Kitab Bathinul Itsmi Dan Terjemah [PDF]

Bismillahir-rahmanir-rahim.

 

SEGALA PUJI bagi Allahu subhinahu wa ta’ala Sang Maha Pemberi Taufik. Selawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam berserta segenap keluarga dan sahabatnya.

 

Wa ba’du,

 

Telah sering diungkapkan bahwa kebenaran itu sangat pahit rasanya! Agaknya, sebab paling penting yang menjadikannya pahit adalah dampak yang ditimbulkan dari diungkapkannya kebenaran tersebut berupa kritik langsung dan destruksi atas beberapa hal yang terjadi di masyarakat.

 

Kegetiran tersebut tidak akan berkurang, apalagi hilang sama sekali, kecuali dengan menjadikan metode penyampaian kebenaran tadi dengan penuh keikhlasan yang sempurna dan netral dari segala bentuk kepentingan apapun.

 

Jika seorang pencari kebenaran mampu berpegang teguh dengan prinsip di atas, maka sungguh ia sudah menunaikan kewajibannya di hadapan Allahu subhanahu wa ta’ala dan hamba-hamba-Nya. Tidak men jadi masalah jika ia mendapati dirinya tidak mampu mengubah karakter segala sesuatu dan mengubah pahitnya obar menjadi semanis gula. Sebab sesungguhnya kebenaran itu meskipun tampak berat dan pahit, namun ia sangat besar manfaatnya bagi individu dan masyarakat dibandingkan manis dan nikmatnya Jari atau memusuhi kebenaran itu sendiri.

 

Cukup menjadi justifikasi bagi seorang pencari kebenaran yang berpegang pada prinsip ini bahwa ia tidak membebankan beratnya kebenaran kepada orang lain kecuali ia juga membebani dirinya dengan hal yang sama. Ia juga merasakan pahitnya kebenaran itu sebelum orang lain merasakannya. Ia tidak pula memposisikan dirinya sebagai seorang nabi yang ma’shum, yang bebas dari dosa dan mengumbar kritik dari mimbar “ismah untuk kemudian menyucikan dirinya dari kesalahan. Bahkan, ia justru menjadikan pengawasan terhadap dirinya, serta kritik atas kesalahan-kesalahan yang ia perbuat sebagai titik tolak untuk memberi peringatan kepada orang lain agar tidak sampai terjerumus pada kesalahan dan penyimpangan yang sama seperti dirinya. Ia menginginkan agar kenikmatan nasihat dan petunjuk yang Allahu ta’ala anugerahkan kepadanya juga dirasakan oleh teman-teman dan saudaranya.

 

Adakah kesalahan atau kerancuan dalam perkataan ini?! Prinsip itulah yang aku jadikan pondasi semua pembahasan dalam buku ini. Sungguh, dan Allahu ta’al yang menjadi saksi, bahwa aku menginginkan buku ini sebagai nasihat yang aku persembahkan bagi diriku sendiri sebelum aku tujukan kepada orang lain.

 

Meskipun demikian, masih ada orang-orang yang merasa terusik dengan isi buku ini, sebab isi dari buku ini menjadi kritik atas mereka dan berupaya meluruskan keadaan mereka. Ketidaksukaan mereka terhadap isi buku ini melahirkan reaksi yang sangat aneh dan mengherankan yang tidak ada manfaatnya untuk dijelaskan di sini. Pernah ada yang mengabarkan kepadaku tentang sikap yang mereka ambil terkait buku ini, maka aku jawab: “Ini adalah kebenaran, dan aku tidak menemukan bal lain yang pantas menggantikannya.”

 

Adapun menganggap diri suci dari dosa dan kesalahan, tidak pernah aku mengetahui ada manusia yang memiliki keistimewaan ini setelah para nabi dan rasul. Sedangkan sikap menolak nasihat dan merasa tinggi hati untuk menerimanya, aku tidak mengira ada satu Muslim pun, yang berislam dengan sungguh-sungguh, rela untuk duduk di atas singgasana kesombongan semacam ini. Adapun cara dan metode menyampaikannya, maka tidak ada pilihan bagi kita selain metode yang ditempuh oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam.

 

Beliau shallallahu “alaihi wa sallam menasihati dan mengajarkan kepada para sahabatnya bahwa agama adalah nasihat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengkritik tanpa menyebutkan nama atau menyakiti siapa pun, tetapi beliau berkata: “Apa yang yang diperbuat suatu kelompok…” tanpa mengacuhkan bagaimana jadinya nasihat ini dalam benak semua yang mendengarkan.

 

Mengenai kemungkinan adanya kesalahan dalam tulisanku, maka aku telah menajamkan pendengaranku dengan harapan aku mendapati koreksi atas kesalahan yang mungkin aku lakukan atau mengingatkan sesuatu yang penting yang aku lupakan atau memberitahu kebenaran yang mungkin belum sampai pengetahuannya kepadaku, namun aku tidak mendapati itu sama sekali, kecuali pada tulisanku yang berjudul “Musykilatna Akhlagiyyah wa-Laysat Fikriyyah” (Masalah Kita Terletak Pada Akhlak, Bukan Pemikiran), ada satu orang yang berkata kepadaku bahwa masalah kita adalah pada pemikiran, bukan akhlak.

 

Ada juga yang menyebarkan isu bahwa melalui tulisan itu aku mengajak untuk berakhlak tanpa ilmu dan pikiran, bahkan aku mengatakan bahwa kita tidak memerlukan ilmu dan pikiran. Maka aku katakan bahwa aku sama sekali tidak menulis apapun yang menunjukkan hal itu. Dan mereka yang mampu memahami makna suatu perkataan dengan mengikuti kaidah bahasa yang benar tidak akan mungkin sampai pada kesimpulan yang batil itu, yang tidak akan mungkin aku katakan. Bagaimanapun, aku jadikan pembahasan itu lebih jelas lagi pada cetakan kali ini, dan aku berikan catatan kaki yang akan menjawab semua yang berpotensi disalahfahami darinya.

 

Sekarang aku cetak ulang buku ini dan aku sangat gembira dan rida dengan taufik dari Allah dalam semua proses percetakan ini. Bahkan, aku sangat bersyukur karena Allah menjadikan buku ini sebagai perantara manfaat dan perbaikan bagi banyak kaum Muslimin, dan aku sendirilah yang paling membutuhkan perbaikan dan manfaat ini dibanding siapapun.

 

Aku cetak ulang buku ini, dan kejadian-kejadian buruk serta musibah pahit yang menimpa kaum Muslimin membuatku semakin yakin bahwa kaum Muslimin dewasa ini semakin mundur kebelakang, tercerai berai, hilang arah, dan direndahkan, dan dosa-dosa batin yang tersembunyi menjadi penyebab yang lebih besar dibandingkan dengan dosa dan maksiat yang tampak jelas.

 

Aku cetak ulang buku ini, dan pahitnya keadaan umat Islam saat ini membuat keyakinanku bertambah setiap harinya bahwa permasalahan kaum Muslimin adalah malapetaka yang menyerang akhlak mereka dan bukan krisis pengetahuan seperti sangkaan kosong selama ini. Hal ini dengan keyakinan bahwa kaum Muslimin tidak dapat hidup tanpa ilmu dan pengetahuan, sebagaimana seorang yang sakit tidak akan mampu hidup tanpa matahari dan udara, akan tetapi matahari dan udara adalah satu hal dan obat yang menyembuhkan penyakitnya adalah satu hal yang lain.

 

Aku cetak ulang buku ini, dan aku menjadikan Allahu subhanahu wa ta’ala sebagai saksi bahwa apa yang aku tulis bukan merupakan bentuk kedengkian yang aku hembuskan, bukan pula kebencian yang aku pelihara, atau mengumbar keadaan satu kelompok atau komunitas. Bagaimana mungkin aku melakukan itu semua padahal hal-hal tersebut adalah termasuk sejelek-jeleknya dosa batin yang mana buku ini aku tulis untuk memberi peringatan orang banyak akan bahayanya dan mengajak kepada penyucian hati dan jiwa darinya. Akan tetapi, aku menyaksikan masyarakat yang digiring oleh penyakit berbahaya ini (dan masyarakat tentunya tersusun dari individu-individu), maka aku berkeinginan untuk mengarahkan perhatian mereka kepada penyakit ini melalui sebuah tulisan yang tidak ada maksud lain, insya Allah, kecuali sebagai nasihat kepada Allahu subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, dan semua orang yang beriman.

 

Aku cetak ulang buku ini sembari aku tengadahkan tanganku kepada-Nya Yang Maha Mengetahui semua hal yang gaib dengan penuh kerendahan dan merintih, aku berdoa kepada-Nya agar menjadikan aku dan seluruh kaum Muslimin memiliki keistimewaan yang hanya Dia berikan kepada mereka, yaitu wahai Tuhan kami, ampuni dosa kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman dan jangan Kau jadikan ada kebencian dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, wahai Tuhan kami sungguh Engkau Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Allahumma Amin.

 

al-“Allamah asy-Syahid Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, kota Damaskus, Syiria.

 

“alayhi rahmatullahi ta’ala wa nafa’anallahu biulumihi wa barakatihi wa asrarihi fid-darain, amin.

 

WAHAI ALLAH bagi-Mu segala puji dengan pujian yang pantas bagi kemuliaan-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu. Maha Suci Engkau, aku tidak mampu menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana pujian yang Kau tujukan pada Dzat-Mu.

 

Wahai Allah, limpahkan selawat-Mu yang terbaik kepada hamba dan Nabi-Mu Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam, juga atas keluarga beliau, istri-istri dan sahabat-sahabat beliau sebagaimana Engkau limpahkan selawat kepada Ibrahim dan keluarganya, di seluruh alam, hanya Engkaulah yang Maha Terpuji lagi Mahamulia.

 

Wahai saudara Muslimku, engkau bertanya kepadaku dengan penuh kedukaan dan rasa sakit: “Jumlah kaum Muslimin saat ini jauh lebih banyak dibanding masa-masa dahulu dan perbuatan-perbuatan mereka yang bersifat Islami jauh lebih menonjol dibanding abad-abad sebelumnya, perpustakaan-perpustakaan penuh dengan bermacam-macam buku-buku keislaman kontemporer yang belum terlihat pada masa sebelum ini, dan banyak orang berbondong-bondong mempelajarinya dengan penuh antusias yang belum pernah terlihat sebelumnya. Meski demikian, usaha mereka terkait pembentukan masyarakat dan hukum yang Islami justru tampak mengalami kemunduran dan berjalan semakin jauh kebelakang. Apa sebab dan rahasia dari keadaan yang sangat bertolak belakang ini dan bagaimana mungkin logika mendasar seperti ini tidak membuahkan kesimpulan yang semestinya?!”

 

Sungguh aku telah memberikan jawaban kepadamu ketika aku berkata bahwa kaum Muslimin saat ini terkotak-kotakkan dan saling tercerai-berai serta bermusuhan. Padahal perpecahan adalah musibah yang menghancurkan semua usaha-usaha yang baik dan menjadikannya tidak membuahkan hasil. Maka bagaimana menurutmu jika perpecahan sudah menjadi permusuhan?!

 

Engkau juga berkata kepadaku: “Maka apa yang menjadi titik temu bagi kelompok-kelompok yang memperjuangkan kebatilan hingga kemudian mereka bisa berjalan beriringan dan saling membantu satu sama lain, sedangkan kelompok-kelompok yang membawa kebenaran justru terus-menerus saling menjauh dan bermusuhan?!”

 

Jawabanku kepadamu adalah bahwa kelompokkelompok yang jelek itu murni hanya menginginkan keburukan dan mereka sadar betul bahwa tujuan mereka tidak akan tercapai kecuali dengan persatuan dan saling tolong-menolong, dan setiap dari mereka tidak memiliki maksud dan tujuan lain yang bertentangan dengan keburukan yang mereka bawa. Maka, mereka disatukan oleh usaha yang mereka lakukan dijalan keburukan, direkatkan oleh kesadaran akan pentingnya saling tolong-menolong, dan yang mencegah mereka dari saling bermusuhan adalah mereka semua sangat bersungguh-sungguh dalam mengusahakan kebatilan yang mereka usung bersama meskipun mereka berbeda-beda dalam tujuan yang lain selain itu.

 

Adapun kelompok kebaikan, usaha yang mereka lakukan untuk mewujudkan kebenaran yang mereka bawa tidak semurni kelompok yang memperjuangkan kebatilan, yang berujung pada kesempitan dan berpusat pada keinginan-keinginan hawa nafsu. Sedangkan, pada kelompok kebaikan ada yang berhias dengan kebenaran dan mengajak kepadanya secara lahiriah, namun di balik itu dia hanya menginginkan pemuasan terhadap hawa nafsunya. Ada pula di antara mereka yang menjadikan kebenaran sebagai sekadar ucapan yang ia ulang-ulang dalam majelis atau pidatonya dan ia jadikan sebagai sekutu dalam mencari kepentingan, namun jika kebenaran itu membebankan sesuatu yang lain kepadanya seperti merelakan sebagian hak yang seharusnya ia terima atau menanggung sebagian kesulitan hidup, ia lepaskan kebenaran itu dan ia jauhi.

 

Sejak hal ini yang terjadi di antara mereka, maka kepercayaan antara mereka pun sirna atau paling tidak, berkurang. Hal itu menyebabkan kerjasama mereka dalam mengajak kepada kebenaran terbatas hanya pada sekadar hal yang cetek dan sempit. Tidaklah mer, eka melewati hal ini kecuali telah sering nampak benih. benih perpecahan dan permusuhan di antara mereka.

 

Aku ingat, wahai saudara Muslimku, keadaanmu yang terhanyut dalam jawabanku ini, engkau tenggelam dalam diam yang menyakitkan, hingga engkau kemudian bangkit, memohon izin, dan berlalu sambil terus memikirkan hal ini.

 

Sedangkan aku, apa yang aku katakan kepadamu ini membuatku tertegun dan menyadari bahwa aku tidak melakukan apapun terhadap hal ini kecuali membuatmu terombang-ambing dalam kegelisahan tanpa ujung. Aku bagaikan orang yang memperingatkan seorang yang sakit akan penyakit-penyakit mematikan yang menimpanya tanpa mengucapkan sepatah katapun yang mengarahkannya kepada obat yang mungkin meringankan atau menyembuhkan rasa sakitnya. Aku berlindung kepada Allahu subhanahu wa ta’ala agar perkataanku ini tidak mengendurkan semangat atau mematikan harapan siapa pun, karena jika demikian maka aku telah menambah penyakit yang jauh lebih berbahaya ke atas penyakit yang sudah ada.

 

Perasaan ini begitu menyiksaku sebagaimana perasaan seorang yang tahu bahwa ia telah memperparah bencana yang tengah terjadi dan berlalu begitu saja. Orang seperti ini lebih tepat baginya tidak mendekati bencana itu sejak awal dan tidak mengobatinya, sebagaimana yang banyak dilakukan orang-orang selainku saat ini.

 

Aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkanku dari perasaan ini kecuali aku menyempurnakan penjelasan yang aku sampaikan kepadamu dengan menuliskan obatnya. Meskipun mungkin aku tidak bisa menyampaikannya langsung kepadamu di majelis yang ketika itu engkau keluar darinya dalam keadaan risau dan gelisah, maka aku susulkan jawabanku ini kepadamu di mana saja engkau berada melalui buku kecil ini. Semoga buku ini sampai ke hadapanmu dan mengubah kegelisahanmu menjadi gerakan dan usaha positif dalam mengenali obat ini dan cara menggunakannya, meskipun ia adalah obat yang pahit rasanya, namun manisnya imanlah yang akan mengurangi kepahitannya.

 

Aku meyakini bahwa kita semua adalah orangorang yang beriman kepada Allahu ta’ala Yang Maha Esa tanpa sekutu dan dalam genggaman-Nya semua kebaikan dan kekuasaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan obat yang aku ingin agar engkau memperhatikannya itu ada pada kitabullah, al-Ouran, dan telah dijelaskan melalui petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menyucikan diri dari dosa-dosa batin, dosa-dosa yang tersembunyi.

 

Boleh jadi engkau bertanya: “Lalu dosa lahiriah yang tampak nyata? Bukankah menyucikan diri darinya juga merupakan bagian dari obat?” Jawabannya adalah bahwa ia memang bagian tak terpisahkan dari obat ini, namun semua manusia mengetahui akan hal itu, walaupun di saat yang sama banyak yang tetap mengerjakannya. Maka peringatan akan hal itu bukan hal yang baru lagi dan tidak begitu membuahkan hasil. Namun yang kebanyakan manusia lalai darinya adalah bagian lain dari obat ini yang jika ditinggalkan oleh kaum Muslimin maka hilang sudah semua perjuangan dan pekerjaan mereka untuk agama Islam, mereka kehilangan arah dan terjebak dalam belantara kerusakan.

 

Bagian paling mengkhawatirkan dari obat yang ini adalah karena sifatnya yang samar maka kaum Muslimin tidak memiliki metode untuk mengetahui dan mengawasi dosa-dosa yang batin ini. Jika tidak demikian adanya, maka sangat memungkinkan untuk dilakukan pengawasan-pengawasan terhadap dosa batin ini sebagaimana mereka saling mengawasi satu sama lain pada permasalahan puasa, salat, dan hukum-hukum lahiriah lainnya.

 

Hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah bahwa kebanyakan kaum Muslimin tidak mengindahkan nasihat dan peringatan mengenai hal ini. Mereka juga tidak mengambil berat perkara ini dengan mencari tahu bagaimana mengobatinya, juga tidak memperhitungkannya saat berusaha membangun masyarakat Islami yang selama ini digadang-gadang.

 

Oleh sebab itu, aku merasa bahwa jawabanku harusnya menyambung kembali apa yang belum sempat terselesaikan dari penjelasan terkait obat luar biasa ini yang selama ini diabaikan, ditinggalkan, dilupakan, bahkan dibiarkan hilang begitu saja oleh kaum Muslimin, meski mereka berkali-kali membacanya tanpa pernah membicarakannyadalam al-Ouran dan Sunah Baginda Nabi ‘alayhish-shalatu was-salam.

 

Aku “resepkan” obat ini untukku terlebih dahulu sebab aku yakin bahwa aku sangat memerlukannya. Aku “resepkan” pula kepada saudara-saudara pembaca sekalian, sebab aku mengetahui -sebagaimana aku katakan kepada kalianbahwa ini adalah obat yang harus kita gunakan, yang tidak akan menjadi baik urusan kaum Muslimin kecuali dengan perantara obat ini.

 

Hanya kepada Allah aku bergantung, dari-Nyalah semua taufik, dan kepada-Nya semua urusan kembali.

 

 

MERUPAKAN SEBUAH kesepakatan bahwa perintah-perintah syariat Islam secara umum terbagi menjadi dua: hal-hal yang berkaitan dengan perkataan dan perbuatan yang lahir seperti puasa, salat, amar ma’ruf nahi munkar, dan berkontribusi untuk kemaslahatan kaum Muslimin, dan hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan hati seperti ikhlas, rendah hati, mencintai dan membenci karena Allah, takut kepada ancaman-ancaman Allah, dan mengharapkan ganjaran dan keridaan dari Allahu subhanahu wa ta’ala.

 

Begitu juga larangan-larangan Allahu ta’ala secara umum terbagi kepada larangan yang berkaitan dengan perkataan dan perbuatan yang lahir, seperti larangan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan, mencuri, berzina, menggunjing dan adu domba, juga larangan yang berkaitan dengan jiwa dan hati seperti larangan bersikap sombong, berbangga diri, pamer, dengki, benci, dan terpautnya hati dengan dunia serta hawa nafsu.

 

Termasuk hal yang disepakati semua pribadi Muslim bahwa ketaatan-ketaatan lahiriah yang dikerjakan oleh seorang Muslim baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan tidak akan diterima oleh Allahu ta’ala selama ia tidak menjadikan titik tolak dan perhatiannya pada perkara-perkara ketaatan batin yang terkait dengan masalah hati dan jiwa.

 

Maka, jika tidak terpenuhi rasa ikhlas kepada Allah dalam hati seorang Muslim, ketaatan apa pun yang ia kerjakan tidak akan membuahkan hasil berupa kedekatan kepada Allah. Jika jiwa seseorang tidak terdidik dengan budi pekerti yang luhur yang sudah Allahu ta’ala perintahkan setiap kaum Muslimin untuk menjadikan budi pekerti tersebut sebagai “pakaian” bagi jiwanya, tidak akan bermanfaat baginya “pakaian” ketakwaan, kesalehan, dan penghambaan yang ia tunjukkan di hadapan manusia. Dan hati yang dikuasai oleh sifat kesombongan, benci, dan dengki tidak akan mampu menjadikan penghambaan yang murni kepada Allah sebagai dasar dari ketaatan dan ibadah lahiriah yang ia lakukan. Dan jika telah terputus jembatan penghambaan kepada Allahu ta’dla yang menghubungkan antara hati seorang Muslim dengan ketaatan lahiriah yang ia kerjakan, maka hati semacam ini tidak akan mampu mendekatkan pemiliknya kepada Allahu ta’ala, tidak lagi bisa menjadi pelindung yang menghalanginya dari dunia dan tipu daya setan serta hawa nafsu, dan hatinya bagaikan buah yang ada pada pohon yang kering yang tinggal menunggu layu dan rusak.

 

Pembagian hukum syariat menjadi dua seperti yang telah disebutkan termasuk hal penting yang diingatkan berkali-kali oleh al-Guran dengan cara yang bermacammacam. Allahu subhinahu wa ta’al& berfirman:

 

“Dan tinggalkanlah dosa yang tampak (lahir) dan yang tersembunyi (batin) Sesungguhnya orangorang yang selalu mengerjakan dosa, kelak diberi balasan setimpal dengan apa yang mereka selalu perbuat.” (OS. al-An’am (6: 120)

 

Allahu subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

 

“Katakanlah: “Kemarilah untuk aku bacakan apa yang diharamkan oleh Tuhan kalian?” sampai pada firman-Nya: “Dan jangan kalian mendekati perbuatan keji yang tampak (lahir) maupun yang tersembunyi (batin) darinya.” (OS. al-An’am (6): 151)

 

Peringatan serupa juga dapat kita temukan pada firman Allahu subhanahu wa ta’ala berikut:

 

“Maka barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun dalam beribadah kepada-Nya.” (OS. al-Kahfi (18): 110). Karena menjauhkan diri dari sifat syirik dalam ibadah merupakan inti dari seluruh hukum yang bersifat batin.

 

Perhatian syariat yang tertuju pada penyucian hati dan menghiasinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji juga merupakan hal yang secara gamblang disampaikan oleh al-Ouran dan Sunah Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam.

 

Allahu subhanahu wa ta’ala berfirman:

 

“Sungguh beruntung mereka yang menyucikannya dan merugi mereka yang mengotorinya.” (OS. asy-Syams (91): 9-10). Dan sudah maklum bahwa kata ganti “nya” dalam ayat ini merujuk kepada jiwa atau hati.

 

Nabi ‘alayhish-shalatu was-salam juga bersabda:

 

“Sungguh di dalam jasad ada segumpal daging, yang jika ia baik maka baik pula seluruh jasad tersebut, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad tersebut. Segumpal daging itu adalah hati.”

 

Di dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dan Ibnu Majah dan lain-lainnya radhiyallahu “anhum, beliau shallallahu “alaihi wa sallam juga bersabda:

 

“Sungguh Allah tidak melihat kepada bentuk dan tampilan fisik kalian, tapi Allah memandang kepada hati-hati kalian.” (HR. Muslim)!

 

Apabila hakikat yang begitu jelas ini -yang seharusnya diketahui semua kaum Musliminsudah tampak nyata bagimu, maka istilah untuk menyebut hal ini mungkin saja berbeda, dan itu merupakan perkara yang sepele. Ada yang menyebutnya dengan batin dan lahir, ada yang menyebutnya dengan ad-Diyanah (pertanggungjawaban di hadapan Allahu subbhanahu wa ta’ala atas semua perkara batiniah) dan Oadha (hukum atau keputusan yang lahiriah), dan kelompok lain menggunakan isulah hakikat dan syariat.

 

Semua istilah ini benar, selama digunakan untuk makna yang tepat. Karena orang yang melaksanakan salat dengan menyempurnakan syarat dan rukunnya secara lahir, sesuai dengan hukum syariat, sudah di angpap menunaikan hak Allah. Tetapi, jika itu semua tercemari oleh riya”, bangga diri, kekafiran, maka ia dianggap belum menunaikan hak Allah dari sisi batin, dari segi pertanggung jawaban kepada Allah, dan dalam pandangan hakikat. Oleh karena itu, pada perkara ini ada sisi lahir dan batin, pertanggung jawaban kepada Allahu ta’ala dan hukum, serta hakikat dan syariat.

 

Kedua hal ini dapat berpadu, seperti terpenuhinya syarat dan rukun lahir yang diatur oleh hukum duniawi yang dibarengi dengan terpenuhinya syarat dan kewajiban-kewajiban batin yang ditetapkan oleh Penguasa langit dan bumi. Amalan yang memadukan dua hal inilah yang diterima oleh Allahu ta’ala, dan amalan yang tidak memenuhi syarat salah satu dari keduanya adalah amalan yang tertolak di sisi Allah.

 

Dua hal ini juga bisa bertolak belakang, seperti halnya perbuatan yang hanya memenuhi sisi lahiriah saja atau sisi batin saja, dan amalan semacam ini adalah amalan yang batil dan tertolak secara hakikat, tidak memberi manfaat apa-apa pada pelakunya meskipun ia hiasi perbuatannya dengan keindahan dan kebaikan yang bersifat lahiriah. Ini sangat sesuai dengan firman Allahu subhanahu wa ta’ala berikut: .

 

“Maka Kami pasti datang menuju amal yang mereka kerjakan, lalu Kami pasti menjadikannya debu yang beterbangan.” (OS. Al-Furqan (251: 23)

 

Dari apa yang telah kami sebutkan engkau bisa mengetahui bahwa kedua hal ini, dengan bermacammacam istilahnya, saling berkaitkan erat: tidak akan baik yang lahir tanpa yang batin, begitu juga batin tanpa lahir, atau dengan istilah-istilah lainnya seperti hakikat dan syariat atau hukum dan pertanggung jawaban.

 

Imam al-Izz ibn Abdussalam rahimahullahu ta’ala berkata saat menjelaskan hal ini:

 

“Hakikat bukanlah sesuatu yang berada di luar lingkup syariat, bahkan syariat sendiri berisi ajakan untuk memperbaiki hati dengan pengetahuan, keadaan-keadaan yang baik, tekad, niat, dan lainlain yang telah kami sebutkan dari amalan-amalan hati. Maka pengetahuan mengenai hukum-hukum lahir adalah pengetahuan mengenai “kulit” syariat, dan pengetahuan mengenai hukum-hukum batin adalah pengetahuan mengenai isi syariat, dan tidak ada yang menolak sedikitpun kebenaran ini kecuali kafir atau seorang yang gemar berbuat dosa.”

 

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sisi batin atau hakikat adalah syariat tersendiri yang dicapai akal melalui ritual-ritual tertentu atau melalui kedekatan kepada Allahu za “ala, dan bahwa ia membatalkan syariat dan hukum-hukum lahiriah sebab keyakinannya bahwa sisi batiniah ini menggantikan posisi lahiriah, ini merupakan salah satu ajaran kaum munafik yang paling berbahaya dan dijadikan sarana untuk menghalalkan hal-hal yang diharamkan agama.

 

Pendapat semacam ini adalah pendapat orang-orang munafik yang menyusup ke dalam agama Islam dengan menampakkan kesalehan dengan tujuan merusaknya dari dalam dan mengaburkan hakikat agama Islam. Mereka terkadang tampil sebagai Sufi, pada kesempatan lain mereka mengenakan identitas sebagai kelompok Syi’ah, padahal sebenarnya mereka tidak termasuk bagian dari kedua kelompok ini, hanya saja mereka menempuh segala cara untuk memerangi Islam dan pemeluknya dengan cara yang paling licik.

 

Syaikh Musthafa al-“Arusi rahimahullah dalam kitabnya “Hasyiyah “ala ar-Risalah al-Qusyairiyah” menukil perkataan al-Imam al-Ghazali berikut:

 

“Jika seseorang merasa bahwa antara dirinya dengan Allah terjalin suatu hubungan yang menggugurkan kewajiban salat dan menghalalkan baginya meminum khamr dan menikmati harta penguasa, seperti sangkaan sebagian sufi yang pandir, maka tidak ada keraguan bahwa menghukum mati mereka adalah wajib bahkan lebih utama dari membunuh seratus orang kafir, karena bahaya yang mereka timbulkan jauh lebih besar.”

 

Imam al-Junaid radhiyallahu “anhu pernah ditanya mengenai kelompok ini, maka beliau pun menjawab:

 

“Para pencuri dan pezina dari kalangan ahli maksiat lebih baik keadaannya dari mereka.”

 

Imam al-Izz ibn Abdussalam rahimahullah juga pernah mengatakan sebagai berikut:

 

“Banyak orang yang hanya menyerupai orang-orang saleh padahal mereka tidak termasuk dalam golongan itu bahkan sifat-sifatnya tidak mendekati sedikitpun dari sifat orang-orang yang saleh. Mereka ini lebih berbahaya dari para perompak, karena mereka menghalangi orang-orang yang berjalan menuju kedekatan kepada Allah. Mereka menggunakan perkataan-perkataan yang keji yang ditujukan kepada Allah dan bersikap kurang ajar kepada para Nabi dan Rasul serta pengikut mereka dari kalangan ulama yang bertakwa. Mereka melarang pengikut mereka untuk mendengar ucapan para ulama sebab mereka tahu para ulama akan melarang siapa saja untuk berkumpul dan mengikuti ajaran mereka ini.”

 

Di saat banyak orang yang mendengar penafsiran yang keliru mengenai sisi lahiriah dan batiniah atau hakikat dan syariat tanpa pernah mengetahui makna sebenarnya dari kedua hal ini -yang tidak semestinya hilang dari benak semua mukminmereka tidak men. emukan jalan lain selain mengingkari hal ini secara keseluruhan. Mereka menafikan bahwa agama memiliki sisi lahir dan batin atau hakikat dan syariat atau hukum dan pertanggungjawaban batiniah dan hal ini menjadi permasalahan besar bagi mereka. Mereka menganggap buruk pembagian semacam ini dalam agama sebab mereka tidak menemukan penjelasan lain selain penafsiran yang keliru dan yang terus dipropagandakan orangorang munafik yang berlindung di balik citra yang mereka bangun dalam benak orang banyak bahwa ini adalah ajaran tasawuf atau keistimewaan orang yang dekat dengan Allahu ta’ala atau ini merupakan bentuk kesempurnaan yang telah dicapai seorang hamba. Tidak menjadi masalah jika mereka mengingkari dan menolak istilah-istilah yang pada hakikatnya hanya sekadar kata-kata yang digunakan oleh para ulama sebagai penunjuk kepada makna hakiki -yang tidak mengandung keraguan sedikitpun bagi mereka yang beriman kepada al-Ouran dan Sunah Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallamyang kemudian disalahgunakan oleh sekelompok kecil orang-orang yang menyimpang sebagai istilah untuk penyimpangan dan kesesatan mereka. Namun yang terpenting yang harus diketahui semua Muslim adalah bahwa hukum-hukum syariat yang bersifat lahiriah yang terwujud dalam ucapan lisan atau perbuatan tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan mendatangkan ganjaran atau penghapusan dosa selama tidak dibarengi dengan satu kondisi hati yang harus dimiliki setiap orang. Mereka juga harus menyadari bahwa bersihnya jiwa dan hati merupakan pondasi bagi baiknya perbuatan agar tampak hasil dari perbuatan tersebut. Jika mereka sudah meyakini hal ini, yang merupakan inti dan ruh ajaran Islam, maka tidak masalah jika mereka ingin menggunakan istilah apa saja untuk menyebut hal ini.

 

Intinya, hakikat agama Islam, yang dengannya kita menyembah Allahu subhanahu wa ta’ala, tersusun dari keserasian dorongan yang timbul dari dalam hati dan perbuatan-perbuatan lahiriah yang berjalan beriringan di atas jalan yang telah digariskan oleh al-Guran dan Sunah Baginda Nabi “alayhish-shalatu was-salam. Jika salah satunya tidak ada dalam perjalanan ini, maka tidak akan terwujud hakikat keislaman tersebut.

 

Jika bukan karena pentingnya hubungan kedua unsur ini, tidak akan ada bedanya antara orang yang beriman dengan orang munafik. Jika bukan karena pentingnya kedua unsur ini, jihad dan pengorbanan tidak akan ada artinya dalam Islam. Jika bukan karena pentingnya kedua unsur ini, maka kalian akan menyaksikan kaum Muslimin hari ini berada pada puncak kejayaan, persatuan, dan kekuatan, karena cukup bagi mereka masjid-masjid yang makmur, mimbar-mimbar yang ramai, lisan-lisan para dai, dan banyaknya pengetahuan mereka sebagai tangga menuju itu semua. Akan tetapi, semua yang kami sebutkan itu tidak dibarengi dengan hati-hati mereka sehingga tidak terbentuk keserasian antara sisi lahir dan batin, antara tampilan lahiriah yang bisa kita palsukan, dengan hakikat yang selalu diawasi oleh Sang Maha Mengetahui semua yang gaib, yang tidak bisa ditipu dengan apapun juga.

 

 

 

 

TAHUKAH ENGKAU apa itu bahaya terbesar? Atau pernahkah engkau memikirkan hal ini sekali saja?

 

Bahaya yang dimaksud bukanlah musuh yang tanpa gentar menyerang dan menjajah di rumahrumahmu, bukan pula kelompok yang menghancurkan kekuatan dan memporak-porandakan barisan, bukan juga senjata-senjata pemusnah massal yang canggih, juga bukan bencana kelaparan yang mengerikan yang mengancam separuh belahan dunia karena berkurangnya tingkat produksi pangan dibandingkan peningkatan jumlah penduduk.

 

Akan tetapi, bahaya terbesar adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari ini semua!

 

Ia adalah sesuatu yang memungkinkan musuh untuk menyusup ke dalam rumah-rumah. Ia adalah sesuatu yang menyiapkan senjata-senjata peledak dan bahan bakar untuk menyalakan sumbunya. Ia adalah sesuatu yang menjadi sebab timbulnya permusuhan dan perpecahan serta menghancurkan persatuan dan jiwa saling tolong menolong dalam tubuh umat. Ia benar-benar merupakan musuh terbesar kita, yaitu nafsu yang ada dalam diri kita!

 

Jiwa manusia yang tidak beriringan dengan amal saleh dalam perjalanannya menapaki jalur yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam yang benar adalah bahaya terbesar yang mengintai kaum Muslimin saat ini tanpa ada keraguan sedikitpun. Hal itu karena esensi Islam tidak lain adalah pendidikan dan penggemblengan hawa nafsu agar menanggalkan segala bentuk keegoisan, kesombongan, dan keterikatan dengan segala bentuk perhiasan dunia dan masuk ke dalam mihrab penghambaan kepada Allahu subhanahu wa ta’ala dengan sukarela meski pada awalnya ia lakukan dengan terpaksa.

 

Ketika itu, perilaku seseorang menjadi salah satu buah dan hasil dari penghambaan jiwa kepada Allahu ta’ala, dan keduanya menjadi bukti kesungguhan satu sama lain. Sebab saat itu, telah menetap di dalam jiwa kecintaan dan persaudaraan yang sesungguhnya, sebagai ganti dari ego dan kebencian, dan nafsu, disaat itu, telah tunduk dan menghamba kepada hukum-hukum Allah sebagai ganti dari kesombongan semu atas ciptaan Allahu subhanahu wa ta’ala yang lain.

 

Saat itu ia juga meyakini bahwa kehidupan ini pada hakikatnya hanyalah sekadar jembatan menuju kehidupan yang kekal kelak, sehingga ia tidak diperbudak oleh dunia dan hanya mengambil bagian kebaikan dan kenikmatannya yang dapat menjadi bekal dalam meniti perjalanan berislam menuju keridaan Allahu ta’dld. Maka, terbentuklah jalinan kuat yang hakiki antara jiwa yang berserah diri pada Allah dengan perilaku yang Islami yang menjadikan kaum Muslimin bersatu dan saling tolong-menolong, juga menutup celah permusuhan, kebencian, kedengkian di antara mereka. Tidak mungkin pula timbul perpecahan dalam tubuh umat Islam yang disebabkan persaingan dalam urusan dunia atau pangkat dan kedudukan. Pada akhirnya, mereka akan memiliki kekuatan yang tidak terkalahkan dan persatuan yang tidak tergoyahkan, dan pertolongan Allahu ta’ala akan senantiasa menyertai mereka serta mereka akan hidup dengan penuh kemuliaan, kehormatan, dan rasa aman di negara-negara mereka.

 

Ketika jiwa manusia tidak mendapat pendidikan semacam ini, seperti keadaan jiwa-jiwa kita saat ini, maka akan ada dua sisi berbahaya pada diri seorang Muslim. Sebab disaat itu kepribadiannya akan terbagi antara amal-amal Islami yang tampak secara lahiriah dari ucapan dan perbuatan tertentu, dan jiwa yang menggebu-gebu namun tersesat dan tenggelam dalam angan-angan keduniaan dan keinginan-keinginan pribadi.

 

Sifat-sifat keislaman yang utama dan mulia serta perbuatan baik yang ditampakkan pemilik jiwa yang semacam ini pada akhirnya hanya akan dijadikan ajang untuk mencari keuntungan dan menjauhkan dirinya dari segala bentuk kerugian, sehingga secara lahiriah ia adalah seorang yang menunaikan hak-hak Allahu subhanahu wa ta’ala pejuang di jalan-Nya, namun pada hakikatnya ia menjadikan angan-angan dan kepentingan pribadi sebagai tujuan. Bagi pribadi semacam ini, agama hanyalah tameng yang ia jadikan sebagai pelindung dari segala penolakan atas perilaku buruk yang ia kerjakan. Atau agama hanyalah kain yang menutupi hakikat buruk jiwanya dari pandangan manusia. Padahal tidak mungkin masyarakat Islam akan bangkit dan mengenakan pakaian keislaman tanpa ada usaha dan kesabaran dalam menanggung sukarnya mendidik jiwa atau melawan keinginan hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan pribadi.

 

Pemilik jiwa dan mental semacam ini akan dengan mudahnya mencari-cari alasan dan celah yang tampaknya dibenarkan syariat serta mengaburkan . kenyataan untuk menutupi kebusukan dirinya yang sebenarnya. Namun pada kenyataannya, agama sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai sarana penipuan semacam ini. Telah datang kepada Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam orang-orang yang meminta izin untuk tidak ikut berperang karena khawatir akan keselamatan agamanya jika ia pergi bersama Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam melawan bangsa Romawi dan untuk menjaga para wanita kaum al-Ashfar di sekelilingnya. Maka Allahu subhanahu wa ta’ala pun menurunkan firman-Nya sebagai berikut:

 

“Dan di antara mereka ada yang berkata: “Izinkanlah aku (tidak pergi berperang) dan janganlah engkau menjerumuskan aku ke dalam fitnah.’ Ketahuilah, bahwa mereka telah jatuh ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam benar-benar meliputi orang-orang kafir.” (OS. at-Taubah (91: 49)

 

Ada orang yang lain datang kepada Baginda Nabi ‘alayhish-shalatu was-salam sambil berpurapura menunjukkan kesusahan dan berkata: “Sungguh rumah-rumah kami di Madinah akan menjadi sasaran empuk bagi musuh dan tidak ada yang menjaganya kecuali anak-anak kecil dan para wanita.” Mereka bertujuan untuk tidak ikut berjihad pada perang Khandag. Maka Allahu ta’ala pun berfirman mengenai mereka:

 

“Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi dengan berkata: “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada yang menjaganya), padahal ia sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak menghendaki kecuali untuk melarikan diri.” (OS. al-Ahzab (331: 13)

 

Bagaimana mungkin pertolongan Allahu subhanahu wa ta’ala dapat terwujud jika lisan-lisan dan perkataan mereka berada pada lembah dakwaan-dakwaan kosong dan jiwa-jiwa mereka tersesat pada lembah lain yang berisi persaingan memperebutkan dunia dan berlomba-lomba memenuhi keinginan hawa nafsunya?! Sungguh unsur-unsur kejayaan agama Islam tidak mungkin membuahkan hasil dalam kehidupan orang-orang semacam ini. Mereka sendiri tidak saling bersepakat dan bersatu, sebab lisan mereka mengungkapkan satu hal tapi pada saat yang sama jiwa mereka tersesat menuju perkara yang lain. Maka tidak ada satu tujuan hakiki yang menyatukan mereka, tidak juga ada satu kepentingan bersama antara mereka.

 

Orang-orang semacam ini bahkan tidak saling mempercayai satu sama lain, karena pengetahuan mereka mengenai keadaan jiwa mereka menjadi dasar kecurigaan mereka kepada orang lain. Kecintaan dan kerukunan yang tampak antara mereka adalah kebohongan, sebab kecenderungan mereka kepada dunia adalah sumber kedengkian yang menyebar di antara mereka. Sehingga, tidaklah salah seorang dari mereka mendapat kebaikan atau kedudukan atau harta kecuali pasti timbul dengki yang merobek-robek jiwa orang yang lain dan kebencian yang membakar hati mereka. Bahkan bisa jadi salah seorang dari mereka tidur di malam hari dalam keadaan penuh kegelisahan mengenai hal ini lebih dari pada kegelisahannya terhadap keadaan kaum Muslimin atau kegelisahan memikirkan keadaannya kelak saat berdiri di hadapan Allahu subbanahu wa ta’ala di akhirat.

 

Mereka juga tidak saling tolong-menolong kecuali dalam skala kecil yang menjadikan mereka bisa mencapai kepentingan masing-masing. Namun mereka rekayasa hal ini sampai mendapat nama baik dan kedudukan terpandang. Maka pada hakikatnya mereka saling membantu dengan harapan mencapai tujuan duniawi yang tidak mungkin terwujud kecuali melalui jalan ini. Seandainya jalan yang mereka lalui mengarah pada tujuan lain di balik itu, engkau akan lihat mereka berpisah dan mengambil jalan yang berbeda yang saling berjauhan. Engkau juga akan dapati masing-masing dari mereka memiliki pembenaran untuk itu. Hilang sudah persatuan, sikap saling menolong dan persaudaraan mereka tanpa bekas sama sekali.

 

Atas dasar itulah mereka tidak pernah mendapat pertolongan. Sebab Yang Maha Memiliki pertolongan dan kemenangan senantiasa mengawasi mereka dan mengetahui hakikat tujuan mereka. Tidak ada sedikitpun keadaan mereka yang tersembunyi dari-Nya. Maka, kapan saja engkau melihat perkumpulan yang banyak atau engkau mendengar kata-kata yang menakutkan dan memantik semangat atau engkau mendapati perencanaan yang bagus dan sangat rinci, maka sedikitpun itu semua tidak akan membuat gentar musuh dan tidak akan membawa persatuan, karena semua itu adalah buih, dan tidak ada orang yang takut kepada buih.

 

Semoga Allahu ta’ala melimpahkan selawatnya kepada Baginda Nabi “alayhish-shalatu was-salam yang telah memperingatkan Muslimin tentang bahaya besar ini saat beliau shallallahu “alaihi wa sallam bersabda:

 

“Hampir datang masanya umat-umat lain berkumpul untuk “memangsa” kalian seperti orangorang yang berkumpul di hadapan sebuah hidangan.” Para sahabat bertanya: “Apa karena jumlah kami ketika itu sedikit, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih yang terbawa banjir. Allah angkat wibawa kalian dari hati para musuh dan akan tertanam dalam hati kalian al-Wahn.” Para sahabat bertanya: “Apa itu al-Wahn?” Beliau menjawab: “Kecintaan pada dunia dan benci pada kematian.”

 

Sumber marabahaya terbesar ini berpusat pada satu hal, yaitu terikatnya hati kepada dunia dan memposisikannya pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dari kedudukannya yang hakiki sebagaimana yang Allahu ta’ala tempatkan. Dunia, tidak seperti yang disangka banyak orang, bukan hanya sebatas dirham, dinar, tanah, dan bangunan, namun dunia adalah semua perwujudan syahwat yang digemari hawa nafsu, seperti kedudukan, pangkat, kepemimpinan, kesombongan, dan condong kepada macam-macam nikmat. Semua hal itu adalah dunia yang dengannya Allahu ta’ala menguji manusia agar mereka memerangi nafsunya sehingga mampu menundukkannya dan terbebas dari belenggu perbudakan hawa nafsu serta menjadikannya sebagai kendaraan menuju keridaan Allahu ta’ala.

 

Sebab ketika hati telah terikat pada keinginankeinginan duniawi dan tidak mampu membebaskan diri dari belenggunya dan tidak pula orang tersebut memerangi nafsunya, melawan hal-hal ini, akan bermunculanlah setelah itu bermacam-macam penyakit hati yang termasuk ancaman terbesar pada kehidupan kaum Muslimin. Hati pada akhirnya dijangkiti sifat sombong, dengki, suka pamer, kagum dengan diri sendiri. Semua jenis kebencian dan iri hati serta sifar pelit juga menjeratnya yang menyebabkan ia menjadi zuhud dalam perkara-perkara akhirat dan ganjaran kebaikan, menjadi menipis rasa takutnya kepada hukuman dan azab Allahu subhinahu wa ta’ala, jihad berubah menjadi persaingan memperebutkan dunia setelah sebelumnya merupakan upaya untuk memerdekakan diri dari dunia dan mengalahkan semua tipuannya.

 

Perhatikan sabda Nabi “alayhish-shalatu was-salam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut:

 

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun, aku khawatir dumia dibentangkan kepada kalian sebagaimana ia dibentangkan bagi orang-orang sebelum kalian, maka kalian saling bersaing sebagaimana mereka bersaing hingga dunia menghancurkan kalian sebagaimana ia menghancurkan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Bagaimanakah terjadinya kehancuran tersebut? Sebagaimana yang telah aku katakan kepadamu bahwa ham yang terlalu terkait dengan dunia akan ditimpa berbagai jenis penyakit berbahaya. Penyakit-penyakit mengakibatkan goyahnya persatuan Islam, hilangnya kepercayaan antara sesama Muslimin, tiap kelompok dan pribadi menjadi saling bermusuhan, hilang pula sebab-sebab alasan mereka saling tolongmenolong, dan mereka saling merampas hak atas dasar permusuhan dan kebencian, hingga para musuh Islamlah yang memetik buah dari ini semua berupa kekuasaan, kekuatan, dan kemenangan. Jika salah seorang Muslim mati kehabisan nafas atau tertimpa reruntuhan rumahnya maka sungguh itu lebih mulia bagi mereka dari kehancuran yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dalam hadis tadi yang sudah dibuktikan dengan fakta-fakta yang ada di lapangan.

 

 

DAMPAK TERBESAR yang dirimbulkan oleh bahaya ini, seperti yang telah aku jelaskan, adalah robohnya pondasi masyarakat yang Islami, hilangnya eksistensi kaum Muslimin, tercerai berainya urusan mereka dan gerakan-gerakan keislaman bergeser menjadi sekadar jargon dan gerakan-gerakan dangkal yang mandul, tidak membuahkan hasil sama sekali.

 

Termasuk dampak dari marabahaya ini adalah bahwa gerakan-gerakan keislaman berubah menjadi sebatas rancangan dan wacana serta aktivitas yang hanya menyentuh ranah “kulit” tanpa pernah masuk sampai ke intinya. Apabila Islam terus berkurang kadarnya dalam hati hingga akhirnya tidak tersisa sama sekali, ia akan digantikan oleh dunia, hawa nafsu, dan kepentingan-kepentingannya. Pemilik hati yang semacam ini, dan mereka adalah kaum Muslimin, mereka berharap agar Islam kembali berjaya supaya mereka dapat menyombongkan diri dan mendapat kekuasaan. Ini adalah harapan bersifat duniawi yang sesuai dengan apa yang menguasai hati mereka dan terpaut dengannya hawa nafsu mereka. Mereka bergegas membela dan berupaya memenangkan mazhab mereka namun usaha mereka ini hanya sebatas gerakan yang dibangun di atas teori, ide-ide, dan seperangkat aturan yang dangkal.

 

Mereka lupa bahwa antara nilai-nilai dasar Islam dengan nilai-nilai dasar aliran pemikiran yang lain terdapat jurang perbedaan yang begitu besar. Islam dibangun di atas pondasi jiwa yang penuh dengan rasa penghambaan kepada Allahu ta’ala, dan itu adalah titik tolak pertama bagi semua amal, usaha, dan gerakan apapun yang berjalan di atas ajaran Islam. Hal ini menuntut setiap pribadi Muslim untuk membenahi hati dan jiwanya sebelum segala yang lain. Sedangkan aliran-aliran pemikiran yang lain tidak pernah menuntut pengikutnya untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan jiwa mereka dan tidak mengajak mereka untuk menjauhi apa yang dinamakan al-Ouran sebagai “dosa batin yang tersembunyi.” Karena itu, semua bentuk ajakan para pengikut aliran semacam ini bermula dari sebuah aksi dan akan berujung pada aksi-aksi lain yang tidak berujung, sebab hawa nafsu terus menyertai mereka akibat tidak pernah dididik untuk meninggalkan syahwat dan kepentingannya.

 

Akan tetapi, berpalingnya kebanyakan orang Islam dari perbedaan yang mendasar ini dan ketidak: pedulian mereka terhadap perbaikan hati dan jiwa menjadikan mereka meniru tata cara dan metode kelompok lain yang menjadikan mereka terkungkung dalam pusaran perdebatan, seminar, saling melempar ide-ide, menciptakan metode-metode, namun tanpa pernah membawa dampak apa-apa. Kebanyakan dari mereka juga mungkin saja menganggap remeh perkara ibadah, zikir, menghadiri salat berjamaah, dan bentukbentuk ketaatan lainnya yang bertujuan menghidupkan dan menyadarkan hati akan hakikat keislaman ini dan membersihkannya dari penyakit-penyakit yang sedang kita bicarakan. Mereka menganggap ini semua adalah kebiasaan orang-orang awam dan tidak layak bagi seorang aktivis yang memperjuangkan agama Islam.

 

Ini sungguh sebuah anggapan yang mengherankan sekaligus menyedihkan. Seperti yang aku jelaskan, ini semua disebabkan oleh hilangnya pemahaman mengenai perbedaan mendasar antara Islam dan berbagai aliran pemikiran lainnya. Dan hilangnya pemahaman ini menjadikan mereka lalai dari memerangi hawa nafsu dan membiarkannya mencari apa ia inginkan dan cita-citakan.

 

Penjelasanku ini sama sekali tidak bermakna bahwa semua usaha dan gerakan keislaman tidak perlu didasari dengan perencanaan matang atau aksi apapun. Yang aku maksudkan adalah bahwa semua kesuksesan usaha yang berjalan di atas landasan Islam tergantung pada satu poin penting yang harus selalu ada, yaitu memperbaiki hati, meluruskannya, dan mencabut tujuan-tujuan duniawi darinya.

 

Dampak lain dari bahaya besar ini adalah timbulhnya pandangan negatif terhadap mereka yang memfokuskan diri pada pembersihan hati dengan menempuh berbagai cara yang dibenarkan oleh syariat. Kebanyakan orang menganggap bahwa mereka yang fokus dengan pembersihan hati semacam ini sebenarnya tengah menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak produktif dan tidak bermanfaat. Bahkan, mungkin ada dari mereka yang mengatakan bahwa itu semua adalah bid’ah dan kesesatan yang tidak pernah diajarkan oleh agama Islam. Namun faktanya, orang-orang yang sibuk memperbaiki hati dan jiwa mereka adalah orang-orang yang mengetahui hak-hak Allahu ta’ala dan berusaha menunaikannya, dan apa yang mereka lakukan ini tidak lain adalah apa yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam. Bahkan, itu adalah intisari ajaran Islam. Tidak ada kebaikan pada keislaman seseorang jika keislamannya itu tidak mampu menjadikan hawa nafsunya tunduk dan terdidik, dan tidak ada kebaikan pada keislaman sescorang selama ia tidak memperbaiki hatinya dan mengeluarkan kepentingan-kepentingan duniawi darinya.

 

Benar, kita harus mengingkari mereka yang hanya membatasi dirinya pada ritus-ritus semacam ini sampai melalaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar yang juga sangat penting dan keharusan memperbaiki kebobrokan-kebobrokan yang lain. Orang semacam ini justru meninggalkan porsi yang sangat besar dari hal-hal yang Allah wajibkan kepadanya dengan dalih ingin memperbaiki hati dan keadaannya. Kewajiban dia adalah menjadi pribadi Muslim yang sejati, yang menunaikan hak-hak Allahu ta’ala seluruhnya, dimulai dari memerangi hawa nafsu kemudian memperbaiki keluarga dan kerabatnya hingga kemudian saling bahumembahu dengan saudara Muslimnya yang lain untuk membangun suatu masyarakat yang Islami.

 

Dampak negatif lain dari bahaya ini adalah sikap fanatisme yang mengakar kuat dalam jiwa kepada kelompok di mana ia bernaung, baik kelompok itu dalam skala keluarga, kabilah, guru, atau komunitas, dengan catatan sikap fanatisme ini menjadikan pertolongan dan sikap persaudaraannya terbatas pada kelompok tersebut saja. Sikap ini terus mengisi relung jiwanya dan semakin kokoh hingga hilang firman Allahu subhinahu wa ta’ala dari ingatannya yang mengatakan: “Sesungguhnya orang mukmin adalah bersaudara (OS. al-Hujurat (49): 10),” dan digantikan dengan makna persaudaraan yang sempit yang ia tafsirkan sendiri. Sikap ini akan menghasilkan efek berbagai buruk tanpa disadari oleh orang tersebut. Efek buruk yang paling jelas adalah apa yang sudah sering engkau saksikan bagaimana mereka beralih dari menghargai buah pikiran dan ide menjadi pengkultusan pada individu dan kelompok. Ia jadikan kondisi orang yang ia kultuskan itu sebagai tolak ukur kebenaran yang ia yakini dan bukannya menjadikan kebenaran sebagai timbangan untuk menilai dan memposisikan seseorang.

 

Sebaliknya, mereka memandang sebelah mata kelompok yang lain, tidak melihat dan memikirkan hal-hal penting yang ada pada kelompok di luar mereka sebab mereka meyakini bahwa kebenaran yang sejati – dalam pikiran merekatidak akan muncul selain dari kelompoknya. Sehingga jika ada hal yang bertentangan dengan mereka yang muncul dari kelompok lain, bagi mereka itu adalah bukti kesalahan pandangan kelompok tersebut. Namun jika ada hal yang sesuai dengan pandangan kelompok mereka, maka mereka mengklaam bahwa pandangan tersebut bersumber dari mereka dan diambil dari buah pemikiran mereka. Melalui cara inilah mereka banyak menyesatkan manusia dan karena sebab inilah mereka berani mengganti dan mengubah-ubah hukum dan syariat Allahu ta’ala.

 

Semoga Allah merahmati Badi’uz-Zaman Sa’id an-Nursi, seorang dai agung, saat ia merasa bahwa di antara murid-muridnya ada yang mengkultuskannya dengan berlebih-lebihan. Mereka mengagungkan kebenaran sebab itu muncul dari an-Nursi, dan menjadikannya sebagai contoh paling sempurna. Syaikh an-Nursi akhirnya menulis risalah panjang kepada murid-muridnya dan berkata di dalamnya:

 

“Jangan sampai kalian mencampuradukkan kebenaran yang aku serukan dengan pribadiku yang fana dan penuh dosa ini. Akan tetapi, segeralah kalian kaitkan kebenaran itu kepada sumber utamanya, yaitu al-Guran dan Sunnah Nabi “alayhish-shalatu was-salam. Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak lebih dari seorang “makelar” yang menawarkan “barang dagangan” Allah, dan aku bukanlah seorang manusia yang terbebas dari dosa. Karena itu mungkin saja aku berbuat dosa atau tampak dariku penyimpangan yang dapat mengaburkan kebenaran yang kalian kaitkan denganku itu sebab dosa dan penyimpanganku. Hingga aku pada akhirnya menjadi contoh buruk bagi manusia dalam melakukan dosa atau aku menjauhkan manusia dari kebenaran sebab ia tercemar oleh penyimpangan dan dosa-dosaku.”

 

Sumber sifat fanatisme yang berbahaya ini kembali kepada watak egois dalam diri manusia yang juga termasuk penyakit hati yang paling berbahaya yang harus diobati dan dilawan dengan tekun dan terus menerus oleh seorang Muslim agar terbebas darinya. Hanya saja, ego bisa muncul secara individual pada mereka yang mendapat penghormatan berlebihan dan pengkultusan dibandingkan berbaur dalam kelompok atau komunitas tertentu. Ego juga bisa muncul secara komunal pada mereka yang sibuk dan fokus pada komunitas dan kelompok mereka lebih dari perhatian mereka kepada pribadi mereka sendiri.

 

Bahkan ego juga bisa muncul dalam proses dakwah kepada kebenaran, seperti seseorang yang marah karena kemungkaran yang dilakukan di hadapannya yang dimaksudkan untuk menghina pribadinya sebagai tokoh agama. Engkau akan banyak mendapati seseorang yang secara lahiriah marah ketika melihat kehormatan agama direndahkan, namun jika engkau telisik jauh ke dalam hatinya akan engkau lihat bahwa kemarahannya tersulut karena kehormatan dan kedudukan pribadinya yang ikut terlecehkan. Buktinya adalah jika saja bukan karena kedudukannya sebagai pemuka agama yang masyhur dan ia adalah seorang yang tidak dikenal oleh para pelaku kemungkaran itu, ia akan berlalu begitu saja tanpa menoleh sedikitpun dengan tanpa beban.

 

Sama halnya dengan mereka yang menisbatkan diri pada guru atau kelompok tertentu dan terus dalam sikap fanatiknya yang menjadi asupan bagi keegoisannya sendiri. Ia terus dalam keadaan ini sampai pada derajat ia menganggap bahwa orang Islam yang sejati hanyalah mereka yang mengikuti guru atau kelompoknya. Sedangkan orang Islam yang lain adalah kaum Muslimin kelas dua, dan siapa saja yang tidak berada dalam kelompoknya sama saja musuh baginya. Ego yang sifatnya kolektif seperti ini bisa timbul sebab para pengikut kelompok semacam ini selalu dijejali doktrin-doktrin dan slogan-slogan yang ditampilkan seakan-akan itu adalah bagian dari agama.

 

Adapun obat bagi fanatisme yang tumbuh dari kesombongan seperti yang saya jelaskan bukan dengan cara meninggalkan guru yang mengajarinya atau mursyid yang membimbingnya atau kelompok tempat ia bekerjasama. Tidak, bukan ini obatnya. Obatnya ada pada kesadaran bahwa guru tempat ia belajar atau mursyid yang membimbingnya dalam perjalanan spiritual atau kelompoknya adalah sekadar sarana dan bukan tujuan akhir, dan kesadaran bahwa penting atau tidaknya suatu sarana tergantung pada seberapa penting tujuan akhirnya yang merupakan asas dari semua yang ia lakukan. Jika seorang Muslim menyadari hal ini, ia akan tahu bahwa kesetiaannya seharusnya terarah pada tujuan yang tidak lain adalah Islam itu sendiri. Adapun ikatannya dengan seorang guru atau komunitas adalah sebuah sarana yang semestinya hanya sebatas bagaimana sarana tersebut dapat mewujudkan tujuannya dengan sebaik-baiknya dan membuatnya mampu menjadi seorang yang berserah diri secara total kepada agama Allahu ta’ala dan berpegang teguh pada hukum-hukum-Nya.

 

Jika seorang Muslim memelihara kesetiaan hakiki seperti ini dengan menambahkan ikatan hati yang kuat dan rasa cinta, maka ego akan meleleh dalam kobaran api cinta dan keterikatan hati tersebut dan tidak akan tampak lagi keegoisan individu ataupun kelompok. Bahkan itu semua tergantikan dengan leburnya semua keinginan di dalam hakikat keislaman di mana saja hakikat keislaman itu berada. Setelah itu, dengan siapapun ia terhubung, maka hubungannya tersebut ia naungi di bawah naungan kesetiaan yang hakiki pada Islam dan tunduk pada pengawasan agama.

 

Pada akhirnya kecintaan kepada gurunya tidak menyibukkannya dari hukum-hukum Allahu subhinahu wa ta’ala. Tidak pula keikutsertaannya dalam suatu kelompok menghalanginya dari mencintai dan membela Muslim yang lain. Hal ini dapat terwujud sebab hubungannya dengan guru atau kelompoknya merupakan cabang dari ikatan yang sangat kuat antara dirinya dengan al-Guran dan Sunah Baginda Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dan aturanaturan serta hukum yang ada pada keduanya.

 

Intinya, semua tragedi dan musibah yang menimpa kaum Muslimin hari ini bersumber dari bahaya yang amat besar ini. Jika tidak ada bahaya semacam ini, akan muncul sifat jujur dan ikhlas yang akan menumbuhkan kepercayaan antara sesama mereka dan menjadikan mereka saling membantu, bersatu padu dalam waktu singkat dan cara yang sangat mudah. Jika mereka berhasil mewujudkan ini, akan muncul elemen-elemen kekuatan dan timbul rasa takut dan wibawa pada hati musuh dan kembali kemuliaan Is: lam yang hilang serta kedudukan dan eksistensi kaum Muslimin kembali tampak di seantero dunia.

 

Namun, saat hati mereka berpaling dan bergantung kepada tipuan-tipuan dunia berupa harta atau pangkat atau kedudukan atau berbagai macam bentuk syahwat, tumbuh di antara mereka persaingan untuk memperebutkan itu semua. Hal itu menimbulkan rasa benci dan dengki serta menjadikan mereka saling mewaspadai satu sama lain dengan pandangan kedengkian atau penghinaan serta sirna rasa saling percaya di antara mereka dan digantikan oleh prasangka-prasangka dalam hati mereka. Para musuh yang mengetahui penyakit dan musibah yang mematikan ini langsung memanfaatkannya dan memusatkan semua usaha mereka pada penyakit ini dan menjadikannya sarana paling cepat untuk menghancurkan kaum Muslimin.

 

Adapun topeng yang kita lihat berupa perhatian yang besar kepada Islam, ajakan kepada Islam, rancangan dan ide-ide untuk mewujudkan hal tersebut, itu semua tidak memiliki efek dan dampak apa-apa sama sekali. Sayangnya, tipu muslihat ini berhasil mengelabui sekelompok pemuda dan mengobarkan semangat keislaman dalam jiwa pemikiran mereka yang masih belia. Mereka belum mampu berpikir dengan tepat, sehingga setiap kali mereka melihat bentuk perhatian kepada agama Islam atau perkataan indah tentang itu, mereka langsung terbakar semangatnya untuk berusaha, berjuang, dan berjihad dengan segenap kemampuan mereka dan dengan mengerahkan apa saja yang memungkinkan bagi mereka.

 

Jika ada sebab bagi rahmat Allahu subhanahu wa ta’ala yang turun kepada kita, maka itu adalah berkat mereka. Jika ada penghalang antara kita dengan murka Allah, maka itu adalah sebab ketulusan mereka. Para pemuda yang menghabiskan masa muda mereka yang menyenangkan dengan berjalan di atas jalan Allah yang dikelilingi dengan kesenangan-kesenangan hawa nafsu yang menipu, mereka beriman kepada janji-janji dan ancaman Allah, dan cita-cita mereka adalah menggapai rida-Nya. Maka, wahai Allah Yang Memberi petunjuk pada kebaikan dan Maha Membolak-balikkan hati, sucikan hati kami dari semua sifat buruk yang menjauhkan kami dari menyaksikan-Mu, dari cinta-Mu dan dari berpegang teguh pada agama-Mu. Satukan kami dalam upaya menuju rida-Mu dan angkat derajat mereka yang Engkau jadikan sebagai penyeru kepada jalan-Mu hingga mereka sampai pada derajat mulia ini dengan penuh ikhlas, kesungguhan, dan melebur di dalam agama-Mu, serta jadikan mereka sesuai dengan persangkaan para pemuda yang memiliki hati yang suci itu. Kabulkanlah wahai Yang Maha Mendengar doa.

 

 

 

 

SEBELUM AKU memulai penjelasanku, ada hal yang harus aku tanyakan: tahukah engkau di mana letak masalahnya? Yakinkah engkau bahwa penyakit ini benar-benar ada? Pertanyaan ini menjadi penting sebab kesadaran terhadap masalah merupakan sebagian dari solusi, dan keyakinan terhadap keberadaan suatu penyakit merupakan sebagian dari proses penyembuhan itu sendiri. Jika engkau belum meyakini apa yang telah aku jelaskan dan engkau masih berada dalam keraguan mengenai sumber bencana yang tengah kita hadapi dalam berbagai bentuknya hingga pada bahaya terbesar yang baru saja aku jabarkan secara singkat, maka penjelasan mengenai obat penyakit tersebut sama saja tidak akan membawa manfaat sebab tidak ada dorongan bagimu untuk menggunakannya.

 

Namun jika penjelasanku sudah tertanam dalam benakmu dan engkau sudah meyakini bahwa itulah sumber semua keadaan yang kita alami saat ini, maka engkau akan mendengarkan apa yang hendak aku jelaskan ini dengan penuh perhatian dan selama engkau berislam dengan sungguh-sungguh maka engkau akan berusaha sekuat tenaga menggunakan obat ini dan mengajak serta mengingatkan orang lain tentang, nya. Seiring berjalannya waktu, akan mudah bagimu untuk menjadi semakin yakin bahwa inilah solusi yang tepat dan satu-satunya, dan bahwa seluruh kaum Mus. limin -dalam semua tingkatannyaamat sangat me. merlukannya dan harus mengambil manfaat darinya.

 

Aku tujukan apa yang aku jelaskan ini kepada diriku sendiri pertama-tama, kemudian kepada siapa saja dari kalangan kaum Muslimin yang ingin mendengarkan, sambil aku memohon kepada Allahu subhanahu wa ta’dla agar Dia menjadikan kita orang-orang yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran di jalan kebenaran itu.

 

Seorang murid yang tengah duduk menuliskan jawaban dengan sangat serius di dalam ruang ujian meminta segelas air kepada pengawas ujian. Setelah selesai minum, ia memperhatikan gelas yang ia gunakan untuk minum, ia mengagumi betapa bening dan mulus serta betapa hebat perusahaan yang memproduksinya. Ia lupa pada ujian, soal-soal yang harus ia jawab, dan waktu yang berlalu begitu cepat dan ia masih terus merenungkan gelas yang ia gunakan tadi. Menurutmu, apa solusi paling tepat untuk menyadarkan murid ini dari lamunannya dan mengembalikan fokusnya kepada ujian yang sedang ia hadapi?

 

Solusinya sangat mudah, yaitu dengan mendatangkan seseorang yang memperingatkannya bahwa ujian akan segera berakhir dan waktu yang tersisa tinggal sedikit serta para pengawas tengah bersiap mengumpulkan kertas ujian dari para murid. Permisalan ini dengan masalah yang tengah kita bahas sangatlah mirip, tidak ada bedanya. Hanya saja pada masalah yang kita bahas, ruang ujiannya jauh lebih besar dan lebih luas, serta ujian yang kita hadapi jauh lebih sulit dan berbahaya. Namun solusinya tetap sama, yaitu harus ada yang mengingatkan orang tersebut mengenai dirinya, memperingatkannya mengenai waktu —bahkan detik-detikyang terus berjalan, dan kepada tujuan akhirnya kelak yang sangat menegangkan. Dan sebaik-baik pengingat akan hal ini adalah sesuatu yang berada di dalam dirinya. Solusinya adalah dengan sama-sama kita menyadari identitas kita sesungguhnya dalam kehidupan ini, tugas yang harus kita jalankan, dan kita terus-menerus mengingat hal ini setiap kali kita lalai dan lupa.

 

Lalu, apa identitas kita yang sesungguhnya? Kita semua adalah hamba Allahu ta’ala, di bawah kekuasaan-Nya, di dalam genggaman-Nya seluruh apa yang kita lakukan, kepada-Nya kita kembali, dan hidup mati kita adalah milik-Nya. Identitas inilah yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Sungguh salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah.” (OS. al-An’am (6J: 162). Identitas ini mencakup seluruh mukmin dan kafir, semua sama.

 

Adapun tugas yang karenanya kita diciptakan adalah menjalankan penghambaan tadi dengan sebaikbaiknya dengan menjadikannya sebagai dasar dan patokan semua perbuatan dan jalan hidup kita. Hal ini dapat terwujud jika kita mampu melampaui kebanyakan watak hawa nafsu dan menjadikannya tunduk pada perintah Allah. Kemudian, hanya memohon kepada Allah dalam semua hajat, tidak menggantungkan hati kepada selain-Nya, dan tidak mengharap kebaikan atau berlindung dari keburukan kecuali kepada-Nya. Inilah perbedaan jalan hidup antara mukmin dan kafir.

 

Jika kita sudah memahami hal ini, maka kita akan menyadari tujuan agung yang harus kita arahkan hidup kita kepadanya, kita juga akan menyadari seberapa penting tujuan ini. Saat itu, engkau akan tahu bahwa tujuan-tujuan selain itu yang bersifat duniawi terbagi menjadi dua: sarana menuju tujuan agung tersebut dan penghalang antara kita dengan tujuan agung itu. Apa yang akan engkau lakukan jika engkau ingin menyeberangi padang luas menuju tujuan yang ingin kau capai? Engkau pasti akan menggunakan sarana yang menyampaikan atau mempercepatmu menuju tujuan, dan jika engkau melihat rintangan dan penghalang, engkau segera menyingkir atau melompatinya. Inilah yang kami serukan agar dijalankan dalam kehidupan menuju tujuan agung penciptaan kita.

 

Adapun sarana yang akan menyampaikanmu kepada tujuan adalah rasa syukur kepada Allahu ta’ala dan sarana yang engkau gunakan untuk melewati berbagai rintangan dan gangguan adalah kesabaran yang dengannya kita diperintahkan. Tidak ada yang tidak mengetahui hakikat ini kecuali dua jenis manusia: orang yang mengingkari Allahu ta’ala dan karena itu tidak beriman kepada penghambaan, tugas dan tujuan yang baru saja kita bahas. Orang jenis ini bukan yang sedang kita bicarakan dalam pembahasan ini. Jenis yang kedua adalah orang yang luput darinya hakikat ini disebabkan ia tenggelam dalam tipuan dunia dan hal-hal yang melalaikannya darinya. Orang jenis ini dapat diobati dengan diberi peringatan dan nasihat.

 

Allahu subhanahu wa ta’ala Mahatahu bagaimana dampak yang ditimbulkan tipuan-tipuan dan perhiasan dunia yang melalaikan pada diri seorang mukmin yang menjadikannya semakin jauh dari identitas aslinya. Maka, Dia jadikan sebuah kalimat yang harus diulangulang oleh seorang mukmin dalam salat setiap harinya di hadapan-Nya, yaitu kalimat “IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IN, Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memobon pertolongan.” Kalimat ini, jika diucapkan oleh Muslim yang sejati, akan menjadi senjata baginya melawan dunia dan hal-hal melalaikan yang ada di dalamnya, sebab ia selalu teringat bahwa ia adalah hamba yang hina milik Sang Penguasa Yang Maha Agung, maka tugasnya adalah menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya dan menanamkan dalam dirinya bahwa tidak ada manfaat dan keburukan kecuali dari-Nya, maka hanya Dia-lah tempat memohon pertolongan.

 

Jika seorang mukmin terus mengingat hakikat ini dan terus berada dalam keadaan awas dan waspada atau paling tidak ia cepat kembali ingat akan hal ini saat ia mulai terlena dengan dunia, maka hatinya akan terbebas dari segala hal selainnya Tidak lagi terikat hatinya dengan harta, kedudukan, pujian, bangga diri, dan kesombongan. Hatinya juga akan terbebas dari sifat iri, benci, dan dengki, juga dari menggantungkan harapan kepada makhluk. Sebab ia telah mencecap manisnya penghambaan kepada Raja segala raja sehingga ia tidak butuh kecuali kepada-Nya, dan tidak mengetuk kecuali pintu-Nya. Jika diberi nikmat maka ia bersyukur dan kembali menggunakan nikmat itu untuk mencari rida-Nya, dan jika permohonannya belum terkabul ia bersabar dan yakin bahwa itu yang terbaik bagi dirinya di dunia dan akhirat.

 

Ini adalah makna sabda Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah ibn Abbas radhiyallahu “anhu wa ardhahu sebagai berikut:

 

“Jika engkau hendak meminta, maka mintalah kepada Allah. Jika engkau butuh pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, jika seluruh umat manusia bersatu padu untuk memberikan manfaat kepadamu, tidak akan sampai kepadamu dari itu semua kecuali yang Allah tuliskan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu, tidak akan menimpamu kecuali apa yang Allah tuliskan untukmu.”

 

Hadis ini sekaligus menjelaskan bahwa menghilangkan keterikatan hati dengan dunia bukan berarti mencabut tabiatnya sebagai manusia yang butuh kepada dunia dan kesenangan yang ada di dalamnya, sebab ini bertentangan dengan fitrah manusia yang sudah Allahu ta’ala ciptakan. Namun, maksud dari menghilangkan keterikatan hati dengan dunia adalah menjadikan hajat dan keperluannya hanya kepada Allahu ta’ala dengan memohon kepada-Nya apa yang ia inginkan, mengadukan kepada-Nya apa yang ia derita sebagai perwujudan firman Allahu subhanahu wa ta’ala berikut:

 

“Maka mintalah rezeki di sisi Allah.” (OS. al-“Ankabut (29:17)

 

Juga firman-Nya:

 

“Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (OS. an-Nisa’ (4): 32)

 

Dan firman-Nya dalam ayat lain:

 

“Maka bersegeralah menuju Allah, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang nyata untuk kalian terhadap-Nya.” (OS. adz-Dzariyat (511: 50)

 

Bahkan, seorang hamba jika tertambat hatinya dengan Allahu subhanahu wa ta’ala akan semakin bertambah penghambaannya seiring bertambahnya rasa butuh dan keinginannya yang bermacam-macam. Hal itu karena unsur penghambaan pada manusia ada pada sifat butuh dan lemah, karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Tanpa rasa butuh kepada Penciptanya dan rasa tidak berdaya untuk mencapai apa yang ia inginkan, maka keteguhannya dalam penyembahan kepada Allahu ta’ala tidak akan ada maknanya. Karena itu, tidak ada pertentangan sama sekali antara rida dengan ketentuan Allahu ta’ala dan berkeluh kesah kepadanya, bahkan keduanya adalah dua unsur utama yang menyempurnakan penghambaan seseorang kepada Allahu ta’ala. Kedua hal ini terkumpul dalam doa Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam sekembalinya beliau dari kota Thaif, seraya berkata:

 

“Wahai Allah, aku adukan kepada-Mu lemahnya kekuatanku, sedikitnya usahaku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai Yang Paling berkasih sayang, Engkau Tuhan orang-orang yang lemah, Engkau adalah Tuhanku, kepada siapa hendak Kau serahkan aku? Kepada orang tidak dikenal yang menyerangku atau kepada kaumku yang menguasai semua urusanku? Selama Engkau tidak murka, maka aku tidak peduli kemana saja Kau arahkan aku. Akan tetapi perlindungan dan kebaikan-Mu sangat cukup bagiku, aku berlindung demi cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan menyempurnakan semua perkara dunia dan akhirat dari turunnya amarah dan murka-Mu kepadaku, milikMu segala kebaikan sampai Engkau rida dan tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan-Mu.”

 

Maka obat dan solusinya adalah dengan kita terus mengingat identitas asli kita, mengetahui tugas yang Allahu subhanahu wa ta’ala berikan kepada kita, dan kita jadikan itu sebagai tujuan satu-satunya sambil menjadikan dunia dan apa yang ada di dalamnya sebagai sarana mewujudkan tujuan itu.

 

Itulah hakikat penghambaan kepada Allah, itulah derajat paling tinggi yang dicapai orang-orang yang bersungguh-sungguh dan kedudukan yang diinginkan orang-orang yang ikhlas. Adapun orang-orang awam, mereka rancu antara hakikat penghambaan dengan bentuk-bentuk ibadah hingga mereka merasa cukup dengan bentuk lahiriah ibadah itu tanpa menengok sedikitpun kepada pentingnya hakikat penghambaan itu sendiri. Karena sebab itu pula, kita dapati mereka yang hanya mendirikan ibadah-ibadah lahiriah merupakan mayoritas kaum Muslimin, namun mereka yang benar-benar melaksakanan penghambaan batiniah yang hakiki sangat sedikit jumlahnya.

 

 

 

 

ITULAH OBATNYA, tetapi, bagaimana cara menggunakannya? Bagaimana cara menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang sejati tanpa diperbudak harta, kedudukan, kepentingan pribadi, atau penyakit-penyakit hati seperti ego, kesombongan, dan lain sebagainya?

 

Tidak bisa disangkal bahwa jalan menuju itu semua bukanlah jalan yang mudah, Allahu ta’ala berfirman:

 

“Dan berjihadlah (curahkan segala kemampuan dan totalitas diri kamu) pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu.” (OS. al-Hajj (22): 78)

 

“Dan orang-orang yang berjihad pada Kami, maka pasti Kami benar-benar menunjuki mereka jalan-jalan Kami.” (OS. al-“Ankabut (29): 29)

 

Itulah yang membedakan antara mukmin yang sejati dengan seorang munafik yang menampakkan kesalehan dan iman. Itulah yang akan menghalangi seorang Muslim dari kelompok yang disabdakan Baginda Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam:

 

“Celaka budak dirham, celaka budak dinar, celaka budak pakaian, celaka dan hina. Jika ia tertusuk duri, maka duri itu tidak bisa tercabut.? Jika diberi ia merasa puas, namun jika ditolak ia murka.”

 

Itulah penjaga yang melindungi keimanan seseorang dari serigala-serigala lapar yang sudah diperingatkan oleh Nabi ‘alayhish-shalatu was-salam dalam sabdanya:

 

“Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan di antara kambing-kambing lebih berbahaya bagi agama seseorang dari ketamakannya akan harta dan kedudukan.”

 

Oleh sebab pentingnya perjuangan dan jihad ini, dan sebab ia adalah satu-satunya jalan yang menyampaikan kepada keridaan Allahu subhanahu wa ta’ala dan sarana menjalankan penghambaan yang hakiki kepada Allahu ta’ala, para salaf yang saleh radhiyallabu “anbum mengerahkan seluruh kemampuan mereka dalam menempuh jalan ini dan berjalan dijalan jihad melawan hawa nafsu dengan berbagai cara yang beraneka ragam. Sampai-sampai perhatian mereka kepada hal ini menjadikan sebagian mereka berlebih-lebihan dan memaksakan diri hingga mengeluarkan mereka dari tuntunan syariat dan petunjuk Nabi ‘alayhish-shalatu was-salam. Apa yang akan kami sampaikan setelah ini adalah apa yang disepakati oleh generasi salaf dengan mengacu pada al-Guran dan Sunah, dan kita mengingatkan diri kita masing-masing bahwa ini adalah intisari ajaran Islam, tangga satu-satunya dalam mewujudkan metode keislaman yang diwajibkan oleh Allahu subhinahu wa ta’ala kepada hamba-hambaNya, dan bahwa ini adalah kunci yang harus kita miliki untuk memudahkan semua yang sulit, menyatukan yang terserak, dan mewujudkan kemenangan.

 

Pertama-tama aku mengingatkan diriku sendiri mengenai hal ini dan saudara-saudaraku, sambil berharap kepada Allah agar memberikan kita semua taufik dan pertolongan, dan inilah pembahasan mengenai berbagai sarana yang telah kita singgung sebelum ini.

 

PERTAMA, perenungan mengenai dirinya dan tempat kembalinya kelak, pengawasan Allahu ta’ala kepadanya, dan menyadarkan akalnya mengenai hal ini tiap kali ia berada dalam kelalaian. Berpikir atau merenung adalah gerakan akal yang tanpanya maka akal menjadi tidak berguna. Aktivitas berpikir jugalah yang membebaskan akal dari jerat hawa nafsu yang mana tanpa proses berpikir tidak akan jelas bagi manusia perbedaan antara petunjuk akal dengan dorongan hawa nafsu. Oleh sebab itu, Allahu subhanahu wa ta’ala dalam banyak kesempatan menutup firmanNya yang menunjukkan kebesaran semesta dan perintah-perintah-Nya dengan ucapan: “LA“ALLAKUM TATAFAKKARUN (mudah-mudahan kamu sekalian berpikir)”, “INNA Fi DZALIKA LI-AYATIN LI-QAUMIN YATAKKARUN (pada itu semua terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir)”, “AFALA TATAFAKKARUN (tidakkah kalian berpikir2)”.

 

Sebab itu jugalah poin terpenting dalam kehidupan Baginda Nabi “alayhish-shalatu was-salam sebagai seorang mukmin, dai, dan pejuang adalah beliau shallallahu “alaihi wa sallam terus-menerus dalam keadaan berpikir. Dan bukan tanpa sebab Allahu ta’ala mengilhamkan kepada beliau shallallahu “alaihi wa sallam agar menjauhi keriuhan manusia, kehidupan mereka, kerusakan moral yang menimpa mereka dan menyendiri di gua Hira dalam waktu yang cukup lama untuk berpikir, merenung, dan mengamati. Dan semakin jauh jarak seseorang dari keramaian, gemerlap dunia, dan hawa nafsu maka hasil dari pemikirannya juga akan semakin jujur dan mendalam. Sebab kecenderungan jiwa manusia adalah menerima semua yang masuk ke dalamnya dari dorongan, ajakan-ajakan, dan perkataan melalui celah-celah yang terbuka lebar. Sebagian dari hal itu adalah sesuatu yang masuk akal dan logika yang lurus, sebagian lagi adalah hawa nafsu dan syahwat ada dalam diri manusia, sebagian lagi berupa pembelaan terhadap perasaan rendah diri atau dorongan kesombongan atau fanatisme, dan ada yang berupa rasa tidak suka kepada orang lain yang bersumber dari kebencian, dengki, dan persaingan memperebutkan dunia dan perhiasannya yang fana. Bagian terpenting bukanlah bagaimana seseorang mampu mendengarkan dengan baik semua suara ini, namun yang terpenting adalah bagaimana ia mampu membedakan suara akal dari yang lainnya dan mendengarkannya dengan seksama.

 

Hal itu dapat dicapai oleh seseorang dengan memberikan porsi dari umurnya untuk masa-masa khalwat (menyendiri) yang teratur. Pada waktu tersebut ia berdialog dengan akalnya yang bebas mengenai tempat kembalinya nanti dan merenungkan hakikat dari semua kebisingan dan segala hal di sekelilingnya, dengan dibantu bacaan al-Ouran dan nasihat-nasihatnya yang mendalam, serta sabda Nabi Muhammad shallallabu “alaihi wa sallam dan keagungan ajarannya.

 

Dengan hal ini aku bukan mengajakmu untuk memisahkan diri dari masyarakat atau tinggal jauh di gua yang berada di gunung, ataupun tinggal di ujung lembah. Hal itu bukan fitrah manusia, dan juga bukan pula tugas dari seorang Muslim. Akan tetapi, aku mengajakmu untuk menyendiri bersama akalmu setiap kali engkau menghitung isi “rekening” amalmu. Dengan kata lain, aku mengajakmu untuk melakukan hal yang dilakukan seorang pedagang yang hidupnya dihabiskan di antara ramainya manusia dan kebisingan pasar. Hal tersebut tidak menghalanginya untuk menyendiri di sebuah ruangan dari waktu ke waktu. Ia bahkan meninggalkan istri, keluarga, dan teman-temannya dan tenggelam dalam catatan-catatan, kertas-kertas, ataupun nota-notanya. Kalau bukan karena perhatiannya yang besar terhadap saat-saat seperti ini dalam hidupnya, maka usaha yang ia bangun siang-malam tidak akan memberikan apa-apa selain penyesalan dan kerugian.

 

Aku mengajakmu untuk menempuh cara apapun yang dapat membebaskan pikiranmu dari hal-hal yang menyusup masuk ke dalamnya, sadar atau tidak sadar, berupa fanatisme, dorongan-dorongan kepentingan palsu yang terlarang, atau penyakit hati yang bermacam-macam, sampai engkau mendapatkan ketenangan bahwa engkau menempuh jalan yang sesuai dengan metode berpikir akal yang bebas. Sungguh, sarana ini terdapat dalam kehidupan Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pernah menggunakan waktunya untuk menyendiri dan menjauh dari manusia, dan beliau tidaklah melakukan hal tersebut kecuali sebagai pengajaran dan syariat untuk umatnya.

 

Jangan lupa bahwa hal paling penting yang dapat membantumu untuk berpikir dan berzikir secara kontinu adalah dengan memperbanyak duduk bersama orang-orang saleh dan condong kepada mereka. Serta termasuk hal yang paling utama yang dapat menjauhkanmu dari kedua hal itu adalah tenggelam dalam perkumpulan yang melalaikan, serta condong kepada orang-orang yang lalai, merasa senang dengan kelompok yang menyia-nyiakan umur yang berharga dengan sangat murah dengan tenggelam dalam kelalaian yang tidak ada manfaatnya, dan memakan daging bangkai yang begitu dihinakan oleh al-Guran dan telah diperingatkannya dengan sangat keras.

 

YANG KEDUA, membiasakan diri untuk selalu membaca rangkaian wirid secara berkesinambungan berupa bacaan al-Ouran, diikuti dengan tasbih, istighfar, dan zikir. Adapun pembacaan al-Ouran, aku tak mengira engkau butuh uraian hadis-hadis sahih tentang keutamaan membaca dan merenungkan maknanya. Tiada pula ada pertentangan dikalangan kaum Muslimin bahwa mendekat kepada Allahu subhanahu wa ta’ala dengan membaca al-Ouran termasuk bentuk pendekatan diri kepada-Nya yang paling utama.

 

Berapa banyak mereka yang keras hatinya, tidak ada yang dapat melembutkannya selain bacaan alOuran. Berapa banyak orang-orang lalai yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, tak ada yang dapat menyadarkannya kecuali dengan merenungi alOuran. Berapa banyak mata yang tidak dapat merasakan rasanya menangis karena takut kepada Allahu ta’ala kecuali dengan memandang al-Ouran.

 

Para sahabat sejak dahulu selalu memiliki wirid tertentu dalam bentuk membaca al-Ouran tiap pagi dan malam hari. Jika pada suatu hari mereka ada satu kesibukan yang mendesak sehingga tidak dapat membacanya, maka esoknya mereka akan membayarnya dan membacanya dengan perasaan sakit dan menyesal karena telah meninggalkan kebiasaannya seperti yang pernah terjadi kepada Sayyidina Umar ibn Khattab radhiyallahu “anhu.

 

Adapun zikir, tasbih, dan istighfar adalah obat yang telah diberikan oleh Allahu ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Dia juga memerintahkan hal tersebut berulang kali dalam al-Ouran. Sebagaimana dalam firman-Nya berikut:

 

“Bertasbihlah kamu sembari memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, bertasbih pulalah kamu saat malam dan siang hari supaya kamu merasa rida.” (OS. Thaha (20): 130) Dalam ayat yang lain:

 

“Dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi hari.” (OS. Ghafir: (401: 55) Allahu ta’ala juga berfirman:

 

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (OS. al-A’raf (7): 205)

 

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada waktu pagi dan petang, dan pada sebagian malam, sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada saat yang panjang di malam bari.” (OS. al-Insan: 25-26)

 

Dan para ulama rabimahumullahu ajma’in telah sepakat, berdasarkan hal ayat-ayat di atas, bahwa merupakan keharusan atas scorang Muslim melazimi tasbih, istighfar, dan membaca al-Guran, dan sebaikbaik waktu melakukannya adalah pagi dan sore hari.

 

Sebagaimana pula telah disebutkan dalam “Shahih Muslim” dari Umar ibn Khattab radhiyallahu ‘anbu bahwa Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam bersabda:

 

“Barang siapa yang tertidur hingga melewatkan bacaan al-Ouran rutinnya, lalu ia membacanya pada waktu antara salat subuh dan zubur, dituliskan untuknya seakan-akan ia membacanya pada malam harinya.” (HR. Muslim)

 

Oleh karenanya, jangan menggubris mereka yang mencoba memengaruhimu dengan mengatakan bahwa zikir itu adalah ibadah mutlak yang tidak terikat dengan waktu, dan menentukan waktu-waktu khusus bagi ibadah mutlak adalah perbuatan bid’ah yang diharamkan. Sungguh, mereka hanyalah orangorang yang ingin menjauhkanmu dari zikir dengan cara yang paling keji. Sebab, siapa yang membiarkan anggapan keliru ini dalam pikirannya, maka ia tak akan pernah melaksanakan ibadah yang agung ini dalam waktu-waktu hidupnya dengan dalih menjauhi bid’ah seperti yang mereka sangka.

 

Barangkali engkau melihatnya pada waktu-waktu mulia ini pada pagi dan sore, ia masih mendengkur dalam tidur lelapnya, atau mengerjakan hal yang siasia atau bergunjing yang haram, tanpa memperhatikan akibat buruk dari apa yang ia kerjakan ini berupa dosa dan kesesatan yang telah diperingatkan oleh Allahu tadla dengan sangat gamblang di dalam al-Ouran. Dan bisa jadi, alasan ia mengerjakan ini semua adalah karena ia tidak ingin menyibukkan waktunya dengan bid’ah pembacaan zikir pada waktu-waktu khusus!

 

Kemudian ketahuilah, bahwa dampak dari membaca al-Ouran dan zikir pada Allah dalam mengobati berbagai macam penyakit hati sangat besar. Hal ini disebabkan pengamalan yang berkesinambungan akan hal-hal ini membentuk di dalam hati kesadaran akan pengawasan Allahu ta’ala terhadap segala yang ia kerjakan dan niatkan. Maka mereka hampir-hampir tidak memiliki keinginan melakukan perbuatan yang dilarang kecuali kesadaran tersebut mendorong mereka untuk memperbaiki amal dan mengoreksi niat mereka.

 

Inilah penjagaan Ilahi yang agung dalam kehidupan seorang Muslim, dan inilah ihsan yang disifatkan oleh Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, yaitu keadaan seorang hamba yang beribadah kepada Allahu ta’ala seakan-akan ia melihat-Nya, dan jika ia tak dapat melihat-Nya, maka ia benar-benar yakin bahwa Allahu subhanahu wa ta’ala melihat dirinya. Hal tersebut tidak akan dapat tercapai kecuali dengan melanggengkan pembacaan al-Guran, memperbanyak zikir kepadanya, serta menyibukkan hati dengan pengawasan dan pandangan-Nya. Itulah obat yang paling ampuh untuk penyucian jiwa serta membersihkan penyakit-penyakit parah yang telah mengendap seperti kesombongan, iri, dengki, cinta dunia, ketergantungan pada hal-hal yang mendatangkan nama baik dan pujian, kekuasaan, dan jabatan-jabatan duniawi yang fana.

 

Tidak diragukan lagi, bahwa yang kami maksud dengan zikir bukanlah hanya gerakan lidah, bukan pula gerakan tasbih di tangan, dan bukan pula melompat-lompat mengikuti suara dan dendang lagu seorang munsyid. Akan tetapi, yang kami maksud adalah sesuai dengan apa yang diinginkan Allahu ta’ala dalam kitab-Nya saat memerintahkan hal tersebut kepada Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam, dan sesuai dengan apa yang dipahami oleh mereka yang ahli dalam bahasa Arab saat seseorang berkata: “Aku telah mengingat Fulan sepanjang hari ini”. Sesungguhnya hal tersebut adalah zikir hati, gerakan pikiran, serta bangunnya nurani. Jika gerakan lisan itu memiliki faedah, maka ia adalah sebagai pengingat bagi hati dan mengembalikan kesadaran nurani, serta sebagai penghalang dari percakapan tak bermanfaat yang ia lakukan saat mulai jenuh berzikir kepada Allahu ta’ala.

 

Adapun jika muncul sekat pembatas antara lisan dan hati, sehingga lisan bergerak dengan zikir, doa, dan tasbih, sedangkan hatinya tenggelam dalam dunia, angan-angannya, serta keinginan-keinginan duniawi yang terlarang, maka orang yang keadaannya semacam ini tidak dapat dikatakan ahli zikir atau ahli ibadah. Ia hanya tampil di antara manusia dengan penampilan seorang yang suka berzikir dan ia tak mendapat manfaat sedikitpun kecuali pandangan manusia yang menganggapnya seperti itu.

 

YANG KETIGA, memperbanyak doa dan permohonan serta merendahkan diri di hadapan Allahu subhanahu wa ta’ala. Obat tersebut termasuk ibadah yang sangat penting, bahkan ia adalah inti ibadah. Ia adalah bentuk penghambaan yang termasuk paling tinggi derajat kedekatannya kepada Allahu subhanahu wa ta’ala. Allahu ta’ala telah menekankan perintah-Nya atas hamba-hamba-Nya untuk berdoa dalam banyak kesempatan di dalam al-Guran, serta menjadikannya sebagai ciri utama hamba-hamba-Nya yang ikhlas.

 

Allahu subhinahu wa ta’ala berfirman:

 

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan rasa takut, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (OS. al-A’raf (7): 55)

 

Dalam ayat yang lain:

 

“Maka berdoalah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (OS. Ghafir (40): 14)

 

Allahu ta’ala juga berfirman:

 

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan dengan penuh harap.” (OS. al-A’raf (7): 56)

 

Allahu ta’ala juga menyifati orang yang ikhlas dari kalangan hamba-Nya dengan firman-Nya:

 

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Mereka adalah orang-orang yang tunduk patuh kepada Kami.” (OS. al-Anbiya’ (21): 90)

 

Sesungguhnya manusia akan merasakan pentingnya berdoa serta menundukkan diri kepada Allahu subbanahu wa ta’ala disaat ia merasa memiliki kebutuhan yang sangat mendesak kepada-Nya, dan ia yakin tidak ada penolong selain-Nya, juga tak ada tempat berharap kecuali kepada-Nya. Maka saat itu ia akan berdoa dengan hati yang penuh kesungguhan dan kesadaran penuh sembari merendahkan diri. Hal ini seumpama seorang yang mendapat cobaan bertubi-tubi dan tidak ada seorang pun yang mampu membebaskannya dari semua kesulitan yang ia hadapi sampai ia putus asa dari mereka. Saat itu ia tahu bahwa hanya Allah saja yang mampu menghapus semua kesulitan hidupnya dan menghilangkan semua hal buruk yang ia hadapi jika Allahu ta’ala menghendaki. Maka, ia tengadahkan kedua tangannya ke langit dan menyeru dengan sepenuh jiwa dan raga: “Ya Rabb, wahai Tuhanku.”

 

Adapun mereka yang tidak merasakan kebutuhan semacam ini dan tidak menyadari keburukan dan bencana yang menimpa hidupnya, maka ia tidak akan menemukan alasan untuk berdoa sebab ia merasa tidak membutuhkan apa-apa karena tidak melihat adanya bahaya disekelilingnya sehingga merasa perlu meminta pertolongan melalui doa. Ia bagaikan orang yang hidup dalam kubangan hal-hal yang haram dan diombangambingkan gelombang hawa nafsu dan syahwat sedangkan ia tidak merasakan apa-apa kecuali kelezatannya yang instan dan sementara. Jika engkau mencoba menasihatinya agar ia berdoa kepada Allahu subhanahu wa ta’ala supaya Allah menyelamatkan dari keadaannya saat ini, ia akan meremehkanmu dan menganggapmu seraya berkata kepadamu: “Minta kepada Allahu subhinahu wa ta’ala hanya menghalangimu dari semua kenikmatan ini dan memberimu kesengsaraan.”

 

Barangkali ia mengangkat tangannya dan merapalkan doa-doa yang biasa dibaca oleh masyarakat atau ia percaya pada doa orang lain, namun ini semua pada hakikatnya tidak dinamakan doa. Ini hanya sekadar ikut-ikutan dan hal ini sangat jauh dari makna doa yang Allahu subbhanahu wa ta’ala kehendaki dalam firman-Nya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan penuh ketundukan dan rasa takut.” (OS. al-A’raf (71: 55)

 

Contoh paling jelas bagi hal ini adalah mereka yang hidup bergelimang dosa dan kesesatan, jika engkau datangi salah seorang dari mereka dan menasihatinya serta mengingatkannya kepada Allahu ta’ala, orang itu mengangkat tangannya seraya berkata: “Semoga Allah memberi kami petunjuk!” Ia mengucapkan doa ini di hadapanmu namun diwaktu yang sama di dalam hatinya terlintas hal yang sama sekali berbeda. Ia menyayangkan senda-gurau dan kemaksiatan yang terlewat darinya dan sangat berharap agar jalan menuju kemaksiatan itu terbuka lebih lebar lagi dan lebih mudah baginya. Ia hanya pura-pura menampakkan doa ini di depanmu agar bisa segera terbebas dari nasihat-nasihatmu yang memberatkan dirinya. Andai saja seorang pelaku maksiat merasakan hinanya maksiat dalam perilakunya, dan hatinya merasa terpukul dan prihatin dengan keadaan dirinya yang terus terjerat dosa-dosa, kemudian ia mengangkat tangannya memohon hidayah dan pertolongan dari Allah, itulah yang dinamakan doa yang sebenarnya yang diperintahkan oleh Allah.

 

Sudah barang umum diketahui bahwa yang dapat membantu seseorang untuk berjalan di atas keistikamahan adalah taufik dari Allahu ta’ala. Jika hilang taufik dari Allah dari diri seorang pemuda yang saleh dan istikamah, maka dalam sekejap saja akan masuk ke dalam dirinya berbagai bentuk penyimpangan. Taufik dari Allahu subhanahu wa ta’ala bisa didapatkan seorang hamba dengan dua hal: tekad yang kuat dan sungguh-sungguh ke arah kebaikan serta doa yang ikhlas kepada Allah dengan penuh kerendahan diri dan kehinaan kepada-Nya. Jika seorang Muslim sudah membulatkan tekadnya untuk istikamah menuju keridaan Allah kemudian ia memohon dengan sangat kepadaNya dengan hati yang bergetar dan merendahkan diri dengan sebenar-benarnya, maka Allahu subhanahu wa ta’ala pun akan mengarahkannya ke jalan hidayah dan menjaganya dari kejahatan nafsu dan setan.

 

Pernah suatu hari ada seorang pemuda yang menghentikanku di pelataran kampus. Ia mengeluhkan kepadaku dengan penuh kepedihan mengenai hawa nafsunya yang terus mengajaknya berbuat keburukan dan ia hampir-hampir tidak mampu lagi mengendalikan dan mengalahkannya. Ia juga mengatakan bahwa kehidupan universitas semakin membuat nafsunya membara. Pemuda ini mendesakku untuk menunjuki jalan dan memberinya petunjuk agar ia bisa terbebas dari siksaan hawa nafsunya tersebut. Maka aku katakan kepadanya: “Dapatkah kau lihat kepedihan dan harapan yang engkau tunjukkan kepadaku saat ini? Berkeluh kesahlah kepada Allahu ta’ala dengan kepedihan yang jauh lebih mendalam, bermunajatlah kepada-Nya sambil merendah di hadapan-Nya pada saat di mana tidak ada seorang pun antara dirimu dengan Allahu ta’ala. Mohonlah kepada-Nya agar menganugerahkan kepadamu taufik dan kekuatan. Ulangi hal ini lagi dan lagi, maka Allahu subhanahu wa ta’ala akan menjawab doadoamu dan membebaskanmu dari jeratan hawa nafsu yang menyiksamu saat ini dengan sangat mudah.”

 

Sampainya seseorang pada kondisi yang menjadikan ia terdesak untuk mengulurkan tangannya meminta pertolongan agar dibebaskan dari siksaan yang ia derita dan tidak ia dapati di sekitarnya selain Allahu subhanabu wa ta’ala inilah yang merupakan intisari penghambaan kepada-Nya yang tertanam sejak awal ia diciptakan. Berdirinya ia dengan penuh ketundukan dan kehinaan di depan pintu Allahu ta’ala sambil berdoa, memohon, dan mengharap kepada-Nya merupakan intisari penghambaan yang harus diusahakan sebagaimana Allahu subhanahu wa ta’ala perintahkan kita untuk terus mengasahnya.

 

Boleh jadi engkau melihat sekelompok manusia yang meremehkan perkara doa dengan dalih bahwa apa yang diminta seorang hamba tidak keluar dari dua kemungkinan: permintaan itu sudah tertulis dalam ketentuan Allah atau tidak. Jika permintaan itu sudah tertulis dalam ketentuan-Nya maka tidak ada gunanya ja meminta perlindungan atas apa yang Allahu ta’ala tetapkan akan menimpanya, dan jika tidak tertulis dalam ketentuan Allah maka sejak awal doa itu tidak dibutuhkan. Kami tidak ingin berpanjang lebar menjawab pernyataan ini dengan jawaban-jawaban para ulama dalam kitab-kitab akidah sebab pembahasan kita ini memiliki ciri dan watak yang berbeda.

 

Akan tetapi, kami katakan bahwa Allahu subhinahu wa ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa dan Dia menjanjikan pengabulan dalam firman-Nya: “Dan Tuhanmu berkata: “Berdoalah kalian kepada-Ku maka akan Aku kabulkan untuk kalian,”” (OS. Ghafir (40): 60) dan janji Allahu subhanahu wa ta’ala itu benar dan tidak mungkin diingkari. Inilah yang menjadi tugasmu. Jadi untuk apa engkau Ikut campur pada sesuatu yang bukan urusanmu dan memikirkan sesuatu yang kembali kepada pengaturan Allahu ta’ala dan besarnya kekuasaan-Nya? Ketentuan Allahu subhanahu wa ta’ala adalah bagian dari keputusan-keputusan-Nya, dan pengabulan doa adalah janji yang pasti Dia tepati. Sedangkan tugasmu adalah tunduk patuh pada keputusan-Nya, mengimani janji-Nya, serta pasrah kepada pengaturan-Nya.

 

Maksud dari ucapan ini adalah merupakan keharusan bagi seorang Muslim untuk mencari tahu penyakit apa yang diderita oleh hatinya yang tidak diketahui kecuali oleh dirinya sendiri, menyadari bahaya dan dampak buruk yang ditimbulkannya yang dapat menghalanginya dari mencapai keridaan Allahu ta’ala walaupun ia mengerjakan amal-amal saleh yang bersifat lahiriah. Jika ia sudah menyadari hal ini, maka mulailah ia mengobatinya —di samping dengan dua obat yang sudah kami sebutkandengan doa yang terusmenerus kepada Allahu subhdnahu wa ta’ala dengan merendahkan diri, kehinaan, dan hati yang penuh kepedihan. Ia juga hendaknya menyadari bahwa ia sama sekali tidak memiliki kuasa apapun untuk memberi manfaat atau menolak keburukan dari dirinya, tidak pula hidup, mati, dan kebangkitan, serta menyadari bahwa hatinya berada dalam genggaman Allahu subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pengasih sehingga Dialah yang mampu menyembuhkannya dari segala penyakit tersebut dan membebaskannya dari semua keburukan dan halangan yang ditimbulkannya.

 

Ia juga sepatutnya menjadikan tekad yang sungguhsungguh, niat yang bersih, dan kehinaan di hadapan ketuhanan dan kekuasaan Allahu subhanahu wa ta’ala sebagai sarana dan penolong baginya. Hendaknya ia juga memilih waktu-waktu yang mulia dan paling dekat kepada pengabulan doa, berusaha sekuat mungkin untuk mengambil keutamaan yang ada pada waktu sahur yang disaat itu kebisingan para pelaku maksiat mulai reda, nafsu mulai tenggelam dalam lezatnya tidur, dan saat itulah menjadi semakin tajam pandangan Allahu ta’ala kepada hamba-hamba-Nya.

 

Usahakan semaksimal mungkin untuk menghapus tidur dari kedua matamu pada waktu itu, bangun dan sempurnakanlah wudhu, berdirilah di hadapan Penguasa Langit dan Bumi dengan penuh kehinaan, kemudian bentangkan kedua tanganmu kepada-Nya dengan penuh keyakinan bahwa Dia melihat ketundukanmu kepada-Nya, mendengar tangisan dan munajatmu, mengamati beratnya nafasmu akibat rasa sakit yang engkau rasakan. Mintalah kepada-Nya agar menyucikan hatimu dari semua yang mengotorinya, membebaskannya dari semua keburukan yang ada di dalamnya, dan agar Dia menjauhkanmu dari dosa yang tampak dan tersembunyi. Merengeklah dalam doa-doamu, besarkan harapanmu, tangisi diri dan hari-harimu yang berlalu dalam keadaan lalai dari Allahu subbanahu wa ta’ala dan lalai dari mengawasi hatimu. Jika engkau lakukan ini secara terus-menerus, Allahu subhanahu wa ta’ala akan mengabulkan doamu, memperbaiki keadaanmu, menyucikan sanubarimu, dan memberikanmu rasa nikmatnya beribadah dan lezatnya berdoa dengan penuh keikhlasan.

 

Akan tetapi, engkau harus tetap menjaga keadaan semacam ini, sebab tidaklah seseorang itu dinamakan lari dan mencari perlindungan kepada Allahu subhanahu wa ta’ala dari penyakit-penyakit hati kecuali dengan terus menjaga kondisi ini. Ia adalah tangga menuju Allahu subhanahu wa ta’ala yang selama engkau hidup maka engkau harus terus meniti tangga ini. Kalau tidak, dikuatirkan pijakanmu akan terpeleset dalam sekejap saja dan engkau kembali ke keadaanmu semula.

 

KEEMPAT, dan ini merupakan obat yang silbi, menghindari memakan sesuatu yang haram. Karena badan yang tumbuh dari harta yang haram biasanya akan tumbuh bersamanya nafsu yang terus mengajak kepada penyimpangan dan pelanggaran dari hukum-hukum Allahu subhanahu wa ta’ala. Orang ini, walaupun secara lahiriah ia tampak menjaga hukum-hukum-Nya, namun terkumpul di dalam batinnya penyakit-penyakit yang amat sangat berbahaya. Harta yang haram bermula dari memakan harta orang lain tanpa rida darinya, kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk yang berbeda-beda sampai akhirnya ia terjerumus dalam perkara syubhat yang lebih mendekati kepada keharaman. Siapa yang mampu melepaskan diri dari hal yang syubhat, ia mampu untuk melepaskan diri dari perkara yang haram jika ia menghendaki. Dan siapa yang memiliki alasan untuk mendekati perkara syubhat, ia tidak lagi memerlukan alasan saat menerjang hal-hal yang haram.

 

Memakan harta yang haram memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi kehidupan seorang Muslim. Dampak terkecil adalah hati yang menjadi keras dengan sangat aneh yang tidak tergerak dengan nasihat-nasihat, peringatan, tidak bermanfaat baginya ajakan kepada kebaikan dan ancaman-ancaman atas perbuatan buruk, sebab adanya jurang pemisah antara akal dengan hati. Akal memahami hal itu, namun tidak memberi dampak apa-apa kepada hati. Akal menerima, namun hati tetap mengeras. Dan mustahil bagi akal untuk menjadi satu-satunya pemimpin yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam kehidupannya sebab dampak terbesar adalah pada hati yang merupakan pusat segala keinginan dan perasaan.

 

Akibat dari meremehkan pentingnya solusi dan obat ini adalah seorang Muslim hanya menjadikan keislamannya sekadar sebagai jargon yang menghiasi penampilan lahiriahnya saja, sedangkan batinnya berjalan ke arah lain dengan dorongan dari syahwat, ajakan hawa nafsu dan tabiatnya yang suka membangkang. Jika seorang Muslim terus meremehkan hal ini dan meraup harta sebanyak yang ia mampu dari mana saja tanpa memedulikan sumbernya, semua obat dan solusi yang kami jelaskan tidak akan memberi faedah sedikit pun baginya. Bacaan al-Ouran tidak akan menyadarkannya dari kelalaian, zikir dan wirid tidak akan memperbaiki keadaannya sedikit pun, dan doanya tidak akan didengar atau dikabulkan.

 

Imam Muslim dan Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu “anhu bahwa Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam bersabda:

 

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik pula.” Dan Allah memerintahkan kepada orangorang Muslim apa yang Dia perintahkan kepada para rasul dalam firman-Nya: “Wahai para rasul, makanlah dari apa yang baik-baik dan kerjakanlah amal saleh, sungguh Aku Maha Mengetahui semua yang kalian kerjakan.’ (OS. al-Mu’minun (23): 23). Dia berfirman: “Wabai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami karuniakan kepada kalian.’”” (OS. al-Bagarah (2): 172). Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam kemudian menyebutkan mengenai seorang laki-laki yang dekil dan kumal yang mengangkat tangannya ke langit sambil berseru: “Ya Rabb, wahai Tuhanku,” namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari harta yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan?!” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)

 

Sungguh banyak jumlah kaum Muslimin hari ini jika engkau hitung dengan ukuran salat, ibadahibadah lahiriah, tasbih yang selalu di dalam genggaman, dan lisan yang dengan pandai mengulang-ulang nasihat dan ungkapan-ungkapan keagamaan. Tapi, betapa sedikit jumlah mereka jika engkau hitung dengan ukuran penjagaan diri dari harta yang haram, kepatuhan kepada hukum-hukum Allahu subhanahu wa Ta’ala terkait permasalahan harta, dan perhatian mereka kepada keridaan Allahu subhanahu wa ta’ala pada apa yang masuk ke dalam kantong mereka. Berapa banyak kita melihat orang-orang yang dianggap Muslim yang terbaik dan utama, yang mahir menyusun kata-kata yang indah dalam rangka memberi petunjuk dan mengajak kepada Islam, saat terbuka bagi salah scorang dari mcrcka kesempatan untuk meraup kcuntungan yang besar dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan dan hukum Islam, mereka langsung menerobos hal itu tanpa rasa takut sedikit pun. Jika ada saudara Muslimnya yang mengingatkan dia mengenai hal ini, ia menakwilkan perbuatannya dengan takwilan yang tidak benar, bahkan ia membuat aturan hukum baru tanpa dasar dan dalil sama sekali.

 

Empat obat dan solusi ini adalah cara yang harus ditempuh untuk memperbaiki keadaan hati dan menyucikannya dari penyakit-penyakit yang samar yang oleh al-Ouran diistilahkan dengan “Bathin al-Itsm” (Dosa Batin yang Tersembunyi). Tanpa menggunakan obat ini dan tanpa perhatian yang besar terhadap dosa yang tersembunyi, keadaan umat Islam tidak akan berubah menjadi lebih baik, mereka tidak akan bersatu dalam kebenaran, dan mereka tidak akan terbebas dari berbagai rintangan yang mereka hadapi dan ributkan saat ini.

 

 

 

 

LALU, ISTILAH APA yang kita gunakan untuk penggunaan obat ini? Apakah tasawuf? Atau suluk? Atau tarbiah? Bisa jadi penggunaan ketiga istilah ini benar, dan bisa jadi juga kita menemukan istilah dan namanama lain, dan itu semua tidak masalah. Mayoritas kaum Muslimin yang sangat memperhatikan hal ini menggunakan istilah tasawuf, sebagian yang lain —seperti Imam Ibnu Taimiyah rabimahullahmenamakannya dengan suluk, dan itu semua hanya sekadar istilah yang sah-sah saja jika terdapat perbedaan. Namun, jika masalahnya adalah mana istilah yang paling utama, maka tidak diragukan lagi bahwa nama terbaik dan paling erat kaitannya dengan makna yang dituju dari penggunaan istilah ini adalah Islam. Sebab Islamlah, dengan dua sumber utamanya: al-Ouran dan Sunah, yang menyadarkan kita tentang bahaya penyakitpenyakit tersembunyi yang berada jauh di dalam hawa nafsu kita. Islam-lah yang menunjukkan kita kepada obat-obat ini dan mengajarkan kita cara menggunakannya. Perilaku dan jalan hidup Rasulullah spballallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mengikuti beliau shallallahu “alaihi wa sallam sudah cukup bagi kita sebagai contoh pengaplikasian hal ini. Bukankah Ini sesuatu yang memang menjadi intisari Islam?!

 

Hal lain yang juga penting adalah bahwa kata “Islam” merupakan satu-satunya kalimat yang memiliki ikatan yang sangat erat dengan kandungan al-Guran dan Sunah Nabi “alayhish-shalatu was-salam. Bahkan, Islam adalah nama yang menunjukkan langsung kepada kandungan keduanya. Maka, penggunaan istilah Islam merupakan perwujudan dari pengawasan yang harus terpenuhi untuk mempergunakan obat-obat ini, sekaligus sebagai peringatan agar tidak ada hal-hal di luar Islam yang menyusup masuk ke dalam kandungan agama ini.

 

Sebaliknya, penggunaan nama dan istilah-istilah lain selain Islam justru menjadikan obat dan solusi ini menjadi jauh dari ruang lingkup keislaman meskipun hanya dalam bentuk dan susunannya. Bahkan, dimungkinkan akan masuk ke dalamnya hal-hal yang bukan merupakan bagian dari Islam dengan memanfaatkan nama dan istilah-istilah ini. Dan telah kita saksikan bagaimana bid’ah dan kemungkaran begitu mudah masuk ke dalam elemen inti dari agama Islam setelah nama yang sebenarnya dan nama yang paling tepat untuk ajaran Islam ini diganti dengan slogan dan nama yang lain.

 

Hal yang ketiga adalah bahwa ada di antara manusia yang beranggapan bahwa istilah tasawuf menunjukkan kepada satu dari sekian mazhab dalam Islam dan para pelaku tasawuf tidak lain adalah satu dari sekian banyak kelompok yang ada dalam tubuh umat Islam. Banyak dari para orientalis yang dengan cepat memanfaatkan salah paham ini dan fokus mempelajari tasawuf, menjelaskan falsafahnya, dan menjadikan citra tasawuf sebagai ajaran yang berdiri sendiri agar kesalahpahaman ini semakin dalam, dan juga bertujuan mengelabui orang-orang Islam bahwa kelompok ini adalah pelaku bid’ah yang membuat-buat metode khusus bagi mereka di samping metode lain milik kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka.

 

Tidak diragukan lagi bahwa salah paham ini terkadang tampak sebagai kebenaran sebab apa yang masuk pada pondasi tasawuf, dari hal-hal baru yang mungkar dan sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Inilah yang menjadikan kami tidak menggantikan istilah Islam dengan istilah-istilah lain untuk menunjukkan -walau hanya sebagiankandungan dan hakikat ajaran Islam itu sendiri. Aku juga sama sekali tidak mengerti mengapa harus fanatik terhadap istilah tasawuf jika kita semua sepakat akan pentingnya berhias dengan kandungan agama Islam yang agung ini?

 

Akan tetapi, sikap netral menjadikan kami harus mengatakan bahwa memang kebanyakan orang mengaitkan istilah tasawuf ini dengan pengikutnya yang menganggap enteng perkara memperbaiki keadaan batin dan menempuh jalan yang disyariatkan untuk itu. Hal ini menjadikan mereka mengambil posisi sebagai orang yang menentang apa yang dinamakan dengan tasawuf secara umum. Hasilnya, mereka tidak dapat menemukan istilah lain bagi orang-orang yang senantiasa melazimkan zikir dan wirid dan menempuh jalan yang dibenarkan syariat untuk melawan keburukan hawa nafsu selain istilah tasawuf.

 

Mereka juga enggan berjalan di atas jalan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allahu subhanahu wa ta’ala ini sebab anggapannya bahwa ini semua adalah sesuatu yang ditambahkan kelompok ini ke dalam ajaran Islam. Mereka kemudian memberikan nama lain bagi obat dan solusi-solusi yang kami jelaskan dan penyakit-penyakit tersembunyi yang kami kupas sebagai ganti bagi nama yang sebenarnya. Akhirnya mereka menghalangi kehidupan keislaman mereka dari satu porsi besar dan sangat penting dari kandungan ajaran Islam sebab anggapan mereka yang salah dan mengherankan itu. Jika saja mereka mau memikirkan dan menyadari bahwa memperbaiki jiwa dan menempuh jalan yang disyariatkan untuk itu adalah inti dan ruh ajaran Islam, dan jika saja kelompok yang lain juga mau berpikir dan menyadari bahwa metode-metode yang mereka tempuh dalam penyucian jiwa ini adalah Islam itu sendiri yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, maka mereka tidak akan menggunakan istilah lain untuk itu selain namanya yang hakiki. Sebab, jika dalam penggunaan istilah tasawuf ada satu bentuk ajaran yang berdiri sendiri dalam anggapan sebagian peneliti, maka kaum Muslimin akan mendapati bahwa dalam penggunaan nama Islam terdapat ruang yang besar yang mampu mengungkapkan dengan benar setiap sisi dan cabang dari ajaran ini.

 

SEMUA YANG KAMI sebutkan ini masuk ke dalam apa yang dinamakan dengan tasawuf akhlak. Tasawuf akblak pada hakikatnya adalah perilaku yang Islami yang dibawa oleh ajaran Islam dan sudah disiapkan sarana yang kokoh untuk mendidik diri agar memiliki perilaku Islami tersebut. Adapun perkara-perkara lain yang masuk ke dalam apa yang dinamakan sebagai ahwal (keadaan spiritual), syubud (penyaksian spiritual), fana dan baga (lebur dalam kecintaan kepada Allahu ta’ala), itu adalah sifat bagi keadaan-keadaan spiritual yang ditempuh oleh mereka yang menggembleng hati mereka dengan senantiasa merasa diawasi oleh Allahu subhanahu wa ta’ala dan tidak disibukkan oleh kesibukan-kesibukan duniawi dari mengingat-Nya. Jika salah seorang dari mereka terus berada dalam keadaan semacam ini selama beberapa waktu, maka perkara dunia akan tampak remeh di hadapannya dan mulai tampak keagungan Allahu ta’ala dalam semua sifat kesempurnaan-Nya. Bahkan, jika terus bertambah kuat dampak kesadaran ini dalam dirinya maka ia akan lupa pada alam semesta dan fokus kepada sang Pencipta, hilang dari semua yang wujud karena memandang Yang Maha Mewujudkan, inilah yang oleh para ahli tasawuf dinamakan dengan al-Fana.

 

Jika ia mampu menjaga perilaku ini dan terus mengawasi hati dan keadaan batinnya sesuai dengan tuntunan dan hukum al-Guran dan Sunah, ia akan kembali sadar dan awas dengan keadaan dunia disekelilingnya tetapi tetap dengan keterikatan yang kuat dengan Allahu subhanahu wa ta’ala. Ia berinteraksi dengan dunia namun itu tidak memberi efek apapun pada dirinya. Ia bersosialisasi dan bergaul dengan manusia tanpa menjadikannya sibuk dari Allahu ta’ala. Inilah yang oleh para ahli tasawuf dinamakan dengan al-Baga yang merupakan sebuah kedudukan yang hanya dicapai oleh para Nabi dan ash-Shiddigin, dan sifat inilah yang ada pada diri sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam sebab merekalah pemilik hati yang sempurna dan yang paling kuat untuk menampung keadaan spritual semacam ini.

 

Imam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya “al-“Ubudiyyah” menyinggung perihal alFana dan maknanya dan mengatakan berikut:

 

“Inilah al-Fana, yaitu tidak menyaksikan selain Allah, dan ini terjadi pada banyak pejalan spiritual. Sebab, kuatnya tarikan hati mereka kepada zikrullah, ibadah, dan cinta kepada-Nya serta karena lemahnya hati mereka dari menyaksikan selain siapa yang mereka sembah dan mereka tuju, sehingga tidak terbersit dalam hati mereka sesuatu selain Allah. Bahkan, mereka tidak menyadari adanya sesuatu selain Allah. Jika keadaan ini semakin kuat, orang tersebut akan melupakan segala yang wujud karena perhatiannya tertuju pada Yang Mewujudkan, dari penyaksian kepada Yang Disaksikan, dari mengingat kepada Yang Diingat, dan dari pengenalan kepada Yang Dikenali.”

 

Beliau kemudian melanjutkan:

 

“Keadaan al-Fana semacam ini masih memeliki kekurangan, dan para pembesar wali-wali Allah seperti Abu Bakar, Umar, dan para sahabat yang pertama-tama memeluk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar tidak pernah mengalami hal ini, terlebih lagi para Nabi. Keadaan al-Fana ini baru terjadi setelah masa para sahabat.”

 

Jika engkau sudah memahami hal ini maka kami katakan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim yang menyadari kekurangannya dalam menunaikan hak-hak Allahu ta’ala dan menyadari penyakit-penyakit hati yang menjauhkan dirinya dari Allahu subhanahu wa tadld untuk menyibukkan diri dengan pembahasanpembahasan tasawuf yang bersifat filosofis dan abstrak seperti ini dan sibuk mempelajari kondisi spiritual para wali dan menjelaskan kedudukan mereka yang berbeda-beda seperti yang sudah kami singgung secara ringkas. Sebab ini semua adalah cita rasa yang tidak mungkin dipahami kecuali melalui perjuangan keras dan penderitaan untuk mencapainya, dan pembahasan mengenai ini tidak akan memberi kita pengetahuan yang dapat dibaca atau dihafal. Faidah yang kita dapat dari hal ini hanyalah cerita nyata mengenai kehidupan Islami yang dijalani oleh seseorang.

 

Andaikan engkau habiskan seluruh usiamu untuk membicarakan kondisi orang-orang yang memiliki keadaan spiritual semacam ini, menguraikan kata-kata mereka, atau “mengambil berkah” dari ucapan-ucapan spontan mereka yang terkesan melampui batas. itu semua tidak akan mendekatkanmu kepada Allahu ta’ala sejengkal pun selama engkau tidak memperhatikan apa yang diderita oleh jiwamu dari penvakir kesombongan, dengki, cinta dunia, bangga diri, riya’, kebencian, dan lain sebagainya. Tidak pernah aku melihat hal yang lebih mengherankan dari sekelompok orang yang meninggalkan bagian terpenting dari tasawuf yang mempresentasikan intisari ajaran Islam yang kita bahas pada halaman-halaman sebelumnya dan justru mempelajari perkara-perkara filosofis yang tidak ia pahami, tenggelam dalam pembahasan mengenai keadaan spiritual yang ia sendiri tidak pernah mencapainya, atau mengulang-ulang ucapan “nyeleneh” para kekasih Allahu subhanahu wa ta’ala yang telah mencecap langsung pengalaman spiritual ini. Jika para kekasih Allahu ta’ala yang mengucapkan perkataanperkataan itu dimaklumi, namun orang-orang yang meniru-niru mereka dan menjadikan ucapan mereka itu sebagai sesuatu yang dipelajari, objek penelitian, dan sumber faidah sama sekali tidak dapat dimaklumi.

 

Aku mengajak diriku, saudara-saudaraku, sahabatsahabatku dan mereka semuanya kepada tazkiyatun nafs, penyucian jiwa. Penyucian jiwa adalah sebuah tujuan yang seluruh syariat Islam berpusat kepadanya. Ia adalah maksud tertinggi dari para pejalan spiritual dan para sufi kecuali mereka yang menyimpang dan keluar dari jalur. Ia juga adalah pintu bagi seorang Muslim untuk masuk menunju keridaan Allahu ta’ala. Penyucian jiwa juga perupakan obat bagi semua bala” dan jalan keluar dari semua fitnah dan ujian.

 

Wahai kalian, ambillah dari Ibnu Arabi rahimahullah wasiat-wasiatnya pada kitab “al-Washaya” dan tinggalkan “al-Futuhat” miliknya. Bacalah dari seluruh karangannya kitab “Ma’arij al-Quds fi Muhasabah anNafs”, sebuah kitab yang akan menyingkap kekurangan yang ada pada kaum Muslimin, dan apa-apa yang bersembunyi di balik kesedihan mendalam yang tampak akibat keterbelakangan dan penyakit-penyakit berbahaya, serta riya”, gila hormat, cinta dunia dan kedudukan. Tinggalkan dari Ibnu Arabi rahimahullah keadaan spiritualnya, ungkapan-ungkapannya dan semua hal yang tidak engkau pahami dari perkataannya. Sampai pada akhirnya lirih dari dirimu semua keburukan dunia dan semua penyakit yang ada di dalamnya, dan kalian tidak lagi terpengaruh dengan sikap fanatisme yang keliru, serta sama saja bagi kalian apakah dunia mendekati atau menjauhi kalian, dan hati kalian tidak bergeming dengan pujian dan cacian. Maka, saat itu sudah tiba waktunya bagi kalian untuk masuk ke dalam pembahasan tasawuf yang kedua ini dan berkeliling di medan yang berbahaya ini.

 

 

 

SEMUA YANG TELAH kami jelaskan sebelum ini menunjukkan bahwa semua masalah yang kita hadapi saat ini adalah masalah yang bermuara kepada akhlak dan keadaan batin kita, sama sekali tidak ada kaitannya dengan pemikiran. Dan yang mengherankan adalah adanya sekelompok orang yang menyebarluaskan mengenai permasalahan ini dan menyadari bahaya besar yang mengintai kehidupan kita. Namun, alih-alih mengobatinya dengan solusi dan jalan keluar yang kami sebutkan, mereka justru mengobatinya dengan menambah penelitian-penelitian dan ide-ide serta teori-teori yang bermuatan filsafat untuk dilemparkan ke medan perdebatan dan sekadar dipelajari, seakan masalah yang sedang dihadapi adalah kebodohan yang menguasai akal dan bukannya penyakit berbahaya yang diderita jiwa. Kalau begitu, apa gunanya kita berpanjang lebar menjelaskan definisi masyarakat, menguak dengan detail rencana-rencana jahat yang dirancang oleh musuh-musuh Islam dan kelompok yang menggalakkan perang pemikiran, atau kita sibuk menawarkan metode-motede baru dalam hal pemikiran Islam dan dakwah, sedangkan musibah yang menimpa kaum Muslimin bukanlah ketidaktahuan mengenai hal-hal ini, akan tetapi penyakit mematikan yang menguasai jiwa-jiwa mereka.

 

Kaum Muslimin saat ini tidak lagi membutuhkan tambahan diskursus pemikiran semacam ini. Kaum Muslimin -dengan segala tingkatan pemahamannyatelah memiliki pengetahuan terkait hal ini yang memberikan perlindungan yang cukup kepada mereka jika memang perkara ini dapat diselesaikan dengan pemikiran semata. Akan tetapi setelah hari ini, mereka membutuhkan kekuatan luar biasa yang mendorong mereka untuk mengaplikasikan pengetahuan mereka, dan mustahil jika dorongan untuk melaksanakan apa yang sudah mereka ketahui ini hanya diserahkan kepada pemikiran atau akal semata. Kekuatan luar biasa yang mereka butuhkan saat ini tidak lain adalah kekuatan akhlak.

 

Mereka yang tidak percaya kepada Tuhan dan menjalankan kehidupan tanpa agama dan tanpa Tuhan di hadapanmu itu sampai kepada pemahaman semacam itu bukanlah semata-mata atas dasar pemikiran seperti yang mungkin engkau duga. Mereka menjalani kehidupan semacam ini sebab terjerat hawa nafsu yang mendominasi jiwa mereka. Begitu juga seorang ilmuwan barat yang menyelam di kubangan materi dan lumpur kehinaan tidaklah ia mengalami kemerosotan seperti itu dengan sebab pandangan filsafat atau teori tertentu Namun, kenyataannya ia menderita penyakit moral dan akhlak yang coba ia sembunyikan sepanjang hidupnya. Aku mengenal seorang pemuda yang Allahu subhanahu wa ta’ala beri petunjuk setelah sebelumnya ja sempat menyimpang dan menjadi seorang ateis, suatu hari teman-teman dan kerabatnya berkumpul di sekelilingnya dan mengajaknya berdiskusi dengan tujuan menariknya kembali ke kehidupan lamanya. Setelah mereka merasa gagal mempengaruhi pemuda ini melalui jalur debat dan adu pemikiran, berkata salah seorang teman perempuannya dulu, “Tapi engkau adalah anak muda, kehidupanmu baru saja dimulai, nikmatilah. Kelak akan ada waktu untuk para syaikh itu!”

 

Aku juga mengenal seorang dari Pakistan yang tinggal di salah satu daerah di Eropa dalam rangka berdakwah. Suatu hari ia ditanya mengenai kesuksesan dakwahnya di sana dan ia berkata, “Orang-orang Eropa tidak butuh banyak dalil untuk mengimani kebenaran. Mereka sangat mudah beriman dengan kebenaran yang lahir dari pemikiran dengan iman yang sungguh-sungguh. Namun, hal yang selalu menarik mereka ke belakang adalah gaya hidup bebas yang diinginkan hawa nafsunya dan menjadi cara ia hidup selama ini. Ia tidak menemukan dari pemikiran yang ia yakini cara untuk membebaskannya dari cengkraman hawa nafsunya.” Orang-orang seperti ini tidak akan selamat dari permasalahan mereka dengan mengisi otak mereka dengan perpustakaan yang penuh dengan teori-teori dan penelitian-penelitian mengenai pemikiran Islam. Hanya ada satu hal yang bermanfaat bagi mereka, yaitu engkau pantik perasaan terdalam mereka dengan cinta yang membara dalam hatimu.

 

Cinta yang membara dalam hati adalah obat yang tidak mungkin tergantikan bahkan oleh ribuan buku yang dipenuhi dengan pemikiran yang mendalam dan uraian-uraian mengagumkan. Cinta dalam hati yang membara adalah rahasia yang menakjubkan yang mampu mengubah jalan hidup manusia, mendekatkan yang jauh, melunakkan kerasnya besi, menghimpun hawa nafsu yang tercerai-berai, dan membuatmu lupa dengan kelezatan dunia dan hawa nafsu yang semu sebab ia membuatmu merasakan manisnya dekat dengan Allahu ta’ala dan menyaksikan keagungan-Nya. Cinta yang membara dalam hati ini tidak didapat dengan memeras pikiran untuk melahirkan tambahan teori dan penelitian, namun ia datang melalui lelahnya diri dan jiwa dengan ibadah, berdiri dengan penuh ketundukan di depan pintu Allahu ta’ala di waktu malam. Cinta yang membara inilah yang dicari oleh Muhammad Igbal di antara kaum Muslimin dengan pencarian yang panjang di tengah maraknya perdebatan-perdebatan mereka, mengesankannya penelitian-penelitian mereka, dan besarnya perpustakaan-perpustakaan mereka. Adapun pemikiran, penelitian, pengkajian, itu semua tetap merupakan hal yang penting dan harus dilakukan, hanya saja itu semua tidak lebih dari sekadar fase dari perjalanan panjang ini.’ Pemikiran dan penelitian bersifat terbatas seluas apapun cakupannya, dan merupakan hal yang sia-sia jika kita mempelajari semua pemikiran ini dari awal setiap kali kita selesai mengkaji dan menelitinya sampai akhir. Kita tidak melampaui fase ini dan tidak pula mengaitkannya dengan usaha selainnya dan disaat yang sama kita tidak menggerakkan jiwa kita sejengkalpun dari tanah dan udara tempat ia hidup dan berpijak.

 

Namun, apa yang kami jelaskan ini termasuk salah satu pembahasan pemikiran yang terkait dengan Islam jika tanpa memperhatikan sisi perenungan di dalamnya. Pada akhirnya, ini adalah rangkaian lanjutan dari akhir fase kajian dan teori, dan awal dari fase pengaplikasian teori-teori ini. Dan hendaknya fase pemikiran ini mendapatkan porsinya yang sesuai dalam kajian dan penelitian-penelitian Islam sehingga kita tidak bergerak berputar-putar di tempat yang sama dan agar musuh tidak menjerat kita dengan masalah-masalah baru yang mereka ciptakan setiap hari sampai menghasilkan rentetan kajian, saling jawab, dan perdebatan yang tiada akhirnya.

 

 

 

KESIMPULAN DARI APA yang telah kami uraikan adalah bahwa kaum Muslimin hari ini mengeluhkan keadaan mereka yang saling bercerai-berai dan bermusuhan, serta bertanya-tanya mengenai cara yang dapat menghimpun suara mereka dan menyatukan jalan mereka. Kami katakan bahwa hal yang menjadikan kaum Muslimin terpecah adalah penghalangpenghalang yang ada dalam jiwa-jiwa mereka yang tanpa menghilangkannya mustahil mereka akan mencapai satu kesepakatan dan keadaan mereka tidak akan menjadi lebih baik. Penghalang-penghalang ini lebih kuat daripada perkumpulan-perkumpulan, pertemuan-pertemuan yang berulang-ulang, dan sloganslogan yang diusung bersama.

 

Kami telah selesai menjelaskan penghalang-penghalang ini, macam-macamnya, dan dampak-dampaknya yang berbahaya. Kemudian kami jelaskan pula obat dan solusi yang mampu meluruhkan dan menghapus penghalang ini dari dalam jiwa. Jika kami hendak menjelaskan ini semua dengan ringkas, maka kami katakan bahwa unsur yang dapat menghilangkan semua penghalang dan sekat ini adalah ikhlas.

 

Jika ikhlas dalam beragama telah memenuhi hati, hilanglah kesombongan dari jiwa dan tergantikan dengan kerendahan hati, hilang kedengkian dan kebencian darinya digantikan oleh cinta dan kerukunan, hilang cinta dunia dan mengejar pangkat dan tipuan-tipuannya digantikan oleh keinginan mengejar rida Allahu ta’ala dan keselamatan dari hukuman dan ancamanNya, hilang pula fanatisme dalam semua bentuknya digantikan oleh kesetiaan kepada Islam secara apa adanya. Ikhlas adalah kata yang ringan diucapkan oleh lisan, disukai oleh hati, dan menyenangkan jika didengar, karena itu ia merupakan kata yang paling banyak disebut dan diulang-ulang. Akan tetapi, maknanya begitu agung dan penting dalam kehidupan, paling memberi dampak terhadap masyarakat, dan paling berat bagi nafsu untuk diamalkan. Hanya saja, kata ini telah kehilangan banyak sekali makna pentingnya, posisinya yang krusial, dan dampaknya yang begitu besar karena ia sudah menjadi komoditas dagang para juru dakwah, perhiasan para pendusta, dan para pembawa sloganslogan kosong turut serta menyerukan mengenai hal ini.

 

Jika ikhlas sudah menetap dalam hati, menetap pula kecintaan untuk berkorban di dalam jiwa. Apa yang dikorbankan oleh mereka yang ikhlas? Ia akan mengorbankan hal-hal yang menyibukkannya, kepentingan-kepentingan pribadinya, dan buruknya hawa nafsunya di jalan kebenaran yang ia tempuh dengan setulus hati. Bagi mereka yang mengeluhkan keadaan mereka yang tidak menemukan cara untuk mengorbankan hal-hal ini karena keterikatan mereka yang begitu kuat dengannya, hendaknya ia melatih dirinya untuk berkorban dengan mengikuti apa yang sudah kami jelaskan. Sedangkan mereka yang tidak menghendaki hal ini, ia harus berhenti berbicara atas nama Islam dan ajakan untuk berpegang teguh kepada Islam. Ia juga hendaknya menghentikan keributan demi keributan yang ia buat seputar kepedihannya melihat keadaan umat Islam yang berpecah belah dan saling bermusuhan.

 

Seseorang yang tidak mampu berhenti dari memalsukan dan mempermainkan hukum-hukum Allahu ta’ala seenaknya sendiri demi menjaga jabatan duniawi yang berkaitan dengan Islam atau demi memuaskan hawa nafsunya, tidak pantas berbicara satu katapun mengenai sebab berpecah-belahnya umat Islam dan permusuhan di antara mereka. ia tidak mengetahui apa-apa mengenai musibah yang diderita kaum Muslimin dan tidak ada sedikitpun rasa sakit dan tersiksa dalam hatinya. Mereka yang hidup di dunia untuk menambah kesombongannya, memelihara keegoisannya, membela sikap fanatismenya, tidak seharusnya mengelabui dirinya dan orang lain sehingga mencampur adukkan kecemburuan kepada agama dengan kecemburuan terhadap kesombongan dirinya, mencampuradukkan pembelaan terhadap kebenaran dengan membela kelompoknya atau sikap fanatismenya.

 

Bagi mereka yang memahami bahwa dalam Islam tidak seharusnya ada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa, ibadah yang berkenaan dengan hati, zikir yang berlimpah disetiap waktu, doa yang penuh harap diwaktu malam, dan hanya menginginkan Islam dalam bentuk ucapan, aksi, dan perencanaan-perencanaan, mereka wajib untuk tidak mencari-cari pembenaran terhadap prinsip mereka ini dari al-Ouran dan Sunah Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam serta dari para salaf yang saleh. Silakan ia mencari pembenaran untuk hal ini di antara aliran-aliran pemikiran modern, karena hanya dari sanalah mereka mampu membangun pondasi keislaman yang mereka inginkan ini.

 

Untuk mereka yang memahami bahwa Islam seharusnya hanya berdiam diri di masjid atau zawiyah, tidak mewajibkan kepada pengikutnya kecuali serangkaian wirid yang diulang-ulang setiap pagi dan sore, melompat-lompat dan mendendangkan nasyid untuk menghibur diri dengan sangkaan bahwa itu semua akan memperbaiki keadaan hati mereka, maka mereka tidak boleh mengulang-ulang ayat jihad di dalam al-Ouran, tidak pula menyebut-nyebut sejarah Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dan usaha beliau shallallahu “alaihi wa sallam yang agung dan menakjubkan dalam membangun masyarakat Islami dan menegakkan hukum Islam, dan tidak juga mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam memimpin masyarakat Islami yang luar biasa ini untuk kemudian menyerahkannya sebagai amanah kepada generasi selanjutnya dari umatnya.

 

Sedangkan mereka yang memahami Islam sebagaimana ia diturunkan oleh Allahu ta’ala: keimanan kepada Allah, keyakinan bahwa ia adalah hamba milik Tuhan Yang Maha Esa ini, mempercayai dengan sepenuh hati bahwa ia diciptakan di dunia ini sebagai hamba-Nya yang memiliki usaha dan pilihan pribadi sebagaimana ia diciptakan dengan hal-hal yang sudah diatur dan tinggal ia jalani, mengimani bahwa kelak ia kembali kepada Allah untuk menerima balasan atas semua yang ia kerjakan. Kemudian ia terus berusaha melawan hawa nafsu yang senantiasa mengajak kepada keburukan melalui jalan perbaikan diri dan kedekatan kepada Allahu ta’ala, dan mendorong masyarakat tempat ia hidup agar menerapkan hukum-hukum Allahu ta’ala. Pemahaman dan jalan inilah yang dianggap sebagai bibit yang baik untuk persatuan umat dalam kebaikan, dan melalui hal ini perkara umat Islam mungkin untuk disatukan, dan berawal dari sini Allahu subhanahu wa ta’ala akan menolong kaum Muslimin dan menganugerahkan kepada mereka kekuatan dan kemenangan.

 

 

 

AKU MENGAJAKMU, wahai pembaca yang budiman, dan juga diriku sendiri agar tidak menjadikan bagianku dan bagianmu dari buku ini hanya sekadar menyusun ucapan dan memperindah perkataan. Juga bukan sekadar membaca atau mempelajari. Aku mengajakmu untuk berpisah dengan membawa janji di hadapan Allahu subhanabu wa ta’ala yang akan kita pegang teguh. Sebuah janji yang menjadi rahasia kebahagiaan kira di dunia, menjadi seberkas cahaya pada hati kira saat hari penghitungan amal kelak, dan menjadi lintasan yang kokoh saat kita berjalan melewati shirath.

 

Mari kita berpisah sambil berjanji bahwa kita akan bangun bersamaan dengan munculnya fajar setiap hari jika kita tidak bisa bangun sebelum itu, kita mulai lembaran baru hari kita dengan salat subuh berjamaah yang pertama di masjid terdekat, dan kita tetap berada di tempat sambil terus menghadap Allahu subhanahu wa ta’dla, berzikir, dan berdoa sampai terbit matahari.

 

Kita berjanji untuk pergi ke masjid terdekat saat mendengar azan di manapun dan dalam keadaan apa pun kita untuk salat fardhu bersama jamaah yang pertama, sebab kehidupan dunia ini tidak akan mencelakakan seorang Muslim yang bersandar dan bergantung kepada Allahu ta’ala lima kali dalam sehari semalam. Kita juga berjanji untuk mengerahkan seluruh kemampuan untuk tidak menggunakan usia kita yang begitu berharga kecuali dalam ketaatan kepada Allahu ta’ala, atau kegiatan yang dianjurkan syariat seperti menuntut ilmu dan mencari rezeki halal, atau rekreasi yang mubah saat kita mengalami kejenuhan dan capek.

 

Dan saat malam datang dan semua dari kita mulai menuju ke tempat tidurnya, hendaknya kita semua ingat bahwa bisa jadi kita akan tidur dan tidak terbangun lagi, dan ini adalah saat terakhir kita di dunia. Disaat itu hendaknya ia menghadirkan kembali apa yang telah ia kerjakan sepanjang umurnya, berapa banyak yang ia habiskan dalam kelalaian dan kemaksiatan, kemudian hendaknya ia memohon ampun kepada Allahu subhanahu wa ta’ala dengan hati yang penuh penyesalan, lalu membaca mu’awwidzatain – dua surat pelindung(yakni, Al-Falaq dan an-Nas), serta surat al-Ikhlas, al-Kafirun, dan zikir-zikir lain yang telah diriwayatkan dari Baginda Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam.“ Kemudian hendaknya ia berusaha agar tidak terlelap kecuali ia dalam keadaan bertasbih, membaca istighfar, dan berzikir.

 

Jika dunia dihadapkan kepadamu dengan segala kebaikannya, kenikmatannya, atau dengan segala bencana dan keburukannya, jangan lupa pada hakikat yang memenuhi seluruh jagat raya: bahwasanya tidak ada yang menganugerahkan, menghalangi, memberi manfaat atau mudarat kecuali Allahu subhanahu wa ta’ala, dan manusia tidaklah memiliki kuasa atas semua urusannya ataupun urusan sesamanya. Lalu gantungkan hatimu hanya kepada-Nya, sembari bersyukur atas segala nikmat-Nya, bersabar atas segala cobaan-Nya, dan tunduk di depan pintu-Nya.

 

Selepas menunaikan salat dan membaca wirid-wirid setelahnya, janganlah berpindah dari tempat dudukmu sampai engkau mengangkat kedua tanganmu untuk memohon kepada Allahu subhanahu wa ta’ala, dengan hati yang bergetar dari relungnya yang terdalam, dengan merendahkan diri dan tunduk sembari memohon semua kebutuhanmu. Mintalah agar dihindarkan dari segala yang kau takuti, dan mintalah ampun atas perbuatan burukmu. Karena tidak ada kebaikan sedikitpun dari salat yang terputus, yang tidak diakhiri dengan merendahkan diri dan meminta pertolongan dan kebutuhannya kepada Tuannya.

 

Jika kau merasakan kemarahan manusia padamu, usahakan agar engkau mendapatkan keridaan Allahu subhinahu wa ta’ala sebagai sebaik-baik pelipur lara yang dapat menyibukkanmu dari kemarahan mereka, dan hal tersebut lebih baik daripada manusia rida kepadamu namun Allahu ta’ala marah terhadapmu.

 

Jika hawa nafsumu mengajakmu untuk menggunjing saudara Muslimmu, ingatlah bahwa engkau mempunyai keburukan-keburukan yang bila Allahu subhanahu wa ta’ala menyingkap tabir-Nya darimu, maka dirimu dan aib-aibmu akan menjadi objek perbincangan disemua tempat-tempat perkumpulan mereka. Jika kau mengingat hal tersebut, rasa malu akan menjadikanmu beranjak dari pembicaraan haram seputar kehormatan manusia menuju rasa syukur yang mendalam kepada Allahu subhanahu wa ta’ala karena membentangkan tabir-Nya menutupi aib-aibmu.

 

Berusahalah agar modal utamamu saat kelak menghadap Allahu ta’ala adalah hati yang bersih dan suci dari kotoran iri dan benci, sebab sedikit amal ketaatan sudah lebih dari cukup jika dibarengi dengan hati yang suci dan selamat dari segala penyakit. Akan tetapi, ketaatan yang banyak tidak akan bermanfaat jika dibarengi dengan hati yang penuh kedengkian.

 

Jika nafsumu mengajakmu mengerjakan sesuatu yang haram atau menarikmu untuk melanggar poin poin perjanjian ini, maka ingatlah perihal kematian jika engkau memang seorang yang benar-benar beriman kepada Allahu subhanahu wa ta’ala, sebab mengingat mati mampu meminimalisir kemaksiatan yang banyak dan memaksimalkan ketaatan yang sedikit.

 

Dan jangan lupa untuk mendoakan saudaramu ini semoga Allahu subhanahu wa ta’ala memberinya taufik agar terus mampu menjalankan janji ini, dan doa yang sama dariku kupanjatkan pula untukmu, Amin.