Kitab Balaghah Wadhihah Dan Terjemah [PDF]

Fashahah

 

Fashahah maknanya jelas dan terang. Anda berkata, “Afshahash Shubhu”, yakni “Pagi telah jelas”. Kalimat yang fasih adalah kalimat yang jelas maknanya, mudah bahasanya, dan baik susunannya. Oleh karena itu, setiap kata dalam kalimat yang fasih itu harus sesuai dengan pedoman sharaf, jelas maknanya, komunikatif, mudah lagi enak.

 

Suatu kata akan mencapai kriteria itu bila sering dipakai oleh para penulis dan penyair yang peka karena tidak ada kata yang terungkap melalui lisan dan tulisan mereka kecuali memenuhi kriteria kefasihan dan keindahan tersebut.

 

Selera yang sehat merupakan modal utama dalam mengetahui keindahan dan kemudahan kata-kata serta membedakannya dari kata-kata yang buruk dan sulit. Karena kalimat adalah suara, maka orang yang suka mendengar suara burung tikukur dan benci terhadap suara burung hantu dan burung gagak, pendengarannya akan langsung mengingkari setiap kalimat yang asing lagi sulit suku kata suku katanya. Bukankah kata “al-muznah” dan kata “ad-diimah’ sebagai nama awan yang mengandung air hujan itu lebih halus dan nyaman didengar daripada kata “al-bu’aag” yang semakna dengan keduanya? Kata yang terakhir ini kasar dan memekakkan telinga. Kata-kata yang sebanding dengannya sangat banyak, dan dapat Anda rasakan-dengan selera sendiri.

 

  1. Untuk mencapai predikat fashahah, suatu kalimat di samping ha. rus terdiri atas kata-kata yang sesuai dengan kaidah sharaf yang benar dan mudah dipahami, disyaratkan harus terlepas dari rangkaian yang lemah, yakni keluar dari kaidah bahasa yang berlaku, seperti kembalinya dhamir (kata ganti) kepada lafaz yang berada di depannya, baik dalam ungkapan maupun dalam kedudukannya, sebagaimana dalam ucapan Sayyidina Hasan berikut:

 

Seandainya kemuliaan seseorang itu dapat menjadikannya panjang umur, maka kemuliaan Muth’im akan dapat memperpanjang kehidupannya.

 

Dhamir pada kata “majduhu” adalah kembali kepada kata “Muth’im’ Kata yang terakhir ini dengan jelas terungkapkan setelah dhamirnya, dan dari segi kedudukannya dalam kalimat juga jatuh setelahnya karena menjadi maf’ul bih. Oleh karena itu, syair di atas tidak fasih.

 

  1. Disyaratkan juga susunan kalimatnya tidak terdiri atas kata-kata yang tanafur sehingga hubungan satu kata dengan kata lainnya tidak menimbulkan kalimat itu sulit untuk didengar dan diucapkan. Contoh kalimat yang terdiri atas kata-kata yang tanafur adalah syair berikut:

 

Kubur musuh berada di tempat yang sunyi. Dan tidak ada kubur lain di dekat kubur musuh itu.)

 

Suatu pendapat menyatakan bahwa syair ini tidak mudah dibaca seseorang tiga kali secara terus-menerus tanpa kesulitan karena dalam.syair ini berkumpul beberapa kata yang huruf-hurufnya berdekatan makhrajnya. Dengan demikian, menimbulkan kesulitan yang sangat, padahal bila kata-kata itu diucapkan secara terpisah, tidaklah menimbulkan kesulitan dan tidak menyusahkan.

 

  1. Kalimat yang fasih adalah kalimat yang tidak rancu susunannya. Kalimat yang rancu yaitu kalimat yang tidak jelas maksudnya karena sebagian kata-katanya didahulukan atau diakhirkan dari tempatnya semula, atau kata-kata yang seharusnya berdekatan menjadi terpisah-pisah, seperti kalimat:

 

Tidak membaca kecuali satu Muhammad bersama kitab saudaranya. Kalimat ini tidak fasih karena susunan kata-katanya rancu. Aslinya adalah:

 

Muhammad tidak membaca bersama saudaranya kecuali sebuah kitab. Kata sifatnya didahulukan daripada kata yang disifatinya. Di samping itu, ada beberapa kata yang seharusnya bersamaan ternyata dipisahkan, yakni adatul-istitsna’ (kata sambung untuk mengecualikan) dipisah dengan mustatsna-nya (kata yang dikecualikan), dan mudhaf (kata yang bersandar) dengan mudhaf ilaih (kata yang disandari). Kalimat lain yang serupa dengan contoh Wi atas adalah syair yang diungkapkan oleh Abuth-Thayyib Al, Mutanabbi berikut:

 

Bagaimana mungkin Adam itu bapak seluruh manusia, sedangkan ba. pakmu adalah Muhammad. Dan kamu adalah salah seorang dari ma. nusia dan jin

 

Susunan yang benar adalah: –

 

Padanya terkumpul kelebihan dan kesempurnaan sebagai makhluk. Dalam kalimat itu mubtada’ dipisahkan dengan khabarnya (yakni abuuka dan Muhammadun). Di samping itu, khabar didahulukan atas mubtada’-nya, yang kadang-kadang menimbulkan kesimpangsiuran pemahaman, misalnya pada kata-kata watstsagalaani anta, yakni tanpa disadari anak kalimat tersebut ternyata mengandung kerancuan dan tak terarah.

 

  1. Kalimat yang fasih harus terbebas dari kerancuan makna, seperti bila si pembicara bermaksud mengatakan sesuatu, tetapi katakata yang dipakai tidak menunjukkan hakikat makna yang dimaksud sehingga ungkapannya membingungkan dan bisa mengundang kesalahpahaman bagi pendengar. Contohnya kata al-lisaan, kadang-kadang dikatakan dengan arti bahasa, sebagaimana dalam firman Allah Swt. (QS Ibrahim: 4). Pemakaian seperti ini adalah benar dan fasih. Namun, bila kata ini dikatakan untuk makna mata-mata, umpamanya dikatakan:

 

Hakim memasang beberapa orang mata-matanya di kota itu.

 

Maka pemakaian kata-kata seperti ini tidak dibenarkan, dan kalimatnya mengandung kerancuan makna.

 

Contoh lain adalah syair yang diungkapkan oleh Imri’ul Qais dalam menyifati kuda:

 

Dengan terkejut saya naik kuda sekurus pelepah kurma, yang wajahnya tertutup oleh bulu ubun-ubunnya yang seperti ranting-ranting kurma yang terurai.

 

Makna asli kata   adalah pelepah kurma. Dalam syair ini yang dimaksud adalah kuda yang kurus. Hal ini tidak menjadi masalah, meskipun menyerupakan kuda dengan pelepah kurma itu mengandung kelemahan. Yang tidak dapat diterima adalah menyifati kuda, tentang rambut ubun-ubunnya sepanjang ranting-ranting kurma dan menutupi wajahnya, karena telah dikenal di kalangan orang Arab bahwa kuda yang rambut ubun-ubunnya sampai menutupi wajahnya bukanlah kuda yang mulia dan gemuk. Di antara kalimat yang rancu maknanya adalah pernyataan Abu Tammam.

 

Saya pancing kemurahannya dengan sungguh-sungguh pada Sabty pagi. Maka ia jatuh pingsan ketika mendengar beberapa gasidah. Dalam pernyataan di atas, si penyair tidak henti-hentinya mem. bacakan syair hingga kemurahan orang yang dipujinya itu jatuh pingsan. Pernyataan dengan kalimat demikian adalah pernyata. an yang paling jelek.

 

Balaghah

 

Balaghah mendatangkan makna yang agung dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan fasih, memberi bekas yang berkesan di lubuk hati, dan sesuai dengan situasi, kondisi, dan orang-orang yang diajak bicara.

 

Secara ilmiah, balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar di antara macam-macam uslub (ungkapan). Kebiasaan mengkaji balaghah merupakan modal pokok dalam membentuk tabiat kesastraan dan menggiatkan kembali beberapa bakat yang terpendam. Untuk mencapai tingkatan itu seorang siswa harus membaca karya-karya sastra pilihan, memenuhi dirinya dengan pancaran tabiat sastra, menganalisis dan membanding-bandingkan karya-karya sastra, dan harus memiliki kepercayaan pada diri sendiri sehingga mampu menilai baik dan jelek terhadap suatu karya sastra sesuai dengan kemampuannya.

 

Perbedaan antara ahli balaghah dan ahli lukis terletak pada bidang garapannya saja. Ahli balaghah mengolah kalimat dan pembicaraan untuk diperdengarkan, sedangkan ahli lukis mengolah warna dan bentuk untuk diperlihatkan. Dalam segi yang lain mereka adalah sama. Seorang ahli lukis ketika berhasrat melukis sesuatu, berpikir tentang warna yang tepat dan mengombinasikan warna-warna itu sehingga sedap dipandang dan memukau perhatian. Seorang ahli balaghah bila hendak menyusun suatu syair, makalah, ataupun teks pidato, berpikir tentang lingkup pembicaraannya, lalu disusunlah olehnya kata-kata dan uslub yang mudah dicerna, yang paling berkaitan dengan temanya, paling kuat pengaruhnya dalam jiwa, dan paling memikat keindahannya.

 

Unsur-unsur balaghah adalah kalimat, makna, dan susunan kalimat yang memberikan kekuatan, pengaruh dalam jiwa, dan keindahan. Juga kejelian dalam memilih kata-kata dan uslub sesuai dengan tempat bicaranya, waktunya, temanya, kondisi para pendengarnya, dan emosional yang dapat mempengaruhi dan menguasai mereka. Banyak kata yang bagus dipakai di satu tempat, namun tidak tepat dan tidak disenangi di tempat lain. Pada masa yang lalu para sastrawan tidak menyenangi penggunaan kata “aidhan”. Mereka menganggap kata tersebut monopoli para ilmuwan. Oleh karena itu, mereka tidak mau menulisnya dalam syair maupun tulisan prosa mereka, sehingga salah seorang dari mereka berkata:

 

Sering kali burung-burung berkicau dengan lantang mengungkap kesedihannya di waktu dhuha sambil bertengger di atas dahan.

 

Karena ia teringat kekasih di masa lalu, maka ia menangis. Kesusahanku pun bangkit.

 

Sering kali tangisku membuatnya terjaga, dan sering kali tangisnya membuatku terjaga.

 

Sungguh, kadang-kadang ia mengeluh, namun aku tidak dapat memahami keluhannya, dan kadang-kadang aku mengeluh, ia pun tidak dapat memahami keluhanku.

 

Akan tetapi, dalam kerinduan aku mengenalnya, dan dalam kerinduan ia juga mengenalku.

 

Dalam syair di atas, si penyair meletakkan kata “aidhan” pada tempat yang tidak dapat ditempati dan digunakan kata yang lain, dan daya tarik serta keindahan kata itu tidak dapat dijelaskan.

 

Sering kali suatu kalimat hakikatnya baik dan indah, namun ke. tika terucap tidak pada tempat dan kondisi yang tepat, maka kelua, dari batas balaghah dan menjadi sasaran kritikan para pengkritik.

 

Contoh ucapan Al-Mutanabbi kepada Kaafuur Al-Ikhsyidi’ pada awal gasidah pujiannya:

 

Bagimu sakitnya melihat kematian itu menjadi penawar. Dan cukup bagimu kematian itu menjadi harapanmu. Di antara pujian itu adalah:

 

Kegiranganku ketika aku melihatmu bukanlah suatu bid’ah. Sebelumnya aku berharap dapat melihatmu dan saya girang karenanya.

 

Al-Wahidi berkata, “Bait syair ini menyerupai ejekan karena penyairnya berkata, ‘Saya bergetar kegirangan ketika melihatmu, sebagaimana seseorang yang bergetar kegirangan karena lawak’.” Ibnu Jinni berkata, “Ketika saya membacakan bait syair ini kepada Abuth-Thayyib, maka saya berkata kepadanya, “Tuan tidak lebih menjadikan seseorang sebagai monyet.’ Maka beliau tersenyum.” Kita tahu bahwa Al-Mutanabbi itu bergejolak dadanya karena menahan dendam terhadap Kaafuur dan terhadap hari-hari yang memaksa ia memujinya. Oleh karena itu, meluncur darinya kata-kata yang lepas dari kontrolnya. Jadi, kekeliruan para penyair ialah dalam melontarkan syairnya hingga membuat para pendengarnya kesal dan berpaling darinya. Maka hal itu menjadikan ungkapannya keluar dari batas balaghah. Diriwayatkan bahwa Abun-Najm menemui Hisyam bin Abdul Malik dan membacakan syair untuknya:

 

Matahari yang kuning itu hampir muncul, dan ketika muncul tak ubahnya bagaikan mata juling di ufuk.

 

Sedangkan mata Hisyam itu juling, maka ia memerintahkan agar Abun-Najm ditangkap.

 

Jarir  memuji Abdul Malik bin Marwan dengan gasidahnya yang isinya antara lain:

 

Apakah Tuan cerah ataukah hati Tuan tidak cerah? Mendengar kalimat ini Abdul Malik tidak senang, dan karenanya ia balik berkata kepada Jarir, “Bahkan hatimulah yang tidak cerah!”

 

Ulama sastra menyesalkan kekeliruan Al-Buhturi yang memulai pujiannya dengan kalimat berikut:

 

Kecelakaan yang besarlah bagi Tuan karena malam hari yang bagian-bagian akhirnya terasa amat cepat berlalu. Mereka mencela Al-Mutanabbi yang berbelasungkawa atas kematian ibu Saifud-Daulah”

 

Semoga rahmat Allah Yang Maha Pencipta memolesi wajah yang berseli. mutkan keindahan. Ibnu Waki’ berkata, “Ia (Mutanabbi) menyifati ibu raja dengan ke. indahan wajah.” Ungkapan ini dinilai tidak terpuji.

 

Memang Al-Mutanabbi terlalu berani dalam menyeru para raja. Barangkali keagungan dan keperkasaan dirinyalah yang melatarbelakangi tingkahnya yang ganjil itu.

 

Suatu hal yang perlu diperhatikan dengan serius oleh seorang ahli balaghah adalah mempertimbangkan beberapa ide yang bergejolak dalam jiwanya. Ide yang dikemukakan itu harus benar, berbobot, dan menarik sehingga memberi kesan sebagai hasil kreasi seseorang yang berwawasan utuh dan bertabiat lembut dalam merangkai dan menyusun ide. Setelah hal itu ia selesaikan, kemudian memilih katakata yang jelas, meyakinkan, dan sesuai. Lalu menyusunnya dengan susunan yang indah dan menarik. Jadi, balaghah itu tidak terletak pada kata per kata, juga tidak pada makna saja, melainkan balaghah adalah kesan yang timbul dari keutuhan paduan keduanya dan keserasian susunannya.

 

Uslub

 

Uslub adalah makna yang terkandung pada kata-kata yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih cepat menicapai sasaran kalimat yang dikehendaki’ dan tebih menyentuh jiwa para pendengarnya. Uslub ada tiga macam:

 

(1) Uslub Ilmiah.

 

LUislub ini adalah uslub yang paling mendasar dan paling banyak membutuhkan logika yang sehat dan pemikiran yang lurus, dan jauh dari khayalan syair. Karena uslub ini berhadapan dengan akal dan berdialog dengan pikiran serta menguraikan hakikat ilmu yang penuh ketersembunyian dan kesamaran. Kelebihan yang paling menonjol dari uslub ini adalah kejelasannya. Dalam uslub ini harus jelas faktor kekuatan dan keindahannya. Kekuatannya terletak pada pancaran kejelasannya dan ketepatan argumentasinya. Sedangkan keindahannya terletak pada kemudahan ungkapannya, kejernihan tabiat dalam memilih kata-katanya, dan bagusnya penetapan makna dari berbagai segi kalimat yang cepat dipahami.

 

Jadi, dalam uslub ini harus diperhatikan pemilihan kata-kata yang jelas dan tegas maknanya serta tidak mengandung banyak makna. Kata-kata ini harus dirangkai dengan mudah dan jelas sehingga makna kalimatnya mudah ditangkap dan tidak menjadi medan pertarungan beberapa praduga serta tidak memberi kesempatan takwil dan manipulasi makna.

 

Untuk uslub ini sebaiknya dihindari pemakaian kata atau kalimat majaz dan badi’ yang dibagus-baguskan kecuali bila tidak diprioritaskan dan tidak sampai menyentuh salah satu prinsip atau kekhasan uslub ini. Adapun pemakaian tasybih yang dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman penjelasan terhadap hakikatnya, adalah sangat baik dan dapat dibenarkan.

 

(2) Uslub Adabi (sastra).

 

Dalam uslub jenis ini keindahan adalah salah satu sifat dan kekhasannya yang paling menonjol. Sumber keindahannya adalah khayalan yang indah, imajinasi yang tajam, persentuhan beberapa titik keserupaan yang jauh di antara beberapa hal, dan pemakaian kata benda atau kata kerja yang kongkret sebagai pengganti kata benda atau kata kerja yang abstrak.

 

Al-Mutanabbi tidak memandang sakit panas yang kambuh seperti para dokter memandangnya sebagai akibat masuknya kuman ke dalam tubuh yang menyebabkan suhu badan naik dan menggigil gemetaran, dan setelah kuman itu beraksi, maka badan akan mengucurkan keringat, melainkan ia menggambarkannya sebagaimana terSaji pada beberapa bait berikut ini:

 

Sering kali sakit panas yang menghampiriku itu bagaikan seorang dara pemalu. Ia tidak mau menghampiriku kecuali di malam hari yang gelap. Aku upayakan untuknya selendang sutera dan kasur empuk. Namun ia menolak, dan lebih suka menginap di tulangku.

 

Kulitku terasa sempit untuk menampung napasku, dan dia ternyata membuat seluruh tubuhku merasakan berbagai macam sakit.

 

Ketika datang Subuh, seakan-akan ia terusir. Maka ia mengucurkan air mata dari keempat sudut matanya.

 

Aku mengamati waktu kehadirannya tanpa kerinduan sebagaimana layaknya orang kerinduan yang mabuk kepayang.

 

Janjinya selalu ditepati, namun kedisiplinannya jelek, sebab hanya untuk menimpakan beberapa kesusahan yang tidak kepalang.

 

Apakah kau ingin menimpakan suatu kesulitan, sedangkan segala kesulitan telah terdapat padaku? Maka bagaimana kau menembus berjubelnya kesulitan untuk menimpakan kesulitan lain padaku?

 

Begitu juga Ibnul Khayyath, ia tidak memandang mendung sebagai asap tebal yang membawa air ke suatu ketinggian angkasa yang dingin, melainkan ia menggambarkannya sebagai berikut:

 

Mendung itu bagaikan suatu pasukan tentara yang mampu menciptakan kesejahteraan di seluruh permukaan bumi dengan adil.

 

Ketika ia menyerbu kekeringan bumi dengan guyuran gerimis, dengan serbuan yang sangat baik.

 

Ia mengarahkan anak panah bersama gerimis dan mengarahkan tombak bersama hujan deras ke permukaan bumi.

 

la menghunus pedangnya yang berkilau, lalu melukai permukaan bumi itu dengan sangat dalam.

 

Tampak mulut-mulut bunga menyanjungnya. Kegembiraan dan kekagumannya terlontar dalam kebisuan yang nyata.

 

Seorang sastrawan kadang-kadang berlebihan dalam mengingkari hakikat ilmiah. Untuk itu, dengan khayalannya ia memakai ungkapan-ungkapan yang meyakinkan anggapannya dan memperkuat optimismenya. Maka noda hitam pada permukaan bulan itu bukan lagi timbul karena adanya pegunungan dan kawah-kawah yang terdapat padanya, sebagaimana dikatakan oleh para ahli, karena Al-Ma’arri menilainya dengan ungkapan lain. Dalam suatu ratapannya ia bersyair:

 

Bisul pada permukaan bulan purnama itu tidaklah ada sejak dulunya, me lainkan bekas pukulan tangan.

 

Uslub jenis kedua ini harus jelas dan tegas.

 

Maka ungkapan Al-Mutanabbi dalam syair berikut ini tidak baligh.

 

Berhentilah (wahai wanita), maka pandangan pertama dapat mengembalikan hatiku yang merana dengan pandangan kedua, karena orang yang merusak sesuatu wajib membayar ganti ruginya. Kalimat ini tidak baligh, karena Al-Mutanabbi bermaksud bahwa ia pernah memandang wanita itu dan meranalah hatinya, maka ia berkata kepadanya, “Berhentilah, agar aku dapat memandangmu lagi, supaya hatiku dapat hidup kembali seperti semula. Bila kamu mau berhenti, maka pemunculanmu yang kedua ini menjadi pelipur hati terhadap apa yang kaurusak pada pemunculanmu yang pertama.”

 

Perhatikanlah penjelasan yang agak panjang tentang kekurangan kalimat di atas, yang kata-katanya tidak lengkap, susunannya jelek, artinya tidak jelas, dan sulit dipahami, padahal maksudnya sangat indah dan dasar pemikirannya diperkuat dengan dalil.

 

Bila kita hendak mengetahui ketegasan uslub ini, maka bacalah ungkapan Al-Mutanabbi dalam ratapannya sebagai berikut:

 

Aku tidak pernah berpikir sebelum memikul kerandamu untuk melihat Gunung Radhwa berjalan di tangan beberapa orang. Lalu bacalah syair Ibnul Mu’tazz berikut ini:

 

Manusia yang sempurna telah pergi meninggal dunia dan seluruh umat menjerit, “Ke manakah tokoh itu? Inilah Abul Abbas dalam kerandanya. Berdirilah (hai manusia), Ingatlah bagaimana gunung gunung Itu berja lan!”

 

Dalam syair di atas dapat kita temukan bahwa uslub syair pertama tenang dan tidak memberi ketegasan, sedangkan uslub syair kedua sangat kuat dan tegas, bahkan mencapai puncak ketegasannya dalam kalimat wa shaaha sharfud-dahri ainar-rijaal (dan seluruh umat menjerit, “Ke manakah tokoh itu?”), lalu dalam kalimat guumuu unzhuruu kaifa tasiirul-jibaal (Berdirilah, lihatlah bagaimana gunung-gunung itu berjalan).

 

Secara garis besar uslub ini harus indah, menarik inspirasinya, dan jelas serta tegas. Orang-orang yang baru terjun ke dalam dunia sastra banyak yang beranggapan bahwa uslub itu akan semakin baik bila banyak memakai kata-kata majaz, tasybih (penyerupaan), dan jauh khayalannya. Anggapan ini sangat keliru, sebab hilangnya keindahan uslub ini kebanyakan justru karena dibuat-buat dan diada-adakan, dan tidak ada yang merusak keindahannya yang lebih jelek daripada kesengajaan menyusunnya. Kami yakin bahwa syair berikut ini tidak menarik perhatian kita:

 

Air matanya yang bagaikan butir-butir mutiara bunga narjis turun membasahi pipinya yang putih kemerah-merahan bagaikan bunga mawar, dan jarijemari tangannya yang lentik itu digigitkan ke giginya yang putih bagaikan salju.

 

Demikianlah, sebenarnya sangat mudah kita mengetahui bahwa syair atau prosa yang memiliki nilai sastra padanya, pemakaian uslub ini berkembang dan mencapai puncak keindahan sastranya.

 

(3) Uslub Khithabi. Dalam uslub ini sangat menonjol ketegasan makna dan redaksi, ketegasan argumentasi dan data, dan keluasan wawasan. Dalam uslub ini seorang pembicara dituntut dapat membangkitkan semangat dan me. ngetuk hati para pendengarnya. Keindahan dan kejelasan uslub ini memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi dan menyentuh hati. Di antara yang memperbesar peran uslub ini adalah status si pem. bicara dalam pandangan para pendengarnya, penampilannya, kece. meriangan argumentasinya, kelantangan dan kemerduan Suaranya, kebagusan penyampaiannya, dan ketepatan sasarannya.

 

Di antara yang menentukan kelebihan uslub ini yang menonjol adalah pengulangan kata atau kalimat tertentu, pemakaian sinonim, pemberian contoh masalah, pemilihan kata-kata yang tegas. Baik sekali uslub ini bila diakhiri dengan pergantian gaya bahasa, dari kalimat berita menjadi kalimat tanya, kalimat berita yang menyatakan kekaguman, atau kalimat berita yang menyatakan keingkaran. Dan hendaknya kalimat penutup itu tegas dan meyakinkan. Di antara contoh yang terbaik bagi uslub ini adalah khothbah Imam Ali bin Abi Thalib r.a.“ ketika Sufyan bin Auf Al-Asadi menyerang Anbar dan menewaskan gubernurnya:

 

Ini adalah seorang saudara Bani Ghamid yang dengan pasukan berkudanya telah mencapai wilayah Anbar, telah menewaskan Hassan Al-Bakri, telah melarikan kuda-kndamu dari kandang-kandangnya, dan membunuh banyak orang saleh darimu.

 

Telah sampai kepadaku, bahwa salah seorang laki-laki dari mereka memasuki seorang wanita muslimah dan seorang wanita dzimmi, lalu melucuti keroncongnya, gelangnya, dan kalungnya. Kemudian mereka seluruhnya pergi dengan utuh tanpa seorang pun dari mereka terluka dan tidak setetes pun darah mereka tertumpahkan. Sungguh, seandainya ada seorang muslim mati menyedihkan setelah ini, maka tiadalah ia tercela, melainkan menurutku hal itu sangat patut.

 

Maka sungguh mengherankan perihal kesungguhan mereka dalam kebatilan dan kelemahanmu dalam kebenaran. Maka alangkah jeleknya ketika kamu menjadi sasaran keserakahan musuh, kamu diserbu dan kamu tidak berani menyerbu, kamu diperangi dan kamu tidak berani melawan, dan Allah didurhakai di depan matamu, sedangkan kamu bertopang dagu.

 

Perhatikanlah bagaimana Imam Ali bin Abi Thalib mempengaruhi para pendengarnya hingga mencapai puncaknya, karena pada mulanya beliau menginformasikan tentang serangan ke wilayah Anbar dan terbunuhnya salah seorang gubernurnya. Namun, hal itu belum cukup bagi Sufyan bin Auf. Maka ia mengayunkan pedangnya untuk membabat banyak leher para pemuka dan keluarga mereka.

 

Pada paragraf kedua beliau menyinggung perihal nasib benteng pertahanan mereka dan faktor pembangkit semangat dan kebanggaan Setiap individu orang Arab, yakni perempuan, karena orang Arab berani mempertaruhkan nyawa dalam mempertahankan dan membela wanita. Sehubungan dengan itu beliau berkata, “Mereka telah me. nodai daerah terlarang Anbar, dan kembali dengan selamat.”

 

Dalam paragraf ketiga beliau memperlihatkan kebingungan dan kekagumannya atas kegigihan musuh membela kebatilan dan kele. mahan kaumnya dalam mempertahankan kebenaran. Kemudian beliau menampakkan puncak kemarahannya dengan mengejek mereka sebagai penakut dan pengecut.

 

Demikianlah salah satu contoh uslub khithabi. Semoga kami diberi kesempatan untuk menjelaskan rahasia balaghah dan macam-macam uslubnya sehingga yang berkepentingan mengetahui akan berbagai macam ungkapan, waktu pemakaiannya, dan syarat-syarat penerapannya.

 

  1. Unsur-Unsur Tasybih

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Al-Ma’arri menyatakan tentang seseorang yang dipujanya:

 

Engkau bagaikan matahari yang memancarkan sinarnya walaupun kau berada di atas planet Pluto di tempat yang paling tinggi.

 

  1. Penyair lain menyatakan:

 

Engkau bagaikan serigala yang tampil dengan segala keberaniannya, dan bagaikan pedang yang siap menumpas semua penghalang.

 

c, Penyair lain menyatakan:

 

Sungguh kelembutan dan kelunakan perangaimu bagaikan udara sejuk di pagi hari.

 

  1. Penyair lain menyatakan:

 

Sungguh air yang bening dan mengalir itu bagaikan cairan perak.

 

  1. Pembahasan

Pada bait pertama, si penyair tahu bahwa orang yang dipujanya ity wajahnya bercahaya dan menyilaukan mata, lalu ia ingin membuat perumpamaan yang memiliki sifat paling kuat dalam hal menerangi dan ternyata ia tidak menjumpai suatu hal pun yang lebih kuat daripada sinar matahari. Maka ia menyerupakannya dengan mataha, ri, dan untuk itu ia bubuhi huruf kaf (kata perumpamaan/Ssepetti).

 

Dalam bait kedua, si penyair memandang orang yang dipujanya memiliki dua sifat, yaitu keberanian dan ketabahan mengatasi segala kesulitan. Ia mencari dua perumpamaan yang masing-masing memiliki sifat yang paling kuat dalam jenisnya. Maka ia menyerupakannya dengan serigala untuk sifat yang pertama dan dengan pedang yang tajam untuk sifat yang kedua. Penyerupaan ini ia nyatakan dengan huruf kaf.

 

Pada bait ketiga, si penyair mengungkap kelemahlembutan akhlak temannya yang sangat menyejukkan hati. Maka ia berusaha membuat perumpamaan yang menonjolkan. sifat tersebut dengan gambaran paling kuat. Untuk itu, ia memandang bahwa udara pagi yang sejuk dapat menggambarkannya, maka dirangkailah perumpamaan di antara keduanya. Perumpamaan ini ia nyatakan dengan huruf ka-anna (seakan-akan/sungguh seperti).

 

Pada bait keempat, si penyair mencari padanan (perumpamaan) bagi air yang bening untuk menonjolkan kebeningannya. Ia berkeyakinan bahwa perak yang mencair. dapat menggambarkan keadaan itu. Maka ia menyerupakan air bening itu dengan cairan perak, dan penyerupaan itu ja nyatakan dengan huruf ka-anna.

 

Dapat kita lihat pada bait di atas adanya penyerupaan sesuatu kepada sesuatu yang lain yang memiliki kesamaan sifat. Pernyataan yang menunjukkan penyerupaan ini adalah huruf kaf atau ka-anna. Penyerupaan tersebut disebut dengan tasybih. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa tasybih harus mengandung empat unsur, yaitu:

 

  1. Sesuatu yang hendak diserupakan. Hal ini disebut sebagai musyabbah.
  2. Sesuatu yang diserupai. Hal ini disebut sebagai musyabbah hih.

 

Kedua unsur ini disebut sebagai tharafait-tasybih (kedua pihak yang diserupakan).

  1. Sifat yang terdapat pada kedua pihak itu. Hal ini disebut sebagai wajhusy-syabah/wajah syibeh. Disyaratkan sifat tersebut harus lebih kuat dan lebih dikenal pada musyabbah bih daripada pada musyabbah, sebagaimana dapat dilihat pada contoh-contoh di atas.
  2. Huruf/kata yang menyatakan penyerupaan. Huruf-huruf ini disebut sebagai adatut-tasybih, yaitu kaf, ka-anna, dan sebagainya.

 

Dalam setiap tasybih harus terdapat dua pihak yang diserupakan. Kadang-kadang musyabbah dibuang, tetapi dalam i’rab dianggap ada, sehingga kata-kata yang berkaitan harus disesuaikan. Seperti bila ditanyakan:  “Ali bagaimana?” Lalu dijawab:   “Bagaikan bunga yang layu.” Lafaz   adalah khabar bagi   mubtada’ yang dibuang dan i’rabnya ialah rafa’, yaitu  Kadang-kadang wajah syibeh-nya yang dibuang, dan kadang-kadang adat tasybih-nya yang dibuang, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

 

  1. Kaidah-Kaidah

(1) Tasybih adalah penjelasan bahwa suatu hal atau beberapa hal memiliki kesamaan sifat dengan hal yang lain. Penjelasan tersebut menggunakan huruf kaf atau sejenisnya, baik tersurat maupun tersirat.

(2) Unsur tasybih ada empat, yaitu musyabbah, musyabbah bih (kedua unsur ini disebut sebagai tharafait-tasybih/dua pihak yang diserupakan), adat tasybih, dan wajah syibeh. Wajah syibeh pada musyabbah bih disyaratkan lebih kuat dan lebih jelas daripada musyabbah.

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal: Al-Ma’arri menyatakan:

 

Sering kali malam itu indah bagaikan pagi meskipun sehitam toga.

 

Bintang kejora itu merah bagaikan warna pipi kekasih dan kerlipannya bagaikan degupan hati seseorang yang kasmaran.

 

  1. Jelaskan unsur-unsur tasybih pada kalimat-kalimat berikut!

 

  1. Kelapanganmu bagaikan lautan, ketinggianmu bagaikan matahari, dan cahaya roman mukamu bagaikan bulan.

 

  1. Umur itu bagaikan tamu atau mimpi, tidak memiliki kepastian.

 

3 Perkataan si Pulan nianis bagaikan madu.

 

  1. Manusia itu sama, bagaikan gigi-gigi sisir.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata tentang seseorang:

 

Tidak pernah saya lihat pandangan ntenyala yang lebih mirip dengan gejolak api selain dari pandangannya.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata tentang sifat seseorang:

 

Ilmunya tidak bercampur kebodohan, kejujurannya tidak berbau kedustaan, dan kemurahannya bagaikan siraman hujan yang deras pada musim kemarau.

 

  1. Seorang Arab Badui lainnya berkata:

 

Mereka datang dengan mengendarai kuda yang lehernya dikenal bagaikan bendera, dan telinganya lembut bagaikan ujung pena, dan para penunggangnya berani bagaikan harimau, si raja rimba.

 

  1. Ucapan para raja itu bagaikan pedang-pedang tajam dalam memutuskan dan melangsungkan segala urusan.

 

  1. Hatinya keras dan kokoh bagaikan batu.

 

  1. Dahi si Pulan jernih dan berkilau bagaikan permukaan cermin.

 

  1. Bentuklah tasybih kata-kata berikut ini dengan memilih pasangannya yang tepat!

 

  1. Tekad yang benar.
  2. Pohon yang tak berbuah.
  3. Petikan dawai.
  4. Hujan bagi bumi.

 

  1. Pembicaraan yang menarik.
  2. Pedang yang tajam.
  3. Orang kikir.
  4. Kehidupan itu merayap keseluruh tubuh.

 

III. Buatlah tasybih dengan kata-kata berikut ini sebagai Musyabbah-nya!

 

Kereta api, piramid yang paling besar: kitab, kuda, pelita-pelita, teman, guru, air mata.

 

  1. Buatlah tasybih dengan kata-kata berikut ini sebagai Musyabbah bihnya!

 

Laut: singa: ibu yang penyayang: udara yang tercemar, cermin yang jerih, mimpi indah.

 

  1. Buatlah tasybih dengan kata-kata berikut ini sebagai wajah syibeh-nya!

 

Putih, hitam, pahit: manis, lamban: cepat, keras.

 

  1. Gambarkan dengan ringkas keadaan perahu di laut yang bergelombang dan penjelasan tersebut harus terdiri atas tiga kalimat tasybih!

 

VII. Uraikan dengan singkat pernyataan Al-Mutanabbi tentang orang yang dipujanya dan jelaskan keindahan tasybihnya

 

Kapan saja Anda memandang, maka Anda akan melihatnya bagaikan bulan purnama yang memancarkan cahaya menembus kegelapan.

 

Kemurahannya bagaikan lautan yang memberi intan kepada orang yang dekat dan mengirimkan awan mengandung hujan kepada orang yang jauh.

 

Ia bagaikan matahari yang menetap di jantung langit, namun sinarnya menerangi seluruh penjuru dunia, baik belahan timur maupun belahan barat.

 

  1. Pembagian Tasybih
  2. Contoh-Contoh

 

  1. Bila aku rela, maka aku setenang air yang jernih: dan bila aku marah, maka aku sepanas api menyala.

 

  1. Aku berjalan pada suatu malam yang gelap dan menakutkan, bagaikan berjalan di tengah laut.

 

  1. Ibnur-Ruumi?) menyatakan dalam meresapi nyanyian seorang penyanyi:

 

Maka kemerduan suaranya yang mengalun itu sungguh bagaikan kantuk yang merayap ke seluruh persendian orang yang mengantuk.

 

  1. Ibnul Mu’tazz berkata:

 

Matahari yang bersinar itu sungguh bagaikan dinar (tuang logam) yang tampak kuning cemerlang berkat tempaan besi cetakannya.

 

  1. Kecepatan kuda balap itu bagaikan kilat yang menyambar.

 

  1. Kedudukanmu yang tinggi dan kemasyhuranmu bagaikan bintang yang tinggi lagi bercahaya. Semua mata, baik di belahan timur maupun barat, menatap ke arahmu.

 

  1. Al-Mutanabbi menyatakan tentang Saifud-Daulah yang hendak menempuh suatu perjalanan:

 

Ke manakah Tuan hendak menuju, wahai raja yang pemurah? Kami Adalah tumbuh tumbuhan pegunungan dan Tuan adalah mendung.

 

  1. Al-Muraggisy menyatakan:

 

fBaunya yang semerbak itu bak minyak kesturi, wajah-wajahnya yang berkilauan bak dinar (uang logam), dan ujung-ujung telapak tangannya merah bak pacar.

 

  1. Pembahasan

Dalam bait pertama, penyair menyerupakan dirinya dengan air jernih yang tenang di kala ia sedang rela, dan dengan api yang bergejolak ketika marah, yakni sebagai sesuatu yang disukai namun berpengaruh. Dalam contoh syair kedua, malam yang gelap dan menakutkan diserupakan dengan laut. Bila kita perhatikan kedua tasybih di atas, pada keduanya adat tasybih disebutkan. Setiap tasybih yang adat tasybih-nya disebutkan, dinamakan tasybih mursal. Dan bila kita perhatikan lagi pada keduanya, wajah syibeh-nya dijelaskan dan dirinci. Setiap tasybih yang demikian disebut tasybih mufashshal.

 

Pada contoh tasybih ketiga, Ibnur-Ruumi menggambarkan keindahan suara dan penampilan seorang penyanyi, seakan-akan keindahannya itu menyusup ke seluruh tubuh seperti menyusupnya rasa kantuk ke seluruh bagian tubuh. Akan tetapi, ia tidak menyebut wajah syibeh-nya dan hanya mengandalkan bahwa kita dapat menangkapnya sendiri, yakni memberi buaian dan hiburan sekaligus.

 

Ibnul Mu’taz menyerupakan matahari ketika terbit dengan dinar yang baru saja selesai dicetak. Ia tidak menyebutkan wajah syibeh-nya, yakni warna kekuning-kuningannya yang mengkilat. Kedua macam tasybih terakhir ini, yaitu yang tidak disebut wajah syibeh-nya, disebut sebagai tasybih mujmal.

 

Pada contoh kelima, kuda balap diserupakan dengan kilat yang menyambar dalam kecepatannya. Pada contoh yang keenam, seseorang yang dipuja diserupakan dengan bintang dalam hal tingginya kedudukan dan luasnya ketenaran. Dalam kedua contoh di atas tidak disebutkan adat tasybih-nya. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan anggapan bahwa pihak musyabbah adalah pihak musyabbah bih itu, sendiri. Tasybih seperti ini disebut sebagai tasybih mu’akkad.

 

Pada contoh ketujuh, Al-Mutanabbi bertanya kepada Orang yang dipujanya untuk mengungkapkan wibawanya. Ia menyatakan: Ke mana Tuan hendak menuju? Mengapa Tuan meninggalkan kami? Kamj tidak dapat hidup tanpa Tuan karena Tuan bagaikan mendung yang meng. hidupkan bumi yang mati, sedangkan kami bagaikan tumbuh-tumbuhan yang tidak dapat hidup tanpa siraman hujan. Pada bait terakhir, Al-Muraggisy menyerupakan bau semerbaknya seseorang dengan minyak kesturi, menyerupakan wajah-wajah mere. ka dengan muka uang dinar, dan menyerupakan ruas ujung jari dengan pacar yang biasa dipakai untuk mewarnai kuku.

 

Bila kita perhatikan kedua contoh tasybih terakhir ini, maka keduanya termasuk jenis tasybih mu’akkad. Akan tetapi, dibuang adat tasybih dan wajah syibeh-nya. Hal ini disebabkan penyair bermaksud untuk berlebihan dalam menganggap bahwa musyabbah adalah musyabbah bih itu sendiri. Oleh karena itu, ia tidak mempergunakan adat tasybih yang memberi kesan bahwa musyabbah lebih lemah daripada musyabbah bih dalam wajah syibeh, di samping tidak menggunakan waJah syibeh yang memaksakan kesamaan kedua pihak dalam suatu sifat atau lebih dan tidak pada sifat yang lain. Tasybih seperti ini disebut sebagai tasybih baligh, yang merupakan salah satu sarana pengungkapan balaghah dan arena -»mpetisi yang leluasa bagi para pakar penyair dan penulis.

 

  1. Kaidah-Kaidah

(3) Tasybih mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybih-nya.

(4) Tasybih mu’akkad adalah tasybih yang dibuang adat tasybih-nya.

(5) Tasybih mujmal adalah tasybih yang dibuang wajah syibeh-nya.

(6) Tasybih mufashshal adalah tasybih yang disebut wajah syibeh-nya.

(7) Tasybih baligh adalah tasbih yang dibuang adat tasybih-nya dan wajah syibeh-nya.

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal:

  1. Al-Mutanabbi dalam memuji Kafur menyatakan:

 

Bila aku dapat meraih cintamu, maka harta tiada berharga, dan segala sesuatu yang di atas debu adalah debu.

 

  1. Seorang Arab Badui menyifati seseorang sebagai berikut:

 

Sungguh ia bagaikan siang hari yang cerah, dan bulan yang bercahaya tiada samar bagi setiap orang yang memandangnya.

 

  1. Kami menengok kebun, kebun itu sungguh indah dan agung bagaikan surga firdaus.

 

  1. Orang berilmu itu pelita bagi umatnya dalam memberi petunjuk dan menyirnakan kegelapan (kebodohan).

 

musang berguling). Termasuk pula ke dalam kategori ini ialah meng-idhafah kan musyabbah bih kepada musyabbah, sepert:

(si Pulan memakai pakaian kesehatan).

 

l Jelaskan macam tasybih dari tasybih-tasybih berikut!

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Pedang itu sesungguhnya ialah yang berada di tangan orang-orang yang berhati membaja seperti pedang itu sendiri bila kedua belah pihak — bertemu di medan perang.

 

Dan engkau jumpai pedang tajam memutuskan seperti layaknya orang pengecut bila berada di tangan orang-orang pengecut.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata tentang orang yang dipujanya:

 

Kebesaran amir (penguasa) itu menghiasi diriku sebagaimana langit menghiasi bumi, dan sanjunganku ini masih belum mengungkapkan semua kebaikannya.

 

  1. Ia berkata:

 

Tiada sepucuk surat pun kecuali dikawal oleh pedang, dan tiada utusan kecuali pasukan tempur yang banyak.

 

  1. Ta berkata:

 

Bila pemerintah cukup memanfaatkan seseorang dalam mengatasi suatu bencana, maka ia adalah pedang, telapak tangan, dan hati.

 

  1. Penyusun Kalilah wa dimnah menyatakan:

 

Seorang yang memiliki muru’ah (harga diri) itu dimuliakan meskipun tanpa harta, seperti singa, ditakuti meskipun ia diam dan menetap.

 

  1. Engkau memiliki perjalanan hidup seperti lembaran orang-orang baik, suci, dan bersih.

 

  1. Harta itu adalah pedang dalam kegunaan dan bahayanya.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan bagaikan gunung-gunung. (QS Ar-Rahman: 24)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

… maka kamu lihat kaum (AXad) waktu itu mati bergelimpangan, seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang kosong (lapuk). (QS Al-Haaggah: 7)

 

  1. Al-Buhturi berkata tentang orang yang dipujanya:

 

Musim dingin yang mencekam telah berlalu, dan datanglah kepada kami musim yang serupa denganmu, yaitu musim semi yang baru. Dan hari raya telah dekat. Ia milik semua manusia hingga berlalu. Dan keberadaanmu merupakan ulangan hari raya.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke langit?

 

Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikit pun. (QS Ibrahim: 24—26)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat—(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapislapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nuur: 35)

 

  1. Hati itu bagaikan burung dalam keramahannya ketika jinak.

 

  1. Seorang Arab Badui memuji seseorang:

 

Ia dapat bergoyang seperti goyangan pedang ketika bersukacita, dan ia — dapat garang segarang singa ketika marah.

 

  1. Seorang Arab Badui menyifati saudaranya seraya mengatakan:

 

Adalah saudaraku itu sebatang pohon yang tidak busuk buahnya dan laut yang tidak dikhawatirkan menjadi keruh.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Itu adalah gedung-gedung yang bercahaya, bagaikan bintang-bintang yang hampir-hampir menerangi bagi para pejalan kaki dalam kegelapan.

 

  1. Pendapat orang yang kokoh ilmunya lagi cermat, bagaikan neraca dalam ketelitiannya.

 

  1. Ibnut-Ta’awidzi berkata:

 

Bila petir menyambar, maka knukhayalkan sebagai singa jantan yang murka dan meraung-raung di mega.

 

  1. As-Siriyyur-Rafa mengatakan dalam menyifati lilin:

 

Ia kokoh dan mengingatkan kepada kita akan sosok tombak. Ia seakanakan umur pemuda, sedangkan apinya bagaikan ajal.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata dalam mencela:

 

Menurutku si Pulan menjadi kecil oleh pandangannya yang mengagungkan dunia, seakan-akan seorang peminta-minta yang datang itu malaikat maut yang menemui.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata kepada seorang penguasanya:

 

Jadikanlah aku sebagai salah satu tali pengekang yang Tuan gunakan untuk menggiring musuh.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Banyak wajah yang seperti siang hari, menerangi jiwa-jiwa yang seperti malam hari. Jiwa-jiwa yang gelap

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Engkau menyerupai musuh-musuhku, maka aku jadi mencintai Mereka karena posisiku terhadapmu adalah posisiku terhadap mereka.

 

  1. Al-Buhturi berkata tentang orang yang dipujinya:

 

la bagaikan pedang dalam ketegasannya, dan hujan dalam kemurahan. nya, dan singa dalam keberaniannya.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati syairnya:

 

Sesungguhnya syairku ini dalam dunia syair adalah malaikat yang berjalan. Jadi, ia adalah matahari, sedangkan dunia adalah tempat per. edarannya.

 

  1. Ia berkata tentang orang yang dipujinya:

 

Maka seandainya manusia diciptakan untuk selama-lamanya, niscaya mereka adalah kegelapan, dan kamu adalah siang hari.

 

  1. Ia berkata untuk memuji Kafuur:

 

Senjata yang paling ampuh yang disandang seseorang untuk diri sendiri adalah meminta pertolongan kepada Abil-Miski yang mulia.

 

  1. Kelurusan lahiriah dan kebengkokan batiniah si Pulan ibarat menara azan.

 

  1. As-Sariyyur-Rafa’ berkata:

 

Kolam-kolam yang dihiasi oleh bayangan bintang-bintang hingga terbaliklah keadaannya, seakan-akan permukaan bumi menjadi langitnya.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Kamu tampil dengan keutamaan dan keluhuranmu, maka kamu menjadi langit dan manusia menjadi bumi.

 

  1. Ia berkata tentang sebuah taman:

 

Dan seandainya mendung tidak menampakkan diri dengan air hujannya, niscaya kamu menjadi mendungnya.

 

  1. Dunia itu bagaikan sabit, lurusnya berada pada kebengkokannya.

 

33,   Menjauhkan diri dari manusia adalah seperti menjauhkan diri dari makanan.

 

  1. Al-Ma’arri berkata:

 

Maka seakan-akan aku tidak merasakan bahwa malam mulai menjelang, bak anak kecil (baru lahir) kegelapannya, bagaikan masa puber.

 

Malamku ini bagaikan pengantin baru dari Sudan yang berhiaskan kg. lung dengan bermata mutiara. Pada malam ini rasa kantuk berlari dari kelopak mataku, dan pada ma. lam ini rasa aman lenyap dari hati penakut.

 

  1. Ibnut-Ta’awidzi berkata:

 

Mereka menunggang kuda-kuda hitam dan lampu-lampunya bak bu. lan-bulan sabit, mereka adalah bulan-bulan purnama, dan ujung. ujung tombak mereka adalah bintang-bintangnya.

 

  1. Ibnu Waki’ berkata:

 

Sinar fajar muncul dari kegelapan malam, bagaikan pedang yang terhunus dari sarungnya, dan malam mulai lenyap kegelapannya, bagaikan seseorang yang menanggalkan pakaiannya.

 

  1. Ubahlah setiap kalimat tasybih dari kedua tasybih berikut ini menjadi tasybih mufashshal, mu’akkad. dan baligh!

 

Dan seakan-akan kilauan pedang-pedang itu adalah kilat-kilat, dan debu kuda mereka adalah mega yang gelap.

 

III. Ubahlah setiap tasybih dari kedua tasybih berikut menjadi tasybih mursal mufashshal dan tasybih mursal mujmal

 

Aku adalah api dalam puncak pandangan orang yang dengki dan adalah air yang mengalir di tengah-tengah sahabat.

 

  1. Ubahlah tasybih berikut menjadi tasybih mu’akkad mufashshal dan tasybih baligh! Tasybih berikut adalah menyifati dua laki-laki yang sepakat untuk melontarkan fitnah kepada masyarakat:

 

Bagaikan dua mata gunting, kamu berdua bergabung, padahal hanya perpecahan belaka akhirnya.

 

  1. Buutlah tasybih mursal mujmal dengan lafaz-lafaz berikut ini sebagai musyabbah-nya!

 

Air: benteng-benteng: bunga-bunga: bulan sabit: mobil, orang mulia: petir, hujan.

 

  1. Buatlah tasybih mu’akkad dengan lafaz-lafaz berikut sebagai musyabbah bih-nya!

 

Angin lembut: air jernih, surga abadi, menara babil: mutiara: bunga yang segar, api yang menyala, bulan purnama yang berkilauan.

 

VII. Buatlah tasybih baligh dengan lafaz-lafaz berikut ini sebagai musyabbah—nya!

 

Lisan: harta: kemuliaan, anak-anak, tempat-tempat hiburan, hina: kedengkian, pengajaran.

 

VIII. Uraikan pernyataan Ibnut-Ta’awidzi tentang sifat semangka berikut ini dan jelaskan macam tasybihnua!

 

Manis ludahnya, halal darahnya menurut seluruh agama, separo darinya adalah bulan purnama, dan bila kau bagi-bagi akan menjadi bulan sabit.

 

  1. Bandingkanlah dua rangkaian syair Abdul-Fath KusyajinD dalam menggambarkan dua taman berikut ini, lalu jelaskan macam-macan tasybihnya!

 

Dan taman itu puas dengan siraman hujan, sebagaimana seorang teman puas terhadap temannya. Taman itu meminjamkan bau wangi melalui tiupan angin, seakan-akan kekayaannya terdiri atas minyak kesturi yang disuling. Seakan-akan gerimis yang mengguyurnya adalah sisa-sisa air mata di pipi orang yang dirindukan.

 

Hujan yang deras kepada kita menandakan datangnya kehidupan yang su bur dan ceria. Maka kami menampakkan tumbuh-tumbuhan yang hijau dan segar, dengan dihiasi warna bunga-bunga merah dan putih. Bunga ughuwan tampak seperti perak murni, dan bunga narjis yang menebarkan bau wangi penuh kesegaran bagaikan mata yang tertunduk sayu dihinggapi kantuk, kemudian tertutup rapat.

 

  1. Buatlah suatu kalimat yang mengandung dua tasybih mursal mujmal dan dua tasybih baligh menggambarkan hujan deras di malam hari! .

 

  1. Tasybih Tamtsil
  2. Contoh—contoh
  3. Al-Buhturi berkata:

 

Ia adalah lautan kemurahan. Tingkatkan pendekatanmu kepadanya, maka kamu akan bertambah jauh dari kefakiran. .

 

  1. Umru’ul-Oais berkata:

 

Beberapa malam bagaikan ombak lautan, menutupkan kelambunya yang pekat kepadaku secara beruntun dengan berbagai macam kesusahan untuk mengujiku.

 

  1. Abu Firas A-Hamdani berkata:

 

Sungai memisahkan taman bunga itu pada kedua pinggirnya, bagaikan baju sulaman yang dihamparkan, sedangkan di atasnya tergeletak sebilah pedang yang telah terhunus dari sarungnya.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata tentang Saifud-Daulah:

 

Pasukan di sekelilingmu bergerak seirama di kanan kirimu, sebagaimana burung rajawali yang menggerakkan kedua sayapnya.

 

  1. As-Sariyyur-Rafa’ berkata:

 

Dan seakan-akan bulan sabit itu huruf nuun dari perak yang tenggelam dalam piring besar yang biru.

 

  1. Pembahasan

Al-Buhturi menyerupakan kemurahan orang yang dipujanya dengan lautan. Di samping itu, ia mengimbau kepada orang-orang untuk meningkatkan pendekatan mereka kepadanya agar terjauhkan dari kefakiran. Umru’ul-Oais menyerupakan kegelapan dan kengerian malam dengan ombak laut, dan bahwa malam-malam itu menutupkan kelambunya disertai berbagai kesusahan dan penderitaan untuk menguji kesabaran dan kekuatan mentalnya.

 

Bila kita perhatikan wajah syibeh masing-masing tasybih di atas, maka wajah syibeh tersebut adalah suatu sifat atau beberapa sifat yang hanya dimiliki bersama oleh dua hal, yakni dalam kesempatan ini orang yang dipuja oleh Al-Buhturi dan laut, sama-sama memiliki sifat kemurahan, malam dan laut sama-sama memiliki sifat gelap dan menakutkan. Wajah syibeh yang demikian disebut sebagai wajah syibeh mufrad. Ke-mufrad-annya itu tidak menutup kemungkinan berbilangnya sifat yang dimiliki bersama tersebut. Tasybih yang wajah syibehnya demikan disebut tasybih ghairu tamtsil.

 

Setelah itu, perhatikan tasybih-tasybih berikut!

 

Abu Firas’menyerupakan keadaan air sungai, yakni air yang membelah taman menjadi dua bagian di kedua pinggirnya, yang dihiasi oleh bunga-bunga indah berwarna-warni, yang tersebar di antara tumbuh-tumbuhan hijau segar, diserupakan dengan pedang berkilau yang dihunus oleh para pembuat senjata, lalu diletakkan di atas kain sutera yang bersulamkan aneka warna. Maka manakah wajah syibeh-nya? Apakah Anda mengira bahwa penyair itu ingin mengaitkan dua tasybih, pertama, tasybih kali kepada pedang: kedua, tasbih taman dengan hamparan kain sutera berwarna-warni? Tidak demikian. Tiada lain ia hendak menyerupakan suatu keadaan yang ia lihat dengan keadaan lain yang ia khayalkan. Ia hendak menyerupakan kali yang terletak di antara dua taman berbunga dengan pedang terhunus yang diletakkan di atas hamparan kain bersulam. Maka wajah syibeh-nya adalah gambaran secara menyeluruh, pukan mufrad. Gambaran ini diambil dari beberapa hal. Gambarari yang terdapat pada kedua pihak tasybih adalah adanya warna putih yang memanjang, yang di kanan kirinya terdapat hamparan hijau yang diwarnai dengan aneka ragam bunga-bungaan.

 

Gambaran dua sayap pasukan, dan Saifud-Daulah berada di antara kedua sayap tentaranya yang bergerak berjalan seirama, digambarkan oleh Al-Mutanabbi sebagai burung rajawali yang menggerakkan kedua sayapnya. Wajah syibeh-nya bukanlah mufrad, melainkan diambil dari beberapa hal, yakni adanya dua barang yang berada di kiri kanan sesuatu yang bergerak dan bergelombang. ‘

 

Pada bait terakhir, As-Sari menyerupakan keadaan bulan sabit yang putih berkilau — yang berbentuk melengkung dan terletak di langit yang biru — dengan keadaan huruf nuun yang terbuat dari perak dan disimpan di dalam piring besar yang biru Wajah syibeh-nya adalah gambaran yang diambil dari beberapa hal, yakni adanya sesuatu yang putih berbentuk melengkung terletak di suatu tempat yang berwarna biru. Ketiga tasybih terakhir ini dan tasybih-tasybih yang wajah syibeh-nya berupa gambaran yang terangkai dari beberapa hal, disebut sebagai tasybih tamtsil.

 

  1. Kaidah-Kaidah

(8) Tasybih disebut sebagai tasybih tamtsil bilamana wajah syibeh-nya berupa gambaran yang dirangkai dari keadaan beberapa hal, dan disebut tasybih ghair tamtsil bila wajah syibeh-nya tidak demikian.

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal:

  1. Tbnul Mu’taz berkata:

 

Telah berakhir masa kekuasaan puasa, dan kesakitan bulan sabit telah menyampaikan berita gembira datangnya hari raya. Bulan sabit itu mendekati bintang Suraya seperti orang rakus yang membuka mulutnya untuk memakan tandan anggur.

 

  1. Al-Mutanabbi meratap:

 

Kematian itu tiada lain bagaikan pencuri yang tidak kelihatan jenisnya, mencabut tanpa telapak tangan dan berjalan tanpa kaki.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Dan kamu melihatnya dalam kegelapan perang, maka kau akan menduganya seperti bulan yang menyerang musuh-musuhnya dengan bintang.

 

  1. Jelaskan musyabbah, musyabbah bih, dan wajah syibeh-nya!

 

1.Ibnul Mu’taz berkata tentang langit ketika telah hilang awannya:

 

Seakan-akan langit ketika bersih tampak di sela-sela bintangnya di waktu pagi adalah taman pohon kecubung yang keungu-unguan dibasahi embun, merekah di tengah-tengahnya bunga-bunga agahi (berwarna kekuning-kuningan).

 

  1. Tak dapat saya lupakan dan tidak akan saya lupakan tukang roti yang pernah saya lihat dengan sekejap lirikan tengah melumatkan adonan, Semula adonan yang diremasnya hanya bulatan kecil, namun kemudian menjadi bulatan besar bagaikan bulan. Hal ini tiada lain seperti bulatan riak di permukaan air yang kepadanya kau lemparkan batu.

 

  1. Ia berkata tentang uban:

 

Uban yang pertama kali tumbuh adalah satu lembar, lalu merembet kepada rambut yang berdekatan dengannya, seperti halnya kebakaran besar, bermula dari loncatan bunga api yang kecil.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Sepanjang malam telah kulalui, membawaku pergi (tanpa tidur), seakan-akan aku adalah pedang tajam di tangan seseorang yang lari dari musuh.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya dengan air ‘itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang Rimakan oleh manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindehannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan perilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. (QS Yunus: 24)

 

Seorang laki-laki saleh senantiasa menjadi saleh hingga ia berteman dengan orang yang rusak akhlaknya. Bila ia telah berteman dengannya, maka rusaklah ia, seperti air sungai, semula tawar hingga bercampur dengan air laut. Bila air sungai itu telah bercampur dengan air laut, akan menjadi asin. la juga berkata, “Barang siapa yang berbuat kebaikan untuk mendapatkan pahala dunia, bagaikan orang yang melemparkan biji kepada burung: bukan agar dimakannya, melainkan agar burung itu dapat ditangkapnya.”

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Aku dapatkan dirimu bagi diriku berfungsi sebagai penjernih antara air dengan tuak.

 

  1. Abu Tammam berkata tentang seorang biduanita yang menyanyi dengan bahasa Parsi:

 

Saya tidak paham maksudnya. Akan tetapi, hatiku bergejolak sehingga aku tidak bodoh terhadap kesusahan yang disenandungkannya. Maka semalaman aku seakan-akan buta kepayahan, mencintai seorang biduanita, padahal aku tidak melihatnya.

 

  1. Penyair lain berkata tentang teman yang durhaka:

 

Sesungguhnya aku dan kamu bagaikan orang haus yang melihat sumber air, tetapi terhalang suatu jurang yang dikhawatirkan akan mengakibatkan kebinasaan. Ia melihat dengan mata kepalanya sumber air itu, namun ia tidak dapat mencapainya karena tidak ada jalan yang menuju ke arahnya.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi orang yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS AlBaqarah: 261)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS Al-Hadiic: 20)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar yang disangka air oleh orang-orang yang haus, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya suatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal yang cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh om, bak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan, gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila ia mengeluarkan tangannya, tiadalah ia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaye (petunjuk) oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikit pun. (QS An-Nuur: 39-40)

 

  1. Bedakanlah tasybih tamtsil dari tasybih lainnya pada kalimat-kalimar berikut ini!
  2. Al-Bushairi berkata:

 

Hawa nafsu itu bagaikan anak kecil: bila kauberi ia kesempatan, maka sampai besar masih senang menyusu, dan bila kau hentikan, maka akan terhenti.

 

  1. Ia berkata tentang sifat para sahabat

 

Seakan-akan ketegaran mereka di atas punggung kuda adalah tumbuhtumbuhan yang kekar, karena keteguhan jiwa dan rasa jibaku mereka, bukan karena kuatnya ikatan pelana mereka.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata tentang sifat seekor singa:

 

Ia menginjak bumi dengan hati-hati karena kesombongannya, seakanakan ia adalah seorang dokter yang meraba orang yang sakit.

 

  1. Ia menggambarkan keadaan sebuah danau (kolam besar) di tengah taman:

 

Seakan-akan kolam itu di siang harinya bagaikan bulan yang dikepung oleh kegelapan kebun-kebunnya.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Banyak malam kulalui, bagaikan awan yang gelap dan kesepian karena perpisahan yang meresahkan, bagaikan benda-benda berat yang tidak enak dipandang dan tidak sedap didengar.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba, seandainya mereka mengetahui. (QS Al-Ankabut 41)

 

  1. Ibnu Khafajah? berkata:

 

Demi Allah, alangkah indahnya sungai yang mengalir di Lembah Bath-ha itu, airnya lebih manis daripada tahi lalat di bibir si cantik jelita.

 

Sungai itu berbelok-belok bagaikan gelang, dan bunga yang menghiasi. nya bagaikan gugusan bima sakti.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata tentang sifat seorang perempuan:

 

Dia bagaikan matahari di bumi yang dengannya bumi membanggakan diri kepada matahari di langit.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah) seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut. (QS AlMudatstsir: 49-51)

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Di antara mereka (manusia) seperti pohon sarwu, yang memiliki keindahan namun tidak berbuah.

 

  1. At-Tihami berkata:

 

Kehidupan itu tidur, dan maut selalu terjaga (melek). Sedangkan seseorang berada di antara keduanya, bagaikan bayangan yang berjalan.

 

  1. Penyair lain berkata tentang sifat seorang perempuan yang menangis:

 

Seakan-akan air mata yang membasahi pipinya itu adalah tetesan air gerimis pada bunga delima.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan dibacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya: dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayatayat Kami. Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berpikir. (QS Al-A’raf: 175-176)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh, dan kilat: mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena mendengar suara petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orsng-orang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawgh sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Baqarah: 1720)

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Saya cemburu kepada gelas kaca yang mengalir (isinya) ke bibir Amir Abul Husain, (yang) seakan-akan warna putihnya kaca itu dengan (warna hitamnya) khamar yang ada padanya adalah warna putih yang melingkari hitam-hitamnya mata

 

  1. Asy-Sariyyur Rafa’ berkata:

 

Besi itu merah membara, pemandangannya yang menakjubkan, itu mempesonamu. Yaitu bila ia mengeluarkan percikan api (karena ditimpa palu pande), sedangkan api menjilat-jilat pada permukaannya, bagaikan helaian-helatan selendang sutera, maka kaulihat batu yagut yang sedang dicetak dan darinya bertaburan (percikan api tempaan palu) bagaikan kepingan-kepingan emas.

 

  1. Ia berkata tentang sifat kincir air:

 

Lihatlah kincir itu, seakan-akan ia dan tabung-tabung airnya, air yang tertuang darinya, adalah perahu yang dikelilingi bintang-bintang yang dipersiapkan sebagai kalung baginya, yaitu bintang timur dan bintang barat.

 

III. Buatlah tasybih-tamtsil dengan kata-kata berikut ini sebagai musyab bah-nya!

 

  1. Serdadu yang terpukul mundur dibuntuti oleh serdadu yang menang.

 

  1. Seorang laki-laki alim berada di tengah-tengah orang yang tidak mengerti statusnya.

 

  1. Seorang yang berwawasan luas bekerja di masa mudanya Untuk menyongsong hari tuanya.

 

  1. Perahu yang sedang berlayar meninggalkan bekas memanjang di belakangnya.

 

  1. Pendosa itu tidak mempan oleh nasihat, melainkan hanya makin bertambah santer dalam dosanya.

 

  1. Matahari telah tertutup oleh awan kecuali sedikit.

 

  1. Air yang memantulkan sinar matahari pada waktu menjelang terbenam.

 

  1. Seseorang yang bimbang dalam banyak hal terombang-ambing pendiriannya ke sana dan kemari.

 

  1. Kalimat yang baik tidak akan membuahkan hasil yang baik terhadap jiwa yang jahat.

 

  1. Penderita sakit sedang merasakan kesehatannya mulai pulih sedikit demi sedikit, padahal sebelumnya ia putus asa.

 

  1. Buatlah tasybih tamtsil dengan hal-hal berikut ini sebagai musyabbah bih!

 

  1. Bara api bila dibalik akan bertambah menyala.

 

  1. Matahari tertutup mega, lalu tampak kembali.
  2. Air itu mengalir dengan cepat ke tempat-tempat yang rendah dan tidak akan mencapai tempat-tempat yang tinggi.

 

  1. Tukang potong itu memberi makan kambing sebelum menyembelihnya.

 

  1. Bunga-bunga putih di tempat gembalaan yang menghijau.

 

  1. Anak sungai itu tidak terdengar riak airnya, namun pengaruhnya tampak pada tamarr

 

  1. Air tawar yang berada di mulut orang sakit.

 

  1. Bulan semula tampak kecil, lalu menjadi purnama.

 

  1. Angin besar menggoyang-goyangkan pohon-pohon kecil yang lunak dan mematahkan pohon-pohon yang tinggi.

 

  1. Kambing berada di tengah-tengah kumpulan serigala.

 

  1. Jadikanlah setiap dua tasybih berikut ini menjadi sebuah tasybih tamtsil!

 

  1. Manusia bagaikan penumpang kapal laut.

Beberapa bencana bagaikan laut yang bergejolak.

 

  1. Uban itu bagaikan waktu pagi.

Rambut yang hitam pekat itu bagaikan malam hari.

 

  1. Ujung-ujung tombak bagaikan bintang-bintang. (di langit).

Debu di medan perang bagaikan malam

 

  1. Bulan itu bagaikan wajah si cantik jelita.

Danau itu bagaikan cermin.

 

  1. Uraikanlah syair Muslim bin Al-Walid dan jelaskan keindahannya!

 

Sesungguhnya saya dan Ismail pada hari kematiannya adalah bagaikan sarung pedang yang terpisahkan dari senjatanya pada hari peperangan. Bila aku datang pada suatu hari sesudahnya atau mengunjungi mereka, bagaikan binatang liar yang menjadi sangat lapar ketika didekati oleh binatang yang jinak.

 

VII. Jelaskan dengan singkat keadaan suatu kaum yang desanya banjir, dan untuk itu buatlah dua buah tasybih tamtsil!

 

  1. Tasybih Dhimni .
  2. Contoh-Contoh
  3. Abu Tammam berkata:

 

Jangan kauingkari bila orang yang dermawan tiada memiliki kekayaan, sebab banjir itu adalah musuh bagi tempat yang tinggi.

 

  1. Ibnur-Rumi berkata:

 

Kadang-kadang seorang pemuda beruban, dan hal ini tidaklah menghe. rankan. Bunga (pun) dapat keluar pada dahan yang muda dan lembut

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Barang siapa yang merendah, maka akan mudah ia menanggung kehi. naan. Luka bagi mayat tidak memberinya rasa sakit.

 

  1. Pembahasan Seorang penulis atau penyair dalam berparamasastra adakalanya memakai ungkapan tasybih bukan dalam bentuknya yang telah dikenal. Hal ini dilakukan untuk merangsang daya pikir, untuk menegakkan dalil atas hukum yang dikehendaki pada musyabbah, dan karena senang menyamarkan tasybih, sebab tasybih yang unik dan sa: mar itu lebih baligh mengena pada jiwa.

 

Perhatikanlah bait syair Abu Tammam, ia berkata kepada seorang wanita, “Janganlah kauingkari ketidakmampuan seorang dermawan dalam hal kekayaan karena hal itu bukanlah suatu hal yang mengherankan, sebab puncak-puncak gunung yang merupakan tempat tertinggi itu tidak dapat digenangi air banjir.” Apakah dalam kaJimat di atas tertangkap oleh Anda adanya suatu tasybih? Tidakkah Anda ketahui bahwa dalam kalimat itu si penyair secara implisit menyerupakan seorang dermawan yang tidak memiliki kekayaan dengan puncak gunung yang tidak pernah terlanda air banjir? Namun demikian, ia tidak dengan tegas menyatakan yang demikian, melainkan ia mengungkapkannya dengan kalimat tersendiri yang mencakup makna tersebut dalam bentuk bukti.

 

Pada contoh berikutnya Ibnur-Rumi menyatakan bahwa kadang-kadang seorang pemuda beruban sebelum usianya. Hal ini bukanlah suatu hal yang mengherankan karena dahan yang masih baru dan lembut kadang-kadang berbunga. Dalam kalimat tersebut Ibnur Rumi tidak mengungkapkan tasybih yang jelas karena ia tidak berkata bahwa seorang pemuda yang telah beruban itu bagaikan dahan muda yang berbunga, melainkan ia menyatakan yang demikian secara implisit.

 

Abuth-Thayyib menyatakan bahwa orang yang terbiasa merendah akan mudah menanggung kehinaan dan tidak merasa sakit karenanya. Dugaan demikian, bukanlah suatu hal yang batil karena bila mayat dilukai, ia tidak akan merasa sakit. Kalimat ini mengandung tasybih, namun tidak tegas.

 

Dengan demikian, ketiga bait syair di atas mencakup beberapa unsur tasybih dan menyinggungnya, tetapi semua itu tidak terungkap dalam bentuknya yang telah kita kenal. Tasybih seperti ini disebut tasybih dhimni (penyerupaan secara implisit).

 

  1. Kaidah—kaidah

(9) Tasybih dhimni adalah tasybih yang kedua tharaf-nya tidak dirangkai dalam bentuk tasybih yang telah kita kenal, melainkan keduanya hanya berdampingan dalam susunan kalimat. Tasybih jenis ini didatangkan untuk menunjukkan bahwa hukum (makna) yang disandarkan kepada musyabbah itu mungkin adanya.

 

  1. Latihan

Contoh Soal:

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Syairku tentang mereka berdua (Amir dan ayahnya) sangat sesua ibarat seuntai kalung di leher seorang wanita cantik akan menjadi sangat indah.

 

b  la berkata:

 

Dalam pembicaraanmu terkesan kebangsawananmu karena kuda yang istimewa itu dapat diketahui melalui ringkikannya.

 

  1. Jelaskan musyabbah, musyabbah bih, dan jenis tasybih pada kalimatkalimat berikut ini!
  2. Al-Buhturi berkata:

 

Dia sambil tertawa menghadapi para pendekar, sedangkan mereka takut kepadanya, mengingat pedang itu memiliki ketajaman dan kemilauan ketika dibabatkan.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Ada baiknya engkau melambatkan pemberian kepadaku. Awan yang paling cepat berjalannya adalah awan yang tidak mengandung air.

 

  1. la berkata:

 

Janganlah orang yang teraniaya merasa kagum dengan kebaikan pakaiannya, mayat yang terkubur merasa senang dengan kain kafannya yang bagus.

 

  1. Ta berkata:

 

Saya tidak termasuk mereka meskipun saya hidup di tengah-tengah mereka, ternyata tambang emas itu adalah debu.

 

  1. Abu Firas berkata:

 

Kaumku akan teringat kepadaku apabila mereka mengalami kesulitan dan kesusahan, pada malam yang gelap bulan purnama baru dirindukan.

 

  1. Orang-orang yang ingin bertemu dengannya berdesak-desakan di depan pintunya, sumber air minum yang tawar itu selalu dipadati oleh orang-orang.

 

  1. Jelaskan manakah tasybih sharih dengan jenisnya dan manakah tasybih dhimni nada kalimat-kalimat berikut!
  2. Abul Atahiyah berkata:

 

Engkau mengharapkan keselamatan, namun tidak kautempuh jalan. nya. Sesungguhnya perahu itu tidak dapat berlayar di atas tanah kering.

 

  1. Ibnur-Rumi berkata, menggambarkan tentang tinta:

 

Tinta Abu Hafsh adalah ‘air liur malam, seakan-akan ia adalah warna kuda yang hitam kelam. Tinta itu mengalir kepada ikhwannya bagaikan mengalirnya banjir, tanpa timbangan dan tanpa takaran.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Celakalah bila ia memaniang dan bila berpaling, terasa seperti’ hunjaman anak-anak panah, sakit sekali mencabutnya.

 

  1. Orang mukmin itu cermin bagi orang mukmin lain.

 

  1. Al-Buhturi berkata dalam menyifati akhlak orang yang dipujinya:

 

Kebaikan akhlaknya yang menonjol itu bertambah-tambah ketika lingkungannya terdiri atas orang-orang yang kecewa dan tiada memiliki kemuliaan. Dan keindahan bintang-bintang yang besar itu akan sangat menonjol ketika muncul di tengah malam yang gelap.

 

III. Ubahlah tasybih-tasybih dhimni berikut ini menjadi tasybih-tasybih sharih (jelas).

  1. Abu Tamam berkata:

 

Bersabarlah terhadap ulah orang yang dengki, karena sesungguhnya kesabaranmu itulah yang memadamkannya. Api itu akan memakan dirinya sendiri bila tidak ada yang dilahapnya.

 

  1. Ia berkata:

 

Berlindung dengan cara menjauhkan diri darimu itu bukan harapan saya. Sesungguhnya hujan itu justru dirindukan bila tersembunyi.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Bila engkau berada di atas semua orang, padahal kamu salah satu dari mereka, maka sesungguhnya minyak kesturi itu sebagian dari darah kijang.

 

  1. Ia berkata:

 

Sungguh susah kamu berpindah dari kedudukan yang telah kamu per oleh. Bulan pun tidak pernah keluar dari garis edarnya.

 

  1. Ia berkata:

 

Semoga Allah melindungimu dari bidikan anak panah mereka, keliru. lah orang yang membidikkan anak panahnya ke bulan.

 

  1. Ia berkata:

 

Tak diingkari lagi kamu dapat melampaui orang lain. Kuda Arab pun tidak dapat dihindarkan dari berpacu.

 

  1. Ubahlah tasybih-tasybih sharih berikut ini menjadi tasybih-tasybih dhimni!
  2. Muslim bin Al-Walid berkata menggambarkan tuak yang dituangkan dari gucinya:

 

Seakan-akan tuak itu dengan cairannya yang berbuih adalah intan yang teruntai pada kalung emas.

 

  1. Ibnun-Nabih berkata:

 

Malam berjalan, sedangkan bintang-bintang berada pada posisinya masing-masing, seperti sebuah taman yang bunga-bunganya terapung di atas permukaan sungai.

 

  1. Basysyar bin Burd berkata:

 

Seakan-akan tebaran debu di atas kepala kita dan cahaya pedang-pe dang kita adalah malam yang bintang-bintangnya berjatuhan.

 

  1. Bentuklah tasybih dhimni dengan tiap dua tharaf berikut!
  2. Munculnya kebenaran setelah ia tersembunyi, dan tampaknya matahari dari belakang awan.

 

  1. Berbagai musibah itu menampakkan keunggulan orang yang mulia, dan api itu menambah bersihnya emas.

 

  1. Ancaman seorang dermawan yang disusul dengan pemberian, dan kilat yang disusul dengan turunnya hujan.

 

  1. Kata-kata yang tidak dapat dicabut kembali, dan anak panah yang telah lepas dari busurnya itu sulit untuk kembali.

 

  1. Buatlah dua tasybih dhimni!

Yang pertama menerangkan tentang sebuah kebun, dan yang kedua menggambarkan kapal terbang.

 

VII. Uraikan kata-kata Abu Tamam berikut ini dan jelaskan jenis tasybihnya!

 

Abu Tamam meratapi kedua anak kecil Abdullah bin Thahir.

 

Penyesalanku adalah terhadap tanda-tanda kecerdikan dan kegeniusan mereka berdua seandainya diberi kesempatan hingga menjadi matang. Sesungguhnya bila engkau melihat perkembangan hilal, maka engkau yakin bahwa ia akan mejadi bulan purnama yang sempurna.

 

  1. Maksud dan Tujuan Tasybih

 

  1. Contoh-contoh
  2. Al-Buhturi berkata:

 

Ia dekat dengan orang-orang yang membutuhkannya, namun ia jauh dengan orang-orang yang setaraf dengannya dalam kebajikan dan kemuliaannya. Bagaikan bulan yang sangat tinggi, namun cahayanya sangat dekat bagi orang-orang yang menempuh perjalanan di malam hari.

 

  1. An-Nabighah Adz-Dzubyani berkata:

 

Seakan-akan engkau adalah matahari, sedangkan raja-raja lain adalah bintang-bintangnya. Bila matahari telah terbit, maka tiada satu bintang pun tampak.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati seekor singa:

 

Kedua mata singa itu bila dalam kegelapan tidak dapat ditangkap mata kita kecuali disangka sebagai api sekelompok orang yang mendiami daerah itu.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu bagi meraka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya air itu sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. (QS Ar-Ra’d: 14)

 

  1. Abul Hasan Al-Anbari” berkata dalam menyifati orang yang disalib:

 

Uluran tanganmu kepada mereka dengan penuh penghormatan adalah seperti uluran tangan kepada mereka dengan beberapa pemberian.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata dalam mencela istrinya:

 

la membuka mulutnya, sebaiknya ia tidak pernah lahir. Bila engkau melihat mulutnya itu, maka engkau akan menduganya sebagai satu pintu neraka yang terbuka.

 

  1. Pembahasan

Dalam kedua bait pertama Al-Buhturi menyifati orang yang dipuji, nya, bahwa ia sangat dekat dengan orang-orang yang membutuhkan. nya, namun ia sangat tinggi kedudukannya, jauh dengan Orang. orang yang setaraf dengannya. Akan tetapi, ketika Al-Buhturi merasa bahwa ia harus menyifati orang yang dipujinya itu dengan dua sifa yang berlawanan, yakni dekat dan jauh, maka ia hendak menunjuk. kan bahwa hal itu dapat terjadi dan tiada kesulitan dalam masalah itu. Untuk itu, ia menyerupakan orang yang dipujinya itu dengan bu. lan yang letaknya jauh di langit, tetapi cahayanya sangat dekat kepa. da orang-orang yang menempuh perjalanan di waktu malam. Hal ini adalah salah satu tujuan tasybih, yakni menunjukkan kemungkinan suatu hal dapat terjadi pada musyabbah.

 

An-Nabighah menyerupakan orang yang dipujinya dengan matahari dan menyerupakan raja-raja lainnya dengan bintang-bintang karena pengaruh raja yang dipujinya itu mengalahkan semua raja lainnya, seperti matahari menyembunyikan bintang-bintang. Jadi, ia ingin menjelaskan kondisi raja yang dipuji dan kondisi raja-raja lainnya. Dengan demikian, penjelasan suatu keadaan juga merupakan salah saru maksud dan tujuan tasybih.

 

Syair Al-Mutanabbi menjelaskan sifat mata singa dalam kegelapan, ia tampak merah menyala sehingga orang yang melihatnya dari kejauhan akan menyangkanya sebagai api yang dinyalakan oleh sekelompok orang yang tengah bermukim. Seandainya Al-Mutanabbi tidak hendak membuat tasybih, maka ia cukup berkata, “Sesungguhnya kedua mata singa itu merah.” Namun, karena ia merasa perlu untuk menghadirkan isi hatinya itu dalam bentuk tasybih, maka ia menjelaskan kadar kebesaran warna merah mata singa tersebut. Jadi, menjelaskan gambaran sesuatu adalah salah satu maksud dan tujuan tasybih.

 

Adapun firman Allah adalah menjelaskan keadaan orang yang menyembah berhala yang menyembah tuhan-tuhan mereka yang tidak dapat memenuhi permintaan mereka, dan doa mereka itu tidak membawa faedah bagi diri mereka. Allah ingin menegaskan hal itu agar dapat diresapi oleh setiap orang, maka Dia menyerupakan mereka dengan orang yang membuka kedua telapak tangannya ke dalam air untuk minum, maka dengan cara demikian air tidak akan sampai ke mulut, melainkan akan jatuh kembali melalui sela-sela jari tangannya selama telapak dan jarinya terbuka. Jadi, maksud dan tujuan tasybih dalam ayat di atas untuk menegaskan keadaan musyabbah. Maksud dan tujuan demikian ditempuh manakala musyabbah merupakan hal yang bersifat abstrak, mengingat sesuatu yang abstrak sulit dipahami, tidak sebagaimana hal yang kongkret. Maka untuk memudahkan pengertian, diserupakanlah dengan hal yang kongkret.

 

Syair Abul Hasan Al-Anbari merupakan kasidah yang sangat masyhur di dunia sastra Arab. Hal ini tiada lain karena menyatakan kebagusan sesuatu yang disepakati oleh seluruh manusia sebagai sesuatu yang jelek dan mengerikan, yakni penyaliban. Ia menyerupakan uluran tangan orang yang disalib ke tiang salib dan dikelilingi oleh sekelompok manusia dengan uluran tangannya untuk memberikan sesuatu kepada para peminta-minta ketika hidup. Maksud dan tujuan tasybih dalam syair ini adalah untuk memperindah sesuatu. Tujuan tasybih yang demikian sering ditampakkan dalam bentuk pujian, ratapan, keagungan, dan untuk mengundang rasa belas kasihan.

 

Pada bait terakhir, penyair menyifati istrinya yang sedang marah dan menyakitkan, sehingga ia menyesalkan keberadaannya, dan untuk itu ia berkata laa kaanat (sebaiknya ia tidak pernah lahir). Ia menyerupakan mulut istrinya itu ketika terbuka menghamburkan kemarahannya dengan salah satu pintu neraka. Maksud dan tujuan tasybih dalam syair ini adalah menjelekkan sesuatu. Kebanyakan maksud dan tujuan demikian dipakai untuk mengejek dan menggambarkan hal-hal yang tidak disukai.

 

  1. Kaidah-Kaidah

(10) Maksud dan tujuan tasybih itu banyak di antaranya:

 

  1. Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu hal pada musyabbah, yakni ketika sesuatu yang sangat aneh disandarkan kepada musyabbah, dan keanehan itu tidak lenyap sebelum dijelaskan keanehan serupa dalam kasus lain.

 

  1. Menjelaskan keadaan musyabbah, yakni bila musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui tasybih yang menjelaskannya. Dengan demikian, tasybih itu memberikan pe, ngertian yang sama dengan kata sifat.

 

  1. Menjelaskan kadar keadaan musyabbah, yakni bila musyabbah sudah diketahui keadaannya secara global, lalu tasybih dida, tangkan untuk menjelaskan rincian keadaan itu.

 

  1. Menegaskan keadaan musyabbah, yakni bila sesuatu yang di. sandarkan kepada musyabbah itu membutuhkan penegasan dan penjelasan dengan contoh.

 

  1. Memperirtdah atau memperburuk musyabbah.

 

  1. Latihan Contoh Soal:
  2. Ibnur-Rumi berkata dalam memuji Ismail bin Bulbul:

 

Banyak sekali puncak kemuliaan seorang ayah itu karena kemuliaan anaknya, seperti Adnan mencapai puncak kemuliaan karena kemuliaan Rasulullah Saw.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata tentang orang yang dipujinya:

 

Saya melihat semua orang dermawan menuju kepadamu, seakan-akan engkau adalah laut dan raja-raja lainnya adalah sungai-sungai kecil.

 

  1. Jelaskan maksud dan tujuan setiap tasybih berikut ini!
  2. Al-Buhturi berkata:

 

Engkau merendah dengan tawadhu’ dan menjadi tinggi karena kemuliaan. Maka begitulah keadaanmu, merendah dan menaik. Begitu halnya matahari, jauh dan tinggi, namun sinar dan cahayanya dekat.

 

  1. Asy-Syarif Ar-Ridha berkata:

 

Aku mencintaimu, hai masa pemuda, karena aku melihatmu berdua dengan hati dan mata sebagai dua hal yang kembar. Engkau menetap di lubuk hati karena engkau menyerupuinya, hingga aku tidak mengetahui karena sulit menentukan siapakah di antara kamu berdua yang menjadi hati sebenarnya.

 

  1. Dalam kitab Kalilah wa Daminah dinyatakan:

 

Keunggulan orang yang berilmu meskipun ia merahasiakan ilmunya adalah seperti minyak kesturi yang tertutup rapi, namun baunya tetap semerbak.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Diriku terhadap Laila pagi ini laksana orang yang menggenggam air yang dikhianati oleh jari-jari yang merenggang.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata dalam sebuah syair sindiran:

 

Apabila ia berisyarat sambil bicara, maka seakan-akan ia adalah seekor kera yang tertawa terbahak-bahak atau seorang nenek-nenek yang marah-marah.

 

  1. As-Sirri Ar-Raffa’ berkata:

 

Rumahku yang kudiami sempit bagaikan liang biawak, yang kedua siSi-sisinya berdekatan sehingga benar-benar sempit. Saya harus memutar-mutar badan ketika memasukinya sehingga saya tidak dapat lagi meluruskan kaki dan betis.

 

  1. Ibnul Mu’taz berkata:

 

Ombak anak sungai itu bergelombang bila tertiup angin kencang dan angin sepoi-sepoi. Dan ketika matahari terbit di atasnya, maka engkau akan menduganya sebagai baju besi yang berlapis emas.

 

  1. Sa’id bin Hasyim Al-Khalidi membuat kasidah untuk menyifati pembantunya:

 

Ia bukanlah seorang budak, melainkan anak yang dikuasakan Allah yang Mahakuasa lagi bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dengan pelayanannya yang bagus, ia sangat membantuku. Maka ia adalah tanganku, hastaku, dan bahuku.

 

  1. Al-Ma’arri berkata tentang uban dan pemuda:

 

Ceritakan kepadaku mengapa kamu membenci uban, apakah dosanya orang yang beruban: apakah karena terangnya siang hari, ataukah karena sinar mufiara, dan ataukah karena ia mengerti gigi depan kekasihmu? Dan katakanlah kepadaku tentang kelebihan masa muda, termasuk penampilan yang menarik lagi baik, yaitu pengkhianatannya terhadap kekasih ataukah kecintaannya kepada penyelewengan atau kesukaannya kepada kehidupan sastrawan.

 

  1. Sebagian Syair dinisbatkan kepada ‘Antarah.

 

Saya adalah anak seorang wanita hitam pelipisnya, sehitam serigala yang tumb-ih berkembang di sekitar rumah. Betisnya panjang seperti betis burung unta dan rambutnya keriting seperti biji lada.

 

  1. Ibnu Syuhaid Al-Andalusi berkata dalam menyifati kutu busuk:

 

Hitam kelam, jinak tapi liar, tidak lamban, dan tidak lemah, seakanakan ia suatu bagian yang tak terpisahkan dari malam, atau setetes tinta, atau biji hitam hati, minum tanpa meneguk, berjalan dengan meloncat, bersembunyi di siang hari. Keluar di waktu malam, mengejar dengan tusukan yang menyakitkan, menghalalkan darah orang yang baik dan orang yang jahat, menyerang semua pemberani, menghunus mata senjatanya kepada orang-orang kuat, tidak peduli terhadap penguasa, tidak mempedulikan sikap orang yang cemburu, ia adalah sehina-hinanya makhluk, kejahatannya tersebar di mana-mana dan perjanjiannya selalu ia khianati. Alangkah lemahnya manusia, dan betapa jelasnya kekuasaan Allah Yang Maha Pengasih.

 

Il. Buatlah tasybih untuk:

 

  1. menjelaskan keadaan harimau.
  2. menjelaskan keadaan bulatan.
  3. menjelaskan keadaan obat yang pahit.
  4. menjelaskan keadaan kobaran api di rumah.
  5. menegaskan keadaan orang yang membabi buta sedang menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kerusakan tanpa disadarinya.
  6. menegaskan keadaan orang yang berada di dalam kegelapan, kebatilan, dan tersiksa bila terkena cahaya kebenaran.
  7. menjelaskan kemungkinan terjadinya bahaya yang besar dari sesuatu yang tidak seberapa.
  8. menjelaskan kemungkinan bahwa kepayahan “akan membuahkan ketenangan dan kenikmatan.
  9. kebaikan anjing.
  10. kebaikan masa tua.
  11. keburukan musim kemarau
  12. keburukan musim penghujan.

 

III. Uraikan dengan singkat bait-bait syair berikut ini dan sebutkan maksud dan tujuan setiap tasybihnya!

 

Kami terpelihara dari kobaran panas bumi yang tersengat panas mata hari oleh lembah yang disiram hujan yang rata dan lebat.

 

Kami berteduh di bawah pohon besar di lembah itu, maka pohon itu mengayomi kami seperti ibu yang membelai anak yang telah disapihnya. .

 

Dan lembah itu memberi kami minuman dengan air tawar yang lebih nikmat daripada tuak bagi pencandunya.

 

  1. Tasybih Maglub (Penyerupaan yang Terbalik)
  2. Contoh-contoh
  3. Muhammad bin Wuhaib Al-Hinmyari berkata:

 

Pagi telah muncul, seakan-akan gebyarnya adalah wajah khalifah kerika dipuji.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Seakan-akan cahaya awan di sore hari sampai menjelang pagi itu adalah senyuman Isa ketika mengucapkan janji.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Aku rindu kepada mereka, namun untuk sampai ketempat mereka harus melewati tanah lapang yang luasnya seperti lapang dadanya seorang penyantun.

 

  1. Pembahasan Al-Himyari menyatakan bahwa cemerlangnya gebyar pagi itu menyerupai wajah khalifah ketika mendengar pujian dan sanjungan untuknya. Dari pernyataan ini dapat kita ketahui bahwa tasybih yang dibuat oleh Al-Himyari keluar dari gambaran yang ada di hati kita, yakni bahwa selamanya sesuatu itu diserupakan kepada yang lain yang lebih kuat dalam titik kescrupaannya. Yang sering terdengar adalah bahwa wajah khalifah menyerupai gebyar pagi, sedangkan Al-Himyari menyatakan sebaliknya dengan maksud untuk berlebihlebihan dan habis-habisan mendakwakan bahwa wajah syibeh lebih kuat pada musyabbah. Tasybih demikian merupakan salah satu keunggulan seni dan keindahan bahasa.

 

Al-Buhturi menyerupakan cahaya awan yang terus-menerus memantul sepanjang malam dengan senyuman orang yang dipujinya ketika menjanjikan pemberian. Padahal sudah pasti bahwa pantulan cahaya awan itu lebih kuat daripada pantulan cahaya senyuman. Dan yang biasa kita dengar adalah senyuman diserupakan dengan pantulan cahaya awan, sebagaimana kebiasaan para penyair. Akan tetapi, Al-Buhturi menyatakan tasybih yang sebaliknya.

 

Dalam contoh tasybih terakhir, tanah lapang diserupakan dengan dada seorang penyantun dalam hal keluasannya. Pernyataan terakhir ini juga suatu tasybih maqlub.

 

  1. Kaidah

(11) Tasybih maqlub adalah menjadikan musyabbah sebagai musyabbah bih dengan mendakwakan bahwa titik keserupaannya lebih kuat pada musyabbah.

 

  1. Latihan

Contoh Soal: 

 

  1. Seakan-akan angin yang lembut itu adalah akhlaknya.
  2. Seakan-akan kejernihan air itu adalah perangainya.
  3. Seakan-akan terangnya siang itu adalah pelipisnya.
  4. Seakan-akan hamparan bumi yang menghijau itu adalah kebagusan perjalanan hidupnya.

 

  1. Mengapa tasybih-tasybih berikut ini dikatakan sebagai tasybih maglub?
  2. Ibnul-Mu taz berkata:

 

Pagi itu berada pada penghujung malam yang mulai meremang, seakan-akan ia adalah bulu putih pada kuda yang berbulu merah.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Pada kemerahan bunga mawar terdapat sesuatu dari kemerahan pipinya, dan pada gerakan dahan terdapat sesuatu “dari lenggak-lenggoknya.

 

  1. Al-Buhturi juga berkata dalam menyifati jamban Al-Mutawakkil:

 

Seakan-akan jamban itu ketika terus-menerus mengucurkan air adalah tangan khalifah ketika pemberiannya mengalir.

 

  1. Perahu berjalan membawa kita di laut yang seakan-akan ia adalah pemberianmu, dan memancar cahaya purnama itu yang seakan-akan ia adalah keindahan wajahmu.

 

  1. Bedakan antara tasybih maglub dan lainnya pada kalimat-kalimat berikut dan sebutkan maksud dan tujuan setiap tasybihnya!

 

Seakan-akan kegelapan malam itu rambut yang hitam kelam.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Ujung-ujung tombaknya berkilauan membabat musuh-musuh dalan kegelapan debu medan perang, sedangkan di kanan-kirinya banyak terdapat bintang-bintang.

 

  1. Seakan-akan anak panah itu ucapannya, dan hujan adalah pemberiannya.

 

  1. Al-Abyuwardi berkata:

 

Kata-kataku adalah untaian kalung penghias leher, zaman terus berlalu, tetapi kataku itu akan kekal.

 

  1. Salah seorang juru tulis Al-Ma’mun mengirimkan seekor kuda kepadanya seraya berkata:

 

Telah aku kirimkan kebaikan yang tiada dapat ditemui semisalnya, yakni seekor kuda yang dapat dibanggakan dengan pelana dan kendalinya. Wajahnya adalah (bagaikan) subuh (putih), tetapi seluruh badannya gelap gulita (hitam). Segala sesuatu yang patut bagi Tuan adalah tidak pantas bagi budak. .

 

III. Ubahlah tasybih-tasybih berikut menjadi tasybih maglub dan jelaskanlah jenis tasybih mana yang lebih baligh!

 

1 Al-Buhturi berkata dalam menyifati suatu gedung di atas lereng:

.Terletak pada tempat yang menonjol, kerikilnya adalah mutiara dan debunya adalah minyak kesturi yang dicampur dengan minyak ambar.

 

  1. Ia berkata:

 

Pemberian Fat-h bin Khagan bagimu adalah pemberian hujan bagi bumi yang terbakar oleh musim kering.

 

  1. Ia berkata dalam suatu senda gurau:

 

Aku tidak lupa kepadanya ketika ia muncul dari kejauhan. Gaya jalannya bagaikan ranting dahan muda yang bergoyang.

 

  1. Ia berkata tentang orang yang dipujinya:

 

Dia tampak cerah karena bahagia, ia adalah bunga di pagi hari, dan kebersihan akhlaknya adalah gerimis di pagi hari.

 

  1. Ubahlah tasybih-tasybih maglub berikut ini menjadi tasybih ghai, maglub:

 

  1. Kami naik kereta api yang meluncur. cepat seakan-akan kuda balap.

 

  1. Bunga itu semerbak, seakan-akan ia adalah kisahmu yang indah.

 

  1. Pagi telah tiba, seakan-akan ia adalah argumentasimu yang cemerlang,

 

  1. Seorang penunggang kuda itu menyandang pedangnya, seakan-akan pedang itu adalah keteguhan jiwanya dalam peperangan.

 

  1. Buatlah tasybih maglub dengan tharaf-tharaf berikut ini dan terlebih dahulu jodohkanlah menjadi berpasang-pasangan!

 

  1. Gemuruh petir. g. Cahaya kilat.
  2. Cahaya kekasihnya. h. Rambutnya.
  3. Pancaran sinar matahari. i. Kegelapan malam.
  4. Kemarahannya. j-Akhlaknya.
  5. Sambaran petir. k. Senyumannya. .
  6. Suaranya. l. Bunga-bunga musim, semi.

 

  1. Sempurnakanlah tasybih-tasybih maglub berikut!

 

  1. Seakan-akan ………. adalah kedatanganmu untuk menengokku.
  2. Seakan-akan ……….. dalah keberanianmu.
  3. Seakan-akan …….. adalah suaranya yang tidak menyenangkan.
  4. Seakan-akan ……. adalah kepanasan dendamnya.
  5. Seakan-akan ……. Adalah batas keteguhan jiwamu.
  6. Seakan-akan ……. adalah tipu muslihatnya.

 

VII. Sempurnakanlah tasybih-tasybih maqlub berikut!

 

  1. Seakan-akan hembusan angin adalah ………
  2. Seakan-akan kehinaan anak yatim adalah ………..
  3. Seakan-akan kesegaran bunga mawar itu Adalah……
  4. Seakan-akan intan itu adalah ……,
  5. Seakan-akan kejernihan air itu adalah………
  6. Seakan-akan sihir itu adalah ……..

 

VIII. Dijelaskan dalam buku-buku sastra bahwa Abu Tamam ketika memuji Ahmad bin Al-Mu’tashim dengan syair berikut:

 

(Ia) memiliki sifat keberanian Amr kemurahan Hatim lapang aada Ahnaf dan kecerdikan Iyas.

 

Maka berkatalah orang yang dengki kepadanya di hadapan orang yang dipujinya itu, “Engkau (Wahai Abu Tamam) tidak lebih hanyalah menyerupakan seorang penguasa dengan orang-orang yang di bawah martabatnya.”

 

Maka berkatalah Abu Tamam:

 

Janganlah kamu ingkari perumpamaan yang aku buat baginya dengan orang yang di bawahnya, suatu perumpamaan yang sejalan dengan kemuliaan dan keberaniannya.

 

Allah membuat perumpamaan yang kecil bagi cahaya-Nya, seperti diserupakan lubang yang tidak tembus dan lentera.

 

Soal: Apa maksud sanggahan yang diberikan oleh Abu Tamam dalam dua bait syair di atas? Dapatkah kamu membela Abu Tamam dengan argumentasi lain setelah kamu perhatikan seluruh bait syairnya? Jenis tasybih apa yang disetujui oleh para kritikus itu?

 

  1. Buatlah tasybih-tasybih maglub tentang:
  2. Sifat keberanian seseorang.
  3. Sifat perahu.
  4. Sifat kalimat yang baligh.

 

  1. Perhatikan syair Al-Mutanabbi berikut:

 

Seandainya bukan penghinaan terhadap singa, maka saya serupakan mereka dengannya. Akan tetapi, singa jarang didapat di antara binatang ternak. Jelaskanlah tentang keindahan penjelasan dalam bait syair di atas. Apakah kau melihat suatu pujian yang lebih baligh seandainya AlMutanabbi itu berkata, “Syabbahtuhaa bihim (maka saya menyerupakannya dengan mereka)?” Kalau demikian, tasybih akan menjadi bagaimana?

 

  1. Balaghah Tasybih dan Sebagian Pengaruhnya bagi Orang Arab dan Ahli Bahasa Berikutnya?”

 

Balaghah tasybih muncul bilamana tasybih itu membawa kita dari suatu keadaan kepada keadaan baru yang menyerupainya, atau kepada gambaran serupa yang mempunyai nilai lebih. Bila perpindahan gambaran itu jauh dan jarang terlintas di hati, atau disertai sedikit atau banyak khayalan, maka tasybihnya akan semakin indah dan me, ngagumkan.

 

Bila kau katakan bahwa si Polan menyerupai Zaid dalam ke, tinggian badannya, atau bumi itu menyerupai bola dalam bentuknya atau kepulauan Inggris itu menyerupai negara Jepang, maka tasybih, tasybih ini tidak mempunyai nilai balaghah karena keserupaannya je, las dan tidak membutuhkan kesungguhan, kecerdikan, dan keahlian sastra untuk memahaminya, juga karena tidak mengandung daya khayal.

 

Tasybih yang demikian diucapkan sebagai metode penjelasan dan mempermudah pemahaman tentang sesuatu. Dan tasybih ini sa. ngat banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu dan seni.

 

Namun, bila kita memperhatikan syair Al-Ma’arri berikut dalam menyifati sebuah bintang, maka akan kita temukan keindahan tasy. bih-nya:

 

Bintang itu dalam kemerahannya mempercepat kerlipan cahayanya, sebagainana orang yang dalam puncak kemarahannya mempercepat kedipan dan lirikan matanya. Karena penyerupaan kedipan bintang dengan kemerahan cahayanya terhadap kecepatan kedipan dan lirikan mata orang yang marah adalah suatu penyerupaan yang sangat jarang terjadi dan tidak akan dibuat kecuali oleh seorang sastrawan.

 

Contoh lain adalah syair berikut:

 

Seakan-akan bintang-bintang di antara kegelapan malam itu adalah beberapa sunah yang bersinar terang menerangi perbuatan bid’ah. Keindahan tasybih ini berada pada anggapan kita akan pengetahuan dan kecerdikan penyair dalam menyusun tasybih antara dua keadaan yang tidak pernah terlintas dalam hati adanya keserupaan itu, yakni keserupaan keadaan bintang-bintang dalam kegelapan malam dengan keadaan sunah-sunah agama yang sahih, yang menyebar terpisah-pisah di antara bid’ah-bid’ah yang batil. Tasybih di atas memiliki daya tarik lain, yakni bahwa penyair mengkhayalkan bahwa sunahsunah itu bercahaya dengan terang, sedangkan bid’ah itu gelap gulita.

 

Di antara tasybih yang paling indah adalah pernyataan Al-Mutanabbi berikut:

 

Binasalah diriku jika aku tidak berhenti di tempat-tempat bekas kekasihku itu, sebagaimana seorang yang bakhil berdiri menyesali kehilangan cincinnya di tanah.

 

Al-Mutanabbi mendoakan dirinya akan binasa bila ia tidak berhenti untuk mengenang nostalgianya bersama para penghuni reruntuhan itu di masa yang silam. Kemudian menggambarkan keadaannya ketika berhenti untuk mengenang nostalgia, maka ia berkata, “Sebagaimana orang yang bakhil berdiri menyesali kehilangan cincinnya di tanah.” Tiada seorang pun yang berkemampuan menggambarkan kepadamu keadaan orang yang bingung, susah, sedih, dan harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan menundukkan kepalanya seperti keadaan orang bakhil kehilangan cincinnya yang mahal. Demikianlah nilai balaghah tasybih dari segi sangat jarangnya dan jauhnya sasaran, serta kadar isinya yang khayali. Adapun balaghah tasybih dari segi bentuk kalimatnya juga berbeda-beda. Tasybih yang paling rendah tingkat balaghahnya adalah tasybih yang disebutkan seluruh unsurnya, karena balaghah tasybih terletak pada dakwaan bahwa musyabbah adalah musyabbah bih itu sendiri,” sedangkan keberadaan adat tasybih dan wajah syibeh akan menghalangi dakwaan ini. Maka bila dibuang adat-nya atau wajah syibeh-nya, tingkat balaghahnya akan meningkat karena dengan dibuangnya salah satu unsur tersebut akan sedikit memperkuat dakwaan kesatuan musyabbah dengan musyabbah bih. Adapun tasybih yang paling tinggi tingkat balaghahnya adalah tasybih baligh. (Lihat kembali pembagian tasybih) karena tasybih baligh dibuat atas dasar dakwaan bahwa miusyabbah dan musyabbah bih itu hal yang satu.

 

Telah menjadi tradisi orang Arab dan para ahli bahasa setelah mereka menyerupakan orang yang dermawan dengan laut dan hujan, orang yang pemberani diserupakan dengan singa, wajah yang bagus diserupakan dengan matahari dan bulan, orang yang Cerdik cendekia dalam menangani segala urusan diserupakan dengan pe dang, kedudukan yang tinggi diserupakan dengan bintang, orang pe, nyantun yang teguh pendiriannya diserupakan dengan gunung, ha, rapan-harapan palsu diserupakan dengan mimpi, wajah yang berca, haya diserupakan dengan dinar, rambut yang hitam pekat diserupa, kan dengan malam, air yang bening diserupakan dengan perak, ma. lam diserupakan dengan ombak laut, pasukan tentara diserupakan dengan laut yang pasang, kuda diserupakan dengan angin dan kilat, bintang diserupakan dengan mutiara dan bunga, gigi diserupakan dengan salju dan mutiara, perahu diserupakan dengan gunung, anak-anak sungai diserupakan dengan ular yang melingkar, uban di. serupakan dengan siang dan kilauan pedang, bulu putih di dahi ku. da diserupakan dengan bulan sabit, penakut diserupakan dengan bu. rung unta dan lalat, orang yang tercela diserupakan dengan musang, orang yang membabi buta diserupakan dengan laron yang mengerumuni cahaya lampu, orang yang hina diserupakan dengan patok, orang yang keras hati diserupakan dengan besi dan batu, orang yang bodoh diserupakan dengan himar, dan orang yang bakhil diserupakan dengan bumi yang tandus.

 

Banyak tokoh Arab yang terkenal dengan kepribadian yang terpuji, hingga mereka dijadikan sebagai tolok ukur dalam penyerupaan sifat-sifat. Oleh karena itu, orang yang tepat janji diserupakan dengan Samuel orang yang dermawan diserupakan dengan Hatim, orang yang adil diserupakan dengan Umar orang yang penyantun diserupakan dengan Al-Ahnaf, orang yang fasih diserupakan dengan Sahban, orang yang jago pidato diserupakan dengan Quss Orang yang pemberani diserupakan dengan ‘Amr ibnu Ma’dikariba, orang yang bijak diserupakan dengan Lugman, dan orang yang cerdas diserupakan dengan Iyas.

 

Dan sebaliknya banyak pula orang Arab yang dikenal berperangai sangat tercela, yang juga dijadikan sebagai tolok ukur tasybih. Maka orang yang kepayahan diserupakan dengan Bagil, orang yang dungu diserupakan dengan Habanaggah! , orang pemurung diserupakan dengan Kusa’i, orang bakhil diserupakan dengan Marid orang yang suka mengejek diserupakan dengan Hutha”ah dan orang yang keras kepala diserupakan dengan Hajjaj.

 

  1. Majaz Lughawi
  2. Contoh-contoh
  3. IbnulAmid berkata:

 

Telah berdiri menaungiku dari teriknya matahari, seseorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Ia telah menaungiku, amatlah mengherankan, bila ada matahari menaungiku dari terik matahari.

 

  1. Al-Buhturi berkata dalam menyifati duel antara Fat-h bin Khagan dengan seekor singa:

 

Aku belum pernah melihat perkelahian dua singa yang lebih Sungguhsungguh daripada kamu berdua (Fat-h dan singa) ketika orang-orang penakut dan lemah itu tidak berani menghadapinya. Singa lawan singa, yaitu singa (pemberani) dari kaum bertarung melawan singa sungguhan, dan ia dapat mengalahkannya.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata tentang hujan yang mengguyur Saifud Daulah:

 

Mataku setiap hari berkesempatan memandangmu. Dalam pada itu ada suatu pemandangan yang mengherankan, yaitu terbawanya pedang ini di atas pedang, dan jatuhnya hujan ini di atas hujan.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Ketika mata telah tenang dan menjadi mata-mata terhadap segala kata hati, maka bukanlah suatu rahasia apa-apa yang tertutup oleh tulang rusuk.

 

  1. Pembahasan Perhatikanlah baris terakhir dari dua bait pertama, maka akan kita jumpai kata asy-syamsu yang dipakai dengan dua makna, pertama adalah makna hakiki sebagaimana yang kita kenal, dan makna yang kedua adalah orang yang bercahaya wajahnya, yang menyerupai kecemerlangan matahari. Makna yang kedua ini bukanlah makna hakiki. Bila kita perhatikan, maka akan kita temukan kaitan antara makna pertama yang hakiki dan makna kedua yang bukan hakiki. Kaitan dan hubungan kedua makna itu disebut dengan musyabahah (saling menyerupai/kesurupaan) karena seseorang yang bercahaya wajahnya itu menyerupai matahari dalam memancarkan cahaya, dan hal ini tidak mungkin menimbulkan ketidakjelasan yang membawa pemahaman bahwa kata syamsun tuzhalliluni adalah menunjukkan makna yang hakiki karena matahari yang hakiki itu tidaklah akan menaungi. Dengan demikian, kata tuzhalliluni menghalangi kemungkinan dikehendakinya makna yang hakiki, dan oleh karenanya kata itu disebut sebagai karinah yang menunjukkan bahwa makna yang dimaksug adalah makna yang lain.

 

Bila kita perhatikan bait kedua dari syair Al-Buhturi yang perta, ma, maka akan kita temukan kata hizabrun yang kedua, dimaksud, kan untuk menunjukkan makna hakiki, yakni singa, sedangkan mak, na kata hizabrun yang pertama adalah orang pemberani yang dipuji, jadi bukan makna hakiki. Hubungan kedua makna itu adalah keserupaan dalam keberanian, sedangkan karinah yang menghalangi pemberian makna hakiki adalah bahwa susunan kalimat menghendaki pemberian makna baru yang bukan hakiki. Demikian pula halnya pada kata aghlabun minal-qaum dan basil al-wajhi aghlaba. Kata-kata kedua menunjukkan makna asli, yakni singa. Sedangkan kata-kata yang pertama menunjukkan makna yang lain, yakni laki-laki yang pemberani. Hubungan kedua makna itu adalah keserupaan dalam keberanian. Karinah yang menghalangi pemberian makna hakiki terhadap kata-kata pertama adalah lafaz minal gaum.

 

Setelah penjelasan di atas, dapatlah kita tangkap bahwa kata husaam yang kedua pada bait kedua dari syair Al-Mutanabbi digunakan dalam makna yang bukan hakiki karena adanya hubungan kesamaan dalam menanggung bahaya. Karinah-nya dapat dipahami dari kedudukan unsur-unsur yang terkait dalam kalimat. Sama halnya dengan kata sahaab yang kedua, digunakan dengan makna Saifud-Daulah karena adanya hubungan antara dia dan hujan dalam kemurahan. Karinah-nya adalah haliyah (kenyataan empiris).

 

Adapun makna syair Al-Buhturi yang terakhir adalah bahwa bila mata manusia karena menangis lalu menjadi mata-mata bagi kemarahan dan kesusahan yang bergejolak dalam hati, maka segala yang terdapat dalam hati itu bukan lagi suatu rahasia. Dengan demikian, kita tahu bahwa kata al-‘ain yang pertama digunakan dalam makna hakiki, sedangkan kata ‘ain yang kedua digunakan dalam makna lain, yakni mata-mata. Namun, karena mata itu sebagian dari mata-mata dan justru alatnya yang utama, maka digunakanlah kata al-ain itu untuk makna keseluruhan. Dan suatu tradisi orang Arab mengatakan sebagian dengan maksud seluruhnya. Kita pun tahu bahwa hubungan antara mata dan mata-mata bukanlah adanya keseyupaan, melainkan salah satunya merupakan bagian yang lain. Dan karinah-nya adalah kata ‘alal-jawa (bagi isi hati), jadi karinah lafzhiyah. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa kata syams, hizabr, aghlab, husaam, sahaab, dan ‘ain digunakan dalam makna bukan hakiki karena adanya hubungan antara makna hakiki dan makna yang tidak hakiki, dan kata-kata itu disebut kata-kata majaz lughawi.

 

  1. Kaidah

(12) Majaz lughawi adalah lafaz yang digunakan dalam makna yang bukan seharusnya karena adanya hubungan disertai karinah yang menghalangi pemberian makna hakiki. Hubungan antara makna hakiki dan makna majazi itu kadang-kadang karena adanya keserupaan dan kadang-kadang lain dari itu. Dan karinah itu adakalanya lafzhiyah dan adakalanya haliyah.

 

  1. Latihan Contoh Soal:

 

  1. Abuth—Thayyib berkata ketika menderita sakit panas di Mesir: –

 

Bila aku sakit, maka kesabaranku tidak akan sakit. Dan bila aku terserang sakit panas, maka keteguhan jiwaku tidak akan terserang sakit panas.

 

  1. Ia berkata ketika memberikan peringatan terhadap awan, sedangkan ia bersama orang yang dipujinya:

 

Ketika kami dalam perjalanan pulang, awan terlihat menghadangku. Maka kukatakan (kepadanya), “Menyingkirlah engkau, karena aku bersama dengan awan.”

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Negaraku sangat kucintai sekalipun telah berbuat jahat kepadaky d kaumku adalah mulia meskipun mereka bakhil kepadaku.

 

  1. Kata-kata yang bergaris bawah berikut ini sebagian digunakan dalam makna hakiki, sedangkan sebagian lain digunakan dalam makna majazi. Jelaskan kata-kata yang majazi dengan menyebutkan hubungan kedua makna dan karinahnya, baik lafzhiyah maupun haliyah.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata tentang orang yang dipujinya:

 

Suatu hari -dengan pasukan berkudakau mengusir tentara Rumawi dari mereka, dan suatu hari -dengan kemurahan kau mengusir kefakiran dan kelaparan.

 

  1. la berkata:

 

Maka senantiasa matahari yang berada di langit itu terbit bersama matahari yang tertutup cadar.

 

  1. Ia berkata:

 

Adalah suatu cela bagimu bila dalam suatu peperangan kau menyandang pedang. Apa yang akan diperbuat oleh pedang dengan pedang yang disandangnya?

 

  1. Ia berkata:

 

Bila Saifud-Daulah terserang penyakit, maka akan sakit pula bumi.

 

  1. Abu Tamam berkata dalam ratapannya:

 

Dia tidak akan mati sebelum mata pedangnya mati, tidak dapat untuk memukul, dan tombaknya tidak lagi dapat membela.

 

  1. Bila Khalid bin Walid berjalan, maka berjalanlah pertolongan di bawah benderanya.

 

Engkau membangun beberapa rumah yang tinggi-tinggi, dan sebelumnya engkau telah membangun suatu kesombongan yang tingginya tidak terkalahkan.

 

  1. Jelaskan apakah kata-kata berikut ini termasuk hakikat ataukah majaz:
  2. Lafaz syamsain (dua matahari) dalam ratapan Al-Mutanabbi te,. hadap kematian saudara perempuan Saifud-Daulah:

 

Andaikata dua matahari yang terbit itu tenggelam dan andaikata ke. dua matahari yang tenggelam itu tidak tenggelam.

 

  1. Kata badr (bulan purnama) dalam syair:

 

Dia memandang bulan purnama yang menerangi kegelapan malam, dan saya melihat dia (yang sedang memandang bulan itu). Maka masing-masing kami memandang bulan purnama.

 

  1. Kata Layaaliya arba’an (empat malam) dalam syair:

 

Pada suatu malam tiga ikat rambutnya terurai, maka ia menunjukkan empat malam kepadaku.

 

  1. Kata al-gamarain (dua bulan) dalam syair Al-Mutanabbi:

 

Dia menghadapkan wajahnya ke bulan di langit, maka dia menunjuk kan kepadaku dua buah bulan secara bersamaan dalam satu waktu.

 

III. Pergunakanlah kata-kata benda dan kata-kata kerja berikut ini masing: masing dalam makna hakiki dan makna majazi dengan hubungan makna musyabhah!

 

kilat — angin — hujan — intan — musang — burung garuda — bintang-bintang — hanzhal (sejenis ramuan pahit).

 

tenggelam — membunuh — merobek — minum — mengubur — menumpahkan — melempar — terjatuh.

 

  1. Isilah titik-titik di bawah ini dengan maf’ul bih dengan makna miajazi, lalu jelaskan hubungannya dengan makna hakiki dan karinahnya!

 

  1. Thal’at Harb menghidupkan ……
  2. Khatib Membeberkan ….
  3. Orang yang baik menananikan ………..
  4. Guru itu meluruskan ……
  5. Pemalas itu menghabisi …….
  6. Eropa memerangi ……..

 

  1. Buatlah kalimat dengan ketentuan:
  2. Menggunakan kata udzun (telinga) dalam arti majazi, yakni seorang laki-laki yang senang sekali mendengarkan perguncingan orang, dan jelaskan hubungannya dengan makna hakiki!

 

  1. Menggunakan kata yamiin (tangan kanan) dalam arti kekuatan secara majaz dan jelaskan hubungannya dengan makna hakiki!

 

  1. Buatlah empat buah kalimat yang mencakup majaz lughawi yang hubungan makna majazi dengan makna hakikinya adalah musyabahah (adanya keserupaan)!

 

VII. Jelaskan kedua bait syair Al-Buhturi berikut ini disertai penjelasan kandungan makna majazi dan makna hakiki pada kata syamsain (dua buah matahari)!

 

Kamu tampil kepada mereka pada saat terbit matahari, Maka mereka me, mandang cahaya matahari dari satu arah dan melihat wajahmu dari ara lain. Sebelum peristiwa itu mereka tidak pernah melihat dua buah matahari yang sinarnya berbenturan dari arah barat dan arah timur.

 

A.1 Isti’aarah Tashriihiyyah wal-Makniyyah

  1. Contoh-Contoh
  2. Allah berfirman:

 

(Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang …. (QS Ibrahim: 1)

 

  1. Al-Mutanabbi berkata ketika ia disambut dan dirangkul oleh orang yang dipujinya:

 

Tidak pernah aku lihat sebelumku orang yang didatangi oleh laut dengan berjalan kaki, dan tidak juga orang yang dirangkul oleh singa.

 

  1. Ia berkata dalam memuji Saifud-Daulah:

 

Apakah kamu tahu suatu kemenangan yang paling indah selain keme nangan yang di dalamnya saling bersua antara pedang dan kepala.

 

  1. Al-Hajjaj menyatakan dalam salah satu pidatonya:

 

Sesungguhnya aku melihat beberapa kepala yang telah masak dan telah sampai waktu panennya, dan saya adalah pemiliknya.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Ketika unta telah menQur’ang, maka kami akan menunggangi urusan-urusan yang berat kepada Ibnu Abi Sulaiman.

 

  1. Taberkata:

 

Keagungan dan kemuliaan dapat disembuhkan apabila kamu diberi kesembuhan, dan rasa sakit itu hilang darimu, beralih ke musuhmu.

 

  1. Pembahasan

Dalam contoh-contoh di atas terdapat majaz lughawi, yakni kata yang digunakan dalam makna yang bukan hakiki. Contoh pertama dari ketiga contoh pertama mengandung dua kata, yakni kata azlizhulumaat yang digunakan dengan makna kesesatan, dan kata annuur yang digunakan dengan makna hidayah dan iman. Hubungan antara makna hakiki dan makna majazi adalah adanya keserupaan, dan karinah-nya adalah haliyah. Bait Al-Mutanabbi mencakup dua majaz, yakni kata al-bahr (laut) dengan makna laki-laki yang dermawan karena adanya keserupaan dan adanya karinah kata masyaa, dan kata al-usdu (singa) dengan makna seorang pemberani karena ada keserupaan dan karinah kata tu’aaniguhu. Bait ketiga mencakup satu buah majaz, yaitu kata tashaafahat (berjabat tangan) dengan makna bertemu karena ada keserupaan dan karinah lafaz biidhul-hindi wallamam (pedang dan kepala).

 

Apabila kita perhatikan setiap majaz di atas, maka kita dapatkan bahwa setiap majaz itu mencakup sebuah tasybih yang darinya dibuang musyabbah-nya, dan sebagai gantinya didatangkan musyabbah bih dengan dakwaan bahwa musyabbah bih adalah musyabbah itu sendiri. Hal ini sangat jauh jangkauan balaghahnya dan sangat dalam kesannya. Majaz ini disebut isti’aarah, dan karena musyabbah bih dalam majaz ini disebut dengan tegas, maka isti’aarahnya disebut issj. aarah tashrihiyyah.

 

Selanjutnya ketiga contoh yang kedua kiranya cukup kita jelas. kan salah satunya, yakni pernyataan Al-Hajjaj dalam ancamannya. Innii la-araa ru-uusan gad aina’at (sesungguhnya saya melihat kepala. kepala yang telah masak). Pemahaman sekilas adalah bahwa, ia me. nyerupakan kepala dengan buah-buahan. Kalimat asal adalah innii In. araa ru-uusan kats-tsamaraat gad aina’at, lalu dibuang musyabbah bih. nya dengan suatu khayalan bahwa bentuk kepala itu menjelma da. lam bentuk buah. Sebagai isyarat bagi musyabbah bih yang dibuang, ditetapkan kata yang menunjukkan sifatnya yang khas, yaitu kata aina’at. Apabila musyabbah bih-nya tersembunyi, maka isti’aarahnya disebut dengan isti’aarah makniyyah. Demikian juga dengan lafaz im. tathainaa dan lafaz al-majdu pada bait terakhir.

 

  1. Kaidah

(13) Isti’aarah adalah satu bagian dari majaz lughawi. Isti’aarah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharafnya. Oleh karena itu, hubungan antara makna hakiki dengan makna majazi adalah musyabahah selamanya. Isti’aarah ada dua macam, yaitu:

 

  1. Tashrihiyyah, yaitu isti’aarah yang nusyabbah bih-nya ditegaskan.

 

  1. Makniyyah, yaitu isti’aarah yang dibuang musyabbah bih-nya, dan sebagai isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya.

 

  1. Latihan

Contoh Soal:

  1. Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati utusan Rumawi kepada Saifud-Daulah:

 

Ia maju berjalan di atas permadani, ia tidak tahu apakah ia bergerak menuju laut ataukah naik ke bulan.

 

  1. Seorang Arab Badui menyifati temannya:

 

Saudaraku menjamu mata dengan keindahan, dan telinga dengan kejelasan.

 

  1. Allah berfirman tentang doa Zakariya:

 

Ya Rab-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban. (QS Maryam: 4)

 

  1. Seorang Arab Badui berkata dalam suatu pujiannya:

 

Polan melempar matanya searah isyarat kedermawanannya.

 

Contoh Penyelesaian:

  1. 1) Saifud-Daulah diserupakan dengan laut karena sama-sama suka memberi. Kemudian lafaz yang menjadi musyabbah bih dipinjamkan untuk menggantikan musyabbah, yakni SaifudDaulah, untuk membuat isti’aarah tashrihiyyah. Karinah-nya adalah kata-kata fa agbala yamsyii fil bisaath.

2) Saifud-Daulah diserupakan dengan bulan karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi. Kemudian lafaz yang menjadi musyabbah bih, yaitu lafaz al-badr (bulan) dipinjamkan untuk menggantikan musyabbah, yaitu Saifud-Daulah, untuk membuat isti’aarah tashrihiyyah. Karinah-nya sama seperti tersebut di atas.

 

  1. Memberi kenikmatan mata dengan keindahan, dan memberi kenikmatan telinga dengan kejelasan diserupakan dengan menjamu tamu. Jadi, menyuguh mata dan telinga itu maksudnya memberinya kenikmatan, sebagai isti’aarah tashrihiyyah. Karinahnya adalah kata jamalan dan kata bayanan.

 

  1. Kepala diserupakan dengan bahan bakar, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan oleh salah satu sifat khasnya, yaitu kata isyta’ala mcnyala) sebagai isti’aarah makniyah. Karinah-ny, adalah menyandarkan nyala kepada kepala.

 

  1. Sifat suka berderma diserupakan dengan manusia, lalu musyap. bah bih-nya (manusia) dibuang dan diisyaratkan oleh salah saty sifat khasnya, yaitu kata asyaara (berisyarat) sebagai isti’aarah makniyyah. Karinah-nya adalah menyandarkan isyarat kepada kemuliaan.

 

  1. Jabarkan isti’aarah tashrihiyyah yang bergaris bawah pada kalimat-ka. limat berikut!
  2. As-Sariyyur-Rafa’ bersyair tentang perahu:

 

Setiap perahu itu seakan-akan kegelapan malam, memberinya kulit yang disamak.

 

  1. la berkata tentang orang yang sedang bersolek:

 

Ketika kilat bersinar pada telapak tangannya, maka menumpahkan air kenikmatan kepada wajah. la mempunyai telapak tangan yang lembut usapannya, mengusap waJah seperti belaian angin.

 

  1. Ibnul Mu’taz berkata:

 

Hak kita dikumpulkan pada imam yang membunuh kekikiran dan menghidupkan kemurahan.

 

  1. Jabarkan isti’aarah makniyyah yang bergaris bawah pada kalimat-kalimat berikut!

 

  1. Seorang Arab Badui memuji seorang laki-laki:

 

Seluruh mata keutamaan tertuju kepadamu, dan telinga-telinga keagungan mendengarmu dengan penuh perhatian.

 

2, Seorang Arab Badui yang lain memuji keberanian suatu kaum:

 

Pedang-pedang mereka bersumpah untuk tidak menyia-nyiakan hak mereka.

 

  1. As-Sariyyur-Rafa’ berkata:

 

Di tempat-tempat ini penyelewengan tidak pernah menyeret ekornya, dan sering kali tombak-tombak ditarik.

 

III. Jelaskan, manakah isti’aarah yang bergaris bawah pada kalimat-kalimat berikut yang tasyrihiyyah dan mana pula yang makniyyah serta jelaskan sebab-sebabnya!

 

  1. Di’bil Al-Khaza’i berkata:

 

Janganlah kamu heran, wahai Salma, terhadap lelaki yang ditertawakan oleh uban di kepalanya, lalu ia menangis.

 

  1. Seorang Arab Badui mencela suatu kaum:

 

Mereka adalah kaum yang berpuasa dari kebaikan dan berbuka dengan kekejian.

 

  1. Seorang Arab Badui lainnya mencela seseorang:

 

Ia gemuk hartanya, kurus kebaikannya.

 

  1. Al-Buhturi berkata dalam meratapi Al-Mutawakkil yang terbunuh dengan tipu daya:

 

Maka semua pasukannya tidak dapat membelanya melawan mau fajal, dan segala harta miliknya dan simpanannya tidak dapat mempertahankan hidupnya.

 

Ketika pertolongan telah melirikkan matanya kepadamu, maka tidurlah, dan segala ketakutan akan menjadi aman.

 

  1. AbulAtahiyah mengucapkan selamat kepada Al-Mahdi ketika diangkat menjadi khalifah:

 

Jabatan khalifah itu datang kepadanya dengan tunduk seraya menarik ekornya.

 

  1. Buatlah kalimat dengan kata-kata di bawah ini dan masing-masing sebagai isti’aarah tashrihiyah dan isti’aarah makniyyah!

 

Matahari — burung bulbul — laut — bunga — kilat.

 

  1. Ubahlah isti’aarah-isti’aarah berikut menjadi tasybih!
  2. Abu Tamam berkata dalam menyifati awan:

 

Mendung penurut yang banyak mencurahkan hujan, menjadi tumpuan pertolongan bagi debu yang menderita.

 

  1. As-Sariyyur-Rafa’ berkata dalam menyifati salju yang berguQur’an di atas bukit:

 

Salju itu turun di pagi hari di suatu wilayah, maka ia menyebabkan tumbuhnya uban di puncak bukit.

 

  1. Ia berkata dalam menyifati pena:

 

Ia sangat pipih. Bila digoyangkan oleh ujung-ujung jari, maka akan menghujankan malam yang gelap pada kertas.

 

  1. Ubahlah tasybih-tasybih berikut ini menjadi isti’aarah!

 

  1. Sesungguhnya rasul itu suatu cahaya yang menjadi obor.

 

  1. Aku adalah sebatang dahan dari pohonmu yang besar dan sebuah cabang dari pohonmu yang rindang.

 

  1. Aku adalah sebuah pedang, hanya saja pedang yang tidak menebasmy padahal pukulan pedang yang semisalku dapat membabatmu.

 

  1. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS Al Baqarah: 74)

 

Sesungguhnya Sakhr (saudara lelaki penyair) menjadi panutan bagi para pemberi petunjuk, seakan-akan ia adalah gunung yang di puncaknya ada apinya.

 

  1. Saya adalah tanaman kedua tanganmu.

 

  1. Dia laksana singa terhadapku, tetapi di medan perang ia penakut, bagaikan burung unta yang lari cepat karena mendengar suitan (siulan).

 

VII. Jelaskan syair Ibnu Sinan Al-Khafaji dalam menyifati burung merpati, lalu jelaskan bayannya!

 

Kicauan yang panjang di sebuah pohon menunjukkan kerinduannya kepada kita dan ia membacakan kerinduannya itu dengan suara yang merdu. Seandainya kesusahan yang ia katakan itu benar adanya, maka ia tidak akan memakai kalung dan tidak mewarnai telapak tangannya.

 

A.2 Pembagian Isti’aarah Ashliyyah dan Taba’iyyah

  1. Contoh-Contoh
  2. Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati kalam:

 

Lidah pena itu meludahkan kegelapan di siang hari dan ia paham apaapa yang dikatakan seseorang tanpa melalui pendengaran.

 

  1. Ia berkata ketika berbicara dengan Saifud-Daulah:

 

Aku cinta kamu, wahai matahari dan bulan zaman ini, sekalipun bintang-bintang yang samar dan yang jauh mencaci-makiku karena menyukaimu.

 

  1. Al-Ma’arri bersyair dalam ratapannya:

 

“Seorang pemuda yang mencintai tuak Babil, di suatu masa kerinduan, nya tidak akan dapat disembuhkan oleh kecupan dan ciuman.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh. luh (Taurat) itu: dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmar untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. (QS Al-A’raf: 154)

 

  1. Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati singa:

 

Apabila si merah itu datang ke Danau (Thabriyah) untuk minum, maka raungannya sampai ke Sungai Furat dan Nil.

 

  1. Pembahasan Pada tiga bait pertama terdapat isti’aarah tashriyyah dan makniyyah. Pada bait pertama, pena (kata ganti pada lafaz lisaanuhu) diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifat khasnya, yaitu lidah. Jadi, isti’aarah-nya adalah isti’aarah makniyyah. Tinta diserupakan dengan gelap karena sama-sama hitam dan dipinjamkan lafaz yang menjadi musyabbah bih sebagai musyabbah untuk menjadi isti’aarah tashrihiyyah. Kertas diserupakan dengan siang hari karena sama-sama putih, lalu lafaz yang menjadi musyabbah bih dipinjamkan sebagai musyahbah untuk menjadi isti’aarah tashrihiyyah.

 

Pada bait kedua, Saifud-Daulah diserupakan dengan matahari dan bulan karena sama-sama berkedudukan tinggi dan jelas..Kemudian lafaz yang menjadi musyabbah bih, yakni asy-syams dan al-badr, dipinjam sebagai musyabbah untuk membuat isti’aarah tashriyyah pada kedua kata itu. Orang-orang yang di bawahnya diserupakan dengan bintang-bintang yang tersembunyi dan bintang yang jauh karena sama-sama kecil dan tidak jelas. Kemudian lafaz yang menjadi musyabbah bih itu dipinjam sebagai musyabbah untuk membuat isti’aarah tashrihiyyah pada kedua kata tersebut.

 

Pada bait ketiga, perempuan diserupakan dengan tuak Babil. Kemudian musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifatnya, yakni kata ‘asyigat-hu (rindu kepadanya) untuk membuat isti’aarah makniyyah.

 

Bila kita perhatikan kembali pembuatan seluruh isti’aarah di atas, maka akan kita temukan bahwa dalam pembuatan isti’aarah tashrihiyyah kita hanya meminjam lafaz yang menjadi musyabbah bih untuk menggantikan musyabbah, dan dengan langkah ini isti’aarahnya sudah sempurna. Dalam membuat isti’aarah makniyyah kita cukup membuang musyabbah bih: sebagai isyaratnya kita tetapkan salah satu sifatnya, dan dengan langkah ini isti’aarah juga telah sempurna. Bila kita perhatikan lagi, maka lafaz-—lafaz isti’aarah-nya bukan lafaz musytag (dibentuk dari kata dasar), melainkan merupakan kata jamid (kata benda yang tidak memiliki kata dasar). Isti’aarah yang demikian disebut isti’aarah ashliyah.

 

Selanjutnya kita perhatikan kedua contoh berikutnya. Maka akan kita temukan bahwa keduanya mengandung isti’aarah tashrihiyyah. Dalam pembuatannya adalah berhentinya kemarahan diserupakan dengan diam karena sama-sama tenang, lalu lafaz yang menjadi musyabbah bih, yakni as-sukut (diam) dipinjam sebagai ganti musyabbah, yaitu selesainya kemarahan, lalu dari kata dasar as-sukut dibentuk kata kerja, yaitu sakata dengan makna inta-haa (selesai).

 

Sampainya raungan singa ke wilayah Sungai Furat diserupakan dengan sampainya air karena sama-sama mencapai tujuan. Lalu lafaz yang menjadi musyabbah bih, yaitu kata warada, dipinjam sebagai ganti musyabbah, yaitu sampainya suara. Jadi, kata warada bermakna washala.

 

Bila kita bandingkan pembuatan kedua isti’aarah terakhir ini dengan pembuatan isti’aarah-isti’aarah sebelumnya, maka kita dapatkan bahwa pembuatan isti’aarah yang kedua ini tidak hanya dengan meminjam musyabbah bih sebagai ganti musyabbah, sebagaimana cara pembuatan isti aarah-isti aarah sebelumnya, melainkan lebih dari itu, yaitu membentuk kata lain dari kata dasar yang menjadi musyabbah bih itu, dan lafaz-lafaz isti’aarah jenis kedua ini semuanya ntustag. bukan jamid. Isti’aarah yang demikian disebut sebagai isti’aarah taba’iyah karena fungsinya dalam bentuk musytag sama dengan fungsinya dalam bentuk mashdar (kata dasar).

 

Bila kita kaji kembali kedua contoh terakhir, akan kita dapatkan pengetahuan baru. Pada contoh pertama terdapat kata-kata walaniniaq sakata ‘an Musaa al-ghadhabu. Pada kata-kata ini al-ghadhab (kemarahan) dapat diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifatnya, yaitu sakata (diam) sehingga pada kata al-ghadhab pada isti’aarah makniyyah. Pada contoh kedua terdapat kata-kata waradal-furaata za’itruhuu (maka raungannya sampai ke wilayah Sungai Furat). Padanya kata az-z’iir (raungan) dapat diserupakan dengan hewan, lalu dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifatnya, yaitu kata warada. Dengan demikian, kata za’iiruhuu adalah isti’aarah makniyyah. Demikian hal nya pada setiap isti’aarah taba’iyyah, karinah-nya dapat berupa isti’aarah makniyyah. Hanya saja kita tidak dapat membuat isti’aarah kecuali pada salah satu dari kedua isti’aarah (tashrihiyyah dan makniyyah), tidak dapat pada keduanya.

 

  1. Kaidah-Kaidah

 

(14) Isti’aarah disebut sebagai isti’aarah ashliyyah apabila isim (kata benda) yang dijadikan isti’aarah berupa isim jamid.

 

(15) Isti’aarah disebut sebagai isti’aarah taba’iyyah apabila lafaz yang dijadikan isti’aarah berupa isim musytag atau fi’il (kata kerja).

 

(16) Karinah pada isti’aarah taba’iyyah adalah makniyyah, namun bila isti’aarah taba’iyyah ini diberlakukan pada salah satu dari keduanya, maka tidak dapat dibuat pada yang lainnya.

 

  1. Latihan-Latihan

 

  1. Masa menggigitku dengan taringnya, aduhai seandainya gigi taringnya terkena penyakit.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Saya menyampaikan kepadanya sebuah taman dari lisanku yang disiram dengan akal seperti siraman hujan terhadap taman.

 

  1. Penyair lain berkata dalam menyeru seekor burung:

 

 

Engkau berada di taman hijau yang tertawa karena tangisan awan yang tebal.

 

Contoh Penyelesaian:

  1. Masa disamakan dengan hewan buas karena sama-sama menyakitkan, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan oleh salah satu sifatnya, yaitu adhdha (menggigit). Jadi, isti’aarah-nya adalah isti’aarah makniyyah ashliyyah.

 

  1. Syair diserupakan dengan taman karena sama-sama memiliki keindahan, lalu kata yang menjadi musyabbah bih dipinjam untuk menggantikan musyabbah. Jadi, isti’aarah-nya adalah isti’aarah tashrihiyyah ashliyyah. Akal diserupakan dengan hujan karena sama-sama bermanfaat, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan oleh salah satu sifatnya, yaitu sagaa. Jadi, isti’aarahnya adalah isti’aarah makniyyah ashliyyah.

 

  1. Berbunga disamakan dengan tertawa karena sama-sama memutih. Lalu lafaz yang menjadi musyabbah bih dipinjam sebagai ganti musyabbah. Kemudian dari kata adh-dhahk diambil kata musytag-nya, yaitu dhaahikah dengan makna muzhirah (berbunga). Jadi, isti’aarah-nya adalah isti’aarah tashrihiyyah taba’iyyah. Dapat juga kita lihat sisi lain dari isti’aarah ini, dan kita berpegang kepada karinah-nya, yaitu bumi yang menghijau diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifat khasnya, yaitu dhaahikah. Jadi lah isti’aarah makniyyah.

 

Turunnya hujan diserupakan dengan menangis karena sama-sa ma meneteskan air, lalu lafaz yang menjadi musyabbah bih dipin. jam untuk menjadi ganti musyabbah. Jadi isti aarah-nya adalah. isti’aarah tashrihiyyah ashliyyah. Dapat juga dibuat isti’aarah mak niyyah pada kata al-‘aaridh.

 

  1. Bedakan antara isti’aarah ashliyyah dan isti’aarah taba’iyyah pada kalimat-kalimat berikut ini!
  2. As-Sariyyur-Rafa’ berkata dalam menyifati syairnya:

 

Ketika pada suatu hari syairku berjabatan tangan dengan beberapa pendengaran, maka tersenyumlah beberapa hati.

 

  1. Ibnur-Rumi berkata:

 

Di suatu negara baru, saya bergaul dengan para pemudi dan anakanak kecil, sedangkan saya memakai pakaian hiburan yang baru.

 

  1. Ia berkata:

 

Melalui aku kau mendapat penghormatan dari angin utara yang berputar di sebuah taman, menebarkan bau yang sedap lagi semerbak.

 

Angin itu bertiup menjelang pagi, maka sebatang dahan berbisik kepadanya, sedangkan burung-burung bersahut—sahutan secara terang-terangan.

 

4, Al-Buhturi berkata dalam menyifati tentara:

 

lApabila senjata telah memerangi medan perang, maka musuh akan melihat daratan yang padanya lautan besi berkilauan.

 

  1. Ibnu Nubatah As-Sa’di berkata dalam menyifati kuda yang berbelang putih pada dahinya:

 

Dan tiba-tiba malam akan senantiasa menyelimutinya, dan di antara kedua matanya terbit bintang Suraya.

 

  1. At-Tihami berkata dalam meratapi anaknya: Wahai bintang, apakah yang membuatnya pendek umur, dan begitulah umur bintang-bintang pagi.

 

  1. Asy-Syarif berkata tentang uban:

 

Sinar telah tersebar di kehitaman rambut kepalaku, aku tidak akan menggunakannya sebagai obor dan lampu. Aku menjual Masa muda dengannya sebagai tanda cinta kepadanya Suatu perdagangan orang yang tahu bahwa ia tidak akan beruntung.

 

  1. Al-Buhturi berkata dalam menyifati sebuah istana:

 

Dinding-dindingnya memenuhi areal, dan ketinggiannya menjulang menembus awan yang mengandung hujan.

 

  1. Ia berkata dalam menyifati sebuah taman:

 

Waktu dhuha mengajaknya tertawa di suatu masa dan di masa lain hujan mengalir deras kepadanya.

 

  1. Ia berkata tentang uban:

 

Banyak rambut kurindukan kehitamannya, tetapi uban tidak memberi ampun dan maaf kepadaku untuk mendapatkannya.

 

  1. Ibnut-Ta’awidzi berkata dalam menyifati sebuah taman:

 

Ranting-ranting dahan tampak semangat, dan tipuan angin kepadanya lemah lembut.

 

  1. Mihyar berkata:

 

Tidak ada orang yang bersenang-senang di malam yang mesra tersesat pada waktu fajar, semuanya jelas di kepalaku.

 

  1. Ubahlah isti’aarah-isti’aarah taba’iyyah berikut ini menjadi isti’aarah ashliyyah!

 

1.Apabila kedua mataku hujan deras, maka karena beberapa kilat bersinar di ujung kepalaku.

 

  1. Sesungguhnya berjauhan itu tidak membahayakan apabila hati masih tetap dekat.

 

  1. Ibnul Mu’taz berkata dalam menyifati awan:

 

Ia menangis dan bertemu bumi dengan mengulurkan talinya, sedangkan kilatnya tertawa.

 

III. Ubahlah isti’aarah-isti’aarah ashliyyah berikut menjadi isti’aarah taba’iyyah!

 

  1. Sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang rela merobohkan agamanya untuk membangun dunianya.

 

  1. Membeli jiwa dengan berbuat kebaikan itu lebih baik daripada menjualnya dengan permusuhan.

 

  1. Sesungguhnya keterlibatan seseorang dalam hal yang bukan urusannya dan ia lari dari kebenaran adalah salah satu sebab kefrustrasiannya (kegagalannya).

 

Sebagus-bagusnya perhiasan bagi masa muda adalah mengekang nafsu ketika keras kepala.

 

  1. Buatlah enam buah isti’aarah, tiga buah isti’aarah ashliyyah, dan tiga buah isti’aarah taba’iyyah!

 

  1. Uraikan syair As-Sariyyur-Rafa’ berikut ini dalam menyifati timba be-sar, dan jelaskan jenis isti’aarahnya! –

 

Maka dari kebun engkau melihat bunga yang tersenyum dan air yang tercurah tidak pada waktunya. Seakan-akan timba siramannya ketika merintih adalah pengembara yang jauh yang sudah merindukan kampung halamannya. Ia menangis ketika bunga-bunga di taman itu disakiti oleh mendung yang menjadi orang tuanya, maka ia menjadi bapaknya. Ig cekatan dalam menjalankan tugas. Hal itu tidak menjadikannya menjauh dari tempat itu dan tidak menjadikannya tampak kepayahan. Ia senantiasa dengan penuh kesungguhan mencari pemberian laut bagi daratan hingga daratan itu segar dan berhiaskan bunga dan rumput.

 

A.3 Pembagian Isti’aarah kepada Murasysyahah, Mujarradah, dan Muthlagah

  1. Contoh-Contoh

 

  1. 1) Allah Swt.berfirman:

 

Mereka adalah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya. (QS Al-Baqarah: 16)

 

2) Al-Buhturi berkata:

 

Mereka menyampaikan penghormatan dari kejauhan kepada bulan dari tempat yang tinggi di daerah pedalaman.

 

3) Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya Kami, ketika air telah naik (sampai ke gunung), Kami bawa (nenek moyang kamu) ke dalam bahtera. (QS AlHaggah: 11)

 

1) Al-Buhturi berkata:

 

Saya melihat kematian itu bila telah dilihatnya bahwa kamu beruban, maka ia jadikan kamu sebagai. sasaran anak panahnya yang telah direntangkan.

 

2)  Polan adalah orang yang paling hebat tulisannya ketika penanya minum tinta dan menari di atas kertasnya.

 

3) Ouraizh bin Unaif  berkata:

 

Bila kejelekan menampakkan kedua taringnya kepada suatu kaum maka mereka akan meyerangnya secara berkelompok dan sendiri. sendiri. 2. Pembahasan . Pada contoh-contoh bagian a terdapat beberapa isti’aarah tashrihiyyah, yakni lafaz isytarau bermakna ikhtaaruu (memilih), lafaz gamar dengan maksud orang yang dipuji, dan lafaz thaghaa bermakna bertambah atau naik. Dan masing-masing isti’aarah memiliki karinah: karinah isytarau adalah lafaz adh-dhalaalata, karinah lafaz gamar adalah yu’adduuna at-tahiyyata, dan karinah thaghaa adalah lafaz al-maa’.

 

Bila kita perhatikan isti’aarah pertama, maka akan kita temukan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih —yang menjadi isti’ aarah—, dan kata-kata tersebut adalah famaa rabihat tijaaratuhum. De. mikian pula bila kita perhatikan isti’aarah kedua, akan kita temukan kata-kata minal-iiwaani baad. Dan bila kita perhatikan isti’aarah ketiga, kata-kata serupa tidak kita temukan.

 

Tiga contoh pada bagian b terdapat beberapa isti’aarah makniy. yah, yakni dhamir pada lafaz ra’at yang kembali kepada lafaz al-ma. naayaa yang diserupakan dengan manusia, lafaz al-galam yang diserupakan dengan manusia juga, dan lafaz asy-syarr yang diserupakan dengan binatang buas. Dan masing-masing memiliki karinah, pada isti’aarah pertama kematian dikatakan melihat, pada isti’aarah kedua galam dikatakan minum dan menyanyi, dan pada isti’aarah ketiga kejelekan dikatakan menampakkan kedua taringnya.

 

Bila kita perhatikan, maka akan kita lihat bahwa pada isti’aarah yang pertama terdapat kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih, yaitu kata-kata ja’alatka marma nabliha. Pada isti’aarah kedua terdapat kata-kata yang relevan dengan musyabbah, yaitu kata-kata dawaatihii dan girthaasihii, sedangkan pada isti’aarah ketiga tidak terdapat katakata yang demikian. Isti’aarah macam pertama disebut dengan isti’aarah murasysyahah, isti’aarah macam kedua disebut isti’aarah mujarradah, dan isti’aarah macam ketiga disebut isti’aarah muthlagah.

 

  1. Kaidah-Kaidah

(17) Isti’aarah Murasysyahah adalah isti’aarah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih.

 

(18) Isti’aarah Mujarradah adalah isti’aarah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah.

 

(19) Isti’aarah Muthlagah adalah isti’aarah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah.

 

(20) Suatu isti’aarah tidak dapat diklasifikasikan ke dalam isti’aarah murasysyahah maupun isti’aarah mujarradah sebelum sempurna disebut karinah-nya, baik lafzhiyyah maupun haliyyah. Oleh karena itu, karinah tashrihiyyah tidak dapat disebut sebagai ciri isH’aarah mujarradah, dan karinah isti’aarah makniyyah tidak dapat dijadikan sebagai ciri isti’aarah murasysyahah.

 

  1. Latihan

Contoh Soal:

 

  1. Akhlak Polan itu lebih lembut daripada napas angin timur ketika bercanda dengan bunga-bunga dataran tinggi.

 

  1. Bila ia binasa, maka setiap pemuka kaum akan berpindah dari dunia kepada kebinasaan.

 

  1. Sesunyguhnya saya sangat haus untuk bertemu denganmu.

 

  1. Banyak malam yang sakit dari segala penjuru, tiada bintang dan bulan yang meneranginya.

 

  1. Semoga Allah memberikan siraman dan memberi kami kehidupan melaluimu. Sesungguhnya pada punggung unta terdapat bunga, sedang. kan yang menaikinya adalah perawan pingitan.

 

Contoh Penyelesaian:

  1. Pada kata ash-shabaa (angin yang berhembus dari timur) terdapat isti’aarah makniyyah karena angin diserupakan dengan manusia dengan dibuang musyabbah bih-nya dan diisyaratkan dengan kata yang menunjukkan sifatnya yang khas, yakni kata anfaas yang menjadi karinah makniyyah. Dan pada kata ghaazalat terdapat ciri isti’aarah murasysyahah.

 

  1. Pada kata ‘amuud terdapat isti’aarah tashrihiyyah ashliyyah. Pemuka kaum diserupakan dengan tiang karena sama-sama menanggung beban, dan karinah-nya adalah kata yahlik (binasa). Dan pada kata-kata ilaa hulkin yashiiru terdapat ciri isti’aarah mujarradah.

 

  1. Kerinduan diserupakan dengan kehausan karena sama-sama memandang sesuatu yang dituju. Maka isti’aarah-nya adalah isti’aarah tashrihiyyah ashliyyah. Karinah-nya adalah kata-kata ilaa ligaa-ika. Jadi, isti’aarah-nya adalah isti’aarah muthlagah.

 

  1. Pada kata maridhat terdapat isti’aarah taba’iyyah, yakni diserupakannya kegelapan dengan sakit karena sama-sama tidak jelasnya aktivitas yang berlangsung. Lalu dibentuklah kata maridhat dari kata dasar al-maradh. Maka isti’aarah-nya adalah isti’aarah tashrihiyyah taba’iyyah. Dan pada kata-kata maa yadhii-u lahaa najmun walaa gamarun terdapat ciri isti’aarah mujarradah.

 

  1. An-naur adalah bunga atau bunga putih, dan yang dikehendaki dengannya adalah wanita karena sama-sama indah. Maka isti’aarah-nya adalah isti’aarah tashrihiyyah ashliyyah. Dengan penyebutan kata al-khuduur, terdapat ciri isti’aarah mujarradah, dan pada penyebutan kata al-kamaa-im terdapat ciri isti’aarah murasysyahah. Jadi, isti’aarah-nya adalah isti’aarah muthlagah.

 

  1. As-Sariyyur Rafa’ berkata:

 

Tangan-tangan musim semi telah menulis beberapa lembar, seakanakan keindahan pohon yang tinggi itu adalah tulisannya (wanita/kekasih).

 

  1. Bila waktu telah membusungkan dadanya kepada sejumlah manusia, maka ia akan menimpakan cobaan kepada kaum lainnya.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata dalam mencela Kafuur:

 

Para penjaga tanaman Mesir tertidur tanpa menghiraukan musangmusangnya yang telah buncit sekalipun tandan-tandan (kurma, anggur, dan sebagainya) tidak habis.

 

  1. Seorang penyair menyifati suatu peperangan:

 

Kematian itu menyerbu suatu golongan manusia dengan dikawal para prajuritnya yang terdiri atas pedang tajam dan tombak runcing.

 

  1. Saya melihat sinar matahari laksana perangkap para pemburu yang mengurung kita dari segala penjuru.

 

Ke mana pun kita berada, ia selalu bersama kita, namun kematian itu sangat haus dan lapar, dan senantiasa memperhatikan kedatangan dan kepergian kita.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Orang-orang dahulu mendapatkan zaman ketika masih muda sehingga mereka mendapatkan kesenangan darinya, sedangkan kita mendapatkan zaman telah tua lagi pikun.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Kegelisahanku tidur meninggalkan aku setelah aku berkata kepadanya, “Inilah Abu Dullaf (seorang pemberani) yang mencukupi segala kebutuhanku.”

 

  1. Hati-hatilah engkau membunuh masa mudamu, karena setiap pembunuhan itu ada gishash (balasan)-nya.

 

  1. Sebagian penyair berkata dalam menyifati kitab:

 

Kami punya teman yang kami tidak pernah bosan dengan ceritanya. Mereka sangat pintar dan dapat dipercaya, baik ketika kami tinggal pergi maupun ketika kami di rumah.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Ketika aku mengajukanmu untuk menghadapi bahaya, ternyata akulah yang dapat menumpasnya. Pedang itu tidak dapat membelamu sebelum terhunus.

 

  1. Si Pulan telah berlumuran aib dan cela yang tidak dapat dibersihkan untuk selama-lamanya.

 

  1. Jelaskanlah macam-macam isti’aarah-isti’aarah berikut dan jelaskan pula ciri-ciri isti’aarah mujarradahnya! ..

 

  1. Semoga Allah mengasihi orang yang mengekang nafsunya dengan menjauhi segala keinginannya.

 

  1. Tukarkanlah kehormatanmu dengan perbuatan bajik agar selamat dari gangguan.

 

  1. Pendapatnya menerangi perkara yang sulit-sulit.

 

  1. Lidahnya terlepas dari ikatannya, maka bicaranya ringkas dan sulit ditiru.

 

5,  Matanya tidak pernah bercelak tidur karena gelisah dan bergadang.

 

  1. AI-Mutanabbi berkata:

 

 

Jarak yang jauh telah memisahkan diriku dari wanita-wanita (yang bermata jeli bagaikan) kijang-kijang. Akan tetapi, (hatiku terhibur) oleh kain kelambu dan cadar (mereka).

 

  1. Jangan menyelam ke dalam suatu percakapan yang kamu tidak berhak mendengarkannya.

 

  1. Janganlah kalian sering menggunjingkan kehormatan orang lain, karena sesungguhnya sejelek-jelek akhlak adalah mengumpat.

 

  1. Di antara kedua rahang bawahnya terdapat pedang tajam dan memiliki perkataan yang benar.

 

  1. Bumi berpakaian tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan.

 

  1. Kilat itu tersenyum, maka menerangi alam sekelilingnya.

 

III. Jelaskanlah apa sebab isti’aarah-isti’aarah berikut disebut isti’aarah muthlagah dan jelaskan macamnya!

 

  1. Seorang Arab Badui berkata tentang khamr:

 

Saya tidak akan minum sesuatu yang menjauhkan akalku.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata memuji orang yang disanjungnya:

 

Wahai bulan, wahai laut, wahai mendung, wahai singa dari Syara, wahai pelindung, wahai laki-laki.

 

  1. Seorang Arab Badui menyifati musim paceklik:

 

Debu itu kering dan harta menjadi muram.

 

  1. “Allah Swt. berfirman:

 

Mereka itulah orang-orang yang menukar kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka: (QS Al-Baqarah: 175)

 

  1. Saya lihat (perahu-perahu bak) gunung-gunung yang membelah lautan.

 

  1. Berita itu menyebar di seluruh kota.

 

  1. Burung mendendangkan lagu-lagunya di atas dahan.

 

  1. Matahari muncul dari kelambunya.

 

  1. Waktu menyerang kita dengan prajuritnya yang terdiri atas siang dan malamnya.

 

  1. Jelaskan isti’aarah-isti’aarah berikut dengan menjelaskan ciri-ciri murasysyahah, mujarradah, dan muthlagahnya!

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Di pipinya, ketika teman dekatnya bermaksud melakukan perjalanan, terdapat hujan yang menambah kelayuan pipi-pipi itu.

 

  1. At-Tihami berkata dalam menyanggah orang-orang yang dengki kepadanya:

 

Tiada dosa bagiku, aku telah bermaksud menyembunyikan kelebihankelebihanku,seakan-akan aku menutup terangnya sinar matahari.

 

  1. Abu Tamam berkata tentang orang yang dipujinya:

 

Kelaparan telah melanda pulau itu, maka.aku berkata kepada penghuninya: Tunggulah embunnya apabila kilat tidak bisa ditunggu hujannya.

 

4 Badruddin Yusuf Adz-Dzahabi berkata:

 

Mari teman, ke taman yang dapat menghibur seseorang yang susah dan lelah. Angin taman itu membentur ekornya dan bunga-bunganya tertawa di lengan bajunya.

 

  1. Ibnul Mu’tazz berkata:

 

Tidakkah Anda tahu berkah langit bagi bumi dan syukur taman-taman kepada hujan.

 

  1. Sa’id bin Humaid ( ) berkata:

 

Bulan purnama telah berjanji untuk datang malam hari. Maka apabila ia memenuhi janjinya itu, aku akan melaksanakan nazar-nazarku.

 

  1. Gunung datang mengunjungiku hingga aku merisa terganggu oleh omelannya.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata:

 

Alangkah sulitnya mengubah pendapat ketika emosi, dan alangkah beratnya mengekang nafsu ketika usia puber.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata dalam menyifati Bani Barmak:

 

Saya lihat mereka berpakaian kenikmatan, seakan-akan kenikmatan it, adalah salah satu pakaiannya.

 

  1. Buatlah isti’aarah-isti’aarah berikut ini masing-masing menjadi isti’aarah murasysyahah dan isti’aarah mujarradah!

 

Jangan menyandang riya’: Jangan mengejar orang yang membabi buta: Jangan meremehkan kasih sayang teman: Jangan kau berteman kejelekan: Jangan kamu tertipu ketika memandang semua urusan oleh fatamorgana, tetapi ikutilah cahaya selama di dunia ini: Hindarilah kegelapan: Apabila kamu terjatuh, maka bangunlah, janganlah putus asa: Ketika masa menerangimu, maka perindahlah dirimu, dan jangan muram.

 

  1. a. Buatlah enam isti’aarah tashrihiyyah yang terdiri atas isti’aarah murasysyahah, mujarradah, dan muthlagah!

 

  1. Buatlah enam buah isti’aarah makniyyah yang terdiri atas isti’aarah murasysyahah, mujarradah, dan muthlagah!

 

VII. Jelaskanlah bait-bait syair berikut dan jelaskanlah jenis keindahan bayannya! Asy-Syarif berkata dalam menyifati malam:

 

Banyak malam kuarungi dengan tergesa-gesa, padahal paginya berlindung di balik kegelapan. Fajar bermunculan di sekelilingnya, dan gelap pun terlepas dari tali kendalinya. Seakan-akan mendung yang berdesak-desakan adalah kuda, sedangkan kilatkilatnya sebagai kendalinya.

 

A.4 Isti’aarah Tamtsiliyyah

  1. Contoh-Contoh
  2. Pedang itu telah kembali ke sarungnya dan singa itu menempati sarangnya di hutan. (Bagi seorang mujahid yang kembali ke negaranya setelah bepergian).

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Barang siapa merasa pahit mulutnya karena sakit, niscaya air yang tawar terasa pahit olehnya. (Bagi orang yang tidak dianugerahi bakat untuk memahami keindahan syair).

 

  1. Jahizah mematahkan pembicaraan setiap pembicara. (Bagi orang yang menyampaikan kata-kata keputusan).

 

  1. Pembahasan Ketika seorang laki-laki yang habis bekerja pulang ke negaranya, maka ia bukanlah pedang hakiki yang kembali ke sarungnya dan bukan Singa hakiki yang menempati kembali sarangnya. Dengan demikiar kedua susunan kalimat itu tidak dipergunakan dalam arti yang haki. kat, sehingga kedua kalimat itu adalah majaz. Karinah-nya adalah ha. liyah. Hubungan antara kedua makna, hakiki dan majazinya, adalah musyabahah (unsur keserupaan) karena keadaan orang yang pergi jauh dari negaranya untuk bekerja keras dan kembalinya ke negara, nya setelah lama bersusah payah diserupakan dengan pedang yang terhunus dari sarungnya untuk berperang dan setelah mendapatkar kemenangan, ia akan kembali ke sarungnya. Demikian pula periha singa yang menempati sarangnya.

 

Bait Al-Mutanabbi menunjukkan makna yang hakiki, yakni bah. wa orang yang sakit dan mulutnya berasa pahit ketika ia minum air bening yang tawar, maka olehnya terasa pahit. Namun, ia tidak menggunakannya untuk makna demikian, melainkan ditujukan ke. pada orang-orang yang mencela syairnya karena mereka tidak memiliki bakat suka syair. Jadi, susunan kalimat tersebut adalah majazi de. ngan kaitan makna adanya keserupaan. Musyabbah-nya adalah keadaan orang mencela syair, dan musyabbah bih—nya adalah keadaan orang sakit yang mendapatkan rasa pahit terhadap air bening dan tawar.

 

Contoh ketiga adalah peribahasa orang Arab Badui. Asalnya adalah suatu kaum berkumpul untuk bermusyawarah dan berpidato dalam rangka mendamaikan dua suku yang bersitegang karena salah seorang dari satu suku membunuh seseorang dari suku lainnya. Dalam keadaan demikian, datanglah seorang wanita muda yang bernama Jahizah, lalu menjelaskan kepada mereka bahwa keluarga terbunuh telah menemukan pembunuhnya dan telah menggishashnya. Maka berkatalah salah seorang di antara mereka:

 

Jahizah mematahkan argumen setiap pembicara. ‘ Selanjutnya kalimat ini menjadi peribahasa dalam setiap forum yang mengeluarkan kata-kata keputusan (penjelasan yang argumentatif).

 

Dengan demikian, kita dapatkan pada contoh-contoh di atas suatu kalimat yang digunakan bukan pada makna hakiki, dan bahwa hubungan antara makna majazi dan makna hakiki adalah adanya keserupaan. Setiap susunan kalimat yang demikian disebut dengan isti’aarah tamtsiliyyah.

 

3, Kaidah

(21) Isti’aarah tamtsiliyyah adalah suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna asli dan makna majazi) disertai adanya karinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan maknanya yang asli.

 

  1. Latihan-Latihan
  2. Di antara peribahasa orang Arab:

 

 Sebelum memanah, wadah anak panah harus penuh. (Kalimat ini disampaikan kepada orang yang akan membangun rumah, namun belum cukup biayanya)

 

  1. Engkau melukis di permukaan air. (Kalimat ini disampaikan kepada orang yang menekuni suatu urusan yang tidak mungkin dapat ia capai dengan tuntas).

 

Contoh Penyelesaian:

  1. Orang yang hendak membangun rumah sebelum terkumpul biayanya diserupakan dengan orang yang hendak maju perang namun wadah panahnya masih kosong. Titik keserupaannya adalah sama-sama tergesa-gesa dalam suatu hal sebelum persediaanya seimbang. Kemudian susunan kalimat yang menunjukkan keadaan musyabbah bih disampaikan kepada musyabbah sebagai isti’aarah tamtsiliyyah. Karinah-nya adalah haliyah.

 

  1. Orang yang bersikeras untuk mencapai suatu perkara ya mustahil diserupakan dengan orang yang melukis di Permukaan air. Titik kesempurnaannya adalah sama-sama mengerjaka sesuatu yang tidak membawa hasil. Kemudian kalimat yan, menunjukkan keadaan musyabbah bih itu ditujukan kepada Mun syabbah sebagai isti’aarah tamtsiliyyah. Karinah-nya adalah hali. yah.

 

  1. Gambarkan suatu keadaan, kemudian jadikan sebagai musyabbah untuk kalimat-kalimat berikut, dan buatlah isti’aarah tamtsiliyyah sepg. nyak lima kalimat!

 

  1. Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memetik buah anggur dari pohon duri.

 

  1. , Engkau meniup abu.

 

3  Jangan menabur intan di hadapan babi-babi.

 

  1. Berburu di sarang singa.

 

  1. Busur itu telah dipegang oleh ahlinya.

 

  1. Engkau anggap gemuk orang yang bengkak.

 

  1. Engkau memukul besi yang telah dingin.

 

  1. Ia membangun gedung tanpa fondasi.

 

  1. Setiap pedang ada bagian yang tidak tajamnya.

 

  1. Seorang mukmin tidak akan dipatuk dua kali dari satu lubang.

 

  1. Sumber air yang tawar banyak diperebutkan.

 

  1. Ikatlah untamu, lalu tawakallah kepada-Nya

 

  1. Engkau menuai apa yang engkau tanam.

 

  1. Taruhlah timbamu dengan timba-timba lain.

 

  1. Mereka menghancurkan rumah mereka dengan tangan sendiri.

 

  1. Sesungguhnya besi dapat dipotong dengan besi lainnya.

 

  1. Orang yang sakit pada dadanya pasti mengeluarkan dahaknya.

 

  1. Setiap kuda balap pasti pernah mogok.

 

  1. Barang siapa mengharapkan laut, maka menganggap kecil kepada Su. ngai kecil.

 

  1. Apakah kurmanya yang buruk atau takarannya yang salah?

 

  1. Jelaskan macam isti’aarah-isti’aarah berikut dan buatlah isti’aarah tamtsiliyyah!

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Pemenuhan janji itu telah menyurut, dan engkau tidak akan menjumpainya dalam perjanjian. Dan lebih langka lagi kejujuran dalam berita dan sumpah.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Ketika luka setelah parah diobati, maka tampaklah padanya kelalaian dokter.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Kapankah sebuah bangunan akan mencapai kesempurnaannya bila engkau membangunnya, sedangkan orang lain meruntuhkannya?

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS Al-Fatihah: 6)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya. (QS Al-Kahfi: 99)

 

  1. Al-Barudi berkata:

 

Pada keluasan laut sangat diperlukan air sedikit (air tawar).

 

  1. Seorang penyair lain berkata:

 

Barang siapa dapat menguasai negara-negara tanpa melalui peperangan, maka mudahlah baginya menyerahkan negara-negara itu.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Kedudukan dan wajah mereka menerangi gelapnya malam, hingga orang yang merangkai butir-butir kalung dapat menyusunnya.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

 Barang siapa melamar wanita cantik, maka mahar tidak memberatkannya.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Jagalah dirimu, karena saya bukanlah orang yang bila takut terhadap gigitan ular berbisa, lalu mau tidur di atas kalajengking.

 

  1. Engkau bagaikan orang yang menjual kurma ke Hajar (sebuah kota di Yaman yang dikenal sebagai penghasil kurma).

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Pedang-pedang dan tombak-tombak itu dapat menghidupkan harta, sedangkan senyuman dan suka berderma dapat membunuhnya.

 

  1. Ia berkata kepada Saifud-Daulah:

 

Ingatlah wahai pedang yang tidak disarungkan, tiada yang meragukannya dan tiada yang dapat menghalanginya.

 

  1. Gonggongan anjing-anjing itu tidak membahayakan awan. Pedang itu tidak memuji setiap orang yang membawanya.

 

  1. Aku potongi kuku-kuku kedengkian kerabatku dengan kesabaranku kepadanya, sedangkan ia tidak memiliki kesabaran.

 

  1. Wanita cantik itu tidak lepas dari cela.

 

  1. Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami kesabaran, dan matikanlah kami dalam keadaan muslim.

 

III. Ubahlah tasybih-tasybih dhimniyyah berikut ini menjadi isti”aarah tamtsiliyyah dengan cara membuang musyabbah-nya dan memperkirakan suatu keadaan lain yang sesuai untuk dijadikan musyabbah!

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Saya tidak berharap (darimu) kecuali sesuatu yang pantas aku harapkan darimu. Barang siapa yang menginginkan hujan dari selain awan, maka ia adalah zalim.

 

  1. Bila raja-raja itu menganggap bahwa engkau adalah salah seorang dari mereka karena mereka membanggakanmu, maka sesungguhnya matahari itu salah satu planet.

 

  1. la berkata:

 

Ambillah apa yang kamu lihat, dan tinggalkanlah berita yang kamu dengar tentang hal itu. Dalam munculnya bulan, tidak diperlukan lagi bintang Zuhal ( )

 

4 Ia berkata:

 

Semoga cercaanmu itu membawa akibat yang terpuji, adakalanya tu. buh menjadi sehat melalui serangan penyakit.

 

  1. Salah seorang penyair berkata tentang seseorang yang mulia, yang hampir tidak berdaya.

 

Apakah orang yang paling tercela dari kaum itu mengadu karena kekenyangan, sedangkan seorang pemuda mengadu kelaparan.

 

Karena suatu hal, wilayah sekitar Mekah itu kering tandus, sedangkan belahan bumi lainnya tidaklah tandus.

 

  1. Ubahlah isti’aarah-isti’aarah tamtsiliyyah berikut menjadi tasybih dhimni dengan cara menyebutkan suatu keadaan yang sesuai untuk dijadikan sebagai musyabbah yang diletakkan sebelum tiap isti’aarah!

 

  1. la berjalan pelan, namun sampai ke tempat tujuan lebih awal.

 

Engkau rela tidak mendapatkan harta rampasan dengan kembali (mendapat kemenangan dan sclamat).

 

  1. Engkau menerangi manusia, namun engkau terbakar.

 

  1. Suatu hal yang cukup menyakitkanmu adalah dalam keadaan sehat kamu melihat kematian.

 

  1. Celakan pada kedua mata tidak akan seperti hitamnya kelopak mata yang alami.

 

  1. Sudah pasti untuk sampai ke madu dalam lilinnya mengalami sengatan lebah.

 

  1. Ia meniup pada selain bara.

 

  1. Kamu menyanyikan nyanyian penggiring unta, namun tanpa ada untanya.

 

  1. Sebutkanlah keadaan yang dapat diambil dari setiap bait pada syairsyair berikut ini, lalu buatlah isti’aarah tamtsiliyyah!

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Barang sipa yang menjadikan singa sebagai penangkap buruan, maka tidak akan luput, ia sendiri akan diburu oleh singanya.

 

  1. Aku melihat di sela-sela abu terdapat cahaya yang hampir menyala.

 

  1. Perkirakanlah pijakan kakimu sebelum kaulangkahkan, karena orang yang menginjak tanah licin dengan lalai, niscaya akan tergelincir dan jatuh.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

 Hanyalah kepayahan yang akan dijumpai orang yang iri terhadap sinar matahari dan berusaha keras untuk mendatangkan yang serupa dengannya.

 

  1. Al-Bushairi berkata:

 

Kadang-kadang mata yang sakit enggan memandang sinar matahari, dan kadang-kadang mulut yang sakit enggan merasakan air.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Apabila seorang pemuda terbiasa menempuh tantangan maut, amat mudah baginya melewati jalan yang berlumpur maka

 

7, Ia berkata:

 

Orang yang senoritiasa diintai kematian, tidak seperti orang yang senantiasa dilipu. minuman keras.

 

  1. Kutsayyir izzah berkata :

 

Selamatlah bagi “Izzat tanpa rasa uneg-uneg bila ia menghalalkan kehormatan kami selagi tidak menyakitkan.

 

  1. Farazdag beranggapan akan membunuh Mirba’. Berbahagialah wahai Mirba’, dengan keselamatan yang panjang.

 

  1. Adalah suatu kepastian, air dalam periuk yang dipanaskan di atas api akan menjadi mendidih.

 

  1. Apabila Hadzami meramal, maka benarkanlah ia, karena ramalan yang benar adalah ramalan Hadzami.

 

  1. Kambing itu kurus, sehingga saking kurusnya tampaklah buah pinggangnya dan dapat dibeli oleh setiap orang yang sedikit uangnya.

 

  1. 1. Buatlah isti’aarah tamtsiliyyah untuk menggambarkan orang yang malas, namun berharap akan sukses!

 

  1. Buatlah isti’aarah tamtsiliyyah untuk menggambarkan orang yang membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang tidak produktif!

 

  1. Buatlah isti’aarah tamtsiliyyah untuk menggambarkan orang yang menulis, lalu dihapusnya, lalu menulis, lalu dihapus lagi!

 

  1. Buatlah dua peribahasa Arab dalam bentuk isti’aarah tamtsiliyyah!

 

VII. Jelaskan dengan singkat syair Al-Mutanabbi berikut ini dan sebutkanlah ungkapan bayan yang menarik perhatian Anda!

 

Waktu melempariku dengan berbagai bencana, hingga hatiku berselimutkan anak panah. Lalu ketika anak-anak panah itu mengenai diriku, maka mata anak panah tersebut mematahkan mata anak panah yang lain.

 

A.5 Nilai Isti’aarah dalam Balaghah Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai tasybih dalam balaghah terdapat pada dua segi, yaitu pada penyusunan kata-katanya dan pada pembuatan musyabbah bih yang jauh dari jangkauan hati kecuali hati orang yang berjiwa seni, yang dianugerahi Allah dengan bakat sastra yang normal untuk mengenal aspek-aspek keserupaan beberapa hal secara detail, dan dikaruniai-Nya kemampuan untuk merangkai bcberapa makna dan mencabang-cabangkannya hingga hampir tak terbatas.

 

Sedangkan rahasia isti’aarah dalam balaghah tidak lebih dari kedua segi itu. Nilai isti’aarah dari segi lafaznya adalah bahwa susunan kalimatnya seakan-akan tidak mengindahkan ftasybih, namun mengharuskan kita untuk mengkhayalkan suatu gambaran baru yang keindahannya memalingkan kita dari kandungan kalimat berupa tasybih yang terselubung.

 

Perhatikan kata-kata Al-Buhturi tentang Al-Fat-h bin Khaqan:

 

Ia menjadi tinggi dengan telapak tangan yang lemah lembut, dan mengalir kepada orang-orang yang menghendaki kebaikan,dan dengan mata yang tekun mengincar keluhuran. Bukankah Anda tahu telapak tangannya yang dikhayalkan dalam bentuk awan tebal yang mencurahkan air hujannya yang deras kepada orang-orang yang mengharapkannya. Gambaran seperti ini telah menguasai perasaanmu schingga melupakan kamu dari tasybih yang terkandung dalam kalimat.

 

Dan bila kita perhatikan kata-katanya ketika meratapi kematian Al-Mutawakkil yang tewas karena dibohongi:

 

Orang yang terkapar itu menghabiskan malam-malamnya (dengan hembusan-hembusan napas terakhirnya), sedangkan maut itu kuku-kukunya merah berlumuran darah.

 

Maka dapatkah kita menghilangkan dari khayalan kita gambaran ke. matian yang menakutkan, yaitu binatang buas yang kuku-kukunya merah berlumuran darah karena binatang lain yang dibunuhnya.

 

Oleh karena itu, nilai isti’aarah dalam balaghah lebih besar dari. pada tasybih baligh karena tasybih yang baligh itu sekalipun disusun atas anggapan bahwa miusyabbah dan miusyabbah bih sama, namun, tasybih-nya tetap disengaja dan terlihat. Berbeda dengan Isti’aarah, padanya tasybih diabaikan lagi tersembunyi. Di antara contohnya dapat kita lihat bahwa nilai isti’aarah murasysyahah itu Icbih besar daripada isti’aarah muthlagah, dan nilai isti’aarah muthlagah lebih besar daripada isti’aarah mujarradah.

 

Adapun nilai isti’aarah dilihat dari segi rekayasa dan keindahan berilusi dan pengaruhnya dalam jiwa para pendengarnya adalah adanya kesempatan yang leluasa untuk berkreasi dan adanya arena lomba bagi para pakar sastra.

 

Perhatikan firman Allah Swt. dalam menyifati neraka:

 

Hampir-hampir (neraka) itu terpecah belah lantaran marah. Setiap dileniparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepadamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” (QS Al-Mulk: 8)

 

Maka akan tergambar dalam benak kita wujud neraka dalam bentuk makhluk yang besar, kejam, angker wajahnya, muram, dan bergcjolak dadanya karena dendam dan marah.

 

Kemudian perhatikan ucapan Abul ‘Atahiyah dalam memberi ucapan selamat kepada Al-Mahdi setelah menjadi khalifah:

 

Jabatan kekhalifahan datang tunduk kepadanya dengan menyeret ekor-ekornya.

 

Maka kita dapatkan bahwa jabatan kekhalifahan sebagai seorang wanita lembut dan halus, serta perayu yang memabukkan, dan menjadi fitnah bagi seluruh manusia. la menolak dan senantiasa berpaling dari mercka. Akan tetapi, ia datang kepada Al-Mahdi dengan patuh, manja, dan mesra sambil menarik kain selendangnya karena hormat dan penuh rasa rendah diri.

 

Gambaran ini tak diragukan lagi sangat indah dan senantiasa manis didengar scrta menyenangkan sepanjang masa. Lalu perhatikan ucapan Al-Barudi: –

 

Bila salah seorang tokoh di antara kita telah menghunus mata pedangnya, maka seluruh penjuru dunia akan ketakutan dan waktu akan berpaling. Apa yang dapat Anda tangkap dan apa yang berkesan bagi Anda dari suasana yang dinyatakan dalam syair di atas? Di samping itu, apa yang tersirat di hati Anda tentang gambaran fisik alam samawi yang besar sebagai scsuatu yang hidup sccara nyata dan menggigil kctakutan, dan gambaran waktu yang berpaling kebingungan ? Lalu perhatikan ucapan Al-Barudi di tempat pembuangannya dalam keadaan putus asa:

 

Saya mendengar gerak langkah harapan dalam jiwaku, dan saya melirik ketidakpastian dalam hatiku.

 

Syair ini menggambarkan harapan sebagai sesuatu yang bergerak maju dengan langkah yang nyata dan dapat didengar telinga, dan keraguan digambarkan sebagai sesuatu yang bertubuh dapat dilihat mata. Apakah Anda lihat ada keindahan yang lebih daripada gambaran ini dalam menggambarkan keraguan dan harapan sebagai yang tarik-menarik dan apakan Anda juga merasakan pengaruh dari keindahan gambaran yang fantastik ini?

 

Kemudian perhatikan ucapan Asy-Syarif Ar-Ridha tentang perpisahan:

 

Aku menyembunyikan air mataku di kantong baju karena malu, dan juga kerinduan dalam hatiku.

 

Sang penyair menyembunyikan air matanya sehingga ia tidak dicela sebagai orang yang lemah dalam menghadapi perpisahan, padahal ia dapat menyatakan, “Nasturu ad-dam’a fil-juyuubi hayaa’an.” Akan tetapi, ia hendak mencapai puncak ketinggian dalam menyajikan kete, rangan karena kata nasrigu (Aku menyembunyikan) itu menggam, barkan dalam khayalmu ketakutannya yang sangat terhadap diketa, huinya kelemahan dirinya, dan menggambarkan kemahiran dan kecepatannya menyembunyikan air mata dari penglihatan pengawasan orang lain.

 

Seandainya bukan karena sempitnya ruang kitab ini, tentu kami sajikan lebih banyak gambaran isti’aarah yang indah-indah. Akan te. tapi, kami yakin bahwa contoh-contoh yang kami kemukakan itu te. lah cukup dan memenuhi harapan.

 

A.6 Majaz Mursal

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Al-Mutanabbi berkata:

 

la mempunyai tangan-tangan yang berlimpah padaku, dan diriku ini merupakan bagian darinya, dan aku tidak kuasa menghitungnya.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

… dan menurunkan untukmu rezeki dari langit. (QS Al-Mu’min: 13)

 

Berkali-kali kami mengutus tentara dalam jumlah besar dan kami melepaskan banyak mata-mata.

 

  1. Allah Swt. berfirman, mengisahkan pengaduan Nabi Nuh a.s.:

 

Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinga. (QS Nuh: 7)

 

  1. Allah berfirman:

 

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka. (QS An-Nisa’: 2)

 

  1. Allah Swt. berfirman,mengisahkan pengaduan Nabi Nuh a.s.:

 

Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (QS Nuh: 27)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Maka biarkan dia memanggil golongannya (untuk menolongnya) kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah. (QS AlAlag: 17183)

 

  1. Allah Swt. berfirman: –

 

Sesungguhnya orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). (QS Al-Muthaffifin: 22)

 

  1. Pembahasan

 

Telah kita ketahui bahwa isti’aarah termasuk majaz lughawi dan bah, wa isti’aarah itu adalah kata yang digunakan bukan untuk maknanya yang asli karena adanya hubungan keserupaan antara kedua makna tersebut, yakni makna asli dan makna majazi. Selanjutnya kita perha. tikan contoh-contoh di atas dan kita bahas majaz yang terkandung dj dalamnya.

 

Perhatikan kata ayaad dalam syair Al-Mutanabbi. Apakah Anda beranggapan bahwa ia menghendaki maknanya yang hakiki, yaitu tangan-tangan yang sesungguhnya? Yang ia kehendaki adalah kenik. matan-kenikmatan yang banyak. Jadi, kata ayaad dalam ungkapan ini adalah majaz. Akan tetapi, apakah Anda melihat adanya hubungan keserupaan antara tangan dan kenikmatan? Tentu saja tidak. Kalau demikian, apa hubungan antara kedua makna tersebut, sedang: kan orang Arab tidak akan mengucapkan Suatu kata untuk makna yang lain kecuali bila telah nyata adanya kaitan dan hubungan antara maknanya yang asli dan makna majazinya? Ketahuilah bahwa tangan hakiki adalah alat untuk menyampaikan beberapa kenikmatan. Jadi, tangan itu merupakan sebab bagi kenikmatan tersebut. Oleh karena itu, hubungannya adalah as-sababiyyah, dan hal ini banyak digunakan dalam bahasa Arab.

 

Kemudian perhatikan firman Allah Swt. pada contoh kedua! Rezeki itu tidak diturunkan Allah dari langit, melainkan yang diturunkan adalah air hujan yang dengannya tumbuh-tumbuhan menjadi hidup dan menjadi sumber rezeki bagi kita. Maka rezeki adalah musabbab atau akibat dari turunnya hujan. Jadi, hubungannya adalah musabbabiyyah.

 

Adapun kata al-“uyuun pada contoh ketiga, maksudnya adatah mata-mata (spion). Jadi, sangat mudah dimengerti bahwa penggunaan kata tersebut adalah majaz. Hubungannya adalah bahwa mata adalah suatu bagian, bahkan yang amat dominan dari spion, dan karenanya yang diucapkan hanya sebagian, namun yang dimaksud adalah seluruhnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungannya adalah juz’iyyah.

 

Selanjutnya bila kita perhatikan firman Allah Swt. pada contoh keempat. Kita yakin bahwa seseorang tidak mungkin dapat meletakkan seluruh jarinya di telinganya. Jadi, sekalipun yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah seluruh jari, namun yang dimaksudkan adalah ujung salah satu jarinya (biasanya jari telunjuk kiri dan kanan). Penggunaan kata-kata tersebut adalah majaz, dan hubungannya adalah kulliyyah.

 

Kemudian perhatikanlah firman Allah Swt. pada contoh kelima. Kita tahu bahwa anak yatim menurut bahasa adalah anak kecil yang ayahnya meninggal. Apakah Anda beranggapan bahwa Allah memerintahkan untuk memberikan harta peninggalan ayahnya kepada anak yatim yang masih kecil-kecil? Hal ini tidak dapat dibenarkan. Akan tetapi, yang benar adalah Allah memerintah untuk memberikan harta itu kepada anak yatim yang telah mencapai usia dewasa. Jadi, penggunaan kata yataamaa pada ayat di atas adalah majaz kare

 

“na yang dimaksud dengannya adalah orang-orang yang justru telah meninggalkan usia yatimnya. Hubungan antara kedua makna ini adalah i’tibaar maa kaana (mempertimbangkan apa yang telah bertalu).

 

Selanjutnya perhatikan firman Allah Swt. pada contoh keenam. Kata faajiran kaffaaran adalah majaz kedua-duanya karena anak yang baru dilahirkan itu tidak bisa melakukan maksiat dan tidak dapat berbuat kekufuran, tetapi mungkin akan melakukan yang demikian setelah masa kanak-kanak. Jadi, yang diucapkan adalah anak yang maksiat, namun yang dimaksud adalah orang dewasa yang maksiat. Hubungannya adalah i’tibaar maa yakuunu (mempertimbangkan sesuatu yang akan terjadi).

 

Pada contoh ketujuh, Allah berfirman: “Fal-yad’u naadiyah.” Perintah dalam ayat ini adalah untuk mengejek dan menyepelekan, karena kita tahu bahwa makna kata an-naadii adalah tempat berkumpul. Akan tetapi, yang dimaksud dengannya adalah orang-orang yang ada di tempat yang sama, baik keluarga maupun para pembantunya. Jadi, kata an-naadii dalam ayat ini adalah majaz, yaitu menyebutkan tempat, namun yang dimaksud adalah orang yang menempatinya. Hubungannya adalah al-mahalliyyah.

 

Sebagai kebalikannya adalah firman Allah dalam contoh kedelapan. Kenikmatan itu tidak dapat ditempati oleh manusia karena kenikmatan itu sesuatu yang bersifat abstrak. Yang bisa ditempati adalah tempat kenikmatan itu. Maka penggunaan kata kenikmatan untuk tempatnya adalah majaz, yaitu menyebutkan suatu hal yang menempati suatu tempat, namun yang dimaksud adalah tempatnya itu, Jadi, hubungannya adalah al-haaliyyah.

 

Bilamana terjadi yang demikian, yaitu setiap majaz yang hu bungan antara makna aslinya dan makna majazinya bukan adanya keserupaan serta ada karinah yang menghalangi pemahaman maknz aslinya, maka ketahuilah bahwa jenis majaz lughawi yang demikian disebut dengan majaz mursal. .

 

  1. Kaidah

(22) Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan untuk makna. nya yang asli karena adanya hubungan yang selain keserupaan serta ada karinah yang menghalangi pemahaman dengan mak. na yang asli.

 

(23) Hubungan makna asli dan makna majazi dalam majaz mursaj adalah: as-Sababiyyah, al-Musabbabiyyah, al-Juz-iyyah, al-Kul. liyyah, Ytibaaru maa kaana, I’tibaaru maa yakuunu. al-Mahalliy. yah, al-Haalliyyah.

 

  1. Latihan

 

Contoh Soal:

 

  1. Aku minum air Sungai Nil.

 

b   Khatib menyampaikan kata yang besar pengaruhnya.

 

  1. Tanyakan kepada kota yang semula kami di sana.

 

  1. Orang-orang Mesir memakai katun yang diproduksi oleh negara mereka.

 

  1. Kuda-kuda yang gagah di belakang mereka sepenuh jalan, dan pedangpedangnya di atas mereka sepenuh hari.

 

  1. Aku akan menyalakan api.

 

Contoh Penyelesaian:

  1. Yang dimaksud dengan air Sungai Nil adalah sebagiannya. Majaz mursal, hubungannya adalah al-kulliyyah.
  2. Yang dimaksud dengan kalimat adalah pembicaraan. Majaz mursal, hubungannya adalah al-juz’iyyah.
  3. Yang dimaksud dengan kota adalah penduduknya. Majaz mursal, hubungannya adalah al-mahalliyyah.
  4. Yang dimaksud dengan katun adalah kain dari katun. Majaz mursal, hubungannya adalah i’tibaaru maa kaana.
  5. Yang dimaksud dengan sepenuh hari adalah sepenuh penjuru pada siang itu. Majaz mursal, hubungannya adalah al-haalliyyah.
  6. Yang dimaksud dengan api adalah bahan bakar yang akan menjadi api. Majaz mursal, hubungannya adalah i’tibaaru maa yakuunu.

 

Il. Jelaskan hubungan tiap majaz mursal yang bergaris bawah!

 

  1. Ibnuz-Zayyat berkata dalam meratapi istrinya:

 

Ingatlah hai orang yang melihat anak kecil dipisahkan dari ibunya, ia jauh dari tidur dan kedua matanya bercucuran air matanya.

 

  1. Sebuah syair dinisbatkan kepada As-Samu-al:

 

Jiwa kami mengalir di atas mata pedang, dan tidak mengalir pada se, lain pedang.

 

  1. Berhentilah kamu berdua pada Ma’n, dan berkatalah kepada kuburnya, “Semoga kau disirami mendung empat hari, kemudian empat hari (lagi).”

 

  1. Saya tidak akan naik laut, saya takut binasa di sana. Saya adalah lumpur, sedangkan laut adalah air. Dan lumpur itu hancur dalam air.

 

  1. . Tidak ada satu tangan pun kecuali tangan Allah berada di atasnya. Dan tidak ada seorang zalim pun kecuali akan dicoba oleh orang yang lebih zalim.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata dalam mencela Kafuur:

 

Sesungguhnya aku bertamu pada orang-orang pembohong yang tidak mau menjamuku dan aku tidak boleh pergi.

 

  1. Pendapat kaum itu berbeda-beda.

 

  1. Pemenuhan janji telah menyurut dan kecurangan telah melimpah.

 

5, Dan jadikanlah aku lidah (buah tutur) yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. (QS Asy-Syu’ara’: 84)

 

  1. Air hujan itu menghidupkan bumi setelah mati. .

 

  1. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu gishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (yakni orang-orang yang akan kaubunuh). (QS Al-Baqarah: 178)

 

  1. Dewan menteri menetapkan demikian.

 

  1. Engkau mengirimkan kepadaku kebun yang agung maknanya dan tegas kata-kata penutupnya.

 

  1. Saya minum kopi.

 

  1. Jangan jadi telinga yang mau menerima segala pergunjingan.

 

  1. m, Pencuri itu mencuri rumah.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

“(Berkatalah salah seorang dari keduanya): Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku memeras Khamr.” (QS Yusuf: 36)

 

  1. Pergunakanlah kata-kata berikut sebagai majaz mursal dengan hubungan makna sebagaimana ditentukan!

Kata    Hubungan makna

  1. Mata | Juz’iyyah
  2. Negeri Syam Kulliyyah
  3. Madrasah Mahalliyyah
  4. Kota Madinah Mahalliyyah
  5. Katun I’tibaaru maa kaana
  6. Orang-orang lelaki/ I’tibaaru maa yakuunu Pemimpin

 

  1. Buatlah dua kalimat dengan tiap-tiap kata berikut ini dengan catatan satu kalimat menggunakan kata-kata berikut sebagai majaz mursal dan pada kalimat yang lain sebagai majaz isti’aarah!

 

Pena — pedang — kepala — teman

 

  1. Uraikanlah dua bait syair berikut dan jelaskan majaznya!

 

Jangan sekali-kali kamu tertipu apa yang kamu lihat pada kebanyakan ma, nusia karena di bawah tulang rusuk itu terdapat penyakit yang sangat me, nyakitkan. Maka letakkanlah cambukmu dan angkatlah pedangmu sehingga tidak terli, hat lagi olehmu seorang pun dari Bani Umayyah.

 

  1. Majaz Aali

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati Raja Romawi setelah dipukul mundur oleh Saifud-Daulah:

 

Tongkat yang bermata lembing itu berjalan-jalan di rumah pendeta bersamanya untuk bertobat, padahal semula ia tidak rela melihat larinya kuda blonde yang pendek bulunya.

 

  1. Amr bin Ash membangun Kota Fusthath (mesir kuno).

 

  1. Siangnya Zahid berpuasa dan malamnya berdiri (salat).

 

  1. Jalan-jalan Kairo berdesak-desakan.

 

  1. Kesungguhanmu sungguh-sungguh dan kelelahanmu lelah.

 

  1. Al-Khuthai’ah berkata:

 

Biarkanlah kemurahan-kemurahan itu, janganlah kau berangkat untuk mencarinya. Duduklah, karena sesungguhnya engkau adalah pemberi pangan dan sandang.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat suatu dinding yang tertutup. (QS Al-Isra’: 45)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati. (QS Maryam: 61)

 

  1. Pembahasan

Perhatikanlah dua contoh pertama! Pada masing-masing contoh itu terdapat fi’il (kata kerja) yang disandarkan tidak kepada fa’il (pelaku)-nya, yakni yamsyii (berjalan) disandarkan kepada al—ukkaazu (tongkat bermata lembing) karena tongkat itu tidak dapat berjalan, dan yabnii (membangun) disandarkan kepada ‘Amr bin Ash karena ‘Amr bin Ash sebagai gubernur tidak mungkin ikut membangun secara langsung, yang membangun adalah para pekerjanya. Akan tetapi, karena tongkat itu menjadi sebab berjalan dan ‘Amr bin Ash menjadi sebab membangun, maka fi’il itu disandarkan kepada keduanya.

 

Kemudian pada dua contoh kedua, puasa disandarkan kepada siang (bukan kepada Zahid sebagai pelakunya), berdiri salat disandarkan kepada malam, dan berdesak-desakan (padat) disandarkan kepada jalan raya, padahal siang itu tidak berpuasa, yang berpuasa adalah orang yang hidup di siang hari itu, malam juga tidak berdiri, yang berdiri adalah orang yang salat pada malam itu, jalan-jalan raya di Kairo juga tidak berdesak-desakan, yang berdesak-desakan adalah orang atau kendaraan yang lewat di jalan itu. Jadi, pada dua contoh kedua ini fi’il atau yang serupa dengannya disandarkan kepada kata yang bukan tempat sandaran yang sebenarnya. Faktor yang memperbolehkan penyandaran demikian adalah karena musnad ilaih (sesuatu yang menjadi sandaran) pada kedua contoh tersebut merupakan waktu atau tempat berlangsungnya pekerjaan.

 

Pada contoh kelima terdapat dua fi’il, yaitu jadda dan kadda, disandarkan kepada mashdar (kata dasar/asal) masing-masing dan tidak kepada fa’il masing-masing. Pada contoh keenam, Huthai’ah berkata kepada orang yang diejeknya, “Duduklah, karena sesungguhnya engkau adalah orang yang memberi pangan dan sandang.” Apakah Anda mengira bahwa setelah berkata, “Jangan berangkat untuk mencari kemurahan,” lalu berkata, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang memberi pangan dan sandang orang lain?” Tentu tidak demiki, an. Yang ia maksud tiada lain adalah: “Duduklah dengan total (men. jadi beban bagi) orang lain dengan mendapat makanan dan pakaian”,

 

Jadi, kata sifat yang mabnii faa’il disandarkan kepada dhamiir mafuul. Pada dua contoh terakhir terdapat kata mastuuran menggantikan kata saatirun, dan kata ma-tiyyan menggantikan kata aatin. Jadi, isim maful digunakan dengan menggantikan kedudukan isim fa’il. Atau dengan kata lain, sifat yang mabni maf’ul disandarkan kepada fa’il. Dari contoh-contoh di atas kita lihat beberapa fi’il atau yang menyerupainya tidak disandarkan kepada fa’ilnya yang hakiki, melainkan kepada penyebab fi’il, kepada waktunya, tempatnya, atau kepada mashdar—nya, dan beberapa kata sifat yang seharusnya disandarkan kepada maful (obyek penderita), namun disandarkan kepada fa’il (subyek), serta kata sifat yang lain yang seharusnya disandarkan kepada fa’il, namun disandarkan kepada maf’ul. Mudah untuk diketahui bahwa penyandaran yang demikian adalah bukan penyandaran yang hakiki karena penyandaran yang hakiki adalah penyandaran fi’il kepada fa’ilnya yang hakiki. Kalau demikian, maka penyandaran di sini adalah majaz dan disebut sebagai majaz agli karena majaznya tidak terdapat pada lafaz sebagaimana pada majaz mursal dan isti’aarah, melainkan pada penyandaran, dan hal ini dapat diketahui melalui pemikiran yang tajam atau dengan akal.

 

  1. Kaidah-Kaidah

 

(24) Majaz agli adalah penyandaran fi’il atau kata yang menyerupainya kepada tempat penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan disertai karinah yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang hakiki.

 

(25) Penyandaran majazi adalah penyandaran kepada sebab fi’il, waktu fi’il, tempat fi’il atau mashdar-nya, atau penyandaran isim mabnii fa’il kepada maf’ul-nya, atau isim mabni maf’ul kepada fa’il-nya.

 

  1. Latihan-Latihan
  2. Abuth-Thayyib berkata:

 

Wahai Abal-Misk (nama julukan Kafur Al-Ikhisyidi), aku mengharap pertolongan darimu untuk menghadapi musuh-musuhku, dan aku mengharapkan kemenangan yang melumurkan pedang dengan darah. Dan (saya mengharapkan) suatu hari yang membuat kemarahan orang-orang yang dengki (kepadaku), dan suatu keadaan yang menempatkan kesengsaraan di tempat kenikmatan.

 

b Allah Swt. berfirman:

 

(Nuh berkata), “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah kecuali Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” (QS Huud: 43)

 

  1. Kami berangkat ke kebun yang banyak bernyanyi.

 

  1. Ismail membangun banyak madrasah di Mesir.

 

  1. Abu Tammam berkata:

 

Hampir-hampir pemberiannya kegila-gilaan bila tidak-diobati oleh rug. yah peminta-mintanya.

 

Contoh Penyelesaian:

 

Penyandaran melumurkan pedang ke dalam darah kepada kemenangan adalah penyandaran yang tidak hakiki karena kemenangan itu tidak melumurkan darah ke pedang, melainkan hanya sebab terhimpunnya kekuatan dan bala tentara yang melumurkan pedang mereka ke dalam darah. Jadi, ungkapan di atas mengandung majaz agli yang hubungan maknanya adalah sababiyyah.

 

Penyandaran membuat kemarahan orang-orang yang dengki adalah penyandaran yang bukan hakiki karena hari itu merupakan waktu berlangsungnya kemarahan. Jadi, kalimat di atas mengandung majaz agli yang hubungan maknanya adalah zamaniyyah.

 

  1. Makna ayat adalah (boleh seperti terjemahan di atas, atau): Tidak ada yang dilindungi hari ini dari azab Allah kecuali orang yang disayang Allahu Jadi, isim fa’il disandarkan kepada maf’ul. Yang demikian adalah majaz agli yang hubungannya adalah maf uliyyah.

 

  1. Kebun itu tidak bernyanyi-nyanyi. Yang bernyanyi itu tiada lain adalah burung-burung yang ada padanya atau lalat-lalat dan lebahnya. Jadi, kalimat tersebut mengandung majaz agli yang hubungan maknanya addlah makdaniyyah.

 

Ismail tidaklah membangun sendiri madrasah di Mesir, melainkan beliau hanya memerintahkan pembangunannya. Jadi, penyandaran tersebut adalah majaz agli yang hubungan maknanya adalah sababiyyah.

 

  1. Penyandaran fi’il kepada mashdar-nya adalah majaz agli yang hubungan maknanya adalah mashdariyyah.

 

  1. Jelaskan majaz agli dari kata-kata yang bergaris bawah pada kalimat berikut dan jelaskan hubungan maknanya serta karinah-nya.
  2. Allah Swt. berfirman:

 

Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram yang aman? (QS Al-Oashash: 57)

 

  1. Rumah itu ramai dan kamarnya terang.

 

  1. Keagungan menjadi agung ketenarannya (seseorang sangat agung dan terkenal).

 

  1. Wahai Ummu Ghailan, kamu telah mencelaku karena berjalan malam sedangkan kamu tidur, padahal kendaraan yang berjalan malam tidak. lah tidur.

 

  1. Ketika kami berkuasa, sifat pemaaf bagi kami merupakan tabiat, dan ketika kamu berkuasa, maka seluruh lembah mengalirkan darah.

 

  1. Zaman mengadu domba di antara mereka dan mencerai-beraikan sersatuan mereka.

 

  1. Wahai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu (yaitu) pintu-pintu langit. (QS AlMu’ min: 36-37)

 

  1. Kami duduk menghadap tempat minuman yang tawar airn a memancar.

 

  1. Tharafah bin AlAbd berkata:

 

Hari-hari akan menempatkan padamu apa-apa yang kamu tidak mengetahuinya, dan datang kepadamu orang yang tidak kamu beri bekal dengan membawa beberapa kabar.

 

  1. Ia bernyanyi seperti lengkingan suara pepohonan dan pagi menggugah burung-burungnya.

 

  1. Sesungguhnya kami teman-teman dari suatu kaum yang para pendahulunya binasa dalam peperangan, yang penuh keberanian dan menolong orang-orang yang meminta tolong.

 

  1. Jelaskan majaz-majaz agli pada kalimat-kalimat berikut ini!

 

  1. Jalan itu datang dan pergi (didatangi dan ditinggalkan manusia).

 

  1. Ia memiliki kemuliaan yang menaik dan posisi yang menguntungkan.

 

  1. Zaman menyusahkan mereka, dan hari-hari menggilas mereka.

 

  1. Harta melakukan apa yang tidak mampu dilakukan oleh kekuatan manusia.

 

III. Bedakan antara majaz agli, majaz mursal, dan isti’aarah pada kalimatkalimat berikut ini!

 

  1. Seseorang telah dianggap cukup cela bila kaulihat ia memiliki wajah namun tidak berlidah.

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Kesusahan itu mengobati orang,yang gemuk hingga jadi kurus dan menjadikan ubun-ubun anak kecil berubah seperti orang yang lanjut usia.

 

  1. Asy-Syarif Ar-Ridha berkata kepada uban:

 

Wahai pagi, binasalah! Maka alangkah gelapnya hari-hariku setelah kegelapan itu.

 

  1. An-Nabighah Adz-Dzibyani berkata:

 

Maka semalaman seakan-akan aku digigit oleh ular belang kecil yang kurus, di taringnya terdapat bisa yang sangat berbahaya.

 

  1. Berkali-kali saya mengajarinya menyusun sajak, namun setelah ia bisa menyusunnya, ia mengejekku.

 

  1. Dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka. (QS Al-An’am: 6)

 

  1. Malam menggelarkan tirai-tirainya.

 

8  Kemudian keduanya (Nabi Khidhr dan Nabi Musa) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. (QS Al-Kahfi: 77)

 

  1. Tidak ada keutamaan kecuali engkau yang memakainya, dan tidak ada rakyat kecuali engkau yang memimpinnya.

 

  1. Dan datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris. (QS AlFajr: 22)

 

  1. (Firaun) menyembelih anak-anak mereka. (QS Al-Oashash: 4)

 

  1. Uraikan bait-bait berikut dan jelaskan majaz agli yang terdapat padanya!

 

Orang-orang sebelum kita telah bersahabat dengan zaman ini, dan apa-apa yang merepotkan kita telah merepotkan mereka. Seluruh mereka meninggalkan zaman ini dengan membawa dukacita, meskipun kadang-kadang zaman ini menibahagiakan sebagian mereka. Malam-malamnya sering kali bersahabat dengannya, akan tetapi mengeruhkan kebaikan. Seakan-akan orang yang menolong masa itu tidak rela terhadap apa yang terjadi di antara kita karena bencana. Ketika zaman telah menumbuhkan batang tombak, maka seseorang memasang mata tombak pada batang itu.

 

  1. Nilai Majaz Mursal dan Majaz Aqli dalam Balaghah Apabila kita perhatikan macam-macam majaz mursal dan majaz agli, maka akan kita temukan bahwa kebanyakan majaz itu mengemukakan makna yang dimaksud dengan singkat. Bila kita katakan: (Komandan itu menyisihkan pasukan musuh) atau   (Majelis menetapkan demikian), maka akan  lebih ringkas daripada kita katakan:   (Tentaranya komandan itu mengusir pasukan musuh) atau   (Ahli majelis itu menetapkan demikian). Tidak syak   lagi bahwa keringkasan ungkapan itu adalah salah satu jenis balaghah.

 

Di samping itu, ada celah-celah balaghah yang lain pada kedua majay ini, yakni kemahiran memilih titik singgung antara makna asi) dan makna majazi dengan mengusahakan majaz itu dapat menggambarkan makna yang dikehendaki dengan gambaran yang lebih baik,” Seperti menyebut intelijen dengan mata, menyebut telinga kepada orang yang mudah tersinggung, dan menyebut khuf dan telapak kaki dengan maksud keindahan dan kuda. Semua contoh ini adalah dalam majas mursal. Atau seperti menyandarkan sesuatu kepada se. babnya, tempatnya, dan waktunya dalam majaz agli karena balaghah itu mengharuskan pemilihan sebab yang kuat dan tempat serta waktu yang khusus.

 

Dan apabila kita perhatikan dengan cermat, maka akan kita dapatkan bahwa kebanyakan majaz mursal dan majaz agli itu tidak lepas dari mubalaghah (berlebih-lebihan) yang indah dan berpengaruh, menjadikan majaz itu begitu menarik dan mencengkeram kuat dalam hati. Penyebutan keseluruhan dengan maksud sebagian adalah suatu mubalaghah, demikian juga menyebut sebagian dengan maksud keseluruhan, sebagaimana dikatakan: Fulaanun famun ( Si Pulan adalah mulut) dengan maksud bahwa si Pulan adalah orang yang rakus yang melahap segala sesuatu, atau Fulaanun anfun (Si Pulan adalah hidung) dengan maksud bahwa hidungnya besar sehingga berlebih-lebihan dengan menjadikan bahwa seluruhnya adalah hidung. Di antara pernyataan dalam menyifati orang yang besar hidungnya adalah pernvataan sebagian sastrawan:

 

(Saya tidak tahu apakah ia yang berada pada hidungnya, ataukah hidungnya yang ada pada dia).

           

 

  1. Pembagian Kinayah

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Orang Arab berkata:

 

Si Pulanah adalah wanita yang jauh tempat turun anting-antingnya.

 

  1. Al-Khansa berkata tentang saudara laki-lakinya, Shakhr:

 

Ia adalah orang yang panjang sarung pedangnya, tiangnya tinggi, dan banyak abu dapurnya bila ia bermukim.

 

  1. Penyair lain berkata tentang keutamaan Darul Ulum dalam menghidup-kembangkan bahasa Arab:

 

Binti Adnan menemukan padamu suatu tempat tinggal yang mengingatkannya daerah pedalaman orang-orang Badui.

 

  1. Seorang penyair lain berkata:

 

(Sungguh terpuji) orang-orang yang memukul dengan seluruh pedang tajam yang putih dan menusuk tempat berkumpulnya kedengkian

 

  1. Keagungan berada di kedua pakaianmu, dan kemuliaan itu memenuhi kedua baju burdahmu.

 

  1. Pembahasan

Yang dimaksud dengan tempat turun anting-anting adalah jarak antara ujung daun telinga dan pundak. Jadi, seakan-akan orang Arah tersebut mengganti ucapannya yang sebenarnya berbunyi:

 

(Sesungguhnya wanita itu panjang lehernya), namun ia menyampaikan kepada kita dengan ungkapan baru yang menunjukkan bahwa wanita itu bersifat panjang lehernya.

 

Pada contoh kedua, Khansa’ menyifati saudara laki-lakinya bahwa ia panjang sarung pedangnya, tiangnya tinggi, dan banyak abunya. Untaian kata-kata ini ia maksudkan untuk menunjukkan bahwa saudara laki-lakinya itu seorang pemberani, terhormat di lingkungan kaumnya, dan seorang dermawan. Jadi, ia mengemukakan sifat-sifat ini tidak dengan kata-kata yang sharih (jelas), melainkan dengan isyarat dan kinayah, karena panjangnya sarung pedang itu menunjukkan bahwa pemiliknya adalah jangkung, dan orang yang jangkung itu umumnya adalah pemberani. Selain itu, panjangnya tiang itu menunjukkan tingginya kedudukan di tengah-tengah kaumnya dan keluarganya, sebagaimana orang yang banyak abunya itu banyak membakar kayu bakar, lalu banyak memasak, lalu banyak tamunya, lalu ia adalah seorang pemurah. Karena untaian kata-kata yang telah diuraikan di atas itu merupakan kinayah dari sifat yang sesuai dengan maknanya, maka kata-kata tersebut serta yang serupa dengannya disebut kinayah ‘an sifat.

 

Pada contoh ketiga, penyair tersebut bermaksud untuk menyatakan bahwa bahasa Arab menemukan padamu, wahai madrasah, suatu tempat untuk mengingatkannya tentang masa keterasingannya. Namun, ia menggantinya dari ungkapan yang sharih itu dengan menyebut bahasa Arab dengan untaian kata yang mengisyaratkannya dan dianggap sebagai kinayah darinya, yaitu lafaz bintu Adnan (putri Adnan).

 

Pada contoh keempat, penyair tersebut bermaksud menyifati orang-orang yang dipujinya, bahwa mereka menusuk hati dalam peyang. Namun, ia memalingkannya dari ungkapan yang sharih kepada ungkapan yang lebih menyentuh jiwa, yaitu kata majaami’al-adhghaani (tempat berkumpulnya kedengkian) karena dari kata itu dapatlah dipahami keberadaan hati, yakni sebagai tempat berkumpulnya kedengkian, kemarahan, kesombongan, dan sebagainya.

 

Jadi, bila kita perhatikan kedua untaian kata-kata ini, yakni bintu Adnan dan majaami’al-adhghaani, maka kita dapatkan bahwa masing-masing untaian kata itu menjadi kinayah dari zat yang sesuai dengan maknanya. Oleh karena itu, masing-masing untaian kata di atas merupakan kinayah dari maushuf (sesuatu yang disifati), demikian juga setiap untaian kata yang menyerupainya.

 

Adapun pada contoh terakhir, pembicara bermaksud menisbatkan keagungan dan kemuliaan kepada orang yang diajak bicara. Namun, ia tidak menisbatkan kedua sifat itu secara langsung kepadanya, melainkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya, yakni dua pakaian dan dua selimut. Penisbatan yang seperti ini disebut dengan kinayah ‘an nisbah. Alamat yang paling menonjol dari kinayah ini adalah kata-katanya menjelaskan sifat atau sesuatu yang menunjukkan sifat, seperti kata-kata fii tsaubaihi asadun (Di dalam kedua pakaiannya terdapat singa). Contoh ini adalah kinayah dari penisbatan keberanian kepada orang yang bersangkutan.

 

Bila kita perhatikan kembali contoh-contoh kinayah di atas, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian kinayah boleh jadi menunjukkan makna hakiki yang dipahami dari lafaz yang sharih, dan dalam sebagian kinayah tidak dapat demikian.

 

  1. Kaidah

 

(26) Kinayah adalah lafaz yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian lazimnya. tetapi dapat dimaksudkan untuk makna asalnya.

 

(27) Ditinjau dari sesuatu yang berada di balik kinayah, maka kinayah ada tiga macam karena sesuatu yang dijelaskan dengan kinayah itu adakalanya berupa sifat, adakalanya berupa mau, shuf, dan adakalanya berupa nisbat.

 

  1. Latihan

Contoh Soal:

 

  1. Al-Mutanabbi berkata tentang pertempuran Saifud-Daulah dengan Bani Kilab:

 

la mendatangi mereka di sore hari, hamparan mereka adalah sutera. Dan ia mendatangi mereka di waktu pagi, dan hamparan mereka adalah tanah. Orang yang memegang batang tombak dari mereka, bagaikan orang yang memegang pacar (untuk mewarnai ujung-ujung jari).

 

  1. Ia berkata dalam memuji Kafur: –

 

Sesungguhnya dalam pakaianmu terdapat keagungan yang darinya terpancar sinar yang menyilaukan sinar-sinar lainnya.

 

Contoh Penyelesaian:

 

  1. Kinayah bahwa alas mereka itu sutera,menunjukkan kebangsawanan dan kemuliaan mereka: dengan kinayah bahwa alas mereka itu debu, menunjukkan kemiskinan dan kehinaan mereka. Jadi, kinayah pada kedua kalimat ini adalah kinayah tentang sifat.

 

Yang dimaksud dengan kinayah orang yang membawa batang tombak adalah orang laki-laki, sedangkan orang yang memegang pacar adalah orang perempuan. Al-Mutanabbi berkata bahwa laki-laki dan perempuan sama lemahnya dalam menghadapi serangan Saifud-Daulah. Kedua kinayah ini adalah kinayah tentang maushuf.

 

  1. Pada bait ketiga, Al-Mutanabbi bermaksud menetapkan keagungan bagi Kafur. Namun, ia tidak mengutarakan maksudnya itu dengan ungkapan yang Sharih, melainkan menetapkan keagungan itu kepada sesuatu yang berkaitan dengannya, yakni pakaiannya. Jadi, kinayahnya adalah tentang nisbat.

 

  1. Jelaskanlah sifat yang sesuai dalam setiap kinayah berikut!

 

  1. Kami adalah orang yang banyak tidur di waktu dhuha (orang kaya).

 

  1. Ia meletakkan tongkatnya (berhenti untuk istirahat).

 

  1. Wanita itu orang yang lembut kedua telapak tanganya (orang kaya).

 

  1. Pulan menghentakkan giginya (marah). .

 

  1. Banyak ditunjuk oleh jari-jari telunjuk (orang terkenal).

 

  1. Akhirnya ia membolak-balikkan kedua telapak tangannya terhadap apa yang ia infakkan, sedangkan telapak tangannya itu kosong (usaha yang susah, tidak membawa hasil).

 

  1. Ia naik dua sayap burung unta (cepat larinya).

 

  1. Malam-malam itu menjadikannya menempelkan telapak tangan ke tongkatnya (tiada pernah berhenti berjalan sepanjang malam).

 

  1. Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati kudanya:

 

Dan saya dapat membunuh seluruh binatang buas yang aku kejar dengan kudaku ini. Dan biasanya aku turun dari kuda yang sepertinya.

 

10,   Pulan tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (orang yang kuat berjalan).

 

  1. Jelaskan maushuf yang dimaksud dalam setiap kinayah berikut!

 

  1. Suatu kaum pada hari perang kaulihat tombak-tombak mereka mencintai tempat-tempat persembunyian.

 

  1. Allah SWT. berfirman: –

 

Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam perhiasan, sedangkan ia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran? (QS Az-Zukhruf: 18)

 

  1. Al-Manshur berada di sebuah kebun pada hari-hari pertempurannya dengan Ibrahim bin Abdillah bin Al-Hasan” dan memandang pohon khallah, lalu berkata kepada Ar-Rabi “Ini pohon apa?” ArRabi’ menjawab: “Taat, wahai Amiral-Mukminin.”

 

  1. Seorang laki-laki lewat di halaman rumah Ar-Rasyid membawa seikat rotan. Maka Ar-Rasyid berkata kepada Al-Fadhl bin Arabi, “Apa itu?” Ar-Rabi’ menjawab, “Itu adalah tali-tali pengikat ujung tombak.” Ia tidak senang mengatakan Khizuran (rotan) karena sama dengan nama ibu Ar-Rasyid.

 

  1. Abu Nuwas berkata tentang khamr:

 

Ketika kami meminum khamr dan pengaruhnya mulai merayap menelusuri syaraf-syarafku, maka aku berkata kepadanya, “Berhentilah!”

 

  1. Al-Ma’arri berkata tentang pedang:

 

Tempaan api itu tipis lagi ramping, sehingga seakan-akan bapaknya telah menurunkan kepadanya penyakit TBC.

 

  1. Umur si Pulan telah tua dan datanglah kepadanya peringatan,

 

  1. Seorang Arab Badui ditanya tentang sebab penuhnya uban menjawab, “Ini adalah buih usia muda.”

 

  1. Seorang Arab Badui lain ditanya tentang hal yang sama. Mak, ia menjawab, “Ia adalah debunya kejadian-kejadian zaman.”

 

  1. Diriwayatkan bahwa Al-Hajjaj berkata kepada Al-Ghadhaban bin AlQaba’tsara, “Aku benar-benar akan membawamu di atas adham (yakni akan menyeretnya dalam keadaan terbelenggu)” Al-Ghadhaban menjawab, “Orang yang sederajat dengan amir (tuan) pantas memberikan kendaraan adham (kuda hitam) dan asyhab (kuda blonde).” Al-Hajjaj berkata, “Aku bermaksud al. hadid (rantai).” Al-Ghadhaban menjawab, “Al-hadid (kuda yang energik) benar-benar lebih baik daripada al-balid (kuda yang loyo).” (Akhirnya Al-Hajjaj memaafkannya, padahal sebe. lum itu ia bermaksud akan menghukumnya. Berkat kecerdikannya, Al-Ghadhaban akhirnya selamat dari Al-Hajjaj yang terkenal kejam dan berdarah dingin itu).

 

III. Jelaskan nisbat yang sesuai dalam setiap kinayah berikut!

 

  1. Sesungguhnya kemurahan, kewibawaan, dan kelembutan itu terdapat dalam kubah yang dibuat untuk Ibnul-Hasyraj.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata:

 

Aku memasuki kota Bashrah, maka tatkala itu pakaian orang-orang merdeka dipakai oleh para hamba.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Barakah itu mengikuti bayang-bayangnya, dan keagungan itu berjalan mengikuti kendaraan tunggangannya.

 

  1. Jelaskan macam-macam kinayah berikut dan sebutkanlah makna yang dimaksud dengannya!
  2. Seorang Arab Badui memuji seorang khatib:

 

Ia basah lisannya dan sedikit geraknya.

 

2 Yazid bin Al-Hakam memuji Al-MuhallabV.

 

Dalam kepemimpinanmu terdapat kemurahan, keagungan, keutamaan perdamaian, dan kedudukan.

 

  1. Orang Arab berkata:

 

Si Pulan adalah orang yang panjang hastanya, bersih pakaiannya, suci sarungnya, dan bersih hatinya.

 

  1. Al-Buhturi berkata, menggambarkan keadaannya setelah membunuh seekor serigala:

 

Maka saya mengikutkan tusukan dengan tusukan yang lain dengan menghunjamkan mata pedangku ke arah jantung hati dan kedengkiannya.

 

  1. Penyair lain berkata dalam meratapi seseorang yang mati kare. na suatu penyakit di dadanya:

 

Dan suatu penyakit bergerak dengan jahatnya di tempat kesabarannya, seperti gerakan ular shilal (ular kecil berbisa dan sangat berbahaya).

 

  1. Seorang Arab Badui menyifati seorang wanita:

 

Ia mengulurkan ekornya di atas urat tumit burung unta.

 

  1. Jelaskan macam kinayah-kinayah berikut dan jelaskan penafsiran yang tepat darinya serta penafsiran yang tidak benar!

 

  1. Seorang Arab Badui menyifati seseorang yang jelek pergaulannya:

 

Ketika ia melihatku, maka ia mendekatkan alisnya ke alisku.

 

  1. Abu Nuwas memuji seseorang:

 

Kemurahan tidak melewatinya dan tidak pula menghalanginya. Akan tetapi, kemurahan itu berjalan bila ia berjalan.

 

  1. Orang Arab menjuluki orang yang terang-terangan memusuhi orang lain:

 

Ia memakaikan kepadanya kulit macan, kulit ular belang, dan membalikkan muka perisai terhadapnya. .

 

  1. Pulan panjang bantalnya lehernya) dan tebal rambut tengkuknya.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Gelang-gelang kaki menghiasi kaum wanita, namun saya tidak pernah melihat gelang kaki Ramlah yang menghiasinya.

 

  1. Orang Arab berkata tentang orang yang dipuji:

 

Kemurahan ada di tengah-tengah pakaiannya. Mereka berkata, “Pulan membesarkan kedua ujung bibirnya (yakni sombong), (ia) hidungnya membengkak bila marah.”

 

  1. Seorang Arab Badui berkata kepada sebagian penguasa:

 

Aku mengadu kepadamu tentang sedikitnya tikus.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Putihnya (kebersihan) dapur itu karena wanita-wanitanya tidak memasak kendil dan tidak mencuci sapu tangan.

 

  1. Penyair lainnya berkata:

 

Kebersihan dapur Daud itu paling serupa dengan tahta Bilgis. Pakaian para juru masaknya bila kotor, masih lebih putih daripada kertas.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Ia adalah seorang pemuda yang sedikit makan dan minumnya serta wewangiannya, dan bersih gelasnya, mangkoknya, sapu tangannya, dan periuknya.

 

  1. Uraikan syair berikut ini dan jelaskanlah macam kinayahnya!

 

Maka tidak berdiri di atas tumit kami dengan luka-luka yang berdarah, melainkan kami berdiri di atas telapak kaki yang bercucuran darah.

 

  1. Nilai Kinayah dalam Balaghah

 

Kinayah adalah salah satu fenomena dari balaghah. Akan tetapi, ia tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang lembut tabiatnya dan jernih pemikirannya. Rahasia balaghah dalam kinayah berada pada beberapa bentuk yang menjelaskan kepada kita suatu hakikat yang disertai dengan dalilnya dan suatu keputusan yang disertai dengan bukti-buktinya.

 

Contoh pernyataan Al-Buhturi tentang orang yang dipujinya:

 

 

Mereka memejamkan anugerah pengawasan (mata) sehingga ia tidak tampak bagi mereka karena besarnya wibawa orang yang dicintai itu dalam dada. Dengan syair ini Al-Buhturi membuat kinayah tentang penghormatan manusia terhadap orang yang dipujinya serta ketakutan mereka kepadanya dengan kata-kata bahwa mereka memejamkan mata, yang pada hakikatnya perbuatan ini merupakan bukti ketakutan dan penghormatan. Hal ini tampak jelas dalam kinayah tentang sifat dan nisbat.

 

Di antara faktor yang memberi nilai tambah bagi kinayah dalam balaghah adalah bahwa kinayah itu mendatangkan hal-hal yang abstrak dalam bentuk yang bersifat kongkret. Sudah barang tentu hal ini adalah keistimewaan seni, karena bila seorang pelukis — misalnya — menunjukkan suatu hasil lukisannya kepada kita, maka kita akan terkalahkan dan lalu dapat melihat apa-apa yang semula kita tidak dapat mengungkapkannya dengan jelas dan akurat.

 

Maka kata-kata katsiirur-ramaadi (orang yang banyak abunya) sebagai kinayah bagi seorang pemurah, dan kata-kata rasuulusy-syarri (utusan/pembawa. kejelekan) sebagai kinayah bagi senda gurau, serta pernyataan Al-Buhturi:

 

Apakah tidak kamu lihat keagungan melemparkan pelananya kepada keluar, ga Thalhah, lalu tidak berpindah lagi. sebagai kinayah tentang penisbatan kemuliaan kepada keluarga Thalhah. Semua kinayah ini mengungkapkan hal yang abstrak dalam bentuk yang dapat dilihat dan menenangkan jiwa.

 

Di antara keistimewaan kinayah adalah bahwa kinayah mampu membuat kita menghilangkan dendam kita kepada musuh kita tanpa kita melakukan sesuatu untuknya dan tanpa melanggar kesopanan, Kinayah yang demikian disebut dengan ta’ridh (sindiran). Contohnya adalah pernyataan Al-Mutanabbi dalam suatu kasidah dalam memuji Kafuur dan menyindir Saifud-Daulah:

 

 

Saya berangkat, maka banyak orang yang menangisi saya dengan mata yang sendu, dan banyak pula yang menangis dengan kelopak mata memerah. Dan wanita yang beranting-anting manis itu tidak lebih menakutkan daripada lelaki penyandang pedang yang dapat memotong tiap ruas tulang. Seandainya saya tidak memiliki kekasih yang memakai penutup wajah dapat dimaaf, tetapi saya memiliki kekasih yang bersorban. Yang melemparkan panahnya kepadaku sambil menghindar dari lemparan panahku. Dan di balik perlindungannya tersimpan hawa nafsu yang memecahkan telapak tanganku, busur panahku, dan anak-anak panahku. Bila perilaku seseorang itu jelek, maka jelek pula dugaannya dan membenarkan prasangka yang sesuai dengan kebiasaannya. Semula ia membuat kinayah tentang Saifud-Daulah dengan seorang kekasih yang bersorban, namun kemudian ia menyifatinya sebagai pengkhianat dengan menuduhnya berperangai seperti wanita dan mencelanya karena sekonyong-konyong memusuhi. Kemudian menuduhnya sebagai penakut karena ia memanah sambil menghindari lemparan musuh dengan bersembunyi di balik orang lain, sementara Al-Mutanabbi tidak membalasnya dengan kejahatan yang sama karena ia hanya menahan nafsu yang lama, yang memecahkan telapak tangannya, busur panahnya, dan anak-anak panahnya ketika ia berusaha mengalahkannya dalam memanah. Kemudian ia menyifatinya bahwa ia adalah orang yang buruk sangka kepada saudara-saudaranya karena ia jelek tingkah lakunya, banyak praduganya, sehinggga ja beranggapan bahwa seluruh manusia sama jeleknya dengan dirinya dalam bertindak dan memenuhi kewajiban. Perhatikanlah bagaimana ia mengemukakan karakter Saifud-Daulah sedemikian rupa tanpa menyebut namanya sekalipun.

 

Demikianlah, di antara keistimewaan kinayah adalah mengungkapkan kejelekan dengan ungkapan yang tidak memekakkan telinga yang mendengarnya. Contoh-contoh seperti ini banyak sekali terdapat dalam Al-Qur’an dan pembicaraan orang-orang Arab. Mereka tidak mau mengungkapkan hal-hal yang tidak baik kecuali dengan kinayah, dan karena kesombongan yang berlebihan mereka sering menjuluki perempuan dengan istilah telur dan kambing.

 

Di antara keindahan kinayah terdapat dalam ungkapan sebagian orang Arab:

 

Perhatikan wahai kurma dari Dzati ‘Irgin, semoga keselamatan dan rahmat Allah senantiasa tercurah kepadamu. Ia menginayahkan seorang wanita yang dicintainya dengan kurma.

 

Semoga uraian ini cukup dalam menjelaskan keistimewaan-keistimewaan kinayah dan menampakkan kejelasan dan keindahan yang tersimpan padanya.

 

 

Telah kita ketahui pada pelajaran-pelajaran terdahulu bahwa suatu makna dapat disampaikan dengan beberapa uslub dan cara yang berbeda-beda. Dan kadang-kadang makna itu tersusun dalam salah satu bentuk kalimat yang menarik, yakni tasybih, isti’aarah, majaz mursal, majaz agli, dan kinayah. Seorang penyair menyifati seseorang yang pemurah:

 

Para raja menginginkan kedudukan seperti Ja’far, padahal mereka:tidak melakukan apa yang ia lakukan. Ia tidak lebih kaya daripada mereka, tetapi kebaikannya lebih luas daripada mereka. Kalimat ini adalah kalimat yang sangat baligh (jelas, fasih, dan sesuai dengan situasi dan kondisi) dengan tanpa melalui tasybih ataupun majaz. Penyair, dalam kalimat ini, menyifati orang yang dipujinya dengan kemurahan, dan para raja menginginkan mendapat kedudukan yang sama dengannya, tetapi mereka tidak membeli pujian yang mereka inginkan itu dengan harta, sebagaimana yang telah dilakukannya, padahal ia tidak lebih kaya daripada mereka.

 

Penyair lain menyifati kemurahan seseorang dengan uslub yang lain:

 

Kemurahannya bagaikan laut yang memberi mutiara kepada orang yang dekat dan mengirimkan awan kepada orang yang jauh.

 

Dalam syair ini penyair menyerupakan orang yang dipijinya dengan laut, dan membawa khayalan kita untuk menyerupakan orang yang dipujinya itu kepada laut yang melemparkan mutiara kepada orang yang dekat dan mengirimkan awan (mendung) kepada orang yang jauh.

 

Atau dengan ungkapan yang lain:

 

Ia adalah laut dari segi mana pun Anda mendatanginya, kedalamannya adalah kebaikan, dan tepinya adalah kemurahan. Dalam syair ini penyair mendakwakan bahwa orang yang dipuji itu adalah laut itu sendiri dengan mengingkari penyerupaan.

 

Hal ini menunjukkan berlebih-lebihan dan pendakwaan keserupaan yang sempurna. Atau dengan ungkapan yang lain lagi:

 

Ia telah berderajat tinggi, maka harta benda tidak pernah menetap di tangannya. Bagaimana puncak gunung itu dapat menahan air bah? Dalam syair itu penyair menyuguhkan tasybih kepada kita dengan samar-samar agar ungkapannya mencapai derajat tertinggi dalam balaghah dan untuk menjadikan tasybih dhimni itu sebagai dalil bagi kita atas dakwaannya, sebab ia mendakwakan bahwa orang yang dipujinya itu karena derajatnya yang begitu tinggi, maka harta senantiasa lepas dari genggaman tangannya. Untuk itu ia menunjukkan suatu bukti, yakni bahwa walau bagaimanapun puncak gunung yang tinggi tidak dapat menahan air bah.

 

Atau dengan ungkapan yang lain lagi:

 

Sungai itu mengalir, sehingga aku mengkhayalkannya sebagai kenikmatan, kenikmatan darimu. Engkau menyirami tanpa kekikiran dan memberi tanpa perhitungan.

 

Dalam syair ini penyair memutarbalikkan tasybih sebagai upaya me, ningkatkan berlebih-lebihannya, dan untuk meningkatkan daya tarik uslub-uslub pengindahan kalimat. Ia menyerupakan air sungai dengan kenikmatan-kenikmatan dari orang yang dipujinya, sedangkan pada umumnya kenikmatan-kenikmatan itu diserupakan dengan air sungai. Atau dengan ungkapan lain lagi:

 

Seakan-akan ketika ia memberikan hartanya sambil tersenyum adalah awan mendung yang mencurahkan air hujan dan ia tampak cemerlang.

 

Dalam syair ini penyair menyajikan tasybih murakkab dan suatu gambaran menarik dalam menyerupakan keadaan orang yang dipujinya, yakni bahwa ia murah hati, dan senyum kebahagiaan yang merekahkan kedua bibirnya. Atau dengan ungkapan yang lain lagi:

 

Tangan Fatah murah hati, sedangkan hujan itu kikir, sebab tetesan hujan itu kadang-kadang memadat dan yang terkena olehnya menjadi hancur.

 

Dalam syair ini penyair menyerupakan kemurahan orang yang dipujinya dengan hujan. Ia beranggapan bahwa kemurahannya tidak akan terputus-putus manakala curahan hujan itu berhenti. Atau ungkapan yang lain lagi:

 

Aku telah berkata kepada mendung yang tebal dan senantiasa berkilat dan berhalilintar, “Jangan sekali-kali engkau berpaling kepada Ja’far untuk menyerupakan dengan keterbukaan tangannya, sebab kamu bukan tandingannya.”

 

Dalam syair ini penyair menyebutkan dengan jelas tanpa takut tentang keutamaan kemurahan temannya di atas kemurahan awan tebal. Akan tetapi, ia tidak merasa cukup dengan pernyataan demikian, melainkan ia melarang keras awan tebal menyerupakan diri dengan “tangan orang yang dipujinya itu” karena ia bukan bandingannya.

 

Atau dengan ungkapan lain lagi: –

 

Ia berjalan lurus di atas permadani, namun ia tidak tahu apakah ia berjalan ke laut ataukah ia naik menuju bulan.

 

Dalam syair ini penyair menyifati keadaan utusan Romawi ketika menghadap kepada Saifud-Daulah. Ia menyifati orang yang dipujinya (Saifud-Daulah) yang pemurah dengan menggunakan isti’aarah tashrihiyyah yang — sebagaimana kita ketahui — berfungsi sebagai penjelas yang berpura-pura lupa terhadap tasybih, padanya sangat dominan faktor berlebih-lebihan, dan pengaruhnya dalam jiwa sangat dalam.

 

Atau dengan ungkapan lain:

 

Aku menyeru kemurahannya, maka ia memenuhi seruanku. Dan kebaikannya mengajariku bagaimana aku mengangan-angannya.

 

Dalam syair ini penyair menyerupakan kemurahan dan kebaikan orang yang dipujinya dengan manusia, namun musyabbah bih-nya dibuang dan sebagai tandanya ialah sesuatu yang sesuai dengannya, Inilah salah satu jenis berlebih-lebihan yang membutuhkan isti’aarah dalam pengungkapannya.

 

Atau dengan ungkapan lain:

 

 Barang siapa menuju laut, maka ia tidak memerlukan air lagi.

 

Dalam pernyataan ini pembicara menyampaikan suatu ungkapan yang seakan-akan merupakan suatu peribahasa. Ia menggambarkan kepada kita bahwa orang yang menuju kepada orang yang dipuji pembicara itu tidak membutuhkan lagi orang yang derajatnya lebih rendah daripadanya, seperti orang yang menuju laut, tidak perlu membawa timba. Jadi, kalimat ini merupakan isti’aarah tamtsiliyyah yang sangat indah dan menarik, di samping mengandung bukti kebenaran dakwaan pembicara dan menegaskan keadaan yang didakwakan itu.

 

Atau dengan kata lain:

 

Engkau senantiasa menyertakan kepada orang yang kauberi kekuasaan dengan tangan di atas tangan, sehingga aku beranggapan bahwa kehidupanku adalah dari tangan-tanganmu.

 

Penyair berpindah dari tasybih dan isti’aarah kepada majaz mursal. Kata yad (tangan) maksudnya adalah kenikmatan, karena tangan itu saJah satu alat dan sebab kenikmatan.

 

Atau dengan ungkapan lain: .

 

Harimu mengembalikan hari-hariku kepada kecemerlangan, dan kemurahanmu membunuh kemiskinan dan kefakiranku.

 

Penyair menyandarkan kata kerja kepada hari dan kemurahan sebagai langkah membuat isti’aarah.

 

Atau dengan ungkapan lain:

 

Hujan yang lebat tidak pernah menyiraminya, dan ia tidak tinggal di daerah hujan. Akan tetapi, kemurahan berjalan kapan saja ia berjalan.

 

Dalam syair ini penyair membuat kinayah tentang penisbatan kemurahan kepada orang yang dimaksud dengan mendakwakan bahwa kemurahan itu selalu berjalan bersamanya karena ia menggantikan pernyataan bahwa orang yang dimaksud itu pemurah dengan ungkapan bahwa kemurahan berjalan bersamanya ke mana pun ia berjalan. Kinayah ini memiliki nilai balaghah dan pengaruh dalam jiwa serta memiliki gambaran makna yang indah, melebihi apa yang ditemukan oleh para pendengar dari jenis-jenis kalimat yang lain.

 

Dari contoh-contoh di atas dapatlah kita ketahui bahwa untuk menyifati seseorang dengan sifat kemurahan dapat digunakan empat belas macam uslub dengan keindahan dan ketajaman masing-masing. Kalau mau, kita masih dapat mendatangkan uslub-uslub lain untuk maksud yang sama karena para penyair dan pakar seni memiliki imajinasi dan kreasi yang tinggi terhadap uslub dan makna yang hampir-hampir tidak terbatas. Sebenarnya masih ada beberapa uslub yang bersesuaian dengan sifat-sifat lain, seperti keberanian, menentang, dan teguh hati. Akan tetapi, kami tidak ingin memperpanjang pembicaraan dan kami yakin bahwa bila kita membaca syair-syair Arab atau peninggalan-peninggalan sastra, maka akan kita jumpai sendiri hal ini dengan jelas, dan kita akan terbawa kepada anganangan yang jauh yang hanya dapat dicapai oleh akal manusia yang mampu menghayati balaghah dan kreatif dalam merangkai uslub.

 

Uslub-uslub yang berbeda untuk suatu makna yang sama inilah yang merupakan objek pembahasan Ilmu Bayan. Kami tidak yakin bila kemampuan menyusun uslub itu cukup dengan mengetahui IImu Bayan, karena imajinasi yang tinggi dalam membuat suatu ungkapan tidak cukup diraih dengan hanya mempelajari kaidah-kaidah balaghah, melainkan seseorang dapat menjadi penulis yang berbobot, atau penyair yang menawan, atau juru pidato yang memukau bila ia banyak membaca kitab-kitab sastra dan peninggalan-peninggalar Arab, dan bila ia rajin menjiwai dan memahami syair, Serta Tajin mempelajari tulisan-tulisan prosa yang bernilai seni. Dengan modaj inilah bakat seni seseorang dapat menjadi sempurna dan mengantar, kannya mampu menciptakan suatu karya seni yang indah dan bagus, Selain itu, suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan adalah bakat yang murni dan kepekaan bawaan. Kedua faktor ini sangat membantu dan mengangkat bakat tersebut.

 

Akan tetapi, selanjutnya kami tidak dapat memungkiri faedah Ilmu Bayan dan menyepelekan kaidah-kaidahnya, karena dengan ke. rincian macam-macam uslub itu Ilmu Bayan dapat berfungsi sebagai suatu neraca yang tepat untuk mengetahui macam-macamnya, seba. gai ilmu seni untuk meneliti setiap uslub dan sebagai alat penjelas rahasia balaghah.

 

 

 

 

 

 

  1. Pengertian

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Abu Ishag Al-Ghazzi berkata:

 

Seandainya tidak ada Abuth-Thayyib Al-Kindi, maka tidak akan penuh pendengaran manusia dengan pujian terhadap Ibnu Hamdan.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Saya tidak berharap terhadap sesuatu yang masih ada karena rakus, dan saya tidak kecewa atas hilangnya sesuatu yang telah tiada.

 

  1. Abul-‘Atahiyah berkata:

 

Sesunguhnya orang yang bakhil itu sekalipun menjadi kaya kareng. nya, pastilah Anda lihat padanya terdapat tanda-tanda kefakiran.

 

  1. Salah seorang filosof berkata kepada anaknya:

 

Wahai anakku, belajarlah kamu tentang cara menerima informasi yang bagus, sebagaimana kamu belajar tentang cara menyampaikan infor. masi yang bagus.

 

  1. Abdullah bin Abbas memberi wasiat kepada seseorang:

 

Janganlah kamu berkata sesuatu yang tidak berguna bagimu, dan tinggalkanlah berbicara dalam kebanyakan hal yang berguna bagimu sehingga kamu temukan situasi yang tepat untuk berbicara.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Janganlah kausambut waktumu, melainkan dengan sikap tidak peduli selama rohmu masih menyertai badanmu.

 

  1. Pembahasan

Abu Ishag Al-Ghazzi menceritakan kepada kita bahwa Abu AthThayyib Al-Mutanabbi adalah orang yang menyebarluaskan keutamaan-keutamaan Saifud-Daulah bin Hamdan. Untuk itu ia berkata, “Seandainya tidak ada Abuth-Thayyib, niscaya tidak muncul kemasyhurannya, dan manusia tidak mengetahui seluruh kelebihannya seperti yang telah mereka ketahui sekarang.” Pernyataan ini memungkinkan bahwa Al-Ghazzi benar, sebagaimana memungkinkan ia berdusta. Apabila pernyataannya itu sesuai dengan kenyataannya, maka ia benar, dan apabila tidak sesuai dengan kenyataannya, maka ja berdusta.

 

Al-Mutanabbi dalam contoh kedua menyebutkan bahwa dirinya puas dan rela terhadap kondisinya yang ada. Jadi, ia tidak punya kepribadian mengharapkan sesuatu yang akan datang yang akan membawa kemuliaannya, dan tidak menyesali segala sesuatu yang telah tiada. Dan barangkali ia berdusta dan tidak jujur.

 

Demikian pula AbulAtahiyah, dalam contoh ketiga ia mungkin benar dan mungkin pula dusta.

 

Kemudian perhatikanlah contoh keempat, maka akan kita temukan seseorang yang berbicara memanggil anaknya dan memerintahnya untuk belajar cara menerima berita dengan baik dan cara menyampaikan berita dengan baik. Orang yang berbicara dengan kalimat yang demikian tidak bisa dikatakan sebagai orang yang jujur atau sebagai orang yang dusta karena ia tidak memberi tahu kita tentang terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya sesuatu, melainkan ia hanya menyeru dan memerintah.

 

Demikian juga Abdullah bin Abbas dalam contoh kelima dan Al-Mutanabbi dalam contoh keenam. Mereka tidak dapat disifati sebagai orang yang jujur maupun orang yang dusta karena masingmasing tidak menginformasikan terjadi atau tidaknya sesuatu.

 

Bila kita perhatikan dengan saksama seluruh kalimat atau pembicaraan yang kita dengar, maka seluruhnya tidak lepas dari salah satu dari kedua macam kalimat ini. Kalimat macam pertama disebut sebagai kalam khabar (kalimat berita), sedangkan kalimat macam kedua disebut sebagai kalam insya’ (bukan kalimat berita).

 

Kemudian perhatikanlah contoh-contoh di atas atau kalimat-kalimat lainnya, maka akan kita dapatkan bahwa setiap kalimat terdiri atas dua unsur dasar, yaitu mahkum ‘alaih (subyek) dan mahkum bih (predikat). Unsur pertama disebut sebagai musnad ilaih (tempat pe. nyandaran berita), dan unsur kedua disebut sebagai musnad (berita yang disandarkan). Adapun kata-kata yang bukan termasuk salah sa, tu dari keduanya disebut sebagai gaid (pelengkap kalimat) dan bukan unsur yang asasi.

 

  1. Kaidah

 

(28) Kalam itu ada dua macam, yaitu kalam khabar dan kalam insya’.

 

  1. Kalam khabar adalah kalimat yang pembicaranya dapat dikatakan sebagai orang yang benar atau dusta. Bila kalimat itu sesuai dengan kenyataan, maka pembicaranya adalah benar: dan bila kalimat itu tidak sesuai dengan kenyataan, maka pembicaranya adalah dusta.

 

  1. Kalam insya adalah kalimat yang pembicaranya tidak dapat disebut sebagai orang yang benar ataupun sebagai orang yang dusta.

 

(29) Setiap kalam, baik kalam khabar maupun kalam insya”, terdiri atas dua unsur asasi, yaitu mahkum ‘alaih dan mahkum bih. Unsur pertama disebut sebagai musnad ilaih dan unsur kedua disebut sebagai musnad  sedangkan kata-kata selebihnya, selain mudhaf ilaih dan shilah, disebut sebagai gaid.”

 

4 Latihan-Latihan

 

Contoh Soal:

 

Jelaskan macam-macam jumlah (kalam/kalimat) dan tentukanlah musnadilaih dan musnad pada setiap kalimat pokok berikut ini!

 

  1. Abdul Hamid Al-Katib memberi wasiat tentang keindahan sastra kepada orang-orang yang seprofesi:

 

Wahai para penulis, berlomba-lombalah dalam memperindah aspek-aspek sastra, pahamilah agama, mulailah dengan mempelajari ilmu kitab Allah, lalu bahasa Arab karena ia menjadi pemanis bahasamu, lalu perbaikilah tulisanmu karena ia sebagai penghias kitab-kitabmu, riwayatkanlah syair-syair, kenalilah keunikan dan makna-maknanya, kenalilah hari-hari orang Arab dan non-Arab, kejadian-kejadian dan perjalanan hidup mereka karena yang demikian akan mendukung tercapainya cita-citamu.

 

  1. Abu Nuwas berkata:

 

Datang dan terhentinya rezeki itu ditentukan oleh keputusan dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, bersabarlah bila waktu menimpakan bencana kepadamu, karena perisai orang yang teguh hati adalah dengan bersabar.

 

  1. Bedakanlah jumlah khabariyyah dari jumlah insya’iyyah dan tentukan musnad ilaih dan musnadnya!

 

  1. Sebagian mutiara hikmah yang dinisbatkan kepada Ali bin Abu Thalib r.a. dalam suratnya kepada Al-Harits Al-Hamadzani100 adalah:

 

Berpegang teguhlah kepada ketentuan Al-Qur’an dan mintalah nasihat kepadanya. Halalkanlah apa yang dihalalkannya, haramkanlah apa-apa yang diharamkannya. Ambillah pelajaran dari kejadian-kejadian yang telah terjadi di muka bumi untuk menghadapi kejadian-kejadian yang akan datang karena sebagian kejadian-kejadian dunia itu menyerupai sebagian kejadian yang lain. Kejadian-kejadian dunia yang terjadi di kemudian hari adalah mengikuti kejadian yang telah berlalu. Setiap kejadian itu berubah-ubah. Agungkanlah nama Allah dan jangan kau menyebut nama-Nya kecuali dalam hal yang benar.

 

  1. Di antara mutiara hikmah yang juga disandarkan kepada Ali k.w.:

 

Hindarilah olehmu awal datangnya dingin dan terimalah akhirnya karena rasa dingin itu menyerang tubuh sebagaimana ia menyerang tumbuh-tumbuhan, awalnya meruntuhkannya dan akhirnya menumbuhkan kembali daun-daunnya.

 

  1. Sebagian ahli balaghah menulis tentang permohonan belas kasihan:

 

Aku berlindung kepada ampunanmu, aku bernaung dalam kemurahan hatimu. Maka berilah aku manisnya kerelaan, dan lupakanlah dariku pahitnya kemurkaan di masa lalu.

 

III. ‘ Pahamilah bait-bait syair berikut, bedakan jumlah khabariyah dan jumlah insya’iyah-nya, dan tentukan musnad ilaih dan musnad-nya!

 

  1. Penyusun kitab Al ‘Igdul-Farid menyifati dunia:

 

Perhatikanlah, sesungguhnya dunia itu (bagaikan) indahnya pohonpohonan yang bila salah satu sisinya menghijau, maka sisi yang lain kering. Orang yang banyak berharap terhadap dunia, pastilah ia lapar. Dan tiada kenikmatan dunia kecuali merupakan musibah. Maka janganlah kamu mencelak kedua matamu dengan air mata karena menangisi sebagian dunia yang lenyap, karena sesungguhnya engkau pun akan lenyap.

 

  1. Ibnul-Mu’tazz berkata:

 

Orang yang pemurah itu bukanlah orang yang memberikan pemberi. annya karena ingin dipuji sekalipun harga peniberiannya itu mahal, Bahkan orang yang pemurah itu adalah orang yang memberikan pem. beriannya tanpa motivasi apa pun selain ia mengetahui kebaikan sebagai sesuatu yang baik.

 

la tidak mengharapkan pujian kerena berbuat kebaikan, dan tidak mengharapkan balasan setelah meniberi.

 

III. ‘Ubahlah ke dalam bentuk kalimat prosa yang benar, lalu tentukanlah jumlah khabariyyah-nya dan jumlah insya’iyyah-nya! .

 

Janganlah kamu berbuat baik kecuali kepada orang-orang yang mulia, karena mereka akan membalas kenikmatan kepada orang yang memberinya kenikmatan.

 

Sedangkan orang yang berbuat baik kepada orang-orang yang suka mencela, maka setelah itu akan Anda lihat bahwa ia kecewa.

 

  1. 1. Sifatilah kehidupan orang-orang pedesaan dengan kalam khabar!

 

  1. Kirimlah surat kepada seseorang yang sedang sakit mata dan Anda mengharapkan kesembuhannya, dan Anda menasihatinya dengan hal-hal yang mendukung kesembuhannya untuk selamanya, dan sebagian surat tersebut hendaknya berupa kalam insya’!

 

  1. Kalam Khabar

B.1 Tujuan Pengungkapan Kalam Khabar

 

  1. Contoh-Contoh

1)Nabi Muhammad Saw. dilahirkan pada tahun Gajah, diturunkan wahyu kepadanya ketika beliau berumur empat puluh tahun. Beliau bermukim di Mekah selama tiga belas tahun dan di Madinah selama sepuluh tahun.

 

2)  Umar bin Abdul Aziz tiaak mengambil harta sedikit pun dari baitul mal, dan tidak menetapkan bagi dirinya satu dirham pun dari harta fai’.

 

3) Sungguh benar-benar kamu bangkit dari tidurmu hari ini pagi sekali.

 

4)   Anda bekerja di kebun Anda setiap hari.

 

5) Yahya Al-Barmaki berkata kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid:

 

Sesungguhnya orang-orang ‘Barmak yang ditimpa bencana darimu waJah-wajahnya menguning dan pakaiannya tampak hina.

 

6) Allah Swt. berfirman mengisahkan pengaduan Zakariya a.s.:

 

Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban. (QS Maryam : 4)

 

7) Salah seorang Arab Badui meratapi anaknya:

 

Ketika aku memanggil kesabaran dan dukacita setelah kaupergi, maka dukacita memenuhi panggilanku dengan taat, sedangkan kesabaran tidak mau memenuhinya. Maka apabila darimu aku putus harapan, sesungguhnya kesusahan akan senantiasa menimpamu selama waktu masih berjalan.

 

8) Amr bin Kultsum berkata:

 

Apabila anak kita sudah sampai waktu penyapihan (berhenti menyusu), maka orang-arang besar dan sombong akan tunduk sujud kepadanya.

 

9) Thahir bin Al-Husain mengirim surat kepada Al-Abbas bin Musa Al-Hadi yang terlambat membayar upeti daerahnya:

 

Orang yang punya banyak kebutuhan itu bukanlah orang yang sepanjang malam tidur nyenyak. Akan tetapi, orang yang punya banyak kebutuhan adalah orang yang sepanjang malam dalam ketakutan.

 

  1. Pembahasan

Perhatikanlah dua contoh pertama, masing-masing menunjukkan bahwa si pembicara bermaksud menyampaikan hukum yang terkandung dalam berita yang disampaikannya. Hukum tersebut disebut sebagai faa-idatul khabar. Jadi, pembicara dalam contoh pertama bermaksud memberi tahu pendengarnya tentang hal yang semula tidak diketahuinya, yakni tahun kelahiran Nabi Saw., sejarah pewahyuan Al-Qur’an kepadanya, dan lama mukimnya di Mekah dan Madinah. Sedangkan dalam contoh kedua pembicara memberi tahu pendengar nya tentang hal yang belum diketahuinya mengenai Umar bin Abdul Aziz, yakni sikap memelihara kehormatan dan zuhud terhadap harta umat Islam.

 

Setelah itu perhatikan kedua contoh berikutnya, maka akan Anda temukan bahwa pembicaranya tidaklah bermaksud sekadar memberitahukan sesuatu kepada pendengarnya karena hukum yang terkandung dalam kalimat yang disampaikan itu telah maklum baginya sebelum si pembicara menyampaikannya. Maksud pembicara tiada lain adalah ingin menjelaskan bahwa dirinya juga tahu tentang isi berita yang ia sampaikan itu. Hal yang demikian disebut sebagai laazimul faa-idah.

 

Selanjutnya, perhatikanlah kelima contoh berikutnya, maka akan Anda temukan bahwa si pembicara dalam setiap contoh itu ti, daklah bermaksud menyampaikan faa-idatul khabar maupun laazimu faa-idah, melainkan mempunyai maksud-maksud lain yang dapat di, ketahui oleh orang yang tajam pemahamannya dengan menganalisis maksud pembicara itu dari susunan kalimatnya. Yahya Al-Barmakij dalam contoh kelima tidak bermaksud memberi tahu Harun Ar-Rasyid tentang segala hal yang ia ketahui mengenai nasib yang diderita orang-orang Barmak yang terhina lagi miskin karena Harun Ar-Rasyid sendirilah yang menginstruksikan tindakan itu. Jadi, tentang hal itu Harun Ar-Rasyidlah yang lebih tahu. Tidak pula pembicara itu bermaksud menunjukkan bahwa ia tahu tentang penderitaan tersebut. Maksudnya tiada lain adalah untuk mengharap belas kasihan dan perhatian Harun Ar-Rasyid, barangkali ia sudi memperhatikan pembicaraannya dan kembali berbuat baik dan belas kasihan kepada mereka.

 

Pada contoh keenam, Zakariya menyifati dirinya dan menampakkan kelemahannya dan terkikis kekuatannya. Seorang Arab Badui pada contoh ketujuh menampakkan kesedihannya karena kehilangan anak dan tambatan hatinya. Dalam contoh kedelapan, Amr bin Kultsum pamer dan sombong dengan kaumnya dan bangga terhadap kekuatan mereka. Thahir bin Al-Husain pada contoh terakhir tidak bermaksud menyampaikan berita, melainkan bermaksud mengimbau pegawainya untuk giat dan bersunguh-sungguh dalam menarik upeti daerahnya.

 

Seluruh maksud pada lima contoh terakhir ini dapat dipahami dari susunan kalimatnya, bukan dari pokok susunannya.

 

  1. Kaidah

(30) Pada pokoknya kalam khabar itu diucapkan untuk salah satu dari dua maksud berikut:

 

  1. Memberi tahu kepada orang yang diajak bicara mengenai hukum yang terkandung di dalamnya, dan hukum tersebut disebut sebagai faa-idatul khabar.

 

  1. Memberi tahu bahwa si pembicara mengetahui hukum yang terkandung di dalamnya, dan hal ini disebut sebagai laazimul faa-idah.

 

(31) Akan tetapi, kadang-kadang kalam khabar diucapkan untuk maksud yang lain yang dapat dipahami dari susunan kalimat. Maksud-maksud lain tersebut antara lain adalah:

 

  1. Al-Istirhaam, untuk mencari belas kasihan.
  2. Izhhaarudh-Dha’fi, untuk menampakkan kelemahan.
  3. Izhhaarut-Tahassur, untuk menampakkan kekecewaan.
  4. Al-Fakhr, untuk kesombongan.
  5. Mengimbau untuk berusaha dan rajin.

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal:

 

1) Mu’awiyah r.a. adalah orang yang bagus politik dan kepemimpinannya, penyantun dan lembut pada tempatnya, dan berlaku keras pada tempatnya.

 

2) Sungguh engkau benar-benar mendidik anakmu dengan lunak dan penuh kasih sayang, bukan dengan kasar dan siksaan.

 

3) Umar bin Al-Khaththab wafat pada tahun dua puluh tiga Hijriah.

 

4) Abu Firas Al-Hamdani berkata:

 

Kemurahanku adalah sejumlah bintang, rumahku adalah tempat perlindungan orang-orang mulia dan tempat peristirahatan para tamu.

 

5) Abuth-Thayyib berkata:

 

Tidak setiap orang yang senang keindahan itu dapat mewujudkannya, dan tidak setiap orang yang mewujudkan keindahan itu sempurna.

 

6) Abuth-Thayyib berkata dalam meratapi saudara perempuan Saifud-Daulah:

 

Wahai kematian, engkau telah khianat, sudah berapa banyak jiwa orang yang engkau renggut dengan musibahmu dan sudah berapa banyak engkau diamkan hiruk-pikuk mereka.

 

7) AbulAtahiyah meratapi kematian anaknya, yakni Ali:

 

Aku menangisimu wahai Ali, dengan air mataku, namun tangisan itu tiada memberi faedah sedikit pun bagimu. Dalam kehidupanmu banyak terdapat pelajaran bagiku, dan hari ini kamu menjadi pelajaran yang lebih mendalam daripada ketika kamu masih hidup.

 

8) Sesungguhnya delapan puluh dan penemuanku terhadapnya benar-benar menjadikan pendengaranku membutuhkan juru terjemah.

 

9) Abul-‘ala’ Al-Ma’arri berkata:

 

Aku mempunyai pemikiran yang tidak rela dengan kedudukanmu yang sebenarnya, mengingat bahwa aku diam di antara dua bintang yang tinggi.

 

10) Ibrahim bin Al-Mahdi berkata kepada Al-Ma’mun:

 

Aku melakukan suatu kesalahan yang besar, dan engkau sangat pengampun. Maka bila kamu memaafkanku, itulah yang kuharapkan, dan bila kamu membunuhku, maka engkau adalah adil.

 

Contoh Jawaban:

 

1) Maksudnya adalah memberi tahu orang yang diajak bicara mengenai hukum yang terkandung di dalam pembicaraan.

 

2) Maksudnya adalah memberi tahu kepada orang yang diajak bicara bahwa orang yang bicara itu mengetahui tata cara mendidik anaknya.

 

3) Untuk memberi tahu kepada orang yang diajak bicara tentang hukum yang terkandung di dalam pembicaraan.

 

4 Menampakkan kebanggaan, sebab Abu Firas tiada lain hanya hendak membanggakan kemurahan dan akhlak-akhlaknya.

 

5) Untuk memberi tahu kepada orang yang diajak bicara tentang hukum yang terkandung di dalam pembicaraannya karera Abuth-Thayyib hendak menjelaskan kepada orang-orang yang mendengar tentang kelalaian dalam kebaikan yang dilakukan sebagian manusia.

 

6) Untuk menampakkan kesedihan dan penderitaan.

 

7) Untuk menampakkan kesusahan dan kesedihan atas kepergian orang tuanya.

 

8) Untuk menampakkan kelemahan dan ketidakmampuan.

 

9) Untuk membanggakan akal dan lisan.

 

10) Untuk minta belas kasihan dan kasih sayang.

 

  1. Jelaskan maksud kalimat-kalimat berikut!

 

  1. Barang siapa baik hubungannya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia. Barang Siapa membaguskan urusan akhiratnya, maka Allah akan membaguskan urusan dunianya. Dan barang siapa menjadikan dirinya sebagai peringatan, maka Allah akan menjadi pelindungnya.

 

  1. Sesungguhnya engkau benar-benar dapat menahan kemarahan dan bersabar ketika marah, engkau mau memberi maaf ketika berkuasa, dan lapang dada terhadap ketergelinciran.

 

  1. Abu Firas Al-Hamdani berkata:

 

Sesungguhnya kami, bila zaman mulai genting dan peperangan kig membesar, engkau meniinta bantuan untuk menjaga di sekitar rumah kami sarana-sarana keberanian dan kemurahan untuk meyambut da. tangnya musuh dengan pedang-pedang yang tajam, dan untuk dignya berupa ternak unta merah. Itulah dan itulah tradisi kami, darah dialirkan dan dibayar diatnya.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Malam-malam yang terang telah berlalu di masa kecil, dan uban berdatangan pada setiap hari yang gelap.

 

  1. Marwan bin Abi Hafshah menyatakan dalam gasidah yang panjang dalam meratapi Ma’n bin Za-idah.

 

Ma’n telah meninggal di jalan Allah dengan meninggalkan jasa yang tidak akan musnah dan tidak dapat diraih orang lain. Seakan-akan matahari pada hari kematian Ma’n itu berselimutkan peneduh karena saking gelapnya. Ia adalah gunung yang padanya Bani Nizar memukul mundur musuhnya ke gunung lainnya. Apabila karena kematiannya itu negaranya menjadi bungkam dan tenggelam, maka dengan kematiannya itu kesombongan akan bertahan. Kematian itu ketika menimpa diri Ma’n adalah telah merenggut seorang manusia yang paling mulia perbuatannya.  Seluruh manusia merasa berkepentingan kepada Ma’n sehingga mereka menziarahi makamnya.

 

  1. Seorang penyair lain berkata:

 

Maka tiada daya bagiku kecuali berharap dan berprasangka baik terhadap ampunanmu bila engkau mengampuni.

 

Sering kali karena aku tergelincir ke dalam dosa-dosa (kesalahan-kesalahan), maka aku menggigit ujung jari dan mengadukan gigi (menyesal). Manusia menganggapku baik, padahal sesungguhnya aku benar-benar makhluk yang terjelek bila engkau tidak mengampuniku.

 

  1. Abu Nuwas berkata ketika sakit menjelang kematiannya:

 

Penyakit menyerangku dari atas dan dari bawah, dan kurasa seluruh anggota tubuhku mati satu per satu. Masa mudaku telah berlalu dengan mengikuti hawa nafsuku, dan aku tersadar untuk taat kepada Allah ketika berbaju rusak dan kurus (tua renta). Jiwaku menderita siang dan malam, yang semuanya kulewati dengan bermain dan berfoya-foya. Kami benar-benar telah berbuat kejelekan. Maka dari itu Ya Allah, aku mohon maaf dan ampunan-Mu.

.

  1. Bila kamu melihat suatu aib pada saudaramu, maka janganlah kau menyembunyikannya.

 

  1. Ibnuh Nabatah As-Sa’di berkata:

 

Akan sirnalah barang yang dicari bagi orang yang malas dengan penuh harapan yang kosong, dan orang yang senantiasa berusaha akan dapat mendekati kebutuhannya.

 

  1. Al-Amir Abul-Fadhl Ubaidullah’) menyifati hari yang hujan:

 

Langit menimpakan bencana kepadaku pada waktu terang cuaca dengan siraman hujan yang menutupi ketelantaranku.

 

Teman-temanku dapat menghindar dari bahayanya, padahal ia menutupi bahaya yang sangat menakutkan.

 

Maka tidak ada seorang pun yang berlindung di balik tembok dan mengungsi ke lubang gunung yang kosong.

 

Langit-langit atap berbuat baik kepadaku dengan curahan air mata yang tidak mengalir karena berdukacita.

 

  1. AlJahizh berkata, “Musyawarah itu benih akal dan pemandu kebenaran, orang yang bermusyawarah itu berada di dekat (keberuntungan), dan tersinarinya seseorang oleh pendapat orang lain, termasuk suatu hal yang pasti dan merupakan suatu estafeta pendidikan.”

 

  1. Al-Mutanabbi berkata ketika terserang penyakit demam:

 

Aku bermukim di wilayah Mesir karena baik di belakang maupun di depanku tidak ada unta yang membawaku.

 

Kasur telah membosankan aku, dan punggungku bosan bertemu dengannya sekalipun setahun hanya satu kali.

 

  1. Uraikanlah Ucapan Abuth-Thayyib berikut ini dan jelaskan maksudnya!

 

Aku bersahabat dengan kesabaranku bila bersikap toleran terhadapku, dan aku tidak bersahabat dengan kesabaranku bila ia bersikap pengecut terhadapku. Dan aku tidak mau bergelimang harta yang menyebabkan aku terhina, dan aku tidak mau bersenang-senang dengan sesuatu yang menyebabkan harga diriku tercemar.

 

III. Jelaskanlah sifat negaramu (dengan kalam khabar) dengan maksud untuk membanggakan letaknya, udaranya, jernihnya langit, kesuburan tanahnya, dan kemajuan pembangunannya.

 

  1. 1. Buatlah enam jumlah khabariyah, yang tiga untuk maksud memberitahukan hukum yang terkandung di dalamnya, dan yang tiga lagi untuk maksud bahwa Anda juga mengetahui hukum yang terkandung di dalamnya.

 

  1. Buatlah tiga jumlah khabariyah, susunan dan karinah-karinah kondisinya menunjukkan untuk minta belas kasihan, menampakkan kelemahan dan kekecewaan.

 

  1. Buatlah tiga jumlah khabariyah yang susunannya dan karinah kondisinya menunjukkan imbauan untuk usaha, lalu untuk mencela, dan yang ketiga untuk menyombongkan diri secara berurutan.

 

B.2 Macam-Macam Khabar

 

1 Contoh-Contoh .

  1. Mu’awiyah menulis surat kepada salah seorang aparatnya. Di antara isinya menyatakan:

 

Tidak layak bagi kita mengatur manusia dengan peraturan yang sama. Kita tidak boleh lunak kepada seluruh manusia, sebab kalau demikian mereka akan bangkit dan berbangga diri dengan maksiat. Kita tidak boieh bersikap keras kepada seluruh manusia, sebab yang demikian ukan membawa mereka kepada kebinasaan. Melainkan engkau berlaku leras dan kasar, sedangkan aku berlaku lembut dan penuh kasih sayang.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Seorang pemuda itu berhasil dalam meraih kehidupannya, padahal ia bodoh. Dan seorang pemuda sangat sedikit hartanya sepanjang tahun, padahal ia pandai.

 

Seandainya rezeki itu berjalan sesuai dengan kemampuan akal, niscaya binatang akan binasa karena kebodohannya.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu, dan orang-orang yang berkata kepada saudarasaudaranya, “Marilah kepada kami.” Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar. (QS Al-Ahzab : 18)

 

  1. As-Sariyyur-Rafa-i berkata:

 

Sesungguhnya bangunan itu bila telah hancur suatu sisinya, maka tidak dapat dijamin bahwa manusia tidak akan meruntuhkan sisanya.

 

  1. Abul Abbas As-Saffah 11) berkata:

 

Sungguh benar-benar saya akan mengangkat orang-orang lemah lembut sebagai aparatku sehingga mereka akan menjadi keras. Sungguh akan saya muliakan orang-orang tertentu yang tidak dapat saya percayakan pengurusan mereka kepada masyarakat umum.

 

Sungguh saya akan menyarungkan pedang saya kecuali dihunus oleh kebenaran. Dan sungguh saya akan banyak memberi sehingga tidak ada lagi tempat pemberian.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu. (QS Ali Imran : 186) .

 

  1. Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar punya cita-cita yang mengarah kepada kemuliaan, dan cita-cita itu tidak lemah.

 

2, Pembahasan

Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, maka akan kita temukan semuanya adalah kalam khabar dan kita temukan bahwa pada contoh kelompok pertama tidak terdapat adat taukid. Contoh pada dua kelompok berikutnya diperkuat dengan satu atau dua lafaz penguat atau lebih.

 

Maka apa rahasia perbedaan jumlah lafaz penguat? Bila kita perhatikan, maka tidak akan kita temukan sebab-sebabnya selain kondisi mukhathab (kondisi orang yang diajak bicara). Jadi, mukhathab pada contoh kelompok pertama adalah khaaliyudzdzihni (hatinya bebas) dari kandungan kalimat-kalimat berita itu. Oleh karena itulah si pembicara tidak memandang perlu untuk mempertegas berita yang disampaikannya. Kalimat berita yang demikian disebut sebagai ibtidaa-i (kalimat pemula).

 

Pada contoh kelompok kedua tergambar bahwa mukhathab sedikit merasa ragu dan tampak padanya keinginan untuk mengetahui hakikat. Maka dalam kondisi yang seperti ini baik sekali disampaikan kepadanya kalimat berita yang berkesan meyakinkan dan menghilangkan keraguan. Oleh karena itu, dalam contoh ketiga kalimatnya diperkuat dengan gad, dan pada contoh keempat diperkuat dengan inna. Kalimat yang demikian disebut sebagai thalabi.

 

Pada contoh kelompok terakhir, mukhatab-nya mengingkari dan menentang isi beritanya. Dalam kondisi seperti ini kalimat wajib disertai beberapa sarana penguat yang mampu mengusir keingkaran mukhathab dan menjadikannya menerima. Pemberian penguat ini harus disesuzikan dengan frekuensi keingkarannya. Oleh karena itu, kalimat dalam dua contoh kelima dan keenam diperkuat dengan dua penguat, yaitu gasam (sumpah) dan nun taukid. Adapun pada contoh terakhir, penyair memperkirakan bahwa keingkarannya lebih kuat lagi, maka ia memperkuat pernyataannya dengan tiga macam penguat, yaitu gasam, inna, dan laam taukid. Kalimat yang demikian disebut inkaari.

 

Untuk memperkuat kalam khabar, ada beberapa lafaz yang akan kami jelaskan bersama dengan penjelasan gawa’id berikut.

 

  1. Kaidah

 

(32) Kondisi mukhathab itu ada tiga macam:

 

  1. Hatinya bebas dari hukum yang terkandung di dalam kalimat (yang akan diucapkan). Dalam kondisi demikian, kalimat disampaikan tanpa disertai adat taukid. Kalam khabar semacam ini disebut sebagai ibtidaa-i.

 

  1. Ragu terhadap hukum dan ingin memperoleh suatu keyakinan dalam mengetahuinya. Dalam kondisi demikian, lebih baik kalimat disampaikan disertai dengan lafaz penguat agar dapat menguasai dirinya. Kalimat semacam ini disebut fhalabi.

 

  1. Mengingkari isi kalimat. Dalam kondisi demikian, kalimat wajib disertai penguat dengan satu penguat atau lebih sesuai dengan frekuensi keingkarannya. Kalimat yang demikian disebut inkaari.

 

(33) Lafaz-lafaz penguat kalam khabar itu banyak, antara lain inna, anna, gasam, laam ibtida’, dua nun taukid (nun khafifah dan nun tsagilah), huruf-huruf tanbih (peringatan), huruf-huruf zaa-idah (tambahan), gad, dan ammaa syarthiyah.

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal:

 

Sebutkanlah macam kalam khabar berikut ini serta adat taukid-nya!

 

  1. Abul-‘Atahiyah berkata:

 

hesungguhnya aku mengetahui seluruh akibat dunia. Karena itulah, maka aku tinggalkan apa yang aku ingini mengingat apa yang aku takuti.

 

b Abuth-Thayyib berkata:

 

Kemauan itu datang sesuai dengan kadar keteguhan, dan kemurahan itu akan datang sesuai dengan kadar kemurahan. Kesungguhan dan kemurahan yang kecil itu akan menjadi besar dalam pandangan orang yang kecil, dan kesungguhan serta kemurahan yang besar itu menjadi kecil dalam pandangan orang besar.

 

  1. Hassan bin Tsabit r.a. berkata:

 

Sesungguhnya aku adalah manis yang tercampur oleh pahit. Dan sesungguhnya aku banyak meninggalkan hal-hal yang tidak biasa aku lakukan.

 

  1. Al-Arrajani berkata:

 

Sesungguhnya kita hidup di zaman yang penuh fitnah, maka tidak dapat dicela orang yang diliputi ketakutan.

 

  1. Labid berkata:

 

Sungguh benar-benar aku tahu bahwa kematianku pasti akan datang. Sesungguhnya anak-anak panah kematian itu tidak pernah meleset.

 

  1. An-Nabighah Adz-Dzubyani berkata:

 

Engkau bukanlah orang yang ingin melestarikan persaudaran dengan seseorang yang engkau tidak mau berkumpul dengannya dalam keadaan rambut kotor berdebu. Laki-laki mana yang bersih (dari aib).

 

  1. Asy-Syarif Ar-Ridha berkata:

 

Kadang-kadang seorang penakut dengan hartanya dapat mencapai suatu tingkat yang tidak dapat dicapai oleh seorang pemberani yang tidak berharta.

 

  1. Jelaskan macam-macam kalam khabar berikut ini dan adat taukidnya!

 

1 Tersebut dalam Nahjil-Balaghah:

 

Masa itu merusak tubuh, memperbarui angan-angan, mendekatkan kematian, menjauhkan cita-cita Rarang siapa dapat memanfaatkannya,

 

maka ia akan beruntung: dan barang siapa tidak dapat memanfaatkan nya, maka ia akan kelelahan.

 

  1. Al-Arrajani berkata:

 

Semangat bernurah hati dan memenuhi janji telah lenyap dari kebudayaan manusia kecuali dalam perasaan mereka. Khianat oleh orangorang terpercaya dan lainnya telah membudaya, hingga kami menganggapnya sebagai pemandangan mata (yang sudah biasa).

 

  1. Al-Abbas bin Al-Ahnaf berkata:

 

Aku bersumpah, bahwa tiada sekali-kali aku tidak mencelamu karena aku takut kepadamu, melainkan karena aku tahu bahwa sikap itu tidak bermanfaat.

 

  1. Muhammad bin Basyiir berkata:

 

Sesungguhnya aku jika tidak bersemangat lagi terhadap kekayaan itu, sedangkan hartaku tidak mampu memenuhi kebutuhanku, aku benarbenar akan meninggalkan semua perkara yang menyebabkan aku terkena aib dan lebih suka mendatangi tempat pengambilan air yang keruh.

 

5 Allah Swt. berfirman:

 

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus : 62)

 

6 Allah Swt. berfirman:

 

Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang khusyuk dalami salatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tiada berguna. (QS Al-Mu’minun: 1-3)

 

  1. Abu Nuwas berkata:

 

Sungguh aku melibatkan diriku bersama orang-orang yang tersesat dan melepaskan semua keinginan hawa nafsu bersama mereka. Aku telah mencapai apa yang dicapai oleh seseorang dengan masa mudanya. Maka ternyata hasil perasan itu adalah dosa.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata: –

 

Tidak pernah aku melihat sesuatu seperti hal yang ma’ruf: rasanya manis dan wajahnya indah.

 

  1. Ka’b bin Sa’d Al-Ghanawi berkata:

 

Aku bukanlah orang yang memperlihatkan rahasiaku kepada banyak orang, dan aku tidak banyak bertanya tentang rahasia mereka.

 

  1. Al-Ma’arri berkata dalam suatu ratapan: ,

 

Sesungguhnya orang yang dirundung rasa gelisah dalam rumahnya terhibur oleh rahmat dalam liang lahatnya.

 

  1. Tentukan jumlah-jumlah khabariyyah dalam pernyataan-pernyataan berikut ini, jelaskan macamnya dan adat taukidnya!

 

  1. Yazid bin Mwawiyah berkata setelah kematian ayahnya:

 

Sesungguhnya amirul mu’minin adalah salah satu tali Allah yang telah dipanjangkan-Nya sepanjang yang dikehendaki-Nya, lalu dipotong-Nya ketika Dia menghendaki untuk memotongnya. Ia berada di bawah orang yang sebelumnya dan lebih baik daripada orang yang datang setelahnya. Aku tidak menyebutkan kebersihannya di hadapan Tuhannya, ia telah kembali kepada-Nya. Bila Dia mengampuninya, maka atas dasar belas kasih-Nya: dan bila Dia menyiksanya, maka karena dosanya. Aku telah diserahi urusan pemerintahan setelahnya. Aku tidak berdalih terhadap kebodohanku, dan aku tidak keberatan untuk mencari ilmu. Janganlah tergesa-gesa, bila Allah membenci sesuafu, niscaya Dia akan mengubahnya, dan bila Dia mencintai sesuatu, maka Dia akan memudahkannya.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Sungguh bila aku membutuhkan kesabaran, maka sesungguhnya suatu waktu aku lebih membutuhkan kebodohan. Aku tidak rela terhadap kebodohan sebagai sahabat dan kekasih, tetapi rela terhadapnya ketika aku terjerumus ke dalamnya. Aku mempunyai kuda yang berkendalikan kesabaran, yang membawaku mencapai kesabaran, dan aku mempunyai kuda yang berpelanakan kebodohan, yang membawaku terjerumus ke dalam kebodohan. Maka barang siapa hendak meluruskan aku, maka sesungguhnya aku adalah orang yang harus diluruskan: dan barang siapa yang ingin membelokkan aku, maka sesungguhnya aku dapat dibelokkan.

 

III. 1. Gambarkanlah sekan-akan Anda sedang berdebat dengan seorang Siswa jurusan sastra, sedangkan Anda adalah salah seorang siswa jurusan science (sains). Jelaskan kepadanya kelebihan-kelebihan sains atas sastra dengan menggunakan berbagai macam kalam khabar!

 

  1. Bila Anda adalah salah seorang siswa sastra, niaka jelaskan kelebihan-kelebihan sastra atas sains!

 

  1. Buatlah sepuluh buah kalani khabar yang masing-masing mengandung satu atau lebih adat taukid yang Anda ketahui!

 

  1. Uraikan kedua bait syair berikut ini dengan jelas, dan terangkan ma” cam-macam kalam khabar yang terkandung di dalamnya!

 

Engkau berkasih sayang dengan musuhku, namun engkau menganggap aku sebagai temanmu? Sesungguhnya pendapatmu itu benar-benar jauh (tidak logis). Bukanlah saudaraku orang yang mengasihi aku di hadapan matanya, melainkan saudaraku adalah orang yang mengasihi aku bila ia tiada di depanku.

 

B.3 Penyimpangan Kalam Khabar dari Ketentuan Lahiriyahnya

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Allah Swt. berfirman:

 

Dan janganlah kau bicarakan kepada-Ku tentang orang-orang zalim itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS Huud: 37)

  1. Allah Swt. berfirman :

 

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan. (QS Yusuf: 53)

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Kemudian, sesudah itu sesungguhnya kamu benar-benar akan mati. (QS Al-Mu’minun : 15)

 

  1. Hajal bin Nadhlah Al-Oaisi berkata:

 

Syaqiq datang dengan merentangkan tombaknya. Sesungguhnya anak-anak pamanmu memiliki banyak tombak.

 

e Allah Swt. berfirman, menyeru orang-orang yang mengingkari keesaan-Nya:

 

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. (QS Al-Baqarah: 163)

 

  1. Kebodohan itu merugikan. (Kalimat ini disampaikan kepada orang yang mengingkari bahaya kebodohan.)

 

  1. Pembahasan Telah kita ketahui dari penjelasan-penjelasan di muka bahwa bila miukhathab kosong hatinya, maka kalam khabar tidak perlu diperkuat dengan huruf taukid. Bila ia meragukan kandungan kalimat berita itu, maka lebih baik kalimatnya disertai dengan huruf taukid. Dan bila ia mengingkarinya, maka kalimat wajib disertai dengan huruf taukid. Penyampaian kalam yang demikian ini sesuai dengan maksud lahiriahnya. Namun, kadang-kadang kita dapatkan beberapa pertimbangan yang menghendaki adanya penyimpangan dari maksud lahiriahnya,

 

Perhatikanlah contoh pertama di atas, maka akan Anda dapatkan bahwa sebenarnya mukhathab-nya adalah khaalidz-dzihni (kosong hatinya, akan percaya sepenuhnya) terhadap hukum yang khusus bagi orang-orang zalim. Jadi, pada dasarnya kalimat yang disampaikan kepadanya tidak perlu diperkuat dengan huruf taukid. Akan tetapi, firman di atas disertai huruf taukid. Maka apakah sebabnya ayat ini disimpangkan dari maksud lahiriahnya? Sebabnya adalah bahwa ke. tika Allah melarang Nabi Nuh a.s. mengadukan kepada-Nya tentang urusan orang-orang yang menyalahi perintah-Nya, maka Allah menunjukkan kepada Nabi Nuh a.s. sesuatu yang akan menimpa mereka. Oleh karena itu, Allah Swt. menempatkan Nabi Nuh sebagai penanya yang meragukan, apakah mereka itu akan dihukum dengan ditenggelamkan ataukah tidak. Maka Allah menjawab dengan firman-Nya: “Sesungguhnya mereka akan ditenggelamkan.”

 

Demikian halnya dalam contoh kedua. Sesungguhnya mukhathab-nya adalah khaaliyudz-dzihni terhadap hukum yang terkandung dalam firman-Nya: “Sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” Namun, karena hukum tersebut telah didahului oleh kalimat lain, yakni firman Allah: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan)” yang mengisyaratkan bahwa hawa nafsu atau jiwa itu diberi hukum yang tidak disenanginya, sehingga mukhathab terperanjat dan memusatkan perhatiannya kepada hukum tersebut. Oleh karena itu, Allah menempatkannya sebagai seorang mukhathab yang ragu dan mencari hakikat. Dan khabar disampaikan kepadanya dengan disertai huruf taukid.

 

Perhatikanlah contoh ketiga, maka akan Anda dapatkan mukhathabnya tidaklah mengingkari hukum yang terkandung dalam firman Allah: “Kemudian, sesudah itu sesungguhnya kamu benar-benar akan mati.” Namun, apa sebabnya firman itu disampaikan kepada mereka dengan disertai huruf taukid? Sebabnya adalah tampaknya tanda-tanda keingkaran pada mereka karena kelalaian mereka dari kematian dan ketidaksiapsiagaan mereka dengan amal saleh untuk menghadapi kematian itu dianggap sebagai tanda-tanda keingkaran. Oleh karena itu, mereka ditempatkan sebagai orang-orang yang ingkar, dan khabar itu disampaikan kepada mereka diperkuat dengan dua huruf taukid.

 

Demikian halnya dengan ucapan Hajal bin Nadhlah dalam syairnya. Sesungguhnya Syagig tidak mengingkari tombak-tombak yang: dimiliki oleh anak-anak pamannya. Akan tetapi, kedatangannya dengan merentangkan tombaknya tidak untuk siap-siap perang adalah suatu hal yang menunjukkan ketidakpeduliannya dan keyakinannya bahwa anak-anak pamannya adalah orang-orang yang tidak memiliki senjata. Oleh karena itu, ia ditempatkan sebagai orang yang ingkar, dan karenanya khabar yang disampaikan kepadanya diperkuat dengan huruf taukid. Perhatikanlah contoh kelima, maka akan Anda dapatkan bahwa Allah menyeru orang-orang yang mengingkari dan menentang keesaan-Nya. Akan tetapi, Dia menyampaikan khabar kepada mereka tanpa disertai dengan huruf taukid seperti yang disampaikan kepada seJain orang yang ingkar. Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa sesungguhnya di hadapan mereka terdapat bukti-bukti yang jelas dan hujjah-hujjah yang pasti, yang seandainya mereka mau memperhatikannya, niscaya mereka akan menemukan hal-hal yang sangat memuaskan dan menundukkan. Oleh karena itu, Allah tidak menegakkan pertimbangan bagi keingkaran yang demikian, dan tidak menganggap perlu mengarahkan khithab secara khusus kepada mereka. Demikian halnya dengan contoh yang terakhir. Sesungguhnya di hadapan mukhathab terdapat beberapa dalil atas bahaya kebodohan, yang seandainya mereka perhatikan, niscaya akan melenyapkan keingkarannya. Oleh karena itu, khabar disampaikan kepadanya tanpa disertai huruf taukid.

 

  1. Kaidah

(34) Bila suatu kalam khabar disampaikan tanpa disertai huruf taukid kepada mukhathab yang khaaliyudz-dzihni, dan disertai adat taukid sebagai kebaikan terhadap mukhathab yang tampak ragu, serta disertai huruf taukid sebagai kewajiban terhadap orang yang ingkar, maka kalam khabar yang demikian sesuai dengan maksud lahiriahnya.

 

(35) Kadang-kadang maksud suatu kalam khabar itu menyalahi lahiriahnya karena adanya beberapa pertimbangan yang diperhatikan oleh si pembicara, diantaranya adalah:

 

  1. Mukhathab yang khaaliyudz-dzihni ditempatkan sebagai penanya yang ragu bila kalam khabar tersebut didahului oleh kalimat yang mengisyaratkan hukum dalam kalam khabar tersebut.

 

  1. Mukhathab yang bukan orang yang ingkar dianggap sebagai orang yang ingkar karena tampaknya beberapa tanda keingkaran padanya.

 

  1. Mukhathab yang ingkar dianggap sebagai orang yang tidak ingkar bila di hadapannya terdapat beberapa dalil dan bukti, yang seandainya diperhatikan, niscaya musnahlah keingkar. annya itu.

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal:

 

Jelaskanlah sebab penyimpangan maksud kalam khabar pada kalimat-kalimat berikut ini!

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (QS Al-Hajj: 1)

 

  1. Sesungguhnya berbuat baik kepada kedua orang tua itu benar-benar wajib. (Diucapkan kepada orang yang tidak patuh kepada kedua orang tuanya.)

 

  1. Sesungguhnya Allah itu benar-benar melihat seluruh perbuatan hamba-hamba-Nya. (Dikatakan kepada orang yang berbuat zalim kepada orang lain tanpa hak.)

 

  1. Allah itu ada. (Dikatakan kepada orang yang mengingkari keberadaan Allah.) ,

 

Contoh Jawaban:

 

  1. Lahiriah ayat ini menunjukkan bahwa berita itu disampaikan tanpa memakai huruf taukid karena mukhathab-nya adalah orang yang khaaliyudz-dzihni terhadap hukum yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, karena kalam tersebut didahului kalimat yang mengisyaratkan hukum lain, maka perhatian mukhathab tercurah kepadanya. Maka ia ditempatkan sebagai penanya yang ragu-ragu dan dipandang baik bila kalam yang disampaikan kepadanya disertai dengan huruf taukid.

 

2 Petunjuk lahiriah kalam ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kalam ini disampaikan tidak perlu disertai dengan huruf taukid karena mukhathab-nya tidak mengingkari bahwa berbuat baik kepada orang tua itu wajib serta tidak meragukan hal itu. Akan tetapi, kedurhakaannya merupakan salah satu tanda keingkaran. Oleh karena itu, ia ditempatkan sebagai orang yang ingkar.

 

  1. Lahiriah kalam ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kalam jni disampaikan tidak perlu disertai huruf taukid karena mukhathab-nya tidak mengingkari hukum yang terkandung di dajamnya serta tidak meragukannya. Akan tetapi, ia ditempatkan sebagai orang yang ingkar dan kalam yang diucapkan kepadanya disertai adat taukid karena padanya tampak tanda-tanda keingkaran, yaitu kezalimannya terhadap sesama manusia tanpa hak.

 

  1. Lahiriah kalam ini menghendaki pengucapannya disertai taukid karena mukhathab-nya mengingkari keberadaan Allah. Akan tetapi, karena di hadapannya terdapat beberapa dalil dan bukti, yang bila diperhatikan niscaya musnahlah keingkarannya itu, maka ia dianggap sebagai orang yang tidak ingkar, dan kalam yang diucapkan kepadanya tidak disertai huruf taukid.

 

  1. Jelaskanlah sebab penyimpangan maksud kalam khabar dari petunjuk lahiriahnya pada kalimat-kalimat berikut ini!

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kantu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. (QS At-Taubah : 103)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Katakanlah (hai Muhammad): Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (QS Al-Ikhlas: 1 – 2)

 

  1. Sesungguhnya pengangQur’an itu suatu kerusakan. (Diucapkan kepada seseorang yang mengetahui akibatnya, tetapi ia enggan bekerja.)

 

  1. Ilmu itu bermanfaat. (Diucapkan kepada seseorang yang mengingkari manfaat ilmu.)

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Bersikap lembut lah kepada mereka, hai Tuan, karena sesungguhnya berbuat lemah lenibut kepada orang yang berdosa itu adalah suatu celaan (baginya).

 

  1. 1. Buatlah dua kalimat khabar yang masing-masing disertai huruf taukid sebagai hal yang Laik kepada mukhathab sekalipun menyalahi maksud lahiriahnya, serta jelaskan penyebab pada masing-masingnya.

 

  1. Buatlah dua kalam khabar yang masing-masing wajib disertai adat taukid dan menyalahi maksud lahiriahnya, serta jelaskan sebab pemberian huruf taukid pada masing-masingnya.

 

  1. Buatlah dua kalam khabar yang tidak disertai adat taukid dan menyalahi maksud lahiriahnya, serta jelaskan sebab penyimpangan pada kedua contoh tersebut.

 

III. Jelaskan pernyataan “Antarah berikut ini dan jelaskanlah sebab pemberian adat taukid padanya!

 

Alangkah hebatnya Bani Abs. Mereka benar-benar telah melahirkan orang-orang yang mulia sebagaimana yang dilahirkan oleh orang-orang Arab (terkemuka).

 

C, Kalam Insya’

C1. Kalam Insya’ Terbagi Menjadi Insya” Thalabi dan Insya “Ghair Thalabi

 

1.Contoh-Contoh

a, Cintailah orang lain sebagaimana kamu mencintai dirimu!

 

  1. Di antara fatwa Al-Hasan r.a. adalah:

 

Janganlah kau menuntut balasan kecuali senilai apa yang kamu kerjakan.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Perhatikanlah, hari ini tidak ada seorang pun yang mencela SaifudDaulah. Semoga seluruh manusia menebusinya dengan pedang-pedang yang paling tajam.

 

  1. Hisan bin Tsabit berkata:

 

Semoga syairku dan burung itu memberitahukan kepadaku apa yang terjadi antara Ali dan Ibnu Affan.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Wahai orang yang bagi kami sulit berpisah dengan mereka, apa pun yang kami dapatkan setelah (perpisahan dengan)-mu adalah tidak ada (bagi kami).

 

  1. Ash-Shimmah bin Abdullah berkata:

 

Demi diriku, alangkah baiknya bumi yang tinggi itu dan alangkah indahnya sebagai tenipat peristirahatan di musim panas dan musim semi.

 

  1. AlJahizh berkata tentang kitab:

 

Setelah itu, maka sebaik-baiknya pengganti dari ketergelinciran adalah berdalih, dan sejelek-jeleknya pengganti dari tobat adalah terus-menerus melakukan maksiat.

 

  1. Abdullah bin Thahir berkata:

 

Demi usiamu, kekayaan itu tidak dapat diperoleh dengan akal, sebagaimana akal pun tidak dapat diperoleh dengan harta.

 

  1. Dzur-Rummah!

 

Barangkali cucuran air mata itu dapat menjadi penawar kerinduan Atau dapat menyembuhkan kegelisahan dan kesusahan yang memenuhi dada.

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Barangkali orang yang meminta kepadamu suatu permintaan di hari ini mempunyai kebutuhan ketika engkau tidak melayaninya, dikhawatirkan keadaannya berbalik, besok adalah hari untuknya.

 

  1. Pembahasan Seluruh kalimat pada contoh-contoh di atas adalah kalani insya’ karena semuanya tidak mengandung pengertian membenarkan dan tidak pula mendustakan. Bila kita perhatikan, maka contoh-contoh itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah kalimat-kalimat yang digunakan untuk menghendaki keberhasilan sesuatu yang belum berhasil pada saat kehendak itu dikemukakan. Oleh karena itu, kalam insya’ yang demikian disebut sebagai kalam insya’ thalabi. Adapun kalimat pada contoh-contoh kalam insya’ bagian kedua tidak digunakan untuk menghendaki terjadinya scsuatu, dan oleh karenanya disebut sebagai insya’ ghair thalabi.

 

Kalau kita perhatikan kalam insya’ thalabi pada contoh-contoh bagian pertama, maka akan kita dapatkan bahwa insya’ thalabi ada yang berupa amr (kata perintah) seperti dalam contoh pertama, ada yang berupa nahyi (kata larangan) seperti pada contoh kedua, ada yang berupa istifham (kata tanya) seperti pada contoh ketiga, ada yang berupa tamanni (kata untuk mengharapkan sesuatu yang sulit terwujud) seperti dalam contoh keempat, dan ada yang berupa nida’ (kata yang didahului dengan seruan) seperti pada contoh kelima. Itulah macam-macam insya’ thalabi yang akan kita bahas lebih lanjut.

 

Dan bila kita perhatikan contoh-contoh bagian kedua, kita dapatkan pada beberapa bentuk kalam insya’, ada yang berbentuk ta’ajjub (kata yang menunjukkan rasa takjub) seperti pada contoh keenam, ada yang berbentuk al-mad-h wadz-dzamm (kalimat untuk menyatakan pujian dan celaan) seperti pada contoh ketujuh, ada yang didahului gasam (sumpah) seperti pada contoh kedelapan, ada yang berbentuk kalimat-kalimat tarajji (kalimat-kalimat yang didahului dengan la’alla/asaa, dan sejenisnya) seperti pada kedua contoh terakhir, dan di samping itu ada juga yang berbentuk akad seperti kata bi’tu atau isytaraitu.

 

Jenis insya’ ghair thalabi buranlah bidang pembahasan ilmu ma’ani, karena itu pembahasannya tidak perlu kami panjang lebarkan lagi.

 

  1. Kaidah

(36) Kalam insya’ itu ada dua macam, yaitu thalabi dan ghair thalabi.

 

  1. Kalam thalabi adalah kalimat yang menghendaki terjadinya sesuatu yang belum terjadi pada waktu kalimat itu diucapkan. Kalam jenis ini ada yang berupa.armr (kata perintah), nahyi (kata larangan), istifham (kata tanya), tamanni (kata untuk menyatakan harapan terhadap sesuatu yang sulit terwujud), dan nida’ (kata seru).

 

  1. Kalam insya’ ghair thalabi adalah kalimat yang udak menghendaki terjadinya sesuatu. Kalam jenis ini banyak bentuknya, antara lain fa’ajjub (kata untuk menyatakan pujian), adzdzanim (kata untuk menyatakan celaan), gasam, kata-kata yang diawali dengan afalur raja, dan demikian pula kata-kata yang mengandung makna akad (transkasi).

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal:

Jelaskan jenis kalam insya’ pada setiap contoh berikut:

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Jangan kausirami aku dengan air celaan, karena sesungguhnya aku adalah tukang minum yang menganggap tawar air tangisku.

 

  1. Suatu pepatah menyatakan:

 

Cintailah kekasihmu sedang-sedang saja, barangkali suatu hari ia akan berubah menjadi orang yang engkau benci: dan bencilah orang yang kaubenci sedang-sedang saja, barangkali suatu hari ia akan berubah menjadi kekasihmu.

 

  1. Ibnuz-Zayyat berkata memuji Al-Fadhl bin Shl.

 

Wahai penolong agama, ketika jeratnya telah rusak, sungguh engkau adalah benar-benar semulia-mulianya orang yang menjadi tempat berlindung dan yang menolong.

 

  1. Umayyah bin Abush-Shalt berkata dalam meminta sesuatu keperluan:

 

Apakah aku harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah rasa malumu itu cukup bagiku, sesungguhnya rasa malu itu adalah perangaimu.

 

  1. Zuhair bin Abi Salma berkata:

 

Sebaik-baiknya orang adalah Harim (bin Sinan), yang setiap terjadi musibah ia menjadi tempat perlindungan setiap orang yang ketakutan.

 

  1. Imru-ul Oais berkata:

 

Wahai penolongku, sesungguhnya kita berdua di sini adalah pengembara, dan setiap pengembara itu senasib dengan pengembara lainnya.

 

  1. Seorang penyair lainnya berkata:

 

Seandainya arang yang mencegah kebaikan itu terhalang mendapatkan kebaikan, hingga banyak orang yang akan merasakan akibat apa yang mereka kerjakan.

 

  1. Abu Nuwas berkata dalam, rangka mengharap belas kasihan Al-Amin:

 

Demi Dzat yang memberimu hidup, aku tidak akan mengulangi hal yang serupa, demi Dzat yang meniberimu hidup.

 

i Di’bal Al-Khuza’i berkata:

 

Alangkah banyaknya manusia! Tidak, bahkan alangkah sedikitnya mereka! Allah Mahatahu bahwa saya tidak berkata dusta. Sesungguhnya saya benar-benar membuka mata kepada orang banyak, tetapi saya tidak melihat seorang pun.

 

  1. Jelaskanlah mana redaksi kalam insya’, macamnya, dan tharigahnya | pada kalimat-kalimat berikut ini!

 

  1. Abuth-Thayyib berkata dalam memuji dirinya:

 

Aku adalah Alangkah jauhnya aib dan kekurangan dari kemu bintang kejora, sedangkan aib dan kekurangan itu adalah uban dan pikun.

 

  1. Ia berkata:

 

Semoga kepayahanmu itu terpuji akibatnya. Sering kali badan menjadi Sehat karena beberapa penyakit.

 

  1. Ia berkata:

 

Aduhai, seandainya antara aku dan kekasihku sejauh antara aku dan musibah-musibahku.

 

  1. Ia berkata dalam memuji Saifud-Daulah:

 

Pemi usiaku, sungguh kamu benar-benar telah menyibukkan maut terhadap musuh-musuhmu. Maka dengan cara apakah maut meminta pekerjaan kepadamu?

 

5 Ia berkata dalam memuji orang yang sama: |

 

Wahai orang yang membunuh dengan pedangnya terhadap siapa saja yang dikehendakinya, namun saya menjadi korban pembunuhanmu dengan kebaikanmu.

 

  1. Ia berkata dalam memuji orang yang sama: ‘

 

Demi Allah, seandainya tidak ada kamu, maka tidak seorang pun tahu bagaimana bermurah hati itu dan bagaimana memukul kepala (membunuh).

 

7, Ia berkata pula:

 

Tipu daya orang-orang yang bodoh itu akan menimpa diri mereka, seWangkan memusuhi para penyair itu adalah sejelek-jeleknya hal yang disimpan.

 

  1. Ia berkata pula:

 

Celalah malam-malam yang membinasakan harta bendaku itu dengan sangat lembut, maafkanlah saya, dan janganlah kaucela saya.

 

9, Ia berkata pula:

 

Sejelek-jeleknya malam (adalah malam) yang pada malam itu aku tidak dapat tidur karena merindukan dan mengkhawatirkan seseorang yang tidur pulas.

 

  1. 1. Buatlah delapan buah kalam insya’, yang empat insya’ thalabi dan yang empat lagi kalam insya’ ghair thalabi!

 

  1. Buatlah dua buah redaksi kalam insya’ dalam bentuk gasam, dua buah redaksi dalam bentuk mad-h dan dzamm, dan dua redaksi dalam bentuk ta’ajjub!

 

  1. Pergunakanlah kata-kata berikut untuk menyusun kalimat, lalu jelaskanlah macam insya’-nya!

 

Laa nahyihamzah istifhamlaitala’alla“asaahabadzaalaa habadzaamaa ta’ajjubwawu qasanihal.

 

III.Jelaskan macam kalam insya’ dan kalam khabar berikut ini!

 

  1. Demi usiamu, bumi ini tidak akan menjadi sempit oleh para penghuninya. Akan tetapi, yang menjadi sempit adalah akhlak manusia.

 

  1. Apabila diri orang yang bernasab itu tidak sama dengan pokok (orang tua)-nya, maka apakah guna kemuliaan derajat orang tua itu ?

 

  1. Seandainya gunung-gunung itu meletus dengan hebatnya di saat kematiannya, hingga tidak tersisa sepotong batu pun darinya.

 

  1. Sungguh, apabila beberapa ratapan bagimu dan kata-katanya itu baik, maka sudah pastilah bahwa sebelumnya pujian-pujian bagimu adalah baik.

 

  1. Saat bermain itu sangatlah sebentar dan cepat berlalu, bagaikan ciuman yang diberikan oleh seorang kekasih yang berlalu.

 

  1. Wahai kekasih-kekasiliku, seandainya bukanlah maut yang menimpamu, niscaya aku akan mencelanya, namun tidak ada alasan untuk mencela zaman.

 

  1. Sesungguhnya kesusahan itu mempunyai janji dengan kebahagiaan. Keduanya adalah dua bersaudara yang dipertaruhkan untuk sore hari atau esok harinya.

 

Maka bila kamu mendengar ada orang yang binasa, yakinilah olehmu bahwa jalan itu pasti akan kautempuh, maka bersiap-siaplah.

 

  1. Setiap keberanian itu cukup bagi keberadaan seseorang. Akan tetapi, keberanian bagi seseorang yang bijaksana tidak sama.

 

  1. Tinggalkanlah aku, karena sesungguhnya kekikiran itu tidak akan menjadikan seseorang kekal, dan kebaikan itu tidak akan membinasakan orang yang melakukannya.

 

  1. Pada suatu saat setiap manusia itu dengan terpaksa akan naik keranda di atas pundak musuh dan kerabatnya.

 

  1. Menurutku, pertemuan air dan api itu tidak lebih sulit daripada aku memadukan keberuntungan dan kepandaian,

 

  1. Wahai putriku, bila kamu ingin mengetahui tanda kebaikan dan keindahan yang menghiasi badan dan akal, maka buanglah jauh-jauh kebiasaan mempertontonkan diri, karena keindahan jiwa itu lebih berharga dan lebih tinggi. Banyak orang dapat menibuat bunga mawar buatan. Akan tetapi, bunga niawar asli di taman tidak dapat diserupai bentuknya.

 

  1. Ubahlah kalam-kalam khabar berikut ini menjadi kalam insya’ dan lengkapilah macani-macam insya’ thalabi yang kauketahui!

 

Taman itu berbunga. Burung itu berkicau. Para pengrajin itu saling bersaing. Sungai Nil itu meluap. Pekerja itu giat. Juru tulis itu bagus tulisannya.

 

  1. Jelaskanlah macam insya’ pada dua bait berikut ini, lalu buatlah menjadi kalimat prosa dengan baik!

 

Wahai orang yang berhias dengan selain perangainya dan orang yang perangainya berubah-ubah dan manis bibirnya, kembalilah kepada akhlakmu yang telah dikenal sebagai kebiasaanmu karena berperilaku dengan sesuatu yang bukan perangainya itu akan ketahuan.

 

C.2 Kalam Insya’ Thalabi

 

C.2.a Amar (Kalimat Perintah)

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Di antara isi surat Ali kepada Ibnu Abbas yang saat itu menjadi gubernur di Mekah adalah: “Amma ba’du, maka dirikanlah ibadah haji bagi manusia dan ingatlah mereka dengan hari-hari Allah. Imamilah mereka dalam salat Magrib dan Isya. Berilah fatwa kepada orang yang membutuhkannya. Ajarilah orang yang bodoh. Dan saling mengingatkanlah dengan orang yang alim.”

 

b Allah Swt. berfirman:

 

Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka, dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (QS Al-Hajj: 29)

 

c Allah Swt. berfirman:

 

Jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (QS Al-Maidah: 105)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS Al-Isra’: 23)

 

  1. Abuth-Thayyib berkata dalam memuji Saifud-Daulah: .

 

Demikianlah, hendaklah orang yang mencari musuh itu melakukan perjalanan malam, dan hendaklah seperti perjalanan malammu orang-orang yang mencari musuh itu melakukan perjalanan malam.

 

  1. Ia berkata menyerunya:

 

Hilangkanlah kedengkian para pendengki itu dariku dengan menghinakan mereka, karena engkaulah orang yang menjadikan mereka dengki kepadaku.

 

g Imru-ul-Qais berkata:

 

Berhertilah bersama kita nienangis, karena ingat kekasih dan kampung halaman yang terletak di Sigthil-liwa, yaitu antara Dakhul dan Haumal.

 

  1. Ia berkata pula:

 

Ingatlah wahai malam yang panjang, alangkah baiknya engkau menampakkan cahaya pagi, dan penampakan cahaya pagi olehmu itu (sebenarnya) bukanlah suatu hal yang lebih baik.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Maka barang siapa menghendaki, hendaklah ia berlaku kikir, dan barang siapa menghendaki, maka hendaklah ia berderma. Kemurahanmu telah mencukupiku dari segala kebutuhan.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Hiduplah sebagai orang yang terhormat, atau miatilah sebagai orang yang mulia antara mata lenibing dan kibaran bendera.

 

k Penyair lain berkata:

 

Tunjukkanlah kepadaku seseorang yang bakhil menjadi panjang umur karena kebakhilannya, dan tunjukkanlah kepadaku seseorang yang pemurah meninggal karena banyak memberi.

 

  1. Seorang penyair lain berkata:

 

Apabila engkau tidak khawatir terhadap akibat semua perbuatan dan kamu tidak malu, maka kerjakanlah apa yang kaumau.

 

  1. Allah Swt. berfirman: –

 

Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS Al-Baqarah: 187)

 

  1. Pembahasan

Bila kita perhatikan contoh-contoh bagian pertama, kita dapatkan bahwa masing-masing kalimat mengandung redaksi untuk menuntut terjadinya sesuatu yang waktu itu belum terjadi dengan tuntutan yang bersifat tekanan dan keharusan. Bila kita perhatikan lebih lanjut, kita dapatkan bahwa pihak yang menuntut itu lebih tinggi kedudukannya daripada orang yang dituntut mengerjakan pekerjaan yang dimaksud. Yang demikian adalah amar (kata perintah) yang hakiki, Dan bila kita perhatikan redaksi-redaksinya, maka tidak lepas dari empat rcdaksi berikut: fi’il amar seperti pada contoh pertama, fi’il mudhari yang didahului dengan lan amar seperti pada contoh kedua, isim fi’il amar seperti pada contoh ketiga, dan miashdar yang menggantikan fi’il amar seperti pada contoh keempat.

 

Bila kita perhatikan contoh-contoh bagian kedua, semuanya tidak digunakan dalam maknanya yang hakiki, yaitu menuntut suatu pekerjaan oleh pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah sebagai suatu keharusan, melainkan masing-masing menunjukkan makna tersendiri yang dapat kita ketahui melalui susunan kalimatnya dan situasi serta kondisi yang berkaitan.

 

Abuth-Thayyib pada contoh kelima tidaklah bermaksud menuntut atau mengharuskan, melainkan menasihati orang yang bermegahmegahan dengan Saifud-Daulah serta menunjukkannya jalan yang ditempuh oleh Saifud-Daulah dalam mencari keagungan dan keluhuran. Jadi, redaksi perintah di sini bermakna nasihat dan petunjuk, bukan tuntutan dan pengharusan.

 

Redaksi kalimat perintah pada contoh keenam juga tidak dimaksudkan untuk maknanya yang asli, karena Abuth-Thayyib AlMutanabbi berbicara dengan penguasanya, sedangkan penguasa itu tidaklah dapat diperintah oleh salah scorang rakyatnya. Maksud ucapannya itu tiada lain adalah sebagai doa atau permohonan. Demikian pula setiap kalimat perintah yang disampaikan oleh pihak yang lebih rendah kepada pihak yang lebih tinggi kedudukannya.

 

Bila kita perhatikan contoh ketujuh, Imru-ul Oais mengkhayalkan kehadiran dua orang sahabat yang dihentikannya dan diajak menangis bersama, sebagaimana kebiasaan para penyair. Ia mengungkapkan rahasia dirinya dan apa yang tersimpan dalam dadanya kepada kedua sahabatnya itu. Bila redaksi semacam ini disampaikan oleh seseorang kepada temannya atau kepada musuhnya, maka bukanlah sebagai tuntutan dan pengharusan, melainkan sekadar tawaran.

 

Imru-ul Oais pada contoh kedelapan juga tidak memerintah majam untuk melakukan sesuatu kerena malam itu tidak mendengar dan tidak akan melaksanakan perintah. Kalimat perintah yang ia ucapkan tidak lain dimaksudkan sebagai tamanni (harapan yang sulit perpenuhi atau pengandaian).

 

Bila kita perhatikan contoh-contoh lainnya dan kita pahami susunan kalimatnya serta kita kupas karinah-karinah yang berkaitan dengannya, maka kita dapatkan bahwa semua redaksi amarnya tidaklah dimaksudkan untuk maknanya yang asli, melainkan untuk menunjukkan takhyiir (pemilihan), taswiyah (menyamakan), ta’jiz (mejemahkan), tahdid (ancaman), dan ibahah (kebolehan). Makna-makna tersebut di atas adalah berurutan dari contoh kesembilan (f) sampai terakhir ().

 

  1. Kaidah

(37) Amar adalah menuntut dilaksanakannya suatu pekerjaan oleh pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.

 

(38) Amar mempunyai empat macam redaksi, yaitu fi’il amar, fi’il mudhari’ yang didahului dengan lam amar, isim fi’il amar, dan mashdar yang menggantikan fi’il amar.

 

(39) Kadang-kadang redaksi amar tidak digunakan untuk maknanya yang asli, melainkan kepada makna lain. Hal ini dapat diketahui melalui susunan kalimat. Makna lain tersebut adalah untuk irsyad (bimbingan), doa (permohonan), iltimas (tawaran), tamanni (harapan yang sulit tercapai), takhyir (pemilihan), taswiyah (menyamakan), ta’jid (melemahkan mukhathab), tahdid (ancaman), dan ibahah (kebolchan).

 

  1. Latihan-Latihan

 

Contoh Soal:

  1. Allah Swt. berfirman meng-khitab-i Yahya a.s.:

 

Ambillah A.l-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh! (QS Maryam: 12)

 

  1. Al-Arrajaani berkata: .

 

Bermusyawarahlah dengan orang lain ketika engkau tertimpa musibah pada suatu waktu sekalipun engkau termasuk ahli musyawarah.

 

  1. Abul’Atahiyah berkata:

 

Rendahkanlah dirimu bila engkau dikaruniai suatu kekuasaan, dan jauhkanlah dirimu dari kenikmatan-kenikmatan yang hina.

 

  1. Abul’Ala’ berkata:

 

Wahai kematian, datanglah, sesungguhnya kehidupan itu tercela. Dan wahai jiwa, bersungguh-sungguhlah, sesungguhnya zaman itu kurus.

 

  1. Seorang penyair lain berkata:

 

Tunjukkanlah kepadaku seorang pemurah yang meninggal karena kurus (kelaparan) atau seorang yang bakhil yang hidup kekal, barangkali aku dapat berpandangan seperti pendirianmu.

 

  1. Khalid bin Shafwan berkata dalam menasihati anaknya:

 

Tinggalkanlah olehmu perbuatan rahasia yang tidak pantas kaukerjakan dengan terang-terangan.

 

  1. Basyar bin Burd berkata:

 

Hiduplah sendirian atau bertemanlah dengan saudaramu itu, karena sesungguhnya ia suatu saat melakukan perbuatan dosa dan di saat lain menjauhinya.

 

h Allah Swt. berfirman:

 

Katakanlah:”Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka.” (QS Ibrahim: 30)

 

  1. Abuth-Thayyib berkata kepada Saifud-Daulah:

 

Wahai orang yang pemurah, berilah manusia dengan apa yang kaumiJiki dan jangan sekali-kali kauberi mereka dengan apa-apa yang aku katakan.

 

  1. Oathari bin Al-Fuja’ah berkata kepada dirinya sendiri:

 

Bersabarlah dengan sesabar-sabarnya dalam hal kematian, sebab meraih keabadiannya itu suatu hal yang tidak mungkin.

 

Latihan-Latihan

 

  1. Mengapa redaksi-redaksi amar berikut ini secara berurutan menunjukkan irsyad, iltimas, ta’jiz, tamanni, dan permohonan?

 

  1. Berhati-hatilah terhadap manusia, niscaya kau akan dapat menutupinya. Dan janganlah kau terbuai dengan cemerlangnya gigi orang yang tersenyum. |

 

  1. Wahai kedua kekasihku, tinggalkanlah aku dengan apa yang ada padaku, atau kembalikanlah kepadaku masa mudaku.

 

  1. Wahai rumah “Ablah di Lembah Jiwa’, bicaralah, selamat pagi hai rumah “Ablah dan selamatlah engkau.

 

  1. Mengapa redaksi-redaksi Amar berikut ini secara berurutan menun— jukkan arti permohonan, ta’jiz, dan taswiyah (menyamakan)

 

  1. Tunduklah wahai Yazid, karena dalam agama itu tidak ada penyelewengan bila kamu tunduk, dan dalam kerajaan (Allah) tidak ada suatu kerusakan.

 

  1. Tunjukkanlah kepadaku siapa orangnya yang kau bergaul dengannya, engkau dapatkan ia tidak marah-marah kepadamu karena alasan yang sepele.

 

  1. Bersabarlah atau janganlah bersabar.

 

III. Jelaskanlah mana redaksi amar pada pernyataan-pernyataan berikut ini dan apa maksudnya?

  1. Seorang khalifah menasihati salah seorang aparatnya:

 

Berpegang teguhlah kepada aturan Al-Qur’an dan mintalah nasihatnya, halaikariah apa yang dihalaikan dan haramkanlah apa yang diharamkannya.

 

  1. Hakim berkata kepada anaknya:

 

Wahai anakku, berlindunglah kepada Allah dari kejelekan-kejelekan manusia, dan jadilah sebagai orang yang terbaik dengan penuh kehatihatian.

 

  1. Seorang ulama berkata kepada anaknya:

 

Wahai anakku, desaklah ulama dengan kedua lututmu dan perhatikanlah mereka dengan kedua telingamu, karena hati itu akan menjadi hidup dengan cahaya ilmu, sebagaimana bumi yang telah mati menjadi hidup oleh air hujan.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata kepada Saifud-Daulah:

 

Berilah penghargaan kepadaku bila dibacakan syair pujian kepadamu, karena sesungguhnya dengan syairkulah orang-orang yang memujimu berdatangan kepadamu berkali-kali. Tinggalkanlah seluruh suara kecuali suaraku, karena sesungguhnya aku adalah burung yang ditirukan suaranya, sedangkan orang selain aku adalah para pemburunya.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Peliharalah keselamatan perangaimu yang sempurna dari beberapa peristiwa dan situasi yang tidak menguntungkan.

 

  1. Abu Nuwas berkata:

 

Maka berlalulah, janganlah kauberi aku suatu pemberian. Pemberianmu dengan suatu kebaikan itu mengeruhkan kenikmatan yang ada padaku.

 

  1. Ash-Shimah bin Abdullah berkata:

 

Berhentilah, dan tinggalkanlah Najed dan para penghuninya yang terlindungi. Dan menurutku, sedikit sekali Najed itu ditinggalkan orang.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, engkau tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuasaan. (QS Ar-Rahman: 33)

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Wahai hati, sedikitkanlah kerinduan, sering kali aku melihatmu tulus mengasihi seseorang yang tidak mau membalas kasih sayangmu.

 

  1. Mihyar Ad-Dailami berkata:

 

Hiduplah sebagai teman seseorang yang disiplin, yang dapat dipercaya ketika ia pergi, atau hiduplah sebagai seorang diri.

 

  1. Al-Ma’arri berkata:

 

Hai anak-anak perempuan Al-Hadil, berbahagialah, atau berjanjilah untuk sedikit bersedih dengan menibahagiakan (orang lain). Alangkah beruntungnya kantu, kamu adalah wanita-wanita yang pandai memeli. hara kasih sayang dengan baik.

 

  1. 1. Buatlah beberapa contoh redaksi amar yang empat untuk maknanya yang hakiki!
  2. Buatlah dua contoh redaksi amar untuk makna takhyir!
  3. Buatlah dua contoh redaksi amar untuk niakna tahdid!
  4. Buatlah dua contoh redaksi amar untuk makna ta’jiz!

 

  1. Perhatikan redaksi amar berikut ini!

 

Bermainlah dan tinggalkanlah belajar! Kadang-kadang dua perintah di atas dimaksudkan untuk taubih (mencela), untuk irsyad (membimbing), atau untuk tahdid (menakutnakuti). Jelaskan dalam kondisi mukhathab yang bagaimana perintah tersebut sesuai dengan masing-masing maksud itu!

 

  1. Perhatikan redaksi amar berikut ini!

 

Berenanglah di laut. Kadang-kadang perintah di atas dimaksudkan untuk doa, untuk iltimas (tawaran), untuk ta’jiz, atau untuk irsyad. Jelaskan dalam kondisi mukhathab yang bagaimana perintah di atas sesuai dengan masing-masing maksud tersebut!

 

VII. Ubahlah kalam khabar berikut ini ke dalam kalam insya’ tharigah amar dengan memakai seluruh redaksinya!

 

Engkau terlalu pagi dalam kerjamu. Ali berangkat ke kebun. Diriku sabar menanggung berbagai beban derita. Seorang pemberani itu memegang pedang. Hisyam tetap pada kedudukannya. Muhammad meninggalkan senda gurau.

 

III. Uraikan kalimat berikut serta jelaskanlah segi balaghah dan bagusnya  rangkaian maknanya sesuai dengan pemahaman Anda! ”

 

Abu Muslim berkata kepada para panglimanya, “Penuhilah hatimu dengan keberanian, karena keberanian itu salah satu faktor penentu kemenangan. Perbanyaklah ingat kedengkian, karena hal itu akan membangkitkan semangat untuk menghadapi lawan. Dan tetaplah bersama dengan pasukan, karena hal itu merupakan benteng bagi seorang prajurit.

 

C.2.b Nahyi (Larangan)

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Allah Swt. berfirman dalam melarang mengambil harta anak yatim tanpa hak:

 

Dan janganlah kaudekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (QS Al-An’am: 152)

 

  1. Allah Swt. berfirman dalam melarang memutuskan silaturahmi dengan seseorang:

 

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapang. an di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya. (QS An-Nuur: 22)

 

  1. Allah Swt. berfirman dalam melarang mengambil teman kepercayaan yang jahat:

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadharatan bagimu. (QS Ali-Imran: 118)

 

  1. Muslim bin Al-Walid berkata tentang Harun Al-Rasyid:

 

Sekali-kali pagar larangan Islam tidak menghentikan kamu dari jabatan raja, (justru) kamu menegakkan panji-panjinya setelah bengkok.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata tentang Saifud-Daulah:

 

Jangan sekali-kali kausampaikan kepadanya apa yang saya katakan, karena ia adalah seorang pemberani yang bila disebutkan kepadanya suatu celaan, maka ia marah.

 

  1. Abu Nuwas berkata dalam memuji Al-Amin:

 

Wahai unta, janganlah kaubosan atau datang kepada raja, mencium telapak tangannya dan mencium rukun hathim (pada Ka’bah) itu sama. Kapan saja kamu berhasil menempuh perjalanan kepadanya dengan selamat, maka engkau akan menyaksikan bagaimana pengumpulan makhluk dalam bentuk patung manusia.

 

g Abul-‘ Ala’ Al-Ma’arri berkata:

.Dan janganlah kamu berteman orang yang berselera rendah, karena akhlak orang-orang bodoh itu menular.

 

  1. Abul-Aswad Ad-Dauli berkata:

 

Janganlah kamu melarang suatu perbuatan, sedangkan kamu mengerjakan pekerjaan yang sejenisnya. Bila kaulakukan yang deniikian, maka aib besar bagimu.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Jangan sekali-kali kamu menawarkan diri kepada Ja’far untuk menolongnya, karena engkau bukan orang yang sebanding dengannya.

 

j Jangan kauturuti perintahku. (Diucapkan kepada orang yang lebih rendah.)

 

  1. Abuth-Thayyib mencela Kafur:

 

Jangan kaubeli hariba kecuali sambil membeli tongkat, karena hamba itu najis dan sedikit kebaikannya.

 

  1. Pembahasan

Bila kita perhatikan contoh-contoh bagian pertama, kita dapatkan masing-masing berupa redaksi untuk melarang dilakukannya suatu perbuatan, dan bila kita perhatikan lebih jauh, maka yang melarang itu derajatnya lebih tinggi daripada yang dilarang, karena pelarangnya pada contoh-contoh bagian pertama ini adalah Allah Swt., sedangkan yang dilarang adalah hamba-hamba-Nya. Larangan seperti contoh-contoh tersebut adalah larangan yang hakiki. Bila kita perhatikan, redaksi larangannya pada masing-masing contoh tersebut adalah sama, yakni fi’il mudhari’ didahului dengan laa nahiyah.

 

Selanjutnya perhatikan contoh-contoh bagian kedua. Maka kita dapatkan seluruhnya tidak digunakan untuk makna larangan yang hakiki, melainkan menunjukkan makna lain yang dapat kita pahami berdasarkan susunan kalimat dan kondisi serta situasinya.

 

Muslim bin Al-Walid pada contoh keempat tidak ada maksud lain dari redaksi larangan yang diucapkannya kecuali untuk doa (permohonan) kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk tetap berkuasa demi memperkuat agama Islam dan meninggikan kalimatnya.

 

Abuth-Thayyib pada contoh kelima semata-mata mengajak kepada kedua temannya untuk tidak menyampaikan kepada SaifudDaulah apa-apa yang mereka dengar darinya (Abuth-Thayyib) tentang keberaniannya, penyerangannya terhadap musuh, dan bagusnya semangat perang karena ia adalah seorang pemberani, dan setiap orang pemberani akan merindukan perang bila diberitahukan kepadanya. Syair ini sesuai dengan tradisi orang Arab dalam bersyair, sebab dalam syair. ini penyair mengkhayalkan kehadiran dua orang temannya yang menemaninya dan mendengarkan syairnya, sehingga ia berbicara kepada mereka dengan gaya bahasa yang disampaikan kepada orang yang setaraf. Bila redaksi larangan itu disampaikan pich seseorang kepada orang lain yang setaraf, maka menunjukkan makna iltimas tajakan/ tawaran).

 

Abu Nuwas pada contoh keenam tiada lain berharap agar untanya dapat menempuh suatu perjalanan yang berat tanpa lelah dan putus asa hingga sampai di desa Al-Amin, dan di sana ia melihat bagaimana Allah menghimpun alam dalam bentuk manusia.

 

Abul ‘Ala’ pada contoh ketujuh bermaksud menasihati orang yang diajak bicara dan menunjukkannya untuk menjauhkan diri dari orang-orang bodoh dan orang-orang yang berselera rendah.

 

Abul Aswad Ad-Dauli pada contoh kedelapan bermaksud mencela orang yang melarang orang lain berbuat kejelekan, namun dirinya melaksanakannya.

 

Sedangkan ketiga contoh terakhir secara berurutan dimaksudkan untuk tai-iis (pesimistis), tahdid (mengancam), dan tahgir (penghipaan). |

 

  1. Kaidah

(40) Nahyi (larangan) adalah tuntutan tidak dilakukannya suatu perbuatan yang disampaikan oleh sescorang kepada orang yang martabatnya lebih rendah.

 

(41) Redaksi nahyi adalah fi’il mudhari’, didahului dengan laa nahiah.

 

(42) Kadang-kadang redaksi nahyi keluar dari maknanya yang hakiki dan menunjukkan makna lain yang dapat dipahami dari susunan kalimat serta kondisi dan situasinya, seperti untuk doa, iltimas, tamanni, irsyad, taubih, tai-iis (pesimistis), tahdid, dan tahgir (penghinaan).

 

Latihan-latihan

Contoh Soal:

 

jelaskanlah mana redaksi nahi dan bagaimana maksud masing-masing!

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya. (QS Al-A’raf: 56)

 

  1. Abul ‘Ala’ berkata:

 

Jangan sekali-kali kamu bersumpah atas kejujuran dan jangan pula kedustaan, karena sumpah itu tidak memberi manfaat kepadamu kecuali dosa.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olokkan). (QS Al-Hujurat: 11)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Tidak usah kamu minta maaf karena kamu kafir sesudah beriman. (QS At-Taubah: 66)

 

  1. Al-Buhturi berkata kepada Al-Mu’ tamid ‘Alallah

 

Selamanya engkau tidak akan terlepas dari kehidupan yang tiada mcnbawa kebahagian, tetapi Hari Raya Nauruz merupakan hari raya bagimu.

 

f, Al-Ghazzi berkata:

 

Janganlah kau perberat leherku dengan kebajikan orang yang bodoh, lalu aku bepergian dengan senantiasa membawanya seperti burung merpati yang berkalung.

 

g Penyair lain berkata:

 

Janganlah kaucari kejayaan, sesungguhnya tangga kejayaan itu adalah kesulitan. Hiduplah dengan santai, dengan hati yang senang.

 

h Al-Khunsa’ meratapi saudaranya, Shakhr:

 

Wahai kedua mataku, dermawanlah, dan janganlah kau kering, hendaklah kau menangis untuk bermurah hati kepada Shakhr.

 

  1. Khalid bin Shafwan berkata:

 

Jangan kau menuntut kebutuhanmu selain pada waktunya, dan jangan kau menuntutnya selain dari ahlinya.

 

I Mengapa larangan pada kalimat-kalimat berikut ini berurutan menunjukkan makna irsyad, tamanni, tahdid, dan tahgir?

 

  1. Janganlah sekali-kali kau terbujuk air mata musuhnu, dan sayangilah masa mudamu dari musuh, maka engkau akan disayangi.

 

  1. Janganlah kauturunkan hujan, wahai langit!

 

  1. Janganlah kaulepaskan kecongkakannu! (Dikatakan kepada orang yang martabatnya lebih rendah.)

 

  1. Janganlah kaupaksakan dirintu melakukan sesuatu yang tidak sanggup dilakukan oleh orang-orang dermawan!

 

  1. Jelaskanlah redaksi-redaksi nahyi berikut ini dan makna masing-masing!

 

1 Abuth-Thayyib memuji Saifud-Daulah:

 

Janganlah sekali-kali kaucari seorang dermawan setelah kau melihat Saifud-Daulah, sesungguhnya para dermawan dengan kedermawanan mereka telah diakhiri (olehnya).

 

  1. Janganlah kauanggap keagungan itu bagaikan kurma yang setiap saat dapat kaumakan. Engkau tidak akan mencapai keagungan sebelum engkau menjilat ketabahan.

 

  1. Ath-Thaghraz-i berkata:

 

Janganlah engkau merindukan beberapa kedudukan sebelum kau penuhi sarana dan prasarananya.

 

  1. Asy-Syarif Ar-Ridha berkata:

 

Janganlah sekali-kali kau percaya kepada niusuh yang bersikap lembut karena di balik kelenibutannya terdapat bisa ular ganas yang tidak ada obatnya.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Janganlah sampai malam-malam itu menguasaimu, sesungguhnya tangan-tangannya bila memukul akan memecahkan pohon yang besar dan keras hanya dengan tumbuhan yang kecil dan lemah.

 

  1. Jangan sekali-kali kau terlalaikan dari tempat kembalimu (akhirat) oleh kenikmatan yang akan binasa dan lalu selamanya engkau akan mendapat kesengsaraan.

 

  1. Janganlah kamu kira bahwa orang yang kamu bunuh itu masih bernyawa sehingga tidak akan ada yang memakan bangkai kecuali dubuk atau sejenis anjing hutan (hyena).

 

  1. Abul ‘Ala’ berkata:

 

Janganlah kausenibunyikan rahasia itu dariku pada hari bencana karena perbuatan itu adalah dosa yang tidak terampuni. Cuka itu seperti air: menampakkan apa-apa yang ada padanya ketika jernih dan menyenibunyikannya ketika keruh.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. (QS Al-Baqarah :188)

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Janganlah kamu mengadu kepada orang lain, akibatnya ia merasa senang, seperti pengaduan orang yang terluka kepada burung gagak dan burung pemakan bangkai.

 

  1. Janganlah kau mencari keagungan, dan terimalah apa adanya, sebab mencari keagungan itu sulit.

 

III.1: Buatlah dua kalimat larangan yang menunjukkan larangan yang hakiki!

  1. Buatlah tiga kaliriat larangan yang secara berurutan menunjukkan makna doa, iltimas, dan tamanni!
  2. Buatlah tiga kalimat larangan yang secara berurutan menunjukkan makna irsyad, tai-iis, dan tahdid!

 

  1. Perhatikan kalimat berikut ini!

 

Janganlah kautinggalkan tenipat tidurmu. Kalimat larangan ini bisa bermakna irsyad, tahdid, atau taubih. Maka jelaskanlah dalam kondisi mukhathab yang bagaimana sehingga kalimat tersebut sesuai dengan makna-makna tersebut!

 

  1. Ubahlah kalarni-kalam khabar berikut menjadi kalam-kalarmn insya” tharigah nahyi dan jelaskan makna yang dimaksud dalam setiap redaksi larangan!

 

  1. Engkau bergantung kepada orang lain.

 

2, Engkau menuruti perintahku.

 

  1. Engkau banyak mencela teman.

 

  1. Engkau melarang kejahatan, tetapi engkau sendiri mengerjakannya.

 

  1. Engkau berdalih hari ini.

 

  1. Engkau selalu menghukumku setiap aku melakukan kelalaian.

 

  1. Ali menghadiri majelis kita.

 

  1. Orang-orang desa tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya.

 

  1. Uraikan kedua bait syair berikut dan jelaskanlah makna yang dimaksud dalam setiap redaksi larangan yang ada!

 

Jangan sekali-kali menibebani manusia dengan yang selain keahliannya, maka engkau akan payah karena banyaknya caci-maki, dan mereka pun akan payah. Janganlah engkau terbujuk oleh keramahan sebagian mereka, kilat yang paling banyak sinarnya adalah kilat yang tidak diiringi turunnya hujan.

 

C.2.c Istifham dan Kata Tanyanya

1) Hamzah dan Hal

 

  1. Contoh-Contoh
  2. 1) Apakah kamu yang telah bepergian, ataukah saudaramu?

 

2) Apakah kamu itu pembeli ataukah penjual?

 

3) Apakah biji jawawut yang kamu tanam, ataukah biji gandum?

 

4) Apakah kamu datang dengan kendaraan, ataukah jalan kaki?

 

5) Apakah para pekerja istirahat pada hari Jumat, ataukah hari Ahad?

 

6) Apakah emas itu berkarat?

 

7) Apakah mendung itu berjalan?

 

8) Apakah bumi itu bergerak?

 

9) Apakah hewan itu berakal?

 

10) Apakah tumbuh-tumbuhan itu mempunyai kepekaan?

 

11) Apakah benda mati itu dapat berkenibang?

 

  1. Pembahasan

 

Semua kalimat di atas menunjukkan pertanyaan, yaitu — sebagaimana kita ketahui — mencari tahu tentang sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui. Adat-nya (kata tanyanya) pada contoh bagian a dan bagian b adalah harizah, dan pada contoh bagian c adalah hal. Dalam kesempatan ini akan kita bahas perbedaan antara kedua kata tanya ini dalam segi makna dan penggunaannya.

 

Bila kita perhatikan contoh-contoh bagian a, kita dapatkan bahwa Si pembicara telah mengetahui nisbah yang terdapat dalam kalimat yang diucapkannya. Akan tetapi, ia bimbang di antara dua hal dan menghendaki kejelasan salah satunya. Karena pada contoh pertama Si pembicara tahu bahwa bepergian itu telah terjadi dengan pasti dan bepergian itu dilakukan oleh salah satu dari dua orang, yaitu mukhathab dan saudaranya. Oleh karena itu, ia tidak mencari tahu tentang nisbah (hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain sebagai inti sebuah informasi/kalirmat), melainkan ia mencari tahu tentang mufrad (satuan unsur informasi), dan ia menunggu orang yang ditanya untuk menentukan dan menunjukkan mufrad itu kepadanya. Oleh karena itu, jawabannya berupa penentuan mufrad itu, umpamanya dijawab dengan “saudaraku”. Pada contoh kedua, si pembicara tahu bahwa salah satu dari penibelian dan penjualan itu telah dilakukan dengan pasti oleh mukhathab. Akan tetapi, pembicara itu bimbang apakah mukhathab itu membeli ataukah menjual. Jadi, kalau demikian ia tidak mencari tahu tentang nisbah, karena ia telah mengetahuinya. Akan tetapi, ia menanyakan tentang mufrad dan menghendaki penentuannya. Olch karena itu, pertanyaannya harus dijawab dengan penentuan tersebut, seperti dijawab “penjual”. Demikian juga halnya dengan contoh-contoh bagian a yang lain.

 

Bila kita perliatikan mufrad-mufrad yang ditanyakan pada seluruh contoh bagian a, demikian pula pada contoh lain yang dapat kita temukan, kita dapatkan mufrad-mufrad itu jatuh setelah kata tanya (hamzah) itu secara langsung, baik sebagai musnad ilaih seperti pada contoh pertama, sebagai musnad seperti pada contoh kedua, sebagai maf’ul bih seperti pada contoh ketiga, sebagai hal seperti pada contoh keempat, maupun sebagai zharaf seperti pada contoh kelima, dan sebagainya. Dan kita dapatkan masing-masing mufrad itu mempunyai bandingan yang tersebut setelah lafaz am, sebagaimana dapat dilihat pada contoh. Kadang-kadang bandingan ini dibuang, schingga dikatakan: A-antal-musaafir? dan A-musytarin anta? Demikianlah seterusnya.

 

y Kemudian perhatikanlah contoh-contoh bagian b, akan kita dapatkan kondisi yang berbcda dengan bagian a, karena pada contohcontoh bagian Lb ini pembicara bimbang antara ada dan tidak adanya nisbah. Jadi, ia tidak tahu tentang nisbah, dan karenanya ia bertanya dan ingin mengetahuinya. Seperti pada contoh keenam, si pembicara bimbang antara terjadi dan tidak terjadinya karat pada emas, dan karenanya ia bertanya dan ingin mengetahui nisbah ini. Jawaban perta-. nyaannya adalah “na’am”” (ya) bila terjadi dan “laa” (tidak) bila tidak terjadi. Bila kita perhatikan contoh-contoh bagian b ini, tidak kita dapatkan bandingan bagi sesuatu yang ditanyakan (nisbah).

 

Dari keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa pemakaian kata tanya hanmizah itu untuk dua makna, yaitu untuk menanyakan tentang mufrad dan untuk menanyakan nisbah. Mengetahui mufrad disebut sebagai tashawwur, sedangkan mengetahui nisbah disebut sebagai fashdig.

 

Kemudian perhatikanlah contoh-contoh bagian c, maka kita temukan bahwa si pembicara pada sctiap kalimat tidak bimbang dalam mengetahui nisbah, sehingga ia tidak tahu apakah nisbah itu terjadi ataukah tidak terjadi. Jadi, ia menanyakan hal ini. Jawaban pertanyaan semacam ini dapat dijawab dengan “ya” bila nisbahnya terjadi, dan dengan “tidak” bila nisbah tidak terjadi. Bila kita perhatikan contoh-contoh kalimat tanya yang memakai hal, kita dapatkan bahwa hal yang dikehendaki adalah pengetahuan tentang nisbat, bukan yang lain. Jadi, kata hal itu tidak lain untuk mencari tashdig, dan bersamanya tidak dapat discvutkan bandingannya.

 

  1. Kaidah

(43) Istifham mencari pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Adatul-Istifham (kata tanya) itu banyak sekali, di antaranya adalah /hianizah dan hal.

 

(44) Hamzah digunakan untuk mencari pengetahuan tentang dua hal:

 

  1. Tashawwur, yaitu gambaran tentang mufrad. Dalam hal ini hamzah langsung diiringi dengan hal yang ditanyakan dan umumnya hal yang ditanyakan ini mempunyai bandingan yang disebutkan setelah lafaz ani.

 

  1. Tashdig, yaitu gambaran tentang nisbah. Dalam hal ini bandingan perkara yang ditanyakan tidak dapat disebutkan. ( )

 

(45) Hal digunakan untuk meminta tentang taslidig, tidak ada yang lain: dan tidak boleh menyebut bandingan perkara yang ditanyakan dengan hal.

 

2) Kata-Kata Tanya yang Lain

 

  1. Contoh-Contoh .

 

  1. Siapakah yang merencanakan Kota Kairo?

 

  1. Siapakah yang membuat Terusan Suez?

 

  1. Apakah kantuk itu?

 

  1. Apakah berlebihan itu?

 

  1. Kapankah Umar memegang kekuasaan sebagai khalifah?

 

  1. Kapankah para musafir itu kembali?

 

  1. Ia bertanya, kapankah hari kiamat itu terjadi?

 

  1. Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat, “Kapankah terjadinya?” (QS Al-A’raf: 187)

 

  1. Pembahasan

 

Seluruh kalimat di atas adalah kalimat tanya. Bila kita perhatikar makna kata-kata tanya-nya, kita dapatkan bahwa makna kata man adajah untuk menentukan makhluk-makhluk yang berakal, sedangkan maa untuk menentukan makhluk-makhluk yang tidak berakal. Suatu saat dengan kata tanya maa dikehendaki penjelasan nama, seperti bila dikatakan: “Mal-Karaa?” (Apakah kantuk itu?). Pertanyaan ini dapat dijawab: “Kantuk adalah tidur.” Adakalanya untuk menanyakan hakikat suatu istilah, seperti dikatakan: “Mal-Israaf?” (Apakah berlebihan itu?). Pertanyaan ini dapat dijawab: “Berlebihan adalah melewati batas dalam nafkah dan sebagainya.” Juga kita dapatkan bahwa kata mataa untuk menanyakan ketentuan waktu, baik lampau maupun akan datang. Kata ayyaana untuk menanyakan waktu yang akan datang secara khusus dan berfaedah, menunjukkan keagungan dan kengerian.

 

Di samping itu, ada beberapa adatul-istifhami lain, yaitu kaifa (bagaimana), aina (di mana), annaa/ st (bagaimana, kapan, dari mana), kam (berapa), dan ayyun (yang mana). Kaifa untuk minta penjeJasan keadaan, seperti: “Kaifa ji-tum?” (Bagaimana kamu sampai di sini). Aina untuk meminta penjelasan tempat, seperti: “Aina Dajlatu wal-Furaatu?” (Di mana Sungai Dajlah dan Furat itu?). Annaa dapat bermakna “bagaimana”, seperti: “Annaa tasuudu al-‘asyiiratu wa abnaauhaa mutakhaadziluun?” (Bagaimana bisa terjadi suatu keluarga menjadi ningrat, sedangkan anak-anaknya menjadi orang-orang hina?), dapat bermakna “dari mana”, seperti: “Annaa lahum haadzal-maalu wa gad kaanuu fuqaraa’?” (Dari mana mereka memiliki harta ini, sedangkan mereka adalah orang-orang fakir?): dan dapat bermakna “kapan”, seperti “Annaa yahdhurul-ghaa-ibuun? (Kapan orang-orang yang ii tuk menanyakan jumlah, seperti: “Kam junBar fil batibah (Berapa prajurit yang tergabung dalam pasukan an bun ayyun untuk menanyakan salah satu dari dua hal yang berserikat dalam suatu hal, seperti: “Ayyul-akhawaini akbaru sinnan?” (Siapakah di antara dua bersaudara itu yang lebih tua?), dan ayyun itu dapat digunakan berkaitan dengan waktu, tempat, keadaan, makhluk berakal, dan makhluk tidak berakal, sesuai dengan lafaz yang disandarinya. Semua adatul-istifham ini digunakan untuk minta gambaran, dan karenanya semua jawabannya merupakan penjelasan tentang hal yang ditanyakan.

 

  1. Kaidah

 

(46) Adatul-istifham selain hamzah dan hal adalah sebagai berikut:

 

Man/  untuk menanyakan keterangan makhluk yang berakal.

Maa/  untuk menanyakan keterangan nama atau hakiKat sesuatu yang bernama.

Mataa/  untuk menanyakan keterangan waktu, baik yang lalu maupun yang akan datang.  Ayyaana/  untuk menanyakan keterangan waktu yang akan “ datang secara khusus dan menunjukkan kengerian. 

Kaifa/ untuk menanyakan keterangan keadaan.

Aina/  untuk menanyakan keterangan tempat. 

Annaa/  mempunyai tiga makna, yaitu bagaimana, dari mana, dan kapan. 

Kam/  untuk menanyakan keterangan jumlah.  untuk menanyakan keterangan salah satu dari dua hal yang berserikat dalam suatu perkara dan untuk menanyakan tentang waktu, tempat, keadaan, bilangan, makhluk berakal, dan makhluk yang tidak berakal, sesuai dengan lafaz yang disandarinya.

 

47) Seluruh adatul-istifham tersebut digunakan untuk menanyakan ( tentang gambaran, dan olch karena itu jawabannya berupa keterangan tentang sesuatu yang ditanyakan.

 

3) Makna-Makna yang Ditunjukkan oleh Istifham Berdasarkan Beberapa Karinah

 

1 Contoh-Contoh

a Al-Buhturi berkata:

 

Waktu itu tiada lain hanyalah datang dan perginya kesulitan dan silih bergantinya kesempitan dan kesempatan dengan cepat.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata tentang orang yang dipujinya:

 

Apakah musulimusuh itu akan tetap menuntut bukti kemenangannya setelah mereka melihat tanda-tanda kemenangan itu dengan jelas?

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Bukankah Anda adalah orang yang paling merata kemurahannya, paling sehat badannya, dan paling tajam pedangnya?

 

  1. Penyair lain berkata:

 

 Sampai ke mana persengketaan di antara kamu, sampai ke mana? Dan keributan itu atas dasar apa?

 

  1. Abuth-Thayyib berkata dalam sebuah ratapannya:

 

Siapa lagi yang akan memimpin perkumpulan-perkumpulan, para prajurit, dan pejalan malam yang kehilangan obor karena kematianmu? Siapakah yang akan kautunjuk sebagai penggantimu untuk menerima para tamu? Mereka telah tersia-sia, sedangkan orang seperti Anda hampir-hampir tidak pernah menyia-nyiakan.

 

f.. Ia berkata dalam suatu penghinaannya terhadap Kafur:

 

Dari sudut mana kemuliaan datang kepada orang yang seperti Anda? Wahai Kafur, di manakah botol-botol yang untuk membekam itu dan di mana pula sisir itu?

 

  1. Ia berkata pula:

 

Sampai kapan kita dapat mengejar bintang di tengah kegelapan? Sedangkan perjalanan bintang itu tanpa sepatu dan telapak kaki.

 

  1. Ia berkata ketika terserang sakit panas (demam):

 

Wahai putri zaman, seluruh putri telah ada paddku. Maka bagaimana engkau akan meraihiku dari desakan putri-putri itu?

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Mereka menjawab, “ Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasihat atau tidak memberi nasihat.” (QS Asy-Syu’ara’: 136)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberi syafa’at bagi kami? (QS Al-A’raf: 53)

 

k Allah Swt. berfirman:

 

Ya Apakah kamu suka aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (QS Ash-Shaff: 10)

 

  1. Pembahasan

 

Pada keterangan yang lalu telah kita ketahui redaksi-redaksi istifham dengan makna-maknanya yang hakiki. Sekarang akan dibahas bahwa redaksi-redaksi istifham itu kadang-kadang menyimpang kepada makna-makna yang lain yang dapat diketahui melalui susunan kalimatnya.

 

Perhatikanlah contoh pertama, maka kita dapatkan bahwa AlBuhturi tidak menanyakan sesuatu kecuali ia hendak menyatakan bahwa zaman itu tiada lain adalah muncul tenggelamnya kesulitan dan silih bergantinya kesempitan dan kelonggaran. Jadi, kata hal dalam kalimat itu untuk nafyi (bermakna “tidak ada”), bukan untuk minta penjelasan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.

 

Abuth-Thayyib pada contoh kedua tiada lain mengingkari keraguan musuh terhadap kemenangan Kafur dan tuntutan mereka terhadap bukti-bukti pertolongan Allah berupa kemenangan, sesudah mereka mengetahui bagaimana ia menundukkan setiap orang yang hendak menyerangnya dan bagaimana zaman menimpakan bencana kepada setiap orang yang bermaksud jahat kepadanya. Jadi, istifham pada kalimat tersebut tidak menunjukkan makna lain selain ingkar.

 

Al-Buhturi pada contoh ketiga tiada lain bermaksud memotivasi orang yang dipujinya untuk mengakui kebolehan yang didakwakan kepadanya, yakni mengungguli seluruh khalifah dalam hal kemurahan, kekuatan fisik, dan keberaniannya. Ia sama sekali tidak bermaksud bertanya kepada mukhathabnya tentang semua kebolehan tersebut. Jadi, istiffham pada kalimat tersebut bermakna tagrir (penetapan/penegasan).

 

Penyair pada contoh keempat mencela para mukhathabnya karena senantiasa bertengkar dan senantiasa saling menghina dan menjauhi. Di samping itu, ia menegur mereka atas keterlaluan mereka dalam berteriak-teriak dan ribut. Jadi, redaksi istifham pada contoh tersebut telah keluar dari makna aslinya kepada taubih (celaan) dan tagri’ (teQur’an).

 

Abuth-Thayyib pada contoh kelima bermaksud mengagungkan dan menghormati orang yang diratapinya dengan menampakkan kebolehannya ketika masih hidup, yaitu sifat kebangsawanannya, keberaniannya, dan kemurahannya sambil menampakkan kekecewaan dan kesakitan hatinya. Adapun pada contoh keenam, dengan menghina Kafur, ia menyebut kekurangan, menegaskan kehinaan, dan merendahkan kemuliaannya.

 

Dan bila kita perhatikan contoh-contoh berikutnya, maka kita dapatkan beberapa adatul-istifham yang keluar dari maknanya yang asli kepada istibtha (melemahkan semangat), ta’ajjub (keheranan). taswiyah (penyamaan), tamanni (harapan yang mustahil tercapai), dan tasywig (merangsang).

 

  1. Kaidah

(48) Kadang-kadang redaksi istifham itu keluar dari makna aslinya kepada makna lain yang dapat diketahui melalui susunan kalimat. Makna yang lain tersebut adalah nafyi (meniadakan), inkar, tagrir (penegasan), taubih (celaan). ta’zhim (mengagungkan/ membesar-besarkan), tahgir (menghina), istibtha (melemahkan), ta’ajjub (kehcranan), taswiyah (menyamakan), tamanni (harapan yang mustahil tercapai), dan tasywig (merangsang).

 

  1. Latihan-latihan

 

Contoh Soal 1:

 

  1. Di Madinah telah terjadi kebakaran dan engkau tidak melihatnya..Maka bertanyalah kepada temanmu tentang penyaksiannya terhadap peristiwa kebakaran itu!

 

  1. Engkau mendengar bahwa salah satu dari dua orang temanmu, Ali dan Najib, telah menyelamatkan orang yang tenggelam. Tanyakan kepada Ali agar menjelaskan kepadamu tentang siapakah yang menyelamatkannya!

 

  1. Bila kamu tahu ada satu jenis tumbuh-tumbuhan yang banyak tumbuh, namun kamu tidak tahu persis apakah tumbuhnya itu pada musim gugur ataukah pada musim dingin (hujan). Maka buatlah suatu pertanyaan untuk mendapat penjelasan musim tumbuhnya itu!

 

Contoh Soal 2:

Jelaskanlah maksud pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!

 

  1. Abu Tamam berkata tentang orang yang dipujinya:

 

Tidak sekali-kali seluruh kabilah Adnan berkumpul di medan tempur kecuali engkaulah pemimpinnya?

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Apakah mungkin aku mengufuri nikmat yang kuterima, sedangkan nikmat itu senantiasa berkembang seperti perkembangan fajar, dan faJar itu cahaya? Engkau adalah Dzat yang memuliakan aku setelah aku hina. Maka tidak ada perkataan itu direndahkan dan tidak ada pula penglihatan itu tunduk.

 

  1. Ibnur-Rumi berkata dalam salah satu pujiannya:

 

Bukankah kamu adalah seorang yang menampung seluruh pujian ketika tidak ada orang yang pantas menampung pujian itu.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Apa alasan kesusahan dan kesengsaraan itu melanda diriku, seakanakan ia tidak tahu bahwa kemurahanmu itu senantiasa mengintai.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Maka tinggalkanlah ancaman itu, sebab ancamanmu itu tidak membahayakan aku. Apakah suara sayap lalat itu membahayakan?

 

  1. Maka telah menyia-nyiakan aku, dan kepada pemuda mana (lagi) mereka menyia-nyiakan pada hari berkecamuknya perang dan perbatasan perlu dijaga ketat?

 

Latihan-Latihan

 

  1. Seorang temanmu berjanji akan berkunjung kepadamu besok, namun kamu ragu apakah ia akan berkunjung sebelum Lohor atau sesudah Lohor. Maka buatlah pertanyaan untuk minta penjelasan waktu kunjungannya itu!

 

  1. Kamu tahu bahwa salah seorang dari dua pamanmu, Hamid dan Mahmud, telah membeli rumah. Maka buatlah pertanyaan untuk menanyakan siapakah sebenarnya yang membeli rumah itu!

 

  1. Bila kamu ragu apakah tebu itu ditanam pada musim semi ataukah pada musim kemarau, maka bagaimanakah cara membuat pertanyaan untuk menanyakan waktu penanamannya yang sebenarnya? :

 

  1. Tanyakanlah kepada temanmu tentang kecenderungannya untuk bepergian!

 

  1. Buatlah kalimat tanya tentang hal (keterangan keadaan), maf’ul bih, zharaf, mubtada, khabar, dan jar majrur pada pernyataan-pernyataan berikut!

 

Ia menyusun gasidah dengan sangat terpengaruh.

 

Ia membeli pena.

 

la menulis surat pada malam hari.

 

Ali adalah orang yang beruntung.

 

Mesir itu subur.

 

Kitab itu ada di rumah.

 

III. Buatlah pertanyaan tentang hal-hal sebagai berikut!

 

  1. Khalifah Ar-Rasyidin yang pertama.
  2. Jalan yang tepanjang di Madinah.

3 Keadaan Mesir pada masa Dinasti Mamlouk.

  1. Waktu musim anggur masak.
  2. Jumlah Madrasah Aliyah di Mesir.

 

  1. Lokasi pemeliharaan

 

  1. Hakikat kejujuran

 

  1. Arti dhaigham (singa).

 

  1. 1. Mengapa istifham pada Contoh-contoh berierikut berturut-turut menunjukkan arti nafyi, inkar, dan ta’zhim?

 

  1. Adakah (tiada lain) waktu itu kecuali sekejap, lalu habis karena kesedihan dan kenikmatan yang silih berganti?

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Sipakah kamu menyeru (Tuhan) selain Allah? (QS Al-An’ am: 40)

 

  1. Siapakah di antara kamu yang menjadi raja yang ditaati, yang seakan-akan ia berada dalam baju besi yang sepadan dengan Tubba’ di Himyar?

 

  1. Mengapa istifham pada contoh-contoh berikut ini berturut-turut menunjukkan makna tagrir, ta’ajjub, dan tamanni?

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

(Firaun menjawab,) “Bukankah kami telah mengasuhmu di dalam (keluarga) kami waktu kamu masih kanak-kanak .. .?” (QS Asy-Syu’ara’: 18)

 

  1. Salah seorang wanita Arab berkata mengadukan anaknya: ..Ia tumbuh berkembang menyobek-nyobek pakaianku dan mendidikku. Apakah setelah aku beruban ia masih akan mendidikku?

 

  1. Abul “Atahiyah memuji Al-Amin:

 

Sadarilah wahai Aminallah, akan lak dan kehormatanku. Engkau bukanlah seorang penguasa atasku, semoga kausadar. Siapakah yang akan memandangku dengan pandangan mata seperti yang pernah kauberikan sekali di masa yang lanipau.

 

  1. Apakah maksud istifham pada contoli-contoh berikut?

 

  1. Al-Mutanabbi berkata:

 

Siapakah orang yang tidak mencintai dunia sejak zaman dahulu? Akan – tetapi, dunia itu tidak dapat menibawa kelanggengan hidup.

 

2 la berkata:

 

Aku tidak peduli setelah aku raih kedudukan yang tinggi, apakah apaapa yang aku raih itu merupakan barang warisan ataukah hasil jerih payah sendiri.

 

3 Ia berkata:

 

Apakah dengan surat-surat itu cukup dalam menghadapi musuh bila tidak disertai dengan mata pedang yang tajam?

 

  1. Ia berkata ketika Badr bin ‘Ammar menaklukkan singa:

 

Wahai orang yang menjungkalkan singa ke tanah dengan cambuknya, untuk siapakah engkau menyediakan pedangmu yang tajam dan mengilap itu?

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Apakah aku mendiamkan orang yang jika aku ejek dia niscaya kebaikannya yang ada padaku berbalik mengejekku?

 

  1. Bagaimana aku takut terhadap kefakiran atau terhalang cita-citaku, sedangkan pandangan Amirul mu’minin itu indah.

 

  1. Wahai dunia, siapakah engkau sebenarnya, apakah impian orang tidur, malam pengantin baru, ataukah minuman arak?

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Mengapa engkau sangat niemperhatikan pemeliharaan tombak, padahal posisiniu dapat menumpas musuhmu tanpa senjata lembing?

 

  1. Ia Apakah dengan menangguhkan peniberian kepada peminta-minta itu berarti menolak? Atau apakah dengan kata-kata penangguhan itu berarti berjanji?

 

  1. Sampai kapan engkau bermain-main dan berfoya-foya? Padahal kematian itu senantiasa mengintaimu dengan mulut terbuka.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Kalimat demi kalimat akan habis sebelum dapat mengungkapkan seluruh keutamaanmu. Apakah sesuatu yang bakal habis itu dapat mencakup sesuatu yang tidak akan habis?

 

12.Allah Swt. berfirman:

 

Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? (QS Al-Baqarah: 255)

 

13 Abuth-Thayyib berkata:

 

Apakah rumah itu mengetahui darah manakah yang ia alirkan dan hafi orang yang mana di antara rombongan ini yang dilanda kerinduan?

 

14 Al-Mutanabbi berkata tentang Saifud-Daulah yang menjenguknya karena sakit bisul:

 

Bagaimana dunia dapat menimpakan suatu penyakit kepadamu? Padahal engkau adalah tabib bagi penyakit dunia. Dan mengapa engkau mengaduh kesakitan? Padahal engkau adalah fempat meminta pertolongan dalam setiap bencana.

 

  1. Abul ‘Ala’ Al-Ma’arri:

 

Apakah engkau beranggapan bahwa engkau tengah menggapai kedudukan tinggi? Akhir urusanmu adalah kejahatan dan aib yang paling jelek.

 

  1. 1. Pergunakanlah seluruh adatul istifham dalam dua jumlah dengan meniberikan jawaban setiap pertanyaannya. Palingkanlah maksud pemakaian istifham itu untuk makna yang hakiki!

 

  1. Pergunakanlah hamzah istifham dalam enam kalimat, yang tiga pertanyaan menanyakan tashawwur, dan tiga kalimat lain untuk menanyakan tashdig. Palingkan maksud istifhani Anda untuk makna yang hakiki!

 

  1. Buatlah tiga buah kalimat tanya yang sempurna dengan menggunakan adatul istifham hal dan dengan maksud untuk menunjukkan makna hakiki!

 

  1. Buatlah tiga kalimat tanya dengan menggunakan kata anna ( ) dengan seluruh maknanya dan dengan maksud untuk menunjukkan makna hakiki!

 

VII. 1. Buatlah tiga kalimat tanya yang berturut-turut menunjukkan makna taswiyah, nafyi, dan inkar!

 

  1. Buatlah tiga buah kalimat tanya yang berturut-turut menunjukkan ta’zhim, tahgir, dan taubih!

 

  1. Buatlah contoh kalimat tanya yang keluar dari maknanya yang asli kepada ta’ajjub, tamanni, dan istibtha!

 

VIII. Uraikanlah dua bait berikut dan jelaskanlah niaksud pertanyaan yang terdapat padanya! Kedua bait berikut dinisbahkan kepada seorang Arab Badui yang memuji Al-Fadhl bin Yahya Al-Barmaki:

 

Para imam mencela kemurahanmu, wahai Fadhl. Maka aku berkata kepada mereka, “Apakah celaan itu berpengaruh pada laut? Apakah kalian melarang Fadhl banyak meniberi kepada manusia? Dan siapakah yang dapat melarang mendung meneteskan air hujan?”

 

C.2. Tamanni

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Ibnur-Rumi berkata tentang bula Ramadhan:

 

Maka alangkah baiknya jika satu malam bulan Ramadhan itu lamanya sebulan, sedangkan siangnya berjalan secepat perjalanan awan.

 

b Allah Swt. berfirman: .

 

Maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberi syafa pagi kami? (QS Al-A’raf: 53) farir berkata:

 

  1. Telah berlalu masa muda yang hari-harinya terpuji. (Alangkah indahnya) seandainya masa itu dapat dibeli atau dapat kembali.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Wahai kawanan burung gatha (mirip merpati), siapakah yang mau meminjamkan sayapnya supaya aku dapat terbang kepada orang yang aku cintai?

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Aduhai, seandainya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. (QS Al-Oashash: 79)

 

  1. Pembahasan

Semua contoh di atas termasuk insya’ thalabi. Bila kita perhatikan, sesuatu yang ingin diraih pada setiap kalimat adalah sesuatu yang menyenangkan, namun tidak dapat diharapkan keberhasilannya, adakalanya karena memang mustahil dicapai, seperti pada empat contoh pertama, dan adakalanya perkara itu mungkin tercapai namun tidak bisa diharapkan tercapainya, seperti pada contoh terakhir. Kalam inSya’ yang demikian disebut sebagai tamanni.

 

Kata-kata yang menunjukkan makna tamanni pada contoh-contoh di atas adalah laita, hal, lau, dan la’alla. Hanya saja kata yang pertama itu memang sejak semula menunjukkan makna tersebut. Adapun tiga kata yang lain dipergunakan untuk makna tersebut atas da. Sar tinjauan balaghah.

 

Demikianlah, seandainya sesuatu yang diharapkan itu mungkin tercapai dan dapat diharapkan keberhasilannya, maka pengharapannya disebut sebagai tarajji dan kata-kata untuknya adalah la’alla dan ‘asaa. Kadang-kadang dipakai juga kata laita atas dasar pertimbangan orang yang balig, sebagaimana dalam syair Abuth-Thayyib:

 

Maka alangkah indahnya seandainya jarak antara aku dan kekasihku itu sama dengan jarak antara aku dan musibah-musibah yang menimpaku.

 

  1. Kaidah

 

(49) Tamanni adalah mengharapkan sesuatu yang tidak dapat diharapkan keberhasilannya, baik karena memang perkara itu mustahil terjadi, atau mungkin terjadi namun tidak dapat diharapkan tercapainya.

 

(50) Kata-kata yang dipergunakan untuk tamanni adalah laita, dan kadang-kadang dipakai juga kata-kata hal, lau, dan la’alla atas dasar tujuan balaghah.

 

(51) Bila perkara yang menyenangkan itu dapat diharapkan tercapainya, maka pengharapannya disebut tarajji. Kata yang dipergunakan untuk makna tarajji adalah la’alla dan ‘asaa. Kadang-kadang dipakai juga kata laita atas dasar pertimbangan makna balaghah.

 

4 Latihan-Latihan

Contoh Soal: Jelaskan makna tamanni ataukah makna tarajji pada kalimat-kalimat berikut, dan jelaskan kata tamanni atau tarajji pada setiap kalimat!

  1. Shari’ Al-Ghawani:

 

Amboi, alangkah indahnya hari-hari dan masa kanak-kanak seandainya dapat kembali dirasakan walau sebentar.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Aduhai, seandainya cinta kepada kekasih itu pertengahan sehingga membebani setiap hati sesuai dengan kemampuannya.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka) (QS Al-Mu’min: 11)

 

  1. Jelaskan tamanni ataukah tarajji yang terdapat pada kalimat-kalimat berikut ini, dan jelaskanlah rahasia pemakaian kata-kata tarajji atau tamanni yang tidak sesuai dengan makna asalnya!

 

  1. Marwan bin Abu Hafshah berkata dalam ratapannya terhadap Man bin Za-idah:

 

Semoga orang-orang yang bergembira dengan kematiannya itu menjadi tebusan baginya dan semoga umurnya diperpanjang.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata dalam ratapannya terhadap saudara perempuan Saifud-Daulah:

 

MAF Semoga salah satu yang muncul dari kedua matahari itu menghilang dan semoga salah satu yang tenggelam dari kedua matahari itu tidak tenggelam.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Semoga malam-malam yang telah membuat tubuhku sakit karena kam berpisah itu kelak suatu saat dapat mempertemukan kembali aku dan dia.

 

4 Allah Swt. berfirman:

 

(Firaun berkata), “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, yaitu pintu-pintu langit. (QS Al-Mu’min: 36-37)

 

5 Allah Swt. berfirman:

 

Maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia), niscaya kita menjadi orang-orang yang beriman. (QS Asy-Syu’ara’: 102)

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Wahai kedua tempat kediaman Salma, semoga keselamatan kekal atas kamu. Apakah masa-masa yang telah berlalu itu kembali lagi?

 

7, Ja berkata:

 

Semoga para raja itu memberi sesuatu kepada para penyair sesuai dengan martabat masing-masing, sehingga orang-orang kelas rendahan tidak perlu mengharapkan pemberiannya.

 

  1. Ia berkata tentang orang yang dipujinya:

 

Sekiranya orang-orang yang dipuji itu sempurna sesuai dengan pujiannya, maka siapakah Kulaib dan orang-orang pada periode-periode pertama.

 

  1. 1. Buatlah dua contoh untuk setiap kata yang menunjukkan tamanni!
  2. Buatlah dua contoh tarajji dengan menggunakan kata la’alla pada kalimat pertama dan kata ‘asaa pada kalimat kedua!
  3. Buatlah dua contoh tarajji dengan menggunakan kata laita, dan jelaskan alasan balaghah dalam memilih kata itu!

 

III. “Uraikanlah kedua bait syair Al-Mutanabbi dalam memuji Kafur di bawah ini!

 

Demi Allah, alangkah hina dunia ini. Ia merupakan tempat pengembaraan bagi orang yang menaikinya. Setiap orang yang bercita-cita tinggi di dalamnya akan tersiksa. Seandainya aku dapat menibacakan gasidah tanpa mengaduh dan tanpa kepayahan.

 

C.2.e Nida’ (Seruan)

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Abuth-Thayyib mengirim surat kepada seorang gubernur di Ytigal:

 

Wahai pemilik kehambaanku, dan (wahai) orang yang bertabiat memberikan perak dan memerdekakan haniba. Aku memanggilmu ketika tidak ada lagi harapan, sedangkan kematian itu bagiku seperti urat nadi.

 

  1. Abu Nuwas berkata:

 

Wahai Rabb-ku, seandainya dosa-dosaku sangat besar, maka sesungguhnya aku tahu bahwa penganmipunan-Mu itu lebih besar. Al-Farazdag menyombongkan nenek moyangnya dan menghina & farir:

 

Inilah nenek moyangku, maka tunjukkanlah kepadaku orang-orang seperti mereka ketika pada suatu saat kita bertemu dalani suatu pertenian, wahai Jarir.

 

d Penyair lain berkata:

 

Wahai orang yang menghinpun dunia tanpa batas, untuk siapakah engkau menghimpun harta, sedangkan engkau bakal meninggal?

 

  1. Pembahasan Bila kita menghendaki orang lain menghadap kepada kita, maka kita harus memanggilnya dengan menyebut namanya, salah satu sifatnya setelah menyebutkan huruf-huruf pengganti lafaz ad’uu/ (aku memanggil) dengan nida’ (seruan).

 

Huruf-huruf nida’ adalah hamzah, ay, yaa, aa, aay, ayaa, hayaa, dan waa.

 

Huruf nida’ yang asli untuk memanggil orang yang dekat adalah hamzah dan ay, dan dalam memanggil orang yang jauh adalah dengan huruf nida’ yang lain. Akan tctapi, atas dasar pertimbangan balaghah kadang-kadang huruf nida’ dapat digunakan dengan menyalahi fungsi asli tersebut. Berikut ini kami jelaskan sebab-sebab penyimpangan tersebut

 

Bila kita perhatikan contoh pertama, kita dapatkan bahwa orang yang dipanggil itu jauh. Akan tetapi, Abuth-Thayyib memanggilnya dengan huruf nida’ hamzah yang disediakan untuk munada (orang yang dipanggil) yang dekat. Apakah pertimbangan balaghahnya?

 

pertimbangannya adalah, Abuth-Thayyib ingin menjelaskan bahwa munada-nya meskipun tempatnya jauh, namun dekat di hati, senantiasa hadir dalam hatinya. Jadi, seakan-akan ia senantiasa hadir bersamanya di satu tempat. Hal ini adalah rahasia balaghah yang lembut, yang membolehkan penggunaan hamzah dan ay untuk memanggil munada yang jauh.

 

Kemudian bila kita perhatikan tiga contoh berikutnya, kita dapatkan bahwa munada pada setiap contoh itu dekat, namun pembicaranya menggunakan huruf-huruf nida’ yang disediakan untuk munada yang jauh. Mengapa demikian?

 

Alasannya munada pada contoh kedua sangat mulia dan disegani. Jadi, seakan-akan kejauhan derajat keagungan itu sama dengan jauhnya jarak perjalanan. Oleh karena itu, si pembicara memilih huruf yang disediakan untuk memanggil munada yang jauh untuk menunjukkan ketinggian itu. Adapun pada contoh ketiga adalah karena menurut penilaian si pembicara munadanya rendah kedudukannya, seakan-akan perbedaan derajat munada yang jauh di bawah pembicara itu sama dengan jarak yang jauh di antara tempat mercka. Sedangkan pada contoh terakhir adalah karena mukhathabnya lalai dan tidak tentu arah sehingga ia seakan-akan tidak hadir bersama si pembicara dalam satu tempat.

 

Kadang-kadang bahkan kalimat nida’ itu keluar dari maknanya yang asli — yakni menghendaki menghadapnya seseorang — kepada makna lain. Hal ini dapat diketahui melalui karinah-karinahnya. Di antara makna lain tersebut adalah:

 

  1. TeQur’an atau peringatan keras, seperti ucapan syair:

 

Wahai hati, celaka kamu tidak mau mendengarkan orang yang menasihatimu ketika kau tersudutkan dan tidak dapat menghindari celaan.

 

  1. Menampakkan keresahan dan kesakitan, seperti dalam syair:

 

Wahai kubur Ma’n, bagaimana kamu menutupi kemurahannya, padahal daratan dan lautan dapat berkumpul karenanya.

 

  1. Anjuran, seperti perkataan yang disampaikan kepada orang yang menghadap karena teraniaya: “Wahai yang teraniaya, bicaralah!”

 

  1. Kaidal-Kaidah

(52) Nida’ adalah menghendaki menghadapnya seseorang dengan menggunakan huruf yang menggantikan lafaz ad’uu.

 

(53) Huruf-huruf nida’ itu ada delapan: Hamzah ( ), ay ( ), yaa  Ka – ( ) | ba ay (  ) ayaa (   ), hayaa (  ), dan waa ( )

 

(54) Hamzah dan ay untuk memanggil munada yang dekat, sedangkan huruf nida’ yang lain untuk memanggil munada yang jauh.

 

(55) Kadang-kadang munada yang jauh dianggap sebagai munada dekat, lalu dipanggil dengan huruf nida’ hamzah dan ay. Hal ini merupakan isyarat atas dekatnya munada dalam hati orang yang memanggilnya. Dan kadang-kadang munada yang dekat dianggap sebagai munada yang jauh , lalu dipanggil dengan huruf nida’ selain hamzah dan ay. Hal ini sebagai isyarat atas ketinggian derajat munada, atau kerendahan martabatnya, atau kelalaian dan kebekuan hatinya.

 

(56) Kadang-kadang nida’ dapat menyimpang dari maknanya yang asli kepada makna yang lain, dan hal ini dapat diketahui melalui beberapa karinah, seperti sebagai teQur’an, untuk menyatakan kesusahan, dan untuk menghasut.

 

  1. Latihan-Latihan

 

Contoh Soal:

Tunjukkanlah huruf-huruf nida’ pada contoh-contoh berikut dan jelaskan mana yang digunakan untuk fungsi yang asli dan mana yang digunakan untuk fungsi yang tidak sebenarnya!

 

  1. Wahai anakku, sesungguhnya ayahmu telah mendekati hari kematian. Maka bila kamu dipanggil untuk mendapatkan kemuliaan, maka bergegaslah.

 

  1. Wahai Dzat yang diharap-harapkan bantuan-Nya untuk menghadapi segala macam kesulitan. Wahai Zat yang kepada-Nya diadukan segala kekecewaan.

 

  1. Abul Atahiyah berkata:

 

Wahai orang yang hidup lama di dunia, menghabiskan umurnya untuk memperguncingkan orang lain, menguras tenaganya untuk sesuatu yang bakal sirna, dan menghimpun harta yang haram atau yang halal. Seandainya dunia seluruhnya diberikan kepadamu, bukankah akhir semua itu akan sirna?

 

  1. Sawar bin Al-Mudharrab berkata:

 

Wahai hati, apakah nasihat dapat mencegahmu, ataukah justru waktu yang panjang telah membuatmu lupa?

 

Seorang ayah mengirim surat kepada anaknya untuk menasihati:

 

Wahai Husain, sesungguhnya aku memberi nasihat dan mendidikmu. Maka pahamilah, karena sesungguhnya orang yang berakal itu adalah orang yang mau dididik.

 

Contoh Jawaban:

 

  1. Huruf nida’-nya adalah hamzah, untuk memanggil munada yang dekat, sesuai dengan fungsi semula.

 

2, Huruf nida-nya adalah yaa, untuk memanggil munada yang dekat, menyalahi fungsi semula, sebagai isyarat atas ketinggian martabat munada.

 

  1. Huruf nida’-nya adalah ayaa, untuk memanggil munada yang dekat, menyalahi fungsi semula, sebagai isyarat kelalaian mukhathab.

 

  1. Huruf nida’-nya adalah yaa, untuk memanggil munada yang dekat, menyalahi fungsi semula, sebagai isyarat atas kelalaian munada sehingga seakan-akan ia tidak dekat.

 

  1. Huruf nida-nya adalah hamzah, untuk memanggil munada yang jauh, menyalahi fungsi semula, sebagai isyarat bahwa munada senantiasa hadir dalam hati seakan-akan ia hadir secara fisik.

 

  1. Tunjukkanlah huruf-huruf nida’ pada contoh-contoh berikut dan jelaskanlah huruf yang digunakan sesuai dengan fungsinya yang semula dan yang digunakan tidak sesuai dengan fungsinya yang semula, serta jelaskan dasar pertimbangan balaghahnya!

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Wahai pemburu pasukan tentara besar yang ditakuti, sesungguhnya “singa itu memburu manusia satu per satu.

 

Ya Rabb-ku, Engkau telah berbuat baik kepadaku tiada hentinya, namun Syukur terhadap kebaikan-Mu itu tidak juga bangkit.

 

Wahai penghuni Na’man Al-Arak, yakinlah bahwa sesungguhnya kamu berada dalam hatiku.

 

  1. Allah Swt. berfirman, mengungkapkan ucapan Firaun kepada Musa a.s.:

 

Sesungguhnya aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang kena sihir. (QS Al-Isra’: 101)

 

  1. Abul ‘Atahiyah berkata:

 

Wahai orang yang berangan-angan sepanjang hayatnya, dan kehidupan yang panjang itu baginya adalah sesuatu yang membahayakan, ketika engkau menjadi tua dan masa muda memisahkan diri darimu, maka tiada kebaikan lagi dalam kehidupan di masa tua.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata dalam memuji Kafur dengan gasidah:

 

Wahai harapan semua mata di seluruh dunia, tiada lagi harapanku selain dapat melihatmu.

 

  1. Wahai anakku, ungkapkanlah kembali apa yang telah kaudengar dariku!

 

  1. Hai Muhammad, janganlah kaukeraskan suaramu sehingga tidak seprang pun dapat mendengar pembicaran kita.

 

  1. Hai orang ini, perhatikanlah bahwa hal-hal yang menakutkan telah mengelilingimu

 

  1. Panggillah orang-orang tersebut di bawah ini dengan menggunakan “huruf-huruf nida’ yang tidak sesuai dengan fungsi semula serta jelaskan dasar pertimbangan balaghahnya!

 

  1. Orang yang jauh, yang kaurindukan pertemuan dengannya.

 

  1. Seorang dungu yang kaularang mendekati orang mulia.

 

3, Orang yang berpaling dari pekerjaannya yang kauajak untuk kembali bekerja dengan sungguh-sungguh.

 

4 Orang besar yang kauajak bicara dan kauharapkan pertolongan darinya.

 

III. Apa yang dikehendaki dengan nida’ pada contoh-contoh berikut ini?

 

  1. Wahai “Adda’, tidak ada kenikmatan hidup tanpa kamu, dan tidak ada ‘kebahagian seorang teman bersama temannya.

 

  1. Wahai pemberani, majulah! (Disampaikan kepada orang yang bimbang dalam menghadapi musuh.)

 

  1. Aku memanggilmu, hai anakku, namun kau tidak memenuhi panggilanku itu. Maka ditolaknya panggilanku, menjadikan aku putus asa.

 

  1. Demi Allah, katakanlah kepadaku, hai Fulan, aku berhak berkata dan aku berhak bertanya. Apakah sesuatu yang dapat kaukerjakan dalam usia dua puluh tahun akan kaukerjakan ketika kau telah menginjak usia tujuh puluh tahun nanti?

 

  1. Hai rumah Atikah, semoga kehidupan menempati rumahmu, sengaja aku hadiahkan syair-syairku buatmu dan juga orang-orang yang ada padamu.

 

  1. 1. Buatlah dua buah contoh nida’ dengan huruf nida’ hamzah untuk memanggil munada yang jauh dan jelaskan alasan penyimpangan fungsi tersebut!

 

  1. Buatlah dua contoh nida’ untuk munada dekat yang dianggap sebagai orang yang jauh karena ketinggian derajatnya!

 

  1. Buatlah dua contoh nida’ untuk munada dekat yang dianggap jauh karena kerendahan martabatnya!

 

  1. Buatlah dua contoh nida’ untuk munada dekat yang dianggap jauh karena kelalaian dan kelengahan hatinya!

 

  1. Buatlah contoh nida’ yang digunakan untuk menyatakan kesusahan (tahassur), teQur’an (zajr), dan anjuran lighra’).

 

  1. Uraikanlah dua bait syair Abuth-Thayyib ini dengan benar dan jelaskanlah maksud nida’ yang terdapat padanya!

 

Wahai orang yang paling adil kecuali terhadap diriku, padamu berpangkal permusuhan. Engkau adalah musuhku dan sebagai hakim dalam sengketa ini. Aku berharap semoga pandanganmu benar, sehingga engkau tidak mengira .gemuk karena lemak terhadap orang yang gemuk karena bengkak.

 

 

 

A Pengertian, Sarana-Sarana, dan Kedua Tharaf (Bagian)-nya

 

1 Contoh-Contoh

  1. Tidak akan beruntung kecuali orang yang bersungguh-sungguh.

 

  1. Hidup itu hanyalah kepayahan.

 

  1. Bumi itu bergerak, bukan diam.

 

  1. Bumi itu tidaklah diam, melainkan bergerak.

 

  1. Bumi itu tidaklah diam, tetapi bergerak.

 

  1. Hanya kepada orang-orang lelaki yang bekerja aku memuji.

 

2, Pembahasan

Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, kita dapatkan bahwa maSing-masing contoh mengandung pengkhususan suatu perkara pada perkara lainnya. Pada contoh pertama terdapat pengkhususan keberuntungan bagi orang yang bersungguh-sungguh, dengan arti bahwa keberuntungan itu hanya akan diraih oleh orang yang bersungguh-sungguh dan tidak akan diraih oleh orang lain. Pada contoh kedua terdapat pengkhususan hidup dan kepayahan, dengan arti bahwa hidup dipersiapkan untuk payah dan tidak akan memisahkan diri darinya menuju santai. Demikian pula halnya pada contoh-contoh lainnya.

 

Bila kita ingin mengetahui pembuatan takhshish (pengkhususan) dalam kalimat, maka perhatikan sejenak contoh-contoh di atas. Ambil saja contoh pertama, buanglah darinya huruf nafyi dan huruf istitsna’. Maka kalimat tersebut tidak lagi menunjukkan makna takhshis. Kalau demikian, nafyi dan istitsna’ adalah sarana pembuatan takhshish dalam kalimat tersebut. Dengan demikian, dapatlah kita ketahui bahwa sarana-sarana takhshish pada contoh yang lain adalah: innamaa ( ). ‘athaf dengan huruf Iaa (  ), bal ( ) atau laakin (  ), dan mendahulukan lafaz yang menurut kedudukannya harus diakhirkan. Para ulama Ma’ani menyebut takhshish yang ditunjukkan oleh sarana-sarana tersebut sebagai qashr, dan sarana-sarana tersebut mereka namakan sebagai thurugul-qashr.

 

Kembali kita perhatikan contoh-contoh di atas dan kita bahas satu per satu. Maka kita dapatkan bahwa pembicara kalimat pertama mengkhususkan keberuntungan bagi orang yang bersungguh-sungguh. Jadi, keberuntungan adalah magshur, dan orang yang bersungguh-sungguh disebut sebagai magshur ‘alaih. Kedua komponen ini disebut sebagai tharaf qashr. Karena keberuntungan itu adalah salah satu sifat, dan orang yang bersungguh-sungguh itu adalah salah satu maushuf, maka gashar dalam contoh ini disebut qashr shifat ‘ala maushuf, dengan arti bahwa sifat tersebut tidak merembet dari satu maushuf kepada maushuf yang lain. Pada contoh kedua kita dapatkan bahwa hidup menjadi magshur dan payah menjadi magshur ‘alaih. Karena hidup itu adalah maushuf dan payah itu adalah sifat, maka qashr pada contoh ini disebut sebagai qashr mausuf ‘ala shifat, dengan arti bahwa maushuf tidak dapat dipisah dari sifat (payah menuju santai). Bila kita perhatikan seluruh qashr, baik yang disebut di atas maupun yang tidak tersebut di sini, maka akan kita dapatkan bahwa setiap qashr mengandung magshur dan magshur ‘alaih. Juga akan kita dapatkan bahwa qashr itu ada dua macam, qashr shifat ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat.

 

 

Bila kita ingin mengetahui tanda-tanda yang mempermudah mengetahui dan membedakan antara magshur dan magshur ‘alaih, maka marilah kita perhatikan kaidah-kaidah berikut ini.

 

  1. Kaidah-Kaidah

(57) Qashr adalah pengkhususan suatu perkara pada perkara lain dengan cara yang khusus.

 

(58) Sarana-sarana qashr yang termasyur ada empat, yaitu:

 

  1. Nafyi dan istitsna’, dan magshur ‘alaihnya terdapat setelah huruf istitsna’.

 

  1. innamaa ( ), dan magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang wajib disebut terakhir.

 

  1. Athaf dengan laa ( ), bal ( ), atau laakin ( )

 

Bila athafnya memakai huruf laa, maka magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang bertolak belakang dengan lafaz yang jatuh setelah laa, dan bila ‘athafnya itu dengan bal atau laakin, maka magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang jatuh setelahnya.

 

  1. Didahulukannya lafaz yang seharusnya diakhirkan. Di sini magshur ‘alaih-nya adalah lafaz yang didahulukan. () Setiap qashr memiliki dua tharaf, yaitu magshur dan magshur ‘alaih.

 

(60) Berdasarkan kaitan kedua tharafnya, qashr dibagi menjadi dua, yaitu qashr shifat ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat.

 

  1. Pembagian Qashr menjadi Hagigi dan Idhafi 1. Contoh-Contoh

 

  1. Tidak ada sungai yang menyegarkan Mesir selain Nil.

 

  1. Pemberi rezeki hanyalah Allah.

 

  1. Tidak ada orang yang dermawan kecuali

 

  1. Hasan hanyalah seorang pemberani. .

 

  1. Pembahasan Di depan telah dijelaskan bahwa berdasarkan kaitan kedua tharafnya, qashr dibagi menjadi qashr shifat ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat. Di sini akan dijelaskan pembagian lain yang berdasarkan hakikat dan kenyataan.

 

Bila kita perhatikan kedua contoh pertama, kita dapatkan bahwa qashr-nya termasuk qashr shifat ‘ala maushuf. Bila kita perhatikan lebih jauh, kita dapatkan bahwa sifat yang menjadi magshur pada kedua contoh tersebut tidak dapat terpisah dari maushufnya secara mutlak. Kesegaran tanah Mesir pada contoh pertama adalah sifat yang tidak lepas dari fungsi Sungai Nil dan bukan fungsi sungai yang lain. Pada contoh kedua, rezeki tidak lepas dari kemurahan Allah dan bukan kemurahan selain Allah.

 

Oashar pada kedua contoh pertama di atas disebut sebagai qashr hakiki. Demikian pula setiap qashr yang padanya magshur hanya tertentu bagi magshur ‘alaih menurut hakikat dan kenyataannya, yakni tidak lepas darinya kepada yang lain.

 

Perhatikanlah kedua contoh terakhir, maka kita dapatkan bahwa contoh pertama (cl) qashr shifat ‘ala maushuf, sedangkan contoh kedua () merupakan qashr maushuf ‘ala shifat. Bila kita perhatikan lebih jauh, kita dapatkan bahwa magshur pada kedua contoh tersebut adalah tertentu bagi magshur ‘alaih bila disandarkan kepada suatu hal tertentu dan tidak disandarkan kepada hal-hal yang lain karena si pembicara pada contoh pertama bermaksud mengkhususkan sifat dermawan kepada Ali bila dinisbatkan kepada orang-orang tertentu, seperti Khalid misalnya, dan pembicara itu sama sekali tidak bermaksud menyatakan bahwa sifat dermawan itu sama sekali tidak ada pada seorang pun selain Ali karena kenyataannya memang tidak demikian. Demikian juga halnya dengan contoh terakhir. Oleh karena itu, qashr pada kedua contoh terakhir ini disebut sebagai qashr idhafi. Begitu juga setiap qashr yang pengkhususannya terbatas dengan dinisbatkan kepada sesuatu yang tertentu.

 

3, Kaidah-Kaidah

(61) Berdasarkan hakikat dan kenyataan, qashr itu dapat dibagi menjadi dua, Yaitu:

 

  1. Hakiki adalah dikhususkannya magshur pada magshur ‘alaih berdasarkan hakikat dan kenyataan, yaitu sama sekali magShur, tidak lepas dari magshur ‘alaih kepada yang lain.

 

  1. Idhafi , adalah dikhususkannya magshur pada magshur ‘alaih dengan disandarkan kepada sesuatu yang tertentu.

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal

 

1: Sebutkan macam qashr, magshur, dan magshur ‘alaih pada contoh-contoh qashr berikut ini!

 

1, Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama. (QS Faathir: 28)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? (QS Ali Imran: 144)

 

3, Labid berkata:

 

Seseorang itu tidak lain hanyalah seperti hilal, cahayanya makin bertambah sempurna pada pertengahan bulan, lalu menghilang.

 

  1. Ibnur-Rumi berkata dalam suatu pujiannya: ”

 

Harta bendanya berada di pundak-pundak manusia sebagai pemberian, bukan berupa emas dan harta benda lainnya dalam gudang sebagai timbunan.

 

  1. Ia berkata:

 

Aku tidak heran meskipun kauheran kepadaku karena aku dapat mengetam emas dari ladangnya. Akan tetapi, keherananku adalah terhadap suatu kebaikan yang tidak dapat aku balas, dan aku berharap engkau lebih heran terhadapnya daripada terhadapku.

 

  1. Al-Ghathammasy Adh-Dhabiyyu berkata:

 

Hanya kepada Allah aku mengadu dan bukan kepada sesama manusia. Sesunguhnya aku lihat bumi masih tetap, sedangkan teman-teman dekat telah tiada.

 

Contoh Soal 2:

 

1.Tunjukkanlah magshur ‘alaih yang terdapat pada dua contoh berikuk ini dan jelaskan perbedaan makna kedua kalimatnya!

 

Sesungguhnya yang membela kedudukanmu hanyalah Ali.

 

2, Sesungguhnya Ali hanyalah mentbela kedudukanmu.

 

Contoh Jawaban 2:

 

1, Magshar ‘alaih pada kalimat pertama adalah Ali. Jadi, pembicara menyatakan kepada mukhathab: Ali sendiri yang memberi. kan pembelaan terhadap kedudukanmu, tidak seorang pun melakukan hal itu bersamanya. Boleh jadi Ali memiliki keterampilan lain untuk melayani masyarakat, seperti mengobati orang sakit dan menyantuni orang-orang fakir.

 

  1. Magshur ‘alaih pada kalimat kedua adalah membela. Jadi, Ali tidak melakukan hal lain selain membela, di samping itu kemungkinan ada orang lain melakukan hal yang sama seperti dia.

 

Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa kalimat pertama lebih baligh dalam memuji Ali dari dua sisi, pertama karena kalimat tersebut menunjukkan bahwa hanya Ali-lah yang melakukan pembelaan, tidak ada orang lain yang menyertainya: kedua karena kalimat tersebut tidak meniadakan keterampilan Ali yang lain.

 

Latihan-Latihan

 

  1. Sebutkan macam qashr, sarananya, magshur, dan magshur ‘alaih-nya pada contoh-contoh berikut!

 

  1. Allah Swt. berfirman: :

 

.. karena sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka. (QS Ar-Ra’d: 40)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan. (QS Al-Fatihah: 5)

 

  1. Ibnur-Rumi berkata dalam sebuah pujiannya:

 

Kebaikannya pada seluruh manusia terbagi, dan pujiannya pada seluruh manusia bukan untuk golongan tertentu.

 

  1. Ia berkata:

 

Ja menampakkan kepada mereka sebagai orang kampung, namun bukan karena kedunguannya hidup di kampung, melainkan karena akalnya melebihi akal orang yang pandai.

 

5, Ia berkata:

 

Ia bergoyang ke kanan dan ke kiri ketika mendengar pujian. Goyangan keagungan, bukan goyangan karena bergetar kegirangan.

 

  1. Ia berkata:

 

Aku tidak berkata tentang dirimu kecuali yang sebenarnya, dan engkau senantiasa berada di jalur sunnah yang agung dan jelas.

 

7, Ibnul-Mu’taz berkata:

 

Ingatlah, sesungguhnya dunia itu tiada lain hanyalah bekal untuk mencapai tujuan, baik kepada jalan bengkok maupun kepada jalan yang lurus.

 

  1. Ia berkata:

 

Kehidupan itu hanyalah sebentar dan kelak akan berakhir, dan harta itu hanyalah sesuatu yang akan musnah dan musnah.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Dengan mengharapkan kemurahanmu, kefakiran dapat diusir, dan dengan bermusuhan umur akan habis.

 

  1. Ia berkata:

 

Keheranan itu bukan karena banyaknya peniberian hartanya, melainkan karena keselamatan hartanya sanipai waktu pemberian lagi.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan tiada taufik bagiku kecuali dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (QS Hud: 88)

 

  1. Hanya kepada Allah aku mengadu bahwa padaku ada kebutuhan yang telah dilalui beberapa hari, namun masih seperti semula.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Sesungguhnya kita berada pada generasi yang sama cela dan hinanya, yang lebih jahat bagi orang yang merdeka daripada luka di badan.

 

  1. Kamu adalah orang yang bepergian dan beberapa malam kamu hidup menumpang, dan merupakan hal yang memadharatkan kamu berdiam diri lebih lama.

 

  1. Ibnur-Rumi berkata:

 

Mereka tidak mengharapkan balasan atas kenikmatan yang mereka berikan. Akan tetapi, mereka mampu melumatkan kebutuhan untuk mencapai keagungan.

 

  1. Abul Atahiyan berkata dalam memuji Yazid bin Mazyad AsySyaibani

 

Seakan-akan engkau sedang berperang, namun sesungguhnya engkau berlari hanya dari barisan yang berada di belakangmu. Maka tiada bengana kecurangan prajurit kecuali dalam kebisinganmu, dan tidak ada bencana harta benda kecuali pemberian kepadamu.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Hanya terhadap rumah dan tempat bermain yang semisal curahan air mata yang terbendung itu terhina.

 

  1. Sebutkanlah magshur ‘alaih pada kalimat-kalimat berikut dan jelaskan perbedaan makna-maknanya!

 

  1. Ali hanya senang berenang di pagi hari.

 

  1. Sesungguhnya yang senang berenang di pagi hari hanyalah Ali.

 

  1. Sesungguhnya yang disenangi Ali di pagi hari hanyalah renang.

 

III. Kalimat mana di antara kedua kalimat berikut yang lebih baligh dalam memuji Sa’id? Jelaskanlah sebabnya!

 

  1. Sesungguhnya yang bagus dalam berpidato adalah Sa’id.

 

  1. Sesungguhnya Sa’id hanya agus dalam berpidato.

 

  1. Buatlah kalimat-kalimat berikut menjadi kalimat yang menunjukkan makna qashr, lalu jelaskanlah macam qashrnya dan sarananya!

 

  1. PengangQur’an itu merusak.

 

  1. Berkahnya harta itu dengan dibayar zakatnya.

 

  1. Keselamatan itu dalam kehati-hati

 

  1. Berteman dengan orang yang bodoh itu payah.

 

  1. Saya diam terhadap orang yang dungu.

 

  1. Banyak latihan menambah kecerdasan.

 

  1. Kebahagiaan akan langgeng dengan melihat teman-teman seagama.

 

  1. Telah mengkhianatimu orang yang menunjukkan kamu kepada kejahatan.

 

  1. Seseorang akan menguasai kaumnya dengan berbuat baik kepada mereka.

 

  1. Menempatkan kebaikan pada selain tempatnya adalah suatu kezaliman.

 

  1. Perhatikan kalimat berikut! –

 

Tidak menggembirakan kedua orang tua kecuali kecerdasan anakanaknya. Kapankah qashr pada kalimat tersebut disebut sebagai qashr galab, kapankah disebut sebagai qashr ifrad, dan kapankah disebut sebagai qashr tayin?

 

  1. 1. Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr sifat “ala maushuf tanpa menambahkan satu huruf pun!

 

Kami memuliakan orang alim yang mengamalkan ilmunya.

 

  1. Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr, dan gunakanlah sarana qashr yang engkau ketahui!

 

Kami telah bosan bersahabat dengan orang-orang bodoh.

 

  1. Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr dengan menggunakan sarana nafyi dan istitsna, dan dengan sarana athaf!

 

Ketika datang musibah, teman akan diketahui.

 

VII, Tolaklah pendapat orang yang berkeyakinan bahwa bumi ini diam atau tidak bergerak dengan salah satu uslub qashr, lalu jelaskanlah macam qashrnya dan sarananya!

 

VIII. Jelaskanlah macam-macam qashr yang terdapat pada kisah berikut ini, sarananya, magshur, dan magshur ‘alaih-nya!

 

Orang Arab berkisah bahwa seekor kelinci menemukan sebutir kurma, lalu direbut oleh seekor musang. Maka mereka datang bertengkar minta pengadilan kepada biawak. Kelinci berkata, “Hai Abal Hisl!” Ia menjawab, “Aku mendengar engkau memanggil.” Kelinci berkata, “Kami datang kepadamu untuk menyelesaikan pertengkaran kami.” Ia berkata, “Kepada orang adil kamu berdua mencari hukum.” Kelinci berkata, “Keluarlah kepada kami!” Ia berkata, “Di rumahnya para hakim didatangi.” Kelinci berkata, “Sesungguhnya saya menemukan sebutir kurma.” Ia menjawab, “Manis, makanlah!” Kelinci berkata, “Lalu dirampas oleh seekor musang.” Ia menjawab, “Untuk dirinya, ia mendurhakai kebaikan.” Kelinci berkata, “Maka aku tempeleng dia Sekali.” Ia menjawab, “Terhadap hakmu, ambillah!” Kelinci berkata, “Namun, ia lalu menempelengku.” Ia berkata, “Ia merdeka, carilah pertolongan!” Kelinci berkata, “Maka hukumilah kami berdua!” Ia menjawab, “Telah aku lakukan.” Kemudian kata-kata biawak itu menJadi peribahasa.

 

  1. 1. Buatlah dua kalimat qashr shifat ‘ala maushuf: yang pertama berupa qashr hakiki dan yang kedua qashr idhafi.

 

  1. Buatlah dua kalimat qashr maushuf ‘ala shifat, keduanya qashr idhafi.

 

  1. Buatlah contoh untuk tiap sarana qashr dua kalimat dengan ketentuan kalimat pertama magshur ‘alaih-nya berupa shifat dan pada kalimat kedua berupa maushuf.

 

  1. Buatlah dua kalimat qashr maushuf ‘ala shifat dengan menggunakan sarana huruf athaf bal pada kalimat pertama dan huruf athaf laakin pada kalimat kedua.

 

  1. Uraikanlah kedua bait Abuth-Thayyib dalam memuji Abu Syuja’ Fatik ini dan jelaskan macam qashr dan sarananya!

 

Tidak akan mencapai kemuliaan kecuali seorang sayyid yang cerdas karena tidak berat atas para sayyid mengerjakannya. Bukan orang yang mendapat warisan, orang yang tangan kanannya tidak mengetahui apa yang telah ia berikan, dan bukan orang yang banyak beruntung, orang yang tanpa pedang mentinta-minta.

 

 

           

 

A Tempat-Tempat Fashal

  1. Contoh-Contoh

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Waktu itu tiada lain hanyalah para penutur gasidahku. Bila aku membacakan sebuah syair, maka waktu. akan mendendangkannya.

 

  1. ‘Abul-‘Ala’ berkata:

 

Manusia bagi manusia lain, baik dari pedalaman maupun dari perkotaan: sebagian bagi sebagian yang lain walaupun mereka tidak merasa adalah pelayan.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan-(mu) dengan Tuhanmu. (QS Ar-Ra’d: 2)

 

  1. Abul-Atahiyah berkata:

 

Wahai pemilik harta yang mencintainya, engkau adalah orang yang tidak akan habis kepayahannya. 

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Sesungguhnya setiap orang hanya bergantung kepada dua benda kecil miliknya (hati dan mulut). Setiap orang dibalas dengan apa yang telah dilakukan.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Penghalang itu tidak menjauhkan cita-citaku untuk mendapatkan kamu. Sesungguhnya langit itu diharap-harapkan hujannya ketika ia terhalangi mendung.

 

  1. Pembahasan

Yang dimaksud dengan washal menurut ulama Ma’ani adalah mengathafkan suatu kalimat dengan kalimat lain dengan huruf athaf wawu, seperti yang dikatakan olch Al-Abyurdi kepada waktu:

 

Seorang hamba akan segar dengan kenikmatan yang engkau berikan kepadanya, sedangkan orang merdeka akan panas perutnya karena menahan haus. Dan yang mereka maksud dengan fashal adalah meninggalkan seperti di atas, seperti dikatakan oleh Al-Ma’arri:

 

Jangan sekali-kali kau mencari kebutuhan dengan salah satu alatmus pena seorang yang balig tanpa ada nasib baik menjadi alat pemintal.

 

Masing-masing fashal dan washal memiliki tempat-tempat yang dituntut oleh keperluan dan dikehendaki oleh kondisi. Dalam kesempatan’ ini akan dijelaskan tempat-tempat fashal:

 

Marilah kita perhatikan contoh-contoh kelompok pertama, maka kita dapatkan bahwa antara kalimat pertama dan kalimat kedua pada setiap contoh ada keterkaitan yang sangat sempurna. Kalimat kedua pada contoh pertama tiada lain sebagai penguat bagi kalimat pertama. Makna kedua kalimat itu adalah satu. Kalimat kedua pada contoh kedua tiada lain adalah sebagai penjelasan bagi kalimat pertama.

 

Kalimat kedua pada contoh ketiga adalah sebagian dari makna kalimat pertama karena menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya itu adalah sebagian dari pengaturan urusan makhluk. Jadi, kalimat kedua merupakan badal dari kalimat pertama.

 

Sudah tentu kita tahu bahwa kalimat kedua pada setiap contoh itu di-fashal-kan dari kalimat pertamanya, dan tiada rahasia lagi bagi fashal ini kecuali karena adanya kaitan dan kesatuan yang sempurna. Oleh karena itu, di antara kedua kalimat tersebut dikatakan memiliki kesinambungan yang sempurna (kamiaalul ittishaal).

 

Kemudian perhatikanlah contoh-contoh kelompok kedua, maka akan kita dapatkan bahwa masalahnya adalah sebaliknya keterangan di atas, karena antara kalimat pertama dan kalimat kedua pada setiap contoh terdapat perbedaan yang sangat jauh. Pada contoh keempat, kedua kalimat tersebut berbeda: yang satu kalam khabar dan yang lain kalam insya’. Ini sangat jelas. Pada contoh kelima tidak ada keserasian antara kedua kalimat tersebut karena tidak ada hubungan sama sekali antara kalimat “Setiap orang itu bergantung kepada dua benda kecil miliknya” dan kalimat “Setiap orang itu akan dibalas atas apa yang ia lakukan”. Di sini kita dapatkan bahwa kalimat kedua pada kedua contoh ini di-fashal-kan dari kalimat pertamanya, dan tidak rahasia bagi fashal ini kecuali adanya perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, di antara kedua kalimat itu disebut memiliki keterputusan yang sempurna (kamaalul-ingitha’).

 

Kemudian perhatikanlah contoh terakhir, maka akan kita dapatkan bahwa kalimat kedua memiliki hubungan yang sangat erat dengan kalimat pertama karena ia merupakan jawaban bagi pertanyaan yang muncul dari kalimat pertama. Jadi, setelah membacakan syathar pertama dari syairnya itu, seakan-akan Abu Tamam berpraduga ada orang yang bertanya “Bagaimana halangan penguasa tidak dapat menghalangi antara dia dan tercapainya cita-citanya.” Maka ia men. jawab, “Sesungguhnya langit itu diharap-harapkan hujannya ketika terhalangi mendung.” Kita tahu dengan jelas bahwa kalimat kedua itu terpisah dari kalimat pertama, dan tidak ada rahasia bagi fashal ini selain karena adanya hubungan yang sangat erat antara kedua kalimat tersebut. Karena jawaban itu sangat erat kaitan dan kesinambungannya dengan pertanyaan, maka dari beberapa segi keadaan mirip dengan keadaannya pada contoh-contoh kelompok pertama. Oleh karena itu, dikatakan bahwa di antara dua kalimat ini memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna (syibhu kamaalil ittishal).

 

  1. Kaidah

(62) Washal adalah mengathafkan satu kalimat kepada kalimat lain dengan wawu. Fashal adalah meninggalkan athaf yang demikian.

 

Masing-masing washal dan fashal mempunyai tempat-tempat tersendiri.

 

(63) Di antara dua kalimat, wajib di-fashal-kan dalam tiga tempat:

 

  1. Bila di antara kedua kalimat tersebut terdapat kesatuan yang sempurna, Seperti halnya kalimat kedua, merupakan taukid (penguat) bagi kalimat pertama, atau sebagai penjelasannya, atau sebagai badal-nya. Dalam keadaan yang demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat kesinambungan yang sempurna (kamaalul ittishaal).

 

  1. Bila di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jauh, seperti keduanya berbeda khabar dan insya’nya, atau tidak ada kesesuaian sama sekali di antara keduanya. Dalam keadaan yang demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat kamuaalul ingitha’ (keterputusan yang sempurna).

 

  1. Bila kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari pemahaman terhadap kalimat pertama. Dalam keadaan demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat syibhu kamuaalil ittishaal (kemiripan kesinambungan yang sempurna).

 

B Tempat-Tempat Washal

  1. Contoh-Contoh

 

  1. AbulAla al-Ma’arri berkata:

 

Cinta kehidupan itu memperbudak setiap orang merdeka dan mengajarkan orang yang lapar untuk makan tumbuh-tumbuhan yang pahit.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Rahasia dalam diriku mendapat tempat yang tidak dapat diketahui olek teman peminum minuman keras, dan tidak dapat dibongkar dengan minuman keras.

 

  1. Ia berkata:

 

Ia menyingsingkan pakaiannya dari kedua betisnya untuk mengarungi tengah laut, dan ombak telah menerjangnya ketika masih di tepi laut.

 

  1. Basyar bin Burd berkata:

 

Dekatkanlah dirimu kepada orang dekat yang mendekatkan dirinya kepadamu, dan janganlah kamu mengajak musyawarah dengan orang yang tidak dapat memelihara rahasia.

 

  1. Tidak, dan semoga Allah memberkatimu. (Untuk menjawab pertanyaan: “Apakah Anda punya keperluan yang dapat saya bantu?”)

 

  1. Belum, semoga Allah meringankan penderitaannya. (Untuk menjawab pertanyaan: “Apakah saudaramu telah sembuh dari penyakitnya?”)

 

  1. Pembahasan

Perhatikanlah dua kalimat pada contoh pertama, maka akan Anda dapatkan bahwa kalimat pertama, “A’bada kulla hurrin”, memiliki kedudukan dalam i’rab karena ia menjadi khabar mubtada’ yang jatuh sebelumnya, dan pembicaranya bermaksud menyertakan kalimat kedua kepada kalimat pertama dalam hal i’rab ini.

 

Kemudian perhatikan pula kalimat “Laa yanaaluhu nadiimun” dan kalimat “Laa yufdhii ilaihi syaraabun” pada contoh kedua, maka akan Anda dapatkan bahwa kalimat pertama juga memiliki kedudukan dalan i’rab karena ia menjadi sifat bagi lafaz nakirah sebelumnya. Pembicaranya juga bermaksud menyertakan kalimat kedua kepada kalimat pertama dalam hukum ini.

 

Dan bila Anda perhatikan lebih jauh kedua kalimat kedua pada kedua contoh di atas, maka Anda temukan bahwa kalimat-kalimat tersebut diathafkan kepada kalimat yang pertama, disambungkan dengannya. Begitu juga wajib di-washal-kan setiap dua kalimat yang seperti ini.

 

Bila kita perhatikan dua kalimat pada contoh ketiga, kita dapatkan keduanya sama-sama kalam khabar yang bersesuaian maknanya, namun tidak kita dapatkan keduanya di-fashal-kan, melainkan diwashal-kan dengan diathafkannya kalimat kedua kepada kalimat pertama. Demikian juga contoh keempat, terdiri atas dua kalimat yang sama-sama kalam insya’, dan keduanya bersesuaian dalam maknanya, namun keduanya tidak di-fashal-kan, melainkan di-washal-kan dengan diathafkannya kalimat kedua kepada kalimat pertama. Begitu juga wajib di-washal-kan setiap dua kalimat yang sama-sama kalam khabar atau insya’ serta bersesuaian maknanya serta tidak ada halhal yang mengharuskan keduanya di-fashal-kan.

 

Selanjutnya marilah kita perhatikan contoh kelima. Maka kita dapatkan bahwa kalimat yang pertama, laa, adalah kalam khabar, sedangkan kalimat yang kedua, baarakallaahu fiika, adalah kalam insya”. Seandainya kedua kalimat tersebut kita fashal-kan dan kita katakan “Lag baarakallaahu fiika”, maka pendengar anak-anak beranggapaar bahwa kita mendoakan jelek kepadanya, padahal kita mendoakan paik. Oleh karena itu, wajib berpindah dari fashal kepada washal. Demikian juga halnya contoh terakhir, kedua, kalimatnya berbeda khapar dan insya’nya, yang seandainya tidak diathafkan, niscaya akan menimbulkan kesalahpahaman yang menyalahi maksud sebenarnya.

 

3, Kaidah

 

(64) Wajib washal di antara dua kalimat dalam tiga tempat, yaitu bila:

 

  1. kalimat kedua hendak disertakan kepada kalimat pertama dalam hukum i’rabnya.

 

  1. kedua kalimat tersebut sama-sama kalam khabar atau samasama kalam insya’ dan bersesuaian maknanya dengan sempurna, namun tidak ada hal-hal yang mengharuskan keduanya di-fashal-kan.

 

  1. Kedua kalimat tersebut berbeda khabar dan insya’nya, dan bila di-fashal-kan akan menimbulkan kesalahpahaman yang menyalahi maksud semula.

 

  1. Latihan-Latihan

Contoh Soal:

Jelaskanlah tempat-tempat fashal dan washal pada kalimat-kalimat berikut dan sebutkan sebab-sebabnya!

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (QS Al-Baqarah: 6)

 

  1. Al-Ahnaf bin Oais berkata:

 

Tidak ada kesetiaan bagi seorang pembohong, dan tidak ada ketenangan bagi orang pendengki.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

dan ia merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata, “Jangan takut…” (QS Huud: 70)

 

  1. Disebutkan dalam kata-kata hikmah:

 

Uban itu cukup menyakitkan, kebaikan seorang manusia itu tergantung kepada pemeliharaan lidah.

 

  1. Suatu ungkapan yang dinisbatkan kepada Imam Ali k.w.:

 

Tinggalkanlah berlebih-lebihan demi alasan ekonomi, dan ingatlah pada hari ini tentang hari esok, dan simpanlah sebagian hartamu sesuai dengan kebutuhan primermu, dan dahulukanlah sisa untuk hari kebutuhanmu.

 

  1. Abu Bakar berkata:

 

Wahai manusia, sesungguhnya aku diberi kekuasaan untuk mengatur kamu, dan aku bukanlah orang terbaik di antara kamu.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Sesungguhnya bencana-bencana zaman memberi tahu kepadaku, aku adalah orang yang lama menggigit kayu (tahan dan tabah terhadap musibah).

 

  1. Tidak, semoga engkau dicukupi dari kejahatannya. (Sebagai jawaban atas pertanyaan: “Apakah panas si sakit telah turun?”)

 

9 Allah Swt. berfirman:

 

….yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, anak-anak, kebun-kebun, dan mata air. (QS Asy-Syu’ara’: 132 – 134)

 

10, Abul Atahiyah berkata:

 

Kadang-kadang orang yang tidur yang mendapat petunjuk dapat mencapai apa yang dicarinya, dan kadang-kadang orang yang berjalan sore dan petang itu mengalami kerugian.

 

  1. Al-Ghazzi mengadu kepada manusia:

 

Mereka berpaling tanpa alasan ketika dilanda bencana, dan mereka menurut perintah dan larangan ketika dalam kenikmatan.

 

  1. Abul ‘Ala Al-Ma’arri berkata:

 

Janganlah sekali-kali mengherankan kamu kehadiran seseorang yang menunjukkan cahaya, sesungguhnya ketenangan api itu — demi usiaku — adalah puncak gejolaknya.

 

  1. Mereka berkata bahwa aku membawa kehinaan bagi mereka. Aku berlindung kepada Rabb-ku dari dihinanya orang yang sepadan denganku.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelihi anak-anakmu yang laki-laki… . (QS Al-Baqarah: 49)

 

  1. Allah Swt. berfirman: .

 

Dan tiadalah yang diucapkannya (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS An-Najm: 3 – 4)

 

Contoh Jawaban:

  1. Kedua kalimat tersebut di-fashal-kan, yaitu antara kalimat “Sawaa-un ‘alaihim a’andzartahum am lam tundzirhum” dan kalimat “Laa yu-minuun” karena kedua kalimat ini memiliki keterkaitan yang sempurna, karena kalimat kedua merupakan taukid bagi kalimat pertama.

 

  1. Kedua kalimat tersebut di-washal-kan karena keduanya sama-sama kalam khabar dan bersesuaian maknanya, dan karena tidak ada hal-hal yang mengharuskan keduanya di-fashal-kan.

 

  1. Kalimat kedua (gaaluu) di-fashal-kan dengan kalimat pertama (wa aujasa minhum khiifah) karena kedua kalimat ini memiliki kesinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan jawaban bagi pertanyaan yang muncul dari pemahaman terhadap kalimat pertama. Jadi, seakan-akan muncul pertanyaan: “Lalu apa yang mereka katakan ketika mereka melihatnya: ketakutan?” Jawabannya adalah: Mereka berkata, “Janganlah kamu takut.”

 

  1. Kedua kalimat tersebut di-fashal-kan karena di antara kedua kalimat tersebut terdapat keterputusan yang sempurna, sebab tidak ada kesesuaian makna antara kalimat pertama dan kalimat kedua.

 

5, Semua kalimat tersebut di-washal-kan karena semuanya kalam insya’ dan memiliki kesesuaian makna, dan karena tidak ada hal-hal yang mengharuskan kalimat-kalimat tersebut di-fashalkan.

 

  1. Kalimat “Ayyuhan-naas” dan kalimat “Innii wulliitu “alaikum” difasial-kan karena ada perbedaan khabar dan insya’ di antara kedua kalimat tersebut. Dan kalimat “Wulliitu ‘alaikum’ dan “Lastu bi khairikum” di-washal-kan karena Abu Bakar bermaksud menyertakan kalimat kedua itu kepada kalimat pertama dalam segi i’rab karena kedua-duanya dalam posisi rafa’. Bila wawu athaf diartikan sebagai wawu haliyah, maka bukan washal namanya.

 

  1. Kedua syathar bait syair terscbut di-fashal-kan karena syathar kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari pemahaman pendengar terhadap syathar pertama. Jadi, kedua syathar tersebut memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna.

 

  1. Kalimat “Iaa” dan kalimat “Kuffiita .. ” di-washal-kan karena ada perbedaan khabar dan insya’, dan bila di-fashal-kan akan menimbulkan kesalahpahaman yang menyalahi maksud semula.

 

  1. Kalimat “Amaddakum bi maa ta’lamuun” dan kalimat “Amaddakum bi an’aamin .. .” di-fashal-kan karena keduanya memiliki keSinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan badal dari kalimat pertama, yaitu bahwa binatang-binatang ternak, anak-anak, kebun-kebun, dan mata air itu termasuk barang-barang yang kamu ketahui.

 

  1. Abul-‘Atahiyah me-washal-kan kedua kalimat tersebut karena keduanya sama-sama kalam khabar dan memiliki kesesuaian makna yang sempurna, serta tidak ada hal-hal yang mengharuskan kedua kalimat tersebut di-fashal-kan.

 

  1. Dengan alasan yang sama, Al-Ghazzi juga me-washal-kan kedua SYathar syairnya.

 

  1. Abul-‘Ala’ mem-fashal-kan kedua syathar syairnya karena ada nya keterputusan yang sempurna, sebab kedua kalimat tersebut berbeda khabar dan insya’nya.

 

  1. Kalimat “Yaguuluuna innii ahmiludh-dhaima” dan kalimat “A’uudzu bi Rabbii …” di-fashal-kan karena keduanya memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari pemahaman terhadap kalimat pertama. Jadi, seakan-akan sctelah penyair membacakan syathar pcrtama, ada yang bertanya kepadanya, “Apakah ucapan mereka bahwa engkau membawa kehinaan itu benar?” Maka ia menjawab dengan syathar kedua.

 

  1. Kalimat “Yasuumuunakum suu-al-‘adzaabi” dan kalimat “Yudzab bihuuna abnaa-akum” di-fashal-kan karena keduanya memiliki keSinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan badal dari kalimat pertama.

 

  1. Allah mem-fashal-kan dua kalimat dalam ayat terscbut karena keduanya memiliki kesinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan penjelasan bagi kalimat pertama.

 

Latihan-Latihan

 

  1. Jelaskan tempat-tempat fashal dan washal pada contoh-contoh berikut dan jelaskan pula alasannya!

 

  1. Sebagian ahli hikmah berkata:

 

Seorang hamba itu merdeka bila ia gana’ah (menerima kenyataan), dan seorang merdeka itu adalah hamba bila ia thama’ (senantiasa berharap lebih atau tidak menerima kenyataan).

 

  1. Ibnur-Rumi berkata:

 

Kadang-kadang seorang pencari kebaikan yang tergesa-gesa itu melewatkannya, dan kadang-kadang kejahatan itu mengenai orang yang berlari menghindarinya. 

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Suatu pendapat bagi orang yang belum sempurna keberaniannya adalah pertama (dalam kemunculannya), dan ia menempati posisi kedua.

 

4 Al-Hajjaj berpidato:

 

Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku bahwa kecurangan itu adalah kecurangan sehingga aku dapat menjauhinya, dan tunjukkanlah kepadaku bahwa petunjuk itu adalah petunjuk sehingga aku dapat mengikutinya, dan janganlah Kauserahkan hal itu kepadaku sehingga aku menjadi tersesat dengan sejaul-jauhnya.

 

  1. Asy-Syarif Ar-Radhiy berkata dalam suatu ratapannya:

 

Tahukah Anda siapakah yang mereka bawa di atas keranda, tahukah Anda bagaimana padamnya cahaya orang yang bermurah hati?

 

6, Hisan bin Tsabit Al-Anshari berkata:

 

Aku memelihara jiwaku dengan hartaku, aku tidak akan mengotorinya. Allah tidak memberi berkah pada harta tanpa jiwa vang baik. Seandainya harta telah habis, aku dapat berusaha untuk mendapatkannya lagi, dan aku tidak dapat berusaha mendapatkan jiwaku /harga diriku lagi setelah binasa/ rusak.

 

  1. Am-Nabighah Adz-Dzubyani meratapi saudaranya seibu:

 

Telah cukup bagi dua orang bersahabat bumi memisahkan mereka, seorang hidup di atasnya, dan seorang lagi hancur di bawahnya.

 

  1. Ath-Thaghra’i berkata:

 

Wahai orang yang menempuh sisa kehidupan, seluruh sisa kehidupan itu keruh. Engkau telah mencurahkan seluruh umurmu di hari-harimu yang telah lampau.

 

  1.  

 

Air mata tidak perlu menetes dan hatimu tidak harus terhibur. Kematian singgah di sarang singa.

 

  1. Zainab binti Ath-Thatsariyyah meratapi saudaranya:

 

Ia dapat memuaskan pedang dengan telapak tangannya dan pemberiannya telah mencapai kabilah di tempat yang jauh.

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Tempat yang paling mulia di dunia adalah pelana kuda yang cepat larinya, dan kawan yang paling baik sepanjang zaman adalah kitab.

 

  1. Mata menibuatku menangis dan nafsu membuatku haus. Akalku telah mati dan keagungan seorang dermawan telah sirna.

 

  1. Seorang laki-laki dari Bani Asad berkata dalam sebuah ejekannya:

 

Jangan kauanggap keagungan itu sebagai sebutir kurma yang engkau tinggal memakannya. Kamu tidak akan dapat mencapai keagungan sebelum kamu menjilat getah pohon yang pahit.

 

14 Umarah Al-Yamani’ berkata:

 

Kecurangan seseorang itu berada pada janji dan pemenuhannya, dan kecurangan pedang yang tajam adalah ketika tidak dapat digunakan untuk memotong.

 

15, Allah Swt. berfirman tentang kisah Firaun dan Musa a.s.:

 

Firaun berkata, “Siapakah Tuhan semesta alam itu?” Musa menjawab, “Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu) jika kamu sekalian adalah orang-orang yang mempercayai-Nya.” Firaun berkata kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata, “Tuhan kamu dan Tuhan nenek moyang kamu yang dahulu.” (QS AsySyw’ara’: 23 – 26)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah ia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya. (QS Lugman: 7)

 

  1. 1. Mengapa syathar kedua dari syair Abu Tanam berikut ini tidak tepat di-athaf-kan kepada syathar pertamanya?

 

Tidak, demi Allah Yang Mahatahu, sesungguhnya An-Nawatwi itu orang yang tabah, dan sesungguhnya Abul Husain itu orang yang mulia.

 

2 Mengapa baik bila dikatakan:

 

(Ali adalah seorang ahli pidato dan Sa’id adalah seorang penyair).

 

Dan mengapa tidak baik bila dikatakan:

 

(Ali sakit dan Sa’id adalah seorang yang alim)?

 

III. 1. Buatlah tiga buah contoh’kalimat yang masing-masing di-fashal-ka karena memiliki kesinambungan yang sempurna!

 

  1. Buatlah dua contoh kalimat yang di-fashal-kan karena memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna!

 

3, Buatlah dua contoh kalimat yang di-fashal-kan karena memiliki keterputusan yang sempurna!

 

IV, Buatlah dua buah contoh bagi masing-masing tempat washal!

 

V, Uraikan dua bait Abuth-Thayyib tentang pujiannya kepada SaifudDaulah berikut ini serta jelaskan sebab-sebab fashal dan atau washalnya!

 

Wahai orang yang senantiasa membunuh dengan pedangnya terhadap orang yang dikehendaki, aku telah menjadi korban pembunuhan dengan kebaikanmu.

 

Ketika aku melihatmu, maka tercenganglah penglihatanku: dan ketika aku memujimu, maka tercenganglah lidahku.

 

 

  1. Musawah
  2. Contoh-Contoh
  3. Allah Swt. berfirman:

 

Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. (QS Al-Baqarah: 110)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali atas orang yang merencanakannya. (QS Faathir: 43)

 

  1. An-Nabighah Adz-Dzubyani berkata:

 

Sesungguhnya kamu itu seperti malam yang dapat mengejarku sekalipun engkau menduga bahwa menghindar darimu banyak tempat yang luas.

 

  1. Tharafah bin Abd berkata:

 

Hari-hari akan menunjukkan kepadamu apa-apa yang belum engkau ketahui, dan akan datang kepadamu orang-orang yang belum pernah kauberi bekal dengan membawa aneka ragam berita.

 

2, Pembahasan

 

Orang yang balig dalam rangka mengutarakan isi hatinya akan memilih salah satu dari ketiga cara pengungkapan berikut ini, menggunakan kalimat dengan seringkas-ringkasnya, dengan panjang lebar, dan sedang-sedang saja, sesuai dengan keadaan mukhathab dan situasi pembicaraannya. Dalam kesempatan ini akan dibahas ketiga cara pengungkapan tersebut, dan dimulai dengan musawah (kalimat yang diungkapkan dengan sedang) karena musawah itu merupakan, gaya bahasa yang pokok dan menjadi ukuran.

 

Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, kita dapatkan bahwa kata-katanya disusun sesuai dengan makna yang dikehendaki, dan seandainya kita tambahi satu kata saja, niscaya tampak ada kelebihan: dan bila kita kurangi satu kata saja, niscaya akan menQur’angi maknanya. Jadi, kata-kata yang tersusun dalam setiap contoh di atas sama dengan banyaknya makna. Oleh karena itu, pengungkapan kaJimat vang demikian disebut sebagai musawah.

 

  1. Kaidah

(65) Musawah adalah pengungkapan kalimat yang maknanya sesuai dengan banyaknya kata-kata, dan kata-katanya sesuai dengan luasnya makna yang dikehendaki tidak ada penambahan ataupun penQur’angan.

 

  1. Ijaz
  2. Contoh-Contoh
  3. Allah Swt. berfirman

 

Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. (QS Al-A’raf: 54) .

 

  1. Rasulullah Saw. bersabda:

 

Orang yang lemah itu penguasa suatu rombongan musafir.

 

  1. Dikatakan kepada seorang Arab Badui yang sedang menggiring untanya yang banyak:

 

“Milik siapa harta ini?” Ia menjawab, “Milik Allah di tanganku.”

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris. (QS Al-Fajr: 22)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

Qaaf, demi Al-Qur’an yang sangat mulia. (Mereka tidak menerimanya), bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka. (QS Oaaf: 1-2)

 

  1. Allah Swt. berfirman tentang kisah Musa bersama dua anak perempuan Syu’aib:

 

Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berdoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Maka datanglah kepada Musa salah seorang dari dua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, “Sesungguh: nya bapakku memanggil kaniu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan) kamu memberi minum (ternak) kami.” (QS Al-Oashash: 24 – 25).

 

  1. Pembahasan Bila kita perhatikan contoh-contoh bagian pertama, kita dapatkan bahwa kata-kata pada setiap kalimat sedikit jumlahnya, namun mencakup banyak makna. Pada contoh pertama terdapat dua kata yang mencakup segala sesuatu dan segala urusan dengan sehabis-habisnya. Sehubungan dengan itu diriwayatkan bahwa Ibnu Umar ketika membaca ayat tersebut berkata, “Barangsiapa yang beranggapan masih ada sesuatu yang lain, hendaklah ia mencarinya.” Contoh kedua merupakan simbol balaghah dan keindahan. Kalimat ini mencakup sopan-santun dalam perjalanan dan keharusan memperhatikan nasib orang lemah. Hal ini tidak mudah diungkapkan oleh seseorang yang baligh kecuali dengan kata-kata yang panjang. Demikian juga halnya dengan contoh ketiga. Uslub yang demikian disebut dengan jijaz. Karena lingkup ijaz itu sesuai dengan keluasan cakupan kata-kata yang sedikit terhadap makna yang banyak, dan bukan dengan cara membuang sebagian kata atau kalimat, maka yang demikian disebut sebagai ijaz qashr.

 

Selanjutnya bila kita perhatikan contoh-contoh bagian kedua, kita dapatkan bahwa kalimat-kalimatnya ringkas juga. Untuk mengetahui rahasia keringkasannya, marilah kita perhatikan contoh keempat. Maka kita dapatkan bahwa sebagian katanya dibuang, sebab diperkitakan asal kalimatnya adalah: “Wa jaa-a aniru Rabbika”. Pada contoh kelima juga ada sebagian kalimat yang dibuang, yaitu jawab gasam, karena diperkirakan asal kalimatnya adalah: “Oaaf, wal-Our-aanil-majd latub’atsunna” L.. sungguh engkau benar-benar akan dibangkitkan). Adapun pada contoh keenam, lafaz yang dibuang adalah bebetapa kalimat, yang seandainya tidak banyak dibuang, niscaya alur cetitanya adalah: Lalu kedua wanita itu pergi menemuai ayah mereka, dan mereka menceritakan hal-hal yang terjadi pada diri Musa. Maka “yah mereka mengutus salah scorang dari mereka untuk menemui Musa, Maka datanglah salah seorang . .. . Karena ijaz pada contoh-contoh bagian kedua ini ditempuh dengan membuang sebagiannya, Maka disebut sebagai ijaz hadzf. Disyaratkan bagi ijaz jenis ini harus ada dalil yang menunjukkan lafaz yang dibuang tersebut. Bila tidak ada dalil yang demikian, maka pembuangan sebagian kata/kalimat itu suatu hal yang merusak dan tidak dapat dibenarkan.

 

  1. Kaidah

 

(66) Ijaz adalah mengumpulkan makna yang banyak dalam kata-kata yang sedikit dengan jelas dan fasih. Ijaz dibagi menjadi dua:

 

  1. Ijaz gishar, yaitu ijaz dengan cara menggunakan ungkapan yang pendek, namun mengandung banyak makna, tanpa disertai pembuangan beberapa kata/kalimat.

 

  1. Ijaz hadzf, yaitu ijaz dengan cara membuang sebagian kata atau kalimat dengan syarat ada karinah yang menunjukkan adanya lafaz yang dibuang tersebut.

 

  1. Latihan-Latihan Contoh Soal: Jelaskan macam ijaz pada contoh-contoh berikut!

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan. (QS Al-An’am: 82)

 

  1. Allah Swt. berfirman: .

 

Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf. (QS Yusuf: 85)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Ia mengeluarkan darinya mata airnya dan tumbuh-tumbuhannya. (QS An-Naazi’aat 31)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Adapun orang-orang yang menjadi hitam muram mukanya, (kepada mereka dikatakan), “Mengapa kamu kafir setelah kamu beriman? .. (QS Ali Imran: 106)

 

5, Allah Swt. berfirman:

 

Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengannya gunung-gunung dapat diguncangkan atau bumi jadi terbelah, atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara (tentu AlQur’an itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. (QS Ar-Ra’d: 31)

 

  1. Abuth-Thayyib berkata:

 

Anak-anak zaman telah mendapatkan zaman ketika masih muda sehingga zaman itu membahagiakan mereka, dan kita mendapatkannya telah pikun.

 

  1. Saya makan buah-buahan dan air.

 

Contoh Jawaban:

 

1 Pada ayat ini terdapat ijaz gishar karena kata “al-imnu” mencakup seluruh hal yang menyenangkan, termasuk bebas dari ketakutan fakir, mati, penganiayaan, hilangnya kenikmatan, dan dari hal-hal menakutkan yang lain.

 

  1. Pada ayat ini terdapat ijaz hadzf karena makna ayat adalah “Tallaahi laa tafta-u . ..” (Demi Allah, engkau tidak henti-henti/senantiasa . . .), lalu dibuang huruf nafyi-nya.

 

  1. Pada ayat ini terdapat ijaz gishar. Dengan dua kata tersebut Allah menunjukkan bahwa Dia mengeluarkan segala apa yang Dia keluarkan dari bumi, baik berupa bahan makanan maupun barang yang menjadi sarana kenikmatan bagi manusia, seperti rumput, pohon-pohonan, kayu bakar, pakaian, api, dan air.

 

  1. Pada ayat ini terdapat ijaz hadzf karena jawab ammaa dibuang, sebab asal kalimatnya adalah “Fayugaalu lahum akafartum ba’da jimaanikum” (maka dikatakan kepada mereka mengapa mereka kafir setelah beriman).

 

  1. Pada ayat ini terdapat ijaz hadzf karena jawab lau dibuang, sebab diperkirakan kalimat yang dibuang adalah “Lakaana haadzal-Our-aan”.

 

  1. Pada syair ini terdapat ijaz hadzf, yaitu dengan dibuangnya kata fa saa-anaa sebagai bandingan kata fasarrahum.

 

  1. Pada kalimat ini terdapat ijaz hadzf, diperkirakan asal kalimatnya adalah… wa syaribtu maa-an.

 

Latihan-Latihan

 

  1. Jelaskan macam ijaz pada kalimat-kalimat berikut serta jelaskan sebabnya!

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada Tuhan beserta-Nya, tentu masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk ciptaannya, dan sebagian dari Tuhan-Tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. (QS Al-Mu-minun: 91)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS Al-A’raf: 199)

 

  1. Rasulullah Saw. bersabda:

 

Sesungguhnya sebagian bayan itu benar-benar mengandung sihir.

 

4 Allah Swt. berfirman tentang surga:

 

Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata. (QS Az-Zukhruf: 71)

 

5, Allah Swt. berfirman:

 

Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika mereka (orang-orang kafir) terperanjat ketakutan (pada hari kiamat), maka mereka tidak dapat melepaskan diri …. (QS Saba’: 51)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan jika mereka mendustakan kamu (sesudah kamu beri peringatan), maka sungguh telah didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu (QS Faathir: 4)

 

  1. Rasulullah Saw. bersabda:

 

Thama’ adalah kefakiran dan putus harapan itu suatu kekayaan.

 

  1. Ali kw. berkata:

 

Kunci keberhasilan pemimpin adalah lapang dada.

 

  1. Dikatakan bahwa As-Samau-al berkata:

 

Dan seandainya ia tidak sanggup menanggung penderitaan dirinya, maka tidak ada jalan baginya untuk dapat meraih pujian yang indah.

 

  1. Allah Swt. berfirman tentang berakhirnya bencana banjir:

 

Dan difirmankan: “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan), berhentilah”: dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas Bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.” (QS Huud: 44)

 

  1. Jelaskan keindahan ijaz dan sebutkan macam ijaznyu pada’ kalimatkalimat berikut ini!

 

  1. Thahir bin Al-Husain mengirim surat kepada Al-Ma-mun. Thahir adalah perdana menteri yang diangkat Al-Ma-mun setelah berhasil mengalahkan pasukan Ali bin Isa bin Mahan”)),

 

Suratku kepada Amirul-Mu-minin: Kepala Ali bin Isa bin Mahan telah berada di tanganku, cincinnya telah berada di tanganku, dan pasukannya telah menyerah kepada perintahku. Wassalam.

 

  1. Ziyad berpidato :

 

Wahai manusia, jangan sekali-kali kejahatan perbuatanmu sampai menghalangimu untuk memanfaatkan kebaikan dan apa yang kalian dengar dariku.

 

III. Jelaskan keindahan ijaz yang terdapat pada taugiat berikut!

 

  1. Abu Ja’far Al-Manshur menerima keluhan dari sebagian kaum dari kalangan gubernurnya, maka ia berkata: ,

 

Sesuai keadaan kalian, maka kalian ditugaskan menjadi gubernur.

 

  1. Hakim Mesir mengirim surat kepadanya tentang menQur’angnya air Sungai Nil, maka ia menulis:

 

Bersihkanlah pasukanmu dari kerusakan, maka Sungai Nil akan memberimu penuntun.

 

  1. Ia menanggapi surat dari pembantunya di Himsha, sebuah kota yang tengah dilanda penyelewengan:

 

Carilah pengganti sekretarismu: kalau tidak, maka kamu akan diganti.

 

  1. Hakim India mengirim surat kepadanya bahwa suatu pasukan telah menganiayanya dan merusak kunci-kunci baitul mal. Maka ia menulis:

 

Seandainya kamu adil, mereka tidak akan menganiayamu, dan seandainya kamu memenuhi hak mereka, mereka tidak akan merampok.

 

  1. Harun Ar-Rasyid menulis kepada hakim Khurasan:

 

lukamu, maka tidak akan meluas.

 

  1. Ia menulis tentang kisah orang-orang Barmak:

 

Mereka ditumbuhkan oleh ketaatan dan dipaneni oleh maksiat.

 

  1. Ibrahim bin Mahdi mengirim surat kepada Al-Ma-mun: “Bila Anda memaafkan, maka atas kemurahanmu: dan bila Anda menghukum, maka ia adalah hakmu.” Maka Al-Ma-mun menulis:

 

Kekuasaan menghilangkan kemarahan.

 

  1. Ziyad bin Abih menulis tentang orang yang teraniaya:

 

Telah cukup bagimu.

 

  1. Ja’far bin Yahya menulis kepada seorang pegawainya yang banyak pengaduan tentang dirinya:

 

Telah banyak orang yang mengadukan kamu, dan sedikit orang yang mensyukurimu. Maka apakah kamu akan menjadi adil, ataukah akan mengundurkan diri?

 

  1. Ia menulis tentang orang yang dipenjara:

 

Keadilan memasukkannya ke penjara, dan tobat akan melepaskannya.

 

  1. Seorang laki-laki Arab Badui yang bernama Dhabbah mempunyai dua orang anak laki-laki, yang seorang bernama Sa’d dan yang seorang lagi bernama Su’aid. Pada suatu hari unta milik Dhabbah lari. Maka kedua anaknya itu mencarinya dengan terpisah. Sa’d menemukannya dan mengembalikannya, sedangkan Su’aid terus saja mencarinya hingga bertemu dengan Al-Harits bin Ka’b.

 

Saat itu Su’aid memakai dua lembar selimut. Lalu Harits meminta kedua selimut itu kepadanya. Ia tidak memberikannya, maka Harits membunuhnya dan mengambil kedua selimut tersebut.

 

Bila hari sudah sore Dhabbah melihat sosok tubuh dalam kegelapan, maka ia berkata, “Apakah Sa’d ataukah Su’aid?” Ucapannya itu kemudian menjadi peribahasa untuk keberhasilan dan kegagalan. Kemudian setelah peristiwa itu Dhabbah tidak keluar rumah untuk waktu yang cukup lama. Kemudian ia menunaikan ibadah haji, dan ketika masuk ke pasar ‘Ukazh ia bertemu dengan Harits bin Ka’b. Ia melihat Harits memakai dua lembar selimut anaknya, Su’aid, dan ia mengenalnya. Maka ia bertanya kepadanya, “Apakah Anda dapat memberitahuku bagaimana riwayat kedua selimut yang Anda pakai ini?” Ia menjawab, “Aku bertemu seorang anak memakai dua selimut ini, lalu aku memintanya kepadanya. Ia tidak memberikannya, maka ia kubunuh, dan kedua selimut itu kuambil.” Dhabbah bertanya, “Dengan pedangmu ini? Harits berkata, “Benar.” Dhabbah berkata, “Tunjukkan kepadaku, aku kira pedang itu sangat tajam.” Maka Harits memberikan pedang itu kepada Dhabbah. Ketika Dhabbah memegang pedang itu, maka ia menggerak-gerakkannya seraya berkata, “Cerita itu banyak jalannya.” Lalu ia memukulkan pedang itu kepada Harits sehingga meninggal.

 

Maka ditanyakan kepadanya, “Wahai Dhabbah, apakah pada bulan ha

 

ram (engkau melakukan pembunuhan)?” Ia menjawab, “Pedang

 

itu mengalahkan cercaan.” Jadi, ia adalah orang yang pertama kali mengatakan tiga peribahasa di atas.

 

  1. 1. Buatlah tiga buah contoh untuk ijaz gishar dan jelaskan segi ijaznya!

 

  1. Buatlah tiga buah contoh ijaz hadzf dengan lafaz yang dibuang pada contoh pertama adalah satu kata, pada contoh kedua satu kalimat, dan pada contoh ketiga lebih dari satu kalimat, serta jelaskanlah lafaz-lafaz yang dibuang tersebut!

 

  1. Jelaskanlah segi balaghah dan ijaz pada syair Abu Tamam dalam sebuah pujiannya berikut ini!

 

Seandainya engkau harus menggambarkan dirimu, maka engkau tidak dapat menambahi kemuliaan tabiat yang ada padamu.

 

  1. Ithnab

1, Contoh

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril. (QS AlOadr: 4)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman, dan semua orang yang beriman, laki-laki dan perempuan. (QS Nuh: 28)

 

c Allah Swt. berfirman:

 

Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu Subuh. (QS Al-Hijr: 66)

 

  1. Antarah bin Syaddad berkata dalam sebagian riwayatnya yang pernah digantungkan pada Ka’bah:

 

Mereka mengundang ‘Antarah, sedangkan panah-panah itu seakanakan tambang sumur di dada kuda. Mereka mengundang ‘Antarah, sedangkan pedang-pedang itu seakanakan cahaya kilat di awan yang gelap.

 

  1. An-Nabighah AlJa’di berkata:

 

Apakah anak-anak Sa’d tidak beranggapan bahwa saya — sebenarnya mereka bohong — adalah orang yang sudah tua dan akan musnah?

 

f Al-Huthai-ah berkata:

 

Engkau menengok seorang pemuda yang memberikan hartanya berkata pujian. Siapa orangnya yang memberi karena dipuji adalah orang yang terpuji.

 

  1. Ibnu Nubatah berkata:

 

Kemurahanmu tidak lagi menyisakan bagiku sesuatu yang dapat aku harapkan. Engkau meninggalkan aku menempuh kehidupan dunia tanpa harapan.

 

  1. Ibnul-Mu’taz menyifati kuda:

 

Kami cambukkan kepadanya cambuk-cambuk kami dengan zalim, maka melayanglah tangan dan kakinya dengan cepat.

 

  1. Pembahasan

Pada penjelasan terdahulu telah kita ketahui pengertian ijaz. Dan dajam kesempatan ini akan dijelaskan jenis uslub lain yang merupakan kebalikannya, yaitu lafaznya lebih banyak daripada makna yang dimaksud.

 

Bila kita perhatikan contoh pertama, kita dapatkan bahwa lafaz “Ar-Ruuh” adalah lafaz tambahan karena maknanya telah tercakup oleh lafaz sebelumnya, yaitu lafaz “al-Malaa-ikatu”. Bila kita perhatikan contoh kedua, juga kita dapatkan bahwa lafaz “Lii wa liwaalidayya” adalah tambahan juga karena maknanya telah tercakup pada keumuman lafaz “al-Mu-miniin wal-Mu-minaat”. Begitu juga semua contoh di atas, mencakup kata-kata tambahan, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut, dan akan dijelaskan pula bahwa kata-kata tambahan itu tidaklah sia-sia, melainkan didatangkan dari aspek yang halus dari balaghah untuk menambah bobot kalimat yang meninggikan maknanya. Pengungkapan kalimat dengan cara demikian disebut ithnab.

 

Bila kita perhatikan lagi satu per satu, kita dapatkan bahwa teknik ithnab itu bermacam-macam. Cara yang pertama pada contoh pertama adalah penyebutan lafaz yang khusus setelah lafaz yang umum (dzikrul-khash ba’dal-‘am). Dalam ayat tersebut, Allah secara khusus menyebut Ar-Ruuh, yakni Jibril, padahal ia telah tercakup dalam keumuman malaikat. Hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan dan penghargaan bagi Jibril, seakan-akan ia dari jenis lain. Jadi, faedah benambahan dalam ayat ini adalah untuk menghormat sesuatu yang 

 

Cara kedua pada contoh kedua adalah dengan menyebutkan lafaz yang umum setelah lafaz yang khusus (dzikrul-‘am ba’dal-khash). Dalam ayat ini Allah menyebutkan lafaz “al-mu-miniin wal-mu-micat”, yang keduanya adalah lafaz yang umum, mencakup oranQur’ang yang disebut pada lafaz-lafaz sebelumnya. Tujuan penambahan lafaz-lafaz tersebut adalah untuk menunjukkan ketercakupan lafaz yang khas ke dalam lafaz yang umum dengan memberi perhatian khusus kepada sesuatu yang khas karena disebut dua kali.

 

Cara ketiga pada contoh ketiga adalah dengan al-idhah ba’dal-ibham (menyebutkan lafaz yang maknanya jelas setelah menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas) karena firman Allah “Anna daabira haa-ulaa-i maqthuu’un mushbihiin” merupakan penjelasan bagi lafaz “al-amr” yang disebut sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk menambah ketegasan makna di hati pendengar dengan disebutkan dua kali, pertama secara samar, dan kedua dengan tegas.

 

Cara keempat pada kedua bait syair ‘Antarah adalah dengan cara tikrar (diulang penyebutannya), untuk menegaskan dan memantapkan maknanya di hati pendengar. Maksud ini sangat tampak dalam pidato dan dalam rangka menyombongkan/membanggakan diri, memuji, memberi bimbingan, dan memberi peringatan. Pengulangan itu dapat juga disebabkan oleh hal-hal yang lain, seperti tahassur (menampakkan kesedihan), seperti dalam syair Al-Husain Muthayyar/ ) dalam meratapi Ma’n bin Zaidah:

 

Wahai kubur Ma’n, engkau adalah lubang bumi pertama yang menjadi tempat kemuliaan dan kemurahan.

 

Wahai kubur Ma’n, bagaimana kamu menutupi kemurahannya, padahal daratan dan lautan itu dipenuhi oleh kemurahannya itu? Alasan lain lagi adalah karena adanya kalimat pemisah yang banyak seperti dalam syair: .

 

Orang-orang Yaman telah tahu bahwa bila saya berkata «Amma Ba’du”, saya adalah orang yang mengatakannya.

 

Cara kelima adalah dengan cara i’tiradh, yaitu dengan memasukkan satu kalimat atau lebih ke tengah-tengah suatu kalimat atau ke antara dua kata yang berhubungan. Kalimat yang ditambahkan tersebut tidak mempunyai kedudukan dalam i’rab. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan ke-baligh-an suatu kalimat. Lafaz “alaa kadzabuu” dalam syair An-Nabighah terletak di antara isim inna dan khabarnya, dengan maksud untuk menegaskan peringatan kepada orang yang menuduhkan telah tua. Alasan lain dari i’tiradh di antaranya adalah untuk tanzih (membersihkan), seperti: “Innallaaha — tabaaraka wa t’aalaa — lathiifun bi’ibaadih” (Sesungguhnya Allah Yang Mahaberkah dan Mahaluhur adalah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya). Kadang-kadang juga untuk doa, seperti: “Innii — wagaakallaahu — maridhun” (Sesungguhnya aku — semoga Allah memeliharamu — adalah sedang sakit).

 

Cara keenam pada contoh keenam dan ketujuh adalah dengan tadzyiil, yaitu mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mengandung makna yang sama. Hal ini dimaksudkan. untuk mempertegas maknanya. Sesungguhnya makna kedua bait syair tersebut telah selesai pada syathar pertama, namun diulas kembali pada syathar kedua. Bila kita perhatikan tadzyiil pada kedua contoh tersebut, kita dapatkan adanya perbedaan di antara keduanya. Tadzyiil pada contoh pertama adalah kalimat yang maknanya mandiri, tidak terikat dehgan pemahaman terhadap kalimat sebelumnya. Tadzyiil yang demikian disebut sebagai jaarin majral mitsl (berlaku sebagai contoh). Sedangkan pada bait kedua bukan kalimat yang maknanya mandiri, sebab maknanya tidak dapat dipahami tanpa lebih dulu memahami kaimat sebelumnya. Tadzyiil yang demikian disebut ghairu jaarin maj’al-mitsl (tidak dapat berlaku sebagai contoh).

 

Selanjutnya marilah kita perhatikan contoh terakhir, maka kita dapatkan bahwa seandainya kita hilangkan lafaz zhaalimiin, niscaya pendengar akan beranggapan bahwa kuda Ibnul-Mu’taz itu dungu Ian berhak dipukul. Makna yang demikian tidak sesuai dengan makbud pembicara. Tambahan yang demikian disebut sebagai ihtiraas ‘dalam rangka menjaga). Demikian juga setiap lafaz yang ditambahkan untuk menjaga kesalahpahaman terhadap suatu kalimat.

 

3 Kaidah

 

(9) Ithnab adalah bertambahnya lafaz dalam suatu kalimat melebihi makna kalimat tersebut karena suatu hal yang berfaedah.

 

Teknik ithnab banyak sekali, di antaranya adalah:

 

  1. Dzikrul-khash ba’dal-‘am (menyebutkan lafaz yang khusus setelah lafaz yang umum). Hal ini berfaedah untuk mengingatkan kelebihan sesuatu yang khas itu.

 

  1. Dzikrul-‘am ba’dal-khash (menyebutkan lafaz yang umum setelah lafaz yang khusus). Hal ini berfaedah untuk menunjukkan keumuman hukum kalimat yang bersangkutan dengan memberi perhatian tersendiri terhadap sesuatu yang khas itu.

 

  1. Al-Idhah ba’dal-Ibham (menyebutkan lafaz yang jelas maknanya setelah menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas). Hal ini berfaedah mempertegas makna dalam perhatian pendengar.

 

  1. Tikrar (mengulangi penyebutan suatu lafaz). Hal ini berfaedah, seperti untuk mengetuk jiwa pendengarnya terhadap makna yang dimaksud, untuk tahassur (menampakkan kesedihan), dan untuk menghindari kesalahpahaman karena ba

 

. nyaknya anak kalimat yang memisahkan unsur pokok kalimat yang bersangkutan.

 

  1. Ftiradh (memasukkan anak kalimat ke tengah-tengah suatu kalimat atau antara dua kata yang berkaitan, dan anak kalimat tersebut tidak memiliki kedudukan dalam i’rab).

 

  1. Tadzyiil (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup maknanya). Hal ini berfaedah sebagai taukid. Tadzyiil itu ada dua macam:
  2. Jaarin majral-mitsl (berlaku sebagai contoh) bila kalimat yang ditambahkan itu maknanya mandiri, tidak membutuhkan kalimat yang pertama.
  3. Ghairu jaarin majral-mitsl (bila kalimat kedua itu tidak dapat lepas dari kalimat pertama).

 

  1. Ihtiras (penjagaan), yaitu bila si pembicara menyampaikan suatu kalimat yang memungkinkan timbulnya kesalahpahaman, maka hendaklah ia tambahkan lafaz atau kalimat untuk menghindarkan kesalahpahaman tersebut.

 

4 Latihan

Contoh Soal:

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab A’inh kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A’raf: 97 – 99) .

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS Al-Anbiya’: 34 – 35)

 

3, Abuth-Thayyib berkata:

 

Sesungguhnya aku bersahabat dengan kearifanku dan ia membuatku mulia dan aku tidak bersahabat dengan kearifanku bila akan membuatku penakut.

 

4, An-Nabighah Al-Ja’di berkata dalam suatu umpatannya:

 

Seandainya saja orang-orang yang bakhil itu — dan kamu adalah salah seorang dari mereka — melihatmu, maka mereka akan belajar kepadamu dalam waktu yang lama.

 

  1. Seorang wanita Arab Badui berkata kepada seorang laki-laki:

 

Sesungguhnya Allah telah menetapkan semua musuhmu bermanfaat untuk dirimu kecuali nafsumu.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui.

 

Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak dan anak-anak. (QS Asy-Syu’ara: 132 – 133)

 

Contoh jawaban:

  1. Dalam ayat ini terdapat ithnab dengan tikrar dalam rangka memberi peringatan. Hal ini untuk menegaskan makna di hati para pendengarnya.

 

  1. Dalam ayat ini terdapat ithnab di dua tempat, yang pertama adalah lafaz “Afa in mitta fa humul-khaaliduun”, dan penyebutan lafaz ini adalah tadzyiil yang tidak dapat diberlakukan sebagai contoh. Tempat kedua adalah lafaz “Kullu nafsin dzaa’iqatulmaut”, lafaz ini berlaku sebagai contoh.

 

  1. Dalam bait ini terdapat ithnab dengan ihtiras di dua tempat, yaitu yang pertama terdapat pada syathar pertama dengan menyebut kata “wahuwa bii karamun”, dan yang kedua pada syathar kedua dengan menyobut lafaz “wahuwa bii jubunun”.

 

  1. Dalam bait ini terdapat ithnab dengan i’tiradh. Lafaz “wa anta minhum” diletakkan di antara isim inna dan khabarnya. Hal ini dimaksudkan untuk mempertajam celaan kepada mukhathab.

 

5, Dalam ungkapan ini terdapat ithnab dengan ihtiras karena nafsu setiap orang itu berlaku sebagai musuhnya, sebab ia mengajak manusia kepada kebinasaan.

 

  1. Dalam ayat ini terdapat ithnab dengan al-idhah ba’dal ibham karena penyebutan kata bi an’aamin wa baniin merupakan penjelasan bagi lafaz bimaa ta’lamuun.

 

  1. Jelaskanlah maksud pengulangan kata pada contoh-contoh ithnab pada kalimat-kalimat berikut ini!

 

  1. Sebagian penyair yang berani berkata:

 

(Pergilah) ke pusat kemuliaan dan kemurahan yang agung. Di sana, di sana terdapat keutamaan dan perangai yang mapan dan mulia.

 

  1. Seorang wanita Arab Badui meratapi dua anak laki-lakinya:

 

Wahai orang yang mengetahui dua anak kesayanganku, yang keduanya bagaikan dua butir mutiara yang terpisah dari kerangnya. Wahai orang yang mengetahui dua anak kesayanganku, yang keduanya adalah pendengaranku dan penglihatanku. Maka penglihatanku pada hari ini tersambar.

 

3 Amrbin Kultsum’ berkata:

 

Mana mungkin mau, hai Amr bin Hindin kami menjadi pelayan para pembantumu. Mana mungkin mau, hai Amr bin Hindin, kami taat kepada orang-orang hina, dan engkau sendiri telah tahu siapa kami.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS Alam Nasyrah: 5 – 6)

 

  1. Jelaskanlah tempat-tempat i’tiradh dan faedahnya pada kalimat-kalimat berikut!

 

  1. Al-Abbas bin Al-Ahnaf berkata:

 

Apabila pengasingan ini telah sempurna, hai Zhalum, dan belum sempurna pada saat ini, maka tiada lagi bagiku hasrat untuk hidup.

 

  1. Abul-Fattaah Al-Busti berkata:

 

Ketika seseorang yang mulia itu memuji (bersyukur) di pagi hari, dan mengapa demikian, maka ia tidak akan memuji di sore hari.

 

3, Abu Khirasy Al-Hudzali berkata memperingatkan saudaranya Urwah:

 

Wanita itu berkata, “Aku melihatnya (Abu Khirasy) menjadi lalai setelah ditinggal Urwah.” Yang begitu adalah kecelakaan besar kalau kamu tahu. Janganlah kamu beranggapan bahwa aku melupakan janjinya. Akan tetapi, kesabaranku itu bagus, hai Umaim.

 

  1. Ketahuilah, bahwa ilmu seseorang itu bermanfaat baginya. Sesungguhnya segala sesuatu yang telah ditakdirkan itu bakal datang.

 

III. Jelaskanlah tempat-tempat tadzyiil dan macamnya pada kalimat-kalimat berikut ini! Abu Tamam berkata ketika berta’ziyah kepada khalifah karena anaknya meninggal:

 

Bersabarlah, wahai Amiral-Mu-minin, karena sesungguhnya demi peristiwa yang engkau saksikan itu anak kecil diberi makan dan dilahirkan. Tidak lain anakmu hanyalah anak cucu Adam. Setiap orang memiliki jalan menuju telaga kematian itu.

 

  1. Ibrahim bin Mahdi meratapi anak laki-lakinya:

 

Carilah ganti rumah selain rumahku dan tetangga selain aku. Dan bencana zaman juga akan berganti.

 

3, –  Bila aku mati terbunuh, maka jadilah kamu sebagai pembunuhku. Sebagian kematian kaum itu lebih mulia daripada sebagian yang lain.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu) kecuali kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS Saba’: 17)

 

  1. Jelaskanlah tempat-tempat ihtiras dan sebab-sebabnya pada kalimat-kalimat berikut!

 

  1. Abul-Husain Al-Jazzaar berkata tentang orang yang dipuji:

 

la bergoyang seperti mendapatkan pemberian ketika aku memujinya, sebagaimana goyangnya peminum khamr kecuali ucapannya.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Aku tidak pernah merasa haus kepada air kecuali air Sungai Nil meskipun — astaghfirullah — air Zamzam sekalipun.

 

3, ‘Antarah berkata:

 

Bercerita kepadamu orang yang ikut berperang, bahwa aku ikut perang dan aku tidak mau mengambil bagian ghanimah.

 

4, Ka’bbin Sa’id Al-Ghanawi berkata:

 

la adalah penyantun ketika kesantunan itu menghiasi (dipujikan kepada) ahlinya. Meskipun ia penyantun, namun dalam pandangan banyak orang ia menakutkan.

 

  1. Tunjukkan tempat-tempat ithnab, dan jelaskan macamnya dan maksudnya pada kalimat-kalimat berikut ini!

 

  1. Allah Swt. berfirman :

 

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaJikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. (QS An-Nah!: 90)

 

2 Allah Swt. berfirman: –

 

Peliharalah semua salatlmu, dan peliharalah salat wustha (salat Asar). (QS Al-Baqarah: 238)

 

  1. Seorang penyair berkata:

 

Berusaha mencari rezeki, padahal rezeki itu telah dibagi-bagi, adalah suatu kezaliman. Perhatikanlah bahwa kezaliman seseorang itu akan menimpa dirinya sendiri.

 

4, Allah Swt. berfirman:

 

Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (QS Al-Infithar: 17 – 18)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Orang yang beriman itu berkata, “Hai kaumiku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS Al-Mu’min: 38 – 39)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Masukkanlah tanganniu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat. (QS Al-Oashash: 32)

 

7, Al-Hummasi berkata:

 

Wahai penjara, tali pengikat, kerinduan, keterasingan, dan jauhnya kekasih, sesungguhnya hal ini adalah masalah besar. Dan sesungguhnya setiap orang yang selama dapat memenuhi janjinya sedemikian rupa, sesungguhnya ia adalah orang yang benar-benar mulia.

 

8, Allah Swt. berfirman:

 

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata, “Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi.” (QS Thaha: 120)

 

  1. Ibrahim bin Mahdi berkata dalam meratapi anak laki-lakinya:

 

Sesungguhnya aku — meskipun engkau mati lebih dulu sebelum akubenar-benar tahu bahwa sesungguhnya aku — meskipun aku mati kemudian — adalah dekat kepadamu.

 

10, Allah Swt. berfirman:

 

Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan — MahasuCi Allah — sedangkan untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki). (QS An-Nahl: 57)

 

  1. Ausbin Hajar berkata:

 

Aku selamanya bukanlah orang yang berhenti makan karena takut hari esok, untuk setiap hari esok ada makanan.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. (QS Ali Imran: 104)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya di antara istri-istri kamu dan anak-anak kamu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS At-Taghabun: 14)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan aku tidak “membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan. (QS Yusuf: 53)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari, dan bulan, kulihat semuanya sujud kepadaku. (QS Yusuf: 4)

 

  1. Tunjukkan kecacatan balaghah pada bait-bait syair berikut!

 

1, Abu Nuwas berkata:

 

Kami bermukim di sana sehari, sehari lagi, dan hari ketiga, dan lima hari yang lain untuk berpindah-pindah tempat.

 

  1. An-Nabighah berkata dalam menyifati rumah:

 

 

Menjadi jelas tanda-tandanya sehingga aku mengenalnya. Hal itu telah berjalan selama enam tahun, dan sekarang adalah tahun ketujuh.

 

3, AbulAtahiyah berkata:

 

Telah meninggal — demi Allah — Sa’id bin Wahb, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Sa’id bin Wahb. | Hai Abu Utsman, engkau menjadikan mataku menangis. Hai Abu Utsman, engkau menjadikan hatiku sakit.

 

VII. Perhatikanlah kalimat ijaz, lalu susunlah dua kalimat lain dengan memasukkan kalimat ijaz tersebut, kalimat pertama redaksinya seimbang dengan maknanya, dan kalimat kedua redaksinya lebih panjang.

 

Amma ba’du. Maka nasihatilah manusia dengan perbuatanmu, malulah kepada Allah selaras dengan kedekatan-Nya darimu, dan takutlah kepada-Nya selaras dengan kekuasaan-Nya terhadapmu.

 

VIII. Mengapa setiap kalimat yang padanya terdapat fashal karena adanya kesinambungan yang sempurna itu termasuk salah satu jenis ithnab? Buatlah contoh-contoh yang berbeda-beda dan jelaskanlah macam ithnab-nya!

 

  1. 1. Buatlah dua kalimat ithnab dengan dzikrul-khash ba’dal-‘am dan

 

dua kalimat ithnab lain dengan dzikrul-‘am ba’dal-khash. Dan jelaskanlah faedah lafaz tambahan pada setiap kalimat!

 

  1. Buatlah dua kalimat ithnab dengan i’tiradh dan jelaskan faedah i’tiradh tersebut!

 

  1. Buatlah empat kalimat ithnab dengan tikrar yang baik, dan jelaskan maksud pengulangan tersebut, serta tempuhlah seluruh maksud tikrar tersebut!

 

  1. Buatlah dua kalimat ithnab dengan tadzyiil yang dapat berlaku sebagai contoh, dan dua kalimat ithnab dengan tadzyiil lainnya yang tidak dapat berlaku sebagai contoh!

 

  1. Buatlah dua kalimat ithnab dengan ihtiras!

 

  1. Jelaskanlah dua bait Al-Mutanabbi dalam menyifati Syi’b Bawwan (nama tempat di Syiraz), dan jelaskanlah jenis ithnab-nya!

 

Ia adalah tempat bermainnya jin. Seandainya Nabi Sulaiman melewatinya, pasti melewati bersama juru bahasanya.

 

Alangkah menawannya kuda-kuda kami, sehingga aku takut — sekalipun tempat itu begitu mulia — kuda-kuda itu tetap tinggal di sana dan tidak mau berpindah.

 

 

 

 

 

Setelah masalah Ilmu Ma’ani dibahas panjang lebar, maka dapatlah kiranya disimpulkan di sini bahwa pembahasan Ilmu Ma’ani itu berpangkal pada dua hal, yaitu:

 

Pertama, Ilmu Ma’ani menjelaskan keharusan penerapan suatu kalimat sesuai dengan keadaan para pendengar dan masalah yang diungkapnya, dan menunjukkan kepada kita bahwa perkataan itu tidak dikatakan baligh, bagaimanapun bentuknya, sebelum sesuai dengan masalah yang diungkapnya dan kondisi pendengarnya. Sejak dulu orang Arab berkata, “Setiap masalah memiliki teknik penyampaian.”

 

Kadang-kadang kalam khabar disampaikan dengan disertai taukid, dan kadang-kadang tidak disertai taukid, sesuai dengan kondisi pendengarnya karena ia belum tahu kandungan kalimat, atau sebelumnya telah meragukan masalah yang dijelaskan kalimat tersebut, atau mengingkarinya. Membangkitkan kondisi yang asal ini bila tidak disertai dengan daya tarik berarti berpaling dari ketentuan yang telah digariskan dalam kaidah-kaidah balaghah. Perhatikan firman Allah Swt. tentang utusan-utusan Isa a.s. yang diutus kepada penduduk Anthakiyyah:

 

Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka: (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya: kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, “Sesungguhnya kami adalah orangorang diutus kepadamu.” Mereka menjawab, “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka.” Mereka berkata, “Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu.” (QS Yaasiin: 13 – 16)

 

Para utusan itu ketika merasa bahwa penduduk Anthakiyyah mengingkari mereka untuk pertama kalinya, maka mereka menolak keingkaran tersebut dengan mempertegas kalimat dengan huruf taukid “inna”, sehingga mereka berkata, “Innaa ilaikum mursalun.” Dan ketika penduduk negeri itu bertambah ingkar dan menentang, maka mereka berkata, “Rabbunaa ya’lamu innaa ilaikum lamursalun,” yakni mereka mempertegas pernyataan mereka itu dengan gasam, inna, dan lam taukid.

 

Masalah yang lembut ini kadang-kadang tidak mendapat perhatian dari orang yang bukan ahli bahasa. Diriwayatkan bahwa Al-Kindi naik kuda menuju Abul-Abbas Al-Mubarrid”? dan berkata kepadanya, “Sungguh saya mendapatkan tambahan yang tidak berguna dalam percakapan orang Arab.” Abul Abbas bertanya, “Di mana Anda mendapatkan hal itu?” Al-Kindi berkata, “Kudapatkan hal itu dari ucapan mereka “Abdullah gaa-imun’, ‘inna abdallaaha qaa-imun’, dan ‘inna Abdallaaha lagaa-imun’. Ketiga kalimat itu diulang-ulang, sedangkan maknanya adalah satu. “Abul Abbas berkata, “Bahkan maknanya berbeda-beda. Kalimat pertama merupakan informasi atas berdirinya Abdullah, kalimat kedua merupakan jawaban suatu pertanyaan, dan kalimat ketiga merupakan penolakan terhadap orang yang mengingkari berdirinya Abdullah.”

 

Demikianlah Ilmu Ma’ani mengharuskan agar setiap orang diyjak bicara sesuai dengan kesiapan pemahamannya dan kemampuan-nya dalam segi bahasa dan sastra. Oleh karena itu, orang yang bodoh tidak dapat diajak bicara dengan menggunakan bahasa orang terdidik yang banyak mengerti tentang bahasa Arab dan rahasia-rahasianya.

 

Seseorang berkata kepada Basyar bin Burd, “Sesungguhnya engkau benar-benar membawa sesuatu yang cacat dari segala penjuru:” Ja berkata, “Apa itu?” Orang itu berkata, “Yaitu ketika engkau menaburkan debu dan melepaskan hati dengan ucapanmu:

 

Apabila kami marah dengan kemarahan yang tiada terkendali, maka kami akan mengoyak tabir matahari sehingga matahari itu menurunkan hujan darah. Bila kami mencela seorang bangsawan dari suatu kabilah yang berada di atas mimbar, maka ia akan memintakan rahmat dan salam bagi kami. Aku melihatmu berkata:

 

Anak perempuan pengurus rumahku itu menuangkan cuka ke dalam minyak. Ia memiliki sepuluh ekor ayam betina-dan seekor ayam jago yang bagus suaranya. tasyar berkata, “Masing-masing kalimat mempunyai arah dan tembat, Ucapanku yang pertama adalah benar-benar terjadi, sedangkan ucapanku yang kedua aku katakan mengenai anak perempuan istri- Aku tidak pernah memakan telur dari pasar. Dan ia memiliki sepuluh ekor ayam betina dan seekor ayam pejantan, dan ia yang me. ngumpulkan telur untukku.

 

Ucapan ini bagi anakku itu lebih baik daripada kata-kata ‘Qifaa nabki min dzikrai habiibin wa manzili’ bagimu.”

 

Banyak sekali kita dapatkan penyair yang sangat mudah dan lembut mengungkap isi hatinya sehingga syairnya mirip dengan ba’hasa percakapan. Kadang-kadang mereka juga kasar dan keras sehingga seakan-akan mereka mencampakkan kita dengan batu yang teramat besar. Semua itu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Di antara contoh yang terbaik bagi jenis ini adalah syair Abu Nuwas karena syairnya tentang pujian dan penjelasannya dapat mencakup yang lain.

 

Prinsip Ilmu Ma’ani ini dipetik dari Rasulullah Saw., yakni ketika beliau hendak menulis surat kepada Raja Persi, beliau memilih kata-kata yang paling jelas dan mudah dipahami. Beliau menuliskan:

 

 

Dari Muhammad, utusan Allah, kepada Kisra, pembesar Persi. Keselamatan semoga melimpah kepada orang yang mengikuti petunjuk dan beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Aku mengajakmu dengan ajakan Allah. Karena sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada seluruh makhluk untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup hatinya dan supaya pastilah ketetapan azab bagi orang-orang kafir. Islamlah, maka engkau akan selamat. Bila engkau tidak menerima tawaran ini, maka dosa orang-orang Majusi itu berada di pundakmu.

 

Dan ketika beliau hendak mengirim surat kepada Ukaidir, hakim

 

Daumatul-Jandal, maka beliau memilih kata-kata yang tegas dan berat serta kata-kata yang jarang diucapkan:

 

Dari Muhammad, utusan Allah, kepada Ukaidir ketika siap menerima Islam dan melepaskan kemusyrikannya dan berhala. Sesungguhnya kita mempunyai tapal batas dari batang kurma yang berdiri kokoh, batang kurma yang telah lapuk, bumi-bumi yang belum diketahui identitasnya, bumi-bumi yang belum terjamah tangan manusia, dan senjata serta pedang. Akan tetapi, tapal batas dari batang kurma dan sumber mata air itu telah diramaikan, dan binatang ternakmu tidak boleh digembalakan di sana, sisa milikmu itu tidak dapat disatukan dengannya, dan tumbuh-tumbuhannya tidak dapat kamu harapkan. Engkau harus mendirikan salat sesuai dengan waktunya dan menunaikan zakat. Begitulah janji Allah kepadamu. Kesesuaian suatu kalimat dengan tuntutan keadaan pendengar dan masalah yang dibicarakan adalah Suatu hal yang harus diperhatikan dalam memilih ijaz dan ithnab, sebab ijaz memiliki tempat dan ithnab juga memiliki tempat tersendiri. Orang yang cerdik, yang cukup baginya ucapan yang sekejap, maka sangat baik kepadanya dilontarkan kalimat ijaz. Sedangkan terhadap orang yang lamban berpikirnya atau orang yang sombong, dianggap baik dilontarkan kalimat-kalimat ithnab.

 

Bila kita perhatikan Al-Qur’an, kita dapatkan bahwa bila menyeru orang-orang Arab atau Arab Badui, menggunakan kalimat yang seringkas-ringkasnya dan hampir-hampir hanya berupa isyarat Yan simbol. Dan apabila Al-Qur’an itu menyeru Bani Israil atau bers kisah tentang Bani Israil, maka menggunakan kalimat-kalimat ithnah yang panjang-panjang. Contoh firman Allah Swt. dalam menyeru Orang-orang Mekah:

 

Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak da

 

pat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk

 

menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS Al-Hajj: 73)

 

Dan sedikit sekali kita dapatkan Al-Qur’an menyeru Bani Israil kecuali dengan kalimat-kalimat yang panjang lebar karena Yahudi Madinah beranggapan bahwa dirinyalah orang-orang ahli ilmu dan ahli kitab sehingga mereka berlebihan dalam kesombongan dan keingkaran, sedangkan Al-Qur’an menempatkan mereka sebagai orang-orang yang picik akalnya, dan karenanya Al-Qur’an menggunakan kalimatkalimat yang panjang-panjang. Sebagai bukti pandangan mereka yang demikian itu adalah apa yang diceritakan Al-Qur’an tentang mereka dan kadar pengetahuan mereka terhadap hal-hal yang mereka jumpai dalam perjalanan.

 

Ijaz mempunyai tempat-tempat yang baik untuknya, seperti dalam bersyukur, beralasan, menghibur, mencela, dan sebagainya. Ithnab juga mempunyai tempat-tempat yang tepat baginya, seperti dalam menyampaian ucapan-selamat datang, mendamaikan dua kelompok, bercerita, berpidato tentang kemasyarakatan. Dan bagi orang yang mempunyai jiwa sastra yang murni dapat menyumbangkan pemikirannya yang benar dalam masalah ini.

 

Adapun masalah kedua yang dibahas dalam ilmu Ma’ani adalah bahwa ilmu Ma’ani itu mempelajari rahasia yang terdapat dalam suatu kalimat melalui garinah-garinah yang ada, karena ilmu Ma’ani mengajarkan bahwa asal penyusunan suatu kalimat itu untuk menunjukkan suatu makna. Akan tetapi, kadang-kadang memberi kesan adanya makna lain yang dapat dipahami dari rangkaian kalimat tersebut dan keadaan yang berkaitan. Ilmu Ma’ani menjelaskan bahwa kalam khabar dapat menunjukkan tahassur (pengungkapan kesedihan), kalimat perintah dapat bermakna memperlemah (untuk menantang), kalimat larangan dapat bermakna doa, istifham dapat bermakna nafyi, dan sebagainya.

 

Ilmu Ma’ani juga menjelaskan bahwa kalam khabar kadang-kadang harus disertai dengan taukid kepada orang yang khaalidz-dzihni, dan kadang-kadang diucapkan kepada orang yang ingkar tanpa disertai taukid karena suatu alasan balaghah yang dikehendaki oleh si pembicara sehingga ia menyimpangkan makna dari makna lahiriyah.

 

Ilmu Ma’ani menjelaskan bahwa qashr sering kali digunakan oleh ahli sastra untuk tujuan yang banyak, seperti menggunakan qashr idhafi untuk melebih-lebihkan sesuatu, seperti ucapan Al-Mutafa-il:

 

Dunia itu tiada lain hanyalah mimpi indah yang dibangunkan (diakhiri) oleh kesegaran pagi. Al-Mutasya-im berkata: 

 

Waktu itu tiada lain hanyalah suatu malam yang panjang begadangnya, yang menghembuskan angin panas di siang harinya. dash dapat juga digunakan untuk menyindir, seperti firman Allah

 

Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (QS Ar-Ra’d: 19)

 

Sebab maksud ayat ini bukanlah agar pendengar mengetahui makna lahiriahnya, melainkan untuk menyindir orang-orang musyrik yang karena berlebihan dalam menentang dan mengikuti hawa nafsunya, maka Al-Qur’an menganggap mereka sebagai orang yang tidak berakal.

 

Ilmu Ma’ani menunjukkan bahwa di antara tujuan fashal dalam salah satu jenisnya adalah untuk menegaskan dan memantapkan makna di hati pendengar, sebagaimana dalam fashal karena adanya kesinambungan yang sempurna.

 

Semoga uraian yang singkat ini dapat memberi kepuasan kepada para pembaca, memberikan pengertian tentang Ilmu Ma’ani, beberapa uslub sastra, dan tata cara penyusunan kalimat yang baik sesuai dengan kondisi dan situasinya.

 

 

 

 

Telah dijelaskan di muka bahwa Ilmu Bayan adalah suatu sarana untuk mengungkapkan suatu makna dengan berbagai uslub dengan tasybih, majaz, atau kinayah. Juga telah dijelaskan bahwa Ilmu Ma’ani itu membantu pengungkapkan suatu kalimat agar cocok dengan tuntutan keadaan, dengan mencakup salah satu tujuan balaghah yang dapat diketahui melalui rangkaian kalimatnya dan garinah-garinah yang meliputinya.

 

Namun, masih ada lagi aspek balaghah lain yang tidak tercakup dalam pembahasan Ilmu Bayan dan Ilmu Ma’ani. Akan tetapi, aspek ini juga tidak lebih sebagai penghias lafaz atau makna dengan bermacam-macam corak kehidupan lafaz dan makna. Ilmu yang mencakup pembahasan ini disebut dengan Ilmu Badi’. Ilmu ini — sebagaimana diisyaratkan — mencakup keindahan-keindahan lafaz dan keIndahan-keindahan makna, dan berikut ini adalah penjelasan masingmasing.

 

 

  1. Al-jinas
  2. Contoh-contoh

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, “Mereka tidak berdiam (di dalam kubur), melainkan sesaat sa| ja” (QS Ar-Ruum: 55)

 

  1. Seorang penyair berkata dalam meratapi seorang anak kecil yang bernama Yahya:

 

Dan aku memberinya nama Yahya agar ia senantiasa hidup, namun tidak ada jalan untuk menolak perintah Allah padanya.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Adapun terhadap anak yatim, kamu jangan berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. (QS Adh-Dhuha: 9 – 10)

 

  1. Ibnul-Faridh berkata:

 

Hendaklah akalmu itu mencegahmu dari mencaci seseorang. KecelakaAn itu tidak dapat dirasakan oleh orang yang tidak pernah mendapatkan kenikmatan.

 

  1. Al-Khunsa’ mfratapi saudaranya, Shakhr, dengan gasidah:

 

Sesungguhnya tangisan itu obat bagi kesedihan mendalam yang terdapat di antara tulang rusuk.

 

  1. ” Allah Swt. berfirman, menceritakan percakapan Harun kepada Musa a.s.:

 

Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Israil….” (QS Thaha: 94)

 

  1. Pembahasan

Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, kita dapatkan dalam setiap contoh dua kata yang bermiripan bentuknya, tetapi maknanya berbeda. Pengungkapan kalimat yang demikian disebut dengan jinas.

 

Pada contoh pertama kita dapatkan kata “as-saa’ah” diulang dua kali, sedangkan maknanya yang pertama adalah hari kiamat, sedangkan yang kedua adalah waktu. Pada contoh kedua kita dapatkan kata “yahyaa”, juga diucapkan dua kali dengan makna-yang berbeda. Perbedaan makna dua kata — dalam kajian ilmu badi’ — yang sama persis macam hurufnya, syakalnya, jumlahnya, dan urutannya disebut sebagai jinas tam (kemiripan yang sempurna).

 

Bila kita perhatikan dua kata yang bermiripan pada contoh-contoh bagian kedua, maka kita dapatkan bahwa masing-masing berbeda dalam salah satu dari keempat segi kemiripannya, seperti kata taghar dengan kata tanhar, nahaaka dengan nuhaaka, al-jawaa dengan alJawaanih, dan baina dengan banii, sesuai dengan urutan contoh di atas. Kemiripan yang demikian disebut jinas ghair tam (kemiripan yang tidak sempurna).

 

Menurut pendapat jumhur ahli sastra Arab, jinas itu tidak disukai karena jinas akan membawa kegagapan dan menghalangi seseOrang yang baligh, mengungkapkan makna yang tersimpan. Tentu Saja kecuali bagi yang dapat dengan mudah diungkapkan tanpa dibuat-buat.

 

  1. Kaidah

(68) Jinas adalah kemiripan pengungkapan dua lafaz yang berbeda artinya. Jinas ada dua macam:

 

  1. Jinas tam, yaitu kemiripan dua kata dalam empat hal, macam hurufnya, syakalnya, jumlahnya, dan urutannya.

 

  1. Jinas ghair tam, yaitu perbedaan dua kata dalam salah satu dari empat hal tersebut.

 

4, Latihan-Latihan

 

  1. Tunjukkan jinas tam pada contoh-contoh berikut!
  2. Abu Tamam berkata:

 

Tidak mati dari kemurahan zaman di sisi Yahya bin Abdullah selama ia masih hidup.

 

  1. Abul ‘AlaAl-Ma’arri berkata:

 

Kami tidak bertemu seorang manusia pun yang dapat dijadikan perlindungan kecuali kamu. Maka engkau senantiasa menjadi orang di mata zaman.

 

  1. Al-Busti berkata: –

 

Aku telah paham terhadap kitab Anda, wahai Sayyidku. Maka aku mencintainya, dan tidak heran bila aku mencintainya.

 

  1. Ia berkata dalam suatu pujiannya:

 

Dengan Saifud-Daulah teraturlah segala urusan yang kami lihat (semula) bercerai-berai. Ia mulia dan melindungi Bani Sam dan Bani Ham. Tidak ada orang Sam dan orang Ham seperti dia.

 

  1. Abu Nuwas berkata:

 

Hai Abbas, hai Abbas, bila perang berkecamuk dan hai Fadhl dan Ar-Rabi’.

 

Il. Tunjukkanlah jinas ghair tam pada contoh-contoh berikut ini serta jelaskan mengapa dikatakan ghair tam!

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. (QS An-Nisa: 83)

 

2 Allah Swt. berfirman:

 

Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur’an dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya. (QS Al-An’am: 26)

 

  1. Ibnu Jubair Al-Andalusi berkata:

 

Wahai penunggang unta yang galak, apakah kamu tahu — tebusanmu adalah diriku — bagaimana petunjuk jalan itu?

 

  1. Al-Hariri menyifati Huyam yang tidak mengenal dunia:

 

Ia tidak akan meningkatkan kecintaannya dan kerinduannya terhadap dunia. Seandainya ia tahu, niscaya telah mencukupinya sisa air itu terhadap apa yang ia inginkan. :

 

  1. Abdullah bin Rawahah”? memuji Rasulullah Saw. Menurut suatu pendapat, dikatakan bahwa syairnya yang ini merupakan syair yang paling baik di kalangan orang-orang Arab dalam hal pujian: |

 

Beliau mengendarai unta putih seraya memakai baju bordelnya, bagaikan bulan purnama yang sinarnya menerangi semua kegelapan.

 

III. (Tunjukkan tempat-tempat jinas pada contoh-contoh berikut ini dan jelaskan macam jinasnya! 

  1. Al-Buhturi berkata dalam gasidahnya yang terkenal:

 

Apakah karena tidak bertemu aku akan binasa, ataukah karena orang yang mengadukan kerinduanku ini aku akan menjadi sembuh?

 

  1. An-Nabighah berkata dalam suatu ratapannya:

 

Aduhai sayangnya kamu, dengan niat dan tekad yang terkubur oleh kematian mendadak di antara batu-batuan dan batu atap liang lahat..

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Angin taman yang bertiup dengan lembut itu termasuk angin utara, dan cucuran hujan dari awan. itu khamr yang ditiup angin utara.

 

4, Al-Hariri berkata:

 

Aku tidak akan memberikan tali kekangku kepada orang yang melanggar janjiku. Dan aku tidak akan menanamkan tangan-tanganku di bumi musuh.

 

5, Ia berkata:

 

Mereka berjalan secepat banjir, dan terhadap kebaikan secepat kuda.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Maka berhentilah dengan penuh kebahagiaan bersama mereka bilu kamu memaafkan, dan pergilah menjauh dari mereka bila kamu mencela.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Putihnya lempengan (pedang) bukan hitamnya lembaran (tinta), di , dalamnya terkandung pengaruh semua keraguan dan kebimbangan.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Yang demikian itu disebabkan kamu bersukaria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersukaria (dalam kemaksiatan), (QS Al-Mu-min: 75)

 

  1. Rasulullah Saw. bersabda:

 

Pada ubun-ubun kuda terkandung kebaikan.

 

  1. Hisan bin Tsabit r.a. berkata:

 

Bila Nabi Saw. memerangi suatu kabilah, kami senantiasa melindungi beliau dengan tombak dan panah terhunus.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Mereka siap melindungi semua hal yang harus dilindungi dengan menghunus pedang-pedang yang memutuskan lagi mematahkan (semua gangguan).

 

  1. Cita-cita tidak akan tercapai melainkan dengan menempuh segala rintangan.

 

  1. Susunlah dua kalimat yang mencakup jinas tam dan dua kalimat lagi yang mencakup jinas ghair tam, dengan menghindari kesan dibuatbuat!

 

  1. Uraikanlah ucapan Abu Tamam berikut ini dan jelaskan niacam jinas yang terdapat padanya!

 

Belum aku lihat seperti kebaikan sesuatu yang didakwakan hak-haknya sebagai utang sebagian kaum, padahal ia adalah ghanimah.

 

  1. Iqitibas
  2. Contoh-Contoh

 

a., Abul Mu-min Al-Ashfahani berkata:

 

Jangan sekali-kali kamu terbujuk oleh banyaknya pasukan dan pembantu orang-orang penganiaya. Sesungguhnya Kami menangguhkan mereka sampai suatu hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS Ibrahim: 42)

 

b Ibnu Sina’ Al-Mulk berkata:

 

Mereka telah berangkat dan aku tidak akan menanyakan tempat tinggal mereka, selanjutnya aku seperti orang yang binasa karena bersedih hati sepeninggal mereka:

 

c . Abu Ja’far Al-Andalusi berkata:

 

Janganlah kau memusuhi orang-orang di negeri mereka sendiri, sedikit sekali pengembara di suatu negeri itu mendapat perhatian baik. Bila kamu ingin hidup di tengah-tengah mereka, maka “berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik”.

 

  1. Pembahasan

Kalimat yang terdapat di antara tanda petik pada dua contoh pertama diambil dari Al-Qur’an, sedangkan pada contoh kedua dipetik dari hadis. Penulis atau penyair menyertakan petikan ayat atau hadis ini ke dalam rangkaian kalimatnya tanpa menjelaskan bahwa petikan itu berasal dari Al-Qur’an atau hadis. Maksud pengutipan itu adalah untuk meminjam kekuatannya dan untuk menunjukkan kemahiran penulis dalam menghubungkan kalimatnya dengan kalimat yang dipetiknya. Hal yang demikian disebut dengan iqtibas. Dan bila diperhatikan, maka kita dapatkan bahwa kadang-kadang penulis atau penyair itu sedikit mengubah kalimat yang dikutipnya itu, seperti pada contoh kedua, karena kalimat aslinya dalam Al-Qur’an adalah:

 

Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu sesudah mereka berpaling. (QS Al-Kahfi: 6)

 

3, Kaidah

(69) Igtibas adalah mengutip sesuatu kalimat dari Al-Qur’an atau ha dis, lalu disertakan ke dalam suatu kalimat prosa atau syair tanpa dijelaskan bahwa kalimat yang dikutip itu dari Al-Qur’an atau hadis.

 

  1. Latihan-Latihan

I, Jelaskan pada setiap igtibas berikut ini kebagusan kemampuan seorang yang baligh dalam menghubungkan ucapannya dengan kalimat yang dikutipnya!

 

  1. Gunakanlah kesempatan selagi rambutmu yang hitam belum memutih, karena sesungguhnya dunia itu ibarat “dinding rumah yang hampir roboli”.

 

  1. Oadhi Al-Fadhil menulis suatu surat balasan:

 

Sampai kepada seorang pelayan sebuah surat balasan yang mulia, maka ia bersyukur karenanya “dan ia mendekatinya untuk bermunajat”, “dan ia menempatkannya di tempat yang tinggi”, dan kitab itu mengembalikan semangat mudanya, “padahal ia sudah mencapai umur yang sangat tua”.

 

  1. Ia berkata tentang merpati pembawa surat:

 

la hampir seperti malaikat, bila surat telah dikalungkan di lehernya, maka ia menjadi seperti “memiliki beberapa sayap, dua, tiga, dan empat”,

 

  1. Di antara kitab Muhyiddin Abduzh-Zhahir

 

Negara tidak akan menghilangkan pedangnya yang “yang dengannya ia dapat melihat orang-orang yang berbuat dusta kepada Allah, mukanya menjadi hitam”.

 

  1. Ash-Shahib bin Ubad( ) berkata:

 

Aku berkata, padahal aku. telah melihat langit telah berawan bergerak dari Hijran menuju ke arah kami dan awan itu telah menebarkan hujan, “Semoga hujan bermanfaat bagi sekeliling kami” “dan tidak membahayakan kami”.

 

  1. Banyak orang yang bakhil bila melihat orang yang akan minta-minta, maka menganggapnya sebagai duta kematian karena ketakutan. Janganlah mengharapkan pemberiannya walau sedikit. “Sangat jauh, sangat jauh apa yang dijanjikan kepadamu”.

 

II Kutiplah ayat-ayat Al-Jur’an berikut ini ke dalam kalimat dengan baik dan benar!

 

  1. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antaramu.

 

  1. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali kepada yang merencanakannya.

 

  1. Katakanlah, apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orangorang yang tidak berilmu?

 

  1. Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diterangkan oleh Yang Maha Mengetahui. ..

 

  1. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.

 

III.  Buatlah kalimat-kalimat dengan menyertakan kutipan-kutipan dari hadis berikut ini!

 

  1. Setiap kebaikan itu shadagah.

 

  1. Bila kamu tidak punya rasa malu, lakukanlah apa yang kamu suka,

 

  1. Penganiayaan itu membawa kegelapan di hari kiamat.

 

  1. Roh-roh itu pasukan tentara yang siap siaga.

 

  1. Uraikan ucapan Ibnur-Rumi dalam suatu cacian berikut ini dan jelaskan keindahan igtibas-nya!

 

Sungguh, jika aku salah memujimu, maka tidak salah kamu mencegahku. Sesungguhnya aku telah menempatkan kebutuhanku “di sebuah lembah yang tiada bertanaman”.

 

  1. Saja’ (Sajak)
  2. Contoh-Contoh

 

  1. Rasulullah Saw. bersabda:

 

 Ya Allah, berilah pengganti kepada orang yang berinfak, dan berilah kerusakan kepada orang yang tidak mau berinfak.

 

  1. Seorang Arab Badui yang anaknya hanyut dibawa banjir berkata:

 

Ya Allah, jika Engkau membinasakannya, maka sesungguhnya telah sangat lama Engkau menyehatkannya.

 

Orang yang merdeka itu ketika berjanji memenuhinya, bila menolong secukupnya, dan bila menjadi raja banyak memaafkan.

 

2 Pembahasan

 

Bila kita perhatikan dua contoh pertama, kita dapatkan masing-masing terdiri atas dua bagian kalimat yang huruf akhirnya sama. Bila kita perhatikan contoh ketiga, kita dapatkan ia terdiri atas lebih dari dua bagian kalimat yang huruf akhirnya sama. Kalimat yang demikian disebut dengan saja’ (sajak). Kata yang terakhir dari setiap bagian kalimat itu disebut fashilah. Dan fashilah itu selamanya dimatikan huruf akhirnya dalam kalam natsar (prosa) karena wagaf (berhenti membaca).

 

Sajak yang paling baik adalah yang bagian-bagian kalimatnya seimbang, dan sajak tidak indah kecuali bila rangkaian kalimatnya bagus, tidak dibuat-buat, dan bebas dari pengulangan yang tidak berfaedah, sebagaimana kita lihat pada contoh.

 

  1. Kaidah

 

(70) Saja” adalah cocoknya huruf akhir dua fashilah atau lebih. Sajak yang paling baik adalah yang bagian-bagian kalimatnya seimbang.

 

4 Latihan-Latihan

  1. Tunjukkanlah sajak pada contoh-contoh berikut dan terangkan segi keindahannya!

 

  1. Rasulullah Saw. bersabda: –

 

Allah mengasihi seseorang yang berkata baik lalu beruntung, atau diam lalu selamat.

 

  1. Ats-Tsa’alibi berkata:

 

Dengki itu adalah karat hati, dan pertengkaran yang berkepanjangan itu adalah sebab perang.

 

  1. Al-Hariri berkata:

 

Naiknya derajat seseorang itu karena ia berani menempuh bahaya.

 

  1. Seorang ulama balaghah berkata: –

 

Manusia itu dengan sopan santunnya, bukan dengan perhiasan dan . pakaiannya.

 

  1. Seorang Arab Badui berkata kepada seorang laki-laki yang bertanya tentang orang yang keji tabiatnya:

 

Engkau telah tinggal di suatu lembah yang tidak pernah mendapat siraman hujan, di syatu tanah lapang yang belum diramaikan, dan lakilaki yang tidak mudah. Maka tinggallah dengan penuh penyesalan, atau pergilah untuk kemudian binasa.

 

  1. Seorang Arab badui berkata: .

 

Telah turun pagi-pagi kepada kita hujan musim semi, lalu disusul hujan kedua. Maka bumi ini seakan-akan hamparan yang dibentangkan, yang di atasnya intan ditaburkan. Lalu datanglah kepada kita kawanan belalang dengan membawa sabit untuk panen. Maka bumi akan menjadi gundul dan manusia akan binasa. Maka Mahasuci Zat yang membinasakan makhluk-Nya yang kuat dan banyak makan, dengan makhluk-Nya yang lemah dan dimakan.

 

  1.  
  2. Bacalah surat berikut dan jelaskan keindahan sajaknya, lalu ubahlah menjadi kalimat lain yang tidak bersajak. Ibnur-Rumi mengirim surat kepada orang yang sedang sakit:

 

Semoga Allah mengizinkan kesembuhanmu, mempertemukan sakitmu dengan obatmu, mengusapkan tangan kesehatan kepadamu, mengarahkan utusan keselamatan kepadamu, menjadikan sakitmu Sebagai pelebur dosamu, dan melipatgandakan pahalamu.

 

  1. Pahamilah ungkapan yang dinisbatkan kepada Ali Abi bin Thalib berikut ini, lalu ubahlah menjadi kalimat lain yang bersajak!

 

Bertakwalah kepada Allah pada tiap pagi dan sore, takutlah kepada nafsumu yang hina dan membujuk, jangan merasa aman darinya dalam segala keadaan. Ketahuilah, sesungguhnya bila kamu tidak menghentikan nafsumu dari kebanyakan hal yang dicintai karena kamu takut dibencinya, maka keinginan demi keinginan akan membawamu kepada bahaya yang banyak.”

 

III. Jelaskanlah, apakah kalimat berikut ini termasuk kalimat yang bersajak ataukah tidak bersajak, dan jelaskan sebabnya! Hisyam mengirim surat kepada saudaranya yang menampakkan keinginannya untuk menjadi khalifah:

 

Amma ba’du. Telah sanipai kepadaku informasi bahwa kau keberatan bila aku tetap hidup, dan engkau menganggap kematianku lambat datangnya. Demi agamaku, sesungguhnya setelahku engkau adalah orang yang lemah sayapnya, dan berpenyakit kusta telapak tangannya. Aku tidak memenuhi keinginanmu, seperti informasi yang sampai kepadaku.

 

 

 

  1. Tauriyah
  2. Contoh-Contoh

 

a Sirajuddin Al-Warrag berkata:

 

Aku memelihara kulit mukaku dari banyak orang. Bertemu mati menurut mereka adalah sesuatu yang beradab. Pengarang menurut mereka adalah orang yang dibenci meskipun yang datang membawa kepada mereka itu adalah “orang yang dicintai”.

 

b.” Nashiruddin Al-Hammami berkata:

 

Bait-bait syairmu seperti gedung, dan tidak ada gedung yang tidak dapat dinikmati keindahannya. Yang mengherankan adalah bahwa lafaz”Ya Itu bebas, namun maknanya “Iampaftipis”.

 

  1. Asy-Syaab Azh-Zharif berkata:

 

Gigi gusi tersenyum dengan keindahan bentangannya, dan ia menghadap dengan segala keindahannya yang sulit untuk disifati. Marilah perhatikan ia antara retak dan lezat, karena sesungguhnya tangkai bunga itu pantas untuk “retak”.

 

  1. Pembahasan

Kata “habiib’ pada contoh pertama memiliki dua makna, pertama adalah orang yang dicintai. Inilah makna yang dekat dan mudah ditangkap oleh. hati pendengar karena berhadapan dengan kata “baghiidh”. Makna kedua adalah nama Abu Tamam penyair, yaitu Habib bin Aus. Ini makna yang jauh, namun justru makna ini yang dikehendaki oleh penyair dan untuk itu dengan sangat halus ia menutupi maksudnya itu dengan makna yang dekat. Kata “ragiig” pada contoh kedua juga mempunyai dua makna, yang pertama adalah makna yang dekat dan mudah ditangkap hati, yaitu hamba. Yang menjadi sebab makna ini cepat ditangkap hati adalah adanya kata “hurrun’. Makna kedua adalah makna yang jauh, yaitu tipis, dan makna inilah yang dikehendaki oleh penyair setelah ia merahasiakannya di balik makna yang dekat.

 

Kata “Qashfin” pada contoh ketiga juga mempunyai dua makna. Makna yang dekat adalah pecah, dengan dalil dihadapkannya kata ini dengan kata “glqltushuunaz-zalvlu”. Sedangkan makna yang jauh adalah bermain. Dan makna kedua inilah yang dimaksudkan oleh penyair setelah merahasiakannya di balik makna yang dekat. Badi’ yang demikian disebut tauriyah, suatu disiplin ilmu yang dikuasai mantap oleh para penyair dari Mesir dan Syam pada abad ketujuh dan kedelapan Hijriah. Mereka dapat menampilkannya dengan sangat menarik dan indah, yang menunjukkan kemurnian tabiat dan kemampuan mercka mempermainkan uslub-uslub kalimat.

 

3 Kaidah

 

(71) Tauriyah adalah penyebutan suatu kata yang mufrad, yang mempunyai dua makna, pertama, makna yang dekat dan jelas yang tidak dimaksudkan, kedua, makna yang jauh dan samar yang dimaksudkan. :

 

  1. Latihan-Latihan
  2. Jelaskanlah Tauriyah yang terdapat pada contoh-contoh berikut dengan sejelas-jelasnya!

 

  1. Sirajuddin Al-Warraq berkata:

 

Banyak sekali kedermawanan itu memutuskan lidah dan mengikat leher dengan rangkaiannya. Maka ingatlah, aku adalah seorang penyair yang menjadi penerang. Petonglah lidahku, maka aku akan bertambah terang.

 

2 Ia berkata:

 

Betapa malunya aku, kulit-kulitku menjadi hitam, sedangkan kulit orang-orang yang baik bercahaya. Orang yang mencelaku di hari kiamat akan berkata kepadaku: Demikiankah kulit-kulit “tukang perak”?

 

  1. Abul-Husain Al-Jazzar berkata:

 

Mengapa aku tidak mensyukuri penyembelihan yang selama hidup aku menekuninya namun tanpa sopan santun? Dengan pekerjaan itu anjing-anjing jadi mengharap-harap aku, dan dengan syair aku mengharap-harap “anjing-anjing itu”.

 

  1. Badruddin Adz-Dzahabi berkata:

 

Berlemah-lembutlah dengan penuh kasih sayang bila memberi nasihat. Engkau telah menghapusnya dengan berpaling dan meninggalkan. Ketika datang menghadapmu seseorang yang mengalir air matanya, maka seketika itu engkau mengembalikannya “menjadi sungai|dengan angkuh”.

 

  1. Ia berkata:

 

Wahai orang yang mencelaku dalam hal itu, katakanlah kepadaku bila terbukti bagaimana cara aku menghibur diri? Setiap waktu ia berjumpa denganku dan berkata “pahit manis”.

 

  1. Ia berkata:

 

Banyak taman yang diam pohon-pohonnya dan angin pagi menghampirinya. Matahari pagi menengok daun-daunnya setelah burung-burung merpati itu “menghinggapinya”.

 

  1. Asy-Syab Azh-Zharif berkata:

 

Telah berlangsung perang bunga di antara taman Sundusiyyah, dan seluruhnya datang untuk memerangi taman mawar Janiyyah. Akan tetapi, ia hancur karena duri bunga mawar itu kuat.

 

8, Nashiruddin Al-Hammami berkata:

 

Jadilah orang-orang pemurah agar kami membuat sajak untuk memuji keluhuranmu selama-lamanya. Kicauan burung yang paling baik adalah ketika “mendapat pemberian umpan”

 

  1. Sirajuddin Al-Warrag:

 

Aku berhenti di bekas reruntuhan rumah kekasihku untuk bertanya, dan air mataku menetes di sana beberapa saat. Yang mengherankan adalah bahwa aku puas dengan rumah-rumah mereka, padahal yang aku dapat ketika aku bertanya adalah “kehausan/gema”.

 

  1. Ibnuzh-Zhahir berkata:

 

Terima kasih kepada angin bumimu yang sering menyampaikan penghormatan kepadaku. Maka tidak aneh bila ia mampu menjaga keinginan hawa nafsunya, sebab ia “cerdas”.

 

  1. Ibnu Nubatah berkata:

 

Sungai itu menyerupai kikir, dan oleh karenanya bertebaranlah “kotoran besi”.

 

  1. Lafaz-lafaz berikut masing-masing mempunyai makna yang lebih dari satu makna, maka gunakanlah setiap lafaz dalam sebuah contoh tauriyah.
  2. Nasib baik/keberuntungan, kakek (dari ayah atau dari ibu).
  3. Menceritakan, mengutip, membandingkan, mengadu-adu, mengukuhkan.
  4. Santai, telapak tangan, kesemangatan.
  5. Memaafkan, tidak berbekas.
  6. Mati, memutuskan hukum.
  7. Kelopak mata, sarung pedang.

 

III. Dalam hal apa tauriyah cocok dengan. jinas tam dan dalam hal apa berbeda? Maka buatlah sebuah contoh tauriyah, lalu ubahlah menjadi jinas tam!

 

  1. Isilah titik titik di bawah ini dengan kata tauriyah!

 

  1. Di musim semi memuncaklah kesusahan taman-taman dan mengeringlah ….

 

  1. Merpati itu lebih baligh daripada seorang penulis ketika ..

 

  1. Hatiku adalah pendamping mereka ketika mereka pergi, dan air mataku adalah…

 

  1. Uraikanlah syair Ibnu Daniyal Thabibul-“Uyun berikut ini dan jelaskan keindahan tauriyahnya!

 

Wahai orang yang menanyakan pekerjaanku di tengah masyarakat, aduh tersingkirnya aku dari mereka, dan betapa miskin aku! Bagaimanakah nasib orang yang pendapatannya diambil dari mata manusia?

 

  1. Thibaq

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Allah Swt. berfirman:

 

Dan kamu mengira bahwa mereka itu bangun, padahal mereka tidur. (QS Al-Kahfi: 18)

 

  1. Rasulullah Saw. bersabda: –

 

Harta yang paling baik adalah sumber mata air yang senantiasa mengalir bagi orang yang tidur pulas.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi tidak bersembunyi dari Allah. (QS An-Nisa’: 108)

 

  1. As-Samu-al berkata:

 

Dan bila kami menghendaki, kami dapat mengingkari perkataan manusia, namun mereka tidak dapat mengingkari perkataan kami ketika kami berbicara.

 

  1. Pembahasan Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, maka kita dapatkan bahwa setiap contoh mencakup dua kalimat yang berlawanan. Contoh pertama mencakup kata “aigaazhan” dan “ruguud”. Pada contoh kedua terdapat kata “saahirah” dan “naa-inah”.

 

Adapun dua contoh terakhir, masing-masing mencakup dua kapa kerja dari satu sumber, yang satu positif, sedangkan yang lain negatif. Dan dengan perbedaan positif dan negatifnya, maka kedua kata tersebut adalah berlawanan. Terkumpulnya dua kata yang berlawanan dalam suatu kalimat, sebagaimana contoh-contoh di atas, disebut dengan thibag. Hanya saja thibag pada dua contoh pertama disebut sebagai thibag ijab, sedangkan pada dua contoh terakhir disebut thibaq salab.

 

3, Kaidah

 

(72) Thibaq adalah berkumpulnya dua kata yang berlawanan dalam suatu kalimat. Thibaq ada dua macam:

 

  1. Thibag ijab, yaitu tibag yang kedua katanya yang berlawanan itu tidak berbeda positif dan negatifnya.

 

  1. Thibag salab, yaitu thibag yang kedua-katanya yang berlawanan itu berbeda positif dan negatifnya.

 

  1. Latihan-Latihan
  2. Tunjukkanlah tempat-tempat thibag pada contoh-contoh berikut!

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan… (QS Al-An’am: 122)

 

  1. Di’bil Al-Khuza’i berkata:

 

Jangan kauheran terhadap seorang laki-laki, hai Salma. Orang yang eruban rambut kepalanya itu dapat tertawa lalu menangis.

 

  1. Penyair lain berkata:

 

Sesungguhnya aku tetap rela menanggung gejolak nafsu, padahal aku dapat keluar darinya. Bagiku nafsu itu tidak merugikan dan tidak menguntungkan.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Hukum telah diputuskan buatku tanpa aku tahu alasannya, padahal kerinduan datang kepadaku dengan sepengetahuanku.

 

  1. Al-Muganna’ Al-Kindi berkata:

 

Bila aku bertambah kaya, maka banyak hartaku kuberikan kepada mereka: dan jika hartaku menjadi sedikit, maka aku tidak menuntut mereka menolongku.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

..tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. (QS Ar-Ruum: 7)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang ia usahakan, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS Al-Baqarah: 286)

 

  1. As-Samual bin ‘Adiya berkata:

 

Tanyakanlah kepada manusia tentang diriku dan tentang mereka bila kamu tidak tahu. Maka tidaklah sama orang alim dengan orang bodoh.

 

9, Al-Farazdaq mencela Bani Kulaib: –

 

Semoga Allah menjelekkan Bani Kulaib, sesungguhnya mereka tidak dapat berkhianat, namun mereka tidak pernah memenuhi hak tetangga.

 

  1. Abu Shakhr Al-Hudzali berkata:

 

Ingatlah, demi Zat yang membuat tangis dan tawa, mematikan dan menghidupkan, dan yang perintah-Nya harus dituruti, sesungguhnya ia (kekasih) telah meninggalkan aku, aku iri kepada binatang liar itu karena aku yakin bahwa dua ekor binatang yang berkasih-kasihan di antara mereka tidak pernah dilanda hal-hal yang menakutkan.

 

  1. Al-Humasi berkata:

 

Aku tidak ikut perang agar dapat bertahan hidup, namun aku tidak mendapatkan kehidupan yang sepadan dengan bila aku ikut perang.

 

II.” Bacalah tulisan Ibnu Bathuthah tentang Mesir berikut ini, dan jelaskanlah keindahan thibag dalam uslubnya!

 

Ia merupakan arena pertemuan orang yang datang kepadanya dan orang yang meninggalkannya, tempat pemberhentian kendaraan orang yang lemah dan orang yang kuat. Padanya dapat kaujumpai orang alim dan orang bodoh, orang yang arif dan orang yang dungu, orang yang serius dan orang yang suka bergurau, orang yang rendah dan orang yang ternama, orang yang mulia dan orang yang hina, kemungkaran dan kebaikan. Ia bergelombang dengan penghuninya seperti gelombang laut, dan hampir padat penghuninya, padahal ia-luas.

 

III. ‘Ubahlah thibag ijab pada kalimat-kalimat berikut menjadi thibag salab!

 

  1. Musuh itu menampakkan kejelekan dan menyembunyikan kebaikan.

 

2, Bukan tindakan yang bijaksana engkau berbuat baik kepada orang lain, namun berbuat jahat kepada dirimu sendiri.

 

  1. Tidak patut bagi orang yang baik memberi orang yang jauh dan tidak memberi orang yang dekat.

 

  1. Ubahlah thibag salab pada kalimat-kalimat berikut menjadi thibag ijab!

 

  1. Manusia dapat mengetahui apa yang terjadi hari ini dan kemarin, namun ia tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok.

 

  1. Orang yang dihina itu akan meniaafkan ketika tidak berdaya, namun ia tidak akan memaafkan ketika merasa mampu.

 

3, Aku cinta kejujuran dan aku tidak cinta dusta.

 

  1. 1. Buatlah dua buah kalimat untuk masing-masing thibag ijab dan thibag salab!

 

  1. Buatlah dua kalimat dengan thibag ijab, lalu ubahlah ke dalam thibag salab!

 

  1. Buatlah dua kalimat dengan thibag salab, lalu ubahlah ke dalam thibag ijab!

 

  1. Uraikan syair berikut dan jelaskan macam thibagnya!

 

Uban itu menyerang masa muda, sungguh bagaikan malam yang Menghardik siang dari kedua sisinya.

 

  1. Mugabalah

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Rasulullah Saw. bersabda kepada orang-orang Anshar:

 

Sesungguhnya kalian menjadi banyak ketika tidak diharap-harapkan, namun kalian menjadi sedikit ketika diharap-harapkan.

 

  1. Khalid bin Shafwan menyifati seorang laki-laki:

 

Ia tidak mempunyai teman dalam rahasia dan tidak mempunyai muSuh-musuh dalam terang-terangan.

 

  1. Seorang khalifah berkata:

 

Barang siapa yang mendapat jabatan karena menghancurkan kebatilan, akan didukung oleh pertolongan orang-orang mulia.

 

  1. Abdul-Malik bin Marwan berkata:

 

Aku tidak memuji diriku sendiri atas sesuatu yang menyenangkan yang kumulai dengan kelemahan, dan aku tidak mencela diriku sendiri atas sesuatu yang menyedihkan yang kuawali dengan perhitungan yang matang.

 

  1. Pembahasan

Bila kita perhatikan dua contoh pertama, maka kita dapatkan bagian awal masing-masing kalimat mencakup dua makna, dan pada bagian akhirnya mencakup dua makna yang berlawanan dengannya. Bagian awal dari contoh pertama mencakup dua sifat.orang Anshar, yaitu banyak dan tanpa diharap-harapkan, sedangkan bagian akhirnya mencakup dua sifat yang berlawanan secara tertib, yaitu sedikit dan diharap-harapkan. Pada contoh kedua, Khalid membandingkan teman dan rahasia dengan musuh dan terang-terangan.

 

Bila kita perhatikan dua contoh terakhir, maka kita dapatkan bagian awal setiap contoh mencakup lebih dari satu makna, dan bagian akhirnya mencakup makna-makna yang berlawanan dengan maknamakna yang terdapat pada bagian awal secara tertib. Susunan kalimat yang demikian disebut dengan mugabalah.

 

Muqabalah dalam suatu kalimat merupakan salah satu faktor keindahan dan kejelasan maknanya, dengan syarat susunan yang demikian itu dibuat dengan tidak dipaksakan. Adapun bila dipaksakan, justru akan mengikat dan mengekang maknanya, dan kalimatnya tidak lagi indah dan lembut.

 

  1. Kaidah

 

(73) Mugabalah adalah didatangkannya dua makna atau lebih di bagian awal kalimat, lalu didatangkan makna-makna yang berlawanan dengannya secara tertib pada bagian akhir dari kalimat tersebut.

 

  1. Latihan-Latihan
  2. Tunjukkan tempat-tempat mugabalah pada kalimat-kalimat berikut!

 

1, Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “

 

Berhati-hatilah, hai Aisyah, karena sesungguhnya kehati-hatian itu tidak berada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak lepas dari seSuatu kecuali menjelekkannya.

 

  1. Seorang ulama balaghah berkata:

 

Keruhnya suatu jemaah itu lebih baik daripada jernihnya perpecahan.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS Al-A’raf: 157)

 

  1. Jarir berkata:

 

Dan ia adalah yang membentangkan kebaikan kepadamu dengan tangan kanannya dan mencabut kejahatan darimu dengan tangan kirinya.

 

  1. Al-Buhturi berkata:

 

Apabila mereka berperang, maka mereka menghinakan orang yang mulia: dan bila mereka berdamai, maka mereka memuliakan orang yang hina.

 

  1. Asy-Syarif berkara:

 

Banyak pemandangan yang membahagiakan ketika dalam kelapangan. Alangkah dekat sesuatu yang menyusahkan, aku kembali dalam kesempitan.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Supaya kamu tidak berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. (QS Al-Hadid: 23)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada azab. (QS Al-Hadid: 13)

 

9, An-Nabighah Al-Ja’di berkata:

 

(Ia adalah) seorang pemuda yang dapat niembahagiakan temannya dan selalu menyusahkan musuh-musuhnya.

 

  1. Abu Tamam berkata:

 

Wahai umat yang kejelekan penganiayaan membuatnya marah sepanjang masa dan menjadi rela dengan indahnya keadilan.

 

  1. Ia berkata pula:

 

Kadang-kadang Allah memberi nikmat berupa cobaan walaupun besar, dan Allah memberi cobaan kepada sebagian kaum dengan berbagai kenikmatan.

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit. (QS Al-Lail: 5 – 10)

 

  1. Al-Ma’arri berkata:

 

Wahai waktu, wahai orang yang melaksanakan ancamannya dan menyalahi janjinya yang telah di angan-angan.

 

  1. Bedakan antara thibag dan mugabalah pada kalimat-kalimat berikut!

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Maka mereka itu kejahatannya diganti Allah dengan kebaikan. (QS Al-Furgan: 70)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Dan Dia-lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dia-lah yang mematikan dan yang menghidupkan. (QS AnNajm: 43 – 44)

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, nicaya Dia melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Dia menjadikan dadanya sesak lagi sempit. (QS Al-An’ am: 125)

 

  1. Abuth Thayyib berkata:

 

Aku menengok mereka dan kegelapan malam menolong dan memujiku, dan terangnya pagi mendorongku.

 

  1. Orang yang mulia itu orang yang banyak pengampunannya ketika kesempatan beralasan itu sangat terbatas.

 

  1. Kemarahan orang yang bodoh itu berada pada perkataannya, dan kemarahan orang yang berakal itu pada pekerjaannya.

 

  1. Al-Manshur berkata:

 

Janganlah kamu keluar dari kemuliaan taat kepada kehinaan maksiat.

 

8 Sungguh, bila menyusahkanmu, engkau mendapatkan aku dalam kesuSahan, maka sungguh menggembirakan aku bila aku mendapat perhatianmu.

 

  1. An-Nabighah berkata:

 

Apabila mereka berdua turun dengan mudah, maka mereka menyemburkan asap, dan bila mereka naik dengan susah, maka mereka memecahkan batu-batuan.

 

  1. Aus bin Hujar berkata:

 

Kami taat kepada Rabb kami, dan sementara kaum maksiat kepada, Nya, maka kami merasakan rasa taat kami dan mereka juga merasakan.

 

III. ‘Datangkanlah bandingan kata-kata berikut, lalu masukkanlah ke dalam beberapa kalimat yang sebagian untuk thibag dan sebagian lagi untuk mugabalah!

 

  1. Mendahulukan e. Kebaikan

 

  1. Malam f. ‘ Pencegahan

 

  1. Kesehatan g. Kaya/kekayaan/orang kaya

 

  1. Kehidupan

 

  1. 1. Buatlah dua buah contoh untuk mugabalah dengan membandingkan dua buah makna dengan dua buah makna lainnya!
  2. Buatlah dua buah contoh untuk mugabalah dengan membandingkan tiga makna dengan tiga makna yang lain!

 

  1. Uraikan syair berikut! Apakah Anda tahu bahwa syair ini mengandung mugabalah?

 

Untuk siapa engkau mencari dunia bila dengannya engkau tidak bermaksud untuk membahagiakan orang yang engkau cintai atau untuk menyusahkan orang yang berdosa.

 

  1. Husnut-Ta’lil (Alasan yang Bagus)
  2. Contoh-Contoh

 

  1. Al-Ma’arri berkata dalam sebuah ratapannya:

 

Bintik-bintik hitam pada bulan purnama yang bercahaya itu bukan ada sejak dulu. Akan tetapi, pada muka bulan itu ada bekas tamparan.

 

  1. Ibnur-Rumi berkata:

 

Adapun matahari itu tidak menguning ketika cenderung kecuali karena (tidak suka) berpisah dengan pemandangan yang indah itu.

 

  1. Penyair lain berkata tentang berkurangnya hujan di Mesir:

 

Hujan tidak berkurang di Mesir dan sekitarnya karena faktor alam, tetapi karena ia banyak menanggung malu.

 

  1. Pembahasan

AbulAla’ meratap dan berlebihan menyatakan bahwa kesedihan terhadap orang yang diratapi itu mencakup banyak peristiwa alam. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa bintik-bintik hitam yang terlihat di permukaan bulan itu tidaklah muncul karena faktor alam, melainkan karena bekas tamparan (oleh bulan sendiri) karena sedih diInggalkan oleh orang yang diratapi itu.

 

Pada contoh kedua, Ibnur-Rumi berpendapat bahwa matahari tidak menguning ketika cenderung mendekati tempat terbenamnya Iu bukan karena faktor alam yang telah dikenal, melainkan karena takut berpisah dengan wajah orang yang dipujinya.

 

Pada contoh ketiga, penyair mengingkari bahwa penyebab berkurangnya hujan di Mesir itu adalah faktor alam. Sehubungan dengan keingkarannya itu ia menyodorkan alasan lain, yaitu bahwa hujan itu malu turun di bumi yang dipenuhi oleh keutamaan dan kemurahan orang yang dipuji karena merasa tidak mampu bersaing dengan kemurahan dan pemberiannya.

 

Dengan demikian, kita telah tahu dari contoh-contoh di atas bahwa para penyair mengingkari alasan yang telah dikenal umum bagi suatu peristiwa, lalu ia membuat alasan lain yang sesuai dengan tujuannya. Uslub kalimat yang demikian disebut husnut-ta’lil.

 

  1. Kaidah

(74) Husnut-ta’lil adalah seorang sastrawan, ia mengingkari — secara terang-terangan ataupun terpendam — alasan yang telah dikenal umum bagi suatu peristiwa, dan sehubungan dengan itu ia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra dan lembut yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.

 

  1. Latihan-Latihan
  2. Jelaskanlah husnut-ta’lil pada syair-syair berikut!

 

  1. Ibnu Nubatah berkata:

 

Senantiasa kemurahannya itu menganiaya harta, sampai emas berpakaian warna kuning.

 

  1. Seorang penyair memuji seseorang dan menjelaskan penyebab gempa yang terjadi di Mesir:

 

Mesir tidak digoncang gempa lantaran suatu makar yang ditujukan kepadanya, melainkan kota itu menari karena bersukacita terhadap keadilannya (orang yang dipuji).

 

  1. Saya lihat bulan di langit itu suatu saat tampak dengan jelas, lalu berselimut di balik awan. Hal yang demikian adalah karena ketika bulan menampakkan diri dan melihat wajahmu, maka ia merasa malu dan menghilang.

 

  1. Syair berikut ini diucapkan untuk menyifati seekor kuda hitam yang ada putih-putih di dahinya:

 

Kuda hitam itu seperti burung gagak yang hitam warnanya, yang terbang bersama angin, namun ia tidak bersayap. Malam memberinya pakaian pembalut sekujur badan. Lalu ia berpaling, maka pagi mencium di antara kedua matanya.

 

  1. Ibnu Nubatah As-Sa’di menyifati kuda hitam yang belang kakinya dan mempunyai putih-putih di dahinya:

 

Gelapnya malam itu meminjam hitamnya kuda hitam itu, dan terbit bintang kejora di antara kedua matanya. la berjalan di belakang pagi yang terbang dengan sombong, dan ia melipat semua gugusan bintang di belakang pagi itu. Maka ketika pagi itu takut kalah cepat dari kuda hitam itu, maka pagi menyangkutkan diri di kaki-kaki dan mukanya.

 

  1. Al-Arrajaani berkata:

 

Perbuatanmu telah mengungkap kelalaian zaman, maka mekarnya bungp mawar di musim semi adalah karena ketakutan.

 

  1. Seorang penyair meratapi seorang penulis:

 

Para penulis sebelumnya telah berfirasat akan kehilangan kamu, dan kebenaran firasat itu terbukti kebenarannya beberapa hari berselang. Oleh karena itulah seluruh tinta dihitamkan dan pena-pena dipecahkan karena menyesali kepergianmu.

 

  1. Penyair lain menyatakan:

 

Bunga-bunga mawar di taman bersegera datang kepadamu tanpa diundang dan sebelum masanya. Mereka sangat mengharapkan ciumanmu ketika mereka melihatmu. Maka ia mengumpulkan mulutnya kepadamu seperti orang yang minta ciuman.

 

  1. Bulan purnama itu tidak terbit kecuali karena kerinduannya kepadamu, sebelum dapat menyaksikan keindahan wajahmu.

 

10,   Dunia dulu telah menangis dengan limpahan air matanya karena (telah mengetahui akan) kepergianmu, sehingga di zaman dulu dunia ini telah dilanda banjir.

 

  1. Buatlah alasan bagi pernyataan-pernyataan berikut dengan alasan yang bernilai seni dan lembut!

 

  1. Dekatnya awan dengan bumi.

2, Terbakarnya rumah yang ditinggal pergi oleh pemiliknya.

3, Gerhana matahari.

4 Turunnya hujan pada hari kematian orang besar.

 

III. Susunlah dua kalimat untuk husnut-ta’lil

 

  1. Uraikan dua bait syair Abuth-Thayyib berikut ini, dan jelaskan husnut-ta’lil yang terdapat padanya!

 

Bukankah engkau itu anak orang mulia yang senantiasa dihormuti, dan mereka tidak melahirkan kecuali orang pintar? Bau wanginya taman itu bukan asli, melainkan karena taman itu diselimuti debu kubur mereka. E dan F. Menegaskan Pujian dengan Kata-Kata yang Menyerupai Celaan dan Sebaliknya

 

  1. Contoh-Contoh
  2. Ibnur-Rumi berkata:

 

Tidak ada cacat padanya selain bahwasanya mata tidak akan melihat orang yang serupa dia.

 

b Penyair lain berkata:

 

Tidak ada cela dalam kebaikan mereka, hanya saja akan tampak ketidakmampuan orang-orang yang bersyukur untuk mensyukurinya.

 

  1. Rasulullah Saw. bersabda:

 

Saya adalah orang Arab yang paling fasih, hanya saja saya seorang Quraisy.

 

  1. An-Nabighah Al-Ja’di:

 

Ia adalah seorang pemuda yang sempurna aklilaknya, hanya saja ia seorang dermawan sehingga tidak ada lagi sisa dari hartanya.

 

  1. Pembahasan

Kita tidak ragu lagi bahwa seluruh contoh di atas menunjukkan pujian, namun dengan uslub yang anch yang belum kita temukan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya.

 

Pada contoh pertama, Ibnur-Rumi mengawali pembicaraannya dengan meniadakan kecacatan dari orang yang dipujinya, lalu ia datangkan huruf istitsna”, yaitu siwaa   sehingga sedikit memberi kesan kepada pendengar bahwa ada kecacatan pada orang yang dipuji itu. Ibnur-Rumi akan berani menjelaskannya, dan pendengar pun lalu memahami bahwa kata-kata setelah huruf istitsna itu sifat pujian, namun mereka terkecoh dengan uslub tersebut. Pendengar pun akan tahu bahwa Ibnur-Rumi telah mengelabuinya. Jadi, ia tidak menyebutkan kecacatan, melainkan justru menguatkan pujiannya dengan kalimat yang membcri kesan mencela. Demikian juga halnya dengan contoh kedua.

 

Pada contoh ketiga, kita dapatkan bahwa Rasulullah Saw. menyifati dirinya dengan sifat untuk pujian, yaitu bahwa beliau adalah orang Arab yang paling fasih. Namun, setelah itu beliau mendatangkan huruf istitsna , maka pendengar akan menjadi bingung dan beranggapan bahwa beliau akan menyebutkan kata-kata yang tidak menyenangkan setelah huruf istitsna itu. Akan tetapi, kondisi yang demikian segera normal kembali begitu beliau menyebutkan sifat yang terpuji, yaitu bahwa beliau adalah orang Quraisy. Dan orang Quraisy adalah kabilah Arab yang paling fasih, tidak diperselisihkan. Dengan demikian, mendatangkan huruf istitsna’ dan kata-kata berikutnya justru memperkuat pujian pada kalimat yang pertama yang dengan uslub yang telah dikenal umum. Demikian juga halnya contoh yang terakhir. Uslub yang demikian disebut dengan menguatkan pujian dengan kalimat yang menyerupai celaan.

 

Di samping itu, masih ada uslub yang untuk menguatkan celaan dengan kalimat yang menyerupai pujian, seperti: “Khotbah itu sama sekali tidak baik, hanya saja panjang, tanpa faedah” dan “Kaum itu kikir, hanya saja mereka penakut”.

 

  1. Kaidah

(75) Memperkuat pujian dengan kalimat yang menyerupai celaan itu ada dua macam:

 

  1. Mengecualikan sifat pujian dari sifat celaan yang dinafikan.

 

  1. Menetapkan sifat pujian bagi sesuatu, setelah itu mendatangkan huruf istitsna, diikuti sifat pujian yang lain.

 

(76) Memperkuat celaan dengan kalimat yang menyerupai pujian itu ada dua macam pula:

 

  1. Mengecualikan sifat celaan dari sifat pujian yang dinafikan.

 

  1. Menetapkan sifat celaan atas sesuatu, lalu mendatangkan huyuf istitsna’, diikuti sifat celaan yang lain.

 

4 Latihan-Latihan

  1. Jelaskan penguatan kalimat celaan dengan kalimat yang menyerupai pujian pada contoh-contoh berikut ini dan jelaskan macamnya!

 

  1. Ibnu Nubatah Al-Mishri berkata:

 

Tidak ada cela padanya, hanya saja aku akan menemuinya. Maka hari-hari telah melupakan aku dari keluarga dan negara.

 

Wajah-wajah itu berseri seperti bunga di taman. Akan tetapi, pada musim perang bagaikan batu besar yang keras.

 

  1. Tiada cela padamu, hanya saja tamu-tamumu menggerutu karena lupa terhadap istri dan negaranya.

 

  1. Mereka itu sangat cepat bicaranya, namun mereka adalah orang-orang ningrat dan agung.

 

  1. Jelaskanlah penguatan kalimat pujian dengan kalimat yang menyerupai celaan pada pernyataan-pernyataan berikut!

 

  1. Tiada keutamaan bagi suatu kaum, namun mereka tidak mengetahui hak-hak tetangga

 

  1. Kalimat itu berbelit-belit, di samping maknanya hambar.

 

  1. Tiada keindahan di rumah, hanya saja gelap dan sempit kamarnya..

 

III. Jelaskanlah penguatan pujian dengan kalimat yang menyerupai celaan atau sebaliknya pada kalimat-kalimat berikut!

 

  1. Shafiyuddin Al-Hilli berkata:

 

Tiada aib pada mereka, hanya saja orang-orang yang singgah pada mereka terhibur dari keluarga, negara, dan kemarahan.

 

  1. Tiada kebaikan pada kaum itu, hanya saja mereka mencela zaman dan mereka juga cela.

 

  1. Tiada aib padanya terhadap setiap orang, hanya saja dunia itu baginya dicela, sedangkan mereka tidak dicela.

 

  1. Ia adalah orang yang kotor lidahnya, hanya saja dadanya merupakan tempat berkumpulnya kedengkian.

 

5   Oleh suatu kaum dosaku dibilang banyak, padahal tiada dosa bagiku kecuali dosa-dosa yang tinggi dan utama.

 

  1. Tidak ada kemuliaan bagi mereka dalam pergaulan, hanya saja tetangga mereka orang-:ang hina.

 

7 . Orang bodoh itu adalah musuh dirinya, tetapi teman orang-orang bodoh.

 

  1. Tidak ada cela bagi taman itu kecuali anginnya lembut dan pelan.

 

  1. 1. Pujilah sebuah kitab yang telah kamu baca, lalu perkuatlah pujianmu itu dengan kalimat yang menyerupai celaan!

 

  1. Pujilah suatu negara yang engkau kunjungi dan perkuatlah pujianmu itu dengan kalimat yang menyerupai celaan!

 

  1. Celalah suatu jalan yang engkau lalui,lalu perkuatlah celaanmu itu dengan kalimat yang menyerupai pujian!

 

  1. Uraikan dua bait syair berikut dan jelaskan uslub penguatan pujian dengan kalimat yang menyerupai celaan dalam kedua bait ini!

 

Aku memujimu dengan suatu pujian yang seandainya aku gunakan untuk memuji Laut Hijaz, niscaya intan-intannya akan menjadikan aku kaya.

 

Tiada cela bagiku kecuali bahwa aku berasal dari desamu. Dan peniup suling suatu kabilah itu tidak disenangi serulingnya.

 

  1. Uslub Orang yang Bijaksana

 

  1. Contoh
  2. Allah Swt. berfirman:

 

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”. (QS Al-Baqarah: 189)

 

  1. Ibnu Hajjaj berkata:

 

Ia berkata: Aku telah memberatkan kamu karena aku sering berkunjung kepadamu. Aku berkata: Kamu memberatkan punggungku dengan tangan-tanganmu. la berkata: Aku berlama-lama. Aku menjawab: Kamu menyerahkan pemberian. Ia berkata: Aku membosankan. Aku menjawab: Tali kasih sayangku.

 

  1. Pembahasan

 

Kadang-kadang seseorang berbicara denganmu atau menanyakan sesuatu kepada kita, lalu muncul dalam benak kita untuk berpaling dari pokok persoalan atau jawaban karena beberapa hal, di antaranya kita menganggap bahwa orang yang bertanya itu tidak akan dapat memahami jawaban yang sebenarnya, dan kita anggap lebih baik kita mengajaknya memperhatikan sesuatu yang lebih bermanfaat baginya. Penyebab yang lain adalah karena orang yang berbicara itu pendapatnya tidak tepat, dan kita tidak ingin mengejutkannya dengan mengemukakan pendapat kita. Dalam keadaan demikian kita harus mengajaknya dengan sehalus mungkin, berpaling dari pokok masalah yang ia hadapi kepada suatu percakapan yang lebih patut dan utama.

 

Bila kita perhatikan contoh pertama, kita dapatkan bahwa para Sahabat Rasulullah Saw. bertanya kepada beliau tentang keadaan bulan yang semula kecil lalu menjadi besar dan akhirnya menjadi kecil kembali. Hal ini adalah salah satu masalah ilmu falak, yang untuk memahaminya diperlukan pengkajian detail dan serius. Oleh karena itu, Al-Qur’an memalingkan mereka dari masalah itu aengan menjelaskan bahwa bulan itu merupakan tanda untuk mengetahui waktu bekerja dan beribadah. Hal ini merupakan isyarat bahwa sebaiknya mereka bertanya tentang faedah ini, juga menunjukkan bahwa pembahasan ilmu harus sedikit diundurkan hingga suasana menjadi mantap dan kekuatan Islam tidak tergoyahkan.

 

Teman Ibnu Hajjaj pada contoh kedua berkata bahwa ia telah memberatkannya dengan sering berkunjung kepadanya. Maka Ibnu Hajjaj memalingkannya dari pandangannya itu dengan cara yang mengandung nilai seni dan lembut, lalu ia berkata dengan makna yang lain, “Kamu telah memberatkan punggungku dengan banyaknya kenikmatan yang kamu berikan.” Demikian pula pada bait kedua. Keindahan bahasa yang demikian disebut uslub al-hakim (gaya bahasa orang yang bijaksana).

 

  1. Kaidah

(77) Uslub al-hakim adalah melontarkan kepada mukhathab pembicaraan yang tidak diinginkan, baik dengan cara meninggalkan pertanyaannya dan memberi jawaban yang tidak ditanyakan, atau dengan membelokkan pembicaraan kepada masalah yang tidak ia maksudkan. Hal ini sebagai pertanda bahwa selayaknya mukhathab itu menanyakan atau membicarakan masalah yang kedua (pembicaraan orang yang melayani) itu.

 

  1. Latihan-Latihan

 

  1. Jelaskan mengapa kalimat berikut disampaikan dengan uslub al-Hakim!

 

Aku datang kepada temanku dan aku minta kepadanya utang dinar untuk suatu urusan. Maka ia menjawab, “Demi Allah, rumahku ini tidak menghinipun emas/permata.” Maka aku berkata kepadanya, “Dan! juga manusia.”

 

  1. Ditanyakan kepada salah seorang yang sudah pikun, “Berapa umurmu?” Ia menjawab:

 

Sesungguhnya saya telah dianugerahi kesehatan.

 

3, Ditanyakan kepada seorang laki-laki, “Apakah kaya itu?” Ia menjawab:

 

Kemurahan adalah engkau mendermakan apa yang ada.

 

  1. Ditanyakan kepada seorang pengembara tentang agama dan keyakinannya. Ia menjawab:

 

Aku mencintai manusia seperti aku mencintai diriku sendiri.

 

  1. Ditanyakan kepada seorang pedagang, “Berapa besar modalmu?” Ja menjawab:

 

Aku adalah orang yang dapat dipercaya, dan kepercayaan manusia kepadaku sangat besar.

 

  1. Al-Hajjaj bertanya kepada Al-Muhallab, “Apakah aku yang lebih jangkung, ataukah kamu?” Ia menjawab:

 

Engkau lebih jangkung, dan aku adalah orang yang paling sedang tinggi badannya.

 

7 Seorang pegawai ditanya, “Harta benda berupa apa yang kausimpan?” Ja menjawab:

 

Tiada sesuatu pun membandingi kesehatan.

 

  1. Sayyid bin Anas menemui Al-Ma-mun, maka Al-Ma-mun berkata, “Engkau adalah sayyid.” Ia menjawab: –

 

Engkau adalah sayyid, dan saya adalah putra Anas.

 

  1. Pada suatu hari aku minta dirham kepadanya, maka ia heran dan berkata, “Barang ini dibuat dari perak, bukan dari emas.”

 

  1. Allah Swt. berfirman:

 

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan, hendaknya kamu berikan kepada ibu bapak, kauni kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. (QS Al-Baqarah: 215)

 

  1. Ketika Khalid bin Walid hendak berangkat untuk menyerbu Hiyarah, maka datanglah seorang laki-laki pendukung daerah tersebut, dan Khalid bertanya kepadanya, “Dalam hal apa kamu (Ada keperluan apa)?” Ia menjawab, “Dalam pakaianku.” Khalid bertanya, “Di atas apa kamu?” Ia menjawab, “Di atas bumi.” Khalid bertanya, “Berapa umurmu?” Ia menjawab, “Tiga puluh dua.” Khalid berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu dan kamu menjawab dengan hal yang lain.” Ia menjawab, “SeSungguhnya aku menjawab tentang apa yang engkau tanya kan.”

 

Ketika orang yang membawa kabar kematian itu mengabarkan, maka aku bertanya kepadanya karena ketakutan, dan mata mencurahkan hujan kerena takut perceraian. Ia menjawab, “Ia telah mati.” Aku berkata, “Ia telah memenuhi kebutuhan yang luhur.” Ia berkata, “Ia telah berlalu.” Kami berkata, “Dengan segala kesombongan.”

 

  1. Bila Anda ditanya tentang masalah-masalah berikut ini dan Anda ingin menjawabnya dengan uslub al-Hakim, maka bagaimana jawaban yang harus Anda berikan?

 

  1. Apakah pendapatan ayahmu itu?

 

  1. Di mana rumahmu?

 

  1. Bagaimana harga perhiasan ini?

 

  1. Berapa tahun engkau menempuh pendidikan di sekolah menengah?

 

III. Buatlah dua kalimat yang mencakup uslub al-hakim!

 

  1. Uraikan dua bait syair berikut ini dan jelaskan macam badi’ yang terdapat padanya!

 

Pada suatu hari datang anakku kepadaku dan aku melihatnya sebagai penyejuk hati dan sumber ketenangan. Ia bertanya, “Apakah toh itu?” Aku menjawab, “Sesungguhnya kamu adalah rohku.” Ia bertanya, “Apakah jiwa itu?” Aku menjawab, “Engkau adalah jiwaku.”