Kitab Fathul Muin Syarah Qurratul Ain Dan Terjemah [PDF]

الحمد لله الفتاح الجواد
segala puji bagi Allah yang maha pembuka lagi maha pemberi

المعين على التفقه في الدين من اختاره من العباد
yang menolong untuk belajar agama seorang yang ia pilih dari hamba-hambanya

وأشهد أن لا إله الله شهادة تدخلنا دار الخلود
dan saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dengan persaksikan yang memasukkan kita ke rumah kekekalan

وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله صاحب المقام المحموم
dan saya bersaksi bahwa junjungan kita nabi Muhammad adalah hambanya dan utusannya, yang memiliki derajat yang terpuji

صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابه الأمجاد
selawat Allah dan salamnya semoga terlimpahkan kepadanya dan keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang mulia-mulia

صلاة وسلاما أفوز بهما يوم المعاد
Selawat serta salam yang aku memperoleh keduanya di hari kembali

وبعد فهذا شرح مفيد على كتاب المسمى بقرة العين بمهمات الدين
dan setelah itu, ini adalah penjelasan yang berfaedah terhadap kitab yang diberi nama Qurratul ain tentang perkara-perkara penting agama

يبين المراد ويتمم المفاد ويحصل المقاصد ويبرز الفوائد
menjelaskan yang dimaksud, dan menyempurnakan faedah, dan menghasilkan tujuan, dan menampakkan faedah

وسميته بفتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين
dan aku namakan Fathul Muin tentang penjelasan Qurratul ‘ain tentang perkara-perkara penting agama

وأنا أسأل الله الكريم المنان
dan saya meminta kepada Allah yang maha pemurah lagi maha pemberi

أن يعم الانتفاع به للخاصة والعامة من الإخوان
agar menyebarkan manfaat kitab ini bagi teman-teman yang khusus dan yang umum

وأن يسكنني به الفردوس في دار الأمان
dan menempatkan aku sebab kitab ini di surga firdaus di tempat aman

إنه أكرم كريم وأرحم رحيم
sesungguhnya Ia paling pemurah orang yang pemurah, dan paling pengasih orang yang pengasih

بسم الله الرحمن الرحيم
dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

أي: أولف: والاسم مشتق من السمو وهو العلو لا من الوسم وهو العلامة
maksudnya: saya mengarang. Lafaz ism itu dikeluarkan dari lafaz sumuw yaitu luhur. Tidak dari wasm yaitu tanda

والله: علم للذات الواجب الوجود
Allah adalah nama untuk dzat yang wajib adanya.

وهو اسم جنس لكل معبود ثم عرف بأل وحذفت الهمزة ثم استعمل في المعبود بحق
Allah itu isim jenis untuk setiap yang disembah, lalu dimakrifatkan dengan Al dan di buang hamzahnya, lalu di gunakan untuk yang disembah dengan benar

وهو الاسم الأعظم عند الأكثر ولم يسم به غيره ولو تعنتا
Allah itu nama yang agung menurut kebanyakan ulama’. Dan selain Allah tidak ada yang diberi nama dengan ini, walaupun mengeyel

والرحمن الرحيم صفتان بنيتا للمبالغة من رحم
Rahman dan rahim itu dua sifat yang di bentuk untuk makna sangat dari lafaz rahim

والرحمن أبلغ من الرحيم لأن زيادة البناء تدل على زيادة المعنى ولقولهم: رحمن الدنيا والآخرة ورحيم الآخرة
Rahman itu lebih kuat dari pada rahim karena tambahan bentuk menunjukkan tambahnya makna, dan karena ucapan orang arab, pengasih dunia dan akhirat, dan penyayang akhirat

الحمد الله الذي هدانا أي دلنا لهذا التأليف
Segala puji bagi Allah yang menunjukkan kita maksudnya menunjukkan kita untuk mengarang.

وما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله إليه
Dan kita tidak akan dapat petunjuk jika Allah tidak menunjukkan kita

والحمد هو الوصف بالجميل
Memuji yaitu memberi sifat dengan bagus

والصلاة وهي من الله الرحمة المقرونة بالتعظيم
Selawat yaitu yang dari Allah adalah kasih sayang yang bersamaan dengan pengagungan

والسلام أي التسليم من كل آفة ونقض
Dan salam maksudnya selamat dari setiap penyakit dan kekurangan

على سيدنا محمد رسول الله لكافة الثقلين الجن والإنس إجماعا وكذا الملائكة على ما قاله جمع محققون
Bagi junjungan kita Muhammad utusan Allah untuk seluruh jin dan manusia menurut kesepakatan ulama, begitu juga malaikat menurut ucapan kelompok pakar

ومحمد علم منقول من اسم المفعول المضعف موضوع لمن كثرت خصاله الحميدة
Muhammad adalah nama yang diambil dari isim maful yang di tasydid yang diletakkan bagi orang yang banyak budi pekerti bagus

سمى به نبينا صلى الله عليه واله وسلم بإلهام من الله لجده
Nabi kita SAW diberi nama dengan ini dengan ilham dari Allah kepada kakeknya

والرسول من البشر ذكر حر أوحى إليه بشرع وأمر بتبليغه وإن لم يكن له كتاب ولا نسخ كيوشع عليه السلام
Rasul dari manusia adalah orang laki-laki yang diberi wahyu syariat dan diperintah menyampaikannya, walaupun tidak memiliki kitab dan nasakh seperti Yusya As.

فإن لم يؤمر بالتبليغ فنبي
jika tidak diperintah menyampaikan maka nabi

والرسول أفضل من النبي إجماعا
Rasul itu lebih utama dari pada nabi menurut kesepakatan ulam

وصح خبر أن عدد الأنبياء عليهم الصلاة والسلام مائة ألف وأربعة وعشرون ألفا
Dan sahih sebuah hadis bahwa jumlah para nabi adalah 124.00

 وأن عدد الرسل ثلاثمائة وخمسة عشر
dan jumlah para rasul adalah 315

وعلى آله أي أقاربه المؤمنين من بني هاشم والمطلب
Dan bagi keluarganya: yaitu kerabatnya yang beriman dari bani Hasyim dan bani Mutholib

 وقيل: هم كل مؤمن أي في مقام الدعاء ونحو
Dan dikatakan mereka adalah setiap orang yang beriman, maksudnya di saat berdoa dan sejenisnya

 واختير لخبر ضعيف فيه وجزم به النووي في شرح مسلم
Pendapat ini di pilih karena hadis yang daif, dan imam Nawawi meyakini di syarah muslim

وصحبه وهو اسم جمع لصاحب بمعنى الصحابي
Dan sahabatnya, shob adalah isim jamak bagi lafaz shohib yang bermakna shohabat

وهو من اجتمع مؤمنات بنبينا صلى الله عليه واله وسلم ولو أعمى وغير مميز
ia adalah orang yang berkumpul dalam keadaan beriman dengan nabi SAW walau buta dan belum tamyiz

الفائزين برضا الله تعالى صفة لمن ذكر
Yang mendapat Ridla Allah sifat bagi orang yang telah disebut

وبعد أي بعدما تقدم من البسملة والحمدلة والصلاة والسلام على من ذكر
Dan setelah itu maksudnya setelah yang dahulu terdiri dari basmalah hamdalah selawat salam bagi orang yang telah di sebut

فهذا المؤلف الحاضر ذهنا مختصر قل لفظه وكثر معناه من الاختصار
kitab yang disusun ini yang ada dalam hati itu ringkas yang sedikit lafaznya dan banyak maknanya karena diringkas

في الفقه هو لغة: الفهم
Tentang ilmu fikih, fikih dalam bahasa adalah paham

واصطلاحا: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang dikerjakan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci

واستمداده من الكتاب والسنة والإجماع والقياس
Dan sumbernya dari Quran, hadis, ijmak dan qiyas

وفائدته امتثال أوامر الله تعالى واجتناب نواهيه
faedah Fiqih adalah melaksanakan perintah Alah dan menjauhi larangannya

على مذهب الإمام المجتهد أبي عبد الله محمد بن إدريس الشافعي رحمه الله تعالى ورضي عنه
Menurut mazhab imam Al mujtahid Abi Abdillah Muhammad ibnu Idris As Syafii

أي ما ذهب إليه من الأحكام في المسائل
Maksudnya adalah hukum-hukum permasalahan pendapat beliau

إدريس والده هو ابن عباس بن عثمان بن شافع بن السائب بن عبيد بن عبد بن يزيد بن هاشم بن عبد المطلب بن عبد مناف
Idris adalah ayahnya yaitu Ibnu Abbas ibni Usman ibni Syafi ibni Saib ibni Ubaid ibni Abd ibni Yazid ibni Hasyim ibni Abdil Mutolib ibni Abd Manaf

وشافع وهو الذي ينسب إليه الإمام
Syafi yaitu yang imam di sandarkan kepadanya

وأسلم هو وأبوه السائب يوم بدر
Ia masuk Islam beserta ayahnya yaitu saib saat perang badar

وولد إمامنا رضي الله عنه سنة خمسين ومائة وتوفي يوم الجمعة سلخ رجب سنة أربع ومائتين
Imam kita dilahirkan tahun 150, dan wafat hari Jumat akhir Rajab tahun 204

وسميته بقرة العين ببيان مهمات أحكام الدين
Aku namai Qurratul Ain tenteng keterangan penting dalam hukum agama

انتخبته وهذا الشرح من الكتب المعتمدة لشيخنا خاتمة المحققين شهاب الدين أحمد بن حجر الهيثمي
Saya ambil kitab ini dan syarah ini dari kitab-kitab yang dibuat pegangan milik guru kita akhir ahli tahqih lentera agama Ahmad ibn Hajar Al Haitami

 وبقية المجتهدين مثل وجيه الدين عبد الرحمن بن زياد الزبيدي رضي الله عنهما
Dan seluruh mujtahid seperti pemuka agama Abdurrahman ibni Ziyad Az Zubaidi RA

وشيخي مشايخنا: شيخ الإسلام المجدد زكريا الأنصاري الإمام الأمجد أحمد المزجد الزبيدي رحمهما الله تعالى
Dan dua guru para guru kita yaitu Syaikhul Islam Al mujadid Zakariya Al Anshori, dan imam amjad Ahmad Muzajjad az Zubaidi Rahimahumallah

وغيرهم من محققي المتأخرين
dan selain mereka, yang terdiri dari pakar-pakar ulama akhir

 معتمدا على ما جزم به شيخا المذهب: النووي والرافعي فالنووي فمحققو المتأخرين رضي الله عنهم
Seraya berpegangan pada pendapat yang diyakini dua guru mazhab yaitu Nawawi dan Rafii, lalu imam Nawawi, lalu pakar-pakar ulama akhir

راجيا من ربنا الرحمن أن ينتفع به الأذكياء أي العلاء
Seraya mengharap dari Tuhan kita yang maka pengasih agar memberi manfaat ini kepada orang-orang pintar maksudnya orang-orang yang luhur

وأن تقر به بسببه عيني غدا أي اليوم الآخر بالنظر إلى وجهه الكريم بكرة وعشيا آمين
Dan semoga Allah menenangkan pandanganku besok maksudnya di hari akhir untuk melihat wajah-Nya yang mulia pagi dan sore . amin

Salat menurut syarak: Beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan Ucapan dan perbuatan tersebut dinamakan “Salat”, karena salat menurut bahasa, adalah doa.

Salat-salat yang fardu ain itu lima kali dalam satu hari-satu malam, yang sudah diketahui dengan pasti dari agama. Oleh karena itu, kafirlah bagi orang yang menentangnya.

Salat lima waktu ini belum pernah berkumpul pada selain Nabi kita Muhammad saw.

Salat fardu yang lima ini diwajibkan pada malam Isra, 27 Rajab, yaitu 10 tahun lebih 3 bulan terhitung sejak Nabi . Muhammad diangkat menjadi seorang Nabi. Salat Subuh pada tanggal 27 Rajab tersebut belum diwajibkan, karena belum diketahui cara-cara mengerjakannya.

Salat Maktubah, yaitu lima waktu, hanya wajib dikerjakan oleh setiap Muslim yang mukalaf, yaitu yang telah balig, berakal sehat, laki-laki atau selainnya, dan yang suci.

Maka, salat tidak wajib atas orang kafir asli, anak-anak, orang gila, ayan dan mabuk, yang kecnanya tidak karena lalim. Karena mereka tidak terkena beban agama. Tidak wajib juga atas perempuan yang sedang menstruasi (haid) dan nifas, karena sajat tidak sah dikerjakannya dan tidak wajib mengadhanya

Tetapi, bagi orang yang murtad dan mabuk sebab lalim, maka salat tetap diwajibkan atas mereka.

Orang Muslim mukalaf yang suci, apabila dengan sengaja menunda salat fardu hingga melewati waktu penjamakannya, malas mengerjakan namun masih berkeyakinan bahwa salat itu hukumnya wajib, lantas dia disuruh bertobat tapi tidak mau, maka wajib ditetapkan had atasnya, yaitu dengan memancung leher.

Berpijak atas pendapat yang mengatakan “sunah” memerintahkannya bertobat, maka pemancung leher orang yang menunda salat sebelum bertobat adalah tidak dikenakan pidana, tetapi dia berdosa.

Jika dia meninggalkan salat karena menentang wajibnya, . maka dia dibunuh sebagai orang yang Kafir. Dia tidak perlu dimandikan dan disalati (serta . tidak boleh dimakamkan di pekuburan orang-orang Muslim – pen).

Bagi si Muslim mukalaf yang sua, jika dia meninggalkan salat tanpa ada halangan, maka dia wajib segera mengadha salat yang ditinggalkan. Karena itu, hukum mengadha baginya adalah wajib.

Syaikhuna Ahmad bin Hajar –semoga Allah swt. memberikan rahmat padanya-telah berkata: Yang jelas, bagi orang tersebut wajib menggunakan semua waktunya untuk mengadhanya, selain waktu-waktu yang harus dipergunakan untuk hal lain (misalnya tidur, mencari nafkah bagi orang yang harus dinafkahi dan seterusnya -pen), di samping itu, juga haram baginya mengerjakan salat sunah (sebelum kewajiban salat fardu yang ditinggalkan tertunaikan -pen).

Jika salat tertinggal sebab ada halangan, misalnya tertidur atau lupa yang tidak karena lalim (main-main), maka dia sunah dengan segera menqadhanya.

Jika tertinggal salatnya karena uzur, maka dalam menqadhanya disunahkan mengerjakan salat secara tertib, yaitu mengerjakan salat Subuh sebelum Zhuhur, dan seterusnya. Sunah mendahulukan salat kadha sebelum salat Ada’ (tunai), jika tidak khawatir kehabisan waktu salat Ada’: Menurut pendapat yang Muktamad, meskipun dia khawatir akan ketinggalan berjamaah.

Jika tertinggalnya tidak sebab uzur, maka dia wajib mendahulukan kadha daripada salat Ada’.

Adapun bila dikhawatirkan kehabisan waktu yalat Ada’, walaupun sebagian -meskipun sedikit sajadari salat Ada’ akan terjadi di luar waktunya, maka baginya wajib mendahulukan salat Ada’.

Wajib juga mendahulukan salat kadha, yang tanpa uzur atas kadha salat yang tertinggal sebab uzur, walaupun akan terjadi ketidak tertiban waktunya. Karena tertib itu hukumnya sunah, sedangkan bersegera adalah hukumnya wajib.

Sunah mengakhirkan salat-salat Rawatib atas salat kadha, sebab ada uzur: dan wajib mengakhirkan salat-salat Rawatib atas kadha salat tanpa uzur.

Peringatan!

Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan salat, maka salat tersebut tidak ‘ dapat dikadha atau dibayar fidyahnya. .

Dalam sebuah pendapat yang diceritakan oleh Imam Al-‘Ubadi, dari Imam Asy-Syafi’i, bahwa: Salat tersebut harus dikadha oleh orang lain, baik si mayat berwasiat agar mengerjakan ataupun tidak. Hal ini berdasarkan sebuah hadis.

Imam As-Subki juga melakukan seperti itu atas kerabat-kerabat beliau yang meninggal dunia.

Anak laki-laki atau perempuan yang sudah mumayyiz, yaitu telah dapat makan, minum dan beristinja sendiri, wajib atas kedua orangtua, orang seatasnya, orang yang menerima wasiat dan pemilik budak, agar memerintahnya mengerjakan salat, walaupun salat kadha dengan segala syarat-syaratnya, kalau anak tersebut sudah sempurna berusia 7 tahun, meskipun sebelum usia tersebut si anak sudah tamyiz.

Seyogianya bentuk perintah tersebut diikuti dengan ancaman.

Anak yang sudah mencapai usia 10 tahun sempurna, kalau meninggalkan salat, walaupun salat kadha atau meninggalkan syarat dari syarat salatnya, maka bagi orangtua dan yang lain wajib memukulnya, asal tidak sampai melukai.

Berdasarkan hadis sahih: “Perintahlah anak kecil itu mengerjakan salat, jika telah berusia 7 tahun, dan jika sudah berusia 10 tahun, pukullah kalau ia meninggalkannya.”

Begitu juga jika ia sudah kuat berpuasa. Ia diperintahkan berpuasa setelah berusia 7 tahun. Jika setelah berusia 10 tahun meninggalkan, maka harus dipukul. Sama seperti salat.

Hikmah yang dikandung dari semua itu, adalah melauhnya untuk beribadah, agar nanti terbiasa dan tidak meninggalkannya.

Imam Al-Adzra’i membahas masalah anak budak kecil yang kafir, tetapi sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, Hukumnya , adalah sunah memerintah salat dan berpuasa, Ia dianjurkan melaksanakannya, tetapi tidak dipukul manakala meninggalkannya, karena bertujuan agar di saat dewasa, biasa melakukan kebaikan. Meskipun kias yang seperti itu tidak tepat: Selesai.

Wajib pula bagi orangtua dan orang yang telah tersebut di atas, melarang anak kecil dari hal-hal yang diharamkan dan mengajarnya kewajiban-kewajiban dan sejenisnya, yaitu syariat-syariat lain yang lahir (kelihatan). Meskipun dalam masalah sunah, misalnya bersiwak, serta memerintah untuk mematuhinya.

Semua kewajiban di atas bagi orangtua dan yesamanya, baru berakhir setelah anak balig dan pintar.

Masalah biaya pendidikannya, misalnya pengajaran Algur-an , dan adab, adalah diambilkan dari harta anak, ayah, kemudian ibunya.

Peringatan!

Imam As-Sam’ani mengemukakan masalah seorang istri kecil yang masih mempunyai ayah dan ibu, bahwa kewajiban tersebut adalah terletak pada kedua orangtuanya, lantas suaminya. Kesimpulan dari itu, wajib dipukul jika tidak tunduk.

Imam Jamalul Islam Al-Bazari menjelaskan, wajib. memukulnya, meskipun istri sudah besar.

Syaikhuna (Ibnu Hajar AlHaitami) berkata: Hal itu sudah jelas, jika tidak dikhawatirkan akan nusyuz (tidak taat). Dalam masalah mendidik terhadap istri, Imam Az-Zarkasi memutlakkan hukum sunah.

Permulaan yang wajib, hingga masalah memerintahkan mengerjakan salat, adalah beban ayah dan orang yang telah disebutkan, yaitu mengajar anak yang sudah tamyiz: Sesungguhnya Nabi kita, Muhammad saw. diutus di Mekah, lahir di sana dan wafat serta dimakamkan di Madinah.

Syarat adalah sesuatu yang menjadikan sah salat, tapi bukan . merupakan bagiannya.

Pembahasan syarat lebih sesuai didahulukan daripada rukun. Sebab syarat itu wajib didahulukan (dipenuhi) sebelum mengerjakan salat dan tetap terpenuhi di dalamnya.

Syarat-syarat sah salat ada lima.

Thaharah menurut arti bahasa: Suci dan lepas dari kotoran.

Sedangkan menurut syarak: Menghilangkan penghalang yang berupa hadas atau najis.

Thaharah Pertama: Wudu

Bersuci dari hadas yang pertama adalah wudu.

Wudu –dibata dhammah wawunya–: Menggunakan air pada anggota badan tertentu, yang dimulai dengan niat. Sedangkan wadu —dibaca fat-hah wawunya–: Air yang dipergunakan untuk berwudu.

Permulaan diwajibkan wudu, adalah bersamaan dengan diwajibkan salat, yaitu pada malam Isra.

Syarat-syarat Wudu

Syarat-syarat wudu ada lima, sebagaimana syarat mandi.

Pertama: Air mutlak. Karena itu, selain air mutlak tidak dapat untuk menghilangkan hadas dan menyucikan najis, serta tidak dapat digunakan untuk thaharahthaharah yang lain, walaupun thaharah sunah.

Air mutlak, adalah: Air yang penamaannya tanpa tambahan, : walaupun hasil sulingan dari asap air yang mendidih dan suci, dilarutkan suatu campuran di dalam, suatu air: ataupun ada tambahan nama pada air, tapi tambahan tersebut untuk menerangkan tempatnya, misalnya” “air laut”.

Lain halnya dengan air yang tidak disebut kecuzli selalu ada tambahan, misalnya “air mawar”.

Yang tdak air bekas thaharah, baik untuk menghilangkan hadas kecil atau besar, walau Uhaharah seorang bermazhab Hanafi, yang dak berniat, thaharah anak kecil yang belum tamyiz untuk mengerjakan Tawaf, atau air tersebut dipergunakan mencuci najis, walaupun najis ma’fu.

Yang jumlah air musta’mal itu sedikit, kurang dari dua kulah.

Jika air musta’mal itu dikumpulkan hingga mencapai jumlah dua kulah, maka menjadi air Muthahhir (suci-menyucikan), sebagaimana air mutanajis terkumpul hingga mencapai dua kulah dalam keadaan tidak berubah, walaupun setelah diambil lagi menjadi jumlah sedikit (kurang).

Karena itu, dapatlah diketahui, bahwa kemusta’malan air itu : hanya pada air yang sedikit, setelah terpisah dari tempat kegunaannya –walaupun hanya secara hukum–, seperti air: basuhan yang melewati pundak atau lutut orang yang wudu, walaupun kembali ke tempat semula, atau air yang berpindah dari tangan satu ke tangan lainnya.

Memang benar! Tidak menjadi masalah bagi penanggung hadas kecil atas perpindahan air dari telapak tangan ke hasta: begitu juga orang junub, kepindahan air dari Repala ke anggota badan lain yang banyak terkena tetesan air dari kepala, misalnya dada.

Cabang:

Apabila wudu dengan cara memasukkan tangannya (ke air yang sedikit) dengan maksud membasuh hadas atau tidak bermaksud, hal itu ia lakukan setelah niat mandi junub (bagi orang yang janabah) atau setelah tiga kah membasuh muka, atau sekali namun ja bermaksud membasuh satu kali, dan ia tidak berniat mengambil air atau tujuan lain, maka air tersebut menjadi “musta’mal”, karena dinisbatkan anggota selain tangan. Baginya boleh membasuh tangan dengan air itu.

Tidak pula air. yang telah mengalami perubahan banyak, sekira dapat menghilangkan “kemutlakannya”, sebagaimana telah berubah salah satu sifat, rasa, warna atau baunya, walau berubah secara taqdiri (perumpamaan).

Ataupun berubahnya karena. sesuatu yang berada di anggota badan yang bersuci, demikian menurut pendapat yang lebih baik.

 Perubahan air itu dapat mempengaruhi kemutlakannya, jika disebabkan suatu campuran yang tidak dapat dibedakan mata, sud dan air tersebut memang tidak dapat terhindar daripadanya, misalnya za’faran, buah pohon yang tumbuh dekat air dan daun yang dimasukkan ke air lantas hancur. Bukan campuran yang berupa tanah atau air garam, walaupun keduanya dimasukkan ke air itu.

Perubahan yang tidak sampai: mengubah kemutlakan air adalah . tidak menjadi masalah, sebab perubahannya sedikit, walaupun dimungkinkan terjadi keraguan atasnya, sebagaimana disang. sikan banyak atau sedikit berubahnya.

Perkataanku “sebab campuran” itu mengecualikan “pendamping”, yaitu sesuatu yang dapat terlihat mata, misalnya kayu dan ruinyak, yang meskipun keduanya berbau wangi.

Termasuk goloogan pendamping. adalah asap, walaupun banyak dan jelas baunya misalnya. Lain halnya dengan segolongan ulama.

Di antara pendamping lagi, adalah air rebusan gandum, buah kurma dan sebagainya, selama tidak terlihat bercampur dengan benda yang rontok darinya, sebagaimana tidak sampai ke batas “bukan air lagi”, misalnya disebut kuah. Jika disangsikan: Apakah barang yang berada di dalam itu campuran atau pendamping, maka barang tersebut dihukumi pendamping.

Sedang perkataanku “air dapat terhindar dari campuran”, adalah mengecualikan air yang tidak dapat terhindar dari campuran itu, seperti halnya air yang diam atau mengalir di tempat yang banyak lumpur, lumut yang hancur dan belerang.

Seperti halnya juga air itu berubah karena diam terlalu lama atau daun-daun yang berguguran sendiri dan hancur serta pohonnya jauh dari air itu.

Atau (perubahan air) sebab barang najis, walaupun sangat : sedikit dan jumlah air banyak, yaitu dua kulah atau lebih –dalam bentuk dua barang suci dan najis

Ukuran dua kulah dengan: timbangan adalah -+ 500 liter Bagdad, dengan isi pada bentuk bangunan kubus, adalah panjang, lebar dan tinggi 1 1/4 hasta orang normal. Sedangkan dalam bangunan yang berbentuk selinder (bulat), adalah garis tengah 1 hasta manusia, dalamnya 2 hasta tangan tukang kayu.

Adapun 1 hasia tangan tukang kayu adalah 1 1/4 hasra tangan biasa.

Air dua kulah, walaupun hanya perkiraan, sebagaimana kalau diragukan: Air itu ada dua kulah atau tidak, dan bahkan sudah diyakinkan sebelumnya, bahwa air itu sedikit, adalah udak dihukumi najis bila kemasukan najis, selama udak berubah sebab najis tersebut, walaupun najis tersebut larut dalam air.

(Ketika kita mengambil air yang jumlahnya banyak), udak wajib menjauhi najis yang ada padanya. Jika ada orang kencing di laut, lalu terjadi buih, maka buih tersebut dihukumi najis, jika jelas terjadi dari kencingnya, atau dani air yang telah berubah salah satu sifatnya sebab air kencing tadi.

Jika tidak jelas, maka air buih tidak najis.

Jika sepotong kotoran unta dilemparkan ke laut, lalu memercikkan air yang mengenai sesuatu, maka barang tersebut tidaklah menjadi najis.

Air sedikit yang kurang dari dua kulah, yang tidak mengalir, menjadi najis sebab kemasukan najis yang dapat dilihat oleh mata normal, yang bukan najis ma’fu pada air, walaupun dima’fu dalam salat (misalnya darah sedikit yang keluar dari badan orang lain atau darah nyamuk yang ada di pakaian orang salat -pen). Hukum ini juga berlaku pada benda padat yang basah dan cair, walaupun jumlahnya banyak.

Air sedikit tidak menjadi najis sebab kemasukan bangkai binatang yang berjenis tidak berdarah mengalir kalau dipotong tubuhnya, seperti binatang kala dan cecak: kecuali jika binatang tersebut dapat mengubah airnya, walaupun hanya sedikit, maka air itu dihukumi najis. Jika bangkainya berupa kepiting dan katak, maka air yang kemasukan adalah najis. Namun pendapat ini ber. tentangan dengan pendapat segolongan ulama.

Tidak najis pula, sebab bangkai yang timbul dalam air, misalnya lintah.

Jika bangkai-bangkai tersebut dilemparkan ke dalam air yang sedikit, maka air itu menjadi najis, meskipun orang yang melempar bukan mukalaf.

Jika binatang tersebut masih hidup, sama sekali tidak membawa pengaruh (jika dimasukkan ke air sedikit),

 Banyak sekali imam kita (Syafi’iyah) memilih mazhab Malik r.a., bahwa ar pada umumnya tidak dapat menjadi najis, melainkan jika telah mengalami perubahan. Dalam hal ini (sedikat atau banyak) hukum air yang mengalir sama dengan yang tidak mengalir.

Diterangkan dalam kaul Qadim: Air sedikit tidak dapat menjadi najis (jika terkena najis), kecuali bila mengalami perubahan. Pendapat ini seperti mazhab Imam Malik r.a. :

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ berkata: Baik najis itu padat atau cair.

Air sedikit yang telah menjadi najis, jika mencapai dua kulah, akan menjadi sud lagi, walaupun dengan cara menambahkan air najis, sekira tidak menyebabkannya berubah. Air banyak yang najis, dapat menjadi suci kembali setelah hilang perubahan dengan sendirinya, menambahkan atau Jmenguranginya, sedangkan sisa air itu masih ada dua kulah.

Kedua: Mengalirkan air pada anggota yang dibasuh. Karena itu, tidak cukup hanya mengusapkan air tanpa mengalir, sebab hal itu tidak disebut membasuh.

Ketiga: Pada anggota wudu tidak terdapat perkara yang membahayakan bagi perubahan air, misalnya za’faran dan kayu cendana. Sementara segolongan ulama berpendapat lain.

Keempat: Tiada penghalang antara anggota basuhan dengan air, misalnya kapur, lilin, minyak yang sudah mengeras, bekas tinta yang masih ada zatnya dan inai.

Berbeda dengan minyak yang masih basah –walaupun air masih tetap melesetdan bekas noda tinta atau inai.

Disyaratkan juga sebagaimana penetapan ulama: Hendaknya tiada kotoran di bawah kuku yang mengganggu air sampai ke kulitnya. Sementara segolongan ulama berpendapat lain: di antaranya adalah Al-Ghazali, Az-Zarkasi dan lain-lain, di mana mereka menguatkan pendapatnya dan menjelaskan (adanya kotoran tersebut) adalah sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi – terjadinya, selama kotoran itu adalah kotoran biasa, bukan semacam adukan bahan roti. (Ibnu Hajar mengatakan: Pendapat tersebut adalah daif).

Imam Al-Adzra’i dan lainnya menunjukkan atas kelemahan pendapat tersebut.

Dalam Kitab At-Tatimmah dan lainnya telah dipaparkan mengenai yang terdapat dalam ArRaudhah dan lainnya, bahwasesuatu yang ada di bawah kuku, sekira dapat menghalangi air, adalah tidak dapat dimaklumi keberadaannya.

Al-Baghawi berfatwa dalam masalah kotoran yang diakibatkan debu, bahwa hal itu mencegah sah wudu, Berbeda dengan kotoran yang timbul dari badan sendiri, yaitu keringat yang mengkristal. Pendapat ini telah dikukuhkan dalam Kitab Al-Anwar.

Kelima: Masuk waktu, bagi yang berhadas terus-menerus, misalnya orang beser kencing dan wanita mustahadhah.

Disyaratkan juga bagi orang seperti itu! Perkiraannya, bahwa waktu sudah masuk: Karena itu, ia belum boleh wudu –sebagaimana orang tayamum– untuk salat fardu atau sunah yang ditentukan waktunya, sebelum masuk waktunya, salat Jenazah sebelum dimandikannya, salat Tahiyatulmesjid, sebelum masuk mesjid, atau salat Rawatib Ba’diyah sebelum melakukan salat fardunya.

Khatib yang selalu berhadas, wajib mengerjakan dua kali wudu atau tayamum. Pertama untuk dua khotbah, sedangkan kedua untuk salat Jumat. Sedang bagi orang selain itu, maka cukup satu kali wudu untuk khotbah dan salatnya.

Dia (orang beser), wajib wudu setiap akan mengerjakan kefarduan –seperti halnya tayamum–, Begitu juga (bagi wanita mustahadhah), wajib mencua farji (vagina), mengganti kapas penutup lubang vagina dan tali penguatnya, meskipun semuanya tidak berubah dari tempatnya.

Bagi orang yang beser kencing, ‘wajib segera mengerjakan salat. Apabila menundanya karena ada maslahat, misalnya: menanti jamaah atau salat Jusnat -walau. pun hingga melewati awal waktu–, atau berjalan ke mesjid, maka tidak menjadi masalah.

Fardu Wudu

Fardu wudu ada enam:

Pertama: Niat wudu, menunaikan kefarduan wudu, menghilangkan hadas bagi selain orang yang selalu berhadas, –kesemuanya tersebut hingga dalam masalah wudu yang diperbarui–, niat thaharah dari hadas, atau thaharah untuk menunaikan ibadah semacam salat, yaitu ibadah yang dilakukan hanya dengan wudu, atau niat memperoleh kebolehan melakukan ibadah yang perlu dengan wudu, misalnya salat dan menyentuh Mushaf.

Dalam wudu, tidaklah cukup niat memperoleh kebolehan melaksanakan ibadah yang disunahkan wudu, misalnya membaca Al-Qur’an, alhadits, masuk mesjid atau ziara kubur.

Dasar hukum tentang kewajiban niat adalah hadis: “Amal-amal itu bisa sah hanya dengan niat”. Maksudnya, kesahan amal, bukan kesempurnaan amal, adalah dengan niat.

Dalam niat, wajib membersamakan niat pada awal membasuh muka. Jika meletakkan niat di tengah membasuh muka, maka hal itu adalah sudah mencukupi, namun wajib mengulangi basuhan yang sudah terjadi sebelum niat tersebut.

Tidak boleh meletakkan niat sebelum basuhan muka, sekira tidak bisa membersamakan niat dengan sebagian dari basuhan itu. Basuhan yang bersamaan dengan niat, adalah disebut awalnya. Karena itu, terlepaslah kesunahan berkumur, jika sesuatu dari muka ikut terbasuh bersama berkumur, misalnya merah bibir –sesudah niat–.

Yang utama, hendaknya memisah-misahkan niat. Dengan cara niat kesunahan berwudu di waktu membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan menyesap air ke dalam hidung, lalu niat fardu wudu ketika membasuh muka. Dengan demikian, tidaklah terlepas fadilah melangsungkan niat dari awal wudu, berkurtur, ‘menyesap air ke dalam hidung serta membasuh bibir luar.

Kedua: Membasuh kulit muka. Berdasarkan ayat: “Maka basuhlah : muka kalian semua”.

Batas bujur muka adalah: Antara tempat-tempat tumbuh rambut kepala yang wajar sampai bawah pertemuan dua rahang –dengan dibaca fat-hah huruf lamnya– yang ujungnya masuk daerah muka, bukan daerah yang di bawahnya dan bukan pula rambut yang tumbuh di bawahnya. Sedangkan batas lintang muka adalah: Antara dua telinga.

Wajib membasuh rambut muka. yaitu bulu mata, rambut pelipis (alis), kumis, kumis bawah dan jenggot –yaitu rambut pada. dagu: sedangkan dagu adalah tempat pertemuan dua rahang–, rambut ati-atis –rambut yang tumbuh di tepi (pipi) setentang telinga–, jambang, yaitu rambut yang menghubungkan antara atiati dengan jenggot.

Termasuk daerah muka, adalah bibir luar dan tempat tutup (sinome = Jawa): yaitu bagian atas kening yang ditumbuhi rambut, Menurut pendapat Ashah: Tempat tahdzif (membersihkan rambut) itu tidak masuk daerah muka, ialah tempat di mana tumbuh rambut tipis antara pangkal ati-ati dan naz’ah (lengare = Jawa). Tidak termasuk juga puting telinga dan dua naz’ah, yaitu dua daerah yang bebas rambut kiri-kanan ubunubun, juga tempat botak, yaitu daerah menjorok di antara dua naz’ah, jika rambut terjadi kerontokan.

Bagian-bagian yang bukan termasuk muka, sunah dibasuh.

Wajib membasuh luar dan dalam setiap rambut di daerah muka yang telah lewat, –sekalipun lebat–, karena rambut tersebut jarang sekali tumbuh lebat di sana. Tetapi tidak wajib membasuh dalam jenggot dan jambang yang lebat.

Ketentuan lebat, adalah sekira kulit tidak tampak dari sela-sela rambutnya, ketika berada di majelis.

Wajib juga membasuh bagian yang tidak nyata basuhan keseluruhannya, kecuali dengan membasuh bagian tersebut. Sebab, sesuatu yang wajib jika tidak bisa sempurna kecuali dengan perkara lain, maka perkara tersebut ikut menjadi wajib.

Ketiga: Membasuh dua tangan, Yaitu, dari telapak tangan sampai ke siku, berdasarkan suatu ayat Alqur-an.

Perkara-perkara yang berada di daerah fardu, adalah wajib dibasuh, yaitu rambut dan kuku, sekalipun panjang.

Cabang:

Jika seseorang lupa membasuh seberkas anggota, lalu terbasuh ketika ketiga kalinya atau ketika mengulangi wudu karena lupa, bukan karena membarui wudu, maka hal itu sudah mencukupi.

Keempat: Mengusap sebagian kepala.

Imam Al-Baghawi berkata:. Seyogianya, tidaklah mencukupi hanya dengan kurang dari sebatas ubun-ubun–Ubun-ubun adalah tempat yang berada di antara dua : naz’ah.

Seperti halnya naz’ah, kulit bebas rambut yang berada di belakang telinga, baik berwujud kulit atau rambut, asal berada di daerah kepala, sekalipun hanya setengah helai rambut. Karena berdasarkan ayat.

Sebab, Nabi Muhammad saw. tidak pernah mengusap yang kurang dari batas ubun-ubun. Hal itu adalah riwayat dari Imam Abu Hanifah -rahimahullah-. Menurut pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah, adalah wajib membasuh seperempat kepala.

Kelima: Membasuh dua kaki, berikut mata kaki masing-masing, berdasarkan suatu ayat. Atau dengan mengusap dua khuf, dengan memenuhi syarat-syaratnya.

Wajib juga membasuh bagian dalam lubang atau sobekan pada anggota.

Cabang:

Jika ada semacam duri masuk ke kaki, di mana sebagian darinya tampak dari luar, maka wajib mencabut dan membasuh tempat tertusuknya, karena tempat itu dihukumi luar.

Jika duri itu masuk keseluruhannya, maka dihukumi anggota dalam. Karena itu, wudunya sah, . dan tidak wajib membasuh dalam anggota yang tertusuk duri, walaupun terjadi bengkak pada kaki atau lainnya, selama belum pecah. Apabila pecah, maka wajib membasuh bagian dalamnya, selama tidak menutup kembali.

Peringatan!

Dalam masalah mandi, para ulama menyebutkan: Sungguh, diampuni bagian dalam pada ikatan-ikatan rambut, jika mengikat dengan sendirinya.

Di-ilhaq-kan (disamakan) dengan masalah ini, orang yang terkena penyakit telur kutu pada pangkal rambutnya, sehingga mencegah air sampai pada kulit dan tidak mungkin membersihkannya.

Seorang guru dari guru-guru kita, yaitu Imam Zakariya Al-Anshari menjelaskan: Orang tersebut tidak dapat disamakan dengan .masalah ikatan rambut di atas. Akan tetapi orang yang terkena penyakit telur kutu harus tayamum.

Tetapi guru kami (Ibnu Hajar AlHaitami) yang menjadi murid beliau berkata: Pendapat yang beralasan adalah diampuni, karena ada unsur darurat.

Keenam: Tertib, sebagaimana tersebut di atas. Yaitu mendahulukan basuhan muka, kedua tangan, kepala, lalu dua kaki, berdasarkan ittiba’ (mengikuti Nabi).

Jika orang yang berhadas menyelam, walaupun dalam air sedikit, dengan niat yang benar di atas, maka cukup wudunya, meskipun waktu untuk menyelam tersebut umpama digunakan wudu secara tertib tidak mencukupi.

Benar! Jika seseorang mandi dengan menyiramkan air serta niat wudu, maka disyaratkan benar-benar tertib. Di sini udaklah menjadi masalah dengan ketidak tahuan atas seberkas atau beberapa berkas bagian selain anggota wudu yang tidak tersiram air, bahkan meskipun pada anggota itu terdapat penghalang air, misalnya lilin. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami).

Jika seseorang berhadas kecil dan besar, maka sudah mencukupi mandi janabah untuk keduanya, jika telah disertai niat wudu. Dan tidak wajib yakin, bahwa air telah merata pada seluruh anggota tubuhnya: akan tetapi cukuplah dengan suatu perkiraan saja (sebab dengan adanya niat mandi, hadas kecil masuk dalam hadas besar -pen).

Cabang:

Jika yang berwudu atau mandi ragu atas kesucian anggotanya sebelum selesai wudu atau mandinya, maka dia harus menyucikannya, dan menyucikan anggota yang ada sesudahnya, (jika) dirnisbatkan masalah wudu.

Atau keraguan setelah bersuci, maka hal itu tidak membawa pengaruh apa-apa.

Dan jika keraguan itu dalam masalah niat, juga tidak apa-apa, menurut beberapa wajah pendapat, seperti yang termaktub dalam Syarah Minhaj, susunan Guru kita.

Disitu dia berkata: Di bawah ini dapat dikiaskan hukumnya dengan keraguan yang terjadi dalam masalah Fatihah sebelum rukuk. Yaitu: Apabila yang bersuci merasa ragu: apa sudah membasuh seluruh anggota atau belum, maka dia wajib mengulangi basuhan itu, atau ragu akan pemerataan basuhannya, maka dia tidak wajib mengulangi basuhannya.

Karena itu, perkataan mereka yang pertama (yang ragu atas kesucian seluruh basuhan anggota atau belum) diarahkan pada keraguan adanya basuhan, bukan pemerataan basuhan.

Sunah-sunah Wudu

Sunah bagi orang yang wudu: meskipun.menggunakan air hasil ghasab, –atas tinjauhan beberapa wajah pendapat–:

  1. Membaca Basmalah pada permulaan wudu, karena mengikuti ‘ Nabi saw.

Paling tidak, yang dibaca: Bismillah.

 Sedang sempurnanya! Bismillahir rahmanir rahim.

Membaca Basmalah menurut pendapat Imam Ahmad r.a., adalah wajib.

Sebelum membaca Basmalah, sunah membaca Ta’awudz: dan sesudahnya sunah membaca dua kalimat syahadat serta Alhamdu lillahil ladzii ja’alal maa-a thahuran. (Segala puji milik Allah yang telah menjadikan air sebagai pencuci).

Bagi yang lupa membaca Basmalah di permulaan wudunya, sunah di tengah wudunya membaca: Bismillahi awwalahu wa akhirahu (Dengan menyebut nama Allah dari awal sampai akhir). Tidak sunah membacanya setelah selesai wudu.

Kesunahan dan tata cara membaca Basmalah di atas, juga berlaku dalam amal-amal kebaikan, misalnya makan, minum, mengarang dan memakai celak mata.

Apa yang dipindah dari Imam Syafi’i dan beberapa sahabat Syafi’i, bahwa Basmalah adalah permulaan wudu. Seperti itu juga kemantapan Imam An-Nawawi dalam kitab Majmu’ serta imam lainnya. Karena itu, orang yang wudu hendaknya membaca Basmalah bersamaan ketika mencuci kedua tangannya, sementara itu hatinya niat wudu.

Segolongan ulama terdahulu berkata: Sebenarnya, awal kesunahan-kesunahan wudu, adalah bersiwak, sesudah itu membaca Basmalah (dari kedua pendapat tersebut, lalu dikumpulkan, bahwa permulaan kesunahan gauliyah dalam berwudu, adalah membaca Basmalah: dan kesunahan fi’liyah, adalah bersiwak -pen).

Cabang:

Sunah membaca Basmalah ketika mulai membaca Algur-an, walaupun dari tengah-tengah surah –di luar atau dalam salat–: disunahkan pula waktu akan mandi dan menyembelih binatang.

  1. Membasuh dua tepak tangan sampa: pergelangan secara bersama, yang diawali dengan membaca Basmalah, sementara hati niat wudu, meskipun berwudu dari tempat semacam kendi atau telah . meyakinkan atas kesucian kedua tangannya, karena hal ini berdasarkan ittiba’.
  1. Bersiwak; dengan melebar pas da gigi dalam dan luar serta memanjang pada lidah.

Berdasarkan sebuah hadis sahih: “Jika aku tidak takut memberatkan “umatku, niscaya aku memerintahkannya bersiwak setiap wudu.” Perintah yang dimaksudkan oleh beliau, adalah “wajib”,

Bersiwak itu bisa dihasilkan kesunahannya dengan sesuatu yang kasar, meskipun berupa sobekan kain (gombal) atau kayu asynan (benalu).

Yang utama adalah menggunakan kayu ‘ud (kayu garu).

Sedangkan yang lebih utama lagi adalah kayu ‘ud yang masih basah dan berbau wangi. Dari kayu tersebut yang lebih utama adalah kayu arak.

Tidak disunahkan bersiwak dengan menggunakan jarijemari, meskipun berwujud kasar. Sementara itu, Imam An-Nawawi memilih kebalikan pendapat tersebut.

Bersiwak itu hukumnya sunah muakad, –walaupun bagi orang yang tidak bergigi-setiap berwudu, akan salat, baik salat fardu atau sunah, meskipun tiap dua rakaat salam atau sudah bersiwak waktu berwudu, dan sekalipun antara salat dan wudunya tidak terpisah sesuatu. (Hukum sunah muakad bersiwak untuk setiap akan salat ini), sekiranya tidak dikhawatirkan kenajisan mulutnya.

Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam AlHumaidi dengan sanad yang jayid: “Salat dua rakaat yang dikerjakan dengan bersiwak, adalah lebih utama daripada tujuh puluh rakaat tanpa bersiwak lebih dahulu.”

Jika lupa bersiwak di permulaan salat, maka ia sunah melakukan di tengah-tengahnya dengan perbuatan yang sedikit, sebagaimana memakai serban.

Bersiwak juga sunah muakad di waktu akan membaca Alqur-an atau Alhadis, ilmu agama, dan ketika mulut berbau busuk atau berubah warnanya akibat semacam tidur atau makanan yang berbau tidak menyenangkan: atau gigi Serwarna kuning, sesudah bangun tidur atau akan tidur, di kala hendak masuk mesjid atau rumah, sesudah waktu sahur dan akan dicabut nyawanya.

Semua.isu sebagaimana ditunjukkan dalam hadis Bukhari Muslim. Dikatakan, bahwa bersiwak (dalam keadaan sakratuk Maut) dapat mempercepat keluar roh dari jasad.

Dari keterangan hadis tersebut dapat disimpulkan: Bersiwak hukumnya sunah muakad bagi, orang sakit.

Dalam bersiwak, harus niat mengerjakan kesunahan, –supaya dapat pahala–: hendaknya juga menelan ludah bekas bersiwak yang pertama, namun tidak perlu menyesap alat siwak.

Sunah mencukil sisa-sisa makanan yang berada di sela-sela gigi, baik dilakukan sebelum bersiwak ataupun sesudahnya. Bersiwak hukumnya lebih utama daripada mencukil, (tapi) pendapat ini berlawanan dengan pendapat ulama lainnya.

Memakai alat siwak orang lain itu hukumnya tidak makruh, asal telah mendapat izin atau sudah diketahui akan kerelaannya. Jika tidak demikian, maka hukumnya adalah haram, sebagaimana mengambil alat siwak tik orang lain. Demikian itu jika memang tidak berlaku kebiasaan melarang memakai siwak orang lain.

Orang yang berpuasa hukumnya makruh bersiwak sesudah matahari tergelincir ke arah barat, selagi mulutnya tidak berubah baunya akibat tidur misalnya.

  1. Berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, karena ittiba’ kepada Nabi saw.

Setidak-tidaknya: Memasukkan air ke mulut dan hidung.

Untuk memperoleh asal sunah, tidak disyaratkan memutar-mutar air dalam mulut, membuang dan menyemburkan (mengeluarkan)nya dari hidung, tapi ketiga hal tersebut hanyalah sebagai kesunahan belaka, seperu juga masalah menyangatkan dalam memutar-mutar air kumur dan sesapan bagi orang yang tidak berpuasa. Ini semua karena berdasarkan perintah melakukan keduanya.

Sunah mengumpulkan berkumur dan menghirup air pada tiga ceduk: masing-masing ceduk digunakan berkumur dan mengshirup air.

  1. Meratakan usapan ke seluruh kepala. Karena ittiba’ kepada Rasul saw. dan menghindari perselisihan terhadap Imam Malik dan Ahmad r.a. (mereka mewajibkan mengusap seluruh . — kepala -pen).

Jika yang berwudu mencukupkan dengan usapan sebagian kepala, maka yang lebih utama adalah mengusap ubun-ubun.

Cara mengusap yang lebih utama, adalah meletakkan kedua tangannya pada bagian depan kepala, dalam posisi telunjuk saling bertemu, dua ibu jari diletakkan pada dua pelipis, lantas memutar-mutarnya beserta jari-jari lain ke belakang sampai tengkuk, lalu kembali lagi ke depan.

Jika kepalanya berambut, rambutnya sampat membalik: dan jika tidak berambut, maka cukup memutar tangan saja.

Sesudah mengusap ubun-ubun, sunah menyempurnakan usapan pada serban atau kopiah, jika memakainya. Karena ittiba’ kepada Nabi saw.

  1. Mengusap dua telinga secara merata, luar atau dalam serta dua lubangnya. Karena ittiba’.

Mengusap leher hukumnya tidak sunah, sebab tidak ada satu pun dasarnya. ‘

Imam Nawawi berkata: Mengusap leher hukumnya adalah bid’ah, dan yang menerangkannya adalah Maudhu’ (palsu).

  1. Menggosok-gosok anggota. Yaitu menggosokkan tangan pada anggota setelah terkena air. Karena hal ini menghindari perselisihan ulama yang menetapkan wajib (Imam Malik).
  1. Menyela-nyela jenggot yang tebal. Cara yang lebih utama adalah dengan menggunakan jari-jari kanan, dimulai dari bawah serta mengurai dan dengan satu siuk khusus. Dasarnya adalah ittiba’. Jika diunggalkan adalah makruh.
  1. Menyela-nyela jari-jari kedua tangan dengan berpanca dan jari-jari kaki dengan cara apapun.

Cara yang paling utama: Menyelanyelai jari-jari kaki dari bawah dengan kelingking tangan kiri, mulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri. Artinya, menyela-nyela jari-jari dengan jari kelingking tangan kiri, dari bawah kaki, yang dimulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri.

  1. Memanjangkan basuhan muka. Yaitu dengan cara membasuh muka serta bagian depan kepala, dua telinga dan dua lembar kuduknya.
  1. Memanjangkan basuhan kedua tangan dan kaki. Yaitu mengikutkan kedua bahu ketika membasuh kedua tangan: dan dua betis ketika membasuh kedua kaki. Batas maksimalnya adalah meratakan basuhan pada bahu dan betis.

Berdasarkan hadis Bukhari-Muslim: “Sesungguhnya di hari Kiamat umatku dipanggil dalam keadaan wajah, dua langan dan kaki yang memancarkan sinar karena bekas-bekas wudunya. .Maka, barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan basuhannya, hendaknya ia mau melakukan.” Imam Muslim memberj tambahan: “Dan memanjangkan basuhan kedua tangan serta kaki.” Maksud dari hadis di atas: Mereka nanti di hari Akhir dipanggil dalam keadaan wajah, tangan dan kaki bersinar. :

Paling tidak, memanjangkan basuhan bisa terjadi dengan melebihkan sedikit atas perkara yang wajib. Sedangkan untuk sempurnanya, adalah meratakan basuhan pada anggota-anggota yang telah lewat.

  1. Mengulang tiga kali setiap basuhan, usapan, gosokan, selaselaan, bersiwak, Basmalah dan zikir setelah berwudu. Karena berdasarkan ittiba’ kepada Nabi saw.

Penigakalian bisa terjadi dengan umpama memasukkan tangan —walaupun ke air yang sedikit– lalu menggerakkannya dua kali dalam air itu.

Jika ia mengulang-ulang air basuhan yang kedua, maka berhasillah hukum penigakalian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita (Ibnu Hajar AlHaitami).

Penigakalian tidak bisa mencukupi (tidak sah), jika dilakukan sebelum basuhan wajib, dan tidak mencukupi sesudah sempurna wudunya.

Membasuh kurang dari tiga kali hukumnya makruh, sebagaimana melebihinya dengan niat wudu, sebagaimana yang dibahas oleh segolongan ulama. Jika tambahan: tersebut dengan air wakaf persediaan bersuci, maka hukumnya adalah haram.

Cabang:

Orang yang di tengah-tengah berwudu merasa ragu dalam hal pemerataan atau jumlah basuhan, maka ia watib mengambil yang di yakini dalam perkara yang wajib (seperti ragu dalam masalah basuhan pertama atau pemerataannya terhadap anggota. Maka dalam keadaan seperti ini, ia wajib menyempurnakan basuhan itu – pen), dan sunah ” mengambil perkara yang diyakini dalam hal yang sunah (misalnya dalam basuhan kedua atau ketiga – pen), Meskipun air yang di pergunakan berwudu adalah air wakaf.

Adapun ragu setelah selesai berwudu, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa.

  1. Serba kanan. Yaitu: mendahulukan yang kanan ketika membasuh kedua tangan dan kaki. Sedang bagi orang yang putus anggotanya, serba kanannya pada semua anggota wudu.

Hal itu, karena Nabi saw. gemar mendahulukan yang kanan dalam bersuci dan tindak-tanduk yang tergolong positif, misalnya bercelak mata, memakai baju, sandal, memotong kuku, inemotong rambut kepala, mengambil, memberi, bersiwak dan menyela-nyelai.

Meninggalkan serba kanan adalah makruh.

Pada perbuatan-perbuatan kebalikan tahrim (positif), disunahkan mendahulukan kiri. Yaitu segala perbuatan yang masuk kategori negatif dan kotor, misalnya istinja, mem. buang ingus, melepas pakaian dan sandal.

Disunahkan memulai membasuhnya dari wajah bagian atas, dari ujung tangan dan kaki –walaupun berwudu dengan air yang dituangkan oleh orang lain–.

Sunah juga mengambil air basuhan wajah dengan dua tangan sekaligus, serta meletakkan wadah air yang diciduk pada sebelah kanan: dan wadah air yang dituangkan oleh orang lain, diletakkan di sebelah kiri.

  1. Sambung-menyambung di antara perbuatan-perbuatan wudu satu dengan lainnya, bagi . orang yang sehat. Caranya: Segera membasuh satu anggota sebelum basuhan anggota di depannya kering. Hal ini berdasarkan ittiba’ kepada Nabi dan menghindari khilaf ulama yang mewajibkannya (Imam Malik).

Sambung-menyambung hukumnya wajib bagi orang yang terkena penyakit beser.

  1. Berhati-hati dalam membasuh tumit, ekor mata, dua tepian mata yang letaknya dekat – hidung, pengelirik dan tepi mata yang lain, dengan menggunakan dua ujung telunjuk masing-masing.

Hukum kesunahan di atas, jika pada tepian mata tidak terdapat tahi mata yang menghalangi air sampai ke tempat dasar.

Bila terdapat tahi matanya, maka berhati-hati menjaga tempat tersebut adalah wajib, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Al-Majmu’

Membasuh dalam mata hukumnya tidak sunah. Bahkan sebagian ulama berkata, bahwa hal itu adalah makruh, sebab berakibat dharar (bahaya). (Wajib) membasuhnya, hanya kalau ada najis di situ, karena najis itu besar artinya.

  1. Menghadap kiblat selama berwudu.
  1. Tidak berbicara selama berwudu, kecuali mengucapkan zikir wudu, atau jika tidak ada hajat berbicara.

Memberi salam terhadap orang sedang berwudu, mengucapkan salam dan menjawab baginya, adalah tidak makruh.

  1. Tidak menyeka air yang ada pada anggota wudu, kecuali karena ada suatu uzur (misalnya karena dingin dan sebagainya – pen) karena ituba’ kepada Rasul saw.
  1. Membaca dua kalimat syahadat setelah berwudu, jika (antara wudu dengannya) tidak lama waktu berselang menurut anggapan yang biasa.

(Caranya), orang yang berwudu menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan melihat ke langit -walaupun orang buta-seraya mengucapkan: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah Yang Esa dan tiada yang menyekutukan-Nya, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya.

Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Rasulullah saw.: “Barangsiapa berwudu lalu berdoa: Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan seterusnya …, maka dibukakan untuknya delapan pintu surga, terserah dari mana saja ia masuk.”

Imam At-Tirimidzi menambah: “Ya, Allah! Jadikanlah saya termasuk golongan orang-orang yang bertobat dan suci.”

Diriwayatkan serta disahihkan oleh Imam Hakim: “Barangsiapa berwudu lalu berdoa: Maha Suci Engkau. Ya, Allah dan dengan pujiMu saya bersaksi, bahwa. tiada Tuhan selain Engkau, saya mohon ampunan dan bertobat kepada Engkau, maka ditulis pada selembar kulit dengan cetakan yang tidak akan berubah sampai hari kiamat –seperti yang telah disahihkan oleh Imam Harim.” Maksudnya: Tidak akan dibatalkan sampai ia melihat pahala-Nya yang agung.

Setelah itu membaca selawar salam kepada Baginda Nabi Muhammad saw. dan keluarga beliau.

Lalu membaca surat Al-Qadar sebanyak tiga kali, dengan menghadap kiblat tanpa mengangkat tangan.

Mengenai doa yang dibaca pada basuhan tiap-tiap anggota, adalah dada dasarnya yang kuat. Karena itu, saya membuangnya, seperti yang dilakukan oleh Syaikhul Mazhab, Imam Nawawi.

Dikatakan: Setiap membasuh anggota, adalah disunahkan membaca: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan uada yang menyekutui-Nya, dan saya bersaksi, bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Mustaghfiri, dan ia mengatakan: Hasan tersebut adalah hadis Hasan Gharib.

  1. Meminum air dari sisa wudu. Berdasarkan sebuah hadis, bahwa air tersebut membawa obat untuk: segala penyakit.
  1. Memercikkan air sisa wudu pada pakaiannya. Hal ini dimaksudkan bila ia merasa ragu akan adanya kotoran pada pakaiannya (dan hal ini untuk menghilangkan was-was -pen), sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita. Adapun keadaan Rasulullah saw. memerckkan air sisa berwudu pada pakaian beliau, adalah diarahkan atas keraguan seperti itu.
  1. Melakukan salat dua rakaat setelah berwudu, asal waktunya belum berselang lama menurut ukuran umum.

Kesunahan salat dua rakaat di atas, menjadi hilang jika telah berselang lama menurut umum. Hal ini atas tinjauan beberapa wajah (bentuk) pendapat. Sedangkan menurut sebagian ulama: Hal itu bisa hilang sebab bermaksud tidak mengerjakan salat, menurut sebagian lagi:

Sebab anggota wudu kering: dan menurut sebagiannya lagi: Sebab telah berhadas.

Dalam rakaat pertama sesudah membaca Fatihah, sunah membaca ayat:  وَلَوْأَنَّهُمْ إِذْظَلَمّوُاأَنْفُسَهُمْ sampai ayat: رَحِيْمًا  (Q.S. An-Nisaa: 64), sedangkan pada rakaat kedua, sunah membaca: وَمَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا أَوْيَظْلِمْ نَفْسَهُ sampai ayat:   رَحِيْمًا   (QS. AnNisaa’: 110).

Faedah:

Bersuci dengan air wakaf persediaan untuk minum, adalah haram, begitu juga dengan air yang belum jelas statusnya (untuk minum apa untuk bersuci), menuru tinjauan berbagai pendapat. Memindah air yang disediakan untuk minum ke tempat lain adalah juga haram.

Jika waktu sudah sempit untuk mengerjakan salat seluruhnya dalam waktu itu, maka wajib bagi orang yang berwudu membatasi diri pada basuhan atau usapan, karena itu, ia tidak boleh mengulang tiga kali dan tidak boleh melakukan kesunahankesunahan lain. Hal itu telah dijelaskan oleh Imam Al-Baghawi dan lainnya, serta diikuti oleh ulama-ulama akhir.

Akan tetapi Imam Al-Baghawi dalam masalah tertinggal salat berfatwa: Seseorang boleh menyempurnakan kesunahan-kesunahan salat, meskipun akhirnya ia tidak menemukan satu rakaat dalam waktunya.

Dalam pada itu, Al-Baghawi membedakan (antara masalah wudu dengan salat), bahwa orang yang mengerjakan salat terleka pada suatu maksud (yaitu: salat).

Maka dihukumi sebagaimana orang yang memanjangkan bacaan dalam salat (sehingga keluar dari waktunya).

Atau bila persediaan air berwudu sedikit, yang perkiraannya hanya cukup untuk mengerjakan hal fardu.

Jika orang yang berwudu ada air yang tidak cukup untuk kesempurnaan bersuci –jika ia mengulang tiga kali atau melakukan kesunahan-kesunahan–, atau diperlukan sisa air untuk binatang dimuliakan syarak yang haus, maka baginya haram menggunakan air tersebut untuk melakukan kesunahan.

Begitu juga, masalah tersebut berlaku dalam mandi janabah.

Orang yang berwudu hukumnya sunah membatasi pada hal-hal yang wajib saja, jika ia tergesa-gesa untuk mengikuti salat berjamaah, yang tiada jamaah selain itu.

Benarlah begitu. Untuk sunah wudu yang ada pendapat lain mengatakan wajib, misalnya menggosok (menurut Imam Malik hukumnya wajib), maka hendaknya didahulukan sebelum berjamaah. Hukum ini searah dengan penjelasan yang telah lewat tentang kesunahan mendahulukan salat tertinggal sebab uzur atas salat Ada’ (tunai),

Kesempurnaan:

Tayamum boleh dilakukan karena hadas besar atau kecil, jika tiada air atau khawatir berbahaya dalam menggunakannya, dengan debu – yang suci menyucikan.

Rukun Tayamum:

  1. Berniat memperoleh kewenangan melakukan salat fardu, secara bersamaan memindahkan debu ke muka.
  2. Menyapu muka.
  3. Menyapu kedua tangan.

Jika seseorang merasa yakin mendapat air di akhir waktu, maka baginya lebih baik menanti. Kalau tidak punya keyakinan, yang lebih utama adalah bersegera mengerjakan tayamum.

Jika anggota seseorang tercegah menggunakan air, maka baginya wajib bertayamum, membasuh anggota yang sehat dan mengusapkan air pada pembalut yang berbahaya jika dilepas. Bagi orang junub tidak wajib tertib antara tayamum dan membasuh anggota yang sehat. Jika yang tidak bisa terkena air itu dua anggota, maka tayamum wajib dilakukan dua kali.

Dengan satu kali tayamum, hanya diperbolehkan melakukan satu kali salat fardu, sekalipun sala nazar. Dan hukumnya adalah sah, sz kali tayamum untuk melakuk salat fardu dan salat Jenazah.

Hal-hal Yang Membatalkan Wudu

Yakni, sebab sebab wudu menjadi batal ada empat:

Pertama: Yakin telah keluar sesuatu selain air sperma sendiri. Baik berupa benda ataupun angin, basah atau kering, biasa keluar seperti kencing atau tidak seperti darah bawasir dan lain-lainnya, terputus atau tidak, seperti cacing yang mengeluarkan kepalanya, lalu kembali.

Dari salah satu dua pintu (kubul dan dubur) orang berwudu yang hidup, baik lewat dubur atau kubul, meskipun yang keluar itu penyakit otot lingkar yang tumbuh di dalamnya (bawasir). Lantas keluar otot tersebut atau bertambah nanjang dari semula.

Namun menurut fatwa AlAllamah Al-Kamalur Raddad, keluar otot tersebut tidak membatalkan wudu: Yang membatalkannya adalah perkara yang kebetulan bersamanya, misalnya darah.

Menurut Imam Malik r.a.: Wudu tidak menjadi batal sebab perkara yang keluar adalah hal langka.

Kedua: Hilang kesadaran sebab mabuk, gila, ayan ataupun tidur. Berdasarkan sebuah hadis shahih: “Barangsiapa telah tidur, supaya wudu lagi.”

Terkecualikan mengantuk dan permulaan rasa mabuk (pening) dari hilang kesadaran. Karena itu, keduanya tidak membatalkan wudu, sebagaimana seseorang merasa ragu: Apakah ia tidur atau mengantuk.

Tanda mengantuk adalah: masih mendengar bicara orang yang berada di sekelilingnya, sekali pun tidak paham.

Wudu tidak batal lantaran hilang kesadaran sebab tidur dalam posisi duduk, yang merapat antara tempat tidur dengan pantatnya, yang tidak berubah dari tempat semula, meskipun sambil bersandaran sesuatu yang kalau tidak ada menyebabkan ia jatuh, atau duduk dalam posisi mierangkung (sedengkul: Jawa), di mana pantat tidak renggang dengan tempat duduknya.

Wudu orang yang tidur dengan seperti di atas, menjadi batal, jika ia bangun telah berubah dari tempat semula.

Jika hanya sekadar ragu: Apakah pantatnya berubah atau tidak, berubah sebelum bangun atau sesudahnya, maka wudunya tidak batal.

Yakin dengan suatu mimpi, di mana ia yakin tidak ingat adanya tidur, hal ini tidak membawa pengaruh apa-apa.

Lain halnya, jika ia merasa ragu dengan durnya, sebab mimpi dimenangkan sebagai yang terjadi pada salah satu dari dua kemungkinan.

Ketiga: Menyentuh kemaluan manusia atau tempatnya, jika kemaluan itu putus, baik kemaluan orang mati atau anakanak, kubul atau dubur, masih terpasang ataupun sudah terputus, selain potongan khitan.

Bagian dubur (anus) pembatal wudu adalah bibir lubang anus, sedangkan untuk bibir farji (vagina), bukan bagian-bagian belakang bibir, seperti tempat perkhitanan (kelentit).

Memang! Disunahkan berwudu setelah menyentuh semacam rambut kelamin, dalam dubur . (perkara yang termaktub ketika berdiri, samping lubang dubur), dua butir pelir, rambut yang tumbuh di atas zakar (penis), pangkal paha, menyentuh anak putri yang inasih kecil, putra kecil, orang berpenyakit sopak, dan orang beragama Yahudi: Begitu Juga tusuk jarum, memandang wanita dengan syahwat, sekalipun keluarga sendiri, berucap hal yang maksiat, marah, membawa atau menyentuh mayat, memotong kuku, kumis dan rambut kepala.

Dengan ketentuan kemaluan manusia, maka terkecualikan kemaluan binatang, sebab padanya tidak terdapat daya tarik seks. Karena itu, hukum melihat kelamin binatang adalah boleh.

Menyentuh yang membatalkan wudu, adalah dengan menggunakan telapak tangan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw.: “Barangsiapa menyentuh kemaluannya —riwayat lain mengatakan batang zakarnya–, maka baginya wajib berwudu.”

Yang dimaksudkan dengan telapak tangan di sini adalah: Bagian dalamnya, jari-jari bagian dalam, tepian tapak tangan yang terhimpit jika dirapatkan dengan menekan sedikit. Bagian yang tidak termasuk adalah ujung jari, tepian ujung jari dan tepian telapak tangan.

Keempat: Persentuhan kulit laki-laki dengan wanita, meskipun tidak syahwat, dan sekalipun salah satunya terpaksa atau orang mati, bagi yang mati wudunya tidak batal.

Yang dimaksudkan dengan kulit di sini, adalah selain rambut, gigi dan kuku. Guru kami berpendapat: Dan selain biji mata.

Hal itu berdasarkan firman Allah: “atau bila kalian menyentuh wanita.” Arti daripada lafal “Laa mastum” adalah menyentuh (bukan bersetubuh, seperti pendapat Imam Abu Hanifah -pen).

Jika seseorang masih ragu: Yang disentuh itu rambut ataukah kulit, maka wudunya tidak batal. Seperti halnya jika tangannya menyentuh kulit, ia sendiri tidak mengerti: Apakah kulit laki-laki atau perempuan, atau ragu menyentuh mahram atau orang lain.

Guru kami (Ibnu Hajar AlHaitami) di dalam kitab Syahril ‘Ubab berkata: Kalau diberi tahu oleh orang adil, bahwa yang ia sentuh itu wanita, atau bahwa ketika ia tidur dengan merapatkan pantatnya, keluarlah kentut dari duburnya, maka wajib menerima pemberitahuan tersebut.

Kedua-duanya sudah dewasa.

Persentuhan kulit antara dua anak kecil, atau satu anak kecil, sedangkan yang lain dewasa, adalah tidak membatalkan wudu, karena tidak adanya daya tarik.

Yang dimaksudkan dengan anak kecil, ialah semua orang yang menurut ketentuan umum belum ada daya tarik seks (syahwat).

Persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang ada hubungan mahram –baik dari arah nasab, susuan, atau perkawinan (mertua)–, adalah tidak membatalkan wudu, sebab tidak adanya daya tarik birahi.

Jika perempuan mahramnya berada di tengah-tengah perempuan-perempuan mirip lain yang jumlahnya dapat dihitung (diketahui dengan mudah). lalu ia menyentuh satu darinya, maka wudunya tidak batal. Begitu juga, jika jumlah perempuan tersebut tidak mudah dihitung. Atas dasar beberapa tinjauan.

Keyakinan masih punya wudu atau telah berhadas, tidak bisa hilang lantaran persangkaan kebalikannya, Demikian pula –lebih-lebih– dengan keraguan atas kebalikan dari keyakinan, karena melangsungkan keadaan semula (sstishhab). Karena itu, keyakinanlah yang harus diambil.

Penutup:

Sebab hadas, seseorang diharamkan melakukan salat, tawaf, sujud ulawah atau syukur, membawa Mushaf, membawa sesuatu yang bertuliskan Algur-an, yang disediakan untuk belajar, sekalipun hanya sebagian ayat, misalnya batu tulis.

Penilaian adanya tujuan menggunakan tulisan ayat untuk belajar dan tabaruk (mencari berkah), adalah terletak ketika penulisannya, bukan sesudah itu, atau terletak pada penulisnya, baik untuk dirinya sendiri atau orang lain secara cuma-cuma (tabaru’): jika tidak dengan cuma-cuma, maka terletak pada orang yang memerintahkan menulis.

Tidaklah haram membawa Mushaf, jika bersama barangbarang lain, di mana Mushaf tidak dimaksudkan untuk dibawa.

Haram pula memegang lembaran Mushaf, meskipun bagian kosong: atau memegang bungkusnya yang disediakan untuk membungkus.

Tidak haram membalik lembaran Mushaf dengan semacam kayu kecil, asal kayu tersebut tidak melekat padanya.

Tidak haram pula membawa kitab Tafsir Alqur-an yang tafsirannya lebih banyak, walaupun tidak secara persis diketahui (untuk kitab Tafsir Jalalain, yang lebih hati-hati, adalah membawanya dengan keadaan punya wudu – pen).

Anak mumayiz yang sedang menanggung hadas –sekalipun junub–, tidak dilarang membawa atau menyentuh Mushaf, untuk belajar, membaca dan wasilah mempelajarinya, seperti membawa ke meja dan menghadapkan ke depan guru untuk belajar.

Haram hukumnya memberi peluang memegang (membawa) Mushaf dan sesamanya terhadap anak yang belum tamyiz (sebab khawatir akan menyia-nyiakan’nya), meskipun hanya sebagian ayat.

Haram juga menulisnya dengan selain huruf Arab.

Demikian pula meletakkan semacam uang dirham di tempat – yang tertulis Al-qur’an atau ilmu syarak, atau menyisipkannya pada lembaran-lembaran Mushaf ‘ —berbeda dengan pendapat Guru kami–: merobek dengan maksud menghina, menelan sesuatu yang bertuliskan Algur-an –kalau meminum air leburan Algur-an, tidak apa-apa–: merentangkan kaki ke arah Mushaf yang terletak tidak tebih tinggi.

Sunah berdiri menghormati Alqur-an, sebagaimana menghormati orang alim, bahkan menghormau Alqur-an itu lebih utama.

Makruh hukumnya membakar sesuatu yang bertuliskan Alguran, kecuali jika bermaksud semacam menjaganya. Dalam hal ini lebih baik menghapusnya.

Perbuatan yang Diharamkan

Sebab Janabah:

Diam di dalam mesjid, membaca Alqur-an sekalipun sebagian ayat yang terdengar diri sendiri, dan meskipun ia kanak-kanak, mengenai yang ini (anak-anak yang junub), adalah bertentangan dengan pendapat Imam An-Nawawi.

(Hal di atas, haram juga) atas wanita yang sedang menstruasi (dan nifas).

Tidak diperbolehkan (haram) salat, membaca Alqur-an dan puasa, bagi wanita yang mengeluarkan darah Thalg (darah yang keluar akibat menahan rasa sakit waktu melahirkan -pen).

Puasa yang tertinggal di sini wajib dikadha, sedangkan salat tidak wajib, atas dasar beberapa tinjauan.

Thaharah Kedua: Mandi

Mandi menurut arti bahasa: Mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan menurut syarak: Mengalirkan air pada semua badan dengan niat mandi.

Mandi tidak wajib dikerjakan seketika, meskipun penyebab kewajibannya dikerjakan sebagai durhaka (umpama berzina). Lain halnya dengan mencuci najis yang dikerjakan akibat durhaka.

Yang masyhur di kalangan fukaha, lafal غُسْلٌ adalah dengan dibaca dhammmah ghainnya. Tetapi membaca fat-hah ghainnya adalah lebih fasih. Kata-kata Ghusl mempunyai arti perbuatan mandi dan air yang digunakan-. nya.

Hal-hal yang mewajibkan mandi ada empat:

“Pertama: Keluar air mani yang pertama.

Air mani bisa diketahui melalui salah satu dari tiga ciri-ciri: Waktu keluar terasa lezat, Keluar dengan tercurat: Waktu basah berbau adukan bahan roti dan setelah kering berbau putih telur.

Bila tidak terdapat tanda-tanda di atas, maka tidak wajib mandi.

Memang! Jika seseorang meragukan, apakah mani atau madzi, walaupun keluarnya dengan syahwat, ia boleh memilih: menganggap mini, lalu mandi: atau menganggap madazi, lalu mencuci dan berwudu.

Jika seseorang melihat mani kering yang menempel pada pakaiannya, maka ia wajib mandi dan mengulangi salatnya yang diyakini dikerjakan setelah keluar mani tersebut, selagi tidak berlaku suatu kebiasaan, bahwa mani tersebut dari orang lain.

Kedua: Masuknya kepala zakar (penis), atau tengkuknya, bagi orang yang tidak mempunyai kepala penis, walaupun dari penis lepasan, binatang ataupun orang mati. Ke dalam farji –kubul (vagina) atau dubur (anus)–, sekalipun farji binatang, misalnya ikan atau orang mati.

Orang mati yang seperti ini tidak wajib dimandikan lagi, sebab sudah bukan mukalaf lagi.

Ketiga: Haid (menstruasi): Artinya setelah terputus darah haid.

Haid ialah: Darah yang keluar dari pangkal rahim wanita pada hari-hari tertentu.

Usia termuda seorang wanita mengeluarkan darah haid, adalah 9 tahun gamaniyah, secara penuh.

Memang! Jika seorang wanita mengeluarkan darah sebelum berusia 9 tahun kurang 16 hari, maka darah tersebut dinamakan juga dengan haid.

Masa keluar darah haid paling sedikit I hari 1 malam, dan terpanjang 15 hari (15 malam, walaupun darah tersebut tidak berturut-turut keluarnya -pen), sebagaimana masa terpendek untuk suci di antara dua kali haid.

Diharamkan sebab haid: Semua yang diharamkan sebab janabah dan hubungan seksual antara pusat dan lutut. Dikatakan: Tidak diharamkan selain persetubuhan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tahqiq, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim: “Berbuatlah sesuka hatimu, selain bersetubuh.”

Manakala pendarahan itu sudah berhenti, diperbolehkan sebelum mandi, berpuasa, tidak boleh bersetubuh. Hal ini (bersetubuh) bertentangan dengan hasil pembahasan Al-‘Allamah Al-Jalal As -Suyuthi r.a.

Keempat: Nifas: artinya, setelah berhenti pendarahan.

Nifas adalah kumpulan darah haid yang keluar setelah sempurna kelahiran.

Masa minimalnya adalah setetes, biasanya 40 hari, dan batas maksimal 60 hari.

Semua yang diharamkan sebab haid, adalah diharamkan sebab nifas.

Juga diwajibkan mandi sebab melahirkan, sekalipun tidak basah dan yang keluar berupa segumpal darah atau daging: dan wajib mandi sebab mati bagi seorang muslim yang bukan syahid.

Fardu Mandi

Fardu mandi ada dua:

Pertama: Niat menghilangkan janabah bagi orang yang junub, atau haid bagi yang haid. Maksudnya, menghilangkan hukum janabah dan haid.

Boleh juga niat menunaikan . fardu mandi, menghilangkan hadas, bersuci dari hadas, atau niat menunaikan ibadah mandi.

Begitu juga niat mandi untuk menunaikan salat. Tidaklah cukup jika niat mandi saja.

Niat itu wajib bersama-sama permulaan mandi. Yakni: Basuhan tubuh yang pertama kali, sekalipun mulai membasuhnya dari bawah tubuh.

Jika baru niat setelah membasuh sepotong anggota badan, maka wajib mengulangi basuhan anggota tersebut.

Jika seseorang niat menghilangkan janabah dan mem, basuh sebagian badan, lalu tidur, setelah bangun ia bermaksud meneruskan basuhan yang lain, maka baginya tidak perlu mengulangi niatnya.

Kedua: Meratakan air pada bagian badan, termasuk kuku, kulit bawah kuku, rambut luar-dalam, sekalipun tumbuh lebat: dan semua yang tampak, misalnya pangkal rambut yang telah lepas sebelum terbasuh, lubang telinga, bagian-bagian farji wanita yang tampak ketika duduk di atas dua telapak kakinya, dan lubang: lubang serta retak-retak pada badan. Termasuk juga yang harus dibasuh: Bagian dalam pada bisul cacar yang pucuknya menganga (terbuka). Tidak termasuk wajib dibasuh: Bagian dalam bekas koreng yang menonjol keluar dan tertutup rapat, sehingga tidak tampak bagian dalamnya,

Haram membelah anggota tubuh yang tergandeng rapat asli, Termasuk wajib dibasuh: Bagian di bawah kulit kepala zakar (glans penis) bagi orang yang belum dikhitan (kulit kepala zakar masih utuh). Ia wajib membasuhnya, sebab pada dasarnya, kulit glans penis harus dihilangkan.

Tidak termasuk wajib dibasuh: Dasar rambut yang tumbuh dengan sendirinya (pada tempattempat yang tidak biasa tumbuh), sekalipun banyak jumlahnya.

Berkumur dan menyesap air ke hidung adalah tidak wajib, tetapi meninggalkannya adalah makruh (karena menghindari perselisihan dengan Imam Abu Hanifah r.a. yang mengatakan wajib -pen).

(Membasuh anggota badan di atas) dengan menggunakan air yang menyucikan.

Seperti keterangan yang telah lewat, bahwa perubahan air pada salah satu sifatnya adalah mempengaruhi atas dapat digunakan mandi janabah, meskipun perubahan tersebut terjadi di anggota badan orang yang mandi.

Hal ini bertentangan dengan pendapat segolongan ulama.

Untuk meratakan air pada kulit dan rambut, adalah cukup dengan adanya persangkaan, meskipun ia tidak merasa yakin adanya. Tetapi yang cukup adalah dengan suatu persangkaan, sebagaimana dalam masalah wudu.

Sunah-sunah Mandi

Disunahkan ketika mandi wajib dan sunah:

  1. Diawali dengan membaca Basmalah.
  2. Membuang kotoran yang suci, misalnya sperma dan ingus, dan kotoran yang najis, misalnya madzi –sekalipun menghilangkan hadas dan kotoran– dapat dilakukan satu basuhan sekaligus.
  3. Kencing sebelum mandi bagi orang yang wajib mandi sebab inzal (ejakulasi, keluar sperma), agar sisa sperma ikut keluar bersama air kencing itu.
  4. Berkumur dan menyesap air ke dalam hidung dan berwudu dengan sempurna setelah membuang kotoran, karena ituba’ kepada Rasul saw. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim.
  5. Sunah bagi orang yang mandi melanggengkan wudunya dari hadas kecil sampai selesai mandi, sehingga jika ia berhadas di tengah-tengah mandi, baginya disunahkan berwudu lagi.

Pendapat Imam Al-Muhamili, bahwa wudu hanya disunahkan dalam mandi wajib saja, adalah pendapat daif (lemah).

Yang lebih utama tidak menunda membasuh kedua telapak kaki daripada mandi sediku –seperti yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah–, walaupun ada keterangan mengenai penundaannya dalam kitab Al-Bukhari.

Jika ia berwudu di tengah-tengah mandi atau sesudahnya, mencukupi pula sebagai kesunahan, tetapi yang lebih utama adalah mendahulukan wudu sebelum mandi.

Meninggalkan wudu dalam masalah mandi, adalah makruh (sebab menghindari ulama yang mengatakan wajib wudu -pen).

Dalam wudu di sini hendaknya diniau sebagai sunah mandi, jika janabahnya sunyi dari hadas kecil. Jika berhadas kecil, maka hendaknya niat menghilangkan hadas itu dan sepadannya. Karena menghindari pendapat ulama yang menetapkan wajib wudu, dengan alasan, hadas kecil tidak dapat masuk dalam hadas besar.

Jika wudunya batal setelah semua anggota wudu dibasuh, maka ia wajib wudu lagi secara tertib dengan niat (jika ia hendak melakukan salat -pen).

  1. Memperhatikan dalam membasuh anggota-anggota yang berlipat-lipat, misalnya telinga, ketiak, pusat, ckor mata dan bagian-bagian yang retak-retak,

Memperhatikan dalam membasuh pangkal rambut, Jalu menyiram kepala dengan siraman air yang banyak setelah rambut diurai. Bagi selain orang yang putus tangan kanan dan kirinya, ia tidak disunahkan mendahulukan bagian kanan kepalanya.

Lantas membasuh badan bagian kanan dan diteruskan kirinya.

  1. Menggosok-gosok bagian badan yang bisa dijamah oleh : tangannya-karena menghindari perselisihan dengan ulama yang mengatakan wajib menggosok-gosok (yaitu Imam Malik, sedangkan khuruj minal khilaf, mustahab -pen).
  1. Mengulang tiga kali basuhan pada seluruh badan, menggosok badan, membaca Basmalah dan berdoa setelah mandi.

Dalam masalah mandi dengan air yang mengalir, kesunahan mengulang tiga kali sudah berhasil dengan menggerakgerakkan badan sebanyak tiga kali, sekalipun telapak kaki tidak berubah dari asal (berpijak), atas dasar beberapa hasil peninjauan.

  1. Menghadap kiblat, sambungmenyambung, tidak berbicara tanpa ada hajat, dan tidak menyeka air tanpa ada uzur.
  1. Sesudah mandi, sunah membaca kalimat syahadat serta doa sambungannya, seperti yang ada dalam Bab Wudu.
  1. Sunah untuk tidak mandi janabah dan lainnya, seperti wudu dengan air yang tidak mengalir yang tidak menjadi banyak, misalnya telaga yang tidak mengalir.

Cabang:

Jika seseorang mandi dengan niat mandi janabah dan semacam mandiJumat dengan niat sekaligus, maka hasillah keduaduanya. Meskipun yang lebih utama adalah memisahkan masing-masing dnegan mandi sendiri-sendiri.

Atau niat dengan salah satunya, maka berhasillah apa yang diniati saja.

Jika seseorang berhadas dan junub, maka cukuplah baginya sekali mandi saja, meskipun tidak diniati berwudu dan tidak membasuh anggota wudu secara tertib.

Cabang:

Orang yang junub, haid dan nifas setelah berhenti pendarahannya, bagi mereka disunahkan mencuci farji, dan berwudu bila akan tidur, makan dan minum. Jika mereka. (orang yang junub dan seterusnya) mengerjakan hal-hal tersebut sebelum berwudu, adalah makruh.

Seyogianya, sebelum mandi jangan membuang rambut, kuku dan darah (baru). Sebab semua itu nanti di akhirat akan dikembalikan dalam keadaan junub

 Waktu mandi, boleh telanjang di tempat yang sepi, atau di hadapan orang yang boleh melihat auratnya, misalnya istri dan budak wanita. Namun, yang lebih utama adalah menutupnya.

Hukumnya haram mandi dengan telanjang di hadapan orang yang haram melihat auratnya, sebagaimana haram telanjang di tempat sepi tanpa ada hajat.

Diperbolehkan telanjang di tempat sepi, (jika memang ada. kepentingan), meskipun kepentingan itu kecil sekali, seperti yang akan diterangkan nanti.

Yang termasuk badan adalah dalam mulut, hidung dan dua mata.

Suci pakaiannya dan segala yang dibawa, meskipun tidak ikut bergerak, jika ia bergerak, suci tempat ia mengerjakan salat,. dari semua najis yang tidak diampuni keadaannya.

Karena itu, salat orang yang tidak suci dari najis, adalah tidak sah, sekalipun ia lupa (tidak mengerti) keberadaan najis, atau lupa (tidak mengerti) kalau keberadaan najis itu membatalkan salat.

Berdasarkan firman Allah swt.: “Dan sucikanlah pakaianmu,” dan . berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim.

Tidaklah mengapa, jika badan orang yang salat berjajaran dengan najis, tetapi hukumnya adalah makruh, sebagaimana menghadap najis atau barang yang terkena najis.

Demikian juga hukumnya, jika najis atau barang yang terkena najis terletak di atas atap yang tidak jauh dari ia salat, selama penilaian umum tidak mengatakan hal itu bersejajar.

Di luar salat, tidaklah wajib menyisikan najis. Hal ini selama tidak sengaja melumuri najis pada badan atau pakaiannya. Karena itu, sengaja melumurkan adalah haram, bila. tanpa hajat

Najis menurut syarak: Segala kotoran yang menghalangi kesahan salat yang dikerjakan dalam keadaan tiada keringanan.

Seperti: 1-2 Tinja (tahi, facces), Air kemih (urine), sekalipun keluar dari burung, ikan, belalang dan binatang yang berdarah tidak mengalir, ataupun dari binatang yang dagingnya halal dimakan, menurut pendapat yang Ashah.

Al-Ashthakhri dan Ar-Rauyani, dari kalangan ulama Syafi’iyah, sebagaimana pendapat Imam Malik dan Ahmad, berkata: Tinja dan air kemih dari binatang yang halal dimakan hukumnya adalah suci. Andaikata ada binatang berak atau memuntahkan biji-bijian, maka jika biji tersebut keras, dalam arti kalau ditanam masih bisa tumbuh, adalah dihukumi seperti barang yang terkena najis: kalau tidak keras, dihukumi najis.

Dalam pada itu, para fukaha tidak menjelaskan hukum selain bijian.

Guru kami menjelaskan: Yang jelas, jika pada selain bijian itu terdapat perubahan dengan keadaan sebelum ditelan, meskipun sedikit, maka hukumnya adalah najis: kalau tidak, hukumnya adalah barang yang terkena najis.

Di dalam kitab Al-Majmu’ dari penjelasan Imam Asy-Syekh Nashr dikatakan, bahwa air kemih sapi penggiling yang mengenai bijian yang digiling, adalah diampuni adanya (sebab darurat).

Dari penjelasan Imam Al-Juwaini, tampaklah akan begitu pengingkarannya untuk membahas . dan menyuakan barang tersebut.

Menurut pembahasan Imam Al: Fazari, bahwa tinja tikus jika masuk ke benda cair dan hal itu sudah menjadi bencana yang umum, adalah diampuni adanya.

Mengenai apa yang kita lihat pada lembaran-lembaran daun, seperti buih, adalah najis. Sebab perkara tersebut keluar dari perut ulat, sebagaimana yang telah kita saksikan sendiri.

‘Anbar bukanlah termasuk tinja –berbeda dengan pendapat yang mengategorikannya–, tapi ia adalah tumbuhan yang tumbuh di laut.

  1. Madzi: dengan dititik dalnya — dengan alasan adanya perintah membasuh zakar darinya.

Ia adalah barang cair yang berwarna putih atau kuning, yang biasanya keluar sewaktu nafsu seks bergejolak tidak begitu kuat.

  1. Wadi, tertulis dengan dal tidak bertitik. Yaitu: Air putih, kotor dan kental yang biasa keluar setelah buang air kencing, atau ketika membawa sesuatu yang berat.
  1. Darah, sekalipun hanya percikan yang masih tertinggal pada semacam tulang. Hanya saja darah yang semacam itu hukumnya maju.

Para fukaha mengecualikan: hati, limpa, misik –sekalipun yang terjadi dari kijang mati-segumpal darah bibit bayi, segumpal daging bibit bayi, air susu yang keluar berwarna darah dan darah telur yang masih segar, belum busuk.

  1. Nanah, karena ia merupakan darah yang telah mengalami perubahan. Jug# nanah darah, yaitu cairan tidak kental yang bercampur darah.
  1. Air luka, air bisul, air koreng, jika telah berubah, kalau tidak . berubah, maka air tersebut suci seperti semula.
  1. Muntahan dari perut, sekalipun tidak berubah dari keadaan aslinya.

Muntahan adalah makanan yang keluar kembali setelah sampai ke dalam perut, sekalipun berupa air.

Mengenai makanan yang keluar lagi sebelum sampai dalam perut, –baik diyakinkan atau dimungkinkan–, maka bukan termasuk najis bukan juga benda terkena najis, lain halnya dengan pendapat Imam Al-Qaffal.

Guru kami berfatwa: Sesungguhnya bayi yang sakit sering muntah, muntahnya yang mengena puting susu ibu yang masuk dalam mulutnya adalah dima’fu: lain halnya dengan muntah yang mengena pada waktu mencium atau memegang mulutnya.

  1. Empedu, air susu binatang yang tidak halal dimakan, selain manusia dan makanan kunyahan kedua kalinya dari semisal unta (binatang pemamah biak).

Mengenai air sperma, hukumnya adalah suci, lain halnya dengan pendapat Imam Malik r.a.

Termasuk suci lagi, liur dahak selain yang keluar dari perut, seperti dari kepala atau dada, dan lendir dari mulut orang tidur, sekalipun berbau busuk juga menguning, selagi tidak jelas keluar dari perut: selain lendir orang yang berpenyakit selalu mengeluarkan lendir perut, maka lendir semacam ini dima’fu, sekalipun jumlahnya banyak.

Air farji (kelenjar bartholini) termasuk suci, yaitu air putih bersifat tengah-tengah antara madzi dan keringat, keluar dari bagian dalam farji yang tidak wajib dibasuh, Air ini menurut pendapat yang Ashah hukumnya adalah suci secara pasti tanpa ada perselisihan). Berbeda dengan yang keluar dari dalam farji yang wajib dibasuh. Air yang keluar dari dalam bilik farji, secara pasti air ini hukumnya najis, hukumnya seperti segala sesuatu yang keluar dari dalam farji, (kecuali telor. dan bayi), dan seperti air yang keluar bersamaan atau menjelang bayi lahir. Menurut pendapat yang Muktamad: Air yang ada dalam farji tersebut, semua adalah tidak ada perbedaan antara sudah terpisah atau belum dari farji:

Sebagian ulama berkata: Perbedaan antara air farji yang suci dan najis, adalah terletak pada terpisah atau tidaknya. Dalam kitab Al-Kifayah dari pendapat Imam Al-Haramain, bahwa air yang terpisah hukumnya najis.

Tidak wajib membasuh zakar setelah bersetubuh, telor dan anak yang baru lahir.

Guru kami berfatwa, bahwa basaban bawasir (cairan tran, sudasi plasma) itu diampuni bagi orang yang terkena penyakit tersebut.

Termasuk suci lagi: Telor binatang yang tidak halal dimakan dagingnya, -telor binatang ini menurut pendapat Ashah adalah halal dimakan-, rambut dan bulu binatang yang halal dimakan, jika telah dicabut waktu hidupnya. Jika diragukan, apakah rambut (bulu) tersebut dari binatang yang halal dimakan atau haram: atau apakah terpisah dari binatang yang masih hidup atau bangkai, maka hukum rambut (bulu) tersebut adalah suci.

Dalam hal ini, tulang dapat dikiaskan hukumnya dengan bulu. Seperti itulah yang dijelaskan dalam kitab Al-Jawahir.

Telor bangkai itu jika sudah mengeras, hukumnya adalah suci, kalau masih lunak, hukumnya adalah najis.

Air sisa minuman dari binatang yang suci, adalah suci juga. Andaikata moncongnya terkena najis, lalu menjilat air yang sedikit atau benda cair lainnya, maka hukumnya: Jika waktu minum itu setelah pergi jauh dalam tempo yang memungkinkan untuk menyucikan moncongnya, kembali dengan mencelupkan ke air yang banyak atau air mengalir, maka air yang sedikit tersebut adalah tetap suci, sekalipun binatang itu adalah kucing, kalau tidak habis pergi seperti tersebut di atas, maka hukum air sedikit itu adalah najis.

Guru kami (Ibnu Hajar AlHaitami, sebagaimana Imam As-Suyuti berkata –dengan mengikuti Ulama Mutaakhirin–: Sesungguhnya najis yang sedikit menurut penilaian umuin adalah dima’fu, yaitu rambut najis, selain najis mughallazhah, asap benda najis, najis yang terdapat di kaki lalat meskipun terlihat oleh mata, kotoran yang tertinggal pada pintu pelepasannya (anus), kotoran burung, najis yang ada pada moncongnya, kotoran binatang yang tumbuh dalam air (misalnya lintah) atau kotoran binatang kecil yang hidup di selasela daun nyiur yang dianyam untuk menahan air hujan di atap rumah, sekira sulit menyelamatkan air dari kotoran tersebut.

Segolongan ulama berpendapat: Termasuk najis yang diampuni adanya, yaitu najis yang terbawa oleh tikus dari kamar-kamar WC, jika najis itu meratai, Pendapat ini dikuatkan oleh pembahasan Imam Al-Fazari.

Syarat najis-najis tersebut diampuni, jika najis tersebut tidak sampai mengubah air. -selesai-.

Binatang musang kasturi adalah suci. Sedang najis yang ada di beberapa helai bulunya, umpama tiga helai, diampuni adanya. Para ulama tidak menjelaskan: Apakah yang dimaksudkan dengan rambut yang sedikit itu yang diambil dari musang ataukah yang tertinggal di dalam wadah tempat musang tersebut diambil minyaknya.

Dalam hal. ini, Guru kami menerangkan: Pendapat yang jelas alasannya adalah yang awal (rambut yang diambil dari musang), jika bahan minyak kasturi tersebut sudah padat. Sebab yang ditinjau dalam kepadatan adalah pada tempat najis saja (dasarnya: Hadis yang berkaitan dengan masalah tikus yang jatuh ke dalam bubur saman pen).

Jika najisnya banyak dan berada pada satu tempat, maka tidak diampuni adanya di tempat tersebut (benda padat): kalau najisnya sedikit, diampuni. Lain halnya dengan benda cair, sebab jumlah keseluruhannya seperti barang tunggal.

Jika rambut yang berada dalam benda cair itu sedikit, maka diampuni adanya: kalau tidak demikian, tidak diampuni. Dan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan rambut musang yang diambil dalam keadaan minyak kasturi berupa cair.

Imam Al-Muhib Ath-Thabari menukil sebagai pegangannya, dari Ibnu Shabagh, bahwa makanan yang dikeluarkan untuk dikunyah kedua kali oleh unta dan binatang lainnya (pemamah biak), adalah tidak menajiskan air yang diminumnya.

Ia juga menyamakan hukum. mulut binatang pemamah biak, seperti anak lembu dan biri-biri, waktu menyesap puting induknya, dengan masalah di atas.

Ibnu Shalah berkata: Sesuatu yang terkena sedikit kotoran dari mulut sang bayi, yang jelas – jelas najis adalah diampuni adanya. Selain Ibnu Shalah menyamakan hukum mulut orang-orang gila dengah mulut anak kecil di atas. Seperti ini, Imam Az-Zarkasyi telah memegang kuat.

  1. (Termasuk benda najis lagi): Bangkai, meskipun sejenis bangkai lalat, yaitu binatangbinatang yang berdarah tidak mengalir. Pendapat ini bertentangan dengan Imam AlOaffal dan ulama yang mengikutinya, tentang kesucian binatang sejenis lalat dengan alasan tidak ada darah busuk padanya, hal ini seiring dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Malik r.a.

Oleh karena itu, bangkai adalah najis, sekalipun tidak berdarah mengalir (darah dingin). Begitu juga rambut, tulang dan tanduknya. Pendapat tersebut berbeda dengan Imam Abu Hanifah r.a. Beliau berpendapat: Rambut bangkai dan seterusnya adalah suci, jika tidak terdapat lemak padanya (jika ada lemaknya, maka hukumnya najis).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (ulama yang terkenal ahli hadis) mengeluarkan fatwa, bahwa salat orang yang membawa bangkai lalat adalah sah, jika ia berada di tempat yang sulit untuk menghilangkannya.

Selain bangkai manusia, ikan dan belalang. Dengan alasan, ikan dan belalang adalah halal dimakan. Mengenai bangkai manusia, berdasarkan firman Allah swt.: “Dan sungguh telah Kami muliakan manusia”, Dan di antar2 bentuk memuliakannya, adalah menghukumi akan ke- udaknajisannya sebab mati.

Dan selain binatang hasil buruan. yang mati sebelum disembelih (misalnya mati sebab binatang pemburu atau alat tajam). Begitu juga janin binatang yang mati : sebab induknya disembelih.

Hukumnya adalah halal, ulat yang ikut termakan bersama perkara yang menyertainya (misalnya buah-buahan), juga tidak wajib mencuci mulut setelah memakannya.

Dinukil dari beberapa Ashhabus Syafi’iyah dalam kitab Al-Jawahsy, bahwa hukumnya tidak halah memakan ikan asin sebelum dibersihkan kotoran-kotoran yang berada dalam perutnya.

Menurut lahir penJapat tersebut, “adalah tidak ada perbedaan antara ikan besar dan kecil.

Akan tetapi, Guru kami (Ibnu Hajar Al-Haitami) mengemuka“kan kebolehan memakan ikin asin kecil bersama kotoran yang berada di dalam perutnya, karena sulit membersihkannya.

  1. Barang yang memabukkan, Artinya, segala yang dapat memabukkan, termasuk di sini setetes barang yang bisa memabukkan.

Yang cair, misalnya arak, yaitu minuman yang terbuat dari anggurdan .nabidz,. yaitu minuman yang memabukkan. yang terbuat dari selain anggur.

Kata-kata “cair”, terkecualikan sejenis pohon ganja dan rumput.

Khamar dapat menjadi suci setelah berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tanpa dicampuri benda lain –sekalipun tidak mempengaruhi dalam perubahannya menjadi cuka, misalnya krikil-wadahnya menjadi suci juga, sekalipun arak mendidih dan membuih, lalu sebab pendidihan surut ke bawah lagi.

Jika pembuihan khamar tersebut bukan karena pendidihan, tetapi sebab dikocok umpama, maka khamar tersebut tidak dihukumi suci. Sekalipun dituangkan arak lain di atas wadah sebelum atau sesudah kering, atas dasar beberapa peninjauan, seperti yang dipegang teguh oleh Guru kami.

Menurut apa yang dipegang oleh Guru kami, Al-Muhaggig Abdur Rahman bin Ziyad: Arak menjadi suci jika penuangan arak lain sebelum kering arak bagian atas, bukan yang kering setelahnya.

Kemudian beliau berkata: Jika arak dituangkan dalam wadah dan diambil kembali, Talu setelah kering wadah itu dituangi arak lain dan wadah belum dicuci, maka arak ini tidak bisa suci, sekalipun arak itu baru berubah setelah dipindahkan ke tempat lain. -Selesai-.

Tanda-tanda yang menunjukkan kalau khamar itu menjadi cuka, adalah rasanya masam, meskipun belum benar-benar masam dan masih membuih.

Kulit bangkai yang najis bisa menjadi suci: Dengan cara disamak sampai bersih: sekiranya tidak akan busuk dan hancur setelah itu, jika direndam dalam air.

  1. Termasuk najis: Anjing, babi, dan keturunan masing-masing dalam tunggal jenis atau berkawin dengan binatang (suci) lainnya.

Ulat bangkai anjing dan babi adalah suci. Begitu juga benang laba-laba: menurut pendapat yang masyhur, seperti yang dikemukakan oleh Imam As: Subki dan Imam Al-Adzra’i.

Pengarang kitab AlUddah dan AlHawi memantapkan atas najis benang laba-laba dan perkara yang keluar dari kulit, semacam ular hidup, sebagaimana hukum keringatnya. Hal ini telah difatwakan oleh sebagian ulama.

Akan tetapi Guru kami berpendapat: Dalam masalah tersebut, ada tinjauan khusus. Yang lebih mendekati kebenaran, bahwa perkara yang keluar dari semacam ular hidup adalah najis, sebab merupakan bagian yang terbentuk sendiri, yang terpisah dari binatang hidup, maka hukumnya sebagaimana bangkai.

Guru kami berpendapat lagi: Jika seekor anjing atau babi menyetubuhi wanita, lalu melahirkan bayi manusia, maka bayi itu hukumnya adalah najis. Di samping itu, ia termasuk mukalaf yang wajib salat dan lain-lainnya. Yang jelas, persentuhan (orang lain) dengan anak tersebut dalam keadaan terpaksa, adalah diampuni.

Sesungguhnya dia sah menjadi imam salat –sebab dia tidak wajib mengulangi salatnya-boleh masuk mesjid untuk berjamaah dan lain-lainnya, sekira badannya kering.

Mencuci barang yang terkena najis Ainiyah, adalah dengan membasuhnya sampai hilang sifat-sifat najis, baik rasa, bau dan: warngnya. : :

Warna bekas najis atau baunya yang sulit dihilangkan –sekalipun dari najis mughallazhah–, adalah tidak menjadi masalah.

Jika masih terdapat warna dan baunya, maka benda tersebut belum suci.

Barang yang terkena najis hukmiyah –seperti air kencing yang telah kering dan hilang semua sifat-sifatnya–, cukup disucikan dengan merigalirkan air satu kali. Jika barang tersebut berupa biji-bijian atau daging yang dimasak dengan barang najis, atau pakaian yang diwarna dengan benda najis, maka dalamnya bisa menjadi suci dengan menyiram luarnya, seperti halnya pedang yang ditempa dengan benda najis, maka cukup disiram bagian luarnya, sucilah seluruhnya.

Disyaratkan agar suci tempat yang terkena najis, hendaklah air yang sedikit sampai pada tempat najis.

Jika barang yang terkena najis sampai (dicelupkan) pada air sedikit, bukan banyak, maka air sedikit tersebut hukumnya menjadi najis, sekalipun air tidak mengalami perubahan. Karena itu, air tersebut tidak bisa menyucikan barang lain.

Air yang mendatangi (mengairi) pada tempat yang terkena najis, tidak gama dengan lainnya (batang terkena najis, yang mendatangi/memasuki air), sebab air yang ada pada bentuk pertama dengan kekuatannya bisa menolak najis (pada diri dan lainnya).

Jika mulut seseorang terkena najis, maka cukuplah mengambil air dengan tangan lalu membasuhnya, sekalipun udak mencucurkan air dari atas mulutnya, sebagaimana pendapat Guru kami.

Di samping itu, dha wajib mencua bagian luar mulut, meskipun sekadar memutarkan air dengan tangannya.

Sebagaimana menuangkan air dalam wadah yang terkena najis, lalu memutar-mutarkannya ke samping kun-kanan (hal wu sudah mencukupi atas kesuaan wadah tersebut –pen).

Bagi orang seperu di mas, udak boleh menelan sesuatu sebelum mulutnya sua kembali, meskupun sekadar membolak-balik dalam kerongkongan.

Cabang:

Jika sejengkal tanah terkena semacam air kencing dan telah kering, lalu pada tempat itu dituangkan air sampai merata, maka tanah tersebut sudah menjadi sua, sekalipun air tidak masuk dalam pori-pori tanah, baik tanah itu keras ataupun gembur.

Jika tanahnya tidak dapat meresap najis yang mengenainya, maka sebelum menuangkan air yang sedikit, harus dihilangkan benda najisnya, sebagaimana jika najis itu berada di suatu tempat.

Jika najis itu keras dan telah hancur, lalu bercampur dengan debu, maka tempat yang terkena najis tidak bisa menjadi suci sebab dengan menuangkan air “sebagaimana debu yang tercampur sejenis nanah berdarah–, tetapi semua tanah (debu) yang tercampuri najis itu harus dihilangkan.

Sebagian fukaha memfatwakan kewajiban membasuh Mushaf yang terkena najis yang tidak ma’fu, sekalipun menyebabkan rusak, atau milik anak yatim.

Guru kami berkata: Bahkan membasuh Alqur-an yang terkena najis dihukumi fardu ain. Lain halnya jika najisnya hanya mengenai pada sejenis sampul atau tepian Mushaf.

Cabang :

Air bekas basuhan barang yang terkena najis –sekalipun najis ma’fu, seperti setitik darah adalah suci hukumnya. Jika air telah pisah (dari tempat yang dicuci), sedangkan materi dan sifat-sifat najis telah hilang, air tidak berubah, timbangannya tidak bertambah setelah diperhitungkan air yang meresap pada baju (yang dicuci) dan air tambahan dari kotoran, serta tempat yang terkena najis (baju) yang suci kembali.

Guru kami berkata: Yang jelas, untuk perhitungan banyaknya air yang terserap dan yang tambahan dari kotoran, adalah cukup dengan persangkaan saja.

Cabang:

Umpama ada seekor tikus jatuh di tengah-tengah makanan yang padat, misalnya bubur samin, lalu mati, maka cukuplah diambil serta membuang bagian sekelilingnya yang terkena. Sedangkan sisanya tetap suci.

Batas makanan disebut padat adalah bila diambil sebagian, maka bagian kiri-kanannya tidak meleleh ke bagian yang terambil tadi.

Cabang:

Jika air perigi yang sedikit terkena najis, maka tidak bisa suci dengan cara dikuras. Tapi harus dibiarkan lebih dahulu, agar air bertambah banyak dari sumbernya, atau dengan menambah air yang lain:

Kalau air perigi itu banyak, tetapi telah berubah lantaran najis tersebut, maka air itu tidak bisa menjadi suci sebelum perubahan itu hilang.

Jika dalam air perigi yang banyak ini masih tertinggal najis, misalnya bulu tikus, sedangkan 2ir udak berubah, maka air tersebut dihukumi suci, dan menyucikan namun tidak bisa digunakan (dengan diambil menggunakan timba atau lainnya -pen).

(Air tersebut tidak bisa dipergunakan) sebab timba penciduknya senantiasa terkena ramLut najis itu.

Hendaknya air yang berada dalam perigi dikuras dulu semuanya.

Jika seseorang menciduk sebelum air dikuras, serta ia tidak meyakini ada rambut tikus yang ikut, maka tidaklah mengapa (air tetap suci), bahkan meskipun ia mempunyai persangkaan rambut (bulu) ikut terciduk: terikutnya rambut, dasarnya adalah mele: takkan prinsip mendahulukan asal dari pada hukum lahir.

Barang yang terkena najis semacam anjing (najis mughallazhah) bisa suci kembali dengan mencucinya tujuh kali basuhan, setelah materi najisnya hilang, sekalipun baru hilang setelah beberapa basuhan, dalam hal ini banya dihitung sekali. Salah satu di antara basuhan tersebut dicampur dengan debu yang sah digunakan tayamun, yang dicampur dengan air, sekira menjadi keruh dan ada bekasnya di air itu, serta ketujuh basuhan tersebut meratai tempat yang terkena najis.

Jika barang yang terkena najis dimasukkan dalam air yang tidak mengalir, maka cukuplah dengan menggerakkan sebanyak tujuh kali.

Guru kami berkata: Dalam hal ini telah jelas, bahwa gerakan ke sana dihitung sekali, dan kembali lagi dihitung satu kali lagi.

Jika dimasukkan dalam air yang mengalir, cukuplah dengan lewatnya tujuh kali aliran air. Jika di tanah yang berdebu, maka air tidak usah dicampur dengan debu lagi (maksudnya tanah yang terkena najis ini, lalu disucikanpen).

Cabang:

Jika seseorang menyentuh anjing dalam air yang banyak, maka tangannya tidak menjadi najis.

Jika anjing mengangkat kepalanya dari wadah yang terisi air (sedikit) dan mulutnya basah, tetapi tidak diketahui ia telah menyentuhnya, maka air tersebut tidak dihukumi najis.

Imam Malik dan Imam Dawudr.a. berkata: Anjing itu hukumnya sua (begitu juga menurut Imam Malik, babi itu hukumnya suci -pen). Air sedikit yang terjilat anjing tidak menjadi najis. Hanya saja wadah yang terjilat anjing wajib dibasuh, semata-mata karena penekanan ibadah (bukan karena najis).

Najis yang diampuni (ma’fu) adanya:

  1. 1. Semacam darah nyamuk, termasuk segala serangga yang berdarah tidak mengalir (darah dingin), misalnya mrutu dan kutu. Kalau kulitnya tidak termasuk diampuni.
  1. Darah sejenis kudis, misalnya bisul api (udun semat), darah luka-luka, nanah dan nanah darah (nanah uwuk: Jawa).

Sekalipun darah nyamuk dan kudis itu banyak dan mengalir bersama-sama keringat.

Untuk yang pertama (darah nyamuk), meskipun sampai meratai pakaian –menurut nukilan. nukilan yang dapat dipegangi–.

(Dengan syarat) darah-darah tersebut bukan diusahakan oleh orang yang bersangkutan.

Jika darah-darah tersebut banyak karena diusahakan, misalnya sengaja membunuh nyamuk pada pakaiannya, memeras kudis, memakai pakaian yang berlumuran darah nyamuk misalnya, lalu dipakai salat, atau tikar yang dipakai salat berlumuran darah, atau memakai pakaian tambahan yang berdarah tanpa tujuan sebagaimana berhias, maka darah semacam ini tidak diampuni adanya, kecuali jika darah itu hanya sedikit –sebagaimana yang dikatakan oleh pendapat yang Ashah–

Hal di atas sebagaimana yang termaktub dalam kitab At-Tahqiq dan Al-Majmu’, Meskipun pembicaraan “kitab” Ar-Raudhah menetepkan, babnya darah sejenis kudis sekalipun diperas dan jumlahnya banyak, adalah dumpuni adanya: Di mana Ibnu Nagib dan Al-Adzra’i berpegangan kitab Ar-Raudhah tersebut.

Status ampunan dalam masalah ini dan yang akan dituturkan nanti, adalah terletak pada penggunaan salat, bukan pada semacam air yang sedikit, karena hal ini menjadikan air najis, sekalipun jumlah najis yang mengenai sedikit.

Tidak mempengaruhi bagi badan yang dalam keadaan basah terpercik darah sedikit yang diampuni adanya, lagi pula udak | wajib menyeka badan, sebab hal tersebut sulit dilakukan,

  1. Darah sedikit yang timbul dari orang lain, yang bukan najis mughallazhah. Lain halnya jika najis berjumlah banyak. Termasuk kategori darah orang lain, misalnya yang dikatakan oleh Imam Al-Adzra’i, adalah: Darah sendiri yang telah terpisah, lalu mengenai pada badannya.
  1. Darah sedikit jenis haid dan darah hidung, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Al-Majmu’

Dikiaskan dengan keduanya, adalah darah semua lubang tubuh selain lubang jalan najis, seperti cloaca (lubang anus atau dubur).

Dasar penilaian sedikit dan banyak, adalah kebiasaan yang berlaku.

Sesuatu yang masih disangsikan akan banyaknya, adalah dihukumi sedikit.

Jika ada darah berceceran di berbagai tempat, seandainya dikumpulkan jumlahnya banyak, menurut Imam Al-Haramain, darah itu dihukumi sedikit. Sedangkan menurut Imam AlGhazali, Al-Mutawalh dan lainnya, adalah dihukumi darah banyak. Pendapat yang terakhir ini telah dikuatkan oleh sebagian fukaha.

  1. Darah yang keluar sebab tusuk jarum dan bekam, sekalipun banyak, selagi masih berada di tempatnya.

Salat dihukumi sah, bagi orang yang gusinya berdarah sebelum dicuci, selagi ia belum menelan ludah ketika salat. Sebab, darah gusi itu dima’fu adanya, dalam arti bila bercampur dengan air ludah sendiri.

Jika seseorang mulai mengeluarkan darah hidung sebelum salat dan terus-menerus keluar darahnya,. maka jika dapat diharapkan pendarahannya selesai dalam waktu salat masih luas, hendaknya ia menanti berhentinya, kalau tidak, hendaknya disumbat sebagaimana orang yang beser kencing, membalut penisnya.

Lain halnya dengan pendapat yang mengatakan, bahwa orang itu wajib menanti berhenti pendarahan, sekalipun waktunya terlewat, sebagaimana salat harus ditunda lantaran mencuci pakaian yang terkena najis, sekalipun waktunya terlewat.

Masalah hidung yang berdarah dengan pencucian pakaian, haruslah dibedakan, sebab dalam masalah pencucian pakaian yang terkena najis, adalah adanya kemampuan menghilangkan najis dari asalnya (sebelum mengerjakan salat): Lain halnya dengan masalah pendarahan hidung (sebab orang yang – berdarah hidungnya tidak mampu menghilangkan darah tersebut -pen).

  1. Sedikit lumpur tempat air berlalu yang telah diyakini najisnya, sekalipun berupa najis mughallazhah. Sebab, rasanya berat untuk menghindarinya. (Tetapi) selagi materi najisnya tidak tampak dengan jelas.

(Masalah pengampunan najis ini), adalah dibedakan sesuai dengan waktu (karena itu, yang dima’fu di musim hujan, tidaklah dima’fu di musim kemarau) dan tempatnya, yaitu pakaian dan badan (karena itu, yang dima’fu di pakaian bagian bawah dan di kaki, adalah tidak dima’fu di lengan baju dan ditangan -pen).

Jika suatu najis sudah dipastikan datang dari jalanan, maka tidak diampuni adanya, sekalipun jalanan anjing, bahkan meratai jalan. Hal ini berdasarkan berbagai tinjauan pendapat.

Guru kami berfatwa tentang jalan yang tidak berlumpur, tetapi di situ terdapat kotoran manusia, anjing dan binatang-binatang lain, lalu terkena air hujan, maka najis tersebut diampuni adanya, di kala sulit menghindarinya.

Kaidah Penting:

Yaitu: Sesuatu yang asalnya suci, lalu diperkirakan menjadi najis dengan alasan, bahwa barang yang semacam itu pada umumnya najis, dalam masalah seperti ini ada dua pendapat yang terkenal dengan asal dan lahir atau ghalib.

Yang lebih kuat dari kedua pendapat, adalah barang tersebut hukumnya suci, dengan dasar “Asal keyakinan yang telah ada”, di mana hal ini lebih tepercaya daripada “kebiasaan kejadian” yang selalu berbeda menurut keadaan dan masa.

Hal itu dapat dicontohkan dengan pakaian pembuat khamar (arak), orang yang haid, anakanak, tempat pemeluk agama yang ajarannya menggunakan barang najis, dedaunan yang pada ghalibnya jatuh di tempat najis, air liur bayi, sutera jukh yang terkenal dibuat dari lemak babi, keju Syam (Siria) yang terkenal terbuat dari perut besar babi.

(Landasan yang menguatkan asal-pen) Rasulullah saw. pernah disuguhi keju dari penduduk Syam, lalu beliau makan sebagian, serta tidak bertanya dari apa keju tersebut dibuat.

Demikianlah sebagian besar kaidah yang dituturkan oleh : Guru kami (Ibnu Hajar Al-Haitami) dalam Syarah Mimhaj.

  1. Bekas tempat Istijmar (bersuci/ istinja dengan batu), noda . kotoran lalat, air kemih dan kotoran kelelawar, jika mengena pada tempat salat, pakaian dan badan, meskipun banyak, sebab hal itu sulit untuk menjaganya.
  1. Kotoran segala burung jika mengena pada suatu tempat, dengan syarat: Tempat tersebut memang kepadatan kotoran itu dan sudah kering. Bahkan menurut kesimpulan dari pembicaraan kitab Al-Majmu’ (milik Imam Nawawi), termasuk diampuni juga, jika kotoran tersebut mengena pada pakaian dan badan. ,

Kotoran tikus sekalipun sudah kering, adalah tidak diampuni adanya –atas dasar beberapa peninjauan pendapat.

Akan tetapi, Guru kami Ibnu Ziyad telah mengeluarkan fatwa sebagaimana pendapat sebagian ulama Mutaakhirin, bahwa kotoran tikus itu diampuni adanya, jika memang sudah Meratai, sebagaimana kotoran burung yang sudah merata.

Tidaklah sah, salat seorang yang menggendong orang beristinja dengan batu, membawa binatang yang pada pintu pelepasan (cloaca) terdapat najis, binatang disembelih yang telah dibersihkan tempat penyembelihannya, tetapi kotoran dalam perutnya belum dibuang, atau bangkai suci, misalnya manusia atau ikan yang belum dibersihkan kotoran dalam perutnya, atau membawa telor mandul yang di dalamnya terdapat darah.

Tidak sah pula, salat seseorang ‘ yang membawa sesuatu, di mana ujungnya terkena najis, sekalipun ujung tersebut tidak bergerak sebab geraknya.

Cabang:

Jika seseorang melihat orang lain akan mengerjakan salat, padahal di pakaiannya terdapat najis yang tidak dima’fu, maka baginya wajib memberi tahu akan hal itu.

Begitu juga wajib mengajar seseorang yang:a lihat melanggar kewajiban beribadah menurut imam yang diikutinya.

Istinja

Penyempurnaan:

Istinja memakai air hukumnya wajib, setelah mengeluarkan setiap yang meleleh basah.

Istinja sudah dianggap mencukupi, setelah diperkirakan, bahwa najisnya telah hilang. Dengan demikian bagi seseorang tidaklah disunahkan membau (mencium) tangannya.

Wajib istinja itu dilakukan dengan mengendorkan anggota badan, agar sisa-sisa najis tidak ada yang tertinggal di lipatanlipatan tepian lubang dubur (cloaca).

Istinja itu juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda keras yang dapat meresap, dengan cara tiga kali usapan, yang masing-masing meratal tempat najis dan membersihkannya.

Disunahkan bagi orang yang masuk WC, agar mendahulukan kaki kiri, dan mendahulukan kaki kanan jika mau keluar. Hal ini kebalikan masuk/keluar mesjid.

Sunah juga agar melepas sesuatu yang ada suratan agung, misalnya Alqur-an, nama Nabi dan Malaikat, sekalipun namanama tersebut digunakan juga menamai yang lain, misalnya Aziz dan Ahmad, jika nama-nama tersebut dikehendaki sebagai nama yang agung.

Disuriahkan pula diam pada saat kotoran sedang keluar, sekalipun bukan berupa zikir: kalau di luar saat tersebut, hendaknya meninggalkan bentuk zikir saja.

Hendaknya mengambil tempat yang jauh dari manusia, serta membuat penutup.

Hendaknya tidak membuang hajat di perairan umum yang tidak mengalir, juga tidak menyumber, di tempat bercanda milik umum: di jalanan –ada pendapat yang mengatakan hukum untuk ini adalah haram–: di bawah pohon berbuah yang tumbuh di tanah milik sendiri, atau tanah milik orang lain yang sudah diketahui kerelaannya, jika belum diketahui kerelaan buang hajat di situ, maka hukumnya adalah haram.

Hendaknya tidak menghadap kiblat ataupun membelakanginya. Maka hal ini hukumnya haram, jika dilakukan di tempat yang tidak disediakan untuk buang hajat serta tidak bertabir.

Jika dadanya menghadap kiblat dan alat kelaminnya dipalingkan, lalu kencing, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Lain halnya jika melakukan kebalikan dari itu.

Sunah juga tidak bersiwak dan meludahi kencingnya.

Hendaknya berdoa di saat masuk WC: Allahumma … dan seterusnya (Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan jantan ‘ dan betina).

Ketika keluar berdoa:. Alhamdulillahilladzi… dan seterusnya. (Aku mohon ampun kepada-Mu. Segala puji milik Allah, Dzat yang telah menghilangkan penyakit dariku dan menganugerahkan kesehatan kepadaku).

Lalu setelah istinja membaca: Allahumma … dan seterusnya. (Ya, Allah, sucikanlah hatiku dari sifat munafik, dan bentengilah farjiku dari bentuk perbuatanperbuatan keji).

Al-Baghawi berkata: Jika setelah beristinja merasa ragu: Sudah membasuh zakar atau belum? Maka baginya tidak wajib mengulanginya.

Yaitu mulai pusat hingga lutut! bagi laki-laki, sekalipun kanak-kanak, dan sekalipun mukatab atau ummu walad, meskipup menyepi di tempat gelap.

 

Berdasarkan sebuah hadis sahih: “Allah tidak akan menerima salat orang balig, kecuali dengan memakai tutup kepala (bagi seorang wanita).”

 

Wajib menutup bagian dari pusat dan lutut, agar nyata, bahwa aurat telah tertutup (karena: Maala yatimmul waajibu illa bihi, fahuwa waajib -pen).

 

Dan menutup seluruh badan, selain muka dan kedua tapak tangan sampai pergelangan, bagi wanita merdeka sekalipun kanak-kanak.

 

Penutupnya adalah sesuatu yang tidak bisa menampakkan warna kulit dalam percakapan. Demikianlah, batasan yang telah diberikan oleh Ahmad bin Musa bin ‘Ujail.

 

Boleh menutup aurat dengan suatu pakaian yang menampakkan bentuk badan, tetapi hal ini khilaful aula.

 

Kewajiban menutup, adalah dari bagian atas dan samping, bukan dari bawah.

 

(Wajib menutup itu) jika masingmasing dari laki-laki, wanita merdeka dan amat, mampu menutupnya.

 

Mengenai orang yang tidak mampu menutup aurat, ia wajib salat dengan telanjang dan tidak wajib mengulangi salatnya, sekalipun ia masih punya penutup yang terkena najis, di mana ia berhalangan mencucinya.

 

Lain halnya jika ia mampu untuk menyucikannya, (maka ia tidak boleh salat secara telanjang, tapi wajib mencucinya) sekalipun sampai keluar waktu (salat).

 

Jika seseorang hanya mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutupnya dengan sesuatu yang ada. Dalam.hal ini, agar mendahulukan menutup kubul dan dubur: jika tidak cukup, maka menutup kubul saja, kemudian dubur.

 

Jika yang dimiliki adalah pakaian dari sutera, maka tidak boleh salat . dengan cara telanjang, tapi wajib memakai sutera itu. Sebab, memakai sutera manakala ada hajat, hukumnya adalah boleh.

 

Bila tidak mempunyai pakaian, ia wajib melumuri auratnya dengan lumpur atau sejenisnya.

 

Orang yang memakai pakaian, sah salatnya bermakmum kepada orang yang telanjang.

 

(Sekalipun akan salat) secara telanjang, baginya tetap tidak boleh ghasab pakaian untuk salat.

 

Bagi orang yang salat, disunahkan mengenakan pakaian yang paling bagus, berselendang, memakai serban, baju kurung dan baju toga.

 

Jika seseorang hanya memiliki dua pakaian salat, maka yang satu : dipakai dan yang satu lagi disampirkan (diselendangkan), jika memang di situ sudah ada sutrah (batas yang ada di hadapan untuk salat), jika belum ada sutrah, maka yang satu tersebut hendaknya digunakan sajadah salat, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kami.

 

Cabang:

Menutup aurat seperti tertuturkan dj atas, diwajibkan juga di luar galat, sekalipun dengan pakaian najis atau sutera, jika hanya itu yang ditemukan, walaupun ia berada di tempat sepi.

 

Hanya saja di tempat sepi yang wajib bagi seorang laki-laki, adalah menutup kubul dan dubur, sedang bagi selain laki-laki, wajib menutup mulai pusat sampai lutut.

 

Boleh hukumnya, membuka aurat hanya untuk keperluan kecil, meskipun di dalam mesjid, misalnya untuk mendinginkan badan, menjaga pakaian dari kotoran dan debu ketika menyapu rumah, mandi atau sejenisnya.

Yaitu, mengetahui waktu salat telah tiba,” dengan penuh keyakinan atau perkiraan.

 

Barangsiapa melakukan salat tanpa mengetahui waktu masuknya, maka salatnya tidak sah. Sekalipun ternyata dilakukan dalam waktunya.

 

Sebab, penilaian suatu ibadah adalah perkiraan si mukalaf dan kenyataannya. Sedangkan penilaian suatu akad, adalah keadaan akad itu sendiri.

 

Waktu salat Zhuhur, adalah mulai matahari condong ke arah barat, sampai panjang bayang-bayang menyamai bendanya, setelah memperkirakan bayang-bayang istiwak yaitu bayang-bayang yang terjadi pada waktu matahari sedang berkulminasi (berada tepat pada titik tertinggi/titik zenit), bila bayang-bayang istiwak wujud (sebab pada suatu negara bayangbayang istiwak tidak ada, misalnya di Mekah, dalam sebagian hariharinya -pen).

 

Diberi nama “zhuhur”, sebab pertama sekali salat dilakukan dengan jelas (dalam agama Islam).

 

Waktu salat Asar, adalah mulai waktu zhuhur habis, sampai seluruh busur matahari terbenam di ufuk.

 

Waktu salat Magrib, adalah mulai matahari terbenam, sampai teja merah lenyap.

 

Waktu salat Isyak, adalah mulai teja merah lenyap. -Dalam hal ini, Guru kami berpendapat: Sebaiknya, sunah mengakhirkan salat Isyak, sampai teja kuning dan putih lenyap, atas dasar menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya-, sampai fajar shadik terbit.

 

Waktu salat Subuh, adalah mulai terbit fajar shadik -bukan fajar kadzib- sampai matahari terbit sebagian busurnya.

 

Salat Asar itulah yang dinamakan salat “Wustha”, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis sahih.

 

Safat Asar, adalah salat yang paling utama, lalu secara berurutan di bawahnya, yaitu Subuh, Isyak, Zhuhur lalu Magrib. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Guru kami dari beberapa dalil.

 

Hanya saja, para ulama melebihkan jamaah salat Subuh dan Isyak, sebab di sini lebih terasa berat untuk melakukannya.

 

Imam Ar-Rafi’i berkata: Salat Subuh, adalah salat Nabi Adam a.s., Salat Zhuhur, adalah salat Nabi Dawud a.s.: Salat Asar, adalah salat Nabi Sulaiman a.s.: salat Magrib, adalah salat Nabi Ya’quba.s.: dan salat Isyak, adalah salat Nabi Yunus a.s. -habis-.

 

Ketahuilah! Salat adalah wajib. dikerjakan pada awal waktunya, sebagaimana kewajiban yang diluaskan waktu pelaksanaannya.

 

Karena itu, seseorang boleh menundanya sampai pada waktu yang diperkirakan masih cukup untuk salat, dengan syarat ia mempunyai ‘azm (maksud yang kuat) mengerjakan salat, pada awal waktunya.

 

Jika seseorang masih mendapatkan waktu salat untuk satu rakaat (penuh), maka salatnya dianggap salat ada’, Kalau tidak bisa mendapatkan satu rakaat, maka salatnya dianggap kadha.

 

Mengerjakan sebagian salat di luar waktunya, adalah berdosa, sekalipun masih mendapatkan satu rakaat.

 

Memang begitu! Kalau seseorang : telah memulai salat, selain salat Jumat, di mana waktunya masih Juas, maka ia boleh -tanpa makruhmemanjangkan salat dengan bacaan ayat atau zikir, sehingga lewat waktunya, bahkan sekalipun tidak sempat meletakkan satu rakaat salat dalam waktunya, menurut pendapat yang Mu’tamad.

 

Jika mulainya pada waktu di mana sudah tidak dapat memuat salat atau salat Jumat, maka baginya tidak boleh memanjangkan bacaannya.

 

Tidak disunahkan meringkas rukun-rukun salat saja, hanya karena meletakkan rakaat-rakaat salat di dalam waktunya.

 

Cabang:

Disunahkan agar bersegera mengerjakan salat -sekalipun salat Isyakpada awal waktunya. Berdasarkan hadis: “Perbuatan yang paling utama, adalah mengerjakan salat pada awal waktunya.”

 

Sunah menurida salat dari awal waktunya, karena berkeyakinan akan menemukan jamaah salat di tengah-tengah waktunya, sekalipun penundaan semacam Int kurang baik. Kesunahan di atas, selagi waktunya belum Sempit.

 

Sunah juga menunda salat dari awal waktunya, karena menduga akan didirikan salat jamaah, jika tidak tampak kurang baik menurut ukuran umum.

 

(Kalau meragukan keberadaan jamaah), maka tidak disunahkan menunda salat secara mutlak (baik tampak kurang sopan ataupun tidak).

 

Salat berjamaah dengan sedikit pengikutnya di awal waktu, itu lebih utama daripada banyak orang di akhir waktu.

 

Bagi orang yang ihram haji, wajib mengakhirkan salat Isyaknya, lantaran khawatir tertinggal ibadah haji, sebab tertinggal wukuf di. Arafah -kalau ia melakukan salat dahulu secara sempurna syarat-rukunnya-, sebab mengadha. ibadah haji adalah lebih sulit. Salat di sini diakhirkan, sebab kesulitannya lebih ringan daripada haji. Dalam hal seperti ini, ia tidak diperbolehkan salat secara “khauf”.

 

Wajib mengakhirkan salat pula, bagi seorang yang mengetahui semacam orang yang tenggelam atau tertawan, jika ia menolongnya, maka akan kehabisan waktu salat.

 

Cabang:

Dimakruhkan tidur setelah masuk waktu salat, sedangkan ia belum mengerjakannya, kalau ia mengira bisa bangun sebelum waktu tinggal sedikit, atas dasar kebiasaan atau ada orang lain yang membangunkannya.

 

Jika tidak ada perkiraan seperti itu, maka tidurnya adalah haram. (Yang dimaksudkan di sini semua, adalah tidur yang terjadi setelah masuk waktu salat, dan bangun setelah waktu salat habis).

 

Cabang:

Dimakruhkan secara tahrim melakukan salat. yang tidak mempunyai sebab, misalnya salat sunah Mutlak (salat sunah yang waktunya tidak ditentukan), umpama salat Tasbih: atau melakukan salat yang sebabnya ada di belakang, misalnya dua rakaat Istikharah dan dua rakaat sebelum ihram. Yaitu: Setelah mengerjakan salat Subuh hingga matahari naik setinggi tombak: setelah salat Asar hingga terbenam matahari, dan di waktu istiwak selain hari Jumat.

 

Tidak termasuk di sini, salat-salat ‘ yang mempunyai sebab berada di depannya, misal: Dua rakaat setelah berwudu, sesudah Thawaf, Tahiyatulmesjid, ‘ Gerhana dan salat Jenazah, sekalipun gaib, mengulangi salat secara berjamaah, sekalipun menjadi imam, kadha salat fardu atau sunah tanpa ada maksud menundanya, sampai masuk waktu-waktu di atas, atau melanggengkan untuk mengerjakannya di waktu tersebut.

 

Jika seseorang sengaja menunda “salat yang tidak berwaktu” pada waktu yang dimakruhkan tersebut, dengan tujuan agar makruh, maka hal ini dihukumi haram, baik salat itu mempunyai sebab atau tidak. Di samping itu, salat pun tidak sah, sekalipun salat tersebut adalah salat Faaitah (tertinggal dari waktunya) yang wajib dikadha dengan seketika. Sebab, perbuatan semacam ini (berusaha/sengaja mengerjakan salat di waktu makruh), adalah menentang syarak.

Yaitu, menghadapkan dada ke Kiblat, maksudnya ke Ka’bah. Karena itu, tidaklah cukup menghadap ke arah kiblat. Lain halnya dengan pendapat Imam Abi Hanifah r.a., kecuali bagi orang yang tidak mampu menghadapnya atau ketika salat Khauf, sekalipun salat fardu.

 

Orang yang salat dalam keadaan Khauf, ia boleh, melakukan sebisanya, berjalan kaki atau naik kendaraan, menghadap kiblat atau tidak, yaitu seperti orang yang lari dari kebakaran, air bah, binatang buas dan ular, dari pemiutang. jika pengutang dalam keadaan melarat dan takut akan ditahan musuh.

 

(Menghadap kiblat di atas), mengecualikan salat sunah yang dilakukan di tengah perjalanan mubah bagi seorang yang menuju ke suatu tempat tertentu. Di tengah perjalanan, ia boleh melakukan salat sunah sambil naik kendaraan atau berjalan kaki, sekalipun jarak perjalanannya tidak jauh.

 

Memang begitu! Disyaratkan agar tempat yang ditujunya itu, tidak kurang dari sejauh jarak di mana sudah tidak mendengar lagi azan dari kampungnya, dengan syarat sebagaimana panggilan (azan) ketika salat Jumat.

 

Dikecualikan dengan kata “mubah”, adalah perjalanan untuk maksiat.

 

Karena itu, meninggalkan menghadap kiblat bagi budak yang kabur, tidak diperbolehkan dalam salat sunah, juga bagi orang yang bepergian dengan menanggung utang tanpa seizin pemiutang, padahal ia sudah mampu membayarnya.

 

Bagi orang yang bepergian dengan berjalan kaki, ia wajib menyempurnakan rukuk dan sujudnya, sebab hal itu mudah dilakukan: Sedang yang dengan kendaraan, cukup dengan berisyarat saja.

 

Bagi kedua orang di atas, wajib menghadap kiblat ketika rukuk, sujud, takbiratul ihram dan duduk antara dua sujud. Dengan demikian, ia hanya boleh berjalan ketika berdiri, iktidal, tasyahud dan salam.

 

Haram berpaling dari menghadap sampainya di tempat tujuan dengan sengaja, mengerti akan keharaman hal ini dan dalam keadaan bebas, kecuali berpaling tersebut untuk menghadap kiblat.

 

Disyaratkan di sini, agar tidak mengerjakan banyak perbuatan, misalnya lari atau menggerakgerakkan kaki yang tidak ada hajat: juga tidak menyengaja menginjak najis, sekalipun kering dan najis tersebut merata di jalan.

 

Tidak menjadi masalah, jika menginjak najis yang sudah kering karena tidak sengaja. Bagi yang berjalan kaki, ia tidak dibebani agar menghindari benda najis.

 

Bagi yang mengendarai kapal laut selain kelasinya, wajib menghadap kiblat.

Ketahuilah, termasuk syarat sah salat juga, adalah mengetahui kefarduan salat. Karena itu, jika seseorang tidak mengetahui keberadaan kefarduan salat pada umumnya atau kefarduan salat yang sedang dikerjakan, maka salatnya tidak sah. Hal ini seperti yang termaktub dalam kitab Al-Majmu’ dan Ar-Raudhah (milik Imam Nawawi).

 

Dapat juga membedakan mana yang fardu dan yang sunah salat.

 

Memang begitu! Jika orang yang buta terhadap hukum Islam ataupun alim -atas beberapa tinjauanmempunyai iktikad semua perbuatan salat adalah fardu, maka salatnya sah: Atau berIktikad, bahwa semua perbuatan salat adalah sunah, maka salatnya tidak sah.

 

Juga harus mengetahui cara salat, seperti yang akan dijelaskan nanti. Insya Allah.

Rukun-rukun Salat:

 

Disebut juga dengan fardu-fardu salat. Dengan menghitung masing-masing thuma’ninah sebagai satu rukun tersendiri, maka jumlah rukun salat ada empat belas.

 

  1. Niat

Yaitu menyengaja (mengerjakan sesuatu) dalam hati. Hal ini berdasarkan hadis: “Bahwasanya sah amal itu harus disertai niat”

 

Dalam melakukan niat, diwajibkan meletakkan unsur “kesengaja-. an mengerjakan salat”, agar salat terpisahkan dengan perbuatanperbuatan lain, Dan ta’yin (pernyataan jenis salat) -Zhuhur atau lainnya-, agar dapat terpisahkan Zhuhur dengan yang lain.

 

Karena itu, belumlah cukup hanya niat menunaikan kefarduan waktu (secara umum, tanpa pernyataan jenis salat).

 

Jika salatnya adalah salat sunah yang bukan mutlak -misalnya, salat sunah Rawatib dan yang ditentukan dengan waktu atau sebab-, maka selain ta’yin diwajibkan menyandarkan pada sesuatu yang ditentukannya, misalnya, untuk salat sunah Zhuhur, disebutkan Qobliyah atau Ba’diyah, sekalipun sunah-Qabliyah itu dilakukan sesudah salat Zhuhur.

 

Demikian juga, dilakukan pada salat yang mempunyai sunah Qabliyah dan Ba’diyah, salat hari Raya Akbar (Adha) atau hari Raya Fitri (kecil). Karena itu belum Cukup dengan niat “salat hari raya saja”.

 

Termasuk juga salat Witir, baik ditunaikan satu rakaat atau lebih. Dalam masalah ini cukup dengan niat “witir”, tanpa menyebutkan bilangannya: Jumlah bilangan yang tidak ditentukan. dalam niat, adalah dijuruskan (diserahkan) pada maksud pelaku itu sendiri –menurut beberapa tinjauan hukum-—.

 

Dalam mengerjakan salat Witir, tidak cukup dengan niat “sunah Isyak atau Rawatibnya”.

 

Juga salat sunah Tarawih, Dhuha, Istisqa’, Gerhana Matahari dan Rembulan.

 

Mengenai salat sunah Mutlak, adalah tidak diwajibkan ta’yin dalam berniat, tapi cukup dengan niat “mengerjakan salat”, sebagaimana halnya dengan dua rakaat salat Tahiyatul mesjid dua rakaat Wudu dan dua rakaat Isukharah. Demikian pula dengan salat Awabin, menurut pendapat Guru kami, Ibnu Ziyad dan Al-Allamah As-Suyuthi r.a.

 

Menurut apa yang dikuatkan oleh Guru kami (Ibnu Hajar) dalam kitab Fatawinya, bahwa dalam niat salat Awabin itu wajib ta’yin, sebagaimana salat Dhuha.

 

Dalam salat fardu, wajib niat “fardu”, sekalipun fardu Kifayah atau Nazar, dan sekalipun pelakunya adalah anak-anak, agar bisa terpisahkan (terbedakan) dengan salat sunah.

 

Contoh niat: Aku niat salat fardu Zhuhur -umpama-, atau salat fardu Jumat, sekalipun menemui imamnya ketika sedang bertasyahud.

 

Dalam niat, disunahkan menyandarkan kepada Allah Ta’ala. Dasarnya adalah menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Di samping itu, dengan cara tersebut, tampak jelas arti ikhlas.

 

Disunahkan pula memaparkan salat ada’ atau kadha.

 

Memaparkan itu hukumnya tidak wajib, sekalipun orang yang mengerjakan salat masih mempunyai tanggungan salat faitah, yang sama dengan salat yang dilakukan. Lain halnya dengan (pendapat yang dipegangi oleh Imam Al-Adzra’i.

 

Menurut pendapat yang Ashah, bahwa salat ada’ dengan niat kadha atau sebaliknya, adalah sah, jika suasana terhalangi semisal awan. Jika tidak terganggu semisal awan, maka niat semacam itu adalah tidak sah, sebab mempermainkannya.

 

Sunah pula menjelaskan (memaparkan) kata-kata menghadap kiblat dan jumlah rakaat, atas dasar menghindari ulama yang mewajibkannya.

 

Sunah juga mengucapkan niat sebelum bertakbir, agar lisan dapat membantu hatinya, dan karena menghindari perselisihan dengan ulama yang menetapkan wajib.

 

Jika seseorang merasa ragu: Sudahkah ia niat dengan sempurna atau belum, apakah niat salat Zhuhur ataukah salat Asar, maka jika ia ingat kembali setelah tempo yang cukup lama (menurut ukuran umum) atau sesudah menunaikan satu rukun salat, sekalipun yang berupa rukun gauli, misalnya membaca Al Fatihah, maka batallah salatnya,: Atau ingatnya sebelum semua itu, maka salatnya tidak batal.

 

  1. Takbiratul Ihram

Berdasarkan sebuah hadis yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Jika kamu hendak berdiri mengerjakan salat, maka bertakbirlah!”

 

Takbir ini disebut Takbiratul ihram, sebab orang yang mengerjakan salat,diharamkan melakukan sesuatu yang sebelumnya halal dilakukan, yaitu perbuatanperbuatan yang membatalkan salat.

 

Takbir dijadikan pembukaan salat, agar orang yang mengerjakan salat nencamkan maknanya, yang menunjukkan keagungan Dzat yang ia telah siap mengabdi kepada-Nya, sehingga akan sempurnalah rasa takut dan khusyuknya.

 

Berangkat dari situ, maka takbir .selalu disebut berulang kali dalam salat, agar rasa takut dan khusyuk kepada Allah swt. selalu bersama di dalam semua salatnya.

 

Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan niat salat. Sebab, ia sebagai rukun salat yang pertama, yang berarti wajib bersamaan niat salat.

 

Bahkan dalam niat itu wajib mencamkan (menghadirkan) unsur-unsur penting niat, yang telah tertuturkan (qasdul fili, ta’yin dan fardhiyah) dan lainnya, misalnya gashar bagi orang yang menggashar salat, menjadi imam atau makmum dalam salat Jumat, bermakmum pada selain jamaah, Jumat, yang semua itu telah dicamkan di awal takbiratul ihram yang berlangsung terus sampai mengucapkan huruf ra’ di akhir takbiratul ihram.

 

Menurut pendapat yang telah dibenarkan oleh Imam Ar-Rafii, semua unsur yang disebutkan di atas, adalah cukup dicamkan bersamaan pada awal takbiratul ihram

 

Menurut pendapat yang dipilih Imam Al-Ghazali, yang tersebut dalam kitab Al-Majmu’ dan Tanqihul Mukhtar: Bagi orang awam, bersamaannya itu, adalah cukup dengan ukuran umum, sekira sudah disebut mencamkan bentuk salat (menurut ukuran umum, Al-istikhdhar al-‘urfi-pen).

 

Imam Ibnur Rifah berkata: Pendapat ini adalah satu-satunya yang benar. Imam As-Subki juga membenarkannya.

 

Imam As-Subki berkata: Barangsiapa tidak mengatakan atas ketercukupan prakuk seperti itu (muqaranah ‘urfiyyah: membarengkan niat dengan bagian yang mana saja dari takbiratul ihram -pen), maka ja akan terjerumus dalam was-was tercela ini.

 

Menurut pendapat Imam Mazhab yang tiga (selain Imam Syafi’i): Boleh mendahulukan niat atas . takbiratul ihram dalam selang waktu yang pendek.

 

Bacaan takbiratul ihram bagi orang yang mampu, adalah ditentukan dengan kalimat: “Allaahu Akbar“, sebagai ittiba’ kepada Nabi saw., atau boleh juga “Allahul Akbar

 

Ketika takbir, tidak boleh mem. baca: “Akbarullaah, Allaahu Kabiir (A’zham), atau Arrahmaanu Akbar.

 

Merusak satu huruf pada lafal “Allaahu Akbar“, menjadi masalah. Demikian pula menambah satu huruf yang dapat mengubah makna kalimat tersebut.

 

(Menambah huruf) misalnya: Memanjangkan hamzah pada lafal. اللهُ (sebab, kalimat tersebut akan berbentuk istifham (pertanyaan): Apakah Allah Maha Besar? -pen), menambah huruf alif setelah ba’ (maknanya: Beberapa genderang – pen): menambah huruf wawu sebelum lafal اللهُ (kahryat tersebut akan berbunyi  وَاللهُ اكْبَرْ Hal ini menjadi masalah, sebab faedah huruf wawu adalah ‘athaf, di mana kalimat tersebut belum didahului oleh kaiimat lain -pen), meletakkan wawu, baik mati atgu hidup di antara. اللهُ    dan, اَكْبَرُ  demikian Pula memperpanjang bacaan ai di antara lam dan ha’ di mana perpanjangan tersebut tidak ada ahli qiraah yang memperbolehkannya.

 

Tidak menjadi masalah, berhenti sebentar bernapas di antara Allah dan Akbar, atau membaca dhammah huruf ra’.

 

Cabang:

Andaikata seseorang melakukan takbiratul ihram berulang kali dengan niat memulai salat pada masing-masing takbir, maka ia dianggap sah memasuki salat ketika takbir nomor ganjil dan keluar dari salat ketika takbir nomor genap.

 

Masalahnya, ketika ia telah memasuki salat pada takbir pertama, maka dengan melakukan takbir kedua, berarti ia keluar dari salat. Sebab niat memulai salat dengan takbir kedua itu, berarti ia memutus yang telah diniatkan pada takbir pertama. Demikian seterusnya.

 

Jika tidak niat seperti itu, lagi pula antara takbir satu dengan lainnya tidak terdapat hal-hal yang membatalkan salat, misalnya mengulangi lafal niat, maka takbir setelah yang pertama adalah zikir yang tidak membawa pengaruh apa-apa.

 

Wajib mengeraskan suara takbir sampai terdengar diri sendiri, jika memang orang tersebut adalah sehat pendengarannya dan di situ tidak terdapat penghalang semacam kegaduhan suara.

 

Begitu juga wajib mengeraskan suara untuk rukun-rukun yang berupa ucapan (qauliyah), yaitu Al-Fatihah, tasyahud dan salam.

 

Bacaan yang hukumnya sunah, supaya mendapatkan kesunahan salat, hendaknya dibaca dengan suara keras sampai terdengar diri sendiri.

 

Disunahkan membaca jazam (sukun) pada huruf ra’ ketika takbir, karena menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya (Al-Khuruj minal khilaf mustahab: Menghindari perselisihan, hukumnya adalah sunah -pen).

 

Khusus bagi imam salat, hukumnya sunah mengeraskan suara takbir, sekalipun berupa takbir peralihan rukun (intiqal)

 

Sunah mengangkat dua telapak tangan atau salah satunya, jika sulit untuk mengangkat keduanya, dalam keadaan terbuka -jika tertutup, hukumnya makruh-, serta jari-jarinya sedikit renggang antara satu dengan lainnya, setinggi (sejajar) dua pundak.

 

Praktiknya, ujung jari sejajar dengan ujung telinga, ibu jari sejajar dengan putik telinga, dan kedua tapak tangan sejajar dengan kedua pundak, karena ittiba’ kepada Nabi saw. Cara seperti inilah yang disunahkan.

 

Pengangkatan tangan dilakukan secara bersamaan, mulai awal: takbiratul ihram, dan menurunkan kembali dengan berakhir bacaan takbir.

 

Demikian pula waktu rukuk, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw. yang tersebutkan dari beberapa riwayat, dan waktu berdiri dari rukuk: juga bangun dari tasyahud pertama, sebagai tindak ittiba’: kepada Nabi saw. juga.

 

Sunah juga meletakkan kedua tangan di bawah dada dan di atas pusat, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw., serta pergelangan kuri dipegang tangan kanan.

 

Kembali dengan meletakkan dua tangan dh bawah dada dan di atas pusat (bersedekap) setelah mengangkat tangan bangun dan rukuk, adalah lebih utama daripada melepaskan tangan lurus ke bawah, lalu bersedekap lagi.

 

Imam Al-Mutawalli berpendapat, yang kemudian dipegangi oleh ulama lainnya: Sebelum takbirarul ihram serta mengangkat tangannya, sebaiknya melihat ke tempat sujud, menundukkan kepala, lalu mengangkatnya . kembali idan bagi orang yang salat, disunahkan menundukkan kepala, sebab hal ini lebih mendekatkan sikap khusyuk pen).

 

  1. 3. Berdiri:

Wajib bagi orang yang mampu berdiri sendiri atau atas pertolongan orang lain, berdiri pada salat fardu, sekalipun salat nazar atau mengulang salat.

 

Berdiri itu bisa terwujud (sah) dengan meluruskan ruas-ruas tulang punggungnya, sekalipun dengan bersandar sesuatu, jika tidak ada ia akan jatuh. Dan bersandar pada sesuatu itu hukumnya makruh.

 

Tidak sah berdiri dengan cara – membungkuk, jika cara tersebut mendekati. paling sedikit melakukan rukuk, apabila dia mampu untuk berdiri tegak.

 

Bagi orang yang sulit berdiri, salatnya dilakukan dengan cara duduk, yaitu sekira ia amat payah atau Juar biasa untuk berdiri. Masagat tersebut oleh Imam AlHaramain dibatasi dengan: Keadaan yang dapat menghilangkan kekhusyukan salatnya jika berdiri.

 

Begitu juga pengendara perahu yang khawatir pusing jika berdiri serta orang yang beser kenang, – yang tidak mungkin menahan hadasnya, kecuali dengan cara duduk (mereka boleh salat sambil duduk)

 

Bagi orang yang melakukan salat dengan duduk, waktu rukuknya supaya membungkuk sedikit, sehingga kening sejajar dengan ujung lututnya.

 

Cabang:

Guru kami (Ibnu Hajar) berkata: Orang sakit yang mampu berdiri jika salat sendirian, tetapi tidak mampu berdiri jika salat berjamaah, kecuali sebagian dari salatnya harus duduk, maka baginya boleh salat berjamaah dan duduk dalam sebagian salatnya. Sekalipun yang lebih utama adalah salat sendirian.

 

Demikian pula bagi orang yang kalau membaca Al-Fatihah saja bisa dilakukan tanpa duduk, tapi jika disambung dengan surah terpaksa harus salat dengan duduk, maka ia boleh membaca surah dengan cara duduk.

 

Sekalipun yang lebih utama adalah tidak membaca surah. -Selesai-.

 

Yang lebih utama bagi orang yang salat dengan duduk, urutannya adalah sebagai berikut: duduk Iftirasy (duduk seperti ketika tasyahud awal), bersila, kemudian duduk tawarruk (duduk seperti ketika tasyahud akhir).

 

Jika masih tidak mampu salat dengan duduk, maka boleh salat dengan berbaring miring: muka dan bagian badannya menghadap kiblat. (Tetapi) jika miringnya ke arah kiri, adalah makruh hukumnya bila tanpa uzur.

 

(Jika dengan cara berbaring masih tidak mampu), maka salatnya dengan tidur telentang, yaitu dua telapak kakinya menghadap kearah kiblat.

 

Bagi orang tersebut, wajib meletakkan semacam bantal di bawah kepala, agar wajahnya dapat menghadap kiblat.

 

Ketika rukuk, ia wajib memberi isyarat (kode) ke arah kiblat, dan ketika sujud isyaratnya harus lebih ke bawah daripada rukuk, jika tidak mampu rukuk dan sujud.

 

Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, hendaknya dengan pelupuk mata: kalau masih tidak mampu, maka cukuplah melakukan pekerjaanpekerjaan salat di dalam hatinya.

 

Bagi orang yang sakit, salat tidak bisa lepas darinya, selama masih mempunyai akal.

 

Para fukaha mengakhirkan . (dalam penuturan rukun salat) berdiri daripada niat dan takbiratul ihram, padahal berdiri itu justru lebih dahulu dilakukan orang yang salat, sebab niat dan takbiratul ihram merupakan rukun dalam setiap salat, sekalipun salat sunah, sedang berdiri menjadi rukun dalam salat fardu saja.

 

Seperti halnya orang yang melakukan salat sunah, ia boleh melakukan salat dengan cara duduk atau berbaring, padahal ia mampu berdiri atau duduk. Bagi yang melakukan dengan berbaring, ia wajib duduk waktu rukuk dan sujud.

 

Mengenai orang yang salat sunah dengan telentang, padahal ia mampu salat dengan berbaring, maka salatnya tidak sah.

 

Dalam kitab Al-Majmu’ disebu kan: Memperpanjang berdiri adalah lebih utama daripada memperbanyak rakaat.

 

Di dalam kitab Ar-Raudhah: Memperpanjang sujud adalah lebih utama daripada memperpanjang rukuk.

 

  1. Membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, di bagian berdirinya. Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Tidaklah sah orang yang tidak membaca Al-Fatihah“, maksudnya dalam setiap rakaat.

 

Kecuak rakaat makmum masbuk. Karena itu, ia tidak wajib membaca Al-Fatihah, bila tidak mendapat tempo cukup untuk membacanya, keuka imam masih berduri. Sekalipun hal tersebut terjadi pada setiap rakaat.

 

Sebab terlambat dari imamnya pada rakaat pertama dan tertinggal imam (dalam rakaat selain pertama) -sebab terlalu sesak, lupa atau gerakannya lambat sehingga setiap bangun dari sujudnya, imam selalu sudah rukuk untuk rakaat berikutnya (makmum yang terunggal uga Tukun yang panjang-panjang dan imamnya, adalah dimaafkan -pen).

 

Dalam hal ini, imam yang suci dapat menanggung Fatihah atau sisanya yang belum terbaca dalam rakaat selain tambahan (jika ia mengerti, bahwa rakaat yang ia ikuti adalah rakaat lebihan -umpama dalam salat Asar imam berdiri lagi setelah mendapat 4 rakaat-, maka imam yang semacam ini tidak bisa menanggung Fatihah makmum masbuk, tapi ia wajib mengerjakan satu rakaat “pen).

 

Jika makmum masbuk tertinggal bukan karena terieka melakukan kesunahan, tapi karena menyempurnakan Fatihah-nya, sehingga imam iktidal, maka rakaatnya tidak sah (tapi, jika terleka melakukan kesunahan, misalnya membaca doa Iftitah, masalah ini akan dijelaskan dalam Bab Salat Berjamaah -pen).

 

Basmalah harus dibaca beserta Fatihah. Sebab Basmalah termasuk ayat daripadanya, Nabi saw. juga membacanya, kemudian diikuti dengan Fatihah, dan menghitungnya termasuk ayat dari Fatihah.

 

Demikian juga Basmalah, termasuk dalam rangkaian setiap surah dalam Al Quran selain surah Al-Bara’ah.

 

Berikut tasydid-tasydidnya yang berjumlah 14. Sebab huruf yang bertasydid itu dihitung dua huruf: karena itu, jika tasydid dihilangkan, berarti menghilangkan satu huruf.

 

Demikian juga harus memperhaukan huruf-hurufnya. Jika lafal مَلِكِ dibaca pendek, maka jumlah huruf dalam Al-Fatihah ada 141. Jika huruf bertasydid dihitung dua huruf, maka jumlah huruf Al-Fatihah ada 155. Juga harus memperhatikan makhrajnya. Seperti halnya makhraj huruf dhad dan huruf-huruf lainnya.

 

Karena itu jika seseorang mampu membaca dengan benar atau belajar, lalu mengganti satu huruf Al-Fatihah dengan huruf lain, sekalipun dhad dengan zha’, atau beraksi-aksian (pepilon: Jawa) membaca yang sampai mengubah makna kalimatnya, misalnya, membaca kasrah atau dhammah huruf  ت  pada   اَنْعَمْتَ  mengarah huruf. ك   pada.  اِيَّاكَ -jika huruf tersebut dibaca dhammah, tidak mengubah makna, tapi kalau sengaja dilakukan dan mengerti akan keharamannya, maka salatnya menjadi batal. Jika tidak mengerti atau tidak sengaja, maka yang batal hanya bacaan Al-Fatihah (salatnya tidak batal).

 

Memang begitu! Jika ia mengulangi untuk membenarkannya sebelum berselang lama, maka sempurna bacaannya.

 

Mengenai orang yang tidak mampu membaca dengan benar, dan tidak mungkin mempelajarinya, maka bacaannya tidak dihukumi batal.

 

Demikian pula tidak batal, bagi orang yang aksi-aksian membaca, tetapi tidak sampai mengubah makna, misalnya membaca fat-hah huruf  د  pada  نَعْبُدُ. Tetapi kalau hal itu sengaja dilakukan, hukumnya haram: kalau tidak, hukumnya makruh.

 

Ulama Mutaqaddimin dan Mutaakhirin berselisih pendapat tentang membaca الْهَمْدُللهِ          dengan huruf ha’, dah membaca huruf  ق dengan makhraj antara ق   dan  ك   

 

Guru kami dalam kitab Syarah Minhaj memantapkan terhadap dua bacaan tersebut sebagai yang batal, kecali ketika masih belajar.

 

Tetapi guru beliau, Imam Zakariya, memantapkan kesahan bacaan kedua. Begitu juga Imam Al-Gadhi Husain dan Imam Ibnur Rifah memantapkan kesahan bacaan pertama.

 

Jika seseorang mampu membaca dengan benar atau udak mampu lantaran tidak mau belajar, menghilangkan tasydid suatu huruf, misalnya membaca الَرَّحْمنُ denganاَلْ رَحْمنُ(tidak idgham), maka salatnya batal, bila sengaja melakukan dan mengeru akubat hukumnya. Kalau tidak sedemikian, maka yang batal adalah bacaan kalimat tersebut.

 

Jika ia menghilangkan (membaca ringan) tasydid yang ada pada lafal اِيَّاكَ dengan sengaja dan mengerti maknanya, maka dihukumi kafir. Sebab maknanya menjadi “sinar matahari”. Kalau tidak demikian, maka 1a cukup bersujud sahwi. Jika ia menasydid huruf yang udak bertasydid, maka tetap sah. Tetapi hal itu haram hukumnya yka disengaja, misalnya berhenti sebentar di antara sin dan ta’ pada lafal نَسْتَعِيْنُ

 

Wajib memperhatikan pula sambung-menyambung dalam membaca Al-Fatihah. Dalam hal ini, harus dibaca secara bersambung antarkalimatnya, tidak berjarak lebih lama dari menghirup udara pernapasan atau berhenti karena tersengal-sengal.

 

Karena itu, bacaan Al-Fatihah harus diulang lagi apabila di tengah-tengahnya diselingi zikir “lain yang tidak-ada kaitannya dengan salat, sekalipun hanya sedikit -misalnya menyelipkan sepotong ayat lain, . bacaan hamdalah orang yang bersin, walaupun hal ini hukumnya sunah bila di luar salat-, sebab penyelipan semacam ini dapat memalingkan dari bacaan semula.

 

Jika perkara yang diselipkan itu ada kaitannya dengan salat, maka bacaan Al-Fatihah tidak wajib diulangi lagi, misalnya membaca amin, sujud tilawah, doa baik karena permohonan anugerah atau perlindungan dari siksa, dan ucapan “Bala wa ana…. (Benar, kami ikut menyaksikan itu semua).

 

Keterkaitan bacaan tersebut dengan salat, karena imam membaca Fatihah, ayat Sajdah atau ayat lain yang karena ayat tersebut disunahkan bagi pembaca, pendengar, makmum atau bukan, di dalam salat atau di luarnya, agar membaca bacaan itu.

 

Jika orang yang salat membaca atau mendengar ayat yang memuat nama Nabi Muhammad saw., baginya tidak disunahkan membaca selawat, sebagaimana yang telah difatwakan oleh Imam An-Nawawi (karena itu jika ia membacanya, maka akan memutus Fatihahnya -pen).

 

Fatihah tidak perlu diulang Juga, jika seorang makmum Mengingatkan imamnya yang terhenti karena lupa sambungan ayat yang dibacanya, asal ia niat membaca dan bahkan diserta’ Mengingatkan.

 

Hal ini dilakukan, -seperti dikemukakan oleh Guru kami jika imam sudah diam, jika ia belum diam, maka peringatan tersebut dihukumi memutus. bersambungnya (bacaan Fatihah makmum).

 

Mendahulukan bacaan “Subhanallah” sebelum mengingatkan bacaan, adalah memutus Fatihah -menurut beberapa tinjauan pendapat-. Sebab, tasbih tersebut diucapkan bertujuan mengingatkan (jika hanya untuk mengingatkan saja,maka batallah salatnya, seperti disebutkan di atas -pen).

 

Bacaan Al-Fatihah harus diulangi lagi, jika dalam membacanya terputus dengan diam yang cukup lama, sekira melebihi diam bernapas, jika hal ini dilakukan tanpa ada uzur, berupa tidak mengerti atau lupa.

 

Karena itu, jika zikir kalimat lain atau berdiam yang lama itu dilakukan di tengah-tengah Fatihah sebab lupa atau bodoh, atau diamnya karena untuk mengingat ayat seterusnya, maka hal ini tidak menjadi masalah.

 

Sebagaimana halnya tidak batal, jika ia mengulangi suatu ayat dari Fatihah yang terletak pada tempat berhentinya (misalnya pada ayat اِهْدِنَاالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْم ia mengulang-ulang -pen), sekalipun tanpa ada uzur, atau mengulangi bacaan ayat sebelumnya, lalu dibaca terus sampai akhir atas dasar beberapa tinjauan pendapat.

 

Cabang:

Jika di tengah-tengah Fatihah, seseorang merasa ragu, Sudahkah membaca Basmalah? Lantas ia meneruskan bacaannya hingga selesai, dan akhirnya ingat, bahwa ia telah membaca Basmalah, maka ia wajib mengulang seluruh surah Al-Fatihah, – menurut beberapa tinjauan pendapat.

 

Keraguan atas peninggalan satu huruf atau lebih dari Fatihah, satu ayat atau lebih, setelah pembacaan Fatihah selesai, adalah tidak ada pengaruh apa-apa. Sebab secara lahir Fatihah telah dibaca secara sempurna.

 

Wajib mengulang Fatihah dari awal, jika keraguan itu terjadi sebelum sempurnanya, Seperti halnya masalah keraguan: Sudah membaca Fatihah atau belum. Sebab menurut asal, ja belum membaca.

 

Masalah-masalah yang berkenaan dengan Fatihah di atas, adalah berlaku juga pada rukun-rukun salat yang lain. Karena itu, jika merasa ragu: Sudah bersujud atau belum? Maka wajib bersujud, Atau ragu setelah sujud: Apakah telah meletakkan sejenis telapak tangan (yaitu semua anggota tujuh dalam bersujud – pen) atau belum? Maka ia tidak wajib mengulang sujudnya.

 

Jika seseorang membaca surah Fatihah dalam keadaan lupa, dan ia sadar setelah sampai di ayat صِرَاطَ الَّذِيْنَ serta tidak yakin akan bacaan sebelumnya, maka baginya wajib mengulangi Fatihah dari permulaan.

 

Wajib membaca Al-Fatihah secara tertib, seperti yang tertera susunannya dalam Alqur-an yang kita maklumi bersama. Tertib tidak wajib dalam membaca tasyahud, asal saja tidak merusak maknanya (jika mengubah Maknanya membatalkan salat -pen). Namun disyaratkan menjaga (memperhatikan) tasydid dan sambung-menyambungnya, sebagaimana dalam Fatihah.

 

Barangsiapa tidak bisa membaca seluruh surah Al-Fatihah dan tidak memungkinkan mempelajarinya sebelum sempit waktu salat atau membacanya lewat semacam Mushhaf, maka bagirrya wajib membaca 7 ayat (dari Alguran), sekalipun secara terpisah urutannya, asal tidak kurang dari jumlah huruf Al-Fatihah.

 

Jumlah huruf Al-Fatihah dengan menghitung Basmalah dan hurufhuruf bertasydid adalah 156, serta dengan cara menetapkan alif lafal    مالك

 

Jika ia hanya mampu membaca separo (sebagian) Al-Fatihah, maka ia wajib mengulang-ulangnya sampai mencapai ukuran Al-Fatihah tersebut.

 

Jika ia tidak mampu membaca 7 ayat Alqur-an yang sebagai ganti Fatihah, maka baginya wajib membaca bentuk zikir yang jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf Al-Fatihah.

 

Jika membaca zikir masih tidak mampu, maka cukup berhenti dalam tempo seukuran membaca Al-Fatihah.

 

Sunah hukumnya -ada yang mengatakan wajib- sesudah takbiratul ihram pada salat fardu ataupun sunah, selain ketika salat Jenazah, membaca doa Iftitah dengan suara pelan. Hal ini jika tidak khawatir kehabisan waktu salat dan bagi makmum, mempunyai perkiraan penuh masih bisa mengikuti rukuk sang imam. kesunahan itu selagi seseorang tidak tergesa-gesa dalam membaca ta’awudz atau Fatihah, sekalipuh lupa: atau ia tidak mulai bermakmum dalam keadaan duduk bersama imam. Kesunahan di atas sekalipun makmum telah membaca amin bersama imamnya.

 

Bahkan sekalipun makmum khawatir kehabisan waktu untuk membaca yang disunahkan baginya, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Guru kami dalam kitab Syarah ‘Ubab. Beliau berkata: Karena mendapatkan Iftitah, adalah hal yang sudah “nyata, sedangkan ketertinggalannya membaca surah adalah belum jelas, dan bahkan kadang-kadang udak terjadi.

 

Doa Iftitah yang ada sebenarnya banyak sekali, tapi yang paling utama adalah riwayat Imam Muslim berikut: Wajjahtu wajhiya… (Kuhadapkan wajahku -maksudnya badanku-ke hadirat Pencipta langit dan bumi dengan patuh, artinya dengan menghindari agama-agama non-Islam demi agama yang benar, yaitu Islam, dengan sikap tunduk, serta aku bukan masuk golongan orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku, adalah milik Allah, Tuhan Penguasa alam semesta. Tiada penyekutu bagi-Nya, seperti itulah aku diperintah, lagi pula aku termasuk golongan orang-orang Islam).

 

Sunah bagi makmum yang mendengar bacaan imamnya, agar mempercepat dalam membaca doa Iftitah.

 

Doa Iftitah seperti di atas, sunah ditambah lagi doa yang sampai kepada kita dari Nabi saw., bagi orang yang salat sendirian (munfarid), imam salat jamaah yang mahshur (jumlahnya terbatas) yang bukan (terdiri dari) budak-budak dan warita-wanita bersuami yang semuanya rela untuk diperpanjang lafal-lafal salat, ‘serta tiada makmum lain yang datang menyusul, meskipun hanya sedikit, di samping itutempat salat tersebut bukan. merupakan jalanan orang.

 

Termasuk doa yang datang dari Nabi saw., adalah riwayat yang disampaikan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Allahumma ba’id baini….. dan seterusnya. (Ya, Allah, jauhkanlah antara diri dan kesalahanku sejauh timur dan barat. Ya, Allah bersihkan (sucikanlah) kesalahan diriku sebersih pakaian putih dari kotoran. Ya, Allah, bersihkanlah kesalahan diriku, sebagaimana pakaian yang dicuci dengan air salju dan embun)

 

Sesudah membaca doa Ifutah dan bertakbir pada salat Id, kalau memang dilakukan, hukumnya sunah membaca Ta’awudz, walaupun dalam salat Jenazah, dibaca dengan suara pelan, sekalipun, dalam salat Jahriyah (sunah mengeraskan suara), dan bahkan mulai salat dalam keadaan duduk bersama imam: Doa Ta’awudz tersebut dibaca pada setiap rakaat, selagi tidak tergesa-gesa. (sebab waktu sudah sempit) dalam bacaan yang sekalipun karena lupa.

 

Pembacaan Ta’awudz pada rakaat pertama, adalah lebih sunah muakkad, dan meninggalkannya adalah makruh.

 

Sunah wakaf di depan setiap ayat dalam Fatihah, sekalipun di akhir Basmalah: Segolongan ulama berbeda pendapat. Meskipun ayat tersebut masih berkaitan dengan ayat setelahnya (dalam. hal makna), sebab hal ini ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Yang lebih utama adalah tidak wakaf pada ayat”  أنعمت عليهم “, sebab tiada wakaf di sini, dan menurut pendapat kami (Asy-Syafi’iyah) ayat tersebut bukan akhir ayat.

 

Jika terpaksa wakaf pada ayat itu, maka tidak disunahkan mengulang dari awal ayat.

 

Sunah membaca “Amin” dengan: dibaca panjang tanpa tasydid, – serta akan lebih baik jika di: tambah lafal “Rabbal ‘alamin'”,sesudah membaca Fatihah: sekalipun di luar salat, setelah berhenti sebentar, selagi belum mengucapkan sesuatu selain “Rabbighfirlii“.

 

Sunah pula mengeraskan suara dalam membaca amin pada salat Jahnyah, sehingga bagi makmum dapat mengikuu bacaan imamnya.

 

Bagi makmum pada salat Jahriyah, sunah membaca amin bersama-sama imamnya, jika memang ia mendengar bacaannya. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:

 

“Jika imam membaca amin, maka bacalah amin kalian semua. Karena, barangsiapa membaca amin bersamaan bacaan malaikat, maka semua dosa (dosa-dosa kecil) yang telah lewat diampuni”.

 

Sepanjang pendapat kami (Syafi’iyah), yang disunahkan agar berusaha berbarengan antara makmum dengan imam, hanyalah dalam hal pembacaan amin saja.

 

Jika ia tidak bisa bersamaan amin imam, maka hendaknya membacanya setelah bacaan amin imam.

 

Jika iman menunda Ta’min sampai di luar waktu yang semesunya disunahkan, maka ruakmum supaya membaca amin dengan suara keras.

 

Lafal امين adalah isim fil, yang maknanya: “Kabulkanlah”, dengan dimabnikan fat-hah, serta dibaca sukun jika wakaf (berhenti),

 

Cabang:

Bagi imam dalam salat Jahriyah, sunah diam sebentar setelah membaca amin, seukuran makmum membaca Fatihah, jika ia mengerti, bahwa makmum dalam waktu tersebut membaca Fatihah, seperti yang lahir (jelas).

 

Selama diam tersebut, hendaknya imam terleka dengan berdoa atau lebih utama lagi membaca – ayat-ayat lain (secara pelanpelan),

 

Guru kami berkata: Sekarang jelaslah, bahwa bagi imam sunah, memperhatikan ketertiban dan sambung-menyambung ayat yang dibaca selama diam dengan ayat sesudahnya.

 

Faedah:

Sunah diam sebentar, sepanjang bacaan “Subhanallah” antara amin dan surah: antara akhir surah dengan takbir rukuk, antara takbiratul ihram dengan doa Iftitahs antara doa Iftitah dengan Ta’awudz, dan antara Ta’awudz . dengan Basimalah.

 

Sunah juga membaca satu ayat atau lebih setelah membaca Al-Fatihah. Yang lebih utama adalah tiga ayat.

 

Bagi yang membaca dari tengah-tengah surah, tetaplah sunah membaca Basmalah. Demikianlah yang telah dinash oleh Imam Syafii.

 

Pokok kesunahan di sini sudah bisa terwujud dengan cara mengulang sebuah surah dalam dua rakaat, dengan mengulangi pembacaan Al-Fatihah lagi, jika tidak hafal yang lain, dan dengan membaca Basmalah tanpa bertujuan sebagai ayat pertama dari Al-Fatihah.

 

Membaca satu surah penuh -bila tidak ada riwayat dari Nabi saw. membaca sebagian surah, seperti dalam salat Tarawih (dalam salat Tarawih ada riwayat dari Nabi, bahwa yang sunah adalah menyelesaikan sampai khatam -pen)-, adalah lebih utama daripada . membaca sebagian surah, sekalipun ayat yang dibacanya panjang (bila dibandingkan dengan satu surah penuh).

 

Makruh meninggalkan membaca ayat Our-an setelah membaca AlFatihah (dalam salat selain salat Jenazah dan salat orang tidak menemukan air dan debu, di mana ja adalah orang sedang junub -pen). Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga perselisihan dengan ulama yang menghukumi wajib membaca surah.

 

Terkecualikan dari ketentuan “dibaca setelah Fatihah“, apabila ayat tersebut dibaca sebelumnya, hal ini tidak terhitung mendapatkan kesunahan, bahkan dihukumi makruh.

 

Sebaiknya, bagi orang yang jika membaca selain Fatihah mengalami lahn (aksi-aksian) yang sampai mengubah makna, sekalipun terjadi sebab tidak bisa belajar, agar tidak membaca selain ayat Fatihah itu.

 

Karena ia akan mengucapkan sesuatu yang bukan Our-an, padahal. tidak terdapat unsur keterpaksaan (sebab membaca surah itu hukumnya hanya sunah – pen).

 

Hukum tidak membaca Surah itu boleh. (Tapi) menurut kesimpulan ‘ dari pembicaraan Imam AlHaramain, adalah haram mem:baca selain Al-Fatihah bagi orang seperti di atas.

 

Membaca surah itu sunah dilakukan hanya pada rakaat pertama dan kedua dalam salat yang berakaat empat atau tiga (dasarnya adalah ittiba’ kepada ‘ Nabi saw. -pen).

 

Tidak disunahkan membaca ayat (surah) pada dua rakaat yang akhir (ke-3 dan ke-4), kecuali bagi makmum masbuk yang tidak mendapatkan rakaat ke-1 dan ke2 bersama imamnya. Ia sunah membacanya pada rakaat ke-3 dan ke-4, di mana ia tidak sempat membacanya bersama imam, selagi pembacaan ayat tersebut tidak gugur atas dirinya, (jika sudah gugur, maka ia tidak sunah . membacanya), sebab ia adalah makmum masbuk. atas yang ditemukan pada imamnya.

 

Sebab, imam itu dapat menanggung Fatihah makmum masbuk: apalagi bacaan surahnya.

 

Sunah memperpanjang bacaan surah pada rakaat pertama dari rakaat kedua, selagi tidak terdapat Nash Nabi saw. yang menganjurkan memperpanjang bacaan surah pada rakaat kedua.

 

Sunah juga membaca surah secara tertib, seperti yang ada dalam Mushhaf (sebagaimana membaca . surah Al-Falaq, lantas An-Nas -pen) dan beruntun, selagi surah yang berada di belakangnya tidak: lebih panjang.

 

Jika membaca surah secara tertib akan menyebabkan terjadi bacaan pada rakaat ke-2 lebih panjang daripada rakaat ke-1, misalnya pada rakaat ke-1 membaca surah Al-Ikhlash, lantas untuk rakaat ke-2 apakah membaca surah Al-Falaq, karena menitikberatkan aturan “tertib”, atau membaca surah Al-Kautsar, karena menitikberatkan “memperpanjang rakaat pertama”. Kedua: masalah di atas masih sama-sama ihtimal (serba kemungkinan). Tapi yang lebih mendekati kebenaran, adalah yang pertama (yaitu membaca surah Al-Falaq -pen), seperti yang dikomentarkan oleh Guru kami dalam kitab Syarah Mimhaj (yang Muktamad: Membaca sebagian surah Al-Falaq, karena untuk mengumpulkan antara tertib dan memanjangkan bacaan surah pada rakaat ke-1 – pen).

 

Kesunahan membaca ayat di atas hanyalah bagi imam, orang yang salat sendirian dan makmum yang tidak mendengarkan bacaan : imamnya dalam salat Jahriyah. Jika makmum sudah mendengarkan bacaan imamnya, maka baginya makruh membaca ayat. Bahkan ada yang mengatakan haram.

 

Mengenai makmum yang tidak mendengarkan bacaan imamnya atau dapat, tetapi hurulf-huruf:nya tidak jelas, maka disunahkan membacanya secara pelan-pelan. Namun baginya disunahkan sebagaimana pada dua rakaat pertama salat Sirriyah -meletakkan Fatihah sesudah imamnya, Jika ia mengira masih cukup untuk membaca Fatihah sebelum rukuk.

 

Sementara dalam waktu menanti imamnya, baginya sunah terleka dengan membaca doa, bukan membaca Alqur-an.

 

Imam Al-Mutawalli berkata, kemudian ditetapkan oleh Imam Ibnur Rifah: Bagi makmum, makruh membaca Fatihah sebelum imam memulainya, sekalipun hal itu pada salat Sirriyah, sebab masalah sah Fatihah yang sedemikian itu masih diperselisihkan, dan ada pendapat, bahwa hal tersebut menyebabkan batal salatnya. jika makmum selesai membaca Fatihah sebelum imamnya.

 

Cabang:

Sunah bagi makmum yang sudah selesai membaca Fatihah pada rakaat ke-3, ke-4, atau selesai membaca tasyahud awal sebelum imamnya selesai, agar berdoa atau membaca Alqur-an: sedang yang terakhir, adalah lebih utama daripada berdoa.

 

Bagi orang yang menghadiri salat Jumat dan Isyak malam Jumat (pada rakaat ke-1 dan ke2), sunah membaca surah Al-Jum’ah lalu Al-Munaafiquun, atau Al-A’la lalu Al-Ghaasyiyah, dan pada salat Subuhnya -jika waktunyacukup-, sunah membaca surah Alif Laam Tanzil As-Sajdah lalu Hal Ataa (Ad-Dahr), dan pada salat Magribnya, sunah membaca surat Al-Kaafiruun lalu Al-Ikhlaash. :

 

Dua surah (Al-Kafiruun dan Al-Ikhlaash) sunah dibaca pada salat Subuh hari Jumat dan hari lainnya, bagi orang yang sedang bepergian: juga dibaca pada salat Oabliyah Subuh, Maghrib, Thawaf, Tahiyatul mesjid, Istikharah dan Ihram, sebagai sikap ittiba’ kepada Nabi saw. dalam kesemuanya Itu.

 

Cabang:

Jika seseorang meninggalkan bacaan satu dari dua surah yang telah ditentukan di atas pada rakaat pertama, maka pada rakaat ke-2 hendaknya dibaca kedua-duanya, kalau pada rakaat pertama membaca surah yang mestinya sunah dibaca pada rakaat ke-2, maka pada rakaat ke-2 membaca surah yang mestinya dibaca pada rakaat pertama.

 

Jika ia terlanjur membaca surah yang bukan ditentukan di atas, sekalipun karena lupa, maka sunah memotongnya dan ganti membaca surah yang ditentukan di atas.

 

Dalam keadaan waktu telah mendesak, membaca dua surah yang pendek-pendek adalah lebih utama daripada potongan dua surah panjang-panjang yang telah ditentukan di atas, lain halnya dengan pendapat Imam Al-Fariqi.

 

Jika hafalnya hanya sebuah surah saja dari yang telah ditentukan, maka hendaknya surah itu dibaca dan yang lainnya diganti dengan surah yang dihafal, sekalipun akan menyebabkan tidak berurutan.

 

Jika misalnya seseorang mulai bermakmum pada rakaat ke-2 salat Subuh hari Jumat dan mendengarkan imam membaca surah Hal Ataa (Ad-Dahr), maka : setelah imam salam dan ia meneruskan salatnya satu rakaat lagi, supaya membaca surah Alif Laam Tanzil, sebagaimana yang telah difatwakan oleh Imam AlKamal Ar-Radad, yang diikuti oleh Guru kami dalam kitab Fatawa-nya.

 

Namun, kesimpulan dari pembahasan beliau dalam kitab Syarah Minhaj, bahwa orang tersebut supaya membaca surah Hal Ataa (Ad-Dahr), juga pada rakaat kedua-duanya.” :

 

Jika imamnya tadi tidak membaca surah Ad-Dahr, maka nanti pada rakaat kedua makmum supaya membaca surah Alif Laam Miim Sajdah dan Ad-Dahr.

 

Jika seorang makmum menemukan imam dalam keadaan rukuk pada rakaat ke-2, maka seperti halnya imam, baginya tidak membaca apa-apa (sehingga imam tidak bisa menanggung bacaan surah makmum – pen), karena itu pada rakaat kedua-duanya supaya membaca surah Ad-Dahr dan Alif Laam Miim Sajdah, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kami.

 

Peringatan!

Bagi selain makmum, disunahkan agar membaca Al-Fatihah dan surah dengan suara keras pada rakaat ke-1 dan ke-2 dalam salat Subuh, Magrib, Isyak, Jumat dan kadha yang dikerjakan antara terbenam Matahari dan terbitnya kembali, salat dua hari raya –dalam hal ini Guru kami berpendapat: Sekalipun salat hari raya itu kadha-, salat Tarawih, Witir Ramadhan dan Gerhana Bulan (sedang salat Gerhana Matahari adalah sunah membaca secara sirri/pelan-pelan -pen).

 

Bagi makmum dimakruhkan membacanya dengan suara keras, sebab ada larangan.

 

Bagi orang yang salat dan lainnya (misalnya orang yang memberi nasihat, pembaca dan pengajar -pen), tidak diperbolehkan mengeraskan suara, bila mengganggu semacam orang yang sedang tidur atau salat. Karena di dalam kitab Al-Majmu’, dinyatakan makruh.

 

Sebagian fukaha membahas adanya larangan bersuara keras dalam membaca Algur-an atau lainnya, yang ada di hadapan siapa saja secara mutlak (baik menganggu ataupun tidak -pen). Sebab mesjid itu pada asalnya diwakafkan untuk orang-orang salat, bukan untuk ahli pidato dan qiraah.

 

Dalam salat sunah Mutlak di malam hari, sunah mengeraskan suara.

 

Sunah bagi orang yang salat sendirian, imam dan makmum, agar bertakbir setiap turun dan bangun kembali, sebagai sikap ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Kecuali waktu bangun dari rukuk di sini tidak disunahkan bertakbir, tapi membaca: Sami’allah…. dan seterusnya (Allah SWT. mendengar orang yang memuji-Nya).

 

Sunah memanjangkan takbir sampai masuk pada rukun baru, sekalipun antara rukun baru dengan rukun sebelumnya di: pisah dengan duduk istirahat.

 

Sunah mengeraskan suara takbir pindah rukun, seperti ketika Yakbiratul ihram, bagi imam dan Mubalig (penyambung suara Imam), kalau memang diperlukan adanya. Tapi hukum sunah Jni, jika diniati sebagai: zikir (saja) atau zikir sambil memberi pendengaran, Kalau tidak sedemikian adanya, maka batal salatnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kami dalam kitab Syarah Minhaj.

 

Makruh mengeraskan suara takbir bagi orang selain tersebut di atas, yaitu bagi orang yang salat sendirian dan makmum.

 

Sebagian fukaha berkata: Penyambungan suara imam itu hukumnya adalah Bid’ah Munkarah atas kesepakatan empat mazhab, selama suara imam masih dapat didengar oleh para makmum.

 

  1. Rukuk. Yaitu membungkukkan badan, sehingga kedua telapak tangan -bukan jari-jari- dapat: mencapai pada lutut. Karena itu, belumlah cukup hanya meletakkan pucuk jari pada lutut, jika mau meletakkan tapak tangan pada lutut.

 

 Hal itu jika anggota badan se.seorang wajar (normal kejadiannya).

 

Demikian ini adalah batas minimal dalam rukuk.

 

Sunah waktu rukuk: Meratakan punggung dengan kuduk. Yaitu : dengan cara menarik ruas-ruas persendiannya sedemikian rupa, sehingga menjadi seperti sehelai lembaran, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Memegang dua lutut yang dalam keadaan tegak (tidak bengkok) tidak berhimpitan, dengan dua telapak tangan yang terbuka dan jari-jarinya agak merenggang satu sama lainnya.

 

Membaca: Subhanallah….. dan seterusnya 3x (Maha Suci Tuhanku, Maha Agung dan dengan pujian. Nya), sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Bacaan tasbih dalam rukuk serta sujud, setidaknya sekali: sekalipun dengan subhanailah, dan paling banyak 11 kali.

 

Orang yang tersebut di atas (munfarid dan imam salat jamaah mahshurin), sunah menambahkan dengan: Allahumma raka’tu… dan seterusnya. (Ya, Allah, aku rukuk ke hadirat-Mu, beriman kepada-Mu, berserah diri kepadaMu, pendengar, penglihatan, sumsum, tulang, urat, rambut dan kulilku, semua tunduk kepada-Mu, dan semua yang ada di badanku adalah milik Allah, Tuhan semesta alam).

 

Waktu rukuk dani sujud. disunah| kan membaca: Subhaanaka…. dan seterusnya. (Ya, Allah, Maha Suci Engkau, Ya, Allah, dengan pujuan kepada Engkau, ampunilah aku).

 

Jika seseorang ingin-mencukupkan bertasbih atau berzikir, maka tasbih adalah lebih utama.

 

Membaca. tasbih sebanyak tiga kali yang diteruskan dengan bacaan Allahumma laka raka’tu seterusnya, adalah lebih utania daripada membaca tasbih sam: pai 11 kali (tanpa ditambah Allahumma dan seterusnya.)

 

Makruh melakukan rukuk dengan batas minimal saja, demikian juga keterlaluan menundukkan kepala dibawah garis lurus punggung.

 

Sunah bagi laki-laki merenggangkan kedua sikunya dengan lambung dan perut dari paha ketika rukuk dan sujud.

 

Bagi selain laki-laki, sunah menghimpitkannya ketika rukuk dan sujud.

 

Peringatan!

Waktu turun untuk rukuk, wajib tidak dimaksudkan untuk hal lain. Jika turunnya untuk sujud Tilawah, lalu setelah sampai pada batas rukuk (ia tidak jadi sujud), tapi rukuk, maka rukuknya tidak sah. Tapi ia harus berdiri tegak dulu, baru rukuk. Begitu juga dalam masalah iktidal, sujud dan duduk antara dua sujud (disyaratkan tidak bertujuan selainnya).

 

Jika selain makmum (imam dan munfarid) ketika sujud merasa ragu: Apakah ia sudah rukuk atau belum?, maka secara spontan ia wajib berdiri tegak lalu rukuk, tidak boleh bangkit dengan posisi rukuk.

 

  1. Iktidal, sekalipun pada salat sunah, menurut pendapat Muktamad. Iktidal dapat dinyatakan dengan berdiri kembali dari rukuk, seperti posisi semula sebelum rukuk, baik posisi berdiri atau duduk (bagi orang yang salat dengan duduk).

 

Jika ragu, sudahkah beriktidal dengan sempurna? Maka selain makmum wajib spontan kembali melakukannya. Kalau tidak, maka salatnya batal. Kalau orang yang ragu tersebut adalah makmum, maka setelah salam imam ia menambah satu rakaat.

 

Ketika sedang bangkit dari rukuk, sunah mengucapkan: Sami’allah… dan seterusnya. (Allah menerima pujian orang yang memujiNya).

 

Ucapan tersebut sunah diucapkan oleh imam dan mubalig dengan suara keras, sebab bacaan itu ter-: masuk zikir untuk pindah rukun.

 

Setelah berdiri tegak, sunah mengucapkan: Rabbana lakalhamdu ….. dan seterusnya. (Ya, Allah, bagi-Mu-lah ujian sepenuh langit dan bumi serta sepenuhnya segala kehendak-Mu setelah itu), maksudnya seperti Al-Kursy dan ‘Arsy.

 

Lafal مِلْءُ adalah dibaca rafa’, berstatus sebagai sifat bisa juga dibaca nashab, berstatus sebagai keterangan hal, berarti dengan mengira-ngirakan الثَّنَاءُ lafal (pujian) sebagai jisim.

 

Bagi orang di atas (munfarid dan imam jamaah mahshurin), sunah ‘ menambah dengan Ahlatstsana’…… dan seterusnya. (Wahai, ahli Pemangku pujian dan keagungan, yang paling benar untuk diucapkan oleh hamba. Kita semua adalah. hamba Engkau, Tiada penghalang atas apa yang telah Engkau berikan, tiada pemberi atas apa yang telah Engkau halangi, dan tiada berguna keagungan yang dimiliki oleh manusia: dari sisi Engkau-lah sumber keagungan itu.

 

Sunah berdoa Qunut ketika salat Subuh, yakni ketika iktidal pada rakaat kedua, setelah membaca zikir termaktub, hal ini berdasarkan beberapa tinjauan. Zikir tersebut sampai pada lafal  من شيءبعد 

 

Sunah juga pada iktidal rakaat terakhir salat Witir pada Separo terakhir Pulan Ramadhan, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Makruh qunut pada separo buian ” Ramadhan awal (tanggal 1-15), sebagaimana halnya makruh nada salat-salat sunah lainnya.

 

Disunahkan berqunut Nazilah sebabada bencana yang menimpa orang-orang Muslim, sekalipun seorang saja, di mana ia bermanfaat untuk umum, misalnya ada orang alim atau pemberani yang tertawan oleh musuh, ketika salat fardu lima waktu, ketika ikudal rakaat terakhir, sekalipun bagi makmum masbuk yang sudah berqunut bersama imamnya. Hal itu berdasarkan Ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Dalam masalah bencana itu, baik berupa gentar menghadapi musuh, sekalipun sesama Muslim, : kelaparan atau wabah penyakit menular.

 

Dengan kata-kata “salat fardu”, Maka terkecualikan salat sunah, Sekalipun salat hari Raya dan Nazar. Karena itu, doa Qunut tidak disunahkan pada kedua salat tersebut (akan tetapi tidak Makruh juga jika dikerjakan Pen).

 

Qunut dibaca dengan mengarigkat kedua tangan setinggi pundak, sekalipun sedang membaca pujian, sebagaimana dalam doa-doa lain, hal ini sebagai tidak ituba’ kepada Nabi saw.

 

Di kala berdoa untuk menghasilkan sesuatu, misalnya menolak bencana selama umurnya, supaya menjadikan bagian dalam telapak tangan . ditengadahkan ke arah langit (atas), dan di kala berdoa untuk menghilangkan bencana yang menimpa, supaya membalik telapak tangannya.

 

Bagi khotib makruh mengangkat tangannya di kala berdoa.

 

Jenis doa Qunut adalah: Allaahummahdinii fiiman hadait … dan seterusnya. (Ya, Allah, tunjukkanlah daku seperti orang yang telah Engkau tunjukkan, sejahterakanlah daku seperti orang yang telah Engkau : beri kesejahteraan, kasihanilah daku seperti orang yang telah Engkau kasihi, -maksudnya, masukkanlah daku ke golongan orang-orang yang Engkau kasihi, Berikanlah anugerah Engkau padaku, jagalah daku dari takdir jelek Engkau, karena sesungguhnya Engkau-lah Pemasti dan tidak dapat dipastikan, Tiada hina bagi orang yang Engkau angkat, Tiada mulia bagi orang yang telah Engkau musuhi: Maha Suci Engkau, wahai, Tuhanku, dan Maha Tinggi Engkau, Bagi Engkau semua keputusan Engkau, daku mohon ampun dan tobat kepada Engkau).

 

Setelah doa di atas, sunah membaca salawat-salam buat. Baginda Nabi saw. dan keluarganya, di mana hal ini tidak disunahkan pada awal doa Qunut.

 

Bagi orang yang salat munfarid (sendirian) dan imam jamaah’ Mahshurin, sunah menyambung doa di atas dengan qunut yang dibaca sahabat Umar r.a. ketika salat Subuh, yaitu: Allaahumma innaa…dan seterusnya (Ya, Allah, sesungguhnya kami mohon pertolongan ampunan dan hidayah-Mu, kami beriman dan berserah diri kepada-Mu, kami memuji-Mu dengan segala kebaikan, kami bersyukur dan tidak kufur kepada-Mu, serta kami tidak kenal dan meninggalkan orang yang lancang kepada-Mu. Ya, Allah, hanya kepada-Mu-lah kami beribadah, salat dan sujud, hanya kepada-Mu kami bergegas dan berlari, kami mengharap rahmat dan takut siksa dari-Mu, Sesungguhnya siksa-Mu adalah hal benar terjadi pada orang-orang kafir).

 

Kemudian, karena qunut yang pertama tadi ditetapkan oleh Nabi saw., maka lebih didahulukan daripada qunut sahabat Umar ini. Karena itu, bagi orang yang mencukupkan diri dengan satu qunut, maka bacalah qunut yang pertama tadi.

 

Kalimat-kalimat doa Qunut itu tidak ditentukan susunan redaksinya. Karena itu, sudah cukup doa Qunut dengan membaca ayat Alqur-an yang berisikan doa, jika dimaksudkan untuk qunut, misalnya akhir surah Al-Baqarah.

 

Begitu juga, qunut ilu cukup dengan membaca segala bentuk doa, sekalipun tidak bersumber dari Nabi saw.

 

Guru kami berpendapat: Pendapat yang jelas argumentasinya, bahwa Qunut Nazilah ‘itu dilakukan setelah membaca qunut salat Subuh, lalu ditutup dengan memohon supaya bencana yang sedang menimpa itu lenyap.

 

Dalam membaca qunut. bagi imam sunah mengeraskan suaranya, sekalipun dalam salat sirriyah.

 

Sedang bagi makmum yang tidak mendengar qunut imam dan orang yang salat sendirian, mereka tidak diperintah mengeraskan suara, tapi hendaknya membaca pelanpelan secara mutlak (baik dalam salat jahriyah atau Sirriyah, dan baik salat Subuh atau lainnya -pen).

 

Bagi makmum yang mendengar qunut imam, ia sunah membaca amin dengan suara keras, karena berdoa atas ‘ bacaan Imamnya.

 

Termasuk doa, adalah membaca salawat atas Nabi saw. Karena itu, makmum agar membaca amin atas bacaan itu, menurut beberapa tinjauan pendapat.

 

Mengenai isi doa qunut yang. berisi pujian, yaitu mulai kalimat  فَإِنَّكَ تَقْضِىsampai akhir, makmum supaya membaca sendiri dengan suara pelan-pelan. Sedang bagi makmum yang tidak mendengar qunut imam atau mendengar, tapi tidak paham, supaya membaca qunut dengan suara pelan.

 

Bagi imam makruh mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri, -maksudnya dalam doa qunut-, sebab ada larangan bagi imam untuk mengkhususkan dirinya seperti ini.

 

Imam supaya membaca اِهْدِنَا dan semua lafal yang di-athafkan dengannya diucapkan dengan bentuk dhamir jamak.

 

Pada dasarnya, hal yang semacam ini berlaku dalam semua bentuk doa.

 

Yang jelas, kemakruhan mengkhususkan dirinya dalam berdoa di atas, adalah diarahkan pada doa yang tidak datang dari Nabi saw. dengan bentuk Ifrad, padahal beliau seorang imam dan hal ini justru banyak sekali (kalau doa itu datang dari Nabi saw. dengan bentuk mufrad, maka bagi imam tidak dimakruhkan mengkhususkan dirinya dengan doa itu -pen).

 

Di antara Ulama Huffazh (ahli ilmu Hadis) berkata: Sesungguhnya semua doa Nabi adalah dengan bentuk Ifrad (tunggal). Berangkat dari sini, sebagian dari mercka mengkhususkan berdoa dengan bentuk jamak hanya dalam berqunut saja.

 

  1. Sujud dua kali untuk tiap-tap rakaat, pada sesuatu yang bukan bawaan orang yang salat, sekalipun ikut bergerak sebab gerak orang itu: dan sekalipun bersujud di atas balai-balai (ranjang) yang turut bergerak sebab geraknya.

 

Sebab, barang tersebut bukan termasuk bawaannya.

 

Karena itu, sujud di atas tempat semacam itu tidak ada masalah, sebagaimana bersujud di atas bawaannya, tetapi tidak bergerak atas gerak orang itu, nya, pucuk selendang yang panjang.

 

Tidak termasuk dalam keterangan “pada sesuatu yang bukan bawaannya”, bila sujud pada bawaannya yang turut bergerak atas gerak orang yang salat, seperti bersujud pada pucuk serban, maka sujud ini hukumnya tidak sah.

 

Sujud di atas pucuk serban itu membatalkan salat, jika disengaja dan mengerti akan keharamannya. Kalau tidak sedemikian rupa, maka cukuplah mengulang sujudnya.

 

Sah sujud di atas tangan orang lain atau semacam sapu tangan yang dipegang tangannya sendiri, sebab barang ini dihukumi sebagai terpisah.

 

Jika bersujud pada sesuatu yang kemudian melekat pada keningnya, adalah sah saja, dan wajib menghilangkan barang tersebut ketika sujud kedua (barang itu seperti kertas dan sebagainya -Pen).

 

Sujud itu dilakukan dengan menyungkur. Yaitu bagian pantat dan sekitarnya berada pada posisi lebih tinggi daripada kepala: Dasarnya adalah ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Jika kepala lebih tinggi daripada pantat dan sekitarnya, atau sejajar, maka belumlah bisa dianggap cukup. Memang begitu, (tapi) jika . ternyata pada badan orang itu ada suatu ciri (cacat) yang tidak memungkinkan untuk bersujud kecuali dengan cara demikian, maka hal itu sudahlah mencukupinya.

 

(Sujud) dilakukan dengan meletakkan sebagian keningnya-dengan keadaan terbuka.

 

Jika pada keningnya terdapat Penghalang semacam pembalut, maka sujudnya tidak sah. Kecuali balutan luka yang sulit antuk dilepas, maka sujud bukaan keadaan seperti ini hukumnya sah.

 

Dan dengan menekankan keningnya pada tempat salat, sehingga tempat itu dapat terbebani dengan berat kepala. Hal ini berbeda dengan pendapat Imam Al-Haramain.

 

Juga dengan meletakkan sepasang lutut, telapak tangan, dalam jari-jari tangan, dan sebagian jari-jari kaki, bukan yang lain, misalnya: tepi jari, ujung jari dan jari samping luarnya.

 

Jika jari kaki telah hilang, tetapi dapat meletakkan bagian dalam saja, maka hal ini tidak wajib dilakukan, sebagaimana kesuupulan dari pembahasan Guru kami berdua (Imam AnNawawi dan Imam Ar-Raft’i). ,

 

Tidaklah wajib pula (tapi sunah), menekankan anggota-anggota selain kening tersebut di atas, sebagaimana sunah membuka selain kedua lutut (untuk lutut hukumnya makruh membukanya -pen).

 

Ketika sujud, sunah meletakkan hidung, bahkan karena sebuah hadis sahih, hal itu hukumnya sunah muakkad. Dari hadis tersebut ada pendapat yang mewajibkannya.

 

Sunah memulai bersujud dengan meletakkan sepasang lutut secara merenggang, kirakira sejarak satu jengkal, lalu dua telapak tangan sejajar pundak dengan lengan terangkat di atas tanah dan jari membentang (tidak menggenggam), tapi saling berhimpitan serta menunjuk ke arah kiblat. Lalu meletakkan kening bersama-sama hidungnya.

 

Juga sunah merenggangkan kedua tumit sejarak satu jengkal, menegakkannya untuk jari-jari menghadap kiblat, dan mengeluarkan tumit dari pakaian bagian bawah (bagi selain wanita dan khuntsa -pen).

 

Di kala sujud, sunah membuka mata, seperti yang dikemukakan oleh Imam Ibnu ‘Abdis Salam, yang kemudian dikukuhkan oleh Imam Az-Zarkasyi.

 

Tidak menuruti tata tertib di atas, adalah makruh hukumnya. Juga makruh, jika tidak meletakkan hidung pada tanah (tempat bersujud).

 

Dalam bersujud, sunah membaca: Subhaana … dan seterusnya tiga kali (Maha Suci Tuhanku dengan pujian-Nya) sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Bagi munfarid dan imam jamaah Mahshurin, sunah menambahkannya: Allaahumma… dan seterusnya. (Ya, Allah, kepada-Mu kami bersujud, beriman dan berserah diri, wajahku/semua anggota badanku bersujud kepada Penciptanya, yang membentuk rupa, yang melengkapinya dengan mata dan telinga, dengan upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebagai sebagus-bagus pencipta).

 

Sunah memperbanyak doa dalam sujud. Di antara doa yang datang dari Nabi saw. adalah: Allaahumma innii … dan seterusnya. (Ya, Allah, aku berlindung dari murka-Mu dengan ridha-Mu, di bawah kesejahteraan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung dengan-Mu “dari murka-Mu, tak sanggup rasanya aku menghitung pujian untuk-Mu sebagaimana Engkau memuji atas Dzat-Mu. Ya, Allah, ampunilah semua dosaku, yang lembut dan besar, yang awal dan akhir, yang tampak jelas dan yang samar).

 

Imam An-Nawawi berkata dalam kitab Ar-Raudhah: Memperpanjang sujud lebih utama daripada memperpanjang rukuk.

 

  1. Duduk di antara dua sujud, sekalipun pada salat sunah, menurut pendapat Yang Muktamad.

 

Waktu duduk, wajib tidak dimaksudkan untuk selain duduk dengan bangun dari sujud. Karena itu, jika ia mengangkat (bangun dari sujud) karena kesakitan sengatan semacam binatang kala, maka ia harus kembali pada posisi sujud.

 

Diperbolehkan selama duduk tangannya masih tetap melekat di tanah (tempat sujud) sampai sujud yang kedua, hal ini sudah disepakati ulama. Lain halnya dengan ulama yang berpendapat sebaliknya (salat semacam itu hukumnya batal -pen).

 

Untuk duduk dan iktidal, supaya tidak diperpanjang. Sebab keduanya bukanlah dimaksudkan dengan perbuatan itu sendiri, tapi hanya dilakukan sebagai pemisah saja. Karena itu, cukuplah dikerjakan dengan pendek.

 

Jika ia memperpanjang melebihi zikir yang telah ditentukan di situ, seukuran bacaan Fatihah dalam ikudal, dan seukuran bacaan tasyahud pendek dalam masalah duduk (di antara dua sujud), padahal ia mengerti dan tahu, maka batal salatnya.

 

Sunah dalam duduk di antara dua sujud, dalam tasyahud awal, duduk istirahat dan tasyahud akhir yang diikuti sujud sahwi, agar duduk iftirasy. Yaitu duduk di atas tumit kaki. kiri yang dilipat sedemikian rupa, Sehingga bagian atas (luar) menempel tanah.

 

Tapak tangan diletakkan pada kedua paha, sehingga ujung jari sejajar dengan ujung lutut dalam keadaan jari-jari terbentang tidak mengepal.

 

Sambil mengucapkan: Rabbighfirlii … dan seterusnya. (Ya, Allah, ampunilah daku, kasihanilah daku, tambahlah kekuranganku, angkailah daku, anugerahilah daku rezeki, berilah daku hidayah dan kesejahteraan), Sebagai tindak ittiba” kepada Nabi.

 

Makruh mengucapkan  اِغْفِرْلِىْ   tiga kali

 

Sunah duduk istirahat sepanjang duduk di antara dua sujud, -sebagai ittiba’sekalipun pada salat sunah, dan sekalipun sang imam tidak mengerjakannya, berbeda dengan pendapat Guru kami.

 

(Kesunahan duduk tersebut) karena akan berdiri dari sujud, selain sujud Tilawah.

 

Sunah untuk berdiri dari sujud atau duduk, agar berpegangan dengan telapak tangan.

 

  1. Thuma’ninah pada setiap rukuk, dua sujud, duduk di antara dua sujud dan iktidal, sekalipun pada salat sunah. Lain halnya dengan pendapat (Imam Al-Ardabili?) dalam kitab Al-Anwar. (Redaksi kitab tersebut: Jika seseorang meninggalkan iktidal atau duduk di antara. dua sujud pada salat sunah, maka salatnya tidak batal -pen).

 

Batasan thuma’ninah adalah: Berhentinya kembali anggotaanggota badan, sehingga dapat terpisahkan antara perbuatan salat yang sudah dan yang akan dilakukan (diam setelah dua gerak, yaitu gerak dari rukun yang akan dikerjakan -pen).

 

  1. Tasyahud Akhir. Paling tidak yang dibaca dalam tasyahud, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i dan At-Tirmidzi ialah: Attahiyyaatw hilash … dan seterusnya. (Segala penghormatan bagi Allah. Salam seyahtera dan rahmai-Nya semoga lerlmpahkan kepadamu, wahm, Nah. Salam untuk Irta semua dan sekalian hamba Allah yang saleh-saleh. Aku bersaksi, bahwa hada Tuhan selam Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah pesuruh Allah).

 

Sunah bagi setiap orang salat (munfarid, makmum dan imam) menambahnya dengan:.  المباركات الصلوات الطّيّبات           (Yang diberkah:, salawat dan kebagusan-kebagusan), menambah lafal. وأشهد   , pada keduanya, dan memakrifatkan lafal  السلام     pada dua tempatnya. Tidak disunahkan membaca Basmalah terlebih dahulu.

 

Tidak boleh mengganti kata-kata dalam redaksinya yang pendek di atas, sekalipun dengan sinonimnya. Misalnya lafal diganti dengan الرَّسُوْلِ atau sebaliknya: dan lafal محمد   diganti dengan. أحمد  atau lainnya lagi.         

 

Bacaan  وَأَنَ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ adalah sudah mencukupi (sah). Sedangkan وَأَنَ مُحَمَّدًا رَسُوْلُهُ  tidak mencukupi (tidak sah).

 

Wajib memperhatikan tasydidtasydidnya: jangan sampai mengganti huruf dengan lainnya: wajib sambung-menyambung antara satu dengan lainnya, tertib tidak wajib, selama tidak merusak maknanya.

 

Jika membaca izhhar nun yang diidghamkan ke dalam lam pada lafal.  أَنْ لاَإِلهَ إلاَّالله , maka membatalkan bacaan (dan membatalkan salat, jika bacaan tersebut tidak diulangi dengan benar, tapi diteruskan sampai salam -pen). Sebab di situ meninggalkan tasydid pada huruf lam. Sebagaimana halnya tidak mengidghamkan dal lafal مُحَمَّدٍ ke dalam ra’ lafal.   رَسُوْلُ الله

 

boleh lafal  اَلنَّبِىِّ dibaca juga dengan gengan bamzah, juga tasydid seperu itu.

 

  1. Salawat Nabi saw. setelah membaca tasyahud akhir. Berarti tidak boleh dibaca sebelumnya.

 

Salawat paling tidak yang harus dibaca:  اَللهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ (Ya, Allah, berikanlah rahmat atas Nabi Muhammad), atau.  صلى الله على محمد/ على رسوله/ على النبى (Semoga Allah memberikan rahmat kepada Nabi Muhammad/RasulNya/Nabt): tidaklah cukup dengan menggunakan lafal احمد Sunah -ada yang mengatakan wajib-, pada tasyahud akhir ditambah membaca salawat kepada keluarga Nabi saw.

 

Untuk menjalankan kesunahan di atas, paling tidak dengan menambah/menyambung والهِ sesudah salawat yang paling tidak harus dibaca di atas.

 

Penambahan itu tidak disunahkan pada tasyahud awal, menurut pendapat Ashah, sebab tasyahud awal, dikerjakan secara ringan (cepat). Bahkan ada suatu pendapat: Penambahan yang terjadi pada tasyahud awal adalah pemindahan rukun gauli, yang hal ini membatalkan salat. Kemudian dipilihlah pendapat yang berlawanan dengan Ashah (yaitu: menambah: salawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud awal adalah sunah -pen), dengan dasar hadishadis sahih.

 

Sunah membaca selawat yang paling sempurna pada tasyahud akhir. Yaitu: Allaahumma Shalli …… dan seterusnya. (Ya, Allah, berilah selawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Berkahilah Nabi Muhammad dan keluarganya, seperti Engkau berikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sungguh Engkau adalah Yang Terpuji dan Yang Agung).

 

Tentang salam kepada Nabi telah disebut (dibaca) dalam tasyahud di atas. Kalau toh di sini (selawat) tidak disebutkan (dibaca), hal ini bukan berarti memisahkan salawat dari salam.

 

Tidaklah mengapa menambah. kan lafal  سَيِّدِنَ (Tuan kita) di depan lafal. محمد (bahkan hal ini lebih utama -pen).

 

Sunah pada tasyahud akhir memanjatkan doa, setelah membaca bacaan tasyahud seluruhnya.

 

Mengenai tasyahud awal, dimakruhkan berdoa, sebab justru dibuat ringan. Kecuali jika sang makmum selesai sebelum imamnya, di sinilah baru disunahkan berdoa. Sedang doa yang paling utama, adalah doa yang datang dari Nabi saw.

 

Yang paling kuat, adalah doa yang diwajibkan oleh sebagian ulama sebagai berikut: Allaahumma innii… dan seterusnya. (Ya, Allah sungguh aku berlindung diri kepada Mu dari Siksaan kubur, siksa neraka, fitnah hidup, mati dan Masihid dajal).

 

Dimakruhkan tidak membaca doa tersebut.

 

Di antara lagi: Allaahummaghfirlii … dan seterusnya. (Ya, Allah, ampunilah dosa-dosa saya yang dulu, akhir, yang saya sembunyikan dan tampakkan, yang saya melampawi batas dan yang Engkau lebih mengetahuinya daripada saya, Engkau Yang Pendahulu dan Yang Terakhir, tiada Tuhan selain Engkau).

 

Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim.

 

Di antaranya lagi: Allaahumma innii … dan seterusnya (Ya, Allah, sungguh saya telah berbuat zalim pada diri saya dengan sebesar dan sebanyak-banyaknya. Padahal tiada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau. Karena itu, ampunilah saya dengan pengampunan dari sisi Engkau. Sungguh Engkau Maha penyayang) Hadis riwayat Bukhari.

 

Sunah bagi doa imam, hendaknya lebih pendek: daripada bacaan tasyahud dan salawat atas Nabi saw. yang harus dibaca, ukuran minimal.

 

Guru kami berpendapat: Makruh membaca salawat kepada Nabi saw. setelah doadoa tasyahud.

 

  1. Duduk untuk tasyahud dan salawat serta salam.

 

Sunah duduk tawarruk pada tahiyat (tasyahud) akhir, yaitu tasyahud yang bersambung dengan salam. Karena itu, bagi makmum masbuk tidak disunahkan duduk tawarruk pada tasyahud akhir imam, Begitu juga orang yang nanti akan bersujud sahwi.

 

Praktik duduk tawarruk itu seperti duduk iftirasy, tapi kaki kiri dikeluarkan lewat kaki kanan dan pantat ditempelkan ke tanah.

 

Waktu duduk dua tasyahud, sunah meletakkan dua tangan pada pinggir dua lutut, sehingga lutut sejajar dengan ujung jari, dalam keadaan jarijari terbentang merapat, dan yang kanan mengepal, kecuali jari telunjuk. Lafal

 

adalah dengan dibaca kasrah ba’nya. Yaitu jar yang berada di sebelah ibu jan, di mana pn telunjuk tersebut diluruska.

 

Sunah mengangkat jari telunjuk dengan sedikit miring kcuka membaca hamzah lafal        sebagai ittiba’. Sunah juga mengacungkan terus, sampai akan berdiri atau salam.

 

Yang lebih utama, ibu jari digenggam, ujungnya berada di bawah telunjuk dan di tepi telapak tangan, sehingga seperti membentuk angka 53.

 

Jika tapak tangan kanan diletakkan pada selain yang ber.dekatan dengan lutut (seperti pada tanah atau paha), maka ketika mengucapkan               jari telunjuk supaya diacungkan.

 

Tidak disunahkan mengacungkan jari tersebut ketika membaca lafal itu di luar salat.

 

Sunah memusatkan pandangan pada jari telunjuk ketika mengacungkannya, sekalipun tertutup dengan semacam lengan baju, sebagaimana pendapat Guru kami.

 

  1. 13. Mengucapkan salam pertama. Paling tidak harus mengucapkan: “Assalaamu’alaikum” sebagai ittiba’.

 

Sedangkan mengucapkan Salam dengan: Alaikumus salam, adalah makruh.

 

Mengucapkan “Salaama’alaikum” adalah belum mencukupi dalam salam salat.

 

Begitu juga dengan “SalaamuIlaah atau Salaami ‘alaikum“. Bahkan hal ini dapat membatalkan salat, jika disengaja dan tahu hukumnya, seperti yang termaktub dalam kitab Syahrul Irsyad, karangan Guru kami.

 

Sunah mengucapkan salam kedua, sekalipun imamnya tidak membacanya.

 

Salam kedua haram dilakukan, begitu setelah salam pertama terjadi hal-hal yang membatalkan salat, misalnya: hadas ketika habis waktu salat Jumat dan hilang penutup aurat.

 

Sunah menambah kedua salam tersebut dengan ucapan  ورحمة الله tanpa وبركاته      sebagaimana yang sesuai dengan hadis, untuk selain salat Jenazah. Namun, tetap dihukumi: sunah menambah lafal tersebut pada salam selain salat Jenazah, karena berdasarkan berbagai jalan riwayat hadis, hal ini ditetapkan.

 

Dalam kedua salam tersebut, disunahkan menoleh sampai terlihat pipi kanan ketika salam pertama, dan pipi kiri ketika salam kedua.

 

Peringatan!

Sunah bagi setiap orang salat, baik imam, makmum dan munfarid dalam salam pertama, berniat salam pada orang yang ada di kanannya, dan ketika salam kedua, berniat memberi salam kepada malaikat dan orang-orang mukmin, baik berupa manusia ataupun jin.

 

Dan dengan salam yang mana saja, buat orang yang berada di belakang dan di depannya. Namun dengan salam yang pertama, adalah lebih utama.

 

Bagi makmum, hendaknya berniat menjawab salam imamnya, dengan salam mana saja terserah, bila bertempat di belakangnya: dengan salam kedua, jika ia berada di samping kanan imam, dan dengan salam pertama, jika ia berada di arah kirinya.

 

Sunah bagi makmum, agar saling niat menjawab salam antara satu dengan lainnya. Untuk. itu, orang yang di sebelah kanan supaya dengan salam keduanya berniat menjawab salam orang yang ada di sebelah kirinya (sebab orang yang memberi salam itu berniat memulai salamnya pada salam pertama -pen): dan orang yang berada di sebelah kiri, supaya berniat menjawab salam orang yang berada di sebelah kanan dengan salam pertamanya: orang yang berada di belakang musallin atau depannya, berniat menjawab salam dengan salamnya yang mana saja, tapi yang lebih utama adalah dengan salam pertama.

 

Beberapa cabang:

Hukum niat keluar dari salat adalah sunah dengan salam pertama, sebab menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. (Yaitu Imam Ibnu Suraij dan lainnya.

 

Di mana Al-Khuruj minal khilaf mustahab -pen).

 

Juga sunah bersegera (tidak memperlambat) salam.

 

Sunah juga memulai mengu. capkan salam dengan menghadap ke arah kiblat, dan mengakhirinya dalam keadaan menoleh yang sempurna.

 

Sunah bagi makmum, memulai salamnya setelah selesai kedua salam imam.

 

  1. Tertib dalam melakukan rukun-rukun salat, sebagaimana yang tersebut di atas.

 

Karena itu, jika dengan sengaja Melanggar tata tertib, yaitu dengan mendahulukan rukun Perbuatan (fi’li), misalnya sujud sebelum rukuk, maka batal salatnya. (Tapi) kalau MC dahulukan rukun qauli (perkataan), maka tidak ada masalah, kecuali berupa salam. Urutan di antara sunah-sunah, seperti membaca surah sesudah Fatihah dan doa sesudah tasyahud serta salawat, adalah syarat untuk mendapatkan kesunahan salat (bukan syarat sah salat).

 

(Karena itu), apabila selain makmum (imam dan munfarid) lupa dalam masalah tertib, yaitu dengan meninggalkan rukun, misalnya bersujud sebelum rukuk atau sesudah rukuk tetapi belum membaca Fatihah, maka apa yang dilakukan itu tiada gunanya sampai ia mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut. Kemudian, jika ia ingat sebelum sampai rukun serupa tertinggal pada rakaat berikutnya, maka (wajib seketika) mengerjakan rukun yang tertinggal itu: kalau tidak ingat, maka masalah ini akan dijelaskan di belakang.

 

Atau selain makmum merasa ragu atas suatu rukun: Apakah sudah mengerjakan atau belum, misalnya ketika ia merasa ragu, apakah sudah membaca Al-Fatihah atay belum?, atau ketika bersujud merasa ragu, apakah sudah rukuk (iktidal) atau belum?, maka ia wajib seketika menger. jakan rukun yang diragukan tersebut, jika memang ke’raguan tersebut terjadi sebelum sampai pada rukun yang sama dengan yang diragukan pada rakaat berikutnya.

 

Jika orang itu lupa (ragu) hingga ia sudah mengerjakan rukun yang sama dengan yang diragukan (dilupakan) pada rakaat berikutnya, maka rukun yang sedang dikerjakan tersebut sudah mencukupi dari rukun yang dilupakan (diragukan) dan rukun-rukun yang dikerjakan di antara yang ditinggalkan (diragukan) dan yang sama pada rakaat berikutnya, adalah tidak dianggap (dihitung).

 

Semua ini, bila ia yakin terhadap rukun yang ditinggalkan dan di mana tempatnya (seperti terjadi di rakaat pertama atau kedua -Pen).

 

Jika tidak tahu rukun yang ditinggalkan, tetapi ia mempunyai persangkaan besar, bahwa rukun tersebut adalah niat atau takbiratul ihram, maka batal salatnya. Di sini tidak ada syarat harus berselang lama atau telah diselingi dengan rukun lain.

 

Atau berprasangka besar, bahwa rukun yang ditinggalkan adalah salam, maka supaya mengucapkannya, sekalipun sudah berselang lama, atas beberapa tinjauan.

 

Atau selairi niat, takbiratul ihram dan salam, maka supaya mengambil yang lebih hatihati. (Jika telah yakin, bahwa ia meninggalkan di antara rukunrukun salat dan berkemungkinan’besar, rukun tersebut satu sujud atau dua sujud, maka ia harus bersikap yang paling hati-hati, yaitu meninggalkan dua sujud -pen), lalu meneruskan pekerjaan salatnya – (umpama, di saat bersujud ia berkemungkinan besar, bahwa ja telah meninggalkan bacaan Al-Fatihah, maka ia harus langsung berdiri dan membacanya, lantas rukuk, iktidal dan seterusnya -pen).

 

Lalu meneruskan rakaat salatnya.

 

Benar! Jika yang dikerjakan itu perbuatan yang tidak ada persamaan dengan rukun salat, misalnya sujud Tilawah, maka perkara tersebut (dalam contoh adalah sujud tilawah) tidak bisa mencukupi rukun yang tertinggal. (Umpama: Meninggalkan sujud pada rakaat salat terakhir, lantas berdiri dan membaca Qur-an yang memuat ayat Sajdah, kemudian bersujud tilawah, maka sujud tilawah itu tidak bisa mencukupi sujud rukun salat yang tertinggal tersebut -pen).

 

Mengenai makmum yang mengetahui atau ragu yang terjadi sebelum dan sesudah rukuk imam, bahwa ia belum membaca Al-Fatihah, maka ia wajib membacanya dan segera mengejar salat imamnya (dalam hal ini dia diampuni atas ketertinggalan tiga rukun yang panjang-panjang -pen): atau kedua-duanya sudah rukuk, maka makmum tidak boleh berdiri untuk membaca Fatihah, tetapi ia harus mengikuti salat imam, dan setelah salam imam, ia harus menambah satu rakaat.

 

Cabang:

Sunah masuk salat dengan gesit. Sebab Allah swt. mencela orang-orang yang meninggalkan salat dengan firman: Nya yang artinya: “Apabila mereka melakukan salat, maka mereka mengerjakannya dengan bermalas-malus.”

 

Dan dengan hati yang terlepas dari urusan-urusan dunia. Sebab hal itu lebih mendekatkan pada kekhusyukan.

 

Sunah selama dalam salat, berhati khusyuk, yaitu jangan sampai berangan-angan selain salat, sekalipun berupa masalah akhirat (misalnya ingat neraka dan siksanya, dan selainnya -pen).

 

Juga dengan badan yang tenang, jangan sampai satu anggota badan pun yang bergerak tanpa guna. : Yang demikian itu, karena pujian Allah swt. dalam kitabNya melalui firman-Nya (yang artinya): “Sungguh beruntung orang-orang Mukmin, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam menunaikan salatnya”

 

Juga karena salat tidak berpahala, jika dikerjakan tanpa khusyuk, sebagaimana yang ditunjukkan oleh beberapa hadis Sahih, serta kita punya pendapat yang dipilih oleh segolongan ulama (misalnya Imam Al-Ghazali), bahwa khusyuk adalah merupakan syarat sah salat.

 

Di antara perkara yang bisa membawa arah khusyuk, adalah konsentrasi, bahwa ia sedang berhadapan dengan . Raja Maha Diraja Yang Mengetahui apa yang samar dan paling samar, dalam pada tu ia mengadu kepada-Nya.

 

Di samping itu, bisa juga Dia dengan jelas dapat menurunkan siksa-Nya (atas orang. yang Udak khusyuk -pen), lantaran tidak dipenuhi hak-hak-Nya sebagai Tuhan, lalu Dia tidak Mau menerima salatnya.

 

al-Quthb Al-Arif Billah. Muhammad Al-Bakri r.a. berkata: Sebenarnya termasuk faktor pembawa khusyuk, adalah memperpanjang rukuk dan sujud.

 

Sunah mencamkan makna bacaan-bacaan salat. Allah swt. telah berfirman: “Adakah mereka tidak mencamkan Alqur-an“, dan dengan cara tersebut maksud khusyuk menjadi sempurna.

 

Sunah mencamkan makna zikir dalam salat, karena dikiaskan dengan giraah (bacaan salat).

 

Sunah agar selalu memandang ke tempat sujud, sebab dengan cara demikian lebih mendekatkan khusyuk. Meskipun orang yang salat itu buta, sekalipun di sisi Ka’bah, di kegelapan atau dalam salat Jenazah.

 

Memang benar, tapi ketika tasyahud dan mengangkat jari telunjuk, sunah memandang ke arah jari tersebut, karena berdasarkan hadis sahih.

 

Tidak makruh (tapi khilaful aula) memejamkan mata, jika tidak khawatir akan bahaya.

 

Faedah:

Makruh bagi orang yang salat, baik laki-laki atau perempuan (imam, makmum dan munfarid), meninggalkan suatu kesunahan salat.

 

Guru kami berkata: Penetapan secara umum tersebut perlu peninjauan.

 

Menurut pendapat yang beralasan: Kemakruhan meninggalkan kesunahan di atas, adalah untuk kesunahan yang ada larangan ditinggalkan, atau bertentangan (khilaf) dengan ulama yang menetapkan hukum wajib padanya.

 

Setelah salat, sunah membaca Zikir dan doa dengan suara pelan-pelan.

 

Maksudnya, sunah melakukan dengan suara pelan bagi munfarid, makmum dan imam yang tidak bermaksud menuntun hadirin atau memperdengarkan doanya, agar diamini oleh mereka.

 

Banyak hadis yang menerangkan doa dan zikir, yang banyak kami, sebutkan dalam kitab kami, Irsyadul ‘Ibad, maka silakan membacanya, karena: hal ini sangat pening.

 

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abi Umamah, ia berkata: “Ditanyakan kepada Rasulullah saw.: Manakah doa yang lebih terkabulkan?” Jawab beliau: “Yaitu doa yang dipanjatkan di tengah malam dan setelah tiap-tiap salat wajib lima.”

 

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Abi Musa, ia berkata: “Kami sedang bersama Nabi saw.: Ketika dekat dengan lembah, maka kami bertahlil, bertakbir dan mengeraskan suara”

 

Maka bersabdalah Nabi saw.: “Wahai, manusia, kasihanilah dirmu!, sebab engkau semua tidak berdoa kepada Dzat Yang Tuli, tidak pula kepada Dzat Yang Tidak Hadir. Sesungguhnya Dia Maha Bijaksana dan Maha Dekat.”

 

Dengan hadis di atas, Imam Al-Baihaqi dan lainnya berhujah, agar pelan-pelan dalam membaca zikir dan doa.

 

Imam Asy-Syafi’i dalam kital Al-Um berkata sebagai berikut: Kami memilih, bagi imam dan makmum, agar berzikir setelah salam dari salatnya: zikir tersebut dilakukan dengan suara tidak keras, kecuali bagi imamyang bermaksud mengajar jamaahnya, karena itu, ia agar mengeraskan suaranya, setelah mengetahui, bahwa makmumnya telah mengikuti, lalu ia kembali pelan-pelan. Sebab Allah swt. berfirman:. “Janganlah engkau bersuara keras dalam berdoa dan jangan pula dengan terlalu pelan.” Maksudnya: Allah swt. Maha Mengetahui doa, jangan engkau ucapkan dengan suara keras sampai terdengar oleh orang lain, dan jangan terlalu pelan sampai engkau sendiri tidak mendengarnya. -Selesai-.

 

Faedah:

Guru kami berkata: Mengenai mengeraskan dengan sangat suara zikir dan doa dalam mesjid yang sampai mengganggu orang yang sedang salat, maka seyogianya dihukumi haram.

 

Beberapa cabang:

Sunah memulai doa dengan hamdalah dan salawat atas Nabi saw., serta menutupnya dengan kedua lafal tersebut dan amin. Sunah bagi makmum yang mendengar doa sang imam, sekalipun ia sendiri hafal akan doa itu, mau membaca amin.

 

Sunah mengangkat kedua tangan yang suci ketika berdoa, yang sejajar dengan kedua bahunya, lalu menyapukan ke muka selesai berdoa.

 

Sunah menghadap kiblat di kala zikir dan berdoa, jika ia seorang munfarid atau makmum.

 

Bagi imam, jika tidak berdiri dari tempat salatnya, di mana berdiri adalah lebih utama baginya, maka yang lebih utama menjadikan arah kanannya di hadapan makmum dan samping kirinya di arah kiblat. Guru kami menambahkan: Sekalipun pada saat berdoa.

 

Kepindahan imam dari tempat salatnya, adalah tidak menghapus kesunahan zikir sesudah salat, sebab ia dapat melakukannya di tempat yang dipindahi.

 

Dan kesunahan zikir itu tidak hilang (habis) sebab telah melakukan salat Rawatib. Hanya yang hilang, adalah kesempurnaannya, bukan yang lain.

 

Kesimpulan dari pembicaraan ulama, bahwa zikir tetap berpahala, sekalipun orang itu tidak mengerti akan maknanya.

 

Dalam hal ini Imam Al-Asnawi berpendapat lain: Masalah zikir ini tidaklah dapat disamakan dengan membaca Algur-an, sebab membacanya adalah suatu ibadah, sehingga orang yang membacanya akan mendapat pahala, sekalipun ia tidak mengerti maknanya. Lain halnya dengan zikir, agar bisa mendapat pahala, harus mengerti maknanya, sekalipun tidak mendetail (misalnya mengerti bahwa tasbih, tahmid . dan sesamanya adalah tujuan untuk mengagungkan Allah dan memuji-Nya -pen) -selesai-.

 

Sunah berpindah dari tempat salat pertama, karena mau mengerjakan salat fardu lain ataupun salat sunah, agar tempat yang baru ini ikut menyaksikannya, kalau memang tidak bertentangan keutamaan, semacam telah berada di – barisan awal (depan).

 

Jika tidak mau berpindah tempat, supaya memisah dua salat itu dengan berbicara dengan orang lain.

 

Bagi selain orang yang beriktikaf, salat sunahnya yang lebih utama adalah dikerjakan di rumah, jika ia tidak khawatir akan kehabisan waktu atau mengabaikannya, kecuali bagi salat sunah orang yang berpagipagian ke salat Jumat atau salat yang Nabi melakukan di mesjid, seperti salat Dhuha.

 

Makmum disunahkan berpindah setelah pindah imam.

 

Sunah bagi orang yang salat: Menghadap sejenis dinding atau tiang. Yaitu segala sesuatu yang tingginya 2/3 hasta ke atas: dan jaraknya dengan tumit paling jauh tiga hasta.

 

Jika tidak memungkinkan, supaya menghadap semacam tongkat yang ditancapkam, misalnya perkakas. Jika masih tidak menemukannya, maka supaya membentangkan alas salat, semacam sajadah.

 

Jika masih juga tidak bisa, maka supaya menggaris tempat di depannya sepanjang tiga hasta, baik melintang atau membujurnya. Yang demikian ini lebih utama, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud: “Apabila seseorang hendak mengerjakan salat, supaya meletakkan. sesuatu di depannya, kalau tidak bisa, supaya menancapkan tongkat, jika tidak mendapatkannya, maka hendaknya menggaris.”

 

Kemudian, apa yang melintas di luar batas tersebut, tidaklah menjadi masalah.

 

Alas salat dikiaskan hukumnya dengan garis (yang ada dalam hadis), namun dari segi tertibnya, didahulukan daripada menggaris, sebab lebih jelas dari maksud hadis tersebut (yaitu mencegah orang yang lewat di depannya -pen).

 

Tertib penggunaan sutrah (batas) yang tertutur di atas, adalah menurut pendapat yang Muktamad. Lain halnya dengan pembicaraan Imam Ibnul Mugri yang menetapkan tidak ada sunah tertib penggunaan sutrah tersebut.

 

Manakala berpindah ke tingkatan sutrah bawah, padahal ia mampu menggunakan sutrah yang ada di tingkatan atas, maka penggunaan seperti itu sama halnya tidak bersutrah.

 

Sunah sutrah itu tidak diletakkan tepat di depannya, tetapi agak ke sebelah kanan atau kirinya.

 

Setiap baris, adalah sutrah bagi barisan yang ada di belakang, jika jarak antara kedua baris tersebut berdekatan (3 hasta ke bawah). Imam Al-Baghawi berkata: Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum (yang menyebelahinya). -Selesai-.

 

Jika berlawanan antara memakai sutrah (tapi berjauhan dengan imam) dengan dekat imam (tapi tidak memakai sutrah): dan berlawanan antara memakai sutrah dengan berada, di barisan pertama, mana yang didahulukan penggunaannya?

 

Guru kami berkata: Kesemua nya Adalah sama sama me mungkinkan (mendekati) ke benaran. Sedang lahir ucapan ulama: “Mendahulukan saf awal bila salat di dalam mesjid Nabi saw., sekalipun saf tersebut berada di luar mesjid yang khusus berlipat ganda pahalanya” -adalah mendahulukan saf (baris) awal (dekat dengan imam). -Selesai-.

 

Jika seseorang salat dengan menggunakan tabir tersebut di atas, maka baginya dan orang lain sunah mencegah orang yang lewat daerah antaranya dengan tabir yang telah memenuhi syarat-syaratnya. (Karena) dengan lewat itu, ia dianggap orang yang melampaui batas (bila termasuk) orang yang mukalaf (menurut Imam Ramli: Tiada perbedaan antara yang mukalaf dan lainnya -pen).

 

Haram melewati di depan orang yang sedang salat sejauh pembatas, selagi baginya ada kesunahan mencegahnya, sekalipun yang lewat itu tidak menemukan jalan lain, selagi orang yang salat tidak melakukan kesalahan dengan berdiri di jalanan atau di baris depannya masih longgar. Untuk itu, bagi yang akan menempati tempat longgar, boleh menerjang barisan salat, sekalipun banyak, sehingga yang longgar itu dapat terpenuhi.

 

Makruh di kala sedang salat tanpa ada hajat, memalingkan wajah (menoleh). Ada yang mengatakan haram, dan bahkan pendapat ini yang dipilih, berdasarkan sebuah hadis sahih: “Allah selalu menghadap hamba yang sedang di tempat salatnya -artinya, dengan limpahan rahmat dan ridha-Nyaselagi hamba itu tidak menoleh. Jika ia menoleh, maka Allah berpaling darinya.”

 

Tiada makruh memalingkan wajah jika ada hajat, sebagalmana hukumnya sekadar melirikkan mata.

 

Makruh memandang ke langit dan hal-hal yang dapat melangahkan salat, misalnya memakai pakaian yang bergambar. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Bagaimana tingkah kaum, mereka membelalakkan matanya ke arah langit (atas) ketika mengerjakan salat?” Lalu Nabi menyangatkan sabdanya: “Menghentikan hal itu atau ingin disambar matanya.”

 

Dari hadis tersebut, dimakruhkan salat dengan memakai pakaian yang bergaris-garis, baik ada di: depannya atau digunakan sebagai alas salat, sebab hal itu bisa merusak kekhusyukan salat.

 

Makruh meludah, baik ketika sedang salat atau di luar ke arah depannya, sekalipun bagi orang yang berada di luar mesjid tidak menghadap kiblat, sebagaimana yang dimutlakkan oleh Imam Nawawi, juga makruh meludah ke arah kanan, bukan kiri. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Apabila seseorang di antara kamu sedang mengerjakan salat, berarti ia sedang mengadu kepada Tuhannya Azza wa Jalla, maka jangan sekalikali meludah ke depan dan kanannya, tapi meludahlah ke arah kirinya, bahwa kaki kiri atau pada pakaian di sebelah kirinya, yang terakhir inilah yang lebih utama.”

 

Guru kami berkata: Agar dapat lebih jauh menghargai Malaikat kanan bukan yang kiri, sebagaimana memuliakan yang kanan.

 

 

Jika hanya di sebelah kirinya terdapat manusia, maka supaya meludah di sebelah kanan, jika baginya tidak memungkinkan mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu tidak meludah ke arah kanan dan tidak ke kiri.

 

Haram meludah di dalam mesjid, jika sampai tampak zatnya -tidak yang bisa hilang dengan semacam air kumur lagi pula ludah itu mengenai bagian dari mesjid, bukan sekadar mengenai atapnya saja. Pendapat yang menetapkan, sekalipun meludah pada atapnya itu haram, adalah jauh sekali dan tidak dapat dijadikan pegangan.

 

Tidak haram juga meludah pada debu mesjid yang tidak termasuk wakaf mesjid. Dikatakan: Tidak haram meludahi tikar-tikar mesjid. Tetapi dari segi pengotoran terhadap mesjid, maka hal itu diharamkan, sebagaimana yang telah jelas. -Selesai-.

 

Wajib ain hukumnya, membuang najis dengan seketika, yang berada dalam mesjid, bagi orang yang mengetahuinya, sekalipun telah tersedia pegawai yang digaji untuk membersihkannya, sebagaimana kemutlakannya yang disimpulkan oleh fukaha.

 

Haram kecing di dalam mesjid, sekalipun dimasukkan ke dalam semacam ember, memasukkan sandal bernajis yang tidak lepas dari lumurannya, membuang bangkai seekor kutu dan membunuhnya di dalam mesjid, sekalipun hanya berdarah sedikit.

 

Tentang membuang kutu atau menanamnya hidup-hidup dalan mesjid, dari segi lahir fatwa Imam An-Nawawi adalah halal. (Tapi) dari segi lahir pembicaraan kitab Al-Jawahir adalah haram, hukum inilah yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Yunus.

 

Makruh tusuk jarum, berbekam yang darahnya dimasukkan ke bejana yang dilakukan di dalam mesjid, bersuara lantang, mengadakan semacam jual beli dan melakukan pertukangan (industri).

 

Makruh membuka kepala, pundak dan memakai selendang, sekalipun dipakai di luar baju (yang dilakukan di dalam mesjid -pen).

 

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ berkata: Nabi saw. tidak pernah mengenakan kembali jika selendangnya jatuh :maksudnya kecuali jika ada uzur, Begitu juga masalah serban dan sebagainya.

 

Makruh melakukan salat dengan keadaan menahan. hadas, seperti kencing, berak atau kentut, berdasarkan hadis yang akan datang nanti. Karena hal itu merusak kekhusyukan salat. Bahkan segolongan ulama mengatakan: Jika penahan tersebut menghilangkan kekhusyukan salat, maka salatnya adalah batal.

 

Sunah mengosongkan diri dari hadas sebelum menunaikan salat, sekalipun akan tertinggal jamaah. Namun, ia tidak boleh membatalkan salat fardu, lantaran (tidak mau) menahan hadas yang baru terjadi ketika salat, dan tidak boleh menunda-nunda salat fardu, manakala waktunya sudah sempit.

 

Letak kemakruhan mengekang hadas tersebut, adalah terjadinya hal itu ketika takbiratul ihram.

 

Sebaliknya, masalah penahanan yang terjadi padanya sebelum takbiratul ihram, lalu hilang dan ia mengetahui, bahwa berdasarkan kebiasaannya, hal itu terjadi lagi ketika salatnya, adalah dapat di-ilhaq-kan (disamakan) dengan masalah penahanan hadas yang terjadi ketika takbiratul ihram (sama hukum maknuhnya).

 

Makruh melakukan salat di dekat makanan atau minuman yang merangsangnya.

 

Berdasarkan hadis yang dirwayatkan oleh Imam Muslim: “Tiada salat -yang sempurnapke berada dekat makanan, dan hade salat itu sempurna dengan menahan dua hadas, yaitu kencing dan berak.”

 

Makruh melakukan salat di. jalanan gedung yang tiada manusianya, di tempat perjudian dan pekuburan yang belum nyata telah digali (sebab, jika belum nyata pernah digali, tempat itu suci, tapi jika memang pernah digali, maka hukumnya adalah tidak sah salatnya -pen), baik menghadap ke kubur, di atas atau di sebelahnya, seperti yang telah dinash (dijelaskan) oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Um. (Kalau kuburan tersebut adalah kuburan para nabi dan orang yang mati syahid, maka salat di situ tidak makruh. Sebab, mereka di situ dalam keadaan hidup, sehingga tidak ada darah dan nanah yang menyertainya -pen).

 

Haram salat dengan menghadap makam Nabi atau semacam wali, dengan tujuan mencari berkah atau mengagungkannya.

 

Imam Zainul ‘Iragi membahas, bahwa hukum salat di mesjid adalah tidak makruh, di mana penanaman mayat yang ada di sekitarnya terjadi setelah pembuatan mesjid. Hukum salat di bumi hasil gasab adalah haram, sedang salatnya adalah sah, tapi tiada pahalanya. Hal ini seperti salat dengan memakai pakaian hasil gasab.

 

Haram pula, tapi sah, jika masih ragu akan kerelaan pemilik barang itu. Lain halnya jika ia sudah mempunyai prasangka akan kerelaannya dengan adanya suatu bukti: maka salat tersebut tidak haram.

 

Dalam kitab Al-Jaili disebutkan: Jika waktu salat sudah sempit, padahal ia berada di bumi gasab, maka ia harus bertakbiratul ihram secara berjalan. Pendapat ini telah ditarjih oleh Imam Al-Ghuzzi.

 

Guru kami berkata: Pendapat yang beralasan, orang yang seperti itu tidak diperkenankan salat Khauf, dan ia wajib meninggalkan dahulu sampai keluar dari daerah tersebut. Hal ini sebagaimana kebolehan meninggalkan harta benda yang diambil oleh orang. Bahkan masalah meninggalkan salat di bumi gasab adalah lebih dari itu.

 

 

Sunah melakukan dua kali sujud sahwi sebelum salam, skalpun telah banyak mengalami kelupaan. Dua kali sujud sahwi dan duduk di antaranya, adalah seperti kedua sujud salat serta duduknya, dalam arti kewajiban tiganya (thuma’ninah, sujud dengan tujuh anggota bertulang dan dalam keadaan duduk -pen), dan dalam hal kesunahannya yang telah tertuturkan di atas, misalnya zikir di dalamnya.

 

Dikatakan: Tasbih yang dibaca ketika sujud sahwi adalah, Subhaana man… dan seterusnya. (Maha Suci Dzat yang tidak bdur dan tidak pernah lupa): di mana bacaan ini lebih sesuai dengan keadaan.

 

Dalam bersujud sahwi, wajib disertai niat. Yaitu sejak menurunkan badan, hatinya sudah berniat mengerjakan sujud sahwi.

 

(Sujud sahwi) dikerjakan karena meninggalkan satu sunah di antara sunah-sunah Ab’adh, sekalipun secara sengaja ditinggalkannya.

 

Jika sujud itu dilakukan karena meninggalkan selain sunah ab’adh, di mana ia mengerti dan sengaja, maka batal salatnya.

 

Yang termasuk sunah ab’adh:

  1. Tasyahud awal, yaitu bacaan yang wajib dibaca pada ‘tasyahud akhir atau sebagiannya, sekalipun hanya satu kata.

 

  1. Duduk tasyahud awal. Praktik hanya meninggalkan duduk, adalah sama dengan meninggalkan berdiri untuk qunut, yaitu ketika seseorang tidak bisa – memperbaiki membaca tasyahud dan qunut. Dalam keadaan demikian, ia disunahkan diam seukuran membaca tasyahud dan qunut. Karena itu, jika ia meninggalkan salah satunya, maka sunah bersujud sahwi.

 

  1. Qunut Ratib atau meninggalkan sebagian doanya. Yaitu qunut

ketika salat Subuh dan Witir separo di bulan Ramadhan, bukan qunut Nazilah.

 

  1. Berdiri ketika qunut.

 

Orang yang meninggalkan qunut, karena mengikuti imamnya yang bermazhab Hanafi (di mana menurut mazhab Hanafi, hukum qunut adalah tidak sunah -pen), atau bermakmum kepada orang yang salat sunah Subuh, menurut beberapa peninjauan hukum, mereka sunah bersujud sahwi. (Pendapat tersebut adalah sesuai dengan yang diterangkan oleh Imam Ramli, tapi menurut Imam Ibnu Hajar, dalam masalah kedua di atas, orang tersebut tidak sunah bersujud sahwi. Alasannya: Imam sudah menanggungnya serta di situ terdapat kecacatan dalam salatnya -pen).

 

  1. Salawat atas Nabi saw. setelah tasyahud awal dan qunut.

 

  1. Salawat atas keluarga Nabi setelah tasyahud akhir dan qunut. Gambaran sujud sahwi karena meninggalkan salawat atas keluarga Nabi di tasyahud akhir adalah makmum mempunyai keyakinan, bahwa imamnya meninggalkannya, di mana keyakinan tersebut terjadi setelah salam imam, sedang ia belum salam, atau berkeyakinan imamnya meninggalkannya setelah salam, tetapi belum lama berselang.

 

Sunah-sunah di atas disebut Ab’adh, sebab mendekati pada rukun dengan ditambah mengerjakan sujud sahwi.

 

Sujud sahwi dapat dilakukan sebab merasa ragu terhadap sebagian (sunah ab’adh) yang telah lewat di atas, misalnya qunut, sudah melakukan atau belum? Sebab menurut hukum asal, adalah belum mengerjakannya.

 

Jika seorang (munfarid) atau imam lupa melakukan sunah ab’adh, misalnya tasyahud awal atau qunut, sedangkan mereka telah mengerjakan perbuatan fardu, baik berupa berdiri atau sujud, maka bagi mereka tidak diperkenankan kembali lagi untuk mengulangi sunah ab’adh tersebut (sebab fardu adalah lebih utama daripada sunah -pen).

 

Jika kembali untuk mengulangi sunah ab’adh yang dilupakan, setelah berdiri tegak atau meletakkan keningnya, dengan sengaja dan mengerti akan keharaman hal itu, maka batal salatnya, sebab ia telah memutus fardu hanya untuk melakukan sunah.

 

Jika kembalinya, sebab tidak mengerti atas keharamannya, sekalipun ja adalah orang yang bercampur (bergaul) dengan para ulama kita, maka salatnya tidak batal. Sebab masalah ini adalah hal yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang awam.

 

Demikian pula, salat tidak batal, jika ia lupa, bahwa dirinya sedang mengerjakan salat, sebab hal ini termasuk uzur. Ia wajib kembali dengan seketika, ketika mengerti atau ingat, pada posisi sebelumnya (yaitu: berdiri pada contoh tasyahud awal, dan sujud pada contoh qunut -pen).

 

Tetapi baginya sunah bersujud sahwi, karena menambah duduk atau iktidal pada yang tidak semestinya.

 

Tidak batal, jika yang mengulangi di atas adalah seorang makmum, di mana ia berdiri dengan tegak atau bersujud. (Bahkan jika berdiri atau sujudnya karena lupa, maka ia wajib kembali ke tasyahud atau qunut, sebab ia harus mengikuti imamnya. Tapi jika berdiri atau sujudnya dengan disengaja, maka sunah hukum, nya mengikuti imamnya -pen).

 

(Berdiri atau sujudnya tersebut), karena lupa (lain halnya jika dilakukan dengan sengaja, seperti yang telah kami terangkan -pen), akan tetapi makmum wajib kembali pada tasyahud atau qunut, sebab untuk memenuhi kewajiban mengikuti imamnya.

 

Jika ja tidak kembali pada hal yang telah dituturkan tersebut maka salatnya batal, apabila ia tidak berniat mufaraqah (berpisah dari imamnya).

 

Jika ia sengaja berdiri tegak atau bersujud, maka tidak wajib kembali pada tasyahud dan qunutnya, namun hanya sunah saja, seperti halnya makmum rukuk sebelum imamnya rukuk (jika rukuknya sebelum imam karena lupa, maka ia tidak wajib kembali pada rukuk, juga tidak sunah, tapi boleh memilih antara rukuk lagi dan tidak -pen).

 

Jika makmum yang lupa tersebut belum ingat kembali (kalau dirinya telah meninggalkan tasyahud) hingga imam sudah berdiri, maka ia tidak boleh kembali bertasyahud (jika kembali, di mana ia mengerti, bahwa hal itu tidak diperkenankan, maka salatnya batal -pen).

 

(Dalam hal ini) Imam Al-Baghawi berkata: Bacaan (Al-Fatihah) yang ia baca sebelum imam berdiri, adalah tidak dianggap (karena itu, ia wajib mengulang Fatihahnya -pen). Pendapat tersebut diikuti oleh Imam Zakariya.

 

Di dalam kitab Syarah Minhaj, Guru kami (Ibnu Hajar Al-Haitami) berkata: Dari situ dapatlah diketahui, bahwa orang yang sujud karena lupa atau tidak mengerti, sedangkan imam masih membaca qunut, maka pekerjaan yang dilakukan oleh orang itu tidak terpakai (dianggap), karena itu, ia wajib beriktidal, sekalipun ia telah berniat mufaragah. Hal ini didasarkan atas perkataan fukaha: Apabila makmum masbuk mengira, bahwa imamnya sudah salam, lalu berdiri, lantas ia mengetahui kalau imam belum salam, maka ia wajib duduk kembali untuk mengawali berdirinya dari duduk nanti.

 

Kewajiban duduk kembali ini tidak bisa menjadi gugur dengan niat mufaragah, sekalipun hal ini dapat terjadi (tapi tiada faedah apa-apa), sebab berdirinya terhitung sebagai main-main. Oleh karena itu, jika makmum masbuk tersebut tetap meneruskan salatnya (tidak duduk kembali) karena tidak mengetahui, maka sia-sialah apa yang dikerjakan: ia harus mengulangi perbuatan itu dan nanti disunahkan sujud sahwi.

 

(Dalam masalah makmum yang sujud karena tidak mengerti di atas), dan jika dirinya ingat kembali atau mengetahui (kalau dirinya tidak qunut), sedangkan imam masih berqunut, serta ia tidak berniat mufaraqah, maka jelaslah ia wajib kembali iktidal, atau (ingat dan mengerti) ketika imam sudah bersujud pertama, maka ia wajib kembali ke iktidal dan sujud bersama-sama imam, atau ketika imam sudah berada pada rukun setelah sujud pertama, maka menurut pendapat yang lahir, ia wajib mengikuti imamnya, dan setelah imam salam ia menambah satu rakaat. (Kesim.pulan dari perkataan Ibnu Hajar tersebut: Jika makmum niat mufaragah, maka secara mutlak ia wajib kembali iktidal, baik imam dalam keadaan qunut, sujud pertama atau kedua. Dan jika ia tidak mufaragah, maka ia wajib kembali ke iktidal, jika imam dalam keadaan qunut atau sujud pertama, kalau sudah berida pada sujud kedua atau seterusnya, maka ia tidak boleh kembali lagi ke iktidal. tapi wajib mengikutinya -pen). -Selesai-.

 

Imam Al-Qadhi Husain berkata: Termasuk suatu hal yang sudah tidak ada perselisihan lagi adalah perkataan fukaha: Jika makmum bangun dari sujud pertama sebelum imam bangun -karena ia menyangka, bahwa imam telah bangun, lalu ia sujud kedua, juga mengira imamnya sujud kedua, lantas jelaslah, bahwa imam sedang sujud pertama, maka sujud dan duduk makmum seperti itu dianggap tidak ada, dan ia pun harus mengikuti (dalam duduk dan sujud keduanya). Dimaksudkan: Jika apa yang ia lakukan karena tidak mengerti (kalau imam dalam keadaan sujud pertama) tapi tahu-tahu imam sudah berdiri (untuk rakaat berikutnya) atau duduk (untuk tasyahud), maka ia setelah salam imam wajib menambah satu rakaat.

 

Terkecualikan dari perkataanku “dan orang salat yang lupa atas sunah ab’adh itu sudah menunaikan perbuatan fardu”, apabila ia (selain makmum/ imam dan munfarid) belum menunaikan fardu, maka ia sunah kembali lagi menunaikan ab’adh sebelum berdiri tegak (dalam masalah tasyahud awal) atau meletakkan kening (untuk masalah qunut), maka nanti sunah bersujud sahwi, jika ia telah mendekati keadaan berdiri dalam contoh meninggalkan tasyahud awal atau telah sampai pada keadaan batas rukuk untuk contoh meninggalkan qunut.

 

Apabila selain makmum sengaja meninggalkan sunah ab’adh, lalu mengulanginya, sedangkan ia mengetahui hal itu, maka batal salatnya, jika telah mendekati atau sampai keadaan yang telah lewat di atas: lain halnya dengan masalah kalau dia sebagai makmum.

 

(Sunah bersujud sahwi) karena memindah bacaan salat yang tidak membatalkan salat, bukan pada tempatnya, sekalipun karena lupa, baik itu berupa bacaan rukun, misalnya Al-Fatihah, tasyahud atau. sebagian darinya, atau bukan merupakan rukun, misalnya memindah bacaan surah pada selain berdiri (misalnya rukuk, iktidal atau sujud -pen), atau qunut pada sebelum rukuk, atau rukuk dipindah sesudahnya, untuk salat Witir di selain setengah yang akhir bulan Ramadhan. Karena itu semua, maka disunahkan sujud sahwi.

 

Adapun memindah semacam perbuatan salat, jika hal itu disengaja, maka salatnya batal.

 

Terkecualikan dari perkataanku “kepindahannya tidak membatalkan salat”, jika kepindahannya membatalkan salat, misalnya salam dan takbiratul ihram -sebagaimana ia bertujuan takbiratul ihram dan takbir lainnya.

 

(Sujud sahwi sunah dilakukan) karena lupa melakukan perbuatan yang andaikan sengaja dilakukan dapat membatalkan salat, tapi jika tidak sengaja, tidak membatalkannya, misalnya memanjangkan rukun salat yang pendek, sedikit (sekelumit) perkataan atau makan, dan menambah rukun fi’li (perbuatan).

 

Sebab Nabi saw. pernah melakukan salat Zhuhur sebanyak 5 rakaat, lalu bersujud sahwi. Selain dari itu, (seperti makan yang membatalkan salat jika disengaja) dapat dikiaskan dengan kelupaan Nabi yang ada dalam hadis tersebut.

 

Terkecualikan dari “perbuatan jika disengaja membatalkan salat”, perbuatan yang jika karena lupa juga membatalkannya, misalnya perkataan yang banyak: dan segala perbuatan yang tidak membatalkan salat, jika dilakukan karena lupa atau disengaja, misalnya perbuatan yang sedikit atau menoleh, karena itu, tidaklah disunahkan bersujud sahwi kalau mengerjakan perbuatan tersebut.

 

(Sujud sahwi sunah dilakukan) karena ragu telah menambah rakaat salat yang dikerjakannya. Sebab, jika ternyata ia telah menambahnya, sujud sahwi dilakukan karena penambahan itu: dan kalau tidak, maka sujud sahwi karena keraguan yang justru dapat melemahkan niatnya.

 

Jika seseorang merasa ragu dalam salatnya, misalnya baru tiga ataukah sudah empat rakaat?, maka baginya wajib menambah satu rakaat (salatnya dihukumi baru 3 rakaat), sebab menurut asal adalah belum melakukan yang satu rakaat itu, lalu sunah bersujud sahwi, sekalipun keraguannya hilang sebelum salam, misalkan ia telah ingat sebelum salam, bahwa salatnya sudah 4 rakaat. Sebab, sujud sahwi tersebut dilakukan karena ada keraguan tentang penambahan rakaat.

 

Baginya dalam melakukan rakaat tambahan yang diragukan tersebut, tidak boleh berdasarkan atas prasangkanya, pada perkataan atau perbuatan orang lain, sekalipun mereka jumlahnya banyak sekali, selagi belum mencapai tingkatan “tawatir” (suatu jumlah yang tidak mungkin bisa bersepakat untuk berdusta -pen).

 

Mengenai keraguan yang tidak berhubungan dengan tambah. an, misalnya merasa ragu terhadap rakaat salat Ruba’iyah, apakah yang dilakukan itu rakaat ketiga atau keempat, ‘ lalu sebelum berdiri untuk rakaat yang keempat ja ingat, bahwa rakaat yang baru saja dilakukan adalah rakaat ketiga, maka ja tidak sunah sujud sahwi, Sebab rakaat keempat yang ia Jakukan dengan keraguan tersebut memang sudah sewajarnya dalam setiap perkiraan.

 

Jika ingatnya setelah berdiri untuk melakukan rakaat keempat, maka sunah sujud sahwi, sebab keraguannya terhadap tambahan rakaat pada waktu berdiri itu.

 

Bagi makmum, sunah melakukan dua sujud karena kelupaan imam yang suci (kesengajaannya), kelupaan imamnya imam, sekalipun kelupaan terjadi sebelum makmum tersebut mengikutinya, mufaraqah dengannya, salat imam batal setelah kelupaannya, atau imam tidak melakukan sujud sahwi. Hal itu dimaksudkan untuk menambah kekurangan salat imam. Karena itu, makmum sudah bersujud setelah imamnya salam.

 

Ketika imam melakukan sujud sahwi, maka bagi makmum masbuk dan muwafik wajib mengikutinya, sekalipun ia tidak mengetahui, bahwa imamnya lupa.

 

Kalau ia tidak mengikuti sujud imam, maka batal salatnya, jika mengetahui dan sengaja tidak mengikutinya.

 

Bagi makmum masbuk, di akhir salatnya (sebelum salam) sunah mengulangi sujud sahwi.

 

Sujud sahwi tidak sunah baginya karena lupa, yang terjadi ketika mengikuti imam. Sebab, kelupaannya dapat ditanggung oleh imam yang: suci, bukan yang berhadas dan mempunyai najis yang tidak tampak (najis hukmiyah).

 

Lain halnya dengan kelupaan yang terjadi setelah kesahan. imam, maka imam tidak bisa menanggungnya, karena ia sudah tidak bermakmum kepadanya.

 

(Karena itu), jika makmum karena mengira imamnya sudah salam, maka ia ikut salam, lalu mengetahui, bahwa imam belum salam, maka ia harus salam sekali lagi bersamanya (sesudahnya) dan ia tidak disunahkan bersujud sahwi, karena kelupaan tersebut terjadi ketika ia masih bermakmum.

 

Cabang:

Jika seorang makmum di kala bertasyahud ingat, bahwa ia telah meninggalkan rukun salat selain niat atau takbiratul ihram, atau ia merasa ragu akan hal itu, maka setelah imam salam, ia wajib menambah satu rakaat dan tidak sunah bersujud sahwi, dalam hal yang berkaitan dengan ingat, sebab kelupaan tersebut terjadi ketika masih bermakmum.

 

Berbeda dengan masalah keraguan, karena ia melakukan rakaat tambahan atas perkiraannya, setelah salam imam (karena keraguan yang terjadi setelah ia tidak bermakmum, disunahkan bersujud sahwi -pen).

 

Dari alasan tersebut, jika ia ragu mengenai mendapatkan rukuk bersama imam, apakah ia salat bersama imam dengan sempurna atau ada kekurangan satu rakaat?, maka ia wajib menambah satu rakaat dan sunah bersujud sahwi. Hal ini karena keraguannya terjadi setelah tidak bermakmum, di mana adanya keraguan itu menetapkan sujud sahwi.

 

Kesunahan bersujud sahwi itu berakhir, jika seseorang dengan sengaja salam, sekalipun belum lama waktu berselang, atau salamnya karena lupa (tidak sengaja) dan waktunya berselang menurut ukuran umum cukup lama.

 

(Apabila tidak sengaja salam, dan waktu berselangnya masih pendek), jika bersujud, maka berarti ia masuk kembali ke salat. Karena itu, ia wajib mengulangi salamnya.

 

(Imam yang setelah salam karena tidak sengaja/lupa), ketika imam kembali sujud, maka bagi makmum yang lupa wajib mengulanginya. Kalau tidak ikut bersama imam, maka batal salatnya, jika disengaja tidak mengulangi dan mengetahuinya.

 

Bagi makmum masbuk yang telah berdiri untuk menyempurnakan rakaatnya (setelah imam salam karena lupa -pen), jika imamnya kembali sujud, maka makmum wajib kembali (ke duduk untuk sujud -pen), karena mengikutinya.

 

Peringatan:

Jika imam melakukan sujud sahwi setelah makmum muwafik selesai membaca batas minimal tasyahud (serta salawat atas Nabi), maka ia wajib mengikuti sujud imamnya itu.

 

Atau imam sujud sahwi sebelum bacaan minimal tasyahud makmum selesai, makmum juga wajib mengikuti imam bersujud, lalu ia harus menyempurnakan tasyahudnya sesudah sujud.

 

Jika seseorang sesudah salam timbul keraguan, kekurangan syarat atau meninggalkan fardu, selain niat dan takbiratul ihram, maka hal itu tidak membawa akibat apa-apa.

 

Jika tidak dihukumi begitu, niscaya akan sulit dan mems beratkan masalah tersebut (buat manusia), dan memang menurut lahir, salat itu telah terlaksana dengan sah.

 

Mengenai keraguan terhadap niat atau takbiratul ihram, maka hal ini membawa pengaruh, menurut pendapat Muktamad (yakni, ia wajib meng Ilangi salatnya, selagi ia belum ingat, bahwa niat atau takbiratul ihram itu telah dilakukan -pen). Lain halnya dengan pendapat yang memperpanjang pembahasan masalah ini, sampai meniadakan perbedaan (antara niat, takbiratul ihram dan rukun-rukun lainnya -pen).

 

Terkecualikan dari “ragu”, jika ja memang telah yakin meninggalkan fardu setelah salam, Dalam hal ini ia wajib memenuhi kembali (mengerjakan : rukun salat tersebut dan seterusnya -pen), selagi belum selang waktu yang lama, atau menginjak najis, sekalipun ia sudah berpaling dari kiblat, berbicara, atau berjatan sedikit.

 

Asy-Syekh Zakariya dalam Syarah Raudhi berkata: Sekalipun ia sudah keluar dari mesjid.

 

Tentang panjang-pendek selang waktu, adalah menurut ukuran umum.

 

Dikatakan: Ukuran pendek di sini, adalah disesuaikan dengan hadis yang menceritakan sahabat Dzul Yadain. Sedangkan ukuran panjangnya, adalah yang melebihi dari itu.

 

Sedangkan dalam hadis diterangkan: (Mengenai ukuran pendek, mulai) Nabi saw. berdiri, lalu berjalan ke pinggir mesjid, dan Nabi menanyakan Dzul Yadain dan sahabatsahabat lainnya. -Selesai-

 

Imam Ar-Rafi’i telah menceritakan dari Imam AlBuwaiti: Ukuran pisah yang panjang, adalah pisah yang melebihi seukuran satu rakaat. Seperti ini pula pendapat Imam Abu Ishaq.

 

Riwayat dari sahabat Abi Hurairah: Berselang panjang adalah seukuran lama salat yang dikerjakan waktu itu (dua, tiga atau empat rakaat).

 

Rumusan (kaidah), yaitu: Sesuatu yang diragukan kepindahannya dari keadaan semula, adalah hukumnya dikembalikan pada keadaan semula itu, -baik keadaan kewujudan ataupun ketidakwujudandan dibuanglah keraguan itu. (Contoh: Seseorang yakin telah berwudu, lalu ia merasa ragu akan batalnya, maka orang tersebut dihukumi masih punya wudu. Sebab, pada mulanya ia punya wudu. Atau ia yakin belum berwudu, lalu timbul suatu keraguan, sudah berwudu atau belum, maka hukumnya ia tidak punya wudu. Sebab pada – asalnya ia belum wudu -pen).

 

Karena itu, fukaha mengatakan: Sesuatu yang diragukan itu dianggap tidak ada.

Kesempurnaan:

Sunah melakukan sujud Tila: wah bagi pembaca atau pendengar bacaan semua ayat Sajdah.

 

Orang yang salat, selain : makmum, sunah melakukan sujud tilawah, karena bacaannya sendiri, tetapi bagi makmum harus sujud tilawah. Karena itu, jika imam melakukan sujud dan makmum. tidak mau mengikuti sujud, atau imam tidak sujud lalu makmum melakukan sujud, maka batal salatnya (jika memang disengaja dan mengerti akan keharamannya -pen).

 

Jika makmum tidak mengerti sujud imam, tahu-tahu imam sudah mengangkat kepalanya dari sujud, maka tidaklah batal salat makmum dan tidak boleh sujud, tetapi cukup menanti imam dengan berdiri.

 

Atau ia mengetahui imam sedang sujud, tapi imam belum mengangkat kepalanya, maka ta harus ikut turun untuk sujud bersamanya.

 

Kemudian, apabila belum sampai ia sujud, imam sudah mengangkat kepalanya, maka ja harus bangkit bersama imam dan tidak boleh bersujud.

 

Sunah bagi imam salat sirriyah, agar mengakhirkan sujud tilawah hingga selesai salat.

 

Bahkan dalam kitab Al-Jawami’l Izham, di situ dibahas atas kesunahan mengakhirkan sujud pada salat jahriyah, karena agar tidak membingungkan para makmum.

 

Apabila seseorang membaca ayat Sajdah dalam salatnya, lalu ia rukuk yang sudah sampai batas minimalnya, tapi ternyata ia teruskan untuk sujud tilawah, maka ini tidak diperbolehkan, sebab tempat (letak) untuk melakukan sujud sudah tidak ada (masalah ini hubungannya dengan imam dan orang yang salat sendirian/munfarid -pen).

 

Jika ia turun untuk sujud tilawah, setelah sampai batas rukuk Jalu digunakan untuk rukuk, maka rukuk yang seperti ini hukumnya tidak sah.

 

Fardu-fardu sujud tilawah bagi selain orang yang salat: 1. Niat , sujud tilawah. 2. Takbiratul ihram (dalam bertakbiratul ihram hukumnya tidak sunah dengan berdiri, artinya, antara duduk dengan berdiri sama saja -pen). 3. Sujud satu kali, seperti sujud dalam salat. 4. Salam (sujud tilawah bagi orang yang sedang salat,cukup dengan sujud saja -pen).

 

Dalam sujud tilawah sunah berdoa: Sajada wajhiya ……. dan seterusnya. (Wajahku bersujud ke hadirat Dzat Pencipta, Perupaan, Pelengkap pendengaran dan penglihatannya, dengan upaya dan kekuatan-Nya. Maka, Maha Suci Allah, sebagus-bagus Pencipta).

 

Faedah:

Haram membaca Alqur-an dengan tujuan untuk melakukan sujud tilawah saja, pada waktu mengerjakan salat atau makruh.

 

Salat yang seperti itu, hukumnya batal. Lain halnya, jika di samping tujuan sujud tilawah juga ada tujuan lain, yaitu halhal yang berkaitan dengan bacaan (sunah dalam membaca Algur-an atau salat -pen), maka secara mutlak tidak ada kemakruhan. ”

 

Tidak halal (haram) taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan melakukan sujud yang tanpa ada sebab apa-apa, sekalipun dilakukan setelah salat.

 

Secara sepakat, bahwa sujud di hadapan guru-guru, seperti yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, hukumnya adalah haram.

Salat menjadi batal -baik salat fardu atau sunah, tidak termasuk di sini puasa dan iktikaf (puasa dan iktikaf tidak menjadi batal sebab perkara yang akan dituturkan nanti -pen)-, yaitu:

 

  1. Niat memutuskan atau menggantungkannya dengan terjadinya sesuatu, sekalipun perkara itu biasanya mustahil terjadi.

 

  1. Merasa ragu, bahwa salat telah terputus. Tetapi, salat tidak batal sebab was-was yang mesti menimpanya dalam salat, sebagaimana halnya dengan imam dan lainnya (ibadahibadah selain salat -pen).

 

  1. 3. Sebab perbuatan yang banyak, selain jenis perbuatan salat, di mana semua itu dipandang secara yakin. Jika hal itu dilakukan oleh orang yang mengerti atas keharamannya, atau tidak mengerti, tetapi ketidaktahuannya tidak dianggap sebagai uzur. Lagi pula perbuatan banyak tersebut dilakukan secara sambung-menyambung menurut penilaian umum, dan perbuatan itu terjadi pada salat selain Khauf atau salat sunah dalam perjalanan.

 

Lain masalah, jika perbuatan itu sedikit, seperti dua kali melangkah, sekalipun jauh, asal tidak melompat, atau dua kali pukulan. Memang! Tetapi jika dua langkah atau pukulan tersebut dimaksudkan untuk tiga kali yang sambungmenyambung atau melakukan tiga kali perbuatan, tapi baru dilakukan satu kali saja, maka batal salatnya (sebab ia sudah bertujuan membatalkan salatnya -pen).

 

Yang dimaksud dengan banyak tetapi terpisah-pisah, adalah asal perbuatan yang satu sudah dipandang pisah dari perbuatan sebelumnya. (Perbuatan yang banyak tetapi sudah terpisah-pisah, adalah tidak membatalkan salat. Sebab, Nabi saw. pernah salat dengan menggendong ‘Umamah. Ketika sujud, anak itu beliau letakkan, dan ketika berdiri, digendong lagi -pen). Dalam hal ini, batasan yang diberikan oleh Imam Al-Baghawi, bahwa antara perbuatan satu dengan yang berikutnya, ada jarak kira-kira seukuran satu rakaat, adalah pendapat yang daif (lemah), sebagaimana yang termatub dalam kitabAl-Majmu’ (milik Imam Nawawi).

 

Banyak perbuatan di atas sekalipun terjadi karena lupa, (adalah tetap membatalkan salat -pen). Perbuatan banyak itu seperti tiga kali kecapan mengunyah, tiga kali melangkah yang sambungmenyambung, sekalipun hanya sepanjang satu langkah yang diampuni adanya, atau seperti halnya menggelengkan kepala dan menggerak-gerakkan dua tangan.

 

Lafal dengan dibaca fat-hah kha’nya, adalah Masdar Marrah (kata benda jadian yang digunakan untuk menerangkan banyak perbuatan), sedangkan yang dimaksudkan di sini, adalah kepindahan kaki seseorang ke sebelah depannya atau ke tempat lain.

 

Kemudian, jika kaki yang lain ikut bergerak, sekalipun tidak bersambung, maka dihitung dua langkah. Tetapi Guru kami Imam Ibnu Hajar di dalam kitab Syarah Al-Irsyad dan lainnya, mengukuhkan, bahwa kepindahan kaki satu lagi ke batas yang sejajar dengan sambung-menyambung adalah dihitung satu langkah saja.

 

Jika memindahkan kedua kaki dengan cara sambung-menyambung, adalah dihitung dua langkah, tanpa ada pertentangan di antara fukaha.

 

Apabila seseorang merasa ragu: Apakah perbuatan yang dilakukan itu termasuk sedikit atau banyak, maka hal ini tidak membatalkan salatnya.

 

Salat menjadi batal sebab melompat, sekalipun tidak banyak jumlahnya.

 

Salat tidak batal sebab gerakangerakan ringan, sekalipun berjumlah . banyak dan sambung-menyambung, namun hanya makruh. Misalnya, menggerak-gerakkan jari-jari tangan untuk menggaruk atau memutar tasbih dengan telapak tangan tanpa bergeser, menggerakkan pelupuk nyata, bibir, batang zakar atau lidah, sebab kesemuanya itu mengikuti tempat masing-masing, seperti halnya yang terjadi pada jari-jari.

 

Dari keterangan tersebut, sebagian fukaha membahas masalah gerakan lidah, bahwa bergeraknya lidah jika sampai bergeser dari tempatnya (mulut) dalam tiga kali gerakan, adalah membatalkan salat.

 

Guru kami berkomentar: Hal tersebut masih belum pasti (Muhtamal).

 

Telapak tangan adalah dikecualikan dari jari-jari. Karena itu, menggerakkan tapak tangan sebanyak tiga kali secara sambung-menyambung, adalah membatalkan salat, kecuali bagi orang yang terjangkit gatal-gatal, yang biasanya sudah tidak tahan lagi jika tidak menggaruknya, maka hal ini tidak membatalkan salat, karena ada unsur darurat (keterpaksaan).

 

Guru kami berkata: Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan, bahwa orang yang tertimpa suatu penyakit selalu bergerak, yang memaksanya untuk menimbulkan banyak perbuatan, adalah dimaklumi adanya.

 

Menggarukkan tangan dan mengembalikan lagi secara bersambung, dihitung satu kali gerakan. Demikian pula mengangkat tangan dari dada dan meletakkannya pada tempat yang digaruk, adalah satu kali gerakan.

 

Demikian itu, jika satu dengan lainnya bersambung, kalau tidak demikian, maka masingmasing dihitung satu kali gerakan, demikian itu seperti yang dijelaskan oleh Guru kami (Ibnu Hajar).

 

  1. Berucap dua huruf jika sambung-menyambung, di mana ucapan tersebut memang disengaja, sekalipun karena dipaksa, demikian itu seperti yang dijelaskan oleh Guru kami,

 

Lain halnya jika yang diucapkan itu berupa Qur-an, zikir atau doa, yang kesemuanya itu tidak bertujuan memberi kepahaman terhadap seseorang. Misalnya orang yang minta izin masuk, lantas oleh orang yang sedang salat diucapkan: Udkhuluha …. dan seterusnya. (Silakan masuk dengan selamat dan sentosa).

 

Jika bacaan tersebut dimaksudkan sebagai bacaan Qur-an atau zikir saja, atau giraah (zikir) disertai peringatan, maka salatnya tidak batal.

 

Demikian juga tidak batal, jika dibaca secara mutlak, sebagaimana yang dikemukakan oleh segolongan fukaha, Tetapi Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tahqiq dan Ad-Daqaaiq, mengatakan akan kebatalan salat, jika Qur-an atau zikir tersebut dibacanya secara mutlak (tidak ada tujuan apaapa): dan inilah yang Muktamad.

 

Keempat tersebut (gira’ah, zikir, giraah/zikir bersamaan tanbih, dan mutlak) dapat terjadi dalam mengingat awal bacaan imam (yang lupa), baik dengan Qur-an atau zikir, dan bisa terjadi dalam mengeraskan suara bacaan takbir intgal bagi imam atau mubalig (penyambung suara).

 

Salat menjadi batal sebab mengucapkan dua huruf, sekalipun huruf tersebut terucap bersamaan dengan berdeham yang tidak dianggap uzur dalam bacaan wajib salat, misalnya membaca Al-Fatihah.

 

Seperti halnya Al-Fatihah, adalah setiap bacaan wajib, seperti tasyahud. akhir dan salawat Nabi saw. Salat tidak batal sebab melontarkan dua huruf bersamaan berdehamdeham, karena uzur dalam bacaan rukun salat.

 

Atau juga batal sebab terlontarnya dua huruf tersebut bersamaan dengan sepadannya, misalnya batuk, tangis, bersin dan tertawa.

 

Tidak termasuk ketentuanku “yang tidak dianggap uzur dalam bacaan wajib”, apabila dua huruf tersebut terlontar bersamaan dengan deham karena uzur dalam bacaan sunah, misalnya: surah, qunut, atau membaca keras surah Al-Fatihah. Karena ini semua, batal salatnya.

 

Imam Az-Zarkasi membahas atas dibolehkan berdehamdeham dalam salat bagi orang yang sedang berpuasa, guna mengeluarkan liur dahak yang dapat membatalkan puasanya (jika ditelan). Guru kami berkata: Kebolehan hal itu diarahkan juga untuk orang yang tidak berpuasa, karena bertujuan mengeluarkan liur dahak yang bisa membatalkan salatnya. Sebagaimana liur dahak itu sudah mengalir ke bagian luar (makhraj. huruf ح -pen), dan tidak mungkin mengeluarkannya, kecuali dengan berdeham.

 

Jika imam berdeham dan dari dehamnya terlontar dua huruf, maka tidak wajib mufaragah dengannya. Sebab menurut pandangan lahirnya ia dapat menjaga hal yang membatalkan salat.

 

Memang! Jika ada alasan yang menunjukkan ketidakuzuran imam, maka hukum mufaragah adalah wajib, menurut hasil pembahasan Imam As-Subki.

 

Jika seseorang tertimpa penyakit terus-menerus batuk, sehingga tidak ada waktu yang terluang sepanjang melakukan salat tanpa berbatuk yang bisa membatalkan salat, Guru kami menjawab hukumnya: Yang jelas, batuk-batuk tersebut diampuni adanya, dan nanti setelah sembuh, ia tidak wajib mengadha salatnya.

 

Atau salat itu batal sebab berucap satu huruf yang memahamkan, seperti huruf قِ    (jagalah), huruf  عِ   (sadarlah), huruf   فِ (patuhilah), atau satu huruf yang terbaca panjang, sebab huruf yang terbaca panjang pada dasarnya adalah dua huruf.

 

Salat tidak batal sebab mengucapkan bahasa Arab, di mana ‘ ibadah itu menjadi sah dengan . mengucapkannya, misalnya: Nazar dan memerdekakan “budak. Misalnya kata-kata: Nadzartu ….. dan seterusnya (aku nazar memberi uang Rp 1.000,untuk Zaid atau saya memerdekakan si Fulan).

 

Lain halnya melafalkan niat puasa atau iktikaf, karena niat untuk hal itu tidak tergantung sahnya pada lafal, nvaka tidak butuh untuk diucapkan: dan tidak batal pula sebab mengucapkan doa yang jaiz, sekalipun untuk orang lain.

 

(Yang mana ibadah dan doa tersebut) tidak digantungkan adanya dan tidak dikhitabkan kepada makhluk.

 

Karena itu, salat menjadi batal, bila ucapan ibadah atau doa tersebut digantungkan, misalnya: In Syafa…. dan seterusnya (jika Allah menyembuhkan sakitku, maka aku akan memerdekakan seorang budak) atau berdoa: Allaahummaghfirlii…. dan seterusnya (Ya, Allah, ampunilah diriku jika berkenan). Demikian juga, salat akan batal jika ucapan . ibadah atau doa tersebut dikhithabkan kepada makhluk selain Nabi saw., sekalipun di saat dia (mushalli) mendengar nama Nabi saw. tertuturkan menurut beberapa tinjauan. Misalnya: Nadzartu dan seterusnya (Saya nazarkan begini kepadamu, atau semoga Allah merahmati engkau), sekalipun yang dikhithabi adalah orang mati.

 

Sunah bagi orang yang salat, yang diucapi salam oleh orang lain, agar menjawabnya dengan isyarat tangan atau kepala, sekalipun dalam keadaan membaca, lalu setelah salat, salam tersebut dijawab dengan ucapan.

 

Bagi orang yang salat, boleh salam dengan ucapan: “Wa ‘alaihis salam”, sebagaimana kebolehan mendoakan orang yang sedang bersin dengan ucapan “Rahimahullah”.

 

Sunah bagi selain orang yang salat, menjawab salam yang diucapkan oleh orang yang sedang salat. (Maksudnya, salam yang merupakan rukun salat, yaitu salam pertama -pen).

 

Sunah bagi orang yang bersin dalam salat, supaya membaca Hamdalah dengan suara pelan, cukup terdengar oleh dirinya sendiri.

 

Sedikit berdeham menurut ukuran umum, karena tidak mampu menahannya adalah tidak membatalkan salat. (Maksudnya, berdeham yang sampai melontarkan atau mengeluarkan buruf -pen).

 

Tidak batal juga sebab sedikit berbicara, menurut ukuran umum, seperti dua atau tiga kata. Guru kami berkata: Jelaslah, bahwa batasan kalimat (kata) di sini, adalah menurut umum. Perkataan yang sedikit tersebut-terjadi karena tidak sengaja (lupa), kalau dirinya sedang menunaikan salat.

 

Karena Rasulullah saw. ketika selesai salam dua rakaat, beliau berbicara sedikit dengan keyakinannya, bahwa salatnya telah selesai. (Ketika beliau menanyakan kepada sahabat perihal yang ditanyakan oleh sahabat Dzul Yadain -pen), para sahabat menjawabnya dengan sepatah kata pula, di mana mereka mengira, bahwa salat (yang berakaat empat) sudah dinasakh (menjadi dua rakaat), kemudian beliau dan sahabatsahabat meneruskan salat yang dua rakaat itu.

 

Jika orang yang salat mengira, . bahwa dengan sedikit berbicara tanpa disengaja itu dapat membatalkan salat, lalu berbicara dengan panjang: lebar, maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai uzur (artinya, salat tetap batal -pen).

 

Tidak termasuk dalam ketentuan “sedikit terpaksa berdeham” dan “sedikit berbicara yang tidak sengaja”, apabila berdeham dan berbicara itu banyak. Karena itu, salat menjadi batal sebab banyaknya kedua hal itu, sekalipun terjadi karena terpaksa, lupa dan sebagainya.

 

Atau salat tidak batal sebab sedikit berbicara yang terjadi sebab lisan terlanjur.

 

Atau tidak mengerti, kalau berbicara ketika salat adalah haram: sebab baru masuk Islam, sekalipun ia berkumpul dengan masyarakat muslim, atau karena jauh dari ulama, yaitu orang yang mengetahui hukum yang berkaitan dengan masalah di atas.

 

Jika ia mengucapkan salam karena lupa, kemudian berbicara sepatah, atau ia tidak mengerti bahwa apa yang ia lakukan adalah haram, namun mengerti jenis berbicara yang haram dalam salat, atau tidak mengetahui, bahwa berdeham adalah dapat membatalkan salat, namun ia mengetahui : bahwa berbicara dalam salat adalah haram, maka salatnya tidak haram. Masalah tersebut masih belom banyak diketahui oleh masyarakat awam.

 

  1. Sesuatu masuk pada perut yang dapat membatalkan puasa, sekalipun hanya sedikit. Batal juga sebab makan yang banyak, karena lupa, sekalipun hal ini tidak dapat membatalkan puasa.

 

Apabila seseorang menelan liur dahak yang keluar dari kepala ke bagian luar mulutnya, atau menelan ludah yang bernajis karena tercampur darah dari gusinya, sekalipun berwarna putih atau sedikit kemerahmerahan seperti warna buah tanbal, maka batal salatnya.

 

Mengenai makan sedikit menurut umum -di sini tidak dibatasi seukuran biji-bijianyang dilakukan karena lupa atau bodoh yang tidak dianggap uzur, atau dilakukan karena terpaksa, misalnya, jika air liur dahak keluar ke bagian luar dan tidak bisa ditepisnya, atau jika air liur mengalir bersama makanan yang terselip di antara gigi, serta ia tidak mampu memisahkannya, lalu membuang (memuntahkan)nya, maka yang seperti itu tidak mempengaruhi apa-apa sebab ada uzur.

 

  1. Sengaja menambah rukun fi’li, yang tidak dalam keadaan bermakmum, misalnya menambah rukuk atau sujud, sekalipun tidak dengan thuma’ninah di dalamnya.

 

Termasuk yang membatalkan salat, seperti yang dikatakan oleh Guru kami, ialah bila dalam keadaan duduk, seseorang membungkuk sehingga keningnya sejajar dengan depan lututnya, sekalipun hal itu dilakukan agar dapat duduk tawaruk atau iftirasy, yang kedua-duanya disunahkan. Sebab, melakukan perbuatan yang membatalkan salat itu tidak dapat diampuni adanya, demi melakukan perbuatan sunah.

 

Diampuni adanya, duduk sejenak, seukuran duduk istirahat, sebelum sujud, setelah sujud tilawah, dan bagi makmum masbuk, sesudah salam imam yang tidak bertepatan dengan tasyahud awal makmum itu.

 

Adapun penambahan yang terjadi karena lupa atau tidak mengerti, maka dianggap sebagai uzur, maka tidak mempengaruhi atas kesahan salat, sebagaimana halnya menambah kesunahan, semacam mengangkat. kedua tangan di tempat yang tidak semestinya, atau menambah rukun gauli, misalnya Al-Fatihah: atau rukun fi’li dalam keadaan bermakmum, misalnya rukuk atau sujud sebelum imamnya, lalu kembali lagi.

 

  1. Yakin atau mengira fardu salat sebagai sunah, sebab hal ini dianggap main-main.

 

Tidak batal, jika seorang Yang Ami (buta hukum) meyakinkan perbuatan-perbuatan suna salat sebagai fardu: atau 14 mengerti, bahwa dalam salat Itu ada perbuatan fardu dan sunah, tetapi tidak bisa membedakan antara yang sunah dengan yang fardu, serta tidak dimaksudkan fardu tertentu sebagai yang sunah. Tidak batal juga, jika orang buta hukum itu meyakinkan semua perbuatan dalam salat sebagai fardu.

 

Peringatan!

Termasuk membatalkan salat:

 

  1. Hadas, sekalipun tidak disengaja.

 

  1. Terkena najis yang tidak dima’fu (pada badan, pakaian atau tempat orang yang sedang salat -pen), kecuali najis itu Gibuang seketika.

 

  1. Terbuka aurat, kecuali jika aurat itu terbuka sebab angin, lalu dengan seketika ditutup lagi.

 

  1. Sengaja meninggalkan rukun.

 

  1. Merasa ragu akan niat takbiratul ihram atau syarat niat itu, padahal salat sudah berjalan satu rukun gauli atau fi’li, atau telah lama masa keraguan, (Melampaui) sebagian rukun gauli yang terjadi dengan masa keraguan yang panjang atau pendek, tetapi bacaan yang dibaca dalam keraguan tersebut tidak dianggap apa-apa, adalah seperti halnya melampaui keseluruhannya (keraguan niat takbiratul ihram atau syaratnya, yang terjadi seperti tersebut adalah membatalkan salat -pen).

 

Cabang:

Apabila seseorang diberi tahu oleh orang yang adil riwayatnya, bahwa dia terkena najis atau terbuka auratnya yang sampai membatalkan salat, maka wajib baginya menerima berita itu, Tapi, jika yang diberitakan adalah semacam pembicaraan yang dapat membatalkan salat, maka baginya tidak wajib menerima (mempercayai) berita itu. (Perbedaan adil dalam riwayat: dengan adil dalam Syahadat: Kalau yang pertama mencakup budak dan wanita, sedangkan yang kedua khusus dilakukan oleh orang merdeka, serta laki-: laki -pen).

 

Sunah bagi orang yang salat sendirian (munfarid), yang mengetahui, bahwa salat jamaah sedang dikerjakan, supaya membalik salat fardu ada yang sedang dilakukan bukan salat kadhamenjadi salat sunah mutlak, lalu bersalam setelah dua rakaat, jika waktu itu ia tidak berdiri untuk rakaat ketiga, kemudian mengikuti salat jamaah.

 

Memang! Jika ia merasa khawatir, tertinggal jamaah kalau menyempurnakan salat dua rakaat itu, maka disunahkan meinutus salatnya, lalu memulai lagi dengan berjamaah. Seperti inilah yang dituturkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’.

 

Imam Al-Bulgini membahas: Hendaknya ia mengucapkan salam, sekalipun baru satu rakaat.

 

Adapun jika baru bertepatan berdiri untuk rakaat ketiga, hendaknya rakaat itu disempurnakan, jika tidak khawatir tertinggal jamaah, lalu mengikuti jamaah.

Azan dan Ikamah menurut logat, berarti: Memberitahukan. Sedangkan menurut syarak: Bacaan berupa kalimatkalimat yang masyhur diketahui dalam azan dan ikamah (kalimat Allahu Akbar dan seterusnya).

 

Dasar hukum azan dan ikamah, adalah ijmak yang didahului oleh impian Abdullah bin Zaid yang masyhur di suatu malam, di mana para sahabat Nabi saw. sedang sibuk bermusyawarah mengenai cara mengumpulkan manusia untuk menunaikan salat.

 

Impian tersebut sesuai dengan turun wahyu pada Nabi saw. Jadi, ketetapan hukum tersebut adalah berdasarkan wahyu, bukan impian itu -pen). Impian tersebut seperti yang termaktub di dalam kitab Sunan Abi Dawud sebagai berikut: Dari Abdullah, dia berkata: “Begitu Nabi saw. memerintahkan memukul lonceng untuk mengumpulkan manusia agar menunaikan salat, di tengah-tengah saya tidur, melintaslah seorang lakilaki yang membawa lonceng di tangannya.

 

Maka saya bertanya kepadanya: “Wahai, hamba Allah! Apakah lonceng itu akan Saudara jual?’

 

Ia menjawab: ‘Akan Saudara gunakan apa?’ Saya pun menjawabnya: ‘Saya akan menggunakannya untuk memanggil manusia agar menunaikan salat.’ Ia berkata: ‘Maukah Saudara aku tunjukkan cara yang lebih baik dari itu?’

 

Saya menjawab: ‘Mau dan terima kasih.’ Ia pun lalu berkata: ‘Ucapkanlah: Allahu Akbar… : dan seterusnya sampai akhir lafal azan.’

 

Kemudian dia pergi meninggalkan saya, tidak begitu jauh, lalu dia berkata: ‘Dan jika akan dilaksanakan salat, maka ucapkanlah: Allahu Akbar ….. sampai lafal ikamah’.”

 

Demikianlah, setelah pagi hari saya datang kepada Nabi saw. dan memberitahukan mengenai mimpi saya kepada beliau. Lalu beliau bersabda: “Benar its adalah impian yang benar. Insya Allah. Temuilah saudara Bilal, dan sampaikan impianmu berazan, karena dialah yang mempunyai suara lebih keras daripada engkau.”

 

Saya pun lalu menemuinya dan menyampaikan impianku ke. padanya, kemudian dia berazan.

 

Sahabat Umar bin Al-Khaththab yang berada di rumah mendengar suara azan sahabat Bilal, lalu keluarlah seraya menyeret selendengnya dan berkata: “Wahai, Rasulullah, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh saya telah bermimpi seperti mimpi Abdullah bin Umar.” Oleh beliau dijawab: “Segala puji milik Allah.”

 

Dikatakan: Ada belasan sahabat Nabi saw. bermimpi seperti mimpi Abdullah tersebut.

 

Azan itu sungguh disunahkan pula pada selain akan menunaikan salat, seperti azan untuk orang yang sedang tertimpa kesusahan, orang yang tidak sadarkan diri (karena terganggu jin), sedang marah, azan karena perbuatan manusia atau binatang yang tidak baik, ketika terjadi kebakaran, dan ketika ada amukan hantu, yakni jin.

 

Azan dan ikamah disunahkan juga dikumandangkan pada kedua telinga bayi yang baru lahir (azan di telinga kanan, sedang ikamah dibaca di telinga kiri -pen), dan di kala seseorang akan berangkat bepergian (asal tidak pergi karena maksiat -pen).

 

Sunah kifayah -yaitu cukup dilakukan oleh sebagian orangmelakukan azan dan ikamah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim: jika telah tiba waktu salat, hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan azan.” :

 

Bagi laki-laki, sekalipun anak kecil, salat sendirian (munfarid), dan sekalipun sudah mendengar azan orang lain, menurut pendapat yang Muktamad, Lain halnya dengan yang termaktub dalam Syarah Muslim.

 

Memang! (Tapi) jika dia telah mendengar azan salat jamaah dan ingin salat berjamaah bersama mereka, maka menurut beberapa tinjauan, dia tidak disunahkan mengerjakan azan sendiri.

 

(Kesusahan azan dan ikamah di atas) hanya untuk salat Maktubah (salat fardu lima waktu) sekalipun salat kadha, bukan untuk salat-salat sunah, salat Jenazah dan salat Nazar.

 

Jika seseorang ingin mencukupkan salah satu dari azan dan ikamah, karena semisal waktu telah sempit, maka yang lebih utama adalah melaksanakan azan.

 

Sunah melakukan azan dua kali pada waktu Subuh, yaitu sebelum terbit fajar dan yang satu lagi setelah fajar. Kalau Ingin nrelakukan salah satunya saja, maka yang lebih utama melakukan azan setelah fajar.

 

Sunah azan dua kali untuk salat: Jumat, yaitu pertama setelah khotib naik ke mimbar, sedang yang lainnya sebelum itu.

 

Hanya saja azan dua kali untuk salat Jumat itu, yang pertama kali melaksanakan adalah sahabat Utsman bin Affan r.a., setelah kaum muslimim semakin banyak.

 

Dengan begitu, kesunahan dua kali azan tersebut jika memang dibutuhkannya, sebagaimana kehadiran mereka bergantung adanya azan itu. Kalau tidak demikian, maka yang lebih utama adalah melakukan azan sekali saja sebagai ittiba’ kepada Rasul (yaitu azan ketika khotib berada di atas mimbar -pen).

 

Sunah melakukan satu azan saja, untuk salat yang pertama bagi salat-salat yang sambungmenyambung dalam pelaksanaannya. Misalnya salat-salat kadha, dua salat jamak, salat kadha dengan salat ada’ yang waktunya sudah masuk, sedangkan azan belum dilakukannya.

 

Sunah ikamah untuk setiap salat yang tersebut di atas, dasarnya adalah ittiba’ kepada Rasul saw.

 

Bagi wanita, sunah melaksanakan ikamah dengan suara pelan, begitu juga bagi banci.

 

Tidak makruh bagi wanita melakukan azan untuk kaum wanita, dengan suara pelan: jika dilakukan dengan suara keras, maka hukumnya adalah haram.

 

Sunah juga dikumandangkan panggilan untuk salat sunah yang diatur pelaksanaannya secara berjamaah, misalnya salat Id, Tarawih dan Witir di bulan Ramadhan yang dikerjakan tersendiri dari Tarawih, din salat Gerhana. dengan panggilan: “Ash-Shalata Jami’ah. Lafal   اَلصَّلاَةَ   bisa dibaca nashab sebagai susunan /ghra’, dan bisa dibaca rafak sebagai mubtada’, Sedang lafal    جامعة    bisa dibaca nashab sebagai Haal, dan bisa dibaca rafa’ sebagai khabar Mubtada’ tersebut.

 

Sudah mencukupi dengan Panggilan “Ash-Shalah AshShalah” atau “Halummuu ilash shalah” Ayo, tunaikanlah salat!).

 

Dan makruh dengan panggilan “Hayya alashshalah” (Ayo, tunarkanlah salat)”

 

Panggilan di atas, hendaknya dikumandangkan setelah waktu salat tiba dan diulangi ketika akan melaksanakannya, agar dapat mengganti kedudukan azan dan ikamah.

 

Tidak termasuk dalam ketentuan kami “untuk jamaah”, apabila salat sunah tersebut tidak disunahkan berjamaah pelaksanaannya, salat sunah yang dikerjakan secara sendirian, misalnya salat Nazar dan salat Jenazah.

 

Syarat Azan dan Ikamah

 

  1. Tertib, yaitu membaca kalimat azan dan ikamah secara tertib, seperti yang telah diketahui, demikian ini berdasarkan ittiba’ kepada Rasul saw.

 

Jika kalimat-kalimat azan terbalik, sekalipun tidak sengaja (lupa), maka azannya : tidak sah (Dan jika dia membalik kalimat azan dan ikamah), maka dia boleh meneruskan urutan kalimatkalimatnya.

 

Jika sebagian kalimat tertinggal, maka supaya kalimat yang tersebut dibaca, serta kalimat yang ada sesudahnya diulangi (hal ini jika waktunya tidak berselang lama -pen).

 

  1. Sambung-menyambung antara kata demi kata. Memang! (Tetapi) tidaklah mengapa jika antara kata dengan kata yang lainnya ditengah-tengahi (disela-selai) sedikit pembicaraan atau diam sebentar, sekalipun di sengaja.

 

Sunah membaca Hamdalah: dengan suara pelan bila bersin (di kala azan atau ikamah), dan menunda menjawab salam serta mendoakan orang yang sedang bersin sampai azan atau ikamah selesai.

 

  1. Bersuara keras, jika melaksanakan azan dan ikamah untuk salat jamaah. Karena itu, (untuk hasil pokok kesunahan) semua kalimat azan dan ikamah boleh terdengar oleh seorang saja.

 

Adapun azan dan ikamah untuk dirinya sendiri, cukuplah suara bisa didengar oleh dirinya sendiri (sebab tujuannya adalah zikir).

 

  1. Telah masuk waktu salat selam salat Subuh. Sebab tujuan azarr (ikamah) adalah memberitahukan, karena itu tidak boleh, bahkan tidak sah dilakukan sebelumnya. Mengenai azan Subuh, maka sah sejak separo malam.

 

Sunah bertatswib dua kali, untuk dua azan Subuh. Yaitu mengucapkan: Ash-Shalatu Khoirum minan naum (Bangun bergegas untuk menunaikan salat adalah lebih utama daripada kenikmatan tidur) sebanyak dua kali, dibaca setelah membaca “Hai’alatain” (Hayya alash shalah dan Hayya alal falah).

 

Tatswib sunah dilakukan pula pada azan salat kadha Subuh, untuk selain salat Subuh hukumnya makrub.

 

Sunah melakukan Tarji’ yaitu membaca dengan suara pelan untuk dua kali kalimat syahadat, sebelum membaca kedua kalimat tersebut dengan suara keras. Membaca dengan suara pelan, adalah sekira secara umum, Orang yang ber. sda dekat dengannya bisa mendengar. Demikian ini, berdasarkan ittiba’ kepada Rasul saw. Namun azan tetap sah, walaupun tanpa tarji’.

 

Sunah meletakkan ujung kedua jan telunjuk tangan pada masing“masing lubang telinga di kala azan, bukan ikamah, sebab hal ini dapat mengumpulkan suara.

 

Dalam hal ini Guru kami berkata: Jika memang orang yang berazan ingin mengeraskan suaranya.

 

Jika sebelah tangannya terhalang, maka tangan satunya lagi tetap melakukannya, atau Jari telunjuknya yang berhalangan, maka jari-jari lainnya yang digunakan.

 

Sunah di kala azan dan ikamah:

  1. Berdiri, melakukan azan di lempat yang tinggi.

 

Jika suatu mesjid tiada menaranya, maka sunah melakukan azan di loteng (jika tidak ada), maka sunah di pintunya.

 

  1. 2. Menghadap kiblat: Jika tidak menghadap kiblat, maka hukumnya makruh.

 

  1. Memalingkan wajah -bukan dada-, di kala azan, ke sebelah kanan untuk masingmasing dua kali membaca Hayya alash shalah, lalu menghadap kiblat lagi: dan ke sebelah kiri untuk masingmasing dua kali Hayya alal falah, lalu menghadap kiblat lagi: Demikianlah, sekalipun untuk azan menjelang khotbah dan azan diri sendiri (kalau ikamah, tidak disunahkan memalingkan wajah -pen).

 

Waktu Tatswib tidaklah disunahkan memalingkan muka, sebab masalah ini ada pertikaian di antara fukaha.

 

Peringatan:

Sunah mengangkat suara waktu azan, di atas pendengaran sendiri bagi munfarid. Sedang bagi azan untuk salat jamaah, sunah dapat terdengar salah satu dari mereka.

 

Kedua orang tersebut sunah mengangkat suara setinggitingginya, sebab hal ini diperintahkan.

 

Sunah merendahkan suara azan, jika dilakukan di mushalla yang sedang dilaksanakan salat . berjamaah dan orang-orangnya telah bubar.

 

Dalam azan sunah tartil, dan cepat-cepat dalam ikamah. Mensukun huruf ra’ pada takbir yang pertama: Jika tidak membaca sukun, maka menurut pendapat Al-Ashah adalah membaca dhammah.

 

Juga sunah membaca idgham huruf dal lafal مُحَمَّدٍ ke dalam ra’ lafal رَسُوْلُ الله , sebab meninggalkan itu, adalah termasuk “Lahn khafi” (kesalahan baca yang tersembunyi).

 

Sebaiknya, mengucapkan fia’ lafal   الصلاة  (pada kedua Hayya).

 

Makruh azan dan ikamah bagi orang yang dalam keadaan hadas, anak kecil dan orang fasik. Dan tidak sah menyerahkan (azan dan ikamah) kepada anak kecil dan orang fasik.

 

Azan dan ikamah, adalah lebih utama daripada Imamah, dasarnyai adalah firmah Aliah swt.: “Tiada yang lebih bagus daripada orang yang menyeru kepada Allah (dengan tauhid)”. Dalam hal ini, Aisyah menjelaskan: Mereka adalah orang yang azan.

 

Dikatakan: Imamah (menjadi imam) adalah lebih utama daripada azan dan ikamah. Dalam pada itu, tanpa diperselisihkan lagi, bahwa menjadi imam salat adalah lebih utama daripada melakukan azan atau ikamah saja.

 

Sunah bagi yang mendengarkan azan atau ikamah -dengan pendengaran yang dapat membedakan huruf-hurufnya, jika tidak demikian, maka tidak dianggap mendengar, menurut pendapat Guru kami agar ikut mengucapkan seperti ucapan azan dan ikamah (yang diucapkan muazin), sekalipun dia tidak punya wudu, sedang junub atau haid: -menurut Imam As-Subki, orang junub dan haid tidak sunah – menjawabnyaatau sedang istinja (jika tidak di dalam WC), menurut pendapat yang lahir, jika memang kesemuanya itu tidak sampai terjadi aksi-aksian yang dapat mengubah makna azan atau ikamah.

 

Untuk itu, begitu selesai kalimat azan atau ikamah diucapkan, supaya segera menirukannya, sekalipun dalam tarji’ yang dia sendiri tidak mendengarnya.

 

Jika seseorang hanya mendengar sebagian kalimat azan, maka hendaklah menirukannya dan menirukan yang tidak dia dengar.

 

Jika azan itu dilakukan oleh para muazin berkali-kali secara tertib, maka sunah menjawab “ kesemuanya, sekalipun ia sendiri telah menunaikan salat. (Namun) makruh jika tidak menjawab azan yang pertama.

 

(Jika orang yang mendengarkan azan) sedang terleka membaca Algur-an, zikir atau doa, maka sunah memutusnya untuk menjawab azan.

 

Makruh bagi orang yang sedang bersetubuh dan mendatangi hajat, menjawab azan, akan tetapi mereka agar menjawabnya sesudah selesai. Sebagai. mana halnya dengan orang – yang sedang salat, semua itu jika masa yang memisahkan belum begitu lama.

 

Tidak makruh menjawab azan bagi orang yang berada di kamar mandi dan orang yang badannya, bukan mulutnya, terdapat najis, sekalipun ia menemukan perkara yang dipergunakan menyucikan.

 

(Menirukan sesuai kalimat azan dan ikamah), kecuali pada kalimat-kalimat Hayya. Untuk itu, orang yang menjawab, hendaknya membaca Hauqalah, yaitu mengucapkan: Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil azhiim, yaitu: Tiada daya untuk menyingkir dari maksiat, dan tiada upaya untuk berbuat taat, kecuali atas pertolongan Allah.

 

Hendaklah ber-tashdiq, yaitu membaca “Shadaqta wa barirta” sebanyak dua kali (Engkau benar dan banyak memangku kebagusan), di saat muazin, bertatswib waktu Subuh.

 

Ketika diucapkan dua kalimat ikamah (Qadqamatish shalah), supaya pendengar membaca Agamahallah wa adamaha ….. dan seterusnya. (Semoga Allah berkenan menegakkan dan melanggengkan salat, “juga menjadikanku termasuk golongan orang-orang yang saleh dalam mengemban salat).

 

Sunah bagi kesemuanya, baik muazin, orang yang ikamah dan pendengarnya, membaca salawat salam kepada Nabi saw. setelah selesai masing-masing azan dan ikamah.

 

Maksudnya, setelah masing-masing azan dan ikamah dikumandangkan, jika di antara keduanya berselang waktu yang lama. Kalau tidak demikian, cukuplah untuk keduanya diucapkan satu doa saja.

 

Lalu mereka meneruskan dengan menengadahkan kedua tangan dan berucap: Allahumma ……. dan seterusnya. (Ya, Allah, Tuhan Pemilik panggilan yang selamat -azan dan ikamahdan salat yang akan didirikan, datangkanlah pada Nabi Muhammad wasilah dan fadhilah dan utuslah beliau pada derajat yang terpuji, yang telah Engkau janjikan).

 

Wasilah adalah derajat yang tertinggi di dalam surga, sedangkan Maqamul Mahmudah adalah suatu derajat syafaat di. hari kiamat waktu pemutusan hukum.

 

Sunah membaca sesudah azan Magrib: Allahumma …, dan seterusnya. (Ya, Allah, inilah permulaan malam-Mu, penutup sang-Mu dan suara-suara orang yang memanggil ke jalan-Mu, maka ampunilah dosaku!).

 

Sunah sebelum ikamah, membaca selawat kepada Nabi saw., sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarah Al-Wasith, yang kemudian dibuat pegangan oleh Guru kami, Ibnu Ziyad. Kemudian beliau menambahkan: Adapun pembacaan salawat sebelum azan, saya tidak pernah menemukan dasar hukum sama sekali.

 

Asy-Syekh Al-Kabir Al-Bakri berkata: Pembacaan salawat adalah disunahkan sebelum azan dan ikamah, dan tidak disunahkan membaca Muhammad Rasulullah sesudahnya.

 

Imam Ar-Rauyani dalam kitab Al-Bahr berkata: Sunah membaca ayat Kursi di antara azan dan ikamah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Sungguh orang yang mau membaca ayat Kursi di antara azan dan “ikamah, maka dosa-, dosa yang terjadi antara dua salat tidak akan dicatat.”

 

Cabang:

Imam Al-Bulqini mengeluarkan fatwa tentang orang yang selesai berwudu dan bertepatan dengan selesai azan muazin, bahwa orang tersebut hendaknya membaca zikir wudu, sebab ini adalah ibadah tersendiri, lalu membaca zikir azan.

 

Beliau berkata lagi: Yang baik, hendaknya dia membaca dua kalimat syahadat wudu dulu, kemudian disambung dengan doa azan, sebab doa ini berkaitan langsung dengan Nabi saw., baru berdoa untuk dirinya.

Lafal  النَّفْلِ  menurut bahasa adalah tambahan. Sedangkan menurut syarak adalah perbuatan yang kalau dilakukan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak mendapat siksa.

 

Nafl juga bisa diistilahkan dengan Tathawu’, Sunah, Mustahab dan Mandub.

 

Pahala fardu melebihi 70 kali pahala sunah, seperti yang dinyatakan dalam hadis yang telah disahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah.

 

Ditetapkan nafl adalah untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan di dalam mengerjakan fardu, bahkan agar di akhirat kelak -bukan di dunia-, bisa mengganti kedudukan fardu yang ditinggalkan karena ada Uzur, misalnya lupa, Begitulah seperti ya! telah dinash.

 

Salat adalah ibadah badan yang paling utama setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena itu, salat fardu adalah paling utamanya dan salat sunah adalah paling utama di antara perbuatan sunah lainnya.

 

Urutan keutamaan di bawah salat, adalah puasa, haji, lalu zakat: seperti inilah yang telah dikukuhkan oleh sebagian ulama.

 

Ada yang mengatakan: Paling utama adalah zakat. Ada yang mengatakan, adalah puasa, Ada juga yang mengatakan haji, Juga ada yang mengatakan bukan itu semua (di antaranya adalah jihad -pen).

 

Perselisihan di sini, adalah jika suatu ibadah tersebut banyak dikerjakannya, menurut pandangan umum, sedangkan ibadah yang satunya hanya dikerjakan yang muakad saja. :

 

Kalau tidak demikian, maka puasa sehari lebih utama daripada salat dua rakaat.

 

Salat sunah ada dua macam: Pertama, tidak disunahkan berjamaah, seperti salat Rawatib yang mengikuti salat-salat fardu yang keterangannya akan diterangkan di bawah ini.

 

Disunahkan berdasarkan hadis-hadis sahih di dalam kitab Sunan (Sunan Abi dawud, An-Nasai, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi):

 

  1. Empat rakaat sebelum Asar.

 

  1. Empat rakaat sebelum salat Zhuhur, dan empat rakaat sesudahnya.

 

  1. Dua rakaat sesudah salat Magrib.

Di sini disunahkan pula agar disambung pelaksanaannya, dengan salat fardu (Magrib).

 

Fadhilah penyambungan terSebut tidaklah bisa hilang sebab dipisah dengan zikir yang ma’tsur, yang dibaca. Setelah salat lima waktu.

 

  1. Dua rakaat yang ringan (pendek) setelah salat Isyak.

 

  1. Dua rakaat sebelum Isyak, jika ternyata tidak terleka dengar menjawab azan. Karena itu, jika antara azan dan ikamah ada waktu luang untuk mengerjakan 2 rakaat, hendaknya dilakukan, jika tidak ada, maka ditunda sesudah salat fardu.

 

  1. Dua rakaat sebelum salat Subuh. Dalam melakukan salat ini, disunahkan diperpendek, dan di dalam rakaatnya membaca surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlash.

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya.

 

Tersebut pula, bahwa yang dibaca di sini adalah surah AlInsyirah dan Al-Fiil. Sungguh, barangsiapa membiasakan salat dengan membaca kedua surah tersebut, maka hilanglah penyakit bawasir.

 

Demi menampakkan yang datang dari Nabi saw., maka sunah mengumpulkan kesemua surah di atas (rakaat pertama membaca surah Al-Insyirah dan Al-Kafirun, rakaat kedua membaca surah Al-Fiil dan Al-Ikhlash). Hal itu berdasarkan yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam masalah membaca “Innii zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa kabiiraa“. (yaitu dikiaskan dengan masalah pembacaan ayat yang sampai dengan lafal كثيرا dan  كبيرا Maka antara kedua lafal tersebut sunah dikumpulkannya -pen).

 

Perlakuan seperti tersebut, tidak dianggap sebagai memperpanjang rakaat yang sampai melampaui ukuran sunah dan ittiba’, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kami, Ibnu Hajar dan Ibnu Ziyad.

 

Sunah berbaring miring antara dua rakaat sunah Subuh dengan salat fardunya, jika salat sunahnya tidak diakhirkan dari fardunya, sekalipun ia tidak bertahajud. Yang lebih utama (dalam berbaring itu) adalah pada sisi kanan badannya.

 

Jika ia tidak menginginkan demikian itu, hendaklah memisah antara kedua salat tersebut dengan semacam pembicaraan atau berpindah tempat.

 

Peringatan!

Boleh mengakhirkan salat Rawatib gabliyah setelah salat fardunya, hal ini tetap masih dianggap ada’.

 

Kadang-kadang penundaan seperti ini justru disunahkan, . seperti ketika seseorang baru hadir, di mana salat sudah didirikan, atau waktu sudah menjelang ikamah, sehingga jika ia melakukan (salat) dua rakaat terlebih dahulu, maka tertinggal takbiratul ihram imamnya. Dalam keadaan semacam inj, baginya makruh mengerjakan salat sunah dahulu.

 

Tidak boleh mendahulukan sunah ba’diyah atas salat fardu yang berkaitan dengannya, lantaran belum masuk waktu melakukannya. Demikian juga setelah keluar waktu pelaksanaannya, begitulah menurut beberapa tinjauan.

 

Jumlah Rawatib Muakad ada sepuluh rakaat. Yaitu: Dua rakaat sebelum salat Subuh, dua rakaat sebelum salat Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah salat Magrib dan dua rakaat setelah salat Isyak.

 

  1. Salat Witir setelah salat Isyak, berdasarkan hadis: “Salat Witir itu hak bagi setiap orang muslim.”

 

Salat Witir itu lebih utama jika dibandingkan dengan semua salat Rawatib yang ‘ telah tertuturkan, karena ada perselisihan dalam wajibnya.

 

Paling sedikit rakaatnya adalah satu rakaat, sekalipun tidak didahului dengan salat sunah: Isyak atau lainnya.

 

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Batas sempurna yang paling minimum adalah 3 rakaat, 5 rakaat dan di atasnya lagi adalah 9 rakaat.

 

Salat Witir paling banyak adalah 11 rakaat. Karena itu, tidak boleh melebihi batas ini. Demikianlah salat Witir dilakukan selalu dengan rakaat ganjil.

 

Jika seseorang pada saat takbiratul ihram tanpa niat bilangan rakaat, maka sah takbirnya, dan ia boleh melakukan salat Witir dengan rakaat yang dikehendaki, menurut beberapa tinjauan.

 

Seakan-akan pembahasan sebagian fukaha: Menyamakan (menganalogikan/meng-ilhaq-kan) masalah seorang yang salat Wiur dengan niat bilangan tertentu, baginya boleh menambah atau mengurangi ketentuan tersebut -dengan masalah salat sunah mutlak-, adalah suatu kesalahan dan yang benar-benar jelas salahnya.

 

Penjelasan mereka juga, bahwa: Sesungguhnya didapati dalam kalam Imam Al-Ghazali dari Imam Al-Faurani seperti pendapat di atas, ini juga adalah kesalahan, sebagamana yang dapat diketahui dari kitab Al-Basith (milik Imam AlGhazali -pen).

 

Ketentuan tidak boleh menambah dan mengurangi rakaat tersebut, berlaku pula bagi orang yang bertakbiratul ihram niat salat sunah Zhuhur sebanyak 4 rakaat secara bersambung (satu kali salam). Karena itu, ia tidak boleh memisah dengan dua rakaat salam, sekalipun ia telah niat memisah sebelum mengurangi rakaat, Hal ini masih ada perselisihan dengan sebagian fukaha yang memperbolehkannya juga. -Selesai-.

 

Bagi orang yang melakukan salat Witir boleh lebih dari satu rakaat untuk memisah salatnya dengan cara dua rakaat salam. Bahkan cara tersebut lebih utama daripada disambung terus, dengan bertasyahud sekali atau dua kali pada dua rakaat yang terakhir (seperti cara salat Magrib -pen).

 

Tidak boleh menyambung salat Witir sampai melebihi dua kali bertasyahud (sebab Nabi saw. tidak pernah mengerjakannya -pen).

 

Menyambung pada selain tiga rakaat adalah khilaful aula, sedangkan menyambung tiga rakaat itu hukumnya makruh, sebab dalam hadis terdapat larangan melakukannya: “Janganlah kalian semua menyerupakan salat Witr dengan salat Magrib”. (Washal/Menyambung: mengumpulkan rakaatrakaat salat Witir dengan sekali takbiratul ihram. Jadi, antara rakaat terakhir dengan sebelumnya tidak dipisah dengan takbiratul ihram. Sedang Fashl/memisah adalah: Memisah rakaat salat Witir dengan takbiratul ihram, umpama setiap dua rakaat salam sekali, atau antara rakaat yang terakhir dengan rakaat sebelumnya dipisah takbiratul ihram -pen).

 

Sunah bagi orang yang melakukan salat Witir 3 rakaat, membaca surah Al-A’la pada rakaat pertama, Al-Kafirun pada rakaat kedua dan AlIkhlaash, An-Naas, Al-Falaq pada rakaat ketiga sebagai tindak ittiba’ kepada Rasul saw.

 

Jika seseorang melakukan salat. Wjitir lebih dari 3 rakaat, maka disunahkan membaca surah di atas pada 3 rakaat terakhir, jika rakaat jitu dipisahkan dengan rakaat sebelumnya: Jika tidak dipisahkan, maka tidaklah membaca surah tersebut, sebagaimana fatwa Imam Al-Bulqini.

 

Sunah bagi orang yang melakukan salat Witir lebih dari 3 rakaat, pada rakaat pertama dan kedua membaca surah AlIkhlaash, baik itu dipisah antara rakaat-rakaatnya ataupun disambung.

 

Setelah salat Witir disunahkan membaca doa: “Subhanal malikil quddus” (Maha Suci Raja Yang Suci) 3x, pada ketiga kalinya suara dikeraskan, lalu membaca: Allahumma …….. dan seterusnya. (Ya, Allah, aku berlindung diri dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan kesejahteraan-Mu dari siksa-Mu, dan dengan-Mu, dari-Mu tidak dapat aku menghitung berapa banyak pujian kepada-Mu sebagaimana kamu memuji diri-Mu sendiri).

 

Waktu salat Witir adalah seperti waktu salat Tarawih, yaitu antara salat Isyak, sekalipun dilakukan setelah salat Magrib dalam salat jamak taqdim, hingga terbit fajar.

 

Jika waktu tersebut sudah habis, maka tidak boleh mengadhanya sebelum waktu Isyak, sebagaimana halnya dengan salat Rawatib ba’diyah. Lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha yang berpendapat dengan memenangkan kebolehannya.

 

Jika telah jelas, bahwa salat Isyak yang dikerjakan adalah batal, padahal salat Witir atau Tarawih telah dikerjakannya, maka salat ini dihukumi sebagai salat sunah Mutlak.

 

Cabang:

Bagi orang yang mempunyai kepercayaan, bahwa ia dapat bangun sendiri sebelum waktu fajar atau dibangunkan oleh orang lain, maka ia disunahkan mengakhirkan salat Witir keseluruhannya (pada akhir malam) -kalau salat Tarawih tidak sunah diakhirkandari awal malam, sekalipun penundaan seperti ini menyebabkan tertinggal jamaah Witir di bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim yang artinya: “Jadikanlah salat Witir itu di akhir malam salatmu.”

 

Sunah meletakkan salat Witir di belakang semua salat Lail yang dilakukan malam itu.

 

Bagi orang yang tidak mempunyai kepercayaan, bahwa dirinya dapat bangun sebelum fajar, maka sunah mengerjakan salat Witir sebelum tidur. Kemudian, (jika ternyata bisa bangun) ia tidak disunahkan mengulangi (bahkan jika ia mengulanginya dengan niat Witir secara sengaja dan mengerti hukum yang semacam ini, maka dihukumi haram, serta salatnya tidak sah, sebab berdasarkan hadis yang artinya: “Tidak boleh melakukan dua kali Witir dalam satu malam” -pen).

 

Kemudian, jika ia melakukan salat Witir setelah bangun tidur, maka baginya mendapat pahala sunah Tahajud juga (sebab salat Tahajud adalah salat yang dikerjakan sesudah bangun tidur -pen). Kalau dilakukan sebelum tidur, maka akan mendapatkan pahala salat Witir saja.

 

Ada yang mengatakan: Yang lebih utama adalah mengerjakan Witir sebelum tidur secara mutlak (baik punya keyakinan bisa bangun sebelum terbit fajar ataypun tidak -pen), lalu bangun dan bertahajud. Hat ini berdasarkan perkataan sahabat Abi Hurairah: Rasulullah memerintahkan aku supaya melakukan salat Witir sebelum tidur -HR. Bukhari-Muslim-.

 

(Perselisihan tersebut) karena sahabat Abu Bakar r.a. salat Witir sebelum tidur, lalu bangun tidur dan bertahajud, Kalau sahabat Umar r.a. tidur dahulu sebelum salat Witir, setelah bangun lalu bertahajud dan salat Witir.

 

Kemudian, masing-masing di antara mereka melaporkan perbuatannya kepada baginda Rasulullah saw. Lantas beliau menjawab: “ini (yakni Abu Bakar) melakukan karena hati-hati, dan yang ini (Umar) melakukannya dengan penuh kekuatan.”

 

Diriwayatkan, bahwa sahabat Utsman bin Affan ra. melakukan seperti yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar r.a., sedangkan sahabat Ali r.a. melakukan seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar r.a.

 

Al-Ghazali dalam kitab AlWasth berkata: Imam AsySyafi’i r.a. memilih yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar r.a.

 

Sedangkan dua rakaat sesudah Witir seperti yang dilakukan orang-orang dengan duduk, adalah tidak termasuk sunah Nabi saw., sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Jaujari dan Asy-Syekh Zakariya.

 

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Janganlah anda terbujuk dengan keyakinan seseorang, bahwa hal itu sunah dilakukari dan menyuruh melakukannya. Sebab hal itu berangkat dari kebodohannya terhadap hukum.

 

  1. Salat Dhuha, berdasarkan firman Allah swt.: “Mereka membaca Tasbih di waktu sore dan isyraq”. Ibnu Abbas menjelaskan: Salat Isyraq adalah salat Dhuha.

 

Imam Bukhari-Muslim meriwayatkan hadis dari sahabat Abu Hurairah, ia berkata: Aku diberi wasiat oleh kekasihku, yaitu Nabi saw. dengan tiga perkara: 1. Puasa tiga hari setiap bulan: 2. Salat Dhuha dua rakaat, 3. Salat Witir sebelum tidur.

 

Imam Abu Dawud meriwayatkan, bahwa Nabi saw. mengerjakan salat Dhuha, dan beliau salam setiap dua rakaat.

 

Paling sedikitnya adalah dua rakaat, dan paling banyaknya adalah 8 rakaat, sebagaimana yang termaktub dalam kitab At-Tahqiq dan Al-Majmu’ (kedua : nya milik Imam An-Nawawi). Seperti itu juga sebagian besar ulama. Karena itu, hukumnya haram menambah rakaat lebih dari yang sudah ditentukan di atas.

 

Delapan rakaat tersebut adalah paling utama, seperti yang tersebut dalami kitab Ar-raudhah dan aslinya. Berarti (menurut pendapat ini), menambah bilangan dari jumlah. rakaat tersebut dengan niat salat Dhuha sampai 12 rakaat adalah boleh saja.

 

Disunahkan setiap dua rakaat salam sekali.

 

Waktu salat Dhuha, adalah sejak matahari naik setinggi tombak sampai tergelincirnya ke arah barat. (Namun) memilih waktu yang baik untuk mengerjakan salat Dhuha adalah ketika telah terlewatkan seperempat waktu siang, berdasarkan sebuah hadis sahih.

 

Jika terjadi perlawanan antara mengakhirkan salat Dhuha sampai seperempat siang dengan fadhilah (keutamaan) mengerjakannya di dalam mesjid bila tidak mengakhirkannya (umpama, jika se: seorang mengakhirkan salat Dhuha sampai seperempat slang, maka tidak bisa melakukannya di dalam mesjid: dan umpama ia melakukan dalam mesjid, ia tidak bisa ‘ mengakhirkan sampai seperempat siang), maka yang lebih utama adalah mengakhirkannya sampai seperempat siang, sekalipun akhirnya tidak bisa mengerjakannya di dalam mesjid. Sebab, fadhilah yang berkaitan dengan waktu itu lebih utama untuk dipelihara (diperhatikan) daripada yang berkaitan dengan tempat.

 

Dalam salat Dhuha sunah membaca surah As-Syams dan Adh-Dhuha. Sementara dalam hadis yang lain menyebutkan surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlaash.

 

Menurut pendapat yang lebih beralasan: Dua rakaat salat Isyraq adalah termasuk dari salat Dhuha. Lain halnya dengan pendapat Imam Al-Ghazali dan pengikutnya.

 

  1. Salat Tahiyatul mesjid, sekalipun ia telah berulangulang masuk ataupun tidak menghendaki duduk dalam mesjid. Lain halnya dengan pendapat Asy-Syekh Nashr, yang kemudian diikuti oleh Asy-Syekh Zakariya dalam kitab Syarah Mmhaj dan Tahrir melalui perkataannya: Jika memang orang tersebut berkehendak duduk dalam mesjid, (maka sunah melakukan salat Tahiyatul mesjid, jika tidak, maka tidak sunah -pen), karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Apabila seseorang di antara kalian masuk ke mesjid, maka janganlah duduk terlebih dulu, sebelum mengerjakan salat dua rakaat”.

 

Kesunahan Tahiyatul mesjid berakhir dengan sendirinya, bila telah duduk lama, begitu juga dalam waktu yang pendek, Jika tidak lupa atau tidak tahu.

 

Disamakan dengan kedua duduk itu -menurut beberapa tinjauan-, apabila seseorang . karena dahaga butuh minum, lalu duduk sebentar untuk minum, kemudian menunaikan salat Tahiyatul masjid.

 

Kesunahan di sini tidak bisa berakhir sebah berdiri yang cukup lama, atau sudah berpaling disi untuk tidak mengerjakannya.

 

Bagi orang yang bertakbiratul Ihram salat tahiyatul mesjid, boleh meneruskan salatnya dengan duduk.

 

Makruh meninggalkan salat Tahiyatul mesjid tanpa ada halangan,

 

Memang begitu, jika ternyata telah dekat pelaksanaan salat Jumat atau lainnya, dan ia khawatirkan tertinggal fadhilah takbiratul ihram jika ia melakukan salat Tahiyatul mejid, maka hendaklah menunggu dengan berdiri.

 

Bagi orang yang tidak memungkinkan mengerjakan salat Tahiyat, sekahpun karena hadas, sunah mengucapkan: Subhaanallaahi…. dan seterusnya 4x (Maha Suci Allah, segala puji milik Allah tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar dan tiada daya dan upaya, kecuali dengan pertolankan Allah Yang Maha Agung)

 

Salat Tahiyatul mesjid itu makruh dilakukan oleh khotub yang masuk mesjid setelah masuk waktu khotbah, dan bagi orang yang akan tawaf setelah masuk Masjidil Haram.

Namun tidak makruh bagi seorang pengajar. Lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha.

 

10-13. Dua rakaat salat Istikharah, Ihram, Tawaf dan salat sesudah wudu.

 

Salat Tahiyatul mesjid dan yang sesudahnya itu ikut tertunaikan dengan sendirinya, sebab melakukan dua rakaat atau lebih dari salat fardu atausunah lainnya, sekalipun tidak disertakan dalam berniat. Maksudnya, perintah untuk melakukan salat-salat tersebut jadi gugur sebab salat fardu atau sunah yang lain.

 

Tentang mendapat pahala atau tidak: Satu pendapat mengatakan: Dapat pahala jika berniat, berdasarkan sebuah hadis yang artinya: “Sesungguhnya sah amal itu bergantung dengan adanya niat”. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama Mutaakhirin, kemudian dijadikan pegangan oleh Guru kami.

 

Tetapi, menwut lahirnya perkataan Ashhabu Syafi’i (ulama fikih periode Mutagadimin), adalah tetap mendapatkan pahala, sekahpun tidak disertai niat. Seperti itulah kesimpulan perkataan dalam kitab Al-Majmu’.

 

Sunah surah yang dibaca pada rakaat pertama salat Wudu, ayat “Walau Annahum ….” dan seterusnya (An-Nisa’: 64), dan pada rakaat kedua membaca ayat “Wa mayya’mal” dan seterusnya (An-Nisa’: 110).

 

  1. Termasuk salat sunah yang tidak disunahkan berjamaah, adalah salat Awwabin. yaitu sebanyak 20 rakaat sesudah Magrib dan sebelum Isyak.

 

Ada sebuah riwayat yang mengatakan: Rakaatnya sebanyak 6, 4 dan 2 rakaat: ini adalah yang paling sedikit.

 

Salat Awwabin sudah berhasil (tertunaikan) dengan sendiri. nya, karena ada salat kadha. Lain halnya dengan pendapat Guru kami.

 

Yang lebih utama, adalah mengerjakannya setelah zikir salat Magrib.

 

  1. (Termasuk salat sunah yang tidak disunahkan berjamaah adalah) salat Tasbih, yaitu: Empat rakaat dengan satu kali salam atau dua kali. Hadis yang menerangkannya adalah hadis Hasan, karena banyak jalur periwayatannya. –

 

Pahala salat tasbih tiada terhingga. Dari sini, sebagian ulama ahli tahkik berkata: Semua mengatakan gtas keagungan salat tersebut, dan tiada orang yang akan meninggalkannya, kecuali orang yang menyepelekan urusan agamanya.

 

(Tata caranya) untuk tiap-tiap satu rakaat membaca “Subhanallah …” dan seterusnya 75x (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah: Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Agung).

 

(Dengan rincian) 15 kali sesudah membaca Al-Fatihah, 10 kali pada waktu rukuk, ikudal, sujud dua kali dan duduk di antara dua sujud, yang kesemuanya itu dibaca setelah masing-masing zikir yang berlaku di situ, dan membaca Tasbih 10 kali ketika duduk istirahat.

 

(Letak) takbir, adalah (sesudah bangkit dari sujud kedua) dan ketika mulai duduk istirahat, tidak ketika bangkit dari duduk istirahat.

 

Ketika duduk untuk bertasyahud sebelum membaca tasyahud, membaca Tasbih sebanyak 10 kali.

 

Boleh juga membaca tasbih sebanyak 15x, dibaca sebelum Al-Fatihah (dan membaca surah). Berarti bacaan Tasbih yang mestinya dibaca ketika duduk istirahat, dibaca setelah membaca Al-Fatihah.

 

Apabila ketika iktidal teringat, bahwa ia belum membaca Tasbih di waktu rukuk, maka ia tidak boleh kembali ke rukuk, dan tidak boleh membaca Tasbih tersebut pada iktidal, sebab iktidal adalah rukun yang pendek. Akan tetapi, bacaan Tasbih tersebut dibaca ketika sujud.

 

Sunah dalam setiap minggu atau bulan, tidak meninggalkan salat Tasbih.

Bagian kedua, salat sunah yang pelaksanaannya disunahkan berjamaah.

 

  1. Salat Idul Fitri dan Adha. Waktunya: Di antara terbit matahari dan tergelincirnya ke arah barat.

 

Jumlah rakaatnya, adalah dua rakaat.

 

Sunah bertakbir sebanyak 7x sesudah membaca doa Iftitah pada rakaat pertama -sekalipun salat kadha, menurut beberapa tinjauan-: dan 5x takbir pada rakaat kedua.

 

Takbir-takbir tersebut dilakukan sebelum membaca Ta’awudz pada rakaat pertama dan kedua: dan sunah mengangkat kedua tangan pada tiap-tiap takbir. Kesunahan bertakbir ini jika belum membaca Al-Fatihah.

 

Jika pada rakaat pertama Takbir tidak dilakukan, maka pada rakaat kedua tidak sunah ditemukan (dilakukan)nya.

 

Sunah membaca takbir dengan suara keras pada malam hari Raya Fitri dan Adha, sejak terbenam matahari hingga imam masuk untuk takbiratul ihram salat Id (Takbir ini disebut Takbir Mursal/Mutlak karena tidak terikat dengan salat dan lainnya -pen).

 

Setiap selesai salat, sekalipun “salat Jenazah, sejak Subuh hari Arafah (tanggal 9 Zulhijah) hingga salat Asar tanggal 13 Zulhijah: juga pada tanggal 10 Zulhijah tatkala melihat inatang ternak atau men. ngar suaranya (Takbir in: but Takbir Mugayyad, Ini anva ada pada hari Raya Adha pen).

 

  1. Salat Gerhana Matahari dan Rembulan Paling sedikitnya adalah dua rakaat, sebagaimana salat sunah Zhuhur. Kesempurnaan yang paling minimal, adalah menambah berdiri, membaca Al-Fatihah dan rukuk pada tiap-tiap rakaat.

 

Yang lebih sempurna, membaca surah Al-Baqarah pada rakaat pertama atau seukuran dengannya, dan pada rakaat kedua membaca sepanjang 200 ayat Al-Baqarah, rakaat ketiga 150 ayat, sedangkan pada rakaat keempat 100 ayat Al-Baqarah.

 

Kemudian, pada waktu rukuk dan sujud rakaat pertama membaca tasbih sepanjang 100 ayat Al-Bagarah, rakaat kedua sepanjang 80 ayat, rakaat ketiga 70 ayat dan rakaat keempat 50 ayat.

 

Kemudian, setelah salat diikuti dengan dua khotbah. Maksudnya, sunah melakukan dua khotbah sesudah salat Idul Fitri dan Adha, sekalipun salat itu dikerjakan pada keesokan harinya menurut keterangan yang lahir dan sunah melakukan dua khotbah sesudah salat Gerhana.

 

(Dalam khotbah) khotib membuka khotbah pertamanya untuk salat hari raya -bukan Gerhanadengan bertakbir 9 kali, sedang khotbah kedua dengan bertakbir 7 kali, yang kesemuanya dilakukan secara sambung-menyambung.

 

Sebaiknya, antara kedua khotbah tersebut dipisahkan dengan bertakbir, dan memperbanyak pembacaan takbir di sela-sela khotbah, demikian yang dikatakan oleh Imam As-Subki,

 

Tidak disunahkan bagi orang-orang yang hadir ikut bertakbir seperti khotib di atas,

 

  1. Salat Istsqa’, di kala membutuhkan air, baik karena tidak ada air, ada tapi asin atau karena hanya sedikit, yang tidak mencukupi kebutuhan.

 

Tata cara salat Istisqa’ adalah seperti salat hari Raya FitriAdha. Hanya saja khotib membaca istigfar sebagai ganti dari takbir ketika berkhotbah, dan menghadap kiblat waktu berdoa di tengah-tengah khotbah kedua, yaitu kurang-lebih setelah khotbah kedua berjalan sepertiganya.

 

  1. Salat Tarawih, sebanyak 20 rakaat dengan 10 kali salam, dalam tiap-tiap malam Ramadhan.

 

Berdasarkan sebuah hadis: Barangsiapa menjaga bulan  Ramadhan (salat Tarauih dan badah-ibadah lainnya) dengan iman dan mengharapkan pahala, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat.”

 

Dalam praktik salat Tarawih, wajib salam dalam seuap dua rakaat. Karena itu, jika salam dalam tiap empat rakaat. maka tidak sah salatnya. Hal ini berbeda dengan salat sunah Zhuhur, Ashar, Dhuha dan Witir.

 

Dalam pelaksanaannya, hendaklah seseorang niat salat Tarawih atau menjaga Ramadhan (Qiyamur Ramadhan).

 

Melakukan di awal waktu, adalah lebih utama daripada di tengah-tengah malam setelah bangun dari tidur. Lain halnya dengan pengaburan Imam AlHulaimi (pendapat yang belum jelas).

 

Dinamakan Tarawih, sebab mereka yang melaksanakannya merasa rilek (istirahat) setelah dua kali salam, lantaran mereka telah berdiri lama.

 

Rahasia 20 rakaat adalah: Salat Rawatib Muakad di luar Ramadhan berjumlah 10 rakaat, maka di bulan Ramadhan dilipatkan menjadi dua kali, sebab Ramadhan adalah waktu bersungguh-sungguh dan bersiap siaga.

 

Mengulang bacaan surah Al-Ikhlash sebanyak tiga kali dalant rakaat terakhir salat Tarawih, adalah bid’ah tidak baik. Sebab, hal ini menyelisihi sunah Nabi saw., menurut pendapat Guru kami.

 

Sunah salat Tahajud atas dasar ijmak. Tahajud adalah salat sunah setelah bangun dari tidur.

 

Firman Allah Ta’ala: “Dan di’ antara malam itu, bertahajudlah engkau sebagai ibadah sunah bagimu!”

 

Tentang keutamaan salat Tahajud, banyak hadis yang Sampai pada kita.

 

Bagi orang yang sudah meimbiasakannya, maka makruh meninggalkan salat Tajahud tanpa suatu darurat.

 

Sunah muakad untuk setiap malam sesudah bangun tidur, tidak meninggalkan salat sunah, sekalipun hanya dua rakaat. Sebab fadhilahnya besar sekali.

 

Bilangan rakaat salat Tahajud tiada batasnya. Dikatakan: rakaatnya sebanyak 12.

 

Sunah memperbanyak doa dan istigfar di malam hari.

 

Hal itu lebih utama lagi jika dilakukan pada separo malam yang akhir. Yang lebih utama di waktu sahur, sebagaimana firman Allah: “Dan di waktu sahur, mereka membaca Istigfar”.

 

Sunah muakad membangunkan orang yang berkeinginan mengerjakan salat Tahajud.

 

Salat sunah muakad (yang ditentukan waktunya), jika tertinggal, sunah untuk di. kadha. Seperti salat id, Rawatib dan Dhuha.

 

Tidak demikian untuk salat sunah yang mempunyai sebab, misalnya salat Gerhana, Tahuyatul mesjid dan sesudah wudu.

 

Barangsiapa meninggalkan salat sunah mutlak yang menjadi kebiasaannya (wiridnya), maka baginya sunah mengadha.

 

Begitu juga mengadha wirid yang bukan berupa salat.

 

Salat sunah Mutlak (salat sunah yang tidak terikat dengan waktu ataupun sebab) jumlah rakaatnya tidak terbatas.

 

Bagi orang yang melakukan salat sunah Mutlak, hanya boleh melakukan satu rakaat langsung tasyahud, terus salam. Hal ini hukumnya tidak makruh.

 

Apabila ia niat melakukan di atas satu rakaat, baginya boleh bertasyahud pada setiap dua, liga, empat rakaat dan seterusnya.

 

Atau dia niat melakukan dalam bilangan tertentu, maka baginya boleh menambah atau menguranginya, jika memang diniatkan sebelumnya, kalau tidak begini, maka batal salatnya.

 

Apabila berniat melakukan dua rakaat, kemudian karena lupa ia berdiri lagi untuk rakaat ketiga, latu ingat, maka ia wajib duduk, dan kalau ingin menambah rakaat baginya, boleh berdiri lagi. Lantas di aklur salatnva, sunah bersujud sahwi.

 

Jika tidak menghendaki menambah rakaat, baginya cukup duduk, bertasyahud dan bersujud sahwi, lantas salam.

 

Sunah bagi orang yang melakukan salat sunah Mutlak, bauk di malam atau siang hari, agar bersalam setiap dua rakaat. Berdasarkan sebuah hadis vang disepakati Imam Bukhari-Muslim: “Salat malam itu dua rakaat: dua rakaat.” Dalam riwayat sahih lainnya: “dan salat sunah di siang hari”,

 

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Mempctpanjang berdiri itu lebih utama daripada memperbanyak jumlah rakaat.

 

Kata beliau lagi dalam Al-Majmu”, Urutan keutamaan salat-salat sunah sebagai berikut: “Idul Adha, Fitri, Gerhana Matahari, Rembulan, Istisqa’, Witir, dua rakaat sebelum salat Subuh, semua salat Rawatib -semua ada pada satu tingkatan-, Tarawih, Dhuha, dua rakaat Tawaf, Tahiyatul mesjid, Ihram, lantas salat sunah setelah wudu.

 

Faedah:

Tentang salat yang terkenal di malam Raghaib (yaitu, salat 12 rakaat antara Magrib-lsyak : pada malam Jumat pertama bulan Rajab -pen), salat Nisfu Sya’ban dan salat malam ‘Asyura (10 Muharam), ini semua adalah bid’ah gabihah (bid’ah yang tercela), dan hadishadis yang dijadikan dasar adalah hadis mandhu’ (palsu), Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kami, yang senada dengan Imam Ibnu Syuhbah dan lainnya.

 

Yang lebih buruk lagi, adalah seperti yang dijadikan tradisi di suatu daerah, yaitu salat lima rakaat di malam Jumat terakhir bulan Ramadhan sesudah salat Tarawih, dengan maksud agar dapat menebus salat yang ditinggalkan selama satu tahun atau seumur hidup. Hal ini adalah haram dilakukan.

Salat berjamaah ditetapkan di Madinah. Jamaah itu paling sedikit terdiri dari imam dan seorang makmum.

 

Tingkat keutamaan jamaah, adalah sebagai berikut: Jumat, salat Subuh hari Jumat, Salat Subuh, Isyak, Asar, Zhuhur, kemudian Magrib.

 

Salat berjamaah pada salat ada lima waktu -bukan salat Jumathukumnya adalah sunah mua- kad. Berdasarkan hadis Muttafag ‘alaih: “Salat berjamaah itu lebih utama dari salat sendirian, selisih dua puluh tujuh derajat.” Kelebihan seperti yang ditunjukkan oleh hadis, adalah. menetapkan kesunahan saja.

 

Hikmah kelebihan 27 derajat, adalah bahwa berjamaah mengandung faedah sebesar itu, yang melebihi salat sendirian.

 

Tidak masuk dalam ketentuan “ada’ (tunai)”, adalah salat maktubah itu dikerjakan secara kadha. Tetapi, jika antara makmum dengan unam dalam mengerjakan salat kadha itu sama, maka hukumnya sunah berjamaah.

 

Jika tidak sama, maka hal itu menyelisihi keutamaan (khilaful aula), seperti halnya salat ada bermakmum dengan salat kadha atau sebaliknya, salat fardu dengan imam salat sunah atau sebaliknya, dan salat Tarawih bermakmum dengan imam salat Witir atau sebaliknya.

 

Tidak masuk dalam ketentuan “Maktubah”, adalah salat nazar dan salat sunah. Untuk jtu tidak sunah berjamaah, tapi juga tidak dimakruhkan melakukannya

 

Imain An-Nawawi berkata. Al-Ashah, bahwa salat berjamaah hukumnya fardu kifayah atas laki-laki bahg, merdeka dan bermukim, untuk salat ada’ saja. Demikian itu dimaksudkan agar dapat menambah syiar di tempat didirikan jamaah.

 

Dikatakan: Hukum berjamaah adalah fardu ain, dan ini adalah . pendapat Imam Ahmad.

 

Dikatakan lagi: Hukumnya adalah merupakan syarat sah salat.

 

Kemuakkadan sunah berjamaah bagi wanita, tidak sekuat bagi laki-laki. Karena itu, kemakruhan meninggalkan jamaah hanya bagi laki-laki, bukan wanita.

 

Berjamaah salat maktubah di mesjid bagi laki-laki, adalah lebih utama. Memang! Jika jamaah. hanya didapati di rumahnya saja, maka inilah yang lebih utama.

 

Demikian juga, di rumah lebih utama, Jika jamaahnya lebih banyak daripada di mesjid. Demikian inilah yang di: pegangi oleh Imam Al-Adzra’i dan Jainnya. Guru kami berkata: Ditinjau dari berbagai wajah, adalah kebalikannya.

 

Jika terjadi perlawanan antara fadhilah salat di dalam mesjid (tanpa berjamaah) dengan salat di luar mesjid (tapi dengan berjamaah), maka yang didahulukan adalah mana yang lebih jelas fadhilahnya (yaitu berjamaah). Karena fadhilah yang berkaitan dengan keadaan ibadah itu sendiri lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempat atau masanya. Sedangkan fadhilah yang berkaitan dengan masa itu lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempatnya.

 

Disunahkan mengulangi salat maktubah (karena ada jamaah), dengan syarat jamaah tersebut berada pada waktunya, dan pengulangannya tidak lebih dari satu kali dalam hal ini guru dari Guru kami, yaitu Imam Abil Hasan Al-Bakri berpendapat lain (pengulangannya tanpa batas -pen), sekalipun salat yang pertama dilakukan secara berjamaah bersama orang lain, meskipun hanya seorang, baik dia mengulangi salatnya sebagai orang yang menjadi imam atau makmum dalam salat yang pertama atau kedua, dan dengan syarat-berniat fardu, sekalipun salat ini nanti menjadi sunah. Karena itu, ia harus berniat mengulangi salat yang difardukan.

 

Imam Al-Haramain memilih ketentuan, bahwa dalam hal ini hendaknya dijelaskan, salat Zhuhur atau Asar misalnya, tidak wajib menjelaskan kata. fardu. Demikianlah pendapat yang diunggulkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah. Tetapi, pendapat pertamalah yang diunggulkan Oleh kebanyakan ulama.

 

Yang dianggap salat fardu, adalah salat yang pertama Walaupun telah jelas, bahwa Salat pertama rusak (batal), Maka salat kedua tidak cukup Menjadi penggantinya, Menurut pendapar yang dipegangi Oleh Imam Nawawi dan Guru kami.

 

Lain halnya dengan pendapat guru beliau, yaitu Imam Zakariya, yang mengikuti Imam Al-Ghazali dan pendapat Imam Ibnul ‘Imad (mereka berpendapat, bahwa salat kedua tersebut bisa mengganti yang pertama -pen), Maksudnya, Jika dengan salat fardu (kalau yang ini tidak ada pertentangan dengan Guru kami di atas -pen).

 

Berjamaah dengan jamaah yang banyak, adalah lebih utama daripada jamaah yang sedikit pesertanya, berdasarkan sebuah hadis “.. lalu mana yang lebih banyak, itulah yang lebih disenangi “Allah swt.”,

 

Kecuali imam yang peserta jamaahnya melakukan bid’ah, misalnya ia beraliran Rafidhi atau melakukan kefasikan, sekalipun hanya sekadar dakwaan orang: Maka jamaah yang sedikit pesertanya adalah lebih utama. Bahkan salat sendirian adalah lebih utama (daripada berjamaah dengan imam yang melakukan bid’ah -pen). Demikianlah, seperti apa yang dikatakan oleh Guru kami dengan mengikuti guru beliau, Imam Zakariya r.a.

 

Demikian pula jika imam yang peserta jamaahnya banyak itu tidak beriktikad wajib atas sebagian dari rukun-rukun atau syarat-syarat salat (misalnya imam Hanafi, yang tidak beriktikad terhadap kewajiban membaca basmalah dan menghadap ‘Ainul giblah menurut persyaratan, tapi cukuplah dengan Jihatul giblah -pen), sekalipun dia sendiri melakukannya. Karena yang demikian ini berarti ia melakukan kewajiban yang dimaksudkan sebagai kesunahan, di mana hal ini dapat membatalkan salat menurut mazhab kita (Syafi’i).

 

Atau (lebih utama jamaah yang sedikit pesertanya) jika yang sedikit itu dilaksanakan di dalam mesjid yang diyakini kehalalan tanah atau harta pembangunannya.

 

Atau karena mesjid -yang dekat dari tempat jamaah atau jauh menjadi kosong lantaran dia tidak hadir di situ, sebab dia menjadi imamnya atau orang-orang tidak mau hadir bilamana dia tidak hadir.

 

Karena itu, jamaah di mesjid lebih utama daripada jamaah di tempat lain, sekalipun pesertanya banyak.

 

Bahkan sebagian ulama membahas, bahwa salat sendirian di mesjid yang menjadi kosong sebab kepergiannya, adalah lebih utama daripada berjamaah di lainnya.

 

Menurut pendapat yang lebih beralasan, adalah kebalikannya.

 

Apabila imam yang ada pada jamaah sedikit pesertanya itu lebih utama sebagai imam, misalnya karena ilmunya, maka ikut berjamaah dengan dia adalah lebih utama.

 

Apabila berlawanan antara khusyuk dengan berjamaah (jika salat sendirian bisa khusyuk, tapi jika berjamaah tidak bisa khusyuk -pren), maka yang didahulukan adalah berjamaah. Karena para ulama sepakat, bahwa fardu kifayah itu lebih utam daripada sunah. :

 

Imam Al-Ghazali menge uarkan fatwa, yang kemudian diikuti oleh Imam Abul Hasan Al-Badri dalam Syarah Kabir alal Minhaj, bahwa yang lebih utama adalah salat sendirian bagi orang yang tidak dapat khusyuk dengan berjamaah dalam sebagian besar salatnya.

 

Guru kami berkata: Memang demikian, jika kekhusyukan dalam salat hilang semua, maka salat sendiri adalah lebih utama (tapi dalam kitab Tuhfah dan Fat-hul Jawab, milik Guru kami tersebut, beliau tetap mengatakan yang lebih utama adalah jamaah -pen). Sedangkan fatwa Imam Ibnu Abdis Salam, bahwa khusyuk yang lebih utama secara mutlak, adalah fatwa yang bertitik tolak pada pendapat bahwa jamaah hukumnya sunah.

 

Apabila bertentangan antara bisa mendengarkan. bacaan Algur-an dari imam dengan jamaah yang pesertanya sedikit, tanpa dapat mendengarkan bacaannya, tapi pesertanya banyak, maka yang lebih utama adalah yang pertama,

 

Bagi orang yang salat sendirian, boleh niat bermakmum dengan imam di kala ia berada di tengah-tengah salatnya, sekalipun berselisih bilangan rakaat antara dia dengan imamnya. Namun, hal itu makruh hukumnya, kecuali bagi makmum yang keluar dari jamaah salat, karena semisal imamnya berhadas. Kalau demikian, tidaklah makruh ikut berjamaah dengan yang lain (baru).

 

Apabila mulai niat bermakmum di tengah-tengah salatnya, maka ia wajib menyesuaikan diri dengan imam. Kalau: ternyata imam telah: selesai terlebih dahulu, maka ia menyempurnakan salatnya seperti makmum masbuk. Jika imamnya tidak selesai dahulu, maka yang lebih utama adalah menantinya (daripada mufaraqah -pen).

 

Hukum mufaraqah tanpa ada uzur adalah boleh, tapi makruh, karena itu, fadhilah jamaah terlepas.

 

Mufaraqah sebab ada uzur, misalnya ada kemurahan meninggalkan jamaah, karena imam meninggalkan kesunahan magsudah (sunah yang jika ditinggalkan disunahkan sujud sahwi, atau perbuatan sunah tersebut masih diperselisihkan akan kesunahan dan kewajibannya -pen), misalnya tasyahud awal, qunut dan membaca surah, atau karena imam memperpanjang salat, padahal makmumnya dalam keadaan lemah atau masih punya kesibukan, semua itu tidak menghilangkan fadhilah jamaah.

 

Terkadang mufaraqah itu hukumnya wajib. Misalnya terjadi sesuatu yang membatalkan salat imam, maka bagi makmum wajib mufaraqah seketika. Jika tidak, maka salatnya menjadi batal, sekalipun ia tidak mengikutinya. Hal ini merupakan kesepakatan ulama, sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Majmu’.

 

Fadhilah salat berjamaah bisa diperoleh bagi orang yang salat selain pada salat Jumat, selagi imam belum membaca salam. Maksudnya, helum sampai mengucapkan huruf mim pada lafal “alaikum” dalam salam Pertama, sekalipun ia tidak sempat duduk bersama Imam misalnya imam salam setelah ia bertakbuatul ihram,

 

Demikian itu, karena ia masih mendapatkan rukun bersama imam (yaitu takbiratul ihram ypen), karena itu, ja mendapat semua pahala berjamaah dan fadhilahnya. Tetapi di bawah keutamaan orang yang mendapatkan imam sepanjang salatnya.

 

Barangsiapa mendapatkan sebagian salat imam dari yang awal, kemudian karena ada uzur ia mufaraqah, atau imamnya keluar dari salat karena semacam hadas, maka makmum tetap mendapatkan fadhilah berjamaah.

 

Tentang salat Jumat, adalah belum dianggap mendapatkan rakaat, kecuali telah mendapatkan satu rakaat, seperti akan diterangkan nanti.

 

Sunah bagi kelompok yang baru hadir, sedangkan imam telah selesai rukuk yang terakhir, agar mereka sabar sampai dengan imam salam, kemudian mereka mulai bertakbiratul ihram (berjamaah), jika memang waktu salat belum, sempit.

 

Sunah bersabar pula, bagi orang yang baru tertinggal sebagian salat imam, serta ia mengharap akan didirikan jamaah lain yang dapat ia ikuti keseluruhannya. Tetapi, Guru kami dalam hal ini berpendapat: Kesunahan di atas, jika dengan penantian itu tidak menghilangkan fadhilah awal waktu atau waktu ikhtiar, baik ia mengharap atau berkeyakinan akan didirikan jamaah lain.

 

Sebagian ulama berfatwa: Apabila seseorang bermaksud mengikuti jamaah, tetapi ia tidak bisa menemukannya, maka baginya tetap ditulis pahala berjamaah, berdasarkan sebuah hadis.

 

Fadhilah takbiratul ihram bisa didapatkan dengan kedatangan makmum pada waktu imam sedang melakukannya, dan dia pun mengikutinya setelah itu tanpa menunda-nunda.

 

Jika waktu imam bertakbiratul ihram makmum belum datang atau sudah datang, tapi ia menunda-nunda waktu, maka hilanglah fadhilah takbiratul ihram. Memang! Tetapi bisa diampuni apabila hal itu karena sedikit was-was.

 

Mendapatkan takbiratul ihram bersama imamnya, adalah suatu fadhilah tersendiri, yang diperintahkan pencapaiannya. Demikian ini karena hal itu merupakan pilihan dalam salat, dan karena orang yang bisa : melakukan terus-menerus selama empat puluh hari, baginya ditulis sebagai orang yang terbebas dari api neraka dan lepas dari nifak, sebagaimana tersebut dalam hadis.

 

Dikatakan: Bahwa fadhilah takbiratul ihram bisa didapatkan, sebab mendapat sebagian berdiri imam.

 

Sunah tidak tergesa-gesa (waktu berangkat/berjalan berjamaah) sekalipun khawatir akan tertinggal takbiratul ihram. Demikian pula akan tertinggal jamaah menurut pendapat yang Ashah, kecuali salat Jumat: karena itu, wajib berjalan sekuatnya, jika berharap dapat menemukan takbiratul ihram sebelum imam membaca salam.

 

Sunah bagi imam dan yang salat sendirian, menanti orang yang baru masuk salat dengan maksud bermakmum, di saat rukuk atau tasyahud akhir: demikian itu mereka lakukan hanya karena Allah Ta’ala dan tanpa memperpanjang atau membeda-bedakan antara orang-orang yang masuk, sekalipun hal ini didasarkan atas ilmu yang dimiliki.

 

Sunah pula menanti di saat sujud kedua, dimaksudkan agar makmum muwafik bisa menyusulnya, guna menyempurnakan bacaan Al-Fatihah.

 

Tidak sunah menanti orang yang berada di luar tempa salat, sekalipun mesjidnya berbentuk kecil.

 

Tidak sunah juga orang yang memang mempunyai kebiasaan lambat dan mengakhirkan takbiratul ihram sampai imam rukuk. Bahkan yang sunah adalah tidak menantinya sebagai pengajaran kepadanya.

 

Imam Al-Faurani berkata: Haram menantinya, berdasarkan sifat cinta (bukan karena Allah).

 

Sunah bagi imam agar meringankan salatnya, karena masih melaksanakan sunah ab’adh dan haiat, asal jangan sampai mencukupkannya dengan mengerjakan “batas yang harus dilakukan” dan jangan mengerjakan yang paling sempurna, kecuali mahshur yang rela untuk diperpanjang.

 

Makruh bagi imam memperpanjang salatnya, sekalipun bertujuan agar orang-orang yang lain bisa menyusulnya.

 

Jika orang yang sedang. salat (munfarid, imam maupun makmum) melihat semacam kebakaran, hendaklah mempercepat salatnya. Dalam hal ini, wajib ataukah tidak?

 

Di sini terdapat dua pendapat, pendapat yang beralasan mengatakan wajib, adalah karena menyelamatkan binatang yang dinilai mulia: dan baginya boleh mempercepat salat karena ingin menyelamatkan semacam harta benda.

 

Begitu juga, boleh mempercepat salat bagi orang yang mengetahui ada binatang muhtaram akan dianiaya oleh orang yang zalim: atau binatang itu akan tenggelam, maka wajib menyelamatkannya dan mengakhirkan salat atau membatalkannya bila ketepatan sedang salat: Kalau yang dianiaya orang zalim itu berupa harta, maka menyelamatkannya adalah boleh dan makruh jika meninggalkannya.

 

Makruh melakukan salat sunah setelah ikamah dikumandangkan, sekalipun tanpa seizin imam.: Apabila seseorang tersebut bertepatan masih dalam salat sunahnya, maka sunah menyempurnakannya jika ia tidak khawatir akan tertinggal dari jamaah. Apabila khawatir, maka yang sunah adalah memutusnya, lalu Mengerjakan (mengikuti) : Jamaah, jika ia sudah tidak mengharap akan didirikan Jamaah lain.

Satu rakaat akan didapatkan oleh makmum masbuk yang mendapatkan imamnya sedang rukuk, dengan dua hal yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama dapat bertakbiratul ihram dan takbir turun untuk rukuk.

 

Jika ia hanya mencukupkan takbiratul ihram, maka takbir itu harus dimaksudkan untuk takbiratul ihram saja.

 

Makmum masbuk juga menyempurnakan takbiratul ihramnya, sebelum imam berada pada posisi batas minimal rukuk.

 

Kalau tidak bisa menyempurnakan sedemikian rupa, maka rakaatnya belum termasuk, kecuali bagi makmum yang belum mengerti hal itu, maka salatnya sebagai salat sunah.

 

Lain halnya jika masbuk itu niat untuk rukuk saja (maka rakaat/ salatnya tidak jadi), sebab di situ tidak terdapat takbiratul ihram, atau begitu juga niat rukuk dibarengkan takbiratul ihram (maka tidak jadi), sebab menyekutukan (antara fardu dengan sunah) atau juga kalau memutlakkan (tidak niat rukuk dan tidak niat takbiratul ihram, maka juga tidak jadi), sebab terjadi pertentangan dua garinah, yaitu garinah-takbir untuk iftitah dan turun melakukan rukuk.

 

Karena itu, wajib niat takbiratul ihram agar bisa terbedakan dengan takbir lawannya, yaitu takbir untuk rukuk.

 

Kedua, dengan mendapatkan rukuk bersama imam yang sudah dapat dianggap cukup (sebagaimana imamnya adalah orang yang suci -pen). Sekalipun hal itu dilakukan oleh makmum secara gegabah, yaitu misalnya tidak segera mengerjakan takbiratul ihram hingga imam sudah rukuk.

 

Tidak masuk dalam kata “rukuk”, apabila makmum masbuk menemui imamnya pada selain rukuk, misalnya iktidal, juga dikecualikan dengan kata “rukuk yang mencukupi,bagi imam”, apabila rukuk imam tidak dianggap Cukup, seperti rukuk imam yang menanggung hadas (atau najis) dan rukuk imam pada rakaat tambahan (yang terjadi karena ia lupa, lantas berdiri -pen).

 

Terdapat di dalam kaidahkaidah Imam Zarkasi, yang kemudian dinukil oleh Imam Al-‘Allamah Abus Su’ud bin Zhuhairah di dalam. Hasyiyah Al-Minhaj, bahwa disyaratkan juga adanya imam harus Ahlit tahammul (menanggung). Karena itu, jika ia seorang anak kecil, maka bagi makmum masbuk di atas tidak bisa mendapatkan rakaat, sebab anak kecil itu bukan ahli tahammul.

 

Rukuk yang dilakukan oleh makmum masbuk tersebut harus sempurna. Misalnya harus berthuma’ninah sebelum imam kembali dari rukuknya dalam ukuran minimum, yaitu batas di mana dua telapak tangan telah sampai pada kedua lutut.

 

Demikian itu, mabuk harus berkeyakinan telah thuma’ninah bersama imamnya pada waktu rukuk.

 

Apabila makmum masbuk tidak bisa berthuma’ninah dalam rukuknya sebelum imam kembali berdiri dari rukuk, atau masbuk merasa ragu atas pelaksanaan thuma’ninah, maka dia tidak bisa dihukumi mendapatkan rakaat.

 

(Setelah masbuk yang ragu tersebut menambah satu rakaat setelah imam salam), maka dia sunah bersujud sahwi -sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Al-Majmu’-, sebab keraguannya terjadi setelah salam imam, tentang bilangan rakaat yang berarti imam tidak bisa menanggungnya.

 

Dalam hal ini, Imam Al-Asnawi mengemukakan pembahasannya, bahwa hukumnya wajib mengikuti imam yang sedang rukuk, karena untuk mendapatkan satu rakaat dalam waktu salat. (Contoh masalah: Jika waktu salat sudah sempit, seseorang menemukan orang yang salat dalam keadaan rukuk: jika ia bermakmum dengannya, maka ia masih menemukan satu rakaat dan jika ia salat sendirian, maka Udak mendapatkan satu rakaat dalam waktunya, maka dalam keadaan seperti ini ia wajib mengikutinya -pen).

 

(Jika masbuk menemukan Imamnya sudah bertakbir intigal dari rukuknya -pen), bagi masbuk sunah ikut bertakbir intigal bersamanya. Karena itu, jika ia menemukan imamnya dalam keadaan iktidal, maka ia harus bertakbir untuk turun dan kepindahan rukun-rukun seterusnya, (Sedang apa yang dikerjakan tidak dihitung rakaatnya -pen): kalau mendapatkan imam dalam keadaan sujud, umpama -selain sujud tilawah-, maka ia tidak boleh ikut bertakbir untuk turun bersujud.

 

Sunah bagi masbuk mengikuti imamnya dalam membaca zikir yang ditemuinya bersama imam, yaitu membaca tahmid, tasbih, tasyahud dan doa. Demikian juga dalam hal membaca selawat atas keluarga Nabi saw., sekalipun pada tasyahud awal makmum, sebagaimana yang dikemukakan, oleh Guru kami (Ibnu Hajar).

 

Sunah membaca takbir bagi masbuk ketika akan berdiri sesudah sang imam dua kali salam, apabila duduk yang dilakukan bersama imam duduk tasyahud akhir itu tepat dengan duduk masbuk. ika ia salat sendirian, misalnya masbuk mulai masuk salat pada rakaat ketiga dalam salat yang berakaat empat atau kedua pada salat Magrib.

 

Kalau tidak bertepatan seperti itu, maka baginya tidak sunah bertakbir untuk berdiri.

 

Sunah mengangkat tangan bagi makmum masbuk sebagai mengikuti imamnya yang hendak berdiri dari tasyahud awal, sekalipun hal ini tidak bertepatan dengan duduk tasyahud masbuk.

 

Bagi masbuk tidak disunahkan duduk tawaruk pada selain duduk tasyahud akhirnya.

 

Sunah baginya tidak berdiri dahulu, kecuali setelah imamnya mengucapkan dua kali salam: dan haram baginya diam setelah kedua salam imam. Jika duduk tersebut bukan merupakan tempat duduknya (andaikata dia salat sendirian, yaitu daduk tasyahud awal -pen). Karena itu, jika dia diam dengan disengaja dan mengerti akan keharamannya, maka batal salatnya.

 

Masbuk tidak boleh berdiri sebelum salam imam (yang pertama). Kalau hal itu dilakukan dengan sengaja dan tanpa niat mufaragah, maka batallah salatnya. Yang dimaksudkan dengan mufaragah di sini, adalah mufaragah dari batas duduk. Tetapi, jika hal itu dilakukan karena lupa atau memang tidak mengerti akan masalah tersebut, maka semua perbuatan salatnya setelah berdiri itu tidak dianggap, sehingga ia kembali duduk, kemudian berdiri untuk meneruskan salatnya, setelah sang imam salam.

 

Sewaktu ia mengerti (atau ingat, bahwa ia berdiri sebelum sang imam salam -pen) dan ia tidak mau kembali duduk, maka batalah salatnya.

 

Masalah ini berbeda dengan makmum yang berdiri meninggalkan imam dengan sengaja pada tasyahud awal. Makmum yang semacam ini, semua bacaan yang dibaca sebelum imam bediri (dari tasyahud awalnya), adalah dianggap sah, sebab ia tidak wajib kembali duduk lagi.

Syarat-syarat menjadi makmum itu, antara lain:

 

  1. Niat mengikuti imam, berjamaah atau bermakmum dengan imam yang hadir, niat salat bersamanya atau juga niat menetapkan diri menjadi makmum, yang niat itu semua wajib disertai takbiratul ihram.

 

Karena itu, jika niat igtida’ tidak bersamaan takbiratul ihram, maka kalau yang dilakukan itu salat Jumat menjadi tidak sah, karena dalam pelaksanaan salat Jumat harus berjamaah, maka salat tetap sah sebagai salat sendirian, bukan jamaah.

 

Jika niat seperti tersebut ditinggal atau merasa ragu atas penunaiannya dan ia tetap mengikutkan perbuatan salatnya kepada orang lain, misalnya orang itu turun rukuk, ia mengikutinya atau mengikuti salam orang lain tanpa maksud iqtida’ serta menanti perbuatan atau salam (karena untuk ikut) dengan waktu yang cukup lama menurut ukuran umum, maka batal salatnya.

 

Niat menjadi imam atau berjamaah bagi imam selain salat Jumat hukumnya sunah, hal itu agar bisa memperoleh fadhilah jamaah, dan menghin-dari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya (Al-Khuruj minal khilaf, mustahab -pen).

 

Niat menjadi: imam yang dilakukan bersamaan takbiratul ihram adalah sah,sekalipun di belakangnya hanya ada seorang jika ia percaya, bahwa orang tersebut akan berjamaah -menurut beberapa tinjauan-, sebab ia akan menjadi imam.

 

Imam yang tidak berniat menjadi imam, sekalipun karena tidak mengerti kalau ada beberapa orang yang mengikutinya, maka fadhilah jamaah bagi makmum-makmum tersebut tetap diperoleh, namun untuk sang imam tidak. Jika ia berniat menjadi imam di tengah-tengah salat, maka sejak itulah ia memperoleh fadhilah jamaah.

 

Mengenai imam dalam salat Jumat, maka niat menjadi imam hukumnya adalah wajib, sejak bertakbiratul ihram.

 

  1. Makmum tidak berada di tempat yang lebih depan daripada imam, dengan tumit yang dipandang secara yakin, sekalipun jari-jari makmum melebihi imamnya.

 

Tentang merasa ragu atas lebih maju, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa. Demikian juga tidak ada masalah, jika antara imam dan makmum bersejajar, tapi hal itu hukumnya makruh.

 

Sunah mengambil tempat di arah kanan imam bagi laki-laki, ‘ sekalipun anak kecil, jika tidak ada makmum yang hadir lainnya.

 

Jika makmum tersebut tidak berdiri di sebelah kanan imam, maka bagi sang imam sunah memindahkan ke arah kanannya (tanpa mengerjakan perbuatan yang banyak -pen) sebab hal itu mengikuti Nabi.

 

Tempat makmum tersebut agak ke belakang sedikit dari imam, sebagaimana jari-jari nakmum berada di belakang tumit sang imam.

 

Tidak masuk ketentuan lakilaki, apabila makmum adalah Wanita. Maka bagi wanita,

 

hendaklah mengambil tempat di belakang imam dengan lebih membelakang.

 

Kemudian, jika ada laki-laki lain yang baru datang, hendaknya mengambil tempat sebelah kiri imam dengan sedikit ke belakang.

 

Kemudian, setelah bertakbiratul ihram, dua orang makmum tersebut sunah mundur ketika masih berdiri atau rukuk, sehingga mereka membentuk barisan di belakang imam (jika kedua makmum tidak mau mundur, maka imam yang sunah maju atau ke depan -pen).

 

Sunah bagi dua orang makmum laki-laki yang kebetulan ” datang bersama atau beberapa orang laki-laki yang bermaksud igtida kepada imam, hendaknya berbaris di belakang imam.

 

Sunah mengambil tempat di baris pertama, yaitu baris yang tepat di belakang imam, sekalipun terhalangi oleh mimbar atau tiang, kemudian barisan setelah’ yang pertama dan seterusnya.

 

Bagian setiap baris yang paling utama, adalah bagian kanan imam.

 

Jika dihadapkan antara berdiri sebelah kanan imam (tapi tidak pada baris pertama) dengan berdiri di barisan pertama (tapi tidak berada di sebelah kanan imam), maka hendaklah mendahulukan mana yang jelas fadhilahnya (yaitu barisan pertama). Dan jika dihadapkan antara berdiri di sebelah kanan imam (tapi jauh darinya) dengan berdiri di sebelah kiri, tapi dekat jaraknya dengan. imam, maka yang lebih utama adalah sebelah kanan imam.

 

Mendapatkan baris terdepan, adalah lebih utama daripada mendapatkan rukuk rakaat selain terakhir. Adapun mendapatkan rukuk imam rakaat terakhir, adalah lebih utama jika dibandingkan bermaksud mendapatkan barisan pertama yang mengakibatkan tidak mendapatkan rukuk imam rakaat terakhir itu.

 

Makruh bagi makmum menyendiri di luar barisan yang tunggal jenisnya, jika ternyata baris tersebut masih ada lowongan, akan tetapi (yang sunah), adalah memasuki tempat itu.

 

Makruh memasuki barisan di mana barisan depannya belum penuh. Begitu juga makruh bagi laki-laki yang sendirian berdiri di sebelah kiri atau belakang imam, bersejajar atau ke belakang jauh.

 

Semua kemakruhan di atas dapat menghilangkan fadhilah berjamaah, sebagaimana yang dijelaskan oleh fukaha.

 

Sunah antara barisan satu dengan lainnya dan antara barisan pertama dengan imam, jaraknya tidak melebihi tiga hasta.

 

Sunah bagi makmum laki-laki berbaris di belakang imam, kemudian di belakang mereka adalah anak-anak, lalu wanita. Anak laki-laki tidak boleh dipindah ke belakang, kemudian ditempati laki-laki yang sudah balig. sebab mereka sama jenisnya.

 

  1. Mengetahui gerak perpindahan salat imam, baik dengan melihat langsung atau melihat sebagian barisan, mendengar suara Imam atau penyambungan Suara Imam yang dapat dipercaya.

 

  1. Imam dan makmum berkumpul di tempat, demikian itu seperti diketahui pada jamaah-jamaah di masa yang telah lewat.

 

Karena itu, jika makmum dengan imam berada dalam mesjid, maka hukum igtida’ adalah sah, sekalipun jarak antara keduanya melebihi 300 hasta atau masing-masing bertempat di lain bangunan dalam mesjid tersebut. Termasuk di sini, dinding. atau serambi, yaitu tempat (daerah) di luar mesjid, tetapi dikilung Untuk memperluas mesjid. Baik serambi itu sudah diketahui akan status kewakafannya itau tidak, sebab melakukan lahir, yaitu “dikilung”. Asal tidak diyakinkan, bahwa serambi tersebut dibangun setelah pembangunan mesjid atau serambi itu bukan mesjid. Tidak termasuk dari mesjid adalah harim mesjid.

 

Yaitu tempat yang bersambung dengan mesjid dan disediakan untuk kemaslahatan mesjid, misalnya pancuran air dan tempat meletakkan sandal. Igtida’ menjadi sah, sekalipun jarak di antara: kedua beian pihak melebihi 300 hasta ataupun bertempat di lain jenis bangunan dalam mesjid itu. Lain halnya dengan orang yang berada dalam bangunan mesjid yang pintunya tidak dapat terus (menembus) ke tempatnya, seperti pintu tersebut dipaku, atau dia berada dalam loteng yang tidak bertangga, maka bermakmum yang demikian itu hukumnya tidak sah, sebab mereka dianggap tidak berkumpul.

 

Seperti tidak sah orang-orang di balik jendela dinding mesjid, yang dari tempat itu tidak bisa berjalan ke tempat imam, kecuali dengan berputar atau memuelok, misalnya ia mesti membelok dari. arah kiblat jika hendak masuk ke tempat imam.

 

Jika salah satunya berada di dalam mesjid, dan satu lagi berada di luarnya, maka disyaratkan: jarak antara orang yang berada dalam mesjid dan yang di luarnya, tidak melebihi 300 hasta dengan perhitungan kira-kira (jarak 300 hasta dihitung dari akhir mesjid dengan makmum -pen) dan di antara mereka tidak terdapat penghalang seandainya menuju pihak lainnya atau penghalang pandangan mata.

 

Atau dengan cara ada orang di antara para makmum yang bertempat di hadapan lubang pada tabir itu, jika mereka berdua berada dalam dua bangunan, misalnya yang berada di tengah rumah, sedangkan yang satu lagi berada di terasnya.

 

Atau bila yang satu berada dalam suatu bangunan dan yang satu lagi berada di tanah lapang, maka mereka disyaratkan juga seperti syarat yang telah lewat (jaraknya tidak jauh, tiada penghalang atau ada orang yang berdiri di lubang/jalan tembus -pen).

 

Apabila di antara keduanya terdapat penghalang yang dapat mencegah lewat ke arah mereka, misalnya jendela atau menghalangi pandangan mara, misalnya pintu yang tertutup, sekalipun tidak terkunci, karena dapat menghalangi untuk menyaksikan, dan sekali pun tidak menghalangi makmum untuk berjalan ke tempat imam semisal juga tabir yang terurai, atau tidak ada orang yang berdiri di jalan tembus (lubang), maka igtida’ ini tidak sah.

 

Apabila terdapat seorang yang berdiri di hadapan lubang (pintu) tembus hingga dapat melihat imam atau makmum yang salat bersama dalam bangunan imam, maka sah salat makmum yang berada di tempat lain dengan cara mengikuti orang yang menyaksikan tersebut.

 

Orang yang berdiri tersebut kedudukannya sebagai imam bagi makmum yang berada di tempat lain tadi, yang dengan demikian mereka tidak boleh mendahuluinya dalam posisi berdiri atau takbiratul ihramnya. Tapi mendahului dalam perbuatan salatnya, tidak mengapa.

 

Kebatalan salatnya tidak mempengaruhi salat makmum itu, asal hal ini terjadi setelah mereka bertakbiratul ihram .menurut beberapa wajah pendapat-. Masalah ini sebagaimana bila pintu tertutup oleh angin di tengah-tengah salat. Demikian ini karena: Sesuatu yang tidak bisa diampuni karena baru mulai, adalah dapat diampuni karena hanya meneruskan.

 

Cabang:

Apabila salah satu pihak bertempat di atas, sedangkan yang satu lagi berada di bawah, maka disyaratkan antara keduanya Uada penghalang.

 

Tidak disyaratkan, agar telapak kaki yang berada di atas berada tepat di atas kepala orang di bawah, sekalipun mereka berada di luar mesjid, menurut penjelasan kitab Ar-Raudhah dan aslinya serta Al-Majmu’. Sementara segolongan ulama Mutaakhirin mempunyai pendapat lain.

 

Makruh salah satu pihak berada di tempat yang lebih tinggi tanpa ada hajat, sekalipun di dalam mejid,

 

  1. Ada kesamaan di dalam melakukan atau meninggalkan sunah-sunah yang sangat mencolok ketidakserasiannya jika diselisihi.

 

Karena itu, salat makmum menjadi batal, jika terjadi perselisihan dengan imam dalam melakukan (meninggalkan) sunah, misalnya sujud Tilawah yang dilakukan olch imam, tapi oleh makmum ditinggal dengan sengaja dan mengerti keharamannya (atau makmum sengaja melakukan, tapi imam tidak melakukan, scbab masalah sujud Tilawah, makmum harus ada kesamaan dengan imam dalam melakukan atau meninggalkannya -pen), atau tasyahud awal yang dilakukan oleh imam, tetapi makmum tidak melakukannya atau sebaliknya dengan sengaja dan mengerti, sekalipun dalam waktu yang singkat makmum (yang melakukan tasyahud awal, sedang imam meninggalkannya -pen) bisa mengejar kembali salat imam -selagi dalam hal ini imam tidak melakukan duduk istirahah.

 

Demikian ini dihukumi batal, karena makmum telah berpaling dari mengikuti imam yang justru wajib, untuk berpindah mengerjakan hal yang sunah (mengenai tasyahud awal, bagi makmum wajib ada kesamaan dengan imam dalam meninggalkannya, tidak wajib dalam melaksanakannya. Sehingga jika imam meninggalkan tasyahud awal, maka bagi makmum wajib meninggalkan, tapi jika imam mengerjakannya, maka bagi makmum boleh meninggalkan dan berdiri dengan sengaja. Lain halnya kalau berdirinya karena lupa, maka ia wajib duduk mengikuti imamnya -pen).

 

Apabila perselisihan itu tidak menyebabkan ketidakserasian yang mencolok, maka tidak mengapa mengerjakan sunah itu, misalnya membaca Ounut (yang imam tidak berqunut), di mana makmum bisa menyusul imam pada sujud pertama. (Mengenai qunut, bagi makmum tidak wajib ada kesamaan dengan imam dalam melaku. kan maupun meninggalkannya. Karena itu, jika imam berqunut, bagi makmum boleh meninggalkannya dan dengan sengaja berdiri, dan jika imam – meninggalkannya, bagi makmum sunah berqunut, jika ja dapat menyusul imam pada sujud pertama, dan boleh berqunut, jika ia dapat menyusulnya pada duduk di antara dua sujud, namun jika ia dapat menyusulnya pada sujud kedua, maka tidak boleh melakukannya -pen).

 

Qunut berbeda dengan tasyahud awal, sebab pada tasyahud awal seperti contoh di atas, berarti makmum melakukan duduk yang tidak dilakukan oleh imam, sedang dalam masalah qunut ini, makmum hanya memperpanjang iktidal imam, maka dari itu tidak sampai terjadi ketidakserasian. Begitu juga tidak menjadi masalah, jika makmum melakukan tasyahud awal, apabila imam melakukan duduk istirahah. Sebab pada dasarnya yang menjadi masalah (membatalkan) salat di sini, adalah melakukan duduk yang tidak dilakukan oleh imam.

 

Kalau imamnya tidak duduk istirahah, maka bagi makmum tidak boleh melakukan tasyahud awal, dan bagi makmum  yang sengaja serta mengetahui hukumnya, adalah membatalkan salatnya, kalau ia tidak berniat mufaragah (memisahkan diri) dari imam.

 

Mufaraqah yang terjadi seperti itu adalah disebabkan uzur, karena itu lebih utama dilakukannya.

 

Jika makmum belum selesai melakukan tasyahud awal, sedang imamnya sudah selesai terlebih dahulu, maka baginya boleh meninggalkan diri guna menyempurnakan tasyahud, bahkan hal ini disunahkan, jika yakin ia dapat menyempurnakan Fatihahnya sebelum sang imam rukuk (jika ia tidak meyakinkan hal itu, maka hukum menyempurnakan bacaan tasyahud adalah boleh saja, dan baginya diampuni atas ketertinggalan tiga rukun dengan imamnya -pen).

 

Tidak sunah meninggalkan diri guna menyempurnakan bacaan surah, bahkan makruh jika ia Udak bisa menyusul imam dalam rukuk.

 

  1. Di antara syarat gudwah adalah tidak tertinggal dari imam sejauh dua rukun fi’li yang sambung-menyambung dan sempurna tanpa uzur, disengaja dan ia mengerti hukum haramnya, sekalipun kedua rukun tersebut tidak panjang.

 

Apabila ia tertinggal dua rukun seperti di atas, maka salatnya batal, karena terjadi ketidakseraian. Contohnya: Imam sudah rukuk, iktidal lalu turun untuk sujud -maksudnya sudah. berdiri lagi-, sedang makmum masih berdiri.

 

Tidak termasuk ketentuan “dua rukun fi’li”, apabila tertinggal dua rukun gauli atau satu .yrukun gauli dan satu lagi rukun fi’li.

 

  1. Tidak tertinggal dari imam tanpa uzur yang menetapkannya sejauh tiga rukun atau lebih panjang. Tidak terhitung rukun ‘salat yang panjang adalah iktidal dan duduk di antara dua sujud. Contoh tertinggal (karena uzur): Imam dalam bacaannya terlalu cepat, sementara makmum lambat karena pembawaan. tidak mampu membaca cepat -bukan karena was-was-, atau makmum lambat gerakan-gerakannya.

 

Misalnya lagi makmum menanti diam imam setelah membaca Fatihah sebagai pemberian kesempatan bagi makmum untuk membaca Fatihah, tahutahu imam langsung rukuk sesudah membaca Fatihah. Misal lain lagi, makmum lupa membaca Fatihah sehingga imam Sudah rukuk.

 

Atau misalnya makmum merasa ragu atas bacaan Fatihahnya sebelum imam rukuk.

 

Tentang tertinggal karena waswas, sebagaimana makmum selalu mengulang-ulang kalimat tanpa ada yang mengharuskan, maka hal ini tidak bisa dianggap suatu uzur.

 

Guru kami berkata: Sebaiknya bagi orang yang berpenyakit was-was yang sampai parah, seperti sudah menjadi pembawaan, sehingga setiap orang yang melihatnya selalu memastikan, bahwa was-was seperti itu tidak mungkin dihindari lagi, hendaklah orang tersebut mengerjakan sebagaimana orang yang lambat geraknya.

 

Bagi makmum pada contoh-contoh tersebut (selain yang lambat gerakannya), wajib menyempurnakan Fatihah, selagi tidak terlambat tiga rukun yang panjang-panjang.

 

Apabila makmum karena suatu uzur, ia terlambat tiga rukun yang panjang, misalnya belum selesai membaca Fatihah, tapi imam sudah berdiri kembali dari sujud atau sudah duduk tasyahud, maka makmum yang seperti ini wajib menyesuaikan diri dengan imam dalam rukun keempat, yaitu berdiri atau duduk tasyahud, tanpa memperhatikan ketertiban salatnya sendiri, kemudian setelah salam imam, ia wajib menambah rakaat yang kurang.

 

Aabila ia tidak mau menyesuaikan diri dengan yang dilakukan imam dalam rukun keempat, padahal ia mengerahui atas kewajiban mengikutinya, dan dia tidak berniat mufaragah dari imam, maka salatnya menjadi batal, Jika ia mengerti dan sengaja melakukannya.

 

Apabila makmum rukuk bersama imam dan merasa ragu: Sudah membaca Fatihah atau belum, atau ingat bahwa dia belum membacanya, maka ia, tidak boleh kembali berdiri, dan setelah imam salam, ia wajib menambah rakaat.

 

Jika ia kembali berdiri dengan mengetahui serta sengaja, maka batal salatnya. Kalau tidak tahu atau tidak sengaja, maka salatnya tidak batal.

 

Jika ia telah yakin membacanya, tapi merasa ragu atas sempurnanya, maka hal ini tidak membawa pengaruh apa-apa.

 

Jika makmum masbuk terleka Masbuk adalah makmum yang Udak mendapatkan imam berdiri dalam waktu yang cukup untuk membaca Fatihah dengan ukuran biasa. Masbuk adalah kebalikan makmum muwafik.

 

Jika makmum merasa ragu, apakah mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca Fatihah? Maka hendaklah meninggalkan Fatihah dan dianggap tidak mendapatkan rakaat jika ia tidak sempat rukuk bersama imam.

 

(Terleka) dengan melakukan sunah, misalnya membaca Ta’awudz atau doa Iftitah, atau ia (masbuk) tidak terleka . sesuatu, misalnya ia hanya diam dalam waktu setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca Fatihah, padahal ia mengerti, bahwa kewajibannya adalah membaca Fatihah, atau ia hanya diam mendengarkan bacaan imam, maka bagi makmum masbuk yang seperti itu wajib membaca Fatihah sesudah rukuk imam. Baik ia meyakinkan akan dapat menyusul imam sebelum bangkit dari sujud atau tidak meyakinkannya, menurut beberapa tinjauan wajah hukum: yaitu membaca Fatihah seukuran huruf yang dibaca dalam kesunahan tersebut, menurut perkiraan atau sepanjang lamanya diam. Demikian ini, karena ia kurang hati-hati atas pindah dari fardu menuju sunah.

 

Dianggap suatu uzur bagi makmum masbuk yang tertinggal karena (membaca Fatihah) seukuran bacaan sunah di atas, seperti hukum orang yang lambat bacaannya (yaiw diampuni tiga rukun yang panjang-panjang -pen), sebagaimana yang dikatakan oleh dua Guru kami (Imam AnNawawi dan Ar-Raff’i), seperti halnya Imam Al-Baghawi, dengan alasan wajib meninggalkan diri. Karena itu, ia wajib meninggalkan rakaat selagi tidak tertinggal tiga rukun salat.

 

Lain halnya dengan pendapat yang dipegang oleh segolongan Muhaqqiqun, bahwa makmum masbuk seperti di atas, tidak dianggap uzur, lantaran berbuat sembrono dengan pindah ke sunah tersebut. Pendapat ini dimantapkan oleh Guru kami (Ibnu Hajar) dalam Syarah Minhaj dan Fatawa-nya. Kemudian beliau berkata: Bagi orang yang menganggapnya sebagai uzur, maka anggapan tersebut perlu ‘ ditakwili. Berpijak dengan pendapat segolongan Muhaggigun, bagi makmum yang tidak bisa menyusul imam dalam rukuk, maka ia tidak mendapatkan rakaat.

 

Ia tidak boleh rukuk, sebab apa yang dilakukan tidak dianggap, tetapi ia harus mengikuti imam turun untuk sujud (setelah imam salam nanti ia menambah rakaat). Kalau tidak mengikuti imam, maka salatnya menjadi batal, jika hal ini disengaja dan mengerti hukumnya.

 

Lalu beliau meneruskan perkataannya: Pendapat yang beralasan, bahwa makmum masbuk di atas adalah meninggalkan diri guna membaca bacaan yang wajib baginya sampai imam sujud. Kemudian, jika ia dapat menyempurnakan bacaan tersebut, maka ia wajib menyesuaikan diri dengan imam (turun untuk sujud) tanpa rukuk. Kalau tidak muwafagah, maka salatnya menjadi batal jika disengaja dan mengetahui hukumnya. Kalau tidak bisa menyempurnakan bacaannya, maka harus mufaragah (memisahkan diri) dari imam dengan niat.

 

Guru kami dalam kitab Syarah. Al-Irsyad berkata: Yang lebih dekat dengan penukilan nash Imam Syafi’i, adalah yang pertama (pendapat yang diikuti oleh Imam Rafi’i dan Nawawi), dan di sini pula pendapat sebagian besar ulama Mutaakhirin.

 

Jika makmum seperti tersebut rukuk sebelum membaca Fatihah seukuran bacaan sunah yang telah dibaca, maka salatnya menjadi batal. “

 

Dalam kitab Syarah Minhaj yang diriwayatkan dari sebagian besar Ashhabusy Syafi’i, bahwa makmum tadi boleh rukuk tanpa membaca Fatihah. Pendapat inilah yang dipilih.

 

Bahkan segolongan ulama Mutaakhirin mengunggulkan pendapat ini dan banyak d antara mereka yang mengmukakan dalil alasannya, juga ucapan Imam Rafi’i-Nawawi bertepatan dengan pendapat ini.

 

Adapun apabila makmum masbuk tadi tidak mengetahui, bahwa kewajibannya adalah membaca Fatihah, maka keterlambatan membaca Fatihah seukuran bacaan sunah, dianggap ketertinggalan yang uzur, demikian menurut pendapat Imam Al-Qadhi Husain.

 

Tidak termasuk ketentuan “masbuk”, jika yang terlambat adalah makmum muwafik, maka jika ia tidak bisa menyempurnakan Fatihah lantaran terleka membaca bacaan sunah, seperti Doa Iftitah, sekalipun ia tidak punya perkiraan dapat menyusul imam dalam Fatihah, makmum muwafik yang seperti ini dihukumi seperti makmum yang lambat bacaannya sebagaimana di atas, tanpa ada pertentangan lagi.

 

Makmum yang mendahului atas imamnya dengan sengaja dan mengetahui hukumnya, sejauh dua rukun fi’li, sekalipun tidak panjang, adalah dapat membatalkan salat, sebab hal ini dipandang berselisihan dengan imam yang sudah fuhsyah.

 

Gambaran makmum mendahului imamnya dua rukun fi’li secara sempurna, adalah sebagai berikut: Makmum rukuk, iktidal, lalu bersungkur untuk sujud misalnya, sedangkan imam masih berdiri, atau begini: Makmum rukuk sebelum imam akan mengangkat kepala dari rukuk, maka makmum bersujud. Dengan demikian, makmum tidak berkumpul dengan imamnya dalam perbuatan rukuk dan iktidal.

 

Apabila mendahului dua rukun itu karena lupa atau tidak mengerti hukumnya, maka tidak apa-apa, namun dua. rukun itu tidak dihitung. Karena itu, jika tidak mengulanginya dengan imam lantaran lupa atau bodoh, maka setelah imam salam, ia wajib menambah rakaat. Kalau tidak karena lupa atau bodoh (tetapi disengaja atau mengerti hukumnya), maka ia harus mengulangi salatnya, (sebab salat yang dikerjakan itu batal -pen),

 

Bagi makmum yang mendahului atas imamnya sejauh satu rukun fi’li secara sempurna, dengan disengaja dan mengerti hukumnya, misalnya makmum telah rukuk dan bangkit darinya, sedangkan imam masih berdiri, adalah haram hukumnya.

 

Lain halnya makmum tertinggal dari imam satu rukun fi’li, hukumnya hanya makruh, seperti keterangan yang akan datang.

 

Barangsiapa mendahului imamnya satu rukun, maka baginya sunah kembali untuk menyesuaikan dengan imamnya, bila hal ini terjadi karena disengaja, baginya boleh kembali dan boleh tidak.

 

Kebersamaan makmum dengan imam dalam melaku-kan rukun-rukun fi’li atau gauli selain takbiratul ihram, hukumnya adalah makruh, sebagaimana halnya terlambat satu rukun yang sampai imam selesai melakukannya, atau mendahului imam dengan memulai suatu rukun.

 

Tiga hal tersebut, jika dijakukan dengan sengaja, maka bisa menghilangkan fadhilah salat jamaah. Jamaah tetap sah, tapi tidak mendapat pahala jamaah. Karena itu, dosa meninggalkan jamaah (atas pendapat yang mengatakan fardu berjamaah) adalah gugurnya, begitu juga kemakruhan meninggalkannya (atas pendapat yang mengatakan sunah jamaah -pen).

 

Ucapan segolongan ulama: Hilang fadhilah jamaah itu menetapkan baginya sudah keluar dari mengikuti imam, sehingga ia seperti orang yang salat sendirian, dan (jika hal ini . terjadi pada jamaah Jumat, maka tidak sah salatnya (sebab salat Jumat harus berjamaah), ucapan tersebut adalah tidak benar, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam AzZarkasi dan lainnya.

 

Ketentuan hilang fadhilah berjamaah ini berlaku pada setiap kemakruhan yang bisa terjadi dalam jamaah saja, dan tidak bisa terjadi di luar jamaah.

 

Yang sunah bagi makmum adalah mulai melakukan sesudah imam memulainya, setelah imam selesai melakukannya, baru makmum menyelesaikannya.

 

Yang lebih sempurna dari ini: Permulaan makmum melakukan itu, adalah setelah gerakan’gerakan imam berhenti, dan makmum jangan mulai melakukan, sehingga nyata-nyata imam telah pindah pada rukun selanjutnya.

 

Karena itu, makmum tidak perlu membungkuk dahulu untuk rukuk atau sujud, sehingga imam telah meletakkan keningnya pada tempat sujud.

 

Apabila makmum bersamaan dengan imam dalam melakukan takbiratul ihram, atau telah nyata, bahwa imam bertakbiratul ihram setelah makmum, maka salat makmum tidak jadi (sebab takbiratul ihramnya tidak sah).

 

Tidaklah mengapa dengan adanya bacaan takbir imam secara pelan untuk takbir yang kedua, jika para makmum tidak mengerti hal itu (tidak Merasa mendahului takbir imam).

 

Tidak mengapa pula, jika makmum bersamaan salam imam, mendahului membaca Fatihah atau tasyahud imam, misalnya makmum telah selesai, sedang imam belum memulai. Ini semua tidak menjadi masalah.

 

Dikatakan: Makmum wajib mengulangi bersama perbuatan imam atau sesudahnya, yang terakhir ini adalah lebih utama. Berpijak dengan pendapat ini, jika makmum tidak mengulanginya, maka batallah salatnya.

 

Memperhatikan perselisihan Seperti ini hukumnya adalah Sunah, sebagaimana halnya Sunah mengakhirkan seluruh bacaan Fatihah-nya dari Fat hah imam, sekalipun pada kedua rakaat salat Sirriyah, Jika memang makmum me Nyangka, bahwa imamnya membaca surah.

 

Apabila ia yakin, bahwa imam hanya membaca Fatihah saja, maka bagi makmum wajib membaca Fatihah bersama imam.

 

  1. Tidak sah bermakmum dengan orang yang telah diyakini batal salatnya, sebagaimana imam melakukan perkara yang membatalkan salat, menurut iktikad makmum.

 

Umpama seseorang bermazhab Syafi’i bermakmum pada imam yang bermazhab Hanafi yang memegang farjinya dan ia tidak berbekam, kebatalan karena dipandang dari segi keyakinan orang yang bermakmum, sebab imam yang seperti itu adalah hadas menurut makmum yang Syafi’i sebab memegang farji, sebaliknya tidak batal sebab berbekam.

 

Maka, menghubungkan salat makmum dengan imam dianggap uzur, sebab menurut makmum, imam tidak dalam salat.

 

Apabila seorang makmum bermazhab Syafi’i merasa ragu terhadap imam yang berlainan mazhab, tentang perbuatanperbuatan wajib menurut makmum, maka tidak akan mempengaruhi kesahan salat, sebab untuk menjaga khusnuzhzhan (baik sangka) dalam menjaga perselisihan.

 

Karena itu, tidak menjadi masalah dengan adanya ketidakyakinan tentang kewajiban perbuatan yang diperselisihkan itu.

 

Cabang:

Apabila imam berdiri lagi untuk rakaat tambahan -misalnya rakaat kelima- sekalipun karena lupa, maka bagi makmum tidak boleh mengikutinya, walaupun ia berstatus makmum Masbuk, atau ja sangsi atas rakaatnya. Akan tetapi, makmum tersebut memisahkan diri dan salam atau menunggu imam (dalam tasyahud), menurut pendapat yang Muktamad.

 

  1. Tidak sah bermakmum dengan orang yang berstatus menjadi makmum, sekalipun hanya diragukan adanya menjadi makmum yang sekalipun jelas berstatus menjadi imam.

 

Tidak termasuk dalam ketentuan “orang yang berstatus menjadi makmum”, apabila orang itu telah berakhir menjadi makmum. Misalnya makmum masbuk yang berdiri setelah imam salam, lantas ada orang lain bermakmum dengannya, maka salat orang ini adalah sah. Atau para makmum masbuk berdiri dan sebagian bermakmum kepada sebagian yang lain, maka ini pun sah menurut pendapat yang Muktamad, Tetapi hukumnya makruh.

 

  1. Tidak sah qari’ bermakmum kepada imam yang umi, yaitu orang yang merusak bacaan Fatihahnya, baik sebagian, seluruhnya ataupun hanya satu huruf saja darinya. Misalnya, secara keseluruhan ia tidak bisa membacanya, atau tidak bisa membaca yang sesuai makhraj atau tasydid, sekalipun hal itu karena ia sudah tidak mungkin untuk belajar, karena makmum tidak mengerti atas keadaan imamnya.

 

Demikian ini, karena ia tidak bisa menanggung bacaan Fatihah makmum, jika ia menemuinya dalam keadaan rukuk.

 

Sah bagi makmum yang gari’ bermakmum kepada imam yang disangka (dimungkinkan) seorang yang umi, kecuali imam tersebut pada salat jamaah jahriyah tidak mau membaca dengan suara keras. Untuk itu, ia wajib mufaragah dengannya. Jika ia masih terus bermakmum dalam keadaan tidak mengetahui kalau imamnya seorang yang umi, hingga salam, maka ia wajib mengulangi salatnya, selagi tidak tampak jelas, kalau imamnya adalah qari’.

 

Masalah ketidaksahan bermakmum kepada umi adalah jika tidak sama-sama uminya, antara imam dan makmum, dalam huruf Fatihah yang tidak mereka mampui. Misal, makmumnya yang dapat membaca dengan baik, atau salah satu pihak dapat membaca dengan baik terhadap huruf-huruf yang pihak lainnya tidak bisa.

 

Termasuk umi adalah “Aratta”, yaitu orang yang lantaran mengganti huruf, ia mengidghamkan huruf yang tidak semestinya. Juga “Altsagh”, yaitu orang yang mengganti huruf dengan huruf lain.

 

Orang-orang tersebut jika ada kemampuan untuk belajar, tapi mereka tidak mau belajar, maka salatnya tidak sah. Kalau tidak mungkin, maka salatnya sah saja, sebagaimana sah pula imam-makmum sama-sama umi.

 

Makruh bermakmum kepada imam yang selalu mengulang huruf ta’ (dalam Fatihah) dan imam yang selalu mengulang huruf fa’ (dalam bacaan tasyahud), juga dengan imam lahn (aksi-aksian) yang tidak sampai mengubah makna, misalnya membaca,dhammah pada lafal   لِلّهِ  atau membaca fathah dalnya lafal. نعبد , Apabila lahn itu sampai mengubah makna dalam Fatihah, seperti   أَنْعَمْتِ   membaca kasrah atau dhammah pada lafal.  أَنْعَمْتَ maka salat orang yang mampu untuk belajar, tapi tidak mau belajar adalah batal. Sebab yang dibaca itu bukan Qur-an lagi.

 

Memang, jika waktu salat telah mendesak, maka ia tetap wajib salat demi menghormati waktu, dan nanti ia wajib mengulangi. nya, sebab ia berbuat ke salahan (dengan meninggalkan belajar).

 

Guru kami berkata: Yang jelas, orang yang lahn tersebut. bukan berarti membaca kalimat yang dimaksudkan sebenarnya, sebab apa yang dibaca dengan bacaan lain, pasti bukan Qur-an lagi. Karena itu, kesahan salat tidak digantungkan terhadap kalimat yang dilahnkan, tetapi pada sengaja melahn, sekalipun kejadian yang seperti ini juga dapat membatalkan salat.

 

Kalau lahn itu terjadi bukan pada Fatihah, maka salatnya tetap sah, begitu juga makmum dengannya. Kecuali bisa membaca secara tidak lahn, mengetahui hukum serta sengaja melakukannya, maka salatnya tidak sah, sebab berarti ia berkata berupa ucapan lain.

 

Apabila salat menjadi batal lantaran lahn pada selain Fatihah ini, maka batal pul bermakmum dengannya. Namun, menurut. Imam Al Mawardi, yang batal hanyala bagi makmum yang mengerti keadaannya.

 

Imam As-Subki memilih pendapat yang sesuai dengan pendapat Imam Al-Haramain: Bagi orang seperti di atas, tidak boleh membaca selain Fatihah, sebab ia nanti akan mengucapkan perkataan yang bukan Qur-an, yaitu perbuatan yang membatalkan salat tanpa ada darurat, secara mutlak (baik ia dapat mengucapkan hal itu dengan benar ataupun tidak mampu -pen).

 

Apabila bermakmum pada seseorang yang dikira berhak menjadi imam, tetapi ternyata tidak, misalnya dikira gari’, bukan makmum, orang lakilaki atau berakal sehat, tetapi ternyata mereka adalah umi, bermakmum, wanita, atau orang gila, maka ia wajib mengulangi salatnya. Demikian ini, karena kelalaian tidak mau meneliti dahulu.

 

Tidak wajib mengulanginya bagi orang yang bermakmum kepada imam yang dikira suci, tetapi ternyata menanggung hadas -sekalipun hadas besar-, atau membawa najis yang samar, sekalipun hal itu terjadi pada salat Jumat, bila telah melebihi 40 orang.

 

Sekalipun sang imam mengerti akan hadas dan najis pada dirinya, sebab tiada kelalaian pada makmum, karena tiada tanda akan najis dan hadas yang dapat diketahuinya. Dari sini, maka bagi makmum tetap mendapat fadilah jamaah.

 

Apabila imam yang dikira suci tersebut menanggung najis yang lahir (kelihatan), maka makmum wajib mengulangi salat, karena kelalaianya.

 

Najis lahir adalah najis yang terdapat di luar baju, sekalipun : antara imam dan makmum terdapat penghalang.

 

Pendapat yang Aujah dalam mengatasi najis lahir, adalah najis yang apabila makmum mau memperhatikan benarbenar, maka akan melihatnya. Sedangkan najis yang samar, adalah sebaliknya.

 

Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tahpg membenarkan untuk tidak wajib mengulangi salat secara mutlak (baik najis lahir maupun khafi).

 

Sah orang yang sehat bermakmum pada imam yang beser kencing, madzi atau kentut.

 

Orang yang berdiri sah bermakmum pada imam yang salat duduk, orang yang berwudu pada imam yang tayamum, yang mana imam ,tersebut tidak wajib mengulangi salatuya sebab tayamum itu.

 

Makruh bermakmum pada imam yang fasik dan yang berbuat bid’ah, misalnya orang Rafidhi, sekalipun tidak terdapat imam selainnya. Hal ini jika memang tidak khawatir terjadi fitnah kalau tidak: bermakmum dengan mereka. Ada yang mengatakan: Bermakmum dengan mereka hukumnya tidak sah.

 

Makruh juga bermakmum pada imam yang was-was dan quluf. Tidak makruh bermakmum pada imam hasil zina, tetapi hal ini menyelisihi keutamaan.

 

Iman As-Subki .dan pengikutnya memilih, bahwa bermak. mum pada imam-imam tersebut, tidak makruh lagi, jika memang hanya mereka saja yang ditemukan. Bahkan jamaah dalam keadaan.seperti itu, adalah lebih utama daripada salat sendirian.

 

Guru kami dengan kuat masih tetap menghukumi makruh dalam keadaan tersebut, bahkan yang lebih utama adalah salat sendirian.

 

Sebagian Ash-habus Syafi’i berkata: Menurut pendapat yang Aujah bagiku, adalah apa yang dikatakan oleh Imam As-Subki ra.

Penutup:

Uzur jamaah, begitu juga salat Jumat:

  1. Hujan yang sampai membasahi pakaian, berdasarkan Sebuah hadis sahih, bahwa Nabi saw. memerintahkan agar Melakukan salat di pondokan Tasing-masing di waktu hujan lang. sampai membasahi bagian bawah sandal.

 

Lain halnya jika hujan tidak sampai membasahinya. Memang begitu, namun tetesan air dari atap-atap rumah di tepi jalan, sekalipun tidak sampai membasahinya, adalah dianggap suatu uzur, lantaran kemungkinan besar air itu membawa najis atau kotoran.

 

  1. Jalan berlumpur, sehingga sulit menghindari pengotorannya ketika berjalan atau tergelincir.

 

  1. Amat panas, sekalipun menemukan naungan untuk berjalan.

 

  1. Amat dingin.

 

  1. Amat gelap di malam hari.

 

  1. Sakit parah, sekalipun belum boleh duduk dalam melakukan salat fardu. Tidak termasuk uzur, adalah sedikit pusing kepala.

 

  1. Menahan hadas, baik itu air kencing, berak atau kentut. Maka, makruhlah salat dengan menahan hadas, sekalipun khawatir tertinggal jamaah bila memenuhi hadasnya terlebih dulu/mengosongkan dirinya dari hadas, sebagaimana yang diterangkan oleh segolongan ulama.

 

Penahanan hadas di tengahtengah melakukan salat fardu, adalah tidak diperbolehkan memutus salat itu.

 

Masalah penahanan hadas termasuk uzur ini, jika waktu salat masih longgar, kira-kira bila digunakan untuk mengosongkan diri dari hadas, masih cukup salat dengan sempurna.

 

Kalau waktu sudah sempit, maka haram menunda salat sampai selesai, kemudian hadas terlebih dahulu.

 

  1. Tidak menemukan pakaian yang pantas, sekalipun menemukan penutup aurat.

 

  1. Teman-teman bepergian bagi orang yang akan bepergian yang mubah telah berangkat, sekalipun akan aman jika sampai bepergian sendirian. Hal ini karena ada masagat kesepian dalam perjalanan.

 

  1. Takut terhadap orang zalim, bagi orang yang berhak untuk dilindungi (ma’shum), baik yang dikhawatirkan itu berupa harga diri, jiwa ataupun harta.

 

  1. Bagi pengutang yang belum dapat membayar, takut akan ditahan oleh pihak pemiutangnya.

 

  1. Merawat orang yang sakit, sekalipun bukan sanak kerabatnya yang tidak ada orang yang merawatnya, sanak kerabatnya yang sakit keras: atau tidak sakit keras, tapi merasa gembira atas rawatannya.

 

  1. Sangat mengantuk pada waktu menunggu jamaah.

 

  1. Sangat lapar dan dahaga.

 

  1. Buta, jika tidak ada penuntun jalan yang mau digaji dengan harga umum, sekalipun dapat berjalan dengan menggunakan tongkat.

 

Peringatan!

Semua uzur di atas dapat menghapus kemakruhan meninggalkan jamaah, sekira dihukumi sunah, dan menghilangkan dosanya, sekira dihukumi wajib berjamaah.

 

(Bagi orang yang meninggalkan jamaah sebab uzur), ia udak bisa mendapat fadilah jamaah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam AnNawawi dalam Al-Majmu.

 

Selain Imam An-Nawawi memilih pendapat sebagaimana pendapat segolongan ulama Mutakadimin, bahwa fadilah jamaah tetap didapatkan, jika bermaksud melakukan jamaah andaikata tidak ada uzur.

 

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Sunah bagi orang yang meninggalkan Jumat tanpa uzur, agar bersedekah satu dinar atau setengah dinar, sebagaimana yang diterangkan hadis Abu Dawud dan lainnya.

Mengerjakan salat Jumat hukumnya fardu ain, jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Perintah melakukannya turun di Mekah. Namun di Mekah sendiri tidak diselenggarakan kala itu, karena belum cukup bilangan kaum.muslimin, atau karena syiarnya harus ditampakkan, sedangkan Nabi Muhammad saw. di Mekah masih sembunyi-sembunyi.

 

Orang yang pertama kali mendirikan salat Jumat di Madinah sebelum Nabi saw. hijrah adalah As’ad bin Zurarah. Yaitu diselenggarakan di desa (kampung) yang ber’dekatan dengan kota Madinah.

 

Salat Jumat itu salat yang paling utama.

 

Dinamakan dengan salat Jumat, karena banyak orang-orang yang berkumpul guna mengerjakan salat Jumat, atau karena Nabi Adam a.s ber: kumpul dengan Hawa di Muzdalifah pada hari Jumat. Dan karena itu, Muzdalifah dinamakan Jam’an.

 

Salat Jumat Itu wajib atas setiap orang Mukalaf, yaitu balig, berakal sehat, Jaki-laki dan merdeka, Karena itu, salat Jumat tidak wajib atas wanita, khuntsa dan budak, sekalipun budak Mukatab, Scbab mereka semua dianggap punya kekurangan.

 

Yang bertempat tinggal di tempat diselenggarakannya salat Jumat, Artinya, mereka tidak pergi dari tempat itu di musim kemarau maupun hujan, kecuali ada keperluan semacam berdagang atau ziarah.

 

Mereka tidak sedang uzur, misalnya sakit atau uzur-uzur lain, seperti yang ada dalam masalah salat jamaah. Karena itu, salat Jumat tidak wajib bagi Orang sakit yang tidak bisa hadir di tempat di selenggarakan Jumatan setelah matahari tergelincir ke arah barat.

 

Salat Jumat tetap sah, jika dikerjakan oleh orang yang punya uzur.

 

Salat Jumat wajib dikerjakan oleh orang yang bermukim (sekalipun) didirikan salat, misalnya orang yang bermukim tetapi mereka tidak bisa mensahkan Jumat daerah tersebut -pen).

 

Salat Jumat juga tidak bisa terlaksana, dengan dipenuhi oleh budak atau anak-anak, tetapi salat mereka sah. Hanya saja mereka (mukim bukan mutawathin, mukim mutawathin, budak dan anak-anak) wajib menunda takbiratul ihram sampai sesudah takbir 40 orang yang sah Jumatnya dengan kepenuhan mereka ini, demikian yang disyaratkan oleh segolongan ulama Muhaggigin, sekalipun banyak ulama yang menentangnya (pendapat yang rajih menurut Imam Ibnu Hajar, Al-Khatib dan Ar-Ramli: Penundaan takbiratul ihram mereka adalah tidak wajib -pen).

 

Syarat Sah Jumat

 

Di samping syarat-syarat salat yang lain, salat Jumat juga disyaratkan atas enam perkara:

 

  1. Harus dilaksanakan secara berjamaah, pada rakaat pertama, imam berniat menjadi imam dan makmum berniat bermakmum yang bersamaam dengan takbiratul ihram.

 

Krena itu, salat Jumat a Mudah terpenuhi bilangan Jmaahnya (40 orang), adalah Tidak sah jika dilaksanakan dengan sendiri-sendiri (tidak berjamaah).

 

Pada rakaat keduanya disyaratkan harus berjamaah. Karena itu, jika imam pada rakaat pertama berjamaah dengan makmum 40 orang, lalu imam berhadas, lantas mereka meneruskan salatnya sendirisendiri, atau imam tidak berhadas, tetapi mereka memisah dari imam (mufaraqah) pada rakaat kedua dan meneruskan sendiri-sendiri, maka sah Jumatannya.

 

Memang! Orang 40 itu disyaratkan harus tetap ada sampa mereka semua salam, sehingga apabila salah satu dari keempat Puluh Orang tersebut berhadas Sebelum salamnya, sekalipun Makmum yang lainnya sarah Salam, maka batallah sala Jumat mereka.

 

Apabila makmum masbuk mendapatkan rukuk imam pada rakaat kedua, lalu ia mengikuti terus sampai salam, maka ia harus menambah satu – rakaat (sunah) dengan bacaan keras, dan salat Jumat sudah dianggap sempurna, jika Jumatan imam tadi sah.

 

Demikian juga sempurna salat Jumat makmum masbuk lainnya, yang bermakmum kepada masbuk di atas dan ia masih mendapatkan satu rakaat bersamanya, demikianlah menurut fatwa Guru kami.

 

Orang yang baru mengikuti imam setelah rukuk imam rakaat kedua, menurut pendapat yang Ashah wajib niat salat Jumat, sekalipun yang harus dikerjakan adalah salat Zhuhur.

 

Pendapat lain mengatakan, bahwa orang tersebut boleh berniat salat Zhuhur. Seperti ini pula Imam Al-Bulgini memfatwakan dan menguraikan secara panjang-lebar.

 

  1. Salat Jumat harus dikerjakan oleh 40 orang termasuk imamnya, di mana mereka ini adalah orang-orang yang menjadikan kesahan Jumat, sekalipun sedang menderita sakit.

 

Andaikata orang-orang yang sedang mendirikan salat Jumat itu 40 orang saja dan di antara mereka terdapat seorang atau lebih yang ummi, di mana ia malas untuk belajar, maka salat Jumat mereka tidak sah, sebab salat si ummi batal, yang berarti bilangan 40 orang menjadi berkurang.

 

Namua, jika si ummi tidak tagshir dalam meninggalkan belajar (sebagaimana ia tidak menemukan pengajar atau memang sangat bodoh/tumpul otaknya -pen), maka sah salat Jumat mereka, sebagaimana pendapat yang dipegang teguh oleh Guru kami dalam kitab Syarhul ‘Ubab dan Al-Irsyad, dengan mengikuti pendapat yang telah dimantapkan oleh gurunya dalam kitab Syarhur Raudh.

 

Kemudian dalam Syarhul Minhaj, Guru beliau berkata:

 

Dalam masalah ini, tiada perbedaan antara ummi atau tagshir, atau tidak dalam hal belajar. Perbedaan yang ada di sini tidaklah kuat -selesai-.

 

Jika bilangan 40 itu berkurang di waktu salat (yaitu, pada . rakaat pertama), maka salat Jumat menjadi batal, kalau kurangnya di waktu khotbah, maka rukun khotbah yang dilakukan waktu bilang berkurang, adalah tidak dianggap, karena rukun tersebut tidak : didengarkan oleh mereka.

 

Jika dalam waktu dekat menurut ukuran umum, bilangan penuh lagi, maka boleh meneruskan rukun khotbah mulai dari rukun yang dikerjakan sebelum bilangan kurang tadi. Kalau tidak dalam waktu dekat, maka khotbah harus diulangi dari permulaan, sebagaimana jika bilangan berkurang antara khotbah dan salat, lantaran hilangnya sambung-menyambung antara khotbah dengan salat.

 

Cabang:

Seseorang yang mempunyai dua tempat tinggal pada dua daerah, maka yang dipandang sebagai tempatnya adalah yang banyak didiami, kalau keduanya sama, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya, adalah tempat yang didiami oleh keluarga dan harta bendanya. :

 

Jika di satu tempat terdapat keluarganya, dan di tempat yang satu lagi terdapat harta bendanya, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya, adalah tempat yang didiami keluarganya, Apabila masing-masing terdapat keluarga dan hartanya, maka yang dianggap sebagai tempat tinggalnya adalah tempat yang didiami di waktu terselenggara salat Jumat.

 

Salat Jumat tidak jadi (tidak sah) dengan dikerjakan orang yang jumlahnya kurang 40.

 

Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah r.a., menurut beliau salat Jumat tetap sah dengan jumlah empat orang (dengan imamnya), sekalipun mereka semua adalah hamba sahaya atau orang-orang musafir.

 

Menurut pendapat kita (Syafiyah), penyelenggaraan salat Jumat itu tidak disyaratkan harus mendapat ijin dari penguasa (pemerintah’/sultan) dan tempatnya tidak harus di mishr (kota). Lain halnya dengan pendapat linam Abu Hanifah yang menyaratkan kedua hal di atas.

 

Imam Al-Bulqini ditanya mengenai penduduk suatu daerah yang jumlahnya kurang dari 40 orang, mereka ini wajib mengerjakan salat Jumat atau Zhuhur? Beliau menjawab: Mereka harus mengerjakan salat Zhuhur, menurut mazhab Syafi’i.

 

Segolongan ulama memperbolehkan mereka (yang kurang dari 40 orang) melakukan salat Jumat, dan justru pendapat ini yang kuat. Karena itu, jika mereka semuanya mengikuti imam yang berpendapat tersebut, maka bolehlah, dan salat Jumatnya adalah sah.

 

kalau ingin hati-hati, hendaknya mereka melakukan salat Jumat, lalu mengerjakan salat Zhuhur, Hal itu adalah baik.

 

  1. Diselenggarakan salat Jumat pada tempat yang termasuk balad (baik itu wilayah ibukota, daerah ataupun desa -pen), sekalipun daerah padang (tanah lapang) yang masuk wilayahnya. Sebagaimana salat Jumat sejauh jarak yang tidak diperkenankan menggasar salat, sekalipun tidak bersambung dengan bangunan.

 

Lain halnya tempat yang sudah tidak wilayahnya, yaitu tempat jauh yang kalau seseorang pergi ke sana sudah diperbolehkan menggashar salat.

 

Cabang:

Apabila sebuah desa berpenduduk 40 orang, maka bagi mereka wajib menyelenggarakan salat Jumat. Bahkan menurut pendapat yang Muktamad, mereka haram meniadakannya di desa tersebut dan pergi melakukannya ke lain daerah, yang sekalipun ia masih mendengar panggilan salat Jumat dari daerah lain tersebut.

 

Imam Ibnur Rifah dan lainnya berkata: Jika mereka dapat Mendengar panggilan salat Jumat dari Mishr (kota, yaitu tempat yang terdapat hakim syar’i, hakim Syurthi/hakim yang menangani tindak kriminal, dan terdapat pasar untuk muamalah -pen), maka boleh memilih antara pergi ke balad (tempat yang hanya terdapat sebagian dari yang ada pada mishr -pen) untuk menunaikan salat Jumat atau menyelenggarakannya di desanya sendiri.

 

Apabila mereka pergi ke desa (dalam masalah di atas), maka mereka tidak bisa menyempurnakan bilangan kesahan Jumat, sebab berkedudukan sebagai musafir.

 

Jika di desanya sendiri tidak ada golongan yang mendukung kesahan salat Jumat -sekalipun dengan memper- hitungkan di antara mereka ada yang tidak mau pergi salat Jumat-, maka mereka wajib menunaikan salat Jumat di desa sebelahnya, yang mereka masih mendengar panggilan salat Jumat dari tempat itu.

 

Imam Ibnu ‘Ujail berkata: Apabila ada beberapa tempat (desa) yang berdekatan, serta masing-masing mempunyai nama tersendiri, maka dihukumi sebagai tempat tersendiri (jika sudah mencapai bilangan 40 orang penduduknya, maka wajib menyelenggarakan salat Jumat -pen). Guru kami berkata: Dihukumi seperti itu, jika masing-masing tempat tersebut berkedudukan sebagai desa tersendiri pula, menurut anggapan umum.

 

Cabang:

Apabila penguasa memaksa penduduk suatu desa agar berpindah dari desanya dan membangun tempat di daerah yang baru, yang kemudian tinggal di situ, tetapi mereka bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal yang pertama bila Allah swt. telah melonggarkannya, maka mereka tidak wajib menunaikan salat Jumat di tempat tersebut (tempat baru). Bahkan belum cukup Syarat sah salat Jumat bagi mereka, sebab mereka tidak mutawathin (penduduk daerah Itu).

 

  1. Salat Jumat diselenggarakan Pada waktu Zhuhur.

 

Jika waktu sudah tidak mencukupi menunaikan salat Jumat dan kedua khotbahnya, atau hal tersebut masih diragukannya, maka mereka harus mengerjakan salat Zhuhur.

 

Jika dengan yakin atau hanya mengira waktu salat sudah habis, sedang mereka ada di tengah-tengah mengerjakan salat Jumat -sekalipun sebelum/ hampir saja salam-, jika hal itu atas berita orang yang adil: (menurut pendapat yang Aujah), maka mereka wajib meneruskan salatnya sebagai salat Zhuhur, dengan meneruskan apa yang sudah berlangsung, dan salat Jumat sudah tertinggal.

 

Lain halnya jika hanya mengira/ragu, bahwa waktu Zhuhur sudah habis (tetap wajib mengerjakan salat Jumat), sebab pada dasarnya waktu masih ada (belum habis).

 

Termasuk syarat sah salat Jumat, adalah tidak didahului salat Jumat (lain) dengan takbiratul ihram atau dibarenginya di tempat terselenggara salat Jumat di tempat itu (jadi tempat yang sah hanya didirikan satu salat Jumat saja, tetapi ternyata didirikan lebih dari itu/ta’addudul Jumat, maka Jumat yang dianggap sali adalah yang lebih dahulu takbiratul ihramnya -pen).

 

Kecuali jika penduduk tempat tersebut banyak dan sukar dikumpulkan jadi satu tempat sekalipun tidak di mesjiddengan tanpa terjadi sesuatu yang menyakitkan di tempat itu, misalnya panas atau dingin sekali. Maka dalam keadaan seperti ini, boleh menyelenggarakan salat Jumat di beberapa tempat itu, dengan memandang kebutuhannya.

 

Cabang:

Orang yang tidak beruzur, adalah tidaklah sah mengerjakan salat Zhuhur sebelum imam salat Jumat salam. Jika hal ini dilakukan karena tidak mengerti, maka salat yang dilakukan jadi salat sunah.

 

Jika semua penduduk suatu daerah hanya mengerjakan salat Zhuhur, tanpa salat Jumat, maka salat mereka tidak sah, selagi masih ada untuk mengerjakan dua khotbah dan salatnya, sekalipun telah diketahui bahwa mereka pada kebiasaannya tidak mendirikan salat Jumat.

 

  1. Salat Jumat diselenggarakan setelah dua khotbah yang dikerjakan sesudah tergelincir — matahari, berdasarkan hadis Imam Bukhari-Muslim, bahwa Rasulullah saw. salat Jumat selalu setelah dua khutbah. Maksudnya, salat Jumat tersebut diselenggarakan setelah dua khotbah beserta rukun-rukunnya yang akan dituturkan di bawah ini.

Rukun khotbah salat Jumat ada lima perkara:

 

  1. Memuji kepada Allah swt.

 

2, Membaca salawat kepada baginda Nabi saw. keduanya (masing-masing khotbah) dikerjakan dengan lafal yang khusus. Yaitu untuk puji-pujian, seperti:.الحمدلله   atau  احمدلله   Karena itu tidaklah mencukupi dengan mengucapkan: الشكرلله, الحمد للرحمن, الثناءلله, الحمدللرحيم,

 

Untuk salawat contohnya:  اللهم صلى, صلى الله, أصلى على محمد, احمد, الرسول, النبي Atau juga dengan nama Nabi saw. yang lain lagi.

 

Karena itu, tidaklah mencukupi dengan membaca:   اللهم سلّم على محمدوارحم محمد   atau   صلى الله عليه   hanya menggunakan isim dhamir, sekalipun tempat kembali dhamir sebelumnya sudah diturunkan, sebagai mana yang dijelaskan oleh segolongan ulama Muhaqqiqun.

 

Imam Al-Kamalud Damiri berkata: Banyak sekali para khatib yang melupakan hal ini (yaitu membaca salawat hanya  menggunakan Isim Dhamir) -selesai-. Karena itu, anda janganlah tertipu dengan penggunaan isim dhamir dalam pembacaan salawat di sebagian khotbah-khotbah AnNabatiyah yang bisa anda temukan sudah tertulis itu, hal ini berselisih dengan pendapat ulama Muhaggigun golongan Mutaakhir (pembacaan salawat seperti ini tidak cukup).

 

  1. Wasiat takwa kepada Allah. Kata-kata dan panjangnya tidak ditentukan, namun cukuplah dengan mengucapkan semisal: أطيعواالله yaitu kalimat yang mengandung anjuran untuk taat kepada Allah atau larangan mendurhakai-Nya. Karena. wasiat itulah maksud diadakan khotbah.

 

Karena itu, tidaklah cukup hanya menakut-nakuti dari bujukan dunia, memperingatkan kematian, ketidakenakan dan kesakitan sesudah mati.

 

Imam Ibnur Rifah berkata: Wasiat cukup dengan kalimat yang mengandung Perintah, agar bersiap-siap menyambut kematian.

 

Ketiga rukun diatas disyaratkan harus dibaca pada masingmasing dua khotbah Jumat.

 

Sunah bagi seorang khatib, agar menertibkan dalam mengerjakan ketiga rukun tersebut dan rukun-rukun setelahnya. Sebagaimana 1a pertama membaca Hamdalah, salawat, wasiat, membaca Algur-an, lalu membaca doa.

 

  1. Membaca Alqur-an yang memberi kepahaman, pada salah satu dua khotbah. Yang lebih utama adalah dibaca pada khotbah pertama.

 

Sunah setiap hari Jumat Membaca surah Qaaf, atau Sebagian dari surah itu setelah Salat Jumat -sebagai tindak Ittiba’ kepada Rasul.

 

  1. Doa Ukhrawi, untuk sekalian orang-orang mukmin.

 

Doa telah sah, sekalipun tidak menyebutkan mukminat (wanita-wanita mukmin), lain halnya dengan pendapat Imam AlAdzra’i.

 

Sah juga, sekalipun hanya dengan mengucapkan:  رحمكم الله (Semoga Allah merahmati kalian” semua), demikian pula dengan ucapan:  اللهم أجرنامن النار  ” (Ya, Allah, selamatkan kami dari panas api neraka), jika memang yang dimaksudkan dengan “kita” adalah hadirin sekalian. Doa tersebut ‘harus dibaca pada khotbah kedua, sebagai tindak mengikuti ulama salaf dan khalaf.

 

Doa khusus untuk sultan (penguasa), ulama sepakat tidak disunahkan. Kecuali jika khawatir akan terjadi fitnah, maka doa untuk sultan wajib dikerjakannya. Kalau tidak khawatir akan terjadi fitnah, maka mengerjakannya tidaklah mengapa, selama tidak berlebih-lebihan dalam menyebut sifat sultan.

 

Tidak boleh menyebutkan sifat sultan yang tidak semestinya kecuali jika terpaksa harus begitu.

 

Sunah berdoa untuk para wali/ penguasa dari golongan sahabat Nabi saw. secara pasti, begitu juga doa untuk penguasa muslim dan tentaranya, dengan dipanjatkan kemaslahatan, pertolongan, dan berlaku adil.

 

Menyebut kebaikan-kebaikan (keistimewaan) penguasa, adalah tidak akan memutus sambung-menyambung: khotbah, selama penyebutan itu tidak dapat dianggap berpaling dari khotbah.

 

Dalam kitab At-Tawasuth (yaitu At-Tawasuth bainar Raudhah wasy-Syarh, ulasan terhadap kitab Ar-Raudhah. Kitab tersebut ditulis oleh Imam AlAuza’i -pen) disebutkan: DiSyaratkan agar tidak memperpanjang khotbah yang sampai dapat memutus sambung-menyambungnya (doa untuk Para penguasa pemerintahan disyaratkan agar tidak diperpanjang, sehingga dapat memutus muwalah, yaitu seukur dua rakaat -pen), sebagaimana yang banyak dilakukan oleh khatib-khatib yang bodoh.

 

Guru kami berkata: Apabila telah selesai khotbah merasa ragu tentang meninggalkan rukunnya, maka tidak bernengaruh atas ” kesahan khotbah, sebagaimana tidak adanya pengaruh jika setelah salat atau wudu meragukan meninggalkan fardunya.

 

Syarat-syarat Dua Khotbah

 

Disyaratkan dalam dua khotbah:

 

  1. Terdengar oleh 40 orang. Maksudnya oleh 39 orang selain seorang khatib, yang kesemuanya adalah orangorang yang menjadi pendukung kesahan salat Jumat. Yang harus terdengar tersebut, adalah rukun-rukun khotbah, bukan seluruh isi khotbah.

 

Guru kami berkata: Tidak wajib menunaikan salat Jumat bagi 40 orang, yang sebagiannya ada yang buta, salat Jumat tidak sah, jika terjadi keributan yang dapat membuat rukun khotbah tidak terdengar, menurut pendapat yang Muktamad. Sekalipun pendapat tersebut ditentang oleh segolongan ulama yang hanya mensya ratkan menghadiri khotbah saja, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ucapan dua guru kami (Imam Rafi’i dan Nawawi) pada beberapa tempat.

 

(Di waktu mendengarkan khotbah, udak disyaratkan bahwa 40 orang iu harus berada di tempat salat dan tidak harus memahami apa yang mereka dengar,

 

  1. Khotbah disyaratkan harus dengan berbahasa Arab (maksudnya rukun-rukun khotbah), sebagai mengikuti jejak ulama salaf dan khalaf

 

Faedah khotbah harus berbahasa Arab -padahal hadirin tidak mengetahuinya/tidak paham-, adalah agar mereka mengerti secara garis bahwa apa yang dikhotbahkan adalah nasihat, demikianlah menurut yang dikatakan oleh lmam Al-Qadhi Husen.

 

Jika tidak memungkinkan mempelajari khotbah dengan bahasa Arab, padahal waktu sudah mendesak, maka salah scorang dari mereka harus berkhotbah dengan bahasa daerah yang bersangkutan.

 

Jika mereka memungkinkan untuk mempelajari khotbah berbahasa Arab (sebelum waktu mendesak), maka bagi mereka hukumnya fardu Kifayah untuk mempelajarinya.

 

  1. Khatib yang mampu berdiri harus berdiri.

 

  1. Suci dari hadas besar dan kecil, serta pakaian, badan atau tempat juga harus dicuci dari najis yang tidak dima’fu.

 

  1. Menutup aurat.

 

  1. Duduk di antara dua khotbah: dengan thuma’ninah. . Sunah duduk ini dilakukan seukur membaca surah Al-Ikhlas, dan sunah membacanya.

 

Bagi khatib yang karena uzur, sehingga dia berkhotbah dengan duduk, maka dia wajib memisah dua khotbah dengan diam sebentar.

 

Tersebut dalam kitab Al-Jawahir: Apabila antara dua khotbah khatib tidak duduk, maka dua khotbahnya dihitung satu khotbah. Karena itu, ia harus duduk lagi dan meneruskan khotbah yang ketiga.

 

  1. Sambung-menyambung antara dua khotbah, antara rukun-rukunnya, dan antara dua khotbah dengan salat: sebagaimana tidak terpisah panjang menurut ukuran umum.

 

Dalam keterangan yang akan datang, bahwa hilangnya muwalah (sambung-menyambung) antara dua rakaat yang dijamak (dalam jamak takdim) adalah dengan melakukan dua rakaat, bahkan juga bisa terjadi dengan dua rakaat yang sudah mencukupkan kesahan salat (sebagaimana seseorang hanya mengerjakan rukun-rukunnya saja -pen).

 

Batasan tersebut, tidaklah jauh. untuk diterapkan pada masalah muwalah dua khotbah di sini, yang sekaligus menjadi keterangan mengenai “ukuran amum” (panjang dalam ukuran umum, adalah seukur dua rakaat -pen).

Kesunahan bagi orang yang akan menghadiri salat Jumat, sekalipun ia tidak wajib menghadirinya:

 

  1. Mandi. Yaitu meratakan air ke seluruh badan dan kepala. Jika tidak dapat mandi, maka sunah bertayamum dengan niat mandi.

 

(Waktu) mandi adalah setelah terbit fajar.

 

Seyogianya (sunahnya) bagi orang yang berpuasa, yang kalau mandi dia khawatir puasanya menjadi batal, agar tidak usah mandi Jumat, begitu juga dalam hal mandi-mandi sunah.

 

Mandi yang dikerjakan dekat dengan pergi salat Jumat, adalah lebih utama.

 

Jika terjadi Pertentangan antara mandi dahulu (tapi tidak bisa berangkat Jumat pagi-pagi) dengan tabkir (berangkat salat Jumat pagi-pagi, tapi tidak bisa mandi), maka yang lebih utama adalah mandi lebih dahulu, sebab menghindari perselisihan dengan ulama yang menghukumi wajib mandi Jumat. Dari segi ini, meninggalkan mandi hukumnya adalah makruh.

 

Termasuk mandi-mandi sunah, adalah Mandi dua Hari Raya, Gerhana Matahari atau Bulan, Istisga’, mandi-mandi sunah di waktu beribadah haji, setelah memandikan mayat, akari Iktikaf, di setiap malam bulan Ramadhan, setelah berbekam, di kala badan berbau tidak sedap dan orang kafir manakala masuk Islam, karena ada perintah melakukannya (dari Nabi, orang seperti ini).

 

Orang kafir yang baru masuk Islam tidak diwajibkan mandi karena banyak sekali orangorang kafir masuk Islam, mereka (oleh Nabi saw.) tidak diperintahkan mandi.

 

Hal ini jika memang di kala kafir tidak terjadi perkara yang mewajibkan mandi, misalnya janabah atau lain-lainnya.

 

Jika di kala kafir terjadi hal seperti itu, maka mandi baginya adalah wajib, sekalipun di kala kafir ia sudah mandi, sebab niatnya dianggap batal.

 

Di antara mandi-mandi di atas, yang paling kuat kesunahannya adalah mandi Jumat, lalu mandi setelah memandikan mayat.

 

Peringatan:

Guru kami berkata: Sunah hukumnya mengadha mandi Jumat dan mandi-mandi lainnya.

 

Kalau seseorang dianjurkan mengadha, karena jika ia mengerti kalau meninggalkan diperintahkan mengadha, maka ia akan terus mengerjakannya dan menjauhi dari mengabaikannya.

 

  1. Berangkat salat Jumat pagipagi, selain khatib. yaitu setelah terbit fajar. Berdasarkan hadis Bukhari-Muslim, bahwa sesungguhnya orang yang berangkat salat Jumat setelah mandi seperti mandinya sesudah janabah, adalah pendapat yang mengatakan: Memang mandi janabah hakiki setelah bersetubuh (lantas berangkat salat Jumat), sebab bersetubuh di malam atau hari Jumat hukumnya sunah, apabila pergi salat Jumat pada waktu pertama, maka mendapat pahala sebesar kurban seekor unta, waktu kedua sebesar sapi, waktu ketiga sebesar kambing gibas yang bertanduk, waktu keempat sebesar jago, waktu kelima sebesar burung emprit, waktu keenam sebesar butir telor.

 

Yang dimaksudkan dengan waktu-waktu tersebut : antara terbit fajar hingga khatib keluar dari rumah itu dibagi menjadi enam bagian yang sama, baik di kala hari itu panjang ataupun pendek.

 

Bagi sang imam, sunah berangkat akhir hingga waktu khotbah, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Sunah pergi ke tempat salat berjalan kaki dengan tenang melewati jurusan jalan yang jauh, kemudian pulangnya lewat jalan lain yang lebih dekat. Hal ini pula berlaku untuk ibadah-ibadah yang lain.

 

Hukumnya makruh lari waktu pergi salat Jumat dan juga ibadah-ibadah lainnya, kecuali waktu telah mendesak, maka wajib berlari, kalau tidak demikian akan tertinggal.

 

  1. Berhias diri dengan memakai pakaran yang paling bagus. Yang paling utama adalah pakaian putih. Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah pakaian yang pewarnaannya sebelum di tenun. (Dalam hal ini) Gury kam berkata: Makruh memakai pakaian yang pewarnaannya (pencelupannya) sesudah ditenun, sekalipun tidak dengan warna merah.

 

Haram memakai pakaian dari sutera, sekalipun sutera “quz” yaitu jenis sutera berwarna kelabu, dan memakai pakaian yang kadar suteranya lebih banyak dari segi timbangannya, bukan tampaknya.

 

Tidak haram jika kadar sutera lebih sediki atau yang sama, banyaknya. Apabila diragukan tentang lebih banyak suteranya, Maka asal hukumnya adalah halal dipakai menurut beberapa tinjauan pendapat.

 

Cabang:

Halal memakai sutera berperang, jika tidak ada Pakaian yang lain, atau tidak ada penggantinya sebagai Penolak pedang (senjata):

 

Imam Ibnur Rif’ah dalam kitab Kifayah, membenarkan pendapat segolongan ularna yang memperbolehkan memakai baju kurung atau lainnya dari sutera yang patut untuk berperang, sekalipun masih ada yang bukan sutera, karena untuk menggentarkan orangorang kafir, sebagaimana diperbolehkannya menghiasi pedang dengan perak, atau memakai sutera karena suatu kebutuhan, misalnya gatalgatal, di mana memakai selain sutera, terasa sakit, atau pada sutera itu justru terdapat kemanfaatan yang tidak dapat ditemukan pada lainnya, atau kutu seperti banyak kutunya yang tidak dapat diberantas dengan selain sutera: dan boleh digunakan (dipakai) oleh wanita, sekalipun untuk alas, namun tidak halal untuk alas orang laki-laki tanpa ada pemisahnya.

 

Halal bagi laki-laki menggunakan sutera untuk tali tasbih, kancing baju, kantong Mushhaf atau tempat dirham (uang), tutup serban atau bendera di ujung tombak, Tidak halal untuk kuncung di pucuk tasbih.

 

Wajib bagi laki-laki memakai sutera untuk menutup aurat, jika tidak ada yang lainnya, sekalipun di ternpat persepian.

 

Boleh memakai pakaian yang dicelup dengan apa pun warnanya, kecuali yang dicelup dengan za’faran. Juga boleh memakai pakaian najis di luar salat, asal tidak basah.

 

Tidak boleh memakai kulit bangkai tanpa ada darurat, – sebagaimana tidak boleh beralas dengan kulit binatang – buas, misalnya singa.

 

Boleh memberi makan semisal burung, bukan kepada orang kafir, dengan makanan bangkai, begitu Juga 7 memberi: makan pada ternak dengan makanan yang terkena najis.

 

Halal, namun makruh, memakai gading gajah yang tidak basah di atas kepala dan pada, jenggot: membuat penerangaik dengan benda bernajis yang bukan najis mughalladhah selain di mesjid, sekalipun hanya sedikit asapnya, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama (mereka mengatakan, bahwa menerangi mesjid dengan benda najis hukumnya adalah tidak haram).

 

Begitu juga (halal) merabuk tanah dengan najis.

 

Tidak halal memelihara anjing selain bertujuan untuk berburu atau menjaga keamanan harta benda.

 

Makruh, sekalipun bagi wanita, menghiasi selain Ka’bah, misal: nya makam orang yang saleh, dengan kain selain sutera, kalau dengan sutera, hukum-. nya adalah haram (Kalau untuk Ka’bah, hukumnya halal menghiasi dengan sutera -pen).

 

  1. Memaka: serban, Berdasarkan sebuah hadis yang Artinya: “Sesungguhnya Allah suk, dan madaikat-Nya membacakan salawat kepada orang-arang yang memaka: serban di hari Jumat.”

 

Memakai serban, sunah juga di semua salat.

 

Dalam sebuah hadis daif disebutkan fadilah membesarkan serban (Imam Ibnu hajar dalam Al-Tuhfah mengatakan, bahwa hadis tersebut sangat daifnya, sehingga dengan hadis itu saja adalah tidak dapat untuk hujah dan digunakan untuk fadhailul a’mal -pen).

 

Seyogianya panjang-lebar serban diatur sesuai dengan yang memakainya, sebagai yang biasa dipakai pada masa dan tempat tersebut. Kalau melebihi, ykuran tersebut, hukumnya makruh.

 

Harga diri (muruah) seorang ahli fikih hilang, lantaran memakai serban pasaran yang tidak patut baginya: sebaliknya, muruah bertambah jika memakai yang sesuai.

 

Para ahli hadis berkata: Mengenai panjang dan lebar serban Baginda saw., adalah tidak ada yang menerangkan seberapa.

 

Imam Ar-Rafi’i dan An-Nawawi berkata: Bagi orang yang memakai serban, dia boleh Menambah sepotong kain di pucuk serban atau tidak, keduaduanya sama-sama tidak makruh.

 

Imam An-Nawawi menambah: Yang demikian itu, karena satu pun tidak didapati dasar yang sah tentang larangan tidak menambah kain di pucuk serban. -Habis-.

 

Tetapi, tentang menambah kain di pucuk serban, terdapat hadis-hadis sahih dan hasan. Para fukaha menerangkan, bahwa pada dasarnya hukum memakai tambahan di pucuk serban adalah sunah.

 

Guru kami berkata, Menyelempangkan pucuk serban pada antara dua pundak, adalah lebih utama daripada hanya meletakkannya di kanan saja. Sedangkan penyelempangan di pundak kiri saja, adalah tidak ada dasarnya.

 

Sesuai dengan hadis yang : sampai, paling tidak kain yang ada pada pucuk serban panjangnya empat jari, dan paling panjang satu hasta.

 

Imam Ibnul Hajj Al-Maliki berkata: Jangan sampai anda memakai serban sambil berdiri, dan memakai celana dengan duduk.

 

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Makruh berjalan dengan memakai satu sandal, memakai sandal sambil berdiri, memakai kelintungan pada sandal, dan bagi orang yang sedang duduk, dimakruhkan berdiri untuk pergi sebelum zikir kepada Allah swt.

 

  1. (Bagi orang yang akan pergi salat Jumat) memakai harumharuman, selain orang yang sedang berpuasa, menurut beberapa tinjauan pendapat. Hal ini berdasarkan sebuah hadis sahih, bahwa sesungguhnya mengumpulkan antara mandi, memakai pakaian yang bagus, memakai harumharuman mendengarkan khotbah secara saksama dan tidak melangkahi pundak orang lain, adalah dapat menghapus dosa-dosa (dosadosa kecil) yang ada di antara dua Jumat.

 

Menggunakan misik, adalah lebih utama.

 

Ketika mencium misik, tidak disunahkan membaca salawat kepada Nabi saw., namun yang lebih baik adalah membaca Istigfar, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kami.

 

Sunah berhias dengan memotong kuku di kedua tangan dan kaki, kalau yang dipotong hanya salah satunya, hukumnya makruh, memotong rambut yang ada, semisal rambut ketiak dan kelamin, bagi selain orang yang akan berkurban pada tanggal 10 Zulhijah. Demikian itu adalah sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Juga mencukur kumis sampai kelihatan warna merah bibir, dan menghilangkan bau busuk serta kotoran yang ada di badan.

 

Menurut pendapat yang Muktamad, cara memotong kuku dua tangan, adalah dimulai dari telunjuk kanan sampai kelingkingnya, kemudian ibu jarinya, setelah itu memotong kelingking kiri sampai ibu jari secara urut, sedangkan cara memotong kuku kaki, adalah dimulai dari kelingking kaki kiri secara urut.

 

Setelah memotong kuku, seyogianya mencuci tempat yang dipotong.

 

Sunah melakukan pemotongan kuku, seperti yang tersebut di atas pada hari Kamis atau di pagi hari Jumat.

 

Imam Al-Muhib Ath-Thabari menghukumi makruh mencabuti bulu hidung. Katanya: Akan tetapi, hendaknya digunting, karena berdasarkan hadis yang menjelaskan hal ini.

 

Imam Asy-Syafi’i berkata: Barangsiapa bersih pakaiannya, maka sedikitlah susahnya, barangsiapa harum baunya, bertambahlah kecerdasannya.

 

6.Mendengarkan khotbah dengan saksama.

 

Inshat seperti tersebut, adalah sunah dikerjakan, sekalipun bagi orang yang tidak mendengar khotbah.

 

Memang! Tetapi yang lebih utama bagi orang yang tidak mendengar khotbah, adalah terleka dengan membaca Alqur-an atau zikir secara pelan-pelan.

 

Makruh hukumnya, berbicara ketika khotbah dibaca. Hal ini tidak sampai haram. Lain halnya dengan pendapat tiga imam (selain Imam Syafri). Tidak makruh berbicara sebelum khotbah dimulai, sekalipun si khatib sudah duduk di atas mimbar, selesai khotbah, di antara dua khotbah, ketika berdoa untuk raja, dan tidak makruh berbicara bagi orang yang masuk mesjid (di tengah-tengah khotbah), kecuali jika ia minta tempat dan duduk di situ.

 

Makruh bagi orang yang masuk mesjid (di tengah-tengah khotbah), mengucapkan salam, sekalipun tidak mengambil tempat untuk dirinya, sebab hal ini akan merepotkan hadirin Jumat yang diberi salam.

 

Jika ternyata orang tersebut memberi salam, maka bagi mereka wajib menjawabnya.

 

Sunah memuji bagi orang yang bersin, menjawabnya, meninggikan suara -tidak terlalu tinggi-, dalam membaca salawat salam kepada Nabi saw., ketika sang khatib menyebut nama atau sifat beliau.

 

Guru kami berkata: Tidaklah jauh disunahkan membaca Radhiyallah ‘anhu untuk para sahabat Nabi saw. tanpa meninggikan suara, demikian pula doa imam -selesai-.

 

Makruh Tahrim, sekalipun bagi seorang yang tidak wajib menunaikan salat Jumat, mengerjakan salat fardu, sekalipun kadha yang baru ingat waktu itu, dan sekalipun wajib dikerjakan seketika (seperti tertinggal salat tanpa udzur) atau salat sunah, di mana khatib sudah duduk di atas mimbar, sekalipun khotbah tidak terdengar dan ketika sang khatib sedang memanjatkan doa untuk sultan.

 

Menurut pendapat yang Aujah, bahwa salat yang dikerjakan pada saat seperti di atas, adalah tidak sah, sebagaimana tidak sah melakukan salat di waktuwaktu yang dimakruhkan. Untuk ini malah lebih tidak sahnya.

 

Wajib bagi orang yang di tengah salatnya, sedangkan khatib sudah duduk di atas mimbar, agar mempercepat salatnya, dengan cukup mengerjakan perkara yang mengesahkan salat (yaitu rukun-rukun saja).

 

Makruh bagi Orang yang masuk mesjid, mengerjakan salat tahiyyatul mesjid, jika menyebabkan tertinggal takbiratul ihram dari imam salat Jumat, kalau tidak tertinggal, hukumnya tidak makruh, bahkan sunah untuk dilakukan. Namun, wajib dikerjakan seringan mungkin, sebagaimana ja hanya cukup mengerjakan ‘ yang wajib-wajib dalam salatnya, menurut apa yang dikatakan oleh Guru kami.

 

Makruh di waktu khotbah mengerjakan duduk sedekul dengan menalikan serban pada lutut dengan badan, karena terdapat larangan mengenai hal ini. Juga makruh menulis pada kertas di akhir bulan Ramadhan, bahkan jika yang ditulis itu nama-nama bahasa Suryani, yang tidak diketahui maknanya, adalah haram hukumnya.

 

Kesunahan Lain

Disunahkan:

1.Membaca surah Al-Kahfi di hari Jumat atau pada malam harinya, berdasarkan beberapa hadis. Membacanya di siang hari, dihukumi lebih muakad, dan paling utama, adalah membaCanya setelah Subuh, karena mempercepat mendapat kebaikan, dan sunah memper:banyak membaca surah Al-kahfi dan surah-surah Alqur-an yang lain, di malam dan hari Jumat.

 

Makruh membaca surah AlKahfi dan surah-surah lainnya dengan mengeraskan suara, jika hal ini dapat menganggu orang yang sedang salat atau tidur, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam AnNawawi dalam beberapa kitabnya.

 

Dalam Syarhul Ubab, Guru kami berkata: Seyogianya, hukum haram diterapkan pada bacaan “keras di dalam mesjid. Perkataan Imam An-Nawawi di atas adalah diterapkan dalam masalah gangguan yang ditimbulkannya hanya sedikit, atau pembacaannya berada di luar mesjid.

 

  1. Memperbanyak membaca salawat kepada Nabi saw., baik di siang atau malam hari Jumat, karena berdasarkan hadis sahih, yang memuat perintah melakukannya.

 

Memperbanyak membaca salawat lebih utama daripada memperbanyak zikir atau membaca Alqur-an yang tidak secara khusus diterangkan dalam hadis Nabi, demikianlah menurut Guru kami.

 

  1. Memperbanyak bacaan doa di hari Jumat, sebab berharap agar dapat bertepatan dengan waktu ijabah. Saat ijabah yang paling bisa diharapkan, adalah saat khatib duduk sampai selesai salat, dan saat tersebut sangat sebentar sekali.

 

Adalah sah pendapat yang .mengatakan, bahwa saat ijabah : adalah pada akhir setelah waktu Ashar. Sunah juga memperbanyak doa di malam hari Jumat, karena hadis yang sampai pada Imam Syafi’i, bahwa doa di malam hari Jumat adalah dikabulkan, di samping itu, beliau menyunahkan di malam Jumat untuk berdoa.

 

Sunah memperbanyak beramal kebaikan di malam atau siang hari Jumat, misalnya bersedekah atau lainnya, dan sunah terleka dengan membaca Qur-an atau zikir di sepanjang jalan dan pada kehadirannya di tempat salat.

 

Zikir yang paling utama, adalah membaca salawat kepada Nabi saw. sebelum khotbah dimulai atau ketika khotbah berjalan, jika tidak bisa mendengarkannya, sebagaimana keterangan di.atas, berdasarkan hadis-hadis yang menganjurkan hal itu.

 

Sunah sesudah salam salat Jumat, sebelum melipat kaki -riwayat yang lain mengatakan: sebelum berbicara-, membaca Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas, masingmasing sebanyak 7 kali.

 

Berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan, bahwa barangsiapa mau membacanya, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lewat dan akan datang, serta dianugerahi pahala sebanyak bilangan orang yang beriman kepada Ailah dan Rasulullah saw.

 

Penting:

Sunah membaca surah-surah di atas, ayat Kursyi, dan ayat Syahida…. (Aali Imran:18) setiap selesai salat fardu lima waktu, dan ketika akan tidur, lalu disambung dengan ayat akhir surah Al-Bagarah dan Al-Kafirun.

 

Sunah membaca akhir surah Al-Hasyr.   لوانزلناهذاالقران   , permulaan surah Ghafir حم تنزيل الكتاب الخ        dan   افحسبتم أنما خلقناكم عبثا  (ayat 115-118), dibaca pada waktu pagi dan sore hari, lalu disambung dengan zikir-zikirnya.

 

Sunah membiasakan membaca surah As-Sajdah, Yaa Siin, Ad-Dukhan, Al-Wagi’ah. Tabarak, Az-Zalzalah dan AtTakatsur pada setiap hari.

 

Sunah membaca surah Al-Ikhlash dan Al-Fajr sebanyak dua ratus kali pada setiap tanggal 10 Zulhijah.

 

Sunah membaca surah Yaa Siin dan Ar-Ra’d pada orang yang sedang sakit keras.

 

Larangan:

  1. Diharamkan melangkahi pundak orang lain, berdasarkan hadis-hadis sahih.

 

Mengenai hukum haram ini, adalah sebagaimana yang dinukil oleh Imam Asy-Svekh Abu Hamid (Imam Al-Ghazali) dari nash Imam Asy-Syafri. Yang kemudian ini dipilih oleh Imam Nawawi dalam kitab ArRaudhah dan dipilih oleh mayoritas ulama.

 

Namun pembicaraan Imam ArRafi’i dan An-Nawawi menentukan makruh, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’.

 

Melangkahi tersebut hukumnya tidak haram, jika dilakukan oleh scorang yang dibaris depannya ada kelonggaran.

 

Karena itu, dia boleh melangkahi satu atau dua baris di depannya tanpa makruh.

 

Demikian pula tidak haram, jika dilakukan oleh imam yang tidak menemukan jalan menuju mimbar, kecuali dengan melangkahi pundak.

 

Demikian juga tidak haram, – jika dilakukan oleh selain imam, di mana mereka yang dilangkahi sudah memberi ijin, bukan karena malu, atas dasar beberapa tinjauan pendapat.

 

Juga tidak haram melangkahi pundak, bagi orang yang dimuliakan dan sudah membiasakan tempat tertentu.

 

Makruh melangkahi pundak sekelompok manusia di luarsalat.

 

Haram menyuruh orang berdiri tanpa kerelaannya untuk ditempati tempatnya.

 

Makruh memberi prioritas kepada orang lain untuk menempati tempatnya, kecuali jika dengan itu, orang berpindah ke tempat sejajar atau lebih dekat pada imam. Begitu juga dalam ibadah-ibadah lainnya.

 

(Orang yang dibaris depannya masih kosong, dia boleh maju dan melangkahi pundak orang lain) dan ia boleh menyingkirkan sajadah orang lain di tempat itu dengan kaki atau lainnya dan melakukan salat di situ, namun tidak boleh mengangkat sajadah tersebut -sekalipun tidak dengan tangannya-, biar tidak masuk dalam tanggungannya.

 

  1. Bagi orang yang berkewajiban melakukan salat Jumat, haram melakukan jual beli dan sebagainya -misalnya pertukangan-, sesudah dikumandangkan azan khotbah Jumat. Jika terpaksa melakukannya, maka akad tetap sah.

 

Jual beli dan sebagainya, yang dilakukan sebelum azan Jumat, namun setelah tergelincir matahari, hukumnya adalah makruh.

 

  1. Bagi orang. yang berkewajiban melakukan salat Jumat -sekalipun tidak bisa menjadi kelengkapan kesahan Jumat-, haram bepergian yang dapat menyebabkan tertinggal salat Jumat, misalnya ia telah mengira, bahwa tidak dapat melakukan salat Jumat di pertengahan jalan atau tujuannya, dan sekalipun bepergian dalam rangka taat, sunah atau wajib.

 

(Keharaman tersebut) jika dilakukan setelah fajar hari Jumat. Kecuali jika dikhawatirkan akan terjadi madarat dengan ketidakpergiannya -misalnya tertinggal dengan teman-temannya-, maka tidaklah haram pergi seperti ini, jika kepergiannya bukan untuk maksiat, sekalipun waktu pergi setelah matahari tergelincir ke arah barat.

 

Makruh bepergian di malam Jumat, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dengan sanad daif, yang artinya: “barangsiapa bepergian di malam Jumat, maka ada dua malaikat yang mendoakan kerusakan kepadanya”.

 

Mengenai orang yang bepergian untuk maksiat, maka secara mutlak tidak gugur baginya.

 

Guru kami berkata: Bagi orang yang haram bepergian tersebut, ia tidak berhak mendapat rukhshah (dispensasi/keringanan hukum) selama : belum jelas salat Jumat belum selesai (bubar).

Penyempurnaan:

Boleh bagi orang yang bepergian jauh melakukan salat gashar terhadap salat fardu ada’ yang berakaat empat, dan salatsalat kadha dalam perjalanan yang digashar dalam perjalanan itu.

 

Begitu juga boleh menjamak takdim salat Zhuhur-Ashar dan Magrib-Isyak: atau dengan jamak takhir.

 

(Qashar dan jamak tersebut) boleh dilakukan setelah seseorang keluar dari batas desanya yang khusus, sekalipun di situ terdapat tanah-tanah gersang atau sawah ladang. Jika batas tersebut mengumpulkan dua desa, maka tidak disyaratkan harus melewatinya, tetapi masing-masing desa dihukumi sendiri-sendiri.

 

Atau setelah melewati tugu tapal batas desa, sekalipun di tengah-tengah dengan bumi gersang (rusak), sungai atau alun-alun.

 

Tidak disyaratkan harus melewati perkebunan, sekalipun mengitari atau bersambung dengan balad.

 

Dua desa yang menurut penilaan umum masih bersambung, dianggap sebagai satu desa, sekalipun namanya berlainan: Kalau sudah berpisah, sekalipun hanya sedikit, maka cukuplah musafir melewati desanya sendiri.

 

(Jamak dan gashar) tidak boleh dilakukan oleh musafir yang menempuh perjalanan, yang jaraknya kurang (tidak sampai) memakan waktu perjalanan sehari-semalam, dengan ukuran perjalanan membawa muatan (beban), juga menghitung waktu istirahatnya secara wajar, misalnya sekadar Istirahat, makan dan salat (perjalanan yang diperbolehkan menjamak atau menggashar, kira-kira jarak yang ditempuh 80 km. -pen).

 

Begitu juga tidak boleh bagi budak yang melarikan diri dari tugasnya (Sayid), musafir pengutang yang mampu melunasi utangnya, di mana perginya tanpa mendapat ijin dari pihak pemiutang: demikian pula tidak boleh bagi orang musafir yang perginya semata-mata ingin melihat negara, demikian menurut pendapat Al-Ashah.

 

Bepergian dianggap sudah berakhir, dengan sekembali musafir di tanah kelahirannya -sekalipun hanya lewat saja-, atau sampai di tempat tujuan lain dan berniat bermukim di sana dalam waktu tidak tertentu atau selama 4 hari penuh, atau dia mengetahui, bahwa di tempat tersebut kebutuhannya dapat terpenuhi dalam waktu 4 hari.

 

Karena itu, jika masih mengharap tujuannya akan berhasil sewaktu-waktu, maka dia boleh menggashar salat selama 18 hari.

 

Syarat-syarat Qashar

 

Disyaratkan untuk gashar salat:

  1. Niat gashar di waktu takbiratul ihram.

 

  1. Tidak bermakmum -sekalipun hanya sebentarkepada orang yang tidak menggashar salatnya, sekalipun imam ini adalah juga musafir statusnya.

 

  1. Selama dalam salatnya, terhindar dari hal-hal yang membatalkan niat gashar.

 

  1. Selama salat, masih dalam keadaan bepergian (masih berstatus musafir).

 

Syarat-syarat Jamak Takdim

 

Disyaratkan untuk pelaksanaan jamak takdim:

 

  1. Niat jamak di salat pertama, sekalipun berada di tengahtengah salat tersebut (yang penting belum salam dari salat pertama -pen).

 

  1. Pelaksariaannya salat secara tertib.

 

  1. Muwalah (sambung-menyambung antara salat pertama dengan salat kedua) menurut penilaian umum. Karena itu, tidaklah menjadi masalah, jika antara dua salat tersebut terpisah sebentar.

 

Syarat-syarat Jamak Takhir

 

Disyaratkan untuk jamak ta’khir:

 

  1. Niat jamak pada waktu salat pertama, sampai waktu tersebut masih cukup untuk mengerjakan satu rakaat.

 

  1. Masih dalam bepergian hingga akhir salat yang kedua.

 

Menjamak Salat Sebab Sakit

 

Cabang:

Boleh -menurut pendapat yang dipilihmenjamak salat, baik takdim atau ta’khir sebab sakit.

 

Dalam pelaksanaannya, hendaknya orang yang sakit memilih, mana yang dirasa lebih ringan. Jika penyakitnya selalu kambuh di waktu salat kedua umpama, ia hendaknya melakukan jamak takdim dengan syarat-syaratnya di atas, Kalau kambuhnya di waktu salat pertama, maka hendaknya dia mengerjakan salat dengan jamak ta’khir, dengan niat jamak di waktu salat pertama.

 

Segolongan ulama Mutaakhirin memberi batasan “arti sakit” di sini: Sakit yang sampai memayahkan untuk mengerjakan setiap fardu pada waktunya, sebagaimana kepayahan berjalan di waktu hujan, yaitu sekira hujan dapat membasahi pakaian (payah dalam sakit setara payah berjalan waktu hujan, adalah memperbolehkan menjamak salat -pen).

 

Ulama-ulama lain berpendapat: Meski harus ada tambahan masyagat yang jelas di atas masyagat yang telah dituturkan, yaitu sekira dengan keadaan seperti itu seseorang diperbolehkan salat dengan duduk. Pendapat inilah yang Aujah.

 

Penutup:

Guru kami dalam kitab Syarah Minhaj berkata: Barangsiapa mengerjakan suatu ibadah yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang kesahan nya, sedangkan dia tidak bertaklid, terhadap ulama yang memperbolehkannya, maka dia wajib mengulanginya (untuk masalah taklidnya, boleh setelah mengerjakan ibadah itu -pen). Demikian tersebut (wajib mengulanginya), sebab dia berani mengerjakan ibadah itu secara main-main.

Salat terhadap mayat disyariatkan di Madinah. Ada yang mengatakan, bahwa salat ini adalah termasuk kekhususan umat Islam.

 

Salat Jenazah orang Islam yang bukan mati syahid, hukumnya adalah fardu kifayah, berdasarkan ijmak ulama dan beberapa hadis, sebagaimana memandikannya, sekalipun akibat tenggelam di dalam air, . sebab kita diperintah memandikannya. Dengan demikian, perintah memandikan belum gugur, sebelum kita sendiri yang memandikan, sekalipun kita sendiri menyaksikan, bahwa ada malaikat yang memandikan mayat itu.

 

Telah cukup sebagai memenuhi kewajiban, dengan adanya seorang kafir yang memandikannya.

 

Paling tidak, memandikan mayat itu bisa terwujud dengan Cara sekali menyiramkan air yang dapat meratai badannya, sampai bagian di bawah kulit kepala zakar (glans penis) bagi mayat yang zakarnya masih berkulit kepala, menurut pendapat Al-Ashah, baik itu anak kecil atau sudah balig.

 

Imam Al-‘Ubadi dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat: Membasuh bagian di bawah kulit kepala zakar tersebut, hukumnya tidak wajib.

 

Berpijak dengan pendapat yang rajih di atas (wajib), apabila dirasakan sulit membasuh bagian bawah kulit kepala zakar tersebut, sebagaimana kulit itu tidak bisa dibuka kecuali dengan melukainya, maka bagian itu wajib ditayamumi, Demikianlah menurut pendapat Guru kami, yang kemudian ditetapkan oleh lainnya.

 

Yang paling sempurna, adalah menyiramkan air tersebut diulang sebanyak tiga kali.

 

Dalam memandikan mayat, hendaknya di tempat yang sepi dan berbaju kurung: di tempat yang lebih tinggi, dengan air dingin, kecuali ada keperluan, misalnya menghilangkan kotoran atau suasana dingin: Maka dalam keadaan seperti ini, menggunakan air panas adalah lebih utama. Sedang menggunakan air yang asin, adalah lebih utama daripada yang tawar.

 

(Sunah) segera memandikannya, jika telah diyakini sudah mati. Apabila masih diragukan akan kematiannya, maka wajib menundanya sampai benarbenar diyakini kematiannya, misalnya bau mayat berubah atau lainnya.

 

Karena itu, para fukaha menuturkan tanda-tanda kematian seseorang yang banyak sekali, adalah berguna bagi yang .matinya sudah tidak diragukan lagi

 

Apabila setelah dimandikan, mayat mengerluarkan benda najis, maka kesuciannya tidak rusak, tapi hanya wajib dihilangkan saja, jika keluarnya sebelum dibungkus kafan, tidak wajib menghilangkannya, jika keluarnya setelah dibungkus kafan.

 

Mayat yang tidak bisa dimandikan karena tidak ada air atau lainnya, misalnya akan rontok, maka wajib ditayamumi.

 

Cabang:

Orang laki-laki berhak untuk memandikan mayat laki-laki, dan perempuan lebih berhak untuk memandikan mayat perempuan.

 

Orang laki-laki boleh memandikan mayat yang merupakan halilnya (istri atau wanita amat): sang istri -bukan amat-, boleh memandikan suaminya, sekalipun ia telah menikah dengan “laki-laki lain (misalnya istri melahirkan setelah suami mati, lantas dia kawin lagi sebelum ‘ suaminya dimandikan -pen), tanpa menyentuh mayat itu, akan tetapi tangannya (yang sunah) dibungkus dengan gombal (kain). Jika menyalahi aturan tersebut, maka mandinya tetap sah.

 

Apabila untuk mayat wanita hanya ada laki-laki lain atau untuk laki-laki hanya ada wanita lain, maka mayat cukup ditayamumi saja.

 

Memang, tapi laki-laki atau wanita boleh memandikan mayat yang tidak menimbulkan syahwat, baik itu berupa anak laki-laki atau perempuan, lantaran mereka halal memandang juga menyentuhnya.

 

Laki-laki yang lebih utama memandikan mayat, adalah laki-laki yang lebih berhak menyalatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti.

 

Hukumnya juga fardu kifayah, membungkus mayat dengan kafan yang dapat menutup auratnya, dengan berbeda : batas-batas aurat antara lakilaki dan perempuan, dan tidak usah dibedakan antara mayat “budak dengan yang merdeka.

 

Karena itu, wajib untuk mayat wanita -sekalipun budak-, kafan . yang dapat menutup seluruh tubuh selain wajah dan kedua tapak tangannya, dan untuk mayat laki-laki adalah kafan yang dapat menutupi antara pusat dan lutut.

 

Menjalankan sekadar cukup dengan kafan yang dapat menutup aurat, adalah yang dibenarkan oleh Imam An-Nawawi di dalam kebanyakan kitabnya, di mana beliau menukilkannya dari mayoritas ulama, sebab yang demikian tersebut, adalah merupakan hak Allah swt.

 

Ulama-ulama lain berkata: Wajib menutup seluruh tubuh mayat, sekalipun laki-laki.

 

Bagi pemiutang, boleh melarang pemakaian kafan yang melebihi penutupan seluruh tubuh mayat -dia tidak boleh melarang penutupan yang melebihi menutup aurat-, sebab perintah untuk menutup melebihi penutupan aurat dan karena merupakan hak si mayat jika dinisbahkan kepada para pemiutang.

 

Yang paling sempurna, kafan untuk laki-laki adalah tiga lapis, yang masing-masing menutup seluruh tubuh, dan masih boleh ditambah di dalamnya dengan baju kurung dan serban, untuk wanita adalah kebaya, baju kurung, penutup kepala dan dua lapis kafan.

 

Kafan mayat adalah sesuai dengan jenis kain yang boleh dipakai di waktu hidup, Kareng itu, boleh bagi wanita atau anak kecil dikafani dengan kain sutera dan yang dicelup dengan za’faran, namun hukumnya adalah makruh.

 

Biaya perawatan mayat (upah memandikan, harga air, kafan, ongkos penggalian kubur dan memikulnya), adalah diambilkan dari harta peninggalan mayat (jika harta tersebut tidak berhubungan dengan hak lazim, misalnya rahn atau zakat: jika ada hubungan semacam ini, maka yang didahulukan adalah hak tersebut -pen). Kecuali yang mati itu istri atau pelayannya, maka pembiayaan ditanggung oleh suami yang kaya, yang wajib memberi nafkah kepada mereka.

 

Jika si mayat tidak meninggalkan harta, maka pembiayaan- nya dibebankan kepada penanggung nafkah, baik itu kerabat atau sayitnya, jika Mayat tidak ada penanggung nafkahnya, maka pembiayaan dipikul oleh baitulmal, kemudian jika baitulmal tidak ada, Maka orang-orang kaya dari Solongan muslimin harus Menanggungnya.

 

Haram membungkus (mengafani) mayat dengan kulit, bila masih ada yang lainnya, Begitu juga haram memakai lumpur atau rumput.

 

Jika tidak ada pakaian, rnaka wajib membungkus dengan kulit, kalau tidak ada, maka memakai rumput, kalau tidak ada, maka memakai lumpur, demikian menurut pendapat yang dijelaskan oleh Guru kami.

 

Haram menuliskan lafal-lafal Algur-an atau Asma-asma Allah swt. dratas kafan mayat. Kalau ditulis menggunakan air ludah, maka tidaklah menjadi masalah, sebab hal ini tidak akan membekas.

 

Imam Ibnush Shalah memberi fatwa, bahwa menutup mayat dengan kain sutera, sekalipun mayat wanita, adalah haram, sebagaimana halnya seorang wanita menghiasi rumahnya dengan sutera.

 

Pendapat tersebut ditentang oleh Imam Al-Jalalul Bulgini, di mana dia memperbolehkan hal itu untuk jenazah wanita dan kanak-kanak. Pendapat ini lantas dibuat pegangan oleh segolongan ulama, Mestinya, yang bisa dikiaskan (dengan masalah menghiasi rumah) adalah yang pertama (haram).

 

(Fardu kifayah) menanam mayat di dalam lubang yang setelah ditimbuni tanah kembali, sehingga bau mayat tidak tampak, serta aman dari binatang buas yang akan. memakannya.

 

Tidak masuk dalam ketentuan “di dalam lubang”, jika mayat diletakkan di atas tanah, kemudian dibangun sedemikian rupa di atasnya, sehingga bau mayat tidak tampak lagi dan aman dari pembongkaran binatang buas, selagi penggalian lubang tidak mendapat kesulitan.

 

Memang, tapi orang yang mati di atas perahu dan sulit didapatkan daratan, maka boleh melemparkan ke laut dan diberi beban, agar dapat tenggelam. Jika untuk mendapat kendaraan tidak sukar, Maka mayat tidak boleh dilemparkan ke laut.

 

Tidak termasuk ketentuan “yang dapat menghilangkan bau mayat serta mengamankan dari gangguan binatang buas”, jika lubang tersebut hanya berfungsi salah satunya, misalnya binatang buas di tempat tersebut pada kebiasaannya dapat membongkar mayat-mayat yang tertanam.

 

Dalam keadaan seperti itu, maka wajib membangun kubur, sehingga binatang buas tidak mungkin dapat membongkar mayat-mayat tersebut.

 

Lubang kubur yang paling sempurna, adalah yang luas dan dalamnya 41/2 dzira’ tangan.

 

Wajib membaringkan mayat dengan menghadap kiblat. Sunah menempelkan pipi mayat yang kanan pada tanah, setelah kafan dibuka, untuk menunjukkan betapa rendah dan hinanya, dan sunah membantali kepalanya dengan semacam batu.

 

Makruh meletakkan mayat dalam peti, kecuali karena memandang, bahwa tanah pekuburan mudah longsor, maka hukumnya menjadi wajib.

 

Haram menanam mayat tanpa sesuatu yang dapat mencegah longsor tanah.

 

Haram menanam dua mayat yang berlainan jenis kelamin, dalam satu lubang kubur, jika antara keduanya ” tiada hubungan mahram atau perjodohan, jika masih ada hubungan mahram atau suami-istri, maka hukumnya adalah makruh, sebagaimana halnya dengan mengumpulkan dua mayat yang tunggal jenis, tanpa ada hajat yang mengharuskan.

 

Haram juga menanam mayat pada lubang kubur yang sudah ditempati mayat lain, sekalipun tunggal jenisnya, selama mayat lama belum punah. Untuk mengetahui kepunahannya, adalah diserahkan kepada orang yang ahli tentang tanah.

 

Jika ada sepotong tulang mayat yang lama ditemukan sebelum selesai penggalian kubur untuk mayat baru, maka wajib menimbunkan tanah kembali: jika penemuannya setelah selesai penggalian, maka tidak wajib menimbunkan kembali, dan tulang tersebut boleh ditanam bersama dengan mayat baru itu.

 

Tidaklah makruh menanam . mayat di malam hari, lain . halnya dengan pendapat Imam. Al-Hasan Al-Bashri. Sedang di siang hari, adalah lebih utama daripada malam hari.

 

Sunah timbunan kuburan ditinggikan kira-kira satu jengkal, – sedangkan membuat timbunan tanah, adalah lebih utama daripada membangun tembok di atasnya.

 

Sunah bagi orang (yang waktu penanaman mayat) berada di pinggir kubur, agar menaburkan debu sebanyak tiga kali. Untuk yang pertama mengucapkan:   ومنهاخلقناكم    taburan kedua membaca:  وفيهانعيدكم   dan untuk ketiga kali mengucapkan:    ومنهانخرجكم تارة اخرى    

 

Penting:

Sunah hukumnya, meletakkan pelepah kurma yang masih segar -sebagai tindak ittiba’, karena berkat tasbih pelepah tersebut, siksa orang yang berada dalam kubur diperingan. ,

 

Mengenai apa yang dibiasakan, yaitu menaburkan semacam bunga yang segar, adalah dikiaskan dengan pelepah kurma.

 

Haram mengambil pelepah: kurma atau bunga seperti yang tersebut di atas, sebelum kering, karena pengambilan : pelepah kurma, adalah memutuskan bagian mayat (yaitu diringankan siksanya) sebagaimana yang telah sampai dari: Nabi saw., sedang mengambil bunga yang masih basah adalah memutuskan hak mayat yang timbul sebab kepergian para malaikat yang turun untuk mencium bunga tersebut.

 

Demikianlah yang dikatakan oleh Guru kami, Ibnu hajar dan Ibnu Ziyad.

 

Makruh membangun tembok, baik untuk liang kubur atau di sekelilingnya -karena ada hadis sahih yang melarangnya-, tanpa ada hajat semisal khawatir terbongkar, penggalian binatang buas atau hanyut oleh air.

 

Makruh seperti itu, jika pembangunan kubur di miliknya sendiri.

 

Apabila membangun tembok liang kubur tanpa keperluan seperti di atas atau membangun semacam kubah di atas kubur di tanah milik pen“ duduk daerah yang memang disediakan untuk penguburan mayat, baik pemilik semula diketahui atau tidak, atau dilakukan di atas kuburan wakaf, maka hukumnya adalah haram dan wajib dibongkar.

 

Sebab, bangunan yang seperti itu akan menjadi permanen setelah mayat membusuk, yang demikian akan menyempitkan orang-orang Islam tanpa ada tujuan syarak.

 

Peringatan: Jika bangunan tersebut dibongkar, maka batu-batunya harus dikembalikan kepada ahli waris, jika bisa diketahui, atau tidak dikembalikan kepada mereka. Jika ahli warisnya tidak diketahui, maka batu-batu tersebut dihukumi sebagai malun dhai’, tentang status hukumnya adalah maklum, demikianlah menurut pendapat sebagian Ashhabusy Syafi’i.

 

Guru kami, Az-Zamzami berkata: Jika mayat (dalam kasus di atas) telah busuk, serta ahli ‘ warisnya membiarkan batubatu itu, maka boleh menanam mayat lain beserta batubatunya, jika memang sudah berlaku adat-istiadat tidak mempedulikan batu-batu. seperti itu, hal ini sama halnya masalah mengambil sisa-sisa – padi yang tertinggal di sawah.

 

Makruh menginjak makam orang muslim -sekalipun mayat itu tadi adalah orang yang halal dibunuh sebelum mayat membusuk, kecuali karena darurat, misalnya kalau tidak menginjaknya, maka seseorang tidak bisa mengubur mayat yang lain: begitu juga bagi peziarah, sekalipun bukan kerabatnya.

 

Mengenai penguatan yang ada dalam kitab Syarah Muslim (tulisan Imam Nawawi), sebagaimana pendapat fukaha yang lain, bahwa duduk di atas kubur hukumnya adalah haram, dengan dalih hadis yang menerangkan semacam ini, bahwa yang dimaksud dengan “duduk di atasnya”, adalah duduk untuk berak atau kencing, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat lain.

 

Mayat yang ditanam dalam keadaan belum suci, makawajib : dibongkar guna dimandikan atau ditayamumi. Namun, jika mayat tersebut sudah berbau busuk, maka hukumnya haram membongkarnya.

 

(Demikian juga wajib dibongkar) karena ada harta orang lain yang ikut tertanam, misalnya mayat dibungkus dengan pakaian hasil ghasab, atau mayat ditanam di tanah ghasab, jika kedua pemilik menuntutnya, juga masih ada pakaian untuk membungkus dan tanah untuk menanam nya, jika tidak sedemikian rupa, maka pembongkaran tidak boleh dilakukan.

Contohnya lagi: Ada harta berharga yang jatuh ke dalam kubur, sekalipun pemilik tidak menuntutnya.

 

Tidak boleh dibongkar lagi untuk sekadar membungkus mayat, jika mayat ditanam sebelum dibungkus, dan tidak boleh dibongkar untuk menyalatinya, setelah ditimbun tanah.

 

Mayat wanita yang hamil tidak boleh ditanam, sehingga benarbenar telah jelas, bahwa anak yang ada dalam kandungannya telah mati.

 

Wajib melakukan pembedahan -: kandungan dan pembongkaran kubur, jika menurut ahli kandungan, bayi tersebut bisa diharapkan untuk hidup, karena telah berumur 6 bulan.

 

Jika sudah tidak bisa diharapkan akan hidupnya, maka pembedahan itu: hukumnya haram. Namun penguburan harus ditunda sampai nyata kandungan telah mati, seperti dijelaskan di atas.

 

Tentang pendapat yang mengatakan, bahwa agar dibebankan sesuatu pada perut mayat wanita yang hamil, supaya bayinya mati, adalah pendapat yang benar-benar salah.

 

Bayi yang gugur dalam kandungan sebelum masanya (kluron: Jawa -pen) adalah wajib dibungkus memakai kain dan ditanam, sebagaimana halnya dengan anak orang kafir yang telah mengucapkan dua Syahadat, keduanya tidak wajib dimandikan, namun boleh dilakukan.

 

Tidak termasuk pengertian “siqth”, jika yang keluar berupa gumpalan darah atau daging: untuk masalah ini sunah dikubur tanpa dibungkus.

 

Jika bayi seperti yang tersebutkan di atas lahir setelah kandungan berumur 4 bulan, maka wajib dimandikan, dibungkus dan dikubur.

 

Apabila setelah lahir, bayi itu bisa bergerak-gerak atau bersuara, maka wajib pula disalati.

  1. Niat, sebagaimana pada salat-salat lainnya.

 

Dari sini dapat diketahui, bahwa segala yang wajib dilakukan pada niat salat-salat fardu, adalah wajib dilakukan di sini, misalnya niat bersamaan dengan takbiratul ihram dan menyatakan kefarduannya, sekalipun tidak harus mengucapkan fardu kifayah.

 

Tidak wajib menentukan mayat yang disalati dan tidak wajib mengetahuinya, tapi yang wajib adalah batas minimum yang dapat membedakan. Karena itu, cukuplah jika seseorang mengucapkan:   اصلى فرض على هذاالمية   (Saya salat fardu atas mayat ini).

 

Segolongan ulama berpendapat: Wajib menentukan mayat gaib, misalnya dengan menyebut namanya.

 

  1. Berdiri bagi orang yang mampu berdiri.

 

Orang yang tidak mampu berdiri, boleh salat dengan duduk, kalau tidak bisa duduk, boleh salat dengan tidur miring/bersipinggang.

 

  1. Takbir 4 kali termasuk takbiratul ihram, sebagain tindak ittiba’, jika dikerjakan dengan 5 kali takbir, maka salat tetap sah.

 

Sunah mengangkat kedua tangan setinggi. pundak di waktu membaca takbir dan meletakkannya di bawah dada “(bersedekap) di antara dua takbir.

 

  1. Membaca surah Al-Fatihah. Jika tidak bisa, maka boleh mengganti dengan yang lainnya, kalau tidak bisa, maka boleh diam seukuran bacaan Al-Fatihah.

Menurut pendapat yang Muktamad: Pembacaan Al-Fatihah boleh dikerjakan setelah takbir yang bukan pertama, hal ini berbeda dengan yang ada dalam kitab Al-Hawi, seperti juga Al-Muharrar, sekalipun masalah di atas mengharuskan akan terjadi dua rukun berkumpul pada satu takbir dan setelah takbir pertama tidak ada zikir apa-apa.

 

Sunah membaca dengan suara rendah, kecuali ketika takbir dan salam, dan sunah membaca Ta’awudz, meninggalkan bacaan doa Iftitah dan surah, kecuali jika menyalati mayat yang gaib atau sudah ditanam.

 

  1. Membaca salawat kepada Nabi saw. sesudah takbir yang kedua. Karena itu, tidaklah cukup jika dibaca setelah takbir yang lan.

 

Sunah mengumpulkan salawat kepada Nabi saw. serta doa salamnya, Sunah berdoa untuk orang-orang mukmin dan mukminat setelah membaca salawat dan membaca hamda: lah sebelumnya.

 

  1. Berdoa khusus untuk mayat, sekalipun mayatnya adalah kanak-kanak.Misalnya mengucapkan:. اللهم اغفرله وارحمه

 

(Ya, Allah, ampunilah dan berilah rahmat mayat ini), yang dilakukan setelah takbir yang ketiga. Secara pasti, doa ini tidak mencukupi jika dibaca setelah takbir lainnya.

 

Sunah memperbanyak doa untuk mayat. Doa yang ma’tsur dari Nabi, adalah lebih utama. : Sedangkan yang lebih utama adalah doa riwayat Imam Muslim, yaitu: Allahummaghfir lahu…. (Ya, Allah, ampunilah dosanya, berilah dia rahmat, sejahterakan dirinya, muliakan tempatnya, luaskan jalan masuknya, mandikanlah dia dengan air, salju dan embun, bersihkanlah kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pakaian putih yang dibersihkan dari kotoran: gantikanlah untuknya rumah yang lebih baik daripada rumahnya, ahli yang lebih bagus daripada ahlinya, jodoh yang lebih bagus daripada jodohnya: masukkanlah dia ke surga, dan selamatkanlah dia dari siksa kubur, fitnahnya serta dari siksa api neraka).

 

Sunah doa tersebut ditambah: Allahummaghfir…. dan seterusnya. (Ya, Allah, ampunilah orang yang masih hidup dan yang sudah mati dalam golongan kami… dan seterusnya).

 

Untuk mayat kanak-kanak, disamping doa tersebut, (sunah) ditambahkan: Allahummaj’alhu… (Ya, Allah, jadikanlah anak ini sebagai persediaan untuk bapak-ibunya simpanan, nasihat, ibarat dan penolong bagi kedua orangtuanya: beratkanlah timbangan amal mereka, limpahkanlah kesabaran dalam hati mereka: jangan Engkau turunkan fitnah pada mereka: dan janganlah Engkau halangi pahala mereka).

 

Guru kami berkata: Doa Allahummaj’alhu… dan seterusnya, adalah tidak cukup hanya itu saja sebagai doa khusus untuk mayat. Sebab, doa tersebut berisi permohonan sesuatu yang lazim terjadinya, di mana belum cukup sebagai syarat doa untuk mayat dalam salat Jenazah. Sebab, doa yang bersifat umum dan mencakup setiap individu saja, tidak Cukup sebagai doa untuk Mayat, maka lebih-lebih doa yang permohonannya lazim terjadi.

 

Untuk mayat wanita, dhamir yang ada dalam ctoa di atas, diganti dengan dhamir Muannats.

 

Namun, juga boleh tetap mudzakkar seperti di atas, dengan menghendaki kembalinya dhamir pada lafal Al-Mayyit atau Asy-Syahsh.,

 

Untuk mayat kanak-kanak hasil zina, doanya diganti dengan ucapan:.  اللهم اجعله فرطالا مّه  (Ya, Allah, jadikanlah anak ini sebagai persediaan untuk ibunya). Yang dimaksud dengan “penggantian ahli dan jodoh” adalah penggantian dalam segi sifatsifatnya, bukan zatnya, Berdasarkan firman Allah yang artinya: “… dan Kamt temukan pada mereka keturunannya”, dan hadis yang diriwayatkan olch Imam Ath-Thabranj dan lain» nya: Bahwa wanin-wanita surga yang berasal dari wanita dunia, adalah lebih utama daripada bidadari surga.”-Habis-.

 

  1. Salam -sebagaimana halnya dengan salat-salat lainsetelah takbir yang keempat. Sesudah takbrr ini, tidak ada zikir yang wajib selain salam.

 

Tetapi (sebelum salam) sunah berdoa: Allahumma …. dan seterusnya. (Ya, Allah, janganlah Engkau menutup kami dari pahalanya -maksudnya adalah pahala menyalatinya atau pahala musibahdan janganlah Engkau turunkan fitnah setelahnya -maksudnya setelah melakukan maksiat-, dan ampumilah dosa kami dan dosanya).

 

Apabila dalam salat Jenazah ini, seorang tertinggal dari imam satu takbir tanpa ada uzur, sampai sang imam memulai takbir lainnya, maka batallah salat makmum tersebut.

 

Apabila sang imam telah memulai takbir berikutnya, sedang makmum masbuk belum sempat membaca Fatihah, maka harus mengikuti bertakbir, dan Fatihab gugur baginya. Setelah imamnya salam, maka bagi makmum masbuk tersebut harus menambah takbir-takbir yang belum ia kerjakan beserta zikirzikirnya.

 

Di dalam salat Jenazah -sekalipun mayatnya seorang wanitayang didahulukan untuk menjadi imam adalah dengan urutan sebagai berikut: Ayah atau gantinya -kakek dari garis laki-lakianak laki-laki mayat, cucu laki-laki dari garis lakilaki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, keponakan laki-laki dari kedua mereka, paman seayah, waris ashabah lainnya, orang yang memerdekakan mayat dwazil arham, kemudian suami.

Disyaratkan untuk salat kepada mayat, di samping syarat-syarat lain yang ada dalam selain salat Jenazah:

 

  1. Mayat disucikan terlebih dahulu, baik dengan air atau debu (jika tidak ada air).

 

Karena itu, jika ada sescorang jatuh ke dalam jurang atau tenggelam dalam lautan yang sulit diambil dan disucikan, maka menurut pendapat Muktamad orang itu tidak wajib disalati.

 

  1. Orang yang menyalati tidak berada di depan mayatnya, jika mayat hadir, sekalipun berada dalam kubur. Jika mayatnya gaib, maka boleh saja keberaYaannya di belakang orang yang menyalati.

 

Sunah barisan dalam salat Jenazah dijadikan tiga baris atau lebih, berdasarkan hadis sahih, yang artinya: “Jenazah yang disalati oleh tiga baris, sungguh diampuni dosanya”.

 

Tidak sunah menunda salat Jenazah, lantaran menunggu orang yang menyalati agar banyak, kecuali menunggu walinya.

 

Sebagian ulama Muhaqqiqin memilih, bahwa selagi tidak dikhawatirkan mayatnya berbau, maka seyogianya menunggu 100 atau 40 orang yang bisa diharapkan kehadirannya, berdasarkan sebuah hadis yang menerangkan seperti ini.

 

Dalam kitab Hadis Muslim tersebutkan: “Mayat muslim yang disalati oleh golongan muslim yang jumlahnya mencapai 100 orang dan mereka memintakan syafaat, maka syafaatnya diterima.

 

Apabila ada mayat yang sudah disalati, lantas datang seseorang yang belum ikut salat, maka baginya sunah mengerjakannya, dan salat tersebut sah menjadi fardu kifayah. Karena itu, hendaknya ia berniat fardu pula, serta mendapatkan pahala salat.

 

Sedangkan yang lebih utama, adalah mengerjakan salat sesudah mayat ditanam, karena mengikuti tindak Nabi saw.

 

Tidak sunah bagi orang yang telah menyalatinya sekalipun munfariduntuk mengulangi salatnya dengan berjamaah. Kalau terpaksa mengulanginya, maka salatnya menjadi salat sunah.

 

(Bahkan) sebagian ulama berkomentar: Mengulangi salat Jenazah adalah khilaful aula hukumnya.

 

Sah hukumnya, menyalati mayat yang gaib dari daerah yang bersangkutan, sebagaimana mayat berada jauh dari daerah seseorang, yang menurut penilaian umum tidak bisa dikatakan masih daerahnya: berdasarkan perkataan Imam Az-Zarkasyi: Tempat di luar batas sebuah daerah, adalah seperti yang berada di dalamnya.

 

Tidak sah menyalati mayat yang tidak berada di tempat salat dan masih dalam lingkungan balad itu, sekalipun luas. Memang, jika dirasa sulit untuk hadit ke tempat di mana mayat berada, misalnya karena ditahan atau sakit, maka boleh salat yang dalam keadaan seperti ini, menurut beberapa tinjauan pendapat.

 

Sah menyalati mayat yang hadir dan sudah dikubur -walaupun sudah punah (tapi dengan syarat tidak berada di depan mayat, seperti yang telah diterangkan di atas -pen) selain Nabi. Karena itu, tidaklah sah salat Jenazah atas Nabi yang sudah berada dalam makamnya, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim.

 

Sah seperti ini, jika dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat untuk melakukan fardu tersebut, di waktu kematian mayat. Karena itu, salat tidaklah dilakukan oleh orang kafir dan orang yang haid di saat kematian mayat tersebut, sebagaimana halnya dengan anak yang baru balig atau orang yang baru sembuh setelah kematian mayat, sekalipun belum dimandikannya. Demikianlah yang sesuai dengan perkataan Imam Rafi’i-Nawawi.

 

Hukum fardu-menyalati mayat menjadi gugur, karena sudah dikerjakan oleh seorang lakilaki, kanak-kanak yang mumayyiz, sekalipun ada orang yang balig, yang tidak hafal AlFatihah dan lainnya -bahkan dengan diam seukuran Fatihah dan sekalipun di situ ada orang yang hafal.

 

Belum gugur fardu salat Jenazah sebab dikerjakan oleh wanita, padahal di situ ada laki-laki.

 

Hukumnya boleh menyalati mayat yang banyak dengan satu kali salat, yang berarti harus niat menyalati mereka semua.

 

Haram menunda menyalati mayat sampai setelah penguburannya. Bahkan penundaan semacam itu akan menggugurkan kefarduan salat di atas kubur.

 

Haram menyalati jenazah orang kafir, sebab berdoa memintakan ampunan kepadanya adalah haram.

(Beradasarkan) firman Allah swt. yang artinya: Janganlah engkau menyalati seseorang dari mereka untuk selama-lamanya.” Termasuk mereka di sini adalah anak-anak kecil orang kafir, baik mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat atau belum: Karena itu, menyalati mereka hukumnya haram (sebab mereka bisa dihukumi Islam setelah balig -pen).

 

Haram menyalati jenazah orang yang mati syahid. Lafal  شَهِيْدٌ ikut wazan فَعِيْلٌ yang bermakna: مَفْعُوْلٌ karena ia akan disaksikan masuk surga, atau ikut wazan: فَاعِلٌ      karenanyawanya menyaksikan surga sebelum nyawa orang lain.

 

Lafal   شهيد  bisa . diterapkan pada orang yang berperang menjunjung tinggi agama Allah: dan orang ini disebut syahid dunia-akhirat, juga dapat diterapkan pada orang yang berperang bukan untuk membela agama Allah (tapi untuk tujuan lain), dan orang ini disebut syahid dunia.

 

Juga bisa diterapkan untuk orang yang terbunuh akibat suatu kezaliman yang menimpanya, orang yang mati sebab tenggelam, terbakar dan akibat penyakit perut, misalnya muntah atau diare, dan orangorang. seperti ini dinamakan “syahid akhirat”. –

 

Begitu juga hukum memandikan orang yang mati syahid, adalah haram, sekalipun masih dalam keadaan junub, sebab Nabi saw. tiuak memandikan orang-orang yang mati dalan, Perang Uhud.

 

Haram mencuci darah orang yang mati syahid. Yaitu orang yang gugur di medan perang melawan orang-orang kafir atau seorang saja sebelum peperangan selesai -sekalipun terbunuh waktu mundur dari musuh-, yang matinya sebab peperangan tersebut. Misalnya terkena senjata temannya yang muslim, dibunuh oleh muslim dengan permintaan orangorang kafir, jatuh masuk ke sumur waktu berperang, atau tidak diketahui sebab kematiannya, sekalipun tidak terdapat bekas darahnya.

 

Menurut pendapat yang Ashah: Tawanan yang dibunuh setelah selesai peperangan, adalah tidak termasuk mati syahid, sebab dibunuhnya bukan karena berperang.

 

Demikian pula, orang yang mati setelah perang berakhir dan masih mengalami hidup mustagirah (masih ada gerak yang disadari dengan beberapa alamat), sekalipun dapat dipastikan ja akan mati Setelah itu akibat luka yang diderita.

 

Mengenai orang yang setelah perang masih dapat bergerak seperti gerak hewan yang disembelih, adalah dengan pasti dihukumi syahid.

 

Hayat Mustagirah menurut pendapat Imam An-Nawawi dan Al-Umrani, adalah keadaan orang itu yang masih dimungkinkan untuk hidup barang satu atau dua hari.

 

Tidak termasuk syahid pula, orang yang tertangkap oleh orang-orang kafir, kemudian melarikan diri dan akhirnya dibunuh. Sebab kematiannya bukan karena berperang, sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleg Guru kami Ibnu Ziyad rahimahullah Ta’ala.

 

Begitu juga orang yang dibunuh akibat bujukan orang kafir Harbi yang menelusup di tengah-tengah kita.

 

Memang begitu, jika terbunuhnya akibat mengadakan pertempuran, maka menurut pendapat As-Sayid As-Samhudi yang dinukil dari kitab Al-Khadim, orang seperti itu adalah Syahid.

 

Orang yang mati syahid, sunah dibungkus dengan pakaian yang dipakai waktu mati, sedangkan yang berlumuran darah adalah lebih utama, karena ittiba’ dengan Nabi saw.

 

Jika pakaiannya tidak mencukupi, misalnya belum menutup seluruh badannya, maka wajib menyempurnakan dengan menambah yang lain.

 

Tidak boleh dikafani memakai pakaian dari sutera yang dipakai karena terpaksa waktu perang, karena itu, sutera yang dipakainya harus dilepas.

 

Sunah menalqin orang yang sedang sakit kerassekalipun baru mumayyiz, menurut beberapa tinjauan-, yaitu dengan bacaan:  لاإله إلاّالله  saja. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang artinya: “Tuntunlah orang yang sedang sakit keras di antara kalian, dengan ucapan:      

 

Berdasarkan hadis sahih juga (yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud), yang artinya: “Barangsiapa yang di akhir ucapannya berupa  لاإله إلاّالله   maka ia masuk bersarma-sama orang-orang yang beruntung. Jika tidak diartikan seperti ini, maka toh setiap orang yang muslim pasti masuk surga, sekalipun fasik, dan meskipun terlebih dahulu disiksa lama sekali.

 

Tentang perkataan segolongan Ulama: Talqin mayat adalah kalimat   محمدرسول الله   pula, hal ini dimaksudkan supaya mati dalam keadaan Islam, sedang ia belum dikatakan muslim, jika belum mengucapkan dua kalimat tersebut, pernyataan ulama di atas adalah ditolak, sebab orang yang ditalgin itu sendiri sudah muslim. Sebetulnya, talgin itu bertujuan untuk mengakhiri ucapannya dengan kalimat:  لاإله إلاّالله   supaya mendapatkan pahala.

 

Mengenai pembahasan tentang menalqin mayat memakai “Ar-Rafiqul A’la” (derajat tertinggi), sebab kalimat tersebut adalah kalimat yang diucapkan oleh Nabi saw.

 

Pembahasan tersebut adalah ditolak, sebab akhir perkataan Nabi tersebut merupakan suatu perkara yang tidak ditemukan pada selain beliau, yaitu Allah swt. menyuruh Nabi memilih, lalu belidu ihemilih Rafiqul A’la.

 

Adapun orang kafir, secara pasti ditalqin memakai dua kalimat di atas,yang diawali memakai lafal:  أشهد       (saya bersaksi), sebab kata ini harus diucapkan seperti keterangan yang akan datang. Sebab, seseorang tidak bisa dikatakan muslim, kecuali dengan dua kalimat tersebut.

 

Sunah sesudah mayat dimakamkan, segolongan peziarah berdiri sejenak di sekitar kubur untuk memohonkan ketetapan iman dan ampunan dosa.

 

Sesudah sempurna pemakaman, hukumnya sunah menalgin mayat yang sudah balig, sekalipun mati syahid, sebagaimana menurut ketetapan ulama, yang diselisihi Imam Az-Zarkasyi.

 

(Dalam praktiknya), seseorang di antara. peziarah duduk berhadapan dengan wajah mayat dan berkata: Ya, Abdallah ………….. dan seterusnya (Wahai,       putra hamba wanita! Ingatlah janjimu yang engkau bawa dari alam dunia, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah, yang tiada menyekuti-Nya, Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya, sungguh surga itu hak adanya, neraka adalah hak, kebangkitan dari kubur adalah hak, hari kiama: pasti akan . tiba yang tiada keraguan lagi, dan Allah akan membangkitkan orangorang yang berada dalam kubur.

 

Sesungguhnya engkau telah rela Allah swt. menjadi Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Nabi Muhammad say. sebagai Nabimu, Alqur-an sebagai anutanmu, Ka’bah sebagai kiblatmu, orangorang mukmin sebagai saudaramu, Tuhanku adalah Allah swt. Tiada Tuhan selain Allah, kepada-Nya saya berserah diri, dan Dia Penguasa ‘Arsy Yang Agung).

 

Guru kami berkata: Sunah mengulang talgin sebanyak tiga kali.

 

Yang lebih utama adalah peziarah-peziarah berdiri, sedangkan orang yang menalgin duduk.

 

Memanggil si mayat dalam talgin dengan menyebut nama ibunya -jika ibunya diketahui, jika tidak, maka dengan menyebut nama Hawaadalah tidak menafikan panggilan manusia di hari kiamat yang memakai nama ayahnya. Sebab keduanya merupakan pelajaran (ketentuan) dari syarak yang tidak dapat dimasuki penalaran pikiran.

 

Yang lahir, lafal  العبد    dalam menalgin mayat wanita diganti dengan lafal    أمه   begitu juga dhamir-dhamirnya diganti.dengan muannats. -Selesai-.

 

Sunah bagi laki-laki untuk berziarah kubur, lain halnya wanita, ziarah kubur baginya hukumnya adalah makruh.

 

Memang! Bagi wanita tetap disunahkan berziarah ke makam Nabi saw, sebagian ulama menambah: Demikian juga berziarah ke makam nabi. nabi yang lain, ulama dan para aulia.

 

Sunah -sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Syaff’imembaca sebagian Algur-an yang terasa mudah di atas makam, lalu dengan menghadap kiblat dan berdoa untuk si mayat.

 

Bagi orang yang berziarah, sunah mengucapkan salam untuk ahli kubur secara umum, lalu khusus yang dimaksudkan. Yaitu begitu masuk membaca:  السلام عليكم دارقوم مؤمنين dan setelah sampai pada makam ayahnya misalnya, membaca:  السلام عليك ياوالد          Apabila ingin mencukupkan dengan salah satunya, maka yang dibaca adalah kalimat yang kedua tersebut, karena inilah yang lebih khusus pada tujuannya.

 

Hal itu berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Nabi saw. berucap: Assalamu’alaikum … dan seterusnya. (Semoga keselamatan buat kalian semua, wahar kaum mukmin. Dan insya Allah kami semua akan menyusul kalian).

 

Istitsna’ (ucapan insya Allah) di sini bertujuan mencari berkah, atau dimakamkan di tempat itu (insya Allah kami akan menyusul kalian dengan dimakamkan ditempat itu), atau mati dalam keadaan Islam.

 

Faedah:

Tersebut dalam hadis, bahwa orang yang mati di hari atau malam Jumat, adalah diselamatkan dari siksa dan fitnah kubur.

 

Tersebut juga: Barangsiapa membaca surah Ikhlash (Qulhu .. dan seterusnya) 100 kali ketika sakit yang mengantarkan kematiannya, maka di dalam kubur akan diselamatkan dari siksa kubur, dan melintasi Shiratal Mustagim dalam telapak malaikat.

 

Tersebut dalam hadis lagi, bahwa barangsiapa mau: membaca: “Laa Ilaahailla anta … dan seterusnya. (Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh kami masuk golongan orang-orang yang zalim) sebanyak 40 kali di waktu sakit, lalu mati, maka ia akan mendapatkan sebagaimana orang yang mati syahid. Kalau ia sembuh, maka diampunilah dosanya.

 

Semoga Allah swt. berkenan mengampuni dosa kita, dan melindungi kita sekalian dari siksa dan fitnah kubur. Amin.

Lafal الزكاة menurut Lughat, berarti membersihkan dan berkembang, sedang menurut istilah syarak, adalah nama sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan, dengan ketentuan di bawah ini.

 

Zakat mal difardukan pada tahun kedua Hijriah, yaitu sesudah zakat Fitrah.

 

Zakat mal (harta) wajib ditunaikan pada delapan macam: emas, perak, binatang ternak, buah kurma dan anggur, dan diberikan kepada delapan golongan.

 

Bagi orang yang menentang hukum wajib zakat, adalah kafir, yang enggan menunaikannya, harus di perangi dan diambil zakat darinya secara paksa, sekalipun ia tidak memerangi.

 

Wajib zakat bagi setiap orang Islam, sekalipun tidak mukalaf. Maka bagi walinya yang berkewajiban menge. luarkan zakat dari harta orang yang tidak mukalaf.

 

Dikecualikan dari ketentuan “muslim”, jika pemilik harta itu seorang yang kafir asli. Karena itu, baginya tidak berkewajiban mengeluarkan zakat, sekalipun setelah Islam.

 

Yang jelas merdeka: Karena itu, zakat tidak wajib bagi seorang budak, karena ia tidak mempunyai hak milik. Begitu juga budak Mukatab, karena dianggap lemah status pemilikannya, serta kewajiban zakat tidak dibebankan atas sayid (tuan)nya, sebab ia sudah tidak menjadi pemilik atas harta Mukatab.

 

Di dalam emas yang jumlah muminya mencapai 20 mitsqal (96 gr) menurut timbangan Mekah, dengan batas pasti, sekalipun belum dimasak, hal ini masih ada perselisihan dengan ulama yang mengkhususkan wajib zakat pada emas yang sudah dimasak.

 

Jika dalam suatu timbangan belum mencapai jumlah tersebut, (tapi) pada timbangan yang lain sudah mencapai, maka tidak wajib mengeluarkan zakat, sebab ada keraguan.

 

Satu mitsqal adalah seberat 72 biji syair dengan ukuran sedang.

 

Asy-Syekh Az-Zarkasyi berkata: Timbangan nisab emas menurut timbangan Al-Asyrafi adalah: 25+2/7+1/9=25 25/63. Kemudian murid beliau, yaitu Guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami) mengomentari: Yang dimaksud dengan Al-Asyrafi adalah raja Al-Qaitabai.

 

(Dan wajib zakat) atas perak yang jumlahnya sudah mencapai 200 dirham, menurut timbangan Mekah. Yaitu seberat 550 biji sya’ir. 10 dirham sama dengan 7 mitsqal.

 

Dalam masalah emas dan perak adalah tidak ada suatu kemurahan pada peniadaan zakat terhadap kelebihannya. Hal ini sebagaimana juga atas barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/10, maka dari emas 20 mitsqal, perak yang mencapai 200 dirham dan selebihnya, sekalipun hanya separo biji sya’ir.

 

(Emas dan perak) itu, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40 — 2,5%

 

Logam satu (emas atau perak) adalah tidak bisa disempurnakan nisabnya dengan logam yang lain, tetapi bisa disempurnakan nisabnya dengan cara menjumlahkan dari berbagai macam dalam satu jenis logam.

 

Boleh mengeluarkan logam yang berkualitas bagus dan utuh, dari nisab logam yang berkualitas buruk dan pecah-pecah. Bahkan sikap semacam ini adalah lebih utama, tetapi jika dibalik adalah tidak boleh.

 

Dikecualikan dari ketentuan “murni”, jika logam tersebut ada campurannya Karenaitu, tidak terkena zakat, kecuali jumlah murninya telah mencapainisab.

 

Sebagaimana juga wajib mengeluarkanzakatnya sebesar 1/40 dari harta dagangan yang telah mencapai nisabnya pada akhir tahun, sekalipun pada permulaannya harta dimiliki kurang dari nisabnya.

 

Laba yang diperoleh di pertengahan tahun harus dikumpulkan dengan harta pokok (modal) dalam penjumlahannya, jika tidak menjadi emas-perak, Jika laba tersebut berwujud emas-perak hingga akhir tahun, maka laba itu tidak boleh dijumlah bersama harta modal, akan tetapi masing-masing dikeluarkan zakatnya berdasarkan tahun tersendiri: dan jika labanya sudah sempurna tahunnya, maka juga harus dizakati sendiri.

 

Harta dagangan statusnya menjadi harta simpanan, sebab ada niat menyimpan, Karena itu, Haulnya jadi putus dengan semata-mata niat menyimpan tersebut: Tetapi tidak sebaliknya (harta simpanan tidak bisa menjadi harta perdagangan dengan ada niat berdagang -pen).

 

Orang yang mengingkari wajib zakat harta perdagangan adalah tidak dihukumi kafir, sebab kewajiban zakat dalam harta ini masih diperselisihkan (misalnya Imam Abu Hanifah tidak mengatakan wajib zakat atas harta perdagangan -pen). Syarat wajib zakat emas-perak bukan dalam harta perdagangan: Nisab emas-perak sempurna selarha satu tahun penuh. Artinya, dalam masa satu tahun, barang tersebut tidak pernah berkurang dari jumlah hisab di atas.

 

Tentang zakat harta dagangan, kesempurnaan nisab dalam satu tahun tidak menjadi persyaratan, tetapi hanya disyaratkan pada akhir tahun, karena di sinilah masa wajibnya.

 

Haul terputus sebab terjadi hilang status pemilikan di tengah-tengah tahun, baik lantaran penukaran (yang selain wujud berdagang) atau lainnya.

 

Memang, tapi jika seseorang memiliki nisab emas-perak, lalu setelah 6 bulan diutangkan, maka Haulnya tidak bisa dihukumi putus: Jika ia seorang yang kaya atau nisab itu kembali padanya, maka ia wajib mengeluarkan zakat di akhir tahun, sebab hak miliknya tidak hilang secara total, sebab masih ada penggantinya pada tanggungan di pengutang.

 

Harta yang terkena beban zakat, hukumnya makruh menghilangkan pemilikannya dengan cara dijual atau menukar, di mana hal itu bertujuan Hilah (merekayasa). Yaitu penghilangan hak milik tersebut bertujuan menghindari kewajiban zakat, sebab perbuatan ini berarti menyingkir dari ibadah.

 

(Imam Ibnu Hajar) dalam kitab AlWajiz menyatakan haram perbuatan tersebut. Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ menambahkan: Secara batin tanggungan zakat bagi Orang tersebut belum bebas, dan ini termasuk fikih yang tidak membawa kemanfaatan.

 

Imam Ibnush Shalah berkata: Dosanya terletak pada tujuannya, bukan pada perbuatannya.

 

Guru kita berkata: Jika penghilangan hak milik itu tidak bertujuan Hilah, tapi ada kebutuhan, atau karena ada kebutuhan dan menghindari, maka hukumnya tidak makruh.

 

Peringatan:

Tukang tukar uang (Shairafi) yang menukarkan uang yang ada di tangannya di pertengahan tahun dengan mata uang lain, sekalipun bertujuan berdagang, dalam jenis mata uang yang sama atau tidak, adalah tidak dikenakan zakat. Begitu juga tidak wajib zakat bagi ahli waris yang menerima harta perdagangan dari orang yang menerimakannya (mayat), sehingga ahli waris itu sendiri menjalankan harta perdagangan itu dengan niat berdagang: maka dalam hal ini, ia mulai lagi Haulnya.

 

Perhiasan yang mubah, tidak dikena. kan zakat, sekalipun perhiasan tersebut dimiliki oleh laki-laki bertujuan untuk tidak dipakai atau lunnya, disewakan atau dipinjamkan kepada wanita.

 

Kecuali jika perhiasan tersebut dimiliki dengan niat disimpan (umpama), barang itu akan dijual lagi jika ada keperluan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara wanita dengan laki-laki -pen). Karena itu, perhiasan seperti ini wajib dizakati.

 

Cabang:

Bagi laki-laki boleh memakai cincin dari perak. Bahkan hukumnya adalah sunah memakainya pada jari kelingking kanan atau kiri, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw. Memakainya di kanan itu lebih utama.

 

Imam Al-Adzra’i membenarkan kesimpulan dari pembicaraan Ibnur Rif’ah, bahwa cincin perak itu harus kurang dari satu mitsqal beratnya, sebab ada larangan memakainya lebih dari satu mitsqal. Sanad hadis tersebut adalah hasan, tapi oleh Imam An-Nawawi dikatakan daif. Maka menurut pendapat Al-Aujah: Cincin perak itu tidak dibatasi dengan satu mitsqal, tetapi yang penting tidak sampai dianggap berlebihan menurut ukuran umum. Guru kita berkata: Berpijak dengan pendapat tersebut, maka ukuran penilaiannya adalah ‘urf di kalangan orang-orang yang setingkat dengan si pemakai cincin itu.

 

Memakai cincin lebih dari satu hukumnya fidak boleh, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama yang mengatakan boleh, asal tidak berlebihan.

Boleh menghiasi alat perang dengan perak, asal tidak berlebihan.

 

Misalnya: pedang, tombak, perisai, sarung pedang -ikat pinggang yang diikatkan di perut-, bayonet -bukan pisau dapur, pisau pemotong dan pisau pemotong kuku-. Sebab hal itu dapat menggetarkan pihak musuh.

 

(Kalau) menghiasinya dengan emas, hukumnya ridak boleh, sebab sangat berlebihan dan angkuh. Sedangkan hadis yang memperbolehkannya, oleh Imam Ibnul Qaththan dianggap daif, sekalipun oleh Imam At-Turmudzi dianggap hasan.

 

(Boleh bagi laki-laki) menghiasi Mushhaf dengan perak. Guru kuta berkata: Yang dimaksud adalah sesuatu yang ada tulisan Qur-annya, sekalipun untuk tabarruk, musalnya sampul Mushhaf,

 

Menulis Mushhaf dengan emas adalah baik, sekalipun bagi laki-laki. Tidak boleh menghiasi kitab selain Alqur-an, sekalipun menggunakan perak.

 

Menyepuh secara pasu, hukumnya haram secara mutlak (baik itu alat perang atau bukan, laki-laki atau wanita, dan baik dengan emas atau perak -pen).

 

Kemudian, jika proses penyepuhan itu ditempa di atas api dengan menghasilkan sesuatu (lelehan yang bernilai), maka haram membiarkan barang itu tersepuh: Kalau tidak, maka tidak haram, sekalipun barang itu mengena pada badan. Hal ini masih ada perselisihkan dengan segolongan ulama.

 

Halal secara ijmak menggunakan emas-perak bagi wanita atau kanakkanak, pada semacam gelang, keroncong, sandal dan kalung. Menurut pendapat Al-Ashah: Halal juga memakai pada pakaian yang ditenun.

 

Halal memakai mahkota bagi kaum wanita -sekalipun tidak biasa-, dan kalung yang bertetes dinar secara pasti. Begitu juga dinar-dinar yang dilubangi.

 

Kewajiban zakat tidak dikenakan pada kalung dan sebagainya.

Adapun memakai barang-barang yang tersebut di atas secara berlebihan, adalah tidak dihalalkan, misalnya memakai keroncong emas yang berat keseluruhannya mencapai 20 mitsqal, Karena itu, dalam hal semacam ini dikenakan zakatnya.

 

Wajib juga bagi orang di atas (muslim dan merdeka):

 

Pada pemilikan makanan pokok di waktu ikhtiyar (stabil), baik berupa biji-bijian, misalnya gandum, syair (Jawa: centhel), beras, jagung, kacang putih, jagung kecil, kacang dan biji dagsah, maupun berupa buah-buahan, misalnya kurma dan anggur, yang kesemuanya sudah mencapai jumlah 5 wasaq (720 kg), yaitu tertakar 300 sha’: satu sha’=4 mud, satu mud =1 1/3 liter.

 

Dalam keadaan yang bersih dari jerami dan kulit yang tidak biasa dimakan. Ketahuilah! Bahwa padi yang disimpan beserta kulitnya yang tidak ikut dimakan, adalah wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai jumlah 10 wasaq.

 

Zakat yang harus dikeluarkan dari barang-barang tersebut di atas adalah 1/10, jika pengairannya tanpa biaya, misalnya dengan air hujan.

 

Jika pengairannya memakai biaya, misalnya gerbong air (tengki umpamanya), maka wajib dizakati separo dari 1/10 (1/20 atau 590).

 

Besar zakat yang dikeluarkan harus dibedakan, disebabkan beratnya biaya di sini dan ringannya biaya pada yang pertama.

 

Demikian ini, baik tumbuh dengan cara ditanam atau kebetulan, seperti keterangan dalam Al-Majmu’ yang mengemukakan, bahwa hukum seperti itu adalah merupakan ke sepakatan ulama. Berdasarkan keterangan yang ada dalam Al-Majmu’, dapatlah diketahui kelemahan pendapat Imam Syekh Zakariyya dalam At-Tahrir yang mengikuti kitab asalnya: Disyaratkan untuk zakat biji-bijian/buahbuahan, harus ditanam oleh pemilik atau wakilnya, berarti jika tumbuh dengan sendirinya, adalah tidak wajib dizakati, atau ditanam oleh orang lain yang tidak mendapat izin dari pemaliknya.

 

Satu jenius tidaklah bisa dikumpulkan bersama jenis lainnya, guna menyempumakan nisabnya: lain halnya dengan macam kualitas, maka wajib dikumpulkan guna menyempumakan nisab (misalnya padi IR.9 dengan IR.20 dan seterusnya -pen). Hasil dua penuaian (panen) harus dikumpulkan dalam penghitungan nisab, jika keduanya terjadi dalam satu tahun.

 

Cabang:

Harta Baitulmal adalah tidak dikenakan zakat, begitu juga dengan hasil dari barang wakaf -misalnya pohon kurma atau bumiyang diwakafkan untuk kepentingan umum, misalnya orang-orang fakir, para fukaha dan mesjid, sebab pemiliknya tidak tertentu.

 

Wajib dikenakan zakat bagi hasil wakaf, apabila Mauquf ‘Alaih adalah seseorang atau golongan tertentu, misalnya anak-anak Zaid, Demikianlah, sebagaimana yang tertera dalam Al-Majmu’.

 

Sebagian fukaha berfatwa, bahwa barang wakaf untuk imam mesjid atau guru harus dizakati, seperti halnya wakaf untuk orang tertentu. Guru kita (Ibnu Hajar) berkata: Pendapat Al-Aujah adalah kebalikan dari itu, sebab tujuan dari wakaf tersebut adalah “jihah” (kepentingan bersama), bukan orang tertentu.

 

Peringatan:

Di dalam Hasyiyah Ar-Raudhah, Imam Al-Jalal Al-Bulqini yang mengikuti Al-Majmu’ berkata: Penghasilan bumi yang dimiliki atau diwakafkan kepada orang tertentu, jika bibitnya dari pemilik atau penerima wakaf, baginya wajib mengeluarkan zakat hasil bumi tersebut.

 

Jika bijinya dari pihak penggarap tanah, di mana kita menghukumi kebolehan akad “Mukhabarah”, maka yang wajib mengeluarkan zakat adalah penggarapnya, sedang pihak pemilik tidak terkena sama sekali, sebab hasil yang ia terima itu merupakan ongkos dari penyewaan tanah.

 

Jika bibitnya dari penggarap tanah (akad Muzara’ah), lalu sebagian hasilnya ia diberikan kepada penggarap, maka penggarap tidak wajib menzakati, sebab yang diterima merupakan upah pekerjaannya. -Habis.

 

Yang wajib membayar zakat serta upahnya dari hasil bumi yang disewakan, adalah pihak penanam.

 

Biaya pengetam dan penumbuk adalah tanggungan pemilik tanaman (tidak boleh diambilkan dari harta -pen).

 

Wajib atas orang tersebut (muslimmerdeka):

 

Untuk 5 ekor unta, mengeluarkan zakat seekor domba berumur 1 tahun atau kambing jawa berumur 2 tahun: dan boleh saja mengeluarkan kambing jantan, sekalipun untanya betina. Tapi jika unta yang dimiliki sehat-sehat, ia mengeluarkan zakat berupa kambing sakit.

 

Kewajiban tersebut berlaku sampai jumlah unta 25 ekor, Maka, untuk 10 ekor unta, zakatnya 2 ekor kambing: 15 ekor unta, zakatnya 3 ekor kambing: dan untuk 20-25 unta, zakatnya 4 ekor kambing.

 

Jika unta genap berjumlah 25 ekor, maka wajib mengeluarkan zakat seekor unta betina berumur 1 tahun (bintu makhadh). Kewajiban ini berlaku sampai seseorang memiliki unta sejumlah 36 ekor.

 

Unta tersebut dinamakan .bintu makhadh, karena induknya saat itu telah hamil.

 

Bagi unta yang berjumlah 36-46 ekor, zakatnya seekor unta betina, bintu labun, berumur dua tahun. Dinamakan demikian, sebab induknya telah sampai waktu melahirkan yang kedua dan mempunyai air susu.

 

Bagi unta berjumlah 46-61 ekor, zakatnya seekor unta betina, hiqqa, berumur 3 tahun. Dinamakan demikian, sebab unta itu sudah pantas untuk dikendarai, dibebani muatan atau dikawini pejantan.

 

Bagi unta berjumlah 61 ekor, zakatnya seekor unta betina Jadz’ah, berumur 4 tahun. Dinamakan demikian, sebab gigi depannya sudah – mulai tanggal.

 

Bagi unta berjumlah 76 ekor, zakatnya 2 ekor bintu labun.

 

Bagi unta berjumlah 91 ekor, zakatnya 2 ekor unta hiqqah.

 

Bagi unta berjumlah 121 ekor, zakatnya 3 ekor unta bintu labun.

 

Kemudian (setelah ada pertambahan 9 ekor, lalu 10 ekor dari jumlah 121, maka hitungan zakatnya mengalami perubahan sebagai berikut:) untuk 40 ekor unta, zakatnya. satu unta bintu labun, dan bagi 50 ekor unta, zakatnya satu unta higgah (jumlah unta sebanyak 130 ekor= 40+40-50, berarti zakatnya 2 ekor bintu labun dan 1 ekor hiqqah: Sedang bagi unta berjumlah 140 ekor  = 50 + 50 + 40, berarti zakatnya: 2 ekor hiqqah dan 1 ekor bintu labun -pen).

 

Adapun 30-40 ekor lembu, wajib mengeluarkan zakat seekor anak lembu berumur 1 tahun (tabi’). Dinamakan demikian, sebab ia masih mengikuti induknya.

 

Bagi 40-60 ekor, zakatnya seckor lembu betina berumur 2 tahun (musinnah), Dinamakan demikian, sebab giginya sudah sempurna tumbuhnya,

 

Bagi 60 ekor lembu, zakatnya 2 ekor tabi’.

 

Kemudian (setelah bilangan di atas mengalami perubahan sebagai berikut:) Bagi 30 ekor lembu, zakatnya seekor tabi’s dan bagi setiap 40 ekor lembu, zakatnya seekor lembu musinnah (jumlah 70 ekor lembu = 30+40, berarti zakatnya adalah 1 ekor lembu tabi’ dan 1 ekor lembu musinnah, 80 ekor = 40+40, berarti zakatnya adalah 2 ekor musinnah, jumlah 90 ekor lembu = 30+30+30, berarti zakatnya adalah 3 ekor tabi’ dan seterusnya -pen).

 

Bagi 40-121 ekor kambing, zakatnya 1 ekor kambing, Bagi 121-200 ekor, zakatnya 2 ekor kambing, Bagi 201300 ekor, zakatnya 3 ekor kambing: Bagi 400 ekor, zakatnya 4 ekor kambing.

 

Kemudian, bagi setiap 100 ekor, zakatnya 1 ekor kambing (domba) berumur 1 tahun atau kambing jawa berumur 2 tahun.

 

Selisih di antara dua nisab, disebut Waqash (kemurahan).

 

Tidak boleh diambil sebagai zakat, binatang yang bagus, misalnya yang sedang hamil, gemuk untuk dimakan atau baru saja beranak selang setengah bulan dari masa kelahiran, kecuali atas kerelaan pemiliknya.

Disebut zakat fitrah, sebab diwajibkan telah berbuka puasa, Zakat tersebut. difardukan sebagaimana difardukan puasa Ramadhan, yaitu pada tahun ke-2 Hijriah, Perkataan Imam Ibnul Luban, bahwa zakat fitrah hukumnya tidak wajib, adalah suatu kesalahan, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Raudhah.

 

Imam Waqi’ berkata: Zakat fitrah terhadap puasa bulan Ramadhan, adalah bagaikan sujud Sahwi terhadap salat, artinya ia bisa menambal kekurangan puasa sebagaimana kekurangan salat: Perkataan ini dikuatkan oleh hadis sahih yang menyatakan, bahwa zakat fitrah itu dapat membersihkan orang yang berpuasa dari lelahan (perbuatan sia-sia) dan perkataan keji.

 

(Wajib) atas orang yang merdeka, Karena itu, zakat fitrah tidak wajib bagi dirinya budak sendiri, tetapi menjadi kewajiban tuannya. Begitu juga (tidak wajib) atas seorang istri. Bahkan jika ia seorang wanita amat, maka yang kewajiban mengeluarkan zakat atasnya adalah tuannya: jika ia bukan seorang istri yang bertatus. amat, maka kewajiban zakat adalah atas dirinya sendiri (bukan kewajiban suaminya yang berupa budak), seperti keterangan berikut ini.

 

Zakat Fitri juga tidak wajib atas seorang budak Mukatab, sebab pemilikannya dianggap lemah. Karena itu, ia tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah, juga dalam masalah nafkah terhadap kerabatkerabatnya. Juga karena kebebasan dirinya, maka zakat fitrah tidak dibebankan atas sayidnya.

 

Kewajiban zakat fitrah tersebut mulai terbenam matahari akhir Ramadhan, yaitu dengan mendapatkan akhir bulam Ramadhan dan awal Syawal.

 

Karena itu, kewajiban zakat fitrah tidak dikenakan terhadap orang yang baru setelah terbenam matahari, baik berupa anak, nikah, memiliki budak, kaya ataupun Islam, Tidak bisa . gugur juga kewajiban zakat dari perkara yang terjadi setelah matahari terbenam, baik itu berupa kematian, kemerdekaan budak, perceraian maupun sesuatu yang menghilangkan hak milik.

 

Waktu pembayarannya adalah mulai waktu wajib (terbenam matahari) hingga terbenam matahari pada Idul Fitri. Karena itu, bagi orang merdeka yang tersebutkan di atas, wajib membayar zakatnya sebelum terbenam matahari Idul Fitri.

 

Atas nama setiap muslim yang wajib ditanggung nafkahnya waktu terbenam matahari, lantaran sebagai istri, pemilikan atau kerabat, sekalipun istri tersebut sudah ditalak Rajii atau tertalak Ba’in dalam keadaan hamil, sekalipun merupakan istri Amat: Karena itu, zakat fitrah mereka berdua (tertalak Raj’i dan Ba’in dalam keadaan hamil), sebagaimana memberi nafkah kepadanya.

 

Bagi suami tidak berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah atas istri yang nusyuz (purik), sebab kewajiban nafkahnya sudah gugur atas seorang suami. Tetapi zakat fitrah wajib atas dirinya sendiri, jika ia seorang istri yang kaya.

 

Zakat fitrah istri merdeka yang kaya dan tidak nusyuz, adalah tidak wajib bagi suami merdeka yang melarat. Kewajiban tidak dibebankan kepadanya, sebab ia tidak mampu, begitu juga tidak menjadi beban istri itu sendiri, sebab ia secara sempurna telah menyerahkan dirinya pada sang suami.

 

Zakat fitrah anak kecil yang kaya tidak menjadi beban ayahnya, tapi zakat tersebut diambilkan dari harta anak itu. Jika seorang ayah mengeluarkan zakat fitrah anak itu dari hartanya sendiri, maka hukumnya boleh dan ia nanti boleh meminta ganti dari harta anaknya, jika waktu pembayaran ia berniat minta ganti rugi.

 

Zakat fitrah anak hasil perzinaan, adalah menjadi beban ibunya.

Zakat fitrah anak yang sudah besar dan sudah bekerja, tidak menjadi tanggungan ayahnya.

 

Zakat fitrah tidak dikenakan atas budak yang kafir, dan atas orang murtad, kecuali bila telah kembali ke Islam.

 

Bagi suami wajib mengeluarkan zakat fitrah atas pembantu istri, jika pembantu itu adalah amatnya sendiri atau amat sang istri yang iaperintahkan untuk melayaninya. Menurut pendapat yang Muktamad: Zakat fitrah pelayan yang digaji atau wanita yang menemani istri, adalah tidak menjadi beban suaminya, sekalipun wanita yang menemani istri itu sudah seizin suami.

 

Zakat fitrah amat yang dikawinkan dengan suami yang melarat, adalah beban sayidnya, Zakat fitrah wanita merdeka dan kaya yang bersuami seorang budak, adalah beban ia sendiri, bukan suaminya, sekalipun sang suami seorang yang kaya.

 

Imam Ar-Rauyani dalam kitab Al-Bahr berkata: Apabila seorang suami sedang bepergian, maka bagi sang istri boleh berutang untuk biaya nafkahnya sebab darurat, akan tetapi berutang untuk zakat fitrahnya tidak boleh, sebab suanuilah yang dibebani mengeluarkan zakat. Begitu juga boleh berutang bagi orangtua atau anak yang ditinggal pergi oleh penanggung nafkahnya.

 

Kewajiban membayar zakat fitrah atas orang-orang yang disebutkan di atas, jika harta zakat itu merupakan kelebihan dari: (1) Makanan pokok untuk diri sendiri dan orang yang wajib ditanggung nafkahnya selama sehari-semalam, (2) Pakaian, tempat tinggal dan pembantu, yang diperlukan oleh diri sendiri atau orang yang dinafkahi: (3) Membayar utangnya, menurut pendapat yang Muktamad, yang diperselisihkan dalam Al-Majmu’.

 

Ukuran zakat fitrah untuk satu orang adalah 1 sha’ (2,4 kg) makanan pokok yang umum pada daerah orang yang menunaikan zakat. 1 sha’ = 4 mud (1 mud = 6 ons, berarti 1 sha’ = 6 ons x 4 = 24 ons -pen).

 

Menurut segolongan ulama, perkiraannya adalah sepenuh dua tapak tangan yang sedang.

 

Karena itu, zakat fitrah belum cukup dari selain makanan pokok orang yang dizakati, orang yang menunaikannya atau negara itu, sebab selera nafsu orang-orang yang menerima zakat itu pada makanan pokok yang umum di daerahnya.

 

Karena itu juga, zakat fitrah harus diberikan kepada orang-orang fakir di daerah orang yang dizakati: Kalau daerahnya tidak diketahui, misalnya ia sedang minggat, maka dalam hal ini ada beberapa pendapat: (1) Zakat fitrah tetap harus dikeluarkan seketika (pada malam dan hari Idul Fitri): (2) Tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah, kecuali ia sudah datang: dan (3) Tidak wajib mengeluarkan zakatnya.

 

Cabang:

Zakat fitrah tidak dianggap cukup, jika yang dikeluarkan adalah harga dari sha’ itu, barang yang cacat, dimakan bubuk, atau yang basah -kecuali jika telah kembali kering dan menjadi kuat untuk disimpan dan patut dimakan-. Sedangkan kebiasaan memakan makanan yang basah adalah tidak bisa menjadi ukuran, kecuali jika memang yang ada hanya yang basah, maka boleh digunakan untuk zakat fitrah.

 

Haram menunda pengeluaran zakat fitrah sampai melewati hari Idul Fitri, bila tiada uzur, misalnya harta atau mustahik tidak ada. Jika ia menunda pengeluarannya tanpa ada uzur, maka ia wajib mengqadha seketika itu, sebab ia dianggap durhaka.

 

Boleh men-ta’jil pembayaran zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Sunah ‘ tidak menundanya sampai selesai salat Idul Fitri, bahkan penundzi an tersebut hukumnya makruh. memang, tapi jika penundaannya untuk menunggu kedatangan semacam kerabat atau tetangga adalah sunah, selama tidak melewati terbenamnya matahari (di hari Raya Fitri).

Wajib membayarkan zakat dengan seketika, sekalipun mempunyai tanggungan utang kontan yang harus dibayar, yang sampai menghabiskan nisab, baik untuk Allah (misalnya kafarat nazar -pen) atau manusia. Karena itu, adanya utang tidak bisa menghalangi kewajiban zakat, menurut pendapat Al-Azhhar. Sekalipun harta yang dikeluarkan zakatnya adalah harta anak kecil, sebab kebutuhan penerima-penerima zakat (mustahik -pen) pada zakat seketika itu. Kewajiban tersebut setelah ada kemampuan untuk membayarnya.

 

Apabila seseorang menunda pembayaran zakat (setelah mampu/ada kesempatan), maka berdosa, dan ia wajib menanggung jika terjadi kerusakan, setelah kesempatan itu. Tapi, jika penundaannya untuk menanti semacam kerabat, tetangga, orang yang lebih memerlukan, atau orang yang lebih patut menerimanya, maka tidak berdosa, tapi ia tetap harus menanggung kalau ada kerusakannya, Tak ubahnya dengan orang yang merusakkan harta zakat atau lalai dalam memberikannya, misalnya ia meletakkan harta itu di tempat yang tidak selayaknya, setelah cukup Haul. dan sebelum tamakkun.

 

Tamakkun (mampu untuk membayarkan zakat), adalah terjadi dengan “adanya harta yang bergerak”, yang tadinya tidak ada atau telah beradanya “harta tak bergerak” di tempat yang sulit terjangkau: Kalau harta tersebut belum hadir, maka tidak wajib menunaikan zakat dari harta yang berada di tempat lain, sekalipun kita berpendapat, bahwa memindah harta zakat itu hukumnya boleh.

 

Telah hadir pihak penerima zakat, atau sebagian dari mereka sudah ada, maka seseorang dalam hal seperti ini sudah dianggap tamakkun pada jumlah yang sebagian itu, sehingga jika ia merusakkan harta itu, maka ia wajib menanggungnya. Tamakkun/kesempatan menunaikan zakat di atas, setelah lepas dari keperluan akhirat (misalnya telah selesai melakukan salat) atau dunianya, misalnya makan dan pergi ke kamar kecil.

 

Tamakkun terjadi juga dengan telah datangnya masa pembayaran piutang, baik berupa emas-perak atau harta dagangan (dari pihak pengutang).

 

Di mana ia mampu untuk menagih piutang itu, misalnya: Pihak pengutang adalah orang kaya yang mau membayar serta tidak bepergian, pengutang tidak mengaku berutang tapi ada bayyinah, tidak ada bayyinahr, tapi pihak Qadhi mengerti kalau ia memang berutang: atau dia mampu membereskan kasus tersebut, Maka dalam hal seperti ini dia wajib mengeluarkan zakat dengan seketika, sekalipun dia sendiri belum menerima piutang itu, sebab ia kuasa untuk menerimanya.

 

Adapun jika dia tidak mampu untuk menagih piutang itu, lantaran pihak pengutang dalam keadaan melarat, mengulur-ulur waktu pembayaran, pengutang tidak ada, atau terjadi pengingkaran utang, sedang ia sendiri tidak punya bayyinah, maka harta yang seperti ini hukumnya sama dengan harta yang digasab. Artinya, ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya, kecuali setelah menerimanya.

 

Harta yang digasab atau sedang tidak ada di tempatnya, hukumnya wajib dizakati, tapi penyerahan zakatnya setelah mampu, yaitu dengan kembalinya harta itu.

 

Apabila seorang suami memberikan Mahar kepada seorang istri sebanyak nisab emas/perak, sekalipun masih dalam tanggungannya atau senisab binatang ternak tertentu, maka wajib mengeluarkan zakatnya tatkala telah sempurna satu tahun (haul) terhitung sejak pemberiannya, sekalipun sang istri belum menerima dan belum pernah dijimak.

 

Tapi, jika emas/perak yang menjadi maskawin tersebut berada dalam tanggungan (dzimmah), maka disyarat-. kan harus kuasa untuk menerimanya, yaitu dengan keadaan sang suami yang kaya dan hadir (ada di tempat).

 

siapa saja terserah”, maka bagi wali boleh mengawinkan kepada laki-laki yang tidak kufu (sebanding) dengannya.

 

Ucapan muwakkil kepada wakil: “Perlakukanlah perkara itu sesukamu”, atau “Apa yang kamu kerjakan tentang perkara itu adalah boleh bagimu”, adalah bukan berarti mengizinkan lagi mewakilkan kepada orang lain.

 

Cabang:

Jika muwakkil berkata, “Juallah kepada orang tertentu, misalnya Zaid”, maka bagi wakil tidak boleh menjual kepada selain Zaid, sekali-pun orang itu wakil Zaid. Kalau ia berkata, “Juallah dengan harga harta tertentu, misalnya: dinar”, maka wakil tidak boleh menjual dengan uang dirham: begitulah menurut pendapat Al-Muktamad. Kalau ia berkata, “Juallah di tempat tertentu”, atau “juallah di masa tertentu, misalnya bulan anu.,, atau di hari anu…, maka wakil tidak boleh menjual sebelum dan sesudah waktu-waktu tersebut, sekalipun dalam “perwakilan talak dan tidak berkaitan dengan suatu maksud, lantaran menjalankan izin muwakkil.

 

Jika setelah berjalan satu tahun sang suami berkata kepada istri: Jika engkau bebaskan aku dari maharmu, maka engkau tertalak, lalu sang istri benar-benar membebaskan, maka tidak bisa jatuh talaknya terhadap istri, sebab suami tidak bebas dari seluruh mahar tersebut, tapi bebas dari selain jumlah besar zakat. Jalan pembebasan yang sah di sini (sehingga jatuh talak benar-benar terjadi -pen) adalah sang suami memberikan mahar sebesar zakatnya, lalu istri membebaskannya.

 

Jual beli atau gadai dalam kadar zakat saja, hukumnya adalah batal, jika pemilik harta yang dizakati melakukan jual beli atau gadai terhadap jumlah sebesar nisab atau sebagiannya setelah cukup haul, maka akad jual beli atau gadai itu hukumnya sah, tapi untuk yang sejumlah kadar zakat yang harus Dikeluarkan, akad tersebut tidak sah (ini berpedoman pada pendapat yang mengatakan, bahwa Tafriqush Shufgah hukumnya boleh -pen), sebagaimana halnya dengan harta-harta perserikatan -demikianlah menurut pendapat Al-Azhhar.

 

Memang, tapi jual beli/gadai pada jumlah kadar zakat suatu barta perdagangan adalah sah, Kalau hibah, maka tidak sah.

 

Cabang:

 

Pembayaran zakat dan semacamnya (adalah hak Allah swt., misalnya haji, kafarah dan nazar -pen) adalah dilaksanakan terlebih dahulu daripada Tirkah penanggungan utang pada orang lain (hak Adami) yang kurang mencukupi, guna memenuhi sekalian kewajibannya, baik berupa hak-hak adami ataupun hak Allah, misalnya kafarat, haji, nazar dan zakat, sebagaimana halnya yang harus dilakukan bila dua hak tersebut berkumpul pada Mahjur “Alaih (maksudnya: Jika mayat mempunyai dua tanggungan hak tersebut, padahal harta peninggalannya tidak mencukupi untuk menyelesaikan kedua-duanya, maka yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah hak Allah -pen). Kalau yang berkaitan dengan harta peninggalan si mayat (tirkah) hanya hak-hak Allah saja, maka yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah zakat, bila berhubungan dengan harta tunai, misalnya harta tirkah masih mencapai nisab, Kalau tidak berhubungan dengan harta tunai (tanggungan), misalnya harta itu rusak setelah datang kewajiban zakat dan tamakkun, maka dibagi ratalah harta itu untuk memenuhi zakat dan hak-hak Allah yang lainnya.

Syarat menunaikan zakat ada dua:

  1. Niat di dalam hati, bukan dengan ucapan. Misalnya: Intlah zakat hartaku -sekalipun tidak menyebutkan “fardu”, sebab dengan zakat di sini berarti sudah fardu-, “Inilah sedekah fardu”, atau “Inilah zakat fardu untuk hartaku”.

 

Belum cukup niat “Inilah fardu hartaku”, sebab kefarduan harta itu bisa berupa kafarat, juga bisa nazar.

 

Dalam berniat, tidaklah wajib menentukan harta yang dikeluarkan zakatnya, Kalau ia menentukannya, maka zakat yang dikeluarkan tidak bisa melimpah pada yang lain, sekalipun ternyata yang ditentukan itu harta yang rusak, sebab ia tidak meniatkan terhadap harta yang lain tersebut.

 

Dari sini, jika ia berniat: “(Ini adalah zakat dari harta) bila ternyata harta yang dizakati itu rusak, maka harta ini sebagai zakat dari hartaku yang jain”, kemudian ternyata benar, bahwa harta tersebut rusak, maka zakat itu bisa melimpah untuk harta yang lain. Lain halnya jika ia berniat. “Ini adalah zakat hartaku yang gaib, jika masih ada atau inilah sedekah hartaku”, sebab tidak ada kemantapan dalam menunaikan fardu.

 

Jika ia berkata: “(Ini adalah zakat hartaku yang tidak di tempat jika masih ada), dan jika telah rusak, maka ini adalah sedekah”, kemudian ternyata hartanya telah,rusak, maka menjadi sedekah, atau ternyata masih ada, maka menjadi zakat.

 

Jika seseorang mempunyai tanggungan zakat, tapi ia merasa ragu: Sudah menunaikannya atau belum? Lantas ia mengeluarkan suatu harta dan berniat: “Jika memang aku. masih punya tanggungan zakat, maka barang ini sebagai zakatnya, dan jika sudah tidak punya tanggungan, maka barang ini sebagai sedekah sunah”, kemudian, jika ternyata ia masih punya tanggungan zakat, maka barang yang ia keluar: kan tersebut sudah mencukupi sebagai zakatnya, Kalau sudah tidak punya tanggungan, maka barang tersebut menjadi sedekah sunah, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.

 

Secara pasti, tidaklah cukup sebagai zakat, pemberian harta kepada Mustahiggin (orang-orang yang berhak) tanpa niat. Tidak disyaratkan bersamaan antara niat dengan penyerahan harta.

 

Bahkan telah cukup bila sudah niat sebelum menyerahkannya. Yaitu di saat memisahkan harta zakat dari harta yang dikeluarkan zakatnya, atau berniat di kala menyerahkan harta kepada wakil atau imam. Yang lebih utama lagi: Wakil dan imam di kala membagikan harta zakat kepada orang-orang yang berhak, mereka berniat.

 

Atau (cukup) jika niat telah dilakukan setelah memisahkan hatta dari harta yang dizakati atau menyerahkan kepada wakil, tapi belum dibagibagikan, sebab rasanya berat bersama-sama antara niat dengan penyerahan zakat kepada seorang penerima zakat (mustahik).

 

Bila seseorang berkata kepada orang lain: “Sedekahkanlah harta ini”, kemudian ia berniat sebelum harta tersebut disedekahkan oleh wakil (orang lain itu), maka harta itu cukuplah menjadi zakat.

 

Bila ia berkata kepada orang lain: “Ambilkan piutangku yang berada di tangan si Fulan dan itu sebagai zakatku untuk dirimu”, maka hal itu belum cukup sebagai zakat, sampai ia sendiri berniat setelah piutang diterima oleh orang lain tersebut, lalu ia memberi izin padanya untuk mengambil zakat.

 

Sebagian fuqaha berfatwa: “Sesungguhnya mewakilkan mengeluarkan zakat secara mutlak, adalah berarti pula mewakilkan dalam niatnya.” Dalam hal ini Guru kita berkata: Fatwa tersebut perlu untuk diteliti, bahkan menurut pendapat yang Muttajah, pemilik harta zakat wajib berniat atau menyerahkan niatnya kepada si wakil.

 

Imam Al-Mutawalli dan lainnya berkata: Wakil wajib berniat, jika kefarduan zakat Muwakkil menggunakan harta wakil. Misalnya Muwakkil berkata kepada Wakil: “Tunaikanlah zakatku dari hartamu”. Hal ini dimaksudkan supaya yang dikerjakan oleh si wakil untuk kewajiban Muwakkil. Ucapan Muwakkil seperti itu adalah menyimpan izin kepada wakil dalam berniat.

 

Imam Al-Qaffal berkata: Jika seseorang berkata kepada orang lain: “Utangilah aku sejumlah lima (Rp 50.000, umpama pon) dan bayar. kanlah jumlah tersebut gobagai gakatku”, lantas orang itu malakaana kannya, maka sah gakatnya. Dalam hal ini Guru kita berkata: Maanlah tersebut didasarkan pada pendapat Imam Al-Qaffal, bahwa adanya penerima dan penyerah barang terdiri dari satu orang adalah boleh.

 

Boleh bagi setiap teman perserikatan untuk mengeluarkan zakat harta perserikatan tanpa izin yang lain, seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Jurjani dan mendapat pengakuan dari ulama lainnya. Hal tersebut diperbolehkan karena syarak memberi izin tindakan itu.

 

Menurut pendapat Al-Aujah, adalah sudah cukup dengan niat dari penyerah zakat sebagai hiat teman sekutu: yang lain.

 

Boleh mewakilkan kepada orang kafir atau anak kecil untuk menyerahkan zakat kepada orang yang telah ditentukan, yaitu orang yang akan diberi zakat telah ditentukan, bukan secara mutlak. Akan tetapi tidak sah menyerahkan niatnya kepada mereka berdua, sebab mereka tidak sah dalam berniat.

 

Boleh mewakilkan kepada selain mereka untuk menyerahkan zakat beserta niatnya.

 

Wajib bagi’ wali meniatkan zakat harta anak kecil atau orang gila. Jika ja menasarufkan zakat mereka tanpa niat, maka ia wajib menanggungnya, sebab ia gegabah.

 

Bila pezakat menyerahkan zakatnya kepada imam tanpa niat, lagi pula ia tidak memberi izin kepadanya dalam niat, maka niat imam belum dianggap mencukupi. Memang, tapi telah dianggap cukup niat si imam, jika harta itu diambil oleh imam secara paksa dari orang yang membangkang mengeluarkan zakat, sekalipun pemilik harta tidak berniat.

 

Bagi pemilik harta -bukan bagi waliboleh menta’jil zakat sebelum sempurna Haul, Kalau menta’jil zakat sebelum sempurna nisab untuk selain harta dagangan, adalah tidak boleh: Juga tidak boleh mentajil zakat untuk masa dua tahun, demikianlah menurut pendapat Al-Ashah.

 

Bagi seseorang boleh menta’jil zakat Fitrah sejak permulaan bulan Ramadhan. Adapun ta’jil terhadap harta perdagangan, sekalipun belum sempurna ‘nisabnya, adalah boleh. Ketika ta’il, ia harus niat ta’jil, misalnya: “Ini adalah ta’jil zakatku”.

 

Haram menunda zakat setelah masa haul dan tamakkun, dan ia wajib menanggungnya jika terjadi kerusakan setelah tamakkun, yaitu setelah harta dan mustahiknya hadir, atau harta itu rusak setelah masuk haul, walaupun sebelum tamakkun, seperti keterangan yang telah lewat.

 

  1. Diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, Yaitu orang yang termasuk dari 8 golongan, seperti yang tertuturkan dalam ayat Alqur-an (At-Taubah: 20), yang artinya: “Sedekah (zakat) itu hanya diberikan kepada orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mukalaf, budak, orang yang utang, sabilillah dan ibnus sabil ….”

 

Fakirialah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan, yang hasilnya bisa mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggung biaya hidupnya.

 

Status fakir tidak terhalang lantaran seseorang memiliki rumah, beberapa pakaian yang sekalipun digunakan untuk berhias di hari-hari tertentu, punya buku-buku yang diperlukan, budak yang dibutuhkan untuk melayaninya, harta yang berada di tempat sejauh dua Marhalah, harta di tempat yang tidak dapat diambilnya karena terhalang scsuatu, punya piutang yang belum sampai waktu pembayarannya, atau pekerjaan yang tidak layak baginya.

 

Sebagian ulama berfatwa: Perhiasan wanita yang patut dan dibutuhkan untuk berhias secara biasa, adalah tidak menghalangi status kefakirannya fatwa ini dibenarkan oleh guru kita.

 

Miskin ialah orang yang memiliki harta atau pekerjaan untuk menutup kebutuhannya, tapi tidak mencukupinya, misalnya seseorang kebutuhannya 10 tetapi hanya mempunyai 8, dan tidak mencukupinya, sekalipun ja memiliki harta lebih dari nisab, karena itu bagi imam berhak mengambil zakatnya lalu memberikan kepadanya.

 

Masing-masing fakir dan miskin, jika biasa berdagang, maka mereka diberi zakat sejumlah modal yang biasanya dapat menghasilkan laba yang bisa memenuhi kebutuhannya, Kalau biasanya menjadi pekerja, maka mereka diberi seharga alatnya, Sedang bagi yang tidak bisa bekerja atau berdagang, maka mereka diberi zakat sejumlah yang mencukupi kebutuhannya yang wajar sepanjang umur.

 

Orang yang mengaku fakir, miskin atau tidak mampu, sekalipun tubuhnya kuat perkasa, adalah bisa dibenarkan tanpa disumpah. Tetapi Orang yang mengaku kerusakan hartanya tanpa saksi adalah tidak bisa dibenarkan.

 

Amil ialah, seperti halnya pengusaha zakat: yaitu orang yang diutus oleh imam untuk rhengambil (menulis, menghitung, membagi, dan menjaga zakat -pen): dan seperti halnya pembagi dan pengumpul zakat, bukan seperti halnya qadhi.

 

Muallaf ialah orang yang masuk Islam, sedang niatnya masih lemah, atau orang Islam yang mempunyai kewibawaan, dengan diberi zakat, akan menarik Islam yang lain.

 

Riqab ialah budak-budak Mukatab “yang dijanjikan merdeka dengan akad Kitabah yang sah: Mukatab atau tuannya dengan seizinnya, diberi zakat sejumlah tunggakan angsuran tebusan kemerdekaannya, jika ia tidak mampu melunasinya, sekalipun ia seorang pekerja. Akan tetapi kalau diberi zakat dari tuannya, tidak boleh, sebab ia masih milik tuannya.

 

Gharim ialah orang yang berutang untuk dirinya, yang tidak digunakan untuk maksiat.

 

Karena itu, ia diberi zakat, jika tidak bisa melunasi utangnya, sekalipun ia seorang pekerja. Sebab, kerja itu tidak bisa menutup kebutuhan untuk melunasi utangnya, bila telah tiba masa pembayaran.

 

Kemudian, jika Gharim tersebut tidak memiliki apa-apa, maka ia diberi sejumlah utangnya. Kalau masih memiliki harta, maka bila ia menutup utang dengan hartanya, lalu menjadi miskin, maka disisakanlah hartanya yang cukup untuk kebutuhan yang wajar sepanjang umur -menurut penjelasan Guru kita-, lalu ia diberi bagian zakat sejumlah kekurangan utangnya.

 

Atau Gharim (itu bisa juga) orang yang berutang untuk keperluan mendamaikan percekcokan. Maka orang ini diberi bagian zakat sejumlah utang tersebut, sekalipun ia orang yang kaya. Adapun jika ia tidak berutang, tapi membiayai dengan hartanya sendiri, maka ia tidak boleh diberi bagian zakat.

 

Orang yang berutang untuk keperluan umum, misalnya menjamu tamu, membebaskan tawanan, atau meramaikan/memperbaiki mesjid, adalah boleh diberi bagian zakat.

 

Atau Gharim (itu bisa juga) orang yang berutang untuk keperluan menanggung utang orang lain. Jika penanggung dan yang ditanggung sama-sama melarat, maka penanggung diberi bagian zakat sejumlah pelunasannya.

 

Atau apabila yang ditanggung itu kaya, sedang penanggungnya melarat, maka penanggung diberi bagian zakat seukuran utangnya, jika ja menanggung tanpa seizin yang ditanggung: Bila yang ditanggung melarat, sedang yang menanggung melarat, maka yang ditanggung diberi bagian (secukup utangnya kepada penanggung), sedang penanggung tidak boleh diberi bagian zakat. Jika penanggung telah melunasi utangnya dari bagian Gharim, ia tidak boleh menagih kepada yang ditanggung, sekalipun ia menanggungnya seizin yang ditanggung. Harta zakat sama sekali tidak boleh dipergunakan mengafani mayat atau membangun mesjid.

 

Orang yang mengaku sebagai Mukatab atau Gharim, adalah bisa dibenarkan dengan pemberitaan orang adil, pembenaran dari sayidnya, pembenaran dari si pemiutang atau telah masyhur hal itu di tengah masyarakat.

 

Cabang:

 

Barangsiapa memberikan zakatnya kepada pengutang dengan syarat diserahkan lagi sebagai pelunasan utangnya, hukumnya tidak boleh, dan pelunasan utang seperti itu tidak sah: Kalau keduanya berniat seperti itu tanpa ada syarat, maka boleh dan sah pembayarannya. Begitu juga boleh, jika pengutang berjanji membayar utangnya (jika telah menerima zakat), namun hal itu tidak menjadi syarat, dan dalam masalah ini pengutang tidak wajib menepati janjinya. (Contoh: Pengutang berkata kepada pemiutang: Berilah aku dari zakatmu, nanti aku akan membayar utangku -pen).

 

Bila pemiutang berkata kepada pengutang: Piutang yang ada di tanganmu, aku jadikan zakat dariku, maka belum mencukupi, menurut pendapat Al-Aujah. Kecuali ia telah menerimanya, lalu menyerahkannya kepada pengutang tadi.

 

Bila seseorang berkata: “Takarlah sekian makanan milikku yang ada padamu untuk dirimu”, serta berniat mengeluarkan zakat, lalu perintah tersebut dilakukan: apakah sudah mencukupi dalam berzakat atau belum? Di sini ada dua pendapat: Merurut lahir pembicaraan Guru kita, adalah memenangkan pendapat yang mengatakan belum cukup.

 

Sabilillah ialah: Pejuang sukarelawan Islam, sekalipun kaya. Mereka diberi bagian zakat sebagai nafkah, pakaian, dan untuk keluarganya, selama berangkat dan pulang. Demikian juga diberi biaya untuk alat peperangan.

 

Ibnus sabil ialah: Musafir yang melewati daerah zakat atau memulai perjalanan yang dianggap boleh dalam syarak dari daerah zakat tersebut, sekalipun untuk bertamasya atau bekerja. Lain halnya bepergian dengan tujuan maksiat, kecuali jika telah bertobat, atau musafir yang berjalan tanpa tujuan, misalnya pengelana.

 

Ibnus sabil diberi bagian zakat secukup kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tangungannya. Artinya, semua kebutuhan mereka selama pergi dan pulangnya, baik itu nafkah atau pakaiannya. Hal ini jika di tengah perjalanan atau tempat tujuannya tidak memiliki harta.

 

Orang yang mengaku dirinya bepergian atau berperang dapat dibenarkan tanpa sumpah. Dan apa yang telah diterimanya harus ditarik lagi, jika ternyata mereka tidak jadi pergi atau berperang. ‘

 

Seseorang tidak bisa diberi zakat atas nama dua sifat (misalnya fakir dan gharim -pen). Namun, Seseorang yang fakir jika telah mengambil bagian atas nama gharim, lantas diberikan kepada pemiutangnya, maka ia boleh diberi lagi sebagai fakir, sebab sekarang ia memerlukannya.

 

Peringatan:

 

Apabila pemilik harta telah membagikan zakat sendiri, maka untuk bagian Amil sudah tidak ada.

 

Kemudian, jika orang-orang yang berhak menerima zakat itu terbatas, serta harta zakat mencukupi untuk mereka, maka mereka harus diberi secara rata. Kalau harta itu tidak mencukupi, maka tidak wajib meratakan mereka, sunah pun tidak. Tetapi wajib membagikan kepada tiga orang dari tiap-tiap golongan, sekalipun mereka tidak berada di daerah zakat waktu wajib pembayaran zakat. Memberi tiga orang yang merupakan penduduk daerah (warga tempat zakat dikeluarkan), adalah lebih utama.

 

Bila pezakat memberikan harta zakat hanya kepada dua orang, padahal orang yang ketiga ada, makaia wajib membayar sebesar harga minimal bagian semestinya kepada orang ketiga dari hartanya sendiri, sebagai utang terhadap orang ketiga tersebut. Apabila sebagian dari ketiga orang tersebut tidak ada, maka bagiannya – diberikan kepada orang lain dalam kelompoknya yang membutuhkan: Kalau teman kelompok itu tidak membutuhkannya, maka diberikan kepada kelompok lain.

 

Wajib menyamaratakan bagian di antara kelompok, sekalipun kebutuhan sebagian kelompok tersebut melebihi yang lain. Kalau menyamaratakan bagian di antara individu kelompok, hukumnya tidak wajib, tapi hanya sunah.

 

Segolongan fukaha dari imam-imam mazhab Syafi’i memilih pendapat yang memperbolehkan memberikan zakat fitrah kepada tiga miskin atau mustahik yang lain.

 

Apabila pada waktu datang kewajiban memberikan zakat itu semua kelompok orang yang berhak terbatas masing-masing pada 3 orang atau kurang, maka mereka menghaki seluruh harta zakat: Dan jika hanya sebagian kelompok mustahik saja yang terbatas pada 3 orang atau kurang, maka mereka memperoleh bagian yang diperuntukkan mereka. Demikian ini dimilikinya sejak waktu kewajiban tersebut, karena itu tidaklah menjadi masalah terjadinya kaya. atau mati dari seseorang di antara mereka, tapi hak tetap ada di tangannya.

 

Maka bagian yang mati diberikan kepada ahli warisnya, sekalipun ahli waris tersebut adalah pezakat itu sendiri. Sedang orang yang baru datang, tidak dapat bersekutu untuk : memilikinya, demikian juga dengan orang yang tidak ada pada waktu kewajiban pembagian zakat telah tiba.

 

Apabila para mustahik lebih dari 3 orang pada masing-masing kelompok atau sebagian kelompok, maka mereka tidak dapat memiliki harta, kecuali dengan cara pembagian (karena itu, jika seseorang di antara mereka mati, pergi atau kaya setelah membayar zakat dan sebelum harta dibagi, maka ia tidak mendapatkan apa-apa, Dan jika orang yang berkelana itu datang atau orang yang kaya pada waktu kewajiban menjadi miskin, maka pada pembagian harta tersebut, mereka boleh diberi -pen). Tidak diperbolehkan bagi pemilik harta zakat memindahkan zakat dari daerah harta itu, sekalipun ke daerah yang berdekatan, dan zakat tidak dapat mencukupinya (tidak sah).

 

Tidak diperbolehkan memberikan zakat dalam bentuk harga harta itu, kecuali pada harta perdagangan, Sedang pada harta dagangan, tidak boleh diberikan zakatnya dalam bentuk harta itu.

 

Dinukil dari sahabat Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Hudzaifah r.a., bahwa memberikan zakat kepada satu kelompok adalah hukumnya boleh. Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Imam Abu Hanifah. Dia berkata: Boleh memindah zakat, namun makruh, boleh memberikan zakat dalam bentuk harga, dan boleh memberikan zakat harta dagangan dalam bentuk harta itu.

 

Apabila pezakat memberikan zakatnya -sekalipun zakat fitrahkepada orang kafir, budak sekalipun muba’adh yang bukan Mukatab, Bani Hasyim, Bani Muthalib atau budak milik mereka, maka pemberian tersebut tidak sah sebagai zakat.

 

Karena penerima zakat harus: Islam, merdeka, bukan dari Bani Hasyim atau Muthalib. Sekalipun Bani Hasyim atau Muthalib telah putus dari bagian 1/25 (dalam Ghanimah atau harta rampasan perang -pen).

 

Hal ini berdasarkan hadis: “Sesungguhnya zakat-zakat ini adalah kotoran manusia dan tidak halal diterima oleh Muhammad dan keluarganya.” Guru kita berkata: Setiap perkara yang wajib, misalnya nazar dan kafarah dihukumi sebagaimana zakat. Lain halnya pemberian sunah dan hadiah.

 

Atau (belum sah sebagai zakat) jika diberikan kepada orang kaya. Yaitu orang yang mempunyai biaya hidup selama seumur yang wajar, menurut pendapat Al-Ashah. Ada yang berpendapat, orang kaya adalah orang yang mempunyai biaya hidup selama satu tahun atau mempunyai pekerjaan halal yang patut baginya. Atau (belum cukup sebagai zakat) jika diberikan kepada orang yang telah dicukupi nafkahnya sebagai kerabat, baik termasuk orangtua, anak atau suami: Lain halnya orang yang dinafkahi oleh seseorang secara sukarela.

 

Itu semua belum mencukupi sebagai zakat dan kewajibannya dianggap belum selesai, jika yang memberi itu pemilik sendiri, sekalipun ia mengira, bahwa mereka adalah orang-orang yang berhak menerima zakat.

 

Kemudian, jika yang memberikan adalah seorang imam atas perkiraannya bahwa mereka adalah orangorang yang berhak menerima zakat, maka pemilik (pezakat) bebas dari tanggungan, dan imam pun tidak wajib menanggungnya, tapi ia wajib menarik harta tersebut, lalu diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.

 

Adapun orang yang belum tercukupi dengan nafkah wajib dari suami atau kerabat, maka ia diperbolehkan menerima zakat dari pemberi nafkah atau lainnya, sehingga atas nama fakir.

 

Bagi orang yang telah tercukupi nafkahnya, boleh menerima zakat atas nama selain fakir atau miskin, sekalipun menerima dari pemberi nafkah wajib padanya.

 

Sunah bagi istri memberikan zakatnya kepada suaminya, sebingga sampai atas nama fakir atau miskin, sekalipun zakat itu nanti oleh suami. dinafkahkan kepadanya. Guru kita berkata: Yang jelas: Kerabat yang kaya, jika ia tidak mau memberi nafkah kepada kerabatnya yang fakir, serta si fakir tidak mampu melaporkan hal itu kepada hakim, maka si fakir boleh diberi zakat, sebab telah nyata kefakiran atau kemiskinannya.

 

Faedah:

Imam An-Nawawi berfatwa tentang orang balig yang meninggalkan salat karena malas, bahwa ia boleh diberi zakat dan yang menerima hanyalah walinya, seperti halnya anak-anak dan orang gila. Zakat tidak boleh diberikan kepadanya, sekalipun walinya sedang tidak ada, Berbeda dengan ulama yang mengatakan boleh memberikan kepadanya, jika walinya tidak ada.

 

Lain halnya jika ia masih baru dalam meninggalkan salat atau mentabdzirkan sesuatu, di mana ia tidak di-hajr (dicegah dari menasarufkan harta), maka ia boleh menerima zakat sendiri.

 

Boleh memberikan zakat kepada orang yang fasik, kecuali jika diketahui, bahwa ia menggunakan zakat itu untuk maksiat, maka zakat haram diberikan kepadanya, sekalipun zakat tetap sah.

 

Segala harta yang kita ambil dari kafir Harbi secara paksa, adalah disebut Ghanimah. Kalau yang kita ambil tidak dari kafir Harbi, atau pengambilannya tidak secara paksa, maka disebut harta Fai. Termasuk ghanimah juga, apa yang kita ambil dari daerah inusuh dengan menjambret atau mencuri, menurut Al-Ashah, Lain lagi dengan pendapat Imam Al-Ghazali dan Al-Haramain, di mana mereka berkata: Harta yang kita ambil dari daerah musuh dengan cara menjambret tersebut tidak usah dibagi lima. Sedang Imam Ibnur Rif’ah mendakwahkan atas ijmak perkataan tersebut.

 

Termasuk harta fai, adalah upeti, 10% pajak perdagangan dan harta peninggalan orang murtad.

 

Dalam pembagian gharumah, terlebih dahulu barang-barang rampasan dari terbunuh diberikan kepada pembunuh yang Muslim tanpa dibagi menjadi lima. Yaitu meliputi pakaian, senjata, kendaraan, gelang, ikat pinggang, cincin dan kalung terbunuh. Kemudian, didahulukan pula tanggungan biaya yang keluar, misalnya upah pengangkutan ghanimah.

 

Setelah itu, ghanimah dibagi menjadi 5 bagian, yang 4/5 diberikan kepada mereka yang ikut ke medan perang, sekalipun tidak ikut berperang. Satu sama lain tidak ada yang lebih unggul bagiannya. Pembagian tersebut, sekalipun ghanimah berupa pekarangan (barang tak bergerak).

 

Tidak diberikan kepada orang yang bertemu dengan mereka setelah peperangan berakhir, walaupun sebelum pengumpulan harta. Juga tidak diberikan kepada orang yang mati sebelum pengumpulan harta. Demikianlah menurut mazhab.

 

(Kalau dalam harta fai pembagiannya) 4/5 diperuntukkan tentaratentara yang dipersiapkan berperang.

 

Bagian 1/5 harta ghanimah dibagi lagi menjadi lima bagian: 1/25 untuk kemaslahatan umum, misalnya membentengi, membangun benteng atau mesjid, gaji para Qadhi dan gaji orang-orang yang menghabiskan waktunya demi ilmu syariat dan ilmu pelengkapnya -sekalipun baru tahap awal belajar-, para penghafal Alqur-an, para imam mesjid dan muazin. Sekalipun mereka adalah orang-orang kaya, tetap diberi bagian sebesar kebijaksanaan imam (kepala negara).

 

Wajib mendahulukan kelompok terpenting di antara semua itu Adapun yang paling penting adalah yang pertama (membentengi daerah)

 

Apabila sang imam menahan hak mereka dengan memberinya dari Baitulmal, dan salah satunya diberi daripadanya, maka boleh diambil, selagi tidak melebihi kecukupannya, menurut pendapat Muktamad.

 

Berikutnya 1/25 diberikan kepada Bani Hasyim dan Muthalib, sekalipun mereka kaya. Adapun laki-laki bagiannya dua kali lipat bagian wanita.

 

Berikutnya 1/25 diberikan kepada anak-anak yatim yang fakir.

Berikutnya 1/25 diberikan kepada orang-orang miskin.

Terakhir 1/25 diberikan kepada Ibnus sabil (musafir) yang fakir.

 

Empat kelompok yang akhir tersebut harus diberi secara rata, baik yang hadir atau yang tidak hadir di tempat pembagian harta.

Memang, tapi tidak boleh menyamaratakan untuk masing masing individu yang tidak berkerabat, Tidak boleh juga membedakan antara kelompok satu dengan lainnya.

 

Kalau jumlah harta tersebut cuma sedikit, sehingga apabila disamaratakan tidak mencukupi, maka (bagi imam) harus mengkhususkan kepada yang lebih butuh, dan ia tidak boleh meratakan, sebab darurat,

 

Jika salah satu di antara mereka (4 kelompok) tidak ada, maka bagiannya dibagi rata kepada kelompok ok yang lain (ada).

 

Menurut tiga imam (selain Imam Syafi’i), adalah boleh mentasarufkan seluruh bagian 1/5 fai pada kemaslahatan kaum Muslimin.

 

Adalah tidak sah persyaratan sang imam, bahwa barangsiapa mengambil sesuatu dari barang rampasan (sebelum dibagi), adalah miliknya. Dalam sebuah pendapat: Syarat yang ditetapkan oleh imam tersebut hukumnya sah, Pendapat itu juga dipegang oleh ketiga imam. Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat: Bagi sang imam boleh melebihkan bagian pada kelompok tertentu atas yang lain.

Apabila salah seorang penjarah memperoleh suatu barang dari hasil jarahannya sebelum dibagi menurut syariat, maka hukumnya tidak boleh mentasarufkannya. Sebab barang itu masih berserikat antara dia dengan Ahli Khumus yang lain, padahal bagi teman perserikatan tidak boleh mentasarufkan harta perserikatan tanpa seizin yang lain.

 

Sedekah Tathawu’ (Sukarela) Disunahkan sedekah Tathawu’. Berdasarkan-ayat Alqur-an yang artinya: “Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang bagus…” (QS. 2, Al-Baqarah: 245).

 

Juga berdasarkan hadis-hadis yang telah masyhur.

 

Terkadang sedekah tersebut hukumnya wajib, sebagaimana seseorang menjumpai orang yang dalam keadaan kesulitan, sedang ia mempunyai kelebihan harta yang bisa diberikan kepadanya.

 

Makruh bersedekah dengan barang yang buruk. Bersedekah dengan uang, pakaian bekas dan semacamnya adalah tidak termasuk bersedekah dengan barang yang buruk. Bahkan sebaiknya seseorang tidak perlu malu bersedekah dengan Jumlah yang sedikit.

 

Bersedekah dengan air adalah lebih utama, kalau ternyata banyak dibutuhkan, Kalau kebutuhan terhadap air tidak begitu banyak, maka yang lebih utama adalah sedekah dengan makanan.

 

Apabila terjadi pertentangan antara memberi sebagai sedekah seketika dengan wakaf, maka jika waktu itu adalah waktu pailit dan kebutuhan yang mendesak, adalah sedekah lebih utama, Kalau tidak, maka yang lebih utama adalah memberi sebagai – wakaf, karena kemanfaatannya lebih banyak, Demikianlah perkataan Imam Ibnu Abdis Salam, yang . diikuti Imam Az-Zarkasyi. Dalam hal ini Imam Ibnur Rif’ah memutlakkan penarjihan yang pertama (lebih utama disedekahkan), karena dengan disedekahkan cara kontan, berarti telah melepas haknya dari yang menerima sedekah.

 

Sebaiknya bagi orang yang gemar beramal kebaikan, jangan sampai absen setiap hari dalam oersedekah yang sebisanya, sekalipun berjumlah sedikit.

 

Memberi sedekah dengan cara diamdiam, adalah lebih utama daripada dengan terang-terangan. Kalau dalam masalah zakat, secara ijmak, bahwa yang lebih utama adalah memberikannya secara terang-terangan.

 

Memberi sedekah di bulan Ramadhan, lebih-lebih pada tanggal 10 hari yang terakhir, adalah lebih utama. Yang muakkad lagi, adalah memberi sedekah di waktu-waktu mulia, seperti tanggal 10 Zulhijah, Idul Fitri-Adha, Jumat, dan di tempat-tempat yang mulia, misalnya Mekah dan Madinah.

 

Memberi sedekah kepada kerabat yang tidak menjadi tanggungan nafkahnya, adalah pemberian kepada kerabat yang paling dekat. Adapun kerabat yang dekat adalah (yang masih berhubungan) mahram, suami, istri, kemudian yang bukan mahram. Adapun kerabat dari garis ayah adalah sama saja dengan yang dari garis ibu. Kemudian urutan tersebut di atas, yang lebih utama sedekah itu diberikan kepada mahram susuan (radha’), kemudian mahram Mushaharah.

 

Memberi sedekah -setelah kepada kerabatkepada tetangga adalah lebih utama daripada lainnya. Karena itu, dapatlah diketahui, bahwa memberi sedekah kepada kerabat yang jauh rumahnya dari si pemberi, tapi masih satu daerah adalah lebih utama daripada bukan kerabat yang berdekatan rumahnya.

 

Tidak sunah bersedekah dengan barang yang dibutuhkan sendiri. Bahkan hukumnya haram menyedekahkan barang yang dibutuhkan sebagai nafkah atau biaya orang yang wajib ditanggung nafkahnya selama sehari-semalam:, atau yang dibutuhkan untuk membayar utang, sekalipun belum sampai waktu pembayarannya dan tidak ditagih: Hal ini selama tidak mempunyai persangkaan yang kuat, bahwa pemberi sedekah tersebut bisa mendapat barang sebesar itu dari jalan lain yang sudah jelas.

 

Karena kewajiban (dalam hal ini menafkahi) tidak boleh ditinggalkan hanya karena kesunahan (sedekah). Di mana sedekah dihukumi haram, jika orang yang diberi sedekah tidak berhak menerima barang itu: demikianlah yang difatwakan oleh Guru kita, Al-Muhaqqiq Ibnu Ziyad r.a. Tapi menurut pendapat yang dikukuhkan oleh Guru kita (Ibnu Hajar) dalam kitab Syarhi Minhaj, bahwa orang tersebut tetap bisa memiliki barang itu.

 

Mengumpat sedekah yang telah diberikan, hukumnya adalah haram dan menghapus pahala, sebagaimana dengan melukai hati penerima sedekah itu.

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Makruh menerima sedekah dari seseorang antara halal dan haram, misalnya dari seorang penguasa yang tak jujur. Besar kecil kemakruhannya tinggal melihat besar-kecil barang syubhat hartanya. Menerima tersebut tetap tidak haram, selagi tidak diyakini bahwa barang yang diterima itu haram.

 

Pendapat Imam Al-Ghazali, bahwa menerima sedekah dari orang yang kebanyakan hartanya, berupa barang haram, adalah hukumnya haram: Begitu juga bermu’amalah dengannya, pendapat tersebut adalah syadz (menyimpang dari garis).

 

Menurut tughat, lafal  الصوم artinya “menahan”. Sedang menurut istilah syarak adalah menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa dengan syarat-syarat yang dituturkan di bawah ini.

 

Perintah-perintah mengerjakan puasa difardukan pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijriah. Puasa itu sendiri termasuk kekhususan umat Islam, dan ma’lum dharuri (hukum Islam yang sudah diketahui oleh umum dan sudah tidak menerima interpretasi lagi, scbab dalilnya adalah “qadi’yah”. Sehingga orang yang mcnentang kewajiban puasa bukumnya kafir -pen).

 

Secara ijmak, wajib mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, karena telah berakhur — tanggal 30 Sya’ban atau terlihat tanggal 1 Ramadhan oleh seorang yang adil, setelah terbenam matahari, sekalipun adilnya Mastur (orang yang tidak mengerjakan kefasikan dan belum ditazkiyahkan -pen). Penglihatan bulan tersebut sekalipun terjadi karena tertutup awan di langit Kewajiban tersebut jika memang ia telah mempersaksikan di depan Qadhi, bahwa ia telab melhatnya (syarat terakhir ini berkaitan dengan orang banyak/umum, kalau untuk dirinya sendiri atau orang yang telah membenarkannya, maka penyaksiannya tersebut tidak disyaratkan -pen).

Penyaksian tersebut dengan: “Saya bersaksi, bahwa sungguh saya telah melihat hilal atau saya bersaksi bahwa sungguh hilal telah tampak”. Belum cukup jika dengan kata-kata: “Saya bersaksi, sungguh besok adalah bulan Ramadhan”.

 

Penyampaian syahadah (persaksian) tersebut tidak bisa diterima, kecuali disaksikan oleh dua orang yang adil.

 

Setelah ada ketetapan hilal Ramadhan yang disaksikan oleh seorang yang adil di depan Qadhi, seperti keterangan yang lewat, dan Qadhi menetapkan melalui perkataannya: “Penglihatan hilal telah kuat di sisiku (atau aku telah menguatkan persaksiannya)”, maka wajiblah berpuasa bagi segenap penduduk yang hilalnya telah tampak.

 

Seperti balnya kekuatan hukum ketetapan Qadhi atas persaksian di depannya tersebut, adalah berita mutawatir, bahwa hilal telah tampak, sekalipun berita itu datang dari orangorang kafir. Sebab, berita mutawatir itu dapat membawa pengetahuan yang dharuri (pasti, bukan rekayasa). Begitu juga kekuatan hukum perkiraan, bahwa telah masuk Ramadhan dengan tanda-tanda cukup jelas, yang biasanya tidak keliru. Misalnya, dengan melihat lampulampu yang digantung di atas menara.

 

Orang yang fasik, budak dan wanita wajib mengerjakan puasa sebab mereka sendiri melihat hilal.

 

Begitu juga wajib berpuasa bagi orang yang mengiktikadkan kebenaran pemberitaan orang fasik atau murahig (orang yang mendekati akil balig), bahwa mereka telah melihat hilal dengan mata kepala sendiri, atau bahwa hilal telah tampak di daerah lain, yang sama mathla’-nya (yang sama garis bujarnya. Yaitu terbenam matahari, bintang-bintang serta terbitnya di dua daerah tersebut, terjadi dalam satu waktu -pen).

 

Kewajiban yang berpangkal dari pemberitaan orang fasik dan seterusnya, adalah meliputi hubungannya dengan awal ataupun akhir, demikianlah menurut pendapat Al-Ashah.

 

Menurut pendapat yang Muktamad: Hendaklah -bahkan wajibbagi : seseorang berpedoman dengan tanda-tanda masuk bulan Syawal, jika ia meyakini kebenaran tanda-tanda itu, sebagaimana difatwakan oleh dua Guru kita, Ibnu Ziyad dan Ibnu Hajar (Al-Haitami), begitu juga pendapat segolongan ulama Muhaqqiqin.

 

Apabila penduduk daerah yang ada ketetapan awal Ramadhan berpuasa, sekalipun berdasarkan dengan ru’yah seorang adil, maka setelah 30 hari mereka wajib tidak berpuasa, sekalipun mereka tidak melihat tanggal 1 Syawal, serta tidak ada awan di langit, sebab telah sempurna bilangan satu bulan berdasarkan Hujah Syar’iyah.

 

Jika seseorang melakukan puasa berdasarkan ucapan orang yang dipercayai, lalu setelah 30 hari ia tidak melihat tanggal 1 Syawal, padahal cuaca dalam keadaan bersih, maka ia tidak boleh berbuka (berhari raya).

 

Jika saksi ru’yah mencabut persaksiannya setelah orang-orang berpuasa, maka mereka tidak boleh mencabut puasanya (berbuka kembali).

 

Jika ru’yah telah terjadi di suatu daerah, maka hukumnya berlaku bagi daerah yang berdekatan dengannya, bukan yang berjauhan.

 

Tinjauan jauhnya adalah ditetapkan dengan perbedaan Mathia’ (garis bujur) menurut pendapat Al-Ashah. Yang dimaksudkan dengan perbedaan mathla’ adalah adanya dua daerah itu berjauhan, sekira bilai dapat diru’yah dari daerah satu, tapi pada ghalibnya tidak dapat diru’yah dari daerah lainnya: demikianlah yang dikatakan (oleh Imam Al-Ardabili) di dalam kitab Al-Anwar.

 

Dalam hal ini Imam At-Tajut Tibrizi berkata, yang diakui oleh ulama lainnya: Tidak mungkin terjadi perbedaan mathia’ dalara jarak 24 farsah.

 

Imam As-Subki memperingatkan, yang diikuti oleh nlama lainnya, bahwa jika ru’yah telah terjadi di daerah timur, berarti ra’yah juga terjadi di daerah barat -bukan sebaliknya-, sebab waktu malam datang dari daerah timur sebelum ke daerah barat.

 

Kesimpulan dari pembicaraan fukaha. bahwa bila ru’yah telah terjadi di daerah timur, maka selurah daerah barat terkena kewajiban melakukan sesuatu yang berkaitan dengan ru yah itu (berpuasa dan berhari raya), sekalipun berlainan mathla’nya.

 

Puasa Ramadhan itu hanya diwajibkan pada setiap orang Mukallaf, – yaita balig yang berakal sehat – yang mampu melakukannya, secara kenyataan dan syarak.

 

Karena itu, tidak diwajibkan bezpuasa bagi anak kecil, orang gila dan orang yang tidak mampu melakukannya, karena telah lanjut usia atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Adapun bagi arang yang tidak kuat ini, terkena kewajiban membayar satu mud untuk setiap hari puasa: Tidak diwajibkan membayar mud bagi wanita yang sedang haid atau nifas, sebab secara syarak mereka dianggap mampu.

 

Fardu puasa adalah Niat di dalam hati. Mengucapkan niat tidaklah menjadi syarat, tapi cuma sunah.

 

Makan sahur belum dianggap mencukupi sebagai niat, sckalipun dimaksudkan untuk kekuatan berpuasa. Begitu juga dengan perbuatan menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa, karena khawatir jangan-jangan telah masuk fajar, selagi belum tergores di dalam hati untuk berpuasa dengan sifatsifat yang wajib dinyatakan (ta’arrudh) dalam berniat.

 

Niat itu harus dilakukan setiap hari berpuasa. Karena itu, jika seseorang berniat puasa pada malam pertama Ramadhan untuk satu bulan penuh, maka dianggap belum mencukupi untuk selain hari pertama.

 

Guru kita berkata: Tapi hal itu sebaiknya dilakukan, agar pada hari di mana seseorang lupa berniat di malamnya tetap berhasil puasanya menurut Imam Malik (sebab beliau berkata, bahwa niat puasa tidak diwajibkan untuk tiap-tiap malam -pen). Sebagaimana disunah berniat di pagi hari bagi seseorang yang lupa berniat di malam harinya, agar tetap berhasil puasanya menurut Imam Abu Hanifah.

 

Sudah jelas, bahwa keberhasilan puasa dalam hal itu adalah bagi orang yang bertaklid (kepada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah), kalau tidak, maka ia berarti mencampuradukkan ibadah yang fasad menurut iktikadnya sendiri (hal ini hukumnya haram -pen).

 

Untuk puasa fardu -sekalipun puasa nazar, membayar kafarat atau juga puasa yang diperintahkan oleh imam ketika akan salat Istisga’disyaratkan Tabyit, yaitu meletakkan niat di malam hari antara terbenam matahari hingga terbit fajar, sekalipun puasa itu dilakukan oleh anak Mumayiz.

 

Guru kita berkata: Jika seseorang meragukan atas terjadinya niat sebelum atau sesudah fajar, maka niatnya dihukumi tidak sah, sebab pada dasarnya niat tidak terjadi di malam hari. Sebab, dasar segala hal yang terjadi itu diperkirakan pada masa terdekat. Lain halnya apabila ia sudah berniat puasa, lalu meragukar “Sadah terbit fajar atau helum keuka berniat”, karena pada dasarnya fajar apa belum terbit. pijakannya adalah “ashal yang telah tersebutkan di atas” -habis(Perbedaan dua masalah di atas: Kalau pada contoh/ masalah pertama keraguan terjadi setelah nyata-nyata terbit fajar, sedang pada contoh kedua, keraguan terjadi sebelum nyata-nyata terbit fajar -pen).

 

Semacam makan dan persetubuhan yang dilakukan setelah niat dan sebelum terbit fajar, adalah tidak membatalkan niat. Memang, tapi jika niat tersebut telah ia rusak : sebelum terbit fajar, maka dengan pasti membutuhkan perbaikan kembali

 

Disyaratkan dalam puasa fardu, yaitu Ta’yin (menentukan), misalnya berniat puasa “Ramadhan, nazar atau kafarat”, Yaitu dengan cara setiap malam berniat, bahwa besok akan melakukan puasa Ramadhan, nazar atau kafarat, sekalipun tidak menyatakan sebab kafarat. Karena itu, jika seseorang berniat fardu puasa atau kefarduan waktu, maka belum dianggap cukup.

 

Memang, tapi jika seseorang mempunyai tanggungan qadha Ramadhan dua kali, nazar atau kafarat, yang keduanya dari berbagai sebab, maka Ta’yin tidak disyaratkan, karena kewajiban-kewajiban di sini adalah tunggal jenisnya (yaitu kemutlakan Ramadhan, nazar atau kafarat -pen).

 

Dikecualikan dari syarat Tabyit dalam puasa fardu, jika puasa itu adalah sunah. Karena itu, puasa sunah, sekalipun yang ditentukan waktunya, tetap niatnya dilakukan sebelum tergelincir matahari, demikian ini berdasarkan hadis sahih.

 

Dengan adanya syarat Ta’yin pada puasa fardu, maka pada puasa sunah tidak menjadi syarat juga. Karena itu, puasa sunah, sekalipun ditentukan oleh waktu, adalah sah niatnya tanpa Ta’yin, sebagaimana pedoman yang tidak hanya dipegang satu ulama saja.

 

Memang, tapi Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ membahas syarat Ta’yin dalam puasa Rawatib, misalnya hari Arafah dan yang bergandingan dengannya: Maka puasa qadha, nazar atau kafarat tidak bisa berhasil bersama puasa Rawatib, sekalipun telah diniatkan.

 

Bahkan yang sesuai dengan kias, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Asnawi, bahwa niat sekaligus dua puasa seperti dalam masalah di atas, adalah batal. Hal ini sama dengan masalah orang niat salat Zhuhur serta salat sunahnya, atau salat Zhuhur dengan sunah Asar.

 

Minimal niat yang dapat mencukupi dalam puasa: Aku niat berpuasa Ramadhan, sekalipun tanpa menyebutkan “fardu”, menurut pendapat Al-Muktamad, sebagaimana penyahihan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’, yang mengikuti pendapat kebanyakan ulama. Sebab, puasa Ramadhan yang dilakukan oleh orang balig itu mesti fardu. Kesimpulan pembicaraan : Ar-Raudhah dan Al-Minhaj, menyebutkan fardu itu adalah wajib. Begitu juga, niat telah mencukupi tanpa menyebutkan “besok hari”. Kedua guru kita (Imam Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) berkata: Lafal “besok hari” itu sudah masyhur dalam pembicaraan ulama, dalam menafsiri Ta’yin.

 

Pada hakikatnya, penyebutan “besok hari” itu bukanlah terrnasuk batas ta’yin, karena itu, tidak wajib dijelaskan secara khusus, tetapi justru sudah telah tercakup maknanya dalam niat puasa, di mana penyebutan bulan sudah ada, Sebab, sudah berhasil ta’yin manakala disebutkan bulannya (Ramadhan). Akan tetapi kesimpulan pembicaraan Guru kita, seperti juga Imam Al-Muzjad, bahwa menyebutkan “besok hari” adalah wajib.

 

Niat yang paling sempurna adalah “Saya niat berpuasa besok hari, sebagai penunaian fardu Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta’ala”. Lafal  رمضان adalah dibaca jar, karena diidhafatkan pada lafal setelahnya. Secara sepakat, bahwa niat seperti di atas adalah sah. .

 

Imam Al-Adzra’i membahas, bahwa jika seseorang masih mempunyai tanggungan puasa seperti yang akan dikerjakannya, misalnya qadha Ramadhan sebelumnya, maka hukumnya wajib menjelaskan tunai atau ta’yin tahun mana yang dimaksudkan.

Adalah batal puasa orang yang sengaja mengerjakan:

  1. Semacam jimak atau mqkan, bukan yang sedang lupa, bahwa ia sedang berpuasa, sekalipun jimak, makan dan sesamanya yang dilakukan adalah banyak. Orang tersebut mengerti, bahwa hal itu membatalkan puasa, lain halnya jika ia tidak mengerti, bahwa yang dikerjakan itu . dapat membatalkannya, karena baru saja mengenal Islam atau hidupnya di hutan belantara yang jauh dari orang yang mengetahui hal itu. Orang tersebut dalam keadaan bebas, bukan orang yang dipaksa, dan apa yang dilakukan bukan merupakan maksud hati dan pikirannya, serta tidak enakenak dengan yang dilakukannya. Batal puasa sebab melakukan jimak.

 

  1. Melakukan onani, sekalipun dengan tangan sendiri atau istri/ wanita amatnya, atau dengan persentuhan tanpa tabir yang dapat membatalkan puasa. Puasa tidak batal sebab mencium atau memukul wanita dengan bertabir, sekalipun berulang kali, syahwat dan tabirnya tipis.

 

Karena itu, jika laki-laki merangkul atau mencium wanita tanpa terjadi persentuhan badan, karena ada tabir yang menghalangi keduanya, lalu mengeluarkan sperma, maka puasa tidak batal, sebagaimana keluar sebab bermimpi di waktu tidur atau keluar mani sebab pandangan atau melamun.

 

Jika seorang laki-laki menyentuh wanita mahramnya atau rambut seorang wanita, lalu keluarlah sperma, maka puasanya tidak batal, sebab wudu tidak batal sebab hal itu. Keluar air madzi tidak membatalkan puasa, lain halnya dengan pendapat ulama-ulama Malikiyah.

 

  1. Sengaja bermuntah-muntah, walaupun tidak sedikit pun muntah yang kembali masuk perutnya, misalnya ia sengaja membuat muntah dengan cara menungging, Kalau ada yang masuk ke perut dengan sengaja, maka puasanya menjadi batal, sebab kesengajaannya memuntah itu sendiri sudah membatalkan.

 

Adapun bila muntah itu terjadi tanpa bisa diatasi lagi (ditahan), serta tidak ada yang masuk ke perut atau tidak ada air ludah yang terkena najis sebab bercampur muntah itu kembali setelah melewati batas daerah luar (tidak ada muntahan yang kembali ke perut sama sekali, atau ada yang kembali, tapi sebelum muntah itu melewati daerah luar -pen), atau ada yang masuk, tapi tanpa diusahakan (terpaksa), maka puasa dalam keadaan yang seperti itu tidak batal. Hal ini berdasarkan hadis sahih.

 

Puasa tidak batal sebab sengaja mengeluarkan lendir dahak perut atau dahak otak ke daerah luar, jika dikcluarkannya karena keadaan membutuhkan antuk berbuat demikian. Adapun jika lendir itu setelah sampai ke daerah luar, latu ditelan lagi, padahal ia mampu untuk mendahakkannya, maka secara pasti puasanya menjadi batal. Batas daerah luar adalah makhraj huruf kha’.

 

Jika ada lalat masuk ke perut orang yang berpuasa, maka secara mutlak (baik akan membahayakan atau tidak dengan keberadaan lalat tersebut di dalam perut -penj dengan mengeluarkannya kembali mengakibatkan puasanya menjadi batal, Ia diperbolehkan mengeluarkan lalat tersebut, jika dengan tetapnya di dalam pcrut mengakibatkan bahaya, serta ia wajib mengqadha puasanya. Demikian menurut fatwa Guru kita.

 

  1. Kemasukan benda yang tampak (bukan udara), sekalipun hanya sedikit -ke dalam bagian yang disebut jauf (rongga dalam) orang yang tersebutkan di atas (sengaja, tahu hukumnya dan tidak terpaksa). Contohnya ke dalam rongga perut, hidung, saluran air kemih atau aur susu, sekalipun tanpa melewati kepala zakar atau punting susu.

 

Sampainya jari wanita di kala istinja hingga melewati bagian vagina yang tampak ketika dalam posisi jongkok adalah membatalkan puasa: Demikian juga dengan sampainya sebagian ujung jari hingga mencapai otot lingkar. Begitulah yang dimutlakkar oleh Imam Al-Qadhi Husen.

 

Imam As-Subki membatasi, bahwa membatalkan puasa adalah sampainys sebagian ujung jari ke otot lingkar (masrabah) yang berongga. Lam halnya dengan sampai pada bagian depannya yang mengatup, maka tidak bisa disebut jauf: Ia menyamakan hukum bagian depan masrabah dengan bagian depan saluran air kemih laki-laki ketika digerakkan, malah masalah saluran air kemih ini lebih tidak membatalkan puasa.

 

Putra Imam As-Subki berkata: Perkataan Imam Al-Qadhi “untuk lebih hati-hati, hendaknya buang air besar di malam hari”, maksudnya: melakukannya di malam hari adalah lebih utama daripada di siang hari, agar tiada sesuatu yang masuk ke masrabahnya: bukan berarti diperintah mengakhurkan berak sampai malam hari, sebab seseorang tidak akan diperintah melakukan sesuatu yang membahayakan badannya.

 

Jika otot lingkar orang yang berpenyakit bawasir keluar, maka puasanya tidak menjadi batal sebab kembali masuk otot tersebut: Demikian juga jika memasukkannya dengan jari-jarinya, sebab hal itu karena keterpaksaan. Dengan dasar keterpaksaan itu -sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita-, bahwa bila ia terpaksa memasukkan jari tangannya beserta otot lingkar itu ke bagian rongga dalam, maka puasanya tidak batal: Kalau tidak karena terpaksa, maka puasanya batal, lantaran jari sampai ke rongga dalam.

 

Tidak termasuk “benda tampak”, yaitu bekas, seperti sampainya rasa makanan pada tenggorokan orang yang mencicipinya.

 

Tidak termasuk “orang sengaja yang tahu hukumnya serta tidak terpaksa”, yaitu orang yang lupa bila sedang berpuasa, bisa dimaklumi ketidaktahuannya, bahwa sampainya sesuatu ke rongga dalam, adalah dapat membatalkan puasa, dan orang dipaksa: maka puasa mereka tidak batal, lantaran sampainya sesuatu ke dalam rongga dalam, sekalipun perkara yang dimakan terhitung banyak.

 

Jika ia mengira bahwa makan karena terpaksa adalah membatalkan puasa, Jalu ia makan lagi karena tidak tahu atas kewajiban meneruskan puasanya, maka puasanya adalah batal.

 

Jika ia sengaja membuka mulutnya di dalam air, lalu ada air yang masuk ke jaufnya, atan menaruh air ke dalam mulutnya, lalu terlanyur masuk ke jaufnya, maka batallah puasanya: Atau sengaja meletakkan sesuatu dalam mulutnya, lalu menelannya karena lupa, maka puasanya tidak batal.

 

Puasa tidak batal sebab sampainya sesuatu ke batang hidung, kecuali telah melewati pangkal hidung (janur irung -jawa).

 

Puasa tidak batal sebab menelan ludah yang masih murni kesuciannya, yang ditelan dari sumbernya -yaitu seluruh daerah mulut-, sekalipun setelah terlebih dahulu dikumpulkan dalam mulut -demikian menurut pendapat Al-Ashah-, dan sekalipun pengumpulannya itu dilakukan setelah dirangsang dengan mengunyah semacam kemenyan mustaka.

 

Jika menelan air ludah yang terkumpul sendiri, maka secara pasti tidak membatalkan puasa.

 

Dikecualikan dari “yang suci”, jika air ludah itu terkena najis dengan semacam darah gusi, maka kalau ditelan, puasanya menjadi batal, sekalipun ludah tampak jernih, dan pada umumnya tidak ada bekas campuran tersebut. Sebab, dengan adanya larangan menelannya itu, maka statusnya seperti benda tanipak, yang berasal dari selain dirinya.

 

Guru kita berkata: Jelaslah adanya kemakluman (ma’fu) bagi orang yang mengalami penyakit pendarahan pada gusinya, sekira tidak mungkin dapat memisahkan antara air ludah dengan darah: Sebagian ulama berkata: Bila orang yang terkena penyakit tersebut menelannya, di mana ia tahu hal itu terjadi, tapi ia tidak dapat menghindarinya, maka puasanya adalah sah.

 

Tidak termasuk “air ludah yang mumi”, yaitu air ludah yang telah tercampuri benda cair lainnya: Maka puasa menjadi batal, jikalau ia menelan ludah yang telah berubah sifatnya sebab bercampur semacam daun sirih (daun untuk susur),

 

sekalipun rasanya sulit untuk menghilangkannya, atau tercampur naftal benang yang dipintal menggunakan mulutny.

 

Tidak termasuk “dari sumbernya”, yaitu air ludah yang telah keluar dari daerah mulut -bukan yang ada di lidahnya-, sekalipun hanya keluar pada daerah bibir luar, lalu dijilat kembali dan ditelannya.

 

Atau (kalau) ia membasah: benang atau siwak dengan ludahnya atau air, lalu mengembalikan (menelan) ke mulutnya, dan ada basah-basah yang terlepas dari benang atau siwak tersebut, lalu ditelannya, maka puasanya menjadi batal. Lain halnya jika tidak ada basah-basab yang terlepas daripadanya, maka menelannya tidak membatalkan puasa, karena basah-basah yang ada pada benang itu terlalu sedikit atau benang dan siwak itu sudah diperas atau kering. Masalah ini sama halnya dengan air bekas berkumur, sekalipun-dimungkinkannya untuk meludahkan (mengeluarkan)nya, sebab menjaga air bekas berkumur itu rasanya sulit, kareni itu seseorang tidak terbebani menyeka mulut dari air bekas berkumurnya.

 

Jika terdapat sisa makanan di sela-sela gigi orang yang berpuasa, lalu ikut tertelan bersama ludah sebagaimana kebiasaannya -bukan sengaja menelannya-, maka puasanya tidak batal, jika ia tidak bisa memisahkan makanan tersebut dan mengeluarkannya. Sekalipun karena di malam hari ia tidak mencokilnya dan mengetahui masih ada slilit makanan yang akan ikut tertelan bersama ludah di siang hari.

 

Karena terkena kewajiban memisahkan slilit dan mengeluarkannya ketika berpuasa, jika memang kuasa melakukannya. Akan tetapi, sunah muakkad mencukilnya, adalah setelah sahur.

 

Adapun jika ia mampu meludahkan, atau bila ia sengaja menelannya, maka secara pasti puasanya batal.

 

Perkataan sebagian ulama: “Wajib mencuci mulut dari apa pun yang termakan di malam hari”, adalah ditolak oleh Guru kita.

 

Puasa tidak batal sebab terlanjur kemasukan air ke dalam jauf orang yang mandi semacam janabah, misalnya haid dan nifas, bila mandinya dilakukan tanpa menyelam ke air.

 

Karena itu, jika ia membasuh dua telinga ketika mandi janabah, lalu air masuk ke jauf salah satu telinga itu, maka puasanya tidak batal, sekalipun (ia dapat menghindari hal itu) dengan memiringkan kepalanya atau mandi sebelum terbit fajar. Masalah ini seperti halnya air terlanjur masuk ke rongga orang yang menyangatkan pencucian mulutnya yang kena najis, sebab penyangatan (mubalaghah) dalam pencucian mulut di sini hukumnya wajib.

 

Lain halnya jika mandinya dilakukan dengan menyelam ke air, lalu terlanjur ada air yang masuk ke jauf telinga atau hidung, sekalipun dalam mandi wajib, maka puasanya batal, sebab menyelam itu adalah hukumnya makruh: Sebagaimana halnya dengan keterlanjuran air kumur masuk ke jauf sebab mubalaghah, di mana ia ingat sedang berpuasa dan mengerti bahwa hal situ tidak diperintahkan dalam syarak (maka puasanya batal), Lain halnya jika keterlanjuran ar kejauf bukan sebab mubalaghah ketika berkumur.

 

Tidak termasuk “mandi semacam janabah”, yaitu mandi sunah dan mandi untuk menyegarkan badan, maka keterlanjuran air ke dalam di sini membatalkan puasa, sekalipun tidak dilakukan sebab menyelam.

Boleh berbuka berdasarkan berita dari seorang laki-laki adil, bahwa matahari sudah terbenam, demikian Juga berdasarkan pendengaran azan orang adil.

 

Haram bagi orang yang meragukan (siang telah berakhir), melakukan buka puasa di akhir siang hari, sampai ia telah berijtihad (berusaha mengetahui akan keterbenaman matahari) tertebih dahulu (atau diberi tahu oleh seorang adil atau mendengar azannya -pen), serta dengan ijtihadnya itu ia berprasangka, bahwa siang hari telah berakhir, (Sekalipun ia boleh makan/ berbuka) dengan prasangkanya tersebut, yang lebih hati-hati adalah bersabar untuk mendapatkan keyakinan.

 

Boleh makan bila mempunyai perkiraan, bahwa malam masih ada berdasarkan ijtihadnya atau berita seorang laki-laki adil. Demikian juga jika masih ragu akan keberadaan malam, sebab dasar asalnya adalah malam masih ada, tapi makan dalam kasus seperti ini hukumnya adalah makruh. Kalau ada seorang laki-laki adil memberitakan atas terbit fajar, maka orang yang mendapatkan berita itu harus memegang teguh, dan demikian juga jika yang memberitakan adalah orang fasik yang diperkirakan kebenarannya.

 

Apabila berdasarkan ijtihadnya, seseorang lalu makan sahur atau berbuka, kemudian ternyata hal itu terjadi di siang hari, maka puasanya dihukumi batal, sebab perkiraan yang jelas-jelas keliru adalah tidak dapat dibuat dasar, Kalau ternyata tidak jelas kesalahannya, maka puasanya dihukumi sah.

 

Apabila fajar telah terbit, sedang di mulut seseorang masih tersisa makanan, kemudian ia mengeluarkannya sebelum ada yang masuk ke jauf, maka puasanya tetap sah. Demikian juga bila fajar mulai terbit, sedangkan ia masih dalam petsetubuhannya, lalu seketika itu ia melepaskannya, maka puasanya tidak batal, sekalipun injal (ejakulasi), sebab dengan dilepasnya, berarti meninggalkan persetubuhan, Kalau tidak dilepas seketika, maka puasanya tidak sah, serta ia wajib mengqadhanya dan membayar kafarat.

  1. Sebab sakit yang berbahaya dalam ukuran yang diperbolehkan bertayamum, sebagaimana khawatir sakitnya bertambah parah jika ia berpuasa.

 

  1. Dalam perjalanan yang diperbolehkan qashar salat, bukan perjalanan yang kurang dari ukuran boleh qashar salat dan bukan safar (perjalanan) maksiat. Puasa musafir yang tidak menjadikan mudarat adalah lebih baik daripada berbuka.

 

  1. Sebab khawatir kerusakan (sakit atau binasa) jika berpuasa, baik dari haus ataupun laparnya, sekalipun ia seorang yang sehat dan berada di rumah (mukim).

 

Imam Al-Adzra’i mengemukakan, bahwa buruh-buruh tani dan sesamanya, mereka wajib melakukan tabyit niat berpuasa (berniat puasa di malam hari), lalu jika dari mereka mendapatkan masyagat yang sangat di siang harinya, maka mereka boleh berbuka: dan jika tdak, maka tidak boleh berbuka puasa.

 

Wajib mengqadha puasa wajib yang belum terpenuhi, sekalipun karena uzur, misalnya puasa Ramadhan, nazar atau kafarat, yang kesemuanya lantaran sakit, bepergian, tertinggal niatnya, haid atau nifas. Tidak wajib mengqadha puasa sebab gila atau mabuk yang bukan akibat kesalahan.

 

Termaktub dalam kitab Al-Majmu’: Sesungguhnya mengqadha puasa hari syak (yaitu tanggal 30 Sya’ban, yang ternyata telah masuk 1 Ramadhan) adalah wajib seketika, sebab dalam keadaan seperti itu wajib imsak (menahan perkara-perkara yang membatalkan puasa). Dalam hal ini segolongan fukaha meninjau, bahwa secara pasti hukum orang yang meninggalkan niat puasa wajib imsak, akan tetapi hukum mengqadha puasa di sini adalah tidak . harus seketika.

 

Wajib imsak bagi orang yang batal puasa Ramadhannya -bukan pada puasa nazar atau qadha-, bila dibatalkannya ity tanpa ada uzur sakit atau bepergian.

 

 

Atau batal sebab kekeliruan yang dilakukan, misalnya seseorang makan karena menyangka masih malam (belum terbit fajar), lupa berniat puasa di malam hari, atau berbuka di siang hari syak dan ternyata telah masuk bulan Ramadhan. Kewajiban imsak yang tertutur di atas, adalah untuk menghormati kemuliaan bulan Ramadhan.

 

Orang yang telah melakukan imsak seperti dalam kasus di atas, adalah belum memenuhi puasa secara syariat, namun perbuatan itu mendapatkan pahala, sehingga jika ia melakukan persetubuhan, maka hukumnya berdosa, tapi tidak wajib membayar kafarat.

 

Apabila di tengah hari orang yang sakit sembuh, musafir tiba di rumah dan wanita haid telah suci, maka disunahkan agar imsak.

 

Orang yang merusak puasanya dengan persetubuhan yang dianggap dosa sebab sedang berpuasa, adalah wajib mengqadha puasanya dan membayar kafarat dengan berlipat ganda, berapa hari puasa yang dirusaknya, sekalipun yang dirusak kemarin belum dipenuhi kafaratnya. Kewajiban ini tidak terbebankan atas orang yang merusak puasanya dengan onani atau makan (ia hanya wajib mengqadha puasa saja),

 

Kafarat di sini adalah: memerdekakan seorang budak mukmin: kalau tidak mampu, maka harus berpuasa dua bulan berturut-turut: kalau tidak mampu berpuasa, sebab sakit atau lanjut usia, maka wajib memberi makan 60 orang fakir atau miskin sebesar 1 mud makanan pokok yang lumrah bagi setiap orang. Kewajiban tersebut harus diniati membayar kafarat.

 

Tidak boleh memberikan kafarat kepada orang yang wajib ditanggung biaya hidupnya.

 

Wajib bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena uzur, yang tidak bisa diharapkan habisnya, misalnya lanjut usia atau sakit yang sudah tidak bisa diharapkan kesembuhannya, memberi 1 mud makanan per hari, jika ia adalah orang kaya, dan tidak wajib mengqadha puasanya, sekalipun setelah itu ia mampu (kuat) berpuasa kembali, sebab di kala itu ia tidak terkena khithab berpuasa.

 

Karena itu, fidyah 1 mud tersebut merupakan kewajiban asal, bukan sebagai ganti dari meninggalkan puasa.

 

Wajib fidyah dan qadha puasa bagi wanita hamil atau menyusui yang meninggalkan puasa karena mengkhawatirkan keadaan anak (atau kandungan, Jika yang dikhawatirkan keadaan diri wanita itu, maka kewajibannya hanya qadha puasa saja -pen).

 

Wajib membayar mud bagi orang yang menunda qadha puasa Ramadhan, hingga datang. bulan Ramadhan berikutnya, tanpa ada uzur -misalnya tidak ada safar atau sakit yang ditanggungnya-. Satu mud itu untuk satu hari qadha puasa dalam satu tahun penundaan, sehingga pembayaran mud menjadi berlipat ganda karena penundaan qadha dalam beberapa tahun, begitulah menurut pendapat yang Muktamad.

 

Terkecualikan dari ucapan kami “tanpa ada uzur”, yaitu jika penundaan qadha puasa sebab ada uzur, misalnya terus-menerus dalam perjalanan, sakit atau menyusui hingga masuk Ramadhan berikutnya, Karena itu, ia tidak dikenakan kewajiban fidyah selama uzur itu, sekalipun sampai bertahun-tahun.

 

Jika seseorang menunda qadha puasa Ramadhan, hingga datang Ramadhan berikutnya, padahal ia sudah mampu menunaikannya, kemudian ia meninggal dunia, maka dari harta peninggalan mayat harus diambil 2 mud untuk 1 qadha puasa, yakni 1 mud sebagai ganti dari qadha dan yang 1 mud lagi sebagai fidyah penundaan, Hal ini jika puasa ita tidak diqadhakan oleh kerabat atau orang yang telah diberi izin oleh si mayat, Kalau puasa sudah diqadhakan, maka yang wajib hanya 1 mud per hari sebagai fidyah penundaan saja.

 

Menurut kaul Jadid Imam As-Syafi’i: Tidak diperbolehkan mengqadhakan puasa orang mati tersebut secara mutlak (baik sudah berkesempatan mengqadha atau belum, dan baik dalam meninggalkan puasa tersebut sebab ada uzur atau tidak -pen), tapi cukup dikeluarkan fidyah 1 mud per hari qadha dari harta peninggalannya. Demikian pula berlaku untuk puasa nazar dan kafarat.

 

Imam An-Nawawi sebagaimana dengan golongan ulama Muhaqqiqin, berpendapat membenarkan pendapat kaul Qadim yang menyatakan, bahwa tidak ditentukan harus membayar fidyah bagi orang yang mati, tapi bagi sang wali boleh melakukan puasa qadha atas mayat itu, kemudian, jika si mayat meninggalkan harta, maka wajib mengerjakan salah satunya (mengqadha atau membayar fidyah), kalau tidak meninggalkan harta benda, maka baginya sunah mengerjakan salah satunya.

 

Fidyah-fidyah tersebut diberikan kepada fakir miskin: dan baginya boleh memberikan seluruh mudnya kepada seorang saja.

Barangsiapa meninggal dunia dan masih mempunyai tanggungan salat, maka tidak diwajibkan qadha dan tidak wajib fidyah.

 

Menurut pendapat segolongan ulama Mujtahidin, bahwa salat itu harus diqadha atas nama mayat, hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan lainnya. Dari sini pendapat tersebut lantas dipilih oleh segolongan dari ulama-ulama kita (mazhab Syafi’i). Qadha salat atas mayat pernah dikerjakan oleh Imam As-Subki kepada kerabatkerabatnya.

 

Imam Ibnu Burhan menukil pendapat kaul Qadim, bahwa bagi sang wali berkewajiban mengerjakan salat atas (qadha) mayat, sebagaimana mengqadha puasanya, jika si mayat meninggalkan harta.

 

Berdasarkan pendapat Asy-Syafi’iyah, dan pendapat ini menjadi pedoman kebanyakan ulama, bahwa bagi sang wali bolch membayar 1 mud untuk fidyah satu salat.

 

Imam Al-Muhib Ath-Thabari berkata: Semua ibadah, baik wajib atau sunah yang dikerjakan atas nama mayat, adalah pahalanya bisa sampai kepadanya.

 

Dalam kitab Syarhil Mukhtar, pengarangnya berkata: Menurut pendapat Ahlusunah, bahwa bagi manusia dapat menjadikan amal dan salatnya kepada orang lain, dan pahalanya bisa sampai kepadanya.

Makan sahur dan melakukannya di akhir waktu, selagi tidak terjadi waktu syak (keraguan atas terbit fajar). Kesunahan makan sahur tersebut adalah dengan buah kurma, berdasarkan hadis. Kesunahan makan sahur juga sudah bisa didapatkan dengan meminum seteguk air.

 

Kesunahan makan sahur waktu mulai tengah malam. Sedangkan hikmahnya, adalah menghimpun kekuatan menyelisihi perbuatan ahli kitab, di sini ada dua pendapat.

 

Menggunakan harum-haruman di Waktu sahur (baik di bulan Ramadhan ataupun lainnya).

 

Tajil buka (segera berbuka puasa) bila diyakini sudah terbenam matahari. Terbenam matahari di tempat ramai atau padang belantara yang bergunung-gunung bisa diketahui dengan kelenyapan berkas sinar matahari dari atas pagar atau puncak gunung.

 

Berbuka terlebih dahulu sebelum mengerjakan salat Magrib, jika seseorang tidak khawatir akan tertinggal jamaah atau takbiratul ihram.

 

Berbuka puasa dengan memakan buah kurma, sebab hal ini diperintahkan, dan yang lebih sempurna : adalah makan tiga butir. Kalau tidak bisa mendapatkan buah kurma, maka yang disunahkan berbuka dengan beberapa teguk air, sekalipun berupa air zamzam.

 

Kemudian, jika bertentangan antara bersegera buka dengan air dan mengakhirkan buka dengan kurma, maka menurut penjelasan Guru kita, yang lebih baik adalah bersegera buka dengan air. Beliau juga berkata: Jelaslah bahwa antara berbuka dengan buah kurma yang banyak syubhatnya dan dengan air yang sedikit syubhatnya, adalah lebih utama dengan air.

 

Dua Guru kita (Imam Rafi’i dan Nawawi) berkata: Tiada hidangan berbuka yang lebih utama setelah kurma dan air, Maka ucapan Imam Ar-Rauyani, bahwa manisan itu lebih utama daripada air, adalah pendapat yang lemah, sebagaimana ucapan Imam Al-Adzra’i, bahwa buah anggur itu sepadan dengan kurma. Imam Al-Adzra’i berkata demikian karena pada ghalib (kebiasaan)nya buah anggur itu mudah didapatkan di Madinah.

 

Sesudah berbuka berdoa: Allahumma … dan seterusnya (Ya, Allah, untuk-Mu-lah kami berpuasa, dan dengan rezeki-Mu-lah kami berbuka). , Bagi yang berbuka dengan air, adalah sunah menambah doanya: Dzahaba … dan seterusnya (Haus telah hilang, urat-urat telah segar kembali, dan pahala puasa ada di sisi-Mu, insya Allah Ta’ala).

 

Melakukan mandi semacam janabah sebelum terbit fajar, agar dengan begitu tidak terjadi ada air yang masuk ke jauf semacam telinga atau dubur.

 

Gura kita (Ibnu Hajar) berkata: Kesesuaian alasan tersebut adalah sampainya air ke dalam ronggarongga tersebut dapat membatalkan puasa, sebagaimana yang dapat kita tangkap pemahamannya (bukan secara umum). Hal ini berdasarkan keterangan yang telah lewat, bahwa keterlanjuran air semacam berkumur yang diperintahkan syarak atau air pencuci mulut yang terkena najis, adalah tidak membatalkan puasa, sebab dianggap suatu uzur. Karena itu, masalah sampai air ke rongga hidung atau dubur membatalkan puasa, adalah diarahkan pada mubalaghah (penyangatan) yang dilarang adanya.

 

Sunah menghindari makanan yang syubhat, dan menahan diri dari menuruti kehendak hawa nafsu yang mubah, baik berupa suara, pandangan mata, menyentuh bau-bauan atau membaunya.

 

Jika terjadi pertentangan antara kemakruhan menyentuh harumharuman bagi orang yang sedang berpuasa dengan kemakruhan menolak (hadiah) harum-haruman, maka yang lebih utama adalah menghindari menyentuhnya, sebab kemakruhan memegangnya dapat mengurangi pahala puasa.

 

Imam Ar-Rauyani dalam kitab Al-Hilyah berkata: Yang lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa .adalah tidak memakai celak mata.

 

Makruh bersiwak setelah tergelincir matahari dan sebelum matahari terbenam, sekalipun baru bangun dari tidur atau setelah makan makanan yang berbau busuk karena lupa. Dalam hal ini segolongan ulama berkata: Bersiwak dalam hal ini adalah tidak makruh, dan bahkan disunahkan jika mulut berbau busuk, karena semisal bangun dari tidur.

 

Termasuk sunah muakkad bagi orang yang berpuasa, adalah menjaga lisan dari perkara yang diharamkan, misalnya berdusta, menggunjing dan memaki-maki, sebab perbuatan itu dapat menghilangkan pahala puasa, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama dan ditunjukkan oleh beberapa hadis sahih, yang telah dinash oleh Imam Asy-Syati’i dan Ashhabnya, serta diakui oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’.

 

Berdasarkan penjelasan ulama di atas, maka tertolaklah pembahasan Imam Al-Adzra’i, bahwa pahala puasa tetap bisa didapatkan, namun menanggung dosa dari perbuatan maksiat itu.

 

Sebagian para ulama berkata: Ucapan haram seseorang dapat membatalkan puasanya, yaitu sebagai hukum kias terhadap mazhab Ahmad mengenai hukum mengerjakan salat di tempat hasil gasab.

 

Jika seseorang yang berpuasa dimaki Oleh orang lain, maka hendaknya ia mengatakan (dalam hati) -sekalipun puasa sunah-: “Sungguh aku sedang berpuasa”, sebanyak dua atau tiga kali, sebagai peringatan yntuk dirinya sendiri. Bisa juga diucapkan dengan lisannya, sekira ia tidak disangka riya. Jika ia ingin mencukupkan salah satunya, maka yang lebih utama adalah diucapkan secara lisan.

 

Sunah Muakkad di bulan Ramadhan -utamanya di tanggal 10 yang akhir-, agar memperbanyak sedekah, memberi. kelonggaran kepada keluarga dalam biaya, berbuat kebajikan kepada kerabat dan tetangga, karena mengikuti tindak Nabi saw.: Sunah juga memberi buka pada orang-orang yang berpuasa, jika mampu, dan jika tidak mampu, maka cukuplah dengan memberi semacam minuman.

 

Sunah muakkad memperbanyak bacaan Alqur-an selain bila berada dalam kamar kecil, sekalipun di tengah jalan.

 

Sunah muakkad memperbanyak bacaan Alqur-an selain bila berada dalam kamar kecil, sekalipun di tengah jalan.

 

Waktu siang yang paling utama untuk membaca Alqur-an, adalah setelah Subuh: Sedang untuk malam hari, adalah waktu sahur, kemudian waktu antara Magrib dan Isyak, Membaca di malam hari adalah lebih utama.

 

Sebaiknya orang yang membaca Alqur-an adalah menghayati isinya. Imam Abul Laits berkata dalam kitab Al-Bustan (Bustanul ‘Arifin): Sebaiknya seseorang mengkhatamkan Qur-an dua kali pertahun, jika memang tidak bisa lebih dari itu.

 

Imam Abu Hanifah berkata: Barangsiapa yang setiap tahun mengkhatamkan Alqur-an sebanyak dua kali, maka ja telah memenuhi hak Alqur-an. Imam Ahmad berkata: Makruh mengulur waktu sekali mengkhatamkan Alqur-an sampai melebihi 40 hari tanpa uzur, Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Umar.

 

Sunah muakkad memperbanyak mengerjakan ibadah dan iktikaf karena mengikuu undak Nabi saw.

 

Terutama pada 10 hari yang akhir: karena itu, menjadi muakkad kesunahannya memperbanyak tiga hal di atas, karena ituba’ dengan Nabi saw, Lafal.  سِيَّمَا  adalah dibaca tasydid ya’nya. Kadangkadang tidak ditasydid, yang lebih ashah adalah lafal yang jatuh setelahnya dibaca (dii’rabi) jar, serta diawali dengan huruf     (لا سيما)لاsedang   ما          adalah huruf zaidah. Lafal سيما menunjukkan bahwa hal yang terletak sesudahnya, adalah lebih utama daripada yang sebelumnya.

 

Sunah melakukan iktikaf hingga waktu salat Idul Fitri, juga sunah sebelum menginjak 10 hari akhir Ramadhan.

 

Sunah muakkad dalam 10 hari tersebut, memperbanyak ketiga macam ibadah tersebut, karena mengharapkan bisa bertepatan dengan hikmah, keutamaan dan kemuliaan malam Lailatul Qadar.

 

Beramal di malam yang ada Lailatul Qadarnya, adalah lebih bagus daripada ibadah 1000 bulan yang tidak ada Lailatul Qadarnya.

 

Lailatul Qadar menurut pendapat kita (mazhab Syafi’iyah) adalah terbatas, yaitu turun pada 10 hari tersebut: Yang paling bisa diharapkan, adalah pada malam yang gasal: Menurut Imam Syafi’i: Tanggal gasal yang bisa diharapkan turunnya, adalah tanggal 21 dan 23. Sedangkan Imam Nawawi dan lainnya memilih pendapat yang mengatakan, bahwa malam Lailatul Qadar bisa pindah dari 10 hari tersebut ke malam lainnya, dan Lailatul Qadar adalah satu-satunya malam yang paling utama sepanjang tahun.

 

Sahlah hadis yang menyebutkan: “Barangsiapa mengerjakan taat di malam Lailatul Qadar dengan membenarkan bahwa Lailatul Qadar itu hak dan taar, dan karena memohon rida serta pahala Allah Ta’ala, maka diampuni semua dosa yang telah terjadi”: menurut sebuah riwayat: “… dan dosa yang akan terjadi.”

 

Imam Al-Baihagi meriwayatkan hadis, yang artinya: “Barangsiapa selalu berjamaah salat Magrib dan Isyak sampai habis bulan Ramadhan, maka sungguh berarti ia telah mengambil bagian Lailatul Qadar dengan sempurna.”

 

Beliau meriwayatkan hadis lagi, yang artinya: “Barangsiapa mengikuti salat Isyak-yang akhir dalam Jamaah di bulan Ramadhan, maka ia telah mendapatkan Lailatul Qadar.” Pendapat yang mengatakan, bahwa Lailatul Qadar itu terjadi pada tanggal 15 Sya’ban, adalah menyimpang (syadz).

Disunahkan iktikaf pada waktu kapan saja.

 

Iktikaf ialah: Diam lebih lama sedikit daripada thuma’ninah salat di dalam mesjid atau rahbah (serambi)nya yang tidak diyakini terbangun setelah pembangunan mesjid atau bahwa serambi itu tidak termasuk mesjid, di mana diamnya itu dengan niat iktikaf, (sekalipun iktikaf sambil ke sana-ke mari).

 

Apabila orang tersebut keluar dari mesjid, sekalipun ke WC, di mana ia tidak mengkhususkan waktu iktikaf sunah atau nazar, dan keluarnya tidak ada niat kembali lagi, maka ia harus memperbarui niatnya jika menginginkan iktikaf lagi.

 

Demikian juga wajib memperbarui niatnya jika ingin iktikaf kembali, bagi orang yang menentukan batas iktikafnya, misalnya 1 hari, setelah keluar dari mesjid untuk selain semacam ke WC (kamar kecil).

 

Apabila keluar dengan niat akan kembali lagi, lalu ia kembali, maka ja tidak wajib memperbarui niatnya.

 

Tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap iktikaf seseorang, yang berniat melaksanakan iktikaf secara berturut-turut, misalnya niat iktikaf selama satu minggu atau satu bulan sambung-menyambung, di mana keluarnya karena untuk buang air -sekalipun tidak begitu hajatatau untuk mandi janabah atau mencuci najis -sekalipun dua hal ini bisa dilakukan di dalam mesjid, Hal ini karena untuk menjaga harga diri orang itu dan kehormatan mesjid. Atau keluarnya dari mesjid untuk makan (ini pun tidak membawa akibat apaapa), karena makan di dalam mesjid adalah memalukan, Baginya juga boleh berwudu setelah buang air, karena mengikuti hukumnya.

 

Sengaja keluar untuk berwudu atau mandi sunah adalah tidak diperbolehkan (berarti memutus sambung-menyambung iktikaf).

 

Tidaklah memutus sambungmenyambung iktikaf, karena keluar dari mesjid (untuk buang hajat dan sebagainya) di tempat yang jauh: Kecuali ada tempat buang air yang lebih dekat atau yang jauh itu tidak seyogyanya, maka keluar dari mesjid dalam masalah ini adalah memutus sambung-menyambung iktikaf, selama tempat yang dekat masih patut untuk buang air bagi dirinya.

 

Orang tersebut tidak diharuskan berjalan (ketika akan buang hajat) yang bukan menjadi sikap kebiasaannya.

 

(Ketika keluar dari mesjid) ia boleh melakukan salat Jenazah, jika memang tanpa menunggu terlebih dahulu.

 

Boleh keluar dari mesjid di tengah sedang beriktikaf yang sambungmenyambung, untuk keperluan yang dikecualikan (misalnya aku nazar beriktikaf selama satu bulan berburut-turut, tapi dengan syarat jika aku dihadapkan suatu keperluan, maka aku akan keluar mesjid -pen), baik berupa keperluan duniawi, misalnya menemui pejabat, atau keperluan ukhrawi, misalnya berwudu, mandi sunah, menjenguk orang sakit, takziah orang yang terkena musibah atau mengunjungi orang yang baru datang dari bepergian.

 

Iktikaf hukumnya batal sebab bersetubuh, sekalipun termasuk yang ia kecualikan atau dilakukan sewaktu buang air, (iktikaf) juga batal sebab keluar mani lantaran persentuhan kulit dengan syahwat seperti mencium.

 

Boleh keluar dari mesjid bagi orang yang beriktikaf sunah, karena tujuan semacam menjenguk orang sakit.

 

Apakah keluar semacam ini lebih utama (daripada tetap berada dalam iktikafnya) atau dua-duanya sama saja? Menurut Al-Aujah, sebagarmana yang dibahas oleh Imam Al-Bulqini, bahwa keluar untuk menjenguk semacam kerabat, tetangga dan teman dekat adalah lebih utama (daripada masih tetap berada dalam mesjid).

 

Imam Ibnush Shalah memilih pendapat yang tidak keluar dari mesjid, sebab Nabi saw. beriktikaf dan beliau tidak keluar dari mesjid untuk keperluan tersebut.

 

Penting:

 

Imam Yusuf Al-Ardabili di dalam kitab Al-Anwar berkata: Pahala iktikaf menjadi hilang sebab memaki-maki, menggunjing atau memakan makanan haram.

Hanyalah Allah swt. yang mampu menghitung keutamaan dan pahala puasa sunah. Dari sinilah Allah menyandarkan ibadah puasa -tidak seperti halnya ibadah lainnya pada Zat-Nya sendiri. Allah swt. berfirman dalam hadis Qudsi, yang artinya: “Semua perbuatan manusia adalah untuknya sendiri, kecuali ibadah puasa, karena puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya.”

 

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, tersebutkan: “Barangsiapa berpuasa satu hari karena jihad fisabilillah, maka Allah akan memisahkan dirinya sejauh 70 tahun perjalanan dari neraka.”

 

Sunah muakkad puasa di hari Arafah (9 Zulhijah) bagi selain orang yang berhaji Sebab, puasa ini dapat menghapus dosa selama 1 tahun yang telah berjalan dan 1 tahun yang akan terjadi, Sebagaimana yang tersebutkan dalam hadis Imam Muslim.

 

Hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah. Untuk berhati-hati, hendaklah pada tanggal 8 dan 9 Zulhijah berpuasa.

 

Dosa yang dihapus dalam hadis di atas, adalah dosa-dosa kecil yang tidak ada hubungannya dengan hak adami, sebab dosa besar tidaklah bisa dihapus, kecuali dengan tobat yang sahih, sedangkan hak adami terserah pada kerelaan orang yang diambil haknya.

 

Jika orang yang berpuasa itu tidak punya dosa kecil, maka kebajikankebajikannya ditambah.

 

Sunah muakkad berpuasa pada tanggal 8 Zulhijah. Dasarnya adalah hadis yang menunjukkan bahwa 10 hari di bulan Zulhijah (maksudnya tanggat 1 sampai 9 Zulhijah/9 hari) itu lebih utama dari 10 hari yang akhir di bulan Ramadhan.

 

Sunah muakkad berpuasa di hari ‘Asyura -yaitu tanggal 10 bulan Muharram. Sebab, sebagaimana yang diterangkan dalamhadis Muslim, bahwa berpuasa di hari itu dapat menghapus dosa 1 tahun yang telah berlalu. Sunah juga berpuasa di hari Tasu’a -yaitu 9 Muharram-, karena beraasarkan hadis Muslim, bahwa Napi saw. bersabda: “Jika ternvuta aku masih hidup sampai di tahun depan, pastilah aku akan berpuasa di tanggal 9 Muharram.” Ternyata beliau wafat sebelum sampai tanggal tersebut. Hikmah yang terkandung dalam berpuasa tanggal tersebut, adalah menyelisihi ibadah orang Yahudi.

 

Berdasarkan hikmah tersebut, maka bagi orang yang tidak berpuasa di hari Tasu’a, adalah disunahkan berpuasa di tanggal 11, bahkan sekalipun telah berpuasa di hari Tasu’a, berdasarkan hadis. Di dalam kitab Al-Um (milik Imam Syafi’i) disebutkan: Tidak makruh berpuasa hari ‘Asyura (10 Muharram) saja.

 

Mengenai hadis yang menerangkan tentang bercelak mata, mandi dan memakai wangi-wangian di hari “Asyura, adalah hasil buatan para pendusta hadis (Maudhu’, seperti kata Imam Ibnu Hajar r.a. -pen).

 

Sunah muakkad berpuasa 6 hari setelah hari Idul Fitri (bulan Syawal). Hal ini berdasarkan hadis sahih, bahwa puasa pada hari-hari tersebut beserta puasa Ramadhan, adalah seperti puasa sepanjang ‘ masa. Menyambung puasa 6 hari dengan hari Idul Fitri adalah lebih utama, karena berarti bersegera , dalam melakukan ibadah.

 

Sunah muakkad berpuasa di hari baidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15, sebab terdapat hadis sahih yang menjelaskannya. Karena puasa tiga hari di hari-hari tersebut sama dengan puasa selama sebulan, sebab kebajikan itu dilipatkan 10 kali.

 

Berdasarkan hal itu, maka kesunahannya bisa didapatkan dengan puasa 3 hari selain tanggal-tanggal di atas, tapi puasa di tanggal-tanggal yang tersebutkan di atas adalah lebih utama.

 

Menurut pendapat Al-Aujah: Untuk tanggal 13 Zulhijah, adalah diganti puasa pada tanggal 16 (sebab puasa tanggal 13 Zulhijah hukumnya haram). Imam Al-Jalalul Bulgini berkata: Tidaklah begitu, tapi kesunahannya menjadi gugur.

 

Sunah berpuasa di hari Sud (malam yang gelap), yaitu tanggal 28 dan dua hari berikutnya.

 

Sunah berpuasa di hari Senen dan Kamis. Karena berdasarkan hadis hasan, bahwa Nabi saw. mementingkan untuk berpuasa di hari itu. Beliau bersabda: “Amal-amal itu dilaporkan pada hari Senen dan Kamis, maka aku senang bila amalku dilaporkan, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” Maksudnya: Amal itu dilaporkan kepada Allah swt.

 

Adapun amal-amal yang dibawa malaikat adalah sekali di malam hari dan Sekali di siang hari, Tentang dibawanya di bulan Sya’ban adalah diarahkan pengertian, bahwa amal satu tahun dibawanya secara keseluruhan.

 

Puasa di hari Senen adalah lebih utama daripada hari Kamis, sebab adanya kekhususan yang banyak dituturkan oleh para ulama.

 

Pendapat Imam Al-Halimi, bahwa puasa di hari Senen dan Kamis itu hukumnya makruh, adalah pendapat yang menyimpang (syadz).

Segolongan ulama Mutaakhirin mengeluarkan fatwa, bahwa puasa Arafah dan seterusnya adalah tetap bisa didapatkan dengan melakukan pula puasa fardu (qadha atau nazar) pada hari-hari di atas. Pendapat (fatwa) tersebut bertentangan dengan yang ada di dalam kitab Al-Majmu’ (milik Imam Nawawi) yang diikuti oleh Imam Al-Asnawi, sebagaimana yang beliau katakan: “Jika puasa fardu dan sunah-sunah tersebut diniatkan bersama, maka kedua-duanya tidak bisa berhasil.

 

Guru kita (Ibnu Hajar) berkata sebagaimana guru beliau: Menurut pendapat yang ber-wajah, bahwa jika di dalam puasa-puasa tersebut (Arafah dan sebagainya) diniati, maka puasa itu sebagaimana halnya dengan salat Tahiyatul mesjid, artinya jika seseorang juga berniat puasa sunah, maka berhasillah puasa kedua-duanya (fardu dan sunah), Kalau dia tidak berniat puasa sunah (cuma fardu), maka telah gugurlah tuntutan kesunahannya (sebab sudah masuk di dalam fardu).

Setelah bulan Ramadhan, bulanbulan yang paling utama untuk dilakukan puasa adalah bulan Haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharram dan Rajab), Adapun yang paling utama daripadanya, adalah urutan sebagai berikut: Muharram, Rajab, Zulhijah, Zulkaidah, kemudian Sya’ban.

 

Puasa pada tanggal 9 Zulhijah adalah lebih utama daripada hari Asyura (10 Muharram), di mana keduanya sunah ditunaikan.

Barangsiapa scdang berada di tengah-tengah mengerjakan puasa atau Salat sunah, baxinya boleh memutusnya (tidak mencruskannya), Kalau yang dikerjakan itu ibadah haji sunah, maka tidak boleh diputuskan.

 

Barangsiapa sedang berada di tengah mengerjakan qadha wajib, maka baginya haram memutus di tengah jalan, sekalipun qadhanya adalah luas waktunya.

 

Bagi seorang istri haram melakukan puasa sunah atau qadha wajib Muwassa’, sedang suaminya berada di sampingnya, kecuali atas izin suami atau diyakini kerelaannya.

Haram hukumnya mengerjakan puasa pada hari Tasyrig (11, 12, 13 Zulhijah), Idul Fitri , Idul Adha, dan hari Syak bagi orang yang tidak membiasakan puasa pada hari-hari sebelumnya (misalnya biasa puasa selama hidup, puasa sehan dan buka sehari, atau biasa puasa di hari Senen atau Kamis). Hari Syak adalah tanggal 30 Sya’ban, di mana telah meluas berita bahwa orang-orang telah melihat bulan sabit Ramadhan, tetapi ru’yah itu belum ditetapkan (di depan Hakim). Demikian juga (termasuk hari Syak), yaitu tanggal setelah 15 Sya’ban, selama puasanya tidak disambung dengan bari sebelumnya, tidak bertepatan dengan kebiasaannya, atau bukan puasa nazar atau qadha, sekalipun puasa qadha sunah.

Lafal  الحج , dengan dibaca fathah atau kasrah permulaannya, menurut lughat artinya “menuju”, atau “ke’ banyakan/sebagian besar menujii perkara/orang yang diagungkan”. Sedangkan menurut syarak, adalah menuju Ka’bah untuk menunaikari ibadah, seperti yang akan diterangkan nanti.

 

Ibadah haji adalah termasuk salam satu syariat para nabi terdahulu.

 

Diriwayatkan, bahwa Nabi Adam a.s. menunaikan ibadah haji sebanyak 40. kali, berangkat dari Tanah India dengan jalan kaki, dan Malaikat Jibril a.s. berkata kepada beliau: “Sesungguhnya para malaikat sebelum engkau telah melakukan tawaf di Baitullah ini selama 7000 fahun.” Imam Ibnu Ishag berkata: “Allah swt. tidak mengutus Nabi setelah Nabi Ibrahim a.s., kecuali telah menunaikan haji.”

 

Ulama selain beliau pun menerangkan, bahwa tiada seorang Nabi pun kecuali telah melakukan ibadah haji, lain halnya dengan pendapat yang mengecualikan Nabi Hud dan Shalih a.s.

 

Ibadah salat adalah lebih utama daripada haji, lain halnya dengan pendapat Imam Al-Qadhi Husen.

 

Ibadah haji difardukan pada tahun ke-6 H., menurut pendapat Al-Ashah. Nabi Muhammad saw. sendiri memunaikan ibadah haji sebelum dan sesudah menjadi Nabi, sebelum hijrahsudah melakukannya berulang kali, yang tidak diketahui hitungannya, dan setelah hijrah hanya satu kali, yaitu Haji Wada’.

 

Disebutkan dalam hadis: “Barangsiapa haji di Baitullah, maka terlepas dosanya hingga seperti waktu dilahirkan oleh ibunya.” Guru kita berkata di dalam Hasyiyah Al-Idhah: “Arti seperti saat dilahirkan oleh ibunya, adalah terampuni dosa-dosa hak Adam”, Keterangan seperti itu memang ada dijelaskan dalam sebuah riwayat hadis. Sebagian guru kita berfatwa, bahwa lahir daripada perkataan para ulama adalah berlawanan dengan hal di atas. Pendapat pertama (mencakup dosa hak Adami) adalah lebih mencocoki lahiriah Sunah (hadis), sedang pendapat kedua lebih mencocoki kaidah hukum (hak Allah didirikan atas kemurahan, sedangkan Hak Adami didirikan atas kemahalan -pen).

 

Kemudian kami mengetahui, bahwa sebagian ulama Muhaqqiqin menukil adanya ijmak terhadap pendapat kedua. Dengan adanya ijmak di atas, maka tertolaklah fatwa yang bepegangan dengan lahir hadis.

 

(Bab Umrah). Umrah menurut Lughat artinya: “Mengunjungi tempat ramai”. Sedangkan menurut syarak artinya: “Menuju Ka’bah untuk beribadah” seperti yang akan diterangkan berikut ini.

 

Haji dan Umrah hukumnya adalah wajib. Haji saja belumlah dianggap cukup, sekalipun telah mencakup perbuatan-perbuatan umrah. Mengenai hadis: “Rasulullah saw. ditanyai tentang umrah, apakah wajib hukumnya? Lantas beliau menjawab: “Tidak”, adalah hadis daif secara ittifaq, sekalipun Imam At-Turmudzi menilai sahih hadis tersebut.

 

(Haji dan umrah/nusuk) itu diwajibkan atas setiap Muslim mukalaf -yaitu balig dan berakal sehatyang merdeka.

 

Karena itu, nusuk tidak diwajibkan ‘ atas anak kecil, orang gila, atau hamba sahaya. Sedangkan nusuk orang yang belum mukalaf atau hamba sahaya, adalah menjadi ibadah sunah, bukan fardu.

 

Yang mampu menunaikan ibadah haji dengan bekal pulang-pergi, upah sopir yang aman baginya, dan ada kendaraan atau ongkosnya, jika jarak dari tempatnya sampai Mekah mencapai dua marhalah, atau kurang dari itu, tapi ia tidak kuat berjalan kaki: Juga ada biaya belanja yang ditinggalkan untuk mereka yang ditanggung nafkah serta pakaiannya selama dalam bepergian dan kembalinya.

 

Juga disyaratkan untuk wajibnya, aman perjalanan atas jiwa dan hartanya, sekalipun dari pembegal dan harta yang diambil berjumlah sedikit.

 

Bagi orang yang naik kapal laut, disyaratkan kemungkinan besar aman. Karena itu, jika kemungkinan besar akan tenggelam karena musim gelombang besar, atau antara selamat dan tenggelam seimbang (sama perbandingannya), maka tidak wajib, bahkan mengendarai kapal laut hukumnya haram untuk haji atau lainnya.

 

Bagi kaum wanita, di samping syarat-syarat di atas, ia ketika bepergian disyaratkan bersama lakilaki mahramnya, suami atau wanita lain yang menjadi kepercayaannya, sekalipun wanita amat (budak). Hal ini dikarenakan ia tidak boleh (haram) pergi sendirian, sekalipun jaraknya dekat, atau sekalipun perginya bersama rombongan besar.

 

Bagi wanita boleh tidak wajib pergi bersama wanita lam yang dapat dipercaya untuk menunaikan kefarduan Islam. Akan tetapi jika untuk menunaikan kesanahan, maka hukumnya tidak boleh, sekalipun bersama wanita yang jumlahnya banyak dan jaraknya dekat, serta wanita yang buruk rupanya.

 

Para ulama telah menerangkan, bahwa bagi waruta penduduk Mckah dalam keadaan bersama-sama wanitawaruta laun, adalah haram menunaikan ibadah umrah sunah dari Tanah Tan’im, Lain hainya dengan pendapat seorang ulams yang menentang pendapat di atas.

 

(Kewajiban nusuk) adalah ditunaikannya satu kali untuk sepanjang umur, lagi pula kewajibannya tidak harus seketika (spontan).

 

Memang demikian, kebolehan menunda nusuk tersebut, disyaratkan harus ada ‘azm (maksud) menanaikannya di tahun depan, dan waktunya harus tidak sempit pelaksanaannya lantaran menunaikan nazar atau qadha, khawatir sakit lumpuh, atau harta rusak dengan adanya pertanda (garinab), walaupun kecil sekali.

 

Ada yang mengatakan: “Wajib bagi orang yang mampu, tidak meninggalkan menunaikan haji setiap 5 tahun sekali, berdasarkan hadis dalam hal ini.”

Cabang:

 

Wajib menggantikan ibadah nusuk atas nama orang mati yang mempunyai tanggungan nusuk, dengan menggunakan harta peninggalannya, sebagaimana harta peninggalan ini untuk melunasi utangnya. Jika mayat tersebut tidak mempunyai harta peninggalan, maka bagi ahli waris sunah melakukannya atas nama mayat itu. Boleh juga (sunah) bagi orang lain melakukannya, sekalipun tanpa seizinnya.

 

Wajib pula atas nama orang asing (bukan Arab) yang tidak akan mampu secara fisik untuk melakukan nusuk, misalnya karena lumpuh atau sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, dengan upah sepatutnya yang merupakan kelebihan kebutuhan dirinya di waktu pengupahan tersebut dan kelebihan di luar kebutuhan dirinya dan orang yang harus ditanggung setelah waktu tersebut.

 

Tidak sah menggantikan nusuk orang Ma’dhub (orang yang tidak mampu melakukannya secara fisik) tanpa seizin daripadanya, karena ibadah haji itu butuh keberadaan niat, sedangkan dalam hal ini, dialah yang berhak niat dan memberi izin.

Rukun-rukun haji ada enam:

  1. Ihram haji, yakni niat mulai masuk haji. Dasarnya adalah sebuah hadis yang artinya: “Amal-amal itu sah, jika dengan adanya niat.” Mengucapkan niat dan Talbiyah itu hukumnya tidak wajib, akan tetapi hanya sunah saja, Karena itu, berkatalah dalam hati dan dengan lisan: “Saya niat haji dan ihram karena Allah swt. semata: Saya sambut panggilan-Mu… dan seterusnya.”

 

  1. Wukuf di Arafah, yakni hadit “sekalipun sejenakdi sudut mana saja dari Tanah Arafah, sambil tidur ataupun lewat. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi yang artinya: “Perkara besar dalam haji adalah wukuf di Arafah.”

 

Mesjid Ibrahim dan Padang Namirah adalah tidak termasuk Arafah.

 

Bagi kaum laki-laki, yang lebih utama adalah meneliti tempat wukuf Nabi saw., yaitu pada batu-batu besar yang telah dikenal (di lembah Gunung Rahmah).

 

Tempat ini dinamakan Arafah,: menurut suatu pendapat, karena di situlah Nabi Adam a.s. bertemu dengan Hawa. Ada pendapat lain mengemukakan bukan begitu.

 

Waktu pelaksanaan wukuf di Arafah adalah di antara zawal matahari Arafah -yaitu tanggal 9 Zulhijah sampai terbit fajar hari Nahr (10 Zulhijah).

 

Sunah wukuf dalam waktu yang mencakup siang dan malam hari: Kalau tidak bisa, maka sunah mengeluarkan Dam Tamattu’.

 

  1. Tawaf Ifadhah. Waktunya dimulai malam hari Nahr. Tawaf adalah rukun haji yang paling utama, sekalipun dibanding dengan wukuf. Lain halnya dengan pendapat Imam Az-Zarkasyi.

 

  1. Sai, yaitu lari kecil dari Shafa sampai Marwah sebanyak 7 kali secara yakin. Sa’i tersebut dilakukan setelah Tawaf Qudum, selama belum wukuf di Arafah, atau setelah Tawaf Ifadhah.

 

Apabila perputarannya kurang dari jumlah 7 kali, maka belumlah dianggap cukup. Jika ia meragukan bilangan putaran sebelum selesai tawaf, maka ia wajib berpedoman terhadap bilangan yang paling sedikit, karena itulah yang diyakini kebenarannya.

 

Barangsiapa melakukan sai sesudah tawaf qudum, maka ia tidak disunahkan mengulanginya setelah tawaf ifadhah, bahkan hal ini hukumnya makruh.

 

Kewajiban dalam sai adalah memulainya dari Shafa dan mengakhiri di Marwah, dasarnya adalah ittiba’ pada Nabi saw.

 

Jika ia memulainya dari Marwah, maka perjalanannya sampai Shafa sekembalinya dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali, dan dari Marwah ke Shafa putaran kedua.

 

Sunah bagi laki-laki mendaki ke atas Bukit Shafa dan Marwah setinggi orang berdiri, Berjalan biasa pada permulaan dan akhir sai (kesunahan ini bagi laki-laki dan wanita), Sunah juga bagi laki-laki berjalan di awal dan akhir tempat sai serta berlari-lari kecil di tengahnya, seperti yang telah sama-sama kita ketahui.

 

  1. Memotong rambut kepala, baik mencukur atau memotong, karena seperti inilah letak TahalluL.

 

Paling tidak adalah menghilangkan tiga helai rambut. Tentang Rasulullah saw. mencukur sampai rata, adalah untuk menerangkan keutamaannya, lain halnya dengan pendapat ulama yang menetapkan kewajiban hal tersebut. Bagi seorang wanita yang lebih utama adalah memotong daripada mencukur.

 

Kemudian memasuki Mekah setelah melempar Jumrah Agabah dan potong rambut, lalu melakukan tawaf rukun (tawaf ifadhah), lalu sai jika dilakukannya setelah tawaf qudum, sebagaimana yang lebih utama.

 

Potong rambut (cukur), tawaf dan sai tidak ada batas waktu akhirnya. Namun, makruh mengakhirkannya sampai lewat tanggal 10 Zulhijah, dan lebih makruh lagi sampai setelah keluar dari Mekah.

 

  1. Tertib di antara kebanyakan rukunnya. Yaitu ihram didahulukan daripada rukun-rukun lainnya: mendahulukan wukuf daripada tawaf dan memotong ( mencukur) rambut: dan tawaf ifadhah daripada sai, jika sai tidak dilakukan setelah tawaf qudum. Semua itu dasarnya adalah ittiba’ pada Nabi saw.

 

Rukun-rukun tersebut (jika ditinggalkannya) adalah tidak bisa. diganti dengan Dam. Nanti akan diterangkan perkara-perkara (wajib-wajib haji) yang bisa digantikan dengan Dam.

 

Enam rukun haji yang tersebut di atas, selain wukuf di Arafah, adalah juga menjadi rukun-rukun umrah, karena pencakupan dalilnya juga pada ibadah umrah.

 

Jelaslah, bahwa (dalam umrah) potong (cukur) rambut adalah wajib diakhirkan dari sai, serta wajib tertib di dalam rukun-rukun umrah kesemuanya,

 

Peringatan:

 

Haji dan umrah (nusuk) bisa ditunaikan dengan tiga cara: Ifrad, yaitu haji terlebih dahulu dan setelah itu baru menunaikan ibadah umrah: Tamattu’, yaitu umrah terlebih dahulu dan setelah sempurna, barulah haji: Qiran, yaitu ihram sekaligus untuk haji dan umrah.

 

Yang paling utama adalah cara Ifrad, jika umrahnya dilakukan sebelum musim haji berikutnya, kemudian cara Tamattu’. Bagi orang yang melakukan sistem Tamattu’ atau Qiran, ia wajib membayar Dam, jika bukan merupakan penduduk Masjidil Haram, serta tempatnya kurang dari Gua marhalah dari sana.

Syarat-syarat tawaf ada enam:

1 – Suci daripada badas dan najis.

2 – Auratnys tertutup bagi orang yang mampu menutupnya.

 

Apabila di tengah-tengah tawaf itu hilang (salah satu atau) dua syarat tersebut, maka hendaklah menyempurnakan dan boleh meneruskan tawafnya, sekalipun hal itu disengaja dan telah lama berselang.

 

3 – Niat tawaf, jika dikerjakan dengan berdiri sendiri bukan termasuk rangkaian nusuk, sebagaimana kewajiban ibadah-ibadah yang lain. Kalau tawaf dikerjakan bersama nusuk, maka niat hukumnya sunah.

 

4 – Memulai tawaf dari Hajar Aswad dengan posisi belahan kiri badan bersejajar dengan Hajar ketika berjalan.

 

Cara menyejajarkan badan ialah: berdiri di samping Hajar Aswad pada titik lintasan garis lurus dengan Rukun Yamani, sekira seluruh bagian Hajar Aswad itu berada di sebelah kanannya, kemudian niat tawaf, lalu berjalan dengan menghadap Hajar Aswad sampai dia habis dari hadapan: Dalam posisi ini kemudian hadap kanan dan menjadilah Ka’bah, berada di sebelah kirinya, Tidak boleh menghadap Ka’bah, kecuali pada permulaan tawafnya.

 

5 – Membuat posisi badan, sehingga Ka’bah berada di sebelah kirinya ds waktu berhalan ke depan.

 

Maka wajib seluruh badannya, termasuk tangan kirinya, berada di Yuar “Syadzirwan” dan “Hijir Ismail” hal ini sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw. Jika tidak menggunakan cara-cara seperti di atas, maka tawafnya tidak sah.

 

Apabila orang yang tawaf sedang menghadap Ka’bah karena untuk semacam berdoa, maka hendaklah ia memperhatikan jangan sampai berjalan dahulu, sekalipun sedikit, sebelum kembali pada posisi Ka’bah berada di sebelah kirinya.

 

Wajib bagi orang yang mencium Hajar Aswad, agar membuat telapak kaki tetap pada keadaan semula sehingga berdiri tegak, sebab ketika menciumnya, kepalanya masuk daerah bagian Ka’bah.

6 – Tawaf dilakukan sebanyak 7 kali putaran secara yakin, sekalipun pada waktu makruh. Karena itu, jika tawafnya kurang dari bilangan tersebut, maka tawafnya belum mencukupi.

Disunah (ketika tawaf):

 

Mengawali tawaf dengan menjamah Hajar Aswad menggunakan tangannya, yaitu menjamah setiap kali putaran, lebih-lebih pada putaran gasal. Sunah mencium Hajar Aswad dan meletakkan kening padanya.

 

Sunah menjamah Rukun Yamani dengan menggunakan tangannya, kemudian menciumnya.

 

Sunah bagi laki-laki pada tiga putaran pertama dalam tawafnya yang dikerjakan sebelum sai, berjalan ramal, yaitu berjalan dengan mempercepat namun memendekkan langkahnya: Sedang pada 4 putaran terakhirnya sunah berjalan seperti biasanya, hal ini adalah ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Jika pada putaran tersebut ia tidak berjalan ramal, maka pada putaran berikutnya tidak pertu diqadha.

 

Sunah bagi kaum laki-laki mengambil tempat yang dekat dengan Ka’bah, selama tidak mengganggu orang lain atau terasa sulit karena desakan manusia. Jika terjadi pertentangan antara mendekat Ka’bah dengan ramal, maka yang lebih baik adalah mendekat Ka’bah, sebab sesuatu yang berkaitan dengan keadaan ibadah itu sendiri, adalah lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempatnya.

 

Sunah pada setiap putaran tawaf dan sai yang dilakukan dengan ramal (lari-lari kecil) bagi kaum laki-laki memakai rida’ (selendang) dengan cara menyelempang, yaitu bagian tengah selendang diletakkan di bawah pundak kanan dan dua ujungnya di atas pundak kiri, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.

 

Sunah juga mengerjakan salat dua rakaat setelah tawaf, di belakang Makam Mustajab, kemudian di Hijir Ismail.

 

Cabang:

 

Sunah bagi laki-laki maupun wanita yang masuk ke Masjidil Haram agar terlebih dahulu melakukan tawaf, dasarnya adalah ittiba’ dengan Nabi saw., sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam BukhariMuslim. Kecuali bila pada saat itu bertepatan dengan dilaksanakannya salat jamaah atau khawatir kehabisan waktu salat fardu atau salat Rawatib Muakkad, maka hendaklah mendahulukan salat-salat tersebut, bukan tawafnya. ,

Wajib-wajib haji ada lima:

 

Wajib yang dimaksudkan di sini adalah suatu perbuatan jika ditinggalkan, maka wajib membayar fidyah.

 

  1. Ihram dari Miqat (batas tempat mulai ihram).

 

Bagi penduduk Mekah, miqatnya adalah dari tempatnya sendiri (baik itu penduduk asli ataupun pendatang), Miqat haji dan umrah bagi orang yang datang dari arah Madinah, adalah Dzul Hulaifah yang disebut juga dengan “Bi’ru Ali”, Orang dari Syam, Mesir dan daerah-daerah Magrib, adalah Juhfah: Orang dari Tihamatul Yaman, adalah Yalamlam, Orang dari Najdil Yaman dan Hijaz, adalah Qarnu: Orang yang datang dari daerah-daerah timur, adalah Dzatu Irq.

 

Miqat umrah bagi orang yang ada di Tanah Haram, adalah dari Tanah Halal. Tempat yang paling utama adalah Ji’ranah, kemudian Tan’im barulah Hudaibiyah.

 

Miqat bagi para pendatang yang tidak melewati Miqat-Miqat tersebut di atas, adalah dari tempat-tempat yang sejajar dengan Miqat-Miqat tersebut, jika terdapat pensejajarannya di darat maupun di laut: Kalau tidak terdapat, maka Miqatnya dari daerah jarak dua marhalah dari Mekah.

 

Karena itu, pendatang yang lewat laut dari arah Yaman, Miqatnya adalah lereng yang bernama Muharram yang sejajar dengan Yalamlam. Ia tidak boleh menunda ihram sampai masuk Jedah, Lain hainya dengan pendapat Guru kita yang memperbolehkan penundaan itu, dengan alasan bahwa jarak Jedah ke Mekah adalah sama dengan Yalamlam sampai Mekah.

 

Apabila ihramnya setelah lewat Miqat yang ditentukan, sekalipun karena lupa atau tidak mengetahui, maka wajib membayar Dam, selagi ia tidak mengulangi ihram dari Miqat yang bersangkutan sebelum mengerjakan nusuk, sekalipun berupa Tawaf Qudum.

 

Jika hal tersebut dilakukan oleh selain mereka berdua, maka hukumnya adalah dosa. –

 

  1. Bermalam di Muzdalifah, sekalipun hanya sejenak, yaitu mulai tengah malam setelah tanggal 10 Zulhijah (hari Nahr).

 

  1. Bermalam di Mina pada lebih separo malam-malam Tasyriq. Memang, jika seseorang berangkat (ke Mekah) sebelum tenggelam matahari tanggal 12 Zulhijah, maka telah’ cukup dan gugurlah bermalam di Mina tanggal 13-nya serta melontar jumroh di siang harinya.

 

Hanya saja kewajiban bermalam di Mina tersebut, adalah bagi selain penggembala dan petugas air minum.

 

  1. Tawaf Wada’ bagi selain orang haid dan orang Mekah yang tidak keluar dari Mekah setelah berhaji.

 

  1. Melontar Jumrah Agabah 7 kali setelah tengah malam tanggal 10 Zulhijah, dan melontar 3 jumrah, yang masing-masing sebanyak 7 kali setelah zawal di setiap bari Tasyrig, dengan cara tertib di antara ketiga jumrah tersebut (Jumrah Ula, Wustha, lalu Aqabah).

 

Dengan menggunakan apa saja yang disebut batu, sekalipun berupa akik atau permata balur.

 

Jika pada suatu hari tidak melakukan pelontaran jumrah, maka wajib menambalnya dengan melontar di hari-hari Tasyriq berikutnya: Kalau tidak, maka wajib membayar Dam, sebab telah meninggalkan pelontaran jumrah sebanyak tiga atau bahkan lebih dari itu.

 

Kewajiban-kewajiban haji (jika ditinggalkan) bisa ditambal dengan Dam: Kewajiban ini dinamakan “Sunah Ab’adh”.

 

 

 

  1. Mandi atau tayamum untuk ihram atau memasuki Mekah -sekalipun . belum ihramdi Dzi Thuwa.

 

Wukuf di Arafah pada sore harinya, wukuf di Muzdalifah dan melempar jumrah pada hari-hari Tasyriq.

 

  1. Memakai harum-haruman pada badan dan pakaian – -sekalipun memakai wangi-wangian yang ada jirmnyayang dilakukan: sebelum ihram dan setelah mandi sunahnya. Tidak mengapa jika wangi-wangian tersebut masih tertinggal setelah ihram, atau mengikuti keringat yang mengalir.

 

  1. Membaca Talbiyah, yaitu kalimat: Labbaika … dan seterusnya Ya, Allah, kusambut panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya pujian, nikmat, dan kekuasaan (kerajaan) adalah milik-Mu juga, yang tiada menyekutui-Mu), Makna “Labbaika” adalah kami bersedia taat kepadaMu.

 

Bacaan Talbiyah di atas, adalah sunah diperbanyak pembacaannya, Sunah membaca salawat: Mohon surga dan perlindungan dari neraka setelah mengulangi Talbiyah sebanyak 3 kali.

 

Kesunahan Talbiyah berjalan terus sampai waktu melontar Jumrah Aqabah. Akan tetapi, tidak sunah dibaca ketika tawaf qudum dan sai yang dilakukan sesudahnya, sebab sudah ada zikir-zikir khusus yang dibaca di sini.

 

  1. Tawaf qudum, karena sebagai penghormatan terhadap Baitullah.

 

Hanya saja kesunahan itu dilakukan Oleh orang haji atau giran yang datang ke Mekah sebelum menunaikan wukuf. Kesunahan ini tidak hilang lantaran telah duduk dalam mesjid atau diakhirkan pelaksanaannya, akan tetapi kesunahannya hilang lantaran telah wukuf di Arafah.

 

  1. Bermalam di Mina pada tanggal 9 Zulhijah.

 

  1. Melakukan wukuf di Jama’, yang sekarang dinamakan Masy’aril Haram, yaitu bukit di tepi daerah Muzdalifah. Di waktu wukuf ini, hendaklah berzikir dan berdoa dengan menghadap kiblat hingga malam hampir terang kembali, dasarnya adalah ittiba’ kepada Nabi saw.

 

  1. Membaca zikir dan berdoa tertentu yang dibaca pada waktu dan tempat yang tertentu juga. Doa dan Zikir ini telah terhimpun dalam kitab yang disusun oleh Imam As-Suyuthi, yaitu Wazhaiful Yaumi wal Lailati, maka silakan dicarinya.

 

Faedah:

 

Sunah Muakkad, sekalipun bukan orang yang haji atau umrah agar berziarah ke makam Nabi saw., hal ini berdasarkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaannya.

 

Minum air zamzam adalah sunah hukumnya, sekalipun oleh selain orang yang haji dan umrah. Disebutkan, bahwa air zamzam adalah yang paling utama, sehingga sekalipun jika dibandingkan dengan air Telaga Kautsar.

Diharamkan bagi laki-laki dan wanita yang sedang ihram, mengerjakan beberapa hal:

 

  1. Persetubuhan, berdasarkan ayat Alqur-an (Al-Baqarah:197) yang artinya: “,.. maka tidak boleh melakukan persetubuhan”, kata “rafas” di sini ditafsirkan dengan “persetubuhan”, Lantaran persetubuhan, maka haji dan umrah menjadi rusak.

 

  1. Mencium dan persentuhan sesama kulit dengan syahwat.

 

  1. Onani: Lain halrrya dengan keluar mani sebab pandangan mata atau lamunan.

 

  1. Akad nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang artinya: “Orang yang sedang berihram, adalah tidak diperbolehkan nikah atau menikahkan”.

 

  1. Memakai harum-haruman pada badan atau pakaian, dengan semisal misik atau minyak ambar, kapur harum orang hidup atau mati, bunga atau mawar, sekalipun hanya dengan mengikatkan semisal misik di ujung pakaian atau meletakkannya di dalam saku.

 

 Jika baunya lemah, misalnya bunga kadzi atau inai, yang jika terkena air baunya menjadi semerbak, maka hukumnya juga haram, Kalau tidak semerbak, maka tidak diharamkan.

 

  1. Mengenakan minyak rambut kepala atau jenggot, sekalipun tidak harum, misalnya minyak zait dan samin.

 

  1. Menghilangkan rambut kepala, jenggot, atau bulu badan, sekalipun cuma sehelai. Memang, jika perlu untuk memotong rambut lantaran banyak kutu atau luka-lukanya, maka hukumnya tidak haram, dan ia wajib membayar fidyah.

 

Jika ada rambut yang tumbuh di mata atau yang menutup matanya, lantas ia membuangnya, maka hukumnya tidak haram dan tidak wajib membayar fidyah.

 

  1. Memotong kuku tangan atau kaki, sekalipun hanya sedikit saja. Akan tetapi, jika kuku tersebut mengalami pecah-pecah dan menyakitkan, sekalipun tidak seberapa, maka boleh dipotong.

 

  1. Khusus bagi laki-laki tanpa uzur -tidak bagi wanitamenutup sebagian kepalanya dengan menggunakan sesuatu yang menurut ‘urf dianggap penutup, baik itu berjahit ataupun tidak, misalnya kopiah atau sesobek kain.

 

Adapun menutupnya dengan sesuatu yang tidak dinilai (dianggap) sebagai penutup, maka tidaklah haram hukumnya, misalnya benang kecil, berbantal dengan semacam serban atau meletakkan tangan di atas kepalanya tanpa ada maksud menutupinya.

 

Lain halnya jika meletakkan tangannya dengan maksud menutup kepalanya, maka hukum keharamannya masih dipertentangkan oleh ulama.

 

Tidak haram membawa semacam keranjang yang tidak menutup kepala, juga tidak haram dengan berteduh di bawah sekedup (rumah kecil di atas unta), sekalipun menyentuh kepalanya.

 

  1. Bagi laki-laki haram memakai di bagian mana pun dari badannya, pakaian yang berjahitkan benang, semisal baju kurung atau toga, pakaian tenunan atau yang diikat, di mana pemakaiannya tanpa uzur.

 

Karena itu, bila ada uzur, tidaklah haram bagi laki-laki menutup kepalanya, mesalnya karena udara sangat panas atau dingin. Batasan uzur adalah keadaan yang tidak kuat menderitanya, meskipun belum boleh bertayamum karenanya. Halal memutup kepala karena ada uzur, serta dengan diwajibkannya membayar fidyah, karena dikiaskan dengan kewajiban membayar fidyah pada potong rambut yang dilanggar sebab ada uzur.

 

Jika memakai pakaian yang berjahit karena memang tidak ada yang lainnya dan tidak bisa memperolehnya, sekalipun dengan cara meminjam, maka hukumnya tidak haram serta tidak wajib membayar fidyah. Lain halnya jika ia bisa mendapatkan pakaian yang tidak berjahit dengan sebab pemberian (maka memakai yang berjahit hukumnya tidak haram, sebab menerima hibah hukumnya tidak wajib -pen), lantaran yang disebut pemberian, besar sekali disebut-sebut oleh pemberinya pada akhirnya.

 

Halal memakai pakaian yang berjahit di seluruh badannya, karena kebutuhan semacam panas atau dingin, serta wajib membayar fidyah.

 

Halal berselendang atau berselimut dengan baju kemeja atau toga, membuhul atau mengikat sarung dengan benang agar terpakai kukuh: Tidak diperbolehkan memasang kalung baju toga pada lehernya, sekalipun tidak memasukkan kedua tangan ke dalam lengannya.

 

  1. Bagi wanita -bukan bagi lakilakiharam menutup sebagian mukanya memakai apa saja yang dianggap sebagai penutup.

 

Fidyah untuk satu pelanggaran atas. larangan selain persetubuhan di . waktu ihram, adalah menyembelih seekor kambing yang mencukupi dibuat berkurban. Yaitu domba berumur 1 tahun atau kambing biasa berumur 2 tahun.

 

Atau bersedekah dengan 3 sha’ makanan kepada 6 orang fakir miskin daerah Haram, masingmasing 1/2 sha’ atau berpuasa tiga hari. Bagi pelanggar laranganlarangan di atas, boleh memilih salah satu dari ketiga macam fidyah tersebut.

 

Cabang:

 

Jika Muhrim (orang yang ihram) melanggar larangan-larangan tersebut karena lupa atau tidak mengetahui hukumnya, maka ia wajib membayar fidyah, bila pelanggarannya berupa Tamattu’ (kenikmatan), misalnya memakai pakaian yang berjahit atau wangi-wangian, maka tidak terkenakan kewajiban fidyah.

 

Dalam menghilangkan tiga rambut atau kuku dalam satu waktu dan tempat yang sama menurut ‘urf, adalah wajib fidyah penuh, Jika satu helai/potong, maka fidyah satu mud, Dan jika dua, maka wajib fidyah dua mud.

 

Dam (fidyah) yang harus dipenuhi sebab meninggalkan kewajiban haji, misalnya ihram dari miqat, bermalam di Muzdalifah, Mina, melempar jumrah dan tawaf wada’, adalah menyembelih kambing yang mencukupi dibuat kurban di Tanah Haram, sebagaimana Dam Haji Tamatu’ dan Qiran.

 

Bagi yang tidak mampu menyembelih kambing, adalah berpuasa tiga hari seketika setelah meninggalkan kewajibannya, yang ditunaikan setelah ihram dan sebelum tanggal 10 Zulhijah, sekalipun ia adalah seorang musafir. Ketidakmampuan tersebut sekalipun ada orang yang sanggup mengutanginya, Atau dapat mendapatkannya, (tapi) harganya di atas harga umum.

 

Karena itu, tidak boleh mengakhirkan puasa dari hari Nahr (10 Zulhijah), sebab hal ini akan menjadi qadha (yang hukumnya haram), Juga tidak boleh didahulukan sebelum ihram haji, hal ini berdasarkan ayat Alqur-an.

 

Selain itu, bagi orang tersebut wajib berpuasa 7 hari setelah sampai di kampung halamannya. Puasa-puasa tersebut sunah ditunaikan dengan cara sambung-menyambung, sebagaimana dengan puasa 3 hari di Tanah Haram.

 

Firman Allah (dalam surah Al-Baqarah:196), yang artinya: “… maka barangsiapa yang tidak menemukan kambing kurban, wajiblah berpuasa 3 hari dalam masa Haji dan 7 hari lagi setelah kalian pulang.”

 

Wajib bagi orang yang merusak nusuknya, yaitu haji atau umrah, sekalipun nusuk sunah dengan bersetubuh, membayar dam seekor unta kurban. Yang dimaksud dengan badanah di sini, adalah bisa unta jantan atau betina.

 

Kalau tidak mampu menyembelih unta, maka wajib menyembelih lembu: Kalau tidak mampu, maka 7 ekor kambing: Kalau tidak mampu, maka wajib bersedekah makanan sejumlah harga seekor unta: Dan jika masih tidak mampu, maka wajib berpuasa satu hari untuk satu mud dalam jumlah mud makanan tersebut.

 

Sedang bagi wanita yang disetubuhi, ia hanya berdosa, tapi tidak wajib membayar fidyah.

 

Dari ucapanku tadi “yang merusak nusuk”, bisa diketahui bahwa nusuk menjadi batal sebab persetubuhan: Dalam pada itu, ia wajib meneruskan nusuknya seperti tata cara yang tidak batal.

 

Selain dam yang telah disebutkan di atas, ia wajib mengqadha nusuknya dengan seketika (untuk umrah, ia harus mengerjakannya setelah Tahallul dan amalan-amalan yang mengikutinya, dan untuk haji, ia harus mengerjakan pada tahun haji berikutnya -pen), sekalipun nusuk yang dirusak, adalah nusuk sunah (misal nusuk yang dikerjakan oleh budak dan anak-anak -pen). Sebab, dengan telah menunaikannya, membuat waktu kewajiban yang semula luas menjadi sempit dan yang semula sunah menjadi fardu -maksudnya wajib ditunaikan seperti fardu-, lain halnya dengan ibadah-ibadah sunah selain nusuk.

 

Penyempurnaan:

 

Sunah bagi siapa saja yang mengunjungi Mekah, lebih-lebih orang haji, mau menyembelih binatang ternak sebagai hadiah yang ia giring dari kampung halamannya sendiri: Kalau tidak bisa, maka hendaklah membelinya di tengah jalan, di Mekah, di Arafah, atau di Mina, Ternak tersebut hendaknya yang gemuk dan bagus. Hadiah tersebut hukumnya tidak wajib, kecuali jika dinazarkan.

 

 

 

 

Penting:

 

Sunah muakkad bagi orang merdeka yang mampu, berkurban dengan menyembelih seekor domba jantan yang berumur satu tahun atau yang telah tanggal giginya, sekalipun belum genap satu tahun, bukan domba (wedus kajang: jawa) berumur dua tahun, lembu jantan yang berumur 2 tahun atau unta berumur 5 tahun, dengan niat menentukan pilihannya untuk berkurban.

 

Berkurban itu hukumnya lebih utama daripada bersedekah.

 

Waktu penyembelihannya adalah sejak matahari naik tinggi pada tanggal 10 Zulhijah sampai berakhir hari Tasyriq (waktu permulaan tersebut adalah waktu yang utama, karena binatang kurban boleh disembelih setelah terbit matahari dan terlewatnya dua rakaat Idul Adha beserta dua khotbahnya -pen).

 

Satu sepertujuh ekor lembu atau unta mencukupi untuk kurban satu orang. Binatang-binatang yang tidak cukup dibuat kurban: 1. badannya kurus, 2. Terpotong atau lepas sebagian ekor atau telinganya, 3. Pincang, 4. Buta, 5. Berpenyakit yang tampak jelas. Untuk binatang yang telinganya sobek atau retak, tidak menjadi masalah (mencukupi).

 

Menurut pendapat yang Muktamad, bahwa kurban dengan binatang yang bunting adalah tidak mencukupi, Lain halnya dengan pendapat yang disahihkan oleh Imam Ibnur Rif ah.

 

Jika seseorang bernazar akan menyembelih kurban dengan binatang yang cacat seperti di atas atau yang belum cukup umurnya, atau ia berkata: “Binatang yang cacat (muda) ini saya jadikan kurban”, maka ia wajib menyembelih binatang tersebut, tetapi belum cukup sebagai kurban, sekalipun ia menentukan waktu penyembelihannya pada waktu penyembelihan kurban, dan pentasarufan daging binatang tersebut seperti pena-sarufan kurban. Haram turut makan daging kurban atau hadiahnya yang wajib atasnya Sebab nazar.

 

Wajib menyedekahkan daging kurban sunah dalam keadaan mentah, sekalipun sedikit saja (lain halnya dengan daging kurban wajib, maka wajib menyedekahkan keseluruhannya – pen) kepada fakir, sekalipun hanya seorang saja. Akan tetapi yang lebih utama adalah menyedekahkan keseluruhannya, kecuali beberapa potong yang dimakan untuk mengambil berkahnya, yang dimakan hendaknya hati dan tidak melebihi tiga potong. Lebih utama juga menyedekahkan kulitnya (sebab bagi orang yang berkurban boleh memanfaatkan kulit, dan haram menjual atau memberikan kepada tukang jagal sebagai upah penyembelihannya -pen).

 

Bagi orang yang berkurban boleh memberi makan kepada orang-orang kaya, tetapi tidak boleh memberi kebebasan pemilikan terhadap daging tersebut kepada mereka (dengan kata lain, ia boleh memberi mereka hanya untuk dimakan -pen).

 

Sunah bagi pengurban laki-laki menyembelihnya sendiri dan sunah bagi wakil penyembelih binatang kurban agar memberikan persaksian terhadap kurbannya.

 

Makruh bagi orang yang hendak berkurban, menghilangkan semacam rambut badannya selama tanggal 10 Zulhijah, hingga ia menyembelih binatang kurbmannya.

 

Sunah berakikah bagi orangtua yang menanggung nafkah anak keturunannya, di mana penyembelihannya sejak kelahiran bayi sampai usia balig. Adapun hukum binatang akikah seperti yang ada pada kurban.

 

Sunah tulang-tulang binatang akikah tidak dipecah-pecah, Memberikan dagingnya dalam keadaan telah masak dan mengirimkan kepada fakir adalah lebih baik daripada memanggil mereka ke rumah, dan daripada memberi mereka berupa daging mentah. Sunah juga menyembelihnya pada hari ke-7 dari kelahiran sang bayi.

 

Sunah pula pada hari ke-7, memberi nama terhadap anak tersebut, sekalipun bayinya telah mati sebelumnya. Bahkan hukumnya juga sunah memberi nama terhadap bayi yang gugur dalam kandungan, yang sampai usia peniupan roh.

 

Nama yang lebih utama adalah Abdullah dan Abdur Rahman. Menamakan anak dengan nama-nama nabi atau malaikat, hukumnya tidak makruh, bahkan nama “Muhammad” banyak keutamaannya.

 

Haram hukumnya memberi nama dengan “Malikul Muluk” (Raja Diraja), “Qadhil Qudhat” (Hakim segala Hakim), dan “Hakimul Hukkam” (Hakim segala Hakim). Begitu juga haram memberi nama dengan “Abdun Nabi”, “Jarullah” (tetangga Allah), dan memberi gelar dengan ” Abil Qasim”.

 

Sunah mencukur bayi, sekalipun bayi perempuan pada hari ke-7, dan bersedekah emas atau perak seberat rambut itu. Waktu baru lahir sunah dibacakan surah Al-Ikhlas dan ayat “Inni … dan seterusnya. (… dan sesungguhnya aku memintakan perlindungan untuknya dan anak turunnya kepada-Mu dari godaan setan yang terkutuk Aali Imran: 36), pada telinga bayi bagian kanan dan pada telinga kirinya dibacakan kalimat ikamah. Dhamir yang ada pada ayat tersebut tetap dimuannatskan, sekalipun bayinya seorang laki-laki.

 

Sunah bagi laki-laki -jika tidak ada, maka wanita pun sunahyang Ahlul khair, menyuapkan buah kurma kepada sang bayi yang baru lahir, kalau tidak ada kurma, maka sunah dengan apa saja manisan yang tidak diproses memakai api.

 

Sunah bagi wanita yang sedang sakit menjelang melahirkan bayi, dibaca-” kan-ayat Kursi, ayat Ina Rabbakum .(AL-A’raf: 54), surah Al-Falaq dan An-Nas, serta memperbanyak doa, mohon kemudahan (yaitu Laa ilaahaillallaahul ‘azhimul halim dan seterusnya) di samping wanita tersebut. ,

 

Guru kita berkata: Pembacaan surah Al-An’am sampai ayat “Wa laa rathbiw wa laa yaabis … dan seterusnya, (Al-An’am: 59) ketika akikah, adalah perbuatan bid’ah dari orang-orang awam yang bodoh. Karena itu, seyogianya perbuatan itu dicegahnya dan dengan sekuat mungkin melarang orang-orang yang mengerjakan hal itu.

 

Cabang:

 

Sunah bagi setiap orang, berminyak sesekali (tidak terus-menerus, tapi sekali tempo), bercelak mata memakai itsmid yang diulang-ulang dengan bilangan gasal, setiap menjelang tidur, dan menyemir rambut uban dan jenggot dengan semir yang berwarna merah atau kuning.

 

Haram mencukur rambut jenggot, dan bagi laki-laki haram memakai pacar pada kuku tangan atau kaki: Lain halnya dengan pendapat segolongan ulama dalam kedua hal ini. Imam Al-Adzra’i membahas mengenai kemakruhan mencukur rambut yang ada di leher, Dalam hal ini selain beliau mengatakan kebolehannya.

 

Sunah bagi wanita yang bersuami (mempunyai sayid) memakai pacar, tetapi wanita yang tidak sedemikian hukumnya makruh.

 

Haram hukumnya meruncingkan gigi, menyubal atau menyambung rambut dengan rambut najis atau rambut orang: Akan tetapi tidak haram jika yang dibuat menyubal atau menyambung adalah rambut sutera atau woll.

 

Sunah menahan anak-anak kecil di dalam rumah pada waktu malam tiba: Menutup semua wadah yang ada, sekalipun dengan meletakkan kayu di atasnya, menutup pintu-pintu rumah, yang keduanya sunah dengan membaca Basmalah, Juga mematikan lampu ketika hendak tidur.

 

Ketahuilah! Binatang darat yang dapat dikuasai, cara penyembelihannya adalah dengan memotong putus urat kerongkongannya -yaitu jalan keluar-masuk nafas- dan memutus urat Mari’ -yaitu jalan makanan di belakang hulqum (kerongkongan), di mana pemotongannya dengan menggunakan benda tajam selain tulang, gigi dan kuku, misalnya besi, bambu, kaca, emas dan perak.

 

Karena itu, maka haramlah memakan binatang yang mati akibat tertimpa benda berat, baik berupa logam atau lainnya, misalnya peluru, sekalipun dapat mencucurkan darah atau bahkan memutuskan kepalanya. Begitu juga haram, jika binatang tersebut disembelih dengan benda yang tidak dapat memutuskan, kecuali dengan adanya tekanan kuat dari penyembelih.

 

Karena itu, seyogianya (sunah) mempercepat memutus urat hulqum, sehingga binatangnya tidak sampai pada gerak ajal sebelum urat itu putus dengan sepenuhnya.

 

Janin yang mati dalam kandungan induknya sebab sembelihan induknya, hukumnya adalah halal. Demikian pula jika keluar dari induknya dalam keadaan gerak ajal (gerak seperti binatang yang disembelih, bukan yang masih ada hayat mustaqirrah -pen), lalu mati seketika.

 

Adapun binatang yang tidak terkuasai, lantaran terbang atau lari kencang, baik itu binatang buas atau jinak, misalnya unta atau anak kambing yang lepas dari ikatannya dan kabur, maka cara penyembelihannya adalah dengan melukainya di bagian mana pun dari tubuhnya yang dapat mengakibatkan mati,

 

dengan menggunakan semacam anak panah atau pedang: sekalipun kalau mau sabar sebentar, maka akan bisa dikuasai, dan sekalipun tidak khawatir akan ada semacam pencuri.

 

Kemudian jika binatang tersebut tertangkap, dan di situ masih ada “hayat mustaqirrah” (masih hidup dan masih bisa memandang, bersuara dan bergerak dengan kesadaran -pen), maka binatang tersebut wajiblah disembelih.

 

Jika bukan karena gegabah dari pihak peluka di atas, sehingga binatang yang tidak terkuasai itu mati, misalnya karena terleka dengan menghadapkannya ke arah kiblat atau baru mengasah pisau dan belum selesai, ternyata binatang tersebut telah mendahului mati, maka binatang itu hukumnya halal, Kalau karena gegabah, misalnya ia tidak membawa pisau atau karena pisau terjepit pada sarung pisau dan sulit untuk dikeluarkannya, maka binatang yang mati tersebut hukumnya tidak halal.

 

Hukumnya haram secara qoth’i berburu binatang dengan menggunakan peluru yang digunakan sekarang ini, yaitu peluru yang terbuat dari logam dan diluncurkan oleh kekuatan api, karena peluru tersebut akan membakar pada galibnya terhadap binatang yang terkena dan akan segera mati.

 

Guru kita berkata: Memang, jika pemburu itu adalah orang yang ahli dan yakin, bahwa pelurunya akan mengena pada semacam sayapnya lalu merobeknya saja, maka bisa dimungkinkan kebolehannya.

 

Berburu dengan peluru model kuno -yaitu peluru yang terbuat dari tanah keringhukumnya menurut pendapat Muktamad adalah boleh, Lain halnya dengan pendapat sebagian ulama Muhaqqiqin.

 

Syarat orang yang menyembelih harus Muslim atau kafir kitabi yang halal dinikah.

 

Sunah memotong dua urat, yaitu dua urat yang berada pada leher binatang: mengasah pisau setajamtajamnya, menghadapkan ke arah kiblat, dan penyembelih sunahnya seorang laki-laki yang berakal sehat, kalau tidak ada, maka wanita, dan kalau tidak ada wanita, maka barulah seorang anak-anak.

 

Di kala menyembelih atau waktu meluncurkan alat buru, sekalipun berburu ikan laut, disunahkan membaca Bismillahirrahmanirrahim dan membaca Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad.

 

Syarat binatang sembelihan yang tidak sakit, ada dua:

 

  1. Binatang tersebut masih ada Hayat Mustaqirrah di permulaan penyembelihannya, sekalipun hanya diperkirakan berdasarkan tanda semacam gerak keras setelah disembelih dan darah mengalir atau menyembur keluar. Menurut pendapat yang Muktamad, bahwa tanda-tanda “Hayat Mustaqirrah” tersebut tidak harus berkumpul, tapi satu saja sudah cukup (dan tanda-tanda tersebut tidak harus diyakini adanya, tapi cukup diperkirakan saja -pen).

 

Jika keberadaan Hayat Mustaqirrah masih diragukan, maka binatang itu menjadi haram.

 

Jika ada seekor binatang terluka, kejatuhan semacam pedang atau digigit semacam kucing, di mana pada binatang tersebut masih terdapat Hayat Mustaqirrah, lalu disembelihnya, maka halallah, sekalipun telah diyakini bahwa binatang itu sesaat lagi akan mati (sebab luka dan seterusnya).

 

Jika tidak ada Hayat Mustaqirrah pada binatang tersebut di atas, maka tidak halal. Seperti halnya dengan masalah berikut ini: Setelah pisau diangkat kembali, sekalipun karena uzur, lalu diletakkan lagi dan memutus sisa-sisa bagian yang wajib diputus (hulqum dan mari’) yang belum terputus, di mana binatang tersebut sudah sampai gerak madzbuh (binatang yang telah disembelih).

 

Guru kita berkata di dalam Syarhil Minhaj: Pembicaraan sebagian ulama menyatakan, bahwa jika penyembelihan mengangkat pisaunya karena binatang bergerak ke sana-sini, lalu dengan seketika ia mengembalikan pisaunya dan meneruskan sembelihannya, maka halallah binatang tersebut.

 

Mengenai ucapan sebagian ulama: “Apabila penyembelih mengangkat pisaunya, lalu meletakkan lagi, maka hukumnya tidak halal binatang itu”, adalah diarahkan permasalahannya pada peletakkan kembali di binatang yang sudah tidak terdapat hayat mustaqirrah, atau diarahkan peletakan pisau tidak dengan seketika, Hal tersebut dikuatkan oleh fatwa tidak hanya seorang saja, bahwa jika pisau yang dipegang oleh penyembelih itu lepas, lalu dengan seketika mengembalikan lagi, maka binatang . sembelihan itu hukumnya adalah halal. Selesai.

 

Jika lantaran sakit, binatang telah sampai pada gerak ajal (madzbuh), sekalipun sakitnya sebab makan makanan yang membahayakan, maka cukuplah disembelih pada akhir keluar sisa-sisa roh (jadi.tidak disyaratkan adanya hayat Mustaqirrah pada permulaan menyembelih -pen): bila pada binatang seperti ini tidak didapati penyebab kerusakannya, yaitu luka atau lainnya.

 

Jika didapati penyebab kematiannya, misalnya binatang itu makan tumbuh-tumbuhan yang bisa mengakibatkan kematiannya, maka disyaratkan ada hayat mustaqirrah pada permulaan penyembelihannya, sekalipun dengan perkiraan setelah disembelih terdapat tanda-tanda hayat mustaqirrah seperti yang telah tersebutkan di atas.

 

Faedah:

Barangsiapa menyembelih binatang sebagai ibadah kepada Allah Ta’ala, dengan tujuan menolak gangguan jin, maka hukumnya tidak haram, atau (kalau bertujuan) diperuntukkan jin, maka hukumnya haram (dan hasil sembelihan dihukumi bangkai -pen).

 

  1. Binatang yang disembelih adalah binatang yang halal dimakan.

 

Dari golongan binatang darat adalah: Unta, lembu, kambing (Al-An’am/ternak), kuda, sapi liar, himar liar, kijang, semacam serigala (tapi taringnya tidak begitu kuat, sehingga dianggap tidak bertaring -pen), biawak, kelinci, kancil, tupai dan setiap jenis burung pemakan biji-bijian.

 

Yang tidak halal: Singa, kera, sejenis burung elang (sejenis burung yang berkuku kuat), merak, betet, burung hantu, menco (burung yang suara dan warnanya indah), gagak hitam dan kelabu: lain halnya dengan pendapat sebagian ulama mengenai gagak yang kelabu.

 

Burung pemakan kotoran najis, sekalipun bukan berupa binatang ternak, adalah dihukumi makruh, jika masih berbau najis, misalnya ayam.

 

Halal memakan telor binatang tidak halal dagingnya, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama.

 

Binatang laut yang haram dimakan: Katak, buaya, penyu dan kepiting. Menurut pendapat Al-Ashah, bahwa rajungan dan keong hukumnya tidak haram dimakan.

 

Imam An-Nawawi berkata di dalam Al Majmu’: Pendapat yang sahih dan Muktamad, bahwa semua bangkai binatang laut hukumnya adalah halal, selain katak, Pendapat ini dikuatkan dengan penukilan Imam Ibnush Shalah dari Ashhabul Wujuh mengenai kehalalan semua binatang laut selain katak.

 

Halal memakan bangkai belalang dan ikan, kecuali jika sudah membusuk di dalam perut binatang lain. Sekalipun ikan tersebut berbentuk anjing atau babi. Sunah hukumnya menyembelih belalang dan ikan yang besar dan panjang umurnya.

 

Makruh menyembelih belalang atau ikan yang bentuknya kecil, memakan ikan goreng yang kotorannya belum dibersihkan: memakan ikan atau daging yang telah membusuk: dan menggoreng ikan dalam keadaan hidup.

 

Halal memakan ulat buah-buahan, baik masih hidup atau sudah mati, dengan syarat tidak dipisahkan dari buah-buahannya, Kalau makannya dengan cara dipisahkan, maka tidak halal, sekalipun dengan cara bersama-sama.

 

Tidak halal memakan semut yang berada dalam bubur samin, sebab tidak lahir dari sita, menurut pendapat yang dikemukakan oleh Imam Kamalur Radad, Lain halnya dengan pendapat sebagian Ashhabul Wujuh kita (dari kalangan Syafi’iyah).

 

Haram memakan benda keras yang dapat membahayakan badan dan akal, misalnya batu, debu, dan racun, sekalipun sedikit. Jika sedikit tidak membahayakannya, maka tidak harara, Haram juga segala macam yang memabukkan, misalnya memakan candu dengan kadar yang banyak, ganja dan kecubung.

 

Faedah:

Pekerjaan yang paling utama adalah dengan urutan sebagai berikut: Pertanian, industri, kemudian perdagangan. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang paling utama adalah perdagangan.

 

Tidak haramm bermuamalah dengan orang yang sebagian besar harta kekayaannya adalah barang haram, begitu juga dengan memakan harta itu menurut pendapat yang telah disahihkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’. Ia mengingkari pendapat Imam Al-Ghazali yang mengatakan keharaman hal tersebut, namun di dalam kitab Syarah Muslim ia mengikuti pendapat Imam Al-Ghazali.

 

Jika keharaman telah terjadi merata di muka bumi, maka bolehlah mempergunakan barang haram itu dengan sekadar kebutuhannya, bukan yang melebihi kebutuhannya. Demikian ini, jika masih dapat diketahui pemilik barang itu, kalau tidak, maka barang itu menjadi milik Baitulmal, dan boleh mengambil seukur hak yang dimiliki daripadanya, Demikianlah menurut yang dikatakan oleh Guru kita.

Kami sebutkan kewajiban mukalaf sehubungan dengan nazar. : Menurut persesuaian pembicaraan Imam Rafi’i dan Nawawi, bahwa nazar itu merupakan suatu ibadah. Pendapat ini dipegang oleh kebanyakan ulama, bahkan sebagiannya memperkuat dan berkata: “Hukumnya adalah sunah, sesuai dengan petunjuk Alqur-an, Alhadis, Ijmak dan kias”.

 

Dikatakan, hukum nazar adalah makruh, sebab ada dalil yahg melarangnya. Kebanyakan ulama mengarahkan larangan tersebut pada Nazar Lajaj, karena nazar ini adalah penggantungan pelaksanaan ibadah pada melakukan atau meninggalkan sesuatu, misalnya: Jika aku masuk rumah atau tidak keluar darinya, maka bagiku berkewajiban puasa atau sedekah sekalian karena Allah: Dalam hal ini bagi penazar yang memasuki atau tidak keluar rumah, diperbolehkan memilih antara yang disanggupinya atau membayar kafarat Yamin (sumpah), Ia tidak wajib menunaikan yang telah disanggupinya, sekalipun hal itu berupa ibadah haji.

 

Pengertian “cabang” adalah bagian yang tercakup di dalam asal permasalahan yang luas.

 

Nazar adalah: Penetapan pelaksanaan ibadah bukan fardu ain, baik itu berupa sunah atau fardu kifayah oleh orang muslim mukalaf yang Rasyid (pandai).

 

Misalnya: Melanggengkan salat Witir, menjenguk orang sakit, ziarah kubur bagi orang laki-laki atau nikah jika telah sampai pada hukum sunah -lain halnya dengan pendapat segolongan ulama-, Berpuasa di hari Bidh dan hari Senen, jika hari-hari tersebut bertepatan dengan hari-hari Tasyrig, haid, nifas, atau sakit, maka tidaklah wajib mengqadhanya: Atau seperti salat Jenazah dan merawat mayat.

 

Jika bernazar puasa di hari tertentu (misalnya Kamis atau Sabtu), maka tidak boleh dilakukannya pada hari sebelumnya, dan kalau dilakukannya, maka hukumnya berdosa, sebagaimana halnya dengan mendahulukan salat sebelum masuk waktunya. Tidak boleh juga melakukan puasa pada hari sesudahnya, sebagaimana halnya dengan mengakhirkan salat tanpa ada uzur, Jika ia melaksanakan puasa dengan mengakhirkan, maka hukumnya sah sebagai qadha.

 

Jika ia bernazar untuk puasa di hari Kamis yang tidak.ditentukan Kamis yang mana, maka sah jika dilakukan pada Kamis yang mana saja, Jikaia bernazar salat yang tidak ditentukan rakaatnya, maka wajib mengerjakan dua rakaat dengan berdiri bagi yang berkuasa, Kalau nazar berpuasa, maka wajib berpuasa satu hari: jika nadar berpuasa beberapa hari, maka wajib mengerjakan puasa tiga hari, Jika nazar bersedekah, maka wajib bersedekah sesuatu yang ada nilai hartanya dan diberikan kepada orang miskin yang merdeka, jika ia tidak menentukan orang yang diberinya, atau kepada penduduk daerah setempat, Kalau ia telah. menentukan orang yang diberinya, maka wajib diberikan kepada orang tersebut.

 

Bernazar untuk melakukan puasa atau salat di tempat tertentu, maka tidak wajib mengerjakannya di tempat tersebut, Jika ia nazar bersedekah pada zaman tertentu, maka tidak wajib melaksanakannya pada zaman tersebut.

 

Tidak termasuk ketentuan “orang Muslim mukalaf”, yaitu orang kafir, kanak-kanak dan orang gila: Karena itu, nazar mereka hukumnya tidak sah, seperti halnya nazar orang bodoh. Ada yang mengatakan, bahwa nazar orang kafir hukumnya adalah sah.

 

Tidak termasuk ketentuan “perbuatan ibadah”, yaitu tindakan maksiat, misalnya berpuasa di hari Tasyriq atau salat yang tidak punya sebab di waktu makruh: Karena itu, nazar untuk dua perkara ini hukumnya tidak sah.

 

Termasuk tindakan maksiat, yaitu perbuatan makruh, seperti salat di atas makam dan nazar khusus untuk salah satu kedua orangtua atau anak-anaknya.

 

Demikian pula dengan perbuatan mubah, misalnya: “Saya nazar makan atau tidur karena Allah” sekalipun dengan tujuan menguatkan atau menyemangatkan ibadah. Menurut pendapat Al-Ashah, bahwa dalam masalah nazar mubah (jika tidak dilaksanakan) adalah tidak terkena kewajiban kafarat.

 

Tidak termasuk ketentuan “ibadah bukan fardu ain”, yaitu ibadah yang merupakan fardu ain, misalnya salat maktubah, membayar zakat 2,5% harta perdagangan atau menghindari hal-hal yang diharamkan.

 

Sesungguhnya nazar orang mukalaf itu bisa sah, jika dengan menggunakan lafal yang munjaz (lestari), yaitu seperti: Ia menyanggupi suatu ibadah yang tanpa digantungkan dengan waktu. Nazar seperti ini dinamakan Nazar Tabarrur.

 

Misalnya: “Saya wajib menunaikan umpama salat, puasa, nusuk, sedekah, membaca Alqur-an, atau iktikaf karena Allah”. Atau “Saya nazar begini”, sekalipun tanpa menyebut “nama Allah”, menurut pendapat yang Muktamad, yang masih diperselisihkan oleh banyak ulama, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Baghawi dan lain-lainnya.

 

Atau juga sah dengan menggunakan lafal yang digantungkan, dan nazar ini dinamakan nazar “Mujazah”. Yaitu menyanggupi suatu ibadah sebagai perimbangan atas terjadi suatu kenikmatan yang digemari atau tersingkir suatu bencana.

 

Misalnya: “Jika Allah menyembuhkan penyakit kami ini atau menyelamatkan diri kami, maka kami wajib begini …” “…, maka kami menetapkan diri (menyanggupi) untuk melakukan begini” atau “…, maka kami berkewajiban melakukan begini”.

 

Tidak termasuk ketentuan “dengan lafal”, yaitu dengan niat, Karena itu, kesanggupan yang hanya niat saja adalah tidak bisa menjadi kesahan nazar, sebagaimana halnya dengan bentuk akad-akad lainnya. Ada yang mengatakan, bahwa nazar adalah sah dengan keberadaan niat saja.

 

Dalam Nazar Tabarrur, bagi orang yang nazar Wajib melaksanakan kesanggupannya dengan seketika, dan wajib melaksanakan kesanggupannya yang telah terjadi dalam Nazar Mujazah. Menurut lahir pembicaraan ulama, bagi dia dalam Nazar Mujazah wajib melakukan kesanggupannya dengan seketika, setelah terjadi perkara yang digantungkan tersebut, Lain halnya dengan pendapat yang sesuai dengan pembicaraan Imam Ibnu Abdis Salam.

 

Untuk kesahan dua nazar di atas, adalah tidak disyaratkan qabul (pernyataan setuju) dari Mandzur Lah (orang yang menerima nazar) dan qabdh-nya (penerimaan), tapi yang disyaratkan adalah tidak ada penolakannya.

 

Hukum kesahan bernazar dengan membebaskan tanggungan orang yang berutang, sekalipun jumlah tanggungan tersebut tidak diketahui berapa jumlahnya: Karena itu, dengan seketika tanggungan menjadi bebas, sekalipun orang yang berutang (Madin) tidak qabul, lain halnya dengan pendapat Imam AlJalal Al-Bulqini.

 

Jika seseorang sebelum sakit yang membawa kematiannya bernazar memberikan hartanya kepada selain salah satu orangtua dan anak cucunya, maka orang yang menerima (mandzus lah) memiliki seluruh harta yang dinazarkan kepadanya tanpa disekutui oleh ahli waris, sebab hak milik nadzir (orang yang bernazar) telah hilang (bernazar kepada salah satu kedua orangtua dan anak-cucu hukumnya tidak sah -pen).

 

Bagi orangtua tidak boleh mencabut kembali nazar yang diberikan kepada salah satu anaknya (menurut apa yang dikatakan Syekh Sayid Bakri dalam I’anah: yang benar redaksi ini dibuang saja, sebab berlawanan dengan redaksi di atasnya -pen).

 

Nazar semisal: “Bila saya sakit, maka barang itu sebagai nazar kepada dia sejak satu hari sebelum sakitku”, adalah sah sebagai nazar Mujazah (mu’allaq).

 

Bagi si nadzir boleh mentasarufkan harta yang ia nazarkan sebelum digantungkan dalam nazarnya).

 

Perkataan: “Bila dapat kucapai sesuatu itu, maka aku datang kepadamu dengan perkara ini”, adalah tidak bisa dibukumi sebagai nazar, selama tidak disertas lafal yang mengandung kesanggupan atau nazar.

 

Segolongan ulama mengeluarkan fatwanya, bahwa dua orang yang hendak berjual beli, lalu sepakat untuk saling menazarkan, lantas melakukannya, adalah dihukumi sah, sekalipun orang yang nazar menambahkan “jika daganganmu kamu nazarkan kepadaku”. Demikianlah kebanyakan cara yang ditempuh dalam barang yang tidak sah dijual, tapi sah jika dinazarkan.

 

Adalah sah, pembebasan tanggungan orang yang nazar oleh Mandzur Lah.

 

Imam Al-Qadhi Husen berkata: Tidak disyaratkan, bahwa orang yang nazar harus mengetahui Mandzur Bih (barang yang dinazarkan), seperti 20% hasil panen biji-bijian yang wajib dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20nya, seluruh anak yang akan lahir dari budakku ini atau buah-buahan hasil pohonku ini. Beliau menyebutkan pula, bahwa jumlah 20% yang dinazarkan tersebut adalah tidak dikenakan zakat. Ulama lainnya berkata, bahwa ketidakwajiban zakat itu, jika dinazarkannya sebelum berisi.

 

Sah bernazar demikian juga berwasiat kepada janin yang ada dalam kandungan, Bahkan untuk masalah nazar adalah lebih diperbolehkan.

 

Tidak sah nazar kepada mayat, kecuali pada makam sang Guru Anu .. dan nazarnya dimaksudkan untuk ibadah di sana, misalnya menyalakan lampu yang dapat dimanfaatkan, atau memang sudah berlaku kebiasaan mentasarufkan Mandzur (barang nazar) pada makam (misalnya untuk memperbaikinya), maka harus diarahkan ke situ.

 

Terjadi pada sebagian orang-orang awam (suatu perkataan): “Aku jadikan barang ini untuk Nabi saw.”, ini sah sebagai nazar, sebagaimana yang telah dibahas, sebab menurut kebiasaan perkataan tersebut untuk nazar, Kemudian barang tersebut harus ditasarufkan untuk kemaslahatan bilik makam Nabi saw.

 

Imam Subki berkata: Yang lebih mendekati kebenaran menurutku, bahwa orang yang mengeluarkan hartanya sebagai nazar untuk bilik atau makam Nabi atau tiga mesjid (Masjidil Haram, Nabawi, dan Masjidil Aqsha), dan urf menentukan ditasarufkannya untuk kemaslahatan tempat-tempat tersebut maka secara khusus harus ditasarufkan ke situ. Selesai.

 

Guru kita berkata: Kemudian jika urf tidak menentukan apa-apa, maksa menurut pendapat yang berwajat adalah penentuan pentasarufannya diserahkan pada pendapat pengurus tempat tersebut.

 

Guru beliau berkata: Yang jelas, seperti itu pula hukum pentasarufan barang nazar pada mesjid-mesjid lainnya. Selesai.

 

Sebagian ulama mengeluarkan fatwa mengenai ucapan: “Jika Allah berkenan memenuhi hajatku, maka aku berkewajiban memberikan sesuatu pada Ka’bah”, maka barang yang dinazarkan tersebut wajib ditasarufkan untuk kemaslahatan Ka’bah, dan tidak boleh untuk orang-orang fakir Tanah Haram, demikianlah menurut petunjuk uraian kitab Al-Muhadzdzab dan yang telah dijelaskan oleh segolongan ulama.

 

Jika seseorang menazarkan sesuatu untuk Ka’bah dan ia menentukan arah pentasarufannya pada ibadah tertentu, misalnya untuk Jampu penerangan, maka wajib ditasarufkan ke situ, jika memang masih diperlukan: Jika tidak diperlukan, maka barang tersebut dijual dan uangnya ditasarufkan untuk kemaslahatan Ka’bah, demikianlah menurut penjelasan Guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami).

 

Jika menazarkan untuk menyalakan lampu lilin atau minyak zaitun di mesjid, adalah sah jika di sana ada orang yang memanfaatkan, sekalipun jarang sekali: Kalau tidak, maka tidak sah.

 

Jika nazar menghadiahkan barang yang bisa dipindah ke Mekah, maka wajib membawa ke sana, lalu barang itu pula yang disedekahkan kepada orang-orang fakir Tanah Haram, selagi ia tidak menentukan ibadah lainnya, nusainya mengharumkan Ka’bah: Karena jitu, jika ia menentukan untuk mengharumkan Ka’bah, maka harus ditasarufkan ke situ.

 

Biaya pengangkutan hadiah yang ditentukan untuk Tanah Haram, adalah tanggungan orang yang nazar: Jika ia orang yang melarat, maka sebagian dari barang tersebut dijual untuk memindahkannya, Jika barang tersebut sulit untuk dipindahkannya, misalnya pekarangan atau batu penggiling, maka harus dijual, sekalipun tidak seizin hakim, dan uangnya dipindah (dibawa) ke sana serta dibagi-bagikan kepada orang fakir Tanah Haram.

 

Apakah bagi orang yang nazar diperbolehkan membelinya atau tidak? Di sini terdapat dua wajah (pendapat).

 

Jika ia bernazar akan melakukan salat atau iktikaf di salah satu dari tiga mesjid (Masjidil Haram, Nabawi dan Aqsha), maka cukuplah jika hal itu dilakukan di salah satu dari ketiga mesjid tersebut.

 

Tidaklah dianggap telah mencukupi salat sebanyak seribu kali di lain mesjid Madinah (Mesjid Nabawi) sebagai ganti satu kali salat yang dinazarkan di Madinah, demikian pula sebaliknya. Sebagaimana pula belum mencukupi dengan membaca surah Al-Ikhlas sebagai ganti sepertiga Alqur-an yang dinazarkan.

 

Barangsiapa bernazar untuk mendatangi dan salat di dalam mesjidmesjid selain ketiga mesjid tersebut di atas, maka cukuplah dengan salat di mana saja, sekalipun di dalam rumahnya.

 

Jika ia bernazar untuk bersedekah satu dirham, maka belum dianggap mencukupi dengan memberikan uang jenis lainnya, Jika nazar bersedekah dengan harta yang telah ditentukan, maka harta itu lepas dari hak miliknya.

 

Jika ia berkata: “Bagiku wajib bersedekah 20 dirham untuk si Fulan” atau “Jika penyakitku sembuh, maka bagiku wajib bersedekah terhadap si Fulan sebanyak 20 dinar”, maka si Fulan sudah berhak memilikinya, sekalipun belum menerimanya serta tidak menyatakan qabul. Sedang haul zakatnya dihitung sejak pernyataan nazar.

 

Demikian pula, jika ia tidak menentukan dinar yang mana dan ternyata Mandzur Lah (orang yang menerima nazar) tidak menolaknya, maka dinar tersebut menjadi piutang atas diri si nadzir, dan berlakulah di sini hukumhukum yang berkaitan dengan zakat dan lainnya atas piutang itu.

 

Jika dinar yang ditentukan tersebut mengalami kerusakan, kalau rusaknya bukan lantaran kegabahan si nadzir, maka ia tidak wajib menanggungnya, menurut penjelasan Guru kita.

 

Jika seseorang bernazar hendak membangun suatu mesjid yang telah ditentukan atau di tempat tertentu, maka baginya tidak boleh membangun mesjid yang lainnya sebagai gantinya atau membangun di tempat lain yang tidak ditentukannya.

 

Sebagaimana nazar bersedekah dengan dirham perak, maka baginya tidak boleh bersedekah dengan dinar sebagai gantinya, sebab adanya perbedaan maksud.

 

 

Penyempurnaan:

 

Segolongan ulama dari guru-guru kita berselisih pendapat mengenai kesahan nazar pengutang memberikan harta tertentu kepada pemiutangnya, selama utangnya masih ada pada tanggungannya.

 

Sebagian mereka berkata: Nazar tidak sah, sebab dari arah khusus tersebut (yaitu sebagai imbangan, selama utang masih berada pada tanggungannya -pen) adalah bukan ibadah (padahal syarat nazar harus merupakan kurban/ibadah), tetapi justru penazar menggunakannya sebagai perantara ke arah riba Nasiah.

 

Sebagian yang lain berkata: Nazar tetap sah, sebab sebagai imbangan (imbalan) atas terjadi kenikmatan berupa keuntungan utang jika harta tersebut diperdagangkan, atau sebagai imbangah atas terhindar dari bencana penagihan, jika ternyata utang tersebut masih perlu untuk diperpanjang dalam tanggungannya, lantaran penazar masih melarat atau untuk nafkah, Juga adanya kesunahan bagi pengutang untuk menambah jumlah pengembalian utangnya. Karena itu, jika penambahan jumlah tersebut ia tetapkan dengan nazar, maka hukumnya menjadi wajib, bukan sunah lagi. Dengan adanya jalan khusus tersebut, maka yang disanggupi oleh pengutang dengan cara nazar adalah sebagai imbalan jasa, bukan jembatan riba, sebab riba cuma terjadi dalam suatu akad, misalnya jual beli.

 

Dengan demikian, jika nazar tersebut disyaratkan sewaktu akad utang, maka menjadi riba. Guru para guru-guru kita, yaitu Al’Allamah Al-Muhaqqiq Ath-Thanbadawi berkata: Mengenai bilamana pengutang menazarkan kepada pemiutang untuk memberikan kemanfaatan bumi yang digadaikan padanya, selama utang masih jadi tanggungan pengutang, maka yang saya ketahui dari ulama Ashhabuna Mutaakhirin Yaman, bahwa nazar tersebut jelas sah.

 

Di antara ulama yang mengeluarkan fatwa seperti ini, adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Husen Al-Qammath dan Al-Husen bin Abdur Rahman Al-Ahdal.

Bai’ (jual beli) menurut bahasa artinya “menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”, sedangkan menurut syarak adalah “menukarkan harta dengan harta yang lain melalui cara tertentu (syarat-syarat yang akan dituturkan nanti -pen).”

 

Dasar hukum jual beli sebelum terjadi ijmak (konsensus) adalah ayat-ayat Alqur-an, seperti firman Allah Ta’ala yang artinya: “.. dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S. 2, Al-Baqarah: 274), dan beberapa hadis Nabi saw. yang artinya: “Nabi saw. ditanya: “Pekerjaan mana yang lebih utama?’, maka jawab beliau: “Pekerjaan tangan seseorang dan setiap jual beli yang bersih’.”: Artinya, jual beli yang tiada unsur penipuan dan pengkhianatan.

 

Jual beli dianggap sah dengan Ijab (pernyataan menjual) dari penjual, sekalipun sambil bergurau Ijab adalah kata-kata yang menunjukkan pemilikan yang jelas, misalnya, “Saya jual barang ini kepadamu dengan harga sekian …”, “Barang ini untukmu dengan harga sekian …”, atau “Barang ini kumilikkan/berikan kepadamu dengan harga sekian ….” Demikian juga dengan kata-kata: “Barang ini kujadikan untukmu dengan harga sekian …”: jika diniati jual beli.

 

Juga dengan Qabul (pernyataan membeli) dari pembeli, sekalipun sambil bergurau. Qabul adalah kata-kata yang menunjukkan penerimaan hak milik dengan cara jelas, misalnya, “Kubeli barang ini dengan harga sekian …”, atau “Aku menerima/setuju/memiliki barang ini dengan harga sekian ….”.

 

Diadakan Ijab-Qabul (transaksi) seperti itu, agar sempurna shighat (bentuk transaksi) yang merupakan syarat ditunjukkan sabda Nabi saw..: “Jual beli bisa sah, hanyalah dengan saling merelakan”: sedangkan rasa rela adalah hal yang tidak tampak, karenanya diukurlah kerelaan itu dengan bukti ucapan.

 

Karena itu, jual beli dianggap belum sah dengan serah terima (tanpa shighat atau Ijab-Qabul), tetapi (AnNawawi) memilih hukum “sudah sah” pada serah-terima (mu’athah) setiap barang yang menurut urf (kebiasaan) sudah dikenal sebagai jual beli, seperti roti dan daging (barang remeh), bukan barang semacam binatang dan bumi (berharga).

 

Karenanya, menurut pendapat pertama (menganggap belum sah): Barang yang telah diterima dengan cara Mu’athah status hukum di dunia sama dengan barang yang diterima dari transaksi jual beli yang tidak sah (fasid), sedangkan di akhirat sudah tidak ada tuntutan terhadap barang yang diterima dengan cara Mu’athah tersebut (karena kedua belah pihak sudah saling merelakan, tetapi dalam masalah transaksi yang dikerjakan masih ada ‘uqubah -pen).

 

Perselisihan ulama tentang Mu’athah (serah-terima) juga berlaku pada transaksi-transaksi kehartaan yang lainnya. Gambaran Mu’athah. Kedua belah pihak dari penjual dan pembeli sepakat mengenai harga dan barangnya (lalu keduanya saling serah-terima), sekalipun tidak ditemui pernyataan dari salah satunya.

 

Apabila orang ketiga berkata kepada penjual, “Kau jual?” lalu dijawabnya “Iya!” atau “”Benar'”: dan ia berkata lagi kepada pembeli, “Kau beli?” lalu diawabnya “Benar!” maka jual beli ini dianggap sah.

 

Sah pula jawaban “iya” dari penjual dan pembeli atas pertanyaan pembeli, “Adakah kau jual?”, dan pertanyaan penjual, ” Adakah kau beli?”

 

Apabila ijab atau qabul bersamaan dengan huruf Istigbal (penunjuk masa akan datang), misalnya “Akan kujual kepadamu”, maka jual beli hukumnya tidak sah.

 

Guru kita berkata: Yang lahir adalah dimaklumi kekeliruan orang awam semacam membaca fathah pada ta’ mutakallim.

 

 

Adapun syarat sah antara keduanya, tidak dipisah dengan diam dalam waktu yang lama: lain halnya jika hanya sejenak saja.

 

Tidak ditengah-tengahi dengan kata-kata yang lain dari akad, sekalipun hanya sedikit: misalnya kata-kata yang tidak ada kaitannya dengan bentuk transaksi (akad), lagi pula bukan untuk kemaslahatannya.

 

Disyaratkan lagi, kedua-duanya mempunyai makna yang bersesuaian, tidak harus dalam lafalnya. Karena itu, jika penjual berkata, “Kujual barang imi kepadamu dengan harga seribu”, lalu pembeli (dalam qabulnya) menambah atau mengurangi harga di atas, pembeli berkata, “Kujual kepadamu dengan harga seribu kontan”, lalu pembeli (dalam qabulnya) menempokan atau sebaliknya, Atau penjual mengatakan, “… dengan masa tempo 1 bulan”, lalu pembeli (dalam qabulnya) memperpanjang waktu tersebut, maka jual beli ini hukumnya tidak sah, dikarenakan ada perselisihan makna.

 

Ijab dan qabul harus tidak bergantungan. Karena itu, jika akad jual beli digantungkan dengan sesuatu, maka hukumnya tidak sah. Misalnya: Jika ayahku sudah meninggal dunia, maka kujual barang ini kepadamu.

 

Juga tidak dibatasi waktu, misalnya, “Kujual kepadamu selama satu bulan.”

Disyaratkan bagi penjual dan pembeli, yaitu:

Mukalaf: Karenanya, akad jual beli oleh anak kecil, orang gila dan orang yang dipaksa, tidak semestinya adalah tidak sah, karena tiada kerelaan dari hati orang yang terakhir ini.

 

Islam untuk pemilikan (dalam membeli) budak muslim yang kemudian tidak dimerdekakan atas pembeli itu.

 

Demikian juga disyaratkan keislaman pembeli budak yang murtad menurut Al-Muktamad. Akan tetapi, menurut Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah: Menjual budak murtad kepada pembeli kafir, adalah sah hukumnya (pendapat daif).

 

Disyaratkan juga keislaman pembeli Mushaf, Yaitu sesuatu yang bertuliskan Alqur-an, sekalipun hanya satu ayat dan dicantumkan bukan untuk dipelajari, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Disyaratkan juga tidak ada permusuhan bagi pembeli alat peperangan, misalnya tombak, anak panah, perisai, baju perang dan kuda perang.

 

Lain halnya dengan selain alat perang, sekalipun dapat dibuat untuk itu, misalnya besi, sebab besi itu belum tentu digunakan prasarana berperang.

 

Sah menjual alat berperang kepada kafir Dzimmi yang berada di wilayah kita, kaum muslimin.

 

Syarat Ma’qud ‘Alaih, baik itu barang maupun mata uang:

 

Barang milik penjual dan uang (perkara yang digunakan harga) adalah milik pembeli. Karenanya, tidaklah sah jual beli fudhuli (penjual dan pembeli tidak mempunyai hak atas ma’qud alaih).

 

Sah menjual harta yang jelas milik orang lain, kemudian setelah penjualan ternyata menjadi miliknya, Misalnya menjual harta Muwarrits (orang yang diterima hartanya dalam waris) dalam perkiraan bahwa ia masih hidup dan ternyata ia sudah mati sebelum penjualan harta itu. Hal ini dikarenakan harta itu telah menjadi miliknya, sebab prasangka yang keliru jika yang benar telah tampak, adalah tidak ada pengaruhnya terhadap akad, sebab yang menjadi ukuran (i’tibar) dalam akad adalah kenyataan perkara, bukan prasangka (zhann) mukalaf.

 

Faedah:

 

Apabila dengan cara yang diperbolehkan agama (seperti jual beli dan hibah), seseorang mendapatkan sesuatu milik orang lain yang dikiranya halal, padahal sebetulnya haram (misalnya barang hasil curian), maka jika secara lahiriah orang yang menerimakan barang itu (misal penjual) adalah orang baik, maka kelak di akhirat tidak ada tuntutan, Jika secara lahiriah ia adalah orang yang jahat, maka penerima barang itu akan dituntut di akhirat. Demikianlah komentar Al-Baghawi.

 

Apabila seseorang membeli makanan secara bon, lalu dilunasi dengan harta haram, maka jika pihak penjual menyerahkan makanan itu kepada pembeli dengan suka rela sebelum pelunasannya, maka bagi pembeli itu halal memakannya, Jika ia menyerahkan makanan itu setelah pelunasan bon dan mengetahui bahwa harta yang digunakan membayar itu haram, maka bagi pembeli juga halal memakan makanan itu, jika penjual tidak mengetahui kalau harta yang digunakan melunasinya adalah haram, maka pembeli haram memakannya sampai penjual membebaskan bon tersebut atau ia melunasinya dari harta yang halal. Demikianlah komentar Guru kita.

 

Kesucian Ma’qud Alaih atau bisa disucikan dengan cara dicuci. Karenanya, tidaklah sah menjual barang yang najis seperti khamar dan kulit bangkai sekalipun dapat disucikan dengan cara berubah menjadi cuka atau disamak.

 

Tidak sah pula jual beli barang yang terkena najis, yang tidak dapat disucikan, sekalipun berupa minyak yang terkena najis, tetapi jika dihibahkan hukumnya sah.

 

Terlihatnya Ma’qud Alaih, jika itu jual beli barang yang langsung (mu’ayyan, bukan pesan). Karenanya, tidaklah sah jual beli barang Mu’ayyan, di mana penjual dan pembeli tidak melihatnya, sebagaimana tidak sah menggadaikan atau menyewakannya, dikarenakan ada unsur penipuan di dalamnya, yang dilarang dalam agama, sekalipun telah dikemukakan sifat-sifat barang secara detail.

 

Penglihatan terhadap ma’gud alaih sudah dianggap cukup dilakukan sebelum transaksi, jika barang itu pada galib (kebiasaan)nya tidak mengalami perubahan sampai waktu transaksi (akad).

 

Melihat terhadap sebagian barang yang dijual sudah dapat dianggap cukup, jika dapat menunjukkan bahwa yang lainnya pun seperti itu, misalnya luar tumpukan semacam gandum, permukaan benda cair dan contoh barang yang sama bagianbagiannya, semacam biji-bijian.

 

Atau bagian yang dilihat itu belum dapat menunjukkan kesamaan yang lain, tetapi bagian itu berfungsi sebagai pemelihara bagian-bagian yang lain: misalnya kulit delima, kulit telor dan serabut semacam kelapa, maka cukuplah melihat kulit tersebut, sekalipun penglihatan terhadap keadaan kulit tersebut belum dapat menunjukkan keadaan bagian yang lain, sebab kebaikan keadaan dalam dapat terpelihara dengan keutuhan bagian luar.

 

Akan tetapi belum cukup dengan hanya melihat kulit luarnya, jika kulit dalamnya mengeras.

 

Ma’qud alaih keadaannya dapat diserzhterimakan. Karena itu, tidaklah sah jual beli budak yang melarikan diri, barang yang hilang dan digasab, di mana penjual atau : pembeli tidak mampu mengambilnya. Demikian juga tidak sah jual beli ikan di dalam kolam yang sulit menangkapnya.

 

 

 

 

Penting:

 

Barangsiapa mentasarufkan harta orang lain dengan cara jual beli atau lainnya, di mana ia berprasangka bahwa perbuatannya adalah lalim, lalu ternyata ia mempunyai kekuasaan terhadap harta tersebut, misalnya harta orang yang mewariskan kepadanya dan sudah mati (sebelumia mentasarufkannya) atau harta orang lain yang ternyata sudah memberinya izin: Atau ia mengira bahwa tasaruf yang ia kerjakan kurang memenuhi syarat-syaratnya dan ternyata telah terpenuhi, maka tasarufnya dianggap sah, sebab yang menjadi ukuran dalam akad adalah kenyataan yang terjadi.

 

Sedangkan yang menjadi ukuran (ibrah) dalam ibadah adalah kenyataan yang terjadi (nafsul amr) dan zhan (prasangka) mukalaf. Karena itu, jika seseorang berwudu dan tidak berprasangka bahwa air yang ia gunakan adalah air mutlak, maka wudunya tidak sah, sekalipun ternyata air tersebut adalah air mutlak, sebab medan (ukuran) dalam masalah ibadah ada pada prasangka mukalaf.

 

Perkataan kami “dengan cara jual beli dan lainnya”, adalah mencakup pada mengawinkan, membebaskan utang dan lain-lain. Karena itu, jika seseorang membebaskan hak atas orang lain, di mana ja mengira bahwa dirinya tidak mempunyai wewenang akan hal itu, lalu ternyata ja mempunyai wewenang, maka sah ibrahnya menurut pendapat yang Muktamad.

 

Apabila seseorang menikahkan wanita, di mana ia masih ragu akan hak kewalian dirinya, lalu ternyata ja mempunyai hak wali terhadap wanita itu, maka pernikahannya adalah sah, karena yang rhenjadi penilaian (ukuran/i’tibar) adalah kenyataan perkara.

Barang Ribawi terbatas pada dua perkara: 1. Makanan, misalnya biji gandum, syair, kurma, anggur, garam, beras, jagung dan.ful: 2. Emas-perak, sekalipun belum tercetak, misalnya perhiasan yang masih utuh. Dua macam barang ribawi dijual (ditukar) dengan jenis yang sama, misalnya gandum dengan gandum dan emas dengan emas.

 

(Disyaratkan): 1. Kontan.

 

  1. Serah-terima sebelum berpisah. Jika penjual dan pembeli serah-terima sebagian saja, maka yang sah sebagian itu saja.

 

  1. Jumlah barang yang ditukar sama besarnya secara yakin, dalam takaran untuk barang yang ditakar dan timbangan untuk barang yang ditimbang.

 

Hal itu berdasarkan sabda Nabi saw.: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali sama besar, kontan dan saling serah-terima. Dan jika semua di atas dijual dengan jenis ribawi yang tidak sama, maka juallah dengan sekehendakmu, asal menyerahterimakannya.”

 

Ar-Rafi’i rahimahullah berkata: Agar dapat menyerahterimakan dalam hal ini, harus kootan pada galibnya.

 

Karena itu, tidaklah sah jual beli barang ribawi dengan jenis yang sama secara borongan atau dengan mengira telah sama jumlahnya, sekalipun ternyata telah sama. Untuk jual beli barang ribawi dengan jenis ribawi yang tidak sama, seperti gandum putih dengan merah atau emas dengan perak, maka disyaratkan:

 

  1. kontan, dan 2. serah-terima, tidak harus sama besar jumlahnya. Karena itu, batallah jual beli barang ribawi yang udak sarna jenisnya, jika Udak saling serah-terima dalam majelis akad.

 

Bahkan jual beli dalam dua contoh di atas (sama jerusnya dan lain jenis) jika ada satu syarat yang tidak dipenuhi, hukumnya adalah haram Para ulama sudah sepakat, bahwa dosa tersebut termasuk dosa-dosa besar, karena tersebutnya laknat terhadap pemakan riba, pemberi dan penulisnya.

 

Dari keteraugan di atas, dapat diketahui, bahwa jika jenis makanan dijual dengan lainnya, semisal dengan emas-perak atau pakaian, atau selain makanan dijual dengan makanan, maka tidak disyaratkan tiga syarat di atas.

 

Syarat Salam (pesan), yaitu: Jual beli barang yang masih dalam tanggungan dengan cara disifati barang itu, di samping syarat-syarat jual beli yang telah disebutkan di atas selain ma’qud alaih harus terlihat.

 

Penyerahan atau penerimaan uang (harga barang yang dipesan) dengan ditunjukkan langsung atau masih dalam tanggungannya (dzimmah) ketika di majelis khiyar: yaitu sebelum berpisah dari tempat bertransaksi: sekalipun harga pembayaran (ra’sul mal) itu berupa kemanfaatan (jasa).

 

Bagi muslam ilaih (orang yang dipesani) dapat menerima ra’sul mal dengan sendirinya (tanpa ada penyerahan dari muslim) dan mengembalikan lagi kepada muslim (pemesan), sekalipun atas perhitungan utang muslam ilaih pada pemesan.

 

Disyaratkan Muslam fih (barang yang dipesan) adalah utang tanggungan muslam ilaih -baik nantinya diberikan secara kontan maupun angsuran-, karena dengan keadaannya sebagai utang itulah, maka akad ini disebut Salam (pesan).

 

Karena itu, pernyataan “Aku pesan kepadamu dengan Rp 1.000,untuk harga barang yang sudah ada ini”, atau “Aku pesan kepadamu dengan uang ini untuk barang ini”, adalah tidak dapat disebut akad Salam, karena tidak memenuhi syarat Salam (yaitu keberadaan muslam fih harus  berupa utang/tanggungan), juga bukan jual beli (bai), karena katakata yang disebutkan bukan jual beli. Jika seseorang berkata: “Aku membeli pakaian darimu yang sifatnya begini dengan harga dirham ini”, lalu dijawab: “Kujual kepadamu”, maka menurut An-Nawawi dan Ar-Rafi’i adalah akad jual beli, karena melihat kata yang diucapkan. Ada yang mengatakan “akad Salam”, karena melihat makna yang terkandung dalam perkataan tersebut. Pendapat yang kedua inilah yang dipilih segolongan ulama Muhaqqiq.

 

Disyaratkan keberadaan muslam fih dapat diserahkan pada waktu penyerahannya. Karena itu, tidak sah memesan barang yang tidak dapat diserahkan pada masa penyerahannya, misalnya memesan kurma basah untuk musim penghujan.

 

Disyaratkan keberadaan muslam fih diketahui ukurannya dengan takaran untuk yang ditakar, dengan timbangan untuk yang ditimbang, dengan panjang-pendek untuk yang dipanjangpendekkan dan dengan bilangan untuk yang dibilang.

 

Sah memesan semacam buah kelapa dan badam dengan ukuran timbangan. Muslam fih yang diukur dengan timbangan dipesan dengan takaran yang dapat ditentukan jumlahnya, dan sah juga muslam fih yang ditakar dipesan dengan timbangan.

 

Tidak boleh memesan satu butir telor dan semacamnya, karena untuk kesahan memerlukan penuturan bentuk dan timbangan telor sekaligus, maka hal seperti ini jarang sekali dapat dipenuhi.

 

Disyaratkan juga agar dijelaskan tempat penyerahan barang pesanan, jika transaksi salam terjadi di tempat yang tidak sepatutnya untuk penyerahan barang (misalnya di tengah laut) atau untuk membawa barang itu membutuhkan biaya.

 

Jika pemesan telah memperoleh barang pesanannya dari muslam ilaih di selain tempat penyerahannya setelah datang waktu penyerahan, dan untuk membawa barang (dari tempat penyerahan) menuju tempat yang ia peroleh membutuhkan biaya (dan pemesan tidak mau menanggungnya), maka muslamilaih (orang yang dipesani barang) tidak wajib menyerahkannya dan tidak dapat dituntut akan harga muslam fih.

 

Sah salam secara kontan dan berangsur dalam masa tertentu -hukan masa yang udak ditentukan/majhul-. Salam yang dinyatakan secara mutlak, berarti kontan. Penyebutan muslam fih secara mutlak, adalah menunjukkan barang yang bagus.

 

Riba -keterangannya baru saja disebutkan di atas- hukumnya adalah haram. Riba itu bermacam-macam:

 

Riba Fadhl: Yaitu selisih barang pada salah satu tukar-menukar dua barang yang sama jenisnya. Termasuk dalam macam ini adalah Riba Qardh. Yaitu jika dalam utang disyaratkan kemanfaatan yang kembali kepada pihak pemberi utang (pemiutang).

 

Riba Yad: Yaitu jika salah satu dari penjual dan pembeli berpisah dari akad sebelum serah-terima.

 

Riba Nasa’: Yaitu jikamensyaratkan ada penundaan penyerahan dua barang (ma’gud alaih) dalam penukarannya (jual beli).

 

Kebatalan semua bentuk riba di atas, adalah sudah diijmaki.

 

Kemudian jika barang ribawi yang dijualbelikan itu sama jenisnya, maka disyaratkan 3 macam syarat di atas (misalnya emas dengan emas dan perak dengan perak): Jika jenisnya tidak sama tetapi masih ada ilat riba -yaitu jenis makanan dan emasperak(misal beras ditukar dengan emas/perak), maka dua syarat di atas harus dipenuhi.

 

Guru kita Ibnu Ziyad berkata: Orang yang memberi riba Fadhl karena terpaksa, misalnya jika ia tidak memberi riba, maka ia tidak akan mendapatkan utangan, adalah tetap tidak dapat terlepas dari dosa, sebab ia masih mempunyai jalan untuk memberi tambahan, yaitu dengan cara bernazar atau tamlik (sematamata memberi). Lebih-lebih jika kita berpendapat, bahwa nazar itu tidak perlu ada qabul dengan ucapan, dan ini adalah pendapat Al-Muktamad.

 

Guru kita (Ibnu Hajar) dalam hal ini berpendapat: Dosa orang di atas dapat terlepas karena darurat.

 

Faedah:

 

Cara menghindari akad riba bagi orang yang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum atau beras, dengan beras, yang dilakukan dengan penukaran yang tidak sama besarnya, adalah hendaklah satu sama lain menghibahkan haknya atau saling mengutangkannya, lalu saling membebaskannya.

 

Cara menghindari akad riba dalam menjual perak dengan emas atau beras dengan gandum tanpa ada serah-terima barang sebelum berpisah dari tempat akad, adalah dengan saling mengutangkan.

 

Haram memisahkan budak perempuan -sekalipun ia rela atau orang kafir dengan anak-anaknya yang belum tamyiz, sekalipun mereka lahir dari hubungan zina, di mana ibu dan anak tersebut menjadi milik satu orang. Pemisahan tersebut dengan cara semacam dijual, misalnya dihibahkan dan pembagian harta kepada seseorang, di mana budak tersebut kemudian tidak dimerdekakan atas orang itu.

 

Berdasarkan sebuah hadis: “Barangsiapa yang memisahkan antara ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dengan kekasihnya di hari Kiamat.”

 

Akad yang berkaitan dengan riba dan pemisahan ibu-anak hukumnya adalah batal.

 

Al-Ghazali dalam beberapa fatwanya yang diakui oleh lainnya mengatakan, bahwa hukum memisahkan dengan cara disuruh pergi, sama dengan memisahkan dengan cara dijual-belikan. Beliau juga memberlakukan hukum haram tersebut pada pemisahan istri dengan anaknya, sekalipun ia adalah wanita yang merdeka. Lain halnya jika lantaran istri itu ditalak (dicerai). Ayah ke atas dan nenek ke atas -sekalipun dari jalur ayahadalah sama dengan ibu, jika ibu tidak ada.

 

Adapun jika anak itu sudah tamyiz, maka memisah hukumnya tidak haram, sebab ia sudah tidak butuh lagi perawatan (hadhanah), sebagaimana tidak haram memisah lantaran wasiat, memerdekakan dan menggadaikan.

 

Memisahkan anak binatang dengan induknya hukumnya boleh, jika anak itu sudah tidak membutuhkan induknya lantaran sudah ada air susu dan lainnya, tetapi hukumnya tetap makruh jika binatang itu masih menyusu, sebagaimana anak manusia yang sudah tamyiz tapi belum balig dari ibunya.

 

Jika anak binatang itu belum cukup dengan air susu yang lain, maka hukum memisahnya adalah haram dan akad yang berkaitan dengan tafrig (pemisahan, misalnya dijual), hukumnya adalah batal, kecuali tafrig tersebut karena disembelih. Tetapi As-Subki membahas, bahwa menyembelih induk binatang yang anaknya masih hidup, hukumnya adalah haram.

 

Haram juga menjual semacam anggur kepada orang yang diyakini atau diperkirakan akan dibuat minuman yang memabukkan, atau menjual budak laki-laki kecil kepada orang yang telah diketahui berbuat lacur, menjual ayam jago untuk disabung, kambing untuk diadu atau menjual sutera kepada laki-laki yang akan dipakai sendiri.

 

Demikian juga (haram) menjual minyak misik kepada orang kafir yang dibelinya untuk meminyaki berhala, atau menjual binatang kepada orang kafir yang diyakini akan memakannya tanpa dipotong, karena menurut pendapat Al-Ashah bahwa orang-orang kafir itu juga terkena khitab melaksanakan cabang-cabang syariat sebagaimana orang-orang Islam. Begitulah pendapat Al-Ashah yang ada dalam mazhab kami, Syafi’iyah, lain lagi menurut pendapat Abu Hanifah yang mengatakan tidak dikenakan khitab atas orang-orang kafir terhadap furu’usy syari’ah. Karena itu, tidak boleh menolong mereka untuk proses terjadinya meminyaki berhala dan memakan daging hewan tanpa dipotong.

 

Haram juga mengerjakan semua bentuk tasaruf yang mengakibatkan terjadi kemaksiatan, baik secara yakin maupun perkiraan.

 

Dalam keadaan haram seperti yang dituturkan di atas, jual belinya masih sah hukumnya.

 

Makruh menjual semua yang telah dituturkan di atas (anggur dan seterusnya) kepada orang yang dicurigai akan mengarah ke situ (dijadikan minuman keras dan sebagainya). Makruh menjual senjata kepada semacam pemberontak dan pembegal, dan makruh bermuamalah dengan orang hartanya bercampur antara halal dengan haram, sekalipun yang haram lebih banyak daripada yang halal.

 

Memang! Jika diketahui bahwa barang yang diakadi adalah bagian yang haram, maka hukum muamalah di sini adalah haram dan akadnya pun batal.

 

Haram menimbun bahan makanan pokok, misalnya kurma dan anggur serta segala bahan makanan yang mencukupi dalam zakat fitrah.

 

Ihtikar (menimbun) adalah menahan bahan makanan dari pembelian di waktu harga mahal -bukan sewaktu harga murah-, untuk dijual kembali dengan harga di atasnya ketika penduduk setempat atau orang-orang : lain sangat membutuhkannya, sekalipun di waktu membeli bukan bertujuan menjual dengan harga yang lebih tinggi.

 

Tidak termasuk Ihtikar, jika menahan bahan makanan pokok itu untuk keperluan diri sendiri atau keluarganya, atau untuk dijual dengan harga yang sepadan dengan harga pembelian. Tidak termasuk pula, jika yang ditahan adalah hasil panen bumi sendiri.

 

Al-Ghazali menyamakan bahan makanan pokok dengan segala makanan penolongnya, misalnya daging. Al-Qadhi Husain menjelaskan hukum makruh menimbun pakaian.

 

Haram menawar barang yang sudah ditawar orang lain setelah ada ketetapan harga atas kerelaannya, sekalipun dianggap tidak wajar adanya harga rendah di bawah nilai barang, karena ada dalil yang melarang perbuatan tersebut.

 

Yaitu dengan cara menaikkan harga penawaran orang lain (penawar pertama yang sudah ada persetujuan harga), memberikan barang kepada pembeli dengan harga yang lebih murah daripada harga barang penjual pertama, atau mempengaruhi pemilik barang (pembeli) agar menarik kembali barangnya dan ia akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi.

 

Keharaman di atas lebih besar lagi jika dilakukan setelah terjadi akad jual beli dan belum terlaksana (luzum), karena’ masih ada khiyar.

Haram berbuat Najsy, karena ada dalil yang melarangnya dan menyakitkan hati pembeli.

 

Yaitu menambah harga barang bukan bertujuan ingin membelinya, tetapi agar Orang lain terbujuk karenanya, sekalipun tambahan itu dalam harta mahjur ‘alaih, dai dilakukan ketika harga barang di bawah standar umum, menurut pendapat Al-Aujah.

 

Bagi pembeli tidak mepunyai hak khiyar jika mengalami penipuan seperti ini, sekalipun penjual telah melakukan persetujuan dengan najisy (calo), karena pembeli gegabah, mengapa ia tidak mau berpikir dan bertanya-tanya.

 

Memuji barang dengan cara berbohong, agar disenangi pembeli. adalah hukumnya sama derigan membuat banjet (najsy/calo).

 

Semua itu (ihtikar, menawar tawaran orang lain dan sebagainya) dihukumi : haram, jika dilakukan setelah mengerti hukum larangan padanya, hingga dalam masalah najsy. Dalam keadaan haram ini, akad jual beli tetapsah.

Khiyar Majelis (hak pilih untuk meneruskan jual beli atau tidak, ketika masih ada di majelis akad) terdapat dalam semua jual beli, hingga dalam jual beli barang ribawi dan salam (pesan). Begitu juga berlaku dalam hibah berimbalan menurut pendapat Al-Muktamad.

 

Kata-kata “dalam semua jual beli”, adalah mengecualikan selain jual beli, misalnya ibra’ (membebaskan tanggungan utang), hibah tidak berimbalan, perserikatan, qiradh, rahn (gadai), hiwalah, kitabah dan ijarah yang sekalipun masih dalam tanggungan atau ditentukan dengan waktu. Karena itu, tiadalah hak khiyar dalam semua itu, karena semua akad ini tidak dinamakan jual beli.

 

Habis khiyar orang yang memilih dijadikan jual beli, baik penjual atau pembeli, misalnya mereka berdua berkata: “Kita jadikan jual beli kita”, atau “Kita teruskan saja akad jual beli kita”, maka khiyar mereka ini sudah habis.

 

Atau bisa pula habis khiyar salah satunya, misalnya salah satu dari penjual/pembeli berkata “Aku memilih untuk dijadikan saja akad kita”, maka khiyarnya sudah habis, sedangkan pihak yang lainnya masih ada, sekalipun dia seorang pembeli.

 

Khiyar kedua belah pihak habis sebab kedua-duanya atau salah satunya memisahkan diri menurut penilaian umum dari mejelis akad, sekalipun karena lupa atau tahu hukumnya.

 

Karena itu, apa yang dianggap berpisah orang banyak, maka berstatus jadi akadnya, dan yang belum disebut berpisah, maka belum demikian.

 

Jika penjual atau pembeli berada di dalam ruang kecil, maka dianggap telah berpisah, jika salah satunya telah keluar darinya. Jika mereka berada di dalam ruangan besar, maka dianggap berpisah, jika salah satu dari mereka berpindah ke bilik yang lain. Jika mereka berada di halaman bebas atau pasar, maka dengan salah satunya berpaling dan berjalan sedikit, sekalipun ia masih mendengar omongan temannya.

 

Khiyar Majelis masih tetap ada, selagi mereka belum berpisah, sekalipun mereka sudah lama tinggal di tempat, sekalipun sudah bertahuntahun dan berjalan ke sana-kemari.

 

Khiyar belum habis lantaran salah satu penjual atau pembeli mati, akan tetapi hak khiyar berpindah kepada ahli waris yang berkeahlian.

 

Orang yang mengatakan tidak berpisah atau akad tidak fasakh (rusak) sebelum berpisah, adalah yang diambil sumpahnya. Sebagaimana dua belah pihak datang bersama mengadu (di majelis hukum), Yang satu mengaku telah berpisah (sebejum kedatangan mereka di majelis hukum) dan yang satu mengingkarinya dengan maksud agar akad menjadi fasakh, atau keduanya sepakat berpisah (furqah), (tetapi) yang seorang mengaku akad telah fasakh sebelum berpisah, sedangkan yang satu lagi mengingkarinya: maka dalam kedua kasus ini yang dibenarkan adalah yang menginkari, karena pengingkarannya itu yang mencocoki asal (tidak furqah dan tidak fasakh)

 

Boleh bagi penjual dan pembeli atau salah satunya saja, mengikat Khiyar Syarat dalam semua bentuk jual beli yang ada Khiyar Majelisnya, keculi Jual beli perkara yang kemudian sedianya dimerdekakan (misalnya membeli budak yang berupa ayah/ anak): maka tiada Khiyar Syarat bagi pembeli, karena akan terjadi pertentangan (antara khiyar dengan memerdekakan).

 

Terkecuali juga dalam jual beli barang ribawi dan salam (pesan). Karena situ, untuk dua hal ini tidak boleh mensyaratkan ada khuyas bagi salah satu dari kedua belah pihak, sebab dalam dua hal ini disyaratkan ada penerimaan ma’qud alaih di mujelis akad

 

Khiyar syarat itu paling lama adalah 3 bari semenjak mengikat syarat. baik tu disyaratkan di dalam akad ataupun majelis akad. Lain halnya jika syarat yang disebutkan adalah secara mutlak atau persyaratan tersebeut melebihi 3 hari, maka akadnya tidak sah Hak milik barang jualan berikut kemanfaatan-kemanfaatannya di waktu khiyar berlangsung, adalah pada pihak yang masih mempunyai khiyar, baik itu penjual atau pembeli. Jika khiyar itu dimiliki mereka berdua, maka status barang jualan tersebut adalah mauquf (vakum): Jika jual beli telah terlaksana dengan sempurna, maka nyatalah bahwa barang tersebut milik pembeli semenjak diadakan transaksi, Jika jual beli tidak jadi terlaksana dengan sempurna, Inaka barang tersebut tetap milik penjual.

 

Fasakh jual beli (pembubaran transaksi) dalam masa khiyar sudah dapat terwujudkan dengan semacam ucapan: “Kurusak(kububarkan) jual belinya”, sebagaimana ucapan: “Barang jualan kutarik kembali”. Adapun untuk pelestarian jual beli dalam masa khiyar, dapat terwujud kan dengan semacam ucapan “Kulestarikan jual belinya”, sebagaimana “Kuteruskan jual belinya”.

 

Pentasarufan (penggunaan) barang jualan dengan cara disetubuhi (atas budak amat), memerdekakan, menjual, menyewakan dan mengawinkan yang dikerjakan oleh penjual di masa khiyar, berarti menfasakh akad, sedangkan jika dikerjakan oleh pembeli, berarti penerusan/pelestarian akad pembelian.

 

Bagi pembeli yang tidak mengetahui’ ada cacat sejak semula pada barang yang dapat menurunkan nilai harganya, dia mempunyai hak khiyar untuk mengembalikan barang tersebut (dinamakan Khiyar ‘Aib).

 

Begitu juga ada hak khiyar bagi penjual karena ada cacat sejak semula pada barang yang dibuat alat pembayaran.

 

Para ulama hanya mengutamakan yang pertama (khiyar aib bagi pembeli) dalam pembahasannya, karena pada galibnya, barang yang digunakan pembayaran itu lebih terjelaskan, karenanya, sedikit sekali ada cacat.

 

Cacat sejak semula adalah cacat yang berbarengan dengan akad atau terjadi sebelum diterima barang jualan dan masih ada sebelum fasakh akad. Karena itu, keberadaan cacat terjadi setelah barang diterima, maka bagi pembeli tidak ada hak khiyar.

 

Cacat itu misalnya: Berpenyakit Iistihadhah, sudah menikah bagi budak perempuan, atau budak lakilaki atau perempuan itu pernah mencuri, melarikan diri atau berzina, sekalipun tidak berulang-ulang dan telah bertobat, masih suka kencing di tempat tidurnya, padahal telah berumur 7 tahun, atau mulut (ketiak)nya berbau busuk.

 

Termasuk kecacatan budak: Suka mengadu domba, mengumpat, berdusta, merhakan lumpur, meminum semacam khamar, meninggalkan salat -selagi belum bertobat-, tuli, tolol, berkaki pengkor (jawa: gathik), farjinya tertutup daging atau hamil bagi budak perempuan -bukan untuk binatang-, perempuan tidak dapat haid padahal sudah berumur 20 tahun, atau buah dadanya besar Sebelah.

 

Termasuk cacat: Keadaan binatang sukar ditunggangi (nakal), suka menggigit atau menyepak, keberadaan rumah ditempati serdadu atau jin yang mengganggu penghuninya, atau bumi itu banyak keranya yang suka memakan tanaman.

 

Khiyar aib itu juga hak pembeli karena ada perlakuan szaghrir (penipuan), dan berlaku seperti itu hukumnya adalah haram lantaran membuat tidak jelas dan mudarat. Contohnya adalah tashriyah, yaitu membiarkan air susu mengendap dalam kantong susu binatang selama beberapa waktu, sebelum binatang itu dijual, agar pembeli mengira bahwa binatang tersebut banyak air susunya, atau dengan cara mengeriting rambut budak perempuan.

 

Tiada khiyar aib lantaran kerugiannya sendiri: misalnya pembeli mengira kaca itu adalah mutiara, karena kegabahannya sendiri dengan bertindak yang menuruti prasangkanya tanpa meneliti terlebih dahulu.

 

Khiyar aib–sekalipun karena. tashriyahadalah harus dilaksanakan seketika. Karena itu, hak khiyar menjadi batal lantaran menunda tanpa ada uzur.

 

Seketika ini adalah diukur menurut penilaian adat. Karena itu, tidaklah menjadi masalah bila ditengahtengahi dengan salat dan makan yang memang sudah waktunya, buang hajat, atau ucapan salam pembeli kepada penjual: Lain halnya dengan percakapan mereka. Jika pembeli mengatakan ada cacat di wakte malam, maka baginya boleh menunda pengembalian barang hingga pagi hari.

 

Pembeli yang menunda pengembalian barang lantaran tidak tahu diperbolehkan mengembalikan barang karena ada cacat, adalah dianggap uzur, jika ia adalah orang yang baru dalam memeluk Islam ats hidup jauh dari ulama. Demukian juga dianggap uzur, karena ketidaktahuannya atas keharusan mengembalikan barang tersebut secara seketika, jika memang masalah us sangat pelik (rumit) baginya.

 

Kemudian, jika penjual itu berada & daerah yang sama (dengan pembeh) maka pembeli sendiri atau wakilnya yang harus mengembalikan barang cacat tersebut.

 

Jika penjual (wakil)nya tidak ada di daerah yang sama, maka pembeli tersebut wajib melapor kepada hakim, ia tidak boleh menunda sampai penjual kembali ke daerahnya.

 

Jika ia tidak dapat mengadukan masalahnya kepada hakim lantaran sedang sakit, maka baginya wajib mempersaksikan atas kefasakhan akad. Jika tidak dapat mempersaksikannya, maka baginya tidak wajib mengucapkan kata-kata fasakh, (tetapi) ia wajib meninggalkan pemakaian barang pembelian tersebut.

 

Jika ia meminta budak yang dibeli agar. melayani dirinya, sekalipun dengan perkataannya “minumilah aku”, “ambilkan pakaian untukku”, atau “tutupkan pintu”, maka ia tidak dapat dikatakan mengembalikan barang itu (budak) secara terpaksa, sekalipun budak itu tidak melaksanakan perintah tersebut. Jika budak itu melaksanakan sesuatu tanpa ada suruhan terlebih dahulu, maka tidak mengapa (tidak membatalkan hak khiyar pembeli).

 

Cabang:

 

Jika seseorang menjual hewan atau lainnya dengan syarat ia bebas dari tanggungan kecacatan atau barang yang telah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi (jika ada cacatnya), – maka sah akad itu. Untuk selanjutnya, penjual nanti terlepas dari kecacatan batin hewan yang sudah ada ketika akad, di mana pembeli tidak mengetahuinya, (tetapi) untuk barang jualan selain binatang, penjual tidak bisa bebas dari tanggungan cacat batin, begitu juga dengan cacat lahir binatang.

 

Jika kedua belah pihak berselisih tentang keberadaan cacat semula atau baru terjadi, dan kedua belah pihak dapat dimungkinkan kebenarannya, maka yang dibenarkan adalah pembeli dengan bersumpah, bahwa cacat itu baru terjadi, karena asal suatu akad adalah kelestariannya. Dikatakan: …, karena asal suatu barang yang dijual, adalah tidak ada cacat sewaktu berada di tangan penjual.

 

Jika terjadi cacat baru yang tanpa ada cacat tersebut cacat yang lama tidak dapat diketahui, maka pembeli boleh mengembalikan barang itu dan ja tidak terkena denda kerugian yang baru tadi, misal: Telor atau kelapa yang pecah dan buah semangka yang busuk.

 

Dalam mengembalikan barang pembelian lantaran cacat, tambahan yang tidak dapat dipisahkan dari barang itu harus ikut dikembalikan, misal: semakin gemuk, kecakapan (kepandaian) -sekalipun dididik dengan biaya-, dan kandungan yang berbarengan akad jual beli.

 

Tambahan yang terpisah tidak wajib ikut dikembalikan, misal anak, buah atau kandungan yang terwujud sewaktu menjadi milik pembeli. Semua ini menjadi milik pembeli, jika barang belian dikembalikan kepada penjual lantaran ada cacat.

 

Barang jualan sebelum diterimakan kepada pembeli, adalah tanggungan penjual. Artinya, akad menjadi gagal (fasakh) lantaran barang itu rusak atau dirusak penjual, dan ada hak Khiyar bagi pembeli, karena barang itu menjadi cacat sendiri, dicatatkan penjualan atau orang lain.

 

Karena itu, jika barang itu meng: alami kerusakan lantaran suatu kejadian atau oleh penjual, maka rusaklah akad jual belinya.

 

Perusakan barang jualan yang dilakukan oleh pembeli, adalah penerimaan atas barang itu, sekalipun ia tidak mengetahui kalau yang dirusakkan adalah barang jualan.

 

Pentasarufan terhadap barang jualan, misalnya dengan dijual lagi, dihibahkan, disewakan, digadaikan dan diutangkan -sekalipun dilakukan kepada penjual-, di mana barang itu belum diterima pembeli, adalah batal hukum pentasarufan tersebut.

 

Tasaruf atas mabi’ tidak batal dengan semacam memerdekakan, mengawinkan atau mewakafkannya, lantaran Syari’ (Allah swt. atau Nabi saw.) mempunyai keinginan besar untuk kesahan ‘itqu (pembebasan budak) tidak didasarkan atas kemampuan menyerahkannya: buktinya: Memerdekakan budak yang melarikan diri hukumnya adalah sah. Dengan memerdekakan itu, maka berarti pembeli dianggap sudah menerima mabi’ (barang yang dijual), (tetapi) ia belum dianggap menerimanya, jika tasaruf berupa mengawinkannya,

 

Qabdh (penerimaan) terhadap mabi’ yang berupa benda tak bergerak -baik itu bentuk bumi, rumah atau pohon-, adalah dengan menyerahkan kepada pembeli: yaitu pembeli mempersilakan penjual untuk menguasai barang itu dengan memberikan kunci dan mengosongkan barang-barang yang bukan milik pembeli.

 

Qabdh terhadap mabi’ bergerak -baik berupa perahu atau binatang-, adalah “ dengan cara memindahkan barang itu dari tempatnya ke tempat lain, dan mengosongkan isinya, jika mabi’ berupa perahu.

 

Qabdh juga sudah dianggap terwujudkan dengan cara penjual meletakkan mabi’ bergerak di hadapan pembeli, sekira tangannya dapat sampai pada barang itu, jika ia mengulurkannya, sekalipun ia berkata: “Aku tidak menghendaki barang itu”

 

Untuk qabdh (pengambilan atau penerimaan) mabi’ yang tidak ada di tempat akad, disyaratkan lewatnya waktu secukup berjalan sampai ke tempat mabi’ menurut kebiasaan, di samping syarat mendapatkan izin dari penjual.

 

Bagi pembeli boleh menerima atau mengambil mabi’ dengan sendinnya, jika harga pembayaran mabi’ secara berangsur atau kontan.

 

(Bagi penjual) boleh meminta ganti penukaran (isribdal) atas harga pembayaran yang berupa emasperak atau lainnya pada selain jual beli ribawi dengan ribawi yang sama jenisnya.

 

Hal itu berdasarkan hadis riwayat Ibnu Umar r.a.: “Aku menjual unta dengan mata uang dinar, lalu aku meminta uang dirham sebagai gantinya. Di lain waktu aku menjual dengan uang dirham, lalu aku meminta uang dinar sebagai gantinya. Kemudian aku datang kepada Rasulullah saw. dan menanyakan hal itu, maka jawab beliau: Tidak mengapa, asal kamu berdua berpisah setelah saling serah-terima’.”

 

Istibdal juga boleh dilakukan atas pembayaran utang, upah dan maskawin, tetapi tidak boleh atas Muslam Fih, karena keadaannya belumtetap.

 

Jika (penjual) meminta ganti atas harga pembayaran yang ilat ribawinya sama, misalnya minta ganti dirham dari dinar (ilat ribawinya: mata uang), maka disyaratkan penerimaan gantinya di tempat akad itu juga, lantaran dikhawatirkan jatuh dalam riba. Hal ini tidak disyaratkan lagi, jika meminta ganti atas pembayaran yang tidak sama ilat ribawinya, misalnya minta ganti makanan dari dirham.

 

Jenis muslam fih dan mabi’ dalam tanggungan yang diakadi dengan selain lafal salam (pesan), adalah tidak boleh diganti macam yang lain, sekalipun dua pergantian tersebut masih jenisnya, misalnya gandum putih meminta ganti yang kehitam-hitaman, karena mabi’ dengan ketentuannya adalah tidak boleh dijual lagi sebelum diterimanya, dan lebih-lebih jika mabi’ itu masih berada dalam tanggungan penjual.

 

Memang, tetapi menggantinya dengan yang lebih bagus, adalah boleh, Begitu juga dengan yang lebih jelek jika sudah merelakan.

يدخل في بيع أرض وهبتها ووقفها والوصية بها مطلقا لا في رهنها والإقرار بها ما فيها
Masuk dalam jual beli tanah, memberikan, mewakafkan dan mewasiatnya secara mutlak tidak dalam menggadaikannya dan mengakuinya adalah sesuatu yang di tanah

من بناء وشجر رطب وثمره الذي لم يظهر عند البيع وأصول بقل تجز مرة بعد أخرى كقثاء وبطيخ
Seperti bangunan, pohon yang basah dan buahnya yang belum tampak ketika jual beli, dan pohon sayur yang dipanen berkali-kali seperti mentimun dan semangka

لا ما يؤخذ دفعة كبر وفجل لأنه ليس للدوام والثبات فهو كالمنقولات في الدار
Tidak sesuatu yang di ambil sekali seperti gandum dan lobak, karena itu tidak untuk selamnya dan tetap, maka itu seperti perabot dalam rumah yang dapat dipindah

ويدخل في بيع بستان وقرية أرض وشجر وبناء فيهما
Dan masuk dalam jual beli kebun dan desa adalah tanah, tanaman dan bangunan yang berada di kebun dan desa

لا مزارع حولهما لأنها ليست منهما
Tidak termasuk tanaman samping kebun dan desa, karena tanaman itu tidak termasuk kebun dan desa

وفي بيع دار هذه الثلاثة أي الأرض المملوكة للبائع بجملتها حتى تخومها إلى الأرض السابعة والشجر المغروس فيها وإن كثر والبناء فيها بأنواعه وأبواب منصوبة وأغلاقها المثبتة
Dan masuk dalam jual beli rumah tiga ini, maksudnya tanah yang dimiliki penjual, secara keseluruhan, mulai batasnya sampai bumi ketujuh, dan pohon yang di tanam di situ, walau banyak, dan bangunan yang berada di situ, dan pintu-pintu yang terpasan dan kunci-kuncinya yang tetap

 لا الأبواب المقلوعة والسرر والحجارة المدفونة بلا بناء
Tidak masuk pintu-pintu yang dapat di lepas, tempat tidur dan batu yang terpendam tanpa bangunan

لا في بيع قن ذكر أو غيره حلقة بأذنه أو خاتم أو نعل
Tidak masuk dalam jual beli budak laki-laki atau lainya ring yang di telinganya atau cincin atau sandal

وكذا ثوب عليه خلافا للحاوي كالمحرر وإن كان ساتر عورته
Begitu juga baju, berbeda bagi kitab Hawi seperti Muharror, walaupun penutup auratnya

وفي بيع شجر رطب بلا أرض عند الإطلاق عرق ولو يابسا إن لم يشرط قطع الشجر بأن شرط إبقاؤه أو أطلق لوجوب بقاء الشجر الرطب
Dan masuk dalam menjual pohon yang basah tanpa tanah ketika dimutlakkan akar walaupun kering , jika tidak di syaratkan memotong pohon , seperti syarat membiarkan pohon atau dimutlakkan, karena wajib membiarkan pohon basah

ويلزم المشتري قلع اليابس عند الإطلاق للعادة
Pembeli wajib mencabut yang kering ketika di mutlakkan karena adar

فإن شرط قطعه أو قلعه: عمل به
jika disyaratkan memotongnya atau mencabutnya maka syarat itu dilaksanakan

 أو إبقاؤه: بطل البيع
Atau disyaratkan menetapkannya maka jual beli batal

ولا ينتفع المشتري بمغرسها
Dan pembeli tidak boleh memanfaatkan tempat tanamnya

وغصن رطب لا يابس والشجر رطب لان العادة قطعه وكذا ورق رطب لا ورق حناء على الأوجه
Dahan yang basah  tidak yang kering, dan pohon yang basah karena adat itu memotongnya, begitu juga daun yang basah , tidak daun pacar menurut pendapat aujah

لا يدخل في بيع الشجر مغرسه فلا يتبعه في بيعه لان اسم الشجر لا يتناوله
Tidak masuk dalam jual beli pohon tempat tanamnya, maka tidak masuk dalam jual beli, karena istilah pohon itu tidak mencakup tempat tanam

ولا ثمر ظهر: كطلع نخل بتشقق وثمر نحو عنب: ببروز وجوز: بانعقاد
Dan tidak masuk buah yang sudah tampak seperti mayang kurma dengan membelah, dan buah anggur dengan tampak, dan kacang kenari dengan menjadi

 فما ظهر منه: للبائع وما لم يظهر: للمشتري
Maka yang sudah tampak itu milik penjual , dan yang belum tampak milik pembeli

ولو شرط الثمر لأحدهما: فهو له عملا بالشرط: سواء أظهر الثمر أم لا
Jika buah disyaratkan untuk salah satunya maka buah milik dia, karena menjalankan syarat, baik buah sudah tampak atau belum tampak

ويبقيان أي الثمر الظاهر والشجر عند الإطلاق
Dan buah yang tampak dan pohon di biarkan ketika di mutlakkan

 فيستحق البائع تبقية الثمر إلى أوان الجداد فيأخذه دفعة لا تدريجا
Maka penjual berhak membiarkan buah sampai waktu panen, maka ia mengambil sekali tempo tidak sedikit-sedikit

وللمشتري تبقية الشجر ما دام حيا فإن انقلع فله غرسه إن نفع لا بد له
Dan pembeli boleh membiarkan pohon selama pohon masih hidup, jika pohon tumbang maka ia boleh menanamnya

ويدخل في بيع دابة حملها المملوك لمالكها
Dan masuk dalam jual beli hewan sekedupnya yang dimiliki pemilik hewan

فإن لم يكن مملوكا لمالكها لم يصح البيع كبيعها دون حملها وكذا عكسه
Jika tidak dimiliki pemilik hewan maka jual beli tidak  sah, seperti menjual hewan tanpa sekedupnya , begitu juga sebaliknya

Jika terjadi perselisihan dua pihak yang mengadakan transaksi sekalipun keduanya menjadi wakil atau ahli waristentang sifat tukar-menukar, misalnya jual beli, pesan, qiradh, ijarah atau maskawin, misalnya kadar ukuran mabi’, harga pembayaran, jenis pembayaran, sifat pembayaran, masa pembayaran atau ukuran masa pembayarannya, sedangkan semula akadnya itu telah sah karena ada kesepakatan dari kedua belah pihak atau sumpah dari penjual, dan dalam perselisihan tersebut salah satu dari mereka tidak mempunyai bukti penguat dakwaannya, atau kedua-duanya mempunyai bukti penguat, tetapi bukti tersebut saling bertentangan: sebagaimana keduanya tidak bertanggal, yang satu tidak bertanggal dan yang satu lagi bertanggal atau keduanya bertanggal sama -kalau tanggalnya tidak sama, maka yang dihukumi menang adalah yang tanggalnya terlebih dahulu-, maka kedua belah pihak diambil sumpahnya (di depan hakim, karena kedua belah pihak sama-sama berstatus terdakwa), di mana masingmasing bersumpah mengingkari dakwaan lawannya dan sekaligus menetapkan dakwaan sendiri.

 

Misalnya penjual berkata, “Aku tidak menjual dengan harga sekian .. tetapi dengan harga sekian …”, dan pembeli berkata, “Aku tidak membelinya dengan begitu, tapi begini ….”.

 

Mereka berdua harus bersumpah, karena kedua-duanya adalah pendakwa dan terdakwa.

 

Menurut pendapat Al-Aujah, adalah belum cukup dengan perkataan, “Aku tidak menjualnya kecuali begini …”, sebab sekalipun unsur meniadakan adalah jelas, tetapi unsur menetapkan hanya dari mafhumnya (karena sumpah itu tidak cukup hanya dengan mafhum, tetapi harus sharih atau jelas).

 

Kemudian, jika salah satu dari mereka telah rela dengan kekalahannya atau mau memaklumi dakwaan lawannya, maka lestarilah akadnya dan tidak tercabut kembali.

 

Kemudian, jika mereka masih bercekcok terus, maka bagi masingmasing dari mereka atau hakim boleh memfasakh (menggagalkan) akad, sekalipun mereka tidak memintanya, karena untuk melerai perselisihan mereka. Dalam memfasakh, akad tidak harus dilakukan seketika.

 

Kemudian, setelah akadnya fasakh, mabi’ dikembalikan kepada penjual beserta tambahan-tambahan yang bergandengan dengannya (misalnya gemuk dan sebagainya). Jika mabi’ itu mengalami kerusakan secara konkret (hissi) atau syar’i, misalnya mabi’ telah diwakafkan atau dijual lagi, maka pembeli wajib mengembalikan barang yang sepadan dengannya, jika memang mabi’ berupa barang mitsli atau mengembalikan seharga barang yang tidak ada persamaannya (mutaqawwam).

 

Pembeli wajib mengembalikan kepada penjual berupa harga budak yang melarikan diri dari pembeli, di mana akad jual belinya difasakh. Yang lahir (nyata) penentuan harga, adalah terhitung pada hari melarikan diri.

 

Jika salah satu dari dua orang yang bertransaksi mendakwa jual beli, sedang yang satunya mendakwa gadai atau hibah, misalnya yang satu berkata, “Aku menjualnya kepadamu dengan harga 1.000,-“, lalu yang satunya berkata, “Tidak begitu, tetapi engkau menggadaikan atau menghibahkannya kepadaku”, maka mereka berdua tidak boleh saling sumpah-menyumpah, karena tiada kesepakatan terhadap satu akad.

 

Akan tetapi masing-masing pihak menyumpahi lawannya untuk mentadakan dakwaan lawan (tidak sampai menetapkan pengakuannya/itsbat), karena asal permasalahannya adalah tidak ada dakwaan Kemudian pihak yang mendakwa jual beli harus mengembalikan uang 1.000 tersebut, karena hal itu yang diakui, dan menarik kembali barang berikut tambahannya, baik yang bergandengan maupun terpisah.

 

Jika ada dua orang yang bertransaksi cekcok: Yang satu mendakwa bahwa akad yang terlaksana adalah rusak lantaran kurang rukun atau syaratnya, misalnya salah satu mendakwa telah melihat mabi’, sedangkan yang lain mengingkarinya, maka pendakwa sah akad pada galibnya dimenangkan dengan disumpah, karena mendahulukan lahir keadaan seorang mukalaf: – Yaitu keadaannya menjauhi dari yang rusak-, atas pengasalan bahwa tidak ada sah akad, karena kesukaan Syari’ untuk melanjutkan akad.

 

Terkadang pendakwa kerusakan akad dapat dibenarkan, misalnya penjual berkata, “Aku belum balig di kala jual beli”, sedangkan pembeli mengingkarinya dan apa yang dikatakan oleh pembeli mungkin benar, maka dialah yang dibenarkan dengan sumpahnya, karena asal kejadian adalah ia belum balig.

 

Jika kedua belah pihak berselisih: Apakah terjadi shuluh (perdamaian) atas suatu pengingkaran atau pengakuan, maka yang dibenarkan adalah pendakwa ingkar, karena ingkar itulah yang galib.

 

Barangsiapa da waktu sakit menghibahkan sesuatu, lalu ahli warisnya mendakwa bahwa waktu itu ia tidak berakal sehat, maka dakwaan ahli waris tersebut tidak dapat diterima, kecuali diketahui bahwa sebelum hibah ia tidak berakal sehat dan ahli waris mendakwakan bahwa ketidakwarasan itu berjalan terus sampai terjadi penghibahan.

 

Dibenarkan juga orang yang mengingkari terjadinya semacam jual beli.

 

Beberapa cabang:

 

Jika pembeli mengembalikan mabi’ cacat yang kontan (bukan dalam tanggungan), lalu penjual mengingkarinya sebagai mabi’, maka penjual dapat dibenarkan dengan cara bersumpah, karena menurut hukum asal, bahwa akad berjalan dengan selamat (tidak ada cacat).

 

Apabila pembeli datang dengan membawa mabi’ yang ada bangkai tikusnya dan berkata: “Aku telah menerima mabi’ dalam keadaan seperti ini”, lalu penjual mengingkarinya, maka penjual dapat dibenarkan dengan cara disumpah.

 

Apabila penjual menuangkan mabi ke dalam wadah pembeli, lalu tibatiba ada bangkai tikusnya, dan masing-masing mendakwa bahwa bangkai tersebut bukan dari pihaknya, maka yang dibenarkan adalah penjual dengan sumpahnya, jika mungkin dapat dibenarkan, sebab dialah yang mendakwa sah akad dan karena menurut hukum asal, bahwa setiap kejadian adalah diperkirakan terjadi pada waktu terdekat, serta menurut hukum asal adalah lepasnya penjual dari tanggungan.

 

Jika pengutang membayar utangnya kepada pemberi utang, lalu dikembalikan lagi dengan keadaan cacat dan pembayar utang mengatakan: “Bukan ini yang telah kuberikan kepadamu”, maka yang dibenarkan adalah pemberi utang, karena menurut hukum asal: Pemberi utang adalah bebas dari tanggungan.

 

Penggasab yang mengembalikan barang gasaban dan berkata, “Inilah barang yang kugasab”, adalah dapat dibenarkan: Begitu jugawadi’ (orang yang dititipi barang).

Iqradh -yaitu memberikan hak milik kepada seseorang dengan janji harus mengembalikan sama yang diutangkan-, hukumnya adalah sunah, karena termasuk menolong menghilangkan kesulitan (seseorang). Mengutangi (Iqradh) termasuk dari sunah-sunah muakkad berdasarkan beberapa hadis yang masyhur.

 

Sebagaimana Hadis riwayat Imam Muslim: “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan saudara (muslim)nya dari beberapa kesulitan dunia, maka Allah swi. akan menghilangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitan di hari Kiamat: Dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama ia mau menolong saudaranya.”

 

Hadis sahih mengatakan: “Barangsiapa yang mengutangkan sebanyak dua kali karena mengharapkan rida Allah swt., maka ia akan mendapatkan pahala sebesar menyedekahkan salah satunya.”

 

Bersedekah itu lebih utama daripada mengutangi, Lain halnya dengan pendapat sebagian ulama.

 

Hukum sunah tersebut jika pengutang dalam keadaan tidak terjepit, jika ia sudah dalam keadaan terjepit, maka memberi utang kepadanya hukumnya wajib.

 

Haram berutang bagi orang yang tidak dalam keadaan terjepit, di mana dari segi lahinnya ia tidak dapat melunasi utangnya dengan seketika atas utang yang pelunasannya secara kontan, dan melunasi setelah sampai waktu pembayarannya atas utang yang diangsur pembayarannya.

 

Sebagaimana hukum haram mengutangi terhadap orang yang diyakini atau diperkirakan, bahwa ia akan menggunakan utangan tersebut untuk maksiat.

 

Iqradh (mengutangi) dapat terwujudkan dengan ijab, misalnya, “Aku utangkan ini kepadamu”, atau “Kumilikkan ini kepadamu dengan syarat kamu harus mengembalikan sebesar itu”, “Ambillah ini dan kembalikan lagi gantinya”, atau “Gunakan ini untuk kebutuhanmu dan kembalikanlah gantinya”.

 

Jika kata-kata dan kembalikanlah gantinya dibuang, maka berlaku sebagai kinayah, sedang perkataan hanya “Ambillah” adalah tidak jadi (nganggur), kecuali telah didahului kata-kata: “Utangkanlah ini kepadaku”, maka sebagai utang, atau didahului oleh kata-kata, “Berikanlah ini kepadaku”, maka sebagai hibah. Jika menyingkat dengan katakata, “Kumilikkan ini kepadamu” dan tidak berniat (bermaksud) minta gantinya, maka sebagai hibah, dan jika bermaksud minta ganti, maka sebagai kinayah gardh.

 

Jika kedua belah pihak bercekcok mengenai ada maksud penggantian atau tidak (dalam ucapan, “Kumilikkan ini kepadamu”), maka yang dibenarkan adalah orang yang menyerahkan barang, sebab dialah yang lebih mengetahui maksud hatinya, tetapi jika yang dipercek-cokkan tentang ada atau tidak penuturan ganti, maka yang dibenarkan adalah pihak penerima barang yang mendakwa tidak disebutkan penuturan ganti, karena keadaan belum adalah merupakan asal kejadian yang ada dan karena shighat (pertanyaan) adalah jelas dalam perkara yang didakwakan.

 

Jika seseorang berkata kepada orang yang mudarat, “Aku memberimu makan dengan maksud kamu harus menggantinya”, lalu orang itu mengingkarinya, maka yang dibenarkan adalah orang yang memberi makan, karena untuk mendorong agar orang-orang mau melakukan perbuatan terpuji ini.

 

Apabila seseorang berkata, “Aku . telah hibahkan kepadamu dengan janji kamu harus menggantinya”, lalu penerima mengatakan “gratis”, maka yang dibenarkan adalah pihak penerima.

 

Jika seseorang berkata, “Belikan aku roti dengan uang dirhammu”, lalu dibelikan, maka uang dirham tersebut sebagai utang, bukan hibah, menurut pendapat Al-Muktamad.

 

Qiradh bisa terwujudkan haru: dengan qabul yang bersambyng dengan ijab, musainya, “Kuutang can barang ini”, atau “Aku tema pengutangan barang ini”.

 

Memang demikian, tetapi Al-Qardhu Al-Hukmi (utang dari segi akibat hukumnya: yaitu kewajiban mengembalikan dalam jumlah yang sama) adalah tidak membutuhkan ijab-qabul, misalnya menafkahi bayi temuan yang membutuhkan nafkah, memberi makan orang yang kelaparan dan memberi pakaian orang yang telanjang.

 

Termasuk Qardhul Hukmi adalah memerintah orang lain agar memberikan sesuatu miliknya, di mana kepentingannya kembali kepada orang yang memerintah, misalnya memerintah orang lain agar memberi sesuatu kepada penyair (agar penyair itu tidak menghina orang yang memerintah), orang yang zalim, (agar tidak berbuat jahat kepada orang yang memerintah), memberi makan orang yang fakir atau menebus tahanan dan ucapan “perbaikilah rumahku”.

 

Segolongan ulama berkata: Dalam utang tidak disyaratkan ada ijabqabul, Pendapat ini dipilih oleh Al-Adzra’i dan katanya: Kebolehan Mu’athah dalam jual beli adalah dikiaskan dalam utang (qardh).

 

Hanya saja kebolehan utang-piutang itu (disyaratkan) dari pemberi utang (mugridh) yang ahli tabarru’ (orang yang mempunyai wewenang mentasarufkan hartanya secara suka rela) dalam barang yang sah digunakan muslam fih, baik berupa binatang ataupun lainnya, sekalipun berupa emas-perak yang tidak mumi.

 

Memang begitu, tetapi hukumnya sah utang roti, adukan roti dan ragi pemasam (barang-barang ini tidak sah menjadi muslam fih). Menurut pendapat Al-Aujah: Tidak diperbolehkan berutang ragi untuk membuat air susu yang telah masam menjadi mengendap, hal ini dikarenakan kadar masam yang dimaksudkan.

 

Jika seseorang berkata, “Utangilah aku sepuluh”, lalu pemberi utang menjawab, “Ambillah itu dari si Fulan”: maka jika sepuluh tersebut adalah milik pemberi utang yang ada pada Fulan (misal dititipkan), maka boleh dan sah akad gardhu tersebut. Jika sepuluh tersebut bukan titipan yang ada pada Fulan, maka ia hanya sebagai wakil untuk mengembalikannya, dan selanjutnya ia harus memperbarui akad utang-piutangnya.

 

Tanpa ada darurat, bagi wali dilarang mengutangkan harta maulinya. Akan tetapi bagi hakim diperbolehkan mengutangkan harta mahjur alaih tanpa ada darurat, karena banyak tugas yang dipikul olehnya. Dengan cacatan: Pengutang adalah orang yang dapat dipercaya lagi kaya.

 

Pengutang sudah dianggap memiliki harta itu atas izin pemberi utang, sekalipun ia belum mentasarufkan, sebagaimana halnya dengan barang hibah. :

 

Kata Guru kita: Menurut pendapat Al-Aujah, bahwa bingkisan-bingkisan yang biasa diberikan pada hari bahagia, adalah hibah, bukan Utangan, sekalipun ada kebiasaan mengembalikan yang sepadan.

 

Jika seseorang menafkahi saudaranya yang sudah pandai (rasyid) atau keluarganya selama beberapa tahun, sedang ia diam saja (tidak mengatakan sebagai utang), maka ia tidak boleh minta gantinya, Demikianlah menurut pendapat Al-Aujah.

 

Bagi Muqridh (pemberi utang) boleh menarik kembali barang yang ia utangkan, selagi harta tersebut masih menjadi milik Muqtaridh (pengutang), sekalipun harta itu sudah pernah lepas dari milik Muqtaridh dan kembali lagi kepadanya, Demikianlah menurut pendapat Al-Aujah.

 

Lain halnya jika barang tersebut sudah ada kaitannya dengan hak lazim -seperti gadai dan kitabah-. maka ia tidak boleh menarik kembali harta itu. Akan tetapi, jika barang itu oleh Muqtaridh hanya disewakan, maka bagi muqridh boleh menariknya lagi.

 

Wajib bagi Muqtaridh mengembalikan barang yang sepadan atas utang yang sepadan: Yaitu uang emas/ perak dan biji-bijian, sekalipun uang tersebut telah dibatalkan oleh penguasa, karena dengan mengembalikan uang itulah yang lebih mendekati pada hak muqridh. Wajib juga mengembalikan bentuk sepadan untuk utang barang Mutaqawwam, Yaitu binatang, pakaian dan mutiara.

 

Bagi muqridh tidak wajib mau menerima barang pengembalian, yang jelek dari utangan yang bagus: Tidak wajib menerima barang pengembalian mitsli di lain tempat pengutangan, jika ketidakmauannya ada tujuan yang dibenarkan, misalnya untuk mengangkut barang tersebut dari tempat penyerahan ke tempat pengutangan dibutuhkan biaya, sedang miuqtaridh tidak mau menanggungnya, atau tempat penyerahan tersebut dikhawatirkan keselamatannya.

 

Bagi muqtaridh tidak wajib menyerahkan Parang pengembalian utangnya di tempat selain tempat berutang dahulu, kecuali untuk membawa barang tersebut tidak membutuhkan biaya, atau ada biaya, tetapi pihak muqridh mau menanggungnya. (Sekalipun bagi muqtaridh tidak wajib menyerahkannya di lain tempat pengutangan dahulu), tetapi bagi muqridh boleh menuntut sejumlah harga barang yang diperhitungkan di tempat ia mengutangkan dahulu, berdasarkan harga pada waktu penuntutan tersebut atas barang yang membutuhkan biaya dalam pengangkutannya dan pihak muqridh tidak menanggungnya, karena kebolehan meminta ganti barang yang diutangkan.

 

Boleh bagi Muqridh menerima kemanfaatan yang diberikan oleh Muqtaridh tanpa disyaratkan sewaktu akad: misalnya kelebihan ukuran atau mutu barang pengembalian dan pengembalian lebih bagus daripada yang diutangkan.

 

Bahkan melebihkan pengembalian utang adalah disunahkan, berdasarkan sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian, adalah yang paling baik dalam membayar utang.”

 

Bagi muqridh tidak makruh mengambil kelebihan tersebut, sebagaimana halnya menerima hadiah, sekalipun berupa barang ribawi.

 

Menurut pendapat Al-Aujah: Sesungguhnya muqridh dapat memiliki tambahan tersebut tanpa mengatakan sesuatu, karena tambahan itu cuma mengikuti yang lain, dan menyerupai hadiah. Jika Muqtaridh yang mengembalikan lebih banyak daripada yang ia utang dan mendakwa hal itu ia lakukan karena mengira bahwa utangnya memang sebanyak itu, maka diambil sumpahnya, lalu boleh meminta kelebihan tersebut.

 

Adapun utang-piutang dengan disyaratkan ada kemanfaatan bagi muqridh, adalah tidak sah (fasid), karena berdasarkan hadis Nabi saw.: “Setiap utang-piutang yang menarik kemanfaatan untuk Muqridh adalah riba.” Kedaifan hadis tersebut bisa ditambal dengan keberadaan hadis lain semakna dengannya, yang diriwayatkan oleh segolongan sahabat Nabi saw.

 

Termasuk riba: Mengutangi semisal orang yang menyewa miliknya dengan harga penyewaan yang lebih tinggi lantaran utang tersebut, jika penyewaan itu sebagai syarat untuk mendapatkan utangan, karena gardhu seperti ini hukumnya haram secara ijmak. Kalau tidak menjadi syarat (ketika bertransaksi), maka menurut kami (segolongan Syaff’iyah) adalah makruh hukumnya dan haram menurut kebanyakan ulama, Demikianlah menurut penuturan As-Subki.

 

Boleh mengutangi dengan syarat ada gadai atau penanggung. Jika seseorang berkata, “Utangilah orang ini seratus dan akulah yang menanggungnya”, lalu mengutangi seratus atau sebagiannya, maka menurut pendapat Al-Aujah orang tersebut adalah penanggungnya: karena ada hajat untuk menanggungnya, scbagaimana bila berkata, “Lemparkanlah barang-barangmu ke laut dan sayalah penanggungnya.”

 

Kata Al-Baghawi: Jika pemilik harta mendakwakan sebagai utang dan pengambil (penerima) mendakwakan sebagai titipan (di mana terjadi kerusakan pada harta tersebut), maka yang dibenarkan adalah penerima harta, karena menurut asalnya adalah tidak ada tanggungan. Lain halnya dengan pendapat yang ada dalamAl-Anwar.

 

Rahn (gadai) ialah: Menjadikan barang yang sah dijual sebagai kepercayaan utang, di mana akan dibayar daripadanya, jika terpaksa tidak dapat melunasi utang. Karena itu, tidak sah menggadaikan barang wakaf dan budak Ummu walad. Gadai dapat sah karena ada ijab dan qabul, seperti: “Kugadaikan barang ini” dan “Kuterima penggadaian barang ini”.

 

Sebagaimana yang telah lewat dalam jual beli, di sini diisyaratkan pula ada persambungan antara ijab dan qabul, serta kecocokan maknanya. Di dalam Bab Gadai juga terjadi perselisihan ulama tentang Mu’athah.

 

Gadai (dapat dihukumi sah, jika) dilakukan oleh ahli tabarru’. Karena itu, bagi ahli -baik itu ayah, kakek, pemegang wasiat ataupun hakimtidak diperbolehkan menggadaikan harta anak kecil atau orang gila, sebagaimana mereka tidak boleh menerima gadai atas nama kedua orang tersebut, kecuali karena darurat atau ada keuntungan yang jelas: Maka dalam keadaan seperti ini mercka boleh menggadaikan dan menerima gadai.

 

(Contoh menggadaikan dan menerima gadai karena darurat) adalah: Wali menggadaikan sesuatu (milik mauli) sebagai jaminan utang yang akan dilunasi dari hasil bumi yang sedang ditunggu atau pembayaran utang seseorang, Atau wali menerima gadai sebagai jaminan utang yang diberikan atau barang milik maulinya yang dijual dengan harga berangsur karena darurat perampokan atau lainnya, Sebab dalam keadaan seperti ini, menerima gadai sudah menjadi kelaziman.

 

(Gadai tetap sah), sekalipun barang yang digadaikan itu berupa milik sebagian yang umum (belum ditentukan), atau barang pinjaman, sekalipun dalam akad pinjammeminjam dahulu tidak dijelaskan lafalnya untuk digadaikan, misalnya pemilik barang berkata, “Gadaikan pinjaman ini untuk jaminan utangmu”, karena dengan barang itu telah dapat digunakan sebagai kepercayaan.

 

Sah meminjamkan uang emas atau perak untuk digadaikan menurut beberapa pandangan, sekalipun kita melarang meminjamkannya untuk selain itu.

 

Berarti sah hukumnya menggadaikan barang pinjaman dengan seizin pemiliknya, dengan syarat pemilik barang mengetahui penerima gadai, jenis dan jumlah utang.

 

Tetapi tercatat dalam Al-Jawahir: Apabila pemilik berkata, “Gadaikanlah budakku dengan seberapa besar utangmu”, maka sah digadaikan dengan harga di atas harga budak itu: -habis-.

 

Apabila pemilik barang telah menentukan jumlah utang, lalu barang itu digadaikan dengan nilai utang di. bawah yang ditentukan, maka sah gadainya, dan bagi pemilik barang tidak boleh menarik barangnya setelah penerima gadai mengambil barang gadai pinjaman tersebut. Apabila barang itu rusak di tangan penggadai, maka ia wajib menanggungnya, karena dalam hal ini ia sebagai peminjamnya, Begitulah ittifak ulama. Kalau rusak di tangan penerima gadai, tidak wajib menanggungnya, karena penerima gadai adalah orang yang dipercaya dan haknya tidak dapat gugur dari tanggungan penggadai.

 

Tetapi, jika peminjam barang tersebut menggadaikan dengan cara fasid akadnya, maka ia wajib menanggung kerusakannya dengan menyerahkannya kepada murtahin, Demikianlah yang dikatakan oleh tidak hanya satu ulama.

 

Barang pinjaman yang telah dijadikan gadai dapat dijual setelah masa pembayaran utang (sedang utang belum terbayar), dengan cara membicarakan terlebih dahulu terhadap pemiliknya, lalu pemilik barang tersebut meminta sejumlah barang yang telah terjual itu kepada orang yang menggadaikannya.

 

Rahn (gadai) tidak sah jika di situ disyaratkan sesuatu yang merugikan penggadai atau penerima gadai, misalnya barang gadai tidak boleh dijual, padahal masa pembayaran sudah tiba, atau boleh dijual hanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga umum.

 

Atau seperti syarat ada kemanfaatan barang gadai pada penerima gadai Contohnya, kedua belah pihak mentyaratkan bahwa tambahan tambahan yang terjadi -misalnya buah pohon gadaiadalah jkut tergadaikan.

 

Maka, gadai dalam keuga bentuk di atas hukumnya tidak sah.

 

Akad gadai belum dianggap jadi -sebagaimana halnya dengan hibah-, kecuali setelah murtahin menerima gada: sebagaimana penerimaan mabes dalam Bab Jual Beli yang telah lewat, dan mendapat izin dari rahin yang ahli tabarru’.

 

Pencabutan kembali atas gadai sebelum penerimaan murtahin terhadap barang gadai, dapatlah terjadi dengan tasaruf yang dapat menghilangkan hak milik, nusainya hibah dan penggadaian terhadap orang Jain, bukan dengan disetubuhi (bagi budak perempuan), dikawinkan, yahin/murtahin mati dan marhun (barang gadai) yang lari.

 

Kekuasaan atas marhun pada galibnya terjadi setelah lestari akad adalah terletak di tangan murtahin, dan kekuasaan ini adalah kepercayaan (amanat), sekalipun utang telah terlunasi,

 

Karena itu, murtahin tidaklah berkewajiban menanggung (atas kerusakan marhun), kecuali jika ia berbuat gegabah (lalim): misalnya ia tidak mau mengembalikan marhun, padahal utang telah dilunasi.

 

Murtahin -seperti halnya penyewadapat dibenarkan dengan sumpahnya atas pengakuan rusak marhun, tetapi ja tidak dapat dibenarkan atas pengakuan bahwa ia telah mengembalikan marhun, karena murtahin (penyewa) membawa barang untuk kepentingan diri mereka sendiri, karenanya mereka laksana peminjam.

 

Lain hainya dengan orang yang dititipi dan wakil. Dengan rusaknya marhun tersebut, tiada sedikit pun piutangnya yang gugur.

 

Jika murtahin Iupa tentang marhun, semacam kutab yang dimakan anai-anai (rayap), atau diletakkan di tempat yang diperkirakan akan terjadi petaka tersebut, maka ia harus menanggungnya lantaran gegabah.

 

 

Kaidah:

 

Hukum akad fasid (rusak) yang dikerjakan oleh orang pandai berbuat (rasyid), adalah seperti hukum akad yang sah dalam hubungan ada dan tidaknya tanggungan, karena akad yang sah saja -misalnya jual beli dan qard jika sudah serah-terima barang ada kewajiban menanggungnya, maka apalagi dengan akad yang rusak (fasid).

 

Atau tidak ada kewajiban menanggung -misalnya barang gadai, sewaan dan hibah-, maka dengan akad yang rusak, tidaklah mewajibkan penanggungan.

 

Cabang:

 

Jika seseorang menggadaikan sesuatu dan mensyaratkan bahwa setelah satu bulan barang tersebut dinyatakan telah terbeli oleh murtahin menerima penyerahannya, . maka ia tidak wajib menanggung barang tersebut sebelum waktu berjalan satu bulan, sekalipun. diketahui bahwa akad tersebut hukumnya rusak (fasid): Demikianlah menurut pendapat Al-Muktamad.

 

Menanggungnya setelah lewat satu bulan, sebab setelah masa tersebut status barang gadai berubah menjadi jualan atau pinjaman yang rusak keduanya, kerena terjadi kepindahan status gadai pada habis bulan itu.

 

Jika seseorang berkata, ” Kugadaikan kepadamu dan jika aku tidak bisa melunasi utangku di waktu pembayarannya, maka barang tersebut menjadi jualan untukmu”, maka rusaklah akad jual beli, tetapi gadainya tetap sah menurut beberapa tinjauan hukum, sebab rahin tidak mensyaratkan sesuatu dalam akad tersebut.

 

Bagi murtahin, setelah sampai masa pelunasan utang berhak meminta dijual barang gadai atau menagih piutangnya bila barang tidak dijual. Bagi rahin tidak harus menjual barang tersebut, tetapi murtahin berhak menuntut kepadanya salah satu dari dua hal tersebut setelah masa pembayaran utang.

 

Hanya saja rahin boleh menjual marhun atas izin murtahin, jika memang ada hajat untuk itu, karena sesungguhnya murtahin mempunyai hak atas barang itu. Pihak murtahin diprioritaskan dalam penerimaan pembayaran utang dari harga barang Itu (karena haknya berkaitan dengan barang tersebut) daripada pemberipemberi utang yang lain.

 

Jika murtahin tidak mau memberi izin penjualannya, maka kepada hakim berkata, “Izinkanlah ia menjual barang itu atau bebaskanlah ia dari utangnya”.

 

Hakim harus memaksa rahin -dengan memenjarakan atau lainnyaagar melakukan salah satu dari dua alternatif di atas (menjual barang gadai untuk melunasi utangnya atau melunasinya), jika ia membangkang.

 

Jika penggadai masih membangkang atau ia tidak ada, sedangkan harta yang dimiliki untuk melunasi utangnya hanyalah barang gadai itu, maka hakim harus menjual barang tersebut dengah cara paksa setelah terbukti ja mempunyai utang, barang itu miliknya, terjadi akad rahn (gadai) dan barang gadai ada dalam wilayah kekuasaan hakim, lalu dari harga penjualan barang tersebut hakim melunasi utang penggadai. Hal ini dilakukan karena untuk menolak mudarat atas diri murtahin.

 

Jika sudah sampai waktu pembayaran utang, bagi murtahin boleh menjual barang gadai dengan izin penggadai dan penjualan dilakukan di depannya. Lain halnya dengan penjualan yang dilakukan ketika penggadai tidak hadir.

 

Tetapi, jika penggadai telah menentukan harga barang tersebut, maka secara mutlak sah jual belinya, lantaran tidak ada kecurigaan.

 

Apabila kedua belah pihak mensyaratkan agar yang menjual barang tersebut adalah pihak ketiga sewaktu pembayaran utang telah tiba, maka. pihak ketiga boleh menjualnya dengan harga umum secara kontan.

 

Dalam hal ini, orang ketiga tidak disyaratkan membicarakan penjual dengan rahin (penggadai), sebab menurut hukum asal bahwa izinnya tetap berjalan terus, tetapi ia disyaratkan mengadakan pembicaraan dengan pihak murtahin, sebab terkadang ia menangguhkan pembayaran piutang atau membebaskannya.

 

Bagi pemilik marhun -baik itu rahin atau orang yang meminjamkannya wajib menanggung biaya marhun, misalnya nafkah dan pakaian budak, makanan binatang, upah mencari budak yang melarikan diri, sewa tempat menyimpan dan biaya perbaikan (marhun): Demikianlah biaya menurut ijmak. Lain halnya dengan pendapat Al-Hasan Al-Bashri yang syadz (langka)

 

Jika pemilik itu tidak ada di tempat atau melarat, maka murtahin melaporkan pada hakim, lalu atas ijin darinya, murtahin boleh membiayai marhun, agar marhun sebagai gadai dari nafkah (pembiayaan marhun), di samping sebagai gadai dari utang.

 

Jika murtahin berhalangan meminta izin kepada hakim dan ia telah mempersaksikan pembiayaan tersebut guna dapat meminta ganti pada rahin, maka ia nanti bisa mendapatkan ganti dari pembiayaan itu. Kalau ia tidak mempunyai halangan untuk meminta izin kepada hakim terlebih dahulu, maka nanti ia tidak bisa mendapatkan ganti pembiayaan tersebut.

 

Setelah terjadi akad gadai, bagi pemilik barang tidak diperbolehkan menjual, mewakafkan dan menggadaikannya kepada orang lain, agar tidak terjadi perebutan murtahin. Tidak boleh pula menyetubuhi budak perempuan yang digadaikan tanpa izin murtahin, sekalipun tidak menyebabkan kehamilan, karena untuk menutup pintu persetubuhan secara totalitas. Lain halnya dengan pemanfaatan-pemanfaatan seks yang lain, maka adalah halal jika aman dari persetubuhan. Tidak boleh juga mengawinkan budak perempuan yang digadaikan, sebab hal ini akan mengurangi harganya.

 

Jika pengawinan tersebut dengan murtahin atau seizinnya, maka bagi rahin tidak haram melaksanakannya.

 

Demikian juga tidak diperbolehkan : menyewakannya kepada selain murtahin tanpa izin darinya, jika masa penyewaan itu melampaui masa pembayaran utangnya.

 

Bagi pemilik barang (baik rahin sendiri atau orang yang meminjamkan) boleh memanfaatkannya dengan mengendarai atau menempati, tetapi tidak boleh membuat bangunan dan menanam di atas tanah yang tergadaikan. Tetapi jika utang itu belum sampai waktu pelunasannya din ia berkata, “Akan kucabut bangunan atau tanaman itu ketika telah datang pelunasan utang”, maka hal itu diperbolehkan baginya.

 

Adapun persetubuhan murtahin dengan budak perempuan sekalipun atas izin pemiliknya, adalah dihukumi zina, jika ia telah mengetahui keharamannya. Karena itu, ia wajib dikenai hukuman had, dan wajib membayar mahar, jika budak tersebut tidak menyerahkan diri dengan sepenuhnya untuk disetubuhi dalam keadaan mengetahui keharamannya.

 

Mengenai keterangan yang dikatakan riwayat Atha’, bahwa budak tersebut boleh disetubuhi atas izin pemiliknya, adalah sangat daif (lemah). Bahkan ada yang mengatakan, bahwa riwayat di atas adalah dusta.

 

Qadhi Ath-Thayyib An-Nasyiri ditanya tentang hukum dari kebiasaan wanita yang menerima gadai berupa perhiasan dengan izin memakainya, maka jawab beliau: Bagi murtahin tersebut tidak wajib menanggung (kerusakan) atas pemakaian barang tersebut, karena penerimaan gadai seperti itu dihukumi sebagai sewa-menyewa yang fasid.

 

Hai itu berdasarkan bahwa wanita yang memberi utang tersebut mau memberinya (mengutangkannya) jika ia menerima gadai dan memakainya, maka pemberian utang itu sebagai penukar yang rusak terhadap kebolehan memakai barang gadai yang berupa perhiasan tersebut.

 

Jika terjadi percekcokan antara rahin dengan murtahin mengenai terjadi atau tidak akad gadai, sebagaimana seseorang berkata, “Engkau telah menggadaikan barang ini kepadaku”, lalu pihak yang lain mengingkarinya, atau mengenai ukuran marhun, misalnya, “Engkau menggadaikan bumi berikut pohonnya”, lalu pihak yang lain berkata, “Hanya buminya saja”, atau mengenai utang yang dijamin dengan gadai tersebut misalnya, “dengan utang 2.000,-“, lalu pihak lain mengatakan, “dengan utang 1.000,-”, maka untuk semua itu yang dibenarkan adalah rahin disertai sumpah, sekalipun barang gadai (marhun) berada di tangan murtahin, karena menurut hukum asal adalah tidak terjadi apa yang Didakwakan murtahin.

 

Jika murtahin mendakwakan marhun yang ada di tangannya, bahwa ia mengambilnya dengan seizin rahin, lalu rahin mengingkarinya dan berkata, “Engkau telah menggasabnya”, “Barang itu kupinjamkan kepadamu”, atau “Kusewakan kepadamu”, maka dengan cara bersumpah rahin dapat dibenarkan dalam perlawanan tersebut.

 

Cabang:

 

Jika ada orang mempunyai utang 2000, kepada orang lain. Adapun yang 1000, memakai gadai, sedang yang 1000, lagi memakai penanggung, lalu ia membayar 1000,dan berkata, “Yang kubayar adalah yang bergadai”, maka dia dapat dibenarkan dengan sumpahnya, karena orang yang membayar itu lebih mengetahui maksud dan cara pembayarannya.

 

Dari keterangan di atas, jika pengutang menyerahkan sesuatu kepada pemberi utang dengan maksud pembayaran utang, maka jadilah arahnya, sekalipun pemberi utang mengiranya sebagai hadiah: Demikianlah kata para ulama.

 

Kemudian, jika yang membayar 1000,di atas tidak dimaksudkan sesuatu di waktu menyerahkannya, maka jumlah tersebut dapat dijadikan pembayaran, yang mana ia sukai (yang bergadai maupun yang berkafil), karena penentuan diserahkan pada dirinya.

 

Penyempurna:

 

Muflis -yaitu orang yang mempunyai utang kepada orang lain, yang lebih banyak daripada harta miliknya dan telah tiba masa pembayarannya, adalah dicegah mentasarufkan hartanya atas permohonan, diri sendiri atau para pemberi utang.

 

Dengan adanya pencegahan tersebut, maka hak-hak para pemberi utang (pemiutang) bertalian dengan harta muflis. Karena itu, ia tidak sah mentasarufkan hartanya pada hal-hal yang dapat merugikan mereka, misalnya wakaf dan hibah, juga tidak sah jual belinya, sekalipun terhadap para pemiutangnya dengan perhitungan utangnya kepada mereka tanpa seizin hakim.

 

Sah ikrar (pengakuan) muflis atas benda atau utang yang bertalian kewajibannya dengan sesuatu sebelum dilaksanakan pengampuan.

 

Sunah bagi hakim secepatnya menjual harta muflis -sekalipun berupa rumah dan budak pelayan dirinya di hadapan dirinya dan para pemiutang, lalu membagi hasil penjualan itu kepada mereka. Penjualan seperti ini sebagaimana menjual harta orang yang tidak mau membayar hak orang lain yang wajib ditunaikan.

 

Bagi hakim berhak memaksa orang yang enggan membayar kewajibannya dengan cara ditahan atau lainnya dari bermacam-macam bentuk takzir.

 

Pengutang mukalaf yang diketahui mempunyai harta, adalah boleh dipenjarakan. Ayah/ibu ke atas dari jalur ayah/ibu tidak boleh dipenjara lantaran berutang pada anak turunnya: Lain halnya dengan pendapat yang ada dalam kitab Al-Hawi (Ash-Shaghir) yang mengikuti Al-Ghazali.

 

Jika sudah ada ketetapan kemelaratan pengutang, maka jia tidak boleh dipenjara atau ditagih terusmenerus, akan tetapi diundur sampai ia mampu membayarnya.

 

Pemberi utang berhak menagih pengutang yang belum ada ketetapan kemelaratannya, selagi pengutang tidak memilih dipenjara: Jika ia memilih dimasukkan penjara, maka dituruti keinginannya itu. Tentang, biaya penahanan dan penjaga tahanan, adalah menjadi beban pengutang.

 

Hakim berhak melarang orang tahanan menghibur diri dengan percakapannya, menghadiri salat Jumat dan bekerja sebagai buruh, jika berpendapat bahwa yang demikian itu membawa maslahat.

 

Bagi pemberi utang tidak boleh melaparkan perut pengutang dengan cara tidak memberinya makan, Demikianlah seperti yang difatwakan oleh Guru kita, Az-Zamzami.

 

Bagi pemiutang muflis yang diampu atau mati, boleh menarik harta dagangannya seketika, jika masih ada pada milik muflis dan tidak ada kaitannya dengan hak tetap orang lain (misalnya gadai) serta utang telah tiba masa pembayarannya,. sekalipun dagangan itu berupa telor yang telah mulai menetas, biji-bijian yang mulai tumbuh atau tanaman yang biji-bijinya sudah menua, karena tambahan-tambahan tersebut terjadi dari hartanya sendiri.

 

Pencabutan kembali akad jual beli sudah dapat terwujudkan dari pihak penjual -walaupun tanpa qadhidengan semacam ucapan, “Kufasakh (kutarik) kembali mabi”, tetapi tidak wujud dengan cara semacam menjual dan memerdekakan mabi’ tersebut.

 

Orang yang gila dicegah mentasarufkan hartanya (hijr) sampai sembuh kembali, sedangkan kanakkanak sampai balig: yaitu tepat usia 15 tahun Qamariyah dengan dua orang saksi yang adil lagi bijaksana atau setelah mengeluarkan air mani atau darah haid. Sedang kemungkinan untuk mengalami dua hal ini adalah setelah usia sempurna 9 tahun.

 

Orang yang mengaku telah balig dengan keluar mani atau haid, adalah dapat dibenarkan tanpa disumpah, sekalipun pengakuan tersebut berada di tengah percekcokan, sebab kebaligan seperti itu hanya dialah yang mengalami (mengetahui)nya.

 

Tumbuh rambut kelamin yang lebat sekira membutuhkan untuk dipotong, adalah tanda kebaligan orang kafir: berdasarkan usia atau ihrilam, baik itu laki-laki maupun perempuan.

 

Tanda yang ada pada orang kafir di atas juga diterapkan pada anak orang. yang tidak diketahui keislamannya, (tetapi) orang yang tidak diketahui ‘ umurnya oleh orang lain, tanpa tanda di atas (tumbuh rambut kelamin) tidak dapat diterapkan padanya (untuk menunjukkan kebaligannya), Begitulah menurut beberapa tinjauan hukum (Al-Aujuh). Ada yang mengatakan: Tanda di atas juga berlaku untuk orang Islam.

 

Para ulama menyamakan rambut. ketika yang tumbuh lebat dengan rambut kelamin di atas.

 

Jika anak kecil telah menjadi pintar (cerdas), maka hartanya diserahkan kepadanya.

 

Yang dimaksud Rusyd adalah kecakapan untuk berbuat kemaslahatan agama dan harta, misalnya ia tidak melakukan perbuatan haram yang dapat menghilangkan adalah-nya, dengan mengerjakan dosa besar atau kecil secara terus-menerus, yang maksiatnya lebih dominan daripada taatnya, dan misalnya ia tidak menyia-nyiakan hartanya dengan ‘bermuamalah yang mengakibatkan kerugian besar, atau dengan membelanjakannya pada perkara yang diharamkan, sekalipun hanya sepeser.

 

Adapun pentasarufannya dalam sedekah, bentuk-bentuk kebaikan, (membeli) makanan, pakaian dan hadiah yang tidak selayaknya untuk dirinya, adalah tidak dinamakan tabdzir.

 

Setelah seorang gila sembuh kembali dan anak menjadi balig sekalipun belumrasyid, maka menjadi sah Islam, talak, khuluk dan demikian juga tasaruf kehartaan, jika dilakukan setelah rusyd.

 

Yang menjadi wali anak kecil adalah ayahnya yang adil, kakek hingga ke atas, pemegang wasiatnya, lalu hakim penguasa daerah di mana anak tersebut berada dan dapat dipercaya. Kemudian, jika hartanya berada di daerah lain, maka wali hartanya adalah hakim penguasa harta itu berada dalam hal: Penjagaan, penjualan dan menyewakannya, jika dikhawatirkan terjadi kerusakan terhadap harta itu. (Kalau orang-orang tersebut tidak ada), maka walinya adalah orang-orang saleh daerahnya.

 

Bagi wali wajib mentasarufkan harta maulinya pada kemaslahatannya, ia wajib menjaga harta dan mengembangkan secukupnya untuk nafkah, zakat dan biaya hidup maulinya, jika memungkinkan untuk itu.

 

Bagi wali diperbolehkan bepergian membawa harta maulinya lewat jalan yang iman ke tujuan yang aman pula: yaitu-melewati daratan, bukan lautan, Membeli barang-barang bumi yang hasilnya mencukupi keperluan maulinya, adalah lebih utama daripada berdagang. Ia tidak boleh menjual pekarangan maulinya, kecuali ada hajat (misalnya takut pada orang zalim dan lainlain) atau ada keuntungan yang tampak.

 

Sebagian ulama berfatwa, bahwa sesungguhnya wali berhak bershuluh untuk mengambil sebagian piutang maulinya, jika cara itu dipastikan untuk menyelamatkan yang lainnya, Sebagaimana pula boleh, bahkan wajib baginya memberikan sebagian harta maulinya untuk keselamatan harta yang lain. Selesai.

 

Wali boleh menjual harta maulinya dengan harga yang tidak kontan demi kemaslahatan, dan ia wajib minta jaminan gadai seharga barang itu, jika pembelinya bukan orang kaya.

 

Karena darurat, bagi wali boleh mengutangkan harta mahjur ‘alaihnya.

 

Bagi hakim boleh mengutangkan harta maulinya secara mutlak (baik darurat atau tidak), dengan syarat pengutangannya adalah orang yang kaya dan dapat dipercaya.

 

Menurut pendapat Al-Ashah, ibu dan kerabat jalur ibu tidak ada hak kewalian. Demikian juga dengan kerabat Ashabah mauli (misalnya, paman, saudara laki-laki dan anak laki-lakinya).

 

Tetapi kerabat ashabah diperbolehkan membelanjakan harta anak kecil untuk biaya pendidikan dan pengajarannya, karena jumlah itu hanya sedikit, karena itu, dapat dimaklumi, jika tidak ada wali yang khusus.

 

Ayah atau kakek dapat dibenarkan dengan sumpah atas pengakuannya, bahwa ia mentasarufkan harta maulinya untuk kemaslahatan.

 

Demikian juga hakim dapat dibenarkan tanpa disumpah, jika dia orang yang tepercaya, adil, terkenal menjauhi hal-hal yang tidak baik dan berkepribadian baik.

 

Namun bagi orang-orang berikut ini tidak dapat dibenarkan: Pemegang wasiat, pemelihara harta (bukan wali) dan hakim yang fasik, bahkan yang dibenarkan adalah mahjur ‘alaih sekira tidak ada bukti atas pengakuan mereka, karena mereka terkadang mencurigakan.

 

Dari keterangan tersebut, jika ibu menjadi pemegang wasiat, maka diperlakukan hukum seperti ayah dan kakek. Demikian juga dengan ayah dari ibu tersebut.

 

Cabang:

 

Bagi wali tidak boleh mengambil harta maulinya secara mutlak, jika jaorang yang kaya (tugas perwaliannya mengganggu pekerjaannya atau tidak).

 

Jika ia orang miskin dan karena tugas perwaliannya itu menjadi terputus dari pekerjaannya, maka ia boleh mengambil nafkahnya (seukuran/sepadan upah umum) dan setelah menjadi kaya, maka ia tidak wajib mengembalikan apa yang ia ambil tersebut.

 

Kata Al-Asnawi: Demikian itu adalah hukum bagi Washi dan orang kepercayaan memegang harta. Adapun ayah dan kakek secara ittifak, boleh mengambil harta maulinya secukupnya, baik ia orang yang kaya atau bukan.

 

Orang yang mengumpulkan harta untuk membebaskan tahanan umpamanya, hukumnya dapat dikiaskan dengan wali anak yatim yang telah dituturkan di atas. Karena itu, jika ja.d0rang. yang fakir, maka boleh memakan dani harta tersebut.

 

Bagi ayah/kakek boleh memerintahkan anak mahjurnya melakukan suatu pekerjaan yang tiada nilai imbalan upah, (tetapi) dia tidak boleh memukulnya agar mengerjakan pekerjaan tersebut, lain halnya dengan pendapat ulama yang memantabkan bahwa dia boleh memukulnya untuk itu.

 

An-Nawawi berfatwa, bahwa jika seseorang memerintahkan cucu laki-laki dari anak perempuan untuk melayani, maka ia wajib memberinya upah sampai anak tersebut akil balig dan rusyd (cakap berbua), sekalipun ia tidak memaksanya. Jika anak tersebut sesudah rusyd, maka ia tidak wajib memberinya upah, kecuali jika ia memaksanya.

 

Hukum minta pelayanan ini juga berlaku untuk selain kakek dari garis ibu (ayah dan kakek dari garis ayah).

Al-Jalal Al-Bulqini berkata: Jika anak kecil memiliki harta yang tidak hadir di tempatnya, lalu wali menafkahinya dengan hartanya sendiri dengan niat minta ganti kembali setelah datangnya harta itu, maka bagi wali tersebut boleh meminta ganti, jika dia itu seorang ayah/ kakek, karena dialah yang memegang kekuasaan dua pihak (ijab dan qabul) Lain halnya jika wali tersebut selain ayah/kakek, sekalipun hakim, Akan tetapi untuk selain ayah/kakek, ia harus meminta izin kepada orang yang dinafkahi dan (setelah harta anak tersebut hadir) ia boleh membayar (meminta ganti) dari harta itu.

 

Segolongan ulama berfatwa: Orang yang berpiutang atas ayahnya, lalu ayahnya mengaku bahwa utang tersebut digunakan untuk menafkahi orang itu, maka dengan bersumpah ayah tersebut atau ahli warisnya dapat dibenarkan.

Hawalah dapat menjadi sah dengan adanya shighat, Yaitu ijab dari Muhil (pemindah tanggungan utang), misalnya: “Utangku kepadamu kupindahkan tanggungannya kepada si Fulan”, “Hakmu padaku kupindahkan kepada si Fulan”, atau “Hartaku pada si Fulan kujadikan untukmu”, dan qabul (pihak yang piutangnya dipindahkan), di mana ada ijab_qabul tidak dita’liq, misalnya qabul yang sah “pindahkanlah hakku”.

 

Ada juga kerelaan muhil dan muhtal.

 

Untuk muhal alaih (pihak yang terbebani limpahan utang), tidak disyaratkan kerelaannya.

 

Dengan terjadi Hawalah, maka piutang muhtal pindah ke muhal alaih, muhil bebas tanggungan utang dari, muhtal, dan muhal alash bebas dari tanggungan utang kepada muhil.

 

Menurut ijmak ulama, (dengan keberadaan hawalah), maka hak muhtal berpindah menjadi tanggungan muhal alaih.

 

Jika muhtal tidak dapat mengambil piutangnya dari muhal alaih, karena bangkrut -sekalipun telah ada sejak diadakan hawalah-, karena muhal alaih mengingkari hawalah yang ada, karena mengingkari yang berutang untuk menguatkan pengingkarannya, atau karena yang lainnya, misalnya, kesewenang-wenangan muhal alaih dan kematian saksi-saksi hawalah, maka bagi muhtal tidak boleh menagih piutangnya kepada. muhil, sekalipun ia tidak mengetahui halangan-halangan di atas.

 

Muhtal tidak boleh khiyar, jika jelas akhirnya ada muhal alaih adalah orang yang melarat, sekalipun (waktu akad) disyaratkan ada kecukupan muhal alaih.

 

Jika muhtal melakukan penagihan kepada muhal alaih, Jalu dijawab, “Muhil telah membebaskan utangku sebelum akad hawalah”, dan ia memberikan bukti (Hayyinah), maka bukti ini dapat diterima, sekalipun muhil berada dalam daerah setempat. Kemudian menurut pendapat Al-Muttajih, bahwa bagi muhtal boleh menagih kembali piutangnya kepada muhil, kecuali jika muhtal masih kukuh pendiriannya dalam mendustakan muhal alaih.

 

Jika seseorang menjual budak dan harga penjualannya dihawalahkan (pembek berstatus muhal alaih), lalu penjual (muhil) dan pembeli (muhal alah) sepakat atas adanya kemerdekaan budak tersebut, waktu jual bel: (begitu juga dengan pengakuan muhtal) atau kemerdekaannya tersebut terbuku dengan adanya persaksian hisbah (sukarela) atau dengan bayyinah yang diajukan oleh budak itu sendiri, maka hawalah tersebut hukumnya tidak sah.

 

Jika muhtal tidak mempercayai kesepakatan penjual dan pembeli tersebut tentang kemerdekaan budak. yang dijual di atas tanpa mengemukakan bayyinah, maka masingmasing penjual dan pembeli menyumpah muhtal, bahwa dirinya tidak tahu-menahu tentang kemerdekaan budak itu dan hawalah tetap berjalan terus.

 

Jika terjadi perselisihan antara pemiutang dengan pengutang tentang “Apakah mewakilkan atau menghiwalahkan”, misalnya: pengutang berkata, “Aku menjadikan dirimu sebagai wakilku untuk mengambilkan”, lalu pemiutang menjawab, “Nggak…, tetapi engkau hiwalahkan”, atau pengutang berkata,” Aku telah menghiwalahkanmu”, lalu dijawab oleh pemiutang “Nggak…, tetapi engkau hanya mewakilkanku”‘, maka dengan cara bersumpah pihak yang mengingkari hawalah dapat dibenarkan.

 

Maka dalam kedua contoh di atas, pada contoh pertama yang dibenarkan adalah dakwaan pengutang, sedangkan pada contoh kedua yang dibenarkan adalah pemiutang, karena menurut asal permasalahan bahwa hak tersebut masih menjadi tanggungan penanggung pembayarannya (pengutang).

 

Penyempurna:

 

Orang mukalaf yang rasyid, sah menanggung utang yang sudah ada ketetapannya (sekalipun dengan pengakuan penanggung), baik utang tersebut telah tetap tanggungannya atas Madhmum Anhu (Orang yang ditanggung utangnya), misalnya nafkah hari itu dan sebelumnya untuk istri, atau utang tersebut. belum tetap tanggungannya (tetapi akan menjadi bebannya), misalnya harga mabi’ yang belum diserahterimakan dan mahar sebetum terjadi persetubuhan.

 

Dhaman tidak sah diberikan untuk kewajiban yang akan terjadi, misalnya utangnya akad Qardhu yang akan terjadi atau nafkah istri untuk hari esok. Tidak sah pula menanggung nafkah kerabat secara mutlak (hari yang telah lewat maupun yang akan datang).

 

Tidak disyaratkan di sini ada kerelaan pemiutang dan pengutang. Seorang budak sah menanggung. dengan (syarat) mendapatkan izin dari tuannya.

 

Orang mukalaf yang rasyid sah memberikan Kafalah (jaminan mengembalikan barang/orang) atas barang yang ada dalam tanggungan, misalnya, barang yang digasab atau dipinjam. Sah juga memberikan jaminan untuk mendatangkan yang mempunyai kewajiban badir di tempat persidangan (karena berkaitan dengan hak adami atau hak Allah yang berupa harta), dengan izin orang tersebut.

 

Kafil (penjamin) menjadi bebas tanggungannya dengan mendapatkan Makful (yang dijamin), baik berupa barang atau manusia ke hadapan Makful Lah (yang mempunyai hak yang mendapatkan jaminan), sekalipun makful datang sendin ke tempat yang disyaratkan, dalam kafalah untuk mendatangkan makful: atau jika tidak disyaratkan, maka ke tempat diadakan kafalah. Mendatangkan makful atau kedatangannya sendiri ke hadapan makful lah tersebut berada tanpa penghalang (antara makful) dengan makful lah, misalnya orang yang zalim.

 

Jika makful tidak ada di tempat, maka kafil wajib mendatangkannya jika diketahui tempat berada dan aman jalannya, kalau tidak, maka kafil tidak wajib mendatangkannya.

 

Kafil tidak dapat dituntut dengan membayar harta, sekalipun ia tidak dapat menghadirkan makful lantaran kematian maklul atau lainnya.

 

Karena itu, jika disyaratkan kafil harus membayar harta, sekalipun dengan kata-kata, “Jika memang ia tidak dapat menyerahkan makful”, maka kafalah tersebut tidak sah.

 

Shighat penetapan Dhaman dan Kafalah adalah seperti, “Aku yang menanggung piutangmu pada Fulan/ Aku menanggungnya/Aku yang menjamin badannya/Aku penanggung atau menjamin atas harta atau menghadirkan sesuatu”.

 

Jika seseorang berkata, “Akan saya bayarkan harta” atau “Akan saya hadirkan seseorang”, maka itu adalah janji menyanggupi sesuatu, sebagaimana kejelasan shighat tersebut.

 

Tetapi, jika ada qarinah yang mengarahkan ke arti dhaman/kafalah, maka jadilah akad dengan perkataan tersebut. Begitulah pembahasan Ibnur Rifah yang dipegangi As-Subki.

 

Dhaman dan kafalah tidak sah dengan keberadaan syarat bebas Ashil (madhmun anhu dan makful) dari tanggungan atau digantungkan pada kejadian atau dengan dibatasi waktu.

 

Bagi pemilik hak (madhmun lah) boleh menagih piutangnya pada dhamin atau ashil. Jika ashil sudah bebas dari tanggungannya, maka bebas pula dhamin, tetapi tidak sebaliknya dalam masalah pembebasan tanggungan (jika madhmun lah membebaskan dhamin, tidak dengan sendirinya ashil terbebaskan dari tanggungannya), lain halnya dengan pembayaran tanggungan Gika dhamin telah bebas tanggungannya dengan menunaikan utangnya pada pemiutang/madhmun lah, maka ashil bebas dari tanggungannya).

 

Jika salah satu dari dhamin atau ashil mati, sedangkan utang belum terlunasi, maka pelunasan menjadi kontan waktu itu atas yang mati. Jika dhamin telah melunasi utang madhmun anhu (atas izinnya dan dengan hartanya sendiri, bukan dari bagian gharimin dalam Bab Zakat), maka ia boleh minta ganti kepadaashil, Jika dhamun telah berdamai dengan madhmun lah dengan membayar utang di bawah jumlah semestinya (Shuluh Ibra’), maka ia tidak boleh minta ganti kepada madhmun anhu, kecuali jumlah yang telah ia bayar.

 

Jika seseorang membayar utang orang lan sewinnya, maka ia nanti boleh minta ganti kembali, sekalipun permintaan ganti tersebut tidak disyaratkan kecuali jika ia membayar utang orang tersebut dengan tujuan sedekah sukarela.

 

Cabang:

 

Segolongan ulama berfatwa: Jika dua orang berkata kepada seseorang, “Kami berdua yang menanggung hartamu yang ada pada Fulan”, maka ia boleh menagih kepada siapa saja di antara kedua orang tersebut dalam keseluruhan jumlah harta.

 

Segolongan ulama Mutakadimin berkata: Ia boleh menagih separo piutangnya kepada masing-masing. Pendapat inilah yang dicondongi oleh Al-Adzra’i.

 

Guru kita berkata: Ucapan “lemparkanlah hartamu ke dalam laut, aku dan penumpang kapal sekalian yang akan menanggungnya”, maka tanggungan dibagi rata, karenz dhaman yang hakikat, tetapi ajakan untuk merusak harta demi kemaslahatan bersama: karena itu menyebabkan adanya pembagian tanggung jawab yang rata, agar manusia tidak menghindari sikap ini.

 

Suluh:

Ketahuilah, bahwa Shuluh itu dianggap sah jika telah ada pengakuan terdakwa.

 

Berdamai dengan memperoleh sesuatu yang bukan didakwakan disebut Shuluh Mu’awadhah. Adapun akibat hukumnya adalah jual beli. Misalnya, seseorang berkata, “Aku damai denganmu tentang apa yang kamu dakwakan, dan kini kuganti dengan pakaian ini.”

 

Berdamai dengan menggugurkan sebagian dari yang didakwakan disebut Shuluh Ibra’, jika yang didakwakan itu berupa utang piutang. Karena itu, jika pendakwa tidak mengatakan “kubebaskan tanggunganmu”, maka tidaklah. menjadi masalah.

 

Shuluh (damai) akan sia-sia jika pendakwa tidak mempunyai bukti (saksi 2 laki-laki, satu laki-laki dan 2 perempuan atau sumpah dan satu saksi), sedang terdakwa mengingkan tuduhannya atau diam saja. Karena ilu, shuluh tidak sah jika terdakwa masih mengingkari dakwaannya, sekalipun dipastikan bahwa yang benar adalah pendakwa: Lain halnya dengan pendapat Aimmatits Tsalatsah (Imam Malik, Imam Ibnu Hanbal dan Imam Abu Hanifah rahimahullah).

 

Tetapi, dalam akad shuluh di mana terdakwa masih ingkar, bagi pendakwa yang benar dengan dakwaannya, boleh mengambil barang yang diserahkan kepadanya.

 

Kemudian, jika shuluh tersebut terjadi tanpa ada barang yang didakwakan, maka berarti ia adalah Zhafir (pencekal) dan hukumnya akan diterangkan di belakang.

 

Cabang:

 

Haram bagi setiap orang menanam pepohonan atau tempat berteduh di tengah jalan umum, sekalipun untuk kemanfaatan umum orang-orang Islam dan sekalipun tidak membahayakan (mengganggu) orang-orang yang melewati, sekalipun mudarat bisa dihilangkan seketika (ghayah terakhir ini tidak ada faedahnya, sebab sudah dicukupi dengan ghayah sebelumnya -pen), atau tempat berteduh tersebut dibangun di depan halaman rumahnya.

 

Halal menanam pohon di depan mesjid demi kemaslahatan kaum muslimin atau pemanfaatan hasilnya untuk mesjid, namun hukumnya adalah makruh.

 

Wakalah (perwakilan) sah dilakukan oleh seseorang yang berwenang dalam bertindak untuk dirinya, misalnya wakalah budak sekalipun tanpa seizin tuannya dan orang fasik untuk qabul akad nikah: Mereka tidak sah menjadi wakil dalam ijabnya.

 

Wakalah adalah penyerahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam urusan yang dapat digantikan, agar orang tersebut melaksanakannya selagi penyerah masih hidup.

 

Wakalah sah dilakukan untuk setiap akad, misalnya: Jual beli, nikah, hibah, gadai dan cerai yang jelas sasarannya.

 

Sah pula dilakukan pada setiap fasakh (penggagalan), misalnya Igalah penggagalan jual beli dan mengembalikan barang sebab cacat.

 

Sah pula dilakukan pada penerimaan/menerimakan utang/barang.

 

Sah pula (menjadi wakil dari imam atau tuan) dalam menunaikan pembalasan adami (misalnya kisas dan had qadzaf: Begitu juga ‘uqubah lillah), dakwaan dan jawabannya (eksepsi), sekalipun pihak lawan merasa tidak senang.

 

Wakalah dalam perkara-perkara di atas, dihukumi sah, jika muwakkil (orang yang mewakilkan) memiliki kekuasaan tasaruf terhadap perkara tersebut ketika terjadi akad wakalah. Karena itu, tidak sah mewakilkan penjualan barang yang akan menjadi miliknya atau mencerai wanita yang akan dinikahinya atas perkara tersebut di saat itu.

 

Demikian juga tidak sah, mewakilkan kepada seseorang agar mengawinkan wanita mauliyah (perwalian) nanti setelah dicerai dan habis idahnya: Demikianlah menurut pendapat dua Guru kita (Ar-Raffi dan An-Nawawi) dalam bab ini (Wakalah), tetapi di dalam Bab Nikah, An-Nawawi di dalam kitab Ar-Raudhah mengunggulkan kesahan wakalah (pendapat yang terakhir ini adalah daif).

 

Demikian juga An-Nawawi dalam tempat yang sama (Bab Nikah) mengunggulkan kesahan wakalah wali (kepada seseorang) jika wanita mauliyah yang masih dalam ikatan nikah atau idahnya, berkata, “Jika telah halal (habis masa idah), engkau kuizinkan mengawinkan diriku”.

 

Jika wali tersebut menggantungkan wakalahnya pada selesai idah atau talak (misalnya, ia berkata, “Jika putriku sudah tertalak atau habis idahnya, maka kuwakilkan agar engkau mengawinkannya”), maka akad wakalah hukumnya batal, (tetapi) perkawinannya sah, karena sudah adaizin. –

 

Mewakilkan agar memberi ikrar (pengakuan), adalah tidak sah, misalnya: seseorang berkata kepada orang lain, “Aku mewakilkan kepadamu untuk berikrar atas namaku, agar Fulan begini.”, lalu wakil itu menyatakan, “Aku berikrar atas namanya begini”. Masalahnya, ikrar itu merupakan pemberitahuan orang lain (yang ada pada diri pengikrar), karena itu tidak dapat diwakilkan.

 

Akan tetapi, dengan adanya taukil di atas, maka berarti muwakkil berikrar.

 

Wakalah tidak sah pula pada pengucapan sumpah, karena tujuan sumpah adalah mengagungkan Allah swt. dan karenanya menyerupai ibadah. Disamakan dengan sumpah, yaitu nazar, menggantungkan kemerdekaan budak atau talak dengan suatu sifat.

 

Wakalah tidak sah pula pada pemberian persaksian, karena disarnakan dengan ibadah, sebab pemberian persaksian terhadap persaksian bukanlah taukil (mewakilkan), tetapi karena keperluan menjadikan seorang saksi yang dijamin kesaksiannya, sebagaimana halnya seorang hakim yang memutuskan hukum (terhadap terdakwa yang tidak ada di daerahnya) lewat hakim lain.

 

Wakalah tidak sah pula dalam ibadah, kecuali haji, umrah dan menyembelih semisal binatang kurban.

 

Wakalah tidak sah, kecuali dengan keberadaan ijab, Yaitu pernyataan kerelaan dari muwakkil yang. sah pinangan langsungnya dalam mentasarufkan muwakkal fih (perkara yang diwakilkan).

 

Misalnya, “Aku mewakilkan ke: padamu dalam masalah ini/Aku menyerahkan masalah ini kepadama/ Kamu kujadikan sebaga pengganuku dalam masalah ini/Jualkan kedudukanku dalam masalah ini/ Jualkan barang ini dengan harga sekian/ Kawinkanlah wanita Fulanah/ Talakkanlah ia/Engkau kuberi kekuasaan atas talaknya/Merdekakan Fulan”,

 

As-Subki berkata: Dari pembicaraan para ulama, dapatlah diketahui bahwa perkataan seorang wanita yang tidak mempunyai wali, “Kuizinkan kepada siapa saja dalam daerah ini yang akan mengawinkanku” adalah sah. Al-Adzra’i berkata: Itu dihukumi sah, jika si wanita tersebut telah menentukan calon suaminya dan tidak menyerahkan kecuali hanya shighatnya saja.

 

Atas pendapat Al-Adzra’i di atas, Ibnush Shalah berfatwa.

 

Dalam wakalah tidak disyaratkan ada qabul secara lisan (ucapan), namun disyaratkan tidak ada penolakan sama sekali.

 

Jika seseorang yang belum mengetahui bahwa dirinya menjadi wakil itu melakukan tasaruf, maka tasarufnya adalah sah, jika kemudian ternyata ia telah menjadi wakil sewaktu tasaruf itu dilaksanakan, sebagaimana seseorang yang menjual harta ayahnya dengan persangkaan ayahnya masih hidup dan ternyata sudah mati (sejak penjualan dilaksanakannya).

 

Tidak sah menggantungkan wakalah dengan suatu syarat, misalnya, “Apabila telah tiba bulan Ramadhan, maka aku mewakilkan kepadamu dalam urusan ini”.

 

Jika wakil dalam wakalah melakukan tasaruf setelah terjadi syarat penggantungan tersebut, misalnya seseorang mewakilkan orang lain untuk mencerai istri muwakkil yang dinikahinya, menjual budak yang akan dimilikinya, atau mengawinkan anak wanitanya setelah talak dan habis idahnya, lalu wakil melakukan penalakan istri muwakkil setelah dinikahinya, menjual hambanya setelah dimiliki atau mengawinkannya setelah habis idahnya, maka sahlah tasaruf wakil tersebut, lantaran memberlakukan keumuman perizinan, sekalipun kita berpendapat bahwa akad wakalah di sini batal dalam kaitannya dengan gugur pemberian imbalan yang telah ditentukan dalam akad, jika ada ketentuan dan kewajiban membayar upah sepantasnya.

 

Wakalah dengan menggantungkan pentasarufannya saja adalah sah, misalnya, “Juallah barang ini, tetapi setelah satu bulan nanti.” Juga sah dengan membatasi masa berlakunya: misalnya, “Aku mewakilkan kepadamu sampai bulan Ramadhan.”

 

Dalam wakalah disyaratkan keadaan muwakkal fih diketahui oleh wakil, sekalipun hanya dari satu sisi: misalnya, “Aku mewakilkan kepadamu untuk menjual seluruh hartaku dan memerdekakan budak-budakku”, sekalipun harta dan budak-budaknya belum diketahui, karena kecilnya penipuan yang ada dalam perkataan tersebut.

 

Lain halnya dengan: “Jualkanlah ini atau itu”: Ini berbeda dengan “Jualkanlah salah seorang dari kedua budakku”, sebab pengertian “salah seorang” itu bisa diterapkan pada mana saja budak yang dimilikinya. Lain lagi (tidak sah) dengan: “Jualkanlah sebagian hartaku”.

 

Tetapi wakalah sah dengan: “Jualkanlah atau hibahkanlah dari hartaku, terserah padamu.”

 

Batal wakalah pada perkara (muwakkal fih) yang tidak diketahui: misalnya, “Aku mewakilkan kepadamu pada perkara yang sedikit dan yang banyak/pada setiap perkaraku”, atau “Tasarufkanlah sekehendakmu pada perkara-perkaraku, karena besar kesamaran dalam perkataan tersebut.

 

Sebagaimana dengan anggota perserikatan, maka bagi wakil yang mempunyai wewenang campur tangan tasaruf untuk dirinya, adalah berhak menjual muwakkal fih dengan harga sepatutnya atau lebih tinggi dengan kontan.

 

Karena itu, ia tidak boleh menjualnya secara angsuran, tidak boleh dengan selaun uang yang berlaku di daerah setempat. tidak boleh dengan kerugian yang dianggap tidak tamah. Barang yang harga semestinya 10 dijual dengan harga 9, adalah kerugian yang dapat diampuni (tumrah), tetapi jika dijual dengan harga 8, maka tidak dapat dianggap lumrah.

 

Apabila wakil menjual dengan menyalahi peraturan di atas, maka penjualannya dianggap batal, dan jika telah menyerahkan kepada pembeli, maka ia wajib menanggung nilai harganya dengan perhitungan harga waktu penyerahan, sekalipun berupa barang mitsli. Sedangkan jika barang tersebut masih ada, maka boleh menjualnya kembali dengan izin semula, lalu menerima harga itu dan ia tidak wajib menanggung nilai harga.

 

Adapun jika barang itu telah rusak, maka muwakkil boleh meminta gantinya kepada wakil atau pembeli, sedangkan ketetapan yang mengganti adalah pembeli.

 

Semua peraturan di atas adalah berlaku, jika muwakkil mewakilkan dalam penjualan secara mutlak dengan kata lain ia tidak menentukan harga, kontan, angsuran (bon) dan uang pembayarannya. Jika ia menentukan sesuatu (dari hal-hal di atas), maka ketentuan itu wajib dituruti.

 

Cabang:

 

Jika muwakkil berkata kepada wakil: “Juallah barang ini dengan harga terserah kamu”, maka baginya boleh menjualnya dengan kerugian yang tidak lumrah, tetapi ia tidak boleh menjualnya dengan harga angsuran dan tidak boleh pula dengan selain mata uang daerah (negara) setempat.

 

Jika berkata: “…. dengan terserah kamu/….pendapatmu”, maka ia boleh menjualnya dengan selain uang daerah setempat, tetapi tidak boleh dengan kerugian yang tidak lumrah atau harga angsuran.

 

Kalau berkata, “…. dengan cara terserah kamu”, maka baginya boleh menjualnya dengan harga angsuran, tetapi tidak boleh menjualnya dengan kerugian yang tidak lumrah atau selain uang daerah setempat.

 

Jika berkata, “…. dengan harga tinggi atau rendah”, maka baginya boleh menjual dengan harta dagangan (tidak dengan mata uang) dan kerugian yang tidak lumrah, tetapi ia tidak menjualnya dengan harga angsuran.

 

Bagi wakil tidak boleh menjual muwakkil fih kepada dirinya sendiri atau perwaliannya (anak kecil, orang gila atau bodoh yang dikuasai), sekalipun muwakkil telah memberinya izin dan menentukan harga penjualannya -lain halnya dengan pendapat Ibnur Rif’ah-, sebab terlarangnya terjadi ijab dan qabul dari satu pihak, sekalipun tidak ada kecurigaan. Lain halnya jika dijual kepada ayah wakil atau anaknya yang sudah rasyid.

 

Tidak sah menjualnya dengan harga umum (mitsli), padahal masih ada orang lain yang membelinya dengan lebih tinggi tanpa merugikan dan wakil mempercayai orang lain tersebut. Dalam hal ini Al-Adzra’i berkata: Orang lain tersebut tidak biasa menunda-nunda pelunasan, serta harta atau usahanya (pekerjaannya) tidak haram, artinya seluruh atau sebagian harta/usahanya.

 

Apabila di tengah-tengah khiyar majelis atau syarat -sekalipun hak khiyar milik pembeli sajaterdapat pembeli kedua dengan harga lebih tinggi, sedangkan pembeli pertama tidak berani menaikkan harga, maka bagi wakil harus menggagalkan (memfasakh) akad jual beli (dan melanjutkan pada pembeli kedua). Jika ia tidak menggagalkan jual beli, maka akad tersebut menjadi rusak dengan sendirinya.

 

Apabila akad jual beli dilaksanakan dengan kontan, maka bagi wakil tidak boleh menyerahkan barang jualan sebelum menerima harga pembayaran secara kontan, maka ia wajib menang gung nilai harga mabi’ kepada muwakkil, sekalipun berupa barang miltsli.

 

Wakil pembeli tidak boleh membelikan barang yang cacat, sebab akad yang dinyatakan secara mutlak itu menurut urf, adalah mengarah pada barang yang tidak cacat.

 

Jika wakil mengerti kecacatan barang dan ia membelinya dengan harga tanggungan pribadi, maka pembelian tersebut berlaku untuk dirinya, sekalipun harga tersebut sesuai dengan kecacatan barang itu, kecuali jika muwakkil telah menentukan barang cacat itu dan mengetahuinya, maka pembelian berlaku untuk muwakki.

 

Sebagaimana (berlaku untuk muwakkil), jika wakil membelinya lantaran ia tidak tahu kecacatan barang, baik itu dengan harga pembayaran hartanya sendiri ataupun dengan harta muwakkil, sekalipun harga belinya tidak sesuai dengan kecacatan barang tersebut,

 

Dari keterangan di atas, dapatlah diketahui, bahwa sekira pembelian tersebut tidak berlaku untuk muwakkil, maka jika harga yang dibuat membeli tersebut adalah harta muwakkil, maka batallah pembeliannya, dan jika harta yang dibuat membeli tersebut bukan harta muwakkil, maka pembelian berlaku untuk wakil.

 

Bagi amil akad Qiradh (orang yang menjalankan modal orang lain) boleh membeli barang yang cacat, sebat tujuan dari akad qiradh adalah mencari laba.

 

Alasan dalam akad qiradh tersebut dapat diterapkan dalam akad wakalah: Jika tujuan akad Pakatah tersebut mencari laba, maka bagi wakil boleh membeli barang yang cacat, Begitulah hukum yang ada.

 

Wakil dan muwakkil berhak mengembalikan barang cacat, di mana wakil tidak mengetahui kecacatan tersebut. Jika muwakkil ada pada barang pembelian, maka bagi wakil tidak berhak mengembalikan barang tersebut.

 

Jika muwakkil menyerahkan sejumlah harta kepada wakil dan memerintahkan untuk membayar pembelian barang, lalu ia membayarkan dengan hartanya sendiri, maka wakil tersebut dipandang sebagai orang yang memberikan secara sukarela, sekalipun ia melakukan hal itu lantaran dirasa uzur untuk memberikan harta muwaikkil, karena semacam tidak ada kunci (peti) harta muwakkil, lantaran dia dapat memberikan hartanya sendiri, adalah atas nama muwakkil kemudian meminta ganti atau memberitahukan hal itu kepada hakim.

 

Apabila muwakkil tidak menyerahkan sesuatu kepada wakil atau tidak memerintahkannya agar membayarkan harta yang diberikan untuk harga pembelian, maka bagi wakil boleh memintanya ganti, sebab ada qarinah (pertanda) yang mengarahkan izin muwakkil dalam pembayaran wakil pada pembelian atas nama muwakkil.

 

Wakil tidak boleh mewakilkan lagi kepada orang lain tanpa seizin muwakkil dalam perkara-perkara yang dapat ia kerjakan sendiri, karena rela pekerjaan tersebut dilakukan oleh orang lain,

 

Tetapi, jika muwakkil mewakilkan wakil untuk mengambil piutangnya, lalu wakil melaksanakan wakalah tersebut, lalu ia mengirimkan piutang itu kepada muwakkil lewat keluarga wakil, maka ia tidak wajib me nanggung risiko (yang terjadi atas kerusakan piutang tersebut): Demikianlah menurut pendapat Al-Jauri Kata Guru kita: Yang jelas bahwa yang dimaksudkan dengan keluarga wakil adalah anak-anak, budak-budak dan istrinya, lain halnya dengan orang-orang selain mereka.

 

Seperti halnya pengiriman piutang di atas, adalah pengiriman barang pembelian kepada muwakkil lewat salah seorang dari keluarga wakil.

 

Terkecualikan dari ucapanku “dalam perkara yang dapat dikerjakan sendiri”, adalah perkara yang tidak dapat dikerjakan oleh wakil. Ketidakmampuan tersebut lantaran terlalu banyak atau karena ia tidak mampu menunaikan perkara tersebut dengan sebaik mungkin atau perkara itu tidak patut untuk dirinya.

 

Maka dalam keadaan seperti itu, bagi wakil boleh mewakilkan perkara-perkara tersebut atas nama muwakkil, bukan dirinya.

 

Kesesuaian alasan di atas: Bagi wakil tidak boleh mewakilkan perkara tersebut kepada orang lain yang keberadaannya tidak diketahui oleh muwakkil.

 

Apabila wakil mengalami ketidakmampuan lantaran ia mengalami sakit atau bepergian, maka baginya tidak boleh mewakilkan kepada orang lain.

 

Apabila wakil mewakilkan kepada orang lain dengan izin muwakkil, maka wakil kedua adalah wakil muwakkil: Karena itu, wakil pertama tidak berhak memecat wakil kedua.

 

Bila muwakkil berkata kepada wakil, “Wakilkan perkara itu di atas namamu”, lalu ia melaksanakan perintah itu, maka wakil kedua tersebut adalah wakilnya wakil yang pertama, lantaran menyelaraskan izin tersebut. Karena itu, wakil kedua dengan sendirinya terpecat jika wakil pertama dipecat oleh muwakkil.

 

Bagi wakil (manakala ia boleh mewakilkan), wajib mewakilkan hanya kepada orang yang dapat dipercaya, selama muwakkil tidak menentukan selain orang yang tepercaya, lagi pula mengetahui keadaan orang itu, atau muwakkil tidak berkata kepadanya, “Wakilkan kepada siapa saja, terserah”: demikianlah menurut pendapat Al-Aujah.

 

Sebagaimana halnya dengan jika seorang wanita berkata kepada walinya, “Kawinkanlah aku dengan Siapa saja terserah”, maka bagi wali boleh mengawinkan kepada laki-laki yang tidak kufu (sebanding) dengannya.

 

Ucapan muwakkil kepada wakil, “Perlakukanlah perkara itu sesukamu”, atau “Apa yang kamu kerjakan tentang perkara itu adalah boleh bagimu”, adalah bukan berarti mengizinkan lagi mewakilkan kepada orang lain.

 

Cabang:

Jika muwakkil berkata, “Juallah kepada orang tertentu, misalnya Zaid”, maka bagi wakil tidak boleh menjual kepada selain Zaid, sekalipun orang itu wakil Zaid. Kalau ia berkata, “Juallah dengan harga harta tertentu, misalnya, dinar”, maka wakil tidak boleh menjual dengan uang dirham, begitulah menurut pendapat Al-Muktamad. Kalau ia berkata, “Juallah di tempat tertentu”, atau “juallah di masa tertentu, misalnya bulan anu… atau di hari anu.,., maka wakil tidak boleh menjual sebelum dan sesudah waktuwaktu tersebut, sekalipun dalam perwakilan talak dan tidak berkaitan dengan suatu maksud, lantaran menjalankan izin muwakkil.

 

Ucapan tersebut berbeda dengan, “Jika telah datang awal bulan, maka perkara istriku ada di tanganmu”, dan muwakkil tidak bermaksud membatasinya di awal bulan, maka bagi wakil boleh menjatuhkan talak istri muwakkil setelah awal bulan tersebut.

 

Lain halnya dengan, “Ceraikanlah ia hari Jumat”, maka ucapan ini mengarah pada pembatasan dalam melaksanakan talak di hari itu, bukan lainnya.

 

(Menjual barang) di malam hari : adalah sama halnya dengan pagi hari, jika keadaan para peminat barang sama.

 

Bila muwakkil berkata, “… di hari Jumat/hari Raya”, maka bagi wakil melaksanakan pada hari Jumat/hari Raya yang terdekat.

 

Penentuan tempat oleh muwakkil harus dituruti, jika ia tidak menentukan harga tertentu atau melarang (menjual) di selain yang telah ia tentukan. Jika ia telah menentukan harga tertentu atau tidak melarang di selain tempat yang ditentukan, maka bagi wakil boleh menjual di selain tempat yang telah ditentukan.

 

Wakil sekalipun dengan upah adalah orang yang dipercaya. Karena itu, ia tidak berkewajiban menanggung kerusakan barang yang ada di tangannya, kecuali jika ia berlaku gegabah (lalim).

 

Wakil dengan sumpahnya dapat dibenarkan dakwaannya tentang kerusakan dan dakwaan telah menyerahkan kepada muwakkil, karena dialah yang tepercaya. Lain halnya dakwaan telah menyerahkan kepada selain muwakkil, misalnya utusannya, maka yang dibenarkan adalah utusannya dengan disumpah.

 

Jika muwakkil mewakilkan kepada wakil untuk membayar utang, lalu wakil berkata, “Telah kubayar utang itu”, sedang pemiutang mengingkari adanya penyerahan pembayaran kepada dirinya, maka pemiutang dapat dibenarkan dengan sumpahnya, karena asal permasalahannya adalah utang belum terlunasi. Untuk selanjutnya, pemiutang disumpah dan ia boleh menagih kepada muwakkil saja.

 

Jika wakil gegabah (lalim) dalam bertindak, misalnya wakil mengendarai binatang atau memakai pakaian, maka ia wajib menanggung risiko (jika rusak), sebagaimana halnya dengan orang-orang yang tepercaya lainnya.

 

Termasuk gegabah adalah: Barang tersebut hilang dan ia tidak mengetahui bagaimana orang tersebut dapat hilang, atau ia meletakkannya di suatu tempat, lalu dilupakan.

 

Wakil tidak terpecat lantaran berbuat gegabah tanpa merusakkan muwakkil fih.

 

Bila seseorang mengutus orang lain untuk pergi ke penjual kain dan mengambil pakaian yang masih dalam tawar-menawar, lalu mengalami kerusakan di tengah jalan, maka orang yang mengutus tersebut wajib menanggungnya, bukan suruhannya.

 

Cabang:

 

Bila setelah tasaruf terjadi percekcokan antara wakil dengan muwakkil mengenai telah terjadi akad wakalah atau belum, misalnya, “Engkau telah mewakilkanku untuk begini….”, lalu dijawab, “Aku tidak mewakilkannya padamu”, atau bercekcok tentang sifat wakalah, misalnya, “Engkau mewakilkannya kepadaku agar menjual dengan harga angsuran/membeli dengan harga 20”, lalu dijawab, “…., tetapi kontan/ 10”, maka yang dibenarkan adalah muwakkil dengan sumpahnya, sebab asal permasalahannya ada di tangannya.

 

Wakil menjadi terpecat dengan sebab mengundurkan diri atau dipecat oleh muwakkil, baik dengan kata “pecat”, atau bukan, misalnya, “Kurusak/kubatalkan/kuhapuskan akad Wakalah”, sekalipun yang dipecat tidak mengetahuinya.

 

Juga terpecat dengan sebab keluar salah seorang di antara mereka dari hak tasaruf lantaran mati atau gila, sekalipun pihak yang tidak terlepas haknya tidak mengetahui, dan sekalipun penyakit gila hanya sebentar terjadinya.

 

Juga terpecat dengan sebab hilang hak milik muwakkil atas muwakkal rusak di tangannya, maka ia bebas dari utangnya.

 

Jika muwakkil berkata kepada wakilnya, “Juallah barang ini di daerah Anu … dan uangnya belikan seorang budak”, maka bagi wakil boleh meniupkannya di tengah jalan atau arah tujuan pada orang yang dapat dipercaya, baik itu seorang hakim atau lainnya, sebab tugas tersebut tidak lazim baginya, dan bukan penipuan darinya, tetapi pemiliknya yang mengkhawatirkan hartanya.

 

Karena itu, jika wakil telah menjual barang muwakkil, maka ia tidak wajib membelikan budak: dan kalau ia membelikan budak dari penjualannya, maka ia tidak wajib menyerahkan kepada muwakkil, tetapi ia boleh menitipkan kepada orang yang telah disebutkan di atas. Bagi wakil tidak boleh menyerahkan hasil penjualan tersebut kepada muwakkil, sekira tidak ada qarinah yang menunjukkan kebolehan penyerahannya, sebab pemilik tidak memberi izin kepadanya untuk menyerahkannya. Jika menyerahkannya, maka uang dari penjualan barang tersebut menjadi tanggungannya sampai kepada pemiliknya. Begitulah pemaparan Guru kita.

 

Jika ada orang yang mengaku bahwa dirinya adalah wakil untuk mengambil piutang atau barang yang ada pada Zaid, maka bagi Zaid tidak wajib menyerahkannya kepada orang itu, kecuali ada bukti wakalahnya.

 

Namun, bagi Zaid boleh menyerah: kannya, jika ia membenarkan pengakuan orang tersebut.

 

Atau (kalau) ada orang yang nengaku Muhtal (orang yang piutangnya dipindahkan kepada Zaid) dalam hubungannya dengan piutang atau “barang yang ada pada Zaid dan ia membenarkan pengakuan tersebut, maka ia wajib menyerahkan kepada Orang tersebut, karena ia telah mengakui terjadi perpindahan hak milik harta kepada orang tersebut.

 

Jika Zaid telah menyerahkannya kepada orang yang mengaku sebagai wakil, dan pemilik sebenarnya mengingkarinya dan bersumpah bahwa ia telah mewakilkan kepada orang itu, maka jika yang telah diserahkan itu berupa barang, maka pemilik tersebut boleh memintanya kembali bila barang itu masih ada: Kalau sudah tidak ada, maka pemilik barang dapat meminta pengganti kepada salah satu dari kedua orang tersebut (orang yang mengaku sebagai wakil dan menyerahkannya). Kemudian bagi pihak yang telah menggantinya, ia tidak boleh meminta ganti kepada pihak yang lain, sebab ia adalah orang yang dizalimi dengan dugaan sendiri.

 

Jika yang telah diserahkan itu berupa piutang (pembayaran utang), maka pihak pemilik hanya boleh menuntut pihak yang menyerahkan tersebut.

 

Atau jika Zaid menyerahkan (piutang seseorang yang ada pada dirinya) kepada orang yang mengaku Muhtal, lalu pemiutang mengingkari akad Hawalah dan bersumpah untuk itu, maka pemiutang mengambil piutangnya kepada pengutangnya (Zaid), dan Zaid tidak boleh meminta ganti kepada Muhtal, sebab ia telah mengakui ada hak milik pada diri Muhtal.

 

Al-Kamal Ad-Darimi berkata: Jika ada orang berkata, “Aku adalah wakil dalam menjual/nikah”, dan orang yang mengadakan akad dengannya membenarkannya, maka sahlah akadnya. Kemudian setelah akad selesai ia mengatakan, bahwa dirinya sebenarnya tidak menjadi wakil, maka perkataannya tidak digubris.

 

Qiradh adalah suatu akad penyerahan harta oleh pemiliknya kepada orang lain untuk diperdagangkan dan labanya dimiliki bersama. Qiradh dapat sah dilakukan dalam bentuk uang emas/perak murni yang telah tercetak, sebab qiradh adalah akad yang tidak jelas (gharar) lantaran tidak terbatas pekerjaan (yang dikerjakan Amil) serta tidak ada kepastian tentang labanya.

 

Qiradh diperbolehkan lantaran kebutuhan yang menarik ke situ, Karena itu, qiradh dikhususkan dengan harta yang pada galibnya dapat menarik keuntungan, yaitu emas/perak yang telah dicetak, sekalipun sudah ditarik dari peredarannya sebagai uang sah oleh penguasa.

 

Dikecualikan dari “emas/perak”, adalah harta selain emas/perak, sekalipun berupa uang tembaga. Dikecualikan dari “yang murni”, emas/perak yang sudah tidak murni (dicampur), sekalipun diketahui kadar campurannya, atau bercampur dengan tembaga. Dikecualikan dari “yang tercetak”, yaitu emas/perak yang masih batangan atau perhiasan.

 

Maka, untuk barang-barang seperti di atas, adalah boleh dibuat akad qiradh.

 

Dikatakan: Qiradh boleh dengan emas/perak yang dicampur dengan tembaga, jika tembaga tersebut sudah tidak dapat dibedakan dalam pandangan mata. Pendapat ini dipilih oleh As-Subki dan lainnya.

 

Menurut tinjauan ulama ketiga dalam “Zawaidur Raudhah”, bahwa qiradh diperbolehkan pada setiap perhiasan.

 

Qiradh itu bisa sah jika dengan ada Shighat, yaitu ijab dari pemilik modal, misalnya, “Aku berqiradh denganmu/ aku bermuamalah padamu begini…/ambillah beberapa dirham ini dan buatlah berdagang/ menjuallah atau membeli dengan keuntungan milik kita berdua”.

 

Keberadaan Qabul dari Amil dengan spontan dan diucapkan.

 

Ada yang mengatakan: Ijab yang dinyatakan dengan perintah, misalnya, “Ambillah ini dan buatlah berdagang”, qabulnya adalah cukup dengan melaksanakan perintah tersebut, sebagaimana dalam masalah Wakalah.

 

Syarat pemilik modal dan amil adalah seperti muwakkil dan wakil, yaitu mereka berdua mempunyai wewenang sah dalam campur tangan tasarufnya.

 

Disyaratkan juga ada laba milik mereka berdua. Karena itu, tidak sah jika laba menjadi milik salah satu saja.

 

Disyaratkan juga ada hak laba diketahui bagiannya, misalnya: 1/2 atau 1/3.

 

Jika pemilik modal barkata, “Aku berqiradh denganmu dan labanya milik kita berdua”, maka jadilah masing-masing mnempunyai hak laba 50%”, atau berkata, “… dengan bagian hak laba seperempat perenam sepersepuluh”, maka akad tersebut adalah sah, sekalipun kedua belah pihak ketika akad tidak mengetahui kadar tersebut, lantaran mudahnya untuk diketahui kemudian, yaitu bagian dari 1/240 laba keseluruhannya.

 

Jika salah satunya disyaratkan akan mendapatkan bagian hak laba sepuluh atau laba sejenis macam, misalnya budak, maka qiradh menjadi rusak.

 

Pihak Amil dalam qiradh yang rusak, berhak mendapatkan upah sepantasnya, sekalipun dalam menjalankan modal tidak ada labanya, karena ia bekerja dengan mengharapkan upah yang telah ditentukan.

 

Termasuk qiradh yang fasid menurut fatwa Guru kita, Ibnu Ziyad rahimahullah, adalah apa yang telah dibiasakan oleh sebagian manusia, yaitu menyerahkan harta kepada orang lain dengan perjanjian orang tersebut harus mengembalikan uang 12 untuk modal 10 (12%), baik ia beruntung ataupun rugi dalam menjalankan modal tersebut.

 

Dalam qiradh yang fasid ini, bagi Amil hanya berhak mendapatkan upah sepantasnya, sedangkan keseluruhan keuntungan atau kerugian ada di tangan pemilik modal, serta status Amil dalam memegang harta adalah orang yang dipercaya, karena itu, jika Amil gegabah dalam memegangnya, semisal ia melampaui. batas tempat yang diizinkan memperdagangkan harta di situ, maka ia harus menanggung risiko harta itu. Selesai.

 

Amil tidak berhak mendapatkan upah dalam qiradh yang fasid, jika di situ disyaratkan bahwa keseluruhan laba adalah milik pemilik modal, karena Amil bekerja tidak mengharapkan sesuatu.

 

Juga dapat diarahkan ke situ, bahwa, Amil tidak mendapatkan upah, jika ja telah tahu qiradh itu fasid dan tahu , nantinya ia tidak mendapatkan upah.

 

Tasaruf Amil dalam qiradh fasid tetap sah, namun ia tidak halat memberanikan diri melakukan tasaruf setelah ia mengetahui kefasadan qiradh.

 

Amil tasaruf harus ke arah maslahah, sekalipun berupa harta (selain emas/ perak), tidak boleh mentasarufkan ke arah kerugian yang tidak lumrah atau sistem angsuran tanpa seizin pemilik modal. Ia tidak boleh pergi membawa harta qiradh tanpa seizin pemilik modal, sekalipun dalam jarak dekat, tiada kekhawatiran dan : tidak memakan biaya. Karena itu, jika hal tersebut ia lakukan, maka ia harus menanggung risiko harta dan di samping berdosa. Dalam pada itu akad qiradh masih berjalan seperti. semula.

 

Adapun jika ia telah mendapatkan izin, maka ia boleh pergi dengan membawa harta qiradh, tetapi ia tidak boleh mengendarai kapal laut, kecuali setelah mendapat izin tersendiri untuknya.

 

Amil tidak boleh membelanjakan harta qiradh untuk keperluan dirinya, baik selama di rumah maupun dalam perjalanan, sebab baginya telah ada bagian laba, yang berarti ia tidak berhak selainnya. Jika dalam akad disyaratkan biaya hidup Amil, maka akad qiradh menjadi rusak.

 

Amil dengan sumpahnya dapat dibenarkan dalam dakwaannya, bahwa seluruh atau sebagian harta telah rusak, sebab ia adalah orang yang dipercaya.

 

Tetapi nash Asy-Syafi’i dalam AlBuwaithi yang dipegangi oleh segolongan ulama Mutakaddimun mengatakan, bahwa apabila amil mengambil sesuatu yang tidak mungkin ia dapat memeliharanya, lalu terjadi sebagian yang rusak, maka ia wajib menanggung kerusakan tersebut, karena ia gegabah dalam mengambilnya. Hukum seperti ini berlaku juga untuk wakil, orang yang dititipi dan pemegang wasiat.

 

Apabila setelah terjadi kerusakan harta, pemilik mendakwa bahwa itu adalah harta utang (qardh), sedang amil mendakwa harta qiradh, maka amil disumpah, sebagaimana yang telah difatwakan oleh Guru kita, Ibnush Shalah, yang menyamai fatwa Al-Baghawi, karena asal permasalahan tidak ada tanggungan. Lain halnya dengan pendapat yang telah diunggulkan oleh Az-Zarkasyi dan lainnya: yaitu membenarkan pemilik harta.

 

Jika kedua belah pihak mengajukan bukti (bayyinah), maka yang didahulukan penerimaannya adalah bayyinah pemilik harta, sebab ia mempunyai keluasaan pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan. begitulah menurut beberapa tinjauan ulama.

 

Dengan cara disumpah pula, amil bisa dibenarkan dakwaannya, bahwa ia tidak mendapatkan laba sama sekali dan kadar laba, karena memberlakukan asai permasalahan “(hukum asal) pada kedua hal tersebut Ia juga dapat dibenarkan dengan cara disumpah dalam pengakuan (dakwaan)nya. bahwa ia mengalami kerugian sejumlah yang dimungkinkan, sebab amil adalah orang yang dipercaya.

 

Jika amil berkata, “Aku mendapatkan laba sekian…”, lalu berkata lagi, “Aku salah dalam menghitung/Aku telah berdusta dalam omonganku”, maka perkataan kedua tidak dapat diterima, sebab ia telah ikrar adanya hak orang lain (pemilik modal) yang karenanya tidak dapat dicabut kembali.

 

Perkataan amil “aku rugi”, setelahia menyatakan keuntungan, adalah dapat diterima, jika memang ada kemungkinan terjadi, misalnya mengalami kemerosotan harga.

 

Dengan bersumpah pula pihak amil dapat dibenarkan dakwaannya, bahwa ia telah menyerahkan harta kepada pemilik modal, karcna pcmilik telah memberikan kepercayaan kepadanya, sebagaimana dengan orang yang mendapatkan titipan (Muda’).

 

Dengan bersumpah pula, amil dapat dibenarkan dalam dakwaan besar modal yang telah ia terima, sebab menurut hukum asal adalah tidak ada kelebihan (yang diserahkan kepadanya).

 

Dengan bersumpah pula, amil dapat dibenarkan dalam ucapannya, “Aku membeli barang ini untuk diriku/ qiradh”, sedangkan akad pembeliannya adalah secara bon, sebab dialah yang lebih mengetahui maksudnya.

 

Adapun jika pembelian tersebut dengan memakai harta qiradh, maka : pembelian tersebut untuk akad qiradh, sekalipun ia berniat untuk dirinya sendiri, demikian menurut pendapat Al-Imam Al-Haramain, yang dimantabkan dalam kitab AlMathlab. Menurut beliau, maka bayyinah yang diajukan oleh pemilik harta, bahwa amil membeli dengan memakai harta qiradh adalah dapat diterima.

 

Demikian juga, amil dapat dibenarkan dengan disumpah dalam perkataannya, “Engkau tidak melarangku untuk membeli begini.”, sebab menurut hukum asal adalah tidak ada larangan.

 

Jika terjadi percekcokan antara pemilik modal dengan amil mengenai persentase laba yang dijanjikan untuk amil, misalnya, 1/2 atau 1/3, maka masing-masing pihak saling menyumpah dengan mengiyakan dakwaannya sendiri dan mengingkari tuduhan lawannya. Kemudian, setelah akad itu menjadi fasakh, pihak amil berhak mendapatkan upah sepantasnya, sedang keseluruhan laba menjadi pemilik modal. Atau jika kedua orang tersebut berselisih: Ia menjadi wakil ataukah Amil Qiradha Maka yang dibenarkan adalah pemilik modal dengan sumpahnya, dan ia tidak memberikan upah kepada amil.

 

Syirkah ada dua macam: Pertama, perserikatan suatu harta yang dimiliki oleh dua orang dari hasil pewarisan atau pembelian.

 

Kedua dibagi menjadi 4 macam. Di antaranya:

 

  1. Perserikatan yang sah: yaitu perserikatan dua orang untuk memperdagangkan harta mereka berdua secara bersama.

 

Bagian yang lainnya, adalah batal, yaitu:

 

  1. Perserikatan dua orang yang sama-sama bekerja, yang hasil pekerjaan mereka dibagi berdua dengan sama besar atau berselisih.

 

  1. Perserikatan dua orang untuk menanggung harta pembelian suatu barang, baik secara bon atau kontan dengan keuntungan menjadi milik bersama.

 

  1. Perserikatan dua orang untuk bersama-sama bekerja dan memiliki: keuntungan, baik dengan tenaga maupun-harta mereka, dan mereka sama-sama menanggung kerugian yang terjadi.

 

Untuk kesahan syirkah, disyaratkan ada lafal yang menunjukkan izin tasaruf, baik itu penjualan ataupun pembelian. Karena itu, jika mereka hanya berkata, “Kita berserikat”, maka belum dianggap cukup atas izin tasaruf.

 

Kedua belah pihak mempunyai hak mentasarufkan harta perserikatan dengan tanpa membuat kemudaratan, dengan kata lain yang membawa maslahat. Karena itu, persero tidak boleh menjual barang perserikatan dengan harga umum, sedangkan di situ masih ada orang lain, yang mau dengan harga yang lebih tinggi.

 

Anggota perserikatan (persero) tidak boleh pergi dengan membawa harta perserikatan, selama tidak karena keterpaksaan, misalnya. terjadi paceklik atau tercekam rasa takut. Ia tidak boleh membelikan barang dagangan tanpa seizin anggota yang lain. Jika ia pergi dengan membawa harta itu, maka ia wajib menanggung risiko yang terjadi, sedangkan tasarufnya tetap sah.

 

Atau apabila tanpa seizin anggota yang lain, ia memperdagangkan harta perserikatan dengan menyerahkannya kepada pekerja mereka, sekalipun pekerja sukarela, maka ia wajib menanggung resikonya.

 

Bagian keuntungan dan tanggungan kerugian mereka, diperhitungkan menurut penanaman sahamnya. Karena itu, jika mereka mensyaratkan yang bertentangan dengan ketentuan ini, maka akad syirkah menjadi batal: masing-masing berhak menerima upah pekerjaan menurut penanaman saham.

 

Tasaruf yang timbul dari syirkah yang fasid, adalah tetap berjalan terus, sebab sudah ada izin. Syirkah menjadi fasakh, sebab kematian atau kegilaan salah seorang dari kedua.

 

Anggota perserikatan dapat dibenarkan dalam dakwaannya, bahwa ia telah menyerahkan kembali harta syirkah kepada teman serikatnya. Begitu juga dibenarkan dalam pengakuan: rugi, rusak dan ucapannya, “Aku membeli barang atas nama pribadiku/atas nama perserikatan”.

 

Tidak dapat dibenarkan dalam ucapannya, “Telah kita adakan pembagian, dan apa yang ada di tanganku adalah milikku”, sedang yang lain berkata, “Tidak benar, tapi barang itu masih dalam perserikatan”, maka yang dibenarkan adalah pihak yang mengingkari, sebab hukum asal adalah belum dibagi.

 

Jika salah seorang ahli waris mengambil bagiannya dari piutang Muwarrits (orang yang meninggalkan harta pusaka), maka ahli waris yang lain ikut berserikat dalam memiliki harta itu.

 

Jika ada dua orang yang berserikat menjual budaknya dengan satu akad dan salah seorang dari mereka telah menerima bagiannya dari seorang budak itu, maka pihak yang lain tidak ikut berserikat dalam memiliki bagian temannya.

 

Faedah:

 

An-Nawawi -sebagaimana Ibnush Shalah- berfatwa mengenai orang yang menggasab semisal emas/perak atau gandum (barang mitsli), lalu ia campur dengan harta miliknya, sehingga tidak dapat dibedakan, maka orang tersebut dapat menyisihkan sejumlah barang yang digasab (lalu diberikan kepada pemiliknya), dan selebihnya adalah halal ditasarufkan.

Hak Syuf’ah (hak menebus kembali/ membeli secara paksa atas barang yang telah terjual) bagi teman berserikat -bukan tetanggahanyalah dapat diberlakukan dalam kaitannya dengan penjualan tanah berikut segala yang ikut padanya, misalnya, bangunan, pepohonan dan buahbuahan yang belum berisi.

 

Karena itu, hak Syuf’ah tidak berlaku dalam kaitannya dengan menjual pepohonan yang tersendiri atau dijual berikut tempat tumbuhnya saja. Juga tidak berlaku dalam kaitannya dengan-penjualan sumur.

 

Syafi’ (pengguna hak Syuf’ah) bisa memilki kembali (atas barang milik teman serikatnya yang dijual) dengan kata-kata, “Aku mengambilnya dengan Syuf’ah”, serta dengan mengganti sejumlah harga pembelian kepada pembeli.

 



Ijarah menurut lughat berarti “nama upah”, sedang menurut syarak adalah memberikan kemanfaatan sesuatu dengan adanya penukaran berdasarkan beberapa syarat yang akan dituturkan nanti.

 

Ijarah dapat menjadi sah dengan keberadaan ijab: Misalnya: Kusewakan barang ini kepadamu/ Kusewakan kemanfaatan barang ini. kepadamu/Kuberikan kemanfaatankemanfaatan barang ini kepadamu selama satu tahun dengan biaya sekian.

 

Juga keberadaan qabul, seperti: Kusewa barang ini/Kusewa kemanfaatan barang itu/Kuterima.

 

An-Nawawi di dalam Syarhul Muhadadzab berkata: Perselisihan (ulama) tentang boleh atau tidak Mu’athah berlaku dalam ijarah, rahn dan hibah.

 

Hanya saja ijarah itu sah dengan ongkos sewa berwujud sesuatu yang sah, jika dibuat harga dan yang diketahui oleh dua orang yang bertransaksi, baik itu ukuran, jenis dan sifatnya, jika ongkos tersebut tidak kontan, maka cukup melihatnya. Dalam hal ini, baik itu berupa. ijarah ain (selain dzimmah), atau Dzimmah (sewa-menyewa dengan jaminan oleh yang menyewakan, bahwa barang selalu baik seperti dijanjikan dalam akad).

 

Karena itu, tidaklah sah menyewakan rumah dengan ongkos sewamemperbaikinya, menyewakan binatang dengan ongkos sewa memberinya makan, dan tidak sah memburuhkan menguliti kambing dengan upah kulitnya atau menumbuk semacam gandum dengan upah sebagian tepungnya,

 

Sah menyewakan kemanfaatan (jasa) yang bernilai harga, yang diketahui barang, ukuran dan sifatnya, dan manfaat tersebut kembali pada penyewa serta dalam menggunakan manfaat barang tidak bertujuan mengambil (mengurangi)nya.

 

Dari syarat “manfaat yang patut menerima imbalan”, dikecualikanlah manfaat yang tidak patut untuk diberi imbalan. Karena itu, menurut pendapat Al-Aujah: Perburuhan seorang makelar untuk mengucapkan satu atau dua patah kata, adalah tidak sah, sekalipun ucapan itu berupa ijab dan qabul, dan sekalipun dapat melariskan dagangan, sebab ucapan satu atau dua patah kata itu tidak ada harganya.

 

Dari alasan di atas dapat disimpulkan, bahwa ketidaksahan tersebut adalah untuk barang jual yang mempunyai harga tetap di suatu daerah, misalnya roti.

 

Lain halnya dengan semacam budak dan pakaian, di mana harganya selalu berbeda-beda sesuai dengan pembelinya.

 

Karena untuk menjual barang tersebut, dapatlah lebih bermanfaat jika dilakukan oleh. seorang makelar (sales), maka menyewa jasanya untuk menjualkannya adalah sah.

 

Sekira penyewaan jasa orang di atas tidak sah, maka jika ia telah mengalami kelelahan lantaran berjalan mondar-mandir dan omong sanasini, maka ia berhak memperoleh upah selayaknya, Kalau ia tidak mengalami kelelahan, maka ia tidak berhak menerima upah yang pantas.

 

Guru kita, Al-Muhaqqiq Ibnu Ziyad berfatwa, bahwa bagi seorang qadhi adalah haram menerima upah dari pekerjaannya yang hanya menuntun (mengajar) seseorang untuk suatu ijab, karena pekerjaan tersebut tidaklah berat baginya.

 

Al-‘Allamah Umar Al-Fata telah lebih dahulu berfatwa, bahwa menerima upah seperti itu hukumnya boleh, jika ia tidak menjabat sebagai wali nikah seorang perempuan. Kata Umar Al-Fata selanjutnya: Jika seorang qadhi mengajarkan shighat nikah (ijab-qabul) kepada wali dan calon suami, maka ia boleh menerima upah yang telah disepakati oleh pihak wali dan calon suami secara ridha, sekalipun berjumlah besar, tetapi jika perempuan tersebut tidak mempunyai wali selain qadhi, maka baginya tidak boleh menerima upah untuk ijab nikah yang ia ucapkan, karena hal itu memang menjadi kewajibannya.

 

Fatwa yang membolehkan di atas perlu ditinjau, sebab menurut penjelasan yang telah lewat (bahwa hal itu tidak berat dilakukan).

 

Tidak sah menyewa dirham dan dinar yang tidak dilubangi untuk digunakan sebagai perhiasan, karena kemanfaatan berhias menggunakan dirham dan dinar tersebut tidaklah dapat diimbangi dengan harta.

 

Adapun dirham dan dinar yang telah dilubangi (untuk perhiasan), menurut pembahasan Al-Adzra’i adalah sah disewa, sebab dalam bentuk begitu sudah jadilah barang perhiasan, sedang menyewa perhiasan secara pasti, hukumnya adalah sah.

 

Dikecualikan dari syarat “maklum/ diketahui”, menyewa barang yang tidak diketahui. Karena itu, perkataan, “Kusewakan kepadamu salah satu dua rumah ini”, adalah batal.

 

Dikecualikan dari “manfaat barang kembali kepada penyewa”, kemanfaatan kepada Ajir (buruh/orang yang menyewa tenaganya). Karena itu, tidaklah sah menyewa (memburuhkan) seseorang untuk beribadah yang wajib diniati -selain nusuk-, misalnya salat, karena kemanfaatan salat itu kembali pada Ajir, bukan Musta’jir (penyewa). Tidak sah pula memburuhkan untuk menjadi imam salat, sekalipun semacam salat Tarawih, sebab imam adalah melaksanakan salat untuk dirinya sendiri: Jika ada orang yang ingin bermakmum dengannya, silakan ikut, sekalipun ia sendiri tidak berniat menjadi imam.

 

Adapun ibadah-ibadah yang tidak wajib diniati, -misalnya azan dan ikamah-, adalah sah memburuhkan untuk melakul annya, dan ada upah di sini sebagai imbalan terhadap keseluruhan yang berkaitan dengan azan, semacam pemeliharaan waktu. Sah juga memburuhkan untuk merawat mayat dan mengajar Alqur-an, -baik itu sebagian atau keseluruhannya-, sekalipun mengajar : tersebut memang menjadi kewajiban (fardu ain) bagi si pengajar, karena didasarkan hadis sahih yang artinya: “Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kalian ambil upahnya, adalah Kitab Allah.”

 

Dalam Syarhul Minhaj, Guru kita berkata: Sah memburuhkan untuk membaca Alqur-an di atas kubur, dan sah pula beserta doa yang pahala bacaan Alqur-an ditujukan kepada pembaca atau lainnya (misalnya . mayat, musta’jir dan lain-lain), setelah pembacaan, baik pihak Musta’jir telah menentukan masa, tempat atau tidak.

 

Niat memberikan pahala kepada orang yang dituju dalam pembacaan Alqur-an tanpa ada doa setelahnya, adalah sia-sia belaka (sebab pahalanya menjadi milik pembaca itu sendiri dan tidak dapat dipindahkan kepada yang dituju), Lain halnya dengan pendapat segolongan ulama yang walaupun telah dipilih oleh As-Subki. Begitu juga akan sia-sia dengan ucapan, “Bacaan Alqur-anku ini/pahalanya kuhadiahkan kepada dia”: lain halnya dengan pendapat segolonganulama.

 

Menurut pendapat yang Zhahir: Sah memburuhkan bacaan di depan Musta’jir (orang yang mem: buruhkan) atau semacam putranya, dan menurut pendapat sebagian ulama, dalam hal ini pembaca ketika membacakan Alqur-an, hatinya harus ingat Musta’jir.

 

Semua perburuhan di atas dihukumi sah, karena tempat pembacaan Alqur-an (kubur) adalah tempat berkah dan turun rahmat, doa setelah “pembacaan Alqur-an adalah lebih dekat dikabulkan (alasan sah memburuhkan untuk membaca Alqur-an yang dibacakan doa setelahnya): dan teringat Musta’jir di hati pembaca ketika membaca Alqur-an, adalah menjadi sebab terikutkan mendapat rahmat di kala turun ke dalam hati pembaca.

 

Memburuhkan zikir semata dan berdoa setelahnya, adalah dapat disamakan hukumnya dengan pem’ buruhan membaca Alqur-an. Sebagian ulama berfatwa, bahwa jika pembaca (Ajir) meninggalkan ayat-ayat yang terangkai dalam bacaan Alqur-an yang diburuhkan, maka ja wajib membaca ayat-ayat tersebut, dan ia tidak wajib membaca lagi sambungan ayat yang ditinggalkan tersebut.

 

(Fatwanya lagi): Barangsiapa disewa tenaganya untuk membaca Alqur-an di atas kubur, maka waktu membaca ia tidak wajib niat bahwa bacaannya itu untuk tujuan penyewaan dirinya, tetapi cukup disyaratkan tidak ada pengatasnamaan yang lain.

 

Jika kamu berkata: Para ulama menjelaskan, bahwa dalam masalah nazar adalah Ajir wajib meniatkan bacaan Alqur-annya untuk yang telah dinazarkan, maka jawabanku: Dalam masalah memburuhkan membaca Alqur-an di atas kubur telah ada petunjuk (qarinah) yang mengarahkan untuk tujuan pemburuhan (yaitu, untuk si mayat yang ada dalam kubur), tetapi dalam masalah nazar membaca Alqur-an, belum ada qarinah seperti itu.

 

Dari alasan tidak wajib niat, maka jika seseorang diburuhkan untuk membaca Alqur-an secara mutlak dan kita menghukumi sah pemburuhan seperti ini, maka menurut pendapat yang Zhahir ia wajib berniat. Kalau ia diburuhkan membaca Alqur-an tidak secara mutlak, -misalnya membaca di hadapan mayat yang dituju-, maka ia tidak wajib berniat. Penuturan kubur di atas, adalah sekadar contoh saja. Habis fatwa di atas dengan diringkas.

 

Dikecualikan dari syarat “dalam keadaan tidak termasuk kesengajaan mengambil (mengurangi) barang”, adalah penyewaan yang dalampenggunaan manfaat terjadi pengurangan barang. Karena itu, tidaklah sah penyewaan kebun untuk mengambil buahnya, karena pemilikan barang sewa itu tidak bisa didapatkan dengan kesengajaan mengadakan akad Ijarah.

 

Tajuddin As-Suhki dalam Tausyihnya menukil pendapat piliham: ayahnya, yang bernama Taqiyyuddim As-Subki di akhir hayatnya, bahwa menyewakan pepohonan untuk diambil buahnya adalah sah (pendapat ini daif). – Para fukaha menjelaskan kesahan menyewakan kanal atau sumur untuk dimanfaatkan airnya, lantaran ada hajat untuk itu.

 

Asy-Syihab dalam Al-‘Ubab berkata: Tidak boleh menyewakan bumi untuk menanam mayat, karena menggali kembali sebelum mayat itu hancur, hukumnya: adalah, haram, sedangkan waktu hancurnya itu, sendiri tidaklah diketahui.

 

Bagi orang yang menyewakan, wajib menyerahkan kunci rumah persewaan kepada penyewa, dan jika kunci itu hilang di tangan penyewa, maka orang yang menyewakan wajib menggantinya dengan yang baru.

 

Yang dimaksudkan dengan kunci di – sini, adalah gembok yang terpasang. Adapun selain itu, tidak wajib diserahkan, bahkan untuk gembok gantungan pun tidak wajib diserahkan, sebagaimana halnya barangbarang yang bergerak lainnya.

 

Bagi orang yang menyewakan wajib memperbaiki rumah persewaan, seperti, membangun kembali bagianbagian yang roboh dalam rumah, menyaput (melabur) loteng, memasang kembali pintu yang lepas dan memperbaiki kembali bagian-bagian yang bocor (pecah).

 

Kewajiban memenuhi hal-hal tersebut di atas bukan berarti ia berdosa jika tidak memenuhi atau ia harus dipaksa untuk melaksanakan kewajiban tersebut, tetapi maksud dari pernyataan tersebut adalah: Jika ia tidak melaksanakannya, maka bagi penyewa mempunyai hak khiyar (meneruskan atau tidak akad ijarah) sebagaimana yang akan kami terangkan dengan perkataan ini:

 

“Jika orang yang menyewakan (Mukri) segera melaksanakan kewajiban tersebut di atas, maka hal itu sudah jelas masalahnya, tetapi jika tidak, maka bagi penyewa (Muktari) mempunyai hak khiyar, jika kemanfaatan rumah di atas menjadi berkurang.

 

Wajib bagi Muktari membersihkan ruangan rumah dari sampah dan salju. Lafal “Arshah”, maknanya adalah “setiap tanah kosong dari tetumpuhan yang berada di antara rumah-rumah”.

 

Muktari adalah orang yang dipercaya atas barang persewaan selama masa ijarah, jika ijarah ditentukan dengan masa. Atau kemampuan penggunaan kemanfaatan barang, jika ijarah ditentukan dengan tempat amal.

 

Ia juga menjadi orang yang dipercaya setelah habis masa ijarah, selama ia tidak menggunakan barang tersebut, karena sebagai pelanjutan dari masa yang telah ada, dan karena setelah habis masa ijarah, ia tidak berkewajiban mengembalikan barang-barang sewaan atau ongkos pengembalian, maka jika salah satu dari dua hal ini disyaratkan kepada Muktari, maka batallah akad ijarah. Kewajiban yang ditanggung oleh Muktari hanyalah melepas penggunaan barang itu, sebagaimana halnya dengan wadi’ (orang yang dititipi barang).

 

As-Subki mengunggulkan pendapat yang mengatakan, bahwa status Muktari itu sebagai pemegang amanat syar’iyah (bukan ju’liyah). Karena itu, ia wajib memberitahukan barang itu kepada pemiliknya atau mengembalikannya seketika: Kalau tidak, maka ia wajib menanggung risiko (kerusakannya umpama). Menurut pendapat yang Muktamad adalah berlawanan dengan ini.

 

Jika kita berpedoman pada pendapat Al-Ashah, bahwa Muktari hanyalah wajib melepaskan penggunaan barang, maka konsekuensinya Muktari tidak wajib memberitahukan kepada Mukri, bahwa ia telah melepaskan penggunaan barang sewaan, tetapi cuma disyaratkan ia tidak menggunakannya dan tidak menahannya jika diminta. Kalau demikian, maka berarti sama saja antara ia (Muktari) mengunci pintu semacam kios (ruko) atau tidak setelah dikosongkannya.

 

Tetapi Al-Baghawi berkata: Apabila seseorang menyewa kios selama satu bulan, lalu ia mengunci pintu dan: meninggalkannya selama dua bulan, maka ia wajib membayar ongkos sewa satu bulan yang telah disepakati bersama dan membayar sewa yang umum untuk bulan kedua (berikutnya).

 

Guru kita (Ibnu Hajar) berkata di dalam Syarhil Minhaj. Apa: yang dituturkan oleh Al-Baghawi tentang kepergian penyewa, adalah berdasarkan suatu tinjauan pendapat. Jika Muktari menggunakan barang sewaan setelah habis masa persewaan, maka ia wajib membayar ongkos persewaan yang umum.

 

Sebagaimana dengan buruh: Dia adalah orang yang tepercaya, sekalipun setelah habis waktu perburuhannya, Karena itu, bagi mereka (penyewa dan buruh) tidak terkena beban tanggungan.

 

Karena itu, jika seseorang menyewa binatang dan belum dipergunakan lalu rusak, atau menyewa seseorang untuk menjahit pakaian atau men: celupnya, lalu pakaian itu rusak, maka bagi penyewa binatang/tukang jahit tersebut, tidak wajib menanggung kerusakannya.

 

Baik kerusakan itu terjadi di tangan si buruh sendiri atau tidak: misalnya Muktari (penyewa) duduk bersama Ajir (buruh), lalu mengerjakan pekerjaan, atau Muktari mendatangkan Ajir ke rumahnya untuk bekerja.

 

Kecuali jika mereka gegabah, misalnya, Muktari tidak memanfaatkan binatang yang ia sewa sehingga “rusak karena suatu sebab. Misalnya, binatang itu tertimpa atap kandangnya yang runtuh pada waktu yang umpama ia memanfaatkan binatang itu secara wajar, maka selamatlah: atau misalnya: Muktari memukuli binatang tersebut atau memberi muatan beban yang melebihi ketentuan persewaan.

 

Buruh penjaga toko misalnya, adalah tidak wajib menanggung kerugian jika ada pencuri yang mengambil isi toko. Az-Zarkasi berkata: Seorang penjaga keamanan pun tidak wajib menanggung kerugian.

 

Misalnya memburuhkan kepada seseorang untuk menggembala binatang ternak, lalu ia serahkan kepada orang lain penggembalaan itu, maka kedua-duanya (buruh dan orang lain) wajib menanggung kerusakan binatang ternak tersebut, sedangkan ketetapan tanggungan adalah pada orang yang merusakkannya. Misalnya lagi: Seorang tukang roti keterlaluan dalam membakar, atau misalnya murid mati, lantaran pukulan gurunya, maka mereka wajib menanggung kerugian.

 

Buruh dapat dibenarkan pengakuannya, bahwa dirinya tidak gegabah, selama tidak ada dua orang laki-laki ahli yang menyaksikan kebalikan pengakuannya.

 

Apabila seorang menyewa binatang untuk dikendarai hari ini dan dikembalikan pada hari esok, ternyata pada hari kedua tersebut binatang belum dikembalikan dan pada hari ketiga baru dikembalikan, maka ia wajib menanggung kerugian yang terjadi padi hari ketiga saja, karena pada hari inilah ia menggunakan. binatang terselut secara lalim.

 

Jika seseorang menyewa budak untuk dipekerjakan pada suatu pekerjaan yang sudah maklum, tetapi tempatnya tidak dijelaskan kepada budak itu, kemudian penyewa di atas . membawa pergi budak dari suatu daerah ke daerah lain, lalu budak tersebut melarikan diri, maka penyewa di samping wajib membayar ongkos persewaan, ia wajib menanggung kerugian,sebab minggat budak itu.

 

 

Cabang:

 

Bagi semacam tukang seterika pakaian, boleh menahan pakaian di sisinya sebagai gadai upahnya sampai upah penyeterikaan itu dibayar.

 

Suatu amal yang tidak dijanjikan ada upah, adalah tidak berhak untuk diupahi. Misalnya, mencukur rambut, menjahit pakaian, menyeterika dan mewenternya dengan wenter pemilik pakaian.

 

Karena itu, jika seseorang menyerahkan pakaian kepada penjahit untuk dijahit, penyeterika untuk disetrika atau tukang wenter untuk diwenter, kemudian dikerjakan dengan begitu saja dan salah satu dari kedua belah pihak tidak menyebutkan ongkos pekerjaan, itu. atau hal-hal membutuhka ongkos, maka mereka tidak berhak menerima upah atas pekerjaannya, karena mereka berbuat dengan sukarela.

 

Ar-Ranyam dalam Al-Bahr berkata: Karena, jika seseorang berkata: “Tempatkanlah aku di dalam rumahnw selama satu bulan”, latu dilaksanakan, lalu menurut ijmak pemilik rumah tidak berhak mwnerima ongkos sewa, sekalipun tanpa mensyaratkan ongkos, sudah diketahui kalau amal itu menggunakan ongkos (upah), lantaran tidak ada penetapan upah.

 

Tidak ada pengecualian kewajiban membayar ongkos bagi orang semisal pemakai kamar kecil atau penumpang kapal laut tanpa sciran penuliknya, karena kita menggunakan manfaat kamar kecil dan kapal laut tanpa dipersilakan oleh pemiliknya. Lain halnya dengan mendapatkan izin dari pemiliknya.

 

Adapun jika salah satu dari kedua belah pihak menuturkan upah pekerjaan (amal), maka secara pasti pekerja berhak menerima upah, jika akad yang dilaksanakan itu sah. Kalau akad tidak sah, maka ia berhak mendapatkan upah yang umum.

 

Jika penyebutan upah dikemukakan dengan suatu sindaran saja, misalnya: “Aku akan membuatmu puas/Aku akan gembira”, maka upah yang wajib dibayar adalah upah yang lumrah (umum).

 

Kewajiban muktari membayar ongkos sewa yang telah ditetapkan dalam akad, adalah setelah berakhir masa ijarah yang ditentukan dengan waktu atau berakhir masa yang sekira cukup untuk mengambil kemanfaatan dalam ijarah yang ditentukan dengan amal, sekalipun penyewa belum memanfaatkannya, karena pemanfaatan terpotong di tangannya sendiri dan sekalipun ia tidak menggunakan kemanfaatan lantaran semacam sakit atau khawatir di perjalanan, karena kewajiban Mukri (orang yang menyewakan) hanyalah mempersilakan muktari untuk mehgambil kemanfaatan barang sewaan. Bagi muktari lantaran dua ini (sakit dan khawatir) tidak boleh menfasakh akad ijarah atau mengembalikan barang sewa sampai bisa memanfaatkannya dengan mudah.

 

Akad ijarah itu menjadi fasakh (rusak) untuk masa yang akan datang sebab rusak Mustaufa Minhu (barang/orang yang menjadi sumber kemanfaatan dalam persewaan) yang telah ditentukan dalam akad: Misalnya, kematian binatang atau buruh yang ditentukan dalam akad dan seperti runtuhnya rumah, sekalipun semua itu akibat perbuatan Mustajjir (penyewa), karena dengan kerusakan itu, maka berakhirlah kemanfaatannya.

 

Kerusakan mustaufa minhu yang terjadi setelah diterima oleh musta’jir, adalah tidak menyebabkan fasakh akad ijarah untuk masa yang telah berlalu, jika masa ijarah yang telah berlalu itu, patut untuk dihargai dengan ongkos persewaan, sebab dengan telah diterima kemanfaatan mustaufa minhu, maka ongkos sewa untuk masa yang telah lewat menjadi berlaku (istigrar). Karena itu, berlakulah pembayaran sewa sebesar persentase dari keseluruhan ongkos yang telah ditetapkan dalam akad dengan mempertimbangkan ongkos mitsli (ongkos yang umum) masa yang telah lalu tersebut.

 

Dikecualikan dari “mustaufa minhu”, yaitu semua yang bukan mustaufa minhu yang akan diterangkan nanti: Dan dikecualikan dari “yang ditentukan dalam akad”, yaitu mustaufa minhu yang ditentukan dalam tanggungan (Dzimmah): Maka dengan kerusakan kedua hal di atas, tidaklah menyebabkan fasakh ijarah, akan tetapi boleh diganti.

 

Hak khiyar adalah tidaklah harus dengan seketika menurut pendapat Al-Muktamad, sebab ada cacat semisal binatang persewaan yang ada sejak akad, jika memang muktari (penyewa) tidak mengetahuinya. Begitu juga dengan cacat yang terjadi setelah akad (di tangan muktari), karena cacat ini membawa dampak mudarat pada muktari. Cacat di sini adalah cacat yang mempengaruhi manfaat barang sehingga nilai kemanfaatan akan berbeda.

 

Tidak ada khiyar dalam ijarah dzimmah (sewa-menyewa dengan jaminan oleh yang menyewakan, bahwa barang sewa selalu baik seperti yang dijanjikan dalam akad). dengan sebab kecacatan (semacam) binatang sewaan, tetapi bagi mukri Wajib menggantinya yang baik.

 

Boleh dalam ijarah ain atau dzimmah, (bagi muktari) menggantikan pemakai kemanfaatan (Mustaufi) kepada orang lain, misalnya: orang yang menaiki dan yang mendiami. Begitu juga dengan mengganti mustaufa bih: mis.  barang yang dimuat dalam mus.    minhu, dan mustaufa fih, misalnya jalan yang dilalui. Penggantian tersebut dengan yang sesama atau di bawahnya, selama tidak disyaratkan bahwa muktari tidak boleh mengganti dalam dua hal yang terakhir ini (mustaufa bih dan fih, jika mukri mensyaratkan kepada Muktari dalam kedua hal ini, maka syarat harus dipenuhi).

 

Cabang:

 

Apabila seseorang menyewakan pakaian kepada orang lain untuk dipakai secara mutlak, maka ia tidak boleh memakai di waktu tidur malam, sekalipun telah terjadi kebiasaan orang-orang melakukan seperti itu.

 

Boleh bagi musta’jir binatang misalnya, untuk melarang pihak yang menyewakan (mu’jir) memuat sesuatu pada binatang tersebut.

 

Faedah:

 

Guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami) berkata: Sesungguhnya seorang dokter yang profesional, yaitu yang jarang gagal dalam penanganannya, apabila ia dijanjikan upah dan diberi biaya membeli obat, lalu ia melakukan pengobatan dengan obat (orsebut dan ternyata penyakit tidak dapat sembuh, maka ia tetap berhak mendapat upah yang telah ditentukan, jika memang ijarahnya (perburuhannya) itu sah, tetapi jika ijarahnya tidak sah, maka ia hanya berhak mendapatkan upah yang lumrah (Ujratul Mits).

 

Bagi pasien tidak boleh menarik kembali upah yang telah diberikan kepada dokter tersebut, sebab yang diupahkan adalah pengobatannya, bukan sembuhnya. Bahkan jika disyaratkan harus sembuh, maka ijarahnya adalah batal, sebab kesembuhannya berada di tangan Allah swt.

 

Adapun jika dokter tersebut tidak mahir (sering gagal dalam pengobatannya), maka ia tidak berhak menerima upah dan pasiennya boleh menarik kembali uang obat yang telah diberikan kepadanya, lantaran ja gegabah melakukan pekerjaan yang bukan keahliannya.

 

Apabila terjadi perselisihan antara mukri dan muktari mengenai ongkos sewa, masa sewa atau ukuran kemanfaatan, apakah (binatang sewa umpama, digunakan untuk menempuh perjalanan) sejauh 10 farsakh ataukah 5 farsakh, atau mengenai ukuran barang persewaan apakah seluruh rumah atau hanya satu bilik, maka keduanya harus sumpahmenyumpah (mengiyakan dakwaan sendiri dan meniadakan dakwaan lawan) dan selanjutnya ijarah menjadi fasakh, serta muktari wajib membayar ongkos yang lumrah atas kemanfaatan yang telah ia peroleh.

 

Cabang:

 

Apabila dalam ijarah dzimmiyah, musta’jir menemukan bahwa kapasitas binatang sewa seumpama dalam mengangkut beban yang sudah diukur oleh mu’jir, ternyata di bawah standar yang mencolok, maka ongkos sewa dikurangi sebesar selisih keterpautan tersebut, kalau ijarahnya bukan dzimmah (ainiyah), maka ongkos sewa tidak boleh dikurangi sama sekali.

 

Apabila seseorang menyewa kapal laut (perahu), lalu ada ikan yang masuk ke dalamnya, maka ada dua pendapat orang yang berhak memilikinya, apakah milik musta’jir atau mu’jir? :

 

Pungkasan:

 

Musaqah itu hukumnya boleh dilakukan, Musaqah adalah pemburuhan pemilik pohon kurma atau anggur yang tertanam, ditentukan dalam akad dan diketahui kedua belah pihak, bagi orang lain agar merawat dan mengairinya, dengan janji upah bahwa buah yang baru atau yang telah ada, dimiliki bersama.

 

Musaqah tidak boleh dilakukan untuk selain pohon kurma dan anggur, kecuali dengan jalan mengikutkan pada salah satu dari keduanya.

 

Kaul Kadim Imam Syafi’i memperbolehkan akad Musaqah pada semua jenis pohon. Pendapat ini juga sama dengan pendapat Malik dan Ahmad. Segolongan dari ulama Syafi’iyah ada juga yang memilih pendapat ini.

 

Apabila Malik (pemilik) melakukan Musaqah kepada orang lain dengan rupa bibit kurma agar ditanam terlebih dahulu, lalu pohon atau buahnya milik bersama, maka akad Musaqah tersebut hukumnya tidak sah, tetapi kesimpulan dari pembahasan segolongan ulama salaf memperbolehkannya.

 

Dalam hal ini (tidak sah), maka pohon pemilik bibit dan ia wajib memberi ongkos yang lumrah untuk tanah di mana pohon itu tertanam (jika tanah itu miliknya, maka wajib menggaji pekerja dengan gaji yang lumrah).

Muzara’ah adalah pemburuhan pemilik bumi kepada orang lain (pekerja) agar menggarapnya, dengan janji pekerja memperoleh bagian tertentu dari hasilnya, sedang bibit, dari pemilik bumi.

 

Jika bibitnya berasal dari penggarap (Amil), maka disebut Mukhabarah.

 

Muzara’ah dan Mukhabarah hukumnya tidak boleh, karena ada dalil yang melarangnya, (tetapi) As-Subki dan golongan ulama yang lain memperbolehkannya, dan mereka berdalil dengan yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar r.a. dan penduduk Madinah.

 

(Jika kita berpijak) terhadap pendapat yang mengunggulkan batal, maka apabila ada bumi dimuzara’ahkan, maka hasil bumi menjadi milik pemilik bumi, namun ia wajib menggaji pekerja, membayar sewa binatang dan alat-alatnya.

 

Jika bumi tersebut dimukhabarahkan, maka hasil bumi menjadi milik penggarapnya dan ia wajib membayar ongkos yang lumrah kepada pemilik bumi.

 

Caranya agar hasil bumi dimiliki bersama tanpa ada yang mengeluarkan uang sewa: Jika bibit tanaman berasal dari pihak penggarap (mukhabarah), maka penggarap menyewa separo bumi dengan separo bibit, separo pekerjaan, dan separo kemanfaatan alat-alatnya, atau dengan separo bibit dan ia menyukarelakan pekerjaannya dan kemanfaatan alat-alatnya.

 

Apabila bibitnya milik pemilik bumi, maka (caranya) pemilik bumi memburuhkan kepada penggarap dengan upah separo bibit, agar penggarap menanamkan separo bibit yang lainnya pada separo bumi, dan separo bumi yang lainnya dipinjamkan kepada penggarap (amil).

 

 

Lafal ‘Ariyah dengan tasydid dan takhfif ya’nya: Yaitu nama barang pinjaman. Juga nama suatu akad yang memberikan wewenang untuk mengambil manfaat terhadap suatu barang yang halal dimanfaatkan dan dalam keadaan masih utuh barangnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya.

 

Lafal “Ariyah itu diambil dari ‘Ara, yang artinya “pergi dan datang kembali dengan cepat”, bukan berasal dari “Al-‘Ar” (cacat).

 

‘Ariyah asal hukumnya adalah sunah, lantaran sangat dibutuhkan.

 

Terkadang hukumnya wajib, misalnya, meminjamkan pakaian yang menjadi sebab sah salat, menunjamkan perkara untuk menyelamatkan orang yang sedang tenggelam, atau meminjamkan alat menyembelih binatang yang dimuliakan syarak, yang dikhawatirkan akan mati.

 

Orang yang mentiliki hak tasaruf barang dengan sukarela (ahli Tabaru’) adalah sah menunjamkan barang pinjaman untuk diambil manfaatnya dalam keadaan utuh, di mana ia memuliki hak pemanfaatan barang tersebut, sekalipun dengan jalan wasiat, ijarah dan wakaf, dan sekalipun ia tidak mempunyai hak milik atas barang itu, sebab di dalam ‘Ariyah hanya menyangkut kemanfaatan barang.

 

Ibnur Rif’ah membatasi kesahan ‘Ariyah dari mauquf ‘alaih, bila ia menjadi Nazhir (atas barang wakaf yang dipinjamkan).

 

Al-Asnawr berkata: Bagi imam (kepala negara) bolehmeminjamkan harta Baitulmal.

 

‘Ariyah hukumnya sah pada barang yang kemanfaatannya diperbolehkan. Karena itu, tidak sah meminjamkan barang yang haram dimanfaatkan, misalnya, alat maksiat (gitar, seruling dan lain-lain), meminjamkan kuda atau senjata kepada kafir harbi: atau meminjamkan budak perempuan yang masih dapat membangkitkan nafsu birahi untuk melayani laki-laki lain.

 

Ahli Tabarru’ sah meminjamkan barang, (jika) disertai kata-kata yang menunjukkan perizinan pemakaian manfaat barang: misalnya, “Kupinjamkan kepadamu/Engkau kuperbolehkan memanfaatkannya/ Naikilah dan ambil kemanfaatnya.”

 

Dalam hal ini cukuplah perkataan dari salah satu pihak dan pelaksanaan pihak yang lain.

 

Musta’ir (peminjam) tidak diperbolehkan meminjamkan barang pinjamannya lagi, tanpa seizin Mu’ir (yang meminjami).

 

Musta’ir boleh menggantikan kemanfaatan barang pinjaman kepada orang lain, Misalnya: Menyuruh mengendarai binatang pinjamannya kepada prang lain yang sepadan dengannya atau di bawah dirinya untuk keperluannya.

 

Tidak sah meminjamkan barang yang dalam pemanfaatannya akan menghancurkannya, Misalnya, lilin untuk dinyalakan, sebab akan hancur. Karena itu, sah meminjamkan lilin sebagaimana halnya meminjamkan emas-perak untuk perhiasan.

 

Sekira ‘Ariyah tidak sah, tetapi tetap berjalan, maka ditanggung (kerusakannya jika terjadi), karena akad yang fasid akibat hukumnya dalam masalah tanggungan adalah sama dengan yang sah. Ada yang mengatakan: Tidak wajib menanggungnya, karena akad yang terjadi bukanlah ‘Ariyah yang sah dan bukan yang fasid.

 

Apabila seseorang berkata, “Galilah bumiku untuk kau jadikan sumur”, lalu digali, maka sumur itu tidak bisa menjadi milik penggali dan ia tidak berhak menerima upah dari pemilik bumi yang memerintahkannya. Jika penggali berkata, “Kamu memerintahkanku dengan upah”, lalu dijawab “Gratis”, maka perkataan yang memerintahkan dan ahli warisnya dibenarkan.

 

Apabila seseorang mengutus anak kecil meminjam sesuatu untuknya, maka hukum peminjaman adalah tidak sah. Jika barang tersebut rusak di tangan anak kecil itu atau dirusakkan, maka baik anak kecil maupun  yang mengutusnya tidak wajib menanggungnya. Demikianlah keterangan dalamAl-Jawahir.

 

Bagi Musta’ir wajib menanggung seharga barang pinjaman (Mu’ar) terhitung di hari kerusakannya, jika terjadi keseluruhan atau sebagiannya yang mengalami kerusakan di tangan Musta’ir (di tangan Musta’ir tidak menjadi syarat), sekalipun terjadi lantaran bencana dari perbuatannya yang tidak gegabah. Tanggungan di atas sebagai penggantian total (jika kerusakan keseluruhannya) atau tambalan kerugian, sekalipun mereka berdua mensyaratkan tidak ada tanggungan.

 

Karena berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud dan lainnya: “Barang pinjaman itu ditanggung (kerusakannya), Artinya: Ditanggung dengan harga yang terhitung di hari rusaknya, bukan hari diterima barang, untuk barang mutagawwam, dan dengan tanggungan mitsli untuk mu’ar mitsli. Demikianlah menurut pendapat Al-Aujah.

 

Abdurrahman Al-Ardabili memantapkan dalam kitab Al-Anwar, dengan ketetapan kewajiban menanggung harga Mu’ar, sekalipun antuk Mu’ar yang berupa mitsil, misalnya kayu dan batu.

 

Kerusakan yang wajib ditanggung adalah kerusakan yang terjadi pada luar izin penggunaan barang pinjaman, sekalipun terjadinya bersamaan dengan penggunaan itu. Karena itu, jika barang pinjaman seluruh atau sebagiannya rusak lantaran digunakan sesuai dengan izin, misalnya: Ditunggangi, dimuati atau dipakai menurut kebiasaan, maka peminjam tidak wajib menanggungnya, karena justru itu ia diizinkan.

 

Demikian juga Musta’ir tidak wajib menapggung kerusakan barang yang ia pinjam dari penyewa dalam ijarah yang sah, sebab Musta’ir kedudukannya sebagai pengganti penyewa, di mana penyewa sendiri tidak dapat dibebani tanggungan.

 

Yang serarti dengan penyewa: Orang yang diwasiati hak kemanfaatan, orang yang diwakafi (mauquf alaih) dan barang yang dipinjam dengan tujuan untuk digadaikan dan mengalami kerusakan di tangan penerima gadai (Murtahin): maka Murtahin tidak wajib menanggung, begitu juga Rahin.

 

Demikian pula tidak wajib ditanggung kerusakan kitab yang diwakafkan kepada segenap kaum Muslimin, umpama yang dipinjam oleh seorang Faqih, lalu dirusak dengan tanpa gegabah, karena ia termasuk jumlah Mauquf Alaih.

 

Cabang:

 

Apabila terjadi perselisihan antara pihak Musta’ir dengan Mu’ir mengenal apakah kerusakan terjadi dari penggunaan yang diizinkan atau tidak, maka menurut pendapat AlJalal Al-Bulqini yang dibenarkan adalah Mu’ir (yang meminjamkan), lantaran asal dari ‘Ariyah adalah ada tanggungan sehingga ada hal yang menggugurkannya.

 

Bagi Mu’ir wajib menanggung biaya pengembalian Mu’ar, kepada pemiliknya.

 

Tidak termasuk “biaya pengembalian”, yaitu biaya Mu’ar itu sendiri: Biaya ini harus dipikul pemiliknya, : karena termasuk hak miliknya. Al-Qadhi Al-Husain menyelisihi pendapat ini dan katanya: Biaya Mu’ar adalah menjadi tanggungan Musta’ir.

 

Bagi Mu’ir dan Musta’ir boleh mencabut kembali akad ‘Ariyah, baik ariyah mutlak maupun yang dibatasi dengan waktu, sampai dalam masalah meminjamkan sesuatu untuk menanam mayat sebelum selesai penimbunan tanah untuknya, sekalipun setelah mayat diletakkan di dalam kubur.

 

Tidak boleh mencabut kembali, setelah mayat ditimbun dalam tanah dan sebelum mayat hancur tubuhnya. Bagi Musta’ir tidak boleh mencabut kembali akad ariyah, sekira akad itu wajib dilakukan, misalnya untuk menempatkan bekas istrinya yang sedang idah.

 

Bagi Mu’ir tidak boleh mencabut kembali akad ariyahnya yang berupa kapal laut, ketika sudah berada di tengah gelombang dan di dalamnya terdapat harta milik Musta’ir. Ibnur Rif’ah membahas bahwa dalam hal ini, Mu’ir berhak menerima upah.

 

Tidak boleh juga pada peminjaman kayu balok yang digunakan untuk menyangga tembok yang telah condong. Sedang bagi Mu’ir berhak menerima upah terhitung sejak terjadi pencabutan kembali.

 

Jika seseorang meminjam (tanah) untuk didirikan bangunan atau ditanami, maka hal itu hanya boleh dilakukan satu kali saja.

 

Karena itu, bila bangunan tersebut telah ia cabut atau tanamannya telah ia tebang, maka ia tidak boleh membangun dan menanam lagi, kecuali ada izin baru atau telah dijelaskan bahwa ia boleh melakukan itu untuk yang keduakalinya.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila terjadi perselisihan antara pemilik suatu barang dengan pemakainya (Mutasharrif), sebagaimana Mutasharrif berkata, “Engkau pinjamkan kepadaku”, sedang pemilik berkata, “Kusewakan dengan ongkos sekian”, maka dengan disumpah, pihak Mutasharrif dibenarkan, jika barang masih ada dan berjalan selama masa yang bernilai sewa, Jika telah berjalan masa yang bernilai sewa, maka pemilik barang harus bersumpah, lalu berhak memiliki uang sewa.

 

Kasus di atas sebagaimana seorang memakan makanan orang lain, dan ia berkata, “Engkau membolehkan untuk memakannya”, lalu pemilik mengingkarinya.

 

Atau sebaliknya, sebagaimana Mutasharrif berkata, “Engkau menyewakan kepadaku sekian….”, dan pemilik barang berkata, “Tidak! Aku hanya meminjamkan kepadamu”, sedang barang masih ada, maka yang dibenarkan adalah pemilik barang dengan sumpahnya.

 

Apabila seseorang memberi orang lain sebuah ruko (rumah toko) dan beberapa dirham atau tanah dan bibitnya, dan ia berkata, “Dagangkanlah uang dirham ini/tanamlah bibit ini di sana!”, maka menurut pendapat Al-Aujah: Ruko dan tanah adalah sebagai pinjaman, sedang uang dirham dan bibit adalah sebagai utang, bukan pemberian (Hibah), lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha. Selanjutnya, (jika terjadi perselisihan), maka pihak pemberi dibenarkan dakwaannya mengenai maksud pemberian itu.

 

Apabila seseorang mengambil gelas (yang terisi air) dari penjaga air minum untuk meminum airnya, lalu setelah dipegang gelas itu jatuh dan pecah, baik setelah airnya diminum atau belum, maka jika ia meminta air tersebut, secara gratis, maka ia wajib menanggung gelasnya, tidak airnya, (tetapi) jika ia memintanya dengan membeli dan air yang ada dalam gelas adalah sebanyak harga pembelian, maka yang wajib ditanggung adalah airnya (karena dihukumi jual beli yang fasid), bukan gelasnya (karena gelas ini dihukumi sebagai persewaan yang fasid).

 

Apabila seseorang meminjam perhiasan yang ia pakaikan kepada putrinya yang masih kecil, lalu ia memerintahkan kepada orang lain untuk menyimpannya di dalam orang itu (setelah dilepas dari anak kecil tersebut), dan ia melakukan perintah tersebut (mendadak) perhiasan itu dicuri seseorang, maka pemilik perhiasan harus meminta ganti kepada. peminjam (Musta’ir) dan Musta’ir dapat meminta ganti kepada orang kedua (yang menyimpan), jika ia tahu bahwa perhiasan tersebut adalah barang hasil pinjaman.

 

Kalau ia tidak tahu bahwa itu barang pinjaman, bahkan ia menyangka milik orang yang memerintahkan, maka ia tidak wajib menanggungnya.

 

Barangsiapa menempati rumah dalam beberapa waktu dengan izin dari pemiliknya yang berhak mengizini dengan tanpa menuturkan ongkos, maka ia tidak wajib membayar ongkos penempatan.

 

Penting:

 

Al-Ubaidi dan lainnya berkata: Kitab hasil pinjaman yang diketahui terdapat kesalahan, maka peminjam tidak boleh membenarkannya, kecuali jika berupa kitab Alqur-an, maka wajib dibenarkan.

 

Kata Guru kita: Menurut pendapat Ittijah, bahwa kitab yang dimiliki selain Alqur-an, adalah tidak boleh dibenarkan sama sekali, kecuali jika ia mengira bahwa pemiliknya rela dengan perbaikan tersebut. Dan wajib mengadakan pembetulan terhadap kesalahan dalam Alqur-an, tapi hal itu jika tidak mengurangi kebaikannya lantaran tulisannya jelek. Juga bahwa kitab wakaf itu wajib dibenarkan, jika ia terdapat kesalahan di dalamnya.

Gasab adalah: Menguasai hak orang lain sekalipun berupa kemanfaatan dengan cara yang tidak dibenarkan, misalnya: Menyuruh berdiri seseorang yang tengah duduk di mesjid/ pasar, duduk di atas alas tidur orang lain, sekalipun tidak digeser ke tempat lain, mengusir orang dari rumahnya sendiri, sekalipun lalu tidak dimasukinya, menaiki kendaraan orang lain dan meminta pelayanan kepada budak orang lain.

 

Penggasab (Ghashib) wajib mengembalikan barang yang digasab dan menanggung kerusakan barang gasab yang ada nilai penghartaan dengan perhitungan harga tertinggi sejak waktu menggasab hingga barang itu rusak.

 

Barang Mitsli harus ditanggung dengan mengembalikan barang mitsli di mana pun berada. Barang mitsli adalah barang-barang yang dapat diukur dengan takaran atau timbangan dan sah dijadikan Muslam Fih, misalnya: Kapas, tepung, air, minyak misik, tembaga, dirham dan dinar sekalipun campuran, kurma, anggur, biji-bijian yang kering, minyak dan minyak samin.

 

Apabila untuk mengembalikan barang mitsli yang digasab tidak didapatkan, maka penggasab harus menanggung harga tertingginya semenjak terjadi gasab sampai waktu barang itu tidak didapatkan.

 

Apabila barang mitsli yang digasab itu rusak, maka pemilik berhak menuntut penggasab untuk mengem:balikan barang mitsli di selain tempat di mana barang yang digasab itu berada, jika untuk memindah barang tersebut (dari tempat gasab/ kerusakan ke tempat lain) tidak membutuhkan biaya serta aman perjalanannya, kalau tidak demikian, maka menuntutnya dengan harga tertinggi di tempat ditemukan barang mitsli.

 

Barang Mutaqawwam yang dirusakkan, misalnya beberapa kemanfaatan dan binatang adalah harus ditanggung dengan harganya.

 

Atas dasar sama-sama rela, pemilik barang boleh mengambil harga dari barang mitsli. Apabila ia telah mengambil harga, lalu mereka berdua (pemilik barang dan penggasab) berkumpul di daerah tempat barang mitsli itu rusak, maka mereka tidak boleh menarik kembali untuk melaksanakan penanggungan (dengan mengembalikan) berupa barang mitsli.

 

Sekira sudah wajib menanggung dengan barang mitsli, maka tidak ada pengaruh atas mahal atau murah barang tersebut.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila seseorang melepas tali kapal laut, lalu tenggelam, maka ia harus menanggungnya, tetapi kalau tenggelamnya sebab terserang angin, maka ia tidak wajib menanggungnya. Demikian juga tidak wajib menanggungnya, jika sebab tenggelamnya tidak diketahui.

 

Apabila seseorang melepas tali pengikat binatang atau budak yang belum tamyiz atau membuka kurungan burung, lalu semuanya kabur, maka ia wajib menanggungnya, jika kekaburannya lantaran penghentakan atau pengusiran dari orang tersebut.

 

Demikian juga, ia wajib menanggung jika hanya dengan membuka kurungan, lalu burungnya terbang seketika.

 

Tidak wajib menanggung budak yang berakal lantaran tali pengikatnya dilepas lantas kabur, sekalipun budak itu mempunyai kebiasaan kabur.

 

Apabila seorang yang zalim memukul budak orang lain, lalu budak itu kabur, maka ia tidak wajib menanggungnya.

 

Ghashib (penggasab) menjadi bebas dengan mengembalikan barang gasaban kepada pemiliknya. Dalam mengembalikannya, adalah sudah dianggap cukup dengan meletakkannya di sisi pemilik barang. Apabila ia lupa siapa pemilik barang tersebut, maka ia dapat dianggap bebas dengan mengembalikannya kepa la seorang qadhi.

 

Jika penggasab mencampur barang mitsli/Mutaqawwam dengan barang lain yang tidak dapat dibedakan lagi (mana yang dari gasab dan yang bukan), maka dihukumi sebagai barang yang rusak, bukan barang persekutuan antara penggasab dengan pemiliknya: misalnya: mencampur minyak atau biji-bijian, demikian juga uang dirham, menurut Al-Aujah dengan sejenisnya atau tidak. Dalam masalah barang yang sudah bercampur begitu, penggasab berhak memilikinya.

 

Tetapi menurut pendapat Al-Aujah, bahwa orang tersebut terhalang pentasarufannya, sebelum penggasab memberikan ganti yang digasab.

Hibah yang dimaksudkan di sini, mempunyai arti yang luas, yang memuat sedekah dan hadiah.

 

Hibah adalah: Memberikan hak milik suatu barang yang pada galibnya sah dijual atau memberikan piutang kepada orang lain (yang selain pengutang) dari ahli Tabarru’, tanpa ada penukaran.

 

Dengan perkataan kami, “tanpa ada penukaran”, maka dikecualikanlah bai’ (jual beli) dan hibah berimbalan, karena hakikatnya jual beli juga.

 

Hibah (pemilikan di atas) dengan ijab, misalnya, “Ini kuberikan kepadanw/Ini kumilikkan kepadamu/ Ini kuanugerahkan kepadamu”, dan qabul yang bersambung dengan ijab, misalnya: “Kuterima/Aku rela”.

 

Hibah juga bisa jadi dengan Kinayah (sindiran), misalnya: “Ini untukmu/ Ini pakaianmu”, serta boleh jadi dengan Mu’athah (tidak ada ijab-qabul) menurut pendapat Al-Mukhtar.

 

Guru kita berkata: Terkadang hibah itu tidak disyaratkan ada Shighat (ijab-qabul), sebagaimana jika hibah itu masuk dalam yang lain (hibah dhimniyah), misalnya: “Merdekakanlah budakmu atas namaku”, lalu budak tersebut dimerdekakan, sekalipun tidak mengatakan “gratis”.

 

Misalnya lagi, bila seseorang memperhiasi anak kecilnya dengan perhiasan -lain halnya dengan memperhiasi istrinya-, sebab dia mampu memberikaq hak milik dengan keberadaan penguasaan dari dua segi (ijab dan qabul anaknya). Begitulah kata Al-Qaffal yang sudah diakui oleh segolongan ulama.

 

Tetapi pendapat di atas bertentangan dengan pembicaraan dua Guru kita (Ar-Rafi’i dan An-Nawawi), di mana mereka berdua mensyaratkan bahwa hibah orangtua yang menguasai dua segi harus ada ijab dan qabul, sedang hibah wali yang bukan orangtua adalah disyaratkan ada qabul dari hakim atau penggantinya.

 

Para ulama menukil dari Al-Ubadi dan mengakuinya, bahwa apabila seseorang menanam pohon dan pada saat menanam ia berkata, “saya menanamnya untuk anakku (umpamanya), adalah bukan sebagai ikrar: lain halnya jika ia menyatakan sesuatu yang telah ada di tangannya, “Aku membelinya untuk anakku/si Anu (yang merupakan orang lain)”, maka pernyataan tersebut, sebagai ikrar.

 

Jika seseorang berkata, “Ini kujadikan untuk putraku”, maka putranya tidak dapat memilikinya, kecuali bila ja mengambil/menerimanya (setelah ada qabul). “

 

As-Subki dan Al-Adzra’i serta lainnya memandang lemah pandapat AlKhawarizmi dan lainnya, bahwa seorang ayah yang memakaikan perhiasan kepada anak kecil, adalah berarti memberikan hak milik kepadanya.

 

Segolongan ulama menukil dari fatwa-fatwa Al-Qaffal sendiri: Bila orangtua mengirimkan barangbarang ke rumah anak putrinya (yang berada di rumah suaminya) tanpa ada pernyataan pemilikan, maka orangtua tersebut, dapat dibenarkan dengan sumpahnya, bahwa ia tidak memberikan hak milik kepada putrinya, jika si anak mengaku adanya pemilikan. Ini sudah jalan untuk menyanggah pendapat Al-Qaffal di atas.

 

Al-Qadhi Husain memberikan fatwa mengenai orangtua yang mengutus anak putrinya kepada suaminya dengan dibawai barang-barang, bahwa bila orangtua tersebut berkata, “Ini semua barang milik anak putriku”, maka menjadi milik putrinya, Kalau tidak mengatakan seperti itu, maka sebagai pinjaman, yang mana orangtua di atas dapat dibenarkan pengakuannya dengan sumpahnya.

 

(Termasuk hibah yang tidak disyaratkan ada shighat), seperti pembagian baju-baju bekas para penguasa, karena telah terjadi kebiasaan tanpa menyebutkan penghibahan -habislah perkataan Guru kita-,

 

Guru kita, Ibnu Ziyad, menukil dari fatwa-fatwa Ibnul Khayyath: Apabila seorang suami setelah akad nikah menghadiahkan sesuatu kepada istrinya, maka istr memilikinya dan tidak memerlukan ada ijab dan qabul.

 

Yang tidak memerlukan ada ijab-qabul lagi: Pemberian seorang suami di fajar malam pertama kepada istrinya, yang dalam kebiasaan kita disebut “Shabihah”, dan pemberian kepada istri di kala marah atau dikawini. Pemberian semua ini dapat dimiliki oleh istri dengan hanya menyerahkan barang itu kepadanya.

 

Secara pasti, dalam masalah sedekah tidak disyaratkan ada ijab dan qabul.

 

Sedekah adalah: Sesuatu yang diberikan kepada orang yang membutuhkan, sekalipun tidak ada tujuan mengharapkan pahala, atau kepada orang kaya dengan harapan menidapat pahala di akhirat.

 

Bahkan untuk pelaksanaan sedekah, adalah sudah cukup dengan memberikan dan pihak lain menerimanya. Tidak disyaratkan ada ijab dan qabul dalam hadiah, sekalipun bukan berupa makanan.

Hadiah adalah: Pemberian dengan cara mengantarkan kepada orang  yang diberi (dihadiahi), lantaran memuliakan.

 

Bahkan untuk hadiah, cukuplah dengan cara memberi (mengantarkan) dan yang dihadiahi menerimanya.

 

Hibah, sedekah dan hadiah hukumnya adalah sunah, sedang yang pahng utama adalah sedekah.

 

Mengenai surat yang telah dikirimkan, yang tiada petunjuk bahwa surat tersebut harus dikembalikan lagi kepada pengirim surat, maka menurut Al-Mutawalli: Surat tersebut nya. Selain Al-Mutawalli berkata: Surat tersebut tetap menjadi milik si pengirim, sedangkan si penerima berhak menggunakannya atas jalan ibahah (mubah).

 

Hibah dapat sah dengan kata-kata di atas, jika tanpa ada ta’liq. Karena itu, hibah yang dita’liq tidak sah. Misalnya: “Bila telah datang awal bulan, maka akau menghibahkan/membebaskanmu”.

 

Tidak sah pula hibah dengan pembatasan waktu berlakunya, selain pembatasan pada Hibah Umra (hibah sepanjang usia penghibah atau penerimanya) dan Hibah Ruqba (barang hibah kembali pada yang meninggal akhir di antara mereka berdua). Karena itu, jika Wahib (penghibah) membatasi masa hibah dengan umur penerimanya, maka hukumnya sah. Misalnya: Ini Kuberikan/Kuhibahkan kepadamu sepanjang umurmu/selagi kamu hidup”, sekalipun tidak mengatakan, “Jika kamu mati, maka menjadi milik ahli warismu.”

 

Sah pula hibah dengan mensyaratkan akan kembali lagi kepada wahib atau ahli warisnya, setelah penerima hibah meninggal dunia. Dalam hal ini hibah tidak dapat kembali lagi kepada wahib dan ahli warisnya, karena berdasarkan hadis sahih. Hibah seperti ini hukumnya sah dan syarat yang ditetapkan tidak berguna.

 

Apabila wahib membatasi masa berlaku hibah dengan umur wahib atau orang lain, maka hukumnya tidak sah. Misalnya: “Barang ini kuhibahkan kepadamu sepanjang umurku/si Fulan.”

 

Apabila seseorang berkata kepada orang lain, “Bagimu halal atas segala yang kamu ambil/terima/makan dari hartaku”, maka ia boleh memakannya saja, sebab pernyataan tersebut hanya sebagai ibahah (pemberian wewenang), yang mana sah dilakukan pada barang yang belum jelas, lain hanya dengan masalah pengambilan dan penerimaan. Demikianlah menurut Al-Ubaidi.

 

Bila seseorang berkata, “Kuhibahkan seluruh hartaku atau separo hartaku”, maka hibah hukumnya sah, jika seluruh/separo hartanya diketahui oleh kedua belah pihak, Kalau tidak, maka tidak sah.

 

Tersebut dalam Al-Anwar: Bila seseorang berkata, ” Kuhibahkan (kuperbolehkan) bagimu seluruh anggur yang ada dalam rumahku/di atas pohon anggurku”, atau “bagimu seluruh anggurku”, maka ia boleh memakannya, namun tidak boleh menjual/membawa/memberikan kepada orang Jain. Ibahah di sini terbatas pada anggur yang ada dalam rumah atau pohonnya saja.

 

Bila seseorang berkata, “Kuibahahkan kepadamu segala yang ada dalam rumahku, baik kau makan maupun kau pergunakan”, sedang orang itu tidak tahu segala yang ada dalam rumahnya, maka ibahah belum sah.

 

Sebagian ulama memantapi ibahah tidak menjadi gugur lantaran dikembalikan kepada pemiliknya.

 

Syarat Mauhub (barang yang dihibahkan) hendaknya berupa barang yang sah dijualbelikan. Karena itu, tidak sah menghibahkan barang .yang tidak diketahui (majhul), sebagaimana hukum menjualnya, adapun keterangannya baru saja lewat. Lain halnya dengan hadiah dan sedekah, maka menurut penjelasan Guru kita adalah sah hukumnya.

 

Sah menghibahkan barang yang menjadi milik perserikatan, sebagaimana menjualnya, sekalipun barang tersebut belum dibagi, dan baik dihibahkan kepada teman perserikatannya maupun selainnya.

 

Terkadang sah menghibahkan barang yang tidak sah dijual, misalnya menghibahkan dua biji gandum dan hal-hal yang tidak bernilai lainnya, menghibahkan kulit najis masih diperselisihkan dalam Ar-Raudhah, dan menghibahkan minyak yang terkena najis.

 

Hibah, sedekah dan hadiah sudah dapat dimiliki (luzum), jika barang telah diterima.

 

Karena itu, tiga status di atas belum dapat dimiliki dengan hanya ada akad, tetapi harus setelah diterima barangnya, menurut kaul Jadid. Berdasarkan hadis bahwa Rasulullah – saw. menghadiahkan 30 uqiyah minyak misik kepada Raja Habsy, sebelum barang tersebut sampai kepadanya, ia lebih dulu meninggal, lalu beliau saw. membagikan minyak tersebut kepada para santrinya. Kemudian, hibah dan sedekah dikiaskan dengan hadiah.

 

Hanya saja untuk dapat disebut “telah menerima barang”, adalah jika dalam hibah tersebut penerimaannya didapatkan dari penyerahan wahib izinnya atau izin wakil wahib. Izin dari wahib dalam hal ini diperlukan adanya, sekalipun barang hibah telah di tangan orang yang dihibahi.

 

Dalam hibah tidaklah cukup hanya dengan meletakkan barang hibah di depan Muttahib (yang dihibahi) tanpa ada izin pengambilan, karena penerimaan muttahib dalam hal seperti ini belum dapat disebut pemberian hak, karena itu, haruslah diukur ada kenyataan penerimaan (yaitu dengan ada izin). Lain halnya dengan barang belian. Kemudian, jika salah satu dari wahib dan muttahib meninggal dunia sebelum ada penyerahan (atau pemberian izin), maka penerimaan atau penyerahan bisa dilakukan oleh ahli waris yang bersangkutan.

 

Bila muttahib telah menerima barang hibah, lalu wahib berkata, “Izin untuk menerima/mengambil telah kutarik sebelum pengambilan terjadi”, sedang muttahib berkata: “Setelah pengambilan”, maka menurut penjelasan Al-Adzra’i bahwa yang dibenarkan adalah Wahib.

 

Tetapi kecondongan Guru kita adalah membenarkan muttahib, karena asal permasalahannya adalah tidak ada pencabutan sebelum pengembalian. Pendapat ini yang mendekati kebenaran.

 

Ikrar telah adanya penerimaan adalah mencukupi untuk keluzuman hibah), sebagaimana ketika dikatakan kepada wahib, “Adakah engkau menghibahkan ini kepada si Fulan dan engkau telah menyerahkannya”, lalu dia menjawab, “Benar”.

 

Adapun ikrar dan Syahadah mengenai hibah semata, adalah tidak berarti menetapkan ada penerimaan. Tetapi ucapan wahib, “Muttahib telah memiliki barang hibah dengan pemilikan yang mandiri (lazim)”, adalah cukup sebagai ikrar bahwa penerimaan barang telah terjadi.

 

Sebagian fukaha berkata: Bagi seorang hakim tidak diperbolehkan menanyai saksi tentang penerimaan barang hibah, dengan maksud agar saksi tidak teringat hal tersebut.

 

Bagi orangtua, baik laki-laki/wanita, dari jalur ayah/ibu, sekalipun sampai jalur atas, adalah boleh cabut kembali apa yang telah dihibahkan/ disedekahkan/dihadiahkan kepada anak turunnya, selagi barang hibah masih berada dalam kekuasaan  tasaruf si anak, tetapi dalam masalah Ibra’, orangtua tidak boleh mencabut kembali. Kebolehan mencabut kembali barang hibah tersebut, sekalipun barang itu berupa bumi yang sudah ditanami/diletaki bangunan, khamar yang telah berubah menjadi cuka, atau budak tersebut telah diijarahkan/digantungkan kemerdekaarinya, atau digadaikan/dihibahkan, yang kedua-duanya belum ada penerimaan, lantaran keadaan barang hibah dalam semua ini masih ada dalam kekuasaan anak.

 

Karena itu, bagi orangtua tidak boleh menarik kembali barang hibah yang oleh anak turunnya sudah dihibahkan lagi dan sudah ada penerimaan (qabdh), lantaran hak milik si anak sudah hilang, sekalipun hibah kedua ini dari anak ke anak, atau kepada saudara laki-laki wahib kedua yang seayah. Begitu juga tidak boleh menarik kembali sebab barang hibah telah dijual, sekalipun kepada wahib sendiri, menurut pendapat Al-Aujah. Atau kehilangan hak milik si anak turun sebab wakaf.

 

Penarikan kembali menjadi terlarang lantaran barang hibah telah lepas dari hak milik anak turun, sekalipun telah kembali lagi, dan sekalipun kembalinya lantaran Iqalah (pembatalan jual beli), atau pengembalian barang pembelian lantaran cacat, karena hak milik yang ada pada anak turun sekarang tidak dapat diperoleh dari orangtua.

 

Bila anak turun penerima hibah menghibahkan kepada anak turunnya dan telah menyerahkan kepadanya, lalu barang ditarik lagi, maka mengenai penarikan orangtua penghibah ada dua pendapat: Pendapat Al-Aujah dari kedua masalah adalah tidak boleh, lantaran telah hilang hak milik, lalu kembali lagi.

 

Terlarang lagi, apabila hibah berkaitan dengan hak lazim, misalnya: Barang hibah telah digadaikan kepada selain orangtua penghibah, telah diterimakan dan gadai belum terlepas.

 

Demikian juga bila barang hibah telah mengalami kepunahan, misalnya berupa telur yang telah menetas atau biji yang telah tumbuh, sebab begitu barang hibah telah punah.

 

Penarikan kembali barang hibah sudah dapat terwujud dengan semacam “Hibah kutarik kembali/ Akad hibah kurusak atau kubatalkan/Barang hibah kumiliki kembali.”

 

Juga bisa terwujud dengan kinayah (sindiran), misalnya: “Barang hibah saya ambil/saya pungut”, disertai niat.

 

Penarikan kembali tidak dapat terwujud dengan semacam dijual, dimerdekakan, dihibahkan lagi kepada selain anak turun (yang menerima hibah), dan diwakafkan, lantaran kesempurnaan hak milik anak turun tersebut.

 

Tidak sah menggantikan rujuk (penarikan barang hibah) dengan suatu syarat.

 

(Dalam penarikan hibah). Apabila semua barang hibah mengalami pertambahan (di sisi anak turun), maka dalam penarikannya, tambahan yang bergandengan diikutkan juga, misalnya kecakapan bekerja. Tidak terikutkan tambahan yang tidak bergandengan, misalnya upah, anak dan kandungan yang terwujud setelah barang hibah menjadi milik anak turun.

 

Bagi orangtua, makruh menarik kembali pemberiannya kepada anak turun, kecuali karena ada uzur, misalnya si anak berani kepada orangtua atau ia membelanjakannya untuk maksiat.

 

Al-Bulqini membahas tentang terlarang mencabut kembali sedekah wajib, misalnya zakat dan kafarat. Seperti itu pula fatwa para fukaha sebelum dan setelah Al-Bulqini.

 

Orangtua boleh menarik kembali harta yang telah diikrarkan sebagai milik anak turunnya, sebagaimana fatwa An-Nawawi yang dipegangi oleh segolongan ulama Mutaakhirun. Al-Bulqini menukil dari ayahnya: Ketentuan di atas adalah berlaku bila ia menafsiri barang yang dimiliki anak turunnya sebagai hibah, dan ketentuan seperti ini harus ada.

 

An-Nawawi berkata: Bila seseorang menghibahkan dan telah menyerahkannya, lalu mati, selanjutnya ahli warisnya mendakwa bahwa Inbah itu dilakukan ketika dalam keadaan sakit, sedang Muttahib mendakwa bahwa hibah tersebut dilakukan ketika dalam keadaan sehat, maka yang dibenarkan adalah pihak Muttahib (penerima hibah). Lalu, bila kedua belah pihak yang bersengketa itu mengajukan bukti (bayyimah), maka yang didahulukan adalah bayyinah ahli waris, karena dengan bayyinahnya didapatilah kelebihan pengetahuan (tentang sakit).

 

Penghibahan piutang kepada pengutang adalah berarti Ibra’ (pembebasan utang). Karena itu, tidak lagi diperlukan ada qabul, lantaran melihat makna yang ada.

 

Sedangkan penghibahan piutang kepada selain pihak pengutang, adalah hibah yang sah, jika kedua belah pihak (wahib dan muttahib) mengetahui ukuran prutang, sebagaimana yang telah dibenarkan oleh segolongan fukaha dengan mengikutkan Nash Syafi’iyah, Lain halnya dengan yang dibenarkan oleh An-Nawawi di dalam Al-Minhaj. Peringatan:

 

Tidak sah pembebasan piutang yang tidak mudah diketahui (majhul) oleh pemiutang atau pengutang, tetapi jika pembebasan yang di situ ada unsur penggantian (misalnya: Khuluk), bila pengutang tidak mengetahui. Contoh pembebasan yang ada unsur penggantian, “Bila kamu membebaskan utangku kepadamu, maka kamu tertalak”, tetapi jika pembebasan itu tidak ada unsur penggantian (‘iwadh), maka sekalipun pengutang tidak mengetahui, adalah sah saja menurut pendapat Al-Muktamad.

 

Menurut Kaul Kadim Syafi’i: Pembebasan piutang secara mutlak (baik ada unsur iwadh maupun tidak) adalah sah.

 

Bila seseorang melakukan pembebasan (Ibra’), lalu mengaku bahwa ia tidak mengetahui apa yang telah dibebaskan, maka secara lahir (kaitan hukum dunia) tidak bisa – diterima, tetapi menurut kaitan akhirat (batin) adalah dapat diterima, (sehingga di akhirat nanti tidak ada – tuntutan baginya). Demikianlah menurut penuturan Ar-Raff’i.

 

Di dalam Al-Jawahir yang dinukil dari Az-Zubaili: Dengan cara disumpah, seorang wanita kecil yang dikhawatirkan dengan cara paksa, adalah dapat dibenarkan dakwaannyabahwa ia tidak mengetahui mahar-. nya. Al-Ghazali berkata: Demikian juga dengan seorang wanita dewasa yang dikawinkan dengan cara paksa, jika ia keadaannya cukup menunjukkan ketidaktahuannya.

 

Cara pembebasan piutang yang tidak diketahui jumlahnya, adalah pemiutang membebaskan sejumlah yang tidak kurang dari piutangnya, misalnya membebaskan seribu, padahal ia masih ragu apakah piutang mencapai jumlah tersebut atau kurang dari itu (berarti ia yakin bahwa piutangnya tidak lebih dari jumlah tersebut).

 

Bila seseorang membebaskan sesuatu dengan keyakinan, bahwa itu bukan haknya, ternyata itu adalah haknya, maka apa yang dibebaskan menjadi bebas.

 

Makruh bagi pemberi membedabedakan dalam pemberiannya kepada anak turunnya, sekalipun cucu dengan anak menurut pendapat Al-Aujah, baik itu pemberian hibah, hadiah, sedekah maupun wakaf. Demikian juga dengan masalah pemberian kepada orangtua, sekalipun jalur ke atas, baik laki-laki maupun wanita.

 

Kecuali lantaran ada perbedaan hajat atau keutamaan atas dasar beberapa wajah.

 

Segolongan fukaha berkata: Hukum melebihkan adalah haram.

 

Di dalamAr-Raudhah, An-Nawawi menukil dari Ad-Darimi: Jika melebihkan pemberian kepada orangtua, maka hendaknya melebihkan ibu. Pendapat ini diakui oleh AnNawawi, dasarnya adalah hadis yang menerangkan bahwa ibu berhak menerima dua pertiga kebajikan, maka di dalam Syarah Muslim yang dinukil dari Al-Mahasibi, bahwa mengutamakan berbakti kepada ibu di atas ayah adalah berdasarkan ijmak.

 

Beberapa Cabang:

 

Hadiah-hadiah yang diberikan ketika pesta khitan, adalah menjadi milik ayah yang dikhitan. Segolongan fukaha mengatakan: Milik si anak, sedangkan ayah wajib menerimanya.

 

Titik perselisihan di sini adalah jika pemberi hadiah memberikannya secara mutlak, tidak dimaksudkan seorang di antara keduanya, Kalau dimaksudkan seorang dari keduanya, maka fukaha sepakat bahwa hadiah tersebut milik orang yang dimaksudkan.

 

Ketentuan seperti itu berlaku juga pada pemberian untuk pelayan ahli Sufi. Pemberian ini menjadi milik pelayan, jika diberikan secara mutlak atau ditujukan untuk dirinya, maka menjadi milik ahli Sufi jika untuk mereka berdua, sedangkan menurut yang lahir, pelayan menerima bagian separonya.

 

Kesimpulannya: Suatu kebiasaan yang berlaku di suatu daerah, yaitu meletakkan semacam cawan di depan orang yang mengadakan resepsi, agar orang-orang meletakkan uang dirham di cawan tersebut, lalu dibagikan kepada tukang cukur, tukang khitan dan sebagainya, adalah berlaku rincian hukum seperti di atas.

 

Karena itu, jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk tukang khitan saja atau beserta para pembantunya, maka dilaksanakan maksud itu. Kalau pemberian tersebut diberikan secara mutlak, maka pemberian menjadi milik orang yang mempunyai acara resepsi, Terserah, mau diberikan kepada siapa yang dikehendakinya.

 

Dengan begitu, maka dapat diketahui bahwa dalam masalah ini urf tidak dapat dilakukan. Adapun pemberian yang bertentangan dengan urf, adalah jelas tentang ketidakberlakuannya,

 

Adapun pemberian yang secara mutlak, maka justru menjadi milik orang-orang tersebut, -ayah, pelayan, orang yang mempunyai acara resepsi dan sebagainya-, sebab pada – galibnya mereka yang dimaksudkan. Penentuan seperti itu adalah termasuk urf Syar’i, yang harus didahulukan atas urf yang menyelisihinya.

 

Lain halnya dengan masalah yang di situ tidak terdapat urf syar’inya, maka yang dipergunakan dasar hukum adalah kebiasaan yang berlaku.

 

Dari keterangan tersebut, jika seorang yang menazarkan hartanya kepada seorang wali Allah yang telah meninggal dunia, maka hukumnya dirinci: Jika ia memaksudkan bahwa harta itu milik wali yang telah meninggal dunia, maka nazarnya gagal, bila tidak dimaksudkan sesuatu, jika kubur wali tersebut memerlukan sesuatu untuk kemaslahatannya, maka harta tersebut harus ditasarufkan ke situ, kalau di kubur sudah tidak memerlukannya, maka jika di sekitar kubur terdapat segolongan orang yang sudah menjadi kebiasaan bahwa nazar , tersebut harus ditasarufkan kepada mereka.

 

Bila seseorang menghadiahkan kepada orang yang telah menyelamatkan diri orang zalim, dengan tujuan agar orang tersebut tidak melepaskan pertolongannya, maka bagi penolong tersebut tidak halal menerimanya (sebab termasuk rasyiwah), tetapi jika hadiah tersebut bukan dengan tujuan seperti itu, maka baginya halal menerimanya, sekalipun hukum menyelamatkan orang tersebut baginya adalah fardu ain.

 

Bila seseorang berkata, ” Ambillah uang ini dan belikan begini untukmu”, maka ia wajib membeli barang yang telah ditentukan tersebut, selama orang itu tidak memberi kelonggaran, atau tidak ada petunjuk dari sikap orang itu yang mengarahkan ada kelonggaran untuk orang yang diperintahkan.

 

Barangsiapa menyerahkan makanan atau lainnya kepada wanita pinangan/ wakil/walinya, dengan tujuan mau mengawininya, maka ia boleh menarik kembali sesuatu yang telah diberikan.

 

Apabila seseorang mengirimkan hadiah kepada orang lain, lalu sebelum hadiah itu sampai kepada orang itu terburu mati, maka barang tersebut tetap menjadi milik pemberi hadiah (sebab barang hadiah selama belum diterima oleh orang yang diberi hadiah adalah belum dapat dimiliki): dan bila pemberi hadiah mati sebelum hadiah sampai kepada yang diberinya, maka utusan tersebut tidak boleh membawanya kepada yang diberi hadiah, (kecuali setelah mendapat izin dari ahli waris mayat).

 

 

 

Wakaf menurut bahasa, artinya: menahan, sedang menurut syarak adalah: Menahan harta yang dapat dimanfaatkan dalam keadaan barang masih utuh, dengan cara memutus pentasarufannya, guna ditasarufkan kepada hal yang muhah dan badan tertentu (jihah).

 

Dasar hukum wakaf adalah hadis riwayat Muslim: “Apabila orang muslim meninggal dunia, maka (pahala) amalnya menjadi terputus, kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh, maksudnya muslim, yang mendoakan kepadanya.” Ulama membawa arti sedekah jariyah pada “wakaf”, bukan pada semacam wasiat kemanfaatan-kemanfaatan yang mubah.

 

Bukhari-Muslim meriwayatkannya: Umarr.a. mewakafan sebidang tanah yang ia peroleh dari ghanimah Perang Khaibar atas perintah Rasulullah saw. dan ia menetapkan beberapa syarat: di antaranya: Tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diwaris, tidak boleh dihibahkan dan bagi yang mengurusinya dapat makan darinya dengan cara yang baik (makruf), serta boleh .memberi makan temannya dengan sikap hati-hati, buka seperti cara penggunaan orang yang berduit. Umar r.a. adalah orang pertama yang melakukan wakaf dalam Islam.

 

Dinukil dari Abu Yusuf, bahwa setelah ia mendengar hadis Umar r.a.: “Barang wakaf tidak boleh dijual”, maka ia mencabut (menolak) ucapan Abu Hanifah rhm. yang memperbolehkan menjual barang wakaf, dan kata Abu Yusuf rhm: “Jika Abu Hanifah mendengar hadis di atas, maka ia pasti berkata begitu”.

 

Untuk kesahan wakaf (disyaratkan) ada barang wakaf (Mauquf) adalah barang wujud (Mu’ayyanah), dimiliki dengan pemilikan yang dapat dialihkan dan mempunyai faedah, baik seketika maupun di belakang, misalnya, buah atau kemanfaatan yang pada galibnya dapat disewakan, di mana barang itu disyariatkan agar menjadi sedekah yang mengalir pahalanya.

 

Wakaf yang sah itu misalnya: Mewakafkan pohon untuk dimanfaatkan hasilnya, mewakafkan perhiasan untuk dipakai, semacam misik untuk dimanfaatkan baunya dan mewakafkan bunga yang ditanam (untuk dimanfaatkan baunya).

 

Lain halnya dengan mewakafkan kemenyan bakar, lantaran dapat dimanfaatkan dengan cara menghancurkan barangnya, dan seperti mewakafkan makanan, karena kemanfaatannya dengan cara merusak barangnya.

 

Praduga Ibnush Shalah yang menetapkan sah wakaf air, adalah pilihannya sendiri.

 

Sah mewakafkan barang yang tengah berada dalam penggasaban, sekalipun tidak dapat diselamatkan. Sah juga mewakafkan tempat yang atas tanpa yang bawah untuk dijadikan mesjid.

 

Menurut pendapat Al-Aujah: Sah mewakafkan sebagian dari barang yang masih dimiliki bersama (berserikat), sekalipun hanya sedikit untuk dijadikan mesjid, dan untuk selanjutnya bagi orang yang junub diharamkan diam di sana, lantaran memenangkan larangan (atas bagian yang masih dimiliki/tidak ikut diwakafkan), serta terlarang iktikaf dan salat di sana tanpa seizin pemilik manfaat.

 

Wakaf dianggap sah dengan katakata, “Kuwakafkan/Kusediakan/ Kutahan begini untuk ini/Bumiku menjadi wakaf/Wakaf untuknya.”

 

Jika seseorang berkata, “Kusedekahkan sekian untuk begini…dengan sedekah yang dimuliakan/diabadikan/sedekah boleh dihibahkan/tidak boleh diwaris”, maka termasuk shighat wakaf yang sharih menurut pendapat Al-Ashah.

 

Termasuk shighat yang sharih: “Tempat ini kujadikan mesjid”, maka jika dikatakan demikian, jadilah ia mesjid, sekalipun tidak dikatakan “karena Allah”, serta tidak mengatakan kata-kata yang telah dituturkan di atas (tidak boleh dijual dan seterusnya), karena mesjid itu pasti berupa hasil wakaf.

 

Perkataan: “Kuwakafkannya untuk salat” adalah sharih sebagai wakaf, tetapi kinayah sebagai pengkhususan menjadi mesjid, karena itu harus ada niat untuk mesjid dalam wakaf selain bumi mati.

 

Al-Qamuli menukil dari Ar-Rauyani dan mengakuinya, bahwa seseorang memperbaiki mesjid yang rusak dan tidak mewakafkan alat-alatnya, maka alat tersebut hukumnya sebagai Ariyah (pinjaman) terhadap mesjid, dan ia dapat mengambil kembali kapan saja ia menginginkan.

 

Hukum kemesjidan, yaitu sah digunakan iktikaf dan haram didiami orang yang junub, adalah tidak terjadi pada tanah wakaf di sekeliling mesjid (yang tidak diwakafkan sebagai mesjid), yang karena diperlukan perluasan mesjid, maka tanah tersebut bergandengan menjadi satu mesjid: sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita, Ibnu Ziyad dan lainnya.

 

Dari keterangan yang telah lewat (wakaf dengan kata-kata…dan seterusnya), dapat diketahui bahwa wakaf tidak sah, kecuali dengan melafalkannya dan perselisihan fukaha tentang Mu’athah tidak terjadi pada wakaf.

 

Bila seseorang membangun suatu bangunan yang berbentuk mesjid dan memberikan izin untuk digunakan salat, maka bangunan tersebut tidak terlepas dari hak miliknya, sebagaimana halnya dengan seseorang yang menjadikan tempatnya seperti kuburan dan memberi izin menanam mayat di sana.

 

Berbeda dengan bila ia mengizinkan beriktikaf di sana, maka bangunan tersebut menjadi mesjid.

 

Al-Baghawi berkata dalam Fatawi: Bila seseorang bicara dengan pengurus mesjid, “Buatlah batu merah dari tanahku untuk mesjid”, lalu dibuatlah batu merah dan dibangun mesjid, maka batu merah tersebut dihukumi sebagai mesjid, dan setelah dibuat bangunan, bagi pemilik tanah tersebut tidak boleh merusak bangunan itu, tetapi bila batu merah tersebut belum dibuat membangun, maka ia boleh meminta kembali.

 

Al-Bulqini menyamakan pada mesjid dalam hukum seperti di atas terhadap sumur yang disediakan untuk musafir, dan Al-Asnawi menyamakan padanya terhadap madrasah dan pondok.

 

Asy-Syekh Abu Muhammad berkata: Demikian juga bila seseorang meminta sumbangan untuk Zawiyah (langgar) atau Ribath (pondok), maka menjadilah barang wakaf dengan semata-mata didirikan bangunannya. Sebagian fukaha memandang lemah pendapat di atas.

 

Sah mewakafkan lembu pada pondok untuk diminum air susunya Oleh penghuninya, atau dijual keturunannya untuk kemaslahatan pondok. “

  1. Ta’bid (selama-lamanya). Karena itu, tidak sah wakaf dibatasi masa berlakunya, Misalnya: “Kuwakafkan kepada Zaid selama satu tahun.”

 

  1. Tanjiz (kelestarian). Karena itu, tidak sah menggantungkan wakaf: Misalnya: “Kuwakafkan kepadanya bila tiba awal bulan.”

 

Akan tetapi, sah menggantungkan wakaf dengan kematian si wakaf: Misalnya: “Kuwakafkan rumahku kepada orang-orang fakir setelah matiku”. Asy-Syaikhani (Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) berkata: Pewakafan ini seolah-olah suatu wasiat, sebab kata Al-Qaffal bahwa jika rumah tersebut ditawarkan, maka berarti pencabutan wakaf,

 

  1. Wakif dapat memberikan hak milik barang wakaf (mauquf) kepada orang yang diberi wakaf (mauquf alaih), jika wakafnya kepada seseorang atau golongan tertentu, misalnya: Mauquf Alaih orang yang nyata-nyata dapat memiliki barang wakaf.

 

Karena itu, tidak sah mewakafkan sesuatu/seseorang yang belum ada, misalnya mewakafkan pada mesjid yang akan dibangun/kepada anak si wakif, padahal ia belum mempunyai anak/kepada anakku yang akan dilahirkan, kemudian (setelah semua itu) kepada orang-orang fakir, lantaran dalam contoh ini semua wakaf sudah terputus jenjang pertama. Atau mewakafkan kepada anak-anak si wakif yang fakir, padahal mereka tidak ada yang fakir, dan tidak sah juga mewakafkan sesuatu yang hasilnya digunakan untuk memberi makan orang-orang fakir yang berada di atas kuburnya (padahal si wakif masih hidup). Lain halnya (jika si wakif mengatakan) untuk ayah yang sudah meninggal dunia.

 

Ibnush Shalah berfatwa, bahwa bila seseorang mewakafkan kepada orang yang membaca Alqur-an di kuburnya setelah ia mati, lalu setelah mati tidak diketahui kuburnya, maka batallah wakaf tersebut.

 

Sah mewakafkan kepada Mauquf Alaih yang belum wujud, dengan cara mengikutkan yang telah wujud: misalnya: “Kuwakafkannya kepada anakku, kemudian anaknya anakku”.

 

Tidak sah mewakafkan kepada salah seorang dari dua ini, kepada pembangunan mesjid yang tidak dijelaskan mesjid yang mana, dan tidak sah wakaf kepada dirinya sendiri, sebab manusia tidak dapat memberi hak milik atau kemanfaatan milikny’ terhadap diri sendiri.

 

Termasuk wakaf terhadap diri sendiri (dan hukumnya tidak sah), adalah mensyaratkan utangnya harus dilunasi dari barang wakaf atau ia (wakif) ikut memanfaatkan barang wakaf tersebut. Tidak termasuk wakaf terhadap diri sendiri: Persyaratan semacam wakif boleh minum atau menelaah dari sumur atau kitab yang ja wakafkan kepada orang-orang fakir. Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian dari para pensyarah Al-Minhaj.

 

Bila seseorang mewakafkan kepada orang-orang fakir -misalnya-, lalu ia sendiri menjadi miskin, maka ia boleh mengambil bagian. Demikian juga ketika ia telah menjadi fakir di waktu mewakafkan.

 

Sah mewakafkan dengan mensyaratkan dirinya menjadi nazhir wakaf, sekalipun dengan gaji, jika memang gaji tersebut secara lumrah atau lebih kecil.

 

Di antara hilah menjadikan sah wakaf terhadap diri si wakif, adalah wakaf kepada anak-anak ayahnya dengan menyebutkan sifat-sifat yang ada pada dirinya. Cara ini menurut segolongan fukaha mutaakhirun yang dipegangi oleh Ibnur Rif’ah dan ia telah melakukannya, Yaitu Ibnur Rif’ah mewakafkan sesuatu kepada anak-anak ayahnya yang paling mengerti ilmu fikih, lalu ia sendiri yang memperolehnya.

 

Wakaf pada arah maksiat adalah batal, misalnya wakaf pada pembangunan gereja, mewakafkan pedang kepada penjahat, dan mewakafkan kepada pembangunan kubur selain Nabi, ulama dan orangorang saleh.

 

Cabang:

 

Banyak terjadi orang-orang yang mewakafkan harta mereka ketika masih sehat kepada anak-anak lakilaki mereka, dengan maksud menghalangi anak-anak perempuan mereka dari barang wakaf, padahal sudah berulang kali dan hanya satu ulama yang menfatwakan batal wakaf sepertiitu.

 

Kata Guru kita Ath-Thanbadawi: Mengenai kebatalan wakaf seperti kasus di atas masih ada penelitian yang zhahir, bahkan menurut satu pendapat, bahwa wakaf dalam kasus di atas adalah sah hukumnya.

 

Tidak disyaraykan ada qabul, sekalipun dari mauqif alaih yang tertentu orangnya, mengingat bahwa wakaf itu suatu ibadah, tapi yang disyaratkan adalah tidak ada penolakan.

 

Penuturan di atas “sekalipun dari mauquf alaih yang ertentu orangnya”, adalah dinukil dari pendapat kebanyakan fukaha.

 

Pendapat tersebut dipilih oleh An-Nawawi di dalam Ar-Raudhah: Sedangkan di dalam Syarah Al-Wasith, pendapat tersebut dinukil dari Nash Syaf’iyah.

 

Dikatakan: Disyaratkan ada qabul dari mauquf alaih yang tertentu Orangnya, mengingat bahwa wakaf itu sebagai pemilikan. Pendapat ini diunggulkan oleh An-Nawawi di dalam Al-Minhaj sebagaimana Ashlul Minhaj (Al-Muharrar).

 

Apabila mauquf alaih yang Mu’ayyan menolak barang wakaf, maka batallah haknya terhadap barang wakaf, baik dalam hal ini kita berpendirian bahwa mauquf alaih disyaratkan qabul ataupun tidak.

 

Tetapi, bila seseorang mewakafkan sejumlah yang tidak melebihi 1/3 kepada ahli waris yang memiliki seluruh warisan nantinya maka jadilah wakafnya, sekalipun ahli waris tersebut menolaknya.

 

Dikecualikan dari “Mauquf alaih yang tertentu orangnya”, yaitu mauquf alaih yang berupa arah umum (misalnya para fakir) dan mauquf alaih semacam mesjid yang diserupakan dengan Jihatut Tahrir (pembebasan budak, dari segi hilang hak milik), maka secara mantab tidak diwajibkan ada qabul.

 

Bila seseorang mewakafkan kepada dua orang tertentu, lalu kepada para fakir, kemudian seorang dari keduanya mati, maka bagiannya diarahkan kepada yang satunya, sebab wakif mensyaratkan kepindahan barang wakaf kepada para fakir dengan kematian kedua mauquf alaih yang telah ditentukan, padahal masalah ini belum terjadi.

 

Bila mauquf alaih yang tertentu orangnya telah terputus jenjang akhirnya dalam mentasarufkan barang wakaf (Munqathi’ Akhir), maka barang wakaf ditasarufkan kepada orang fakir yang lebih dekat hubungan darahnya kepada si wakif, -bukan hubungan waris-, sejak habis mauquf alaih tersebut. Misalnya: Wakif berkata, “Aku wakaf kepada anak-anakku”, dan tidak menyebutkan siapa setelah itu, atau “… kepada Zaid, lalu anak turunnya”, dan lainlainnya lagi yang Mauquf alaihnya tidak langgeng adanya.

 

Orang yang dekat hubungan darahnya dengan wakif, misalnya cucu laki-laki dari anak perempuan, sekalipun di situ ada keponakan lakilaki dari saudara laki-laki. Wakif umpamanya, karena memberikan sedekah kepada kerabat adalah lebih utama, dan lebih utama lagi kerabat yang lebih dekat hubungan darahnya, kemudian yang lebih fakir.

 

Dari keterangan di atas, maka wajib dikhususkan, mana kerabat yang fakir.

 

Bila mauquf alaih yang berhak menerima penghasilan barang wakaf tidak diketahui, atau diketahui, tetapi kerabat-kerabat wakif adalah orangorang kaya, yaitu orang yang haram menerima zakat, maka imam harus mentasarufkannya pada kemaslahatan kaum muslim.

 

Segolongan fukaha berkata: Ditasarufkannya kepada orang-orang fakir dan miskin yang berada di daerah barang wakaf.

 

Menurut pendapat yang mana pun dari kedua di atas, wakaf di sini tidak bisa menjadi batal, tetapi wakaf tetap berjalan terus, kecuali jika wakif tidak menyebutkan arah pentasarufan barang wakaf: Misalnya wakif berkata, “Kuwakafkan ini”, -sekalipun mengatakan “karena Allah” -, karena wakaf itu menetapkan pada keberadaan pemilikan kemanfaatan: karena itu, jika wakif tidak menentukan orang yang memiliki, maka batallah wakaf itu.

 

Hanya saja sah kata-kata “kuwakafkan 1/3 hartaku” (dan orang yang menerima wasiat/Musha Lah tidak disebutkan), lalu tasarufnya adalah orang-orang miskin, karena pada galibnya wasiat itu kepada mereka, karenanya, ketika wasiat dimutlak- kan, maka diarahkan kepada mereka.

 

Dikecualikan lagi ketika wakif tidak menuturkan mauquf alaih jenjang pertama yang akan menerima tasaruf barang wakaf (munqathi’ awal), maka wakaf hukumnya batal. Misalnya: Kuwakafkan barang ini kepada orang yang mau membaca Alqur-an di atas kuburku setelah aku mati/… di atas kubur ayahku (kemudian kepada para miskin misalnya)”, padahal ayahnya masih hidup. (Kata-kata “setelah aku mati” dalam-contoh di atas yang benar adalah tidak dipakai, sebab jika dipakai akan menyamai dua contoh yang sah di bawah ini nanti).

 

Lain halnya dengan “Kuwakafkan sekarang barang ini kepada orang yang mau membaca Alqur-an di atas kuburku setelah aku mau/Kuwakafkan barang ini setelah aku mati…”, sebab kata-kata tersebut adalah wasiat, Karena itu, jika barang wakaf termasuk dari 1/3 hartanya, atau lebih darinya, tetapi ahli waris si wakif menyetujuinya dan kubur si wakif (ayahnya) diketahui, maka sahlah wasiat itu: kalau tidak begitu, maka tidak sah.

 

Bila kiranya kita menghukumi sah wakaf/wasiat dalam hubungannya di atas, maka mauquf alaih sudah dianggap cukup dengan membaca sebagian dari Alqur-an, tidak harus tertentu, membaca surah Yaa Siin, sekalipun surah itu pada galibnya yang dimaksudkan, sebagaimana fatwa Guru kita, Az-Zamzami.

 

Sebagian Ashhabuna (ulama mutakaddimun Syafi’iyah) berkata: Demikian itu jika tidak berlaku kebiasaan di daerah setempat dengan pembacaan sebagian yang maklum atau surah tertentu dari Alqur-an serta si wakif mengetahui kebiasaan tersebut. Kalau yang berlaku demikian, maka harus itu pula yang dibaca, karena kebiasaan yang berlaku di daerah setempat pada masa si wakif, adalah menempati suatu Syarat.

 

Bila wakif dengan sengaja menentukan suatu syarat, maka harus dituruti, selama dalam keadaan tidak darurat: Misalnya wakif mensyaratkan ada barang wakaf tidak disewakan secara mutlak, atau sekian tahun misalnya/diutamakan sebagian mauquf alaih di atas yang lain, sekalipun yang diutamakan itu wanita di atas laki-laki/penyamarataan di antara mauquf alaih/ dikhususkannya semacam mesjid, misalnya: madrasah dan kubur, untuk orang-orang bermazhab Syafi’i, sebagaimana halnya dengan syarat-syarat wakif lainnya yang tidak bertentangan dengan syarak.

 

Yang demikian itu, karena termasuk arah kemaslahatan.

 

Adapun syarat yang bertentangan dengan syarak, misalnya mensyaratkan ada penghuni madrasah adalah perjaka, maka syarat tersebut tidak sah (begitu juga wakafnya), sebagaimana yang difatwakan oleh Al-Bulqini.

 

Dengan kata-kata “selain dalam keadaan darurat”, dikecualikan bila keadaannya darurat, (misalnya): Tidak didapatkan selain penyewa pertama, padahal si wakif telah mensyaratkan bahwa barang wakaf (mauquf) tidak boleh disewakan kepada seseorang melebihi satu tahun atau orang yang menuntut ilmu (di dalam madrasah) tidak boleh tinggal melebihi satu tahun, ternyata untuk tahun kedua yang ada cuma penyewa/penuntut ilmu pada tahun pertama, maka syaratnya harus ditangguhkan terlebih dahulu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Adis Salam.

 

Faedah:

 

Fungsi huruf wawu athaf (dan), adalah menyamaratakan di antara Ma’thuf Alaih dengan Ma’thuf: Misalnya: “Kuwakafkan barang ini kepada anak-anakku dan anakanaknya anakku”, sedang huruf tsumma (lalu) dan huruf fa’ (Jalu) adalah berfungsi makna tertib.

 

Dalam menyebutkan “dzurriyah/ nasl/agib/auladul Aulad” adalah mencakup cucu dari anak perempuan, kecuali jika ia berkata, “Kepada orang yang nasabnya bertemu kepadaku dari mereka”, maka cucu dari anak perempuan tidak masuk.

 

Kata “Maula”, mencakup orang yang memerdekakan dan orang yang dimerdekakan.

 

 

Peringatan:

 

Bila sekira wakif menyebutkan syaratnya secara global, maka disesuaikan kebiasaan yang berlaku di masanya, karena hal itu berkedudukan sebagai syaratnya: kemudian disesuaikan dengan yang lebih mendekati maksud-maksud para wakif, sebagaimana yang ditunjukkan pembicaraan fukaha.

 

Dari keterangan di atas, untuk air yang disediakan di tepi jalan, adalah tidak boleh digunakan selain minum, dan tidak boleh memindahnya dari tempat semula, sekalipun untuk diminum.

 

Sebagian fukaha membahas diharamkan meludah atau membasuh kotoran di dalam air untuk bersuci yang ada di mesjid, sekalipun jumlah air tersebut banyak.

 

Al-Allamah Ath-Thanbadawi ditanya mengenai wadah-wadah yang ada di mesjid, yang berisikan air, manakala tidak diketahui apakah diwakafkan untuk minum, wudu, mandi wajib/sunah atau untuk membasuh najis. Kemudian beliau menjawab: Jika di situ ada petunjuk yang mengarahkan bahwa air tersebut ditaruh untuk kemanfaatan secara umum, maka boleh digunakan untuk semua itu, baik minum, membasuh najis, mandi janabah dan lain-lain.

 

Petunjuk itu misalnya, adalah berlakunya orang-orang yang menggunakan air tersebut secara umum tanpa diingkari oleh ahli fikih dan lainnya, karena secara lahir, tidak ada pengingkaran itu menunjukkan bahwa para wakif telah merelakan kemanfaatan, yaitu untuk keperluan secara umum, untuk digunakan mandi, minum, wudu, dan mencuci najis. Maka kejadian seperti ini adalah suatu keberhasilan yang disebut jawaz.

 

Dikatakan: Fatwa Al-Allam Abdullah Bamahramah adalah sesuai dengan yang telah disebutkan.

 

Al-Qaffal dan kemudian diikuti ulama-ulama yang lainnya berkata: Wakif bolch mensyaratkan ada gadai kepada nazhir wakaf dari peminjam kita wakafnya, lantaran untuk mendorongnya mau mengembalikan kitab tersebut.

 

Persyaratan ada penanggung adalah dapat disamakan hukumnya dengan gadai tersebut. Sebagian ulama berfatwa tentang wakaf dan nazar kepada Nabi saw., bahwa barang-barang tersebut harus ditasarufkan pada kemaslahatan makam beliau. Wakaf kepada penduduk suatu daerah, maka ditasarufkanlah mauquf kepada orang mukim daerah tersebut, atau penduduk yang tidak ada dalam daerah, karena suatu keperluan untuk pergi sejauh yang tidak memutuskan diakui kependudukan orang itu menurut kebiasaan.

 

Beberapa Cabang:

 

At-Tajul Fazari, Al-Burhan Al-Muraghi dan lainnya berkata: Bila wakif mensyaratkan pembacaan satu juz dari Alqur-an setiap hari, maka sudah dianggap cukup membaca seukuran satu juz, sekalipun ayat itu terpisah-pisah dan dengan cara melihat. Untuk masalah membacanya secara terpisah-pisah, ada tinjauan hukum.

 

Bila wakif berkata: “Agar hasil wakaf disedekahkan di bulan Ramadhan/Asyura”, lalu terlambat, maka boleh bersedekah setelah waktu itu dan tidak perlu menunggu waktu yang sama di tahun depan. Tetapi jika ia berkata “sebagai makan buka untuk orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan/Asyura”, maka harus menunggu tahun depan (jika. terjadi keterlambatan).

 

Tidak hanya seorang ulama yang telah berfatwa tentang ucapan wakif “(Kuwakafkan barang ini) kepada orang yang mau membaca Yaa Siin di kubur ayahku setiap hari Jumat”, bahwa jika ia membatasi bacaan tersebut dengan masa tertentu (misalnya: satu tahun) atau ia menentukan untuk setiap tahun pembaca diberi hasil bumi wakaf, maka syarat dari si wakif harus dipatuhi. Kalau wakif tidak menentukan pembacaannya, maka wakaf menjadi batal.

 

Kebatalan wakaf seperti di atas adalah sebanding dengan yang dikatakan oleh fukaha tentang kebatalan wasiat untuk Zaid sebesar 1 dinar setiap bulan, kecuali (sah) hanya pada 1 dinar saja. Selesai.

 

Hanya saja penyamakan wakaf dengan wasiat ini beralasan, jika wakafnya digantungkan dengan mati, karena dengan begitu wakaf di sini adalah bernilai wasiat.

 

Adapun wakaf yang tidak bernilai. wasiat, maka menurut tinjauan suatu pendapat adalah sah hukumnya, karena tidak membawa akibat-akibat yang terlarang sama sekali, karena jika si nazhir wakaf menentukan bahwa orang yang membaca surah Yaa Siin pada tiap Jumat akan berhak menerima apa yang telah dijanjikan selama orang itu masih membaca, maka jika orang itu mati (atau tidak datang), bagi nazhir dapat mencari gantinya, demikian seterusnya.

 

Bila wakif berkata: “Barang ini kuwakafkan kepada si Fulan, agar ia berbuat begini”, maka berkatalah Ibnush Shalah, bahwa kata-kata wakif “agar ia berbuat begini”, adalah bisa dianggap sebagai syarat untuk dapat memiliki barang wakaf, dan dapat pula sebagai wasiat dari wakif untuk kemaslahatan wakafnya.

 

Kemudian, jika maksud dari wakif diketahui, maka harus dipatuhi. Jika maksud dari wakif tersebut masih diragukan, maka bagi mauquf alaih tidak terlarang untuk memiliki.

 

Perkataan Ibnush Shalah di atas, arahnya hanyalah kata-kata yang menurut kebiasaan tidak dimaksudkan mentasarufkan hasil mauquf kepada mauquf alaih sebagai imbalan dari pekerjaan. Jika yang dimaksudkan demikian, misalnya kata wakif: “… agar kamu membaca/ mempelajari begini”, maka kata-kata tersebut sebagai syarat bagi mauquf alaih untuk dapat memiliki hasil dari mauquf (barang wakaf), menurut yang dianggap zhahir oleh Guru kita.

 

Bila seseorang mewakafkan/ mewasiatkan sesuatu untuk tamu, maka harus ditasarufkan kepada pendatang yang menurut kebiasaan dianggap sebagai tamu, dan secara mutlak tamu tersebut, tidak boleh dijamu melebihi 3 hari, tidak boleh diberikan dalam bentuk biji-bijian, kecuali si wakif mensyaratkan begitu. Apakah disyaratkan bahwa tamu itu harus orang yang fakir? Kata Guru kita: Yang lahir tidak disyaratkan.

 

Guru kita, Az-Zamzami ditanya tentang barang yang diwakafkan agar hasilnya ditasarufkan untuk memberi makan atas nama Rasulullah saw.: Apakah bagi nazhir wakaf diperbolehkan menjamu para tamu yang datang dari luar bulan Maulid, dengan maksud memberi atas nama Rasulullah saw., ataupun tidak? Dan apakah bagi si qadhi diperbolehkan ikut makan, jika ia tidak mendapatkan bayaran dari Baitulmal dan kaum muslimin yang kaya-kaya?

 

Jawab beliau: Bagi nazhir boleh menjamu orang tersebut dari penghasilan mauquf dan begitu juga bagi qadhi boleh makan darinya, karena barang tersebut adalah sedekah, dan jika qadhi tidak diketahui oleh yang bersedekah serta qadhi tidak mengenalnya, maka kata As-Subki bahwa tidak diragukan lagi kalau ia boleh mengambilnya.

 

Dengan perkataan As-Subki di atas, aku berpendapat: …. karena tidak ada makna yang mencegahnya. Kalau antara qadhi dengan orang yang bersedekah saling mengenal, maka barang yang dimakan oleh qadhi seperti hadiah (dan baginya haram menerimanya). Antara sedekah dengan hadiah dapat dibedakan: Orang yang bersedekah hanyalah bermaksyd mendapatkan pahala di akhirat (lain dengan hadiah).

 

Ibnu Abdis Salam berkata: Orang yang mempunyai tugas sehubungan dengan perwakafan, misalnya membaca Alqur-an, adalah tidak berhak mendapatkan jatah dari mauquf pada hari-hari ia absen.

 

An-Nawawi berkata: Bila absen dalam menunaikan tugasnya dan menyuruh orang lain untuk menggantikannya lantaran ada uzur, misalnya sakit atau ditahan, maka haknya tidak hilang. Kalau absennya tidak karena uzur, dan ia menggantikan kepada orang lain atau karena ada uzur, tetapi ia tidak menggantikan kepada orang lain, maka haknya hilang selama masa penggantian itu.

 

Maka perkataan An-Nawawi memberikan pengertian hak jatah mauquf alaih tetap ada pada selain masa absennya. Demikian itu yang dipegangi oleh As-Subki -sebagaimana Ibnush Shalahdalam tugas-tugas yang dapat digantikan pada orang lain, misalnya mengajar dan menjadi imam salat.

 

Mauquf alaih yang menerima wakaf barang bukan untuk kemanfaatan, dengan pewakafan yang mutlak atau agar ia memetik hasil barang tersebut, adalah berhak memiliki Ri’ Mauquf: Yaitu seluruh kemanfaatan barang, misalnya uang upah sewa, air susu, anak yang lahir dari hamil yang terjadi setelah wakaf, buah, ranting, dan pepohonan yang biasanya dipotong atau yang disyaratkan dipotong tapi belum dipotong lantaran pohonnya sudah mati.

 

Karena itu, bagi mauquf alaih dan dirinya sendiri boleh mentasarufkan kemanfaatan mauquf, sebagaimana selaku pemilik barang sendiri, atau oleh orang lain (misalnya: disewakan atau dipinjamkan), selagi tidak menyalahi syarat yang telah ditetapkan oleh si wakif, karena kemanfaatan mauquf itulah yang dimaksud/dituju dalam wakaf.

 

Adapun kehamilan yang terjadi bersamaan dengan wakaf, maka anak yang lahir adalah termasuk barang wakaf yang terikutkan dengan induknya.

 

Adapun mauquf alaih yang menerima wakaf berupa barang untuk kemanfaatan khusus, misalnya untuk dinaiki, maka kemanfaatan yang lain, yaitu air susu dan lain-lain, adalah menjadi milik wakif.

 

Tidak boleh menyetubuhi wanita amat yang diwakafkan, sekalipun Oleh wakif maupun mauquf alaih, karena bukan milik berdua, bahkan mereka harus di-had (jika menyetubuhinya). Yang berhak mengawinkan budak perempuan tersebut, adalah qadhi seizin mauquf alaih, kepada laki-laki selain mereka berdua.

 

Ketahuilah, bahwa hak milik zat barang wakaf (mauquf) adalah Allah swt., baik wakafnya kepada mauquf alaih yang tertentu orangnya ataupun arah kemaslahatan. Artinya, hak tersebut terlepas dari kekhususan manusia.

 

Menurut beberapa pendapat: Jika seseorang menggunakan barangbarang mesjid, maka wajib memberi uang sewa, lalu uang tersebut ditasarufkan untuk kemaslahatan mesjid.

 

Faedah:

 

Barangsiapa lebih dahulu mengambil tempat di dalam mesjid untukmembacakan Alqur-an, hadis, ilmu syarak atau ilmu pelengkap/untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut/ mendengarkan pelajaran di depan seorang guru, dan orang tersebut meninggalkan tempatnya, tetapi kembali ke tempat semula, serta kepergiannya tidak terlalu lama yang sekira sampai memutuskan komunikasi dengan teman-temannya yang ada di sana, maka hak orang tersebut, atas tempat duduk yang ia tinggalkan adalah masih ada, karena ia bermaksud menetap di tempat semula, agar orang-orang dapat berkomunikasi dengannya secara baik.

 

Dikatakan: Hak menempati kembali sudah hilang (batal) sebab berdiri. Mengenai pendapat ini, fukaha telah membahas secara panjang-lebar dalam mengunggulkannya, dengan cara menukil mazhab dan makna.

 

Atau lebih dahulu mengambil tempat dalam mesjid untuk mengerjakan salat, sekalipun belum masuk waktunya, untuk membaca Alqur-an atau Zikir, lalu ia meninggalkan tempatnya lantaran ada uzur semacam buang hajat atau mendatangi panggilan, maka haknya untuk menempati masih ada padanya, sekalipun ia tidak meninggalkan selendangnya di tempat tersebut.

 

Karena itu, bagi orang lain yang mengetahui tentang hak seperti itu, adalah haram duduk di tempat tersebut, tanpa seizin orang yang bersangkutan atau mengira ada ridha dari orang tersebut.

 

Akan tetapi, jika salat sudah didirikan dan barisan sudah merapat, sedang orang tersebut belum kembali ke tempat duduknya, maka menurut suatu pendapat yang dituturkan oleh Al-Adzra’i dan lainnya: Tempat – tersebut boleh diisi, karena diperlukan penyempurnaan barisan dalam salat.

 

Bila di tempat tersebut terdapat sajadah milik orang yang bersangkutan dan orang lain mau menempatinya, maka ia harus menyingkirkan sajadah itu dengan kakinya tanpa mengangkatnya dari tanah, agar sajadah tersebut tidak menjadi tanggungan (jika terjadi kerusakan dan lain-lain).

 

Adapun jika duduk orang tersebut untuk beriktikaf, maka jika ia tidak berniat dalam jangka waktu, maka dengan keluar dari mesjid, batallah haknya, sekalipun keluarnya karena suatu urusan. Jika ia beriktikaf dengan niat dalam suatu waktu, maka haknya tidak batal (hilang) sebab keluarnya dari mesjid di tengah-tengah waktu iktikafnya, karena untuk suatu kepentingan.

 

Al-Qaffal berfatwa tentang keharaman mengajar anak-anak kecil di dalam mesjid,

 

Barang wakaf tidak boleh dijual, sekalipun telah rusak.

 

Bila sebuah mesjid roboh dan tidak dapat didirikan kembali, maka barang-barangnya tidak boleh dijual dan tidak dapat kembali menjadi milik manusia (misalnya dihibahkan dan lain-lain), karena buminya masih dapat digunakan.salat dan iktikaf.

 

Atau apabila pohon yang diwakafkan kering atau ditumbangkan oleh angin, maka wakaf tidak batal. Karena itu, tidak boleh dijual atau dihibahkan, tetapi mauquf alaih memanfaatkannya, sekalipun dengan menjadikan pintu jika tidak memungkinkan menyewakannya dalam bentuk kayu yang utuh.

 

Bila mauquf tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan cara menghancurkannya, sebagaimana hanya dapat dijadikannya kayu bakar, maka putuslah wakaf itu dan menurut pendapat Al-Muktamad, barang tersebut dimiliki oleh mauquf alaih.

 

Ia boleh memanfaatkan barang tersebut dan tidak boleh menjualnya.

 

Boleh menjual tikar-tikar yang diwakafkan ke mesjid, jika telah rusak, sebagaimana keindahan kemanfaatan tikar sudah tidak ada, padahal kemaslahatannya dengan cara dijual. Demikian juga dengan tiang-tiang mesjid yang telah rapuh. Lain halnya dengan pendapat segolongan fukaha tentang dua masalahini.

 

Kemudian, harga dari penjualan tersebut ditasarufkan pada kemaslahatan mesjid, jika tidak mungkin dibelikan tikar atau tiang kembali.

 

Perselisihan fukaha tentang boleh atau tidak menjual adalah pada tikar/ tiang wakaf, sekalipun dari pembelian nazhir lalu diwakafkan, lain halnya dengan tikar/tiang hasil hibah atau dibeli untuk mesjid, maka secara mantap boleh dijual karena ada kemaslahatan, sekalipun belum rusak. Demikian pula dengan lampulampu mesjid. –

 

Tidak boleh menggunakan tikar dan karpet mesjid untuk selain hamparan secara mutlak, baik ada hajat ataupun tidak, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.

 

Bila nazhir membelikan kayu-kayu untuk mesjid atau menerima hibah berupa kayu dan ia menerimanya, maka ia boleh menjualnya untuk kemaslahatan mesjid, misalnya ia mengkhawatirkan ada pencurian terhadap kayu tersebut. Kayu tersebut tidak boleh dijual, jika merupakan bagian dari barang-barang wakaf terhadap mesjid. Demikianlah yang dituturkan oleh Al-Kamal Ar-Raddad di dalam Fatawa-nya.

 

Mesjid yang roboh tidak boleh dibongkar bangunannya, kecuali jika dikhawatirkan rusak barang-barang mesjid, maka harus dibongkar dan dipelihara atau digunakan mem. bangun mesjid lain, jika hakim melihat hal itu lebih maslahat. Membangun mesjid yang lebih dekat dengan yang roboh adalah lebih utama.

 

Barang-barang tersebut tidak boleh dibuat membangun selain mesjid, misalnya pondok dan sumur -sebagaimana sebaliknya-, kecuali ada uzur dalam membangun yang sejenisnya.

 

Pendapat yang beralasan untuk diunggulkan mengenai penghasilan dari barang wakaf mesjid yang telah roboh, adalah jika mesjid itu bisa diharapkan untuk didirikan lagi, maka penghasilan tersebut dipelihara untuk mesjid itu, Kalau sudah tidak dapat, maka ditasarufkan pada mesjid yang lain: kalau tidak dapat, maka ditasarufkan kepada orang-orang fakir, sebagaimana ditasarufkannya reruntuhan mesjid (jika sudah didapat dibuat mesjid yang lain) ke pondok.

 

Guru kita bertanya: Jika ada mesjid (diperbaiki) dengan menggunakan barang-barang baru dan yang lama masih ada (dan tidak digunakan), maka bolehkah barang-barang lama tersebut dibuat (memperbaiki) mesjid lama yang lain atau dijual, lalu hasil penjualan disimpan untuk mesjid yang memiliki barang-barang tersebut? Jawab Guru beliau:

 

Barang-barang tersebut boleh digunakan membangun mesjid lama yang lain maupun yang baru, sekira sudah dipastikan bahwa mesjid yang memiliki barang-barang tersebut sudah tidak memerlukan lagi sebelum rusak, dan barang tersebut menurut pendapat mana pun tidak boleh dijual. Selesai.

 

Pemindahan semacam tikar dar lampu mesjid, hukumnya seperti pe mindahan barang-barang bangunar mesjid (yang dituturkan di atas).

 

Barang wakaf mesjid yang wakafnya secara mutlak/untuk pembangunannya, maka penghasilan barang tersebut ditasarufkan untuk bangunan -sekalipun mendirikan menara mesjid-, pengapuran yang menguatkan dinding mesjid.

 

Tidak boleh ditasarufkan untuk menggaji muazin, imam, membeli tikar dan minyak, kecuali jika wakafnya untuk kemaslahatan mesjid, maka arah tasaruf penghasilan barang wakaf ke situ. Tidak boleh juga ditasarufkan untuk pengecatan atau pelukisan dinding mesjid.

 

Apa yang kusampaikan di atas bahwa penghasilan wakaf tersebut tidak boleh ditasarufkan kepada muazin dan imam dalam wakaf ke mesjid secara mutlak, adalah sesuai dengan penukilan An-Nawawi di dalam Ar-Raudhah dari Al-Baghawi, tetapi setelah itu AnNawawi menukil dari fatwa AlGhazali, bahwa penghasilan tersebut boleh ditasarufkan kepada mereka, dan itulah yang Aujah, sebagaimana wakaf pada kemaslahatan mesjid.

 

Bila seseorang mewakafkan sesuatu untuk membeli minyak penerangan mesjid, maka wajib digunakan menerangi mesjid setiap malam, jika tidak dalam keadaan kosong dan tertutup.

 

Ibnu Abdis Salam berfatwa mengenai kebolehan menyalakan sedikit lampu mesjid tersebut, di waktu malam dalam keadaan mesjid sepi dari manusia, karena untuk memuliakan mesjid. Fatwa ini dipegangi oleh segolongan fukaha.

 

An-Nawawi dalam Ar-Raudhah memantapkan keharaman menyalakan lampu mesjid yang sepi dari manusia. Dalam Al-Majmu’ beliau berkata: Haram mengambil sedikit minyak zaitun atau lilin mesjid, sebagaimana mengambil krikil dan debunya.

 

Cabang:

 

Buah pepohonan yang tumbuh di kuburan yang digunakan mengubur kaum muslimin, adalah boleh dimakan oleh siapa saja. Sedangkan mentasarufkannya untuk kemaslahatan kubur, adalah lebih utama.

 

Buah pepohonan yang ditanamtanam di mesjid adalah milik mesjid, dan tasarufnya adalah untuk kemaslahatannya, jika ditanam untuk mesjid. Adapun jika pohon tersebut ditanam untuk dimakan buahnya atau tidak diketahui keadaannya, maka hukumnya mubah (boleh dimakan oleh siapa saja).

 

Tersebut di dalam Al-Anwar. Apabila pekuburan telah mati dan tidak ada bekas-bekasnya, maka bagi imam tidak boleh menyewakannya untuk ditanami, umpamanya, dan hasilnya ditasarufkan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Keterangan yang ada di dalam AlAnwar tersebut diarahkan/dijuruskan pada kuburan wakaf.

 

Adapun kuburan milik seseorang jika diketahui pemiliknya, adalah milik orang itu, Kalau pemiliknya tidak diketahui, maka statusnya adalah sebagai hartadhai’ yang oleh imam (kepala negara) boleh digunakan sebagai kemaslahatan muslimin. Demikian juga dengan pekuburan yang tidak diketahui statusnya (hukumnya seperti harta sia-sia).

 

Al-Allamah Ath-Thanbadawi ditanya tentang pepohonan yang tumbuh di pekuburan wakaf yang tidak berbuah, yang dapat dimanfaatkan, (tetapi) kayunya banyak yang dapat digunakan bangunan, dan di situ tidak ada nazhir khususnya: Apakah bagi Nazhir ‘Am (qadhi) boleh menjual kayu-kayu tersebut, dan memotongnya, lalu hasil penjualan ditasarufkan untuk kepentingan kaum muslimin?

 

Jawab beliau: Ya, boleh. Bagi qadhi boleh menjual kayu-kayu tersebut dan hasil dari penjualan ditasarufkan untuk kepentingan kaum muslimin, sebagaimana dengan buah pohon yang dapat berbuah, dan jika ia mentasarufkan untuk kemaslahatan kubur, maka hal itu lebih baik. Kebolehan menjual tersebut jika pohon itu tumbang karena semacam angin, Adapun menebangnya dalam keadaan masih segar, maka yang lahir adalah dibiarkan hidup, karena mengasihi orang yang berziarah atau pengiring jenazah.

 

Bila wakif mensyaratkan jabatan nazhir atas dirinya atau orang lain, maka syarat tersebut harus dipatuhi, seperti halnya syarat-syarat yang lain.

 

Menurut pendapat Al-Aujah: Qabul nazhir yang telah disyaratkan oleh wakil, adalah seperti qabul wakil (tidak disyaratkan ada ucapan, tetapi cukup tidak ada penolakan).

 

Wakif tidak berhak memecat kenazhiran yang telah disyaratkan sendiri sewaktu wakaf, sekalipun demi kemaslahatan.

 

Bila wakif tidak mensyaratkan nazhir kepada siapa pun, maka nazhirnya adalah qadhi daerah setempat barang wakaf berada dalam hal pemeliharaan atau penyewaan, dan qadhi daerah setempat mauquf alaih dalam hal-hal selain tersebut -menurut mazhab-, karena qadhi adalah pemegang nazhar yang umum, makanya ia lebih berhak daripada orang lain, sekalipun wakif atau mauquf alaih sendiri.

 

Pemantapan Al-Khawarizmi tentang ketetapan hak nazhir pada wakif dan keturunannya tanpa disyaratkan ketika wakaf, adalah pendapat yang lemah.

 

As-Subki berkata: Bagi qadhi tidak boleh mengambil sesuatu (dari penghasilan wakaf) yang disyaratkan oleh wakif untuk nazhir (jika jabatan nazhir pindah kepadanya. umpama si nazhir menjadi fasik), kecuali jika wakif telah menjelaskan bahwa jabatan nazhir diserahkan kepada gadhi, sebagaimana pula ia tidak boleh mengambil sesuatu dari bagian Amil zakat.

 

Putra beliau, At-Taj berkata: Peletakan hukum di atas, kaitannya adalah qadhi yang telah menerima gaji secukup kebutuhannya.

 

Sebagian fukaha membahas, bahwa bila qadhi dikhawatirkan memakan barang wakaf lantaran kecurangannya, maka bagi orang yang memegang barang wakaf boleh mentasarufkannya ke pos-pos tasarufnya, jika mengetahri, kalau tidak mengetahuinya, maka ia boleh menyerahkan barang wakaf kepada seorang ahli fikih yang mengetahui posposnya, atau bertanya kepadanya, lalu mentasarufkannya.

 

Sebagai syarat seorang nazhir, baik itu wakif sendiri atau lainnya, adalah orang adil dan cukup mampu melaksanakan tasaruf yang diserahkan kepadanya.

 

Nazhir boleh menerima upah yang telah disyaratkan oleh wakif kepadanya, sekalipun melebihi upah yang lumrah, selagi nazhir tersebut bukan wakif itu sendiri. Jika tidak disyaratkan sesuatu untuk nazhir, maka ia tidak mendapatkan upah. ,

 

Tapi, bagi nazhir berhak melapor kepada hakim, agar ditetapkan gajinya di bawah kebutuhan nafkah dan upah sepatutnya, seperti halnya dengan wali anak yatim. Ibnus Shabagh berfatwa, bahwa nazhir boleh dengan sendirinya tanpa penetapan hakim melakukan itu untuk dirinya.

 

Nazhir dapat terpecat sebab fasik, lalu jabatan nazhir selanjutnya dipegang oleh hakim.

 

Bagi wakif berhak memecat nazhir yang telah ia angkat sendiri untuk digantikan oleh orang lain, kecuali jika kenazhirannya disyaratkan ketika wakaf.

 

Penutup:

 

Apabila orang-orang yang berhak atas barang wakaf meminta surat wakaf kepada nazhir untuk mereka copy lagi demi menjaga haknya, maka bagi nazhir harus mempersilakan mereka, sebagaimana yang telah difatwakan oleh sebagian fukaha.

Ikrar menurut bahasa artinya menetapkan, sedang menurut syarak adalah: Memberitahukan tentang hak seseorang pada dirinya. Ikrar disebut pula I’riraf.

 

Ikrar dari orang mukalaf dan bebas (tidak terpaksa) adalah dapat diterima.

 

Karena itu, ikrar anak kecil, orang gila dan orang yang dipaksa tanpa semestinya -misalnya dipukuli agar berikrar- adalah tidak dapat diterima.

 

Adapun orang yang dipaksa agar berkata jujur -misalnya dipukuli agar berkata sejujurnya dalam perkara yang ia dicurigainya-, adalah sah ikrar yang diucapkan sewaktu dipukul dan sesudahnya, dengan masih ada kemusykilan yang kuat hukum sah tersebut, lebih-lebih jika orang yang dipaksa itu mengetahui bahwa mereka (pengusut) tidak berhenti memukul, kecuali jika ia berikrar, semisal “aku mengambil”.

 

Bila seseorang mengaku kekanakkanakan dirinya dan mungkin adanya/semacam gila dan diketahui adanya/terpaksa dan ada tanda-tanda yang membenarkan pengakuan tersebut, -misalnya ia ditahan atau dimata-matai-, dan keberadaan tanda-tanda tersebut berdasarkan bayinah, ikrar Muqar Lah atau sumpah yang dikembalikan padanya, maka orang tersebut dapat dibenarkan dengan cara disumpah, selama tidak ada bayinah sebaliknya.

 

Adapun jika seorang anak kecil mengaku telah balig dengan keluar air sperma yang dimungkinkan terjadinya, maka dapat dibenarkan tanpa disumpah. Kalau pengakuan balignya dengan kesempurnaan usia (15 th), maka anak itu harus mengemukakan bayinah, sekalipun ia orang mengembara yang tidak: dikenal. Bayinah tersebut, adalah dua orang laki-laki.

 

Tapi, jika telah ada 4 wanita yang memberikan persaksian bahwa ia lahir pada hari “Ini”, maka persaksian mereka dapat diterima dan kebaligannya mengikuti persaksian tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Disyaratkan dalam ikrar harus ada kata-kata yang menunjukkan ada “tanggungan hak”, misalnya “Atas diriku/Bagi diriku ada tanggungan sekian kepada Zaid”, apabila ia menambahkan “menurut perkiraanku”, maka ikrar tersebut tidak terpakai.

 

Kemudian, jika Muqar Bih (hak yang diikrari) itu barang Mu’ayyan (wujud), misalnya: “pakaian ini milik Zaid”/” Ambillah ia”, atau Muqar Bih tidak Mu’ayyan, misalnya: “Pakaian milik dia/ “Dia mempunyai seribu”, maka kesemuanya disyaratkan digandeng dengan kata-kata: “padaku…”/atasku..”.

 

Kata-kata “Atasku…”/”Ada dalam tanggunganku..” adalah sebagai Ikrar (pengakuan) utang, sedang kata-kata “Bersamaku…”/”Padaku”, adalah ikrar suatu barang.

 

Barang yang diikrari (secara mutlak, misalnya: Pakaian Zaid di sisiku) adalah diarahkan arti status pemilikan yang terendah, yaitu barang tiipan (wadi’ah). Karenanya (jika terjadi percekcokan), maka dengan bersumpah bisa diterima, bahwa ia (Muqir) telah mengembalikannya atau telah rusak.

 

Termasuk ikrar adalah “Na’am (benar)”/” Bala (ya, benar)”/Engkau benar/Engkau telah membebaskanku darinya/Bebaskanlah aku darinya/ Aku telah membayarnya”, sebagai jawaban dari pertanyaan: “Bukankah engkau mempunyai tanggungan kepadaku sekian…?/Engkau mempunyai tanggungan kepadaku sekian…”” (tanpa kata tanya), karena kandungan yang dipahami adalah ikrar.

 

Bila seseorang berkata: “Lunasilah 1.000 hakku yang ada padamu/ Kuberi tabu bahwa kamu mempunyai tanggungan 1.000 padaku”, lalu dijawab: “Iya/Berilah aku kesempatan/Aku tidak mengingkari dakwaanmu/Kubuka kantong dulu/ Sampai kutemukan kunci atau uangnya” misalnya, maka semua itu termasuk ikrar, sekira tidak bergurau dalam mengucapkan kalimat tersebut.

 

Bila dalam perkataan-perkataan tersebut ada petunjuk (gurau) -misalnya mengucapkan sambil tertawa atau menggerak-gerakkan kepala yang menunjukkan arti kebenaran atau pengingkaran-, maka menurut pendapat Al-Muktamad tidak bisa dianggap sebagai ikrar. Mengenai tanda tersebut, didasarkan atas bayinah, ikrar dari magar lah atau sumpah mardudah, sebagaimana yang sudah lahir (kita maklumi adanya).

 

Permintaan untuk dijualnya (Mudda’ah Bih kepada Mudda’i) adalah berarti ikrar terhadap pemilikan pada Mudda’i, sedangkan meminta (kePada Mudda’i agar Mudda’a Bih) dipinjamkan atau disewakan (kepada Mudda’a Alaih) adalah berarti ikrar adanya pemilikan manfaat pada diri Mudda’i, tetapi kepasuan arah kemanfaatan tersebut didasarkan pada Muqir.

 

Adapun ucapan seseorang “Hakmu yang ada padaku tidak lebih dari 1.000/Kita hitung terlebih dahulu/ Silakan kirim surat kepada Zaid, bahwa Zaid mempunyai hak kepadaku 1.000 dirham/Berilah kesaksian, bahwa aku mempunyai tanggungan sekian! Atau …. sejumlah yang tertulis dalam surat ini” -sebagai jawaban dari, “Kamu mempunyai tanggungan kepadaku sejumlah seribu-, adalah bukan sebagai ikrar.

 

Lain halnya dengan ucapan, “Kupersaksikan kepada kalian”, dengan disandarkan pada dirinya.

 

Ucapan seseorang kepada saksi atas dirinya, “Ia adil dalam apa yang ia saksikan”, adalah sebuah ikrar, sebagaimana dengan ucapannya, “jika si Fulan memberikan penyaksian, bahwa aku mempunyai 100/ Jika si Fulan begitu, maka ia adalah benar”, ucapan ini adalah suatu ikrar, sekalipun si Fulan tidak melakukan persaksian.

 

Muqar Bih disyaratkan bukan milik Muqir ketika ikrar diucapkan, sebab Ikrar itu bukan pelepasan milik, tetapi adalah pemberitahuan, bahwa kemilikan pada Muqar Lah, jika Muqar Lah tidak menganggap dusta terhadap Muqir,

 

Karena itu, ucapan seseorang, “Rumahku/Pakaianku/Rumahku yang kubeli untuk diriku: sendiri, adalah milik Zaid”, atau “Piutangku yang ada pada Zaid, adalah milik Amr” adalah tidak berguna sebagai ikrar, sebab penyandaran pada dirinya, adalah menetapkan kemilikan pada dirinya, yang berarti menghilangkan ikrar adanya kemilikan orang lain: Karena itu, ucapan di atas adalah memberitahukan hak yang dahulu.

 

Bila seseorang berkata, “Rumah yang kutempati atau pakaian yang kupakai ini adalah milik Zaid”, maka adalah sebuah ikrar, sebab bisa juga ia Mmenempati/memakai rumah/ pakaian orang lain.

 

Bila seseorang berkata, “Piutang yang kutulis atau kutetapkan dengan namaku, adalah tanggungan Zaid kepada Amr (buka kepadaku)”, maka sahlah ikrar tersebut. Atau berkata, “Piutangku yang menjadi tanggungan Zaid, adalah milik Amr”, maka tidak sah schaga ikrar, kecuali jika berkata, “sedang namaku yang ada dalam kitab, hanyalah sekadar pinjaman”.

 

Bila seseorang berikrar atau bersaksi tentang kemerdekaan seorang budak tertenta yang ada di tangan arang lain, lalu ia membelinya untuk diri atau memilikinya dengan jalan lain, maka budak tersebut hukumnya merdeka.

 

Bila seseorang bersaksi, bahwa ia akan berikrar sesuatu yang semestinya bukan menjadi tanggungannya, latu berikrar bahwa ia mempunyai tanggungan sekian terhadap Fulan, maka apa yang diikrari benar-benar menjadi tanggungannya, dan persaksiannya tidak berguna bagi dirinya.

 

Sah ikrar orang yang sedang sakit yang mengantarkan kematiannya tentang utang atau barang, sekalipun tanggungan tersebut kepada ahli warisnya, lalu utang atau barang tersebut dibayar dari jumlah harta mayat keseluruhan, sekalipun ahli waris yang lain memandang dusta si mayat tersebut, sebab orang tersebut sudah sampai pada keadaan (ambang kematian) yang mana orang yang dusta akan berlaku jujur dan orang yang jahat akan bertobat. Karena itu, secara lahir ia adalah jujur dalam ikrarnya.

 

Tetapi, bagi ahli waris berhak menyumpah Muqar Lah untuk dapat memiliki Muqar Bih, menurut penjelasan (yang dianggap lahir) oleh Guru kita, Lain halnya dengan pendapat Al-Qaffal.

 

Bila orang sakit seperti di atas berikrar semacam hibah yang telah diserahterimakan waktu ia dalam keadaan sehat, maka ikrarnya bisa diterima. Kalau ikrarnya secara mutlak (tidak menyebut waktu sehat) atau mengatakan sesuatu yang diketahui menjadi miliknya, “Barang ini milik ahli warisku”, maka diberi kedudukan sebagaimana dalam keadaan sakit, demikian yang dikatakan oleh Al-Qadhi Husain, Karena itu harus ditunggu dulu pelestarian dari ahli waris, sebagaimana jika berkata, “Barang itu kuhibahkan ketika aku sakit”.

 

Menurut sebagian fukaha, bahwa ikrar tersebut tidak dapat diterima, jika ia dicurigai lantaran zaman yang semakin rusak, bahkan terkadang banyak bukti yang menunjukkan kedustaannya.

 

Karena itu, sebaiknya bagi orang yang takut kepada Allah swt., tidak perlu menghukumi sah ikrar tersebut dan tidak diragukan lagi ketidaksahannya, jika maksud ikrar tersebut dilatarbelakangi untuk menghalanghalangi bagian ahli waris. Segolongan fukaha menjelaskan, bahwa jika latar belakangnya seperti itu, maka hukumnya haram dan bagi Muqar Lah tidak halal menerimanya.

 

Ikrar di waktu sehat, tidak dapat didahulukan atas ikrar di waktu sakit. Sah berikrar atas barang yang belum diketahui (majhul): misalnya “sesuatu” atau “sekian”, maka si Muqir diminta menjelaskannya.

 

Sah berikrar dengan berkata, “Aku menanggung sesuatu untuknya”, atau “… Sekian untuknya”, maka penjelasan dapat diterima selain arti menjenguk orang sakit, menjawab salam dan barang najis yang tidak dapat dipelihara, misalnya babi.

 

Bila seseorang berkata, “Aku mempunyai tanggungan harta padanya”, maka penjelasannya bisa dengan barang yang ada nilai kehartaan -sekalipun jumlah kecil sekali-, bukan barang yang najis.

 

Bila seseorang berkata, “Rumah ini dan seisinya adalah milik si Fulan”, maka sah sebagai ikrar, dan selanjutnya Fulan berhak atas semua yang di dalam rumah ketika ikrar terjadi. Jika terjadi perselisihan tentang sesuatu: Apakah ketika ikrar barang tersebut ada di dalam rumah atau tidak? Maka yang dibenarkan adalah Muqir, dan Mu’jar Lah dapat dibenarkan dengan mengajukan bayinah. –

 

Sah berikrar tentang nasab yang dihubungkan kepada dirinya: misalnya seseorang berkata, “Ini anakku”, dengan syarat dimungkinkannya hal itu: Yaitu sekira syarak dan kenyataan tidak mendustakannya: misalnya orang yang diakui sebagai anaknya lebih muda dari dirinya dengan selisih umur yang memungkinkan sebagai anaknya serta tidak dikenal sebagai anak orang lain.

 

Di samping itu, juga ada pembenaran anak yang ditemukan nasabnya, yang mempunyai hak untuk membenarkan (misalnya sudah balig dan masih hidup). Bila ia tidak membenarkan ikrar Muqir atau diam saja, maka kenasabannya tidak dapat ditetapkan padanya, kecuali dengan bayinah.

 

Bila seseorang berikrar tentang jual atau hibah yang telah serah terima dan pengambilan barang hibah, lalu ia mendakwa bahwa akad tersebut batal, maka dakwaannya tidak dapat dibenarkan, sekalipun ia berkata, “Justru aku berikrar karena menyangka akad sah”, karena penyebutan sesuatu (dari bai’/hibah) secara mutlak, adalah diarahkan pada yang sah.

 

Tetapi, jika keadaan lahiriah Mudda’i memastikan kebenarannya, -misalnya ia adalah seorang dari suku yang polos-, maka seyogianya diterima ucapannya, menurut Guru kita.

 

Dengan kata-kata “barang hibah telah diambil”, maka dikecualikan jika orang tersebut hanya berikrar tentang hibah saja, maka tidak berikrar penyerahterimaan dan pengambilan barang hibah. Jika ia berkata, “Ia telah memiliki barang hibah dengan kemilikan yang tetap”, di mana ia mengetahui makna ucapan itu, maka ia seperti berikrar tentang keberadaan iqbadh.

 

Karena tidak bisa diterima dakwaan kerusakan akad, bagi Muqir berhak menyumpah Muqar Lah, bahwa akad tidak fasid, sebab dakwaannya masih samar, dan bayinah yang diajukan Muqir tidak dapat diterima, lantaran ia sendiri telah mendustakan dengan ikrarnya, Bila Muqar Lah tidak mau bersumpah, maka Muqir harus bersumpah kalau akad yang dilaksanakan adalah batal (fasid). Untuk selanjutnya, jual beli atau hibah dihukumi batal, sebab sumpah yang diucapkan dengan pengembalian (Yamin Mardudah) statusnya sebagaimana ikrar.

 

Bila seseorang berkata: “Barang ini milik Zaid, tapi Amr/Kugasab dari Zaid, tapi Amr”, maka barang tersebut, harus diserahkan kepada Zaid, baik ia berkata demikian itu (tapi milik/dari Amr) disambung dengan kata-kata sebelumnya atau dipisah, sekalipun waktu yang memisah di antara dua kata tersebut cukup lama, karena menarik kembali ikrar yang berkaitan dengan hak Adami hukumnya tidak boleh. Selanjutnya, ia harus memberi ganti kepada Amr.

 

Bila seseorang berikrar tentang sesuatu, lalu berikrar sebagian dari yang pertama, maka yang sebagian (sedikit) masuk ke yang banyak.

 

Bila seseorang berikrar bahwa ia berutang kepada orang lain, lalu ia mendakwa bahwa utang itu telah ia bayar dan di kala mengucapkan ikrar ia lupa (kalau utangnya telah dibayar), maka dakwaannya diterima sekadar untuk menyumpah Muqar Lah (pemiutang).

 

Bila ia mengemukakan bayinah pelunasannya, maka menurut fatwa sebagian fukaha adalah bisa diterima, karena kemungkinan benar apa yang dikatakan, sebagaimana halnya jika ia berkata: “Aku tidak mempunyai bayinah”, lalu ternyata ia mengemukakan bayinah, maka dapat diterima.

 

Bila seseorang berkata: “Aku tidak mempunyai sesuatu hak yang ditanggung si Fulan, lalu (mendakwa mempunyai) dan mengemukakan bayinah kalau dirinya mempunyai hak yang harus ditanggung oleh si Fulan, maka hukumnya khilaf: Menurut pendapat yang Rajih: Jika telah mengucapkan kata-kata di atas, ia berkata “menurut persangkaanku”, atau “sepanjang yang kuketahui”, maka bayinahnya dapat diterima, dan jika ia tidak mengucapkannya, maka bayinahnya tidak dapat diterima, kecuali apa yang dikatakan di atas karena uzur semacam lupa atau kesalahan yang tampak.

 

Wasiat menurut bahasa artinya “menyampaikan”, dari kata-kata: Washayasy syai-a bikadzia, yang artinya: “Ia menyampaikan sesuatu dengan begini”, lantaran Mushi (orang yang mewasiatkan) menyambung kebaikan dunianya dengan kebaikan akhiratnya.

 

Sedangkan menurut syarak, wasiat adalah: Memberikan hak secara suka rela (tabarru’) yang disandarkan setelah mati.

 

Secara ijmak hukum wasiat adalah sunah muakkadah, sekalipun bersedekah di kala sehat. Akan tetapi, di saat sakit adalah lebih utama.

 

Sebaiknya, bagi seseorang dalam waktu satu jam pun jangan lupa berwasiat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadis sahih: “Tiada hak orang muslim yang sempat bermalam satu atau dua malam, di mana ia mempunyai sesuatu yang dibuat wasiat, melainkan wasiatnya ditulis di bawah kepalanya.”

 

Maksudnya: Tiada sesuatu yang benar atau bagus menurut syarak, kecuali seperti itu, karena manus tidak mengetahui kapankah mati menjemputnya.

 

Makruh berwasiat melebihi 1/3 jumlah harta seseorang, jika ia tidak dimaksudkan menghalang-halangi bagian ahli waris. Jika maksudnya seperti itu, maka hukumnya haram.

 

Wasiat sah dilakukan oleh orang mukalaf yang merdeka dan kehendaknya sendiri untuk arah yang halal: misalnya membangun mesjid atau kemaslahatannya. Karena itu, wasiat tidak sah dilakukan oleh anak kecil, orang gila, budak sekalipun Mukatab, yang tidak mendapatkan izin dari tuannya, dan orang yang dipaksa. Sedangkan orang yang mabuk, hukumnya seperti Mukalaf. Dalam sebuah pendapat dikatakan: Wasiat sah dilakukan oleh anak kecil.

 

Wasiat yang diucapkan secara mutlak, misalnya: “Kuwasiatkan barang ini untuk mesjid,” maka dan kemaslahatannya, sekalipun kebutuhan pembangunan mesjid tidak begitu mendesak, lantaran memberlakukan kebiasaan.

 

Kemudian, sang nazhir mentasarufkan barang wasiat (Musha Bih) “tersebut atas hal yang lebih penting dengan hasil ijtihadnya.

 

Wasiat untuk Ka’bah dan Makam Rasulullah saw., adalah ditasarufkan untuk kemaslahatan-kemaslahatan yang khusus bagi keduanya, Misalnya memperbaiki dinding Ka’bah yang telah rapuh, bukan untuk daerah Haram yang lain. Ada yang mengatakan: Wasiat untuk Ka’bah tasarufnya adalah orang-orang miskin Tanah Mekah.

 

Guru kita berkata: Dengan memahami yang dikatakan oleh fukaha tentang nazar untuk makam yang terkenal di Jurjan, maka jelaslah sah wasiat untuk makam Syekh Anu.., sebagaimana kesahan wakaf untuknya. Tasaruf barang wasiat adalah pada kemaslahatan-kemaslahatan makam Syekh tersebut, pembangunan yang boleh didirikan di sana, para Pegawai kubur dan orang-orang yang membaca Alqur-an di sana.

 

Adapun jika seseorang berkata “untuk Syekh Anu”, dan ia tidak meniatkan makam syekh dan semacamnya, maka wasiatnya menjadi batal.

 

Bila wasiat pada mesjid yang akan dibangun, maka tidak sah, sekalipun telah dibangun mesjid sebelum orang itu mati: kecuali dengan cara mengikutkan (misalnya, aku wasiat untuk mesjid Anu…dan mesjidmesjid yang akan dibangun). Dikatakan. Wasiat yang diucapkan secara mutlak hukumnya batal, jika Mushi berkata, ” Kumaksudkan barang itu (Musha Bih) untuk mesjid.”

 

Keperluan yang halal lagi, misalnya atas pembangunan semisal kubah di atas kubur semacam orang alim yang berada di pekuburan, bukan wakafan. Terdapat di dalam Ziyadah Al-Ubadi: Bila seseorang berwasiat agar nanti dimakamkan di dalam rumahnya, maka bataltah wasiatnya.

 

Dari kata-kata “arah (keperluan) halal di atas”, maka dikecualikan kepentingan maksiat: misalnya untuk pembangunan gereja, meneranginya, atau penulisan semacam Taurat dan ilmu yang diharamkan.

 

Sah wasiat untuk kandungan yang dengan yakin telah wujud ketika berwasiat.

 

Karena itu, sah berwasiat untuk bayi yang lahir dalam keadaan hidup, yang usia di kandungan terhitung maksimum 6 bulan dari wasiat atau 4 tahun ke bawah, yang selama itu keberadaan ibu bayi tersebut tidak berkumpul dengan suami atau sayidnya dan dapat dimungkinkan kandungan tersebut berasal da’inya, karena secara lahir bayi itu sudah ada dalam kandungan ketika wasiat, lantaran langkah Wathi syubhat, sedangkan memperkirakan bahwa ibu si-bayi telah berzina, adalah prasangka buruk.

 

Tetapi, jika sang ibu tidak pernah berkumpul dengan laki-laki sama sekali, maka secara pasti wasiat hukumnya tidak sah.

 

Tidak sah wasiat untuk kandungan yang akan terjadi, sekalipun sebelum Mushi mati, kandungan itu telah ada, sebab wasiat itu adalah pemindahan ini terlarang dilakukan atas sesuatu yang belum ada. Maka wasiat seperti ini menyerupai wakaf kepada Maukuf Alaih yang akan dilahirkan.

 

Tetapi, jika yang belum wujud itu terikutkan dengan yang sudah ada, misalnya seseorang berwasiat untuk anak-anak Zaid yang telah ada dan yang akan datang, maka sah wasiat tersebut.

 

Tidak sah wasiat untuk yang tidak Mu’ayyan (tidak tertentu). Karena itu, tidak sah wasiat untuk salah satu dari dua orang ini. Seperti ini hukumnya, tidak sah, jika menggunakan lafal wasiat. Tetapi, jika menggunakan kata-kata “Kalian berikan barang ini kepada salah satu dari dua orang”, maka hukumnya sah, karena kata-kata tersebut sebagai wasiat Mushi untuk memberikan barang tersebut kepada salah satunya.

 

Sah wasiat untuk ahli waris Mushi sendiri, dengan persetujuan ahli waris yang lainnya setelah kematian Mushi, sekalipun barang wasiat berjumlah sebagian dari 1/3 harta Mushi.

 

Persetujuan mereka (ahli waris) di kala Mushi masih hidup tidak ada artinya, sebab di kala itu mereka tidak berwenang.

 

Hilah agar dapat mengambil barang wasiat bagi ahli waris tanpa ada persetujuan ahli waris yang lainnya, yakni Mushi mewasiatkan untuk si Fulan (orang lain) 1.000, yang jumlah ini adalah 1/3 atau kurang dari keseluruhan harta milik Mushi, dengan syarat si Fulan harus bertabarru’ (memberi secara sukarela) kepada putra Mushi sebesar 500 atau 2.000 (jumlah terakhir ini, baik lebih besar daripada orang yang telah diwasiatkan untuk si Fulan atau lebih kecil) sebagaimana yang tampak. Maka, jika si Fulan menerima wasiat dan ia memberikan yang telah disyaratkan kepada putra Mushi, maka ahli waris yang lain tidak turut memiliki yang diperoleh si putra dari si Fulan tersebut.

 

Termasuk wasiat untuk ahli waris, adalah membebaskan urang ahli waris terhadap Mushi, memberi hibah dan wakaf. Tetapi, jika ia mewakafkan kepada ahli waris sejumlah harta yang termasuk dari hitungan 1/3 dengan masing-masing besar bagian ahli waris, maka dapat lestari tanpa persetujuan ahli waris yang lain dan mereka yang menerima wakaf tidak boleh membatalkan wakaf.

 

Wasiat kepada masing-masing ahli waris sebesar bagian semestinya, -misalnya 1/2 dan 1/3-, maka wasiat tersebut tidak ada gunanya, sebab jumlah (bagian) yang didapatkan itu bisa dimiliki tanpa wasiat. Hal ini tidak membuat Mushi berdosa.

 

Bila ia berwasiat kepada masing-masing ahli waris dengan suatu barang yang nilainya sebesar bagian pastinya, -misalnya ia meninggalkan dua anak laki-laki, seorang budak dan rumah yang berharga sama dengan budak, lalu ia mengkhususkan masing-masing budak/rumah untuk masing-masing putra-, maka wasiatnya sah, jika kedua-duanya menyetujui pembagian tersebut.

 

Bila Mushi mewasiatkan sesuatu kepada orang-orang fakir. maka bagi Washi (pemegang urusan wasiat) tidak boleh memberikan sebagian dari barang wasiat kepada ahli waris Mushi, sekalipun mereka adalah orangorang yang fakir, sebagaimana Nash Asy-Syafi’i dalam Al-Um.

 

Wasiat sah dengan kata: “Benkanlah kepadamu sekian, setelah aku mati (sekalipun tidak mengatakan dari hartaku)”, “Kuhihahkan barang ini kepadanya setelah aku mati”, “Barang ini kujadikan kepadanya setelah aku mati”, atau “Barang ini menjadi miliknya setelah aku mati”, karena dengan adanya pengaitan atas kematian, maka bermakna wasiat.

 

Juga sah dengan kata: “Aku berwasiat untuknya sekian”, sekalipun tidak mengatakan “setelah aku mati”, karena syarak menentukan wasiat untuk dimiliki setelah mati.

 

Bila Mushi menyingkat menjadi semacam, “Kuhibahkan barang ini kepadanya”, maka menjadi hibah yang ditunaikan seketika, atau menjadi semacam, “Berilah dia dari hartaku” atau “Berilah sekian si Fulan dari hartaku”, maka menjadi perwakilan, yang justru habis masa berlakunya lantaran semacam mati, dan bukan sebagai kinayah wasiat.

 

Atau menyingkat menjadi kata: “Barang ini kujadikan untuknya”, maka bisa menjadi wasiat dan bisa juga hibah, jika diketahui niat untuk salah satunya, tetapi jika niat tersebut tidak diketahui, maka batal.

 

Atau meningkat menjadi “1/3 hartaku milik orang-orang fakir”, maka merupakan ikrar dan bukan wasiat. Ada yang mengatakan: Wasiat untuk orang-orang fakir. Kata Guru kita: Yang jelas seperti itu sebagai kinayah wasiat.

 

Atau menjadi: “Barang itu untuknya”, maka itu sebagai ikrar, dan jika ditambah dengan “dari hartaku”, maka menjadi kinayah wasiat.

 

Segolongan fukaha Mutaakhirun menjelaskan, sah ucapan seseorang yang berutang kepadanya, “Bila aku mati, maka prutangku yang ada di tanganmu, berikanlah kepada si Fulan/bagi-bagikan kepada orangorang fakir”. Dakwaan pengutang, bahwa penyutang telah mengatakan seperti itu tidak bisa diterima, tapi harus dengan mengemukakan bayinah.

 

Wasiat bisa menjadi sah dengan Kinayah: misalnya: “Kutentukan barang ini untuknya”, “Kupisahkan barang ini untuknya”, atau “Hamtku ini untuknya”.

 

Surat wasiat statusnya adalah sebagai wasiat kinayah, Karena itu, bisa menjadi sah jika disertai niat wasiat, sekalipun si penulis orang yang dapat berbicara, jika penulis sendiri atau ahli warisnya bahwa surat tersebut ditulis dengan niat wasiat.

 

Pengakuan ada niat wasiat belum dianggap cukup dengan “Ini tulisanku dan apa yang tertera adalah wasiatku”.

 

Wasiat dengan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Mushi bisa dihukumi sah, jika disertai ada qabul (penerimaan) dari Musha Lah yang tertentu dan terbatas, Jika ia orang yang berhak untuk gabul, tetapi jika ia tidak berhak untuk itu, maka yang qabul harus walinya. Qabul tersebut ada setelah Mushi meninggal dunia, sekalipun tidak harus spontan.

 

Karena itu, qabul -begitu juga penolakan-, tidak bisa sah sebelum Mushi mati, sebab Mushi sebelum mati boleh mencabut kembali wasiatnya. Begitu juga, Musha Lah yang pernah menolak sebelum mati Mushi, qabul boleh setelah mati Musht”Penolakan yang terjadi setelah ada gabul, adalah tidak sah.

 

Termasuk penolakan yang sharih, “Aku menolaknya/Aku tidak mau menerimanya”, dan termasuk kinayah penolakan, “Aku tidak butuh padanya/Aku telah cukup tanpanya”,

 

Qabul tidak disyaratkan pada Musha Lah yang tidak tertentu: misalnya orang-orang fakir, tetapi dengan kematian Mushi, tetaplah hukum wasiat. Barang wasiat (Musha Bih) boleh dibagikan kepada tiga orang dari mereka, dan tidak wajib menyamaratakan di antara mereka.

 

Bila Musha Lah telah mengucapkan qabul setclah kematian Mushi, maka status Musha Bih menjadi milik Musha Lah semenjak kematiar Mushi. Karena itu, berlakulat hukum-hukum pemilikan: Kewajiban memberi nafkah, membayar fitrah, menikmati kemanfaatan yang ada dan lain-lain.

 

Wasiat tidak sah pada Musha Bih yang melebihi 1/3 dari keseluruhan harta Mushi, di mana ia berada di ambang kematian (sakit parah): Yaitu, kebanyakan orang akan mau karena sakit sepert itu, jika jumlah tersebut ditolak oleh ahli wans khusus yang mempunyai tasaruf mutlak, sebab selebihnya 1/3 adalah haknya.

 

Bila ahli waris tersebut tidak mempunyai wewenang tasaruf secara mutlak, jika kemampuan tasarufnya bisa diharapkan dalam waktu dekat, maka kelebihan 1/3 tersebut dimaukufkan (ditunggu dulu) menunggu datang kemampuan tasaruf dari ahli waris tersebut. Kalau tidak diharapkan, maka wasiat untuk jumlah yang melebihi 1/3 tersebut adalah batal.

 

Bila sebagian ahli waris menyetujuinya, maka yang sah adalah jumlah sebesar bagian ahli waris itu saja. Bila ahli waris yang khusus menyetujui wasiat selebih 1/3, maka gahlah wasiat itu dan penyetujuan itu melestarikan wasiat selebih 1/3.

 

Sakit yang parah, misalnya: Diare yang terus-menerus, membuang kotoran masih berupa makanan dengan amat sakit dan pedih, atau bercampur darah dari anggota penting, musalnya hati, bukan darah bawasir, atau makanan tersebut keluar tanpa mengalami pencemaan, demam yang berkepanjangan, dan sakit beranak yang sekalipun sudah berulang kali melahirkan, sebab risiko yang ditanggung karena melahirkan adalah besar nokali, karena itu, jika wanita mati lantaran melahirkan, adalah mati syahid.

 

Misalnya juga karena Masyimah (tutup bayi yang keluar bersamanya, yakni bhs. Jawa: ari-ari) tertinggal di dalam, kcruwetan peperangan antara dua golongan dan terserang badai bagi penumpang kapal laut, sekalipun pandai berenang dan Jekat dengan daratan.

 

Adapun di masa berjangkit penyakit wabah dan tha’un, maka tasaruf semua orang harus dari jumlah 1/3 hartanya.

 

Sebaiknya, bagi orang yang ahli warisnya kaya atau miskin, agar tidak berwasiat melebihi 1/3 dari hartanya. Adapun yang lebih baik, adalah mengurangi sedikit dari 1/3 hartanya.

 

Terhitung 1 1/3 jumlah harta Mushi, yaitu memerdekakan budak yang digantungkan pada kematiannya, baik ketika Mushi dalam keadaan sehat maupun sakit. Terhitung dari 1/3 lagi, adalah tabarru’ yang dilaksanakan ketika sakit: misalnya wakaf, hibah dan ibra’.

 

Bila terjadi perselisihan antara ahli waris dengan penerima hibah, mengenai apakah hibah diberikan ketika pemberi dalam keadaan sehat atau sakit, maka yang dibenarkan adalah pihak penerima hibah dengan disumpah, lantaran barang berada di tangannya.

 

Bila seseorang menghibahkan ketika sehat dan menyerahterimakan ketika sakit, maka barang hibah dimasukkan ke hitungan 1/3 dari hartanya. Adapun hibah yang dilaksanakan ketika sehat, maka terhitung dari keseluruhan hartanya, sebagaimana halnya dengan haji Islam dan pemerdekakan budak Mustauladah.

 

Apabila ahli waris mendakwa, bahwa Mutabarri’ (yang berbuat sukarela) melaksanakan tabarru’nya ketika sakit yang mengantarkan kematiannya, sedangkan orang yang menerima tabarru’ (Mutabarra’ Alaih) mendakwa bahwa Mutabarri’ sudah sembuh kembali dari sakitnya, dan kematiannya sebab penyakit yang lain atau mendadak, maka jika sakit yang ada tabarru’nya itu parah, maka yang dibenarkan adalah ahli warisnya, tetapi jika tidak parah, maka yang dibenarkan adalah Mutabarra’ Alaih.

 

Bila terjadi perselisihan mengenai keberadaan tasaruf, apakah di waktu sehat ataukah ketika sakit, maka yang dibenarkan adalah Mutabarra’ Alaih, sebab asal permasalahannya adalah sehat berjalan terus, jika kedua-duanya mengajukan bayinah, maka yang didahulukan pemenangnya adalah bayinah yang mengatakan ketika sakit.

 

Cabang:

 

Bila seseorang berwasiat kepada tetangga-tetangganya, maka yang dihitung adalah 40 rumah dari 4 arah, dan bagian masing-masing adalah disesuaikan dengan jumlah penghuninya.

 

Kalau berwasat untuk ulama, maka yang diberi bagian adalah ahli hadis, yang mengetahui keadaan rawi dari segi kuat dan lemahnya, keadaan badis dari segi salub dam tidaknya: (kedua) ahli tafsir yang mengetahui makna tap-tiap ayat dan muksudnya: (ketiga) ahli fikih yang mengetahui hukum-hukum syarak dari Nash dan istimbath. Yang dimaksudkan dengan fakih di sini, adalah orang yang mengetahui sebagian dari ilmu fikih yang cukup untuk mengetahui bagian-bagian lainnya. Ahli nahwu, sharaf, lughat dan kalam, tidak masuk dalam golongan ulama di sini.

 

Dalam hal ini sudah dianggap cukup dengan diambil tiga orang dari setiap ulama dalam bidang ilmu tersebut secara keseluruhan atau sebagiannya.

 

Bila seseorang berwasiat untuk orang yang paling alim, maka khusus untuk ahli Fikih. Kalau untuk Qurra’ (ahli Qiraah), maka tidak diberikan, kecuali kepada orang yang hafal Alqur-an dengan luar kepala, atau kalau wasiat untuk orang yang paling bodoh, maka diberikan para penyembah berhala.

 

Bila Mushi berkata, “Untuk orang terbodoh dari kalangan muslimin”, maka diberikan kepada orang yang memaki para sahabat.

 

Dalam riwayat untuk para fukaha, para miskin masuk di dalamnya. Begitu juga sebaliknya.

 

Dalam wasiat untuk kerabat Zaid, adalah mencakup setiap kerabat Zaid, sekalipun sudah jauh hubungan kekerabatannya, untuk orangtua dan anak Zaid, tidak masuk di situ. Wasiat untuk kerabat sendiri adalah tidak dimasukkan ahli warisnya.

 

Wasiat yang digantungkan atas kematian, hukurnnya batal dengan pencabutan Mushi dari wasiatnya: misalnya dengan mengucapkan: “Wasiat kurusak/kubatalkan/kucabut kembali/kuhilangkan”. Begitu juga menjadi batal dengan pencabutan terhadap setiap tabarru’ yang digantungkan dengan kematian, baik penggantungannya di kala sehat maupun sakit. Bagi Mushi boleh mencabut wasiat sebagaimana hibah, sebelum ada penerimaan, bahkan untuk wasiat melebihi (lebih utama dari) hibah. Dari keterangan ini, maka tabarru’ yang dilaksanakan (dilestarikan) ketika sakit, adalah tidak boleh ditarik kembali, sekalipun terhitung dalam jumlah 1/3.

 

Menurut pendapat Al-Aujah, adalah sah menggantungkan pencabutan wasiat, karcna ada kebolehan menggantungkan wasiat itu sendiri, apalagi dalam pencabutannya.

 

Pencabutan wasiat dapat dengan kata: “Barang ini milik ahli warisku”/Ini warisan dariku”, baik dalam keadaan ia lupa atas wasiatnya atau ingat.

 

Guru kita ditanya mengenai orang yang berwasiat kepada orang lain sejumlah 1/3 dari hartanya, kecuali buku-bukunya, lalu selang beberapa waktu ia mewasiatkan sejumlah 1/3 dari hartanya tanpa kecuali: Mana yang dilaksanakan dari dua wasiat tersebut Pertama atau kedua?

 

Jawab beliau: Menurut yang lahir, bahwa wasiat yang dilaksanakan adalah yang pertama, lantaran di sini Mushi mengecualikan buku-bukunya, sedangkan wasiat yang kedua dimungkinkan ia meninggalkan pengecualian lantaran membatalkan pengecualian tersebut, padahal hash itu didahulukan dari Muhtamil (yang masih ada nilai kemungkinan),

 

Pencabutan wasiat dapat dengan dijual atau digadaikan, sckalipun diambil barangnya, dengan ditawarkan untuk dijual atau digadaikan, dengan mewakilkan untuk keduanya, dan dengan ditanami pepohonan (bangunan), lain halnya dengan ditanami tanaman yang bersifat sementara.

 

Bila Mushi menanami pepohonan seperti di atas pada bagian tanah wasiat, maka khusus bagian itu pula pencabutan wasiat.

 

Tidak termasuk pencabutan, jika lantaran ada tujuan (misalnya: takut dari orang zalim) yang akhirnya Mushi mengingkari ada wasiat.

 

Bila seseorang berwasiat sesuatu kepada Zaid, lalu barang tersebut diwasiatkan lagi kepada Amr, maka wasiat kedua bukan berarti rujuk (mencabut) yang pertama, tetapi Musha Bih harus dibagi menjadi dua bagian: Kalau mewasiatkannya lagi kepada orang ketiga, maka Musha Bih harus dibagi menjadi tiga bagian dan seterusnya. Begitulah yang dikatakan oleh Asy-Syekh Zakariya di dalam Syarhul Minhaj.

 

Bila berwasiat untuk Zaid sebesar 100,lalu wasiat lagi 50,-, maka Musha Bih yang diberikan kepada Zaid hanya 50,-, karena wasiat kedua mengandung pencabutan pada sebagian yang pertama. Demikianlah yang dikatakan An-Nawawi.

 

Sedekah atas nama mayat dapat bermanfaat baginya, baik dari ahli waris atau bukan. Termasuk arti sedekah: Mewakafkan Alqur-an atau lainnya, membangun mesjid, menggali sumur dan menanam pohon, ketika pelaku masih hidup atau dikerjakan oleh orang atas nama mayat.

 

Doa dapat bermanfaat terhadap mayat menurut ijmak. Tersebut dalam hadis: “Sesungguhnya Allah Swt. mengangkat derajat seorang hamba di dalam surga lantaran istigfar anak atasnya.” Sedangkan firman Allah swt. yang artinya: “Dan sesungguhnya seorang manusia tiada memperoleh, kecuali yang ia lakukan” (Q.S. An-Najm: 39), adalah ‘Am yang di-takhshish dengan ijmak dan hadis di atas. Ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut sudah dimansukh.

 

Makna “sedekah bermanfaat bagi mayat”, seolah-olah si mayat yang melakukan sedekah. Asy-Syafi’i berkata: Termasuk keluasan anugerah Allah swt., Dia berkenan memberi pahala terhadap orang yang bersedekah juga.

 

Berdasarkan keterangan tersebut, lala Ashhabuna berkata: Niat sunah bersedekah atas nama kedua orangtua misalnya, karena Allah swt. akan memberikan pahala kepada mereka dan sama sekali tidak mengurangi pahala orang yang bersedekah.

 

Makna “doa bermanfaat bagi mayat”: Mayat mendapatkan isi yang terkandung dalam doa itu jika terkabuikan, dan tentang keterkabular’doa terserah sepenuhnya pada anugerah Allah swt. Adapun pahala doa itu sendiri, adalah untuk yang berdoa, karena berdoa itu merupakan syafaat, yang pahalanya dimiliki Syafi’ (penolong) dan pertolongannya sendiri diberikan kepada orang yang dimaksud.

 

Tetapi, kalau doa itu dari anak kepada orangtua yang telah meninggal dunia, maka pahala juga bisa dimiliki olehnya, karena lantaran orangtua, wujudlah anak, sehingga amal seorang anak termasuk jumlah amal orangtuanya, sebagaimana yang telah diterangkan dalam suatu hadis: “Perbuatan manusia itu menjadi putus (setelah ia mati), kecuali atas tiga (perkara).” . Kemudian beliau saw. bersabda: …. atau anak saleh, maksudnya muslim yang mendoakannya. Di sini Nabi saw. menjadikan doa seorang anak termasuk amal orangtuanya.

 

Tentang pahala membaca Alqur-an, An-Nawawi berkata di dalam Syarah Muslim: Pendapat yang masyhur dari mazhab Syarfi’i, bahwa pahalanya tidak dapat sampai kepada mayat.

 

Sebagian Ashhabuna (fukaha Mutaqaddimin dari Syafi’iyah) berkata: Pahala pembacaan Alqur-an dapat sampai kepada mayat dengan semata-mata ditujukan kepadanya, sekalipun penujuan tersebut dilakukan setelah membacanya. Pendapat ini dipegangi oleh tiga mazhab yang lain, dan yang memilih kebanyakan imam kita serta dibuat pedoman As-Subki dan lainnya.

 

Selanjutnya, As-Subki berkata: Menurut dalil yang diistinbathkan dari hadis, bahwa sebagian Alguran jika dimaksudkan manfaatnya untuk mayat, maka akan bermanfaat baginya. Masalah ini beliau menjelaskannya.

 

Segolongan ulama mengarahkan yang dikatakan An-Nawawi di atas, pada masalah pembacaan Alqur-an tidak di hadapan mayat yang pembacanya tidak berniat memberikan pahalanya kepada mayat, atau sudah berniat, tetapi tidak didoakan.

 

Asy-Syafi’i dan ashhabnya telah menetapkan sunah membaca yang mudah dari Alqur-an di sisi mayat dan berdoa setelah membaca Al-Quran, adalah lebih dapat diharapkan keterkabulannya. Di samping itu, si mayat dapat memperoleh berkah bacaan, sebagaimana orang hidup yang hadir di situ.

 

Ibnush Shalah berkata: Sebaiknya (kita) memantabkan doa dengan manfaatnya, “Ya, Allah! Sampaikanlah pahala bacaanku kepada si Anu…”, maksudnya, pahala sebesar bacaan Alqur-an itu sendiri, sekalipun tidak dijelaskan sekian, karena bila kemanfaatan isi doa dapat diperoleh selain pendoa (mayat), maka lebih-lebih untuk pendoa itu sendiri. Semua ini berlaku juga untuk semua amal dari salat, puasa dan lain-lainnya.

Maksudnya: Masalah-masalah pembagian harta warisan.

 

Lafal Faraidh jamak dari faridhah yang bermakna “mafrudhah”. Fardu menurut lughat artinya “kepastian”, sedang menurut syarak dalam kaitannya dengan bab ini, adalah “bagian yang ditentukan untuk ahli waris”.

 

Ahli waris dari jenis laki-laki jumlahnya ada 10 orang: Anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek dari ayah, saudara laki-laki seayah-seibu/ seayah/seibu, anak laki-laki saudara sekandung/seayah (yang seibu tidak termasuk), paman (saudara laki-laki dari ayah), anak laki-laki paman sekandung/seayah (paman yang seibu tidak termasuk), suami dan orang laki-laki yang memerdekakan budak (mu’tiq).

 

Ahli waris dari jenis perempuan jumlahnya ada 7: Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek (dari ayah atau ibu), saudara perempuan, istri dan perempuan yang memerdekakan budak (mu’tiqah).

 

Apabila seluruh ahli waris di atas tidak ada, maka menurut Ashlul Mazhab, adalah Dzawul Arham tidak bisa mewaris dan bila dalam pembagian waris yang ada, hanya sebagian saja dari ahli waris, maka kelebihan harta waris yang ada, akan tetapi harta harus diserahkan pada Baitulmal.

 

Kemudian, bila Baitulmal sendiri sudah tidak tertib, maka kelebihan harta warisan dapat diberikan kepada ahli waris yang ada selain suami. dan istri dengan besar bagian menurut fardu mereka masing-masing, dan bila Ashhabul Furudh (orang-orang yang berhak mendapatkan bagian tertentu) tidak ada, maka diberikan kepada Dzawul Arham.

 

Dzawul Arham berjumlah 11 orang: Cucu dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak (laki/perempuan) saudara perempuan, anak perempuan saudara lakilaki, anak perempuan paman, paman seibu, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, saudara perempuan ayah, ayah dari ibu, ibu dari ayahnya ibu, anak-anak saudara laki-laki yang seibu.

 

Besar bagian yang ditentukan di dalam Alqur-an ada 6: 2/3, 1/2, 1/4, 1/8, 1/3 dan 1/6.

 

Dzawul Furudh yang mendapatkan bagian 2/3 ada 4 orang: Dua anak perempuan atau lebih, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan seayah-seibu dan saudara perempuan seayah saja.

 

Anak perempuan, cucu perempuan dari garis laki-laki, saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah diashabahkan (Ashabah Bilghair) oleh saudara laki-laki mereka (anak laki-laki, cucu laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya) menyamai dalam rutbah (tingkat tua-muda suatu keturunan) dan idla’ (kedekatan hubungan darah, misalnya seibu-seayah lebih dekat dari yang seayah saja).

 

Karena itu, cucu laki-laki dari garis laki-laki tidak dapat mengashabahkan anak perempuan dan anak lakilaki cucu laki-laki tidak dapat mengashabahkan cucu perempuan dari garis laki-laki, sebab tidak menyamai dalamrutbahnya. Demikian juga saudara laki-laki sekandung, tidak dapat mengashabahkan saudara perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah tidak dapat mengashabahkan saudara perempuan sekandung, karena tidak ada kesamaan dalam idla’nya sekalipun sama dalarn rutbahnya.

 

Anak perempuan dan cucu perempuan dari garis laki-laki dapat mengashabahkan saudara perempuan sekandung dan seayah (Ashabah Ma’al Ghair).

 

Makna dari Ashabah Ma’al Ghair: Saudara sekandung/seayah jika bersama anak perempuan/cucu perempuan dari garis laki-laki, maka bagiannya adalah ashabah (menerima kelebihan bagian furudh anak perempuan/cucu perempuan dari garis laki-laki), karena itu, saudara sekandung/seayah jika berkumpul dengan anak perempuan/cucu perempuan dari garis laki-laki, maka akan menggugurkan furudh, saudara laki-laki sekandung dapat menggugurkan saudara laki-laki seayah.

 

Furudh 1/2 adalah bagian 5 orang: 4 perempuan tersebut di atas ketika mereka sendirian dan tidak ada yang mengashabahkannya dan bagian suami, jika istri tidak mempunyai anak yang dapat mewaris, baik lakilaki maupun perempuan.

 

Furudh 1/4 adalah bagian 2 orang: Suami yang bersama anaknya (anak keturunan si mayat) dan seorang istri atau lebih ketika suami tidak meninggalkan anak.

 

Furudh 1/8 adalah bagian istri jika suami meninggalkan keturunan (anak).

 

Furudh 1/3 adalah bagian 2 orang: Ibu jika mayat tidak meninggalkan keturunan yang dapat mewarisi dan tidak ada dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, dan dua saudara atau lebih yang seibu, baik laki-laki atau perempuan.

 

Furudh 1/6 adalah bagian 7 orang: Ayah dan kakek (dari ayah) jika mayat meninggalkan keturunan yang mewaris, Ibu, jika mayat meninggalkan keturunan atau dua orang saudara atau lebih/laki-laki/perempuan, Nenek-ibu dari ayah/ibu terus ke atas, baik ia bersama saudara mayat (sekandung/seayah/seibu/ laki-laki/perempuan) maupun tidak. Nenek bisa mendapatkan bagian 1/6, jika tidak terurut dari seorang lakilaki di antara dua perempuan jika terurut, misalnya: ibu dari ayahnya ibu si mayat, maka nenek seperti ini tidak bisa mewarisi sebagai kekhususan kerabat, sebab ia termasuk : Dzawul Arham.

 

(Bagian 1/6 juga atas): Cucu perempuan dari garis laki-laki (seorang atau lebih), jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari garis laki-laki yang lebih dekat kepada mayat, Seorang saudara perempuan seayah atau lebih yang jika berkumpul dengan saudara perempuan sekandung: dan seorang saudara perempuan/laki-laki seibu.

 

Furudh 1/3.sisa dari suami/istri bukan 1/3 dari keseluruhan harta, adalah bagian ibu yang berkumpul bersama suami/istri dan ayah. Ibu dalam keadaan.seperti ini diberi 1/3 bagian (sisa), agar ayah mendapatkan dua kali lipat yang diperoleh ibu.

 

Bila ibu bersama suami dan ayah, maka asal masalah dijadikan 6: Untuk suami 3. ayah 2, dan untuk ibu 1.

 

Apabila ibu bersama istri dan ayah, maka asal masalah dijadikan 4: Untuk istri’1, ibu 1 dan ayah 2.

 

Ahli Faraid mengabdikan pemakaian kata “Tsuluts (sepertiga)”, karena menjaga kesopanan yang sesuai dengan firman Allah swt.: “… dan kedua orangtua mewarisnya, maka untuk ibunya ada bagian sepertiga” (O.S. An-Nisa’:11). Kalau tidak menjaga adab seperti itu, maka untuk contoh pertama ibu mengambil bagian 1/6 dan yang kedua mengambil bagian 1/4.

Cucu (laki-laki/perempuan) mahjub (terhalang) oleh anak laki-laki atau cucu laki-laki, yang lebih dekat kepada mayat. Kakek mahjub oleh ayah.

 

Nenek dari garis ibu mahjub oleh ibu, karena idla’ padanya. Nenek dari garis ayah mahjub oleh ayah karena turut idla padanya, dan oleh ibu menurut ijmak. Saudara laki-laki sekandung mahjub oleh ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari garis laki-laki terus ke bawah.

 

Saudara laki-laki seayah mahjub oleh ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari garis laki-laki, saudara lakilaki sekandung dan saudara perempuan sekandung yang bersamaan dengan anak perempuan/cucu perempuan dari garis laki-laki seperti yang telah dituturkan.

 

Saudara laki-laki seibu mahjub oleh ayah, kakek dari garis ayah seterusnya, dan keturunan mayat yang dapat mewaris dan terus ke bawah, baik laki-laki maupun perempuan.

 

Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung mahjub oleh ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-lgki dari garis laki-laki terus ke bawah, saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah.

 

Anak laki-laki saudara laki-laki seayah mahjub oleh 6 orang penghalang di atas, dan anak laki-laki saudara laki-laki sekahdung, karena yang terakhir. ini lebih kuat daripadanya.

 

Paman sekandung mahjub oleh 7 orang penghalang di atas dan anak laki-laki saudara laki-laki seayah. Paman seayah mahjub oleh 8 orang penghalang di atas dan paman sekandung.

 

Anak laki-laki paman sekandung mahjub oleh 9 orang penghalang di atas dan paman seayah. Anak laki-laki paman seayah mahjub oleh 10 orang penghalang di atas dan anak laki-laki paman sekandung.

 

Cucu laki-laki saudara laki-laki sekandung dari garis laki-laki mahjub oleh anak laki-laki saudara laki-laki seayah, karena yang kedua ini lebih dekat daripada yang pertama.

 

Cucu-cucu perempuan dari garis laki-laki mahjub oleh anak laki-laki atau 2 ke atas anak perempuan, jika mereka tidak diashabahkan oleh saudara laki-laki — cucu perempuan tersebut (cucu laki-laki mayat dari garis laki-laki) atau anak laki-laki paman cucu perempuan di atas. Jika cucu perempuan di atas diashabahkan oleh saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya, maka cucu perempuan mengambil bagian ashabah dengan pengashabahnya. setelah 2/3 harta diambil oleh 2 atau lebih anak perempuan mayat.

 

Saudara perempuan seayah mahjub oleh 2 atau lebih saudara perempuan sekandung, kecuali jika saudara lakilaki yang mengashabahkannya, maka ia akan diashabahkan. Saudara perempuan seayah juga mahjub oleh seorang saudara perempuan sekandung yang bersamaan anak atau cucu perempuan dari garis laki-laki.

 

Ketahuilah, bahwa cucu laki-laki dari garis laki-laki adalah seperti anak laki-laki, cuma waktu bersama anak perempuan ia tidak dapat mengambil bagian dua kali lipat anak perempuan (sebab ruthbahnya tidak sama, tetapi seorang anak perempuan menerima 1/2, sedang cucu laki-laki tersebut menerima ashabah).

 

Nenek itu seperti ibu, cuma ia tidak bisa mewaris 1/3 atau 1/3 sisa (baq), tetapi furudhnya selalu 1/6.

 

Kakek itu seperti ayah, cuma saja ia tidak dapat menghalangi saudara laki-laki sekandung/seayah.

 

Cucu perempuan dari garis laki-laki itu seperti anak perempuan, cuma saja ia dapat dihalangi oleh anak laki-laki.

 

Saudara laki-laki seayah itu seperti saudara laki-laki sekandung, cuma saja ketika bersama saudara perempuan sekandung ia tidak dapat menerima bagian dua kali lipat (sebab ia tidak mengashabahkannya lantaran idla’nya tidak sama, tetapi Saudara perempuan sekandung mengambil bagian 1/2, sedangkan dia menerima ashabah).

 

Harta pusaka yang tersisa dari semua Dzawul Furudh atau seluruh harta pusaka tidak ada Dzawul Furudhnya, adalah bagian waris ashabah (Ashabah Binafsih), dan kalau harta sudah dihabiskan oleh Dzawul Furudh, maka gugurlah bagian ashabah.

 

Ashabah Binafsih adalah: 1. Anak laki-laki, 2. Cucu laki-laki dari garis laki-laki terus ke bawah, 3. Ayah: 4. Kakek dari garis ayah ke atas, 5. Saudara laki-laki sekandung, 6. Saudara laki-laki seayah, 7. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung: 8. Anak laki-laki saudara lakilaki seayah 9. Paman sekandung: 10. Paman seayah, 11. Anak laki-laki paman sekandung: 12. Anak lakilaki paman seayah, 13. Paman kakek, 14. Anak laki-laki paman kakek, dan seterusnya.

 

Setelah Ashabah Nasab seperti di atas, lalu Ashabah Wala’, yaitu laki-laki/perempuan yang pernah memerdekakan si mayat (Mu’tiq). Urutan ashabah setelah Mu’tiq adalah Ashabah Nasab Mu’tiq yang laki-laki, bukan yang perempuan (Ashabah Bilghair dan Ma’al Ghair). Dalam masalah waris wala’ (bukan nasab), kakek diakhirkan daripada saudara laki-laki dan anak laki-laki saudara,

 

Setelah itu Mu’tiq dari Mu’tiq, lalu ashabahnya.

 

Bila beberapa anak laki-laki berkumpul dengan anak-anak perempuan atau beberapasaudara laki-laki berkumpul dengan saudara-saudara perempuan, maka harta pusaka milik mereka bersama, Bagi yang laki-laki menerima bagian dua kali dari bagian yang perempuan. Lelaki dilebihkan daripada yang perempuan, karena laki-laki mempunyai tanggung jawab atas kewajiban perempuan, seperti perang dan lainnya.

 

Dalam masalah tersebut (pelipatgandaan bagian laki-laki) cucu lakilaki dari garis laki-laki (ketika bersama cucu perempuan dari garis lakilaki), seperti anak laki-laki (ketika bersama anak perempuan) dan saudara laki-laki seayah (ketika bersama saudara perempuan seayah), seperti saudara-laki-laki sekandung (ketika bersama saudara perempuan sekandung).

Bilangan Asal Masalah ditentukan dengan cara menghitung jumlah orang, jika ahli waris semuanya adalah Ashabah, misalnya 3 orang anak laki-laki atau 3 orang paman, maka asal masalahnya adalah 3.

 

Bila jenis laki-laki kumpul dengan perempuan (dalam ashabah nasab), maka laki-laki diperhitungkan dua perempuan. Karena itu, berkumpulnya anak laki-laki dengan anak perempuan, harta tinggalan dibagi tiga (AM:3), untuk anak laki-laki 2 dan untuk anak perempuan 1 bagian.

 

Makharijul Furudh (angka-angka penyebut): 2,3,4,6,8,12,24, (angka-angka tersebut yang nantinya dijadikan AM atau KPK).

 

Apabila dalam pembagian waris terdapat dua furudh atau lebih, maka jika angka penyebutnya sama, maka AM adalah salah satu penyebut angka tersebut, misalnya: Suami (1/2) dan saudara perempuan (1/2), maka AM: 2. (Masalah ini disebut Mumatsalah).

 

Jika terjadi tadakhul (angka penyebut terbesar habis terbagi penyebut terkecil), maka AM: Angka penyebut terbesar. Misalnya: Ibu (1/6), 2 orang saudara laki-laki seibu (1/3) dan saudara laki-laki sekandung/ seayah (ash), maka AM: 6. (Masalah ini disebut Mudakhalah). Demikian pula, angka penyebut terbesar yang dibuat AM (padahal tidak tadakhbul) dalam masalah istri (1/4), ibu (1/3 bag) dan ayah (ash). (Maka AM: 4. Bagian istri: 14 x 4 = 1, untuk ibu 1/3×3=1, sisanya 2 untuk ayah).

 

Jika terjadi tawafuq (semua angka penyebut dapat dibagi habis suatu angka sama, tetapi angka ini tidak terdapat pada penyebutnya yang ada, hasil pembagian tersebut disebut Wifiq), maka AM: Wifiq dari angka penyebut yang lain: misalnya ibu (1/6), istri (1/8), dan anak laki-laki (ash), maka AM: 24. Yaitu: 6:2=3 8:2=4, maka hasil pembagian pada penyebut pertama (3) dikalikan pada penyebut kedua (8), (masalah ini disebut Muwafaqah).

 

Jika terjadi tabayun (semua angka penyebut tidak habis dibagi suatu angka kecuali angka 1, angka-angka penyebut tidak sama, dan angka terbesar tidak dapat dibagi oleh yang terkecil), maka AM: Mengalikan angka penyebut yang satu pada penyebut yang lain: misalnya ibu (1/3), istri (1/4) dan satu orang saudara sekandung/seayah (ash), maka AM: 3×4=12,

 

Dalam pembagian waris yang terdiri dua furudh, yang masing-masing 1/2, misalnya suami dan saudara perempuan seayah, atau furudh yang satu 1/2 dan yang satunya menerima ashabah, misalnya suami berkumpul dengan saudara laki-laki seayah, maka AM: 2: yaitu angka penyebut pada pecahan 1/2.

 

Atau dalam pembagian terdapat furudh 2/3 dan 1/3, misalnya 2 saudara perempuan seayah dan 2 saudara perempuan seibu, atau furudh 2/3 dan ashabah, misalnya 2 anak perempuan dan satu orang saudara laki-laki seayah, atau furudh 1/3 dan ashabah, misalnya, ibu bersama paman, maka AM: 3: yaitu diambil dari makhraj 1/3.

 

Atau furudh 1/4 dan ashabah, misalnya istri bersama paman, maka AM: 4: yaitu makhraj 1/4.

 

Atau terdiri furudh 1/6 dan ashabah, misalnya ibu dan anak laki-laki: atau furudh 1/6 dan 1/3, misalnya ibu dan 2 orang saudara laki-laki seibu, atau terdiri furudh 1/6 dan 2/3, misalnya ibu dan 2 saudara perempuan seayah: atau furudh 1/6 dan 1/2, misalnya, ibu dan anak perempuan, maka AM: 6: yaitu terambil dari makhraj 1/6.

 

Atau terdiri dari furudh 1/8 dan ashabah, misalnya istri dan anak laki-laki, atau furudh 1/8 dan 1/2 + ashabah, misalnya: istri + 1 anak perempuan + 1 saudara laki-laki seayah, maka AM: 8: yaitu diambil dari makhraj 1/8.

 

Atau terdin dani furudh 1/4 dan 1/6, musalnya-istri dan saudara laki-laki seibu, maka AM: 12: yaitu perkalian wifiq penyebut pertama dengan angka penyebut kedua.

 

Atau terdiri dari furudh 1/8 dan 1/6, misalnya istri + nenek + anak laki-laki, maka AM: 24: yaitu dengan pengalian wifiq penyebut satu pada penyebut yang lainnya.

 

Asal Masalah (AM) yang mengalami Aul (kenaikan bilangan AM lantaran siham Dzawul Furudh bertambah) itu ada tiga.

 

AM 6 naik (aul) sampai 10 dalam bilangan gasal (ganjil) dan genap. AM 6 aul menjadi 7, misalnya: suami (1/2) dan 2 saudara perempuan sekandung/seayah (2/3) (AM: 6: 1/2x 6 = 3, 2/3 x 6 = 4, maka siham Dzawul Furudh jika kita jumlah: 2), AM: 6 aul menjadi 8, misalnya suami (1/2), 2 saudara perempuan sekandung/seayah (2/3) dan ibu (1/6). AM 6 aul menjadi 9, misalnya kumpulnya Dzawul Furudh pada masalah kedua di atas ditambah Saudara laki-laki seibu (1/6). AM 6 aul menjadi 10, misalnya kumpulnya Dzawul Furudh pada masalah ketiga ditambah 1 atau lebih saudara lakilaki seibu (1/3).

 

AM 12 aul menjadi 17 dalam bilangan gasal. AM 12 aul menjadi 13, misalnya istri (1/4), ibu (1/6) dan 2 saudara perempuan sekandung/ seayah (2/3). AM 12 aul menjadi 15, misalnya kumpulnya Dzawul Furudh pada masalah pertama ditambah 1 saudara laki-laki seibu (1/6). AM 12 aul menjadi 47, misalnya kumpulnya Dzawul Furudh pada masalah pertama ditambah 2 saudara laki-laki seibu (1/3).

 

AM 2/A dapat aul menjadi 27 saja, misalnya 2 anak perempuan (2/3), istri (1/8), ayah (1/6) dan ibu (1/6): maka sihamnya 2 anak perempuan adalah 2/3 x 24 = 16, istri adalah 1/8 x 24=3, ayah dan ibu adalah 1/6 x 24=54.

 

Masalah naik AM 24 menjadi 27 tersebut disebut Mimbariyah, karena sahabat Ali r.a. berpidato di atas mimbar di Kufah dan mengatakan: “Segala puji milik yang menentukan hukum dengan hak dan membalas setiap orang sesuai usahanya, dan hanya kepada-Nya-lah tempat kembali …”, lalu beliau ditanya masalah waris seperti ini, maka jawab beliau spontan, “Siham istri menjadi 1/9 harta (3/27)”, kemudian beliau melanjutkan pidatonya.

 

Para ulama faraid menaikkan dalam tiga AM di atas, agar pengurangan bagian Dzawul Furudh bisa merata, sebagaimana halnya dengan orang-orang yang mempunyai piutang dan wasiat, jika ternyata harta peninggalan tidak mencukupi bagian mereka semua.

Sah menitipkan barang yang dianggap baik (muhtaram) dengan ucapan, “Barang ini kutitipkan kepadamu/Barang ini aku minta kamu mau menjaganya/Ambillah barang ini”, tetapi untuk ucapan yang terakhir ini harus disertai niat.

 

Haram menerima Wadi’ah (titipan) bagi orang yang tidak mampu menjaganya dan makruh menerimanya bagi orang yang tidak optimis dapat menjaganya.

 

Wadi’ (penerima titipan) wajib menanggung. (kerugian) barang titipan sebab menitipkannya kepada orang lain, sekalipun kepada gadhi, tanpa seizin pemilik barang. Tidak berkewajiban menanggungnya, jika penitipan kembali ia lakukan karena uzur semisal sakit, bepergian, khawatir koyak atau tempat penyimpanan barang titipan mau roboh.

 

Juga wajib menanggung sebab meletakkan Wadi’ah di tempat yang tidak sepatutnya, memindahkannya ke tempat yang tidak sepatutnya, tidak menyingkirkan hal-hal yang dapat merusakkannya, misalnya tidak memberi udara pada pakaian bulu atau tidak mernakainya ketika dibutuhkan untuk itu, menyimpang dari penjagaan yang diperintahkan oleh pemilik barang (wadi’ah), mengingkarinya, menunda penyerahannya tanpa ada uzur setelah diminta oleh pemiliknya, dan sebab memanfaatkannya, misalnya dipakai atau ditunggangi yang bukan untuk keperluan pemilik.

 

Wajib juga menanggung sebab misalnya mengambil satu dirham dari dalam kantong yang berisikan dirham-dirham tutupan, sekalipun ia mengembalikannya lagi ke situ yang sama dengan yang diambil. Karena itu, ia wajib menanggung seluruh dirham dalam kantong, jika ia kembalikan tadi tidak dibedakan dengan yang lain, sebab ia telah mencampur dirham dalam kantong dengan miliknya tanpa bisa dibedakan: maka ia dianggap melampaui batas (zalim). Jika bisa dibedakan dengan semacam cetakannya atau dirham yang ia kembalikan adalah dirham yang ia ambil, maka ja wajib menanggung satu dirham yang ia ambil saja.

 

Sebagaimana wakil/teman perseroan/Amil qiradh, maka Wadi’ juga dibenarkan dengan sumpah tentang pengakuannya, bahwa ia telah mengembalikan barang titipan kepada orang yang telah memberinya kepercayaan, bukan kepada ahli warisnya.

 

Dibenarkan juga tentang pengakuan Wadi’, “engkau tidak mempunyai wadi’ah di sisiku”, tentang kerusakan barang titipan (wadi’ah) yang dituturkan secara mutlak, atau rusak sebab yang samar misalnya dicuri orang atau sebab yang jelas, seperti terbakar yang tidak melanda secara umum, Jika kebakaran terjadi secara umum, maka wadi’ tidak boleh disumpah sekira tidak ada kecurigaan padanya.

 

 

 

Faedah:

 

Berbuat dusta itu hukumnya Haram.

 

Berdusta itu terkadang hukumnya Wajib, Sebagaimana ketika ada orang zalim menanyakan wadi’ah untuk diambilnya, maka orang yang ditanya wajib mengingkarinya, sekalipun dengan cara berdusta, dan ia diperbolehkan bersumpah untuk mengingkarinya dengan cara tauriyah (menyampaikan kalimat yang pemahamannya bisa bermacam-macam).

 

Jika ia tidak mau mengingkari keberadaan wadi’ah di sisinya dan ia tidak mampu menolaknya dalam memberitahukannya, maka ia wajib menanggung wadi’ah tersebut.

 

Demikian juga wajib berdusta, jika ada orang yang maksum bersembunyi dari pengejaran orang zalim yang mau membunuhnya.

 

Terkadang berdusta hukumnya boleh, sebagaimana jika tanpa berdusta, maka maksud peperangan. mendamaikan dari percekcokan dan melegakan hati sang istri tidak sempurna.

 

Bila seseorang membawa wadi’ah yang tidak diketabui lagi siapa pemiliknya, dan setelah diadakan penelitian secukupnya masih tidak diketahuinya, maka ia wajib mentasarufkan ke pos-pos tempat kewajiban imam mentasarufkan ke situ, yaitu kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslim dengan mendahulukan orang-orang yang terjepit dan yang sangat membutuhkan bantuan, bukan untuk pembangunan semacam mesjid.

 

Apabila udak mengetahui pos-pos tersebut, maka wajib diserahkan kepada orang yang tepercaya dan mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan yang wajib diutamakan. Menyerahkan kepada orang yang lebih wirai (alim), adalah lebih utama.

Barangsiapa yang menemukan sesuatu (Luqathah), yang tidak dikhawatirkan rusak, misalnya mata uang, emas, perak dan tembaga di tempat ramai atau belantara, maka ia wajib mengumumkannya selama satu tahun di pasar-pasar dan pintupintu mesjid.

 

Bila jelas pemiliknya (maka diserahkan kepadanya), tetapi jika tidak tampak, ia boleh memilikinya dengan ucapan “kumiliki”, dan boleh juga menjualnya, lalu uang penjualannya disimpan.

 

Kalau Luqathah tersebut barang yang dikhawatirkan rusak, misalnya jenang Harishah, sayur-mayur, buah-buahan yang dapat dikeringkan, maka penemu (Multaqith), boleh memilih antara memakannya lalu nanti mengganti harga dan menjualnya (dengan seizin hakim), dan setelah dijual, ia harus mengumumkannya untuk memiliki harga penjualan setelahitu.

 

Bila terdapat pemiliknya, maka ia harus mengganti seharga barang itu, jika barang telah ia makan, atau memberikan harga penjualan jika barang telah dijual.

 

Mengenai pengumuman setelah barang dimakan terdapat dua pendapat, sedang yang lebih sahih adalah wajib mengumumkan di tempat ramai, dan jika di tempat belantara, maka Imam Al-Haramain berpendapat, bahwa yang lahir adalah tidak wajib mengumumkannya, sebab tiada faedahnya.

 

Bila seseorang menemukan semacam dirham di dalam rumahnya sendiri dan ia memperkirakan bisa jaga dirham tersebut milik orang-orang yang masuk ke rumahnya, maka wajib ke mengumumkannya kepada mereka seperti Luqathah, demikianlah kata Al-Qaffal.

 

Luqathah yang berupa barang remeh, yang biasanya tidak diabaikan, ada yang mengatakan bahwa barang remeh itu semisal satu dirham, adalah: wajib diumumkan sepanjang masa yang diperkirakan setelah masa itu berlalu, maka pemiliknya mengabaikannya pada kebiasaan.

 

Jangka masa itu berbeda-beda menurut keadaan barang: Kalau satu danif perak, maka spontan waktu ditemukannya, dan kalau barang itu berupa emas, maka diumumkan selama tiga hari.

 

Adapun barang yang biasanya diabaikan orang, misalnya satu butir anggur, maka penemunya bebas memulikinya tanpa mengumumkan terlebih dahulu.

 

Barangsiapa yang mengetahui Luqathah, lalu diangkat dengan kakinya untuk sckadar mengenalinya, lalu ditinggalkan lagi, maka ia tidak wajib menanggungnya.

 

Boleh mengambil buar-butir bijian yang biasanya diabaikan (ditinggalkan) oleh para pengetam, sekalipun itu biji-bijian yang terkena zakat. Lain halnya dengan pendapat Az-Zarkasyi.

 

Begitu juga boleh mengambil rontokan/serbuk besi para tukang besi-rontokan roti dari orang pandai dan sebagainya, yang Sudah biasa diabaikan pemiliknya. Karena itu, pengambil dapat memilikinya dan sah pentasarufannya, lantaran berpijak pada perbuatan-perbuatan ulama salaf.

 

Haram mengambil buah yang berjatuhan, jika terpagari dan jatuh di dalam pagar itu.

 

An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ Yang jatuh di luar pagar juga haram diambil, jika biasanya tidak diperbolehkan, tetapi jika biasanya boleh, maka halal diambil, lantaran mengamalkan adat yang berlaku, yang memenangkan perkiraan adanya para pemilik yang memperbolehkan buah untuk diambil.

Nikah menurut bahasa artinya “berkumpul menjadi satu”. Termasuk arti tersebut, adalah ucapan orang Arab “pepohonan itu saling bernikah”, jika satu sama lain saling bercondong dan berkumpul.

 

Sedang menurut syarak, adalah “akad yang berisikan pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafal nikah atau tazwij”. Menurut pendapat Ash-Shahih, bahwa kata “nikah” itu menurut makna hakikat adalah “akad”, sedang majaznya adalah “persetubuhan”.

 

Sunah melakukan nikah bagi orang yang sangat butuh untuk bersetubuh -sekalipun dia masih disibukkan oleh ibadahnyadan ia mampu memikul biaya untuk mahar, pakaian musim dh mana istri telah menyerahkan dirinya kepada suami (tamkin) dan nafkah harian (serta malam)nya. –

 

(Hukum sunah tersebut) didasarkan pada beberapa hadis yang tertera di dalam kitab Sunan, di mana sejumlah dari hadis-hadis tersebut kusampaikan di dalam kitabku, Ihkamu ahkamin Nikah. Di samping itu, karena melakukan nikah dapat menjaga agama seseorang dan melanggengkin keturunan.

 

Adapun orang yang sangat butuh bersetubuh dan ia tidak mampu memikul biaya di atas, maka yang lebih utama baginya adalah tidak melaksanakan nikah dulu, dan ia (dapat) menanggulangi gejolak seksualnya dengan cara melakukan puasa, bukan menggunakan obat. Makruh menikah bagi orang yang tidak ada hasrat bersetubuh dan ia tidak mampu menanggung biaya di atas. Nikah itu sekira dihukumi sunah, maka jika sebab nazar hukumnya menjadi wajib.

 

Setelah ada kebulatan tekad melakukan nikah dan sebelum pinangan, bagi kedua belah pihak (calon mempelai laki-laki dan perempuan) sunah saling melihat anggota badan masing-masing, selain bagian aurat yang telah ditetapkan di dalam syarat-syarat sah salat.

 

Karena itu, bagi laki-laki hanya boleh melihat wanita yang bukan budak, pada bagian mukanya, untuk mengetahui kecantikan dan pada telapak tangannya -baik dalam ataupun luarnya- untuk mengetahui kehalusan kulit badannya. Bila wanita itu budak, maka seluruh bagian tubuhnya boleh dilihat, kecuali antara tali pusat dan lututnya. Kedua wanita tersebut boleh melihat bagian anggota badan selain keduanya.

 

Untuk kehalalan menonton ini, harus ada keyakinan, bahwa wanita itu tidak berada dalam ikatan nikah atau idah, serta laki-laki tersebut tidak mempunyai perkiraan yang kuat bahwa pinangannya nanti tidak akan diterima.

 

Bagi laki-laki yang tidak dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, sunah mengutus seorang perempuan untuk (melihat calon pinangan) dan mrengangan-angan serta menggambarkan keadaan wanita tersebut kepadanya.

 

Dari kata-kata “melihat”, dikecualikan memegang wanyta itu: maka hukumnya haram, lantaran tidak ada hajatnya.

 

Penting:

 

Haram bagi laki-laki -sekalipun sudah tua bangka-, sengaja melihat pada bagian anggota badan wanitalain -baik wanita merdeka ataupun budakyang sudah pada batas disyahwati, sekalipun wanita itu buruk mukanya atau tua, sekalipun memandangnya tanpa disertai nafsu syahwat dan aman dari fitnah menurut pendapat Al-Muktamad, Begitu juga sebaliknya, wanita haram melihat laki-laki lain, Lain halnya dengan pendapat yang ada dalam Al-Hawi (ringkasan dari Fathul Aziz, oleh Al-Quzwam) sebagaimana pula pendapat Ar-Raf’i.

 

Tidak haram melihat pada bayangan semacam cermin, sebagaimana yang telah difatwakan oleh tidak hanya seorang ulama.

 

Kata Al-Asnawi dengan mgngikuti Ar-Raudhah (Raudhatuth Thalibin milik An-Nawawi) tentang kehalalan melihat muka dan kedua telapak tangan wanita lain ketika aman dani fitnah, adalah pendapat yang lemah (daif) Denuksan pula dengan hasil pilihan Al-Adzra’i dari ucapan segolongan ulama tentang kehalalan melihat muka wanita tua ketika aman dan fitnah.

 

Dengan cara pasti, melihat leher dan kepala wanita merdeka lain (Al-Ajnabiyah) hukumnya tidak halal. Ada yang mengatakan: Melihat wanita amat tanpa syahwat dan khawatir terjadi fitnah -selain pusat perut dan lutut, karena iri auratnya ketika salat-, hukumnya adalah halal, tetapi masih makruh.

 

Suara tidak termasuk aurat, karena itu, mendengarkannya tidak haram, kecuali jika dikhawatirkan terjadi fitnah atau merasa lezat dengan suara itu, sebagaimana yang dibahas oleh Az-Zarkasyi,

 

Sebagian fukaha Mutaakhirin berfatwa tentang diperbolehkan anak laki-laki melihat para wanita dalam acara-acara walimah atau resepsi-resepsi yang lai

 

Menurut Al-Muktamad dari kedua Guru kita (Ar-Rafi’i dan An-Nawawi): Tidak boleh melihat alat kelamin wanita kecil yang belum disyahwati. Ada yang mengatakan: Hal itu hukumnya makruh. Al-Mutawali mentasbihkan kehalalan melihat alat kelamin anak kecil sampai batas tamyiz, dan pendapat ini dimantapi oleh ulama yang lainnya. Ada yang mengatakan: Hukumnya adalah haram.

 

Bagi seorang semacam ibu boleh melihat alat kelamin anak laki-laki atau perempuan di masa menyusui atau mengasuhnya, karena darurat.

 

Bagi budak laki-laki yang adil boleh memandang tuan putrinya yang adil juga, selain bagian di antara pusat dan lutut, begitu juga sebaliknya.

 

Bagi mahram -sekalipun fasik atau kafir- boleh melihat bagian anggota selain pusat dan-lutut wanita mahramnya, begitu juga sebaliknya. Bagi mahram atau sesama jenis kelamin boleh menyentuh anggota badan selain pusat dan lutut.

 

Tetapi memegang punggung wanita mahram atau betisnya -misal ibu atau anak perempuannya-, adalah tidak dihalalkan, kecuali karena ada hajat atau belas kasihan. Begitu juga sebaliknya.

 

Sekira anggota badan itu haram dilihat, maka haram juga disentuh tanpa ada penghalang, karena memegang itu lebih lezat daripada melihat. Tetapi secara mutlak, haram memegang muka wanita lain.

 

Semua anggota badan laki-laki atau wanita yang haram dilihat ketika masih bersambung, adalah haram dilihat ketika sudah terpisah, misalnya potongan kuku tangan/kaki, rambut wanita dan rambut kelamin. laki-laki. Kesemuanya wajib ditanam jika sudah terpisah dan badan.

 

Wajib bagi wanita muslimah menutupi dirinya dari wanita kafir. Begitu juga, bagi wanita yang terpelihara jiwanya dari pandangan wanita fasik, sebab lesbian, zina atau berangkul,

 

Haram dua laki-laki atau perempuan tidur secara telanjang di dalam satu potong pakaian, sekalipun tidak bersentuhan atau saling berjauhan, tetapi masih dalam satu selimut, lain halnya dengan pendapat As-Subki.

 

Pembahasan mengenai pengecualian (tidur) dengan ayah/ibu karena didasarkan beberapa hadis, adalah sangat jauh dan kebenaran.

 

Wajib memisahkan anak laki-laki yang telah berusia 10 tahun dari ayah/ibu dan

saudara-saudaranya (laki-laki maupun perempuan) di waktu tidur, sekalipun sebagian ulama ada yang berpandangan bahwa kewajiban tersebut cuma dalam kaitan pemisahan dengan ayah/ibu.

 

Sunah berjabat tangan bagi dua laki-laki atau perempuan jika bertemu. Namun haram berjabat tangan dengan anak kecil laki-laki (amrad) yang cakep, sebagaimana juga memandangnya dibarengi birahi.

 

Makruh berjabat tangan dengan orang yang berpenyakit, misalnya sopak atau lepra.

 

Boleh memandang muka wanita tatkala bermuamalah (jual beli) atau lainnya, karena hajat untuk mengetahunya, dan di kala mengajarkan pelajaran yang wajib dipelajari, misalnya Fatihah: bukan hal-hal yang sunah menurut pendapat Al-Aujah.

 

Juga di kala memberi persaksian untuk wanita atau atasnya, sengaja melihatnya demi persaksian adalah tidak apa-apa, sekalipun dengan mudah bisa didapatkan para wanita atau mahram yang mau memberikan persaksian menurut beberapa pendapat.

 

Sunah bagi wali sebelum mengijabkan nikah, mengucapkan khotbah nikah.

 

Karena itu, bagi calon mempelas laki-laki sebelum qabul, ia tidak disunahkan mengucapkan khotbah, sebagaimana yang telah ditashih oleh An-Nawawi di dalam AI-Minhaj, bahkan khotbah tersebut sunah ditinggalkan, lantaran menghundan perselisihan dengan ulama yang membatalkan akad nikah dengan khotbah tersebut, sebagaimana yang diterangkan oleh Guru kita dan Guru beliau, Zakana rhm., tetapi menurut yang termaktub dalam Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, khotbah calon mempelai laki-laki tersebut, hukumnya sunah dilakukan.

 

Sunah berkhotbah pula sebelum acara pinangan (khitbah) dan sebelum penerimaan lamaran (pinangan).

 

Untuk semua khotbah itu, si khatib memulai khotbahnya dengan puji dan puja kepada Allah, lalu membaca salawat salam kepada Rasulullah saw, dan wasiat takwa,: kemudian dalam khotbah pinangannya, ja berkata: “Aku datang kepada kalian karena mencintai wanita/ pemudimu yang mulia”. Kalau ia sebagai wakil saja, maka yang diucapkan: “Muwakilku datang kepada kalian/atas nama Muwakil aku datang kepada kalian untuk meminang wanitamu yang mulia.”

 

Kemudian si wali atau penggantinya berkhotbah seperti di atas, lalu mengucapkan: “Aku senang kepadamu”.

 

Sunah bagi wali/wakilnya sebelum melaksanakan akad rikah mengucapkan: “Saya akan mengawinkanmu atas perintah Allah Azza wa Jalla, agar dijaga dengan baik atau dilepas dengan baik juga.”

 

Cabang:

 

Haram meminang secara terangterangan (tashrih) terhadap wanita yang masih dalam idah, bukan dari dirinya, baik idah dari talak raj’i ataupun bain, ataupun fasakh maupun kematian suaminya.

 

Melontarkan sindiran pinangan (ta’ridh) terhadap wanita yang beridah selain raj’1 hukumnya boleh: misalnya: “Kamu adalah wanita yang cantik”, dan “Masih banyak laki-laki yang mencintaimu”.

 

Tidak halal meminang wanita yang telak ditalak sendiri tiga kali, sebelum wanita itu fahallul dan habis idahnya dari laki-laki (suami) kedua (Muhallil), jika laki-laki kedua ini menalak raj’i. Tetapi, jika tidak talak raj’i, maka dalam masa idahnya dengan Muhallil tersebut, laki-laki pertama boleh melontarkan sindiran pinangan.

 

Haram bagi laki-laki meminang wanita yang sudah ia ketahui telah dipinang orang lain dan diterima, serta pinangan tersebut, adalahpinangan yang ‘diperbolehkan, sedang pinangan telah diterima dengan ucapan yang jelas, sekalipun pihak wanita tidak menyukai keberadaan pinangan tersebut, kecuali setelah mendapat izin dari peminang, tidak karena takut atau malu, atau peminang tersebut sudah berpaling dari wanita itu, sebagaimana masa pinangan sudah cukup lama setelah ada penerimaan. Termasuk i’radh, adalah kepergian peminang ke tempat yang jauh.

 

Bila seseorang diajak bermusyawarah mengenai semacam laki-laki yang mau menunang (anak putrinya) atau mengenai semacam orang alim yang mau dhayak ikatan kerja, maka orang tersebut wajib menuturkan kejelekan-kejelekan penunang alim dengan sejujur-jujurnya, sebagai nasehat yang wajib diberikan.

 

Wanita yang kuat agamanya (Daniah) dan yang mempunyai sifat adil, adalah lebih utama dinikahi daripada wanita yang fasik, sekalipun bukan karena perbuatan zina, karena hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim: “Ambillah yang kukuh dalam memegang agamanya”

 

Wanita Nasibah, -yaitu wanita mulia lantaran dikerahu dari keturunan ulama atau

orang-orang saleh-, adalah lebih utama dimkahi daripada yang lainnya, karena hadis Nabi saw.: “Pilihkanlah tempat yang bagus untuk air spermamu dan janganlah kamu letakkan di tempat penyemaian yang tidak pantas!”

 

Makruh menikahi wanita hasil perzinaan dan wanita anak orang fasik.

 

Wanita cantik itu lebih utama dinikahi, karena berdasarkan hadis: “Wanita yang paling bagus, adalah yang menyenangkan jika dipandang.”

 

Wanita kerabat jauh dari nasab sendiri, adalah lebih utama daripada kerabat dekat atau wanita lain, karena nafsu birahinya terhadap wanita yang dekat kekerabatannya itu lemah, yang akhirnya mengakibatkan anakeyang lahir kurus.

 

Wanita yang dekat kekerabatannya, adalah wanita yang masih menjadi saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu.

 

Wanita bukan kerabat, adalah lebih utama dari kerabat dekat, hal ini tidak menjadi musykil dengan pernikahan Nabi saw. dengan Zainab r.a., yang menjadi putn pamannya sendiri, lantaran beliau menikahinya untuk menjelaskan kebolehan hukum nikah seperti itu. Begitu juga perkawinan Ali r.a. dengan Fatimah r.a., sebab ia termasuk kerabat jauh, yaitu putri anak laki-laki paman Ali r.a., (cucu paman), bukan putri paman.

 

Wanita gadis lebih utama dinikahi daripada janda, lantaran diperintahkan dalam hadis-hadis sahih, alat kelaminnya lemah untuk memecahkan selaput dara.

 

Wanita yang banyak keturunannya (walud) dan besar rasa kasih sayangnya (wadud) adalah lebih utama, karena berdasarkan perintah Nabi saw.: “Wanita gadis bisa diketahui akan banyak keturunannya dengan melihat kerabatnya”.

 

Yang lebih utama lagi, hendaklah wanita itu berakal cerdas dan berbudi baik, tidak mempunyai anak dari suami terdahulu, kecuali karena ada kemaslahatan, tidak berkulit bule, tidak terlalu tinggi dan tidak kurus, lantaran ada larangan dari Nabi saw. menikahi seperti itu.

 

Terjadinya keutamaan pada wanita di atas (kecuali Daniah), adalah jika sifat Iffah (sifat dapat menjaga harga diri dalam urusan agama) tidak dimiliki oleh wanita selain mereka, tetapi jika sifat Iffah tersebut justru dimiliki oleh wanita-wanita kebalikan mereka, maka yang lebih utama adalah menikahi wanita yang mempunyai sifat Iffah ini.

 

Guru kita (Ibnu Hajar) berkata di dalam Syarhul Minhaj: Jika persilangan sifat-sifat tersebut pada wanita, maka yang Zhahir secara mutiak yang didahulukan untuk dipilih adalah wanita yang kuat agamanya, berakal cerdas, berbudi baik, lalu bernasab baik, gadis, cantik, kemudian yang lebih jelas kemaslahatannya menurut perhitungannya sendiri. Selesai.

 

Di dalam Syahrul Irsyad (Al-Imdad) Guru kuta memantapkan mendahulukan kemampuan melalurkam dari kecerdasan akal.

 

Sunah bagi wali menawarkan putrinya kepada laki-laki yang berbudi pekerti baik.

 

Dalam melakukan nikah, sunah diniati mengikuti sunah (prilaku) Rasulullah saw. dan menjaga agamanya. Nikah mendapat pahala, jika dimaksudkan sebagai perbuatan ketaatan kepada Allah swt., baik menjaga kesucian diri atau mendapatkan anak yang saleh.

 

Sunah akad nikahkah dilaksanakan di dalam mesjid, hari Jumat, pagi hari, bulan Syawal dan sunah pula menyenggama istrinya di bulan itu.

Calon istri, calon suami, wali, 2 saksi dan shighat nikah.

 

Shighat disyaratkan ada ijab dari wali dengan semisal ucapan: “Zawajtuka/Ankahtuka” (Aku kawinkan kunikahkan) dengan wanita perwalianku si Fulanah.

 

Karena itu, ijab tidak sah dengan lafal selain kedua di atas, karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Takwalah kalian kepada Allah dalam kaitannya dengan para wanita, karena kalian memungut mereka dengan dasar amanat Allah swt. dan membuat halal farji mereka dengan kalimat-Allah.” Yaitu kalimat yang termaktub di dalam kitab Alqur-an, (yaitu kata-kata nikah pada surah An-Nisa’: 3 dan tazwij pada surah Al-Ahzab: 37). Di dalam Alqur-an tidak ada kata untuk menghalalkan farji, selain kedua kata tersebut.

 

Menurut pendapat Al-Aujah, adalah tidak sah ijab dengan “Uzawwijuka/ Ankahtuka” (Engkau akan kukawinkan/kunikahkan). Tidak sah pula kinayah, misalnya: “Engkau kuhalalkan atas anak putriku/Dia kuakadkan untukmu.”

 

Disyaratkan ada qabul dari calon suami bersambung dengan ijab. Misalnya: “Tazawwajtuha/nakahtuha” (Kukawin dia/kunikah dia). Di dalam qabul di sini disyaratkan ada kata yang menunjukkan calon istri, baik semacam menyebutkan namanya, dhamir (kata ganti) atau isyarah (kata tunjuk).

 

Atau dengan kata-kata: “Qabiltu nikahaha/tazwijaha”‘ (Kuterima nikahnya/perkawinannya), atau “Radhitu nikahaha/tazwijaha” (Aku rela dengan nikahnya/ perkawinannya), menurut pendapat Al-Ashah: lain halnya menurut pendapat As-Subki. Atau sah juga menurut pendapat Al-Muktamad dengan kata-kata: “Qabiltu nikah/ tazwij” (Kuterima nikah itu/ perkawinan itu). Tetapi qabul tidak sah dengan: “Fa’altu nikahaha/ tazwijaha”‘ (Kyalani pernikahannva/perkawinannya).

 

Qabul secara mutlak seperti ini: “Qabiltu (Kuterima)/Qabiltuha (Kuterima dia yang dinikahkan)”, adalah tidak sah. Begitu juga tidak sah, qabul seperti ini: “Qabiltuhu” (Kuterima nikah itu).

 

Qabul yang lebih utama, adalah ucapan: “Qabiltu Nikahaha” (Kuterima nikahnya), sebab inilah qabul yang hakiki.

 

Sah akad nikah dengan menggunakan terjemah dari shighat di atas (ijab dan qabul) dengan bahasa apa saja, sekalipun dilakukan oleh orang yang pandai dalam berbahasa Arab, dengan syarat bahwa bahasa asing tersebut dinilai sebagai shighat nikah yang sharih, menurut ahli bahasa yang bersangkutan. Hukum sah ini jika memang kedua belah pihak (wali dan calon suami) serta kedua saksi memahami bahasa asing yang digunakan dalam ijab dan qabul tersebut.

 

Al-Allamah Taqiyyuddin As-Subki berkata di dalam Syarhul Minhaj: Apabila kalimat terjemahan shighat nikah itu oleh para ahli bahasa di daerah yang bersangkutan disepakati sebagai tidak sharih, maka akad nikah menggunakan kalimat terjemahan tersebut hukumnya tidak sah Selesai.

 

Yang dimaksudkan dengan terjemah da sim adalah “terjemah makna nikah menurut lughat”, misalnya kumpul. Karena itu, lafal-lafal yang telah masyhur di sebagian daerah untuk menikahkan (yang tidak sebagai terjemahan nikah menurut lughat) adalah tidak sah digunakan, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita, Al-Muhaqqiq Az-Zamzami.

 

Apabrla seorang qadhi mengakadkan rikah seorang non-Arab dengan bahasa Arab yang tidak ia ketahui makna aslinya, tetapi ia mengetahui bahwa kalimat tersebut digunakan untuk akad nikah, maka sahlah akad tersebut, sebagaimana yang telah difatwakan oleh Guru kita dan Syekh Athiyah.

 

Dalam Syarhul Irsyad dan Minhaj, Guru kita berkata: “Tidak menjadi masalah ada oahn (ketidakbenaran dalam ucapan) pada ucapan orang awam: misalnya membaca fathah ta’. dhamir mutakallim dan mengganti huruf jim dengan zay, atau sebaliknya.

 

Akad nikah orang bisu sudah menjadi sah dengan isyarat, yang memahamkan.

 

Ada yang mengatakan: Akad nikah tidak sah dengan bahasa selain Arab. Jika kita berpijak dengan pendapat ini, maka bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab, ia wajib mempelajari atau menyerahkan akad nikahnya. Pendapat ini diceritakan dari Ahmad rhm.

 

Dari kata-kataku “yang bersambung”, dikecualikan jika antara ijab dengan qabul ditengah-tengahi lafal lain yang tidak bersangkutan dengan nikah sekalipun, jumlahnya hanya sedikit. Misalnya: “Kamu kunikahkan dengan anak putriku: maka wasiatilah ia dengan baik”.

 

Tidak menjadi masalah ada khotbah pendek dari calon suami yang menengah-nengahi ijab dengan qabul, sekalipun kita berpendapat bahwa khotbah tersebut hukumnya tidak sunah. Lain halnya dengan pendapat As-Subki dan Ibnu Abisy Syarif yang mengatakan, bahwa khotbah tersebut menjadikan akad tidak sah. Tidak menjadi masalah lagi di tengah-tengahi dengan “…, maka katakanlah: ‘Kuterima nikahnya”, karena kalimat tersebut : ada penyesuaiannya dengan akad.

 

Apabila sebelum qabul diucapkan, sang wali yang telah mengijabkan menarik ijabnya, calon istri menarik kembali izinnya atau ia gila atau murtad, maka ijab tidak boleh dilakukan.

 

Cabang:

Apabila wali berkata: “Kukawinkan kamu dengan putri perwalianku dengan maskawin sekian”, lalu calon suami menjawab: ” Kuterima nikahnya” tanpa menyebutkan maskawinnya, maka sah akad rikah dengan kewajiban membayar maskawin mutsil, lain halnya dengan pendapat Al-Barizi yang mengatakan tidak sah.

 

Menta’liq nikah hukumnya tidak sah, sebagaimana jual beli, bahkan salam ta’liq nikah mempunyai nilai lebih ketidaksahannya, karena ada kekhususan penambahan sikap

hati-hati. Misalnya seorang ayah berkata: “Jika putriku telah dicerai dan habis idahnya, maka kamu kukawinkan dengannya”, lalu orang lain tersebut, qabul, kemudian ternyata wanita tersebut telah idah dan memberi izin, maka akad nikah di siri tidak sah, lantaran sighat nikah mengalami kerusakan sebab ta’liq.

 

Sebagian fukaha membahas kesahan Ijab seperti ini: “Jika si Fulanah menjadi wanita perwalianku, maka kamu kunikahkan dengannya”, dan “Kamu kunikahkan jika kamu menginginkan”, sebab di sini pada hakikatnya tidak ada ta’liq, sebagaimana di dalam jual beli.

 

Nikah tidak sah dengan dibatasi berlakunya, baik pembatasan waktu yang maklum atau tidak, sebab ada kesahihan larangan dalam nikah Mut’ah (kawin kontrak), yaitu kawin yang dibatasi waktu pertaliannya, sekalipun seribu tahun.

 

Tidak termasuk nikah yang dibatasi waktunya, bila wali berkata: “Kukawinkan kamu selama masa hidupmu atau hidup wanita perwaliannya”, karena masa itulah tempo pertalian akad rikah, bahkan akibat rukah itu ada yang sampai setelah mati (misalnya, memandikan dan pewarisan harta pusakanya).

 

Dalam nikah Mut’ah, pihak laki-laki yang menyetubuhi wanitanya wajib membayar Mahar. Bertemunya nasab anak yang dilahirkan dan bagi pihak wanitanya diberlakukan masa idah.

 

Dalam nikah Mut’ah pihak suami tdak dapat dikenai had, jika dinikahkan dengan menggunakan wali dan 2 saksi. Bila akad nikah dilakukan hanya antara laki-laki dan wanita, maka ia wajib dihad. Adapun jika hukum had dikenakan padanya, maka kewajiban membayar mahar ditiadakan, begitu pula hubungan nasab dan masa idah untuk wanita tersebut.

 

Akad nikah tetap sah tanpa menyebutkan mahar ketika akad, tetapi penuturan mahar ketika akad hukumnya sunah, dan makruh jika : tidak menyebutkannya. Tetapi, jika seseorang mengawinkan budak perempuannya dengan budak laki-lakinya sendiri, maka tidak sunah menuturkannya ketika akad.

 

Syarat calon istri: Tidak menyadi istri orang lain dan tidak berada dalam masa idah dengan suami yang lain.

 

Disyaratkan pula Ta’yin (menentukan) terhadap calon istri. Karena itu, ijab dengan semacam: “Kamu kunikahkan dengan salah satu anak-anak putriku”, adalah tidak sah, sekalipun disertai isyarat.

 

Penentuan sudah bisa dianggap cukup dengan menyebutkan sifat atau isyarat: misalnya: “Kamu kukawinkan dengan putriku”, sedang ja hanya mempunyai satu putri itu saja, atau “.., yang ada di dalam rumah”, sedang yang di dalam hanya putrinya itu saja, atau “… wanita iri”, sekalipun dalam ketiga contoh tersebut nama wanita yang disebutkan nama sesungguhnya.

 

Lain halnya dengan: “Kamu kukawinkan dengan Fatimah” (tanpa menyebutkan “anak putriku”), sekalipun Fatimah itu nama anak putrinya, kecuali jika kedua belah pihak (wali dan calon suami) meniatkan Fatimah yang menjadi anak putrinya.

 

Bila wali berkata: “Kamu kunikahkan dengan anak putriku yang tua”, dan menyebutkan nama anak putrinya yang muda, maka akad rukah untuk yang tua, sebab “tua” itu sifat yang berdiri pada dirinya, berbeda dengan “nama”: Karena itu, bisa dimenangkan daripada “nama”.

 

Bila wali berkata: “Kamu kunikahkan dengan anak putriku, Khadijah” dan ternyata Khadijah itu cucu dari anak laki-lakinya, maka akad nikah hukumnya sah, jika kedua belah pihak berniat Khadijah yang menjadi cucunya, menentukan dengan Isyarat, atau cucunya hanya Khadijah. Kalau tidak begitu, maka akad nikah tidak sah.

 

Disyaratkan pula bagi calon istri, tidak ada hubungan mahram antara dia dan peminang dengan pertalian nasab.

 

Karena itu, jika ada pertalian nasab, maka haram mengawini wanita-wanita kerabat yang selain masuk dalam derajat saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu, karena berdasarkan ayat: “Diharamkan atas kamu…” (Q.S. An-Nisa’: 23).

 

Kalau begitu, haram menikahi: 1. Ibu, yaitu wanita yang melahirkanmu, atau wanita yang melahirkan ayah atau ibumu (nenek dari ayah atau ibu), 2. Anak perempuan, yaitu wanita yang kamu lahirkan, atau wanita yang lahur dan anak laki-laki/ perempuanmu (cucu), Tidak haram menikahi anak perempuan dari hasil perzinaan sendiri: 3. Saudara perempuan, 4. Keponakan perempuan dari saudara laki-laki, 5. Keponakan perempuan dari saudara perempuan, 6. Bibi dari ayah, yaitu wanita yang menjadi saudara perempuan laki-laki yang melahirkanmu, dan 7. Bibi dari ibu, yaitu wanita yang menjadi saudara perempuan yang melahirkanmu.

 

Cabang:

Apabila seorang laki-laki mengawiri wanita yang tidak diketahui nasabnya, lalu ayah sang suami tersebut mengaku bahwa wanita itu adalah anak perempuannya, maka status kenasabannya tertetapkan, tetapi ikatan pernikahannya tidak rusak, jika suami mendustakan pengakuan ayahnya. Begitu juga sebaliknya, misalnya, seorang wanita kawin dengan laki-laki yang tidak diketahui nasabnya, lalu ayah wanita itu mengaku bahwa laki-laki tersebut adalah anaknya, sedang anak putrinya tidak membenarkan pengakuan tersebut.

 

Atau pertalian susuan (radha’). Karena itu, semua wanita yang diharamkan dinikahi sebab nasab, adalah diharamkan sebab radha”, berdasarkan hadis Muttafaq Alaih: “Dari pertalian radha’ diharamkan sebagaimana pertalian nasab”.

 

Maka, wanita yang menyusuimu, yang menyusul wanita yang menyusuimu, wanita yang menyusui ayah/ibu dari nasab atau susuan, setiap wanita yang melahirkan wanita yang menyusuimu, atau melahirkan suami wanita yang menyusuimu, adalah ibu radha’mu. Wanita yang menyusu kepada isgrimu/istri anak turunmu -baik dari nasab atau radha’ dan -anak perempuan wanita tersebut, baik dari pertalian nasab atau radha’, sampai ke bawah, adalah anakmu. Wanita yang menyusu kepada salah satu ayah/ibumu -baik dari pertalian nasab atau radha’-, adalah saudara wanitamu.

 

Wanita-wanita mahram sebab nasab yang lainnya, kiaskan dengan contoh radha’ ini.

 

Wanita yang tidak haram kamu nikahi sebab pertalian radha’: 1. Wanita yang menyusu saudara laki-lakimu (atau perempuan), 2. Wanita yang menyusui cucu-cucumu, 3. Ibu wanita yang menyusui anakmu. Begitu juga tidak haram menikahi saudara perempuan (kakak atau adik perempuan) saudara laki-lakimu yang seayah/seibu, baik dari segi nasab atau radha’.

 

Peringatan:

 

Susuan yang dapat mengharamkan wanita dinikahi, adalah dengan sampainya air Susu Wanita usia hard -sekalipun hanya setetes dalam tiap tegukan atau bercampur benda lan, sekalipun hanya sedikitke rongga dalam anak yang secara yakin belum mencapai usia 2 tahun, sebanyak 5 kali tegukan secara yakin menurut kebiasaan.

 

Apabila anak yang menyusu (radha’) melepaskan susuannya dengan berpaling -sekalipun tidak terieka dengan perbuatan lain- atau diputus oleh wanita yang menyusuinya, lalu dengan seketika kembah menyusu lagi, maka dihitung dua kali tegukan.

 

Atau radha’ memutus dengan semacam lergah -misalnya tidur sebentar-, lalu kembali menyusu lagi dengan seketika, tidurnya-cukup lama, tetapi puting susu masih berada di mulutnya, atau ia berpindah susu satu ke lainnya, -sekalipun yang memindahkan. adalah wanita Murdhi’ah-, atau diputus oleh Murdhi’ah untuk suatu perbuatan ringan, kemudian menyusu kembali, maka semua itu tidak terhitung.

 

Wanita yang menyusui anak kecil, statusnya adalah menjadi ibunya dan suaminya menjadi ayahnya.

 

Kemahraman menjalar dari anak yang disusw kepada orangtua, anak dan nasab sampingan (saudara laki/ perempuan paman laki/perempuan) suami dan istri yang menyusu anak tersebut, baik dan pertalian nasab atau radha’.

 

Kemahraman di atas tidak dapat menjalar kepada orangtua radhi’ dan nasab sampingan (hawasyi)nya.

 

Apabila calon suami dan istri sebelum melaksanakan akad nikah berikrar, bahwa di antara mereka berdua ada hubungan saudara dari segi radha’ dan hal itu mungkin adanya, maka perrikahan mereka hukumnya haram, sekalipun mereka berdua mencabut kembali ikrarnya.

 

Kalau ikrar tersebut setelah akad nikah, maka akad nikahnya batal dan mereka berdua harus berpisah.

 

Kalau yang berikrar itu pihak pria, lalu pihak wanita mengingkarinya, maka ia dapat dibenarkan dalam hubungannya dengan haknya dan mereka wajib dipisahkan.

 

Kalau yang berikrar itu pihak wanita, bukan pria, maka jika ikrar tersebut setelah wanita menentukan laki-laki yang akan mengawini dalam izin yang ia berikan atau setelah ia mempersilakan suami menyetubuhi dirinya, maka ucapan wanita itu tidak dapat diterima, tetapi jika tidak seperti itu semua, makaia dapat dibenarkar dengan sumpahnya.

 

Adalah tidak dapat diterima, dakwaan semisal ayah tentang keberadaan hubungan mahram sebab radha’ antara suami dengan istri.

 

Hubungan radha’ dapat ditetapkan berdasarkan persaksian satu orang laki-laki dan dua wanita atau 4 wanita, sekalipun salah satu dari keempat tersebut ada ibu murdhi’ah sendiri, jika ia memberikan persaksian secara hisbah (persaksian atas dasar kemauan sendiri, tanpa diminta) yang tidak didahului ada dakwaan, sebagaimana halnya dapat diterima persaksian ayah atau anak laki-laki seorang wanita mengenai talaknya, jika dilakukan secara hisbah.

 

Persaksian murdhi’ah bersama 3 wanita yang lain dapat diterima, jika ja menyusui anak laki-laki tanpa menunta ypah, sekalipun ia merryebutkan perbuatannya sendiri: misalnya: “Aku memberikan persaksian, bahwa aku telah menyusuinya”.

 

Disyaratkan dalam persaksian radha’, menyebutkan waktu penyusuan, bilangan dan berpisah-pisahnya, berapa kali tegukan dan sampainya air susu ke rongga dalam bayi yang disusui pada tiap tegukan.

 

Sampainya air ke dalam rongga dapat diketahui dengan melihat air susu yang diperah, lalu disuapkan dan tertelan, atau dengan berbagai petunjuk, misalnya keberadaan. radhi” menyesap puting susu dan ‘ kerongkongannya bergerak-gerak, setelah (saksi) mengetahui bahwa murdhi’ah mempunyai air susu, Kalau ia tidak mengetahui, makaia tidak halal memberikan persaksian, karena asal masalahnya adalah air susu itu tidak ada.

 

Dalam memberikan (menyampaikan) persaksian, tidaklah cukup dengan sekadar mengemukakan petunjuk – petunjuk, tetapi petunjuk tersebut dijadikan pedoman untuk memantapkan persaksiannya.

 

Bila saksi radha’ kurang cukup nisabnya (4 perempuan atau 1 laki-laki dan 2 perempuan), terdapat keraguan tentang kesempurnaan jumlah tegukan, mengenai umur dua tahunnya, atau mengenai sampainya air susu ke dalam rongga radhi’, maka nikahnya tidak diharamkan, tetapi yang wara’ (hati-hati) adalah menghindari pernikahan, sekalipun yang memberikan kabar hanya seorang wanita.

 

Tetapi, jika ia membenarkan ucapan satu orang wanita itu, maka ia wajib menjadikan pedoman berita tersebut.

 

Ikrar tentang radha’ tidak dapat tertetapkan, kecuali dengan keberadaan saksi dua laki-laki yang adil.

 

Atau dengan pertalian Mushaharah (perjodohan).

 

Karena itu, haram menikahi istri orang tua, baik itu ayah atau kakek dari ayah/ibu dan terus ke atas, dari segi nasab atau radha’. Haram juga istri anak turun, baik itu anak atau cucu terus kebawah.

 

Juga haram menikahi ibu istri terus ke atas, baik dari segi nasab atau radha’, sekalipun istri itu belum dikumpuli, karena berdasarkan ayat Alqur-an di atas.

 

Hikmah diharamkan ibu mertua dinikahi, karena seorang suami dalam mengatur istrinya sebagian besar tidak dapat lepas dalam perbincangan dan berduaan (khalwah) dengan ibu mertuanya, maka ibu mertua dan anak menantunya haram untuk dinikahi karena akad nikah dengan anak putrinya telah dilaksanakan, agar si suami dengan mudah dapat melaksanakan tugasnya.

 

Ketahuilah, bahwa syarat diharamkan anak menikahi istri orangtuanya, orangtua menikahi menantunya dan seorang menantu menikahi ibu istrinya ketika mereka belum mengumpuli istri (haram menikahi wanita-wanita tersebut, sebab keadaan akad), adalah akad rukah yang sah.

 

Begitu juga haram menikahi keturunan istri dari segi nasab atau radha’, sekalipun telah ditengahtengahi suatu generasi, baik anak turun tersebut berupa cucu perempuan dari garis laki-laki atau perempuan sampai ke bawah, jika memang si istri telah disetubuhi, sekalipun pada lubang anus dan sekalipun akad nikah yang dilaksanakan adalah akad yarg batal.

 

Kalau suami belum pernah menyetubuhi istrinya (ibu anak tiri), maka anak perempuan istrinya tidak haram dinikahi ayah tirinya, lain halnya dengan ibu mertuanya.

 

Tidak haram menikahi anak perempuan suami ibu (anak perempuan bawaan ayah tiri), ibu dari ibu tri dan ibu mertua anak laki-laki (besan).

 

Barangsiapa menyetubuhi wanita sebab pemilikan (budak perempuan) atau sebab syubhat -misalnya wanita syubhat, adalah menyetubuhi dalam akad nikah/pembelian budak perempuan yang fasid, atau karena dikira istrinya, maka ibu-ibu dan anak perempuar wanita tersebut haram baginya dan wanita tersebut haram bagi ayah-ayah dan anak-anak laki-laki orang tersebut, sebab persetubuhan terhadap budak wanita yang dimiliki, adalah berkedudukan seperti persetubuhan dalam akad nikah. Akibat hukum dari persetubuhan syubhat ini adalah: Bertemu nasab anak yang lahir dengannya dan diwajibkan idah wanita tersebut, karena dimungkinkan terjadi hamil itu dani dirinya, baik syubhat juga terjadi pada wanita tersebut (masalnya dikira suaminya dan sebagainya) atau tidak terjadi.

 

Tetapi, bagi laki-laki yang menyetubuhi wanita dengan wanita syubhat, adalah haram memandang dan menyentuh ibu dan anak perempuan wanita yang disetubuhi (sebab hubungan mahram ndak bisa ditemukan dengan laki-laki tersebut).

 

Cabang:

 

Apabila ada wanita mahram seorang bercampur di tengah-tengah kaum wanita yang tidak dihitung jumlahnya dengan mudah, misalnya 1000 wanita, maka menurut pendapat Al-Arjah, ia boleh menikahi mana saja di antara wanita-wanita tersebut hingga jumlah mereka tinggal seorang, sekalipun ia dapat menikahi -dengan mudah- wanita yang diyakini kehalalannya (misalnya wanita di luar kalangan mereka).

 

Kalau bercampurnya di tengah-tengah kaum warnta yang dapat dihitung satu per satunya dengan mudah, misalnya 20 atau bahkan 100 wanita, maka ia tidak boleh menikahu satu pun dari jumlah tersebut.

 

Tetapi, jika ia dapat membedakannya dengan pasti, misalnya wanita yang menjadi mahramnya berkulit hitam bercampur dengan wanita-wanita yang tidak berkulit hitam, maka selain yang berkulit hitam boleh dinikahi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita.

 

Peringatan:

Ketahuilah, bahwa disyaratkan pula keberadaan calon istri, adalah wanita muslimah atau kitabi yang murni (wanita Yahudi atau Nasrani), baik dzimmi atau harbi).

 

Karena itu, hukumnya halal, tetapi makruh, menikahi wanita Israiliyat, dengan syarat tidak diketahui bahwa nenek moyang awal kenasaban wanita tersebut masuk ke agama itu (Yahudi/Nasrani) setelah diutus Nabi Isa a.s., sekalipun masuknya (nenek moyang) ke agama diketahui setelah terjadi perombakan kitab Taurat.

 

Halal juga tapi makruh, menikahi wanita Kitabiyah selain Israiliyat, dengan syarat diketahui bahwa nenek moyang kenasabannya memeluk agama sebelum bi’tsah, sekalipun setelah terjadi perombakan Kitab, jika mereka menjauhi perombakan yang palsu.

 

Jika seorang suami kitabi memeluk Islam, sedang istrinya seorang Kitabiyah, maka pernikahannya tetap langgeng, sekalipun memeluk Islam sebelum menyetubuhi istrinya.

 

Bila seorang suami Watsani (penyembah batu atau lainnya) memeluk Islam sebelum menyetubuhi istrinya, dan istrinya yang beragama Watsam tidak mau ikut masuk Islam, maka seketika itu ikatan nikah mereka terputus. Kalau masuk Islamnya setelah menyetubuhi dan istrinya memeluk Islam sebelum idahnya habis, maka ikatan nikahnya langgeng, tetapi jika istri tersebut tidak ikut masuk Islam, atau ia masuk Islam setelah idahnya habis, maka putusnya ikatan permikahan dihutung semenjak suaminya Islam.

 

Bila istri orang kafir memeluk Islam dan suami masih dalam kekafirannya, maka jika (sebelum istri memeluk Islam) suami pernah menyetubuhinya dania memeluk Islam ketika istri masih dalam idahnya, maka ikatan pernikahan tidak terputus, tetapi jika ia tidak memeluk Islam ketika istrinya masih dalam idah, maka terputus ikatan pernikahannya terhitung semenjak istri memeluk Islam.

 

Bila ikatan pernikahan suami-istri kita hukumi tidak terputus, maka kerusakan akad nikah yang pernah mereka langsungkan sebelum Islam, adalah tidak menjadi masalah, jika kerusakan itu bisa hilang dengan keislamannya: Maka, ketika istri (ketika belum Islam) distatuskan rikah dalam idah, jika idah itu bisa habis dengan keislaman, dan penggasaban kafir Harbi terhadap “perempuan kafir Harbiyah bisa distatuskan nikah, jika mereka beriktikad bahwa penggasaban tersebut sebagai nikah. Sebagaimana gasab, yaitu perempuan Harbiyah melayani kemauan laki-laki Harbi dengan suka rela (kehendak sendiri ). Begitulah yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Menurut pendapat sahih: Nikah orang. orang kafir hukumnya sah. Menurut – sebagian ulama Mutaakhirin, bahwa menikahi jin wanita hukumnya tidak sah, sebagaimana sebaliknya.

 

Disyaratkan bagi calon suami:

 

Ta’yin, Karena itu, ijab seperti ini: “Kukawinkan anak putriku dengan salah satu dari kamu berdua” adalah tidak sah, sekalipun memakai syarat.

 

Suami tidak mempunyai istri yang ada hubungan mahram -baik dari nasab atau radha’ dengan calon istrinya (pinangan), misalnya antara istri dengan calon istri hubungannya kakak-adik, atau keponakan dengan bibi dan ayah/ibu. Sekalipun istrinya sudah berada dalam idah raj’iyah, sebab wanita yang berstatus talak raj’i seperti status istri dengan bukti masih dapat mewaris,

 

Bila seorang mengawini dua wanita yang masih ada hubungan mahram (jika dikumpulkan), dengan satu akad, maka akad nikah batal untuk kedua-duanya, karena tidak ada alasan yang memenangkan salah satunya: Tetapi, kalau dalam dua kali akad, maka akad kedua hukumnya batal.

 

Batasan dua wanita yang haram dikumpulkan dalam ikatan per-kawinan adalah: Setiap dus warnta yang ada hubungan nasab atau radha’, di mana diharamkan pernikahan antara mereka, andaikata salah satu dari mereka itu laki-laki.

 

Disyaratkan lagi: Suami tidak mempunyai 4 istri, sekalipun salah satu dari keempat berada dalam idah raj’iyah, karena wanita dalam idah raj’iyah dihukumi sebagaimana Seorang istri.

 

Bila seorang laki-laki merdeka menikahi 5 wanita berturut-turut, maka nikah yang kelima hukumnya batal, Kalau dilakukan sekaligus dalam satu akad, maka semuanya batal. Jika seorang laki-taki budak menambah dari 2 wamta, maka batal, seperti peraturan di atas.

 

Apabila istri yang menjadi mahram calon istri atau salah satunya dari 4 istrinya berada dalam idah talak Bain, maka menikahi mahram istri/ wanita kelima adalah sah hukumnya, karena wanita yang sudah tertalak bainstatusnya orang lain.

 

Disyaratkan bagi dua orang Saksi:

 

Ahli sebagai saksi, sebagaimana Syarat-syarat yang akan dituturkan dalam Bab Syahadah nanti, Yaitu merdeka secara sempurna, jelas kelaki-lakiannya dan adil. Di antara keharusan adil: Islam, taklif, mendengar, berbicara dan melihat, sebab apa yang akan diterangkan di belakang nanti, bahwa ucapanucapan tidak dapat ditetapkan adanya, kecuali secara nyata terucapkan dan terdengar telinga.

 

Mengenai persaksian orang buta, ada satu pendapat yang memperbolehkan, karena ia termasuk Ahlusy Syahadah dalam arti seluruhnya. Pendapat Al-Ashah: Syahadah orang buta idah sah, sekalipun ia tetap mengenal Calon suami dan istri.

 

Orang yang berada di tempat yang sangat gelap, hukumnya sepert orang buta.

 

Disyaratkan lagi: Dua saksi mengetahui bahasa yang digunakan wali nikah dan calon suami (bahasa dalam ijab dan qabul).

 

Disyaratkan pula. Kedua-duanya/ salah gatunya tidak berstatus menjadi wali.

 

Karena itu, akad nikah tidak sah dengan saksi 2 orang budak/2 wanita/2 orang fasik/2 orang tuli/2 orang bisu/2 orang yang tidak memahami bahasa orang yang berijab dan qabul/orang yang menjadi wali:

 

Apabila seorang ayah/saudara lakilaki yang hanya seorang mewakilkan ijab nikah, talu ia sendiri datang bersama saty orang lagi (untuk menjadi saksi), maka akad nikah tidak sah, sebab. ia berstatus wali yang mengakadkan, karena itu, ia tidak dapat menjadi saksi.

 

Dari keterangan ini, maka jika ada 3 orang saudara laki-laki, yang 2 menjadi saksi dan 1 orang mengakadkan rukah tanpa perwakilan dari salah satu dua saudara tersebut, maka akad nikahnya sah, tetapi jika la mengakadkan nikah atas nama wakil saudara yang lain, maka nikah tidak sah.

 

Peringatan:

 

Minta izin nikah dari wanita yang berhak memberikanizan tidak disyaratkan harus dipersaksikan, sebab izinnya bukan rukun akad, tetapi syarat untuk sah akad, baik wali mikahnya bukan hakim atau hakim, tetapi menurut pendapat Al-Ayjah: Jika walinya hakim, adalah harus ada persaksian izin nikah dan wanita yang akan dinikahkan.

 

Imam Ar-Rauyan di dalam Al-Bahr menukil pendapat Ashhabusy Syafi ‘iyah: Boleh berpedoman pada anak kecil yang diutus oleh wali kepada orang lain, agar mengawinkan wanita mauliyahnya, jika orang yang diberi tahu oleh anak kecil tersebut membenarkan kata-kata yang diucapkan.

 

Cabang:

 

Apabila seorang wali menikahkan wanita mauliyahnya yang mempunyai wewenang memberi izin, di mana izin belum sampai kepadanya, maka menurut pendapat Al-Aujah, jika ternyata izin menikahkan telah dipersilakan oleh wanita terlebih dahulu daripada akad nikah, maka akad nikah hukumnya sah, sebab ukuran penilaian akad adalah kenyataan perkara itu sendiri (nafsul Amr), bukan berdasarkan perkiraan (zhan) dari mukalaf.

 

Nikah hukumnya sah dengan saksi 2 orang adil Mastur: yaitu orang yang tidak diketahui perbuatan fasiknya, sebagaimana yang dinash oleh Asy-Syafi’i yang dipedomi oleh segolongan fukaha dan dibicarakan secara panjang-lebar.

 

Kemasturan keadilan menjadi batal sebab tarjih (penilaian fasik) dari orang yang adil. Orang fasik yang telah bertobat tidak dapat disamakan dengan Mastur (artinya: Fasik yang telah bertobat bisa menjadi saksi setelah lewat masa satu tahun dani : tobatnya). Sunah menyuruh bertobat terhadap adil Mastur sebelum akad dilaksanakan.

 

Apabila hakim mengetahui kefasikan . 2 saksi, maka ia wajib memisahkan antara suami-istri, sekalipun belum saling melaporkan kepadanya, menurut pendapat Al-Aujah.

 

Akad nikah juga sah dengan 2 orang saksi dari putra suami dan istri atau 2 orang yang menjadi musuh suami-istri. Terkadang ayah sah menjadi saksi, sebagaimana putrinya berupa budak

 

Menurut lahir pembicaraan Al-Hanathi -bahkan kejelasan pembicaraan-: Calon suami tidak wajib meneliti keadaan wali dan para saksi. Kata Guru kita: Yang benar memang begitu, jika ia tidak memperkirakan ada perkara yang merusak akad.

 

Nikah jelas menjadi batal karena ada hujah (alasan) yang membatalkannya, baik berupa bayinah ataupun pengetahuan hakim.

 

Atau karena ada ikrar suami-istri tentang hak mereka mengenai ada hal yang mencegah sah nikah, misalnya kefasikan saksi atau wali ketika akad berlangsung, keadaan wali atau saksi sebagai budak atau kanak-kanak, dan seperti terjadi akad masih dalam keadaan idah.

 

Kata-kata “hak mereka”, mengecualikan hak Allah swt.: misalnya suami telah mencerai tiga talak, kemudian mereka berdua sepakat bahwa akad nikahnya adalah fasid karena hal-hal di atas (fasik dan lain-lain), lalu suami menghendaki membarui nikahnya, maka ikrar mereka tentang keberadaan Tajdidun Nikah tidak dapat diterima, tetapi harus ada Muhallil terlebih dahutu, karena di siri terdapat kecurigaan, dan karena kemuhallilan itu hak Allah.

 

Bila suami-istri mengajukan bayinah mengenai kerusakan akad, maka tidak dapat diterima, tetapi jika yang diajukan adalah bayinah hisbah, maka dapat diterima.

 

Memang! Ketidak terimaan ikrar mereka tersebut adalah secara lahur, adapun secara batin, maka melihat kenyataan perkara itu sendiri.

 

Akad nikah tidak nyata-nyata batal dengan ikrar dua saksi mengenai keberadaan hal-hal yang menghalangi kesahan rikah. Karena itu, ikrar tersebut tidak berpengaruh terhadap kebatalan nikah, sebagaimana ikrar mereka mengenai kebatalan nikah setelah diterima persaksian, Juga tidak membawa pengaruh, dan karena penghalangan kesahan nikah bukan hak mereka, maka ucapan mereka tentang hal itu, tidak dapat diterima.

 

Adapun bila yang berikrar hal itu pihak suami, bukan istri, maka suami-istri harus dipisahkan, karena untuk menindaklanjuti dari pengakuan suami tersebut, Lalu, suami wajib membayar separo maharnya, jika belum menyenggamai istrinya . dan keseluruhannya jika telah menyenggamainya, karena ucapan suami. bahwa mahar telah dibayarkan adalah tidak dapat diterima.

 

Lain halnya bila yang berikrar hal tersebut adalah pihak istri, bukan pihak suami, maka suami dibenarkan dengan sumpahnya, sebab pemeliharaan kelangsungan nikah ada di tangannya, sedang istri ingin menghilangkannya: Karena itu, ia tidak dapat menuntut maharnya kepada suami, jika ia dicerai sebelum dijimak, tetapi jika sesudah dijimak, maka suami wajib membayar jumlah mahar lebih kecil daripada Yang disebut ketika akad ( telah djtentukan) dan lebih kecil daripad mahar mutsil.

 

Bila istri berikrar (mengakui) telah memberikan izin nikah, lalu ia mendakwa bahwa izin yang ia berikan dengan syarat ada sifat tertentu pada diri calon suami dan ternyata sifat tersebut tidak ditemui. pada dirinya, dan suami mengingkari pengakuan istrinya, maka menurut apa yang dizhahirkan oleh Guru kita, bahwa istri dapat dibenarkan dengan cara disumpah.

 

Bila suami-istri berselisih: Istri mendakwa bahwa dirinya adalah: mahram suaminya dari radha”, tetapi suaminya mengingkati, maka dakwaan bisa diterima dan ia harus bersumpah. Untuk selanjutnya, jelas nikahnya batal.

 

Kemudian hakim harus memisahkan suami-istri tersebut, jika istri tidak rela dengan suaminya ketika akad dan sesudahnya karena ada paksaan nikah atas dirinya atau izinnya tanpa menentukan galon suami, dan setelah akad nikah dilangsungkan, istri tidak rela dengan keadaan suaminya yang ia wujudkan dengan ucapan dan tidak menyerahkan dirinya untuk dijimak, karena kemungkinan dakwaan istri tersebut benar, di samping itu ada hal yang kebalikannya. Dakwaan ada hubungan mahram di atas, misalnya seorang istri sebelum akad berkata: “Fulan … Itu saudaraku dari radha’ “, maka la tidak dikawinkan dengan fulan itu.

 

Tetapi, bila istri (ketika akad) rela – dengan suaminya, dan kerelaannya itu. tidak diberi alasan, misalnya . karena lupa atau salah sikap, maka dakwaan mahram di atas tidak dapat diterima.

 

Apabila istri yang rela dengan suaminya tersebut memberikan alasan, maka dakwaan ada hubungan mahram dapat diterima karena uzur, tetapi suaminya.disuruh sumpah Halif (meniadakan dikwaan istri). Alasan mengapa ia rela dengan suaminya itu, misalnya karena lupa atau salah sikap.

 

Syarat bagi wali: Adil, merdeka dan mukalaf.

 

Karena itu, orang fasik selain Imamul A’zham (kepala negara) tidak berhak menjadi wali, karena kefasikan itu sifat kurang yang membuat kesaksian (syahadah) menjadi tercela, oleh karena itu menghalangi kewalian sebagaimana dengan sifat budak Pendapatinlah yang ada dalam mazhab Dasarnya adalah hadis sahih: “Nikah itu tidak sah, kecuali dengan wali mursyid (adil).

 

Sebagian fukaha berkata: Orang fasik dapat menjadi wali.

 

Pendapat An-Nawawi -sebagaimana pendapat Ibnush Shalah dan As-Subki- adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Ghazali, bahwa hak kewahan tetap ds tangan fasik, jika sekira dipindahkan malah dipegang oleh hakim yang fasik.

 

Bila wali fasik itu bertobat secara baik, maka dengan seketika ia dapat mengawinkan, menurut yang dipedomi Guru kita dan lainnya.

 

Tetapi menurut pendapat Syaikhani (Rafi’i dan Nawawi): la belum merukahkan, kecuali setelah istibra’ (membersihkan selama 1 tahun)

 

Pendapat iri dipedomani oleh As-Subki.

 

Kewalian tidak berhak dipegang oleh budak -baik budak mutlak atau muba’adh-, karena sifat kekurangan, Begitu juga anak kecil dan orang gila, karena sifat kurang juga, sekalipun gilanya terputus-putus, lantaran memenangkan masa gila atas masa sembuh yang menyebabkan hulang ibadah. Karena itu, wali yang jauh boleh menikahkan dalam tempo kegilaan wali saja serta tidak usah ditunggu masa sembuhnya.

 

Tetapi, jika masa gila hanya sebentar saja, misalnya sehari dalam tahunan, maka masa sembuh ditunggu.

 

Dihukumi seperti orang gila, orang yang mempunyai penyakit yang membuatnya tidak normal dalam memikirkan kemaslahatan, Orang yang pikirannya sudah tidak normal lantaran lanjut usia, dan orang yang setelah sembuh dari penyakitnya masih tertinggal bekas-bekas kekacauan pikirannya, sehingga membuat sikapnya tidak normal.

 

Kebahkan dari syarat kewalian di atas fasik, budak, kanak-kanak dan gilamemindahkan hak kewalian pindah kepada wali yang lebih jauh -bukan kepada hakim-, sekalipun dalam Bab Wala’.

 

Selungga bila seorang memerdekakan budak perempuannya, lalu orang Itu mati meninggalkan anak kecil dan saudara laki-laki yang bahg, maka hak kewahan dipegang oleh saudaranya tersebut -bukan hakim-, menurut pendapat Al-Muktamad.

 

Juga tidak ada hak kewalian pada wanita. Karena itu, dia tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri atas izin walinya dan anak-anak perempuannya, Lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah.

 

Ikrar seorang wanita mengenai pernikahannya yang dibenarkan oleh suaminya, adalah dapat diterima -sekalipun walinya tidak membenarkannya-, karena ikatan permikahan adalah hak suami-istri, makanya dapat dibenarkan ada ikatan tersebut berdasarkan pengakuan mereka.

 

Wali nikah adalah dengan urutan sebagai berikut Ayah, kalau ayah ndak ada -baik secara nil maupun formal-, maka hak kewalian pindah kepada kakek dari garis ayah terus ke atas.

 

Ayah dan kakek dapat merukahkan gadis atau janda yang belum pernah djimak -misalnya hilang selaput dara lantaran dimasuki jan-jarttanpa serannya, sekira ndak ada permusuhan nyata antara ayah/kakek dengan wanita tersebut.

 

Karena itu, tidak disyaratkan ada izin dan si gadis -baik ia sudah balig atau belum-, lantaran sifat kasih sayang ayah/kakek kepadanya yang sempurna, dan karena hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni: “Janda itu lebih berhak atas dirmya daripada walinya, sedangkan gadis dikawinkan oleh ayahnya (tanpa seizinnya).”

 

(Kebolehan menikahkan gadis tanpa seizin darinya) kepada laki-laki yang seimbang dan mampu membayar mahar mutsit.

 

Karena itu, jika wali Mujbir -ayah atau kakek- mengawinkan anak gadisnya dengan laki-laki yang tidak kafa-ah (seimbang), maka akad nikahnya tidak sah. Begitu juga tidak sah, jika dikawinkan dengan laki-laki yang tidak dapat membayar mahar mitsil, menurut pendapat yang dipedomi Syaikhani.

 

Tetapi menurut pendapat pilihan segolongan ulama Mutakaddimun: Mengawinkan dengan laki-laki yang tidak Japat membayar mahar mitsil hukumnya sah, dan pendapat ini dipegang oleh Guru kita, Ibnu Ziyad.

 

Disyaratkan untuk kebolehan -bukan sahnyawali Mujbir mengawinkan anak gadisnya tanpa seizinnya, adalah dikawinkan dengan mahar mitsil yang kontan, berupa mata uang yang berlaku di daerah setempat. Kalau syarat dua ini (mahar mitsil dan uang daerah setempat) tidak didapatkan, maka akad nikah sah dengan kewajiban membayar mahar mitsil berupa uang daerah setempat.

 

Cabang:

 

Jika wali Mujbir berikrar telah menikahkan dengan laki-laki seimbang, maka ikrarnya diterima -sekalipun si gadis mengingkannya-, karena orang yang berhak menimbulkan kejadian, adalah berhak untuk berikrar: lam halnya dengan wali selain Mujbir.

 

Ayah/kakek tidak boleh menikahkan anak/cucu janda lantaran persetubuhan -sekalipun dalam perzinaan dan kejandaannya ditetapkan berdasarkan ucapannya yang diikuti dengan bersumpah-, kecuali setelah mendapat iznnya dengan cara diucapkan, di mana ia dalam keadaan sudah balig. Dasarnya adalah hadis yang telah lewat.

 

Karena itu, seorang janda yang belum balig, berakal dan merdeka, adalah tidak dapat dikawinkan sampai ia menginjak balig, karena izinnya belum dapat dibuat pegangan, Lain halnya dengan pendapat Abu Harufah.

 

Orang wanita balig dapat dibenarkan tanpa disumpah, mengenai pengakuannya bahwa dirinya masih gadis.

 

Juga dakwaan (pengakuannya) sebelum akad, bahwa dirinya telah menjadi janda dengan cara disumpah, sekalipun ia belum pernah bersuami dan ia hdak menuturkan sebab kejandaan dirinya: karena ia tidak boleh ditanya tentang sebab kejandaan dirinya.

 

Kemudian, setelah tidak ada wali dari pihak orangtua, maka yang menjadi wali adalah dari pihak Ashabahnya, yaitu nasab wanita dari jalur samping.

 

Karena itu didahulukanlah: 3. Saudara laki-laki sekandung, 4. Saudara laki-laki seayah: 5. Anak laki-taki saudara laki-laki sekandung, 6, Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.

 

Kemudian, jika tidak ada: maka: 7. Paman sekandung, 8. Paman seayah: 9. Anak taki-laki paman sekandung, “10. Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya.

 

Kemudian, setelah Ashabah dari riasab tidak ada, maka Ashabah dari Wala’ dengan urutan pewarisan mereka, Karena itu, didahulukanlah Mu’tiq (Orang yang memerdekakan), lalu Ashabah Mu’tiq lalu Mu’tiqnya Mu’tiq, kemudian Ashabahnya dan seterusnya.

 

Wali-wali di atas dalam urutan kewaliannya, dapat mengawinkan wanita perwaliannya yang sudah balig, bukan yang masih kecil -lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah tentang wanita kecil-, dengan adanya izin secara lisan dari wanita perwalian yang sudah janda sebab persetubuhan. Dasarnya , adalah hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni di atas.

 

Perizitan wanita janda diperbolehkan dengan kata-kata “perwakilan”: misalnya, “Kuwakilkan kepadamu untuk mengawinkan djriku”, “Aku rela kawin dengan laki-laki yang diridai ayah dan ibuku”, atau “Aku rela dengan apa yang Wilakukan ayahku”.

 

Tidak sah dengan: “Aku rela dengan yang diperbuat ibuku”, sebab ibu tidak berhak mengakadkafisjuga tidak sah dengan: “.., jika ayah dan ibuku merelakan”, sebab ada ta’liq

 

Izin boleh dengan: “Aku at menjadi suamiku/Aku rela dikawinkan/Aku memberinya izin untuk mengakadkanku”, sekalipun untuk kalimat terakhir ini, pihak Wanita tidak menuturkan kata-kata “nikah”, menurut pembahasan ulama.

 

Apabila ditanyakan kepadanya: “Adakah kamu rela dikawinkan?” Lalu ia menjawab: “Aku rela, maka sudah cukup sebagai izan.”

 

(Dan mereka dapat mengawinkan) wanita perawan dengan diamnya -sekalipun tadinya budak dan kini sudah merdeka-, setelahi ia dimintai izin dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang atau tidak, walaupun dia menangis, tetapi tidak sampai menjerit atau memukul pipinya Dasarnya adalah sebuah hadis: Perawan itu diajak berunding dalam nikahnya dan izinnya adalah diamnya.

 

Kata-kata “janda karena persetubuhan”, dikecualikan jika hilang selaput daranya sebab semacam dimasuki jari-jari: ia dihukumi sebagai gadis dalam hal diamnya, yang dianggap sebagai izin setelah dimintai persetujuan.

 

Sunah bagi ayah/kakek minta fan kepada gadis balig yang mau dikawinkan, demi menenteramkan kekhawatiran hatinya.

 

Adapun wanita yang belum balig (kecil), maka izinnya tidak dianggap (tinjauan hukum). Ada sebagian yang membahas kesunahan minta izin dahulu kepada wanita yang sudah tamyiz. Bagi selain ayah/ kakek, sunah mempersaksikan izin wanita perwaliannya.

 

Cabang:

 

Apabila ada sejumlah orang memerdekakan perempuan budak, maka disyaratkan kerelaan kesemuanya lalu mereka mewakilkan kepada salah satu di antara mereka sendiri atau orang lain.

 

Bila seorang di antara mereka ingi mengawini wanita tersebut, maka yang mengawinkan adalah temannya yang lain bersama sang qadhi. Bila semua temannya telah mati, makh cukup ada kerelaan satu orang waris Ashabah dari tiap teman-teman.

 

Jika berkumpul sejumlah waris Ashabah orang yang memerdekakas dalam satu derajat (misalnya semug saudara laki-laki Mu’tiq dan sebagainya), maka diperbolehkan salah satu dari mereka yang mengawinkan wanita bekas budak tersebut (‘atiqah) dengan kerelaan wanita itu, sekalipun temannya yang lain tidak merelakan.

 

Kemudian, bila Ashabah Nasab maupun Wala’ tidak ada, maka yang menyadi wali nikah adalah qadhi atau penggantinya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.: “Sultan adalah wali wanita yang tidak mempunyai wali” Maksud dari itu adalah: Orang yang memegang kekuasaan; yaitu imam (kepala negara), para qadhi dan pengganti-penggantinya.

 

Wali hakim dalam mengawinkan wanita balig harus dengan laki-laki yang kufu (sepadan) -bukan lainnya-, di mana wanita itu sewaktu gkad nikah berada di daerah kekuasaannya, sekalipun wanita itu hanya melewati daerah kekuasaannya -tidak berdomisili di daerahnya-, dan sekalipun izinnya yang diberikan kepadanya ketika wanita itu berada di luar daerah kekuasaannya.

 

Adapun bila sewaktu akad nikah, wanita tersebut berada di luar daerah kekuasaannya, maka ia tidak boleh mengawinkannya, sekalipun diberi izin sebelum keluar dari daerah tersebut dan sekalipun calon suami berada di daerah kekuasaan qadhi, karena kewalian itu kaitannya adalah dengan wanita itu, bukan calon suami.

 

Kata-kata “yang balig”, dikecualikan wanita yatim, maka seorang qadhi tidak dapat mengawinkannya (jika tidak mendapatkan izin dari sultan), sekalipun qadhi. itu bermazhab Hanafi yang tidak mendapatkan izin dari sultan yang bermazhab Hanafi.

 

Wanita yang mendakwa dirinya telah balig sebab haid atau keluar sperma, dapat dibenarkan tanpa disumpah, sebab yang mengetahui hal itu adalah dirinya sendiri, tetapi bila balignya dengan batas usia, maka dakwaannya tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan mengajukan bayinah yang memahami permasalahan dan ia menyebutkan bilangan tahun usianya.

 

Wali Khas dari wanita yang balig -wali nasab atau wala’jika tidak ada atau wali yang lebih dekat tidak berada di tempat akad sejauh jarak dug marhalah (jarak diperbolehkan mengqashar salat), serta tidak ada wakil dari wali yang datang di tempat perkawinan, maka yang menjadi wali wanita tersebut adalah sang qadhi.

 

Wanita yang mendakwa bahwa walinya tidak ada di tempat, dirinya tidak bersuami dan tidak beridah, adalah dapat dibenarkan, sekalipun Ia tidak mengajukan bayinah.

 

Sunah meminta bayinah kepadanya tentang dakwaan tersebut, dan kalau ia tidak dapat mengajukan bayinah, maka sunah untuk disumpah.

 

Apabila qadhi mengawinkan seorang wanita lantaran wali tidak ada di tempat, lalu ternyata ketika : dilaksanakan akad, sang wali berada di tempat yang dekat dengan akad, maka tidak jadi akad nikahnya, jika kedekatan wali tersebut dapat dipastikan (dengan bayinah).

 

Karena itu, ucapan wali yang hanya begini: “Aku berada di tempat yang dekat dengan akad”, adalah tidak menimbulkan cacat sah nikah yang dilaksanakan qadhi, tetapi ia harus mengemukakan bayinah, menurut beberapa pendapat, Lain halnya dengan pendapat yang dinukil Az-Zarkasyi dan Syekh Zakariya dani Fatawa A-Baghawi.

 

Atau keberadaan wali khas dengan calon istri kurang dari dua marhalah, tetapi ia tidak dapat sampai ke tempat wali lantaran khawatir ada pembunuhan, pemukulan atau perampasan harta di tengah jalan.

 

Atau (bila) wali: khas itu tidak diketahui tempatnya, hidup atau matinya setelah meninggalkan tempat, terjadi peperangan, kapal laut pecah atau setelah ditawan musuh.

 

Wali qadhi seperti ini, jika wali khas tersebut tidak dihukumi mati, tetap! jika telah dihukumi matt, maka yang berhak mengawinkan calon istri adalah walinya yang lebih jauh.

 

Atau (bila) wali -meskipun wali Mujbir-, tidak mau menikahkan wanita mukalaf, balig dan berakal yang Minta untuk dikawinkan dengan laki-laki yang kufu, sekalipun dengan mahar di bawah standar mahar mitsil.

 

Beberapa Cabang:

 

Sang qadhi tidak boleh mengawinkan seorang wanita dengan laki-laki pilihannya sendin yang seimbang, jika wali Mujbir menolak mengawinkannya dengan laki-laki tersebut, lantaran ia sudah mempunyai pilihan untuk calon suami anak putrinya yang sudah seimbang, sekalipun keseimbangan pria pilihan wali di bawah keseimbangan pilihan wanita tersebut.

 

Selain wali Mujbir tidak boleh mengawinkan wanita mauliyahnya -sekalipun wali itu seorang ayah/ kakek, misalnya anak sudah janda-, kecuali dengan laki-laki pilihan wanita itu sendiri. Bila ia mengawinkan dengan laki-laki yang bukan pilihan wanita, maka wali tersebut disebut Adhil (menolak, maka yang berhak menjadi wali adalah Qadhih)

 

Bila sang wali menyembunyikan dirt atau mengulur-ulur hari perkawinan, yang telah ditentukan, dan dua hal tersebut telah: ditetapkan (dengan bayinah), maka hakim (qadhi) berhak mengawinkannya.

 

Demikian pula, sang qadhi berhak mengawinkan wanita tersebut, jika wali

menghalang-halangi perkawinannya atau ia sendiri ingin mengawininya, misalnya walinya adalah anak laki-laki paman dalam keadaan tidak ada lagi yang sederajat dengannya atau wali adalah Mu’tiq.

 

Karena itu, dalam kasus-kasus di atas, wali yang lebih jauh tidak boleh mengawinkan wanita tersebut, sebab kewalian wali yang lebih dekat masih ada.

 

Hanya saja, bila sang qadhi sendin atau anak laki-laki perwaliannya yang menginginkan mengawini wanita yang tidak mempunyai wali khas, maka yang berhak mengawinkan adalah qadhi lain yang ada dalam satu daerah kekuasaan qadhi/ anak laki-laki kecil tersebut -jika wanita tersebut berada dalam wilayah qadhi yang mengawinkan-, atau pengganti qadhi/anak laki-laki kecil yang mau kawin.

 

Bila semua wali di atas tidak didapatkan, maka yang mengawinkan wanita adalah Muhakkam (orang yang didudukkan sebagai hakim), merdeka serta diangkat oleh calon istri dan suami untuk menangani perkawinan mereka -sekalipun Muhakkam tersebut bukan seorang mujtahid-, jika memang di situ tidak ada seorang qadhi, sekalipun bukan ahli.

 

Kalau di situ terdapat seorang qadhi sekalipun tidak ahli, maka disyaratkan keberadaan Muhakkam harus seorang mujtahid.

 

Guru kita berkata: Memang, bila di situ hakim tidak mau mengawinkan kecuali dengan diberi dirham -sebagaimana hakim-hakim sekarang ini-, maka wanita tersebut dapat mengangkat seorang yang adil untuk menjadi walinya dalam keadaan masih ada hakim, sekalipun kita masih berpendapat bahwa hakim tersebut tidak terpecat lantaran mengambil pungutan dirham, jika orang yang memberi jabatan untuk menjadi hakim ketika itu mengetahui sikap hakim seperti itu. Selesai.

 

Apabila seseorang melakukan persetubuhan dalam ikatan yang tidak memakai wali

-misalnya wanita mengawinkan dirinya sendiridan tidak ada hakim yang menghukumi sah atau tida pernikahan itu, maka bagi laki-laki wajib membayar mahar mutsil -bukan “mahar yang telah ditentukan dalam akad-, lantaran rusak akad nikahnya. Sedang bagi orang yang mengiktikadkan haram persetubuhan tersebut, dikenakan ta’zir (sanksi) serta hukum hadnya gugur.

 

Bagi qadhi boleh mengawinkan wanita yang berkata: “Aku tidak bersuami dan tidak beridah”, atau “Aku telah dicerai oleh suamiku dan idahku telah habis”, selama si qadhi tidak mengetahui suaminya yang nyata.

 

Bila ia mengetahui bahwa wanita itu masih mempunyai suami -baik dengan mengetahui nama, pribadinya, atau pihak wanita telah menentukannya-, maka kesahan hakim menikahkannya -bukan wali khas disyaratkan ada Itsbat (ketentuan) pisah suami, dengan semacam talak atau mati, baik suaminya meninggalkan si wanita ataupun tidak.

 

Para fukaha membedakan antara suami yang diketahui dengan mu’ayyan (sehingga disyaratkan ada itsbat untuk perceraian suami dengan yang tidak mu’ayyan padahal bidang permasalahannya adalah diketahui ada atau tidak ikatan perkawinan, sehingga memungkinkan qadlu untuk mengamalkan hukum asal pada keduanya (masih ada ikatan perkawinan pada kedua masalah), sebab dengan kejelasan suami di depan qadhi, baik nama maupun orangnya, maka mengharuskan dia berhati-hati dan berpedoman pada hukum asal, bahwa ikatan perkawinan masih ada, yang makanya disyaratkan ada itsbat perceraiannya (firaq sang Suami), dan karena dengan adanya sang istri menta’yinkan nama suaminya, maka seakan-akan ia mengaku suaminya telah menceraikannya.

 

Bahkan para fukaha menjelaskan, bahwa bila wanita mengaku kalau telah mencerainya, maka harus ada penetapan perceraran itu (dengan mengajukan bayinah).

 

Lain halnya jika sang qadhi mengetahu ada ikatan perkawinan dengan cara global, tanpa penta’yinan seperti di atas, maka cukup baginya dengan pemberitaan wanita mengenai kelepasan dirinya dari hal-hal yang menghalangi nikah, lantaran ucapan fukaha Mutakaddimun (Al-Ashhab): Sesungguhnya ukuran penilaian segala akad adalah ucapan orang yang mengadakan akad itu sendiri .

 

Adapun bagi wali khas, maka baginya dapat menikahkan wanita mauliyahnya, jika ia membenarkan yang diucapkan, sekalipun ia mengetahui ada suami pertama, tanpa terlebih dahulu ada itsbat cerai, ataupun sumpah wanita itu, tetapi disunahkan adanya itsbat cerai sebagaimana yang berlaku pada qadhi yang tidak mengetahui ada suami yang pertama.

 

Masalah suami yang mu’ayyan dan yang tidak mu’ayyan, dibedakan untuk qadhi dengan wali khas, lantaran qadhi harus lebih hati-hati di atas wali (ungkapan ini sama dengan ungkapan di atas, yaitu: Para ulama membedakan – … dan seterusnya).

 

Bagi wali mujbir -ayah/kakek boleh mewakilkan kepada laki-laki mu’ayyan yang sah nikahnya sendiri, untuk menikahkan wanita mauliyahnya yang masih gadis tanpa seizin dari si wanita, sekalipun di kala pewakilan si wali tidak menentukan siapa calon suaminya.

 

Bila wali tidak menentukan calon suami, maka bagi wakil wajib menjaga kemanfaatan dan hati-hati mengenai urusan wanita tersebut. Karena itu, jika wakil mengawinkan wanita itu dengan laki-laki yang tidak kufu atau sudah seimbang, maka perkawinannya tidak sah, karena wakil menyimpang dari sikap hati-hati yang wajib ia laksanakan.

 

Boleh bagi wali yang tidak Mujbir -misal bukan ayah/kakek untuk gadis, atau ayah/kakek untuk jandaboleh mewakilkan rikah wanita tersebut setelah mendapatkan izin mengawinkan darinya, jika si wanita tidak mencegah keberadaan taukil.

 

Apabila wanita tersebut menentukan calon suaminya kepada wali, maka bagi wali wajib menentukari itu pula kepada si wakil: Kalau si wali tidak menentukan calon suami kepada pihak wakil, maka perkawinan si wakil tidak sah, sekalipun dengan laki-laki hasil pilihan wanita itu sendiri, karena perizinan yang diberikan secara mutlak, sedangkan yang dituju mu’ayyan adalah menjadi fasid.

 

Dengan kata-kataku “setelah wanita membenkan izin perkawinan kepada wali”, dikecualikan jika wanita mewakilkan perkawinan sebelum mendapat izin darinya, maka taukil dan nikah hukumnya tidak sah.

 

Tetapi, bila wali mewakilkan pernikahan sebelum ia mengetahui ada izin dari mauliyahnya, di mana pewakilan tersebut ia menyangka bahwa pewakilan sebelum mendapatkan izin hukumnya boleh, lalu wakil mengawinkan, maka perkawinan tersebut hukumnya sah, jika ternyata sebelum pewakilan si wanita telah memberikan izin, sebab yang menjadi ukuran penilaian segala akad, adalah kenyataan perkara itu sendiri, bukan persangkaan mukalaf tetapi, jika ternyata tidak demikian, maka akad nikah tidak sah.

 

Beberapa Cabang:

 

Bila seorang qadhi mengawinkan seorang wanita sebelum ada ketetapan, bahwa dirinya menerima pewakilan dari si wanita, tetapi cuma menerima berita dari seorang laki-laki yang adil, maka akad nikah lestari dan sah, tetapi mengawinkan seperti ini hukumnya tidak boleh (haram), sebab ia mengikat akad yang fasid dalam segi lahirnya. Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian Ashhabuna.

 

Bila ada seorang perempuan menyampaikan izin mengawinkan dari wanita mauliyah kepada walinya, dan wali pun membenarkan berita tersebut, lalu ia mewakilkan kepada seorang qadhi, lalu qadhi mengawinkannya, maka pewakilan dan pengawinan tersebut hukumnya sah.

 

Bila seorang wanita berkata kepa walinya: “Kuizinkan kamu sekarang mengawinkan diriku dengan orang yang bermaksud mengawiniku dan kuizinkan setelah aku tertalak nan serta habis idahku”, maka deng izin sekarang, sah untuk pengawi keduanya.”

 

Bila wali mewakilkan pengawinannya kepada orang lain dengan sifat seperti di atas, maka sah pengawinan si wakil untuk yang kedua, karena walapun wali/wakil ketika menerima Izin tidak mempunyai hak mengawinkan yang kedua, tetapi hak pengawinan yang kedua mengikuti yang pertama, sebagaimana fatwa Ath-Thayyib An-Nasyiri dan diakui oleh sebagian Ashhabuna.

 

Bila sebelum meminta izin terlebih dahulu kepada wanita yang mempunyai wali, seorang qadhi memerintahkan orang lain agar mengawinkannya, lalu laki-laki yang diperintah ini mergawinkan dengan jan dani wanita, maka sah nikahnya, karena didasarkan pada Al-Ashah, bahwa permintaan mengganti pekerjaan tertenth (dari qadhi) adalah istikhlaf (pemberian mandat), bukan pewakilan.

 

Cabang:

 

Bila seorang qadhi menugaskan seorang ahli fikih agar mengawinkan wanita, maka tidak crikup dengan surat tugas saja, tetapi qadhi, harus melafalkan ketika Menulis Bara tersebut, dan bagi penerima surat. tugas tidak boleh berpedoman tulisan dalam surat Ini (bagi penerima …) adalah keterangan yang ada dalam Ashlur Raudhah.

 

Penganggapan daif oleh Al-Bulqini atas keterangan yang ada dalam Ashlur Raudhah adalah tertolak dengan adanya penjelasari fukaha, bahwa hanya dengan surat tugas saja belum mencukupi untuk istikhlaf, tetapi harus dipersaksikan adanya kepada dua orang saksi. Hal ini dikatakan oleh Guru kita dalam Syarhil Kabir.

 

Boleh bagi calon suami mewakilkan qabul nikahnya.

 

Maka, wakil wali berkat dalam ijab nikah: “Kukawinkan kamu dengan Fulanah binti Fulan bin Fulan”, lalu disambung dengan “yang telah mewakilkanku/sebagai pewakilan darinya”, jika calon suami atau 2 saksi tidak mengetahui ada wakalah.

 

Bila calon suami atau 2 saksi – tahu tentang wakalah tersebut, maka sambungan kata-kata tersebut disyaratkan, sekalipun diketahui itu dari pemberitahuan wakil (sebelum akad dilaksanakan).

 

Wali berkata kepada Wakil calon suami: “Kukawinkan anak putriku dengan Fulan bin Fulan (nama calon suami)” lalu wakil calon suami menjawab “Kuterima nikahnya untuk si dia”, sebagaimana ucapan wali calon suami yang masih kecil ketika qabul nikah.

 

Bila wakil calon suami tidak mengatakan “untuk si dia” dalam dua qabul tersebut (wakil calon suami dan calon suami yang masih kecil), maka akad nikah tidak sah, sekalipun wakil bermaksud untuk orang yang mewakilkan/anak kecil, sebagaimana bila wali berkata kepada wakil calon suami: “Kukawinkan kamu”, sebagai ganti dari “.. dengan si Fulan”, karena tidak ada penyesuaian.

 

Bila dalam masalah di ats, wakil calon suami/wali anak kecil tidak mengatakan “… untuk si dia”, maka akad nikah untuk wakil/wali anak kecilitu sendiri, sekalipun niat untuk orang yang mewakilkan.

 

Beberapa Cabang:

 

Barangsiapa berkata: “ku menjadi wakil untuk mengawinkan si Fulanah”, maka bagi orang yang membenarkan pernyataan tersebut boleh qabul dari ijab nikahnya.

 

Bagi orang yang diberi tahu oleh orang yang adil mengenai penalakan si Fulan, mati atau pewakilannya, diperbolehkan berbuat berdasarkan berita tersebut dalam kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut diri orang yang menerima berita Demikian juga tulisan orang adil yang dipercayai sebagai tulisan yang benar.

 

Adapun hubungannya dengan hak orang lain atau hakim, maka tidak boleh berpedoman berita orang adil atau tulisan qadhi, yang kedua-duanya ia bukan merupakan hujah syar’iyah (dua orang laki-laki).

 

Cabang:

 

Yang berhak mengawinkan Atiqahnya (budak perempuan yang telah dimerdekakan) seorang wanita yang masih hidup dalam keadaan wali nasab Atiqah tidak ada, adalah wali wanita yang memerdekakan (mu’tiqah), karena mengikuti kewaliannya atas mu’tiqah itu’ sendiri.

 

Karena itu, yang mengawinkan Atiqah adalah ayah mu’tqah, lalu kakeknya menurut tertib tingkatan para wali: Anak laki-laki Mu’tiqah tidak boleh mengawinkan Atiqah, selama mu’tiqah masih hidup.

 

(Pengawinan tersebut) dengan seizin Atiqah, sekalipun mu’tiqah merelakannya, lantaran mu’tiqah tidak mempunyal wewenang kewalian.

 

Bila mu’tiqah telah mati, maka yang berhak mengawinkan Atiqah adalah anak laki-laki mu’tiqah.

 

Yang berhak mengawinkan budak perempuan (amat) seorang wanita yang sudah balig dam rasyidah (pandai), adalah wali wanita pemilik itu sendiri dengan izinnya, sebab dialah yang memiliki amat itu, karena izin dari amat tidak diperhitungkan, sebab wanita pemilik berhak memaksa amatnya untuk menikah.

 

Disyaratkan pengizinan tuan putri pemilik amat tersebut dengan ucapan, sekalipun dirinya masih gadis.

 

Yang berhak mengawinkan amat milik seorang wanita kecil yang masih gadis/anak laki-laki kecil, adalah ayah pemilik tersebut, lalu kakek dari garis ayah, bila tujuan pengawinan tersebut untuk suatu kemanfaatan, semisal memperoleh mahar atau nafkah.

 

Ayah/kakek tidak boleh mengawinkan budak laki-laki milik anak/cucu yang masih gadis/laki-laki kanakkanak yang belum balig, sebab akan menjadikan terputus pekerjaan budak itu untuk anak/cucu tersebut: Lain halnya dengan pendapat Malik: Boleh-…, jika nyata-nyata terdapat maslahat.

 

Juga tidak boleh mengawinkan amat milik anak kecil yang janda, sebab ayah/kakek tidak berkuasa atas pengawinan pemilik amat tersebut.

 

Qadhi tidak boleh mengawinkan amat milik seorang yang sedang tiada di tempat (gaib), sekalipun amat tersebut perlu menikah dan mendapat mudarat lantaran tidak ada nafkah.

 

Memang, bila qadhi mempunyai keyakinan bahwa dengan menjual amat itu akan membawa kemasTahatan, maka ia boleh menjualnya, sebab justru pada penjualannya itu terletak kemujuran pemilik yang tidak berada di tempat, yang berupa tanggungan nafkah atas amat itu.

 

Bagi pemilik -sekalipun fasik- berhak mengawinkan perempuan amat yang seluruh dirinya menjadi miliknya, sekalipun masih gadis belum balig/janda belum balig/telah balig tetapi tanpa seizin dari amat tersebut Ia tidak berhak mengawinkan amat yang dimiliki secara persekutuan tanpa ada kerelaan dari seluruh teman persekutuannya, sekalipun amat tersebut didapat dari hasil rampasan perang bersama ‘ segolongan teman sekutu.

 

(Sayid/pemilik amat berhak mengawinkannya), karena nikah adalah dikembalikan pada kemanfaatan farji, yang mana amat tersebut menjadi milik sayid.

 

Laki-laki tersebut berhak memaksanya untuk dikawinkan, tetapi ia tidak boleh mengawinkannya dengan lakilaki yang tidak kufu, sebab cacat yang menetapkan khiyar (misalnya lepra atau kusta), atau sebab fasik pekerjaan yang rendah, kecuali atas kerelaan amat tersebut.

 

Ia boleh mengawinkannya dengan laki-laki budak atau yang bernasab rendah, sebab amat itu tidak mempunyai nasab.

 

Budak Mukatab -bukan sayidnya- berhak mengawinkan amatnya, sedang si sayid Mukatab memberi izin.

 

Bila amat minta untuk dikawinkan, maka bagi sayidnya tidak wajib menurutinya, lantaran pengawinan amat dapat mengurangi nilai harga amat itu.

 

Guru kita berkata: Yang berhak mengawinkan amat yang beragama Islam, yang menjadi milik orang kafir,-adalah hakim dengan izin kafir, dan berhak mengawinkan amat yang diwakafkan dengan izin Mauquf Alaih, jika jumlah mauquf alaih dapat dihitung dan ditentukan (Mahshur): jika tidak Mahshur, maka menurut yang lahir, amat tersebut tidak boleh dikawinkan.

 

Seorang budak laki-laki -sekalipun Mukatab- tidak boleh menikah, kecuali seizin sayidnya, sekalipun sayidnya seorang wanita, dan baik izinitu diberikan secara mutlak atau dibatasi dengan wanita atau kabilah tertentu.

 

Karena, ia dapat menikah sesuai izin yang diberikan, ia tidak boleh menyimpang dari izin itu, karena demi menjaga hak tuannya. Bila ia menyimpang dari izin yang telah diberikan, maka nikahnya tidak sah.

 

Bila seorang budak laki-laki tanpa seizin tuannya, maka nikahnya batal dan wajib diceraikan dari istrinya, lain halnya dengan pendapat Malik rahimahullah.

 

Bila dalam nikah yang batal ini budak tersebut melakukan persetubuhan dengan istrinya yang rasyidah dan tidak terpaksa, maka ia tidak terkena kewajiban apa pun. Adapun bila istri yang ia setubuhi wanita bodoh atau belum balig maka ia wajib membayar mahar mitsil.

 

Bagi budak -sekalipun telah mendapat izin berdagang atau budak: Mukatab- tidak boleh menggundik pada amat, sekalipun ia telah mendapat izin menikah, sebab ya diizinkan untuk itu bukan berarti bisa memilikinya dan karena lemahnya hak mulik pada budak Mukatab.

 

Bila budak laki-laki minta nikah, maka bagi sayidnya tidak wajib menurutinya, sekalipun Mukatab.

 

Pengakuan budak -baik laki-laki maupun perempuan- tentang ada kemerdekaan dirinya, adalah tidak dapat dibenarkan kecuali dengan mengajukan bayinah yang dianggap sah, sebagaimana yang akan diterangkan dalam Bab Syahadah.

 

Dapat dibenarkan orang yang mengaku, bahwa dirinya merdeka sejak semula, selagi tidak didahului ikrar tentang kebudakannya atau ketetapan kebudakannya, karena menurut asal, orang itu merdeka.

Kafa-ah adalah hal yang dianggap penting dalam rikah, bukan syarat sah nikah, bahkan Kafa-ah itu hak calon istri dan walinya, karenanya, mereka bisa menggugurkannya.

 

Wanita yang merdeka sejak semula atau karena dimerdekakan, dan wanita yang tidak pernah terkena kebudakan, orangtua atau kerabat dekatnya tidak pernah terkeng kebudakan, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang tidak seperti itu, misalnya laki-laki itu tidak seperti wanita di atas (laki-laki itu budak, wanitanya merdeka sejak semula dan seterusnya).

 

Keterkenaan kebudakan pada orangorang tua yang Wanita, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa.

 

Wanita yang bersih jiwanya (Afifah) dan murni dalam beragama, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki fasik dan ahli bid’ah, Karena itu, laki-laki fasik imbangannya adalah wanita yang fasik, Jika nilai fasiknya sama.

 

Wanita yang bernasab Arab, Quraisy dan dari Bani Hasyim atau Muthalib, adalah tidak seimbang dengan laki-laki yang bukan nasab seperti itu.

 

Maksudnya: Wanita yang ayahnya berbangsa Arab, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang ayahnya bukan Arab, sekalipun ibunya Arab, Wanita Quraisy tidak bisa diimbangi oleh laki-laki Arab yang bukan Quraisy, Adapun wanita dari Bani Hasyim/Muthalib adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki Quraisy yang bukan dari Bani Hasyim/Muthalib.

 

Sahihlah hadis berikut ini: “Kami dan Bani Muthalib adalah satu, maka kedua-duanya berkeseimbangan.”

 

Laki-laki yang hanya dirinya yang beragama Islam, adalah tidak seimbang dengan wanita yang ayahnya atau kebanyakan orang tuanya muslim. Laki-laki yang ayah dan ibunya muslim, adalah tidak seimbang dengan wanita yang tiga orang tuanya muslim, menurut yang dijelaskan oleh para fukaha.

 

Tetapi Qadhi Abu Thayib dan lainnya mempunyai pandangan lain: Dua tingkat di atas adalah seimbang (antara laki-laki dengan wanita). Pendapat ini dipilih oleh Ar-Ruyani dan dimantepi deh pemilik Al-Ubab (ringkasan dari kitab Raudhatuth Thalibin. Pemilik tersebut adalah Al-Muzayjad).

 

Wanita yang selamat dari pekerjaan: pekerjaan rendah -yaitu pekerjaan yang menjatuhkan harga diri- adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang tidak begitu. –

 

Karena itu, laki-laki yang ayahnya menjadi pembekam (tukang cantuk: jawa), tukang sapu atau penggembala, adalah tidak seimbang dengan putri penjahit, Laki-laki putra penjahit tidak seimbang dengan putri pedagang: yaitu pedagang apa saja tanpa terbatas jenis dagangan, atau putri pedagang tekstil, Laki-laki putra pedagang dan pedagang tekstil, adalah tidak seimbang dengan putri orang alim atau qadhi yang adil.

 

Ar-Ruyani dan dibenarkan oleh Al-Adzra’i berkata: Laki-laki yang bodoh tidak seimbang dengan wanita alim, Lain halnya dengan pendapat dalam Ar-Raudhah.

 

Menurut Al-Ashah: Kekayaan tidak menjadi pedoman dalam kafa-ah, karena harta itu bisa hulang dan tidak menjadi kebanggaan bagi para pemegang. muruah dan orang yang mempunyai pandangan hati.

 

Wanita yang ketika akad terhindar dari cacat yang menyebabkan khiyar nikah bagi suami yang tidak mengetahui keberadaan cacat tersebut waktu itu, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang berpenyakit seperti itu, sebab orang, itu merasa jijik bercampur dengan orang yang berpenyakit. Penyakit yang menyebabkan khiyar, misalnya: Gila, sekalipun terputus-putus dan hanya sedikit -yaitu penyakit hilang kesadaran jiwa-. Lepra yang telah menetap -yaitu penyakit yang membuat anggota badan menjadi : merah, lalu hitam dan hancur-, Sopak yang menetap -yartu penyakit kulit yang memutih dan menghilangkan peredaran darah-, sekalipun hanya sedikit. Tanda penyakit Lepra yang menetap, adalah anggota badan menjadi hitam, sedangkan sopak tandanya adalah kulit berdarah waktu diperas.

 

Bila pihak wanita juga terkena penyakit tersebut, maka juga tidak kafa-ah, sekalipun kadar penyakit pada wanita lebih parah.

 

Adapun cacat-cacat yang tidak . menetapkan khiyar, maka tidak membawa pengaruh sama sekali, misalnya buta, terputus sebagian anggota badan dan rupa yang buruk: Lain halnya dengan segolongan fukaha Mutakaddimun.

 

Penyempurna:

 

Di antara cacat nikah adalah: Lubang sanggama wanita tertutup oleh daging, lubang sanggama wanita tertutup tulang, batang zakar terputus dan impotensi.

 

Karena cacat di atas pada pihak lain, maka bagi suamu/istri dengan seketika berhak khiyar membubarkan nikah, dengan syarat dilakukan di depan hakim.

 

Cacat-cacat yang tidak menetapkan khiyar: Istihadhah, mulut berbau busuk, keringat berbau tidak sedap, luka-luka yang mengalami pendarahan terus-menerus dan lubang vagina yang sempit.

 

Masing-masing suami-istri berhak khiyar, jika ternyata tidak sesuai persyaratan yang ditetapkan waktu akad, bukan sebelumnya.

 

Misalnya disyaratkan pada salah satu suami-istri harus merdeka, bernasab, rupawan, kaya, gadis, jejaka atau terhindar dari cacat-cacat, misalnya ” Kukawinkan kamu dengan syarat dia masih gadis atau merdeka”: Maka bila ternyata kurang memenuhi persyaratan, bagi suami boleh fasakh nikah, sekalipun tanpa qadhi.

 

Bila disyaratkan gadis, ternyata janda dan’istri “mengaku bahwa hilang kegadisannya setelah hidup bersama suaminya, lalu sang suami mengingkarinya, maka pihak istri dapat dibenarkan dengan sumpahnya, karena demi menolak ada fasakh.

 

Atau (bila) mengaku (mendakwa), bahwa kegadisan hilang karena perbuatan (persetubuhan) suami, tetapi suami mengingkarinya, maka yang dibenarkan pihak istri, demi menolak fasakh nikah juga, tetapi pihak suami dibenarkan dengan cara disumpah, demi untuk membagi mahar menjadi separo, jika penjatuhan talak setelah disetubuhi.

 

Sebagian segi keseimbangan (kafa-ah) itu tidak dapat ditutup dengan segi-segi yang lain.

 

Karena itu, wanita non-Arab yang merdeka tidak dapat dinikahkan dengan budak yang Arab (sebab laki-laki tidak kafa-ah denganistri), dan wanita merdeka yang fasik tidak dapat dirikahkan dengan laki-laki budak yang bersih jiwanya.

 

Al-Mutawalli berkata. Pekerjaan membuat roti tidak termasuk pekerjaan-pekerjaan yang rendah.

 

Bila urf suatu daerah memberlakukan tinggi sebagian pekerjaanpekerjaan yang telah diterangkan oleh fukaha, maka urf tersebut tidak dapat menjadi pedoman penilaian kafa-ah. Adapun urf yang menjadi pedoman penilaian kafa-ah, adalah urf daerah wanita yang tidak diterangkan oleh fukaha.

 

Ayah tidak berhak mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil dengan perempuan amat, karena anak itu masih terpelihara dari perbuatan zina.

 

Wali dari nasab atau wala’ -bukan qadhi- boleh menikahkan wanita perwaliannya dengan laki-laki yang tidak kafa-ah dengan ada kerelaan hati wanita itu sendiri dan wali atau para wali yang lainnya, yang sederajat dan sempurna, karena hilang penghalang sah nikah dengan ada kerelaan dari mereka.

 

Adapun qadhi, maka dia tidak sah menikahkan wanita dengan laki-laki yang tidak kafa-ah, sekalipun wanita telah merelakan, menurut pendapat Al-Muktamad: Jika wanita itu mempunyai wali, tetapi sedang tidak berada di tempat atau mafqud (musnah), sebab dia kedudukannya sebagai pengganti dari wali tersebut, yang tidak boleh mengabaikan hak yang diganti.

 

Segolongan fukaha Mutaakhirun membahas, bahwa bila sang wanita tidak mendapatkan laki-laki yang kafa-ah dengannya dan ia khawatir terjadi fitnah, karena darurat seperti ini, qadhi wajib mengijabkannya. Kata Guru kita: Pendapat ini adalah sisi lain pendapat dari segi pemahamannya (oleh para Ashhabusy Syafi’i).

 

Adapun bila wanita itu tidak mempunyai wali sama sekali, maka pengawinan qadhi dengan laki-laki yang tidak kafa-ah atas permohonan pihak wanita, adalah sah menurut pendapat Al-Mukhtar: Lain halnya dengan pendapat kedua Guru kita.

 

Cabang:

 

Bila seorang wanita (gadis/janda) dikawinkan dengan laki-laki yang tidak kufu (tidak seimbang) secara paksa (oleh wali Mujbir) atau dengan izinnya yang secara mutlak (misalnya wali tidak Mujbir atau calon istri janda yang balig), maka pengawinan tidak sah, karena tiada kerelaan dari wanita tersebut.

 

Bila wanita tersebut memberikan izin untuk dikawinkan dengan laki-laki yang disangka kufu, ternyata tidak, maka hukum nikah sah dan ia tidak mempunyai hak khuyar, karena gegabahnya sendiri, mengapa ia tidak mau meneliti.

 

Wanita tersebut mempunyai hak khiyar, jika ternyata suami cacat atau budak, padahal dirinya merdeka.

 

Penyempurna:

 

Bagi suami boleh melakukan semua bentuk seksualitas dari istrinya, kecuali lubang anusnya, sekalipun dengan mencecap clitoris atau beronani memakai tangannya.

 

Tidak boleh beronani memakai tangan sendiri, sekalipun khawatir berbuat zina -lain halnya dengan pendapat Ahmad-, juga tidak boleh memecahkan selaput dara dengan menggunakan jari-jari.

 

Sunah bersenda gurau dengan istri untuk menghiburnya, tidak mengosongkan persetubuhan tiap empat hari bila tanpa uzur, memilih waktu sahur untuk persetubuhan, menunda melepas zakar dan vagina bila suami berejakulasi terlebih dahulu, menyetubuhi setelah datang dari bepergian, suami-istri memakai wewangian ketika menjelang bersetubuh, suami-istri -sekalipun telah putus dari pembuahanmembaca “Bismillah .. dan seterusnya (Dengan nama Allah, Wahai, Tuhanku Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau rezekikan kepada kami), dan sunah suami-istri tidur dalam satu selimut.

 

Menggunakan obat-obat kuat jimak yang diperbolehkan (mubah) dengan tujuan baik

-misalnya kesucian jiwa dan mendapatkan keturunan-, adalah menjadi perantara sesuatu yang disukai: karena itu, hendaknya memakai obat seperti itu disukai juga, menurut pendapat yang zhahir, yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Makruh bagi istri menyebut-nyebut sifat wanita lain kepada suaminya atau orang lain, tanpa ada keperluan.

 

Bagi seorang suami boleh menyetubuhi istrinya pada waktu di mana ia mengetahui salat fardu telah masuk waktunya serta waktu telah habis sebelum ia mendapatkan air: pada waktu di mana ia mengetahui bahwa istrinya tidak dapat mandi setelah persetubuhan dan waktu salat telah habis. ‘

Laki-laki merdeka -sekalipun mandul-, adalah haram menikahi budak orang lain -sekalipun Muba’adh-, kecuali tiga perkara:

 

Pertama: Ia tidak dapat menemukan wanita untuk diajak bermain seks, sekalipun berupa wanita amat atau wanita (istri) yang berada dalam talak raj’i, hukumnya seperti seorang istri, selama belum habis idahnya, buktinya masih dapat saling mewaris. Maksudnya: Ia tidak menemukan seorang pun dari dua pilihan di atas.

 

la juga tidak mampu menikahi wanita merdeka lantaran tidak didapatkan atau karena melarat: atau tidak mampu menggauli amat lantaran tidak memiliki atau tidak mempunyai uang untuk membelinya.

 

Bila ia menemukan orang yang mau mengutangi, memberi harta atau budak perempuan kepadanya, maka Ia tidak wajib menerimanya, tetapi ta halal menikahi wanita budak. Bila la orang yang mempunyai anak yang kaya, maka baginya tidak halal menikahi amat.

 

Bila laki-laki itu memiliki amat/istri talak raj’i yang masih kecil, yang tidak kuat disetubuhi, atau telah tua bangka, gila, terkena penyakit lepra, sopak, lubang vagina tertutup daging, atau wanita tersebut lubang vaginanya tertutup tulang, maka baginya halal memkalu amat.

 

Demikian juga jika wanita yang dimiliki itu wanita pezana, menurut fatwa dari tidak hanya seorang ulama saja.

 

Bila laki-laki tersebut mampu mendapatkan wanita yang tengah berada di tempat yang dekat (jarak di bawah kebolehan menggashar salat) serta tidak sulit menuju ke sana dan memungkinkan untuk dipindah ke daerah orang tersebut, maka ia ndak halal menikahi amat.

 

Adapun bila wanita yang dimiliki berada di tempat yang jauh dari tempatnya dan untuk menuju ke sana mengalami kesukaran yang jelas -misalnya orang yang menanggung kesukaran tersebut untuk mencari istrinya yang tidak berada di daerah bisa dianggap melampaui batas (sampai dicacat orang banyak ), atau takut berbuat zina dalam perjalanan menuju ke tempat istrinya tersebut-, maka wanita tersebut dianggap tidak ada, seperti hukum wanita yang tidak mungkin dipindah ke tanah airnya, lantaran masyakat yang diterima dalam pengembaraannya.

 

Kedua: Laki-laki tersebut takut berbuat zina lantaran nafsu seksualitasnya tinggi, sedang takwanya tipis (lemah): Maka, baginya halal menikahi amat, berdasarkan ayat Alqur-an.

 

Bila nafsu seksualitasnya lemah dan ia memiliki takwa, harga diri (muruah), rasa malu yang membuat dirinya merasa tidak baik berbuat zina, atau nafsu seksualitas dan takwanya sama-sama kuat, maka ia tidak halal merikahu amat, karena tidak khawatir akan berbuat zina.

 

Bila laki-laki tersebut khawatir berbuat zina terhadap perempuan budak, lantaran sangat terpikat dengannya, maka bukan berarti halal ia nikahi, sebagaimana yang telah diterangkan oleh fukaha.

 

Ketiga: amat yang akan dinikahi harus muslimah lagi dapat disetubuhi. Karena itu, tidak halal menikahi amat kitabiyab.

 

Menurut Abu Hanifah: Laki-laki merdeka boleh mengawini amat milik orang lain, jika ia tidak mempunyai istri yang merdeka.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila laki-laki merdeka dengan syarat-syarat tersebut telah ia penuhi, kemudran menikahi amat, lalu ia menjadi kaya dan menikahi wanita yang merdeka, maka nikahnya dengan amat tersebut tidak fasakh.

 

Anak yang dilahirkan oleh amat dari pernikahan atau lainnya, misalnya zina atau persetubuhan syubhat -misalnya menikahi amat dalam keadaan laki-laki itu kaya-, adalah statusnya budak murni milik pemilik amat tersebut.

 

Bila ada seorang laki-laki tertipu dengan kemerdekaan seorang amat, lalu ra menikahinya, maka anakanak yang lahir dari amat tersebut hukumnya merdeka, selama laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa wanita yang dirukahu adalah seorang budak -sekalipun laki-laki tersebut seorang budakdan ia wajib membayar harga anak-anak yang lahur tersebut kepada pemilik amat dengan harga di kala mereka lahir

 

Orang Islam merdeka dihalalkan menyetubuhi budak perempuannya yang Kitabiyah, jika budaknya beragama Watsariyah atau Majusiyah, maka tidak halal disetubuhi.

 

Penyempurna:

 

Pemilik budak laki-laki yang telah memberi izin menikah terhadap budak laki-lakinya, adalah tidak wajib menanggung mahar dan biaya hidupnya, sekalipun dalam izinnya telah disyaratkan ada tanggungan, tetapi mahar dan biaya hidup diambilkan dari hasil kerja budak tersebut dan hasil perdagangan yang telah diizinkan penanganannya.

 

Bila budak itu tidak bekerja dan tidak diberi izan berdagang, maka mahar dan biaya hidup (nafkah) menjadi tanggungan utang budak itu sendiri , sebagaimana halnya dengan kelebihan mahar yang telah ditentukan oleh sayidnya, dan mahar yang wajib dibayar sebab persetubuhan yang dilakukan dalam nikah fasid, yang tidak mendapat izin dari sayidnya.

 

Tidak tertetapkan mahar sama sekah, lantaran seorang sayid’ mengawinkan budak

laki-lakinya dengan amatnya, sekalipun mahar disebutkan. Ada yang mengatakan: Mahar di sim wajib, lalu gugur.

Shidaq adalah sesuatu yang diwajibkan sebab rukah atau persetubuhan.

Sesuatu itu dinamakan “shidaq”, karena memberikan kesan bahwa pemberi sesuatu itu benar-benar karena ada ikatan nikah, di mana pernikahan itu merupakan pangkal terjadi pemberian tersebut. Shudaq juga disebut “mahar”.

 

Ada yang mengatakan: Shidaq adalah pemberian wajib yang disebutkan dalam akad, sedangkan mahar adalah pemberian wajib Selain itu.

 

Sunah menyebutkan mahar ketika akad dan berupa mahar perak -sekahpun dalam mengawinkan budak lakilakinya dengan amat miliknya-, karena ittiba’ dengan Rasulullah saw. Sunah juga mahar itu tidak melebihu 500 dirham, yang mana sekian itulah maskawin putri-putri Rasulullah saw. dan tidak kurang dan 10 dirham murni.

 

Makruh tidak menyebutkan mahar ketika akad.

 

Terkadang menyebutkan mahar ketika akad hukumnya wajib, lantaran ada sesuatu hal, misalnya sebagaimana keadaan sang istri tidak mempunyai wewenang bertasaruf.

 

Segala yang sah untuk membeli, adalah sah untuk maskawin -sekalipun kecil nilainya-, lantaran sah dijadikan penukar.

 

Apabila dalam akad rikah dengan menyebutkan mahar yang tiada nilai kehartaan -misalnya sebutir isi kurma, sebutir kerikil, tangkai buah terong dan meninggalkan had qadzaf-, maka penyebutan tersebut rusak, karena termasuk perkara yang tdak digunakan penukar.

 

Bagi istri -begitu juga wali wanita yang kurang sempurna lantaran masih kecil atau gila, dan sayid dari amat-, berhak menahan dirinya untuk mengambil maharnya tidak kontan, yaitu mahar mu’ayyan atau kontan, baik itu sebagian atau seluruhnya.

 

Adapun bila mahar itu tidak kontan, maka bagi istri tidak boleh menahan dirinya, sekalipun masa pelunasannya telah tiba sebelum istri menyerahkan dirinya kepada suaminya.

 

Hak menahan diri menjadi gugur, setelah suami menjimaknya dengan ketaatannya sendiri serta istri dalam keadaan sempurna (balig dan berakal sehat). Bagi istri yang belum balig atau gila, berhak menahan dirinya setelah menjadi sempurna, kecuali karena suatu maslahat, walinya menyerahkan.

 

Wajib bagi istri -atas permintaan sendiri atau walinya-, menunda penyerahan dirinya lantaran membersihkan badannya selama waktu menurut petunjuk qadhi, yaitu maksimum 3 hari. Tidak wajib menunda untuk menunggu habis pendarahan haid atau nifas.

 

Tetapi, bila istri yang sedang haid/ nifas khawatir akan dijimak, maka ia wajib menyerahkan dirinya kepada suaminya dan menolak dijimak.

 

Bila ia yakin bahwa penolakannya tiada berguna dan banyak qarninah yang menunjukkan, bahwa suami akan menjimaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan dirinya untuk dijimak, bahkan dalam keadaan seperti ini ia wajib menolak menyerahkan dirinya, menurut yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Bila wali menikahkan wanita perwaliannya yang gadis dalam keadaan belum balig, gila atau rasyidah yang tidak memberikanizan ada mahar di bawah mahar mitsil, atau rasyidah tersebut (baik gadis atau janda) telah menentukan jumlah mahar kepada walinya, lalu dikurangi, atau rasyidah tersebut memberikan izan dinikahkan secara muttak tanpa menetukan besar maharnya, lalu dirikahkan dengan mahar di bawah mahar mitsil, maka nikah tersebut adalah sah dengan mahar mitsil, karena mahar yang disebutkan dihukumi fasad.

 

Sebagaimana pula sah nikah dengan mahar mutsil, bila wali anak kecil qabul nikah untuk anak laki-laki perwaliannya dengan mahar di atas mahar mitsil, serta dibayar dengan harta anak kecil itu.

 

Bila mereka (wali, calon suami dan Istri yang rasyidah) menyebutkan mahar secara sirri (pelan-pelan), lalu menyebutkan mahar yang lebih besar dari yang pertama dengan keras, maka suami wajib membayar mahar sebesar jumlah yang disebutkan dalam akad, karena berpedoman dengan akad.

 

Bila akad rukah secara sirri dengan mahar 1.000, lalu agar kelihatan bagus, maka akad diulangi lagi secara terang-terangan dengan mahar 2.000, maka mahar yang wajib dibayar adalah 1.000.

 

Dalam persetubuhan dan pernikahan atau pembelian amat yang fasid -wathi/ persetubuhan syubhat-, maka wajib memberikan mahar mitsil, karena alat kelamin perempuan telah dimanfaatkannya.

 

Mahar mutsil tidak dilipatgandakan menurut jumlah persetubuhan, jika masih dalam satu syubhat.

 

Mahar tetap harus dibayar seluruhnya, sebab salah satu suami-istri mati -sekalipun belum pernah berjimak-, karena berdasarkan ijmak para sahabat, atau sebab telah menyetubuhi istri, yaitu dengan memasukkan kepala zakar ke lubang vagina, sekalipun selaput dara masih utuh.

 

Mahar gugur seluruhnya, sebab terjadi perceraian dari pihak istri sebelum terjadi jimak, misalnya istri menfasakh akad karena ada kecacatan pada diri suami atau suami melarat, misalnya istri berbuat murtad, atau perceraian dari pihak suami sebab istri cacat.

 

Mahar wajib dibayar separonya, sebab penjatuhan talak sebelum dijimak, sekalipun talak tersebut atas pilihan istri, misalnya suami menyerahkan hak talak kepada istrinya, lalu ia melakukan penjatuhan talak kepada suami menggantungkan jatuh talak pada perbuatan istrinya, lalu ia melakukan perbuatan yang di. maksudkan atau istri dijatuhkan talaknya dengan khulu’, dan sebab fasakh nikah lantaran suaminya berbuat murtad.

 

Dengan bersumpah, suami/istri bisa dibenarkan dakwaannya, bahwa dirinya belum berjimak, karena dasar permasalahan adalah belum terjadi jimak.

 

Kecuali bila suami menikahi istrinya dengan syarat masih perawan, lalu suami mengatakan “Kudapannya telah janda dan aku belum pernah menjimaknya”, lalu dijawab pihak istri: “Keperawanan hilang sebab kau jimak”, maka istri yang dibenarkan dengan sumpahnya, demi menolak ada fasakh.

 

Suami dibenarkan dakwaannya juga, demi pembayaran mahar separo, jika ia menjatuhkan talak sebelum menyimak istri.

 

Bila terjadi persehsihan antara suami-istri mengena jumlah mahar yang ditentukan serta dakwaan suami lebih kecil, atau mengenai sifat mahar: yatu semacam jenisnya, misalnya dinar, kontan, masa angsuran atau keutuhan dinar dan sebaliknya (dirham, berangsur dan seterusnya), padahal tiada bayinah yang dikemukakan oleh salah satu dari mereka atau kedua belah pihak mengemukakan bayinah, tetapi bertentangan, maka sebagaimana masalah jual beli, mereka harus melakukan Tahaluf (sumpah yang sekaligus menguatkan dakwaanya sendiri dan meniadakan dakwaan lawan)

 

Kemudian setelah tahaluf, mahar yang ditentukan (disebut) dalam akad rukah menyad rusak dan wajib membayar mahar sutul, sekalipun ternyata lebih besar daripada mahar yang didakwakan istri.

 

Mahar mutsil adalah ukuran mahar yang biasanya menjadi kesukaan wanita-wanita sepadan calon istri yang menjadi wans ashabahnya dan segi nasab (jika wanita-wanita itu diperkirakan sebagai laki-laki, sebab wanis ashabah dan nasab yang hanya laki-laki) Karena itu, (untuk mengukur besar mahar) didahulukanlah saudara perempuan calon istri yang sekandung, lalu yang seayah, mendahulukan bibi dani ayahnya yang sekandung, baru yang seayah saja.

 

Bila mahar wanita-wanita tersebut tidak diketahui, maka diukur dengan mahar wanita-wanita Arhamnya, misalnya nenek dan saudara perempuan ibu.

 

Al-Mawardi dan Ar-Rauyani berkata: Urutan wanita yang menjadi ukuran mahar mitsil dari Dzawatul Arham sebagai berikut: 1. Ibu, 2. Saudara perempuan seibu, 3. Nenek, 4. Saudara perempuan dari ibu, 5. Anak perempuan saudara perempuan ibu. Jika nenek dari ayah dan dari ibu berkumpul, maka menurut sisi tinjauan pendapat adalah sama statusnya.

 

Bila wanita-wanita dari kalangan Dzawatul Arham tersebut tidak dapat diketahui, maka mahar mitsil diukur dengan wanita-wanita lain yang sepadan dengan calon istri tersebut. Di samping itu, juga perlu diperhatikan perbedaan latar belakangnya, misalnya: Usia, kekayaan, kegadisan, kecantikan dan kefasikannya.

 

Bila wanita yang akan kita tentukan. mahar mitsilnya ini ada kelebihan atau kekurangan dengan wanita-wanita di atas, maka mahar mitsil ditambahi atau dikurangi sepantasnya, sesuai keadaannya, menurut pendapat qadhi.

 

Bila seorang wanita dari ashabahnya meringankan maharnya, maka tidak wajib dikuti.

 

Wali tidak berhak mengampuni dengan meniadakan mahar mauhyahnya, sebagaimana dengan piutang dan hak-hak anak perwaliannya.

 

Kudapatkan tulisan Al-Allamah Ath-Thanbadawi mengenai khilah, agar suami bebas dari tanggungan mahar, adalah misalnya wali berkata kepada suami -di mana istrinya belum balig, gila atau bodoh-: “Jatuhkan talak wanita mauliyahku dengan tebusan 500 dirham dan aku yang menanggungnya”, lalu pihak suami berkata: “Saya alihkan tanggunganku membayar mahar untuk anak perwalianmu kepadamu”, lalu wali menjawab: “Kuterima”: Dengan demikian suami bebas dari tanggungan mahar Selesai.

 

Sah seorang istri yang Mukalaf mentabaru’kan mahar dengan lafal ibra’ (pembebasan), afwu (pengampunan), isqath (pengguguran) ihlal (penghalalan), ibahah (pemberi kebolehan) dan hibah (pemberian), sekalipun tidak terjadi qabul pada suami.

 

Penting:

 

Bila seorang laki-laki meminang seorang wanita dan mengirimkan atau menyerahkan harta kepadanya, sebelum akad nikah terlaksana tanpa disertai lafal yang menunjukkan tabarru’. dan dimaksudkan untuk itu, lalu terjadi pengunduran diri, baik dari pihak wanita maupun laki-laki, maka pihak laki-laki berhak menarik kembali harta yang telah dikirimkan tersebut, sebagaimana yang diterangkan oleh segolongan fukaha Muhaqqiqun.

 

Bila laki-laki memben istrinya harta, lalu wanita mengatakan: “Harta tersebut sebagai hadiah”, dan suaminya mengatakan: “Sebagai mahar”, maka pihak laki-laki dibenarkan dengan sumpah, sekalipun harta tersebut tidak sejenis mahar.

 

Bila laki-laki menyerahkan kepada wanita pinangannya dan berkata (mendakwa): “Harta itu kujadikan sebagai mahar yang akan wajib aku bayar sebab akad”, atau “… sebagai biaya pakaian yang wajib aku tanggung setelah akad dan tamkin”, lalu pihak istri mendakwa: “Harta itu sebagai hadiah”, maka menurut suatu pendapat, yang dibenarkan adalah pihak istri, sebab tidak ada garinah yang menunjukkan kebenaran maksud suami.

 

Bila dalam masalah kita di atas (pengiriman harta kepada wanita pinangan) setelah terjadi akad nikah, lalu laki-laki menjatuhkan talaknya, maka ia tidak boleh menarik kembali harta tersebut -lain halnya dengan pendapat Al-Baghawi-, sebab ia memberikan harta tersebut demi terlaksana akad, sedang akad itu telah terjadi.

 

Penyempurna:

 

Suami wajib memberikan Mut’ah kepada istri yang pernah dijimak – sekalipun amat-, dengan terjadinya perceraian yang bukan dari sebab istri dan bukan sebab kematian salah seorang suami-istri

 

Mut’ah adalah. Sejumlah harta yang menjadi kerelaan suanu-istri, Ada yang mengatakan: Mut’ah adalah jumlah paling sedikit yang sah untuk dijadikan mahar.

 

Sunah pemberian mut’ah itu tidak kurang dari 30 dirham.

 

Bila suami dan istri berselisih mengenai mut’ah, maka mut’ah ditentukan oleh qadhi berdasarkan keadaan kedua belah pihak: Kekayaan atau kemelaratan suami, dan nasab atau sifat istri.

 

Penutup:

 

Walimatul Ursy (pesta perkawinan) hukumnya sunah muakkad bagi suami yang rasyid dan wali suami yang tidak rasyid, dengan diambilkan dari harta suami.

 

Paling sedikit walimah tidak ada batasnya, tetapi yang lebih utama bagi yang mampu adalah seekor kambing.

 

Waktu yang lebih utama, adalah setelah terjadi persetubuhan, lantaran ittiba’ kepada Rasulullah saw. Pelaksanaannya setelah akad nikah dan sebelum persetubuhan juga sudah mendapatkan asal kesunahannya.

 

Menurut suatu pendapat, bahwa perintah sunah walimatul ursy berjalan terus setelah terjadi jimak, sekalipun telah panjang masa berlalu -sebagaimana Akikah-, dan sekalipun suami telah meryatuhkan talak pada istri.

 

Penyelenggaraan walimatul ursy pada malam hari adalah lebih utama.

 

Bagi orang yang tidak mempunyai uzur -sebagaimana uzur-uzur dalam masalah salat Jumatdan qadhi wajib menghadiri walimatul ursy – yang diselenggarakan setelah akad, bukan sebelumnya, jika mempelai laki-laki muslim yang mengundangnya sendiri, utusan wakilnya yang dapat dipercaya atau utusan anak tamyiz yang tidak diketahui (tidak pernah), berkata dusta, serta undangan diberikan secara merata kepada segenap orang yang dimaksud sifatnya sesuai maksud pengundang, misalnya segenap tetangga dan sanak familinya atau segenap handatolan atau teman sekerjanya.

 

Bila sanak famili pengundang terlalu banyak atau tidak mampu meratakan undangan lantaran fakir, maka tidak disyaratkan undangan harus merata, menurut pendapat Al-Aujah: tetapi disyaratkan tidak tampak mengkhususkan orang kaya atau lainnya.

 

Disyaratkan pula orang yang diundang dita’yin pribadi atau dengan sebutan sifatnya Karena itu, tidak cukup dengan: “Barangsiapa yang mau, maka silakan hadir”, “Undanglah siapa saja yang kamu sukai” atau “… Siapa saja yang kamu temui”, bahkan dalam undangan seperti in tidak wajib mendatanginya.

 

Disyaratkan juga dalam menghadiri walimah tidak terjadi khalwah yang diharamkan. Karena itu, undangan walimah wanita yang menghadiri wanita atas izin suami atau sayidnya, tidak boleh dihadiri oleh laki-laki, kecuali bila di sana terdapat pencegah khalwah yang diharamkan, misalnya ada laki-laki: mahram wanita pengundang, wanita mahram laki-laki yang diundang atau wanita pengundang tersebut bersama wanita lain yang adil.

 

Adapun bila akan terjadi khalwah yang diharamkan, maka secara mutlak tidak boleh mendatangi acara wahmatul ursy. Demikian juga tidak boleh menghadiri -sekalipun tidak terjadi khalwah-, bila di sana ada jamuan khusus untuknya, misalnya wanita pengundang berada dalam suatu bilik dan ia mengutus laki-laki untuk mengirimkan makanan kepada yang diundang berada di bilik lain, hal ini disebabkan khawatir terjadi fitnah.

 

Lain halnya bila tidak dikhawatirkan terjadi fitnah (maka bagi laki-laki boleh mendatangi undangan wanita). (Dalilnya): Sufyan dan temantemannya membesuk Rabi’ah Al-Adawiyah dan mendengarkan bicaranya. Karena itu, bila didapatkan laki-laki seperti Sufyan dan wanita seperti Rabi’ah, maka tidak haram menghadirinya, bahkan makruh pun tidak.

 

Disyaratkan juga, bahwa diundangnya bukan karena ditakuti, diharapkan dari kepangkatannya atau agar membantu dalam kebatilan, dan bukan untuk makan barang syubhat, semisal tidak diketahui keharaman pada harta pengundang itu.

 

Adapun bila terjadi syubhat di sana, sebagaimana diketahw bahwa harta benda atau makanan walimah pengundang bercampur dengan barang haram, sekalipun sedikit, maka hukumnya tdak wajib menghadin, bahkan makruh bela sebagian besar hartanya itu haram.

 

Bila diketahui bahwa makanan walimah itu haram, maka haram menghadiri undangannya, sekalipun ia tidak berkeinginan ikut makan, sebagaimana pendapat yang dizhahirkan oleh Guru kita.

 

Disyaratkan pula di tempat walimah tidak terdapat kemungkaran, di mana kehadirannya tidak dapat menghentikannya. Termasuk kemungkaran adalah tabir penutup terbuat dari sutera, alas lantai dari hasil menggasab dan ada orang yang membuat hadirin tertawa dengan cara yang keji dan dusta. Jikalau itu yang terjadi, maka haram menghadarinya.

 

Termasuk barang mungkar: Gambar binatang yang lengkap dengan bagian tubuhnya, di mana binatang sesungguhnya tidak dapat hidup tanpa anggota tubuh itu, sekalipun tidak ada bentuk binatang hidup sesungguhnya seperti itu, misalnya gambar kuda bersayap dan burung bermuka manusia yang berada di atap rumah, pagar atau selambu yang digantung untuk perhiasan, pada pakaian yang terpakai atau alas yang terbentang, karena gambar-gambar tersebut menyerupai berhala. Karena itu, dengan keberadaan gambargambar seperti itu, undangan walimah tidak wajib dihadiri, bahkanharam hukumnya.

 

Tidak membawa pengaruh apa-apa dengan membawa mata uang yang bergambarkan lengkap, lantaran ada hajat untuk itu, dan karena gambar itu diperlakukan untuk muamalah.

 

Boleh menghadiri undangan yang di situ terdapat gambar-gambar diremehkan, misalnya gambar-gambar yang terpampang di alas dan diinjakinjak kaki, bantal yang ditiduri atau dibuat lesehan, pada besi, meja, piring dan kendi.

 

Demikian pula boleh, bila gambaritu terputus kepalanya, karena hilang bagian yang menjadi pangkal kehidupannya.

 

Haram -meskipun di atas tanah-, menggambar binatang yang meskipun tidak ada wujud sesungguhnya.

 

 

Tetapi, boleh membentuk boneka permainan anak-anak wanita, karena Aisyah r.a. adalah bermain boneka di sisi Rasulullah saw., sebagaimana di dalam Hadis Muslim. Hikmahnya adalah melatih anak-anak wanita untuk menangani urusan tarbiyah.

 

Tidak haram juga menggambar binatang tanpa kepala, lain halnya dangan pendapat Al-Mutawalli.

 

Halal mencetak perhiasan emas-perak dan menenun sutera, karena barang itu halal untuk kaum wanita, tetapi membuatnya untuk orang yang tidak halal memakainya, adalah haram.

 

Bila seorang diundang oleh dua orang, maka yang dihadiri adalah orang yang mengundang lebih dahulu dan bila mengundangnya dalam waktu yang sama, maka hadirilah yang lebih dekat rumahnya, lalu dengan diundi.

 

Sunah menghadiri undangan segala macam walimah, misal walimah khutan, kelahiran anak, keselamatan wanita dari sakit waktu melahirkan, datang dari perjalanan dan khataman Alqur-an, Semua ini hukumnya sunah.

 

Beberapa Cabang:

 

Disunahkan makan ketika ia sedang mengerjakan puasa sunah -sekalipun puasa muakkad-, demi melegakan hati orang yang menjamu, sebagaimana tuan rumah hatinya tidak enak, bila makanan yang disuguhkan tidak dimakan -sekalipun waktu itu telah di akhur siang-, karena ada perintah untuk berbuka dari puasa.

 

(Sekalipun ia berbuka), ia masih mendapatkan pahala untuk puasa yang dikerjakan, dan sunah mengqadhanya di suatu hari.

 

Bila tuan rumah tidak keberatan makanan yang ia suguhkan tidak dimakan, maka tidak sunah berbuka dari puasa, bahkan yang lebih utama adalah puasa terus.

 

Tamu diperbolehkan memakan apa’ saja yang disuguhkan kepadanya, tanpa dipersilakan oleh tuan rumahnya. Tetapi bila tuan rumah masih menunggu yang lainnya, maka sebelum yang ditunggu datang, maka ia tidak boleh memakan suguhan tersebut, kecuali tuan rumah mempersilakannya.

 

Dua guru kita menjelaskan akan kemakruhan makan terlalu kenyang. Sedangkan ulama yang lainnya mengatakan haram.

 

Dengan sanad daif diriwayatkan, bahwa Nabi saw. melarang seseorang makan dengan cara bersandar diri pada tangan kirinya. Malik berkata: Posisi tersebut adalah suatu bentuk duduk bersandarkan pada sesuatu.

 

Posisi sunah dilakukan orang yang . makan, adalah makan dengan duduk berlutut dan bagian luar telapak kaki diletakkan di bawah, atau (telapak) kaki kanan diberdirikan dan duduk di atas telapak kaki kiri.

 

Makruh makan sambil duduk bersandarkan sesuatu, yaitu bertopang pada alas yang ada di bawahnya, juga makan sambil tiduran mining, kecuali makan makanan yang dengan posisi itu dapat diambil. Tidak makruh makan sambil berdiri.

 

Minum sambil berdiri adalah menyelisihi keutamaan (khilaful aula).

 

Sunah bagi orang yang makan, mencuci dua tangan dan mulutnya sebelum dan sesudah makan, membaca surah Al-Ikhlas dan Al-Quraisy sesudah makan, dan tidak menelan sisa makanan yang terambil dengan tusuk gigi, bahkan yang sunah adalah membuangnya.

 

Lain halnya dengan sisa makanan yang terkumpul oleh lidahnya dani sela-sela gigi, maka boleh ditelan.

 

Haram memperbesar suapan makan dengan mempercepat suapan, agar mendapatkan makanan yang banyak dan menghalangi teman makan yang lain.

 

Apabila seseorang mendapati orangorang yang sedang makan dan mereka mengajaknya ikut makan, maka ia tidak boleh ikut makan, kecuali ia memperkirakan bahwa ajakan tersebut keluar dari kerelaan hati mereka, bukan karena semacam merasa malu.

 

Seorang tamu tidak diperbolehkan memberi makan pengemis atau kucing, kecuali diketahui ada kerelaan dari tuan rumah. Makruh bagi pengundang suatu walimah, memberikan keistimewaan kepada sebagian tamunya dengan makanan yang mewah.

 

Haram bagi orang-orang yang rendah status sosialnya, memakan makanan yang disuguhkan kepada orang-orang yang mulia.

 

Bila seorang tamu mengambil wadah makanan, lalu pecah dari tangannya, maka ia wajib menggantinya, -sebagaimana yang dibahas Az-Zarkasyi-, sebab yang ada di tangannya tersebut dihukumi sebagai Ariyah.

 

Bagi seseorang diperbolehkan mengambil semacam makanan temannya dengan memperkirakan, bahwa pemiliknya merelakan perbuatan-itu. “Kerelaan di sini berbeda-beda, sesuai ukuran yang diambil, jenis dan keadaan tuan rumahnya.

 

Dalam hal seperti ini, sebaiknya seorang tamu memelihara keadilan teman-temannya, karena itu, jangan mengambil kecuali yang disuguhkan khusus untuknya atau segenap teman merelakan untuk diambil, bukan lantaran malu. Demikian pula dikaitkan hukumnya dengan masalah dua butir kurma yang dimakan berbarengan.”

 

Adapun bila kerelaan itu masih diragukan, maka mengambil makanan temannya adalah haram, sebagaimana hukum tathafful (mendatangi walimah tanpa diundang), selama undangan tidak di buka secara umum, misalnya membuka pintu rumahnya dan mempersilakan siapa saja yang mau masuk.

 

Bagi pemilik makanan wajib memberi makan orang yang kelaparan, seukuran untuk menyambung kematiannya, jika orang tersebut Ma’shum (terpelihara jiwanya) yang Islam atau dami, sekalipun pemiliknya sendiri masih membutuhkan makanan itu di waktu mendatang. Demikian pula memberi makan binatang muhtaram (dimuliakan syarak) milik orang lain.

 

Lan halnya dengan kafir Harbi, orang murtad, pezina mukhshan, orang yang meninggalkan salat dan anjing galak

 

Bila pemilik makanan menolak memberi makan, maka orang yang kelaparan tersebut boleh mengambilnya secara paksa dengan kewajiban menggantinya bila ia telah mampu. Apabila orang tersebut belum mempunyai barang pengganti keseluruhannya, maka ia dapat menggantinya secara diangsur.

 

Bila pemilik makanan memberinya makan tanpa menuturkan ada ganti, maka orang yang diberi makan tersebut tidak wajib menggantinya, lantaran keteledoran pemilik makanan itu sendiri.

 

Bila kedua belah pihak berselisih mengenai ada dan tidak penyebutan ganti, maka dengan cara bersumpah, pemulik dapat dibenarkan.

 

Boleh menaburkan semacam gula dan daun sirih, Adapun tidak melakukan hal itu, adalah lebih utama. Halal memungut barang-barang tersebut, karena diyakini ada kerelaan hati pemiliknya, tetapi hal itu makruh, lantaran barang itu hina adanya.

 

Haram mengambil anak burung yang bersarang di tempat orang lain, mengambil ikan yang masuk bersama-sama air ke dalam telaga orang lain.

Bila seorang suami menginap di tempat salah seorang istrinya, maka hukumnya wajib mengadakan gilir di antara istri-istri yang lainnya, dengan cara undian atau lainnya.

 

Karena itu, suami wajib menginapi istri dari istri-istri yang lainnya, sekalipun terdapat uzur untuk mereka, misalnya sakit dan haid (pengertiannya sama di atas).

 

Sunah menyamaratakan di antara istri dalam segala macam istimta’ dan suami tidak dapat dikenai sanksi lantaran kecondongan hatinya kepada salah satu istrinya. Sunah juga tidak menganggurkan para istri, yaitu hendaklah suami menginapi mereka.

 

Tiada kewajiban gilir buat para amat, dan tidak pula antara para amat dan istri.

 

Wajib bagi suami-istri bergaul dengan cara sebaik mungkin, sebagaimana masing-masing dari mereka menjaga jangan sampai membuat pihak yang lain tidak suka dan memberikan haknya secara sukarela dan muka berseri-seri tanpa mengeluarkan biaya dan menyulitkan din.

 

(Gilir istri wajib bagi) selain istri yang sedang dalam idahnya sebab jimak syubhat, karena haram berduaan dengan wanita seperti ini, dan selain istri kecil yang tidak kuat dijimak.

 

Selain istri yang nusyus, yaitu tidak taat terhadap suami, misalnya keluar dari rumah tanpa seizin suami dan menolak diajak bermain seks (ditamattu’) atau menutup pintu di hadapan suami, sekalipun ia istri yang gila.

 

Selain istri yang sedang dalam perjalanannya sendiri untuk keperluan pribadi, sekalipun atas izin suaminya.

 

Untuk ketiga macam istri di atas, adalah tidak mempunyai hak gilir, sebagaimana tidak mempunyai hak nafkah.

 

Cabang:

 

Al-Adzra’i dengan menukil dari Tajzi’ah Ar-Ruyani berkata: Bila jelas istri berbuat zina, maka bagi suami berhak menolak hak gilir dan hak-haknya yang lain, agar ia mau menebus dirinya. Demikianlah yang telah di-nash dalam Al-Um dan ini adalah salah satu pendapat yang paling ashah. Selesai.

 

Guru kita berkata: Ketentuan di atas adalah zhahur (jelas), bila Ar-Ruyari bermaksud bahwa penghalangan hak gilir halal dilakukan oleh suami secara batin, sebagai pengajaran terhadap istri lantaran keserongannya dalam urusan kasur suami, Adapun secara lahur, maka dakwaan suami atas istri mengenai zina itu tidak dapat diterima, bahkan bila ada perzinaan itu dapat ditetapkan (dengan bayinah atau ikrar istri), maka qadhi tidak boleh memberikan kesempatan kepada suami agar melakukan penghalangan seperti di atas, menurut pendapat yang jelas.

 

Bagi suami yang tengah memenuhi malam giliran seorang istri, adalah diperbolehkan masuk ke tempat istri yang lain karena darurat -bukan lainnya-, misalnya istri itu sedang sakit parah, walaupun hanya menurut perkiraannya.

 

Pada siang hari, bagi suami boleh masuk ke tempat istri yang bukan gilirannya, lantaran suatu keperluan, misalnya meletakkan dagangan atau mengambilnya, menjenguk, menyerahkan belanja dan mencari berita darinya, asal saja tidak berlamalama tinggal melebihi keperluan menurut kebiasaan.

 

Bila ia berlama-lama melebih keperluan, maka ia (suami) berbuat dosa lantaran menyimpang, dan ia wajib menggadha untuk istri yang tengah digiliri itu sepanjang diamnya di tempat istri lain yang dimasuki. Ini adalah menurut mazhab (Syafi’i) dan lainnya.

 

Menurut kesimpulan Al-Minhaj, Ashlul Minhaj, Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, adalah berselisih dengan pendapat di atas, mengenai masalah bila suami memasuki tempat istri yang bukan gilirannya di siang hari, lantaran ada keperluan -sekalipun lama di sana-, dan tidak wajib menyamaratakan dalam kadar ukuran tinggal suami pada waktu yang bukan waktu pokok -misalnya waktu siang-, karena waktu yang bukan pokok adalah waktu yang tidak tenang, yang kadang-kadang bisa sebentar, juga bisa lama.

 

Mengenai kehalalan masuk padaistri yang bukan gilirannya (lantaran darurat atau keperluan), maka diperbolehkan bercinta, tetapi haram menjimak -haramnya bukan keadaan perjimakan itu sendiri, tetapi perkara lain-: Suami juga tidak wajib mengqadha jimak tersebut, sebab hal ini berkaitan dengan kesanggupan, tetapi wajib menggadha waktu yang digunakan untuk jimak, jika lama menurut kebiasaan.

 

Ketahuilah, bahwa masa gilir seorang istri yang pendek adalah satu malam, yaitu terhitung mulai matahari terbenam hingga terbit fajar.

 

Adapun yang paling lama adalah tiga malam. Karena itu, tidak boleh lebih dari itu, sekalipun istri-istrinya terpisah-pisah beberapa daerah, kecuali bila telah ada kerelaan dari mereka.

 

Sedang arti ada kerelaan para istri, dibelokkanlah ucapan kitab Al-Um: “Suami menggilir istri secara bulanan dan tahunan”.

 

Waktu pokok untuk masa gilir bagi suami yang kerjanya di siang hari, adalah malam hari, sedang waktu siang sebelum atau sesudahnya, adalah hanya mengikutinya, dan siang sesudahnya adalah lebih utama lagi dalam kaitannya.

 

Bagi istrinya yang merdeka, mendapat giliran dua malam, sedang bagi istrinya yang berupa amat, yang telah menyerahkan dirinya, mendapat gilir semalam dua hari.

 

Wajib bagi suami memulai penggiliran dengan cara mengundi.

 

Wajib tinggal selama 7 hari berturut-turut bersama istri gadis yang baru dirukahi, di mana suami telah mempunyai seorang istri atau lebih. Tiga hari berturut-turut bila istri barunya seorang janda. Mengenai tujuh atau tiga hari tersebut, tanpa mengqadha pada istri lamanya.

 

Sekalipun istri barunya itu -gadis atau perawan-, adalah seorang wamita budak, sebab Nabi saw. telah bersabda: “Tujuh hari untuk perawan dan tiga hari untuk gadis”.

 

Sunah mempersilakan kepada istri baru yang janda, untuk memilih 3, hari tanpa gadha atau 7 han dengan gadha, sebab mengikuti tindak Rasul saw.

 

Peringatan:

 

Wajib menurut dua Guru kita -sekalipun Al-Adzara’i sebagaimana Az-Zarkasyi secara panjang-lebar menolaknya-, bagi suami pada malam-malam sebagai pengantin baru (7 hari untuk gadis dan 3 hari untuk janda seperti di atas) datang belakangan pada semacam pergi salat berjamaah dan mengiring Jenazah.

 

Wajib pula menyamaratakan para istrinya pada malam-malam giliran mereka dalam hal pergi atau tidaknya untuk keperluan di atas. Karena itu, seorang (suami) berdosa lantaran mengkhususkan malam gilir seorang istri untuk keluar rumah guna keperluan di atas.

 

Sunah bagi suami menasihati istrinya lantaran mengkhawatirkan atas nusyus istri, misalnya si istri melengos dan cemberut yang sebelumnya tunduk dan berseri-seri, atau bertutur kata kasar padahal sebelumnya berlemah lembut,

 

Bila berkehendak, boleh bagi suami -di samping menasihatinyamemisah tempat tidurnya, bukan memutus berbicara: bahkan tidak mengajak berbicara hukumnya makruh.

 

Berdasarkan hadis sahih, bahwa tidak mengajak berbicara pada istri atau lainnya di atas tiga hari, hukumnya adalah haram.

 

Tetapi, jika tujuannya adalah menolak istri dari maksiat atau untuk memperbaiki ajaran agamanya, maka hukumnya boleh.

 

Suami boleh memukul istrinya, asal tidak sampai mengakibatkan luka berdarah pada selain muka dan anggota badan yang peka untuk kematian, bila menurut perkiraannya bahwa pukulan membawa kemanfaatan, sekalipun memakai cambuk atau tongkat.

 

Tetapi Ar-Ruyani menukil ada ketentuan, bahwa kebolehan memukul tersebut memakai tangan suami Itu sendiri atau sapu tangan.

 

(Suami boleh berpisah tempat tidur dengan istri atau memukulnya tersebut) sebab istri berlaku nusyus, sekalipun tidak berulang-ulang -lain halnya dengan pendapat Al-Muharrar-, dan sebab nusyus, maka gugurlah hak gilirnya.

 

Di antara bentuk nusyus adalah keengganan seorang istri mendatangi panggilan suaminya ke kamarnya, sekalipun ia tengah sibuk dengan keperluannya sendiri, karena hal itu berarti menentangnya.

 

Tetapi, bila ketidakdatangannya lantaran suatu uzur semacam sakit atau keadaan dirinya mempunyai derajat tinggi dan pemalu, yang tidak biasa mejeng (memperlihatkan diri), maka ia tidak wajib memenuhi panggilan suaminya yang berada di rumah (kamar)nya sendiri. Bagi istri yang seperti ini, suami wajib menggilirnya di rumah sang istri sendiri.

 

Suami diperbolehkan mendidik istrinya yang telah memakinya.

 

Penutup:

Suami dianggap berbuat maksiat, sebab menjatuhkan talak kepada istrinya yang belum sempat menikmati haknya (hak gilir) yang penuh, padahal waktunya telah tiba, sekalipun talaknya hanya raj’i. Ibnur Rifah berkata: Hal itu jika bukan karena permintaannya.

Lafal Khulu’ itu berasal dari Khal’u -dengan fathah kha’nya-, yang maknanya “menanggalkan/melepaskan”, sebab suami-istri adalah ibarat pakaian satu sama yang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat Alqur-an.

 

Asal hukum khuluk adalah makruh, dan terkadang bisa menjadi sunah, sebagaimana hukum yang terjadi pada talak.

 

Kesunahan khuluk melebihi kesunahan talak bagi seorang suami yang bersumpah untuk menjatuhkan talak tiga istrinya, dengan menggantung pada suatu perbuatan yang tidak dapat ditinggalkan (misalnya, “Demi Allah, jika aku minim/ makan, maka istriku tertalak tiga”).

 

Guru kita berkata: Mengenai kesunahan khuluk di sini ada tinjauan, sebab banyak fukaha yang berpendapat, bahwa sifat penggantungan talak tetap kembali: karena menurut pendapat Al-Aujah, bahwa khuluk sepert kasus di atas hukumnya mubah, bukan sunah.

 

Termaktub di dalam Syarhul Minhaj dan Irsyad: Bila suami sengaja menghalangi semacam nafkah istrinya dengan tujuan agar istri mau melakukan khuluk dengan membenikan harta -lalu istri melakukannya-, maka batal hukum khuluk dan istri jatuh talak raj’i, sebagaimana yang dinukil oleh fukaha Mutakaddimun dari Syekh Abu Hamid (Al-Ghazali).

 

Kalau tujuan tidak seperti itu, maka talaknya jatuh Bain. Terhadap arti irulah dibelokkan apa yang dinukil oleh dua Guru kita, dari Abu Hamid, bahwa khuluk tetap sah, dan dalam dua kasus di atas suami dihukum berdosa, sekalipun tetah jelas istri berbuat zina. Tetapi dalam hal kejelasan perzinaan istri, khuluk tidak makruh adanya.

 

Khuluk menurut arti syarak, adalah perceraian dengan tebusan, yang dimaksudkan -misalnya bangkai- dari pihak istri atau lainnya, yang diberikan kepada suami atau sayidnya, dengan kata-kata “Talak/ Khuluk/Tebusan”, sekalipun khuluk itu terjadi pada istri yang jatuh talak raj’inya, sebab dalam talak raj’i hukumnya seperti istri dalam kebanyakan hukum-hukumnya.

 

Bila terjadi khuluk yang langsung dihadapkan kepada istri tanpa menuturkan tebusan, dengan niat agar suami mau qabul -musalnya suami berkata “Engkau saya khuluk”, atau “Dirimu kutebus”-, dengan niat agar istri mau menqabulkannya -lalu istri melakukannya-, maka istri wajib membayar pada suaminya sebesar mahar mitsilnya, lantaran berlaku kebiasaan yang memberlakukan hal itu dengan ada tebusan.

 

Bila khuluk dalam contoh di atas dihadapkan kepada orang lain, maka istri jatuh talaknya secara gratis, sebagaimana bila khuluk dihadapkan laka-laki lain dengan menuturkan tebusan dan tebusan itu fasid.

 

Bila suami mengucapkan khuluk secara global dan katanya “Engkau kukhuluk”, serta tidak meruatkan agar istri mengqabulnya, maka talak menjadi raj’i, sekalipun istri mengqabulnya.

 

Bila suami memulainya dengan sighat Mu’awadhah (tukarmenukar), misalnya: “Engkau kutalak/kukhuluk dengan menukar 1.000”, maka menjadi akad Mu’awadhah, karena ada suami mengambil penukar ganti farji yang menjadi hak gunanya.

 

Mu’awadhah di sini bercampur taklik, sebab jatuhnya talak di sini terletak pada keberadaan qabul. Karena itu, suami bisa mencabut kembali sebelum istri mengucapkan qabulnya, karena kebolehan pencabutan kembali, adalah pertingkah dalam Mu’awadhah.

 

Disyaratkan (di dalam Mu’awadhah), ada qabul dari istri dengan seketika dalam majelis ijab, dengan lafal seperti, “Kuterima” atau “Kutanggung”, atau dengan sikapnya semisal memberi suami uang 1000 menurut yang dikatakan oleh fukaha Mutakaddimun.

 

Bila antara kata-kata yang diucapkan suami (ijab) dengan qabul istri ditengah-tengahi oleh masa atau pembicaraan yang panjang, maka khuluk tidak bisa menjadi sah.

 

Bila suami berkata kepada istrinya: “Engkau kujatuhkan talak tiga dengan tebusan 1.000”, lalu si istri menerima (qabul) talak tiga dengan 1.000, maka talak tetap jatuh tiga danistri tersebut wajib memberinya 1.000.

 

Bila istri memulai dengan meminta talak, misalnya: “Talaklah aku: dengan tebusan 1.000”, atau “Bila kamu mau menjatuhkan talak, maka kau kuberi sekian …”, lalu suami menurutinya, maka akadnya menjadi Mu’awadhah dari pihak istri, karena itu, ia berhak mencabut kembali sebelum suami menjawabnya, sebab kebolehan seperti in adalah konsekuensi Mu’awadhah.

 

Dalam kasus di atas disyaratkan penjatuhan dengan seketika, sebab Jika suami tidak menjatuhkannya seketika, maka talak yang ia jatuhkan adalah talak yang timbul dari dirinya sendin (tidak ada kaitannya dengan permintaan istri dan akibatnya: istri jatuh talak raj’i dan ia tidak wajib memberikan tebusan).

 

Syekh Zakariya berkata: Bila suami dalam kasus di atas mendakwa, bahwa talak yang dijatuhkan tidak dengan seketika, adalah sebagai jawaban dari permintaan istri dan ia adalah orang bodoh yang beruzur, maka dengan bersumpah ia dapat dibenarkan (dan ia berhak menerima barang tebusan).

 

Atau bila suami memulainya dengan shighat taklik pada perwujudan sesuatu (itsbat), misalnya: “Jika sewaktu-waktu kamu memberiku sekian …, maka jatuhlah talakmu”, maka pernyataan tersebut sebagai Taklik Talak, sebab kesesuaian shughat adalah ke situ.

 

Karena itu, talak baru terjadi setelah terwujud yang digantungkan dengannya, dan suani tidak dapat mencabut kembali pernyataannya sebelum terwujud perkara itu, sebagaimana dengan bentuk taklik yang lainnya.

 

Dalam taklik tidak disyaratkan ada qabul seketika dengan lafal, begitu Juga pemberiannya, akan tetapi cukuplah dengan ada pemberian -sekalipun suami-istri telah berpisah dari majelis-, sebab sudah jelas, bahwa penyataan taklik mencakup semua tempo.

 

Hanya saja jawaban suami wajib diberikan pada ucapan istri: “Kapan kau talak aku, maka kamu kuberi sekian …”, sebab pada galibnya hal itu menjadi Mu’awadhah dani pihak istri. Kalau penjatuhan talak tidak dilakukan seketika, maka arahnya adalah talak dari diri suami sendiri (bukan dari istri), karena suami mampu menjatuhkan talak dengan seketika.

 

Adapun bila taklik tersebut pada peruadaan suatu kejadian (nafi), jnisalnya: “Kapan saja kamu tidak memberiku 1.000, maka jatuhlah talakmu”, maka menunjukkan arti seketika, karena itu, jatuh talaknya sejak terlewat tempo yang memungkinkan untuk memberikan 1.000, tapi ia tidak mau memberikannya.

 

Disyaratkan memberikan dengan seketika di majelis ijab -tidak ditengah-tengahi dengan pembicaraan yang panjang menurut kebiasaan dani istri yang merdeka serta berada di tempat atau tidak hadir, tapi mengetahui terjadi ucapan suami pada ucapan suami “Bila kamu memberiku sekian .. , maka jatuhlah talakmu”, sebab keseketikaan di gm sdalah konsekuensi lafal yang ada tebusannya.

 

Konsekuensi ucapan seperti di atas diperselisihkan untuk ucapan semacam “Kapan saja…”, sebab kejelasan dari kata “kapan saja” dalam menunjukkan kebolehan pengakhiran, tetapi suami tidak berhak mencabut kembali sebelum terwujud perkara yang digantungkan dengan talak istri (pada masalah: “Bila kamu memberiku …”, di atas) dan tidak disyaratkan qabul dengan lafal. , “

 

Peringatan:

 

Pernyataan Ibra’ dalam hubungan dengan hal-hal di atas, adalah seperti pernyataan dalam pemberian. Karena itu, untuk ucapan suami “Bila kau bebaskan diriku …”, adalah harus dilakukan pembebasan dengan seketika dan sah, setelah istri mengetahui ucapan di atas, Kalau tidak melakukan dengan seketika, maka talak tidaklah jatuh.

 

Fatwa yang dikeluarkan oleh sebagian fukaha, bahwa talak tetap terjadi untuk istri yang tidak hadir di tempat secara mutlak (baik istri mengibra’kan dengan seketika maupun tidak) -karena suami tidak mengatakan kepada istrinya tentang keberadaan tebusan-, adalah fatwa yang jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan pembicaraan fukaha.

 

Bila suami berkata: “Jika istriku mengibra’kanku, maka kamu sebagai wakil untuk menjatuhkan talaknya”, lalu istri membebaskan tanggungan suaminya, maka bebaslah tangungannya, Kemudian wakil disuruh memilih (antara menjatuhkan talak atau tidak), dan bila ia menjatuhkan talak, maka talaknya adalah raj’i, sebab pembebasan tanggungan adalah sebagai imbalan pewakilan (bukan talak)

 

Bila suami menggantungkan jatuh talak istri pada pembebasan istri terhadap tanggungan mahar suami, maka talaknya tidak jatuh, kecuali bila didapatkan pembebasannya secara sah dari seluruh maharnya. Pembebasan yang sah, semisal pembebasan dilakukan oleh istri. yang rasyidah, dan kedua suami-istri mengetahui jumlah mahar serta jumlah tersebut tidak ada kaitannya dengan kewajiban zakat. Dengan demikian, talak yang jatuh adalah bain.

 

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan dengan panjang lebar, bahwa tidak ada bedanya Apakah terkena zakat ataupun tidak, sekalipun pendapat ini ia nukil dari fukaha Muhaqqiqun Yang demikian ini (talak tidak jatuh, jika mahar yang diibra’kan terkena kewajiban zakat), karena mengibra’kan pada kadar zakatnya adalah tidak sah, padahal jatuhnya talak digantungkan dengan keseluruhan mahar dan sifat seperti Ini tidak diwujudkan.

 

Ada yang mengatakan: Talak jatuh bain dengan kewajiban istri membayar mahar mutsil.

 

Bila istri membebaskan tanggungan mahar suaminya, lalu mendakwa bahwa ia tidak mengetahui ukuran mahar tersebut, maka jika ia dikawinkan belum balig, maka dengan bersumpah bisa dibenarkan dakwaannya, Atau kalau ia dikawinkan ketika balig dan keadaan menunjukkan ketidak tahuannya akan jumlah mahar lantaran dipaksa kawin dan tidak diminta izin, maka juga dengan bersumpah bisa dibenarkan dakwaannya: Kalau keadaannya tidak menunjukkan ketidaktahuan istri, maka dengan bersumpah suami. dapat dibenarkan.

 

Bila suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau bebaskan mahar, maka Jatuhlah talakmu setelah satu bulan”, lalu istri membebaskan mahar, maka bebasiah tanggungan mahar suami secara mutlak. Kemudian, jika ternyata suami masih hidup selama satu bulan, maka jatuh talak bain, (tetapi) bila setelah lewat masa satu bulan ia tidak hidup, maka talak tidak jatuh.

 

Di dalam Al-Anwar tersebutkan mengenai istri yang berkata kepada suaminya: “Saya bebaskan kamu dari pembayaran mahar dengan syarat kamu menjatuhkan talak kepadaku”, lalu suami menjatuhkan talak, maka jatuhlah talaknya dan suami tidak dapat bebas dari tanggungan mahar.

 

Tetapi yang ada dalam Al-Kafi dan diakui oleh Al-Bulqini dan lainnya mengenai ucapan “Engkau kubebaskan dari maharku dengan syarat talak atau kamu menjatuhkan talak kepadaku”, maka jatuhlah talak ban dan suami bebas dari tanggungan maharnya, Lain halnya dengan: “Bila engkau mau menjatuhkan talak wanita pemaduku, maka kamu bebas dari tanggungan maharmu”, lalu suami menjatuhkan talak kepada wanita pemadunya, maka jatuhlah talak dan suami tidak bisa bebas dari tanggungan maharnya.

 

Guru kita berkata Pendapat yang bar-Wajh adalah yang ada di dalam Al-Amwar, sebab persyaratan yang cdhtuturkan mengandung taklik.

 

Beberapa Cabang:

 

Bila suami berkata: “Jika engkau membebaskan aku dari maharmu, maka aku’akan menjatuhkan talak kepadamu”, lalu istri membebaskannya dan suami menjatuhkan talak, maka bebaslah suami dari tanggungan maharnya dan tertalaklah si istri, bukan sebagai yang dikhuluk.

 

Bila seorang istri berkata: “Talaklah aku dan kamu bebas dari maharku”, lalu suami menjatuhkan talaknya, maka istri jatuh talak bainnya dengan ada pembebasan mahar, sebab ucapan seperti itu adalah kalimat penetapan.

 

Atau bila istri berkata: “Jika kamu menjatuhkan talak kepadaku, maka kubebaskan kamu dari maharku”, atau “… maka kamu bebas dari maharku”, lalu suami menjatuhkan talaknya, maka istri tertalak ban dengan kewajiban membayar mahar mitsil kepada suaminya -menurut Al-Muktamad-, sebab rusaknya penebusan dengan ada penggantungan pembebasan.

 

Abu Zur’ah mengeluarkan fatwa mengenai seorang ayah yang meminta kepada suami anak putrinya yang belum dijimak agar dijatuhkan talaknya dengan pembayaran tebusan seluruh maharnya ditanggung oleh ayah tersebut, lalu suami menjatuhkan talak, dan selanjutnya sang ayah menerima hawalah piutang dirinya sendiri (yaitu mahar yang ada dalam tanggungan suami) atas utang dininya sendiri (yaitu: kesanggupan menutup mahar tersebut sebagai tebusan talak), di mana anak wanita tersebut di bawah ampuan ayahnya (misalnya belum balig atau gila), bahwa talak yang dijatuhkan adalah sebagai khuluk dengan tebusan sebesar jumlah mahar wanita tersebut dalam tanggungan sang ayah.

 

Tetapi, untuk kesahan hawalah suami, disyaratkan mengalihkan piutang suami (jumlah yang disanggupi ayah istrinya) untuk menutup utangnya kepada anak putri sang ayah, sebab di dalam hawalah harus ada ijab (dari Muhul) dan qabul (dari Muhtal). Dalam pada itu, hawalah hanya sah untuk separo dari keseluruhan yang ditanggung ayah, sebab separo mahar istrinya menjadi gugur karena kebainan dari suaminya (sebelum dijimak): Karena itu, suami masih mempunyai hak sebesar separo mahar tanggungan ayah, sebab dengan adanya permintaan sang ayah agar anak putrinya dicerai dengan tebusan menutup mahar anaknya, Maka tebusan sebesar mahar itu menjadi hak suami, sedangkan sekarang kewajiban suami membayar mahar hanya separo saja (sebab belum pernah menjimak istrinya).

 

Maka jalan keluarnya (agar ayah tidak mempunyai tanggungan yang separo), adalah sang ayah meminta suami agar mengkhuluk anak yang ada di bawah pengampuannya itu dengan tebusan sebesar separo mahar yang masih menjadi hak wanita ampuannya, dengan cara demikian, maka sang ayah dengan hawalah, bebaslah seluruh utangnya kepada suami.

 

Guru kita berkata: Dari apa yang akan diterangkan, bahwa Dhaman (tanggungan utang) adalah mewajibkan ayah membayar dengan mahar mitsil, maka kesanggupan di atas adalah seperti Dhaman juga, sekalipun tanpa melewati Hawalah.

 

Bila ayah atau orang lain meminta suami anaknya mengkhuluk dengan tebusan maharnya atau berkata “Jatuhkan talakmu kepadanya dan kamu nanti bebas dari maharnya”, maka jatuhlah talaknya dengan raj’i dan suami tidak bisa bebas dari tanggungan maharnya.

 

Tetapi, jika ayah atau orang lain menanggung apa yang akan dituntut oleh suami, atau ia berkata: “Jatulah talakmu kepadanya dan aku menanggung maharnya”, maka talak jatuh sebagai bain dengan tebusan mahar mitsil atas tanggungan ayah/ orang lain.

 

Bila ayah/orang lain berkata kepada orang lain: “Mintalaff si Fulan agar menjatuhkan talak kepada istrinya dengan tebusan 1.000,-“, maka untuk tetapnya tebusan jumlah tersebut disyaratkan ada perkataan “… atas tanggunganku”.

 

Lain halnya dengan ucapan istri kepada orang lain: “Mintalah kepada suamiku agar menjatuhkan talaknya atas segini …”, maka ucapan tersebut sebagai taukil, sekalipun tidak mengucapkan “… aku yang menanggung”.

 

Bila ada seorang laki-laki berkata: “Ceraikan istrimu dengan tebusan berupa penceraianku kepada istriku”, lalu dua suami tersebut melakukan penjatuhan talak, maka kedua istri tersebut jatuh talak bain, karena hal itu sebagai khuluk yang tidak rusak., karena tebusan di siri dimaksudkan. -lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha-: karena itu, suami tersebut satu sama lain wajib membayar tebusan sebesar mahar mitsil bekas istri masing-masing.

 

Peringatan:

Perceraian dengan lafal khuluk, adalah talak yang dapat mengurangi Jumlah talak.

 

Dalam suatu pendapat yang dinash oleh Imam Syafi’i dalam kaul Kadim dan Jadidnya dinyatakan, bahwa perceraian dengan lafal khuluk jika tidak dimaksudkan sebagai talak, maka sebagai fasakh nikah yang tidak dapat mengurangi jumlah talak: Karena itu, setelah terjadi khuluk berulang kali -tanpa terbatas-, boleh mengikat pernikahan baru.

 

Pendapat ini banyak dipilih oleh fukaha ashhabuna kalangan Mutakaddimun dan Mutaakhirun, bahkan Al-Bulqini berulang kali memfatwakannya.

 

Adapun perceraian dengan lafal talak dengan tebusan, adalah sebagai talak yang dapat mengurangi jumlah talak yang dimiliki -secara pasti-, sebagaimana halnya perceraian dengan lafal khuluk, jika dimaksudkan untuk talak.

 

Tetapi Imam Al-Haramain menukil dari pendapat fukaha Muhaqqiqun mengenai ada kepastian hukum, bahwa lafal khuluk tidak dapat berubah menjadi talak dengan dimatkan seperti itu.

Talak menurut bahasa artinya “melepaskan ikatan tali”, sedang menyrut syarak artinya “melepaskan ikatan dengan lafal yang dituturkan nanti”.

 

Hukum talak adakalanya wajib, sebagaimana talak seorang suami yang telah bersumpah Ila’, di mana ia tidak mau menjimak istrinya lagi. Adakalanya sunah, misalnya suami sudah tidak mampu menunaikan hakhak istrinya, sekalipun karena sudah tidak ada rasa tertarik kepadanya, atau misalnya istri sudah tidak dapat menjaga kebersihan jiwanya, selama suami tidak mengkhawatirkan bahwa dengan dicerai, istri akan berbuat keji (kepada orang lain), atau misalnya istri berperangai buruk.

 

Maksud buruk perangainya di sini, adalah sekiranya suami sudah tidak dapat sabar lagi hidup berdampingan dengannya -menurut kebiasaan-, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita. Kalau tidak diartikan seperti itu, maka kapan bisa .ditemukan wanita yang tidak buruk perangainya? Karena tersebut di dalam sebuah hadis: “Wanita salehah itu laksana burung gagak Al-‘Asham”, adalah merupakan ungkapan atas kelangkaan wujudnya, sebab burung gagak Al-‘Asham adalah burung gagak yang kedua sayapnya berwarna putih.

 

Atau (kesunahan talak) karena perintah dari salah satu kedua orangtua suami, di mana perintah talak tersebut bukan karena mempersukarnya (tetapi ada tujuan sahih).

 

Adakalanya haram, misalnya talak Bida’i, yaitu menjatuhkan talak kepada istri yang sudah pernah dijimak, di mana saat jatuh talak tersebut wanita dalam keadaan semacam haid atau suci yang dijimak saat itu (padahal.istri masih produktif), dan sebagaimana menjatuhkan talak kepada istri sebelum ja menyelesaikan hak gilirnya, misalnya juga menjatuhkan talak oleh suami yang dalam keadaan sakit dengan tujuan menghalangi istri dari harta pusaka.

 

Mengumpulkan tiga talak dalam satu kali, hukumnya tidak haram, tetapi disunahkan menjatuhkan talak satu saja.

 

Adakalanya makruh, sebagaimana selamat dari yang telah dituturkan di atas. Berdasarkan hadis: “Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak”. Menetapkan ada kemurkaan Allah terhadap talak, adalah dimaksudkan untuk kuat menghindari talak, bukan dimaksudkan dengan hakikat kebencian (kemurkaan) yang sesungguhnya, sebab akan berarti menunjukkan ketidakhalalan dilakukannya.

 

Hanya saja talak itu dapat terjadi pada selain wanita tertalak bain, sekalipun wanita yang dijatuhi talak ini sudah pernah tertalak raj’i yang belum habis masa idahnya. Karena itu, talak tidak bisa terjadi pada wanita yang dikhuluk (sebab sudah lepas ikatan perkawinannya) dan wanita yang tertalak raj’i dan sudah habis masa idahnya. Untuk jatuhnya talak itu harus dari seorang suami yang kehendaknya sendiri dan mukalaf yaitu balig dan berakal sehat. Karena itu, talak tidak bisa jatuh dari suami yang belum balig dan gila.

 

“Talak bisa jatuh dari suami yang zalim, sebab menggunakan barang memabukkan: Meminum khamar, memakan kecubung atau rumput, lantaran kemaksiatannya dalam menghulangkan kesadaran dirinya.

 

Lain halnya dengan orang yang mabuknya bukan zalim waktu menggunakan barang-barang tersebut: misalnya ia dipaksa menggunakan barang tersebut atau tidak mengetahui, bahwa barang itu dapat memabukkan. Karena itu, talak yang dijatuhkan orang seperti ini tidak dihukumi terjadi, jika ia tidak tamyiz lagi, lantaran ia tidak gegabah dalam menggunakan obat (barang) tersebut.

 

Orang yang mendakwa, bahwa dirinya dipaksa menggunakan barang-barang yang memabukkan dapat dibenarkan cara disumpah, jika indikasi yang menunjukkannya, misalnya ia berada dalam penahanan. Kalau tidak indikasi semacam ini, maka ia harus mengajukan bayinah.

 

Talak yang keluar dari suami yang bergurau dihukumi jatuh: misalnya ia sengaja menyebutkan kata talak bukan maknanya, misalnya oleh Suami yang main-main dalam menjatuhkan talaknya: misalnya tidak bermaksud apa-apa dari kata talak yangia ucapkan.

 

Menceritakan talak orang lain, pencontohan ahh fikih terhadap talak dan pengucapan talak tanpa didengar oleh dirinya sendiri, adalah tidak membawa akibat sama sekali terhadap istri orang tersebut.

 

Fukaha sudah sepakat tentang jatuh talak suami yang sedang marah, sekalipun ia mendakwa kesadaran dirinya hulang ketika ia marah.

 

Orang yang dipaksa -bukan dengan semestinyauntuk melakukan talak dengan diancam sesuatu yang menakutkan dan patut terjadinya -misalnya ditahan yang lama atau sebentar untuk orang yang mempunyai muruah, ditempeleng di muka orang banyak bagi yang bermuruah dan dihancurkan harta orang yang sempit perekonomiannya, berbeda halnya 5 dirham bagi orang kaya-, adalah dihukumi tidak jatuh.

 

Syarat terjadi pemaksaan (yang mengakibatkan talak bisa jatuh) adalah kemampuan pemaksa untuk mewujudkan ancamannya dengan seketika lantaran mempunyai kekuasaan atau gagah dirinya, sedang pihak yang dipaksa tidak mampu menolaknya dengan cara lari atau munta tolong dan ia mempunyai perkiraan, bahwa bila ia membangkang, maka ancaman itu segara terwujudkan.

 

Karena itu, “kelemahan” belum dianggap nyata tanpa terkumpul hal-hal di atas.

 

Paksaan di sini tidak disyaratkan tauriyah (pengkaburan makna yang diucapkan orang yang dipaksa), misalnya berruat kepada wanita lain atau secara pelan-pelan mengucapkan “Insya Allah” setelah mengucapkan kata talak.

 

Bila orang yang dipaksa bermaksud menjatuhkan talak, maka jatuhlah -sama dengan yang dipaksa karena semestinya, misalnya pihak pemilik gawad berkata “Ceraikan istrimu, jika tidak mau, maka aku pasti membunuhmu”, lalu ia menjatuhkan talaknya-, atau ada orang berkata ‘ kepada orang lain: “Cerailah istrimu, atau pilih kubunuh kamu besok”, lalu ia menjatuhkan talak. Maka dalam dua contoh ini, jatuhlah talaknya.

 

Jatuh talak tersebut adalah dengan lafal yang sharih -yaitu lafal yang lahirnya tidak dapat mencakup makna selain talak-: misalnya lafal yang musytaq dari “talak”, sekalipun diucapkan oleh orang non Arab yang mengetahui bahwa lafal itu digunakan untuk melepas ikatan seorang suami dari istrinya, sekalipun aslinya sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.

 

Misalnya lagi lafal yang musytag dari Firaq (berpisah) atau Sarah (Lepas), karena ketiga kata di atas telah berulang-ulang disebut di dalam Alqur-an.

 

Misalnya “Thallaqtuki/Thallaqtu zaujati (Kutalak kamu/Kutalak istrimu)”, dan “Sarrahtuki/ Sarrahtu zaujati” (Kulepaskan kamu/Kulepaskan istriku), dan “Farraqtuki/Farraqtu zaujati” (Kupisahkan kamu/Kupisahkan istriku), dan seperti “Anti thaligun/ Muthallaqatun/Mufaraqatun/ Musarrahatun”‘ (Kamu tertalak/ ditalak/dipisahkan/dilepaskan). Adapun penggunaan masdar (akar kata) dari semua lafal di atas, adalah sebagai kinayah talak, misalnya “Anti thalaqun/ Firaqun/Sarahun'”‘ (Engkau adalah tertalak/perpisahan/ perlepasan). “

 

Peringatan:

 

Disyaratkan menuturkan maf’ul bih (objek penderita) bersama semacam “Thallaqtuki”, dan menuturkan mubtada’ (subjek) bersama semacam “Thaliqun”.

 

Bila salah satu bagian kalimat tersebut hanya diniatkan dalam hati orang yang mengucapkan, maka tidak membawa akibat apa-apa, sebagaimana ia berkata: Thaliqun (… adalah tertalak) sambil meniatkan kata “Anti” (kamu…), atau mengatakan Imra-ati (istriku …) sambil meniatkan kata “Thaliqun” (… adalah tertalak)

 

Kecuali bila “wanita (istri)” sebelumnya telah dituturkan dalam suatu permintaan, misalnya: “Talaklah istrimu”, lalu suami berkata: “Thallaqtu”, tanpa menuturkan maf’ul bihnya, atau suami menyerahkan talak kepada istrinya: “Talaklah dirimu”, lalu istri berkata: “Thallaqtu”, tanpa menuturkan “nafsi” (diriku): maka dalam dua contoh ini talak tetap jatuh.

 

Lalu jatuh juga, talak yang menggunakan terjemah dari musytaq ketiga lafal di atas (talak, firak dan sarah), sebab terjemah lafal Talak adalah sharih menurut mazhab, dan untuk terjemah dua yang lainnya, juga sharih menurut pendapat Al-Muktamad. Al-Adzra’i menukil dari segolongan fukaha tentang ada kemantapan pada yang muktamad ini.

 

Termasuk talak yang sharih, adalah “A ‘thaitu/Qultu thalaqaki” (Saya berikan/Saya ucapkan talakmu), atau “Auqa’tu/Alqaitu/Wadha’tu ‘alaikith thalaq” (Kujatuhkan/ Kucampakkan/Kuletakkan talak/ Talakku pada dirimu), dan “Ya . Thaliq” (Hai yang tertalak) dan “Ya Muthallaqah” (Hai wanita yang tertalak).

 

Tidak termasuk talak yang sharih “Anti Thalaq” (Engkau adalah talak), dan “Lakath Thalaq” (Untukmu talak). Tetapi, dua ini adalah kinayah dari talak, sebagaimana kinayah pula pada: “Jika kamu berbuat begini …, maka di situlah talakmu”, atau “…, maka itulah talakmu”, menurut yang dilahirkan oleh Guru kita, sebab bentuk masdar (akar kata)itu tidak dapat digunakan makna ain (benda wujud dalam susunan Ikhbar), kecuali karena tawassu’ (memberikan kelapangan).

 

Beberapa Cabang:

Bila istri berkata kepada suaminya. “Talaklah aku”, lalu suami berkata. “Dia wanita yang tertalak”, maka dakwaan suami bahwa yang dimaksudkan itu bukan istrinya, adalah tidak dapat diterima, karena dengan didahului permintaan istri, membuat lafal arahnya ke situ.

 

Dari keterangan ini, bila sebelumnya tidak dituturkan “istri” terlebih dahulu, maka dikembalikan pada niat suami, dalam contoh: “Kamu tertalak”, di mana istrinya tidak hadir di tempat itu, atau “Dia tertalak”, padahal istri ada di tempa.

 

Al-Baghawi berkata: Bila suami berkata: “Hampir saja aku tidak menalakmu”, maka itu adalah ikrar keberadaan talak.

 

Bila suami berkata kepada wali istrinya: “Kawinkan dia”, maka itu berarti ada ikrar talak.

 

Al-Muzajjad berkata: Bila seorang Suami berkata: “Wanita ini adalah Istri si Fulan”, maka dihukumi lepas Ikatan nikah.

 

Ibnush Shalah berfatwa mengenai suami yang berkata: “Bila aku meninggalkannya selama satu tahun, maka aku sudah tidak menjadi suaminya lagi”, bahwa perkataan tersebut secara lahir adalah ikrar lepas ikatan perjodohan setelah satu tahun suami meninggalkannya, Karena itu, setelah masa satu tahun dan habis idah wanita tersebut, ia boleh kawin dengan laki-laki lain.

 

Beberapa Faedah:

 

Bila seorang berkata kepada orang lain: “Adakah kamu menalak istrimu?” dengan maksud agar suami tersebut menjatuhkan talaknya, lalu ‘ dijawab: “Ya”, atau “Benar”, maka jatuhlah talaknya secara sharih.

 

Bila menjawab: “Kutalak” saja, maka talaknya kinayah talak, sebab kata “ya” adalah tertentu untuk jawaban, sedang kata “kutalak”, . masih bebas: Bisa sebagai jawaban. dan bisa sebagai permulaan.

 

Adapun bila pertanyaan tersebut hanya dimaksudkan untuk mencan berita, lalu yang ditanya menjawab: “Benar/ya”, maka sebagai ikrar. ada talak dan menurut hukum lahir talaknya jatuh bila yang diikrarkan adalah kedustaan, sedang menurut hukum akhirat, talaknya tidak jatuh. Demikian juga jatuh talaknya, bila Ia tidak mengetahui maksud orang yang bertanya kepadanya.

 

Bila suami berkata: “Saya maksudkan talak kemarin dan saya sudah rujuk”, maka ia bisa dibenarkan dengan disumpah, sebab terdapat keraguan dalam dakwaannya.

 

Bila ada orang berkata kepada suami yang menjatuhkan talaknya: “Apakah kamu menjatuhkan talak tiga pada istrimu? Lalu dijawab: “Saya : menalak”, dengan maksud talak satu, maka bisa dibenarkan dengan sumpahnya, sebab kata-kata “aku menalak” Adalah bisa sebagai jawaban dan bisa sebagai permulaan.

 

Dari keterangan ini, bila istri berkata: “Talak tigalah diriku”, lalu suami berkata: “Kutalak” dan ia tidak berniat jumlah talak,. maka talak jatuh satu.

 

Bila suami berkata kepada ibu mertuanya: “Anak putrimu tertalak”, dan katanya lagi: “Yang kumaksud anak putrinya yang lain”, maka ia bisa dibenarkan dengan sumpahnya, sebagaimana ia mengatakan kepada istrinya dan wanita lain: “Salah satu dari kalian tertalak”, dan katanya lagi: ” Yang kumaksud adalah wanita lain”, hal itu karena berkisar lafal pada dua makna tersebut, karena itu, bisa dibenarkan menurut yang ia maksudkan.

 

Lain halnya bila suami berkata: “Zainab jatuh talaknya”, padahal nama istrinya adalah Zainab, dan ia bermaksud wanita lain yang namanya juga Zainab, maka secara lahur ucapan Suami (yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wanita lain), tidak bisa diterima dan secara batin dihukumi menurut yang terjadi sebenarnya.

 

Penting:

 

Bila orang awam berkata: “A ‘thaitu talaqa Fulanah/Thalakaha/ Dalaqaha”‘, maka dengan ucapan itu, jatuhlah talaknya. :

 

Talak tersebut adalah sharih bagi suami yang awam, yang hanya bisa mengucapkan dengan kata yang diganti seperti itu, atau bagi suami yang dialek bahasanya memang begitu, sebagaimana “yang telah dijelaskan oleh Al-Jalal Al-Bulqini dan dipedomi oleh segolongan fukaha Mutaakhirun serta difatwakan oleh segolongan dari guru-guru kita.

 

Bila lisan dapat mengucapkan kalimat talak yang benar, maka bila ja mengucapkan dengan kata-kata di atas, maka talaknya adalah kinayah, “sebab penggantian kata menjadi seperti itu, ada asalnya.

 

Talak juga bisa jatuh dengan kinayah yang disertai niat menjatuhkan talak pada permulaan kalimat kinayah. Kinayah adalah kata-kata yang bisa diartikan talak dan bisa diartikan tidak.

 

Ungkapanku “yang disertai niat pada awal kalimatnya”, adalah menurut pendapat yang diunggulkan oleh banyak fukaha dan dipedomi oleh Al-Asnawi dan Syekh Zakariya ‘dengan mengikuti pendapat segolongan fukaha Muhaqqiqin.

 

Dalam Ashlur Raudhah, AnNawawi mengunggulkan, bahwa cukup dengan disertakan pada sebagian lafal kinayah, sekalipun pada akhir bagiannya.

 

Kinayah talak misalnya: “Engkau haram bagiku”, “Engkau kuharamkan”, atau ” Apa yang dihalalkan oleh Allah, adalah haram bagiku”, sekalipun orang-orang sudah membiasakan kata tersebut sebagai talak: lain halnya dengan pendapat Ar-Raf’i.

 

Bila suami yang mengatakan demikian berniat keharaman mata, semacam farji atau menjimaknya, maka istri tersebut tidak haram bagi suaminya, dan suami berkewajiban seperti kafarat dalam sumpah, sekalipun ia tidak menjimaknya.

 

Bila suami berkata: “Pakaian/ Makanan ini haram bagiku”, maka : adalah sia-sia dan tidak membawa: akibat apa-apa.

 

Contoh kinayah lagi adalah: “Kamu kosong dari suami”: “Kamu bebas dari suami”, atau “Engkau dipisahkan”. Kinayah talak lagi: “Engkau merdeka”: “Engkau dilepaskan”, atau “Kulepaskan dirimu”.

 

Contoh kinayah talak lagi: “Engkau seperti ibuku/anak putriku/saudara putriku”, dan misalnya lagi: “Wahai, anak putriku”, yang diucapkan kepada istri yang pantas sebagai anak putrinya, karena memandang usianya, sekalipun istrinya adalah wanita yang diketahui nasabnya.

 

Misalnya lagi: “Engkau kumerdekakan/Kutinggalkan kamu/Kuputus nikahmu/Kusisihkan kamu/Kuhalalkan kamu atas suami-suami yang lain/Dirimu kusekutukan bersama Fulanah”, sedang Fulanah telah tertalak dari suaminya atau orang lain.

 

Misal yang lain lagi: “Kawinlah kamu”, dengan maksud “…, karena aku telah menalakmu”, atau “Kamu halal untuk selainku”, lain halnya dengan ucapan suami kepada wali istrinya: “Kawinkan dia”, maka untuk yang terakhir im adalah talak yang sharih.

 

Misal yang lain: “Idahlah kamu”, dengan maksud “…, karena aku telah menalakmu”, dan “Tinggalkanlah aku”, dengan maksud “… karena aku telah menalakmu”.

 

Misalnya lagi: ” Ambillah talakmu”, dan “Aku sudah tidak membutuh’kanmu lagi”, dengan maksud “…, karena aku telah menalakmu”, juga “Engkau bukan istriku”, jika diucapkan bukan sebagai jawaban dakwaan, tetapi bila diucapkan sebagai jawaban dakwaan, maka menjadi ikrar talak.

 

Misal lain lagi: “Hilanglah talakmu/ Gugur talakmu, jika kamu melakukan begini …”

 

Misalnya lagi: “Talakmu satu/dua”: jika dimaksudkan menjatuhkan talak, maka jatuhlah, tetapi jika tidak, maka tidak jatuh. Misal kinayah talak lagi: “Untukmu talak/ talak satu”, dan “Selamat buatmu”, menurut yang dikatakan oleh Ibnush Shalah dan Guru kita telah menukilkannya di dalam Syarhul Minhaj.

 

Tidak termasuk kinayah talak: “Talakmu adalah cacat/kurang”, dan tidak pula: “Aku katakan/Aku berikan kalimatmu/hukummu”. Dengan mengucapkan kalimat tersebut, talak tidak dapat jatuh, sekalipun berniat talak, sebab kalimat-kalimat tersebut tidak termasuk kinayah talak yang mengandung makna talak tanpa memaksakan arti. Kemasyhuran penggunaan kalimat tersebut untuk arti talak di suatu daerah, adalah tidak membawa akibat apa-apa, sebagaimana yang difatwakan oleh segolongan fukaha Muhaqqiqun dari guru-guru kita di masa kita.

 

Bila suami mengucapkan lafal yang tidak terpakai (mulghah) di atas, dengan maksud untuk perceraian, lalu ada orang lain bertanya kepadanya: “Apakah istrimu kau talak?”, dan dijawab: “Ya”, karena mengira bahwa talak dapat jatuh dengan lafal yang telah ia ucapkan pertama, maka talak tidak dapat jatuh, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.

 

Al-Bulqini ditanya mengenai seorang suami yang berkata kepada istrinya: “Engkau haram bagi diriku”, dengan mengira bahwa dengan perkataan tersebut, istrinya jatuh talak tiga, lalu ia berkata lagi kepada istrinya: “Kamu tertalak”, karena mengira istrinya telah tertalak tiga dengan ucapan pertamanya, maka jawab “beliau: Talak tidak jatuh dengan kalimat ucapan kedua, atas perkiraan seperti tersebut. Selesai.

 

Bagi orang yang mengira kebenaran suami (dalam perkiraannya), boleh tidak memberikan kesaksian ada kejatuhan talak tiga.

 

Cabang:

 

Bila seorang suami menulis surat penalakan yang sharih atau kinayah, di mana ia tidak bermat menjatuhkan talak, maka apa yang ia tulis adalah sia-sia belaka, selagi ketika menulis surat atau sesudahnya, ia tidak mengucapkan kesharihan surat talak.

 

Tetapi ucapan suami berikut ini bisa diterima: “Aku bermaksud membaca surat, bukan menalak”, sebab ada kemungkinan benar apa yang diucapkan tersebut.

 

Lafal kinayah talak yang sebelumnya telah didahului permintaan istri untuk talak atau ada indikasi kemarahan dan lafal-lafal kinayah yang masyhur diartikan sebagai talak, adalah tidak dapat disamakan dengan lafal talak yang sharih (sehingga tidak butuh ada niat lagi !).

 

Suami yang memungkiri ada niat dalam ucapan talak kinayahnya, adalah dapat dibenarkan dengan bersumpah, bahwa dirinya tidak berniat menjatuhkan talak. Karena itu, keterangan yang bisa diterima tentang ada atau tidak niat, adalah keterangan orang yang meniatkannya, sebab yang bisa diketahui hanyalah dari dirinya sendiri.

 

Bila sudah mungkin diselidiki (ditanyai) mengenai niatnya -sebab sudah mati atau hilang-, maka tidak dapat dihukum: jatuh talak, sebab dasar asalnya adalah kelanggengan ikatan pernikahan.

 

Beberapa Cabang:

 

Al-Muzajjad di dalam Al-‘Ubab berkata: Barangsiapa yang nama istrinya semisal Fatimah, lalu ia mengucapkan: “Fatimah tertalak”, sebagai permulaan ucapan ataupun jawaban atas permintaan istrinya agar menalak, dan ia bermaksud Fatimah yang bukan istrinya, maka ucapan suami tersebut tidak dapat diterima.

 

Barangsiapa yang berkata kepada istrinya: “Hai, Zainab! Kamu terta-lak”, padahal nama istrinya adalah Umrah, maka istrinya tetap jatuh tertalak, karena ada isyarah huruf nida’ di situ.

 

Bila seorang suami berisyarah kepada wanita lain dan berkata: “Hai, Umrah! Kamu tertalak”, padahal nama istrinya adalah Umrah, maka talaknya tidak dapat jatuh kepada istrinya.

 

Barang siapa berkata: “Istriku tertalak” sambil menunjuk salah satu dari dua istrinya, sedang ia bermaksud menalak istri yang tidak ditunjuk, maka dengan bersumpah dapat dibenarkan pengakuannya.

 

Barangsiapa mempunyai dua istri, yang kedua-duanya bernama Fatimah binti Muhammad, sedang satunya Fatimah binti Zaid, lalu ia berkata: “Fatimah binti Muhammad tertalak” dan ia berniat pada Fatimah binti Zaid, maka peniatan yang ia lakukan adalah bisa diterima.

Selesai.

 

Guru kita berkata: Dalam hukum lahir (dunia) masalah yang pertama (yang nama istrinya Fatimah) adalah tidak bisa diterima, tetapi menurut hukum di akhirat nanti, tinggal niat sebenarnya yang ada. Tetapi, pendapat yang mengatakan bahwa maksud hati suami atas penalakan istrinya bernama Fatimah itu bisa diterima, adalah pendapat yang dikedepankan (ittijah). Selesai.

 

Bila seorang suami berkata: “Istriku yang bernama Aisyah binti Muhammad adalah tertalak”, sedang nama istrinya adalah Khadijah binti Muhammad, maka talak tetap jatuh, sebab kekeliruan menyebutkan nama itu, tidak jadi masalah.

 

Bila seseorang berkata kepada anak laki-lakinya yang sudah balig: “Katakan kepada ibumu: Engkau tertalak”, dan ia tidak bermaksud mewakilkan, maka bisa jadi mewakilkan (dianggap mewakilkan): karena itu, jika perkataan tersebut : disampaikan oleh anak laki-laki tersebut kepada ibunya, maka jatuhlah talaknya, sebagaimana kalau sang ayah/suami bermaksud mewakilkan: dan bisa juga sang ibu/ istri sudah tertalak dan sang putra hanya menyampaikan berita tersebut.

 

Al-Asnawi berkata: Sumber kebisajadian di sini adalah bila perintah untuk melakukan sesuatu, kita jadikan sebagai perintah (orang) pertama, maka perintah untuk menyampaikan berita adalah berkedudukan sebagai pemberitahuan langsung dari ayah (kepada ibu/ istri): karenanya talak bisa jatuh: Tetapi, bila kita tidak memberikan kedudukan seperti itu, maka talak tidak bisa jatuh. Selesai.

 

Syekh Zakanya berkata: Kita gans bawahi, sebaiknya sang ayah dimintai penjelasannya: jika sulit untuk itu -mungkin sebab mati atau hilang-, maka diberlakukan ihtimal (kemungkinan) yang pertama, sehungga talak tidak jatuh dengan ucapan sang ayah tersebut, tetapu jatuhnya dengan ucapan si anak kepada ibunya, sebab talak itu tidak dapat jatuh dengan keraguan.

 

Bila seorang suami berkata kepada istrinya: “Kutalak kamu” dan berruat ada bilangan talak dua atau satu, maka talak jatuh seperti yang diruatkan, sekalipun pada istri yang belum pernah dijimak. Apabila ia tidak berruat bilangan talak, maka talak jatuh satu.

 

Bila ia ragu berapa bilangan talak yang diucapkan atau diniatkan, maka yang diambil adalah bilangan yang paling kecil, dan tidak samar ada. sifat warak di sini.

 

Cabang:

 

Bila suami berkata: “Kutalak satu kamu dan dua”, maka jatuh talak tiga, sebagaimana yang nyata, dan sebagian fukaha Muhaqqiqun di masa kita berfatwa demikian.

 

Bila suami berkata kepada istri yang sudah pernah dijimak: “Kamu tertalak satu, bahkan dua”, maka jatuh talak tiga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Zakariya dalam Syarhur Raudh.

 

Talak bisa jatuh dengan wakil penalakan mengatakan: “Saya menalak si Fulanah” dan sebagainya, sekalipun waktu menjatuhkan talak ia tidak berniat, bahwa dirinya menjatuhkan talak atas nama Muwakilnya.

 

Bila seorang suami berkata kepada orang lain: “Aku berikan/Aku jadikan talak istriku di tanganmu” atau “Berangkatlah dengan membawa talaknya dan berikanlah kepadanya”, maka ucapan itu adalah perwakilan, yang talak bisa jatuh dengan penjatuhan talak oleh si wakil, bukan dengan ucapan sang suami seperti itu.

 

Bahkan perceraian mulai terjadi sejak waktu wakil menjatuhkan talak, kapan saja ia mau dengan ucapannya: “Kutalak si Fulanah”, bukan dengan pemberitahuan wakil kepada istri: “Si Fulan mengirimkan lewat dua tanganku atas talakmu”, dan bukan pula dengan memberitahukan kepadanya: “Sesungguhnya suamimu telah menalak”.

 

Bila suami berkata kepada wakil: “Talak jangari kamu berikan, kecuali pada hari beginu…”, maka talak harus ja jatuhkan pada hari yang telah ditentukan oleh suami atau sesudahnya, bukan sebelumnya. Kemudian, jika suami bermaksud membatasi pada suatu hari tertentu, maka wakil hanya bisa menjatuhkan talak pada han itu saja, tidak boleh setelahnya.

 

Bila suami berkata kepada istrinya yang mukalaf dengan cara munajjaz (tidak digantungkan pada suatu kejadian): “Talaklah dirimu sendiri, jika kamu mau”, maka adalah memberikan hak milik penalakan, bukan mewakilkannya.

 

Telah dibahas, bahwa termasuk memberikan hak milik penalakan adalah ucapan suami: “Talaklah aku”, laluistri berkata: “Engkau tertalak tiga”, tetapi ini adalah kinayah talak: karena itu, jika suami berniat menyerahkan talak kepada istri, maka jatuhlah talaknya, tetapi jika tidak berniat seperti itu, maka tidak jatuh.

 

Dikecualikan dari batasanku “mukalafah”, adalah rstri yang tidak mukalaf, lantaran pernyataan yang disampaikan dihukumi rusak. Dikecualikan juga dari batasanku “munajjaz”, adalah talak yang digantungkan dengan sesuatu, karena itu, bila seorang suami berkata: “Bila telah datang bulan Ramadhan, maka talaklah dirimu”, adalah sia-sia belaka.

 

Bila kita katakan bahwa ucapan suami di atas (Talaklah dirimu jika mau) sebagai penyerahan talak (pemberian hak milik talak), maka untuk jatuh talak yang diserahkan di tangan istri, disyaratkan adanya dengan seketika -sekalipun dengan kinayah-: dalam arti antara penye. rahan suami dengan penjatuhan talak tidak dipisah dengan pemisah.

 

Tetapi, bila suami berkata kepada istrinya: “Talaklah dirimu”, lalu “istrinya berkata: “Bagaimana aku dapat menalak diriku sendiri?” lalu ia berkata lagi: “Saya talak”, maka jatuhlah talaknya, sebab pemisahnya hanya sedikit.

 

(Penalakan istri yang telah diserahi oleh suaminya) adalah dengan ucapan istri: “Kutalak diriku”, atau hanya “Kutalak”, tidak sah dengan “Kuterima”.

 

Sebagian fukaha -sebagaimana pula peringkas Ar-Raudhah (Al-Muzajjad)berkata: Penalakan tidak disyaratkan dilakukan dengan seketika pada ucapan suami: “Kapan saja kamu bermaksud …”: Karena , Itu, ia bisa menjatuhkan talak kapan saja. Pemilik At-Tanbih dan Al-Kifayah (Ibnur Rif’ah) memantapi pendapat ini.

 

Tetapi yang muktamad sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita, bahwa disyaratkan “dengan seketika”, sekalipun suami mengatakan dengan semacam “Kapan saja…”.

 

Suami diperbolehkan menarik kembali sebelum istri mengucapkan penolakannya, sebagaimana pada akad-akad yang lain.

 

Faedah:

 

Penggantungan talak -sebagaimana panggantungan pembebasan budak-, diperbolehkan dengan beberapa syarat (huruf taklik): suami tidak boleh menarik kembali taklik talaknya sebelum terjadi sifat yang menjadi penggantungannya dan talak dapat jatuh sebelum sifat yang menjadi penggantungan talak itu terwujud.

 

Bila suami mentaklik talak pada suatu perbuatan, lalu suami melakukan perbuatan itu lantaran lupa dengan takliknya atau tidak tahu kalau perbuatan tersebut adalah tempat pentaklikannya, maka istri tidak jatuh talaknya.

 

Bila suami mentaklik talak pada perbuatannya memukul istrinya tanpa salah, lalu istri memakinya, kemudian dipukul, maka suami tidak melanggar takliknya, jika makian istri tersebut bisa dibuktikan kebenaran (dengan bayinah atau ikrar istri): kalau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka istri dibenarkan dakwaannya (tidak memaki), lalu disumpah.

 

Penting:

 

Diperbolehkan mengadakan pengecualian dengan semacam huruf Illa (dan huruf-huruf istitsna lainnya) dengan syarat ucapannya dapat didengarkan dirinya sendiri dan disebutkan bersambung dengan bilangan talak yang diucapkan, misalnya: “Kutalak tiga kamu, kecuali dua”, maka jatuh talak satu, atau “… kecuali satu”, maka jatuh talak dua.

 

Bila suami berkata: “Kamu tertalak, insya Allah”, maka talaknya tidak jatuh.

 

Orang yang mendakwakan dirinya dipaksa menalak, dirinya ayan ketika menalak atau terlanjur mengucapkan talak, adalah dapat dibenarkan dengan sumpah, jika ada: indikasi (qarinah)nya di sana.

 

Misalnya terjadi penahanan pada dirinya atau lainnya dalam dakwaan, bahwa dirinya dipaksa, dan misalnya karena sakit dan biasa pingsan dalam dakwaan bahwa dirinya ayan misalnya lagi keadaan nama istrinya Thali’ atau Thalib dalam dakwaan terlanjur lisan dalam mengucapkan nama istrinya.

 

Kalau tidak ada indikasi seperti itu, maka suami tidak dapat dibenarkan dengan adanya bayinah.

 

Penyempurna:

 

Barangsiapa berkata kepada istrinya: “Wahai, wanita kafir”, dengan maksud kafir sesungguhnya, maka berlaku untuk wanita itu segala yang ditetapkan dalam masalah murtad (bila ia belum dijimak, maka perceraian terjadi dengan seketika, sebab suaminya kafir dan seterusnya). Kalau kata-kata tersebut dimaksudkan untuk memaki-maki istrinya, maka talak tidak jatuh.

 

Begitu juga tidak jatuh talak, jika suami tersebut, tidak bermaksud apa-apa, karena pendasaran asal atas ‘kelanggengan ikatan nikah, dan karena perkataan seperti itu banyak terjadi untuk memaki yang dimaksudkan mengufuri nikmat.

 

Cabang Mengenai Hukum Wanita yang Tertalak Tiga

 

Haram bagi laki-laki merdeka menikahi wanita yang telah ia talak tiga -walaupun belum pernah dijimak-, dan haram bagi budak menikahi wanita yang telah ia talak dua, baik dalam satu atau beberapa nikah, hingga wanita itu nikah lagi dengan laki-laki Lain secara sah, lalu ditalaknya dan habis masa idahnya dani laki-laki tersebut, sebagaimana yang dimaklumi bersama, serta lakilaki itu telah memasukkan kepala zakar atau seukur kepala zakarnya -bila putus- ke dalam lubang vagina, serta selaput daranya sampai pecah bagi wanita yang masih perawan.

 

Masuknya kepala zakar itu disyaratkan dengan ereksi (tegang), sekalipun lemah atau dibantu dengan menggunakan semacam jari-jari ketika memasukkan zakar. Di sini tidak disyaratkan ada ejakulasi (inzal).

 

Keharaman menikahi wanita tersebut, adalah berdasarkan ayat Alqur-an.

 

Hikmah disyaratkan Tahlil, membuat suami agar menghindari menghabiskan talaknya.

 

Ucapan istri tertalak tersebut mengenai ada Tahlil dan idahnya sudah habis dari Muhallil, adalah bisa diterima, sekalipun suami kedua (Muhallil) mendustakannya mengenai persetubuhannya, karena dirasa sulit untuk membuktikan kebenaran ada persetubuhan.

 

Bila istri tertalak itu mendakwakan ada pernikahan dan habis masa idah dari suami keduanya serta ia telah bersumpah, maka bagi suami pertama boleh menikahinya lagi -sekalipun ia memperkirakan kedustaan istri tersebut-, sebab yang menjadi dasar penilaian dalam segala akad adalah ucapan para pengikat itu sendiri, sedang perkiraan yang tidak berdasar, adalah tidak menjadi dasar ukuran.

 

Bila suami kedua mendakwa, bahwa dirinya telah menjimaknya dan pihak istri mengingkarinya, maka wanita itu tidak halal untuk bekas suami pertama.

 

Bila wanita tersebut berkata “Saya belum nikah lagi”, Jalu sa mendustakan dinnya sendin dan mendakwa bahwa dirinya telah merukah denyan syarat seperti ds atas, maka bagi suami pertama boleh memkahinya, Jika ia membenarkan ucapan itu,

 

Bila wanita tertalak itu membentahukan kepada mantan suami pertamanya, bahwa dirirrya telah Tahlil, lalu menarik kembali pemberitaannya dan ia mendustakan dirinya, maka dakwaan (kekeliruan dirinya dalam pemberitaan) dapat diterima, jika belum diadakan akad mukah dengan mantan suami pertama. Karena itu, suami pertama tidak boleh menikahinya.

 

Tetapi, kalau pengingkaran Tahlil oleh wanita diatas terjadi setelah diakadkan nikah dengan mantan suami pertama, maka tidak dapat diterima, karena kerelaannya nikah dengan mantan suami yang pertama, mengandung pengakuan ada tahlil, maka dakwaan yang bertentangan dengan hal itu tidak dapat diterima, sekalipun suami kedua membenarkan mantan istrinya, bahwa ia belum menjimaknya, sebab hak memanfaatkan farji di sini hubungannya dengan suami pertama, Oleh karena Itu, istri sendiri atau suami kedua yang membenarkannya, tidak dapat menghilangkan hak tersebut, sebagaimana yang difatwakan oleh segolongan syekh kita Al-Muhaqiqun.

 

Penyempurna:

 

Hanya saja penetapan (itsbat) talak itu dengan persaksian dua laki-laki adil yang merdeka, sebagaimana halnya ikrar keberadaan talak.

 

Karena itu, talak tidak bisa dihukumi jatuh dengan persaksian beberapa wanita -walaupun bersama seorang laki-laki-, 4 orang wanita, para hamba -sekalipun, mereka adalah

orang-orang baik-, atau orang-orang fasik, sekalipun kefasikannya berupa menunda pengerjaan salat fardu sampai keluar waktu tanpa uzur.

 

Disyaratkan untuk kesahan Adausy Syahadah (memberikan persaksiari) dan Qabulusy Syahadah (penerimaan persaksian), dua saksi itu mendengar ucapan talak dan melihat orang yang menjatuhkan talak ketika mengucapkannya.

 

Karena itu, tidak sah Tahamulusy Syahadah (mengambil kesaksian) dua orang saksi yang berpedoman pada suara yang mereka dengar, tanpa melihat orang yang menalak, lantaran kemungkinan terjadi suara yang serupa.

 

Disyaratkan dua saksi tersebut menerangkan lafal suami yang menjatuhkan talak sharih atau kinayah lafal yang diucapkan.

 

Dalam masalah talak, persaksian dari ayah wanita yang tertalak dan anak laki-lakinya, adalah bisa diterima, jika keduanya memberikan persaksian secara hisbah.

 

Bila bertentangan antara bayinah yang menyatakan ada taklik dengan bayinah yang menyatakan ada tanjiz, maka dimenangkan bayinah taklik, karena dengan bayinah ini terdapat tambahan pengetahuan, yaitu dengan mendengar ada pentaklikan talak.

Menurut bahasa, Raj’ah artinya sekali kembali, sedang menurut syarak, adalah mengembalikan istri yang masih dalam idah talak, bukan bain pada perrukahan semula.

 

Sebelum habis idah, sah merujuk istri yang diceraikan secara gratis, setelah pernah dijimak dan talak yang dijatuhkan bukan dalam hitungan maksimal, yaitu talak tiga untuk suami yang merdeka dan talak dua untuk suami budak.

 

Tidak sah merujuk wanita yang diceraikan, bukan dengan talak -misalnya fasakh-, dan diceraikan kurang dari talak tiga, tetapi memakai tebusan -misalnya khuluk lantaran bainunah istri-, dan diceraikan sebelum pernah dijimak -lantaran tidak punya idah-, dan wanita yang sudah habis idahnya -lantaran telah menjadi wanita lain-.

 

Wanita-wanita yang tidak sah dirujuk di atas, adalah sah diperbaruhi nikahnya dengan izin baru, wali, saksi dan mahar yang lain.

 

Tidak sah pula merujuk wanita Yang telah ditalak tiga, dan tidak tah menikahinya, kecuali setelah ada Tahlil (pernikahan dengan laki-laki, dengan syarat-syaratnya).

 

Hanya saja kesahan rujuk itu dilakukan dengan shighat: “Saya merujuk kembali istriku/si Fulanah” sekalipun tidak mengatakan “kepadaku/nikahku”, tetapi sunah menambahkan salak satunya pada shughat di atas.”

 

Sah juga rujuk dengan mengatakan: “Dia saya kembalikan kepada nikahku”, juga dengan “Saya menahannya”.

 

Adapun akad nikah padanya dengan ijab dan qabul, adalah kinayah rujuk yang membutuhkan niat.

 

Tidak sah mentaklikkan rujuk, misalnya: “Aku merujukmu, jika kamu mau”, Tidak disyaratkan mempersaksik?” rujuk, tapi cuma sunah saja.

 

Beberapa Cabang:

 

Haram melakukan Tamattu’ (bersenang-senang) pada wanita yang ada dalam idah raj’iyah, walaupun hanya memandangnya semata. Jikasampai menjimaknya, maka tidak boleh di-Had, tapi cukup ditakzir.

 

Dengan bersumpah, wanita bisa dibenarkan dakwaannya yang mungkin terjadi mengenai habis masa idah yang dihitung dengan bukan bulanan -dengan quru’ atau kelahiran-, sekalipun mengingkari atau menyelisihi adatnya (dalam haid), sebab para wanita adalah orang yang dipercayai mengenai kandungannya.

 

Bila suami mendakwa telah merujuk istrinya dalam idah, di mana wanita tersebut telah habis masa idahnya dan belum bersuami lagi, bila kedua belah pihak sepakat mengenai waktu habis idah -misalnya hari Jumat-, dan suami berkata: “Aku merujuknya sebelum hari itu”, lalu wanita itu berkata: “Tidak sebelum hari itu, tetapi setelahnya”, maka wanita itu diambil sumpahnya, bahwa ia tidak mengetahui rujuk, suami, kemudian dibenarkan, sebab dasarnya adalah rujuk ndak terjadi sebelum hari Jumat.

 

Bila kedua belah pihak sepakat mengenai waktu rujuk -misalnya han Jumat-dan istri berkata: “Idah habis pada hari Kamis”, dan suami berkata: “… tetapi hari Sabtu”, maka yang dibenarkan adalah suami, dengan diambil sumpahnya bahwa idah tidak habis di hari Kamis, sebab kesepakatan mereka mengenai waktu rujuknya, sedangkan dasarnya adalah tidak ada rujuk sebelum waktu itu.

 

Bila seorang laki-laki menikahi kembali istri yang telah diceraikan dengan talak kurang dari tiga -sekalipun sebab khuluk dan telah dinikahi laki-laki lain-, maka wanita kembali ke tangannya dengan sisa talak tiganya (dua/satu).

 

Ila’ adalah sumpah untuk tidak menjimak istrinya dalam waktu yang tidak terbatas atau lebih 4 bulan, d mana suami Itu mampu melakukan persetubuhan.

 

Misalnya suami berkata: “Aku tidak akan menjimakmu/Aku tidak akan menjimakmu selama 5 bulan/Aku tidak akan menjimakmu sampai si Fulan mati”.

 

Maka, apabila telah berjalan masa 4 bulan dari Ila’ tanpa terjadi persetubuhan, maka istri boleh meminta suaminya agar dijimak atau dijatuhkan talaknya: jika suami membangkang, maka hakimlah yang menjatuhkan talaknya.

 

Ila’ bisa sterwujudkan dengan bersumpah demi Allah swt., dengan mentaklik talak atau pembebasan budak, atau dengan menyanggupi ibadah.

 

Bila di masa Ila’ tersebut suamr menjimaknya -baik lantaran tuntutan dari istri atau tidak-, maka suami wajib membayar kafarat sumpah, jika Ila’nya dengan bersumpah demi Allah swt.

Sesungguhnya zhihar itu sah dilakukan oleh suami yang sah talaknya.

 

Zhihar adalah perkataan suami kepada istrinya: “Engkau seperti punggung ibuku”, sekalipun tanpa menyebutkan “Bagiku”. Ucapan “Engkau seperti ibuku”, adalah kinayah zhihar. Disamakan dengan Ibu: Wanita mahram yang keharamannya sejak semula.

 

Dengan sebab suami Aud -yaitu diam/tidak mengucapkan talak dalam masa yang memungkinkan untuk melakukannya-, maka ia wajib ” membayar kafarat Zhihar.

 

Lafal Idah diambil dari ‘Adad (bilangan), karena mencakup beberapa quru’ (suci) dan beberapa bulan pada galibnya.

 

Idah menurut syarak, adalah masa penantian seorang wanita (yang telah tercerai) untuk mengetahui kebebasan rahim dari kandungan, untuk ta’abbud (perenungan ibadah), atau bela sungkawa atas kematian suami. Ta’abbud adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal mengenai maknanya, baik berupa ibadah atau lainnya.

 

Pada dasarnya idah disyariatkan untuk menjaga jangan sampai terjadi keserupaan status keturunan.

 

Idah diwajibkan karena perceraian oleh suami yang masih hidup, yang pernah menjimak pada kubul (lubang vagina) atau dubur (anus), dengan cara talak atau fasakh nikah oleh suami yang berada di tempat atau tengah tiada, dalam waktu yang cukup lama.

 

Lain halnya dengan suami yang belum pernah meryimaknya, (maka istri yang diceraikan tidak wajib idah), sekalipun sudah pernah berduaan (khalwah).

 

Wanita yang diwajibkan beridah di atas tadi, sekalipun telah diyakini kebebasan kandungan bayi, misalnya istri/suami yang masih kecil.

 

Idah juga wajib dilakukan sebab – persetubuhan yang syubhat tentang kehalalannya (wanita syubhat), misalnya jimak dalam ikatan nikah yang fasid, yaitu jimak yang tidak menetapkan keberadaan had bagi laki-lakinya.

 

Cabang:

 

Seorang suami tidak diperkenankan bertamattu’ apa pun bentuknya, terhadap wanita yang dijimak secara syubhat, selama masih dalam idahnya -baik idah hamil atau lainnya-, sehingga idah tersebut habis dengan melahirkan atau lainnya, sebab rusak nikah, karena berurusan dengan hak orang lain (hak di sini adalah idah sebab jimak syubhat).

 

Guru kita berkata: Dari alasan di atas, maka diambillah suatu pendapat, bahwa laki-laki tersebut diharamkan memandangnya -sekalipun tanpa syahwatdan berduaan dengannya.

 

Kewajiban idah karena hal-hal di atas, adalah dengan cara tiga kali quru’, yaitu masa suci di antara dua masa haid atau antara masa haid dengan nifas.

 

Bila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang semula tidak pernah haid, lalu setelah talak ia haid, maka masa suci di kala penjatuhan talak tidak terhitung quru’, sebab tidak berada di antara dua periode haid, tetapi wanita tersebut harus beridah tiga kali masa suci setelah haid yang bersambungkan dengan jatuh talak. Bagi wanita selain seperti itu, sisa masa suci dihitung satu quru’.

 

Kewajiban idah 3 quru’ itu bagi wanita merdeka yang biasa haid, karena berdasarkan firman Allah: “Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah beridah dengan menahan dirinya selama tiga guru!” (Al-Baqarah: 228).

 

Bila seorang wanita dijatulu talak dalam keadaan sucinya masih berjalan sebentar, maka idahnya habis pada masuk pendarahan haid periode ketiga, karena kemutlakan nama suci, yang mencakup masa suci, yang sekalipun hanya sebentar, sekalipun dalam masa suci yang hanya sebentar tersebut suami telah menjimak.

 

Atau dalam keadaan haid yang walaupun tinggal berjalan sejenak, maka masa idahnya habis pada pendaraan haid periode keempat.

 

Masa pendaraan haid yang terakhir (ketiga pada wanita yang ditalak dalam keadaan suci, dan periode: keempat pada wanita yang ditalak dalam keadaan haid) tidak termasuk masa idah, tetapi dengan adanya pendarahan tersebut, selesailah masa idahnya.

 

Bila wanita merdeka itu tidak pernah haid sama sekali, maka wajib idah selama 3 bulan Qamariyah, jika penjabihan talak tidak terjadi di pertengahan bulan, Jika terjadi seperti itu, maka sisa hari samgai akhur digenapkan menjadi 30 hari terlebih dahulu.

 

Atau wanita tersebut pada mulanya haid, lalu berhenti karena sudah sampai usia di mana pada galibnya tidak haid lagi (usia manapouse).

 

Usia itu adalah 60 tahun, dan ada yang mengatakan 50 tahun.

 

Bila wanita yang sama sekali tidak haid itu mengalami haid di tengahtengah masa idahnya, yang sedianya dihitung dengan bulanan, maka idahnya harus dengan hitungan suci.

 

Atau (bila mengalami haid) setelah habis masa idahnya, maka tidak usah memulai masa idahnya dengan hitungan quru’ (suci): Lain halnya dengan wanita manapouse.

 

Bila wanita tertalak yang semula biasa mengalami haid, lalu terputus tanpa diketahui sebabnya, maka ia belum diperbolehkan kawin sehingga ia haid lagi, lalu beridah dengan quru’ atau menjadi Ayisah (manapouse), lalu beridah dengan hitungan bulanan.

 

Dalam kaul Kadim -yang juga menjadi mazhab Malik dan Ahmad-: Wanita yang terputus haid tanpa diketahui sebabnya, adalah menunggu 9 bulan, lalu beridah 3 bulan, agar dengan begitu dapat diketahui kebersihan kandungan, sebab 9 bulan itu adalah kebiasaan umur kandungan.

 

Untuk menguatkan pendapat ini, Asy-Syafi’i berdalil, bahwa Umar r.a. menghukumi seperti itu pada sahabat Muhayirin dan Anshar, serta tidak ada yang mengingkarinya.

 

Karena dalil sepertr itulah, kaul tersebut difatwakan oleh Sulthanul Ulama, Izzuddin bin Abdus Salam, Al-Barizi, Ar-Raimi, Ismail AlHadhrami, dan menjadi pilihan Al-Bulqini dan Guru kita, Ibnu Ziyad rim. »

 

Adapun wanita yang putus darah dapat diketahui sebabnya -misalnya menyusui atau sakit-, maka menurut sepakat ulama, wanita itu belum boleh nikah sampai ia haid atau menjadi Ayisah, sekalipun panjang masanya.

 

Diwajibkan beridah selama 4 bulan 10 hari -termasuk malamnya-, bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, sekalipun ia wanita merdeka dalam keadaan talak raj’i dan belum dijimak -karena masih kecil atau lannya-, dan sekalipun ia adalah wanita yang mempunyai quru’. Dasarnya adalah Alqur-an dan Al-hadits.

 

Di samping masa idah seperti itu, wanita yang ditinggal mati suaminya juga wajib melakukan Ihdad (jawa: Ngusut) dengan cara-cara yang ada.

 

Hal ini berdasarkan hadis yang Muttafaq Alaih: “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah swt. dan hari Akhir, melakukan ihdad atas kematian seseorang selama melebihi 3 hari, kecuali atas kematian suami selama 4 bulan 10 hari.” Astinya, wanita tersebut wajib melakukan ihdad dengan masa seperti itu, sebab Suatu perbuatan yang diperbolehkan setelah dilarang, adalah menunjukkan wajib.

 

Karena jimak mengenai dimaksud kan “halal” di situ sebagai wajib, kecuali pendapat yang dinukil dan Al-Hasan Al-Bashri.

 

Penyebutan iman dalam hadis, adalah sebagai kegaliban saja atau agar dengan begitu bisa membangkitkan kepatuhan, Kalau tidak kita letakkan pemahaman seperti itu, maka setiap wanita mempunyai hak aman (dilindungi oleh pemerintah Islam), berkewajiban melakukan ihdad seperti itu juga.

 

Wajib bagi wali memerintahkan anak perwaliannya agar melakukan ihdad.

 

Peringatan:

Ihdad yang wajib: dilakukan oleh Seorang wanita yang ditinggal mati Suaminya -sekalipurt wanita itu fnasih keciladalah meninggalkan pakaian yang diwarna (diwenter) Untuk menghias diri -sekalipun dan bahan yang kasar-, dan boleh memakai kain sutera (Ibrasim) yang tidak diwenter.

 

Merunggalkan memakai yang berbau harum -sekalipun waktu malamdan meniggalkan memakai perhiasan emas-perak di siang hari, sekalipun hanya berupa cincin atau anting-anting, sekalipun pemakaian emas-perak tersebut di balik pakaian, karena ada larangan untuk itu.

 

Termasuk perhiasan emas-perak, yaitu barang hasil sepuhan darinya, misalnya mutiara dan sesamanya dari segala bentuk intan yang dibuat perhiasan, termasuk di sini, batu akik, Begitu juga dengan tembaga atau gading, bila wanita itu dari kalangan masyarakat yang biasa memakai tembaga/gading sebagai perhuasan.

 

Kewajiban dalam Ihdad lagi. Meninggalkan celak mata dengan Itsmit -sekalipun wanita berkulit hitam-, dan meniggalkan berminyak rambut, bukan badan sekalian.

 

Diperbolehkan mandi dan membersihkan kotoran tubuh serta makan daun sirih.

 

Sunah melakukan Ihdad bagi wanita yang tertalak bain -dengan khuluk, fasakh nikah atau talak tiga-, agar berhiasnya tidak membawa kerusaka.

 

Demikian juga sunah Ihdad bagi wanita yang tertalak raj’i, jika tidak mengharapkan suami kembali dengan cara berhuas diri: Jika ia mengharapkan sang suami kembali, maka sunah berhuas diri.

 

Wajib bagi wanita beridah karena kematian suaminya, talak bain atau fasakh nikah,

terus-menerus berada di dalam rumah yang ia tempati waktu suami mati atau menjatuhkan talak bainnya, sampai habis masa idahnya.

 

Wanita dalam masa idah diperbolehkan keluar rumah di siang hari, guna membeli semacam makanan, menjual hasil tenunannya, atau mencari kayu bakar. Keluar rumah di malam hari tidak diperbolehkan -walaupun baru awal malam-: Lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha.

 

Tetapi, ia diperbolehkan keluar malam ke rumah tetangganya yang bergandengan, untuk keperluan menenun atau omong-omong dan sebagainya, tetapi hal itu disyaratkan menurut kadar kebiasaan Disyaratkan lagi menurut pendapat Al-Aujah, bahwa di dalam rumahnya sudah tidak ada orang yang diajak berbincang-bincang dan beramah tamah dengannya, dan hendaknya pulang kembali dan bermalam di dalam rumahnya.

 

Adapun wanita yang dalam idah raj’iyah, makaia boleh keluar rumah dengan seizin suaminya atau karena terpaksa, sebab penalakan masih berkewajiban menanggung biaya hidupnya, sebagaimana seorang istri, wanita tertalak bain yang hamil, hukumnya sama dengan wanita ini.

 

Wanita yang sedang beridah boleh pindah dari rumah (yang telah ditentukan oleh suaminya), karena mengkhawatirkan diri, anak atau hartanya, sekalipun tidak miliknya sendiri -misalnya barang titipan-, walaupun hanya sedikit, dan khawatir karena keruntuhan rumahnya, rumah terbakar, ada pencuri, atau mungkin karena menerima penderitaan dari tetangganya.

 

Suami wajib menyediakan tempat tinggal istri yang tercerai -walaupun dengan cara menyewa-, selagi wanita itu tidak dalam keadaan nusyus

 

Suami tidak boleh tinggal satu rumah dengannya, dan memasuki tempat di mana istri tersebut berada tanpa bersama mahram. Hal itu haram dilakukan olehnya -sekalipun suam Itu orang yang buta dan talaknya raj’i-, sebab hal itu bisa membawa ke arah khalwah yang diharamkan.

 

Dari keterangan tersebut, maka istri tersebut wajib melarang suaminya -Jika kuasa-, agar tidak melakukan hal itu.

 

Bila wanita yang tercerai statusnya budak, wajib beridah dengan separo idah wanita merdeka, sebab wanita budak itu dalam kebanyakan hukumnya, adalah separo daripada wanita merdeka.

 

Untuk quru’nya yang kedua harus disempurnakan menjadi penuh, sebab tidak bisa diketahui separo quru’, kecuali setelah diketahui sepenuhnya, karena itu, ia wajib menunggu pendarahan kembali.

 

Wanita merdeka maupun budak, karena kematian suami atau lainnya -sekalipun masih haid-, adalah beridah sampai melahirkan bayi yang mereka kandung dari suami yang mengidahkan dirinya, sekalipun kandungan yang lahur berupa segumpal daging yang berbentuk manusia andai kata hidup terus, bukan habis idahnya dengan melahirkan segumpal darah.

 

Cabang:

 

Anak yang lahir dalam waktu kandungan berusia 4 tahun terhitung dari masa penalakan, nasabnya adalah ditemukan kepada laki-laki yang mengidahkan wanita yang melahirkannya.

 

Tidak bisa ditemukan atas laki-laki yang mengidahkan, jika wanita itu telah nikah dengan laki-laki lain dan setelah dimungkinkan bahwa bayi tersebut lahir dari suami yang kedua: yaitu sebagaimana wanita itu melahirkannya setelah terhitung waktu 6 bulan dari perkawinannya dengan suami kedua.

 

Wanita yang mendakwakan bahwa dirinya telah selesai dari masa idahnya, yang diperhitungkan dengan selain bulanan, adalah bisa dibenarkan, jika bisa dimungkinkan habis idah itu, sekalipun hal itu menyelisihi kebiasaannya atau tidak dibenarkan oleh suaminya, karena dirasa sulit baginya untuk mengajukan bayinah atas hal itu dan karena wanita itu justru orang yang dipercayai mengenai yang ada dalam rahimnya.

 

Kemungkinan habis masa idah pada kelahiran, adalah setelah usia kandungan sebanyak 6 bulan dan dua lahzhah (masa seukuran jimak dan lahzhah melahirkan) dan pada perhitungan tiga quru’ untuk wanita merdeka yang ditalak dalam keadaan suci, adalah 32 hari dan dua lahzhah (quru’ awal dan lahzhah tetesan darah periode haid ketiga), sedang pada wanita yang ditalak dalam keadaan haid, adalah 47 hari dan satu lahzhah tetesan darah periode haid keempat).

 

Faedah:

 

Sebaiknya wanita yang mendakwakan habis masa idah, adalah disumpah.

 

Seorang wanita setelah menikah dengan laki-laki lain (bukan shahibul idah), lalu ia mehdakwakan bahwa idahnya belum habis, sebab kerelaan dirinya menikah, adalah mengandung pengakuan atas habis idah.

 

Apabila setelah penalakan si Wanita mendakwakan, bahwa dirinya telah dijimak dan suami mengingkarinya, maka dengan bersumpah suami dapat dibenarkan, sebab dasar asalnya adalah, bahwa persetubuhan itu tidak terjadi, selanjutnya, wanita tersebut berkewajiban melakukan idah sebagai konsekuensi dari ikrarnya sendiri, sekalipun ia mencabut kembali dan mendustakan dirinya mengenai dakwaan perJimakan, sebab ingkar setelah ikrar tidak dapat diterima.

 

Cabang:

 

Bila seorang wanita pada masa idah raj’iyahnya telah habis dan ia menikah dengan laki-laki lain, lalu suami pertama yang menjatuhkan talak mendakwakan kepadanya atau kepada suami kedua, bahwa ia (penalak) telah merujuknya sebelum masa idah itu habis, dan untuk membuktikan (menetapkan) dakwaan tersebut ia mengajukan bayinah, atau mengemukakan bayinah, tetapi Wanita itu dan suami kedua berikrar tentang keberadaan rujuk tersebut, maka suami pertama boleh mengambil wanita itu, sebab dengan adanya ketetapan dakwaan dengan bayinah atau ikrar, mengakibatkan rusak pernikahan dengan suami keduaSuami kedua wajib membayar mahar mutsil kepada wanita tersebut, bila ia telah dijimak.

 

Karena itu, bila suami kedua mengingkari ada rujuk, maka ia bisa dibenarkan dengan cara disumpah, sebab pernikahan telah terjadi secara sahih, sedang dasar asalnya adalah rujuk itu tidak terjadi.

 

Atau (jika) wanita itu ikrar, sedang suami keduanya tidak ikut ikrar, maka suami pertama tidak bisa mengambil wanita itu, lantaran masih ada keterkaitannya dengan suami kedua, sampai Wanita talak bain terlebih dahulu darinya, sebab selama wanita itu masih berada dalam ikatan pernikahan dengan suami kedua, maka ikrarnya mengenai ada rujuk suami pertama tidak bisa diterima, lantaran masih ada keterkaitan hak suami kedua.

 

Kemudian, bila ia telah talak bain dari suami kedua, maka ia bisa diserahkan kepada suami pertama tanpa akad nikah lagi, dan selama ia belum bain dari suami keduanya, ia wajib memberikan mahar mitsil kepada suami pertamanya, sebab dengan ada pernikahan dengan suami keduanya, suami pertama telahia halang haknya, sehingga bila penghalang sudah tidak ada (dengan talak baih dari suami kedua), maka ia berhak menerima mahar dari Suami pertamanya.

 

Bila seorang Wanita masih dalam satu ikatan nikah dengan seorang Suami -misalnya telah ditetapkan statusnya, sekalipun dengan ikrarnya dania belum mkah lagi dengan lakilaki kedua-, lalu suami pertama mendakwakan bahwa ikatan nikahnya dengan Wanita itu masih ada dan ia belum mendakwakan ” bahwa ia telah ditalak dan idahnya telah habis sebelum ia menikah dengan suami keduanya dan bayinah tentang talak tidak ada, lalu suami pertama bersumpah bahwa dirinya tidak menalaknya, maka ia berhak mengambil istrinya dari tangan suami kedua, sebab istri tersebut telah berikrar ada ikatan perkawinan, dan ikrar ini adalah sah lantaran tidak ada kesepakatan antara wanita dengan suami mengenai talak.

 

Idah selain hamil, bagi wanita yang tertalak raj’i -bukan bain, sekalipun sebab khuluk-, adalah terputus hitungannya sebab terjadi percampuran suami dan istri tersebut, sebagaimana mereka sudah berkhalwah dan ada kesempatan untuk bermain seks, sekalipun dalam masa sebentar dan baik saat itu terjadi jimak ataupun tidak, Karena itu, idah : di masa percampuran tersebut tidak habis.

 

Tetapi, jika mu’asyarah (pergaular/ percampuran) itu telah berakhir, misalnya suami sudah berniat tidak kembali kepada istrinya, maka wanita itu bisa meneruskan idah yang telah berlalu. Idah di atas tidak dihukumi habis lantaran ada syubhat firasy (sebab wanita dalam talak raj’i hukumnya seperti istri),

 

Sama halnya dengan wanita yang di masa idahnya dinikahi oleh laki-laki lain, maka masa berkumpulnya tersebut tidak dihitung idah untuk Suami pertamanya, tetapi masa idahnya terputus sejak ia berkhalwah dengan laki-laki kedua, dan masa idah sebelum ia kawin dengan lakilaki kedua hukumnya tidak batal, dan bila khalwahnya dengan laki-laki kedua telah berakhir, maka ia bisa meneruskanidahnya yang telah lalu, dan waktu-waktu yang ada di antara khalwah tidak dihitung sebagai idah.

 

Tetapi, bagi suami yang telah mencampuri istrinya dalam idah raj’i di atas, ia tidak boleh merujuk lagi setelah masa idah (dalam bayangannya) yang diperhitungkan dengan quru’ atau bulanan -menurut pendapat Al-Muktamad-, sekalipun idahnya belum habis (sebab masa idah terputus dengan adanya percampuran tersebut), tetapi di masa itu sampai habis idah, talak bisa jatuh lagi.

 

Menurut pendapat yang dimenangkan Al-Bulqini, bahwa wanita di atas tidak berhak menerima biaya hidup.setelah masa idahnya, dan pendapat ini dimantapi oleh lainnya, lalu katanya: Antara kedua tidak dapat saling mewaris, dan pihak lakilaki tidak dapat dihad lantaran menjimaknya.

 

Penyempurna:

 

Apabila dua idah dari seorang lakilaki berkumpul pada seorang wanita -misalnya seorang laki-laki menjimak wanita yang telah ditalak raj’i secara mutlak atau wanita talak bain dengan wathi syubhat-, maka wanita tersebut cukup melakukan idah wathi saja, sehingga idahnya terhitung selesai persetubuhan dan idah yang pertama (talak) sudah masuk ke situ. Jika laki-laki tersebut melakukan jimak (wathi) berulang kali, maka wanita -tersebut harus memulai hitungan idahnya dari selesai persetubuhan.

 

Akan tetapi laki-laki di atas tidak dapat merujuknya, bila idah talak raj’inya telah habis.

 

Cabang Mengenai Istibra’

Istibra’ menurut syarak adalah: Masa penantian untuk budak perempuan (amat) ketika terjadi penyebabnya yang akan diterangkan nanti, untuk mengetahui kebersihan kandungan atau Ta’abbudi.

 

Wajib melakukan istibra’ untuk kehalalan tamattu’ atau mengawinkan terhadap amat, sebab ada pemilikan terhadapnya -sekalipun ia telah beridah-, pemilikan tersebut baik dengan cara pembelian, penerimaan warisan, wasiat atau pemberian yang sudah diterimanya, ataupun dimilikinya dari hasil tawanan perang dengan syarat pemihkannya -yaitu qismah atau memilih sendiri pemilikannyasekalipun amat tersebut diyakini bersih kandungannya, misalnya amat Itu masih kecil atau perawan.

 

Baik amat itu dimiliki dari tangan anak kecil atau perempuan, atau dari penjual yang sebelum dijual ia telah melakukan istibra’. Itu semua wajib diistibra’kan untuk bisa halal tamattu’.

 

Wajib Istibra’ sebab hilang hak milik sayid dari amat yang pernah disetubuhi yang bukan atau Mustauladah sebab sayid pemiliknya telah memerdekakannya dengan cara memerdekakan kedua bentuk amat di atas atau kematian Tuan pemilik bagi Yang mustauladah.

 

Tidak wajib Istibra’, bila amat tidak Mustauladah yang lepas kemilikan Tuannya itu telah diistibra’kan sebelum dimerdekakan, bahkan amat tersebut boleh kawin seketika, lantaran amat tersebut tidak menyerupai istri yang dinikahi, Lain halnya dengan amat yang Mustauladah.

 

Haram -bahkan tidak sah- mengawinkan amat yang telah dijimak pemiliknya sebelum Istibra’ terlebih dahulu, lantaran untuk menjaga bercampur dua sperma.

 

Adapun amat yang tidak pernah dijimak tuannya atau oleh siapa saja, maka tuannya boleh mengawinkannya secara mutlak. Kalau amat tersebut pernah dijimak oleh orang lain, maka tuan boleh mengawinkannya dengan orang yang telah menjimaknya. Boleh juga mengawinkan dengan laki-laki lain lagi, bila jimaknya dengan laki-laki kedua tadi halal atau telah lewat masa istibra’.

 

Bila Tuan memerdekakan amat yang pernah dijimak, maka ia boleh menikahinya tanpa Istibra’ dulu.

 

Masa Istibra amat yang mempunyai quru’, adalah masa satu periode haid penuh. Karena itu, sisa masa haid dalam periode Istibra’ belum cukup.

 

Bila sayid (tuan) menjimak amatnya ketika haid dan hamil dari persetubuhan tersebut, bila kehamilan terjadi sebelum haid berjalan seharisemalam (paling sedikit masa haid), maka hitungan masa Istibra’ terputus dan keharaman berjalan terus sampai melahirkan, sebagaimana halnya bila ia menjimaknya dalam keadaan suci, lalu hamil.

 

Bila kehamilan terjadi setelah masa di atas (masa berjalan haid sehari-semalam), maka masa Istibra’ telah cukup, sebab telah berlalu masa haid: yang sempurna sebelum terjadi kehamilan.

 

Apabila amat yang idahnya dihitung dengan bulanan -baik itu amat yang masih kecil atau Ayisah- maka masa Istibra’nya selama satu bulan.

 

Bagi amat yang hamil, di mana idahnya diperhitungkan dengan kelahiran -yaitu hamil dari perzinaan ‘atau hasil tawanan (dari orang kafir) yang hamil atau hamilnya dari tuannya serta terlepas kemilikkannya, baik itu Mustauladah atau tidak-, maka Istibra’nya adalah setelah melahirkan bayi tersebut.

 

Cabang:

Bila seseorang membeli semacam amat beragama Watsani atau murtad, lalu haid, kemudian setelah habis masa haid atau di tengah-tengahnya ia memeluk Islam -demikian pula setelah satu bulan bagi yang beridah bulanan-, maka masa haid tersebut dan sesamanya (satu bulan atau kelahiran kandungan) belum mencukupi untuk Istibra’nya, (tetapi 18 wajib melakukan Istibra’ kedua setelah Islam), sebab haid dan sesamanya di atas tidak dapat menyebabkan kehalalan tamattu’ yang menjadi tujuan Istibra’.

 

Budak amat dibenarkan tanpa disumpah mengenai ucapannya: ” Aku telah haid”, sebab hal itu tidak diketahui, kecuali dari dirinya sendirii.

 

Selain amat hasil tawanan, adalah diharamkan tamattu dengannya -walaupun sekadar memandang dengan nafsu birahi atau memegangnya-, sebelum sempurna Istibra’, sebab hal itu bisa membawa persetubuhan yang diharamkan, di samping itu, dimungkinkan hamil dari laki-laki merdeka.

 

Karena itu, tidak sah semacam menjualnya, tetapi dihalalkan berkhalwah dengannya.

 

Adapun amat hasil tawanan perang, maka haram dijimak, tetapi istimta’ selain persetubuhan -misalnya mencium dan memegangnya-, tidak diharamkan, sebab Rasulullah saw tidak mengharamkan tamattu’ pada amat tawanan selain menjimaknya, di samping kuat mata memandang dan tangan menjelajahi untuk memegang amat, utamanya yang cantik.

 

Karena Ibnu Umar r.a. mencium amat yang menjadi bagiannya dari hasil tawanan Perang Authas.

 

Dalam kaitannya dengan kehalalan tamattu’ selain menjimak ini, Al-Mawardi dan lainnya menyamakan amat hasil tawanan dengan amat yang sudah tidak mungkin bisa hamil, misalnya amat yang kecil, Ayisah dan hamil dari perzinaan.

 

Cabang:

 

Amat tidak bisa dihukumi menjadi Jirasy talas tidur) tuannya, kecuali setelah dijimak dalam vaginanya, dan hal itu dapat diketahui dengan keberadaan ikrar dari tuannya Dengan adanya bayinah.

 

Bila amat tersebut melahurkan bayi yang bisa dimungkinkan terjadi dari persetubuhan tersebut (minimal 6 bulan dari persetubuhan), maka nasab anak tersebut ditemukan kepada tuannya, sekalipun ia tidak mengakuinya.

Lafal Nafaqah itu diambil dari lafal Infaq, yang artinya mengeluarkan.

 

Wajib memberikan sejumlah Mud beserta kelengkapannya -yang akan diterangkan nantikepada seorang istri -sekalipun berupa amat atau sakit- yang telah mempersilakan dirinya untuk di-lstimta’ dan dipindahkannya bila suami bermaksud dalam keadaari perjalanan dan tempat tujuan yang aman, sekalipun dengan naik kapal laut yang kemungkinan besar akan selamat.

 

Karena itu, nafkah tidak wajib diberikan karena semata-mata akad nikah -lain halnya dengan pendapat kaul Kadim-, tetapi wajib karena ada tamkin hari demi hari.

 

Suami dapat dibenarkan dengan bersumpah, bahwa istrinya tidak tamkin (memberikan kesempatan untuk tamattu’): dan istri dapat dibenarkan dengan dakwaan, bahwa dinnya tidak nusyus dan tidak diberi nafkah.

 

Bila seorang istri yang memungkinkan untuk ditamattur’i telah dipersilakan dinnya (tamkin), sekalipun pada sebagian bentuk tamattu’, maka bagi suami wajib memberikan biaya hidupnya, sekalipun suami itu masih anak kecil yang tidak mungkin melakukan jimak, sebab halangan jimak itu bukan datang dari pihak istri.

 

Sekalipun istri tersebut tidak dapat dijimak karena suatu sebab selain kecil, misalnya lubang vaginanya tertutup daging atau karena jatuh sakit atau gila. Tetapi, bila istri tersebut tidak bisa dijimak lantaran masih kecil yang belum kuat, maka tidak wajib memberikan nafkah kepadanya, sekalipun walinya telah menyerahkan kepada suami, sebab ia tidak mungkin ditamattu’i, sebagaimana istri yang nusyus, Lain halnya yang mampu dijimak.

 

Bentuk-bentuk lain tamkin yang mewajibkan suami memberikat nafkah di atas, dapat ditetapkan adanya dengan ikrar suami, persaksian dari bayinah, bahwa istri itu selalu taat dan tinggal di dalam rumah selama suami pergi dan sebagainya.

 

Istri berhak meminta nafkahnya kepada suami, jika sang suami akan bepergian jauh.

 

(Hak nafkah tetap masih ada), sekalipun istri tersebut sudah talak raj’i sekalipun tidak hamil, Nafkah tersebut wajib diberikan kepada wanita raj’iyah selai biaya pembelian alat pembersih, sebab penahan suami atasnya masih tetap berlangsung dan kemampuannya untuk bertamattu’ dengan cara merujuknya, dan karena suami tidak mau merujuknya, maka ia tidak berkewajiban menyediakan alat pembersih.

 

Segala sesuatu yang menggugurkan hak nafkah istri, adalah menggugurkan nafkah wanita dalam talak raj’i, misalnya nusyus.

 

Nafkah juga wajib diberikan kepada wanita tertalak bain -talak tiga, khuluk atau fasakh nikah yang tidak bersamaan dengan akad-, di mana wanita tersebut dalam keadaan hamil, sekalipun suami mati sebelum bayi lahir, selama wanita tersebut tidak berbuat nusyus

 

Bila suami memberinya nafkah karena mengira hamil, ternyata tidak, maka ia boleh meminta kembali darinya. Adapun bila wanita yang hamil tersebut tertalak bain karena kematian suaminya, maka ia tidak berhak menerima nafkah.

 

Demikian pula tidak ada hak nafkah bagi istri yang tengah menempuh idah wathi syubhat, misalnya seorang wanita dijimak secara syubhat -sekalipun tidak hamil-, sebab tidak ada tamkin dari istri, karena antara suami dan istri terhalang sampai habis masa idah tersebut.

 

Kemudian nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada Semacam istri, adalah satu mud makanan pokok yang umum menjadi makanan di daerah istri -bukan daerah suami-, bagi suami yang melarat (Mu’sir), sekalipun menurut ucapannya sendiri, selama tidak nyata mempunyai harta benda -yaitu orang yang tidak mempunyai harta selebih batas kemiskinan-, sekalipun ia bekerja dan mampu bekerja dengan hasil lebih lapang Pemberian nafkah, bagi suami cukup memberikannya tanpa harus ada ijab dan qabul, seperti penyerahan utang dalam tanggungan Guru kita berkata Dari keterangan ini, bisa diambil pengertian, bahwa yang wajib di sini adalah tidak terjadi sesuatu yang memalingkan dari maksud memberikan nafkah.

 

Satu mud tersebut wajib diberikan oleh suami yang budak, sekalipun Mukatab dan hartanya banyak.

 

Dua mud wajib diberikan oleh suami yang kaya, yaitu orang yang dengan dibebani dua mud tidak kembali menjadi melarat.

 

Satu mud setengah wajib diberikan oleh suami yang cukupan, yaitu orang yang menjadi melarat bila dibebani memberikan dua mud.

 

Hanya saja nafkah tersebut wajib diberikan setiap waktu fajar tiap hari, jika istri tidak ikut makan bersama suami, seperti adat orang makan dengan kerelaan istri yang rasyidah (pandai).

 

Bila istri turut makan bersama suami di bawah kecukupan, maka bagi suami wajib menambah sejumlah selisih kekurangannya sampai pada kesempurnaannya. Demikian menurut Al-Aujah.

 

Istri dapat dibenarkan mengenai kadar ukuran yang telah dimakan.

 

Bila suami memaksa istrinya agar makan bersamanya tanpa ada kerelaan dari istri, atau istri yang tidak rasyidah ikut makan bersamanya tanpa seizin walinya, maka kewajiban nafkah baginya belum gugur. Dalam hal ini, suami dianggap bersedekah sunah, oleh karena itu ia tidak dapat meminta gariti apa yang telah dimakan oleh istrinya, Lain halnya dengan pendapat Al-Bulqini dan ulama yang mengikutinya.

 

Bila istri menyangka bahwa suami bersedekah terhadap dirinya, sedang suami menyangka (mendakwakan) bahwa yang ia berikan adalah sebagai kewajiban nafkah, maka dengan bersumpah, suami bisa dibenarkan, menurut Al-Aujah.

 

Tersebut di dalam Syarhul Minhaj: Bila ada laki-laki lain menjamu seorang wanita lantaran memuliakan suaminya, maka nafkah istri tersebut menjadi gugur.

 

Bagi suami yang akan bepergian lama adalah diperintahkan (dengan sungguh-sungguh), agar menjatuhkan talak kepada istrinya atau mewakilkan kepada orang lain untuk memberinya nafkah dari harta suami yang ada di tempat.

 

Jumlah mud-mud yang telah disebutkan di atas, wajib diberikan beserta lauk-pauknya yang sudah menjadi kebiasaan, sekalipun istri tidak memakannya, misalnya minyak samin, zaitun dan tamar.

 

Bila suami-istri berselisih mengenai ukuran mud atau daging yang akan diterangkan di bawah ini, maka hakimlah yang menentukannya dengan membedakan antara yang kaya dan lainnya. Penentuan kitab Al-Hawi -sebagaimana nash Syafi’idengan sebesar satu auqiyah, adalah penentuan kurang-lebih saja.

 

Juga wajib memberikan daging yang meryadi kebiasaan dalam ukuran dan waktu tertentu, sesuai dengan kaya atau melaratnya sekalipun istri juga tidak memakannya.

 

Bila dibiasakan makan daging sekali dalam satu minggu, maka yang lebih utama diberikan pada hari Jumat, dan jika kebiasannya memberi daging dua kali dalam satu minggu, maka yang lebih utama diberikan pada hari Jumat dan Selasa.

 

Nash Syafi’i rhm. juga mengemukakan jumlah satu liter daging untuk satu minggu, bagi seorang suami yang melarat, dan dua liter bagi yang kaya, adalah dihubungkan dengan situasi di Mesir ketika daging di sana berjumlah sedikit, karena itu, jumlah di atas bisa ditambah sesuai dengan kebutuhan dan situasi daerah yang bersangkutan.

 

Menurut beberapa pendapat (Al-Aujah), adalah tidak wajib membenkan Iauk-pauk di hari yang telah diberikan daging, bila daging tersebut sudah mencukupi istri untuk makan sang dan malam, tetapi kalau belum mencukupinya, maka wajib membenkan lauk-pauk

 

Wajib juga memberikan garam, kayu bakar dan air minum, sebab pada airlah terletak kehidupan.

 

Di samping itu semua, wajib memberikan biaya, misalnya biaya penepungan, pengadonan dan memasak, jika istri tersebut tidak tergolong orang yang terbiasa melaksanakan itu semua sendiri, sebagaimana yang dimantapi oleh Ibnur Rif’ah dan Al-Adzra’i selain dua fukaha di atas, memantapkan bahwa tidak ada bedanya (antara yang biasa melaksanakannya sendiri dengan yang tidak terbiasa).

 

Juga beserta alat memasak, makan dan minum, misalnya piring besar, kendi, tempayan, ketel, gayung, kendi dari kayu, keramik atau batu.

 

Tidak wajib memberikan barang-barang yang terbuat dari tembaga atau timah, sekalipun istrinya dani kalangan bangsawan.

 

Suami -meskipun melarat- wajib memberikan pakaian kepada istrinya tiap-tiap masa 6 bulan, di mana pakaian tersebut cukup untuk ukuran panjang dan besar tubuh istri.

 

Karena itu, yang wajib diberikan adalah baju kurung, jika istri tersebut tidak terbiasa memakai kain sarung dan selendang -jika biasa, maka wajib memberinya kedua pakaian tersebut tanpa baju kurung, menurut Al-Aujah-, kain sarung, celana, kerudung -sekalipun istri amat- dan kaos kaki.

 

Macam pakaian tersebut diukur menurut kebrasaan yang berlaku di tempat istri. Tetap: Al-Mawardi berkata: Bila istri termasuk orangorang yang tidak memakai sesuatu pada kakinya ketika di dalam rumah, maka tidak wajib diberikan sesuatu pada kakinya.

 

Di samping pakaian-pakaian tersebut, wajib diberi kain selimut di musim dingin -sekalipun tidak musim penghujan-, dan menambah jubah tebal (mantel) di musim penghujan.

 

Adapun di waktu selain musim dingin -sekalipun musim penghujan baki daerah beriklim panas-, maka wajib diberi selendang dan semacamnya, jika ia termasuk dari kalangan orang-orang yang terbiasa memakai kain, bukan pakaian ketika tidur, atau tidur dengan telanjang, sebagaimana yang disunahkan (maksudnya: Tidur hanya menggunakan kain penutup saja, bukan pakaian).

 

Bila tidak terbiasa tidur dengan memakai kain penutup, maka tidak wajib diberi kain selendang dan semacamnya, dan jika terbiasa memakai pakaian khusus tidur, wajib diberi pakaian khusus tersebut, sebagamana yang dimantapkan oleh sebagian fukaha.

 

Baik dan buruk pakaian dibedakan kaya dan miskin suami.

 

Dia wajib memberikan kelengkapankelengkapan pakaian tersebut, misalnya tali celana, kancing semacam baju kurung, benang, dan upah penjahit.

 

Suami wajib memberinya alas tidur dan batal. Apabila ia terbiasa tidur di atas ranjang, maka suami wajib memberinya.

 

Cabang:

 

Wajib memperbarui pakaian yang tidak dipakai satu tahun: yaitu dengan memberinya setiap 6 bulan sekali.

 

Bila pakaian-pakaian tersebut rusak di pertengahan 6 bulan tersebut -sekalipun bukan karena gegabah-, maka bagi suami tidak wajib memperbaruinya. Memperbarui pakaian wajib dengan pakaian yang masih baru.

 

Bagi suami wajib member istrinya alat membersihkan badan dan pakaiannya, sekalipun suami tidak. berada di sampingnya, sebab alat pembersih tersebut dibutuhkannya, sebagaimana lauk-pauk.

 

Termasuk alat pembersih, adalah daun witdoro dan semacamnya (daun untuk pembersih badan/sabun), misalnya sisir, siwak dan tusuk gigi.

 

Suami wajib juga memberinya minyak rambut dan minyak pelumas badan, jika dibiasakan memakainya, yaitu berupa minyak syairaj dan samin.

 

Karena itu, suami wajib memberinya minyak sekali atau lebih dalam satu minggu, menurut kebiasaan yang ada, demikian juga wajib memberinya minyak penerang lampu.

 

Untuk wanita hamil dalam idah talak bain dan istri yang ditinggal suami, hanyalah berhak menerima alat pembersih yang sekadar dapat menghilangkan kekusutan dan kotoran badan, menurut Al-Mazhab.

 

Suami wajib memberikan air untuk mandi wajib, yang kewajiban disebabkan oleh suami, misalnya setelah bersetubuh atau nifas -bukan mandi setelah hajd atau ihtilam- dan air untuk mencuci najis. Tidak wajib memberinya air untuk berwudu, kecuali bila dibatalkan oleh suanu dengan semisal disentuh.

 

Suami tidak wajib memberi minyak wangi -kecuali sekadar untuk menghilangkan bau busuk-, celak mata, obat sakitnya dan upah dokter Istri berhak menerima makanan

lauk-pauk, pakaran dan ala pembersih di hari-hari sakitnya, dan bisa mentasarufkannya untuk pembelian obat dan lainnya

 

Peringatan:

 

Semua yang disebutkan di atas, yang meliputi makanan, lauk-pauk, alatalatnya, pakaian, alas tidur dan alat pembersih, adalah wajib menjadi miliknya dengan cara diserahkan tanpa harus ada ijab dan qabul Istri memiliki itu semua dengan cara mengambilnya.

 

Karena itu, suami tidak boleh mengambil itu semua dari tangan istrinya, kecuali atas kerelaannya.

 

Adapun tempat tinggal -begitu juga pembantu- adalah sebagai hak guna (bukan hak milik) untuk istri, yang karenanya menjadi gugur dengan telah berlalu masa pemberian hak gunanya, sebab tempat tinggal/pembantu hanya sekadar untuk dimanfaatkan (bukan dimiliki oleh istri).

 

Pemberian yang sifatnya sebagai hak milik, adalah menjadi utang bagi suami, bila belum diberikan dan bisa digantirupakan serta tidak smenjadi gugur kewajiban tersebut lantaran, kematian suami/istri di pertengahan masa (masa/periode pakaran adalah 6 bulan, sedang periode makanan adalah setiap terbit fajar).

 

Suami wajib menyediakan tempat tinggal untuk istrinya, yang kalau suami pergi, maka rumah tersebut dapat mengamankan jiwa dan harta istri, sekalipun jumlahnya hanya sedikit, sebab diperlukan adanya, bahkan suatu keharusan. Yang mana tempat tinggal tersebut patut didiaminya menurut kebiasaan, sekalipun istri tidak biasa bertempat tinggal, dan sekalipun tempat tinggal itu hasil pinjaman atau sewaan.

 

Bila suami tinggal bersama istri di rumah istri dengan izinnya, karena istri tidak mau dipindahkan rumahnya, atau tinggal bersamanya di rumah ayah istri, maka suamu tidak wajib membayar uang sewa, karena perizinan yang tidak disertai penyebutan imbalan, adalah berkedudukan sebagai atau pemberian wewenang (Ibahah).

 

Wajib bagi suami, walaupun melarat -lain halnya dengan pendapat segolongan fukaha-, atau budak, memberikan seorang pelayan wanita -tidak lebih dani itu-, untuk istri yang merdeka -lain halnya jika istrinya berupa amat, sekalipun cantik-, yang biasanya Wanita seperti dia diberi pelayanan ketika masih berada di tengah keluarganya, karena kemewahan di rumah suaminya tidak menjadi ukuran, karena pemberian pelayan kepada istri, adalah termasuk menggauli secara baik.

 

Kewajiban suami hanyalah memberinya seorang pelayan, sekalipun dengan cara seorang wanita merdeka yang menemaninya, waruita yang digaji, laki-laki yang menjadi mahram istri atau budaknya -sekalipun laki-laki-, atau dengan anak laki-laki yang belum mencapai usia murahiq (menjelang balig).

 

Maka untuk pelayan seorang laki-laki yang telah ditentukan suami, wajib (setiap hari) menerima 1 1/3 mud makanan dari suami yang kaya, dan 1 mud bila suami tersebut melarat atau cukupan, di samping itu (tiap 6 bulan) menerima pakaian yang patut untuk seorang pelayan, yaitu baju kurung, kain sarung beserta kerdung

 

Bagi pelayan Wanita ditambah lagi khuf dan kerudung kepala apabrla keluar rumah, sekalipun budak yang terbiasa keluar tanpa menutup kepala.

 

Hanya saja khuf dan kerudung tidak wajib diberikan -menurut AlMuktamadkepada istri, karena suami berhak melarang istrinya keluar dari rumah, sedang kebutuhan keluar rumah untuk semacam ke kamar kecil, adalah langka sekali.

 

Peringatan:

 

Hal-hal yang wajib dikerjakan oleh pelayan istri, adalah yang hanya buat khusus istri, misalnya membawakan air ke kamar mandi atau untuk minumnya, menuangkan air ke badannya, mencuci pakaian bekas haid dan memasak untuk makan istrui.

 

Adapun hal-hal yang tidak khusus untuk istri, misalnya memasak makanan suami dan mencuci pakaiannya, maka adalah bukan tugas pelayan maupun istri, tetap itu menyadi tugas suami: karena itu, ia Bisa menanganinya sendiri atau orang lain.

 

Beberapa Hal Penting:

 

Tersebut di dalam Syarhul Minhaj milik Guru kita: Bila seorang suami membeli perhiasan atau sutera tebal untuk istrinya dan diperhiaskan untuknya, maka dengan cara itu barang tersebut tidak kemudian menjadi milik istri.

 

Bila istri berselisih dengan suaminya mengenai dihadiahkan atau dipinjamkan suatu barang itu, maka yang dibenarkan adalah suaminya. Begitu juga perselisihan dengan ahli waris Suami.

 

Bila orangtua memperlengkapi anak putrinya dengan suatu perlengkapan rumah tangga, maka anak putri tersebut dapat memilikinya, kecuali setelah ada ijab dan qabul: Perkataan yang dibenarkan adalah perkataan orangtua (ayah), bahwa dirinya tidak memberikan hak milik kepada anaknya.

 

Dari keterangan di atas, dapat diambil pengertian, bahwa pemberian suami yang disebut Shulhah (pemberian di kala istri marah, agar mau damai) atau Shabahiyah (pemberian di waktu paginya dari malam perkawinan), sebagaimana yang banyak terjadi di suatu daerah, adalah tidak menjadi hak mikk istri, kecuali setelah kata-kata yang memberikan hak milik atau ada maksud menghadiahkannya: lain halnya dengan perrdapat yang telah lewat (pada Bab Hibah) dari fatwa Al-Hanathi.

 

Fatwa yang telah dikeluarkan oleh tidak hanya seorang fukaha, bahwa bila seorang suami memberikan kepada istrinya sesuatu untuk walimah perkawinan, mahar atau shabahiyah, lalu istri nusyus, kemudian suami boleh meminta kembali semua itu, adalah fatwa yang tidak benar, karena pembatasan “nusyus” adalah tidak mengena pada pemberian Shabahah, sebab sebagai keterangan yang kupaparkan, bahwa pembenanin seperti Shulhah, yaitu bila suami melafalkan atau bertujuan menghadiahkan, maka istri dapat menulikinya, tetapi jika tidak, maka tetap menjadi milik suaminya.

 

Adapun pemberian suami untuk walimah perkawinan, adalah tidak wajib, yang karenanya jika dengan izin suami, istri mentasarufkan barang tersebut, maka hilang hak milik suami.

 

Adapun mahar yang diberikan kepada istri, maka jika ia nusyus sebelum pernah dijimak, maka suami dapat menarik kembali, tetapi kalau sudah pernah dijimak, maka tidak dapat menariknya lagi,lantaran ketetapan mahar itu sebab per. setubuhan, karena itu, suami tidak dapat menarik kembali dengan nusyus istri.

 

Secara Ijmak, seluruh macam nafkah istri menjadi gugur lantaran ia nusyus, sekalipun hanya sebentar: yaitu menyimpang dari ketaatan kepada suami, sekalipun hal itu tidak berdosa bagi istri. Misalnya istri masih kecil, gila atau dipaksa.

 

Karena itu, gugurlah nafkah sehan dan hak pakaian satu periode (sekalipun nusyusnya hanya sebentar), dan masa nusyus dengan masa taatnya tidak harus dibagi sendiri-sendiri.

 

Bila suami tidak mengetahui keguguran hak nafkah lantaran nusyus, laluia menafkahinya, maka ia boleh meminta kembali jika suami termasuk orang yang kurang mengetahui masalah tersebut. Hanya saja seorang yang memberikan nafkah dalam ikatan perkawinan atau pembelian yang fasid, adalah tidak boleh meminta kembali, sekalipunia tidak mengetahui fasad tersebut, sebab keberadaan laki-laki tersebut melakukan nikah/pembelian, berarti la sanggup menanggung nafkahnya, tetapi dalam masalah ketidaktahuan mengenai gugur nafkah sebab nusyus, tidak seperti ini.

 

Demikian juga orang yang secara batin telah jatuh talaknya dan ia tidak mengetahuinya, lalu beberapa hari memberi nafkah, kemudian mengetahui hal itu, maka ia tidak boleh meminta kembali apa yang telah dinafkahkan, menurut beberapa tinjauan pendapat.

 

Nusyus sudah dianggap terjadi karena istri menolak ajakan suami untuk melakukan tamattu’, sekalipun hanya bentuk tamattu’ semacam memegang atau pada anggota tubuh istri yang telah ditentukan oleh suami.

 

Tidak dianggap nusyus bila istri menolak suami lantaran ada uzur, misalnya alat kelamin suami terlalu besar, yang sekira istri tidak sanggup menerimanya, istri sedang sakit yang membawa mudarat bila bersetubuh, farjinya sedang terluka dan semacam haid.

 

Besar alat kelamin suami dapat ditetapkan dengan ada ikrar suami atau persaksian dua laki-laki juru khitan, dan mereka berdua berupaya -selain memasukkan zakar pada farji yang diharamkan atau duburagar zakar suami yang mereka berikan persaksiannya itu bisa ereksi, atau dengan persaksian 4 wanita.

 

Bila besar zakar tersebut tidak diketahui, kecuali dengan 4 wanita itu melihat alat kelamin suami-istri dalam keadaan terbuka ketika zakar ereksi (tegang), maka bagi mereka halal melihatnya demi memberikan kesaksian.

 

Cabang:

 

Istri yang belum dijimak dalam keadaan sudah balig serta kehendaknya sendiri, adalah diperbolehkan menolak ditamattu’i oleh suaminya demi mengambil maharnya yang kontan, karena penolakan sepert ini adalah haknya, maka ia tidak dapat dianggap nusyus, sehingga menggugurkan nafkahnya.

 

Bila penolakannya lantaran untuk mengambil maharnya yang tidak kontan atau setelah ia pernah dijimak menurut (diam) saja, maka nafkah menjadi gugur.

 

Bila penolakan di atas dilakukan setelah pernah dijimak dengan cara paksa atau ia belum balig -sekalipun telah diserahkan oleh walinya-, maka hak nafkah tidak gugur.

 

Bila suami mendakwakan telah pernah menjimaknya dengan ada tamkin dari istri dan ia meminta istrinya untuk diserahkan kepada dirinya, lalu istri mengingkari dakwaan tersebut dan menolak diserahkan kepada suaminya, maka yang dibenarkan adalah pihak istri (dengan disumpah).

 

Nusyus terjadi pula sebabistri keluar. dari tempat tinggal yang telah direstui oleh suaminya untuk ditempati, sekalipun rumah istri sendiri atau rumah ayahnya tanpa seian suaminya serta tidak memperkirakan kerelaan suaminya, walaupun untuk keperluan menjenguk orang sakit atau suami sedang tidak berada di tempat, dengan rincian yang diterangkan di belakang.

 

Karena itu, keluar istri tanpa kerelaan suaminya -walaupun untuk menjenguk orang saleh, selain mahram atau majelis zikir-, adalah : maksiat dan nusyus.

 

Al-Adzra’i dan lainnya mengambil pembicaraan Asy-Syafi’i, bahwa dalam masalah keluar rumah yang dikehendaki, bagi istri dapat berpedoman pada kebiasaan yang menunjukkan adanya kerelaan hati para suami yang semisal suaminya. Guru kita berkata: Hal itu mungkin arahannya selama istri tidak mengetahui ada kecemburuan suami yang dapat membuat berlainan dengan suami-suami yang lain dalam masalah kerelaan di atas.

 

Peringatan:

 

Istri boleh keluar rumah karena bebarapa hal.

Antara lain, bila rumah tempat tinggal mau runtuh.

 

Apakah cukup dengan ucapan istri: “Aku khawatir rumah mau runtuh”, atau harus ada indikasi yang dari segi adat dapat menunjukkan rumah akan runtuh?.

 

Dalam hal ini Guru kita berkata: Kedua-duanya terdapat nilai perimbangan (sama-sama mungkin) dan yang lebih mendekati kebenaran adalah yang kedua.

 

Antara lain, bila istri mengkhwatirkan diri atau hartanya dari orang fasik atau pencuri.

 

Antara lain, bila istri keluar untuk menuntut hak dari suaminya.

 

Antara lain, keluarnya untuk menuntut ilmu-ilmu fardu ain, atau mohon fatwa sekira suaminya yang tsiqah atau mahramnya tidak mempunyai kemampuan untuk itu, menurut pendapat yang dizhahirkan Guru kita.

 

Antara lain lagi: Bila istri keluar dari rumah untuk bekerja mencari nafkah dengan berdagang, meminta-minta atau bekerja kasar, jika suami melarat.

 

Antara lain lagi. Bila istri tanpa seizin suami keluar bukan dalam sikap nusyus dh waktu tidak berada di dalam daerah, untuk ziarah atau menjenguk kerabat, bukan laki-laki atau perempuan lain -menurut Al-Aujah-, sebab keluar yang sedemikian rupa, tidak terhutung nusyus menurut kebiasaan.

 

Guru kita berkata. Yang Zhahir, hal dh atas bila suami tidak melarang istri keluar atau mengirim surat larangan.

 

Nusyus terjadi dengan kepergian istri -tanpa seizin suami- yang sendirian ke tempat yang bagi musafir sudah diperbolehkan menggashar salat, sekalipun untuk menjenguk kedua orangtuanya atau haji, dan sekalipun untuk keperluan suaminya.

 

Hal itu jika bukan karena terpaksa, misalnya seluruh penduduk daerah setempat. meninggalkan tempatnya, sedang yang tertinggal hanya orang, yang seorang istri tidak dapat aman bila bersamanya.

 

Atau kepergian atas izin suaminya, tetapi untuk keperluan istri atau lakilaki lain, maka menurut pendapat Al-Azhhar hak nafkahnya gugur sebab tidak ada tamkin.

 

Apabila atas izin suami, seorang istri pergi untuk kepentingan suami-istri, maka menurut kesimpulan yang dimenangkan dalam Bab Al-Aiman, tentang masalah bila suami berkata kepada istrinya. “Bila kamu keluar untuk keperluan ke kamar mandi, maka kamu tertalak”, lalu ia keluar ke kamar mandi dan tempat lainnya, maka istri tidak tertalak, maka hak nafkahnya tidak gugur di siru, tetap menurut Nash Al-Um dan Mukh-ashar Al-Muzami, menetapkan adanya keguguran.

 

Nusyus tidak terjadi dengan kepergian istri bersama suami atas Iannya, sekalipun untuk kebutuhan Istri, juga hdak terjadi dengan kepergian istri atas izin dan keperluan suami, sekalipun beserta keperluan selain suami Karena itu, hak nafkah istri tidak gugur, sebab istri masih tamkin, sedang suami sendiri yang menghilangkan haknya dalam contoh kedua.

 

Tersebutkan di dalam Al-Jawahir dan lainnya, yang dinukil dari Al Mawardi dan lainnya: Bila istri menolak meninggalkan tempat bersama suaminya, maka ia tidak wajib diberi nafkah, kecuali ketika menolak tersebut suami masih melakukan tamattu’ dengannya, maka nafkah wajib diberikan kepadanya: berarti tamattu’ tersebut sebagai ampunan (kerelaan) suami terhadap keengganan berpindah.

 

Guru kita berkata: Kesesuaian keterangan Al-Jawahir tersebut, diberlakukan pada bentuk-bentuk nusyus yang lain dan hal itu mungkin jadinya.

 

Hak nafkah gugur pula karena istri: menutup pintu di depan suaminya dan dengan dakwaan istri secara. tidak beres tentang jatuh talak bain.

 

Tidak termasuk nusyus, makian dan umpatan lisan istri yang menyakitkan hati sang suami, sekalipun atas sikap tersebut suami berhak mendidiknya.

 

Penting:

 

Apabila seorang wanita yang suaminya musnah, kawin lagi dengan lakilaki lain, padahal kematiannya belum ditetapkan, maka hak nafkah dari suami pertama menjadi gugur, dan tidak kembali lagi hak nafkah, kecuali setelah suami pertama mengetahui bahwa istrinya kembali lagi ke tangannya serta taat kepadanya setelah diceraikan oleh suami kedua.

 

Faedah:

 

Suami diperbolehkan melarang istrinya keluar dari rumah, sekalipun karena kematian salah satu orangtua istri atau menghadiri jenazahnya. Ia Juga diperbolehkan melarang istri mempersilakan orang lain -selain pembantu wanitamasuk ke rumah suami, sekalipun itu kedua orangtua istri atau anak laki-lakinya dari suami pertama.

 

Tetapi melarang kedua orangtua istri masuk, adalah makruh, sekira tidak ada uzur.

 

Bila tempat tinggal yang ditempati adalah milik istri, maka bagi suami tidak boleh melarang itu semua, selam di kala timbul keraguan Penyempurnaan:

 

Bila istri nusyus dengan keluar rumah, lalu suami pergi dan di kala kepergiannya sang istri kembali taat dengan cara semacam kembali lagi ke rumah, maka menurut Al-Ashah, selama masa kepergiannya ia tidak wajib memberi nafkah, sebab istri lepas dari genggamannya.

 

Maka harus ada pembaruan penyerahterimaan (dari istri) dan penerimaan (dari suami), sedang dua hal ini tidak bisa terjadi dengan ketidak hadiran suami.

 

Karena situ, cara agar istri dapat menghaku kembali nafkahnya Hakim mengirim surat kepada qadhi daerah suami berada, agar menetapkan bahwa istrinya telah kembali dan taat, setelah suami mengetahui dan kembali pulang atau mengutus orang untuk menerima istri atas nama suami tersebut atau tidak melakukan hal itu lantaran uzur, maka kembalilah hak nafakah istri.

 

Kesesuaian pendapat Syafi’i dalam kaul Kadim, bahwa hak nafkah kembali lagi sejak istri kembali taat, sebab menurut kaul Kadim yang menetapkan hak nafkah, adalah akad nikah, bukan tamkin, dan seperti ini Imam Malik berpendapat.

 

Para fukaha menerangkan nusyus istri dalam bentuk murtad, adalah secara mutlak menjadi hilang dengan kembalinya pada agama Islam, karena hilang perkara yang menggugurkan hak nafkah.

 

Al-Adzra’i mengambil pengertian dari penjelasan di atas, bahwa bila istri nusyus dengan tetap berada di dalam rumah dan tidak keluar darinya, misalnya ia menolak: menyerahkan dirinya kepada suami, lalu suami pergi meninggalkannya, kemudian istri kembali taat kepada Suaminya, maka kembalilah hak nafkah tanpa perantara seorang qadhi. Memang begitulah yang benar menurut Al-Ashah.

 

Bila seorang istri yang suaminya tidak ada di tempat memohon qadhi agar menentukan keputusan mengenai haknya atas suami, maka disyaratkan ada ketetapan nikah, istri bersumpah bahwa dirinya berhak menerima nafkah dan belum menerimanya untuk jatah mendatang maka dalam keadaan seperti itu, qadhi bisa menentukan besar hak nafkah istri atas suami yang melarat, kecuali telah ditetapkan kaya suami.

 

Cabang: Fasakh Nikah

 

Fasakh nikah itu disyariatkan untuk menolak mudarat yang menimpa seorang istri.

 

Bagi istri yang mukalaf -balig dan berakal sehat-, bukan walinya, adalah boleh memfasakh nikah suaminya yang kesulitan harta dan pekerjaan, yang patut baginya dan halal, di mana ia tidak dapat semata menunggu kebaligan, setelah balig ia dapat memfasakh dirinya, sekalipun setelah dijimak, sebab persetubuhan tersebut dianggap tidak terjadi.

 

Adapun bila istri telah menerima sebagian mahar, maka istri tidak boleh melakukan fasakh, menurut yang difatwakan oleh Ibnush Shalah dan dipegangi oleh Al-Asnawi, Az-Zarkasyi dan Guru kita. Al Barizi sebagaimana Al-Jaujari berkata: Istri tetap boleh fasakh rukah, dan pendapat ini dipegang oleh Al-Adzra’i.

 

Peringatan:

 

Ketidakmampuan suami di atas (nafkah, pakaian, tempat tinggal dan mahar), ternyatakan dengan ketidakwujudan harta suami dalam jarak sejauh perjalanan yang diperbolehkan menggashar salat: karena itu, istri tidak diwajibkan bersabar, kecuali harta itu dalam jangka Imhal (penundaan suami melarat, yaitu 3 hari).

 

Atau bisa ternyatakan dengan ditundanya pembayaran oleh orang lain atas piutangnya, selama tempo cukup menghadirkan hartanya yang tidak hadir (gaib) dalam jarak perjalanan qashrushalah (mengqashar salat).

 

Atau dapat ternyatakan dengan tiba waktu pelunasan piutangnya, di mana orang yang utang kepadanya baru melarat -sekalipun pengutang itu istrinya sendiri-, sebab istri di kala kemelaratan suaminya, tidak dapat mendapat haknya dan orang yang melarat itu ditunda penagihannya terhadap dirinya.

 

Bisa ternyatakan dengan ketidakadaan orang yang mempekerjakan diri suami, bila ketidakadaan ini umum terjadi.

 

Atau dengan penghalang untuk bisa bekerja seperti biasanya.

 

Faedah:

 

Bila seorang istri mempunyai piutang yang telah sanfpai masa pembayarannya atas suami yang sedang bepergian (gaib), baik itu berupa mahar atau lainnya, dan di tangannya terdapat sebagian harta suaminya sebagai wadi’ah, maka – apakah bagi istri tersebut dapat mengambil pembayaran piutangnya dari harta itu dengan sendirinya tanpa melapor kepada qadhi, lalu ia memfasakh nikah lantaran kemelaratan suanu atau harus melapor?

 

Maka, sebagian Ashhabuna menjawabnya: Istri tersebut tidak boleh mengambilnya secara bebas (sendiri), tetapi ra harus melaporkan masalahnya kepada qadhi, sebagai hak pengawasan harta orang yang tidak berada di tempat adalah qadhi, tetapi bild Wanita itu yakin bahwa Suaminya hdak membennya izin, kecuali pada harta yang suami ambil dannya, maka istri tersebut boleh mengambil haknya secara beba.

 

Apabila harta titipan (wadi’ah) tersebut telah habis dan istri ingin memfasakh nikah sebab kemelaratan suaminya yang tidak berada di tempat, jika tidak ada seorang pun yang mengetahu mengena harta itu, maka istri harus mendakwakan (di depan qadhi), bahwa Suaminya melarat, ia tidak punya harta yang ada di tempat dan tidak meninggalkan nafkah, serta ia menetapkan kemelaratan suaminya (dengan ikrar atau bayinah) dan bersumpah bahwa suaminya tidak mempunyai harta di tempat dan ia meninggalkan nafkah dengan niat, bahwa suami tidak meninggalkan nafkah, adalah nafkah tidak ada sekarang, lalu ia memfasakh nikah dengan syarat-syarat fasakh.

 

Bila ada seorang yang mengetahui bahwa harta itu belum habis, maka bagi istri harus mengajukan bayinah yang mengatakan habis harta tersebut (di samping bayinah dakwaan kemelaratan suami dan seterusnya). Selesai.

 

Maka, menurut peridapat Al-Muktamad tidak diperbolehkan memfasakh nikah lantaran suami yang kaya atau cukupan enggan memberi nafkah, baik suami berada di rumah atau sedang tidak ada, bila tidak telah terputus beritanya.

 

Karena itu, bila kabar beritanya telah terputus dan ia tidak mempunyai harta yang ada di tempat, maka istri boleh memfasakh nikah, sebab keuzuran menunaikan hak istri, lantaran terputus kabar beritanya itu seperti saja keuzuran kemelaratan, sebagaimana yang dimantapkan oleh Syekh Zakariya dan diselisihi oleh muridnya, yaitu Guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami). Segolongan fukaha kebanyakan dan kalangan Muhaqqiqul Mutaakhirun memilih memperbolehkan fasakh bagi istri terhadap suami yang gaib serta uzur memperoleh nafkah darinya.

 

Pendapat tersebut di atas dikuatkan oleh Ibnush Shalah dan dia berkata dalam fatwanya: Bila terasa sulit mendapatkan nafkah lantaran harta yang berada di tempat serta tidak dapat mengambilnya dari suami & mana berada dengan menggunakan surat dari hakim atau lainnya, lantaran suami tidak diketahui, di mana tempatnya atau diketahui tetapi sulit penuntutannya, baik keadaan suami diketahui kaya-melaratnya atau tidak, maka melalui hakim, istri dapat memfasakh:, Fatwa yang memperbolehkan fasakh nikah adalah yang sahih. Selesai.

 

Guru kita di dalam Asy-Syarhul Kabir menukil pembicaraan Ibnush Shalah dan pada akhirnya beliau berkata Dengan apa yang dikatakan oleh Ibnush Shalah, segolongan fukaha Mutaakhirun dari Yaman berfatwa.

 

Al-Allamah Al-Muhaqqiq AthThanbadawi berkata dalam Fatawanya: Pendapat yang kita pilih dengan mengikuti Al-Aimmah Al-Muhaqqiq, adalah bila suami tidak mempunyai harta sebagaimana dalam uraian di atas, maka istri boleh memfasakh nikah, sekalipun zhahirnya mazhab bertentangan dengan itu, Karena firman Allah swt. “… dan Allah tidak menjadikan kamu kesempitan dalam beragama”. (Q.S. 22, Al-Hajj: 78), dan karena sabda Nabi saw.: “Aku diutus dengan membawa ajaran yang cenderung menuju kebenaran dan mudah”, karena bidang fasakh adalah berkisar ada mudarat, sedang tidak diragukan lagi, bahwa bila tidak mungkin bisa diperoleh nafkah dari suami -sekalipun kaya-, maka dharar pasti menimpa seorang istruii, sebab rahasia fasakh adalah mudarat sang istri dan hal iru telah terjadi padanya, apalagi dengan ada kemelaratan suami, Karena itu, keuzuran istri mendapat nafkah dari suami sama hukumnya ada kemelaratannya. Selesai.

 

Murid beliau -yaitu Guru kita, Khatimul Muhaqqiqin, Ibnu Ziyadzberkata dalam Fatawa-nya: Kesimpulan (garis besarnya), menurut mazhab yang diberlakukan oleh Ar-Rafi’i dan An-Nawawi, adalah tidak boleh fasakh, sebagaimana keterangan yang telah lewat: Pendapat Al-Mukhtar adalah: Boleh fasakh nikah, dan Ibnu Ziyadz dalam fatwanya yang lain memantapi kebolehan fasakh,

 

Fasakh lantaran suami tidak mampu memberi nafkah dan lainnya atau mahar, tidak sah dilakukan sebelum ditetapkan hal itu dengan ikrar suami atau bayinah yang menuturkan kemelaratan suami sekarang: juga tidak cukup bayinah hanya menuturkan, bahwa suami pergi dalam keadaan tidak mampu (melarat).

 

Dalam persaksiannya, bayinah diperbolehkan berpedoman dengan keadaan suami yang tidak berada di tempat itu, masih tetap seperti keadaan semula, waktu baru pergi, baik kemelaratan ataupun kekayaannya serta bayinah tidak perlu ditanya: “Dari mana kamu mengetahui kalau suami sekarang dalam keadaan melarat?”: Karena itu, bila bayinah menjelaskan kesaksiannya dengan menyebut dasar alasannya, maka persaksiannya menjadi batal.

 

(Ketetapan kemelaratan suami seperti di atas) adalah di depan qadhi atau muhakkam Karena itu, masalah iru harus dilaporkan dulu padanya: yang karenanya, bila fasakh dilakukan sebelum dilaporkan, hukumnya secara lahir maupun batin adalah tidak sah. Idah wanita yang memfasakh nikahnya, terhitung sejak fasakh (bukan melapor).

 

Guru kita berkata: Bila di tempat Istri tersebut dak terdapat qadhi atau muhakkam, atau istri tidak dapat melapor lantaran qadhi musalnya berkata. “Aku tdak mau memfasakh nikah sehingga engkau memberiku harta”, maka istri dapat memfasakh sendiri karena darurat, dan fasakhnya sah menurut lahir dan batin, sebagaimana yang jelas bagi kita.

 

Lain halnya menurut pendapat yang mengatakan bahwa fasakh sah menurut hukum lahir. Fasakh menjadi sah lahir dan batin, karena fasakh di sini dilakukan atas dasar (asal) yang sahih, yang akhirnya menetapkan ada sah menurut batin. Kemudian kudapatkan tidak hanya seorang fukaha yang memantapi seperti itu. Selesai

 

Tersebut di dalam fatwa Guru kita, Ibnu Ziyad: Bila istri tidak mampu mengajukan bayinah mengenai kemelaratan suami, maka baginya boleh memfasakh nikah dengan sendirinya (tanpa melalui qadhi). Selesai.

 

Syekh Athiyah Al-Maki di dalam fatwanya berkata: Bila ada uzur pada qadhu atau tidak bisa ditetapkan kemelaratan suami di depannya lantaran sepi para saksi atau mereka sedang tidak ada, maka bagi istri dapat memberikan persaksian: tentang keberadaan fasakh nikah dan melaksanakan fasakh terhadap dirinya sendiri, sebagaimana perkataan para fukaha tentang Murtahin: Bila Rahin tidak berada di tempat dan terasa uzur menetapkan ada rahan di depan qadhi, maka bagi Murtahin boleh menjual barang gadai (marhun) tanpa melalui persetujuan qadhi: bahkan dalam masalah fasakh Ini lebih penting dan lebih banyak terjadi. Selesai.

 

Karena itu, bila syarat-syarat fasakh telah terpenuhi, yaitu: (1) Istri selalu tinggal dalam rumah ketika ditinggalkan oleh suaminya, (2) Istri tidak melakukan nusyus: (3) Istri telah bersumpah mengenai dua hal di atas, (4) Istri bersumpah bahwa suaminya tidak mempunyai harta di tempat dan tidak meninggalkan nafkah untuk dirinya, dan (5) istri menetapkan kemelaratan suami membayar semacam nafkah -menurut Al-Muktamad-, atau uzur baginya menghasilkan nafkah -menurut Al-Mukhtar-, maka qadhi atau muhakkam wajib menunda fasakh selama tiga hari.

 

Sekalipun suami tidak meminta penundaan dan tidak mengharapkan bisa menghasilkan sesuatu pada masa yang akan datang, sebab sudah nyatalah kemelaratan suami mengenai fasakh yang berhubungan dengan selain mahar, sebab fasakh rukah lantaran tidak mampu membayar mahar harus seketika (tidak memakai penundaan).

 

Guru kita berfatwa: Untuk fasakh nikah suami yang tiada di tempat, tidak perlu memakai penundaan. Kemudian, setelah masa tiga haritiga malam, maka qadhi/muhakkam pada pertengahan hari keempat memfasakh rukah. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthni mengenai suami yang tidak mendapat nafkah untuk istrinya, adalah diceraikan.

 

Dengan hadis itu pula Umar r.a. dan Abu Hurairah r.a. memutuskan suatu hukum Imam Syafi’i berkata: Aku tidak mengerti tentang seorang dari kalangan sahabat yang menyelisihi mereka.

 

Bila istri memfasakh nikah melalui hakim atas suaminya yang tidak berada di tempat, lalu suaminya pulang dan mendakwa bahwa dirinya mempunyai harta di daerah setempat, maka fasakh tidak batal menurut fatwa Al-Ghazali: kecuali bila tertetapkan bahwa istri mengetahu harta itu dan dengan mudah ia dapat mengambil nafkah darinya.

 

Lain halnya bila hartanya itu berupa pekarangan dan barang dagangan yang sukar menjualnya, maka harta tersebut hukumnya seperti tidak ada.

 

Atau setelah masa 3 hari denganian qadhi istri dapat memfasakh sendiri dengan ucapan “nikah kufasakh”.

 

Bila suami menyerahkan nafkah pada hari ke-4, maka ia tidak dapat memfasakh nikah, sebab nafkah untuk hari-hari yang telah berlalu statusnya menjadi utang suami.

 

Bila setelah menyerahkan nafkah hari ke-4 suami melarat lagi untuk nafkah hari ke-5, maka istri tetap memegangi masa Imhal yang telah berjalan dan tidak perlu memulai: Imhalnya lagi (berarti ketika itu sudah dapat memfasakh).

 

Zhahir ucapan fukaha bahwa bila suami tidak mampu lagi membayar nafkah hari ke-6, maka ia harus memulai lagi masa Imhalnya, Pendapat ini Muhtamal (mengandung alternatif): bisa jadi, bila antara masa melarat yang pertama dengan melarat kedua ditengah-tengahi masa tiga hari, maka masa Imhal harus diulangi dari permulaan, tetapi bila kurang dari itu, maka tidak wajib memulainya lagi, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita. Bila ada laki-laki lain yang dengan sukarela memberikan nafkah, maka istri tidak wajib menerimanya, tetapi ia tetap boleh memfasakh.

 

Cabang:

Selama masa Imhal dan masa kerelaan tentang kemelaratan suami, istri boleh keluar di siang hari dengan memaksa suami agar memberi nafkah atau keluar untuk bekerja, sekalipun ta sendiri masih mempunyai harta dan Sekalipun ia dapat bekerja di rumah.

 

Bagi suami yang melarat tersebuy tidak berhak mencegahnya, sebah penahanannya terhadap istri hanya sebagai imbalan pemberian nafkah kepada istri.

 

Istri wajib pulang ke rumahnya, sewaktu malam telah tiba, sebab itu adalah waktu, istirahat, bukan bekerja.

 

Istri berhak menolak suami melakukan tamattu’ kepadanya di siang hari begitu juga malam harinya, tetapi hak nafkahnya gugur dari tanggungan suami, selama menolak tamattu’ di malam hari.

 

Guru kita berkata: Kiasnya. istri tidak mempunyai hak nafkah pada waktu keluar rumah untuk bekerja.

 

Beberapa Cabang:

 

Tidak ada hak fasakh bagi sayid, pemilik amat, dalam kaitarr suaminya tidak mampu membayar selain mahar, dan ia juga tidak berhak melarang amatnya melakukan fasakh(lantaran suaminya tidak mampu membayar) selain mahar. Juga tidak berhak mencegah amat memfasakh nikah, sebab suaminya melarat atas pembayaran selain mahar di kala amatnya telah rela atas kemelaratan suaminya atau amat itu tidak dibebani mencari nafkah, sebab hak nafkah pada dasarnya adalah milik amat itu sendiri.

 

Tetapi sayid tersebut berhak melindungi amat ke pangkuannya dengan cara tidak memberi nafkah dan berkata: “Fasakhlah nikahmu atau kamu ptlih lapar”, sebab hal ini untuk menghindari mudarat pada diri sayid tersebut.

 

Bila sayid mengawinkan amatnya dengan budaknya sendiri dan suami tersebut masih bekerja pada sayidnya, maka tidak ada hak fasakh untuk amat dan untuk sayid itu, sebab biaya hidupnya menjadi tanggungan pemilik (sayid).

 

Bila tuan pemilik budak wanita Mustauladah melarat atas nafkah budak tersebut, maka Abu Zaid berkata: Pemilik harus dipaksa memerdekakan budak tersebut atau mengawinkannya.

 

Faedah:

 

Bila suami mengalami kemusnahan (tidak diketahui keberadaannya) sebelum istri tamkin, maka sang istri tidak boleh memfasakh sang istri tidak boleh memfasakh nikah, menurut lahir pembicaraan fukaha.

 

Menurut mazhab Malik: Tidak ada perbedaan antara istri yang telah tamkin dengan yang belum, bila nafkah tidak didapatkan dan telah diterapkan masa untuk meminta dan meneliti, yang menurut Malik selama satu bulan, kemudian diperbolehkan memfasakh nikah.

 

Penyempurna: Belanja Keluarga

 

Orang laki-laki/perempuan yang kaya -walaupun dari hasil kerja yang ia kerjakan-, yang telah melebihi biaya hidup makan dirinya dan orang yang ia tanggung selama seharisemalam -sekalipun belum melebihi dari tanggungan utangnya- adalah wajib mencukupi nafkah beserta lauk-pauknya, pakaian dan obatobatan buat orangtua ke atas -baik laki-laki ataupun perempuan- dan anak turunnya ke bawah -baik lakilaki ataupun perempuan-, jika mereka tidak mempunyai kecukupan di atas, sekalipun agamanya berlainan.

 

Tidak wajib, jika salah satu dari orang di atas (Ashal dan Far’u) adalah kafir Harbi atau Murtad.

 

Guru kita dalam Syarhul Irsyad berkata: Juga tidak wajib, jika ia berzina mukhshan atau meninggal. kan salat, lain halnya dengan pendapat beliau di dalam Syarhul Minhaj, juga tidak wajib, jika anak turun sudah mencapai usia balig dan ta tidak mau bekerja yang patut baginya.

 

Kewajiban tersebut berpengaruh dengan adanya kemampuan ibu atau anak perempuan. untuk menikah, tetapi hak nafkahnya menyadi gugur sejak akad nikah. Dalam hal ini masih ada penelitian, sebab nafkahnya menjadi tanggungan suami dengan keberadaan tamkin, sebagaimana uraian yang telah lewat, sekalipun suaminya melarat, selama istri tidak melakukan fasakh nikah.

 

Nafkah yang wajib karena kerabat (Ashal/Far’u), bila terlewatkan (dan belum diberikan), maka tidak bisa menjadi tanggungan utang orang yang wajib menanggungnya, kecuali bila qadhi mengutanginya lantaran penanggung nafkah tidak ada di tempat atau enggan memberikan.

 

Juga tidak menjadi utang, lantaran kerabat berutang nafkah dengan Seizin qadhi.

 

Bila suami/kerabat penanggung nafkah menolak memberi nafkah, maka pemilik nafkah dapat mengambilnya tanpa minta izin kepada qadhi terlebih dahulu.

 

Cabang:

 

Orang yang masih mempunyai ayah dan ibu,” maka nafkahnya menjadi tanggungan ayah. Dikatakan: Bagi yang telah balig, nafkahnya menjadi tanggungan keduanya.

 

Barangsiapa masih mempunyai orangtua (Ashal) dan anak turun (Far’u) maka nafkahnya menjadi tanggungan anak turunnya, sekalipunkebawah.

 

Barangsiapa mempunyai beberapa orangtua dan anak turun yang butuh ditanggung, sedang ia sendiri tidak mampu mencukupinya, maka ia mendahulukan dirinya sendiri, lalu istrinya -sekalipun banyak-, lalu kerabat yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.

 

Tetapi, bila ia mempunyai ayah. ibu dan anak. maka yang ta dahulukan adalah nafkah anak yang kecil, lalu Ibu, terus ayah, kemudian anak yang besar.

 

Ibu wajib menyusui anaknya dengan air susu Laba’, yaitu air susu yang keluar pertama kali melahurkan dan waktunya hanya sebentar Ada yang mengatakan, bahwa masa keluar air susu Laba’ adalah kira-kira tiaga hari, dan ada yang mengatakan 7 hari.

 

Kemudian setelah itu, bila tidak dijumpai wanita selain ibu itu atau Wanita lain, maka wajib menyusukan kepada wanita yang ada dan ia berhak menerima upah dari orang yang menanggung nafkah (biaya) hidup bayi.

 

Bila kedua-duanya ada, maka ibutidak bolett dipaksa, baik ia sudah tidak bersuami atau bersuamikan ayah si bayi: jika ibu merasa senang menyusuinya, maka ayah tidak boleh melarangnya, kecuali bila ia menuntut upah menyusui di atas upah umum.

 

Bagi ayah wajib menanggung upah umum buat ibu untuk penyusuan anaknya, sekira tidak ada orang yang mau bersukarela untuk memberikan biaya penyusuannya, dan sebagaimana orang yang bersukarela membiayai (mengupah) ibu dengan upah di bawah standar umum.

Hadhanah yaitu: Mendidik anak yang belum dapat mengatur dirinya sampai mumayiz. Orang yang lebih berhak mendidiknya, adalah ibunya yang tidak bersuamikan dengan lakilaki lain, lalu nenek dari garis ibu sampai ke atas, kemudian ayah si anak, ibu-ibu ayah, saudara perempuan si anak, adik/kakak perempuan ibu si anak, terus anak perempuan saudara perempuan si anak, lalu anak perempuan saudara laki-laki si anak, kemudian adik/kakak perempuan ayah si anak.

 

Anak mumayiz jika ditinggal cerai oleh kedua orangtuanya, maka hadhanah berada di tangan salah seorang ayah atau ibu yang dipilihnya.

 

Laki-laki yang dipilih mengasih, berhak melarang anak perempuan asuhannya -bukan anak lakr-lakanyamengunjungi ibu si anak. Ibu (Wanita) tidak dilarang mengunjungi anak laki-laki/perempuan yang berada dalam asuhan orangtua laki-lakinya(ayah si anak) menurut adat.

 

Ibu lebih utama merawat anak lakilaki/perempuan yang sakit di dalam asuhan ayahnya, bila ayah si anak merelakan hal itu, tetapi jika tidak, maka dirawat di rumahnya sendiri.

 

Bila anak mumayiz laki-laki memilih diasuh oleh ibunya, maka di malam hari ia tinggal di rumah ibunya dan di siang han di rumah ayahnya Atau bila anak mumayiz perempuan memilih diasuh ibunya, maka ia baru di sisinya siang dan malam, dan ayah dapat mengunjunginya menurut adat kebiasaan. Ayah tidak bisa minta anak perempuannya didatangkan ke rumahnya.

 

Apabila anak mumayiz tidak memilih satu dan keduanya, maka yang lebih utama mengasuh adalah ibu.

 

Salah satu dari keduanya tidak boleh menyapih anak susuannya, sebelum umur 2 tahun tanpa seizin yang lain. Ayah dan ibu dengan kesepakatan bersama, boleh menyapih anak susuannya sebelum berusia 2 tahun, bila tidak membuat mudarat si anak.

 

Salah satu dari keduanya berhak menyapihnya, setelah anak berusia 2 tahun.

 

Keduanya boleh menambah susuarnya melebihi 2 tahun, bila tidak membawa mudarat pada si anak, tetapi Al-Hanathi mengeluarkan fatwa, bahwa sunah tidak menambahinya, kecuali ada hajat.

 

Tuan pemilik wajib mencukupi nafkah hidup budaknya -selain yang Mukatab-, sekalipun budaknya itu buta, lumpuh, kaya atau banyak makannya, baik itu makanan dan pakaiannya dengan jenis yang biasa diberikan kepada semisal budak-budak di daerah setempat.

 

Belum cukup dengan pakaian penutup aurat saja, sekalipun derigan itu si budak tidak sakit hati. Tetapi, bila itu adat yang berlaku di daerahnya, walaupun di daeah Arab -menurut Al-Aujah-, maka telah mencukupinya, karena dengan demikian tidak ada unsur penghinaan.

 

Tuan pemilik wajib menanggung biaya obat dan dokter, jika itu dibutuhkan oleh budaknya.

 

Hasil kerja budak adalah menjadi milik tuannya, maka ia bisa melakukan hal itu.

 

Tanggungan biaya hidup sebab terlewat masanya (tidak menjadi utang bagi tuannya), sebagaimana dengan nafkah yang ada pada kerabat.

 

Sunah memben budaknya sesuatu yang menjadikan rikmatnya, baik itu berupa makanan, lauk-pauk dan sandangan: Yang lebih utama adalah duduk bersama waktu makan.

 

Tidak boleh memberatkan pekerjaan -sebagaimana binatangkepada buidaknya yang tidak kuat memikul beban itu, sekalipun hatinya rela, sebab budak itu haram membuat dirinya mudarat.

 

Bila tuannya masih membangkang dan tetap membebani budaknya,

 

maka hakim harus memaksanya agar menjualnya, jika memang penjualan tersebut satu-satunya jalan untuk menyelesaikannya, tetapi jika masih ada jalan yang lain, maka hakim harus memaksa pemilik agar menyewakan budaknya.

 

Adapun pada waktu-waktu tertentu, maka bagi pemiliknya boleh membebari pekerjaan yang berat Pemilik baru mengikuti adat yang berlaku mengenai istirahat budak dalam waktu Qailulah dan tamattu’.

 

Tuan pemilik berhak mencegah budaknya melakukan puasa dan salat sunah.

 

Pemilik binatang muhtaramah (dimuliakan dalam syarak) -sekalipun anjing-, wajib menanggung makanan dan minumannya, jika tidak biasa digembalakan dan telah mencukupinya, tetapi jika sudah biasa digembalakan dan mencukupinya, maka cukup dilepaskan untuk makan dan minum sekira tiada penghalang.

 

Bila penggembalaan belum mencukupinya, maka harus menambah kekurangannya.

 

Bila pemilik tidak mau memberinya makan atau melepaskan, maka ia harus dipaksa menghilangkan hak miliknya atau menyembelih binatang yang halah dimakan, kalau masih membangkang, maka hakim turun tangan melakukan yang lebih baik.

 

Masalah budak pun seperti binatang di atas (cuma tidak boleh disembelih).

 

Binatang yang tidak muhtaramah, tidak wajib diberi makan: Yaitu lima binatang perusak (anjing galak, tikus, ular, burung hid’ah dan gagak).

 

Pemilik binatang boleh memerah susu binatang tersebut, sejauh tidak membawa mudarat pada binatang itu atau anaknya, dan memerah yang sampai membuat mudarat pada binatang atau anaknya, sekalipun adanya itu sebab kurang makan.

 

Yang zhahir, pembatasan mudarat adalah dengan sesuatu yang dapat menghalangi pertumbuhan induk dan anak binatang-binatang semisalnya, sedangkan batas mudarat pada anak binatang itu adnlah dengan sesuatu yang dapnt menjaga dari kamatiane iwa untuk bntas mudarat yang kedua uu, Ar-Rafi’ tawaqquf (cocok), Karena itu, yang wajib adalah membiarkan anak binatang secukupyang menguatkan, sehingga tidak mati.

 

Sunah bagi pemerah susu tidak keterlaluan dalam pemerahannya, tetapi hendaknya ia masih meninggalkan susu di dalam tempat susu binatang tersebut.

 

Sunah pula pemerah memotong kuku kedua tangannya.

 

Bila anak binatang mati, maka boleh memerah induknya dengan bagaimana yang bisa dilakukan (sekalipun tidak menyisakan susu di dalamnya).

 

Haram mengadu sesama binatang.

 

Tidak wajib menyemarakkan (memperindah rumah atau selokan seseorang, tetapi makruh membiarkannya sampai rusak/roboh tanpa ada uzur, sebagaimana makruh pula tidak mengairi tanaman sawah atau pepohonan, tidak makruh meninggalkan menanami tanahnya dengan tanaman sawah atau pepohonan.

 

Tidak makruh memperindah (menyemarakkan) rumah karena ada hajat, sekalipun sampai menjulang tinggi. Hadis-hadis yang menunjukkan larangan membangun melebihi 7 dzira’, hubungannya adalah dengan orang yang membangun untuk kesombongan dan keangkuhan & antara manusia. Allah swt. Maha Mengetahui.

Yang terdiri dari pembunuhan, pemotongan anggota badan dan sebagainya.

 

Membunuh secara zalim, adalah dosa terbesar di bawah kufur. Dengan telah diterapkan qawad (kisas), maka tuntutan akhirat sudah tidak ada.

 

Pembunuhan yang menghilangkan nyawa itu ada tiga: Sengaja, seperti sengaja dan keliru (tidak sengaja).

 

Hukum kisas diterapkan pada pembunuhan yang sengaja. Lainnya tidak.

 

Pembunuhan yang sengaja adalah: Sengaja melakukannya secara zalim dan menyengaja orang tertentu dengan memakai sesuatu yang biasanya dapat membunuh, sebab bila menyengaja seseorang yang dikiranya kijang, maka pembunyhannya adalah keliru (tidak sengaja).

 

Baik itu dapat melukai, misalnya menusukkan jarum pada bagian tubuh yang peka dengan mati -musalnya otak, mata, lambung, saluran kencing laki-laki, kantong kencing dan daerah antara biji pelir dengan dubur-, maupun tidak melukai, misalnya mengakibatkan lapar orang atau menyihirnya.

 

Pembunuhan sepert sengaja, adalah, sengaja melakukan dan menyengaja orang tertentu, tetapi memakai alat yang biasanya tidak dapat mematikan.

 

Baik alat itu jika banyak bisa mematikan atau jarang, misalnya sekali pukulan yang dapat mengantarkan kerusakan; lain halnya dengan memukulkan semacam pena atau pukulan yang sangat ringan, maka adalah Hadar (sia-sia, tidak terkena kisas, diat atau lainnya).

 

Bila seseorang menusukkan jarum pada tempat yang tidak peka dengan mati, misalnya pada pantat atau paha, dan orang yang tertusuk merasa sakit hingga mati, maka disebut pembunuhan sengaja, tetapi Jika tidak jelas akibat tusukan itu dan tidak mati seketika, maka pembunuhannya seperti sengaja.

 

Bila menahan seseorang, misalnya mengunci pintu ruangan dan tidak memberinya makan-minum atau salah satunya serta melarangnya meminta, sehingga mati kelaparan atau kehausan, maka jika terlewatkan masa yang biasanya orang semacamnya mati kelaparan/kehausan dalam masa sepanjang itu, maka pembunuhannya adalah sengaja, sebab dengan perbuatan itu ada unsur membinasakannya.

 

Hal itu berbeda-beda menurut kondisi orang yang ditahan dan panas-dingin masa penahanan. Para dokter telah menentukan batas kelaparan yang biasanya dapat membinasakan seseorang, yaitu 72 jam yang sambung-menyambung.

 

Apabila belum melewati masa tersebut dan orang yang ditahan mati kelaparan, jika sebelum penahanan tidak ada kelaparan/kehausan, maka pembunuhannya adalah seperti sengaja.

 

Maka orang yang menahan wajib membayar separo diat, sebab terjadi kematian atas dua hal (yaitu: lapar/ haus sebelum ditahan dan lapar/haus setelah ditahan).

 

Ibnu Imad, mengenai orang yang mengisyaratkan (mengacungkan) pisaunya kepada orang lain karena menakut-nakuti, lalu pisau tersebut jatuh kepada orang itu tanpa : disengaja, adalah condong menghukumi sengaja membunuh yang mewajibkan ada qawad (kisas, bila mati).

 

Guru kita berkata: Di sini perlu ada penelitian, sebab orang itu tidak menyengaja orang lain tersebut dengan pisaunya, maka menurut pendapat Al-Wajhu, adalah pembunuhan tidak sengaja.

 

Peringatan:

 

Kisas wajib dilaksanakan karena perbuatan “penyebab”, sebagaimana halnya dengan “perbuatan langsung” Karena itu, kisas wajib dilasanakan terhadap orang yang memaksa membunuh tanpa hak (dibenarkan), misalnya ia berkata: “Bunuhlah orang ini, kalau tidak mau, maka aku pasti membunuhmu”, lalu orang tersebut membunuhnya, dan diterapkan terhadap orang yang dipaksa tersebut.

 

Kisas juga dikenakan terhadap orang yang menjamu orang yang belum tamyiz, dengan makanan beracun yang biasanya dapat mematikan.

 

Bila makanan tersebut dijamukan kepada orang yang mumayiz atau memasukkan racun ke dalam makanan yang biasanya mumayiz makan dani situ, lalu tanpa diketahui dimakannya, maka pembunuhannya adalah seperti sengaja. Maka penjamu wajib membayar diat dan tidak terkena kisas, sebab mumayiz mengambil makanan atas kehendak sendiri

 

Dalam pendapat yang lain. Ia wajib dikisas. Dalam pendapat lainnya lagi: Tidak terkena diat maupun kisas, karena memenangkan unsur perbuatan langsungnya.

 

Kisas juga dikenakan terhadap orang yang melemparkan seseorang ke dalam air yang dapat menenggelamkan, di mana orang tersebut ndak dapat menyelamatkan dirinya, baik dengan berenang atau lainnya, sekalipun orang yang ditemparkan tertelan ikan dan walaupun tertelan sebelum tercebur ke dalam air.

 

Bila orang tersebut dapat menyelamatkan dirinya dengan cara berenang atau lainnya, tetapi karena sesuatu hal menghalanginya, misalnya gelombang atau angin nbut, lalu orang itu mati, maka pembunuhannya adalah seperti sengaja, maka di sini wajib membayar diat.

 

Bila dia dapat menyelamatkan diri, tetapi dia tidak mau melaksanakan karena takut atau apatis, maka tidak wajib diat.

 

Cabang:

 

Apabila ada orang menangkap orang lain -meskipun untuk dibunuh-, lalu orang yang ditangkap dibunuh oleh orang lain (bukan penangkapnya), maka yang wajib dikisas adalah pembunuhnya, bukan penangkap.

 

Kisas tidak bisa diterapkan terhadap orang yang memaksa orang lain agar memanjat suatu pohon, lalu terpeleset dari pohon dan mati, tapi pembunuhannya adalah seperti sengaja, jika pohon semacam itu biasanya dapat membuat seseorang Jatuh terpeleset, tetapi kalau tidak termasuk, maka pembunuhannya adalah karena keliru.

 

Pembunuhan yang tidak ada unsur sengaja berbuat dan orangnya adalah keliru, sebagaimana tidak sengaja berbuat, misalnya ada orang terpeleset dan menjatuhi orang lain, sehingga mati, atau sebagaimana sengaja berbuat saja, misalnya melempar sesuatu pada titik arah, lalu mengena pada manusia dan mematikan.

 

Apabila ada dua orang dalam waktu yang bersamaan melakukan tindak kejahatan (pidana jinayat) terhadap satu orang, di mana dua perbuatan tersebut dapat melenyapkan dan mempercepat lenyap nyawa, misalnya yang satu memotong leher dan yang satunya membelah tubuh, atau dua perbuatan tersebut tidak mempercepat lenyap nyawa, misalnya dua memotong dua anggota badan/ dua luka, atau satu orang melukai satu laka dan yang satu lagi sepuluh luka -umpama-, lalu orang tersebut mati, maka kedua orang tersebut dalam pembunuh yang makanya harus dibunuh, sebab sering satu luka yang lebih besar akibat batinnya daripada luka yang banyak.

 

Bila hanya satu orang saja dari keduanya yang mempercepat kematiannya yang mempercepat kematian dalam kejahatan yang dilakukan, maka dialah pembunuhnya, Orang satunya tidak terkena hukum bunuh, sekalipun kita meragukan pelukaan yang dilakukan, adalah mempercepat kematian, sebab pada dasarnya adalah tidak ada yang mempercepat kematian, sedang kisas itu sendiri tidak dapat diterapkan dengan suatu keraguan.

 

Atau (bilamana) dua orang melakukan kejahatan terhadap satu orang secara berurutan, maka yang pembunuhnya adalah orang pertama yang melakukan kejahatan (jinayat), bila perbuatannya menyampaikan pada gerak binatang yang disembelih pada orang yang disakiti tersebut, misalnya kondisi orang itu sudah tidak sadarkan diri, tidak dapat melihat, tidak dapat berbicara dan bergerak, yang kesemuanya secara wajar, Sedangkan orang kedua terkena hukum Takzir.

 

Bila orang kedua dalam melakukan tindak jinayatnya sebelum orang pertama membuat sampai pada gerak binatang yang disembelih, perlakuan orang kedua tersebut dapat mempercepat kematian, misalnya memotong leher setelah terluka, maka pembunuhnya adalah orang kedua, sedang orang pertama terkena kisas anggota badan atau harta, sesuai keadaan yang ada.

 

Bila orang kedua juga tidak melakukan perbuatan yang mempercepat kematian, dan orang yang terkena jinayat mati sebab dua jinayat mereka, misalnya satu memgtong tangannya sampai pergelangan dan yang satunya memotong sampai siku, maka kedua-duanya adalah pembunuh, sebab terwujud penyalaran dari keduanya.

 

Cabang:

 

Bila pelukaan itu sudah sembuh, sedang demamnya masih terusmenerus sampai mati, maka bila dokter yang adil mengatakan bahwa demam tersebut akibat dani luka, maka kisas diterapkan pada orang yang melukai, tetapi bila dokter tidak mengatakan seperti itu, maka tidak tanggunggannya sama sekali.

 

Disyaratkan untuk bisa dilaksanakar kisas pembunuhan, adalah keberadaan pembunuhan itu dilakukan secara zalim dan sengaja. Karena itu, kisas tidak dapat dilaksanakan dalam pembunuhan keliru (Khatha’), seperti sengaja dan tidak zalim.

 

Disyaratkan bagi si terbunuh adalah Ma’shum (dilindungi hak kelangsungan hidupnya), lantaran keimanan atau jaminan keamanan darahnya dengan ikatan dzaimmah atau perjanjian tidak memerangi.

 

Karena itu, sia-sia bila yang dibunuh adalah kafir harbi, murtad dan orang yang zina mukhshan, yang pembunuhnya adalah orang muslim yang tidak berzina mukhshan, baik zinanya itu ditetapkan dengan bayinah ataupun ikrarnya sendiri, yang tidak dapat dicabut kembali.

 

Dikecualikan dari ucapanku: ” Yang tidak zina mukhshan”, adalah bila pembunuh itu juga zina mukhshan, maka orang ini harus dibalas bunuh bila pembunuhan yang dilakukan tidak atas perintah Imam.

 

Guru kita berkata Tampaklah, bahwa balas bunuh terhadap zina mukhshan adalah disamakan dengannya, setiap orang yang tersiasiakan, misalnya orang yang meninggalkan salat dan pembegal yang wajib dibunuh.

 

Kesimpulannya Orang yang disia-siakan, adalah menjadi ma’shum dalam kaitan dengan orang sesama. nya dalam kesia-siaan dirinya, sekalipun sebab sia-sianya berbeda.

 

Tangan seorang pencuri adalah sia-sia (tidak terlindungi kisasnya), kecuali atas pencuri yang sesama dengannya, baik yang disamai itu orang yang barangnya dicun ataupun tidak.

 

Orang yang terkena kisas, adalah seperti orang yang tidak terkena kisas dalam hal ma’shumnya, dalam kaitannya dengan orang yang tidak mempunyai hak kisas: karena itu, orang yang tidak mempunyai hak kisas, bila membunuh orang yang terkena kisas, maka harus dibunuh.

 

Kisas tidak dapat diterapkan kepada kafir harbi, sekalipun setelah itu menjadi ma’shum, karena ia tidak terkena ketetapan hukum dan karena hadis mutawatir dari Nabi saw dan para sahabat yang menyatakan, bahwa tiada tuntutan qawat terhadap orang yang mau masuk Islam, misalnya Wakhsyi yang telah membunuh sahabat Hamzah r.a.

 

Lain halnya dengan kafir dzimmi, maka dirinya terkena qawat, sekalipun akan masuk Islam.

 

Disyaratkan bagi pembunuh, adalah orang yang mukalaf, Karena itu, orang yang waktu membunuh dalam keadaan kecil atau gila, adalah tidak dihukum balas bunuh.

 

Menurut mazhab, wajib dibunuh orang yang membunuh dalam keadaan mabuk, yang lain waktu menggunakan bahan pemabuk itu: karena itu, kisas tidak diterapkan atas pelaku jinayat yang mabuk bukan zalim dalam menggunakan bahan pemabuk.

 

Bila orang berkata: “Waktu aku melakukan pembunuhan, aku masih kecil”, dan hal itu mungkin adanya, atau “… aku gila”, dan kegilaannya diketahui, maka bisa dibenarkan dengan disumpah.

 

(Disyaratkan untuk penetapan kisas) keadaannya seimbang waktu melakukan jinayat: yaitu keadaan pembunuh tidak lebih utama di atas terbunuh ketika terjadi jinayat, baik keutamannya karena Islam, kemerdekaan, keadaannya sebagai orangtua terbunuh atau tuan pemilik.

 

Karena itu, orang muslim -sekalipun tidak ma’shum/tersia-sia sebab perzinaan-, adalah tidak boleh dibunuh sebab membunuh orang kafir, orang merdeka tidak dibunuh lantaran membunuh budak, sekalipun sedikit kebudakannya, orangtua tidak dibunuh lantaran membunuh anak turun, sekalipun ke bawah, (Tetapi) anak turun harus dibunuh lantaran membunuh orangtua.

 

Satu golongan dikenakan hukum bunuh semua, lantaran membunuh satu orang, misalnya mereka melukai beberapa tempat yang membawa kerusakan dalam serta melenyapkan nyawa, sekalipun di antara luka itu ada yang lebih parah atau mereka tidak sama dalam pelukaannya, sekalipun pembunuhannya tidak terjadi secara sepakat, dan sebagaimana misalnya mereka melemparkannya dari tempat yang tinggi atau ke dalam lautan.

 

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i ra dan lainnya, bahwa Umar.r.a. membunuh 5 atau 7 orang yang telah membunuh seorang laki-laki dengan cara mencari lengahnya di tempat yang sepi, dan Umar r.a. berkata: Apabila seluruh penduduk Yaman turut serta dalam melakukan pembunuhan itu, niscaya kubunuh mereka semua. Perbuatan Umar r.a. tidak ada seorang sahabat yang mengingkarinya, maka menjadilah sebagai ijmak.

 

Wali dari yang terbunuh boleh mengampuni sebagian dari para pembunuh dengan memungut sebagian diat sebesar bagian tanggungan yang diampuni dengan cara menghitung jumlah kepala, bukan menghitung jumlah luka.

 

Barangsiapa membunuh segolongan orang secara berturut-turut, maka ia harus dibunuh sebab orang yang dibunuhnya pertama dari golongan itu (sedangkan untuk yang lainnya, ditunaikan diatnya dari harta tinggalan pembunuh tersebut).

 

Cabang:

 

Apabila ada orang bergulat -misalnya-, maka masing-masing pihak wajib menanggung kisas (diat) atas yang terjadi pada pihak lawannya dari pergulatan itu, sebab masingmasing pihak tidak mengizinkan pihak lainya membuat sesuatu yang membawa akibat pembunuhan atau kerusakan anggota.

 

Guru kita berkata: Yang lahur (nyata) tidaklah membawa pengaruh mengenai adat yang di situ tidak ada tuntutmenuntut dan akibat pergulatan itu: tetapi agar tidak ada tuntut-menuntut tersebut, harus ada izin secara shanh.

 

Peringatan:

 

Wajib dilaksanakan kisas anggota badan, sekira mungkin dilaksanakan tanpa melampaui batas, misalnya tangan, kaki, jari-jari, ujung jari, zakar, dua biji pelir, telinga, gigi, lisan, bibir, biji mata, pelupuk mata dan pucuk hidung, yaitu bagian hidung yang lentur.

 

Untuk kisas anggota badan dan pelukaan, disyaratkan sebagaimana pada kisas pembunuhan.

 

Anggota kanan tidak boleh dipotong sebagai kisas dari pemotongan anggota kiri, anggota atas boleh dipotong sebagai kisas anggota bawah, dan sebaliknya.

 

Kisas tidak dapat diterapkan pada pemecahan tulang.

 

Bila tangan seseorang dipotong pada tengah hastanya, maka kisasnya dengan memotong telapak tangannya, sedangkan selisih kekurangannya ditunaikan dengan diat hukumah.

 

Segolongan orang dikisas dengan dipotong tangan mereka, lantaran mereka menekankan alat tajam kepada tangan seseorang hingga putus.

 

Barangsiapa menekankan alat tajam, menjerat leher atau menenggelamkan di dalam air pada seseorang, maka pemilik kisas boleh mengkisasnya dengan cara seperti itu, jika menginginkannya.

 

Atau (bila) membunuh dengan sihur, maka dikisas dengan pedang.

 

Hal yang diwajibkan sebab jinayat yang dilakukan dengan sengaja, adalah qawat -yaitu kisas-. Dinamakan dengan qawat (penggiringan), karena para pemilik hak kisas mengginng orang yang melakukan jinayat dengan tampar atau lainnya: Demikianlah yang dikatakan oleh Al-Azhan.

 

Diat adalah sebagai ganti dani kisas di kala menjadi gugur dengan diampun atau tidak diampuni (misalnya sebelum diterapkan kisas, pelaku jinayat sudah mati terlebih dahulu).

 

Bila pemilik hak kisas mengampuni secara gratis atau mutlak (tanpa menyebutkan diat), maka pelaku jinayat tidak berkewajiban apa-apa.

 

Diat untuk pembunuhan seorang muslim yang ma’shum, adalah membayar unta 200 ekor.

 

Dalam pembunuhan sengaja dan seperti sengaja, unta 100 ekor tersebut pembayarannya ditentukan dengan tiga jenis kelompok -di sini tidak ada penelitian tentang keterpautan jumlahnya-, 30 ekor unta Higgah, 30 Jadz’ah dan 40 ekor unta Halifah (unta hamil) menurut keterangan dua ahli yang adil.

 

Dalam pembunuhan tidak sengaja (Khatha’), wajib membayar 100 ekor dari lima kelompok, yaitu Bintu Makhadh (unta 1 tahun), Bintu Labun (unta umur 2 tahun), Ibnu Labun (unta jantan umur 2 tahun), Higgah dan Jadz’ah, masing-masing berjumlah 20 ekor, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan lainnya.

 

Kecuali bila pembunuhan karena keliru tersebut terjadi di Tanah Haram, Mekah, atau bulan Haram -yaitu Zulhijah, Zulkaidah, Rajab, Muharam-, atau terjadi pada mahram nasab -misalnya ibu dan saudara perempuan-, maka 100 ekor dibagi menjadi tiga kelompok, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan sahabat r.a. dan diakui oleh lainnya.

 

Hal itu dikarenakan kemuliaan tiga tersebut (Tanah Haram atau Mekah, bulan Haram dan ibu atau saudara perempuan), maka dicegah memberatkan diat dari segi ini.

 

Tanah Haram Madinah tidak dapat disamakan dengan tiga kemuliaan di atas, begitu juga dengan ihram dan bulan Ramadhan. Tidak ada yang membawa pengaruh tentang kemuliaan mahram radha’ dan perjodohan.

 

Dikecualikan dari Khatha’, pembunuhan dua lainnya, maka diatnya tidak ditambah lantaran terjadi pada tiga tersebut di atas, sebab diat itu sendiri sudah memberatkan.

 

Adapun diat pembunuhan wanita, adalah separo diat laki-laki.

 

Diat atas pelaku jinayat sengaja, adalah meryadi tanggungan pelakunya dengan cara diangsur, sebayaimana halnya dengan penggantian barang yang rusak (menjadi tanggungan orang yang merusakkan).

 

Diat jinayat yang bukan sengaja -seperti sengaja dan khatha’ (keliru)-, sekalipun dibagi menjadi tiga kelompok jenis, adalah menyadi tanggungan wanis Aqilah (ashabah) pelaku jinayat dengan cara diangsur tiga kali.

 

Bagi Aqilah yang kaya dikenakan pembayaran 1/2 dinar per tahun, sedang yang ekonomunya cukupan 1/4 dinar per tahun. Bila pembayaran dari mereka belum mencukupi diatnya, maka diambilkan dari Baitulmal, dan bila Baitulmal tidak bisa, maka ditanggung pelaku jinayat itu sendiri. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

 

Hikmah yang terkandung dalam penanggungan diat atas waris ashabah pada dua jinayat tersebut, adalah pada masa jahiliyah para kabilah biasa menolong pelaku jinayat dari golongan mereka dan menolak para wali pemilik hak, jangan sampai melakukan pembalasan, maka syarak mengganti pertolongan tersebut dengan pemberian harta benda.

 

Penanggungan Aqilah dikhususkan pada pembunuhan khatha’ (keliru) dan Sibih Amd (seperti sengaja), adalah dua ini yang banyak terjadi -utamanya pada pemegang senjata-, maka akan menjadi baik diberikan pertolongan, agar dirinya tidak menerima mudarat lantaran sesuatu yang uzur baginya, Keberadaan diat diangsur oleh mereka, karena pemberian rasa kasihan kepada mereka.

 

Aqilah Jani adalah waris ashabahnya yang dijimaki kewarisannya, baik dari garis nasab atau wala’, bila mereka laki-laki mukalaf yang bukan orangtua atau anak Jani (pelau jinayat)

 

Di antara para ashabah tersebut, didahulukan mana yang lebih dekat kerabatnya, lalu yang lebih dekat Wanss yang fakir tidak dapat menyadi Aqilah (penanggung diat) -sekalipun ia bekerja-, begitu juga dengan wanita, khuntsa dan yang tidak mukalaf.

 

Bila tidak didapatkan unta di tempat yang seharusnya bisa didapatkan, baik secara real/material (hissi) ataupun formal (syarak) -musalnya ada unta, tetapi harganya di atas harga umum atau di tempat jauh, sedang untuk ke sana memerlukan biaya dan kesukaran yang tinggi-, maka wajib menyerahkan seharga unta itu di waktu kewajiban menyerahkannya, dengan mata uang yang. biasa berlaku di daerah setempat.

 

Di dalam kaul Kadim: Di kala tidak terdapat unta, yang wajib dibayar dari diat pembunuhan jiwa yang sempurna, adalah 1000 mitsqal emas atau 12.000 dirham perak.

 

Peringatan:

 

Setiap anggota badan yang tunggal dan membawa keindahan serta kemanfaatan, bila dipotong, maka wajib. diat sepenuh diat pemilik anggota itu bila dibunuh.

 

Demikian juga dengan sepasang anggota ganda sejenis, bila keduanya dipotong, maka diat sepenuhnya, dan bila yang dipotong hanya satunya, maka wajib diat separonya. Karena itu, dalam memotong dua telinga (kanan dan kiri), maka wajib diat sepenuhnya, sedang bila memotong sebelah saja, maka wajib diat separonya.

 

Demikian juga dengan sepasang mata, sepasang bibir, sepasang telapak tangan dan sepasang telapak kaki beserta jari-jarinya.

 

Di dalam pemotongan sebuah jari, maka diatnya adalah 10 ekor unta, dan setiap biji gigi, diatnya 5 ekor unta.

 

Kisas ferterapkan sebagai hak para waris Dzawul Furudh menurut besar-kecil bagian mereka dalam menerima harta pusaka, sekalipun pada ahli waris yang jauh hubungan kerabatnya, misalnya Dzawul Arham, bila kita tentukan sebaga? ahli waris, atau sekalipun tiada hubungan kerabat, misalnya salah satu suami-istri dan Mu’tiq serta Ashabah Mu’tiq

 

Peringatan:

 

Jani (pelaku jinayat) harus ditahan sampai anak kecil pewaris (yang berhak menerima qawat) menjadi balig dan ahli waris yang tidak ada di tempat sampa ia datang atau turun iannya. Karena itu, pelaku jinayat tidak boleh dilepaskan. dengan jaminan seorang Kafil, karena di. khawatirkan melarikan diri, maka terbengkalai hak ahli waris.

 

Ketentuan di atas berlaku pada selain pembegal.

 

Adapun pembegal, bilamana telah wajib dibunuh, maka imam boleh membunuhnya secara mutlak (baik pernilik hak qawat itu anak kecil atau bukan, pemiliknya sedang ada di tempat atau tidak)

 

Yang boleh melaksanakan pembalasan secukupnya sebagai pelaksanaan hak qawat, adalah seorang dan ahli waris, atau selain dari ahli wans, tetapi dengan kerelaan mereka, seorang dan ahli waris, tetapi atas kerelaan lainnya, atau dengan cara diundi, bila tidak terjadi kerelaan di antara mereka

 

Apabila seorang dari para pemulik hak qawat bergegas-gegas membunuh, sedang ia tahu keharaman tergesa-gesa tersebut, maka kisas tidak dapat diterapkan untuknya, jika hal itu ia lakukan sebelum ada ampunan dari diri pemilik yang lain terhadap pelaku jinayat, kalau setelah terjadi ampunan, fhaka ia harus dikisas.

 

Bila orang lain (tanpa seizin pemilik hak qawat) membunuh orang yang melakukan jinayat, maka ahli waris berhak mengambil diat dari harta peninggalan Jani, bukan orang lain tersebut.

 

Pemilik hak qawat dalam jmayat pembunuhan atau lainnya, tidak boleh melaksanakan hak qawatnya, kecuali atas izin imam atau wakilnya. Bila ia melaksanakan sendiri tanpa seizin darinya, maka dirinya terkena takzir.

 

Penyempurna:

 

Waktu terjadi gelombang yang menggelora dan khawatir tenggelam, maka wajib melemparkan barangbarang (yang berada dalam kapal) selain binatang, demi menyelamatkan binatang yang muhraram (dimullakan syarak) dan melemparkan binatang denu keselamatan manusia yang muhtaram, jika hanya dengan melemparkan barang bisa selamat dari tenggelam, sekalipun pemilik barang/binatang tidak mengizinkan.

 

Adapun orang yang tidak muhtaram, misalnya pezina muhsan dan kafir harbi, maka secara mutlak harta tidak boleh dibuang demi menyelamatkan mereka, bahkan sebaiknya mereka dibuang demi menyelamatkan harta benda.

 

Guru kita berkata: Haram membuang para budak demi menyelamatkan orang merdeka, dan membuang binatang demi keselamatan barang yang tidak bernyawa.

 

Barang yang dibuang tanpa seizin pemiliknya. harus ditanggung (diganti).

 

Bila ada orang berkata kepada orang lan: “Buanglah harta Zaid, sedang aku yang menanggungnya jika ia menuntut kepadamu”, lalu perintah itu dikerjakan, maka yang terkena kewajiban menanggung barang (harta) itu, adalah orang yang membuang, bukan orang yang memerintahnya.

 

Cabang:

 

Abu Ishaq Al-Marwaz mengeluarkan fatwa mengenai dihalalkan seorang memberi minum obat penggugur kandungan kepada amatnya, selama kandungan masih berupa segumpal darah atau daging.

 

Mazhab Hanafiyah berlebihan dalam pendapat mereka Boleh secara mutlak.

 

Pembicaraan kitab ihya’ menunjukkan haram secara mutlak.

 

Guru kita berkata: Pembicaraan kitab Ihya’ tersebut yang Al-Aujah.

 

Penutup:

 

Bagi orang yang membunuh orang yang haram dibunuh -baik pembunuh keliru ataupun sengaja-, maka wajib membayar kafarat.

 

Yaitu membebaskan budak, jika tidak menemukannya, maka wajib berpuasa dua bulan berturut-turut:

 

Riddah menurut lughat artinya “kembali”. Perbuatan murtad adalah bentuk perbuatan kufur yang pahng jelek, dan dengan kemurtadan, hancurlah semua amal manusia bila bersambung dengan kematian.

 

(Seseorang) tidak wajib mengulang ibadah-ibadahnya sebelum murtad (setelah ia kembali Islam lagi), sedangkan menurut Abu Hanifah Wajib mengulanginya.

 

Murtad menurut syarak adalah: Memutus keislaman dengan bermaksud kufur seketika atau dalam waktu akan datang -maka kufurlah seketika-, atau mengucapkan kekufuran/ melakukannya, yang kesemuanya disertai iktikad terhadap perbuatannya/ucapannya, menentang atau meremehkan dan pelaku (pengucap), yang dilakukan oleh mukalaf yang kehendaknya sendin (tidak ada unsur paksaan)

 

Lain halnya bila tindakan itu disertai hal-hal yang mengeluarkan dari kemurtadan, misalnya terlanjur lisan seseorang dalam mengucapkan kekufuran, menceritakan kekufuran orang lain atau karena takut.

 

Guru kita -sebagaimana gurunyaberkata: Demikian pula (tidak dianggap murtad) ucapan Wali Allah di kala mengalami ghaibah: “Aku adalah Allah” dan sebaginya: yaitu apa yang terjadi pada diri Al-‘Arifin billah, misalnya Ibnu Arabi dan para pengikutnya yang tulen.

 

Pernyatan-pernyataan mereka yang kesannya membawa kekufuran, adalah tidak dimaksudkan makna lahinahnya, sebagaimana yang tidak diragukan lagi pada ucapan-ucapan orang-orang yang mendapatkan taufik dari Allah swt

 

Tetapi, bagi orang yang belum mengetahu hakikat penstlahan dan tarekat mereka, adalah diharamkan mempelajari kutab-kitab mereka, sebab di situlah letak kaku tergehncr kaki Karena itu, banyak orang tersesat yang tertipu dengan lahiriah isilah mereka.

 

Pendapat Ibnu Abdis Salam, bahwa wali yang mengatakan ” Aku adalah Allah” itu harus ditakzir, adalah perlu diteliti: karena bila wali itu mengucapkan kalimat tersebut dalam keadaan mukalaf, maka secara pasti dihukumi kafir, tetap bila ia mengucapkan ketika keadaan ghaibah yang menghalangi kemukalafannya, maka dari alasan apa kita menakzirnya? Selesai.

 

Kemurtadan itu misalnya, mengingkari sang Pencipta, mengingkari atau mendustakan nabi, menentang hukum yang Mujma’ Alaih, yang sudah maklum dharuri tanpa disikapi dengan takwil -sekalipun tidak ada nashnya-, misalnya kewajiban semacam salat lima waktu, dihalalkan jual beli dan nikah, diharamkan meneguk khamar, liwath, zina, pungutan liar dan disunahkan salat Rawatib dan Id.

 

Lain halnya dengan Mujma’ Alaih yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu, misalnya bahwa cucu perempuan menerima bagian 1/6 bila bersama-anak perempuan mayat dan misal lagi haram menikah bagi warita yang beridah dengan laki-laki lain, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dan lainnya.

 

Lain halnya lagi dengan orang yang dirasa uzur, misalnya orang baru memeluk Islam.

 

Misalnya yang lain adalah murtad: Bersujud kepada makhluk -sekalipun nabi- dalam keadaan ikhtiar dan bukan karena takut, sekalipun ia mengingkari hak makhluk yang disujudi, niat hatinya tidak mencocoki anggotanya, karena keadaan lahir mendustakan batinnya.

 

Tersebut di dalam Ar-Raudhah: Barangsiapa berada di dalam daerah musuh, lalu bersujud pada berhala atau mengucapkan perkataan kufur, kemudian mendakwakan bahwa ia dipaksa, maka jika hal di atas ia lakukan dalam kesendiriannya, maka tidak bisa dibenarkan/diterima, tetapi bila ia lakukan di hadapan para kafir musuh, sedang ia ada di dalang tawanan, maka diterima, atau bila sebagai pegangan, maka tidak bisa diterima juga.

 

Dikecualikan dari kata “sujud”, adalah rukuk, sebab sikap seperti rukuk banyak terjadi dalam peribadatan (-penghormatan-) terhadap makhluk, berbeda dengan sujud.

 

Guru kita berkata: Tetapi, yang zhahir letak perbedaan antara sujud dengan rukuk, adalah dalam keadaan mutlak, lain halnya bila rukuk itu dimaksudkan untuk mengagungkan makhluk sebagaimana mengagungkan Allah swt., maka tiada ragu sini, adalah dihukum kufur. Selesai.

 

Misal kufur lagi: Berjalan menuju gereja dengam memakai perhiasan orang-orang kafir, baik memakai zunas (kain yang dikatkan pada pinggang atau fainnya) ataupun lainnya. Misal kufur tagi: Membuang sesuatu bertuhskan Alqur-an di tempat kotor. Kata Ar-Ranyani: atau sesuatu yang bertuliskan ilmu syarak, dan lebih-lebih yang di situ ada nama yang diagungkan.

 

Misal murtad lagi: Merasa ragu, apakah dirinya berbuat kufur atau tidak, dan misalnya tanpa takwil menganggap kafir orang Islam lantaran berbuat dosa, sebab hal ini berarti menamakan Islam dengan kufur, dan misalnya lagi: Merelakan terjadi kekufuran, seperti berkata kepada orang yang minta dituntun Islam: “Sabarlah sebentar”: maka dengan seketika itu, semua contoh di atas menjadikan dinnya kufur, sebab ja memutus keislamannya yang telah dipegang.

 

Demikian juga dihukumi kafir, orang yang mengingkari kemukjizatan Alqur-an atau salah satu hurufnya, mengingkari kesahabatan Abu Bakar atau menuduh serong pada Aisyah.

 

Dalam sebuah pendapat yang telah diceritakan oleh Qadhi Husain, dihukumi kafir orang yang memakimaki Abu Bakar-Umar r.a. atau Hasan-Husain r.a.

 

Tidak dihukumi kafir orang yang mengatakan kepada orang yang diambil sumpahnya: “Saya tidak ingin kamu bersumpah dengan nama Allah, tetapi bersumpahlah dengan nama talak” misalnya, atau mengatakan “Aku melihatmu seperti melihat juru pati”.

 

Peringatan:

 

Seorang Mufti sebaiknya berhatihati semaksimal mungkin dalam menghukumi kufur, sebab besar bahayanya dan kemungkinan besar tidak dimaksudkan kekufurannya, lebih-lebih orang-orang awam.

 

Imam-imam kita sejak dulu sampai sekarang, selalu mengambil sikap seperti itu.

 

Orang murtad -baik laki-laki maupun perempuan- wajib disuruh bertobat, karena kelanjutan hak hidupnya terjaga (muhtaram) dengan keislamannya dan ada kemungkinan terjadi kesyubhatan pada dirinya lalu dihilangkan.

 

Kemudian, bila ia tidak mau bertobat, maka Hakim -sekalipun melali wakilnya- membunuh orang itu dengan cara memenggal kepalanya, bukan cara lain, tanpa diberi tempo waktu lagi, artinya, perintah tobat dan pembunuhannya dilakukan seketika. Berdasarkan hadis nwayat Al-Bukhari: “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuh saja ia!”

 

Bila orang yang murtad di atas mau bertobat, maka ia kembali menjadi muslim dan diurungkanlah pembunuh terhadap dinnya, sekalipun ia telah berkali-kali berbuat murtad, Jantaran kemutlakan nash-nash yang menjelaskan diterima tobatnya.

 

Tetapi, orang yang sudah berkali-kak berbuat tobat bisa dikenakan takzir (sanksi), bukan pada permulaan ker murtadannya bila mau bertobat, lain halnya dengan pandangan pendapat para qadhi yang bodoh-bodoh.

 

Penyempurnaan:

 

Hanya saya keislaman orang kafir asli (sejak semula) atau orang murtad, adalah bisa diwujudkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bagi yang dapat berbicara, sekalipun tidak dengan berbahasa Arab, sedang ia adalah orang yang pintar berbahasa Arab menurut pendapat Al-Muktamad. Maka, keimanannya di dalam hat belum mencukup untuk dikatakan sebagai orang mukmin, sekalipun Al-Ghazali dan ulama Muhaqqiq yang lan mengatakan kecukupannya.

 

Tidak dapat terwujud kerslamannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang dituntunkan kepadanya, sedang ia sendin tidak memahanunya

 

Kemudian harus disertar pengakuan kernsalahan Muhammad saw untuk selain orang non-arab bagi yang mengingkarinya. Karena itu, bagi pengikut Nabi Isa a.s. dari kalangan Yahudi, menambah syahadatnya ” Muhammad adalah Rasulullah saw. Untuk segenap makhluk “.

 

Atau (menambahkan) pernyataan tentang pelepasan diri dari segenap agama yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, dalam syahadat orang musyrik harus memberikan tambahan ” Aku memotong apa yang telah kusekutukan kepada Allah”.

 

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu mencabut kembali iktikad yang menyebabkan kemurtadan.

 

Termasuk kebodohan para qadhi adalah, bahwa orang yang mengaku murtad di depan mereka atau menghadap kepada mereka untuk memohon hukum keislamannya, lalu mereka mengatakan kepadanya “Ucapkan lagi bagaimana perkataanmu itu!” Ini adalah suatu kesalahan besar.

 

Sungguh Imam Syafi’i telah berkata: Apabila ada seseorang yang didak wa murtad, padahal ia muslim, maka aku tidak memintanya untuk mengatakan penyebab kemurtadannya dan aku cukup berkata kepadanya “Ucapkanlah Asyhadu allaa ilaa-haillallaah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah dan kamu telah bebas : dari agama yang bertentangan dengan Islam.” Selesai.

 

Guru kita berkata: Dari pengulangan lafal “Asyhadu” oleh Imam Syafi’i, maka dapat diambil pengertian, bahwa haruslah begitu (-diulang-) untuk bisa sah Islamnya, dan seperti itulah yang ditunjukkan oleh pembicaraan kedua Guru kita dalam Bab Kafarat dan lainnya, tetapi hal ini ditentang oleh golongan fukaha. Di dalam beberapa hadis menunjukkan masing-masing dari kedua Pendapat tersebut, selesai.

 

Sunah memenntahkan kepada setiap seorang yang memeluk Islam, supaya beriman pada hari Kebangkitan.

 

Untuk kemanfaatan Islamnya di akhirat, di samping dua kalimat syahadat, disyaratkan membenarkan dengan keyakinan hati tentang keesaan Allah swt , mengenai rasulrasul dan kitab-kitab-Nya serta hari Akhir (Kiamat).

 

Bila mengiktikadkan yang ini, tetapi memenuhi hal-hal yang telah lewat (dua kalimat syahadat), maka orang itu belum dihukumi mukmin. Bila dua kalimat syahadat tersebut telah dipenuhi, tetapi ia tidak mengiktikadkan tentang keesaan Allah dan seterusnya, maka secara tahir ia diperlalukan sebagai mukmin di dunia.

Hukum had pertama Mengenai had (hukuman) terhadap perbuatan zina. Zina adalah dosa besar setelah pembunuhan. Ada yang mengatakan, bahwa zina dosanya lebih besar daripada pembunuhan.

 

Sang imam atau wakilnya -bukan selainnya, lain halnya dengan Al Qaffal- wajib mencambuk orang laki-laki mukalaf yang berbuat zina, statusnya adalah merdeka. Keberadaan perzinaan tersebut dengan memasukkan kepala zakar atau seukurnya, bagi orang yang terputus kepala zakarnya, ke dalam farji orang hidup, baik kubul maupun dubur, dan baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan mengetahui keharaman perbuatan tersebut.

 

Karena itu, tidak bisa dikenakan jilid (deraan) lantaran melakukan penggesekan zakar pada paha, lesbian dan beronani memakai tangannya sendiri atau selain tangan istri/ amatnya, tetapi pelaku ini semua cukup diberi sanksi.

 

Onani memakai tangan istri/amat hukumnya makruh, sebagaimana pula mempersilakan istri/amat mempermainkan zakar sampai inzal (ejakulasi), sebab ini termasuk dalam pengertian ‘azl (coitus).

 

Tidak bisa juga di-Had (dengan jilid), lantaran memasukkan zakar ke farji binatang atau orang mati.

 

Tidak wajib menyembelih binatang yang halal dimakan dagingnya -yang telah disetubuhu-, lain halnya dengan pendapat orang yang menghukumi wajib.

 

Pelaku zina harus didera 100 pukulan dan diasingkan selama satu tahun secara sambung-menyambung ke tempat sejauh jarak gashrush shalah ke atasnya, bila pelaku zina tersebut, -baik laki-laki atau perempuan-, orang merdeka dan masih pejaka/perawan, yaitu orang yang belum pernah melakukan jimak atau pernah melakukannya, tetapi dalam nikah yang sah.

 

Tidak dikenakan Had, jika seseorang melakukan perzinaan dengan dugaan kehalalan yang ia perbuat, sebagaimana ia mendakwakan hal itu serta baru saja memeluk Islam, hidup terasing dari ulama, atau karena ada orang alim yang menghalalkan jimak orang itu, yang berangkat dari khulaf orang alim yang diakui oleh fukaha, sebab syubhatnya kebolehan jimak itu, sekalipun yang berjimak adalah tidak taklid pada orang alim di atas, misalnya diperbolehkan rukah tanpa memakai wali, -seperti mazhab Hanafiah- atau tanpa saksi, -seperti mazhab Maliki-: lain halnya (dikenakan had) nikah tanpa wali dan dua saksi, sekalipun mikah seperti ini ada dinukil dari-pendapat Dawud Azh-Zhahin.

 

(Tidak dikenakan had juga) pada (jimak) nikah mut’ah, karena melihat perselisihan Ibnu Abbas, sekalipun dilakukan oleh orang yang mengiktikadkan haramnya nikah tersebut.

 

Tetapi, bila hakim telah menentukan bahwa nikah-nikah yang diperselisihkan itu hukumnya batal, maka orang yang melakukan jimak dalam tukah tersebut harus dihad, lantaran bila sudah demikian, hilanglah kesyubhatannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mawardi.

 

Dikenakan had juga terhadap lakilaki yang menjimak waruta yang disewakan untuk zina (prostitusi) lantaran tidak ada syubhat di sini, sebab akad yang batal tidak dianggap lagi menurut pendapat mana saja.

 

Pendapat Abu Hanifah, bahwa praktik prostitusi itu syubhat, adalah bertentangan dengan ijmak, (konsensus) yang menyatakan, bahwa perzinaan dengan waruta persewaan tidak bisa menetapkan pertemuan nasab. Berdasarkan ijmak tersebut, maka dasar yang digunakan Abu Harufah itu lemah dan khulafnya kita tinggalkan saja.

 

Demikian pula dikenakan had dalam Mmenjimak wanita yang diibahahkan, sebab ibahah di sini sia-sia belaka.

 

Dikenakan had juga, lantaran menyimak wanita yang haram dinikah sebab beragama Watsaru atau telah tertalak Bain Kubra (talak tiga), sekalipun telah ia kawini, sebab akad nikah yang fasid itu adak bisa dianggap, laun halnya dengan pendapat Abu Hanifah.

 

Adapun wanita Majusi yang telah dikawirunya, maka dengan menjimaknya tidaklah dikenakan had, sebab kehalalan menikahinya masih diperselisihkan.

 

Tidak bisa dikenakan hukuman had lantaran memasukkan hasyafah ke kubul budak perempuan milik sendiri, yang haram dijimak lantaran masih ada hubungan mahram, menjadi mulik perserikatan atau lantaran beragama Watsani atau Majusi.

 

Tidak pula, lantaran memasukkan hasyafahnya ke kubul budak perempuan milik anak keturunannya, sekalipun amat Mustauladah, itu semua tidak dikenakan had lantaran ada syubhat hak milik pada selain contoh terakhur (amat milik anak turun) dan lantaran ada syubhat penjagaan nama baik pada contoh terakhir (sebab harta anak adalah tempat penjagaan nama baik orangtua) .

 

Adapun had dikenakan kepada pelaku zina dari budak yang muhshan/tidak muhshan -sekalipun budak Muba’adh-, adalah separo had orang merdeka, yaitu didera 50 kali dan diasingkan selama setengah tahun.

 

Yang berhak menjalankan had budak adalah imam atau sayidnya.

 

Secara Ijmak bila pelaku zina itu Muhshan -baik laki-laki/perempuammaka imam atau wakilnya harus merajamnya sampai mati, yaitu memerintahkan orang banyak agar mengerumi pelaku zina tersebut dan segala penjuru dan melempari dengan batu yang berukuran sedang, sebab Nabi saw. memerintahkan untuk merajam Ma’iz dan seorang wanita dari suku Ghamid.

 

Menurut mayonitas fukaha, bahwa bila seseorang telah diranjam, maka tidak boleh didera (dijilid).

 

(Sunah) ditawarkan bertobat kepada pelaku zina yang muhshan, agar keadaan tobatnya menjadi akhir hidupnya, diperintahkan menunaikan salat bila waktunya sudah masuk, dituruti permintaan minum -bukan permintaan makan-, dan karena permintaannya untuk mengerjakan salat dua rakaat.

 

Sudah dianggap melaksanakan had rajam, bila pelaku tersebut dibunuh dengan memakai pedang, akan tetapi kewajiban merajam sudah hilang dengan adanya pembunuhan itu.

 

Muhshan adalah orang mukalaf merdeka yang pernah melakukan persetubuhan dalam nikah yang sah, sekalipun persetubuhan tersebut telah dilakukan ketika sedang haid.

 

Karena itu, kemuhshanan tidak terjadi pada anak kecil, orang gila, budak yang pernah bersetubuh dalam ikatan pernikahan dan pada orang yang pernah bersetubuh dengan budak dalam akad nikah yang fasid.

 

Wajib pelaksanaan rajam -sebagaimana pula dengan qawad- ditunda lantaran menanti kelahuran bayi yang dikandung atau selesai penyusuan. Tidak boleh ditunda lantaran sakit yang bisa diharapkan kesembuhannya, dan lantaran panas atau dingin yang kelewat batas.

 

Tapi, bila had itu berupa jilid (dera), maka pelaksanaannya harus ditunda karena panas/dingin yang kelewat batas, karena yang terkena hukuman sedang sakit, yang bisa diharapkan kesembuhannya, atau waruta tersebut sedang hamil, sebab maksud hukum dera (jilid) adalah membuat jera, bukan membunuh.

 

Perbuatan zina bisa ditetapkan adanya dengan Ikrar Hakiki yang rinci, sebagaimana rincian dalam “Syahadah” (persaksian), sekalipun, dengan cara isyarat yang dapat dipahanu oleh setiap orang.

 

Ikrar tersebut sekalipun hanya satu kali, tidak disyaratkan diulang sampai empat kali, lain halnya dengan pendapat Abu Harufah.

 

Bisa juga ditetapkan dengan adanya bayinah (4 orang saksi) yang merinci wanita yang diajak zina, cara memasukkan hasyafah, tempat dan waktu terjadi zina, misalnya: “Aku bersaksi, bahwa si Anu memasukkan hasyafahnya ke farji wanita Anu di tempat ini…dan waktu ini… dengan cara zina”.

 

Hukuman had menjadi gugur, apabila seseorang berikrar telah berbuat zina, lalu mencabut kembali ikrarnya sebelum -dilaksanaka had atau setelahnya, dengan ucapan: “Aku telah berdusta dalam ikrarku”, atau “Aku tidak berbuat zina”, sekalipun-.setelah itu ia berkata: “Aku telah berdusta tentang pencabutan ikrarku”, atau dengan ” Aku Kanya menggesekkan pada paha, lalu kukira zina”, sekalipun keadaan dirinya menampakkan kebohongan, menurut yang dianggap zhalur oleh guru kita. Lain halnya dengan katakatanya: “Aku tidak berikrar berbuat zina”, sebab kata-kata ini sematamata mendustakan bayinah yang memberikan persaksian keberadaan perzinaan.

 

Karena sesungguhnya Nabi saw. menawarkan kepada Mu’iz untuk mencabut ikrarnya. Kalau pencabutan ikrar itu tidak ada gunanya, maka niscaya Nabi tidak akan menawarkan hal itu.

 

Dengan dasar itulah, sunah mencabut ikrar zina.

 

Masalah bisa ditenma pencabutan Ikrar sebagaimana zina, juga berlaku untuk semua had yang menjadi hak Allah swt. misalnya minum khamar dan pencurian dalam kaitannya dengan pemotongan tangan.

 

Pembicaraan fukaha memberikan pemahaman bahwa, apabila suatu perzinaan tertetapkan berdasarkan bayinah, maka tidak ada jalan untuk mencabut kembali.

 

Yang benar memang begitulah, tetapi ada jalan had menjadi gugur dengan cara selain pencabutan, misalnya wanita yang dizina mendakwa bahwa ia adalah istrinya, atau budak wanita milik laki-laki itu, atau pihak laki-laki mendakwakan wanita yang dizinai dikira sebagai istri atau budaknya.

 

Hukum had kedua, adalah had perbuatan Qadzaf (menuduh orang berbuat zina). Qadzaf adalah salah satu dari tujuh dosa yang merusakkan badan pelakunya.

 

Orang mukalaf yang bebas berbuat (tidak terpaksa) serta keadaan dirinya terkena ketetapan hukum-hukum dan mengetahui keharaman menuduh zina, adalah dikenakan dera sebanyak delapan puluh kali bila menuduh orang muhshan berbuat zina, jika penuduh tersebut orgng yang merdeka.

 

Muhshan dalam Bab Qadzaf adalah orang mukalaf, merdeka, muslim dan terjaga dari perbuatan zina atau menyetubuhi istri/budak amat dalam anus (dubur) nya.

 

Kalau penuduh tersebut bukan orang merdeka (budak), maka ia wajib didera (dicambuk) sebanyak 40 kali.

 

Qadzaf sudah terjadi dengan ucapan. “Engkau telah berzina”, “Wahat, pezina”, “Wahai, laki-laki bertingkah wanita”, “Engkau mengalasi”, “Engkau (perempuan) telah diperlakukan seperti kaum Luth oleh si Fulan”, “Wahai, orang yang berbuat liwath (homo)”, atau “Wahai, kaum Luth (pelaku liwath)”: demikian juga dengan ucapan “Wahai, wanita yang rusak moralnya”, kepada seorang wanita.

 

Termasuk Qadzaf sharih kepada seorang waruta, dikatakan kepada anak laki-laki dar suami Zaid, umpama: “Kamu bukan anak Zaid”, atau “Kamu tidak dilahirkan dari Zaid”. Tidak termasuk Qadzaf ucapan: “Kamu bukan anakku”.

 

Bila seorang berkata kepada anaknya sendiri atau anak orang lain: “Hai, anak zina”, maka berarti menuduh zina ibu anak itu.

 

Orangtua tidak bisa dikenakan hukuman had lantaran menuduh zina anak keturunannya, tetapi ia cukup dikena takzir, sebagaimana pula penuduh yang bukan Mukalaf.

 

Apabila kurang dari 4 laki-laki/ wanita/budak memberikan persaksian zina, maka semua dikenakan had.

 

Bila dua orang saling menuduh zina, maka tidak dianggap telah saling membalas (semua sudah sama gugur hadnya).

 

Penuduh berhak menyumpah si tertuduh, bahwa ia tidak berzina sama sekali.

 

Had Qadzaf bisa menjadi gugur: dengan adanya ampunan dari tertuduh atau ahli warisnya, yang dapat menenma keseluruhan harta peninggalannya.

 

Si tertuduh tidah boleh melaksanakan had qadzaf dengan sendirinya.

 

Suami boleh menuduh zina istrinya yang diketahui telah melakukannya, di mana ia masih dalam ikatan nikah, sekalipun berdasarkan perkiraan yang dikuatkan dengan garinah (indikasi), misalnya ia melihat istrinya bersama laki-laki lain berduaan (khalwah), atau ia melihat laki-laki lain keluar dari kamar istrinya dan berita yang santer di masyarakat, bahwa mereka telah melakukan perzinaan, atau dengan berita orang adil bahwa ia melihat laki-laki lain itu telah berbuat zina dengan istri tersebut, atau si suami telah berulang kali melihat istrinya berdua dengan laki-laki lain itu.

 

Wajib mengingkan anak yang lahir, Jika ia yakin bahwa anak itu bukan dari dirinya.

 

Sekira di dalam hal ini tidak ada anak yang ditiadakan, maka bagi suami menutupi perbuatan istrinya dan menceraikan bila ia sudah tidak senang kepadanya, dan menahannya (tidak menceraikannya) bila ia masih mencintainya, sebab berdasarkan hadis sahih, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi saw., lalu berkata: “Istriku tidak menolak tangan orang yang memegangnya”, maka beliau saw. bersabda: “Talak saja ia!”, dan jawab laki-laki itu: “Aku masih mencintainya”, maka beliau saw. bersabda: “Teruskan saja ikatan pernikahanmu dengannya”.

 

Cabang:

 

Bila seseorang memaki orang lain, maka orang yang dimaki ini boleh membalas memakinya seukuran boleh membalas memakinya seukur makian yang telah dilontarkan kepadanya, tanpa mengatakan hal yang dusta atau gadzaf, sebagaimana ucapan: “Wahai, orang yang zalim”, atau “Wahai, orang yang tolol”.

 

Tidak boleh memaki ayah atau ibu orang yang telah memaki.

 

Hukuman had ketiga: Had minuman keras.

 

Imam atau wakilnya wajib mendera orang mukalaf yang bebas berbuat dan mengetahui keharaman minuman keras (khamar) yang meminumnya, bukan untuk pengobatan.

 

Hakikat khamar menurut sebagian besar dari Ashhabuna adalah: Air hasil dari perasan anggur yang memabukkan, sekalipun tidak tumpah dengan membuih.

 

Karena itu, keharaman minuman keras lainnya adalah jalan kias, artinya dalam mengharamkan minuman selain khamar tidak berdasarkan hadis yang akan disebutkan nanti, sebab kalau tidak berdasarkan hadis yang akan disebutkan nanti, sebab kalau tidak dalam sepert iru, maka keharaman semua minuman keras adalah berdasarkan nash, bukan kias

 

Menurut sebagian kecil dari Ashhabuna, hakikat khamar adalah setiap minuman yang memabukkan.

 

Tetapi, orang yang menghalalkan minuman keras yang memabukkan dari selain perasan anggur, adalah tdak dihukumi kafir, sebab minuman seperti ini masih khilaf di antara fukaha dari segi jenisnya, sebab menurut segolongan fukaha adalah halal bila hanya sedikit saja.

 

Adapun minuman yang memabukkan yang dibuat untuk itu, maka hukumnya haram secara ijmak, sebagaimana yang diceritakan oleh ulama Hanafiah, apalagi menurut pendapat selain mereka. Lain halnya dengan orang yang menghalalkan minuman memabukkan dari perasan anggur murni sebelum dimasak, -sekalipun cuma setetes-, sebab nunuman sepert itu sudah dijimaki tentang keharamannya secara pasti.

 

Batasan-batasan di atas (mukalaf dan sebagainya) adalah mengecualikan daripada lawan (kebalikan) semua itu.

 

Karena itu, hukuman had tidak dikenakan terhadap orang yang bersifat dengan hal yang bertolak belakang dengan batasan di atas, yaitu anak kecil, orang gila, orang yang meminumnya karena di paksa, dan orang yang tidak mengetahui keharamannya atau tidak mengetahui kalau vang ia minum itu namanya khamar, jika ia baru saja mengenal Islam atau hidup jauh dari, ulama.

 

Tidak dikenakan juga kepada orang yang meminumnya untuk obat, sekalipun ia dapat menemukan obat yang selain khamar -sebagaimana yang dinukil oleh Guru kita dari segolongan fukaha, sekalipun berobat dengan khamar yang murni hukumnya haram.

 

Faedah:

 

Segala minuman yang dapat memabukkan dalam jumlah banyak, baik berua khamar atau lainnya, maka diharamkan juga dalam banyak atau sedikitnya, berdasarkan hadis ni wayat Bukhan dan Muslim: “Segala mimuman yang memabukkan adalah diharamkan”, dan hadis nwayat Muslim:, “Setiap minuman yang memabukkan namanva khamar dan setiap khamar adalah haram”.

 

Orang yang meminumnya harus dihukum had, sekalipun tidak sampai mabuk.

 

Dikecualikan dari kata-kata “minuman”, benda-benda padat yang diharamkan: maka untuk ini tidak dikenakan had, tetapi cukup dikenakan takzir, sekalipun barang tersebut diharamkan dan memabukkan, misalnya kejubung, ganja dan candu dengan kadar banyak.

 

Makruh memakan sedikit dari barang tersebut tanpa tujuan terusmenerus dan diperbolehkan untuk tujuan pengobatan.

 

Had peminum khamar di atas, adalah 40 kali deraan (jilid), jika peminum tersebut orang merdeka. Karena disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dani Anas r.a.: “Bahwa Nabi saw. memukul 40 kali atas orang yang meminum khamar dengan menggunakan pelepah kurma atau sandal”.

 

Kata-kata “merdeka”, dikecualikan bila peminumnya budak, sekalipun Muba’ad, maka ia didera sebanyak 20 kali.

 

Hanya saja yang berhak melakukan deraan tersebut adalah imam, jika ketetapan tentang peminum tersebut didasarkan pada ikrar peminum atau persaksian dua orang saksi: Tidak dengan adanya bau khamar, tingkah peminum yang mabuk atau muntah-muntah.

 

Hukum had yang dilaksanakan oleh Usman r.a. kepada orang yang muntah-muntah (khamar) adalah hasil ijtihadnya sendiri.

 

Budak juga bisa dikenakan had dengan sepengetahuan tuannya, bukan lain tuan pemiliknya

 

Penyempurna:

 

Penulis kitab Al-Iqtiqsha’ memantabkan kehalalan meminumkan khamar pada binatang, menurut Az-Zarkasyi Boleh jadi binatang itu sebagaimana manusia dalam masalah keharaman meminumkan khamar kepadanya.

 

Hukuman had keempat: Pemotongan pada pencuri.

 

Setelah terjadi penuntutan pemilik barang dan ada ketetapan pencunan, maka imam wajib memotong pergelangan tangan kanan orang balig laki-laki atau perempuan yang mencuri, mengambil secara sembunyi-sembunyi 1/4 dinar atau barang seharga dengannya, yaitu 1/4 mitsqal emas murni yang telah tercetak, sekalipun jumlah tersebut dihasilkan oleh pemiliknya dari perupuan, dan sekalipun barang tersebut nulik orang banyak, Karena stu, tidak dapat dipotong lantaran mencuri emas 1/4 mitsqal emas yang belum tercetak atau perluasan yang belum mencapa 1/4 mitsqal emas tercetak (Pencurian yang mewajibkan had di atas). barang dicuri dari tempat yang biasanya barang seperti itu disimpan di sana.

 

Pemotongan tidak dapat diterapkan pada pencuri yang termasuk ikut memiliki sendiri, sekalipun ada kaitan semacam gadai.

 

Bila dua orang bekerja sama mencuni barang yang sudah sampai nsabnya (yaitu 1/4 dinar emas murni), maka hukuman potong tidak dapat diterapkan pada salah satunya.

 

Tidak termasuk “mencuri”, bila seseorang “merampas” secara terang-terangan dengan mengandalkan melarikan diri (pencopet) atau merampok dengan mengandalkan kekuatan: Karena itu, dua hal ini

 

tidak boleh dikenakan pemotongan, karena berdasarkan hadis sahih, dan karena pelaku kedua hal ini dapat dipatahkan oleh penguasa atau lainnya.

 

Lain halnya dengan pencuri, sebab ia mengambil secara sembunyi.sembunyi, maka disyariatkan pemotongan pada masalah ini untuk menjerakan.

 

Pemotongan tidak diterapkan pada pencurian barang hasil gasab, sekalipun pencurinya tidak mengetahui kalau barang yang dicuri adalah barang hasil penggasaban yang disimpan oleh penggasab, sebab pemilik barang tidak rela atas barangnya disimpan disisi penggasab.

 

Atau dalam keadaan barang tersimpan di tempat penggasaban (misalnya peti), maka pencuri barang dari tempat tersebut tidak boleh dipotong, sebab penggasab dilarang menyimpannya,

 

Lain halnya dengan semacam barang sewaan atau pinjaman.

 

Tempat penyimpanan barang itu berbeda-beda menurut barang itu, keadaan dan waktunya. Karena itu, tempat penyimnpanan pakaian dan uang, adalah peti yang terkunci dan tempat penyimpanan barang dagangan adalah toko dan di situ ada penjaganya.

 

Tidur di atas barangnya di dalam mesjid, sekalipun dipakai bantal, adalah termasuk penyimpanan barang itu. Tidak sebagai penyimpanan, bila barang itu diletakkan di sebelahnya ketika ia tidur, tanpa ada pengamat yang kuat, yang mampu menolak pencuri dengan kekuatan tubuhnya atau munta tolong, atau bila yang meniduri barang itu menyisih dan barang tersebut, sekalipun yang membalikkan itu pencuri, maka barang tersebut tidak dianggap disimpan.

 

Pencuri yang mengambil barang wakafan atas orang lain, wajib di potong.

 

Begitu juga dengan pencuri barang milik mesjid, misalnya pintu, tiang dan lampu perhiasan mesjid.

 

Tidak boleh dipotong sebab mencuri semacam tikar-tikar mesjid dan lampu penerangannya, sedang ia adalah orang Islam, sebab barang-barang itu disediakan untuk dimanfaatkan.

 

Tidak boleh dipotong sebab mencuri harta zakat, sedang pencuri itu orang yang berhak atas harta itu atas nama fakir atau lainnya. Bila pencuri itu tidak ikut memiliki hak atas barang tersebut, misalnya orang kaya yang mencuri harta zakat, sedang ia bukan penanggung utang untuk mendamaikan percekcokan (gharimin), juga bukan pejuang, maka harus dipotong, sebab tidak ada syhubhat.

 

Tidak boleh dipotong juga, sebab mencuri harta kemaslahatan, misalnya harta Baitulmal, sekalipun ia orang kaya, sebab ia ikut memilikinya.

 

Karena hartaitu terkadang ditasaruf’kan untuk pembangunan mesjid dan pondok-pondok, yang oleh karena itu bisa dimanfaatkan oleh segenap orang yang kaya maupun miskin dari kaum muslimin.

 

Tidak boleh dipotong juga sebab mencuri harta milik sebagian orangtua atau anak turun dan sayidnya, sebab untuk semua ini ada kesyubhatan turut memilikinya sebagai nafkah.

 

Menurut Al-Azhhar: Salah satu dari suami-istri boleh dipotong sebab mencuri harta tersimpan milik salah satu darinya.

 

Tidak boleh dipotong juga, sebab mencuri harta kemaslahatan. misalnya harta Baitulmal, sekalipun ia orang kaya, sebab ia ikut memilikinya.

 

Karena hartaitu terkadang ditasarufkan untuk pembangunan mesjid dan pondok-pondok, yang oleh karena itu bisa dimanfaatkan oleh segenap orang yang kaya maupun miskin dari kaum muslimin.

 

Tidak boleh dipotong juga sebab mencuri harta milik sebagian orangtua atau anak turun dan sayidnya sebab untuk semua tni ada syubhatar turut memilikinya sebag mafkah.

 

Menurut Al-Azhhar: Salah satu da suami-istri boleh dipotong sebal mencuri harta tersimpan milik salah satu darinya.

 

Bila setelah dipotong tangan kanan nya ia mencuri lagi, maka kaki kirinya harus dipotong pada persendian antara betis dan telapak kakinya.

 

Kemudian, bila kembali mencuri untuk ketiga kalinya, maka dipotong tangan kirinya mulai dari pergelangan tangannya.

 

Bila mengulangi untuk keempat kalinya, maka harus dipotong kaki kanannya.

 

Setelah itu semua masih mencuri, maka ia harus ditakzir, bukan dibunuh.

 

Mengenai hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi saw. membunuhnya, adalah dinasakh (diganti) hukumnya atau hadis tersebut ditakwili, bahwa pencuri tersebut menganggap halal atas perbuatannya, bahkan Daruquthni dan lainnya menganggap hadis di atas daif, Sedangkan Ibnu Abdil Barr rhm. berkata: Hadis di atas adalah mungkar, yang tiada dasarnya.

 

Barangsiapa mencuri berulang kali tanpa terkena had, maka tidak dikenakan had, kecuali satu kali saja, Menurut pendapat Al-Muktamad. maka pencuri tersebut cukup dipotong tangan kanannya sebagai had dari keseluruhan pencurian yang pernah ia lakukan, karena sebab dari had-had itu sama, maka had itru masuk pada yang lainnya.

 

Perbuatan pencurian itu bisa ditetapkan adanya dengan berdasarkan persaksian dua orang laki-laki, -sebagaimana pula dengan bentuk uqubah lainnya selain perzinaan-, dan dengan ikrar pencuri itu sendiri setelah ada dakwaan terhadap dirinya, secara rinci dalam persaksian maupun ikrar tersebut.

 

Misalnya dijelaskan perbuatannya sebagat pencurian, orang yang barangnya dicuri, besar nilai barang yang dicuri dan tempat penyimpanannya serta menta’yin (menerangkan) nya.

 

Perbuatan juga bisa ditetapkan adanya -lain halnya dengan pendapat segolongan fukaha-, berdasarkan yang dikembalikan dari terdakwa kepada pendakwa, sebab. sumpah seperti ini sebagai ikrar (pengakuan) terdakwa.

 

Pencabutan kembali ikrar dalam kaitannya dengan pemotongan, adalah dapat diterima, Lain halnya dalam kaitan dengan harta pencurian itu, maka pencabutannya tidak dapat diterima, sebab harta itu adalah hak Adami.

 

Barangsiapa berikrar tentang hak Allah swt. yang menetapkan ugubah (siksa), misalnya zina, mencuri dan minum khamar -sekalipun ikrar terjadi setelah dakwaan-, maka sebagaimana tersebut dalam Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, bagi qadhi boleh menawarkan kepada yang bersangkutan untuk mencabut: ikrarnya atau mengingkan tuduhan, tetapi An-Nawawi di dalam Syarah Muslim menukilkan, bahwa ta’ridh (penawaran) hukumnya sunah menurut ijmak dan di dalam Al-Bahr Ar-Rauyari menceritakan, bahwa penukilan tersebut berasal dari Ashhab Syafi’!, Ketertentuan kebolehan ta’ridh berarti haram dilakukan oleh yang lainnya Guru kita berkata Hal itu bisa jadi (Muhtamal), dan bisa jadi bahwa selain qadhi justru lebih diperbolehkan ta’ridh lantaran qadhi dilarang menuntun bantahan kepada terdakwa.

 

Maka qadhi berkata: “Barangkah anda sekadar bergesekan paha”, anda mengambil tidak dari tempat penyimpanan” atau “Anda tidak mengetahui kalau yang kamu minum adalah khamar”, sebab Nabi saw. menawarkan kepada Ma’iz dan beliau bersabda kepada orang yang berikrar tentang pencurian di hadapan beliau: “Saya tidak menduga kamu mencuri”.

 

Dikecualikan dari ta’ridh adalah tashrih, misalnya: “Cabutlah ikrarmu” atau “Ingkarilah tuduhanmu”, maka dengan tashrih, qadhi berdosa sebab ia memerintahkan untuk berdusta.

 

Haram ta’ridh di kala telah ada bayinah.

 

Qadhi juga boleh menawarkan kepada para saksi, agar berhenti dahulu dalam pemberian persaksian dalam kaitannya denga hak Allah, bila ia mengetahui ada kemaslahatan dengan penutupan masalah pelanggaran hak Allah tersebut, tetapi bila tidak ada kemaslahatan, maka tidak boleh.

 

Dengan begitu, maka bagi qadhi tidak diperbolehkan ta’ridh dan pars saksi tidak boleh berhenti, jika dengan sikap itu menimbulkan siasia harta orang yang dicuri atau had hak selain Allah, misalnya had Qadzaf.

 

Penutup: Pembegal Jalanan

 

Bila imam mengetahui ada segolongan orang-orang yang menakut-nakuti orang yang melewati suatu jalan dan mereka tidak merampas harta serta tidak melakukan pembunuhan, maka ia wajib mentakzir mereka dengan dipenjarakan atau lainnya.

 

Bila pengganggu itu mengambil harta dan tidak melakukan pembunuhart, maka tangan kanan dan kaki kirinya wajib dipotong. Sedang apabila ia mengulanginya lagi, maka tangan kiri dan kaki kiri wajib dipotong.

 

Apabila ia melakukan pembunuhan, maka ia wajib dibunuh, sekalipun pemilik hak qawad pengampuninya.

 

Apabila ia melakukan pembunuhan dan mengambil senisab harta, maka harus dibunuh, dan setelah dimandi kan dan dikafani, lalu disalib selama tiga hari, setelah itu diturunkan.

 

Ada yang mengatakan: Dibiarkan terus di atas tiang salib Sampai hancur dan mengalir nanahnya.

 

Ada yang mengatakan: Disalib sebentar dalam keadaan hidup, lalu diturunkan dan dibunuh.

Imam atau wakilnya berhak menghukum takzir pada perbuatan maksiat yang galibnya tiadahad dan kafarat, baik itu hak Allah swt atau hak Adami, misalnya menyentuh wanita lain selain farji, memaki yang di situ ada qadhaf (tuduhan zina) memukul yang tidak semestinya:

 

Terkadang takzir di berlakukan tanpa sebab perbuatan maksiat, misalnya mengerjakan permainan yang tiada maksiat di situ.

 

Terkadang takzir ditiadakan dari maksiat (dosa) kecil yang dilakukan oleh orang (yang biasanya) tidak diketahui berbuat kejelekan, sebab ada hadis sahih yang dinwayatkan oleh Ibnu Hibban: “Ampunilah kesalahan-kesalahan kecil orang-orang yang mempunyai prilaku baik, kecuali beberapa had”, dalam satu riwayat “Ketergelinciran mereka”.

 

Asy-syafi’i menafsiri “Dzawil Maiat” dengan orang yang biasanya fidak diketahui berbuat kejelekan. Ada yang mengatakan, mereka ialah orang-orang yang melakukan dosa kecil. dan lagi ada yang mengatakan: Orang yang menyesali dosanya dan bertobat darinya.

 

Tidak termasuk terkena takzir, adalah seperti membunuh orang yang diketahui berbuat zina dengan keluarga pembunuh -menurut apa yang dihikayatkan oleh Ibnu Rif’ah-, sebab ada rasa panas hati dan marah. Pembunuhan seperti itu hukumnya halal secara batin.

 

Terkadang takzr dan kafarat kumpul jadi satu,-misalnya laki-laki yang menyetubuhi istri/amatnya di siang bulan Ramadhan.

 

Hukuman takzir sudah bisa di wujudkan dengan pemukulan yang tidak sampai terjadi pendarahan, atau dengan tamparan telapak tangan, memenjarakan hingga tidak dapat mengerjakan salat Jumat, mengumpat dengan pembicaraan, pengasingan, memberdirikan dari tempat duduk dan sebagainya, menurut pemberi takzir adalah sejenis dan setara dengan keadaannya.

 

Hukuman takzir tidak boleh diberikan dengan mencukur jenggot. Guru kita berkata: Yang zhahir, mencukur jenggot hukumnya haram, dan larangan takzir dengan mencukur jenggot itu hanya berdasarkan keharaman mencukur jengot itu sendiri, menurut kebanyakan fukaha Mutaakhirin, tetapi bila kita berpijak dengan pendapat dua guru kita, bahwa mencukur kenggot hukumnya makruh, maka tiada alasan untuk melarang memberlakukan takzir pencukuran jenggot, bila imam melihat segi kemaslahatan di situ.

 

Hukuman takzir wajib kurang dari : 40 kali pukulan bagi orang merdeka . dan kurang 20 pukulan bagi budak.

 

Ayah.atau terus ke atas dan orang yang diizini -misalnya Seorang guruadalah boleh mentakzir anak kecil. atau prang safih yang melakukan perbuatan tidak pantas mereka kerjakan, untuk mencegah mereka dan akhlak yang buruk. Ibu atau : terus ke atas, oleh Ar-Rafi’i disamakan dengan ayah.

 

Guru boleh mentakzir muridnya sendiri.

 

Seorang suami boleh mentakzir istrinya dalam hal yang berkaitan dengan hak suami, -misalnya istri berbuat nusyus-, bukan hak Allah Swt.

 

Kesimpulannya, suami tidak boleh memukul istrinya lantaran mening’galkan salat, tetapi sebagian ulama berfatwa, suanu wajib memukulnya. Pendapat Al-Aujah menurut Guru kita, suami diperbolehkan memukul istrinya,

 

Tuan pemilik budak, diperbolehkan mentakzar budaknya yang berkaitan dengan haknya dan hak Allah.

 

Hanya saja takzir yang diberlakukan kepada orang-orang di atas tidak sampai melukainya Karena itu, bila takzir tidak bermanfaat kecuali dengan melukai, maka takar ditiadakan saja, sebab pukulan tersebut akan merusakkan diri mereka, sedang pukulan yang tidak begitu tiada berguna.

 

Guru kita Abdur Rahman bin Ziyad rhm. ditanya mengenai budak yang. beruat maksiat kepada tuan pemiliknya, menentang perintahnya dan tidak mau berkhidmah sepantasnya: Apakah tuannya boleh memukul sampat pukulan yang tidak sampai meluakinya atau tidak boleh? Jika pemilik memukulnya sampai melukai, lalu dilaporkan kepaa hakim syariat, maka boleh/idakkah hakim tersebut melarang pemilik memukul seperts itu, Jika misalnya hakim melarang dan pemilik masih terus memukul budak itu, maka boleh/ tidakkah hakim menjualnya dan menyerahkan uang penjualan kepada pemiliknya? Besar penjualan itu berapa? Berapa harga budak itu waktu dibeli atau sebesar harga pasaran saat ia lepas (dijual), atau menurut tawaran teringgi waktu itu?

 

Maka jawab Guru kuta Bila budak itu enggan berkhidmah kepada pemiliknya yang wajib ia penuhi menurut syarak, maka bagi tuan pemiliknya boleh memukulnya vang tidak sampai melukai, jika pukulan itu bermanfaat, dan pemilik tersebut! tidak boleh memukul budaknya, sampai melukai, dan hakim boleh melarang tuan pemilik melakukan pemukulan yang melukai itu, Apabila pemilik setelah dilarang masi Saja memukulnya, maka ia sebagaimana membebani pekerjaan pada budak di luar kemampuan-bahkan dalam pemukulan ini lebih dari itu-, sebab pukulan yang melukai itu terkadang dapat menyebabkan kematan, Jadi, keduanya sama-sama haram.

 

Qadhi Husain berfatwa, bahwa bila pemilik budak membebani pekerjaan di luar kemampuannya, maka budak boleh dijual dengan harga yang sepantasnya (umum), yaitu harga menurut penawaran tertinggi pada masa yang tepat. Selesai.

Shiyal adalah melampaui batas dan menerjang hak orang lain.

 

Seseorang diperbolehkan melawan Shail (orang yang berbuat jahat: perampok/pemerkosa/perampas), yang Islam atau kafir dan mukalaf atau tidak, di mana Shail tersebut menjahili orang maksum, baik nyawa, anggora farji, atau mukadimah farji, misalnya mencium dan merangkul, atau hartanya -sekalipun tiada nilai kehartaan-, menurut pemutlakan fukaha, misalnya: biji gandum atau barang itu Ikhtishash, misalnya kulit bangkai binatang, baik itu semua milik penolak atau lannya.

 

Hal itu berdasarkan hadis Sahih: “Sesungguhnya orang yang terbunuh lantaran membela darah, harta, atau keluarganya, adalah mati syahid.” Dengan adanya kesyahidan di dalam hadis ini, maka ia diperbolehkan melakukan pembelaan yang mengarah pada pembunuhan atau penyerangan, misalnya melukai.

 

Bahkan bila ia tidak mengkhawatirkan nyawa atau anggota badannya, maka ia wajib melakukan pembelaan atau penolakan terhadap pemerkosaan dan pelecehan seks (misalnya, mencium wanita lain dan sebagainya), sekalipun dilakukan bukan pada kerabatnya.

 

Wajib melawan perampas nyawa -sekalipun nyawa budakyang dilakukan oleh orang kafir, binatang atau orang Islam yang bukan maksum (muslim tidak terpelihara kelangsungan hak hidupnya), misalnya pezina muhshan, orang yang meninggalkan salat dan pembegal jalanan yang harus dibunuh. Karena itu, diharamkan menyerah kepada mereka.

 

Bila yang melakukan hal di atas adalah orang Islam yang maksum, maka tidak wajib melawannya, tetapi diperbolehkan menyerah kepadanya bahkan disunahkannya, sebab ada perintah dari Nabi saw. untuk menyerah saja.

 

Tidak wajib melawan orang yang merampas harta yang tidak bernyawa (benda mati) yang menjadi milik orang yang dirampas.

 

Shail Maksum hendaknya di lawan dengan cara yang paling ringan, jika memungkinkan, misalnya dengan cara melarikan diri, membentak dengan kata-kata, meminta tolong, mencan perlindungan untuk dirinya dan memukul dengan memakai tangan, cambuk, atau tongkat, lalu dengan memotong anggota badan Shail, baru kemudian boleh melawan dengan membunuhnya.

 

Karena melawan terhadap shail diperbolehkan adalah lantaran keterpaksaan, sedang unsur keterpaksaan tidak terdapat pada penggunaan yang lebih berat, sementara yang lebih ringan dapat digunakan.

 

Karena itu, bila menyalahi peraturan di atas dan berpisah dengan cara yang lebih ringan, padahal ia mampu melawan denga cara yang lebih ringan, maka ia wajib menanggung qawad dan lainnya.

 

Tetapi, bila berkecamuk peperangan antara dua belah pihak dan kondisi sulit diatasi, maka kewajiban menjaga ketertiban seperti di atas adalah gugur.

 

Masalah menjaga ketertiban tersebut adalah pada selain kasus pemerkosaan.

 

Apabila seseorang melihat shail betul-betul telah memasukkan zakarnya ke farji perempuan lain, maka ia boleh memulai menolaknya dengan cara membunuh, sekalipun sebenarnya bisa ditolak dengan cara lain, sebab shail pada setiap masa sebentar saja sudah jatuh dalam persetubuhan yang tidak mungkin ditolak dengan cara pelan-pelan. Demikianlah yang dikatakan oleh Al-Mawardi, Ar-Rauyari dan Syekh Zakariya.

 

Guru kita berkata: Hal itu zhahir adanya pada pelaku yang muhshan, adapun bila tidak muhshan, maka menurut pendapat Al-Muttajah adalah tidak boleh membunuhnya, kecuali dengan penolakan di bawah itu akan membutuhkan waktu lama, yang di dalam waktu itu ia melakukan pemerkosaan. Selesai.

 

Apabila tidak memungkinkan menolak dengan cara yang lebih ringan, misalnya ia ditemukan hanya semacam pedang, maka ia dapat menebas dengannya.

 

Adapun bila shail bukan maksum, maka boleh membunuhnya tanpa melalui perlawanan yang lebih ringan, sebab tiada kemuliaan untuk. kelanjutan hidupnya.

 

Cabang:

 

Wajib menolak perbuatan munkar, meneguk minuman yang memabukkan, membunyikan alat musik : (permainan) dan membunuh hewan yang sekalipun miliknya sendiri.

Wajib melakukan khitan bagi lakilaki maupun perempuan, selagi tidak dilahirkan dalam keadaan sudah Khitan. Dasarnya adalah firman Allah Swt.: “.. ikutilah Ibrahim”, (Q.S. An-Nahl: 123), dan dj antara syariat agamanya adalah khitan. Dia melakukan Khitan ketika berusia 80 tahun.

 

Ada yang mengatakan: Khitan bagi laki-laki hukumnya wajib dan sunah bagi waruta. Pendapat ini dinukil dari kebanyakan ulama.

 

(Khitan) diwajibkan dengan telah balig dan berakal sehat, sebab taklif tidak terjadi sebelum balig dan berakat sehat, yang karenanya diwajibkan setelah itu dengan seketika.

 

Az-Zarkasyi membahas diwajibkan khitan atas wali anak yang mumayiz Pendapat ini perlua diteliti.

 

Yang wajib dalam khitan laki-laki, adalah memotong kulit yang menutupi kepala zakar, sehingga menjadi terbuka.

 

Sedangkan khitan warita, adalah memotong sedikit -asal sudah dinamakan khitandaging yang terletak di sebelah atas lubang kencing, yang berbentuk seperti jengger ayam jantan yang disebut Bizhir (clitoris)

 

Al-Ardabili menukil dari: AsySyafi’i: Bila seorang anak dijadikan oleh Allah dalam keadaan lemah, bila dikhitan, maka dikhawatirkan terjadi mudarat pada dirinya, maka anak itu tidak perlu dikhitan, kecuali kemungkinan besar diduga keselamatannya.

 

Sunah segera melakukan pengkhitanan pada anak yang berumur 7 hari -karena ittiba’ kepada Nabi saw.- Lalu, bila sudah akhir dari tujuh hari, maka sunah dikhitan ketika berusia 40 hari, Kalau juga tidak, maka sunah dikhitan pada usia 7 tahun, karena usia inilah waktunya anak diperintahkan melakukan salat.

 

Orang yang mati belum dikhitan, menurut pendapat Al-Ashah adalah tidak boleh dikhitan.

 

Sunah menampakkan pengkhitanan anak laki-laki, dan menyembunyikan pengkhitanan anak wanita.

 

Adapun biaya khitan, adalah diambilkan dari harta anak yang dikhitankan, walaupun belum mukalaf, kemudian (kalau tidak punya), maka menjadi tanggungan orang yang wajib menanggung nafkahnya.

 

Wajib pula memotong tali pusat bayi yang sudah dilahirkan setelah diikat, sebab pada pemotongannya itulah Idtak kemampuan menampung makanan.

 

Haram melubangi hidung secara mutlak (baik laki-laki maupun perempuan), dan secara pasti haram melubangi daun telinga anak lakilaki dan anak perempuan menurut pendapat Al-Aujah, guna meletakkan anting-anting, sebab pelubangan di sini membuat luka yang tidak ada gunanya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Ghazali dan lainnya.

 

Az-Zarkasyi memperbolehkan melubangi daun telinga bagi laki-laki atau perempuan, dan ia berdalil dengan hadis riwayat Ummi Zara’ di dalam Ash-Shahih.

 

Tersebut di dalam fatwa Qadhi Khan dari kalangan Hanafiah: Tidak mengapa melubangi telinga secara mutlak, sebab orang-orang Arab pada masa Jahuliah melakukannya, lalu Rasulullah saw., tidak mengingkarinya.

 

Tersebut di dalam Ar-Ri’ayah dari kalangan Hanbali: Boleh melubangi telinga anak waruta dengan maksud menghias dan makruh bagi anak laki-laki. Selesai.

 

Pernyesuaian pembicaraan Guru kita di dalam Syarhil Minhaj adalah diperbolehkan pada anak wanita, -tidak anak laki-laki-, karena apa yang telah diketahui bahwa pelubangan telinga di sini, adalah sebagai perhiasan yang dikehendaki oleh kaum wanita sejak dahulu sampai sekarang, di mana pun mereka berada. Rasulullah saw. benar-benar telah memperbolehkan memberi mainan yang bergambar kepada anak-anak wanita, karena ada suatu maslahat, sedang masalah pelubangan telinga ini pun demikian, sedang penderitaan dalam semacam pelubangan ini dengan membangkitkan kecintaan suami pada mereka, adalah hal yang mudah dan beralternatif serta diampuni adanya Karena maslahat tersebut maka, cobalah pikir masalah ini, sebab hal ini penting.

 

Penyempurna:

 

Barangsiapa membawa binatang, maka ia wajib menanggung perkara yang dirusakkan di malam atau siang hari

 

Apabila-binatang Itu pergi sendiri, lalu merusak tanaman atau lainnya di siang hari, maka penulik binatang tidak wajib menanggung apa yang di rusakkan oleh binatangnya, Atau kalau perginya di malam hari, maka pemilik wajib menanggung, kecuali bila ia tidak gegabah dalam mengikatnya.

 

Pengrusakan yang dilakukan oleh semacam kucing yang telah diketahui kerakusannya terhadap semacam burung atau makanan, adalah menjadi tanggungan pemilik semacam kucing tersebut, jika ia gegabah dalam mengikatnya, baik pengrusakan itu di siang maupun malam hari.

 

Kucing buas adalah bisa dilawan atau ditolak atas penyerangannya terhadap semacam burung atau makanan untuk dimakannya, dengan memperhatikan tertib urut cara perlawanannya sebagaimana pada shail.

 

Kucing buas dalam keadaan diam tidak boleh dibunuh -lain halnya dengan pendapat segolongan fukaha-, sebab masih bisa menghindari kebuasannya.

Jihad hukumnya fardu kifayah dalam setap tahun -sokalipun hanya sekali-, bila orang-orang kafir berada di dalam daerah masing-masing, (tetapi) bila mereka memasuki wilayah kita, maka jihad hukumnya fardu ain seperti yang akan diterangkan nanti.

 

Hukum fardu kifayah adalah bila jihad telah dilakukan oleh orang yang mencukupi persyaratan, maka lepaslah dosa orang yang menunaikan dan segenap mushmin lainnya, (tetapi) bila dari segenap mereka tidak ada yang melakukannya -sekalipun tidak mengerti-, maka seluruh muslimin yang tidak uzur melakukannya, menanggung dosa.

 

Fardhu kifayah itu banyak:

 

Misalnya menegakkan hujah-hujah agama, Yaitu dalil yang menetapkan keberadaan sang Pencipta swt , sifat-sifat yang wajib dan muhal bagiNya, dalil yang menetapkan kenabian dan sognla ajaran syarak, mulai dari hari Kiamat, hisab dan sebagainya

 

Misalnya lagi Menegakkan ilmu-ilmu syarak, misalnya ilmu tafsir, hadis dan fikih yang melebihi dari yang diharuskan, dan ilmu-ilmu pelengkap ilmu syanat, sekira dapat digunakan dalam pengadilan dan fatwa. karena dibutuhkan dua ilmu ini.

 

Misalnya, menolak mudarat yang menimpa orang maksum, baik orang Islam, dzimmi, atau musta’man, yang mengalami kelaparan sebelum sampai pada tingkat yang sangat kritis, atau tidak berpakaian dan sebagainya.

 

Yang dibebani tugas fardu kifayah lalah: Seluruh orang kaya yang mempunyai kelebihan biaya hidup dirinya sendiri selama satu tahun dan kelebihan orang yang ditanggung nafkahnya, ketika Baitulmal tidak ada atau diabaikan pembayaran zakat.

 

Misalnya lagi: Amar makruf nahi mungkar, yaitu dipenuhinya kewajiban-kewajiban Allah swt. dan dihindarkan hal-hal yang diharamkannya, tetapi medannya adalah wajib atau haram yang sudah Mujma’ Alaih (disepakati) atau menurut iktikad pelaku perbuatan wajib atau haram itu.

 

Yang dibebani tugas ini adalah seluruh mukalaf yang tidak khawatir kemudaratannya terhadap semacam anggota badan dan hartanya, sekalipun hanya sedikit dan tidak mempunyai perkiraan kuat, bahwa pelaku kemungkaran dengan adanya nahi mungkar darinya akan bertambah menentang, sekalipun dan kebiasaan telah diketahui, bahwa amar makruf nahi mungkar tidak akan berfedah kepada pelaku kemungkaran.

 

Amar makruf nahi mungkar tersebut, yaitu dengan cara membetulkan pelakunya lewat semua cara yang mungkin bisa ditempuh: Memakai kekuatan tangan, lisan, lalu meminta tolong kepada orang lain. Bila kesemuanya sudah tidak mampu dilakukan, maka dengan cara mengingkari perbuatan mungkar di dalam hati.

 

Seseorang tidak diperbolehkan meneliti dan mengoreksi kesalahan orang lain serta menyergap rumah orang lain berdasarkan berbagai prasangka. Tetapi, bila seseroang diberi tahu oleh orang yang adil tentang keberadaan kemungkaran yang tersembunyi, di mana perkara mungkar tersebut bila terlambat pencegahannya akan terwujudkan misalnya: maka ia diwajibkan melakukan hal-hal di atas (meneliti dan seterusnya).

 

Bila pencegahan kemungkaran memerlukan ditangani sulthan (penguasa), maka tidak wajib melaporkannya, sebab hal itu terdapat unsur merobek kehormatan dan menghilangkan harta benda. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qasyairi.

 

Guru kita berkata: Menurut Ibnul Qusyairi, ada alternatif kewajiban melaporkannya kalau dengan cara itu saja kemungkaran dapat dicegah, dan im adalah pendapat Al-Aujah. Sedang pembicaraan Ar-Raudhah dan lainnya dengan sharih mengedepankan alternatif ini. Selesai.

 

Misal fardu kifayah lagi: Tahammulusy Syahadah (pengambilan datadata persaksian) bagi orang ahli untuk hal itu yang didatangi oleh Masyhud Alaih (orang yang dipersaksikan atasnya) atau didatangkan olehnya karena ada halangan, misalnya halangan salat jumat.

 

Misalnya lagi, memberikan persaksian bagi orang yang telah Tahammul Syahadah, jika telah lebih dari nisab saksi, (tetapi) bila belum nisabnya, maka memberikan persaksian hukumnya fardu Ain.

 

Misalnya lagi, meramaikan Ka’bah dengan melakukan haji dan umrah setiap tahunnya.

 

Contoh yang lain adalah mengiring jenazah.

 

Misalnya yang lain, menjawab salam sunah (dalam pengucapannya) adalah fardu kifayah bagi segolongan orang, yaitu dua ke atas, karena kefarduan menjawab salam telah gugur dari yang lain, dan pahalanya khusus di dapatkan yang hanya menjawab salam.

 

Bila seluruh rombongan menjawabnya semua, walaupun berurutan, satu per satu, maka kesemuanya mendapatkan pahala, sebagaimana hal nya orang yang menyalati jenazah. Apabila satu rombongan mengucapkan salam dengan berurutan kepada satu orang, lalu dijawabnya satu kali dengan maksud buat keseluruhannya, begitu juga bila dijawab secara mutlak menurut Al-Aujah, maka cukuplah sebagai jawaban untuk seluruhnya, selama tidak ditengah tengahi masa atau waktu yang cukup panjang.

 

Masuk di dalam ucapanku “salam sunah”, yaitu salam yang diucapkan seorang wanita kepada wanita atau laki-laki mahram (suami). Begitu juga salam kepada waruta tua renta yang sudah tidak menarik syahwat, karenanya wanita dalam contoh ini wajib menjawab salam yang diucapkan laki-laki.

 

Adapun yang masih menarik nafsu syahwat dalam keadaan sendirian (tidak bersama wanita lain), adalah diharamkan menjawab salam laki-laki lain: demikian pula memulai mengucapkan salam kepadanya.

 

Makruh juga laki-laki tersebut menjawab salamnya, begitu juga memulai salam kepada wanita tersebut.

 

Perbedaannya: Jawaban warita dan ucapannya membuat laki-laki tersebut loba -karena kelobaan laki-laki kepada wanita itu lebih besar-: lain halnya dengan ucapan salam dan jawaban laki-laki. Demikaanlah kata Guru kita.

 

Bila seorang laki-laki mengucapkan salam kepada rombongan wanita, maka salah seorang dari mereka wajib menjawab salam itu, sebab dalam keadaan demikian ini tidak dikhawatirkan timbul fitnah

 

Dikecualikan dari kata-kataku “dari segolongan/rombongan”, yaitu satu orang: maka menjawab salam baginya adalah fardu an, sekalipun yang memberi salam itu seorang anak mumayiz.

 

Di dalam memulai dan menjawab salam harus dijawab dengan suara keras, sekira dapat didengar dengan : jelas, sekalipun pada pendengaran orang yang agak tuli.

 

Memang, tapi bila orang yang mengucapkan salam (Musallim) melintasi orang yang diberi salam (Musallam alaih) dengan berjalan cepat, yang sekira jawabannya tidak sampai didengar oleh musallim, maka menurut pendapat Al-Azhhar yang dikatakan oleh Guru kita, ia wajib mengeraskan jawaban salamnya dan tidak mengejar (berlari) di belakang musallim.

 

Wajib bersambung antara ucapan dan jawaban salam, sebagaimana halnya mengenar jab dengan gabul dalam jual beli Tidak mengapa mendahulukan “Alaika”, dalam menjawab salam orang yang tidak hadir di tempat, sebab pemisahan seperti iru tidak termasuk kata-kata lain.

 

Apabila unsur “seketika dalam menjawab salam” sudah hilang, maka tidak wajib menggadha, lain halnya dengan kesan yang diberikan dalam pembicaraan Ar-Rauyani.

 

Dalam menjawab salam kepada orang tuli, wajib mengumpulkan antara ucapan dengan isyarat, dan si tuli tidak wajib menjawab salam. kecuali bila Musallimnya mengumpulkan antara ucapan dan isyarat.

 

Memulai mengucapkan satam ketika menghadap atau berpisah kepada orang muslim yang bukan semacam fasik dan berbuat bid’ah -sekahpun ia anak mumayiz-, yang sekalipun mempunya perkiraan bahwa salamnya tidak akan di jawab, hukumnya adalah Sunah Ain bagi seorang dan Sunah Kifayah orang banyak, sebagaimana hukum membaca Basmalah untuk makan. Hal ini berdasarkan hadis: “Sesungguhnya orang yang paling utama (mendapat rahmat Allah swt.) adalah orang yang memulai mengucapkan salam.”

 

Al-Qadhi Husain mengeluarkan fatwa, bahwa memulai mengucapkan salam adalah lebih utama, sebagai” mana membebaskan utang adalah lebih utama daripada penunda penagihannya.

 

Shighat permulaan pengucapan salam adalah “Assalamu’alaikum”, atau “Salamun ‘alaikum”‘ begitu Juga” ‘Alaikumus salam”, atau “Alaikum salam”, tetapi untuk terakhir ini makruh, sebab ada dalil yang melarangnya, dan sekalipun makruh pengucapan salam dengan shighat tersebut, tetapi menjawabnya adalah kewajiban.

 

Lain halnya dengan ucapan: “Wa alaikum salam”‘, sebab kalimat ini tidak patut untuk permulaan salam.

 

Dalam memulai dan menjawab salam, yang lebih utama adalah dengan menggunakan bentuk “jamak”, sekalipun kepada atau bagi satu orang, sebab agar mencakup malaikat dan demi menghormati.

 

Menambah: “Wa rahmatullahi wa barakatuhu wa maghfiratuh”.

 

Bentuk mufrad belum mencukupi (sebagai salam yang ditujukan) untuk orang banyak.

 

Apabila satu dengan lainnya mengucapkan salam secara bergantian, maka ucapan kedya sebagai jawaban dari pertama: yaitu selagi yang kedua tidak. dimaksudkan untuk memulai mengucapkan salam sendiri, sebagaimana yang dibahas oleh sebagian ulama.

 

Apabila tidak bergantian atau bergantian, tetapi masing masing bermaksud memulai salam, maka masing-masing wajib menjawab salamnya

 

Beberapa Cabang:

 

Sunah menginmkan salam buat orang yang tiada di tempat, dan orang yang dititipi salam harus menyampaikannya, sebab hal itu sebagai amanat yang wajib ditunaikan.

 

Kewajiban menyampaikan salam di atas, bila orang yang dititipi salam rela membawa amanat itu, (tetap) bila ia menolakmenyempaikannya, maka ia tidak wajib menyempaikannya, Begitu juga bila ia hanya diam saja.

 

Sebagian ulama berkata: Orang yang diwasiati salam wajib menyampakannya. Kewajian ini menurut Guru kita, jika ia menerima wasiat dengan lafal yang menunjukkan arti pemegang amanat salam.

 

Mursal ilaih (orang yang dikirimi salam) wajib secara seketika dengan menjawab salam yang dikirimkan dengan ucapart, dan wajib menjawab salam dengan ucapan atau tulisan atas salam yang dikinmkan kepadenya dengan tulisan

 

Sunah menjawab salam orang yang menyampaikannya dan memulai jawaban buatnya, maka Mursal ilaih berkata: “‘Alaika wa ‘alaihis salam” (semoga bagimu dan buatnya terlimpah keselamatan), sebab berdasarkan hadis masyhur.

 

Sebagian ulama menceritakan ada kesunahan memulai jawaban salam buat pengirimnya. Haram memulai mengucapkan salam kepada orang kafir dzimmi, dan wajib mengecualikan orang dzimnmi dalam hati, jika dammi tersebut bersama orang Islam.

 

Sunah mengucapkan salam bagi orang yang memasuki tempat kosong, dengan ucapan: ” ‘Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin”.

 

Tidak disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang tengah membuang air kecil, air besar, bersetubuh atau beristinja: Begitu juga kepada orang yang sedang minum atau makan yang di dalam mulutnya masih terdapat makanan, sebab merepotkan mereka.

 

Tidak sunah kepada orang fasik, bahkan sunah tidak mengucapkan salam kepada orang yang jelas-jelas mengerjakan hal-hal yang fasik, orang yang melakukan dosa besar, yang belum bertobat atau orang yang berbuat bid’ah, kecuali bila ada uzur atau khawatir akan terjadi mafsadah (bila tidak diucapkan salam kepada mereka).

 

Tidak disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang tengah mengerjakan salat, bersujud, azan, ikamah, berkhotbah dan mendengarkankhotbah.

 

Mereka semua (orang yang tengah buang air besar dan seterusnya) tidak berkewajiban menjawab salam, kecuali orang yang tengah mendengarkan khotbah, ia wajib menjawab salam orang mengucapkan kepadanya.

 

Bahkan orang yang tengah buang air besar atau kecil, bersetubuh dan beristinya makruh menjawab salam.

 

Orang yang sedang makan disunahkan menjawab salam, sekalipun mulutnya sedang berisi makanan. Memang, disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang makan setelah menelan dan sebelum meletakkan makanan ke dalam mulutnya, dan ia wajib menjawab salam tersebut.

 

Disunahkan menjawab salam bagi orang yang sedang berada di dalam kamar mandi dan orang yang sedang membaca Talbiyah, dengan memakai lafal (ucapan): dan bagi orang yang sedang salat, azan dan ikamah dengan menggunakan isyarat dalam menjawab salam, Kalau tidak memakai isyarat, maka menjawabnya selesai salat, jika tenggang waktunya hanya sebentar. Kepada mereka semua, tidak diwajibkan menjawab salam.

 

Sunah di waktu bertemu, orang kecil (muda) mengucapkan salam kepada orang yang tua, orang yang berjalan kepada orang yang diam, orang yang naik kendaraan kepada mereka semua (orangtua, yang berjalan dan yang diam) dan rombongan yang kecil kepada yang besar.

 

Beberapa Faedah:

 

Membungkukkan punggung hukumnya makruh, sedangkan kebanyakan ulama mengatakan haram.

 

An-Nawawi berfatwa mengenai kemakruhan menundukkan kepala dan menciuni semacam kepala, tangan atau kaki, lebih-lebih kepada orang kaya sebab berdasarkan hadis: “Barangsiapa bertakwa kepada orang kaya (lantaran kekayaannya), maka hilanglah 2/3 agamanya”.

 

Sunah mencium seperti di atas kepada orang saleh, alim dan mulia, sebab Abu Ubadah mencium tangan sahabat Umar r.a.

 

Sunah berdiri (demi menghormat) kepada orang yang jelas-jelas mempunyai fadilah kesalehan dan kealimannya, sebagaimana orang yang melahirkan dirinya atau karena jabatan yang dipegang orang itu, dengan cara tulus ikhlas. Ibnu Abdiis Salam berkata: Atau kepada orang yang diharapkan kebaikan atau dikhawatirkan gangguannya, sekalipunitu orang kafir yang dikhawatirkan dharar besar darinya.

 

Haram bagi seseorang merasa senang karena orang-orang lain berdiri menghormatinya.

 

Sunah mencium orang yang baru datang dari bepergian dan memeluknya, sebab ittiba’ kepada Rasul saw.

 

(Termasuk sunah kifayah), adalah mendoakan orang yang bersin, yang sudah balig dan memuji kepada Allah swt., dengan mengucapkan ” Yarhamukallah”, atau “Rahimakumullah”, Sunah juga mendoakan kepada anak mumayiz yang bersin, dengan doa: “Ashlahakallah” (semoga Allah menjadikanmu sebagai orang saleh).

 

Karena mendoakan seperti itu hukumnya sunah kifayah, jika segolongan orang yang mendengar, dan sunah ain, bila hanya seorang yang mendengarnya.

 

Bila orang mumayiz bersin dan membaca Hamdalah setelah bersinnya -yaitu setelah bersin tenggang waktu melebihi tarik nafas atau terengah-engah-, maka setelah bersinza disunahkan membaca “AlHamdulillah”, dan yang lebih utama “Al-Hamdulllahi Rabbil ‘Alamin”, dan yang lebih utama dari itu: “Al-Hamdulillah ‘ala kulli halin” (segala puji bagi Allah atas segala hal).

 

Dikecualikan dari ucapanku “yang memuji Allah”, bila setelah bersin tidak memuji Allah: maka tidak disunahkan mendoakan kepadanya.

 

Apabila orang yang mau mendoakan ragu, maka ucapkan saja “Yarhamullahu man hamidah” (semoga Allah merahmati orang yang memuji-Nya).

 

Disunahkan mengingatkan orang yang bersin, agar membaca Hamdalah.

 

Apabila bersin terjadi berulang kali, maka disunahkan mendoakan kepadanya pada bersin yang ketiga kalinya, lalu mendoakan sembuh. Orang bersin di tengah salatnya, disunahkan membaca Hamdalah secara pelan-pelan.

 

Orang yang sedang disibukkan dengan semacam buang air kecil atau bersetubuh, bila bersin disunahkan membaca Hamdalah di dalam hati.

 

Hamdalah dan doa untuk orang yang bersin, disyaratkan dibaca dengan suara keras, sekira dapat didengar oleh temannya.

 

Sunah bagi orang yang bersin, meletakkan sesuatu pada mukanya, merendahkan suara bersin serendahnya, dan menjawab orang yang telah mendoakan kepadanya dengan semacam: “Yahdikumullah wa yushlihu balakum”, (semoga Allah memberi kalian petunjuk dan memperbaiki kepribadian kalian), atau dengan “Yaghfirullahu lakum” (semoga Allah mengampuni kalian), sebab ada perintah penjawaban seperti ini.

 

Sunah bagi orang yang menguap, menahan penguapannya semampu mungkin, dan menutup mulutnya dengan tangan kirinya, walaupun di tengah-tengah salat.

 

Sunah menjawab panggilan dengan “Labbaik” (Baiklah).

 

Hukum Jihad adalah fardu kifayah bagi setiap orang Islam yang mukalaf -yaitu balig dan berakal sehat, sebab lepas beban dari selain dua orang ini-, dan laki-laki, sebab pada galibnya warita tidak mampu melakukan jihad, serta merdeka. Karena itu, jihad tidak wajib bagi budak, sekalipun Mukattab atau Muba’adh yang telah mendapatkan lan dan tuannya, dan mampu ber. Jihad serta mempunyai senjata.

 

Karena itu, jihad tidak diwajibkan atas orang yang tidak mampu, misalnya buntung, buta, hilang sebagian besar jari-jari tangannya, pincang yang tampak jelas, sakit parah, orang yang tidak mempunyai biaya atau kendaraan dalam perjalanan sejauh Qashrush shalah, yang pembiayaan itu lebih dari pembiayaan orang yang wajib ditanggung, sebagaimana dalam masalah haji, dan tidak diwajibkan atas orang yang tidak mempunyai senjata, sebab orang seperti ini tidak mungkin kemenangan di tangannya.

 

Bepergian untuk berjihad atau lainnya, walaupun jaraknya dekat, dan tidak mengkhawatirkan atau untuk menuntut ilmu, adalah diharamkan bagi orang yang utang, kaya dan masa pembayarannya sudah tiba, di mana ia tiadak mewakilkan kepada orang lain untuk membayarkan utangnya atas nama dirinya dan hartanya yang berada di tempat. Hal ini karena untuk. menjaga hak orang lain.

 

Dan segi im, tersebut di dalam hadis Muslim: “Mati dalam sabilillah adalah dapat menghapus segala tanggungan, selain utang.”

 

Kepergian tersebut tanpa seizin pemiutang atau dugaan ada kerelaan darinya, di mana pemiutang termasuk orang yang berhak memberikan izin, sekalipun ia kafir dammi, utangnya ada barang gadai yang bisa diandalkan atau penjamin yang kaya.

 

Di dalam A/-Muhummat, Al-Asnaw berkata Sesungguhnya diam pemiutang adalah belum cukup sebagai memperbolehkan bepergian. Ucapan ini berpedoman dari pemahaman terhadap pembicaraan dua Guru (Rafi’i dan Nawawi) di sini.

 

Ibnu Rif’ah Qadhi Abu Thayyib, Al-Bandaniji dan Al-Qazwini berkata: Untuk keharaman bepergian, harus ada larangan yang jelas.

 

Perkataan ini dinukil oleh Qadhi Ibrahim bin Zhahirah.

 

Bila pengutang tersebut mlarat atau tanggungan utangnya belum tiba pembayarannya, sekalipun telah dekat pembayarannya, maka ia tidak diharamkan bepergian, -bahkan tidak terlarang-, dengan syarat utangnya masih dalam status muajjal ketika ia sampai ke tempat yang dihalalkan menggashar salat.

 

Haram bepergian untuk jihad dan haji sunah tanpa seizin orangtua yang Islam yaitu ayah/ibu terus ke atas, sekalipun telah mendapatkan izin dari kerabat yang lebih dekat hubungannya daripada orangtua yang ada saat itu.

 

Demikian pula, tanpa seizin orangtua, diharamkan bepergian untuk berdagang yang ada kemungkinan besar bisa selamat.

 

Tidak diharamkan bepergian untuk menuntut ilmu fardu, walaupun fardu kifayah, misalnya belajar ilmu Nahwu dan derajat fatwa. Orang yang menuntut ilmu tersebut tidak diharamkan, sekalipun tidak diizini oleh orangtuanya.

 

Bila orang-orang kafir sudah memasuki daerah kita, kaum muslimin, maka jihad hukumnya fardu ain bagi segenap penduduk daerah itu: Maksudnya, seluruh penduduk wajib ain mengadakan pembelaan sedapat mungkin.

 

Pembelaan ada dua tingkatan:

 

Pertama, dalam keadaan yang memungkinkan, penduduk di situ berkumpul menjadi satu serta mengadakan persiapan perang. Maka, dalam situasi seperti ini, seluruh penduduk wajib mengadakan pembelaan menurut kekuatan masing-masing, termasuk juga orang yang semestinya tidak terkena kewajiban jihad, misalnya orang fakir, anakanak, orang yang masih mempunyai utang, budak dan wanita yang mempunya kekuatan, yang kesemuanya tanpa menunggu izin dari orang-orang yang tersebut di atas (orangtua, pemiutang dan seterusnya).

 

Tanpa izin dari mereka dalam kondisi seperti ini bisa diampuni, karena menghadapi perkara baru yang tiada alasan lagi untuk dibiarkan.

 

Kedua, dalam keadaan penduduk telah terkepung oleh orang-orang kafir dan mereka tidak mungkin berkumpul serta mengadakan persiapan perang. Karena itu, barangsiapa diserang oleh satu orang kafir atau lebih dan mempunyai keyakinan bahwa bila ia tertangkap akan dibunuh, maka ia wajib mengadakan pembelaan terhadap dirinya menurut kemampuan, sekalipun ia tidak termasuk orang yang terkena kewajiban jihad, karena bagi orang Islam ada larangan menyerah kepada orang kafir.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila tidak mungkin mengadakan persiapan perang dan ia memperkirakan bisa ditahan atau dibunuh, maka baginya boleh mengadakan perlawanan dan boleh menyerah, bila ia berkeyakinan bahwa bila menolak menyerahkan diri, maka ia akan dibunuh dan yakin pula bahwa kaum wanita akan aman dari pemerkosaan bila sampai tertangkap, Kalau tidak berkeyakinan tentang dua hal ini, maka wajib mengadakan jihad.

 

Karena itu, barangsiapa berkeyakinan atau berprasangka bahwa bila dirinya ditangkap pasti dibunuh, maka ia dilarang menyerahkan diri, sebagaimana keterangan yang telah lewat.

 

Bila orang kafir menawan orang Islam, maka bagi setiap muslim yang mampu melepaskannya -jika bisa diharapkan kelepasannya- wajib untuk bangkit menghadapi orang-orang kafir itu.

 

Apabila seorang muslim berkata kepada orang kafir: “Lepaskanlah tawananmu, maka aku melepaskan sekian,” lalu ia melepaskannya, maka si muslim wajib membayar tebusan itu. Selanjutnya, ia tidak boleh minta ganti kepada orang yang terlepas tersebut, kecuali bilaia telah memberinya izin memberikan tebusan dirinya, maka muslim tersebut boleh meminta ganti, sekalipun penebus tidak mensyaratkan ada permintaan ganti.

 

Jihad fardu ain bagi orang yang bertempat tinggal di dalam radius sejauh perjalanan qashar salat dari daerah yang dimasuki, sekalipun penduduk daerah itu sendiri sudah mencukupi, sebab ia dihukumi sebagaimana penduduk daerah itu.

 

Fardu ain juga bagi orang yang berada di luar jarak perjalanan gashar salat, jika penduduk daerah dan orang-orang yang berada di sekeliling daerah belum mencukupi.

 

Maka, jihad menjadi fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak perjalanan gashar salat, dan fardu kifayah bagi orang yang lebih jauh dari jarak tersebut.

 

Haram bagi orang yang terkena kefarduan jihad, berpaling dari barisan kaum muslimin ketika terjadi pertempuran dengan barisan musuh, sekalipun ia memperkirakan kemungkinan besar dirinya akan terbunuh bila masih berada di tempat, sebab Rasulullah saw. menganggap lan dari barisan perang, adalah salah satu dari tujuh dosa besar yang merusakkan amal kebaikan.

 

Apabila senjatanya hilang dan memungkinkan menyerang musuh dengan melempar batu, maka ia tidak boleh keluar dari barisan. Dalam masalah iri terdapat pertentangan hukumnya.

 

Sebagian ulama memantapi, bahwa apabila ia memperkirakan kemungkinan besar bila ia masih tetap berada di barisan akan terbunuh tanpa dapat membunuh dan melumpuhkan musuh, maka ia wajib lari dari barisan.

 

(Keharaman tersebut di atas), apabila jumlah musuh tidak melebitu dua kali lipat jumlah tentara kita. Sebagai dasarnya, adalah ayat Alqur-an. :

 

Hikmah diwajibkan tabah dalam menghadapi musuh yang jumlahnya dua kali lipat, bahwa orang muslim itu berperang atas dua kebaikan, yaitu mati syahid atau menang dengan memperoleh harta rampasan perang, sedang orang kafir berperang hanya untuk memperoleh kemenangan dunia.

 

Adapun bila jumlah musuh melebihu dua kali lipat, misalnya 201 melawan 100, maka diperbolehkan berpaling dari barisan perang secara mutlak.

 

Segolongan ulama Mujtahid mengharamkan secara mutlak melarikan diri dari barisan perang, bila jumlah tentara muslimin mencapai 12.000 orang, sebab disebutkan dalam suatu hadis: “Dua belas ribu tentara tidak akan dikalahkan dari yang sedikit: Ayat Alqur-an di atas di-takhshish oleh hadis ini.

 

Pendapat Mujtahidin di atas dijawab, bahwa yang dimaksudkan dengan hadis ini adalah pada galibnya bilangan besar dapat mengalahkannya: karena itu: tiada petunjuk dalam hadis, bahwa melarikan diri dan barisan perang hukumnya haram atau tidak haram, sebagaimana hal itu sudah jelas.

 

Keharaman berpaling dani barisan perang di atas, bilamana kita (pasukan muslimin) sedang menyerang musuh, kecuali berpalingnya untuk siasat perang atau menggabungkan diri dengan pasukan muslimin yang lain, guna meminta bantuannya untuk melawan musuh: sekalipun pasukan itu Jauh tempatnya.

 

Dengan cara penawaran, semua anak turun dan budak-budak -sekalipun budak-budak ini muslim-, menjadi budak, sebagaimana dijadikan budak pula orang kafir harbi yang dikalahkan oleh harbi untuk dijadikan budak. Artinya Dengan keadaan penawaran itu sendiri, maka mereka semua menjadi budak kita dan diperlakukan sebagaimana harta ghanimah lainnya.

 

Termasuk dalam arti “anak turun (anak cucu)”, adalah anak-anak kecil dan para wanita.

 

Tidaklah dikenakan had, jika penjarah, ayah atau tuannya menjimak wanita amat jarahan, sekalipun sebelum diadakan pemilihan pemilikan, sebab ada syubhat pemilikan terhadap amat itu.

 

Orang yang menjimaknya harus ditakzir bila mengetahui keharaman perbuatan yang dilakukan, (tetapi) tidak bisa diterapkan pada orang bodoh bila kebodohannya dirasa uzur, lantaran masih muda keislamannya atau hidupnya jauh dari ulama.

 

Cabang:

 

Tawanan yang belum balig dihukumi Islam secara lahur dan batin, lantaran mengikuti penawan yang Islam: sekalipun penawanan tersebut berserikat dengan orang kafir, dan adakalanya lantaran mengikuti salah satu ayah/ibunya, sekalipun Islamnya telah terjadi sebelum pengandungan anak itu.

 

Lalu, bila orang yang dihukumi keislamannya tersebut berikrar kafir setelah ia balig, maka sejak inilah dihukumi murtad.

 

Bagi imam (kepala negara) atau Amir (panglima tinggi angkatan bersenjata) mempunya hak khiyar di dalam memperlakukan tawanan yang kamil (balig, berakal sehat, laki-laki dan merdeka) antara empat perkara:

 

Membunuh orang dengan cara memenggal kepalanya, bukan cara lainnya:

 

Membebaskannya:

 

Tukar-menukar tawanan perang atau meminta menebus dengan harta . -maka harta seperti ini wajib menjadi seperlima-, atau meminta mengembalikan persenjataan orang Islam.

 

Senjata mereka bisa ditebus dengan mengembalikan tawanan kita yang pada mereka -menurut pendapat Al-Aujah-, bukan dengan memberikan harta kepada mereka,

 

Memperlakukan mereka sebagai budak. Untuk itu, imam atau wakilnya harus memperlakukan cara mana saja yang menurut ijtihadnya lebih menguntungkan (bermanfaat) buat kaum muslimin.

 

Barangsiapa yang membunuh tawanan yang tidak kamil, maka ia wajib menanggung harganya, atau kalau membunuh tawanan yang kamil sebelum imam menentukan pilihan penuliknya, maka ia harus ditakzir saja.

 

Orang kafir kamil yang kita tawan, bila; a memeluk Islam, maka dapat memelihara nyawanya dan dibunuh, sebab tersebut di dalam hadis Bukhari-Muslim: “Aku diperintah . memerangi manusia sekalian, sehingga mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah: Maka bila mereka telah mengucapkan persaksian itu, adalah berarti memelihara dariku akan nyawanyawa dan harta mereka, kecuali dengan cara yang sebenarnya (misalnya karena membunuh setelah memeluk Islam dan hartanya dipungut sebagai zakat).

 

Pengarang di sini tidak menyebutkan “dan dapat memelihara hartanya”, sebab keislamannya setelah ditawan tidak dapat memelihara hartanya bila imam memilih agar dinnya dijadikan budak: Tidak juga menyebutkan. “anak-anak kecilnya”, sebab telah diketahui bahwa keislamannya mereka mengikuti orangtuanya sekalipun mereka menjadi budak ketika berada di daerah musuh.

 

Apabila mereka mengikuti keislaman orangtuanya dan mereka adalah anak-anak yang merdeka, maka mereka tidak boleh dijadikan budak, sebab keterhalangan pembudakari. terhadap orang yang keislamannya terjadi dalam keadaan dirinya merdeka.

 

Dan segi ini, para ulama sependapat, bahwa orang muslim merdeka yang berada di daerah musuh adalah tidak boleh ditawan dan dijadikan budak. Atau kalau anak-anak yang mengIkuti keislaman salah satu orangtuanya tadi budak, maka status kebudakannya tidak menjadi rusak.

 

Dari segi ini, apabila kafir harbi memiliki budak kanak-kanak yang dihukumi Islam lantaran mengikuti salah satu orangtuanya, adalah boleh ditawan dan dijadikan budak.

 

(Keislamannya musuh yang tere tawan adalah menyelamatkan dam dibunuh) dan imam atau wakilnya masih mempunyai hak khiyar mengenai pembebasan, penebusan atau menjadikannya budak.

 

Masalah diperbolehkan penebusan dengan maksud masih tetap tinggal di daerah musuh, adalah jika orang itu masih mempunyai keluarga di sana, yang nyawa dan agamanya terjamin dalam hidup di tengah-tengah keluarganya.

 

Masuk Islam orang kafir sebelum kita (kaum muslimin) turun tangan menawannya, adalah bisa menyelamatkan dirinya dari semua yang disebut di atas dan menyelamatkan seluruh hartanya, baik yang berada di daerah kita maupun daerah musuh.

 

Demikian pula dapat menyelamatkan anak turunnya yang merdeka dan kecil serta yang gila ketika ditawan, dari pembudakan.

 

Tidak bisa menyelamatkan istrinya: Karena itu, bila istrinya ditawan, maka ikatan pernikahannya terputus seketika, sekalipun pernah dijimak.

 

Apabila sepasang suami-istri atau salah satunya tertawan, maka akad nikahnya fasakh, karena berdasarkan hadis riwayat Muslim: “Sesungguhnya setelah para sahabat enggan menjimak para tawanan wanita yang bersuami di Perang Authas, maka turunlah ayat: ‘Dan (diharamkan mengawini) wanita-wanita yang telah bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki’. (Q.S. An-Nisa’: 24)”, Maka yang diharamkan oleh Allah swt. adalah wanita-wanita yang bersuami, , kecuali warita-waruta tawanan.

 

Cabang:

 

Apabila tawanan perang yang telah dijadikan budak mendakwakan, bahwa dirinya telah memeluk Islam sebelum tertawan, maka tidak dapat diterima mengenai pembudakan dirinya, dan dihukumi muslim semenjak itu, serta dakwaannya bisa ditetapkan berdasarkan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan.

 

Apabila seorang tawanan mendakwa bahwa dirinya muslim (sebelum ditawan), jikaia terambil dari daerah kita, maka dapat dibenarkan dengan sumpahnya, kalau diambil dari daerah musuh, maka tidak bisa.

 

Apabila seorang kafir harbi telah dijadikan budak dan ia masih mempunyai tanggungan utang kepada seorang muslim atau dzimmi, maka tanggungannya tidak menjadi gugur, dan menjadi gugur bila utangnya kepada kafir harbi.

 

Apabila kafir harbi berutang kepada kafir harbi atau lainya, atau membeli sesuatu darinya, kemudian kedua belah pihak atau salah satunya memeluk Islam, maka tidak gugur, sebab ketetapannya dengan akad yang sah.

 

Apabila seorang kafir harbi rusakkan atau menggasab barang milik kafir harbi lainnya, lalu keduaduanya masuk Islam atau yang merusakkan saja yang memeluk Islam, maka tiada kewajiban menanggung, sebab ia tidak mengikat suatu akad yang akibat hukumnya dapat berjalan terus, dan karena kafir harbi bila merusakkan sesuatu milik orang muslim atau dzimmi, adalah tidak wajib menanggung: maka lebihlebih harta milik kafir harbi.

 

Cabang:

 

Apabila kafir harbi mengalahkan pemiutang, sayid, istri atau suaminya (yang kesemuanya juga kafir), maka ia dapat memiliki kafir yang dikalahkan dan gugurlah utangnya, hulanglah sifat budak yang ada pada dirinya dan tanggallah ikatan nikahnya, sekalipun kafir yang dikalahkan tersebut kamil (laki-laki merdeka, balig dan berakal sehat).

 

Demikian juga, bila yang mengalahkan tersebut adalah orangtua atau anak, tetapi ia tidak dapat menjual orang yang dikalahkan (orangtua atau anaknya), sebab mereka merdeka setelah di tangannya, Lain halnya dengan pendapat As-Samhudi.

 

Penting:

 

Guru kita berkata di dalam Syarhul Minhaj: Benar-benar telah banyak perselisihan orang-orang dan karangan mereka yang berkaitan dengan warita-wanita atau laki-laki budak yang diperoleh dari Romawi dan India.

 

Hasil kesimpulan pendapat Muktamad dalam mazhab kita: Orang yang diketahui bahwa dirinya termasuk ghanimah yang belum dibagi lima dan belum dibagi, adalah dibeli dan segala macam pentasarufan terhadapnya, serta bisa jadi penawan pertama yang menjualnya adalah seorang kafir harbi atau dzimmi sebab harta gharnimah yang berada di tangan harbi/dzimmi tidak terkena kewajiban membagi menjadi lima. Kasus seperti ini banyak sekali terjadi, bukan hal yang langka.

 

Apabila telah dengan jelas diketahui bahwa yang mengambil tawanan tersebut adalah orang muslim, dengan cara semacam dicuri atau dijambret, maka tidak boleh dibeli, kecuali menurut pendapat (Al-Wajhu) yang daif, yang menyatakan bahwa yang tertawan itu tidak boleh dibagi lima.

 

Maka menurut pendapat segolongan ulama Mutakaddimin: “Menurut lahir Alqur-an, Alhadis dan ijmak, adalah terlarang menjimak waruta tawanan yang diperoleh dari Romawi dan India, kecuali imam telah mengangkat pejabat pembagi ghanimah dan ia telah bekerja dengan adil”, adalah nyata diterapkan budak wanita yang diketahui bahwa penawannya adalah orang Islam serta Amir mereka sebelum pengambilan ghanimah tidak berkata: “Barangsiapa yang menganbil sesuatu maka itu menjadi miliknya”, sebab perkataan Amir seperti itu menurut imam tiga (Hanafi, Maliki dan Hambali rhm.) adalah diperbolehkan, Begitu juga di dalam suatu perkataan Syafi’i rhm.

 

Bahkan At-Tajul Fazari mempunyai praduga, bahwa imam (kepala negara) tidak berkewajiban membagi harta ghanimah dan membagi limakan, dan ia boleh menghalangi sebagian dari para pengambil ghanimah (ghanimin), tetapi pendapat ini ditolak oleh pengarang kitab ini dan lainnya, lantaran menyalahi ijmak.

 

Jalan keluar agar ghanimah tidak, dibagi menajdi lima bagi orang yang mendapatkannya: Mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya bila diketahui (lalu setelah ia dapat membelinya dengan akad baru dan setelah itu halal dijimak), Bila pemiliknya tidak diketahui, maka diserahkan kepada qadhi, sebagaimana harta yang tersia-sia (mal dhai’), yaitu yang tidak bisa diharapkan pemiliknya. Jika pemiliknya tidak bisa diharapkan, maka menjadi milik Baitulmal, Karena itu, barangsiapa yang mempunyai hak atas harta itu dan Baitulmal, bolehlah mengambilnya Demikian menurut pendapat Al-Muktamad.

 

Dari situ, maka pendapat yang Muktamad seperti yang telah lewat, bahwa barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dari Baitulmal, yang memang ikut berhak padanya, maka halal mengambilnya, sekalipun orangorang lain dizaliminya.

 

Memang, tapi untuk kewarakan bagi orang yang menjimak wanita amat seperti itu, hendaklah membelinya kembali dan wakal Baitulmal, karena pada galibnya belum dibagi lima dan harapan untuk mengetahui pemiliknya sudah tidak ada lagi: yang karenanya menyadi milik Baitulmal. -Selesai perkataan Guru kita-.

 

Penyempurna:

 

Budak milik kafir harbi apabila melarikan diri, lalu memeluk Islam sekalipun sebelum terjadi gencatan senjata, atau masuk Islam kemudian melankan sebelum gencatan senjata, adalah dihukumi merdeka, sekalipun ia tidak hijrah ke daerah kita.

 

Sebaliknya, tidak bisa dihukumi merdeka yaitu apabila ia memeluk Islam setelah gencatan senjata, lalu melarikan diri, tetapi tidak bisa dikembalikan lagi kepada sayidnya.

 

Kemudian, bila sayidnya tidak mau memerdekakannya, maka imam wajib menjualnya kepada orang muslim dan menyerahkan kepada sayidnya sebesar harganya yang diambilkan dari jatah kemaslahatan muslimin, lalu imam memerdekakannya atas nama kaum muslimin serta wala’ mereka bersama.

 

Bila setelah terjadi gencatan senjata dan di situ disyaratkan ada pengembalian siapa pun yang datang kepada kita dari mereka (orang-orang kafir), datang kepada kita seorang mukalaf yang muslim, maka jika di daerah musuh tidak mempunyai keluarga yang memberikan koamanan kepada mukalaf tersebut, maka ia tidak boleh dikembalikan kepada mereka, Kalau mempunyai, maka atas permintaan mereka, bisa dikembalikan dengan melepaskan antara dirinya dan orang yang menuntut, tanpa dipaksa kembali bersama-sama yang meminta (menuntut) nya.

 

Demikian pula, tidak dikembalikan anak kecil dan orang gila, baik mengucapkan syahadat atau tidak: begitu juga dengan wanita dan banci, mereka tidak boleh dikembalikan kepada orang-orang kafir, sekalipun kepada semacam ayah, sebab kelemahan mereka semua.

 

Mereka wajib membayar kepada kita harga budak yang murtad, bukan orang merdeka yang murtad.

Lafal Al-Qadha’ dibaca mad (panjang), yang artinya “menghukumi sesama menusia”.

 

Dasar hukumnya sebelum ijmak adalah firman Allah swt.: “Dan hendaklah kalian menghukumi di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (Q.S. AlMaidah: 49), dan firman-Nya: “maka hukumlah di antara mereka dengan adil.” (Q.S. Al-Maidah: 42).

 

Beberapa hadis, misalnya hadis riwayat Bukhani-Muslim: “Apabila seorang hakim hendak memutuskan suatu hukum, lalu berijtihad dan ijtihadnya benar. maka ia memperoleh dua pahala, dan bila hendak menghukumi, lalu berijtihad dan salah dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala.

 

Dalam riwayat yang lain sebagai ganti dari kalimat pertama tersebutkan: “.., maka ia memperoleh sepuluh pahala.” ,

 

Imam An-Nawawi berkata di dalam Syarah Muslim: Kaum Muslimin sudah berijmak, bahwa yang dimaksud dengan hakim di sini adalah hakim yang alim lagi pula mujtahid. Adapun hakim yang tidak begitu, maka ia berdosa dalam semua putusan hukumnya sekalipun benar, sebab kebenarannya hanyalah ketetapan saja.”

 

Tersebut di dalam hadis sahih: “Qadhi itu ada tiga macam, satu masuk ke surga dan yang dua masuk ke neraka.”

 

Yang pertama ditafsiri dengan qadhi yang mengetahui kebenaran, lalu menghukumi dengan Yang benar itu, sedang dua yang lainnya adalah qadhi yang tahu kebenaran dan menyimpang darinya, dan qadhi yang menghukumi dengan kebodohannya.

 

Mengenai hadis yang memberikan peringatan terhadap jabatan qadhi, misalnya: “Barangsiapa diangkat menjadi qadhi, maka ia betul-betul disembelih tanpa menggunakan pisau”, adalah dihubungkan dengan arti besar bahaya di dalam jabatan itu, atau kepada orang yang makruh/ haram memegang jabatan itu.

 

Penerimaan jabatan sebagai qadhi oleh beberapa orang yang patut menjabatnya dalam suatu wilayah keqadhian adalah fardu kifayah, bahkan termasuk golongan fardu yang utama, sehingga Al-Ghazali : berkata, bahwa menjabat menjadi qadhi adalah lebih utama daripada berjihad. Karena itu, jika mereka yang patut menjabat menjadi qadhi kesemuanya menolak, maka berdosa semua.

 

Adapun pengangkatan oleh imam/ wakilnya terhadap seorang di antara mereka yang patut menjabatnya dalam-satu kawasan wilayah, adalah fardu ain bagi pemegang kekuasaan (Dzi Syaukhah).

 

Dalam setiap radius jarak Adwa tidak boleh kosong dari seorang qadhi (jarak Adwa adalah suatu jarak bila seseorang berangkat dengan menaiki unta yang bermuatan sejak fajar terbit dan rumahnya menuju ke tempat qadhi, bisa kembali lagy ke rumahnya pada hart Itu juga setelah secukupnya mengajukan dakwaan, jawaban, pengemukakan bayinah yang ada di tempat dan penyidikannya)

 

Cabang:

 

(Untuk menjabat sebagus qadhi) harus ada pengangkatan dar imam atau orang yang diben ian untuk mengangkat, sekalipun untuk seseorang yang dirinya terkena hukum fardu Ain menjabat sebagai qadhi.

 

Apabila tidak ada imam, maka pengangkatannya dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi (yaitu semacam anggota DPR dar MPR) di daerah setempat atau sebagian dari mereka atas kerelaan anggota yang lain.

 

Apabila qadhi diangkat oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi salah satu penjuru dani suatu daerah, maka ia sah untuk qadhinya penjuru tersebut, bukan penjuru yang lain.

 

Di antara pernyataan pengangkatan yang sharih adalah: “Aku mengangkatmu sebagai qadhi/ Aku serahkan kepadamu jabatan qadhi”. Sedang di antara pernyataan kinayahnya: Aku berpegang/berpedoman kepadamu dalam masalah keqadhian.

 

Disyaratkan ada qabul secara lafal: demikian pula disyaratkan dengan seketika bagi orang yang berada di tempat dan ketika berita pengangkatan dirinya diterima bagi orang yang tidak berada di tempat. Segolongan ulama Muhaqqiqun berkata: Syaratnya adalah tidak ada penolakan jabatan.

 

Barangsiapa dirinya terkena hukum fardu ain menjabat sebagai qadhi di suatu wilayah, maka ia wajib menerimanya, Demikian pula wajib menuntutnya, sekalipun dengan memakan biaya dan mengkhawatirkan dirinya akan menyimpang.

 

Bila dirinya tidak terkena hukum fardu ain di situ, maka bagi Mafdhul (orang yang di bawah lebih utama) menyanggupi dan memintanya bila yang lebih utama menjabat menolak Haram meminta jabatan qadhi dengan memecat orang yang patut menjabatnya, sekalipun yang terpecat itu Mafdhul.

 

Syarat qadhi adalah orang yang dapat memegang syahadah (persaksian), Yaitu laki-laki muslim, mukalaf, adil, merdeka, dapat mendengar -sekalipun dengan dikeraskan suararryadan yang dapat melihat.

 

Karena itu, orang yang tidak memenuhi syarat di atas tidak dapat diangkat menjadi qadhi.

 

Orang yang buta adalah orang yang melihat sesuatu, tetapi tidak dapat membedakan apa dan siapanya (samar), sekalipun dekat. Lain halnya orang yang dapat membedakan rupa bila berada di jarak dekat dengan yang dilihat, yaitu sekira dapat mengenalinya, sekalipun dengan usaha sungguh dan meneliti yang cukup lama, sekalipun tidak dapat membaca tulisan.

 

Ada pendapat yang dipilih mengenai kesahan pengangkatan qadhi terhadap orang buta.

 

(Disyaratkan lagi) mumpuni untuk memegang jabatan qadhi. Karena itu, pelupa dan orang yang rusak pikirannya sebab tua atau sakit, adalah tidak dapat diangkat menyadi qadhi.

 

Juga disyaratkan harus seorang mujtahid. Karena itu, tidak sah mengangkat orang yang bodoh dan orang yang taklid, sekalipun hafal terhadap mazhab imamnya, sebab ketidakmampuan seorang mugallid memecahkan hal-hal yang rumit di dalam mazhabnya sendiri.

 

Mujtahid adalah: Orang yang mengetahui hukum-hukum Alqur-an, dari segi Am dan Khashnya, mana yang Mujmal dan yang Mubayyan, mana yang Mutlak dan Mugayyad, Nash dan Zhahir, mana yang Nasikh dan yang Mansukh, serta yang Muhkam dan mana yang Mutasyabih

 

Mengetahui hukum-hukum hadis dan segi Mutawatir, yaitu hadis yang banyak jalur nwayatnya, Ahad, yaitu hadis yang bukan Mutawatir, yang Muttashul, -yaitu hadis yang rawinya bersambung sampai pada Rasulullah saw. dan ini disebut Marfu’, atau bersambung sampai para sahabat dan iru berstatus Mauquf-, dan yang Mursal, -yaitu ucapan tabiin: “Rasulullah saw. bersabda begiru atau berbuat begini”-.

 

Mengetahui keadaan rawi hadis dari segi yang kuat dan lemahnya.

 

Adapun hadis yang mencapai derajat Mutawatir dan para ulama salaf sepakat untuk menerimanya, adalah tidak perlu dibahas lagi keadilan perawinya.

 

Seorang Mujtalud cukup berpegang dengan pen-ta’dil-an (penilaian bahwa perawi itu adil) yang telah diberikan oleh ahli hadis, yang mana Mujtahid tersebut mengetahui kesahan mazhab yang diikuti oleh ahli hadis tersebut dalam masalah Tajrih (penilaian ketidakadilan perawi) dan ta’dil.

 

Di saat menemukan dalil yang bertentangan (Ta’arudh), maka dimenangkan’/didahulukan dalil yang Khash atas Am, dalil Muqayad atas Mutlak, dalil Nash atas Zhahir, dalil Muhkam atas Mutasyabih, Nasikh/ Muttashil/Qawi atas kebalikannya.

 

Hukum-hukum seperti itu yang dimaksud tidaklah cukup hanya dengan 500 ayat Alqur-an dan 500 hadis, Jain halnya dengan pendapat yang menduga kecukupannya.

 

Mengetahui kias dengan tiga macam: Kias Jali, yaitu sesuatu yang dapat dipastikan tidak ada perbedaan antara Asal dan furuk (cabang), misalnya memukul orangtua djkiaskan dengan berkata kasar kepadanya, Kias Musawi, Yaitu kias yang di situ jauh adanya pembeda, misalnya membakar harta anak yatim dikiaskan dengan memakannya, dan Kias Adwan, Yaitu kias yang tidak jauh di situ ada pembeda, misalnya jagung dikiaskan dengan gandum dalam masalah riba, samasama bentuk makanan.

 

(Syarat Mujtahud lagi) mengetahui hahasa Arab dari segi Balaghah, nahwu, Sharaf dan Lughat.

 

Mengetaui kaul-kaul ulama dari kalangan para sahabat dan sesudahnya, sekalipun dalam masalah pembicaraan yang berkaitan dengan keqadhian saja, agar pendapatnya nanti tidak bertentangan dengan mereka.

 

Ibnush Shalah berkata: Terkumpulnya semua syarat di atas hanyalah bagi Mujtahid Mutlak yang akan berfatwa dalam seluruh Bab Fikih.

 

Adapun Mujtahid Muqayad yang tidak melewati dari mazhab imamnya, maka dia hanya disyaratkan mengetahui kaidah-kaidah imam mazhabnya, dan hendaknya di dalam menghadapi kaidah-kaidah tersebut dia memperhatikan hal-hal yang telah diperhatikan oleh Mujtahid Mutlak dalam menghadapi undang-undang syarak. Hubungan Mujtahid Muqayad terhadap Mujtahid Mutlaknya adalah sebagaimana hubungan Mujtahid Mutlak terhadap nash-nash syarak.

 

Karena itu, bagi Mujtahid Muqayad tidak boleh menyimpang dari nash: imam mazhabnya, sebagaimana Mujtahid Mutlak tidak diperbolehkan menyimpang dari nash syarak. Selesai.

 

Kemudian, bila sultan walaupun kafir atau Dzu Syaukhah selain sultan pada suatu daerah, sebagaimana suatu daerah berada di tangan Dzu Syaukah mengangkat qadhi yang bukan ahlinya, misalnya Muqallid, bodoh atau fasik, sedangkan ia mengetahui kefasikannya, atau dengan memperkirakan keadilannya, di mana bila ia mengetahui kefasikannya pasti tidak mengangkatnya, maka menurut Guru kita adalah hukum yang diputuskan oleh qadhi seperti itu tidak berlaku, dan demikian pula bila kefasikannya bertambah atau mengerjakan kefasikan yang lainnya, di siri masih diragukan masalahnya. Selesai.

 

Sebagian fukaha ada yang memantapi, bahwa pengangkatan terhadap qadhi yang fasik adalah berjalan terus, sekalipun Sultan/Dzu Syaukah yang mengangkatnya tidak mengetahui kefasikannya. Begitu juga berjalan terus pengangkatan yang dilakukan oleh Sultan/Dzu Syaukah terhadap budak, wanita dan orang buta, sekalipun di daerah tersebut terdapat seorang Mujtahid yang adil, menurut pendapat Muktamad.

 

Karena itu, sebab darurat agar kemaslahatan orang banyak tidak terbengkalai, maka putusan hukum qadhi yang diangkat tersebut bisa berlaku, sekalipun banyak ulama yang menentangnya dalam kaitan dengan qadhi fasik, dan secara panjang-lebar mereka menguraikannya, serta dibenarkan oleh Az-Zarkasyi.

 

Guru kita berkata: Berlakunya pengangkatan yang dilakukan oleh Sultan/Dzu Syaukah terhadap Muqallid terhadap kaitannya adalah bila di daerah situ ada seorang Mujtahud, (tetapi) bila di situ terdapat seorang Mujtahid, maka pengangkatan terhadap gadlu yang Muaallid bisa berlaku, sekalipun yang melaksanakan (melantik) adalah bukan Dzu Syaukah, Demikian pula pelantikan terhadap qadhi fasik Bila di situ terdapat orang yang adil, maka disyaratkan pengangkatannya oleh Dzu Syaukah dan kalau tidak terdapat, maka tidak disyaratkan.

 

Rincian di atas sebagaimana yang diambil dari ucapan Ibnur Rif’ah: Yang benar, bahwa apabila di situ tidak terdapat orang yang patut menjabat sebagai qadhi, maka secara pasti adalah sah pengangkatan terhadap orang yang tidak patut.

 

Menurut pendapat Al-Aujah: Qadhi yang terangkat karena darurat, adalah bisa menghukumi berdasarkan pengetahuannya, berhak memelihara harta anak yatim dan menulis surat kepada qadhi lain, Lain halnya menurut pendapat Al-Hadhrami.

 

Segolongan ulama Mutaakhirin menjelaskan, bahwa qadhi darurat itu dalam segala putusan hukumnya adalah harus berdasarkan pedoman, dan tidak bisa diterima ucapannya: “Kuputuskan hukumnya begini”, tanpa menyebutkan dasar yang digunakan memutuskan.

 

Apabila si terdakwa memohon kepada qadhi untuk dijelaskan siapa para saksi yang menguatkan dakwaan atas dirinya, maka qadhi wajib menjelaskan semua, kalau tidak, maka putusan yang diberikan tidak berlaku.

 

Cabang:

 

Sunah bagi imam (kepala negara) apabila mengangkat seorang qadhi, hendaknya mengizinkan pula untuk mengangkat pembantunya.

 

Bila pengangkatan oleh imam diberikan secara mutlak, maka qadhi yang terangkat diperbolehkan mengangkat pembantu untuk menangani urusan-urusan yang dirinya tidak mampu menanganinya, bukan urusan selain itu, menurut pendapat Al-Ashah.

 

Penting:

 

Qadhi yang Mujtahid bisa menghukumi berdasarkan ijtihadnya sendin, atau berdasarkan ijtihad imam yang ditaklidi jika ia seorang muqallid.

 

Kesesuaian pembicaraan Guru kita, bahwa qadhi mugallid tidak boleh memutuskan hukum berdasarkan selain mazhab yang ditaklidi. Imam Al-Mawardi dan lainnya berkata: Boleh.

 

Ibnu Abdis Salam, At-Adzra’i dan lainnya mengompromikan dua perdapat di atas, dengan menerapkan pendapat pertama kepada qadhi yang belum sampai pada derajat Mujtahid di dalam mazhab imamnya: dengan kata lain, bahwa dia adalah muqallid murri yang tidak mampu meneliti dalam mazhab yang diikuti, sedang pendapat kedua diterapkan kepada qadhi yang mampu untuk melakukan hal tersebut.

 

Ibnur Rif’ah menukil dari Ashhabusy Syafi’i bahwa seorang hakim . mugallid apabila nyata-nyata hukum yang diputuskan itu menyelisihi nash imam mazhabnya, maka hukumnya rusak. Pendapat ini cocok dengan pendapat An-Nawawi di dalam ArRaudhah, begitu juga oleh As-Subki.

 

Al-Ghazali berkata: Hukumnya tidak rusak: pendapat ini diikuti oleh Ar-Rafi’i dalam pembahasan di tempat yang lain dan oleh Guru kita di dalam sebagian kitab-kitab beliau.

 

Faedah: Bermazhab

 

Apabila seorang awam (‘Ami) berpegang pada suatu mazhab tertentu, maka ia wajib bersesuaikan dengannya. Kalau tidak berpegangan dengannya, maka ia wajib bermazhab dengan salah satu dari keempat mazhab, bukan lainnya.

 

Kemudian, sekalipun telah mengamalkan satu mazhab, baginya boleh pindah ke mazhab yang lainnya dalam secara totalitas atau beberapa masalah saja, dengan syarat tidak mengambil mana yang ringan darisetiap mazhab, sebab dengan cara – memilih seperti ini dihukumi fasik menurut-pendapat Al-Aujah.

 

Tersebut di dalam kitab Al-Khadim (milik Az-Zarkasyi) yang dinukil dari sebagian ulama yang lebih berhati-hati: Yang lebih utama bagi orang yang mempunyai penyakit was-was, adalah mengambil pendapat yang lebih ringan dan rukhsah dari setiap mazhab, agar dengan begitu penyakitnya tidak bertambah parah dan tidak keluar dari aturan syarak, sedang bagi yang tidak waswas, adalah mengambil pendapat yang berat, agar tidak keluar dari status diperbolehkan.

 

(Syarat untuk berpindah mazhab lagi) tidak mengumpulkan dua kaul (talfiq) satu. hakikat ibadahnya, di mana kedua kaul (mazhab) tidak sependapat mengenai hukumnya (misalnya, taklid kepada Imam Syafi’i dalam mengusap sebagian kepala ketika berwudu dan taklid kepada Imam Malik mengenai kesucian anjing, untuk satu salat).

 

Tersebut di dalam Fatawi Guru kita: Barangsiapa bertaklid kepada seorang imam mazhab dalam satu masalah, maka baginya diwajibkan mengikuti imam tersebut di dalam masalah tersebut dan hal-hal yang bersangkut-paut dengan masalah itu.

 

Karena itu, orang yang berpaling dari Ainul Ka’bah dan mengerjakan salat dengan menghadap arah (jihat) Ka’bah karena mengikuti Abu Hanifah, maka di dalam berwudu orang tersebut wajib mengusap kepala seukur ubun-ubun, setelah berwudu badan orang tersebut tidak pendarahan dan sebagainya (yaitu syarat-syarat sah salat dan yang membatalkannya menurut Abu Hanifah), Kalau mengikuti aturan di atas kesepakatan dua mazhab. Karena itu, hendaknya diperhatikan hal ini! Selesai.

 

Pendapat seperti itu dicocoki oleh Al-Allamah Abdullah Abu Makhramah Al-Adani, dan beliau mbnambahi dengan perkataannya: Syarat yang telah kami tuturkan tersebut benar-benar telah dijelaskan tidak hanya seorang ulama saja dari kalangan Muhqqiqin Ahli Ushul Fikih dan Fikih: Di antaranya: Ibnu Daqiqul ‘Id dan As-Subuki, dan di dalam At-Tamhid, An-Nawawi menukil dari Al-Iraqi, Aku berkata, bahwa Ar-Rafi’i menukilnya dari. Al-Qadhi Husain di dalam kitab Al-Aziz. Selesai.

 

Guru kita Al-Muhaqqiq Ibnu Ziyad berkata di dalam Fatawinya: Sesungguhnya apa yang kami pahami dari contoh-contoh yang diberikan fukaha, bahwa penggabungan dua mazhab yang merusakkan sistem taklid itu hanya dalam penerapannya pada satu qadhiyah saja (misalnya wudu satu qadiyah dan talat satu qadhiyah)

 

Di antara contoh-contoh yang mereka kemukakan: Apabila seorang laki-laki berwudu dan menyentuh kulit wanita yang bukan mahram karena bertaklid kepada Abu Hanifah, lalu berbekam sebab bertaklid kepada Syafi’i, setelah itu mengerjakan salat, maka salatnya batal, sebab kedua imam tersebut sudah sama-sama menghukumi kebatalan wudu tersebut. Demikian pula bila ia berwudu, lalu memegang kulit wanita sebab taklid kepada Imam Malik, (tetapi) ketika berwudu ja tidak menggosok -karena taklid kepada Imam Syafi’i-, lalu mengerjakan salat, maka salatnya tidak sah, sebab kedua imam tersebut samasama menghukumi kebatalan thaharah seperti itu.

 

Lain halnya bila penggabungan dua mazhab dalam dua gadinyah, maka menurut yang lahir hal itu tidak mencacatkan (merusak ) taklid, misalnya orang yang berwudu dengan mengusap sebagian kepala (karena bertaklid kepada Imam Syafi’i), lalu mengerjakan salat dengan menghadap jihat (arah) kiblat -karena bertaklid kepada Abu Hanifah-, maka menurut pendapat yang lahur, salat orang tersebut tetap sah, sebab dalam menghukumi kebatalan wudu orang itu.

 

Karena perselisihan Imam Syafi’i dengan Imam Hanafi dalam hal wudu di atas yang berdikari sendinsendiri, tidaklah dapat dikatakan bahwa mereka berdua sepakat dalam kebatalan salat orang tersebut, sebab kami berpendapat: Kesepakatan ini adalah timbul dari penggabungan dua mazhab dalam dua qadhiyah (dua penerapan ibadah, yaitu wudu dengan salat), sedang yang kami pahanu bahwa hal seperti itu tidak merusak kesahan taklid.

 

Adapun yang semisal dengan itu adalah: Bila seseorang bertaklid kepada Imam Ahmad (mazhab Hambali) dalam masalah aurat, yaitu qubul dan dubur, dan (dalam berwudu)ia tidak berkumur, menyesap air ke dalam hidung dan membaca Basmalah yang semua ini menurut Imam Ahmad hukumnya wajib, maka menurut yang lahir bahwa salat yang dikerjakan oleh orang di atas adalah sah bila ia bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah aurat saja, sebab kedua imam (Syafi’i dan Ahmad bin Hambali) tidak sepakat atas kebatalan wudu orang tersebut, yang mana wudu itu satu qadhiyah, dan kesepakatan dua imam tersebut atas kebatalan salat tidaklah merusakkan taklidnya, sebab penggabungan dua mazhab di sim pada dua qadhiyah (wudu dan salat), di mana hal iri tidak merusak taklid, sebagaimana yang kami pahami dari contoh-contoh yang Dipaparkan mereka.

 

Sungguh aku telah melihat/mengetahu di dalam Fatawi Al-Bulqini Keterangan yang cocok, bahwa penggabungan dua mazhab dalam dua gadinyah adalah tidak merusak taklid -Selesai perkataan Ibnu Ziyad secara nngkas

 

Penyempurnaan:

 

Wajib bagi orang yang memerlukan mengetahui suatu hukum, untuk memohon fatwa orang alim yang adil lagi punya kepandaian berfatwa. Kemudian, bila menemukan dua orang ahh fatwa, maka jika ia mempunyai keyakinan bahwa salah satunya lebih alim, maka ia wajib mendahulukannya.

 

Imam Nawawi di dalam Ar-Raudhah berkata. Bagi Mufti dan pengamal di dalam mazhab kita, dalam masalah yang mempunyai beberapa wajah atau dua kaul, tanpa diperselisihkan lagi, bahwa ia tidak diperbolehkan berpegangan pada salah satu pendapat (kaul/wajah)tersebut tanpa meneliti terlebih dahulu, akan tetapi ia wajib membahas mana yang lebih rajih dengan semacam kelebihakhuran kaul/wajah tersebut, sekalipun dua kaul/wajah itu mulik satu imam Selesai.

 

Diperbolehkan dua orang mengangkat Muhakkam (orang yang dimintai memutuskan hukum) kepada seorang laki-laki yang mempunyai kecakapan memutuskan hukum, sekalipun bukan karena telah terjadi percekcokan, sebagaimana di dalam masalah nikah.

 

Bukan hanya orang tertentu yang ahli dalam kondisional saja Lain halnya dengan pendapat segolongan ulama Mutaakhkhirun. Pengangkatan tersebut sekalipun di situ terdapat seorang qadhi yang ahli, lan halnya dengan pendapat yang ada di dalam Ar-Raudhah.

 

Adapun orang yang tidak mempunyai keahlian, maka tidak boleh diangkat menjadi Muhakkam, bila di situ sudah ada seorang qadhi yang ahli. Kalau tidak terdapat, maka boleh mengangkatnya sekalipun dalam masalah rukah dan di situ terdapat seorang mujtahid, sebagaimana yang dimantapi oleh Guru.kita di dalam kitab Syarah Minhaj dengan mengikuti Guru beliau, Syekh Zakana Al-Anshari.

 

Tetapi menurut fatwa Guru beliau di atas, bahwa Muhakkam yang adil adalah tidak boleh mengijabkan nikah, kecuali bila qadhi tidak ada yang walaupun bukan ahli.

 

Secara mutlak tidak boleh mengangkat seorang yang tidak adil menjadi Muhakkam.

 

Hukum yang diputuskan oleh Muhakkam tidak berlaku, kecuali dengan ada kerelaan dari kedua belah pihak yang bersengketa dalam hukum itu secara lafal, bukan dengan diam. Karena itu, dipertimbangkanlah kerelaan suami-istri bersama-sama dalam masalah nikah. Memang, telah cukuplah dengan diam seorang gadis sewaktu dimintai izinnya dalam pengangkatan Muhakkam.

 

Tidak boleh mengangkat Muhakkam dalam keadaan wali rukah tidak ada di tempat, walaupun melebilu jarak gashar salat, jika di situ terdapat seorang qadhi -lain halnya dengan pendapat Ibnul Imad-, sebab qadhi adalah sebagai ganti dari wali, lain halnya dengan Muhakkam.

 

Muhakkam diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya sendiri, menurut pendapat Al-Aujah (yaitu menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, sedang menurut Ramli adalah tidak boleh).

 

Qadhi dihukumi terlepas darr jabatannya karena telah sampai berita pemecatan dirinya, sekalipun berita dari seorang laki-laki yang adil.

 

Naib qadhi (pengganti qadhi) dalam masalah umum ataupun khusus, adalah terlepas dari jabatannya karena telah sampai padanya berita pemecatan dirinya oleh qadhi yang mengangkatnya sebagai naib, atau telah sampai padanya berita pemecatan oleh imam kepada qadhi yang telah mengangkat dirinya, bila imam memberikan izin kepada qadhi itu mengangkat seorang naib dani dinnya, atau memberikan izin secara mutlak.

 

Tidak terpecat, bila Naib qadhi adalah sebagai Naib imam, misalnya imam berbakat: “Angkatlah pengganti dariku”, maka dengan terpecatnya qadhi, naib qadhi tidak ikut terpecat.

 

Hanya saja qadhi dan narbnya mulai terlepas jabatannya dengan sampainya berita kepadanya, sebagaimana yang dipahami dari kata-kata: “Qadhi dihukimu lepas dari jabatannya” di atas, bukan sebelum sampai berita kepadanya, sebab besar mudarat yang terjadi dalam rusaknya keputusan hukum, andaikata dihukumi lepas jabatan (terpecat), sebelum berita pemecatan sampai kepadanya.

 

Lain halnya dengan wakil, maka ia terpecat dari status wakil sejak dinyatakan terpecat, sekalipun berita itu belum sampai kepadanya.

 

Barangsiapa mengetahui keterpecatan seorang qadhi, maka putusan hukumnya terhadap orang itu tidak berlaku, kecuali bila rela/menerimanya (ini pun) dalam hal-hal yang bisa di-Tahkim-kan penyelesaian hukumnya

 

Qadhi dan naib qadhi dihukum terpecat dari jabatannya dengan salah satu dari beberapa hal Mengundurkan diri, sebagaimana pula sang wakil.

 

Terkena penyakit gila atau ayan, sekalipun hanya sebentar masanya.

 

Berbuat kefasikan. Maksudnya, qadhi yang imam/Dzu Syaukah waktu mengangkatnya tidak mengetahui, bahwa si qadhi itu fasik atau tambahan dari kefasikannya, maka bisa lepas jabatannya dengan kefasikannya.

 

Apabila hal-hal di atas (gila, ayan atau fasik) hilang, maka jabatannya tetap tidak bisa kembali lagi, kecuali karena ada pengangkatan baru, menurut pendapat Al-Ashah.

 

Imam boleh memecat qadhi yang tidak terkena hukum fardu ain dalam jabatan keqadhiannya, jika telah nyata ada kecacatan yang tidak sampai mengharuskan untuk memecatnya, misalnya banyak orang yang resah karenanya, sebab ada qadhi yang lebih utama, dan demi mengambil langkah maslahatnya, misalnya untuk memadamkan fitnah, baik qadhi memecatnya dengan menggantikan qadhi yang setingkat atau di bawahnya.

 

Bila tidak terdapat sebab seperti di atas, maka bagi imam tidak boleh memecatnya, sebab pemecatan seperti ini adalah main-main, namun pemecatan tetap berlaku.

 

Adapun bila jabatan qadhi yang dipegang itu hukumnya fardu an baginya, misalnya di situ tidak ada orang yang patut menjabatnya selain dirinya, maka imam/Dzu Syaukah haram memecat dan pemecatan tdak berlaku. Demikian pula tidak berlaku pengunduran dirinya.

 

Lan halnya dalam masalah yang bukan seperti itu, maka pengunduran dinnya berlaku, sekalipun orang yang mengangkatnya tidak mengetahuinya

 

Qadhi tidak menyadi terpecat sebab meninggal atau terpecat imam A’zham (kepala negara), sebab sangat besar mudarat yang terjadi dengan mengabaikan peristiwaperistiwa baru yang terjadi.

 

Dikecualikan dari “imam”, bila yang meninggal adalah qadhi: maka seluruh naib qadhi terpecat karena meninggal si qadhi.

 

Ucapan seorang qadhi yang masih menjabat: “Kuputuskan hukumnya begini …”, di mana ia mengucapkan di luar wilaydh kekuasaannya yang tidak menjadi jangkauan tugasnya, adalah tidak bisa diterima, sebab ia tidak mempunyai hak menghakimi di luar wilayah kekuasaannya, mika ikrar mengenai hukum itu pun tidak berlaku.

 

Dari lahirnya pembicaraan ulama, Az-Zarkasyi mengambil kesimpulan bahwa seorang qadhi diangkat dalam suatu daerah Balad, maka kekuasaannya tidak mencakup daerahdaerah persawahan dan perkebunan Karena itu, bila qadhi yang berada di salah satu persawahan atau perkebunan mengawinkan wanita yang berada di daerah Balad, atau sebaliknya, rikahnya tidak sah Ada yang mengatakan Di siru perlu ada penelitian

 

Guru kita berkata: Penelitian ini adalah jelas, bahkan pendapat yang berwajah, bahwa kalau diketahui ada adat keikutsertaan daerah persawahan/perkebunan pada daerah Balad/tidak ikut, maka itulah yang dipegangi: Kalau tidak diketahui, maka apa yang dikemukakan oleh Az-Zarkasyi, adalah pendapat yang ber-wajah, karena mencukupkan dengan nash Syafi’i dalam masalah wilayah.

 

Ucapan Al-Minhaj memberikan kepahaman, bahwa qadhi yang tengah berada di luar kekuasaan adalah seperti terpecat, Tasaruf yang menjadi wewenangnya menyadi tidak berlaku: misalnya menyewakan harta wakaf yang nazhirnya dipegang oleh qadhi, menjual harta anak yatim dan menetapkan tugas seseorang Kata Guru kita Kepahaman tersebut sudah jelas.

 

Sebagaimana pula tidak dapat diterima, ucapan ” Saya memutuskan hukum begini”, yang diucapkan oleh qadhi setelah terpecat: atau muhakkam setelah pisah dari majelis hukum, sebab dalam keadaan seperti Ini ia tidak mempunyat hak mengeluarkan putusan hukum. Dengan demikian, ikrarnya mengenai hukum pun tidak dapat diterima.

 

Tidak dapat diterima pula persaksian dari qadhi yang telah terpecat/ muhakkam setelah pisah dari majelis, mengenai keputusan hukumnya, sebab berarti memberikan persaksian terhadap dirinya sendiri, kecuali bila ia memberikan persaksian mengenai keputusan hukum dani seorang hakim serta qadhi (yang menangani persaksian ini) tidak mengetahw kalau putusan hukum adalah putusan mantan qadhi/ Muhakkam, maka kesaksian (syahadah)nya dapat diterima bila ia tidak fasik.

 

Bila qadhi yang menangani persidangan in mengetahui kalau itu adalah hukum keputusan mantan qadhi/muhakkam, maka syahadahnya tidak dapat diterima, sebagaimana kalau secara jelas ia menyebutkannya (mengakuinya).

 

Mengenai ucapan qadhi: “Kuputuskan hukum begini”, yang sebelum dirinya terpecat dan di dalam wilayah kekuasaan hukumnya, adalah bisa diterima, sekalipun ia berkata “menuyut pengetahuanku”, sebab dalam kondisi seperti ini, dia berhak mengeluarkan keputusan hukum.

 

Sehingga andaikata atas jalan penentuan hukum ia berkata: “Wanita-wanita Mahshurah -misalnya 100 ini-, di kampung ini adalah terjatuhkan talaknya”, maka tetap bisa diterima: kalau qadhi itu seorang mujtahid, sekalipun mujtahid mazhab.

 

Qadhi sidak boleh mengikuti putusan hukum qadhi sebelumnya (yang walaupun) patut memegang jabatan qadhi.

 

Qadhi wajib memperlakukan secara sama antara pihak terdakwa dan pendakwa, di dalam menghormatinya, sekalipun antara keduanya tidak sama dalam status sosial, dalam menjawab salam, memandang, dan memperhatikan ucapan, mimik muka qadhi itu sendiri dan berdiri untuk menghormati mereka.

 

Karena itu, qadhi tidak boleh mengistimewakan di antara mereka dalam hal-hal tersebut di atas.

 

Apabila salah satu pihak mengucapkan salam kepadanya, makaia wajib menunggu salam yang satunya, di waktu tenggang antara salam dengan jawab diampuni adanya karena darurat: atau ia memerintahkan kepada yang satu: “Ucapkan salam”, guna menjawab salam mereka bersama-sama.

 

Qadhi diperbolehkan bergurau dengan salah satu dari mereka, sekalipun mempunyai kemuliaan yang melebihinya lantaran ilmu atau kemerdekaan (bukan budak ).

 

Yang lebih utama adalah mempersilakan duduk kedua belah pihak di depan qadhi.

 

Cabang:

 

Apabila banyak pendakwa yang lapor kepada qadhi, maka baginya wajib mendahulukan penanganannya kepada orang yang lebih dulu datangnya, lalu yang dahulu sesudah itu, sebagaimana pula kewajiban seorang mufti dan guru: ia wajib mendahulukan orang yang dahulu datangnya.

 

Bila kedatangan mereka bersamasama, atau tidak bisa diketahui mana yang lebih dahulu, maka dia wajib mengundi mereka. Guru kita berkata: Sudah jelas, bahwa orang yang meminta fatwa/pelajarari masalah fardu ain, sedangkan waktunya telah sempit pelaksanaannya, maka ia wajib didahulukan, sebagaimana dengan seorang musafir.

 

Sunah ruang persidangan itu keadaannya luas dan terbuka jelas.

 

Makruh menjadikan mesjid sebagai pengadilan umum, karena demi menjaga dari keramaian dan suara keras. Memang, bila satu atau dua kasus (dihadapkan kepadanya) bertepatan ia berada di dalam mesjid, maka tidak mengapalah bila diselesaikan di situ.

 

Haram bagi qadhi menerima hadiah dari seseorang yang sebelum ia menjadi qadhi tidak terbiasa mem. berikan hadiah kepadanya atau telah terbiasa, tetapi sekarang menambah ukuran atau keadaan hadiahnya, jika itu dilakukan di dalam daerah kekuasaannya.

 

Haram juga menerima hadiah dari orang yang tengah menanggung urusan di bawah tangannya atau dari orang yang menurut perasaan qadhi sendiri adalah akan menghadapi urusan, sekalipun pemberian hadiah itu sudah terbiasa, sebab hadiah pada cantoh yang akhir ini akan membuat kecondongan qadhi kepadanya dan pada contoh pertama disebabkan oleh kekuasaannya.

 

Benar-benar sahih, hadis yang menerangkan keharaman hadiahhadiah untuk para pejabat.

 

Bila sudah terbiasa memberikan kepada pak qadhi -sekalipun hanya sekali sebelum ia menjabat qadhi-, atau hadiah itu diterima dari (orang) yang berada di luar kekuasaannya, atau pemberian hadiah tidak melebihi kebiasaan yang telah diberikan, di mana pemberi hadiah tidak tengah menghadapi suatu kasus/akan menghadapinya, maka dalam contoh seperti ini qadhi boleh menerimanya.

 

Apabila seseorang mengutus utusan untuk menghaturkan hadiah kepada qadhi dan orang itu tidak mempunyai urusan pengadilan. maka tentang kebolehan qadhi menerima, ada dua pendapat (wajah), dan sebagian pensyarah kitab Syarhul Minhaj menghukumi haram.

 

Dari keterangan yang telah lewat dapat diketahui, bahwa qadhi tidak diharamkan menerima hadiah dari luar wilayah kekuasaannya, sekalipun pemberi hadiah tersebut termasuk penduduk wilayah kekuasaannya, selama tidak dirasa bahwa pemberian hadiah tersebut demi melicinkan urusan permusuhannya. Apabila hadiah diberikan setelah qadhi memutuskan hukum, maka baginya haram juga menerimanya, Jika itu merupakan imbalan buatnya, (tetapi) bila tidak sebagai imbalan, maka tidak haram menerimanya. Demikianlah yang dimutiakkan oleh sebagian pensyarah kitab Al-Minhaj.

 

Guru kita berkata: Ketentuan itu harus dihubungkan kepada orang yang telah biasa memberinya hadiah, yang kini memberikan hadiah setelah pemutusan hukum.

 

Sekira qadhi diharamkan menerima dan mengambil hadiah, maka apa yang telah diambil itu dapat dimilikinya, Karenanya harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika orangnya dapat ditemukan, (tetapi) kalau tidak dapat, maka diserahkan kepada Batuimal

 

Sebagaimana hukum hadiah, yaitu Hibah dan jamuan makanan, dan demikian pula sedekah menurut pendapat Al-Aujah.

 

As-Subki ds dalam Al-Halabiyatnya memperbolehkan bagi gadki meneriman sedekah dari orang yang tdak sedang bermasalah dan tidak terbiasa memberinya Di dalam Tafsir-nya, As-Subki mengkhususkan hal itu bila pemberi sedekah mengetahw kalau yang diberi itu adalah seorang qadhi.

 

Selain As-Subki ada yang membahas pasti tentang kehalalan qadhi menerima harta zakat.

 

Guru kuta berkata: Seyogianya kehalalan ini juga dibatasi seperti yang telah dituturkan oleh As-Subki di atas.

 

As-Subki mengatakan ada ketidakjelasan mengenai pemberian wakaf kepada qadhi dan orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, Menurut pendapat yang berwajah di dalam wakaf dan nazar, adalah bila orang itu menjelaskan nama qadhi dan kita mensyaratkan keberadaan gabul, maka adalah sebagimana memberikan hadiah kepadanya.

 

Sah membebaskan utang atas qadhi oleh orang yang berada di wilayah kekuasaannya, sebab dalam Ibra’ tidak disyaratkan ada gabul.

 

Makruh bagi qadhi menghadiri walimah yang dikhususkan untuk dirinya sendiri -sebagian ulama mengatakan’haram-, atau juga bersama-sama rombongan orang lain dan yang seperti ini tidak terbiasa sebelum ia menjabat sebagai qadhi.

 

Lain halnya bila walimah itu tidak dibuat khusus untuknya, sebagaimana misalnya walimah itu ditujukan untuk para tetangga dan ulama, di mana ia termasuk di dalamnya, atau dibuat untuk umum, seluruh manusia.

 

Di dalam Al-‘Ubab, Muzayjad berkata Bagi selain qadhi diperbolehkan menenma hadiah dalam penikahan, jika memang hadiah itu ndak disyaratkan kepada suami

 

 

Demikian juga, qadhi boleh menerima hadiah sebab pernikahan (misalnya dirinya menjadi wali nikah mempelai wanita), sekira dirinya diperbolehkan menghadiri pemberian hadiah, dirinya tidak mensyaratkan hadiah itu kepada pihak suami dan dirinya tidak memintanya. Selesai. Di sini perlu ada peninjauan.

 

Peringatan:

 

Bagi qadhi yang menerima gaji dari Baitulmal dan sumber-sumber yang lain, sedangkan dirinya tidak termasuk terkena hukum fardu ain menjabat sebagai qadhi dan pekerjaannya sudah termasuk pantas menerima upah, adalah diperbolehkan mengatakan: “Aku tidak mau menghukum kalian berdua, bila aku tidak diberi upah atau gaji.” Demikian menurut perkataan segolongan ulama.

 

Ulama yang lain berkata Adalah haram berkata seperti di atas Pendapat ini lebih hati-hati, sedang pendapat yang pertama adalah lebih mendekati kebenaran.

 

Wajib bagi qadhi mencabut keputusan hukum dani dirinya sendiri atau qadhi lain, bila keputusan itu bertentangan dengan Alqur-an, Alhadis, nash imam yang ditaklidi dan Kuas Jali -yaitu kias yang dengan pasti bisa disamakan hukum cabang dengan hukum asal-.

 

Atau bertentangan dengan ijmak, termasuk di sini adalah hukum yang berselisih dengan syarat yang diberikan oleh pewakaf As-Subka berkata: Hukum yang bertentangan dengan keempat mazhab, adalah seperti bertentangan dengan ijmak.

 

Atau juga terputus hukumnya dengan pendapat yang marjuh di dalam mazhab qadhi itu.

 

Maka, hukum-hukum yang berselisih dengan hal tersebut di atas, sekalipun qadhi tidak mendapat laporan, ia wajib secara jelas mencabutnya dengan semacam ucapan: “Kucabut/Kubatalkan hukum itu”.

 

Peringatan:

 

Al-Iraqi dan Ibnush Shalah menukil ijmak yang menyatakan, bahwa qadhi tidak diperbolehkan memutuskan hukum yang bertentangan dengan pendapat yang rajih (unggul) di dalam suatu mazhab.

 

As-Subki mengemukakan hal itu segara jelas di dalam fatwa-fatwanya dan menguraikannya secara panjanglebar, dan selanjutnya beliau memasukkan sistem pemutusan hukum seperti itu, seperti memutuskan hukum yang berselisih dengan yang telah diturunkan oleh Allah swt., sebab Allah swt. mewajibkan para mujtahid agar berpegangan pada: yang rajih dan mewajibkan kepada selain para mujtahid, agar kewajiban berpedoman dalam perbuatanperbuatan mereka sendiri.

 

Al-Jalal Al-Bulqini menukil dari ayahnya, bahwa sesungguhnya apabila hakim memutuskan suatu hukum yang tidak sahih di dalam mazhabnya, maka hukum tersebut harus dirusak.

 

Al-Burhan bin Zhahirah berkata: Sesuai dengan fatwa ini, adalah demikian adanya, tidak ada perbedaan antara yang diputuskan dengan dikuatkan oleh pilihan atau pembahasan sebagian fukaha Mutaakhkhirin, dengan yang tidak dikuatkan.

 

Peringatan Kedua:

 

Ketahuilah, bahwa pendapat yang Muktamad di dalam Mazhab Syafi’i untuk memutuskan hukum dan berfatwa, adalah pendapat yang telah disepakati oleh Rafi’i dan Nawawi (Syaikhan), lalu menurut yang dimantapi oleh Nawawi, Rafi’i, dan yang dirajihkan oleh kebanyakan fukaha, lalu yang dirajihkan oleh orang yang paling alim, kemudian yang dirajihkan oleh orang yang paling wira’i.

 

Guru kita berkata: Aturan kemuktamadan seperti itu, adalah menurut yang disepakati oleh ulama Muhaggig golongan akhir, dan adalah aturan yang diwasiatkan oleh guru-guru kita agar dipegangi.

 

As-Samhudi Berkata: Guru-guru kita senantiasa mewasiatkan kepada kita agar berfatwa menggunakan hukum yang disepakati oleh Syaikhan, dan menghindari kebanyakan yang kita selisihi hukumnya.

 

Guru kita, Ibnu Ziyad, berkata: Pada galibnya kita wajib berpedoman hukum yang dirajihkan oleh Syaikhan, sekalipun ada dinukilkan dari kebanyakan ulama, suatu pendapat yang berselisih dengannya.

 

Qadhi tidak boleh memutuskan hukum yang berselisih dengan pengetahuannya, sekalipun hukum itu telah dikemukakan bayinah, misalnya bayinah memberikan persaksian tentang perbudakan, ikatan per-kawinan atau kemilikan pada orang, di mana qadhi mengetahuinya, bahwa orang itu adalah merdeka, tertalak bain atau tidak mempunyai hak milik, sebab la telah memastikan kebatalan hukum dengan persaksian yang telah dikemukan oleh bayinah, sedangkan menghukumi dengan sesuatu yang batal adalah haram.

 

Bagi qadhi -sekalipun qadhi darurat menurut Al-Aujah- adalah diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya, bilaia menghendaki: artinya, dengan dugaan kuatnya yang telah memperbolehkan kepadanya untuk mengemukakan persaksian dengan berpedoman dugaan itu, sekalipun pengetahuan dalam arti seperti itu (dugaan tersebut) ia peroleh sebelum menjabat menjadi qadhi.

 

Memang, (tetapi) qadhi tidak diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya di dalam masalah Had atau Takzir, yang keduanya menjadi hak Allah swt., misalnya had zina, pencurian atau minum minuman keras, sebab ada kesunahan menutupi penyebabpenyebab had tersebut.

 

Adapun had-had yang menjadi hak manusia, maka bagi qadhi diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya, baik yang berkaitan dengan harta, qawad atau had qadzaf.

 

Apabila qadhi memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya, maka ja harus mengemukakan secara sharih apa yang ia perbuat dalam memutuskan hukum tersebut: Karena itu, ia harus berkata: “Saya mengetahui, bahwa apa yang ia dakwakan kepadamu adalah memang begitu”, atau mengatakan: ” Kuputusi/Kuhukumi dirimu dengan pengetahuanku”.

 

Apabila qadhi meringgalkan salah satu dari kedua kalimat di atas, maka keputusan hukumnya tidak berlaku, sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Mawardi.

 

Qadhi tidak boleh menangani pengadilan yang menvangkut orangtua atau anak keturunannya sendiri, tidak boleh pula yang menyangkut teman perserikatannya dalam kasus harta persenkatan

 

Kepada mereka, pengadilan ditangaru selainnya, baik itu oleh imam atau qadhi lain, sekalipun naibnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari kecurigaan.

 

Apabila qadhi/saksi melihat lembar kertas yang bertuliskan keputusan hukum/persaksiannya, maka hanya dengan berdasarkan kertas tersebut ia tidak diperbolehkan meneruskan keputusan hukum/persaksiannya, sebelum ia ingat apa isi keputusan hukum/persaksiannya, sebab bisa dimungkinkan ada penulisan yang didustakan atau keserupaan penulisan, dan hal ini belum cukup hanya dengan ingatannya, bahwa itu adalah tulisannya.

 

Dalam masalah penerusan keputusan hukum/persaksian ada pendapat yang memperbolehkan, jika keputusan/persaksian yang ia berikan ditulis di atas kertas yang tersimpan di sisinya dan dapat dipercayai, bahwa apa yang ada ini adalah memang tulisannya serta tidak ada kesangsian (keraguan) mengenai hal itu.

 

Bagi seseorang diperbolehkan bersumpah untuk menyatakan haknya atas orang lain atau telah dilunasinya hak orang lain atas dirinya dengan berpedoman pada pemberitaan orang adil atau tulisannya sendiri menurut pendapat Al-Muktamad, atau tulisan orang yang telah diizinkan menulis, wakil, teman perserikatannya atau tulisan mayat yang memberikan kepadanya, bila orang tersebut di atas yakin, bahwa penulisanpenulisan tersebut tidak berbuat gegabah dalam memperlakukan hak-. hak orang lain, dengan cara berpedoman pada qarinah.

 

Peringatan:

 

Hukum yang diputuskan atas data-data yany tidak benar, adalah berlaku secara lahir (hukum dunia), tidak sccara batin. Karena itu, hukum tersebut tidak dapat menghalalkan barang yang haram, begitu pula sebaliknya.

 

Apabila seorang qadhi memutuskan suatu hukum berdasarkan dua saksi palsu yang lahiriahnya adalah adil, maka dengan hukum tersebut tidak bisa terjadi kehalalan secara batin, baik hukum bersangkutan dengan harta maupun nikah.

 

Adapun hukum yang terputuskan atas data yang benar, maka hukumnya bisa berlaku kehalalan di akhirat secara pasti.

 

Tersebut di dalam suatu hadis: “Saya disuruh agar menghukumi secara lahiriah, dan Allah sendirilah yang menguasai hati manusia.”

 

Tersebut di dalam Syarah Al-Minhaj milik Guru kita: Bagi seorang wanita yang telah diputuskan hukum nikahnya yang tidak bcnar, adalah wajib lari dari laki-laki yang telah diputuskan kemcnangannya -bahkan membunuh laki-laki itu-, jika ia mampu melakukannya, Hal Ini sama halnya dengan pemerkosa, dan masalah ini tidak ada tinjauan sehubungan dengan iktikad pihak laki-lakinya mengenai kebolehan dirinya menyetubuhi wanita itu hukum yang telah diputuskan. Bila wanita tersebut dipaksa disetubuhi, maka tiada dosa baginya.

 

Pemutusan hukum atas orang yang tengah tidak hadir di daerah setempat, sekalipun tengah berada di daerah yang tidak termasuk wilayah kekuasaan qadhi pemutus atau atas orang yang tidak berada di majelis sidang lantaran bersembunyi atau merasa gagah, adalah diperbolehkan dalam hal selain ugubah (baik had maupun takzir) yang menjadi hak Allah swt.

 

Bila pihak pendakwa cukup hujah (alasannya) dan ia tidak berkata. “Terdakwa yang tengah tidak hadir berikrar atas hak”, akan tetapi ia menuduh keingkaran terdakwa dan dia (pendakwa) wajib menyerahkan barang dakwaan (Mudda’a Bih) kepadanya sekarang serta ia telah ditagihnya untuk menyerahkan.

 

Karena itu, bila pendakwa berkata: “ia sudah berikrar dan saya kini mengemukakan hujah”, hal itu ia lakukan demi jelasnya lantaran khawatir terdakwa akan ingkar, atau agar si qadhi mengirim surat kepada qadhi penguasa daerah terdakwa yang tengah di sana, maka hujahnya tidak diterima karena secara sharih ia telah mengemukakan sesuatu yang menghapus bisa diterima hujah (yaitu ikrar terdakwa), sebab hujahnya tidak berfaedah lagi dengan keberadaan ikrar.

 

Memang, (tetapi) bila terdakwa yang tengah tiada di tempat tadi mempunyai harta yang ada di tempat dan pendakwa mengajukan bayinah atas piutangnya, bukan agar qadhi mengirim surat mengenai ketetapan hak piutangnya kepada hakim penguasa daerah tempat terdakwa berada, agar dilunasi piutangnya dari harta itu, maka bayinah itu bisa diterima, sekalipun ia mengatakan “dia telah berikrar”. Juga bisa diterima bila, ia mengemukakan dakwaan secara mutlak.

 

Apabila dakwaan itu berupa piutang, sesuatu benda, sah akad atau pembebasan utang pendakwa oleh “ terdakwa yang gaib (tidak berada di tempat), sebagaimana terdakwa yang gaib menghiwalahkan utangnya agar dibayar oleh pendakwa yang berutang kepadanya dan hadir dh tempat, lalu pendakwa mendakwakan kalah bahwa terdakwa tersebut telah membebaskan utangnya, maka hakim wajib menyumpah pendakwa setelah bayinah diajukan, dengan sumpah istizhhar (yaitu sumpah yang tidak berkekuatan menetapkan keberadaan hak, tetapi untuk hatihati) bila terdakwa yang gaib tersebut bukan lantaran bersembunyi atau menentang (merasa gagah), di mana bayinah dan sumpah tersebut menyatakan bahwa pada contoh pertama (dakwaan piutang) masih tetap menjadi tanggungan terdakwa sampai sekarang. Penyumpahan ini dilakukan untuk mengambil sikap hati-hati terhadap terdakwa yang gaib, yang terkena putusan hukum, sebab bila ia hadir di tempat pengadilan, bisa juga ia mendakwakan sesuatu yang dapat membebaskan dirinya (misalnya utangnya telah dibebaskan atau dilunasi).

 

Di samping pendakwa wajib disumpah seperti di atas, dan pernyataan-pernyataan tersebut juga disyaratkan ia harus berkata: “Sesungguhnya ia wajib menyerahkannya kepada saya”, dan “Sesungguhnya ia tidak mengetahui ada kecacatan pada saksi-saksi”, misalnya cacat lantaran kefasikan atau permusuhan.

 

Guru kita berkata di dalam Syarhul Minhaj: “Lahur sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bulqini, bahwa kewajiban sumpah istizhhar yang menyatakan “hak piutang masih tetap menjadi tanggungannya sampai sekarang”, adalah tidak terjadi dalam “dakwaan sesuatu benda (misalnya benda titipan atau pinjaman dan seterusnya), tetapi dalam kasus ini pendakwa wajib bersumpah dengan yang sesuai kasus dakwaannya, dan demikian pula dalam kasus dakwaan Ibra’.

 

Adapun bila terdakwa yang gaib lantaran bersembunyi atau menentang, maka qadhi bisa memutuskan hukum atas pendakwa, sebab kegegabahannya. Sebagian fukaha berkata: Bila terdakwa itu tidak hadir dan ia mempunyai wakil yang hadir, maka qadhi tidak boleh memutuskan hukum terhadap terdakwa tersebut dan tidak wajib mengainbil sumpah seperti di atas.

 

Bandingannya adalah bila seorang mengajukan dakwaan atas semacam anak kecil yang tidak mempunya wali atau atas mayat yang tidak mempunyai ahli waris khash yang hadir, maka pendakwa wajib bersumpah istizhhar, karena alasan seperti yang telah lewat

 

Adapun bilamana semacam anak kecil/mayat mempunyai wali/ahli waris yang khash dan hadir serta kamil, maka kewajiban pengambilan sumpah pada pendakwa terletak pada diri wali/ahli waris tersebut, jika ia diam tidak meminta supaya bersumpah lantaran tidak mengetahurrya, maka hakim harus memberinya pengetahuan. Kemudian bila ternyata ia tidak meminta agar pendakwa disumpah, maka hakim bisa memutuskan hukum tanpa menyumpah pendakwa.

 

Cabang:

 

Apabila wakil dari orang yang gaib mendakwakan sesuatu kepada orang yang gaib juga, semacam anak kecil atau mayat, maka pendakwa tidak wajib bersumpah, tetapi qadhi memutuskan hukum berdasarkan bayinah yang diajukan, sebab sumpah yang diberikan oleh wakil itu tidak mempunyai kekuatan untuk menghakimi sesuatu, begitu juga wakil tidak bisa bersumpah yang memberikan kekuatan kemilikan hak orang yang mewakilkan kepadanya. Karena, bila kasus tersebut dibiarkan sementara, sampai muwakkil datang sendiri, maka pengambilan hak tidak bisa dilakukan melalui wakil.

 

Apabila terdakwa yang gaib itu datang dan berkata kepada wakil pendakwa: “Muwakkilmu telah membebaskan tanggunganku/Aku telah melunasinya, maka undurlah penagihannya sampai ia datang agar bersumpah kepadaku bahwa ia tidak membebaskannya”, maka permintaan itu tidak dapat dipenuhi dan qadhi tetap memerintahkan agar menyerahkan barang yang didakwakan pada wakil pendakwa, kemudian ada pembebasan tanggungan bisa tertetapkan setelah itu, jika terdakwa bisa mengajukan hujah atas hal itu, sebab bila perkara ini dibiarkan sementara, maka pengambilan hak tidak dapat dilakukan melalu para wakil.

 

Memang (tetapi) bila terdakwa yang telah datang tadi mendakwahkan kepada wakil, bahwa si wakil itu sendiri telah mengetahui ada pembebasan tanggungan, maka terdak wa” berhak menyumpah wakil, bahwa wakil tidak mengetahui ada pembebasan tanggungan dari muwakkil misalnya agar dakwaan kepadanya menjadi sah.

 

Apabila tertetapkan oleh hakim ada tanggungan harta atas orang yang gaib atau mayat, sedang ia juga mempunyai harta yang berada di tempat dalam wilayah kekuasaan sang qadhi atau mempunyai piutang pada orang lain yang ada di tempat dalam daerah kekuasaannya, maka hakim membayarnya dari harta tersebut, jika pendakwa menuntut tanggungan seperti dimaksud, sebab hakim adalah menduduki kedudukan orang yang gaib/mayat tersebut.

 

Apabila qadhi menjual harta orang yang gaib untuk membayar utangnya, lalu orang itu datang dan membatalkan ada tanggungan utang dengan menetapkan ada perlunasan atau kefasikan saksi, maka qadhi wajib menarik kembali apa yang telah diambil oleh lawan (pendakwa), dan penjualannya menjadi batal karena kebatalan tanggungan utang menurut pendapat Al-Aujah, Lain halnya menurut Ar-Rauyani.

 

Kalau orang yang gaib di atas tidak mempunyai harta yang ada di dalam wilayah kekuasaan hakim atau hakim tidak menghukumi ada tanggungan harta atas si gaib itu, maka jika pendakwa meminta untuk ‘Inhaul Hal (yaitu penginman proses ferbal termasuk di sini keterangan para saksi atau keputusan hukum bila telah terjadi, dari seorang qadhi kepada qadhi lain daerah wilayah) kepada qadhi penguasa daerah di mana terdakwa berada, maka hakim wajib mengirimkan data keterangan. bayinah yang telah ia dengar, kepada qadhi yang dimaksud -sekalipun qadhi yang dikirimi ini adalah qadhi darurat-, agar memutuskan hukum berdasarkan data yang ada, lalu meminta pelunasan hak yang dituntut, sebab untuk mempercepat memenuhi hak pendakwa. Kemudian, bila qadhi/hakim yang mengirimkan proses ferbal di atas telah menyatakan keadilan para saksi, maka pihak yang dikirimi tidak pertu menyelidiki keadilannya, (tetapi) bila belum melakukannya, maka qadhi/hakim yang dikirimi harus menyelidiki keadilan para saksi.

 

Tidak termasuk “bayinah”, adalah pengetahuan qadhi, maka qadhi tidak bisa mengirimkan data pengetahuannya, sebab dengan begitu ia berstatus sebagai saksi bukan qadhi Demikianlah yang dituturkan oleh Al-qadhi Sharih dalam kitab Al-Uddah, As-Sarkhasi menentangnya, tetapi Al-Bulqini berpedoman padanya, sebab pengetahuan qadhi adalah sebagaimana kekuatan bayinah.

 

Menurut Al-Aujah, bahwa qadhi boleh meng-inha’-kan data yang ia dengar dari para saksi, agar qadhi yang dikirimi memperdengarkannya kepada saksi lain atau merryumpah kepada pendakwadan memutuskan hukum.

 

Atau meng-inha’-kan hukum yang telah dia putuskan kepada qadhi penguasa daerah terdakwa berada, agar qadhi yang dikirimi ini melaksanakan penagihan pelunasannya, sebab ada hajat untuk melaksanakan ini.

 

Inha’ adalah mempersaksikan seorang qadhi kepada dua orang laki-laki adil (selain saksi-saksi yang ada dalam kasus) mengenai apa yang dilaksanakan, baik itu berupa ada penetapan suatu status/hak atau: putusan hukum. Persaksian di sini tidak cukup dengan saksi laki-laki yang kurang dari dua orang, sekalipun dalam masalah harta atau hilal di awal Ramadhan.

 

Disunahkan dalam surat Inha’ itu ditulis identitas orang yang terkena putusan hukum, Yaitu nama, nasab, nama-nama para saksi dan tanggal penulisan surat itu.

 

Inha’ mengenai suatu hukum yang terputuskan. dari seorang hakim, adalah bisa berlaku dengan pengiriman dalam jarak yang dekat maupun jauh.

 

Sedangkan Inha’ mengenai pendengaran bayinah, adalah tidak bisa diterima (tidak berlaku) kecuali kepada qadhi yang berada di atas dalam jarak Adwa, sebab pada jarak yang dekat itu dengan mudah bayinah dapat didatangkan untuk didengar keterangannya. Jarak Adwa adalah jarak sejauh orang berangkat dan rumahnya di pagi hari sekali dan kembali lagi sampai di rumahnya dalam waktu permulaan malam.

 

Karena itu, bila terasa sulit mendatangkan bayinah dalam jarak yang dekatitu, lantaran tengah sakit, maka Inha’ bisa diterima.

 

Cabang:

 

Al-Qadhi Husen berkata dan diakui oleh fukaha, Apabila seorang pengutang datang dan tidak mau menjual hartanya yang tiada di tempat guna melunasi utangnya yang telah ditagihnya, maka qadhi boleh menjualnya untuk pelunasan tersebut, sekalipun harta itu tidak berada di wilayah kekuasaannya.

 

Demikian juga bila pengutang tidak berada di tempat, tetapi masih berada di wilayahnya: Demikianlah yang dikemukakan oleh At-Tajus Subki dan Al-Ghuzzi. Beliau berdua berkata: Lain halnya dengan masalah bila pengutang tadi di luar wilayah kekuasaannya, sebab dalam keadaan seperti ini, qadhi tidak mempunyai wewenang berbuat atas nama pengutang untuk melunasi utang tersebut.

 

Kesimpulan pembicaraan beliau berdua qadhi diperbolehkan menjualnya, jika pengutang itu atau hartanya berada di dalam daerah wilayah kekuasaan qadhi, dan tidak boleh menjualnya bila kedua-duanya berada di luar kekuasaannya.

 

Penting:

 

Apabila seseorang tiada di tempat tanpa memiliki wakil dan ia memiliki harta di tempat itu, lalu disampaikan Inha’ kepada hakim yang menyatakan, bahwa jika hakim tidak menjualnya, maka sebagian besar akan mengalami kerusakan, maka hakim harus menjualnya, jika hal itu merupakan keharusan untuk bisa menyelamatkan harta itu.

 

Ashhabus Syafi’i telah menjelaskan, bahwa qadhi bisa menguasai harta orang-orang yang gaib bila harta itu berada di ambang pintu tersia-siakan atau ada keperluan yang menyangkut harta itu dalam kaitannya dengan hak orang lan yang sudah tertetapkan serta sedang tidak berada di tempat.

 

Mereka juga berkata Kemudian masalah tersia-siakan harta itu dirinci, jika ketidakadakan pemilik harta itu terulur-ulur lama dan terasa sulit bagi hakim menyelidiki bagaimana keadaan pemilik itu sebelum harta mengalami ketersia-siaan, maka hak diperbolehkan mentasarufkannya,

 

Tidak termasuk arti tersia-siakan, yaitu kerusakan harta yang tidak sampai mengalami kehancuran dalam bagian yang lebih besar dan kerusakan seperti itu tidak bisa menghalangi penjualan harta orang yang gaib, di mana penjualan dilakukan semata-mata demi kemaslahatan. Kerusakan yang bisa membawa kehancuran sebagian besar harta adalah termasuk arti tersia-sia.

 

Memang, (tetapi) binatang boleh dijual semata-mata karena telah terjadi kerusakan, sebab menghormati nyawanya dan karena binatang tersebut dapat dijual (oleh hakim) atas nama pemjliknya dan di hadapannya bila ia tidak mau menafkahinya.

 

Apabila pemilik yang tiada di tempat (gaib) tadi melarang hartanya ditasarufkan, maka hakim terlarang mentasarufkannya selain harta yang berupa binatang.

 

Cabang:

 

Hakim wajib menahan budak yang kabur bila menemuinya, sebab untuk menanti pemiliknya. Lalu bila tuan/ sayidnya tidak muncul mencarinya, maka hakim bisa menjual dan menyimpan uang hasil perjualannya, lalu bila pemiliknya datang, maka uang tersebut saja yang bisa ia miliki.

 

 

 

Lafal “Da’wa” menurut bahasa arinya “tuntutan”, sedang alif yang berada di akhir lafal tersebut adalah menunjukkan ta’nits

 

Sedangkan menurut syarak artinya adalah laporan mengenai keberadaan ketetapan hak atas orang lain di depan hakim. Lafal di atas dijamakkan menjadi “Da’awa/wi”, sebagaimana lafal “Fatawa/wi”.

 

Bayinah adalah para saksi Mereka disebut bayinah, sebab dengan merekalah suatu hak terbuktikan. Lafal “bayinah” dijamakkan, sebab berbeda-beda macamnya.

 

Dasar hukum dakwaan dan bayinah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim: “Kalau saja manu-sia itu dituruti dakwaannya, maka niscaya mereka akan mendakwakan nyawa-nyawa orang lain dan harta bendanya, tetapi Sumpah itu menjadi kewajiban pihak Mudda ‘alaih (terdakwa)”, Di dalam riwayat lain “Bayinah adalah kewajiban Mudda’i (pendakwa), sedang sumpah menjadi kewajiban orang yang mengingkari tuduhan.”

 

Mudda’i adalah pihak yang ucapanknya menyelisihi yang lahur. Lahir di sini adalah lepas atau tidak suatu tanggungan. Sedang Mudda’alaih adalah pihak yang ucapannya bersesuaian dengan yang lahir.

 

Syarat keduanya adalah taklif dan terkena ketetapan hukum agama. Karena itu, kafir harbi tidak terkena hukum-hukum agama, lain halnya dengan kafir dzimmi.

 

Kemudian, bila dakwaan itu berkaitan dengan masalah qawad atau takzir, maka wajib melaporkannya kepada qadhi, dan bagi orang yang berhak memberikan hukuman tersebut, tidak diperbolehkan melaksanakannya sendiri, karena besar bahaya yang ditimbulkan. Demikian pula yang berhubungan dengan segala akad dan fasakh, misalnya nikah, rujuk, cacat nikah dan jual beli.

 

Al-Mawardi mengecualikan orang yang bertempat tinggal jauh dari Sultan, maka orang ini boleh melaksanakan Had qadzaf dan takzir.

 

Seorang yang tidak mengkhawatirkan tertimpa fitnah pada dirinya atau orang lain, adalah boleh mengambil hartanya tanpa melalui qadhi dani orang yang berutang kepadanya, yang telah berikrar mempunyai utang itu, di mana si pengutang menunda-nunda pembayarannya atau mengingkari keberadaan tanggungan utang, bersembunyi atau enggan melunasinya (lantaran merasa kuat/berani), sekalipun pengutang yang menentang itu mempunyai bayinah atau pemiutang berharap ikrar pengutang, kalau saja dilaporkan kepada qadhi.

 

Hal itu didasarkan dengan pemberian Rasulullah saw kepada Hindun setelah lapor kepada beliau mengenai kekikiran Abu Sufyan, di mana beliau mempersilakan Hindun untuk mengambil harta Abu Sufyan dengan baik, secukup biaya hidup Hindun dan anaknya Karena, untuk melaporkannya kepada qadhi ada kesulitan dan membutuhkan biaya.

 

Hanya saja diperbolehkan mengambil sendiri hartanya adalah mengambil harta yang sejenis dengan harta (hak)nya semula, dan bila tidak bisa, maka boleh mengambil harta lainnya. Untuk mengambil harta yang bukan jenisnya ini, ia wajib mendahulukan mengambil yang berupa emas/perak. daripada yang lain.

 

Kemudian, bila yang diambil itu sejenis dengan hartanya, maka ia langsung memilikinya dan mentasarufkannya sebagai ganti haknya.

 

Jika tidak sejenis hartanya, maka ia (yang dalam hal ini disebut Zhafir) wajib menjualnya sendiri atau utusan orang yang ia beri izin kepada orang lain, bukan kepada dirinya sendiri -hukum ini ittifak-, dan tidak boleh juga dijual kepada mahjur (orang yang berada di bawah ampunannya), sebab terlarang menangani atas nama dua pihak (penjual dan pembeli) dan karena ada kecuringaan.

 

Kebolehan menjual barang itu dengan sendirinya, adalah jika tidak dengan mudah qadhi mengetahui atas hak Zhafir di atas lantaran Zhafir memang tidak mengetahui kasus itu dan tdak ada bayinah, atau mengetahui ada bayinah, tetapi untuk melaporkannya membutuhkan biaya dan kesulitan Kalau tidak begitu, maka disyaratkan harus ada izin penjualan dan gadhu dan Zhafir tidak boleh menjualnya, kecuali dengan uang yang berlaku di daerah setempat.

 

Kemudian, bila uang itu adalah jerus hak semula, maka si Zhafir bisa memilikinya, (tetapi) bila tidak jerus haknya semula, maka dengan uang itu ia belikan barang yang sejenis dengan hartanya dan ia memulikinya.

 

Apabila pengutang itu keadaannya Mahjur Alaih (orang yang diampu) lantaran pailit atau orang mati yang masih mempunyai tanggungan utang kepada selain Zhafir, maka ia tidak boleh mengambilnya selairi hanya sebesar bagiannya dalam hasil pembagian kepada seluruh pemilik hak, jika ia mengetahui berapa besarnya, tetapi kalau tidak mengetahuinya, maka berprinsiplah hati-hati.

 

Selaku Zhafir, ia diperbolehkan mengambil harta dari orang yang berutang kepada orang yang berutang kepada dirinya (misalnya: B utang kepada A dan C berutang kepada B, maka selaku Zhafir, A boleh mengambil harta dari si C), jika orang itu (A) tidak berhasil mengambil harta dari orang yang berutang kepadanya (B) dan orang yang berutang kepada orang yang berutang kepadanya (C) mengingkari ada tanggungan utang atau menunda-nunda pembayarannya.

 

Bila selaku Zhafir diperbolehkan mengambil harta, maka ia diperbolehkan memecah pintu/gembok dan membobol tembok pengutang, bila hanya dengan cara seperti itu1a dapat mengambil harta, sekalipun Zhafir mempunyai bayinah. Maka ia wajib menanggung kerusakannya, sebagaimana halnya menghadapi Shail.

 

Bila pemiutang tersebut (Zhafir) mengkhawatirkan ada mafsadah yang membawa pada keharaman misalnya hartanya akan diambil kembali jika diketahui, maka ja wajib melaporkan perkaranya kepada qadhi atau lainnya, sebab kemungkinan keselamatan harta dengan cara seperti ini.

 

Apabila piutang itu pada orang yang enggan melunasinya, maka pemiutang menagihnya sesuai dengan kewajiban pelunasannya. Karena itu, pemiutang tidak dihalalkan mengambil sesuatu milik pengutang yang berkesanggupan melunasi tersebut, sebab ia dapat melunasi utangnya, dengan harta yang mana ia kehendaki.

 

Karena itu, bila pengutang mengambil sesuatu milik pengutang, maka ia wajib mengembalikannya, dan wajib menanggung kerusakan yang terjadi, selama belum mencukupi persyaratan diperbolehkan balasmembalas utang satu kepada yang lain (yaitu utang satu kepada yang lainnya sama besar, jenis dan sifat keadaannya).

 

Cabang:

 

Pemiutang dapat menagih pelunasan piutangnya kepada pengutang yang mengingkari utangnya (yang tanpa saksi), dengan menggunakan para saksi utang lain, kepadanya, di mana utang yang nda saksinya telah dibayar oleh pengutang tanpa sepengetahuan mereka (misalnya A mempunyai piutang pada B sejumlah Rp 1000,tanpa bayinah, dan Rp 1000 lagi dengan bayinah).

 

Seseorang diperbolehkan mengingkan (tidak mau membayar utangnya) orang lain yang ingkar kepadanya, bilamana hak atas orang yang mengingkari jumlahnya sepadan atau lebih besar: maka di sini terjadi balas-membalas.

 

Apabila hak atas orang yang mengingkarinya di bawah jumlah hak orang lain itu atasnya, maka ia diperbolehkan mengingkari utangnya sejumlah piutang yang ada pada orang lain itu.

 

Untuk kesahan suatu dakwaan bisa didengarkan dan dijawab, adalah . pada dakwaan mengenai emas-perak murni atau bercampur dengan logam lain, atau mengenai utang mutsli atau Mutaqawwam, menyebutkan jenis emas/perak, macamnya, utuh atau telah pecah jika dua hal in mengandung perbedaan maksud, dan menyebutkan kadar ukurannya, misalnya 100 dirham perak Asyrafiyah yang murni atau bercampur dengan logam lain, yang saya tuntut sekarang.

 

Karena syarat dakwaan adalah maklum (bisa diketahui).

 

Barang yang sudah bisa diketahui timbangannya, misalnya. dinar, adalah tidak disyaratkan menjelaskan penyebutan timbangannya, dan tidak disyaratkan menyebut nilai harga emas/perak yang tidak murni.

 

Dakwaan pemiutang kepada Muflis (pengutang yang pailit) yang telah tertetapkan kepailitannya, bahwa si muflis sekarang sudah mempunyai harta, adalah tidak bisa diterima, sebelum pendakwa menjelaskan sebab-sebab didapatkan harta itu, misalnya dari penerimaan warisan atau hasil kerja, dan menjelaskan jumlah harta yang telah dimuliki si muflis itu.

 

Mengenai dakwaan sesuatu benda selain emas-perak (disebut ain) yang bisa dibatasi dengan sifat-sifatnya, nusalnya binatang dan biji-bijian, disyaratkan menyebutkan sifatsifatnya sebagaimana dalam penyifatan pada akad salam, dan pendakwa tidak wajib menyebutkan harganya.

 

Apabila ain yang didakwakan itu rusak, di mana ain itu merupakan benda Mutaqawwam, maka wajib menyebutkan nilai harga berserta jenisnya, misalnya “… budak laki-laki harganya sekian ….”

 

Untuk dakwaan barang Agar (barang yang tidak bergerak), maka disyaratkan menyebutkan arahnya, tempat berada dan batas-batas segi empatnya. Karena itu, tidak cukup hanya menyebutkan batas segi tiganya, bila tidak dapat diketahui kecuali dengan menyebutkan keempat segi tersebut.

 

Bila diketahui dengan satu segi batasnya saja, maka cukup dengan menyebutkan satu saja, Bahkan kalau sudan masyhur sehingga tidak perlu lagi disebutkan batas-batasnya, maka tidak wajib menyebutkan batas-batasnya

 

Untuk dakwaan mengenai pernikahan kepada seorang wanita, maka disyaratkan menyebut kesahan nikah itu dan syarat-syaratnya, yaitu berupa wal: dan dua orang saksi lakilaki yang adil, juga menyebutkan keberadaan kerelaan hati waruta jika untuk kesahan nikah itu sendyi disyaratkan ada kerelaan -sebagaimana wanita itu tidak dapat dipaksa-, Karena itu, dakwaan di sini tidak cukupsecara mutlak –

 

Apabila istri yang didakwa itu budak, maka pendakwa diwajibkan menyebut ketidak mampuannya membayar mahar untuk wanita merdeka, kekhawatirannya berbuat zina dan dia tidak beristrikan wanita merdeka

 

Untuk pendakwaan mengenai suatu akad kebendaan, misalnya jual beli dan hibah, maka disyaratkan menyebut kesahan akad Di sini tidak diperlukan rincian sebagaimana yang ada dalam nikah, sebab dalam pernikahan itu hukumnya ditentukan secara hati-hati daripada akad kebendaan.

 

Dakwaan yang bertentangan adalah tidak bisa diterima, misalnya ada persaksian para saksi berselisih dengan dakwaan, misalnya seorang mendoakan adanya kemilikan dari suatu sebab, lalu para saksi memberikan keterangan derigan sebab yang tidak sama dalam dakwaan, maka dakwaan tidak bisa diterima, karena persaksian menghapus dakwaan itu.

 

Konsekuensinya, apabila persaksian diulangi dengan sesuai dakwaan, maka dakwaan bisa diterima. Demikianlah yang dijelaskan oleh Al-Hadhrami, dan sesuai dengan pembicaraan ahli fikih lainnya.

 

Dakwaan tidak menjadi batal, lantaran ucapan pendakwa: “Para saksiku orang-orang yang fasik atau tidak benar”, maka pendakwa bisa mengajukan bayinah dan bersumpah.

 

Terdakwa yang pendakwanya telah mengajukan bayinah mengenai haknya, adalah tidak boleh menyumpah pendakwa mengenai penghakannya terhadap apa yang ia dakwakan dengan benar, karena hal itu berarti membebani agar mengemukakan hujah setelah hujah, yang mana ini sama dengan mencacat para saksi.

 

Memang, tetapi pemiutang berhak menyumpah pengutang yang mendakwa melarat pada dirinya dan ada bayinah, sebab bisa dimungkinkan ia mempunyai harta yang tidak kelihatan.

 

Apabila terdakwa balik mendakwa sesuatu yang menggugurkan hak pendakwa, misalnya mendakwakan bahwa ia telah melunasi utangnya, pendakwa telah membebaskannya atau barang itu ia beli dari pendakwa, maka pendakwa diambil sumpahnya mengenai ketidakbenaran dakwaan yang diajukan oleh terdakwa, sebab bisa jadi apa yang didakwakan adalah benar.

 

Demikian pula bila terdakwa membalas mendakwakan, bahwa si pendakwa mengetahui kefasikan atau kebohongan para saksi.

 

Secara pasti, sumpah tidak bisa dihadapkan kepada saksi atau qadhi, yang mann terdakwa mendakwakan kebohonyan persaksian/hukumnya, karena hal itu dapat mendatangkan kerusakan secara umum.

 

Apabila pendakwa yang terkena kewajiban sumpah (dalam tiga contoh di atas) tidak mau bersumpah, maka terdakwa yang diambil sumpahnya, dan batallah persaksian itu.

 

Apabila terdakwa yang telah terbuktikan keberadaan bayinah itu memohon penundaan pelaksanaannya, maka qadhi wajib memberikan masa penundaan selama tiga hari untuk mengambil bayinah penolak tuduhan: yaitu bayinah yang menyatakan semacam telah melunasi atau dibebaskan dari tanggungan, dan qadhi wajib memberi kelonggaran untuk mendatangkan bayinah, jika masa kepergiannya tidak melebihi tiga hari, karena masa tiga: han itu tidak mendatangkan mudarat yang besar. Akan tetapi penundaan itu diberikan dengan adanya Kafil (penjamin) atau dengan pengawasan dari tangan qadhi, jika dikhawatirkan.terdakwa akan melarikan diri.

 

Apabila seseorang mendakwakan adanya kebudakan pada seorang yang sudah balig, berakal dan tidak diketahut nasabnya, Jalu terdakwa berkata “Saya adalah merdeka sejak semula”, dan sebelum itu ia belum pernah berikrar kepada pendakwa tentang keberadaan kebudakan pada dirinya, di mana ia adalah orang yang rasyid, maka terdakwa tersebut harus bersumpah.

 

Dengan sumpahnya itu, maka dakwaan kemerdekaan dirinya bisa dibenarkan, sekalipun telah diperlakukan sebagai khadim pendakwa di atas, sebelum ada pengingkaran atas kebudakannya dan sekalipun telah mengalami berkali-kali diperjualbelikan atau berkali-kali berpindah-pindah tangan, sebab perkataan yang mencocoki dengan keasalan, yaitu merdeka.

 

Dari dasar asal itu, maka bayinah yang menyatakan kebudakan adalah dimenangkan danpada bayinah yang menyatakan kemerdekakan, sebab bayinah pertama membawa tambahan pengetahuan, yaitu kepindahan status dari kemerdekaan menuju kebudakan.

 

Tidak termasuk dalam arti ucapanku “sejak semula”, yaitu apabila terdakwa mengatakan: “Engkau telah memerdekakan diriku”, atau “Orang yang menjual diriku kepadamu telah memerdekakanku”, maka dakwaan kemerdekakan dirinya tidak bisa dibenarkan, kecuali dengan mengajukan bayinah.

 

Apabila telah, tertetapkan kemerdekaan dirinya sejak semula itu, maka pembelinya meminta kepada orang yang menjualnya, sekalipun pembeli telah berikrar ada kemilikannya, sebab ikrar ini didasarkan atas kenyataan yang diterimanya.

 

Atau apabila seseorang mendakwakan kebudakan seorang anak kecil atau orang dewasa gila, di mana di tangan pendakwa dan orang yang menguasainya mengingkari dakwaan tersebut, maka dakwaan kebudakan tidak bisa diterima, kecuali ada hujahnya yang berupa pengetahuan qadhi atau sumpah mardudah (yaitu sumpah yang diajukan kepada pendakwa setelah terdakwa tidak mau bersumpah), sebab dasar asalnya adalah tidak ada status perbudakan.

 

Karena itu, bila anak kecil berada di bawah kekuasaan tangan pendakwa atau orang Lain dan membenarkan dakwaan situ, maka perdakwa diambil sumpahnya karena masalah kemerdekakan itu bahaya, selama tidak diketahui bahwa anak Itu hasil lugathah. Sedang pengingkaran anak itu setelah dewasa, tidak berpengaruh terhadap status sekarang, sebab kekuasaan adalah sebagai hujah.

 

Apabila diketahui bahwa anak itu hasil Lugathah, maka dakwaan tentang kebudakannya tidak bisa dibenarkan, kecuali dengan mengajukan bayinah

 

Cabang:

 

Dakwaan mengenai keberadaan utang yang belum sampai masa pelunasannya, adalah tidak bisa diterima, sebab di situ terdapat unsur penetapan dan tuntutan di masa sekarang.

 

Ucapan penjual “Barang yang dijual itu barang wakaf”, adalah bisa diterima sebagai dakwaan, demikian pula bayinah, hal itu jika penjual di waktu menjual tidak menjelaskan bahwa barang tersebut adalah miliknya (bukan wakaf) Kalau menjelaskan seperti stu, maka bisa diterima untuk mengambil sumpah dari pembeli yang menyatakan bahwa penjual adalah menjualnya dan barang itu adalah miliknya.

Apabila terdakwa telah berikrar (mengakui kebenaran dakwaan), maka tertetapkanlah keberadaan hak tanpa melalu ijtihad hukum.

 

Apabila terdakwa diam saja, maka hakim memerintahkannya untuk menjawab, sekalipun pendakwa tidak menuntut untuk menjawabnya. Apabila tetap diam, maka ia adalah ingkar, lalu diajukan sumpah padanya Apabila masih tetap diam tidak mau bersumpah dan tidak jelas mengapa ia tidak mau bersumpah, maka ia adalah orang yang membangkang sumpah (Nakil): maka qadhi mengambil sumpah pendakwa.

 

Apabila terdakwa mengingkari keberadaan dakwaan, maka disyaratkan ingkarnya itu mengenai seluruh yang didakwakan kepadanya dan bagian-bagiannya, jika barang itu terbagi menjadi beberapa bagian

 

Apabila pendakwa mendakwakan sepuluh kepada terdakwa misalnya, maka, jawaban pengingkaran terdakwa tidak cukup’dengan katakata: “Aku tidak mempunyai tanggungan sepuluh itu”, sehingga menyambung dengan “… dan tidak pula sebagian darinya”.

 

Demikian pula pencakupan sumpah jika dihadapkan kepadanya, karena pendakwanya mendakwakan seluruh bagian dari 10, maka mau tidak mau pengingkaran dan sumpah cocok dengan dakwaan

 

Apabila terdakwa mengucapkan sumpah meniadakan jumlah 10 dan hanya begitu saja, maka berarti ia membangkang (nakil) mengenai jumlah di bawah sepuluh. Karena itu, pendakwa bisa bersumpah mengenai jumlah di bawah 10, lalu mengambilnya, sebab membangkang sumah sama halnya dengan ikrar.

 

Atau apabila pendakwa mendakwakan suatu harta dengan menyebutkan sebabnya, misalnya ” Saya membenmu utang sekian .”, maka dalam jawaban terdakwa cukup dengan kata-kata “Kamu tidak berhak mendapatkan jumlah tersebut dariku”, atau “Saya tidak berkewajiban menyerahkan sesuatu kepadamu”.

 

Apabila ia mengakuinya dan mendakwa balik adanya sesuatu yang menggugurkan hak itu, maka ja dituntut mengajukan bayinah yang menyatakan penggugur tersebut.

 

Apabila didakwakan barang wadiah kepadanya, maka untuk merjawab dakwaan tidak cukup dengan katakata: “Saya tidak. wajib menyerahkan sesuatu”, tetapi harus dengan: “Kamu tidak berhak sesuatu pun padaku”.

 

Terdakwa juga bersumpah sebagaimana jawaban seharusnya, supaya sumpah itu cocok dengan jawaban.

 

Apabila seseorang didakwa mengenai sesuatu harta padanya, lalu ia mengingkannya dan meminta agar bersumpah, lalu ia berkata. “Aku tidak mau bersumpah”, dan ia menyerahkan harta, maka pendakwa tidak wajib menerimanya tanpa ada Ikrar, Pendakwa juga bisa menyuruh terdakwa untuk bersumpah.

 

Cabang:

 

Bila seseorang didakwakan mengenai sesuatu barang, lalu ia berkata: “Barang itu bukan milikku”: “Barang itu milik seseorang yang tidak kukenal”: “… milik anak kecilku”: “..wakaf untuk para miskin”, atau “untuk mesjid ini …”, dan terdakwa itu adalah nazhirnya, maka menurut pendapat Al-Ashah, bahwa urusan perkawinan itu tidak bisa lepas dari terdakwa dan barang itu tidak bisa diambil dari terdakwa.

 

Tetapi pendakwa bisa menyumpah terdakwa, bahwa ia tidak wajib menyerahkan barang itu, dengan harapan agar terdakwa mau ikrar atau membangkang sumpah, lalu pendakwa boleh bersumpah, dan tertetapkanlah barang tersebut sebagai milik pendakwa dalam dua jawaban di atas (yaitu: “Bukan milikku” dan “milik seseorang yang tidak kukenal”), dan tertetapkanlah ganti untuknya, karena terhalang pengambilan barang itu pada jawaban-jawaban selain yang dua tersebut.

 

Atau pendakwa bisa mengajukan bayinah yang menyatakan, bahwa barang itu adalah miliknya.

 

Apabila terdakwa terus-menerus berdiam diri dan tidak mau menjawab tuduhan (dakwaan), maka ia dianggap membangkang (Nakil), jika qadhi telah menghukuminya sebagai nakil.

 

Apabila masing-masing dari dua orang mendakwakan memiliki suatu barang yang sama pada tangan ketiga, di mana orang ini tidak menyatakan pemilik salah satu dari kedua orang di atas, baik sebelum atau sesudah pendakwa mengajukan bayinah, dan masing-masing dari mereka mengajukan bayinah, maka gugurlah kedua bayinah tersebut, karena terjadi pertentangan di antara kedua bayinah itu dan tidak ada murajjih-nya (pemenang di antara dua bayinah), maka hukumnya seperti tidak ada bayinah.

 

Apabila pemegang baran itu rkrar tentang kenulikan di antara dua pendakwa di atas, baik sebelum atau sesudah bayinah diajukan, maka dimenangkan bayinah pendakwa yang menurut pemegang adalah yang memilikinya.

 

Atau apabila dua orang mendakwakan barang yang sama, di mana barang berada di kedua orang tersebut dan masing-masing mengajukan bayinah, maka barang itu menjadi hak mulik mereka bersama, sebab tidak ada yang lebih berhak memiliki barang dari keduanya.

 

Adapun apabila barang itu tidak berada di tangan keduanya, dan masing-masing bayinah kedua pendakwa menyatakan pemilikan pada pendakwanya, maka barang itu menjadi milik mereka berdua (masalah iri sama dengan alenia di atasnya).

 

Masalah di mana dua bayinah itu saling menggugurkan, adalah apabila terjadi pertentangan makna, sekira salah satunya tidak bisa dimenangkan dengan keberadaan murajjih, (tetapi) kalian bisa dimenangkan dengan murajjih, maka yang dimenangkan adalah yang ada murajjihnya.

 

Murajihnya di sini adalah ada keterangan mengenai pemindahan hak milik, lalu keberadaan pendakwa itu memegang barang atau ada pendakwa yang diikran pemegang bahwa barang itu miliknya, atau ada perpindahan hak milik dari pemegang barang kepada pendakwa, kemudian dua saksi musalnya, dimenangkan atas bayinah yang satu saksi tambah sumpah saja. Kemudian keberadaan salah seorang di antara dua pendakwa itu lebih dahulu memiliki barang, yang hal itu diketahui dengan menyebutkan masanya atau ada keterangan bahwa barang itu (misalnya budak) lahir dari miliknya sendiri misalnya, dengan menyebutkan sebab kemilikannya.

 

Atau (apabila) dua orang mendakwakan memiliki sesuatu yang hak tasarufnya atau kenyataan barang itu berada di salah seorang dari keduanya, maka yang dimenangkan adalah bayinah pemegang barang itu (pemegang barang disebut Dakhil sedang pihak lain disebut Khuruj) tanpa bersumpah, walaupun tanggalnya lebih akhur atau berupa saksi seorang saja tambah sumpah, sedang bayinah Kharijy dua orang saksi, tidak menyebutkan sebabsebab kemilikannya berupa pembelian atau lainnya, atau walaupun bayinah kharij menerangkan sebab kemilikannya, sebagaimana memenangkan bayinah pihak pemegang barang, walaupun sebelum diajukan bayinah dakhil adalah dihukum! dengan bayinah kharij.

 

Memang, (tetapi) apabila bayinah si Kharij memberikan persaksian bahwa Kharij membeli barang dari si Dakhul atau dari orang menjual pada si Dakhil misalnya, maka yang dimenangkan adalah bayinah Kharij, sebab dalam keadaan seperti iri kekuasaan memegang barang bagi Dakhil adalah batal.

 

Apabila si Kharij mengajukan bayinah yang dinyatakan bahwa si Dakhil ikrar atas pemilikan Kharij terhadap barang, maka bayinah ini dimenangkan dan bayinah Dakhit yang menyatakan kemilikannya menjadi tidak berarti, kecuali bila ia menuturkan kepidahan hak milik yang mungkin terjadinya dari si Kharij kembali kepada Dakhil.

 

Dimenangkan bayinah si Dakhil seperti di atas, adalah apabila Dakhil mengemuakan bayinahnya setelah bayinah Kharij, lain halnya bila dikemukakan sebelum bayinah Kharij, sebab bayinah si Dakhil bisa diterima setelah bayinah Kharij, lantaran asal hujahnya tidak beralih dari hujah itu selagi masih mencukupi.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila sebab bayinah yang diajuan oleh si Kharij, dilepaskanlah kekuasaan memegang barang oleh Dakhil, lalu si Dakhil pun mengaju(kan bayinah yang menyatakan kemilikan dirinya sejak sebelum. barang itu dilepaskan dari kekuasaannya, dania (Dakhil) mengemukakan alasan ketidakhadiran para saksi atau ia tidak mengetahui mengenai mereka, maka bisa diterima dan dimenangkan, sebab hak memegang barang tidak bisa hilang selain dengan tidak ada hujah, sedang hujah di sini bisa diajukan. Maka rusaklah putusan hukum (yang menyatakan lepas hak barang). Tetapi bila Kharij berkata: “Barang itu adalah milikku yang kubeli darimu (Dakhul)”, dan Dakhuil menjawab: “Justru itu milikku”, dan kedua-duanya mengajukan bayinah yang sesuai dengan ucapan mereka itu, maka yang didahulukan (dimenangkan) adalah si Kharij, karena pada bayinah terdapat per tambahan pengetahuan mengenai kepindahan hak milik

 

Demikian pula -dimenangkan bayinah si Kharij, kalau menyatakan bahwa barang itu miliknya, hanya saja dititipkan/disewakan/dipinjamkan kepada si Dakhil, atau si Dakhil/orang yang menjual kepadanya telah menggasab barang itu dari si Kharij, sedang bayinah Dakhil menyatakan kemilikannya secara mutlak.

 

Apabila dua orang saling mendakwakan kalau dirinya memiliki binatang/bumi/rumah, di mana salah satu dari kedua orang tersebut memiliki barang muatan/tanaman/ barang-barang di dalam yang mereka dakwakan di atas, maka bayinah pendakwa yang memiliki barang muatan dan seterusnya, dimenangkan atas bayinah yang menyatakan kemilikan secara mutlak, karena ada kelebihannya dengan memanfaatkan barang-barang tersebut, yang mana kekuasaan memegang adalah padanya. Karena itu, apabila barang-barang tersebut berada di dalam bilik tertentu, maka kekuasaan pemegangnya adalah orang yang di situ terdapat barang tersebut.

 

Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri mengenai barang-barang rumah tangga, sekalipun terjadi setelah perceraian, dan di antara mereka tidak ada yang mengajukan bayinah serta tidak ada kekhususan memegang kekuasaan, maka di antara mereka saling menyumpah.

 

Kemudian, apabila kedua-duanya berani mengucapkan sumpah, maka barang menjadi milik mereka berdua, sekalipun pantasnya milik salah satunya saja, (tetapi) bila yang bersumpah hanya salah satunya, maka barang menjadi miliknya, sebagaimana bila salah satunya memegang kekuasaan terhadap barang itu.

 

Suatu bayinah ditarjih (dimenangkan) dengan penyebutan tanggal yang lebih dulu.

 

Karena itu, apabila ada dua orang yang mempercekcokan kemilikan suatu barang yang berada di tangan mereka berdua/tangan orang ketiga/ tidak berada di tangan apa pun, dan bayinah salah satunya menyatakan kemulikan orang yang ia berikan persaksiannya mulai satu tahun hingga sekarang, sedangkan bayinah yang satunya lagi memberikan persaksian bahwa orang itu dimiliki orang (pendakwa yang satunya) sejak lebih lama daripada tahun yang diajukan oleh bayinah pertama sampai sekarang, maka yang dimenangkan adalah pendakwa yang bayinah menyebutkan tahun yang lebih dahulu (lama), sebab bayinah ini menyatakan penetapan pemilikan pada suatu waktu yang bayinah lain tidak menentangnya.

 

Bagi pihak yang memiliki bayinah yang tanggalnya lebih tua, adalah berhak mendapatkan uang sewa dan keuntungan-keuntungan yang terjadi, terhitung sejak hari pemilikannya berdasarkan persaksian bayinah, sebab hasil-hasil itu adalah miliknya.

 

Apabila pihak yang bayinahnya bertanggal muda itu memegang kekyasaan terhadap barang dan tidak diketahui kalau penguasaannya atas barang tersebut adalah aniaya, maka menurut pendapat Al-Ashah adalah dimenangkan bayinahnya.

 

Apabila seseorang mendakwakan memiliki barang yang berada di tangan orang lain, bahwa ia membelinya dari Zaid sejak dua tahun, lalu Dakhil megnajukan baysnah yang menyatakan bahwa ia membeli barang itu dari Zaid sejak satu tahun, maka yang dimenangkan adalah bayinah Kharij, sebab bayinah itu menetapkan bahwa kekuasaan pemegang (Dakhul) adalah didapatkan dengan cara yang tidak benar (zalim), yaitu dengan membeli barang itu dari Zaid yang telah bukan miliknya.

 

Bila kedua bayinah menyebutkan tanggal yang sama/kedua-duanya tidak menyebutkan tanggal/salah seorang dari keduanya saja yang menyebutkan tanggal, maka yang dimenangkan dakwaannya adalah pemegang barang.

 

Apabila kesaksian kemilikan barang waktu itu kemarin dan tidak menerangkan hingga sekarang, maka kesaksiannya tidak bisa diterima, sebagaimana tidak bisa diterima dakwaan yang seperti itu, sehingga bayinah menyatakan “dan hak miliknya belum hilang”, atau “kita ndak tahu ia telah melepaskan hak miliknya”, atau bayinah itu menjelaskan sebab kemilikannya, sebagaimana ia mengatakan: “Ia membelinya dan pihak lawannya”, atau pihak lawan mengakui (ikrar) pembeliannya dari dirinya, sebab dakwaan kemilikan waktu yang telah lewat adalah tidak bisa diterima, demikian pula dengan bayinah.

 

Apabila pemegang barang berkata: “Barang ini kubeli dari Fulan sejak satu bulan”, dan ia mengajukan bayinah yang menyatakan hal itu, lalu istri Fulan tersebut berkata: “Barang ini adalah milikku yang kudapatkan dari Fulan (suamiku) dengan penukaran sejak dua bulan dan ia mengajukan bayinah yang menyatakan hal ini, maka jika tertetapkan bahwa barang itu berada di tangan suami waktu diadakan penukaran tersebut, maka dihukumi barang itu sebagai milik istri, (tetapi) kalau tidak, maka barang itu dihukumi sebagai milik orang yang memegangnya.

 

Suatu bayinah yang terdiri dari 2 orang laki-laki/ 1 laki-laki ditambah 2 perempuan/4 perempuan dalam masalah yang bisa disaksikan oleh empat perempuan, adalah dimenangkan atas yang terdiri satu laki-laki ditambah sumpah pendakwa, sebab keberadaan ijmak, diterimanya kesaksian kelompok-kelompok di atas, bukan yang terdiri seorang saksi ditambah sumpah.

 

Bayinah tidak dimenangkan lantaran kelebihan semacam keadilan atau bilangan (di luar batas yang ditentukan dalam kesaksian) para saksinya, tetapi kedua bayinah tetap diadu, sebab apa yang telah ditetapkan oleh syarak, adalah tidak dianggap berbeda dengan yang berlebihan banyak/kurang banyak. Yang terdiri dari 2 laki-laki adalah tidak dimenangkan atas yang terdiri dari seorang laki-laki yang ditambah 2 perempuan, dan demikian pula yang terdiri dari 4 perempuan.

 

Tidak dimenangkan pula bayinah yang bertanggal atas bayinah mutlak, yaitu yang tidak mengemukakan masa kemilikan, sekira salah satu pihak pendakwa tidak sebagai pemegang barang dan kedua-duanya sama-sama terdiri dani dua orang saksi serta bayinah yang kedua tidak menjelaskan sebab kemilikannya, maka kedua bayinah yang seperti ini tetap diadu.

 

Memang, (tetapi) apabila salah satu bayinah menyatakan ada utang, sedang bayinah yang satunya menyatakan ada pembebasan utang, maka yang dimenangkan adalah yang menyatakan pembebasan, sebab bayinah ini menyatakan hal yang terjadi setelah ada ketetapan utang, sedang dasar asalnya adalah bahwa utang tidak terjadi Berkali-kali.

 

Apabila suatu bayinah menyatakan 1.000,sedang bayinah yang satunya menyatakan 2.000,-, maka wajib 2.000,-

 

Apabila seseorang menyatakan keberadaan Zaid berikrar bahwa berutang kepadanya, lalu Zaid menyatakan bahwa ikrar orang itu (pendakwa) berisi “Ia (Zaid) tidak berutang kepadanya”, maka pernyataan (penetapan) Zaid tidak membawa pengaruh sama sekali, sebab bisa jadi setelah itu Zaid memang berutang lagi.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila seseorang mengajukan bayinah memiliki binatang atau pohon tanpa menyebutkan kemilikan yang dahulunya dengan cara menyebutkan tanggal, maka ia tidak berhak memiliki buah yang telah keluar/ anak yang lahir sejak kesaksian. Namun ia berhak memiliki buah/ kandungan yang tidak tampak ketika kesaksian, sebagai mengikuti kemilkan terhadap induk/pohonnya.

 

Lalu, apabila bayinah itu menyebutkan kemilikan dahulunya yang waktu itu buah dan anak telah ada, maka bisa memilikinya.

 

Apabila seseorang membeli sesuatu barang, lalu barang itu diambil oleh orang lain dari tangannya dengan suatu hujah, bukan karena ikrar, maka pembeli tersebut berhak meminta kembali uang yang telah ia serahkan kepada penjual barang yang tidak dibenarkan oleh pembeli tentang kemilikannya terhadap barang itu serta penjual tidak mengajukan bayinah yang menyatakan, bahwa barang itu dibeli dari pendakwa lalu dijual, sekalipun setelah diputuskan hukum tersebut.

 

Lain halnya bila diambil berdasarkan ikrar pemegang sesuatu barang tadi atau dengan sumpah pendakwa (pengambil barang) setelah pemegang tidak mau bersumpah, sebabia berbuat gegabah.

 

Apabila seseorang membeli budak dan dia berikrar bahwa yang dibeli adalah budak, lalu budak itu mendakwakan bahwa dirinya adalah merdeka sejak semula dan telah dihukumi kemerdekaannya, maka pembeli bisa meminta kembali uangnya kepada penjual sejumlah harga yang diberikan ketika membeli. Pengakuannya tentang kebudakan seperti di atas tidak ada masalah, sebab ia (penjual) berpedoman pada yang lahir.

 

Apabila seseorang mendakwakan membeli sesuatu barang, lalu bayinah membuktikannya secara mutlak tentang kemilikan itu (tidak menegaskan, bahwa kemilikan itu diperoleh dari pembeli), maka bayinah bisa diterima, sebab ia memberikan kesaksiannya status yang dimaksud dan tidak ada pertentangan, menurut pendapat Al-Ashah.

 

Demikran pula apabila mendakwakan kemilikan secara mutlak, lalu bayinahnya memberikan kesaksian dengan menyatakan sebab kemilikannya, maka tidak menjadi masalah, (tetapi) bila mendakwakan sebab kemilikannya, sedang para saksi (bayinah) menyebutkan sebab yang lain, maka pertentangan antara dakwaan dengan pernyataan para saksi menjadi masalah.

 

Cabang:

 

Apabila seorang menjual rumah, lalu terdapat bayinah yang menyatakan bahwa rumah itu oleh ayahnya telah. diwakafkan kepada penjual, lalu kepada anak-anaknya, maka rumah itu harus ditarik kembali dari tangan pembeli dan pembeli meminta kembali sejumlah harganya dahulu kepada penjual, dan untuk selanjutnya penghasilan rumah tersebut ditasarufkan penjual di atas, jika ia membenarkan apa yang dinyatakan oleh para bayinah hisbah (tetapi) bila ia tidak membenarkan, maka penghasilannya dibiarkan saja (tawaqqufkan)

 

Lalu, bila penjual di atas meninggal duma dalam keadaan masih tidak membenarkannya, maka penghasilan rumah tersebut ditasarufkan kepada kerabat terdekat pada pewakaf, demikianlah yang dikatakan oleh Ar-Rafi’i sebagaimana juga Al-Qaffal.

 

Cabang:

 

Persaksian mengenai kemilikan waktu sekarang terhadap suatu barang yang didakwakan berdasarkan anggapan berjalan terus status kemilikan yang telah ada di waktu dulu, baik kemilikan itu didapatkan dari pewarisan, pembelian atau lainnya, adalah diperbolehkan, bahkan persaksianitu wajib hukumnya bila hanya dia yang mengetahuinya, karena berpedoman anggapan berjalan terus (Istishhab) status dahulu lantaran dasar asalnya adalah. bahwa status itu masih ada, dan karena dibutuhkan berpedoman dengan cara seperti itu.

 

Kalau persaksian seperti itu tidak diperbolehkan, niscaya akan mengalami kesulitan dalam memberikan kesaksiari mengenai hak milik yang diperoleh sejak dahulu, apabila telah berjalan dalam masa yang lama.

 

Masalah diperbolehkan persaksiannya seperti itu, adalah bila saksi tidak secara sharih mengemukakan bahwa ia berpedoman pada anggapan berjalan terus status dahulu. Kalau ia menjelaskan seperti itu, maka menurut kebanyakan ulama adalah tidak diterima kesaksiannya.

 

Apabila ada dua orang saling mendakwakan memiliki barang yang berada di tangan orang ketiga, maka jika orang ketiga iri berikrar bahwa itu milik salah satu dari dua orang tersebut, maka barang itu harus diserahkan kepadanya, dan pendakwa yang satu dapat menyumpah orang ketiga yang berikrar tadi.

 

Apabila ada dua orang saling mendakwakan barang yang berada di tangan orang ketiga, dan masingmasing pendakwa mengajukan bayinahnya yang menyatakan bahwa barang itu dibeli dari orang ketiga dan telah menyerahkan harganya, maka apabila tanggal bayinahnya itu berbeda, dihukumi sebagai milik pendakwa yang bayinahnya bertanggal lebih dahulu, sebab dengan bayinah inilah ada kelebihan pengetahuan.

 

Kalau tanggalnya tidak berbeda yartu kedua-duanya tdak bertangyal salah satunya saja atau keduanya menyebutkan tanggal yang sama maka kedua bayinah itu menjadi gugur, sebab ketidakmungkinan hal itu.

 

Kemudian, bila orang ketiga pemegang barang itu berikrar bahwa barang itu milik kedua pendakwa atau salah satunya, maka jelaslah masalahnya.

 

Kalau tidak berikrar, maka orang ketiga diambil sumpahnya untuk dua pendakwa dan kedua pendakwa bisa menarik kembali jumlah harga pembeliannya kepada orang ketiga, sebab tertetapkan pembelian berdasarkan bayinah.

 

Apabila dua pendakwa tersebut mengatakan: “Barang itu saya jual dengan harga sekian dan kala itu barang menjadi milikku” (kalau tidak ditambah “dan kala itu barang menjadi milikku”, maka dakwaan tidak bisa diterima), sedang barang di tangan terdakwa, lalu terdakwa mengingkarinya dan dua orang pendakwa mengajukan bayinah masing-masing yang menyatakan tuduhan itu serta kedua pendakwa menuntut harga pembayarannya, maka bila kedua bayinah itu menyebutkan tanggal yang sama, maka gugurlah kedua-duanya.

 

Apabila masing-masing tanggalnya berbeda, maka terdakwa wajib membayar dua harga.

 

Apabila pendakwa berkata: “Saya sewakan bilik itu kepadamu dengan harga sewa 10”, misalnya, lalu dijawab: “Tetapi engkau sewakan seluruh rumah dengan harga sewa 10′, dan kedua-duanya mengajukan bayinah masing-masing, maka gugurlah kedua bayinah itu, dan selanjutnya pendakwa dan terdakwa saling menyumpah, lalu akad menjadi fasakh.

 

Peringatan: Dalam dakwaan -sebagaimana juga persaksianbelum cukup menyebutkan pembelian kecuali dengan disebutkan bahwa barang itu milik penjual, bilamana ia bukan pemegang barang, atau disebutkan bahwa penjual adalah pemegang barang bilamana memang pemegangnya dan bahwa barang itu terlepas dari tangan penjual dengan jalan yang tidak benar.

 

Apabila seluruh atau sebagian para ahli waris mendakwakan bahwa Muwarisnya yang mati itu memiliki suatu barang, piutang atau manfaat suatu barang dan mereka mengajukan saksi mengenai dakwaan itu, lalu sebagian di antara mereka bersumpah bersama saksinya, maka yang bersumpah ini dapat mengambil harta tersebut sebesar bagian furudnya dan harta yang diambil itu tdak disekutu’ kemilikannya dalam kayannya dengan para ahli waris yang lainnya.

 

Karena hujah telah sempurna dalam hak ahli waris yang bersumpah tersebut, sedang selainnya dapat menyempurnakan hujahnya dengan bersumpah, dan dengan sumpah seorang, tidak bisa orang lain yang diberinya.

 

Karena itu, bila dari sebagian ahli waris ada yang masih kanak-kanak atau sedang tiada berada di tempat, maka ia diambil sumpahnya setelah balig atau datang di tempat, dan selanjutnya dapat mengambil bagiannya tanpa mengulangi proses pendakwaan dan persaksian.

 

Apabila seseorang berikrar berutang kepada mayat, lalu sebagran ahli waris mengambil sebesar bagiannya dari harta piutang itu, sekalipun tanpa melalui pendakwaan dan tidak ada izin dari hakim, maka ahli waris yang lain ikut bersekutu dalam kemilikannya terhadap harta yang terambil tersebut

 

Apabila (dalam suatu persenkatan tersebut) ada salah satu dan para persenkatan kemilikan suatu rumah atau kemanfaatan ruamh mengambil sebagian yang dikhususkan buatnya, misalnya berupa uang sewanya, maka perserikatan yang lain tidak bisa berserikat dalam memiliki bagian yang diambil tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita (Ibnu Hajar).

Lafal “Syadat” adalah jamak dari “Syahadat”. Yang artinya (menurut syara’) adalah: Pemberitahuan oleh seseorang dengan lafal tertentu mengenai keberadaan hak yang berada pada tanggungan orang lain.

 

Kesaksian mengenai ketetapan awal bulan Ramadan dalam kaitannya denga kewajiban berpuasa saja, adalah harus dibenkan oleh sorang laki-laki, bukan perempuan atau banci.

 

Kesaksian untuk keberadaan perzinaan dan liwath adalah diberikan oleh empat laki-laki yang menyaksikan bahwa mereka melihat pezina yang mukalaf dan tidak terpaksa, memasukkan kepala zakarnya ke farji waruta dengan cara zina.

 

Guru kita berkata Pendapat yang berwajah adalah di dalam kesaksian tentang perzinaan tidak disyaratkan menyebutkan masa dan tempat perzinaan, kecuali bila salah satu saksi telah menyebutkannya, maka bagi saksi yang lain wajib ditanya hal itu, sebab bisa dimungkinkan terjadi perselisihan data yang menggugurkan kesaksian. Tidak disyaratkan juga menyebutkan: “Kami melihat seperti batang celak masuk ke wadah celak”, tapi cuma disunahkan saja.

 

Adapun persaksian tentang ikrar seseorang bahwa dirinya telah berzina, adalah cukup dengan dua orang, sebagaimana untuk ikrarikrar yang lainnya.

 

Untuk kesaksian kehartaan (barang utang/kemanfaatan) dan sesuatu yang berlatar belakang harta, baik itu akad kehartaan, misalnya jual beli, hawalah, dhaman, wakaf, gardh, shuluh, khiyar dan masa pembayaran, adalah harus diberikan oleh dua laki-laki/satu laki-laki ditambah dua perempuan/satu lakilaki ditambah-sumpah pendakwa.

 

Tiada suatu persaksian yang bisa ditetapkan dengan dua perempuan ditambah sumpah pendakwa.

 

Adapun masalah-masalah selain di atas (bukan kehartaan dan bukan berlatar belakang kehartaan), baik berupa uqubah hak Allah swt., misalnya had (hukuman) meminum minuman keras dan pencurian, atau hak manusia misalnya qawad dan qadzaf serta halangan status waris, -misalnya segenap ahli waris mendakwakan bahwa suami yang mati telah mengkhuluk istri sehingga tidak bisa mewaris suami-, dan untuk masalah-masalah yang pada galibnya diketahui oleh laki-laki, misalnya nikah, rujuk, talak munayjaz maupun mu’allaq, fasakh nikah, kebaligan, kemerdekaan budak, kematian, kemlaratan, qiradh, wakalah, kafalah, syirkah, wadi’ah, wasiat, kemurtadan, habis masa idah dengan. perhitungan bulan, mengetahu bulan selain bulan Ramadhan, persaksian terhadap persaksian atau ikrar mengenai sesuatu yang tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dua orang laki-laki, kesemuanya di atas harus diberikan oleh dua orang laki-laki, bukan seorang laki-laki ditambah dua perempuan.

 

Sebagai dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik, dari Az-Zuhri: Telah ditetapkan dari Sunah Rasulullah saw., bahwa beliau tidak memperbolehkan persaksian kaum wanita mengenai had, perniakhan dan talak.

 

Juga segala sesuatu yang semakna dengan di atas, adalah dikiaskan dengannya.

 

Untuk kesaksian mengenai perkara yang pada galibnya diketahui oleh kaum wanita, misalnya kelahiran, haid, keperawanan, kejandaan, susuan dan cacat wanita yang berada di bawah pakaiannya, adalah harus diberikan oleh 4 perempuan/2 laki-laki/1 laki-laki ditambah 2 perempuan.

 

Dasarnya adalah hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah, dari Az-Zuhri: Telah ditetapkan dari Sunah Rasul, bahwa belidu memperbolehkan persaksian kaum wanita mengenai hal-hal yang selain mereka tidak terbiasa mengetahuinya, yaitu berupa melahirkan dan kecacatan mereka.

 

Selain tersebut di dalam hadis di atas adalah dikiaskan dengannya. Masalah-masalah tersebut tidak bisa ditetapkan adanya dengan persaksian seorang laki-laki ditambah sumpah pendakwa.

 

Sebagian dan Ashhabuna Syafi’iyah ditanya mengenai apabila dua orang laki-laki memberikan kesaksian, bahwa Fulan telah mencapai umur 16 tahun, lalu 4 perempuan memberikan kesaksian bahwa perempuan Fulanah yang ayahnya telah mati dilahirkan pada bulan yang sama dengan Fulan tersebut atau sebulan sebelumnya misalnya, atau sebulan sesudahnya, maka apakah diperbolehkan menikahkannya (tanpa meminta izin Fulanah, bila mungkin ia harus dimintai izinnya) dengan berpedoman terhadap ucapan 4 wanita atau tidak diperbolehkan kecuali tertetapkan kebaligannya dengan kesaksian 2 laki-laki?

 

Maka beliau menjawabnya. Memang, Fulanah yang hari kelahirannya disaksikan oleh 4 perempuan tadi bisa ditetapkan kebaligannya, sebagaimana bisa pula ditetapkan keberadaan nasabnya sebagai mengikuti persaksian kelahirannya. Karena itu, wanita Fulanah di atas boleh dikawinkan berdasarkan izin darinya, sebab secara syarak telah dihukumi balig. Selesai.

 

Cabang:

 

Apabila seorang istri mengajukan saksi yang menyatakan, bahwa suaminya berikrar telah menggaulinya, maka cukuplah dengan sumpah istri bersama saksi tersebut, dan bisa ditetapkan maharnya.

 

Atau apabila suami mengajukan seorang saksi yang menyatakan bahwa istrinya telah berikrar telah digauli (dijimak), maka belum cukup sumpah suami bersama kesaksian saksi, karena latar belakang dakwaan suami adalah adanya idah atau biasanya dirujuk, yang mana keduanya bukan masalah kehartaan.

 

Saksi disyaratkan keadaannya mukalaf, merdeka, bermuru’ah dan adil serta mengerti secara saksama.

 

Karena itu, tidak bisa diterima kesaksian anak kecil, orang gila, budak -karena ada kekurangannya-, orang yang tidak mempunyai muru’ah -tidak mempunyai malu-, sedang orang yang tidak mempunyai malu itu berkata semaunya. Muru’ah adalah orang yang menjaga diri dan hal-hal yang oleh kebiasaan dinilai hina. Karena bagi selain orang pasaran muru’ahnya jatuh lantaran makan, minum atau berjalan di pasar dalam keadaan tidak menutup kepalanya. Gugur pula lantaran mencium wanita yang halal bagi seseorang (istri/ amat) di depan orang banyak, terlalu banyak membual di depan umum, bermain catur atau berjoget, lain halnya bila tiga di atas dilakukannya tidak terlalu banyak. Persaksian juga tidak bisa diterima dari orang yang fasik.

 

Segolongan fukaha, di antaranya Al-Adzra’i, Al-Ghazali dan lain-lain memilih pendapat sebagian ulama Malikiyah: Apabila keadilan (sifat adil) sudah tidak ada dan kefasikan merajalela, maka sang hakim memutuskan hukum dengan persaksian orang yang lebih patut, karena keadaan darurat.

 

Keadilan itu bisa ternyatakan (terlihat) dengan sikap menjauhi segala dosa besar dengan semua bentuknya, misalnya membunuh, berzina, menuduh zina, memakan riba, memakan harta anak yatim, saksi palsu, mengurangi takaran atau timbangan, memutuskan hubungan kerabat, lari dari barisan perang tanpa uzur, durhaka kepada kedua orangtua, gasab sebesar 1/4 dinar, mengabaikan salat fardu, menunda zakat dengan cara zalim, mengadu domba dan sebagainya: yaitu setiap perbuatan maksiat yang memberitahukan bahwa pelakunya itu hanya sedikit perhatiannya terhadap agama, bahwa hal itu menunjukkan kelemahan agamanya.

 

Ternyatakan dengan menjauhi dari berterus-menerus melakukan satu dosa kecil atau bermacam-macam, sebagaimana ketaatannya tidak dapat mengalahkan kemaksiatannya.

 

Karena itu, apabila orang melakukan dosa besar, maka batallah keadilannya secara mutlak (baik ketaatannya mengalahkan kemaksiatannya ataupun tidak): atau (bila) melakukan satu atau beberapa dosa kecil, baik terus-menerus atau tidak (asal ketaatannya kalah dengan dosa kecil), lain halnya dengan pendapat yang membedakannya.

 

Bila ketaatannya bisa mengalahkan kemaksiatannya (dalam melakukan dosa kecil), maka orang itu tetap disebut adil. Kalau sama atau dosa-dosa kecilnya (kemaksiatannya) mengalahkan ketaatannya, maka orang itu disebut fasik.

 

Dosa kecil itu misalnya melihat atau memegang wanita lain, menggauli istri (menyetubuhinya) dalam keadaan idah raj’iyah, tidak menegur-sapa kepada sesama muslim lebih dari 3 hari, menjual khamar, orang laki-laki memakai pakaian dari sutera, melakukan kebohongan yang tidak ada hadnya, melaknati walaupun pada binatang atau orang kafir, menjual barang cacat tanpa menerangkan kecacatannya, menjual budak muslim kepada orang kafir, buang air besar/kecil dengan menghadapkan farjinya ke arah Ka’bah, membuka aurat di tempat sepi tanpa ada hajat, bermain Nard (catur atau dam-daman)-karena ada dalil sahih yang melarangnya-, menggunjing dan mendengarkan bila ada gunjingan.

 

Penukilan sebagian ulama bahwa menurut ijmak, ghibah adalah termasuk dosa besar, karena ada ancaman yang berat adalah dihubungkan dengan ghubah (menggunjing) kepada ahli ilmu dan para penghafal Alqur-an. Ghibah adalah: Engkau menuturkan, sekalipun dengan isyarat kejelekan orang lain yang menurut kebiasaan tidak senang hal itu disebutkan dan orang lain itu tertentu dan terbatas Jumlahnya, sekalipun di depan sebagian orang-orang yang diajak bicara.

 

Bermain catur hukumnya makruh, jika tiada taruhan harta dari kedua belah pihak/salah satunya, tidak menelantarkan salat -yang sekalipun karena terleka oleh permainannya-, atau tidak bermain dengan mengiktikadkan keharamannya, (tetapi) kalau begitu hukumnya haram.

 

Hadis yang menyebutkan cercaan permainan catur dan seterusnya adalah dihubungkan pada terjadinya hal-hal tersebut.

 

Gugurlah muru’ah orang yang terusmenerus bermain catur, oleh karena Itu persaksiannya ditolak. Bermain catur adalah haram, menurut ketiga imam secara mutlak.

 

Tidaklah bisa diterima persaksian orang pelupa dan waras pikirannya, orang tuli dan yang buta, sebagaimana yang akan diterangkan nanti.

 

Termasuk “tahu secara saksama”, adalah bisa menghafal kata-kata Masyhud Alaih (orang yang dipersaksikan atasnya) dengan persis huruf-hurufnya, tanpa kurang maupun lebih.

 

Guru kita berkata. Dari situ, adalah tidak boleh persaksian secara makna (tidak persis seperti kata-katanya), Memang, (tetapi) tidak terlalu jauh (bila dikatakan) kebolehan mengemukakan syahadah dengan menggunakan salah satu dari dua sinonim, sekira tidak membuat kekaburan.

 

Saksi juga disyaratkan keadaannya tidak dicurigai, bahwa persaksiannya itu akan menimbulkan suatu keuntungan bagi diri orangtua/ anaknya atau akan tertolak suatu mudarat darinya.

 

Karena itu, tidaklah bisa diterima persaksian seorang untuk budak mukatabnya, untuk pengutang kepadanya yang telah mati, walaupun jumlah utang tersebut tidak menghabiskan harta peninggalan: Lain halnya dengan persaksiannya untuk pengutang yang kaya, demikian juga yang melarat, di mana kedua-duanya belum mati, maka persaksian bisa diterima.

 

Ditolak juga persaksian untuk sebagian dirinya sendiri, baik itu orangtua dan terus ke atas maupun anaknya dan sekalipun ke bawah.

 

Tidak tertolak persaksian atas sebagiannya sendiri mengenai sesuatu, sebab tiada kecurigaan. Begitu juga persaksian atas ayah seseorang mengenai ketertalakan istri pemadu ibunya yang masih menjadi istri ayahnya. Adapun talak raj’i, maka persaksiannya bisa diterima secara pasti.

 

Semua persaksian di sini diterima, adalah persaksian Hisbah atau setelah terjadi dakwaan dari pihak istri pemadu ibunya (ibu tiri).

 

Karena itu, bila ayah yang mendakwakan keberadaan talak itu karena tiada nafkah, maka persaksiannya tidak bisa diterima, karena terdapat kecurigaan. Demikian pula Ibunya sendiri yang mendakwakan keberadaan talak (terhadap istri pemadunya).

 

Ibnush Shalah berkata: Apabila sang anak mendakwakan atas orang lain mengenai adanya piutang untuk muwakkil, lalu orang itu menging: karinya, tetapi ayah wakil bersama orang lain itu memberikan kesaksian mengenai piutang itu, maka diterimalah persaksian tersebut, sekalipun di situ terdapat unsur membenarkan anaknya.

 

Bisa diterima persaksian masingmasing suami-istri, dua laki-laki berteman untuk satunya.

 

Tertolaklah persaksian seseorang mengenai objek pentasarufan suatu barang, misalnya ia menjadi wakil atau washi harta itu, sebab dengan persaksian itu akan mengakibatkan penguasaan penuh bagi dirinya sendiri atas barang yang dipersaksikan. Memang, tetapi bila memberikan kesaksian setelah terlepas dari jabatannya dan sebelum itu ia tidak pernah bersengketa mengenai harta itu, maka persaksian bisa di terima.

 

Demikian pula tidak bisa diterima persaksian orang yang memegang barang titipan untuk orang yang menitipkannya, persaksian pemegang gadai untuk penggadainya, karena ada kecurigaan pemegang barang di tangan mereka.

 

Adapun persaksian (wakil/washi) mengenai barang yang tidak menjadi objek perwakilan atau pewasiatannya, maka adalah bila diterima.

 

Di antara khilah-khilah untuk menjadikan sah persaksian wakil: Bila wakil itu menjual barang (wakil untuk menjualnya), lalu pembeli mendakwakan bahwa ia telah membayar harganya atau wakil pembelian membeli sesuatu, lalu ada orang lain yang mendakwakan barang itu adalah miliknya, maka wakil dalam kedua contoh bisa memberikan kesaksian untuk muwakkilnya, bahwa ia mempunyai hak sekian yang menjadi tanggungan pembeli/ barang terbeli tersebut adalah milik muwakkil, jika ternyata ia (wakil) dapat memberikan kesaksian mengenal barang itu untuk penjual dan dalam kesaksiannya ta tidak menuturkan bahwa dirinya adalah selaku wakil.

 

Al-Adzra’i membenarkan kehalalan kesaksian tersebut secara batin, sebab di itu morupnkan penyampai an suntu hak dengan jalan yang diperbolehkan.

 

Demikian pula tidak bisa diterima persaksian mengenai kebebasan utang orang yang utangnya ditanggung oleh saksi/orangtua/anak turun/budaknya, sebab dengan persaksian seperti ini berarti saksi menolak tanggungan utang dari dirinya sendiri atau pihak yang tidak bisa diterima persaksian untuknya.

 

Tidak bisa diterima persaksian seseorang atas orang yang menjadi musuhnya dalam permusuhan duniawi, (tepai) persaksian untuk musuhnya adalah tidak ditolak. Musuh seseorang adalah orang yang merasa susah lantaran-orang itu berbahagia dan sebaliknya.

 

Karena itu, apabila ada orang memusuhi orang yang akan mengemukakan persaksian atasnya dan orang itu mempertinggi pertikaiannya, lalu orang yang dimusuhi tersebut tidak membalasnya, maka persaksia orang ini bisa diterima.

 

Peringatan:

 

Guru kita berkata: Menurut lahir pembicaraan Nikaha, bahwa persaksian dari anak sang musuh itu bisa diterima, Dalam hal ini bel,iau berpendapat, bahwa denga keberadaan permusuhan sang ayah itu tidak bisa dipastikan anaknya turut bermusuhan.

 

Faedah:

 

Menurut hasil kesimpulan Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, bahwa orang yang menuduh zina orang lain adalah tidak bisa diterima persaksian satu pihak atas yang lainnya, sekalipun yang dituduh zina telah menuntut hadnya.

 

Demikian pula tidak bisa, orang yang mendakwa orang lain bahwa orang ini telah membegalnya di tengah jalan dan mengambil hartanya, maka persaksian satu pihak atas yang lain tidak bisa diterima.

 

Guru kita berkata: Dari pembicaraan Ar-Raudhah di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap orang yang menyandarkan orang lain pada kefasikan yang bisa membawa akibat permusuhan di antara mereka, maka persaksian satu atas lainnya tidak bisa diterima.

 

Memang, (tetapi) belum ada ketegasan hasil peninjauhan mengenai orang yang menggunjing orang lain dengan kefasikan yang mestinya boleh digunjing, sekalipun orang di atas menetapkan sebab yang memperbolehkan menggunying tersebut.

 

Cabang:

 

Persaksian setiap pelaku bid’ah yang tidak kita hukumi kafir karena bid’ahnya, adalah bisa diterima, sekalipun ia memaki-maki sahabat Nabi saw., sebagaimana yang tertera di dalam Ar-Raudhah. As-Subki dan Al-Adzra’i. mendakwakan bahwa yang demikian itu adalah keliru.

 

Persaksian orang yang bersegera memberikannya sebelum dimintai persaksiannya, sekalipun setelah terjadi proses pendakwaan, adalah tidak bisa diterima, sebab saksi seperti ini bisa dicurigai. Memang, (tetapi) bila ia mengulangi persaksiannya itu kembali di dalam majelis pengadilan setelah dimintai persaksiannya, maka bisa diterima persaksiannya.

 

Kecuali dalam persaksian Hisbah, yaitu persaksian yang dilatarbelakangi untuk mendapatkan ridha Allah swt. maka sebelum dimintai persaksiannya, walaupun tiada terjadi dakwaan, bisa diterima persaksian mengenai hak yang. dikuatkan untuk Allah swt., yaitu suatu hak yang keberadaannya tidak terpengaruh dengan kerelaan manusia, misalnya talak raj’i atau bain, kemerdekaan seseorang, kemustauladah-an, nasab, ampunan dari qawad, masih berjalan masa idah atau telah habisnya, kebaligan, keislaman, kekafiran,wasiat dan wakaf untuk semacam kepentingan umum, hak mesjid, perbuatan meninggalkan salat/puasa/zakat, dan pemahraman radha’ atau perbesanan.

 

Peringatan:

 

Hanya saja persaksian Hisbah itu bisa diterima sebagai persaksian di kala dibutuhkan. Karena itu, bila ada dua orang memebrikan persaksian bahwa si Fulan telah memerdekakan budaknya atau bahwa si Fulan adalah laki-laki Fulanah dari jalur susuan, adalah, belum cukup, sehingga dua orang saksi tersebut berkata: “Sungguh, si Fulan itu memperlakukannya sebagai budak” atau “Sungguh, si Fulan ingin menikahi Fulanah.

 

Tidak termasuk ucapanku “dalam hak untuk Allah swt., yaitu hak manusia, misalnya qawad, had qadzaf atau jual beli. Karena itu, persaksian hisbah dalam hal ini tidak bisa diterima.

 

Persaksian hisbah bisa diterima Juga dalam masalah had zina, pe begalan dan pencurian.

 

Bisa diterima pula persaksian orang fasik yang telah bertobat sebelum sekarat dan sebelum matahari terbit dari arah barat.

 

Tobat ialah menyesali perbuatan maksiat dari segi kemaksiatan itu, bukan kaena takut siksanya, andaikata diperlihatkan kepadanya dan bukan karena terbebani tanggungan utang harta.

 

Dengan syarat melepas kemaksiatan itu seketika, bila ia tengah melakukan atau terus-menerus melakukannya. Termasuk arti melepas di siru, adalah mengembangkan barang hasil gasab. Syarat (kedua) adalah mengukuhkan hati tidak akan mengulangi maksiat sepanjang masih hidup. Syarat (ketiga) adalah menghindari berbuat zalim kepada manusia, baik yang berupa harta ataupun lainnya.

 

Karena itu, ia harus menunaikan kepada orang yang berhak menerimanya, mengembalikan barang hasil gasab bila masih ada atau mengganti kepada pemiliknya bila telah rusak, dan mempersilakan orang yang memuliki hak qawad atau had qadzaf untuk melaksanakan haknya atau kalau mau membebaskannya.

 

Karena berdasarkan hadis sahih: “Barangsiapa masih mempunyai kezaliman kepada saudara Islamnya mengenai kehormatan atau harta, maka hendaklah ia meminta halalnya di hari ini sebelum tidak terdapat dinar maupun dirham, jika ia mempunyai amal kebajikan, maka diambillah kebajikan itu seukur kezalimannya, (tetapi) bila fidak mempunyainya, maka amal kejelekan saudara yang dizalimi diberikan kepadanya.” Amal kebajikan itu termasuk juga amal puasa, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis riwayat Muslim: lain halnya menurut pendapat orang yang mengecualikan amal puasa.

 

Lalu, bila ada uzur untuk mengembalikan barang yang dizalimi kepada pemiliknya, maka ia bisa mengembalikan kepada qadhi yang dapat dipercaya, Kalau juga tidak bisa, maka ia dapat mentasarufkan barang tersebut dari siapa saja dari mashalihul muslimin bila berita pemilik barang tersebut sudah terputus, dengan niat menyerahkan gantinya bila ditemui pemiliknya. Apabila ia jatuh melarat, maka ia harus berniat mengembalikan barang itu jika sudah kaya. Lalu, bila yang melarat itu mati sebelum sempat mengembalikan barang tersebut, maka tiada tuntutan lagi di akhirat, bila bukan maksiat dengan penetapannya sendiri. Maka yang diharapkan dani anugerah Allah swt. yang luas adalah semoga Allah swt. berkenan mengganti pemilik barang itu.

 

Untuk kesahan menobati perbuatan mengeluarkan salat dari waktunya, disyaratkan menggadhanya, sekalipun banyak, untuk perbuatan qadzaf, hendaknya orang itu berkata: “qadzafku batal dan aku menyesalinya serta tidak akan mengulangi lagi”, dan untuk perbuatan ghibah (menggunjing), hendaklah minta kehalalan orang yang digunjing, jika ghibah itu sampai kepadanya, dan terhalang lantaran orang yang digunjing telah mati atau ghibahnya panjang. Kalau berita ghibah itu tidak sampai kepada orang yang digunjing atau ada halangan meminta halalnya, maka cukuplah dengan menyesali perbuatannya sendiri dan memohonkan ampunan kepada orang yang digunjing, bandingannya adalah sebagaimana orang yang dengki (hasud).

 

Segolongan ulama Mutaqaddimun mensyaratkan, bahwa untuk kesahan tobat dari segala maksiat harus beristigfar kepada Allah swt. Ketentuan ini dipedomi oleh Al-Bulqini.

 

Sebagian ulama berkata: Dalam menobati perbuatan zina, adalah butuh meminta halal kepada suami perempuan yang diajak zina, jika tidak khawatir akan terjadi fitnah: (tetapi) kaldu khawatir, maka: hendaklah memohon kepada Allah swt. dengan kerendahan hati, semoga suami berkenan merelakan apa yang diperbuat olehnya.

 

Sebagian ulama memasukkan perbuatan zina ke dalam hal-hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan hak Adami, maka untuk menobatinya tidak perlu ada permintaan halal seperti di atas. Menurut pendapat Al-Aujah adalah pendapat yang pertama.

 

Sunah bagi pelaku zina -sebagaimana pula setiap orang yang melakukan maksiat-, agar menutupi perbuatanitu: yaitu tidak menunjukkan agar dihad atau ditakzir, dan tidak menceritakan perbuatannya dalam rangka menampakkan kenikmatan atau keterbukaan, sebab sikap seperti ini secara pasti adalah haram hukumnya.

 

Demikian pula, sunah bagi orang yang telah berikrar melakukan perbuatan di atas, agar mencabut ikrarnya.

 

Guru kita berkata: Barangsiapa yang meringgal dunia dalam keadaan masih mempunyai piutang yang belum ditagih oleh ahli warisnya, maka dialah kelak yang akan menagihnya di akhirat, menurut perndapat Al-Ashah.

 

Persaksian orang fasik bisa diterima setelah bertobat dan setelah masa tstihra’, selama satu tahun, terhitung mulas sejak tobat orang fasik yang tampak jelas kefasikannya itu, karena tobat adalah perbuatan hati, sedang ia sendiri bisa berpura-pura bertobat, agar bisa diterima persaksiannya dan kembali kekuasaannya Oleh karena itu, diujilah dengan masa selama itu, agar kuat pengakuannya.

 

Hanya saja sebagian besar ulama menentukan masa satu tahun, karena 4 musim (panas, hujan, gugur dan semi) adalah mempunyai pengaruh terhadap gejolak syahwat jiwa. Maka, apabila 4 musim itu telah terlewati, sedang ia masih tetap keadaannya seperti semula, adalah menunjukkan kebaikan jiwanya.

 

Demikian pula, masa istibra’ seperti ini wajib diterapkan kepada orang yang merobek muru’ahnya, sebagaimana yang dituturkan oleh Al-Ashhab.

 

Beberapa Cabang:

 

Kebodohan saksi terhadap kefarduan semacam salat dan wudu yang ia tunaikan, adalah tidak membuat kecacatan persaksiannya. Begitu juga dengan ketidaktegasan saksi mengenai hal yang tidak dipersaksikan (Masyhud Bih), jika ia , mengulangi dan penuh kemantapan, maka ia harus mengulangi persaksiannya mulai awal.

 

Tidak pula dengan adanya ucapan: . “Tiada data kesaksian padaku mengenai hal itu”, jika ia mengatakan: “Aku lupa” atau ada kemungkinan terjadi hal yang ia persaksikan itu-setelah ucapannya tersebut, sedang ketebalan mental agama saksi di atas telah masyhur.

 

Qadhi tidak diwajibkan meminta penjelasan lebih lanjut kepada saksi, jika si saksi telah masyhur kuat hafalan dan mental agamanya, tetapi hal ini disunahkan sebagaimana memisah-misahkan para saksi. Kalau saksi tidak masyhur seperti itu, maka bagi qadhi wajib meminta penjelasan lebih lanjut.

 

Untuk persaksian mengenai perbuatan, misalnya perzinaan, gasab, susuan dan kelahiran, disyaratkan melihat sendiri perbuatan itu dan melihat pelakunya. Karena itu, dalam masalah im tidak cukup hanya dengan dari orang lain.

 

Diperbolehkan sengaja melihat farji dua orang. yang tengah melakukan zina untuk keperluan Tahammulusy Syahadah (mengambil data persaksian), demikian pula sengaja melihat farji wanita yang sedang melahurkan, demi keperluan tersebut.

 

Adapun untuk persaksian mengenai. ucapan, misalnya akad, fasakh dan ikrar, disyaratkan melihat orang: yang mengucapkannya dan mendengar waktu mengucapkannya.

 

Karena itu, dalam masalah ucapan, orang tuli yang tidak bisa mendengar, tidak bisa diterima sebagai saksi, begitu juga dengan orang buta dalam masalah penglihatan, sebab jalan untuk dapat membedakan tertutup baginya, karena bisa jadi keserupaan suara.

 

Seorang saksi tidak cukup hanva dengan mendengar suara dani balik tabir sekalipun ia telah mengenal suara itu, sebab sesuatu yang mungkin bisa dihasilkan dengan salah satu pancaindera adalah tidak boleh memberlakukannya berdasarkan kemungkinan besar dugaannya. sebab bisa juga terjadi keserupaan berbagai suara.

 

Guru kita berkata: Memang, (tetapi) bila mengetahuinya di dalam bilik sendirian dan tahu pula bahwa suara yang didengar itu berasal dari orang yang berada di dalam bilik itu, maka diperbolehkan memberikan persaksian dengan berpedoman terhadap suaru itu, sekalipun tidak melihat orangnya. Demikian pula, kalau mengetahui ada dua orang di dalam bilik dan tiada orang lain di situ, lalu mendengar dua orang tersebut mengikat akad serta mengetahui siapa yang ijab dan yang qabul, lantaran ia telah mengetahui pemilik barang yang diperjualbelikan atau hal yang lain, maka baginya diperbolehkan mengemukakan kesaksian berdasarkan yang didengar dari mereka berdua. Selesai.

 

Tidak sah mengambil data kesaksian kepada wanit bertudung muka dengan berpedoman pada suaranya, sebagaimana tidak sah mengambil datn kesaksian bagi orang yang dapat melihat di tempat gelap dengan berpedoman pada suara, sebab bisa jadi terjadi keserupan suara.

 

Memang, (tetapi) bila ia mendengar suara wanita tersebut, lalu menggaetnya sampai ke depan qadhi dan mengemukakan kesaksian atasnya, maka bolehlah -sebagaimana orang buta-, namun dengan syarat wanita tersebut membuka penutup mukanya (di depan qadhi), agar qadhi bisa mengetahui rupanya.

 

Segolongan ulama berkata: Pernikahan wanita dalam keadaan memakai cadar, adalah belum sah, kecuali bila kedua saksinya mengetahut nama, nasab atau rupa waruta tersebut.

 

Seseorang, tanpa ada mu’aridh. (sesuatu yang melawani) adalah bisa mengajukan kesaksian mengenai nasab, sekalipun dari jalur ibu atau kabilah, kemerdekaan, kematian, wakaf, nikah dan kemilikan, dengan berdasarkan Istifadhah, yatu kemasyhuran benita dari orang banyak yang bisa dijamin, bahwa mereka tidak akan sepakat berbuat bohong lantaran jumlah mereka yang begitu banyak, karena hal itu bisa menimbulkan keyakinan atau perkiraan kuat mengenai kebenaran berita dari mereka.

 

Orang banyak tersebut tidak disyaratkan harus orang-orang yang merdeka, dan tidak pula harus laki-laki.

 

(Dalam hal ini) saksi belum cukup dengan ucapannya: “Saya dengar orang-orang berkata begini”, tetapi hendaklah ia berkata: “Saya berikan kesaksian, bahwa ia adalah putra si Anu…”, misalnya.

 

Bagi seseorang, tanpa ada mu’aridh, bisa mengajukan persaksian mengenai kemilikan berdasarkan istifadhah seperti di atas,-atau bisa juga berdasarkan kekuasaan memegang barang itu dan ditasarufkannya seperti kuasa pemilik, misalnya didiami, dibangun, digadaikan dan disewakan, dalam jangka waktu yang menurut kebiasaan terhitung lama.

 

Karena itu, belum cukup dalam persaksian mengenai kemilikan berdasarkan semata-mata memegang barang itu, sebab pemegarigan barang itu tidak memastikan adanya kemilikan. Tidak pula berdasarkan semata-mata tasaruf, sebab bisa juga hakl tasaruf diperoleh dengan perwakilan. Tidak pula berdasarkan keberadaan tasaruf dalam waktu yang pendek.

 

Memang, bila di samping ada tasaruf itu terdapat pula istifadhah yang memberitakan bahwa barang itu miliknya, maka persaksian mengenai kemilikan bisa diajukan, sekalipun masa tasaruf yang telah terjadi itu hanya sebentar.

 

Tidaklah cukup ucapan saksi: “Saya lihat tasaruf-tasaruf itu bertahun-tahun “

 

Para ulama dalam masalah kebolehan mengemukakan persaksian mengenai keberadaan kemilikan berdasarkan pemegangan barang (lan tasaruf dalam waktu yang lama di atas, mengecualikan kemilikan pada budak, Maka di uni persaksian ndak chperbolahkan berdasarkan ada Kekuasaan pemegangan serta tasaruf dalam waktu lama, kecuali bila di samping itu juga didengar dari pemegang budak tersebut, bahwa budak itu miliknya, sebagaimana yang tersebut di dalam Ar-Raudhah.

 

Hal ini dimaksudkan berbuat hati-hati dalam menghadapi masalah kemerdekaan manusia, dan karena banyak perlakuan terhadap orangorang merdeka selaku pelayan.

 

(Bisa pula mengajukan persaksian mengenai keberadaan kemilikan berdasarkan) anggapan berjalan terus status yang telah ada dahulu, baik dari semacam pewarisan atau pembelian, walaupun bisa jadi lepasnya kemilikan itu, karena ada keperluan yang mengajak untuk meletakkan Isthishhab sebaga dasar dan karena dasar asalnya adalah, bahwa status kemilikan itu masih berjalan terus.

 

Dalam masalah persaksian berdasarkan Istifadhah, Ibnu Abid Dam mensyaratkan, bahwa saksi tidak secara sharih menyebutkan kalau dasar pegangan persaksian itu adalah Istifadhah, begitu juga dengan masalah Istishhab.

 

Kemudian pendapat seperti itu dipilih dan diikuti oleh As-Subki dan lainnya: yaitu bila saksi mengemukakan dasar pegangannya yang seperti itu untuk menguatkan keyakinannya -mantap dengan kesaksiannya-, lalu ia berkata: “Dasar peganganku adalah Istifadhah/ Istishhab”, maka tetap bisa diterima kesaksiannya, Kalau tidak, misalnya ia berkata: “Kukemukakan kesaksian berdasarkan Istifadhah begini…”, maka persaksian tidak bisa diterima, Lain halnya menurut Ar-Rafi’.

 

Dengan ucapanku “tanpa ada mu’aridh”, dikecualikan apabila misalnya dalam masalah persaksian nasab itu terdapat celaan dari sebagian manusia, maka di sini persaksian berdasarkan Istifadhah tidak diperbolehkan, sebab terdapat mu’aridh.

 

Peringatan:

 

Orang yang mengemukakan kesaksian, ditentukan wajib memakai kata “Asyhadu” (kuberikan kesaksian). maka tidaklah cukup dengan memakai sinonimnya, misalnya “A’lamu” (aku yakin), sebab kata yang pertama tersebut lebih bisa mencapai kejelasan.

 

Apabila saksi itu mengetahui sebab kemilikan, misalnya ikrar, apakah ia bisa memberikan kesaksian keberadaan hak mulik atau tidak? Di sini ada dua pendapat (wajah), yang lebih masyhur di antara kedua pendapat adalah tidak bisa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnur Rafi’ah dari Ibnu Abid Dam.

 

Ibnush Shabagh -sebagaimana lainnyaberkata: Bisa diterima, dan imi adalah sesuai dengan pembicaraan Rafi’i dan Nawawi.

 

Persaksian mengenai kesaksian orang yang bisa diterima kesaksiannya, adalah bisa diterima dalam masalah yang bukan uqubah hak Allah swt.

 

baik berupa harta maupun bukan, misalnya keberadaan akad, fasakh, ikrar, talak, rujuk, susuan, permulaan Ramadhan, wakaf untuk mesjid/ kemaslahatan umum, qawad dan qadzaf.

 

Lain halnya dengan uqubah hak Allah swt,, misalnya had zina, minum minuman keras dan pencurian.

 

Hanya saja diperbolehkan memberikan kesaksian atas kesaksian dengan beberapa syarat: Terasa sulit kesaksian itu diberikan oleh Ashal (saksi yang sekarang kesaksiannya dipersaksikan), sebab berada di tempat yang jauh melebihi jarak Adwa atau karena takut di tahan oleh pemjutangnya, sedang dirinya dalam keadaan melarat, atau sakit yang berat untuk bisa hadir mengemukakan kesaksiannya, demikian pula uzur karena mati atau gila.

 

Disyaratkan lagi, atas permintaan saksi pertama demi menjaga dan memelihara kesaksiannya kepada saksi kedua, agar menyampaikan kesaksian atas namanya (saksi pertama), sebab kesaksian atas kesaksian adalah suatu penggantian, oleh karena itu di situ diperlukan ada izin dari orang yang berfungsi sebagai ian.

 

Saksi pertama (Asal) bisa berkata: “Saya adalah saksinya, bahwa begini .” dan “Saya mempersaksikan kepadamu mengenai kesaksianku begiru” atau “Persaksikanlah mengenai kesaksian begini”: Maka tidak cukup dengan perkataannya: ” Aku mengetahui begini”.

 

Lalu, apabila saksi pertama (Asal) tidak menggunakan kata “saksi” dan berkata: “Saya kabarkan kepadamu/ Saya beri tahukan kepadamu bahwa begiru”, maka belum cukup, sebagaimana kalimat tersebut cukup penyampatan kesaksian di depan qadhi.

 

Dalam Tahammul (mengambil data persaksian) belum cukup dengan mendengarkan ucapannya: “Si Fulan mempunyai tanggungan sekian atas si Fulan”, atau dengan ucapan saksi pertama: “Padaku ada kesaksian begini …”

 

Disyaratkan lagi, di kala mengemukakan kesaksiannya, saksi kedua menegaskan cara Tahammul, misalnya: “Saya menyaksikan bahwa si Fulan menyaksikan begini dan ia mempersaksikan kepadaku mengenai kesaksian itu”, atau “… dan saya mendengar ia menyaksikan seperti itu di depan qadhi “

 

Maka, apabila saksi kedua tidak menegaskan cara Tahammulnya dan hakim telah mempercayai dengan keilmuannya (mengenai syarat tahammul), maka ketegasan tersebut tidak wajib: Oleh karena itu, cukuplah dengan perkataannya: “Saya menyaksikan mengenai kesaksian si : Fulan begini”. karena telah bisa di dapat maksud persaksian (yaitu menetapkan keberadaan hak).

 

Disyaratkan lagi, saksi kedua menyebutkan saksi pertama dengan suatu sebutan yang dapat membedakan dengan orang lain, sekalipun saksi pertama itu orang yang adil, untuk bisa diketahw keadilannya. Karena itu, bila tidak menyebutkannya, maka belumlah cukup, sebab terkadang hakim mengetahur kecacatan saksi pertama kalau disebutkan.

 

Ada dua pendapat mengenai kewajiban menyebut nama saksi yang kesaksian pertama adalah dani qadhi, dan Al-Adzra’i membenarkan kewajiban penyebutannya pada masa-masa sekarang ini, karena ada kebodohan dan kefasikan yangrtelah melanda pada para Qadhi.

 

Apabila saksi pertama mengalami permusuhan (dengan Masyhud Alah) atau kefasikan, maka kesaksian saksi kedua tidak bisa diterima. Kalau halangan-halangan itu telah hilang, maka diperlukan tahammul baru lagi.

 

Cabang:

 

Tahammul para wanita adalah tidak sah, sekalipun sesama wamta dalam masalah kelahiran, sebab persaksian atas persaksian adalah biasanya diketahui oleh laki-laki.

 

Telah cukup persaksian dua orang saksi, yang keduanya (bersamasama) atas persaksian masing-masing dua orang saksi pertama. Karena itu, tidak disyaratkan masing-masing dari dua saksi pertama harus disaksikan oleh dua orang saksi kedua.

 

Tidak cukup satu saksi kedua menyaksikan saksi pertama yang ini (satu saksi pertama) dan satu lagi saksi kedua menyaksikan satu saksi pertama yang itu.

 

Demikian pula tidak cukup, seorang saksi kedua menyaksikan seorang saksi pertama dalam masalah tanggal pertama Ramadhan.

 

Cabang:

 

Apabila para saksi mencabut kesaksiannya sebelum diputuskan hukumnya, maka pencabutan itu mencegah pemutusan hukum: Atau (kalau) sesudah diputuskan, maka pencabutan tersebut tidak dapat merusak putusan hukum.

 

Apabila para saksi memebrikan kesaksian tentang talak bain atau hubungan mahram dari jalur radha’ (antara suami-istri) dan qadhi menceraikan di antara mereka, lalu para saksi mencabut kesaksian tersebut, maka perceraian tetap berjalan terus, sebab ucapan mereka dalam pencabutan kesaksian, adalah mempunyai alternatif benar/salah (muhtamal), sedang keputusan hukum tidak bisa ditolak lantaran sesuatu yang muhtamal.

 

Sekira suami tidak membenarkan kesaksian para saksi tersebut, maka para saksi berkewajiban membayar mahar mitsil, sekalipun perceraian itu sebelum suami menjimak, atau sesudah istri membebaskan suaminya dari mahar, sebab mahar mutsil itu sebagai ganti dari farji yang mereka lepaskan dari suami dengan kesaksian yang mereka kemukakan.

 

Kecuali bila ada ketetapan (berdasarkan bayinah lain/ikrar/pengetahuan qadhi) bahwa antara suami-istri itu tiada pertalian nikah (yang sah), lantaran semacam hubungan radha’, maka tiada tanggungan utang (mahar mitsil) atas mereka, sebab mereka, tidak melepaskan sesuatu pun dari suami tersebut.

 

Apabila para saksi dalam masalah kehartaan mencabut kembali keSaksian mereka, maka mereka wajib membayar gantinya kepada Mahkum Alaih (orang yang dikeriai hukum atasnya) dengn dibagai rata sesama mereka, setelah Mahkum Alaih membayarkan kepada Mudda’i, bukan sebelumnya, sekalipun mereka berkata: “Kami semua keliru dalam memberikan kesaksian”.

 

Penyempurna:

 

Guru dari para guru kita, yaitu Zakaria, sebagaimana Al-Ghazzi dalam masalah Talfiqusy Syahadah berkata:

 

Apabila satu orang saksi menyaksikan ikrar seseorang, bahwa dirinya : mewakilkan kepada orang lain dalam masalah begini, lalu ada orang lain lagi menyaksikan orang tadi mengizinkan kepada orang lain tadi pula untuk tasaruf/menyerahkan hak tasaruf kepada orang lain tadi, maka dua kesaksian bisa dikumpulkan dan diamalkan, sebab penukilan secara maknanya adalah seperti. secara lafalnya.

 

Lain halnya apabila satu orang menyaksikan bahwa seseorang tadi berkata: “Saya wakilkan kamu dalam masalah begini”, sedang orang lain lagi berkata, bahwa seseorang tadi berkata: “Saya serahkan hal itu kepadamu”: atau apabila satu orang menyaksikan, bahwa seseorang telah melunasi utangnya dan orang lain lagi menyaksikan bahwa utang dibebaskan daripadanya, maka dua kesaksian dalam dua contoh di atas tidak dapat di-talfiq-kan. Selesai.

 

Guru dari para guru kita, yaitu Ahmad Muzjidi berkata: Apabila satu orang menyaksikan, bahwa yang terjadi adalah penjualan dan orang lain menyaksikan, bahwa terjadi ikrar karena penjualan, atau apabila satu orang menyaksikan bahwa barang yang didakwakan itu milik si pendakwa dan orang lain menyaksikan keberadaan ikrar pemegang barang (Dakhul), bahwa barang itu milik pendakwa, maka dua kesaksian (dalam dua contoh)itu tidak dapat di-talfiq-kan.

 

Apabila salah satu dari dua saksi itu mencabut kesaksiannya, lalu mengaJukan kesaksian lagi yang sama dengan kesaksian yang lainnya, maka hal itu bisa diterima, sebab ia diperbolehkan mengemukakan dua perkara.

 

Barangsiapa mendakwakan memiliki 2.000,dan dikemukakan secara mutlak, lalu disaksikan oleh satu orang secara mutlak juga, sedang saksi yang satunya lagi mengajukan kesaksian, bahwa jumlah tersebut didapatkan dari utang, maka dakwaan kemilikan tersebut bisa tertetapkan: Atau satu saksi mengajukan kesaksian bahwa kemilikan 1.000, dari harga penjualan, sedang satu saksi yang lain mengajukan kesaksian bahwa 1.000, dari utang, maka dua kesaksian seperti ini tidak dapat di-talfiq-kan, dan si pendakwa bisa bersumpah sehubungan dengan dua persaksian ini.

 

Apabila seorang saksi menyaksikan ada ikrar dan saksi yang lain menyaksikan ada kemilikan berdasarkan Istifadhah dalam cara yang bisa diterima, maka dua persaksian ini bisa di-talqiq-kan. Selesai.

 

Syekh ‘Athiyah Al-Makiy rhm. ditanya mengenai dua orang lakilaki, yang mana salah satunya mendengar seseorang menjatuhkan talak tiga, sedang yang satunya lagi mendengar ada ikrar talak tiga tersebut, maka apakah hal itu bisa di-talfiq-kan atau tidak?

 

Maka jawab beliau: Bagi dua orang yang mendengar penjatuhan talak tiga, dan yang mendengar ada ikrar talak, wajib mengemukakan kesaksian talak tiga yang terjadi atas suami tersebut secara pasti, yaitu bukan yang satu mengemukakan keberadaan penjatuhan talak dan satunya lagi mengemukakan ikrar mengenai talak tersebut.

 

Dari segi apa pun (makna/lafal), masalah di atas bukan termasuk kasus Talfiqusy Syahadah, tetapi (pada galibnya) gambaran penjatuhan talak dan pengikrarannya adalah jadi satu, dan hukum bisa ditetapkan berdasarkan terjadinya talak dalam apa pun latar belakangnya (berniat menjatuhkan talak ataupun ikrar). Sedang sang qadhi wajib mendengarkan dua persaksian di atas. Selesai.

Suatu sumpah tidak bisa terwujudkan, selain dengan menggunakan nama yang khusus untuk Allah swt. atau sifat dari sifat-sifat-Nya, milasnya “Wallahi” (demi Allah), “Wa rahmani” (demi Zat Yang Maha Pengasih), “Wal Ilahi” (demi Tuhan), “Wa Rabbil ‘Alamin” (demi Tuhan, Penguasa alam raya), dan “Wa khaliqil Khaliqi” (demi Pencipta makhluk).

 

Apabila orang berkata: “Wa kalamillahi”, (demi firman Allah), “Wakitaballahi” (demi kitab Allah), “Wa Qur-anillahi” (demi Qur-an Allah), “Wat Taurat” (demi Taurat), atau “Wal Injili” (demi Injil). maka semua itu menjadi sumpah. Demikian pula dengan ucapan “Wal Mushhafi”, jika tidak bermaksud pada kertas dan sampulnya.

 

Apabila orang berkata: “Wa Rabbii” (demi Tuhanku) dan kebiasaan mereka berlaku menamakan sayid (tuan) dengan Rabb, maka adalah kinayah sumpah. Kalau tiada kebiasaan seperti itu, maka secara jelas adalah sebagai sumpah, jika tidak bermaksud selain Allah swt.

 

Sumpah tidak bisa terwujudkan dengan menggunakan makhluk, misalnya Nabi atau Ka’bah, sebab ada hadis shahih yang melarang bersumpah atas nama para ayah dan memerintahkan agar bersumpah dengan menggunakan nama Allah.

 

Al-Hakim meriwayatkan hadis: “Barangsiapa bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah, maka sungguh ia telah berbuat kafir.”

 

Para ulama mengakhirkan hadis di atas pada, apabila orang bermaksud mengagungkan selain Allah sebagaimana mengagungkan Allah. Kalau tidak ada maksud seperti ini, maka menurut kebanyakan ulama adalah berdosa, yaitu dengan mengikuti nash Imam Syafi’i yang dengan sharih mengemukakan begitu. Demikian pula yang dikemukan oleh sebagian ulama yang mengomentari kitab Al-Minhaj.

 

Keterangan yang ada di dalam Syarah Muslim dengan menukil dari Al-Ashhab, adalah makruh hukumnya dan inilah yang muktamad, sekalipun dalil di atas secara lahur mengarah ke dosa. Sebagian ulama berkata: Pendapat yang sebaik-baiknya diamalkan (dipegangi ) pada kegaliban beberapa masa, sebab pada galibnya orang yang bersumpah dengan menggunakan nama makhluk adalah mengagungkan dan menyamakan kepada Allah swt. Maha Suci Allah dari semua itu dengan kemuliaan dan keagunganNya. –

 

Apabila ada orang bersumpah menggunakan pernyataan yang bisa mewujudkan sumpah, lalu ia berkata: Saya tidak bermaksud untuk bersumpah”, maka perkataan yang akhur ini tidak bisa diterima.

 

Apabila di belakang sumpahnya, seseorang berkata: “Insya Allah”, serta ia bermaksud pada lafal itu dan mengecualikan dalam makna sumpahnya, sebelum selesai mengucapkan, dan pengecualian Itu bersambung dengan sumpahnya, maka sumpah belum menjadi sah, maka dari itu tidak terjadi pengkhuanatan (penerjangan) sumpah dan tidak berkewajiban membayar kafarat.

 

Jikalau tidak mengecualikan dengan lafal, tetapi berriat di dalam hati, maka secara lahir tidak terelakkan ada pengkhianatan sumpah kafarat, tetapi di-Tadyin (yaitu secara batin ia dihukumi menurut apa sebenarnya yang terjadi dalam hatinya).

 

Apabila seseorang berkata kepada orang lain: “Saya menyumpah engkau demi Allah …”, atau “Demi Allah saya ntemintamu agar benarbenar melakukan begini”, dan ia bermaksud sumpah untuk dirinya sendiri, maka jadilah sebagai sumpah.

 

Apabila tidak bermaksud sumpah untuk dirinya sendiri, tetapi bermaksud memohon syafaat kepada Allah swt./menyumpah orang yang diajak bicara/tidak bermaksud apaapa, maka tidak menjadi sumpah, sebab ia dan orang yang diajak bicara tidak bersumpah.

 

Makruh menolak permintaan orang yang meminta dengan menggunakan nama Allah swt. atau Zat-Nya dalam hal yang tidak dihukumi makruh. Demikian pula meminta dengan cara seperti itu.

 

Apabila seseorang berkata: “Jika melakukan begini, maka aku Yahudi/Nashrarni”, maka pernyataan itu bukan suatu sumpah, sebab tidak ada menyebut nama atau sifat Allah swt., dania tidak berkewajiban membayar kafarat bila menerjangnya.

 

Memang, ucapan seperti di atas haram diucapkan, tetapi tidak sampai kufur. Apabila ia bermaksud menjauhkan dirinya dari kata-kata yang sah digunakan sumpah atau tidak bermaksud apa-apa, maka hukumnya haram dan ia wajib bertobat.

 

Apabila ia menggantungkan keterjadian ( Yahudi/Nashrani/dan sebagainya) atau bermaksud kerelaan hal itu terjadi jika ia melakukan perbuatan Mu’allaq Alaih begini tadi, maka seketika itu juga ia menjadi kafir.

 

Dalam keadaan di mana ia tidak dihukumi kafir, maka ia disunahkan memohon ampun kepada Allah swt dan mengucapkan. “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah Rasul Allah”, Pengarang kitab Al-Istiqsha’ mewajibkan hal itu dilakukan (bukan sunah).

 

Barangsiapa lisannyg terlanjur mengucapkan sumpah, sedang ia tidak ada maksud untuk itu, misalnya “Tidak! Demi Allah” dan “Ya, demi Allah” dalam keadaan semacam marah atau sebagai penyambung pembicaraan, maka tidak menjadi sumpah.

 

Bersumpah itu hukumnya makruh, kecuali di dalam pembaitan jihad, anjuran berbuat baik dan dalam dakwaan yang benar.

 

Apabila seseorang bersumpah untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan haram, maka ia adalah bermaksiat, dan ia wajib menerjang sumpahnya serta membayar kafarat.

 

Atau bersumpah untuk meninggalkan perbuatan sunah atau melakukan : perbuatan makruh, maka disunahkan menerjangnya dan wajib membayar kafarat misalnya masuk rumah dan memakan makanan, semisal ” Demi Allah, aku tidak akan makan”, maka yang lebih utama adalah menerjang sumpahnya, karena melanggengkan pengagungan nama Allah swt.

 

Atau bersumpah untuk meninggalkan perbuatan mubah atau melakukannya.

 

Cabang:

 

Sunah memberatkan sumpah dari pendakwa atau terdakwa, sekalipun pihak lawan tidak memintanya dalam masalah nikah, rujuk, kemerdekaan budak, perwakilan dan dalam harta yang mencapai jumlah 20 dinar, bukan yang di bawah jumlah tersebut, sebab menurut pandangan syarak, terlalu hina jumlah ini.

 

Memang, bila hakim berpendapat bahwa dengan diberatkan sumpah akan membawa maslahat, karena semacam ada kesembarangan orang yang bersumpah, maka bisalah hakim melakukannya.

 

Pemberatan tersebut dilakukan dengan memulih waktu, yaitu setelah dengan waktu Ashar, dan waktu Ashar hari Jumat adalah lebih utama, dan dengan memilih tempat untuk orang-orang muslim dilakukan di sebelah mimbar, dan yang lebih utama adalah naik ke mimbar: Dan dengan menambahkan nama dan sifat Allah swt.

 

Sunah bagi orang yang akan bersumpah dibacakan ayat: Innallaadzina … dan seterusnya. (Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpahsumpah mereka dengan harta benda dunia yang sedikut….. (QS. Aali Imran: 77): dan hendaknya diletakkan Mushaf di pangkuannya.

 

Apabila mencukupkan pada ucapan “Wallahi”, maka telah cukup.

 

Ukuran anggapan dalam sumpah adalah menurut ruat hakim yang mengambil sumpah. Karena itu, dosa sumpah bohong tidak bisa terelakkan dengan semacam Taunyah, misalnya menyebut pengecualian yang tidak teranaya oleh lawan sengketanya. Demikian sebagaimana yang dibahas oleh Al-Bulqini,

 

Adapun orang yang teraniaya oleh lawan sengketanya dalam hakikat perkara, misalnya mendakwakan (memiliki sesuatu) terhadap orang yang melarat, lalu orang ini bersumpah “… engkau tidak memiliki sesuatu atasku”, yang ia maksudkan adalah “sesuatu yang harus diserahkan sekarang juga”, maka tauriyah dan takwilnya bermanfaat bagi orang tersebut, sebab lawan sengketanya berbuat zalim, jika telah mengetahui kemelaratannya terdakwa, atau lawan orang yang salah berbuat bila belum mengetahuinya.

 

Bila seseorang bersumpah sendiri (tidak karena kewajiban bersumpah) atau disumpah oleh selain hakim (misalnya pendakwa), maka ukuran anggapannya adalah yang diatkan oleh orang yang bersumpah (Halif) dan bisa bermanfaat ada tauriyah, sekalipun tauriyah tersebut haram, yaitu yang sekira dengan sumpah itu maka terjadi kebatalan hak orang yang mestinya berhak mendapatkannya.

 

(Kekuatan) sumpah adalah dapat memutus persengketaan dengan seketika, bukan memutus hak yang didakwakan Karena itu, tanggungan orang yang bersumpah tidak dapat bebas bila ia berdusta dalam sumpahnya.

 

Maka, apabila hakim menyumpah si terdakwa (di waktu tiada bayinah dari pendakwa), lalu pendakwa mengajukan bayinah, maka ia harus memutuskan hukum dengan dasar bayinah tersebut, sebagaimana bila terdakwa berikrar (mengenai kebenaran dakwaan) setelah ia bersumpah (pengingkarannya).

 

Nukul (pembangkang bersumpah dari terdakwa) adalah adanya perkataan terdakwa: “Saya tidak may bersumpah”, atau qadhi berkatg kepada terdakwa: “Sumpahlah”/, lalu jawabnya: “Saya tidak mau bersumpah”. Sedang yang disebut Yamin Mardudah adalah sumpah yang diucapkan oleh pendakwa setelah terdakwa tidak mau bersumpah.

 

Sumpah seperti ini mempunyai kekuatan sebagaimana ikrar terdakwa, bukan sebagaimana kekuatanbayinah.

 

Karena itu, bila Yamin Mardudah setelah diucapkan, terdakwa mengajukan bayinah yang menyatakan, bahwa ia telah melunasi atau dibebaskan dari tanggungannya, maka bayinah tidak bisa diterima, sebab ia sendiri tidak membenarkan bayinah tersebut lantaran ikrarnya (yaitu lantaran sumpah mardudah yang berkekuatan sebagai ikrar). Di dalam suatu tempat pembahasan, Rafi’i dan Nawawi berkata: Dapat diterima. Al-Asnawi mensahihkan pendapat yang pertama, sedang Al-Bulqini mensahuhkan yang kedua dan Guru kita berkata: Pendapat berwajah adalah yang pertama.

 

Cabang:

 

Dalam pembayaran kafarat sumpah, seseorang bisa memilih di antara (tiga hal): Memerdekakan budak wanita yang sempurna kebudakannya, mukminah, yang tidak mempunyai kecacatan yang dapat mengganggu dalam perbuatan dan kerjanya, sekalipun budak itu semacam budak yang tiada di tempat yang diketahui masih hidup, Memberi makan 10 orang miskin yang masing-masing satu mud biji-bijian makanan pokok daerah setempat, Atau memberi mereka sesuatu yang dapat disebut sebagai pakaian, misalnya baju kurung, kain sarung, telekung, sapu tangan, atau baju kemeja, bukan sepatu.

 

Jika tidak mampu melaksanakan di, antara tiga hal di atas, maka ia wajib berpuasa 3 hari yang tidak wajib sambung-menyambung, Lain halnya dengan pendapat kebanyakan ulama.

 

I’taq (memerdekakan budak) adalah melepaskan status kebudakan pada diri manusia. Dasar hukum adalah firman Allah yang artinya: “(Yaitu) melepaskan budak dari kebudakan” (Q.S. Al-Balad: 13).

 

Juga hadis nwayat Bukhari-Muslim: “Barangsiapa memerdekakan seorang budak wanita yang mukmin -dalam riwayat lain ‘seorang budak muslim’-, maka Allah memerdekakan anggota-anggota badan orang itu dari neraka dengan berbanding setiap anggota badan budak tersebut, sehingga dimerdekakan farji orang itu dengan farji budak.” Memerdekakan budak laki-laki adalah lebih utama.

 

Dinwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf telah memerdekakan 30.000 orang budak.

 

Kami tutup buku ini dengan Bab Memerdekakan Budak, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Ashab Syafi’i, sebagai sikap Tafa’ul (dengan harapan semoga Allah memerdekakan dari neraka, sebagaimana orang yang memerdekakan budak).

 

Sah pemerdekaan oleh orang yang mempunyai hak tasaruf secara mutlak (balig, berakal sehat serta pandai berbuat), yang memiliki kekuasaan atas budak yang dimerdekakan, sekalipun itu orang kafir. Karena itu, pemerdekaan tidak sah dilakukan oleh anak kecil, oran gila, orang yang diampu sebab dungu, atau bangkrut, dan orang yang tidak mempunyai hak milik, sekalipun dengan cara sebagai pengganti.

 

(Yaitu) dengan semacam ucapan: “Kumerdekakan dirimu/Kubebaskan dirimu/Kulepaskan kebudakan drimu/Engkau adalah orang yang dimerdekakan”.

 

Sah pula dengan kinayah disertai rjat, misalnya: “Tiada kemilikan diriku atas dirimu/Tiada jalan bagiku atas dirimu/Saya singkirkan kemilikanku dari dirimu/Engkau adalah Tuanku.” Demikian juga ucapan “Wahai, tuanku”, menurut pendapat yang dimenangkan.

 

Ucapan seseorang kepada budakrrya: “Engkau adalah putraku/In atau dia adalah ayahku atau ibuku” adalah memerdekakan, jika status itu mungkin terjadi mengingat usia yang ada, sekalipun diketahui jalur keturunannya, sebab sebagai pengambilan tindakan atas ikrarnya.

 

Atau “Wahai, anakku”, maka adalah kinayah memerdekakan, karena itu, budak tersebut tidak dihukumi ‘merdeka, kecuali tuan yang memanggilnya bertujuan memerdekakannya, sebab kekhususan panggilan seperti itu digunakan dalam adat untuk suatu keakraban dan pergaulan yang baik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita di dalam Syathul Minhaj dan Syarhul Irsyad.

 

Tidak termasuk lafal ikrar memerdekakan, ucapan seseorang: “Sungguh aku memerdekkan budakku si Fulan”, sebab kalimat tersebut tidak patut digunakan sebagai ikrar maupun pernyataan memerdekakan, sekalipun ada dalam kebiasaan digunakan sebagai lafal memerdekakan, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita rhm.

 

(Pemerdekaan sah seperti di atas) sekalipun dikemukakan dengan adanya penukaran. Karena itu, bila seseorang berkata: “Kumerdekakan dirimu dengan penggantian 1.000 atau “Kujual engkau kepada dirimu dengan harga 1.000,-“, lalu dengan seketika budak itu menyatakan qabul, maka merdekalah ia dan dalam dua contoh di atas, ia wajib membayar 1.000, sedang walak berada di tangan tuan.

 

Apabila memerdekakan budak yang hamil, baik ibu ataupun kandungannya menjadi miliknya, maka kandungan mengikuti ibunya dalam kemerdekakan. sekalipun dikecualikan, sebab kandungan merupakan bagian dari ibu.

 

Apabila memerdekakan kandungan saja, maka jadilah merdeka bila telah bernyawa, bukan sebelum bernyawa.

 

Apabila ibu milik serang laki-laki dan kandungan milik orang lain, lantaran semacam wasiat, maka salah satunya tidak menjadi merdeka lantaran yang lainnya merdeka.

 

Atau (apabila) seseorang memerdekakan sepenuh budak yang dimili antara dirinya dan orang lain, atau memerdekakan bagiannya saja dari persekutuannya, misalnya: “Bagianku dari dirimu merdeka”, maka menjadi merdeka dalam bagian orang : itu secara mutlak.

 

Pemerdekakan (kepada budak mulik persekutuan) yang dilakukan oleh persekutuan yang kaya, bukan yang melarat, adalah menjalar pada jumlah sekemampuannya (untuk menebus) teman sekutunya atau sebagian dari bagian itu.

 

Penjalaran seperti itu tidak terhalang ada utang yang menghabiskan harta orang yang memerdekakan tersebut di atas yang bukan diampu.

 

Pemustauladahan yang dilakukan oleh seorang yang kaya dari dua sekutu (dalam memiliki budak), adalah menjalar pada milik teman persekutuannya, sebagaimana dalam memerdekakan. Karena itu, ia wajib membayar seharga bagian temannya dan wajib membayar seharga sejumlah bagian mahar mutsil teman persekutuannya, bukan membayar seharga bagian teman persekutuannya pada anak budak Mustauladah.

 

Pe-Mudabbar-an budak tidak dapat menjalar pada bagian’teman persekutuannya.

 

Apabila seseorang memiliki budak, di mana budak itu adalah ayah atau anak keturunannya, sekalipun telah jauh jenjang jalurnya, maka budak tersebut menjadi merdeka atas nama pemilik tadi. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim.

 

Tidak termasuk “orangtua/anak turun”, yaitu yang bukan itu, misalnya saudaranya, maka tidak menjadi merdeka lantaran dimiliki.

 

Barangsiapa berkata kepada budaknya: “Engkau merdeka setelah aku mati”, “Bila saya mati, maka engkau merdeka” atau “Engkau kumerdekakan setelah aku mati”: Demikian pula dengan berkata: “Bila aku mati, maka engkau haram/bebas pergi” dengan disertai niat, maka menjadilah budak Mudabbar: yaitu menjadi merdeka setelah tuannya mati dalam perhitungan sepertiga dari harta tuannya setelah terpotong utangnya.

 

Pemudabbaran menjadi batal sebab semacam budak Mudabbar itu dijual, oleh karena itu kemudabbaran tidak bisa kembali lagi sekalipun dimulikinya untuk kedua kali.

Sah hukumnya menjual budak Mudabbar,

 

Tidak menjadi batal kemudabbaran, lantaran dicabut kembali dengan menggunakan lafal, misalnya: “Saya fasakh pemudabbaran” atau “Saya rusak pemudabbaran”, dan tidak batal pula lantaran pengingkaran ada pemudabbaran.

 

Seseorang diperbolehkan menjimak budak wanita Mudabbarah, Apabila budak Mudabbarah itu melahirkan anak perempuan dari suatu pernikahan/perzinaan, maka tidak bisa ditetapkan hukum kemudabbbaran pada diri anak tersebut. Lalu, Mudabbar itu hamil di kala kematian tuan pemiliknya, maka secara mantab Anak itu ikut merdeka mengikut ibunya.

 

Apabila seseorang memudabbarkan budaknya yang hamil, maka kemudabbaran tertetapkan pada kandungannya lantaran mengikuti ibunya, jika memang tidak dikecualikan, sekalipun kandungan itu lahir sebelum tuari pemiliknya mati. Tidak menjadi merdeka, jika sang tuan membatalkan pemudabbaran ibunya sebelum anak itu Iahir.

 

Budak Mudabbar adalah seperti budak penuh, selama dalam kehidupan tuannya.

 

Sah memudabbarkan budak Mukatab dan sebaliknya, sebagaimana sah pula menta’liq kemerdekakan budak Mukatab.

 

Budak Mudabbar bisa dibenarkan dengan bersumpah mengenai dakwaan (memiliki) sesuatu yang ada pada tangannya, sebab kekuasaan pemegang berada di tangannya, misalnya si Mudabbar berkata “Saya dapatkan dari hasil kerjaku setelah tuanku mati” dan ahli waris berkata “Kau dapatkan sebelum ia mati.”

 

Kitabah:

 

Kitabah menurut syarak adalah suatu akad pemerdekakan budak dengan menggunakan lafal mukatabah yang terjadi digantungkan dengan pembayaran harta yang terangsur dua tahap atau lebih. Sebagaimana pemudabbaran, kitabah hukumnya adalah sunah, sekalipun atas permintaan budak dengan syarat ada permohonan dari budak yang tepercaya dan yang bekerja dengan penghasilan mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan angsurannya.

 

Jika syarat-syarat tersebut/salah satunya tidak dipenuhi, maka akad kitabah hukumnya mubah.

 

Agar bisa sah akad kitabah, disyaratkan dengan lafal yang menunjukkan ada arti kitabah.

 

Dalam ijab, misalnya: “Kumukatabkan kamu/Dirimu adalah mukatab atas pembayaran 100 dengan cara diangsur sekian”, bersambung dengan ucapan: “Bila engkau telah menunaikannya, maka kamu merdeka”.

 

Dengan adanya qabul, misalnya: “Kuterima pemukataban seperti itu.”

 

Dalam kitabah disyaratkan ada penukar yang berupa utang atau kemanfaatan yang diberi tempo penunaiannya, agar bisa diusahakan pencarian dan penunaiannya, yang diangsur dan kali atau lebih, sebagaimana yang berlaku di kalangan para sahabat Nabi saw., sekalipun itu dalam memukatabkan budak Muba’adh.

 

Di samping juga diterangkah berapa besar penukaran dan sifatrrya, berapa kali angsuran dan besar pembayaran. setiap kali angsuran.

 

Di dalam kitabah yang sah, sebelum terjadi kemerdekakan, sang tuan wajib menurunkan nilai harga penukaran, karena berdasar firman Allah surah An-Nur ayat 33: “… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.”

 

Pemberian dalam ayat ini ditafsirkan dengan sebagaimana tersebut, karena hal itu adalah dimaksudkan untuk menolong memperoleh kemerdekakan.

 

Yang lebih utama, penurunan harga tersebut sebesar 25% sampai sepertujuh (14½% kurang sedikit).

 

Si tuan tidak diperbolehkan memfasakh kitabahnya, kecuali jika si mukatab itu tidak mampu membayar sepenuh atau sebagian angsuran yang telah sampa saat pembayarannya, atau enggan membayarnya, sedangkan ia mampu serta telah sampai waktu pembayarannya, atau si Mukatab itu tiada di tempat sewaktu telah datang masa pembayaran, walaupun mempunyai harta yang ada di tempat atau walaupun kepergiannya kurang dari jarak diperbolehkan salat qashar.

 

Maka, bagi sang tuan boleh memfasakh kitabahnya dengan diri sendiri dan bisa pula lewat hakim, Jika ia menghendaki, karena terhalang penukaran dirinya, Dan sang hakim tidak berhak membayarkan harta si mukatab yang tiada di tempat tadi.

 

Bagi si mukatab berhak memfasakh sebagaimana halnya dalam masalah gadaian dalam hubungannya dengan penerimaan gadai, maka si mukatab berhak tidak membayar angsuran dan berhak pula memfasakh kitabah, sekalipun mempunyai kecukupan biaya.

 

Sang tuan diharamkan tamattu’ terhadap wanita mukatabahnya,: karena kemilikannya telah rusak. Dan dengan pewathiannya, maka tuan dikenakan kewajiban membayar Mahar Mitsil, bukan had, dan anak yang terlahirkan dihukumi merdeka.

 

Si mukatab diperbolehkan membeli wanita-wanita budak amat untuk keperluan berdagang, bukan untuk dikawini, kecuali dengan seizin tuannya, dan tidak boleh pula mewathi amat miliknya, walaupun atas seizin tuannya.

 

Apa yang terdapat pada suatu tempat sebagai pendapat dua syekh kita (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i) yang menyatakan diperbolehkannya dengan ada izin tersebut, adalah didasarkan atas suatu dasar yang lemah, yaitu bahwa budak bukan mukatab itu bisa memiliki dengan diberinya kemilikan oleh sang tuan.

 

Guru kita berkata: Dan yang lahur, adalah si tuan juga tidak diperbolehkan ber-istimta’, yang bukan berwujud wathi.

 

Bagi mukatab diperbolehkan melakukan penjualan, pembelian dan penyewaan, (tapi) tidak diperbolehkan hubah, tanpa seizintuannya.

 

Cabang:

 

Apabila sang tuan mengatakan: “Saya fasakhkan Kitabah” setelah ia (pernah) menerima harta angsuran Kitabah, lalu si Mukatab mengingkarinya, maka dengan bersumpah Mukatab dapat dibenarkan, karena dasar asalnya adalah tidak ada fasakh, sedang bagi tuan diharuskan mengajukan bayinah.

 

Apabila sang tuan mengatakan: “Saya memukatabkanmu dalam keadaan saya tengah gila/diampu”, lalu si Mukatab mengingkarinya, maka sang tuan diambil sumpahnya (dan dibenarkan dengan sumpah itu), Jika kondisi yang didakwakan itu diketahui ada pada dirinya, Kalau tidak diketahui, maka yang diambil sumpahnya adalah si Mukatab, karera dasar asalnya adalah, bahwa apa yang didakwakan tuan itu tidak terjadi adanya.

 

Apabila laki-laki merdeka membuahi kehamilan budak amat yang walaupun kemilikannya atas diri amat itu hanya sedikit dan walaupun dalam keadaan bersuami atau diharamkan (bagi tuan mewathinya, misalnya tengah masa Istibra’ dan sebagainya), lalu melahirkan bayi dalam keadaan hidup ataupun mati, ataupun dalam keadaan berupa segumpal daging telah bergambar sesuatu bentuk manusia, maka dengan kematian sang tuan si amat tersebut menjadi merdeka dalam perhitungan harta pokok, yaitu diperhitungkan lebih dahulu daripada perhitungan utang-utang dan wasiat (atas harta tinggalan), sekalipun kehamilan terjadi dalam masa sakit pengantar kematian sang tuan (tetapi diperhitugnkan seperti itu) tidak menjadi merdeka, jika amat tinggalan si mayat yang menanggung utang itu dibuahi kehamilan oleh seorang ahli warisnya yang kaya.

 

Sebagaimana putra amat yang diyang lahir sesudah kelahiran putranya yang didapat dari tuannya, maka putra tersebut (yaitu yang dari pernikahan atau perzinaan tadi), menjadi merdeka dengan kematian sang tuan dalam perhitungan harta pokok, sekalipun ibu amat itu telah mati sebelum sang tuan mati.

 

Bagi sang tuan bisa mewathi ibu anak tadi (diramakan budak Ummu Walad) menurut ijmak ulama, memperbudaki dan menyewakannya, dan demikian pula mengawinkannya tanpa seizin darinya.

 

Tidak diperbolehkan memindahmilikkan kepada orang lain dengan jalan dijual atau dihibahkan: oleh karena itu, perlakuan tersebut haram dan tidak ayah, demikian pula menggadaikannya.

 

Sebagaimana pula putranya yang mengikuti kemerdekaannya dengan kematian sang tuan (yaitu putra yang lahir dari selain pembuahan sang tuan setelah kelahiran putra yang dari sang tuan), Maka, sebagaimana ibunya, anak ini tidak boleh dipindahmilikkan kepada orang lain, bahkan apabila sang Qadhi menghukumi sah pemindahan kemilikan seperti itu, maka hukumnya rusak, tidak berlaku, menurut yang dikemukakan oleh Ar-Ruyani sebagaimana menukil dari para Al-Ashhab.

 

Adalah sah juga memukatabkan budak Ummu Walad dan menjualnya kepada diri Ummu Walad itu sendiri.

 

Apabila para ahli waris dari tuan budak Ummu Walad tadi mendakwakan, bahwa sang tuan tadi memiliki harta di tengah Ummu Walad itu sebelum kematiannya, lalu si Ummu Walad mendakwakan bahwa harta telah rusak sebelum kematian itu terjadi. Maka dengan bersumpah si Ummu Walad bisa dibenarkan, menurut apa yang bisa dibenarkan, menurut apa yang dinukil oleh Al-Adzra’i, Jika si Ummu Walad mendakwakan kerusakannya setelah kematian terjadi, maka dakwaan itu tidak dapat dibenarkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita, semoga Allah berkenan melimpahi beliau kerahmatan seluas-luasnya.

 

Al-Qadhi Husain mengeluarkan fatwa mengenai seorang laki-laki yang ikrar, bahwa telah mewathi budak amatnya, lalu si amat mendakwakan bahwa dari pembuahan itu ia melahirkan dalam keadaan gugur sesuatu yang bisa membuatnya menjadi Ummu Walad (misalnya segumpal daging yang telah berwujud manusia), bahwa dengan bersumpah si amat bisa dibenarkan, jika hal itu mungkin terjadinya (yaitu kelahirannya terjadi setelah minimum 120 hari terhitung dari sejak diwathi). Maka apabila si tuan telah mati, jadilah amat itu merdeka.”

 

Semoga Allah swt. berkenan memerdekakan kita dari api neraka, mengumpulkan kita termasuk rombongan orang-orang yang dekat kepada-Nya, yang menjadi pilihan semua serta yang bagus-bagus, berkenan menempatkan kita di dalam surga Firdaus, tempat kelanggengan serta berkenan menganugerahkan kepadaku dalam karangan ini dan yang lainnya dengan diterimanya, dan diberikan kemanfaatan yang merata serta ikhlas dalam mengerjakannya, agar menjadi tabungan buatku bila telah datang hari Kiamat. dan menjadi sebab terlimpah rahmat Allah swt. yang khusus dan yang umum.

 

Segala puji milik Allah swt., pujian yang setimbang dengan nikmatnikmat-Nya dan yang sama dengan penambahan-Nya. Salam sejahtera semoga tercurahkan kepada makhluknya yang paling mulia dengan mohonkan salawat yang utama dan salam yang sempurna, yaitu Nabi Muhammad saw., buat keluarga, sahabat-sahabat dan istri-istri beliau, dengan salawat salam sejumlah pengetahuan dan sebanyak kalimat-Nya.

 

Hanya Allah-lah Zat Yang Mencukupiku dan sebagus-bagus wakil, – tiada daya dan upaya, serta tiada kekuatan selaia atas pertolongan Allah Yang Maha Agung.

 

Pengarang kitab ini -semoga Allah swt , mengampuninya dan mengampuni dosa-dosa orangtua serta guru-gurunya berkata.

 

Selesailah saya dalam membersihkan (mengoreksi) salinan naskah syarah iri pada pagi hari Jumat, tanggal 24 Ramadhan yang agung derajatnya, tahun 982 (H). Saya mengharap ke hadirat Allah swt. Yang Maha Suci lagi Maha Mulia, semoga berkenan menerimanya dan memberikan kemanfaatan yang merata, memberi kami keikhlasan dalam mengerjakannya dan aku berharap dengan syarah im semoga Allah swt., menyelamatkan kami dari neraka Hawiyah, dengannya Dia memasukkan kami ke surga-Nya yang tinggi, dan semoga Allah swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada orang yang membacanya dengan pandangan keinsyafan, menemukan kesalahan di dalamnya, lalu menunjukkannya kepadaku atau dengan baik-baik membetulkannya.

 

Segala puji milik Allah swt., Tuhan seru sekalian alam. Ya, Allah! curahkanlah salawat salam kepada penghulu kita Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya, setiap kali orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan setiap orang yang lupa itu lupa menyebut-Mu dan tercurah pula buat kita bersama, dengan rahmat-Mu. Ya, Allah! Zat Yang Maha Pengasih, melebihi siapa saja yang berpengasih.