu.

Jika boleh dinilai dengan selain itu, niscaya akan ditetapkan untuk orang yang memiliki sapi untuk membayar dengan sapi, dan orang yang memiliki kambing dengan kambing – sebagaimana diriwayatkan dari Umar – atau membayar dengan makanan, kuda, atau kain, sesuai nilai unta. Tetapi asal hukum diyat tetap pada unta. Maka jika unta tidak tersedia, nilainya ditentukan dari dinar dan dirham.

Jika ‘āqilah menemukan sebagian unta, maka diambil darinya yang tersedia dan sisanya dibayar dengan nilai dari yang tidak tersedia.

Penilaian unta berlaku atas orang yang wajib membayar diyat jika jenis tindakannya termasuk yang ditanggung oleh ‘āqilah, maka dinilai unta milik ‘āqilah. Jika yang bertanggung jawab adalah pelaku sendiri, maka dinilai unta miliknya jika berbeda dari unta milik ‘āqilah.

[Cacat pada Unta]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Orang yang wajib membayar diyat tidak boleh membayarkan unta yang cacat, yakni cacat yang jika ada dalam jual beli akan menyebabkan barang tersebut ditolak. Karena jika seseorang diwajibkan membayar sesuatu dengan sifat tertentu, maka ia tidak boleh memberikan sesuatu yang cacat. Sebagaimana orang yang diwajibkan membayar satu dinar, tidak boleh memberikan yang cacat. Demikian pula makanan, jika diwajibkan atasnya, tidak boleh diserahkan dalam keadaan cacat.

[Siapa Saja yang Membayar Diyat dan dari Kalangan Mana]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Aku tidak mengetahui adanya perselisihan bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan diyat atas ‘āqilah. Ini merupakan hadis mutawātir. Aku juga tidak mengetahui adanya perbedaan bahwa yang dimaksud ‘āqilah adalah kelompok keluarga dari jalur ayah. Umar bin al-Khaṭṭāb pernah menetapkan bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib harus menanggung diyat atas pihak mawlā Safiyyah binti ‘Abd al-Muṭṭalib, dan beliau memutuskan warisan mereka untuk al-Zubayr karena ia adalah anaknya.

Diketahui bahwa tanggungan diyat ‘āqilah dimulai dari keluarga terdekat dari jalur ayah. Jika pelaku memiliki saudara seayah, maka mereka menanggung diyatnya sesuai kadar kewajiban ‘āqilah. Jika mereka tidak sanggup menanggungnya, maka ditingkatkan ke paman-pamannya dari jalur ayah, kemudian ke kakek dari ayah, dan seterusnya ke kerabat terdekat. Misalnya: jika seseorang dari Bani ‘Abd Manāf melakukan kejahatan, maka diyat ditanggung oleh Bani ‘Abd Manāf, jika mereka tidak sanggup, maka dinaikkan ke Bani Quṣayy, lalu ke Bani Kilāb, lalu ke Bani Murrah, lalu ke Bani Ka‘b, lalu ke Bani Lu’ayy, lalu ke Bani Ghālib, kemudian ke Bani Mālik, lalu ke Bani al-Naḍr, kemudian ke Bani Kinānah seluruhnya, dan seterusnya sampai semua kerabatnya habis atau diyat ditanggung.

Orang-orang yang terdaftar dalam dīwān (catatan militer) maupun yang tidak, kedudukannya sama dalam ‘āqilah. Rasulullah ﷺ telah menetapkan diyat atas ‘āqilah padahal belum ada dīwān hingga masa Umar bin al-Khaṭṭāb ketika harta mulai banyak.

[Apa Saja yang Ditanggung oleh ‘Āqilah dan Siapa Saja yang Menanggungnya]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Aku tidak mengetahui ada perbedaan bahwa perempuan dan anak kecil yang kaya tidak ikut menanggung diyat. Begitu pula orang gila – menurutku – tidak ikut menanggung. Hanya orang merdeka dan baligh yang menanggung diyat. Orang fakir dari kalangan yang baligh juga tidak ikut menanggung. Jika diyat ditetapkan saat ia miskin, lalu saat jatuh tempo ia menjadi kaya, maka ia ikut menanggung. Sebaliknya, jika saat ditetapkan ia kaya, lalu saat jatuh tempo menjadi miskin, maka ia dibebaskan. Yang dilihat adalah kondisinya pada hari jatuh tempo. Hakim seharusnya mencatat saat menetapkan bahwa diyat ditanggung oleh siapa pun dari kalangan ‘āqilah yang sanggup pada setiap waktu jatuh tempo.

Jika seseorang ikut menanggung satu cicilan diyat lalu jatuh miskin saat cicilan berikutnya, maka ia tidak dibebani lagi. Jika kemudian ia kaya kembali, maka ia dibebani lagi sesuai cicilan yang jatuh tempo. Jika seseorang jatuh tempo diyatnya dan ia meninggal setelah itu, maka dibebankan atas hartanya karena saat jatuh tempo ia dalam keadaan hidup dan mampu.

Aku tidak mengetahui adanya perbedaan bahwa tidak seorang pun dibebani terlalu banyak dari diyat. Menurut madzhab mereka, diyat ditanggung berdasarkan kadar kekayaan. Orang kaya dari kalangan ‘āqilah membayar setengah dinar, yang lebih rendah membayar seperempat dinar, dan tidak lebih atau kurang dari ini. Mereka membayar diyat berdasarkan nilai unta hingga beberapa orang bisa berbagi satu unta, kecuali jika seseorang ingin membayar lebih, maka diterima darinya.

[Diyat oleh Mawlā (Bekas Budak) dan Pewarisnya]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Para mawlā dari atas (yakni yang membebaskan) tidak ikut menanggung diyat. Mereka hanya menanggung jika mereka sendiri adalah kerabat. Jika ada kerabat yang bisa menanggung sebagian, maka kerabatlah yang menanggung. Jika para mawlā tidak sanggup menanggung, maka kaum Muslimin secara kolektif yang menanggung.

Begitu juga jika seorang mawlā dibebaskan oleh seseorang dan ia memiliki kerabat yang bisa menanggung, maka kerabat yang didahulukan. Jika tidak sanggup, maka mawlā-nya yang membebaskanlah yang menanggung. Jika ia memiliki mawlā di atas dan mawlā di bawah, maka yang menanggung adalah mawlā dari atas, bukan dari bawah. Jika mawlā dari atas tidak ada dan tidak punya kerabat, maka mawlā dari bawah boleh menanggung, tetapi bukan karena mereka adalah ahli waris, melainkan karena mereka termasuk yang wajib menanggung sebagaimana yang lainnya.

(Al-Syafi‘i berkata): Seorang budak yang dibebaskan sebagai sā’ibah (merdeka tanpa ikatan waris) tetap dihukumi seperti budak yang dimerdekakan biasa.

[Diyat oleh Sekutu dalam Perjanjian]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Sekutu dalam perjanjian (ḥalīf) tidak menanggung diyat karena perjanjian tersebut, dan tidak ditanggung pula olehnya, kecuali jika ada riwayat syar‘i yang mewajibkan, tetapi aku tidak mengetahuinya. Sekutu tidak ikut menanggung dan tidak diwarisi, karena diyat hanya ditanggung oleh kerabat nasab dan oleh sebab walā’. Perjanjian hanya menetapkan kesatuan tangan dan perlindungan, tidak lebih dari itu.

[Diyat bagi yang Tidak Diketahui Nasabnya]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Jika seseorang adalah orang ‘ajam (non-Arab), misalnya dari bangsa Nubia, lalu ia melakukan tindak pidana, maka tidak ada yang menanggung diyat darinya dari kalangan Nubia sampai mereka bisa membuktikan nasab mereka sebagaimana orang Islam membuktikannya. Jika nasabnya terbukti, maka diyat ditanggung oleh keluarganya. Jika yang terbukti hanya desa mereka, dan mereka mengatakan bahwa yang tinggal di desa tersebut adalah orang-orang berketurunan, maka aku tidak menetapkan diyat kecuali jika nasab benar-benar terbukti.

Demikian pula halnya dengan setiap kabilah asing atau selainnya yang tidak diketahui nasabnya, atau siapa pun yang tidak diketahui nasabnya, seperti orang ‘ajam atau anak temuan, dan tidak memiliki walā’, maka diyat ditanggung oleh kaum Muslimin secara kolektif karena adanya hubungan agama dan mereka pun mewarisi hartanya jika ia meninggal. Siapa pun yang menisbatkan dirinya kepada suatu nasab, maka ia dianggap dari nasab tersebut kecuali ada bukti tegas yang menolaknya.

Bukti penolakan nasab tidak diterima jika hanya berdasarkan perkataan semata. Jika kami menetapkan diyat atas ahl al-‘ahd (non-Muslim yang terikat perjanjian damai) dan musta’man (non-Muslim yang diberi perlindungan), maka kami menghukumi mereka sebagaimana kaum Muslimin: diyat dibebankan atas ‘āqilah mereka jika mereka termasuk yang berlaku hukum atasnya. Jika ‘āqilahnya tidak termasuk yang kami berlakukan hukum padanya, maka diyat ditanggung oleh pelaku secara pribadi.

Apa pun yang tidak bisa ditanggung oleh ‘āqilahnya, dibebankan kepada hartanya. Kami tidak membebani kaum seagamanya jika mereka bukan kerabat ayahnya karena mereka tidak mewarisinya. Kami juga tidak membebankan diyat itu kepada kaum Muslimin karena tidak ada hubungan waris antara orang beriman dan musyrik. Orang beriman tidak mewarisi orang musyrik. Jika ia meninggal, maka hartanya diambil sebagai fa’i (rampasan) saja.

[Di Mana Letak ‘Āqilah]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): ‘Āqilah adalah kerabat nasab. Jika seseorang melakukan kejahatan di Mekkah sedangkan ‘āqilah-nya berada di Syam, maka jika tidak ada riwayat yang menyelisihi qiyās, maka qiyās-nya adalah hakim di Mekkah menulis surat kepada hakim di Syam agar ‘āqilah-nya dibebani diyat. Tidak dibenarkan membebankan diyat kepada kerabat terdekat di Mekkah jika ‘āqilah-nya yang lebih jauh masih ada. Jika ‘āqilah-nya menolak dikenai hukum, maka mereka dipaksa sebagaimana mereka dipaksa dalam kewajiban lain. Jika tidak memungkinkan untuk menagih dari mereka, maka tidak dibebankan kepada selain mereka, melainkan tetap menjadi hak yang akan ditagih jika kelak memungkinkan.

(Dikatakan): Boleh dibebankan kepada ‘āqilah yang ada di negeri tempat pelaku berada, kemudian ke ‘āqilah terdekat lainnya, dan tidak perlu menunggu orang yang jauh datang atau menunggu surat dari hakim — wallāhu a‘lam. Jika ‘āqilah ada, tetapi sebagian mereka sedang bepergian, dan orang tersebut layak menanggung diyat, maka hartanya dapat diambil untuk membayar bagiannya.

Jika jumlah ‘āqilah banyak dan sebagian cukup menanggung, dan mereka ada di negeri tersebut beserta hartanya, maka sebagian ulama berpendapat bahwa hakim boleh mengambil dari sebagian mereka saja. Namun pendapatku lebih menyukai agar dibagi rata di antara mereka agar semuanya menanggung secara adil, walau yang diambil dari masing-masing sangat sedikit.

Jika sebagian dari ‘āqilah hadir dan mereka mencukupi untuk menanggung diyat, dan sebagian lainnya berada di luar negeri, maka ada yang berpendapat untuk mengambil dari yang hadir saja. Sebab, menurut mereka, kejahatan itu dilakukan bukan oleh mereka, dan tanggung jawab hanya dibebankan kepada orang yang bisa diakses.

(Al-Syafi‘i berkata): Aku tidak akan meminta pengembalian dari orang yang sudah membayar untuk menggantikan orang yang tidak hadir. Ini mirip dengan banyak pendapat ahli ilmu — wallāhu a‘lam.

Sebagian berpendapat bahwa jika sebagian ‘āqilah tidak hadir dan tidak memiliki harta yang bisa diambil, lalu diyat diambil dari yang hadir, kemudian yang absen datang, maka tidak diambil apa pun darinya. Demikian pula jika ia hadir namun menolak membayar diyat.

Jika unta milik para ‘āqilah berbeda-beda, maka setiap orang memberikan dari untanya sendiri. Mereka wajib patungan dalam satu ekor unta sesuai kadar tanggung jawab mereka. Jika orang merdeka membunuh orang merdeka secara tidak sengaja, maka diyat atau ganti rugi sekecil apa pun ditanggung oleh ‘āqilah.

Namun, jika orang merdeka membunuh budak secara tidak sengaja, ada dua pendapat:

  1. Ditanggung ‘āqilah karena ini adalah pembunuhan terhadap jiwa yang dihormati.
  2. Tidak ditanggung ‘āqilah karena yang dibayar adalah nilai budak, bukan diyat.

Jika orang merdeka membunuh seseorang secara sengaja tapi tidak ada qishāsh, misalnya membunuh dzimmi, penyembah berhala, atau musta’man, maka diyat wajib dari harta pelaku, bukan dari ‘āqilah. Demikian juga jika ia melukai orang lain dengan luka parah (jā’ifah) atau luka yang tidak ada qishāsh-nya, maka itu menjadi tanggungannya pribadi, bukan ‘āqilah.

Jika anak kecil atau orang gila melakukan kesalahan yang menyebabkan kematian, maka diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah. Jika mereka melakukannya dengan sengaja, ada dua pendapat:

  1. Ditanggung ‘āqilah seperti kesalahan dalam tiga tahun.
  2. Tidak ditanggung ‘āqilah karena Nabi ﷺ hanya memutuskan bahwa kesalahan ditanggung ‘āqilah dalam tiga tahun.

Jika dianggap sebagai pembunuhan sengaja tapi dibayar dalam tiga tahun, maka kontradiksi muncul: diyat ‘amdan harus dibayar tunai, sedangkan ‘āqilah hanya membayar kesalahan dalam tiga tahun. Maka, berdasarkan itu, ‘āqilah tidak menanggung diyat pembunuhan sengaja dalam kondisi apa pun.

[Kompilasi Diyat untuk Selain Jiwa]

[Bab Diyat Hidung]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm dari ayahnya bahwa dalam kitab yang ditulis Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Ḥazm disebutkan:

“Pada hidung, jika bagian ujungnya terpotong habis, diyatnya seratus ekor unta. Pada luka ma’mūmah sepertiga dari diyat jiwa, pada luka jā’ifah juga sepertiganya, pada mata lima puluh unta, pada tangan lima puluh, pada kaki lima puluh, pada setiap jari sepuluh, pada gigi lima, dan pada luka muḍiḥah (yang sampai tulang) lima.”

Bab Diyat Hidung

(Al-Syafi‘i berkata): Untuk bagian yang terpotong dari ujung hidung (mārīn), maka diyatnya sesuai dengan bagian yang terpotong. Jika setengahnya, maka setengah diyat. Jika sepertiganya, maka sepertiga diyat. Itu dihitung berdasarkan perbandingan bentuk ujung hidung itu sendiri. Tidak boleh memandang sebelah kanan lebih utama dari kiri, atau ujungnya dibandingkan dengan bagian lainnya, atau sekat antara dua lubangnya dibandingkan dengan selainnya. Jika yang terpotong adalah bagian luar saja tanpa sekat, maka diyatnya dihitung sesuai yang terpotong selain sekat.

Jika hidung hanya terbelah lalu sembuh, maka dikenakan ḥukūmah (ganti rugi berdasarkan keputusan hakim). Namun jika sobek dan tidak menyatu kembali hingga terlihat renggang, maka diberikan diyat sebesar bagian yang hilang, dan ḥukūmah jika tidak ada bagian yang hilang.

(Al-Syafi‘i berkata): Telah diriwayatkan dari Ibn Ṭāwūs dari ayahnya: “Di sisi ayahku ada kitab dari Nabi ﷺ yang menyebutkan: ‘Pada ujung hidung (mārīn) jika terpotong, maka diyatnya seratus unta.’”

(Al-Syafi‘i berkata): Hadis Ibn Ṭāwūs lebih jelas daripada hadis keluarga Ḥazm. Jelas bahwa yang dimaksud hidung adalah ujungnya (mārīn) karena ia adalah tulang rawan yang bisa dipotong tanpa merusak yang lain, sedangkan tulang keras tidak bisa dipotong kecuali dengan menyakiti bagian lain.

Maka dalam mārīn terdapat diyat penuh. Demikian juga pendapat para ulama yang aku temui. Jika sebagian dari mārīn dipotong dan dapat disambung kembali, maka diyatnya tetap sempurna. Jika tidak bisa menyatu kembali, maka diberi ganti rugi. Jika sebagian kecil terpotong dan menggantung, lalu disambung dan menyatu, maka dikenakan ḥukūmah, bukan diyat penuh karena belum terputus sepenuhnya.

Jika hidung dipukul hingga menjadi lemah dan tidak bisa bergerak, serta sekatnya tidak bisa menyatu, maka dikenakan ḥukūmah, bukan diyat penuh. Jika kerusakan itu disengaja, maka tidak ada qishāsh (balasan setimpal) di dalamnya. Jika seseorang terlahir cacat atau menjadi seperti itu karena cedera, lalu bagian tersebut dipotong, maka ḥukūmah-nya lebih besar daripada ḥukūmah karena lemah.

Jika kerusakan hanya sebagian, maka ḥukūmah-nya dihitung sesuai tingkat kerusakan. Tidak aku samakan kelemahan ini dengan kelumpuhan tangan karena tangan memiliki fungsi, sedangkan hidung hanya untuk keindahan dan saluran pernapasan.

Jika seseorang menderita kelemahan pada hidung lalu dipotong, maka tidak diberi diyat penuh. Karena kerusakan sebelumnya hanya diberi ḥukūmah.

Diyat atas Mārīn (Ujung Hidung)

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Jika bagian tulang yang tersambung ke mārīn ikut terpotong, maka dikenakan ḥukūmah di samping diyat mārīn. Jika luka mengenai bawah mārīn hingga menjadi jā’ifah (luka dalam yang menembus), maka dikenakan ḥukūmah.

Demikian pula jika potongan mencakup bagian sekitar mata, alis, dan dahi yang tidak sampai menjadi luka muḍiḥah, maka itu ḥukūmah. Namun jika sampai menjadi muḍiḥah (menampakkan tulang), maka berlaku ketentuan muḍiḥah. Jika menghancurkan tulang, maka berlaku ketentuan hāsyimah. Jika mematahkan tulang, berlaku ketentuan munqillah. Jika kerusakan lebih besar dari munqillah, maka diyatnya lebih besar. Namun tidak termasuk ma’mūmah karena tidak mencapai otak. Dan yang mencapai otak biasanya membunuh sebagaimana jā’ifah ke rongga dalam juga bisa mematikan.

[Diyat atas Lidah]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata):

Jika seseorang memotong lidah orang lain dengan cara yang tidak mengharuskan qishāsh, seperti karena kesalahan (khatha’), maka wajib membayar diyat. Ini termasuk dalam kategori organ yang menjadi penyempurna bentuk manusia dan karena dalam tubuh seseorang hanya ada satu lidah. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama yang aku temui bahwa jika lidah dipotong, maka diyat penuh wajib dibayarkan.

Lidah berbeda dengan hidung dalam beberapa hal, di antaranya: lidah menjadi alat untuk menyampaikan isi hati dan sebagian besar manfaatnya terletak pada fungsi bicara, meskipun ia juga membantu dalam proses makan dan minum.

Jika lidah terluka hingga menyebabkan hilangnya kemampuan bicara, baik karena terpotong atau sebab lain, maka diyat penuh wajib dibayarkan. Tidak aku ketahui adanya perbedaan di antara para ulama yang aku temui dalam hal ini.

Jika hanya sebagian dari lidah yang terpotong dan tidak menyebabkan hilangnya kemampuan bicara, maka dihitung berdasarkan bagian lidah yang hilang. Jika bagian yang terpotong kira-kira seperempat lidah dan menghilangkan seperempat kemampuan bicara, maka wajib membayar seperempat diyat. Jika yang hilang kurang dari seperempat bicara, maka tetap wajib seperempat diyat. Jika separuh kemampuan bicara hilang, maka wajib separuh diyat. Aku akan membebankan jumlah yang lebih besar antara bagian lidah yang hilang atau bagian bicara yang hilang.

Jika sebagian bicara seseorang hilang, maka diukur dari jumlah huruf-huruf hijaiyah (fonem dasar). Jika ia bisa melafalkan separuh huruf dan tidak bisa melafalkan separuh lainnya, maka wajib separuh diyat. Begitu pula, jika ia hanya bisa melafalkan sebagian lebih atau kurang dari separuh, maka diyat dibayarkan sesuai kadar itu.

Semua huruf dihitung sama, baik yang mudah diucapkan maupun yang berat, seperti shīn, ṣād, alif, tā’, rā’, masing-masing memiliki porsi yang sama dari diyat berdasarkan jumlahnya, dan tidak dibedakan antara yang berat dan ringan. Jika seseorang tidak bisa melafalkan satu huruf dengan fasih seperti sebelum terkena luka, dan lisannya berubah mengucapkannya dengan huruf lain yang dimaksudkannya, maka berlaku diyat penuh atas huruf tersebut. Misalnya, ia hendak melafalkan rā’ tapi justru mengucapkan bā’ atau lām.

Jika seseorang bisa melafalkan huruf secara jelas, tetapi lidahnya menjadi lebih berat dari sebelumnya, maka dikenakan ḥukūmah (ganti rugi keputusan hakim).

Jika seseorang yang sudah gagap sejak awal lalu lidahnya terluka dan semakin gagap atau tambah pelat (cadel) dari sebelumnya, maka dikenakan ḥukūmah, bukan diyat huruf penuh.

Jika lidah orang berpenyakit (misalnya: berat lidah karena demam atau lainnya) terluka padahal dia bisa berbicara, maka berlaku hukum seperti lidah orang yang fasih. Demikian pula untuk lidah orang non-Arab selama bisa berbicara dengan lisannya. Jika lidah bayi terluka padahal ia sudah bersuara melalui tangisan atau suara khas dari lidah, maka wajib diyat, karena umumnya lidah bayi akan berbicara, kecuali terbukti sebaliknya. Jika bayi bisa mengucap sebagian huruf tapi tidak semuanya, maka diyat dibayarkan sebesar bagian yang tak bisa ia ucapkan.

Jika lidah seseorang yang sebelumnya berbicara lalu terkena penyakit hingga tak bisa bicara, atau orang bisu sejak lahir, lalu lidahnya terluka, maka dalam keduanya dikenakan ḥukūmah. Jika pelaku berkata bahwa korban memang bisu atau hanya bisa bicara sebagian, maka pernyataannya diterima sampai korban bisa membuktikan bahwa sebelumnya dia bisa bicara. Jika terbukti, maka pernyataan pelaku ditolak kecuali dengan bukti.

Orang yang diketahui dapat bicara, maka diasumsikan bisa bicara hingga ada bukti sebaliknya. Demikian pula jika pelaku berkata: “Korban memang buta,” maka jika ada bukti bahwa ia sebelumnya melihat, maka pernyataan pelaku ditolak kecuali dengan bukti kuat.

Jika korban memang dikenal bisu atau buta, lalu keluarganya mengklaim bahwa ia bisa bicara atau melihat kembali, maka yang dianggap adalah pernyataan pelaku kecuali mereka bisa membawa bukti.

Jika lidah seseorang terdiri dari dua ujung, lalu seseorang memotong salah satunya dan menyebabkan hilangnya kemampuan bicara, maka wajib diyat penuh. Jika hanya sebagian kemampuan bicara yang hilang, maka wajib diyat sebanding.

Jika diyat dibayarkan lalu ia ternyata bisa bicara kembali, maka diyat dikembalikan. Jika ia bisa bicara sebagian dari yang sebelumnya tidak bisa, maka dikembalikan proporsi bagian itu.

Jika salah satu ujung lidah terpotong namun tak memengaruhi kemampuan bicara, dan ujung tersebut sejajar dengan ujung lainnya pada tempat keluarnya suara, maka dihitung sebanding dari diyat, baik seperempat atau lebih. Jika bagian yang terpotong berada di luar batas saluran suara dan tidak menghilangkan bicara, maka berlaku ḥukūmah. Namun, ḥukūmah-nya tidak boleh melebihi porsi diyat dari ukuran lidah.

Jika kedua ujung lidah terpotong dan menghilangkan kemampuan bicara, maka diyat penuh wajib dibayarkan. Jika salah satu ujung dianggap kelebihan (tambahan) dari lidah, maka diyat disesuaikan dan ditambahkan ḥukūmah karena rasa sakit.

Jika seseorang memotong bagian dalam lidah, maka hukumnya sama seperti memotong bagian luar. Jika potongan tersebut mengurangi kemampuan bicara, maka diyatnya sesuai kadar yang hilang.

Jika potongan pada lidah tidak menyebabkan hilangnya kemampuan bicara, maka diyatnya dihitung berdasarkan ukuran lidah.

 

Dan apabila seseorang memotong bagian dari lidah yang tidak sepenuhnya menghilangkan kemampuan bicara, atau menghilangkan sebagian tapi tidak seluruhnya, maka diyatnya ditentukan berdasarkan bagian yang paling besar dari dua pertimbangan: yaitu (1) seberapa banyak kemampuan bicara yang hilang, atau (2) seberapa besar ukuran lidah yang terpotong.

 

[Diyat Uvula]

Uvula

(Al-Syafi’i berkata): Jika seseorang memotong uvula orang lain dengan sengaja, dan memungkinkan melakukan qishash atasnya, maka ada qishash. Jika tidak memungkinkan qishash atau terpotong karena kesalahan, maka padanya ada ganti rugi (ḥukūmah).

[Diyat Kemaluan]

(Al-Syafi’i berkata): Jika kemaluan (dzakar) dipotong secara sempurna, maka padanya diyat penuh, karena posisinya seperti hidung: bagian dari kesempurnaan penciptaan manusia dan tidak ada padanya kecuali satu. Tidak aku ketahui adanya perbedaan pendapat bahwa pada kemaluan yang terpotong ada diyat penuh. Meskipun dalam beberapa hal berbeda dari hidung.

Jika hanya bagian ujungnya (ḥasyafah) yang terpotong secara sempurna, maka padanya juga diyat penuh.

Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini di antara orang-orang yang aku temui.

Ini berlaku baik pada kemaluan lelaki tua renta yang tidak mendatangi perempuan jika masih bisa mengembang dan mengempis, juga kemaluan lelaki yang dikebiri, yang belum pernah menyetubuhi perempuan, maupun kemaluan anak kecil. Karena itu adalah anggota tubuh yang nyata, dan tidak gugur diyatnya hanya karena kelemahan fungsi.

Diyat menjadi tidak penuh hanya jika keadaannya lumpuh (syalal), misalnya mengembang tidak bisa mengempis, atau sebaliknya.

Adapun selain itu seperti adanya luka, penyakit kusta, belang, atau bentuk kepala yang bengkok, tidak menggugurkan diyat.

Dalam hal kemaluan mengembang dan mengempis, perkataan korban diterima disertai sumpah, karena itu bagian aurat, sehingga tidak dituntut menghadirkan saksi atas fungsinya. Jika pelaku kejahatan mengklaim sebaliknya, maka ia yang harus membuktikan.

Jika seseorang mencederai kemaluan orang lain lalu sembuh kembali, maka padanya ada ḥukūmah.

Demikian pula jika ia melukainya, luka apapun, selama tidak menyebabkan lumpuh, maka padanya ada ḥukūmah.

Jika membuatnya lumpuh, maka padanya diyat penuh.

(Al-Syafi’i berkata): Jika mencederai kemaluan yang memang sudah lumpuh, maka padanya ḥukūmah.

Jika memotong sebagian hingga terpisah, dari bagian selain ḥasyafah, lalu disambung kembali dan menyatu, atau tidak disambung, maka tetap dihitung berdasarkan ukuran yang terpotong dari keseluruhan. Panjang dan lebar keduanya diperhitungkan, termasuk ḥasyafah.

Jika yang terluka adalah ḥasyafah, maka ada dua pendapat:

Pertama, dihitung berdasarkan ukuran dari ḥasyafah, karena sendiri pun padanya diyat penuh.

Kedua, dihitung berdasarkan proporsi dari seluruh kemaluan.

Jika dipotong bagian dari kemaluan atau terluka, lalu air mani atau urin menetes dari situ, maka dihitung mana yang lebih besar: proporsi ukuran yang hilang, atau nilai kerusakan dan cacat fungsional.

Untuk kemaluan budak, nilainya adalah harga budak, sebagaimana kemaluan orang merdeka dengan diyatnya.

Jika potongan menyebabkan harga budak meningkat, maka yang dihitung tetap harga.

Jika seseorang memotong ḥasyafah, kemudian orang lain memotong sisanya, maka yang pertama kena diyat penuh, dan yang kedua hanya ḥukūmah atas bagian sisanya.

Pada kemaluan lelaki yang dikebiri tetap ada diyat penuh karena ia memiliki kemaluan secara utuh, dan testis bukan bagian dari kemaluan.

Jika seseorang mencederai kemaluan orang lain namun tidak menyebabkan lumpuh dan masih bisa mengembang serta mengempis, namun hubungan seksual menjadi hilang, maka tidak dikenakan diyat penuh. Karena jika kemaluan masih sehat, maka ketidakmampuan itu disebabkan selain kemaluan.

Namun, jika hanya bisa mengembang tanpa mengempis atau sebaliknya, maka itu dianggap lumpuh dan diyatnya penuh.

[Diyat Kemaluan Khuntsa]

Kemaluan Khuntsa

(Al-Syafi‘i berkata): Jika kemaluan khuntsa dipotong, maka statusnya ditangguhkan. Jika ternyata ia laki-laki dan pemotongan itu dilakukan dengan sengaja, maka berlaku qishash kecuali jika ia memilih diyat. Jika dilakukan karena kesalahan, maka ada diyat penuh.

Jika ternyata ia perempuan, maka atas kemaluannya hanya ada ḥukūmah. Jika ia meninggal dalam kondisi tidak jelas jenis kelaminnya, maka perkataan pelaku diterima bahwa ia perempuan dengan sumpah, dan hanya diwajibkan ḥukūmah.

Jika pelaku enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada ahli waris khuntsa, bahwa ia laki-laki sebelum wafat, maka wajib diyat penuh. Tidak diterima klaim ahli waris bahwa ia laki-laki, atau pelaku bahwa ia perempuan, kecuali disertai keterangan rinci yang dapat menjadi dasar hukum.

Jika keduanya sama-sama menyatakan telah jelas jenis kelaminnya tapi tak mampu menjelaskannya, atau salah menjelaskan, maka hukumnya ditangguhkan sampai diketahui. Jika tidak diketahui, maka hanya diwajibkan ḥukūmah.

Jika seseorang menyerang khuntsa musykil dan memotong kemaluan laki-lakinya, dua testisnya, dan dua bibir kemaluan perempuannya dengan sengaja, lalu khuntsa meminta qishash, maka dikatakan padanya:

“Jika kamu mau, kami tunda dulu. Jika ternyata kamu laki-laki, maka kamu berhak qishash untuk kemaluan dan dua testis, serta ḥukūmah untuk dua bibir kemaluan.

Jika kamu ternyata perempuan, maka kamu tidak berhak qishash, melainkan diyat perempuan penuh untuk dua bibir kemaluan, serta ḥukūmah untuk kemaluan dan dua testis.

Jika kamu meninggal sebelum jelas jenis kelaminmu, maka diberikan diyat perempuan penuh serta ḥukūmah. Karena kami yakin bahwa kamu laki-laki atau perempuan, maka kami beri kamu hak yang pasti: diyat perempuan atas dua bibir, dan ḥukūmah atas sisanya.

Kalau kamu laki-laki, seharusnya kamu mendapat diyat laki-laki untuk kemaluan dan testis, serta ḥukūmah untuk dua bibir. Ini lebih banyak dari yang pertama. Maka kami hanya serahkan yang pasti milikmu, tidak yang belum pasti.”

Begitu pula jika pelaku adalah perempuan, tidak ada perbedaan. Jika khuntsa meminta qishash, maka tidak dilakukan sampai jelas ia perempuan, dan hanya untuk dua bibir kemaluan, serta ḥukūmah atas sisanya.

Jika ternyata laki-laki, maka ia mendapat dua diyat untuk kemaluan dan dua testis, serta ḥukūmah untuk dua bibir. Ia tidak berhak qishash karena pelakunya bukan laki-laki, dan bibir kemaluan jika ia laki-laki bukan bagian tubuh utama.

Jika khuntsa musykil melukai khuntsa lain yang juga musykil, maka tidak dilakukan qishash sampai jelas jenis kelamin pelaku dan korban. Jika keduanya laki-laki, maka berlaku qishash.

Jika salah satunya laki-laki dan yang lain perempuan, maka tidak ada qishash.

Jika seseorang mencederai khuntsa dan memotong kemaluan laki-laki, dua testis, dan dua bibir kemaluan, lalu khuntsa meminta diyat paling sedikit dari miliknya, maka diberikan kepadanya. Jika kemudian diketahui ia laki-laki, maka ditambahkan: satu diyat penuh dan setengah diyat sebagai pelengkap testis, dan dikurangkan ḥukūmah yang telah ia ambil.

Jika ternyata ḥukūmah untuk testis dan kemaluan lebih besar dari diyat dua bibir, maka dikembalikan ke pelaku selisihnya dan dihitung sebagai bagian dari tambahan diyat yang dibayarkan.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seorang laki-laki dan perempuan bersama-sama melukai khuntsa dan memotong kemaluan laki-laki, dua testis, dan dua bibir kemaluan, lalu khuntsa meminta qishash, maka masing-masing diperlakukan seolah melukai perempuan. Tidak dilakukan qishash sampai jelas bahwa korban adalah laki-laki, maka laki-laki dihukum qishash atas bagian laki-laki, dan perempuan membayar diyat perempuan.

Jika korban ternyata perempuan, maka perempuan dihukum qishash atas bibir kemaluan, dan laki-laki membayar diyat perempuan.

Jika seseorang memiliki dua kemaluan laki-laki dan salah satunya digunakan untuk kencing, maka yang dipakai kencing itu yang dianggap sebagai kemaluan utama, dan padanya berlaku diyat.

Jika ia kencing dari keduanya, maka yang salurannya paling lurus dan sesuai bentuk kelamin adalah kemaluan utama.

Jika keduanya sama rata, maka tidak ada qishash padanya karena tidak jelas, dan atas masing-masing dari keduanya ada ḥukūmah lebih dari setengah diyat laki-laki.

[Diyat Kedua Mata]

(Al-Syafi‘i berkata) –  –: Malik telah mengabarkan kepadaku dari Abdullah bin Abi Bakar dari ayahnya, bahwa “Dalam surat yang ditulis Rasulullah kepada ‘Amr bin Hazm disebutkan: pada mata lima puluh, pada tangan lima puluh, dan pada kaki lima puluh.”

(Al-Syafi‘i berkata): Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa yang dimaksud Rasulullah ﷺ adalah lima puluh ekor unta. Ini menjadi dalil bahwa setiap anggota tubuh yang merupakan bagian dari kesempurnaan fisik manusia, yang jika dipotong akan menyebabkan rasa sakit, dan manusia memilikinya sepasang, maka pada masing-masing bagian tersebut terdapat setengah dari diyat penuh.

Sama saja apakah mata itu rabun, buruk, lemah penglihatannya, atau mata yang sehat dan kuat penglihatannya; begitu pula antara mata anak kecil, orang tua, atau pemuda — jika penglihatan dari mata itu hilang, maka padanya ada setengah diyat. Jika bola mata rusak parah atau menjadi menonjol karena suatu cedera, maka tetap berlaku setengah diyat. Jika hanya penglihatannya yang hilang sementara mata masih utuh, maka berlaku ḥukūmah.

Jika di bagian hitam mata terdapat bercak putih yang tidak menghalangi pandangan dan terletak menjauh dari pusat pandangan, kemudian mata itu ditusuk, maka diyatnya tetap penuh. Namun, jika bercak putih itu menutupi sebagian pandangan, maka bagian tersebut tidak dihitung dari diyat, dan dihitung hanya bagian yang masih berfungsi melihat.

Jika bercak putihnya tipis sehingga masih bisa melihat dari baliknya dan tidak menghalangi penglihatan tapi hanya menyebabkan lelah, maka hukumnya seperti penyakit ringan, dan tetap dikenakan diyat penuh. Jika bercak putih itu mengurangi kemampuan melihat tapi tidak menghilangkannya, maka diyat dikenakan sesuai kadar penurunan penglihatan.

Penyakit penglihatan dan ukuran penurunannya telah dituliskan dalam kitab “al-‘Amd”. Baik mata kanan maupun kiri, atau mata orang bermata satu (a‘war) dan orang bermata normal, semuanya memiliki hukum yang sama. Tidak boleh dikatakan bahwa pada mata orang bermata satu berlaku diyat penuh. Sebab, Rasulullah ﷺ menetapkan bahwa mata memiliki diyat lima puluh, yakni setengah diyat penuh. Dan mata orang bermata satu pun tetaplah satu mata.

Jika seseorang mencongkel mata seseorang, lalu ia berkata bahwa yang dicongkel adalah mata yang buta, sementara korban (jika masih hidup) atau keluarganya (jika sudah meninggal) berkata bahwa yang dicongkel adalah mata yang sehat, maka perkataan pelaku lebih diterima kecuali korban atau keluarganya membawa bukti bahwa mata itu dapat melihat pada suatu waktu. Jika mereka mendatangkan bukti bahwa mata itu pernah digunakan untuk melihat, maka statusnya dianggap sehat, kecuali jika pelaku mendatangkan bukti bahwa mata itu sudah rusak sebelum dicongkel.

Demikian pula jika pelaku mencongkel mata anak kecil dan berkata bahwa ia tidak bisa melihat, sedangkan keluarganya berkata bahwa ia bisa melihat, maka mereka harus membawa bukti bahwa anak itu pernah melihat sejak lahir. Para saksi bisa menyatakan bahwa anak itu melihat meski belum bisa berbicara, misalnya dengan mengikuti benda dengan pandangan, berkedip, atau menghindari cahaya.

Begitu pula jika seseorang melukai tangan orang lain dan berkata bahwa tangan itu lumpuh, sedangkan korban berkata tangan itu sehat, maka korban harus mendatangkan bukti bahwa tangannya bisa bergerak dan mengepal. Jika mereka membuktikannya, maka tangan dianggap sehat, kecuali pelaku bisa membuktikan bahwa lumpuhnya terjadi setelah kejadian.

Demikian juga jika kemaluan (dzakar) orang dewasa atau anak dipotong, dan pelaku berkata bahwa itu adalah kemaluan yang lumpuh atau hanya sebagian saja, maka korban atau keluarganya harus mendatangkan bukti bahwa kemaluan itu pernah bisa bergerak. Jika terbukti, maka dianggap sehat sampai terbukti bahwa ia lumpuh setelah itu.

Jika pelaku melukai mata yang masih utuh tapi tidak menyebabkan hilangnya penglihatan, maka padanya berlaku ḥukūmah.

[Diyat Kelopak Mata]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang memotong kelopak mata hingga seluruhnya terputus, maka pada masing-masing kelopak mata terdapat seperempat diyat, karena manusia memiliki empat kelopak dan termasuk bagian dari kesempurnaan penciptaan serta menimbulkan rasa sakit saat dipotong. Ini didasarkan pada qiyas dari sabda Nabi ﷺ yang menetapkan bahwa bagian tubuh yang hanya satu pada manusia memiliki diyat penuh, dan jika berjumlah dua maka setiap satu memiliki setengah diyat.

Jika kedua bola mata dicungkil dan juga kelopaknya dipotong, maka pada mata ada diyat, dan pada kelopak mata juga ada diyat, karena mata dan kelopak mata adalah dua hal berbeda.

Jika bulu mata dicabut dan tidak tumbuh kembali, maka ada ḥukūmah padanya, karena pada bulu kelopak mata tidak ada diyat tertentu. Sebab, rambut bisa terputus dengan sendirinya tanpa rasa sakit, bisa tumbuh dan rontok, serta tidak seperti bagian tubuh yang dialiri darah dan memiliki kehidupan sehingga menimbulkan rasa sakit. Adapun setiap bagian dari kelopak mata yang terkena luka, maka berlaku diyat sesuai proporsinya.

[Diyat Alis, Janggut, dan Kepala]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika seseorang mencabut kedua alis dengan sengaja, maka tidak ada qishāsh padanya. Jika ia memotong kulit tempat tumbuh alis hingga alis itu hilang, dan dimungkinkan untuk dipotong seperti sebelumnya, maka dikenakan qishāsh, kecuali korban memilih diyat. Maka jika korban memilih, diyat itu diambil dari harta pelaku.

Demikian juga jika pemotongan terjadi dengan sengaja dan tidak memungkinkan qishāsh, maka dikenakan ḥukūmah dari harta pelaku.

Jika terjadi secara tidak sengaja, tetap berlaku ḥukūmah, kecuali saat pemotongan kulitnya menyingkap tulang (membuka hingga ke tulang), maka yang berlaku adalah nilai tertinggi antara dua luka terbuka (muḍiḥah) atau ḥukūmah. Demikian pula halnya pada janggut, kumis, dan kepala: jika rambut dicabut, maka tidak ada qishāsh.

Telah dikatakan bahwa jika rambut itu tumbuh kembali, maka berlaku ḥukūmah; dan jika tidak tumbuh, maka nilai ḥukūmah lebih besar.

Jika pemotongan disertai kulit sebagaimana pada alis, maka berlaku nilai tertinggi antara ḥukūmah karena cacat dan luka terbuka (muḍiḥah) atau luka-luka lain jika yang terbuka lebih dari satu.

Jika terdapat luka terbuka di antara potongan kulit kepala atau janggut yang tidak terbuka, maka dihitung sesuai luka terbukanya.

Muslim meriwayatkan dari Ibn Jurayj, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aṭā’ tentang alis yang menjadi cacat, ia menjawab: “Aku tidak pernah mendengar tentang hal itu.”

(Al-Syafi‘i berkata): Pada alis terdapat ḥukūmah sesuai dengan cacat dan rasa sakitnya.

Muslim meriwayatkan dari Ibn Jurayj, ia berkata: Aku berkata kepada ‘Aṭā’: “Apakah mencukur rambut kepala ada ukurannya?” Ia menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.”

(Al-Syafi‘i berkata): Tidak ada ukuran tertentu dalam rambut. Jika tidak tumbuh kembali atau tumbuh dalam keadaan cacat, maka dikenakan ḥukūmah sesuai rasa sakit atau rasa sakit dan cacatnya.

[Diyat Telinga]

(Al-Syafi‘i berkata): Jika kedua telinga terpotong sepenuhnya, maka pada keduanya dikenakan diyat penuh berdasarkan qiyas dari ketetapan Nabi ﷺ terhadap dua anggota tubuh.

Muslim bin Khalid meriwayatkan dari Ibn Jurayj, ia berkata: ‘Aṭā’ berkata bahwa jika satu telinga terpotong sepenuhnya, maka diyatnya setengah.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika kedua telinga terpotong seluruhnya, maka diyatnya penuh; pada masing-masing telinga setengah diyat.

Jika pendengaran hilang tetapi telinga tidak terpotong, maka pada pendengaran berlaku diyat. Jika keduanya (telinga dan pendengaran) hilang, maka masing-masing dikenakan diyat penuh karena telinga berbeda dengan pendengaran.

Jika kedua telinga rusak seperti kondisi lumpuh pada tangan — yaitu jika digerakkan tidak bergerak karena kaku atau ditekan tidak terasa sakit — maka pemotongannya hanya dikenai ḥukūmah, bukan diyat penuh.

Jika seseorang memukul dua telinga yang sehat hingga menjadi seperti itu, maka ada dua pendapat:

Pertama, diyat penuh sebagaimana tangan yang menjadi lumpuh tetap dikenai diyat penuh.

Kedua, hanya ḥukūmah, karena telinga tidak memiliki manfaat gerak sebagaimana tangan, dan lebih kepada aspek keindahan.

Jika hanya sebagian telinga yang terpotong, maka dikenakan diyat sesuai bagian yang hilang, baik dari bagian atas maupun bawah, dihitung dari panjang dan lebar secara keseluruhan, tidak berbeda antara satu sisi dengan lainnya.

Jika bagian yang terpotong lebih buruk cacatnya dari bagian lain, maka tidak ditambah diyat karena cacat tersebut.

Aku juga tidak menambahkan nilai karena cacat pada kasus yang telah ditentukan diyatnya, baik pada hamba sahaya maupun orang merdeka.

Bukankah telah disebutkan bahwa luka terbuka (muḍiḥah) diberi lima unta?

Jika luka itu tidak menyebabkan cacat pada orang merdeka atau tidak mengurangi nilai hamba sahaya, maka aku tetap memberinya lima (unta), karena itu adalah ketetapan dari istilah “muḍiḥah” yang mengenai bagian tubuh tersebut.

Sama halnya pada hamba sahaya, ia mendapat setengah dari sepuluh nilai dirinya.

Jika luka itu ternyata menyebabkan cacat dan menurunkan nilai, maka tidak boleh aku menambahkan nilai diyat. Sebab, berarti aku memberinya satu kali atas dasar ketentuan luka, dan satu kali lagi karena cacatnya. Ini adalah keputusan yang kontradiktif.

[Diyat Kedua Bibir]

(Al-Syafi‘i berkata): Pada dua bibir terdapat diyat penuh. Sama saja antara bibir atas dan bawah. Demikian juga semua anggota tubuh yang ditetapkan diyat untuk dua bagian atau lebih atau kurang darinya, maka diyatnya dibagi berdasarkan jumlah, tanpa mengutamakan sisi kanan atas dari sisi kiri bawah, atau atas dari bawah, atau sebaliknya. Tidak dilihat dari manfaatnya atau keindahannya, melainkan dari jumlahnya.

Apa yang terpotong dari kedua bibir dihitung sesuai bagiannya. Jika seseorang memotong sebagian bibir lalu memotong lagi bagian lainnya, maka dia bertanggung jawab sesuai jumlah yang dipotong. Pada dua bibir juga berlaku qishāsh jika keduanya dipotong dengan sengaja.

Tidak dibedakan antara bibir tebal atau tipis, sempurna atau pendek, selama pendeknya merupakan ciptaan asalnya. Jika bibir seseorang terkena sesuatu hingga menjadi kaku dan mengerut tidak bisa menutupi gigi, atau menjadi sangat lemas hingga tidak bisa menarik diri dari gigi saat tersenyum atau tertawa, atau keduanya menjadi sangat tertarik, maka dalam semua itu berlaku diyat penuh.

Jika seorang pelaku menyebabkan kedua bibir menjadi sangat mengerut sehingga tidak menutup seluruh gigi dan tertarik ke atas, atau terlalu lemas sehingga bisa menutupi gigi tetapi tidak bisa tertarik ke atas sebagaimana normalnya, maka berlaku diyat sesuai dengan seberapa banyak kekurangannya dari keadaan bibir yang sehat — ini ditentukan oleh ahli yang kompeten. Mereka memutuskan apakah setengah atau lebih atau kurang.

Jika terdapat luka yang sembuh atau tidak sembuh dan tidak membuat bibir mengerut dari gigi, maka berlaku ḥukūmah. Jika mengerut dari gigi sebagian hingga sebanding dengan bagian yang terpotong, maka jika kembali normal saat direntangkan dan kembali saat dilepaskan, maka itu hanyalah pengkerutan akibat luka, bukan potongan yang memisah, sehingga tidak berlaku diyat tetap, tetapi ḥukūmah sesuai dengan cacat dan rasa sakitnya.

Jika bagian bibir dipotong, maka dihitung sesuai panjang dan lebar potongan terhadap bibir bagian atas atau bawah, tergantung bagian mana yang dipotong. Bibir adalah seluruh bagian yang berbeda dari kulit dagu dan pipi atas maupun bawah, melingkari seluruh mulut, mulai dari atas gigi dan gusi. Jika bagian tersebut dipotong memanjang, maka dihitung panjang dan lebarnya terhadap keseluruhan panjang bibir bagian itu, lalu dihitung sesuai proporsinya.

[Diyat Rahang]

(Al-Syafi‘i berkata): Gigi atas melekat pada tulang kepala, dan gigi bawah melekat pada tulang dua rahang. Jika kedua rahang bawah tercabut sekaligus, maka berlaku diyat penuh. Jika hanya satu yang tercabut, maka berlaku setengah diyat. Jika satu tercabut lalu yang lainnya jatuh bersamanya, maka berlaku diyat penuh.

Untuk gigi yang berada di atas kedua rahang tersebut, maka masing-masing gigi memiliki diyat tersendiri selain diyat rahang.

Berbeda dengan tangan, karena manfaat tangan terletak pada jari-jarinya. Jika jari hilang, manfaat tangan pun hilang. Sementara pada rahang, jika rahangnya hilang, maka gigi pun hilang. Rahang juga melindungi lidah, menahan masuknya benda asing ke dalam perut, dan membantu mengunyah makanan agar bisa masuk ke dalam. Oleh karena itu, pada keduanya berlaku diyat, terlepas dari giginya.

Jika rahang tidak bisa membuka dan menutup karena kekakuan, maka berlaku diyat penuh, karena manfaatnya hilang. Jika bisa terbuka tapi tidak bisa menutup, atau sebaliknya, maka juga berlaku diyat penuh. Gigi tidak diberi diyat karena tidak terkena langsung.

Jika rahang dipukul sehingga rusak, tetapi masih bisa membuka dan menutup, maka berlaku ḥukūmah sesuai dengan cacatnya, namun tidak mencapai diyat penuh.

[Diyat Gigi]

(Al-Syafi‘i berkata): Malik meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Bakr dari ayahnya bahwa dalam surat Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Ḥazm disebutkan bahwa pada setiap gigi berlaku lima ekor unta.

Muslim meriwayatkan dari ayahnya, dari Ibn Jurayj, dari Ibn Ṭāwūs, dari ayahnya. (Al-Syafi‘i berkata): Aku tidak melihat ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa Rasulullah ﷺ menetapkan pada setiap gigi berlaku lima ekor unta. Inilah yang aku ikuti.

Gigi seri, gigi taring, dan geraham semuanya termasuk gigi. Setiap satu gigi, baik geraham maupun selainnya, jika dicabut, berlaku lima ekor unta.

Malik meriwayatkan dari Dāwud bin al-Ḥuṣain, dari Abī Ghaṭfān bin Ṭarīf al-Murrī, bahwa Marwan bin al-Ḥakam mengutusnya kepada Abdullah bin Abbas untuk menanyakan diyat gigi geraham. Ibnu Abbas menjawab, “Lima ekor unta.” Marwan mengirimnya kembali dan berkata, “Apakah engkau menyamakan gigi depan dengan geraham?” Ibnu Abbas menjawab, “Jika tidak diukur kecuali dengan jari, maka semua jari memiliki diyat yang sama.”

(Al-Syafi‘i berkata): Ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas, insya Allah. Diyat yang ditentukan berdasarkan jumlah, bukan berdasarkan manfaat.

Jika seseorang kehilangan gigi susu lalu tumbuh gigi tetap, maka berlaku diyat lima unta. Jika kemudian tumbuh kembali setelah diberikan diyat, maka dikembalikan diyatnya. Namun ada yang berpendapat, diyat tidak dikembalikan kecuali untuk gigi susu. Jika gigi tetap tumbuh menggantikan gigi susu, maka tidak ada diyat.

Jika seseorang telah tumbuh gigi tetap, maka semua gigi, baik besar atau kecil, rapi atau renggang, bagus atau tidak, putih atau indah, semua sama dalam diyat, sebagaimana mata dan jari yang berbeda bentuk dan keindahannya tetapi memiliki diyat sama.

Namun jika gigi tumbuh dengan perbedaan yang nyata, seperti satu lebih pendek dari pasangannya secara signifikan, maka jika yang pendek dicabut, diyatnya disesuaikan dengan kekurangan dari pasangannya. Jika perbedaan kecil sebagaimana lazim terjadi, maka tetap berlaku lima ekor unta.

Gigi atas dibandingkan dengan gigi atas, gigi bawah dengan gigi bawah. Jika dua gigi seri atas berbeda panjang, maka dihitung selisihnya. Tidak dibandingkan gigi seri atas dengan gigi seri bawah.

Jika seseorang memiliki dua gigi seri, yang satu normal panjangnya, yang lain lebih panjang, dan yang ketiga lebih pendek, maka jika yang panjang dicabut, berlaku diyat penuh. Panjang berlebihan dianggap cacat pada pasangan giginya.

Jika gigi yang dicabut sebagian, maka dihitung sesuai dengan panjang gigi yang tersisa dari gusi.

Jika gusi menyusut karena sakit sehingga memperlihatkan lebih banyak dari gigi, maka dianggap panjangnya sebelum menyusut. Jika tidak diketahui, maka kata-kata pelaku diterima selama masih masuk akal. Jika tidak masuk akal, maka korban diterima dengan sumpah.

Jika semua gusi menyusut, dan korban mengatakan “Aku terlahir demikian,” sementara pelaku berkata “Itu akibat penyakit,” maka sumpah korban diterima jika mungkin terjadi secara alami.

Jika semua gigi seseorang pendek dan sebagian lain panjang, tidak dilihat antara gigi atas dan bawah. Jika setiap gigi dicabut, berlaku lima ekor unta.

Jika bagian depan mulut panjang dan geraham pendek, atau sebaliknya, maka berlaku lima ekor unta untuk tiap gigi.

Jika gigi seri lebih pendek dari taring dengan selisih nyata, dan dicabut, maka dikurangi diyat sesuai kekurangannya.

Semua ini berlaku jika perbedaan itu karena sakit atau cacat, bukan dari ciptaan awal. Jika perbedaan karena penciptaan, maka tetap berlaku diyat penuh.

Jika gigi seseorang panjang, lalu dipatahkan sebagian, dan tersisa bagian yang masih bisa disebut gigi utuh, maka jika seseorang mencederainya setelah itu, diyat dihitung sesuai yang tersisa.

Jika pelaku dan korban berselisih tentang berapa banyak yang sudah hilang sebelum cedera, maka kata-kata korban diterima dengan sumpah, selama masuk akal.

[Apa yang Terjadi dari Kekurangan pada Gigi]

(Al-Syafi‘i – rahimahullāh – berkata): Jika ujung gigi atau beberapa gigi hilang karena aus tanpa patah, kemudian seseorang melukainya, maka padanya berlaku diyat (arsh) penuh. Kehilangan ujung gigi karena aus tidak mengurangi nilai diyat. Jika yang hilang dari ujung gigi melebihi batas normal, atau dari salah satu sisi gigi, maka dikurangi dari diyat pelakunya sesuai bagian yang hilang.

Jika seseorang mengikis gigi seseorang atau memukulnya sehingga merusak ujungnya atau sebagian darinya, maka dia wajib membayar diyat gigi sesuai proporsi yang hilang. Jika untuk kerusakan tersebut telah diambil diyat (arsh), lalu ada orang lain yang melukai gigi itu lagi setelah diyat diambil, maka pelaku berikutnya dikurangi kewajiban diyatnya sesuai bagian yang telah hilang. Demikian pula jika seseorang telah melukai lalu dimaafkan dari diyatnya.

Jika mulut seseorang menjadi lemah karena sakit atau usia tua, dan beberapa giginya menjadi goyah, lalu gigi yang goyah itu dicabut oleh seseorang — maka ada dua pendapat:

  1. Gigi tersebut tetap memiliki diyat penuh.
  2. Berlaku ḥukūmah (nilai taksiran kerugian) yang lebih besar daripada jika seseorang memukul gigi itu hingga goyah, lalu orang lain mencabutnya.

Jika seseorang memukul gigi hingga menjadi goyah, maka ditunggu hingga waktu yang ditentukan oleh para ahli — jika gigi tersebut tidak lepas kecuali karena sebab lain setelah itu, maka pelaku tidak dikenai diyat penuh. Jika gigi itu akhirnya tanggal, maka wajib membayar diyat penuh. Jika tidak lepas, maka berlaku ḥukūmah. Tidak dikenakan diyat penuh sampai gigi itu benar-benar tanggal.

Jika seseorang membuat gigi orang lain goyah, lalu ia memperkuat gigi itu kembali hingga menjadi kokoh dan kuat sebagaimana sebelumnya, maka jika gigi tersebut dicabut setelah itu, maka pelaku pencabut tidak dikenakan diyat atau ḥukūmah.

Jika orang yang memperkuat gigi mengatakan bahwa kekuatannya tidak seperti semula, maka ia mendapat ḥukūmah atas pelaku yang membuat goyah, dan ḥukūmah atas pelaku pencabut. Ada juga yang berpendapat bahwa tetap berlaku diyat penuh.

Jika gigi seseorang tanggal sepenuhnya hingga akar gigi keluar tanpa ada yang tersisa, lalu dipasang kembali dan menempel, kemudian ada orang lain yang mencabutnya — maka tidak ada kewajiban diyat atau ḥukūmah bagi pelaku pencabut. Orang yang memasang kembali pun tidak memiliki hak karena gigi itu telah mati. Demikian pula jika diganti dengan gigi binatang sembelihan atau gigi orang lain, lalu gigi itu dicabut, maka tidak pasti dikenai ḥukūmah — meskipun ada yang berpendapat demikian. Demikian juga jika diganti dengan gigi dari emas atau lainnya.

Jika gigi seseorang dicabut setelah gigi tetap tumbuh, maka berlaku diyat penuh. Jika kemudian tumbuh lagi setelah diyat diterima, maka diyat tersebut tidak dikembalikan.

Jika kemudian ada orang lain yang mencabut gigi itu setelah tumbuh kembali dengan sempurna, kuat, dan warnanya normal, maka berlaku diyat penuh.

Demikian juga jika lidah seseorang dipotong atau sebagian darinya lalu dibayar diyat, kemudian lidah tumbuh kembali, maka tidak dikembalikan diyat tersebut. Jika lidah itu tumbuh kembali dengan sempurna sebagaimana sebelumnya lalu dilukai lagi, maka berlaku diyat penuh.

Namun jika gigi atau lidah tumbuh kembali dalam keadaan tidak normal seperti sebelumnya (misal tidak sefasih, tidak sekuat, atau warnanya berubah), lalu dilukai, maka berlaku ḥukūmah.

[Cacat pada Warna Gigi]

(Al-Syafi‘i –  – berkata): Jika gigi seseorang tumbuh dalam keadaan hitam seluruhnya, atau gigi tetapnya (al-thiğr) berwarna hitam, atau hampir hitam seperti merah tua atau kehijauan, namun gigi-gigi itu tetap kokoh, tidak goyah, dan bisa digunakan untuk menggigit di bagian depan dan mengunyah di bagian belakang tanpa rasa sakit saat digunakan, lalu seseorang mencederai salah satu gigi tersebut, maka padanya berlaku diyat penuh.

Jika giginya awalnya tumbuh putih, lalu tanggal dan tumbuh kembali dalam keadaan hitam, merah, atau hijau, maka para ahli dimintai pendapat. Jika mereka berkata bahwa perubahan warna tersebut hanya terjadi karena penyakit pada akarnya, maka jika seseorang mencederai salah satu dari gigi tersebut, maka berlaku ḥukūmah, bukan diyat penuh.

Namun jika hal itu tidak dapat dipastikan atau mereka berkata bahwa perubahan warna bisa terjadi tanpa penyakit, lalu seseorang mencederai gigi tersebut, maka berlaku diyat penuh. Demikian pula jika gigi itu awalnya putih, lalu berubah hitam tanpa sebab (bukan karena cedera), maka diyat tetap utuh.

Jika seseorang mencederai gigi putih, lalu setelahnya menjadi hitam tanpa mengurangi kekuatannya, maka wajib membayar ḥukūmah. Demikian juga jika berubah menjadi hijau atau merah; dan nilai ḥukūmahnya lebih kecil dari warna hitam karena warna hitam lebih mencolok. Jika berubah menjadi kuning karena cedera, maka nilainya lebih kecil dari semua warna lain.

Jika selain perubahan warna juga terjadi pengurangan kekuatan, maka nilai ḥukūmahnya ditambah.

Jika seseorang memiliki gigi putih, lalu ia memakan sesuatu yang menyebabkan giginya memerah, menghitam, atau menghijau, lalu orang lain mencederai giginya, maka berlaku diyat penuh karena jelas bahwa perubahan warna itu bukan karena penyakit.

Jika seseorang mencederai gigi orang lain dan giginya menjadi hitam di tempat cedera, maka berlaku ḥukūmah. Demikian pula jika gigi tersebut sakit lalu menghitam setelahnya, atau berdarah lalu menghitam setelahnya. Jika gigi tidak langsung berubah warna, tetapi beberapa saat kemudian menjadi hitam, maka dikonsultasikan kepada ahli. Jika mereka berkata bahwa perubahan warna itu hanya bisa terjadi karena cedera, maka jika korban bersumpah atas dakwaannya, pelaku dikenai ḥukūmah. Jika mereka berkata bahwa hal itu bisa terjadi tanpa sebab, maka perkataan pelaku diterima dengan sumpah, dan ia tidak dikenai ḥukūmah.

Al-Syafi‘i berkata bahwa gigi dan geraham memiliki fungsi dalam mengunyah, menahan makanan, air liur, dan lidah, serta unsur keindahan. Oleh karena itu, jika seseorang mencederai gigi orang lain hingga berubah warna menjadi hitam, tetapi bentuk dan fungsinya tetap, maka tidak diberikan diyat penuh hanya karena kehilangan keindahan warna, sebab manfaat gigi lebih besar dari aspek estetikanya.

Hal ini berbeda dari tangan yang menjadi lumpuh atau mata yang buta, karena manfaatnya benar-benar hilang. Maka ketika tangan lumpuh lalu diamputasi, atau mata buta lalu dicungkil, yang berlaku hanya ḥukūmah.

Penurunan nilai diyat gigi karena perubahan warna hanya berlaku bila perubahan itu terbukti akibat penyakit, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Ini serupa dengan warna mata yang biru, kekuningan, atau rabun (‘amasy); yang meskipun cacat, tidak mengurangi nilai diyatnya, karena fungsi (penglihatan) masih tetap ada.

Jika seseorang mencederai gigi hitam yang diketahui berubah warna karena penyakit, maka diyatnya dikurangi sesuai kadar penyakit tersebut, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

[Diyat Gigi Anak Kecil]

(Al-Syafi‘i berkata): Apabila gigi anak kecil dicabut sebelum tumbuh gigi tetap (belum tumbuh gigi pengganti), maka ditunggu. Jika seluruh mulutnya sudah tumbuh gigi tetap, tetapi gigi yang dicabut tidak tumbuh kembali, maka padanya terdapat diyat sebesar lima ekor unta.

Jika gigi tersebut tumbuh kembali dengan panjang yang sama atau mendekati panjang gigi yang sepadan, maka dikenakan ḥukūmah. Jika tumbuh lebih pendek dari gigi sejenisnya dengan selisih mencolok seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka nilai diyat yang diambil disesuaikan dengan kadar kekurangannya.

Jika tumbuhnya tidak lurus, seperti miring ke dalam mulut, ke luar, atau ke samping, maka berlaku ḥukūmah. Jika tumbuh dalam keadaan hitam, merah, atau kuning, maka juga berlaku ḥukūmah, dengan tingkatannya menyesuaikan: hitam lebih besar dari merah, dan merah lebih besar dari kuning, karena semakin parahnya cacat warna.

Jika tumbuh lebih pendek dari gigi sebelahnya sehingga tidak sepadan, maka dikenai diyat sebesar kekurangannya, baik kekurangan itu mengenai seluruh bagian gigi atau hanya sebagian. Jika tumbuh gigi yang terbelah ujungnya menjadi dua, maka diyatnya disesuaikan dengan bagian yang hilang di antara belahan tersebut. Demikian pula jika salah satu ujungnya kurang. Namun, tidak dihitung cacat dari segi estetika pada kondisi ini.

Jika gigi yang tumbuh bersamaan juga tumbuh gigi tambahan (gigi lebih), maka tidak dikenai diyat atas gigi tambahan tersebut.

Jika anak yang giginya dicabut kemudian meninggal sebelum tumbuh penggantinya, maka terdapat dua pendapat:

  1. Dikenai ḥukūmah, karena kemungkinan besar gigi akan tumbuh jika ia hidup.
  2. Dikenai lima ekor unta, dan tidak keluar dari dua pendapat tersebut kecuali telah tumbuh gigi pengganti.

Jika tumbuh gigi pengganti di sebelah gigi yang dicabut, lalu anak meninggal, maka dilihat:

  • Jika gigi sebelahnya tumbuh dan gigi yang dicabut belum tumbuh dalam waktu normal yang biasanya gigi tumbuh, maka padanya berlaku diyat penuh menurut kedua pendapat.
  • Jika anak meninggal pada masa yang belum cukup lama untuk gigi tumbuh, atau jika salah satu gigi tumbuh lebih cepat dari yang lain, maka padanya berlaku ḥukūmah menurut pendapat yang mengatakan diyat tidak wajib sampai gigi tumbuh. Dan berlaku diyat penuh menurut pendapat yang mewajibkan diyat jika gigi tidak tumbuh.

Jika gigi sudah tumbuh, tetapi belum menyamai gigi sepadan, lalu dicabut oleh orang lain, maka ditunggu sampai tumbuh. Jika tumbuh, maka berlaku ḥukūmah, dan nilainya lebih besar dari ḥukūmah bila dicabut sebelum tumbuh sama sekali. Jika tidak tumbuh, maka berlaku diyat penuh. Ada juga pendapat yang mengatakan diyat dibayarkan sesuai bagian gigi yang telah tumbuh.

(Al-Syafi‘i berkata): Jika gigi anak kecil dicabut lalu mulutnya tumbuh gigi pengganti, dan gigi yang dicabut belum tumbuh, maka diyatnya diambil. Namun, jika kemudian tumbuh, maka diyat yang sudah diambil harus dikembalikan.

Jika gigi anak kecil dicabut dan sebagian sudah tumbuh, lalu anak meninggal sebelum pertumbuhannya sempurna, maka berlaku:

  • Diyat sesuai kekurangan gigi menurut pendapat yang mengatakan diyat wajib jika anak meninggal sebelum giginya tumbuh.
  • ḥukūmah, menurut pendapat yang mengatakan bahwa dalam keadaan tersebut hanya wajib membayar ḥukūmah.

[Diyat Gigi Tambahan]

Al-Syafi‘i berkata: Jika gigi tambahan dicabut, maka padanya ada ḥukūmah. Jika gigi tersebut menghitam, maka padanya ḥukūmah lebih sedikit daripada ḥukūmah pencabutan.

[Pencabutan dan Pematahan Gigi]

Al-Syafi‘i berkata: Jika gigi dipatahkan dari akarnya, maka berlaku diyat sempurna, begitu pula jika dicabut dari pangkalnya, yaitu lima ekor unta untuk setiap gigi. Jika gigi dipatahkan dan telah berlaku diyat sempurna, lalu orang lain mencabut pangkalnya, maka padanya ḥukūmah.

Jika seseorang mematahkan sebagian gigi, setengah atau kurang atau lebih, lalu orang lain mencabut sisanya dari pangkalnya, maka berlaku diyat untuk bagian yang tampak, dan ḥukūmah untuk bagian pangkalnya.

ḥukūmah pada pangkal gigi gugur hanya jika diyat penuh telah berlaku untuk satu gigi karena satu kejadian, sehingga tercabut pula akarnya. Jika seseorang memukul gigi lalu retak, maka padanya ḥukūmah sebesar cacat dan kekurangannya.

Jika seseorang mematahkan sebagian dari permukaan gigi, atau dari dalam, atau keduanya sekaligus, maka dinilai sebesar bagian yang hilang. Jika yang patah adalah permukaan luar, maka diukur panjang dan lebarnya. Jika seukuran seperempat dari panjang dan lebar gigi, maka dihitung separuh permukaan gigi, sehingga nilainya 1/8 dari diyat penuh gigi. Perhitungan terus dilakukan dengan rumus semacam ini.

Jika bagian yang patah sampai menghancurkan struktur tempatnya, maka diukur panjang dan lebarnya, tanpa melihat ketebalan atau tipisnya bagian yang terkena.

[Diyat Puting Payudara]

Al-Syafi‘i – – berkata: Semua anggota tubuh yang padanya ditetapkan diyat penuh, setengah, atau seperempat, jika mengenai perempuan, maka berlaku diyatnya berdasarkan proporsi diyat perempuan terhadap laki-laki.

Perempuan tidak mendapatkan lebih dari yang sebanding dengan laki-laki, dan laki-laki pun tidak mendapatkan lebih dari perempuan, kecuali dalam hal dua payudara. Jika puting payudara laki-laki terkena, atau seluruh payudaranya terpotong, maka padanya berlaku ḥukūmah.

Namun jika puting payudara perempuan terkena atau seluruh payudaranya terpotong, maka padanya diyat penuh, karena pada keduanya terdapat fungsi menyusui, yang tidak terdapat pada payudara laki-laki. Juga karena terdapat unsur keindahan dan manfaat bagi anaknya, serta cacat yang ditanggungnya tidak sama dengan laki-laki.

Jika seorang perempuan dipukul pada payudaranya sebelum menyusui, lalu ia melahirkan dan tidak keluar susu dari payudara yang dipukul, namun keluar susu dari yang tidak dipukul, atau dari keduanya tidak keluar susu, maka tidak dikenakan diyat kecuali jika para ahli menyatakan bahwa itu akibat pukulan tersebut.

Jika payudara dipukul dan sudah mengandung susu, lalu susunya hilang dan tidak kembali setelah pukulan, maka berlaku ḥukūmah lebih besar daripada sebelumnya, tapi bukan diyat penuh.

Jika payudaranya cacat namun tidak terputus, maka padanya ḥukūmah. Jika keduanya mati – diketahui karena tidak terasa sakit saat terkena sesuatu – maka berlaku diyat penuh bagi keduanya, dan setengah jika hanya satu.

Jika keduanya menjadi lembek sehingga jika ditekan ujungnya ke ujung lainnya tidak memadat, maka padanya ḥukūmah lebih besar karena gabungan antara mati dan cacat.

Jika payudara perempuan terpotong dan menyebabkan luka menembus (jā’ifah), maka berlaku setengah diyat dan diyat untuk luka menembus tersebut. Jika kedua payudara terpotong dengan luka menembus, maka berlaku diyat penuh dan diyat luka menembus keduanya.

Jika itu terjadi pada laki-laki, maka hanya dikenakan ḥukūmah untuk kedua payudaranya dan diyat luka menembus. Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa payudara laki-laki juga dikenakan diyat.

[Pernikahan Berdasarkan Ganti Rugi Cedera]

(Al-Syafi’i – – berkata): Jika seorang wanita melukai seorang laki-laki dengan luka yang menampakkan tulang (muḍiḥah) atau mencederainya dengan cedera lain, baik sengaja atau tidak, lalu laki-laki itu menikahinya sebagai ganti dari cedera tersebut, maka nikahnya sah, namun maharnya batal, dan wanita tersebut berhak atas mahar mitsil. Jika cederanya karena kesalahan, maka ganti ruginya ditanggung oleh ‘āqilah wanita. Mahar tidak sah jika berasal dari ganti rugi cedera, baik disengaja atau tidak, karena ganti rugi kesalahan menjadi tanggungan ‘āqilah dan diterima dengan unta mereka, meski berbeda jenisnya. Mereka memberikan unta dengan umur tertentu dan layak, dan ini tidak sah dalam jual beli. Maka, mahar hanya sah dari sesuatu yang sah untuk dijual. Begitu pula jika cederanya disengaja, maka jika dinikahi atas dasar itu, pernikahannya sah dan maharnya batal, karena yang menjadi tanggungannya adalah unta, dan unta mana pun dari jenis yang tersedia di negeri itu diterima, selama berumur tertentu. Ini pun tidak sah dalam jual beli. Maka jika wanita dinikahi karena cederanya, baik disengaja maupun tidak, maka nikahnya sah dan ia berhak atas mahar mitsilnya, baik ditalak sebelum digauli atau tidak. Jika dinikahi atas cedera yang disengaja, maka qishāsh gugur karena itu dianggap sebagai pemaafan dari qishāsh. Maka tidak boleh lagi menuntut qishāsh, bahkan meskipun cederanya mengakibatkan kematian, atau luka lainnya, melainkan ditetapkan diyat, yang segera dibayarkan jika disengaja, atau ditanggung oleh ‘āqilah jika tidak sengaja, dan ia tetap berhak atas mahar mitsil dari hartanya.