Segala puji bagi Alloh, Dzat yang makna Ayat-Nya tidak mampu diurai oleh para ulama’ ahli balaghoh dan keindahan ciptaan-Nya tidak mampu dijelaskan oleh lisan-lisan orang fasih.

 

Sholawat dan Salam semoga tercurahkan kepada nabi yang memiliki dua sisi balaghoh, Itnab dan Ijaz, yakni Nabi Muhammad serta kepada keluarga dan para sahabatnya yang membuka makna majaz menuju makna hakikat sebab petunjuk mereka.

 

Wa Ba’du, Kitab ini menerangkan tiga dan Balaghoh yang mudah pengambilan dan difaham maknanya, jauh dari Tagwil (memanjangkan kalam) yang membosankan, dan Igtisar (ringkas namun merusak makna). Dalam menyusun kitab ini, kami menggunakan susunan yang paling mudah dan ringkas. Kami juga mengumpulkan ringkasan-ringkasan kaidah dan pokok-pokok masalah balaghoh.

 

Kami membuang kaidah-kaidah tambahan yang tidak dibutuhkan oleh santri, karena kami lebih mengedepankan batas keharusan, menjaga waktu mereka agar tidak tersia-siakan hanya untuk mengurai lafadz-lafadz yang sulit dipahami serta meringkas kalam yang terlalu panjang atau menyempurnakan kalam yang terlalu ringkas. Maka dengan adanya kitab ini disertai kitab-kitab pelajaran nahwu, sempurnalah pelajaran-pelajaran arobiyah baik dj kelas-kelas ibtida’iyah atau persiapan.

 

Semua keutamaan dalam karangan itu dipersembahkan untuk dua pemimpin yang besar dan dua manusia sempurna yang menjadi kepala ma’arif yang rela meninggalkan kenikmatan demi mengurus negara, orang memiliki kasih sayang yang bernama Zakki Basya, beserta wakilnya yang memiliki kecerdasan, mampu mengatur dan memajukan ma’arif pada jalan yang benar yakni Ya’gub Artin Basya. Dua orang ini yang memberi isyarat kepada kami akan terwujudnya susunan yang berfaidah ini dan menggunakan metode kotemporer.

 

Team Penyusun, Hifni Nasif Muhammad Diyyab Sulthan Muhammad Musthafa Thamum

Fashohah dan Balaghoh A. Fashohah

 

Fashohah secara bahasa : Menunjukan akan adanya kejelasan. Fashohah secara istilah merupakan sifat yang bisa ditemukan pada suatu kalimat, kalam, dan mutakalim (tergantung mausufnya)

 

  1. Fashohatul kalimat : kalimat yang terhindar dari Tanafurul huruf, Mukholafatul Qiyas, dan Gorobah.

 

  1. a) Tanafurul huruf : sifat pada suatu kalimat yang menyebabkan kalimat itu berat dan sulit untuk diucapkan . seperti: (suatu tempat yang kasar) (air tawar)  (tumbuh tunbuhan yang di jadikan tempat mengembala unta)

 

  1. b) Mukholafatul Qiyas : kalimat yang tidak sesuai dengan koidah-koidah shorof. Seperti jamaknya lafad dengan menggunakan lafad yang terdapat pada syair di bawah ini:

 

“Jika sebagian manusia ada yang menjadi pedang bagi suatu negara , maka dalam orang-orang juga ada yang menjadi terompet dan kendang .”

 

Keterangan :

 

Pokok pambahasan pada syair di atas adalah  . Ketika diikutkan Qiyas seharusnya lafad   jama’nya mungikuti wazan   sehingga menjadi   serta lafad   yang terdapat padasya’irdi bawah ini, ketika mengikuti Qiyas seharusnya diidghomkan, karena dalam lafadz tersebut ada dua huruf yang sama sehingga akan menjadi

 

 Sungguh anak-anakku adalah orang-orang yang keji, (mereka) juga benci (padaku), tidak ada rasa cinta terhadapku dalam hati mereka.”

 

  1. c) Gorobah : kalimat yang tidak jelas maknanya karena sangat jarang digunakan oleh orangorang arab yang masih murni, sehingga banyak orang yang tidak tahu dengan makna lafad tersebut. Seperti :

 

: yang menggunakan makna  (berkumpul)

 

 yang menggunakan makna  (Selesai)

 

Seperti ucapan Isa bin Umar kepeda orang-orang yang mengerumunginya tatkala ia terjatuh dari Khimarnya (keledai) ,

 

”Apa maksud kalian semua mengerumuniku yang sedang terjatuh, seperti mengerumuni orang gila saja, silahkan kalian semua bubar dan menjauh dariku”

 

Keterangan : lafad  yang menggunakan makna  dan lafad   yang menggunakan makna   .

 

  1. Fashohatul Kalam : Kalam yang terhindar dari Tanafurul kalimat, Do’fu ta’lif, dan Ta’gid baik lafdhi atau maknawi serta kalimat-kalimatnya fasihah.

 

  1. a) Tanafurul kalimah : Sifat yang terdapat dalam kalam yang menyebabkan kalam itu berat dan sulit untuk diucapkan seperti :

 

Kuburan Harb (Harb bin Umayyah ) itu terletak ditanah lapang (yakni tanah tak berpenghuni ) dan tiada kuburan lagi didekat kuburannya. Keterangan : Berkumpulnya beberapa kalimat yang hampir sama sehingga menyebabkan berat dan sulit untuk diucapkan .

 

  1. b) Do’fi Ta’lif : kalam yang tidak sesuai dengan goidah-goidah nahwu yang masyhur, seperti membuat dhamir sebelum menyebutkan marji nya secara lafad dan rutbahnya, seperti:

 

Adapun susunan yang benar

 

Keterangan : Subyek pembahasan lafadz di atas adalah   dimana marji” lafadz tersebut kembali kepada lafadz sesudahnya yakni lafadz  . Maka otomatis susunan lafadz tersebut telah keluar dari susunan goidah nahwiyyah. Karena adanya dhomir itu setelah menyebutkan marji’nya yakni :  dan ketika ada susunan yang keluar dari goidah-goidah nahwu maka lafadz tersebut tidak bisa dinamakan kalam yang fasih (fashohatul kalam).

 

  1. c) Tagkid Kalam yang tidak jelas dalam menunjukkan makna yang dikehendaki (Murad). Yang mana ketidak jelasan ini adakalanya dari segi lafad seperti mendahulukan lafad yang seharusnya diakhirkan, dan mengakhirkan lafad yang seharusnya didahulukan atau fasol. Dan Ta’gid seperti ini dinamakan Ta’gid Lafdi seperti :

 

“Budi pekerti atas kemuliyaan leluhur telah berbangga diri, sedang mereka tidak berbangga dengannya, dengan mereka yang hanya bisa menunjukkan,”

 

Takdirnya :

 

Dan ketidak jelasan adakalanya dari segi makna seperti menggunakan makna majaz atau kinayah, yang tidak mudah difaham maknanya. Ta’kid seperti ini dinamakan Ta’kid maknawi. Seperti:

 

“RaIa menyebarkan mulut mulutnya di kota”

 

Keterangan : Adapun yang dikehendaki dari lafadz di atas adalah RaIa menyabarkan mata-matanya di kota madinah. Tetapi karena Mutakalim salah menggunakan makna Majaz, sehingga menyebabkan lafadz tersebut menjadi sangat sulit diketahui maknanya (murod). Sedangkan lafad yang benar adalah:   (RaIa menyebarkan mata-matanya)

 

  1. d) Fashohatul mutakalim : talenta yang dimiliki mutakalim sehingga mampu mengungkapkan segala makna yang dimaksud dengan kalam yang fasih.

 

 

  1. Balaghoh

Balaghoh secara bahasa adalah Sampai. Dan secara istilah merupakan sifat yang bisa ditemukan Kalam dan Mutakalim (dalam arti tergantung mausufnya).

 

  1. Balaghotul kalam (kalam yang baligh) : Kalam yang fasih dan sesuai dengan Mugtadhol hal.

 

Penjelasan Tarif:

– Hal yang disebut juga Magom : Perkara yang mendorong mutakallim untuk mendatangkan ibarot dengan bentuk yang khusus.

– Mugtadhol yang disebut juga I’tibarul munasib : Sifat yang khusus yang dibuat untuk mendatangkan ibarot. Seperti:

»  (Memuji) adalah Hal yakni perkara yang mendorong terhadap mutakallim untuk mendatangkan ibarot dengan bentuk “  “ yakni mendatangkan makna yang dimaksud tetapi dengan katakata yang lebih banyak, karena ada tujuan yang tertentu, yaitu Memuji.

»  (kecerdasan mukhotob) adalah hal yang mendorong mutakallim untuk mendatangkan makna murod, dengan ibarot dalam bentuk  yakni dengan kata kata yang ringkas tetapi padat.

 

Dan masing masing dari gall Dan  ini dinamakan sebagai hal, dan bentuk  dan  ini adalah mugtadhol, Dan mendatangkan kalam berbentuk  itu sesuai dengan mugradhol.

 

  1. Balaghoh mutakallim (mutakallim yang balig) : talenta yang dimiliki mutakallim, Sehingga mutakallim mampu mendatangkan makna murod (yang dikehendaki) dengan kalam yang balig dalam tujuan apapun.

 

Cara mengetahui tanafurul huruf,mukholafatul Qiyas, gurobah, dofu ta’lif, ta’gid:

 

– Tanafurul Khuruf dan kalimat itu bisa di ketahui dengan (  ) perasaan atau intuisi. 

– Mukholafatul Qiyas bisa diketahui dengan ilmu Shorof. 

– Dofu Ta’llif dan Ta’kid Lafdzi bisa diketahui dengan ilmu nahwu.

– Gurobah bisa diketahui dengan sering melihat kalam Arob.

– Ta’kid Maknawi bisa diketahui dengan ilmu Bayan.

– Hal dan Mugtadhol itu bisa di ketahui dengan ilmu Ma’ani.

 

Maka bagi semua orang yang ingin mendalami ilmu Balagoh haruslah mengetahui Lugot, Shorof, Nahwu, Ma’ani, dan Bayan. Disamping itu dia harus mempunyai   (intuisi selamat) dan sering melihat kalam Arob.

 

 

Bagian ini merupakan awal pembahasan dalam fan ilmu balaghoh yang berjumlah tiga, yakni: ilmu Ma’ani, ilmu, Bayan, dan Ilmu Badi’

 

Ilmu Ma’ani adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mengetahui keadaan lafadz Arob yang sesuai dengan mugrtadol hal. Maka akan terjadi perbedaan susunan bentuk bentuk kalam, karena disebabkan berbeda-bedanya keadaan. Seperti :

 

“Dan sesumgguhnya kami ( jin ) tidak mengetahui ( dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang di kehendaki bagi orang orang yang berada di bumi ataukah tuhan mereka menghendaki kebaikan bagimereka.” (QS. Ain: 10) Keterangan :

 

Bentuk kalam yang jatuh sebelum lafad  itu berbeda dengan bentuk kalam yang jatuh setelah lafad  Karena pada bentuk kalam yang pertama terdapat fiil dari masdar lafad  yang dimabnikan majhul, dan pada bentuk yang kedua terdapat fiil dari Masdar lafad  yang mabni maklum. Perbedaan tersebut karena disebabkan adanya pendorong yakni  keadaan, yaitu menisbatkan kebaikan-kebaikan kepada Allah pada bentuk kedua dan meenghindari menisbatkan kejelekan kepada Allah pada bentuk yang pertama. Pembahasan pada kitab ini, yang berkaitan dengan ilmu Ma’ani hanya terdapat enam bab.

 

  1. Kalam khobar dan kalam insya”.
  2. Dzikru dan Hadzfu (menyebutkan lafad dan membuang lafad)
  3. Taqdim dan Ta’khir (mendahulukan lafad dan mengakhiri lafad)
  4. Qoshr (meringkas lafad)
  5. Washol dan fashol.
  6. Ijas, itnab dan musawa.

 

 

 

 

Bab 1 KALAM KHOBAR DAN KALAM INSYA’

 

Kalam ada kalanya Khobar dan Insya’.

 

  1. Kalam Khobar : Kalam yang mutakalimnya sah dikatakan orang yang jujur atau orang yang dusta, seperti:

 

(Ali adalah orang yang menetap)

 

  1. Kalam Insya’ : kalam yang mutakalimnya tidak sah dikatakan orang yang jujur atau orang yang dusta, seperti:

 

(Menetaplah wahai Ali)

 

Adapun yang dimaksud dengan khobar yang benar adalah khobar yang sesuai dengan kenyataan. Sedang yang dimaksud dengan khobar yang dusta adalah khobar yang tidak sesuai dengan kenyataan.

 

Susunan lafad   apabila hasil dari pemahaman lafadz tersebut sesuai dengan kenyataan maka lafadz tersebut dinamakan khobar yang benar. Namun apabila tidak sesuai dengan kenyataan maka dinamakan khobar yang dusta.

 

Setiap jumlah atau susunan kalimah itu mempunyai 2 rukun :

 

1) Mahkum alaih (Penyandang hukum) atau yang disebut Musnad Ilaih seperti Fa’il, Naibul Fa’il dan Mubtada’ yang memiliki Khobar.

 

2) Mahkum bih (hukum) atau yang disebut Musnad seperti Fi’il, Khobar dan Mubtada’ Sadda Masadda Khobar.

 

Contoh: 

   (Zaid berdiri).

: Mahkum alaih atau penyandang Hukum

 : Mahkum bih atau hukum yang disandang.

 

– (Zaid sedang berdiri)

: Mahkum bih atau hukum yang disandang.

   : Mahkum alaih atau penyandang hukum.

 

Membahas Tentang Khobar

 

Khobar itu ada kalanya berupa Jumlah fi’liyah atau Jumlah Ismiyah.

 

  1. Jumlah filiyah gunanya untuk menunjukkan terjadinya pekerjaan yang terjadi pada zaman yang tertentu dengan tanpa membutuhkan Qorinah.

 

Dan terkadang memberikan faidah Istimroru Tajadudi dengan beberapa Qorinah ketika memang berupa fiil mudhori’ seperti :

 

“Apakah tiap kali suatu kabilah datang ke pasar Ukadz maka mereka mengutus pemimpim(ketua) mereka untuk meneliti (menyelidikiku)”

 

Keterangan:

 

Lafad  Adalah musnad yang berupa fiil dan memberikan faidah Istimrorur Tajadudi dengan qorinah lafdiyyah yaitu lafad  yang menunjukkan Takror dan tidak hanya sekali.

 

  1. Jumlah ismiyah, untuk memberikan faidah Tsubut, yakni tetapnya Musnad pada Musnad Ilaih. Contoh:

 

“Matahari itu menyinari

 

Keterangan :

Sifat Ido’ah (bersinar) yang berupa Musnad itu melekat pada  yang berupa Musnad Ilaih.

 

– Dan terkadang jumlah ismiyah itu memberikan faidah Istimror dengan beberapa Qorinah ketika memang khobarnya tidak berupa fiil. Seperti :

 

l“Ilmu itu bermanfaat”

 

Keterangan :

Lafadz   di atas menggunakan jumlah Ismiyyah pada   itu sebagai Qorinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Istimror atau Subut dan Dawam. (Dikarenakan khobar lafadz tersebut yang berupa lafadz  berupa kalimah isim. Pen.)

 

Pada asalnya, Khobar memberikan faidah kepada Mukhotob (pendengar)tentang hukum yang terkadung pada Khobar tersebut dan ini dinamakan Faidah Khobar seperti:   (Gubernur telah datang). atau memberikan tahu faidah pada Mukhotob bahwasanya Mutakallim (pembicara) juga mengerti terhadap hukum dan ini dinamakan Lazimu Faidah. seperti:  (kamu hadir datang kemarin).

 

Pembagian Khobar

 

Ketika tujuan Muhbir (orang yang memberitakan) itu memberikan faidah pada mukhotob, maka sebaiknya Muhbir meringkas perkataannya dengan mengunakan Khobar yang dibutuhkan saja.

 

Sehingga tidak mengeluarkan perkataan-perkataan yang tidak berfaidah karena dikhawatirkan memberi pembicaraan yang tidak ada gunanya.

 

* Ketika mukhotob itu Kholiu adz-Dzihni (orang yang tidak tahu akan berita dan tidak ragu dan tidak ingkar pada berita) maka berikanlah berita yang kosong dari adat Taukid. Seperti :

 

“Saudaramu datang” dan kalam ini dinamakan kalam Kalam Ibtidai.

 

* Ketika Mukhotob tersebut ragu-ragu pada beritanya, sehingga ia ingin mencari kebenaran berita tersebut maka yang lebih bagus Mutakalim memberikan adat Taukid. Seperti :

 

  “Sesungguhnya saudaramu datang” dan kalam ini di namakan Kalam Tholabi.

 

* Ketika Mukhotob tersebut mengingkari pada beritanya, yakni tidak percaya pada berita tersebut, maka Mutakalim wajib memberikan adat taukid, dengan satu atau dua adat taukid ataupun lebih banyak dengan memandang kadar ingkarnya, seperti :

 

  1. (Demi Allah sesungguhnya saudaramu benar benar datang )
  2. (Sesungguhnya saudaramu benar-benar datang)
  3. (Sesungguhnya saudaramu datang)

 

Membahas Tentang Insya’

 

Kalam Insya’ terbagi menjadi dua : Tholabi dan Ghoiru Tholabi.

 

* Tholabi : Menuntut atau mencari suatu perkara yang belum hasil ketika waktu penuntutan dan pencarian.

* Ghoiru Tholabi : Tidak menuntut suatu perkara yang belum hasil.

 

  1. Tholabi terbagi menjadi lima macam :

1) Amar. 2) Nahi. 3) Istifham. 4) Tamanni. 5) Nida.

 

  1. Amar:

Adalah permohonan untuk mengerjakan suatu perkara, dengan bentuk yang menunjukanadanya kedudukan yang lebih tinggi dan amar sendiri itu mempunyai empat sigot :

 

1) Fiil Amar, seperti :

 

Artinya  “Wahai yahya, ambilah (pelajarilah) kitab taurot itu dengan sungguh sungguh.” (QS. Maryam: 12)

 

2) Fiil Mudori’ yang bersamaan dengan Lam Amar seperti : Artinya: “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafaqoh menurut kemampuannya.” (QS. At-Taubah: 7)

 

3) Isim Fiil Amar, seperti:

 

 “Mari menuju kemenanngan”

 

4) Masdar yang mengganti dari fiil amar seperti:

 

“Bercepat-cepatlah dalam urusan kebaikan “

 

Shigot Amar terkadang keluar dari makna asalnya ke makna yang lain, yang mana hal ini bisa diketahui dari runtutan kalam dan beberapa petunjuk-petunjuk keadaan. Di antaranya adalah :

 

  1. a) Do’a, permohonan seorang bawahan kepada atasan, seperti :

 

Artinya: “Adam berkata: yatuhan ku, anugrahkan lah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmatMu.” (QS. An-Naml: 19)

 

  1. b) Iltimas, permohonan seseorang kepada seseorang yang samasama derajatnya, seperti:

 

“Berilah aku kitab”

 

  1. c) ‘Tamanni, mengharapkan suatu perkara yang tidak mungkin terjadinya seperti :

 

“Wahai malam yang panjang, teranglah engkau dengan cahaya subuh, namun cahayamu tidaklah lebih utama (bagimu)”

 

  1. d) Tahdid, menakut nakuti ( mengancam ) seperti :

 

Artinya : Lakukanlah apa yang kamu hendaki, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (QS. Fushilat: 40)

 

  1. e) Ta’ajub, kagum pada sesuatu. Seperti :

 

“Wahai keluarga Bakar hidupkanlah dan bangkitkan lah kulaib untukku, wahai keluarga Bakar dimanakah tempat untuk melarikan diri”

 

f)Taswiyah, menganggap sama. Seperti :

 

Artinya: “Bersabarlah atau kalian tidak bersabar,( yakni baik kamu sabar atau tidak sabar sama saIa bagimu.) (QS. At-Thur: 16)

 

  1. Nahi:

Menuntutnya seorang atasan kepada bawahannya agar meninggalkan suatu pekerjaan. Sighot nahi hanya memiliki satu, yakni fi’il mudhori’ yang di sertahi La nahinyah seperti firman Allah :

 

Artinya: “Janganlah kalian semua berbuat kerusakan di bumi setelah memperbaikinya.” (QS. Ala’raf:7)

 

Sighot nahi terkadang juga keluar dari makna asalnya menuju ma’na yang lain, yang mana hal ini bisa diketahui dari runtutan kalam. Di antaranya adalah :

 

  1. a) Do’a, keterangannya sama seperti di atas, seperti :

 

Artinya: “Maka janganlah engkau jadikan musuh-musuh menyoraki (gembira) melihat kemalanganku.” (QS. ALA ‘raf: 150)

 

  1. b) Iltimas, seperti ucapannya seseorang pada orang lain yang samasama derajatnya:

 

“Jangan sampai kamu pergi dari tempatmu sehingga aku kembali padamu”

 

  1. c) Tamanni, seperti lafad yang terdapat pada sya’ir:

 

“Wahai malam hari perpanjanglah (waktumu)wahai kantuk pergilahlkau dari hadapanku)wahai fajar subuh berhantilah jangan terbit (untuk menampakan sinarmu).

 

  1. d) Tahdid (mengancam), seperti perkataan tuan pada pembantu nya :

 

“janganlah engkau menuruti perintahku”

 

  1. Ystifham: Mencari pengetahuan dengan suatu perkara yakni adat-adat istifham diantarnya :

 

1) (Hamzah Istifham) gunanya untuk mencari Tashowwur dan Tasdiq.

 

– Tashowwur ialah mencari ma’na mufrod, dalam arti mencari masing masing dari maudhu’ dan mahmul. Seperti :   “apakah Ali berpergian ataukah Kholid?” Dalam contoh di atas sudah diyakini bahwasanya safar (bepergian) sudah terjadi dari salah satu Ali atau Kholid. Akan tetapi yang ditanyakan adalah Ali atau Kholid yang bepergian! dan karena ini yang ditanyakan, maka jawabannya adalah: Ali, semisal.

 

– Tasdiq ialah menemukan makna nisbat atau mencari nisbat seperti:  “Apakah ali bepergian ?” Pada contoh di atas, yang diTasdiqkan adalah apakah ada ketetapan terjadinya safar atau tidak pada ali, dan karena ini yang di tanyakan, maka yang menjadi jawabannya adalah, ya atau tidak semisal.

 

2) Ia: digunakan hanya untuk mencari Tasdiq. Seperti :

 

“Apakah saudaramu sudah datang?”.

 

Sedang yang menjadi jawabannya adalah ya atau tidak. Dan karena  itu hanya mencari pada Tasdiq, maka tidak boleh menyebutkan Muadil (Perkara yang membandinginya)  “Apakah temanmu atau musuhmu sudah datang ?”

 

3). : digunakan untuk mencari:

 

– Kejelasan dari suatu nama atau menanyakan nama dari suatu perkara. Seperti :

 

“apa yang dinamakan asjad atau lujain? Dijawab: “Asjad adalah sejenis emas, Lujain adalah sejenis perak”

– Menanyakan hagikat dari sesuatu seperti :

 

  “manusia itu apa? Dijawab jenis yang tertentu dari hewan (hewan Natig, hewan yang berakal)

– Menanyakan keadaan-keadaan sesuatu yang berada di dekatnya. Seperti menanyakan pada seseorang yang baru datang

“Bagaimana keadaanmu?

 

Dijawab: “Aku sedang berkunjung di rumahmu.”

 

4)  : digunakan untuk menanyakan sesuatu yang berakal seperti:   “Siapa yang membuka kota mesir?

 

Dijawab: “Amr bin “Ash pada zaman khalifah Umar bin Khattab”

 

5) : digunakan untuk menanyakan zaman madhi (waktu yang telah lewat) atau zaman Istigbal (waktu yang akan datang), seperti :

 

” Kapan kamu datang? Tadi pagi, semisal.

“kapan kamu akan berangkat! Besok pagi, semisal.

 

6)   : digunakan untuk menanyakan zaman Istigbal secara khusus dan tempat yang mengkhawatirkan, seperti firman Allah:

 

Artinya: “Dia bertanya: kapankah hari kiamat itu?” (QS. Al Niyamah: 6)

 

7)  : digunakan untuk memperjelas suatu keadaan, seperti:   “Bagaimana keadaanmu ?” Dijawab: sehat, semisal

 

8) : di gunakan untuk menanyakan suatu tempat, seperti :   “ Kemana kamu pergi? Dijawab ke pasar, semisal.

 

9) : digunakan makna ( Bagaimana), seperti firman Allah :   Artinya: Uzair berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” (QS. Al-Baqarah : 259)

– yang menggunakan makna   (dari mana) seperti :

 

Artinya: “Zakariya berkata: “Wahai Maryam, darimana ini kau peroleh?” (QS. Ali Imran: 37)

– yang menggunakan makna  (kapan) seperti:   “Kapan sungai nil bertambah?”

 

10) : digunakan untuk menanyakan suatu bilangan yang belum jelas (samar), seperti firman Allah :    Artinya: “Berkata salah seorang di antara mereka: “Berapa lama kamu berdiam (tidur di gua)?” (QS. Al-Kafhi: 19)

 

11)  : digunakan untuk membedakan salah satu dari dua perkara yang masih umum. Seperti firman Allah:

 

Artinya: “Berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman: “Manakah di antara dua golongan yang lebih baik tempat tinggalnya?”(QS. Maryam: 13)

 

  juga digunakan untuk menanyakan suatu tempat, waktu, keadaan, dan bilangan, dan sesuatu yang berakal, atau yang lain, tergantung yang di sandari oleh  .

 

Lafadz-lafadz Istifiham terkadang juga keluar dari makna asalnya menuju makna yang lain, dimana hal itu bisa diketahui dari runtutan kalam. Di antaranya adalah :

 

  1. a) “Taswiyah (menyamakan suatu hal) :

 

Artinya: “Sama saIa bagi mereka apakah engkau (muhammad)peringatkan mereka ataupun tidak engkau peringatkan, mereka tidak akan beriman.” (QS. Al-Baqarah : 6)

 

  1. b) Nafi (meniadakan) : Artinya: “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula.” (QS. Ar-Rahman: 60)

 

  1. c) Ingkar : Artinya: “Apakah kepada selain allah kalian meminta pertolongan.” (QS. Al-An’am: 40) yakni tidak ada yang patut dimintai pertolongan kecuali allah

 

  1. d) Amar (memerintahkan) : ”Sudahkah kamu masuk islam ” yakni masuk islamlah kalian semua .

 

  1. e) Nahi (melarang) : Artinya: “Apakah kamu takut kepada mereka, padahal Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. AtTaubah: 13) yakni janganlah takut kepada mereka :

 

  1. f) Taswiq (membuat penasaran pada suatu perkara):

Artinya: “Wahai orangorang yang beriman, maukah kamu aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih.” (QS. As-Shaf: 10) yakni aku tunjukkan suatu amalan yang dicintahi Allah. Allah menamai amalan tersebut dengan perdagangan, karena seseorang yang mau mengambil perdagangan tersebut pasti akan mendapatkan keuntungan, yakni mendapatkan ridho Allah, surga-Nya, dan diselamatkan dari panasnya api neraka .

 

  1. g) Ta’dim (mengagungkan) :

 

Artinya: “Siapakah yang dapat memberi pertolongan disisiNya kecuali dengan izinnya.” (QS. Al-Baqarah : 225) yakni tidak ada yang dapat memberi pertolongan kecuali orang-orang yang diberi izin oleh Allah, mereka adalah Nabi Muhammad, sebagian para nabi, malaikat, orang mukmin kepada orang mukmin lainnya.

 

  1. h) Tahgir (meremehkan atau mengangap hina) :

 

“Apakah orang ini yang banyak kau puji.”

 

  1. Tamanni:

Mengharapkan suatu perkara yang disukai namun tidak mungkin terjadi, karena keberadaan perkara tersebut muhal, atau sulit terjadi. Seperti ucapan syair :

 

“Seandainya masa muda kembali lagi pada suatu hari, maka akan ku kabarkan apa yang d kerjakan orang yang berubanforang tua)”.

 

Apabila perkara yang disukai itu bisa terjadinya, maka hal itu dinamakan Taroji, yang mana hal itu diungkapkan dengan menggunakan lafad (  atau  ) , seperti :

 

Artinya: “Barang kali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan.” (QS. ath-Thalaq:1)

 

Adapun lafadz Tamanni itu ada empat, sedangkan yang asli hanya ada satu yaitu :  dan yang tiga tidak asli, yakni:

 

– Artinya: “Maka adakah pemberi syafaat bagi kami, sehingga memberi pertolangan kepada kami?” (QS. ALA’raf: 53)

 

– Artinya: “Seandainya kami mendapatkan kesempatan (kembali ke dunia) maka kami akan menjadi orangorang yang beriman.” (QS.AsySyu’ara: 102) .

 

– “Wahai kerumunan burung gotho” adakah satu di antara kalian yang mau meminjamkan sayapnya untukku ,agar aku bisa terbang untuk menemui kekasihku. ”

 

Karena adat ini digunakan untuk Tamani, maka Fiil Mudori’ yang menjadi jawabnya harus dibaca nasob.

 

  1. Nida”: Menuntut atau mengundang seseorang untuk menghadap dengan menggunakan huruf yang mengganti dari pada kedudukan lafadz Huruf-huruf nida’ jumlahnya ada delapan:

 

Adapun huruf nida’ dan   digunakan untuk Qarib (mengundang seseorang yang jaraknya dekat). Sedangkan huruf huruf nida’ yang selainnya, digunakan untuk Ba’id (mengundang seseorang yang jaraknya jauh).

 

Tetapi terkadang orang yang jauh diposisikan sebagai orang yang dekat. Sehingga mutakkalim memanggil menggunakan Munada dan untuk mengisyarohkan bahwasanya seorang yang jauh tersebut itu sangat dekat pada hati mutakallim (Orang yang berbicara). Seolah orang yang jauh tersebut seperti hadir bersamanya, seperti ucapan penyair :

 

“Wahai penduduk Na’manul Arak, yakinilah bahwa kalian bersinggah dihatiku ”

 

Dan terkadang orang yang dekat itu diposisikan sebagai orang yang jauh, maka mutakkalim memanggil menggunakan salah satu huruf nida’ yang jauh. Karena:

 

– Mengisyarohkan seorang yang diundang tersebut itu tinggi pangkatnya, sehingga seakan akan sangat jauh drajatnya orang yang diundang dari derajatnya mutakallim dalam masalah agugnya. Seperti:

“Wahai tuanku, sedang keadaanmu bersamanya”.

 

– Mengisyarohkan terhadap rendahnya pangkat nya orang yang di undang. Seperti:   “Wahai kau !” Perkataan ini diucapkan bagi orang yang berada di sampingmu (mukhotob).

 

–  Mengisyarohkan bahwasanya orang yang mendengar itu lupa seperti tertidur atau bingung, seakan akan orang yang di undang itu tidak hadir di majlis, seperti ucapan seseorang pada Orang lupa   “hai Fulan”.

 

  1. Ghoiru Tholab itu berupa Ta’ajub , Sumpah dan beberapa sighot akad seperti : dan lain sebagainya. Sedangkan pembagian Kalam Insya’ Ghoiru Tholab itu bukanlah termasuk pembahasan dalam lingkum Ilmu Ma’ani. Oleh karenanya, kami membuat halaman yang lain.

 

 

 

 

 

Bab 2

 

DZIKRU DAN HADZFU

 

Dalam bab kedua dari pembagian ilmu Ma’ani ini, mushonnif membahas mengenai keadaan-keadaan yang terjadi pada Musnad dan Musnad Ilaih serta perkara yang berhubungan dengan keduanya, yakni: kapan menyebutkan musnad, musnad ilaih dan perkara yang berhubungan dengan keduanya, kapan membuang musnad, musnad ilaih dan perkara yang berhubungan dengan keduanya.

 

Ketika mutakallim bertujuan memberikan faidah pada Sami (pendengar) terhadap adanya hukum yang dikandung oleh kalam, maka hukum aslinya adalah dengan menyebutkan lafadz yang menunjukkan makna tersebut. Dan ketika ada lafadz yang sudah diketahui maknanya karena maknanya telah ditunjukkan oleh sebagian kalam, maka hukum aslinya adalah membuangnya.

 

Ketika ada pertentangan antara dua hukum asal itu. Dalam artian ada suatu lafadz yang menunjukkan makna, sehinga lafadz itu harus disebutkan. Serta ditemukan dalil untuk membuang lafadz itu, sehingga dalil itu menuntut untuk membuang lafadz tersebut. Maka jangan sampai berpindah dari suatu tuntutan asal menuju tuntutan asal yang lain. Kecuali ditemukan suatu pendorong (faidah) yang menuntut untuk pindah.

 

Di antara perkara yang mendorong penyebutan suatu lafadz (baik itu Musnad, Musnad Ilaih atau perkara berhubungan dengan keduanya) adalah :

 

  1. Ziyadah Taqrir dan Idoh, yakni menembahkan kemantapan dan penjelasan kepada Sami?’. Seperti :

 

Artinya: “Merekalah orangorang yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan meraka itulah orangorang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah : 5)

 

Keterangan :

Mengulang-ulang Isim Isyaroh pada ayat tersebut, dan bukannya membuang salah satunya, hal ini untuk menambah kemantapan pada Sami’. Sehingga dapat dipaham bahwa Allah memberikan kekhususan kepada orang mukmin di dunia dengan hidayah, dan di akhirat diberikan kekhususan keberuntungan. Dan apabila Isim Isyarah kedua ini dibuang, maka makna yang dimaksud bisa hilang.

 

  1. Pencatatan (pembukuan) suatu hukum di hadapan Sami’ (pendengar) untuk memperkuat hukum tersebut dan juga sebagai bukti di hadapan sami’ sehingga dia tidak mungkin mengingkarinya.Seperti ucapan hakim kepada seorang saksi:

 

“Apakah Zaid sudah mengakui bahwasanya dia punya tanggungan sekian?” Kemudian saksi menjawab:

 

“Iya, zaid ini sudah mengakui bahwasanya dia mempunyai tanggungan sekian.”

 

Keterangan:

Sebenarnya saksi sudah dianggap cukup menggucapkan lafadz  saja. Akan tetapi saksi juga menyebutkan musnad ilaih yang berupa karena saksi ingin menguatkan hukum tersebut sehingga tidak ada jalan keluar bagi Sami” untuk mengingkarinya.

 

Di antara perkara yang mendorong pembuangan suatu lafadz (baik itu Musnad, Musnad Ilaih atau perkara berhubungan dengan keduanya) adalah:

 

1). Menyamarkan perkara dari selain mukhotob, seperti: “menghadap,” sedang yang dikehendaki mutakallim Ali misalnya.

 

2). Sempitnya tempat dari mengucapkan kalam secara utuh, adakalanya:

– Orang yang mengucapkan tersebut merasa sakit. Seperti :

 

“(Seseoarang) bertanya padaku ,bagaimana keadaanmu? kujawab sakit tidak bisa tidur, dan susah terus.”

 

Ada seseorang yang bertanya pada penyair: Bagaimana keadaanmu ?”. Penyair menjawab:  (sakit) sedangkan  ucapan yang sempurna adalah   (aku sakit). Karena keadaan sakitlah yang menyebabkan penyair mengucapkan lafad secara tidak sempurna.

 

– Orang yang mengucapkan tersebut takut kehilangan kesempatan. Seperti perkataan seorang pemburu yang sedang melihat hewan buruannya. Sehingga dia berkata:   (kidang). Seharusnya perkataan yang sempurna adalah:   (ini ada kidang)

 

  1. Membuat umum dengan cara meringkas. Seperti firman Allah: Artinya: “Dan Allah mengajak (manusia) ke Darus Salam (Surga).” (QS. Yunus: 25)

 

Keterangan:

Pada ayat tersebut tidak disebutkan Mafulnya, karena membuang Maful menunjukkan pada keumumannya. Yakni Allah mengajak semua hamba-Nya menuju rumah keselamatan yaitu surga.

 

  1. Memposisikan Fi’il Muta’adi seperti Fiil Lazim, karena mutakallim tidak ingin menyinggung maf ul. Seperti :

 

Artinya: “Apakah sama orangorang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. AzZumar: 9)

 

Termasuk dari pembuangan lafadz adalah menyandarkan Fiil kepada Naibul Fail. Maka diucapkan:

– Fail dibuang karena takut, seperti:   “Seseorang telah dibunuh”

– Khawatir pada fail, seperti:   “Seorang RaIa dicaci maki”

– Fail-nya sangat diketahui (Maklum) seperti :   “Manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa’: 2)

– Atau karena Fail-nya tidak diketahui (Majhul), seperti:  , “Sejumlah harta telah dicuri”

 

 

 

 

 

Bab 3

TAQDIM DAN TA’KHIR

 

Termasuk dari keadaan keadaan yang terjadi pada Musnad, Musnad Ilaih atau perkara yang berhubungan dengan keduanya, adalah mendahulukan dan untuk mengakhirkannya.

 

Sudah sangat diketahui bahwa sesungguhnya tidak mungkin mengucapkan suatu juzjuz kalam secara langsung. Tetapi harus mendahulukan (Tagdim) sebagai juz dan mengakhirkan (Ta’khir) juz yang lain.

 

Hukum asal dari juz kalam itu tidak ada yang lebih utama untuk didahulukan dari yang lainnya, karena semua lafad ketika dilihat derajatnya itu sama. Oleh sebab itu, suatu juz kalam bisa mendahului juz yang lain harus ada suatu perkara yang mewajibkan harus didahulukan.

 

Di antara perkara yang mendorong Tagdim adalah :

 

  1. Taswiq Membuat sami’ penasaran terhadap perkara yang diakhirkan, ketika memang perkara yang didahulukan terkesan aneh. Seperti :

 

“Suatu perkara yang membingungkan manusia, ialah makhluk hidup yang diciptakan dari benda mati ”

 

  1. Mendahulukan Musnad Ilaih untuk memberikan kabar gembira pada Sami’, seperti :

 

“Pemberian ampunan padamulah yang diperintahkan.”

atau mendahulukan karena untuk memberikan kabar buruk.

 

Seperti:

 

“Hukum gisoslah yang dijatuhkan oleh Qodli”

 

  1. Perkara yang didahulukan adalah tempat ingkar dan ta’ajub, seperti :

 

“Apakah setelah pengalaman yang begitu panjang engkau masih tertipu dengan perhiasan ini ?

 

  1. Menunjukan Umumu Salbi, yaitu dengan mendahulukan adat umum dan mengakhirkan adat Nafi. Dimana adat nafi itu berfaidah menafikan keseluruan tanpa menyisakan satu pun. Seperti sabda Rasulullah pada Dzul Yadain, ketika dia bertanya pada Rasulullah: “Apakah engkau menggosor solat atau engkau lupa, wahai Rasulullah?” Kemudian Rasulullah menjawab:

 

 “Semua itu tidak terjadi (yakni qosor atau lupa)”. atau menunjukkan Salbi Umum, yaitu dengan mendahulukan adat Nafi dan mengakhirkan adat umum. Seperti:

 

“Tidak terjadi semua itu”.

 

dengan mendahulukan adat Nafi dan mengakhirkan adat Umum, maka berfaidah menafikan yakni menghabiskan perkara tetapi masih ada kemungkinan menyisakan beberapa hal. Seperti ucapan seseorang :

 

“Aku tidak mengambil semua dirham”. Ucapan seperti ini memiliki kemungkinan beberapa perkara, yakni tidak semua dirham yang diambil, atau hanya mengambil sebagian dirham.

 

  1. Tahsis (mengkhususkan) seperti:

 

“Hanya kepadamu kami menyembah” Yakni mengkhususkan melakukan ibadah hanya kepada Allah.

 

Para Ulama’ ahli Ma’ani tidak menyebutkan pendorong yang menarik Tagdim atau Ta’khir lafadz secara khusus, tetapi sudah dianggap cukup dengan menyebutkan pendorong yang menarik Tagdim (mendahulukan) saja. Karena ketika didahulukan salah satu dari dua rukun jumlah, maka yang lain akan menjadi akhir. Dan dua hal tersebut saling berkaitan.

 

Bab 4

QOSOR

 

Qosor adalah mengkhususkan suatu perkara pada yang lain dengan jalan tertentu. Oosor terbagi menjadi dua yaitu: 1) Oosor Hagigi dan 2) Oosor Idhofi.

 

1) Oosor Hagigi adalah suatu perkara yang kekhususannya sesuai dengan kenyataan dan hakikat, tidak memendang dengan disandarkan pada sesuatu yang lain. Seperti :  “Tidak ada penulis di madinah kecuali Ali”. Perkataan ini diucapkan ketika memang di kota Madinah tidak ada penulis sama sekali kecuali Ali. Dimana lafadz tersebut mengkhususkan sifat penulis hanya kepada Ali saja, dan menafikan dari semua orang selainnya.

 

2) Oosor Idhofi adalah suatu perkara yang kekhususannya disandarkan pada suatu perkara yang tertentu. Seperti :

 

“Tidak ada Ali kecuali seorang yang berdiri”.

 

Maksudnya mengkhususkan Ali dengan sifat berdiri dan menafikan sifat duduk. Pada lafadz tersebut tudak ada tujuan untuk menafikan sifat lain selain sifat berdiri, tapi yang dituju hanyalah menafikan sifat duduk.

 

Adapun Oosor Hagigi dan @osor Idhofi itu dibagi menjadi dua, antara lain:

 

  1. mengkhususkan sifat hanya pada mausufnya. Seperti :

 

  “Tidak ada orang yang pandai naik kuda kecuali Ali”. Memang kenyataan pandai berkuda hanyalah dimilki oleh Ali.

 

  1. mengkhususkan mausuf hanya pada sifat. Seperti : “Nabi Muhammad tiada lain kecuali seorang rasul”.

 

Yakni mengkhususkan nabi Muhammad pada sifat kerasulan saIa tidak sampai di atas sifat rasul. Sehingga beliau bisa meninggal dunia.

 

Adapun Oosor idhofi, ketika ditinjau dari keadaan Mukhotob maka dibagi menjadi tiga, yaitu:

 

  1. Qosor Ifrod, ketika memang Mukhotob meyakini makna Syirkah (bersekutu).

 

Semisal ada Mukhotob menyakini sifat menulis terdapat pada zaid, umar, kholid. Namun Mutakallim menafikan semua itu, dan mengkhususkan sifat menulis hanya dimiliki oleh Zaid. Sehingga dia mengucapkan:

 

“Tidak ada penulis kecuali Zaid”.

 

  1. Oosor Qolab, ketika memang Mukhotob meyakini kebalikan hukum yang ditetapkan. Seperti:

 

“Zaid tiada lain kecuali orang yang alim”.

 

Perkataan ini diucapkan bagi mukhotob yang meyakini bahwasanya Zaid adalah orang yang bodoh.

 

  1. @osor Ta’yin, ketika memang Mukhotob meyakini terhadap perkara satu yang tidak tertentu, yakni perkara tersebut memiliki satu sifat dari dua sifat atau lebih yang tidak tertentu. Seperti, Mukhotob meyakini bahwasanya bumi itu menetapi satu satu sifat, dari dua sifat yakni sifat bergerak dan diam. Sedang mukhotob tidak menentukan dari keduanya. Kemudian Mutakallim menentukan dari kedua sifat tersebut dengan berkata:

 

  “Bumi itu bergerak tidak diam” Adapun adat Oosor, baik Qosor Hagigi atau Mosor Idhofi adalah :

  1. Nafi bersama Istisna’, seperti: “Tidak lain ini adalah malaikat yang mulia”
  2. Menggunakan huruf , seperti : “Yang paham hanyalah Ali”
  3. Athof dengan menggunakan huruf, seperti: “Aku seorang pembuat kalam nasart bukan kok kalam nadhom”   “Aku tidaklah seorang penghitung tetapi seorang penulis”
  4. Mendahulukan perkara yang seharusnya di akrirkan seperti mendahulukan khobar dari mubtada’ nya, atau mendahulukan Maful dari Amilnya. Seperti:

“Hanyalah pada-Mu aku menyembah”.

 

 

 

 

Bab 5

WASOL DAN FASOL

 

* Wasol adalah mengathofkan Jumlah kepada Jumlah yang lain.

 

* Fasol adalah meninggalkan Athof, yakni tidak mengathofakan Jumlah pada Jumlah yang lain.

 

Pembahasan Athof dalam bab ini hanyalah fokus dengan huruf Athof Wawu (), karena ketika mengathofkan dengan selain huruf tersebut, tidak akan terjadi keserupaan ( ).

 

Ada 2 tempat diharuskan Wasol dan ada 5 tempat diharuskan Fasol.

 

Tempat-tempat Wasol Wasol harus dilakukan pada 2 tempat, yaitu:

 

  1. Ketika ada dua Jumlah yang sama, baik dalam bentuk Jumlah Khobariyah atau jumlah Insyaiyah. Dan antara dua jumlah tersebut ada jihah , yakni hubungan atau keterkaitan yang jelas dan tidak ada Mani’ (perkara yang mencegah). Seperti :

 

“Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak.” (QS. AtTaubah: 82)

 

“Sesungguhnya orangorang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh kenikmatan),dan sesungguhnya orangorang yang durhaka benar-benar dalam neraka Jahim.” (QS. Al-Infithar: 13-14)

 

  1. Apabila meninggalkan Athof akan memberikan praduga yang salah sehingga tidak sesuai seperti yang dikehendaki mutakallim. Seperti seorang yang bertanya pada mutakallim :

 

“Apakah ali sudah sembuh dari sakit ?” Kemudian mutakallim menjawab:

 

“Belum, dan semoga Allah memberikan kesembuhan bada Ali.”

 

Maka Jumlah pertama (lafadz Y) tidak di-Athofkan pada jumlah yang kedua (lafadz   ). Karena apabila tetap di-Athofkan maka akan memiliki arti:

 

“Semoga Allah tidak menyembuhkan Ali.”

 

Sehingga hal ini keluar dari tujuan Mutakallim, padahal tujuan Mutakallim adalah mendoakan kebaikan kepada Ali.

 

Tempat-tempat Fasol Fasol harus dilakukan pada 5 tempat, yaitu:

 

  1. Ketika ada dua jumlah yang mana di antara keduanya terjadi Itihadu Tam (kesatuan yang sempurna, seakan-akan dua jumlah itu satu makna) maka:

 

– Jumlah kedua statusnya sebagai Badal. Seperti :  (Allah) yang telah menganugrahkan kepadamu apa yang kamu ketahui, Dia yang telah menganugerahkan kepadamu hewan ternak dan anak-anak.” (QS. AsySyu’ara: 132-133)

 

– Atau jumlah kedua statusnya sebagai Athof Bayan pada jumlah pertama. Seperti :

 “Kemudian setan membisikkan kepadanya, dia berkata: Wahai adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi). (QS. Thaha: 120)

 

– Atau jumlah kedua statusnya sebagai Taukid jumlah yang pertama. Seperti :

 

  “Maka berilah penangguhan kepada orangorang kafir, berilah mereka penangguhan waktu sebentar (sampai kiamat).” (QS. Ath-Tharig: 17)

 

  1. Ketika ada dua jumlah yang mana di antara keduanya terjadi Tabayyun Tam (perbedaan yang sempurna). Dimana dua Jumlah tersebut berbeda:

 

–  Dalam segi Khobariyyah atau Insaiyyah, baik perbedaan dalam segi lafadz dan makna, atau makna saja. Seperti ucapan syair:

 

“Janganlah kau bertanya kepada seseorang mengenai wataknya, karena pada wajahnya terdapat bukti dari kabar”

 

Keterangan:

Jumlah ……. adalah jumlah Insya’iyyah dalam makna dan lafadznya karena berada dalam bentuk nahi. Sedangkan jumlah …… adalah Jumlah Khobariyyah dalam makna dan lafadznya. Oleh sebab itu, dua Jumlah ini tidak di-Athafkan dengan Wawu.

 

–  Atau antara dua jumlah tersebut tidak ada keterkaitan secara makna. Seperti :

 

“Ali adalah seorang penulis, burung merpati itu terbang “

 

Masing masing antara dua jumlah tersebut tidak ada keserasian dari segi maknanya, antara Ali menulis dan terbangnya burung. Sehingga antara jumlah dua ini, dinamakan Kamalul Inqitha’ (terputus secara sempurna dan tidak ada keterkaitan sama sekali).

 

  1. Jumlah kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang timbul dari Jumlah yang pertama. Seperti firman Allah : ,

 

“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53) Sehingga dua jumlah tersebut dikatakan Syibaih Kamalul Ittisol.

 

  1. Terdapat satu Jumlah yang di dahului oleh dua Jumlah. Dimana jumlah itu bisa diathofkan pada salah satu dua Jumlah tersebut karena adanya keserasian. Dan jika jumlah tersebut di-athofkan pada jumlah yang satunya, maka akan merusak makna murod (yang dikehendaki). Dan karena adanya peluang diathofkan yang dikhawatirkan menimbulkan pemahaman yang salah, maka hal seperti ini tidak diathofkan. Seperti syair:

 

“Salma menyangka bahwa aku mencari penggantinya, aku menyangka dia bingung dalam kasesatan”.

 

Jumlah lafadz bisa diathofkan pada Jumlah lafadz . Namun hal ini dilarang karena bisa menimbulkan dugaan salah yakni juga Athaf pada jumlah   apabila hal ini terjadi maka Jumlah ketiga ini (yakni Jumlah lafadz ) menjadi salah satu dugaan Salma, padahal hal tersebut bukanlah yang dikehendaki. Maka antara dua Jumlah pada tempat ini disebut dengan nama Syaibaih Kamalul Inqitha’.

 

  1. Tidak menyengaIa mengelompokkan dua Jumlah di dalam satu hukum yang sama dikarenakan adanya suatu Mani’. Seperti firman Allah:

 

“Dan saat mereka kembali kepada setansetan mereka (pemimpin), mereka berkata, Sesungguhnya kami bersama kalian, sesungguhnya kami hanya mengolokolok mereka. Allah akan menngolokolok mereka.” (QS. Al-Baqarah : 14-15)

 

Jumlah lafadz   tidak bisa di-Athofkan kepada Jumlah lafadz   dikarenakan tuntuan Athaf bahwa jumlah   juga merupakan ucapan orang-orang munafiq. Dan tidak bisa Athof kepada Jumlah  , dikarenakan tuntutan Athof bahwa sesungguhnya perolokan Allah kepada mereka dikaitkan dengan keadaan mereka saat kembali kepada para pemimpin mereka. Sehingga antara dua jumlah pada tempat ini disebut sebagai Tawashut bainal Kamalain.

 

 

 

 

Bab 6

IJAZ, ITNAB, MUSAWAT

 

Bab ini termasuk dari bab penting ilmu balaghoh. Sehingga tidak mengherankan apabila sebagian ulama’ balaghoh berkata: “Ilmu balaghoh adalah Ijaz dan Itnab.”

 

Setiap kehendak yang muncul atau yang melintas dalam hati, itu bisa dimungkinkan diungkapkan dengan tiga metode, yakni: Musawat, Ijaz, dan Itnab.

 

  1. Musawat adalah mengungkapkan kehendak Mutakallim dengan menggunakan ibarot yang sama dengan kehendak tersebut. Sekiranya Ibarat tersebut berada dalam batas yang berlaku pada kebiasaan Austatun Nas, yakni orang-orang yang tidak naik hingga mencapai derajat Balaghoh dan tidak turun hingga derajat Fahahah. Seperti :

 

“Dan apabila engkau (Muhammad) melihat orangorang mengolok ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka.”

 

  1. Ijaz adalah menggunkapkan kehendak mutakallim dengan menggunakan ibarot yang lebih ringkas dari pada kehendak tersebut serta memenuhi tujuan tersebut. Seperti:

 

“Sesungguhnya bisa menjadi sahnya suatu amalan hanya dengan adanya niat.” Suatu amalan (pekerjaaan-pekerjaan Syariat) bisa dianggap sah oleh Syara’ dengan adanya niat. Dan apabila ibarot tersebut tidak memenuhi terhadap tujuan maka di namakan /khla. Seperti :

 

“hidup dalam kebodohan itu lebih baik dari pada hidup susah (kesulitan).”

 

Adapun yang dikehendaki syair di atas adalah keadaan hidup senang, lapang, serba kecukupan serta kebodohan itu lebih baik dari pada keadaan hidup berat, serba kesulitan beserta ke pinteran.

 

  1. Itnab adalah mengungkapkan kehendak mutakallim dengan ibarot atau lafad yang lebih panjang dari kehendak tersebut tetapi di sertai faidah. Seperti :

 

“Zakaria berkata: “Ya tuhanku sesungguhnya tulang ku telah lemah dan kepalaku telah rata dipenuhi uban.” (QS. Maryam: 4)

 

Kata-kata seperti ini dipanjangkan, sedang aslinya adalah:  “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sudah tua.”

 

Dan jika penambahan tersebut tidak ada faidah dan tidak jelas makna zaidah, maka dinamakan Tatwil. Seperti :   (Jadimah) menemukan ucapan (Zabda) dalam keadaan dusta dan bohong”.

 

Jika yang Ziadah jelas, maka dinamakan Haswu. Dan Haswu sendiri ada yang merusak makna dan ada yang tidak, seperti : “Aku mengetahui pada hari ini dan hari kemarin sebelum hari ini”.

 

Di antara pendorong untuk mendatangkan kalam dengan bentuk Ijaz adalah:

–  (mudah menghafal)

–  (mudah memahami) – seperti ucapan:

 

Saya sudah tua” lafadz ini lebih ringkas dari pada ucapan:  “Tulangtulangku sudah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban.”

 

– (sempitnya keadaan) – seperti takut kehilangan kesempatan. Seperti ucapan pemburu yang sedang melihat kijang:  karena keadaan yang tidak mungkin untuk  mengucapkan  .

 

– (samarkan dari selain mukhotob) – seperti ucapan seseorang pada orang yang lain di depan orang banyak: “Datang”, sedangkan yang di kehendaki mutakallim adalah Zaid.

 

– (bosan untuk berbicara secara luas)

 

Adapun pendorong untuk mendatangkan dengan cara Itnab adalah.

 

– (menetapkan makna pada sami”) – seperti firman Allah :

 

“Katakanlah: Dia Yang Maha Esa, Allah yang dituju dan tempat meminta sesuatu.” (QS. Al-Ikhlas: 1-2)

 

– (menjelaskan makna murod) – seperti ucapan:   “Kholid disampingku”, yang menjadi jawaban dari pertanyaan:

 

“Dimana Kholid! .

 

– (menguatkan) – seperti firman Allah :

“Mereka yang mendapatkan petunjuk dari tuhannya dan mereka itulah orangorang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah : 5)

 

– (menolak kesalah pahaman) – Seperti firman Allah :   “Katakanlah: Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau memberi kekuasaan (di dunia).” (QS. Ali Imran: 26)

 

Sebab jika Allah berfirman   bukan   maka akan terjadi kesalah pahaman bahwa dhomir “  “ akan kembali pada lafadz   yang pertama.

 

 

 

 

Pembagian Ijaz

Ijaz itu di bagi manjadi dua :

– Ijaz Oishor

– Ijaz Hadizfi

 

  1. Ijaz Oishor adalah ijaz yang dihasilkan dengan ibarot atau lafad yang ringkas, akan tetapi mengandung makna yang banyak Dan ini adalah pusat perhatian ahli balaghoh, seperti :

 

“Sesungguhnya dalam hukum Oishas terdapat kehidupan.” (QS. AlBaqarah : 179)

 

Keterangan :

Ayat ini termasuk yang sangat baligh dalam masalah ijaz. Karena lafadznya ringkas tetapi mengandung makna yang sangat banyak. Yakni dengan ditetapkanya hukum gishos, disitulah akan adanya kehidupan manusia. Dalam arti ketika manusia mengetahui bahwasanya membunuh terhadap sesamanya akan dibunuh juga maka dia tidak akan sewenangwenang membunuh orang. Jika sudah tidak ada pembunuhan, maka akan lestarilah kehidupan manusia. Dan inilah yang di kehendaki ayat di atas.

 

  1. Ijaz Hadzfi adalah ijaz yang dihasilkan dengan membuang kalimat, jumlah atau lebih banyak disertai Qorinah yang menunjukkan adanya pembuangan.

 

– Contoh pembuangan satu kalimat, seperti huruf yang terdapat pada ucapan Umru’ul Oais:

 

“Aku berkata demi Allah (tidak) akan henti-henti aku duduk, walaupun mereka memotong-motong kepalaku dan sendi-sendiku di sandingmu”

 

“Tidak akan henti-henti aku duduk”

 

– Contoh pembuangan jumlah adalah seperti firman Allah :

 

“Dan jika mereka mendustakan engkau (setelah engkau memberi peringatan) maka sungguh rosulrosul sebelum engkau telah di dustakan pula.” (QS. Ali Imran: 184)

 

“Maka terhiburlah dan bersabarlah”

 

– Contoh pembuangan lebih dari satu Jumlah adalah seperti firman Allah:

 

“Maka kirimkanlah aku Yusuf, wahai orangorang yang dapat dipercaya.” (QS. Yusuf 45-46)

 

“Kirimkanlah aku kepada Yusuf agar aku minta penafsiran mimpi ini kepadanya. Kemudian mereka mengirimnya dan dia pun mendatangi Yusuf, kemudian berkata: wahai Yusuf ”

 

Keterangan:

Ayat di atas ini membuang beberapa jumlah:

Jumlah pertama  

Jumlah kedua 

Jumlah ketiga 

Jumlah keempat

Jumlah kelima

 

 

 

Pembagian Itnab

Itnab bisa dihasilkan dengan salah satu dari beberapa perkara, di antaranya adalah :

 

  1. Menyebutkan lafadz yang bersifat khusus setelah lafad yang bersifat umum. Seperti:

 

“Bersungguh sungguhlah kalian dalam semua pelajaran kalian dan (bersunguh-sungguh) dalam (mendalami) bahasa arab”

 

Adapun faidahnya mengingatkan pada keutamaan perkara yang khusus, seakan tingginya perkara khusus itu menjadi jenis yang berbeda dari jenis sebelumnya.

 

  1. Menyebutkan lafad yang bersifat umum setelah menyebutkan lafad yang bersifat khusus. Seperti :

 

“Wahai Tuhanku, ampunilah diriku, kedua orang tuaku, siapapun orang yang memasuki rumahku dalam keadaan iman, dan semua orang mukmin dan mukminat”

 

  1. Menjelaskan suatu perkara setelah kesamaran, seperti :

 

“Allah telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui, Dia telah menganugerahkan kepadamu hewan ternak dan anak-anak.” (QS. Asy-Syu’ara’: 132-133)

 

  1. Mengulangulang karena ada faidah, seperti panjangnya pemisah. Contoh :

 

“Dan sesungguhnya seorang yang masih konsisten dalam perinsipnya dalam keadaan seperti ini adalah orang yang mulia”

 

– Di antara faidah mengulang-ulang lafadz, adalah memotivasi mukhotob untuk memaafkan:

 

“Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan (mereka), kamu santuni dan kalian mengampuni (perbuatan mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. AtThaghabun: 14)

 

Lafadz lafadz dan lafadz   merupakan lafadz yang memiliki arti yang sama.

 

– Menguatkan Indzar (menakut nakuti). Seperti : “Sekali-kali tidak, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu) dan sekali-kali tidak, kelak kamu akan mengetahui.” (OS-AtTakatsur: 3-4)

 

  1. Mu’taridhoh yaitu lafadz yang menengah-nengahi bagian satu Jumlah, dua Jumlah atau lebih yang mana antara dua jumlah tersebut masih ada hubungan makna, dengan adanya tujuan tertentu. seperti :

 

“Sesungguhnya umur delapan puluh -dan semoga engkau sampai padanya betulbetul membuat telingaku butuh terhadap juru bahasa ”

 

  1. Tadzbil yaitu mendatangkan satu Jumlah setelah Jumlah yang lain. Dimana jumlah kedua mengandung makna Jumlah pertama, karena untuk menaukitinya. Dan hal ini adakalanya:

 

– Berlaku seperti kalam Matsal, karena maknanya jumlah kedua mampu difahami tanpa jumlah yang pertama. Seperti :

 

“Dan katakanlah: “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Dan sungguh perkara yang batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’: 81)

 

– Tidak berlaku seperti kalam Matsal, karena tidak bisa memberikan faidah tanpa adanya kalam yang pertama. Seperti :

 

“Demikiianlah kami memberi balasan kepada mereka, karena kekafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan adzab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orangorang yang sangat kafir.” (QS. Saba’: 17)

 

  1. Ikhriras yaitu mendatangkan lafadz dalam suatu kalam yang lafadz tersebut menolak kesalahpahaman. Seperti :

 

“Semoga awan musim semi dan hujan yang deras mau menyiram-nyirami rumah-rumahmu tanpa harus merusaknya”.

 

 

 

Bagian ini merupakan pembahasan kedua dalam fan ilmu balaghoh yang berjumlah tiga, seperti keterangan di muka.

 

Ilmu bayan adalah suatu ilmu yang mana di dalamnya membahas tentang Tasbih, Majas, dan Kinayah. Dan ilmu Bayan menjadi bagian kedua dari fan ilmu Balaghoh.

 

Tasbih

Tasbih secara bahasa adalah menyerupakan. Sedangkan secara istilah adalah menyerupakan suatu perkara dengan perkara lain dalam satu sifat karena adanya tujuan, dengan menggunakan huruf Tasbih.

 

– Perkara pertama disebut Musyabah (Perkara yang diserupakan)

– Perkara kedua disebut Musyabah Bih (Perkara yang menyerupai)

– Sifat, yakni arah keserupaan dari keduanya disebut Wajah Syabbah (Sisi keserupaan)

– Huruf tasbih adalah  atau huruf lain yang menyerupainya, contoh :

 

“Ilmu laksana cahaya dalam memberi tunjuk.”

 

Dalam contoh ini dapat diuraikan sebagai berikut:

adalah Musyabbah

adalah Huruf Tasbih

adalah Musyabbah Bih

 adalah Wajah Syabbah

 

Ada tiga pembahasan yang berhubungan dengan Tasbih.

Membahas tentang rukun rukun Tasbih.

Membahas tentang pembagian Tasbih.

Membahas tentang tujuan Tasbih.

 

 

 

Pembahasan Pertama,

Rukun-Rukun Tasbih

 

Rukun rukun tasbih jumlah nya ada empat :

  1. Musyabbah (Perkara yang diserupakan)
  2. Musyabbah Bih (Perkara yang menyerupai). Dua syarat ini disebut sebagai Tharafai Tasbih (Dua sisi tasbih)
  3. Huruf Tasbih
  4. Wajah Syabbah (Sifat keserupaan)

 

Wajah Syabbah adalah sifat khusus yang dijadikan tujuan dari penyerupaan Musyabah dan Musyabah bih. Seperti sifat hidayah dalam menyerupakan ilmu dengan nur.

 

Huruf Tasbih adalah lafadz yang menunjukkan terhadap makna keserupaan, seperti   dan setiap lafad yang memiliki arti yang sama dengan keduanya seperti  —  . Sedangkan adat tasbih yang berupa  harus jatuh sebelum Musyabbah Bih, seperti:

 

  “Ilmu laksana cahaya”

 

Berbeda dengan huruf Tasbih  maka huruf ini harus jatuh sebelum Musyabbah, seperti :

 

 “Seolah-olah bintang Tsuroyya adalah telapak tangan yang menjengkali gelapnya malam, agar engkau bisa melihat apakah malam masih panjang atau sudah pergi”

 

Huruf Tasbih  bisa berfaidah tasbih, kalau memang khobarnya berupa Isim Jamid, seperti:

 

“Seolah-olah Kholid itu harimau.”

 

Dan ketika khobarnya berupa Isim Mustag maka  berfaidah Syak (ragu-ragu) seperti:   “Seakan-akan kamu faham”

 

Terkadang pentasbihan tidak menggunakan huruf Tasbih, tetapi menggunakan Fi’il yang memberikan pengertian Tasbih, seperti :   “Apabila kamu melihat mereka, maka kamu akan kira mereka mutiara yang bertaburan.” (QS. A-Insan: 19)

 

Dan apabila ada Tasbih yang huruf Tasbih dan Wajah Syabbahnya di buang, maka dinamakan Tasbih Balihg. Seperti :    “Dan kami menjadikan malam sebagai pakaian” (QS. An-Naba’: 10)

 

Yakni “Malam bagaikan pakaian yang sama-sama bisa menutupi.”

 

 

 

Pembahasan Kedua

Pembagian Tasbih

 

Tasbih ketika dilihat dari sudut pandang Wajah Syabbah terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Tamsil dan 2) Ghoiru Tamsil.

 

  1. Tamsil adalah tasbih yang Wajah Syabbah-nya di ambil dari beberapa perkara, seperti :

 

“Seperti menyerupakan bintang tsuroyya dengan dompolan (kumpulan) buah anggur yang sedang berkembang”.

 

“Sungguh telah nampak (bersinar) bintang Tsuroyya di waktu subuh, terlihat seperti halnya dompolan anggur yang lagi berkembang” Keterangan: Adapun Wajah Syabbah adalah keadaan yang dihasilkan kumpulan bintang Tsuroyya yang putih dan nampak kecil, sehingga bintang Tsuroyya terlihat seperti derompolan buah anggur yang sedang berkembang.

 

  1. Ghoiru Tarsil adalah tasbih yang Wajah Syabbah-nya tidak diambil dari beberapa perkara (secara ringkas Ghiru Tamsil adalah kebalikan dari Tamsil).

 

“Bintang itu seperti dirham”

 

Pada contoh ini Wajah Syabbah-nya tidak diambil dari perkara terhitung atau tersusun dari antara bintang dan dirham, melainkan dari masalah sama-sama dalam keadaan bulat.

 

Kemudian Tasbih ketika dilihat dari sudut pandang menyebutkan Wajah Syabbah atau tidak, maka terbagi dua yaitu 1) Mufassol dan 2) Mujmal. ‘

 

  1. Mufassol adalah tasbih yang menyebutkan Wajah Syabbah, seperti :

 

“Giginya dan air mataku masalah kejernihannya bagaikan mutiara”

 

  1. Mujmal adalah tasbih yang tidak menyebutkan Wajah Syabbah, seperti:

 

“Ilmu Nahwu dalam perkataan laksana garam dalam makanan”

 

Tasbih ketika dilihat dari sudut pandang huruf Tasbih maka terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Mu’akad dan 2) Mursal.

 

  1. Mu’akad adalah suatu tasbih yang huruf Tasbihnya dibuang, seperti :

 

“Dia lautan dalam hal kedermawaannya” Termasuk Tasbih Mu’akad adalah Tasbih yang huruf Tasbihnya dibuang dan mengidhofahkan Musyabbah bih kepada Musyabbah. Seperti :

 

“Angin sedang bermain-main dahan pepohonan, sedang emas waktu sore telah lewat di atas peraknya air”

 

  1. Mursal adalah tasbih yang huruf Tasbihnya tidak dibuang. Seperti:

 

“Zaid bagaikan lautan dalam masalah dermawannya.

 

 

 

Pembahasan Ketiga,

Tujuan-Tujuan Tasbih

 

Seorang Mutakallim ketika menggunakan Tasbih pasti ada suatu tujuan tertentu yang dimaksud dengan Ghorod Tasbih (tujuan Tasbih). Tujuan pada tasbih itu adakalanya:

 

– Menjelaskan terhadap kemungkin wujudnya Musabbah, seperti:

 

“Apabila kamu mengungguli para mahluk sedangkan keadaanmu sejenis dengan mereka, maka sesungguhnya minyak misik itu sebagian dari darah kijang”

 

Keterangan:

Penyair mengakui bahwasanya orang yang dipuji itu berbeda dengan yang lainnya, karena memang terdapat sifat khusus yang dia miliki. Sehingga hal ini menjelaskan kemungkin wujudnya Musyabbah. Kemudian penyair membuat hujjah terhadap pengakuannya mengenai menyamakan orang yang dia puji dengan minyak misik, yang mana asal minyak misik tersebut adalah dari darah kijang.

 

Tetapi meskipun minyak misik tidak bisa disebut darah karena di dalam minyak misik terdapat sifat-sifat mulya yang tidak ditemukan pada darah.

 

Contoh lain yang menunjukkan mungkin wujudnya Musyabbah adalah:

 

“Nabi Muhammad ialah manusia tapi (ia) tak seperti layaknya manusia Balik ia bagaikan yagut (yang terletak) di antara dalam bebatuan”.

 

– Menjelaskan tingkah Musabbah yang belum diketahui oleh Sami’, seperti :

 

“Seolah olah kamu seperti matahari dan seorang raIa seperti bintang dan jikalau matahari terbit maka bintang tidak akan nampak”

 

Keterangan : Mukhottab diserupakan dengan Matahari karena menjelaskan keadaan Mukhottob yang sering nampak. Sedang para raIa diserupakan dengan bintang gemintang karena menjelaskan keadaan mereka yang jarang nampak di sisi penyair.

 

– Menjelaska kadar atau ukuran dari tingkah Musyabbah. Seperti:

 

“Di sana ada empat puluh dua unta perah yang hitam seperti bulu gagak yang hitam” Keterangan : Penyair menyerupakan Unta hitam dengan bulu gagak karena menjelaskan kadar kehitaman unta tersebut.

 

– Menetapkan keadaan Musyabah dalam hati Sami’, seperti:

 

“Sesungguhnya hati manusia ketika hilang perasaan cintanya seperti kaca yang sudah terlanjur pecah maka akan sulit disatukan lagi”

 

Keterangan :

Penyair menyerupakan bencinya hati dengan pecahnya kaca, karena menetapkan bahwasanya ketika hati sudah pecah maka tidak mungkin untuk mengembalikannya dengan penuh rasa cinta seperti sediakala.

 

– Menghias-hiasi Musyabbah, agar Musyabah disukai oleh Sami’, seperti :

 

“Perempuan yang cerah dan indah wajahnya laksana kelopak mata kijang yang bagus”

 

Keterangan :

Penyair menyerupakan hitamnya seseorang wanita dengan warna hitam mata kijang karena menetapkan kecantikannya.

 

– Menjelekjelekkan Musyabbah, agar dibenci oleh Sami’, seperti:

 

“Ketika dia berbicara dengan menunjuk-nunjuk maka ia seperti kera yang terbahak-bahak atau seperti neneknenek yang menampar mukanya sendiri”

 

Terkadang tujuan Tasbib itu kembali kepada Musyabbah bih ketika memang kedua torofnya dibalik, yakni mendahulukan Musyabbah bih kemudian menyebutkan Musyabbah. Hal seperti ini dinamakan Tasbih Maglub, seperti

 

Waktu subuh telah tiba, sinarnya seolaholah wajah sang kholifah (Ma’mun bin Harun Ar-Rosid) ketika dia mendapat pujian (sanjungan)”.

 

 

 

Majaz

 

Majaz adalah lafadz yang digunakan pada selain makna aslinya, karena ada Alagoh (hubungan yang serupa antara keduanya) dan disertai Qorinah yang mencegah untuk mendatangkan makna asli. Seperti :

 

“Fulan berbicara dengan kalimat yang fasih”

 

Pada contoh ini, lafad  tidak digunakan pada makna semestinya, karena ketika digunakan pada makna aslinya seharusnya “mutiara“, kemudian dipindah pada makna Majagzi yaitu” kalimat yang fasih”

 

Perpindahan tersebut karena adanya suatu Alagoh (hubungan) antara mutiara dan kalimat fasih dalam masalah indahnya. Dan lafad  adalah Qorinah yang mencegah lafadz  dimaknai dengan arti sesungguhnya.

 

Dan seperti lafad  yang digunakan pada makna  yang terdapat pada firman Allah:

 

“Mereka menjadikan ujung jari-jemari mereka (untuk menyumbat) telinga telinga mereka.” (QS. Al-Baqarah : 19)

 

Pada contoh ini, lafad  (jarijemari) tidak manggunakan pada arti semestinya, melainkan menggunakan makna  (ujung jarijemari), karena adanya Alagoh, yaitu  adalah bagian dari  . yang berarti Alagoh adalah:

 

“Mengucapkan keseluruhan tetapi menghendaki sebagian”

 

Sedangkan Morinah-nya adalah ketidak mungkinan memasukkan semua jari secara sempurna dalam lubang telinga, dan hal ini sangat muhal terjadi. Dan karena Qorinah inilah yang mencegah untuk mendatangkan makna asli sehingga harus pindah pada makna Majazi.

 

Ketika ada majaz yang Alagohnya Musyabahah, yakni adanya keserupaan antara makna Majazi dan makna Hagigi maka dinamakan majaz Isti’aroh, seperti contoh pertama.

 

Dan jikalau tidak ada keserupaan, maka dinamakan majaz Mursal, seperti yang terdapat pada contoh kedua.

 

Majaz Isti’aroh

 

Majaz Isti’aroh adalah majaz yang memiliki Alagoh Musyabahah, yakni ada keserupaan antara makna majazi dan makna hagigi. Seperti firman Allah:

 

“Inilah kitab yang kami telah menurunkannya kepadamu agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang.” (OS, Ibrahim: 1)

 

Taqdirnya adalah lafadz : Yakni dari kesesatan menuju petunjuk keimanan.

 

Lafad  dan  ini, tidak digunakan pada makna hagigi, melainkan menggunakan makna majazi, karena Alaqoh yang serupa antara  (kesesatan) dan  (kegelapan) dalam masalah keduanya sama-sama tidak mendapat petunjuk. Dan ada Alaqah pula antara  dan ,  dalam masalah keduanya samasama mendapatkan petunjuk.

 

Adapun Qorinah yang mencegah untuk mendatangkan makna asli adalah lafad :

 

“(Inilah) kitab yang kami telah menurunkannya kepadamu agar engkau mengeluarkan manusia…”

 

Dengan adanya Qorinah ini, jelas lafad  dan  tidak dimaknai makna haqiqi.

 

Pada dasarnya majaz Isti’aroh adalah Tasbih yang salah satu dari kedua sisi Thorof (Musyabbah bih dan Wajah Syabbah) dan Huruf Tasbih dibuang. Contoh majaz istiaroh :

 

“Aku melihat (laki-laki pemberani bagaikan) harimau di dalam madrasah.”

 

Dan apabila dijadikan Tasbih, maka asalnya adalah :

 

“Aku di madrasah melihat lakilaki pemberani bagaikan harimau dalam masalah pemberani”

 

Kemudian Musyabbah yang berupa:  dibuang. Huruf Tasbih yang berupa:  dibuang. Serta Wajah Syabbah yang berupa: juga dibuang.

 

Dari keterangan di atas sudah jelas bahwa Majaz Isti’arah adalah Tasbih yang dua sisi Thorof dan Huruf Tasbih dibuang. Disamping itu:

 

– Musyabbah (Perkara yang diserupakan) dinamakan sebagai Musta’ar Lah.

– Musyabbah Bih (Perkara yang menyerupai) dinamakan sebagai Musta ‘ar Minhu.

– Lafadz Musta’ar Minhu disebut dengan Musrta’ar.

 

Dan ketika diterapkan pada contoh yang pertama yakni :

 

“Inilah) kitab yang kami telah menurunkannya kepadamu agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang.” Yakni: dari kesesatan menuju petunjuk keimanan.

– Musra’ar Lah adalah: “.   “

– Musta’ar Minhu adalah makna: 

– Sedangkan lafad:  dan , m dinamakan Musta’ar (Perkarara yang diisti’arahkan)

 

Isti’aroh ketika dilihat dari sudut pandang menyebutkan kedua Thorof Tasbih, terbagi menjadi tiga, yaitu:

 

  1. Mushorrohah adalah Isti’aroh yang menyebutkan lafadz Musyabbah Bih secara jelas, seperti:

 

“Lalu (dia) meneteskan hujan mutiara dari bunga Narjis, menyirami bunga Mawar dan menggigit tumbuhan Unab menggunakan embun”

 

Pada syair di atas, penyair meminjam:

 untuk   Air mata

 untuk   Mata

 untuk   Pipi

 untuk   Ujung jari

 untuk   Gigi

 

  1. Makniyah adalah Isti’aroh yang membuang Musyabbah Bih namun menyertakan lazim-nya Musyabbah Bih (yakni suatu perkara yang tidak akan terpisah dari Musyabbah Bih), seperti :

 

“Dan rendahkanlah (turunkanlah) dirimu kepada keduanya dengan sayap kerendahan dari kasih sayang.” (QS. Allsra’: 24).

 

Ayat tersebut membuat Isti’arah sifat  (hina) diserupakan dengan lafad  (burung). Kemudian Musyabbah Bih yang berupa lafadz  dibuang dan menetapkan Lazim-nya Musyabbah Bih yakni lafadz  (sayap). Karena sayap adalah sesuatu yang tidak bisa pisah dari burung.

 

  1. Sedangkan menetapkan lafad pada lafad ini dinamakan sebagai Ist ‘aroh Tahliyah.

 

Istiaroh ketika dilihat dari sudut pandang lafadz Musta’ar terbagi menjadi dua, yaitu:

  1. Asliyyah adalah Isti’aroh yang Musta’ar-nya berupa isim Ghoiru Mustag yakni Isim Jamid, seperti meng-lsti’arohkan: (kegelapan) kepada (kesesatan) dan  (cahaya) kepada  (petunjuk).

 

  1. Taba’iyyah adalah Isti’aroh yang Musta’ar-nya berupa Fi’il, Huruf, Isim Mustaq. Seperti:

 

“Fulan naik pundaknya orang yang hutang dengannya”  

 

“Yakni Fulan selalu menekan orang yang berhutang kepadanya”. Dan Firman Allah:

 

“Mereka adalah orangorang yang mendapat petunjuk dari Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah : 5)

 

Yakni mereka benarbenar mendapatkan petunjuk yang sempurna.

 

“Jika aku benar-benar mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu, maka lisan magal (ucapan) tidak akan lebih kuat dari lisan hal (gerakan atau tingkah laku)

 

Istiaroh ketika dilihat dari sudut pandang menyebutkan atau tidak Mula’im (perkara yang serasi) Musyabbah dan Musyabbah Bih terbagi menjadi tiga, yaitu:

 

  1. Murosyihah adalah Isti’aroh yang menyebutkan Mula’im Musyabbah Bih, seperti :

 

“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk (keimanan), maka perdagangan mereka tidak beruntung.” (QS. Al-Baqarah : 16)

 

Lafad  dalam ayat diayat diartikan dengan  Kemudian ayat tersebut menyebutkan  dan adalah yang dinamakan Tarsyih. Sebab lafadz dan  itu aadalah Mula’im (perkara yang serasi) dengan Musyabbah Bih yakni lafadz: .

 

  1. Mujarrodah adalah Isti’aroh yang menyebutkan Mula’im Musyabbah. Seperti firman Allah:

 

“Maka Allah menjadikan mereka merasakan pakain kelaparan (tujuh tahun paceklik) dan ketakutan.” (QS. An-Nahl: 112)

 

Lafad  dalam ayat tersebut diartikan dengan sesuatu yang dirasakan oleh manusia ketika lapar dan takut. Sedangkan lafad   dinamakan sebagai Tajrid, karena lafad   adalah lafadz yang Mulaim dengan Musyabbah yakni sesuatu yang dirasakan oleh manusia ketika lapar dan takut.

 

  1. Mutlaqoh adalah Isti’aroh yang tidak menyebutkan Mula’im Musyabbah maupun Musyabbah Bih. Seperti : “Mereka melanggar perjanjian Allah.” (QS. Al-Baqarah : 27)

 

Keberadaan Tarsyih dan Tajrid tidak di-Ytibar, kecuali setelah Isti’aroh sempurna dengan adanya Qorinah.

 

 

 

Majaz Mursal

 

Majaz Mursal adalah majaz yang Alagoh-nya tidak Musyabbahah (tidak ada keserupaan antara makna majazi dan makna hagigi). Di antara Alaqah tersebut adalah:

 

  1. Sababiyyah (sebab), seperti:

 

“Kenikmatan Fulan sangat besar padaku.”

 

“Yakni kenikmatan Fulan yang disebabkan tangannya.”

 

Pada contoh ini, menggunakan lafadz sebab yang berupa  sedangkan yang dikehendaki adalah akibatnya (Musabbab) yang berupa  . Sehingga Lafad  tidak diartikan dengan “Tangan” melainkan diartikan “Nikmat”, karena tangan adalah sebab untuk memberikan nikmat pada seseorang. Adapun Qorinah-nya (yakni lafadz yang mencegah untuk mendatangkan makna asli) adalah lafadz .

 

  1. Musababiyyah (akibat), seperti:

 

 “Langit menghujani tumbuhan.”

 

 “Yakni hujan yang menjadi sebab (adanya) tumbuhan”

 

Pada contoh ini, mengunakan lafadz musabbab (akibat) yang berupa  sedangkan yang dikehendaki adalah lafadz sebab yang berupa  . Karena  (hujan) adalah penyebab tumbuhnya tanaman, sedangkan Qorinah-nya adalah  .

 

  1. Juz ‘iyyah (bagian) seperti:

 

“Aku mengirim penyelidik agara mereka memperhatikan keadaan musuh”

 

“Yakni penyelidik atau mata-mata.”

 

Pada contoh ini mengucapkan Juz (bagian) yang berupa (mata), sedangkan yang dikehendaki adalah Kul (keseluruhan) yaitu seseorang yang menjadi mata—mata atau penyelidik yakni lafadz ,. Adapun Qorinah-nya adalah keadaan yang tidak mungkin hanya mengirim mata tanpa disertai anggota badan yang lain.

 

  1. Kuliyyah (keseluruhan), seperti:

 

“Mereka menjadikan jari-jari tangan mereka (untuk menyumbat) pada telinga-telinga mereka.” (QS. Al-Baqarah : 19) yakni ujung jari mereka.

 

Pada contoh ini, menggunakan lafadz Kul (keseluruhan) yakni  (jarijemari) sedangkan yang dimaksud hanyalah Juz nya (sebagian) yakni Je! (ujung jarijemari). Adapun Qorinahnya adalah tidak mungkinnya memasukkan semua jarijemari tangan secara bersamaan ke dalam lubang telinga.

 

  1. (memandang masa yang telah terjadi) seperti :

 

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta-harta mereka.” (QS. An-Nisa: 2) yakni anak-anak yatim yang sudah baligh.

 

Karena kewajiban memberikan harta anak yatim, ketika sudah baligh. Dan saat belum balig maka harta tersebut diurusi oleh walinya. Sedangkan pengucapan lafadz:  disini yang di maksud adalah:   .Ini adalah majaz. Adapun Alagoh-nya adalah mengingat adanya yatim sebelum baligh.

 

  1. (mengingat masa yang akan datang), seperti:

 

“Sesungguhnya aku bermimpi memeras arak.” (QS. Yusuf: 36) yakni anggur.

 

Pada ayat ini menggunakan lafadz:  sedangkan yang dimaksud adalah lafadz:  (anggur). Ini adalah majaz mursal. Adapun Alagohnya adalah mengingat masa yang akan datang, yakni perasan dari  (anggur) akan menjadi  (arak). Sedang Qorinahnya adalah tidak mungkinnya lafadz diartikan dengan makna Haqiqi.

 

  1. Mahaliyyah (tempat), seperti:

 

 “Majlis telah menetapkan hal tersebut.” Yakni ahli majlis.

 

Contoh di atas menggunakan Mahal (tempat) yang berupa  tetapi yang dimaksud adalah Hal (keadaan) orang yang menempati tempat tersebut yakni lafadz: . Sedangkan Qorinah-nya adalah lafad  (menetapkan).

 

  1. Haliyyah (keadaan), seperti :

 

“Dan adapun orang yang berwajah putih berseri, mereka dalam Rohmat Allah (surga), mereka kekal di dalamnya.” (QS. Ali-Imran: 107)

 

Lafadz , (kasih sayang) adalah Majaz Mursal dari mengucapkan Hal (keadaan) yang berupa rohmat, nikmat. Akan tetapi yang dikehendaki pada ayat ini adalah Mahal (tempat) yang berupa (Surga). Karena Rahmat, yakni beberapa kenikmatan Allah itu bertempat di dalam surga. Berarti mengucapkan Hal tapi yang dimaksud adalah Mahal. Adapun Qorinah-nya adalah kalimat  (di dalam).

 

 

 

 

Majaz Murokkab

 

Majaz Murokkab adalah suatu kalam yang digunakan pada selain makna aslinya karena adanya Alagoh yang tidak Musyabbahah (tidak ada keserupaan antara makna majazi dan makna hagigi). Seperti menggunakan Jumlah Khobariyyah tetapi yang dikehendaki adalah Jumlah Insyaiyah, seperti yang terdapat di bawah ini. “kekasihku beserta rombongan Yaman menjauh (dariku) sedang tubuhku terbelanggu di kota Makkah”

 

Adapun tujuan dari syair di atas tidak memberikan kabar akan tetapi menampakkan kesusahan dan kesengsaraan.

 

Dan apabila Alagohnya Musyabbah (ada keserupaan antara makna majazi dan makna hagigi) dinamakan Isti’aroh Tamsiliyyah. Seperti perkataan yang diucapkan pada orang yang ragu.

 

“Sesungguhnya aku melihatmu (sedang melangkah) maju mundur.” Yakni aku melihatmu dalam keadaan binggung.

 

Majaz Aali

 

Majaz Agli adalah menyandarkan Fiil atau lafadz yang menunjukkan makna fi’il tidak pada Shohibul Fi’il menurut Mutakallim. Karena pada dasarnya Fi’il disandarkan pada Fa’il atau Naibul Fa’il.

 

Sehingga dapat diambil kesimpulan: “Menyandar suatu pekerjaan (Fi’il) pada selain pelaku aslinya (atau fail hagigi)”, Seperti:

 

“Sesuatu yang menjadikan anak kecil beruban dan menjadikan orang tua mati adalah bergantinya waktu pagi dan lewatnya waktu sore”

 

Menyandarkan beruban dan matinya seseorang kepada bergantinya hari dan lewatnya waktu malam, berarti menyandarkan suatu perkara pada selain pelaku asli, yakni Allah. Karena sebenarnya yang menjadikan beruban dan matinya seseorang adalah Allah.

 

Di antara Majaz Agli adalah :

 

– Menyandarkan Fi’il Mabni Fail pada Fi’il Mabni Maful. Seperti:

 

(Makna majazi) “Kehidupan yang ridha”

(Makna asli) “Kehidupan yang diridhai”

 

– Menyandarkan Fi’il Mabni Maful pada Fiil Mabni Fail. Seperti:

 

(Makna majazi) “Banjir yang dipenuhi”

(Makna asli) “Banjir yang memenuhi”

 

– Menyandarkan Fi’il Mabni Fail pada Masdar. Seperti:.

 

(Makna majazi) “Kesungguhan yang bersungguh-sungguh”

(Makna asli) “Orang yang bersungguh-sungguh”

 

– Menyandarkan Fi’il Mabni Fail pada Isim Zaman. Seperti:

 

(Makna majazi) “Siang hari yang berpuasa”

(Makna asli) “Orang yang berpuasa di siang hari”

 

– Menyandarkan Fi’il Mabni pada Isim Makan. Seperti:

 

(Makna majazi) “sungai yang mengalir”

(Makna asli) “sungai yang mengalir”

 

– Menyandarkan Fi’il Mabni Fail pada Sabab. seperti:

 

(Makna majazi) “Sang raIa membangun”

(Makna asli) “Sang raIa memerintahkan pasukannya membangun”

 

Dan dari keterangan di atas bisa diketahui, bahwasanya Majaz Lugowi itu terjadi pada lafadz. Sedangkan Majaz Agli itu terjadi pada Isnad.

 

 

 

 

Kinayah

 

Kinayah adalah menggunakan sebuah lafadz namun yang dikehendaki makna lazimnya’, serta dimungkin mendatangkan makna Hagigi (asli).

 

Dengan ini bisa diambil kesimpulan, bahwa antara Majaz dan Kinayah terdapat perbedaan yang jelas. Kalau majaz tidak diperbolehkan menghendaki makna Hagigi (asli), sedang Kinayah diperbolehkan menghendaki makna Hagigi (asli). Seperti:

 

“Zaid itu panjang sarung pedangnya.”

 

Namun yang dimaksud dari lafadz di atas adalah makna Lazimnya yaitu:

 

“Zaid seorang yang tinggi tubuhnya.”

 

Karena sudah pasti bahwa orang yang memiliki sarung pedang yang panjang, mestinya orang itu memiliki tinggi tubuh yang panjang. Sebab sarung pedang mesti mengimbangi sang pemiliknya.

 

Kinayah ketika dilihat dari sudut pandang Makni ‘Anhu (arti yang dimaksud dengan lafad tersebut) itu terbagi menjadi tiga, yaitu: 1. Kinayah yang Makni ‘Anhu berupa Sifat. Seperti :

 

“Panjang sarung pedangnya, tinggi tiang rumahnya dan banyak abunya ketika memberi.”

 

Dari syair di atas yang dikehendaki adalah orang yang tinggi badannya, orang mulia serta orang yang dermawan.

 

Lafadz:  (panjang sarung pedangnya) adalah sebuah Kinayah bagi orang yang tinggi, yakni Sifat yang dimiliki orang tersebut tinggi tubuhnya.

 

Sedangkan lafadz:  (banyak abunya) adalah Kinayah dari orang yang dermawan, yakni Sifat yang dimiliki Orang tersebut itu suka memberi. (Karena orang yang senang memberi makan kepada orang lain, maka dia sering memasakn makanan yang menyebabkan banyaknya debu.)

 

  1. Kinayah yang Makni “Anhu berupa Nisbat (menetapkan sifat pada Mausuf atau menafikan sifat dari Mausuf), seperti: “Keagungan (kemulyaan) itu terletak di antara kedua bajunya, dan kedermawanan itu terletak di bawah selendangnya.

 

Pada contoh yang dikehendaki adalah menisbatkan sifat kemulyaan dan sifat kedermawanaan pada seseorang.

 

  1. Kinayah yang Makni “Anhu tidak berupa Sifat dan Nisbat. Seperti

 

“Pujianku untuk) para penebas dengan pedang putih yang memutus dan para penusuk tempat berkumpulnya rasa dendam.”

 

Kinayah apabila dilihat dari sudut pandang Wasa’ith (perantara untuk memahami makna Kinayah) dibagi menjadi empat, yaitu:

 

1) Talwih adalah Kinayah yang memiliki Wasaith banyak, seperti:

 

“Banyak abunya” Adalah sebuah kinayah bagi orang yang dermawan. Karena ketika banyak debu, berarti menetapkan bahwa orang tersebut sering membakar. Ketika sering membakar, berarti bahwa orang tersebut sering membuat roti. Dan ketika sering membuat roti, berarti di rumah orang tersebut banyak orangorang yang makan. Dan ketika banyak orang yang makan menetapkan, bahwa orang tersebut banyak tamunya dan menetapkan bahwa dia adalah dermawan karena sering menyuguhi tamu.

 

2) Romzam adalah Kinayah yang memiliki Wasaith sedikit dan samar, seperti:

 

“Dia orang yang gemuk lagi lebar.”

 

Lafadz itu adalah Kinayah bagi orang bodoh dan tidak jelas. Karena ketika seseorang badannya gemuk, berarti menetapkan bahwa orang tersebut dahinya lebar. Dan ketika dahinya lebar berarti menetapkan bahwa orang tersebut bodoh.

 

3) Ima’an dan Isyaroh adalah Kinayah yang memiliki Wasaith sedikit, atau tidak ada dan menjadi jelasnya Kinayah tersebut. Seperti :

 

“Apkah engkau tidak melihat bahwa keagungan telah meletakkan rumahnya dalam keluarga Tholhah lalu tidak berpindah lagi”

 

Syair ini adalah Kinayah bahwa sesungguhnya keluarga Tholhah adalah orang yang agung.

 

Dalam pembahasan ini, ada sebuah Kinayah yang maknanya hanya bisa dipaham lewat Siyagul Kalam (runtutan kalam). Kinayah ini disebut Ta’rid.

 

4 Ta’rid adalah mengarahkan suatu kalam pada makna kinayah yang hanya bisa di pahami lewat siyagul kalam. Seperti ucapan kita kepada seorang yang membayahakan orang lain:

 

“Sebaik-baiknya manusia dalah orang yang memberi manfaat pada orang lain.”

 

Lafadz tersebut adalah Kinayah dari tidak adanya kebaikan pada orang yang menyakiti orang lain. Karena mengekang arti adanya kebaikan hanya kepada orang yang yang memberi manfaat kepada orang lain maka secara lazimnya tidak adanya kebaikan bagi orang yang tidak bersifat demikian. Dan makna Kinayah ini hanya bisa dipaham lewat Siyagul Kalam.

 

 

Bagian ini menjadi akhir pembahasan dalam fan ilmu balaghoh yang berjumlah tiga.

 

Badi secara bahasa adalah menjadikan sesuatu perkara tanpa adanya contoh. Seperti Allah menciptakan manusia pertama: yakni nabi Adam di muka bumi, tanpa ada contoh.

 

Badi” secara istilah adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui cara mempercantik Kalam yang sudah cocok dengan Muqtadol Hal.

 

Jikalau model perbaikan Kalam kembali kepada makna, maka dinamakan Muhassinatul Maknawi. Dan sebaliknya, jikalau model perbaikan Kalam tersebut kembali pada lafadz maka dinamakan Muhassinatul Lafdiyah.

 

Perhatikan tabel berikut ini:

 

 

Muhassinatul Maknawi Muhassinatul Maknawi terbagi menjadi 12, antara lain :

 

1) Badi” Tauriyyah adalah menyebutkan suatu lafad yang memiliki dua makna, yaitu Oorib dan Ba’id tetapi yang dikehendaki makna Ba’id karena adanya Qorinah khofiyyah (samar).

 

Sedangkan yang dimaksud dengan makna Oorib adalah makna yang sering digunakan pada semestinya. Sedang makna Ba’id adalah makna yang tidak sering digunakan pada semestinya. Seperti firman Allah:

 

“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari (yakni sebuah dosa yang kamu lakukan saat siang hari).” (QS. Al’ An’am: 60)

 

Keterangan:

Makna (Oorib lafadz  adalah “melukai”, tetapi dalam ayat ini yang dikehendaki adalah makna Ba’id yaitu “ mengerjakan atau melakukan dosa.” Dan seperti sya’ir di bawah ini :

 

“Wahai tuan yang mendapatkan keramahan, baginya para makhluk (manusia) menjadi hamba-hambanya”

 

“Engkaulah Husain bin Ali bin abi Tholib akan tetapi keras kepala kami padamu semakin tambah”

 

Keterangan :

Makna Oorib lafadz  adalah Alam (nama seseorang). Nama  adalah Yazid bin Muawiyah. Akan tetapi yang kehendaki dalam syair di atas bukanlah hal itu, tetapi makna Ba’id yang berupa Fi’il Mudhori’  dari fi’il madi yang berupa lafadz  “tambah”.

 

2) Badi’ Thibqg adalah menggabungkan atau mengumpulkan dua makna yang saling berlawanan. (Hal ini yang biasanya disebut dalam istilah bahasa Indonesia dengan istilah antonim atau lawan kata). Seperti:

 

”Dan engkau mengira mereka terjaga padahal mereka tidur ”. (QS. Al-Khafi:18) Seperti :

 

”Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, mereka hanya mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia.”( QS. Ar-Rum: 6-7) Termasuk bagian dari Badi’ Thibag adalah Badi’ Thibag Mugobalah.

 

3) Badi” Thibag Mugobalah adalah mendatangkan dua makna atau lebih, kemudian didatangkan lawan kata dari makna tersebut secara berurutan (tartib). Seperti :

 

“Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit (dunia) dan mereka akan menangis banyak (di akhirat).” (QS. AtTaubah:8)

 

4) Badi” Muroa’tun Nadir adalah mengumpulkan suatu perkara dengan perkara lain yang Munasabah (berhubungan) dengannya dan tidak berlawanan.

 

Seperti sya’ir di bawah ini:

 

“Hujan gerimis (yang menetesi) ranting pohon laksana mutiara yang basah dan berjabat tangan dengan angin yang sepoi-sepoi kemudian jatuh (ke bumi)” ,

 

“Burung itu seperti membaca, Air segar laksana lembaran kertas, dan angin itu bagai mencatat sedangkan awan itu ibarat sedang memberi titik” Keterangan: Pada syair di atas menyebutkan hujan gerimis, dan ranting ranting pohon serta angin sepoisepoi. Yang mana antara lafadz lafadz tersebut adanya keserasian dalam satu hal, yakni mengumpulkan perkara yang memiliki keserasian lembut dan ukuran kecil yang berupa gerimis, ranting-ranting pohon serta angin sepoi-sepoi. Semua perkara tersebut mempunyai keserasian dalam hal kecil dan lembunya.

 

Syair di atas mengumpulkan beberapa perkara yang memiliki keserasian antara burung dengan angin. Karena setiap burung pastilah terbang dan bersahabat dengan angin.

 

Disamping itu juga terdapat keserasian antara air dengan awan. Karena setiap awan pastilah yang mengeluarkan air hujan.

 

Begitu juga antara membaca dan menulis karena setiap membaca maka identik dengan menulis. Dan antara kertas dengan titik karena setiap kertas yang ditulis pastilah adanya titik. Semua perkara tersebut mempunyai keserasian. Dan inilah yang dikehendaki dengan Badi’ Muro’atun Nadir.

 

5) Badi” Isikhdam adalah menyebutkan suatu lafad dengan makna, dan lafadz tersebut dijadikan tempat kembalinya sebuah dhomir namun dengan menggunakan makna lain. Arau mendatangkan dua dhomir yang kembali pada lafad tersebur. Namun makna yang dimaksud dari dhomir kedua itu berbeda dengan makna dhomir yang pertama.

 

– Contoh yang pertama seperti :

 

 “Barang siapa di antara kamu melihat bulan maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu ”. (QS. Al Baqarah : 185)

 

Keterangan : Makna lafad  adalah “Bulan”, sedangkan dhomir lafad l yang kembali pada lafad HAM memiliki arti yang lain yaitu “Bulan Romadhon.”

 

– Contoh yang kedua seperti :

 

“Mudahmudahan Allah) menyirami pohon ghodho’ dan orang yang menempatinya meskipun mereka menghidupkan api disampingku dan tulang rusukku”.

 

Keterangan :

Makna lafadz: adalah “Salah satu pohon yang berada di pedesaan”, sedangkan Dhomir lafadz:   yang kembali pada lafad  ini bermakna “Tempat tumbuhnya pohon tersebut”. Sedang Dhomir lafadz:   yang juga kembali pada lafadz:   ini bermakna “Apinya pohon tersebut.”

 

6) Badi’ Jamak adalah mengumpulkan beberapa perkara dalam satu hukum. Seperti sya ‘ir di bawah ini :

 

“Sesungguhnya sifat muda, pengangQur’an dan kaya raya, itu adalah penyebab kerusakan yang besar kepada seseorang”

 

Keterangan : Syair di atas disebut Badi’ Jamak karena mengumpulkan sifat  (muda)  (penggangQur’an) dan  (kaya raya) pada satu perkara yakni penyebab kerusakan.

 

71) Badi’ Tafrig adalah membedakan dua perkara yang berasal dari satu jenis lafadz yang sama. Seperti syair di bawah ini:

 

“Tidaklah ada pemberian awan pada musim peng hujan, seperti halnya pemberian raIa pada waktu dermawan.”

 

“Pemberian raIa ialah sejumlah harta sedangkan pembarian awan adalah tetesan air hujan”.

 

Keterangan :

Tidak adanya kesamaan antara pemberian awan dan pemberian raja. Perbedaan ini sungguh pantas. Karena pemberian raIa dengan sejumlah harta yang besar, sedangkan pemberian awan dengan tetesan hujan.

 

Sang penyair meletakkan perbedaan antara «  » “dua pemberian”, akan tetapi keduanya tersebut berasal dari satu jenis yang sama yaitu pemberian yang mutlak.

 

8) Badi” Tagsim mempunyai tiga pengertian :

 

  1. Badi” Tagsim adakalanya membagi suatu perkara dan memenuhi semua bagian satu persatu dari perkara tersebut:

 

“Aku mengetahui pada hari ini dan hari kemarin akan tetapi untuk yang ada pada hari besok aku tidak mengetahui ”.

 

  1. Badi” Tagsim adakalanya menyebutkan lafadz yang banyak, kemudian mengembalikan pada suatu hal yang tertentu dengan jelas, seperti sya’ir di bawah ini :

 

“Tidak Akan menetap serta kedzoliman yang di kehendakinya, kecuali dua kehinaan (yang didapat) yaitu keledai dan pasak”

 

“Sedangkan keledai serta kehinaan diikat dengan tali, adapun pasak dipukuli (sampai-sampai) tidak ada seorangpung yang mengasihinya”

 

Keterangan:

Pada Contoh kali ini penyair menyebutkan lafadz:  “keledai” dan lafadz: , “pasak”. Kemudian penyair mengembalikan sesuatu yang menjadi kebiasaan keledai yang berupa lafadz: “diikat dengan tali”. Setelah itu, penyair juga mengembalikan sesuatu yang berhubungan dengan , “pasak” yaitu lafadz  “dipukuli”. Inilah yang dimaksud dengan Badi Taqsim.

 

  1. Badi’ Tagsim adalakalnya menyebutkan beberapa tingkah serta menyandarkan perkara yang layak pada satu persatu tingkah tersebut. Seperti sya’ir di bawah ini :

 

“Aku akan menuntut hakku dengan membawa tombak dan orang-orang tua, (karena) terlalu sering menutupi wajah, mereka laksana remaja”

 

“Mereka memberat (bagi para musuh) ketika peperangan, ringan ketika diundang, banyak ketika bertempur, sedikit ketika dihitung” Keterangan: Pada syair yang pertama, penyair menyebutkan lafad  “orang-orang tua”. Setelah itu, penyair menyebutkan tingkah-tingkah mereka yang berupa:

 

“Berat Banyak  “Ringan”  “Sedikit”

 

Kemudian penyair menyandarkan masing-masing tingkah tersebut pada suatu yang layak bagi orang-orang tua, yakni keadaan mereka itu memberatkan bagi para musuh ketika peperangan, keadaan mereka ringan untuk menuruti permintaan ketika diundang, mereka itu banyak ketika keadaan mengkhawatirkan, dan lagi jumlah mereka sedikit ketika dihitung.

 

9) Badi” Takidul Madhi Bima Yusybihu Dzam adalah menguatkan pujian dengan ibarot yang serupa dengan cacian. Dalam bagian ini, dibagi menjadi dua, yakni:

 

  1. Mengecualikan sifat pujian dari sifat celaan yang ditiadakan dengan mengira-ngirakan masuknya sifat pujian pada sifat celaan tersebut. Seperti sya’ir di bawah ini “Tidak ada celaan (cacat) sama sekali bagi mereka hanya saIa pedang pedang mereka papak sebab menebas para musuhnya”

 

Keterangan :

Lafadz  adalah suatu penafian kepada semua cela. Tidak adanya cela yang dimiliki, adalah sebuah pujian baginya secara tidak langsung.

 

Kemudian penyair mendatangkan huruf Istisna'(  £) yang isinya adalah  (pedang pedang mereka papak) yang dikira-kirakan masuknya perkara yang diIstisna’i tersebut pada cela yang dinafikan, yakni lafad::  Hal ini menambah pujian bagi mereka serta menguatkan pujian.

 

  1. Menetapkan sifat pujian terhadap satu perkara. Kemudian mendatangkan huruf Istisna’, yang sesudah Istisna’ tersebut juga terdapat sifat pujian yang lain. Seperti sya’ir di bawah ini :

 

“Pemuda yang sempurna sifat-sifatnya kecuali dia juga seorang dermawan sehingga tidak menyisakan sedikitpun dari harta hartanya”

 

Keterangan :

Lafadz:   “Sempurna sifat sifatnya” adalah sebuah pujian yang diperuntukkan dan ditetapkan untuk sang pemuda. Kemudian penyair mendatangkan huruf Istisna’ ( ) yang sesudah huruf Istisna’ tersebut juga terdapat sifat pujian yang lain, yakni  “Dia juga seorang dermawan”. Hal ini menambah dan menguatkan pujian tersebut.

 

10) Badi” Husnul Ta’lil adalah seseorang yang mengaku adanya suatu “Ilat (alasan) yang tidak nyata (dalam artian tidak sesuai dengan kenyataan) bagi satu sifat. Seperti sya’ir di bawah ini: “Jika tidak ada niatan bintang Jauza’ untuk berkhidmah padanya maka kamu tidak akan melihat dia memakai kalung yang di sabukkan”.

 

Keterangan :

Adanya bintang Jauza’ mempunyai niatan berkhidmah (menyinari) seseorang adalah suatu hal yang tidak nyata keberadaannya. Karena pada hakikatnya yang menjadikan bintang bersinar adalah Allah, akan tetapi hal inilah yang diakui oleh penyair.

 

11) Badi” Yualaful Lafdi Ma’al Makna adalah keserasian sebuah lafadz pada maknanya. Maka dalam hal ini dipilihlah lafadzlafadz yang agung atau menunjukkan ketangguhan untuk makna kemulyaan, dan keberanian. Seperti sya’ir di bawah ini:

 

“Jika aku marah dengan marahnya Mudor, tentu kubelah penutup matahari sampai meneteskan darah”

 

Jika memilih lafad lafad yang lembut dan halus maka hal itu diperuntukkan untuk makna merayu. Seperti sya’ir di bawah ini:

 

“Malamku tak begitu lama akan tetapi aku tidak bisa tidur bak hilanglah dariku khayalan kekasihku ”.

 

12) Uslubul Hakim adalah memberi jawaban kepada Mukhotob atau Sa’il (orang yang bertanya) dengan jawaban yang tidak dia inginkan atau ditunggu-tunggu. Karena mengingatkan bahwasanya jawaban itulah yang lebih utama dari pada jawaban yang diinginkan.

 

  1. Mengucapkan kalam (perkataan) yang mengalihkan dari tujuan pembicaraan (mengalihkan pembicaraan). Seperti ucapan penyair Qoba’sar kepada Hajjaj. Dan Hajjaj mengancam Qoba’sar dengan perkataannya:

 

“Sungguh aku akan menyeret dan membawamu dengan diikat rantai besi ”. Qoba’sar menjawab :

 

“Seperti raIa saja, pantaslah seorang raIa menunggangi kuda hitam dan kuda putih”. Kemudian Hajjaj berkata lagi kepada Qoba’syar:

 

 “Maksudku adalah besi (hitam bukannya kuda hitam).” Qoba’sar berkata :

 

“Jika keadaan kuda tersebut kuat itu lebih baik dari pada kuda yang bodoh.”

 

Keterangan :

Sebenarnya Hajjaj menghendaki  “rantai besi yang hitam” Dan menghendaki “barang tambang khusus” dengan arti aslinya itu. Sedangkan Ooba’sar mengarahkan dua lafadz tersebut pada makna lain yakni: artinya “kuda hitam yang kuat.”

 

  1. Memberikan jawaban kepada Sa’il, yang jawaban tersebut dihasilkan dengan menempatkan pertanyaan Sa’il seperti pertanyaan lain yang lebih sesuai dengan masalah. Seperti firman Allah:

 

“Mereka bertanya padamu tentang bulan sabit. Katakanlah: itu adalah petunjuk waktu bagi manusia dan ibadah haji.(QS. AlBaqarah : 189)

 

Keterangan :

Sahabat Muadz bin Jabal dan Rabiah al-Anshori bertanya kepada Rasulullah mengenai hilal. Mereka bertanya: “Kenapa pada permulaan munculnya bulan sabit itu kecil, kemudian tambah membesar sehingga menjadi bulan purnama, kemudian setelah itu, mengecil sehingga kembali seperti semula?”

 

Maka datanglah jawaban mengenai hikmah yang terkandung di dalam hal tersebut. Disebabkan hikmah tersebut lebih penting bagi Sa’il. Maka pertanyaan mereka mengenai penyebab perbedaan bentuk bulan ditempatkan pertanyaan mengenai hikmah penyebab perbedaan tersebut.

 

Mahasinatul Lafdzi

 

  1. Badi” Jinas : Dua lafadz yang serupa dalam pengucapannya, tetapi memiliki perbedaaan makna. Badi Jinas di bagi menjadi dua, yaitu: 1) Jinas Tam, 2) Jinas Ghairu Tam.

 

1) Jinas Tam Suatu lafadz (dua lafadz tersebut) huruf hurufnya cocok dalam:

 

– Ha’iah (bentuk) “ sama dalam segi berharokat dan sukunnya.

 

– Na’u (macam) » sama dalam segi jenis huruf hijaiyah yang berjumlah 28

 

– Adad (hitungan) masing-masing dari dua lafad tersebut jumlahnya sama, semisal jika lafad yang pertama berjumlah 3 huruf maka lafad yang kedua juga berjumlah 3 huruf.

 

– Tartib (urutan) – yakni urutan dua lafad tersebut sama.

 

Semisal jika pada lafad pertama huruf di dahulukan, maka pada lafad kedua huruf juga didahulukan. Seperti sya’ir di bawah ini :

 

“Kami tidak menemukan orang yang bisa dijadika tempat berlindung selain dirimu,semoga engkau tidak henti-henti menjadi biji mata masa”

 

“Bersikaplah yang baik pada mereka selama engkau berada di desa mereka dan buat mereka ridho selama engkau berada ditanah mereka.”

 

2) Jinas Ghoiru Tam : Adanya ketidak cocokan dari masingmasing dua lafad tersebut. Baik dari segi Hai’ah, Na’u, Adad atau tertibnya. Seperti sya’ir di bawah ini :

 

“Mereka mengeluarkan tangan-tangan yang bisa melindungi, dan menyerang dengan pedangpedang yang membunuh dan memutus”

 

  1. Badi’ Saja” Sesuainya dua fasilah (kalimat akhir) atas satu huruf yang mana hal ini terjadi pada kalam Natsar (selain Syair, baik Al Qur’an atau selainnya). Seperti :

 

“Manusia itu terlatak pada adabnya, bukan pada perhiasan dan bajunya. ”

 

“Lalu kami jadikan mereka gadis gadis perawan, yang penuh cinta padanya dan sebaya umurnya.” (QS. AlWaqi’ah: 36-37)

 

“Santri menurutku orang yang belajar dan berkhidmah.”

 

  1. Badi’ Iqribas Memberikan kandungan (ayat ) Al Qur’an atau hadist dalam sebuah kalam (baik berupa kalam natsar ataupun nadhom). Tapi dengan syarat kalam tersebut tidak bertujuan sebagai Al Qur’an atau hadist.

 

– Contoh sya’ir yang mengandung ayat Al Qur’an:

 

“Janganlah berbuat dholim dan jangan sampai ridho dengan kedholiman dan ingkarilah semua perkara yang kau mampui”

 

“Pada hari perhitungan amal nanti (yakni hari kiamat ) tidaklah ada seorang teman setia bagi orang dholim dan tidak ada baginya Seorang penolong”

 

Keterangan :

pada sya’ir yang berupa:

 

“Tidaklah ada seorang teman setia bagi orang dholim dan tidak ada baginya seorang penolong”

 

Sebenarnya sya’ir ini mengandung ayat Al Qur’an yang berbunyi :

 

“Tidak ada seorang pun teman yang setia bagi orang yang dolim dan tidak ada baginya seseorang penolong yang diterima pertolongannya.” (QS. Ghafir: 18)

 

– Contoh sya’ir mengandung sebagian hadist:

 

“Janganlah kamu memusui manusia ketika berada dinegaranya, sedikit sekali seorang pendatang yang mejaga tanah kelahirannya”

 

“Dan jika kamu menghendaki hidup di antara mereka, Dan bersikaplah terhadap manusia dengan ahklag yang bagus.”

 

Keterangan :

Sebenarnya sya’ir di atas mengandung hadist Rasulullah yang berbunyi : ,

 

“Bertagwalah kepada Allah dimanapun kamu berada. Ikutkan kebaikan setelah kejelekan karena kebaikan itu bisa menghapus kejelekan. Dan bersikaplah terhadap manusia dengan ahklag

 

Diperbolehkan merubah sedikit ayat Al Qur’an atau hadist yang digunakan sebagai kandungan suatu nadham, karena memang adanya kebutuan Wazan atau lainnya, seperti sya’ir berikut:

 

“Sungguh telah terjadi apa yang aku khawatirkan sesungguhnya kita akan kembali kepada Allah”.

 

Keterangan : Al Qur’an yang dikandung pada sya’ir di atas, sedikit ada perubahan yang mana pada asalnya berupa :

 

“Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadanya”. (QS. Al-Baqarah : 156)

 

Khotimatun

 

  1. Badi’ Khusnul Ibtida: seorang mutakallim mempercantik permulaan kalamnya’ dengan memilih lafad yang indah, bagus susunannya, serta shohih maknanya. Sehingga jauh dari Tanafur, Mukholafah lil Qiyas, serta sulit pengucapannya.

 

Dan apabila kalam tersebut mengisyarahkan kepada perkara yang akan dibahas, maka hal ini dinamakan Badi” Baroatul Istihlal. Dan diucapkan oleh ulama’ Fugoha’ (ulama’ ahli figih) pada permulaan kalamnya sebelum dia memulai pada pembahasan figih, yakni magolah :

 

“Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka dia akan difahamkan dalam masalah agamanya”.

 

Keterangan :

Sebenarnya hadist di atas tidak ada sangkut paunya dengan pembahasan figih, karena makna lafadz:  adalah “difahamkan”. Akan tetapi mushonnif membuat Badi” Baroatul istihlal, yakni menyinggung dan mengisyarohkan terhadap ilmu yang akan dibahas yakni ilmu figih.

 

Juga seperti ucapan selamat sebab sembuh dari penyakit:

 

“Kemuliaan akan tetap dijaga apabila kau dijaga, dan rasa sakit dari dirimu akan hilang, berpindah kepada musuhmusuhmu.”

 

Dan juga seperti ucapan selamat setelah pembangunan istana:

 

“Istana ini berhak mendapat penghormatan dan salam, dan semoga waktu menghapus keindahannya.”

 

  1. Badi’ Khusnul Intiha’: seorang mutakallim mempercantik akhir pada kalamnya, dengan memilih lafad yang indah, bagus susunannya serta Shohih maknanya. Sehingga jauh dari Tanafur, Mukholafah lil Qiyas, serta sulit pengucapannya.

 

Apabila kalam tersebut memberi isyaroh akan berhentinya suatau kalam atau selesainya perkataan, sehingga mukhotob bisa mengambil pemahaman dari kalam tersebut, bahwa tujuan yang disampaikan oleh Mutakallim telah terpenuhi. Maka hal seperti ini dinamakan Badi’ Baroarul Maqtho’. Seperti perkataan :

 

“Kami minta kepada Allah akhiran yang baik”. Dan seperti sya’ir di bawah ini:

 

Wahai gua pengungsi, mudah-mudahan Allah menghidupkanmu pada suatu masa. ini adalah sebuah doa bagi manusia”