Kitab Fathul Qorib Dan Terjemah Lengkap [PDF]

Dengan menyebut asma Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang berkatalah syekh penuntun umat yang sangat berilmu pelita agama Abu Abdillah beliau bernama Muhammad bin qasim pengikut madzhab Imam Syafi’i Semoga Allah meratakan siraman rahmat dan Ridhonya Kepada beliau.

segala puji puji bagi Allah. maksud kami menyebut kata Alhamdulillah di awal kitab ini karena mengharap berkah dengan Fatihah Kitab Alquran, sebab fatihah itu biasa digunakan sebagai hal-hal yang sangat bernilai, Pamungkas setiap doa yang diterima Allah, dan juga kata yang menghentikan doa-doa orang-orang Mukmin di surga sebagai tempat pahala tempat berdzikir dan bertasbeh.

kami memanjatkan puja dan puji kehadirat Allah lantaran berharap agar Allah memberi Taufik kepada segenap orang yaitu hamba-hamba Allah yang termaksud memahami atau mendalami ilmu-ilmu agama Islam, pemahaman yang sesuai dengan kehendak Allah.

dan selanjutnya aku memohon kehadirat Allah semoga shalawat serta salam sejahtera tetap terlimpah kepangkuan makhlukNya yang teristimewa yaitu Muhammad namanya, pemuka para rasul, beliaulah yang bersabda barangsiapa dikehendaki menjadi orang yang baik oleh Allah maka dia diberi kefahaman yang mendalam tentang ajaran agama.

shalawat serta salam sejahtera itu semoga terlimpah pula kepada seluruh keluarga dan sahabat rasul sepanjang masa di mana orang-orang ada yang berdzikir dan ada pula yang melupakan Allah yakni semenjak di dunia hingga di akhirat

dan sehabis Usai memanjatkan Puja puji dan sholawat buat Rasul seluruh keluarga dan sahabatnya, bahwa apa yang ada dalam benak kami ini sebuah kitab yang sangat ringkas, lagi tidak perpanjang kata, singkat dan padat, hal mana Aku susun sebagai komentar kitab yang berjudul at takrib. harapan saya semoga kitab ini bisa dimanfaatkan oleh para peminatnya yaitu orang-orang yang masih dalam tingkat pemula atau dasar untuk mempelajari cabang-cabang ilmu syariat dan agama Islam. dan semoga pula buah karya ini menjadi lantaran atau jembatan penyelamat diriku di hari yang sudah dijanjikan oleh agama Islam. dan semoga pula bermanfaat bagi segenap hamba-hamba Allah yang beragama Islam. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan yang Maha mendengar akan doa para hamba-nya, Maha dekat lagi maha mengabulkan doa,

dan perlu diketahui bahwa di dalam sebagian beberapa redaksi kitab Matan ini, di selain pembukaanya, terdapat pemberian nama sebuah kitab ini sekali tempo dengan sebuah judul a taqrib, Sedang pada tempo yang lain disebut pula dengan sebuah judul ghoyatul ikhtishor. Oleh karena itu kitab ini kami beri judul pertama Fathul Qorib Al Mujib yaitu sebuah karya yang mengomentari sebuah karya yang berjudul taqrib, kedua al qoulul mukhtar fi syarhi ghoyatil ikhtishor.

berkatalah Syekah penuntun umat Abu Thoyib, populer dengan julukan Abi sujak pelita agama, nama beliau sendiri Ahmad bin Husein bin Ahmad Al asfahani, Semoga Allah memberi siraman makam beliau dengan tumpahan rahmat dan Ridhonya, dan juga ditempatkan di surga firdaus yang bersama.

dengan menyebut asma Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang Aku menyusun menyusun buah karyaku ini. kata-kata Allah itu adalah sebuah nama bagi dzat yang wajib adanya. kata Arrahman adalah kata sifat yang mengandung makna lebih baik dan lebih tajam dan Agung sekutu kata ar-rohim.

segala puji bagi Allah. bersyukur Dengan mengucap kata Alhamdulillah adalah berarti kepada Allah ta’ala dengan menyebut atas nya sebagai upaya sebagai upaya mengagungkan-Nya.

Allah itu Tuhan yang merajai seluruh alam. Kata al alamin dengan dibacakan fathah huruf lamnya, mengembik apa yang dikatakan oleh Ibnu Malik adalah kata yang menunjukkan bentuk jamak, di khususkan buat orang-orang yang berakal fikiran, bukan bentuk kata jamak yang kata mufrod nya berbunyi alam dengan membaca kata huruf lamnya. sebab kata alam itu menunjukkan pengertian perkara yang selain Allah, sementara kata jamaah al alamin tersebut khusus untuk menunjukkan kata jamaknya lafadz alam yang mempunyai arti makhluk yang berakal pikiran.

Shalawat serta salam sejahtera semoga dilimpahkan Allah kepada junjungan kita yang bernama Muhammad, yang menjadi seorang Nabi. Kata”an-Nabi” dengan berhuruf hamzah dan juga bisa tanpa huruf hamzah, artinya adalah seorang manusia yang kepadanya diberi wahyu oleh Allah, dengan mendapatkan syari’at untuk diamalkan (sendiri), dan sementara dia tidak diperitahkan untuk menyampaiakan wahyu tersebut. Maka dengan demikian , jika dia diperintahkan untuk menyampaiakan wahyu tersebut, maka disebut Nabi dan sekaligus juga seorang Rasul. Maksud semua kata-kata mushannif tersebut, adalah merupakan pengupayaan semoga Shalawat dan salam sejahtera tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad.

Kata” Muhammad”, adalah isim yang menunjukkan nama seseorang. Dan kara “muhammad” itu pindahan dari bentuk kata isim maf’ul yang ditasydid huruf ‘ain-nya, sedang kata “an-Nabi” adalah menjadi badal (pengganti) dari kata “Muhammad”, atau sebagai ‘athaf bayan (penjelasan) pada kata ” muhammad” tersebut diatas.

Shalawat dan salam sejahtera semoga tetap terlimpah pula kepada seluruh keluarga Nabi yang suci-suci. Yang disebut keluarga nabi, adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam As-Syafi’i semua kerabat Nabi yang beriman, yaitu seperti keluarga bani Hasyim (anak cucu Hasyim) , dan bani Mutholib (anak cucu Mutholib). Dikatakan oleh pendapat yang lain, dan pendapat ini telah dipilih (untuk diikuti) oleh Imam Nawawi , bahwa yang disebut sebagai keluarga Nabi itu, adalah setiap orang muslim. Dan mungkin saja kata-kata mushannif “at-Thahirin” (yang suci-suci) itu didapat dari kata-kata hang terdapat pada firman Allah :” ويطهركم تطهرا ” (artinya: Dan Allah mensucikan kamu semua sesuci-sucinya). Dan shalawat serta salam sejahtera, itu juga tetap terlimpahkan kepada shahabat Nabi secara keseluruan . Kata “Shahaabatihi” , itu bentuk jama’ dari “Shahibin Nabi”. Sedang kata “Aj-Ma’in” adalah kata penguat (ta’kid) pada kata Shahaabatihi” tersebut. Kemudian mushannif menjelaskan bahwa beliau diminta untuk menyusun buah karya tulis yang mungil ini. Dengan kata-kata-nya (beliau menjelaskan) : “pernah sebagian kawan-kawan meminta kepadaku, semoga Allah Ta’ala menjaga hendaklah aku menyusun buah karya mungil (ringkas), yaitu singkat kata-katanya dan (tetapi) padat maksud kandunganya, buah karya mana membicarakan masalah hukum fiqih. Kata “Fiqih”, menurut tinjauan bahasa, artinya mengerti (faham). Sedang menurut ishtilah (yang lazim dingunakan oleh kalangan para ulama Fiqih) adalah, mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah (hukum tentang amal perbuatan sehari-hari), yang diperoleh dari (hasil rekayasa) beberapa dalil hukum tersebutm secara rinci.” (Buah karya tulis mungil, yang aku susun tersebut , membicarakan tentang hukum-hukum fiqih) berdasarkan pada madzab al-Imam penuntun Ummat, pemimpin besar, ahli ijtihat, penolong (penegak) sunnah Rasul dan agama islam, (yang berjuluk) Abu ‘Abdillah (beliau sendiri bernama) Muhammad bin Idris ‘Abbas bin ‘Ustman bin Syafi’ asy-Syafi’i. Imam Syafi’i itu dilahirkan di Ghuzzah (di negeri Syam, atau sekarang , Syiria) yaitu pasa tahun 150. Beliau semoga Rahmat dan Ridho Allah tetap terlimpah kepadanya adalah wafat pada hari Jum’at , akhir bulan Rajab, tahun 204. (Sebagaimana telah dimaklumi bahwa) mushannif telah memberi ciri-ciri pada buah karya tulis yang mungil itu dengan beberapa sifat, antara lain : Sangat ringkas lagi amat singkat sekali. Kata “Ghayah” dan kata “Nihayah” itu kedua-duanya berdekatan ma’nanya. Demikian pula kata “Ikhtishar” dan kata “Ijaz” adlah berdekatan ma’nanya.

Diantara beberapa ciri kitab yang mungil ini, adalah bahwa kitab ini mendekatkan (kunci) bagi orang yang belajar untuk mengetahui cabang- cabang ilmu fiqih, dan memudahkan bagi para pelajar tingkat dasar untuk menghafalnya. Yakni, menguasai hingga sampai diluar kepala, bagi orang yang berminat sekali menghafalkan buah karya tulis mungil yang membicarakan didalam masalah fiqih tersebut. Dan telah meminta kepadaku pula, sebagian kawan, hendaklah aku memperbanyak didalam kitab yang mungil ini beberapa bagianya sasaran hukum-hukum fiqih. Dan sebagian ada juga orang yang meminta untuk meringkas beberapa perkara yang berkenaan dengan hukum wajib dan hukum sunnah dan hukum lainnya. Maka aku penuhi orang itu atas permintaannya pada hal-hal yang tersebut di atas tadi, Seraya Aku berharap memperoleh pahala dari Allah ta’ala sebagai balasan atas (jerih payahnya) menyusun kitab yang mungil Ini. (disamping berharap pahala) juga sambil (menghadap diri) suka untuk cenderung kepada Allah Swt untuk memohon batuan dari anugerah (kemurahanya) atas kesempurnaan kitab yang mungil ini. Dan untuk mendapat Taufik demi suatu kebenaran dan bukan kesalahan yang terjadi. Sesungguhnya Allah ta’ala itu kuasa yang mewujudkan atas segala sesuatu yang dikehendaki. Dan dialah yang Maha halus (pelik sekali) lagi maha mengetahui terhadap sepak terjang segenap hambah-hambah-Nya kata-kata yang awal “Lathif” itu didapat (iqtigas) dari firman Allah Ta’ala : ” Allahu lathifun bi’ibaadihi.” Sedangkan yang kedua , yaitu “khabiirun,” adalah didapat dari firman Allah: ” wahuwal hakimul khabiir.” (Baik) kata khabir dan kata lathif itu, kedua-duanya adalah nama dari sekian banyak asma’ Allah Ta’ala. Kata yang awal tadi , artinya Maha mengetahui masalah-masalah yang pelik lagi sulit. Dan kadang-kadang juga kata tersebut mempunyai kata pelindung tumpuhan segala-galanya, bagi hamba-hamba Allah. Maka, Allah Ta’ala itulah yang maha mengetahui seluruh hambahnya, dan beberapa juga tempat kebutuhan hamba-hambaNya lagi pula dialah yang maha pelindung, tumpuhan harapan buat hambaNya. Dan kata yang kedua (Khabir) ma’nanya hampir sama dengan ma’na kata yang awal tadi (Lathif) . Dan kata itu (biasa) diucapkan”Khabartu asy-Syai-a” artinya, sama dengan kata “Akhbarahu Fa Anabahu.” Kata “Khabirun” itu, artinya maha pengetahui (sama dengan artinya kata ‘Alimun). Penyusun kitab ini rahimahullahallah Ta’ala berkata:

Kata “kitab” menurut pengertian (dari segi) bahasa artinya “kumpul”. Sementara menurut pengertian secara istilah (yang sudah lazim dikenal oleh para ulama Fiqih), kata kitab menunjukkan arti jenis dari macam-macam hukum. Adapun kata “Bab”, menunjukkan satu bagian (sub) dari pada jenis tersebut. Kata “Thaharah” menurut (tinjauan dari segi) bahasa , artinya sama dengan kata “Nazharah” (bersih dari kotoran). Adapun (menurut tinjauan dari) syara’ pengertian yang sudah lazim berlaku dikalangan ‘ulama ahli fiqih ) , maka hal ini terdapat beberapa pengertian (difinisi yang dikemukakan). Diantara mereka ada yang berpendapat ” suatu perbuatan yang karenanya seseorang diperbolehkan mengerjakan sholat.” Seperti wudlu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Adapun kata ” thaharah” menunjukkan arti “air suci, sisa dari air yang telah digunakan untuk bersuci” (seperti air yang ada disuatu tempat yang telah dipakai mengambil air wudlu). Tatkala air itu ( sangat penting ) sebagai alat untuk dipakai bersuci , maka penyusun kitab ini , (merasa perlu) untuk menyusul penjelasan macam-macamnya air tersebut. Beliau mengatakan : Bahwa air yang dianggap sah untuk dipakai bersuci itu ada 7 macam sebagai berikut: 1. Air hujan. 2. Air laut (air asin). 3. Air sungai / begawan (air tawar). 4. Air sumur. 5. Air sumber. 6. Air es 7. Air embun. Ketujuh air diatas telah tercangkup pada suatu pengertian yakni semua air yang datang dari langit dan yang keluar dari tanah dengan segala macam warna (corak) keadaan wujud air tersebut dari asal kejadiannya. Kemudian air tersebut, di atas terbagi menjadi 4 bagian sebagai berikut : 1. air yang suci dan mensucikan (berfungsi untuk membersihkan) kepada yang lain, tidak makruh menggunakannya dan lepas dari qayyid (batasan) yang mengikat dalam segala keberadaannya. Air yang demikian ini dinamakan air mutlak, Jadi qayid yang bisa lepas (sewaktu-waktu) tidak membawa akibat apa-apa, seperti air sumur dalam keberadaannya sebagai air “mutlak”. 2. Air suci yang mensucikan tetapi makruh menggunakannya pada (anggota) badan, bukan makruh untuk dipakai mensucikan pakaian. Yaitu air yang dipanaskan dengan sengatan terik matahari. Bahwa menurut tinjauan syara’, hanya makruh menggunakan air yang dipanaskan dengan sengatan terik matahari, apabila air tersebut ditempatkan pada suatu tempat (wadah) yang terbuat dari emas dan perak, karena kekeringan ketua tempat tadi (sehingga bisa menjamin, akan timbulnya sesuatu yang bisa membahayakan kesehatan. Adapun apabila air yang panas tadi telah berubah menjadi dingin lagi, maka hukumnya tidak makruh. Imam Nawawi (cenderung) memilih pendapat yang mengatakan tidak makruh serta mutlak (baik ada ketentuan syarat seperti tersebut diatas atau tidak). Bahkan makruh pula hukumnya menggunakan air yang sangat panas atau yang sangat dingin. 3. Air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan pada yang lain, yaitu air mustakmal maksudnya air yang sudah dipakai menghilangkan hadas atau najis, dengan catatan jika air tersebut tidak berubah dan tidak bertambah kadar beratnya dari asal mulanya (sebelum dipakai) setelah diperkirakan adanya air yang meresap pada sesuatu yang dicuci. Termasuk (dalam katagori) air suci yang tidak (berfungsi) mensucikan pada yang lain, ialah air yang berubah salah satu dari sekian banyak sifat-sifatnya akibat ada suatu benda suci yang bercampur dengan air, sehingga perubahan itu bisa mencegah (merusak) kemutlakan pada air tersebut. Maka dengan demikian, air ini sama halnya dengan mustakmal, dalam arti ia tetap suci tetapi tidak berfungsi untuk mensucika pada yang lain. Baik perubahan air tadi bisa dibuktikan dengan (panca) indera atau dengan fikiran saja, contohnya seperti air bercampur dengan benda yang memiliki kesamaan sifat-sifatnya, seperti campurnya air dengan air mawar yang sudah hilang bauhnya, atau bercampur dengan air mustakmal. apabila berubahnya air tersebut tidak sampai mencegah (merusak) kemutlakan daripada nama air, misalnya berubahnya air tadi disebabkan bercampur dengan benda suci dengan kadar yang sedikit atau karena bercampur dengan benda yang (kebetulan) mempunyai sifat-sifat yang persis dengan air tersebut (dalam segi lahirnya), sedang (pada hakekatnya) diperkirakan ada perbedaan, dan benda yang bercampur itu tidak merubah keadaan air tersebut, maka percampuran itu, tidak bisa meniadakan (status) air sebagai air yang suci dan dapat mensucikan pada yang lain. Penyusun kitab ini, mengatakan bahwa kata “خالطه” ( artinya bercampur nya benda dengan air) itu, berarti mempunyai suatu pengertian ” mengecualikan benda suci yang berdampingan dengan air dan yang bisa merubah keadaan air tersebut, walaupun kadar perubahan yang terjadi pada air tersebut cukup banyak”. Maka dalam hal semacam ini, air tadi tetap suci dan mensucikan. Demikkan pula, air yang berubah sebab bercampur dengan benda yang sulit bisa lepas dengan air, seperti bercampur dengan lumpur dan kiambang (ganggeng), dan juga apa saja yang berada di tempat diamnya air atau tempat lewat nya. Dan (lagi) air yang berubah lantaran terlalu lama berdiam di tempatnya maka air semacam ini hukumnya tetap suci. Atau dibedakan dengan air menurut pandangan mata, contohnya seperti minyak yang tumpah membaur ke dalam air. 4. Air suci yang kena najis (yang tidak dima’fu). Air najis ini, terbagi menjadi dua bagian sebagai berikut : a. air sedikit yang kurang dari 2 qula yang kemasukan najis, baik air tadi berubah atau tidak. (Dalam hal ini) di kecuali kan masuknya ke dalam air bangkai (binatang) yang tidak mempunyai darah yang mengalir ketika sedang dibunuh, atau sedang dibelah sebagian anggota tubuhnya, contohnya seperti lalat (semut dan lain-lain), sepanjang binatang tadi tidak dimasukkan (ke dalam air) secara sengaja dan (juga) tidak bisa merubah (keadaan) air tersebut (maka hukumnya air yang demikian itu, suci). Demikian juga (termasuk yang dikecualikan) apabila najis itu tidak dapat ditemukan (diraba) oleh mata, maka dalam hal ini kedua-duanya tidak bisa membuat najis (menajiskan air yang sedikit dan) benda yang cair (dari air). Dan juga dikecualikan, beberapa contoh yang banyak sekali jumlahnya, (sebagaimana) yang tersebut dalam kitab yang luas keterangannya. b. air yang banyak (2 qulah ke atas ) lalu berubah (sebab kena sesuatu), baik berubahnya itu (cuma)sedikit atau (cukup) banyak. Adapun (ukuran) air 2 qulah itu ialah (air yang mencapai) 500 (lima ratus) negeri Bagdad, demikianlahkira-kira menurut pendapat yang sangat shahih (kuat). Menurut Imam Nahrawim bahwa 1 (satu) kati Bagdad itu sama dengan 128 (seratus dua puluh delapan) dirham lebih 4/7 dirham. Penyusun kitab ini tidak mengemukakan bagian yang kelima, yaitu air suci yang haram memakainya , contohnya seperti air yang diperoleh dengan cara ghasab dipakai untuk wudlu, atau air yang disediakan (ditepi-tepi jalan) untuk minum, lalu dipakai untuk berwudlu. 

PASAL : mengetengahkan tentang benda yang kena najis dan benda-benda yang bisa suci sebab (melalui proses) penyamakan (pemasakan) dan benda yang tidak bisa menjadi suci. bahwa semua kulit bangkai , baik yang berasal dari bangkai yang boleh dimakan dagingnya (seperti keledai) bisa menjadi suci sebab disamak. Cara menyamak kulit bangkai binatang itu ialah, sisa-sisa kotoran yang menempel dikulit seperti darah dan sebagainya (sisa danging yang masih melekat) yang membuat kulit menjadi busuk, harus dihilangkan dengan benda yang mempunyai rasa kelat seperti (daun /kulit kayu) pojon ‘afas (yang mempunyai rasa pahit lagi tengik), walaupun benda yang kelat itu berupa benda yang najis, seperti kotora burung dara (merpati), maka cukuplah pe yamaan itu (sebagai cara u yuk menghilangkan najisnya kulit bangkai tersebut). (Semua kulit bangkai bisa disamak), kecuali kulit anjing dan babi serta binatang yang lahir dari kedua bintang tersebut (anak-anaknya), atau yang lahir dari salah satu kedua binatang tersebut (sebab dikawinkanya) dengan binatang yang suci (misalnya anak seekor kambing yang lahir sebab induk si kambing yang disetubuhi oleh anjing), maka (kulitnya) tidak bisa suci sebab disamak. Tulang bangkai dan bulunya hukumnya najis , demikian pula bangkai binatang itu sendiri hukumnya pun najis. Dan (sementara) yang dimaksud , dengan bangkai (disini), ialah binatang yang sudah hilang nyawannya tanpa melalui (tata cara) penyembelihan yang dibenarkan oleh syari’at Islam. Maka apabila demikian adanya, adalah tidak termasuk yang tanpa terkecuali, yaitu ketika ada janin keluar dari perut induknya yang sudah disembelih (melalui tata cara syari’at Islam), sedang janin tersebut (keluar) dalam keadaan mati. Sebab, sembelihan induknya berarti sembelihan janin itu sendiri (jadi janin ini bukan termasuk bangkai, sebab dengan menyembelih induknya sama hukumnya dengan menyembelih janin.) Demikian pula yang bukan termasuk pantai yaitu masalah lain yang diterangkan didalam kitab yang luas keterangannya. 

Kemudian penulis kitab ini memberi pengecualian atas rambut (bulu) bangkai, pada perkataan beliau (yang berbunyi) ” kecuali bangkainya anak Adam”. Maksudnya rambut anak Adam (manusia) hukumnya sama dengan bangkainya yaitu suci.

PASAL : menjelaskan tentang wadah yang haram digunakan(sebagai wadah air) dan wadah (tempat) yang diperbolehkan dipakainya. Mulailah mushannif membicarakan masalah yang pertama, Beliau berkata: Bahwa tidak diperkenankan (haram) bagj seorang laki-laki atau perempuan, bukan dalam keadaan darurat (terpaksa), yaitu menggunakan tempat (yang terbuat dari) emas dan perak, baim dipakai sebagai tempat untuk makan, minum atau yang lainnya. Dan sebagaimana haram mamakai wadah yang tersebut diatas (wadah yang terbuat dari emas perak), haram pula hukumnya menyimpan (menfa’atkan) meskipun bukan untuk dipakai. Demikianlah menurut pendapat yang lebih shahih (sangat kuat). Haram pula hukumnya, menggunakan baran yang disepuh dengan emas dan perak, apabkla proses penyempuhannya melalui cara dibakar dengan api. Dan diperbolehkan (tidak haram) menggunakan wadah yang terbuat dari bahan selain emas dan perak, yaitu seperti wadah yang indah (berharga) seperti yang terbuat dari yakut. San haram menggunakan wadah yabg ditambal dengan perak yang cukup besar (kadarnya), sedang menurut penilaian uref (pandangan secara umum) dimaksudkan untuk sekedar hiasan. Apabila tambalan tersebut dalam kadar yang banyak (tetapi) karena suatu kepentingan (yang dibenarkan syara’), maka diperbolehkan , tetapi makruh. Adapun apabila karena (didorong) suatu kepentingan maka tidak makruh menggunakanya. Bahwa apabila tambalan itu terdiri sari emas yang murni, maka hukumya haram secara mutlak (baik sedikit atau besar kadar tambalannya, juga baik karena ada kepentingan atau tidak). Demikianlah, sebqgaimana pendapat ini dinilai oleh Imam Nahrawi sebagai pendapat yang shahih.

PASAL : Membicarakan tentang menggunakan alat untuk bersiwakm ia (sekaligus) merupakan sebagian dari sekian banyak sunatnya wudku. Bersiwak biasa juga dikenal dengan (suatu kegiatan) siwak-menyiwak dengan menggunakan alat yang berupa kayu “Arak” dan yang sejenis dengan kayu arak. Bersiwak hukumnya sunnah pada keadaan apapun. Dan tidak makruh tanzih hukumnya, kecuali bersiwak dilakukan pada saat sesudah matahari condong kebarat, bagi orang yang sedang berpuasa, baik puasa sunnah atau puasa fardlu(wajib). Hukum makruh bersiwak itu sirna (tidak berlaku) sebab terbenamnya matahari. Sedang Imam Nahrawi (cenderung) memilih pendapat yang mengatakan tidak makruh secara mutlak. Bersiwak pada 3 keadaan hukumnya sunnah sanggat disunnahkan, daripada bersiwak selain 3 keadaan tadi. 3 keadaan yang sangat dianjurkan bersiwak ialah:
Pertama : apabila bau mulut berubah menjadi bau tidak enak (busuk), yaitu sehqbis berdiam lama (tidak makan) atau meninggalkan (kegiatan) makan. Bahwa penulis kitab ini mengatakan : “Dan berbau busuk disebabkan oleh sesuatu yang selain karena berdiam lama,” tiadalain maksud tujuannya ialah agar supaya mencakup (pula masalah) berubahnya mulut yang disebabkan oleb sebab yang lain seperti sehabis makan makanan yang berbau tidak enak, yaitu seperti makan berambang dan bawang atau selain keduanya.
Kedua : Apabila sedang bangun dari tidur (atau) tersadar dari tidur. Dan ketiga: apabila berdiri (hampir) hendak melakukan sholat fardlu atau sunnah. Dan dianjurkan juga bersiwak pada kesempatan selain tiga yang telah diterangkan tadi, hal mana telah disebutkan pada kitab-kitab yang luas pembicaraannya. Yaitu tatkala hendak membaca Al-Qur’an dan saat gigi-gigi telah menguning. Dan ketika bersiwak disunnahkan hendaklah niat melakuka ibadah sunnah. Dan hendaklah sewaktu bersiwak, alat siwak dipegang dengan tangan kanannya serta memulai bersiwak pada arah kanan dari mulutnya, dan seterusnya melewatkan siwak dengan pelan-pelan pada arah bagian atas tenggorokan dan (akhirnya hingga sampai ke) pada arah gigi geraham (yang paling akhir). PASAL : Membicarakan tentang beberapa fardlunya wudlu. Kata “Wudlu” (وضوء) dengan dibaca dlammah huruf wawunya, menurut pendapat yang lebih masyhur menunjukkan nama bagi suatu perbutan. Pengertian semacam inilah yang dimaksud disini. Dan dengan dibaca fathah huruf wawunya (وضوء) menunjukkan nama suatu benda yang dipakai untuk berwudlu (yaitu air). Wudlu dalam arti pengertian yang pertama tadi, menganung beberapa fardlu dan beberapa sunnah (wudlu) penyusun kitab ini menyebutkan fardlu-fardlunya wudlu pada perkataannya yaitu : Beberapa fardkunya wudlu itu ada 6(enam) perkara : 1. Niat, menurut pandanga syara’, hakikat niat adalah (didalam hati) bermaksud pada sesuatu seraya di iringi dengan mengerjakannya. Jadi, apabila maksudnya tadi tidak (sekaligus) disertai dengan mengerjakannya , maka hal semacam ini disebut “Azam.” Niat tersebut, dilakukan saat membasuh permulaan sebagian dari wajah (muka), yakni ia (niat itu) di iringi dengan membasuh sebagian wajah, bukan (sebelum selesai) secara keseluruhannya, bukan sebelum membasuhnya dan juga bukan sesudahnya (selesai membasuh muka). Bagi orang sedang berwudlu, ketika ia membasuh apa yang telah diterangkan tadi (sebagian dari wajah), harus niat menghilangkan hadats dari sekian banyak hadats-hadatsnya (yang ditanggungnya). Atau niat menunaikan (syarat) diperkenankannya mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan harus wudlu, atau niat menunaikan fardlunya wudlu saja, atau niat bersuci (menghilangkan) hadats. Jadi apabila orang yang sedang berwudhu tadi tidak mengucapkan niat menghilangkan hadats, maka tidak dianggap sah wudhunya. Bahwa ketika ada orang yang berwudhu, ia niat seperti apa yang sudah lazim berlaku pada tata cara niat tadi, Disamping itu ia sertakan (pula) niat membersihkan badan atau disertakan niat biar segar badannya, maka bisa dianggap sah wudlunya.

2. Membasuh bagian muka secara keseluruhan. Adapun batas-batasnya (wajah yang harus dibasuh), dari atas kebawah mjlai dari tumbuhnya rambut kepala menurut ukuran umumnya orang, hingga sampai pada bagian bawah, dimana kedua tulang itu permulaanya (bagian awalnya) berkumpul (bertemu) didagu, sesang oada bahian akhirnya ada (disekitar) telinga. Adapun batas lebar ya (muka), yaitu batas antara kedua telinga ( mulai dari telinga kanan hinga sampai pada telinga kiri. Dan apabila pada bagian wajah terdapat rambut yang tumbuh, baik rambut itu jarang-jarang atau lebat, maka wajib membasuhnya hingga air sampai pada kulit yang ada pada bagian bawahnya rambut (dimana rambut itu tumbuh). Adapun jenggot laki-laki yang (tumbuh) lebat, sekiranya orang yang berbicara buka kurung (di depannya) tak dapat melihat kulitnya dari selah selah jenggot, maka cukuplah membasuh pada bagian muka yang tampak saja . Jadi berbeda dengan jenggot yang tumbuh jarang-jarang (tipis), yaitu sekiranya orang yang berbicara (di depannya), itu dapat melihat kulitnya, maka dalam hal ini wajib membasuhnya hingga air itu sampai ke bagian kulit. Dan dan (persoalan tersebut) berbeda pula dengan jenggotnya orang perempuan dan orang banci, maka (dalam hal ini) wajib bagi mereka membasuh jenggotnya sampai air itu mengenai pada bagian kulit mereka, walaupun jenggotnya tumbuh lebat. Dan di samping harus membasuh wajah, (itu berarti) harus membasuh pula sebagian dari kepala, leher, dan bagian-bagian yang ada di bagian bawah dagu (seperti kerongkongan, bagian disekitar kedua telinga sebab hal ini termasuk yang membuat sempurnanya pembasuhan bagian muka). 3. Membasuh kedua tangan hingga sampai pada siku-siku. Jadi, kalau seseorang tidak memiliki siku-siku, maka yang harus dibasuh bagian yang diperkirakan sebagai siku-sikunya. Dan wajib (pula) membasuh bagian-bagian yang ada di dua tangan seperti rambut (bulu), uci-uci (daging yang tumbuh di badan), jari-jari tambahan dan kuku-kuku (sekalipun panjang). Dan wajib pula menghilangkan kotoran (benda) yang terdapat dibagian bawah kuku yang bisa mencegah air sampai (mengenai) pada (kuku). 4. Mengusap sebagian dari kepala, baik laki-laki atau perempuan (sama saja). Atau (setidak-tidaknya) rambut yang masih ada pada batas-batas kepala. Sedangkan dalam hal mengusap ini, tidak harus dengan tangan, tetapi bisa saja memakai secarik kain dan lainnya. Dan seandainya ada orang tidak mengusap kepala, tetapi sebagai gantinya ia membasuhnya, maka boleh-boleh saja. Dan demikian pula, seandainya ada orang (hanya) meletakkan saja tangannya yang sudah dibasahi, tanpa menggerak-gerakkan nya , (itu pun) boleh-boleh saja (sah hukumnya). 5. Membasuh dua kaki beserta dua mata kaki. (Demikian itu) jika orang yang sedang berwudhu itu tidak memakai dua muzah. Sedang apabila ia memakai kedua muzahnya , atau membasuh kedua kaki. Dan wajib (pula) membasuh apa-apa yang terdapat pada kedua kaki tersebut, seperti rambut (bulu-bulu yang tumbuh), daging yang tumbuh pada kulit dan jari-jari tambahan sebagaimana keterangan yang lalu pada masalah membasuh kedua tangan. 6. Harus tertib sewaktu mengerjakan wudhu, sebagaimana yang telah kami terangkan (seperti membasuh muka sekaligus disertai dengan niat, lalu disusul urutan berikutnya dan seterusnya). Jadi, kalau orang yang berwudhu lupa akan tata tertib, maka tidak cukup (tidak sah) wudhunya, serentak hanya sekali basuhan dengan seizin orang yang wudhu tadi, maka yang hilang (hanya) hadats bagian wajah saja (ia baru dianggap membasuh muka saja).

Sunnah-sunnah nya wudhu itu ada 10 perkara: 1. Membaca bismillah pada permulaan (saat akan mengerjakan wudhu). Sedikit-sedikitnya membaca “Bismillah”. Sedang untuk sempurnanya, membaca “Bismillahirrahmanirrahim”. Maka apabila ia ( lupa) meninggalkan baca Bismillah pada permulaan (saat mau berwudhu), maka ia boleh membacanya ditengah-tengah sedang mengerjakan wudhu. Sedang apabila sudah selesai dari mengerjakan wudhu (tiba-tiba ia ingat), maka tidak usah membaca bismillah ( pun tak mengapa atau tetap sah wudhunya). 2. Membasuh kedua telapak tangan hingga sampai ke batas 2 pergelangan, sebelum ia berkumur. Sedang apabila ia ragu-ragu akan kesucian ketua telapak tangannya, maka (hendaklah) ia membasuh sebanyak 3 kali, sebelum memasukkannya ke dalam sebuah wadah, (apabila) yang termuat di dalam wadah tadi, air kurang dari dua kulah. Jadi,kalau ia tidak membasuh kedua telapak tangan tersebut, maka hukumnya makruh memasukkan kedua telapak tangan tersebut, maka tidak makruh bagi orang yang wudhu tadi, memasukkannya ke dalam wadah (air tersebut). 3. Berkumur setelah membasuh kedua telapak tangan. Dansudah dianggap mendapat kan ke sunatan nya berkumur, yaitu dengan memasukkan air kedalam mulut baik ia memutar mutar (mengumurkan) air tadi kedalam mulutnya, atau tidak memutarnya. Sedang apabila ia hendak mengerjakan berkumur yang lebih sempurna, maka (sesudahnya ia berkumur) lalu ia keluarkan air tersebut dari mulutnya. Dan (Sunnah pula) menghirup air kedalam hidung, sehabis berkumur. Dan (sudah dianggap) mendapat kesunnatan dalam hal Sunnah nya menghirup air, yaitu dengan memasukkan air kedalam hidung, Bai ia menghirup nya sekuatnya hingga sampai ke rongga hidung lalu dikeluarkan dari hidung, atau tidak ( mengerjakan nya dengan sampai sejauh itu). Maka, apabila ia bermaksud (menghirup air) yang lebih sempurna, maka, (hendaklah) ia keluarkan air itu dari hidungnya. Adapun antara berkumur dan menghirup air kedalam hidung itu dikerjakan berbarengan dalam 3 kali cibuan, setiap kali dari 3 cibuan itu, ia berkumur kemudian (diikuti) menghirup air kedalam hidung, itu lebih afdhol ( baik) dari pada ( melakukannya) secara terpisah-pisah antara keduanya. 4. Meratakan usapan keseluruh kepala. Adapun mengusap sebagian kepala hukumnya baik, sebagaimana keterangan yang telah lewat. Dan seandainya ada orang yang hendak membiarkan surban atau yang lainnya yang sejenis yang menjadi tutup kepala , maka mengusap bagian atas tutup kepala tadi sudah (dianggap) sempurna. 5. Mengusap kedua telinga (secara keseluruhan) baik pada bagian muka atau bagian muka atau bagian yang dalamnya (lipat-lipatannya yang tidak tampak dimuka), dengan air yang baru, maksudnya bukan menggunakan air ( yang menetes dari) yang membasahi kepala (muka). Adapun cara mengusap kedua telinga sunnahnya ialah memasukkan jari penunjuk kedalam lubang telinga lalu diputarnya (digerakannya) pada bagian lipat-lipatannya. Dan ( kemudian) ibu jarinya digerakkan pada bagian yang tampak dikedua telinga (seperti bagian belakang telinga), kemudian kedua telapak tangannya yang sudah dibasahi air, dipertemukan dengan kedua telinga biar tampak jelas merata usapannya keseluruh telinga. Memasukkan air kedalam sela-sela jenggot yang lebat bagi orang laki-laki. Adapun jenggot orang laki-laki yang tumbuh ya jarang-jarang, dan juga jenggot orang perempuan serta orang banci, maka (semuanya itu) wajib disela-selai dengan air. Sedang caranya, ialah ia ( seseorang ) masukkan jari-jari nya dari bagian bawah jenggot (kedalam sela-selanya). 7. Memasukkan air kedalam sela-sela (jari-jarinya) kedua tangan dan kedua kaki . Demikian itu, apabila air sudah bisa sampai ( mengenai) pada sela-sela jari-jari tersebut, tanpa harus di sela selai air. Sementara apabilah air tidak bisa sampai mengenai jari jari kecuali dengan memasukkan air kesela sela jari jari tersebut, seperti (hal ini terjadi) jari jari yang berhimpit, maka memasukkan air ke sela sela jari tersebut, wajib hukumnya. Apabilah memasukkan air ke sela sela tadi tidak memungkinkan, maka haram hukumnya membela jari jari dengan maksud agar bisa memasukkan kesela-sela jarinya. Adapun cara agar air bisa sampai mengenai sela jari-jari kedua tangan ialah, dengan memasukkan jari jari tangan ke dalam sela-sela jari tangan yang satunya nya ( bahasa Jawa:ngapu rancang). Sedangkan cara penyelenggaraan kedua kaki ialah, dimulai dengan memasukkan jari kelingking tangan kirinya dari arah sebelah bawah kaki Soraya memulainya pada jari kelingking kaki yang kanan, (lalu) mengakhiri patah jari kelingking kaki yang kiri. 8. Dan Sunnah mendahulukan tangan maupun kaki yang kanan, daripada yang sebelah kiri. Adapun 2 anggota badan yang kedua-duanya mudah dibasuh secara berbarengan, seperti kedua pipi, maka tidak perlu mendahulukan yang kanan (mengakhiri yang kiri) dari ketua anggota tersebut. Tetapi (cukup) dicuci (dibasuh) kedua-duanya secara bebarengan. 9. Penyusun kitab ini menerangkan tentang sunat mengulang hingga tiga kali pada pembasuhan dan pengusapan anggota yang sedang dibasuh dan diusap. Di dalam ucapannya nya (beliau mengatakan):”bersuci itu sunnah (diulang-ulang) sebanyak 3 kali 3 kali.” Sebagian keterangan menyebutkan :”sunnah mengulang-ulang pada waktu membasuh dan mengusap (anggota yang hendak dibasuh dan di usap).” 10. Dan Sunnah “Muwalah” ( susul-menyusul secara segera ). Muwalah, juga (biasa) dikenal dengan ungkapan ” Tatabu’ ” ( berturut-turut ).Yaitu, (Pembasuhan atau Pengusapan ) antara dua anggota badan tidak sampai terjadi tenggang waktu yang cukup lama. Tetapi satu anggota badan dicuci (di basuh atau diusap) segera setelah anggota badan yang lain, selesai dicuci ( dibasuh), sekirannya anggota yang (baru saja) dibasuh sebelumnya belum sampai kering, pada saat cuaca, tabiat (temperamen tubuh) dan situasi kondisi yang sedang Sedang saja. Dan apabila seseorang (yang wudhu) mengulang-ngulang dalam Pembasuha (Pengusapan) Sebanyak 3 kali, Maka yang bisa dianggap Sebagai ukuran muwaran (susul-menyusul antara satu angota badan yang lain) adalah yang terakhir kalinya Pembasuhan (Pembasuhan yang terakhir kali). Bahwa ‘”muwalah “hanya disunnahkan bagi selain orang wudhu dalam keadaan darurat keadaan waktu masih longgar ) . Adapun “muwalah “bagi orang yang wudhu dalam Keadaan darurat hukumnya wajib Sunnah Sunnahnya wudhu yang lain masih banyak, diterangkan pada kitab-kitab yang panjang dan lebar Pembahasannya.

pasal : Membicarakan tentang Istinja’ (bersuci Sehabis buang air besar) dan tata krama Orang buang air besar. Kata “Istinja’ ” berasal dari ungkapan : (من نجوت الشئ) artinya: Saya memotong sesuatu. jadi seolah-olah orang yang hendak bersuci sehabis buang air besar itu,sedang memotong (menghilangkan) kotoranyang terdapat pada dirinya.hukum istinja itu wajib sebab (apabila)keluarnya air kencing dan kotoran sewaktu buang air besar (istinja’ itu)harus memakai air atau batu (Kalau tidak ada air)dan apa saja yang sejenis dengan batu,yaitu setiap benda keras yang suci lagi bisa (berfungsi)untuk menghilangkan najis, (juga benda itu)tidak berupa benda yang terhormat (sejenis makanan).tetapi yang lebih baik (afdlal)Apabila seseorang beristinja hendaklah menggunakan beberapa batu dahulu kemudian menyusulnya (diulangi)lagi Untuk yang kesekian kalinya dengan air. Dan yang wajib (dalam hal istinja ini), ialah melakukannya dengan 3 kali usapan walaupun dengan menggunakan sebuah batu yang mempunyai 3 sudut. (Namun demikian)diperbolehkan (sah saja),bagi orang yang hendak bersuci sehabis berak,menggunakan cukup air saja atau tiga batu yang bisa membersihkan tempat kotoran.bahwa boleh hanya menggunakan 3 buahbatu itu,apabila tempat kotoran itu bisa dibersihkan dengannya.sedang,apabila 3 Buah Batu tadi tidak mampu menghilangkan najis dari tempatnya,maka harus menambah lagi (lebih dari 3 Buah Batu)hingga najisnya (benar-benar) bisa dihilangkan. dan sehabis semua najis najis itu bersih,disunnahkan mengulang untuk yang ketiga kalinya (dibikin tidak genap,Jadi kalau sudah 4 kali baru bersihnya ditambah 1 kali menjadi lima). Adapun apabila seseorang tadi bermaksud hendak menggunakan salah satu sajadari keduanya yang tersebut tadi (air dan batu),maka menggunakan air (sewaktu istinja’)lebih baik.sebab air itu bisa (benar-benar) menghilangkan najisitu sendiri dan (sekaligus)menghilangkan bekas-bekas nya.syarat-syarat beristinja’menggunakan batu ialah,ndak lah jangan sampai najis yang keluar tadi menjadi kering. Dan (juga)tidak boleh najis itu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain yang bukan tempat keluarnya najis tersebut.dan (juga)Tata tempat keluarnya najis tadi tidak boleh terkena najis yang lain (yang bukan kotoran berak).maka oleh karenanya,.apabila satu syarat saja dari sekian banyak syarat yang tersebut tadi tak terpenuhi, maka wajib (beristinja’)dengan menggunakan air. Dan wajib menghindari,bagi orang yang hendak mendatangi hajatnya (kencing atau berak), jangan sampai menghadap ke arah kiblat,yang kini dikenal dengan nama Ka’bah. Dan (juga)dilarang membelakanginya sewaktu (kencing atau berak) berada di tanah lapang, apabila antara dia (orang kencing atau berak) tadi tidak ada tabir (tutup yang beruku tapi lo takdirran 2/3 dzira’ke ke atas).atau ada tabir tetapi tidak mencapai (tingginya) 2/3 dzira’ atau juga ada tabir yang setinggi 2/3 dzira’ (tetapi) jauh dari tempat orang yang berak atau kencing tersebut, (jaraknya) lebih dari 3 dzira’dengan (standar ukuran) dzira’nya orang kebanyakan (orang umum). Demikianlah sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama ahli fiqih.

Adapun (kencing dan berak) disebuah bangunan, dalam hal ini sama ketentuannya dengan yang berlaku di tanah lapang, ya situ syarat syarat yang tersebut di depan. Kecuali,bangunan itu khusus disetiakan untuk kencing dan berak. Maka (semacam WC)ini tidak haram hukumnya apabila tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut).bahwa kata-kata kamu”kiblat yang sekarang ini”,itu berarti mengecualikan kiblat pada zaman awal keislaman, seperti “Baitul Maqdis”. Jadi, ( kalau kiblat yang ini) baik menghadapinya atau membelakangi nya ( sewaktu berak dan kencing), maka hukumnya (cuma) makruh. Stand sebaiknya menghindar sebagai kata krama bagi orang yang mendatangi hajat, yaitu kencing dan berak, jangan Sampai (berak atau kencing) di air yang diam tidak mengalir, maka makruh hukumnya dalam hal air yang sedikit, (jadi) bukan pada air yang banyak. Tetapi, Yang Lebih baik (walaupun air ltu banyak) hendaknya (berusaha) Menghindar (Jangan Sampai kencing dan berak) di air yang diam tidak mengalir. Tentang Keharaman kencing atau berak di air Yang Sedikit, oleh (Imam Nahwawi cenderung Mengharamkan). Dan juga hendaklah menghindari, jangan kencing atau berak ditempat bawah pohon yang masih berbuah, (baik) sewaktu pohon sedang berbuah atau tidak.

Dan (juga) hendaklah menghindari, menjauhi melakukan apa yang tersebut diatas (yakni kencing dan berak) di Jalan (raya) yang biasa dilewati oleh manusia. Dan (juga) hendaklah menghindari, Jangan kencing atau berak ditempat yang teduh diwaktu musim kemarau, dan (juga) hendaklah menghindar, menjauhi tempat liang yang ada ditanah, yaitu tanah yang (berlubang berbentuk) menurun lagi bulat. Adapun kata “Atsaqaf”, menurut redaksi yang ada dikirab lain ditiadakan (gugur). Sebagaimana cara untuk bertata kerama, sewaktu berak atau kencing hendaklah orang yang mendatangi hajat itu , tidak berbicara ( hal-hal) yang tidak dibutuhkan. Sedang apabila memang terdorong oleh suatu kebutuhan untuk berbicara, seperti orang yang melihat ada seekor ular yang hendak memangsa manusia, maka ketika keadaan seperti itu tidak dimakruhkan berbicara. Dan (juga)tidak diperbolehkan menghadap atau membelakangi matahari dan bulan. Maksudnya makruh hukumnya bagi orang yang sedang berak atau kencing, menghadap atau membelakangi matahari dan bulan. Tetapi Imam an-Nawawi didalam kitab Ar-Raudlah dan Syarah kitab Al Muhadzab berpendapat : ” bahwa membelakangi matahari dan bulan (sewaktu kencing atau berak) hukumnya tidak makruh.” Dan (tetapi) Imam Nawawi didalam Syarah kitab Al-Wasith beliau berpendapat: “I bahwa (antara) meninggalkan membelakangi matahari dan bulan, sama saja. Jadi, dalam hal ini hukumnya mubah.” Dan beliau (juga) berkata didalam kitab Al-tahqiq : “bahwa hukum makruhnya menghadap matahari dan bulan itu tidak terdapat hukum asalnya.” Adapun kata-kata penulis kitab ” tidak boleh menghadap dan seterusnya,” itu gugur (ditiadakan) menurut sebagian keterangan dalam mantan.

Pasal : Membicarakan tentang beberapa perkara yang merusak (membatalkan) wudhu, yaitu yang biasa disebut (juga) dengan sebab-sebabnya hadats. Adapun perkara yang merusak wudhu itu ada 5 perkara :

pertama : (sebab) adanya sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan,yaitu qubul (Jalan depan seperti alat kelamin) dan dubur (jalan belakang seperti lubang yang mengeluarkan kotoran waktu buang air besar), hal mana keluar dari seseorang yang telah melakukan wudhu, dia dalam keadaan hidup, dan (yang keluar itu) jelas. Baik yang keluar itu hal biasa seperti air kencing dan kotoran buang air besar, atau hal yang jarang terjadi (langka) seperti darah dan batu kecil ( kerikil), baik yang berupa barang najis seperti contoh-contoh ini tadi. Atau berupa barang yang suci, seperti ulat (cacing/kermi), kecuali air sperma (mani) yang keluar dari seseorang yang telah berwudhu, sebab dia bermimpi (sewaktu tidur) dia dalam keadaan duduk yang kedua pantatnya tidak bergeser dari tanah (tempat) dimana ia sedang duduk. Maka dalam hal semacam ini, wudhunya tidak batal. Adapun orang yang “musykil” (orang yang memiliki dua alat kelamin), maka utuhnya hanya bisa rusak (batal), sebab adanya sesuatu yang keluar dari dua alat kelaminnya secara bersamaan (keseluruhan kedua-duanya).

Kedua: Yaitu tidur pada posisi (dimana) pantat tidak menetap di atas tanah yang dia duduk diatasnya. Dan keterangan yang terdapat di sebagian redaksi matan, ada tambahan : “Menetap diatas tanah dimana orang itu duduk”. Bahwa kata-kata “diatas tanah”, itu bukan hal yang mengikat ( jadi seandainya duduk itu diatas kendaraan yang bisa saja disamakan dengan orang yang duduk diatas tanah sebagaimana yang tersebut tadi). Kata-kata “menetapkan pantat, tidak bergeser “, itu berarti (logikanya) bisa mengecualikan hal tidurnya seorang yang dalam keadaan berdiri, tidak menetapkan (pantatnya) biar tidak bergeser. Atau (juga) orang yang tidur dengan posisi berdiri, atau dengan posisi terlentang walaupun ia menetapkan pantatnya diatas tanah (tempat tidur) biar tidak bergeser dari tempat dimana dia tidur. (Jadi yang semacam ini, semuanya bisa membatalkan wudhu).

Ketiga : Hilang akalnya, maksudnya tidak sadarkan diri sebab mabuk, sakit, gila atau sakit ayan atau karena sebab-sebab yang lain.

Keempat : sentuhannya seseorang laki-laki terhadap orang perempuan lain yang bukan muhrimnya, walaupun perempuan itu tak bernyawa (mati). Adapun yang dimaksud dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan ialah, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mana mere ke a sudah sampai ke batas bersyahwat (menimbulkan syahwat) menurut ukuran standar masyarakat umum. Sedang yang dimaksud dengan “orang yang ada hubungan mahram “, ialah orang yang haram dinikahinya karena ada hubungan nasab, atau hubungan sesusuan, atau hubungan mertua. (Sentuhan yang membatalkan wudhu itu ketika dilakukan tanpa pemisah antara kulit laki-laki dan kulit perempuan yang tersentuh). Adapun ucapan mushannif : ” Tanpa memakai pemisah (sentuhan secara langsung) “. Itu artinya (logikanya) mengecualikan hal sentuhan dilakukan dalam keadaan demikian, tidak dapat merusak wudhu (tidak batal).

Kelima: Sebagaimana nomer terakhir dari perkara yang membatalkan wudhu, ialah menyetuh alat kelamin anak Adam (manusia) dengan bagian dalamnya telapak tangan baik alt kelaminnya sendiri atau alat kelamin orang lain. Baik dia orang laki-laki atau orang perempuan, (juga) baik dia anak kecil atau orang dewasa, (juga) baik dia masih bernyawa atau sudah mati. Adapun kata-kata “anak Adam”, menurut keterangan yang terdapat di sebagian redaksi mata, digugurkan (ditiadakan). Demikian juga ditiadakan, ucapan mushannif : “Dan menyentuh lingkaran dubur anak anak Adam dapat merusak wudhu menurut qaul Jadid.” Menurut qaul qadim, menyentuh lingkaran dubur anak Adam tidak membatalkan wudhu. Adapun yang dimaksud dengan “lingkaran dubur”, ialah tempat ya g berlubang yang menembus (kedalam). Sedangkan yang dimaksud dengan “bathinil kaffi ( bagian dalam telapak tangan),itu berarti (logikanya) terkecualikan bagian muka (atas) telapak tangan bagian pinggir telapak tangan , bagian ujung telapak tangan, bagian ujung jari-jari dan bagian yang ada diantara jari jari oleh karena itu, semua tersebut tadi, (ketika) telah bersentuhan dengan sedikit menekan, tidak dapat membatalkan wudhu.

Pasal: Membicarakan tentang hal-hal yang menyebabkan harus mandi. Kata “mandi” menurut bahasa ialah mengalirnya air pada sesuatu (baik badan maupun yang lainya) secara mutlak (baik dengan niat atau tidak disertai dengan niat). Kata “mandi”, menurut bahasa ialah mengalirkan air pada sesuatu ( baik dibadan maupun lainya) secara mutlak (baik dengan niat atau tidak disertai dengan niat). Adapun pengertian mandi menurut tinjauan syara’, ialah mengalirkan air pada seluruh (anggota) badan disertai dengan niat yang dikhususkan (sesuai dengan apa yang menyebabkan orang itu mandi). Bahwa perkara yang menyebabkan seseorang harus mandi itu ada 6 (enam) perkara. Tiga diantaranya sama-sama terdapat pada diri kaum laki-laki dan kaum perempuan. Yaitu :

1. Bertemunya dua alat kelamin. Tentang hal ini dijelaskan bahwa yang dimaksud ialah, bertemunya dua kemaluan lantaran seseorang yang bernyawa dengan jelas ia memasukkan ujung (penis) dzakarnya secara sempurna (keseluruhan), atau hanya kira-kira ujung kemaluaan bagi orang yang terpotong (buntung) alat kelaminnya, kedalam liang kemaluan (vagina) perempuan yang (liang vaginanya) kemasukkan dzakar itu, sebab yang telah tersebut diatas tadi (penis dzakar) telah masuk. Adapun orang yang tidak bernyawa (yang sudah dimandikan) tidak perlu mandi untuk yang kedua Kalinya) sebab ada dzakar yang masuk ke liang vaginanya. Dan sementara orang yang memiliki dua alat kelamin ia tidak wajib mandi karena ia memasukkan penis dzakarnya (Keluang vagina), atau sebab vaginanya kemasukkan penis dzakar.

2. Dan diantara hal yang sama terdapat pada kaum laki-laki dan kaum perempuan ialah, keluarnya air mani (sperma) dari (diri) seseorang, tanpa ada (upaya) untuk memasukkan penis dzakar, walaupun sprema yabg keluar itu sedikit, seperti (hanya) setetes, dan meskipun ia berupa warna darah. Juga walaupun sperma yang keluar itu disebabkan oleh bersenggama atau oleh sebab yang lain, baik orang yang keluar itu dalam keadaan sadar (tidak tidur) atau dalam keadaan tidur, baik disertai rasa syahwat atau tidak, hal mana dilakukan menurut cara yang wajar, lalu karenannya keluarlah air maninya.

3. Dan diantaranya yang sama-sama terdapat pada laki-laki dan perempuan ialah, mati kecuali mati syahid. ( Jadi , orang yang mati wajib dimandikan kecuali orang yang mati syahid).

Adapun yang tiga (dari enam hal yang menyebabkan wajib mandi) ialah, khususterdapat pada (diri) kaum wanita, yaitu:

1. Haid : yaitu keluarnya darah dari seorang perempuan yang sudah mencapai usia 9 tahun.

2. Yaitu keluarnya darah (dari seorang perempuan), beriringan sehabis ia melahirkan anak. Maka keluarnya darah bukan nifas ini, hal yang mewajibkan mandi secara pasti (tanpa ada perselisihan antar ulama dan hukum wajib).

3. Melahirkan (seorang anak) yang dibarengi dengan basah basah, itu mewajibkan (ia harus) mandi, secara pasti (tidak ada perselisihan antar ulama fiqih). Sedang, melahirkan yang tidak terdapat (disertai) basah basah, menurut pendapat yang tershahih, mewajibkan seseorang itu harus mandi.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI BESAR

 

  1. Operasi Caesar Masih Mewajibkan Mandi

 

Apabila seorang wanita melahirkan dari selain jalan yang biasa (vagina) seperti operasi Caesar, maka ia wajib mandi besar.

 

  1. Wanita yang Melahirkan Bayi Kembar dan Wanita Keguguran

 

Termasuk perkara yang mewajibkan mandi adalah melahirkan, sekalipun salah satu dari bayi kembar, maka wajib baginya untuk mandi besar disebabkan melahirkan salah satu dari bayi kembar, dan mandinya dianggap sah sekalipun belum lahirnya bayi yang lain. Jika melahirkan bayi yang kedua, maka wanita tersebut wajib mandi lagi. Sebagaimana hukum melahirkan dalam hal kewajiban mandi adalah keguguran anak.

 

  1. Tiga Hukum Setelah Keguguran

 

Kesimpulan, Sesungguhnya gumpalan darah dan sepotong daging yang keluar dari seorang perempuan itu hukumnya sama seperti melahirkan anak dalam tiga hal:

1) Membatalkan puasa dengan sebab salah satu dari keduanya.

2) Wajib mandi.

3) Dan darah yang keluar setelah keluarnya daging dan gumpalan tersebut dinamakan darah nifas.

 

  1. Setelah Mandi Keluar Sperma Lagi

 

Apabila sperma dari persetubuhan wanita keluar dari duburnya setelah ia mandi besar, maka wanita tersebut tidak wajib mengulangi mandinya, kecuali apabila wanita tadi merasakan syahwatnya ketika disetubuhi. Dan bila wanita Itu tidak merasa syahwat, semisal wanita yang masih kecil, atau memiliki syahwat, akan tetapi tidak merasakannya, semisal, wanita itu disetubuhi pada waktu tidur, maka tidak perlu mengulang mandinya.

 

(Fasal) fardlunya mandi ada tiga perkara. —

 

Sedangkan salah satunya adalah berniat. Maka orang yang junub berniat menghilangkan .. hadats jinabah, menghilangkan hadats besar atau niat-niat sesamanya. Sedangkan untuk wanita haidl dan wanita nifas, berniat menghilangkan hadats haidl atau hadats nifas. Dan berniat dilakukan harus bersamaan dengan permulaan fardlu, yakni permulaan bagian badan yang dibasuh, baik dari badan bagian atas ataupun bagian bawah.

 

Sehingga, jika ia melakukan niat setelah membasuh bagian badan, maka wajib mengulangi basuhan bagian badan tersebut.

 

Adapun fardiu mandi besar yang kedua adalah menghilangkan najis jika terdapat di tubuhnya, yakni tubuh orang yang melakukan mandi besar.

 

Dan hal ini (menghilangkan najis) adalah pendapat yang diunggulkan (tarjih) oleh imam ar Rafi’i. Dan berdasarkan pendapat ini, maka satu basuhan tidak mencukupi untuk menghilangkan hadats dan najis secara sekaligus.

 

Imam An Nawawi men-tarjih (menguatkan) bahwa satu basuhan sudah dianggap cukup untuk menghilangkan hadats dan najis sekaligus.

 

Adapun yang dimaksud Pendapat imam an Nawawi ini adalah ketika najis yang berada di .. badan adalah najis hukmiyah?

 

Sedangkan jika berupa najis ‘ainiyah’?, maka wajib melakukan dua basuhan untuk menghilangkan najis dan hadats besar.

 

Adapaun fardlu mandi besar yang ketiga adalah mengalirkan air ke seluruh rambut dan 2 kulit badan.

 

Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan diungkapkan dengan bahasa “ushul (pangkal)” sebagai ganti dari bahasa “jami’ (seluruh)”.

 

Dan tidak ada perbedaan antara rambut kepala dan rambut selain kepala, dan tidak ada perbedaan antara rambut yang tipis dan yang lebat.

 

Sedangkan rambut yang dikelabang, apabila air tidak bisa sampai ke bagian dalamnya kecuali dengan dilepas kelabangnya, maka hukumnya wajib untuk melepas rambut kelabangnya. Adapun yang dikehendaki dengan kulit adalah kulit bagian luar.

 

Dan wajib membasuh bagian-bagian yang nampak dari lubang kedua telinga, hidunga yang terpotong dan cela-cela badan.

 

Dan wajib menyampaikan air ke bagian di bawah kulupnya orang yang memiliki kulup (belum disunnat). Dan mengalirkan air kebagian vagina perempuan yang nampak di saat duduk berjongkok untuk membuang hajat.

 

Dan diantara bagian badan yang wajib dibasuh adalah masrabah (tempat keluarnya kotoran (Bol : jawa). Karena sesungguhnya bagian itu nampak saat membuang hajat sehingga “ termasuk dari badan bagian luar.

 

MUHIMMAT DALAM BAB FARDLU-FARDLUNYA MANDI

 

1, Niatnya Orang yang Beser Mani (Silisil Mani)

 

Sesungguhnya wajib atas orarig yang selalu mengeluarkan air sperma (Salitsil Mani) untuk berniat sesamanya Al-Istibahah (niat agar diperbolehkan melaksanakan shalat), karena berniat mandi menghilangkan hadats atau niat mandi karena bersuci dari hadats itu tidak boleh.

 

  1. Boleh Satu Mandi Dengan Dua Niat

 

Barang siapa yang berkewajiban mandi janabat, haidl atau nifas dan mandi sunnah hari jum’at, atau mandi karena untuk menjalankan shalat “led dengan diniati ke-dua-duanya sekaligus, maka keduanya sudah sah.

 

  1. Mandi Besar juga Menghilangkan Hadats Kecil

 

Apabila seseorang mempunyai hadats kecil dan junub secara bersamaart: maka kewajiban mandi yang dilakukannya dapat mencukupi dari menghilangkan hadats besar dan kecil, sekalipun ia tidak berniat menghilangkan hadast kecil.

 

4, Hidung & Mulut Tidak Wajib Dibasuh Saat Mandi

 

Mulut dan hidung adalah bagian anggota bathin (yang tidak wajib dibasuh) manakala dihubungkan dengan kewajiban mandi, berbuka puasa dan sesamanya, tidak dalam masalah najis.

 

  1. Bol yang Keluar Saat Mandi Junub

 

Sesungguhnya seseorang yang menderita penyakit bawasir (Jawa: Penyakit Bol), maka apabila bolnya keluar saat mandi jinabah ia tidak wajib membasuh bolnya, dan hanya wajib membasuh kotorannya saja.

 

Kesunahan-kesunahan mandi ada lima perkara.

 

1) membaca basmalah. 2) berwudlu’ secara sempurna sebelum melakukan mandi besar.

 

Dan orang yang mandi besar, berniat “sunnah mandi” di saat berwudhu, apabila jinabahnya tidak disertai hadats kecil. Dan ketika tidak, maka dia berniat menghilangkan hadats kecil pada saat berwudhu.

 

Dan ke 3, menggosokkan tangan ke bagian tubuh yang bisa dijangkau oleh tangannya. Dan hal ini diungkapkan dengan bahasa “dalku” (menggosok tubuh). “1 Dan ke 4, muwalah (terus menerus). Dan makna muwalah telah dijelaskan di dalam bab “wudlu’”.

 

Dan ke 5, mendahulukan bagian tubuh sebelah kanan sebelum membasuh bagian tubuh sebelah kiri.

 

Dan masih tersisa kesunahan-kesunahan mandi, dari beberapa perkara yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang luas keterangannya. Diantaranya adalah mengulangi basuhan sebanyak tiga kali basuhan dan menyampaikan air melalui celah-celah rambut.

 

MUHIMMAT DALAM BAB KESUNAHAN-KESUNAHAN MANDI

 

  1. Kesunahan Tidak Memorong Kuku & Rambut Sebelum Mandi

 

Orang yang punya kewajiban mandi disunahkan tidak menghilangkan sesuatu dari tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, kuku dil., karena setiap bagian dari anggota badan akan kembali di akhirat, artinya jika dihilangkan sebelum mandi, maka hadats besarnya akan kembali, sebagai celaan atau cemo-ohan kepada orang tersebut.

 

  1. Kesunahan Membasuh Kemaluan dan Berwudlu’ Sebelum Tidur

 

Disunnahkan bagi orang yang junub, wanita haid, wanita nifas setelah darahnya mampet, untuk membasuh kemaluannya dan berwudlu, karena hendak tidur, makan dan minum. Dan dimakruhkan melakukan hal tersebut tanpa berwudlu sebelumnya.

 

  1. Tertib Tidak Menjadi Persyaratan Didalam Mandi Jinabah

 

Apabila seseorang mandi jinabah, dan ia melihat secuil dari badannya tidak terkena air, maka ia cukup membasuh secuil! dari badannya yang terlupakan, karena tertib tidak diwajibkan atas orang yang junub.

 

  1. Tata Cara Mandi Paling Sempurna Tatacara mandi yang sempurna adalah,

 

  1. Membaca basmailah.
  2. Berkumur dan menghirup air.
  3. Menghilangkan kotoran seperti sperma yang berada di tubuhnya.
  4. Berwudlu.
  5. Meneliti lipatan-lipatan badan.
  6. Menuangkan air di atas kepalanya 3 kali, setiap satu kali menuangkan air dengan disertai menyela-nyela rambut kepala dan menggosok badan.
  7. Menuangkan air di atas separuh badan yang kanan bagian depan, lalu bagian belakang.
  8. Menuangkan air di atas separuh badan yang kiri bagian depan lalu bagian belakang.

 

Atau dengan tata cara sebagai berikut:

 

  1. Seseorang menuangkan air diatas seluruh tubuhnya satu kali disertai menyela-nyelai rambut kepala serta menggosok badannya, kemudian diulang kedua kalinya, lalu diulang ketiga kalinya, maka praktek mandi seperti ini tetap mendapatkan kesempurnaan mandi.
  2. Seseorang memandikan kepalanya satu kali disertai menyela-nyelai rambut kepala, dan menggosok badannya, lalu memandikan separuh badannya yang kanan bagian depan, diiringi bagian yang kiri, kemudian memandikan separuh badannya yang kanan dan yang kiri bagian depan, kemudian bagian belakang dengan diulang kedua kalinya, dan diulang tiga kali, maka praktek mandi seperti ini tetap mendapatkan kesempurnaan mandi.
  3. Seseorang menyelam di dalam air tiga kali, setiap satu kali disertai menyela-nyelai rambut kepala dan menggosok badan, maka praktek mandi seperti ini tetap mendapatkan kesempurnaan mandi. Namun setiap satu kali dari penyelamannya harus mengangkat kedua telapak kaki dari tempatnya, supaya 3 kali basuhan sampai pada bagian dalamnya.

 

Dari sekian banyak tatacara mandi yang sempurna, namun yang pertamalah yang dianggap paling utama”.

 

 

(Fasal) mandi-mandi yang disunnahkan ada tujuh belas macam mandi.

 

1) mandi Jum’at bagi orang yang hendak menghadirinya. Dan waktunya mulai dari terbitnya fajar shadig.

 

Dan ke 2 dan 3) mandi dua hari raya, yakni hari raya Idul Fitri dan Idul Adiha. Dan masuknya waktu mandi ini dimulai pertengahan malam.

 

Ke 4) mandi sholat istisga’, yakni memohon siraman hujan dari Allah Swt.

 

Ke 5 dan 6) mandi karena hendak melakukan sholat gerhana bulan dan gerhana matahari.

 

Dan ke 7) mandi karena memandikan mayat orang Islam atau kafir.

 

Dan ke 8) mandinya orang kafir ketika masuk Islam jika dia tidak junub di masa kufurnya. Atau wanita kafir yang tidak mengalami haidi – saat masih kufur-. Dan jika mengalami junub atau haidl dimasa kufurnya, maka wajib bagi mereka berdua untuk melakukan mandi besar setelah masuk Islam menurut pendapat al ashah. Namun menurut pendapat yang lain, bahwa kewajiban mandinya telah gugur ketika masuk Islam.

 

Dan ke 9 dan 10) mandinya orang gila atau pirtesan ketika keduanya telah sembuh dan « tidak dipastikan mereka berdua telah mengeluarkan air sperma -disaat belum sembuh-. Jika dipastikan keduanya telah mengeluarkan Sperma disaat belum sembuh, maka wajib bagi mereka berdua untuk mandi besar.

 

Ke 11) mandi ketika hendak ihram. Dalam mandi ini, tidak ada perbedaan antara orang sudah baligh dan anak yang belum baligh, antara orang gila dan orang yang memiliki akal sempurna, antara orang yang suci dan wanita yang haidI. Jika orang yang ihram itu tidak menjumpai air, maka sunnah melakukan tayammum.

 

Ke 12) mandi karena hendak masuk kota Makkah bagi orang yang ihram haji atau umrah.

 

Ke 13) mandi karena wukuf di Arafah pada tanggal sembilan Dzul Hijjah.

 

Dan ke 14 dan 15), mandi karena untuk mabit (bermalam) di Muzdalifah, dan karena untuk melempar ula, wustho dan agabah pada tiga hari tasyrik (pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah. Maka ia sunnah melakukan mandi untuk melempar jumrah setiap hari dari tiga hari tasyrik.

 

Sedangkan untuk melempar jumrah Agabah di hari Nahar (hari raya kurban), maka ia tidak disunnahkan mandi karena hendak melakukannya, sebab waktunya terlalu dekat dari mandi untuk wukuf.

 

Dan ke 16) mandi karena untuk melakukan thawaf yang meliputi thawaf Gudum, Ifadlah dan Wada’,

 

Adapun sisa-sisa mandi yang disunnahkan, itu telah dijelaskan di kitab-kitab yang panjang keterangannya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB MANDI-MANDI SUNNAH

 

  1. Apakah dalam Mandi Sunnah Juga Ada Kesunnahan Berwudhu

 

Dalam mandi yang wajib disunnahkan untuk berwudhu terlebih dahulu, apakah kesunnahan itu juga berlaku pada mandi sunnah. Di jawab, dalam wudhu yang sunah juga disunnahkan untuk berwudhu terlebih dahulu, karena tatacara mandi wajib dan sunah itu sama.

 

  1. Mandi Sunah Sama Prakteknya dengan Mandi Wajib

 

Apakah dalam mandi sunah sebagaimana mandi jumat harus membasuh seluruh anggota badan seperti mandi wajib, maka dijawab: Iya.

 

(Fasal) Adapun mengusap dua sepatu muzah diperbolehkan di dalam wudlu”, tidak di dalam mandi wajib ataupun sunnah, dan tidak di dalam menghilangkan najis.

 

Sehingga kalau ada seseorang yang junub atau kakinya berdarah, lalu ia ingin mengusap sepatu muzah sebagai ganti dari membasuh kaki, maka tidak diperbolehkan, bahkan harus membasuh kakinya.

 

Dan perkataan pengarang yang berupa, “diperbolehkan” memberi pehamaman bahwa sesungguhnya membasuh kedua kaki itu lebih utama dari pada mengusap sepatu muzah.

 

Dan mengusap sepatu muzah itu hanya diperbolehkan jika memang mengusap keduanya tidak salah satunya saja, kecuali jika dia hanya punya satu kaki. Dengan tiga syarat, yakni 1) memulai memakainya setelah sempurna bersuci.

 

Sehingga, kalau ia membasuh salah satu kakinya dan memakai sepatu muzah pada kaki tersebut, kemudian hal yang sama dilakukan pada kaki yang satunya lagi, maka tidak mencukupi.

 

Dan seandainya ia memulai memakai kedua sepatu muzah setelah sempurna suci, namun kemudian ia hadats sebelum kakinya sampai di dasar muzah, maka tidak diperbolehkan untuk mengusapnya.

 

Dan syarat kedua keberadaan kedua muzah dapat menutupi bagian tempat yang wajib dibasuh, yakni dari telapak kaki hinggah kedua mata kakinya.

 

Sehingga, kalau kedua sepatu muzah tidak sampai menutupi kedua mata kaki seperti sepatu slop atau sandal, maka tidak cukup mengusap keduanya.

 

Dan yang dikehendaki dengan “satir (yang menutupi)“di dalam bab ini adalah . penghalang, bukan sesuatu yang mencegah penglihatan.

 

Dan keberadaan satir adalah bagian bawah dan beberapa sisi samping kedua muza, bukan bagian atas.

 

Dan ke 3) sepatu muzah harus terbuat dari sesuatu yang dapat digunakan untuk berjalan naik turun bagi seorang musafir guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

 

Dari ucapan pengarang di atas bisa diambil pemahaman bahwa kedua sepatu muzah tersebut harus betul-betul kuat, sekira dapat mencegah masuknya air.

 

Dan juga disyaratkan keduanya harus suci.

 

Dan jika ia memakai sepatu muzah berlapis, karena cuaca terlalu dingin semisal, maka, jika muzah yang luar/atas layak untuk diusap bukan muzah yang bawah (dalam), maka sah mengusap sepatu muzah yang luar.

 

Dan jika yang layak diusap adalah muzah yang dalam, bukan yang luar, kemudian ia mengusap muzah yang dalam, maka hukumnya sah.

 

Atau ia mengusap muzah yang bagian atas, namun kemudian basah-basah air sampai ke . muzah yang dalam, maka hukumnya sah jika ia menyengaja untuk mengusap yang dalam atau mengusap keduanya, dan tidak sah jika ia menyengaja mengusap muzah yang luar saja.

 

Dan jika ia tidak bermaksud mengusap salah satunya, akan tetapi ia bermaksud mengusap secara umum, maka dianggap cukup menurut pendapat al Ashah. Dan bagi orang yang mugim (tidak bepergian) diperbolehkan mengusap selama sehari semalam.

 

Dan bagi orang yang musafir , diperbolehkan mengusap muzah selama tiga hari beserta tiga malam secara bersambung, baik malamnya itu lebih dahulu atau lebih akhir.

 

Adapun permulaan masa mengusap muzah terhitung sejak ia hadats, maksudnya sejak selesainya hadats yang terjadi setelah sempurna memakai kedua muzah.

 

Dan bagi orang yang melakukan maksiat dengan bepergiannya dan orang yang berkelana tanpa tujuan, diperbolehkan mengusap muzah seperti mengusapnya orang yang mugim, yakni sehari semalam.

 

Sedangkan orang yang selalu mengeluarkan hadats (daimul hadats), ketika ia mengalami hadats yang lain di samping hadatsnya yang selalu ada, setelah memakai muzah dan sebelum melakukan sholat fardlu, maka ia diperbolehkan mengusap muzah dan melakukan hal-hal yang boleh ia lakukan seandainya kesucian saat memakai muzah itu masih ada, yakni ibadah fardlu dan beberapa Ibadah sunnah.

 

Sehingga, kalau ia sudah melakukan ibadah fardlu sebelum mengalami hadats, maka ia . diperbolehkan mengusap muzah dan melakukan ibadah-ibadah sunnah saja.

 

Jika ada seseorang yang mengusap muzah saat masih berada di rumah kemudian ia bepergian, atau mengusap muzah saat bepergian kemudian ia mugim sebelum ” melewati sehari semalam, maka ia diperbolehkan menyempurnakan masa mengusap bagi orang yang mugim, yakni sehari semalam.

 

Dapaun yang wajib saat mengusap muzah adalah melakukan sesuatu yang sudah layak«s disebut mengusap, jika memang dilakukan di bagian luar muza. , Dan tidak mencukupi mengusap bagian dalam, tungkak muza, tepi dan bagian bawahnya. Sedangkan yang sunnah di dalam mengusap muzah adalah mengusap dengan posisi menggaris, dengan bambaran orang yang mengusap muzah tersebut merenggangkan diantara jari-jarinya, dan tidak mengumpulkannya.

 

Mengusap dua muzah hukumnya adalah batal sebab tiga perkara. 1) melepas keduanya, atau melepas salah satunya, atau terlepas sendiri atau muzahnya sudah keluar dari kelayakan untuk diusap sebagimana sobek. – Dan ke 2) habisnya masa mengusap muzah. Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan diungkapkan dengan bahasa “habisnya masa mengusap” yakni sehari semalam bagi orang mugim, dan tiga hari tiga malam bagi orang bepergian.

 

ke 3) sebab baru datangnya sesuatu yang mewajibkan mandi seperti jinabah, haidl, atau nifas bagi orang yang memakai muzah.

 

MUHIMMAT DALAM BAB MENGUSAP MUZAH

 

Memakai sepatu Muzah di atas Perban 

 

Apabila seseorang memakai muzah di atas perban, maka menurut pendapat yang ashah adalah tidak boleh mengusap di atas muzah tersebut, karena dipakai di atas perkara yang diusap, maka tidak mencukupi mengusap di atas sepatu muzah, seperti mengusap serban sebagai pengganti mengusap kepala.

 

 

(Fasal) menjelaskan tentang tayammum.

 

Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan, mendahulukan fasal ini dari pada fasal sebelumnya.

 

Adapun tayammum secara etimologhi adalah bertujuan. Sedangkan secara termenologi hukum syara’ adalah menyampaikan debu yang suci mensucikan pada wajah dan kedua tangan sebagai pengganti dari wudlu’, mandi atau membasuh anggota badan dengan kriteria-kriteria tertentu.

 

Syarat-syarat tayammum ada lima perkara. Dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “khamsu khishalin (lima hal)”.

 

Salah satunya adalah ada halangan sebab bepergian atau sakit.

 

 Dan yang kedua adalah telah masuk waktu sholat. Maka tidak sah bertayammun untuk sholat sebelum masuk waktunya.

 

Dan yang ketiga adalah mencari air setelah masuknya waktu sholat, baik diri sendiri atau orang lain yang telah diberi izin. Maka ia harus mencari air di tempatnya dan teman-temannya.

 

Jika ia sendirian, maka cukup melihat ke kanan kirinya dari ke empat arah, jika ia berada di dataran yang rata.

 

Jika ia berada di tempat yang naik turun, maka harus berkeliling ke tempat yang terjangkau oleh pandangan matanya.

 

Dan yang ke empat adalah kesulitan menggunakan air.

 

Dengan gambaran jika menggunakan air, ia khawatir hilangannya nyawa atau fungsi anggota badan.

 

Dan termasuk dalam katagori udzur adalah seandainya di dekatnya terdapat air, namun « jika mengambilnya, ia khawatir pada dirinya dari binatang buas atau musuh, atau khawatir hartanya akan diambil oleh pencuri atau orang yang meng-ghasab.

 

Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan, tepat di dalam syarat ini, ditemukan tambahan – setelah syarat sulit menggunakan air, yakni membutuhkan air setelah berhasil mendapatkannya.

 

Dan yang kelima adalah debu suci, artinya debu yang suci lagi mensucikan dan yang tidak basah.

 

Adapun debu suci mencakup debu hasil ghasab dan debu kuburan yang tidak digali.

 

Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan, ditemukan tambahan di dalam syarat ini, yakni debu yang memiliki ghubar (Bleduk, Jawa). Sehingga, jika debu tersebut tercampur oleh gamping atau pasir, maka tidak diperbolehkan. Dan ini sesuai dengan pendapat imam an Nawawi di dalam kitab Syarh Muhadzdzab dan at Tashhih.

 

Akan tetapi di dalam kitab ar Raudlah dan al Fatawa, beliau memperbolehkan hal itu.

 

Dan juga sah melakukan tayammum dengan menggunakan pasir yang ada ghubar-nya. 

 

 

Dengan ungkapan pengarang “debu”, mengecualikan selain debu misalnya gamping dan remukan genteng.

 

Dikecualikan dengan debu yang suci adalah debu yang najis.

 

Adapun debu musta’mal, maka tidak sah digunakan bertayammum.

 

Fardlunya tayammum ada empat perkara. Salah satunya adalah berniat. Dalam sebagian redaksi kitab rmnmatan, menggunakan bahasa “empat pekerjaan, yakni niat fardlu”.

 

Jika orang yang melakukan tayammum niat farddu dan sunnah, maka dia diperbolehkan melakukan keduanya.

 

Atau niat fardhu saja, maka di samping diperbolehkan melakukan ibadah fardlu, ia juga diperbolehkan melakukan ibadah sunnah dan sholat jenazah. Atau niat sunnah saja, maka la tidak diperbolehkan melakukan ibadah fard’ku bersamaan dengan ibadah sunnah, begitu juga seandainya ia niat sholat saja.

 

Dan wajib niat tayammum bersamaan dengan memindah debu pada wajah dan kedua tangan, dan melanggengkan niat hingga mengusap sebagian dari wajah.

 

Seandainya dia hadats setelah memindah debu, maka tidak diperbolehkan mengusap dengan debu tersebut, akan tetapi harus memindah/mengambil debu yang lain.

 

Rukun yang kedua dan ketiga adalah mengusap wajah dan mengusap kedua tangan beserta kedua siku.

 

Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “hingga kedua siku”.

 

Dan mengusap wajah & kedua tangan dengan dua kali pukulan pada debu.

 

Seandainya ia meletakkan tangannya di atas debu yang lembut lalu ada debu yang « menempel pada tangannya dengan tanpa memukulkan tangan, maka sudah dianggap cukup.

 

Rukun yang ke empat adalah tertib. Maka wajib mendahulukan mengusap wajah » sebelum mengusap kedua tangan, baik bertayammum untuk hadats kecil ataupun untuk hadats besar.

 

Dan seandainya ia meninggalkan tertib, maka tayammumnya tidak sah.

 

Adapun mengambil debu untuk mengusap wajah dan kedua tangan, maka tidak disyaratkan harus tertib.

 

Dan seandainya Ia memukulkan dengan tangannya di atas debu satu kali dan mengusap wajahnya dengan tangan kanan, dan mengusap tangan kanannya dengan tangan kirinya, maka hal itu diperbolehkan. Kesunahan-kesunnahan tayammum ada tiga perkara. Dan di dalam sebagian redaksi kitab – matan, menggunkan bahasa “tiga khishal”.

 

1) membaca basmalah, 2) mendahulukan bagian yang kanan dari kedua tangan sebelum bagian yang kiri dari keduanya, dan mendahulukan wajah bagian atas sebelum wajah bagian bawah.

 

Dan ke 3) muwalah. Maksud dari muwalah telah dijelaskan di dalam bab “wudlu’”.

 

Dan masih tersisa beberapa kesunahankesunahan tayammum yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperpanjang keterangannya.

 

Diantaranya adalah sunnah melepas cincinnya : orang yang bertayammum saat memukul debu pertama. Sedangkan untuk pukulan yang | kedua, maka wajib melepas cincin.

 

Sesuatu yang dapat membatalkan tayammum ada tiga perkara.

 

Salah satunya adalah setiap perkara yang dapat membatalkan wudlu’. Dan dahulu penjelasannya di dalam bab “Sebab-Sebab Hadats”.

 

Sehingga, ketika seseorang dalam keadaan bertayammum kemudian hadats, maka tayammumnya batal.

 

Yang ke dua adalah melihat air di selain waktu sholat. Dan di dalam sebagian redaksi kitab moton menggunakan bahasa “wujudnya air”.

 

Sehingga, barang siapa melakukan tayammum karena tidak ada air kemudian ia melihat atau menyangka ada air sebelum melakukan sholat, maka tayammumnya batal.

 

Sehingga, jika ia melihat air saat melakukan , sholat, dan sholat yang dilakukan termasuk sholat yang tidak gugur kewajibannya dengan tayammum tetap wajib qadla’ sebagaimana sholatnya orang mugim, maka seketika itu sholatnya batal.

 

Atau termasuk sholat yang sudah gugur kewajibannya dengan tayammum misalnya . sholatnya orang yang beberpegian, maka sholatnya tidak batal, baik sholat fardlu ataupun sunnah.

 

Dan jika seseorang melakukan tayammum karena sakit atau sesamanya, kemudian ia melihat air, maka melihat air tidaklah berpengaruh apa-apa, bahkan tayammumnya tetap sah.

 

Dan yang ketiga adalah murtad. Yakni memutus (keluar) dari agama Islam.

 

Dan ketika seseorang secara hukum syara” tercegah untuk menggunakan air pada anggota badan, maka jika pada anggota tersebut tidak terdapat penutup, maka bagi dia wajib melakukan tayammum dan membasuh anggota yang sehat, dan tidak ada kewajiban tertib antara keduanya (tayammum & membasuh yang sehat) bagi orang yang junub.

 

Adapun orang yang hadats kecil, maka dia boleh melakukan tayammum ketika sudah waktunya membasuh anggota yang sakit.

 

Jika ada penghalang (satir) pada anggota yang sakit, maka hukumnya dijelaskan di dalam perkataan pengarang di bawah ini.

 

Adapun orang yang memakai jaba’ir (perban), jaba’ir adalah bentuk kalimat jama’nya lafad jabirah, yakni beberapa papan kayu atau bambu yang dipasang dan diikatkan pada” anggota yang luka/retak agar supaya bersatu « kembali/sembuh, maka ia wajib mengusap perbannya dengan air jika tidak ” memungkinkan untuk melepasnya karena khawatir terjadi bahaya yang telah terdahulu

 

penjelasannya.

 

Dan orang yang memakai perban harus melakukan tayammum di wajah dan kedua . tangannya, sebagaimana keterangan yang telah terdahulu.

 

Dan ia harus melakukan sholat dan tidak wajib mengulangi shalatnya -ketika sudah sembuh-, jika la memasang perbannya dalam keadaan suci dan diletakkan pada selain aggota tayammum.

 

Dan jika tidak demikian, maka ia wajib mengulangi sholatnya -ketika sudah sembuh-. Dan ini adalah pendapat yang disampaikan imam an Nawawi di dalam kitab ar Raudlah.

 

Akan tetapi di dalam kitab al Majmu’, beliau berpendapat bahwa sesungguhnya kemutlakan yang disampaikan jumhur (mayoritas ulama’) menetapkan bahwa tidak ada perbedaan, yakni antara posisi perban yang berada pada anggota tayammum dan selainnya.

 

Dan perban disyaratkan harus tidak menutupi anggota badan yang sehat kecuali anggota badan yang sehat yang memang harus tertutup guna memperkuat perban tersebut. 

 

Adapun Lushug?, dan ishabah”, dan murham” dan sesamanya yang terdapat pada luka hukumnya adalah sama dengan hukumnya jabirah.

 

Dan sesorang harus melakukan tayammum ketika hendak melakukan satu ibadah fardlu . dan ibadah nadzar. Sehingga ia tidak diperbolehkan melakukan dua sholat fardlu, – dua thowaf, sholat dan thowaf, sholat Jum’at  dan khutbahnya hanya dengan satu kali tayammum.

 

Dan ketika seorang wanita melakukan tayammum guna melayani sang suami, maka bagi dia diperbolehkan melakukan pelayanan berulang kali dan melakukan sholat dengan tayammum tersebut.

 

Adapun perkataan pengarang “dengan satu tayammum, seseorang diperbolehkan  melakukan ibadah-ibadah sunnah yang ia kehendaki” adalah tidak disebutkan dalam sebagian redaksi kitab matan.

 

MUHIMMAT DALAM BAB TAYAMMUM

 

  1. Orang yang Dijadikan Pegangan dalam Tayamum

 

Dalam kekuawatiran akan cam-macam jenis penyakit Yang memperbolehkan tayamum adalah berpegangan pada orang satu yang adil riwayat (“adlu fi ar-riwayah), yaitu orang dewasa (balig), berakal sempurna, tidak pernah melakukan dosa besar, dan tidak sering melakukan dosa kecil.

 

  1. Standar Penyakit yang Lama Sembuhnya

 

Imam al-Barmawi berkata: Standar lamanya masi penyembuhan yang memperbolehkan tayamum adalah: Sekira lambatnya kesembuhan yang mencukupi untuk melakukan sholat, atau kadar waktunya sholat maghrib.

 

  1. Debu di Mana Saja Dapat Dibuat Tayammum

 

Yang dimaksud dengan At-Turdb adalah, setiap perkara yang bisa disabur dengan debu, bagaimana pun bentuk dan warnanya, dan dari manapun tempat mengambilnya. Seperti debu yang berada pada pakaian, tikar, dinding tembok, biji gandum, atau pada biji gandum putih.

 

  1. Ragu Apakah Penyakitnya Bahaya Atau Tidak?

 

Andaikan orang yang sakit, tapi dia ragu, apakah air itu bisa membahayakan sakitnya atau tidak, apakah dia diperbolehkan tayamum?. Menurut imam Ibnu Hajar, baginya diperbolehkan bertayamum. Namun menurut imam Ar-Romli tidak diperbolehkan bertayamum, dan dia harus meminta pendapat seorang dokter yang adil.

 

  1. Orang Banyak Bertayammum Dalam Satu Tempat

 

Ashabuna (SyafPiyyah) berkata: beberapa orang diperbolehkan tayamum disatu tempat, sebagaimana mereka diperbolehkan berwudlu dengan menggunakan air yang berada dalam satu bejana.

 

  1. Dua Puluh Tujuh Perbedaan Tayammum & Wudhu

 

Tatacara Tayamum itu tidak sama dengan ibadah wudlu dalam dua puluh tujuh masalah. Diataranya, tidak disunnahkan memperbarui tayamum, tidak disunnahkan meniga kalikan usapan tayamum, bahkan hukumnya dimakruhkan.

 

  1. Debu yang Bercampur Air Musta’mal

 

Apabila debu yang dibuat bertayamum bercampur dengan air musta’mal, dan debu tersebut telah kering, maka boleh digunakan untuk tayamum.

 

(Fasal) menjelaskan najis dan tata cara menghilangkannya.

 

Di dalam sebagian redaksi kitab matan, ini disebutkan sebelum “Kitab Sholat”. Najis secara etimologi adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan. Dan secara termonolgi hukum syara’ adalah setiap benda yang haram  mengkonsomsinya dengan secara mutlak dalam keadaan normal beserta mudah untuk dibedakan, bukan karena kemuliannya, dan bukan karena menjijikkannya dan bukan karena berbahaya pada badan atau akal. Bahasa “mutlak” mencakup najis yang sedikit dan najis yang banyak.

 

Dengan bahasa “dalam keadaan normal” mengecualikan keadaan darurat. Karena sesungguhnya keadaan darurat memperbolehkan untuk mengkonsumsi najis.

 

Dengan bahasa “mudah dipisahkan” mengecualikan memakan ulat yang mati di dalam keju, buah dan sesamanya.

 

Dengan ungkapan pengarang “bukan karena kemuliannya” mengecualikan mayatnya anak Adam.

 

Dengan keterangan “tidak karena menjijikkan” mengecualikan air sperma dan sesamanya.

 

Dengan bahasa “tidak karena membahayakan” mengecualikan batu dan tanaman yang berbahaya pada badan atau akal.

 

Artinya, semua barang-barang yang dikecualikan tersebut adalah barang-barang yang haram digunakan bukan karena najis tapi karena hai-hal yang telah disebutkan.

 

Kemudian pengarang menyebutkan batasan najis yang keluar dari kemaluan (jalur depan) dan anus (jalur belakang) dengan perkataan beliau:

 

Setiap benda cair yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan anus) hukumnya adalah najis. Hal ini mencakup benda yang biasa keluar misalnya kencing dan tinja atau berak, dan benda yang jarang keluar seperti darah dan nanah.

 

Kecuali air sperma dari anak Adam atau binatang selain anjing, babi dan peranakan… keduanya atau salah satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci.

 

Dengan bahasa “benda cair”, mengecualikan ulat dan setiap benda padat yang tidak bisa — berubah keadaannya oleh reaksi proses pencernaan makanan, maka hukumnya bukan benda najis, akan tetapi benda yang terkena najis yang bisa suci dengan dibasuh.

 

Dalam sebagian redaksi kitab matan diungkapkan dengan bahasa “setiap perkara yang akan keluar” dengan menggunakan lafadz fi’il mudlari’ dan menggugurkan lafadz “ma’i’ (benda cair).

 

Membasuh semua jenis air kencing dan kotoran walaupun keduanya dari binatang yang halal dimakan dagingnya, hukumnya adalah wajib.

 

Adapun tata cara membasuh najis jika terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis ainiyah” adalah dengan menghilangkan bendanya dan menghilangkan sifat-sifatnya, baik rasa, warna, atau baunya.

 

Jika rasanya najis masih ada, maka berbahaya. Atau yang masih tersisa adalah warna atau bau yang sulit dihilangkan, maka tidak masalah.

 

Jika najisnya tidak terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis hukmiyah”, maka cukup dengan mengalirnya air pada tempat yang terkena najis tersebut, sekalipun hanya dengan satu kali aliran air.

 

Kemudian dengan bahasa “jenisnya air kencing”, pengarang mengecualikan perkataan ‘ beliau yang berupa, “kecuali air kencingnya anak kecil laki-laki yang belum pernah makan” makanan, artinya belum pernah mengkonsumsi makanan dan minuman untuk penguat badan. Maka sesungguhnya air kencing anak laki-laki tersebut sudah bisa suci dengan hanya memercikkan air di bagian atasnya.

 

Di dalam memercikkan air, tidak disyaratkan harus sampai mengalir.

 

Jika anak kecil lakilaki tersebut telah mengkonsumsi makanan untuk penguat badan, maka air kencingnya harus dibasuh dengan secara pasti (tidak ada perbedaan pendapat ulama Syafi’yyah.

 

Dengan bahasa “anak laki-laki”, mengecualikan anak kecil perempuan dan huntsa (waria), maka air kencing keduanya harus dibasuh.

 

Di dalam membasuh barang yang terkena najis, disyaratkan airnya yang . didatangkan/dialirkan pada barang tersebut jika airnya sedikit (kurang dua gullah). Jika dibalik, maka barang tersebut tidak suci, Sedangkan jika airnya banyak (mencapai dua – gullah), maka tidak ada bedanya antara  barang yang terkena najis yang datang atau didatangi air.

 

Tidak ada najis yang dima’ffu (dimaafkan kenajisannya) kecuali darah dan nanah yang sedikit. Maka keduanya dima’ffu di dalam  pakaian dan badan, dan sholat yang dilakukan tetap sah walaupun membawa keduanya.

 

Dan kecuali bangkai binatang yang tidak : memiliki darah yang mengalir misalnya lalat dan semut, ketika binatang tersebut masuk ke  dalam wadah air dan mati di sana. Maka sesungguhnya bangkai binatang tersebut tidak  menajiskan wadah air yang dimasukinya.

 

Dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “ketika mati di dalam wadah”.

 

Perkataan pengarang “terjatuh sendiri”,  memberi pemahaman bahwa sesungguhnya  seandainya bangkai binatang yang tidak , memiliki darah mengalir itu dimasukkan ke dalam benda cair, maka berbahaya ‘ (menajiskan). Imam ar Rafi’i mantap dengan pendapat ini di dalam kitab asy Syarh ash Shaghir, namun beliau tidak menyinggung masalah ini di dalam kitab asy Syarh al Kabir.

 

Dan ketika bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu berjumlah banyak dan merubah sifat cairan yang dimasukinya, maka bangkai itu menajiskan benda cair tersebut.

 

Dan ketika bangkai ini keluar dari benda cair semisal ulatnya cuka dan buah-buahan, maka tidak menajiskan cairan tersebut dengan secara pasti (tidak ada perbedaan pendapat ulama Syafi’yyah).

 

Di samping apa yang telah dijelaskan oleh pengarang, masih ada beberapa permasalahan yang dikecualikan yang disebutkan di dalam | kitab-kitab yang diperluas keterangannya, yang sebagiannya telah dijelaskan di dalam “Kitab Thaharah”.

 

Semua binatang hukumnya suci kecuali anjing, babi, dan peranakan keduanya atau salah . satunya hasil perkawinan dengan binatang  yang suci.

 

Ungkapan pengarang ini mencakup terhadap sucinya ulat yang keluar dari najis, dan « memang demikintah hukumnya.

 

Semua bangkai hukumnya adalah najis kecuali bangkai ikan, belalang dan anak Adam. Dalam sebagian redaksi kitab matan diungkapkan : dengan bahasa “ibn Adam”, artinya bangkai masing-masing ikan, belalang dan manusia hukumnya suci. ” Wadah yang terkena air liur anjing atau babi, . maka harus dibasuh tujuh kali basuhan dengan menggunakan air suci mensucikan, salah satu . basuhan dicampur dengan debu suci lagi | mensucikan yang merata ke seluruh tempat yang terkena najis.

 

Jika barang yang terkena najis tersebut dibasuh dengan air mengalir yang keruh, maka cukup mengalirnya air tersebut dengan tujuh kali tanpa harus dicampur dengan debu.

 

 Dan ketika benda najis anjing tersebut belum . hilang kecuali dengan enam kali basuhan semisal, maka seluruh basuhan dianggap satu kali basuhan.

 

Tanah yang berdebu -yang terkena najis initidak wajib diberi debu -saat membasuhnyamenurut gaul al ashah.

 

Untuk najis-najis yang lain, maka cukup dibasuh satu kali yang di alirkan pada najis tersebut. Dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “marratan (sekali)”. Tiga kali (ats tsalatsu) basuhan adalah lebih utama. Dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “ats tsalatsatu” dengan menggunakan ta’ diakhirnya.

 

Ketahuilah sesungguhnya air bekas basuhan najis setelah sucinya tempat yang dibasuh, hukumnya adalah suci, jika air tersebut terpisah dari tempat yang dibasuh dalam keadaan tidak berubah dan tidak bertambah ukurannya dari kadar ukuran sebelumnya setelah menghitung kadar air yang diserap – oleh tempat yang dibasuh.

 

Hal ini jika air bekas basuhan tersebut tidak mencapai dua gullah. Jika mencapai dua gullah, maka syaratnya adalah tidak berubah. Setelah pengarang selesai menjelaskan najis yang bisa suci dengan dibasuh, maka beliau berlanjut menjelaskan najis yang suci dengan . istihalah, yakni perubahan sesuatu dari satu“ sifat ke sifat yang lain. Beliau berkata,

 

Ketika arak telah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya suci. arak adalah minuman yang terbuat dari air perasan anggur. Baik arak tersebut dimuliakan (benda itu tidak sengaja dibuat arak) ataupun tidak. Makna takhallalat adalah arak menjadi cuka.

 

Begitu juga hukumnya suci, seandainya ada arak yang berubah menjadi cuka sebab dipindah dari tempat yang terkena matahari ke tempat yang teduh dan sebaliknya.

 

Jika arak berubah menjadi cuka tidak dengan sendirinya, bahkan menjadi cuka dengan memasukkan sesuatu ke dalamnya, maka arak tersebut tidak suci.

 

Ketika arak menjadi suci, maka wadahnya pun menjadi suci karena mengikut pada araknya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB NAJIS

 

  1. Kebisaan Mencuci Mutanajjis dengan Sabun

 

(Masalah): Apabila ada najis bisa hilang dengan bantuan sabun, dan bau sabun masih tersisa, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

1) Menurut imam at-Thabala’wi: dihukumi suci.

2) Menurut Imam Ramli: tidak suci hingga air busanya menjdi jernih.

 

  1. Darah Nyamuk Terkena Badan yang Basah

 

Masih di perdebatan antara ulama’ dalam satu kasus, ketika seseorang yang memakai pakaian yang terkena darah nyamuk, sementara badannya masi” basah. Menurut pendapat Al-Mutawalii hukumnya boleh. Sementara menuru pendapat Abu “Ali tidak boleh.

 

  1. Ilernya Orang yang Tidur

 

Air liur yang keluar dari mulut orang yang tidur hukumnya adalah suci. Kecuali air liur itu keluar dari dalam perut, dengan ciri-ciri berbau busuk dan berwarna kekuning-kuningan, maka hukumnya najis, akan tetapi dima’fu apabila dari orang yang biasa mengeluarkan air liur.

 

  1. Hukum Darah Jerawat Sama dengan Darahnya Nyamuk

 

Darah jerawat, nanah, dan nanah yang bercampur dengan darah itu hukumnya adalah sama dengan darah nyamuk, hukumnya di ma’fu (dimaafkan), baik darah itu sedikit atau banyak sesuai dengan pendapat goul ashoh.

 

  1. Hukum Minyak Wangi & Obat Ber-alkohol

 

Termasuk najis yang ma’fu (di toleransi) adalah, cairan-Cairan najis yang dicampurkan untuk komposisi obat-obatan dan parfum. Cairan tersebut dapat ditoleransi sesuai dengan kadar yang diperlukan.

 

  1. Tindakan Orang yang Melihat Najis Dibaju Temannya

 

Andaikan kita mengetahui najis mengenai pakaian orang lain, sementara ia tidak mengetahui najis tersebut, wajib bagi kita untuk memberitahunya.

 

  1. Cara yang Salah dalam Mengelola Ikan Kering

 

Setiap ikan yang ditaburi garam, namun kotoran yang berada dalam perutnya belum dibuang, hukumnya adalah najis.

 

  1. Cairan Gudiken Suci

 

Cairan bekas luka itu hukumnya suci seperti hukumnya air keringat selama cairan tersebut tidak berubah baunya. Namun jika telah berubah bay hukumnya najis. Begitu halnya penyakit pelepuh (benjolan yang mengandung air), cairan tersebut hukumnya suci selama baunya tidak mengalami perubahan.

 

 (Fasal) menjelaskan hukum-hukum haidI, nifas dan istihadlah.

 

Ada tiga macam darah yang keluar dari vagina perempuan, yakni darah haidl, nifas dan istihadlah.

 

Haidl adalah darah yang keluar dari vagina wanita pada usia haidl, yakni usia sembilan tahun keatas, dalam keadaan sehat, yakni tidak karena sakit akan tetapi karena tabiat alamiyah, serta bukan karena melahirkan.

 

Ucapan pengarang “dan berwarna hitam, terasa panas dan menyakitkan” tidak terdapat di kebanyakan redaksi kitab matan.

 

Dalam kitab as Shahah terdapat keterangan “darah sangat panas, warnanya sangat merah, sehingga berwarna hitam, api membakarnya sehingga api tersebut membakarnya”.

 

Nifas adalah darah yang keluar dari vagina perempuan setelah melahirkan.

 

Sehingga darah yang keluar bersamaan dengan bayi atau sebelumnya, maka tidak disebut darah nifas.

 

Penambahan huruf ya’ di dalam lafadz “agibin” adalah bentuk bahasa yang sedikit berlaku, sedangkan yang lebih banyak adalah membuang huruf ya’.

 

Istihadiah, yakni darah istihadlah adalah darah yang keluar dari vagina perempuan di selain hari-hari keluarnya darah haidI dan nifas, bukan dalam keadaan sehat.

 

Adapun batas minimal masa haidl adalah  sehari semalam, artinya ukuran sehari semalam, yakni dua puluh empat jam secara : bersambung yang biasa -tidak harus darah keluar dengan derasdi dalam haild. 

 

Sedangkan batas maksimal masa haidl adalah lima belas hari lima belas malam.

 

Jika darah keluar melebihi masa tersebut, maka disebut dengan darah istihadlah.

 

Adapun masa umum-nya darah haidl yang  sering terjadi adalah enam atau tujuh hari. Yang dibuat tendensi dalam hal ini adalah riset/penelitian (dari imam Syafi’i).

 

Adapun batas minimal masa nifas adalah : lahdhah (waktu sebentar). Yang dikehendaki dengan lahdhah adalah waktu sebentar. Dan awal masa nifas terhitung sejak keluarnya seluruh badan bayi.

 

Sedangkan batas maksimal masa nifas adalah enam puluh hari. Dan yang lumrah adalah empat puluh hari. Yang dibuat pegangan ‘ dalam semua itu juga penelitian (dari Imam?“ Syafi’l.

 

Adapun batas minimal masa suci yang memisahkan diantara dua haidi adalah lima belas hari.

 

Dengan perkataannya “pemisah diantara dua haid”, pengarang mengecualikan masa pemisah diantara haidi dan nifas, ketika kita (ulama syafi’yyah) berpendapat dengan qaul al Ashah yang mengatakan bahwa sesungguhnya wanita hamil dapat mengeluarkan darah haidl. Karena sesungguhnya masa suci yang memisahkan haidl dan nifas bisa kurang dari lima belas hari.

 

Dan tidak ada batas maksimal masa suci. Karena terkadang ada seorang wanita yang seumur hidupnya tidak pernah mengalami menstrusai.

 

Adapun umumnya masa suci disesuaikan dengan umumnya masa haidl. Jika masa haidlnya biasanya enam hari, maka masa sucinya dua puluh empat hari. Atau masa haidlnya biasanya tujuh hari, maka masa sucinya tiga belas hari.

 

Adapun minimal usia seorang wanita dapat mengeluarkan darah haidl ialah sembilan tahun hijriyah atau gomariyah. Dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “al jariyah” (wanita muda).

 

Sehingga, kalau ada seorang wanita yang melihat keluar darah sebelum sempurnanya usia sembilan tahun dengan selisih masa yang tidak cukup untuk masa minimal suci dan minimal haidl (sembilan tahun kurang 16 hari kurang sedikit), maka darah tersebut adalah darah haidl. Jika tidak demikian, maka bukan darah haidl.

 

Adapun minimal masa hamil adalah enam bulan lebih lahdhatain (dua waktu sebentar) .. yakni waktu untuk jima’ dan melahirkan. Maksimal masa hamil adalah empat tahun. Masa hamil yang biasa terjadi adalah sembilan bulan. Yang dibuat tendensi dalam hal ini adalah kejadian realita empirik.

 

Ada delapan perkara yang haram sebab haidl dan nifas. Dalam sebagian redaksi kitab matan diungkapkan dengan bahasa “ada delapan perkara yang haram bagi wanita haidi”.

 

Salah satunya adalah sholat fardlu ataupun sunnah. Demikian juga sujud tilawah dan sujud syukur.

 

Yang kedua adalah puasa, baik puasa fardlu atau sunnah. yang ketiga adalah membaca Al Qur’an. Dan yang ke empat adalah memegang al Qur’an. Mushaf adalah nama bagi sesuatu yang bertuliskan firman Allah Swt diantara dua sampul kitab al Qur’an. Dan haram membawa mushaf kecuali jika seorang wanita khawatir terhadap mushhaf (dari tenggelam, terbakar, terkena najis, dan jatuh di tangan orang kafir).

 

Yang kelima adalah masuk masjid bagi wanita yang sedang haidi jika Ia khawatir darahnya menetes yang mengotori masjid.

 

Yang ke enam adalah thowaf, baik thowaf fardiu atau sunnah.

 

Yang ke tujuh adalah melakukan hubungan biologis. Bagi orang yang wathi’ di waktu darah keluar deras, maka disunnahkan bersedekah satu dinar (uang seharga 4,25 gram emas). Dan bagi orang yang wathi’ di waktu darah keluar tidak deras, maka disunnahkan bersedekah setengah dinar (uang seharga 2, 12 1/2 gram emas).

 

Yang ke delapan adalah bersenang-senang dengan anggota wanita haidi yang berada diantara pusar dan lutut.

 

Sehingga tidak haram bersenang-senang pada pusar dan lutut, dan pada anggota badan yang , berada di atas pusar dan lutut menurut pendapat yang dipilih di dalam kitab syarh al Muhadzdzab.

 

Kemudian pengarang menjelaskan keterangan yang seharusnya lebih tepat dijelaskan di bab  sebelumnya, yakni fasal “hal-hal yang mewajibkan mandi”.

 

Beliau berkata, “ada lima perkara yang haram bagi orang yang junub”.

 

Salah satunya adalah sholat fardlu atau sunnah.

 

Yang kedua adalah membaca Al Qur’an, yakni yang tidak dihapus bacaannya, baik satu ayat ataupun satu huruf, baik membaca secara pelan-pelan ataupun keras.

 

Dikecualikan dengan Al Qur’an, adalah kitab Taurat dan Injil.

 

Sedangkan dzikiran yang terdapat di dalam Al Qur’an, maka halal dibaca tidak dengan tujuan membaca Al Qur’an.

 

Yang ketiga adalah menyentuh mushaf, terutama membawanya.

 

Yang ke empat adalah thowaf, baik fardlu atau sunnah.

 

Yang ke lima adalah berdiam diri di masjid bagi orang junub yang muslim.

 

Kecuali karena darurat, misalnya orang yang mimpi basah keluar sperma di dalam masjid dan dia sulit keluar dari masjid karena khawatir pada diri sendiri atau hartanya.

 

Adapun lewat di dalam masjid tanpa berdiam diri, maka hukumnya tidak haram, bahkan tidak makruh bagi orang junub menurut pendapat al Ashah.

 

Sedangkan mondar-mandir di dalam masjid bagi orang yang junub hukumnya seperti berdiam diri di dalam masjid, yakni haram. Dikecualikan dengan masjid adalah madrasahmadrasah dan pondok pesantren.

 

Kemudian pengarang juga memberikan keterangan susulan tentang hukum-hukum hadats besar pada hukum-hukum hadats kecil. Beliau berkata, haram bagi orang yang memiliki hadats kecil untuk melakukan tiga perkara.

 

1) sholat, 2) thowaf, 3) memegang dan membawa mushaf.

 

Demikian juga haram memegang dan : membawa kantong dan peti yang di dalamnya terdapat mushaf.

 

Dan hukumnya halal membawa mushaf beserta barang-barang lain, dan juga kitab : tafsir yang jumlahnya lebih banyak dari pada  Al Qur’annya, juga al Qur’an yang berada di dalam dinar, dirham, dan cincin yang berukirkan Al Qur’an.

 

Seorang anak yang sudah tamyis yang mempunyai hadats, tidak dilarang menyentuh mushaf dan papan karena tujuan mengaji dan belajar Al Our an.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HAIDL, NIFAS DAN ISTIHADLAH

 

  1. Hukum Belajar Ilmu Haidh bagi Wanita MI

 

Wajib bagi seorang perempuan untuk belajar ilmu yang dibutuhkan dari hukum-hukumnya haidt, istihadloh dan nifas.

 

  1. Makruh Mengkonsumsi Obat Pencegah Darah Haid

 

(Masalah) Apabila seorang wanita mengkonsumsi obat untuk mencegah darah haidl atau menyedikitkannya, maka hukumnya makruh selama tidak menyebabkan putus keturunan atau menyedikitkannya, namun apabila sampai mengakibatkan hal tersebut maka hukumnya haram.

 

  1. Pada Saat Shalat, Darah Istihadhoh Berhenti

 

Apabila seorang wanita yang keluar darah istihadhah pada saat melakukan shalat, lalu darahnya berhenti keluar, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

1) Menghukumi tidak batal shalatnya, dengan dianalogikan pada orang yang bertayammum, artinya ketika orang yang tayamum melihat air disaat melakukan shalat, maka sholatnya tidak batal.

2) Menghukumi batal shalatnya sebab ia mempunyai kewajiban bersuci dari hadats dan najis, sementara ia tidak melakukannya, padahal ia mampu melakukannya,

 

  1. Batasan Haram Diam di Dalam Masjid

 

Imam Ibnu Hajar berkata, apakah batasan Muktsu itu sebagaimana muktsy dalam beri’tikaf yang melebihi kadar waktu tuma’ninah, atau minimal wakty yang bisa menghasilkan tuma’ninah, karena muktsu itu hukumnya lebih berat, Semuanya itu masih dimungkinkan. Namun batasan yang kedua itu lebih agroh (batasan yang lebih mendekati kebenaran).

 

  1. Orang Haidl Membawa Kitab Figh

 

Apabila orang yang berhadats, junub atau wanita aidI menyentik atau membawa kitab dari kitab-kitab figh atau kitab-kitab ilmu lainnya, dan di dalamnya terdapat tulisan ayat al-Guran nya, -Maka menurut madzhab yang shohih hukumnya diperbolehkan.

 

  1. Siasat Wanita Haidl Agar Tidak Haram Membaca al-Guran

 

Bahwasannya bagi mereka yang mempunyai hadats besar (wanita haid), apabila ia bermaksud membaca Al-Qur’an saja, atau bersamaan tujuan yang lain. semisal Berdzikir dan semacamnya maka hukumnya diharamkan. Andaikan bertujuan berdzikir saja, atau berdo’a, atau mengharap barokah, atau menjaga hafalan, atau tanpa ada tujuan apapun, maka hukumnya tidak haram.

 

  1. Mustahadhah Hukumnya Sama dengan Orang Yang Beser

 

Istihadloh (darah penyakit) itu hukumnya sama seperti beser Tadi ia tidak dilarang melakukan aktifitas yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haidl. Maka wanita istihadloh wajib mensucikan farjinya, menyumbat dan membalutnya sesuai dengan syarat-syarat (yang telah ditentukan).

 

  1. Wanita Haidh Tidak Dilarang Memasak, Cuci Baju DII.

 

Tidak diharamkan atas wanita haidl mendatangi orang yang mengfiadapi kematian. Dan tidak dimakruhkan pula menyentuh sesuatu yang dimasak atau yang lainnya, dan memasaknya, serta mencuci pakaian.

 

  1. Alasan Larangan Mensetubuhi Istri Sebelum Mandi Besar

 

Imam Al-Ghozdli telah menyampaikan, sesungguhnya berhubungan badan dengan wanita sebelum mandi besar, itu bisa menyebabkan penyakit kusta terhadap anaknya. Dan menurut pendapat lain, pada orang yang mengumpulinya juga.

 

  1. Minum Obat Agar Haidh

 

Apabila perempuan meminum obat kemudian mengeluarkan darah haiah, maka tidak wajib sama sekali baginya untuk menggodo’ shalat, begitu juga jika ia mengeluarkan darah nifas.

 

  1. Anjuran Tidak Memotong Kuku & Rambut

 

Barang siapa yang berkewajiban mandi besar, maka baginya disunnahkan untuk tidak menghilangkan sesuatu dari badannya, sekalipun berupa darah, rambut, kuku sehingga ia mandi, karena semua bagian manusia itu akan kembali padanya kelak di akhirat. 

 

Sholat secara etimologi adalah do’a. Dan secara termonologi hukum syara’, sebagaimana yang di sampaikan oleh imam ar Rafi’i, adalah ucapan-ucapan dan pekerjaan-” perkerjaan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.

 

Sholat yang difardlukan ada lima. Dan d dalam sebagian redaksi kitab matan menggunkan bahasa “sholat-sholat yang difardlukan”.

 

Masing-masing dari sholat yang waktu tersebut wajib dilaksanakan sebab masuknya diawal waktu dengan kewajiban yang diperluas (tidak harus segera dilakukan) hingga waktu yang tersisa hanya cukup digunakan untuk melakukannya, maka saat itu waktunya menjadi sempit (harus segera dilakukan).

 

1) sholat Dhuhur. Imam an Nawawi berkata, “sholat ini disebut dengan Dhuhur karena sesungguhnya sholat ini nampak jelas di tengah hari.”

 

Adapun awal masuknya waktu sholat Dhuhur adalah saat tergelincir, maksudnya bergesernya matahari dari garis tengah langit garis katulistiwa, tidak dilihat dari kenyataannya, namun pada apa yang nampak oleh kita.

 

Pergeseran tersebut bisa diketahui dengan bergesernya bayang-bayang ke arah timur setelah posisinya tepat di tengah-tengah, yakni puncak posisi tingginya matahari. Sedangkan batas akhirnya waktu sholat Dhuhur adalah ketika bayang-bayang setiap benda seukuran dengan benda tersebut tanpa memasukkan bayang-bayang yang nampak saat zawa! (tergelincirnya matahari dari garis katulistiwa).

 

Dhil secara bahasa adalah penutup/pelindung, engkau berkata, “aku berada di bawah dhilnya Julan”, artinya perlindungannya.

 

Bayang-bayang bukan berarti tidak adanya sinar matahari sebagaimana yang di salah fahami, akan tetapi bayang-bayang adalah perkara wujud yang di ciptakan oleh Allah Swt untuk kemanfaatan badan dan yang lain.

 

Dan ke 2) Ashar, yakni sholat Ashar. Disebut – dengan sholat Ashar, karena pelaksanaannya mendekati waktu terbenamnya matahari.

 

Adapun permulaan waktunya adalah mulai dari bertambahnya bayangan dari ukuran , bendanya. Sholat Ashar memiliki lima waktu. Salah satunya adalah waktu fadlilah, yakni mengerjakan sholat di awal waktu.

 

Yang kedua adalah waktu ikhtiyar. Yakni waktu Ini dilsyaratkan oleh pengarang dengan ucapannya, akhir waktu Ashar di dalam waktu Ikhtiyar adalah hingga ukuran bayang-bayang dua kali lipat ukuran bendanya.

 

Yang ketiga adalah waktu jawaz. Yakni waktu yang diisyaratkan oleh pengarang dengan : ucapannya, dan di dalam waktu jawaz hingga terbenamnya matahari,

 

Yang ke empat adalah waktu Jawaz tanpa disertal hukum makruh. Yakni sejak ukuran bayang-bayang dua kali lipat dari ukuran bendanya hingga waktu ishfirar (remangremang). Yang ke lima adala waktu tahrim (haram). Yakni meng-akhirkan pelaksanaan sholat. hingga waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan sholat. Dan Maghrib, yakni sholat Maghrib. Disebut dengan sholat Maghrib karena dikerjakan saat waktu terbenamnya matahari.

 

Waktu sholat Maghrib hanya satu. Yaitu terbenamnya matahari, artinya terbenamnya seluruh bundaran matahari dan tidak masalah setelah itu masih terlihat sorotnya, dengan kira-kira waktu yang cukup bagi seseorang untuk melakukan adzan, wudlu’ atau tayammum, menutup aurat, igomah sholat dan sholat lima rokaat (3 rakaat shalat fardhu dan 2 rakaat shalat sunah ba’diyah maghrib).

 

Adapun perkataan pengarang “. ” tidak disebutkan dari beberapa sebagian redaksi kitab matan. Ketika kadar waktu di atas sudah habis, maka waktu maghrib sudah keluar. Ini adalah pendapat Qaul Jadid. Sedangkan Oaul Oadim, dan diunggulkan oleh Imam an Nawawi, adalah sesungguhnya waktu sholat Maghrib memanjang — hingga terbenamnya mega merah.

 

Dan sholat Isya”. Kata isya” dengan terbaca kasroh huruf ‘ainnya adalah nama bagi permulaan petang. Sholat ini disebut dengan nama tersebut karena dikerjakan pada awal petang.

 

Adapun permulaan waktu Isya’ adalah ketika terbenamnya mega merah.

 

Adapun negara yang tidak terbenam mega merahnya, maka waktu Isya” bagi penduduknya adalah ketika setelah tenggelamnya matahari, sudah melewati masa tenggelamnya mega merah negara yang .. terdekat pada mereka.

 

Dan sholat Isya’ memiliki dua waktu. Salah : satunya adalah waktu ikhtiyar, dan di Isyaratkan oleh pengarang dengan ucapannya, | “3khir waktu ikhtiyar sholat Isya” adalah “ memanjang hingga sepertiga malam yang pertama.

 

Yang kedua adalah waktu jawaz. Dan pengarang memberi isyarat tentang waktu Ini dengan ucapannya, “dan di dalam waktu jawaz hingga terbitnya fajar kedua, yakni fajar Shodig, yakni fajar yang menyebar dan , membentang sinarnya di angkasa.

 

Adapun fajar Kadzib, maka terbitnya/muncul , sebelum fajar Shodig, tidak membentang akan tetapi memanjang naik ke atas langit, kemudian hilang dan di ikuti oleh kegelapan malam. Dan tidak ada hukum yang terkait dengan fajar ini.

 

Asy Syekh Abu Hamid menjelaskan bahwa sesungguhnya sholat Isya’ memiliki waktu Karahah (makruh), yakni waktu diantara dua fajar.

 

Dan Subuh, yakni sholat Subuh. Secara bahasa, Subuh memiliki arti permulaan siang (pagi). Disebut demikian karena dikerjakan di  permulaan siang (pagi).

 

Seperti halnya sholat Ashar, sholat Subuh juga memiliki lima waktu. Salah satunya adalah . waktu fadlilahnya. Yakni awal waktu.

 

Yang kedua adalah waktu ikhtiyar. Pengarang menjelaskannya di dalam ucapan beliau, “awal waktu sholat Subuh adalah mulai terbitnya fajar kedua, dan akhirnya di dalam waktu ikhtiyar adalah hingga isfar, yakni waktu yang sudah terang.

 

Yang ketiga adalah waktu jawaz. Dan pengarang mengisaratkannya dengan ucapan beliau, “dan di dalam waktu jawaz, artinya disertai dengan hukum makruh adalah hingga terbitnya matahari.

 

Dan yang ke empat adalah waktu jawaz tanpa disertai hukum makruh adalah sampai terbitnya mega merah.

 

Dan yang ke lima adalah waktu tahrim (haram), yakni mengakhirkan pelaksanaan : sholat hingga waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan sholat.

 

MUHIMMAT DALAM KITAB HUKUM-HUKUM & WAKTU-WAKTU SHOLAT

 

  1. Mengqadla’ Shalat Orang yang Meninggal

 

(Faedah) orang yang meninggal dalam keadaan mempunyai hutang sholat, maka tidak wajib diqadla’i dan tidak harus membayar fidyah. Ibnu Burhan meriwayatkan dari goul gadim: Jika mayyit meniggalkan harta warisan, maka wajib pada walinya untuk menggodla’i sholatnya mayit sebagaimana puasa, Sedangkan menurut mayoritas dari Ashabina memberikan satu mud makanan pokok untuk setiap sholat yang ditinggalkan.

 

  1. Berjabat Tangan Setelah Sholat

 

Imam Hamzah An-Nasyiri dan yang lain memberi fatwa tentang kesunnahan berjabat tangan setelah selesai shalat lima waktu secara mutlak, walaupun sebelum shalat ashar sudah berjabat tangan, karena shalat dihukumi Ghaib hukmi maka disamakan dengan gaib hissi.

 

3, Tindakan Orang, Pada Saat Faktor Pencegah Shalat Telah Hilang

 

Ketika factor yang mencegah shalat yang disebutkan diatas (termasuk kafir, haidi nifas, gila dil) itu hilang dan masih ada sisa waktu yang kira-kira dapat digunakan bertakbirotul ihrom, maka mereka wajib melakukan shalat tersebut, begitu pula shalat yang sebelumnya bila dapat dijama’ bersamanya.

 

4, Wajib Mengakhirkan Shalat Karena Merawat Jenazah

 

Begitu pula wajib mengakhirkan shalat, dikarenakan menshalati mayit yang dikhawatirkan akan mengeluarkan darah (hingga membusuk).

 

  1. Membangunkan Orang Tidur yang Belum Sholat

 

 Imam Nawawi di dalami kitab Syari Al-Muhadzab berkata: Disunnahkan membangunkan orang tidur untuk sholat, lebih-lebih jika waktunya sempit.

 

 

(Fasal) syarat wajibnya sholat ada tiga perkara. Salah satunya adalah Islam.

 

Maka sholat tidak wajib bagi kafir asli. Dan tidak wajib menggadia’ ketika ia masuk Islam.

 

Adapun orang murtad, maka wajib baginya untuk melakukan sholat dan mengqadlainya ketika sudah kembali kepada Islam.

 

Yang kedua adalah baligh. Maka sholat tidak wajib bagi anak kecil laki-laki dan perempuan.

 

Namun keduanya harus diperintah melaksanakan sholat setelah berusia tujuh  tahun jika sudah tamyiz, dan jika belum tamyiz maka diperintah setelah tamyiz.

 

Dan keduanya harus dipukul sebab meninggalkan sholat setelah berusia sepuluh tahun. Yang ketiga adalah memiliki akal sehat.

 

Maka sholat tidak wajib bagi orang gila. Perkataan pengarang “akal adalah batasan taklif (tuntutan syareat)” tidak tercantum di dalam sebagian redaksi kitab matan.

 

Sholat-sholat yang disunnahkan ada lima. Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan diungkapkan dengan bentuk jama’ yakni “Sai” Yakni sholat dua hari raya, artinya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

 

Dan sholat dua gerhana, maksudnya gerhana matahari dan gerhana bulan. Dan istisga’, artinya sholat Istisga”.

 

Shalat-sholat sunnah yang menyertai sholatsholat fardlu, yang juga diungkapkan dengan sholat sunnah ratibah/rawatib, ada tujuh belas rokaat.

 

Dua rokaat fajar, empat rokaat sebelum Dhuhur dan dua rokaat setelahnya, empat rokaat sebelum Ashar, dua rokaat setelah Maghrib, dan tiga rokaat setelah Isya’ yang digunakan untuk sholat witir satu rokaatnya. Satu rokaat adalah minimal sholat witir. Dan maksimal sholat witir adalah sebelas rokaat. Waktu sholat witir adalah diantara sholat Isya” dan terbitnya fajar. « Sehigga, kalau ada seseorang melakukan sholat witir sebelum sholat Isya’, baik sengaja atau lupa, maka sholat yang dilakukan tidak di anggap.

 

Sholat rawatib yang muakkad (yang sangat di anjurkan) dari semua sholat sunnah di atas ada sepuluh rokaat.

 

Yakni dua rakaat sebelum Subuh, dua rokaat sebelum dan setelah Dhuhur, dua rokaat setelah Maghrib dan dua rokaat setelah sholat Isya’.

 

Tiga sholat sunnah muakkad yang tidak mengikut pada sholat-sholat farldu.

 

Salah satunya adalah sholat malam. Sholat sunnah mutlak di malam hari itu lebih utama dari pada sholat sunnah di siang hari. Sholat sunnah mutlak di tengah malam adalah yang ” paling utama. Kemudian di akhir malam yang ,. lebih utama. Hal ini bagi orang yang membagi waktu malam menjadi tiga bagian.

 

Yang kedua sholat Dhuha. Minimal sholat Dhuha adalah dua rakaat Dan paling maksimal « adalah dua belas rakaat.

 

Waktu sholat Dhuha mulai dari naiknya matahari -kira-kira setinggi satu tombakhingga tergelincirnya matahari, sebagaimana yang di sampaikan imam an Nawawi di dalam kitab at Tahgig dan Syarh al Muhadzdzab. Yang ke tiga adalah sholat tarawih. Yakni sholat dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salaman di setiap malam di bulan Ramadhan.

 

Dan jumlahnya sebanyak lima tarawihan.

 

Di setiap pelaksanaan dua rakaat dari sholat tarawih, seseorang melakukan niat “sunnah tarawih” atau “giyam Ramadhan (menghidupkan bulan Ramadhan)”.

 

Dan seandainya ada seseorang melakukan sholat tarawih empat rokaat sekaligus dengan satu kali salaman, maka sholat yang ia lakukan tidak sah. Waktu sholat tarawih adalah diantara sholat Isya’ dan terbitnya fajar shadiq.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SYARAT WAJIB SHOLAT & SHOLAT-SHOLAT SUNNAH

 

  1. Tidur Lama Sehingga Hilang Waktunya Shalat

 

Tidak haram tidur sebelum waktu shalat masuk, sekalipun ia memiliki tujuan tidak melaksanakan shalat pada waktunya.

 

  1. Kewajiban Shalatnya Orang yang Dibius

 

(Syafi’iyyah) berkata: hukumnya diperbolehkan mengkonsumsi obat yang bisa menghilangkan akal (obat bius) jika dibutuhkan, sedangkan keadaan yang semacam ini maka ia tidak berkewajiban menggodlo’ shalatnya setelah ia sadar, Karena hilangnya akal itu disebabkan sesuatu yang tidak diharamkan.

 

  1. Lupa Sholat Karena Main Catur

 

Termasuk udzur shalat adalah lupa. Mengecualikan lupa yang ditimbulkan dari perkara yang dilarang, seperti main catur, maka itu tidak tergolong udzur.

 

  1. 20 Rokaat Sholat Tarawih Itu Aturan Atau Maksimal

 

Sholat tarawih jumlah rakaatnya adalah 20. Maksudnya 20 rokaat adalah batasan maksimal, sehingga seseorang yang meringkas shalat tarawih kurang dari 20 rakaat, maka hukumnya sah dan ia mendapatkan pahala seperti pahala Shalat tarawih. Menurut sebagian pendapat hukumnya tidak sah karena Shalat tarawih harus 20 rakaat.

 

  1. Sholat Sunah Haram tapi Sah

 

Bagi orang Islam yang meninggalkan shalat tanpa ada halangan, maka dia wajih segera meng-godio” shalat yang ditinggalkan. Di samping itu, juga haram atasnya mengerjakan shalat sunnah (sebelum menggoldo’ shalat fardlu yang dia tinggalkan), dan hukum shalatnya sah. Berbeda dengan pendapat Az. Zakasyi (yang menghukumi shalat sunnahnya tidak sah).

 

  1. Tidak Baik Memisah Sholat Tarwih & Witir

 

Diperbolehkan memutus shalat Tarawih atau shalat witir dengan i sunnah yang lain, karena shalat sunnah yang lain tersebut tidak bisa memutus kecuali dari shalat yang sebelumnya, akan tetapi itu hukumnya menyalahi yang tatacara lebih utama.

 

  1. Shalat Tarwih Dilakukan Setelah Shalat Maghrib

 

Waktu shalat Witir itu sama dengan waktu shalat tarawih, yaitu diantara waktu shalat isya’ sekalipun setelah shalat maghrib yang jama’ tagdim dan terbitnya fajar.

 

 

(Fasal) syarat-syarat sholat sebelum melakukannya ada lima perkara.

 

Lafadz “asy syuruth” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “syarth”.

 

Dan syarat secara etimologi adalah bermakna tanda. Dan secara syara” adalah sesuatu yang menentukan sahnya sholat, namun bukan termasuk bagian dari sholat. Dengan ikatan ini, maka mengecualikan rukun. Karena sesungguhnya rukun adalah bagian dari sholat.

 

Syarat pertama adalah sucinya anggota badan dari hadats kecil dan besar ketika mampu melakukan.

 

Adapun fagidut thohurain (tidak menemukan dua alat bersuci yakni air dan debu), maka hukum sholatnya sah namun wajib mengulanginya ketika sudah mampu bersuci. Dan suci dari najis yang tidak dimaafkan di pakaian, badan dan tempat. Pengarang akan meyebutkan yang terakhir ini (suci tempat) sebentar lagi.

 

Syarat ke tiga adalah berdiri di tempat yang suci.

 

Maka tidak sah sholatnya seseorang yang sebagian badan atau pakaiannya bertemu najis saat berdiri, duduk, ruku’, atau sujud.

 

Syarat ke empat adalah mengetahui masuknya waktu atau menyangka masuknya waktu berdasarkan dengan ijtihad (mengerahkan segala kemampuan berfikir untuk dapat sampai kepada yang dituju).

 

Sehingga seandainya ada seseorang yang melakukan sholat tanpa semua itu, maka sholatnya tidak sah, walaupun cocok waktunya. Syarat ke lima adalah menghadap kiblat, yakni Ka’bah.

 

Ka’bah disebut kiblat karena sesungguhnya seseorang yang melakukan sholat menghadap padanya. Dan disebut dengan Ka’bah, karena ketinggiannya.

 

Menghadap kiblat dengan dada adalah syarat bagi orang yang mampu melaksanakannya. Dan pengarang mengecualikan dari hal ini yang beliau jelaskan dengan perkataannya di bawah ini.

 

Diperbolehkan tidak menghadap kiblat saat melaksanakan sholat di dalam dua keadaan. Yakni saat syiddatul khauf (keadaan genting) yakni di dalam peperangan yang mubah, baik sholat fardlu ataupun shalat sunnah.

 

Dan yang ke dua adalah ketika melaksanakan sholat sunnah di atas kendaraan saat bepergian.

 

Sehingga, bagi seorang yang bepergian yang melakukan perjalanan yang diperbolehkan syareat walaupun jaraknya dekat, maka diperbolehkan melaksanakan sholat sunnah menghadap ke arah tempat tujuannya walaupun tidak menghadap kiblat.

 

Dan bagi orang yang bepergian pada saat naik kendaraan, maka tidak wajib baginya untuk meletakkan keningnya di atas pelana hewan kendaraannya semisal, akan tetapi ia diperbolehkan memberi isyarat saat ruku’ dan sujudnya. Namun sujudnya harus lebih rendah dari pada Isyarat untuk ruku’nya.

 

Adapun musafir yang berjalan kaki, maka ia harus menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, menghadap kiblat saat melakukan keduanya, dan tidak berjalan kecuali saat berdiri dan tasyahud.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SYARAT-SYARAT SHOLAT

 

  1. Kriteria Penutup Aurat Dalam Shalat

 

Wajib menutup ‘aurot dengan sesuatu yang tidak bisa warna kulit, yakni dari pakaian yang tebal, kulit atau kertas. Dan apabila ia menutupi dengan perkara yang tidak bisa menutupi warna kulit, yakni menggunakan pakaian yang tipis maka hukumnya tidak diperbolehkan.

 

  1. Sholat Di Bus Wajib di Ulang

 

Ash-habuna (Syafi’iyyah) berpendapat, jika waktu shalat maktubah telah tiba, sedangkan mereka dalam perjalanan, dan ia takut jika turun untuk menjalankan shalat dibumi dengan menghadap arah kiblat, atau takut terpisah dari teman-temannya, atau takut terhadap dirinya, atau hartanya, maka ia tetap tidak diperbolehkan meninggalkan shalat, dan mengerjakan shalat diluar Waktunya, akan tetapi ia wajib melaksanakan shalat dikendaraan, karena untuk memuliakan waktu shalat, dan ia wajib mengulangi shalatnya, sebab yang demikian itu tergolong udzur yang nadir (langka).

 

  1. Sholat Di Gereja

 

Hukumnya sah melakukan shalat fardlu dan berjualan di dalam gereja, namun dimakruhkan.

 

  1. Maksud Menghadap Kiblat

 

Mengenai permasalahan orang sholat yang menghadap giblat terdapat perkhilafan di antara para Ulama, Pendapat yang unggul mengharuskan orang yang sholat untuk menghadap tepat lurus tepat pada fisik Ka’bah (ainul giblat), walaupun bagi orang yang berada di luar kota Makkah, dan harus membelokkan sedikit yang ketika shafnya panjang, sehingga ia melihat dirinya melurusi Ka’bah. Sedangkan pendapat kedua menghukumi cukup menghadap arah Kiblat (Jihatul giblat), ya’ni salah satu empat arah yang didalamnya terdapat ka’bah bagi orang yang jauh dari Ka’bah, pendapat ini adalah pendapat yang kuat yang di pilih oleh alGazali.

 

(Fasal) menjelaskan rukun-rukun sholat. Sedangkan pengertian sholat secara etimologi dan istilah hukum syara” sudah dijelaskan di depan.

 

Rukun-rukun sholat ada delapan belas rukun. Salah satunya adalah niat. Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan melaksanakan-nya.

 

Adapun tempatnya niat adalah hati. Ketika sholat fardlu, maka wajib niat fardlu, dan menyengaja melaksanakannya dan menentukannya semisai Subuh atau Dhuhur.

 

Atau sholat sunnah yang memiliki waktu tertentu seperti sholat rawatib atau sholat yang memiliki sebab seperti sholat istisga’, maka wajib menyengaja melaksanakannya dan menentukannya, dan tidak wajib niat sunnah.

 

Rukun kedua adalah berdiri jika mampu melakukannya. / Jika tidak mampu berdiri, maka wajib duduk dengan posisi yang ia kehendaki, namun . duduk iftiras (tahiyat awal) adalah yang lebih utama.

 

Rukun ketiga adalah takbiratul ihram. Bagi yang mampu, maka wajib mengucapkan takbiratul ihram, yakni dengan mengucapkan “Allahu Akbar“. Maka tidak sah jika dengan mengucapkan “Ar Rahmanu Akbar” dan sesamanya.

 

Dan dalam takbiratul ihram, tidak sah mendahulukan khabar sebelum mubtada’-nya seperti ucapan seseorang “Akbarullahu”.

 

Barang siapa tidak mampu mengucapkan takbiratul ihram dengan bahasa arab, maka wajib menterjemahnya dengan bahasa yang ia kehendaki, dan tidak diperbolehkan baginya – untuk berpindah dari takbiratul ihram kepada bentuk dzikir yang lain -semisal lafadz “alhamdulillah”-.

 

Dan wajib menyertakan niat dengan pelaksanaan takbiratul ihram.

 

Adapun imam an Nawawi, maka beliau memilih bahwa cukup dengan hanya : bersamaan secara “urf, yakni sekira secara “urf ia sudah dianggap menghadirkan sholat -di dalam hati saat takbiratul ihram-.

 

Rukun ke empat adalah membaca Al Fatihah, atau penggantinya bagi orang yang tidak hafal Al Fatihah, baik sholat fardlu ataupun shalat sunnah.

 

Adapun Bismillahirrahmanirrahim adalah satu ayat penuh dari surat Al Fatihah.

 

Barang siapa tidak membaca satu huruf atau satu tasydid dari surat al Fatihah, atau mengganti satu huruf dengan huruf yang lain, maka bacaannya tidak sah, begitu juga sholatnya jika memang sengaja melakukannya. Jika tidak sengaja, maka bagi dia wajib “ mengulangi bacaan fatihahnya.

 

Dan wajib membaca surat Al Fatihah dengan tertib. Yakni dengan membaca ayat-ayatnya sesuai dengan urutan yang sudah diketahui.

 

Dan juga wajib membacanya secara muwallah (terus menerus), yakni sebagian kalimatkalimat Al Fatihah bersambung dengan sebagian yang lain tanpa ada pemisah kecuali hanya sekedar mengambil nafas.

 

Sehingga, ketika diantara muwallah terpisah/diselah-selahi dzikiran yang lain, maka hal itu memutus bacaan muwallah surat “ Al Fatihah.

 

Kecuali bacaan dzikiran tersebut berhubungan dengan kemaslahatan sholat, misalnya bacaan “amin” yang dilakukan makmum di tengahtengah bacaan Ai Fatihahnya karena bacaan Al Fatihah imamnya, maka sesungguhnya bacaan . “amin” tersebut tidak sampai memutus muwalah.

 

Barang siapa tidak tahu atau kesulitan membaca surat Al Fatihah karena tidak ada pengajar semisal, dan ia bisa membaca surat yang lain dari Al Aur’an, maka bagi dia wajib membaca tujuh ayat secara runtut ataupun tidak sebagai pengganti dari surat Al Fatihah. Jika tidak mampu membaca Al Qur’an, maka wajib bagi dia untuk membaca dzikir sebagai pengganti dari Al Fatihah, sekira huruf dzikir tersebut tidak kurang dari jumlah huruf Al Fatihah.

 

Jika tidak bisa membaca Al Qur’an dan dzikir, maka wajib bagi dia untuk berdiri dengan. kadar membaca Al Fatihah.

 

Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan diungkapkan dengan bahasa “dan membaca Al Fatihah setelah bismillahirrahmanirrahim, adapun basmalah adalah satu ayat dari Al Fatihah.”

 

Rukun shalat yang ke lima adalah ruku’.

 

Adapun batasan minimal fardlunya ruku’ bagi orang yang melakukan sholat dengan berdiri, mampu melakukan ruku”’, berfisik normal, dan selamat/sehat kedua tangan dan kedua” lututnya, adalah membungkuk tanpa membusungkan dada (degek : jawa) dengan ukuran sekira kedua telapak tangan bisa menggapai kedua lutut seandainya ia hendak meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya.

 

Jika tidak mampu melakukan ruku’ seperti ini, maka wajib bagi dia membungkuk, semampunya dan memberi isyarat dengan kedipan matanya.

 

Sedangkan ruku’ yang paling sempurna adalah meluruskan punggung dan lehernya orang . yang ruku’ sekira keduanya seperti satu papan yang lurus, menegakkan kedua betisnya, dan memegang kedua lutut dengan kedua tangannya.

 

Rukun shalat yang ke enam adalah thuma’ninah di dalam ruku’. Thuma’ninah adalah diam setelah bergerak.

 

Pengarang menjadikan thuma’ninah sebagai rukun yang mandid di dalam beberapa rukunnya sholat. Dan imam an Nawawi berjalan pada pendapat ini di dalam kitab at Tahgig.

 

Sedangkan selain pengarang menjadikan thuma’ninah sebagai hajat yang menyertai sholat.

 

Rukun shalat yang ke tujuh adalah bangun dari ruku’ dan i’tidal berdiri tegap sesuai keadaan sebelum ruku’, yakni berdiri bagi orang yang melakukan sholat dengan berdiri dan duduk bagi orang yang tidak mampu berdiri.

 

Rukun shalat yang ke delapan adalah thuma’ninah di dalam i’tidal.

 

Rukun shalat yang ke sembilan adalah sujud dua kali di dalam setiap-tiap rakaat. Adapun batas minimal sujud adalah sebagian kening orang yang sholat menyentuh tempat sujudnya, baik tanah atau yang lainnya.

 

Adapun sujud yang paling sempurna adalah membaca takbir tanpa mengangkat kedua tangan ketika turun ke posisi sujud, meletakkan kedua lutut, kemudian kedua ( tangan, lalu kening dan hidungnya.

 

Rukun shalat yang ke sepuluh adalah thuma’ninah di dalam sujud, sekira beban kepalanya mengenai tempat sujudnya. . Dan tidak cukup hanya menyentuhkan kepalanya ke tempat sujudnya.

 

Bahkan harus agak menekannya sekira seandainya ada kapas di bawah kepalanya, niscaya akan tertekan, dan bebannya akan terasa di atas tangan seandainya diletakkan di bawahnya.

 

Rukun shalat yang ke sebelas adalah duduk diantara dua sujud di setiap rakaat, baik sholat dengan berdiri, duduk atau tidur miring.

 

Adapun minimal duduk diantara dua sujud adalah diam setelah bergeraknya anggota-anggota badannya. Dan yang paling sempurna adalah menambah ukuran tersebut dengan do’a yang datang dari Rosulullah Saw saat melakukannya.

 

Sehingga, seandainya ia tidak duduk diantara dua sujud, bahkan posisinya hanya lebih dekat pada posisi duduk, maka duduk yang ia lakukan tidak sah.

 

 

Rukun shalat yang ke dua belas adalah thuma’ninah di dalam duduk diantara dua sujud. Rukun shalat yang ke tiga belas adalah duduk yang terakhir, yakni duduk yang diiringi oleh salam.

 

Rukun shalat yang ke empat belas adalah tasyahud di dalam duduk yang terakhir. Minimal tasyahud adalah

 

“Segala hormat milik Allah, semoga keselamatan, rahmat Allah dan keberkahanNya atas Engkau wahai Nabi. Semoga keselamatan atas kami dan hamba-hamba Allah yang sholih. Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”

 

Tasyahud yang paling sempurna adalah

 

“kehormatan yang diberkahi dan rahmat yang baik hanya milik Allah. Keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya semoga atas Engkau wahai Nabi. Keselamatan semoga atas kami dan hamba-hamba Allah yang sholih. Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah. Dan saya bersaksi Nabi Muhammad adalah utusan Allah.“

 

Rukun shalat yang ke lima belas adalah membaca sholawat untuk baginda Nabi Saw di dalamnya, yakni di dalam duduk yang terakhir « setelah selesai membaca tasyahud.

 

Minimal bacaan sholawat untuk baginda Nabi Saw adalah

 

“ya Allah, berikanlah rahmat kepada Nabi Muhammad”

 

Perkataan pengarang di atas memberitahukan bahwa membaca sholawat untuk keluarga Nabi Saw hukumnya tidak wajib, dan memang : demikian bahkan hukumnya adaiah sunnah. Rukun ke enam belas adalah mengucapkan : salam yang pertama.

 

Dan wajib mengucapkan salam dalam posisi duduk. Minimal ucapan salam adalah ucapan   dengan satu kali. Dan ucapan salam . yang paling sempurna adalah   dua kali, yakni ke kanan dan ke kiri. Rukun shalat yang ke tujuh belas adalah niat keluar dari sholat. Dan ini adalah pendapat “ yang marjuh (lemah). Ada yang mengatakan bahwa niat keluar dari sholat hukumnya tidak wajib, dan inilah pendapat al ashah.

 

Rukun shalat yang ke delapan belas adalah melakukan rukun-rukun sholat secara tertib, hingga diantara tasyahud yang terakhir dan bacaan sholat untuk baginda Nabi Saw di dalam tasyahud akhir.

 

Ungkapan pengarang “sesuai dengan apa yang aku Jelaskan” mengecualikan kewajiban : menyertakan niat dengan takbiratul Ihram, dan menyertakan duduk terakhir dengan tasyahud dan bacaan sholawat untuk baginda Nabi Saw.

 

MUHIMMAT DALAM BAB RUKUN-RUKUN SHOLAT

 

  1. Takbir Berkali-Kali Dapat Membata!kan Shalat

 

Andaikan seseorang melakukan takbirotul Ihrom berulang ka dengan niat memulai shalat pada masing-masing takbir, maka Ia dianggap sah memasuki shalat ketika takbir yang nomer ganjil dan keluar dari shalat ketika pada takbir yang nomer genap.

 

  1. Pada Saat I’tidal Tidak Sunnah Bersedekap

 

Sesungguhnya menurut pendapat mu’tamad, bahwa orang yang sha hendaknya melepaskan kedua tangannya, dan tidak meletakkan kedua tangannya di atas dadanya (bersedekap).

 

3, Orang Was-Was Dalam Bacaan Fatihah ,

 

Orang yang was-was ketika mengucapkan kata bis-bis, maka hukumnya adalah: jika bertujuan giro’ah (membaca) maka shalatnya tetap sah, jika tidak maka shalatnya batal.

 

  1. Posisi Sujud yang Sempurna

 

Sempurnanya sujud adalah, “hendaknya musholli sujud diatas jidadnya hidung, tapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung kakinya”. Dan apabila ia sujud atas jidadnya tanpa menempelkan hidungnya pada tempat sujud maka hukumnya dimakruhkan, namun sudah mencukupi.

 

Kesunahan-kesunahan shalat sebelum  pelaksanaan sholat ada dua perkara.

 

Yang pertama, adzan. Secara etimologi adzan  berarti pemberitahuan. Dan secara termonologi hukum syara” adalah dzikir tertentu guna memberitahukan masuknya waktu sholat fardlu.

 

Adapun lafadz-lafadz adzan dibaca dua kali kecuali lafadz takbir di permulannya maka dibaca empat kali, dan kecuali lafadz tauhid di akhir adzan, maka dibaca satu kali.

 

Dan yang kedua adalah igamah. Igamah adalah bentuk masdar dari fi’il madli agama. Kemudian dijadikan nama sebuah dzikir tertentu. Karena sesungguhnya dzikir tersebut “ digunakan untuk mendirikan sholat.

 

Masing-masing dari adzan dan igamah hanya disyareatkan/dilakukan untuk sholat fardlu. Sedangkan sholat selain fardhu, maka di . kumandangkan dengan bahasa “as shalatu ‘ jami’ah”.

 

Kesunahan-kesunahan di dalam sholat ada dua perkara, yakni tasyahud awal dan gunut di dalam sholat Shubuh, yakni saat i’tidal dirakaat kedua dari sholat Subuh. Secara bahasa gunut bermakna do’a.

 

Dan secara termonogi huku, syara’ adalah dzikiran tertentu, yakni

 

Dan gunut di akhir sholat witir pada separuh yang kedua dari bulan Ramadhan.

 

Ounut di dalam sholat witir ini sama seperti gunutnya sholat Subuh yang sebelumnya di dalam tempat dan lafadznya.

 

Ounut tidak harus menggunakan kalimatkalimat gunut yang telah dijelaskan di atas. Sehingga, seandainya seseorang melakukan gunut dengan membaca ayat Al Qur’an yang ‘ mengandung doa dan ditujukan untuk gunut, maka kesunahan gunut sudah hasil.

 

Sunnah haiat-nya sholat ada lima belas perkara. Yang dikehendaki dengan hajat ialah bukan rukun dan bukan sunnah ab’ad/ yang diganti dengan sujud sahwi -ketika ditinggalkan-.

 

Yakni 1) mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram hingga lurus sejajar dengan kedua pundak. Dan mengangkat kedua tangan ketika turun hendak ruku’ dan bangun dari ruku’.

 

Dan ke 2) meletakkan telapan tangan kanan bagian dalam di atas tangan kiri bagian luar. Dan keduanya berada di bawah dada dan di atas pusar.

 

3) Do’a tawajjuh, yakni ucapan orang yang shotat setelah takbiratull ihram yang berbunyi,

 

Yang dikehendaki adalah setelah takbiratul ihram, orang yang sholat membaca doa iftitah, baik ayat di atas ini atau yang lainnya dari bentuk-bentuk doa iftitah yang datang dari Rosulullah Saw.

 

Dan ke 4) membaca isti’adzah (ta’awudz) setelah membaca doa tawajjuh. Dan kesunnahan doa ‘sti’adzah sudah bisa hasil! dengan setiap lafadz yang mengandung ta’awudz (memohon perlindungan kepada Allah). Adapun do’a ta’awudz yang paling utama adalah,

 

“aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.”

 

Dan yang ke 5) Mengeraskan bacaan (selain makmum) di tempatnya, yakni di dalam sholat Subuh, dua rakaat pertama sholat Maghrib dan Isyat, sholat Jum’at dan dua sholat hari raya (idul fitri dan idul adha).

 

 

Dan ke 6) Memelankan bacaan di tempatnya, yakni di selain tempat-tempat yang telah disebutkan di atas.

 

Dan ke 7) Ta’min yakni ucapan “amin” setelah selesai membaca surat Al Fatihah bagi yang membacanya di dalam sholat dan diluar shalat, akan tetapi di dalam sholat lebih “ dianjurkan. Dan seorang makmum sunnah membaca “amin” bersamaan dengan bacaan “amin” | imamnya dengan mengeraskan suara.

 

Dan ke 8) Membaca surat setelah membaca surat Al Fatihah bagi seorang imam atau orang |. yang sholat sendirian di dalam dua rakaatnya sholat Subuh dan dua rakaat pertamanya, sholat yang lain (dhuhur, ashar, maghrib dan isya”).

 

Sedangkan membaca surat itu dilakukan , setelah membaca surat Al Fatihah. Sehingga, seandainya seseorang mendahulukan . membaca surat sebelum membaca Al Fatihah, maka bacaan suratnya tidak dianggap.

 

Dan ke 9) beberapa bacaan takbir saat turun ke posisi ruku’ (dan pada saat turun ke posisi sujud).

 

Dan saat mengangkat, yakni mengangkat punggung dari posisi ruku’. Bacaan “.  ” ketika mengangkat kepala dari ruku’.Dan seandainya seorang yang sholat mengucapkan”    ” “barang siapa memuji Allah, maka semoga Allah mendengar pujiannya”, maka sudah mencukupi.

 

Makna “.  ” adalah semoga Allah menerima pujian darinya dan memberi balasan atas pujiannya.

 

Dan ucapan musholli (orang yang sholat) “    “ ketika sudah berdiri tegap.

 

 Dan ke 11) Membaca tasbih di dalam ruku’. Adapun minimal kesempurnaan di dalam bacaan tasbih ini adalah ”    ‘ tiga kali.

 

Dan membaca tasbih di dalam sujud. Adapun minimal kesempurnaan di dalam bacaan tasbih ini adalah “.  ” tiga kali. Sedangkan untuk dzikir yang paling sempurna di dalam bacaan tasbih saat ruku’ dan sujud sudah mashur.

 

Yang ke 12) Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha saat duduk tasyahud awal dan akhir.

 

Dengan membuka tangan kiri sekira ujung jemarinya sejajar dengan lutut.

 

Dan menggenggam tangan kanan, yakni jemarinya, kecuali jari telunjuk tangan kanan. Maka ia tidak menggenggamnya, karena sesungguhnya ia akan menggunakannya untuk – isyarat, mengangkatnya saat mengucapkan tasyahud, yakni ketika mengucapkan kalimat

 

Dan hendaknya ia tidak menggerak-gerakan jari telunjuknya. Jika Ia menggerakgerakannya, maka hukumnya makruh dan sholatnya tidak sampai batal menurut pendapat al ashah.

 

Dan yang ke 13) melakukan duduk iftirasy pada semua posisi duduk yang dilakukan di dalam sholat, seperti duduk istirahat, duduk diantara dua sujud dan duduk tasyahud awal. Iftirasy adalah seseorang menduduki mata kaki kirinya, dengan memposisikan punggung kaki kirinya pada lantai, menegakkan telapak kaki kanan, dan memposisikan jemari kaki kanannya menempel pada lantai dang menghadap ke arah kiblat. “

 

Dan yang ke 14) Duduk tawarruk pada saat duduk yang terakhir dari duduk-duduk di dalam sholat, yakni duduk tasyahud akhir.

 

Adapun duduk Tawarruk sama dengan posisi duduk iftirasy, hanya saja di samping menetapi posisi iftirasy, orang yang shalat mengeluarkan kaki kirinya melalui arah bawah kaki kanannya dan menempelkan pantatnya ke lantai. / Adapun makmum masbug dan orang yang lupa, maka dia disunnahkan melakukan duduk . iftirasy, dan tidak disunahkan duduk tawarruk.

 

Dan yang ke 15) mengucapkan salam yang kedua. Adapun salam yang pertama, maka sudah dijelaskan bahwa sesungguhnya termasuk dari rukun-rukunnya sholat.

 

MUHIMMAT DALAM BAB KESUNAHAN-KESUNAHAN SEBELUM & PADA SAAT SHOLAT

 

  1. Kesunnahan Mengusap Wajah Setelah Shalat

 

Disunnahkan bagi orang yang menyempurnakan sholatnya untuk mengusap wajah dengan kedua tangan, karena sholat secara etimologi adalah doa.

 

  1. Kesunnahan Mengeraskan Suara Shalat Dzuhur

 

Ulama’ Syafi’iyyah berpendapat, yang dipandang adalah waktu yang digunakan meng-godlo shalat, baik itu shalat Sirri ataupun Jahr. Dan barang siapa melaksanakan shalat dhuhur digodlo’ pada waktu malam hari, maka hendaknya ia mengeraskan suaranya, dan barang siapa melaksanakan shalat maghrib digodlo’ pada siang hari maka hendaknya tidak mengeraskan suaranya.

 

  1. Kesunnahan Membaca Sayyidina

 

Yang lebih utama adalah menambahkan lafadz “Sayyiding” (dalam menyebut lafadh Muhammad, pada saat tahiyyat) karena terkait etika sopan santun.

 

(Fasal) Menjelaskan perkara-perkara yang berbeda antara wanita dan laki-laki di dalam sholat.

 

Pengarang menjelaskan hal itu dengan perkataannya, “adapun wanita berbeda dengan laki-laki di dalam lima perkara,”

 

Maka seorang laki-laki yang merenggangkan, yakni mengangkat kedua sikunya dari dua sisi  badannyalambungnya, dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya diwaktu ruku’ : dan sujud.

 

Dan mengeraskan suara di tempatnya. Dan mengeraskan suara sudah dijelaskan di – tempatnya.

 

Dan ketika seorang laki-laki terkena, yakni mengalami sesuatu di dalam sholat, maka ia sunah membaca tasbih.

 

Lalu ia mengucapkan “subhanallah” dengan tujuan berdzikir saja, atau beserta tujuan memberitahu atau dimutlakan tanpa tujuan apa-apa, maka sholatnya tidak batal. Atau – bertujuan memberitahu saja, maka sholatnya batal.

 

Adapun auratnya orang laki-laki adalah anggota badan diantara pusar dan lutut. Sedangkan pusar dan lutut itu sendiri bukan termasuk aurat, dan begitu juga tidak termasuk aurat bagi laki-laki adalah anggota tubuh yang berada di atas keduanya.

 

Adapun seorang wanita berbeda dengan lakilaki di dalam lima hal yang telah dijelaskan di atas.

 

Maka sesungguhnya seorang wanita | menempelkan sebagian badannya dengan sebagian badannya yang lain. Sehingga ia | menempelkan perutnya pada kedua pahanya diwaktu ruku’ dan sujud.

 

Dan ia memelankan suaranya saat sholat di dekat laki-laki lain (bukan mahram dan bukan halalnya).

 

Sehingga, ketika ia sholat sendirian jauh dari mereka, maka sunnah mengeraskan suara (ditempat yang dianjurkan mengeraskan suara).

 

Dan ketika di dalam sholat mengalami . sesuatu, maka dianjurkan untuk bertepuk ” tangan dengan memukulkan telapak tangan kanan bagian luar di atas telapak tangan kiri bagian luar.

 

Seandainya ia memukulkan telapak tangan bagian dalam ke telapak tangan bagian dalam yang satunya dengan tujuan main-main walaupun hanya sedikit saja padahal ia tahu akan keharaman hal tersebut, maka sholatnya batal. Seorang huntsa sama hukumnya seperti seorang wanita.

 

Adapun seluruh badan wanita merdeka adalah aurat selain wajah dan kedua telapak tangannya.

 

Dan ini adalah auratnya di dalam sholat. Adapun auratnya di luar sholat adalah seluruh badannya.

 

Adapun aurat budak wanita seperti auratnya laki-laki di dalam sholat. Yakni auratnya adalah anggota badan diantara pusar dan lututnya.

 

 

(Fasal) menjelaskan hal-hal yang membatalkan sholat. Sesuatu yang membatalkan sholat ada sebelas perkara.

 

Berbicara secara sengaja dengan kata-kata yang layak digunakan untuk berbicara diantara anak Adam, baik berhubungan dengan kemaslahatan sholat ataupun tidak. (kedua) gerakan yang banyak dan terus menerus misalnya tiga langkah, baik disengaja ataupun karena lupa.

 

Sedangkan gerakan badan yang sedikit, maka tidak sampai membatalkan sholat. (ketiga dan ke empat) hadats kecil dan besar, dan baru datangnya najis yang tidak dima’fu. 

 

Seandainya pakaiannya kejatuhan najis yang kering, lalu ia langsung mengibaskan pakaiannya dengan seketika, maka sholatnya tidak batal. (ke lima) terbukanya aurat dengan sengaja.

 

Jika tiupan angin membuka auratnya, kemudian ia langsung menutupnya kembali seketika, maka sholatnya tidak batal. (ke enam) merubah niat.

 

Misalnya niat keluar dari sholat. (ke tujuh) membelakangi/berpaling dari kiblat. Misalnya memposisikan kiblat di belakang & punggungnya.

 

(delapan & sembilan) makan dan minum, baik makanan dan minuman itu banyak ataupun sedikit.

 

Kecuali dalam keadaan tidak tahu akan keharaman hal tersebut.

 

(sepuluh) tertawa. Sebagian ulama’ mengungkapkan dengan bahasa “dlahgi (tertawa terbahak-bahak)”.

 

(sebelas) murtad, yakni memutus Islam dengan ucapan atau perbuatan.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHOLAT

 

  1. Hukum menelan Dahak ketika Sholat

 

Apabila ada dahak dari otak seseorang keluar ke-bagisn luar mulutnya, sedangkan ia dalam keadaan shalat, lalu Ia menelannya, maka shalatnya menjadi batal.

 

  1. Solusi Sholatnya Wanita yang Kelihatan Dagunya

 

Adapun menurut selainnya ulama’ madzhab syafi’iyyah seperti pemimpin ulama’ Handfiyyah dan Malikiyyah, bahwa perkara yang dibawah dagu dan sesamanya dari seorang wanita itu tidak dianggap sesuatu yang bisa membatalkan shalat.

 

  1. Bergerak Tiga Kali Karena Terpaksa

 

Apabila seseorang terserang penyakit kudis yang parah. Dan ia tidak mampu menahan rasa gatalnya tanpa menggaruk-garuknya, maka shalatnya tidak batal dengan gerakan telapak tangannya yang dibuat mengaruk-garuk gatalnya dengan tiga kali gerakan yang beruntun, karena itu termasuk dloruroth.

 

  1. Batasan Kalam yang Dapat Membatalkan Shalat

 

Ashabuna (Syafi’iyyah) berkata: kalam yang bisa membatalkan shalat adalah kalam yang selainnya Al-Qur’an, dzikir, do’a dan semacamnya. Sedangkan membaca Al-Qur’an, dzikir, berdo’a dan semacamnya tidak membatalkan shalat tanpa ada perbedaan ulama’ menurut kita (Madzhab Syafi’iyyah).

 

(Fasal) menjelaskan jumlah rakaat sholat. Jumlah rakaat sholat fardlu, yakni sehari semalam yang dilakukan di rumah (tidak bepergian) selain hari Jum’at adalah tujuh belas rakaat.

 

Sedangkan untuk hari Jum’at, maka jumlah rakaat sholat fardlu pada hari itu adalah lima belas rakaat.

 

Adapun jumlah rakaat sholat setiap hari saat bepergian bagi orang yang melakukan sholat gashar adalah sebelas rakaat.

 

Perkataan pengarang “di dalam jumlah rakaat tersebut terdapat tiga puluh empat sujud, sembilan puluh empat takbir, sembilan tasyahud, sepuluh salam, dan seratus lima puluh tiga tasbih.

 

Jumlah rukun di dalam sholat ada seratus dua puluh enam rukun, yakni tiga puluh rukun di dalam sholat Subuh, empat puluh dua rukun di dalam sholat Maghrib, dan lima puluh empat rukun di dalam sholat empat rakaat” hingga akhir perkataan beliau adalah sudah jelas dan tidak perlu dijelaskan.

 

  1. Dan barangsiapa tidak mampu berdiri saat melaksanakan sholat fardlu karena ada kesengsaraan yang ia alami saat berdiri, maka ia diperbolehkan sholat dengan duduk sesuai posisi yang ia kehendaki. Akan tetapi duduk iftirasy sebagai pengganti posisi berdiri lebih utama dari pada duduk, tarabbu’ (bersila) menurut pendapat al Adhhar.

 

Dan barang siapa tidak mampu duduk, maka diperbolehkan sholat dengan tidur miring.

 

Jika tidak mampu tidur miring, maka diperbolehkan sholat dengan terlentang di atas punggung dan kedua kaki menghadap kiblat.

 

Jika tidak mampu melakukan semua itu, maka hendaknya ia memberi isyarat dengan mata “ dan niat di dalam hati.

 

Dan wajib baginya untuk menghadap kiblat dengan wajah dengan meletakkan sesuatu di  bawah kepalanya dan memberi isyarat dengan kepala saat ruku’ dan sujud.

 

Jika tidak mampu memberi isyarat dengan kepala, maka hendaknya ia memberi isyarat dengan kedipan mata.

 

Jika tidak mampu memberi isyarat dengan kedipan mata, maka ia harus menjalankan rukun-rukun sholat di dalam hati.

 

Dan tidak diperbolehkan meninggalkan sholat selama – akalnya masih sadar.

 

Orang yang sholat dengan posisi duduk, maka ia tidak wajib menggadala’ dan pahalanya tidak berkurang, karena sesungguhnya ia adalah orang memiliki udzur (halangan).

 

Adapun sabda baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “barang siapa melakukan sholat dengan posisi duduk, maka ia mendapatkan Separuh pahala orang yang sholat dengan berdiri.

 

Dan barang siapa melakukan sholat dengan tidur, maka ja mendapatkan separuh pahala orang yang sholat dengan duduk.” Maka diarahkan pada orang yang melakukan sholat sunnah dan ia dalam keadaan mampu.

 

MUHIMMAT DALAM BAB JUMLAH RAKAAT DALAM SHALAT & SHALATNYA ORANG SAKIr

 

  1. Kewajiban Sholatnya Orang yang Sakit Parah

 

Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad Bin Hanbal berpendapat: Kewajiban sholat tidak gugur dari orang mukallaf selama akalnya masih normal walaupun dengan cara menjalankan di dalam hatinya. Dan Imam Abu Hanifah berkata: Orang yang sudah sekarat dan tidak mampu isyarat dengan kepalanya maka gugur kewajiban sholat baginya.

 

  1. Shalatnya Orang yang di Infuse

 

Apabila Jarum infuse masih menancap dibadan orang yang shalat bertemu dengan darah yang banyak, sedang jarum infuse tersebut tidak tertutupi maka shalatnya hukumnya tidak sah, apabila ia bisa melepaskan dengan tanpa kesulitan, karena ia termasuk orang yang membawa najis.

 

(Fasal) sesuatu yang ditinggalkan dari sholat ada tiga perkara.

 

Yakni fardlu, yang juga disebut dengan rukun, sunnah ab’ad dan sunnah haiat. Adapun kedua sunnah ini, adalah selain fardlu.

 

Pengarang menjelaskan ketiganya di dalam perkataannya, “fardlu tidak bisa digantikan oleh sujud sahwi.”

 

Bahkan ketika ia ingat telah meninggalkan fardlu, dan posisinya masih di dalam sholat, maka wajib baginya untuk melakukan fardhu yang telah ditinggalkan dan sholatnya ‘ dianggap sempurna.

 

Atau ingat setelah salam, dan masanya masih relatif sebentar, maka ‘ wajib baginya untuk melakukan fardlu yang ditinggalkan dan meneruskan apa yang tersisa dari sholatnya, serta melakukan sujud sahwi.

 

Sujud sahwi hukumnya adalah sunnah seperti yang akan dijelaskan. Akan tetapi hukum . seperti ini ketika meninggalkan perkara yang diperintahkan atau melakukan perkara yang -. dilarang di dalam sholat.

 

Sunnah ab’ad ketika ditinggalkan oleh orang yang sholat, maka ia tidak diperbolehkan kembali untuk melakukannya setelah ia dalam posisi melakukan fardlu atau rukun.

 

Sehingga, barang siapa semisal meninggalkan tasyahud awal, lalu ia ingat setelah dalam. posisi berdiri tegak, maka tidak diperbolehkan kembali ke posisi tasyahud.

 

Jika ia kembali ke posisi tasyahud dalam keadaan tahu akan keharamannya, maka sholatnya batal.

 

Atau dalam keadaan lupa bahwa ia sedang melakukan sholat, atau tidak tahu akan keharamannya, maka sholatnya tidak batal namun harus berdiri ketika sudah ingat.

 

Dan jika ia adalah seorang makmum, maka wajib kembali keposisi tasyahud karena untuk mengikuti imam.

 

Akan tetapi disunnahkan baginya untuk melakukan sujud sahwi ketika dalam kasus tidak kembali atau kembali ke posisi tasyahud dalam keadaan lupa.

 

Yang dikehendaki pengarang dengan “sunnah” di sini adalah sunnah-sunnah ab’ad yang berjumlah enam perkara.

 

1) tasyahud awal, 2) duduk tasyahud awal, 3) gunut di dalam sholat Subuh dan di akhir sholat witir di separuh bulan kedua dari bulan Romadian, 4) berdiri untuk melakukan gunut, 5) bacaan sholawat untuk baginda Nabi Saw di dalam tasyahud awal, dan ke 6) bacaan sholawat untuk keluarga baginda Nabi Saw di dalam tasyahud akhir.

 

Sunnah hai’ah seperti bacaan-bacaan tasbih dan sesamanya dari kesunahan-kesunahan yang tidak dapat diganti dengan sujud sahwi, maka setelah meninggalkannya, orang yang shalat tidak boleh kembali untuk melakukkannya. Dan tidak boleh melakukan sujud sahwi karenanya, baik ia meninggalkan secara sengaja atau karena lupa.

 

Ketika orang yang shalat ragu-ragu di dalam jumlah rakaat yang ia lakukan, misalnya orang” yang ragu-ragu apakah ia telah melakukan tiga rakaat atau empat rakaat, maka wajib baginya untuk melakukan apa yang diyagini, yakni jumlah yang terkecil seperti tiga rakaat di dalam contoh ini, dan ia wajib menambah satu rakaat dan sunnah melakukan sujud sahwi. Dugaan kuat bahwa ia telah melakuan empat rakaat tidak bisa dibuat pegangan, dan ia juga tidak diperbolehkan mengikuti ucapan orang « lain yang mengatakan padanya bahwa ia telah melakukan empat rakaat, walaupun jumlah mereka mencapai jumlah mutawatir.

 

Sujud sahwi hukumnya sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan, dan tempat melakukannya adalah sebelum salam.

 

Jika orang yang shalat melakukan salam dengan sengaja dan tahu bahwa ia dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi, atau lupa namun masanya cukup lama secara ‘urf, maka kesunnahan untuk melakukan sujud sahwi telah hilang.

 

Jika masanya relatif singkat secara “urf, maka waktu melaksanakannya tidak hilang, dan saat itu ia diperbolehkan melakukan atau meninggalkan sujud sahwi.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HAL-HAL YANG DITINGGALKAN SAAT SHOLAT & SUJUD SAHWI

 

  1. Imam Meninggalkan Sujud Sahwi, Ma’mum Boleh Melakukan Sendiri

 

Apabila imam meninggalkan sujud sahwi atau salam yang kedua, maka ma’mum boleh melakukannya sendiri, karena ia melakukannya setelah habisnya bermakmum.

 

 

  1. Imam Tidak Ounut, Ma’mum Ounut

 

para Ulama berkata: Tidak apa-apa (boleh) terlambat dari imam karena do’a gunut, pada saat ditinggalkan oleh imam dan ia menjumpai imam dalam keadaan sujud yang pertama.

 

(Fasal) menjelaskan waktu-waktu yang dimakruhkan melakukan sholat dengan makruh tahrim seperti keterangan di dalam kitab ar Raudlah dan Syarh al Muhadzdzab di dalam bab ini.

 

Dan makruh tanzih seperti keterangan di dalam kitab at Tahgig dan Syarh al Muhadzdzab di dalam kitab “Nawaqidul Wudlu’”

 

Ada lima waktu yang dimakruhkan melakukan sholat pada waktu itu kecuali sholat yang memiliki sebab Adakalanya sebab yang terjadi sebelum pelaksanaan sholat seperti sholat fa’itah (sholat yang ditinggalkan).

 

Atau sebab yang bersamaan dengan pelaksanaan sholat seperti sholat gerhana dan sholat istisga”.

 

Yang pertama dari lima waktu tersebut adalah sholat yang tidak memiliki sebab ketika dikerjakan setelah sholat Subuh.

 

Dan hukum makruh tersebut tetap ada hingga terbitnya matahari.

 

Yang kedua adalah melaksanakan sholat ketika terbitnya matahari hingga keluar secara sempurna dan naik kira-kira setinggi satu tombak sesuai dengan pandangan mata.

 

Yang ketiga adalah mengerjakan sholat ketika matahari tepat di tengah-tengah langit hingga – bergeser dari tengah-tengah langit.

 

Dari semua itu dikecualikan hari Jum’at, maka tidak di makruhkan melaksanakan sholat di hari Jum’at tepat pada waktu istiwa”.

 

Begitu juga daerah Haram Makkah, baik masjid atau yang lainnya, maka tidak dimakruhkan melaksanakan sholat di sana pada semua waktu-waktu ini, baik sholat sunnah thawaf atau yang lainnya.

 

Yang ke empat adalah waktu setelah melaksanakan sholat Ashar hingga terbenamnya matahari.

 

Yang ke lima adalah waktu ketika terbenamnya matahari, yakni ketika mendekati terbenam hingga sempurna terbenam. 

 

MUHIMMAT DALAM BAB WAKTU-WAKTU YANG DIMAKRUHKAN

 

Pengertian Makruh Tahrim . Istilah makruh atau karahah ( ) dalam istilah ulama figh adalah:

 

Perbuatan yang tidak berdosa bagi orang yang melakukannya, dan mendapat pahala bagi orang yang meninggalkannya. Namun apabila itu makruh tahrim maka sebenarnya sama dengan haram artinya dilarang untuk dikerjakan, dan perebedaan keduanya adalah, jika makruh tahrim adalah larangan tanpa tanpa dalil yang gat’i (eksplisit tegas), yaitu dengan dasar dalil yang bershifat dzanni (praduga), seperti dalil yang berasal dari hadits ahad atau gias, sebagaimana hadits riwayat Muslim, Nabi bersabda: Orang muslim tidak halal membeli barang yang dibeli saudaranya dan tidak melamar wanita yang dilamar saudaranya (sesama muslim) kecuali setelah meninggalkannya:

 

Hadits ini adalah hadits Ahad yang tingkat kepastiannya bersifat dzanni. Sedang haram adalah larangan dengan dalil yang pasti.

 

 

(Fasal) sholat berjama’ah bagi orang-orang laki-laki di dalam sholat-sholat fardiu selain sholat Jum’at hukumnya sunnah muakkad menurut pengarang dan imam ar Rafi’i.

 

Namun pendapat al Ashah menurut imam an Nawawi hukum berjmaah adalah fardlu kifayah (kewajiban secara kolektif).

 

Seorang makmum bisa mendapatkan pahala berjama’ah bersama imam pada selain sholat Jum’at selama sang imam belum melakukan salam yang pertama, walaupun sang makmum / belum sempat duduk bersama imam.

 

Adapun hukum berjama’ah di dalam sholat Juma’at adalah fardlu “ain, dan tidak bisa hasi . dengan kurang dari satu rakaat.

 

Bagi makmum wajib niat menjadi makmum atau niat mengikuti imam.

 

Dan tidak wajib menentukan imam yang diikuti bahkan cukup niat bermakmum dengan imam yang hadir saat itu walaupun dia tidak mengenalinya.

 

Jika ia menentukan sang imam dan ternyata keliru, maka sholatnya batal kecuali jika disertai isyarat dengan ucapannya “saya niat bermakmum pada Zaid, yang ini”, namun ternyata dia adalah “Amr, maka sholatnya — tetap sah.

 

Tidak bagi imam, maka tidak wajib bagi dia niat menjadi Imam untuk mengesahkan bermakmum padanya di dalam selain sholat Jum’at.

 

Bahkan niat menjadi imam hukumnya disunnahkan bagi imam.

 

Jika ia tidak niat menjadi imam, maka sholatnya dihukumi sholat sendirian.

 

Bagi laki-laki merdeka diperbolehkan bermakmum kepada seorang budak laki-laki. Dan bagi seorang pria yang baligh diperbolehkan bermakmum kepada anak yang mendekati masa baligh (murahig).

 

Adapun bocah yang belum tarnyiz, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Seorang laki-laki tidak sah bermakmum kepada seorang wanita dan huntsa musykil (waria yang belum jelas status kelaminnya).

 

Huntsa muskil tidak sah bermakmum kepada seorang wanita dan huntsa musykil. Seorang gari’, yakni orang yang benar bacaan Al Fatihahnya, tidak sah bermakmum pada seorag ummi, yakni orang yang cacat bacaan huruf atau tasydid dari surat Al Fatihah.

 

Kemudian pengarang memberi isyarat pada syarat-syarat bermakmum dengan perkataannya, Di tempat manapun di dalam masjid seseorang melakukan sholat mengikuti imam yang berada di dalam masjid, dan ia yakni makmum mengetahui sholatnya imam dengan langsung melihatnya atau melihat sebagian shof, maka hal tersebut sudah cukup di dalam sahnya bermakmum pada sang imam, selama posisinya tidak mendahului imam.

 

Jika tumit sang makmum mendahului tumit imam dalam satu arah, maka sholatnya tidak sah.

 

Tidak masalah jika tumitnya sejajar dengan tumit sang imam.

 

Dan disunnahkan sang makmum mundur sedikit di belakang imam. Dan dengan posisi ini, ia tidak dianggap keluar dari shof sehingga akan menyebabkan ia tidak mendapatkan keutamaan sholat berjama’ah.

 

Jika seorang imam sholat di dalam masjid sedangkan sang makmum sholat di luar masjid, ketika keadaan sang makmum dekat dengan imam dengan gambaran jarak diantara keduanya tidak melebihi tiga ratus dzira’ (144 mtr.), dan sang makmum mengetahui sholat sang imam, dan di sana tidak ada penghalang, diantara Imam dan makmum, maka diperbolehkan bermakmum kepada imam tersebut.

 

Jarak tersebut terhitung dari ujung terakhir masjid.

 

Jika imam dan makmum berada di selain masjid, adakalanya tanah lapang atau bangunan, maka syaratnya adalah jarak , diantara keduanya tidak lebih dari tiga ratus dzira’ (144 mtr.), dan diantara keduanya tidak terdapat penghalang.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SHOLAT JAMA’AH

 

  1. Hukum Niat Menjadi Imam

 

Sedangkan pendapat yang benar adalah: Niat menjadi imam tidak wajib dan tidak menjadi persyaratan keabshahan sholat berjamaah, baik seorang imam yang tidak niat menjadi imam, lalu diikuti oleh ma’ mum para laki-laki maupun perempuan.

 

  1. Hukum Berjamaah dalam Shalat Sunnah

 

(Masalah Kaf). Diperbolehkan berjama’ah dalam shalat witir: shalat tasbih dan sesamanya. Sama sekali tidak ada kemakruhan dalam hal itu, dan tidak tidak ada pahalanya. Benar, akan tetapi jika dimaksudkan untuk memberi pengajaran kepada orang-orang yang shalat dan memberi motifasi kepada mereka, maka pengajaran atau dorongan itulah yang mempunyai pahala.

 

  1. Bermakmum Pada Imam yang Berbeda Faham

 

 (Masalah) Hukumnya sah bermakmum dengan Orang yang berbeda pemahaman, jika makmum mengetahui imam melakukan apa-apa yang wajib menurut makmum, demikian pula jika makmum tidak mengetahuinya.

 

  1. Sikap Ma’mum Ketika Melihat Sholatnya Imam Batal

 

Imam Ar-Romli berkata, MufGrogoh (berpisah dari imam) terkadang hukumnya wajib. Semisal, makmum mengetahui imamnya melakukan sesuatu yang bisa membatalkan shalat, sekalipun si imamnya tidak mengetahui. -Imam Ibnu Hajar berkata, Apabila si makmum tidak langsung berpisah dengan imam (mufarogoh) setelah ia mengetahui, maka batal shalatnya.

 

  1. Niat Bermakmum Di Tengah Sholat

 

Andaikan makmum niat menjadi makmum ketika di tengah-tengah shalatnya maka hukumnya sah, namun makruh, dan tidak mendapatkan fadlilah jama’ah.

 

  1. Posisi Ma’mum Ketika Sendiri

 

(Farun) Makmum laki-laki disunnahkan berdiri disebelah kanan Imam sekalipun ia anak kecil, jika memang tidak ada makmum yang lainnya. – Dan makmum agak ke-belakang sedikit dari imam.

 

  1. Penghalang Ma’mum dan Imam

 

Andaikan ada perkara yang menghalangi sampainya makmum ke-tempat imam, namun tidak menghalangi pandangannya. semisal, jendela ruji. Atau perkara tersebut bisa menghalangi pandangan si makmum tidak mengahalangi sampainya makmum ketempat imam. Semisal, pintu yang tertutup, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat yang ashoh dalam karya Ar-Roudioh, jama’ahnya tidak sah.

 

  1. Imam Ounut tapi Ma’mum Tidak Ounut

 

Jika makmum lupa tidak membaca do’a gunut, maka ia wajib kembali berdiri lagi mengikuti imamnya. Dan jika disengaja, maka makmum disunnahkan untuk berdiri kembali.

 

(Fasal) menjelaskan gashar dan jama’ sholat.

 

Diperbolehkan bagi musafir, yakni orang yang sedang bepergian untuk mengqashar sholat & empat rakaat, bukan yang lainnya yakni sholat dua rakaat dan tiga rakaat.

 

Diperbolehkan menggashar sholat dengan lima syarat.

 

Yang pertama, perjalanan yang dilakukannya bukan maksiat. Yakni mencakup perjalanan wajib misalnya untuk membayar hutang, dan, perjalanan -: sunnah seperti untuk silaturrahmi dan perjalanan mubah seperti perjalanan untuk berdagang.

 

Adapun perjalanan maksiat misalnya perjalanan untuk merampok, maka saat melakukan perjalanan ini, seseorang tidak diperbolehkan melakukan dispensasi dalam perjalanan, baik berupa gashar sholat maupun jama’ shalat.

 

Kedua, jarak perjalanannya mencapai enam belas farsakh (188 km) secara pasti menurut pendapat al ashah. Dan jarak yang ditempuh saat pulang tidak dihitung.

 

Satu farsakh adalah tiga mil. Kalau demikian, maka jumlah seluruh farsakh di atas adalah empat puluh delapan mil. Satu mil adalah empat ribu langkah kaki. Dan satu langkah kaki sama dengan tiga telapak kaki. Yang dikehendaki dengan mil adalah ukuran mil keturuan bani Hasyim.

 

Ketiga, orang yang melakukan gashar adalah orang yang melakukan sholat empat rakaat secara ada’ (dilakukan di dalam waktunya).

 

 

Adapun sholat yang tertinggal saat di rumah, . maka tidak diperbolehkan diqadla’ secara” gashar saat melakukan perjalanan.

 

Sedangkan sholat yang tertinggal diperjalanan, maka boleh digadia’ dengan digashar saat melakukan perjalanan, tidak diqadla” di rumah.

 

Ke empat, seorang yang bepergian berniat melakukan gashar bersamaan dengan takbiratul ihram sholat tersebut.

 

Ke lima, orang yang gashar sholat tidak bermakmum di dalam sebagian sholatnya pada orang mugim, yakni orang yang melakukan sholat secara sempurna.

 

Pentafsiran seperti ini (orang yang sholat secara sempurnya) agar mencakup pada seorang musafir yang melakukan sholat dengan sempurna.

 

Bagi seorang yang bepergian yang melakukan perjalanan jauh yang mubah, diperbolehkan menjama’ antara sholat Dhuhur dan Ashar, dengan jama’ tagdim dan jama’ ta’khir. Dan ini adalah makna perkataan pengarang, “di waktu manapun yang ia kehendaki”.

 

Dan diperbolehkan menjama’ antara sholat Maghrib dan Isya’ dengan jama’ tagdim dan jama’ ta’khir. Dan ini adalah makna ungkapan pengarang, “di waktu manapun yang ia kehendaki”.

 

Syarat-syarat jama’ tagdim ada tiga. Yang pertama, di mulai dengan melakukan sholat Dhuhur sebelum sholat Ashar, dan dengan sholat Maghrib sebelum sholat Isya”.

 

Seandainya dia membalik, misalnya memulai dengan sholat Ashar sebelum melakukan sholat Dhuhur, maka tidak sah dan dia harus “ mengulangi sholat Ashar setelah melakukan – sholat Dhuhur jika ingin melakukan sholat jama’.

 

Kedua, melakukan niat jama’ di permulaan sholat yang pertama, yakni niat jama’ harus bersamaan dengan takbiratul ihramnya.

 

Sehingga tidak cukup jika mendahulukan niat jama’ sebelum takbiratul ihram dan mengakhirkan hingga setelah melakukan salam dari sholat yang pertama. Nmun diperbolehkan melakukan niat jama’ di pertengahan sholat pertama menurut pendapat al adhhar.

 

Ke tiga, muwalah (terus menerus) antara pelaksanaan sholat pertama dan sholat yang kedua, dengan gambaran tidak ada pemisah yang relatif lama diantara keduannya.

 

Jika ada pemisah yang relatif lama, walaupun sebab udzur seperti tidur, maka wajib menunda pelaksanaan sholat kedua hingga masuk waktunya.

 

Pemisah yang relatif sebentar menurut ‘urf tidak berpengaruh di dalam muwalah antara dua sholat tersebut.

 

Adapun jama’ ta’khir, maka di dalam pelaksanaannya wajib untuk niat jama’ dan niat tersebut harus dilakukan di dalam waktunya sholat yang pertama.

 

Dan boleh mengakhirkan niat hingga waktu sholat yang pertama masih tersisa masa yang seandainya sholat tersebut dilakukan saat itu niscaya akan menjadi sholat ada”.

 

Dan di dalam jama’ ta’khir tidak wajib melaksanakan secara tertib, dan muwalah dan tidak harus niat jama’, menurut pendapat ash shahih di dalam tiga hal ini.

 

Di waktu hujan, bagi orang yang mugim diperbolehkan melakukan sholat jama”’ antara keduanya, yakni antara sholat Dhuhur dan Ashar, dan antara sholat Maghirb dan Isya”, tidak di waktu sholat yang kedua, bahkan di waktu sholat yang pertama dari keduanya, jika air hujan bisa membasahi pakaian bagian « paling atas dan sandal bagian yang paling bawah, dan juga memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di dalam sholat jama’ tagdim. Juga disyaratkan harus turun hujan saat permulaan melakukan dua sholat tersebut.

 

Dan tidak cukup hanya turun hujan di pertengahan sholat pertama dari keduanya. Juga disyaratkan harus turun hujan saat mengucapkan salam dari sholat yang pertama, baik setelah itu hujan terus menerus ataupun tidak.

 

Kemurahan melakukan jama’ sebab hujan hanya tertentu bagi orang yane sholat « berjama’ah di masjid atau tempat-tempat . sholat berjama’ah lainnya yang jaraknya jauh “ menurut ukuran “urf, dan ia merasa berat/kesulitan untuk berangkat ke masjid atau tempat-tempat sholat berjamaah lainnya – sebab kehujanan di perjalanannya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB OASHAR & JAMA’

 

1 Batasan Sakit dalam Jama’

 

(Sakit yang memperbolehkan jama’ shalat) harus terjadi suatu kesulitan yang nyata, yang melebihi kesulitan akibat turunnya hujan, sekira kesulitan tersebut memperbolehkan seseorang mengerjakan shalat fardlu dengan cara duduk. Ini adalah versi pendapat yang unggul.

 

  1. Hukum Oashar Bagi Sopir

 

Mengecualikan perkataan saya adalah: “Tida ada perbedaan “tentang bolehnya menggashar shalat baginya” yaitu orang yang masih diperselisihkan tentang kebolehannya dalam meng-gashar shalat, seperti seorang pelayar bersama keluarganya dalam kapal laut, dan orang yang selalu bepergian yang dimutlakkan, seperti As-Sa (orang yang selalu bepergian), maka menyempurnakan shalat baginya itu lebih utama.

 

  1. Memilih Jalan yang Lebih Jauh

 

 Andaikan pada tempat tujuan itu ada dua jalur, pertama larus jauh (dua marhalah/80,640 Km), kedua Jalur dekat, kemudian musafir memilih jalur yang lebih jauh karena adanya alasan, semisal memilih jalan yang lebih mudah atau demi ke-amanan maka diperbolehkan meng-qashar shalat. Dan apabila tidak ada tujuan sebagaimana di atas, atau tidak ada tujuan sama sekali, sebagaimana keterangan dalam karya Al-Majmu’, maka tidak diperbolehkan meng-gashar shalatnya menurut qoul adzhar.

 

  1. Safar Rekreasi

 

Abu Muhammad Al-Juwaini berkata: Tidak boleh menggashar bagi orang yang bepergian karena hanya untuk melihat bagunan-bangunan Negara, karena hal itu tidak termasuk ghorod shohih (tujuan yang positif).

 

  1. Bepergian Karena Niat Haram, dan Mubah

 

Andaikan musafir memiliki dua motif yang mendorong terhadap musafir untuk bepergian, yang satu perkara mubah, dan satunya perkara yang diharamkan, dan andaikan sesuatu yang mendorong terhadap musafir itu bukan perkara yang diharamkan, tentu perkara yang mendorong untuk bepergian itu hanya perkara yang mubah, dan musafir pasti akan bepergian karena hal tersebut, maka musafir boleh meng-gashar shalatnya.

 

 

(Fasal) syarat-syarat wajib melaksanakan sholat Jum’at ada tujuh perkara.

 

Yakni 1) Islam, 2) baligh dan 3) berakal. Ini juga menjadi syarat-syarat kewajiban melakukan sholat-sholat selain sholat Jum’at.

 

Ke 4) merdeka, 5) laki-laki, 6) sehat dan ke 7) bertempat tinggal tetap.

 

Maka sholat Jum’at tidak wajib bagi orang kafir asli, anak kecil, orang gila, budak, wanita, – orang sakit dan sesamanya, dan orang yang bepergian.

 

Adapun syarat-syarat sah pelaksanaan sholat Jum’at ada tiga.

 

Pertama, tempat tinggal yang dihuni oleh sejumlah orang yang melakukan sholat Jum’at, baik berupa kota ataupun pedesaan yang dijadikan tempat tinggal tetap.

 

Hal itu diungkapkan oleh pengarang dengan perkataannya, “daerah tersebut adalah kota ataupun desa.”

Kedua, jumlah jamaah sholat Jum’at mencapai empat puluh orang laki-laki dari golongan ahli Jum’at.

 

Mereka adalah orang-orang mukallaf laki-laki yang merdeka dan bertempat tinggal tetap, sekira tidak berpindah dari tempat tinggalnya baik di musim dingin atau kemarau kecuali karena hajat.

 

Ke tiga, waktu pelaksanaannya masih tersisa, yakni waktu sholat Dhuhur.

 

Maka seluruh bagian sholat Jum’at harus terlaksana di dalam waktu.

 

Sehingga, seandainya waktu sholat Dhuhur mepet, yakni waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan bagian-bagian yang wajib di dalam sholat Jum’at yakni dua khutbah dan dua rakaatnya, maka yang harus dilaksanakan adalah sholat Dhuhur sebagai ganti dari sholat Jum’at tersebut.

 

Jika waktu sholat Dhuhur telah habis, atau syarat-syarat sholat Jum’at tidak terpenuhi, yakni seluruh waktu Dhuhur telah habis, baik secara yagin atau dugaan saja. Sedangkan para jama’ah dalam keadaan melaksanakan, sholat Jum’at, maka yang dilakukan adalah sholat Dhuhur dengan meneruskan apa yang telah dilaksanakan dari sholat Jum’at, dan sholat Jum’at tersebut dianggap keluar baik telah melakukan satu rakaat darinya ataupun tidak.

 

Seandainya para jama’ah ragu terhadap habisnya waktu dan mereka berada di dalam sholat, maka mereka menyempurnakan sholat tersebut sebagai sholat Jum’at menurut pendapat al Ashah.

 

Fardlu-fardlunya sholat Jum’at ada tiga.

 

Sebagian ulama’ mengungkap-kan dengan bahasa “syarat-syarat”.

 

Pertama dan kedua adalah dua khutbah yang dilakukan seorang khatib dengan berdiri dan duduk diantara keduanya. Imam al Mutawalli berkata, “yakni dengan ukuran thuma’ninah diantara dua sujud.”

 

Seandainya khatib tidak mampu berdiri dan ia melakukan sholat dengan duduk atau tidur miring, maka hukumnya sah dan diperbolehkan mengikutinya walaupun tidak tahu dengan keadaan sang khatib yang sebenarnya. Dan ketika seorang khatib melaksanakan khutbah dengan cara duduk, maka ia memisah antara kedua khutbah dengan diam sejenak tidak dengan tidur miring. Adapun rukun-rukun khutbah ada lima, 1) memuji kepada Allah ta’ala, 2) membaca sholawat untuk baginda Nabi Saw, dan lafadz keduanya telah tertentu.

 

Ke 3) wasiat tagwa dan lafadznya tidak tertentu menurut gaul al ashah, ke 4) membaca ayat Al Qur’an di salah satu khutbah dua, dan ke 5) berdo’a untuk orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan di dalam khutbah yang kedua.

 

Seorang khatib disyaratkan harus bisa memberikan pendengaran rukun-rukun khutbah kepada empat puluh jama’ah yang bisa meng-esahkan sholat Jum’at.

 

Disyaratkan harus muwalah diantara kalimatkalimat khutbah dan diantara dua khutbah.

 

Seandainya khatib memisah antara kalimatkalimat khutbah walaupun sebab udzur, maka khutbah yang dilakukan menjadi batal.

 

Dan di dalam pelaksanaan kedua khutbah disyaratkan harus menutup aurat, suci dari hadats dan najis pada pakaian, badan dan tempat.

 

Yang ke tiga dari fardlu-fardlunya shotat Jum’at adalah sholat Jum’at dilaksanakan dua rakaat oleh sekelompok orang yang bisa meng-esahkan sholat Jum’at. Lafadz “thushalla” dengan dibaca dhammah huruf awalnya.

 

Sholat ini disyaratkan terlaksana setelah dua khutbah, berbeda dengan sholat hari raya, karena sesungguhnya sholat hari raya dilaksanakan sebelum dua khutbah. Sunnah-sunnah haiat sholat Jum’at ada empat perkara. Makna haiat telah dijelaskan di depan.

 

Salah satunya adalah mandi bagi orang yang hendak menghadiri sholat Jum’at, baik laki-laki atau perempuan, merdeka ataupun budak, orang mugim atau musafir.

 

Adapun waktu pelaksanaan mandi adalah mulai dari terbitnya fajar kedua (fajar shadig). Dan melakukan mandi saat mendekati berangkat itu lebih utama.

 

Jika tidak mampu untuk mandi, maka sunnah melakukan tayammum dengan niat mandi untuk sholat Jum’at.

 

Yang kedua adalah membersihkan badan dengan menghilangkan bau tak sedap dari badan seperti bau badan, maka sunnah menggunakan barang-barang yang bisa menghilangkannya yakni tawas dan sesamanya.

 

Yang ke tiga adalah memakai pakaian berwarna putih, karena sesungguhnya pakaian berwarna putih adalah pakaian yang paling utama.

 

Yang ke empat adalah memotong kuku jika panjang, dan memotong rambut begitu juga ketika panjang. Maka sunnah mencabut bulu ketiak, memotong kumis dan mencukur bulu ‘ kemaluan.

 

Dan memakai wangi-wangian dengan wangi-wangian terbaik yang ia temukan.

 

Dan disunnahkan al inshat, yakni diam seraya mendengarkan, diwaktu khutbah.

 

Ada beberapa perkara yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang luas penjelasannya yang dikecualikan dari kesunnahan inshat.

 

Diantaranya adalah memperingatkan orang” buta yang akan jatuh ke sumur, dan memperingatkan orang yang hendak digigit kalajengking.

 

Barang siapa masuk masjid saat imam sedang berkhutbah, maka sunnah baginya untuk melaksanakan sholat sunnah (tahiyyatal masjid) dua rakaat secara cepat kemudian duduk.

 

Ungkapan pengarang, “orang yang masuk” memberi pemahaman bahwa sesungguhnya orang yang sudah hadir sejak tadi, maka tidak sunnah melaksanakan sholat dua rakaat, baik telah melakukan sholat sunnah Jum’at ataupun tidak melakukan shalat sunnah jumat.

 

Dari pemahaman ini tidak nampak jelas bahwa sesungguhnya melakukan sholat tersebut. hukumnya haram ataukah makruh.

 

Akan tetapi di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab, imam an Nawawi secara tegas memberi hukum haram, dan beliau mengutip ljma’ atas hal tersebut dari imam al Mawardi.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SHOLAT JUM’AT

 

  1. Khutbah Dengan Bahasa Indonesia

 

Tidak disyaratkan keberadaan khutbah jum’at dengan berbahasa Arab, kecuali hanya rukun-rukunnya saja. Sedangkan yang selain rukun khutbah boleh menggunakan bahasa selain Arab, lebih-lebih jika menggunakan bahasa daerah tempat pelaksanaan shalat jum’at, maka hal itu akan menghasilkan faidah.

 

  1. Khatib Bukan Imam Shalat

 

Fatwa Syeikh Muhammad Saleh bin Ibrohim: Keberadaan khatib jum’at tidak menjadi imam shalat adalah makruh.

 

  1. Membaca Shalawat dengan Pelan bagi Pendengar Khutbah

 

Disunnahkan bagi orang yang mendengarkan khutbah untuk mengeraskan suara bacaan sholawat atas Nabi Saw, begitu pula membaca tarod!i untuk Shahabat Nabi ketika dituturkan, sekira bisa didengar oleh dirinya sendin. dan hukumnya makruh mengeraskan suaranya, karena itu akan bisa memutus dari mendengarkan khutbah.

 

  1. Perempuan Boleh Ikut Jumatan

 

Bagi mereka yang tidak berkewajiban shalat Jum’at seperti hamba sahaya, musafir dan wanita, diperbolehkan menjalankan shalat Jum’at sebagai ganti dari shalat diuhurnya, dan shalat Jum’atnya sudah bisa mencukupinya, bahkan lebih utama.

 

  1. Menjalankan Kotak Amal Saat Khutbah

 

Hukumnya makruh berjalan diantara barisan-barisan jama’ah karena untuk meminta (mengedarkan) kotak amal atau mendekatkan air minum, serta membagikan kertas undangan dan memberikan sedekah kepada jama’ah, Karena yang demikian itu dapat mengganggu jama’ah dari berdzikir dan mendengarkan khutbah.

 

  1. Khotib Tidak Disunahkan Nudang-Nuding Saat Khutbah

 

Saya (Imam Asy-Syafi’i) sangat suka terhadap seseorang yang berkhutbah bertumpu terhadap sesuatu. Dan apabila ia meninggalkan (tidak bertumpu pada sesuatu), maka saya senang apabila seorang khotib menenangkan kedua tangannya dan semua badannya, dan hendaknya ia tidak bermain-main dengan tangannya.

 

BAB SHOLAT HARI RAYA

 

(Fasal) sholat dua hari raya, yakni hari raya Idul Fitri dan idul Adiha hukumnya adalah sunnah muakkad.

 

Sholat hari raya disunnahkan untuk berjama’ah bagi orang sendirian, musafir, orang merdeka, budak, huntsa dan wanita yang tidak cantik dan tidak dzatul haiat'”,

 

Sedangkan untuk wanita lanjut usia, maka sunnah menghadiri sholat hari raya dengan -. mengenakan pakaian keseharian tanpa memakai wewangian.

 

Adapun waktu pelaksanaan sholat led adalah diantara terbitnya matahari dan tergelincirnya. Sholat led adalah sholat dua rakaat, yakni melakukan takbiratul ihram dengan niat sholat idul Fitri atau idul Adha dan membaca do’a iftitah.

 

Di dalam rakaat pertama membaca takbir tujuh kali selain takbiratul ihram, kemudian membaca ta’awudz, membaca surat Al Fatihah, dan membaca surat setelah Al Fatihah dengan mengeraskan suara.

 

Dan di dalam rakaat kedua membaca takbir lima kali selain takbir untuk berdiri, kemudian membaca ta’awudz, lalu membaca surat Al Fatihah dan surat Igtarabat dengan mengeraskan suara.

 

Setelah melaksanakan sholat dua rakaat, sunnah melakukan dua khutbah dengan membaca takbir sembilan kali secara terus menerus di permulaan khutbah pertama, dan membaca takbir tujuh kali secara terus menerus di permulaan khutbah kedua.

 

Seandainya kedua khutbah dipisah dengan bacaan tahmid, tahlil dan puji-pujian, maka hal itu adalah baik.

 

Takbir terbagi menjadi dua, takbir mursal, yakni takbir yang tidak dilaksanakan setelah  sholat.

 

Dan takbir mugayyad, yakni takbir yang , dilakukan setelah pelaksanaan sholat.

 

Pengarang memulai dengan menjelaskan takbir yang pertama. Beliau berkata, “bagi ‘ setiap orang laki-laki, wanita, orang yang berada di rumah, dan musafir, sunnah membaca takbir di rumah-rumah, jalan-jalan, masjid-masjid dan pasar-pasar, mulai dari terbenamnya matahari malam hari raya, yakni hari raya Idul Fitri.

 

Kesunnahan takbir Ini tetap berlangsung hingga imam mulai melaksanakan sholat ied,.

 

Dan tidak disunnahkan membaca takbir setelah pelaksanaan sholat di malam hari raya Idul Fitri.

 

Akan tetapi di dalam kitab al Adzkar, imam an Nawawi lebih memilih pendapat bahwa takbir tersebut hukumnya sunnah. Kemudian pengarang memulai menjelaskan takbir mugayyad.

 

Beliau berkata, “sunnah membaca takbir saat hari raya Idul Adha setelah melaksanakan sholat-sholat fardlu”, ada” (dilakukan di dalam waktunya) dan gadia’.

 

Demikian juga setelah sholat rawatib, sholat sunnah mutlak dan sholat jenazah, mulai “ waktu Subuh hari Arafah hingga Ashar di akhir

 

hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah), Bentuk bacaan takbir adalah,

 

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah – Maha Besar. Tidak ada tuhan selain Allah. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, dan ‘ segala puji hanya milik Allah. Allah Maha Besar dengan sesungguhnya. Dan segala puji yang banyak hanya untuk Allah. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore. Tidak ada tuhan selain Allah, hanya Allah. Yang Telah membenarkan janji-Nya, Menolong hambaNya, memenangkan pasukan-Nya dan mengalahkan musuh-musuhnya hanya dengan sendirian “

 

(Fasal) sholat gerhana matahari dan sholat gerhana bulan, masing-masing dari keduanya hukumnya adalah sunnah muakkad.

 

Jika sholat ini telah ditinggalkan, maka tidak diqadla’, yakni tidak disyareatkan untuk mengqadla’nya.

 

Sunnah melakukan sholat dua rakaat karena gerhana matahari dan gerhana bulan. Yakni melakukan takbiratul ihram dengan niat sholat gerhana matahari.

 

Kemudian setelah membaca doa iftitah dan ta’awudz, membaca surat Al Fatihah, ruku’, kemudian mengangkat kepala dari ruku’, lalu i’tidal, membaca surat Al Fatihah yang kedua, kemudian ruku’ kedua yang lebih cepat daripada ruku’ sebelumnya, lalu i’tidal kedua kemudian sujud dua kali dengan melakukan thuma’ninah di masingmasing dari keduanya. Kemudian melakukan rakaat yang kedua dengan dua kali berdiri, dua kali bacaan Al Fatihah, dua ruku’, dua i’tidal dan dua kali sujud.

 

Dan ini adalah makna dari perkataan pengarang, “di masing-masing rakaat dari kedua rakaat tersebut terdapat dua kali berdiri dengan memanjangkan bacaan di keduanya seperti keterangan yang akan datang.

 

Dan di masing-masing rakaat terdapat dua kali ruku’ dengan memanjangkan bacaan tasbihnya tidak saat melakukan sujud, maka ia tidak memanjangkan bacaan tasbih sujudnya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat.

 

Akan tetapi menurut pendapat yang shahih, bahwa sesungguhnya ia dianjurkan memanjangkan bacaan tasbih sujudnya seukuran panjangnya bacaan tasbih ruku’ sebelumnya.

 

Setelah sholat gerhana matahari dan bulan, seorang Imam dianjurkan membaca khutbah dua kali seperti dua khutbah sholat Jum’at di dalam rukun-rukun dan syarat-syaratnya.

 

Di dalam kedua khutbahnya, Ia mendorong manusia agar bertaubat dari segala dosa-dosa dan melakukan kebaikan berupa sedekah, memerdekakan budak dan sesamanya. 

 

Seorang imam sunnah memelankan bacaannya saat sholat gerhana matahari dan mengeraskan bacaan saat sholat gerhana bulan.

 

Waktu pelaksanaan sholat gerhana matahari telah habis sebab gerhana telah selesai (matahari kembali seperti semula) dan sebab matahari terbenam dalam keadaan gerhana. —Dan waktu pelaksanaan sholat gerhana bulan telah habis sebab bulan telah kembali normal dan sebab terbitnya matahari, tidak sebab terbitnya fajar dan tidak sebab bulan terbenam dalam keadaan gerhana, maka waktu pelaksanaannya belum habis.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum sholat istisga’, yakni meminta hujan dari Allah Swt.

 

Sholat istisga’ disunnahkan bagi orang mukim dan musafir ketika ada hajat sebab tidak turun  hujan atau sumber air mengering dan sesamanya.

 

Sholat istisga’ sunnah diulangi dua kali atau lebih jika belum diberi hujan hingga Allah Swt memberi hujan pada mereka.

 

Maka seorang imam dan orang sesamanya hendaknya memerintahkan kepada masyarakat untuk bertaubat.

 

Dan bagi mereka wajib melakukan perintah imam sebagaimana ‘ yang telah difatwakan oleh imam an Nawawi. Taubat dari dosa hukumnya wajib, baik diperintah oleh imam ataupun tidak.

 

Dan diperintahkan agar melakukan sedekah, keluar dari bentuk-bentuk kedhaliman terhadap hamba manusia, berdamai dengan musuh dan melakukan puasa tiga hari sebelum keluar untuk melakukan sholat istisga’, sehingga dengan hari keluar ini puasa yang dilakukan menjadi empat hari.

 

Kemudian imam keluar bersama masyarakat pada hari yang ke empat dalam keadaan berpuasa tanpa memakai wangi-wangian dan tidak berhias, bahkan berangkat dengan memakai pakaian sehari-hari. Lafadz “bidzlah” dengan menggunakan huruf ba’ yang diberi titik satu di bawah serta dikasrah dan dzal yang diberi titik satu di atas dan terbaca sukun. “Tsiyab bidzlatin” adalah pakaian keseharian yang biasa dikenakan saat bekerja.

 

Dan berangkat dengan tenang, yakni khusyu’ dan merendahkan diri dan merasa hina di sisi Allah.

 

Dan mereka berangkat juga disertai oleh anakanak kecil, orang-orang lansia, dan binatangbinatang ternak.

 

Imam atau asistennya melakukan sholat dua rakaat bersama mereka seperti pelaksanaan sholat dua hari raya di dalam tata caranya, mulai dari bacaan iftitah, ta’awudz, bacaan takbir tujuh kali di rakaat pertama, dan bacaan takbir lima kali di rakaat kedua seraya mengangkat kedua tangannya.

 

Kemudian seorang imam disunnahkan melakukan dua khutbah seperti dua khutbah sholat dua hari raya di dalam rukun-rukunnya dan yang lainnya.

 

Akan tetapi ia membaca istighfar kepada Allah Swt di dalam kedua khutbah sebagai pengganti dari bacaan takbir di awal keduanya di dalam khutbah dua hari raya. Maka seorang imam memulai khutbah pertama dengan bacaan istghfar sembilan kali dan memulai khutbah kedua dengan istighfar tujuh kali.

 

Bentuk istighfarnya adalah, ,

 

“Aku meminta ampun kepada Allah yang Mahaagung, tidak ada tuhan selain Ia, yang Mahahidup dan Mengatur, dan aku bertaubah pada-Nya.”

 

Dua khutbah dilaksanakan setelah pelaksanaan sholat dua rakaat.

 

Seorang imam hendaknya membalik selendangnya. Maka ia memindah bagian – kanan ke bagian kiri dan bagian atas ke bagian bawah.

 

Dan seluruh jama’ah juga membalik ‘ selendangnya seperti cara membalik yang dilakukan oleh khatib.

 

 Seorang khatib hendaknya memperbanyak doa baik dengan suara pelan ataupun keras. Ketika khatib memelankan suara, maka para jama’ah juga berdoa dengan memelankan suara.

 

Dan ketika khatib mengeraskan suara, , maka para jama’ah mengamini doa sang khatib. Seorang khatib hendaknya juga memperbanyak bacaan istighfar. Dan hendaknya ia membaca firman Allah Swt,

 

Di dalam sebagian redaksi kitab matan terdapat tambahan keterangan, yakni -di bawah iniSeorang khatib juga dianjurkan berdoa dengan doa yang dibaca Rosulullah Swt, “ya Alloh jadikanlah hujan -yang akan Engkau turunkansebagai hujan rahrnat, dan ” janganlah Engkau jadikan hujan adzab, hujan yang menghilangkan berkah, hujan bala”, merobohkan dan menenggelamkan.

 

Ya Allah, berikanlah hujan di atas gunung-gunung besar, gunung-gunung kecil, tempat-tempat tumbuhnya tumbuh-tumbuhan, dan ke dalam jurang-jurang. Ya Allah, semoga Engkau memberikan hujan di sekitar kita yang tidak berbahaya pada kita. Ya Allah, berikanlah pada karni hujan yang menyelamatkan, enak, berdarnpak baik, lebat, merata, yang banyak, yang merata ke seluruh bumi, yang merata — selama-larnanya hingga hari kiamat. Ya Altah, berikanlah hujan pada kami, dan janganlah Engkou menjadikan kami termasuk dari orangorang yang putus asa. Ya Allah, sesungguhnya hamba-hamba-Mu dan daerah-daerah sedang mengalami kesulitan, kelaparan dan keterpurukan yang tidak kita adukan kecuali pada Engkau. Ya Allah, tumbuhkanlah pertanian untuk kami, timpahkanlah oir susu pada kami, turunkanlah berkah-berkah langit pada kami, munculkanlah berkah-berkah burni pada kami, dan hilangkanlah bala” dari kami yang tidak bisa dihilangkan oleh selaian Engkau. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta ampun poada-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Mahapengampun. Maka turunkanlah hujan yang lebat pada karni.” Dan ketika air hujan di jurang-jurang sudah mengalir, maka sunnah mandi di sana dan sunnah membaca tasbih ketika ada petir dan kilat.

 

Karena terlalu panjang, maka tambahan ini tidak pas dengan keadaan kitab matan yang ,. ringkas. Wollahu a’lom.

 

 

 (Fasal) menjelaskan tata cara sholat khauf (keadaan takut).

 

Pengarang menyendirikan penjelasan sholat Ini tidak beserta dengan sholat-sholat yang lain, karena sesungguhnya ada hal-hal yang ditolelir di dalam pelaksanaan sholat fardiu saat khauf yang tidak ditolelir saat tidak khauf.

 

Sholat khauf ada beberapa macam yang cukup banyak hingga mencapai enam macam sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim.

 

Dari semuanya, pengarang hanya menjelaskan tiga macam saja.

 

Salah satunya adalah posisi musuh berada di selain arah kiblat, dan jumlah mereka terhitung sedikit sedangkan jumlah orang muslim relatif banyak, sekira setiap kelompok dari pihak muslim bisa sebanding dengan musuh.

 

Maka seorang imam membagi pasukan muslim menjadi dua kelompok, satu kelompok berada di arah musuh untuk memantau mereka, dan satu kelompok berdiri di belakang imam. Maka imam melaksanakan sholat satu rakaat bersama kelompok yang berada di – belakangnya.

 

Kemudian setelah selesai rakaat” pertama, kelompok tersebut menyempurnakan sisa sholatnya sendiri, dan setelah selesai langsung berangkat kepasisi arah musuh untuk memantaunya.

 

Kemudian kelompok yang satunya datang, yakni kelompok yang memantau musuh saat pelaksanaan rakaat pertama.

 

Kemudian imam melaksanakan satu rakaat bersama dengan kelompok tersebut.

Ketika imam sedang melaksanakan duduk tasyahud maka kelompok tersebut memisahkan diri dan” menyempurnakan sholatnya sendiri, kemudian imam menunggu mereka dan” melakukan salam bersama mereka. Ini adalah bentuk sholat yang dilaksanakan Rosulullah Saw di daerah Dzatirriga’.

 

Disebut dengan nama ini, karena sesungguhnya para sahabat menambal bendera mereka di sana.

 

Namun ada yang mengatakan alasan yang lain.

 

Bentuk sholat khauf kedua adalah posisi musuh berada di arah kiblat, di tempat yang bisa terlihat oleh pandangan orang muslim.

 

Jumlah pasukan muslim cukup banyak yang mungkin untuk dibagi. Maka Imam membagi mereka menjadi dua shof misalnya. Imam melakukan takbiratul , ihram bersama mereka semuanya.

 

Ketika imam sujud di rakaat pertama, maka salah satuh shof melakukan sujud dua kali . bersamanya, sedangkan shof yang lain tetap berdiri mengawasi musuh.

 

Ketika Imam mengangkat kepala, maka shof yang lain ini melakukan sujud dan menyusul imam. Imam melakukan tasyahud dan salam bersama kedua shof tersebut. Dan ini adalah sholat yang dilakukan oleh Rosulullah Saw di daerah ‘Asfan, yakni suatu desa yang berada di jalur jama’ah haji yang datang dari dari Mesir, dan berjarak dua marhalah dari Makkah.

 

Daerah tersebut diberi nama demikian karena di sana terlalu sering terjadi banjir yang besar. Bentuk sholat khauf ke tiga adalah saat berada dalam keadaan sangat genting dan berkecamuknya peperangan.

 

“iltihamul harbi” adalah bentuk kiasan dari sangat bercampurnya antara pasukan sekira badan sebagian dari mereka bertemu dengan badan sebagian yang lain, sehingga mereka tidak bisa menghindar dari peperangan dan tidak mampu untuk turun dari kendaraan jika naik kendaraan dan tidak mampu berpaling” jika mereka berjalan kaki.

 

Sehingga masing-masing pasukan melakukan sholat semampunya, berjalan atau naik kendaraan, menghadap kiblat ataupun tidak menghadap kiblat.

 

Mereka dimaafkan di dalam melakukan gerakan-gerakan yang cukup banyak saat sholat seperti beberapa pukulan secara terus menerus.

 

(Fasal) menjelaskan pakaian.

 

Bagi kaum laki-laki haram memakai pakaian sutra dan memakai cincin emas saat keadaan -normal.

 

 Begitu juga haram menggunakan barangbarang yang telah disebutkan sebagai alas dan bentuk-bentuk pemakaian yang lain. 

 

Bagi orang-orang laki-laki halal menggunakan barang-barang yang telah dijelaskan sebab . darurat misalnya panas dan dingin yang membahayakan.

 

Bagi kaum wanita halal memakai sutra dan menggunakannya sebagai alas. Bagi seorang wali halal memakai sutra pada anak laki-laki kecil sebelum dan setelah usia tujuh tahun.

 

Emas sedikit dan banyak, yakni menggunakannya, sama di dalam hukum haramnya.

 

Ketika sebagian bahan pakaian terbuat dari kain sutra dan sebagian lagi dari kapas atau katun misalnya, maka bagi orang laki-laki diperbolehkan me memakainya selama kadar sutranya tidak melebihi bahan yang lainnya.

 

Sehingga, jika bahan selain sutra lebih banyak, maka hukumnya halal. Begitu juga halal jika ukurannya sama -antara sutra dan yang lainnya menurut pendapat al ashah.

 

(Fasal) menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan orang yang meninggal dunia, yakni memandikan, mengkafani, mensholati dan | menguburkannya.

 

Di dalam mayat orang Islam yang tidak melaksanakan ihram dan bukan yang mati syahid, Wajib dengan fardhu kifayah (kewajiban secara kolektif) untuk melakukan empat perkara, yakni memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkannya.

 

Dan jika mayat tidak diketahui kecuali oleh satu orang, maka semua hal yang telah . disebutkan di atas menjadi fardlu ‘ain – (kewajiban secara individu) kepadanya.

 

Adapun mayat orang kafir, maka hukumnya haram untuk mensholatinya, baik kafir harbi atau dzimmi.

 

Namun kedua macam orang kafir ini boleh dimandikan Wajib mengkafani dan mengubur mayat kafir dzimmi, tidak kafir harbi dan orang murtad.

 

Adapun mayat orang yang sedang melaksanakan ihram, ketika di kafani, maka kepalanya tidak boleh ditutup, begitu juga ‘ wajah mayat wanita yang melaksanakan ihram.

 

Adapun mayat orang yang mati syahid, maka tidak disholati sebagaimana yang dijelaskan oleh pengarang dengan perkataannya, Ada dua mayat yang tidak boleh (haram) dimandikan dan tidak boleh disholati.

 

Salah satunya orang mati syahid di dalam pertempuran melawan kaum musyrik. la adalah orang yang gugur di dalam pertempuran melawan orang-orang kafir sebab pertempuran tersebut.

 

Baik ia dibunuh oleh orang kafir dengan mutlak, atau oleh orang Islam karena keliru, yang senjatanya mengenai pada dirinya sendiri, atau jatuh dari kendaraannya, atau“ sesamanya.

 

Jika ada seseorang meninggal dunia setelah pertempuran selesai sebab luka-luka saat bertempur yang di pastikan akan menyebabkan ia meninggal dunia, maka ia bukan orang mati syahid menurut pendapat al adhhar.

 

Demikian juga -bukan orang mati syahidseandainya seseorang meninggal dunia saat bertempur melawan bughah (pemberontak), atau meninggal di pertempuran melawan orang kafir namun bukan disebabkan pertempuran tersebut.

 

Yang kedua adalah sigth (bayi keguguran) yang tidak mengeluarkan suara keras saat : dilahirkan.

 

Jika bayi tersebut sempat mengeluarkan suara atau menangis, maka hukumnya seperti mayat – dewasa. 

 

Sigth dengan huruf sin yang bisa dibaca tiga wajah, adalah bayi yang teriahir sebelum sempurna bentuknya. Lafadz “sigth” di ambil dari lafadz “as suguth” yang berarti gugur.

 

Seorang mayat dimandikan sebanyak hitungan ganjil, tiga, lima atau lebih dari itu.

 

Di awal basuhannya diberi daun bidara, yakni disunnahkan bagi orang yang memandikan” untuk menggunakan daun bidara atau daun pohon asam dibasuhan pertama dari basuhanbasuhan pada mayat.

 

Dan di akhir basuhan mayat selain mayat yang sedang melaksanakan ihram, sunnah diberi sedikit kapur barus sekira tidak sampai , merubah sifat-sifat air.

 

Ketahuilah sesungguhnya minimal memandikan mayat adalah meratakan seluruh  badannya dengan air sebanyak satu kali.

 

Adapun memandikan yang paling sempurna, maka dijelaskan di kitab-kitab yang diperluas penjelasannya.

 

Mayat laki atau perempuan, baligh ataupun belum, dikafani di dalam tiga lembar kain « putih.

 

Dan semuanya adalah lembaran-lembaran kain yang sama panjang dan lebarnya, masing–masing bisa menutup semua bagian badan.

 

Dan pada kafan-kafan tersebut tidak disertakan baju kurung dan surban.

 

Jika mayat laki-laki akan dikafani di dalam lima lembar, maka dengan menggunakan tiga lembar kain tersebut, baju kurung dan surban.

 

Atau mayat perempuan dikafani dengan lima lembar, maka dengan menggunakan jarik, kerudung, baju kurung dan dua lembar kain. .

 

Minimal kain kafan adalah satu lembar kain yang bisa menutup aurat mayat menurut pendapat al ashah di dalam kitab ar Raudiah dan Syarh al Muhadzdzab. Dan ukurannya berbeda-beda sesuai dengan jenis kelamin .. laki-aki dan perempuan si mayat.

 

Dan kafan diambilkan dari jenis kain yang biasa digunakan seseorang saat ia masih hidup.

 

Dan seseorang membaca takbir empat kali beserta takbiratul ihram saat mensholati mayat.

 

Dan seandainya ia melakukan takbir lima kali, maka sholatnya tidak batal.

 

Akan tetapi, seandainya imamnya membaca takbir lima kali, maka ia tidak usah, – mengikutinya, akan tetapi melakukan salam sendifi atau menunggu sang imam dan melakukan salam bersamanya dan ini yang lebih utama.

 

Orang yang sholat jenazah, membaca surat Al Fatihah setelah takbir yang pertama. Dan boleh membaca Al Fatihah setelah takbir selain yang pertama.

 

Dan membaca sholawat untuk baginda Nabi saw setelah takbir kedua.

 

Minimal bacaan sholawat untuk baginda Nabi Saw adalah, ,

 

Dan berdo’a untuk mayat setelah takbir ketiga. Maka ia mengucapkan, minimal doa untuk mayat adalah, “ya Allah ampunilah ia”

 

Dan doa yang paling sempurna disebutkan di dalam ucapan pengarang di dalam sebagian r redaksi kitab matan, yakni, “ya Allah sesungguhnya mayat ini adalah hamba-Mu . dan putra dua hamba-Mu. la telah keluar dari kesenangan dan keluasan dunia, dari orang” yang ia cintai dan para kekasihnya di dunia menuju gelapnya kubur dan apa yang akan ia temui di sana. la bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan selain Engkau, hanya Engkau, tidak ada sekutu bagi Engkau, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu. Engkau lebih tahu terhadapnya daripada kami. Ya Allah, sesungguhnya ia telah singgah padaMu dan Engkau adalah Tuhan yang disinggahi.  la telah menjadi orang yang sangat membutuhkan rahmat-Mu dan Engkau tidak butuh untuk meyiksanya. Sesungguhnya kami  datang pada-Mu karena mencintai-Mu dan memohonkan syafaat untuknya. Ya Allah, jika” ia adalah orang yang berbuat baik, maka . tambahkanlah kebaikannya. Dan jika ia adalah orang yang berbuat jelek, makas temukanlah ia pada keridlaan-Mu sebab rahmat-Mu, lindungilah ia dari fitnah dan siksa kubur, luaskanlah ia di dalam kuburnya, renggangkanlah bumi dari kedua lambungnya, dan sebab rahmat-Mu temukanlah padanya rasa aman dari siksa-Mu hingga engkau bangunkan ia dalam keadaan aman menuju surga-Mu, dengan rahmat-Mu wahai Tuhan yang paling pemurah”. Setelah takbir ke empat ia membaca do’a,

 

“ya Allah, janganlah Engkau halangi pahalanya pada kami. Dan janganlah Engkau menfitnah kami setelah ia meninggal. Dan ampunilah kami dan dia”

 

Oan orang yang mensholati mayat mengucapkan salam setelah takbir ke empat. Bacaan salam di dalam sholat ini sama seperti bacaan salam di dalam selain sholat jenazah dalam tata cara dan jumlahnya, akan tetapi di sini disunnahkan untuk menambah lafadz,

 

Seorang mayat dimakamkan di dalam  (luang landak) dengan menghadap kiblat. Lahd, dengan huruf lam yang terbaca fathah dan diammah, dan huruf ha’ yang terbaca sukun, adalah bagian yang digali di sisi liang kubur bagian bawah di arah kiblat kira-kira” seukuran yang bisa memuat dan menutupi mayat.

 

Mengubur di dalam /fahd itu lebih utama daripada mengubur di dalam syigg (lubang cempuri) jika postur tanahnya keras.

 

Syigg adalah galian yang berada di bagian tengah liang kubur yang berbentuk seperti selokan air, di bangun kedua sisinya, mayat di letakkan diantara kedua sisi tersebut dan di tutup dengan bata mentah atau sesamanya. Sebelum dimasukkan, mayat diletakkan di sisi belakang/bagian kaki kubur.

 

Di dalam sebagian redaksi kitab matan, setelah kata-kata “menghadap kiblat”, terdapat tambahan keterangan.

 

Yakni, mayat di turunkan ke liang kubur dimutai dari arah kepalanya, yakni dimasukkan: dengan cara yang halus bukan dengan kasar.

 

Orang yang memasukkan mayat ke tiang lahd, sunnah mengucapkan, –

 

“dengan menyebut Nama Allah. Don atas agama Rosulullah shallallahu “olaihi wa sallam”

 

Dan mayat diletakkan di dalam kubur dengan posisi tidur miring setelah kubur tersebut digali sedalam ukuran orang berdiri dan melambaikan tangan.

 

Posisi tidur miring tersebut dengan menghadap kiblat dan bertumpuh pada | lambung mayat sebelah kanan.

 

Seandainya mayat dikubur dengan posisi membelakangi kiblat atau terlentang, maka ‘ wajib digali lagi dan di hadapkan ke arah kiblat, selama mayat tersebut belum berubah.

 

Bentuk kubur tersebut diratakan, tidak dibentuk seperti punuk unta, tidak dibangun “ dan tidak di tajshish, yakni makruh mentajshish kubur dengan gamping.

 

Jash adalah kapur yang diberi nama dengan gamping. Tidak masalah/tidak apa-apa menangisi mayat, sebelum dan setelah meninggal dunia.

 

Namun tidak menangis Itu lebih utama. Namun menangisi orang meninggal harus tidak sampai teriak-teriak disertai mengetuh dan tidak sampai menyobek pakaian Dalam sebagian redaksi kitab matan mengguna-kan bahasa “jaib” sebagai ganti “tsaub”. Joib adalah kerah baju kharnis (kurung).

 

Sunnah berta’ziyah (melayat) kepada keluarga mayat, baik yang kecil, dewasa, laki-laki, dan yang wanita kecuali wanita yang muda. Maka tidak dianjurkan melakukan ta’ziyah pada « wanita yang muda selain orang-orang yang memiliki ikatan mahram dengannya.

 

Ta’ziyah sunnah dilakukan sebelum dan setelah pemakaman hingga tiga hari terhitung sejak setelah pemakaman, jika orang yang berta’ziyah dan yang dita’ziyahi tidak sedang bepergian.

 

Jika salah satunya sedang tidak ditempat, maka masa kesunnahan ta’ziyah tetap terus berlangsung hingga kedatangannya.

 

Secara etimologi ta’ziyah adalah menghibur orang yang terkena musibah sebab orang yang” dikasihinya. Dan secara termonolgi hukum syara” adalah perintah dan dorongan untuk bersabar dengan menjanjikan pahala dan berdo’a untuk mayat agar mendapat ampunan, dan untuk orang yang terkena musibah agar musibahnya mendapatkan pengganti yang baik.

 

Dan tidak diperbolehkan memakamkan dua orang di dalam satu kubur kecuali karena hajat sebagaimana sempitnya lahan dan terlalu banyaknya orang yang meninggal dunia.

 

MUHIMMAT DALAM BAB JENAZAH

 

  1. Mengucapkan Kalimat At-Thayyibah Saat Menggiring Janazah

 

Ibnu Ziyad al-Yamani berkata didalam kitab Fatawinya: “Sungguh musibah agama telah merata (merajalela), yakni kejadian yang kita lihat saat rnengartar janazah, para jamaah yang mengantar janazah sibuk dengan omongan yang bersifat duniawi, dan terkadang hal tersebut mendatangkan ghibah (gosip) diantara mereka, maka menurut pendapat yang dipilih adalah menyibukkan pendengaran mereka dengan dzikir yang berfungsi menghilangkan atau menyedikitkan omongan yang terjadi diantara mereka.

 

  1. Menulis Nama di Patok Kuburan

 

Dari perkataan Ulama: “Disunnahkan meletakkan sesuatu yang dapat berfungsi mengetahui adanya kuburan”, maka dapat dipahami bahwa hukumnya disunnahkan sesuai dengan kadar kebutuhan, terutama kuburan para wali dan orang Shaleh, karena kuburan tidak akan diketahui kecuali dengan diberi nama dibatu nisannya, ketika sudah berjaian bertahun-tahun (waktu yang lama).

 

  1. Menyiram Kuburan dengan Air

 

Keterangan: Disunnahkan menyirami kuburan dengan air, karena Sesungguhnya Nabi Saw telah melakukan hal tersebut pada kuburannya Sa ad bin Mu’ad. Ibnu Majah.

 

  1. Posisi Pentalgin Duduk

 

Sesungguhnya yang disunnahkan untuk duduk adalah orang yang mentalgin, dan tidak disunnahkan untuk lainnya, karena orang yang mentalgin dengan posisi duduk itu lebih dekat pada pendengaran mayit saat di-talgin.

 

  1. Syi’ah Sholat Mayit Tanpa Berwudilu Itu Tidak Benar

 

Keterangan: Al-Sya’bi, Muhammad bin Jarir Al-Thobary dan Al-Syi’ah berkata: Hukumnya diperbolehkan melakukan sholat jenazah dengan tanpa bersuci sekalipun ia bisa berwudlu dan bertayamum, karena sholat jenazah hanya untuk mendo’akan si mayit. Pengarang karya al-Hawi dan lainnya berkomentar, pendapat yang dikemukaan oleh Al-Sya’bi diatas adalah pendapat yang bisa merusak ijma’ ulama’, maka tidak boleh untuk diikuti.

 

  1. Posisi Shalat Mayit yang Benar

 

Keterangan: Disunnahkan untuk selain makmum, yakni dari imam dan munfarid untuk berdiri sejajar dengan kepala mayit laki-laki, sekalipun mayit anak kecil, dan sejajar dengan pantat mayit wanita sekalipun wanita kecil dan mayit khuntsa.

 

  1. Menangisi Mayit

 

Boleh hukumnya menagisi mayit sekalipun dengan suara keras apabila tidak disertai jeritan histeris, menampari pipi, menyobek-nyobek baju, memohon celaka, binasa atau perbuatan yang lainnya yang diharamkan oleh syari’atyang mulia.

 

  1. Mayit yang Boleh di Tayammumi

 

Andaikan mayit sulit dimandikan, karena tidak ada air atau sesamanya, semisal terbakar, dan andaikan dimandikan menyebabkan kulit si mayit menjadi rontok, maka mayit wajib ditayamumi dan ketika mentayamumi disunnahkan berniat sebagaimana ketika memadikannya.

 

  1. Tujuan Memberi Kapas

 

Disunnahkan meletakkan kapas pada semua lubang tubuh si mayit, baik lubang yang asli ataupun tidak (lubang yang disebabkan luka dsb), dan semua anggota sujud yang jumlahnya ada tujuh, karena untuk memuliakan terhadap si maya.

 

Zakat secara etimologi adalah berkembang. Dan secara terminolgi hukum syara” adalah nama harta tertentu yang diambil dari harta tertentu dengan cara tertentu dan diberikan pada golongan tertentu.

 

Zakat wajib dilakukan di dalam lima perkara.

 

Lima perkara tersebut adalah binatang ternak. Seandainya pengarang mengungkapkan , dengan bahasa “an na’am”, maka hal itu lebih baik karena bahasa “an na’am” itu lebih khusus cakupannya daripada bahasa “al mawasyi”, dan pembahasan di sini adalah di dalam binatang ternak yang lebih khusus.

 

Dan -yang keduaal atsman (mata uang). Yang dikehendaki dengan atsman adalah emas dan perak.

 

Dan -yang ke tigaaz zuru’ (hasil pertanian). Yang dikehendaki dengan az zuru’ adalah bahan makanan pokok. Dan -yang ke empat dan ke limabuah-buahan dan barang dagangan.

 

Masing-masing dari kelimanya akan dijelaskan secara terperinci. Adapun binatang ternak, maka wajib mengeluarkan zakat di dalam tiga jenis darinya, yakni onta, sapi dan kambing.

 

Maka tidak wajib mengeluarkan zakat di dalam kuda, budak dan binatang yang lahir semisal dari hasil perkawinan kambing dan kijang.

 

Syarat wajib zakat ternak ada enam perkara. Dalam sebagian redaksi kitab matan diungkapkan dengan bahasa ” enam khishal”.

 

Yakni 1) Islam. Maka zakat tidak wajib bagi orang kafir asli.

 

Adapun orang murtad, maka menurut pendapat yang shahih sesungguhnya hartanya ditangguhkan dulu. Jika kembali masuk Islam, maka baginya wajib mengeluarkan zakat. Dan jika tidak, maka tidak wajib.

 

Dan -syarat ke 2 merdeka, maka zakat tidak wajib bagi seorang budak.

 

Adapun budak muba’ad?”, maka baginya wajib mengeluarkan zakat dari harta yang ia miliki dengan sebagian dirinya yang merdeka.

 

Dan ke 3) kepemilikan yang sempurna. yakni kepemilikan yang lemah tidak wajib untuk dizakati seperti barang yang di beli namun belum diterima, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya sebagaimana indikasi dari ungkapan pengarang yang mengikut pada Oaul Oadim, namun menurut Oaul Jadid wajib mengeluarkan zakat.

 

Ke 4) sudah mencapai satu nishab, dan ke 5) mencapai masa setahun. Sehingga, kalau masing-masing kurang dari batas tersebut, maka tidak wajib zakat.

 

Ke 6) saum, yakni dikembalakan di rumput yang mubah.

 

Seandainya binatang ternak tersebut diberi makan dalam jangka waktu lebih lama dalam setahun, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

 

Jika binatang ternak tersebut diberi makan selama setengah tahun atau kurang dengartkadar makanan yang mana ternak tersebut bisa hidup tanpa makanan tersebut tanpa mengalami dampak negatif yang nampak jelas, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Jika tidak, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

 

Adapun atsman (mata uang), maka wajib pada dua barang yakni emas dan perak, baik yang sudah dicetak atau tidak. Dan nishabnya akan dijelaskan di belakang.

 

Syarat-syarat wajib zakat di dalam atsman adalah lima perkara, yakni 1) Islam, 2) merdeka, 3) milik sempurna, 4) nishab dan ke 5) mencapai satu tahun. Dan semuanya akan dijelaskan di belakang.

 

Adapun az zuru’, maka wajib mengeluarkan zakatnya dengan tiga syarat. Yang dikehendaki oleh pengarang dengan az zuru’ adalah bahan makanan pokok, yakni berupa gandum putih, gandum merah, kedelai, dan beras, begitu juga” bahan makanan penguat badan yang dikonsumsi dalam keadaan normal seperti jagung dan kacang.

 

Syarat tersebut yakni 1) hasil pertanian tersebut termasuk tanaman yang ditanam oleh anak Adam.

 

Jika tumbuh dengan sendirinya sebab terbawa air atau angin, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

 

yang 2-hasil tersebut termasuk bahan,, makanan pokok yang kuat disimpan.

 

Baru saja telah dijelaskan pengertian “bahan makananan pokok”. Dengan bahasa “bahan makanan pokok”, mengecuali hasil pertanian yang tidak dibuat bahan makanan pokok, yakni berupa tanaman bumbu seperti tanaman al kammun (bumbu-bumbuan). -syarat ke 3harus mencapai satu nishab, yakni lima wasag tanpa kulit. c Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “harus mencapai lima wosog” dengan tidak menyertakan lafadz “nishab”.

 

Adapun buah-buahan, maka yang wajib dizakati ada dua macam buah-buahan. | Yakni buah kurma dan buah anggur. Yang dikehendaki dengan kedua buah ini adalah kurma kering dan anggur kering.

 

Syarat-syarat wajib zakat di dalam buahbuahan ada empat perkara : yakni 1) Islam, 2) merdeka, 3) kepemilikan yang sempurna, dan ke 4)mnishab.

 

Ketika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak ada, maka tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

 

Adapun barang dagangan, maka wajib dizakati dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di dalam zakat mata uang.

 

Tijarah (dagang) adalah memutar balik harta karena tujuan mencari laba.

 

 

(Fasal) permulaan nishab onta adalah lima ekor, dan di dalamnya wajib mengeluarkan satu ekor kambing, yakni kambing jadz’atudla’nin yang telah berusia satu tahun dan menginjak usia dua tahun, atau kambing tsaniyatu ma’zin yang telah berusia dua tahun dan menginjak usia tiga tahun.

 

Perkataan pengarang, “di dalam sepuluh ekor onta wajib mengeluarkan dua kambing. Di dalam lima belas ekor wajib mengeluarkan tiga ekor kambing. Di dalam dua puluh ekor onta wajib mengeluarkan empat ekor kambing. Di dalam dua puluh lima ekor onta wajib mengeluarkan satu ekor onta bintu makhadi. Di dalam tiga puluh enam ekor onta wajib mengeluarkan satu ekor bintu labun. Di dalam empat puluh enam ekor onta wajib mengeluarkan satu ekor onta higgah. Di dalam enam puluh satu ekor onta wajib mengeluarkan satu ekor onta jadz’ah. Di dalam tujuh puluh enam ekor onta wajib mengeluarkan dua ekor onta bintu Jabun. Di dalam sembilan puluh satu ekor onta wajib mengeluarkan dua ekor onta higgah. Dan di dalam seratus dua puluh satu ekor onta wajib mengeluarkan tiga ekor onta bintu labun”. dan sampai akhir, itu sudah jelas dan tidak butuh untuk disyarahi/dijelaskan lagi.

 

Bintu makhad! adalah onta yang berusia satu tahun dan menginjak usia dua tahun. Bintu labun adalah onta berusia dua tahun dan menginjak usia tiga tahun.

 

Hiqqah adalah onta berusia tiga tahun dan menginjak usia empat tahun.

 

Jadz’ah adalah onta berusia empat tahun dan menginjak usia lima tahun. Adapun perkataan pengarang “kemudian di dalam setiap empat puluh ekor onta wajib mengeluarkan satu ekor onta bintu labun. dan setiap lima puluh ekor onta wajib mengeluarkan satu onta higgah”, artinya setelah bertambah sembilan ekor onta dari jumlah seratus dua puluh satu, dan setelah sembilah ekor tersebut bertambah sepuluh ekor onta lagi sehingga jumlahnya menjadi ‘ seratus empat puluh ekor onta, maka hitungannya menjadi pasti, yakni setiap hitungan empat puluh ekor onta wajib mengeluarkan satu ekor onta bintu labun, dan setiap hitungan lima puluh ekor onta wajib mengeluarkan satu ekor onta higgah. Maka di dalam seratus empat puluh ekor onta . wajib mengeluarkan dua ekor onta higgah dan satu ekor onta bintu labun. dan di dalam seratus lima puluh ekor onta wajib mengeluarkan tiga ekor onta higgah. Dan begitu seterusnya.

 

(Fasal) permulaan nishab sapi adalah tiga puluh ekor.

 

Dan di dalamnya wajib mengeluarkan satu ekor sapi tabi’, yakni anak sapi yang berusia satu tahun dan menginjak usia dua tahun. Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “di dalam satu nishab tersebut”.

 

Disebut tabi, yang mempunyai arti yang mengikuti, karena ia mengikuti induknya di tempat pengembalaan.

 

Seandainya sang pemilik mengeluarkan zakat berupa sapi tabi’ betina, maka hal itu lebih mencukupi.

 

Di dalam empat puluh ekor sapi, wajib mengeluarkan satu ekor sapi musinnah yang berusia dua tahun dan menginjak usia tiga tahun.

 

Disebut musinnah karena gigi-giginya sudah sempurna.

 

Seandainya sang pemilik mengeluarkan zakat berupa dua ekor sapi tabi’ dari empat puluh ekor sapi, maka hal itu telah mencukupi menurut pendapat ash shohih.

 

Dan pada hitungan inilah, samakanlah selamalamanya. Di dalam seratus dua puluh ekor sapi, wajib mengeluarkan tiga ekor sapi musinnah atau empat ekor sapi tabi”.

 

(Fasal) permulaan nishab kambing adalah empat puluh ekor.

 

Dan di dalamnya wajib mengeluarkan satu ekor kambing jadz’ah dari jenis kambing.., domba atau satu ekor kambing tsaniyah dari jenis kambing kacang.

 

Dan telah dijelaskan pengertian dari jadz’ah dan tsaniyah. Adapun perkataan pengarang, “ di dalam seratus dua puluh satu ekor kambing, wajib mengeluarkan dua ekor kambing.

 

Di dalam dua ratus satu ekor kambing, wajib mengeluarkan tiga ekor kambing. Dan di dalam empat ratus empat ekor kambing, wajib mengeluarkan empat ekor kambing.

 

Kemudian di dalam setiap seratus ekor kambing, wajib menambah satu ekor kambing” Sampai akhir perkataan beliau, itu sudah jelas dan tidak perlu penjelasan lagi.

 

(Fasal) dua orang yang mencampur hartanya, berkewajiban mengeluarkan zakat hartanya seperti zakatnya satu orang.

 

Adapun lafadz “yuzakkiyani” dibaca kasrah kafnya. Khulthah (mencampur harta) terkadang bisa meringankan pada dua orang yang bersekutu?“ misalnya keduanya memiliki delapan puluh ekor -kambing dengan bagian yang sama diantara keduanya (masing-masing memiliki – empat puluh ekor), maka keduanya hanya wajib mengeluarkan satu ekor kambing.

 

Dan terkadang memberatkan pada keduanya, misalnya keduanya memiliki empat puluh ekor kambing dengan bagian yang sama diantara , keduanya (masing-masing memiliki dua puluh ekor), maka keduanya wajib mengeluarkan zakat satu ekor kambing.

 

Dan terkadang meringankan pada salah satunya dan memberatkan pada yang lainnya, misalnya keduanya memiliki enam puluh ekor kambing, dengan perincian salah satunya memiliki sepertiganya (dua puluh ekor) dan yang lain memiliki dua pertiga (empat puluh ekor),

 

Dan terkadang tidak meringankan dan tidak memberatkan, seperti keduanya memiliki dua ratus ekor kambing dengan bagian yang sama diantara keduanya (masing-masing memiliki seratus ekor).

 

Dua orang yang mencampur hartanya itu hanya bisa membayar dengan zakat satu orang jika memenuhi tujuh syarat.

 

Yakni ketika, dan di dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “jika ada”, kandangnya menjadi satu.

 

Lafadz “al murah” dengan terbaca diammah huruf mimnya, adalah tempat binatang ternak di malam hari. Al masrahnya satu. Yang dikehendaki dengan al masrah adalah tempat yang digunakan untuk mengumpulkan binatang ternak.

 

Dan tempat mengembala dan pengembalanya menjadi satu. Dan pejantannya juga menjadi satu, yakni binatang ternaknya satu macam.

 

Jika macamnya berbeda misalnya kambing domba dan kambing kacang, maka” diperbolehkan masing-masing dari kedua orang tersebut memiliki pejantan sendiri: sendiri yang akan mengawini ternaknya.

 

Al masyrabnya jadi satu, yakni tempat minum ternaknya seperti sumber, sungai atau yang  lain. Adapun perkataan pengarang, “halib (tukang pera susunya jadi satu)” adalah salah satu dua pendapat dalam permasalahan ini. Dan pendapat al ashah tidak mensyaratkan halib (tukang pera susu) harus jadi satu.

 

Begitu juga al mihlab, dengan terbaca kasrah huruf mimnya, harus jadi satu, yakni wadah yang digunakan untuk memerah susu. Tempat memerah susunya juga harus jadi satu.

 

Lafadz “al halab” dengan terbaca fathah huruf lamnya.

 

Imam an Nawawi meriwayatkan pembacaan sukun huruf lamnya lafadz “al halab”, yakni « nama susu yang diperah. Dan digunakan . dengan arti masdarnya. Sebagian ulama’ berkata bahwa itulah yang dikehendaki di sini.

 

(Fasal) nishab emas adalah dua puluh mitsgal dengan hitungan secara pasti dengan timbangan kota Makkah.

 

Satu mitsgal adalah satu lebih tiga sepertujuh dirham.

 

Di dalam satu nnishab emas wajib mengeluarkan zakat seperempat sepersepuluh dari keseluruhan jumlah emas. Yakni setengah mitsgal.

 

Dan di dalam jumlah emas yang lebih dari dua puluh misgal, maka sesuai dengan prosentasenya walaupun kelebihannya hanya sedikit.

 

Nishabnya wariq, dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, adalah dua ratus dirham.

 

Wariq adalah perak. Di dalam nishab ini wajib mengeluarkan seperempat sepersepuluh dari jumlah keseluruhan, yakni lima dirham.

 

Dan di dalam kelebihan dari dua ratus dirham, wajib mengeluarkan kadar sesuai dengan hitungannya, walaupun tambahannya hanya sedikit.

 

Dan tidak ada kewajiban zakat di dalam benda campuran dari emas atau perak kecuali kadar murninya telah mencapai satu nishab. Dan tidak ada kewajiban zakat di dalam perhiasan yang boleh untuk digunakan. Adapun perhiasan yang diharamkan misalnya gelang tangan dan gelang kaki yang digunakan , oleh orang laki-laki dan khuntsa atau waria, maka wajib dikeluarkan zakatnya.

 

(Fasal) nishab hasil pertanian dan buahbuahan adalah lima wasag.

 

Ausaq dari lafadz wasag yang merupakan masdar dengan makna mengumpulkan, karena sesungguhnya wasag mengumpulkan beberapa sho’.

 

Lima wasaq adalah seribu enam ratus rithi negara Irag. Di dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa “kota Bagdad”. Dan untuk kelebihan dari kadar tersebut disesuaikan dengan hitungannya.

 

Satu rithl negara Baghdad, menurut imam an Nawawi, adalah seratus dua puluh dirham lebih empat sepertujuh dirham.

 

Di dalam hasil pertanian dan buah-buahan, wajib mengeluarkan zakat sepersepuluh -dari jumlah keseluruhan-, jika diairi dengan air langit, yakni air hujan dan sesamanya seperti air salju, atau dengan air banjir, yakni air yang mengalir di atas permukaan bumi sebab sungai penuh dan tidak muat sehingga air naik ke permukaan hingga mengairi tanaman tersebut.

 

Jika diairi dengan daulab, dengan terbaca diammah dan fathah huruf dalnya, yakni alat yang diputar-putar oleh binatang, atau diairi dengan menimba air dari sungai atau sumur dengan menggunakan binatang seperti onta atau sapi, maka wajib mengeluarkan zakat setengah sepersepuluh dari jumlah « keseluruhan.

 

Dan di dalam hasil pertanian dan buah-buahan yang diairi dengan air hujan dan daulab semisal dengan kadar waktu yang sama, maka wajib mengeluarkan zakat tiga seperempat sepersepuluh dari jumlah keseluruhan.

 

(Fasal) harta dagangan dikalkulasi di akhir tahun dengan menggunakan mata uang yang digunakan untuk membeli modal pertama. Baik modal harta dagangan pertama mencapai satu nishab ataupun tidak.

 

Jika hasil kaikulasi harta dagangan di akhir tahun mencapai satu nishab, maka wajib mengeluarkan zakatnya.

 

Jika tidak, maka tidak wajib zakat. Dari jumlah tersebut setelah kalkulasi harta dagangan mencapai satu nishab, maka wajib mengeluarkan zakat seperempat sepersepuluh dari jumlah keseluruhan.

 

 

Harta yang diambil dari tambang emas dan perak maka wajib mengeluarkan zakat seperempat sepersepuluh dari hasil tersebut seketika, jika mencapai satu nishab.

 

Jika orang yang mengambil tambang tersebut termasuk golongan yang wajib zakat.

 

Ma’adin, bentuk jama’ dari lafadz ma’dan dengan terbaca fathah atau kasrah huruf dalnya, adalah nama bagi tempat barang tambang yang diciptakan oleh Allah Swt, baik berupa lahan mawat (tidak bertuan) atau berstatus milik. Harta yang ditemukan dari harta rikaz, yakni harta karun peninggalan zaman jahiliyah, yakni keadaan orang-orang arab sebelum Islam, yakni bodoh kepada Allah, Rosul-Nya dan syareaat-syareat Islam, maka wajib mengeluarkan seperlima — dari jumlah keseluruhan.

 

Seperlima tersebut dialokasikan sesuai alokasi dalam zakat menurut gaul masyhur.

 

Dan menurut mugabil masyhur (lawan pendapat masyhur) bahwa sesungguhnya seperlima tersebut diserahkan kepada golongan yang berhak menerima khumus (seperiima) yang disebutkan di dalam ayat fai’.

 

 

(Fasal) wajib mengeluarkan zakat fitrah dengan tiga syarat.

 

Zakat fitrah diungkapkan – dengan bahasa “zakat fithrah” maksudnya zakat badan.

 

1) Islam. Maka tidak wajib membayar zakat fitrah bagi orang kafir asli kecuali untuk budak dan keluarganya yang beragama Islam.

 

2) Sebab terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan.

 

Kalau demikian, maka wajib membayar zakat fitrah dari orang yang meninggal dunia setelah terbenamnya matahari, tidak dari anak yang dilahirkan setelah terbenamnya matahari.

 

3) adanya kelebihan harta benda. Yakni seseorang memiliki kelebihan dari bahan makanan untuk dirinya sendiri dan keluarganya di hari tersebut, artinya disiang” harinya hari raya Idul Fitri, begitu juga untuk malam harinya.

 

Seseorang wajib mengeluarkan zakat untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang wajib ia nafkahi yang beragama Islam.

 

Maka bagi orang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk budak, : kerabat dan istrinya yang beragama kafir, walaupun wajib ia nafkahi.

 

Dan ketika seseorang wajib membayar zakat fitrah, maka ia harus mengeluarkan satu sha’ makanan pokok daerahnya, jika ia adalah orang yang bertempat tinggal di suatu negara. Jika di daerahnya terdapat beberapa makanan pokok, namun ada sebagiannya yang lebih dominan, maka wajib mengeluarkan dari jenis sebagian makanan tersebut.

 

Dan seandainya seseorang bertempat tinggal di hutan yang tidak memiliki makanan pokok, , maka ia wajib mengeluarkan zakat berupa makanan pokok daerah yang terdekat darinya. Adapun orang yang tidak memiliki kelebihan satu sho’ makanan pokok, akan tetapi hanya“ sebagian sho’ saja, maka ia wajib mengeluarkan sebagian sho’ tersebut. Ukuran satu sho’ adalah lima rith! lebih sepertiga rithl negara Irag. Rithl negara Irag telah dijelaskan di dalam bab “Nishabnya Zuru’”.

 

(Fasal) zakat diberikan kepada delapan golongan yang telah disebutkan oleh Allah Swt di dalam kitab-Nya yang mulia di dalam firman-Nya, “Shadaqah hanya — berhak diberikan kepada orang-orang fakir, orangorang miskin, orang-orang yang memproses shodagah (zakat), orang-orang yang di lulutkan hatinya, budak, gharim, sabilillah, ibn sabil” ila akhir.

 

Firman Allah Swt ini telah jelas dan tidak perlu untuk dijelaskan lagi kecuali penjelasan untuk mengetahui golongan-golongan tersebut. Maka orang yang faqir di dalam zakat adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidakcmemiliki pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhannya.

 

Adapun orang yang fagir di dalam pembahasan araya, maka dia adalah orang  yang tidak memiliki nugud (uang).

 

Miskin adalah orang yang memiliki harta atau pekerjaan, masing-masing dari keduanya sudah agak mencukupi tapi masih kurang,

 

Seperti orang yang membutuhkan sepuluh dirham namun dia hanya memiliki tujuh dirham.

 

Amil adalah orang yang dipekerjakan oleh imam untuk mengambil sedekah dan menyerahkan pada orang-orang yang berhak menerimanya.

 

Mualaf qulubuhum, golongan ini ada empat bagian.

 

Salah satunya adalah muollaf muslimin, yakni orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah di dalam Islam, maka ia dilunakkan hatinya dengan memberikan zakat padanya.

 

Untuk bagian-bagian yang lain dijelaskan di dalam kitab-kitab yang luas pembahasannya. Wafirriqab, mereka adalah budak-budak mukatab yang melakukan akad kitabah yang sah.

 

Sedangkan budak mukatab yang melakukan akad kitabah yang tidak sah, maka ia tidak « diberi dari bagian budak-budak mukatab. Gharim ada tiga bagian.

 

Salah satunya adalah orang yang hutang untuk meredam fitnah diantara dua golongan dalam masalah orang yang terbunuh dan tidak jelas pembunuhnya, maka ia menanggung hutang sebab itu semua.

 

Maka hutangnya dilunasi dari bagian gharimin, baikia adalah orang yang kaya ataufakir.

 

Gharim hanya bisa diberi bagian ketika hutangnya masih ada.

 

Jika ia telah melunasi hutang dari hartanya sendiri atau telah memberikan hartanya sejak … awal, maka ja tidak diberi dari bagian gharimin.

 

Untuk bagian gharimin yang lain telah dijelaskan di dalam kitab-kitab yang diperluas pembahasannya.

 

Adapun sabilillah, maka mereka adalah para pejuang yang tidak memiliki bagian pasti di dalam buku besar negara, bahkan mereka berjihad dengan suka rela hanya karena Allah ‘ Swt.

 

 

Adapun ibn sabil, maka dia adalah orang yang melakukan perjalanan dari daerah yang” sedang memproses zakat, atau melewatinya.

 

Ibn sabil disyaratkan harus dalam keadaan membutuhkan dan tidak — melakukan kemaksiatan.

 

Adapun perkataan pengarang “dan di berikan pada orang-orang yang di temukan dari ‘ kedelapan golongan” adalah memberi isyarat , bahwa sesungguhnya ketika sebagian golongan tidak ada dan yang ada hanya sebagian saja, maka zakat dialokasikan pada golongan yang ada.

 

Jika semuanya tidak ada, maka zakat disimpan dulu hingga semuanya atau sebagian golongan telah ditemukan.

 

Di dalam menyerahkan zakat, tidak diperbolehkan hanya diberikan pada orang yang kurang dari tiga orang dari setiap golongan dari kedelapan golongan tersebut. Kecuali amil, maka sesungguhnya amil bisa saja hanya satu orang jika memang sudah mencukupi kebutuhan.

 

Jika zakat hanya diberikan pada dua orang dari setiap golongan, maka wajib memberi ganti rugi dengan minimal barang yang berharga pada orang ketiga.

 

Ada yang berpendapat, bahwa orang ketiga diberi ganti rugi sepertiga dari yang telah diberikan pada dua orang tersebut.

 

Ada lima golongan yang tidak diperbolehkan memberikan zakat pada mereka.

 

Yakni 1) orang yang kaya dengan harta atau pekerjaan. Dan ke 2) budak (yang bukan budak mukatab).

 

Ke 3) Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Baik mereka tidak mau menerima haknya dari « bagian khumusil khumus, ataupun mau menerima.

 

Begitu juga budak-budak yang dimerdekakan oleh mereka (Bani Hasyim dan Bani Muthallib), tidak boleh memberikan zakat kepada mereka.

Dan masing-masing dari mereka diperbolehkan untuk menerima sedekah sunnah menurut gaul masyhur.

 

Dan ke 4) orang kafir. Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa, “tidak sah memberikan zakat kepada orang kafir”.

 

Ke 5) Orang yang wajib dinafkahi oleh orang yang mengeluarkan zakat, maka ia tidak boleh memberikan zakat pada mereka (orang-orang yang dinafkahi) atas nama orang-orang fakir dan miskin.

 

Dan boleh memberikan zakat pada mereka dengan status semisal mereka adalah para pejuang atau gharim.

 

MUHIMMAT DALAM BAB ZAKAT

 

  1. Pendapat Imam Ooffal Tentang Sabilillah

 

Imam Al-Qoffal meriwayatkan dari sebagian Ulama Figh bahwa mereka memperbolehkan menyalurkan harta zakat kepada semua bentuk kebaikan meliputi mengkafani mayit, membangun benteng dan membangun Masjid, karena firman Allah Swt yang berbunyi (.  ) bersifat umum dan menyeluruh pada semua bentuk kebaikan.

 

  1. Guru & Kyai Dapatkah Menerima Zakat

 

Diperbolehkan memberikan zakat kepada orang yang ahli membaca Al-Qur’an, orang alim, guru (pengajar) serta orang-orang yang mempunyai peran banyak yang memberikan manfaat kepada umat islam, walaupun mereka adalah orangorang yang kaya, karena mereka mempunyai manfaat yang menyeluruh kepada ummat islam, dan mereka yang menjaga kekalnya agama islam, sebagaimana penjelasan Ibnu Rusyd dan Imam al-Lakhmi.

 

  1. Kenapa Masjid Tidak Menerima Zakat

 

 Masjid tidak berhak menerima harta zakat dengan mutlak, karena zakat tidak boleh dialokasikan kecuali pada orang islam yang merdeka.

 

  1. Larangan Menjual Harta Zakat

 

As-Habuna berkata: Tidak boleh bagi imam dan orang yang menarik zakat menjual harta zakat dalam keadaan normal (tidak terpaksa), bahkan ia berkewajiban menyampaikan ainiyyah harta zakat kepada para mustahiq.

 

  1. Santri Juga Boleh Menerima Zakat

 

Apabila seseorang mampu ber-kasab (kerja) hanya saja ia sibuk dengan Belajar ilmu Syara’, dan seandainya ia terfokus kepada mencari kasab maka ia akan terputus dari menghasilkan ilmu syara’, maka baginya diperbolehkan menerima zakat sesuai pendapat shohih yang terkenal.

.

  1. Zakat dengan Uang Khilaf

 

Imam Abu Hanifah memperbolehkan memberikan dari barang tersebufdengan menggunakan gimahnya dengan berupa dirham, dinar, uang receh, emas perak atau dengan apapun yang ia kehendaki, sebab hakikat dari zakat adalah untuk mencukupi orang fagir. -Sedangkan menurut ulama’ Syafi’iyyah, wajib mengeluarkan zakat fitrah dari makanan pokok daerahnya.

 

  1. Kriteria Tanaman yang Wajib Zakat

 

Menurut madzhab Abu Hanifah, wajib mengeluarkan zakat dalam semua hasil dari bumi, kecuali kayu bakar, bambu dan rumput kering. Dan menurut beliau perkara tersebut tidak dihitung sudah harus satu nishob atau belum. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib mengeluarkan dalam semua perkara yang bisa ditakar, atau ditimbang dan makanan pokok yang bisa disimpan, dan wajib harus ada satu nishob. Dan yang terakhir menurut madzhab Imam Malik berpendapat seperti Imam Syafi’i adalah karya Al-Qolaid.

 

  1. Hukum Memindah Zakat

 

Ketahuilah, Semoga Allah Swt memberkatimu “Sesungguhnya masalah memindah zakat terdapat khilafiyah diantara ulama, Menurut Pendapat yang masyhdr dalam madzhab syafi’i adalah melarang memindah zakat pada daerah lain, apabila pada daerah tersebut ditemukan orang-orang yang berhak menerima zakat. Sedangkan menurut mugobil masyhyr yang memperbolehkan memindah zakat, itu adalah madzhab imam Abu Hanifah ra, dan segolongan ulama’ dari para mujtahid, diantara mereka adalah imam Al-Bukhori.

 

  1. Wajib Menggabungkan Tanaman dalam Satu Tahun

 

Hasil dua tanaman yang berada dalam satu tahun (-ua belas bulan) itu harus dikumpulkan menjadi satu apabila pengetaman keduanya jatuh dalam waktu satu tahun.

 

  1. Tanaman Ditebaskan Wajib Zakat

 

Apabila pembeli membeli buah kurma setelah buah tersebut terlihat membaik maka penjual wajib mengeluarkan zakatnya.

 

11, Saham dan Cek Wajib Dizakati

 

Jumhurul fugdha’ (mayoritas ulama’ ahli figh), memandang kewajiban zakat terhadap kertas yang berharga, karena perkara tersebut itu diposisikan sebagaimana emas dan perak di dalam transaksi.

 

  1. Kas Pesantren Tidak Wajib Dizakati

 

Maka tidak wajib mengeluarkan zakat dalam masalah dana yang dimiliki oleh masjid, karena masjid itu tidak merdeka, akan tetapi hanya hukumnya saja yang seperti hukumnya orang merdeka dalam sifat kepemilikannya.

 

  1. Harta yang dicuri diniati Zakat

 

Andaikan seseorang mencuri barang orang lain, kemudian orang yang dicuri barangnya berniat menjadikan barang tersebut sebagai zakat, maka pemiliknya sudah bebas dari zakat.

 

14, Zakat Buat Nyumbang Orang Hajatan

 

Menurut ulama’, boleh memberikan zakat kepada orang yang tidak mengetahui bahwa barang tersebut adalah harta zakat, karena yang dianggap adalah niat dari pemiliknya. Keberadaan pendapat tersebut itu bisa dibenarkan apabila tidak ada sesuatu yang memalingkan dari orang yang menerimnya, dan apabila disertai motif lainnya, seperti orang yang menerima itu bertujuan yang lainnya maka hukumnya tidak mencukupi.

 

  1. Antara Hutang dan Wajib Zakat

 

Wajib mengeluarkan zakat sekalipun Ia memiliki tanggungan hutang yang dapat menghabiskan hartanya.

 

-Ghoyali berkata dalam karya Alihya” bila seseorang memiliki hutang yang dapat menghabiskan hartanya, maka tidak wajib zakat atas dirinya, Karena jika demikian itu, ia tidak termasuk orang yang kaya.

 

  1. Biaya Pupuk Tidak Berpengaruh pada Zakat

 

Pemupukan dan pengelolahan itu tidak sampai merubah zakat yakni apabila mengeluarkan biaya penyiraman maka zakatnya 5%, kalau tidak maka kewajibannya tetap sepersepuluh (10x).

 

Lafadz shiyam dan shaum adalah dua bentuk kalimat masdar, yang secara etimologi keduanya bermakna menahan.

 

Dan secara termonologi hukum syara’ adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat tertentu sepanjang siang hari yang bisa menerima ibadah puasa dari orang muslim yang berakal dan suci dari haidi dan nifas.

 

Adapun syarat-syarat wajib berpuasa ada tiga perkara. Dan di dalam sebagian redaksi kitab matan ada empat perkara.

 

Yakni 1) Islam, 2) baligh, 3) berakal dan mampu berpuasa.

 

Dan hal ini (mampu berpuasa) tidak tercantum di dalam redaksi yang mengatakan syaratnya . ada tiga perkara.

 

Maka puasa tidak wajib bagi orang yang memiliki sifat yang sebaliknya.

 

Fardlu-fardlunya puasa ada empat perkara. Salah satunya adalah niat di dalam hati.

 

Jika puasa yang dikerjakan adalah fardlu misalnya Ramadlan atau puasa nadzar, maka harus melakukan niat di malam hari.

 

Dan wajib menentukan puasa yang dilakukan di dalam puasa fardhu misalnya puasa Ramadhan.

 

Adapun niat puasa Ramadhan yang paling sempurna adalah seseorang mengatakan, “saya berniat melakukan puasa esok hari untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.”

 

Fardlu kedua adalah menahan dari makan dan minum walaupun perkara yang dimakan dan yang diminum hanya sedikit, hal ini ketika ada unsur kesengajaan.

 

Jika seorang yang berpuasa melakukan makan . dalam keadaan lupa atau tidak mengetahui hukumnya, maka puasanya tidak batal jika ia adalah orang yang baru masuk Islam atau , hidup jauh dari ulama”. Jika tidak demikian, maka puasanya batal.

 

Fardlu ke tiga adalah menahan dari melakukan jima’ dengan sengaja.

 

Adapun melakukan jima’ dalam keadaan lupa puasa, maka hukumnya sama seperti makan dalam keadaan lupa, artinya tidak batal puasanya.

 

Fardlu ke empat adalah menahan dari muntah dengan sengaja. Jika ia terpaksa muntah, maka – puasanya tidak batal.

 

Hal-hal yang membuat orang berpuasa menjadi batal ada sepuluh perkara.

 

Yang pertama dan kedua adalah sesuatu yang masuk dengan sengaja ke dalam lubang badan yang terbuka atau tidak terbuka seperti masuk ke dalam kepala dari luka yang tembus ke otak.

 

Yang dikehendaki adalah seseorang yang berpuasa harus mencegah masuknya sesuatu ke bagian badan yang dinamakan jauf (lubang).

 

Yang ke tiga adalah al hugnah (menyuntik) di bagian salah satu dari kemaluan dan anus. – Hugnah adalah obat yang disuntikkan ke badan orang yang sakit melalui kemaluan atau anus yang diungkapkan di dalam kitab matan dengan bahasa “sabilaini (dua jalan)”.

 

Yang ke empat adalah muntah dengan sengaja. Jika tidak sengaja, maka puasanya tidak batal seperti yang telah dijelaskan.

 

Yang ke lima adalah melakukan hubungan biologis dengan sengaja di dalam vagina.

 

Maka puasa seseorang tidak batal sebab melakukan hubungan intim dalam keadaan lupa seperti yang telah dijelaskan.

 

Yang ke enam adalah inzal, yakni keluar air . sperma sebab bersentuhan kulit dengan tanpa melakukan jima’

 

Baik keluar sperma tersebut diharamkan misalnya mengeluarkan air sperma dengan tangannya sendiri, atau tidak diharamkan seperti mengeluarkan sperma dengan tangan “ istri atau budak perempuannya.

 

Dengan bahasa “sebab bersentuhan kulit”, pengarang mengecualikan keluarnya sperma sebab mimpi basah, maka secara pasti hal itu tidak bisa membatalkan puasa.

 

Yang ke tujuh hingga akhir yang ke sepuluh adalah haidl, nifas, gila dan murtad.

 

Maka barang siapa mengalami hal tersebut di tengah-tengah melaksanakan puasa, maka hal tersebut membatalkan puasanya.

 

Di dalam puasa ada tiga perkara yang disunnahkan.

 

Salah satunya adalah segera berbuka jika orang yang berpuasa tersebut telah meyagini terbenamnya matahari.

 

Jika ia masih ragu-ragu, maka tidak diperbolehkan segera berbuka.

 

Disunnahkan untuk berbuka dengan kurma kering. Jika tidak menemukan kurma kering maka berbuka dengan air.

 

Yang ke dua adalah mengakhirkan makan sahur selama tidak sampai mengalami keraguan -masuknya waktu Shubuh-. Jika tidak demikian, maka hendaknya tidak – mengakhirkan makan sahur.

 

Dan kesunahan sahur sudah bisa hasil dengan makan dan minum yang sedikit.

 

Yang ke tiga adalah tidak berkata kotor.

 

Maka orang yang berpuasa hendaknya menjaga lisannya dari berkata bohong, menggunjing orang lain dan sesamanya misalnya mencela orang lain.

 

Jika ada seseorang yang mencaci dirinya, maka hendaknya ia berkata dua atau tiga kali, “sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Adakalanya mengucapkan dengan lisan seperti yang dijelaskan imam an Nawawi di dalam kitab al Adzkar.

 

Atau dengan hati sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam ar Rafi’i dari para imam, dan hanya mengucapkan di dalam hati.

 

Haram melakukan puasa di dalam lima hari. Yakni dua hari raya, artinya puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha. Dan di hari-hari Tasyrik, yakni tiga hari setelah hari raya kurban (11, 12, 13 Dzulhijjah)

.Hukumnya makruh tahrim melakukan puasa di hari ragu (tanggal 30 bulan Sya’ban) tanpa ada sebab yang menuntut untuk melakukan puasa pada hari itu. Pengarang memberi isyarat pada sebagian contoh-contoh sebab ini dengan – perkataannya, “kecuali jika kebiasannya melakukan puasa bertepatan dengan hari tersebut”.

 

Seperti orang yang memiliki kebiasaan puasa satu hari dan tidak puasa satu hari, kemudian « giliran puasanya bertepatan dengan hari ragu. Seseorang juga diperbolehkan melakukan puasa di hari ragu sebagai pelunasan puasa” qadla’ dan puasa nadzar.

 

Hari Syak adalah hari tanggal tiga puluh Sya’ban ketika bulan tanggal 1 Ramdhan tidak terlihat di malam hari sebelumnya padahal langit dalam keadaan terang, sedangkan orang-orang membicarakan bahwa hilal telah terlihat namun tidak ada orang adil yang diketahui telah melihatnya, atau yang bersaksi telah melihatnya adalah anak-anak kecil, budak atau orang-orang fasiq.

 

Barang siapa melakukan hubungan biologis disiang hari bulan Ramadhan dalam keadaan sengaja melakukannya di dalam vagina, dan dia adalah orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan telah niat melakukan puasa di malam harinya serta dia dianggap berdosa” .

 

melakukan jima’ tersebut karena berpuasa, maka wajib baginya untuk menggadia’ puasanya dan membayar kafarat.

 

Kafarat tersebut adalah memerdekakan budak mukmin. Dalam sebagian redaksi kitab matan ada penjelasan “budak yang selamat dari cacat yang bisa mengganggu di dalam bekerja dan beraktifitas.”

 

Jika ia tidak menemukan budak, maka wajib melakukan puasa dua bulan berturut-turut.

 

Jika tidak mampu melakukan puasa dua bulan berturut-turut, maka wajib memberi makan kepada enam puluh orang miskin atau fagir. Masing-masing mendapatkan satu mud, artinya dari jenis bahan makanan pokok yang bisa mencukupi di dalam zakat fitrah.

 

Jika ia tidak mampu melakukan semuanya, maka kafarat tersebut tetap menjadi tanggungannya. Ketika setelah itu ia mampu melakukan salah satunya, maka wajib baginya untuk melakukannya.

 

Barang siapa meninggal dunia dan masih memiliki hutang puasa Ramadhan yang ia tinggalkan sebab udzur seperti orang yang membatalkan puasa sebab sakit dan belum sempat menggadia’inya misalnya sakitnya terus berlanjut hingga Ia meninggal dunia, maka tidak ada tanggungan dosa baginya di” dalam puasa yang ia tinggalkan Ini, dan tidak perlu ditebus dengan fidyah.

 

Jika hutang puasa tersebut bukan karena udzur dan ia meninggal dunia sebelum sempat mengqadia’inya, maka wajib memberikan , makanan sebagai pengganti dari hutang puasanya. Artinya bagi seorang wali wajib mengeluarkan untuk mayat dari harta peninggalannya. Setiap hari yang telah ditinggalkan diganti dengan satu mud bahan makanan pokok.

 

Satu mud adalah satu rithl lebih sepertiga rithl kota Bagdad. Dan dengan takaran adalah separuh wadah takaran negara Mesir.

 

Apa yang telah disebutkan oleh pengarang adalah gaul Jadid.

 

Sedangkan menurut gaul Oadim, tidak harus memberi bahan makanan pokok, bahkan bagi wali juga diperbolehkan untuk melakukan puasa sebagai pengganti dari orang yang meninggal, bahkan hal itu disunnahkan bagi seorang wali sebagaimana keterangan di dalam kitah Syarh al Muhadzdzab.

 

Dan di dalam kitab ar Raudlah, imam an Nawawi membenarkan kemantapan dengan pendapat gaul Oadim.

 

Orang laki-laki tua, wanita lansia, dan orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh, ketika masing-masing dari ketiganya tidak mampu untuk berpuasa, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan memberi bahan. makanan pokok sebanyak satu mud sebagai pengganti dari setiap harinya.

 

Dan tidak diperbolehkan mendahulukan pembayaran mud sebelum masuk bulan Ramadhan, dan baru boleh dibayarkan setelah terbit fajar setiap harinya.

 

Bagi wanita hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri sebab berpuasa seperti bahaya yang dialami oleh orang sakit, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan wajib bagi mereka berdua untuk mengqadla’inya.

 

Jika keduanya khawatir pada anaknya, artinya khawatir keguguran bagi wanita hamil dan sedikitnya air susu bagi ibu menyusui, maka

keduanya diperbolehkan tidak berpuasa dan wajib bagi keduanya untuk mengqadla’i sebab membatalkan puasa dan juga membayar kafarat.

 

Sedangkan kafaratnya adalah setiap harinya wajib mengeluarkan satu mud. Satu mud, seperti yang telah dijelaskan, adalah satu rithl lebih sepertiga rithl negara Irag. Dan diungkapkan dengan kota Baghdad. Orang yang sakit dan bepergian jauh yang hukumnya mubah, jika ia merasa berat untuk berpuasa, maka bagi keduanya diperbolehkan untuk — tidak berpuasa dan wajib : menggadia’inya.

 

Bagi orang sakit, jika sakitnya terus menerus, maka baginya diperbolehkan untuk tidak berniat berpuasa di malam hari.

 

Dan jika sakitnya tidak terus menerus, semisal demam dalam satu waktu dan tidak di waktue yang lain, namun di waktu memasuki pelaksanaan puasa (menginjak pagi hari) ” demamnya — kambuh, maka baginya diperbolehkan untuk tidak berniat berpuasa – di malam hari-.

 

Jika tidak demikian, maka wajib baginya untuk berniat di malam hari. Kemudian jika demamnya kambuh dan ia butuh untuk membatalkan puasa, maka diperbolehkan untuk membatalkan puasanya.

 

Pengarang tidak menjelaskan tentang puasa sunnah. Dan puasa sunnah disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas pembahasannya.

 

Diantaranya adalah puasa Arafah (9Dzulhijjah), Asyura’ (10 Muharram), Tasu’a’ (9 Muharram), Ayyamul Bidi (hari-hari terang, yakni tanggal 13, 14, 15, selain bulan dzulhijjah, untuk bulan dzulhijjah adalah tanggal 14,15 dan 16), dan puasa enam hari di bulan Syawal.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum i’tikaf. i’tikaf secara etimologi adalah menetapi sesuatu yang baik atau jelek.

 

Dan secara. terminologi hukum syara’ adalah berdiam diri di masjid dengan sifat tertentu. i’tikaf hukumnya sunnah yang dianjurkan di setiap waktu. i’tikaaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan itu lebih utama daripada i’tikaf di selain hari tersebut, karena untuk mencari Lailatul Aadar (malam yang penuh kemuliaan).

 

Menurut imam asy Syafi’i radliyallahu ‘anh, Lailatul Oadar hanya berada di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Setiap malam dari malam-malam tersebut mungkin terjadi Lailatul Oadar, akan tetapi di malam-malam yang ganjil itu lebih dapat diharapkan.

 

Malam-malam ganjil yang paling dapat diharapkan adalah malam dua puluh satu atau dua puluh tiga. i’tikaf yang telah dijelaskan di atas memiliki dua syarat. Salah satunya adalah berniat.

 

Di dalam i’tikaf nadzar, dia harus berniat fardlu atau berniat nadzar.

 

Dan yang kedua adalah berdiam di masjid. Di dalam berdiam, tidak cukup hanya sebatas kira-kira waktu thuma’ninah, bahkan harus ditambah sekira diamnya tersebut dinamakan berdiam diri.

 

Adapun syarat orang yang i’tikaf adalah harus beragama Islam, berakal sempurna, sud dari haidi, nifas dan jinabah. Maka tidak syah I’tikaf yang dilakukan oleh orang kafir, gila, haidi, nifas, dan orang junub.

 

Dan jika orang yang melakukan I’tikaf murtad atau mabuk, maka i’tikafnya menjadi batal. Dan orang yang melakukan ”tikaf nadzar tidak diperbolehkan keluar dari I’tikafnya kecuali karena ada kebutuhan manusiawi misalnya kencing, berak, dan hal-hal yang semakna dengan keduanya sebagaimana mandi Jinabah.

 

Atau karena udzur haidl atau nifas. Maka seorang wanita harus keluar dari masjid karena mengalami keduanya.

 

Atau karena udzur sakit yang tidak mungkin berdiam diri di dalam masjid.

 

Dengan gambaran dia butuh terhadap tikar, pelayan, dan dokter. Atau dia khawatir mengotori masjid misalnya sedang sakit diare dan beser.

 

Dengan ungkapan pengarang “tidak mungkin bertempat di masjid” hingga akhir perkataan beliau, mengecualikan sakit yang ringan seperti demam ringan, maka tidak diperbolehkan keluar dari masjid disebabkan sakit tersebut.

 

‘tikaf menjadi batal sebab melakukan hubungan biologis atas kemauan sendiri dalam keadaan ingat bahwa sedang melakukan i’tikaf dan mengetahui terhadap keharamannya.

 

Adapun bersentuhan kulit disertai birahi yang dilakukan oleh orang yang melakukan i’tikaf, maka akan membatalkan i’tikafnya jika Ia sampai mengeluarkan air sperma. Dan jika ‘ tidak sampai mengeluarkan sperma, maka tidak sampai membatalkan i’tikafnya.

 

MUHIMMAT DALAM KITAB PUASA & I’TIKAF

 

  1. Anjuran Niat Satu Bulan Penuh

 

Andaikan seseorang berniat puasa pada malam pertama Romadlan dengan niat puasa satu bulan penuh, maka niatnya dianggap belum bisa mencukupi untuk selainnya hari yang pertama. Guru kita (Ibnu Hajar) berkata, tapi hal itu sebaiknya dilakukan, agar puasa pada hari yang lupa diniati bisa sah menurut madzhab Malik.

 

  1. Rokok Membatalkan Puasa

 

Dikecualikan “sesuatu yang ada ain-nya” adalah rokok, karena rokok termasuk bid’ah yang gabihah, maka puasa akan batalkan dengan menghisap rokok.

 

  1. Kebiasaan Mandi Kemasukkan Air

 

Apabila air mandi sampai pada lubang kedua telinga dengan sebab menyelam, maka apabila hal itu telah menjadi kebiasaan sampainya air pada anggota bagian dalam telinga, maka hukumnya batal, jika tidak maka juga tidak batal.

 

  1. Obat Sakit Telinga

 

(Faedah) Seseorang yang mendapat ujian berupa sakit telinga, dimana rasa sakitnya tidak bisa ditahan kecuali dengan meletakkan obat yang dicamur kedalam minyak atau kapas lalu dimasukkan ke telingannya, dan setelah diobati menjadi ringan rasa sakitnya atau hilang rasa sakitnya, baik hal tersebut hasil dari pengetahuan sendiri maupun diberi tahu oleh dokter, maka hal tersebut hukumnya boleh dan puasanya tetap sah, karena keadaan terpaksa (d/arurat).

 

  1. Puasa Sunnah Tidak Wajib Itmam

 

Seseorang yang memulai puasa sunah, maka baginya tidak wajib menyempurnakan, namun sunnah disempurnakan. Artinya apabila seseorang keluar dari puasa sunnah, maka ia tidak berkewajiban untuk meng-kodlo’i puasa sunahnya, dan hanya sunnah di-qadla’i.

 

  1. Debu dan Lalat Kesasar di Mulutnya Shoim

 

As-habuna telah sepakat bahwa apabila seekor lalat terbang lalu masuk kedalam perut orang yang sedang berpuasa, atau debu di jalan atau penyaringan tepung sampai pada perutnya, dan hal tersebut terjadi tanpa ada kesengajaan maka puasanya tidak batai.

 

  1. Sopir Tidak Boleh Membatalkan Puasa

 

Dan dikecualikan dari kebolehan berbuka puasa adalah orang yafig bepergian secara terus menerus, maka baginya tidak diperbolehkan berbuka puasa.

 

  1. Pekerja Berat yang Berpuasa

 

Wajib melakukan niat puasa dimalam hari dalam bulan Ramadhan bagi pekerja berat seperti para petani yang memanen tanamannya dan sesamanya. Lalu apabila ia puasa mengalami kepayahan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa, dan jika tidak mengalami kepayahan yang berat maka tidak boleh berbuka puasa.

 

  1. Makan Sebelum Jam 12 Malam Belum dikatakan Sahur

 

Termasuk kesunnahan di dalam puasa adalah mengakhirkan makan sahur, dan waktu makan sahur telah masuk separuh malam (jam 12 malam), artinya makan sebelum jam 12 malam tidak di-namakan makan sahur, sehingga tidak mendapatkan kesunnahan bersahur.

 

  1. Gabungan Oadha Puasa Ramadhan & Puasa Sunnah

 

Golongan Ulama’ Mutaakhirun memberikan fatwa tentang hasilnya pahala berpuasa Arafah dan setelahnya dengan hanya melakukan puasa wajib pada hari tersebut.

 

  1. Menjual Makanan Siang Hari Ramadhan

 

Demikian juga haram memberi makan pada seseorang baik orang Islam atau kafir di siang hari bulan Ramadhan, dan juga menjual makanan yang diyakini atau diduga akan dimakan pada siang hari Ramadhan.

 

  1. Suntik Pada Saat Berpuasa

 

(Cabangan) Jika obat (suntik) masuk kedalam daging betis, atau ditusuk dengan pisau atau yang lainnya kemudian sari obat tersebut masuk kedalam, maka tidak membatalkan puasa tanpa ada perbedaan pendapat ulama’, karena daging betis dan sesamanya itu tidak termasuk anggota jauf (anggota yang tembus kedalam perut).

 

13, Menelan Dahak

 

Andaikan orang yang puasa menelan dahak, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama: bisa membatalkan puasa. Ke-dua: tidak membatalkan puasa. Namun menurut pendapat yang shohih bisa membatalkan puasa.

 

  1. Ngayal atau Melihat Film Hot

 

Di kecualikan dari bertemunya kulit laki-laki dan perempuan adalah, melihat atau menghayal. Andaikan orang yang berpuasa melihat atau menghayal, kemudian mengeluarkan sperma maka tidak batal puasanya selama menurut adat kebiasaannya tidak keluar sperma. Jika menurut adat kebiasaannya bisa menyebabkan keluarnya sperma, maka batal puasanya. Dan jika orang yang berpuasa merasa akan keluar sperma sebab melihat (Film hot), kemudian ia terus melihatnya hingga keluar sperma, maka batal puasanya.

 

  1. Merasakan Makanan Saat Puasa

 

Disunnahkan bagi orang yang berpuasa menjaga diri dari mencicipi makanan dan lainnya. bahkan hukumnya dimakruhkan mencicipinya, karena dikhawatirkan ada sesuatu yang masuk kedalam tenggorokannya. — Dan sebaiknya tidak dimakruhkan mencicipi makanan tersebut jika ada hajat, sekalipun Ia bersama orang lain yang tidak berpuasa, karena dia tidak mengetahui bagaimana cara memperbaiki masakan makanan tersebut seperti orang yang berpuasa.

 

Haji secara etimologi adalah menyengaja. Dan secara terminologi hukum syara’ adalah menyengaja Baitul Haram guna melaksanakan ibadah.

 

Syarat-syarat kewajiban haji ada tujuh perkara.

 

Di dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa tujuh khishal. Yakni 1) Islam, 2) baligh, 3) berakal sempurna, dan 4) merdeka.

 

Maka haji tidak wajib bagi orang yang memiliki sifat kebalikan dari sifat-sifat tersebut.

 

Ke 5) adanya bekal dan wadah bekal jika ia memerlukannya. Dan terkadang ia tidak memerlukannya, semisal orang yang dekat dengan kota Makkah. Dan juga disyaratkan harus ada air di tempat-tempat yang sudah biasa membawa air dari situ yang dijual dengan harga standar. Dan adanya kendaraan yang layak bagi orang seperti dia, baik dengan membeli atau menyewa.

 

Hal ini jika jarak seseorang dengan Makkah mencapai dua marhalah (88 km) atau lebih, baik ia mampu berjalan kaki ataupun tidak.

 

Jika jarak diantara dia dan Makkah kurang dari dua marhalah dan ia mampu untuk: berjalan kaki, maka wajib melaksanakan haji tanpa harus naik kendaraan.

 

Semua hal yang telah disebutkan di atas disyaratkan harus melebihi dari hutangnya – dan biaya orang yang wajib ia nafkahi selama berangkat haji. Dan juga harus lebih dari rumah dan budak yang layak baginya.

 

Dan sepinya jalan. Yang dikehendaki dengan sepi di sini adalah dugaan aman di : perjalanan sesuai dengan apa yang terdapat pada setiap tempat. Jika seseorang tidak aman pada diri, harta atau kemaluannya, maka bagiya tidak wajib untuk melaksanakan haji.

 

Adapun perkataan pengarang “dan memungkinkan untuk menempuh perjalanan” terdapat di sebagian redaksi kitab matan.

 

Sedangkan yang dikehendaki dengan mungkin ini adalah setelah menemukan bekal dan kendaraan, masih ada waktu yang mungkin untuk digunakan berangkat haji dengan cara yang semestinya.

 

Jika mungkin ditempuh, hanya saja ia butuh menempuh dua marhalah dalam jangka : waktu sebagian dari hari-hari yang sudah terbiasa, maka baginya tidak wajib  melaksanakan haji karena hal tersebut menyulitkan.

 

Adapun rukun-rukun haji ada empat.

 

Salah satunya adalah ihram disertainya niat, artinya niat masuk di dalam ibadah haji.

 

Yang ke dua adalah wukuf di Arafah.

 

Adapun yang dikehendaki adalah kehadiran orang yang ihram haji dalam waktu sebentar setelah tergelincirnya matahari di hari Arafah, yakni hari ke sembilan dari bulan Dzul Hijjah.

 

Dengan syarat orang yang wukuf termasuk ahli untuk melakukan ibadah, bukan orang yang sedang gila dan bukan orang yang epilepsi atau penyakit ayan.

 

Waktu wukuf tetap berlanjut hingga terbitnya fajar hari raya kurban, yakni hari ke sepuluh dari bulan Dzul Hijjah.

 

Dan yang ke tiga adalah thawaf di Baitulllah sebanyak tujuh kali thawafan (putaran). Saat tahwaf, ia memposisikan Baitullah di sebelah kirinya dan memulai dari Hajar Aswad tepat lurus dengan seluruh badannya saat berjalan.

 

Seandainya ia memulai thawaf dari selain Hajar Aswad, maka thawaf yang ia lakukan tidak dianggap.

 

Adapun rukun ke empat adalah sa’i diantara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Sedangkan syaratnya adalah memulai sa’i pertama dari bukit Shafa dan di akhiri di bukit Marwah.

 

Dan perjalanannya dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali, dan kembali dari Marwah ke Shafa juga dihitung satu kali.

 

Shafa, dengan alif gashr di akhirnya, adalah tepi gunung Abi Oubais.

 

Dan Marwah, dengan terbaca fathah huruf mimnya, adalah nama suatu tempat yang . sudah dikenal di Makkah.

 

Dan masih ada rukun-rukun haji yang tersisa, yakni mencukur atau memotong rambut, jika kita menjadikan masing-masing dari keduanya termasuk rangkaian ibadah haji. Dan ini adalah pendapat yang paling populer.

 

Jika kita (ulama Syafi’iyyah) mengatakan bahwa masing-masing dari keduanya adalah bentuk perbuatan untuk memperbolehkan hal-hal yang diharamkan saat haji, maka keduanya bukan termasuk rukun-rukun haji. Dan wajib mendahulukan ihram dari semua rukun-rukun haji yang lain.

 

Rukun-rukun umrah ada tiga sebagaimana yang terdapat di sebagian redaksi kitan matan. Dan di dalam sebagian redaksi ada empat perkara.

 

Yakni 1) ihram, 2) thawaf, 3) sa’i, dan 4) mencukur atau memotong rambut menurut ‘ salah satu dari dua pendapat, dan ini adalah : pendapat yang unggul sebagaimana keterangan yang telah lewat barusan.

 

Jika tidak menurut pendapat yang kuat, maka keduanya bukan termasuk rukun umrah.

 

Kewajiban-kewajiban haji selain rukun ada  tiga perkara.

 

Salah satunya adalah ihram dari miqat, yang mencakup miqat zaman dan miqat makan.

 

Migat zaman bagi haji adalah bulan Syawal, Dzul Oa’dah, dan sepuluh hari bulan Dzul Hijjah. .

 

Adapun miqat zaman bagi umrah adalah sepanjang tahun adalah waktu yang bisa untuk, melaksanakan ihram umrah.

 

Migat makan di dalam haji bagi orang yang bermukim di Makkah adalah daerah Makkah itu sendiri, baik ia penduduk asli Makkah atau pendatang.

 

Adapun selain orang yang bermukim di Makkah, maka migat bagi orang yang datang-. dari Madinah Musyarrafah adalah Dzul Hulaifah.

 

Bagi orang yang datang dari Syam, Mesir dan Maroko adalah Juhfah. Bagi orang yang datang dari dataran rendah Yaman adalah Yulamlam.

 

Bagi orang yang datang dari dataran tinggi Hijaz dan Yaman adalah Qarn.

 

Dan yang datang dari daerah timur adalah Dzatu “Irg.

 

Yang ke dua dari kewajiban-kewajiban haji adalah melempar tiga jumrah. . Di mulai dari jumrah Kubra, kemudian jumrah Wustha, lalu Jumrah Agabah.

 

Masing-masing jumrah di lempar dengan tujuh kerikil satu persatu.

 

Seandainya ia melempar dua kerikil sekaligus, maka dihitung satu.

 

Jika melempar menggunakan satu kerikil untuk melempar tujuh kali, maka dianggap mencukupi.

 

Disyaratkan sesuatu yang digunakan untuk melempar adalah batu. Maka selain batu misalnya permata dan gamping tidak mencukupi.

 

Kewajiban ke tiga adalah mencukur atau memotong rambut.

 

Yang paling utama bagi laki-laki adalah mencukur rambut. Dan bagi perempuan adalah memotong rambut.

 

Minimal mencukur rambut adalah menghilangkan tiga helai rambut kepala dengan cara dicukur, potong, cabut, bakar atau digunting.

 

Orang yang tidak memiliki rambut kepala, maka bagi dia disunnahkan untuk menjalankan . pisau cukur di kepalanya.

 

Rambut selain kepala baik jenggot dan selainnya, tidak bisa menggantikan rambut -. kepala.

 

Kesunahan-kesunahan haji ada tujuh.

 

Salah satunya adalah ifrad. Yakni mendahulukan pelaksanaan haji sebelum melaksanakan umrah.

 

Dengan cara pertama ihram haji dari migatnya, dan setelah selesai melaksanakan haji kemudian ia keluar dari Makkah menuju tanah halal terdekat lalu melakukan ihram umrah dan melaksanakan amalan-amalannya. Jika dibalik, maka dia bukan orang yang melakukan haji ifrad.

 

Yang kedua adalah membaca talbiyah. Disunnahkan memperbanyak membaca talbiyah selama menjalankan ihram.

 

Bagi laki-laki sunnah mengeraskan suara bacaan talbiyahnya.

 

Lafadz talbiyah adalah, “ya Allah aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan kenikmatan dan kerajaan hanya milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”

 

Ketika selesai membaca tabiyah, hendaknya ia membaca sholawat kepada baginda Nabi shallallahu “alaihi wa sallam, dan meminta kepada Allah ta’ala agar diberi surga dan keridiaan-Nya, dan berlindung kepada-Nya, dari api neraka.

 

Yang ke tiga adalah thawaf Qudum.

 

Thawaf Qudum dikhususkan bagi orang haji yang masuk Makkah sebelum melaksanakan wukuf di Arafah.

 

Sedangkan bagi orang yang melaksanakan umrah, ketika Ia melaksanakan thawaf umrah, u maka sudah mencukupi dari thawaf Qudum. Yang ke empat adalah mabit (bermalam) di Muzdalifah.

 

Memasukkan bermalam di Muzdalifah di dalam golongan kesunnahan haji adalah ketetapan pendapatnya imam ar Rafi’i.

 

Akan tetapi keterangan yang terdapat di dalam tambahannya kitab ar Raudlah dan Syarh al Muhadzdzab, bahwa sesungguhnya mabit di Muzdalifah adalah sesuatu yang wajib.

 

Yang ke lima adalah sholat dua rakaat thawaf setelah selesai melaksanakannya.

 

Hendaknya Ia melaksanakan sholat tersebut di belakang magam Ibrahim As.

 

Sunnah memelankan suara bacaan saat melaksanakan sholat tersebut di siang hari, dan mengeraskan suara bacaan di malam hari. Dan ketika tidak melaksanakan sholat tersebut di belakang maqam Ibrahim, maka hendaknya 3 sholat di Hijr Isma’il, jika tidak maka di dalam masjid, dan jika tidak maka di tempat manapun yang ia kehendaki baik tanah Haram dan yang lainnya.

 

Yang ke enam adalah mabit di Mina. Ini adalah pendapat yang disahkan oleh imam ar Rafi’i. Akan tetapi di dalam tambahan ar Raudiah, Imam an Nawawi menshohikan hukum wajib. Yang ke tujuh adalah thawaf Wada’ ketika hendak keluar dari Makkah karena untuk bepergian. Baik orang haji atau bukan. Baik bepergian jauh atau dekat.

 

Apa yang telah disampaikan pengarang yakni berupa hukum kesunahan thawaff Wada’ adalah pendapat marjuh (lemah), akan tetapi menurut pendapat al adhhar hukumnya adalah wajib.

 

Saat ihram, menurut keterangan di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab, seorang laki-laki wajib menghindari pakaian yang berjahit, di tenun, di kelabang, dan dari selain pakaian yang berupa muzah dan sandal.

 

Dan wajib bagi dia memakai sarung dan selendang berwarna putih yang masih baru, dan jika tidak menemukannya maka berpakain yang bersih.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum muharramatul ihram (hal-hal yang diharamkan saat ihram).

 

Muharramatul ihram adalah hal-hal yang haram sebab ihram.

 

Ada sepuluh perkara yang diharamkan bagi orang yang sedang melaksanakan ihram.

 

Salah satunya adalah memakai pakaian yang berjahit semisal ghamis, jubah dan sepatu muzah. Memakai pakaian yang ditenun misalnya baju jira.

 

Atau pakaian yang digelung seperti pakaian yang digelungkan ke seluruh badan.

 

Yang ke dua adalah menutup kepala atau sebagiannya bagi orang laki-laki dengan menggunakan sesuatu yang dianggap sebagai . penutup -secara ‘urf-seperti surban dan tanah” liat.

 

Jika yang digunakan tidak dianggap sebagai penutup, maka tidak masalah seperti meletakkan tangan di atas sebagian kepalanya.

 

Dan seperti berendam di dalam air, dan berteduh di bawah tandu yang berada di atas onta, walaupun sampai menyentuh kepalanya.

 

Dan menutup wajah atau sebagiannya bagi orang wanita dengan menggunakan sesuatu yang dianggap penutup.

 

Bagi seorang wanita wajib menutup bagian wajah yang tidak mungkin baginya untuk & menutup kepala kecuali dengan menutup bagian wajah tersebut.

 

Bagi seorang wanita diperbolehkan untuk . memakai cadar yang direnggangkan -tidak sampai menyentuhdari wajah dengan menggunakan kayu dan sesamanya.

 

Seorang khuntsa, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Oadli Abu Thayyib, diperintah agar menutup kepalanya, dan diperbolehkan untuk memakai pakaian  berjahit.

 

Adapun masalah fidyahnya, maka menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama”) bahwa . sesungguhnya seorang khuntsa jika menutup wajah atau kepalanya, maka tidak wajib fidyah karena masih ada keraguan tentang identitas jenis kelaminnya.

 

Namun jika menutup keduanya, maka wajib fidyah.

 

Yang ke tiga adalah menyisir rambut.

 

Demikian juga pengarang memasukkan hal tersebut tergolong hal-hal yang diharamkan . sebab ihram.

 

Akan tetapi keterangan di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab menyatakan bahwa sesungguhnya menyisir rambut hukumnya makruh, begitu juga menggaruk rambut dengan kuku.

 

Yang ke empat adalah mencukur rambut, mencabut atau membakarnya. -‘ Yang dikehendaki adalah menghilangkan rambut dengan cara apapun, walaupun ia , dalam keadaan lupa.

 

Yang ke lima adalah memotong kuku, artinya menghilangkannya, baik kuku tangan atau kaki dengan dipotong atau yang lainnya. Kecuali ketika sebagian kuku orang yang sedang ihram pecah dan ia merasa kesakitan dengan hal tersebut, maka baginya diperbolehkan untuk menghilangkan bagian kuku yang pecah saja.

 

Yang ke enam adalah wangi-wangian, artinya menggunakan wewangian secara sengaja dengan sesuatu yang memang ditujukan untuk menghasilkan bau wangi semisal misik dan kapur barus.

 

-menggunakan di pakaian dengan cara menempelkan wewangian tersebut pada pakaian dengan cara yang telah terbiasa di dalam penggunaannya. Dan -menggunakandi ‘ badan, bagian luar atau dalam seperti ia memakan wangi-wangian.

 

Dan tidak ada perbedaan pada orang yang menggunakan wewangian tersebut, antara orang laki-laki atau perempuan, orang akhsyam (indra pembaunya tidak berfungsi) atau tidak.

 

Dengan — ungkapan “secara — sengaja” mengecualikan jika hembusan angin membawa wewangian yang mengenai dirinya, atau ia dipaksa untuk menggunakannya, tidak tahu akan keharamannya, atau lupa bahwa sesungguhnya ia sedang melaksanakan ihram, maka sesungguhnya tidak ada kewajiban fidyah bagi dia.

 

Jika ia tahu akan keharamannya dan tidak tahu akan kewajiban fidyahnya, maka tetap wajib membayar fidyah.

 

Yang ke tujuh adalah membunuh binatang buruan yang hidup di darat dan halal dimakang: atau induknya ada yang halal dimakan misalnya binatang liar dan burung.

 

Dan juga haram memburunya, menguasainya, dan mengganggu bagian badan, bulu halus dan bulu kasarnya.

 

Yang ke delapan adalah akad nikah.

 

Maka bagi orang yang sedang ihram, haram melakukan akad nikah untuk dirinya sendiri atau orang lain dengan cara wakil atau menjadi wali.

 

Yang ke sembilan adalah hubungan biologis yang dilakukan oleh orang yang berakal dan mengetahui keharamannya, baik melakukan jima’ saat ihram haji atau umrah, di jalan depan atau belakang, dengan laki-laki atau perempuan, istri, budak perempuan yang di miliki atau dengan wanita lain.

 

Yang ke sepuluh adalah bersentuhan kulit selain bagian vagina sebagaimana menyentuh atau mencium dengan birahi.

 

Adapun bersentuhan kulit tidak dengan birahi, maka hukumnya tidak haram.

 

Di dalam semua hal tersebut, yakni hal-hal yang diharamkan sebab ihram yang telah disebutkan, wajib membayar fidyah, dan akan dijelaskan di belakang.

 

Jima’ yang telah dijelaskan di atas bisa merusak ibadah umrah yang disendirikan. Adapun umrah yang berada di dalam kandungan haji Oiran, maka hukumnya – mengikuti haji, baik sah atau rusaknya.

 

Adapun jima’ bisa merusak haji ketika dilakukan sebelum tahallul awal, baik setelah wukuf atau sebelumnya.

 

Sedangkan jima’ yang dilakukan setelah tahallul awal, maka tidak sampai merusak status haji.

 

-kewajiban fidyah di atas tersebut adalahkecuali akad nikah, karena sesungguhnya akad nikah yang dilakukan tidak sah.

 

Haji tidak bisa rusak kecuali dengan wathi di dalam bagian vagina.

 

Berbeda dengan bersentuhan pada bagian selain vagina, maka sesungguhnya hal tersebut tidak sampai merusak status haji.

 

Dan orang yang ihram tidak diperbolehkan keluar dari ihramnya sebab telah rusak, bahkan baginya wajib untuk meneruskan amaliyah ihramnya yang telah berstatus rusak. ” Di dalam sebagian redaksi kitan matan, tidak dicantumkan ungkapan pengarang “di dalam ihramnya yang rusak” artinya ibadah haji atau umrah dengan cara melaksanakan amaliyahamaliyah yag masih tersisa.

 

Barang siapa melaksanakan ihram haji dan ketinggalan wukuf di Arafah sebab udzur atau”. tidak, maka wajib tahallul dengan melaksanakan amaliyah umrah.

 

Maka ia melakukan thawaf dan sa’i jika memang belum sa’i setelah thawaf Qudum.

 

Dan bagi dia, artinya orang yang ketinggalan wukuf di Arafah, wajib segera menggadia’, baik hajinya fardlu ataupun sunnah.

 

Oadia’ hanya wajib dilakukan di dalam permasalahan ketinggalan wukuf yang tidak disebabkan oleh hashr (tercegah).

 

Jika seseorag tercegah untuk melakukan perjalanan, namun ia masih bisa melewati jalan selain jalan yang terjadi pencegahan, maka wajib baginya untuk melewati jalan tersebut, walaupun tahu bahwa dia tetap akan ketinggalan wukuf.

 

Jika ia meninggal dunia, maka tidak wajib diqadla’i menurut pendapat ashah.

 

Bagi dia -orang yang ketinggalan wukufdi samping menggadia’i, juga wajib menyembelih binatang hadyah.

 

Di dalam sebagian redaksi kitab matan telah ditemukan keterangan tambahan.

 

Yakni, barang siapa meninggalkan rukun-rukun yang menjadi penentu sahnya haji, maka dia ‘ tidak bisa berstatus halal/lepas dari ihramnya sehingga ia melaksanakan rukun tersebut.

 

Dan rukun tersebut tidak bisa digantikan dengan dam.

 

Dan barang siapa meninggalkan kewajiban dari kewajiban-kewajiban haji, maka wajib membayar dam. Dan dam akan dijelaskan di belakang.

 

Dan barang siapa meninggalkan kesunahan dari kesunahan-kesunahan haji, maka dia tidak berkewajiban apa-apa sebab meninggalkan kesunahan tersebut.

 

Dari ungkapan kitab matan, telah jelas perbedaan antara rukun, wajib, dan sunnah.

 

(Fasal) menjelaskan macam-macam dam yang wajib di dalam ihram sebab meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman.

 

Dam yang wajib di dalam ihram ada lima perkara

 

Salah satunya adalah dam yang wajib sebab meninggalkan ibadah, artinya meninggalkan sesuatu yang diperintahkan semisal meninggalkan ihram dari migat.

 

Dam ini dengan cara berurutan/ tertib. Maka sebab meninggalkan sesuatu yang ‘ diperintahkan, pertama kali yang wajib adalah satu ekor kambing yang mencukupi digunakan untuk kurban.

 

Jika ia tidak menemukannya sama sekali, atau menemukan dengan harga di atas hargar, standar, maka wajib melakukan puasa sepuluh hari, tiga hari saat ihram haji.

 

Disunnahkan tiga hari tersebut dilaksanakan sebelum hari Arafah, maka ia berpuasa pada . hari ke enam, tujuh dan delapan bulan Dzil Hijjah.

 

Dan puasa tujuh hari ketika ia sudah kembali ke keluarganya dan tanah airnya.

 

Dan tidak diperbolehkan melaksanakan puasa tujuh hari tersebut di tengah perjalanan pulang.

 

Jika ia berkehendak untuk bertempat tinggal di Makkah, maka lakukanlah puasa tersebut di sana, sebagaimana keterangan di dalam kitab al Muharrar.

 

Seandainya ia tidak melakukan puasa tiga hari saat masih ihram haji dan telah pulang  daerahnya, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa sepuluh hari dan memisah antara tiga hari dan tujuh hari tersebut dengan empat hari di tambah lama masa perjalanan pulang ke daerahnya.

 

Apa yang telah disampaikan Pengarang bahwa dam tersebut adalah dam tertib, itu sesuai dengan keterangan di dalam kitab ar Raudlah, kitab asalnya Raudlah dan kitab Syarh al Muhadzdzab.

 

Akan tetapi keterangan di dalam kitab al Minhaj yang mengikut kepada kitab al Muharrar menjelaskan bahwa dam tersebut adalah dam tartib wa ta’dil.

 

Sehingga, pertama wajib membayar seekor . kambing. Kemudian jika tidak mampu, maka” wajib menggunakan kadar harga kambing , tersebut untuk membeli bahan makanan  pokok dan mensedekahkannya.

 

Kemudian jika tidak mampu, maka wajib berpuasa sehari sebagai pengganti dari setiap mudnya.

 

Yang ke dua adalah dam yang wajib sebab mencukur rambut dan enak-enakan seperti memakai wangi-wangian, memakai minyak -di rambut kepala atau jenggotdan mencukur adakalanya seluruh rambut kepala atau tiga helai rambut saja.

 

Dam ini dengan cara takhyir (diperbolehkan memilih).

 

Maka wajib adakalanya satu ekor kambing yang mencukupi digunakan kurban, atau puasa tiga hari, atau bersedekah tiga sha’ bahan makanan untuk enam orang miskin atau fagir, masing-masing mendapat setengah sha’ bahan makanan pokok yang mencukupi digunakan untuk membayar zakat fitrah. Yang ke tiga adalah dam yang wajib sebab ihshar (tercegah dari wukuf).

 

Maka bagi orang yang ihram -yang di ihsharwajib niat tahallul dengan menyengaja keluar dari ibadah hajinya sebab ihshar, dan memberi hadyah, yakni menyembelih satu ekor kambing di tempat di mana ia di ihshar, dan mencukur rambutnya setelah menyembelih kambing tersebut.

 

Yang ke empat adalah dam yang wajib sebab membunuh binatang buruan. Dam ini dengan cara takhyir (diperbolehkan memilih) diantara tiga perkara.

 

Jika binatang buruan tersebut memiliki binatang yang mirip. Yang dimaksud adalah binatang yang mirip dengan binatang buruan tersebut adalah binatang yang mendekati bentuknya.

 

Pengarang menyebutkan yang pertama dari tiga perkara ini di dalam perkataannya, “maka ia wajib mengeluarkan binatang ternak yang mirip dengan binatang buruan tersebut”.

 

Artinya Ia menyembelih binatang ternak yang mirip tersebut dan mensedekahkannya kepada fakir miskin tanah Haram.

 

Maka di dalam membunuh burung onta, wajib mengeluarkan satu ekor onta.

 

Di dalam membunuh sapi dan keledai liar, wajib mengeluarkan satu ekor sapi.

 

Dan di dalam membunuh kijang, wajib mengeluarkan satu ekor kambing. |

 

Untuk contoh-contoh binatang buruan lainnya yang memiliki kemiripan dengan binatang ternak, dijelaskan di dalam kitab-kitab yang diperluas penjelasannya.

 

Pengarang menyebutkan yang ke dua -dari tiga perkara tersebutdi dalam perkataannya “atau mengkalkulasinya”, yakni ternak yang serupa tersebut dengan uang dirham disesuaikan dengan harga di kota Makkah di hari saat mengeluarkan denda tersebut.

 

Hasil kalkulasinya digunakan untuk membeli bahan makanan poko yang mencukupi digunakan untuk zakat fitrahh, kemudian disecekahkan kepada fakir miskin tanah Haram.

 

Pengarang juga menyebutkan yang ke tiga di dalam perkataannya, “atau berpuasa sehari . sebagai ganti dari setiap mudnya”.

 

Jika masih tersisa kurang dari satu mud, maka sebagai gantinya ia berpuasa satu hari.

 

Jika binatang buruan tersebut tidak memiliki kemiripan, maka ia diperbolehkan memilih diantara dua perkara yang dijelaskan pengarang di dalam perkataannya,

 

Maka ia mengeluarkan bahan makanan sejumlah kadar harga binatang tersebut dan, mensedekahkannya.

 

Atau berpuasa satu hari sebagai pengganti dari setiap mudnya. Jika masih tersisa kurang dari satu mud, maka menggantinya dengan puasa satu hari.

 

Yang ke lima adalah dam yang wajib sebab melakukan hubungan biologis yang dilakukan oleh orang yang berakal sempurna dan mengetahui akan keharamannya, baik jima’nya pada kemaluan atau anus sebagaimana yang telah dijelaskan di depan. Dam ini dengan cara tertib.

 

Sebab hal ini, maka pertama kali wajik membayar satu ekor onta badanah. Badanah diungkapkan untuk onta jantan dan betina. Jika ia tidak menemukan, maka wajib membayar satu ekor sapi.

 

Jika tidak menemukan, maka wajib membayar tujuh ekor kambing.

 

Jika tidak menemukan tujuh ekor kambing, maka wajib mengkalkulasi harga onta badanah dengan dirham sesuai harga negara Makkah di waktu pelaksanaan kewajiban tersebut. Menggunakan hasil kalkulasi tersebut untuk membeli bahan makanan dan di sedekahkan kepada fagir miskin tanah Haram.

 

Tidak ada ukuran pasti di dalam bahan makanan pokok yang diberikan kepada masing-masing orang fagir tersebut. Seandainya ia mensedekahkan berupa uang dirham, maka hal itu tidak mencukupinya.

 

Jika tidak menemukan bahan makanan pokok, maka ia berpuasa sehari sebagai pengganti dari setiap satu mudnya.

 

Ketahuilah sesungguhnya binatang hadyah itu terbagi menjadi dua.

 

Salah satunya adalah hadyah sebab ihshar. Dan hadyah ini tidak wajib dikirimkan ke tanah Haram, bahkan disembelih di tempat terjadinya ihshar.

 

Yang ke dua adalah hadyah yang wajib sebab meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang diharamkan. Penyembelihannya tertentu di tanah Haram. 

 

Pengarang menyebutkan yang ke dua ini di dalam perkataannya, “pembayaran hadyah dan bahan makanan pokok tidak mencukupi kecuali dilaksanakan di tanah Haram.”

 

Minimal perbuatan yang mencukupi adalah ia memberikan hadyah tersebut kepada tiga orang miskin atau fagir.

 

Dan mencukupi baginya untuk berpuasa di manapun yang ia kehendaki, tanah Haram atau yang lain.

 

Tidak diperbolehkan membunuh binatang buruan tanah Haram, walaupun ia dipaksa / untuk membunuhnya. –

 

Seandainya ada seseorang yang melakukan ihram kemudian gila, lalu ia membunuh binatang buruan, maka ia tidak wajib membayar ganti rugi menurut pendapat al adhhar.

 

Dan tidak boleh menebang pohon tanah Haram.

 

Dan ia wajib mengganti pohon yang besar – dengan satu ekor sapi, dan pohon yang kecil dengan satu ekor kambing, masing-masing dari keduanya harus memenuhi kriteria hewan kurban.

 

Dan juga tidak boleh memotong dan mencabut tanaman tanah Haram yang tidak-ditanam oleh manusia, bahkan tumbuh sendiri, Adapun rumput yang kering, maka diperbolehkan memotongnya tidak boleh mencabutnya.

 

Seorang muhil, dengan terbaca diammah huruf mimnya, artinya orang yang halal (orang yang tidak ihram), dan orang yang sedang ihram, di dalam hukum tersebut statusnya adalah sama.

 

Dan ketika sang pengarang telah selesai menjelaskan interaksi dengan Sang Pencipta ya’ni hubungan vertical yaitu ibadah, maka Nya bergegas menjelaskan tentang interaksi sesama makhluk ya’ni hubungan horizontal. Nya berkata,

 

  1. Haji Wajib Bagaimanapun Caranya

 

Barang siapa memiliki modal dana untuk berdagang, maka berkewajiban menggunakan modal tersebut untuk menunaikan ibadah haji dan “umroh. Dan barang siap memiliki tanah yang bisa menghasilakan nafkah untuk dirinya sendiri, maka wajib ia menjualnya untuk menunaikan ibadah haji dan umroh.

 

  1. Hajji Pada Saat Masa Iddah

 

Jika seorang wanita berada dalam masa iddah manakala penduduk negaranya keluar menuju haji, maka ia tidak wajib melakukan ibadah haji, apabila ia berangkat haji dalam keadaan iddah, maka sah hajinya dan ia adalah wanita yang ber-maksiat.

 

  1. Dam Harus Diberikan Orang Tanah Haram

 

Dam (denda) haji tidak boleh dipindah pada selain tanah haram, dan apabila tidak menjumpai orang miskin ditanah haram maka wajib mengakhirkan pembayaran dam haji sampai ia menjumpai orang miskin ditanah haram.

 

  1. Tanda-Tanda Haji Magbul

 

(Faidah) Ibrahim Al-Khawash berkata: Sebagian dari tanda-tanda ditetimanya haji seseorang (Haji mabrur), bahwasanya ia diberi anugerah Allah Swt memiliki akhlak terpuji, tidak senang berbohong, tidak sombong pada sasema makhlug Allah, dan tidak disibukkan urusan dunia sampai meninggal dunia.

 

5, Haram Orang Tua Melarang Anaknya Haji

 

Bagi kedua orang tua tidak diperbolehkan melarang anaknya Untuk beribidah haji yang wajib, dan haji yang telah dinadzari. Begitu pula tidak diperbolehkan menyuruh anaknya agar tahallul (melepas) dari hajinya. Sedangkan bagi anak juga tidak diperbolehkan mematuhi terhadap larangan dari kedua orang tuanya dalam meninggalkan haji wajib, atau melepas dari hajinya.

 

  1. Tasyakuran Setelah Haji

 

Disunnahkan bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih unta Sapi, atau menyembelih kambing (untuk diberikan) kepada para fakir miskin, tetangga, sanak kerabat, saudara, serta relasi. (hal ini dilakukan) sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah SWT.

 

  1. Masa Aktif Magbulnya Doa Orang yang Baru Haji

 

Orang yang berhaji disumnahkan untuk mendo’akan terhadap orang lain dengan maghfiroh, sekalipun ia tidak dimintai untuk mendo’akannya. Begitu pula bagi orang lainnya juga disunnahkan meminta do’a dari orang yang berhaji dengan maghfirah. Pengarang menyebutkan kesunahan meminta do’a kepada orang yang haji itu disunnahkan sampai jangka waktu empat puluh hari dari hari kedatangannya.

 

  1. Setelah Thowaf Wada’ Harus Segera Meninggalkan Ka’bah

 

Apabila seseorang telafe mengerjakan thowaf wada”, maka jangan sekali-kali berdiam diri ditempat (Makah) setelah selesai dari thowafnya, dan hendaknya hendaknya ia bergegas keluar dari tanah Makah.

 

  1. lafadz Niat Haji Untuk Orang Lain

 

Apabila seseorang disewa untuk menunaikan ibadah haji sebagai pengganti  orang lain, maka hendaknya ketika niat, ia mengucapkan “

 

  1. Sa’i Naik Kendaraan

 

Telah kami sebutkan diatas, sesungguhnya menurut madzhab kita Syafi’Iyyah, andaikan seseorang sa’i dengan cara mengendarai tunggangan, maka hukumnya diperbolehkan dan tidak bisa dikatakan makruh hukumnya. Akan tetapi hal itu meninggalkan keutamaan (khilaful aula) dan Ia tidak wajib membayar dam.

 

11, Hukum Pakai Jam Tangan

 

Hukum memakai jam tangan (bagi orang yang sedang ihrom) menurut sebagian ulama’ muta’akh-khirin hukumnya diperbolehkan.

 

  1. Haji Satu Untuk Dua Orang

 

Tidak diperbolehkan melaksanakan haji satu kali, diperuntukkan untuk dua orang sekaligus, dan haji belum bisa mencukupi, kecuali hanya untuk satu orang saja, begitu pula ibadah umroh. Akan tetapi andaikan seseorang beribadah haji sebagai ganti dari orang, dan beribadah umroh sebagai pengganti dari orang yang lainnya lagi, dan ditunaikan dalam satu tahun, maka Itu sudah bisa mencukupi (diperbolehkan).

 

  1. Wajibkah Niat Thowaf

 

Tidak wajib berniat ketika thowdf menurut goul ashoh, karena nait haji atau umroh itu sudah mencakupnya. — Sedang thowaf yang dilakukan diluar waktu haji dan umroh, maka hukumnya tidak sah jika dilakukan dengan tanpa niat dengan tanpa ada perbedaan pendapat diantara ulama.

 

  1. Niat Haji Berubah Umrah Atau Sebaliknya

 

Tatkala seseorang sudah ber-ihrom untuk haji, maka tidak boleh merusak niat dan mengganti dengan ihrom untuk umroh. Dan ketika berihrom untuk berumroh, maka tidak boleh mengganti (niat) untuk ihrom haji. Baik ada udzur atau tidak.

 

  1. Kesalahan Larangan Wahabi Umrah Berkali-Kali Haram

 

Tidak dilarang menurut madzhab Syafi’i dan madzhab HaNabilah untu urtrah dalam satu tahun berulang-ulang, karena sesungguhnya “Aisyah melakukan umrah dalam satu bulan dua kali dengan perintah Nabi saw, satu kali umrah dengan haji girannya, dan satu kali umrah sesudah hajinya.

 

Dan hubungan yang lain dari bentuk-bentuk pekerjaan misalnya girad/ (investasi) dan syirkah (kerjasama/persero).

 

Lafadz “al buyu’” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “bai”. Bai’ (jual beli) secara etimologis adalah tukar menukar sesuatu.

 

Maka mencakup sesuatu yang bukan harta misalnya khamr/arak.

 

Adapun bai’ secara termonogis hukum syara’, maka keterangan paling baik yang digunakan untuk mendefinisikan adalah sesungguhnya bai’ adalah transaksi tukar menukar materi yang memberikan konsekwensi kepemelikan barang atau jasa secara permanen dengan mendapatkan izin/legalitas hukum syara’.

 

Dengan etimologi “barter/tukar-menukar”, mengecualikan hutang. Dan dengan etimologi “izin syar’i”, mengecualikan riba.

 

Termasuk di dalam manfaat (jasa) adalah memberikan kepemilikan hak untuk « membangun.

 

Dengan etimologi “tsaman/harga”, mengecualikan ongkos di dalam akad sewa, karena sesungguhnya ujrah/ongkos tidak disebut tsaman.

 

Model transaksi Jual beli ada tiga perkara.

 

Pertama adalah menjual komiditi yang terlihat secara langsung oleh pelaku transaksi yakni, ya’ni hadir -di tempat transaksi-, maka hukumnya boleh.

 

Ketika syarat-syaratnya terpenuhi, ya’nimabi’ (barang yang dijual) berupa barang yang suci,v memiliki komiditi manfaat baik secara syari maupun urfi, mampu diserahkan baik secara empiris (hissi) maupun secara hukum syari, dan pelaku transaksi memiliki otoritas/kewenangan atas komoditi.

 

Di dalam akan jual beli harus ada ijab (serah) dan qabul (terima).

 

Yang pertama (ijab) seperti ucapan penjual atau orang yang menempati posisinya, “aku menjual padamu” dan “aku memberikan hak milik padamu dengan harga sekian.”

 

Yang ke dua (qabul) seperti ucapan pembeli atau orang yang menempati posisinya, “aku membelinya”, dan ucapan, “aku menerima kepemilikan” dan kata-kata yang semakna dengan keduanya.

 

Yang kedua dari tiga macamnya jual beli adalah menjual barang yang diberi sifat yang – masih menjadi tanggungan. Dan bentuk ini disebut dengan akad salam.

 

Maka hukumnya boleh ketika di dalam akad salam tersebut telah ditemukan sifat-sifat yang digunakan untuk mensifati, yaitu sifatsifat akad salam yang akan dijelaskan di fasal “Salam”.

 

Bentuk yang ke tiga adalah menjual barang yang tidak terlihat oleh kedua pihak pelaku transaksi. Maka menjual barang tersebut tidak boleh.

 

Yang dikehendaki dengan jawaz/boleh di dalam ke tiga bentuk jual beli ini adalah sah.

 

Sesungguhnya perkataan sang pengarang, “tidak terlihat”, menunjukkan bahwa sesungguhnya jika barang yang akan dijual sudah dilihat kemudian tidak ada saat akad ‘ berlangsung, maka hukumnya diperbolehkan, akan tetapi hal ini bila terjadi pada barang yang biasanya tidak sampai berubah pada masa di antara melihat dan membelinya.

 

Hukumnya sah menjual setiap barang yang ” suci, memiliki manfaat dan dimiliki.

 

Sang Pengarang menjelaskan mafhum arti: yang tersirat dari perkara-perkara ini di dalam perkataan Nya,

 

Tidak sah menjual barang najis dan barang yang terkena najis seperti khamr, minyak, cuka yang terkena najis dan sesamanya ya’ni barang-barang yang tidak mungkin untuk disucikan lagi.

 

Tidak sah menjual barang yang tidak ada manfaatnya misalnya kalajengking, semut, binatang buas yang tidak bermanfaat.

 

MUHIMMAT DALAM BAB JUAL-BELI

.1. Yang Dijadika Pijakan Dalam Akad Adalah Kenyataan

 

Barang siapa mengalokasikan harta milik orang lain kemudian menjadi jelas ia memberikan izin kepadanya, atau ia berasumsi tidak adanya satu syarat di dalam jual beli yang kemudian jelas memenuhi semua persyaratan-persyaratan jual beli, maka tindakan orang tersebut dihukumi sah, karena yang menjadi pertimbangan didalam akad adalah sesuatu yang sesuai dengan realita atau kenyataan.

 

  1. Menjual Sesuatu Yang Akan Digunakan Maksiat

 

Dan haram menjual sesuatu yang halal yang suci terhadap seseorang yang kamu ketahui secara yagin, bahwa ia menghendaki bermaksiat dengan sesuatu tersebut. Artinya setiap tindakan yang akan mendatangkan perkara haram, maka hukumnya juga haram.

 

  1. Anak Kecil Jual Beli, tidak Sah

 

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berkata: Semua tindakan (pengalokasian) harta yang dilakukan oleh anak kecil, baik sudah tamyiz maupun belum tamyiz, maka hukumnya dianggap batal, akan tetapi Syafi’iyah mengatakan tidak sah tasharruf harta yang dilakukan anak kecil yang tamyiz, walaupun mendapat izin dari walinya.

 

  1. Macam-Macam Shighat

 

Ulama Syafi’iyah berkata: Jual beli tidak dihukumi sah kecuali dengan adanya bentuk ucapan (shigat kalamiyah) atau sesuatu yang mendekati shigat kalamiyah baik berupa tulisan, utusan, maupun isyarah dari orang bisu yang dapat dipahami.

 

  1. Imam Nawawi Lebih Longgar Dalam Shigat

 

An-Nawawi dan satu golongan ulama’ memilih sah hukum jual beli dengan secara mu’athoh (serah terima tanpa sighot) pada setiap perkara: yang dianggap jual beli oleh masyarakat luas, karena objek pembicaraan didalam jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak.

 

(Fasal) menjelaskan riba.

 

Lafadz “riba” dengan menggunakan alif magshurah. -ribasecara etimologi bermakna tambahan.

 

Dan secara terminologi hukum adalah menukar Swadi/sesuatu dengan sesuatu yang lain yang tidak diketahui kesamaannya di dalam ukuran syar’i ketika akad, atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang ditukar atau salah satunya.

 

Akad riba hukumnya haram.

 

Akad riba hanya terjadi pada emas, perak dan makanan. -yang di maksud denganmakanan adalah benda-benda yang biasanya ditujukan untukes makanan pokok, camilan, atau obat-obatan.

 

Dan riba tidak terjadi pada selain barangbarang tersebut.

 

 Tidak boleh menjual emas dengan emas, dan menjual perak begitu juga dengan perak, baik keduanya sudah dicetak ataupun belum, kecuali ukurannya sama.

 

Maka tidak sah menjual sesuatu dari barang tersebut dengan ukuran yang berbeda. Ungkapan Sang Pengarang “”naqdan” ya’ni serah terima secara kontan.

 

Sehingga, kalau sesuatu dari barang tersebut dijual dengan cara tempo, maka hukumnya tidak sah.

 

Tidak sah menjual barang yang telah dibeli oleh seseorang kecuali ia telah menerimanya, baik ia jual lagi kepada penjual barang tersebut atau pada yang lainnya.

 

Tidak boleh menjual daging dengan harga binatang.

 

Baik daging dari jenis binatang tersebut seperti menjual daging kambing dibeli dengan harga kambing, atau dari selain jenis binatang tersebut akan tetapi masih dari dagingnya binatang yang hala! dimakan dagingnya seperti menjual daging sapi dibeli dengan harga satu ekor kambing.

 

Diperbolehkan menjual emas dibeli dengan harga perak dengan ukuran berbeda, akan tetapi harus kontan, ya’ni seketika diterima sebelum berpisah.

 

Demikian juga makanan, tidak boleh menjual satu jenis makanan dibeli dengan jenis makanan yang sama kecuali dengan harga . ukuran yang sama dan kontan, ya’ni diterima ” seketika sebelum berpisah.

 

Dan boleh menjual satu jenis makanan dibeli dengan jenis makanan yang lain denganc ukuran harga berbeda, akan tetapi harus kontan, ya’ni diterima seketika sebelum berpisah.

 

Sehingga, kalau kedua orang yang melakukan transaksi berpisah sebelum menerima semua barangnya, maka hukum akadnya batal. Atau setelah menerima sebagiannya saja, maka  dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat tentang tafrigus shufgah’ (memisah akad).

 

Dan tidak boleh melakukan transaksi yang mengandung unsur penipuan, seperti menjual salah satu budak dari burak-budaknya -tanpa ditentukan yang mana-, atau menjual burung yang sedang terbang di angkasa.

 

MUHIMMAT DALAM BAB RIBA

 

  1. Mencampur Makanan Baik dan Jelek

 

Mencampur makanan yang baik dan jelek hukum boleh, selama diketahui oleh pembeli. Dan hal itu buka termasuk penipuan yang haram.

 

  1. Bank Itu Riba

 

Adapun yang telah berjalan pada saat ini hutang ada pihak BanK (yang mengharuskan peminjam membayar bunga setiap bulan), Itu jelas riba.

 

  1. Gambaran Riba al-Qardhu

 

Diantaranya adalah Riba akaardhis Sambaranya Idalah dengan memberi syarat yang memihak dan hanya bermanfaat pada orang yang menghutangi.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum hak khiyar ya’ni hak opsional pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara melanjutkan atau mengurungkan sebuah transaksi.

 

Kedua orang yang melakukan akad jual beli boleh melakukan khiyar di antara meneruskan akad jual beli dan melanjutkan mengurungkannya.

 

Ya’ni, kedua pelaku transaksi memiliki hak khiyar majlis (hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik — antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika kedua belah pihak masih berada dimajlis akad) di berbagai macam akad jual beli seperti akad salam.

 

Selama keduanya belum berpisah, ya’ni di waktu keduanya belum berpisah secara ‘urf. Ya’ni, khiyar majlis bisa terputus/selesai adakalanya sebab badan kedua orang yang melakukan akad jual beli tersebut telah berpisah dari majlis akad (tempat dimana peristiwa transaksi berlangsung). atau sebab keduanya telah memilih untuk menetapkan akad.

 

Seandainya salah satunya memilih untuk menetapkan akad dan tidak segera memilih pilihan yang lain, maka hak khiyarnya telah habis dan hak khiyar masih dimiliki oleh orang yang satunya.

 

Bagi ke dua orang yang melakukan akad jual beli, begitu juga salah satunya ketika orang yang satunya lagi sepakat, diperbolehkan untuk memberi syarat khiyar di dalam segala jual beli hingga masa tiga hari.

 

Masa tiga hari tersebut dihitung sejak dari akad jual beli bukan dari saat berpisah.

 

Seandainya syarat khiyar lebih dari tiga hari,

maka akadnya menjadi batal.

 

Seandainya barang yang dijual termasuk barang yang akan rusak pada masa yang telah disyaratkan, maka akad jual belinya menjadi batal.

 

Ketika pada barang yang dijual ditemukan cacat yang sudah ada sebelum barang itu diterima, dan bisa mengurangi harga atau barangnya dengan bentuk kekurangan yang bisa menghilangkan tujuan yang sah, dan biasanya pada jenis barang yang dijual tersebut tidak ada cacat tersebut seperti zina, mencuri, dan minggatnya budak yang dibeli, maka bagi pembeli diperbolehkan untuk mengembalikannya, ya’ni barang yang dijual. Tidak boleh menjual buah tanpa pohonnya dengan cara memutlakkan, ya’ni tanpa syarat menebang, kecuali setelah nampak kebaikan buah tersebut.

 

Yang dimaksud dengan nampak baik pada buah yang tidak berubah warna adalah: keadaannya sudah sampai pada batas yang biasanya telah dikehendaki untuk dikonsumsi, misalnya tebu telah manis, delima telah terasa asam, dan buah thin (luh : jawa) telah lunak. Dan pada buah yang berubah warna adalah buah tersebut telah beranjak merah, hitam atau kuning, seperti buah kurma, ijash (juwet : jawa), buah yang hampir matang (yadam : jawa). .

 

Sedangkan buah yang belum nampak buahnya, maka tidak sah menjualnya dengan cara memutlakkan, tidak sah dijual kepada pemilik pohonnya dan tidak sah juga djual kepada yang lain, kecuali dengan syarat ditebang/dipanen, baik kebiasannya di situ adalah langsung memetik buah ataupun tidak.

 

Seandainya pohon yang ada buahnya telah ditebang, maka buahnya boleh dijual tampa disyaratkan untuk dipetik.

 

Tidak boleh menjual tanaman yang masih hijau yang berada di tanah kecuali dengan syarat dipotong atau dicabut.

 

Jika tanaman tersebut dijual beserta lahannya, atau dijual tanpa lahannya setelah buah bijibijian tanaman tersebut telah mengeras, maka hukumnya diperbolehkan tanpa syarat dipanen.

 

Barang siapa menjual buah atau hasil pertanian yang belum nampak baik, maka « baginya wajib untuk menyiram tanaman , tersebut dengan kadar siraman yang bisa mengembangkan buah dan menyelamatkannya dari kerusakan.

 

Baik si penjual telah mempersilahkan pembeli untuk mengambil buahnya ataupun belum. Tidak diperbolehkan menjual barang yang bernilai ribawi dengan sejenisnya yang masih dalam keadaan basah. Lafadz “rathbah” dengan membaca huruf tha’nya yang tidak memiliki titik.

 

Dengan keterangan tersebut, Sang Pengarang memberi isyarat bahwa sesungguhnya di dalam jual beli barang-barang ribawi harus dalam keadaan sempurna.

 

Sehingga tidak sah misalnya menjual anggur basah dibeli dengan harga anggur basah.” “ Kemudian dari keterangan yang telah dijelaskan tadi, Sang Pengarang mengecualikan perkataan Nya yang berbunyi, “kecuali air susu”.

 

Ya’ni, sesungguhnya diperbolehkan menjual sebagian air susu dibeli dengan harga sebagian air susu yang lain sebelum dijadikan keju. Sang Pengarang memutlakkan air susu, sehingga mencakup air susu cair, air susu . kental, air susu murni, dan air susu asam.

 

Ukuran yang digunakan di dalam air susu adalah takaran. Sehingga sah menjual susu kental dibeli dengan harga air susu cair dengan. menggunakan takaran, walaupun ukuran keduanya berbeda jika menggunakan timbangan.

 

MUMIMMAT DALAM BAB KHIYAR (HAK MEMILIH)

 

Dengan Khiyar, Akad yang Tidak Boleh Jadi Boleh

 

 Bahwasanya menjual sesuatu yang tidak tampak hukumnya sah jika jenisnya diketahui dengan memberi penjelasan pada sifat-sifat barang yang ditawarkan, sebagaimana dalam contoh yang pertama. Sedangkan pendapat yang kedua, yang didukung oleh Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal mengatakan: Sah jual beli yang ghaib manakala jenisnya dapat diketahui dengan sifat-sifat yang dijelaskan, namun bagi pembeli diperbolehkan memilih mengembalikan barang yang dibeli ketika melihatnya.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum salam (pesan). Salam dan salaf secara etimologis memiliki makna yang samaya’ni segera.

 

Dan secara termonologi hukum adalah menjual sesuatu yang diberi sifat di dalam tanggungan. Ya’ni kontrak jual beli atas suatu barang dengan kwantitas dan kualitas tertentu dimana pembayaran dilakukan dimuka sedangkan penyerahan barang dilakukan dikemudian hari pada waktu yang telah disepakati.

 

Salam tidak sah kecuali dengan Ijab (serah) dan qabul (terima). Akad salam hukumnya sah dengan cara hal (cash/kontan) dan muajjal (tempo/kredit).

 

Jika akad salam dimutlakkan, maka menjadi sah dengan cara kontan/cash menurut pendapat ashah.

 

Akad salam hanya sah pada barang yang memenuhi lima syarat. Salah satunya adalah muslam fih (barang yang dipesan) harus berupa barang yang bisa dicirikan secara spesipik melalui criteria atau , sifat-sifatnya yang bisa mempengaruhi – terhadap minat pembeli atau harga.

 

Dengan gambaran sekira menyebutkan sifat tersebut ketidakjelasan barang yang dipesan menjadi hilang. Penyebutan sifat tidak boleh dengan cara yang bisa mengantarkan barang yang dipesan tersebut sulit ditemukan, sepeti intan yang besar, dan budak wanita beserta saudara perempuannya atau beserta anaknya.

 

Yang ke dua, barang yang dipesan harus berupa jenis ya’ni sesuatu yang memiliki cakupan berupa banyak kelompok yang tidak bercampur dengan jenis yang lain.

 

Sehingga tidak sah melakukan akad salam pada barang yang bercampur bahan-bahan  pokoknya serta tidak jelas batasannya, misalnya jenang harisah dan minyak ma’jun.

 

Jika bahan-bahan pokoknya jelas ukurannya, maka sah melakukan akad salam pada barang tersebut misalnya mentega.

 

Syarat yang ke tiga disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “dan barang tersebut tidak terkena pengaruh api sebagai proses pemasakan misalnya memasak atau  menggoreng.

 

Jika api digunakan pada barang tersebut untuk memisahkan seperti madu dan minyak samin, maka sah melakukan akad salam pada barang tersebut.

 

Syarat yang ke empat adalah barang yang dipesan tidak boleh muayyan (berstatus barang yang tertentu secara fisik), bahkan harus berstatus hutang dalam tanggungan.

 

Sehingga, kalau muslam fih-nya berstatus barang yang tertentu secara fisik misalnya perkataan “aku memesan dengan harga baju Ini kepadamu untuk membeli budak ini”, maka secara pasti (tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ syafi’iyah) hal itu bukanlah akad salam, karena tidak adanya tanggungan hutang dan juga tidak bisa sah menjadi akad bai’ menurut pendapat adihar.

 

Syarat ke lima adalah muslam fih tidak boleh dikhususkan dari barang yang sudah ditentukan, seperti, “saya memesan dengan harga dirham ini kepadamu untuk membeli satu sha’ dari tumpukan ini”.

 

Kemudian, untuk ke absahan muslam fih memiliki delapan syarat.

 

Di dalam sebagian beberapa kitab, “akad salam hukumnya sah dengan delapan syarat.”

 

Yang pertama disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “setelah menyebutkan jenis dan macamnya, orang yang memesan harus memberi sifat pada muslam fih dengan sifat yang bisa mempengaruhi harga.

 

Sehingga, saat memesan budak semisal, maka ia harus menyebutkan macamnya seperti budak Turki atau India, dan menyebutkan jenis  laki-laki atau perempuan, kira-kira usianya, ukurannya tinggi, pendek atau sedang, dan menyebutkan warna kulitnya seperti putih dan mensifati putihnya dengan agak kemerahan atau merah mulus.

 

Saat memesan onta, sapi, kambing, kuda, bighal dan keledai, ia menyebutkan jenis  jantan, betina, usia, warna dan macamnya.

 

Saat memesan burung, ia menyebutkan macam, kecil, besar, jantan, betina, dan usianya jika diketahui.

 

Saat memesan baju, ia menyebutkan jenis seperti kapas, katun, atau sutra, dan menyebutkan macamnya seperti kapas negri Irag, menyebutkan panjang, lebar, tebal, tipis, rapat, renggang, halus dan kasarnya.

 

Untuk contoh-contoh yang lain disamakan dengan contoh-contoh ini. Akad salam pada baju yang dimutlakkan, maka diarahkan kepada baju yang baru bukan baju bekas yang disatrika.

 

Yang ke dua adalah menyebutkan ukurannya dengan sesuatu yang bisa menghilangkan ketidakjelasan pada muslam fih.

 

Ya’ni, muslam fih harus diketahui ukurannya, yaitu takarannya pada barang yang ditakar,» timbangannya pada barang yang ditimbang, hitungannya pada barang yang dihitung, dan ‘ ukurannya pada barang yang diukur.

 

Yang ke tiga disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang,

 

Jika akad salam dilakukan dengan tempo, maka orang yang melakukan akad harus menyebutkan waktu jatuh temponya, ya’ni jatuh temponya misalnya bulan ini.

 

Jika ia memberi tempo akad salam dengan kedatangan Zaid misalnya, maka akad salamnya tidak sah.

 

Yang ke empat muslam fih-nya ada saat waktu penerimaan menurut ukuran kebiasaannya.

 

Ya’ni, waktu berhak untuk menyerahkan muslam fih.

 

Sehingga, seandainya seseorang melakukan akad salam pada barang yang tidak ditemukan saat jatuh tempo, misalnya kurma basah di £ musim dingin, maka akad salamnya tidak sah. Yang ke lima adalah menyebutkan tempat penerimaan muslam fih, ya’ni tempat menyerahkan.

 

Jika tempat akad pertama tidak layak untuk itu, atau layak namun butuh biaya untuk membawa muslam fih ke tempat penyerahan. Yang ke enam, tsaman-nya harus diketahui dengan ukuran atau langsung melihatnya. Yang ke tujuh, keduanya, ya’ni muslim (orang yang memesan) dan muslam ilaih (orang yang dipesan) harus melakukan serah terima tsaman sebelum berpisah.

 

Seandainya keduanya berpisah sebelum menerima ra’sul mal (barang yang digunakan sebagai harga), maka akad salam tersebut menjadi batal.

 

Atau setelah menerima sebagiannya saja, maka dalam permasalahan ini terjadi .. perbedaan pendapat di dalam tafrigus shufgah (pemilahan hukum sebuah akad yang memuat 2 hal yang berbeda secara hukum pemilihan hukum ini meliputi hukum sah dan tidak sah).

 

Yang diharuskan adalah penerimaan secara hakiki.

 

Sehingga, seandainya muslim melakukan akad hiwalah (pengalihan hutang) dengan ro’sul malnya akad salam, dan muhtal (orang yang menerima peralihan) yaitu muslam ilaih menerima barang tersebut dari muh al al (orang yang diberi beban hutang) di akad, maka hal itu tidak mencukupi.

 

Yang ke delapan, akad salam harus dilakukan dengan cara najizan (langsung), tidak berlaku khiyar syarat pada akad salam. Berbeda dengan khiyar majlis, maka sesungguhnya khiyar majlis bisa masuk pada akad salam. /

 

MUHIMMAT DALAM BAB AKAD SALAM

 

1 Sistem Perdagangan Masakini

 

Sistem perdagangan masa kini yang dapat terfaksang secara sempurna antara para pedagang dengan para penerima kuasa dari pihak perusahaan, apakah tergolong akad salam? — Maka menurut madzhab Syafi’i hukum akad di atas tidak sah, namun masih ada beberapa pendapat dari madzhab diluar Syafi’i.

 

  1. Definisi Jenis dan Nau’

 

Isthilah jenis dan nau’ dalam bab muamalat merujuk pada Isthilah Shi bahasa, bukan ahli manthig. Yang dimaksud jenis adalah sesuatu yang memiliki cakupan pada kelompok (ashnaf). Sedangkan nau’ adalah sesuatu yang memiliki cakupan pada banyak satuan (afrad).

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum gadai (bank garansi). Rahn (gadai) secara etimologi bermakna tetap.

 

Dan termonologi hukum adalah menjadikan barang yang bernilai harta sebagai jaminan/garansi atas hutang yang akandijual untuk digunakan membayar hutang ketika sulit/gagal untuk membayarnya.

 

Rahn tidak bisa sah keculai dengan ijab (penawaran) dan qabul (persetujuan/ucap terima).

 

Syarat masing-masing dari rahin (pihak yang memiliki tanggungan hutang dan menyerahkan jaminan kepada murtahin) dan murtahin (pihak pemilik piutangdan menerima jaminan dari rahin), adalah harus muthlag attasharruf (orang yang memiliki kebebasan mentasharrufkan hartanya baik tasharruf yang bersifat komersial (mu’awadlah) mapun non komersial (tabarru”’).

 

Sang Pengarang menyebutkan batasan marhun (barang yang digadaikan sebagai. jaminan atas hutang) di dalam perkataan Nya, Setiap perkara yang boleh untuk dijual, maka boleh digadaikan sebagai jaminan hutang ketika hutang tersebut sudah menetap di dalam tanggungan.

 

Dengan bahasa “hutang”, Sang Pengarang mengecualikan dari a’yan (bukan hutang).

 

Maka tidak sah memberi jaminan/Rahn pada a’yan misalnya barang yang dighasab, barang pinjaman dan sesamanya ya’ni benda-benda yang menjadi tanggungan.

 

Dengan bahasa “sudah menetap”, Sang Pengarang mengecualikan hutang yang belum menetap misalnya hutang di dalam akad . pesan, dan mengecualikan dari tsaman (harga) saat masih masa khiyar.

 

Bagi rahin diperbolehkan untuk menarik kembali barang gadaiannya selama belum diterima oleh murtahin (orang yang menerima gadai).

 

Jika murtahin sudah menerima barang yang digadaikan dari orang yang sah untuk menyerahkannya, maka akad gadai telah menjadi luzum ya’ni bersifat final dan mengikat yang tidak bisa dibatalkan dari arah rahin saja dan tidak boleh bagi rahin untuk menariknya kembali.

 

Rahn diberlakukan atas dasar amanah (kepercayaan).

 

Dan ketika demikian, maka murtahin tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi kepada marhun kecuali dia semberono di dalam menjaganya.

 

Dan tidak ada bagian dari hutang yang menjadi gugur sebab kerusakan yang terjadi pada marhun.

 

Jika murtahin mengklaim bahwa barang gadaiannya rusak, dan dia tidak menyebutkan penyebab kerusakannya, maka ia dibenarkan dengan disertai sumpah.

 

Sehingga, jika ia menyebutkan penyebab kerusakan yang nampak jelas, maka ia tidak — diterima pengakuannya kecuali disertai dengan saksi.

 

Seandainya murtahin mengkaim telah mengembalikan barang gadaiannya pada rahin, maka pengakuannya tidak diterima kecuali disertai dengan saksi.

 

Ketika murtahin telah menerima sebagian dari haknya yang menjadi tanggungan rahin, maka tidak ada bagian dari yang digadaikan yang terlepas kecuali murtahin telah menerima semuanya, yani semua hak menjadi tanggungan rahin.

 

MUHIMMAT DALAM BAB ROHN (GADAI)

 

  1. Tiga hal yang Berfungsi sebagai Jaminan

 

Terdapat 3 hal akan yang diperbolehkan meminta jaminan: 1. Gadai. 2. Dhaman. Kedua sebagai jaminan atas resiko pailit (iflas). Dan yang ke 3 adalah syahadah, yaitu sebagai jaminan atas resiko pengingkaran terhadap hak (jahd).

 

  1. Tradisi Menggunakan Barang Gadaian

 

Apabila ada kebiasaan masyarakat memanfaatkan barang gadaian bagi murtahin, apakah hal itu menempati posisi syarat dalam akad, sehingga menjadikan akad gadai menjadi rusak. Menurut jumhur tidak. Dan menurut imam al-Oaffal iya.

 

(Fasal) menjelaskan hajr terhadap safih (orang dungu) dan muflis (orang yang pailit bangkrut).

 

Hajr secara etimologi bermakna mencegah. Adapun termonologi hukum adalah mencegah tindakan di dalam harta.

 

Berbeda dengan tindakan pada selain harta misalnya talak, maka talak yang dilakukan oleh safih hukumnya sah.

 

Sang Pengarang menjadikan hajr pada enam orang .

 

Ya’ni 1 anak kecil/orang yang belum mengalami keluar mani (ihtilam/mimpi basah) atau keluar haidl di usia yang telah berpotensi mengalami ihtilam/haid atau orang yang belum istalara tahdidi/batasan umur yang pasti bagi orang yang tidak ihtilam/haid,

 

2orang gila/ya’ni orang yang kehilangan (pembekuan tasharruf) kemampuan membedakan, dan 3safih (idiot), dan Sang Pengarang menjelaskan safih dengan perkataan Nya, yang menghambur-hamburkan hartanya, ya’ni orang yang tidak bisa bertindak terhadap hartanya sesuai dengan semestinya.

 

Ke 4muflis (orang yang bangkrut). Muflis secara etimologi adalah orang yang hartanya telah menjadi uang receh, kemudian kata-kata ini dijadikan sebagai kinayah/sindiran yang menunjukkan sedikitnya harta atau tidak memiliki harta.

 

Dan termonologi hukum adalah orang yang memiliki beban hutang dan hartanya tidakes cukup untuk melunasi satu hutang atau beberapa hutang-hutangnya.

 

Dan yang ke 5dan orang yang mengalami sakit parah yang secara medis berada pada level kritis yang berakhir dengan kematian -.

 

Orang sakit seperti inidibekukan tasharrufnya terhadap hartanya yang melebih sepertiga dari seluruh hartanya, yaitu dua sepertiga harta peninggalannya karena untuk menjaga hak para ahli waris.

 

Hukum ini jika memang dia tidak memiliki tanggungan hutang.

 

Jika dia memiliki tanggungan hutang yang bisa menghabiskan seluruh harta peninggalannya, maka ia dicegah tindakannya pada sepertiga hartanya dan yang melebihi sepertiga.

 

-dan ke 6budak yang tidak diberi izin untuk berdagang.

 

Sehingga tindakannya tidak sah tanpa seizin majikannya.

 

Sang Pengarang tidak menjelaskan tentang beberapa permasalahan hajr yang dijelaskan di dalam kitab-kitab yang diperpanjang pemetimologinnya.

 

Di antaranya adalah masalah hajr terhadap orang murtad karena untuk menjaga hak orang-orang islam. Dan sebagiannya lagi adalah masalah hajr terhadap rahin karena « menjaga hak murtahin.

 

Tasharruf anak kecil, orang gila dan safih terhadap hartanya hukumnya tidak sah.

 

Sehingga tidak sah jual beli, pemberian dan tindakan-tindakan lainnya yang dilakukan oleh mereka.

 

Adapun safih, maka nikah yang ia lakukan hukumnya sah dengan izin walinya.

 

Sedangkan tindakan muflis hukumnya sah didalam tanggungannya.

 

Sehingga, seandainya ia menjual makanan atau yang lain dengan akad pesan, atau membeli keduanya dengan bayaran yang berada pada tanggungannya (hutang), maka hukumnya sah.

 

Tidak sah tasharrufnya yang di lakukan pada esensi hartanya.

 

Sedangkan tindakannya muflis misalnya di dalam akad nikah, cerai, atau khulu’ hukumnya adalah sah.

 

Adapun wanita yang muflis, maka jika ia melakukan khulu’ atas benda, maka hukumnya tidak sah. Atau atas hutang yang menjadi tanggungannya, maka hukumnya sah.

 

Adapun tindakan yang dilakukan oleh orang yang sakit -yang telah mengkhawatirkanpada hartanya yang melebihi sepertiga dari seluruh harta peninggalannya tergantung pada ‘ persetujuan para ahli waris.

 

Jika mereka menyetujui harta yang melebihi dari sepertiga, maka hukumnya sah. Namun Jika tidak setuju, maka hukumnya tidak sah. Izin dan penolakkan para ahli waris saat sakitnya orang yang sakit ya’ni belum meninggal dunia tidak dianggap.

 

Izin dan penolakan para ahli waris hanya dianggap setelahnya, ya’ni setelah yang sakit tersebut meninggal dunia.

 

Ketika ahli waris setuju, namun kemudian ia berkata, “aku setuju itu tidak lain karena aku – menyangka bahwa harta tersebut sedikit, namun ternyata tidak demikian.”, maka ia dibenarkan dengan disertai sumpahnya.

 

Sedangkan tindakan seorang budak yang tidak diberi izin untuk berdagang, berada pada ” tanggungannya.

 

Yang dimaksud dengan berada pada tanggungannya adalah tindakan tersebut akan. mengikuti pada budak itu setelah ia merdeka. Sehingga, jika sang majikan memberi Izin untuk berdagang, maka tindakan budak itu sah sebab mempertimbangkan izin tersebut.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HAJR (MENCEGAH TASHARRUF)

 

  1. Pencabutan & Penjatuhan Vonis Pembukuan Tasharuf

 

Penjatuhan dan pencabutan status hijru (pembekuan tasharuf) dikelompokkan menjadi empat:

1, Dapat ditetapkan tanpa adanya keputusan hakim, seperti hijru rahin dan majnun.

2 Membutuhkan keputusan hakim, seperti hijru safih.

  1. Pejatuhan vonis butuh hakim, dan pencabutan terdapat dua pendapat, n seperti hajru muflis.
  2. Pejatuhan vonis tidak butuh hakim, sedangkan pencabutan terdapat dua pendapat, seperti hijru shabiy.

 

  1. Macam dan Tujuan Hijru

 

Pembekuan tasharuf ada dua macam: 1. Demi menjaga kemaslahatan harta pihak yang dibekukan tasharufnya, yaitu anak kecil, orang gila, dan safih. 2. Demi menjaga kemaslahatan orang lain, yaitu muflis, orang yang mempunyai sakit parah, orang murtad, budak mukatab dan orang yang mengadakan akad rohn.

 

(Fasal) menjelaskan tentang akad shuluh. Shuluh secara etimologi adalah melerai konflik (rekonsiliasi),

 

Adapun secara termonologi hukum adalah akad (kesepakatan) untuk mencapai rekonsiliasi/perdmaian.

 

Shuluh hukumnya sah disertai dengan pengakuan, ya’ni pengakuan dari mudda’l alaih yaitu pihak yang dituduh atau dklaim oleh mudda’i dan mengajukan perdamaian (mushalih) atas tuduhan di dalam masalah harta.

 

Dan ini adalah sesuatu yang sudah nampak jelas.

 

Begitu juga di dalam masalah sesuatu yang mengantarkan padanya, ya’ni pada harta. Seperti orang yang telah memiliki hak gishash atas seseorang, kemudian mereka berdamai dengan ganti rugi berupa harta dengan menggunakan etimologi “shuluh”, maka sesungguhnya shuluh tersebut hukumnya sah, atau menggunakan etimologi “jual beli” maka hukumnya tidak sah.

 

Shuluh memiliki dua macam, shuluh ibra’ dan mu’awodlah. Ibra’, ya’ni shuluh ibra’ adalah hanya mengambil sebagian dari hutang yang berhak ja terima.

 

Sehingga, ketika ia melakukan akad shuluh dari uang seribu yang menjadi tanggungan seseorang dengan hanya mengambil “ima ratusnya saja, maka seakan-akan ia berkata pada orang tersebut, “berikan lima ratus padaku, dan aku bebaskan lima ratusnya lagi untukmu”,

 

Tidak boleh, dengan arti tidak sah, menggantungkan shuluh, yani“ menggantungkan shuluh yang bermakna ibra’ dengan suatu syarat.

 

Seperti ucapannya, “ketika datang awal bulan, maka aku melakukan akad shuluh denganmu.” Adapun mu’awadlah, ya’ni shuluh mu’awadiah, adalah berpindah dari haknya  kepada barang lain.

 

Seperti ia menuntut sebuah rumah atau bagian dari rumah pada seseorang, dan orang – tersebut mengakuinya, kemudian mereka berdamai dengan meminta barang tertentu seperti baju sebagai ganti dari tuntutan yang pertama, maka sesungguhnya hal tersebut hukumnya sah.

 

Dan pada shuluh ini berlaku hukum jual beli. Maka dalam contoh tersebut, seolah-olah ia menjual rumahnya pada orang yang dituntut: dibeli dengan baju.

 

Dan ketika demikian, maka hukum-hukum jual beli berlaku pada barang yang diakadi shuluh, ” seperti mengembalikan sebab ada cacat, mencegah tasharruf sebelum diterima barangnya.

 

Seandainya ia melakukan akad shuluh dengan mengambil sebagian barang yang dituntut, maka disebut hibbah (pemberian) yang ia lakukan pada sebagian hartanya yang tidak ia ambil.

 

Sehingga di dalam hibbah ini terlaku hukum-hukum hibbah yang dijelaskan di dalam babnya.

 

Shuluh ini disebut dengan shuluh al hathithah.

 

Dan tidak sah dengan menggunakan ungkapan menjual pada sebagian hak yang tidak ia ambil karena seolah-olah ia menjual barang yang ia tuntut dengan sebagian barang tersebut.

 

Bagi orang islam diperbolehkan untuk isyra”’, dengan membaca diammah huruf awainya dan membaca kasrah muruf yang sebelum akhir, ya’ni mengeluarkan atap/belandar, yang disebut juga dengan etimologi janah. Yaitu mengeluarkan kayu yang berada di atas tembok, hingga berada di atas jalan umum, yang disebut juga dengan etimologi syari”, dengan syarat tidak sampai menggangu orang yang berjalan di bawahnya, ya’ni di bawah atap tersebut, bahkan harus agak ditinggikan sekira orang yang tinggi dengan posisi tegap sempurna bisa berjalan di bawahnya. Imam al Mawardi juga mensyaratkan bahwa di atas kepala orang tersebut terdapat muatan yang sudah terbiasa.

 

Jika jalan umum tersebut adalah jalur penunggang kuda atau onta, maka atapnya . harus ditinggikan sekiran tandu yang berada di atas onta beserta kayu-kayu penopang yang berada di atas tandu tersebut bisa berjalan tanpa terganggu.

 

Adapun orang kafir dzimmi, maka tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan atap dan as sabathnya (atap jendela) di atas jalan umum, walaupun ia diperbolehkan lewat di jalan umum.

 

Dan tidak diperbolehkan mengeluarkan atap hingga berada di atas gang musytarak (yang di huni orang banyak), kecuali seizin orang-orang yang bersekutu pada gang tersebut.

 

Yang dikehendaki dengan mereka adalah orang yang pintu rumahnya terhubung pada gang tersebut.

 

Yang dikehendaki dengan mereka bukan orang yang tembok rumahnya bersentuhan dengan gang tanpa ada pintu yang menjalur pada gang tersebut.

 

Masing-masing — dari mereka berhak memanfaatkan gang mulai dari pintu rumahnya hingga pintu masuk gang, bukan bagian setelah pintu rumahnya hingga ujung gang.

 

Diperbolehkan memajukan posisi pintu rumah di gang musytarak.

 

Dan tidak diperbolehkan memundurkan posisi pintu rumah kecuali seizin orang-orang yang bertempat di sana. Sekira mereka tidak memperbolehkan, maka tidak diperbolehkan untuk dimundurkan.

 

Sekira dicegah untuk memundurkan, kemudian ia melakukan akad shuluh dengan . orang-orang yang bertempat di sana dengan ganti rugi berupa harta, maka hukumnya sah.

 

MUHIMMAT DALAM BAB AKAD SHULUH

 

Syarat Sahnya Akad Shuluh

 

Kriteria-kriteria keabsahan akad shufuh ada “dua: 1. Didahulul adanya persengketaan. 2. Pengakuan dari pihak lawan sengketa.

 

(Fasal) menjelaskan hawalah. Lafadz “al hawalah dengan terbaca fathah huruf ha’nya.

 

Dan ada yang menghikayahkan pembacaan kasrah pada huruf ha’nya. Hawalah secara etimologi adalah perpindahan atau peralihan.

 

Sedangkan secaa termonologi hukum adalah pemindahan hak dari tanggungan muhil (pihak yang berhutang kepada muhtal dan mengalihkan hak tagih piutangnya kpihak muhal alaih) kepada tanggungan muhal “alaih (pihak yang berhutang kepada muhil dan bertanggung jawab membayari hutang muhil kepada muhtal).

 

Syarat akad hawalah ada empat.

 

Yang pertama adalah kerelaan muhil. Muhil adalah orang yang mempunyai tanggungan hutang.

 

Bukan muhal ‘alaih, karena sesungguhnya tidak disyaratkan ada kerelaan darinya menurut pendapat al ashah. Dan hawalah tidak sah pada orang yang tidak memiliki hutang.

 

Yang kedua adalah penerimaan dari pihak muhtal. Muhtal adalah orang yang mempunyai / hak berupa hutang yang menjadi tanggungan muhil.

 

Yang ke tiga, keberadaan hutang yang dialihkan sudah berstatus menetap pada, tanggungan. Memberi batasan/ikatan “telah menetap” sesuai dengan apa yang disampaikan oleh imam ar Raff’i.

 

Akan tetapi Imam an Nawawi menentang pendapat tersebut di dalam kitab ar Raudlah.

 

Kalau demikian, maka yang dipertimbangkan di dalam hutang akad hawalah adalah harus sudah lazim (telah eksis dan bersipat final, mengikat dan tidak bisa dibatalkan) atau yang mendekati lazim.

 

Yang ke empat adalah cocoknya hutang yang berada pada tanggungan muhil dan muhal ‘alaih di dalam jenis, ukuran, macam, kontan, tempo, utuh dan pecahnya.

 

 Dengan akad hiwalah, muhil sudah bebas dari tanggungan hutang kepada muhtal.

 

Muhal ‘alaih juga bebas dari tanggugan hutang kepada muhil. Hak milik muhtal berpindah menjadi tanggungan muhal ‘alaih.

 

Sehingga, seandainya sulit mengambilnya dari muhal ‘alaih sebab bangkrut atau mengingkari hutang dan sesamanya, maka muhtal tidak boleh menagih kepada muhil.

 

Seandainya muhal “alaih dalam keadaan bangkrut saat terjadi akad hawalah dan muhtal tidak mengetahuinya, maka dia juga tidak diperbolehkan menagih kepada muhil.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HAWALAH (PERALIHAN HUTANG/LETTER OF CREDIT)

 

1, Hiwalah Saat Ini Adalah Wesel

 

Dihukumi sah hiwalah yang dikenal saat ini dengan nama wesel.

 

2, Syarat Dain dalam Hiwalah

 

Dalam ad-Dain al-Muhal bih dan ad-Dain al-Muhal ilaih diharuskan memenuhi lima syarat,

  1. Hak piutang muhil yang menjadi tanggungan muhal alaih telah wujud.
  2. Hutang yang telah wujud bersifat final (luzum).
  3. Legal untuk dititipkan.
  4. Hutang Muhil pada muhtal harus sepadan.
  5. Ma’lum kadarnya.

 

(Fasal) menjelaskan diaman. lafadz “diaman” adalah bentuk kalimat masdar dari kata-kata, “aku menanggung Sesuatu ketika aku menanggungnya”,

 

Dan secara termonologi hukum adalah kesanggupan menjamin harta yang menjadi tanggungan orang lain.

 

Syarat orang yang diaman adalah memiliki sifat ahli untuk tasharruf.

 

Sah menanggung hutang yang telah menetap pada tanggungan seseorang ketika diketahui ukurannya/ kadarnya.

 

Adapun memberi Ikatan/batasan “mustagirah” menimbulkan kejanggalan akan sahnya diaman mas kawin sebelum melakukan hubungan suami istri, padahal saat itu hutang tersebut belum menetap di dalam tanggungan. Oleh sebab itu, imam ar Rafi’i dan an Nawawi tidak mensyaratkan kecuali hutang tersebut sudah tetap dan lazim.

 

Dengan perkataan Sang Pengarang, “ketika ukurannya diketahui”, mengecualikan hutanghutang yang belum diketahui ukurannya, maka tidak sah untuk didiaman sebagaimana keterangan yang akan datang.

 

Bagi orang yang memiliki hak, ya’ni hutang tersebut, diperbolehkan untuk menagih siapapun yang Ia kehendaki baik diamin (yang melakukan diaman) dan madimun ‘anh yaitu orang yang memiliki tanggungan hutang.

 

Perkataan Sang Pengarang, “ketika diaman dilakukan pada hutang yang telah aku jelaskan”, tidak tercantum di dalam  kebanyakan redaksi matan.

 

Ketika diamin melunasi hutang yang ia tanggung, maka diperbolehkan baginya untuk meminta ganti dari madimun ‘anh, dengan syarat yang disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang -di bawah ini-,

 

Ketika diaman dan pelunasan, ya’ni masingmasing dari keduanya telah mendapat izinnya, ya’ni izin madimun “anh.

 

Kemudian Sang Pengarang menjelaskan arti yang tersirat dari perkataan Nya yang sudah lewat yaitu, “ketika ukuran hutang-hutangnya diketahui”, dengan perkataan Nya di sini,

 

Dan tidak sah menyanggupi jaminan hutang yang tidak diketahui kadarnya, seperti ucapan seseorang, “juallah barang tersebut pada fulan, dan saya yang akan menanggung tsamannya.“

 

Dan tidak sah menyanggupi jaminan hutang yang belum tetap, misalnya menanggung uang seratus yang akan menjadi tanggungan zaid di masa yang akan datang.

 

Kecuali permasalahan “dark al mabi” ya’ni mendiaman dark al mabi’.

 

Dengan praktek seseorang sanggup menanggung tsaman kepada si pembeli seandainya barang yang dijual ternyata milik orang lain.

 

atau seseorang sanggup menanggung barang yang dijual kepada penjual seandainya uang yang dibayarkan ternyata milik orang lain.

 

(Fasal) menjelaskan sanggup menanggung selain harta yaitu diaman badan, dan disebut dengan kafolah di wajh dan kafalah badan (penjaminan orang) sebagaimana yang disampaikan Sang Pengarang, Kafolah (menanggung) badan hukumnya diperbolehkan ketika pada makful lah (orang yang ditanggung), ya’ni pada badannya terdapat hak adami, seperti gishash, dan had – gadzaf (menuduh zina).

 

Dengan keterangan hak adami, dikecualikan haknya Allah Swt.

 

Maka tidak sah melakukan kafalah terhadap badannya orang yang memiliki tanggungan haknya Allah Swt, seperti had mencuri, had minum arak dan had melakukan zina.

 

Kafil (orang yang menanggung) telah dianggap bebas dari tanggungan dengan menyerahkan – badan makfu (orang yang ditanggung) di tempat penyerahan tanpa ada penghalang – yang bisa mencegah makful lah (orang yang menerima tanggungan) untuk bisa mengambil haknya dari makful.

 

Sedangkan jika ada penghalang, maka kaffi belum dianggap bebas dari tanggungan.

 

MUHIMMAT DALAM BAB DHAMAN

 

  1. Hukum Asuransi

 

Asuransi bisnis hukumnya tidak diperbolehkan secara syara’, sebab terdapat unsur riba, yakni motivasi peserta saat menyetorkan dana atau premi ke pihak perusahaan asuransi. Dan ini adalah pendapat sebagian besar fugaha’ saat ini.

 

  1. Ilustrasi Akad Dhaman ad-Dain

 

Contoh dhaman hutang adalah: Amru mempunyai hutang kepada Zaid sebesar 100 dinar dengan hutang yang pasti, kemudian datang Bakar untuk menanggung hutangnya Amru, lalu ia berkata kepada Zaid: Saya menanggung piutang kamu yang ada pada Amru.

 

  1. Hustrasi Akad Dhaman Badan atau Kafalah

 

Contoh dari dhaman badan atau yang disebut dengan kafalah adalah: Amru mempunyai kasus hukum yang bersifat materi (maliyyah), atau mempunyai kasus hukum yang bersifat hukuman (ugubah) yang berkaitan dengan hak adami, seperti gishas atau glqadaf kepada Zaid, lalu bakar berkata pada Zaid: saya menjadikan jaminan untukmu, untuk menghadirkan badanya Amru,

 

 (Fasal) menjelaskan syirkah.

 

Syirkah secara etimologi adalah bercampur.

 

Dan secara termonologi hukum adalah tetapnya hak secara umum pada barang satu bagi dua orang atau lebih.

 

Syirkah memiliki lima syarat.

 

Yang pertama, syirkah harus dilakukan dengan uang berupa dirham dan dinar walaupun telah dicampur namun harus tetap berlaku di pasaran.

 

Tidak sah melakukan akad syirkah dengan tibrin (emas mentah), perhiasan dan saba’ik (emas batangan).

 

Syirkah juga bisa dilakukan dengan barang-barang mitsli seperti gandum putih.

 

Tidak sah dilakukan dengan barang-barang mutagawwam (yang dikrus dengan uang) seperti barang-barang dagangan berupa pakaian dan sesamanya.

 

Yang kedua, jenis dan macam barang yang disyirkahnya harus sama. Sehingga tidak sah melakukan akad syirkah dengan emas dan dirham, uang utuh dengan uang pecah, dan tidak sah gandum putih dengan gandum merah.

 

Yang ke tiga, keduanya harus mencampur kedua hartanyanya, sekira keduanya tidak berbeda lagi.

 

Yang ke empat adalah masing-masing dari keduanya, ya’ni kedua pelaku Kongsi

 

Kemitraan, harus memberi izin pada temannya untuk menjalankan harta syirkah.

 

Ketika telah diberi izin, maka harus mentasharrufkan dengan cara yang tidak beresiko.

 

Sehingga masing-masing dari keduanya tidak diperbolehkan melakukan akad jual beli dengan cara tempo, dengan selain mata uang daerah setempat dan dengan menanggung kerugian yang terlalu parah.

 

Masing-masing tidak diperbolehkan melakukan bepergian dengan membawa harta yang disyirkahnya kecuali dengan izin temannya.

 

Jika salah satu dari kedua pihak pelaku kongsikemitraan melakukan akad yang tetah 8 dilarang, maka hukum akad tersebut tidak sah pada bagian mitra kerjanya.

 

Sedangkan pada bagiannya sendiri terdapat dua pendapat dalam permasalahan “tafriqusshufqah”.

 

Yang ke lima, laba dan kerugian disesuaikan dengan ukuran kedua harta.

 

Baik ukuran keduanya sama dalam menjalankan harta yang disyirkahkah ataupun kadarnya berbeda.

 

Sehingga, jika keduanya mensyaratkan harus sama di dalam laba padahal jumlah kwantitas hartanya berbeda, atau sebaliknya (berbeda dalam laba, padahal jumlah hartanya sama), maka hukum syirkahnya tidak sah.

 

Syirkah adalah akad yang jaiz dari kedua belah pihak.

 

Dengan demikian, maka bagi masing-masing dari keduanya, ya’ni kedua pelaku kongsi Kemitraan, diperbolehkan untuk membatalkan akad syirkah kapan saja mereka berdua menghendaki.

 

Dan kedua pelaku kongsi kemitraan tercopot dari tasharruf sebab telah membatalkan akad syirkah.

 

Dan ketika salah satu dari keduanya meninggal dunia, gila, atau epilepsi, maka akad syirkah tersebut menjadi batal.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SYIRKAH (KONGSI KEMITRAAN)

 

  1. Pengertian Syirkatul A’mal wal Abdan

 

Ta’rif dari Syirkatil A’mal atau Badan adalah: dua orang bersekutu dalam menaggung satu pekerjaan, dan pekerjaan Itu dilakukan oleh keduanya, seperti menjahit, tukang besi, tukang wanter dil. Maka menurut golongan Syafi’tyyah, Imamiyyah, Imam Zufar dari golongan madzihab hanafi, hukumnya adalah batal, karena syirkah hanya tertentu pada harta, bukan pekerjaan.

 

  1. Alasan Syafi’lyyah Melarang Syirkatul Abdan

 

Golongan Madzhab Syafi’i berkata: Syirkatul abdan hukumnya Fasid, karena hal itu adalah syirkah pada selain harta, dan para pekerja akan berbeda-beda dalam segi kekuatan dan semangat sekaligus pekerjaan (pasti akan potensi ghurur).

 

(Fasal!) menjelaskan hukum-hukum wakalah.

 

Lafadz “wakalah” dengan terbaca fathah atau kasrah huruf waunya, secara etimologi adalah pelimpahan atau penyerahan.

 

Sedangkan secara termonologi hukum adalah pelimpahan seseorang kepada orang lain atas urusan yang boleh ia kerjakan sendiri dan boleh di ambil alih orang lain agar dilakukan ia masih hidup.

 

Dengan ikatan/batasan ini (saat masih hidup), mengecualikan Isha’ (pelimpahan urusan kepada orang lain untuk direalisasikan pasca kematian).

 

Sang Pengarang menyebutkan batasan wakalah di dalam perkataan Nya, Setiap sesuatu yang boleh dikerjakan sendiri oleh seseorang, maka baginya diperbolehkan untuk mewakilkan pada orang lain, atau menerima beban wakil dari orang lain untuk mengerjakan hal tersebut.

 

Sehingga anak kecil dan orang gila tidak bisa menjadi orang yang mewakilkan atau menjadi wakil, Syarat pekerjaan yang diwakilkan harus bisa digantikan orang lain.

 

Sehingga tidak sah mewakilkan dalam ibadah badaniyah, kecuali ibadah haji dan membagikan zakat misalnya. -syaratnya lagiorang yang mewakilkan sudah memiliki hak atas apa yang akan diwakilkan. «

 

Sehingga seandainya seseorang mewakilkan pada orang lain untuk menjual budak yang : baru akan dia miliki, atau mewakilkan untuk melakukan talak terhadap seorang wanita si wakil tidak berhak melakukan iqrar yang memberatkan muwakkil, tidak berhak membebaskan hutang yang dimiliki muwakkil, dan tidak memiliki hak melakukan akad shuluh terhadap hutang tersebut.

 

Perkataan Sang Pengarang, “kecuali dengan izin muwakkil”, tidak tercantum di dalam sebagian redaksi kitab matan.

 

Menurut pendapat ashah, sesungguhnya mewakilkan iqrar hukumnya tidak sah.

 

MUHIMMAT DALAM BAB WAKALAH (PERWAKILAN)

 

1 Wakil Harus Berhati-Hati dalam Tindakannya

 

Wakil wajib mengikuti ketentuan muwakkil — Dan juga mengikuti petunjuk Indikasi yang kuat dari perkataan muwakkil atau kebiasaan yang berlaku di daerahnya. Dan jika hal tersebut tidak ada, maka ia wajib mengamalkan tindakan yang lebih berhati-hati.

 

  1. Yang Dijadikan Pijakan Perkataan Muwakkil Atau Kebiasaan yang Berlaku

 

Wakil tidak memiliki tindakan kecuali sesuai dengan tunditan izin muwakkil, baik dari segi ucapan maupun dari segi kebiasaan yang berlaku didaerahnya.

 

  1. Perbedaan & Persamaan Wakalah Shahihah dan Fasidah

 

(Kesimpulan) Akad perwakilan yang sah dan yang batal mempunyai kesamaan dalam hal terlaksananya tindakan (tashoruf), dan mempunyai perbedaan dalam hal upah yang disebutkan dalam akad wakalah. Artinya upah yang disebutkan dalam akad wakalah yang batal akan menjadi gugur, dan sebagai gantinya membayar upah yang umum (ujratul mitsli). Sedangkan dalam wakalah yang sah upah yang disebutkan dalam akad wakalah harus dibayar penuh.

 

  1. Wakil Beda Dengan Muwakkil, Tapi Lebih Menguntungkan

 

(Far’un) Apabila seseorang mewakilkan pada orang lain untuk membeli satu ekor kambing yang disifati dengan harga satu dinar, lalu ia membeli dua ekor kambing yang mana satu ekornya menyamai satu dinar, maka pembelian tersebut dihukumi sah bagi muwakkil, karena ia telah menghasilkan tujuannya dan menambah kebaikan.

 

  1. Yang Dimaksud Ijab dalam Wakalah :

 

Sebuah perwakilan diwajibkan dengan adanya ijab, artinya ada ungkapan yang menandakan ridlonya orang yang mewakilkan di dalam mengalokasikan barang yang diwakilkan. Seperti dengan lafadz (ungkapan) adalah kitabah (tulisan), dan Isyarah yang memahamkan bagi orang yang bisu.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum Iqrar. Iqrar secara etimologi adalah menetapkan.

 

Sedangkan secara termonologi hukum adalah memberitahukan — hak yang menjadi tanggungan orang yang Iqrar.

 

Maka mengecualikan syahadah (persaksian). Karena sesungguhnya syahadah adalah memberitahukan hak milik orang lain yang menjadi beban orang yang lain lagi.

 

Sesuatu yang di akui ada dua macam. Salah satunya adalah haknya Allah Swt seperti mencuri dan berzina.

 

Yang ke dua adalah hak anak Adam seperti had gadzaf (menuduh zina) pada seseorang.

 

Untuk haknya Allah Swt, maka hukumnya sah menarik kembali pengakuan di dalamnya.

 

Seperti seseorang yang telah mengaku berbuat zina berkata, “saya menarik kembali pengakuan ini,” atau “saya berbohong dalam pengakuan ini.” Bagi orang yang mengaku telah berbuat zina disunnahkan — untuk menarik — kembali pengakuannya.

 

Sedangkan untuk hak anak Adam, maka hukumnya tidak sah menarik kembali pengakuan di dalamnya.

 

Dibedakan antara hak Ini dengan hak sebelumnya, bahwa sesungguhnya haknya Aliah Swt didasarkan pada kemurahan, sedangkan hak anak Adam didasarkan pada al musahah (sengketa).

 

Sahnya pengakuan membutuhkan tiga syarat. Salah satunya adalah baligh. Sehingga tidak sah pengakuan anak walaupun hampir baligh dan walaupun seizin walinya.

 

Yang kedua adalah berakal. Sehingga tidak sah pengakuannya orang gila, orang pingsan dan orang yang hilang akalnya sebab sesuatu yang ditolelir.

 

Jika hilangnya akal itu disebabkan oleh sesuatu yang tidak ditoleir, maka hukumnya seperti orang yang mabuk.

 

Yang ke tiga adalah atas kemauan sendiri, sehingga tidak sah pengakuan orang yang dipaksa terhadap apa yang dipaksakan pada dirinya.

 

Jika pengakuan tersebut pada harta, maka ditambahkan syarat yang ke empat yaitu rusyd (pintar). Yang dikehendaki dengan rusyd adalah keberadaan orang yang iqrar adalah orang yang mutlak tasharrufnya (sah tasharrufnya).

 

Dengan keterangan “terhadap. harta”, Sang Pengarang mengecualikan pengakuan terhadap selain harta seperti talak, dhihar dan sesamanya.

 

Maka tidak disyaratkan harus rusyd pada orang yang iqrar dengan perkara-perkara tersebut, bahkan hukumnya sah pengakuan dari orang idiot.

 

Ketika seseorang melakukan iqrar dengan sesuatu yang tidak jelas/majhul seperti ucapannya, “fulan memiliki sesuatu hak pada diriku”, — maka ia diminta — untuk. menjelaskannya, ya’ni barang yang tidak jelas tersebut.

 

Sehingga penjelasannya sudah bisa diterima dengan sesuatu yang memiliki harga,  walaupun hanya sedikit seperti uang receh. Seandainya ia menjelaskan perkara yang tidak jelas tersebut dengan sesuatu yang tidak memiliki harga akan tetapi masih termasuk jenis dari perkara yang memiliki harga seperti satu biji gandum putih, atau bukan termasuk jenis barang yang memiliki harga akan tetapi halal untuk disimpan seperti kulit bangkal, ‘ anjing yang terlatih dan kotoran ternak, maka penjelasannya di dalam semua Itu dapat diterima menurut pendapat al ashah.

 

Ketika seseorang melakukan iqrar dengan sesuatu yang tidak jelas dan tidak mau . menjelaskannya setelah dituntut untuk menjelaskan, maka ia berhak dipenjara hingga “ mau menjelaskan perkara yang belum jelas tersebut.

 

Sehingga, jika ia meninggal dunia sebelum menjelaskan, maka yang dituntut untuk“ menjelaskan adalah ahli warisnya, dan semua harta tinggalannya dipending terlebih dahulu. Hukumnya sah memberi istitsna’/mengecualikan di dalam iqrar ketika pengecualian tersebut langsung disambung dengan iqrarnya, ya’ni orang yang iqrar langsung menyambung istitsna’-nya dengan mustatsna minhu.

 

Sehingga, jika ia memisahkan antara keduanya dengan diam -yang lama secara ‘urfatau ucapan yang lain, maka hukumnya tidak sah.

 

Adapun pemisah yang berupa diam sebentar seperti diam untuk mengambil nafas, maka u hukumnya tidak berpengaruh.

 

Di dalam istitsna’ juga disyaratkan harus tidak sampai menghabiskan mustatsna minhu-nya. Sehingga, jika sampai Istitsna’-nya menghabiskan mustatsna minhu-nya seperti ucapan, “Zaid memiliki hak pada diriku sepuluh kecuali sepuluh”, maka hukum istitsna’-nya tidak sah. Iqrar di saat sehat dan sakit Itu hukumnya sama saja.

 

Sehingga, seandainya ada seseorang yang iqrar saat sehat bahwa ia memiliki hutang pada Zaid, dan saat sakit ia mengaku bahwa memiliki hutang pada Umar, maka pengakuan’ yang pertama tidak didahulukan. Dan kalau demikian, maka barang yang diiqrari harus dibagi di antara keduanya dengan secara sama.

MUHIMMAT DALAM BAB IQRAR

 

1.. Status Hukum Tanda Tangan

 

Para Ulama membicarakan masalah status hukum tanda tangan. Apakah menempati kedudukan iqrar? Madzhab Syafi’i tidak menganggap tanda tangan sebagai iqrar bahkan tidak menganggap cukup sebagai iqrar, karena tanda tangan terkadang dipalsukan. Namun madzhab imam Malik dan yang lain dari golongan ulama mutaakhirin berpendapat, tanda tangan dapat menduduki tempatnya iqrar.

 

  1. Macam-Macam Informasi

 

Ada berapa pembagian tentang informasi.

  1. Iqrar: secara syara’ adalah pengakuan seseorang yang menginformasikan hak orang lain yang menjadi tanggungan dirinya.
  2. Da’wa: adalah kebalikan dari iqrar (tanggungan orang lain).
  3. Syahadah: pengakuan seseorang yang menginformasikan hak orang lain yang menjadi tanggungan orang lain.
  4. Da’wa dan Syahadah: apabila keduanya bersifat khusus.
  5. Riwayat: apabila bersifat umum, dengan syarat berkaitan dengan hal-hal empiris (mahsus).
  6. Hukum: Apabila berkaitan dengan hukum syara”, Jika bersifat mengikat.
  7. Fatwa: Apabila tidak bersifat mengikat.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ‘ariyyah.

 

Lafadz “ariyyah” dengan ditasydid huruf ya’nya menurut pendapat ashah, adalah lafadz yang diambil dari kata-kata “’ara ‘idza dzahaba (sesuatu terbang ketika pergi).”

 

Hakikat ‘“ariyyah secara syareat adalah izin untuk memanfaatkan dari ahli tabarru’ ya’ni orang yang sah melakukan tasharruf nom komersial terhadap sesuatu yang halal untuk dimanfaatkan tanpa mengurangi barangnya agar bisa dikembalikan atas ahli tabarru’ tersebut.

 

Syarat orang yang meminjamkan adalah sah tabarru’nya, dan ia adalah pemilik manfaat.barang yang ia pinjamkan. Sehingga, orang yang tidak sah tabarru’nya seperti anak kecil dan orang gila, maka meminjamkan yang ia lakukan hukumnya tidak sah.

 

Dan orang yang tidak memiliki manfaat seperti orang yang meminjam, maka hukumnya tidak sah untuk meminjamkan barang yang ia pinjam kecuali dengan izin orang yang meminjamkan kepadanya. Sang Pengarang menyebutkan batasan barang pinjaman di dalam ucapan Nya,

 

 

Setiap sesuatu yang bisa dimanfaatkan dengan kemanfaatan yang diperbolehkan -oleh syara’tanpa mengurangi barangnya, maka boleh untuk dipinjamkan. Dengan etimologi “diperbolehkan”, mengecualikan alat musik, maka hukumnya tidak sah untuk dipinjamkan.

 

Dengan keterangan “tanpa mengurangi barangnya”, mengecualikan meminjamkan lilin « untuk dinyalakan, maka hukumnya tidak sah. Dan perkataan Sang Pengarang, “ketika manfaatnya berupa atsar”, mengecualikan manfaat-manfaat yang berupa barang/materi. Seperti meminjamkan kambing untuk diambil air susunya, pohon untuk diambil buahnya dan sesamanya, maka sesungguhnya hal tersebut hukumnya tidak sah.

 

Sehingga, seandainya seseorang berkata pada orang lain, “ambillah kambing ini, sesungguhnya aku memperbolehkan padamu untuk mengambil air susunya dan anaknya,” maka hal tersebut adalah ibahah yang sah, sedangkan kambingnya berstatus barang pinjaman.

 

Diperbolehkan melakukan akad ‘ariyyah dengan cara mutlak tanpa dibatasi dengan waktu.

 

Dan dengan cara dibatasi waktu seperti, “aku meminjamkan baju ini padamu selama sebulan.”

 

Dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan diungkapkan dengan bahasa, “boleh melakukan ‘ariyah dengan cara mutlak dan dengan dibatasi waktu.”

 

Bagi orang yang meminjamkan diperbolehkan untuk menarik kembali barang pinjamannya dalam masing-masing dua keadaan tersebut kapanpun ia menghendaki.

 

Barang pinjaman ketika rusak bukan karena penggunaan yang diberi izin, maka harus diganti oleh orang yang meminjam dengan ganti rugi berupa harga di hari kapan barang tersebut rusak.

 

Tidak dengan harga di hari saat memintanya dan tidak dengan harga tertinggi.

 

Jika rusak sebab penggunaan yang telah diizini seperti meminjamkan baju untuk dipakai kemudian nampak jelek atau sobek sebab – penggunaan tersebut, maka tidak wajib mengganti bagi orang yang meminjam.

 

MUHIMMAT DALAM BAB ‘ARIYYAH (PINJAM & MEMINJAM)

 

  1. Hukum Merninjam Pada Orang yang Meminjam ,

 

Sah meminjam sesuatu dari orang yang menyewa, karena ia memiliki manfaat dari barang tersebut, dan tidak boleh meminjam dari orang yang juga meminjam, karena Ia tidak memiliki pada manfaat itu, dan hanya diperkenankan baginya untuk memanfaatkan.

 

  1. Jaminan KTP Saat Meminjam

 

Sebagian dari kesalahan adalah tindakan sebagianorang meminta jaminan berupa tanda pengenal atau yang lain, dari apa yang telah ia pinjam sebagai jaminan, dan ia mengembalikan jaminan itu pada saat barang yang dipinjam dikembalikan, dan ini adalah pergadain yang tidak sah, karena gadai hanya berlaku pada hutang.

 

  1. Merusak Mengganti Dengan Nominal Tertentu

 

Ketika seseorang meminjamkan barang dengan syarat mengganti kerusakan dengan nominal tertentu, maka syarat itu rusak tidak akad pinjamnya.

 

  1. Kemanfaatan Barang Haram

 

Syarat dari barang yang dipinjamkan ada empat —Diantaranya: kemanfaatan barang yang dipinjamkan berhukum mubah, maka tidak sah meminjamkan barang yang kemanfaatannya adalah haram.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ghasab.

 

Ghasab secara etimologi adalah mengambil sesuatu secara dhalim dengan cara terang- terangan.

 

Sedangkan secara termonologi hukum adalah menguasai hak orang lain dengan cara dhalim. Ukuran menguasai dikembalikan pada ‘urf.

 

Termasuk hak orang lain adalah sesuatu yang sah untuk dighasab yang berupa barangbarang selain harta seperti kulit bangkai.

 

Dengan etimologi “secara dhalim” mengecualikan menguasai harta orang lain dengan cara akad.

 

Barang siapa mengghasab harta seseorang, maka wajib baginya untuk mengembalikan / pada pemiliknya, walaupun dalam pengembalian tersebut ia harus menanggung : berlipat-lipat dari harga barang tersebut.

 

Dan ia juga wajib mengganti rugi kekurangan barang tersebut jika memang terjadi kekurangan seperti orang yang mengghasab pakaian kemudian ia pakai, atau menjadi ” berkurang tanpa ada pemakaian.

 

Dan juga wajib membayar ongkos standar dari penyewaan harta yang ia ghasab.

 

Sedangkan seandainya nilai barang yang dighasab menjadi kurang sebab turunnya harga di pasaran, maka orang yang mengghasab tidak wajib menggantinya menurut pendapat ash shahih.

 

Dalam sebagian bebrapa redaksi kitab matan menggunakan etimologi, “barang siapa mengghasab harta seseorang, maka ia dipaksa untuk mengembalikannya”.

 

Jika barang yang dighasab rusak, maka orang yang mengghasab harus mengganti dengan barang sesamanya jika memang barang yang dighasab tersebut memiliki kesamaan (mitsil).

 

Menurut pendapat ashah sesungguhnya yang dikehendaki dengan mitsli adalah setiap  barang yang diukur dengan takaran atau timbangan dan boleh untuk diakadi salam seperti perunggu dan kapas, bukan minyak  ghaliyah dan minyak ma’jun.

 

Sang Pengarang menjelaskan tentang ganti rugi barang yang memiliki harga di dalam perkataan Nya,

 

Atau orang yang mengghasab harus mengganti sesuai harga barang yang dighasab jika memang barang tersebut tidak memiliki kesamaan, dengan gambaran barang itu adalah barang yang memiliki harga dan berbeda-beda harganya, dengan ganti rugi harga yang tertinggi sejak hari pertama mengghasab hingga hari di mana barang tersebut rusak.

 

Yang dipertimbangkan dalam ukuran harga adalah mata uang yang paling terlaku.

 

Jika ada dua mata uang yang sama-sama teriakunya, imam ar Rafi’l berkata, maka seorang qadli harus menentukan salah satu dari keduanya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB GHASAB

 

  1. Ghosob Tidak Mesti Harta

 

Batasan dari Ghosob adalah menguasai harta orang lain dengan cara melanggar syara” (sembrono) — yang dimaksud haggul ghoir, karena hak memasukkan yang tidak bersifat maliyah atau harta, seperti Anjing, kotoran binatang (pupuk kompos), kulitnya bangkai. Atau menguasai kemanfaatan dan hak, seperti menempati pada tempat yang mubah, seperti Masjid, jalan raya dil.

 

  1. Menggoshob Harta Yang Terianjur Campur ,

 

Barang ghosoban ketika dicampur dengan harta yang halal, maka ia harus memisahkan kira-kira harta yang telah dighosob tersebut, setelah itu baru dihalalkan untuk mentasharufkan (mengalokasikan) sisanya.

 

  1. Duduk di Sepadanya Orang Termasuk Ghasab

 

Ketika seseorang duduk di kendaraan atau karpet orang lain, maka ia termasuk orang yang ghasab, walaupun tidak memindahkannya.

 

  1. Hasil Dari Harta Ghosaban Milik Siapa?

 

Apabila seseorang meng-ghosob Jaring, perahu dan anak panah milik orang lain, latu dibuat alat berburu ikan atau binatang, maka hasil tangkapan ikan atau binatang menjadi milik orang yang meng-ghosob, karena diaiah yang menggerakkan alat berburu ikan atau binatang. namun, Ia wajib membayar upah standar sewa alat tersebut.

 

  1. Maksud ‘Ulima Ridhohu

 

Apabila (seseorang mengambil harta orang lain, dan) ada indikasi kerelaan orang yang punya harta, maka Ia boleh mengambilnya sekedarnya saja, yang dimungkinan dengan kadar itu pemilik harta akan rela. Dan kerelaan itu berbeda-beda dengan melihat orangnya (pemilik harta), nominal hartanya dan situasinya, dan telah jelas bahwa keterangan di atas terdapat dalil dari alQur’an, as-Sunah dan tindak lampah Ulama Salaf.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum asy syufah.

 

Lafadz “asy syuf ah” Itu dengan terbaca sukun huruf fa’nya. Sebagian ahli figh membaca diammah huruf fa’nya.

 

Makna asy syufah secara etimologi adalah mengumpulkan.

 

Sedangkan secara termonologi hukum adalah hak untuk memiliki secara paksa yang ditetapkan bagi syarik yang lebih dulu atas .syarik yang masih baru sebab adanya syirkah dengan mengganti sesuai dengan kadar barang yang digunakan -syarik haditsuntuk memiliki.

 

Asy syufah disyareatkan untuk mencegah kesulitan.

 

Asy syufah hukumnya wajib, ya’ni tetap bagi syarik disebabkan oleh percampuran, ya’ni percampuran yang menyeluruh (khulthah asy syuyu’), bukan percampuran yang dibatasi ” (khulthah al jiwar).

 

Sehingga tidak ada hak syufah bagi tetangga rumah, baik yang dempet atau tidak. Asy syufah hanya berlaku dalam urusan barang-barang yang bisa terbagi, ya’ni menerima untuk dibagi.

 

Bukan barang-barang yang tidak bisa terbagi seperti kamar mandi kecil, maka tidak berlaku syuf ah pada barang ini. jika bisa dibagi seperti kamar mandi besar yang memungkinkan untuk dijadikan dua kamar mandi, maka syufah berlaku pada barang tersebut,

 

Syufah juga berlaku pada setiap barang yang tidak berpindah dari tanah yang bukan berupa barang wakafan dan barang sewaan seperti kebun dan lainnya yang berupa bangunan dan pohon, karena mengikut kepada tanahnya.

 

Asy syafi’ (orang yang melakukan syuf’ah) hanya boleh mengambil bagian dari kebun

dengan tsaman yang digunakan untuk membelinya.

 

Jika tsaman-nya berupa mitsli seperti biji-bijian dan mata uang, maka ia harus mengambil — bagian tersebut dengan sesamanya tsaman tersebut.

 

Atau berupa barang yang memiliki harga seperti budak dan pakaian, maka Ia mengambilnya dengan harga barang tersebut saat terjadinya akad jual beli.

 

Syufah, ya’ni syufah dengan arti mengambilnya, adalah harus segera.

 

Kalau demikian, maka syafi’ harus segera mengambilnya ketika ia telah tahu akan , penjualan bagian tersebut.

 

Yang dimaksud segera di dalam mengambil syufah adalah sesuai dengan ukuran adat/kebiasaan.

 

Sehingga ia tidak dituntut bergegas yang melebihi ukuran kebiasaan yaitu dengan berlari atau selainnya.

 

Bahkan batasan dalam semua itu adalah sikap yang dianggap menunda-nunda di dalamu mengambil — syufah, maka bisa menggugurkannya. Jika tidak, maka tidak sampai menggugurkannya.

 

Sehingga, jika ia menunda melakukan syuf’ah padahal mampu untuk segera melakukannya, maka hak syufah baginya telah batal.

 

Seandainya orang yang menghendaki syuPah tersebut sedang sakit, tidak berada di daerah orang yang membeli, dipenjara, atau takut terhadap musuhnya, maka hendaknya ia mewakilkan pada orang lain jika memang mampu. Namun jika tidak mampu, maka hendaknya Ia membuat saksi bahwa dirinya Ingin mengambil syuPah tersebut.

 

Sehingga, jika Ia tidak melakukan apa yang mampu Ia lakukan baik mewakilkan atau membuat saksi, maka haknya menjadi batal menurut pendapat al adihar.

 

Seandainya syaft’ berkata, “aku tidak tahu kalau sesungguhnya hak syufah Itu harus segera dilakukan”, dan ia memang termasuk dari orang yang kurang mengerti tentang semua itu, maka Ia dibenarkan disertai dengan sumpahnya.

 

Ketika seseorang menikahi seorang wanita dengan mas kawin berupa sigsh (bagian), maka syafi’ berhak mengambil bagian tersebut dengan mengganti mahar mitsil pada wanita tersebut.

 

Ketika syafi’nya lebih dari satu orang, maka mereka berhak atas syufah tersebut sesuai dengan ukuran bagian-bagian mereka dari barang-barang yang dimiliki tersebut. Sehingga, seandainya salah satu dari mereka memiliki separuh dari kebun -yang disyirkahi-, yang satunya memiliki sepertiganya, dan yang lain lagi memiliki seperenamnya, kemudian Orang yang memiliki separuh menjual « bagiannya, maka dua orang yang lainnya berhak mengambil dengan dibagi sepertiga.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SYUF’AH

 

1 syafi’ Kolektif

 

Apabila syafi’ terbentuk secara kolektif maka seluruhnya memilki hak syuf’ah sesuai prosentase kepemilikannya, karena hak syufa’ah adalah hak yang berhak dimiliki, maka dibagi sesuai kadarnya seperti upah dan buah.

 

  1. Ilustrasi Syuf’ah

 

Contoh Syuf’ah adalah: Zaid dan Amru menjual rumah yang dimiliki berdua, lalu zaid manjual bagian dari rumahnya kepada Bakar, lalu Amru berkata kepada Bakar: Saya telah mengambil bagianmu dengan Syuf’ah, dan Bakar menerima harga jual atau rela dengan adanya bagiannya berada di dalam tanggungannya Amru, atau gadhi memutuskan baginya dengan syuf’ah.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum giradl. lafadz “giradI” secara etimologi diambil dari lafadz “al gardl”, yaitu bermakna memotong.

 

 

Qiradl adalah pemberian harta oleh seorang pemilik terhadap seorang amil (pekerja) yang akan menggunakannya untuk bekerja dan laba dari harta tersebut dibagi di antara keduanya.

 

Akad qiradl memiliki empat syarat.

 

Salah satunya, qiradl harus menggunakan uang berupa dirham dan dinar, ya’ni yang mumi.

 

Sehingga akad qiradl tidak boleh dilakukan dengan menggunakan emas mentah, perhiasan, emas campuran, dan barangbarang dagangan yang lain diantaranya adalah fulus luang receh).

 

Yang kedua, pemilik modal harus memberi izin pada amil dalam bekerja dengan izin secara mutlak (tidak dibatasi).

 

Sehingga bagi pemilik modal tidak diperbolehkan mempersulit gerak tasharruf pada amil, seperti ucapan pemilik modal misalnya, “Jangan membeli sesuatu sehingga engkau bermusyawarah denganku”, atau, “Jangan membeli kecuali gandum putih.” Kemudian Sang Pengarang meng-‘athafkan perkataan Nya di sini -di bawah inipada perkataan Nya yang sudah lewat yaitu “secara mutlak”, Atau memberi izin di dalam perkara, ya’ni di dalam tasharruf pada sesuatu yang umumnya . tidak terputus keberadaan.

 

Sehingga, seandainya — pemilik — modal mensyaratkan pada amil agar membeli sesuatu yang jarang ada seperti kuda yang berwarna hitam putih, maka hukumnya tidak sah.

 

Yang ketiga, pemilik modal mensyaratkan bagian yang jelas dari laba untuk amil, seperti separuh atau sepertiga dari seluruh laba.

 

Sehingga, seandainya pemilik modal berkata pada amil, “aku melakukan akad qiradl « denganmu menggunakan harta ini dengan” Janji bahwa sesungguhnya engkau memiliki hak syirkah atau bagian dari harta ini”, maka akad giradI tersebut menjadi rusak. atau “dengan janji bahwa sesungguhnya laba diantara kita berdua”, maka hukumnya sah, dan labanya dibagi separuh-separuh.

 

Yang ke empat, akad qiradl tidak boleh dibatasi dengan waktu yang dipastikan seperti ucapan pemilik modal, “aku akad giradi denganmu selama setahun.”

 

Akad giradi juga tidak boleh digantungkan dengan sebuah syarat, seperti ucapan pemilik modal, “ketika datang awal bulan, maka aku melakukan akad qiradl denganmu.”

 

Qirado adalah akad amanah.

 

Kalau demikian, maka tidak ada kewajiban mengganti bagi seorang amil pada harta giradinya kecuali akibat kecerobohan yang ia lakukan pada harta tersebut.

 

Di dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan menggunakan kata-kata “bil ‘udwan”, – dengan menggunakan huruf “al”-,

 

Ketika di dalam harta giradi terdapat laba dan rugi, maka kerugian ditutupi dengan laba.

 

Ketahuilah sesungguhnya akad qiradl hukumnya jaiz dari kedua belah pihak, sehingga masing-masing dari pemilik modal dan amil diperbolehkan untuk membatalkannya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB QIRADL (BAGI HASIL)

 

  1. Pemilik Modal Menentukan Laba

 

Tidak sah bagi pemilik modal dalam akad giradh menerftukan laba selamanya, semisal setiap minggu harus setor laba 100 ribu. Bahkan akan tersebut menjadi haram, karena tergolong macamnya riba.

 

  1. Uang Rupiah Sebagai Modal Akad Oirodh

 

Mata Uang sekarang yang realitanya sudah tidak lagi menggunakan dinar dan dirham, sah dan legal dibuat modal girodh, karena mata uang sekarang dapat menggantikan kedudukan emas dan perak.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum musagah.

 

Musaqah secara etimologi diambil dari lafadz “as saqyu (menyirami)”. Adapun secara termonologi hukum adalah seseorang menyerahkan pohon kurma atau anggur pada orang lain yang akan merawatnya dengan penyiraman dan perawatan yang lain, dengan perjanjian bahwa orang tersebut akan mendapatkan bagian yang jelas dari hasil buahnya.

 

Musaqah hanya boleh dilakukan pada dua tanaman saja, kurma dan anggur.

 

Sehingga tidak boleh melakukan akad Musaqah pada selain keduanya, seperti buah tin dan buah misymis.

 

Musaqah hukumnya sah dilakukan oleh orang yang sah tasharrufnya jika dilakukan untuk dirinya sendiri. jika dilakuka untuk anak kecil dan orang gila, maka Musaqah sah dilakukan oleh orang yang menjadi wali keduanya ketika memang ada maslahah.

 

Shigat akad Musaqah adalah, “aku melakukan akad Musaqah denganmu pada pohon kurma ini dengan bagian sekian”, atau, “aku memasrahkan pohon kurma ini padamu agar” engkau merawatnya”, dan kata-kata sesamanya.

 

Dan disyaratkan harus ada peneriman dari pihak amil (pekerja). Musaqah memiliki dua syarat.

 

Salah satunya, pihak pemilik harus memberi batas waktu secara pasti dalam melakukan akad Musaqah tersebut misalnya satu tahun hijriyah.

 

Tidak diperbolehkan membatasi akad Musaqah dengan munculnya buah menurut pendapat al ashah.

 

Yang kedua, pemilik pohon harus menentukan bagian pasti dari hasil buah untuk si amil seperti separuh atau sepertiganya.

 

Sehingga, seandainya pemilik berkata pada amil, “dengan perjanjian buah yang diberikan oleh Allah menjadi milik diantara kita berdua”, maka hukumnya sah dan diarahkan pada bagian separuh-separuh.

 

Kemudian pekerjaan di dalam akad Musaqah terbagi menjadi dua macam.

 

Salah satunya adalah pekerjaan yang manfaatnya kembali pada buah seperti menyiram pohon kurma, mengawinkannya dengan meletakkan sebagian mayang kurma “ jantan di mayang kurma betina, maka semua itu menjadi beban amil.

 

Dan yang kedua adalah pekerjaan yang manfaatnya kembali pada bumi seperti membuat kincir air dan menggali tempat aliran air, maka semua Itu adalah beban pemilik “ modal.

 

Sang pemilik pohon tidak diperbolehkan mensyaratkan pada amil suatu pekerjaan yang bukan termasuk dari pekerjaan-pekerjaan akad Musaqah seperti menggali sungai. Disyaratkan amil harus bekerja sendiri.

 

Sehingga, seandainya pemilik modal mensyaratkan budaknya untuk bekerja bersama amil, maka akadnya tidak sah.

 

Ketahuilah sesungguhnya akad Musaqah hukumnya jawaz dari kedua belah pihak.

 

Seandainya diketahui bahwa buah yang telah dihasilkan tersebut adalah milik orang lain, seperti pemilik pohon kurma telah mewasiatkan buah pohon kurma yang diakadi ‘ Musaqah tersebut, maka amil berhak mendapatkan ongkos standar untuk pekerjaannya dari pemilik modal.

 

MUHIMMAT DALAM-BAB MUSAQAH

 

Macam-Macam Pekerjaan Dalam Musaqah dan Ilustrasi Musaqah

 

Pekerjaan dalam akad Musaqah dapat diklasifikasi menjadi empat macam:

  1. Pekerjaan yang manfaatnya berhubungan dengan buah bukan dengan pohon.
  2. Pekerjaan yang manfaatnya berhubungan dengan pohon bukan dengan “buah.
  3. Pekerjaan yang manfaatnya berhubungan dengan buah dan pohon, seperti mengairi dan membersihkan rumput.

4, Pekerjaan yang manfaatnya tidak berhubungan dengan buah dan pohon.

 

Sedangkan Contoh dari Musaqah adalah: Zaid berkata pada Amru: saya akad Musaqah dengan kamu atas pohon kurma ini, agar kamu merawatnya dengan upah mendapatkan separuh dari buahnya, lalu Amru berkata: iya saya terima”.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum sewa.

 

Lafadz “al Ijarah” Itu dengan dibaca kasrah huruf hamzahnya menurut pendapat yang masyhur.

 

Dan ada yang menghikayahkan bahwa hamzahnya terbaca diammah.

 

Ijarah secara etimologi adalah nama sebuah ongkos.

 

Sedangkan secara termonologi hukum adalah akad yang dilakukan pada manfaat yang sudah diketahui, yang tuju, dan menerima untuk diserahkan pada orang lain dan menerima ., untuk boleh digunakan dengan membanyar ganti/ongkos yang sudah diketahui.

 

Syarat masing-masing dari orang yang menyewakan dan yang menyewa adalah rusyd (pintar) dan tidak ada paksaan.

 

Dengan etimologi “manfaat yang sudah diketahui”, mengecualikan akad jwalah (sayembara).

 

Dengan keterangan “manfaat yang dituju”, mengecualikan menyewa buah apel karena untuk mencium baunya.

 

Dengan keterangan “bisa menerima untuk diserahkan pada orang lain”, mengecualikan manfaat vagina, maka akad yang dilakukan pada manfaat vagina tidak disebut dengan ijarah.

 

Dengan keterangan “menerima untuk boleh dimanfaatkan orang lain”, mengecualikan menyewakan budak-budak perempuan untuk dijima’.

 

Dengan keterangan “dengan memberi ganti/ongkos”, mengecuali-kan akad ariyah.

 

Dengan keterangan “ongkos yang sudah diketahui”, mengecualikan upah dari akad musagah.

 

Akad ijarah tidak sah kecuali dengan ijab (serah/ucapan) seperti kata-kata “aku menyewakan padamu”, dan qabul (terima/ucapan) seperti ucapan “aku menyewa”.

 

Sang Pengarang menyebutkan batasan barang yang sah untuk disewakan dengan perkataan Nya,

 

Setiap sesuatu yang mungkin untuk dimanfaatkan tanpa mengurangi barangnya, seperti menyewa rumah untuk ditempati dan menyewa binatang untuk dinaiki, maka sah untuk diijarahkan/disewakan. Jika tidak, maka tidak sah.

 

Sahnya menyewakan apa yang telah disebutkan di atas memiliki beberapa syarat yang dijelaskan oleh Sang Pengarang dengan perkataan Nya,

 

Ketika manfaat barang tersebut dibatasi/dikira-kirakan dengan salah satu dari dua perkara,

 

-yaitu adakalanya dengan waktu seperti, “saya menyewakan rumah ini padamu selama  setahun”.

 

Atau dibatasi dengan pekerjaan seperti, “saya menyewamu untuk menjahit baju ini untukku.” Ongkos di dalam akad ijarah telah menjadi tetap dengan akad itu sendiri -tidak harus menunggu selesainya memanfaatkan barang yang disewakan-.

 

Memutlakkan akad ijarah menetapkan pembayaran ongkos secara kontan.

 

Kecuali jika di dalam akad ijarah tersebut disyaratkan pembayaran ongkos secara , tempo, maka kalau demikian pembayaran ongkosnya ditempo.

 

Akad Ijarah tidak batal sebab kematian salah satu dari kedua pelaku akad ijarah, ya’ni orang yang menyewakan dan yang menyewa.

 

Dan tidak batal sebab kedua pelaku akad ijarah meninggal dunia. Bahkan akad ijarah tetap berlangsung setelah keduanya meninggal hingga masa akad tersebut habis.

 

Dan ahli waris penyewa menggantikan posisinya untuk memanfaatkan barang yang disewanya.

 

Akad ijarah menjadi batal sebab barang yang disewa dan telah ditentukan menjadi rusak « seperti rumah yang disewa roboh, dan binatang tunggangan yang telah ditentukan mati.

 

Batalnya akad ijarah sebab hal-hal yang telah dijelaskan tersebut memandang pada masa« masa setelah itu, tidak masa-masa yang telah lewat.

 

Sehingga hukum akad ijarah pada masa-masa yang telah terlewati tidak batal menurut pendapat al adihar, bahkan bagiannya dari . ongkos yang telah disebutkan di awal menjadi tetap -hak orang yang menyewakandengan mempertimbangkan ongkos standar.

 

Sehingga manfaat yang ada saat akad di kalkulasi berapa kira-kira yang telah digunakan di waktu-waktu yang sudah dilewati. ketika dikatakan kadarnya sekian, maka kadar tersebut diambil dari ongkos yang sudah disepakati sesuai dengan kalkulasi tersebut.

 

Penjelasan di depan mengenai bahwa akad Ijarah tidak batal di masa-masa yang sudah lewat itu dibatasi bahwa rusaknya tersebut setelah barang yang disewa telah diterima oleh pihak penyewa dan telah melewati masa… yang layak untuk di beri ongkos.

 

Jika tidak demikian, maka akad ijarah menjadi batal di masa-masa yang akan datang dan masa yang sudah lewat.

 

Dengan keterangan “barang sewaan yang telah ditentukan”, mengecualikan permasalah ketika binatang tunggangan yang disewakan itu hanya disifati dalam tanggungan -tidak ditentukan yang mana-.

 

Sehingga, ketika yang menyewakan telah mendatangkannya dan ternyata binatang tersebut mati di tengah-tengah masa akad sewa, maka akad ijarah tersebut tidak rusak, bahkan bagi yang menyewakan harus menggantinya.

 

Ketahuilah sesungguhnya kekuasaan orang yang disewa terhadap barang yang disewakan adalah kekuasaan yang berupa amanah. Sehingga tidak ada kewajiban baginya untuk mengganti kecuali sebab keteledorannya pada barang tersebut, seperti ia memukul binatang tunggangan di atas ukuran yang biasa, atau menaikkan seseorang yang lebih berat dari pada dirinya di atas binatang tersebut.

 

MUHIMMAT DALAM BAB AKAD URAH (SEWA)

 

  1. Menyewa Untuk Bekerja

 

Menyewa seseorang untuk bekerja itu diperbolehkan, apabila pekerjaannya sudah diketahui seperti menjahit jubah, membangun, membawakan barang pada tempat yang telah ditentukan dll.

 

  1. Menyewa Untuk Membangun Gereja

 

Tidak sah seorang kafir dzimmi kepada orang islam untuk membangun gereja karena haramnya pekerjaan tersebut.

 

  1. Menyewa Untuk Belajar Ilmu Hitam

 

Tidak Sah menyewa untuk belajar Taurat, Injil, sihir, perbuatan tercela, dan ilmu perbintangan.

 

4, Menyewa Kolam Untuk Diambil Ikannya

 

Imam Syafi’l dan para Ash-hab berkata, tidak diperbolehkan menyewa kolam” untuk diambil ikannya, Karena sebuah perkara tidak dapat dimiliki dengan akad ijarah.

 

5, Menyewa Untuk Pekerjaan Bathin

 

Tidak diperbolehkan menyewa orang untuk mengeluarkan Jin atau membuka orang yang dikunci dengan bathin,

 

6 Kalangan Syaff’iyyah Memperbolehkan Ijarah Pekerjaan Bathin

 

Syarat dari meyewa adalah ada kesulitan dalam mengerjakan “apa ng disewakan, Dari sini dapat diambil pemahaman, bahwa menyewa orang untuk membatalkan sihir hukumnya sah, karena pelakunya mengalami masyagah dengan menulis, membakar kemenyan, membaca mantra-mantra yang biasa dilakukan oleh mereka,

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ju’alah.

 

Lafadz “al ju’alah” itu dengan membaca tiga wajah pada huruf jimnya, -yaitu fathah, kasrah dan diammah-.

 

Makna ju’alah secara etimologi adalah sesuatu yang diberikan pada seseorang atas apa yang telah ia kerjakan.

 

Sedangkan secara termonologi hukum adalah kesanggupan orang yang mutlak tasharrufnya untuk memberikan ongkos/’iwadi pada orang tertentu ataupun tidak, atas pekerjaan yang telah diketahul atau belum diketahul secara jelas.

 

Jualah hukumnya adalah jawaz dari kedua belah pihak, pihak ja’il (yang mengadakan ju’alah)h dan pihak maj’ul-lah (orang yang diakadi ju’alah).

 

Praktek ju’alah adalah seseorang memberi janji akan memberi upah yang sudah jelas bagi, – orang yang mengembalikan barang hilangnya.

 

Seperti ucapan orang yang sah tasharrufnya, “barang siapa mengembalikan barang hilangku, maka ia akan mendapatkan upah # begini.”

 

Ketika ada yang mengembalikan, maka ia berhak mendapatkan upah tersebut yang telah dijanjikan padanya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB JU’ALAH (SAYEMBARA)

 

  1. Perbedaan ‘Ijarah dan Jualah

 

Akad ju’alah (sayembara) mempunyai perbedaan dengan ijaroh (sewa) di antaranya adalah. Dalam ju’alah diperbolehkan dalam amal yang belum jelas, atau amal yang tidak ditentuan, sedangkan ijarah tidak. Selain itu w’alah adalah akad yang jaiz, sedangkan ijaroh adalah akad lazim.

 

  1. Ilustrasi Akad Jualah

 

Barangsiapa dapat mengembalikan mobilku, yang ciri-cirinya begini dan begini,,, maka baginya mendapat 1000 riyal, ini adalah pengumuman yang bersifat umum, lalu umar mendengar pengumuman tersebut, kemudia ia menyelidiki mobil tersebut dan mengalami kelelahan, sehingga ia dapat menemukannya dan mendatangkan kepada Zaid, maka ia berhak mendapatkan upah 1000 dinar tersebut.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum mukhabarah.

 

Mukhabarah adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang amil di lahan orang lain (malik) dengan upah sebagian hasil yang keluar dari lahan tersebut, sedangkan benihnya dari amil.

 

Ketika seseorang menyerahkan lahan pada seorang lakilaki agar ia olah, dan mensyaratkan bagian yang maklum dari hasilnya pada lelaki tersebut, maka apa yang ia lakukan ini tidak diperbolehkan.

 

Akan tetapi imam an Nawawi mengikut pada imam Ibn al Mundzir lebih memilih hukum diperbolehkan melakukan akad mukhabarah. Begitu pula akad muzara’ah, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh amil dilahan orang lain dengan upah sebagian dari hasil yang keluar dari lahan tersebut, dan benihnya dari pemilik lahan.

 

Dan jika pemilik lahan menyewa seseorang untuk mengolah lahannya dengan ongkos berupa emas atau perak, atau pemilik lahan mensyaratkan upah berupa makanan yang | sudah maklum yang menjadi tanggungannya untuk si amil, maka hukumnya diperbolehkan.

 

Adapun seandainya seseorang memasrahkan pada orang lain sebuah lahan yang disana – telah terdapat pohon kurma yang sedikit atau, banyak, kemudian ia melakukan akad Musaqah dengan lekaki tersebut pada pohonpohon kurma tersebut, dan melakukan akad muzara’ah dengannya pada lahannya, maka hukum akad muzara’ah ini adalah diperbolehkan karena mengikut pada akad musagahnya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB MUKHABARAH

 

Rekayasa Akad Mukhabarah

 

Dalam akad mukhabarah, dimana benih, tenaga dan alat kerja dari pihak Amil, dan pihak malik hanya bermodal lahan, maka ada rekayasa untuk mensiasati akad mukhabarah tersebut, agar menjadi sah dan panen bisa bagi hasil.

 

  1. Amil menyewa sebagian lahan malik, 50 % misalnya, dengan upah 50 % dari benihnya, untuk digunakan menanam sebagian benih miliknya, kemudian amil memberikan 50 % jasanya untuk menanam dan merawat benih milik si Malik secara gratis.

 

  1. Amil menyewa sebagian lahan malik, 50% misalnya, dengan upah berupa 50 % dari benihnya untuk digunakan menanam dan merawat benih milik malik, dengan siasat tersebut, malik dan amil telah berkongsi (syirkah) pada tanaman dan manfaat lahan dengan nisbah 50 : 50, sebab dari seluruh benih yang di tanam, 50% milik Malik, dan 59% milik Amil. Demikian juga dari seluruh manfaat lahan, 50% milik amil dan 50 % milik Malik, sehingga ketika panen masing-masing memiliki hak dengan margin profit 50:50 karena dalam rekaya legalitas ini pada prinsipnya merubah praktek muzara’ah dan mukhabarah menjadi praktek ijarah.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ihya’ al mawat.

 

Al mawat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam ar Rafi’i di dalam kitab Asy Syarh ash Shagir, adalah lahan yang tidak berstatus milik dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang. “

 

Mengolah — bumi mawat hukumnya diperbolehkan dengan dua syarat. Salah satunya, orang yang mengolah adalah orang islam.

 

Maka bagi orang islam hukumnya sunnah mengolah bumi mati, baik dengan izin Imam ataupun tidak.

 

Ya Allah, kecuali jika ada hak yang bersinggungan dengan bumi mawat tersebut.

 

Seperti imam membatasi sebagian dari bumi mawat, kemudian ada seseorang yang ingin mengolahnya, maka ia tidak bisa memilikinya kecuali dengan izin dari imam menurut pendapat al ashah.

 

Adapun orang kafir dzimmil, mu’ahad, dan kafir musta’man, maka bagi mereka tidak diperbolehkan untuk mengolah bumi mawat walaupun imam telah memberi izin kepada mereka.

 

Yang ke dua, bumi tersebut harus merdeka – tidak berstatus milikyang tidak dimiliki oleh orang islam.

 

Dan didalam sebagian beberapa redaksi kitab matan dengan menggunakakan “bumi tersebut adalah bumi merdeka”.

 

Yang dikehendaki dari perkataan Sang Pengarang adalah sesungguhnya lahan yang pernah dihuni namun sekarang sudah tidak lagi, maka statusnya adalah milik orang yang . memilikinya jika memang diketahui, baik orang islam atau kafir dzimmi.

 

Dan lahan kosong tersebut tidak bisa dimiliki dengan cara diihya’.

 

Sehingga, jika tidak diketahul siapa pemiliknya, namun puing-puingnya menandakan di « bangun pada masa islam, maka lahan ini adalah mal diai’ (harta yang tersia-sia).

 

Urusannya diserahkan pada keputusan imam, mau dijaga, atau dijual dan hasil penjualannya dijaga.

 

Jika lahan tersebut dikelola saat masa jahiliyah, maka bisa dimiliki dengan cara « diihya’.

 

Cara melakukan ihya’ adalah dengan melakukan sesuatu yang secara adat dianggap bentuk pengolahan terhadap lahan yang diihya’.

 

Dan hal ini berbeda-beda sebab berbedabedanya tujuan yang dikehendaki oleh orang yang mengolahnya.

 

Jika orang yang mengolah ingin mengolah lahan mawat menjadi sebagai rumah, maka dalam hal ini disyaratkan harus memagari lahan tersebut dengan membangun pagar | dengan sesuatu yang terlaku secara adat di tempat tersebut, yaitu berupa bata, batu atau bambu.

 

Dan juga disyaratkan harus memberi atap diatas sebagian lahan dan memasang pintu.

 

 Dan jika orang yang mengolah ingin menjadikan mawat sebagai kandang binatang ternak, maka cukup membuat pagar yang lebih rendah dari pagarnya rumah, dan tidak disyaratkan harus membuat atap.

 

Dan Jika yang mengolah ingin menjadikan mawat sebagai ladang, maka ia harus mengumpulkan tanah di sekelilingnya, meratakan lahan tersebut dengan mencangkul bagian-bagian yang agak tinggi di sana, menimbun bagian-bagian yang berlubang/rendah, mengatur pengairan pada ‘ lahan tersebut dengan menggali sumur atau menggali saluran air.

 

Jika lahan tersebut sudah dicukupkan dengan air hujan yang biasa turun, maka ia tidak butuh untuk mengatur pengairan menurut pendapat yang shahih.

 

Jika yang mengolah lahan mawat Ingin membuat kebun, maka ia harus mengumpulkan tanah dan membuat pagar di sekeliling lahan kebun tersebut jika memang hal itu telah terlaku.

 

Di samping itu, juga . disyaratkan harus menanam sesuatu menurut pendapat al madzhab.

 

Ketahuilah sesungguhnya air yang sudah tertentu untuk seseorang, maka tidak wajib diberikan pada binatang ternak orang lain secara mutlak.

 

Kewajiban memberikan air tersebut hanya diberlakukan dengan tiga syarat.

 

Salah satunya, air tersebut lebih dari kebutuhannya, ya’ni orang yang memiliki air tersebut.

 

jika air Itu tidak lebih, maka ia berhak mendahulukan dirinya sendiri dan tidak wajib memberikannya kepada orang lain.

 

Yang kedua, air tersebut dibutuhkan oleh orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatangnya.

 

Hal ini ketika di sana terdapat padang rumput yang digunakan untuk mengembalakan binatang ternak, dan tidak mungkin mengembala di sana kecuali dengan memberi minum air.

 

Dan tidak wajib baginya memberikan air untuk tanaman orang lain dan tidak untuk pohonnya . orang lain.

 

Yang ketiga, air tersebut masih berada di tempatnya, yaitu tempat keluarnya air baik sumur atau sumber.

 

Sehingga, ketika air ini sudah diambil di dalam sebuah wadah, maka tidak wajib diberikan menurut pendapat shahih.

 

Ketika wajib untuk memberikan air, maka yang dikehendaki dengan ini adalah mempersilahkan binatang ternak orang lain untuk mendatangi sumur, jika pemilik air tidak terganggu pada tanaman dan binatang ternaknya sendiri.

 

Jika ia terganggu dengan kedatangan binatang ternak tersebut, maka binatang ternak tersebut dicegah untuk mendatangi sumur, dan bagi para pengembalanya yang harus mengambilkan air untuk binatang-binatang ternaknya, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Imam al Mawardi.

 

Sekira wajib memberikan air, maka tidak diperbolehkan untuk mengambil upah atas air tersebut menurut pendapat shahih.

 

MUHIMMAT DALAM BAB IHYA’ AL MAWAT (MEMBUKA LAHAN)

 

  1. Pemanfaatan Fasilitas Umum

 

Dalam pemanfaatan fasilitas umum, imam dan yang lain dari para penguasa dilarang menarik retribusi, baik dengan sistem komersial atau tidak, sebab fasilitas umum secara hukum sama dengan lahan mati.

 

  1. Status Hukum Minyak Bumi

 

Apabila dibumi yang tidak bertuan tedapat harta tambang yang membutuhkan pekerjaan dan biaya untuk mengeluarkanya, dan kemanfaatannya untuk kepentingan umum, seperti penemua minyak tanah pada saat ini sebagaimana komentar Syek Abi Ishag, maka tidak bisa dimiliki oleh penemu, hal ini sesuai dengan tuntutan perkataan Ulama tahgig, karena tidak boleh bagi setiap individu memiliki sesuatu yang manfaatnya untuk kepentingan masyarakat luas.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum wakaf.

 

Wakaf secara etimologi adalah menahan.

 

Sedangkan secara termonologi hukum adalah menahan harta tertentu yang menerima untuk dipindah milikkan yang mungkin untuk dimanfaatkan tanpa menghilangkan ‘ barangnya dan memutus hak tasharruf pada « barang tersebut karena untuk ditasharrufkan ke jalan kebaikan dengan tujuan mendekat kepada Allah Ta’ala.

 

Syarat orang yang mewakafkan harus sah ibarah-nya dan sah melakukan tasharruf non konpensional kata-katanya.

 

Wakaf hukumnya jawaz dengan tiga syarat.

 

Di dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan dengan menggunakan etimologi “wakaf hukumnya jawaz.

 

Dan wakaf memiliki tiga syarat”.

 

Salah satunya, maukuf (barang yang diwakafkan) harus berupa barang yang bisa dimanfaatkan tanpa menghilangkan barangnya.

 

Kemanfaatannya harus kemanfaatan yang mubah yang dituju. Sehingga tidak sah mewakafkan alat musik dan mewakafkan dirham untuk digunakan hiasan.

 

Tidak disyaratkan kemanfaatan harus wujud/eksis pada saat itu.

 

Sehingga hukumnya sah mewakafkan budak dan keledai yang masih kecil.

 

Adapun barang yang tidak bisa menetap ainiyah/materi-nya seperti makanan dan wewangian, maka tidak sah rnewakafkannya. Yang kedua, wakaf harus diberikan pada asal (maukuf alaih pertama) yang sudah wujud, dan far (maukuf alaih selanjutnya) yang tidak akan terputus -akan selalu ada-.

 

Sehingga mengecualikan wakaf yang diberikan kepada anaknya orang yang mewakafkan yang akan dilahirkan kemudian setelahnya” diberikan kepada fuqara’.

 

Contoh ini dinamakan dengan munggati’ al awwal (maukuf alaih pertamanya terputus). Jika wakif (orang yang mewakafkan) tidak menyebutkan kata “kemudian setelahnya diberikan pada fugara””, maka contoh ini adalah munggathi’ awwal wal akhir (maukuf pertama dan yang akhir terputus).

 

Perkataan Sang Pengarang “yang tidak terputus” mengecualikan wakaf yang munggathi’ al akhir (terputus mauguf ‘alaih selanjutnya) seperti ucapan wakif, “saya mewakafkan barang ini pada Zaid kemudian pada anak-anaknya”, dan ia tidak menambahkan kata-kata setelah itu.

 

Dan didalam permasalahan ini terdapat dua tharig (pendapat), salah satunya mengatakan bahwa sesungguhnya contoh ini hukumnya batal sebagaimana permasalahan munggathi’ al awwal. Ini adalah pendapat yang disetujui oleh Sang Pengarang.

 

Akan tetapi menurut pendapat yang rajih/kuat hukumnya adalah sah.

 

Yang ketiga, wakaf tidak dilakukan pada sesuatu yang diharamkan. Lafadz “mahdhur” dengan menggunakan huruf dha’ yang dibaca, dengan mengangkat lidah, ya’ni yang diharamkan.

 

Sehingga tidak sah wakaf untuk membangun gereja yang digunakan untuk beribadah. Penjelasan Sang Pengarang ini memberi pemahaman bahwa sesungguhnya dalam wakaf tidak disyaratkan harus nampak jelas tujuan ibadahnya, bahkan yang penting tidak ada unsur maksiatnya, baik nampak jelas tujuan ibadahnya seperti wakaf kepada kaum fugara’, atau tidak nampak jelas seperti wakaf kepada orang-orang kaya.

 

Di dalam wakaf disyaratkan harus tidak dibatasi dengan waktu seperti, “aku wakafkan barang ini selama setahun.”

 

Dan tidak digantungkan dengan sesuatu seperti ucapan wakif, “ketika datang awal bulan, maka sesungguhnya aku mewakafkan barang ini.”

 

Wakaf disesuaikan dengan apa yang disyaratkan oleh wakif pada barang tersebut, Yaitu syarat mendahulukan sebagian dari orang-orang yang mendapatkan wakaf seperti, “aku wakafkan pada anak-anakku yang paling wira’i.”

 

Atau mengakhirkan sebagiannya seperti, “aku wakafkan kepada anak-anakku. Kemudian ketika mereka sudah tidak ada, maka kepada anak-anak mereka.”

 

Atau menyamakan -diantara seluruh maukuf alaihseperti, “aku wakafkan kepada anakanakku sama rata antara yang laki-laki dan yang perempuan.”

 

Atau mengunggulkan sebagian anak-anaknya di atas sebagian yang lain seperti, “aku wakafkan kepada anak-anakku, yang laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari bagian ‘ yang perempuan. ”

 

MUHIMMAT DALAM BAB WAKAF

 

  1. Pijakan Dalil Wakaf

 

Hadits yang menyatakan: Ketika orang islam mati, maka amalnya terputus kecuali tiga hal 1. Shodagoh jariyah. (2) Ilmu yang bermanfaat. (3) Anak Islam yang sholih yang mendoakan. Bahwasanya kata Shodagoh jariyyah itu diarahkan para ulama pada wakaf saja tidak diarahkan pada yang lain, seperti wasiat yang kemanfaatannya diperbolehkan.

 

  1. Yang dimaksud Dawam dalam Wakaf

 

Yang dimaksud langgeng dalam wakaf adalah dengan memandang pada adatnya, meskipun waktunya tidak lama. Sehingga dianggap sah mewakafkan hamba yang mudabbar.

 

  1. Wakaf Dibatasi Boleh Namun dengan Syarat

 

Wakaf yang diberi batasan waktu, seperti satu tahun hukumnya tidak sah, namun jika setelah batasan waktu yang ditentukan tersebut ada mashrof lain (orang yang menerima wakafan) maka sah. Contoh, barang ini saya wakafkan pada zaid satu tahun, setelah itu pada orang-orang fagir. Maka hukumnya sah.

 

  1. Wakaf Harus dengan Ucapan yang Jelas

 

Wagaf tidak sah kecuall dengan ucapan, sehingga ketika ada orang yang membangun Masjid dan Ia Sholat di tempat Itu, atau Ia memberi Izin pada Manusia untuk sholat di tempat tersebut, maka tempat itu tidak akan menjadi wagaf.

 

  1. Nadjzir Khos Itu Lebih didahulukan

 

Bagi nadzir “am sebagaimana Oodli atau Wali tidak mempunyai gasaan dalam mengelola harta wakafan atau barang-barang Masjid, selama masih ada nadzir yang khusus yang lebih ahli.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum hibbah. Hibbah menurut etimologi adalah diambil dari kata-kata “tiupan air”.

 

Dan bisa diambil dari kata-kata “orang terbangun dari tidurnya ketika Ia terjaga”,’ maka seakan-akan orang yang melakukan: hibbah tersebut terjaga untuk melakukan’ kebaikan.

 

Hibbah secara termonologi hukum adalah memberikan kepemilikan suatu benda secara: langsung dan dimutlakkan saat masih hidup tanpa meminta imbal balik, walaupun kepada orang yang lebih tinggi derajatnya.

 

Dengan keterangan “secara langsung”, mengecualikan wasiat.

 

Dengan keterangan “secara mutlak”, mengecualikan pemberikan milik yang dibatasi dengan waktu.

 

Dengan keterangan “benda”, — maka mengecualikan hibbah berupa manfaat. Dengan keterangan “saat masih hidup”, mengecualikan wasiat.

 

Hibbah hukumnya tidak sah kecuali dengan ijab (serah) dan qabul (terima) dengan ucapan.

 

Dan Sang Pengarang menjelaskan batasan barang yang bisa dihibbahkan di dalam, perkataan Nya, Setiap barang yang boleh dijual, maka boleh dihibbahkan.

 

Dan sesuatu yang tidak boleh dijual seperti barang yang tidak jelas, maka tidak boleh dihibbahkan kecuall dua biji gandum dan sesamanya.

 

Maka dua biji gandum tersebut tidak boleh dijual, namun boleh dihibbahkan.

 

Hibbah tidak bisa dimiliki dan belum tetap kecuali barangnya telah diterima dengan seizin pemberi.

 

Sehingga, seandainya orang yang diberi atau yang memberi meninggal dunia sebelum barang yang dihibbahkan diterima, maka hibbah tersebut tidak rusak, dan yang menggantikan keduanya adalah ahli warisnya didalam menerima dan menyerahkannya.

 

Ketika orang yang diberi telah menerima barang pemberiannya, maka bagi si pemberi tidak diperbolehkan menarik kembali kecuali la adalah orang tua orang yang diberi, walaupun seatasnya.

 

Ketika seseorang memberikan seumur hidup suatu barang, ya’ni rumah misalnya, seperti « ucapannya, “aku memberikan rumah ini seumur hidup padamu.” Z. Atau melakukan ragbah rumah tersebut pada orang lain seperti perkataannya, “aku memberikan ragbah rumah ini padamu dan . aku menjadikan rugbah padamu”, ya’ni “jika engkau meninggal dulu sebelum aku, maka rumah ini kembali kepadaku. Dan jika aku meninggal dulu sebelum engkau, maka rumah ini tetap menjadi milikmu.”

 

Kemudian orang yang diberi mau melakukan qabul (terima) dan menerimanya, maka sesuatu tersebut langsung menjadi milik orang yang diberi seumur hidup atau orang yang “ diberi rugbah, dengan menggunakan bentuk kalimat isim maf’ul pada kedua bentuk lafadz tersebut.

 

Dan dimiliki oleh ahli warisnya setelah Ia meninggal dunia. sedangkan syarat yang diucapkan tidak berguna.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HIBBAH

 

  1. Pengalokasian Pemberian yang Dibatasi

 

Ketika seseorang dihalalkan mengambil sesuatu milik orang lain, dan ia memberikan dengan beberapa kriteria sifat-sifat yang telah ditentukan, maka bagi orang yang diberi tidak boleh menyalurkan pemberian pada selain ketentuan pemberi.

 

  1. Perbedaan dan Kesamaan Hibbah, Shadaqah dan Hadiah

 

Apabila sesorang memberikan barang dengan tujuan karena butuh atau untuk mendapatkan pahala, disertai dengan adanya shighot (serah terima), maka dinakaman hibbah dan shodaqoh. “ Apabila bertujuan untuk memulyakan, bersamaan dengan shighot, maka dinamakan hibbah dan hadiah. “Apabila tidak ada tujuan pahala dan memulyakan tapi bersamaan sighot, maka dinamakan hibbah saja. “ Apabila bertujuan karena butuh atau untuk dapat pahala tanpa ada sighot dinamkan shodagoh. “Dan apabila bertujuan memulyakan tanpa sighot, maka dinakaman hadiah.

 

Artinya masing-masing dari ketiganya ada sisi keumuman dan juga ada sisi kekhususan.

 

  1. Hadiah dengan Syarat Pekerjaan

 

Seseorang yang telah memberikan hadiah pada orang lain, dengan syarat orang tersebut harus melakukan sesuatu, namun ternyata ia tidak melaksanakannya, maka wajib baginya untuk mengembalikan hadiah tersebut jika masih ada. Dan apabila sudah tiada, maka wajib menggantinya.

 

  1. Khilaf Mu’athohpun Berlaku Pada Hibbah

 

Imam Nawawi berfatwa dalam syarah muhadzabnya: Khilaf yang terjadi pada al-mw’atoh juga berlaku pada ijaroh, rohn dan hibbah.

 

 (Fasal) menjelaskan hukum-hukum luqathah.

 

Luqathah, dengan dibaca fathah huruf gafnya, adalah nama sesuatu yang ditemukan.

 

Makna luqathah secara termonologi hukum adalah harta yang tersia-sia dari pemiliknya sebab jatuh, lupa dan sesamanya.

 

Ketika ada seseorang baik baligh atau belum, muslim atau bukan, fasiq ataupun tidak, menemukan barang temuan di bumi yang tidak bertuan ataupun di jalan, maka bagi dia diperbolehkan mengambil! atau / membiarkannya.

 

Akan tetapi mengambilnya lebih utama daripada membiarkannya, jika orang yang – mengambilnya percaya bahwa dia bisa menjaganya.

 

Seandainya ia membiarkannya — tanpa mengambil/memegangnya sama sekali, maka / ia tidak memiliki tanggungan apa-apa.

 

Tidak wajib mengangkat saksi atas barang temuan baik karena untuk dimiliki ataupun hanya untuk dijaga. Bagi seorang qadli harus mengambil barang temuan dari orang yang fasiq dan menyerahkannya pada orang yang adil.

 

Pengumuman orang fasiq atas barang temuan tidak bisa dibuat pegangan, bahkan gadi harus menyertakan seorang pengawas yang adil pada orang fasiq tersebut agar bisa mencegahnya dari berkhianat pada barang temuan tersebut.

 

Seorang wali harus mengambil barang temuan dari tangan anak kecil dan mengumumkannya. Kemudian setelah mengumumkan, wali berhak mengambil kepemilikan barang temuan tersebut untuk si anak kecil, jika Ia melihat ada masiahah/kebalkan dalam mengambil kepemilikan barang temuan tersebut untuk si anak kecil.

 

Ketika seseorang mengambil barang temuan, maka wajib bagi dia untuk mengetahui enam perkara pada barang temuan tersebut setelah mengambilnya.

 

Yaitu wadahnya, apakah dari kulit atau kain misalnya.

 

Ifash-nya, yaitu yang bermakna wadah.

 

Dan talinya. Lafadz “wika” dengan dibaca panjang. Wika’ adalah tali yang digunakan untuk mengikat barang temuan tersebut.

 

Dan jenisnya, dari emas atau perak. Jumlahnya dan timbangannya dan kwantitas serta bobotnya.

 

Lafadz “ya’rifa”, dengan dibaca fathah huruf awalnya dan dibaca sukun huruf yang kedua, itu diambil dari masdar “ma’rifah (mengetahui)” bukan dari masdar “ta’rif (Mengumumkan)”.

 

Dan wajib untuk menjaganya ditempat penyimpanan barang sesamanya. Kemudian setelah apa yang telah dijelaskan tersebut, ketika penemu ingin memiliki barang tersebut, maka wajib baginya mengumumkan selama setahun di pintu-pintu masjid saat orang-orang keluar habis sholat berjama’ah. Lafadz “arrafa” dengan ditasydid huruf ra’nya, diambil dari masdar “ta’rif (mengumumkan)”

 

tidak dari masdar “ma’rifah (mengetahui)”.

 

Dan di tempat Ia menemukan barang tersebut. DI pasar-pasar dan sesamanya ya’ni tempattempat berkumpulnya manusia. “ Mengumumkan itu disesuaikan dengan kebiasaan, waktu dan tempatnya.

 

Permulaan setahun dihitung sejak waktu mengumumkan, bukan dari waktu menemukan barang tersebut.

 

Dan tidak wajib mengumumkan selama setahun secara penuh.

 

Akan tetapi pertama mengumumkan setiap hari dua kali, pagi dan sore tidak malam hari , dan tidak pada waktu gailulah (istirahat siang). Setelah itu kemudian mengumumkan setiap minggu satu atau dua kali.

 

Saat mengumumkan barang temuan, si penemu hanya boleh menyebutkan sebagian dari ciri-ciri barang temuannya.

 

Sehingga, jika ia terlalu banyak menyebutkan Ciri-cirinya, maka ia terkena beban membayar ganti rugi (dlaman).

 

Bagi si penemu tidak wajib mengeluarkan biaya pengumuman jika ia mengambil barang temuan tersebut dengan tujuan menjaganya karena pemiliknya.

 

Bahkan bagi qadli mengambilkan biayanya dari baitulmal atau si penemu hutang biaya tersebut atas nama si pemilik barang.

 

Jika la mengambil barang temuan tersebut untuk dimiliki, maka wajib baginya, mengumumkan dan wajib mengeluarkan binya pengumumannya. Baik setelah itu la memang – memJiikinya ataupun tidak.

 

Barang siapa menemukan barang yang remah, maka ia tidak wajib mengumumkan selama “. setahun, bahkan cukup mengumumkan dalam selang waktu yang Ia sangka bahwa pemiliknya vsudah tidak memperdulikan barang tersebut setelah waktu itu.

 

Kemudian, jika ia tidak menjumpai pemiliknya setelah mengumumkannya selama setahun, maka baginya diperbolehkan untuk memiliki barang temuan tersebut dengan syarat akan menggantinya -saat pemiliknya sudah ditemukan-.

 

Si penemu tidak bisa langsung memiliki barang temuan tersebut hanya dengan lewatnya masa setahun, bahkan harus ada kata-kata yang menunjukkan pengambilan kepemilikan seperti, “saya mengambil kepemilikan barang temuan Ini.”

 

Jika la sudah mengambil kepemilikan barang temuan tersebut dan ternyata pemiliknya datang saat barang tersebut masih tetap seperti semula dan keduanya sepakat untuk mengembalikan barang Itu atau sepakat mengembalikan penggantinya, maka urusannya sudah Jelas.

 

jika keduanya berbeda pendapat, si pemilik menginginkan barang tersebut dan si penemu ingn pindah pada penggantinya, maka yang dikabulkan adalah sang pemilik menurut .. pendapat al ashah.

 

ika barang temuan tersebut rusak setelah diambil kepemilikan oleh si penemu, maka ia .wajib mengganti barang sesamanya jika memang barang temuan tersebut berupa barang mitsl.

 

Atau mengganti harganya jika barang tersebut berupa barang yang memiliki harga, dengan ukuran harga saat mengambil kepemilikan. Jika barang temuan tersebut menjadi kurang sebab cacat, maka bagi si pemilik diperbolehkan mengambilnya beserta ganti rugi dari kekurangan tersebut menurut pendapat al ashah.

 

Barang temuan, dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan menggunakan “jumlah . barang temuan”, terbagi menjadi empat macam.

 

Salah satunya barang yang utuh dalam jangka waktu lama misalnya emas dan perak.

 

Maka hal ini, ya’ni keterangan yang sudah lewat yaitu mengumumkan selama setahun dan mengambil kepemilikkan setelah melewati setahun, adalah hukumnya, ya’ni hukum barang yang utuh dalam jangka waktu lama.

 

Macam kedua adalah barang temuan yang tidak tahan lama misalnya makanan basah. Maka penemu barang tersebut diperbolehkan memilih antara dua hal.

 

Memakan dan menggantinya, ya’ni mengganti harganya. Atau menjualnya dan menjaga hasil, penjualannya hinega jelas siapa pemiliknya. Yang ketiga adalah barang yang tahan lama dengan cara diproses seperti kurma basah dan anggur basah.

 

Maka si penemu melakukan hal yang maslahah, yaitu menjual dan menjaga hasil -. penjualannya, atau mengeringkan dan menjaganya hingga jelas siapa pemiliknya.

 

Yang ke ernpat adalah barang temuan yang butuh nafkah seperti binatang. Dan bagian ini ada dua macam,

 

Salah satunya adalah binatang yang tidak bisa menjaga diri dari binatang pemburu yang . kecil, seperti kambing dan anak sapi.

 

Maka bagi penerimanya diperbolehkan memilih diarrtara tiga perkara, memakan dan  mengganti harganya, membiarkan tidak memakannya dan dan bersedekah dengan ” memberi nafkah padanya, atau menjual dan . menjaga hasil penjualannya hingga jelas siapa pemiliknya.

 

Yang kedua adalah binatang yang bisa menjaga diri dari binatang-binatang pemburu : yang kecil seperti onta dan kuda.

 

Maka, jika si penemu menemukannya di alam bebas, maka harus membiarkannya, dan haram mengambilnya untuk dimiliki.

 

Sehingga, seandainya ia mengambilnya untuk dimiliki, maka ia memiliki beban untuk menggantinya (dlamman).

 

Jika si penemu menemukannya di pemukiman, maka ia diperbolehkan memiliki di antara tiga « hal pada binatang tersebut.

 

Yang dikehendaki adalah tiga hal yang telah dijelaskan dalam permasalahan binatang yang tidak bisa menjaga diri.

 

MUHIMMAT DALAM BAB LUQATHAH (BARANG TEMUAN)

 

  1. Barang Temuan yang Remeh ,

 

Ketika menemukan barfhg yang tidak ada harganya, seperti satu butir beras dan sesamanya, maka tidak perlu diumumkan. Dan bagi penemu dapat mengalokasikan sesuai dengan keinginannya. Dan apabila berharga namun kecil (sedikit), maka menurut pendapat ashoh tidak harus diumumkan selama satu tahun, bahkan cukup diumumkan dalam jangka waktu yang sekira pemilik sudah tidak menghiraukan pada barang tersebut.

 

  1. Menemukan di Laut

 

Hukum barang yang jatuh di laut adalah berstatusnya barang terlantar (madlun di6i’) dan dialokasikan untuk kemaslahatan kepentingan umum. Hanya saja jika masih ada harapan mengetahui pemiliknya, maka wajib meyimpan sampai pemiliknya mengambil.

 

  1. Status Harta yang Kebawa Banjir

 

Harta yang dibawa banjir menurut para ulama digolongkan harta yang terlantar (maaludh dho’i), namun menurut imam Hasan al-Bashri: bagi orang yang menemukan dapat memilikinya selama tidak diketahui pemilik barang tersebut.

 

  1. Terkadang Mengumumkan itu Dilarang

 

Mengumumkan barang yang hilang dilarang jika dikhawatirkan ada pengakuan dari para penipu. Dan barang temuan tersebut disimpan penemu selamanya, namun sebaiknya dialokasikan pada kemaslahatan umum, sebagaimana mashrafnya baitul mal.

 

(Fasal) menjelasakan hukum-hukum lagith. lagith adalah anak kecil yang terlantar dan tidak ada yang mengurusnya baik ayah, kakek, atau orang-orang yang menggantikan posisi keduanya.

 

Disamakan dengan anak kecil, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian ulama’, adalah orang gila yang sudah baligh.

 

Ketika ada seorang Jagith, dengan makna malguth (anak yang ditemukan), ditemukan di . pinggir jalan, maka mengambilnya dari sana, merawat dan menanggungnya hukumnya adalah wajib kifayah (kewajiban secara kolektif).

 

Ketika ia sudah diambil oleh sebagian orang yang berhak untuk merawat /agith, maka tuntutan dosa menjadi gugur dari yang lainnya. Sehingga, jika tidak ada seorangpun yang mau mengambilnya, maka semuanya berdosa. Seandainya yang mengetahuinya hanya satu orang, maka tuntutan hanya tertentu pada orang tersebut (fardlu ‘ain).

 

Menurut pendapat al ashah, wajib mengangkat saksi atas temuan anak terlantar. Sang Pengarang memberi isyarat terhadap syarat-syarat penemu anak terlantar dengan perkataan Nya.

 

Seorang lagith tidak diserahkan kecuali pada orang yang dapat dipercaya, merdeka, islam dan rasyid. “

 

Jika ditemukan harta bersamaan dengan anak tersebut, maka seorang hakim menafkahinya dari harta Itu. Bagi si penemu tidak diperbolehkan menafkahi anak tersebut dari harta Itu kecuali dengan Izin hakim.

 

Jika tidak ditemukan harta bersamaan dengan anak tersebut, maka nafkahnya diambilkan di baitulmal, jika memang ia tidak memiliki hak pada harta yang umum seperti harta wakaf untuk anak-anak terlantar.

 

MUHIMMAT BAB ANAK TERLANTAR

 

  1. Syarat Pemungut Anak Terlantar

 

Syarat-syarat lagith (pemungut anak terlantar) adalah: 1. Merdeka. 2. Pandai. 3. Adil.

 

  1. Persaksian Atas Anak Terlantar

 

Memberi persaksian atas penemuan anak terlantar menurut gaul ashah hukumnya adalah wajib, karena sebagai upaya melindungi status kemerdekaan anak tersebut dan mengantisipasi upaya perbudakan, sedangkan menurut mugabil ashah tidak wajib, karena berpegang pasa sifat amanah, sebagai mana barang temua.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum wadi’ah.

 

Lafadz “wadi’ah” yang mengikut pada wazan “fa’ilatun” diambil dari fi’il madii “wadda’a” (meninggalkan) ketika Ia meninggalkannya.

 

Secara etimologi, wadi’ah diungkapkan pada sesuatu yang dititipkan pada selain pemiliknya. untuk dijaga.

 

Dan secara termonologi hukum diungkapkan pada akad yang menetapkan penjagaan.

 

Wadi’ah adalah amanah yang berada di tangan wadi’ (orang yang dititipi).

 

Disunnahkan untuk menerima titipan bagi orang yang mampu melaksanakan amanah pada titipan tersebut, jika memang di sana masih ada orang yang lain.

 

Jika tidak ada, maka wajib untuk menerimanya sebagaimana — yang dimutlakkan oleh segolongan ulama”‘.

 

Imam an Nawawi berkata di dalam kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, “hukum inis diarahkan untuk penerimaannya saja bukan masalah menggunakan kemanfaatan dan tempat penjagaannya secara gratis.” Wadi” (orang yang dititipi) tidak wajib mengganti barang titipan kecuali ia berbuat ceroboh pada barang titipan tersebut.

 

Bentuk-bentuk kecerobohan itu banyak dan disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya.

 

Di antaranya adalah ia menitipkan barang titipan tersebut pada orang lain tanpa seizin pemilik dan tidak ada udzur padanya.

 

Di antaranya adalah ia memindah barang titipan dari satu perkampungan atau satu rumah ke tempat lain yang ukuran keamaannya di bawah tempat yang pertama. Ucapan a/ muda’ (orang yang dititipi), dengan membaca fathah pada huruf dalnya, diterima dalam hal mengembalikannya pada al mudi’ (orang yang menitipkan), dengan dibaca kasrah huruf dalnya.

 

Bagi wadi’ harus menjaga barang titipan di tempat penjagaan barang sesamanya. , Jika tidak dilakukan, maka ia memiliki beban menggantinya.

 

Ketika wadi’ diminta untuk mengembalikan barang titipan, namun ia tidak memberikannya padahal mampu ia lakukan, hingga barang tersebut rusak, maka ia wajib menggantinya. Sehingga, jika ia menunda — untuk mengembalikan sebab ada udzur, maka ia tidak wajib menggantinya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB WADI’AH (BARANG TITIPAN)

 

  1. Memberi Jangka Waktu Pada Akad Wadi’ah

 

Bahwasannya diperkenankan memberi jangka waktu pada harta titipan, dan menggantungkan untuk mengembalikan setelah terjadinya akad, sebagaimana dalam akad wakalah.

 

  1. Memberi Syarat Untuk Membayar Barang Titipan

 

Para Ulama berbeda pendapat tentang adanya persyaratan /wadh dalam akad wadiah untuk orang yang beri amanah titipan, sebagai ganti dari biaya atas menjaga barang titipan tersebut. Dalam hal ini ada tiga mendapat, dan menurut pendapat madzhab Hanafi, Syafi’i: Diperkenakan memberi syarat berupa uang imbalan sebagai upah dari penjaga barang titipan, dan syarat itu sah dan harus dijalankan.

 

  1. Memakai Barang Titipan

 

Ketika seseorang menitipkan baju, dan memberi idzin untuk memakainya, dan yang dititipipun memakainya, maka hal itu disebut akad Ariyah (pinjaman), jika tidak memakainya, maka tetap tergolong akad wadi’ah.

 

 

Lafadz “al fara’id” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafardz “faridlah” dengan menggunakan makna faladz “mafrudiah” yang diambil dari bentuk kalimat masdar “al fardi” dengan menggunakan makna bagian pasti. A faridlah secara termonologi hukum adalah nama bagian pasti untuk orang yang berhak mendapatkannya.

 

Lafadz “al washaya” adalah bentuk kalimat jama’ lafadz “washiyyah” dari kata-kata “akus menyambung sesuatu dengan sesuatu yang lain ketika aku menyambungnya dengan sesuatu yang lain tersebut”, Wasiat secara termonologi hukum adalah bersedekah sunnah dengan suatu hak yang disandarkan pada masa setelah meninggal dunia.

 

Golongan ahli waris dari pihak laki-laki yang disepakati berhak menerima warisan ada sepuluh orang secara ringkas, dan lima belas orang secara terperinci.

 

Sang Pengarang menyebutkan sepuluh orang tersebut dengan perkataan Nya, “yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki terus hingga ke bawah, ayah, kakek hingga terus ke atas, saudara laki-laki, putra dari saudara laki-laki walaupun agak jauh, paman dari ayah, putra paman dari ayah walaupun jarak keduanya jauh, suami, dan majikan yang telah memerdekakan.

 

Seandainya semua golongan laki-laki ini berkumpul, maka yang mendapatkan warisan dari mereka hanya tiga orang, yaitu ayah, anak laki-laki dan suami.

 

Mayat dalam kasus ini tidak lain adalah mayat perempuan.

 

Golongan ahli waris dari pihak perempuan yang disepakati berhak mendapat warisan ada tujuh orang secara ringkas, dan sepuluh orang secara terperinci.

 

Sang Pengarang menyebutkan ketujuh golongan tersebut di dalam perkataan Nya, “yaitu anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walaupun hingga ke bawah, ibu, nenek walaupun hingga ke atas, saudara perempuan, istri, dan majikan perempuan yang memerdekan” hingga akhir penjelasan Nya.

 

Seandainya seluruh golongan perempuan saja yang berkumpul, maka yang mendapat warisan dari mereka hanya lima orang, yaitu 1anak perempuan, 2cucu perempuan dari anak laki-laki, 3ibu, 4istri dan Ssaudara perempuan seibu sebapak.

 

Mayat dalam bentuk ini tidak lain kecuali berupa mayat laki-laki.

 

Golongan ahli waris yang tidak akan pernah gugur dalam berbagai keadaan ada lima orang, « yaitu zaujain ya’ni suami dan istri, abawain ya’ni ayah dan ibu, dan putra kandung, baik laki-laki atau perempuan.

 

Orang yang sama sekali tidak bisa mendapat warisan dalam berbagai keadaan ada tujuh, yaitu 1budak laki-laki dan perempuan. Seandainya Sang Pengarang menggungkapkan dengan etimologi “ragig”, niscaya akan lebih baik,

 

Selanjutnya 2budak mudabbar, 3ummul walad, dan 4budak mukatab.

 

Adapun budak yang sebagiannya berstatus merdeka, ketika meninggal dunia dan  meninggalkan harta yang Ia miliki dengan status merdeka pada sebagian dari dirinya, maka Ia akan diwaris oleh kerabatnya yang merdeka, istrinya dan orang yang memerdekakan sebagian dirinya.

 

Dan Sorang yang membunuh. Seorang pembunuh tidak bisa mewaris orang yang ia bunuh, baik pembunuhan yang ia lakukan mendapatkan denda ataupun tidak.

 

Dan 6orang murtad. Seperti orang murtad adalah orang kafir zindig yaitu orang yang menyebunyikan kekafirannya dan memperlihatkan keislamannya.

 

Dan penganut dua agama yang berbeda. Sehingga orang muslim tidak bisa mewaris orang kafir, dan juga tidak bisa sebaliknya. Orang kafir bisa mendapat warisan dari orang kafir yang lain walaupun agama keduanya berbeda seperti orang yahudi dan orang nashrani.

 

Orang kafir harbi tidak bisa mewaris orang kafir dzimmi, dan tidak juga sebaliknya.

 

Orang murtad tidak bisa mewaris orang murtad yang lain, tidak dari orang muslim dan tidak dari orang kafir.

 

Dan golongan waris ashabah yang terdekat. Dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan menggunakan kalimat mufrad “al ashabah”.

 

Yang dikehendaki dengan golongan waris ashabah adalah orang yang ketika dalam « keadaan diashabahkan tidak memiliki bagian pasti, yaitu dari orang-orang yang disepakati berhak mendapat warisan dan telah dijelaskan di depan.

 

Yang dipertimbangkan adalah bagian ketika dalam keadaan ashabah agar memasukkan ayah dan kakek. Karena sesungguhnya masingmasing dari keduanya memiliki bagian pasti di selain keadaan ashabah.

 

Kemudian Sang Pengarang menghitung/menampilkan urutan terdekat di dalam perkataan Nya, “yaitu anak laki-aki, lalu cucu laki-laki dari anak laki-laki, kemudian ayah, ayahnya ayah, saudara laki-laki kandung seayah dan seibu, saudara laki-laki seayah, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-lakinya saudara lakilaki seayah”, hingga akhir penjelasannya. Perkataan Sang Pengarang, “kemudian paman dari ayah sesuai dengan urutan ini, lalu anak laki-lakinya” ya’ni, kemudian didahulukan paman dari ayah yang seayah seibu, lalu paman dari ayah yang seayah, anak-anak lakilakinya paman dari ayah sesuai dengan urutan di atas, lalu didahulukan pamannya ayah dari jalurnya kakek yang seayah seibu dengan ayah, kemudian yang seayah, lalu anak-anak laki-laki keduanya sesuai dengan urutan di atas, kemudian didahulukan pamannya kakek dari jalur ayahnya kakek yang seayah seibu, lalu yang seayah dan begitu seterusnya.

 

Ketika golongan ahli waris ashabah dari jalur nasab tidak ada, sedangkan mayatnya adalah budak yang telah dimerdekakan, maka majikan yang telah memerdekakannya mendapat warisan dari dia dengan waris ashabah, baik majikan yang memerdekakan tersebut laki-laki atau perempuan.

 

Jika tidak ditemukan ahli waris ashabah si mayat dari jalur nasab dan sebab wala’, maka harta peninggalan si mayit menjadi milik baitul mal (kas Negara).

 

(Fasal) bagian-bagian pasti yang disebutkan di dalam Kitabullah Ta’ala ada enam. Dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan menggunakan lafadz “wal furudl al mugaddarah”.

 

Tidak ditambah dan tidak dikurangi dari itu kecuali karena ada sesuatu yang baru datang seperti permasalahan “al ‘aul”. Enam bagian tersebut tidak lain adalah 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 , dan 1/6.

 

Ulama’ ahli fara’idl mengungkapkan semua itu dengan ungkapan yang ringkas, “bagianbagian pasti adalah 1/4, 1/3, kelipatan dari masing-masing, dan separuh masing-masing dari keduanya.

 

Maka separuh adalah bagian lima orang. 1Anak perempuan, 2anak perempuan dari anak laki-laki, ketika masing-masing dari keduanya tidak bersamaan dengan lelaki yang mengashabahkannya.

 

 3Saudara perempuan dari jalur ayah dan ibu, dan 4saudara perempuan yang seayah, ketika masing-masing dari keduanya tidak bersamaan dengan laki-laki yang mengashabahkannya.

 

Dan 5suami ketika tidak bersamaan dengan anaknya mayit, baik anak laki-laki atau perempuan, dan tidak bersamaan dengan anak dari anak laki-laki si mayit.

 

Seperempat adalah bagian pasti bagi dua orang.

 

Yaitu suami ketika bersamaan dengan anak atau cucu dari anak laki-laki si mayit, baik anak itu dari suami tersebut atau orang lain. Seperempat adalah bagian pasti satu, dua atau beberapa istri ketika tidak bersamaan dengan anak atau cucu dari anak laki-laki. | Bahasa yang paling fasih di dalam lafadz “az zaujah” adalah membuang huruf ta’nya, akan tetapi menetapkan huruf ta’ di dalam faraid! adalah sesuatu yang lebih baik karena untuk membedakan antara istri dan suami. Seperdelapan adalah bagian pasti satu, dua atau beberapa istri ketika bersamaan dengan anak atau cucu dari pihak anak laki-laki. Mereka semua bersekutu dalam memiliki seperdelapan.

 

Dua sepertiga adalah bagian pasti anak perempuan dua atau lebih, dan cucu « perempuan dari anak laki-laki, dua atau lebih. Dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan disebutkan dengan etimologi, “wabanati ibni”. Dan bagian pasti saudara perempuan seayah seibu, dan seayah, dua atau lebih.

 

Hal ini ketika masing-masing dari keduanya tidak bersamaan dengan saudara-saudara laki-lakinya.

 

Sehingga, ketika ada saudara laki-laki yang bersamaan dengan mereka, maka terkadang akan mendapatkan lebih dari dua sepertiga sebagaimana seandainya mereka berjumlah sepuluh orang dan yang laki-laki satu orang, maka mereka mendapatkan sepuluh dari dua belas bagian, dan itu lebih banyak dari dua sepertiganya.

 

Dan terkadang mendapat kurang dari dua sepertiga, seperti dua anak perempuan dengan dua anak laki-laki.

 

Sepertiga adalah bagian pasti dua orang.

 

Yaitu ibu ketika tidak di-mahjub (dihalanghalang).

 

Hal ini ketika mayit tidak memiliki anak, cucu dari anak laki-laki, atau dua orang saudara lakilaki atau saudara perempuan.

 

Baik mereka seibu seayah, seayah saja, atau seibu saja.

 

Sepertiga adalah bagian dua orang atau lebih dari saudara laki-laki dan saudara perempuan « dari anak-anaknya ibu.

 

Baik mereka berjenis kelamin laki-laki, perempuan, waria/waria atau sebagian berjenis ini dan sebagian lagi berjenis kelamin yang lain.

 

Seperenam adalah bagian pasti tujuh orang, yaitu ibu ketika bersamaan dengan anak, cucu dari anak laki-laki, dua orang atau lebih dari saudara laki-laki dan saudara perempuan. Tidak ada perbedaan antara yang seayah seibu dan bukan, dan antara sebagian seayah seibu dan sebagian lagi bukan.

 

Seperenam adalah bagian satu, dua atau beberapa nenek, ketika tidak ada ibu.

 

Dan bagian cucu perempuan dari anak laki-laki ketika bersamaan dengan anak perempuan mayit kerena untuk menyempurnakan bagian dua sepertiga.

 

Seperenam adalah bagian saudara perempuan seayah ketika bersamaan dengan saudara perempuan seayah seibu karena untuk menyempurnakan bagian dua sepertiga. Seperenam adalah bagian pasti ayah ketika bersamaan dengan anak atau cucu dari anak laki-laki.

 

Termasuk di dalam keterangan Sang Pengarang adalah permasalahan seandainya mayit meninggalkan anak perempuan dan ayah, maka anak perempuan mendapatkan bagian separuh, sedangkan ayah mendapatkan « bagian pasti seperenam dan bagian ashabah sisanya.

 

dan -seperenamadalah bagian kakek yang mendapatkan warisan ketika tidak ada ayah. Kakek juga mendapat bagian pasti seperenam ketika bersamaan dengan saudara laki-laki. Sebagaimana ketika kakek bersamaan dengan orang yang mendapatkan bagian pasti, dan seperenam harta warisan lebih baik baginya daripada bagian mugasamah, dan bagian sepertiga ashabah (tsulusul bag), seperti permasalahan dua anak perempuan, kakek, dan tiga saudara laki-laki

 

Seperenam adalah bagian pasti satu orang dari anak-anaknya ibu, baik laki-laki atau perempuan.

 

Nenek baik yang dekat ataupun jauh menjadi gugur sebab ibu saja.

 

Kakek menjadi gugur sebab ayah.

 

Anaknya Ibu, ya’ni saudara seibu menjadi gugur ketika bersamaan dengan empat orang. Yaitu anaknya mayit, baik laki-laki ataupun perempuan.

 

Dan bersamaan dengan cucu dari anak lakilaki, begitu juga baik laki-laki ataupun perempuan. Dan bersamaan dengan ayah atau kakek walaupun hingga ke atas.

 

Saudara laki-laki seayah seibu menjadi gugur ketika bersamaan dengan tiga orang, yaitu anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak lakilaki walaupun hingga ke bawah. Dan ketika bersamaan dengan ayah.

 

anak seayah -saudara seayahmenjadi gugur sebab empat orang, yaitu dengan tiga orang itu, ya’ni anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan ayah. Dan sebab saudara seayah seibu.

 

Ada empat orang yang meng-ashabahkan saudara-saudara perempuannya, ya’ni orangorang perempuan. Bagi yang laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian dua orang perempuan.

 

Yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-anak laki-laki, saudara laki-laki seayah seibu dan saudara laki-laki seayah.

 

Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak bisa meng-ashabahkan saudara perempuannya, bahkan keduanya mendapat bagian sepertiga. Ada empat orang yang mendapatkan warisan sedangkan saudara-saudara — perempuan mereka tidak bisa mendapatkan warisan. Mereka adalah paman dari jalur ayah, anak laki-laki paman dari jalur ayah, anak laki-laki saudara laki-laki, dan orang-orang yang mendapatkan waris ashabah dari majikan yang telah memerdekakan.

 

Hanya mereka yang mendapat warisan tanpa menyertakan saudara-saudara perempuannya karena sesungguhnya mereka adalah golongan ashabah yang bisa mendapatkan warisan, sedangkan saudara-saudara — perempuan mereka adalah termasuk dzawil arham yang tidak bisa mendapatkan warisan.

 

  1. Struktur Hak Waris

 

Struktur hak waris ada tiga: 1. Ahli warits. 2. Harta yang di warits. 3. Hak yang diwarits.

 

  1. Sebab-Sebab Mendapatkan Hak Warits

 

Sebab-sebab mendapatkan hak warits ada empat, 1. Kerabat. 2. Nikah. 3. Warits wala’. 4. Arah Islam.

 

3, Hukum Anak Zina

 

Anak zina dapat mewarits harta peninggalan ibunya dan demikian sebaliknya, dan tidak dapat mewarits harta peninggalan ayahnya dan demikian sebaliknya.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum wasiat.

 

Makna wasiat secara etimologi dan secara terminology hukum telah dijelaskan diawalawal kitab “FARAIDL”.

 

Barang yang diwasiatkan tidak disyaratkan harus ma’lum dan sudah wujud.

 

Dengan demikian, maka boleh wasiat dengan barang yang ma’lum dan barang yang majhul seperti air susu yang masih berada di kantong susu binatang.

 

Dan -wasiat dengan barang yang sudah wujud atau belum wujud seperti wasiat kurma kering dari pohon ini sebelum wujud buahnya. Wasit diambilkan dari sepertiga harta orang yang berwasiat.

 

Sehingga, jika lebih dari sepertiganya, maka yang lebih tergantung pada persetujuan ahli waris yang mutlak tasharrufnya. 

 

Jika mereka setuju, maka persetujuan mereka adalah bentuk realisasi wasiat dengan harta yang lebih dari sepertiga.

 

Jika mereka menolak, maka hukum wasiat menjadi batal pada bagian yang lebih dari sepertiga.

 

Tidak diperbolehkan wasiat pada ahli waris walaupun diambil dari sebagian sepertiga dari harta orang yang berwasiat, kecuali jika ahli waris yang lain yang mutlak tasharruf setuju.

 

Sang Pengarang menjelaskan syarat orang wasiat di dalam perkataan Nya,

 

Hukumnya sah, dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan menggunakan etimologi  “hukumnya diperbolehkan”, wasiat setiap orang yang baligh dan yang berakal, ya’ni orang yang berkehendak sendiri yang merdeka, walaupun orang kafir atau orang eyang dibekukan tasharrufnya karena dungu. Sehingga tidak sah wasiat yang dilakukan orang gila, mughma alaih (epilepsi), anak kecil dan yang dipaksa.

 

Sang Pengarang menyebutkan syarat orang diberi wasiat ketika ditentukan di dalam perkataan Nya, “ -wasiat hukumnya sahpada orang yang bisa menerima kepemilikan”, ya’ni setiap orang yang bisa untuk memiliki.

 

Baik anak kecil, orang dewasa, sempurna akalnya, gila, dan janin yang sudah wujud saat terjadi wasiat dengan arti bayi itu lahir kurang dari enam bulan setelah waktu wasiat.

 

Dengan keterangan “orang yang tertentu”, mengecualikan permasalahan ketika yang diberi wasiat adalah jihah “ammah (tujuan yang umum).

 

Sehingga, sesungguhnya syarat dalam permasalahan ini adalah wasiat tidak pada jalur maksiat seperti membangun gereja dari orang islam atau kafir karena untuk beribadah si di sana. . Hukumnya sah wasiat di jalan Allah Swt, dan ditasharrufkan kepada orang-orang yang berperang.

 

Dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan menggunakan etimologi “fi sabilil bir” sebagai . pa ganti “sabilillah”, ya’ni seperti wasiat untuk orang-orang fagir, atau membangun masjid.

 

Hukumnya sah, dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan menggunakan etimologi  “hukumnya diperbolehkan”, wasiat setiap orang yang baligh dan yang berakal, ya’ni orang yang berkehendak sendiri yang merdeka, walaupun orang kafir atau orang eyang dibekukan tasharrufnya karena dungu. Sehingga tidak sah wasiat yang dilakukan orang gila, mughma alaih (epilepsi), anak kecil dan yang dipaksa.

 

Sang Pengarang menyebutkan syarat orang diberi wasiat ketika ditentukan di dalam perkataan Nya, “ -wasiat hukumnya sahpada orang yang bisa menerima kepemilikan”, ya’ni setiap orang yang bisa untuk memiliki.

 

Baik anak kecil, orang dewasa, sempurna akalnya, gila, dan janin yang sudah wujud saat terjadi wasiat dengan arti bayi itu lahir kurang dari enam bulan setelah waktu wasiat.

 

Dengan keterangan “orang yang tertentu”, mengecualikan permasalahan ketika yang diberi wasiat adalah jihah “ammah (tujuan yang umum).

 

Sehingga, sesungguhnya syarat dalam permasalahan ini adalah wasiat tidak pada jalur maksiat seperti membangun gereja dari orang islam atau kafir karena untuk beribadah si di sana. . Hukumnya sah wasiat di jalan Allah Swt, dan ditasharrufkan kepada orang-orang yang berperang.

 

Dalam sebagian beberapa redaksi kitab matan menggunakan etimologi “fi sabilil bir” sebagai ganti “sabilillah”, ya’ni seperti wasiat untuk orang-orang fagir, atau membangun masjid.

 

Dan hukumnya sah wasiat, ya’ni berwasiat untuk melunasi hutang, melaksanakan wasiat, dan mengurus urusan anak-anak kecil, pada orang yang memiliki lima sifat.

 

1Islam, 2baligh, 3berakal, 4merdeka, 5dapat dipercaya. Sang Pengarang mencukupkan dari syarat “adil” Dengan etimologi “amanah”. Sehingga tidak sah mewasiatkan kepada orang yang memiliki sifat-sifat bertolak belakang dengan orang yang telah disebutkan.

 

Akan tetapi menurut pendapat al ashah hukumnya jawaz/sah wasiat kafir dzimmi pada kafir dzimmi yang adil di dalam agamanya untuk mengurusi anak-anak orang kafir.

 

Orang yang diwasiati juga disyaratkan harus mampu untuk mentasharrufkan.

 

Sehingga orang yang tidak mampu untuk tasharruf sebab terlalu tua atau pikun misalnya, maka tidak sah berwasiat padanya.

 

Ketika syarat-syarat tersebut terkumpul pada ibu si anak kecil, maka ia lebih berhak/lebih utama daripada yang lainnya.

MUHIMMAT DALAM BAB WASIAT

 

Wasiat dibacakan Surat Yasin dan Tabarak

 

Apabila seseorang berwashiat supaya dibacakan surat Yasin dan Tabarak setiap hari, dan pahalanya dihadiahkan kepada ruhnya, sedangkan upah orang yang membanya diambilkan dari harta peninggalannya, maka hukumnya sah.

 

Dalam sebagian redaksi dengan menggunakan etimologi, “hukum dan permasalahan yang terkait dengan nikah.”

 

Kalimat ini tidak tercantum di dalam sebagian redaksi kitab matan.

 

Nikah secara etimologi diungkapkan untuk makna mengumpulkan, wathi’/hubungan – biologis dan akad.

 

Dan secara termonologi hukum diungkapkan untuk menunjukkan akad yang memuat beberapa rukun dan syarat.

 

Nikah disunnahkan bagi orang yang membutuhkannya sebab keinginan kuat di dalam dirinya untuk melakukan hubungan biologis dan ia memiliki biaya seperti mas ‘ kawin dan nafkah.

 

Jika ia tidak memiliki biaya, maka tidak disunnahkan baginya untuk menikah.

 

Bagi laki-laki merdeka hanya diperbolehkan untuk mengumpulkan (dalam pernikahan) empat wanita merdeka saja. Kecuali jika haknya hanya satu saja seperti nikahnya lelaki idiot dan sesamanya, yaitu pernikahan yang tergantung pada kebutuhan saja.

 

Bagi seorang budak walaupun budak mudabbar, muba’adlI, mukatab, atau budak yang digantungkan kemerdekaannya dengan -: sebuah sifat, diperbolehkan hanya mengumpulkan dua istri saja.

 

Laki-laki merdeka tidak diperbolehkan menikahi budak wanita orang lain kecuali dengan dua syarat, yaitu tidak memiliki mas kawin untuk menikahi wanita merdeka atau ‘ tidak menemukan wanita merdeka atau tidak ada wanita merdeka yang berboleh menikah dengannya, dan ada kekhawatiran melakukan zina selama tidak menemukan wanita merdeka.

 

Sang Pengarang meninggalkan dua syarat yang lain,

 

Yang pertama, dia tidak memiliki istri wanita merdeka, baik muslim atau ahli kitab yang masih bisa untuk dinikmati.

 

Yang kedua, budak wanita yang akan dinikahi oleh lelaki merdeka tersebut beragama islam. . Sehingga bagi lelaki muslim tidak halal menikahi budak wanita ahli kitab/kafir.

 

Ketika lelaki merdeka menikahi budak wanita dengan syarat-syarat tersebut, kemudian ia kaya dan menikah dengan wanita merdeka, maka nikahnya dengan budak wanita tersebut tidak batal.

 

Pandangan seorang lelaki pada wanita terbagi menjadi tujuh macam:

 

Yang pertama, pandangan seorang laki-laki, walaupun sudah tua renta dan tidak mampu :. lagi berhubungan intim, kepada wanita lain (bukan mahram dan bukan istri) tanpa ada hajat untuk memandangnya, maka hukumnya tidak diperbolehkan (Haram).

 

Jika pandangannya karena ada hajat seperti bersaksi atas wanita tersebut, maka hukumnya diperbolehkan.

 

Yang kedua, pandangan seorang laki-laki pada istri dan budak perempuannya.

 

Maka baginya diperbolehkan melihat pada masing-masing dari keduanya selain bagian kemaluan keduanya.

 

Sedangkan bagian kemaluan, maka hukum melihatnya adalah haram. Dan ini pendapat yang lemah.

 

Menurut pendapat al ashah adalah diperbolehkan melihat bagian kemaluan akan tetapi disertai hukum makruh.

 

Yang ketiga, pandangan seorang laki-laki pada wanita-wanita mahramnya, baik sebab nasab, radia’ ataupun pernikahan, atau pada budak wanitanya yang telah dinikahkan dengan orang lain.

 

Maka diperbolehkan baginya memandang anggota badan selain anggota di antara pusar dan lutut.

 

Sedangkan anggota di antara keduanya, maka hukumnya haram dipandang.

 

Yang ke empat adalah memandang pada wanita lain karena ingin dinikah.

 

Ketika seseorang ingin menikahi seorang wanita, maka diperbolehkan baginya melihat wajah dan kedua telapak tangan luar dalam wanita tersebut, walaupun calon istri tersebut tidak memberi izin melakukannya.

 

Menurut pendapat yang diunggulkan imam an Nawawi, ketika seorang lelaki hendak melamar budak wanita, maka ia diperbolehkan melihat dari wanita budak tersebut bagian badan yang diperbolehkan untuk dilihat dari wanita merdeka.

 

Yang kelima adalah melihat karena untuk mengobati.

 

Maka bagi seorang dokter laki-laki diperbolehkan melihat dari pasien wanita lain bagian-bagian yang butuh ia obati hingga bagian vagina sekalipun.

 

Hal itu ia lakukan di hadapan mahram, suami, atau majikan pasien wanita tersebut. Dan di sana memang tidak ada dokter wanita yang bisa mengobati pasien wanita tersebut.

 

Yang ke enam adalah memandang karena tujuan bersaksi atas seorang wanita.

 

Maka seorang saksi diperbolehkan memandang vagina wanita lain ketika ia « bersaksi atas perbutan zina atau melahirkan yang dialami oleh wanita tersebut.

 

Sehingga, jika ia sengaja melihat dengan tujuan selain bersaksi, maka ia dihukumi fasia,, dan persaksiannya ditolak.

 

Atau memandang karena untuk melakukan transaksi jual beli atau yang lain dengan seorang wanita.

 

Maka baginya diperbolehkan memandang pada wanita tersebut.

 

Ungkapan Sang Pengarang, “tertentu hanya memandang bagian wajahnya saja”, kembali pada permasalahan persaksian dan transaksi. Yang ke tujuh adalah memandang budak wanita ketika hendak membelinya.

 

Maka baginya diperbolehkan memandang bagian-bagian badan yang butuh untuk dibolak balik.

 

Sehingga ia diperbolehkan memandang bagian-bagian tubuh dan rambutnya, tidak bagian auratnya.

 

(Fasal) menjelaskan hal-hal yang mana akad nikah tidak bisa sah kecuali dengan hal-hal tersebut.

 

Akad nikah hukumnya tidak sah kecuali disertai dengan wali yang adil.

 

Dalam sebagian redaksi kitab matan dengan bahasa, “dengan seorang wali laki-laki.” Hal ini mengecualikan seorang wanita.

 

Karena sesungguhnya seorang wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri atau orang lain.

 

Akad nikah juga tidak bisa sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil. Sang Pengarang menjelaskan syarat masingmasing dari wali dan dua saksi di dalam perkataan Nya, Seorang wali dan dua orang saksi membutuhkan enam syarat : Yang pertama adalah islam.

 

Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang kafir, kecuali . permasalahan yang dikecualikan oleh Sang Pengarang setelah ini.

 

Yang kedua adalah baligh. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh anak kecil.

 

Yang ketiga adalah berakal sempurna. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang gila, baik gilanya terus menerus atau terputus-putus.

 

Yang ke empat adalah merdeka. Sehingga seorang wali tidak boleh berupa budak di dalam ijab (serah) nikah.

 

Seorang budak diperbolehkan menjadi orang yang qabul (terima) di dalam akad nikah.

 

Yang ke lima adalah laki-laki. Sehingga seorang wanita dan waria tidak bisa menjadi wali nikah.

 

Yang ke enam adalah adil. Sehingga seorang wali tidak boleh fasiq.

 

Dari keterangan di atas, Sang Pengarang mengecualikan permasalahan yang tercakup di dalam ungkapan Nya,

 

Hanya saja, sesungguhnya pernikahan wanita kafir dzimmi tidak mengharuskan walinya beragama islam.

 

Pernikahan seorang budak wanita tidak mengharuskan majikkannya adil, sehingga hukumnya sah walaupun majikan yang menikahkannya adalah orang fasiq.

 

Semua syarat yang telah disebutkan di dalam , wali juga disyaratkan di dalam dua saksi nikah.

 

Adapun buta tidak sampai mencacatkan hak menjadi wali menurut pendapat al ashah. “ Wali-wali yang paling berhak menikahkan adalah ayah, lalu kakek yang menjadi ayahnya ayah, kemudian ayahnya kakek dan seterusnya.

 

Kakek yang lebih dekat dengan wanita yang hendak dinikahkan harus didahulukan daripada kakek yang lebih jauh.

 

Kemudian saudara lelaki seayah seibu (kandung). Seandainya Sang Pengarang « mengungkapkan,  syaqiq (kandung)”, niscaya lebih ringkas.

 

Kemudian saudara lelaki seayah. Lalu anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu walaupun hingga ke bawah.

 

Kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah walaupun hingga ke bawah. , Kemudian paman dari jalur ayah yang seayah seibu (dengan ayah). Lalu paman dari jalur ayah yang seayah (dengan ayah).

 

Kemudian anak laki-lakinya, ya’nl anak laki-laki masing-masing dari keduanya walaupun «, hingga ke bawah sesuai dengan urutan di atas. Sehingga anak laki-laki paman yang seayah seibu lebih didahulukan dari pada anak lakilaki paman yang seayah.

 

Jika ahli ashabah dari jalur nasab sudah tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah majikan laki-laki yang telah memerdekakannya.

 

Kemudian ahli ashabah majikan tersebut sesuai dengan urutan di dalam masalah warisan.

 

Adapun majikan wanita yang telah memerdekakan ketika ia masih hidup, maka yang berhak menikahkan wanita yang telah ia merdekakan adalah orang yang berhak menikahkan majikan tersebut sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan di dalam urutan wali dari jalur nasab.

 

Jika majikan wanita yang telah memerdekakan tersebut telah meninggal dunia, maka yang menikahkan wanita yang telah dimerdekakan olehnya adalah orang yang mendapat waris wala’ dari majikan wanita tersebut, kemudian anak laki-lakinya, lalu cucu laki-laki dari anak laki-lakinya.

 

Kemudian seorang hakim berhak menikahkan ketika wali dari jalur nasab dan wala’ sudah . tidak ada.

 

Kemudian Sang Pengarang beranjak menjelaskan permasalahan khitbah (melamar). Lafadz “al khitbah” dengan terbaca kasrah huruf kha’nya.

 

Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki yang melamar seorang wanita untuk menikah. P3 Sang Pengarang berkata, “tidak diperbolehkan melamar wanita yang sedang menjalankan – iddah wafat, talak ba’in dan talak roj’i, dengan etimologi sharih (terang-terangan).

 

Sharih adalah etimologi yang secara tegas menunjukkan keinginan untuk meminang, seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita yang menjalankan iddah, “aku ingin menikahi kamu.”

 

Jika seorang wanita yang sedang iddah namun bukan iddah talak raj’i, maka diperbolehkan melamarnya dengan ta’rid/ (bahasa sindiran), dan menikahinya setelah iddahnya selesai.

 

Ta’ridl adalah ungkapan yang tidak secara tegas menunjukkan keinginan — untuk menikahinya akan tetapi hanya ihtimal (miripmirip) saja, seperti ungkapan seorang lelaki yang ingin melamar pada seorang wanita, “banyak sekali laki-laki yang menyukaimu.” .

 

Sedangkan wanita yang terbebas dari hal-hal yang mencegah untuk menikah dan sebelumnya tidak ada yang melamar, maka diperbolehkan melamarnya dengan etimologi sindiran dan etimologi terang-terangan. Wanita terbagi menjadi dua, wanita-wanita janda dan perawan.

 

Wanita janda adalah wanita yang keperawanannya telah hilang sebab hubungan biologis yang halal atau haram. Sedangkan wanita perawan adalah sebaliknya.

 

Bagi seorang ayah dan kakek -ketika sama sekali tidak ada ayah atau ayahnya tidak bisa menjadi walidiperbolehkan meng-ijbar (memaksa) anak perawannya untuk menikah, jika memang memenuhi syarat-syarat ijbar.

 

Yaitu calon mempelai wanita belum pernah melakukan hubungan biologis lewat vaginanya, dan dinikahkan dengan lelaki sepadan dengan mas kawin standar wanita tersebut yang diambilkan dari mata uang daerah setempat.

 

Sedangkan wanita janda tidak diperbolehkan bagi walinya menikahkan kecuali setelah wanita tersebut baligh dan memberi izin dengan ucapan tidak dengan diam saja.

 

MUHIMMAT DALAM BAB NIKAH

 

  1. Status Wali Muhakkam di Indonesia

 

Ketika tidak ada semua jalur wali sampai pada hakim, maka yang menikahkan” seorang wanita ada muhakkam yang punya sifat adil. — Syaikhuna berkata: Jika Hakim (wali jalur yang terakhir) enggan menikahkan tanpa adanya vang, sebagaimana yang terjadi saat ini, maka bagi wanita itu diperbolehkan untuk meminta orang yang adil untuk menjadi walinya, meskipun di tempat tersebut masih ada hakim.

 

  1. Obat Kuat Boleh Selama Tidak Bahaya

 

Disunahkan memakai pil penguat syahwat jika ada tujuan yang baik, semisal menjaga keharmonisan rumah tangga atau mendapat keturunan, sebab sesuatu yang dijadikan lantaran untuk hal-hal yang sunah juga dihukumi sunah, dengan demikian menggunakan pil penguat juga sunah. Namun dengan syarat ‘tidak membahayakan bagi pemakainya’, dan lebih baik lagi anda pakai resep dokter biar tidak salah daden.

 

  1. Pendapat Dawud ad-Dzohiri Tidak Dapat Diterapkan di Indonesia

 

Menurut Jumhurul Ulama nikah tanpa wali dan syahid dihukumi tidak sah. Sedangkan Mugobi jumhur yang dilontarkan oleh Imam Dawud Ad-Dzohiri

 

dihukumi sah, seseorang yang mengikuti pendapat ini (Dawud) tidak akan dihad (hukuman karena zina) karena dianggap masih syubhat.

 

Namun perlu diingat..! perkhilafan ini hanya terjadi jika tidak bersamaan hukumnya Hakim, artinya jika seorang Hakim yang mengikuti pendapat Syafi’i mengatakan atau menghukumi tidak sah, maka tetap wajib untuk dihad.

 

  1. Syarat Adil Bagi Wali Masih Khilaf

 

Sesuai dengan ketentuan madzhab orang fasiq tidak dapat menjadi wali, baik ja wali Mujbir atau bukan, baik ia fasiqnya disebabkan minum khomer atau lainya, dan juga baik ia tergolong fasiq yang terang-terangan atau terselubung. Karena ke-fasiqan dalam bersaksi itu juga mencegah dalam menjadi wali, seperti sifat hamba. Sehingga hak perwalian akan diserahkan pada urutan wali setelah dia. Menurut pendapat yang kedua: Orang yang fasik tetap dapat menjadi wali nikah. Karena sifat fasiq tidak mencegah dalam pernikahan, sebagaiman terjadi dimasa-masa dulu.

 

  1. Saksi Tidak Harus Ditunjuk

 

Nikah tidak sah kecuali dengan dua saksi baik ditunjuk ataupun tidak.

 

  1. Status Nasabnya Anaknya Wanita Zina yang Telah Dinikahkan Menikahi wanita yang telah hamil dari zina, maka ada empat kemungkinan masalah intisab (nasabnya anak) sebagai berikut:

 

  1. Anak tidak intisab kepada suami (bapaknya), secara lahir maupun batin, sekalipun tidak ada mula’anah. Yaitu anak yang dilahirkan sebelum lewatnya masa 6 bulan, dihitung dari waktu kemungkinan berkumpul (jimak) setelah adanya akad yang sah, atau setelah lewatnya masa 4 tahun, dihitung dari akhir waktu mungkinnya berkumpul (jimak).

 

2 Anak intisab kepada suami secara lahir, dan hukum anak asli berlaku padanya, seperti hak waris dan lain-lain, serta wajib dinafikan (dinyatakan bohong bahwa anak itu dari suami). Yaitu anak yang dilahirkan di atas 6 bulan dan tidak lebih (kurang) dari 4 tahun, namun suami mempunyai keyakinan atau asumsi yang kuat bahwa anak tersebut bukan darinya. Potret permasalahannya adalah, Setelah akad nikah suami tidak pernah melakukan hubungan biologis, atau memasukkan spermanya pada perempuan yang melahirkan tersebut.. atau anak tersebut dilahirkan kurang dari 6 bulan dihitung dari hubugan intim, atau lahir melebihi empat tahun. Atau lahir di atas  bulan namun suami telah mengIstibra’kan wanita itu dengan satu kali masa haidi, sementara itu terdapat Indikasi adanya perzinaan.

 

  1. Anak secara lahir intisab kepada suami, tetapi tidak wajib me-nafikannya. Yaitu jika ada dugaan yang tidak kuat dari suami, bahwa anak itu bukan dari dirinya, seperti dia telah meng-istibra’kan wanita itu setelah hugungan biologis, dan perempuan tersebut melahirkan di atas 6 bulan setelah hubungan intim, sedangkan pada waktu itu masih adanya keraguan perzinaan.

 

  1. Anak tersebut intisab kepada suami dan haram dinafikan, bahkan dosa besar jika menafikannya, serta wajib diakui anak. Yaitu ada asumsi yang kuat bahwa anak tersebut darinya, atau seimbang antara dari dirinya dan tidak. Sebagaimana anak tersebut dilahirkan di atas 6 bulan dan kurang dari masa 4 tahun, terhitug hubungan badan, sementara suami tidak mengistibra’kan, atau mengistibra’kan namun sebelum lewat masa 6 bulan dari istibra’ tersebut lahirlah anak tersebut. Empat kemungkinan tersebut digunakan jika anak yang lahir dalam keadaan sempurna. Sedangkan apabila lahir dalam keadaan belum sempurna, maka didasarkan pada penelitian dokter. Artinya anak tersebut intisab kepada suami jika pembuahan sperma dan ovum terjadi setelah perkawinan, dan jika terjadi sebelumnya maka tidak intisab kepada suami (Kitab Bughyatul Mustasyidin hal 235-236 Darul Fikr).

 

(Fasal) wanita-wanita yang diharamkan, ya’ni yang diharamkan untuk dinikahi dengan dalil – Nash (Al Qur’an) ada empat belas.

 

Di dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan ungkapan, “arba’ata “asyara.” Yaitu tujuh wanita sebab nasab.

 

Mereka adalah ibu walaupun hingga ke atas. Dan anak – perempuan walaupun hingga ke bawah.

 

Adapun anak wanita yang dihasilkan dari sperma zinanya seorang laki-laki, maka bagi laki-laki tersebut dihalaikan menikahinya menurut pendapat al ashah, akan tetapi hukumnya makruh.

 

Baik wanita yang dizinai atas keinginan sendiri ataupun tidak.

 

Sedangkan bagi seorang wanita maka tidak dihalalkan menikah dengan anaknya dari hasil zina.

 

-yang ketiga saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu saja. .

 

 -yang ke empat bibi dari jalur ibu, baik secara hakikat atau dengan perantara seperti bibinya ayah atau bibinya ibu.

 

-yang ke lima bibi dari jalur ayah, baik secara hakikat atau dengan perantara seperti bibinya ayah dari jalur ayah.

 

-yang ke enam putrinya saudara laki-laki dan cucu-cucu perempuannya dari anak laki-laki atau perempuan.

 

-yang ke tujuh putrinya saudara perempuan dan cucu-cucu perempuannya dari anak laki-laki atau perempuan.

 

Sang Pengarang meng-athafkan pada perkataan Nya di depan, “tujuh”, ungkapan Nya di sini, “dan dua wanita, ya’ni wanitawanita mahram berdasarkan Nash Al Qur’an adalah dua wanita sebab radia’.

 

Mereka adalah ibu yang menyusui dan saudara wanita dari radia’.

 

Sang Pengarang hanya menyebutkan dua wanita tersebut karena yang disebutkan di dalam Nash Al Qur’an hanya dua itu saja.

 

Jika tidak demikian, maka tujuh wanita yang diharamkan sebab nasab juga diharamkan sebab rradia’ sebagaimana yang akan ditegaskan di dalam ungkapan kitab matan. Dan wanita-wanita mahram berdasarkan Nash Al Qur’an adalah empat wanita sebab pernikahan.

 

Mereka adalah ibunya istri walaupun ibunya yang seatas, baik dari jalur nasab atau radia’. Baik suami sempat jima’ dengan si istri ataupun tidak. & -yang kedua dan ketigarabibah (anak tiri), ya’ni putrinya sang istri ketika sang suami sempat melakukan jima’ dengan ibunya rabibah tersebut. Dan istrinya ayah, walaupun ayah seatasnya.

 

-yang ke empatistrinya anak laki-laki walaupun hingga ke bawah.

 

Wanita-wanita yang telah dijelaskan di atas adalah wanita yang haram dinikah untuk selamanya.

 

Dan ada satu wariita yang haram dinikah namun tidak untuk selamanya akan tetapi dari sisi tidak boleh dikumpulkan saja.

 

Dia adalah saudara perempuannya istri. Sehingga bagi seorang laki-laki tidak diperbolehkan mengumpulkan -dalam pernikahanantara seorang wanita dengan saudara wanitanya sekaligus, baik yang seayah atau seibu, atau di antara dua wanita tersebut terdapat hubungan nasab atau radia’, walaupun saudara perempuan wanita yang dinikah itu rela untuk dimadu/dikumpulkan.

 

Seorang laki-laki juga tidak diperbolehkan mengumpulkan antara seorang wanita dengan bibi wanita tersebut dari jalur ayah, dan antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ibu.

 

Sehingga, jika seorang laki-laki mengumpulkan antara wanita-wanita yang haram dikumpulkan dengan satu akad untuk menikahi keduanya, maka akad nikah keduanya batal.

 

Atau tidak mengumpulkan keduanya dalam satu akad akan tetapi menikahi keduanya” secara berurutan, maka akad nikah yang kedua batal jika memang diketahui secara’ pasti wanita yang diakad terlebih dahulu. Sehingga, jika tidak diketahui, maka akad nikah keduanya menjadi batal.

 

Jika akad wanita yang pertama diketahui namun kemudian lupa yang mana, maka laki-laki tersebut dilarang mendekati keduanya.“ Dua wanita yang haram dikumpulkan dalam satu pernikahan, maka juga haram dikumpulkan di dalam hubungan biologis dengan milku yamin (kepemilikan budak).

 

Begitu juga haram jika salah satunya menjadi istri dan yang lainnya dimiliki sebagai budak.

 

Jika ia telah melakukan hubungan biologis dengan salah satu dari dua budak wanita yang ia miliki -yang haram untuk dikumpulkan-, maka budak yang satunya haram untuk diwathi’, kecuali budak wanita yang pertama telah haram baginya dengan salah satu jalan seperti menjual atau menikahkannya dengan orang lain.

 

Sang Pengarang memberi isyarat pada batasan secara umum dengan ungkapan Nya, Wanita-wanita yang haram dari jalur nasab juga haram dari jalur radia’.

 

Telah dijelaskan bahwa sesungguhnya wanita yang haram dari jalur nasab ada tujuh orang, maka tujuh orang tersebut juga haram dari jalur radia”.

 

MUHIMMAT DALAM BAB WANITA-WANITA MAHRAM

 

  1. Putri Suaminya Ibu Tidak Termasuk Mahram Yanga Haram Di Nikah

 

Dan ketahuilah,,, bahwasanya tidak menjadi mahram bagi seorang laki-laki adalah putri suaminya ibu, dan ibunya suaminya ibu, dan putrinya suaminya anak perempuan.

 

  1. Istri Mertua Laki-Laki Tidak Termasuk Mahram

 

Sesungguhnya yang haram dinikah itu hanya tertentu pada ibunya istri (mertua asli) saja, dan nenek mertuanya, walaupun sampai atas. Sedangkan istrinya dari bapak mertunya yang lain, maka bagi seorang menantu tidak menjadi mahram dalam nikah.

 

  1. Istri Anak Angkat Bukan Mahram

 

Maka tidak menjadi mahram atas seseorang: istri anak angkatnya, karena dia bukanlah anak kandung bagi bapak angkatnya.

 

 

Kemudian Sang Pengarang beranjak menjelaskan tentang aib-aib nikah yang menetapkan hak khiyar di dalam nikah. Nya berkata,

 

Seorang wanita, ya’ni seorang istri berhak untuk dipulangkan ke keluarganya sebab lima aib.

 

Yang pertama sebab gila, baik gilanya terus menerus atau terputus, bisa diobati ataupun tidak.

 

Mengecualikan penyakit epilepsi, maka tidak ada hak khiyar merusak nikah sebab penyakit tersebut walaupun tidak bisa disembuhkan, hal ini berbeda dengan pendapat imam al Mutawwalli.

 

Yang kedua sebab wujudnya judzam, dengan menggunakan huruf dzal yang diberi titik satu di atas.

 

Judzam adalah penyakit yang membuat anggota badan berwarna merah, lalu , menghitam, kemudian terputus-putus dan “ rontok.

 

Yang ketiga sebab wujudnya barash. Barash adalah warna putih pada kulit yang bisa menghilangkan darah yang terdapat pada « kulit dan daging yang berada di bawahnya. Sehingga mengecualikan panu.

 

Yaitu penyakit yang merubah warna kulit namun tidak sampai menghilangkan darahnya, sehingga tidak ada hak khiyar sebab panu.

 

Yang ke empat sebab wujudnya ratag.

 

Ratag adalah tersumbatnya tempat jima’ sebab tumbuhnya daging di bagian tersebut.

 

Yang ke lima sebab wujudnya garn. Garn adalah tersumbatnya bagian tempat jima’ sebab tulang yang tumbuh di bagian tersebut. Hal-hal selain aib-aib ini seperti bau mulut dan bau badan, maka tidak bisa menetapkan hak khiyar untuk membatalkan nikah.

 

Seorang laki-laki, ya’ni seorang suami juga berhak dipulangkan sebab memiliki lima aib. Yaitu sebab gila, judzam dan barash. Makna semuanya telah dijelaskan.

 

Dan sebab wujudnya jabb. Jabb adalah terputusnya penis seluruhnya atau sebagian saja dan yang tersisa tidak sampai seukuran hasyafah (kepala penis). . Jika yang tersisa seukuran hasyafah atau lebih, maka tidak ada hak khiyar.

 

Dan sebab wujudnya ‘unnah. “unnah, dengan terbaca diammah huruf ‘ainnya, adalah ketidakmampuan seorang suami untuk melakukan jima’ di bagian vagina istrinya karena kekuatan kejantanannya hilang sebab lemahnya birahi di dalam hatinya atau lemah alat vitalnya.

 

Di dalam aib-aib tersebut disyaratkan harus melapor pada seorang gadii.

 

Bagi pasangan suami istri tidak boleh melakukan fasakh nikah sebab aib-aib tersebut dengan dasar saling rela sebagaimana indikasi dari keterangan imam al Mawardi dan yang lain. Akan tetapi dhahir nasnya imam asy Syafi’i bertentangan dengan keterangan al Mawardi.

 

MUHIMMAT DALAM BAB AIB-AIB NIKAH

 

Batasan Penyakit Lepra dan Kusta yang Boleh Khiyar

 

Keterangan: Salah satu yang menyebabkan nikah boleh khiyar adalah penyakit baros (kusta) dan judzam (lepra). Sedangkan dalam bolehnya khiyar itu apa harus menunggu mustahkim (tetapnya penyakit tersebut) atau cukup dengan beberapa tanda-tandanya saja. Dalam hal ini ulama tidak sepakat:

 

» Menurut Imam al-Juwaini dan Ibnu ar-Rifah harus sudah istihkam.

” Menurut az-Ziyadi dan Imam Ramli tidak mensyaratkan harus istihkam. Karena bahaya yang ditimbulkan (nular) akan terjadi meskipun tidak istihkam

 

Sedangkan dari kedua pendapat ini yang dianggap mu’tamad dari beberapa ulama juga masih khilaf. Namun setelah diteliti dari kedua pendapat ini ternyata sama. Sebab yang dimaksud istihkam menurut pendapat yang pertama adalah sampai pada hitam-hitamnya anggota tubuh. Sedangkan istihkam menurut pandapat yang kedua adalah sampai putusnya anggota tubuh. Hal itu artinya diantara mereka tidak ada perbedaan, sebab keduanya dapat di jamik-kan.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum mas kawin.

 

lafadz “shadag” dengan terbaca fathah huruf shadnya adalah bacaan yang lebih fasih – daripada dibaca kasrah, dan dicetak dari lafadz “ash shadg” dengan terbaca fathah huruf shadnya.

 

Dan ash shadg adalah nama sesuatu yang sangat keras. Dan secara termonologi hukum, shadag adalah nama harta yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki sebab nikah, wathi’ syubhat atau meninggal dunia.

 

Disunnahkan menyebutkan mas kawin di dalam akad nikah, walaupun pernikahan seorang budaknya majikan .dengan budak wanitanya majikan tersebut.

 

Sudah dianggap cukup menyebutkan mas kawin berupa apapun, akan tetapi disunnahkan mas kawinnya tidak kurang dari sepuluh dirham dan tidak lebih dari lima ratus dirham murni.

 

Dengan ungkapannya, “disunnahkan”, Sang Pengarang memberikan isyarat bahwa boleh . melakukan akad nikah tanpa menyebutkan mas kawin, dan hukumnya memang demikian.

 

Sehingga, jika di dalam akad nikah tidak disebutkan mas kawinnya, maka hukum akad nikah tersebut sah.

 

Dan inilah yang dimaksud dengan at tafwidl (memasrahkan).

 

TafwidI adakalanya dari mempelai wanita yang sudah baligh dan rasyid, seperti ucapan wanita tersebut pada walinya, “nikahkanlah aku dengan tanpa mas kawin”, atau “dengan tanpa mas kawin yang akan aku miliki”, kemudian sang wali menikahkannya dan, mentiadakan mas kawin atau diam tidak mengucapkan mas kawin.

 

Begitu juga seandainya majikan budak wanita berkata pada seseorang, “oku nikahkan engkau dengan budak wanitaku”, dan sang majikan mentiadakan mas kawin atau diam tidak menyebutkannya.

 

Ketika tafwid/ telah sah, maka mas kawin menjadi wajib/tetap dalam permasalahan ini sebab tiga perkara.

 

Tiga perkara tersebut adalah sang suami memastikan mas kawin yang akan ia berikan dan sang istri setuju dengan mas kawin yang telah ditetapkan oleh sang suami.

 

Atau seorang hakim memastikan mas kawin yang dibebankan terhadap sang suami. Dan yang dipastikan oleh seorang hakim pada sang suami adalah mahar mitsil (mas kawin standart umum).

 

Dan disyaratkan hakim harus mengetahui ukuran mahar mitsil tersebut.

 

Tidak disyaratkan adanya persetujuan dari kedua mempelai terhadap apa yang telah4, ditentukan oleh seorang hakim.

 

Atau sang suami telah menjima’ sang istri, yani istri yang telah tafwid/ sebelum ada ketentuan dari sang suami tersebut atau seorang hakim. Sehingga bagi sang istri berhak memiliki mahar mitsil sebab jima’ tersebut. Mahar mitsil yang dijadikan ukuran adalah mahar mitsil saat akad nikah menurut pendapat al ashah.

 

Jika salah satu dari suami istri meninggal dunia sebelum ada kepastian ukuran mas kawinnya dan sebelum terjadi jima’, maka sang suami wajib memberikan mahar mitsli menurut pendapat al adihar.

 

Yang dikehendaki dengan mahar mitsil adalah ukuran mas kawin yang disetujui/disukai oleh ‘ wanita yang selevel dengan istri tersebut secara adatnya.

 

Tidak ada batasan tertentu di dalam ukuran minimal mas kawin. Dan juga tidak ada batasan tertentu di dalam ukuran maksimal mas kawin. « Bahkan batasan dalam hal itu adalah, sesungguhnya setiap sesuatu yang sah dijadikan sebagai tsaman, baik berupa benda atau manfaat, maka sah dijadikan sebagai mas kawin.

 

Namun telah dijelaskan bahwa sesungguhnya mas kawin yang disunnahkan adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan tidak lebih dari lima ratus dirham.

 

Bagi seorang laki-laki diperbolehkan menikahi seorang wanita dengan mas kawin berupa – manfaat yang diketahui/maklum, seperti mengajari Al Qur’an pada wanita tersebut. Separuh dari mas kawin menjadi gugur sebab terjadi talak sebelum melakukan jima’. Sedangkan talak yang terjadi setelah jima” walaupun satu kali saja, maka seluruh mas kawin berhak diberikan pada sang istri, walaupun jima’ yang dilakukan hukumnya haram seperti sang suami menjima’ istrinya saat sang istri melakukan ihram atau saat haidi.

 

Sebagaimana keterangan didepan bahwa seluruh mas kawin wajib diberikan pada sang « istri sebab salah satu dari suami istri meninggal dunia. Dan mas kawin belum wajib sebab telah berduaan dengan sang istri menurut gaul jadid.

 

Ketika seorang istri yang merdeka bunuh diri sebelum sang suami berhubungan intim dengannya, maka mas kawin wanita tersebut tidak gugur.

 

Berbeda dengan permasalahan ketika seorang istri budak wanita yang melakukan bunuh diri atau dibunuh oleh majikannya sendiri sebelum sang suami melakukan jima’ dengannya, maka sesungguhnya mas kawinnya menjadi gugur.

 

MUHIMMAT DALAM BAB MAS KAWIN

 

Maksud Sholawat Adalah Maharnya Nabi Adam

 

Keterangan: Siti Hawa’ di-ciptakan dari tulang rusuk bagian kiri Nabi Adam As. Sehingga setiap orang laki-laki pasti tulang rusuknya berkurang. Dari bagian kanan genap delapanbelas, sedangkan bagian kiri hanya tujubelas. Siti Hawa’ diciptakan Alloh Swt setelah adanya Nabi Adam di Surga. Pada saat Nabi Adam As bangun dari tidurnya, maka Nabi Adam menghendaki untuk memegang Hawa’. Lalu Malaikat berkata: Jangan wahai Adam, hingga engkau membayar maharnya. Nabi Adam berkata: Apa maharnya?, Para Malaikat menjawab: Tiga kali sholawat atau duapuluh kali sholawat kepada Sayyidina Muhammad Saw, Dari cerita ini terdapat sebuah masalah, bukankan mahar itu harus berupa sesuatu yang ada manfaatnya untuk istri (mutamawwal), maka yang dimasksud mahar dalam cerita Ini bukanlah hakikatnya mahar, namun hanya memperjelas bahwa derajatnya Nabi Saw Itu sangat tinggi, karena seandainya tidak ada Nabi Muhammad Saw. maka kamu (adam) tidak akan bisa bersenang-senang dengan Istrimu. Maka Nabi Muhammad Swa. adalah sebagal mediator agung bagi setiap mediator, sehingga termasuk pada Nabi Adam As.

 

(Fasal) melakukan resepsi pernikahan hukumnya disunnahkan.

 

Yang dikehendaki dengan walimah adalah jamuan untuk pernikahan.

 

Imam asy Syafi’i berkata, “walimah mencakup segala bentuk undangan karena baru saja mengalami kebahagian.” Minimal walimah yang diadakan oleh orang kaya adalah menyembelih satu ekor kambing.

 

Dan bagi orang miskin adalah jamuan yang mampu ia sajikan.

 

Macam-macam walimah banyak dan disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang keterangannya.

 

Memenuhi undangan resepsi pernikahan hukumnya adalah wajib, ya’ni fardiu ‘ain (kewajiban secara personal) menurut pendapat al ashah.

 

Dan tidak wajib memakan hidangannya menurut pendapat al ashah. Adapun memenuhi undangan walimahwalimah selain resepsi pernikahan, maka hukumnya tidak fardlu ‘ain akan tetapi hukumnya adalah sunnah.

 

Memenuhi undangan walimatul ‘urs itu hanya wajib atau walimah yang lain hukumnya sunnah dengan syarat orang yang mengundang tidak hanya mengundang orangorang kaya saja, akan tetapi mengundang orang-orang kaya sekaligus orang-orang fakir.

 

Dan dengan syarat mereka diundang pada hari pertama.

 

sehingga, jika seseorang mengadakan resepsi selama tiga hari, maka hukumnya tidak wajib datang di hari yang kedua bahkan hukumnya hanya sunnah, dan makruh datang di hari yang ketiga.

 

Untuk syarat-syarat yang lain dijelaskan di dalam kitab-kitab yang lebih luas keterangannya.

 

Ungkapan Sang Pengarang, “kecuali ada udzur”, ya’ni ada sesuatu yang menghalangi untuk menghadiri resepsi.

 

Seperti di tempat acara ada orang yang bisa menyakiti orang yang diundang, atau tidak layak baginya untuk bergabung dengannya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB RESEPSI

 

  1. Mulai Kapan Waktu Pelaksanaan Walimah

 

Keterangan: Para Ulama tidak menjelaskan mengenai waktu walimah, namun Imam Subki dari ungkapan Imam al-Baghowi menjelaskan, bahwa waktunya walimah itu luas, dimulai dari setelah akad dan tidak ada batas akhirnya, dan yang lebih utama dilaksanakan setelah didukhul (jimak).

 

  1. Walimah Fardhu Ain Atau Fardhu Kifayah

 

Hukum mengahadiri walimah apakah termasuk fardlu ain ataukah fardlu kifayah. Dalam hal ini terdapat dua pendapat para Ulama. Salah satunya mengatakan fardiu ain bagi mereka yang diundang untuk menghadirinya, selama tidak adanya udzur untuk mengakhirkan kedatangannya.

 

  1. Anjuran Menjauhi Adat yang Sesat

 

Hendaklah menjauhi (dalam walimah) sesuatu yang berlebihan, sombongsombongan yang menyebabkan fitnah dan bahaya dunia dan agama. Dan juga menjauhi adat-adat fasidah yang biasa terjadi dikalangan masyarakat saat ini.

 

  1. larangan Mempertontonkan Kemanten

 

Ibnu Katsir berfatwa: Seorang wanita dilarang melakukan sesuatu yang dapat menarik perhatian kepadanya, atau membangkitkan syahwatnya laki-laki dll. Oleh karenanya ia dilarang memakai parfum, yang keharumanya dapat dicium oleh laki-laki, saat ia keluar dari rumahnya.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum gasm (menggilir) dan nusuz (purik : jawa). 

 

Yang pertama adalah dari suami dan yang kedua dari istri.

 

Makna nusuznya seorang istri adalah ia tidak mau melaksanakan hak yang wajib ia penuhi.

 

Ketika seorang laki-laki memiliki dua Istri atau lebih, maka bagi dia tidak wajib menggilir diantara kedua atau beberapa istrinya.

 

Sehingga, seandainya dia berpaling dari Istri-istrinya atau istri satu-satunya, dengan tidak berada di sisi mereka atau di sisi satu istrinya tersebut, maka dia tidak berdosa.

 

Akan tetapi disunnahkan baginya untuk tidak mengosongkan jadwal menginap di sisi mereka, begitu juga di sisi istri satu-satunya.

 

Dengan artian ia berada di sisi mereka atau di . sisi istrinya tersebut. Minimal empat hari sekali berada bersama dengan satu orang istri. menyetarakan giliran di antara istri-istri hukumnya wajib bagi sang suarni.

 

Sama rata adakalanya dipandang dari tempat dan adakalanya dipandang dari waktunya.

 

Adapun ditinjau dari sisi tempat, maka hukumnya haram mengumpulkan dua orang istri atau lebih didalam satu rumah kecuali mereka rela.

 

Adapun dari sisi waktu, maka bagi suami yang tidak menjadi seorang penjaga (bekerja) di | malam hari, maka inti giliran yang harus dia lakukan adalah di waktu malam, sedangkan untuk siangnya mengikut pada waktu malam.

 

Dan bagi suami yang menjadi penjaga di malam hari, maka inti giliran yang harus ia lakukan adalah waktu siang, sedangkan untuk waktu malamnya hanya mengikuti pada waktu siang tersebut.

 

Bagi seorang suami tidak diperbolehkan berkunjung di malam hari pada istri yang tidak mendapat giliran tanpa ada hajat.

 

Jika berkunjungnya karena ada hajat seperti menjenguk istrinya yang sakit dan sesamanya, maka ia tidak dilarang untuk masuk pada istri tersebut.

 

Dan ketika masuknya karena ada hajat, jika ia berada di sana dalam waktu yang cukup lama, , maka wajib menggadia’ seukuran waktu berdiamnya dari giliran istri yang telah ia kunjungi.

 

Sehingga, jika ia sempat melakukan jima’ dengan istri yang ia kunjungi -yang bukan gilirannya-, maka wajib menggadia’ masa jima’nya, bukan melakukan jima’nya, kecuali jika waktunya sangat pendek, maka tidak wajib untuk diqadla’i.

 

Ketika seorang laki-laki yang memiliki beberapa istri ingin bepergian, maka ia harus mengundi di antara istri-istrinya. Dan ia melakukan perjalanan bersama istri yang mendapatkan undian.

 

Dan bagi suami yang melakukan perjalanan tidak wajib mengadia’ lamanya masa perjalanan pada para istrinya yang tidak diajak bepergian/yang ditinggal di rumah.

 

Jika ia sampai di tempat tujuan dan mugim di sana, dengan artian ia niat mugim yang bisa merubah status musafirnya di awal pemberangkatan, ketika sampai di tempat tujuan atau sebelum sampai, maka ia wajib  menggadia’i waktu mugimnya, jika istri yang menyertainya dalam perjalanan juga mugim  bersamanya sebagai mana keterangan yang disampaikan oleh imam al Mawardi. Jika tidak demikian, maka tidak wajib menggadia’i.

 

Adapun waktu perjalanan pulang setelah mugimnya tersebut, maka bagi suami tidak wajib untuk mengqadla’inya.

 

Ketika seorang suami menikahi wanita yang baru, maka ia wajib mengistimewakannya, . walaupun istrinya adalah budak wanita, dan ia memiliki istrilama.

 

Suami harus menginap di sisi istri barunya tersebut selama tujuh malam berturut-turut, jika istri barunya tersebut masih perawan, dan tidak wajib mengqadla’ untuk istri-istri yang lain.

 

Dan mengkhususkan pada istri barunya tersebut dengan tiga malam berturut-turut, jika istri barunya tersebut sudah janda.

 

Sehingga, seandainya sang suami memisah malam-malam tersebut dengan tidur semalam di sisi sang istri baru, dan semalam tidur di masjid misalnya, maka semua itu tidak dianggap.

 

Bahkan sang suami harus memenuhi hak istri barunya ‘ secara berturut-turut, dan menggadia’i malam-malam yang telah ia pisah-pisah untuk istri-istri yang lain.

 

Ketika sang suami khawatir istrinya nusuz, dalam sebagian redaksi kitab matan dengan ungkapan, “ketika nampak bahwa sang istri nusuz”, maka suami berhak memberi nasehat dengan tanpa memukul dan tanpa diam tidak menyapanya.

 

Seperti ucapannya pada sang istri, “takutlah engkau pada Allah di dalam hak yang wajib bagimu untukku. Dan ketahuilah sesungguhnya nusuz bisa menggugurkan kewajiban nafkah dan menggilir.”

 

Mencela suami bukanlah termasuk nusuz, namun dengan hal itu sang istri berhak diberi pengajaran sopan santun oleh suami menurut pendapat al ashah, dan ia tidak perlu melaporkannya pada seorang gadii.

 

Jika setelah dinasehati ia tetap nusuz, maka sang suami mendiamkannya di tempat tidurnya, sehingga ia tidak menemaninya di tempat tidur.

 

Mendiamkan tidak menyapanya dengan ucapan hukumnya haram dalam waktu lebih dari tiga hari.

 

Imam an Nawawi berkata di dalam kitab ar Raudlah, “sesungguhnya hukum haram tersebut adalah di dalam permasalan tidak menyapa tanpa ada udzur syar’i. Jika tidak demikian, maka hukumnya tidak haram lebih dari tiga hari.”

 

Jika sang istri tetap saja nusuz dengan berulang kali melakukannya, maka sang suami berhak tidak menyapa dan memukulnya dengan model pukulan mendidik pada sang istri.

 

Dan jika pukulan tersebut menyebabkan kerusakan/luka/kematian, maka wajib bagi sUami untuk membayar rugi.

 

Sebab nusuz, giliran dan nafkah bagi sang Istri menjadi gugur.

 

MUHIMMAT DALAM BAB MENGGILIR ISTRI DAN NUSYUZ

 

  1. Nusyuz Satu Jam Hilang Nafkah Satu Hari |

 

Secara Jima’ semua biaya atau nafagahnya seorang istri akan hilang jika ia Nusyuz, yaitu keluar dari ketaatan pada saumi, meskipun dianggap tidak dosa, seperti Nusyuznya anak wanita yang masih kecil, wanita gila dan wanita yang dipaksa. Dan juga meskipun nusyuz itu satu jam atau sangat sebentar maka tetap hilang nafagahnya selama satu hari dan nafkah pakaiannya selama satu musim.

 

  1. Penolakan Istri Belum Tentu Nusyus

 

Nusyuz (tidak taat pada suami) seorang wanita itu dapat terjadi dengan” beberapa hal, diantaranya adalah: Menolak disentuh suami, atau tempattempat yang sudah ditentukan oleh suami. Dan tidak dapat nusyuz jika istri menolak dengan adanya alasan, baik hissi (kenyataan) atau syar’i. seperti besarnya alat kelaminya suami, yang mana sang istri tidak mampu menahan sakit ketika melakukan hubungan intim, atau ada sakit di dalam farjinya, dan juga sebagaimana keadaan haidl (alasan syar’i).

 

  1. Kewajiban Istri Pada Suaminya

 

Sahabat Ibnu Abbas berkata: Seorang wanita dari tanah Khosy’am datang dan bertanya kepada Nabi Saw, Sungguh saya adalah wanita janda, dan saya menghendaki nikah, apakah haknya laki-laki yang diwajibkan kepada seorang wanita. Nabi Saw menjawab: Termasuk dari haknya suami yang diwajibkan pada istri adalah, ketika suami menghendaki untuk berhubungan intim dengannya, dan ia berada di atas Onta, maka wanita itu tidak boleh menolak untuk menyerahkan dirinya pada apa yang dikehendaki suami.

 

 

(Fasal) menjelaskan beberapa hukum khulu’.

 

Lafadz “al khu’u” dengan terbaca diammah huruf kha’nya yang diberi titik satu di atas, adalah lafadz yang tercetak dari lafadz “al khal’u” dengan terbaca fathah huruf kha’nya.

 

Dan lafadz “a! khal’u” bermakna mencopot. Secara termonologis hukum, khul’u adalah perceraian dengan menggunakan “’wadi (imbalan) yang magsud (layak untuk diinginkan).

 

Maka mengecualikan khulu’ dengan ‘iwadi berupa darah dan sesamanya. Khulu’ hukumnya sah dengan menggunakan ‘iwadl yang ma’lum dan mampu diserahkan.

 

Sehingga, jika khulu’ menggunakan “iwadI yang tidak ma’lum seperti seorang suami melakukan khulu’ pada istrinya dengan ‘iwadi berupa pakaian yang tidak ditentukan, maka sang istri tertalak ba’in dengan memberikan ganti mahar mitsil.

 

Dengan khulu’ yang sah, maka seorang wanita berhak atas dirinya sendiri.

 

Dan sang suami tidak bisa ruju’ pada wanita tersebut, baik ‘iwadi yang digunakan sah ataupun tidak.

 

Adapun ungkapan Sang Pengarang, “kecuali dengan akad nikah yang baru” tidak tercantum di kebanyakan redaksi kitab matan. Khulu’ boleh dilakukan saat sang istri dalam keadaan suci dan dalam keadaan haidl, dan khulu’ yang dilakukan ini tidaklah haram.

 

Wanita yang telah dikhulu’ tidak bisa ditalak, Berbeda dengan istri yang tertalak raj’i, maka bisa untuk ditalak,

 

MUHIMMAT DALAM BAB KHULU’

 

  1. Struktur Khulu’

 

Bab” Yang” kedua menjelak n tentang rukun-rukun khulu'”s yaitu ada lima adalah: 1. Suami, 2. Orang yang mengkhulu’ (menyanggupi membayar konpensasi), 3. Konpensasi, 4, Yang digantikonpensasi (kemaluan istri), 5. Ijab qabul.

 

  1. Ilustrasi Khulu’

 

Contoh dari khulu’ adalah: Zaid berkata kepada istrinya, saya talak kamu dengan konpensasi 1000 dinar, kemudian istri menjawab pada suaminya, saya terima.

 

  1. Kriteria Konpensasi

 

Syarat dari Iwadh ada empat: 1. Dituju, 2. Diketahui, 3. Kembali pada pihak suami, 4. Dikuasai menerimanya.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum talak.

 

Talak secara etimologi adalah melepas Ikatan.

 

Dan secara termonologi hukum adalah nama « perbuatan untuk melepas Ikatan pernikahan,

 

Untuk terlaksananya talak, maka disyaratkan harus dilakukan oleh suami yang mukallaf dan atas kemauan sendiri.

 

Sedangkan orang yang sedang mabuk, maka talak yang dilakukannya tetap sah karena sebagai hukuman baginya.

 

Talak ada dua macam, talak sharih dan kinayah.

 

Talak sharih adalah talak menggunakan bahasa yang tidak mungkin diarahkan pada selain talak.

 

Sedangkan talak kinayah adalah talak menggunakan bahasa yang memungkinkan diarahkan pada selain talak.

 

Seandainya sang suami mengucapkan bahasa talak yang sharih dan dia berkata, “aku tidak menghendaki etimologi tersebut untuk mentalak”, maka kata-katanya ini tidak bisa diterima.

 

Talak sharih ada tiga lafadz. Yaitu lafadz “talak” dan lafadz-lafadz yang dicetak dari lafadz tersebut, seperti “saya – mentalakmu”, “kamu orang yang tertalak”, dan “kamu orang yang ditalak.” Lafadz “al firaq” dan lafadz “as sarah”, seperti “faraqtuki”, “wa anti — mufaragatun”, “sarahtuki”, dan “anti musarrahatun.”

 

Di antara bentuk kalimat talak yang sharih adalah khulu’ yang disertai dengan penyebutan harta yang dijadikan sebagai iwadl. Begitu juga lafadz “al mufadah (tebusan).”

 

Bentuk talak yang sharih tidak butuh pada niat.

 

Dikecualikan orang yang dipaksa melakukan talak, maka bentuk kalimat talak sharih yang ia lakukan menjadi bentuk talak kinayah. Jika ia niat menjatuhkan talak, maka jatuh talak. Dan jika tidak niat mentalak, maka tidak jatuh talak.

 

Kinayah adalah bentuk lafadz yang memungkinkan diarahkan pada talak dan juga pada selain talak, dan butuh pada niat. Sehingga, jika lafadz kinayah tersebut diniati untuk menjatuhkan talak, maka jatuh talak. « Dan jika tidak niat menjatuhkan talak, maka tidak jatuh talak.

 

Bentuk talak kinayah adalah seperti, “anti bariyah khaliyah (engkau adalah wanita yang “ bebas dan sepi)”, “susullah keluargamu”, dan bentuk-bentuk lain yang ada di dalam kitabkitab yang lebih luas penjelasannya.

 

Wanita di dalam permasalahan talak ada dua macam :

 

Satu macam adalah wanita yang bila ditalak, maka talaknya bisa berstatus sunnah dan bisa berstatus bid’ah. Mereka adalah wanitawanita yang memiliki (berusia) haidl.

 

Yang dikehendaki Sang Pengarang dengan talak sunnah adalah talak yang diperbolehkan, sedangkan talak bid’ah adalah talak yang haram.

 

Talak sunnah adalah talak yang dijatuhkan oleh sang suami pada istri saat masa suci yang belum dijima’ pada masa suci tersebut.

 

Dan talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh sang suami pada istri saat masa haidl atau masa suci namun sudah melakukan jima’ pada masa suci tersebut. Dan satu macam lagi adalah wanita yang bila ditalak, maka talaknya tidak berstatus sunnah juga tidak berstatus bid’ah.

 

Mereka adalah empat wanita, yaitu wanita yang masih kecil, wanita ayisah yaitu wanita yang sudah tidak mengeluarkan darah haidl lagi, wanita hamil, wanita yang menerima khulu’, dan wanita yang belum dijima’ oleh suaminya.

 

Dengan pertimbangan yang lain, talak terbagi menjadi talak wajib seperti talak yang dilakukan oleh suami yang sumpah ila’.

 

Talak sunnah seperti mentalak istri yang tidak beres kelakukannya misalnya berprilaku jelek. Talak makruh seperti mentalak istri yang baik keadaannya.

 

Talak haram seperti talak bid’ah dan sudah dijelaskan di depan.

 

Imam al Haramain memberi isyarat pada bentuk talak mubah dengan contoh mentalak istri yang tidak dicintai oleh suaminya dan hati sang suami tidak rela memberi nafkah tanpa ada unsur bersenang-senang dengan istri tersebut.

 

 

(Fasal) menjelaskan hak talak suami yang merdeka, suami yang berupa budak dan permasalahan-permasalahan yang lain.

 

Suami yang merdeka memiliki hak talak tiga kali atas istrinya walaupun Istrinya berstatus budak.

 

Dan suami yang berstatus budak hanya memiliki hak talak dua kali atas istrinya, baik istrinya berstatus merdeka ataupun budak.

 

Budak muba’adi, mukatab, dan budak mudabbar itu sama dengan budak yang murni. Istisna” dalam talak hukumnya sah ketika istisna” bersambung dengan talak yang diucapkan.

 

 Ya’ni sang suami menyambung lafadz “mustasna (yang dikecualikan)” dengan lafadz “mustasna minhu (yane diambil pengecualiannya)” dengan bentuk penyambungan secara ‘urf, dengan arti kedua lafadz tersebut dianggap satu perkataan secara “urf.

 

Juga disyaratkan suami harus niat mengecualikan sebelum selesai mengucapkan kalimat talak.

 

Dan tidak cukup mengucapkan pengecualian tanpa disertai niat untuk mengecualikan.

 

Dan juga disyaratkan yang dikecualikan (mustasna) tidak menghabiskan jumiah yang diambil pengecualiannya (mustasna minhu).

 

Sehingga, jika menghabiskan seperti ucapan “engkau tertalak tiga kecuali tiga”, maka pengecualian tersebut batal.

 

Sah menta’lig talak dengan sifat dan syarat. Seperti kata-kata “Jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak”, maka sang istri , menjadi tertalak ketika masuk rumah.

 

Talak tidak bisa jatuh kecuali terhadap istri. Kalau demikian, maka talak tidak bisa jatuh – terhadap seorang wanitasebelum menikah.

 

Sehingga tidak sah mentalak wanita lain – bukan istridengan bentuk talak secara, langsug seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita tersebut, “aku mentalakmu.”

 

Dan juga tidak dengan bentuk talak yang digantungkan seperti ucapan seorang laki-laki, pada wanita yang bukan istrinya, ika aku” menikah denganmu, maka engkau tertalak”, atau “jika aku menikah dengan fulanah, maka ia tertalak.“”

 

Ada empat orang yang tidak bisa menjatuhkan talak, yaitu anak kecil, orang gila, yang semakna dengan orang gila adalah orang epilepsi.

 

Orang yang tidur dan orang yang dipaksa menjatuhkan talak, ya’ni dengan tanpa alasan yang benar.

 

Sehingga, jika pemaksaan tersebut di dasari dengan alasan yang benar, maka jatuh talaknya.

 

Bentuk pemaksaan dengan alasan yang benar seperti penjelasan sekelompok ulama’, adalah pemaksaan talak yang dilakukan oleh seorang qadli terhadap suami yang melakukan sumpah ila’ setelah melewati masa /ila’.

 

Syarat ikrah/paksaan adalah kemampuan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, untuk membuktikan ancamannya terhadap al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, baik dengan mengandalkan kekuasaan atau kekuatan.

 

Dan lemahnya al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, untuk – melawan/menghentikan a/ mukrih (orang yang . memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, baik dengan lari darinya, meminta tolong pada orang yang bisa menyelamatkannya, atau cara-cara sesamanya.

 

Dan al mukrah (orang yang dipaksa) mempunyai dugaan bahwa sesungguhnya jika  ia tidak mau melakukan apa yang dipaksakan padanya, maka al mukrih (orang yang memaksa) akan membuktikan ancamannya. Pemaksaan bisa hasil dengan ancaman pukulan keras, penjara, merusak harta atau sesamanya. Ketika dari al mukrah (orang yang dipaksa) nampak ada garinah (indikasi/petunjuk) bahwa ia melakukan dengan keinginan sendiri, dengan contoh semisal seseorang dipaksa menjatuhkan talak tiga namun kemudian dia menjatuhkan talak satu, maka talak yang ia lakukan sah/jatuh.

 

Ketika ada orang mukallaf menggantungkan talak dengan sifat dan sifat tersebut baru wujud ketika orang tersebut tidak dalam keadaan mukallaf, maka sesungguhnya talak yang dita’lig dengan sifat tersebut menjadi jatuh.

 

Orang yang sedang mabuk ketika menjatuhkan talak, maka talaknya sah seperti penjelasan di depan.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum talak raj’i.

 

Lafadz “ar raj’ah” dengan terbaca fathah huruf ra’nya.

 

Ada keterangan bahwa ra’nya terbaca kasrah. Raj’ah secara etimologi adalah kembali satu kali.

 

Adapun secara termonologi hukum adalah mengembalikan istri pada ikatan pernikahan saat masih menjalankan ‘iddah talak selain talak ba’in dengan cara tertentu.

 

Dengan bahasa “talak” mengecualikan wathi syubhat dan dhihar. Karena sesungguhnya « halalnya melakukan hubungan biologis dalam kedua permasalahan tersebut setelah hilangnya sesuatu yang mencegah kehalalannya tidak bisa disebut ruju’.

 

Ketika seseorang mentalak istrinya satu atau dua kali, maka bagi dia diperbolehkan ruju’ . tanpa seizin sang istri selama masa “iddahnya belum habis.

 

Raj’i yang dilakukan oleh orang yang bisa bicara sudah bisa hasil dengan menggunakan kata-kata, di antaranya adalah “raja’tuki (aku meruju’mu)” dan lafadz lafadz yang ditasrif dari lafadz “raj’ah.”

 

Menurut pendapat al ashah sesungguhnya ucapan al murtaji’ (suami yang ruju’), “aku mengembalikanmu pada nikahku” dan, “aku menahanmu pada nikahku” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang sharih.

 

-menurut al ashahSesungguhnya ucapan al murtaji’, “aku menikahimu”, atau, “aku menikahimu” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang kinayah.

 

Syarat al murtaji”, jika ia tidak dalam keadaan ihram, adalah orang yang sah melakukan akad nikah sendiri.

 

Kalau demikian maka ruju’nya orang yang mabuk hukumnya sah.

 

Tidak sah ruju’nya orang murtad, anak kecil dan orang gila. Karena sesungguhnya masingmasing dari mereka bukan orang yang sah melakukan akad nikah sendiri.

 

Berbeda dengan orang yang safih/dungu dan budak. Maka ruju’ yang dilakukan keduanya sah tanpa ada izin dari wali dan majikan. Walaupun awal pernikahan keduanya membutuhkan/tergantung pada izin wali dan majikannya.

 

Jika “ddah wanita yang tertalak raj’i telah selesai, maka bagi sang suami halal menikahinya dengan akad nikah yang baru.

 

Qan setelah akad nikah yang baru tersebut, maka sang istri hidup bersama suaminya dengan memiliki hak talak yang masih tersisa.

 

Baik wanita tersebut sempat menikah dengan -: laki-laki lain ataupun tidak.

 

Jika suami mentalak sang istri dengan talak tiga, jika memang sang suami berstatus merdeka, atau talak dua jika sang suami berstatus budak, baik menjatuhkan sebelum melakukan jima’ atau setelahnya, maka wanita tersebut tidak halal bagi sang suami kecuali setelah wujudnya lima syarat.

 

Yang pertama, ‘iddah wanita tersebut dari suami yang telah mentalak itu telah habis. Yang kedua, wanita tersebut telah dinikahkan dengan laki-laki lain, dengan akad nikah yang sah.

 

Yang ketiga, suami yang lain tersebut telah men-dukhul dan menjima’nya.

 

Yaitu suami yang lain tersebut memasukkan hasyafah atau seukuran hasyafah orang yang hasyafah-nya terpotong pada bagian vagina sang wanita, tidak pada dubur/anusnya. Dengan syarat penisnya harus intisyar (berdiri), dan orang yang memasukkan alat vitalnya termasuk orang yang memungkinkan melakukan jima’, bukan anak kecil.

 

Yang ke empat, wanita tersebut telah tertalak ba’in dari suami yang lain itu.

 

Yang kelima, ‘iddahnya dari suami yang lain tersebut telah selesai.

 

MUHIMMAT DALAM BAB TALAK

 

  1. Jangan Bermain dengan Kata Talak

 

Dari Abi Hurairah, Rasulullah Saw Bersabda: “Tiga perkara yang seriusnya menjadi serius, dan berguraunya menjadi serius, yaitu Nikah, Talak dan Rujuk Nikah”.

 

  1. Perbedaan Fasakh & Talak

 

Fasakh dapat dibedakan dari talag dengan tiga sisi, salah satunya adalah: Fasakh membatalkan akad dari asas-nya, dan menghilangkan hukum halal yang diakibatkan oleh akad nikah. sedangkan talak menghentikan akad dan tidak menghilangkan hukum halal, kecuali setelah talag ba’in kubro (talag tiga).

 

  1. Terjemah Talak Sharih Tergolong Kinayah

 

Terjemah ucapan talag menurut pendapat yang mu’tamad dihukumi tergolong ucapan talag yang kinayah.

 

  1. Pekataan Suami “Saya Tidak Punya Istri” Apakah Termasuk Talak

 

Jika ada seorang laki-laki yang sudah punya istri ditanya, apakah kamu sudah punya istri? Dia menjawab: “Belum punya isrti”, maka istrinya tidak akan tertalag, selama tidak diniati talag. Artinya hal ini dikategorikan talag kinayah, namun jika niat talag, maka seketika itu juga sang istri tertolag.

 

  1. Suami Mentalak Istrinya dengan SMS Menurut Madzhab

 

Menurut ulama Hanabilah, Syafi’yyah dan Malikiyah: ketika seorang laki teki menuliskata talak ketika diniati talak, maka terjadi talak. Dan ketika tidak diniati maka terjadi perkhilafan: Pendapat pertama tidak terjadi talag. Dan pendapat kedua:Terjadi talag, apabila diniati.

 

  1. Pemilik Talak Hanya Suami

 

Orang yang memiliki Talak adalah suami yang baligh dan berakal Sempurna. Bagi istri tidak punya hak talak sama sekali, kecuali mendapat perwakilan dari suami, atau penyerahan dari suaminya. Dan bagi Oodli juga tidak punya hak talak, terkecuali hanya di dalam beberapa keadaan tertentu karena diarurat.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ila’.

 

Ila’ secara etimologi adalah bentuk kalimat masdar dari fi’il “aala yuli ila’an” ketika seseorang bersumpah.

 

Dan secara termonologi hukum adalah sumpah seorang suami yang sah menjatuhkan talak bahwa ia tidak akan mewathi istrinya pada bagian vaginanya dengan secara mutlak atau dalam masa lebih dari empat bulan.

 

Makna ini diambil dari penjelasan Sang Pengarang -di bawah ini-,

 

Ketika seorang suami bersumpah tidak akan mewathi istrinya secara mutlak atau dalam waktu tertentu, ya’ni tidak mewathi yang dibatasi dengan waktu lebih dari empat bulan, maka ia, ya’ni suami yang bersumpah tersebut adalah orang yang melakukan sumpah ila’ pada istrinya.

 

Baik ia bersumpah dengan nama Allah Ta’ala atau dengan salah satu sifat-sifatNya. Atau ia menggantungkan wathi terhadap istrinya dengan talak atau memerdekakan : budak.

 

Seperti ucapan sang suami, “jika aku mewathimu, maka engkau tertalak, atau “maka budakku merdeka.”

 

Sehingga ketika ia betul-betul mewathi’ maka istrinya tertalak dan budaknya merdeka.

 

Begitu pula seandainya sang suami berkata, “jika aku mewathimu, maka aku harus melakukan shalat, puasa, haji, atau memerdekakan budak karena Allah Swt.” ‘

 

Maka sesungguhnya dia juga melakukan sumpah ila’.

 

Wajib memberi tenggang waktu terhadap lelaki yang melakukan sumpah Ila’ selama empat bulan, baik lelaki tersebut berstatus merdeka atau budak, di dalam permasalahan Istri yang mampu untuk diwathi Jika rhemang ,, sang istri meminta hal itu.

 

Permulaan waktu tersebut dalam permasalahan wanita yang masih berstatus istri adalah sejak terjadinya sumpah ila’. Dan di dalam permasalahan wanita yang tertalak raj’i adalah sejak terjadinya ruju’.

 

Kemudian, setelah masa tenggang itu habis, maka sang suami yang melakukan sumpah ila’ – disuruh memilih di antara al fai’ah (kembali pada sang istri) dengan cara ia memasukkan hasyafahnya atau kira-kira ukuran hasyafah bagi suami yang terpotong hasyafahnya ke dalam vagina istrinya.

 

Dan membayar kafarat yamin, Jika sumpah akan meninggalkan wathi dengan nama Allah. Atau mentalak istri yang disumpah tidak akan diwathi.

 

Kemudian, jika sang suami tidak mau melakukan fai’ah dan talak, maka hakim « menjatuhkan satu talak raj’i atas nama sang suami.

 

Sehingga, jika sang hakim menjatuhkan talak lebih dari satu, maka talak tersebut tidak terjadi.

 

Jika sang suami hanya tidak mampu fal’ah, maka sang hakim memerintahkan dia agar .. menjatuhkan talak.

 

MUHIMMAT DALAM BAB ILA’

 

Ucapan Alaihi Laknatulloh Tidak Termasuk Ila’

 

Saya (Sayyid Muhammad bin Ahmad bin bin Umar ‘as-Syathiri) ditanya seseorang lewat telpon: bahwa ia telah berkata kepada istrinya: semoga laknat Allah Swt menimpa dirinya apabila ia menerima dan mengambil sesuatu dari tangan istrinya, dan ia terus menerus dalam keadaan seperti Itu. Maka saya jawab, Apa yang kamu ucapkan tidak dianggap sebagai sumpah biasa, sumpah Ha’, dan thalak, akan tetapi hanya ucapan jelek yang harus bertaubat kepada ‘ Allah Swt.

 

(Fasal) di dalam menjelaskan hukum-hukum dhihar.

 

Dhihar secara etimologi diambil dari kata “adh dhahru” (punggung).

 

Dan secara termonologi hukum adalah perkataan suami yang menyerupakan istrinya yang tidak tertalak ba’in dengan wanita yang tidak halal dinikahi oleh sang suami tersebut.

 

Dhihar adalah ucapan seorang laki-laki pada istrinya, “engkau bagiku seperti punggung « ibuku. Ungkapan dhihar tertentu pada kata “adh dhahru (punggung)” bukan perut misalnya, karena sesungguhkan punggung adalah tempat menunggang dan istri adalah tunggangan sang suami. Ketika sang suami mengatakan hal itu pada istrinya, ya’ni kata “engkau bagiku seperti punggung ibuku”, dan ia tidak melanjutkan langsung dengan talak, maka ia dianggap kembali pada sang istri.

 

Dan kalau demikian, maka wajib membayar kafarat.

 

Kafarat tersebut bertahap. Sang Pengarang menyebutkan penjelasan tentang tahapan . pelaksanaan kafarat tersebut di dalam perkataan Nya,

 

Kafarat dhihar adalah memerdekakan budak mukmin yang beragama islam walaupun sebab islamnya salah satu dari kedua orang tuanya, yang selamat/bebas dari aib yang bisa” mengganggu/membahayakan pekerjaan dengan gangguan yang begitu jelas. Kemudian, jika orang yang melakukan dhihar tidak menemukan budak yang telah disebutkan, dengan gambaran ia tidak mampu mendapatkan budak secara kasat mata atau secara tinjauan syara, maka wajib melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Yang dibuat acuan menghitung dua bulan tersebut adalah hitungan tanggal, walaupun masing-masing kurang dari tiga puluh hari. Puasa dua bulan tersebut disertai dengan niat kafarat di malam hari.

 

Tidak disyaratkan niat tatabu’ (berturut-turut) menurut pendapat al ashah.

 

Kemudian, jika orang yang melakukan sumpah dhihar tidak mampu berpuasa dua bulan atau tidak mampu melaksanakannya secara terus menerus/berturut-turut, maka wajib memberi makan enam puluh orang miskin atau orang fagir.

 

Setiap orang miskin atau fagir mendapatkan satu mud dari jenis biji-bijian yang dikeluarkan di dalam zakat fitri.

 

Kalau demikian, maka jenis biji-bijian tersebut diambilkan dari makanan pokok negara orang « yang membayar kafarat seperti gandum putih dan gandum merah, tidak berupa tepung dan sawig (sagu).

 

Ketika orang yang wajib membayar kafarat tidak mampu melaksanakan ketiga-tiganya, maka kewajiban kafarat masih menjadi tanggungannya.

 

Sehingga, ketika setelah itu ia mampu melaksanakan salah satunya, maka wajib ia laksanakan.

 

Seandainya ia hanya mampu melaksanakan sebagian dari salah satu kafarat seperti hanya mampu memberikan satu mud atau setengah mud saja, maka wajib ia keluarkan.

 

Bagi laki-laki yang melakukan dhihar maka  tidak diperbolehkan mewathi Istrinya yang telah ia dhihar, hingga ia melaksanakan yang telah disebutkan.

 

MUHIMMAT DALAM BAB DHIHAR

 

  1. Sumpah Dziharnya Orang yang Mabuk

 

Sumpah dzihar yang diucapkan oleh orang yang mabuk itu diperinci hukumnya, apabilla mabuknya itu tidak sembrono (sengaja) maka seluruh ulama figh sepakat tidak terjadi. Dan apabila mabuknya itu sembrono maka terdapat perbedaan pendapat yang sangat kuat. Menurut imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf bin Ibrahim, Muhammad bin Hasan as-Syaibani dan sebagian para imam mengatakan, Terjadi sumpah dziharnya, karena sebagai bentuk hukuman yang memberatkan kepadanya. Sedangkan menurut ulama Figh yang lain sebagaimana Imam Ahmad menyatakan tidak terjadi.

 

  1. Panggilan Ya Ukhthi Oleh Suami Kepada Istri

 

Disebagian daerah beberapa orang memanggil istrinya dengan panggilan, wahai saudariku, sedangkan istrinya memanggil: wahai saudaraku dengan tujuan menampakkan belaskasih secara tabiat, tetapi panggilan tersebut dinilai kurang baik. Dan terdapat gaul mugabil adzhar yang menyatakan: Sesungguhnya menyerupakan istri dengan anggota badan walaupun anggota badan yang tampak, tidak tergolong dzihar.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum gadzaf dan li’an.

 

Secara etimologi, li’an adalah bentuk kalimat masdar yang diambil dari lafadz “al Ia’nu” yang berati jauh.

 

Dan secara termonologi hukum adalah beberapa kalimat tertentu yang dijadikan sebagai hujjah (argumentasi) bagi orang yang terpaksa menuduh zina terhadap orang yang telah menodahi kehormatannya dan mempertemukan cacat padanya.

 

Ketika seorang laki-laki menuduh zina terhadap istrinya, maka wajib baginya untuk menerima had gadzaf, dan akan dijelaskan bahwa sesungguhnya had gadzaf adalah delapan kali cambukan.

 

Kecuali lelaki yang menuduh zina tersebut mampu mendatangkan saksi atas perbuatan zina wanita yang ia tuduh. Atau lelaki tersebut melakukan sumpah li’an terhadap istrinya yang ia tuduh berzina.

Dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan bahasa, “atau ia berboleh . melakukan sumpah li’an dengan perintah seorang hakim atau orang yang hukumnya ‘ sama dengan hakim seperti muhakkam (orang yang diminta untuk menjadi juru hukum).

 

Kemudian lelaki tersebut berkata di hadapan hakim di masjid jami’ di atas mimbar di hadapan sekelompok orang minimal empat orang, “aku bersaksi demi Allah bahwa sesungguhnya aku termasuk golongan yang . jujur atas tuduhan zina yang telah aku tuduhkan terhadap istriku, fulanah yang « sedang tidak berada di sini.”

 

Jika sang istri juga berada di tempat, maka lelaki itu memberi isyarat pada istrinya dengan ucapan, “istriku ini.”

 

Jika di sana terdapat anak yang ia putus dari nasabnya, maka iapun harus menyebutkan anak tersebut di dalam kalimat-kalimat sumpah li’an itu, maka ia berkata,

 

“dan sesungguhnya anak ini hasil dari zina, bukan dari saya.”

 

Lelaki yang sumpah li’an tersebut harus mengucapkan kalimat-kalimat ini sebanyak empat kali.

 

Dan pada tahapan kelima, setelah hakim atau muhakkam menasehatinya dengan memperingatkannya atas siksaan Allah di akhirat dan sesungguhnya siksa Allah di akhirat jauh lebih pedih daripada siksa di dunia, maka sang suami mengatakan, “dan saya berhak mendapatkan laknat Allah swt jika saya termasuk orang-orang yang bohong atas tuduhan zina yang saya tuduhkan pada istriku ini.” Dan ungkapan Sang Pengarang, “di atas mimbar di hadapan jama’ah” adalah sesuatu yang tidak wajib dilakukan di dalam li’an bahkan hal itu hukumnya adalah sunnah.

 

L’an yang dilakukan oleh seorang suami walaupun sang istri tidak melakukan sumpah l’an, berhubungan dengan lima hukum :

 

Yang pertama, gugurnya had dari sang suami ya’ni had gadzaf yang dimiliki oleh istri yang dili’an, jika memang sang istri adalah wanita yang muhshan (terjaga), dan gugurnya ta’zir jika sang istri bukan wanita yang muhshan. Yang kedua, tetapnya hukum had atas sang istri, ya’ni had zina baginya, baik ia wanita muslim ataupun kafir Jika Ia tidak melakukan sumpah li’an,

 

Yang ketiga, hilangnya hubungan suami Istri. Selain Sang Pengarang mengungkapkan hal ini dengan bahasa “perceraian untuk selamakamanya”.

 

Perceraian tersebut hukumnya sah/hasil dhahir batin, walaupun sang suami yang melakukan sumpah li’an tersebut mendustakan dirinya.

 

Yang ke empat, memutus hubungan anak dari suami yang melakukan sumpah li’an.

 

Sedangkan untuk istri yang melakukan sumpah H’an, maka nasab sang anak tidak bisa terputus dari dirinya.

 

Yang kelima, mengharamkan sang istri yang melakukan sumpah li’an untuk selamatamanya.

 

Sehingga bagi lelaki yang melakukan sumpah fan tidak halal menikahinya lagi dan juga tidak halal mewathinya dengan alasan milku yamin, walaupun wanita tersebut berstatus budak yang ia beli.

 

Di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya terdapat keterangan tambahan . atas kelima hai Ini.

 

Di antaranya adalah gugurnya status muhshan sang wanita bagi sang suami jika memang sang wanita tidak melakukan sumpah Ii’an juga. Sehingga, seandainya setelah itu sang suami menuduhnya berbuat zina lagi, maka sang . suami tidak berhak dihad.

 

Had zina bisa gugur dari sang istri dengan cara ia membalas sumpah li’an, ya’ni melakukan « sumpah li’an terhadap sang suami setelah li’an ”

sang suami sempurna,

 

Di dalam I’annya dan sang suami hadir, maka sang Istri berkata, “saya bersaksi demi Allah bahwa sesungguhnya fulan ini sungguh termasuk dari orang-orang yang dusta atas tuduhan zina yang Ia tuduhkan padaku,”

 

Wanita tersebut mengulangi ucapannya ini sebanyak empat kali.

 

Pada tahapan kelima dari li’annya setelah hakim atau muhakkam menasehatinya dengan memperingatkan padanya akan siksaan Allah Swt di akhirat dan sesungguhnya siksa-Nya di akhirat jauh lebih pedih daripada siksaan di dunia, maka wanita tersebut berkata, “dan saya berhak mendapat murka Allah Swt jika dia termasuk orang-orang yang jujur atas tuduhan zina yang Ia tuduhkan padaku.”

 

Perkataan yang telah dijelaskan di atas tempatnya adalah bagi orang yang bisa bicara. Adapun. orang bisu, maka ia melakukan sumpah li’an dengan menggunakan isyarat yang bisa memahamkan orang lain.

 

Seandainya di dalam kalimat-kalimat li’an tersebut, ia mengganti lafadz “asy sahadah” dengan lafadz “al halfu” seperti ucapan orang yang melakukan sumpah li’an, “saya bersumpah demi Allah”, atau mengganti lafadz “al ghadiab” dengan lafadz “al la’nu”, atau sebaliknya seperti ucapan wanita yang melakukan sumpah li’an, “laknat Allah wajib atas diriku” dan ucapan lelaki yang sumpah Yang, “murka Allah atas diriku”, atau masing-” masing dari lafadz “al ghadlab” dan “al la’nu” diucapkan sebelum empat kalimat sahadat sempurna, maka li’an dalam semua permasalahan ini tidak sah.

 

MUHIMMAT DALAM BAB LI’AN & QADZAF (MENUDUH ZINA)

 

  1. Ucapa Wahai Anak Zina Adalah Oadzaf

 

Seringkali kita dengar ucapan masyarakat kepada anak kecil dan yan wahai anak zina, maka hal ini adalah gadzah bagi Ibu dari anak tersebut wajib dihag, karena termasuk gadzaf yang sharih.

 

  1. Syarat-Syarat Li’an

 

Syarat-syarat Lian ada empat: :

  1. Adanya tuduhan zina yang mengharuskan had.
  2. Perintahnya gadhi untuk lian.
  3. Mengajari kalimat-kalimat lian.
  4. Kalimat Iian diucapkan secara bersambung.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ‘iddah dan macam-macam mu’taddah (wanita yang menjalankan “iddah).

 

iddah secara etimologi adalah kalimat isim dari fi’il madli “’tadda.”

 

Dan secara termonologi hukum adalah penantian seorang perempuan dalam jangka waktu yang bisa diketahui dalam rentan waktu tersebut bahwa kandungannya telah bersih, dengan beberapa masa suci, beberapa bulan atau melahirkan kandungan.

 

Wanita mu’taddah ada dua macam, yaitu mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha (yang ditinggal mati suami) dan mu’taddah ghairu mutawaffa “anha zaujuha (yang tidak ditinggal mati suami).

 

Untuk mu’taddah mutawaffa “anha zaujuha, jika berstatus merdeka dan sedang hamil, . maka ‘iddahnya sebab wafatnya sang suami adalah dengan melahirkan kandungan ‘secara utuh hingga kandungan yang berupa dua anak kembar dengan syarat dimungkinkan nasab sang anak bersambung pada suami yang meninggal dunia walaupun hanya kemungkinan saja seperti anak yang dinafikan “ dengan sumpah li’an.

 

Sehingga, seandainya ada anak kecil meninggal dunia yang tidak mungkin bisa memiliki keturunan dan meninggalkan istri yang sedang hamil, maka ‘iddahnya sang istri adalah dengan melewati beberapa bulan, tidak dengan melahirkan kandungan. Jika mu’taddah mutawaffa “anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari sepuluh malam.

 

Empat bulan tersebut dihitung sesuai dengan perhitungan kalender hijriah yang memungkinkan, dan untuk tanggal bulan yang ‘ tidak utuh, maka disempurnakan menjadi tiga puluh hari.

 

Untuk mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan yang bisa dihubungkan nasabnya pada suami yang memiliki ‘iddah tersebut.

 

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil dan ia » termasuk golongan wanita yang memiliki/memungkinkan haidl, maka ”ddahnya adalah tiga kali agra’, yaitu tiga kali suci.

 

Jika ia tertalak saat dalam keadaan suci dengan arti setelah tertalak masih berada dalam waktu suci, maka ‘iddahnya habis , dengan mengalami haid yang ketiga. sa Atau tertalak saat dalam keadaan haidl atau nifas, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ke empat.

 

Sedangkan sisa masa haidlnya tidak terhitung masa suci. p Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha tersebut masih kecil atau sudah besar dan sama sekali belum pernah haidl dan belum mencapai usia ya’si (monupause), atau £ dia adalah wanita yang sedang mengalami , mutahayyirah (bingung akan haid dan sucinya) atau sudah mencapai usia monupause, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan sesuai kalender hijriah jika talaknya bertepatan dengan awal bulan.

 

Sehingga, jika ia tertalak di tengah bulan, maka ‘iddahnya adalah dua bulan setelahnya – sesuai dengan tanggal dan untuk jumlah bulan yang tidak utuh disempurnakan menjadi tiga puluh hari dari bulan ke empat.

 

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha -yang telah disebutkan inimengalami haidl di saat menjalankan ‘iddah dengan penghitungan bulan, maka wajib bagi dia melakukan ‘iddah dengan penghitungan masa suci.

 

atau mengalami haid setelah selesai menjalankan ‘iddah dengan penghitungan beberapa bulan, maka ia tidak wajib menjalankan ‘iddah lagi dengan penghitungan masa suci,

 

Wanita yang tertalak sebelum sempat dijima’, maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi wanita / tersebut.

 

Baik sang suami sudah pernah berhubungan badan dengannya selain pada bagian vagina ataupun tidak.

 

‘Iddahnya budak wanita yang sedang hamil ketika tertalak raj’i atau ba’in adalah dengan  melahirkan kandungan dengan syarat anak tersebut bisa dihubungkan nasabnya pada lelaki yang memiliki ‘iddahnya (suami yang mentalak).

 

Ungkapan Sang Pengarang “seperti ‘iddahnya wanita merdeka yang sedang hamil” ya’ni di dalam semua hukum yang telah dijelaskan di depan.

 

Dan jika iddah dengan beberapa masa suci, maka budak wanita tersebut melaksanakan iddah dengan dua kali masa suci.

 

Budak wanita muba’adI, mukatab, dan ummu walad hukumnya seperti budak wanita yang mumi.

 

Jika budak wanita tersebut melaksanakan “ddah dengan penghitungan bulan sebab « ditinggal mati suami, maka ‘iddahnya dengan dua bulan lima hari.

 

iddahnya budak wanita sebab talak adalah “ddah dengan satu bulan setengah, yaitu – separuh dari “iddahnya wanita merdeka.

 

Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah dua bulan, dan ungkapan imam al Ghazali menetapkan keunggulan pendapat ini. Sedangkan Sang Pengarang hanya menjadikan dua bulan sebagai bentuk yang lebih utama saja, sehingga Nya berkata, “sehingga, jika budak wanita itu melaksanakan ‘iddah dengan dua bulan, maka itu lebih utama.”

 

Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah tiga bulan, dan ini adalah yang lebih hati-hati sebagaimana yang disampaikan oleh imam asy Syafi’i Ra.

 

Dan ini pendapat yang diikuti oleh beberapa golongan al ashhab”.

 

(Fasal) menjelaskan mu’taddah (wanita yang menjalankan ‘iddah) dan hukum-hukumnya.

 

Bagi wanita yang menjalankan “iddah talak raj maka wajib menetap di rumah yang menjadi tempat saat Ia tertalak jika memang layak baginya.

 

Dan wajib diberi nafkah dan pakaian kecuali ia nusuz sebelum tertalak atau di tengah-tengah pelaksaan ‘iddah.

 

Sebagaimana wajib diberi nafkah, ia juga wajib diberi kebutuhan hidup yang lain kecuali alat « membersihkan badan.

 

Bagi wanita yang tertalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tidak wajib diberi nafkah kecuali ia dalam keadaan hamil.

 

Maka wajib memberi nafkah padanya sebab kehamilan menurut pendapat ash shahih.

 

Ada yang mengatakan sesungguhnya nafkah Itu untuk kandungan.

 

Wajib bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha untuk melakukan ihdad. Ihdad secara etimologi diambil dari lafadz “al had”. Al had adalah bermakna mencegah. Ihdad secara termonologi hukum adalah mencegah diri dari berhias dengan tidak memakai pakaian yang diwarna dengan warna yang ditujukan untuk berhias seperti pakaian yang berwarna kuning atau merah.

 

Hukumnya mubah memakai pakaian yang tidak berwarna dari bahan kapas, bulu, katun, sutra ulat, dan pakalan berwarna yang tidak ditujukan untuk berhias.

 

Dan mencegah diri dari wewangian, ya’ni menggunakan wewangian di badan, pakaian, makanan, atau celak yang tidak diharamkan.

 

Adapun celak yang diharamkan seperti bercelak dengan itsmid yang tidak berbau wangi, maka hukumnya haram -ditinjau dari barangnya-,

 

Kecuali karena ada hajat seperti sakit mata, maka diperbolehkan menggunakannya bagi . wanita yang sedang ‘“Iddah.

 

Walaupun demikian, namun dia harus menggunakannya di malam hari dan  membersihkannya di siang hari kecuali ada keadaan darurat yang menuntut untuk memakainya di siang hari.

 

Bagi seorang wanita -selain Istri yang ditinggaldiperbolehkan melakukan ihdad atas kematian selain suaminya, baik kerabat atau lelaki lain selama tiga hari atau kurang.

 

Maka bagi dia haram melakukan ihdad lebih dari tiga hari jika memang sengaja untuk Ihdad.

 

Sehingga, jika ia melakukannya lebih dari tiga hari tanpa ada tujuan untuk melakukan ihdad, maka hal itu tidaklah haram.

 

Bagi mu’taddah mutawaffa “anha zaujuha dan wanita yang tertalak ba’in wajib menetap di dalam rumah.

 

Ya’ni rumah yang menjadi tempat terjadinya perpisahan antara dia dengan suaminya, jika rumah itu layak baginya.

 

Bagi suami dan yang lain tidak diperbolehkan mengeluarkan wanita tersebut dari rumah tempat terjadinya perpisahan.

 

Begitu juga bagi wanita tersebut tidak diperbolehkan keluar dari sana walaupun sang suami rela. Kecuali karena ada hajat, maka bagi dia diperbolehkan keluar rumah.

 

Seperti ia keluar di siang hari karena untuk membeli makanan, kain katun, menjual tenunan atau kapas dan sesamanya.

 

Bagi wanita tersebut diperbolehkan keluar malam ke rumah tetangga perempuannya karena untuk menenun, ngobrol dan sesamanya dengan syarat pulang dan bermalam di rumahnya sendiri.

 

Bagi dia juga diperbolehkan keluar ketika khawatir pada dirinya, anaknya dan sesamanya, yaitu permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum istibra”. Istibra’ secara etimologi adalah mencari kebebasan.

 

 Dan secara termonologi hukum adalah penantian seorang wanita sebab baru datangnya kepemilikan pada dirinya, atau hilangnya kepemilikan dari dirinya, karena unsur ta’abbudi atau karena membersihkan rahimnya dari janin.

 

Istibra’ wajib dilakukan sebab dua perkara. Salah satunya adalah hilangnya firasy (kepemilikan) atas diri budak wanita.

 

Dan akan dijelaskan di dalam ungkapan kitab matan, “ketika majikan budak ummu walad meninggal dunia” hingga akhir penjelasannya. Sebab yang kedua adalah baru datangnya kepemilikan -atas diri budak wanita-.

 

 Dan Sang. Pengarang menjelaskannya di dalam perkataan Nya,

 

Barang siapa baru memiliki budak wanita dengan cara membeli yang sudah tidak ada hak khiyar lagi, dengan warisan, wasiat, hibbah, atau yang lain dari cara-cara kepemilikan atas diri si budak wanita dan budak wanita tersebut bukanlah istrinya, ketika hendak mewathinya, maka bagi dia haram bersenang-senang dengan budak wanita tersebut hingga ia melakukan istibra’ padanya.

 

Jika budak wanita tersebut termasuk golongan wanita yang memiliki haidl, maka dengan satu kali haid.

 

Walaupun dia masih perawan, walaupun sudah diistibra’ oleh penjualnya sebelum : dijual, dan walaupun kepemilikannya perpindah dari anak kecil atau majikan wanita.

 

Jika budak wanita tersebut termasuk golongan wanita yang memakai perhitungan bulan, maka ‘iddahnya adalah satu bulan saja.

 

Jika budak wanita tersebut termasuk dari wanita hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan.

 

Ketika seseorang membeli istrinya yang berstatus budak, maka disunnahkan baginya untuk melakukan istibra’ pada istrinya tersebut.

 

Adapun budak perempuan yang telah dinikahkan atau sedang melaksanakan ‘iddah, ketika seseorang membelinya, maka tidak wajib melakukan istibra’ padanya seketika itu. Kemudian, ketika ikatan pernikahan dan ”ddahnya telah hilang semisal budak wanita tersebut ditalak sebelum dijima’ ataupun setelahnya dan ‘iddahnya telah selesai, maka pada saat itulah wajib melakukan istibra”.

 

Ketika majikan budak ummu walad meninggaldunia dan ia tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak pula dalam pelaksanaan ‘ddah nikah, maka wajib baginya melakukan istibra’ pada dirinya sendiri seperti halnya budak wanita.

 

Ya’ni, istibra’ yang dia lakukan adalah dengan satu bulan jika ia termasuk wanita-wanita yang : menggunakan penghitungan bulan.

 

Jika tidak, maka dengan satu kali haidl jika memang termasuk wanita-wanita yang menggunakan penghitungan masa suci.

 

Seandainya sang majikan melakukan istibra’ terhadap budak wanitanya yang pernah dijiima’ kemudian ia merdekakan, maka bagi sang budak tidak wajib melakukan istibra’, dan baginya diperbolehkan menikah seketika itu juga.

 

MUHIMMAT DALAM BA8 IDDAH & YANG BERHUBUNGAN

 

  1. Wanita Pengajar, Bagimana Iddahnya

 

Seorang wanita yang berprofesi sebagai pengajar yang pada saat itu mengalami masa iddah, apakah baginya boleh keluar rumah. Maka para ulama berkata: Boleh, sedangkan pelajar wanita menurut keyakinan saya adalah serupa.

 

  1. Iddahnya Wanita yang dioprasi Cesar

 

Wanita hamil, ketika saat melahirkan dengan cara oprasi cesar, maka idddhnya berakhir dengan lahirnya kandungannya.

 

  1. Seorang Pria Tidak Punya Masa Iddah

 

Seorang laki-laki tidak ada masa iddahnya, maka baginya setelah adanya perpisahan diperkenankan langsung menikahi wanita lain.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum radia’ dengan terbaca fathah atau kasrah huruf ra’nya.

 

Radia’ secara etimologi adalah nama untuk menghisap puting payu dara dan meminum air susunya, Dan secara termonologi hukum adalah masuknya air susu wanita anak Adam tertentu ke dalam perut anak adam tertentu dengan cara yang tertentu juga.

 

Radia’ hanya bisa sah dengan air susu wanita yang masih hidup dan mencapai usia sembilan tahun Oamariyah, baik perawan atau janda, tidak bersuami atau memiliki suami.

 

Ketika seorang wanita menyusui seorang anak dengan air susunya, baik sang anak meminum air susu tersebut saat si wanita masih hidup atau setelah meninggal dunia dengan syarat air susu itu diambil saat si wanita masih hidup, maka anak yang ia susui menjadi anaknya dengan dua syarat.

 

Salah satunya, usia anak tersebut kurang dari dua tahun sesuai dengan hitungan tanggal.

 

Dan permulaan dua tahun tersebut terhitung dari kelahiran anak tersebut secara sempurna. Anak yang sudah mencapai dua tahun, maka menyusuinya tidak bisa memberikan dampak ikatan mahram.

 

Syarat kedua, wanita yang menyusui telah menyusui anak tersebut sebanyak lima kali susuan yang terpisah-pisah dan masuk ke perut sang bocah.

 

Yang digunakan batasan lima kali susuan itu adalah “urf. Sehingga susuan yang dianggap satu atau beberapa susuan oleh ‘urf, maka Itulah yang dianggap. Jika tidak, ya maka tidak dianggap.

 

Sehingga, seandainya bocah yang disusul itu memutus hisapan di antara masing-masing – lima susuan dengan berpaling dari puting, maka hisapan-hisapan itu dihitung terpisah(tidak jadi satu).

 

Suami wanita yang telah menyusui menjadi ayah sang bocah yang disusui.

 

Bagi murdia’ (bocah yang disusui), dengan terbaca fathah huruf dladnya, haram menikahi wanita yang menyusuinya dan wanita-wanita yang memiliki hubungan nasab dengan ibu susunya.

 

Dan bagi wanita yang menyusui haram menikah dengan murdia’, anaknya walaupun  hingga ke bawah, dan orang yang memiliki ikatan nasab dengannya walaupun hingga ke atas.”

 

Bukan orang yang sederajat dengannya, ya’ni dengan bocah yang disusui seperti saudarasaudara laki-lakinya yang tidak ikut menyusu bersamanya.

 

Atau orang yang seatasnya, ya’ni dan bukan orang yang tingkatannya lebih atas daripada murdia’, yani bocah yang disusui seperti paman-pamannya.

 

Di dalam fasal yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dinikah, telah disinggung tentang orang-orang yang haram dinikah sebab nasab dan radia’ secara terperinci, maka ruju’lah kesana.

 

MUHIMMAT DALAM BAB RADLA’ (SUSUAN)

 

  1. Rukun-Rukun Radha’

 

Rukun-rukun radha’ ada tiga: 1. wanita yang menyusui. 2. Anak yang disusui. 3. Asi.

 

  1. Anak Kembar disusui Dua Wanita

 

Apabila dua wanita menyusui dari masing-masing bayi kembar, maka kemahraman nasab dua bayi kembar tersebut tidak akan hilang, karena menyusi tidak menghilangkan kemahraman, bahkan memperkokohkannya.

 

  1. Donor Asi

 

Asi yang dikumpulkan di rumah sakit dari beberapa ibu yang berbeda-beda, ketika diminum oleh bayi yang dirawat dirumah sakit tersebut, maka dianggap susuan yang menjadikan mahram, manakala kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam kitab figh telah terpenuhi.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum nafkah kerabat.

 

Di dalam sebagian redaksi kitab matan fasal ini diakhirkan dari fasal setelahnya. ” lafadz “an nafagah” itu diambil dari lafadz “al infag”, dan artinya adalah mengeluarkan.

 

Lafadz “Infag” tidak digunakan kecuali di dalam kebaikan.

 

Nafagah memiliki tiga sebab, kerabat, milku yamin, dan ikatan suami istri.

 

Sang Pengarang menjelaskan sebab yang pertama di dalam perkataan Nya, Nafagah orang tua dan anak dari jalur keluarga wajib diberikan pada para anak dan orang tua.

 

Ya’ni nafagah orang tua yang laki-laki atau perempuan, satu agama atau berbeda agama: wajib diberikan oleh anak-anaknya.

 

Adapun para orang tua walaupun hingga ke atas, maka wajib diberi nafagah dengan dua syarat.

 

Mereka fagir, yaitu tidak memiliki harta atau tidak mampu bekerja dan lumpuh, atau fagir dan gila.

 

Az zamanah adalah bentuk kalimat masdar dari rangkaian “zamuna ar rajulu zamanatan (lelaki yang benar-benar lumpuh) ketika Ia memiliki penyakit”.

 

Sehingga, jika mereka memiliki harta atau mampu bekerja, maka tidak wajib diberi nafagah.

 

Adapun para anak walaupun hingga ke bawah, maka nafagah mereka diwajibkan kepada para orang tua dengan tiga syarat :

 

Salah satunya adalah fakir dan masih kecil. Sehingga anak yang kaya dan sudah besar, maka tidak wajib diberi nafagah.

 

atau fagir dan lumpuh. Sehingga anak yang kaya dan kuat, maka tidak wajib diberi nafagah.

 

Atau fagir dan gila. Sehingga anak yang kaya dan mempunyai akal, maka tidak wajib diberi nafagah.

 

Sang Pengarang menyebutkan sebab yang kedua di dalam perkataan Nya, “memberi nafagah kepada budak dan binatang ternak hukumnya wajib.”

 

Sehingga, barang siapa memiliki budak, baik budak laki-laki, perempuan, mudabbar, ummu walad atau memiliki binatang ternak, maka wajib baginya untuk memberi nafagah pada mereka.

 

Sehingga wajib baginya memberi makan budaknya dengan makanan pokok penduduk setempat dan lauk pauk yang biasa mereka konsumsi dengan kadar kecukupan. Dan wajib ‘ memberi pakaian sesuai dengan pakaian , penduduk daerah setempat.

 

Di dalam memberi pakaian terhadap budak, tidak cukup memberi pakaian yang hanya menutupi aurat saja,

 

Budak dan binatang ternak tidak boleh dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak mampu . mereka lakukan.

 

Ketika majikan mempekerjakan budaknya di siang hari, maka wajib mengistirahatkan di malam hari. Dan ketika musim kemarau, wajib mengistirahatkan di waktu gailulah (tengah . hari). ” Majikan juga tidak boleh memaksa binatang ternaknya memuat barang yang tidak mampu dimuat oleh binatang tersebut.

 

Sang Pengarang menyebutkan sebab yang ketiga di dalam perkataan Nya,

 

Nafagah untuk seorang istri yang telah memasrahkan dirinya hukumnya wajib bagi seorang suami.

 

Karena nafagah untuk istri itu berbeda-beda sesuai dengan keadaan sang suami, maka Sang Pengarang menjelaskannya di dalam perkataan Nya,

 

Nafagah untuk istri itu dikira-kirakan.

 

Sehingga, jika sang suami adalah orang kaya, sedangkan kayanya sang suami dipertimbangkan saat terbitnya fajar setiap ‘ hari, maka wajib memberikan nafagah bahan makanan sebanyak dua mud yang wajib ia berikan setiap hari hingga malam harinya kepada istrinya, baik beragama islam atau kafir dzimmi, merdeka ataupun budak.

 

Dua mud tersebut diambilkan dari makanan pokok sang istri.

 

Yang dikehendaki adalah makanan pokok daerah setempat, baik gandum putih, gandum « merah, atau selainnya hingga susu kental bagi penduduk pedalaman yang menjadikannya sebagai makanan pokok.

 

Dan wajib memberikan lauk pauk dan pakainya yang biasa terlaku kepada sang istri.

 

Sehingga, jika daerah setempat biasa memakai lauk pauk dengan miyak zait, miyak wijen, mentega dan sesamanya, maka kebiasaan tersebut diikuti.

 

Jika di daerah setempat tidak ada lauk pauk yang dominan, maka wajib memberikan lauk pauk yang layak dengan keadaan sang suami. Lauk pauk berbeda-beda dengan berbedabedanya musim.

 

Sehingga di setiap musim wajib memberikan lauk pauk yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat pasa saat itu.

 

Istri juga wajib diberi daging yang sesuai dengan keadaan suaminya.

 

Jika kebiasaan daerah setempat dalam urusan pakaian bagi orang sekelas sang suami adalah dengan bahan katun atau sutra, maka wajib untuk memberikan pakaian dengan bahan tersebut pada sang istri.

 

Jika sang suami adalah orang miskin, ukuran miskinnya dipertimbangkan saat terbitnya – fajar setiap harinya, maka wajib memberikan makanan satu mud.

 

Ya’ni wajib bagi suami memberikan makanan satu mud dari makanan pokok yang dominan – di daerah setempat kepada istrinya setiap hari hingga malam harinya.

 

Dan memberikan lauk pauk yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang miskin daerah setempat.

 

Dan memberikan pakaian yang biasa digunakan oleh mereka.

 

Jika sang suami adalah orang yang tengahtengah, dan ukuran tengah-tengahnya ini dipertimbangkan saat terbitnya fajar setiap harinya hingga malam harinya, maka wajib satu mud setengah, ya’ni wajib bagi sang suami memberikan satu mud setengah dari bahan makanan pokok yang dominan daerah setempat.

 

Dan wajib memberikan lauk pauk dan pakaian yang tengah-tengah pada sang istri.

 

Yang dimaksud dengan tengah-tengah adalah sesuatu yang berada di antara sesuatu yang wajib bagi suami yang kaya dan yang wajib bagi suami yang miskin.

 

Bagi sang suami wajib memberikan milik berupa bahan makanan biji-bijian kepada sang istri.

 

Dan bagi sang suami wajib untuk menggiling dan membuat roti bahan makanan tersebut. Sang istri berhak diberi alat makan, minum dan memasak.

 

Sang istri juga berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak baginya secara adat.

 

Jika sang istri termasuk orang-orang yang biasa dilayani, maka bagi suami wajib mencari pembantu untuk sang istri.

 

Baik pembantu wanita merdeka, budak perempuannya, budak perempuan sewaan, atau dengan memberi nafkah kepada wanita yang menemani istrinya baik wanita merdeka atau budak karena untuk melayani sang istri, jika memang sang suami rela dengan wanita tersebut.

 

Jika sang suami tidak mampu memberi nafkah sang istri, ya’ni nafkah di hari-hari yang akan – datang, maka bagi sang istri diperbolehkan bersabar atas ketidakmampuan sang suami ‘ dan menafkahi dirinya sendiri dari hartanya . sendiri, atau dari hutang dan apa yang ia nafkahkan itu menjadi tanggungan hutang sang suami.

 

Dan dia juga diperbolehkan memfasakh nikah. Ketika sang istri memfasakh nikah, maka terjadilah perceraian.

 

Dan ini adalah perceraian sebab memfasakh nikah, bukan perceraian sebab talak.

 

Sedangkan masalah nafkah hari-hari yang sudah lewat, maka tidak ada hak bagi sang istri untuk merusak nikah sebab sang suami tidak mampu memberikannya.

 

Begitu juga bagi sang istri berhak memfasakh nikah jika suaminya tidak mampu memberikan mas kawin sebelum berhubungan intim.

 

Baik sebelum akad sang istri sudah tahu bahwa sang suami tidak — mampu memberikannya ataupun tidak.

 

MUHIMMAT DALAM BAB NAFAOAH

 

1, Urutan Nafagah

 

Di dalam urutan nafkah seseorang memulai dari dirinya sendiri dan istrinya, lu pembantu istrinya, lalu anak yang masih kec, alu ibu, lalu bapak, kebalikan dari mengeluarkan zakat fitrah, sebab yang didahulukan bapak, lalu ibu, kemudian anak yang sudah dewasa.

 

  1. Memberi Nafkah Kepada Orang Lain

 

Apabila seseorang berderma dengan nafkah atas orang lain, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat fitrahnya menurut kesepakatan ulama Syafi’iyyah, dan juga sependapat dengan Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Dawud. Sedangkan menurut Imam Ahmad wajib menanggung zakat fitrahnya.

 

  1. Biaya Obat Istri

 

Ketika seorang istri sakit, apakah bagi suami berkewajiban mengobatkannya, dan menanggung biaya pengobatannya? Terdapat dua pendapat,

  1. Tidak wajib, adalah pendapat yang gharib.
  2. Wajib.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum hadlanah.

 

Secara etimologi, hadlanah diambil dari lafadz “al hadin” dengan terbaca kasrah huruf ha’nya, yaitu bermakna lambung.

 

Karena ibu yang merawat anak kecil akan menempelkan anak tersebut ke lambung sang ibu.

 

Dan secara termonologi hukum adalah menjaga anak yang belum bisa mengurusi dirinya sendiri dari hal-hal yang bisa menyakitinya karena belum tamyiz seperti anak kecil dan orang dewasa yang gila.

 

Ketika seorang lelaki bercerai dengan istrinya dan ia memiliki anak dari istri tersebut, maka sang istri lebih berhak untuk merawat sang anak.

 

Ya’ni merawat sang anak dengan sesuatu yang positif padanya dengan mengurusi makanan,» minuman, memandikan, mencuci pakaian, merawatnya saat sakit dan hal-hal positif yang lain bagi sang anak.

 

Biaya hadlanah ditanggung oleh orang yang wajib menafkahi anak tersebut.

 

Ketika sang istri enggan merawat anaknya, maka hak asuh berpindah pada ibu sang istri.

 

Hak asuh sang istri terus berlangsung hingga melewati usia tujuh tahun.

 

Sang Pengarang mengungkapkan tujuh tahun karena sesungguhnya tamyiz biasanya sudah wujud pada usia tersebut, akan tetapi intinya adalah hingga tamyiz, baik wujudnya sebelum tujuh tahun atau setelahnya.

 

Kemudian setelah Itu, bocah yang sudah tamyiz tersebut disuruh memilih di antara kedua orang tuanya. Mana yang dia pilih, maka sang anak diserahkan padanya.

 

Lalu, jika salah satu dari kedua orang tuanya memiliki kekurangan seperti gila, maka sang anak diserahkan pada orang tua yang satunya selama sifat kurang tersebut masih ada pada orang tua yang satu itu.

 

Jika ayahnya sudah tidak ada, maka sang anak disuruh memilih di antara kakek dan ibunya. « Begitu juga sang anak disuruh memilih di antara ibu dan orang-orang yang masih memiliki hubungan nasab dari jalur samping seperti saudara atau paman dari ayah. Syarat-syarat hadlanah ada tujuh :

 

Salah satunya adalah berakal. Sehingga tidak ada hak asuh bagi orang gila, baik gilanya terus – menerus atau terputus-putus.

 

Lalu, jika gilanya sang istri hanya sebentar seperti sehari dalam satu tahun, maka hak asuhnya tidak batal sebab penyakit tersebut. Yang kedua adalah merdeka. Sehingga tidak hak asuh bagi seorang budak wanita walaupun / majikannya memberi izin padanya untuk mengasuh.

 

Yang ketiga adalah agama. Sehingga tidak ada hak asuh bagi wanita kafir atas anak yang beragama islam.

 

Yang ke empat dan kelima adalah ‘iffah (terhormat) dan amanah. Sehingga tidak ada hak asuh bagi wanita fasiq. /

 

Di dalam hak asuh, sifat adil yang bathin tidak disyaratkan harus nampak nyata, bahkan sudah cukup dengan sifat adil yang dhohir saja.

 

Yang ke enam adalah bermugim di daerah sang anak. Dengan artian kedua orang tuanya mugim di satu daerah. :

 

Sehingga, seandainya salah satu dari keduanya ingin bepergian karena ada hajat seperti haji dan berdagang, baik jarak perjalanannya jauh atau dekat, maka anak yang sudah tamyiz atau belum diserahkan kepada orang yang mugim,, dari kedua orang tuanya hingga yang sedang bepergian telah kembali.

 

Seandainya salah satu dari kedua orang tuanya ingin pindah daerah, maka sang ayah lebih berhak daripada sang Ibu untuk mengasuh, sehingga sang anak diambil oleh sang ayah dari tangan sang ibu.

 

Syarat ketujuh adalah sepi, ya’ni sepinya ibu sang anak yang tamyiz dari seorang suami yang bukan termassuk dari mahramnya sang anak.

 

Sehingga, jika sang ibu menikah dengan seorang lelaki dari mahramnya sang bocah , seperti paman, anak laki-laki paman, atau anak laki-laki saudara laki-laki sang bocah, dan masing-masing dari mereka rela dengan sang bocah, maka hak asuh ibunya tidak bisa gugur sebab pernikahan.

 

Jika salah satu tujuh syarat tersebut tidak terpenuhi oleh sang ibu, maka hak asuhnya menjadi gugur sebagaimana penjelasan yang telah diperinci.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HADLANAH (MENGASUH ANAK)

 

  1. Kriteria Mendapatkan Hak Asuh

 

Syarat-syarat berhak mendapatkan hak asuh ada dua belas: 1) Berakal sempurna. 2) Merdeka. 3) Islam. 4) Adil. 5) Berdomisili. 6) Sunyi dari suami yang mempunyai hak asuh. 7) Bukan berupa anak kecil. 8) Tidak pelupa. 9) Dapat melihat sendiri orang yang menangani hak asuh anak. 10) Tidak terjangkit penyakit lepra dan kusta. 11) Tidak mempunyai penyakit yang tidak ada harapan sembuh. 12) Tidak mencegah dari menyusui anak yang menyusu dari wanita yang mempunyai asi.

 

  1. Suami Istri Bercerai yang Tinggal Di Negeri yang Berbeda

 

Ketika suami-istri bercerai dalam keadaan mempunyai anak, sedangkan tempat tinggal suami istri tersebut berbeda, maka ayah lebih berhak mengasuh anak tersebut secara muthlak, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak yang telah tamyiz ataupun belum, karena adanya beberapa pertimbangan, diantaranya: menjaga nasabanya agar tidak kabur, kemaslahatan dan pembelajarannya, memudahkan untuk membiayai dil.

 

Jinayat yang menjadi bentuk jama’ dari lafadz “Inayah” mencakup pada bentuk membunuh, memotong anggota badan atau melukai.

 

Pembunuhan ada tiga macam, tidak ada yang ke empat.

 

-pertamapembunuhan “amdun mahdun (murni sengaja). Lafadz “amdun adalah bentuk masdar dari fi’il madii “amida” satu wazan dengan lafadz “dlaraba”, sedangkan maknanya adalah sengaja.

 

-kedua dan ketigakhatha”’ mahdlun (murni tidak sengaja), dan “amdun khatha’ (sengaja namun salah).

 

Sang Pengarang menyebutkan penjelasan al ‘amdu di dalam perkataan -nya, Al ‘amdu al mahdu adalah pelaku tindak kriminal sengaja memukul korban dengan menggunakan sesuatu benda yang pada umumnya bisa membunuh.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan etimologis, “di dalam kebiasaannya.”

 

Dan pelaku tindak kriminal sengaja untuk membunuh korban dengan sesuatu benda tersebut. Dan ketika demikian, maka sang pelaku tindak criminal wajib di-gishash.

 

Apa yang disebutkan oleh Sang Pengarang ya’ni mempertimbangkan kesengajaan untuk membunuh adalah pendapat yang lemah.

 

Sedangkan pendapat yang kuat adalah tidak perlu ada kesengajaan untuk membunuh.

 

Kewajiban pelaksanaan hukum gishash disyaratkan orang yang terbunuh atau terpotong anggota badannya harus islam atau memiliki ikatan aman.

 

Sehingga untuk kafir harbi dan orang murtad, maka tidak ada kewajiban gishash ketika dibunuh oleh orang islam.

 

Kemudian, jika korban memaafkan pelaku di dalam kasus “amdun mahdlun, makax pembunuh wajib membayar diyat mughaladhah (denda yang diberatkan) dengan seketika dan diambilkan dari harta si pembunuh.

 

Sang Pengarang akan menyebutkan tentang penjelasan taghlidh diyat tersebut,

 

Khatha’ mahdlun adalah seseorang melempar kepada sesuatu benda seperti binatang buruan, namun kemudian mengenai seorang laki-laki hingga menyebabkan meninggal dunia.

 

Maka tidak ada kewajiban gishash bagi orang yang melempar, akan tetapi ia wajib membayar diyat mukhaffafah (denda yang diringankan) yang dibebankan kepada ahli waris ashabah si pelaku dengan cara di angsur selama tiga tahun. Dan Sang Pengarang akan ” menyebutkan penjelasannya,

 

Setiap satu tahun dari masa itu diambil kirakira sepertiga dari seluruh diyat (denda).

 

Bagi waris ashabah yang kaya dan memiliki emas, maka setiap akhir tahun wajib membayar setengah dinar.

 

Dan bagi yang memiliki perak wajib membayar enam dirham sebagaimana yang telah jelaskan oleh imam al mutawalli dan yang lain.

 

Yang dikehendaki dengan al “agilah adalah ahli waris ashabah si pelaku, bukan orang tua atau, anak-anaknya.

 

‘Amdul Khatha’ adalah pelaku tindak kriminal sengaja memukul korban dengan menggunakan sesuatu benda yang biasanya tidak sampai membunuh seperti si pelaku memukul korban dengan tongkat yang ringan, namun kemudian korban yang dipukul meninggal dunia.

 

Maka tidak ada kewajiban hukum had atas si pelaku, akan tetapi wajib membayar diyat « mughalladhah (denda yang diberatkan) yang dibebankan kepada waris ‘agilah si pelaku dengan cara di angsur selama tiga tahun. Dan , Sang Pengarang akan menyebutkan penjelasan sisi berat diyat tersebut.

 

Kemudian Sang Pengarang beranjak menjelaskan tentang orang yang berhak mendapatkan hukum gishash. Oishash diambil dari igtishashul atsar yang bermakna meneliti jejak, karena sesugguhnya (keluarga) korban akan meneliti kasus kriminal kemudian akan mengambil balasan sepadannya. Sang Pengarang berkata,

 

Syarat kewajiban hukum gishash dalam kasus pembunuhan ada empat.

 

Di dalam sebagian redaksi Kitab Matan dengan menggunakan etimologis, “(fasal) syaratsyarat wajibnya hukum gishash ada empat.”

 

Pertama, si pembunuh sudah baligh. Sehingga tidak ada kewajiban gishash atas anak kecil.

 

Seandainya si pembunuh berkata, “saya saat ini masih bocah (belum baligh)”, maka ia « dibenarkan tanpa harus bersumpah.

 

Kedua, si pembunuh adalah orang yang berakal sempurna.

 

Sehingga gishash tidak boleh dilakukan pada orang gila kecuali gilanya terputus-putus, maka dia digishash pada waktu sembuh.

 

Qishash wajib dilaksanakan pada orang yang hilang akalnya sebab mengkonsumsi minumam yang memabukkan akibat sembrono saat mengkonsumsinya.

 

Maka mengecualikan orang yang tidak ceroboh, seperti ia meminum sesuatu yang ia kira tidak memabukkan, namun ternyata kemudian akalnya hilang, maka tidak ada kewajiban gishash atas dirinya.

 

Ketiga, si pembunuh bukan orang tua korban yang dibunuh.

 

Maka tidak ada kewajiban gishash atas orang tua yang membunuh anaknya sendiri, walaupun anak hingga ke bawah (cucu).

 

Ibn Kajj berkata, “seandainya seorang hakim memutuskan menghukum mati orang tua yang telah membunuh anaknya, maka putusan hukum hakim tersebut batal.”

 

Ke empat, korban yang terbunuh statusnya tidak sebawah status si pembunuh, sebab kafir atau status budak.

 

Sehingga orang muslim tidak boleh dihukum mati sebab membunuh orang kafir harbi, dzimmi atau kafir mu’ahad.

 

Orang merdeka tidak boleh dihukum mati sebab membunuh seorang budak.

 

Seandainya korban yang terbunuh memiliki nilai kekurangan dibanding dengan si pembunuh sebab tua, kecil, tinggi, atau pendek misainya, maka semua itu tidaklah dianggap.

 

Sekelompok orang wajib dihukum mati sebab membunuh satu orang, jika satu orang tersebut sepadan dengan status para pembunuhnya, dan perbuatan masing-masing ‘ dari mereka seandainya hanya sendirian niscaya akan bisa membunuh si korban.

 

Kemudian Sang Pengarang memberi isyarat satu bentuk kaedah dengan perkataan -nya, Setiap dua orang yang bisa berlaku hukum gishash di antara keduanya dalam kasus pembunuhan, maka hukum gishash-pun terlaku di antara keduanya dalam kasus pemotongan anggota badan.

 

Sebagaimana disyaratkan orang yang membunuh harus mukallaf, orang yang memotong anggota badan juga disyaratkan harus mukkalaf,

 

Kalau demikian, orang yang tidak dihukum mati sebab membunuh seseorang, maka tidak berhak dihukum potong sebab memotong anggota orang tersebut.

 

Syarat wajibnya gishash di dalam kasus memotong anggota badan ada dua, setelah mempertimbangkan juga syarat-syarat yang disebutkan di dalam gishash pembunuhan. Salah satunya adalah isytirak (sama) di dalam nama khusus bagi anggota yang dipotong.

 

Sang Pengarang menjelaskan hal itu dengan perkataan-nya, ” anggota sebelah kananda dipotong sebab anggota yang kanan juga, ya’ni anggota sebelah kanan misalnya telinga, tangan, atau kaki harus dipotong sebab memotong sebelah kanan dari anggota-anggota badan tersebut.

 

Dan bagian kiri dari anggota-anggota badan itu berhak dipotong sebab memotong bagian kiri dari anggotaanggota badan tersebut.

 

Kalau demikian, maka anggota sebelah kanan tidak boleh dipotong sebab telah memotong anggota sebelah kiri, dan tidak boleh juga sebaliknya.

 

Yang kedua, salah satu dari dua anggota yang dipotong tidak bermasalah (masih berfungsi). Sehingga tangan atau kaki yang sehat tidak boleh dipotong sebab memotong tangan atau kaki yang syala’.

 

Anggota yang syala’ adalah anggota badan yang sudah tidak berfungsi. Adapun anggota badan yang syala’ berhak dipotong sebab memotong anggota yang sehat menurut pendapat al masyhur.

 

Kecuali jika ada dua orang adil dari ahli khubrah (pakar ahli) yang berkata bahwa : sesungguhnya anggota yang tidak berfungsi tersebut ketika dipotong maka darahnya tidak akan berhenti, bahkan ujung-ujung urat akan terbuka dan tidak bisa tertutup dengan di cos.

 

Di samping hal ini, orang yang berhak atas anggota tersebut mau menerima dan tidak menuntut ganti rugi karena cacatnya anggota tersebut.

 

Kemudian Sang Pengarang memberi isyarat suatu bentuk kaidah dengan perkataan -nya, Setiap anggota badan yang bisa diambil, ya’ni dipotong dari persendian seperti siku dan pergelangan tangan, maka pada anggota tersebut berlaku hukum gishash.

 

Sedangkan anggota yang tidak memiliki persendian, maka tidak berlaku hukum gishash pada anggota badan tersebut. Ketahuilah sesungguhnya luka di kepala dan wajah ada sepuluh macam.

 

Harishah dengan menggunakan huruf-huruf yang tidak memiliki titik. Harishah adalah luka” yang menyobek kulit sedikit.

 

Damiyah, yaitu luka yang mengeluarkan darah di kulit.

 

Badli’ah, adalah luka yang hingga memotong daging.

 

Mutalahimah, yaitu luka yang hingga masuk ke dalam daging.

 

Simhag, yaitu luka yang sampai hingga ke kulit diantara daging dan tulang.

 

Mudlihah, yaitu luka yang hingga menampakkan tulang yang berada di balik daging.

 

Hasyimah, yaitu luka yang hingga memecahkan tulang, baik sampai menampakkan tulang ataupun tidak. Munaggilah, yaitu luka yang memindahkan posisi tulang dari satu tempat ke tempat yang lain.

 

Ma’munah, yaitu luka yang sampal ke kantong otak yang disebut dengan ummu ra’s (pusat kepala).

 

Damighah dengan huruf ghin yang diberi titik satu di atasnya, yaitu luka yang sampai nyobek . kantong otak tersebut dan sampai hingga ke ummu ra’s.

 

Dari sepuluh bentuk luka ini, Sang Pengarang mengecualikan apa yang terangkum di dalam perkataan -nya,

 

Tidak ada hukum gishash di dalam kasus luka, ya’ni luka-luka yang telah disebutkan di atas, kecuali luka mudlihah saja, tidak yang lainya dari sepuluh luka tersebut.

 

MUHIMMAT DALAM KITAB HUKUM-HUKUM JINAYAT

 

  1. Hukuman Mati Bagi Koruptor

 

Al-Muhib At-Thabari berkata dalam kitabnya at-Tafgiih: Boleh membunuh para pegawai pemerintah yang berkuasa yang berbuat dzolim kepada rakyatnya, karena dianalogikan dengan kebolehan membunuh lima ekor binatang yang jahat, sebab bahayanya lebih besar dari-pada bahayanya lima binatang tersebut.

 

  1. Larangan Menyelamatkan Orang Alim, Mengorbankan Orang Bodoh

 

Haram membuang penumpang yang berstatus budak, kafir, orang bodoh, orang yang tidak mulya kedalam lautan dengan tujuan menyelamatkan penumpang yang berstatus orang merdeka, orang islam, orang alim yang ilmunya bagaikan lautan, sekalipun hanya satu orang dan orang yang mulia, karena kesemuanya mempunyai kesamaan, yaitu berstatus dimuliakan oleh Allah Swt sebagai hambanya, walaupun mereka mempunyai perbedaanperbedaan sifat.

 

  1. Hukum Dipaksa Membunuh

 

Keterangan: Ashabuna (Ashabu as-Syafi’i) berbeda pedapat tentang alasan digugurkannya hukum gishos dari orang yang dipaksa untuk membunuh: Menurut Ulama Baghdad: Sesungguhnya dipaksa membunuh adalah termasuk katagori keadaan kabur (Subhat) yang dapat menolak berlakunya hukumanhukuman. Berdasarkan pendapat ini, hukum gishos gugur dari orang yang dipaksa membunuh, dan ia wajib membayar separuh diyat, karena ia adalah salah satu dari dua pembunuh.

 

(Fasal) menjelaskan tentang diyat (denda).

 

Diyat adalah harta yang wajib dibayar sebab telah melukai orang merdeka baik nyawa atau anggota badan.

 

Diyat ada dua macam, mughaladhah (yang berat) dan mukhaffah (yang ringan), dan tidak ada yang ketiga.

 

Diyat mughallah, sebab membunuh laki-laki merdeka yang beragama islam dengan sengaja, adalah seratus ekor onta. Seratus onta tersebut dibagi tiga.

 

Tiga puluh ekor berupa onta hiqqah.

 

Tiga puluh ekor berupa onta jadz’ah.

 

Pengertian kedua onta ini telah dijelaskan di dalam kitab “ZAKAT”.

 

Dan empat puluh ekor berupa onta khalifah. Lafadz khalifah dengan membaca fathah huruf kha’nya yang diberi titik satu di atas, membaca kasrah huruf lamnya, dan menggunakan huruf fa’.

 

Sang Pengarang memberikan penjelasan tentang onta khalifah tersebut dengan perkataan -nya, “di dalam perut onta tersebut terdapat anaknya.”

 

Yang dikehendaki, empat puluh ekor onta tersebut adalah onta-onta yang sedang hamil. Kehamilan onta tersebut bisa ditetapkan dengan ucapan pakar ahli tentang onta.

 

Diyat mukhaffah sebab membunuh laki-laki merdeka yang muslim adalah seratus ekor onta. Seratus dibagi lima.

 

Dua puluh ekor berupa onta higgah, dua puluh ekor berupa onta jadi’ah, dua puluh ekor berupa onta bintu labun, dua puluh ekor berupa onta ibn labun, dan dua puluh ekor berupa onta bintu makhadi, Ketika onta wajib dibayar oleh si pembunuh atau waris ‘agilah, maka onta diambil dari ontanya orang yang wajib membayarnya. ,

 

Jika ia tidak memiliki onta, maka diambilkan dari onta yang paling banyak di kota orang yang hidup di perkotaan, atau pedukuan orang yang hidup di pedesaan.

 

Jika di kota atau desa tersebut tidak ada onta, maka diambilkan dari onta yang paling banyak di kota atau desa yang paling dekat dengan tempat orang yang wajibmembayar diyat. : Kemudian, ketika tidak ada onta, maka Ia beralih mengeluarkan uang seharga onta tersebut.

 

Dalam redaksi Kitab Matan yang lain disebutkan, “jika onta tidak ditemukan, maka beralih mengeluarkan uang seharga onta tersebut.” Ini adalah pendapat di dalam gaul jadid, dan ini adalah pendapat ash shahih.

 

Ada satu pendapat di dalam gaul gadim yang mengatakan, “beralih mengeluarkan seribu dinar, bagi orang yang memiliki emas.

 

Atau beralih membayar dua belas ribu dirham, bagi orang yang memiliki perak.

 

Di dalam semua yang dijelaskan tersebut baik diyat al mughaladhdhah atau diyat al mukhoffah.

 

Wajib membayar separuh diyat sebab memotong salah satu dari keduanya.

 

Wajib membayar lima onta di dalam kasus mudlihah terhadap lelaki muslim yang merdeka, dan dalam kasus giginya.

 

Dan wajib membayar hukumah di dalam kasus menghilangkan setiap anggota yang tidak memiliki manfaat.

 

Hukumoh adalah bagian dari diyat, yang mana nisbat bagian tersebut pada diyatnya nyawa adalah nisbat kurangnya harga korban yang dilukai seandainya ia adalah seorang budak dengan sifat-sifat yang ia miliki.

 

Sehingga, seandainya harga korban sebelum dilukai tangannya misalnya sepuluh, dan setelah dilukai menjadi sembilan, maka | kurangnya adalah sepersepuluh, sehingga ‘ wajib membayar sepersepuluh dari diyatnya nyawa secara utuh.

 

Diyat seorang budak laki-laki yang dilindungi adalah harga budak tersebut, begitu juga diyat budak perempuan, walaupun harga keduanya lebih dari diyatnya orang merdeka.

 

Seandainya penis dan kedua pelir seorang hamba dipotong, maka wajib mengganti dua . harga menurut pendapat al adhhar.

 

Diyat janin (anak yang masih berada didalam rahim ibu/embrio) merdeka yang berstatus islam karena mengikut pada salah satu kedua orang tuanya, jika ibunya adalah wanita yang terjaga saat terjadinya kasus, adalah ghurrah, yani satu orang budak, laki-laki atau perempuan, yang bebas dari cacat yang parah.

 

Budak tersebut disyaratkan harus mencapai separuh sepersepuluhnya diyat secara utuh.

 

Kemudian, jika tidak ada budak, maka wajib membayar gantinya yaitu lima ekor onta.

 

Budak tersebut wajib dibayar oleh waris ‘agilah si pelaku.

 

Diyat janin yang berstatus budak adalah sepersepuluh dari harga ibunya di hari saat sang ibu dilukai.

 

Sesuatu yang wajib dibayarkan menjadi milik majikan si ibu.

 

Di dalam kasus janin yang berstatus yahudi atau nasrani, wajib membayar ghurrah dengan ukuran sepertiga dari ghurrah-nya janin muslim, yaitu satu lebih dua pertiga ekor onta.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum gasamah. Oasamah adalah beberapa sumpah atas pembunuhan.

 

Ketika tuduhan pembunuhan bersamaan dengan Lauts, Lafdz “auts” dengan menggunakan huruf tsa’ yang diberi titik tiga.

 

Lauts secara etimologis adalah lemah. Dan secara terminologis hukum adalah garinah ” (tanda-tanda) yang menunjukkan atas kebenaran penuduh dengan gambaran, garinah/indikas! — tersebut — menimbulkan dugaan atas kebenaran si penuduh di dalam hati.

 

Pada gambaran inilah, Sang Pengarang memberi Isyarat dengan perkataan -nya, “lauts tersebut menimbulkan — dugaan kebenaran si penuduh di dalam hati.” Misalnya korban pembunuhan atau sebagian anggotanya seperti kepalanya ditemukan di dusun yang terpisah dari kota yang besar sebagaimana keterangan di dalam kitab ar Raudlah dan aslinya kitab ar Raudlah.

 

Atau korban ditemukan di desa luas yang dihuni oleh musuh-musuh korban dan tidak ada selain mereka di desa tersebut.

 

Maka penuduh disumpah sebanyak lima puluh kali. Tidak disyaratkan sumpah tersebut diucapkan secara terus menerus menurut al madzhab.

 

Seandainya antara sumpah-sumpah tersebut terpisah oleh gila atau pingsannya orang yang bersumpah, maka setelah sadar ia tinggal meneruskan sisa dari sumpah yang sudah diucapkan, jika qadli yang menjadi juru hukum saat sumpah gasamah yang sudah diucapkan tersebut belum dipecat.

 

Sehingga, jika qadli tersebut telah dipecat dan telah diganti qadli yang lain, maka wajib mengulangi sumpah gasamah-nya lagi.

 

Dan ketika penuduh telah bersumpah, maka ia berhak mendapatkan diyat.

 

Sumpah gasamah tidak berlaku dalam kasus memotong anggota badan.

 

Dan jika di sana tidak terdapat /auts, maka bagi orang yang tertuduh harus bersumpah. maka ia bersumpah sebanyak lima puluh kali. Wajib membayar kafarat bagi orang yang telah membunuh nyawa yang diharamkan secara sengaja, khatha’ atau syibh “amdin. Seandainya si pembunuh adalah anak kecil atau orang gila, maka wali keduanya harus memerdekakan budak dari harta keduanya.

 

Kafaratnya adalah memerdekakan budak mukmin yang selamat dari cacat-cacat yang bisa berbahaya, ya’ni mencacatkan amal dan pekerjaan.

 

Kemudian, jika ia tidak menemukan budak, maka wajib melaksanakan puasa dua bulan dengan perhitungan tanggal secara berturutturut disertai niat kafarat.

 

Tidak disyaratkan niat tatabu’ (berturut-turut) menurut pendapat al ashah.

 

Kemudian, jika orang yang membayar kafarat tidak mampu untuk berpuasa dua bulan karena lanjut usia, terdapat kesulitan yang terlalu berat padanya sebab berpuasa, atau khawatir sakitnya bertambah parah, maka ia wajib membayar kafarat dengan memberi makan enam puluh orang miskin atau fagir.

 

Masing-masing dari mereka ia beri satu mud bahan makanan yang cukup digunakan untuk zakat fitri. Tidak diperbolehkan baginya memberi makan orang kafir, Bani Hasyim dan Bani Muthallib.

 

Lafadz al hudud adalah bentuk jama’ dari lafadz “had”.

 

Had secara etimologis bermakna mencegah. Disebut dengan nama Had, karena bisa mencegah dari melakukan perbuatanperbuatan keji.

 

Sang Pengarang memulai penjelasan macammacam had dengan had zina di dalam pertengahan perkataan -nya.

 

Zina ada dua macam, zina muhshan dan gairu muhshan.

 

Zina muhshan hukumannya adalah diranjam dengan batu yang standar, tidak dengan kerikil kecil dan tidak dengan batu yang terlalu besar.

 

Dan sebentar lagi akan dijelaskan bahwa sesungguhnya orang yang muhshan adalah orang yang sudah baligh, berakal, dan merdeka yang telah memasukkan hasyafah/kepala penisnya atau kira-kira hasyafahnya orang yang terpotong “ hasyafahnya ke vagina di dalam nikah yang sah.

 

Hukuman zina ghairul muhshan dari orang laki-laki atau perempuan adalah seratus kali cambukan.

 

Disebut dengan jaldah, karena pukulan itu mengenai kulit.

 

Dan mengasingkan selama setahun ke tempat yang berjarak masafatul gasri (88 km) atau lebih sesuai dengan kebijakan imam.

.

Masa setahun terhitung dari awal perjalanan orang yang zina, tidak sejak sampainya dia ketempat pengasingan.

 

“ Yang lebih utama pengasingan tersebut setelah hukuman jilid dilaksanakan.

 

Syarat Ihshan ada empat.

 

Yang pertama dan kedua adalah baligh dan berakal. Sehingga tidak ada had bagi anak kecil dan orang gila, bahkan keduanya berhak diberiw pengajaran sopan santun dengan sesuatu yang membuat keduanya jerah untuk melakukan zina.

 

Yang ketiga adalah merdeka. Sehingga budak murni, budak muba’adi, mukatab, dan ummi walad bukan orang yang muhshan, walaupun masing-masing dari mereka pernah melakkan wathi’/hubungan biologis di dalam nikah yang sah.

 

Yang ke empat adalah adanya hubungan biologis dari orang islam atau kafir dzimmi di dalam nikah yang sah.

 

Dan di dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan lafadz, “fi an nikah ash shahih.” Yang kehendaki oleh Sang Pengarang dengan wathi /hubungan biologis adalah memasukkan hasyafah atau kira-kira hasyafahnya orang yang terpotong hasyafahnya ke dalam vagina.

 

Dengan keterangan, “di dalam nikah yang sah,” mengecualikan wathi’/hubungan biologis di dalam nikah yang fasid.

 

Maka ihshan tidak bisa hasil dengan wathi’/hubungan biologis tersebut. Had budak laki-laki dan perempuan adalah separuh had orang merdeka.

 

Sehingga masing-masing dari keduanya dihukum sebanyak lima kali cambukan dan di : asingkan selama setengah tahun.

 

Seandainya Sang Pengarang mengatakan, “orang yang memiliki sifat budak, maka hadnya ….”, niscaya akan lebih baik, karena mencakup budak mukatab, muba’adl, dan ummu walad.

 

Hukum sodomi dan menyetubuhi binatang adalah seperti hukumnya zina.

 

Sehingga, barang siapa melakukan sodomi dengan seseorang, dengan arti mewathinya , pada dubur, maka ia berhak dihad menurut pendapat al madzhab.

 

Dan barang siapa menyetubuhi binatang, maka harus dihad sebagaimana penjelasan Sang Pengarang, akan tetapi menurut pendapat yang kuat sesungguhnya orang – tersebut berhak dita’zir. | Barang siapa mewathi’ wanita lain pada anggota selain vagina, maka ia berhak dita’zir. Bagi imam tidak diperbolehkan menta’zir hingga mencapai minimal had. Bt Sehingga, jika imam menta’zir seorang budak laki-laki, maka di dalam menta’zirnya, wajib kurang dari dua puluh cambukan.

 

Atau menta’zir orang merdeka, maka di dalam menta’zirnya wajib kurang dari empat puluh cambukan, karena sesungguhnya itu adalah batas minimal had masing-masing dari keduanya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HAD

 

1 Definisi Had dan Ta’zir

 

Had menurut syara’ adalah hukuman yang telah ditentukan kadarnya, yang harus dibebankan pada orang yang telah melakukan tindak kejahatan. Karena Syari’ telah menentukan kadarnya, maka tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Dikecualikan dari pengertian tersebut adalah ta’zir, maka sesungguhnya takzir adalah hukuman yang tidak ada ketentuan kadarnya, bahkan diserahkan pada kebijakan Imam.

 

  1. Wanita Diperkosa Tidak dihad

 

Tidak ada had bagi seorang wanita yang dipaksa untuk melakukan perzinaan.

 

  1. Laki-Laki Diperkosa Apakah dihad?

 

Apakah laki-laki yang dipaksa untuk zina mendapatkan had? Maka dalam hal ini ada dua pendapat: 1) Tidak wajib dihad, ini adalah pendapat madzhab Syafi’i. 2) Tetap wajid di-Had,

 

 

(Fasal) menjelaskan tentang gadizaf, Oadzaf secara etimologis adalah menuduh secara mutlak.

 

Dan secara terminologis hukum adalah menuduh zina atas dasar mencemarkan nama baik, agar supaya mengecualikan persaksian zina.

 

Ketika seseorang menuduh orang lain telah berbuat zina seperti ucapannya, “engkau telah zina,” maka ia berhak mendapatkan had gadzaf berupa delapan puluh cambukan sebagaimana yang akan dijelaskan.

 

Lafadz “gadzaf” dengan menggunakan huruf dzal yang diberi titik satu, Hal ini jika memang si penuduh bukan ayah atau ibu orang yang dituduh, walaupun keduanya hingga sampai atas sebagaimana yang akan dijelaskan. dengan delapan syarat.

 

Tiga syarat di antaranya pada orang yang menuduh. Dalam sebagian redaksi Kitab Matan dengan menggunakan lafadz, “tsalatsun.”

 

Yaitu, si penuduh adalah orang yang sudah baligh dan berakal. Sehingga anak kecil dan orang gila tidak berhak dihad sebab keduanya menuduh zina. pada seseorang. Si penuduh bukan orang tua orang yang dituduh.

 

Sehingga, seandainya seorang ayah atau ibu walaupun keduanya hingga ke atas menuduh zina terhadap anaknya walaupun hingga ke bawah, maka ia tidak berhak mendapat had.

 

Dan lima syarat pada magdzuf (orang yang dituduh|.

 

Yaitu, orang yang dituduh adalah orang islam, baligh, berakal, merdeka dan terjaga dari zina. Sehingga tidak ada hukum had sebab seseorang menuduh zina pada orang kafir, anak kecil, orang gila, budak atau orang yang pernah melakukan zina.

 

Orang merdeka yang menuduh zina dihukum had sebanyak delapan puluh cambukan.

 

Dan seorang budak -yang menuduh zinamendapat had empat puluh cambukan.

 

Had gadzaf menjadi gugur dari orang yang menuduh sebab tiga perkara, Salah satunya mendatangkan saksi, baik yang dituduh adalah orang lain atau istrinya sendiri. Yang kedua disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “atau orang yang dituduh memaafkan”, ya’ni pada orang yang menuduh. Yang ketiga disebutkan di dalam perkataan – nya, “melakukan sumpah li’an di dalam haknya istri.”

 

Lian telah dijelaskan di dalam perkataan Sang Pengarang, “fasal, ketika seseorang menuduh

 

MUHIMMAT DALAM BAB QADZAF

 

Ucapan “Kamu Bukan Anak-Ku”

 

Dan sebagian dari kesalahan yang sering dilakikan oleh seorang laku-laki (pada anaknya) adalah ucapanya, “kamu bukan anakku”. Maka menurut ahlul ilmu: Ucapan itu dianggap gadzaf pada ibunya.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum minuman keras dan menjelaskan had yang terkait dengan meminumnya.

 

Barang siapa meminum arak, yaitu minuman yang dibuat dari perasaan anggur basah, atau meminum minuman yang memabukkan dari selain arak seperti nabidz yang terbuat dari anggur kering, maka si peminum tersebut dihukum had.

 

Jika dia orang merdeka, maka dihad sebanyak empat puluh cambukan. Dan jika budak, maka dihad sebanyak dua puluh cambukan.

 

Bagi imam diperbolehkan memberi hukuman had hingga delapan puluh cambukan. Lebihan dari empat puluh cambukan pada orang merdeka dan dari dua puluh cambukan pada budak adalah bentuk ta’zir.

 

Ada yang mengatakan bahwa kelebihan dari had yang telah disebutkan tersebut adalah had.

 

Berdasarkan pada pendapat ini, maka tidak diperbolehkan mengurangi dari tambahan tersebut.

 

Had ditetapkan kepada orang yang meminum minuman keras dengan salah satu dua perkara.

 

Yaitu dengan saksi, ya’ni dua laki-laki yang bersaksi atas perbuatan seseorang yang meminum minuman yang telah disebutkan. Atau pengakuan dari orang yang meminum bahwa sesungguhnya ia telah meminum minuman keras.

 

Sehingga had tidak bisa ditetapkan dengan persaksian satu laki-laki dan satu perempuan, tidak dengan persaksian dua wanita, tidak dengan sumpah yang dikembalikan -pada penuduh-, tidak dengan pengetahuan sang qadli dan tidak juga dengan pengetahuan selain gadi.

 

Orang yang meminum juga tidak bisa dihukum had sebab memuntahkan minuman keras dan sebab istinka’, ya’ni dengan gambaran dari dia tercium bau arak.

 

MUHIMMAT DALAM BAB MINUMAN KERAS

  1. Dasar Keharaman Khomer

 

Keterangan: Status hukum mengkonsumsi minuman keras adalah haram menurut konsensus Ulama, dan tergolong sebagian dari dosa besar, dan umat islam pada awalanya masih mengkonsumsi minuman keras. Menurut satu pendapat hal itu karena melanggengkan (istish-hab) kebiasaan sebelum islam, namun menurut al-Ashoh hai itu dengan berdasarkan wahyu. Kemudian menurut gil diperbolehkan mengkonsumsinya pada saat itu hanya sebatas mencicipi yang tidak memabukkaan, yang tidak mengakibatkan hilangnya akal, karena hilangnya akal hukumnya adalah haram menurut semua agama.

 

  1. Keharaman Sesuatu yang Memabukkan Banyak

 

Apabila seseorang mengakui bahwa ia tidak bedampak dari segi apapun didalam mengkonsumsi makanan yang memabukkan, maka semestinya hai tersebut diharamkan kepadanya dari sudut pandang menyia-nyiakan harta, karena tidak ada perbedaan pendapat diantara para Ulama didalam haramnya menyia-nyiakan harta, baik dibuang kelautan, dibakar maupun yang lain, dari bentuk-bentuk merusak harta benda.

 

  1. Memabukkan Pandangannya Adalah Umumnya Manusia

 

Sedangkan tidak adanya bahaya itu apakah yang dijadikan tolak ukur adalah pemakainya?, Sehingga apabila ia mengkonsumsinya dengan kadar tertentu, maka tidak membahayakan dirinya karena sudah terbiasa (telah kebal), tapi kadar itu dapat membahayakan kepada yang lain, maka apakah hal itu tidak diharamkan kepadanya? Ataukah yang dibuat tolak ukur adalah umumnya manusia?. Sehingga hal tersebut tetap haram walaupun tidak membahayakan pada dirinya. Maka menurut pendapat yang mendekati kebenaran adalah umumnya manusia.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum memotong anggota badan pencuri.

 

Sarigah secara etimologis adalah megambil harta dengan sembunyi-sembunyi.

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah mengambil harta dengan sembunyi-sembunyi secara dhalim dari hirzi mitsli-nya (tempat penyimpannya barang yang sesamanya).

 

Tangan si pencuri berhak dipotong dengan tiga syarat. Dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “dengan enam syarat.” Yaitu, si pencuri adalah orang yang sudah baligh, berakal, dan atas kemauan sendiri, baik dia orang islam atau orang kafir dzimmi.

 

Sehingga tidak ada hukum potong tangan terhadap anak kecil, orang gila, dan orang yang dipaska.

 

Tangan orang islam dan orang kafir dzimmi berhak dipotong sebab mencuri harta orang  muslim atau orang kafir dzimmi.

 

Adapun orang kafir mu’ahad, maka tidak ada hukum potong tangan atas dirinya menurut pendapat al adhhar.

 

Apa yang telah disebutkan di depan adalah syarat orang yang mencuri. Sang Pengarang menyebutkan syarat hukum potong tangan ditinjau dari barang yang dicuri di dalam perkataan -nya,

 

Pelaku mencuri barang yang telah mencapai nishab sarigah, yang harganya telah mencapai seperempat dinar, ya’ni dinar murni yang dicetak, atau mencuri barang campuran dengan emas yang mena kadar emas murninya telah mencapai seperempat dinar yang dicetak atau seharga dengan itu, dari tempat penyimpanan barang sesamanya.

 

Jika barang yang dicuri berada di area bebas (shahra’), masjid, atau jalan, maka di dalam penjagaannya disyaratkan selalu diperhatikan.

 

Jika barang yang dicuri berada di dalam gedung seperti rumah, maka cukup pengawasaan yang biasa dilakukan pada  barang sesamanya.

 

Pakaian dan barang yang diletakkan seseorang di dekatnya di area bebas misalnya, jika ia : mengawasi dengan memandang pada barang tersebut waktu demi waktu, dan di sana tidak dalam keadaan berdesakan, maka barang tersebut dianggap berada di tempat penjagaan semestinya.

 

 Jika tidak demikian, maka belum terjaga di tempat yang semestinya.

 

Syarat orang yang mengawasi adalah ia mampu mencegah pencuri. Di antara syarat-syarat barang yang dicuri adalah sesuatu yang disebutkan oleh Sang “ Pengarang di dalam perkataan -nya, Tidak ada hak milik dan tidak ada syubhat bagi si pencuri di dalam hartanya orang yang ia curi.

 

Sehingga tidak ada hukum potong tangan sebab mencuri harta orang tua dan anak si pencuri, Dan tidak juga sebab seorang budak mencuri harta majikannya.

 

Tangan kanan si pencuri di potong dari persendian pergelangan tangan setelah memisahkannya dengan tali yang ditarik dengan keras.

 

Tangan kanan dipotong pada pencurian pertama.

 

Kemudian, jika pelaku mencuri yang kedua setelah tangan kanannya dipotong, maka kaki kirinya dipotong dengan besi yang tajam sekali tebas setelah memisahkannya dari persendian telapak kaki.

 

Kemudian, jika ia mencuri untuk ketiga kalinya, maka tangan kirinya dipotong setelah memisahkannya dari persendian.

 

Kemudian jika ia mencuri untuk ke empat kalinya, maka kaki kanannya dipotong setelah memisahkannya dari persendian telapak kaki sebagaimana yang dilakukan pada kaki kirinya.” Tempat bekas potongan dimasukkan ke miyak zait atau minyak yang mendidih.

 

Kemudian jika setelah itu, ya’ni setelah yang ke empat, ia mencuri lagi, maka ia berhak dita’zir. Ada yang mengatakan bahwa ia dihukum mati dengan cara pelan-pelan.

 

Hadits yang menjelaskan perintah membunuh pencuri pada pencurian yang kelima telah di batalkan/dihapus hukumnya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB PENCURIAN

 

  1. Penyimpanan Harta Dikembalikan Pada Adat

 

Setiap sesuatu yang tidak ada ketentuan dari hukum syara’ dan lughat arabi, maka dikembalikan pada urf (adat kebiasaan) seperti tempat penyimpanan harta benda di dalam masalah pencurian, hal Itu jelas berbeda-beda sesuai dengan perbedaan harta benda, keadaan dan waktu, situasi dan kondisi.

 

  1. Sarigah Adalah Haggullah dan Haggul Adam ,

 

Keterangan: Hak-hak yang besifat umum yang berkaitan dengan hak Allah dan hak adami adalah pencurian. Kewajiban memotong tangan yang disebabkan mencuri adalah termasuk sebagian dari hak Allah yang bersifat murni, sedangkan kewajiban mengganti rugi harta yang dicuri adalah termasuk sebagian hak adami yang bersifat murni.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum gathi’ ath harig.

 

 Disebut demikian karena manusia enggan melewati jalan sebab takut padanya. Oathi’ ath tharig adalah orang islam mukallaf yang memiliki kekuatan.

 

Maka Tidak disyaratkan harus ‘laki-laki atau lebih dari satu. Dengan bahasa “gathi’ ath tharig””, mengecualikan penjambret yang mengincar rombongan yang paling belakang dan mengandalkan lari.

 

Qathi’ ath thariq ada empat bagian.

 

Yang pertama disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “jika mereka (para begal) . membunuh orang sepadan, ya’ni dengan sengaja dan dhalim, dan tidak mengambil harta, maka mereka harus dihukum mati.

 

Dan jika mereka membunuh dengan tidak sengaja, syibh “amdin atau membunuh orang , yang tidak sepadan, maka mereka tidak dihukum mati.

 

Yang kedua disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “jika mereka membunuh dan – mengambil harta, ya’ni harta yang mencapai nishab sarigah atau lebih, maka mereka harus dihukum mati dan disalib di atas kayu dan . sesamnya, akan tetapi setelah mereka dimandikan, dikafani dan disholati.

 

Yang ketiga disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “jika mereka mengambil harta dan tidak sampai membunuh, ya’ni mengambil harta yang mencapal nishab sarigah atau lebih dari tempat penjagaan semestinya dan tidak ada unsur syubhat bagi mereka dalam harta tersebut, maka tangan dan kaki mereka dipotong selang seling Ya’ni, pertama tangan kanan dan kaki kiri mereka dipotong. Jika mengulangi lagi, maka tangan kiri dan kaki kanannya mereka dipotong.

 

Jika tangan kanan atau kaki kirinya tidak ada, maka dicukupkan dengan yang ada menurut pendapat al ashah. Yang ke empat disebutkan di dalam perkataan

 

Sang Pengarang, “jika mereka hanya menakut: nakuti orang-orang yang lewat di jalan tanpa mengambil harta dari mereka dan tidak membunuh siapapun, maka mereka dipenjara di selain daerah mereka dan dita’zir, ya’ni imam memenjarakan dan menta’zir mereka.

 

Barang siapa dari mereka telah bertaubat sebelum tertangkap oleh imam, maka hukumhukum had gugur dari dirinya, ya’ni hukumanhukuman yang khusus dengan gathi’ ath tharig.

 

Hukuman tersebut adalah kewajiban membunuh, mensalib, memotong tangan dan ,. kakinya. Dan tidak gugur had-had yang lain yang menjadi haknya Allah Ta’ala seperti zina dan ‘ mencuri setelah bertaubat.

 

Dari perkataan Sang Pengarang, “hak-hak dengan anak Adam seperti yang berhubungan gishash, had gadzaf, dan mengembalikan harta, di ambil kembali,” dapat diambil pemahaman bahwa sesungguhnya semua bentuk hak-hak tersebut tidak bisa gugur dari “gathi’ ath thari sebab ia telah bertaubat, dan «. hukum yang benar memang demikian.

 

MUHIMMAT DALAM BAB BEGAL JALANAN

 

Pembajakan Pesawat dan Penyanderaan Tawanan

 

Sebagian dari macamnya begai jalan pada zaman ini adalah penyanderaan sebagai tawanan, dan pembajakan pesawat.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum shiyal dan kerusakan yang dilakukan binatang.

 

Barang siapa hendak disakiti badan, harta, atau wanitanya, misalnya ada seseorang yang hendak berbuat jahat padanya, ia hendak membunuhnya, mengambil hartanya walaupun hanya sedikit, atau menodahi wanitanya, kemudian ia mempertahankan diri, harta atau wanitanya, dan ia membunuh orang yang melakukan hal tersebut karena untuk menolak kejahatannya, maka bagi dia tidak wajib memberi ganti rugi dengan ‘ gssnash, dryat dan tidak juga dengan kafarat.

 

 Orang yang naik binatang tunggangan, baik Ia adalah pemiliknya, meminjam, menyewa atau mengghasabnya, maka dia wajib mengganti barang yang telah dirusak oleh hewan tunggangannya.

 

Baik kerusakan tersebut dengan kaki depan, kaki belakang atau yang lainnya.

 

Seandainya hewan tunggangannya kencing atau berak di jalan kemudian hal itu menyebabkan nyawa atau harta menjadi rusak, maka tidak ada beban ganti rugi pada dirinya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SHIYAL

 

Boleh Membalas Caci Maki Orang Lain

 

Apabila seseorang mencaci“maki orang lain, maka baginya (yang icaci) diperbolehkan membalas cacian itu sesuai kadarnya, selama cacian itu tidak ada unsur tuduhan zina dan mengutuk.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum bughat.

 

Bughat adalah sekelompok orang muslim yang menentang imam yang adil.

 

Bentuk kalimat mufradnya lafadz “bughat” adalah “baghin” dari masdar “al baghyi” yang mempunyai arti perbuatan dhalim.

 

Para pemberontak berhak diperangi, ya’ni imam berhak memerangi mereka dengan tiga syarat.

 

Lafadz “yugatalu” dengan membaca fathah huruf sebelum yang terakhir. Salah satunya adalah mereka mempunyai kekuatan.

 

Dengan gambaran mereka memiliki kemampuan menyerang dengan kekuatan, pasukan dan pemimpin yang dipatuhi oleh mereka, walaupun panutan tersebut bukan orang yang mereka angkat sebagai imam.

 

Sekira dalam mengembalikan mereka untuk patuh pada pemerintahan yang sah, imam. yang adil butuh berusaha keras dengan’ mengeluarkan biaya dan mengerahkan pasukan.

 

Sehingga jika pemberontak itu hanya segelintir orang yang mudah untuk ditaklukkan, maka mereka bukan dinamakan bughat. Yang kedua, mereka keluar dari kekuasaan imam yang adil.

 

Adakalanya dengan tidak patuh padanya, atau mencegah hak yang tertuju pada mereka. Baik hak tersebut berupa harta atau yang lainnya seperti had dan gishash.

 

Yang ketiga mereka, ya’ni bughat, memiliki alasan mendasar, ya’ni masih bisa diterima sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian al ashhab.

 

Seperti tuntutan ahli Shiffin atas nyawa Sayidina Utsman Ra karena mereka meyaaini  bahwa sesungguhnya Sayidina “Ali Ra mengetahui orang yang membunuh Sayidina Utsman.

 

Sehingga, jika alasan mereka sudah dipastikan salah, maka alasannya tidak bisa dianggap, bahkan dia adalah orang yang menentang kebenaran.

 

Bagi imam tidak diperbolehkan memerangi bughat kecuali setelah mengutus seseorang ” yang dapat dipercaya dan cerdas pada mereka untuk menanyakan apa sebenarnya yang membuat mereka tidak suka.

 

Kemudian, jika mereka mengatakan pada utusan tersebut suatu bentuk kedhaliman yang menjadi penyebab mereka tidak patuh terhadap sang imam, maka imam harus menghilangkannya.

 

Dan jika mereka tidak menyebutkan sesuatu, atau mereka tetap tidak mau kembali patuh  setelah bentuk kedhaliman tersebut dihilangkan, maka sang imam menasihati mereka, kemudian memberitahukan bahwa mereka akan diperangi.

 

Tawanan dari pihak bughat tidak boleh dibunuh.

 

Namun, ketika ada seorang adil yang membunuhnya, maka tidak hokum gishas baginya menurut pendapat al ashah.

 

Tawanan dari mereka tidak boleh dilepaskan walaupun berupa anak kecil atau wanita kecuali peperangan telah selesai dan pasukan mereka bercerai berai. ” Kecuali jika tawanan mereka mau tunduk atas kemauan sendiri dengan mengikuti sang Imam.

 

Dan harta mereka tidak boleh dijarah.

 

Senjata dan kendaraan mereka dikembalikan pada mereka setelah pertempuran selesai dan serangan mereka sudah dirasa aman sebab mereka bercerai berai atau telah kembali taat kepada imam.

 

Mereka tidak boleh diperangi dengan senjata berat seperti api dan manjanig. Je Kecuali karena keadaan dlarurat, maka mereka boleh diperangi dengan alat-alat tersebut seperti mereka memerangi kita dengan alat tersebut atau mengepung kita.

 

Korban luka mereka tidak boleh dihabisi sekalian. Tadzfif adalah menyempurnakan pembunuhan dan mempercepat.

 

MUHIMMAT DALAM BAB BUGHAT (PEMBERONTAK)

.

  1. Dalil Haramnya Pembrontak

 

Hukum membrontak kepada imam adalah haram, karena berdasarkan sabda Nabi Saw: Barang siapa melepaskan tangannya dari mentaati imamnya, maka Sesungguhnya ia akan datang kelak di hari kiamat dalam keadaan. tidak mempunyai argumentasi (hujjah) yang membenarkan dirinya. Dan barang siapa meninggal dunia dalam keadaan memisahkan diri dari jamaah umat islam, maka ia meninggal dunia seperti meninggal di masa jahiliah.

 

  1. Pemerintah & Semua Lapisan Masyarakat Harus Menghentikan Bughot

 

Seorang imam atau penguasa wajib memerangi para pemberontak berdasarkan pada konsensus dari para shahabat, dan juga wajib atas ummat islam yang dekat pada mereka membantu imam didalam memerangi para pemberontak, sehingga kekuatan mereka menjadi pudar.

 

  1. Perbedaan Memerangi Musyrik dan Bughot

 

Bughot adalah golongan yang keluar dari “aturan Imam, dengan tujuan untuk mencopot imam atau tidak mau taat padanya, atau mereka menolak untuk melaksanakan kewajiban, dengan sebuah alasan yang kuat. Maka dengan adanya alasan yang kuat inilah mereka dibedakan dengan orang kafir harbi (kafir yang wajib untuk diperangi).

 

  1. Imam Fasiq Tetap Haram Memberontak

 

Menurut pendapat yang kuat dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dan madzhab Syi’ah Zaidiyah: Haram hukumnya keluar dari pemerintahan yang sah, walaupun dipimpin oleh penguasa yang dholim, walaupun keluarnya dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum murtad.

 

Murtad adalah bentuk kekafiran yang paling jelek.

 

Makna murtad secara etimologis adalah kembali dari sesuatu pada sesuatu yang lain.

 

Adapun secara terminologis hukum adalah memutus islam dengan niat, ucapan atau perbuatan kufur seperti sujud kepada berhala. Semua itu baik atas dasar meremehkan, menentang atau menyagini seperti orang yang menyagini baru datangnya Sang Pencipta. –

 

Barang siapa yang murtad meninggalkan agama islam, laki-laki atau perempuan seperti orang yang mengingkari wujudnya Allah, mendustakan satu rasul dari rasul-rasuinya Allah, menghalalkan perkara yang diharamkan secara ijma’ (consensus ulama’) seperti zina dan minum arak, atau mengharamkan perkara yang halal secara ijma’ (consensus ulama’) seperti nikah dan jual beli, maka ia wajib disuruh bertaubat dengan seketika menurut gaul al ashah dalam dua perkara tersebut (wajib disuruh bertaubat dan seketika).

 

Sedangkan mugabil al ashah (pendapat pembanding al ashah) dalam permasalahan yang pertama adalah sesungguhnya orang tersebut sunnah disuruh bertaubat.

 

Dan dalam . permasalahan kedua adalah sesungguhnya orang tersebut diberi tenggang waktu tiga, ya’ni hingga tiga hari.

 

Jika orang tersebut mau bertaubat dengan kembali kepada islam dengan cara mengikrarkan diri dengan mengucapkan dua kalimat syahadat secara tertib dengan mengucapkan iman kepada Allah pertama kali kemudian kepada rasul-Nya.

 

Sehingga, jika ia membalik (mengucapkan iman kepada Rosulullah lalu kepada Allah), maka tidak sah ikrar syahadatnya sebagaimana yang diungkapkan imam an Nawawi di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab di dalam pemetimologisn niat wudlu’.

 

Jika tidak, ya’ni jika orang murtad tersebut tidak mau bertaubat, maka ia berhak dibunuh, ya’ni imam membunuhnya jika ia adalah orang merdeka dengan memenggal lehernya tidak dengan membakarnya dan sesamanya. Sehingga, jika selain imam membunuh orang murtad tersebut, maka orang tersebut berhak dita’zir.

 

Dan jika orang murtad tersebut adalah budak, maka bagi majikannya diperbolehkan membunuhnya menurut pendapat al ashah. Kemudian Sang Pengarang menyebutkan hukum memandikan orang murtad dan yang lainnya di dalam perkataan -nya,

 

Dan orang murtad tersebut tidak wajib dimandikan, tidak boleh dishalati dan tidak boleh dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.

 

MUHIMMAT DALAM BAB MURTAD

 

Hukum Ucapan-nya JIL (Jaringan Islam Liberal) .

 

Sebagian perkataan yang engandung pelecehan terhadap agama Islam adalah, mengutuk dan mencaci maki agama Islam. Demikian pula termasuk perkataan yang jelek adalah perkataan sebagian mereka: “Islam adalah agam yang stagnasi, karena tidak memberi kebebasan pada seorang wanita, dan berlaku dzalim kepadanya”. Dan kata-kata seperti ini tidak akan keluar, kecuali dari orang yang bodoh atau orang yang melecehkan pada agama Islam.

 

Selain Sang Pengarang menyebutkan hukum tarikus shalat (orang yang meninggalkan – sholat) di dalam permasalahan ubudiyah (ibadah). Sedangkan Sang Pengarang menyebutkannya di sini, -nya berkata:

 

(Fasal) orang yang meninggalkan sholat yang telah diketahui ada dua macam, dan bisau diarahkan terhadap meninggalkan salah satu dari sholat lima waktu saja.

 

Salah satunya, seseorang meninggalkan sholat dan ia adalah orang mukallaf dan tidak meyagini terhadap kewajiban shalat tersebut, maka hukumnya, ya’ni orang yang meninggalkan shalat tersebut — adalah hukumnya orang murtad, dan baru saja dijelaskan hukumnya.

 

Yang kedua adalah ia meninggalkan sholat karena malas hingga waktu shalat tersebut keluar, namun ia tetap meyagini kewajibannya, maka orang seperti ini disuruh bertaubat.

 

Sehingga, jika ia mau bertaubat melaksanakan sholat, -maka hukumnya jelas-.

 

Dan ini adalah penjelasan cara taubat. Jika tidak, ya’ni jika ia tidak mau bertaubat, maka berhak dibunuh sebagai hukuman had ” bukan karena kufur.

 

Dan orang ini hukumnya adalah orang islam di dalam masalah dimakamkan di pemakaman muslimin dan makamnya tidak boleh dihilangkan.

 

MUHIMMAT DALAM BAB MENINGGALKAN SHALAT

 

  1. Wajib Membunuh Wali yang Meninggalkan Shalat

 

Keterangan: Imam al-Ghozali berkata: Seseorang yang mengaku wali, namun ia menggugurkan kewajiban sholat (meninggalkan sholat) atau menghalalkan minum arak, maka ia wajib dibunuh sekalipun hukum masuk Neraka selamanya baginya masih belum ada kesepakatan pendapat. Bahkan membunuh satu dari mereka lebih baik dari pada membunuh seribu orang kafir, karena bahayanya lebih besar.

 

  1. Khilafnya Ulama Tentang Kafirnya Orang yang Meninggalkan Shalat

 

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat (dengan meyakini bahwa shalat itu wajib):

 

  1. Menurut madzhab Syafi’i dan Malik: Darahnya halal dan boleh dibunuh, namun tidak dihukumi kafir.

 

  1. Madzhab Abi Hanifah dan Imam al-Muzani: Darahnya terjada dan tidak boleh dibunuh, namun ia dipukul dari setiap shalat fardhu yang ditinggalkan, sebagi bentuk ta’zir dan mengajari tatakrama.

 

  1. Madzhab Ahmad bin Hanbal, Imam Ishag bin Rahawih: la dihukumi kafir sebagiamana orang yang ingkar akan wajibnya shalat, dan berlaku baginya hukum-hukum riddah.

 

Hukum jihad DI masa Rasulullah Saw setelah hijrah adalah fardlu kifayah (kewajiban secara kolektif).

Sedangkan setelah masa -nya, maka kaum kafir memiliki dua keadaan. Salah satunya adalah mereka berada di daerahnya sendiri.

 

Maka hukum jihad adalah fardiu kifayah bagi kaum muslimin di dalam setiap tahun.

 

Sehingga, ketika sudah ada orang yang melakukannya dan ia bisa mencukupi, maka hukum dosa gugur dari yang lainnya. Kedua, orang-orang’Kafir masuk ke salah satu daerah kaum muslimin, atau mereka berada di dekat daerah tersebut, maka ketika demikian, hukum jihad adalah fardlu ‘ain (kewajiban ‘ secara individu/perssonal) bagi kaum muslimin.

 

Sehingga, bagi penduduk daerah tersebut wajib menolak kaum kafir dengan apapun yang mereka bisa.

 

Syarat wajibnya jihad ada tujuh perkara.

 

Pertama adalah islam, sehingga tidak wajib jihad bagi orang kafir.

 

Yang kedua adalah baligh, sehingga tidak wajib jihad bagi anak kecil.

 

Yang ketiga adalah berakal, sehingga tidak wajib jihad bagi orang gila.

 

Yang ke empat adalah merdeka, sehingga tidak wajib jihad bagi seorang budak walaupun majikannya memerintahkan, dan walaupun dia adalah budak muba’adl. Dan tidak wajib pula bagi budak mudabbar dan budak mukatab.

 

Yang kelima adalah laki-laki, sehingga tidak wajib jihad bagi orang perempuan dan » khuntsa musykil (waria yang masih belum jelas status kelaminnya).

 

Yang ke enam adalah sehat, sehingga tidak wajib jihad bagi orang yang sakit yang / menghalanginya untuk berperang dan naik kendaraan kecuali dengan menanggung kesulitan yang berat seperti demam yang terus menerus.

 

Yang ke tujuh adalah mampu berperang sehingga tidak wajib jihad bagi orang yang tangannya terpotong misalnya, dan tidak wajib jihad bagi orang yang tidak menemukan/memiliki bekal berperang seperti senjata, kendaraan dan nafagah.

 

Tawanan dari pihak kaum kafir ada dua kelompok :

 

Satu kelompok adalah kelompok yang tidak ada hak bagi imam untuk memilih kebijakan, bahkan mereka langsung menjadi budak dengan penawanan tersebut. Dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan lafadz “yashiru” sebagai ganti dari lafadz “yakunu”. Mereka adalah anak-anak kecil dan para wanita, ya’ni anak-anak kecil dan para wanita dari pihak kaum kafir.

 

Kaum khuntsa/waria dan orang-orang gila disamakan dengan mereka. «

 

Dengan keterangan “pihak kaum kafir”, mengecualikan para wanitanya kaum muslimin. Karena sesungguhnya penawanan tidak bisa diberlakukan pada kaum muslimin. Dan satu kelompok adalah kelompok yang tidak langsung menjadi budak dengan penawanan tersebut.

 

Mereka adalah orang-orang kafir asli yang lakilaki, baligh, merdeka dan berakal. | Bagi imam diperbolehkan memilih kebijakan pada mereka di antara empat perkara :

 

Salah satunya adalah membunuh dengan memenggal leher tidak dengan membakar dan menenggelamkan misalnya.

 

Yang kedua adalah menjadikan budak. Hukum mereka setelah dijadikan budak adalah seperti . hukum harta-harta ghanimah (harta rampasan . perang). “ Yang ketiga adalah memberi anugerah kepada mereka dengan membebaskan jalan mereka. Yang ke empat adalah meminta tebusan adakalanya dengan harta atau dengan kaum laki-laki, ya’ni dengan tawanan dari kaum muslimin.

 

Uang tebusan mereka hukumnya seperti harta rampasan yang lain. v Satu orang kafir boleh ditebus dengan satu orang islam atau lebih, dan boleh beberapa orang kafir ditebus dengan satu orang muslim. Dari semua itu, sang imam melakukan apa yang mendatangkan kemaslahatan/kebaikan pada kaum muslimin.

 

Sehingga, Jika yang lebih bermanfaat masih samar bagi sang imam, maka Ia menahan para tawanan tersebut hingga jelas baginya mana yang paling bermanfaat kemudian ia lakukan. Dengan keterangan saya di depan “kafir asli”, mengecualikan pasukan kafir yang tidak asli seperti orang-orang murtad, maka sang Imam menuntut mereka agar masuk islam. Sehingga, jika mereka tidak mau melakukannya, maka sang imam membunuhnya.

 

Barang siapa dari pihak kafir yang telah masuk islam sebelum tertangkap, ya’ni tertangkap oleh imam, maka harta, nyawa, dan anak-anak , kecil mereka harus dijaga dari penawanan. Anak-anak kecil tersebut dihukumi islam sebab islamnya orang tua mereka karena mengikut padanya, berbeda dengan anak-anak mereka yang sudah baligh, maka status islam orang tua mereka tidak bisa melindungi mereka. islamnya kakek juga bisa melindungi cucu mereka yang masih kecil.

 

Islamnya laki-laki kafir tidak bisa melindungi istrinya dari hak untuk dijadikan sebagai budak walaupun istrinya tersebut dalam keadaan hamil.

 

Sehingga, ketika sang istri menjadi budak, maka status pernikahannya menjadi terputus seketika.

 

Anak kecil dihukumi islam ketika terdapat tiga sebab.

 

Salah satunya adalah salah satu dari kedua orang tuanya masuk Islam, maka anak tersebut dihukumi islam karena mengikuti kepada orang tuanya.

 

Adapun anak yang baligh dalam keadaan gila, atau baligh dalam keadaan berakal namun kemudian gila, maka ia seperti anak kecil.

 

Sebab kedua disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “atau anak kecil tersebut ditawan oleh orang islam ketikaa Ia tidak bersamaan dengan kedua orang tuanya.” Sehingga, jika anak kecil tersebut ditawan bersama dengan salah satu kedua orang tuanya, maka sang anak tidak mengikuti agama orang yang menawannya.

 

Maksud dari keberadaan sang anak bersama dengan salah satu dari kedua orang tuanya adalah mereka berada dalam satu pasukan dan ghanimah yang satu juga, tidak harus orang yang memiliki keduanya adalah orang satu.

 

Seandainya anak kecil tersebut ditawan oleh orang kafir dzimmi dan ia membawa anak tersebut ke daerah islam, maka sang anak tidak dihukumi islam menurut pendapat al ashah.

 

Bahkan anak tersebut mengikuti agama orang yang menawannya.

 

Sebab yang ketiga disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “atau anak kecil yang ditemukan terlantar di daerah islam, walaupun di sana ada penduduk kafir dzimmi. Maka sesungguhnya anak tersebut adalah muslim.”

 

Begitu juga -hukumnya muslimseandainya anak kecil tersebut ditemukan terlantar di daerah kafir dan di sana ada penduduk muslimnya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB JIHAD

 

  1. Umat Islam Wajib Belajar Senjata Perang

 

Kaum muslimin berkewajiban untuk belajar pengetahuan tentang macammacam senjata perang dengan berdasarkan isyarat dari firman Allah Swt: “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”. Dan Rasulullah Saw mentafsiri kata “al-Quwwah” dengan sabdanya: “Ingatlah sesungguhnya al-Guwwah adalah ar-ramyu”. Kata ar-ramyu di dalam konteks masakini adalah memasukkan semua bentuk senjata perang.

 

  1. Definisi Jihad

 

Kata al-Jihad menurut termonolgi syariat islam adalah: mencurahkan segala kemampuan dalam menegakkan masyarakat Islami dan agar menegakkan kalimat Allah itu maha mulia, serta agar syariat Allah dapat dilaksanakan seluruh penjuru dunia.

 

 

(Fasal!) di dalam menjelaskan hukum-hukum salab dan pembagian ghanimah.

 

Barang siapa membunuh seseorang dari pihak kafir, maka ta berhak diberi harta salab kafir tersebut. Lafadz “solab” dengan membaca “ fathah huruf lamnya.

 

Dengan syarat orang yang membunuh adalah orang muslim, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak, imam telah mensyaratkan salab itu padanya ataupun ‘ tidak.

 

Salab adalah pakaian yang dikenakan oleh orang yang terbunuh, sepatu muzah, ar ran yaitu sepatu muzah yang tanpa alas kaki dan , dikenakan pada betis saja (kaos kaki), peralatan perang, kendaraan yang ia gunakan bertempur atau ia pegang kendalinya, pelana, alat kendali, penutup tunggangan, gelang, kalung, sabuk yang digunakan mengikat perut, cincin, bekal nafagah yang ada bersamanya, dan kuda serepan yang digiring bersamanya.

 

Sang pembunuh hanya dapat berhak salab-nya orang kafir ketika ia melakukan hal yang membahayakan dirinya dalam membunuh orang kafir tersebut saat pertempuran.

 

Sekira dengan melakukan hal tersebut ia mampu menahan bahaya orang kafir tersebut.

 

Sehingga, seandainya ia membunuh orang kafir tersebut saat si kafir dalam keadaan “ tertawan, tidur, atau ja membunuhnya setelah pasukan kafir melarikan diri, maka ia tidak berhak mendapatkan salah orang kafir tersebut.

 

Mencegah bahaya orang kafir adalah menghilangkan kekuatannya, seperti membutakan kedua matanya, memotong kedua tangannya atau kedua kakinya. Ghanimah secara etimologis adalah diambil dari lafadz “al ghanmi” yang mempunyai makna laba/untung.

 

Adapun secara terminologis hukum adalah harta yang dihasilkan oleh kaum muslimin dari kaum kafir harbi dengan pertempuran dan mengerahkan pasukan berkuda atau onta. sd Dengan keterangan “ahli harbi”, mengecualikan harta yang dihasilkan dari orang-orang murtad, maka sesungguhnya harta tersebut adalah harta fai’ bukan ‘ ghanimah.

 

Setelah itu, ya’ni setelah mengeluarkan salab dari ghanimah, maka ghanimah dibagi menjadi seperlima.

 

Empat seperlimanya, dari barang yang tidak bergerak dan barang yang bisa dipindahkan, diberikan kepada orang-orang yang hadir di medan perang, dari orang-orang yang ikut merampas harta tersebut dengan niat berperang walaupun belum sempat ikut berperang bersama pasukan.

 

Begitu juga orang yang hadir tidak dengan niat berperang namun ternyata dia ikut berperang menurut pendapat al adhhar.

 

Tidak ada bagian apa-apa bagi orang yang hadir setelah pertempuran usai.

 

Tiga bagian diberikan kepada pasukan berkuda yang hadir ke medan pertempuran dan dia termasuk golongan yang memenuhi syarat-syarat berperang, dengan menggunakan kuda yang dipersiapkan untuk berperang, baik ia benar-benar sempat berperang ataupun tidak.

 

Dua bagian diberikan untuk kudanya dan satu bagian untuk dirinya. Yang diberi hanya satu kuda saja walaupun ia membawa kuda yang berjumlah banyak.

 

Bagi pejalan kaki, ya’ni pasukan yang berperang dengan berjalan kaki, maka mendapatkan satu bagian. Yang diberi bagian dari ghanimah hanyalah orang yang memenuhi lima syarat, yaitu 1islam, 2baligh, 3berakal, 4merdeka dan lakiaki.

 

Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka ia hanya diberi radlukh (persenan/bonus) dan  tidak diberi sahmun (bagian).

 

Ya’ni, orang yang tidak memenuhi syarat adakalanya karena ia adalah anak kecil, orang « gila, budak, orang wanita atau kafir dzimmi.

 

Ar radikh secara etimologis adalah pemberian yang sedikit. Dan secara terminologis hukum adalah sesuatu yang kadarnya di bawah bagian yang diberikan pada pasukan pejalan kaki.

 

Sang imam melakukan ijtihad di dalam menentukan ukuran persenan tersebut sesuai dengan kebijakannya.

 

Maka sang imam memberi lebih orang yang ikut berperang dari pada yang tidak, dan memberi lebih pada orang yang lebih banyak berperangnya daripada yang lebih sedikit ikut berperang.

 

Tempat pengambilan persenan adalah empat seperlima menurut pendapat al adhhar. Dan menurut pendapat yang kedua, tempat persenan tersebut adalah seluruh ghanimah.

 

Seperlima yang tersisa setelah empat seperlima yang tadi, maka di bagi menjadi lima sahm (bagian) Satu bagian diberikan kepada Rasulullah Saw. Bagian tersebut menjadi hak -nya saat -nya masih hidup.

 

Kemudian setelah -nya wafat, maka ditasharrufkan/alokasikan kepada bentuk kemaslahatan yang berhubungan dengan kaum muslimin seperti para qadli yang menjadi juru hukum di daerah-daerah.

 

Adapun qadli-qadli pasukan perang, maka diberi razgu/gaji dari bagian empat seperlima sebagaimana yang diungkapkan imam al Mawardi dan yang lain.

 

Dan seperti penjagaan ats tsughur, ya’nitempat-tempat yang mengkhawatirkan, yaitu area-area batas daerah-daerah kaum muslimin yang bersambung dengan bagian dalam daerah-daerah kita.

 

Yang dikehendaki adalah menjaga ats tsughur dengan pasukan dan peralatan perang.

 

Kemaslahatan yang terpenting harus didahulukan, kemudian yang agak penting.

 

Satu bagian -dari seperlimadimiliki oleh orang-orang yang memiliki ikatan kerabat, ya’ni kerabat Rasulullah Saw.

 

Mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib.

 

Bagian tersebut berlaku sama untuk laki-laki, perempuan, kaya dan yang miskin dari mereka.

 

Untuk yang laki-laki diberi dua kali lipat bagian perempuan. ” Satu bagian dimiliki oleh anak-anak yatim kaum muslimin.

 

Lafadz “al yatama” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “yatim”. Yatim adalah anak kecil yang sudah tidak memiliki ayah.

 

Baik anak kecil tersebut laki-laki atau perempuan, memiliki kakek ataupun tidak, ayahnya terbunuh saat berperang ataupun tidak. Namun disyaratkan ia adalah anak yang fagir.

 

Satu bagian milik kaum miskin dan satu bagian untuk ibn sabil (orang yang bepergian). Dan keduanya telah dijelaskan hampir mendekati KITAB PUASA.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SALAB & GHANIMAH

 

Definisi Al-Mashalihul ‘Ammah Salah Satu Obyek Alokasi Ghanimah

 

Al-Mashalihul ‘Ammah adalah setiap perkara yang mengandung kemaslahatan atau kemanfaatan kepada umat Islam, seperti tempat-tempat penampungan, madrasah-madrasah, perbaikan jalan, para ulama ilmu syara’, pembangunan Masjid, dan pembangunan jembatan.

 

(Fasal) menjelaskan pembagian harta foi’ kepada orang-orang yang berhak.

 

Fai’ secara etimologis diambil dari kata “fa’a Idza raja’a” (kembali ketika ia kembali).

 

Kemudian digunakan untuk menunjukkan arti harta yang kembali dari orang-orang kafir kepada kaum muslimin.

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah harta yang dihasilkan dari orang-orang kafir tanpa peperangan, dan tanpa mengerahkan kuda dan onta seperti harta jizyah/pajak dan sepersepuluh harta dagangan.

 

Harta fai’ dibagikan kepada lima kelompok/golongan. Seperlimanya, yang dikehendaki Sang Pengarang adalah seperlima fai’ di berikan/dialokasikan kepada orang-orang, yani lima golongan yang diberi seperlima ghanimah.

 

Lima golongan tersebut baru saja . telah dijelaskan.

 

Empat seperlimanya fai’ diberikan kepada golongan mugatilah (tentara).

 

Mereka adalah prajurit yang telah ditentukan oleh imam untuk berjihad, dan nama-namanya telah dicantumkan di dalam buku besar negara setelah mereka memenuhi kriteria islam, mukallaf, merdeka dan sehat.

 

Imam membagikan empat seperlima tersebut kepada mereka sesuai dengan kadar kebutuhannya.

 

sehingga imam meneliti setiap keadaan dari tentara dan keluarga yang wajib ia nafkahi serta apa yang menjadi kecukupan mereka.

 

Maka imam memberikan kebutuhan yang mencukupi mereka berupa nafkah, pakaian, dan yang lainnya.

 

Dalam ukuran kebutuhan, imam juga harus memperhatikan waktu, tempat, saat harga kebutuhan murah dan saat mahal.

 

Dengan ungkapan, “dan ditasharrufkan untuk kemaslahatan kaum muslimin”, Sang Pengarang memberi isyarat bahwa sesungguhnya bagi seorang imam diperbolehkan mentasharrufkan /alokasi kelebihan dari kebutuhan pasukan untuk kemaslahatan kaum muslimin baik berupa memperbaiki benteng, ats tsughur, membeli senjata, dan kuda menurut pendapat ash shahih.

 

MUHIMMAT DALAM BAB HARTA FAI!’

 

Hukum Rekayasa Untuk Menghindar Membayar Pajak

 

sebagian dari kesalahan adalah: sesungguhnya mayoritas masyarakat berkeyakinan bahwasanya diperbolehkan mengambil (merampas) sesuatu yang dikhususkan untuk negara/pemerintah. Dan sebagian masyarakat Melakukan beberapa cara untuk merekayasa agar supaya terhindar dari kewajiban membayar pajak (bea cukai) pada pemerintah, dan ia meyakini bahwa hal tersebut adalah boleh.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum jizyah.

 

Jizyah secara etimologis adalah nama suatu kharraj (pajak) yang dibebankan kepada kafir ahli dzimmah.

 

 Disebut demikian karena sesungguhnya jizyah dapat melindungi nyawa mereka. sedangkan secara terminologis hukum adalah harta yang disanggupi oleh orang kafir dengan akad tertentu.

 

Akad jizyah disyaratkan harus dilakukan oleh seorang imam atau asistennya dengan tanpa ada pembatasan waktu.

 

Maka seorang imam berkata, “aku mempersilahkan kalian bertempat di daerah islam selain daerah hijaz”, atau, “aku memberi izin kalian untuk bermukim di daerah islam dengan syarat kalian memberikan jizyah dan tunduk pada hukum islam.”

 

Seandainya seorang kafir mengawali pada sang imam dengan berkata, “tetapkanlah aku ‘ di daerah islam”, maka hal itu sudah « mencukupi.

 

Syarat kewajiban jizyah ada lima perkara:

 

Pertama adalah baligh, sehingga tidak ada kewajiban membayar jizyah bagi anak kecil. Kedua adalah berakal, sehingga tidak ada kewajiban jizyah bagi orang gila yang gilanya terus menerus.

 

Sehingga, jika gilanya terputus-putus dalam waktu yang sebentar seperti dalam satu bulan gilanya kambuh selama satu jam, maka ia wajib membayar jizyah.

 

atau gilanya terputus-putus dalam waktu yang lebih dari masa di atas seperti gila satu hari dan sembuh satu hari, maka waktu sembuhnya dijumlah, jika mencapai satu” tahun, maka selama setahun wajib membayar jizyah.

 

Ketiga adalah merdeka. Sehingga tidak ada kewajiban jizyah bagi seorang budak, dan juga tidak wajib bagi majikannya -atas nama si budak-. Budak mukatab, mudabbar dan muba’ adi hukumnya seperti budak murni.

 

Ke empat adalah laki-laki. Sehingga tidak ada kewajiban jizyah bagi seorang wanita dan khuntsa/waria. Kemudian, jika nampak jelas kelaki-lakiannya, maka jizyah untuk tahun-tahun yang sudah : lewat harus diambil dari orang khuntsa/waria tersebut sebagaimana yang dibahas oleh imam an Nawawi di dalam tambahan kitab ar « Raudlah, dan yang dimantapkan oleh -nya di dalam kitab syarh al Muhadzdzab.

 

Kelima, orang yang diakadi jizyah adalah golongan ahli kitab seperti orang Yahudi dan orang Nashrani, atau orang yang memiliki syubhat kitab.

 

Akad jizyah juga dilakukan pada keturunan orang-orang” yang mengikuti agama Yahudi atau Nashrani sebelum kitabnya dinusakh/dibatalkan, atau kita (ulama’ syafi’iyah) ragu-ragu terhadap waktu orang tuanya masuk agama tersebut.

 

Akad jizyah juga diberlakukan untuk orang yang salah satu orang tuanya adalah penyembah berhala dan yang lain adalah kafir kitabi.

 

Dan bagi orang yang menyangka bahwa dirinya berpegang pada kitab Shuhuf-nya nabi Ibrahim yang diturunkan kepada -nya atau kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud.

 

Minimal kadar yang wajib di dalam jizyah atas setiap orang kafir adalah satu dinar (4,2r gr) – setiap tahunnya, dan tidak ada batas maksimal dalam ukuran jizyah.

 

Dan diambil, ya’ni bagi sang imam disunnahkan untuk melakukan tawar menawar dengan orang yang melakukan akad jizyah dengannya.

 

Kalau demikian, maka bagi imam sunnah menawar dua dinar (8,50 gr) dari orang yang bertaraf ekonomi menengah, dan empat dinar (17 gr) dari orang kaya, jika memang masingmasing dari mereka bukan orang safih (dungu).

 

Sehingga, jika mereka adalah orang safih, maka sang imam tidak melakukan tawar menawar dengan walinya si safih.

 

Yang menjadi acuan di dalam ukuran menengah dan kaya adalah di akhir tahun. Diperbolehkan, ya’ni ketika melakukan perdamaian dengan orang-orang kafir di daerah mereka bukan di daerah islam, maka bagi sang imam disunnahkan mensyaratkan pada mereka agar menjamu orang-orang islam yang sedang singgah di daerah mereka, baik orang-orang yang jihad ataupun tidak, dengan jamuan yang bukan termasuk dari kadar minimal jizyah, yaitu satu dinar (4,25 gr) setiap tahunnya, jika memang mereka rela dengan tambahan syarat tersebut.

 

Akad jizyah setelah sah, maka mengandung empat perkara :

 

Salah satunya, mereka harus membayar jizyah. Jixyah tersebut diambil dari mereka dengan cara yang baik sebagai-mana yang disampaikan oleh al Jumhur/mayoritas ulama’, tidak dengan cara menghina/ merendahkan. Kedua, hukum-hukum islam berlaku bagi mereka.

 

Sehingga, mereka wajib mengganti milik kaum muslimin yang telah mereka rusak baik nyawa atau harta.

 

Jika mereka melakukan sesuatu yang mereka yagini haram seperti zina, maka mereka « berhak dihukum had.

 

Ketiga, mereka tidak boleh menyebut-nyebut tentang agama islam kecuali dengan hal-hal yang baik.

 

Ke empat, mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa membahayakan orangorang islam.

 

Ya’ni dengan gambaran mereka menyembuyikan orang yang mencari-cari aurat/kelemahan orang . islam dan memberitahukannya ke daerah kafir harbi. Setelah akad jizyah sah, maka bagi kaum muslimin wajib melindungi nyawa dan harta kafir dzimmi.

 

Jika mereka berada di daerah kita atau di daerah tetangga kita, maka wajib bagi kita untuk melindungi mereka dari ahli harbi. Mereka diberi tanda pengenal dengan menggunakan al ghiyar. Lafadz “al ghiyar”

 

dengan membaca kasrah huruf ghainnya yang diberi titik satu di atas.

 

Al ghiyar adalah merubah pakaian dengan cara si dziimmi menjahitkan pada pakaiannya sesuatu yang berbeda dengan warna pakaiannya, dan sesuatu tersebut diletakkan ‘ di bagian pundak.

 

Bagi orang yahudi yang lebih baik adalah warna kuning, dan bagi orang nashrani yang lebih baik adalah abu-abu dan bagi orang majusi/penyembah api yang lebih baik adalah warna hitam dan merah.

 

Ungkapan Sang Pengarang, “diberi tanda pengenal”, juga diungkapkan di dalam kitab ar Raudiah karena mengikuti kepada kitab aslinya ar Raudiah.

 

Akan tetapi, di dalam kitab al Minhaj, -nya menggungkapkan etimologis, “dan dia, ya’nio orang kafir dzimmi diperintah.”

 

Dari ungkapan imam an Nawawi ini, tidak bisa diketahui apakah perintahnya adalah wajib atau sunnah, akan tetapi indikasi dari pernyataan al jumhur/mayoritas ulama’ syafi’iyah adalah yang pertama (wajib).

 

Sang Pengarang meng-athaf-kan perkataan – nya, “dan mengikat az zunar’” pada lafadz “al ghiyar.”

 

Az zunar dengan menggunakan huruf za’ yang diberi titik satu di atas adalah tali besar yang” diikatkan di perut di atas pakaian, dan tidak cukup meletakkannya di balik pakaian.

 

Mereka tidak diperbolehkan naik kuda baik yang bagus ataupun tidak bagus.

 

Mereka tidak dilarang untuk naik keledai walaupun bagus.

 

Mereka dilarang memperdengarkan ucapan

kufur kepada orang-orang islam, seperti ucapan mereka, “allahu stalitsu tsalatsah SWT  (Allah adalah salah satu dari tiga tuhan)”. Dan sungguh Allah dibersihkan dari semua itu dengan keluhuran yang agung.

 

MUHIMMAT DALAM BAB JIZYAH

 

  1. Potret Akad Jizyah

 

Contoh dari akad jizyah adalah perkataan seorang imam, Saya menetapkan kepada kalian dinegeri Islam selama kalian hidup, atau sampai turunnya Nabi Isa As. untuk mengambil pajak dari kalian.

 

  1. Rukun-rukun Jizyah

 

Rukun-rukun akad jizyah ada lima: (1) Orang yang mengadakan akad jizyah (imam atau asistennya). (2) Orang yang menerima akad jizyah (Kafir dzimmi). (3) Tempat akad jizyah. (4) Harta sebagai kompensasi dari akad jizyah. (5) Bentuk ucapan akad jizyah (ijab dan qabul).

 

Lafadz “ash shaid” adalah kalimat masdar yang mana disini diungkapkan untuk makna isim maful yaitu lafadz “al mashid” -bermakna binatang yang diburu-.

 

Binatang, ya’ni binatang darat yang halal dimakan ketika mudah untuk disembelih, “ maka penyembelihannya dilakukan pada halg, yaitu leher bagian atas, dan pada labbah.

 

Labbah dengan menggunakan huruf lam yang dibaca fathah dan huruf ba’ yang diberi titik , satu serta dibaca tasydid adalah leher bagian ‘ bawah.

 

Adz dzakah dengan menggunakan huruf dzal yang diberi titik satu di atas, maknanya secara etimologis adalah membuat enak, karena di dalam penyembelihan terdapat unsur membuat enak pada daging binatang yang disembelih.

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah menghentikan al hararah al ghariziyah (nyawa) dengan cara tertentu.

 

Sedangkan binatang air yang halal dimakan, maka hukumnya halal tanpa disembelih menurut pendapat al ashah.

 

Binatang yang tidak mudah untuk disembelih. seperti kambing yang sulit dikendalikan atau onta yang lari tidak bisa dikendalikan, maka. proses penyembelihannya dengan cara ‘agruhu (melukainya), dengan membaca fathah huruf ‘ainnya, dengan bentuk melukai yang bisa menyebabkan kematian dengan cepat pada bagian manapun yang mudah untuk dilukai, ya’ni pada bagian manapun luka tersebut.

 

Kesempurnaan penyembelihan, dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “dalam proses penyembelihan disunnahkan” melakukan empat perkara :

 

Salah satunya adalah memotong al hulgum, dengan membaca huruf ha’nya yang tidak diberi titik. Al hulgum adalah otot jalur keluar masuknya nafas.

 

Yang kedua memotong al mari’ dengan membaca fathah huruf mimnya dan menggunakan huruf hamzah di akhirnya, dan boleh membaca tashil huruf hamzahnya.

 

Al mari’ adalah otot jalur makanan dan minuman dari leher hingga lambung. Posisi al mari’ di bawah al hulgum.

 

Semua yang disebutkan di atas harus dipotong sekaligus tidak boleh dengan dua kali pemotongan. Jika dengan dua kali pemotongan, maka hukum binatang yang disembelih adalah haram.

 

Ketika dari a/ hulgum dan al mari’ masih ada yang tersisa -tidak terpotong-, maka hukum binatang yang disembelih adalah tidak halal. Yang ketiga dan keempat adalah memotong al wadajain, dengan menggunakan huruf waus dan huruf dal yang terbaca fathah. A/ wadajain adalah bentuk kalimat tatsniyah dari lafadz “wadaj” dengan membaca fathah atau kasrah huruf dalnya.

 

Al wadajain adalah dua otot yang berada di lipatan leher yang meliputi al hulgum.

 

Sesuatu yang sudah dianggap cukup dari penyembelihan, ya’ni sesuatu yang sudah cukup dalam proses penyembelihan adalah dua perkara, yaitu memotong al hulgum dan ol mari’ saja. Tidak disunnahkan memotong bagian dibalik al wadajain. Diperbolehkan, ya’ni halai berburu, ya’ni memakan binatang yang diburu dengan setiap binatang buas yang telah teriatih.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan dengan menggunakan etimologis, “dari binatang buas pemburu binatang ternak”, seperti macan kumbang, macan tutul, dan anjing.

 

Dan burung-burung pemburu seperti burung elang dan rajawali, pada bagian manapun lukas: yang diakibatkan oleh binatang atau burung pemburu tersebut.

 

Al jarihah adalah lafadz yang tercetak dari lafadz “al jurh” yang bermakna berburu. Syarat binatang yang terlatih, ya’ni binatangbinatang pemburu ada empat

 

Salah satunya, binatang pemburu tersebut sudah terlatih sekira ketika dilepas, ya’ni ‘ dilepas oleh pemiliknya, maka binatang tersebut akan menurut.

 

Kedua, ketika binatang tersebut dihentikan, dengan membaca diammah huruf awalnya, yani dihentikan oleh pemiliknya, maka binatang tersebut menuruti perintah/berhenti.

 

Ketiga, ketika binatang pemburu tersebut berhasil membunuh buruannya, maka ia sama sekali tidak memakan bagian dari binatang buruannya.

 

Ke empat, hal tersebut telah teruji berulang kali dari binatang pemburu tersebut, ya’ni ke empat syarat itu telah teruji berulang kali dari binatang pemburu tersebut sekira sudah ada dugaan bahwa binatang pemburu itu sudah benar-benar terlatih. .

 

Tikrar (berulang kali) tidak dikembalikan pada jumlah akan tetapi pada pakar ahli binatang pemburu.

 

– Kemudian jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka binatang yang berhasil ditangkap oleh binatang pemburu tersebut tidak halal dimakan.

 

Kecuali binatang yang telah ditangkap binatang pemburu tersebut masih ditemukan dalam keadaan hidup kemudian ia menyembelihnya, maka kalau demikian hukumnya halal dimakan.

 

Kemudian Sang Pengarang menjelaskan tentang alat penyembelihan di dalam perkataan -nya, Diperbolehkan menyembelih dengan setiap benda, ya’ni dengan setiap perkara tajam yang bisa melukai seperti besi dan perunggu.

 

Selain gigi, kuku, dan tulang-tulang yang lain, maka tidak diperbolehkan menyembelih , dengan menggunakan barang-barang tersebut.

 

Kemudian Sang Pengarang menjelaskan orang yang sah penyembelihannya dengan perkataan -nya, Hukumnya halal binatang yang disembelih oleh setiap orang muslim yang baligh atau tamyiz yang mampu untuk menyembelih.

 

Dan -halalbinatang sembelihan setiap orang kafir kitabi, yaitu orang yahudi ataunasrani. Dan hukumnya halal binatang sembelihan orang gila atau orang yang mabuk menurut pendapat al adhar.

 

Dan hukumnya makruh penyembelih yang dilakukan oleh orang buta.

 

Dan hukumnya tidak halal binatang sembelihan orang majusi/penyembah api, penyembah berhala dan orang sesamanya yaitu orang-orang yang tidak memiliki kitab samowi di dalam agamanya.

 

Penyembelihan janin -yang masih dalam kandungan ‘induknya sudah dicukupkan , dengan penyembelihan induknya, sehingga tidak usah untuk disembelih lagi.

 

Hukum ini jika janin tersebut keluar dalam keadaan mati atau padanya terdapat hayat mustagirrah (hidup yang masih).

 

Allahumma, kecuali janin tersebut ditemukan dalam keadaan hidup dengan hayyat mustagirah setelah keluar dari perut induknya, maka kalau demikian harus disembelih.

 

Bagian yang terpotong dari binatang yang hidup maka hukumnya adalah bangkai,

 

Kecuali bulu, ya’ni bulu yang terlepas dari binatang yang halal dimakan, dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan etimologis, , “kecuali bulu-bulu”, yang dimanfaatkan untuk alas, pakaian dan yang lainnya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB PENYEMBELIHAN HEWAN

 

  1. Penyembelihan Dua Kali

 

Syarat yang ke-enam adalah, Pemotongan itu dilakukan dengan satu kali. Jika orang yang menyembelih telah memotong tenggorokan (hewan yang disembelih), kemudian ia berhenti (tidak meneruskan penyembelihannya) lalu ia menyempurnakan penyembelihannya lagi, maka hukumnya diperinci. Jika penyembelihan yang kedua menurut umumnya tidak dianggap terputus dari penyembelihan yang pertama, maka disyaratkan, hewan tersebut harus masih ada tanda-tanda kehidupan.

 

  1. Tujuan Nyembelih Hewan Untuk Persembahan

 

Barang siapa menyembelih binatang karena bertujuan tagorrub kepada Allah swt agar terhindar dari kejahatan jin, maka hukumnya tidak haram. Atau bertujuan pada jin, maka hukumnya haram. Dan apabila bertujuan kepada jin, bukan karena tagorrub kepada Allah, maka sembelihan hukumnya haram dan menjadi bangkai. Akan tetapi jika bertujuan tagorrub dan ber-ibadah kepada jin, maka hukumnya kufur, sebagaimana keterangan yang telah lewat”.

 

  1. Menyembelih Dengan Mesin Halal dan diperbolehkan, jika mesin dan cara memotongnya memenuhi Syarat-syarat sebagai berikut:

– Orang yang memotong sudah memenuhi syarat-syarat orang yang memotong.

– Alat mesin yang di pergunakan, merupakan benda tajam yang bukan dari . tulang atau kuku dsb.

– Sengaja menyembelih hewan tersebut.

 

Dalam menyembelih binatang disyaratkan, harus menyengaja terhadap hewannya atau jenisnya dengan perbuatan (kata-kata menyengaja pada hewan).

 

Syarat alat yang digunakan menyembelih harus tajam. seperti bisau besi, bambu, batu, timah, emas, perak, kecuali (tidak boleh) dengan tulang dan kuku. Dengan dasar hadits shohih bukhori dan muslim.

 

Dan orang yang memutarkan (mengerakkan) alat listrik itu orang yang telah memenuhi syarat-syaratnya orang yang menyembelih, maka sembelihannya hukumnya halal.

 

(Fasal/ menjelaskan hukum-hukum makanan yang halal dan yang tidak halal dimakan.

 

Setiap binatang yang dianggap enak oleh orang arab, yaitu orang arab yang kaya, memiliki keluasan dalam harta, tabiat yang selamat dan biasa mengkonsumsi makanan “ yang enak hukumnya adalah halal.

 

Kecuali binatang yang telah diharamkan oleh syareat, maka untuk binatang ini tidak dikembalikan pada penilaian mereka.

 

Setiap binatang yang dianggap menjijikkan oleh orang arab, maka hukumnya haram.

 

Kecuali binatang yang telah dihalalkan oleh syareat, maka hukumnya tidak haram. Hukumnya haram binatang yang memiliki taring, ya’ni gigi kuat yang digunakan untuk menggigit binatang lain seperti harimau dan macan tutul.

 

Hukumnya haram burung yang memiliki cengkeram, -lafadz “mikhlab”dengan terbaca , kasrah huruf mimnya dan fathah huruf lamnya, ya’ni kuku kuat yang digunakan untuk melukai seperti burung elang, rajawali, elang hitam.

 

Bagi orang yang mudithar, yaitu orang yang khawatir terjadi sesuatu yang berbahaya jika tidak makan, saat terdesak, baik khawatir mati, sakit yang mengkhawatirkan, bertambah sakit, atau tertinggal rombongan dan ia tidak menemukan makanan halal yang bisa ia makan, maka baginya halal untuk memakan bangkai dengan ukuran yang cukup untuk menyelamatkan nyawanya.

 

Kita (ulama’ syafi’iyah) memiliki dua bangkai yang halal dimakan, yaitu bangkai Ikan dan belalang.

 

Dan kita memiliki dua darah yang halal dimakan, yaitu jantung dan limpa.

 

Dari penjelasan Sang Pengarang dan penjelasan di depan, maka diketahui bahwa sesungguhnya binatang terbagi menjadi tiga, Salah satunya adalah binatang yang tidak halal dimakan. Sehingga yang disembelih ataupun yang berupa bangkai hukumnya sama.

 

Yang kedua adalah binatang yang bisa dimakan, namun tidak bisa halal dimakan kecuali dengan disembelih secara syar’i.

 

Yang ke tiga adalah binatang yang bangkainya halal untuk dimakan seperti ikan dan belalang.

 

MUHIMMAT DALAM BAB BINATANG YANG HALAL DAN YANG HARAM DIMAKAN

 

  1. Solusi Hukum Haramnya Bangkai yang Tidak Mengalir Darahnya

 

Hukumnya bangkai yang tidak mengalir darahnya, khilaf: 1 Najis. 2. Suci menurut Imam Oofal, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.

 

  1. Cara Menyembelih Hewan Melata

 

Tindakan yang bisa mematikan adalah cara penyembelihan terhadap binatang-binatang yang darahnya tidak mengalir dengan cara bagaimanapun, seperti: dengan dipanggang api, dipotong dengan gigitan, dipukul dengan tongkat dan lain sebagainya. Empat macam! penyembelihan di atas disyaratkan harus menyebut nama Allah SWT bagi orang muslim yang memang Ingat dan mampu, jika lupa atau memang tidak mampu mengucapkan, seperti orang bisu, maka boleh dimakan sembelihannya.

 

  1. Solusi Keharaman Tikus dan Ular

 

Menurut Imam Malik memakan binatang-binatang melata di atas bumi hukumnya makruh seperti tikus. Beliau juga berfatwa dihalalkannya memakan tikus turi dan ular asalkan disembelih.

 

  1. Jangkrik Haram ataukah halal

 

Hukumnya jangkrik haram menurut pendapat paling shohih diantara dua versi Ashhaab. Mengenai hukumnya jangkrik terdapat perselisihan dikalangan Ashhaab: 1) Sebagian dari mereka ada yang menyamakan dengan belalang (halal). 2) Sedangkan yang lainnya menyamakannya dengan kecoa dan lalat (haram). Pendapat yang kedua ini lebih jelas dalilnya.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum kurban.

 

Al udhiyah, dengan membaca diammah huruf hamzahnya menurut pendapat yang paling masyhur, yaitu nama binatang ternak yang disembelih pada hari Raya Kurban dan hari At Tasyrig (11, 12, 13, dzulhijjah) karena untuk mendekatkan diri pada Allah Swt.

 

Al udhiyah hukumnya adalah sunnah kifayah mu’akadah. :

 

Sehingga, ketika salah satu dari penghuni suatu rumah telah melaksanakannya, maka sudah mencukupi dari semuanya.

 

Al udhiyah tidak bisa wajib kecuali dengan nadzar.

 

Yang bisa mencukupi di dalam Al udhiyah adalah kambing domba yang berusia satu tahun dan menginjak dua tahun.

 

Dan kambing kacang yang berusia dua tahun dan menginjak tiga tahun. ‘s Dan onta ats tsaniyah yang berusia lima tahun dan memasuki usia enam tahun. Usa Dan sapi ats tsaniyah yang berusia dua tahun dan memasuki usia tiga tahun.

 

Satu ekor onta cukup digunakan kurban untuk tujuh orang yang bersama-sama melakukan kurban dengan satu onta.

 

Begitu juga satu ekor sapi cukup digunakan kurban untuk tujuh orang.

 

Satu ekor kambing hanya cukup digunakan kurban untuk satu orang.

 

Dan satu ekor kambing lebih afdhal daripada bersama-sama dengan orang lain melakukan kurban dengan Onta.

 

Kurban yang paling utama adalah onta, kemudian sapi lalu kambing.

 

Ada empat binatang, dalam sebagian redaksi Kitab — Matan menggunakan — bahasa, “arba’atun” yang tidak mencukupi untuk dijadikan kurban.

 

Salah satunya adalah binatang yang buta satu matanya yang nampak jelas, walaupun bulatan matanya masih utuh menurut pendapat al ashah.

 

Yang kedua adalah binatang pincang yang nampak jelas pincangnya, walaupun pincang tersebut terjadi saat menidurkan miring binatang Itu karena untuk disembelih saat prosesi kurban sebab gerakan binatang tersebut.

 

Yang ketiga adalah binatang sakit yang nampak jelas sakitnya.

 

Dan tidak masalah jika hal-hal ini hanya sedikit saja.

 

Yang ke empat adalah binatang al ‘ajfa’, yaitu binatang yang hilang bagian otaknya sebab terlalu kurus.

 

Sudah dianggap cukup berkurban dengan binatang yang dikebiri, ya’ni binatang yang dipotong dua pelirnya, dan binatang yang pecah tanduknya jika memang tidak berpengaruh apa-apa pada dagingnya.

 

Begitu juga mencukupi berkurban dengan binatang yang tidak memiliki tanduk, dan binatang seperti ini disebut dengan al jalja”.

 

Tidak mencukupi berkurban dengan binatang yang terpotong — seluruh telinganya, . sebagiannya atau terlahir tanpa telinga.  Dan tidak mencukupi binatang yang terpotong seluruh atau sebagian ekornya.

 

Waktu penyembelihan kurban dimulai dari waktunya sholat Hari Raya, ya’ni Hari Raya Kurban.

 

Ungkapan kitab ar Raudiah dan kitab asalnya, “waktu pelaksanaan kurban masuk ketika terbitnya matahari Hari Raya Kurban dan telah melewati kira-kira waktu yang cukup untuk melaksanakan sholat dua rakaat dan dua khutbah yang dilakukan agak cepat.” Ungkapan kitab ar Raudlah dan kitab asalnya telah selesai.

 

Waktu penyembelihan binatang kurban tetap ada hingga terbenamnya matahari di akhir hari ot Tasyrig. Hari at Tasyrig adalah tiga hari yang bersambung setelahnya tanggal sepuluh Dzul Hijjah.

 

Disunnahkan melakukan lima perkara saat pelaksanaan kurban, Salah satunya adalah membaca basmalah. Maka orang yang menyembelih sunnah mengucapkan, “bismillah”. Dan yang paling sempurna adalah, “bismillahirahmanirrahim.” Dan seandainya orang yang menyembelih tidak mengucapkan basmalah, maka binatang kurban yang disembelih hukumnya halal.

 

Yang kedua adalah membaca shalawat kepada baginda Nabi Saw.

 

Dimakruhkan mengumpulkan diantara nama Allah dan nama Rasul-Nya.

 

Yang ketiga adalah menghadapkan binatang kurbannya ke arah kiblat.

 

Ya’ni, orang yang menyembelih menghadapkan leher binatang yang disembelih kearah kiblat. Dan ia sendiri juga menghadap kiblat.

 

Ke empat adalah membaca takbir tiga kali, ya’ni sebelum atau setelah membaca basmalah, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam al Mawardi.

 

Yang ke lima adalah berdoa semoga diterima oleh Allah Swt.

 

Maka orang yang menyembelih berkata, “ya Allah, ini adalah dari Engkau dan untuk Engkau, maka sudilah Engkau menerimanya.” Ya’ni, “binatang kurban ini adalah nikmat dariMu untukku, dan aku mendekatkan diri padaMu dengan binatang kurban ini, maka terimalah binatang kurban ini dariku.”

 

Orang yang melaksanakan kurban tidak diperbolehkan memakan apapun dari kurban yang dinadzari,

 

Bahkan bagi dia wajib mensedekahkan semua dagingnya. 4 Kemudian, seandainya ia menunda untuk mensedekahkannya hingga rusak, maka wajib baginya untuk mengganti.

 

la diperbolehkan memakan sepertiga dari binatang kurban yang sunnah menurut pendapat al Jadid.

 

Sedangkan untuk dua sepertiganya, maka ada yang mengatakan harus disedekahkan, dan ini diunggulkan oleh imam an Nawawi di dalam kitab Tashhih at Tanbih.

 

Dan ada yang mengatakan, bahwa ia menghadiahkan sepertiga dari dagingnya kepada kaum muslimin yang kaya dan mensedekahkan sepertiganya kepada kaum fagir.

 

Di dalam kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, imam an Nawawi tidak mengunggulkan salah satu dari dua pendapat ini.

 

Tidak boleh menjual, ya’ni bagi orang yang melaksanakan kurban diharamkan untuk menjual bagian dari binatang kurbannya, ya’ni dari daging, bulu atau kulitnya.

 

Begitu juga haram menjadikan bagian dari binatang kurban sebagai ongkos untuk pejagal, walaupun berupa binatang kurban yang sunnah.

 

Wajib memberi makan bagian dari binatang kurban yang sunnah kepada kaum fagir dan kaum miskin.

 

Yang paling utama adalah mensedekahkan Semuanya kecuali satu atau beberapa cuilv daging yang dimakan oleh orang yang melakukan kurban untuk mengharapkan berkah. Karena sesungguhnya hal itu disunnahkan baginya,

 

Ketika ia — memakan sebagian dan Mensedekahkan yang lainnya, maka ia telah Mendapatkan pahala berkurban semuanya dan pahala sedekah sebagiannya saja.

 

MUHIMMAT DALAM BAB KURBAN

 

  1. Menyembelih Hewan Kurban Mala Hari

 

Menurut madzhab kita (Syafiiyyah) diperbolehkan menyembelih” hewan kurban pada malam hari dan siang hari pada hari-hari yang diperbolehkan, namun hukumnya dimakruhkan menyembelih kurban pada malam hari. Dan imam Abu Hanifah, Ishag, Abu Tsaur dan mayoritas ulama’ juga sependapat dengan pendapat tersebut. itu adalah pendapat yang ashoh menurut imam Ahmad. Sesungguhnya Imam Malik berkata, menyembelih binatang kurban pada malam hari, itu belum bisa mencukup sebagai kurban, bahkan itu hanya dinamakan daging kambing saja, ini adalah riwayat dari imam Ahmad.

 

  1. Daging Kurban dibagikan Setelah Hari Tasyrig

 

Jika seseorang menyembelih binatang kurban pada hari-hari kurban, kemudian hari-hari kurban tersebut habis sebelum daging kurban dibagikan, maka bagikanlah daging kurban tersebut setelah habisnya waktu berkurban (setelah hari tasyrig).

 

  1. Bolehkan Membagikan Daging Kurban diluar Desa

 

Tempat kurban adalah daerah orang yang ber.Kurban itu sendiri, sedangkan dalam masalah memindah kurban ke-daerah lainnya itu ada dua pendapat (boleh dan tidak).

 

  1. Berkorban Untuk Orang Lain, Baik Masih Hidup Atau Telah Meninggal

 

Apabila seseorang ber-kurban untuk orang lain dengan tanpa mendapatkan idzin dari orang yang dikurbankan, maka itu tidak sah. Sedangkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal, maka Abi Hasan Al-Ubadf memperbolehkannya, karena kurban adalah termasuk bagian dari shodagoh. Sedangkan shodagoh dari si mayit itu hukumnya sah dan bisa memberikan kemanfa’at kepada si mayit, dan pahala juga akan sampai pada mayit menurut konsensus para ulama”,

 

  1. Berkorban dengan Ayam dan Angsa

 

(Faidah) dari Ibnu Abbas ra: “Sesungguhnya dalam berkurban cukup dengan mengalirkan darah meskipun dari ayam jago atau angsa “. sebagaimana dikatakan oleh Al-Maidani.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum agigah.

 

Agigah secara etimologis adalah nama rambut yang berada di atas kepala anak yang dilahirkan.

 

Sedangkan secara terminologis hukum akan dijelaskan oleh Sang Pengarang dengan perkataan -nya, “agigah untuk anak yang dilahirkan disunnahkan.” Sang Pengarang menjelakan agigah dengan perkataan -nya, “agigah adalah binatang yang disembelih sebab bayi yang dilahirkan pada hari ketujuh bayi tersebut, ya’ni pada hari ketujuh dari kelahirannya.

 

Hari saat kelahirannya termasuk dalam hitungan tujuh hari tersebut. -kesunnahan tetap berlakuWalaupun bayi yang telah dilahirkan itu meninggal dunia sebelum hari ketujuh.

 

Kesunnahan agigah tidak hilang sebab ditunda hingga melewati hari ketujuh. Namun, jika agigah ditunda hingga anak tersebut baligh, maka hukum agigah gugur bagi orang yang melakukan agigah dari anak tersebut. Sedangkan bagi anak itu sendiri, maka diperbolehkan untuk melakukan agigah untuk dirinya sendiri ataupun tidak melakukannya.

 

Disunnahkan menyembelih dua ekor kambing sebagai agigah untuk anak laki-laki, dan menyembelih satu ekor kambing untuk anak perempuan.

 

Sebagian ulama’ berkata, “adapun anak khuntsa/waria, maka masih ihtimal/dimungkinkan — disamakan dengan anak laki-laki atau dengan anak perempuan.” Namun, seandainya kemudian jelas kelamin prianya, maka disunnahkan untuk menambah kekurangannya.

 

Agigah menjadi berlipat ganda sebab berlipat gandanya anak.

 

Bagi orang yang melaksanakan agigah, maka harus memberi makan kepada kaum fagir dan kaum miskin.

 

la memasak agigah tersebut dengan bumbu manis dan memberikannya sebagai hadiah : pada orang-orang fagir dan orang-orang miskin. Dan hendaknya tidak menjadikan agigah sebagai acara undangan. Dan hendaknya tidak memecahkan tulangtulangnya.

 

Ketahuilah sesungguhnya usia binatang agigah, dan selamat dari cacat yang bisa mengurangi daging, dan memakannya, dan mensedekahkan sebagiannya, dan tidak boleh menjualnya dan menjadi wajib sebab nadzar, hukumnya adalah sesuai dengan hukum yang telah dijelaskan di dalam permasalahan , binatang kurban.

 

Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan mengumandangkan igamah di telinga kirinya.

 

Dan -disunnahkan melakukan — hanak (mencetaki : jawa) bayi yang dilahirkan dengan menggunakan kurma kering. Maka seseorang menguyah kurma dan mengoleskannya pada langit-langit bagian dalam mulut si bayi agar ada sebagian dari kurma tersebut yang masuk ke dalam perutnya.

 

Kemudian, jika tidak menemukan kurma kering, maka dengan menggunakan kurma -basah, dan jika tidak ada, maka menggunakan  sesuatu yang manis.

 

Dan -disunnahkan memberi nama si bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya.

 

Dan diperbolehkan memberi nama si bayi sebelum atau setelah hari ke tujuh.

 

Seandainya si bayi meninggal dunia sebelum hari ke tujuh, maka disunnah-kan untuk memberi nama padanya.

 

MUHIMMAT DALAM BAB AOIOAH

 

  1. Niat Agigah dan Kurban .

 

Andaikan seseorang menyembelih kambing dan ia meniatinya sebagai kurban dan agigoh, maka itu sudah bisa mencukupi dari keduanya menurut pendapat Ar-Romli. Sedangkan menurut Ibnu Hajar keduanya tidak bisa saling memasuki.

 

  1. Agigah Untuk Bayi Keguguran

 

Bahwasannya disunnahkan mengagigohi anak yang keguguran yang sudah dimasuki ruh (oleh Allah swt) sebagaimana apa yang saya ikuti dalam kedua karya syarah Al-lrsyad dan Al-‘Ubab dengan mengikuti pendapat Az-Zarkasyi. Sedangkan anak yang belum diberi ruh, maka hukumnya sama seperti perkara jamid (sesuatu yang tidak bersenyawa), dan besok diakhirat dia tidak akan dibangkitkan dan tidak bisa memberikan manfaat, maka tidak disunnahkan untuk meng-agigohinya.

 

3, Agigah dengan Uang

 

Tidak bisa menggantikan terhadap agigoh dan tidak mencukupinya, karena maksud tujuan dari agigoh adalah bertagorrub kepada Allah SWT dengan menyembelih binatang.

 

  1. Beli Daging Untuk Agigah

 

Apakah sudah bisa mencukupi daging yang dibeli sebagai ganti dari penyembelihan hewan agigoh?. Jawab: Agigah tidaklah mencukupi kecuali dengan menyembelih satu kambing untuk anak wanita, dan dua kambing untuk anak laki-laki.

 

Ya’ni dengan menggunakan anak panah dan sesamanya.

 

Hukumnya sah melakukan perlombaan | dengan menggunakan binatang tunggangan. « Ya’ni sesuai dengan hukum asalnya.

 

Maksudnya melakukan perlombaan dengan | menggunakan binatang tunggangan berupa kuda dan onta tanpa adanya perkhilafan.

 

Dan dengan. menggunakan Gajah, bighal dan keledai menurut pendapat al-adzhar.

 

Tidak sah melakukan perlombaan dengan  menggunakan sapi, adu domba, dan adu ayam  jago, baik dengan ‘iwad/ (hadiah) ataupun tidak.

 

Dan hukum sah melakukan perlombaan : panah dengan menggunakan anak panah, jika  jarak, ya’ni jarak antara tempat orang yang | memanah dengan sasaran yang dipanah, sudah maklum/diketahui.

 

Dan aturan perlombaannya juga maklum, dengan cara kedua orang yang melakukan lomba memanah itu menjelaskan tata cara pemanahan. “ Berupa gar’, yaitu anak panah mengenai sasaran dan tidak menancap di sana. Atau Khasag, yaitu anak panah melubangi sasaran dan menancap di sana. Atau marg, yaitu anak panah menembus sasaran.

 

Ketahuilah sesungguhnya ‘iwadl (hadiah) perlombaan adalah harta yang dikeluarkan dalam perlombaan.

 

Terkadang ‘iwadl tersebut dikeluarkan oleh salah satu dari dua orang yang melakukan perlombaan, dan terkadang dikeluarkan oleh keduanya secara bersamaan.

 

Sang Pengarang menyebutkan yang pertama di dalam perkataan -nya,

 

Dan yang mengeluarkan hadiah adalah salah satu dari dua orang yang melakukan perlombaan, sehingga, ketika ia mengalahkan/mendahului yang lainnya, – lafadz “sabaga”dengan membaca fathah,., huruf sinnya, maka ia menariknya kembali, ya’ni hadiah yang telah ia keluarkan.

 

Dan jika ia didahului, -lafadz “subiga”-dengan membaca diammah huruf awalnya, maka hadiah tersebut diambil oleh lawannya yang telah mengalahkannya.

 

Sang Pengarang menjelaskan yang kedua di dalam perkataan -nya,

 

Jika ‘iwadl dikeluarkan oleh keduanya bersama-sama, ya’ni dua orang yang berlomba, maka tidak diperbolehkan, ya’ni tidak sah jika keduanya mengeluarkan hadiah kecuali keduanya memasukkan muhallil (orang ketiga) diantara keduannya. Lafadz “muhallil” dengan membaca kasrah huruf lamnya yang pertama.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan etimologis, “kecuali ada muhallil yang ikut serta di antara keduanya.” Sehingga, jika muhallil tersebut mendahului/ mengalahkan masing-masing dari dua orang yang melakukan perlombaan itu, maka ia berhak mengambil hadiahnya. ! Dan jika ia didahului/dikalahkan, -lafadz “subiga”dengan membaca diammah huruf awalnya, maka ia tidak mengeluarkan apapun “ untuk keduannya.

 

MUHIMMAT DALAM KITAB HUKUM-HUKUM PERLOMBAAN DAN LOMBA MEMANAH

 

  1. Status Hukum Hadiah Musabagah Islami

 

Soal: Berpartisipasi dalam lomba-lomba Islami yang mendapatkan matammacam hadiah yang berharga, apakah hadiah-hadiahnya halal ataukah haram? Jawab: Tidak ada dosa di dalam mengambil hadiah-hadiahnya yang merupakan derma dari pemerintah atau selain pemerintah, yaitu dari para donatur yang dermawan, karena dalam lomab-lomba itu mengandung dorongan yang kuat untuk menghasilkan ilmu dan menghafal kitab al-Qur’an.

 

  1. Lomba Islami

 

Imam Ibnul Oayyim berkata dalam kitabnya “Al-Farusiyyah” masalah yang k 11 adalah lomba menghafal Al-Qur’an, al-Hadits, Figh dan lain sebagainya, dari beberapa ilmu yang bermanfaat, dan mendapat jawaban dari berbagai pertanyaan. Apakah boleh dengan bayaran?. Menurut Ashab Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’i melarang akan hal itu, sedangkan menurut Ashab Imam Abi Hanifah memperbolehkannya.

 

Lafadz “al aiman” dengan membaca fathah huruf hamzahnya adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “yamin”.

 

Asalnya yamin secara etimologis adalah tangan kanan, kemudian diucapkan untuk menunjukkan arti sumpah.

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah menyatakan sesuatu yang mungkin untuk diingkari, atau menguatkannya dengan menyebut nama Allah Ta’ala atau sifat dari sifat-sifat Dzat-Nya. “an nudzur” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “nadzar”.

 

Dan maknanya akan dijelaskan di dalam fasal setelah yamin. Yamin/sumpah tidak bisa sah kecuali dengan Allah Ta’ala, ya’ni dengan dzat-Nya seperti ucapan orang yang bersumpah, “wallahi (demi Allah).” Atau dengan salah satu dari nama-nama-Nya yang khusus bagi Allah yang tidak digunakan pada selain-Nya seperti, “Khaligulkahlgi (Dzat Yang Menciptakan Makhluk).”

 

Atau salah satu sifat-sifat-Nya yang menetap pada Dzat-Nya seperti ilmu dan gudrat-Nya.

 

Batasan orang yang bersumpah adalah setiap orang mukallaf, kemauan sendiri,,, mengucapkan dan menyengaja sumpah.

 

Barang siapa bersumpah untuk mensedekahkan hartanya seperti ucapannya, “Jillah “alaya an atashaddaga bi mali (hak bagi Allah atas diriku, bahwa aku akan  mensedekahkan hartaku).”

 

Sumpah seperti ini terkadang diungkapkan dengan nama “yamin al lajaj wal ghadlab”, dan terkadang diungkapkan dengan nama “nadzar al lajaj wa al ghadlab”, maka dia, ya’ni orang yang bersumpah atau bernadzar tersebut diperbolehkan memilih antara memenuhi apa yang ia sumpahkan dan ia sanggupi dengan nadzar yaitu berupa bersedekah dengan hartanya, atau memilih membayar kafarat yamin (denda sumpah) menurut pendapat al adhhar.

 

Menurut satu pendapat, wajib baginya untuk membayar kafarat yamin.

 

Dan menurut satu pendapat lagi, wajib baginya memenuhi apa yang telah ia sanggupi. Tidak ada kewajiban apa-apa dalam laghwu al yamin (sumpah yang tidak jadi).

 

Laghwu al yamin ditafsiri dengan lisan yang terlanjur mengucapkan lafadz yamin tanpa ada kesengajaan untuk melakukannya seperti ucapan seseorang saat marah, ghalabah ghadab (sangat emosi), atau tergesa-gesa,p sesaat ja mengatakan “tidak demi Allah”, dan sesaat kemudian mengatakan, “ia demi Allah.” Barang siapa bersumpah tidak akan melakukkan sesuatu seperti — menjual budaknya, kemudian ia memerintahkan orang lain untuk melakukannya, maka orang yang bersumpah tersebut tidak dianggap melanggar sumpah sebab orang lain melakukannya. Kecuali orang yang bersumpah itu menghendaki bahwa sesungguhnya ia dan orang lain tidak akan melakukannya, maka ia dianggap melanggar sumpah sebab perbuatan orang yang ia perintah.

 

Seandainya seseorang bersumpah tidak akan menikah, kemudian ia mewakilkan pada orang lain untuk melaksanakan akad nikah, maka sesungguhnya Ia dianggap melanggar sumpah sebab wakilnya telah melakukan akad nikah.

 

Barang siapa bersumpah akan melakukan dua perkara seperti ucapannya, “demi Allah aku tidak akan memakai dua baju Ini”, kemudian ia melakukan, ya’ni memakai salah satunya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.

 

Kemudian, jika ia memakai keduanya bersamaan atau bertahap, maka ia dianggap melanggar sumpah.

 

Jika ia mengatakan, “aku tidak akan memakai baju ini, dan tidak baju ini,” maka Ia dianggap ‘ melanggar sumpah dengan memakai salah satunya saja.

 

Dan sumpahnya belum selesai, bahkan ketika ia memakai baju yang satunya lagi, maka ia juga dianggap melanggar sumpah. Kafaratul yamin adalah orang yang bersumpah ketika melanggar sumpahnya, maka di dalam kafaratul yamin tersebut ia diperbolehkan memilih di antara tiga perkara

 

Salah satunya adalah memerdekakan budak mukmin yang selamat dari cacat yang bisa mengganggu untuk beramal atau bekerja.

 

Yang kedua disebutkan di dalam perkataannya Sang Pengarang, “atau memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud.” Ya’ni satu rithl lebih sepertiga rithl berupa bahan makanan biji-bijian yang diambilkan dari makanan pokok yang paling dominan ia daerah orang yang membayar kafarat. Selain biji-bijian yaitu kurma dan susu kental tidak bisa mencukupi. – ‘

 

Yang ketiga disebutkan di dalam perkataan Sang Pengarang, “atau memberi pakaian kepada mereka.” Ya’ni orang yang membayar kafarat memberikan pakaian pada masingmasing dari orang-orang miskin tersebut.

 

Ya’ni sesuatu yang disebut pakaian yaitu barang-barang yang biasa dipakai seperti baju” kurung/gamis, surban, kerudung atau selendang.

 

Tidak cukup dengan memberikan sepatu muza dan dua kaos tangan.

 

Gamis yang diberikan tidak disyaratkan harus layak pada orang yang diberi. c Sehingga cukup dengan memberikan pakaian anak kecil atau pakaian wanita pada orang miskin laki-laki.

 

Pakaian yang diberikan juga tidak disyaratkan harus baru.

 

Sehingga cukup dengan memberikan pakaian yang sudah pernah dipakai yang penting masih kuat.

 

Kemudian, jika orang yang membayar kafarat tidak menemukan salah satu dari tiga perkara yang telah dijelaskan di atas, maka melakukan puasa, ya’ni wajib bagi dia untuk melakukan puasa tiga hari.

 

Tidak wajib tiga hari tersebut dilaksanakan secara terus menerus menurut pendapat al adhhar.

 

  1. Struktur Sumpah

 

Rukun sumpah ada empat: (1) Orang yang bersumpah (Mukallaf, tidak Mukrah dan ucapannya disengaja). (2) Perkara yang dibuat sumpah (dengan Ama’ Allah atau shifat-Nya). (3) Perkara yang disumpahi (bukan perkara wajib). (4) Bentuk ucapan sumpah.

 

  1. Bersumpah dengan Selain Allah

 

Bersumpah dengan selain Allah tidak menyebabkan kufur, kecuali orang yang bersumpah bertujuan mengagungkan selain Allah seperti mengagungkan Allah Swt.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum nadzar.

 

Lafadz “an nudzur” adalah bentuk jama’ dari lafadz “nadzru”.

 

Lafadz “nadzru” dengan menggunakan huruf dzal yang diberi titik satu di atas dan terbaca sukun.

 

Ada yang menghikayahkan dengan dzal yang terbaca fathah. Makna nadzar secara etimologis adalah berjanji dengan kebaikan atau dengan kejelekan.

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah menyanggupi perbuatan ibadah yang tidak wajib dengan dalil terminologis hukum. Nadzar ada dua macam

 

Salah satunya adalah nadzar al lajaj dengan membaca fathah huruf awalnya, yang bermakna memperpanjang perseteruan.

 

Yang dikehendaki dengan nadzar ini adalah nadzar yang mirip yamin dengan gambaran ia menyengaja untuk mencegah dirinya dari sesuatu dan tidak menyengaja untuk melakukan ibadah.

 

Pada nadzar ini maka ia wajib membayar kafarat yamin atau melakukan apa yang telah . ia sanggupi dengan mengucapkan nadzar.

 

Nadzar yang kedua adalah nadzar al mujazah, dan ada dua macam

 

Salah satunya adalah nadzir (orang yang nadzar) tidak menggantungkan nadzarnya pada sesuatu seperti ucapannya pada permulaannya, “hak Allah atas diriku, bahwa gku wajib melakukan puasa atau memerdekakan budak.”

 

Yang kedua adalah nadzir menggantungkan nadzarnya pada sesuatu. Dan Sang Pengarang memberi isyarat pada nadzar ini dengan perkataan -nya,

 

Di dalam nadzar al mujazah, nadzar bisa menjadi wajib pada bentuk nadzar mubah dan nadzar bentuk keta’atan seperti ucapannya, ya’ni ucapan orang yang bernadzar, “Jika orang sakitku sembuh,” dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan etimologis, “penyakitku” atau, “aku dilindungi dari kejelekan musuhku, maka Allah berhak atas , diriku, bahwa aku akan melaksanakan sholat, berpuasa atau bersedekah.”

 

Dari semua itu, ya’ni perkara yang ia nadzari berupa sholat, puasa atau sedekah, maka wajib baginya, ya’ni bagi orang yang bernadzar untuk melaksanakan sesuatu yang sudah layak disebut dengan hal-hal tersebut.

 

Yaitu dari sholat, minimalnya dua rakaat.

 

atau puasa, minimalnya adalah sehari.

 

Atau sedekah, yaitu minimal sedekah dengan sesuatu yang paling sedikit dari barang-barang yang berharga. Begitu juga seandainya ia bernadzar akan sedekah dengan harta yang besar sebagaimana yang diungkapkan oleh al Oadli Abu Ath Thayyib.

 

Kemudian Sang Pengarang menjelaskan mafhum (pemahaman kebalikan) dari ungkapan -nya di depan yaitu, “nadzar perkara yang mubah”, di dalam perkataan -nya,

 

Tidak ada nadzar di dalam perkara maksiat, ya’ni tidak sah nadzar perkara maksiat, seperti ucapan seseorang, “jika aku membunuh fulan dengan tanpa alasan yang benar, maka Allah berhak atas ini pada diriku.”

 

Dengan etimologis “maksiat”, mengecuali-kan nadzar perkara yang makruh seperti nadzarnya seseorang yang akan melakukan puasa sepanjang tahun.

 

Maka nadzar perkara yang makruh tersebut hukumnya sah dan wajib baginya untuk memenuhi nadzarnya.

 

Dan juga tidak sah nadzar perkara fardlu ‘ain seperti sholat lima waktu. c Adapun nadzar perkara yang fardiu kifayah, maka wajib baginya untuk memenuhi nadzarnya sebagaimana indikasi dari ungkapan kitab ar Raudlah dan kitab asalnya ar Raudlah.

 

Tidak wajib, ya’ni tidak sah nadzar untuk meninggalkan atau melakukan perkara yang mubah.

 

Yang pertama adalah seperti ucapan seseorang, “aku tidak akan memakan daging, tidak akan meminum susu” dan contoh-contoh sesamanya dari perkara-perkara yang mubah” seperti ucapannya, “aku tidak akan memakai ini.”

 

Yang kedua adalah seperti, “aku akan memakan ini, dan aku akan meminum ini.” Ketika seseorang melanggar nadzar perkara yang mubah, maka wajib baginya untuk  membayar kafarat yamin menurut pendapat ar rajih menurut pendaat al Baghawi dan diikuti oleh kitab al Muharrar dan kitab al Minhaj.

 

Akan tetapi indikasi dari ungkapan kitab ar Raudiah dan kitab asalnya adalah tidak wajib.

 

MUHIMMAT DALAM BAB NADZAR

 

  1. Struktur Nadzar

 

Rukun nadzar ada tiga: (1) Orang yang bernadzar. (2) Perkara yang dibuat nadzar. (3) Bentuk ucapan nadzar.

 

  1. Bernadzar Membangun Masjid Ditempat Tertentu

 

Apabila seseorang bernadzar membangun Masjid disuatu tempat maka sah nadzarnya, dan tidak mencukupi membangun Masjid diselain tempat yang telah ditentukan, karena perbedaan tujuan yang disebabkan perbedaan tempat sebagaimana fatwa Imam Ibnu Hajar dan yang lain.

 

Al agdiyah adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz gadia’ dengan dibaca mad (panjang). Oadla’ secara etimologis adalah mengokohkan sesuatu dan meluluskannya.

 

Adapun secara terminologis hukum adalah menetapkan keputusan diantara dua orang yang berseteru dengan hukumnya Allah Swt.

 

Asy syahadat adalah jama’ dari lafadz syahadah, kalimat masdarnya lafadz syahida yang diambil dari kata asy syuhud yang bermakna hadir.

 

Oadla’ hukumnya adalah fardiu kifayah. Namun jika qadla’ hanya tertentu pada satu orang saja, maka wajib baginya untuk memintanya. Tidak diperbolehkan menjadi qadli kecuali orang yang memenuhi lima belas sifat.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan dengan menggunakan bahada “khamsa “asyarah.”

 

Salah satunya adalah islam, sehingga tidak sah kekuasaan orang kafir walaupun pada orang, kafir yang sesamanya. Imam al Mawardi berkata, “mengenai kebiasaan para penguasa yang mengangkat seorang laki-laki dari ahli dzimmah, maka hal itu merupakan pengangkatan sebagai tokoh dan panutan bukan pengangkatan sebagai hakim dan qadli.

 

Dan bagi penduduk ahli dzimmah tidak harus mengikuti hukum yang telah ditetapkan laki-laki tersebut, akan tetapi dengan kesanggupannya mereka.”

 

Yang kedua dan yang ketiga adalah baligh dan berakal, sehingga wilayah tidak sah bagi anak kecil dan orang gila yang gilanya terus menerus atau terputus-putus.

 

Yang ke empat adalah merdeka, sehingga tidak sah wilayahnya seorang budak baik sifatnya budaknya secara total ataupun sebagian saja.

 

Yang ke lima adalah laki-laki sehingga tidak sah wilayahnya seorang wanita dan orang huntsa/waria ketika masih belum jelas status kelaminnya.

 

Dan seandainya ada seorang huntsa/waria yang diangkat menjadi hakim saat belum diketahui status kelaminnya lalu ia memutuskan hukum. dan kemudian baru nampak jelas bahwa ia adalah laki-laki, maka hukum yang telah ia putuskan tidak sah menurut pendapat al madzhab.

 

Yang ke enam adalah adil. Dan adil akan dijelaskan di dalam fasal syahadah.

 

Sehingga tidak ada hak wilayah bagi orang fasiq dalam permasalahan yang sama sekali tidak ada syubhat (kesamaran/kekaburan) di sana.

 

Yang ke tujuh adalah mengetahui hukumhukum di dalam Al Qur’an dan As Sunnah dengan metode ijtihad.

 

Tidak disyaratkan harus hafal luar kepala ayatayat yang menjelaskan tentag hukum-hukum dan hadits-hadits yang berhubungan dengannya.

 

Dikecualikan dari hukum-hukum, yaitu tentang cerita-cerita dan petuah-petuah. – Yang ke delapan adalah mengetahui ijma”.

 

Ijma’ adalah kesepakatan ahlu hilli wal “agdi (pakar hukum) dari ummatnya Nabi Muhammad Saw terhadap satu permasalahan dari berbagai permasalahan.

 

Tidak disyaratkan harus mengetahui satupersatu permasalahan ijma”’.

 

Bahkan — cukup baginya mengetahui permasalahan yang sedang ia fatwakan atau ia « putuskan bahwa pendapatnya tidak, bertentangan dengan ijma’ dalam ‘ permasalahan tersebut.

 

Yang ke sembilan adalah mengetahui perbedaan pendapat yang terjadi di antara ulama’.

 

Yang ke sepuluh adalah mengetahui cara-cara ijtihad, ya’ni tata cara menggali hukum dari dalil-dalil yang menjelaskan tentang hukum. Yang ke sebelas adalah mengetahui bagian dari etimologis arab baik lughat, sharaf dan nahwu, dan mengetahui tafsir Kitabullah ta’ala. , Yang ke dua belas adalah bisa mendengar walaupun dengan berteriak di kedua telingannya.

 

Sehingga tidak sah mengangkat orang yang tuli sebagai hakim.

 

Yang ke tiga belas adalah bisa melihat, sehingga tidak sah mengangkat orang yang buta sebagai hakim.

 

Diperbolehkan jika dia adalah orang yang buta salah satu matanya sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam ar Rauyani.

 

Yang ke empat belas adalah bisa menulis.

 

Apa yang telah disebutkan oleh Sang Pengarang yaitu persyaratan bahwa sang gadii harus bisa menulis adalah pendapat yang lemah, sedangkan pendapat al ashah berbeda dengannya (tidak disyaratkan).

 

Yang kelima belas adalah kuat ingatannya. Sehingga tidak sah mengangkat orang yang pelupa sebagai hakim. Dengan gambaran nadhar atau pikirannya cacat adakalanya karena terlalu tua, sakit atau karena yang lain. Setelah Sang Pengarang selesai dari menjelaskan syarat-syarat qadli, maka -nya beranjak menjelaskan tentang etika seorang qadli. -nya berkata,

 

Bagi qadli disunnahkan untuk duduk, dalam sebagian redaksi Kitab Matan dengan etimologis, “untuk bertempat” di tengah daerah ketika batas daerahnya luas.

 

Sehingga, jika daerahnya kecil, maka ia tidak masalah bertempat di manapun yang ia kehendaki, jika di sana tidak ada tempat yang sudah biasa ditempati oleh para qadli. ” Dan keberadaan duduknya sang qadli di tempat luas yang jelas, ya’ni nampak jelas bagi penduduk, sekira ia bisa terlihat oleh penduduk setempat, pengunjung, orang yang kuat dan orang yang lemah.

 

Keberadaan tempat duduknya terjaga dari panas dan dingin.

 

Dengan gambaran di musim kemarau tempat duduknya berada di tempat yang semilir angin, dan di musim dingin berada di tenda. Dan tidak ada pembatas baginya.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan etimologis, “tidak ada penjaga saat hendak melapor padanya.”

 

Sehingga, seandainya ia mengangkat security atau penjaga pintu, maka hukumnya  dimakruhkan.

 

Sang gadii tidak duduk di masjid untuk memutuskan hukum.

 

Sehingga, jika ia memutuskan hukum di masjid, maka hukumnya dimakruhkan.

 

Namun, jika saat ia berada di masjid untuk melaksanakan sholat dan yang lainya kebetulan bertepatan dengan terjadinya kasus, maka tidak dimakruhkan memutuskan £ kasus tersebut di masjid.

 

Begitu juga seandainya ia butuh ke masjid karena ada udzur hujan dan sesamanya.

 

Bagi qadli wajib menyetarakan kedua belah pihak yang berseteru di dalam tiga perkara :

 

Salah satunya menyetarakan tempat duduk. Sehingga qadli memposisikan kedua orang yang seteru tepat di hadapannya ketika status kemuliaan keduanya setara.

 

Adapun orang islam, maka tempat duduknya harus lebih ditinggikan daripada tempat duduknya kafir dzimmi.

 

Yang kedua menyetarakan di dalam lafadz, ya’ni ucapan.

 

Sehingga tidak diperbolehkan sang qadli hanya mendengarkan ucapan salah satu dari keduanya tidak kepada yang lainnya.

 

Yang ketiga menyetarakan di dalam pandangan.

 

Sehingga sang qadli tidak diperbolehkan memandang salah satunya tidak pada yang lainnya.

 

Bagi sang qadli tidak diperbolehkan menerima hadiah dari ahli amalnya (penduduk yang berada di daerah kekuasaannya).

 

Sehingga, jika hadiah itu diberikan di selain daerah kekuasaannya dari selain penduduk daerah kekuasaannya, maka hukumnya tidak haram menurut pendapat al ashah.

 

Jika ia diberi hadiah oleh orang yang berada di daerah kekuasaannya yang sedang memiliki kasus serta tidak biasa memberi hadiah sebelumnya, maka bagi qadli haram untuk menerimanya.

 

Sang qadli hendaknya menghindari untuk memutuskan hukum, ya’ni dimakruhkan bagi sang qadli memutuskan hukum di dalam sepuluh tempat. Dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “di dalam sepuluh keadaan.”

 

Yaitu, ketika marah. Dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “di saat marah.”

 

Sebagian ulama’ berkata, “ketika emosi telah menyebabkan sang gadi tidak terkontrol lagi, maka bagi dia haram memutuskan hukum saat seperti itu.”

 

Saat sangat lapar dan kekenyangan. Saat haus, birahi memuncak, sangat sedih dan sangat gembira yang terlalu.

 

Saat sakit, ya’ni yang menyakitkan badannya. Saat menahan dua kotoran, ya’n! kencing dan berak.

 

Saat ngantuk, saat cuacanya terlalu panas dan terlalu dingin. Kesimpulan yang bisa mencakup sepuluh hal ini dan yang lainnya adalah sesungguhnya bagi qadli dimakruhkan memutuskan hukum di setiip keadaan yang bisa membuat keadaannya tidak stabil.

 

Ketika ia tetap memutuskan hukum dalam keadaan-keadaan yang telah dijelaskan di atas, « maka keputusannya tetap berjalan namun hukumnya makruh.

 

Wajib bagi qadli untuk tidak bertanya, ya’ni ketika kedua orang yang berseteru duduk dihadapan sang qadli, maka bagi qadli tidak diperbolehkan bertanya pada orang yang’ dituduh kecuali setelah sempurnanya, ya’ni setelah pihak penuduh selesai mengungkapkan tuduhannya yang sah.

 

Dan saat itulah sang qadli berkata pada pihak yang dituduh, “keluarkanlah dirimu dari tuduhan tersebut.”

 

Kemudian, jika ia mengakui apa yang telah dituduhkan oleh pihak penuduh, maka bagi pihak tertuduh wajib memberikan apa yang telah ia akui, dan setelah itu bagi ia tidak bisa menarik kembali pengakuannya.

 

Dan jika pihak tertuduh mengingkari dakwaan pada dirinya, maka bagi qadli berhak berkata pada pihak penuduh, “apakah engkau punya bukti atau saksi yang disertai sumpahmu”, jika memang hak yang dituntut termasuk hak yang bisa ditetapkan dengan satu saksi dan sumpah.

 

Oadli tidak berhak menyumpah pihak tertuduh, dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “qadli tidak berhak menyuruh pihak tertuduh””, ya’ni, qadli tidak berhak menyumpah pihak terdakwa kecuali setelah ada permintaan dari pihak pendakwa kepada Sang qadli agar menyumpah pihak terdakwa. Dan tidak diperbolehkan bagi qadli mengajarkan argumen kepada orang yang berseteru.

 

Ya’ni, sang qadli tidak diperbolehkan berkata kepada masing-masing dari dua orang yang £ berseteru, “ucapkanlah begini dan begini.” Sedangkan untuk meminta kejelasan dari orang yang berseteru, maka tidak dipermasalahkan.

 

Seperti seseorang menuduhkan pembunuhan pada orang lain, kemudian sang qadli berkata pada pihak penuduh, “apakah pembunuhan yang sengaja atau yang tidak sengaja.”

 

Bagi qadli tidak diperbolehkan memahamkan perkataan pada orang yang sedang berseteru, , ya’ni, tidak mengajarkan padanya bagaimana caranya menuntut. |

 

Permasalahan ini tidak tercantum di dalam sebagian redaksi Kitab Matan.

 

Oadli tidak diperbolehkan mempersulit saksisaksi.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “tidak mempersulit pada saksi”, seperti sang gadii berkata pada saksi, “bagaimana keadaanmu, ketika engkau menyaksikan kejadian. Mungkin kamu tidak jadi bersaksi.”

 

Bagi qadli tidak diperbolehkan menerima persaksian kecuali dari orang yang telah ditetapkan keadilannya.

 

Jika sang gadil telah mengetahul keadilan saksi, maka Ia berhak menerima persaksian saksi tersebut.

 

Atau mengetahui kefasikan saksi, maka sang qadli harus menolak persaksiannya.

 

Jika sang qadli tidak mengetahui adil dan fasiknya saksi, maka sang qadli meminta agar / si saksi melakukan tazkiyah (persaksian atas keadilan diri).

 

Di dalam tazkiyah tidak cukup hanya dengan ucapan pihak terdakwa, “sesungguhnya orang yang bersaksi atas diriku adalah orang yang adil.”

 

Bahkan harus mendatangkan orang yang bersaksi atas keadilan saksi tersebut di hadapan qadli kemudian orang tersebut berkata, “saya bersaksi sesungguhnya saksi tersebut adalah orang yang adil.”

 

Pada orang yang mentazkiyah juga dipertimbangkan syarat-syarat orang yang menjadi saksi yaitu adil, tidak ada permusuhan, dan syarat-syarat yang lain. Disamping itu, dia juga disayaratkan harus tahu terhadap sebab-sebab yang menjadikan fasiq dan menstatuskan adil serta mengetahui dalamnya orang yang mau ia statuskan adil sebab bersahabat, bertetangga atau melakukan transaksi.

 

Bagi qadli tidak diperbolehkan menerima persaksian seseorang atas musuhnya.

 

Yang dikehendakl dengan musuhnya seseorang adalah orang yang membencinya. « Bagi sang qadli tidak diperbolehkan menerima persaksian orang tua walaupun seatasnya ,, untuk anaknya sendiri.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “untuk orang yang dilahirkannya, ya’ni hingga ke bawah.”

 

Dan tidak menerima persaksian seorang anak untuk orang tuanya sendiri walaupun hingga ke atasnya.

 

Sedangkan persaksian yang memberatkan keduanya, maka dapat diterima.

 

Surat seorang qadli kepada qadli yang lain dalam urusan pemutusan hukum tidak bisa diterima kecuali setelah ada persaksian dua saksi yang bersaksi atas qadli yang mengirim surat tentang apa yang terdapat dalam surat tersebut di hadapan qadli yang dikirimi surat. Sang Pengarang mengisyaratkan hal tersebut pada kasus bahwa sesungguhnya ketika ada seseorang yang mendakwakan harta pada orang yang ghaib (tidak satu daerah) dan telah terbukti bahwa orang tersebut memiliki tanggungan harta yang dituntutkan, maka, jika terdakwa memiliki harta yang berada di tempat pendakwa, maka sang gadii melunasi tanggungan terdakwa dari harta tersebut.

 

‘Dan jika terdakwa tidak memiliki harta yang berada di tempat pendakwa dan pendakwa – meminta agar menyampaikan keadaan seperti ini kepada qadli daerah terdakwa, maka gadii daerah pendakwa harus menqabulkan permintaan si pendakwa tersebut.

 

Al ashhab mentafsiri “menyampaikan keadaan” dengan gambaran sang gadii daerah pendakwa mengangkat dua orang saksi adil yang bersaksi atas hukum yang telah ditetapkan terhadap terdakwa yang tidak berada di daerah sang gadii.” | Bentuk suratnya adalah : “bismillahirrahmanirrahim. Semoga Allah menyelamatkan aku dan anda, telah ada | seseorang yang datang padaku dan mendakwakan sesuatu pada seseorang yang tidak ada di daerahku dan ia bertempat di daerah anda, pendakwa telah mendatangkan dua orang saksi yaitu fulan dan fulan dan menurut saya keduanya adalah orang adil, dan saya sudah menyumpah pendakwa dan menetapkan bahwa ia berhak atas harta yang didakwakan. Dan saya mengangkat fulan dan fulan sebagai saksi atas surat ini.”

 

Di dalam saksi-saksi surat dan putusan hukum disyaratkan harus nampak jelas sifat adilnya menurut gadili yang dikirimi surat.

 

Sifat adil mereka tidak bisa ditetapkan hanya dengan pernyataan adil yang di sampaikan oleh qadli yang mengirim surat.

 

MUHIMMAT DALAM KITAB HUKUM-HUKUM OADLA’ DAN PERSAKSIAN

 

Ijtihad Kolektif

 

Ijtihad kolektif adalah perkumpulan para ulama yang sedang membahas macam-macam problematika yang terjadi dan masing-masing mengeluarkan aspirasi sesuai dengan pemahamannya, karena terkadang masing-masing dari mereka mempunyai pemahaman yang tidak dimiliki oleh yang lain, dan ulama yang satunya dapat menghafal dalil yang tidak dihafal oleh ulama yang lain. Praktek ijtihad demikian disebut dengan ijtihad kolektif, dan terkadang hasil ijtihadnya terkait dengan beberapa madzhab, karena mereka tidak mencetuskan hukum baru seperti hukum baru yang pernah dicetuskan oleh salah satu dari para imam madzhab terdahulu.

 

 

 (Fasal) menjelaskan hukum-hukum al gismah.

 

Al gismah dengan dibaca kasrah huruf gafnya adalah nama yang diambil dari kata “gasama asy syai’a gasman (seseorang membagi sesuatu secara benar)” dengan membaca fathah huruf gafnya.

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah memisahkan sebagian dari beberapa bagian dari bagian yang lain dengan cara yang akan dijelaskan.

 

Al gasim (orang yang membagi) yang diangkat oleh qadli harus memenuhi tujuh syarat.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan etimologis, “ila sab’in.” Yaitu 1islam, 2baligh, 3berakal, 4merdeka, 5laki-laki, 6adil, dan 7pandai berhitung. Sehingga, orang yang memiliki sifat-sifat yang sebaliknya, maka ia tidak bisa menjadi al gasim.

 

Sedangkan ketika al gasim tidak diangkat dari pihak qadli, maka Sang Pengarang memberi isyarat dengan perkataan -nya, Kemudian, jika dua syarik (orang yang bersekutu) rela, dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “jika keduanya rela” dengan orang yang akan membagi harta yang disekutukan di antara keduanya, maka al gasim seperti ini tidak membutuhkan pada hal tersebut, ya’ni syarat-syarat yang telah dijelaskan.

 

Ketahuilah sesunguhnya al gismah ada tiga macam :

 

Salah satunya al gismah bil ajza’ (membagi dengan berjuz-juz), dan disebut dengan gismah al mutasyabihat (membagi beberapa perkara yang serupa) seperti membagi barang’ barang mitsl (barang-barang yang ada kesamaannya) berupa biji-bijian dan yang lainnya.

 

Maka bagian-bagiannya dibagi-bagi dengan takaran pada permasalahan barang yang : ditakar, dengan timbangan pada barang yang ditimbang, dan dengan ukuran pada barang ” yang diukur.

 

Kemudian setelah itu dilakukan pengundian di antara bagian-bagian tersebut, agar supaya masing-masing dari orang-orang yang bersekutu memiliki bagian-bagian tertentu.

 

Tata cara pengundian adalah diambilkan tiga kertas yang ukurannya sama.

 

Pada masing-masing kertas tersebut ditulis nama salah satu dari orang-orang yang « bersekutu atau satu bagian dari bagian-bagian tersebut yang dibedakan dari juz-juz yang lain.

 

Kertas-kertas tersebut dimasukkan kedalam beberapa kendi yang berukuran sama misalnya terbuat dari tanah liat yang sudah dikeringkan. Kemudian kendi-kendi itu diletakkan dipangkuan orang yang tidak ikut dalam penulisan dan memasukkan tulisan itu ke dalam kendi.

 

Kemudian orang yang tidak mengikuti keduanya mengeluarkan satu kertas dan diletakkan di bagian pertama dari bagian-bagian tersebut jika yang ditulis dikertas adalah nama-nama orang yang bersekutu seperti Zaid, Bakar dan Khalid.

 

Kemudian bagian tersebut diberikan kepada orang yang namanya tercantum pada kertas yang dikeluarkan.

 

Kemudian ia mengeluarkan kertas selanjutnya dan meletakkan pada bagian yang bersebelahan dengan bagian yang pertama. Kemudian bagian tersebut diberikan kepada orang yang namanya tercantum di kertas yang kedua ini.

 

Dan untuk bagian yang terakhir tertentu pada orang yang ke tiga jika memang yang bersekutu adalah tiga orang.

 

Atau orang yang tidak hadir saat penulisan dan memasukkan ke dalam kendi, mengeluarkan kertas dan meletakkan di namanya Zaid misalnya, jika yang ditulis di kertas-kertas tersebut adalah juz-juz dari bagian-bagian itu. Kemudian kertas kedua diletakkan pada namanya Khalid, dan untuk bagian yang terakhir tertentu bagi orang yang ke tiga. Macam yang ke dua adalah al gismah bit ta’dil lis siham (membagi dengan membandingkan di antara bagian-bagian), yaitu membandingkan bagian-bagian tersebut dengan harga.

 

Seperti tanah yang bagian-bagiannya harganya tidak sama sebab subur atau dekat dengan air – sedangkan bagian tanah tersebut di antara keduanya adalah separuh separuh.

 

Misalnya karena bagusnya, sepertiga tanah membandingi dua sepertiga dari tanah tersebut.

 

Maka sepertiga dijadikan satu bagian dan dua sepertiganya dijadikan satu bagian lagi.

 

Pada bentuk pembagian Ini dan pembagian sebelumnya cukup dilakukan oleh satu al gasim.

 

Macam yang ketiga adalah al gismah biar rad (membagi dengan cara mengembalikan).

 

Dengan gambaran misalnya di salah satu bagian tanah yang disekutukan terdapat sumur atau pohon yang tidak mungkin dibagi.

 

Maka orang yang telah mendapatkan bagian – yang ada sumur atau pohonnya dengan undian harus memberikan bagian dari harga masing-masing dari sumur atau pohon pada” contoh yang telah disebutkan.

 

Sehingga, seandainya harga masing-masing dari sumur dan pohon tersebut adalah seribu dan ia memiliki bagian separuh dari tanah, maka orang yang mengambil tanah yang ditempati sumur atau pohon tersebut harus memberikan lima ratus pada orang yang bersekutu dengannya.

 

Pada bentuk pembagian ini harus dilakukan oleh dua orang al gasim sebagaimana yang diungkapkan oleh Sang Pengarang, Jika dalam proses pembagian terdapat pengkalkulasian — harga, maka dalam pembagian harta tersebut tidak bisa dilakukan oleh kurang dari dua orang.

 

Hal ini jika gasimnya bukan hakim dalam masalah pengkalkulasian yang didasarkan dengan pengetahuannya.

 

Sehingga, jika ia adalah seorang hakim dalam pengkalkulasian yang berdasarkan pada” pengetahuannya, maka hal itu sama seperti putusan hukum yang didasarkan dengan pengetahuannya, dan menurut pendapat al ashah boleh memutuskan hukum berdasarkan dengan pengetahuan sang hakim.

 

Ketika salah satu dari dua orang yang bersekutu mengajak yang lainnya untuk membagi barang yang tidak berdampak negatif jika dibagi, maka bagi yang lainnya wajib menuruti permintaan untuk membagi tersebut.

 

Sedangkan barang yang ada dampak negatifnya jika dibagi seperti kamar mandi yang tidak mungkin dijadikan dua kamar mandi, ketika salah satu dari orang-orang yang bersukutu meminta untuk membaginya dan yang lainnya tidak mau, maka orang orang yang meminta untuk dibagi tidak dkabulkan permintaannya menurut pendapat al ashah.

 

MIHIMMAT DALAM BAB OISMAH

 

Struktur Oismah

 

Rukun-rukun gismah ada tiga: (1) Orang yang bertugas embagi. (2) Barang yang dibagi, yakni barang yang dikonsikan atau disekutukan. (3) Orang-orang bersekutu.

 

(Fasal) menjelaskan memutuskan hukum dengan bayyinah/saksi.

 

Ketika pendakwa memiliki saksi, maka sang hakim harus mendengar saksi tersebut dan : memutuskan hukum bagi pendakwa dengan saksi tersebut jika sang hakim mengetahui : sifat adil saksi tersebut.

 

Jika tidak, maka sang hakim meminta si saksi agar melakukan tazkiyah (persaksian atas keadilan dirinya).

 

Jika pihak pendakwa tidak memiliki saksi, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pihak terdakwa disertai dengan sumpahnya.

 

Yang dikehendaki dengan pendakwa aalah orang yang ucapannya bertolak belakang dengan apa yang dhahir.

 

Dan yang dimaksud dengan terdakwa adalah orang yang ucapannya sesuai dengan apa yang dhahir. Kemudian, jika pihak terdakwa tidak mau melakukan sumpah yang diperintahkan padanya, maka hak sumpah diberikan kepada pihak pendakwa.

 

Maka saat itulah pihak pendakwa melakukan sumpah dan berhak mendapatkan apa yang didakwakan. Nukul/tidak mau bersumpah adalah ucapan terdakwa, “saya tidak mau bersumpah”, setelah qadli menawarkan padanya untuk bersumpah.

 

Atau qadli berkata pada terdakwa, “bersumpahlah”. Namun terdakwa menjawab, “saya tidak akan bersumpah.”

 

Ketika ada dua orang yang saling mengaku berhak atas sesuatu yang berada di tangan salah satu dari mereka, maka ucapan yang diterima adalah ucapan orang yang memegangnya disertai dengan sumpahnya, ya’ni sesungguhnya barang yang ada di tangannya adalah milik dia.

 

Jika perkara tersebut berada di tangan keduanya atau tidak ada pada keduanya, maka. keduanya melakukan sumpah dan barang yang dituntut dibagi sama rata pada keduanya. Barang siapa bersumpah atas perbuatan dirinya, baik menetapkan perbuatan atau mentiadakan, maka ia harus bersumpah al batt wal gath”‘i.

 

Al batt dengan menggunakan ba’ yang diberi titik satu kemudian huruf ta’ yang diberi titik dua di atas, maknanya adalah memutus.

 

Kalau demikian, maka Sang Pengarang mengathafkan lafadz “al gath’u” pada lafadz “al batt” adalah athaf tafsir.

 

Barang siapa bersumpah atas perbuatan orang lain, maka terdapat perincian dalam hal ini, Jika sumpahnya adalah menetapkan, maka ia bersumpah al batt wal gath’i.

 

Jika sumpahnya adalah mentiadakan secara mutlak, maka ia bersumpah bahwa tidak tahu. Yaitu, sesungguhnya ia tidak tahu bahwa orang lain tersebut melakukan hal itu.

 

Adapun mentiadakan yang dibatasi, maka dalam hal ini seseorang bersumpah dengan i cara al batt.

 

MUHIMMAT DALAM BAB BAYYINAH

 

Status Hukum Pengacara

 

Sesungguhnya pengacara apabila bertujuan dari profesinya untuk menjelaskan sebuah subtansi kebenaran, maka ia mendapatkan pahala, karena ia telah membatu pada gadhi untuk memperjelas kebenaran sebuah hukum. Dan apabila tujuannya untuk menghasilkan uang serta tidak peduli akan terhapusnya sebuah kebenaran, dan bahkan membatu pada kebatilan, maka profesi itu termasuk dosa besar.

 

 (Fasal) menjelaskan syarat-syarat saksi.

 

Persaksian tidak bisa diterima kecuali dari orang yang memiliki lima sifat/ keadaan.

 

Salah satunya adalah islam walaupun dengan sebab mengikuti. Sehingga tidak bisa diterima persaksian orang kafir terhadap orang islam atau orang kafir yang lain.

 

Yang kedua adalah baligh, sehingga tidak bisa diterima persaksian anak kecil walaupun hampir baligh.

 

Yang ketiga adalah berakal, sehingga tidak bisa diterima persaksian orang gila.

 

Ke empat adalah merdeka, walaupun sebab daerahnya. Sehingga tidak bisa diterima persaksian seorang budak, baik budak murni, mudabbar atau mukattab.

 

Yang ke lima adalah adil. Adil secara etimologis adalah tengah-tengah. Sedangkan secara terminologis hukum adalah watak yang menancap di dalam hati yang bisa mencegah diri dari melakukan dosa-dosa : besar atau perbuatan-perbuatan mubah yang hina/rendah.

 

Sifat adil memiliki lima syarat.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan dengan etimologis, “khamsu syurut (lima syarat).”

 

Salah satunya, orang yang adil harus menjauhi perbuatan dosa besar, ya’ni setiap dosa besar. Sehingga tidak diterima persaksian orang yang pernah melakukan dosa besar seperti zina dan membunuh seseorang tanpa ada alasan yang benar.

 

Yang kedua, orang yang adil harus tidak terus menerus melakukan dosa-dosa kecil.

 

Sehingga tidak diterima persaksian orang yang melakukan dosa kecil secara terus menerus. Untuk penghitungan dosa-dosa besar telah disebutkan di dalam kitab-kitab yang luas pemetimologisnnya. “

 

Yang ke tiga, orang yang adil harus selamat hatinya, ya’ni akidahnya.

 

Sehingga tidak bisa diterima persaksian orang yang melakukan bid’ah, baik yang kufur atau hanya fasiq sebab bid’ahnya.

 

Untuk yang pertama -yang kufurseperti orang yang mengingkari bangkit dari kubur. Dan yang kedua -hanya fasiqseperti orang yang mencela/mencaci para sahabat Nabi Saw.

 

Sedangkan orang yang tidak sampai kufur dan tidak sampai fasiq sebab bid’ahnya, maka . persaksiannya bisa diterima.

 

Namun dikecualikan dari ini adalah orang kaum al Khithabiyah, maka persaksiannya tidak bisa diterima.

 

Mereka adalah golongan yang memperbolehkan bersaksi untuk temannya ketika mereka mendengar temannya tersebut berkata, “saya berhak atas ini pada si fulan.”

 

Sehingga, jika mereka mengatakan, “aku melihat temanku itu telah menghutangi si fulan barang tersebut,” maka persaksiannya bisa diterima.

 

Yang ke empat, orang yang adil tersebut harus bisa mengontrol emosi. lagi Dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “harus bisa terkontrol ketika emosi.”

 

Sehingga tidak bisa diterima persaksian orang yang tidak bisa mengontrol diri saat emosi.

 

Yang kelima, orang yang adil harus bisa menjaga muru’ah (harga diri) sesamanya.

 

Al muru’ah adalah perilaku seseorang yang sesuai dengan orang-orang sesamanya dari : orang-orang yang semasa dengannya dilihat dari waktu dan tempatnya.

 

Sehingga tidak bisa diterima persaksiannya orang yang tidak memiliki muru’ah. Seperti ‘ Orang yang berjalan di pasar dengan terbuka kepala atau badannya selain aurat, dan hal itu tidak pantas baginya.

 

Adapun membuka aurat, maka hukumnya adalah haram.

 

MUHIMMAT DALAM BAB SYARAT-SYARAT SAKSI

 

Struktur Persaksian

 

Rukun persaksian ada lima:

 

(1)Orang yang memberi kesaksian. (2) Orang yang mengklaim hak. (3) Terdkawa. (4) Barang yang diklaim. (5) Bentuk ucapan persaksian.

 

 

(Fasal) hak ada dua macam.

 

Salah satunya adalah haknya Allah Ta’ala. Dan keterangan tentang itu akan dijelaskan. Dan yang kedua adalah hak anak Adam.

 

Adapun hak anak Adam ada tiga.

 

Dalam sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan etimologis, “hak anak Adam ada tiga” macam. Pertama, hak yang tidak bisa diterima di dalamnya kecuali dua saksi laki-laki. Sehingga tidak cukup dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

 

| Sang Pengarang mentafsiri bagian ini dengan perkataan -nya, Yaitu hak yang tidak ditujukan untuk harta dan biasanya terlihat oleh orang-orang laki-laki seperti talak dan nikah. :

 

Termasuk juga dari bagian ini adalah hukuman karena hak Allah Swt seperti hukuman hadnya minum/menkonsumsi arak.

 

Atau hukuman karena hak anak Adam seperti ta’zir dan gishash. Bagian yang lain adalah bagian yang di dalamnya bisa diterima tiga perkara, adakalanya dua saksi, ya’ni orang laki-laki, satu laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi disertai dengan Sumpah pendakwa.

 

Dan sumpah pendakwa hanya bisa diterima ketika dilakukan setelah persaksian saksinya dan telah dinyatakan adil.

 

Saat melakukan sumpah, si pendakwa wajib menyebutkan bahwa saksinya adalah orang yang berkata jujur tentang apa yang ia saksikan untuknya.

 

Kemudian, jika pendakwa tidak mau bersumpah dan malah meminta sumpah lawannya, maka ia berhak melakukan hal itu. Kemudian, jika lawannya tidak mau bersumpah, maka bagi pendakwa berhak, bersumpah dengan sumpah ar rad menurut pendapat al adhhar.

 

Sang Pengarang mentafsirkan bagian ini dengan keterangan bahwa sesungguhnya bagian ini adalah bentuk hak yang tujuannya adalah harta saja.

 

Dan bagian yang lainnya lagi adalah hak yang di dalamnya bisa diterima dua perkara, adakalanya satu orang laki-laki atau empat orang perempuan.

 

Sang Pengarang mentafsiri bagian ini dengan perkataan -nya, “bagian ini adalah hak yang biasanya tidak terlihat oleh orang-orang lakilaki akan tetapi hanya terkadang saja, seperti melahirkan, haid! dan radia’.

 

Ketahuilah sesungguhnya hak-hak tersebut tidak bisa ditetapkan dengan dua orang perempuan dan sumpah.

 

Adapun hak-haknya Allah Swt, maka orangorang perempuan tidak bisa diterima, akan tetapi yang bisa diterima hanya orang laki-laki saja.

 

Hak-haknya Allah Ta’ala ada tiga macam.

 

Bagian pertama, kurang dari empat orang lakilaki tidak bisa diterima dalam bagian ini, yaitu zina.

 

Mereka melihat zina tersebut karena tujuan untuk bersaksi.

 

Sehingga, seandainya mereka sengaja melihat karena selain untuk bersaksi, maka mereka dihukumi fasiq dan ditolak persaksiannya. Adapun pengakuan seseorang bahwa telah melakukan zina, maka bersaksi atas hal Itu cukup dilakukan oleh dua orang laki-laki menurut pendapat al adhhar.

 

Bagian yang lain dari hak-haknya Allah Ta’ala adalah hak yang bisa diterima dengan dua orang, ya’ni dua orang laki-laki.

 

Sang Pengarang mentafsiri bagian ini dengan perkataan -nya, “bagian ini adalah bentukbentuk had selain zina seperti had minum arak.”

 

Bagian yang lain lagi dari hak-haknya Allah Ta’ala adalah hak yang bisa diterima dengan satu orang.

 

Yaitu hilal bulan Ramadian saja, tidak bulanbulan yang lain.

 

Di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya terdapat beberapa tempat yang bisa diterima persaksian satu orang saja. Diantaranya adalah persaksian al lauts.

 

Di antaranya adalah sesungguhnya di dalam mentaksir hasil buah bisa dicukupkan dengan-” satu orang adil.

 

Persaksian orang buta tidak bisa diterima kecuali di dalam lima tempat. Dalam sebagian redaksi Kitab Matan dengan etimologis, “khamsu.”

 

Yang dikehendaki dengan lima tempat ini adalah hak yang bisa ditetapkan dengan istifadlah (masyhur).

 

Seperti kematian, nasab bagi laki-laki atau perempuan dari ayah atau kabilah. Begitu juga, nasab pada ibu bisa ditetapkan dengan istifadlah menurut pendapat al ashah. Dan seperti status milik yang mutiak dan terjemah terhadap suatu ucapan.

 

Ungkapan Sang Pengarang, “dan sesuatu yang disaksikan sebelum buta” tidak tercantum di dalam sebagian redaksi Kitab Matan.

 

Ya’ni adalah sesungguhnya orang buta seandainya bersaksi tentang sesuatu yang membutuhkan penglihatan sebelum ia buta, kemudian setelah itu ia baru buta, maka ia diperbolehkan bersaksi atas apa yang ia tanggung jika al masyhud lah (orang yang diberi kesaksian yang mendukung padanya) dan al masyhud ‘alaih (orang yang diberi kesaksian yang memberatkan padanya) telah diketahui nama dan nasabnya.

 

Dan ia bersaksi tentang sesuatu atas orang dipegang.

 

Bentuknya adalah seseorang mengaku ditelinga orang yang buta bahwa ia telah memerdekakan atau mentalak seseorang yang telah diketahui nama dan nasabnya, dan tangan orang buta tersebut berada di kepala orang yang mengaku, kemudian orang buta itu memegangnya hingga bersaksi di hadapan – qadli atas dia dengan apa yang ia dengar dari orang tersebut.

 

Dan tidak bisa diterima persaksian seseorang yang menarik kemanfaatan untuk dirinya sendiri, dan persaksian orang yang menolak bahaya dari dirinya sendiri,

 

Kalau demikian, maka tidak bisa diterima persaksian seorang majikan untuk budaknya yang telah Ia beri Izin untuk berdagang dan juga budak mukatabnya.

 

 

Hak Musyrakah Apakah Dapat Gugur dengan Rujuk

 

Hak-hak yang besifat umum yang berkaitan dengan hak Allah dan hak adami adalah pencurian. Kewajiban memotong tangan yang disebabkan mencuri adalah termasuk sebagian dari hak Allah yang bersifat murni, sedangkan kewajiban mengganti rugi harta yang dicuri adalah termasuk sebagian hak adami yang bersifat murni, dan tidak akan bisa gugur dengan mencabut kembali pengakuan mencuri, karena hal tersebut termasuk sebagian hak adami. Adapun masalah gugurnya memotong tangan yang disebabkan oleh mencabut pengakuan mencuri masih ada dua pendapat: Pertama: Mengatakan gugur karena memotong tangan khusus pada hak Allah. Kedua: Mengatakan tidak gugur karena bersamaan dengan sesuatu yang tidak dapat dipengaruhi oleh pencabutan (pengakuan mencuri).

 

Al ‘itau secara etimologis adalah diambil dari ungkapan orang arab, “anak burung bebas ketika terbang dan menyendiri.”

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah menghilangkan kepemilikan dari anak Adam tidak untuk dimiliki lagi karena tujuan ibadah kepada Allah Swt.

 

Dikecualikan dari adan Adam yaitu burung dan binatang ternak, maka tidak sah untuk dimerdekakan.

 

Hukumnya sah memerdekakan budak yang dilakukan oleh setiap pemilik yang legal perintahnya.

 

 Dalam sebagian redaksi Kitab Matan, “yang legal tasyarufnya” pada : kepemilikannya. Sehingga tidak sah memerdekakan budak yang dilakukan oleh orang yang tidak legal tasyarrufnya seperti anak kecil, orang gila dan orang safih (dungu/idiot).

 

Ungkapan Sang Pengarang, “memerdekakan bisa terjadi dengan ungkapan memerdekakan yang sharih”, memang begitulah ungkapan di dalam sebagian redaksi Kitab Matan.

 

Dan dalam sebagian redaksi Kitab Matan yang lain dengan ungkapan, “wayaga’u bi sharihil ‘itg (dan memerdekakan bisa hasil dengan ungkapan memerdekakan yang sharih).”

 

Ketahuilah sesungguhnya ungkapan memerdekakan yang sharih adalah lafadz “al ‘tag (memerdekakan)”” dan “at tahrir (memerdekakan)”, dan lafadz-lafadz yang ditasrif dari keduanya seperti “engkau adalah ‘atig (orang yang dimerdekakan)”” atau “engkau adalah muharrar (yang dimerdekakan).”

 

Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang bergurau ataupun tidak. | Di antara ungkapan yang sharih menurut pendapat al ashah adalah “fakk ar ragabah (membebaskan badan).”

 

Kalimat yang sharih tidak butuh pada niat memerdekaka budak.

 

Memerdekakan juga bisa terjadi dengan selain kalimat yang sharih sebagaimana yang disampaikan Sang Pengarang, “-dan bisa hasildengan kalimat kinayah yang disertai dengan niat.”

 

Seperti majikan berkata pada budaknya, “aku tidak punya hak milik atas dirimu”, “tidak ada kekuasaan bagiku atas dirimu” dan kalimatkalimat sesamanya.

 

Ketika orang yang legal tasharrufnya memerdekakan sebagian dari budak misalnya, maka seluruh bagian budak tersebut menjadi merdeka atas orang itu.

 

Baik sang majikan kaya ataupun tidak, sebagian budak yang dimerdekakan tersebut ditentukan ataupun tidak.

 

Jika seseorang memerdekakan, dalam sebagian redaksi Kitab Matan dengan : etimologis “ataga (memerdekakan)” bagiannya pada seorang budak misalnya, atau memerdekakan seluruh bagian budak dan ia mampu membayar bagian budak yang tidak ia miliki, maka hukum merdeka berdampak juga pada bagian si budak yang tidak Ia miliki.

 

Atau berdampak pada bagian budak yang dimiliki oleh sekutunya yang mampu Ia bayar « menurut pendapat ash shahih.

 

Dan dampak merdeka tersebut langsung seketika menurut pendapat al adhhar. Menurut satu pendapat, dampak merdeka tersebut terjadi dengan membayar harganya.

 

Yang dikehendaki dengan al musir di sini bukanlah orang yang kaya.

 

Akan tetapi, adalah orang yang memiliki harta yang bisa melunasi harga bagian yang dimiliki oleh sekutunya saat memerdekakan yang | mana harta tersebut sudah melebihi dari makanan pokok orang tersebut, makanan pokok orang yang wajib dinafkahi pada siang dan malam hari itu, sudah melebihi dari pakaian yang layak dan dari tempat tinggal di hari itu.

 

Bagi yang memerdekakan harus membayar harga bagian budak yang dimiliki oleh sekutunya di hari memerdekakan tersebut.

 

Orang yang memiliki salah satu dari orang tua atau anak-anaknya, maka orang yang dimiliki itu hukumnya merdeka atas orang tersebut setelah ia memilikinya.

 

Baik sang pemilik adalah ahli tabaru’ (berderma) ataupun tidak seperti anak kecil dan orang gila.

 

(Fasal!) menjelaskan hukum-hukum wala’.

 

Wala’ secara etimologis adalah lafadz yang dicetak dari lafadz “al muwalah (saling mengasihi)”

 

Adapun secara terminologis hukum adalah waris ashabah sebab hilangnya kepemilikan dari seorang budak yang dimerdekakan.

 

Wala’ dengan terbaca panjang adalah termasuk hak sebab memerdekakan.

 

Hukumnya, ya’ni hukum waris dengan wala’ adalah hukum waris ashabah ketika tidak ada waris ashabah dari jalur nasab. Mengenai makna dari waris ashabah sudah dijelaskan di dalam permasalahan “Faraidl.”

 

Waris wala’ berpindah dari orang yang memerdekakan kepada orang-orang laki-laki yang mendapatkan waris ashabah dengan dirinya sendiri dari orang yang memerdekakan tersebut, tidak seperti anak perempuan dan saudara perempuan orang yang memerdekakan.

 

Urutan waris ashabah di dalam wala’ sama seperti urutan waris ashabah di dalam warisan.

 

Akan tetapi, menurut pendapat al adhhar, di dalam waris wala’, sesungguhnya saudara laki-laki dan anak laki-lakinya saudara laki-laki orang yang memerdekakan itu lebih didahulukan daripada kakek orang yang memerdekakan.

 

Berbeda dengan yang ada di dalam warisan, ya’ni sebab nasab, maka sesungguhnya . saudara laki-laki dan kakek itu bersekutu (tidak ada yang didahulukan).

 

Orang perempuan tidak bisa mendapatkan waris wala’ kecuali dari budak yang ia merdekakan sendiri atau dari anak-anak dan orang-orang yang dimerdekakan oleh budak yang ia merdekakan. Dan tidak boleh, ya’ni tidak sah menjual dan menghadiahkan waris/wala’. Kalau demikian, waris wala’ tidak bisa berpindah dari orang yang berhak mendapatkannya.

 

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum at tadbir.

 

At tadbir secara etimologis adalah melihat pada akhir dari perkara-perkara.

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah memerdekakan setelah meninggal dunia.

 

Sang Pengarang menjelaskannya dengan perkataan -nya, “barang siapa, ya’ni majikan ketika berkata pada budaknya misalnya, ‘ketika aku meninggal dunia, maka engkau mendeka,’ maka budak tersebut adalah budak mudabbar.

 

Yang akan merdeka setelah wafatnya sang majikan dari sepertiganya, ya’ni sepertiga harta sang majikan, jika seluruh bagian budak tersebut masuk dalam hitungan dari sepertiga.

 

Jika tidak termasuk, maka yang merdeka adalah sebagian yang masuk dalam hitungan sepertiga jika memang ahli waris tidak mengizini semuanya.

 

Yang telah disebutkan oleh Sang Pengarang adalah bentuk tadbir yang sharih. Dan di antaranya adalah ungkapan, “aku memerdekakanmu setelah aku meninggal dunia.”

 

Tadbir juga sah dengan bentuk ungkapan kinayah yang disertai dengan niat seperti, “aku bebaskan jalanmu setelah aku meninggal dunia.”

 

Baginya, ya’ni bagi sang majikan diperbolehkan menjual budak mudabbar saat — ia masih hidup dan tadbirnya menjadi batal. Dan baginya juga diperbolehkan mentasharrufkan budak mudabbar tersebut dengan bentuk pentasharrufan yang bisa menghilangkan kepemilikan seperti hibbah setelah diterima dan menjadikannya sebagai mas kawin,

 

Mudabbar adalah menggantungkan kemerdekaan budak dengan sifat menurut pendapat al adhhar.

 

Dan menurut satu pendapat adalah wasiat kepada si budak untuk merdeka.

 

Sehingga, menurut pendapat al adhhar, seandainya sang majikan menjual budak mudabbar, kemudian ia memilikinya lagi, maka status tadbir tidak kembali lagi menurut pendapat al madzhab.

 

Budak mudabbar saat majikannya masih hidup hukumnya adalah budak murni.

 

Kalau demikian, hasil dari pekerjaan budak mudabbar adalah milik sang majikan.

 

Jika budak mudabbar itu dibunuh, maka majikan berhak menerima ganti rugi harganya.

 

Atau anggota budak mudabbar tersebut dipotong, maka majikan berhak mendapatkan ganti ruginya. Dan status mudabbarnya tetap seperti semula. Dalam sebagian redaksi Kitab Matan diungkapkan, “budak mudabbar saat majikannya masih hidup hukumnya adalah budak murni.”

 

 (Fasal) menjelaskan hukum-hukum kitabah, dengan terbaca kasrah huruf kafnya menurut pendapat yang paling masyhur.

 

Dan menurut satu pendapat dengan terbaca fathah huruf ‘ kafnya seperti lafadz “al ‘atagah.”

 

Kitabah menurut etimologis adalah lafadz yang diambil dari lafadz “al katbu”, yaitu bermakna mengumpulkan, karena di dalam akad kitabah terdapat unsur mengumpulkan satu cicilan dengan cicilan yang lain.

 

Sedangkan secara terminologis hukum adalah memerdekakan budak yang digantungkanya, terhadap harta yang dicicil dengan dua waktu ‘ yang sudah diketahui atau lebih.

 

 Al kitabah hukumnya disunnahkan ketika budak laki-laki atau perempuan meminta untuk melakukannya.

 

Dan masing-masing dari keduanya dapat dipercaya dan bisa berkerja, ya’ni mampu . bekerja untuk melunasi cicilan yang ia sanggupi.

 

Akad kitabah tidak sah kecuali dengan cicilan harta yang sudah diketahui, seperti ucapan sang majikan kepada si budak, “aku melakukan akad kitabah denganmu dengan membayar dua dinar,” misalnya.

 

Harta yang sudah diketahui tersebut diberi jangka waktu yang diketahui, minimal dua kali cicilan,

 

Seperti ucapan sang majikan pada budaknya di dalam contoh yang telah disebutkan, “kamu memberikan dua dinar padaku, setiap cicilan memberikan satu dirham. Kemudian setelah ” kamu telah melunasinya, maka kamu merdeka.”

 

Akad kitabah yang sah hukumnya lazim/paten bagi pihak majikan.

 

Sehingga baginya tidak diperbolehkan merusak akad kitabah ketika sudah sah kecuali jika budak mukatabnya tidak mampu membayar seluruh atau sebagian cicilan ketika sudah jatuh tempo, seperti ucapan si budak, “aku tidak mampu melunasinya.” Maka bagi sang majikan diperbolehkan merusak akad ‘ kitabah pada saat demikian.

 

Yang semakna dengan tidak mampu melunasi adalah si budak mukatab tidak mau melunasi cicilan padahal ia mampu untuk membayar. Akad kitabah hukumnya jaiz/tidak paten bagi pihak si budak.

 

Sehingga, setelah akad itu terjadi maka bagi dia diperbolehkan menganggap dirinya tidak « mampu dengan cara yang telah disebutkan di atas. Dan juga diperbolehkan merusak akad kitabah kapanpun ia mau.

 

Walaupun dia memiliki harta yang bisa digunakan untuk melunasi cicilan kitabahnya.

 

Ungkapan Sang Pengarang, “kapanpun ia mau”, memberi pemahaman bahwa sesungguhnya ia berhak memilih untuk merusak akad kitabah.

 

Sedangkan untuk akad kitabah yang fasid, maka hukumnya jaiz bagi pihak budak mukatab dan pihak sang majikan.

 

Bagi budak mukatab diperbolehkan mentasharufkan harta yang berada ditangannya dengan menjual, membeli, menyewakan dan sesamanya, tidak dengan menghibbahkan dan sesamanya.

 

Dalam – sebagian redaksi Kitab Matan menggunakan ungkapan, “budak mukatab memiliki hak untuk mentasharrufkan dengan cara yang bisa menggembangkan harta.”

 

Yang dikehendaki adalah sesungguhnya dengan akad kitabah, si budak mukatab memiliki hak atas manfaat-manfaat dan hasil pekerjaannya, akan tetapi dia berstatus” “.mahjur ‘alaih (orang yang dibekukan tasharrufnya) untuk merusak semua itu tanpa alasan yang benar karena melihat hak sang majikan.

 

Setelah akad kitabah dengan budaknya sah, maka bagi sang majikan wajib untuk memotong/memberi dispensasi dari cicilan kitabah sebagian yang bisa membantu si ‘ budak untuk melunasi cicilan akad kitabahnya.

 

Hukumnya sama dengan memotong, yaitu sang majikan memberikan bagian yang sudah diketahui dari harta kitabah kepada si budak. Akan tetapi memotong itu lebih utama daripada memberikan harta, karena sesungguhnya tujuan dari potongan tersebut adalah menolong untuk memerdekakan, dan bentuk pertolongan itu nyata betul di dalam pemotongan sedangkan dalam pemberian hanya sekedar dugaan saja.

 

Budak mukatab tidak merdeka kecuali setelah membayar semua harta, ya’ni harta yang telah disepakati di dalam akad kitabah dengan mengecualikan kadar yang dipotong oleh pihak sang majikan.

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ummu walad.

 

Ketika sang majikan, baik islam atau kafir, menjima’ budak perempuannnya, walapun saat haidl, atau mahramnya, atau telah dinikahkan dengan orang lain, atau tidak ‘ sampai dijima’ akan tetapi si budak . memasukkan penis atau sperma sang majikan yang muhtaram, kemudian si budak melahirkan bayi yang hidup, atau mati atau | janin yang wajib diberi ganti rugi budak yaitu , janin yang berupa daging yang sudah nampak « bentuk anak Adam pada janin tersebut, dalam sebagian redaksi Kitab Matan “dari bentuk anak Adam” bagi setiap orang atau bagi wania-wanita ahli khubrah, dan dengan melahirkan apa yang telah disebutkan , tersebut si budak berstatus mustauladah bagi sang majikan, maka kalau demikian haram bagi sang majikan untuk menjualnya sekaligus juga batal menjualnya. Kecuali dijual pada si budak itu sendiri, maka hukumnya tidak haram dan tidak batal.

 

Bagi sang majikan juga haram untuk menggadaikan, dan menghibahkan dan mewasiatkannya.

 

Bagi sang majikan diperbolehkan memanfaatkan si budak sebagai pelayan, dan dijima’, dan disewakan dan dipinjamkan.

 

Bagi sang majikan juga berhak menerima ganti rugi dari luka yang dilakukan pada si budak dan anak-anaknya yang mengikuti kepada si budak, dan berhak mendapatkan ganti rugi harga si budak ketika ia dibunuh dan harga anak-anaknya ketika mereka dibunuh.

 

Dan diperbolehkan menikahkannya tanpa seizin darinya kecuali ketika sang majikan orang kafir dan si budak adalah wanita muslim, maka ia tidak bisa untuk menikahkannya.

 

Ketika sang majikan meninggal dunia walaupun sebab dibunuh oleh si budak, maka ‘ budak tersebut merdeka dan dikeluarkan dari seluruh harta peninggalan majikannya (tidak dari sepertiganya saja), begitu juga anak-anaknya merdeka sebelum melunasi hutanghutang yang menjadi tanggungan sang majikan dan wasiat-wasiat yang telah diwasiatkannya.

 

Anaknya ya’ni budak mustauladah dari selain majikannya, dengan arti setelah menjadi mustauladah, si budak melahirkan anak dari suaminya atau dari zina, hukumnya seperti ibunya.

 

Kalau demikian, maka anak yang dilahirkan adalah milik sang majikan dan akan merdeka sebab kematian sang majikan.

 

Barang siapa menjima’ budak perempuan ” orang lain dengan cara nikah atau zina dan – membuatnya hamil kemudian si budak » melahirkan anak darinya, maka anak tersebut milik majikan si budak.

 

Adapun seandainya ada seseorang yang ditipu dengan status merdekanya budak wanita, kemudian orang tersebut menyebabkan si budak melahirkan anak, maka anak tersebut menjadi merdeka, dan bagi orang yang tertipu tersebut harus mengganti harga sang anak kepada majikan budak perempuan itu.

 

Jika seseorang menjima’nya, ya’ni budak wanita orang lain dengan cara syubhat yang dinisbatkan pada si pelaku seperti ia menyangka bahwa sesungguhnya budak itu adalah budaknya atau istrinya yang merdeka, maka anak yang lahir dari budak wanita tersebut adalah merdeka.

 

Dan bagi orang tersebut harus mengganti harga si anak kepada majikan si budak, dan budak perempuan tersebut tidak menjadi ummu walad untuk saat itu tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama’.

 

Jika orang yang telah menjima’” budak perempuan dengan jalan pernikahan telah memiliki budak tersebut yang telah ditalak setelah itu, maka si budak tidak menjadi ummu walad sebab jima’ yang dilakukan dalam pernikahan sebelumnya.

 

Dan budak tersebut menjadi ummu walad sebab dijima’ dengan syubhat sebelumnya menurut salah satu dari dua pendapat. Sedangkan menurut pendapat kedua, budak wanita tersebut tidak menjadi ummu walad bagi si majikan.

 

Dan ini adalah pendapat yang unggul di dalam madzhab as-syaff’i.

 

Sesungguhnya Sang Pengarang rahimahullah ta’ala menghatamnya/memungkasi kitab -nya dengan bab memerdekakan budak karena mengharap agar -nya dimerdekakan oleh Allah Swt dari neraka, dan agar supaya kitab -nya bisa menjadi sebab bisa masuk surga, yaitu ‘ rumah orang-orang yang baik prilakunya.

 

Dan ini adalah pamungkas syarh kitab Ghayah al Ikhtishar tanpa tertalu memanjangmanjangkan kata, maka segala puji bagi Tuhan kita Yang Maha Pemberi Nikmat dan Maha Pemberi.

 

Dan sesungguhnya aku menyusun kitab ini dengan tergesa-gesa dalam waktu sebentar.

 

Dan yang diharapkan dari orang yang mengetahui kesalahan yang kecil atau besar . dalam kitab ini adalah agar berboleh membenarkannya jika memang kesalahan tersebut tidak bisa dijawab dengan cara yang baik.

 

Agar dia termasuk orang yang menolak kejelekan dengan cara yang lebih/paling baik.

 

Dan diharapkan bagi orang yang melihat faedah-faedah di dalam kitab ini -di samping kesalahan-kesalahan-, yaitu orang yang datang dengan kebaikan-kebaikan, agar berkata, “sesungguhnya kebaikan bisa menghilangkan kejelekan.”

 

Dengan kebaikan niat di dalam menyusun kitab ini, semoga Allah menjadikan aku dan anda sekalian bersama dengan para Nabi, Shiddigin, Syuhada’, dan orang-orang shaleh. Merekalah sebaik-baiknya teman disurga.”

 

Dan saya memohon kepada Allah Yang Maha Dermawan dan Maha Pemberi Anugerah agar memberikan kematian dengan membawa | islam dan iman dengan perantara derajat ” pemimpin para Rasul, Pamungkas para Nabi, « dan kekasih Tuhan semesta alam, yaitu Nabi Muhammad ibn Abdillah ibn Abd Al Muthallib ibn Hasyim, yang menjadi pemimpin yang sempurna, pembuka segala kebaikan dan pamungkas para Nabi.

 

Segala puji bagi Allah Sang Maha Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus.

 

Tuhan yang mencukupi aku adalah Allah. Dan Allah adalah sebaik-baik Tuhan yang dipasrahi. Tidak ada daya menghindar dari maksiat dan ada kekuatan melakukan kecuali atas pertolongan Allah Yang Mahaluhur dan Mahaagung.

 

Semoga Allah Ta’ala selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada panutan kita, Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat -nya, dan benar-benar memberi keselamatan yang banyak dan selamanya hingga hari kiamat.

 

Dan semoga Allah rela terhadap para sahabat Rasulullah semuanya.

 

Dan segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam.

 

MUHIMMAT PENUTUP

 

1, Dua Metode Agar Ilmu Kita Selalu Bertambah

 

Agar Seseorang selalu bertambah, maka ada dua tips: 1. Diajarkan. 2. Diamalkan, karena mengamalkan ilmu berfungsi mengembangkan dan memperbanyak ilmu itu sendiri.

 

  1. Waktu dan Tempat yang baik Untuk Menghafal Pelajaran

 

Imam Khatib al-Baghdadi berkata: Paling baik waktu untu menghafal adalah waktu sahur, lalu separuh waktu malam (jam 12 malam), lalu waktu pagi. Menghafal diwaktu malam lebih bermanfaat daripada menghafal diwaktu siang, dan menghafal diwaktu lapar lebih bermanfaat daripada menghafal diwaktu kenyang. Beliau berkata: paling baik tempat menghafal adalah di kamar dan tempat-tempat yang jauh dari hal-hal yang dapat melupakan atau menghilangkan hafalan. Beliau berkata: dan tidak baik menghafal di hadapan tumbuh-tumbuhan, sayur mayur, sungai-sungai dan pinggir jalan, karena hal tersebut pada umumnya dapat menghilangkan konsentrasi pikiran

 

3, Perangkat dan Sarana Untuk Menghafal Pelajaran

 

(Faidah) Disampaikan perangkat dan sarana untuk mendapatkan Ilmu ada empat komponen:

 

  1. Maha guru yang futuh, yakni yang dapat membuka pintu hati muridmuridnya, artinya seseorang yang mempunyai keahlian sempurna dan terkenal sifat integritasnya dan mempunyal penguasaan yang sangat mendalam di dalam ilmu-limu syara’.
  2. Akal yang cerdas, karena sebagai sumber dan dasarnya Ilmu, seandainya tidak ada akal maka tidak akan ada ilmu.
  3. Kitab-kitab yang benar, karena dapat membantu untuk menghasilkan dan mempertahankan ilmu, sebab sesuatu yang ditulis tetap bertahan, sedangkan sesuatu yang dihafal akan cepat hilang dari ingatan.
  4. Kontinyu belajar dan mengulang-ulang pelajaran, dan menetapi atau istigamah di dalam berkhidmah kepada ilmu, yang disertai giat dan semangat di dalam mendapatkan ilmu, dan memahaminya.

 

  1. Sebab-Sebab yang Dapat Memperkuat Daya Menghafal

 

Dikatakan, Sesungguhnya paling bermanfaatnya sesuatu untuk memperkokoh atau memperkuat daya menghafal adalah mengulang-ngulang hafalan dengan kontinyu. Imam Ar-Razi berkata, orang-orang bijak berkata: kekuatan menghafal! dan kekuatan memahami tidak akan berkumpul secara sempurna pada seseorang, karena sesungguhnya memahami mengaharuskan keadaan basah di dalam otak. Sedangkan daya menghafal mengaharuskan keadaan kering di dalam Otak. Adapun mengumpulkan keduanya secara seimbang adalah satu hal yang sulit menurut adat. Dan sebagian dari sebab-sebab yang dapat memperkuat daya mengahafal dan daya memahami adalah takwa kepada Allah dan meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, dan juga melakukan shalat fardhu secara sempurna dan memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, serta meninggalkan sebab-sebab yang menyebabkan kesusahan, seperti hutang dan sesamanya.

 

  1. Metode Pembelajaran Ala Ulama Salaf

 

Dan sebaiknya seorang pelajar memulai belajaranya kepada para maha guru, dan menghafal, mengulang pelajaran dan mempelajari pelajaran yang terpenting lalu yang agak penting. Sedangkan pertama kali yang dihafalkan adalah al-Qur’an yang mulia, karena al-Guran adalah ilmu yang terpenting, dan ulama salaf (ulama yang hidup pada abad 1, 2 dan 3, yang terdiri dari para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in) tidak mengajarkan hadits dan figh kecuali kepada seseorang yang telah menghafal al-Qur’an. Dan ketika seseorang telah hafal al-Qur’an maka hendaknya menjauhi aktifitas belajar hadits, figh dan ilmu yang lain yang dapat mengakibatkan lupa dari al-Qur’an, atau pengkaburan pada hafalan al-Qur’an. Dan setelah menghafal al-Qur’an hendaknya menghafal kitab mukhtashar (ringkasan) dari tiap fan ilmu dan memulai menghafal ilmu yang paling penting. Sedangkan fan ilmu yang paling penting adalah ilmu figh, nahwu, hadits, ushul kemudian ilmu-ilmu yang lain, yang dianggap mudah untuk dihafal. Kemudian la menyibukkan diri dengan mengomentari seluruh ilmu yang dihafal, serta meminta bimbingan dari para guru yang ahli di dalam tiap-tiap fan ilmu, dan apabila memungkinkan mengomentari seluruh pelajaran setiap hari, maka itu lebih baik, namun apabila tidak memungkinkan, maka cukup mengomentari dua atau tiga pelajaran saja.

 

  1. Keunggulan Belajar Kepada Guru, Daripada Hanya Lewat Buku

 

Ulama talah sepakat atas keutamaan belajar dengan mendengar keterangan dari para maha guru daripada belajar secara otodidak dengan perantara kitab, meskipun ada ulama yang berpendapat lain.

 

Keutamaan tersebut ditinjau dari beberapa faktor, antara lain:

 

  1. Datangnya pemahaman ilmu dari guru yang mepunyai nasab jelas berbeda dengan murid yang tidak punya garis nasab, sebab guru yang punya garis nasab, keterangannya akan lebih mudah difahami. Sedangkan murid yang tidak punya jalur nasab senantiasa bersamaan dengan benda tak bernyawa berupa kitab yang tidak bisa diajak bercakap-capak.

 

  1. Ketika pelajar kesulitan memahami pengertian suatu lafadz, akan arahkan oleh guru pada lafadz lain yang lebih mudah dipahami. Kelebihan ini tidak bisa didapatkan dengan membaca sendiri, dengan demikian telah jelas seorang guru lebih efektif didalam penyampaian ilmu.

 

Kendala-kendala berupa kesalahan dan distorsi (pemutar balikan) pemahaman baik berupa kemiripan huruf, kurangnya ketelitian, kekurangan naskah, kesimpulan pengertian yang tidak semestinya, kerancauan peneriaman pemahaman bagi para pemula, ataupun penyebutan isthilah-istihlah yang belum dikenal dalam suatu fan ilmu, semua itu dapat dihindari dengan penjelasan seorang guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengaji di hadapan ulama itu lebih utama daripada membaca sendiri dari kitab.