Kitab At Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran Dan Terjemah [PDF]

Segala puji bagi Allah yang maha mulia, maha memberi, yang memiliki anugrah, keutamaan dan kebaikan. Yang menunjukkan kita kepada keimanan, dan mengutamakan agama kita atas agama-agama lain, dan memberi anugerah kita dengan mengutusnya makhluk yang paling mulia di sisinya, dan yang paling utama menurutnya, kekasihnya, hambanya dan utusannya, yaitu Muhammad SAW, maka dengan beliau Allah menghapus menyembah berhala, dan Allah memuliakan beliau dengan mukjizat yang terus dalam silih bergantinya waktu, yang dengan mukjizat itu Allah menantang seluruh manusia dan jin, dan dengan mukjizat itu Allah membungkam setiap orang yang yang sesat dan durhaka, dan Allah menjadikannya penenang pagi hati-hati orang yang memiliki pandangan hati dan pengetahuan, tidak rusak karena banyaknya perulangan dan perubahan waktu, dan Allah menjadikannya mudah untuk diingat sehingga anak-anak kecil dapat menghafalkannya, dan Allah menanggung penjagaannya dari datangnya perubahan kepada pembaruan, mukjizat tersebut dijaga dengan pujian Allah dan anugrahnya selama perubahan siang dan malam, dan ditunjukkan untuk memperhatikan ilmu-ilmunya orang yang yang salah pilih terdiri dari ahli kecerdasan dan ketekunan, lalu mereka mengumpulkan di ilmu-ilmu Alquran dari setiap cabang yang menjadikan kan jelas bagi dada ahli keyakinan, aku memuji Allah atas hal tersebut dan nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung terkhusus nikmat iman, dan aku minta Allah anugerah untukku dan untuk seluruh kekasihku dan seluruh orang Islam dengan keridhoan, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah tiada sekutu baginya, persaksian yang menghasilkan ampunan, menyelamatkan pemiliknya dari neraka, mendatangkan pada menempati surga.

Amma ba’du, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memberi anugerah ini -semoga Allah menambah kemuliaan- dengan agama yang yang Allah ridhoi yaitu agama Islam, dan Allah mengutus kepada umat ini Muhammad sebaik manusia, untuk beliau dari Allah sebaik sholawat barokah dan salam, dan Allah memuliakan umat ini dengan kitab nya sebaik Kalam, dan didalam jam ukuran tersebut Allah mengumpulkan seluruh apa yang dibutuhkan kan seperti kabar kau awal dan akhir, pengingat dan contoh-contoh, adab dan macam-macam hukum, dan dalil-dalil yang memutus yang jelas, dalam menunjukkan terhadap keesaan nya, dan selain itu dari setiap apa yang dibawa para utusannya, yang menghancurkan bagi ahli penyimpangan dan kesesatan yang rendah, dan Allah menggandakan pahala dalam membacanya, dan memerintahkan kita untuk memperhatikan dan memuliakan, dan menetapi adab kepada Alquran, dan menyerahkan tenaga untuk menghormati.

Dan telah menulis tentang keutamaan membaca Alquran sekelompok para pilihan dan para ilmuwan, kitab-kitab yang diketahui oleh orang-orang yang memiliki akal dan pemahaman, tetapi telah lemah keinginan untuk menghafalkan nya, bahkan untuk melihatnya, maka tidak dapat mengambil kemanfaatannya kecuali beberapa orang yang memiliki pemahaman, dan aku melihat penduduk negaraku damaskus -semoga Allah menjaganya dan melindunginya dan seluruh negara Islam- memperbanyak dalam memperhatikan membaca Alquran Aziz, mempelajarinya dan mengajarkannya, memaparkannya dan mempelajarinya, bersama-sama dan sendiri-sendiri, mereka bersungguh-sungguh di malam hari dan siang hari, semoga Allah menambah mereka mencintai Alquran, dan seluruh macam-macam taat, seraya mengharapkan ridha Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan, maka hal tersebut mengajakku untuk mengumpulkan ringkasan tentang adab penghafal Alquran, dan sifat-sifat menghafalnya dan pencarinya, karena Allah telah mewajibkan nasehat akan kitab nya, dan diantara nasehat karenanya adalah menjelaskan adab penghafal Alquran dan pencariannya, dan menunjukkan mereka pada saat itu, dan mengingatkan mereka terhadap nasehat, dan aku mendahulukan ringkasan, dan menjauhi panjang dan memperbanyak, dan aku meringkas di setiap bab pada ujung-ujung nya, dan aku membuat isyarat dari setiap macam adab nya pada sebagian macam-macamnya, maka dari itu yang sering aku sebut dengan membuang sanad-sanadnya, walaupun sanad-sanadnya Alhamdulillah dalam diriku termasuk yang hadir, karena maksudku adalah mengingatkan pada asal tersebut, dan isyaroh pada apa yang aku ingat kan di situ. Sebab dalam memilih meringkasnya adalah mendahulukan menghafal dan memperbanyak memberi manfaatnya dan penyebarannya.

Lalu yang terjadi dari sulitnya nama-nama dan bahasa di bab di akhir kitab, agar sempurna pemanfaat pemiliknya, dan hilang keraguan untuk mencarinya. Dan masuk jika kandungan tersebut dan di antara BAB jumlah-jumlah kaidah, dan kebaikan dari kepentingan faedah-faedah, dan antara hadis shahih dan dhaif yang disandarkan pada perawinya dari imam imam yang tetap. Dan mereka tidak mengerti tentang hal tersebut di beberapa keadaan.

Dan ketahuilah bahwa ulama hadis dan lainnya memperbolehkan amal Dengan hadis dhaif dalam keutamaan amal, beserta ini maka saya meringkas pada yang sahih, kakak tidak saya sebut yang dhaif kecuali di sebagaian keadaan.

Dan hanya kepada Allah yang mulia tawakal ku dan pegangan ku. Dan hanya kepadanya pasrahku dan sandaranku, dan aku memintanya menapaki jalan kebenaran, dan terjaga dari ahli penyimpangan dan pengingkaran, dan selalu terhadap hal tersebut dan lainnya dari Kebagusan dalam tambahan, dan aku mendekatkan diri kepada Allah agar menunjukkan ku pada ridhonya, dan agar menjadikanku termasuk orang yang takut kepadanya dan bertakwa kepadanya sebaik takwa, dan agar menunjukkan ku dengan sebaik niat, dan memudahkan ku setiap macam-macam kebaikan, dan menolongku pada macam-macam kemuliaan, dan menetapkan atas hal tersebut sampai mati, dan agar Allah memberlakukan hal tersebut kepada seluruh kekasihku, dan seluruh orang-orang Islam laki-laki dan perempuan, dan yang mencukupi ku adalah Allah dan sebaik yang dipasrahi, Dan tiada daya dan kekuatan kecuali pada Allah yang maha tinggi dan lah agung.

Kitab ini mencakup 10 bab:
Bab pertama tentang pembahasan keutamaan membaca Alquran dan penghafalnya.
Bab kedua tentang mengumpulkan Alquran dan pembacanya atas lainnya.
Bab ketiga tentang memuliakan ahli Quran dan larangan tentang menyakiti mereka.
Bab keempat tentang adab mengajar Alquran dan yang mempelajarinya.
Buat kelima tentang adab penghafal Alquran.
Bab keenam tentang adab Alquran, dan ini mayoritas kitab dan tujuannya.
BAB ketujuh tentang adab semua manusia dengan Alquran.
Bab kedelapan tentang ayat-ayat dan surat-surat yang yang dianjurkan di waktu waktu dan keadaan tertentu.
Bab kesembilan tentang menulis Alquran dan memuliakan mushaf.
Bab ke sepuluh tentang menjelaskan lafadz-lafadz kitab ini

Allah berfirman orang-orang yang membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menginfakkan dari apa yang kami rezeki kepada mereka secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan mereka mengharapkan dagangan yang tidak akan rugi agar Allah menyempurnakan pahala mereka dan menambah mereka dari anugerahnya sesungguhnya iya maha mengampuni dan maha terima kasih.

Dan kami meriwayatkan dari Utsman bin Affan ia berkata Rasulullah bersabda sebaik-baik kalian seseorang yang belajar Alquran dan mengajarkannya

Hadits riwayat abu Abdillah Muhammad Ismail bin Ibrahim al-bukhari dalam kitab shahihnya yang mana itu adalah kitab paling shahih setelah Alquran.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu Anhu ia berkata Rasulullah bersabda seseorang yang membaca al-quran dan ia pandai itu bersama malaikat yang mulia dan seorang yang baca Quran dan ia kesulitan ia mendapatkan dua pahala hadits riwayat Bukhari dan Abul Husain muslim bin Muslim Al qusyairi an naisaburi dalam kedua kitab shahihnya

Diriwayatkan dari abu Musa Al Asy’ari ia berkata Rasulullah bersabda perumpamaan seorang mukmin yang membaca Alquran seperti buah utrujah baunya baik rasanya enak, dan perumahan seorang mukmin yang tidak baca Alquran seperti kurma tidak ada baunya tapi rasanya enak manis, dan perumpamaan seorang munafik yang baca Alquran seperti raihanah baunya harum tapi rasanya pahit, dan perumpamaan munafik yang tidak membaca Alquran seperti hamdalah tidak ada baunya dan rasanya pahit. Hadits riwayat Bukhari Muslim.

Dan dari Umar bin Khattab bahwa nabi berkata sesungguhnya Allah mengangkat dengan kalam ini beberapa kaum, dan merendahkan dengan kalam ini kaum kaum yang lain. hadits riwayat Muslim.

Dari abu umamah Al bahili dia berkata saya pernah mendengar Rasulullah bersabda bacalah Alquran karena Alquran datang di hari kiamat menjadi penyanyi saat bagi pembacanya. hadits riwayat Muslim

Dari Ibnu Umar dari nabi beliau bersabda tidak boleh ada kepinginan kecuali terhadap dua orang seorang yang diberi Alquran dan dia membacanya di malam dan siang hari dan seorang yang diberi oleh harta dan Yaya menginfakkan di malam dan siang hari hadits riwayat Bukhari Muslim.

Dan kami lewatkan juga dari Abdullah bin Mas’ud dengan lafadz tidak boleh ada kepinginan kecuali terhadap 2 orang seorang yang diberi Allah harta dan menggunakan dalam kebaikan dan seorang yang diberikan oleh hikmah dan dia memberi putusan dengan hikmah itu dan mengajarkannya.

Dan dari Abdullah bin Masud ia berkata Rasulullah bersabda barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka ia mendapatkan kebaikan dan kebaikan kan dengan 10 gandaan dan aku tidak mengatakan Alif lam mim adalah satu huruf tapi Alif huruf lam huruf mim huruf. Hadis riwayat abu Musa Muhammad bin Ishaq Tirmidzi dan ia berkata hadits Hasan shahih.

Dan diriwayatkan dari abu Sa’id al-khudri dari nabi beliau bersabda Allah bersabda barangsiapa tersibukkan Alquran dan mengingatku dari minta aku maka aku akan memberikan iya sebaik apa yang aku beri terhadap orang-orang yang meminta. Dan keutamaan kalam Allah atas seluruh alam seperti keutamaan Allah atas makhlukNya hadits riwayat Tirmidzi dan ia berkata hadits Hasan ghorib.

Tidurkan dari Ibnu Abbas dia berkata Rasulullah bersabda seorang yang di dalamnya tidak ada Al Quran seperti rumah yang runtuh dan ia berkata hadits Hasan shahih.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin as dari nabi beliau bersabda dikatakan pada pemilik Alquran iqro dan naiklah dan bacalah seperti kamu membacanya di dunia karena kedudukanmu di setiap akhir ayat yang kamu baca hadits riwayat abu Dawud Tirmidzi nasa’i dan Tirmidzi berkata hadits Hasan shahih.

 

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, maka Allah memakaikan mahkota pada kedua orang tuanya di hari kiamat. Sinarnya lebih terang daripada sinar matahari di rumah-rumah penghuni dunia. Maka bagaimana dugaanmu denga.mn orang yang mengamalkan ini?” Hadits riwayat Abu Dawud.¹²

 

Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam fadhaail Al-Qur’an isnadnya dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi SAW, beliau bersabda:

“Bacalah Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala tidak menyiksa hati yanv memahami Al-Qur’an, dan sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah jamuan Allah. Maka siapa yang masuk di dalamnya, ia pun aman. Dan siapa yang mencintai Al-Qur’an berilah dia kabar gembira.”

 

Diriwayatkan dari Abdul Hamid Al-Hamani, ia berkata: Aku bertanya kepada Sufyan Ats-Tsauri¹³: Apakah anda lebih menyukai orang yang berperang (berjihad) atau membaca Al-Qur’an?

Sufyan menjawab: Membaca Al-Qur’an, karena Nabi SAW bersabda:

“Sebaik-baik kalian ialah orang yang belajar Al-Qur’andan mengajarkannya.”

Diriwayatkan dari Abi Mas’ud¹⁴ Ali Anshari Al-Badri dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:

“Yang paling layak mengimami shalat orang banyak (laki-laki) ialah yang paling pandai membaca Kitabullah ta’ala di antara mereka.” Hadits riwayat Muslim.

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Para ahli baca Al-Qur’an yang hadir di majelis Umar dan tempat musyawarahnya adalah orang-orang dewasa dan pemuda.

Hadits riwayat Bukhari dalam kitab Sahihnha.¹⁵

Ketahuilah bahwa mazhab yang sahih dan terpilih yang diandalkan oleh para ulama’ ialah bahwa pembacaan Al-Qur’an lebih utama daripada tasbih dan tahlil serta dzikir-dzikir lainnya.

Terdapat banyak dalil yang mendukung hal itu, Wallahu a’lam.

 

 

Allah azza wa jalla berfirman:

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari tetakwaan hati.” Al-Hajj: 32.

 

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” Assy-Syu’ara’: 215.

 

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” Al-Ahzab: 58.

 

Dalam bab initerdapat hadits Abi Mas’ud Al-Anshori dan hadots Ibnu Abbas yang terdahulu dalam bab kedua.

 

Diriwayatkan dari Abi Musa Al-Asy’ari, ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah Ta’ala ialah menghormati orang tua yang muslim dan penghafal/pengkaji Al-Qur’an yang tidak melampaui batas dan tidak menyimpang darinya serta menghormati penvuasa yang adil.” Hadits hasan riwayat Abu Dawud.¹⁶

 

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Sunannya dan Al-Bazzar dalam Musnadnya.

 

Berkata Abu Abdillah Al-Hakim dalam “Uluumil hadits”: Ini hadits sahih.

Diriwayatkan dari Jabir vmbin Abdillah:

“Adalah Nabi mengumpulkan antara dua orang dari korban-korban yang tewas dalam perang Uhud, kemudian beliau berkata: Yang mana di antara keduanya yang lebih banyak hafal Al-Qur’an?

Jika ditunjukkan kepada salah satunya, beliau mendahulukannya dalam liang lahad.” Hadits riwayat Bukhari.

 

Diriwayatkan dari Abi Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda:

“Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: Barangsiapa mengganggu wali-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya.” Hadits riwayat Bukhari.

 

Diriwayatkan dalam Shahihain dari Nabi bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa shalat Subuh, ia pun dalam jaminan Allah Ta’ala. Oleh karena itu, jangan sampai Allah menuntutmu dengan sesuatu dari jaminan-Nya.”

 

Diriwayatkan dari dua Imam agung Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i-ra keduanya berkata: Jika ulama’ bukan waliyullah, maka Allah tidak punya wali.

Berkata Imam Al-Hafidh Abul Qosim ibnu Asakir ra: Ketahuilah wahai saudaraku semoga Allah memberi kami dan kamu taufik untum memdapat keridhaan-Nya dan menjadikan kita termasuk orang yang takut kepada-Nya dan bertakwa dengan sebenar-bemar takwa- bahwa daging para ulama’ beracun dan kebiasaan Allah dalam menyingkap tabir orang-orang yang merendahkan mereka sudahlah diketahui. Dan siapa yang menjelekkan para ulama, maka Allah  Ta’ala menimpakan cobaan padanya sebelum kematiannya dengan kematian hati. Allah Ta’ala berfirman:

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa siksa yang pedih.” An-Nur: 63.

 

 

Bab ini bersama dua bab sesudahnya adalah tujuan dari kitab ini dan isinya panjang dan luas sekali. Saya tunjukkan kepada tujuan-tujuannya secara ringkas dalam pasal-pasal supaya mudah menghafal dan mengamalkannya insyaallah.

 

Keikhlasan Niat

Yang harus dilakukan pertama kali oleh guru mengaji dan pelajarnya ialah mengharapkan ridha Allah Ta’ala dengan pembelajaran itu. Allah Ta’ala berfirman:

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” Al-Bayyinah: 5

 

Diriwayatkan dalam Shahihain¹⁷ dari Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niat dan setiap orang mendapat balasan dari yang diniatkannya.” Hadits ini termasuk dasar islam.

 

Kami riwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sesungguhnya manusia terpelihara sesuai dengan kadar niatnya.

Dan riwayat yang lainnya: Sesungguhnya manusia diberi balasan menurut kadar niat mereka.

 

Kami riwayatkan dari Al-Ustadz Abil Qasim Al-Qusyairi¹⁸, ia berkata: Keikhlasan ialah menuju Allah semata-mata dalam melakukan ketaatan, yaitu ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala tanpa tujuan lain seperti berpura-pura kepada makhluk atau mencari pujian di antara orang banyak atau ingin dipuji oleh manusia atau makna selain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Ia berkata: Boleh dikatakan: Keikhlasan ialah membersihkan perbuatan dari perhatian para makhluk.

Diriwayatkan dari Hudzaifah Al-Mar’asyi: Keikhlasan ialah kesamaan perbuatan hamba dalam lahir batin.

Diriwayatkan dari Dzinnun ra: Ia berkata: Tiga perkara termasuk tanda keikhlasan: Kesamaan sikap dalam menghadapi pujian dan celaan dari kaum awam, lupa melihat amal di antara amal-amalnya dan menginginkan pahala amal-amalnya di akhirat.

Diriwayatkan dari Al-Fudhail bin Iyadh, ia berkata: Meninggalkan amal demi orang banyak adalah riya’ dan beramal demi orang banyak adalah syirik, sedangkan keikhlasan adalah bila Allah menyelamatkanmu dari keduanya.

Diriwayatkan dari Sahal At-Tustari ra, ia berkata: Pandangan orang-orang cerdas mengenai penafsiran keikhlasan dan mereka tidak menemukan selain ini ialah bilamana gerak dan diamnya dalam keadaan sendirian maupun di hadapan orang lain adalah bagi Allah Ta’ala saja, tidak ada sesuatu apapun yang mencampurinya, baik nafsu, kainginan maupun dunia.

Diriwayatkan dari As-Sariyyu As-Saqthi ra, ia berkata: Janganlah engkau mengamalkan sesuatu karena orang banyak dan jangan meninggalkan sesuatu karena mereka, jangan menutupi sesuatu karena mereka dan jangan menyingkap sesuatu karena mereka.

Diriwayatkan dari Al-Quayairi, ia berkata: Kebenaran paling utama ialah kesamaan antara keadaan sendirian dan di hadapan orang lain.

Diriwayatkan dari Al-Harits Al-Muhasibi, ia berkata: Orang yang benar ialah orang yang tidak peduli, walaupun ia keluar dari segala yang ditetapkan dalam hati manusia terhadapnya demi kebaikan hatinya dan tidak suka orang-orang mengetahui kebaikan amalnya sedikit pun dan tidak membenci orang-orang bila mengetahui amalnya buruk.

Karena kebenciannya terhadap hal itu adalah bukti bahwa ia menyukai tambahan di kalangan mereka dan ini bukan akhlak orang-orang yang shiddiq.

Diriwayatkan dari lainnya: Apabila engkau memohon kepada Allah Ta’ala dengan benar, maka Allah memberimu cermin yang di dalamnya engkau bisa melihat segala sesuatu dari keajaiban dunia dan akhirat.

Ada banyak pendapat salaf mengenai hal ini. Saya isyaratkan kepada huruf-huruf ini darinya untuk mengingatkan kepada yang dituju. Saya telah menyebut sejumlah hal disertai syarahnya diawal “Syarhil Muhadzdzab” dan menggabungkan kepadanya adab -adab pengajar dan pelajar, ahli fiqih dan pelajar fiqih yang dibutuhkan oleh pelajar. Wallahu a’lam.

 

Penjelasan Niat

Hendaknya pelajar tidak tujuan dengannya untuk mencapai tujuan duniawi seperti harta atau kepemimpinan atau kedudukan atau keunggulan atas saingannya atau pujian dari orang-orang atau menarik perhatian orang-orang kepadanya dan yang semacam itu.

Hendaknya guru tidak mengharapkan dengan pengajarannya imbalan dari orang yang belajar darinya, baik berupa harta atau layanan, walaupun sedikit, sekalipun dalam bentuk hadiah yang kalau bukan karena ia belajar darinya, tentulah pelajar itu tidak memberinya hadiah.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari kesenangan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian di akhirat.” Asy-Syuara’: 20.

 

Allah Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” Al-Isra’: 18.

 

Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa belajar ilmu yang seharusnya untuk mencari ridha Allah Ta’ala, tetapi ia tidak mempelajarinya kucuali untuk mendapat kesenangan dunia, maka ia pun tidak mencium bau surga pada hari kiamat.” Hadits riwayat Abu Dawud dengan isnad sahih.¹⁹

 

Diriwayatkan dari Anas dan Hudzaifah dan Ka’ab bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa mencari ilmu untuk mendebat orang-orang bodoh atau membanggakan diri kepada para ulama’ atau memalingkan perhatian orang-orang kepadanya, maka biarlah ia menduduki tempat di neraka.” Hadits riwayat Tirmidzi dari riwayat Ka’ab bin Malik dan ia berkata: maka Allah memasukkannya ke dalam neraka).

 

Ilmu harus disertai amal

Hendaklah ia menghindari tujuan untuk memaksakan jumlah murid yang banyak maupun orang-orang yang datang kepadanya dan jangan membenci murid-muridnya yang belajar kepada orang lain untuk mendapat manfaat darinya. Ini adalah musibah yang menimpa sebagian pengajar yang bodoh. Itu adalah bukti yang jelas dari pelaku atas niatnya yang buruk dan batinnya yang rusak.

Bahkan itu adalah yang hujjah yang meyakinkan bahwa ia tidak menginginkan ridha Allah Ta’ala Yang Maha Pemurah dengan pengajarannya. Karena andaikata ia menginginkan ridha Allah Ta’ala dengan pengajarannya, niscaya ia tidak membenci haal itu.

Seharusnya ia berkata pada dirinya: Aku menginginkan ketaatan dengan pengajarannya dan telah tercapai dan orang itu belajar kepada orang lain dengan tujuan menambah ilmu. Maka ia tidak boleh dipersalahkan.

Kami telah meriwayatkan dalam Musnad Al-Imam yang disepakati tentang hafalan dan kepemimpinannya, Abi Muhammad Ad-Darimi dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata: Wahai para pemangku ilmu! Amalkanlah ilmumu! Sesungguhnya orang alim ialah orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya dan ilmunya sesuai dengan amalannya.

Akan muncul orang-orang yang memiliki ilmu, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Amal mereka bertentangan dengan ilmu mereka, batin mereka bertentangan dengan lahir mereka.

Mereka duduk dalam lingkaran-lingkaran. Sebagian membanggakan sebagian yang lain hingga ada orang yang marah kepada teman duduknya karena duduk menghadap orang lain dan meninggalkannya. Mereka itu orang-orang yang tidak naik amal-amal mereka di majelis-majelis itu kepada Allah Ta’ala.

Telah sah riwayat dari Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau berkata: Aku ingin kiranya orang-orang belajar ilmu ini-yakni ilmu dan kitab-kitabnya-tetapi janganlah dinisbatkan kepadaku satu huruf pun darinya.

 

Akhlak Pengajar Al-Qur’an

Pengajar harus memiliki akhlak yang baik sehingga ditetapkan oleh syara’, perilaku terpuji dan sifat-sifat baik yang dianjurkan Allah, seperti zuhud terhadap kesenangan dunia dan mengambil sedikit darinya, tidak mempedulikan dunia dan pencintanya, Pemurah dan dermawan, budi pekerti mulia, wajah yang berseri-seri tanpa menjurus kepada keburukan moral, penyantun, sabar, menjauhi penghasilan yang buruk, bersikap wara’ dan khusyu’, tenang, berwibawa, rendah hati dan tunduk, menghindari tertawa dan tidak banyak bergurau.

Ia harus selalu mengerjakan amalan-amalan syar’iyyah seperti menghilangkan kotoran dan rambut yang disuruh syara’ menghilangkannya seperti menggunting rambut, memotong kuku dan menyisir janggut, menghilangkan bau busuk dan pakaian yang buruk. Hindarilah sama sekali sifat dengki, riya’, sombong dan meremehkan orang lain, meskipun lebih rendah darinya.

Patutlah ia mengamalkan hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai tasbih dan tahlil dan dzikir dzikir serta doa-doa yang semacam itu.

Hendaklah ia selalu memperhatikan Allah dalam keadaan sendirian maupun bersama orang banyak serta memelihara sikap itu dan selalu mengandalkan Allah Ta’ala dalam semua urusannya.

 

Bersikap lembut kepada pelajar

Pengajar harus bersikap lembut kepada murid yang belajar kepadanya, menyambutnya serta berbuat baik kepadanya sesuai dengan keadaannya.

Kami telah meriwayatkan dari Abi Harun Al-Abdi, ia berkata: Kami mendatangi Said Al-Khudri lalu ia berkata: Selamat datang, wasiat Rasulullah: Sesungguhnya Nabi bersabda:

“Sesungguhnya orang-orang mengikuti kalian dan ada orang-orang yang datang kepada kalian belajar ilmu agama. Apabila mereka datang kepada kalian, maka perlakukan mereka dengan baik.” Hadits riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah dan lainnya.

Kami mariwayatkan seperti itu dalam musnad Ad-Darimi dari Abi Darda’

 

Nasihat bagi pelajar

Pasal: Pengajar harus memberi nasihat kepada mereka, karena Rasulullah bersabda:

“Agama itu nasihat bagi Allah dan kitab-Nya dan rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin dan kaum awam mereka.” Hadits riwayat Muslim.

 

Termasuk nasihat bagi Allah Ta’ala dan kitab-Nya ialah menghormati pembaca dan pelajarnya, membimbingnya kepada maslahatnya, bersikap lembut kepadanya, membantunya untuk mempelajarinya sesuai kemampuannya, membujuk hati pelajar,  mudah di waktu mengajarinya dengan kelembutan, bersikap ramah kepadanya dan mendorongnya untuk belajar.

Hendaklah guru mengingatkan muridnya akan keutamaan hal itu supaya bisa mengingatkan kegiatannya dan menambah kemauannya, membuatnya menjauhi kesenangan dunia dan menjauhkannya dari kecondongan kepadanya serta mencegahnya agar tidak tertipu olehnya.

Hendaklah ia mengingatkannya akan keutamaan menyibukkan diri dengan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Syar’iyyah lainnya.

Itu adalah jalan orang-orang bijak yang arif dan hamba-hamba Allah yang shaleh dan tingkatan para Nabi SAW.

Hendaklah guru menyayangi murid dan memperhatikan maslahat-maslahatnya seperti memperhatikan maslahat-maslahat dirinya dan anaknya. Iya perlakukan pelajar seperti memperlakukan anaknya dalam hal kasih sayang kepadanya, perhatian terhadap kekasaran dan adabnya yang buruk dan memaafkannya kadang-kadang atas adabnya yang kurang. Karena manusia tidak luput dari kekurangan, terutama jika umurnya masih kecil.

Guru harus menyukai kebaikan pada murid seperti ia menyukainya pada dirinya dan tidak menyukai keburukan padanya sebagaimana Ia tidak menyukai keburukan pada dirinya secara mutlak.

Diriwayatkan dalam Shahihain dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

“Tidaklah beriman seseorang dari kamu hingga ia menyukai pada saudaranya apa yang ia sukai pada dirinya.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: orang yang paling mulia disisiku ialah teman dudukku yang melangkahi orang-orang hingga duduk di hadapanku. Andaikata aku sanggup mencegah lalat hinggap di wajahnya, niscaya aku melakukannya.

Dalam satu riwayat: Sungguh aku terganggu ketika ada lalat hinggap di atasnya.

Pasal: Hendaklah guru tidak menyombongkan diri kepada para pelajar, tetapi bersikap lunak dan rendah hati kepada mereka. Banyak hal yang diceritakan tentang orang-orang yang rendah hati.

Maka Bagaimana pula dengan orang-orang ini yang seperti anak-anaknya sendiri di samping kesibukan mereka belajar Al-Qur’an dan hak sebagai murid dan kedatangan mereka berulang kembali kepadanya.

Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:

“Bersikaplah lunak kepada murid yang kalian ajari dan guru yang kalian belajar darinya.”

Diriwayatkan dari Ayyub As-Sakhtiyani, ia berkata: Orang alim patut meletakkan tanah di atas kepalanya sebagai wujud tawadu’ terhadap Allah azza wa jalla.

Pasal: Patutlah pelajar dididik secara bertahap dengan adab-adab yang luhur dan perilaku yang baik dan melatih dirinya dengan perkara-perkara yang kecil dan rumit.

Hendaklah guru membiasakannya untuk memelihara diri dalam semua urusan yang tersembunyi maupun yang terang dan mendorongnya dengan perkataan dan perbuatannya yang berulang-ulang untuk menampakkan keikhlasan, kejujuran dan niat baik serta memperhatikan Allah Ta’ala dalam seluruh saatnya.

Hendaklah guru memberitahukan kepadanya bahwa dengan sebab itu terbukalah cahaya makrifat kepadanya, dadanya menjadi lapang dan memancar dari hatinya sumber-sumber hikmah dan pengetahuan yang tersembunyi.

Allah akan memberinya keberkahan dalam ilmu dan keadaannya dan memberinya petunjuk pada perbuatan dan perkataannya.

Pasal: Mengajari para pelajar adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada yang layak, kecuali satu orang, maka ia wajib melakukannya. Bilamana ada sejumlah orang, maka cukuplah sebagian mereka yang mengajar.

Jika mereka semuanya menolak, maka mereka semua berdosa. Jika sebagian dari mereka Maka hilanglah tanggung jawab dari orang-orang yang lain.

Jika salah seorang dari mereka diminta dan menolak, maka pendapat yang lebih tepat dari dua pendapat adalah dia tidak berdosa. Akan tetapi hal itu tidak disukai baginya, Jika ia tidak mempunyai uzur.

Pasal: Dianjurkan bagi pengajar untuk mempunyai kemauan yang besar untuk mengajar murid dengan mengutamakan hal itu di atas maslahat-maslahat dirinya yang bersifat duniawi dan bukan kebutuhan mendesak dan mengosongkan hatinya ketika duduk mengajar mereka dari segala sebab yang melalaikan.

Hendaklah guru mempunyai keinginan besar untuk memahamkan mereka dan memberi seriap orang dari mereka bagiannya yang layak dengannya. Maka janganlah memberi banyak kepada murid yang tidak bisa menerima banyak dan memberi sedikit kepada murid yang sanggup menerima tambahan.

Ia suruh mereka mengulangi hafalan-hafalan mereka dan memuji murid yang cerdas selama tidak dikhawatirkan fitnah karena menyebabkan kebanggaan diri atau lainnya.

Dan siapa yang kurang memperhatikan, hendaklah ia menegurnya dengan lembut selama tidak dikhawatirkan akan membuatnya lari.

Janganlah mendengki seseorang dari mereka karena memiliki kepandaian yang menonjol dan jangan menganggap banyak nikmat yang Allah berikan kepadanya, karena kedengkian kepada orang lain sangat diharamkan. Maka bagaimana pula pelajar yang dianggap seperti anaknya. Kepandaian adalah berkat jasa gurunya sehingga mendapat pahala yang banyak di akhirat dan pujian yang baik di dunia. Hanya Allah yang memberi taufik.

Pasal: Apabila muridnya penuh, ia dahulukan yang pertama, lalu yang pertama ketika mengajar mereka. Jika yang pertama rela bila dia mendahulukan yang lain, ia pun mendahulukannya.

Patutlah guru menampakkan wajah gembira dan berseri-seri kepada mereka, memeriksa keadaan mereka dan menanyakan siapa yang tidak hadir di antara mereka.

Pasal: Berkata para ulama’ ra: Janganlah guru menolak mengajari seseorang karena tidak mempunyai niat yang benar.

Sufyan dan lainnya berkata: Belajar ilmu oleh mereka adalah niat.

Para ulama berkata: Kami mencari ilmu untuk selain Allah Ta’ala, tetapi ilmu menolak, kecuali untuk Allah.

Artinya ilmu itu akhirnya menjadi untuk Allah Ta’ala.

 

Adab-adab Pengajar

Hendaklah guru menjaga kedua tangannya dari bermain-mqin ketika mengajar dan menjaga kedua matanya dari memandang kemana-mana tanpa keperluan.

Hendaklah ia duduk dalam keadaan berwudhu dengan menghadap kiblat dan duduk dengan tenang dan memakai baju yang putih bersih. Apabila sampai ke tempat duduknya, ia kerjakan shalat dua rakaat sebelum duduk, baik tempatnya di masjid atau lainnya. Jika tempatnya di masjid, maka itu lebih diutamakan, karena dihukum makruh duduk di situ sebelum shalat.

Ia boleh duduk bersilah atau tidak bersilah. Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sijistani dengan isnadnya dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia dulu mengajar orang-orang di masjid sambil duduk berlulut di atas kedua lututnya.

Pasal: Termasuk adab-adabnya yang penting dan patut diperhatikan ialah tidak merendahkan ilmu dengan pergi ke suatu tempat milik muridnya supaya ia belajar darinya, meskipun pelajar itu khalifah atau lebih rendah dari itu. Akan tetapi ia harus menjaga dari hal itu sebagaimana para ulama salaf menjaganya. Cerita-cerita mereka tentang hal ini banyak dan masyhur.

Pasal: Hendaklah ia menyediakan majelis yang luas supaya memungkinkan bagi murid-muridnya untuk duduk di situ. Disebutkan dalam hadits dari Nabi SAW:

“Sebaik-baik majelis adalah yang paling luas.” Hadits riwayat Abu Dawud dalam sunannya²¹ dengan isnad sahih dari Abi Said Al-Khudri dalam awal-awal kitab Al-Adaab.

 

Pasal: Tentang adab-adab Pelajar

Semua yang kami sebutkan tentang adab-adab pengajar juga berlaku bagi pelajar. Termasuk adab-adabnya ialah menjahui sebab-sebab yang melalaikan dari konsentrasi belajarnya, kecuali sebab yang harus dilakukannya untuk suatu keperluan.

Hendaklah ia membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran agar layak menerima Al-Qur’an dan menghafalkan serta memanfaatkannya.

Diriwayatkan dari Rasulullah SAW beliau bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh menjadi baik. Dan apabila daging itu rusak, maka seluruh tubuh menjadi rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.”²²

 

Orang bijak berkata: Hati menjadi baik untuk menerima ilmu seperti tanah menjadi baik untuk ditanami.

                Pelajar harus merendahkan dirinya kepada pengajarnya dan bersikap sopan terhadapnya, meskipun lebih muda usianya, lebih sedikit kemasyhurannya, lebih rendah nasab dan kebaikannya dan selain itu.

Hendaklah ia merendahkan diri kepada ilmu, karena dengan tawadhu’nya kepada ilmu akan mendapatkannya.

Penyair berkata:

Ilmu tidak bisa mencapai pemuda yang tinggi hati seperti banjir yang tidak bisa mencapai tempat yang tinggi

 

Patutlah pelajar taat kepada gurunya dan bermusyawarah dengannya dalam berbagai urusannya. Ia terima perkataannya seperti orang sakit yang berakal menerima perkataan dokter yang menasihati dan pandai. Yang ini lebih utama.

 

Memilih pengajar

Janganlah ia belajar, kecuali dari orang yang lengkap keahliannya, jelas keagamaannya dan nyata pengetahuannya dan terkenal kebersihan dirinya. Berkata Muhammad ibnu Sirin dan Malik bin Anas dan ulama salaf lainnya: Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agamamu.

Hendaklah ia memandang pengajarnya dengan pandangan hormat dan meyakini keahliannya dan keunggulannya atas orang-orang yang setingkat dengannya, karena hal itu lebih dekat untuk mendapat manfaat darinya.

Ada di antara ulama terdahulu apabila pergi kepada gurunya, ia menyedekahkan sesuatu dan berkata: Ya Allah, tutupilah aib guruku dariku dan jangan hilangkan keberkahan ilmunya dariku.

Berkata Ar-Rabi’ teman Asy-Syafi’i ra: Aku tidak berani minum air sementara Asy-Syafi’i memandang kepadaku, karena segan kepadanya.

Kami riwayatkan dari Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, ia berkata: Hak orang alim padamu ialah engkau beri salam kepada orang banyak secara umum dan memberinya penghormatan secara khusus tanpa mereka.

Engkau duduk di depannya, Jangan memberi isyarat dengan tanganmu di dekatnya dan jangan mengedipkan kedua matamu. Jangan engkau katakan: Si Fulan berkata lain dari yang engkau katakan.

Janganlah engkau menggunjing seseorang di dekatnya, jangan bermusyawarah dengan teman dudukmu di majelisnya dan jangan memegangi baju bila ia berdiri. Jangan mendesaknya bila ia malas dan merasa jenuh karena lama bergaul dengannya.

Belajar patut mengamalkan adab dengan perkara-perkara yang ditunjukkan oleh Ali karomallahu wajha dan menolak gunjingan terhadap gurunya jika ia mampu. Jika tidak mampu menolaknya, ia tinggalkan majelis itu.

 

Sifat-sifat Pelajar

                Hendaklah pelajar masuk pada gurunya dengan memiliki sifat-sifat sempura, yaitu membersihkan diri dengan yang kami sebutkan mengenai pelajar, bersuci dengan menggunakan siwak, mengosongkan hati dari hal-hal yang melalaikan, Hendaklah ia tida masuk tanpa minta izin apabila guru berada di tempat di mana ia perlu minta izin.

                Hendaklah ia memberi salam kepada orang-orang yang hadir ketika masuk dan memberi penghormatan secara khusus kepadanya dan memberi salam kepadanya dan kepada mereka bila ia pergi sebagaimana ia datang.

                Disebutkan dalam hadits: Salam pertama tidak lebih patut diucapkan daripada salam kedua.²²

                Janganlah ia melangkahi pundak orang-orang, tetapi duduk di tempat yang bisa dicapainya dalam majelis itu, kecuali guru mengizinkannya untuk maju atau ia ketahui dari keadaan mereka bahwa mereka lebih menyukai hal itu.

                Janganlah menyuruh seseorang berdiri dari tempatnya. Jika orang lain mengutamakannya, janganlah ia menerima karena mengikuti teladan Ibnu Umar, kecuali dalam mendahulukannya terdapat maslahat bagi para hadirin atau guru menyuruhnya melakukan itu.

                Hendaklah ia tidak duduk ditengah halaqah (majelis), kecuali karena kebutuhan yang mendesak. Janganlah ia duduk di antara kedua teman tanpa izin keduanya. Jika kedua melapangkan tempat baginya, ia boleh duduk dan merapatkan dirinya.

                Pasal: Pelajar harus bersikap sopan pula kepada teman-temannya dan para hadirin di majelis Syeikh, karena hal itu sama dengan bersikap sopan kepada Syeikh dan untuk menjaga majelisnya.

                Hendaklah ia duduk di hadapan Syeikh dengan posisi dudunya sebagai pelajar, bukan duduknya pengajar.

                Janganlah ia mengeraskan suaranya dengan sangat keras tanpa keperluan dan jangan tertawa.

                Janganlah banyak bicara tanpa keperluan dan jangan mempermainkan tangannya maupun lainnya. Jangan menoleh ke kanan dan kiri tanpa keperluan, tetapi tetap menghadap kepada guru dengan mendengarkan pembicaraannya.

 

Adab pelajar terhadap guru

                Yang diperhatikan ialah pelajar tidak belajar kepada guru ketika hati gurunya sedang sibuk, jemu, takut, sedih, gembira, lapar, haus, mengantuk dan gelisah dan sebagainya yang memberatkannya atau mencegahnya dari kesempurnaan kehadiran hati dan kegiatan. Hendakah ia memanfaatkan waktu-waktu ketika gurunya berada dalam keadaan giat.

                Termasuk adabnya ialah bersabar atas kekerasan gurunya dan keburukan akhlaknya. Janganlah hal itu menghalanginya untuk tetap belajar darinya dan meyakini kesempurnaannya. Hendaklah ia menakwilkan perbuatan dan perkataannya yang kelihatannya buruk dengan takwil-takwil yang benar. Tiada yang gagal melakukan itu, kecuali orang yang mendapat sedikit taufik atau tidak mendapatkannya. Apabila guru memarahinya, hendaklah ia meminta maaf kepada guru dan menyatakan bahwa dialah yang berdosa dan patut dipersalahkan. Hal itu lebih bermanfaat baginya di duni dan akhirat dan lebih membersihkan hati gurunya.

                Para ulama berkata: Siapa yang tiak sabar ketika mengalami kehinaan di waktu belajar, ia pun tetap dalam kebodohan sepanjang umurnya. Dan siapa yang sabar atas hal itu, ia pun akan memperoleh kemulyaan di akhirat dan dunia. Mengenai hal itu, diriwayatkan atsar yang masyhur dari Ibu Abbas: Aku merasakan kehinaan ketika menuntut ilmu, maka aku menjadi mulia karena menjadi guru.

                Penyair berkata:

Siapa yang tidak merasakan kehinaan sesaat

ia pun menghabiskan zaman seluruhnya dalam keadaan hina

 

Kemauan besar dan tekun belajar pada waktunya

                Termasuk adab pelajar yang sangat penting ialah memiliki kemauan kuat dan tekun menuntut ilmu dalam seluruh waktu yang dapat dimanfaatkannya dan tidak puas dengan yang sedikit, sedangkan ia bisa belajar banyak. Janganlah ia memaksa dirinya melakukan sesuatu yang tak mampu dilakukannya supaya tidak jemu dan hilang apa yang diperolehnya.

Ini berbeda-beda menurut perbedaan orang-orang dan keadaan mereka. Apabila tiba di majelis guru dan tidak menemukannya, iya harus menunggunya dan tetap tinggal di pintunya. Janganlah menimbulkan tugasnya, kecuali bila ia takut gurunya tidak menyukai hal itu dengan mengetahui bahwa gurunya mengajar dalam waktu tertentu dan tidak mengejar di waktu yang lain.

Apabila mendapati guru sedang tidur atau mengerjakan sesuatu yang penting, hendaklah ia tidak meminta izin masuk kepadanya, tetapi menunggu sampai iya bangun atau selesai dari pekerjaannya. Bersabar lebih utama sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Abbas dan lainnya.

Hendaklah ia mendorong dirinya untuk bekerja keras dalam menuntut ilmu di waktu senggang dalam keadaan dia dan kuat, cerdas pikiran dan sedikit kesibukan lainnya sebelum nampak gejala-gejala ketidakmampuan dan sebelum mencapai kedudukan yang tinggi.

Amirul mukminin Umar ibnu Khattab berkata: Belajarnya ilmu agama sebelum kamu diangkat menjadi pemimpin.

Artinya: Berijtihadlah dengan segenap kemampuan mu ketika kamu menjadi pengikut sebelum kamu menjadi pemimpin, karena jika menjadi pemimpin yang diikuti, kamu tidak mau belajar karena kedudukan mu yang tinggi dan kesibukan mu yang banyak.

Inilah makna perkataan Al-Imam Asy-Syafii: Belajarlah ilmu agama sebelum kamu menjadi pemimpin. Jika kamu menjadi pemimpin, tidak ada jalan untuk belajar ilmu.

 

Adab-adab umum

Hendaklah belajar belajar ilmu kepada guru di awal siang, sesuai dengan hadits Nabi SAW:

“Ya Allah, berkatilah umat ku pada awal waktunya.”²⁴

 

Pelajar harus memelihara bacaan hafalan+hafalannya dan ia tidak boleh mengutamakan orang lain pada waktu tiba giliran nya, karena mengutamakan orang lain dalam ibadah adalah makruh, berbeda dengan mengutamakan orang lain dalam urusan dunia,  karena hal itu disukai.

Apabila Syeikh berpendapat adanya maslahat dalam mengutamakan orang lain pada suatu waktu karena alasan makna syar’iy, lalu menyuruhnya melakukan itu, maka ia patuhi perintahnya.

Di antara yang wajib atasnya dan harus dilakukannya iyalah tidak iri kepada seorang temannya atau lainnya atas suatu keutamaan yang di anugerahkan Allah kepadanya dan tidak membanggakan dirinya atas prestasi yang dicapainya. Telah kami kemukakan penjelasan hal ini dalam adab-adab Syeikh dan caranya untuk menyingkirkan kebanggaan diri ialah mengingatkan dirinya bahwa ia tidak memperoleh hal itu dengan daya dan kekuatannya, tetapi dari kemurahan Allah.

Maka ia tidak boleh merasa bangga dengan sesuatu yang tidak diciptakannya,  tetapi Allah Ta’ala menetapkannya padanya.

Caranya dalam menyingkirkan rasa iri ialah dengan mengetahui bahwa hikmah Allah Ta’ala menghendaki keutamaan ini pada orang lain. Maka ia tidak boleh menyanggahnya dan tidak membenci hikmah yang dikehendaki Allah Ta’ala dan tidak dibenci-Nya.

 



Sebagian darinya telah disebutkan dalam bab yang sebelum ini.

Termasuk adab-adab penghafal Al-Quran ialah: Dia harus berada dalam keadaan paling sempurna dan perilaku paling mulia dan menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dilarang Alquran demi mengagungkan Alquran.

Hendaklah ia terpelihara dari pekerjaan yang rendah, berjiwa mulia, lebih tinggi derajatnya dari para penguasa yang sombong dan pecinta dunia yang jahat, merendahkan diri kepada orang-orang shaleh dan penggemar kebaikan serta kaum miskin. Ndak lah iya seorang yang khusyuk, memiliki ketenangan dan wibawa.

Telah diriwayatkan dari Umar Ibnul Khattab bahwa ia berkata: “Hai para ahli baca Alquran, angkatlah kepalamu. Telah jelas jalannya bagimu dan berlombalah kalian untuk berbuat kebaikan dan janganlah kalian menggantungkan diri kepada orang lain.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Hendaklah penghafal Alquran bangun malam dengan membaca Alquran ketika orang-orang tidur dan berpuasa di siang hari ketika orang-orang tidak puasa.

Hendaklah ia bersedih ketika orang-orang gembira dan menangis ketika orang-orang tertawa, diam ketika orang-orang berbicara dan menampakkan kekhusyukannya ketika orang-orang menyombongkan diri.

Diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri) bahwa ia berkata: Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menganggap Alquran surat-surat dari Tuhan mereka. Maka mereka merenungkannya di waktu malam dan mengamalkannya di waktu siang.

Diriwayatkan dari Al fudhail bin Iyadh: Patutlah menghafal Alquran tidak mempunyai kebutuhan kepada seorang pun dari para khulafa’ dan orang yang kedudukannya di bawah mereka.

Diriwayatkan dari Al-Fudhail pula, ia berkata: Penghafal Alquran adalah pembawa bendera Islam. Tidaklah patut ia bermain bersama orang yang bermain dan lupa bersama orang yang lupa serta tidak berbicara yang sia-sia bersama temannya demi mengagumkan Alquran.

 

Tidak mencari penghidupan dari membaca Alquran

Yang paling penting dari yang diperintahkan kepada penghafal Alquran ialah agar berhati-hati untuk tidak menggunakan Alquran sebagai sumber pencaharian dalam penghidupannya.

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Syibil, ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Bacalah Alquran dan jangan menggunakannya untuk mencari makan dan jangan menjauhinya dan jangan melampaui batas mengenainya.”²⁵

Diriwayatkan dari Jabir dari Nabi SAW:

“Bacalah Alquran sebelum datang suatu kaum yang mendirikannya seperti menegakkan anak panah dengan terburu-buru dan mereka tidak mengharapkan hasilnya di masa depan.”²⁶

 

Hadits riwayat Abu Dawud dengan maknanya dari riwayat Sahal bin Sa’ad.

Maksudnya mereka mengharapkan upahnya berupa uang atau ketenaran atau semacam itu.

Diriwayatkan dari Fudhail bin Amru: Dua orang sahabat Rasulullah masuk masjid. Ketika imam memberi salam, berdiri seorang lelaki lalu membaca beberapa ayat dari Alquran. Kemudian ia meminta upah. Maka salah seorang dari mereka berkata: Innalilahi wa Inna ilaihi Raji’uun. Aku mendengar Rasulullah bersabda:

“Akan datang suatu kaum yang meminta upah dengan bacaan Alquran. Makasih apa yang meminta upah dengan bacaan Alquran, janganlah kalian memberinya.”

 

Isnad ini terputus, karena Al-Fudhail bin Amru tidak mendengar dari sahabat Nabi.²⁷

Adapun mengambil upah karena mengajarkan Alquran, para ulama berbeda pendapat mengenainya.

Al imam abu Sulaiman Al khattabi menceritakan larangan mengambil upah karena mengajarkan Alquran dari sejumlah ulama. Di antara mereka adalah Az-Zuhri dan Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari sejumlah ulama bahwa boleh mengambil upah jika tidak mensyaratkannya. Ini adalah pendapat Hasan Al bashri, Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin.

Atha’, Malik dan Asy-Syafii ulama lainnya berpendapat boleh mengambil upah jika disyaratkan dan memberinya upah dengan akad penyewaan yang shahih, telah diriwayatkan banyak hadis shahih yang membolehkannya.

Para ulama yang melarangnya berhujjah dengan hadits Ubadah bin Shamid bahwa ia mengajarkan Alquran kepada seorang penghuni Shuffah lalu orang itu memberinya hadiah sebuah busur. Maka Nabi berkata kepadanya: “Jika engkau ingin dikalungi dengan kalung dari api dengan pemberian itu, maka terimalah busur itu.”

Ini hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.²⁸ Dan mereka berhujjah pula dengan banyak atsar dari salaf.

Para ulama yang membolehkan menjawab hadits Ubadah dengan dua jawaban:

Pertama: Dalam isnadnya ada persoalan

Kedua: Ia menyumbang dengan pengajarannya sehingga tidak berhak mendapat suatu imbalan. Kemudian ia diberi hadiah sebagai imbalan. Maka ia tidak boleh mengambilnya. Lain halnya dengan orang yang mengadakan akad persewaan sebelum pengajaran. Wallahu a’lam.

Hendaklah penghafal Alquran memelihara pembacaannya dan banyak melakukannya. Para ulama salaf mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda mengenai kadar pengkhatamannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari sebagian ulama salaf bahwa mereka mengkhatamkan Alquran dalam setiap dua bulan sekali. Sebagian mereka mengkhatamkan dalam setiap delapan malam sekali.

Banyak orang yang mengkhatamkan dalam setiap tujuh malam. Sebagian mereka mengkhatamkan dalam setiap lima malam. Sebagian mereka mengkhatamkan dalam setiap empat malam. Banyak orang yang mengkhatamkan dalam setiap tiga malam dan sebagian mereka mengkhatamkan dalam setiap dua malam dan sebagian mereka mengkhatamkan dalam sehari sekali.

Diantara mereka ada yang mengkhatamkan dalam sehari semalam dua kali dan di antara mereka ada yang mengkhatamkan delapan kali, yaitu empat kali di waktu malam dan empat kali di waktu siang.

Di antara orang-orang yang mengkhatamkan sekali dalam sehari semalam ialah: Utsman bin Affan, Tamim Ad-Daariy, Said bin Jubair, Mujahid²⁹, Asy-Syafii dan orang-orang lainnya.

Di antara orang-orang yang mengkhatamkan tiga kali adalah Sulaim bin Itrin Qadhi mesir di masa khilafah Mu’ awiyah Abu bakar bin Abi Dawud meriwayatkan bahwa ia mengkhatamkan dalam setiap malam tiga kali khatam.

 

Abu Umar Al-Kindi meriwayatkan dalam kitabnya mengenai para Qadhi Mesir bahwa ia mengkhatamkan dalam semalam empat kali khatam.

 

Asy-Syeikh Ash-Shalih Abu Abdurrahman As-Sulaiman berkata aku mendengar Asy-Syeikh Aba Utsman Al-Maghribi berkata: adalah Ibnul Khattib mengkhatamkan di siang hari empat kali khatam dan di malam hari empat kali khatam. ini adalah penghataman terbanyak yang sampai kepada kami dalam sehari semalam.

 

Diriwayatkan oleh As-Sayyid yang mulia Ahmad Ad-Dauraqi dengan isnadnya dari Manshur bin Zaadzran dari para ahli ibadah tabi’in bahwa ia mengkhatamkan Al-Qur’an antara Dhuhur dan Ashar dan mengkhatamkannya pula di antara magrib dan isya’ dalam bulan Ramadhan dua kali khataman lebih sedikit.

Mereka dulu mengakhirkan isya’ di bulan Ramadhan hingga lewat seperempat malam. Abu Dawud meriwayatkan dengan isnadnya yang sahih bahwa mujahid menghatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan antara magrib dan isya’ dalam setiap malam dari bulan Ramadhan.

 

Dari Mansyur, ia berkata: adalah Ali Al-Azadi menghatamkan Al-Qur’an di antara magrib dan isya’ setiap malam dari bulan Ramadhan.

 

Dari Ibrahim bin Sa’ad, ia berkata: ayahku duduk sambil melilitkan surbannya pada badan dan kedua kakinya dan tidak melepaskannya hingga selesai mengkhatamkan Al-Qur’an.

Adapun orang yang mengatamkan Alquran dalam satu raka’at tidak terhitung banyaknya. Di antara orang-orang terdahulu adalah Utsman bin Affan, Tamim Ad-Daariy dan Said bin Jubair yang mengkhatamkan dalam setiap raka’at di Ka’bah.

Adapun orang-orang yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam seminggu banyak jumlahnya. Hal itu diriwayatkan dari Utsman bin Affan Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhum dan dari sejumlah tabi’in seperti Abdurrahman bin Yazid, Alqamah dan Ibrahim rahimahumullah.

Pendapat yang terpilih ialah hal itu berbeda-beda menurut perbedaan orang-orangnya. Barangsiapa yang ingin merenungkan dan mempelajari dengan cermat, hendaklah ia membatasi pada kadar yang menimbulkan pemahaman yang sempurna atas apa yang dibacanya.

Begitu pula siapa yang sibuk menyiarkan ilmu atau mengerjakan tugas-tugas agama lainnya dan maslahat-maslahat kaum muslimin yang bersifat umum, hendaklah ia membatasi pada kadar tertentu supaya tidak mengganggu apa yang wajib dilakukannya.

Jika tidak termasuk orang-orang yang tersebut ini, bolehlah ia memperbanyak bacaannya sesuai kemampuannya tanpa menimbulkan kejemuan dan tidak terlalu cepat.

Sejumlah ulama terdahulu tidak menyukai pengkhataman Al-Qur’an dalam sehari semalam. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang sahih dari Abdullah bin Amru ibnul Ash, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah bisa mengerti siapa yang membaca (mengkhatamkan) Al-Qur’an dalam waktu kurang dari tiga hari.” Hadits diriwayatkan Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’iy dan lainnya. Tirmidzi berkata: Hadits hasan sahih. Wallahu a`lam.

Adapun waktu permulaan dan pengkhataman bagi siapa yang mengatamkan Al-Qur’an dalam seminggu, telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnadnya bahwa Utsman bin Affan memulai pembacaan Alquran pada malam jum ‘at dan mengkhatamkannya pada malam Kamis.

Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullahu ta’ala berkata dalam Al-Ihya’: Yang lebih baik ialah mengkhatamkannya sekali di waktu malam dan sekali di waktu siang dan menjadikan pengkhataman di siang hari pada hari Senin dalam dua raka ‘at fajar atau sesudahnya.

Dan menjadikan pengkhataman malam pada malam Jum’at dalam dua raka’at Maghrib atau sesudahnya supaya awal siangnya berhadapan dengan akhirnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Umar bin Murrah At-Tabi iy, ia berkata: Mereka suka mengkhatamkan Al-Qur’an dari awal malam atau awal siang.

Diriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif At-Tabi’iy yang mulia ia berkata: Barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur’an pada saat apapun di siang hari, ia pun didoakan oleh para malaikat sampai sore. Dan siapa yang mengkhatamkan Al-Qur’an pada saat kapan pun di malam hari, ia pun didoakan oleh para malaikat sampai pagi. Diriwayatkan dari Mujahid seperti itu.

Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Musnadnya dengan isnadnya dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata:

“Apabila pengkhataman Alquran bertepatan dengan awal malam, para malaikat mendoakannya sampai pagi. Dan apabila pengkhatamannya bertepatan dengan akhir malam, ia pun didoakan pleh para malaikat sampai sore.”

 

Ad-Darimi berkata: In hadits hasan dari Sa’ad.

Diriwayatkan dari Habib bin Abi Tsabit At-Tabi’iy: bahwa ia mengkhatamkan Al-Quran sebelum ruku’.

Ibnu Abu Dawud berkata: Demikian dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal ra.

Dalam pasal ini terdapat sisa-sisa yang akan disebutkan dalam bab berikutnya.

 

Pasal: Tentang memelihara pembacaan Al-Qur’an di waktu malam.

Penghafal Al-Qur’an harus lebih banyak memperhatikan pembacaan Al-Qur’an di waktu malam dan shalat malam.

Allah Ta’ala berfirman:

“Di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengajarkan) berbagai kebajikan dan mereka itu termasuk orang-orang yang shaleh.” Ali Imran: 113-114.

 

Diriwayatkan dalam Shahihain dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

(Sebaik-baik orang adalah Abdullah (bin Umar) seandainya ia mengerjakan shalat malam.

Disebutkan dalam hadits lain dalam kitab Shahih bahwa Nabi bersabda:

“Hai Abdullah, janganlah engkau seperti Fulan. Ia dulu mengerjakan shalat malam, kemudian meninggalkannya.”

 

Diriwayatkan oleh Thabarani dan lainnya dari Sahal bin Sa’ad dari Rasulullah, beliau bersabda: (Kemuliaan orang mukmin adalah shalat malam).³⁰

Banyak hadits dan atsar diriwayatkan mengenai hal ini.

Diceritakan dari Abil Ahwash Al-Jusyami, ia berkata: Ada orang yang mengetuk kemah 86 kali, yakni di waktu malam, lalu mendengar dari penghuninya suara seperti suara lebah.

la berkata: Maka kenapa orang-orang ini merasa aman dari apa yang ditakutkan oleh mereka itu?

Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’iy, ia berkata: Bacalah Al-Qur’an di waktu malam, walaupun selang memerah susu kambing.

Dari Yazid Ar-Raqqasyi, ia berkata: Apabila aku tidur, kemudian aku bangun, kemudian aku tidur, maka kedua mataku tidak bisa tidur.

Saya katakan: Sesungguhnya shalat malamdan pembacaan Al-Qur’an di waktu itu sangat dianjurkan, karena lebih menyatukan hati dan lebih jauh dari hal-hal yang menyibukkan dan melalaikan serta kegiatan dalam berbagai keperluan di samping lebih menjaga dari riya’ dan hal-hal lainnya yang sia-sia.

Di samping itu ditetapkan oleh syara’ adanya kebaikan-kebaikan di waktu malam.

Perjalanan Isra’ yang dialami Rasulullah terjadi di waktu

malam.

Dan Nabi bersabda:

“Tuhanmu turun setiap malam ke langit dunia ketika lewat separuh malam. Kemudian Dia berkata: Apakah ada yang berdoa supaya Aku kabulkan doanya. “³¹

Diriwayatkan dalam kitab Shahih bahwa Rasulullah bersabda:

“Dalam waktu malam ada satu saat di mana Allah mengabulkan doa setiap malam.”³²

 

Diriwayatkan oleh penulis “Bahjatul asraar” dengan isnadnya dari Sulaiman Al-Anmaathiy, ia berkata: Aku melihat Ali bin Abi Thalib dalam mimpi berkata:

Kalau bukan karena orang-orang yang shalat di malam hari

dan yang lain puasa di siang hari

niscaya bumimu diguncang dari bawahmu

karena kalian kaum yang buruk dan tidak taat

Ketahuilah bahwa keutamaan shalat malam dan bacaan di dalamnya tercapai dengan jumlah sedikit dan banyak. Semakin banyak, maka lebih banyak keutamaannya. Kecuali apabila menghabiskan seluruh malam, maka tidak disukai bila terus mengerjakannya. Karena hal itu akan membahayakan dirinya.

Yang menunjukkan bahwa keutamaannya tercapai dengan amalan

yang sedikit ialah hadits Abdullah bin Amru ibnul Ash, ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa mengerjakan shalat malam dengan membaca sepuluh ayat, ia pun tidak ditulis dalam golongan orang-orang yang lalai. Dan siapa yang mengerjakan shalat malam dengan membaca seratus ayat, ia pun ditulis dalam golongan orang yang taat. Dan siapa yang mengerjakan shalat dengan membaca seribu ayat, ia pun ditulis dalam golongan orang yang berbuat adil.” Hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya.

 

Diceritakan oleh Ats-Tsa’labah dari Ibnu Abbas, ia berkata:

“Barangsiapa mengerjakan shalat di waktu malam, ia pun bermalam dalam keadaan sujud dan berdiri menghadap Allah.”

Pasal: Perintah auntuk memelihara Al-Qur’an dan peringatan

untuk tidak melupakannya.

Diriwayatkan dari Abi Musa Al-Asy’ari dari Nabi *, beliau

bersabda:

“Peliharalah Al-Qur’an ini. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh ia lebih mudah lolos daripada untamdalam ikatannya.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.³⁴

 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya perumpamaan penghafal Al-Qur’an adalah seperti unta yang diikat. Jika ia menjaganya, ia tetap menahannya. Jika ia melepaskannya, maka unta itu lari. “Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.³⁵

 

Dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah & bersabda:

“Ditunjukkan kepadaku pahala-pahala umatku hingga kotoran yang dikeluarkan orang dari masjid. Dan ditunjukkan kepada dosa-dosa umatku. Maka aku tidak melihat dosa yang lebih besar daripada surah atau ayat dari Al-Qur’an yang dihafal oleh seseorang kemudian dilupakannya.” Hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits ini dipersoalkan.³⁶

 

Dari Sa’ad bin Ubadah dari Nabi SAW, beliau bersabda:

“Barangsiapa membaca (menghafal) Alquran, kemudian melupakannya, maka ia berjumpa Allab azza wa jalla pada hari kiamat, sedangkan ia dalam keadaan buntung.”³⁷

 

Pasal: Siapa yang tidur hingga meninggalkan wiridnya

Diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab, ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa tidur dan belum membaca hizibnya di waktu malam atau sebagian darinya, lalu ia membacanya antara shalat Subuh dan shalat Dhuhur, ditulis baginya sepeti membacanya di waktu malam.” Hadits riwayat Muslim.

 

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata: Abu Usaid berkata: Tadi malam aku tidur dan belum membaca wiridku hingga memasuki waktu pagi. Ketika tiba waktu pagi aku mengucapkan kalimat istirja’ (Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un). Wiridku adalah surah Al-Baqarah. Kemudian aku bermimpi seekor sapi menandukku.

Hadits riwayat Ibnu Abi Dawud.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari seorang penghafal Al-Qur’an bahwa ia tertidur pada suatu malam dan belum membaca hizibnya. Kemudian ia bermimpi seakan-akan ada orang berkata kepadanya:

Aku heran dengan tubuh yang sehat

dan pemuda yang tidur hingga subuh

sedangkan kematian tidak bisa dihindari serangannya

di kegelapan malam bila ia datang

 

 

Bab ini adalah tujuan kitab ini dan ia banyak tersebar. Saya isyaratkan kepada beberapa hal dari tujuannya untuk menghindari pembahasan yang panjang karena takut menjemukan pembacanya.

Yang pertama ialah pembaca wajib bersikap ikhlas sebagaimana kami kemukakan dan memperhatikan adab terhadap Al-Qur’an. Maka ia harus menghadirkan dalam dirinya bahwa ia bermunajat kepada Allah Ta’ala dan membaca dalam keadaan orang yang melihat Allah Ta’ala. Jika ia tidak bisa melihatnya, sesungguhnya Allah Ta’ala melihatnya.

Pasal: Apabila hendak membaca, patutlah ia membersihkan mulutnya dengan siwak dan lainnya. Yang terpilih mengenai siwak ialah menggunakan kayu Arak dan boleh menggunakan kayu-kayu lainnya dan seitap sesuatu yang bisa membersihkan, seperti kain yang kasar dan lainnya.

Mengenai bolehnya menggunakan jari yang kasar ada tiga pendapat dari pengikut Asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala: Yang paling masyhur ialah tidak terwujud sunnahnya. Yang kedua terwujud dan yang ketiga terwujud jika tidak menemukan lainnya dan tidak terwujud jika menemukan lainnya.

                Hendaklah ia bersiwak mulai dari sebelah kanan mulutnya dan berniat mengamalkan sunnah. Salah seorang ulama berkata: Hendaklah ia mengucapkan: (Ya Allah, berkatilah aku dalam siwak ini, ya Tuhan Yang Maha Penyayang di antara para penyayang).

Al-Mawardi seorang pengikut Asy-Syafi’i berkata: Dianjurkan bersiwak pada bagian luar gigi dan dalamnya dan menggosokkan siwak pada ujung-ujung giginya dan bagian bawah gerahamnya serta bagian atasnya dengan lembut.

Mereka berkata: Hendaklah bersiwak dengan kayu yang sedang, tidak sangat kering dan tidak sangat basah. Jika sangat kering, maka siwaknya dilunakkan dengan air.

Tiada masalah menggunakan siwak orang lain dengan izinnya. Apabila mulutnya najis karena ada darah atau lainnya, maka dihukum makruh baginya membaca Al-Qur’an sebelum membasuhnya.

Apakah diharamkan? Berkata Ar-Ruyani seorang pengikut Asy-Syafi’i dari ayahnya. Hal itu mengandung kemungkinan dua pendapat. Pendapat yang lebih sahih tidak diharamkan.

Dianjurkan membaca Al-Qur’an ketika pembacanya dalam keadaan suci (berwudhu). Jika ia membacanya dalam keadaan berhadats, maka hukumnya boleh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Hadits-hadits mengenai hal itu banyak dan terkenal. Imamul Haramain berkata: Tidaklah dikatakan bahwa ia melakukan sesuatu yang makruh, tetapi meninggalkan yang lebih utama.

Jika tidak menemukan air, ia boleh bertayammum. Perempuan yang mengalami istihadhah di masa yang dihukumi suci, hukumnya adalah hukum orang lelaki yang berhadats.

Adapun orang yang junub dan perempuan yang haidh, keduanya diharamkan membaca Al-Qur’an, baik satu ayat atau kurang itu. Keduanya boleh membaca Al-Qur’an di dalam hati tanpa mengucapkannya dan boleh melihat Mushaf dan membacanya di dalam hati.

Kaum muslimin sepakat atas bolehnya membaca tasbih, tahlil, tahmid dan takbir serta shalawat kepada Rasulullah dan dzikir-dzikir lainnya bagi orang yang junub dan perempuan yang haidh.

Teman-teman kami berkata: Apabila ia berkata kepada seseorang: (Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) dengan sungguh-sungguh). Maryam: 12, sedangkan ia tidak bermaksud membaca Al-Qur’an, maka hukumnya boleh. Demikian pula yang menyerupainya.

Boleh bagi orang yang junub dan perempuan yang haidh mengucapkan: Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun (Albaqoroh: 156), apabila tidak bermaksud membaca Al-Qur’an.

Teman-teman kami ulama Khurasan berkata: Boleh bagi kedua orang itu mengucapkan ketika menaiki hewan tunggangan: (Maha suci yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya.) Az-Zukhruf: 12 dan ketika berdoa: (Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa neraka.) Al-Baqarah: 201 apabila tidak bermaksud membaca Alquran.

Berkata Imamul Haramain: Apabila orang yang junub mengucapkan: Bismillah wal hamdu lillah, jika bermaksud membaca Al-Qur’an, maka ia telah durhaka. Jika ia bermaksud membaca dzikir atau tidak bermaksud sesuatu apapun, maka ia tidak berdosa.

Pasal: Apabila orang yang junub atau perempuan yang haidh tidak menemukan air, ia boleh bertayammum dan dibolehkan baginya membaca Al-Qur’an dan mengerjakan shalat dan selain itu. Jika ia berhadats, diharamkan atasnya mengerjakan shalat dan tidak diharamkan membaca Al-Qur’an dan duduk di masjid dan lainnya yang tidak diharamkan atas orang yang berhadats sebagaimana apabila ia mandi, kemudian berhadats.

Ini adalah sesuatu yang dipertanyakan dan dianggap aneh. Maka dijawab: Orang junub dilarang shalat dan tidak dilarang membaca Al-Qur’an maupun duduk di masjid tanpa keperluan. Bagaimana bentuknya? Inilah bentuknya.

Kemudian, tidak ada bedanya dalam apa yang kami sebutkan antara tayammum orang junub di tempat tinggalnya dan dalam perjalanan.

Seorang ulama pengikut Asy-Syafi’i menyebutkan bahwa jika seseorang bertayammum di tempat tinggalnya, ia boleh mengerjakan shalat dan tidak boleh membaca Al-Qur’an sesudahnya dan tidak duduk di masjid. Yang sahih ialah boleh melakukannya sebagaimana kami kemukakan.

Andaikata ia bertayammum dan mengerjakan shalat dan membaca Al-Qur’an, kemudian melihat air, maka ia harus menggunakannya, karena diharamkan atasnya membaca Al-Qur’an pada saat itu dan semua yang diharamkan atas orang yang junub hingga ia mandi.

Andaikata ia bertayammum dan mengerjakan shalat dan membaca Al-Qur’an, kemudian hendak bertayammum karena berhadats atau untuk mengerjakan suatu shalat fardhu yang lain atau selain itu, maka tidaklah diharamkan atasnya membaca menurut mazhab yang sahih dan terpilih.

Mengenai hal itu ada satu pendapat dari sebagian pengikut Asy- Syafi’i bahwa hal itu tidak boleh. Yang terkenal adalah yang pertama.

Apabila orang yang junub tidak menemukan air maupun tanah, maka ia kerjakan shalat untuk menghormati waktu sesuai dengan keadaannya dan diharamkan atasnya membaca Al-Qur’an di luar shalat.

Adapun di dalam shalat, diharamkan atasnya membaca lebih dari Al-Fatihah. Apakah diharamkan atasnya membaca Al-Fatihah?

Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat yang sahih dan terpilih ialah tidak diharamkan, bahkan wajib. Karena shalat tidak sah, kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Dan sebagaimana dibolehkan mengerjakan shalat dalam keadaan junub, maka boleh pula membaca Al-Fatihah dalam keadaan itu.

Pendapat kedua: Tidak boleh, tetapi boleh membaca dzikir-dzikir yang dibaca oleh orang yang tidak hafal ayat dari Al-Qur’an, karena orang ini tidak mampu menurut syara’ sehingga menjadi seperti orang yang tidak mampu menurut kenyataan. Yang benar adalah pendapat pertama.

Cabang-cabang yang kami sebutkan ini diperlukan. Oleh karena ini saya isyaratkan kepadanya dengan kalimat yang paling ringkas. Kalau ingin lebih lengkap, maka terdapat dalil-dalil dan keterangan lebih lanjut yang banyak dan bisa diketahui dalam kitab-kitab fiqh. Wallahu a’lam,

Pasal: Dianjurkan membaca Al-Qur’an di tempat yang bersih dan terpilih. Oleh sebab ini, sejumlah ulama menganjurkan pembacaannya di dalam masjid, karena mencakup kebersihan dan kemuliaan tempat dan menghasilkan keutamaan lain, yaitu i’tikaf. Karena setiap orang yang duduk di masjid, hendaklah berniat i’tikaf, baik duduknya lama atau sebentar. Bahkan pada awal memasuki masjid hendaklah ia berniat i’tikaf.

Adab ini patut diperhatikan dan disiarkan dan diketahui oleh anak-anak kecil dan kaum awam, karena banyak dilalaikan.

Adapun pembacaan Al-Qur’an di tempat pemandian, para ulama salaf berbeda pendapat mengenai kemakruhannya. Sahabat-sahabat kami mengatakan: Tidak dihukum makruh.

Al-Imam yang disepakati tentang keagungannya Abu Bakar ibnul Mundzir menukilnya dalam Al-Asyraaf dari Ibrahim An-Nakha’iy dan Malik dan juga pendapat Atha’.

Banyak ulama yang menghukumi makruh. Di antara mereka bin Abi Thalib yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Abi Dawud. Ibnul Mundzir menceritakannya dari sejumlah tabi’in.

Di antara mereka adalah Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Makhul dan Qabishah bin Dzu’aib. Kami meriwayatkannya pula dari Ibrahim An-Nakha’iy dan sahabat-sahabat kami meriwayatkannya dari Abi Hanifah. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.

Asy-Sya’bi berkata: Dihukum makruh membaca Al-Qur’an di tiga tempat: di tempat pemandian, di tempat buang air dan tempat penggilingan gandum.

Diriwayatkan dari Abi Maisarah, ia berkata: Tidak patut menyebut Allah, kecuali di tempat yang baik. Wallahu a’lam.

Adapun pembacaan Al-Qur’an di jalan, pendapat yang terpilih adalah boleh dan tidak makruh jika pembacanya tidak lalai. Apabila pembacanya lalai darinya, maka hukumnya makruh sebagaimana Nabi tidak menyukai pembacaan Al-Qur’an oleh orang yang mengantuk karena takut keliru.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abi Darda’ bahwa ia membaca Alquran di jalan.

Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah bahwa ia mengizinkan membaca Al-Qur’an di jalan.

Berkata Ibnu Abi Dawud: Diceritakan kepadaku oleh Abu Ar-Rabi’, ia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Ibnu Wahab, ia berkata: Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat di akhir malam, lalu keluar menuju masjid dan masih tersisa sedikit dari surah yang dibacanya.

Malik menjawab: Aku tidak mengetahui adanya pembacaan Al-Qur’an di jalan.

Ia tidak menyukai itu. Ini adalah isnad sahih dari Malik rahimahullah.

Pasal: Dianjurkan bagi pembaca Al-Qur’an di luar shalat agar menghadap kiblat. Disebutkan dalam hadits:

“Sebaik-baik majelis adalah yang duduknya menghadap kiblat.”³⁸

Hendaklah ia duduk dengan khusyuk dan tenang sambil menundukkan kepalanya dan duduknya sendirian dengan adab yang baik dan tunduk seperti duduknya di hadapan pengajarnya. Inilah dia yang lebih sempurna. Andaikata ia membaca sambil berdiri atau berbaring atau di tempat tidurnya atau dalam keadaan-keadaan lainnya, maka hal itu boleh dan ia mendapat pahala, tetapi nilainya di bawah yang pertama. Allah azza wa jalla berfirman:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. “Ali Imran: 190-191.

Disebutkan dalam kitab Shahih dari Aisyah , ia berkata:

“Adalah Rasulullah bersandar di pangkuanku di saat aku sedang haidh dan beliau membaca Al-Qur’an.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Dalam suatu riwayat: “Beliau membaca Al-Qur’an dan kepalanya di pangkuanku.”

Diriwayatkan dari Abi Musa Al-Asy’ari , ia berkata: Aku membaca Al-Qur’an dalam shalatku dan aku membaca di atas tempat tidurku.

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Sungguh aku membaca hizibku sambil berbaring di atas dipan.

Apabila hendak mulai membaca Al-Qur’an, ia ucapkan isti’adzah dan mengucapkan: A’udzu billahi min asy-syaithaanir rajiim (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan syaitan yang terkutuk).

Demikianlah yang dikatakan jumhur (mayoritas) ulama

Sebagian ulama salaf mengatakan: Ia ucapkan ta’awwudz sesudah

membaca. Allah Ta’ala berfirman:

“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. “An-Nahl: 98.

Maksud ayat ini menurut jumhur ulama ialah: Apabila engkau hendak membaca Al-Qur’an, mintalah perlindungan kepada Allah. Kemudian, sifat ta’awwudz itu adalah sebagaimana kami sebutkan.

Sejumlah ulama salaf mengatakan: A’udzu billahi as-sami’il ‘aliim min asy-syaithaanir rajiim (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk).

Tiada masalah dengan perkataan ini. Akan tetapi yang terpilih adalah bentuk ta’awwudz yang pertama.

Kemudian sesungguhnya ta’awwudz itu dianjurkan, tidak wajib. Bacaan itu dianjurkan bagi setiap pembaca, baik dalam shalat atau lainnya.

Dianjurkan membaca dalam setiap raka’at dari shalat menurut pendapat yang sahih di antara dua pendapat di kalangan sahabat-sahabat kami.

Menurut pendapat kedua dianjurkan dalam raka’at pertama. Jika meninggalkannya dalam raka’at pertama, ia membacanya dalam raka’at kedua.

Dianjurkan membaca ta’awwudz dalam takbir pertama dari shalat jenazah menurut pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat.

Pasal: Hendaklah pelajar memelihara pembacaan Bismillahir Rahmanir Rahiim pada awal setiap surah, kecuali Baro-ah, karena mayoritas ulama berpendapat bahwa ia adalah ayat, sebab ditulis dalam Mushaf.

Basmalah ditulis di awal-awal surah, kecuali Baro-ah. Apabila membacanya, maka ia memastikan pembacaan khataman atau surah. Jika tidak membaca basmalah, maka ia meninggalkan sebagian Al-Qur’an menurut sebagian besar ulama.

Apabila pembacaan itu dalam mengerjakan tugas yang diwajibkan atasnya sebagai orang yang diupah dan digaji, maka perhatian atas

pembacaan basmalah lebih ditekankan untuk memastikan pembacaan khataman.

Karena jika ditinggalkannya, maka ia tidak berhak mendapat bagian dari waqaf, bagi orang yang mengatakan bahwa basmalah adalah termasuk ayat di awal surah.

Ini adalah penjelasan cermat yang berharga dan ditekankan agar diperhatikan dan disiarkan.

Pasal: Apabila mulai membaca Al-Qur’an, hendaklah ia dalam keadaan khusyu’ dan merenungkan ketika membaca. Dalil-dalil atas hal itu terlalu banyak untuk dibatasi dan sangat masyhur dan jelas untuk disebut. Itulah yang dituju dan diminta dan dengannya dada menjadi lapang dan hati menjadi terang.

Allah azza wa jalla berfirman: (Maka apakah mereka tidak merenungkan Alquran?). An-Nisa’: 82.

Allah Ta’ala berfirman:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya.” Shad: 29.

Terdapat banyak hadits mengenai hal itu dan pendapat-pendapat ulama salaf yang masyhur mengenainya.

Segolongan ulama salaf membaca satu ayat di waktu malam dan merenungkan serta mengulang-ulanginya sampai pagi.

Segolongan ulama salaf jatuh pingsan ketika membaca Al-Qur’an dan banyak dari mereka yang mati dalam keadaan membaca Al-Qur’an.

Kami riwayatkan dari Bahzin bin Hakim bahwa Zurarah bin Aufa tabi’i yang agung radhiyallahu anhum mengimami shalat Subuh, lalu membaca hingga ketika sampai pada:

“Apabila ditiup sangkakala. Maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit.” Al-Muddatstsir: 8-9.

Maka ia pun terjatuh dan mati. Bahzin berkata: Aku termasuk orang yang memikulnya.

Adalah Ahmad bin Abil Hawaariy yang dijuluki wangi-wangian Syam oleh Abul Qasim Al-Junaid rahimahullah apabila dibacakan Al-Qur’an di dekatnya, ia pun menjerit dan jatuh pingsan.

Ibnu Abi Dawud berkata: Adalah Al-Qasim bin Utsman Al-Ju’iy rahimahullah menyalahkan Ibnu Abil Hawaariy atas perbuatan itu.

Al-Ju’iy adalah seorang ahli hadits terkemuka dari penduduk Damsyiq dan lebih diunggulkan atas Ibnu Abil Hawaariy.

Ia berkata: Ibnu Abil Hawaariy disalahkan pula oleh Abul Jauza’ dan Qais bin Habtar dan lainnya.

Saya katakan: Yang benar ialah tidak perlu menyalahkan, kecuali siapa yang melakukannya karena pura-pura. Dan Allah Maha Mengetahui.

As-Sayyid yang mulia dan pemilik berbagai keutamaan dan makrifat, Ibrahim Al-Khawwaash berkata: Obat hati ada lima perkara: Membaca Al-Qur’an dengan merenungkannya, perut yang kosong, shalat malam, berdoa dengan khusyuk di waktu dini hari dan duduk dengan orang-orang shaleh.

 

Pasal: Anjuran mengulang-ulang ayat untuk merenungkannya

Telah kami kemukakan dalam pasal sebelumnya dorongan untuk merenungkan ayat, penjelasan pengaruhnya dan terpengaruhnya ulama salaf.

Kami riwayatkan dari Abi Dzarr, ia berkata: Nabi mengulang-ulang waktu pembacaan satu ayat sampai pagi, yaitu: (Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu). Al-Maidah: 78.

Hadits riwayat Nasa’iy dan Ibnu Majah.

Diriwayatkan dari Tamim Ad-Daariy bahwa ia mengulangi ayat ini sampai pagi:

“Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu menyangka behwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh?.” Al-Jaatsiyah: 21.

Diriwayatkan dari Abbad bin Hamzah, ia berkata: Aku masuk kepada Asma’ yang sedang membaca (Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan melindungi kami dari siksa neraka). Ath-Thur: 27.

Kemudian ia berhenti padanya dan terus mengulanginya dan berdoa. Maka aku menunggu lama. Kemudian aku pergi ke pasar dan menyelesaikan keperluanku. Kemudian aku kembali dan ia masih tetap mengulanginya dan berdoa. Dan kami riwayatkan cerita ini dari Aisyah.

Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat (Dan peliharalah dirimu dari (siksa yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah). Al-Baqarah: 281.

Dan mengulang-ulang pula ayat:

“Kelak mereka akan mengetahui. Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret.” Ghafir: (Al-Mu’min): 70-71.

Dan mengulang-ulang pula ayat:

(Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah). Al-Infithar: 6.

Adh-Dhahhak mengulang-ulang sampai dini hari firman Allah Ta’ala:

Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah mereka pun lapisan-lapisan (dari api).” Az-Zumar: 16.

 

Pasal: Menangis ketika membaca Al-Qur’an

Telah dikemukakan dalam dua pasal yang lalu penjelasan tentang sebab yang mendorong orang untuk menangis ketika membaca Al-Qur’an dan itu adalah sifat orang-orang yang arif dan hamba-hamba Allah yang shaleh.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan mereka menyungkur di atas muka mereka sambil dan mereka bertambah khusyuk. “Al-Isra’: 109.

Banyak hadits dan atsar diriwayatkan dari salaf mengenai hal itu. Di antaranya sabda Nabi :

“Bacalah Al-Qur’an dan menangislah. Jika kamu tidak bisa menangis, maka usahakanlah menangis.”³⁹

Diriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab bahwa ia mengimami jama’ah shalat Subuh dan membaca surah Yusuf. Maka ia menangis hingga mengalir air matanya dan mengenai tulang bahunya.

Dalam suatu riwayat: la mengimami shalat Isya’ sehingga menunjukkan pengulangannya dari waktu itu.

Dalam suatu riwayat: Ia menangis hingga mereka mendengar tangisnya dari belakang saf-saf.

Diriwayatkan dari Abi Raja’, ia berkata: Aku melihat Ibnu Abbas dan di bawah kedua matanya nampak bekas air mata seperti tali sandal yang usang.

Diriwayatkan dari Abi Shaleh, ia berkata: Orang-orang dari penduduk Yaman datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq Mereka mulai membaca Al-Qur’an dan menangis. Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata: Demikianlah kami dulu melakukannya.

Diriwayatkan dari Hisyam, ia berkata: Terkadang aku mendengar tangisan Muhammad ibnu Sirin di waktu malam ketika ia dalam shalat.

Banyak atsar diriwayatkan mengenai hal ini dan tidak mungkin menghitungnya. Apa yang kami kemukakan dan kami tunjukkan sudah cukup. Dan Allah Maha Mengetahui.

Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: Menangis itu dianjurkan ketika membaca Al-Qur’an. Beliau berkata: Cara menghasilkannya ialah dengan menghadirkan kesedihan di dalam hatinya, yaitu dengan merenungkan ancaman dan peringatan keras dan janji-janji, kemudian merenungkan kecerobohannya dalam hal itu.

Jika tidak timbul kesedihan dan tangisan sebagaimana yang dialami oleh orang-orang yang arif, maka hendaklah ia menangis atas kegagalan itu, karena hal itu termasuk musibah yang terbesar.

 

Anjuran membaca dengan tartil

Hendaklah ia membaca Al-Qur’an dengan tartil. Para ulama sepakat atas anjuran membaca dengan tartil. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” Al-Muzzammil: 4.

Diriwayatkan dari Ummi Salamah “bahwa ia menggambarkan bacaan Rasulullah sebagai bacaan yang jelas huruf demi huruf.” Hadits riwayat Abu Dawud, Nasa’iy dan Tirmidzi. Berkata Tirmidzi: Hadits hasan sahih.

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Qurrah dari Abdullah bin Mughaffal, ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah pada hari penaklukan Makkah di atas untanya membaca surah Al-Fath dan mengulang-ulangi dalam bacaannya.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku lebih suka membaca sebuah surah dengan tartil daripada membaca Al-Qur’an seluruhnya.

Diriwayatkan dari Mujahid bahwa ia ditanya tentang dua orang. Yang satu membaca Al-Baqarah dan Ali Imran dan yang lain membaca Al-Baqarah saja, sedangkan waktu keduanya, rukuk, sujud dan duduknya sama?

Ibnu Abbas menjawab: Yang membaca Al-Baqarah saja lebih baik. Dilarang membaca terlalu cepat. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa seorang lelaki berkata kepadanya: Aku membaca surah Al-Mufashshal dalam satu raka’at.

Maka Abdullah bin Mas’ud berkata: Ini seperti memotong rambut (karena cepatnya). Sesungguhnya ada orang-orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak melampaui tenggorokan mereka. Akan tetapi jika masuk di dalam hati dan menjadi kokoh, maka ia pun bermanfaat.

Hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Ini lafadh Muslim dalam salah satu riwayatnya.

Para ulama berkata: Tartil dianjurkan untuk merenungkan dan untuk lainnya. Mereka berkata: Dianjurkan membaca dengan tartil bagi orang bukan Arab yang tidak memahami maknanya, karena hal itu lebih dekat kepada pengagungan dan penghormatan dan lebih berpengaruh di dalam hati.

 

Adab-adab membaca Al-Qur’an dalam shalat dan lainnya

Dianjurkan apabila melewati ayat rahmat agar memohon karuni Allah Ta’ala. Dan apabila melewati ayat yang menyebutkan siksaan agar memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan dan siksaan. Atau berkata: “Ya Allah, aku mohon kesehatan kepada-Mu atau keselamatan dari setiap bencana.”

Apabila melewati ayat yang menyebut tanzih (penyucian) Allah Ta’ala, maka ia sucikan Allah Ta’ala dengan ucapan: Subhanallahi wa Ta’ala atau Tabaroka wa Ta’ala (Maha Suci Allah dan Maha Tinggi) atau Jallat adhamatu Rabbinaa (Maha Agung kebesaran Tuhan kami).

Telah diriwayatkan hadits sahih dari Hudzaifah ibnul Yaman, ia berkata: “Pada suatu malam aku shalat bersama Nabi. Beliau memulai dengan surah Al-Baqarah.

Maka aku katakan (dalam hati): Beliau rukuk ketika mencapai seratus ayat. Ternyata beliau meneruskan bacaannya.

Maka aku katakan: Beliau salat dengan membacanya dalam satu raka’at. Ternyata beliau meneruskan bacaannya. Kemudian beliau memulai surah An-Nisa’ dan membacanya.

Maka aku katakan: Beliau akan rukuk sesudahnya. Kemudian beliau memulai surah Ali Imran dan membacanya dengan perlahan-lahan. Apabila melewati ayat yang menyebut tasbih, maka beliau bertasbih. Apabila melewati ayat yang menyebut permohonan, beliau memohon. Dan apabila melewati ta’awwudz, maka beliau memohon perlindungan. Hadits riwayat Muslim dalam Shahihnya.⁴⁰

Adalah surah An-Nisa’ pada waktu itu didahulukan sebelum Ali Imran.

Berkata sahabat-sahabat kami rahimahumullah: Memohon, meminta perlindungan dan bertasbih ini disunnahkan bagi setiap pembaca Al-Qur’an di dalam shalat atau di luarnya.

Mereka berkata: Amalan itu disunnahkan dalam shalat Imam dan makmum serta orang yang salat sendirian, karena ia adalah doa sehingga sama semuanya bagi mereka seperti mengucapkan Amin sesudah Al-Fatihah.

Inilah yang kami sebutkan tentang disunnahkannya memohon sesuatu dan meminta perlindungan menurut mazhab Asy-Syafi’i dan jumhur ulama rahimahumullah.

Abu Hanifah rahimahullahu ta’ala berpendapat: Amalan itu tidak disunnahkan, bahkan dihukum makruh dalam shalat.

Yang benar adalah pendapat jumhur ulama sebagaimana kami kemukakan.

Pasal: Yang perlu diperhatikan dan sangat ditekankan ialah menghormati Al-Qur’an dengan menghindari hal-hal yang kadang-kadang diabaikan oleh orang-orang yang lalai dan membacanya bersama-sama.

Di antaranya ialah menghindari ketawa dan ribut dan berbicara di tengah membaca, kecuali perkataan yang perlu disampaikan.

Hendaklah ia mematuhi firman Allah Ta’ala:

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” Al-A’raf: 204.

Hendaklah ia mengikuti perbuatan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibnu Umar bahwa apabila membaca Al-Qur’an ia tidak berbicara hingga selesai.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dan ia berkata: la tidak berbicara sampai selesai.

la menyebutnya dalam kitab At-Tafsir mengenai firman Allah Ta’ala: (Istri-istrimu adalah ladang bagimu) Al-Baqarah: 223. ⁴¹

Termasuk perbuatan yang dilarang adalah mempermainkan tangan dan lainnya. Sesungguhnya ia bermunajat kepada Tuhannya Allah, maka janganlah ia mempermainkan kedua tangannya.

Termasuk hal itu ialah memandang kepada sesuatu yang melalaikan dan mencerai beraikan pikiran.

Lebih buruk dari semua ini ialah memandang kepada sesuatu yang tidak boleh dipandang seperti orang lelaki yang mulus wajahnya dan lainnya. Karena memandang kepada orang lelaki yang mulus dan tampan wajahnya tanpa keperluan adalah haram, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, baik aman dari fitnah atau tidak aman darinya.

Inilah dia mazhab yang benar dan terpilih menurut para ulama.

Al-Imam Asy-Syafi’i telah menyebutkan pengharamannya dan juga para ulama yang tak terhitung jumlahnya. Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya. “An-Nur: 30.

Dan karena laki-laki mulus lagi tampan sama maknanya dengan perempuan. Bahkan boleh jadi sebagian atau banyak dari mereka lebih bagus daripada banyak perempuan dan lebih memungkinkan terjadinya kejahatan padanya dan lebih mudah daripada perempuan. Maka pengharamannya lebih utama.

Pendapat-pendapat ulama salaf yang memperingatkan agar menjauhi mereka sangat banyak jumlahnya.

Para ulama menamai mereka orang busuk karena menimbulkan rasa jijik menurut syara’.

Adapun memandang kepadanya di waktu jual beli, mengambil dan memberi, berobat dan mengajar dan sebagainya yang diperlukan, maka dibolehkan karena darurat. Akan tetapi pandangannya adalah sebatas keperluan dan tidak terus memandang tanpa keperluan.

Begitu pula guru hanya dibolehkan memandang sesuatu yang dibutuhkannya dan diharamkan atas mereka semuanya dalam semua keadaan memandang dengan syahwat.

Ini tidak khusus mengenai orang lelaki yang mulus wajahnya, bahkan diharamkan atas setiap mukallaf memandang dengan syahwat kepada setiap orang, baik lelaki atau perempuan. Sama halnya apakah perempuan itu masih mahramnya atau bukan, kecuali istri atau sahaya perempuan yang bisa dinikmati.

Bahkan sahabat kami mengatakan: Diharamkan memandang dengan syahwat kepada mahramnya seperti anak perempuan dan ibunya. Dan Allah Maha Mengetahui.

Orang-orang yang hadir di majelis pembacaan Al-Qur’an apabila melihat sesuatu dari kemungkaran-kemungkaran yang tersebut ini atau lainnya harus mencegahnya sesuai kemampuan mereka dengan tangan bagi siapa yang mampu dan lisan bagi siapa yang tidak mampu dengan tangan dan mampu dengan lisan. Kalau tidak, hendaklah ia mengingkarinya dengan hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui.

Pasal: Tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan selain bahasa Arab, baik ia pandai membaca bahasa Arab atau tidak bisa membacanya. Sama halnya apakah di dalam shalat atau di luarnya. Jika ia membaca dengan selain bahasa Arab, maka shalatnya tidak sah. Ini adalah mazhab kami dan mazhab Malik, Ahmad, Dawud dan Abu Bakar ibnul Mundzir.

Abu Hanifah berkata: Boleh membacanya dengan selain bahasa Arab dan shalatnya sah.

Abu Yusuf dan Muhammad berkata: Boleh membacanya bagi orang yang tidak pandai mengucapkan bahasa Arab dan tidak boleh bagi yang tidak pandai mengucapkan bahasa Arab.

 

Boleh membaca Al-Qur’an dengan tujuh macam bacaan

Boleh membaca Al-Qur’an dengan tujuh macam bacaan yang telah disepakati dan tidak boleh membaca dengan selain bacaan yang tujuh maupun dengan riwayat-riwayat asing (syaadzdzah) yang dinukil dari ahli baca Al-Qur’an yang berjumlah tujuh.

Insya’ Allah dalam bab ketujuh akan dijelaskan kesepakatn para fuqaha tentang suruhan bertaubat kepada orang yang membaca dengan bacaan-bacaan yang asing (syaadzdzah) apabila dia membaca dengannya.

Para sahabat kami dan lainnya berkata: Andaikata ia membaca dengan bacaan yang syaadzdzah dalam shalat, batallah shalatnya jika ia mengetahui.

Jika tidak tahu, maka shalatnya tidak batal dan bacaan itu tidak diperhitungkan baginya.

Al-Imam Abu Amru bin Abdul Barr al-Hafidh telah menukil adanya ijma’ kaum muslimin bahwa tidak boleh membaca dengan bacaan yang asing (syaadzdz) dan tidak boleh shalat di belakang imam yang membaca dengannya.

Para ulama berkata: Barangsiapa membaca dengan bacaan yang Syaadz, jika ia tidak mengetahuinya atau tidak mengetahui pengharamannya, maka ia pun diberitahu tentang hal itu.

Jika ia mengulanginya atau mengetahuinya, maka ia pun dihukum dengan keras hingga berhenti melakukannya. Wajib atas setiap orang yang sanggup menegur dan mencegahnya untuk menegur dan mencegahnya.

Pasal: Apabila memulai dengan bacaan salah seorang ahli baca Al-Qur’an, hendaklah ia tetap membaca dengan bacaan itu selama kalamnya berkaitan dengannya. Apabila kaitannya berakhir, ia boleh membaca dengan bacaan ahli baca yang lain di antara tujuh ahli baca.

Yang lebih utama ialah tetap membaca dengan bacaan pertama di majelis ini.

Pasal: Para ulama berkata: Yang terpilih ialah membaca menurut tertib Mushaf. Maka ia baca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah, kemudian Ali Imran, kemudian berikutnya menurut tertib. Sama halnya apakah ia membaca di dalam shalat atau di tempat lainnya.

Seorang sahabat kami berkata: apabila ia membaca dalam rakaat pertama surat qul a’udzu birabbinnas, maka ia membaca dalam rakaat kedua berikutnya yaitu alfatihah dari surah.

Seorang sahabat kami berkata: disunnahkan ketika membaca sebuah surah untuk membaca surah yang berikutnya. Dalilnya ialah bahwa tertib mushaf dibuat begini karena adanya suatu hikmah. Maka patutlah ia memelihara hikmah itu, kecuali yang dikecualikan oleh syara seperti salat subuh pada hari Jumat. Dalam rakaat pertama dibaca surah assajdah dan rakaat kedua hal ataa ‘alal insaan. Dan salat ied dalam rakaat pertama dibaca (Qaaf) dan rakaaat kedua Iqtarobatis As-sa’atu, dan dalam rakaat shalat fajar (Subuh) dibaca Al-Kaafirun dan Al-Ikhlas dalam rakaat kedua.

Dalam shalat witir dibaca Al-A’la dan dalam rakaat kedua Al-Kaafirun dan dalam rakaat ketiga Al-Ikhlas dan Almu’awidatain (alfalaq dan annaas).

Andaikata tidak membacanya berturut-turut sehingga tidak membaca surah yang berikutnya atau menyalahi tertibnya sehingga membaca sebuah surah kemudian membaca surah yang sebelumnya, maka hal itu dibolehkan.

Banyak atsar diriwayatkan mengenai bolehnya melakukan itu.

Umar Ibnul Khattab telah membaca dalam rakaat pertama shalat subuh surah al-kahfi dan rakaat kedua surah yusuf. Sejumlah ulama tidak suka menyalahi tertib Mushaf.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Al-Hasan bahwa ia tidak suka menyalahi tertib Mushaf.

Ia meriwayatkan dengan isnadnya yang shahih dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ada orang berkata kepadanya: sesungguhnya si Fulan membaca Alquran terbalik? Ia menjawab: orang itu terbalik hatinya.

Adapun membaca surah dari akhirnya hingga awalnya, maka hal itu dilarang keras, karena menghilangkan sebagian macam I’jaazya dan menghilangkan hikmah tertibnya ayat-ayat.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakha’iy Imam Tabi’iy yang mulia dan Al-Imam Malik bin Anas bahwa keduanya tidak menyukai hal itu. Malik mencelanya dan berkata: ini adalah dosa besar.

Mengajari anak-anak kecil dari akhir mushaf hingga awalnya adalah baik dan bukan termasuk bab ini. Sesungguhnya itu adalah bacaan dalam hari-hari yang berbeda-beda di samping memudahkan mereka menghafalnya. Dan Allah Maha Mengetahui.

Pasal: Membaca Alquran dari Mushaf lebih utama dari bacaan dengan hafalan, karena memandang Mushaf adalah ibadah yang dituntut sehingga terkumpul bacaan dan pandangan.

Demikianlah yang dikatakan Al-Qadhi Husein dari dahabat kami dan Abu Hamid Al-Ghazali dan beberapa kelompok ulama salaf.

Al-Ghazali menukil dalam Al-ihya bahwa banyak dari sahabat Nabi membaca dari Mushaf dan tidak suka keluar dalam satu hari pun tanpa melihat dalam mushaf.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud bacaan dalam Mushaf dari banyak ulama salaf dan aku tidak melihat adanya perbedaan mengenainya.

Seandainya dikatakan: Hal itu berbeda-beda menurut perbedaan orang-orangnya. Maka dipilih pembacaan dalam Mushaf bagi siapa yang sama kekhusukannya dan perenungannya dalam dua keadaan, yaitu membaca dalam mushaf dan secara hafalan.

Dan dipilih pembacaan secara hafalan bagi siapa yang tidak sempurna kekhusyukannya dan perenungannya dan dipilih membaca dalam mushaf bilamana kekhusyukan dan perenungannya bertambah.

Ini adalah pendapat yang baik.

Yang jelas perkataan ulama salaf dan perbuatan mereka diartikan menurut rincian ini.

Pasal: Tentang anjuran membaca Alquran secara bersama-sama oleh jama’ah dan keutamaan para pembaca dari jamaah dan para pendengar serta penjelasan keutamaan orang yang mengumpulkan, mendorong dan menganjurkan mereka melakukan itu.

Ketahuilah bahwa pembaca Alquran oleh jamaah secara bersama-sama adalah mustahab berdasarkan dalil yang jelas dan perbuatan-perbuatan ulama salaf dan khalaf yang jelas.

Telah sah dari Nabi SAW dari riwayat Abu Hurairah bin Abi Said Al-Khudri bahwa beliau bersabda:

“Tidaklah suatu kaum menyebut Allah secara bersama-sama, melainkan mereka dikelilingi para malaikat dan diliputi rahmat serta turun ketenangan diatas mereka dan Allah menyebut mereka di antara para malaikat di sisi-Nya.” Berkata Tirmidzi: Hadits Hasan sahih.⁴²

 

Diriwayatkan dari Abi Hurairah dari Nabi, beliau bersabda:

“Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah ta’ala membaca dan saling bergantian membacanya di antara mereka melainkan turun ketenangan di atas mereka dan mereka diliputi rahmat serta dikelilingi para malaikat dan Allah menyebut mereka di antara para malaikat di sisi-Nya.” Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud dengan isnad sahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.

 

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bahwa Nabi keluar menemui sekelompok sahabatnya. Beliau berkata: Apa yang menyebabkan kalain duduk?

Mereka menjawab: Kami menyebut nama Allah Ta’ala dan memuji-Nya, karena Dia memberi petunjuk dan menganugerahkan Islam kepada kami.

Maka Nabi berkata: Jibril alaihis salam datang kepadaku dan mengabariku bahwa Allah Ta’ala membanggakan kalian kepada para malaikat.

Hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa’iy. Tirmidzi berkata: Hadits hasan sahih.⁴³

Hadits-hadits mengenai ini banyak sekali.

Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dengan isnadnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:

“Barangsiapa mendengarkan satu syarat dari Kitabullah, maka ayat itu menjadi cahaya baginya.”⁴⁴

 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud bahwa Abu Darda’ mengadakan tadarus bersama beberapa orang yang membaca Alquran bersama.

Diriwayatkan keutamaan tadarus bersama-sama dari sejumlah ulama salaf dan khalaf yang terkemuka dan para qadhi dari generasi yang terdahulu.

Dirowayatkan dari Hasan bin Atiyyah dan Al-Auza’iy bahwa keduanya berkata: Yang pertama mengadakan tadarus di masjid Damsyiq adalah Hisyam bin Ismail ketika ia datang kepada Abdul Malik.

Sabun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daud dari Adh-Dahhak bin Abdurrahman bin Arzab iyalah bahwa ia mengingkari tadarus ini dan berkata: aku tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar.

Aku telah mendapati para sahabat Rasulullah, yakni aku tidak pernah melihat seorang pun melakukannya.

Diriwayatkan dari Wahab, ia berkata: Aku berkata kepada Malik: Apakah Anda pernah melihat orang-orang berkumpul membaca satu surah bersama-sama hingga menghatamkannya?

Maka Malik mengingkari hal itu dan mencelanya.

Ia berkata: Bukan begitu yang dilakukan orang-orang. Akan tetapi seseorang membacanya kepada orang lain.

Pengingkaran dari kedua orang itu bertentangan dengan amalan yang dikerjakan oleh ulama salaf dan khalaf dan berdasarkan dalil yang mendukungnya.

Maka pendapat itu ditinggalkan dan yang diandalkan adalah pendapat sebelumnya yang menganjurkannya.

Akan tetapi pembacaan AlQuran dalam keadaan berkumpul mempunyai syarat-syarat yang kami kemukakan dan patut diperhatikan. Dan Allah Maha Mengetahui.

Adapun keutamaan orang yang mengumpulkan mereka untuk membaca Alquran, terdapat banyak nash mengenai hal itu seperti sabda Nabi:

“Orang yang menunjukkan kebaikan adalah seperti pelakunya.”⁴⁵

Dan sabda Nabi:

“Petunjuk yang diberikan Allah kepada seseorang dengan perantaraanmu, lebih baik bagimu daripada unta merah.”⁴⁶

Terdapat banyak hadits yang masyhur mengenai hal itu.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah kalian saling menolong dalam kebajikan dan takwa.” Al-Maidah: 2″

 

Tidak ada keraguan mengenai besarnya pahala orang yang mengusahakan hal itu.

 

Pasal: Membaca Alquran sambung menyambung secara bergiliran

Caranya ialah sekelompok orang berkumpul. Salah seorang dari mereka membaca 10 ayat atau satu juz atau selain itu, kemudian ia diam dan yang lain meneruskan pembacaan, kemudian yang lain membaca.

Ini adalah boleh dan baik. Malik Rahimahullahu Ta’ala telah ditanya dan ia menjawab: “Tidak ada masalah dengannya.”

 

Pasal: Membaca dengan suara keras

Ini adalah pasal penting yang perlu diperhatikan.

Ketahuilah, bahwa terdapat banyak hadis dari kitab shahih dan lainnya yang menunjukkan anjuran membaca dengan suara keras dan terdapat atsar-atsar yang menunjukkan anjuran membaca dengan suara pelan.

Kami akan menyebutkan sebagian kecil darinya dengan mengisyaratkan kepada sumbernya, insya Allah.

Berkata Al Imam Al Ghazali dan para ulama lainnya cara menggabungkan antara khabar-khabar dan atsar-atsar yang bermacam-macam mengenai hal ini ialah bahwa membaca dengan suara pelan lebih jauh dari riya’ maka ia lebih baik bagi siapa yang takut riya’.

Jika ia tidak takut riya’ dengan mengeraskan suaranya ketika membaca Alquran, maka membaca dengan suara keras lebih baik, karena amal di dalamnya lebih banyak dan faedahnya meluas kepada orang lain, sedangkan manfaat yang meluas lebih baik daripada yang mengenai diri sendiri.

Dan karena bacaan dengan suara keras menggugah hati pembaca dan menyatukan keinginannya untuk memikirkannya dan mengarahkan pandangannya kepadanya, mengusir tidur menambah kegiatan dan membangunkan orang lain yang tidur dan orang yang lalai serta menggiatkannya.

Mereka berkata: Apabila terdapat sebagian dari niat-niat ini padanya, maka mengeraskan suara lebih baik. Jika niat-niat ini berkumpul, maka pahalanya berlipat ganda.

AlGhazali berkata: Oleh karena ini kami katakan: Membaca dalam mushaf lebih utama. Inilah hukum masalahnya.

Atsar-atsar yang dinukil banyak jumlahnya dan saya menunjuk kepada beberapa bagian dari sebagiannya.

Diriwayatkan dalam kitab shahih dari Abi Hurairah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah Allah mendengarkan sesuatu seperti yang didengarkan-Nya dari seorang Nabi yang bagus suaranya melakukan Alquran dan mengeraskan suaranya.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.⁴⁷

 

Perkataan: mendengar adalah isyarat kepada keridhaan dan penerimaan.

Diriwayatkan dari Abi Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah berkata kepadanya:

“Engkau telah diberi seruling dari seruling-seruling keluarga Dawud.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

 

Maksudnya diberi suara yang indah (pen.).

Dalam suatu riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah berkata kepadanya:

“Aku bermimpi mendengarkan bacaanmu tadi malam.” Hadits riwayat Muslim dari Barid Ibnu Al Hushaib.

 

Diriwayatkan dari fudhalah bin Ubaid, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh Allah lebih mendengarkan orang yang membaca Alquran daripada pemilik sahaya perempuan yang mendengarkan nyanyian sahaya perempuannya.”

 

Diriwayatkan dari Abi Musa pula, ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Sungguh aku mengenal suara rombongan asy’ariyin di waktu malam ketika mereka masuk dan aku mengetahui tempat-tempat mereka dari suara mereka ketika membaca Alquran di waktu malam meskipun aku tidak melihat tempat-tempat mereka ketika mereka berhenti di waktu siang hari.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

 

Dari Al-Bara bin Azib, ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Hiasilah Alquran dengan suaramu. “Hadis riwayat Abu Dawud, Nasa’iy dan lainnya.⁴⁹

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dawud dari Ali bahwa ia mendengar suara ramai dari orang-orang yang membaca Alquran di dalam masjid. Maka ia berkata: Beruntunglah mereka ini. Mereka adalah orang-orang yang paling dicintai Rasulullah.

Diriwayatkan banyak hadis mengenai pembacaan AlQuran dengan suara keras. Adapun atsar-atsar tentang perkataan dan perbuatan para sahabat dan tabiin tak terhitung banyak dan sangat masyhur.

Semua ini mengenai orang yang tidak takut riya dan tidak takut kesombongan dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya, serta tidak mengganggu jamaah karena mengajauhkan salat dan membingungkan mereka.

Telah dinukil dari sejumlah ulama salaf pilihan membaca dengan suara pelan ketika ketakutan mereka terhadap apa yang kami sebutkan.

Dari Al-A’masy, ia berkata: Aku masuk kepada Ibrahim yang sedang membaca dalam Mushaf. Kemudian seorang lelaki meminta izin masuk kepadanya.

Maka ia menutupi mushafnya dan berkata: Jangan sampai orang ini melihat bahwa aku membacanya setiap saat.

Dari Abil Aaliyah, ia berkata: Aku duduk bersama para sahabat Rasulullah radhiyallahu anhum. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: Tadi malam aku membaca begini.

Maka mereka berkata: Inilah bagianmu darinya.

Dalil bagi mereka ini adalah hadits Uqbah bin Amir, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

“Orang-orang yang membaca dengan suara keras seperti orang yang bersedekah secara terang-terangan dan orang yang membaca Alquran dengan suara pelan seperti orang yang bersedekah secara diam-diam.” Hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’iy.

 

Tirmidzi berkata: Hadits hasan. Tirmidzi berkata: makna hadis ini ialah orang yang membaca Alquran dengan suara pelan lebih baik daripada orang yang membacanya dengan suara keras. Karena bersedekah secara diam-diam lebih baik menurut ulama daripada bersedekah secara terang-terangan.

Ia berkata: sesungguhnya makna hadis ini menurut ulama adalah supaya orang menjadi aman dari kesombongan, karena orang yang beramal secara diam-diam tidak dikhawatirkan timbulnya kebanggaan diri padanya sebagaimana dikhawatirkan bila ia beramal secara terang-terangan.

Saya katakan: Semua ini sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya di pasal pertama dari rincian ini bahwa jika ia takut sesuatu yang tidak disukainya bila mengeraskan suaranya, maka ia tidak perlu mengeraskan suaranya. Dan jika tidak takut sesuatu dianjurkan baginya membaca dengan suara keras.

Jika pembacaan AlQuran itu dilakukan oleh sejumlah orang yang berkumpul bersama-sama, maka sangat dianjurkan mengeraskan bacaannya berdasarkan alasan yang telah kami kemukakan dan karena bermanfaat bagi selain mereka. Dan Allah Maha Mengetahui.

 

Pasal: Anjuran membaca Alquran dengan suara yang bagus

Para ulama salaf dan khalaf dari para sahabat dan tabiin radhiallahu anhum dan para ulama anshor (kota-kota Madinah, Baghdad, dan Bashrah), dan imam-imam muslimin sesudah mereka sepakat atas disunnahkannya membaguskan suara ketika membaca Alquran.

Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan mereka sangat masyhur sehingga kami tidak perlu menukilnya satu demi satu.

Dalil-dalil ini dari hadis Rasulullah sudah banyak diketahui oleh para ulama terkemuka maupun orang awam seperti hadis: (Hiasilah Alquran dengan suaramu), semuanya telah dikemukakan dalam pasal yang lalu.

Telah dikemukakan mengenai keutamaan tartil hadits Abdullah bin Mughaffal bahwa Nabi mengulang-ulang bacaan seperti hadis saat bin Abi Waqqash dan hadis Abi Lubabah bahwa Nabi bersabda:

“Barang siapa tidak melakukan Alquran, maka ia bukan dari golongan kamu.”

 

Abu Dawud meriwayatkan kedua hadits itu dengan dua isnad yang baik.⁴⁹

Mengenai isnad Sa’ad terdapat perbedaan yang tidak mengganggu.

Jumhur (mayoritas) ulama berkata: Tidak melagukan Alquran artinya tidak membaguskan suaranya.

Dan hadits Al-Bara’, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah membaca dalam shalat Isya’: At-Tiin. Maka aku tidak pernah mendengar seorang pun yang lebih bagus suaranya daripada beliau. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Para ulama rahimahumullah berkata: disunnahkan membaca Alquran dengan suara bagus dan tertib selama tidak melampaui batas. Jika melampaui batas hingga menambah atau menyembunyikan satu huruf maka perbuatan itu haram.

Adapun membaca dengan lahn, maka assyafi’i rahimahullah berkata dalam suatu pendapat: “Saya tidak menyukainya dan di tempat lainnya mengatakan: Saya tidak menghukumnya makruh.

Para sahabat kami mengatakan bahwa itu bukan dua pendapat, tetapi ada rincian di dalamnya.

Jika ia melampaui batas ketika memanjangkan bacaan sehingga melampaui batas, itulah yang tidak disukai. Jika tidak melampaui batas, itulah yang tidak dihukuminya sebagai makruh.

Qadhil qudhaat (Al-Mawardi) berkata dalam kitabnya Al-Haawi: Membaca Alquran dengan irama yang dibuat-buat, jika mengeluarkan lafadz Alquran dari bentuknya dengan memasukkan beberapa harakat di dalamnya atau mengeluarkan beberapa harakat darinya atau memendekkan yang panjang atau memanjangkan yang pendek atau memanjangkan bacaan sehingga merusak sebagian lafadz dan mengaburkan maknanya, maka perbuatan itu haram dan pembacanya dihukumi fasik, sedangkan pendengarnya berdosa, karena mengalihkan dari jalannya yang lurus ke jalan yang bengkok.

Allah Ta’ala berfirman: (Yaitu Alquran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya). Supaya mereka bertakwa). Az-Zumar: 28.

Apabila irama itu tidak mengeluarkan dari lafadz dan bacaannya secara tartil, maka bacaan itu dibolehkan, karena ia menambah kebagusannya dengan iramanya itu. Ini adalah perkataan Qadhil Qudhaat.

Adapun macam pertama dari bacaan dengan irama yang diharamkan ini adalah maksiat yang menimpa sebagian kaum awam yang bodoh dan dungu yang membaca untuk jenazah dan dalam sebagian majelis.

Ini adalah bid’ah yang diharamkan dan jelas dan setiap orang yang mendengarkannya berdosa sebagaimana dikatakan oleh Qadhil Qudhaat.

Setiap orang yang mampu menghilangkannya atau melarangnya, namun tidak melakukannya ia pun berdosa.

Saya telah mencurahkan sebagian kemampuan untuk melakukannya Dan saya berharap dari karunia Allah Yang Maha Pemurah agar memberi petunjuk untuk menghilangkannya kepada orang yang layak mendapatkannya dan menjadikannya dalam keselamatan.

Asy-syafi’i berkata dalam “Mukhtasor Al-Muzani: Ia baguskan suaranya dengan cara apapun. Beliau berkata: “Yang paling baik adalah membaca dengan perlahan-lahan dan suara lembut.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Abi Hurairah bhwa ia berkata: (At-Takwir: 1) dengan suara lembut seperti meratap.

Diriwayatkan dalam Sunan Abi Dawud: Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah: Apa pendapatmu jika ia tidak bagus suaranya?

Ibnu Abi Mulaikah menjawab: Ia baguskan suaranya sedapat mungkin.

 

Pasal: Anjuran mencari bacaan yang baik dari orang yang bagus suaranya

Ketahuilah, bahwa banyak ulama salaf meminta dari para pembaca yang bagus suaranya agar membaca Alquran, sedangkan mereka mendengarkannya.

Hal ini disepakati tentang kebaikannya dan merupakan kebiasaan orang-orang baik dan para ahli ibadah serta hamba-hamba Allah yang shaleh dan menjadi sunnah yang berlaku dari Rasulullah.

Telah diriwayatkan hadis yang shahih dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah berkata kepadaku: Bacakan Alquran kepadaku.

Aku berkata: Ya Rasulullah, apakah aku pantas membacanya kepadamu, sedangkan Alquran diturunkan kepadamu?

Nabi menjawab: Sesungguhnya aku ingin mendengarkannya dari orang lain.

Maka aku bacakan kepadanya surat An-Nisa hingga sampai pada ayat ini:

“Maka bagaimanakah (hal orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” An-Nisa: 41.

 

Beliau berkata: Cukuplah bagimu sekarang.

Kemudian aku menoleh kepadanya. Ternyata kedua matanya berlinang air mata.

Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.⁵⁰

Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan lainnya dengan sanad-sanad mereka dari Umar ibnu Khaththab bahwa ia berkata kepada Abi Musa Al-Asy’ari: Ingatkan kami kepada Tuhan kami. Maka ia bacakan Alquran di dekatnya.

Atsar-atsar mengenai hal ini banyak dan terkenal.

Banyak orang shaleh meninggal disebabkan bacaan dari orang yang mereka minta untuk membacakan Alquran. Dan Allah Maha Mengetahui.

Sebagian ulama telah menganjurkan agar memulai majelis hadis nabi dan mengakhirinya dengan pembacaan AlQuran oleh pembaca yang bagus suaranya.

Kemudian, pembaca di tempat-tempat ini hendaklah membaca ayat-ayat yang sesuai dengan majelisnya.

Hendaklah ia membaca ayat-ayat yang membangkitkan harapan dan menimbulkan rasa takut, mengandung nasehat-nasehat, menyebabkan zuhud terhadap keduniaan, menimbulkan kesukaan kepada akhirat dan persiapan untuknya, pendek angan-angan dan budi pekerti mulia.

Pasal 2 apabila pembaca memulai dari tengah surah atau berhenti di tempat yang bukan akhirnya, hendaklah ia memulai dari permulaan kalam yang saling berkaitan satu sama lain dan berhenti pada kolom terkait serta tidak terikat dengan persepuluhan dan bagian-bagiannya, karena bisa terjadi di tengah kalam yang terkait seperti bagian yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami.” An-Nisa: 24

Dan firman Allah Ta’ala: (Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan). Yusuf: 53.

Dan firman Allah Ta’ala: (Maka tidak lain jawaban kaumnya….). An-Naml: 56.

Dan firman Allah Ta’ala: (Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya). Al-Ahzab: 31.

Dan firman Allah Ta’ala:

“Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit.” Yasin: 28.

 

Dan firman Allah Ta’ala: (KepadaNya dikembalikan pengetahuan tentang hari kiamat). Fushshilat: 47.

Dan firman Allah Ta’ala: (Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat). Az-Zumar: 48.

Dan firman Allah Ta’ala:

“Ibrahim bertanya: Apakah urusanmu, hai para utusan?” Adz-Dzaariyaat: 31.

Begitu pula seperti firman Allah Ta’ala:

“Dan berdzikirlah (denagn menyebut Allah) dalam beberaa hari yang terbilang.” Al-Baqarah: 203.

Dan firman Allah Ta’ala:

“Katakanlah: Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Ali-Imran: 15.

 

Semua ini dan semacamnya tidak boleh dimulai dengannya dan pembaca tidak boleh berhenti kepadanya, karena ia berkaitan dengan yang sebelumnya.

Janganlah ia tertipu dengan banyaknya orang-orang yang lalai di antara para pembaca yang tidak memperhatikan adab-adab ini dan tidak memikirkan makna-makna ini.

ndaklah ia mematuhi perkataan yang diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah dengan isnadnya dari As-Sayyid Al-Jalil Al-Fudhail bin Iyadh, ia berkata: Janganlah kamu merasa kesepian di jalan-jalan kebenaran karena sedikit pengikutnya, dan jangan tertipu karena banyaknya orang-orang yang binasa Dan tidaklah membahayakanmu sedikitnya orang-orang yang menempuh jalan kebenaran.

Para ulama berkata mengenai makna ini: Pembacaan surah pendek sejarah lengkap lebih baik daripada membaca sebagian surah yang panjang sebanyak surah yang pendek itu. Karena terkadang sebagian orang-orang tidak mengetahui adanya keterkaitan dalam sebagian keadaan.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daud dengan isnadnya dari Abdullah bin Abi Al-Hudzail tabi’i yang terkenal: Ia berkata: Mereka tidak suka membaca sebagian ayat dan meninggalkan sebagiannya.

 

Pasal: Makruh membaca Alquran dalam beberapa keadaan

Ketahuilah: bahwa membaca Alquran disukai secara mutlak, kecuali dalam keadaan tertentu yang dilarang syara’ membacanya pada waktu itu.

Saya sebutkan sekarang yang saya ingat darinya secara ringkas dengan menghilangkan dalil-dalil karena cukup masyhur.

Maka dihukum makruh membaca Alquran di waktu rukuk, sujud, tasyahud serta keadaan-keadaan shalat lainnya, kecuali berdiri.

Dihukumi makruh membaca lebih dari alfatihah bagi makmum dalam shalat jahriyah apabila ia mendengar bacaan Imam dan dihukum makruh membaca sambil duduk di atas tempat buang air, dan dalam keadaan mengantuk.

Begitu pula dihukumi makruh membacanya apabila sulit membaca Alquran dan dalam keadaan khutbah bagi siapa yang mendengarnya dan tidak makruh bagi siapa yang tidak mendengarnya, bahkan dianjurkan. Inilah pendapat yang terpilih dan shahih.

Diriwayatkan dari Thawus tentang kemakruhannya.

Diriwayatkan dari Ibrahim bahwa tidak ada kemakruhan.

Boleh digabung antara kedua pendapat itu dengan apa yang kami katakan sebagaimana disebutkan oleh sahabat kami.

Membaca Alquran di waktu tawaf tidak dihukumi makruh. Ini adalah mazhab kami dan pendapat mayoritas ulama.

Ibnu Mundzir menceritakannya dari Atha’, Mujahid, Ibnul Mubarak, Abi Tsaur dan Ashhaabur ra’yi.

Diceritakan dari Hasan Al-Bashri, Urwah bin Zubair dan Malik tentang kemakruhan membaca Alquran di waktu Thawaf. Yang shahih adalah pendapat yang pertama.

Telah dijelaskan sebelumnya perbedaan pendapat mengenai pembacaan Alquran dan tempat pemandian dan di jalan dan mengenai orang yang mulutnya najis.

Pasal: Termasuk bid’ah yang mungkar dalam pembacaan Alquran ialah apa yang dilakukan orang-orang bodoh yang mengimami salat tarawih, ya itu membaca surat al-an’am dalam rakaat terakhir pada malam ketujuh dengan meyakini bahwa perbuatan itu adalah sunnah.

Maka mereka mengumpulkan beberapa perkara yang mungkar, diantaranya meyakininya sebagai mustahab (sunnah) dan menimbulkan pemahaman yang salah atas hal itu terhadap orang awam dan lebih memanjangkan rakaat kedua daripada yang pertama. Sesungguhnya yang sunnah adalah memanjangkan rakaat yang pertama.

Diantaranya adalah melamakan shalat terhadap para makmum dan membaca Alquran dengan cepat sekali.

Termasuk bid’ah yang menyerupai bid’ah ini ialah sebagia  orang-orang bodoh di antara mereka yang membaca Sajdah dalam Subuh hari Jumat, tetapi bukan Sajdah (Alif Laam Miim Tanzil).

Sedangkan sunnahnya ialah membaca Alif Laam Miim Tanzil dalam rakaat pertama dan “Hal Ataa” dalam rakaat kedua.

 

Pasal: Tentang masalah-masalah langkah yang perlu diketahui

Diantaranya: Apabila ketika tengah membaca Alquran tiba-tiba keluar angin, maka hendaklah ia berhenti membaca hingga tuntas keluarnya, lalu kembali lagi membacanya. Demikianlah yang diriwayatkan Abi Dawud dan lainnya dari Atha’ dan ini adalah adab yang baik.

Diantaranya: Apabila seseorang menguap (mengantuk), ia berhenti membaca hingga selesai menguap, kemudian meneruskan bacaannya. Mujahid berkata: “Itu lebih baik.”

Dalil atas hal itu ialah hadits yang diriwayatkan dari Abi Said Al-Khudri, ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Apabila seseorang dari kalian menguap (mengantuk), hendaklah ia menutup mulutnya dengan tanganlah, karena syaithan masuk.” Hadits riwayat Muslim.”

 

Diantaranya apabila membaca firman Allah Ta’ala:

“Kaum Yahudi berkata: Uzair putra Allah dan kaum Nasrani berkata: “Al-Masih putra Allah.” At-Taubah: 30

“Dan kaum Yahudi berkata: Tangan Allah terbelenggu.” Al-Maidah: 64

“Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pengasih telah mengambil (mempunyai) anak.” Maryam: 88.

 

Dan ayat-ayat lainnya yang semacam itu. Maka hendaklah ia memelankan suaranya. Demikianlah yang dilakukan oleh Ibrahim An-Nakha’iy

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnad dlo’if dari Asy-Sya’bi bahwa dikatakan kepadanya: Apabila manusia membaca (65 apakah ia bershalawat untuk Nabi ? Asy-Sya’bi menjawab: Ya.

Di antaranya ialah mengucapkan perkataan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda: Barangsiapa membaca: At-Tiin sampai akhir, hendaklah ia mengucapkan “balaa wa ana ‘alaa dzalika minassyaahidiina”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dengan isnad dlo’if dari seorang lelaki dari seorang dusun dari Abi Hurairah⁵²

Tirmidzi berkata: Hadits ini diriwayatkan dengan isnad ini dari orang dusun dari Abi Hurairah.

la berkata: Orang itu tidak disebut namanya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dan lainnya dalam hadits ini tambahan atas riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi: Barangsiapa membaca akhir surah Al-Qiyamah, hendaklah ia mengucapkan: “balaa wa ana asyhadu”. Dan barangsiapa yang membaca: fabiayyi hadiitsin ba’dahu yu’minuuna hendaklah ia mengucapkan: amantu billahi.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair serta Abi Musa Al-Asyari ra bahwa apabila seseorang dari mereka membaca: sabbihisma rabbikal a’la, ia mengucapkan: subhaana rabbiyal a’la. Dan dari Umar Ibnu Khattab bahwa ia mengucapkan ketika membaca ayat itu: subhaana rabbiyal a’la sebanyak 3x.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia shalat dan membaca akhir surah Bani Israil. Kemudian ia mengucapkan: Alhamdulillahilladzi lam yattahidz waladan.

Seorang sahabat kami telah menyebutkan bahwa dianjurkan mengucapkan dalam shalat apa yang telah kami kemukakan dan dalam hadits Abi Hurairah mengenai tiga surah itu. Begitu pula dianjurkan mengucap lainnya yang kami sebutkan dan yang sama maknanya. Dan Allah Maha Mengetahui.

 

Pasal: Bacaan Alquran yang dimaksudkan sebagai perkataan manusia.

Ibnu Abi Dawud menyebutkan adanya perselisihan mengenai hal ini. Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’iy ra bahwa ia tidak suka menakwilkan Alquran dengan tujuan urusan dunia.

Diriwayatkan dari Umar Ibnu Al-Khattab bahwa ia membaca dalam shalat maghrib di Makkah: wattiini wazzaituun*wa tuuri siiniina dan mengeraskan suaranya dan mengucapkan: wa haadal baladil amiina.

Diriwayatkan dari Hukaim bin Sa’ad bahwa seorang lelaki dari Al-Muhakhamiyah datang kepada Ali yang sedang mengerjakan shalat Subuh. Kemudian ia mengucapkan: (Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu). Ar-Rum: 65.

Maka Ali menjawabnya dalam shalat:

“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahakan kamu.” Az-Zumar: 60.

 

Sahabat-sahabat kami berpendapat: Apabila seseorang meminta izin masuk kepada orang yang mengerjakan shalat, lalu orang yang salat itu mengucapkan: (Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman) Al-Hijr: 46, maka jika ia maksudkan pembacaan AlQuran atau pembacaan dan pemberitahuan tidak batal shalatnya.

 

Adab-adab membaca sambil berjalan

Pasal: Apabila seseorang membaca Al-Qur’an sambil berjalan, lalu melewati sekelompok orang, dianjurkan baginya memutuskan bacaannya dan memberi salam kepada mereka, kemudian kembali lagi meneruskannya.

Jika mengulangi ta’awwudz, maka perbuatan itu lebih baik. Andaikata membaca sambil duduk, lalu ada orang lewat di depannya, maka dikatakan oleh Al-Imam Abul Hasan Al-Wahidi: “Yang lebih utama adalah tidak memberi salam kepada pembaca Al-Qur’an, karena ia sibuk membaca.”

Dan ia berkata: “Jika seseorang memberi salam kepadanya, cukuplah ia menjawab dengan isyarat.”

la berkata pula: Jika ia ingin menjawab dengan lafadh salam, ia boleh menjawabnya, kemudian mulai membaca isti’adzah dan meneruskan bacaannya.

Pendapat yang dikatakannya itu lemah. Yang jelas adalah kewajiban menjawab dengan ucapan.

Sahabat-sahabat kami berkata: Apabila orang yang masuk memberi salam pada hari Jum’at dalam keadaan imam sedang berkhutbah, padahal kami mengatakan bahwa diam adalah sunnah, maka wajiblah dia menjawab salam menurut pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat.

Apabila mereka katakan: Ini adalah dalam keadaan khutbah, sedangkan terdapat perselisihan mengenai kewajiban diam dan pengharaman berbicara, maka dalam keadaan membaca Al-Qur’an yang tidak diharamkan berbicara di dalamnya berdasarkan ijma’ adalah lebih utama di samping hukum menjawab salam adalah wajib.

Dan Allah Maha Mengetahui.

Bilamana ia bersin dalam keadaan membaca, maka dianjurkan mengucapkan: “Alhamdulillah” demikian pula halnya di dalam shalat.

Andaikata orang lain bersin sedang ia membaca Al-Qur’an di luar shalat dan orang itu mengucapkan: “Alhamdulillah”, disunnahkan bagi pembaca itu mendoakannya dengan mengatakan: “Yarhamukallahu

(Semoga Allah merahmatimu).”

Andaikata pembaca Al-Qur’an mendengar adzan, ia hentikan bacaannya dan menjawabnya dengan mengikutinya membaca lafadh-lafadh adzan dan iqamat, kemudian ia kembali membacanya. Ini disepakati oleh para sahabat kami.

Apabila ada orang yang punya keperluan dengannya, sedangkan ia dalam keadaan membaca Al-Qur’an, dan memungkinkan baginya untuk menjawab orang yang bertanya dengan isyarat yang dapat dipahami dan ia yakin bahwa hal itu tidak mengecewakan hatinya dan tidak mengganggu hubungan antara keduanya, maka sebaiknya ia menjawabnya dengan isyarat dan tidak menghentikan bacaan.

Jika ia menghentikannya, maka hal itu dibolehkan. Dan Allah Maha Mengetahui.

 

Berdiri di tengah membaca

Apabila datang kepada pembaca Al-Qur’an orang yang berilmu atau terhormat atau orang tua yang terpandang atau memiliki kehormatan sebagai pemimpin atau lainnya, maka tidak ada masalah bila pembaca berdiri untuk menghormati dan memuliakannya, bukan karena riya’ dan membanggakan diri. Bahkan perbuatan itu mustahab (sunnah). Berdiri sebagai penghormatan adalah perbuatan Nabi dan perbuatan para sahabatnya di hadapan beliau dan dengan perintahnya serta perbuatan para tabi’in dan ulama yang shaleh sesudah mereka.

Telah saya kumpulkan sebagian tentang berdiri dan saya sebutkan di dalamnya hadits-hadits dan atsar-atsar yang diriwayatkan tentang kesunnahannya dan pendapat yang melarangnya.

Saya jelaskan semua itu dengan memuji Allah Ta’ala. Maka siapa yang meragukan sesuatu dari hadits-haditsnya, hendaklah ia mempelajarinya, niscaya ia dapati keterangan yang menghilangkan keraguannya, insya’ Allah.

 

Hukum-hukum yang berkaitan dengan pembacaan Al-Qur’an dalam shalat

Saya kemukakan pembahasan ini dengan sangat ringkas, karena cukup masyhur dalam kitab-kitab fiqih.

Di antaranya wajib membaca Al-Qur’an dalam shalat fardhu berdasarkan ijma’ ulama.

Kemudian Malik, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur ulama berpendapat, diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam setiap raka’at.

Abu Hanifah dan jama’ah berpendapat: “Tidak diwajibkan membaca Al-Fatihah untuk selamanya.” Ia berkata: Tidak wajib membaca Al-Fatihah dalam dua raka’at terakhir.

Yang benar adalah pendapat pertama. Banyak dalil dari As-Sunnah yang mendukung pendapat itu.

Cukuplah darinya sabda Nabi dalam hadits yang sahih:

“Tidak cukup (sah) shalat yang tidak dibaca Al-Fatihah di dalamnya.”⁵³

Mereka sepakat bahwa disunnahkan membaca surah sesudah Al-Fatihah dalam dua raka’at Subuh dan dua raka’at pertama dalam shalat-shalat yang lain, tetapi mereka berselisih mengenai kesunnahannya dalam raka’at ketiga dan keempat.

Asy-Syafi’i mempunyai dua pendapat mengenai hal itu. Menurut pendapat yang baru hukumnya sunnah, sedangkan menurut pendapat

lama tidak disunnahkan.

Berkata sahabat-sahabat kami: Apabila kita katakan: bahwa pembacaan surah dalam dua raka’at terakhir disunnahkan, maka tidak

ada perselisihan bahwa bacaannya disunnahkan kurang dari bacaan dalam dua raka’at pertama.

Mereka berkata: Pembacaan surah dalam raka’at ketiga dan keempat sama banyaknya.

Apakah bacaan dalam raka’at pertama lebih panjang daripada raka’at kedua?

Ada dua pendapat mengenainya. Yang lebih sahih menurut mayoritas sahabat kami adalah tidak dipanjangkan.

Pendapat kedua, yaitu yang sahih menurut para peneliti dipanjangkan bacaannya. Itulah pendapat yang terpilih berdasarkan hadits yang sahih:

“Bahwa Rasulullah lebih memanjangkan bacaan dalam raka’at pertama daripada raka’at kedua. “⁵⁴

 

Berkata Asy-Syafi’i rahimahullah: Apabila masbuq mendapati dua raka’at terakhir dari shalat Dhuhur atau lainnya bersama Imam, kemudian hendak mengerjakan dua raka’at yang tersisa, dianjurkan baginya membaca surah.

Jumhur sahabat kami mengatakan: Hal ini berdasarkan dua pendapat.

Sebagian mereka mengatakan: Ini adalah menurut pendapat yang menganjurkan pembacaan surah dalam dua raka’at terakhir. Adapun menurut yang lain tidaklah dianjurkan.

Yang benar adalah pendapat pertama supaya shalatnya tidak kosong dari surah. Dan Allah lebih tahu.

Ini adalah hukum Imam dan orang yang shalat sendirian.

Adapun makmum, apabila shalatnya pelan bacaannya, wajiblah ia membaca Al-Fatihah dan dianjurkan baginya membaca surah.

Jika shalat itu bacaannya keras, sedang ia mendengar bacaan imam, tidaklah disukai baginya membaca surah.

Mengenai kewajiban membaca Al-Fatihah ada dua pendapat: Yang lebih sahih wajib dan pendapat kedua tidak wajib.

Jika tidak mendengar bacaan imam, maka yang sahih adalah wajib membaca Al-Fatihah dan dianjurkan membaca surah. Ada yang mengatakan wajib membaca Al-Fatihah dan tidak dianjurkan membaca surah. Dan Allah lebih tahu.

Wajib membaca Al-Fatihah setelah takbir pertama dari shalat jenazah. Adapun membaca Al-Fatihah dalam shalat Naafilah, maka hukumnya wajib.

Sahabat-sahabat kami berselisih mengenai penamaannya dalam shalat itu.

Al-Qufal berkata: Namanya wajib. Sahabatnya Al-Qadhi Husein berkata: Namanya syarat. Yang lain berkata: Namanya rukun dan itu yang lebih tepat. Dan Allah lebih tahu.

Orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dalam semua ini, ia menggantinya dengan yang lain dan membaca ayat-ayat yang setara dengannya dari Al-Qur’an. Jika tidak mampu, ia menggantinya dengan dzikir-dzikir yang setara dengannya seperti tasbih, tahlil dan semacamnya.

Jika tidak mampu membaca sesuatu, ia berdiri sekadar lamanya bacaan Al-Fatihah, kemudian rukuk. Dan Allah lebih tahu.

 

Membaca dua surah dalam satu raka’at

Tidak ada masalah bila membaca dua surah dalam satu raka’at. Diriwayatkan dalam Shahihain dari hadits Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Aku telah mengetahui surah-surah yang pernah Rasulullah menggabungkannya. Ia menyebut dua puluh surah dari Al-Mufashshol, setiap dua surah dalam satu raka’at. Telah kami kemukakan dari jama’ah salaf pembacaan khataman dalam satu raka’at.

 

Membaca dengan suara keras dalam sebagian shalat

Kaum muslimin sepakat atas sunnahnya membaca dengan suara keras dalam shalat Subuh, Jum’at, dua hari raya, dua raka’at pertama dari shalat Maghrib dan Isya’, dalam shalat Tarawih dan Witir sesudahnya. Ini adalah sunnah bagi Imam dan orang yang shalat sendirian.

Adapun makmum, ia tidak membaca dengan suara keras berdasarkan ijma’ ulama. Disunnahkan membaca dengan suara keras dalam shalat gerhana bulan dan tidak membaca dengan suara keras dalam shalat gerhana matahari.

Dan disunnahkan membaca dengan suara keras dalam shalat Istisqa’, sedangkan dalam shalat jenazah tidak membaca dengan suara keras apabila dikerjakan di siang hari. Demikian pula di malam hari menurut mazhab yang sahih dan terpilih.

Tidak membaca dalam shalat sunnah di siang hari selain shalat dua hari raya dan Istisqa’ yang kami sebutkan.

Sahabat-sahabat kami berselisih mengenai shalat nawaafil di malam hari. Yang lebih tepat tidak membaca dengan suara keras dan pendapat kedua membaca dengan suara keras.

Pendapat ketiga yang lebih sahih, yaitu pilihan Al-Qadhi Husein dan Al-Baghawi ialah membaca dengan suara antara keras dan pelan.

Andaikata ketinggalan shalat di waktu malam, lalu ja mengqadhanya di waktu siang atau ketinggalan di waktu siang, lalu ia mengqadhanya di waktu malam apakah yang diperhitungkan dalam membaca dengan suara keras dan suara pelan adalah waktu yang tertinggal atau waktu mengqadha?

Para sahabat kami mempunyai dua pendapat mengenainya: Yang lebih tepat di antara keduanya ialah memperhitungkan waktu qadha.

Andaikata ia membaca dengan suara keras di tempat yang seharusnya membaca dengan suara pelan atau membaca dengan suara pelan di tempat membaca dengan suara keras, maka shalatnya sah, tetapi ia melakukan sesuatu yang makruh dan tidak perlu sujud sahwi.

Ketahuilah, bahwa membaca pelan dalam membaca surah dan takbir serta dzikir-dzikir lainnya ialah mengucapkannya sehingga terdengar oleh dirinya. Ia harus mengucapkannya supaya dirinya bisa mendengar apabila pendengarannya sehat dan tidak ada yang menghalanginya. Jika dirinya tidak bisa mendengar, maka bacaannya tidak sah, begitu pula dzikir-dzikir lainnya tanpa ada perselihan.

 

Tempat-tempat diam pada bacaan dalam shalat jahriyah

Sahabat-sahabat kami berkata: Disunnahkan bagi Imam dalam shalat jahriyah untuk diam empat kali dalam keadaan berdiri.

Pertama: Sesudah takbiratul ihram untuk membaca doa tawajjuh (iftitah) dan para makmum membaca takbir.

Kedua: Sesudah membaca Al-Fatihah diam sedikit sekali di antara Al-Fatihah dan Aamiin supaya tidak timbul salah paham bahwa Aamiin termasuk Al-Fatihah.

Ketiga: Diam yang lama sesudah Aamiin supaya para makmum bisa membaca Al-Fatihah.

Keempat: Setelah selesai dari membaca surah diam sebentar antara pembacaan surah dan takbir untuk turun menuju rukuk.

 

Disunnahkan mengucapkan “Aamiin” sesudah Al-Fatihah

Disunnahkan bagi setiap pembaca di dalam shalat atau di tempat lainnya apabila selesai dari membaca Al-Fatihah mengucapkan: Aamiin.

Hadits-hadits mengenai hal itu banyak dan masyhur. Kami telah mengemukakan dalam pasal sebelumnya bahwa dianjurkan memisahkan antara akhir Al-Fatihah dan Aamiin dengan diam sebentar.

Aamiin artinya: “Ya Allah, kabulkanlah.

Ada yang mengatakan: “Demikianlah, maka jadilah.”

Ada yang mengatakan: Lakukanlah.

Ada yang mengatakan: Tiada seorang pun yang sanggup melakukan ini, kecuali Engkau. Ada yang mengatakan artinya: Jangan sia-siakan harapan kami.

Ada yang mengatakan: Amankanlah kami dengan kebaikan.

Ada yang mengatakan: Ia adalah pelindung dari Allah bagi hamba-hamba-Nya dengan menolak berbagai bencana dari mereka.

Ada yang mengatakan: Ia adalah derajat di surga yang dipersiapkan oleh siapa yang mengucapkannya.

Ada yang mengatakan: Ia adalah sebuah nama di antara nama-nama Allah Ta’ala.

Para peneliti dan jumhur ulama menolak pendapat ini.

Ada yang mengatakan: Ia adalah nama Ibrani yang tidak diarabkan.

Abu Bakar Al-Warraq berkata: Ia adalah kekuatan untuk berdoa dan permintaan turunnya rahmat. Ada yang mengatakan selain itu.

Ada beberapa cara mengucapkan Amin. Para ulama berkata: Yang paling fasih adalah Aamin dengan memanjangkan hamzah dan meringankan Mim, cara kedua dengan memendekkannya.

Kedua pendapat ini masyhur. Cara ketiga dengan imalah disertai madd.

Al-Wahidi menceritakan hal litu dari Hamzah dan Al-Kisa’iy.

Cara keempat dengan tasydid pada miim disertai madd. Al-Wahidi menceritakannya dari Al-Hasan dan Al-Husein bin Fudhail. Ia berkata: Hal litu ditegaskan oleh riwayat dari Ja’far Ash-Shadiq , ia berkata: Artinya ialah kami menuju kepada-Mu sedang Engkau Maha Pemurah hingga tidak menyia-nyiakan orang yang menuju. Ini perkataan Al-Wahidi. Cara keempat ini aneh sekali.

Kebanyakan ahli bahasa menganggapnya sebagai salah ucapan dari golongan awam.

Segolongan dari sahabat kami berpendapat: Barangsiapa mengucapkannya (cara keempat), batallah shalatnya. Ahli bahasa berkata: Haknya dalam bahasa Arab adalah waqaf (berhenti), karena kedudukannya seperti suara.

Apabila disambung, huruf Nuun diberi harakat fathah karena adanya pertemuan dua sukun sebagaimana diberi harakat fathah pada Aina dan Kaifa, maka tidak diberi harakat kasrah karena beratnya bacaan kasrah sesudah Yaa’. Inilah ringkasan yang berkaitan dengan lafadh Aamiin.

Saya telah menjelaskan hal itu dengan berbagai bukti dan pendapat tambahan dalam kitab “Tahdziibul asma’ wal lughaat.’

Para ulama berkata: Disunnahkan mengucapkan Aamiin dalam shalat bagi Imam dan makmum yang bersamanya dan orang yang shalat sendirian. Imam dan orang yang shalat sendirian membaca Aamiin dengan suara keras dalam shalat yang keras bacaannya.

Mereka berselisih tentang ucapan Aamiin dengan suara keras oleh makmum. Yang sahih adalah ia membaca dengan suara keras.

Pendapat kedua ialah tidak mengucapkannya dengan suara keras.

Pendapat ketiga ialah membaca dengan suara keras jika banyak orangnya. Kalau tidak, maka tidak perlu mengucapkannya dengan keras.

Ucapan Aamiin oleh makmum bersamaan dengan ucapan Aamiin oleh Imam, tidak sebelumnya dan tidak sesudahnya berdasarkan sabda Nabi dalam hadits sahih:

“Apabila Imam mengucapkan: Wa ladhdhaalliin, ucapakanlah Aamiin, karena siapa yang ucapan Aamiinnya bertepatan dengan ucapan Aamiin para malaikat, maka Allah mengampuni dosanya yang terdahulu. “⁵⁵

Adapun sabda Nabi dalam hadits sahih: (Apabila Imam mengucapkan Aamiin, maka ucapkanlah: Aamiin).⁵⁶ Artinya: Apabila hendak mengucapkan Aamiin.

Sahabat-sahabat kami berkata: Tidak ada dalam shalat suatu tempat yang dianjurkan agar ucapan makmum bersamaan dengan ucapan imam, kecuali dalam ucapan Aamiin.

Adapun dalam ucapan-ucapan yang lain, maka ucapan makmum datangnya belakangan.

 

Sujud Tilawah

Para ulama telah sepakat atas perintah untuk melakukan sujud tilawah. Mereka berselisih apakah perintah itu hukumnya sunnah atau wajib?

Jumhur ulama berpendapat: tidak wajib, tetapi mustahab (sunnah).

Ini adalah pendapat Umar ibnul Khaththab, Ibnu Abbas, Imran bin Hushain, Malik, Al-Auza’iy, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Dawud dan lainnya.

Abu Hanifah rahimahullah berkata: Hukumnya wajib. Ia berhujjah dengan firman Allah Ta’ala:

“Mengapa mereka tidak beriman. Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” Al-Insyiqaq: 20-21.

Jumhur ulama berhujjah dengan hadits sahih dari Umar ibnul Khaththab: “Bahwa ia membaca di atas mimbar surah An-Naml hingga ketika sampai pada ayat sajdah, ia turun, lalu sujud dan orang-orang sujud.

Pada hari Jum’at berikutnya, ia membacanya hingga ketika sampai pada ayat sajdah, ia berkata: “Hai orang-orang, sesungguhnya kita sampai pada tempat sujud, maka siapa yang sujud, ia telah berbuat benar. Dan siapa yang tidak sujud, ia tidak berdosa,” dan Umar tidak sujud. Hadits riwayat Bukhari.

Perbuatan dan perkataan Umar di majelis ini adalah dalil yang jelas.

Adapun jawaban tentang ayat yang dijadikan hujjah oleh Abi Hanifah adalah jelas, karena yang dimaksud adalah mencela mereka karena meninggalkan sujud sebagai wujud pendustaan mereka terhadap Allah sebagaimana Allah Ta’ala berfirman sesudahnya: “(Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan (nya)“ Al-Insyiqaq: 22.

Diriwayatkan dalam Ash-Shahihain⁵⁷ dari Zaid bin Tsabit bahwa ia membacakan kepada Nabi: “Wan Najmi” dan tidak sujud.

Diriwayatkandalam Shahihain⁵⁸ bahwa Nabi sujud pada ayat sajdah dalam surah An-Najm. Maka hal itu menunjukkan bahwa sujudnya tidak wajib.

 

Penjelasan jumlah sujud dan tempatnya

Adapun jumlahnya, maka yang terpilih dan dikatakan oleh Asy-Syafi’i rahimahullah dan jumhur ulama ialah empat belas sajdah, yaitu dalam surah Al-A’raf, Ar-Ra’ad, An-Nahl, dan Subhaan (Al-Isra’), Maryam, dan dua sajdah dalam surah Al-Hajj, dalam surah Al-Furqan, An-Naml, Alif Laam Miim, dan Haa Miim As-Sajdah, Wan Najmi, Al-Insyiqaq dan Al-‘Alaq.

Adapun sajdah dalam surah “Shaad” adalah sunnah, bukan sujud yang sangat dianjurkan, yakni bukan sunnah muakkadah.

Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari⁵⁹ dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Sajdah dalam surah Shaad bukanlah sujud yang ditekankan dan aku telah melihat Nabi sujud pada ayat itu.” Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i dan ulama yang berpendapat seperti dia.

Abu Hanifah berkata: Jumlahnya empat belas sajdah pula, tetapi digugurkan sajdah kedua dari surah Al-Hajj dan ditetapkan sajdah dalam surah Shaad dan menjadikannya sajdah yang diharuskan sujud.

Dari Ahmad ada dua riwayat: Yang pertama seperti pendapat Asy-Syafi’i dan yang kedua lima belas sajdah dengan menambahkan sajdah Shaad.

Ini adalah pendapat Abil Abbas bin Syuraih dan Abi Ishaq Al-Maruzi dari pengikut Asy-Syafi’i.

Dari Malik ada dua riwayat: Yang pertama seperti Asy-Syafi’i dan yang paling masyhur di antara keduanya adalah sebelas sajdah.

Ia menggugurkan sajdah dalam surah An-Najm, Al-Insyiqaq dan Al-‘Alaq.

Ini adalah qaul qadim (mazhab lama) dari Asy-Syafi’i. Yang sahih ialah yang kami kemukakan dan hadits-hadits yang sahih menunjukkannya.

Adapun tempat sujud tilawah terdapat pada akhir surah Al-A’raf.

Dan surah Ar-Ra’ad, yaitu sesudah firman Allah Azza wa Jalla:

“…………. di waktu pagi dan petang hari.” Ar-Ra’ad: 15.

Dalam surah An Nahl:

“…………. dan melaksanakan apa yang diperintahkan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” An-Nahl: 50.

 

Dalam surah Al-Isra’

“…………. dan mereka bertambah khusyu’.” Al-Isra’: 109.

 

Dalam surah Maryam:

“…………. maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” Maryam: 58.

 

Dalam sajdah pertama dari surah Al-Hajj, yaitu:

“Sesungguhnya Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.” Al-Hajj: 18.

 

Dan sajdah kedua:

“………… berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.” Al-Hajj: 27.

 

Dalam surah Al-Furqan:

“………… (dan perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).” Al-Furqan: 60.

 

Dalam surah An-Naml:

“………… Tuhan Yang Mempunyai Arsy yang besar.” An-Naml: 26.

 

Dalam surah Alif Laam Miim Tanzil:

“………… sedang mereka tidak menyombongkan diri.” As-Sajdah: 15.

 

Dalam surah Haa Miim (Fushshilat):

“……….. sedang mereka tidak merasa jenu.” Fushshilat: 38.

Akhir surah An-Najm:

“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” An-Najm: 62.

 

Dalam surah Al-Insyiqaq:

“……….. mereka tidak bersujud.” Al-Insyiqaq: 21.

 

Dan pada akhir surah Al-‘Alaq: 19.

Tidak ada perselisihan yang berarti mengenai tempatnya, kecuali yang terdapat pada surah (Haa Miim). Para ulama berselisih mengenainya. Asy-Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa tempatnya sesudah yas’amuuna. Ini adalah madzab Said ibnul Musayyab, Muhammad ibnu Sirin, Abi Waail Syaqiq bin Salamah, Sufyan Ats-Tsauri, Abi Hanifah, Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

Para ulama yang lain berpendapat bahwa tempatnya sesudah firman Allah Ta’ala: (Fushshilat: 37).

Ibnu Mundzir menceritakannya dari Umar ibnul Khaththab, Hasan Al-Bashri dan para pengikut Abdillah bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’iy, Abu Shaleh, Thalhah bin Musharrif, Zubair ibnul Harits, Malik bin Anas, Al-Laits bin Sa’ad. Ini adalah pendapat dari sebagian pengikut Asy-Syafi’i. Al-Baghawi menceritakannya dalam At-Tahdzib.

Adapun perkataan Abul Hasan Ali bin Said Al-Abdi salah seorang sahabat kami dalam kitabnya Al-Kifayah mengenai perselisihan fuqaha di kalangan kami bahwa sajdah dalam surah An-Naml ayat 25 adalah pada firman Allah Ta’ala: wa ya’lamuma tukhfuna wamaa tu’linuuna, ia berkata: Ini adalah mazhab sebagian besar fuqaha.

Malik berkata: Sajdah itu terdapat pada firman Allah Ta’ala: (An-Naml: 26).

Inilah yang dinukilnya dari mazhab kami.

Mazhab sebagian besar fuqaha tidak dikenal dan tidak diterima, tetapi merupakan kesalahan yang jelas.

Inilah kitab-kitab para sahabat kami menjelaskan bahwa sajdah itu terdapat pada firman Allah Ta’ala: rabbul arsyil adzim. Dan Allah lebih tahu.

 

Hukum sujud tilawah

Hukum sujud tilawah sama dengan hukum shalat nafilah dalam persyaratan suci dari hadats dan najis, menghadap kiblat dan menutup aurat. Maka sujud tilawah diharamkan atas orang yang pada badannya atau bajunya terdapat najasah yang tidak dimaafkan.

Dan diharamkan atas orang yang berhadats, kecuali apabila ia bertayammum di tempat di mana ia boleh bertayammum.

Dan diharamkan menghadap ke arah selain kiblat, kecuali dalam perjalanan, karena boleh shalat nafilah menghadap ke arah selain kiblat. Semua ini disepakati oleh para ulama.

 

Pasal: Apabila membaca sajdah (dalam surah Shaad), ulama yang berpendapat bahwa dalam surah itu ada ketentuan tempat sujud tilawah, maka ia berpendapat: boleh sujud ketika membacanya di dalam shalat maupun di luarnya seperti sajdah-sajdah yang lain.

Adapun Asy-Syafi’i dan lainnya yang berpendapat bahwa sajdah itu bukan termasuk tempat yang ditentukan, mereka berpendapat: Apabila membacanya di luar shalat, disunnahkan baginya sujud, karena Nabi sujud pada sajdah itu sebagaimana kami kemukakan.

Jika membacanya di dalam shalat, ia tidak perlu sujud. Jika ia sujud karena tidak tahu atau lupa, maka shalatnya tidak batal, tetapi ia lakukan sujud sahwi. Jika ia mengetahui, maka pendapat yang sahih ialah shalatnya batal, karena ia menambah dalam shalatnya sesuatu yang bukan termasuk darinya sehingga batal.

Sebagaimana halnya apabila ia melakukan sujud syukur di dalam shalat. Maka shalatnya batal tanpa ada perselisihan.

Pendapat kedua: Tidak batal, karena mempunyai kaitan dengan shalat. Andaikata imamnya sujud pada sajdah “Shaad” karena ia meyakininya sebagai tempat yang ditentukan sujudnya, sedangkan makmum tidak meyakininya, maka ia jangan mengikuti imamnya.

Apabila menunggunya, apakah ia melakukan sujud sahwi?

Ada dua pendapat mengenainya: Yang lebih tepat: tidak sujud.

 

Pasal: Tentang siapa yang disunnahkan sujud tilawah

Ketahuilah, bahwa ia disunnahkan bagi pembaca yang bersuci dengan air atau tanah ketika dibolehkan, baik dalam shalat atau di luarnya.

Disunnahkan pula bagi orang yang mendengarkan dan orang yang mendengar tanpa sengaja.

Akan tetapi Al-Imam Asy-Syafi’I berkata: Saya tidak menekankan baginya sebagaimana saya tekankan bagi orang yang mendengarkan. Inilah pendapat yang sahih.

Imamul Haramain sahabat kami berkata: Pendengar tidak perlu sujud. Yang masyhur adalah pendapat pertama. Sama halnya apakah pembacanya dalam shalat atau di luar shalat disunnahkan bagi orang yang mendengar maupun yang mendengarkannya untuk sujud. Baik pembacanya sujud atau tidak. Inilah pendapat yang sahih dan masyhur menurut para pengikut Asy-Syafi’i.

Penulis kitab “Al-Bayaan” pengikut Asy-Syafi’i berkata: Orang yang mendengarkan bacaan orang yang membaca di dalam shalat tidak perlu sujud.

Ash-Shaidalani pengikut Asy-Syafi’i berkata: Tidak disunnahkan sujud, kecuali bila pembacanya sujud. Yang benar adalah pendapat pertama.

Tidak ada bedanya apakah pembacanya seorang muslim laki-laki yang sudah baligh dan bersuci atau seorang kafir atau anak kecil atau berhadats atau seorang perempuan.

Ini adalah pendapat yang sahih menurut kami dan ini juga pendapat Abu Hanifah.

Salah seorang sahabat kami berkata: Tidak perlu sujud bila mendengar bacaan orang kafir, anak kecil, orang yang berhadats dan orang mabuk.

Sejumlah ulama salaf berpendapat: Tidak perlu sujud ketika mendengar bacaan orang perempuan. Ibnul Mundzir menceritakannya dari Qatadah, Malik dan Ishaq.

Yang benar adalah yang kami kemukakan.

 

Meringkas sujud tilawah

Maksudnya ialah membaca satu ayat atau dua ayat, kemudian sujud.

Ibnul Mundzir menceritakan dari Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Muhammad ibnu Sirin, An-Nakha’iy, Ahmad dan Ishaq bahwa mereka tidak menyukai hal itu.

 

Diriwayatkan dari Abi Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abi Tsaur bahwa hal itu tidak ada masalah dengannya. Ini sesuai dengan mazhab kami.

 

Adab-adab sujud tilawah

Apabila shalat sendirian, ia boleh sujud untuk bacaan dirinya sendiri. Seandainya ia meninggalkan sujud tilawah dan rukuk, kemudian ingin sujud untuk tilawah sesudahnya, maka tidak boleh.

Jika sudah merebahkan diri untuk rukuk, tetapi belum sampai batas rukuk, maka ia boleh melakukan sujud tilawah. Jika ia lakukan padahal ia mengetahuinya, batallah shalatnya.

Jika ia sudah merebahkan dirinya untuk sujud tilawah, kemudian teringat dan kembali berdiri, maka hal itu boleh.

Apabila orang yang shalat sendirian mendengarkan bacaan seorang pembaca dalam shalat atau lainnya, maka ia tidak boleh sujud karena mendengarnya. Jika ia sujud, padahal mengetahuinya, batallah shalatnya.

Adapun orang yang shalat berjama’ah, apabila ia menjadi imam, maka ia seperti orang yang shalat sendirian. Apabila imam melakukan sujud tilawah karena bacaannya sendiri, wajiblah atas makmum untuk sujud bersamanya. Jika tidak dilakukannya, batallah shalatnya.

Jika imam tidak sujud, maka makmum tidak boleh sujud. Jika makmum sujud, batallah shalatnya.

Akan tetapi dianjurkan baginya untuk sujud bila selesai shalat dan tidak ditekankan.

Andaikata imam sujud sedang makmum tidak tahu hingga imam mengangkat kepalanya dari sujud, maka ia dimaafkan atas ketinggalannya dan ia tidak boleh sujud.

Andaikata ia mengetahui sedang imam dalam keadaan sujud, ia pun wajib sujud.

Andaikata ia rebahkan diri untuk sujud, lalu imam mengangkat kepalanya ketika ia sedang bergerak untuk sujud, maka ia harus kembali berdiri bersamanya dan tidak boleh sujud. Begitu pula orang lemah yang merebahkan diri untuk sujud bersama imam, apabila imam bangkit dari sujud sebelum orang yang lemah itu sampai ke tempat sujud lantaran cepatnya imam dan lambatnya makmum yang lemah itu, maka ia kembali bersamanya dan tidak boleh meneruskan sujud.

Adapun bilamana orang yang shalat itu menjadi makmum, maka ia tidak boleh sujud karena bacaannya sendiri ataupun karena bacaan selain imamnya. Jika ia sujud, batallah shalatnya. Dan dihukum makruh baginya membaca ayat sajdah dan makruh baginya mendengarkan bacaan selain imamnya.

 

Waktu sujud tilawah

Para ulama berkata: Sujud tilawah harus dilakukan sesudah ayat sajdah yang dibacanya atau didengarnya. Jika ia menundanya dan selang waktunya tidak lama, ia boleh sujud. Jika selang waktunya lama, maka lewatlah sujudnya.

la tidak perlu mengqadha menurut mazhab yang sahih dan masyhur sebagaimana shalat gerhana tidak boleh diqadha.

Seorang sahabat kami berkata: Ada pendapat yang lemah bahwa sujudnya boleh diqadha seperti mengqadha shalat-shalat sunnah raatibah seperti sunnah Subuh dan Dhuhur dan lainnya.

Bilamana pembaca atau pendengarnya berhadats ketika membaca sajdah, lalu bersuci dalam waktu dekat, ia boleh sujud. Jika ia lambat bersuci hingga lama selang waktunya, maka pendapat yang sahih dan terpilih yang ditetapkan oleh sebagian besar ulama adalah tidak sujud.

Ada yang mengatakan bahwa ia boleh sujud. Ini adalah pendapat Al-Baghawi sahabat kami. Ia pun boleh menjawab muadzdzin (orang yang menyerukan adzan) setelah selesai shalat.

Yang diperhitungkan mengenai lamanya selang waktu ialah menurut kebiasaan sebagai mazhab yang terpilih. Dan Allah lebih tahu.

Apabila membaca seluruh ayat sajdah atau beberapa sajdah darinya dalam satu majelis, maka ia boleh sujud untuk setiap sajdah tanpa ada perselisihan. Jika ia mengulangi satu ayat dalam beberapa majelis, maka ia boleh sujud untuk setiap kali tanpa ada perselisihan.

Jika ia mengulanginya dalam satu majelis, maka dilihat. Jika ia tidak sujud untuk kali pertama, cukuplah baginya satu kali sujud untuk semuanya. Jika ia sujud untuk kali pertama, maka ada tiga pendapat mengenainya.

Pendapat yang paling sahih adalah ia sujud untuk setiap kali sajdah, karena sebabnya berulang setelah memenuhi hukum sajdah yang pertama.

Pendapat kedua: Cukuplah baginya sujud bacaan pertama untuk semuanya. Ini adalah pendapat Ibnu Suraij dan mazhab Abu Hanifah rahimahullah. Penulis Al-Uddah sahabat kami berkata: Inilah yang difatwakan. Asy-Syeikh Nashr Al-Maqdisi Az-Zahid sahabat kami memilih pendapat ini.

Pendapat ketiga: Jika selang waktunya lama, ia boleh sujud. Kalau tidak, maka cukuplah baginya sajdah yang pertama. Adapun bilamana ia mengulangi satu ayat dalam shalat dalam satu raka’at, maka raka’at itu seperti satu majelis. Maka berlakulah padanya ketiga macam pendapat itu.

Apabila pengulangan ayat itu terjadi dalam dua raka’at, maka seperti dua majelis sehingga ia harus mengulangi sujud tanpa ada perselisihan.

Apabila ia membaca sajdah sambil menaiki kendaraan dalam perjalanan, maka ia sujud dengan memberi isyarat.

Ini adalah mazhab kami dan mazhab Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, Zufar, Dawud dan lainnya.

Sebagian pengikut Abi Hanifah berpendapat: Ia tidak perlu sujud.

Yang benar adalah mazhab jumhur.

Adapun pengendara di tempat bermukim, ia boleh sujud dengan memberi isyarat.

 

Membaca sajdah sebelum Al-Fatihah

Apabila seseorang membaca ayat sajdah dalam shalat sebelum Al-Fatihah, ia boleh sujud. Lain halnya bila ia membacanya dalam rukuk atau sujud, maka ia tidak boleh sujud, karena berdiri adalah tempat membaca.

Andaikata ia membaca ayat sajdah, lalu merebahkan diri untuk sujud, kemudian ragu apakah ia sudah membaca Al-Fatihah, maka ia boleh melakukan sujud tilawah. Kemudian ia kembali berdiri dan membaca Al-Fatihah, karena sujud tilawah tidak boleh ditunda.

Apabila seseorang membaca ayat sajdah dengan bahasa Persia, maka menurut kami ia tidak perlu sujud sebagaimana jika ia menafsirkan ayat sajdah.

Abu Hanifah berpendapat: Ia boleh sujud.

Apabila pendengar ayat sajdah itu sujud bersama pembaca, ia tidak terikat dengannya dan tidak perlu berniat mengikutinya. Ia boleh bangkit dari sujud sebelumnya.

Tidaklah dihukum makruh pembacaan ayat sajdah oleh imam menurut pendapat kami, baik dalam shalat yang pelan bacaannya atau dalam shalat yang keras bacaannya, dan ia boleh sujud bila membacanya.

Malik berpendapat: Sujud itu dihukum makruh secara mutlak

Abu Hanifah berpendapat: Sujud itu dihukum makruh dalam shalat yang pelan bacaannya, bukan yang keras bacaannya.

 

Sujud tilawah dalam waktu-waktu yang makruh

Menurut kami tidak dihukum makruh sujud tilawah dalam waktu-waktu yang dilarang shalat di dalamnya. Ini juga pendapat Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Salim bin Abdullah, Al-Qasim, Atha’, Ikrimah dan Abu Hanifah, ashaabur ra’yi dan Malik dalam salah satu dari dua pendapat.

Sekelompok ulama tidak menyukai hal itu. Di antara mereka adalah Abdullah bin Umar, Said ibnul Musayyab, Malik dalam riwayat lain, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur.

 

Rukuk tidak bisa menggantikan sujud tilawah

Rukuk tidak bisa menggantikan sujud tilawah dalam keadaan ikhtiar. Ini adalah mazhab kami dan mazhab jumhur ulama dari salaf dan khalaf.

Abu Hanifah rahimahullah berpendapat: Rukuk bisa menggantikan sujud tilawah.

Dalil jumhur adalah mengiaskannya dengan sujud shalat.

Adapun orang yang tidak mampu sujud, ia boleh memberi isyarat untuk sujud tilawah sebagaimana ia memberi isyarat untuk sujud dalam shalat.

 

Pasal: Tentang Sifat Sujud

Ketahuilah, bahwa orang yang melakukan sujud tilawah mempunyai dua keadaan. Yang pertama di luar shalat dan yang kedua di dalam shalat.

Adapun yang pertama, apabila hendak sujud, ia berniat sujud tilawah dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya sebagaimana ia lakukan dalam takbiratul ihram untuk shalat. Kemudian ia mengucapkan takbir lagi untuk sujud tilawah tanpa mengangkat tangan.

Takbir yang kedua mustahab, bukan syarat seperti takbir untuk sujud dalam shalat. Adapun takbir pertama, yaitu takbiratul ihram, maka ada tiga pendapat dari para sahabat kami mengenainya:

Yang paling tepat, yaitu pendapat sebagian besar dari mereka ialah bahwa takbir itu adalah rukun dan tidak sah sujud, kecuali dengannya.

Pendapat kedua: Takbir itu mustahab (sunnah) dan andaikata ditinggalkan, sujudnya sah. Ini adalah pendapat Asy-Syeikh Abi Muhammad Al-Juwaini.

Pendapat ketiga ialah tidak mustahab. Dan Allah lebih mengetahui.

Kemudian, jika orang yang ingin sujud itu dalam keadaan berdiri, ia pun

mengucapkan takbiratul ihram, kemudian bertakbir untuk sujud di waktu merebahkan diri ke tempat sujud.

Jika dalam keadaan duduk, maka jama’ah dari sahabat kami berpendapat: Disunnahkan baginya berdiri, lalu mengucapkan takbiratul ihram dalam keadaan berdiri, kemudian merebahkan diri berdiri untuk sujud sebagaimana halnya di waktu permulaan dalam keadaan berdiri.

Dalil dari pendapat ini adalah mengiaskannya dengan takbiratul ihram dan sujud di dalam shalat.

Yang menyebutkan hal ini dan menetapkannya di antara imam-imam sahabat kami adalah Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan Al-Qadhi Husein serta kedua temannya, yaitu penulis kitab “At-Tatimmah dan At-Tahdzib” dan Al-Imam Al-Muhaqqiq Abul Qasim Ar-Rafi’i.

Imamul Haramain menceritakannya dari ayahnya Asy-Syeikh melihat Abi Muhammad, kemudian mengingkarinya. Ia berkata: Saya tidak dasar maupun alasan dari hal ini.

Apa yang dikatakan oleh Imamul Haramain ini adalah benar. Tidak ada riwayat yang sahih mengenai hal ini dari Nabi dan tidak pula dari ulama salaf yang bisa dibuat panutan. Jumhur sahabat kami tidak ada yang membahasnya. Wallahu a’lam.

Kemudian di waktu sujud ia harus memperhatikan adab-adab sujud dalam hai-at dan tasbih.

Adapun mengenai hai-atnya, ia letakkan kedua tangannya sebatas kedua pundaknya di atas tanah dan merapatkan jari-jarinya serta membentangkannya dari lengan bajunya dan melakukan sujud dengan keduanya sebagaimana orang yang shalat.

la jauhkan kedua sikunya dari kedua sisinya dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya jika ia seorang lelaki. Jika ia seorang perempuan atau banci, maka ia tidak menjauhkannya.

Orang yang sujud mengangkat bagian bawahnya di atas kepalanya dan merapatkan dahi dan hidungnya di atas mushalla (alas tempat shalat) dan tenang dalam sujud.

Adapun tasbih di dalam sujud, maka para sahabat kami berpendapat: la bertasbih seperti bertasbih dalam sujud shalat. la ucapkan tiga kali: Subhana Rabbiyal A’laa.

Kemudian ia ucapkan:

“Ya Allah, kepada-Mu aku sujud, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya dan membentuk rupanya, membuat pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya. Maka suci Allah sebaik-baik Pencipta.”

Dan ia ucapkan:

(Maha Suci Tuhan para malaikat dan ruh)

Semua ini diucapkan orang yang shalat dalam sujudnya.

Para sahabat kami juga berkata: Ia dianjurkan membaca:

“Ya Allah, ampunilah tulislah bagiku dengan sujud ini pahala di sisi-Mu, dan jadikanlah dia bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, hapuskan dosa dariku Dan terimalah sujud ini dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari Daud alaihissalam.” Doa ini khusus bagi sujud ini, maka patutlah ia selalu dibaca.

 

Al-Ustadz Ismail Ad-Dharir berkata dalam kitabnya “At-Tafsir” bahwa pilihan Asy-syafi’i mengenai doa sujud tilawah ialah mengucapkan:

“Maha Suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Al-Isra’: 108.

 

Penukilan ini daei Asy-syafi’i aneh sekali dan ia adalah baik.

Karena dhahir Al-Qur’an menghendaki ucapan pujian di dalam sujud oleh pelakunya. Maka disunnahkan menggabungkan antara dzikir-dzikir ini seluruhnya dan berdoa mengenai urusan-urusan akhirat dan dunia yang diinginkannya.

Jika ia batasi pada sebagiannya, sudah cukup bacaan tasbihnya.

Andaikata tidak bertasbih dengan sesuatu apapun, tercapailah sujudnya seperti sujud dalam shalat.

Kemudian, apabila selesai dari bertasbih dan berdoa, ia angkat kepalanya sambil bertakbir.

Apakah sujud tilawah memerlukan salam? Ada dua pendapat mengenainya dari Asy-Syafi’i yang masyhur.

Yang lebih sahih di antara keduanya menurut jumhur ulama dari para pengikutnya ialah memerlukan salam, karena ia memerlukan takbiratul ihram dan menjadi seperti shalat jenazah.

Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud bahwa apabila membaca ayat sajdah, ia-sujud, kemudian memberi salam.

Pendapat kedua: Sujud tilawah tidak memerlukan salam seperti sujud tilawah di dalam shalat dan karena hal itu tidak dinukil dari Nabi.

Berdasarkan pendapat pertama, apakah sujud tilawah memerlukan tasyahhud?

Ada dua pendapat dan yang paling sahih di antara keduanya ialah tidak memerlukan tasyahhud sebagaimana ia tidak memerlukan berdiri.

Salah seorang sahabat kami menggabungkan antara dua masalah itu. Ia berkata mengenai tasyahhud dan salam bahwa ada tiga pendapat.

Yang paling sahih ialah harus mengucapkan salam tanpa tasyahhud.

Pendapat kedua: Ia tidak memerlukan satu pun dari keduanya.

Pendapat ketiga ialah harus melakukan kedua-duanya.

Di antara ulama salaf yang berpendapat: harus mengucapkan salam ialah: Muhammad ibnu Sirin, Abu Abdurrahman As-Sulami, Abul Ahwash, Abu Qulabah dan Ishaq bin Rahawaih.

Adapun yang mengatakan tidak perlu mengucapkan salam ialah Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’iy, Yahya bin Watstsab dan Ahmad.

Semua ini dalam keadaan pertama, yaitu sujud di luar shalat.

Keadaan kedua ialah melakukan sujud tilawah dalam shalat. Maka ia tidak perlu bertakbir untuk ihram.

Dianjurkan bertakbir untuk sujud dan tidak mengangkat kedua tangannya, dan bertakbir untuk bangkit dari sujud. Inilah pendapat yang sahih dan masyhur yang dikatakan oleh jumhur ulama.

Sahabat kami Abu Ali bin Abi Hurairah berkata: Tidak perlu bertakbir untuk sujud maupun bangkit dari sujud.

Yang terkenal adalah pendapat pertama.

Adapun adab-adab dalam haiat dan tasbih dalam sujud tilawah adalah seperti dalam sikap sujud yang lalu di luar shalat, kecuali bila orang yang sujud itu menjadi imam, maka janganlah ia memanjangkan tasbih, kecuali jika ia tahu dari keadaan para makmum bahwa mereka lebih suka memanjangkannya.

Kemudian, ketika bangkit dari sujud, ia berdiri dan tidak duduk

untuk beristirahat tanpa ada perselisihan. Ini adalah masalah yang

ganjil. Jarang orang yang menyebutnya. Di antara ulama yang menyebutnya adalah Al-Qadhi Husein, Al-Baghawi dan Ar-Rafi’i.

Ini berbeda dengan sujud shalat.

Pendapat yang sahih dan disebutkan oleh Asy-Syafi’i dan terpilih yang tercantum dalam hadits-hadits sahih riwayat Bukhari dan lainnya adalah anjuran untuk istirahat sesudah sujud yang kedua dari raka’ata pertama dalam setiap shalat dan raka’at ketiga dalam shalat yang raka’atnya empat.

Kemudian, apabila bangkit dari sujud tilawah, maka ia harus berdiri tegak.

Disunnahkan ketika berdiri tegak adalah membaca sesuatu, kemudian rukuk. Jika berdiri tegak, kemudian rukuk tanpa membaca sesuatu, maka hukumnya boleh.

 

Waktu-waktu yang terpilih untuk membaca Al-Qur’an

Ketahuilah, bahwa pembacaan Al-Qur’an yang paling utama adalah di dalam shalat. Mazhab Asy-Syafi’i dan lainnya ialah berdiri lama di dalam shalat lebih utama daripada sujud yang lama.

Adapun membaca Al-Qur’an di luar shalat, yang paling utama adalah membacanya di waktu malam. Setengah malam terakhir lebih utama daripada yang pertama.

Pembacaan Al-Qur’an di antara Maghrib dan Isya’ disukai. Adapun pembacaan Al-Qur’an di waktu siang, yang paling baik adalah sesudah shalat Subuh dan tidak ada kemakruhan dalam membaca Al-Qur’an di waktu mana pun karena mengandung makna.

Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ma’an bin Rifa’ah dari guru-gurunya bahwa mereka tidak suka membaca Al-Qur’an sesudah Ashar dan mengatakan bahwa itu adalah waktu belajarnya kaum Yahudi, maka anggapan itu tidak dapat diterima dan tidak berdasar.

Hari-hari yang terpilih adalah hari Jum’at, Senin, Kamis dan hari Arafah. Dan sepuluh hari yang terpilih adalah sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah dan bulan yang paling utama adalah bulan Ramadhan.

Apabila pembaca merasa bingung dan tidak mengetahui tempat sesudah ayat yang telah dibacanya, maka tanyakanlah kepada orang lain. Hendaklah ia beradab dengan apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’iy, Basyir bin Abi Mas’ud radhiyallahu anhum.

Mereka berkata: Apabila seseorang dari kalian bertanya kepada saudaranya tentang suatu ayat, hendaklah ia membaca ayat yang sebelumnya, kemudian diam dan tidak mengatakan: Bagaimana bisa begini dan begini, karena perkataan itu akan membingungkannya.

Apabila hendak berdalil dengan suatu ayat, ia boleh mengatakan: Allah Ta’ala telah berfirman demikian, dan ia boleh berkata: Allah Ta’ala berfirman demikian.

Tidak ada kemakruhan pada sesuatu pun dari ini. Inilah pendapat yang sahih dan terpilih yang diamalkan oleh ulama salaf dan khalaf.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mutharrif bin Abdillah ibnu Syikhkhir seorang tabi’iy yang masyhur, ia berkata: Jangan katakan: Innallaha Ta’ala yaquulu (Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman), tetapi katakanlah: Innallaha Ta’ala qaala (Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman).

Apa yang diingkari oleh Mutharrif rahimahullah ini bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang sesudah mereka -semoga Allah meridhai mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” Al-Ahzab: 4.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abi Dzarr, ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa berbuat kebaikan, maka ia mendapat ganjaran sepuluh kali lipat.” Al-An’am: 160.

 

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam bab Tafsir: (Ali-Imran: 92)

 

Maka Abu Thalhah berkata:

“Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Ali-Imran: 92.

 

Ini adalah perkataan Abi Thalhah di hadapan Nabi SAW.

Diriwayatkan dalam hadits sahih dari Masruq, ia berkata: Aku berkata kepada Aisyah ra:

“Bukankah Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Tuhan di ufuk yang terang.” At-Takwir: 23.

 

Maka Aisyah menjawab:

“Tidaklah engkau mendengar bahwa Allah Ta’ala berfirman: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.” Al-An’am: 103.

 

Tidaklah engkau mendengar bahwa Allah Ta’ala berfirman:

“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berbicara dengannya, kecuali dengan perantaan wahyu atau di belakang tabir.” Asy-Syuara: 51.

 

Kemudian Aisyah berkata dalam hadits ini:

“Dan Allah Ta’ala berfirman: “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” Al-Maidah: 67.

 

Kemudian Aisyah berkata:

Dan Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah! Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” An-Naml: 65.

 

Yang semacam ini dalam pembicaraan salaf dan khalaf tak terhitung banyaknya. Dan Allah lebih tau.

 

Adab-adab pengkhataman Alquran dan segala yang berkaitan dengannya

Dalam pasal ini ada beberapa masalah:

Masalah pertama mengenai waktunya: Telah dijelaskan bahwa pengkhataman Alquran oleh pembaca sendirian disunnahkan untuk dilakukan dalam shalat.

Ada yang mengatakan: Dianjurkan agar pengkhataman ini dilakukan dalam dua rakaat sunnah fajar (subuh) dan dua rakaat sunnah maghrib, sedangkan dalam dua rakaat sunnah fajar lebih utama.

Dianjurkan mengkhatamkan sekali khatam di awal siang dalam suatu kesempatan dan mengkhatamkan khataman yang lain di akhir siang dalam suatu kesempatan.

Adapun orang yang mengkhatamkan di luar shalat dan jamaah yang mengkhatamkan bersama-sama, maka dianjurkan pengkhataman mereka dilakukan di awal siang dan di awal malam sebagaimana telah dijelaskan dan di awal siang lebih utama menurut sebagian ulama.

Masalah kedua: Dianjurkan berpuasa pada hari pengkhataman, kecuali bila bertepatan dengan hari yang dilarang syara’ puasanya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya yang sahih: bahwa Thalhah bin Mutharrif, Habib bin Abi Tsabit dan Al-Musayyab bin Rafi’ dari golongan tabi’in Kufah radhiyallahu anhum berpuasa pada hari ketika mengkhatamkan Al-Qur’an.

Masalah ketiga: Dianjurkan dengan sangat menghadiri majelis pengkhataman Al-Qur’an.

Diriwayatkan dalam Shahihain:

“Bahwa Rasulullah menyuruh perempuan-perempuan yang haidh keluar pada hari raya untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.”⁶⁰

 

Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Ibnu Abi Dawud dengan isnad keduanya dari Ibnu Abbas bahwa ia menunjuk seorang lelaki mengawasi seorang lelaki yang membaca Al-Qur’an. Ketika hendak mengkhatamkannya, ia memberitahu Ibnu Abbas, lalu ia menghadirinya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan dua isnad sahih dari Qatadah tabi’iy yang mulia sahabat Anas, ia berkata: Adalah Anas bin Malik apabila hendak mengkhatamkan Al-Qur’an, ia mengumpulkan keluarganya dan berdoa.

Dan ia meriwayatkan dengan sanad-sanadnya yang sahih dari Al-Hakam bin Utaibah seorang tabi’iy yang mulia, ia berkata Mujahid dan Abdah bin Lubabah mengutus orang kepadaku. Kami mengutus orang kepadamu, karena kami hendak mengkhatamkan Al-Qur’an, sedangkan doa itu mustajab ketika mengkhatamkan Al-Qur’an

Dalam riwayat lain yang sahih disebutkan bahwa rahmat turun ketika mengkhatamkan Al-Qur’an.

Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dengan isnadnya yang sahih dari Mujahid, ia berkata: Mereka dulu berkumpul ketika mengkhatamkan Al-Qur’an. Mereka berkata: rahmat turun.

Masalah keempat: Dianjurkan dengan sangat berdoa sesudah mengkhatamkan Al-Qur’an berdasarkan yang kami sebutkan dalam masalah yang sebelumnya.

Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dengan isnadnya dari Humaid Al-A’raj, ia berkata: Barangsiapa membaca (mengkhatamkan) Al-Qur’an, kemudian berdoa, maka doanya diamini oleh 4000 malaikat.

Hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam berdoa dan mendoakan hal-hal yang penting serta memperbanyaknya untuk kebaikan kaum muslimin, pemimpin mereka, dan para pejabat mereka.

Telah diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah An-Naisaburi dengan isnadnya bahwa Abdullah ibnul Mubarak apabila mengkhatamkan Al-Qur’an, maka sebagian besar doanya adalah untuk kebaikan kaum muslimin, mukminin dan mukminat

Selain dia juga mengatakan seperti itu. Maka hendaklah orang yang berdoa memilih doa-doa yang menyeluruh, seperti:

“Ya Allah, perbaikilah hati kami, hilangkan kejelekan kami bimbinglah kami dengan jalan yang terbaik, hiasilah kami dengan ketakwaan, kumpulkanlah bagi kami kebaikan dunia dan akhirat dan karuniailah kami ketaatan kepada-Mu selama Engkau menghidupkan kami.”

“Ya Allah, mudahkanlah kami untuk kemudahan dan jauhkanlah kami dari kesulitan, lindungilah kami dari keburukan diri kami dan amal-amal kami yang buruk, lindungilah kami dari siksa neraka dan siksa kubur, fitnah di masa hidup dan sesudah mati dan fitnah Al-Masih ad-Dajjal.”

“Ya Allah, kami mohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan.”

“Ya Allah, kami titipkan pada-Mu agama, badan dan penghabisan amal-amal kami, diri kami, keluarga dan orang-orang yang kami cintai, kaum muslimin lainnya dan segala urusan akhirat dan dunia yang Engkau anugerahkan kepada kami dan mereka.”

“Ya Allah, kami mohon kepada-Mu maaf dan keselamatan dalam agama, dunia dan akhirat, dan kumpulkanlah antara kami dan orang-orang yang kami cintai di negeri kemuliaan-Mu dengan kemurahan dan rahmat-Mu.”

“Ya Allah, perbaikilah para pemimpin muslimin dan jadikanlah mereka berbuat adil kepada rakyat mereka, berbuat baik kepada mereka, menampakkan kasih sayang dan bersikap lemah lembut kepada mereka serta memperhatikan maslahat-maslahat mereka.

Jadikanlah mereka mencintai rakyat dan mereka dicintai rakyat, jadikanlah mereka menempuh jalan-Mu yang lurus dan mengamalkan tugas-tugas agama-Mu yang lurus.”

“Ya Allah, bersikaplah ramah kepada hamba-Mu penguasa kami dan jadikanlah dia memperhatikan maslahat-maslahat dunia dan akhirat, jadikanlah dia mencintai rakyatnya dan jadikanlah dia dicintai rakyat.”

 

Selanjutnya ia membaca doa-doa lainnya mengenai para pemimpin dan menambahkan sebagai berikut:

“Ya Allah rahmatilah dirinya dan negerinya, lindungilah para pengikut dan tentaranya, tolonglah dia untuk menghadapi musuh-musuh agama dan para penentang lainnya, jadikanlah dia bertindak menghilangkan berbagai kemungkaran dan menampakkan kebaikan-kebaikan serta berbagai macam kebajikan. Jadikanlah Islam semakin tersiar dengan sebabnya, muliakanlah dia dan rakyatnya dengan kemuliaan yang cemerlang.”

“Ya Allah, perbaikilah keadaan kaum muslimin dan murahkanlah harga-harga mereka, amankanlah mereka di negeri-negeri mereka, lunaskanlah utang-utang mereka, sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara mereka, tolonglah pasukan mereka, selamatkanlah kepergian mereka, bebaskanlah mereka yang ditawan, sembuhkanlah penyakit hati mereka, hilangkanlah kemarahan hati mereka dan persatukanlah di antara mereka. Jadikanlah iman dan hikmah dalam hati mereka, tetapkanlah mereka di atas agama rasul-Mu shallallahu alaihi wa sallam, ilhamilah mereka agar memenuhi janjimu yang Engkau berikan kepada mereka, tolonglah mereka dalam menghadapi musuh-Mu dan musuh mereka, wahai Tuhan Yang Maha Benar, dan jadikanlah kami dari golongan mereka.”

“Ya Allah, jadikanlah mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar dan menjahuinya, memelihara batas-batas-Mu, melakukan ketaatan kepada-Mu, saling berbuat baik dan saling menasehati.”

 

“Ya Allah, jagalah mereka dalam perkataan dan perbuatan mereka, dan berkatilah mereka dalam semua keadaan mereka.”

 

Orang yang bersia hendaklah memulai dan mengakhiri doanya dengan perkataannya:

“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam dengan pujian yang memadai dengan nikmat-nikmat-Nya dan sepadan dengan tambahan-Nya.

Ya Allah limpahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad fan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau limpahkan shalawat atas Ibrahim dan keluarganya.

Berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”

 

Masalah kelima: Dianjurkan apabila selesai dari pengkhataman Al-Qur’an, disunnahkan memulai lagi pembacaan Al-Qur’an sesudahnya. Para ulama salaf dan khalaf telah menganjurkan hal itu. Mereka berhujjah dengan hadits Anas bahwa Rasulullah bersabda:

“Sebaik-baik amal adalah al-hallu dari Ar-Rihlah. Ditanyakan kepada beliau: Apakah keduanya itu?

Nabi menjawab: Memulai pembacaan Al-Qur’an dan mengkhatamkannya.”

 

 

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Tamim Ad-Daariy, ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Agama itu nasihat. Kami berkata: Untuk siapa? Nabi menjawab: Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin muslimin dan orang-orang awam mereka.”

 

Para ulama rahimahumullah berkata: Nasihat untuk kitab Allah Ta’ala adalah: Beriman bahwa ia adalah kalam Allah Ta’ala dan wahyu-Nya, tidak ada sesuatu pun dari perkataan makhluk yang menyerupainya dan seluruh makhluk tidak ada yang bisa membuat seperti itu.

Kemudian mengagungkan dan membacanya dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Bersikap khusyu’ ketika membacanya, seperti membaca huruf-hurufnya dengan tepat, membelanya dari penakwilan orang-orang yang menyelewengkannya dan gangguan orang-orang yang melampaui batas, membenarkan isinya, menjalankan hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaannya, memperhatikan nasihat-nasihatnya, memikirkan keajaiban-keajaibannya dan mengamalkan ayat-ayatnya yang muhkam (jelas) dan menerima ayat-ayatnya yang mutasyabih (tersamar), menyelidiki keumuman dan kekhususannya, naasikh dan mansukhnya, menyiarkan ilmu-ilmunya, menyeru kepadanya dan kepada nasihatnya yang telah kami sebutkan.

 

Kewajiban mengagungkan Al-Qur’an

Kaum muslimin sepakat atas kewajiban mengagungkan Al-Qur’an yang mulia secara mutlak, menyucikan dan menjaganya. Dan mereka sepakat bahwa siapa yang mengingkari satu huruf darinya yang telah disepakati atau menambah satu huruf yang tidak penah dibaca oleh seorang pun sedang ia mengetahui hal itu, maka ia pun kafir.

Al-Imam Al-Hafidh Abul Fadhli Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata: “Ketahuilah, bahwa siapa yang meremehkan Al-Qur’an atau sebagian darinya atau memakinya atau mengingkari satu huruf darinya atau mendustakan suatu hukum atau khabar yang ditegaskan di dalamnya atau membenarkan sesuatu yang dinafikan atau menafikan sesuatu yang ditetapkannya sedang ia mengetahui hal itu atau meragukan sesuatu dari hal itu, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin.

Demikian pula jika ia mengingkari Taurat dan Injil atau kitab-kitab Allah yang diturunkan atau kafir dengannya atau memakinya atau meremehkannya, maka ia telah kafir.

la berkata: Para ulama muslimin telah sepakat bahwa Al-Qur’an yang dibaca di berbagai negeri dan tertulis di dalam mushaf yang berada di tangan kaum muslimin dan terkumpul di antara dua sampul dari Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin (Al-Fatihah) hingga akhir Qul A’udzu birabbin naasi adalah Kalamullah dan wahyu-Nya yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad.

Dan mereka sepakat bahwa semua yang terdapat di dalamnya adalah benar dan siapa yang menguranginya dengan sengaja atau menggantikan satu huruf dengan huruf lain atau menambah satu huruf di dalamnya yang tidak tercantum dalam mushaf yang telah disepakati itu serta menyatakan dengan sengaja bahwa ia bukan termasuk Al-Qur’an, maka ia pun kafir.

Abu Utsman ibnul Haddad berkata: “Semua ahli tauhid bersepakat bahwa mengingkari satu huruf dari Al-Qur’an adalah kufur..”

Fuqaha Baghdad telah sepakat untuk menyuruh bertaubat Ibnu Syahbudz Al-Muqri seorang imam ahli baca Al-Qur’an terkemuka bersama Ibnu Mujahid karena membaca dan mengajarkan bacaan dengan huruf-huruf yang ganjil dan tidak terdapat dalam mushaf.

Mereka menyuruhnya membuat pernyataan untuk berhenti dan bertaubat dengan kesaksian mereka di majelis Al-Wazir Ubay bin Maqlah tahun 323 H.

Muhammad bin Abi Zaid berfatwa mengenai orang yang berkata kepada seorang anak kecil: “Semoga Allah melaknat gurumu dan apa yang diajarkannya kepadamu?”

Ia berkata: “Aku maksudkan adab yang tidak baik dan tidak aku maksudkan Al-Qur’an.”

Maka Muhammad berkata: “Orang yang mengatakan itu dihukum.”

Adapun orang yang melaknat mushaf, maka ia boleh dibunuh. Inilah akhir perkataan Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu.

 

Menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu

Diharamkan menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu dan berbicara tentang makna-maknanya bagi siapa yang bukan ahlinya. Banyak hadits mengenai hal itu dan ijma’ berlaku atasnya.

Adapun penafsirannya oleh para ulama adalah boleh dan baik. Ijma’ telah menetapkan hal itu. Maka siapa yang ahli untuk menafsirkan dan mempunyai alat-alat yang dibutuhkan untuk mengetahui maknanya dan benar dugaannya terhadap apa yang dimaksud, ia pun boleh menafsirkannya jika dapat diketahui dengan ijtihad.

Seperti makna-makna dan hukum-hukum yang terang maupun yang samar, keumuman dan kekhususan serta i’raab dan lainnya.

Bilamana tidak dapat diketahui maknanya dengan ijtihad seperti perkara-perkara yang jalannya adalah menukil dan menafsirkan kata-kata menurut bahasa, maka tidak boleh berbicara mengenainya. Kecuali dengan nukilan yang sahih oleh ahlinya yang dapat diandalkan.

Adapun orang yang bukan ahlinya karena tidak mempunyai alat-alatnya, maka haramlah atasnya menafsirkan maknanya. Akan tetapi ia boleh menukil tafsirnya dari ahlinya yang dapat diandalkan.

Kemudian, orang-orang yang menafsirkan dengan pendapat mereka tanpa dalil yang sahih ada beberapa macam:

Di antara mereka ada yang berhujjah dengan ayat untuk membenarkan mazhabnya, dan menguatkan pikirannya, meskipun tidak benar dugaannya bahwa itulah yang dimaksud dengan ayat itu. la hanya ingin mengalahkan lawannya.

Di antara mereka ada yang ingin menyeru kepada kebaikan dan berhujjah dengan suatu ayat tanpa mengetahui petunjuk atas apa yang dikatakannya.

Di antara mereka ada yang menafsirkan kata-kata Arabnya tanpa memahami makna-makna dari ahlinya, padahal hal itu tidak bisa diambil, kecuali dengan mendengar dari ahli bahasa Arab dan ahli tafsir. Seperti penjelasan makna kata dan i’rabnya, hadzaf, ringkasan, idhmaar, hakikat dan majaz, keumuman dan kekhususan, ijmal dan bayan, pendahuluan dan pengakhiran dan lain sebagainya dari hal-hal yang berbeda dengan lahirnya.

Di samping itu tidak cukup mengetahui bahasa Arab saja, tetapi harus mengetahui apa yang dikatakan oleh ahli tafsir mengenainya. Kadang-kadang mereka bersepakat untuk meninggalkan lahirnya atau memaksudkan kekhususannya atau idhmaar atau selain itu yang bertentangan dengan lahirnya.

Seperti apabila lafadhnya mempunyai beberapa makna, lalu ia mengetahui di suatu tempat bahwa yang dimaksud adalah salah satu makna dari beberapa makna itu, kemudian ia menafsirkannya dengan semua makna yang dikandungnya. Maka ini semua adalah tafsir menurut pendapatnya (tafsir bir ra’yi) dan hukumnya haram. Dan Allah lebih mengetahui.

Pasal: Diharamkan berdebat mengenai Al-Qur’an tanpa alasan yang benar. Misalnya ia melihat petunjuk ayat atas sesuatu yang bertentangan dengan mazhabnya dan mengandung kemungkinan yang lemah sesuai dengan mazhabnya, lalu ia mengartikannya menurut mazhabnya dan mempertahankannya, meskipun ternyata berlawanan dengan apa yang dikatakannya. Adapun siapa yang tidak mengetahuinya, maka ia dapat dimaafkan.

Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

“Perdebatan mengenai Al-Qur’an adalah kufur. “⁶¹

Al-Khaththabi berkata: Yang dimaksud dengan al-miraa’ adalah keraguan. Ada yang mengatakan: Perdebatan yang menimbulkan keraguan mengenai Al-Qur’an.

Ada yang mengatakan: Ia adalah perdebatan yang dilakukan oleh pengikut aliran sesat mengenai ayat-ayat takdir dan semacamnya.

Orang yang ingin bertanya tentang pendahuluan suatu ayat sebelum ayat lainnya di dalam mushaf atau kesesuaian ayat ini di tempat ini dan semacamnya, hendaknya ia berkata: Apa hikmahnya dalam hal ini ?

Dihukum makruh seorang yang mengatakan: Aku lupa ayat begini. Akan tetapi ia katakan: Aku dibuat lupa terhadapnya atau aku menggugurkannya.

Terlah diriwayatkan dalam Shahihain⁶² dari Abdullah bin Ma’sud ia berkata: Rasulullah bersabda:

“Janganlah seseorang dari kamu berkata: Aku lupa ayat begini dan begini. Akan tetapi ia adalah sesuatu yang dibuat lupa.”

Diriwayatkan dalam Shahihain pula:

“Sungguh buruk seseorang dari kamu yang mengatakan: Aku lupa ayat begini dan begini, tetapi ia adalah sesuatu yang dilupakan.”

Diriwayatkan dalam Shahihain pula dari Aisyah bahwa Nabi mendengar seorang lelaki membaca ayat. Kemudian beliau berkata: Semoga Allah merahmati si Fulan, ia telah mengingatkan aku kepada suatu ayat yang aku telah menggugurkannya.

 

Dalam suatu riwayat di dalam kitab Ash-Shahih (aku dibuat lupa terhadapnya).

 

Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abu Abdurrahman As-Sulami seorang tabi’iy yang mulia bahwa ia berkata: Janganlah engkau katakan: Aku gugurkan ayat begini, tetapi katakanlah: “Aku dibuat lalai”, maka hal itu bertentangan dengan yang diriwayatkan dalam hadits sahih.

Maka yang diandalkan adalah hadits yang menyebutkan bolehnya mengatakan: “Aku telah menggugurkan” dan tidak ada karohah mengenainya.

 

Penamaan surah-surah

Boleh disebut surah Al-Baqarah, surah Ali Imran, surah An-Nisa’, surah Al-Maidah, surah Al-An’am. Demikian pula surah-surah lainnya, tidak ada karohah mengenai hal itu.

Sebagian ulama terdahulu tidak menyukai hal ini dan berkata: Hendaknya dikatakan: Surah yang disebut Al-Baqarah di dalamnya, surah yang disebut Ali Imran di dalamnya, surah yang disebut An-Nisa’ di dalamnya. Demikian pula surah-surah yang lain.

Yang benar adalah pendapat pertama.

Telah diriwayatkan dalam Shahihain dari Rasulullah bahwa beliau menyebut surah Al-Baqarah, surah Al-Kahfi dan lainnya yang tak terhitung. Begitu pula diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu anhum.

Ibnu Mas’ud berkata: “Ini adalah tempat yang diturunkan di situ surah Al-Baqarah.”

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dalam Shahihain, “Aku membacakan kepada Rasulullah surah An-Nisa’.”

Hadits-hadits dan perkataan ulama salaf mengenai hal ini banyak sekali.

Mengenai kata “surah” ada dua macam bacaan, dengan hamzah dan tanpa hamzah, sedangkan tanpa hamzah lebih fasih. Itulah yang dimuat dalam Al-Qur’an. Di antara yang menyebutkan dua bacaan adalah Ibnu Qutaibah dalam Gharibil hadits.

Tidaklah dihukumi makruh bila dikatakan: Ini bacaan Abu Amru atau bacaan Naafi’ atau Hamzah atau Al-Kisa’iy atau lainnya. Ini adalah pendapat terpilih yang dianut oleh ulama salaf dan khalaf tanpa ada pengingkaran.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakhai’iy bahwa ia berkata: Mereka tidak suka mengatakan: “Sunnah Fulan dan bacaan Fulan”. Yang benar adalah apa yang kami kemukakan.

 

Hukum mendengarkan Al-Qur’an oleh orang kafir

Orang kafir tidak dilarang mendengarkan Al-Qur’an berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya ia bisa mendengar kalam Allah.” At-Taubah: 6.

Yang dilarang adalah menyentuh mushaf. Bolehkah mengajarinya Al-Qur’an?

Para sahabat kami berpendapat: Jika tidak bisa diharapkan keislamannya, maka ada dua pendapat. Yang lebih sahih adalah boleh, karena mengharapkan dia masuk Islam.

Pendapat yang kedua adalah tidak boleh, sebagaimana tidak boleh menjual mushaf kepadanya, meskipun diharapkan keislamannya. Apabila kita melihatnya belajar, apakah dilarang? Mengenai hal itu ada dua pendapat.

Pasal: Para ulama berselisih mengenai penulisan Al-Qur’an dalam bejana, kemudian dicuci dan diminumkan airnya kepada orang sakit. Al-Hasan, Mujahid, Abu Qulabah dan Al-Auza’iy tidak menyukainya.

Berkata Al-Qadhi Husein, Al-Baghawi dan para sahabat kami: Andaikata Al-Qur’an ditulis di atas halwa (sejenis makanan) dan makanan lainnya, maka tidak ada masalah bila memakannya.

Al-Qadhi berkata: Andaikata Al-Qur’an ditulis di atas sepotong kayu, tidaklah disukai membakarnya.

Mazhab kami ialah tidak menyukai penulisan Al-Qur’an dan nama-nama Allah di atas dinding dan baju. Atha’ berkata: “Tidak ada

masalah bila menulis Al-Qur’an di kiblat masjid.” Adapun penulisan huruf-huruf dari Al-Qur’an, maka Malik berpendapat: Tidak ada masalah dengannya bilamana ditulis pada sepotong bambu atau kulit dan dibungkus.

Sebagian sahabat kami berpendapat: Apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dalam suatu wadah bersama lainnya, maka tidaklah haram, tetapi lebih baik ditinggalkan, karena dibawa dalam keadaan berhadats.

Pendapat ini difatwakan oleh Asy-Syeikh Abu Amru ibnu Ash-Shalah rahimahullahu.

 

Pasal: Tentang meniup dengan membaca Al-Qur’an sebagai ruqyah

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abu Juhaifah seorang sahabat Nabi dan namanya Wahab bin Abdullah atau selain itu, dari Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha’iy bahwa mereka tidak menyukai hal itu.

Pendapat yang terpilih adalah hal itu tidak makruh, bahkan sunnah yang dianjurkan.

Telah diriwayatkan dari Aisyah:

“Bahwa Nabi apabila hendak tidur setiap malam, beliau merapatkan kedua telapak tangannya, kemudian meniup pada keduanya, lalu membaca Qul Huwallahu Ahad, Qul A’udzu birabbil falaq dan Qul A’udzu birabbin naas.

Kemudian beliau usapkan keduanya pada tubuhnya sedapat mungkin, dimulai di atas kepala dan mukanya serta bagian tubuhnya yang dapat terjangkau. Beliau lakukan itu tiga kali.”

 

Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dalam kitab Sahih mereka.

Dalam beberapa riwayat dalam Shahihain terdapat tambahan dari ini. Dalam sebagiannya Aisyah berkata:

“Ketika Nabi sakit, beliau menyuruhku untuk melakukannya dengan cara itu.”

Dalam sebagian riwayat disebutkan:

“Adalah Nabi meniup pada dirinya di waktu sakit yang menyebabkan wafatnya dengan membaca Al-Mu’awwidzaat.”

 

Aisyah berkata: “Ketika beliau merasa payah, akulah yang meniup padanya dengan membaca Al-Mu’awwidzaat dan mengusapkan tangannya sendiri untuk mengambil berkahnya.”

Dalam sebagiannya: “Adalah Nabi ketika sakit membaca untuk dirinya Al-Mu’awwidzaat dan meniup’’⁶⁵

Ahli bahasa mengatakan: An-Nafats ialah tiupan yang ringan tanpa mengeluarkan ludah. Wallahu a’lam

 

 

Ketahuilah, bahwa bab ini luas sekali, tidak mungkin dibatasi karena isinya yang banyak. Akan tetapi kami isyaratkan kepada sebagian besarnya atau banyak darinya dengan ungkapan-ungkapan yang ringkas. Sebagian besar yang kami sebutkan itu sudah dikenal oleh para ulama maupun orang awam. Oleh karena ini, saya tidak menyebutkan dalil-dalil pada sebagian besarnya.

Termasuk sunnah itu ialah banyaknya perhatian kepada pembacaan Al-Qur’an di bulan Ramadhan, dan lebih banyak lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan lebih ditekankan pada malam-malam ganjil darinya.

Termasuk sunnah itu ialah pembacaan Al-Qur’an di sepuluh hari

pertama dari bulan Dzulhijjah, hari Arafah, hari Jum’at, sesudah Subuh dan di waktu malam.

Hendaklah ia sering membaca surah Yasin, Al-Waqi’ah dan surah Tabarak (Al-Mulk).

 

Pembacaan Al-Qur’an dalam shalat Subuh

Disunnahkan membaca dalam shalat Subuh pada hari Jum’at sesudah Al-Fatihah dalam raka’at pertama surah Alif Laam Miim Tanzil seluruhnya dan raka’at kedua seluruhnya.

Janganlah melakukan apa yang dilakukan oleh banyak imam masjid yang hanya membaca beberapa ayat dari masing-masing surah dengan memanjangkan bacaan. Akan tetapi, hendaklah ia membaca kedua surah selengkapnya dan membacanya secara pelan-pelan dengan tartil.

Disunnahkan membaca dalam shalat Jum’at pada raka’at pertama surah Al-Jumu’ah selengkapnya dan dalam raka’at kedua surah Al-Munafiqun selengkapnya. Jika ia menghendaki, boleh membaca surah Al-A’laa dalam raka’at pertama dan membaca surah Al-Ghaasyiyah dalam raka’at kedua. Keduanya adalah sahih dari Rasulullah.

Hendaklah ia tidak membatasi dengan membaca sebagian surah dan hendaklah ia melakukan apa yang kami kemukakan.

Disunnahkan dalam shalat led membaca surah Qaaf dalam raka’at pertama dan membaca surah Al-Qamar selengkapnya dalam raka’at kedua. Kalau mau, ia boleh membaca surah Al-A’laa dan Al-Ghaasyiyah. Keduanya sahih dari Rasulullah dan janganlah ia membatasi pada sebagiannya.

 

Surah yang dibaca dalam shalat sunnah Fajar (Subuh)

Dibaca dalam dua raka’at sunnah Fajar sesudah Al-Fatihah yang pertama dan dalam raka’at kedua. Kalau mau, ia boleh membaca dalam raka’at pertama dan seterusnya. Dan dalam raka’at kedua:

“Katakanlah: Hai ahli kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu ……….” Ali-Imran: 64. Keduanya sahih dari perbuatan Rasulullah.

 

Dan dibaca di dalam sunnah Maghrib Al-Kafirun dan Al-Ikhlas. Kedua surah itu dibaca pula dalam rakaat thawaf dan dua rakaat istikharah.

Dan siapa yang mengerjakan shalat witir dengan tiga rakaat, ia membaca dalam rakaat pertama Al-A’la dan dalam rakaat kedua Al-Kaafirun dan dalam raka’at ketiga Al-Ikhlas dan Al-Mu’awwidzatain.

 

Surah yang dianjurkan membacanya pada hari jum’at

Dianjurkan membaca surah al-kahfi pada hari Jumat berdasarkan hadis Abi Said Al-Khudri dan lainnya. Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm: Dianjurkan membacanya pula pada malam Jumat.

Dalil atas hal ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad Ad-Darimi dengan isnadnya dari Abi Said Al-Khudri, ia berkata:

“Barangsiapa membaca surah Al Kahfi pada malam Jum’at, iya diterangi cahaya diantara dia dan Al-Baitil Atiq (Ka’bah).”⁶⁶

Ad-Darimi menyebut sebuah hadits mengenai anjuran membaca surah Hud pada hari Jum’at.

Dan diriwayatkan dari Makhul seorang tabi’iy yang mulia anjuran membaca surah Aali Imran pada hari Jum’at.

 

Dianjurkan banyak membaca ayat Al-Kursiy

Dianjurkan banyak membaca ayat Al-Kursiy di semua tempat dan membacanya setiap malam ketika hendak tidur dan membaca Al-Mu’awwidzatain setiap habis shalat.

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, ia berkata:

“Rasulullah menyuruhku membaca Al-Mu’awwidzatain setiap habis shalat.”⁶⁷ Hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’iy. Tirmidzi berkata: Hadits hasan sahih.

Dianjurkan ketika akan tidur membaca ayat Al-Kursiy, Qul huwallahu ahad dan Al-Mu’awwidzatain dan akhir surah Al-Baqarah. Ini adalah amalan yang perlu diperhatikan.

Telah diriwayatkan hadits-hadits sahih mengenai amalan ini dari Abu Mas’ud Al-Badri bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah dalam suatu malam, maka kedua ayat itu mencukupi (melindungi) nya”⁶⁸

Sejumlah ulama mengatakan: Maksudnya ialah mencukupinya dari shalat malam.

Para ulama yang lain berkata: Maksudnya ialah melindunginya dari gangguan di malamnya.

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi setiap malam membaca Qul huwallahu ahad dan Al-Mu’awwidzatain.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Ali, ia berkata: “Saya belum pernah melihat seorang berakal yang masuk Islam tidur sebelum membaca ayat Al-Kursiy.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ali, ia berkata: “Saya belum pernah melihat orang yang berakal tidur malam sebelum membaca tiga ayat terakhir dari surah Al-Baqarah.” Isnadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, ia berkata: Rasulullah berkata kepadaku:

“Janganlah engkau melewati suatu malam, melainkan engkau membaca di dalamnya, Qul huwallahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain. Maka tidaklah tiba suatu malam kepadaku, melainkan aku membacanya. “⁶⁹

Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’iy, ia berkata: Mereka menganjurkan membaca surah-surah ini setiap malam tiga kali: Qul huwallahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain. Isnadnya sahih berdasarkan syarat Muslim.

Diriwayatkan dari Ibrahim pula: Mereka mengajari orang-orang apabila hendak tidur agar membaca Al-Mu’awwidzatain.

Diriwayatkan dari Aisyah:

“Adalah Nabi tidak tidur hingga membaca surah Az-Zumar dan Bani Israil. “Hadits riwayat Tirmidzi dan ia berkata: hadits hasan.

 

Apabila bangun dari tidur setiap malam, dianjurkan membaca akhir surah Ali-Imran dari mulai firman Allah Ta’ala inna fi kholqis samawati sampai akhirnya.

Telah diriwayatkan dalam Shahihain:

“Bahwa Rasulullah membaca beberapa ayat dari akhir dari surah Ali Imran apabila bangun dari tidur.”

(Lihat Bukhari: kitab Fadhaailul Qur’an, bab 34, dan Muslim: kitab Fudhaailul Qur’an, bab 1).

 

Surah yang dibacakan kepada orang sakit

Dianjurkan membacakan Al-Fatihah kepada orang sakit berdasarkan perkataan Nabi, dalam hadits mengenai Al-Fatihah: “Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah adalah ruqyah?”⁷⁰

Disunnahkan membaca Qul Huwallahu Ahad, Qul A’udzu bi rabbil falaq dan Qul A’udzu bi rabbin naas untuk orang sakit dengan meniup pada kedua telapak tangan.

Telah diriwayatkan hal itu dalam Shahihain dari perbuatan Rasulullah yang telah dijelaskan dalam pasal meniup di akhir bab yang sebelum ini.

Dari Thalhah bin Mutharrif, ia berkata: Dikabarkan: Sesungguhnya orang sakit itu apabila dibacakan Al-Qur’an di dekatnya, ia pun merasa ringan.

Pada suatu hari aku masuk kepada Khaitsamah yang sedang sakit. Aku berkata: “Aku melihatmu hari ini dalam keadaan baik.”

la berkata: “Telah dibacakan Al-Qur’an di dekatku.”

Diriwayatkan oleh Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdadi rahimahullah dengan isnadnya bahwa Ar-Ramadi apabila merasakan sakit, ia berkata: Panggillah para ahli hadits.

Ketika mereka hadir, ia berkata: Bacalah hadits kepadaku.

Ini mengenai hadits, terlebih pula Al-Qur’an.

 

Tentang apa yang dibacakan di dekat mayit

Para ulama sahabat kami dan lainnya berkata: Disunnahkan membaca surah Yaa Siin di dekat mayit berdasarkan hadits Ma’qil bin Yasar bahwa Nabi bersabda:

“Bacalah surah Yaasiin untuk mayitmu.”

 

Hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa’iy dalam Amalul yaumi wal lailati, dan Ibnu Majah dengan isnad dlo’if.

Diriwayatkan oleh Mujalid dari Asy-Sya’bi, ia berkata: Adalah kaum Anshor apabila hadir di dekat orang mati, mereka membaca surah Al-Baqarah dan Mujalid dlo’if. Wallahu a’lam.

 

 

Ketahuilah bahwa Al-Qur’anul Aziz ditulis di zaman Nabi sebagaimana adanya dalam Mushaf-mushaf sekarang ini. Akan tetapi ia belum terkumpul dalam sebuah mushaf, melainkan dihafal dalam hati orang-orang. Sejumlah sahabat hafal seluruhnya dan sejumlah sahabat hafal sebagiannya.

Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah dan banyak penghafal Al-Qur’an terbunuh, ia khawatir mereka meninggal semua dan terjadi perselisihan mengenai Al-Qur’an sesudah mereka tiada. Maka Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat radhiyallahu anhum untuk mengumpulkannya dalam sebuah mushaf dan mereka menyetujuinya.

Kemudian Abu Bakar menyuruh menulisnya dalam sebuah mushaf dan menyimpannya di rumah Hafshah Ummul mu’minin radhiyallahu anha.⁷²

Ketika Islam sudah tersebar di zaman pemerintahan Utsman, ia takut terjadi perselisihan yang menyebabkan ditinggalkannya sesuatu ayat dari Al-Qur’an atau tambahan di dalamnya. Kemudian Utsman menyalin kumpulan Al-Qur’an yang ada pada Hafshah dan disepakati oleh para sahabat dalam mushaf-mushaf dan mengirimkannya ke berbagai negeri serta menyuruh melenyapkan tulisan yang bertentangan dengan itu. Tindakan ini disetujui oleh Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya. Semoga Allah meridhai mereka.

Nabi tidak mengumpulkannya dalam satu mushaf karena beliau mengkhawatirkan terjadinya tambahan dan penghapusan sebagian tulisan. Kekhawatiran itu terus berlangsung hingga wafatnya Nabi

Ketika Abu Bakar dan para sahabatnya yang lain merasa aman dan kekhawatiran itu dan maslahatnya menghendaki pengumpulannya, maka para sahabat radhiyallahu anhum melakukannya.

Para ulama berselisih mengenai jumlah mushaf yang dikirimkan Utsman. Al-Imam Abu Amru Ad-Daani berkata: Sebagian besar ulama mengatakan bahwa Utsman menulis empat naskah. Ia kirimkan sebuah naskah ke Basrah, sebuah naskah ke Kufah dan sebuah naskah ke Syam, sedangkan yang sebuah lagi ditahannya. Abu Hatim As-Sijistani berkata: Utsman menulis tujuh mushaf. Ia kirimkan sebuah mushaf ke Makkah, sebuah mushaf ke Syam, sebuah mushaf ke Yaman, sebuah mushaf ke Bahrain, sebuah mushaf ke Basrah, sebuah mushaf ke Kufah dan sebuah mushaf ditahannya di Madinah.

Inilah ringkasan yang berkaitan dengan pengumpulan mushaf pertama. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits dalam kitab Sahih.

Adapun kata Al-Mushaf, ada yang membaca Mushaf, ada yang membaca Mishaf dan ada yang membaca Mashaf. Yang masyhur adalah dibaca Mushaf dan Mishaf. Bacaan Mashaf disebutkan oleh Abu Ja’far An-Nahhas dan lainnya.

Para ulama sepakat atas anjuran menulis mushaf-mushaf dan membaguskan tulisannya dan menjelaskannya serta memastikan bentuk tulisannya.

Para ulama berkata: Dianjurkan memberi titik dan syakal (harakat) pada mushaf demi menjaga dari kesalahan dan perubahan di dalamnya.

Adapun ketidaksukaan Asy-Sya’bi dan An-Nakha’iy pada titik-titik, maka keduanya tidak menyukainya di zaman itu karena takut terjadi perubahan di dalamnya. Masa itu sudah berlalu, maka tidak ada larangan.

Hal ini tidak dilarang, meskipun merupakan sesuatu yang baru, karena ia termasuk hal-hal yang baik sehingga tidak dilarang seperti mengarang ilmu, membangun sekolah dan pondok pesantren serta lainnya. Wallahu a’lam.

Tidak boleh menulis Al-Qur’an dengan sesuatu yang najis dan dihukum makruh menulisnya di atas dinding menurut mazhab kami. Ini adalah mazhab Atha’ yang kami kemukakan.

Telah kami kemukakan bahwa apabila ditulis di atas makanan, maka tidak ada masalah bila memakannya. Dan apabila di atas sepotong kayu, maka dihukumi makruh bila membakarnya.

 

Kewajiban menjaga Mushaf dan menghormatinya

Kaum muslimin sepakat atas kewajiban menjaga mushaf dan menghormatinya. Sahabat-sahabat kami dan lainnya berpendapat, andaikata seorang muslim melemparkannya dalam kotoran – semoga Allah Ta’ala melindungi – maka pelemparnya menjadi kafir.

Mereka berkata: Diharamkan menjadikannya sebagai bantal. Bahkan menjadikan kitab ilmu sebagai bantal adalah haram.

Disunnahkan berdiri menyambut mushaf apabila diserahkan kepadanya, karena berdiri untuk menyambut orang-orang terkemuka seperti para ulama dan orang-orang shaleh adalah mustahab. Maka mushaf lebih utama.

Saya telah menyebutkan dalil-dalil tentang anjuran berdiri dalam bagian tempat saya mengumpulkannya.

Kami riwayatkan dalam Musnad Ad-Darimi dengan isnad sahih dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ikrimah bin Abu Jahal meletakkan mushaf di atas wajahnya dan berkata: “Kitab Tuhanku, kitab Tuhanku.”

Diharamkan pergi membawa mushaf ke negeri musuh bila ditakutkan mushaf itu akan jatuh di tangan mereka berdasarkan hadits masyhur dalam Shahihain:

“Bahwa Rasulullah melarang pergi membawa Al-Qur’an ke negeri musuh. “⁷³

 

Diharamkan menjual mushaf kepada orang Dzimmi. Jika ia menjualnya, maka ada dua pendapat Asy-Syafi’i mengenai hal itu: Pendapat yang lebih sahih adalah tidak sah jual belinya, sedang pendapat kedua: jual belinya sahih.

Dalam keadaan itu diperintahkan menghilangkan pemilikan darinya.

Orang gila dan anak kecil yang belum bisa membedakan (belum tamyiz) dilarang menyentuh mushaf supaya tidak melanggar kehormatannya.

Larangan ini wajib dilakukan oleh walinya dan orang yang melihat

dia membawanya.

 

Keharaman menyentuh dan membawa Al-Qur’an oleh orang berhadats

Diharamkan atas orang yang berhadats menyentuh mushaf dan membawanya, baik membawanya dengan pegangannya atau lainnya, baik ia menyentuh tulisannya atau tepinya atau kulitnya. Diharamkan menyentuh wadah dan sampul serta kotak tempat mushaf itu berada. Inilah mazha yang terpilih.

Ada yang mengatakan: Ketiga macam ini tidak diharamkan, dan pendapat ini lemah.

Andaikata Al-Qur’an ditulis pada sebuah papan, maka hukumnya sama dengan hukum mushaf, baik tulisannya sedikit atau banyak. Bahkan seandainya hanya sebagian ayat yang ditulis untuk belajar, diharamkan menyentuh papan itu.

Apabila orang yang berhadats atau junub atau perempuan yang haidh membuka lembaran-lembaran kertas mushaf dengan sepotong kayu atau semacamnya, maka ada dua pendapat dari para sahabat kami tentang kebolehannya.

Yang lebih tepat adalah boleh. Pendapat ini dianut oleh para ulama Iraq sahabat kami, karena ia tidak menyentuh dan tidak membawa.

Pendapat kedua adalah mengharamkannya, karena ia dianggap membawa kertas dan kertas itu seperti seluruhnya.

Apabila ia menggulung lengan bajunya di atas tangannya dan membalik kertas itu, maka hukumnya haram tannpa ada perselisihan.

Salah seorang sahabat kami salah menceritakan adanya dua pendapat mengenai hal itu. Yang benar adalah memastikan pengharamannya, karena pembalikan kertas dilakukan oleh tangan, bukan lengan baju.

Apabila orang yang junub atau berhadats menulis Mushaf, sedangkan ia membawa kertasnya atau menyentuhnya di saat menulis, maka hukumnya haram.

Jika ia tidak membawanya dan tidak menyentuhnya, maka ada tiga pendapat mengenainya.

Yang sahih adalah boleh, pendapat kedua mengharamkannya, sedangkan pendapat ketiga, dibolehkan bagi yang berhadats kecil dan diharamkan bagi yang junub.

Apabila orang yang berhadats atau junub atau perempuan haidh menyentuh atau membawa sebuah kitab fiqih atau kitab ilmu lainnya yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an atau baju bersulam ayat Al-Qur’an atau uang dirham atau uang dinar berukiran ayat Al-Qur’an atau membawa barang-barang yang di antaranya terdapat Mushaf atau menyentuh dinding atau makanan kue atau roti yang berukiran ayat Al-Qur’an, maka mazhab yang sahih adalah boleh melakukan semua ini, karena ia bukan Mushaf. Ada satu pendapat yang mengatakan haram.

Qadhi terkemuka Abul Hasan Al-Mawardi berkata dalam kitabnya Al-Haawi: “Boleh menyentuh baju yang bertuliskan Al-Qur’an dan tidak boleh memakainya, tanpa ada perselisihan, karena tujuan memakainya adalah bertabarruk dengan Al-Qur’an.

Pendapat yang disebutkan atau dikatakannya ini adalah lemah dan tidak seorang pun berpendapat seperti itu menurut pengetahuan saya. Bahkan Asy-Syeikh Muhammad Al-Juwaini dan lainnya menegaskan kebolehan memakainya. Inilah pendapat yang benar. Wallahu a’lam.

Adapun kitab tafsir Al-Qur’an apabila Al-Qur’an yang terdapat di dalamnya lebih banyak dari lainnya, diharamkan menyentuh dan membawanya.

Bilamana lainnya lebih banyak sebagaimana pada umumnya, maka ada tiga pendapat. Yang paling sahih tidak diharamkan. Pendapat kedua, diharamkan. Pendapat ketiga, bilamana Al-Qur’an ditulis dengan huruf yang jelas karena tebal atau dengan huruf merah atau lainnya, maka diharamkan. Jika tulisannya tidak jelas, maka tidak diharamkan,

Saya katakan: Dan diharamkan menyentuhnya apabila sama antara keduanya. Sahabat kami penulis At-Tatimmah berkata: Apabila kami katakan tidak diharamkan, maka hukumnya makruh.

Adapun kitab-kitab hadits Rasulullah , apabila tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya, tidaklah diharamkan menyentuhnya. Yang lebih utama adalah tidak disentuh, kecuali dalam keadaan suci (berwudhu).

Jika terdapat ayat-ayat dari Al-Qur’an di dalamnya, tidaklah diharamkan menurut mazhab, tetapi dihukumi makruh.

Ada satu pendapat bahwa hal itu diharamkan, yaitu yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih.

Adapun ayat yang dinasakh tilawahnya (seperti) dan selain itu, maka tidak diharamkan menyentuh dan membawanya. Para sahabat kami berkata: Demikian pula Taurat dan Injil.

Pasal: Apabila pada suatu tempat dari badan orang yang bersuci terdapat najasah yang tidak dimaafkan, diharamkan atasnya menyentuh Mushaf dengan tempat najasah itu tanpa ada perselisihan dan tidak diharamkan dengan lainnya berdasarkan mazhab yang sahih dan masyhur yang dianut oleh sebagian besar sahabat kami dan para ulama lainnya.

Sahabat kami Abul Qasim Ash-Shaimari berkata: Diharamkan.

Para sahabat kami menyalahkannya mengenai hal itu.

Al-Qadhi Abu Thayyib berkata: Pendapat yang dikatakannya ini tertolak dengan ijma’ ulama.

Kemudian menurut pendapat yang masyhur: Sebagian sahabat kami mengatakan makruh. Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh.

Pasal: Barangsiapa tidak menemukan air, lalu bertayammum di saat ia dibolehkan bertayammum, maka ia boleh menyentuh Mushaf, baik tayammum itu untuk shalat atau untuk keperluan lainnya yang membolehkan tayammum.

Adapun siapa yang tidak menemukan air maupun tanah, maka ia boleh shalat sesuai keadaannya dan tidak boleh baginya menyentuh Mushaf, karena ia berhadats. Kami bolehkan baginya shalat, karena darurat.

Andaikata ada Mushaf bersamanya dan tidak menemukan orang yang bisa dititipinya, sedang ia tidak dapat berwudhu, dibolehkan baginya membawanya karena darurat. Al-Qadhi Abu Thayyib berkata: la tidak harus bertayammum.

Bilamana ia mengkhawatirkan Mushaf terbakar atau tenggelam atau jatuh dengan najasah atau jatuh ke tangan orang kafir, maka ia boleh mengambilnya karena darurat, meskipun ia berhadats.

Pasal: Apakah guru dan wali wajib memaksa anak yang sudah bisa membedakan (mumayyiz) agar bersuci untuk membawa Mushaf atau papan yang dibacanya?

Ada dua pendapat yang masyhur mengenai hal itu. Yang lebih sahih adalah tidak wajib karena memberatkan.

Pasal: Boleh menjual Mushaf dan membelinya dan tidak makruh bila membelinya. Mengenai kemakruhan penjualannya ada dua pendapat dari para sahabat kami. Yang lebih sahih di antara keduanya dan disebutkan oleh Asy-Syafi’i adalah makruh.

Yang berpendapat tidak makruh menjual dan membelinya antara lain: Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Al-Hakam bin Utaibah dan pendapat itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Sejumlah ulama tidak menyukai penjualan dan pembeliannya. Ibnul Mundzir menceritakannya dari Alqamah, Ibnu Sirin, An- Nakha’iy, Syuraih, Masruq dan Abdullah bin Zaid.

Diriwayatkan dari Umar dan Abi Musa Al-Asy’ari larangan keras untuk menjualnya. Sejumlah ulama membolehkan pembeliannya dan tidak menyukai penjualannya. Pendapat ini diceritakan oleh Ibnul Mundzir dari Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Wallahu a’lam.

 

 

 

  1. Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais yang dinisbatkan kepada Asy’ari, kakek dari suku itu.
  2. Utrujjah, nama tanaman terkenal. Al-Jauhari berkata: Abu Zaid berkata: Dan dinamakan pula Tarunjah dalam Shasih Bukhari dalam kitab Al-Ath’imah (makanan). Dalam hadits ini disebut: seperti Utrujjah.
  3. Abu Umamah Al-Bahili, namanya adalah Shuday bin Ajlan, dinisbatkan kepada Bahila, sebuah suku terkenal.
  4. At-Tirmidzi, dinisbatkan kepada Tirmidzi. Abu Sa’ad As-Sam’ani berkata: Ia adalah sebuah kota kuno di ujung wilayah Balakh yang disebut: Jailun. Mengenai nisbat itu bisa dibaca Turmudzi dan Tirmidzi. Demikian dikatakan olehAs-Sam’ani.
  5. Abu Said Al-Khudri, namanya Sa’ad bin Malik yang dinisbatkan kepada bani Khudrah.
  6. Abu Dawud As-Sijistani, namanya Sulaiman ibnu Al-Asy’ats.
  7. An-Nasa’iy: Ia adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib.
  8. Abu Mas’ud Al-Badri, namanya Uqbah bin Amru. Jumhur ulama’ mengatakan, ia tinggal di Badr dan tidak ikut dalam perangnya. Az-Zuhri dan Bukhari serta lainnya mengatakan: Ia ikut dalam perang Badar bersama Rasulullah.
  9. Ad-Darimi: Ia adalah Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman yang dinisbatkan kepada Daarim, kakek sebuah suku.
  10. Al-Bazzar, penyusun kitab hadits Al-Musnad.
  11. Abu Hurairah: Namanya Abdurrahman bin Shakr menurut riwayat yang paling shahih sekitar 30 nama. Ia diberi kunyah dengan Hurairah (kucing kecil) yang dulu dimilikinya. Ia adalah orang pertama yang memakai kunyah itu.
  12. Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit bin Zauthi
  13. Al-Imam Asy-Syafi’i Abu Abdillah Muhammad bin Idris ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saaib bin Ubaid bin Abdul Yazid bin Yazid bin Hisyam ibnul Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay.
  14. At-Tustari, dinisbatkan kepada Tustar kota terkenal.
  15. Al-Imam Al-Muhasibi. As-Sam’ani berkata: Ia dinamakan begitu karena suka menghisab (mengoreksi) dirinya. Ia orang yang memiliki ilmu dhahir dan batin.
  16. Ibnu Majah adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid.
  17. Abu Darda’, namanya Uwaimir. Ada yang mengatakan namanya adalah Amir.
  18. Ayyub As-Sakhtiyani. Abu Umar bin Abdul Barr berkata: Ayyub adalah penyamak kulit di Basrah. Oleh karena itu ia dinamakan As-Sakhtiyani.
  19. Abu Sulaiman Al-Khaththabi dinisbatkan kepada kakeknya bernama Al-Khaththab. Abu Sulaiman bersama Muhammad bin Ibrahim Ibnul Khaththab. Ada yang mengatakan namanya Ahmad.
  20. Az-Zuhri adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab bin Abdullah ibnul Harits bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab Al-Bashri.
  21. Asy-Sya’bi, namanya Amir bin Syarahil.
  22. Tamim Ad-Daariy, dinisbatkan kepada Daarin sebuah tempat di pesisir. Ada yang mengatakan: Tamim Ad-Daariy, nisbat kepada Diir tempat sembahyangnya dulu. Ada yang mengatakan selain itu. Saya telah menjelaskan perselisihan mengenai hal itu di awal syarah Shahih Muslim.
  23. Al-Ghazali. Ia adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Menurut riwayat Al-Ghazali mengingkari sebutan Al-Ghazali (dengan tasydid pada huruf “zayi”) dan ia berkata: Namaku Al-Ghazali (tanpa tasydid), dinisbatkan kepada sebuah desa dari wilayah Thus bernama Ghazalah.
  24. Abul Ahwash, namanya Auf bin Malik Al-Jusyami yang dinisbatkan kepada Jusyam, kakek sebuah suku.
  25. An-Nakhaiy, dinisbatkan kakek sebuah suku.
  26. Abu Usaid, namanya Malik bin Rabi’ah
  27. Ahmad bin Abil Hawari, dan ada yang mengatakan: Ahmad bin abil Hawara. Adalah guru kami Abul Baqa’ Khalid An-Nabalusi rahimahullah yang menceritakannya dan barangkali memilihnya. Ia adalah orang yang sangat alim di zamannya dalam bidang ini dan sempurna dalam penelitiannya. Nama Abul Hawari adalah Abdullah bin Maimun bin Abbas ibnul Harits.
  28. Abul Jauza’ namanya Aus bin Abdullah. Ada yang mengatakan Aus bin Khalid.
  29. Abu Dzarr, namanya Jundub. Ada yang mengatakan Burair.
  30. Umu Salamah, namanya Hindun. Ada yang mengatakan Ramlah.
  31. Al-Auza’iy, namanya Abdurrahman bin Umar, imam negeri Syam di zamannya, dinisbatkan kepada suatu tempat di Baabul Faraadiis dari Damsyiq yang disbut Al-Auza’. Ada yang mengatakan dinisbatkan kepada sebuah suku dan ada yang mengatakan selain itu.
  32. Al-A’masy, Sulaiman bin Mahram.
  33. Abul Aaliyah, namanya Rufa’i.
  34. Abu Lubabah, seorang sahabat Nabi dan namanya Basyir. Ada yang mengatakan Rifa’ah bin Abdul Mundzir.
  35. Abdullah bin Ahmad Al-Baghawi, dinisbatkan kepada Bagha, kota di antara Herat dan Meru.
  36. Abu Qulabah, namanya Abdullah bin Zaid.

 

Saya telah menjelaskan semua ini dalam Tahdzibul asma’ wal lughaat. Inilah keterangan ringkas dalam menjelaskan kerumitan yang terdapat dalam kitab ini dan sisanya saya tinggalkan karena sudah jelas. Adapun yang saya sebutkan dari yang jelas itu saya maksudkan penjelasannya bagi siapa yang tidak bergaul dengan ulama. Semoga bermanfaat baginya. Insyaallah.

RASMUL MUSHAF (BENTUK TULISAN AL-QUR’AN)

Yang di maksud dengan rasmul mushaf (bentuk tulisan Alqur’an) ialah bentuk tulisan yang disetujui oleh Utsman dalam penulisan kalimat-kalimat (kata-kata) Alquran dan huruf-hurufnya.

Dasar dalam tulisan itu ialah harus sesuai dan cocok dengan ucapannya tanpa tambahan dan kekurangan, tanpa penggantian dan perubahan.

Akan tetapi Mushaf Utsmani telah mengabaikan dasar ini. Maka terdapat di dalamnya banyak huruf yang dibentuk bentuknya dengan cara pengucapannya. Hal itu dilakukan untuk tujuan-tujuan mulia yang nampak dan akan tampak bagimu di kemudian hari.

Para ulama telah mencurahkan perhatian dengan berbicara tentang rasmu (bentuk tulisan) Al-Qur’an dan membahas kalimat-kalimat yang ditulis berbeda dengan kias lafadhnya.

Sebagian mereka telah menulis masalah itu secara khusus. Di

antara mereka adalah Al-Imam Abu Amru Ad-Daani yang menulis tentangnya dalam kitabnya yang bernama “Al-Muqni”, dan Al-Allamah Abu Abbas Al-Marrakisyi yang menulis kitab berjudul “Unwaanud dalil fi rusuumi khaththi at-tanzil”, dan Al-Allamah Asy-Syeikh Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan nama Al-Mutawalli yang menulis nadhom (bait-bait) berjudul “Al-Lu’lu’ al-mandhum fi dzikri jumlatin minal marsuum”.

Kemudian datang Al-Allamah Al-Marhum Asy-Syeikh Muhammad Khalaf Al-Husani, Syekh ahli baca Al-Qur’an di negeri Mesir, lalu menulis syarah bagi nadhom itu dan menulis catatan kaki syarah itu dalam sebuah kitab yang dinamainya “Mursyidul hairaan ilaa ma’rifati maa yajibu ittiba’uhu fi rasmil Qur’an (Pembimbing orang bingung kepada apa yang wajib diikuti tentang bentuk tulisan Al-Qur’an).

 

KAIDAH-KAIDAH BENTUK TULISAN MUSHAF

Mushaf Utsmani mempunyai kaidah-kaidah mengenai tulisan dan rasam (bentuk tulisan)nya. Para ulama membatasinya dalam enam kaidah, yaitu hadzaf, tambahan, hamzah, badal, pemisahan dan penyambungan.

Apabila terdapat dua macam bacaan mengenainya, maka dibaca menurut salah satunya. Berikut ini saya terangkan sebagian darinya secara ringkas supaya Anda bisa mengetahui perbedaan antara kaidah-kaidah itu dan istilah tulisan-tulisan yang berlaku di zaman kita ini:

 

Kaidah Hadzaf (menghilangkan huruf)

Ringkasnya ialah alif dihilangkan dari Yaa’ an-nidaa’ seperti yaa ayyuhannaasu dan Haa’ tanbih seperti haaantum dari kata naa apabila diikuti dhamir seperti anjainaakum dan dari lafdzul jalalah dan dari kata ilaahu dan dari kata arrohmaaanu dan subhaana dan sesudah Laam seperti kata kholaaifa dan antara dua Laam dalam kata alkalaalah dan dari setiap Mutsanna seperti rojulaani. Dan dari seperti jamak tashih untuk mudzakar atau muannats seperti sammaauuna, almu’minaatu, dan dari setiap jamak menurut wazan mafaaila dan semacamnya seperti almasaajid, dan annashooro, dari setiap bilangan tsalatsu, dari al-basmalah dari awal bentuk fiil amr dari kata saala dan selain itu (kecuali yang dikecualikan dari semua ini).

Yaa’ dihilangkan dari setiap isim manqush yang munawwan marfu’ dan majrur, seperti: ghaira baaghin walaa ‘aadin. Dan dari kata-kata ini athiiuuni, wa’buduuni, faarsiluuni, irhabuuni, khaafuuni, ittaquuni (kecuali yang dikecualikan).

Waawu dihilangkan: apabila berada bersama waawu yang lain dalam kata seperti: laayastawuuna, fa,wuu ilal kahfi.

Laam dihilangkan: apabila dimasukkan dalam huruf Laam yang sama seperti: al-lailu, wal-ladziina (kecuali yang dikecualikan dari semua itu).

Ada penghilangan huruf yang tidak masuk di bawah kaidah seperti menghikangkan alif adari kata maaliki dan seperti menghilangkan Yaa’ dari ibraahimu dan seperti menghilangkan Waawu dari fiil-fiil yang empat ini wayad’ul insaanu, wahamhullahul baathila, dan yauma yad’u daai, dan sanad’uzzabaaniyata.

Kaidah tambahan: Ringkasnya ialah Alif ditambahkan setlah Waawu pada akhir setiap isim yang dijamak atau dihukumi majmuk, seperti: ulul albaab, banuu israaiila, mulaaquu robbihim. Dan sesudah hamzah yang dibentuk Waawu seperti: tallahi tafta’u, karena ia dibentuk demikian dan dalam kata-kata: wa tadhunnuuna billaahi adh-dhunuuna dan waatho’na ar-rasuula, dan faadhulluuna as-sabiila.

Yaa’ ditambahkan dalam kata-kata ini: biayyikumu, min tilqaai, biaidin dari firman Allah Ta’ala: wassamaa a banainaahaa biaidiin. Wawuu ditambahkan dalam kata-kata seperti: uuluu, uulaika, uulaai, dan uulaati.

Kaidah penulisan hamzah:

Ringkasnya ialah apabila hamzah saakinah (bertanda sukun), ia ditulis dengan huruf harakat sebelumnya. Adapun hamzah yang mempunyai harakat, apabila merupakan awal kata dan bersambung dengan huruf tambahan, ia pun ditulis dengan Alif secara mutlak, baik bertanda fathah atau bertanda kasroh, seperti: fabiayyi, saunzilu, saashrifu. Apabila hamzah terletak ditengah, ia ditulis dengan huruf dari harakat yang sejenis dengannya, seperti suila, saala. Apabila hamzah terletak diujung kata, ia ditulis dengan huruf dari jenis harakat huruf yang sebelumnya, seperti: saashrifu, saba’ (kecuali yang dikecualikan dari itu).

Apabila huruf yang sebelumnya bertanda sukun, maka hamzah dihilangkan dari huruf dan ditulis sendirian seperti: milal ardhi, yukhrijul khobah, kecuali yang dikecualikan dari itudan jumlahnya banyak dari semua itu.

Kaidah Badal:

Ringkasnya iala alif ditulis Waawulit tafkhim, kecuali yang dikecualikan dan ditulis Yaa’ apabila berubah dari Yaa’.

Begitu pula Alif ditulis Yaa’ kecuali dalam surat Yusuf karena ia ditulis Alif.

Nuun ditulis Alif dalam Nuun taukid yang ringan pada kata idzan. Haa’ ta’nits ditulis Taa’ yang terbuka dala surat Al-Baqarah, Ali-Imran, Al-Maidah, Ibrahim, An-Nahl, Luqman, Al-Faathir, Ath-Thur dan kata la’natullah dan kata ma’shiyah dalam surah Al-Mujadilah.

 

Kaidah-kaidah menyambung dan memisah

Ringkasnya ialah kata an dengan tanda fathah pada hamzah disambung dengan kata laa apabila terletak sesudahnya. Dikecualikan dari itu sepuluh tempat, diantaranya: an-laa taquulu dan allaa t’buduu illallah.

Kata min disambung dengan kata maa apabila terletak sesudahnya dan dikecualikan dalam surah An-Nisa dan Ar-Rum, dan dalam surah Al-Munafiqun.

Kata min disambung dengan kata man secara mutlak dan kata ‘an disambung dengan kata maa, kecuali firman Allah: ‘an maa nuhuu ‘anhu.

Kata in disambung dengan kata maa secara mutlak tanpa pengecualian.

Kata kullu disambung dengan kata maa yang terletak sesudahnya kecuali firman Allah: kulla maa ruddu ilal fitnati dan min kullimaa saal tumuuhu.

Dan disambung pula kata-kata mimma dan rubbama dan kannama dan semacamnya.

 

Kaidah penulisan kata yang mengandung dua bacaan:

Ringkasnya ialah apabila kata itu dibaca dengan dua macam bacaan, maka ia ditulis dengan bentuk salah satunya sebagaimana kata-kata berikut ini yang ditulis tanpa Alif dalam mushaf, yaitu: maalikiyaumiddiini, yukhaadiuunallaaha, dan semacamnya.

Semua itu dibaca dengan menetapkan Alif dan menghilangkannya. Begitu pula kata-kata ini ditulis dengan Taa’ maftuhah (terbuka), yaitu dalam surah Al-Ankabut dan dalam surah Fushshilat dan dalam surah Saba’.

Hal itu disebabkan kata-kata itu adalah bentuk jamak yang dibaca dengan jamak dan ifrad. Yang selain ini adalah banyak dan cukuplah apa yang kami sebutkan untuk memberi contoh dan menjelaskan.

 

KEISTIMEWAAN RASAM (BENTUK TULISAN) UTSMANI

Bentuk tulisan ini mempunyai beberapa keistimewaan dan beberapa faedah:

Faedah pertama: Menunjukkan bacaan yang bermacam-macam pada satu kata menurut kemampuan. Hal itu karena kaidah penulisan menunjukkan bahwa apabila kata itu mengandung kemungkinan dua bacaan atau lebih, maka ia ditulis dengan bentuk yang mengandung dua macam bacaan ini atau lebih. Apabila satu huruf tidak mengandung hal itu karena bentuk hurufnya berbeda menurut perbedaan bacaan-bacaannya, maka datanglah tulisannya menurut huruf yang berbeda dengan asalnya. Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui kebolehan membaca dengannya dan dengan huruf yang merupakan asalnya.

Dan apabila hanya ada satu macam bacaan pada kata itu dengan huruf aslinya, ia pun ditulis dengan bentuk itu.

Contoh kata yang ditulis dengan satu bentuk dan dibaca dengan beberapa macam bacaan ialah firman Allah Ta’ala: in hadzaani lasakhiraani. Kalimat ini ditulis demikian dalam Mushaf Utsmani tanpa harakat, tanpa titik dan syakal maupun tasydid dan takhfif pada kedua Nuun.

Adanya rasam (bentuk tulisan) itu sebagaimana anda lihat adalah cocok menurut mereka untuk dibaca dengan empat macam bacaan yang diriwayatkan semuanya dengan sanad-sanad yang sahih.

Pertama: Bacaan Nafi’ dan pengikutnya. Mereka membaca Nuun dengan tasydid pada in dan meringankan dengan Alif.

Kedua: Bacaan Ibnu Katsir sendiri. Ia meringankan bacaan Nuun pada in dan membaca Nuun dengan tasydid pada hadzaan.

Ketiga: Bacaan Hafsh yang meringankan bacaan Nuun pada in dan hadzaan dengan Alif.

Keempat: Bacaan Abi Amru dengan tasydid inn dan dengan Yaa’ dan meringankan bacaan Nuun pada hadzaan.

Maka renungkanlah cara yang terbaik dan cermat ini bagi macam-macam bacaan supaya anda ketahui bahwa para ulama terdahulu yang shaleh lebih jauh pandangannya dan lebih benar jalannya daripada kita dalam menetapkan kaidah-kaidah bagi rasam (bentuk tulisan) Mushaf.

Faedah kedua: Menghasilkan makna yang bermacam-macam dengan cara yang hampir jelas. Hal itu seperti memotong kata am dalam firman Allah Ta’ala: am man yakuunu ‘alaihim wakiilaa dan menyambungnya dalam firman Allah Ta’ala: am man yamsyi sawiyyan ‘ala shiraathin mustaqiim, karena ditulis begini amman dengan memasukkan Miim pertama dalam Miim kedua, sedangkan tulisannya satu Miim yang dibaca dengan tasydid.

Maka am yang pertama diputus dalam tulisan untuk menunjukkan bahwa ia adalah am yang terputus yang bermakna bal dan am yang kedua disambung untuk menunjukkan bahwa ia tidak seperti itu.

Faedah ketiga: Menunjukkan kepada makna tersembunyi dan lembut seperti tambahan Yaa’ pada penulisan kata aidin dari firman Allah: wassamaa a banainaahaa biaidin karena ditulis seperti itu.

Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan kepada pengagungan kekuatan Allah yang mendirikan langit dengannya dan kekuatan itu tidak bisa disamai oleh kekuatan manapun sesuai dengan kaidah yang masyhur, yaitu: Tambahan bentuk kata menunjukkan tambahan makna.

Yang semacam dengan ini ialah penulisan empat fi’il ini dengan menghilangkan Waawu, yaitu: yauma yad’ud ‘da’i, wa yamhullahul baathila, waidauu zabaaniyata, sanad’uddaa’i, karena ditulis dalam mushaf tanpa titik dan tanpa syakal pada semuanya.

Para ulama berkata: Rahasia dalam penghilangan Waawu dari wayad’ul insaan ialah untuk menunjukkan bahwa doa ini mudah bagi manusia. Ia bisa segera melakukannya seperti ia melakukan kebaikan.

Bahkan penetapan kejelekan kepadanya dari pihak dirinya lebih dekat kepadanya daripada kebaikan.

Dan rahasia dalam menghilang kannya dari wayamhullahul baathila mengisyaratkan kepada cepatnya kelenyapan dan kelemahannya.

Rahasia dalam menghilangkan Waawu dari yauma yadudaai ialah isyarat kepada cepatnya doa dan dikabulkannya doa orang-orang yang berdoa.

Dan rahasia dalam menghilangkannya dari sanadu azzabaaniyata ialah isyarat kepada cepatnya tindakan dan kepatuhan Zabaniyah serta kekuatan siksaan.

Rahasia-rahasia ini dikumpulkan oleh Al-Marrakisyi: “Rahasia dalam menghilangkannya dari empat fi’il ini ialah kecepatan terjadinya perbuatan dan kemudahannya atas pelaku dan penerimaan yang sangat oleh pihak yang terpengaruh dengannya dalam wujud.”

Faedah keempat: Menunjukkan asal harakat, seperti penulisan dhommah dengan Waawu dalam firman Allah: sauriikum daaral faasiqiin karena ditulis demikian tanpa harakat.

Dan yang seperti menunjukkan asal huruf seperti assholaatu dan azzakaatu, karena keduanya ditulis demikian tanpa harakat supaya dipahami bahwa Alif pada keduanya berubah dari Waawu (tanpa titik dan syakal seperti yang lalu).

Faedah kelima: Menunjukkan sebagian bahasa-bahasa yang fasih, seperti penulisan Haa’ ta’nits (muannats) dengan Taa’ terbuka untuk menunjukkan bahasa Thayyi’.

Telah dikemukakan contoh-contoh untuk macam ini. Dan seperti firman Allah Subhanahu: yauma ya’ti laa takallamu nafsun illa biidznihi yang ditulis dengan menghilangkan Yaa’ demikian: ya’ti untuk menunjukkan bahasa Hudzail.

Faedah keenam: Mendorong orang-orang untuk belajar Al-Qur’an dari guru-guru yang dapat dipercaya dan tidak mengandalkan rasam (bentuk tulisan) Utsmani ini yang tidak sesuai dengan ucapan yang benar dalam kalimat. Faedah ini mengandung dua keistimewaan.

Pertama: Memastikan lafadh-lafadh Al-Qur’an dan cara penyampaiannya serta tartil dan tajwidnya yang baik, karena hal itu tidak mungkin diketahui secara pasti dari Mushaf, bagaimanapun kaidah rasamnya dan istilah penulisannya.

Kadang-kadang percetakan keliru dalam mencetak dan terkadang pembaca tidak mengetahui hukum-hukum tajwidnya, seperti Qalqalah, Idhhar, Ikhfa’, Idgham, Ar-Raum, Isymaam dan semacamnya di samping pengucapannya.

Oleh karena ini, para ulama memutuskan bahwa tidak boleh mengandalkan Mushaf semata-mata, tetapi harus memastikan dalam pengucapan dan bacaan dengan belajar dari ahli hafal yang dapat dipercaya.

Bilamana anda ragu, katakan kepadaku: Demi Tuhanmu: Dapatkah Mushaf saja dengan rasam apapun menunjukkan pembaca kepada ucapan yang benar dengan huruf-huruf pembukaan surah-surah yang mulia?

Dan termasuk bab ini adalah Ar-Raum dan Isymaam dalam firman Allah maa laka laa ta’mannaa alaa yuusufa.

Keistimewaan kedua: Bersambungnya sanad dengan Rasulullah. Itu adalah kekhususan dari umat Islam ini yang membedakannya dari umat-umat yang lain.

Berkata Ibnu Hazm: Penukilan (periwayatan) oleh orang yang dapat dipercaya dari orang yang dapat dipercaya hingga sampai kepada Nabi dikhususkan Allah bagi kaum muslimin tanpa agama-agama yang lain.

Adapun dengan cara mursal dan mu’dhal, cara itu banyak terdapat dalam kitab-kitab Yahudi.

Akan tetapi mereka tidak bisa dekat dari Musa seperti kedekatan kita dari Muhammad . Mereka berhenti di suatu masa yang antara mereka dan Musa berjarak lebih dari tiga puluh masa. Mereka hanya sampai kepada Syam’un dan semacamnya.

Kemudian Ibnu Hazm berkata: Adapun kaum Nasrani, mereka tidak menghasilkan dari sifat periwayatan ini, kecuali pengharaman talak. Adapun periwayatan yang melalui jalan di mana terdapat pendusta atau orang yang tak dikenal, maka banyak ditemukan dalam periwayatan Yahudi dan Nasrani.

Adapun perkataan para sahabat dan tabi’in, tidak mungkin kaum Yahudi mencapai sahabat seorang nabi atau tabi’iy dan tidak mungkin kaum Nasrani sampai kepada generasi yang lebih tinggi daripada Syam’un dan Paulus.

 

APAKAH BENTUK TULISAN MUSHAF ITU TAUQIFI?

Para ulama mempunyai tiga pendapat tentang bentuk tulisan Mushaf:

Pendapat pertama: Ia adalah tauqifi (sudah ditentukan) dan tidak boleh melanggarnya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Mereka berdalil bahwa Nabi mempunyai para penulis yang menulis wahyu. Mereka telah menulis Al-Qur’an secara nyata dengan rasm (bentuk tulisan) ini dan Rasul telah membenarkan mereka atas tulisan mereka.

Zaman Nabi berlalu dan Al-Qur’an dengan tulisan ini tidak mengalami perubahan dan penggantian. Bahkan diriwayatkan bahwa Nabi membuat peraturan bagi para penulis wahyu mengenai bentuk tulisan Al-Qur’an dan tulisannya. Di antaranya ialah perkataannya kepada Mu’awiyah, salah seorang penulis wahyu: “Siapkan tempat tinta dan tintanya, runcingkan ujung pena, tegakkan huruf Baa’, renggangkan huruf Siin, jangan jelekkan huruf Miim, baguskan tulisan Allah, panjangkan Ar-Rahmaan, baguskan tulisan Ar-Rahiim, letakkan penamu di atas telingamu yang kiri, supaya kamu mudah ingat.”

Kemudian datang Abu Bakar, lalu menulis Al-Qur’an dengan bentuk tulisan ini dalam lembaran-lembaran, kemudian Utsman mengikutinya di masa pemerintahannya. Maka ia menyuruh menyalin lembaran-lembaran itu dalam mushaf-mushaf sesuai dengan penulisan itu dan para sahabat Nabi menyetujui perbuatan Abu Bakar – semoga Allah meridhai mereka semua.

Masalah itu sampai kepada tabi’in dan tabi’it tabi’in, ternyata tidak ada seorang pun yang berbeda pendapat mengenai bentuk tulisan ini dan tidak diriwayatkan bahwa salah seorang dari mereka berpikir untuk menggantinya dengan bentuk tulisan lain yang muncul di zaman berkembangnya karangan dan kegiatan penulisan buku serta kemajuan ilmu.

Bahkan bentuk tulisan Utsmani ini tetap dihormati dan diikuti dalam penulisan mushaf-mushaf, tidak disentuh kemandiriannya dan tidak dilanggar kehormatannya.

Ringkasnya dalil ini ialah bentuk tulisan Mushaf Utsmani mempunyai beberapa keistimewaan yang masing-masing menjadikannya patut dihargai dan wajib diikuti.

Perkara-perkara itu ialah penetapan Rasul atasnya dan perintahnya berupa aturan penulisannya, ijma’ (kesepakatan) para sahabat yang berjumlah lebih dari 12.000 orang, kemudian ijma’ umat atasnya setelah itu di masa tabi’in dan para imam mujtahidin.

Anda tentu mengetahui bahwa mengikuti Rasul adalah wajib mengenai apa yang diperintahkannya atau disetujuinya sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Ali Imran: 31.

 

Mengikuti petunjuk para sahabat adalah wajib, khususnya para khulafa’ ar-rasyidin, sesuai dengan hadtis Al-Irbadh bin Sariyah dan di situ Rasulullah bersabda:

“Karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kamu akan melihat perbedaan yang banyak. Maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin (khalifah-khalifah yang lurus) sesudah aku. Pegangilah sunnah itu dengan kuat.”

 

Tiada keraguan bahwa ijma’ umat di masa mana pun wajib diikuti, khususnya masa pertama. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

 

Di antara ulama yang menceritakan adanya ijma’ umat atas apa yang ditulis Utsman, penulis kitab Al-Muqni’, karena ia meriwayatkan dengan isnadnya hingga Mush’ab bin Sa’ad. Ia berkata: “Aku mendapati orang-orang ketika Utsman membagikan mushaf-mushaf. Mereka mengagumi perbuatan itu dan tidak seorang pun yang mencelanya.

Demikian pula diriwayatkan oleh penulis syarah Al-Aqiilah dari Anas bin Malik bahwa Utsman mengirim mushaf kepada setiap tentara dari pasukan kaum muslimin dan menyuruh mereka membakar setiap mushaf yang berbeda dengan mushaf yang dikirimkannya kepada mereka dan tidak diketahui bahwa ada orang yang berbeda pendapat mengenai benutk tulisan dari mushaf-mushaf Utsmaniyah ini.

Berlangsungnya ijma’ atas istilah-istilah itu pada bentuk tulisan Mushaf adalah dalil bahwa tidak boleh menyimpang darinya dengan mengandalkan selain itu. Semoga Allah merahmati Al-Imam Al-Kharraz ketika ia mengatakan:

Dan sesudahnya Imam menulisnya

dalam sebuah mushaf supaya diikuti umat

dan tidak terjadi kekacauan sesudahnya

dan apa yang dilakukannya itu benar

kisah perbedaan mereka masyhur

seperti kisah perang Yamamah yang sulit

oleh sebab itu patutlah kita mengikuti

bentuk tulisan yang ditetapkannya dalam mushaf

dan kita ikuti perbuatannya dan ketetapannya

dalam menjadikan tulisan itu sebagai pedoman

bagi siapa yang ingin menulisnya

 

Pendapat-pendapat para ulama mengenai kewajiban menulis dengan bentuk tulisan Utsmani

Diriwayatkan oleh As-Sakhawi dengan sanadnya bahwa Malik rahimahullah ditanya: Beritahulah aku tentang orang yang disuruh menulis mushaf, apakah menurutmu ia boleh menulis dengan huruf Hija’ yang dilakukan orang-orang sekarang?

Malik menjawab: Aku tidak sependapat dengan itu, tetapi ia harus menulis dengan bentuk tulisan pertama.

As-Sakhawi berkata: Pendapat yang dikemukakan Malik adalha benar, karena hal itu melestarikan keadaan pertama sehingga bisa diketahui oleh generasi yang lain. Tiada keraguan bahwa ini lebih patut dilakukan daripada yang lain, karena adanya perbedaan bisa menyebabkan orang-orang tidak mengetahui keadaan pertama pada generasi pertama.

Abu Amru Ad-Daaniy berkata: Tidak ada yang bertentangan dengan Malik di antara para ulama umat mengenai hal itu.

Abu Amru Ad-Daaniy berkata pula: Malik ditanya tentang huruf-huruf dalam Al-Qur’an seperti Waawu dengan Alif, apakah anda berpendapat boleh diubah dari Mushaf apabila ditemukan di dalamnya seperti itu?

Malik menjawab: Tidak.

Abu Amru berkata: la maksudkan Alif dan Waawu yang ditambahkan dalam bentuk tulisan, tetapi tidak diucapkan, seperti: ulu.

Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata: Diharamkan perbedaan dengan tulisan Mushaf Utsmani mengenai Waawu dan Alif atau Yaa’ atau selain itu.

Disebutkan dalam pinggir kitab Al-Manhaj mengenai fiqih mazhab Syafi’i sebagai berikut: “Kata ditulis dengan Waawu dan Alif sebagaimana tertulis dalam bentuk tulisan Utsmani dan tidak ditulis dalam Al-Qur’an dengan Yaa’ atau Alif, karena rasam (bentuk tulisan)nya adalah sunnah yang diikuti.”

Disebutkan dalam Al-Muhith Al-Burhani mengenai fiqih mazhab Hanafi sebagai berikut: “Sesungguhnya patutlah Mushaf tidak ditulis dengan selain rasam Utsmani.”

Al-Allamah Nidhamuddin An-Naisaburi berkata: “Sejumlah imam mengatakan bahwa yang wajib atas para pembaca dan ulama

serta ahli tulisan ialah mengikuti rasam ini dalam menulis Mushaf, karena ia adalah rasam (bentuk tulisan) Zaid bin Tsabit. Ia adalah orang yang dipercaya Rasulullah dan penulis wahyunya.”

Berkata Al-Baihaqi dalam Syu’abul iman: “Barangsiapa menulis Mushaf patutlah ia memelihara Hijaa’ yang mereka gunakan untuk menulis mushaf-mushaf itu dan tidak bertentangan dengan mereka mengenainya dan tidak mengubah sedikit pun dari apa yang mereka tulis, karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hatinya dan lisannya dan lebih besar kejujurannya. Maka kita tidak boleh menganggap diri kita bisa memperbaiki mereka.”

Pendapat pertama ini dapat disanggah bahwa dalil-dalil yang mereka kemukakan tidak menunjukkan pengharaman penulisan Al-Qur’an dengan selain rasam ini, karena tidak ada peringatan dosa dan ancamannya, tidak ada larangan atas sesuatu yang haram dan ancamannya. Paling banyak dalil-dalil itu menunjukkan bolehnya menulis dengan rasam Utsmani dan kedudukannya yang tinggi dan kecermatannya. Itu adalah tempat kesepakatan dan persetujuan.

Pendapat kedua: Rasam (bentuk tulisan) Mushaf adalah istilahi, bukan tauqifi. Berdasarkan itu, maka boleh berlainan dengannya. Di antara ulama yang condong kepada pendapat ini adalah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya dan yang bersemangat membelanya adalah Al-Qadhi Abu Bakar dalam kitab Al-Intishar. Ia berkata:

“Adapun tulisan, Allah tidak mewajibkan sesuatu apapun atas umat mengenainya, karena Allah tidak menetapkan atas para penulis Al-Qur’an dan penulis mushaf bentuk tulisan tertentu tanpa lainnya yang diwajibkan-Nya atas mereka dan meninggalkan yang selain itu, karena kewajiban itu tidak dapat diketahui, kecuali dengan mendengar dan penentuan.

Tidak terdapat dalam nash Al-Kitab maupun pengertiannya bahwa bentuk tulisan Al-Qur’an dan syakalnya tidak boleh ditulis kecuali dengan bentuk tertentu dan batas tertentu yang tidak boleh dilampaui. Dan tidak ada pula dalam nash As-Sunnah keterangan yang mewajibkan dan menunjukkan hal itu dan tidak ada pula ijma’ umat yang mewajibkan hal itu. Demikian pula kias-kias syar’iyah tidak menunjukkan hal itu.

Bahkan As-Sunnah menunjukkan bahwa dibolehkan menulisnya dengan bentuk apapun, karena Rasulullah dulu menyuruh menulisnya dan tidak menjelaskan bagi mereka bentuk tertentu maupun melarang seseorang menulisnya. Oleh karena itu tulisan dari berbagai mushaf berbeda-beda.

Di antara mereka ada yang menulis kata menurut makhraj lafadhnya dan ada yang menambah dan mengurangi karena ia mengetahui bahwa itu adalah istilah dan orang-orang mengetahui kejadian itu.

Oleh sebab ini pula dibolehkan menulis dengan huruf-huruf Kufi dan tulisan pertama dan menjadikan Laam dalam bentuk Kaaf, dan membengkokkan Alif dan menulis dengan bentuk-bentuk selain itu.

Dibolehkan pula menulis Mushaf dengan tulisan dan Hijaa’ yang lama dan boleh menulis dengan tulisan dan Hijaa’ yang baru dan boleh menulis di antara semua itu.

Apabila tulisan dari mushaf-mushaf dan banyak dari hurufnya berbeda-beda dan saling bertentangan bentuknya, sedangkan orang- orang telah membolehkan hal itu dan membolehkan masing-masing dari mereka menulis menurut kebiasaannya dan bentuk yang lebih mudah, lebih masyhur dan lebih utama tanpa menganggapnya berdosa dan tidak saling menyalahkan, maka dapat diketahui bahwa tidak ditetapkan mengenai hal itu atas orang-orang batasan tertentu seperti yang ditetapkan atas mereka dalam bacaan dan adzan.

Hal itu disebabkan tulisan-tulisan itu hanyalah tanda-tanda dan bentuk tulisan yang berfungsi sebagai isyarat, akad dan lambang. Maka setiap bentuk tulisan yang menunjukkan kata dan memberitahukan cara bacaannya wajib disahkan dan dibenarkan bagi penulis yang menggunakannya dengan bentuk apapun.

Ringkasnya, setiap orang yang mengaku bahwa orang-orang wajib menulis bentuk tulisan tertentu, ia pun wajib mengemukakan hujjah atas dakwaannya dan bagaimana ia bisa melakukan itu?”

Mazhab ini disanggah:

Pertama: Dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur para ulama untuk mendukung mazhab mereka sebagaimana yang telah disebutkan di hadapan anda, sebagiannya dari As-Sunnah dan sebagiannya dari Ijma’ para sahabat dan tabi’in serta para pengikut mereka.

Kedua: Pengakuannya bahwa tidak ada nash dalam As-Sunnah yang mewajibkan hal itu dan menunjukkannya tertolak oleh pembenaran rasul atas para penulis wahyu yang menulis dengan bentuk tulisan ini. Di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit yang menulis mushaf bagi Abu Bakar dan menulis mushaf-mushaf untuk Utsman dan hadits yang lalu di mana Rasul # berkata kepada Mu’awiyah: “Siapkan tempat tinta dan tintanya, runcingkan ujung pena dan seterusnya.”

Sesungguhnya itu adalah hujjah bahwa Nabi menetapkan aturan bentuk tulisannya bagi mereka.

Ketiga: Bahwa perkataan Al-Qadhi Abu Bakar: “Oleh karena itu tulisan mushaf-mushaf berbeda-beda” dan seterusnya tidak bisa diterima setelah terjadinya ini dan berlakunya serta pengetahuan orang-orang tentang rasam tauqifi, yaitu rasam Utsman berdasarkan apa yang mereka tetapkan di sana.

Kami tambahkan di sini apa yang disebutkan oleh Al-Allamah Ibnul Mubarak yang menukil dari Al-‘Arif billah gurunya, yaitu Abdul Aziz Ad-Dabbagh yang mengatakan dalam Al-Ibriz sebagai berikut:

Rasam Al-Qur’an adalah salah satu dari rahasia-rahasia Allah yang disaksikan dan kesempurnaan yang tinggi.

Berkata Ibnul Mubarak: Maka aku katakan kepadanya: Apakah tulisan Waawu sebagai ganti Alif dalam kata-kata seperti ash-shalaatu dan az-zakaatu dan al-hayaatu dan misykaatu dan tambahan Wawuu dalam sauriikum dan waulaaika dan ulaai dan ulaati, dan seperti Yaa’ dalam kata-kata seperti: hudayaahum, malaaihi, biayyiikum, dan biaidin semua ini berasal dari Nabi atau dari sahabat?

Asy-Syeikh Abdul Aziz menjawab: “Semuanya berasal dari Nabi. Dialah yang menyuruh para penulis dari sahabat untuk menulisnya dengan bentuk ini. Maka mereka tidak mengurangi dan tidak menambah dari apa yang mereka dengar dari Nabi.

Kemudian aku katakan: Sesungguhnya sejumlah ulama menggampangkan dalam masalah rasam. Mereka berkata: Sesungguhnya ia adalah istilah dari para sahabat. Mereka mengikuti apa yang ditulis Quraisy di zaman jahiliah. Bentuk tulisan itu berasal dari para sahabat, karena Quraisy belajar menulis dari penduduk Hirah. Penduduk Hirah mengucapkan kata dengan Waawu. Maka mereka menulis sesuai dengan ucapan mereka.

Adapun Quraisy, mereka mengucapkannya dengan Alif dan

tulisan ar-ribaa dengan Waawu adalah mengikuti ucapan golongan lain dan meniru mereka.

Bahkan Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berkata: Setiap orang yang mengaku bahwa semua orang wajib mengikuti bentuk tulisan tertentu, ia pun wajib menegakkan hujjah atas pernyataannya, karena tidak terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah maupun ijma’ keterangan yang menunjukkan hal itu?

Maka Asy-Syeikh Abdul Aziz menjawab: “Para sahabat dan selain mereka tidak mempunyai gagasan apapun dalam bentuk tulisan

Al-Qur’an, walaupun sehelai rambut pun. Sesungguhnya ia adalah ketentuan dari Nabi dan dialah yang menyuruh mereka menulisnya dalam bentuk yang dikenal dengan tambahan Alif dan kekurangannya karena ada rahasia-rahasia yang tidak bisa diketahui akal. Ia adalah rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-Nya yang mulia tanpa kitab-kitab Samawi yang lain.

Sebagaimana susunan Al-Qur’an itu merupakan mukjizat, demikian pula rasam (bentuk tulisan)nya adalah mukjizat.

Bagaimana akal bisa mengetahui rahasia tambahan Alif pada miah tanpa miata dan rahasia tambahan Yaa pada biaidin wa biayyiikum?

Atau bagaimana ia bisa mengetahui rahasia tambahan Alif pada saawan dalam surah Al-Hajj dan kekurangannya dari sa’aw dalam surah Saba’?

Dan mengetahui rahasia tambahannya pada ‘atawwan di manapun ia berada dan kekurangannya dari ‘ataw dalam surah Al-Furqan?

Dan mengetahui rahasia tambahannya pada amanawu dan penghilangannya dari faau, tabawwau, jaau, baau dalam surah Al-Baqarah?

Dan mengetahui rahasia tambahannya pada ya’fuwal ladziina dan kekurangannya dari ya’fuu ‘anhum dalam surah An-Nisa’?

Selanjutnya, bagaimana akal bisa memahami alasan penghilangan sebagian huruf dari kata-kata yang serupa tanpa sebagian lainnya, seperti penghilangan Alif dari quraanan dalam surah Yusuf dan Az-Zukhruf dan penetapannya di tempat-tempat lainnya?

Dan penetapan Alif sesudah Waawu samaawaati dalam surah Fushshilat dan penghilangannya dari surah lainnya, dan penetapan Alif pada al-mii’aat secara mutlak dan penghilangannya dari tempat yang terdapat dalam surah Al-Anfal dan penetapan Alif pada kata siraajan di mana pun ia berada dan penghilangannya dari tempat Al-Furqan.

Bagaimana akal bisa memahami pembukaan sebagian huruf-huruf Taa’ dan pengikatannya pada sebagian lainnya?

Semua itu adalah karena adanya rahasia-rahasia Ilahiah dan tujuan-tujuan nabawiah. Manusia tidak mengetahuinya karena merupakan rahasia-rahasia batiniah yang tidak dapat dipahami, kecuali dengan petunjuk Rabbani.

Semua itu adalah seperti lafadh-lafadh dan huruf-huruf yang terputus-putus yang terdapat di awal-awal surah.

Lafadh-lafadh dan huruf-huruf itu mengandung rahasia-rahasia yang besar dan makna-makna yang banyak. Sebagian besar manusia tidak mengetahui rahasia-rahasianya dan tidak memahami sesuatu dari makna-makna Ilahiah yang terkandung padanya. Maka begitu pula halnya bentuk tulisan dalam Al-Qur’an huruf demi huruf.

Adapun orang yang mengatakan: Sesungguhnya para sahabat telah bersepakat atas rasam yang tersebut itu, maka perkataan itu jelas salah. Karena Al-Qur’an ditulis di zaman Nabi dan di hadapannya. Ketika itu, apa yang disepakati oleh para sahabat itu bisa jadi berupa bentuk yang sama atau lainnya.

Bilamana berupa bentuk yang sama, maka tidak bisa merupakan kesepakatan sahabat, karena kedahuluan Nabi bertentangan dengan hal itu dan wajib diikuti.

Bilamana selain itu, bagaimana Nabi menulis dalam bentuk seperti bentuk qiyasi misalnya, sementara para sahabat berbeda dan menulis dalam bentuk lain?

Maka hal itu tidak sah karena dua alasan. Pertama: Anggapan bahwa para sahabat telah melanggar dan itu adalah mustahil. Kedua: Seluruh umat dari sahabat dan lainnya sepakat bahwa tidak boleh menambah satu huruf dalam Al-Qur’an dan mengurangi satu huruf darinya, sedangkan yang ada di antara dua sampul itu adalah Kalam Allah azza wa jalla. Maka apabila Nabi menetapkan Alif pada ar-rahmaan dan al-‘aalamiina misalnya dan tidak menambah Alif pada miiatan dan waliaudhou dan tidak menambah Yaa’ pada: biaidin dan semacam itu, sedangkan para sahabat bertentangan dengannya mengenai hal itu dan melanggarnya, tentulah mereka telah bertindak dalam Al-Qur’an dengan menambah dan mengurangi dan melakukan sesuatu yang tidak halal dilakukan oleh seorang pun dalam apa yang mereka sepakati itu dan itu mustahil bagi mereka.

Hal itu bisa menimbulkan keraguan terhadap semua yang tertulis di dalam Mushaf, karena apabila kita bolehkan adanya huruf-huruf yang kurang atau lebih dari apa yang diketahui Nabi dan yang ada padanya dan itu bukan wahyu dan tidak berasal dari sisi Allah dan kita tidak mengetahuinya secara pasti, mak kita pun meragukan semuanya.

Jika kita bolehkan seorang sahabat menambah dalam tulisannya satu huruf yang bukan huruf, tentulah kita bolehkan bagi seorang sahabat lain mengurangi satu huruf dari wahyu, karena tidak ada bedanya antara keduanya dan ketika itu terurailah simpul Islam seluruhnya.

Kemudian Ibnul Mubarak berkata: Saya katakan: Bilamana rasam itu tauqifi dengan wahyu kepada Nabi dan ia adalah seperti lafadh-lafadh Al-Qur’an, mengapa tidak diriwayatkan secara mutawatir sehingga hilang keraguan dan hati menjadi tenang seperti lafadh-lafadh Al-Qur’an.

Sesungguhnya tidak ada satu huruf pun, melainkan telah

diriwayatkan secara mutawatir sehingga tidak timbul perselisihan

maupun kebingungan.

Adapun rasamnya diriwayatkan dengan hadits-hadits Ahad sebagaimana diketahui dari kitab-kitab yang dikarang mengenainya, sedangkan sesuatu yang diriwayatkan dengan hadits-hadits Ahad menimbulkan keraguan di antara para rawinya dalam banyak masalahnya. Maka bagaimana umat menghilangkan sesuatu dari wahyu?

Asy-Syeikh menjawab: “Umat tidak menghilangkan sesuatu dari wahyu. Al-Qur’an dengan memuji Allah terpelihara lafadh dan rasamnya. Orang-orang yang arif dan menyaksikan dan melihatnya hafal lafadh-lafadh dan rasamnya dan tidak menghilangkan sedikit pun darinya.

Mereka memahami hal itu dengan menyaksikan dan melihat yang lebih dari mutawatir, sedangkan selain mereka hafal lafadh-lafadhnya yang sampai kepada mereka secara mutawatir dan perbedaan mereka mengenai huruf-huruf rasam tidak mengganggu dan tidak menyebabkan umat menghilangkannya sebagaimana ketidaktahuan kaum awam tentang isi Al-Qur’an dan tidak hafalnya mereka terhadap lafadh-lafadhnya tidak merusaknya.

Pendapat ketiga: Penulis At-Tibyan dan penulis Al-Burhan yang sebelumnya condong kepada perkatan Al-Izz bin Abdus Salam bahwa boleh, bahkan wajib menulis Mushaf sekarang bagi kaum awam berdasarkan istilah-istilah yang dikenal dan tersiar di antara mereka dan tidak boleh menulisnya bagi mereka dengan rasam Utsmani petama supaya tidak menimbulkan perubahan oleh orang-orang yang bodoh. Akan tetapi wajib dalam waktu yang sama memelihara rasam Utsmani sebagai salah satu peninggalan berharga yang diwarisi dari salaf kita yang shaleh. Maka ia tidak boleh diabaikan demi memperhatikan ketidaktahuan orang-orang yang bodoh, tetapi tetap berada di tangan orang-orang arif yang selalu ada di bumi.

Berikut ini ungkapan At-Tibyan mengenai masalah ini. Ia berkata:

Adapun penulisan mushaf berdasarkan huruf-huruf Hijaa’ yang diadakan orang-orang, hal itu telah dijalankan oleh penduduk wilayah timur dikarenakan bentuknya yang jauh dari kesamaran dan dihindari oleh penduduk Maghrib berdasarkan perkataan Al-Imam Malik.

la ditanya: Bolehkah menulis Mushaf dengan huruf-huruf Hijaa’ yang diadakan orang-orang?

Beliau menjawab: Tidak, kecuali mengikuti tulisan pertama.

Ia berkata dalam Al-Burhan: Saya katakan: Ini dulu dilakukan di masa permulaan. Waktu itu ilmu hidup dan segar. Adapun sekarang, dikhawatirkan terjadinya kebingungan. Oleh karena ini, Asy-Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam berkata: “Tidak boleh menulis Mushaf sekarang menurut rasam petama dengan istilah para imam supaya tidak menimbulkan perubahan oleh orang-orang yang bodoh.

Akan tetapi hal ini tidak boleh diberlakukan secara mutlak supaya tidak menyebabkan lenyapnya ilmu. Sesuatu yang telah disempurnakan oleh orang-orang terdahulu tidak boleh ditinggalkan demi memperhatikan ketidaktahuan orang-orang yang bodoh.” “Dan bumi tidak akan kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah.”

Saya katakan: Pendapat ini bermaksud memelihara kehati-hatian untuk menjaga Al-Qur’an dari dua sisi: Yaitu sisi penulisannya dalam setiap masa dengan rasam yang sudah dikenal demi menjauhkan orang-orang dari kebingungan dan percampuran dalam Al-Qur’an dan sisi pembiaran rasamnya yang pertama dan diriwayatkan (dari Nabi ) dan dibaca oleh orang-orang yang arif dan mereka yang tidak dikhawatirkan mengalami kebingungan. Tidaklah diragukan bahwa kehati-hatian adalah tuntutan agama yang mulia, khususnya demi melindungi At-Tanzil (Al-Qur’an).

(Manahil Al-Irfaan fi ulumil Qur’an: halaman 369-386).

 

Syubhat atas keharusan menggunakan rasam Utsmani di masa ini

Mereka berkata: Sesungguhnya banyak pelajar tidak hafal Al-Qur’an dan tidak pandai membacanya di dalam Mushaf karena mereka tidak mengetahui rasam Utsmani. Oleh sebab itu, mengapa kita terikat dengan rasa mini dan tidak menulis mushaf-mushaf sekarang dengan istilah tulisan yang sudah dikenal demi memudahkan anak-anak muda dan semua orang?

Jawaban:

Pertama: Para ulama mempunyai beberapa pendapat mengenai kebolehan itu. Bahkan salah seorang dari mereka yaitu Al-Izz bin Abdus Salam-mewajibkan penulisan Mushaf bagi kaum awam dengan istilah penulisan hadits oleh mereka karena takut membingungkan sebagaimana wajib menulisnya dengan rasam Utsmani untuk memelihara pusaka yang berharga ini. Telah diterangkan pendapat-pendapat para ulama sebelum ini dan tidak jauh darimu.

Kedua: Dalam rasam Utsmani terdapat berbagai keistimewaan dan faedah yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Ketiga: Mazhab jumhur berdiri di atas dalil-dalil yang banyak atas kewajiban menggunakan rasam ini di kalangan mereka dan dalil-dalil itu telah dikemukakan pula.

Keempat: Bahwa istilah khat dan tulisan di masa kita dapat mengalami perubahan dan penggantian. Maka kita harus berusaha keras memelihara kesucian Al-Qur’an dengan melindunginya dari perubahan dan penggantian pada rasamnya.

Kelima: Bahwa menundukkan mushaf kepada istilah-istilah khat yang baru boleh jadi akan menimbulkan fitnah (kegaduhan) yang menyerupai fitnah yang terjadi di zaman Utsman dan mendorongnya untuk menyatukan Al-Qur’an. Boleh jadi sebagian orang-orang berkata kepada sebagian lainnya atau bangsa yang satu berkata kepada bangsa lainnya ketika terjadi perbedaan pada kaidah-kaidah mereka mengenai rasam mushaf: Rasamku lebih baik daripada rasammu atau mushafku lebih baik daripada mushafmu atau rasamku benar dan rasammu salah.

Hal itu terkadang menyebabkan sebagian mereka menuduh sebagian yang lain berdosa atau sebagian mereka memerangi sebagian yang lain.

Kaidah yang ditetapkan ulama mengatakan: Menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.

Keenam: Bahwa rasam Utsmani menyerupai rasam umum yang menyatukan umat pada penulisan kitab Tuhannya dalam seluruh masa dan kota-kota, seperti bahasa Arab.

Ia adalah bahasa umum yang menyatukan umat dalam membaca kitab Tuhannya dalam seluruh masa dan kota-kota.

Kita tidak boleh ceroboh mengenai masalah ini yang dapat mengumpulkan sesuatu yang bercerai-berai dan menyatukan umat dalam satu pengertian, tiada bedanya antara yang lalu dan sekarang maupun yang akan datang.

Ketujuh: Bisa juga menggampangkan pembacaan bagi semua orang dengan sering menyiarkan Al-Qur’an secara tepat dan cermat dan menyiarkan ilmu tajwid di madrasah-madrasah di kalangan para pelajar.

Akhirnya sebagaimana dikatakan majalah Al-Azhar – kita dapat mengingatkan di bawah setiap halaman Mushaf tentang kata-kata di dalamnya yang berbeda dengan rasam yang sudah dikenal dan istilah yang biasa, terutama bahwa rasam mushaf-mushaf Utsmani tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kita dalam khat dan imla’, kecuali sedikit dan dalam kata-kata yang dapat dihitung.

Di samping itu, perbedaan antara kedua rasam tidak menjerumuskan pembaca yang sadar dalam kebingungan ketika merenungkan dan memeriksanya pada umumnya.

Setelah melewati generasi-generasi dan abad-abad, umat tidak merasa keberatan dalam menggunakan rasam Utsmani, karena yang diandalkan pertama kali dan sebelum segala sesuatu adalah penerimaan dari hafalan para ahlinya dan dengan penerimaan itu lenyaplah kerumitan dari rasam itu, apapun adanya.

Dan sesudah penyaksian tidak perlu ada penjelasan. (Manahil Al-Irfaan fi Ulumil Qur’an: 397-399)