Kitab Ittihaf Sail Dan Terjemah [PDF]

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan pertolongan Allah swt Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Maha Suci Engkau ya Allah. Tidak ada ilmu bagi kami, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

 

Segala puji bagi Allah swt yang tidak akan pernah mengecewakan siapapun yang berharap kepada-Nya. Tidak akan menolak harapan orang yang meminta kepada-Nya. Tidak akan memutuskan hubungan orang yang menjalin hubungan dengan-Nya. Tidak akan menipu orang yang bekerja sama dengan-Nya. Tidak akan merusak nikmat orang yang bersyukur kepada-Nya.

 

Tidak akan terhina, orang yang mendapat pertolongan-Nya. Tidak akan gelisah orang yang selalu mengingat-Nya. Tidak akan selamat orang yang tidak mau berserah diri kepada kekuasaan-Nya. Tidak akan tersia-siakan, orang yang berserah diri kepada-Nya. Tidak akan tersiasiakan, orang yang berlindung kepada-Nya. Tidak akan terhina, orang yang berlindung di sisi-Nya.

 

Aku memuji kepada-Nya atas segala yang diilhamkan dan yang diajarkan oleh-Nya. Aku bersyukur kepada-Nya atas segala anugerah dan karunia-Nya. Aku memohon bantuan-Nya untuk melaksanakan kewajiban-Nya yang agung. Aku berlindung dengan cahaya Dzat-Nya Yang Maha Mulia, dari hilangnya segala nikmat serta dari segala bentuk dahsyatnya adzab dan siksaan.

 

Aku bershalawat dan bersalam bagi Nabi-Nya yang paling mulia, Rasul-Nya yang paling agung, kekasih-Nya yang paling terhormat, junjungan dan pimpinan kami, Baginda Nabi Muhammad saw beserta segenap keluarga dan para sahabatnya, yang merupakan tambang keutamaan serta kemuliaan, sumber ilmu dan hikmah, selama pena masih berdiri dan ilmu masih dapat ditegakkan.

 

Selanjutnya, asy-Syeikh Abdurahman ibnu Abdillah ‘Ibad yang mulia mohon jawaban dariku tentang beberapa masalah yang akan ia catat dalam sebuah buku. Ia datang kepadaku dengan membawa buku catatannya di Kota Syibam ketika aku dalam perjalanan pulang dari berziarah ke Makam asy-Syeikh Sa’id bin Isa al-“Amudi dan sejumlah para shalihin yang berada di kota itu, baik yang sudah meninggal dunia maupun yang masih hidup. Akupun menjanjikan jawaban kepadanya, karena aku melihat adanya antusias darinya untuk mengetahui kebenaran serta akupun mencium aroma kejujuran darinya.

 

Dan sekarang waktu pelaksanaan janji tersebut sudah tiba, maka dengan kekuatan dan upaya Allah swt serta kemuliaan-Nya, untuk memberikan jawaban yang relevan dengan pertanyaan yang sudah Disampaikan dengan jawaban yang singkat dan padat. Aku berpikir perlu diberikan sebuah mukaddimah untuk jawaban masalah tersebut yang sekaligus dapat dijadikan sebagai pembuka serta sebagai bentuk penghormatan kepada sang penanya, dan juga kepada mereka-merek, yang peduli dengan masalah tersebut.

 

Maka aku pun memberikan jawaban, sebagai orang yang memohon bantuan kepada Allah swt, sebagai orang yang berserah diri kepada-Nya dan sebagai orang yang menyerahkan semua masalahnya kepada Allah swt serta sebagai orang yang memohon kepada-Nya untuk memberikan petunjuk kepada kebenaran yang ada di sisi-Nya. Sesungguhnya Dia akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya untuk menuju jalan yang lurus.

 

Allah swt berfirman dalam al-Qur’an:

 

Artinya: “Jalan Allah swt, yang menjadi milik-Nyalah semua yang ade di langit dan semua yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa hanya kepada Allah swt-lah semua masalah akan kembali.” (Qs. asy-Syuara ayat: 58).

 

 

Aku menyadari bahwa pertanyaan untuk berbagai kepentingan dan kesulitan, sekaligus juga untuk menambah ilmu serta wawasan, merupakan kebiasaan orang-orang pilihan. Dengan kata lain, pertanyaan akan menjadi sesuatu yang wajib ketika pertanyaan itu berhubungan dengan pengetahuan yang wajib. Dan hal itu akan menjadi keutamaan untuk pengetahuan yang memberikan keutamaan.

 

Pertanyaan merupakan kunci untuk mengetahui apa-apa yang ada di dalam dada dan hati dari berbagai ilmu pengetahuan serta rahasia alam ghaib. Seseorang tidak akan dapat masuk ke dalam sebuah rumah, kemudian mengambil barang dan perhiasan, kecuali dengan menggunakan sebuah kunci.

 

Demikian halnya dengan seseorang, ia tidak akan dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan dari para ulama dan kaum ‘arifin, kecuali dengan bertanya untuk mendapatkan sebuah pengetahuan. Tentunya yang diiringi dengan kejujuran, antusiasme dan adab yang baik. Syari’at sendiri memerintahkan untuk bertanya, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah firman:

 

Artinya: “Bertanyalah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum dirimu.” (Qs. Yunus ayat: 94)

Dalam ayat lain, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Maka bertanyalah kalian kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui dengan berbagai penjelasan dan keterangan.” (Qs. an-Nahlayat: 48).

 

Rasulullah saw bersabda:

 

Artinya: “Pertanyaan yang baik adalah setengah dari ilmu pengetahuan.”

 

Setiap orang yang diberitahu tentang luasnya ilmu sang ‘alim, maka ja pun akan mendatanginya untuk mendapatkan pengetahuan yang dimilikinya itu. Lalu ia pun bertanya dan meminta jawaban darinya. Hal tersebut diriwayatkan dari Sahabat Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, serta lainnya dari ulama salaf maupun ulama khalaf.

 

Para ulama mutagaddimin menghimbau kepada manusia untuk banyak bertanya. Pada masa-masa keemasan Islam, saat pada zaman Urwah ibnu Zubair, Hasan al-Basri, Qatadah, Sofyan ats-Tsauri, serta masih banyak lagi, mereka memerintahkan umat untuk bertanya kepada mereka. al-Iman Sofyan ats-Tsauri, ia segera keluar dari suatu kota jika tidak ada seorangpun yang bertanya kepadanya. Dalam sebuah kesempatan ia berkata: “Ini adalah kota yang mati akan ilmu pengetahuannya.”

 

Begitu juga dengan al-Imam asy-Syibli, ketika ia sudah duduk dj tengah halagahnya dan tidak ada seorang pun yang bertanya kepadanya, maka ia akan membaca ayat berikut:

 

Artinya: “Dan jatuhlah ketetapan kepada mereka karena kedzaliman mereka, maka mereka pun tidak berbicara.”

 

Terkadang, seorang ‘alim bertanya kepada mereka yang duduk di sekitarnya, agar ia dapat memberi pengetahuan kepada mereka, dan untuk mengetahui ilmu mereka, sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadis yang shahih, bahwa Rasulullah saw berada di antara sekelompok sahabat. Kemudian beliau saw bertanya kepada mereka mengenai pohon yang tidak pernah jatuh daunnya, pohon itu bagai seorang mukmin.

 

Mereka pun tidak mengetahuinya, hingga kemudian Rasulullah saw memberitahukannya bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma. Sebenarnya diantara mereka ada Ibnu Umar ra. Ia tahu bahwa yang dimaksudkan adalah pohon kurma, namun ia tidak mau menjawabnya. Ketika ia menceritakan hal itu kepada ayahnya, Khalifah Umar ra, maka ayahnya itu mencela sikap Ibnu Umar ra tersebut.

 

Khalifah Umar ra sendiri banyak mengajukan pertanyaan kepada mereka yang duduk di sampingnya. Ketika ia bertanya kepada seseorang, kemudian ia memberi jawaban: Allah swt lah Yang Maha Mengetahui.”

 

Maka ia akan marah seraya berkata: Aku tidak menanyaimu tentang ilmu Allah swt, namun aku bertanya kepadamu tentang pengetahuanmu, maka Jawablah pertanyaanku, aku tahu atau aku tidak tahu.”

 

Terkadang, seorang ‘alim bertanya kepada teman duduknya tentang apa yang diketahuinya, agar diketahui oleh yang lain, contohnya adalah pertanyaan Malaikat Jibril as kepada Rasulullah saw tentang iman, Islam dan ihsan. Mungkin saja seorang yang lebih rendah pengetahuannya bertanya kepada yang mempunyai iman yang lebih tinggi, karena suatu rahasia yang sangat lembut. Contohnya adalah pertanyaan Khalifah Umar ra kepada Sahabat Hudzaifah ra tentang fitnah dan kemunafikan.

 

Terkadang seorang ‘alim bertanya kepada orang ‘alim yang sama, atau kepada orang dekatnya tentang sesuatu dari al-Qur’an atau hadis, untuk mengetahui apakah pengertian orang tersebut sama dengan pengertiannya, agar dapat menguatkan serta mendukung pengertiannya. Contohnya, pertanyaan Khalifah Umar kepada sekelompok sahabat tentang pengertian surat an-Nashr.

 

Ternyata mereka semua tidak senada pengertiannya, selain Ibnu Abbas. Hal semacam ini sering terjadi pada kalangan ulama-ulama besar di masa lalu maupun zaman sekarang ini. Sementara pertanyaan Khalifah Umar ra kepada Khalifah Ali ra adalah untuk mendapat ilmu darinya, karena Sayyidina Ali mempunyai keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh sahabat lain. Ia adalah pintu gerbang dari kota ilmu, yaitu Rasulullah saw.

 

Adapun larangan Rasulullah saw kepada para sahabat untuk tidak banyak bertanya, meskipun larangan itu bersifat universal, namun sifat larangan itu secara spesifik adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah hukum-hukum, hukum pidana dan kondisi manusia, sebagai aplikasi kasih sayang beliau saw kepada umatnya, agar mereka tidak mendapat beban yang sulit pelaksanaannya.

 

Sebagai buktinya adalah firman Allah swt:

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya dapat menyusahkan kalian dan jika kalian menanyakan di waktu alQur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian.

 

Allah swt memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu. Allah swt Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kalian menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka) kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (Qs. al-Maaidahayat 101-102)

 

Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah swt mewajibkan berbagai kewajiban, Janganlah kahan menyia-nyiakannya, dan membatasi berbagai batasan, maka jangan kalian melewatinya dan mengharamkan berbagai aspek, maka janganlah kalian melanggarnya. Dan mendiamkan berbagai aspek sebagai kasih sayang-Nya kepada kalian, bukan karena lupa, makajanganlah kalian mempermasalahkannya.”

 

Dalam hadis lain dikatakan:

 

Artinya: “Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kahan adalah karena mereka banyak bertanya dan banyak menentang nabi-nabi mereka.”

 

Pernah ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw tentang ibadah haji: “Apakah haji itu diwajibkan untuk setiap tahun?” Mendengar pertanyaan itu, beliau saw diam dan tidak menjawabnya. Ketika orang tersebut bertanya hingga berulang kali, barulah beliau saw menjawab: “Memang hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup. Andaikata saja ak berikan jawaban: “Ya, maka hal itu akan diwajibkan setiap tahun, dan tentulah kalian tidak akan mampu melakukannya.”

 

Sebagaimana firman Allah swt di dalam al-Qur’an:

 

Artinya: “Barangsiapa yang taat kepada Rasulullah saw, maka ia benar. benar telah taat kepada Allah swt.”

 

Dalam firman Allah swt yang lain disebutkan:

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membaiatmu (Muhammad saw), sesungguhnya mereka telah membarat Allah swt.”

 

Selayaknya, seorang santri bertanya kepada syeikhnya tentang sesuatu, tidak mempunyai maksud apapun, selain untuk mencari ilmu pengetahuan. Jangan sekali-kali bermaksud untuk menguji dan melihat kedalaman ilmu syeikhnya, agar tidak membawa kebodohan dan kerugian.

 

Seorang guru apabila ditanya oleh muridnya tentang suatu masalah yang tidak dapat dimengerti olehnya, hendaknya ia melihat kpadaan si penanya, apakah jika ia diberi jawabannya tidak akan rugikan agamanya, tidak akan menyebabkan ia marah dan tidak akan menyebabkan ia berpaling dari tujuannya, Jika hal-hal tersebut tidak kan terjadi, maka beritahukan jawabannya.

 

Kalau sebaliknya, maka berilah jawaban yang sesuai dengan batas ilmu dan pengertian yang ia miliki. Jika ia menarik kembali pertanyaannya, maka janganlah ia sampai berkata seperti yang diucapkan oleh seorang ahli ilmu hakikat: “Tugasku hanya menyusun gawafi-gawafi dari sumbernya, maka bukan salahku jika seekor sapi memahaminya.”

 

Ucapan di atas memberi pengertian bahwa setiap ucapan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi pendengarnya. Seorang syeikh atau seorang guru harus bersikap sebagai seorang ayah, ia harus memiliki sifat penyayang. Atau sebagai seorang kawan yang amat dekat, hendaknya ia berbicara dan bergaul dengansetiaporang sesuaidengan kepentingan dan manfaatnya.

 

Para ‘arifbillah mempunyai beberapa pengalaman dan pemikiran yang amat dalam, mereka tidak dapat menjawab setiap pertanyaan sesuai dengan kemampuan dan kondisi si penanya, seperti yang kami sebutkan tadi. Karena itu, sebaiknya kalian menyerahkan jawabannya menurut kebijaksanaan mereka, karena mereka bukanlah orang-orang yang pantas untuk dibantah atau disebut orang-orang bodoh atau tidak mengerti.

 

Seorang dibolehkan bertanya dengan maksud menguji dalam dua kesempatan: Pertama, jika ada seorang murid yang kagum kepada dirinya sendiri, sehingga ia enggan mencari ilmu dan mencari tambahannya dan ia tidak mau mengakui keutamaan orang lain, maka sang syeikh hendaknya menguji kedalaman ilmu murid tersebut, agar ia mengerti kekurangannya, dan sebaiknya pengujian tersebut dilakukan di tempat tersendiri, agar tidak diketahui orang lain.

 

Kedua, jika ada seorang munafik yang manis tutur katanya, sehingga dikhawatirkan ia dapat memberi pengaruh negatif kepada orang-orang beriman yang lemah dengan memasukkan unsur-unsur yang asing ke dalam agama, maka seorang syeikh atau seorang guru boleh menguji kedalaman ilmu orang tersebut di hadapan orang banyak, agar mereka mengerti tentang keburukannya dan kebodohannya dan sekaligus sebagai nasehat bagi tersangka agar ia menyesali kesalahannya dan mau kembali kepada kebenaran.

 

Hal-hal semacam ini mengundang para ulama untuk mendebat para ahli bid’ah, orang-orang yang sesat dan orang-orang yang hendak merubah agama. Jika seorang ‘alim ditanya tentang ilmu pengetahuan yang pantas untuk dijawab, maka ia tidak boleh enggan menjawabnya, karena Rasulullah saw pernah bersabda:

 

Artinya: “Barangsiapa ditanya tentang suatu pengetahuan dan menyembunyikannya, maka di hari kiamat kelak ia akan diberi tali kendali dari api.”

 

Bagi para ulama masa kini, hendaknya mereka tidak menyembunyikan ilmunya sampai ada orang yang bertanya kepada mereka, sebab pada masa kini kebanyakan orang suka menganggap ringan terhadap masalah-masalah agama, tidak begitu mempedulikan ilmu pengetahuan dan apa saja yang bermanfaat di akhirat, sehingga mungkin saja seorang sudah beruban jenggotnya, namun ia tidak mengetahui fardhufardhunya wudhu’ dan shalat.

 

Bahkan ilmu keimanannya pun terhadap Allah swt, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat tidak cukup, atau boleh saja dikatakan tidak mengetahui sama sekali. Kejadian ini cukup dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh para ulama, jika merekamengerti.

 

Seorang santri yang ingin menuju ke jalan Allah swt yang keinginannya hanya ingin mengenal Allah swt, yang ingin bebas dari segala ikatan yang menyibukkan diri dari jalan menuju Allah swt, hendaknya ia tidak menanyakan ilmu, kecuali yang ia butuhkan menurut keadaannya dan waktunya. Akan tetapi seorang penuntut ilmu yang semacam ini cukup sedikit bilangannya di masa kini.

 

Sebaiknya, setiap orang suka bertanya tentang ilmu pengetahuan, demi untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui dan untuk menambah khazanah yang telah ia ketahui, setiap mukmin tidak boleh berhenti mencari kebaikan, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis:

 

Artinya: Ada dua penjarah yang tidak pernah merasa kenyang. Yaitu penjarah ilmu pengetahuan dan penjarah harta.”

 

Hal ini pernah dialami oleh seorang sufi, yaitu asy-Syeikh Daud athThaa’i, ketika ia telah berkeinginan keras untuk menempuh jalan menuju Allah swt, maka ia mulai suka menghadiri majelis taklim, salah satunya ia menghadiri majelis taklim al-Imam Abu Hanifah hampir satu tahun. Selama itu, ja ingin menanyakan beberapa masalah, tetapi ia menekan nafsunya seperti yang kami sebutkan di atas bahwa seorang santri sebaiknya tidak menanyakan ilmu pengetahuan, kecuali jika sangat mendesak.

 

Sebenarnya masalah-masalah yang kami sebutkan di dalam mukaddimah ini cukup banyak dalilnya, yang andaikata kami tuangkan semuanya, tentunya kami keluar dari keinginan kami untuk menerangkan secara ringkas. Meskipun demikian, apa yang dituangkan kami rasa cukup untuk menambah keteguhan dan keyakinan kita. Dan selebihnya, sebaiknya kami pasrah diri kepada Allah swt, sebab Dialah sebaik-baik tempat untuk berpasrah diri.

 

 

 

Kini kita tiba pada tujuan utama kita, yaitu membahas masalahmasalah agama. Hanya Allah swt yang berkata benar dan hanya Dia yang menunjukkan kita ke jalan yang benar yang diridhai-Nya. Pernah aku ditanya tentang makna kalimat Laa ilaaha illallah?

 

Ketahuilah, bahwa semua ilmu agama dan medianya kembali kepada penjabaran makna kalimat Laa ilaaha illallah. Hanya di dalam penjabaran kalimat inilah tercakup adanya kandungan perintah, larangan, janji, ancaman serta masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Bagaimanapun ketepatan penjabarannya, maka hal itu hanya sebatas hukum akibat, namun untuk mengetahui motivasinya secara lengkap, tidaklah mudah apalagi untuk mengungkap hakikatnya.

 

Adapun penjabaran maknanya adalah, hal itu suatu ilmu yang dikenal dengan ilmu tauhid, yang keluasannya bagaikan lautan yang tak bertepi, yang tidak diketahui kedalamannya. Para ahli ilmu kalam telah berusaha mengarungi keluasannya, para ‘arifin telah berusaha menyelami kedalamannya, mereka semua hanya mendapati berbagai kerahasiaannya dan keajaibannya yang tidak terbilang jumlah dan nilainya.

 

Setelah melewati pembahasan dan pemikiran yang luas, maka mereka mengakui tidak mampu untuk menjabarkan kalimat tersebut secara tepat. Sebab untuk mengetahui ilmu tauhid menurut porsi yang semestinya diperlukan mengenali Dzat Allah swt dan sifat-sifat-Nya yang sulit untuk dijangkau oleh pikiran biasa.

 

Bahkan, para ahli hakekat pun mengakui tidak mampu untuk mengetahui Dzat Allah swt dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Maka tidak benar pengakuan yang disebutkan oleh suatu kelompok yang mengaku dapat mengenali Dzat Allah swt dan sifat-sifat-Nya secara keseluruhan. Sebab, untuk mencapai hal itu adalah mustahil.

 

Apalagi untuk mengenali sesuatu dan sifat-sifatnya secara menyeluruh, maka dibutuhkan pengetahuan yang dapat mengungguli sesuatu yang dikenali beserta sifat-sifatnya, sedangkan Dzat Allah swt dan sifat-sifat-Nya tidak dapat diungguli oleh apapun dan oleh Siapapun, Sebaliknya Dia meliputi dan mengungguli apapun dan siapapun. 

 

 

 

 

Ilmu tauhid terbagi dalam dua bagian, yang pertama, ilmu tauhid lahiriyah, yaitu ilmu yang dapat diketahui dalil-dalilnya dan bukti-buktinya. Setiap mukmin wajib mengetahuinya dan meyakininya, tanpanya keimanan seorang tidak dapat terwujud. Seorang ahli kalam adalah seorang yang berkecimpung dan mendalami ilmu kalam sebanyak mungkin, dan sibuk meneliti dalil-dalilnya dan bukti-buktinya. Ia lebih unggul dari orang-orang mukmin biasa dan keunggulannya di bidang iman dan ilmunya, kalau tidak ia hanya bentuknya saja.

 

Sedangkan yang kedua adalah tauhid batin, yaitu sesuatu yang tidak dapat diketahui tanpa sarana kasyaf dan bukti pandangan mata. Tauhid macam ini mewariskan takwa dan makna petunjuk yang dihasilkan dari mujahadah, ia adalah rahasia di antara seorang hamba dengan Tuhannya.

 

Para ahlinya saling berbeda tingkatan. Mereka mempunyai kecemburuan yang sempurna terhadap siapapun yang bukan ahlinya. Biasanya jika Imam Junaid hendak membicarakan masalah tauhid dengan kawan-kawannya, maka ia menutup pintunya dan menyimpan kuncinya di sakunya, karena rasa sayangnya kepada orang-orang beriman.

 

Seorang yang bukan ahlinya bila mendalami ilmu tauhid, mungkin ja bisa menjadi ingkar, sehingga ia termasuk orang-orang pendusta di sisi Allah swt, karena ia tidak mengetahui ilmu ini sedikitpun atau mungkin juga ia menjadi seorang yang beriman dan ia memahaminya secara tidak tepat, sehingga ia mengikuti jalan yang salah.

 

Mungkin saja ada beberapa kitab yang mencoba memaparkan pengetahuan ini, diantaranya adalah Kitab Ihya’ “Ulumuddin dan alDuut. Mereka memberikan sedikit toleransi kepada seorang murid yang sungguh-sungguh untuk mengerti ilmu mu’amalah yang mereka terangkan. Kalau tidak, mereka cukup pelit untuk menerangkannya.

 

Tidaklah engkau lihat ketika al-Imam Ghazali menerangkan ilmu tauhid dan mulai masuk ke dalam lautan yang tidak bertepi, maka ia berkata: “Sebaiknya kami berhenti sampai di batas ini.” Dan ada kalanya ia berkata: “Bagian ini adalah rahasia, sebaiknya kami lewati saja bagian yang ini.”

 

Dalam kesempatan yang lain, ia berkata: “Bagian ini termasuk ilmu, mukasyafah, kami tidak ingin membicarakannya dalam pembicaraan ilmu, mu’amalah.”

 

Adapun Jika ada sebagian kaum sufi yang membicarakan ilmu tauhid di dalam karya-karya tulisnya, seperti asy-Syeikh al-Haitamj dan asy-Syeikh al-Kailani dan yang selainnya, maka anggaplah karya tulis mereka sebagai suatu yang kebetulan, dan yang kebetulan adalah ma’dzur atau telah mendapat izin, dan yang telah mendapat izin, wajib menjalankan perintahnya, sedangkan rahasia pemberian izin tersebut tidak boleh disebutkan kecuali secara pembicaraan langsung.

 

 

 

 

Dalam kesempatan ini sebaiknya kami bicarakan sedikit penjabaran makna Laa :laaha illallaah. Dan di muka telah kami jelaskan ketidakmampuan kami untuk menerangkan kalimat Laa ilaaha:llallaah secara batin.

 

Adapun makna Laa ilaaha illallaah secara lahir adalah kita harus meyakini bahwa eksistensi Dzat Allah swt hukumnya wajib, Dia Maha Esa, Maha Tunggal, Penguasa, Maha Kuasa, Hidup, Berdiri sendiri, Terdahulu, Maha Kekal, Maha Abadi, Maha Langgeng. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia berbuat segala sesuatu sekehendak-Nya, Dia menentukan segala sesuatu sekehendak-Nya.

 

Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maha Suci Allah swt dari persamaan dan tandingan, dan dari teman dan pembantu. Allah swt tidak terikat oleh masa dan keadaan. Tidak terliputi oleh arah dan tidak ternodai oleh kejadian apapun. Allah swt tidak butuh kepada siapapun secara mutlak. Sebaliknya, segala sesuatu butuh kepada pertolongan-Nya.

 

Dia menciptakan segala makhluk-Nya termasuk perbuatan baik buruknya masing-masing. Allah swt Maha Sempurna segala ciptaanNya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dia memberi karunia kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menahan karunia kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

 

Dia memberi ampun kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dia tidak pantas untuk ditanya apa yang Dia lakukan, sebaliknya, Dia pantas menanya mereka. Dia menciptakan makhluk-Nya dan menetapkan rizkinya masingmasing. Dia menurunkan kitab-kitab suci, mengutus para rasul untuk membimbing manusia, karena kelemah-lembutan-Nya dan karuniaNya kepada mereka.

 

Semua hamba-Nya wajib mengesakan-Nya, mentaati-Nya dengan mengikuti sabda rasul-rasul-Nya, tidak seorangpun berhak memaksaNya karena Dia Pemilik segala sesuatu, Penguasa segala sesuatu, tidak seorangpun yang menyertai-Nya dalam kepemilikan dan hak segala sesuatu. Dia menjanjikan pahala kepada orang-orang yang berbuat kebajikan demi kemurahan-Nya, dan Dia menjanjikan siksa bagi orangorang yang melanggar-Nya karena keadilan-Nya.

 

Tuhan Yang Maha Suci adalah Tuhan yang memiliki sifat-sifat yang Maha Sempurna. Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, semua sifat-sifat Yang Maha Sempurna tadi hanya milik-Nya, bukan untuk selain-Nya. Maka siapapun yang mengingkari ketuhanan Allah Yang Maha Esa, atau mengakui ketuhanan yang lain, atau Menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka ia telah berbuat kedustaan terbesar dan ia akan merugi. sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an:

 

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk 181 neraka Jahanam, kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah swt) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah swt), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah swt). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs. al-A’raaf ayat: 179).

 

 

 

Ketahuilah bahwa kalimat tersebut mempunyai dua bagian. Pertama adalah bagian nafi, yaitu ucapan: “Laa ilaaha” yang artinya: “Tidak ada Tuhan.” Dan kedua adalah bagian ztsbat, yaitu ucapan: “illallaah” yang artinya: “Kecuali Allah swt.” Jika kalimat nafi dan itsbat diucapkan oleh seorang yang tidak mempersekutukan Allah swt dengan sesuatu.

 

Maka artinya adalah penafian dan penolakan terhadap dugaan orang musyrikin yang beranggapan bahwa ada tuhan lain bersama Allah swt dan menetapkan pengertian tauhid di dalam hati, dan pengertian ini makin bertambah teguh dengan diucapkannya kalimat ini berulang kali, seperti yang disabdakan Rasulullah saw dikatakan:

 

Artinya: “Perbaharuilah selalu iman kalian dengan ucapan: “Laa ilaaha illallaah.”

 

Demikian pula kalimat syirik mempunyai berbagai arti tersembunyi dan sangat kecil, yang tidak dapat terselamatkan daripadanya, kecuali para ‘arif ahli hakikat dan orang-orang yang diberi kasyaf yang dapat melihat kebenaran dengan mata telanjang. Ada kalanya seorang mukmin terkena sedikit penyakit syirik, meskipun ia tidak menyadarinya.

 

Contohnya Jika seorang percaya bahwa ada selain Allah swt yang dapat mendatangkan kebaikan dan menolak malapetaka secara mandiri. Termasuk juga jika seorang mempunyai antusias untuk berkuasa atas orang lain, menguasai hak-hak mereka, menyukai kedudukan, penghormatan dan pujian dari manusia.

 

Sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad saw:

 

Artinya: “Kemusyrikan di tengah umatku lebih tersembunyi dari merayapnya semut hitam.”

 

Rasulullah saw sendiri menyebut riya’ dengan sebutan syirik kecil. Adakalanya seorang menyekutukan Allah swt dengan dirinya sendiri atau dengan lainnya, sedang ia tidak menyadarinya. Karena itu, seorang mukmin wajib menjaga dirinya dari syirik yang samar, sebagaimana ia wajib menjaga dirinya dari syirik yang terlihat. Kemusyrikan dalam dimensi ini tidak mempengaruhi pondasi iman yang menjadi sumber keselamatan manusia, akan tetapi ja dapat mengurangi kesempurnaannya.

 

Telah kami bicarakan sebelumnya, bahwa setiap muwahhid wajib menolak ketuhanan sesuatu selain Allah swt, sekaligus merupakan sanggahan bagi kaum musyrikin dan mereka yang beranggapan demikian. Kami menyebut keyakinan mereka rapuh, karena penuh berbagai angan-angan yang timbul dari pemahaman dan pemikiran yang rapuh, yang menyebabkan rusaknya metabolisme tubuh serta hilangnya akal.

 

Jikalau tidak, bagaimana mungkin hal itu dapat tersembunyi dari perasaan seorang yang mempunyai indra penglihatan dan pendengaran, apalagi dari penglihatan dan pendengaran hati sanubari seorang tentang wujud Allah swt yang menjadi satu-satunya sumber bagi segala sesuatu. Akan tetapi, siapapun yang disesatkan oleh Allah swt, maka ia tidak akan memperoleh petunjuk, dan siapapun yang diberi petunjuk oleh Allah swt, maka ia tidak akan tersesat oleh penyesat.

 

Mereka itulah orang-orang yang dihilangkan pendengarannya dan penglihatannya oleh Allah swt, dan mereka dibiarkan dalam kesesatannya, sehingga mereka tidak dapat melihat kebenaran, mereka tuli, bisu dan buta, dan mereka tidak akan kembali kepada jalan yang benar.

 

Dalam sebuah sya’ir disebutkan: “Sungguh amat mengherankan, bagaimana seorang dapat menentang Allah swt atau mendurhakai-Nya? Padahal, pada setiap benda ada tanda-tanda yang menyaksikan bahwa Allah swt adalah Tuhan Yang Maha Esa. Pada setiap benda yang bergerak ataupun yang menetap ada saksi bahwa Allah swt adalah Tuhan Yang Maha Esa.”

 

Salah seorang ‘arifbillah berkata: “Siapapun yang minta bukti atas keesaan Allah swt, maka keledai lebih mengenal Allah swt daripadanya.” Andaikata kami tidak meringkasnya, karena berbagai alasan yang hanya diketahui oleh Allah swt, tentu kami akan menguraikan masalah ini panjang lebar, sehingga orang yang berakal akan puas karenanya, dan Allah swt Maha Mengawasi apapun yang aku ucapkan.

 

 

Tidak mungkin ada dua Tuhan atau lebih di alam semesta ini

 

Para ulama hakekat mengatakan bahwa hanya Allah swt lah adalah Dzat yang pantas untuk disembah, dan Dia adalah Dzat yang menciptakan, yang memberi rizki. Adapun Dzat Yang Menciptakan segala sesuatu dan memberi rizki adalah Allah swt semata, maka Dialah Tuhan yang pantas untuk disembah, Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.

 

Dalam dimensi rasional dan yuridis, merupakan sesuatu yang mustahil jika di alam semesta ini ada Tuhan lebih dari satu. Maka sudah sepantasnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Sebagai bukti kemustahilannya bahwa ada Tuhan lebih dari satu, adalah firman Allah swt dalam al-Qur’an:

 

Artinya: “Sekiranya di langit dan di bumi ada dua Tuhan selain Allah swt, tentulah keduanya itu telah rusak binasa, maka Maha Suci Allah Yang mempunyai Arasy dari apa yang mereka sifatkan.” (Qs. al-Anbiya’ ayat: 22).

 

Sebagaimanafirman Allah swt didalam al-Qur’an:

 

Artinya: Allah swt sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masingmasing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah swt dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Qs. al-Mukminun ayat: 91).

 

Siapapun yang mengaku dirinya sebagai tuhan, seperti Raja Namrud dan Firaun, atau apapun yang diakui oleh manusia sebagai tuhan, seperti bintang-bintang dan batu-batu, maka pada dirinya akan terlihat jelas kekurangannya, ketidakmampuannya, ketergantungannya, keterpaksaannya, dan kemakhlukannya, yang mengindikasikan bahwa yang mengakui itu adalah manusia biasa, atau benda-bendalain yang diakui sebagai Tuhan.

 

Secara terang dapat kami katakan bahwa seorang yang mengaku sebagai tuhan, maka anggapannya adalah rapuh dan ilusinya salah,

 

karena anggapannya lahir dari kemampuan dirinya untuk melakukan salah satu, seperti yang dikisahkan oleh Allah swt tentang Ibrahim as dan Namrud, yaitu ketika Ibrahim as berkata kepada Namrud: “Tuhanku dapat menghidupkan dan dapat mematikan.” Maka Namrud berkata: Akupun dapat menghidupkan dan mematikan.”

 

Dalam kajian tafsir dikatakan, untuk membuktikan argumentasinya, ja mengundang dua orang lelaki, kemudian ia membunuh lelaki yang pertama dan menmbiarkan hidup lelaki yang kedua. Indikasi yang sama juga terlihat dalam firman Allah swt tentang Fir’aun dalam ayat berikut:

 

Artinya: “Bukankah kekuasaan Mesir berada di tanganku dan sungai ini mengalir di bawahku. Tidakkah kalian melihat?” (Qs. az-Zukhruf ayat: 51).

 

Tidak diragukan bahwa kedua orang yang terkutuk ini mengetahui kesalahan pengakuannya, akan tetapi keduanya merasa berkuasa dani dapat berlaku sewenang-wenang, maka pengakuannya sebagai Tuhan tidak dibantah oleh siapapun, khususnya oleh orang-orang lemah. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah swt didalam al-Qur’an:

 

Artinya: “Maka Fir’aun menganggap remeh kaumnya dan mereka pun mentaatinya, sesungguhnya mereka adalah orang-orang fasik.” (Qs. azzukhruf ayat: 54).

 

Diberitakan dalam sebuah riwayat bahwa, ketika rakyat Mesir meminta kepada Fir’aun untuk dialirkannya Sungai Nil yang ketika itu sedang kering, maka Fir’aun keluar beserta kaumnya ke tepi Sungai Nil, kemudian meminta mereka meninggalkannya sendirian. Kemudian ia menempelkan pipinya di tanah sambil memohon kepada Allah swt dengan penuh rendah diri agar air Sungai Nil segera dialirkan.

 

Permohonan Fir’aun ini dikabulkan oleh Allah swt sebagai istidraj baginya, agar dosanya makin bertambah banyak. Setelah airnya mengalir, maka ia berkata: “Hanya aku yang dapat mengalirkan air sungai Nil ini.” Dari cerita ini dapat kita buktikan kebenaran dari keterangan kami di atas. Di balik kalimat ini terdapat rahasia-rahasia yang tidak pantas untuk dipaparkan di dalam kitab ini.

 

Ketahuilah bahwa kajian dalam pasal-pasal ini nampaknya tumpang tindih dan artinya saling mendekati. Kami sengaja tidak menyebutkan penguraian kalimat-kalimat menurut tata bahasanya, tetapi hukumnya dan keutamaannya itulah yang kami maksud, bukanlah kami bertujuan untuk membahas tentang tata bahasanya. 

 

 

 

 

 

Cukup dimengerti hukum dan keutamaan kalimat tauhid ini, sehingga seorang yang mengingkari kalimat tersebut, maka ia akan abadi di dalam neraka Jahanam. Kalau seorang pernah hidup selama tujuh puluh tahun dalam keadaan kafir, namun kemudian ia mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah dengan keyakinan yang penuh bahwa tiada Tuhan selain Allah swt, maka darah dan hartanya terlindungi, ia telah keluar dari dosa-dosanya seolah-olah ia baru dilahirkan dari perut ibunya.

 

Andaikata seseorang menemui Allah swt dengan membawa dosa sepenuh manusia di masa lalu dan di akhir masa, tetapi ia tidak menyekutukan Allah swt dengan apapun, mungkin Allah swt akan mengampuninya dan mungkin pula Allah swt akan menyiksanya demi untuk membersihkan dosa-dosanya terlebih dahulu, sebab tidak seorangpun dari ahli tauhid yang kekal di dalam api neraka. Ahli tauhid adalah seorang yang mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah swt, seperti yang tercakup dalam makna kalimat yang mulia ini. Dalam sebuah hadis disebutkan:

 

Artinya: “Aku diperintah memerangi manusia, sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt, dan bahwa aku adalah utusan Allah swt, mendirikan shalat dan memberikan zakat. Jika mereka melakukan itu, maka darah dan harta mereka sudah terpelihara dariku, kecuali demi sanksi menurut Islam, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah swt.”

 

Dalam hadis lain disebutkan:

 

Artinya: “Siapapun yang akhir ucapannya kalimat Laa ilaaha illalah maka ia akan masuk surga.”

 

Dalam sebuah kesempatan Baginda Rasulullah saw bersabda:

 

Artinya: “Para ahli Laa ilaaha illallah tidak akan merasa gelisah di dalam kuburnya, dan ketika mereka dikeluarkan dari kuburnya. Seolah-olah aku melihat mereka ketika mereka keluar dari kubur sambil merontokkan debu dari kepala mereka dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah swt, yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Dalam hadis lain disebutkan:

 

Artinya: “Sesungguhnya seorang dipanggil oleh sebuah seruan, kemudian dibentangkan dihadapannya 99 catatan kesalahan. Masing-masing (panjang) catatan sejauh mata memandang, kemudian diletakkan di sisi sebuah timbangan dosa. Maka Allah swt berfirman: “Sesungguhnya kamu masih mempunyai satu kebaikan di sisi Kami.’ Maka dikeluarkanlah sebuah kartu yang di dalamnya tertulis Laa ilaaha illallah, kemudian diletakkan di sisi lain di timbangan itu, dan ternyata berat kartu itu mengalahkan berat 99 catatan tersebut.”

 

Dalam Kitab al-Miftahul al-Falah, asy-Syeikh Ibnu Atha’ menuturkan satu sisi keutamaan kalimat tauhid dan berbagai aspek yang berkaitan dengannya. Semua keuntungan dan kebajikan yang tercakup dalam kalimat tersebut, di dunia dan akhirat tidak akan diperoleh oleh seorang yang memisahkan antara dua kalimat syahadat, karena keduanya terikat menjadi satu. |

 

Siapapun yang hanya mengakui syahadat tauhid tanpa mengakui syahadat rasul, maka ia bukan termasuk ahli tauhid. Jika seorang beriman kepada keesaan Allah swt dan kerasulan M uhammad saw, kemudian hanya mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ucapan Muhammad Rasulullah, maka hal itu tidak mengapa, sebab ia masih mendapat berbagai kebajikan. Tentang masalah ini jika kami perluas pembahasannya, maka kitab ini akan terlalu tebal dan yang itu bukanlah tujuan kami.

 

           

 

Ketahuilah, bahwa kalimat Laa ilaaha illallah merupakan dzikir yang paling komplek, paling bermanfaat, paling dekat untuk membuka dan menerangi hati dengan cahaya Ilahi. Dan ia merupakan dzikir yang paling utama, mengingat kandunganya mencakup pengertian dzikir, termasuk juga kalimat tahmid, tasbih dan lain-lainnya.

 

Karena itu, hendaknya setiap mukmin menjadikan kalimat Laa ilaaha illallah sebagai wiridnya yang lazim dan rutin. Meskipun demikian, hendaknya janganlah ia meninggalkan dzikir-dzikir yang lain. Sebaiknya ia menjadikan setiap dzikir sebagai wiridnya setiap saat.

 

Selanjutnya, seseorang secara tidak langsung akan tergolong dalam salah satu tiga kelompok, yaitu kelompok salik, kelompok non salik dan kelompok washil. Kesemuanya harus melazimi dzikir Laa ilaaha illallah Seorang salik ataupun bukan mereka hanya melihat segala sesuatu dan menetapkannya menurut aspeknya.

 

Adapun seorang salik dan yang bukan salik, mereka melihat segala sesuatu dan meyakininya menurut bendanya, mungkin dengan sebab itu akan masuk ke dalam hati mereka syirik khafi atau syirik misteri yang paling terkecil, maka mereka harus mengusirnya sejauh-jauhnya dan mereka tidak mampu mengusirnya kecuali dengan mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah secara rutin dan terus menerus.

 

Berbeda halnya dengan seorang washil, ia tidak melihat kepada segala sesuatu, kecuali mengembalikannya kepada kekuatan Allah swt. Hatinya selalu sibuk terkait dengan Allah swt dan ia selalu mengontrol hatinya dan getaran-getarannya, mungkin ada getaran-getaran yang tidak disenangi oleh Allah swt, maka ia segera kembali kepada-Nya dengan memperbanyak mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallahsecara terus menerus dan rutin.

 

Diriwayatkan kepada kami bahwa Sayyidina Abubakar ra selalu memasukkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam setiap pembicaraannya. Kalau ia sudah mengucapkan kalimat tersebut, maka ia kembali kepada pembicaraannya. Kondisi semacam ini adalah abadi setelah ia fana, maka tidak ada yang lebih utama bagi setiap orang untuk melestarikan dzikir, selain dengan kalimat Laa ilaaha illallah.

 

Dan jika seorang salik sudah dapat fana atau sudah dapat menghilangkan segala kehadiran selain Allah swt di hadapannya, maka dzikir yang lebih utama baginya adalah mengucapkan kalimat Allah, Allah secara terus menerus. Itulah dzikirnya para ‘arifin billah. Semua ini hanya dipandang dari sudut keutamaan, meskipun semua dzikir dapat mengantar seorang hingga sampai ke hadirat Ilahi.

 

Para syeikh mempunyai berbagai metode untuk mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah ini, baik secara terang maupun secara rahasia, Dan merekapun menentukan berbagai persyaratannya yang harus dilakukan oleh seorang yang berdzikir yang ingin mendapatkan anugerah Allah swt dan bimbingan-Nya. Semuanya telah mereka jelaskan di dalam tulisan-tulisan mereka, maka siapapun yang ingin mengetahuinya, ia dapat mencarinya dalam tulisan-tulisan mereka.

 

Siapapun yang telah mendapatkan seorang syeikh tarekat yang dapat membimbingnya ke jalan Allah swt, maka hendaknya ia mau menerima bimbingannya. Sebab bila seorang mencari bimbingan hanya dari buku-buku yang ia baca, maka ia tidak akan berhasil. Sungguh jauh berbeda antara seorang yang menerima bimbingan dari seorang Syeikh tarekat dengan yang hanya menerima bimbingan dari buku-buku. Sesungguhnya hanya Allah swt yang mampu memberi petunjuk ke jalan benar, dan hanya kepada-Nya segala sesuatu akan kembali.

 

 

 

Aku pernah ditanya tentang konsentrasi yang dipaksakan, apakah itu? Ketahuilah, bahwa sejak di awal kejadiannya manusia sudah terbiasa dengan hati yang kosong dan sudah siap untuk menerima apa saja yang hadir di hatinya, baik yang menyebabkan hatinya menjadi baik dan bercahaya, ataupun yang menjadikan hatinya rusak dan gelap.

 

Apapun yang hadir pertama kali di hatinya, maka hal itu akan kokoh bersemayam di hatinya, dan untuk menghilangkannya diperlukan paksaan dan perjuangan yang cukup berat. Ketahuilah, bahwa yang pertama kali hadir di hati setiap orang adalah jiwa kebendaan dan ingin hidup kekal dan senang. Perasaan ini merupakan pendengaran dan penglihatan pertama yang hadir di hatinya dari kawan-kawan sekitarnya.

 

Ketika perasaan mengenal Allah swt dan mengenal hak-hak ketuhanan-Nya serta tuntutan untuk mengabdi kepada-Nya menurut semestinya hadir di hati seseorang setelah perasaan cinta kepada keduniaan bersemayam kokoh di hatinya, maka perasaan yang kedua tidak akan mendapat tempat yang kokoh di hatinya, eksistensinya selalu terombang-ambing dan tidak mantap.

 

Maka pada saat itu, seorang yang ingin mengokohkan perasaan makrifatnya di dalam hatinya dan ingin menjadikan hatinya selalu terfokus atau hadir di hadapan Allah swt, baik dalam ibadahnya maupun di segala kondisinya ia harus menghilangkan secara total rasa cintanya kepada dunia yang telah bersemayam di hatinya lebih dahulu dengan berbagai latihan dan pengontrolan jiwa.

 

Dalam proses di atas, ia membutuhkan perjuangan yang berat dan pelatihan diri, yang mungkin ringan dan mungkin berat. Semuanya berbeda sesuai dengan kesediaan jiwanya, apakah sudah prima ataukah belum. Juga akan berbeda menurut bimbingan dan semangatnya, apakah kuat atau lemah. Juga akan berbeda berdasarkan kecenderungan hatinya yang pertama, apakah kokoh ataukah lemah, sebab masalah ini ada yang telah kokoh dan ada pula yang masih lemah.

 

Apa yang telah kami terangkan di atas tidaklah khusus tentang masalah konsentrasi hati seorang kepada Allah swt, tetapi terkait juga dengan masalah budi pekerti yang terpuji yang menjadi sumber amalamal kebajikan. Sebab, seorang santri yang ingin mempunyai budi pekerti yang terpuji, pada mulanya ia butuh kesabaran dan perjuangan yang keras. Dan iapun akan mendapatkannya dengan kesulitan dan beban yang berat, dan ja harus melakukan semua perintah ini sampai ia mendapatkannya dengan diiringi kelezatan dan kenyamanan.

 

Jika seorang mengetahui hal itu, maka ketahuilah bahwa kehadiran hati ke hadirat Allah swt merupakan roh bagi semua ibadah, hanya itulah yang diwujudkan oleh para ahli hakekat, dan hanya itulah yang paling diharapkan oleh para ‘ari in billah. Sebab, setiap amal kebajikan yang dikerjakan oleh seorang hamba tanpa diikuti kehadiran hatinya kepada Allah swt, maka amal kebajikan tersebut menurut para ‘arifbillah lebih dekat mendapat siksa dan hijab dari pada mendapat mukasyafah dan pahala.

 

Adapun cara untuk menghadirkan hati kepada Allah swt di dalam berbagai ibadah, hendaknya seorang melihat apa saja yang biasa mengganggu perasaannya, kemudian hendaknya ia menepisnya sejauh mungkin. Ia terbagi menjadi dua bagian. Pertama, pengaruh yang datang dari panca indera, seperti indera pendengaran dan indera penglihatan, untuk menepis keduanya adalah dengan cara berkhalwat.

 

Kedua, segala gejolak nafsu dan bisikan yang timbul di dalam hati, cara menepisnya adalah berpaling daripada secara total, dan menyibukkan hati kita dengan sarana lisan, seperti memperbanyak membaca al-Qur’an atau memperbanyak berdzikir. Dan bisa juga dengan cara memfokuskan hati kita untuk mendengar dan menyimak dari bacaan orang lain. Dan untuk mendukung hal ini adalah dengan cara mengokohkan hati kita dan menghafal apa saja yang kita dengar dari orang lain lewat saranajiwa maupun indera.

 

Apabila seorang sudah dapat memaksa hatinya untuk hadir ke hadirat Ilahi, maka hendaknya ia berusaha meningkatkan perasaannya ini ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu menerjemahkan ke dalam hatinya semua makna dzikir yang diucapkan oleh lisannya, misalnya ia menerjemahkan dalam hatinya makna tauhid ketika lisannya mengucapkan Laa Ilaha ilallah, dan ia menerjemahkan makna tanzih atau kesucian Allah swt dan takdzim atau keagungan Allah swt ketika lisannya mengucapkan kalimat Subhanallahdan Allaahu Akbar.

 

Jika seorang membaca al-Qur’an, hendaknya hatinya menerjemahkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an yang diucapkan oleh jisannya. Penerjemahan ini merupakan tanda hadirnya hati ke hadirat Jlahi. Jika seorang sudah dapat merasakan hal ini, maka ia dapat meningkatkan lebih bagus sampai hatinya dapat segera hadir ke hadirat Ilahi setiap kali kalimat-kalimat dzikir atau ayat-ayat al-Qur’an ia ucapkan dengan lisannya. Itulah makna dari sabda Rasulullah saw:

 

Artinya: “Ihsan adalah ketika kamu menyembah kepada Allah swt seolah-olah kamu melihat-Nya.”

 

Seorang yang ingin mencapai kesaksian yang agung ini, hendaknya ja memantapkan kehadiran hatinya seperti yang kami sebutkan di muka dan hendaknya ia mensucikan Allah swt dari segala prasangka yang tidak pantas. Seorang yang tidak mempunyai hati yang bersih terhadap Allah swt, maka ia akan membayangkan Dzat Allah swt dengan berbagai khayalan-khayalan yang kotor, padahal Allah swt Maha Suci daripadanya.

 

Di dalam tingkatan ini, seorang seolah-olah merasakan kehadiran Dzat yang diajak bicara ketika ia membaca kalam suci-Nya, atau ia merasakan kehadiran Dzat yang diingat-Nya ketika ia berdzikir. Dan ia akan mengalami ketersamaran, ketenggelaman, mabuk kepayang dan peleburan jiwa dan pengalaman apa saja yang biasa dialamioleh para wali Allah.

 

Bagi siapapun yang ingin mencapai hadirat Ilahi, hendaknya ia mengikuti tarekat dengan sabar dan tekun, dan berjuang sekuat kemampuannya, serta mau mendengar baik-baik seorang tokoh sufi, yaitu asy-Syeikh al-Imam al-Junaid, ketika ia ditanya: “Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini, yang tidak dapat ditemukan oleh siapapun dari gurunya?”

 

| Maka ia menjawab: “Dari senantiasa kebersamaanku dengan Allah sut di bawah tangga itu selama 80 tahun.” Sambil menunjuk sebuah tangga yang berada di pojok rumahnya.

 

Di awal pengembaraannya, asy-Syeikh asy-Syibli pernah berkhalwat di bawah tanah dan ia membawa seikat sapu lidi. Setiap kali ia lupa, maka ia segera memukuli dirinya dengan ikatan sapu lidi tersebut, sehingga sebelum waktu sore tiba maka sapu lidi itu sudah hancur karena sering dipakai memukul dirinya.

 

Maka sebagai titik awal ia mendapatkan ilmu mukasyafah dan musyahadah adalah berkat perjuangannya dan penggemblengan nafsunya. Tingkatan ini bisa saja diraih oleh sebagian orang tanpa perjuangan yang keras dan penggemblengan nafsunya, namun hal ini sangat langka.

 

Ketika seorang sudah mencapai tahapan bersama Allah swt dan merasa mendapat kedamaian dengan-Nya, maka ia akan merasa berat ketika duduk bersama manusia, apalagi untuk membicarakan masalah duniawi, meskipun ia sangat membutuhkannya. Sama halnya ketika ia berjuang untuk mendapatkan tingkatan bersama Allah swt.

 

Salah satu sebab yang paling kuat untuk mencapai tingkatan bersama Allah swt, hendaknya ia selalu merasa di dalam hatinya bahwa Allah swt melihatnya dan melihat pula semua niat yang ada di relung hatinya, bukan saja melihat jasadnya dan semua tindak tanduknya.

 

Di antara kendala yang menghalangi konsentrasi hati seorang kepada Allah swt ketika ia sedang shalat atau ketika ia sedang berdzikir, menurut pandangan para ahli makrifat, adalah mengingat hal-hal selain Allah swt, meskipun hal-hal yang berkaitan dengan akhirat. Dan menurut mereka, konsentrasi seseorang hanya bisa dicapai bila ia membuang semua pikiran nya selain Allah swt.

 

Kelalaian hati seorang bisa juga menyebabkan amal ibadahnya rusak, apalagi jika ia mengerjakannya tanpa mengetahui maknanya seperti yang dilakukan seorang yang dapat menyaksikannya. Suatu amal kebajikan yang dikerjakan dengan lalai dan tidak ada usaha untuk menghadirkan hati, maka amalan itu tidak akan menghadirkan hati, ia hanya dapat dicapai dengan memaksakan diri, meskipun amalan tersebut masih diberi barakah.

 

Ada seorang lelaki berkata kepada asy-Syeikh Abu Hafidz: “Sesungguhnya aku selalu berdzikir, namun hatiku tidak dapat konsentrasi.” Maka ia menjawab: Alhamdulillah yang masih memberi kesempatan salah satu anggota jasadmu untuk mengingat-Nya.”

 

 

 

Aku pernah ditanya tentang pengertian penyucian Dzat Allah swt, sanjungan kepada-Nya dan pengertian tentang daya upaya, tentang arti penyesalan dan permohonan ampun, apakah sikap tersebut hanya berlaku bagi mereka yang melakukan dosa, ataukah berlaku secara umum, sehingga dapat menaikkan kedudukan seorang disisi Allah swt.

 

Ketahuilah bahwa arti penyucian Dzat Allah swt adalah membersihkan Dzat Allah swt dan sifat-sifatnya maupun tindak tanduknya dari segala kemiripan dengan segala makhluk-Nya. Allah swt Maha Suci dari segala sekutu, dari segala kemiripan, dari segala perubahan dan dari kelenyapan. Ia terbebas dari cacat, sakit dan dari segala ikatan dengan masa maupun tempat. Bahkan ia terbebas dari segala gambaranatau bayangan yangadadi dalam pemikiran seorang.

 

Adapun penyucian Dzat Allah swt dari segala sifat yang tidak pantas bagi-Nya seperti yang disifatkan oleh orang-orang yang ingkar kepadaNya yang biasa disebutkan dalam al-Qur’an, jumlahnya cukup banyak. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt didalam al-Qur’an:

 

Artinya: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam .amamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah swt kecuali yang nar. Sesungguhnya al-Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya pada Maryam, dan (dengan tiupan) roh (dari-Nya) Maka berimanlah amu kepada Allah swt dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu lengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik agimu. Sesungguhnya Allah swt Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah tdari mempunyai anak.” (Qs. an-Nisaa’ ayat: 171).

 

Dalam ayat yang lainnya, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah swt, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha Suci Allah swt dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. at-Taubah ayat: 81).

 

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: “Allah swt beranak.” Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Apakah Tuhan memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak lakilaki? Apakah yang terjadi padamu? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan?

 

Maka apakah kamu tidak memikirkan? Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata? Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar. Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah swt dan antara jin. Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar kan diseret (ke neraka), Maha Suci Allah swt dari apa yang mereka sifatkan.” Qs. ash-Shaffat ayat: 151-159).

 

Adapun pengertian pujian kepada Allah swt adalah menyanjung-Nya an memuji-Nya dengan sifat-sifat yang mulia dan agung yang cocok anya bagi-Nya, dan menolak segala sifat tidak terpuji yang tidak cocok agi Allah swt. Pengertian tersebut tercakup dalam ucapan Alhamdulillah.

 

Ketahuilah bahwa Allah swt adalah Dzat yang benar-benar Maha uci yang berhak mendapat segala macam pujian, karena yang Maha suci dari segala sifat yang tidak baik hanya Dia, dan hanya Dia yang sersifat Maha Sempurna. Jadi yang pantas untuk menerima pujian anya Allah swt, sedangkan yang lain hanya bersifat sementara atau anya mengikut sifat Allah swt.

 

Pujian apapun yang pantas diberikan kepada manusia, sebenarnya idak datang dari dirinya sendiri, tetapi datang dari kodrat, iradat dan arunia serta rahmat Allah swt. Pokoknya, semuanya dari Allah swt dan embali kepada Allah swt. Ketika seorang mensucikan orang lain dari sifat-sifat yang tidak pantas atau memujinya dengan pujian, sebenarnya ‘serupakan suatu kesalahan terhadap orang itu, dan hendaknya ia mengembalikan penyucian dan pujian itu hanya kepada Allah swt. asalah ini hanya diketahui oleh mereka yang mengerti, dan ebanyakannya mereka tidak mengerti.

 

Seorang yang memuji kepada-Nya, sesungguhnya tidak enambah kesempurnaan sifat Allah swt sedikitpun, sebab kemahasempurnaan Allah swt sudah ada sejak dari awal dan akan terus ada selamanya. Pujian seorang hamba kepada-Nya hanya akan memberi ebaikan bagi pelakunya.

 

Sebagaimana Rasulullah saw:

 

Artinya: “Kalimat Hamdalah akan memenuhi timbangan amal, dan kalimat tasbih dan hamdalah akan memenuhi timbangan amal, atau akan memnuhi ruangan diantara langit dan bumi.”

 

Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah swt suka kepada seorang yang makan sesuap makanan kemudian ia memuji Allah swt karenanya dan ia minum seteguk minuman kemudian ia memuji Allah swt karenanya.”

 

Adapun penjelasan mengenai keutamaan bertasbih dan bertahmid cukup banyak serta sudah populer. Intinya, barangsiapa yang berjuang sungguh-sungguh, maka ia akan memperoleh keuntungan.

 

 

 

 

Adapun arti dari berlepas diri dari daya dan upaya telah tercakup dalam kalimat Laa haula wa laa guwwata illaa billaahil ‘Aliyyil ‘Adhim, yang artinya tiada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah swt yang Maha Tinggi dan Maha Agung. al-Imam al-Ghazali berkata: “Upaya adalah gerakan dan kekuatan dalah kemampuan. Dan tidak ada upaya dan kemampuan bagi siapapun untuk melakukan sesuatu, kecuali dengan bantuan Allah swt Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa.”

 

Setiap kali Allah swt menjadikan makhluk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya, seperti melakukan segala kewajiban, seperti berusaha mencari sumber hukum dengan melakukan berbagai kegiatan, apapun macamnya, bagi setiap orang beriman, hendaknya ja meyakini bahwa hanya Allah swt yang menciptakan dan yang mengadakan kehendak dan daya upaya mereka untuk melakukan atau menciptakan sesuatu yang akan memberinya akibat yang baik maupun yang buruk.

 

Pokoknya, apapun kehendak atau kemampuan seorang, semuanya hanya bersumber dari Allah swt sesuai dengan firman Allah swt:

 

Artinya: “Dan mereka tidak dapat menguasai benda yang seberat satu atom, di langit dan di bumi. Dalam keduanya, mereka tidak mendapatkan sekutu. Dan tidak ada siapapun dari mereka yang dapat mengalahkan Allah swt.”

 

Berdasarkan kemampuan dan kebebasan yang diberikan oleh Allah swt untuk memilih terkait erat dengan perintah dan larangan. Segala sesuatu yang datangnya dari manusia dan yang dilakukan oleh mereka terkait erat dengan kekuasaan Allah swt dan kehendak-Nya, meskipun mereka bebas memilih, tetapi mereka berhak mendapat pahala ataupun siksa.

 

Arti kalimat Laa haula wa laa guwwata illa billaah adalah menolak segala daya dan upaya pada diri seorang dan mengembalikan keduanya Sebaiknya, setiap orang yang berakal menahan diri dari mendiskusikannya, hendaknya ia berkeyakinan penuh bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah swt, tidak suatu apapun terwujud tanpa kekuasaan dan kehendak Allah swt dan hendaknya ia menjalankan semua perintah Tuhannya dan menjauhi semua larangan-Nya.

 

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa kalimat Laa haula wa laa guwwata illaa billaah termasuk salah satu kekayaan di surga. Dari hadis ini ketathilah, bahwa yang di maksud kekayaan adalah simpanan yang di rahasiakan dan imbalannya akan disebutkan dengan jenis pekerjaannya seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis bahwa melakukan shalat sunnah dua rakaat di tengah malam merupakan kebajikan yang disimpan.

 

Pahala melakukan shalat dua rakaat di tengah malam disesuaikan dengan jenis ekerjaan tersebut yang dilakukan di tengah malam.

 

Diriwayatkan juga bahwa nabi bersabda yang artinya ucapan Laa hau wa laa quwwata illaa billaah dapat mengobati sembilan puluh sem ilan penyakit, yang paling kecil adalah kerisauan hati. Sengaja dalam had ini disebutkan dapat menghilangkan kerisauan. Sebab kerisauan aka datangjika sesuatu yang diinginkan tidak datang, namun sebaliknya Jika ang tidak iainginkan ia datang karena hatinya menjadi risau.

 

Jika seorang mengulangi ucapan tersebut berulang kali dengan lis nya dan hatinya, maka ia akan merasa tenang, sebab ia merasa terlepas dariy -ban ketidak mampuannya untuk mewujudkan sesuatu dan ia merasa bahwa semua kemampuannya akan terwujud jika mendapat izin dari Allah swt Jika seorang telah merasakan perasaan seperti ini, maka ja akan hilang segala kerisauannya dan akan luas pengetahuannnya tentang Allah swt.

 

Perasaan semacam ini seiring dengan sabda Nabi Muhammad saw artinya sebagai berikut: “Seorang yang beriman kepada takdir, maka segala kerisauannya akan hilang.” Sebab ia telah mengembalikan semua daya upaya dan kemampuannya kepada Allah swt, Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Mulia. Hal ini sesuai dengan perintah menyucikan Allah swt dari segala sifat yang tidak terpuji.

 

 

 

Adapun penyesalan adalah kesadaran hati dari sesuatu yang menyebabkan seseorang menjadi sedih, menyesal dan kecewa, karena telah melakukan sebagian dari larangan Allah swt atau telah meninggalkan sebagian dari perintah-Nya, seperti meninggalkan sebagian dari amalan fardhu. Ada kalanya penyesalan datang ketika seorang berlebihan dalam masalah-masalah yang dibolehkan atau mengakhirkan amal-amal sunnah.

 

Penyesalan yang sebenarnya dapat mendorong seorang untuk menjauhi segala bentuk kekeliruan dan mendorongnya untuk meningkatkan frekwensi kebajikannya. Adapun penyesalan yang benar-benar dapat memenuhi semua persyaratan pertaubatan. Karena itu Nabi saw. bersabda “penyesalan termasuk bertaubat.” Adapun seorang yang menyesal setelah melakukan berbagai perbuatan dosa, tetapi ia masih mendekatinya, maka ia termasuk orang yang bermain-main dan penyesalannya itu atau taubatnya tidak berguna sedikitpun baginya.

 

Adapun istighfar adalah memohon ampun kepada Allah swt yaitu memohon agar dosa-dosanya ditutupi oleh Allah swt. Jika Allah swt berkenan mengampuni dosa-dosa seorang, maka kenistaan pelakunya tidak akan terbuka kepada orang lain, dan ia tidak akan di siksa karenanya di dunia dan di akhirat.

 

Salah satu bentuk maghfirah atau pengampunan yang paling mulya adalah adanya pembatas yang dijadikan oleh Allah swt untuk membatasi si pelaku dosa dari dosa-dosanya yang lalu, sehingga ia tidak mau melakukannya lagi. Pembatas ini menurut istilah kenabian adalah ishmah.’

 

Sedangkan menurut istilah kewalian disebut hifdzan tentang masalah ini al-Qur’an pernah menyebutnya tentang firman Allah swt kepada nabi-Nya sebagai berikut: “Wastaqh ir lidzambika wa lil mukminiina wal mukminaat” yang artinya: “Mohonlah ampun bagi dirimu dan bagi orang-orang yang beriman, lelaki maupun wanita.”

 

Dan firman Allah swt yang lain menyebutkan: “Liyaghfira lakal-laahu maa taqaddama min dzambika wa maa taakhkhara.” Yang artinya: “Supaya “Allah swt memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.”

 

Perlu diketahui bahwa dosa tidak pernah timbul dari pribadi Nab: Muhammad saw, namun Allah swt sengaja menyebutkan karunia-Nya yang berupa perlindungan bagi nabi saw, sehingga Beliau terjauh dari dosa dan sekaligus menyuruh beliau untuk rajin memohon dijauhkan dari dosa, Sesungguhnya do’a dalam kesempatan macam ini sebagai tanda bersyukur kepada Allah swt, dan bersyukur adalah penyebab ditambahnya nikmat, Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:

 

Artinya: Jika kalian bersyukur pasti Aku akan menambah nikmat-Ku bagi kalian.”

 

 

 

 

Ketahuilah bahwa meskipun ketaatan atau amal kebajikan itu dapat menyampaikan seorang kepada Allah swt dan dapat mendekatkannya ke hadirat Ilahi Yang Maha Suci, tetapi ada kalanya sebagian orang yang melakukannya, apalagi orang-orang yang lalai, mereka suka memasukkan dosa-dosa besar ke dalam ketaatannya atau amal kebajikannya.

 

Diantara hal itu adalah riya’, ujub dan sombong atas amal kebajikannya, dan membanggakannya kepada Allah serta melupakan karunia-Nya dan petunjuk-Nya. Yang kesemuanya menyebabkan si pelaku ketaatan atau amal kebajikan tidak mendapatkan pahala sedikitpun, bahkan ada kemungkinan ia mendapat siksa karenanya.

 

Seorang mukmin yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkan jalan keselamatan, maka ia selalu merasa bahwa dirinya berbuat dosa, karena itu ia senantiasa memohon ampun kepada Allah swt setiap kali setelah ia melakukan amal-amal kebajikan, meskipun ia tidak melakukan hal-hal yang tidak bertentangan, tetapi ia takut kalau dirinya tersentuh oleh dosa-dosa yang dapat membinasakannya.

 

Dari keterangan tadi dapat dipahami pentingnya memohon ampun atau beristighfar setelah berbuat amal-amal kebajikan. Bahkan lebih dari itu, ada sebagian ahli makrifat, ketika mereka merasa nyaman dalam mengerjakan berbagai amal-amal kebajikan atau ketika mereka sedang mengandalkannya, maka mereka segera bertaubat dan memohon ampun kepada Allah swt.

 

Pengalaman-pengalaman semacam itu, khususnya ketika mereka merasa nyaman ketika menerima berbagai karunia Allah swt, maka segera mereka bertaubat dan memohon ampun kepada Allah swt. Karena itu, menurut para ahli makrifat yang tidak mengenal alam semesta lagi, berpaling dari Allah swt sesaat merupakan dosa yang cukup besar bagi mereka.

 

Karena itu, mereka segera kembali kepada Allah swt untuk memohon ampun dan bertaubat kepadanya, misalnya mereka mengharap sesuatu dengan amal-amal kebajikannya ataupun mereka merasa takut dengannya. Karena itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa amal-amal kebajikan para abror merupakan amal-amal buruk para mugarabbin Andaikata tidak karena lenyapnya tarekat dan pudarnya cahaya kebenaran, pasti kami akan mendapati hal-hal yang mengagumkan yang dapat dipikirkan oleh orang-orang yang berpikir.

 

asy-Syeikh Syihabuddin as-Sahruwardi berkata: “Tingkatan-tingkatan yang diraih oleh seorang sufi ada beberapa kekurangan yang tidak dapat diketahui oleh yang mengalaminya, kecuali setelah ia menaiki tingkatan yang lebih tinggi. Pada tingkatan yang lebih tinggi itu ia dapat melihat berbagai kekurangannya dengan jelas, sehingga ia harus kembali kepada tingkatan sebelumnya untuk memperbaiki segala kekurangannya dengan bertaubat dan memohon ampun kepada Allah swt. Inilah arti ucapan mereka, meski harus ditambah dengan penjelasan dan kupasan.”

 

Sebagian ulama menafsirkan sabda Nabi Muhammad saw yang artinya: Ada hal-hal yang meliputi hatiku sampai aku memohon ampunan kepada Allah swt sebanyak 70 kali dalam sehari.”

 

Dengan ungkapan asy-Syeikh as-Sahruwardi di atas, padahal masalahnya tidak pantas bagi kedudukan Nabi yang demikian mulianya dengan ungkapan asy-Syeikh as-Sahruwardi. Tentang hadis ini aku mempunyai penafsiran tertentu yang aku tidak akan membicarakannya kecuali dengan para ahlinya secara langsung.

 

 

 

 

 

Aku ditanya tentang ucapan sebagian ahli tarekat. Seorang yang pernah menerima talgin dari manusia, hendaknya ia menerima pula dari Allah swt secara kasyaf dan dzaug bukan secara iman dan ilmu,  bagaimana caranya dari segi ilmu?

 

Ketahuilah bahwa ucapan ini berasal dari seorang ahli mar’rifat yang memberitahukan tentang keadaannya dan kesaksiankesaksiannya ketika ia sedang fana dari alam semesta, dan ketika ia tenggelam di alam keperkasaan dan kebagusan Allah swt, ketika ia tidak memikirkan apapun selain Allah swt dan ketika ia tenggelam di lautan cahaya Allah swt.

 

Sehingga dirinya dan seluruh alam semesta dirasa telah lenyap, yang ia rasa pada waktu itu hanyalah ia dengan Allah swt, bagai seorang mayit dihadapan tukang mandinya, sehingga ia tidak bergerak kecuali jika ia yang menggerakkannya. Pokoknya pada saat itu ia telah lenyap dari alam semesta secara keseluruhan. Yang ada dihadapannya hanyalah Allah swt semata.

 

Keadaan ini sebagaimana yang digambarkan oleh seorang penyair: “Seorang pemuda yang tenggelam dalam alam kebingungannya, sehingga namanya dan nama kekasihnya pun hilang dari ingatannya. Masa terus berlalu, tetapi ia tidak tahu hitungannya, karena ia senantiasa menikmati liur kekasihnya yang masih perawan.”

 

Seorang yang mengalami perasaan ini lupa dari semua alam semesta, ia tidak dapat keluar dari keadaannya itu, sehingga apapun yang terjadi pada dirinya hanya Allah yang menanganinya dan yang menjaganya. Orang semacam ini telah terlepas dari beban kewajiban syari’at, karena pikirannya dan hati sanubarinya pada saat itu tidak lagi mempunyai perasaan apapun.

 

Para ahli hakekat sangat menginginkan datangnya kefanaan seperti itu dan kalau bisa secara terus menerus, karena kefanaan tersebut dapat melepaskan seorang dari segala terkaitannya dengan kemanusiaannya yang menyebabkan ia tidak bisa menyaksikan rahasiarahasia Ilahi Ketahuilah bahwa kefanaan ini jika datang, maka tidak akan lama. Jika ia datang secara lama kepada seorang, maka ia akan menyaksikarj berbagai masalah yang mengagumkan dan pada puncaknya ia akan terputus secara keseluruhan dari alam semesta. Tingkatan ia akan diberikan pada orang-orang khusus, yaitu mereka yang tidak lagi mempunyai harapan nafsu sedikitpun.

 

Seorang tamatan berusaha meraih tingkatan ini, yaitu dengan perbanyak melatih dirinya dan berjuang sungguh-sungguh sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Seorang yang berpura-pura telah mencapai tingkatan kefanaan seperti para ahlinya, maka ia telah menipu dirinya, karena dengan cara itu ada kemungkinan ia menyepelekan hak-hak Allah swt maupun hak-hak manusia.

 

Sebab, para ahlinya tidak mempunyai keinginan apapun dari dunia dan tidak takut siapapun, tidak ingin menerima terima kasih maupun imbalan dari seorangpun karena ia telah memotivasikan semua kebajikannya untuk Allah swt semata dan ia tidak mempunyai keinginan lain kecuali ingin memfanakan dirinya di lautan Ilahi. Perlu diketahui bahwa seorang yang fana di lautan Ilahi, maka ia hanya berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah swt, sedikitpun tidak peduli kepada makhluk-Nya.

 

Seorang yang telah mencapai tingkatan baga’atau keabadian dan ia tidak akan mencapai tingkatan ini, kecuali jika ia telah larut di dalam lautan Ilahi. Ia melihat segala sesuatu dengan pandangan Allah swt, semuanya diberikan haknya masing-masing serta ditempatkan di tempatnya masing-masing, dan ia memenuhi segala haknya masingmasing dengan sempurna. Baik itu hak Allah swt maupun hak makhlukNya, sedikitpun ia tidak teralihkan pandangannya dari Allah swt dan ia tidak tertutupi dari kedudukannya.

 

Ada kalanya seorang yang telah mencapai tingkatan fana terlihat padanya tanda-tanda sebagai seorang ahli baga’, demikian pula sebaliknya. Sebenarnya keadaannya tidak sadar, sehingga ada kalanya engkau lihat diantara orang-orang yang telah mencapai tingkatan baga’ ini bisa menceritakan keadaan mereka yang berada di dalam tingkatan fana, sebagaimana yang diceritakan tentang kisah asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili ketika ia berada di dalam sebuah majelis.

 

la berkata: “Kami tidak mencintai apapun selain Allah.” Sampai ada seorang yang berkata kepadanya: “Sesungguhnya kakekmu pernah bersabda: “Sesungguhnya hati manusia akan mencintai seorang yang telah berbuat baik kepadanya.”

 

Lalu al-Imam Abul Hasan berkata: “Sesungguhnya kami tidak melihat ada yang dapat melihat kebaikan selain hanya Allah swt, andaikata ada orang yang berbuat kebaikan, maka ia bagai fatamorgana, engkau lihat ia baik, tetapi jika engkau memeriksanya, maka engkau tidak akan mendapatkan kebaikan sedikitpun padanya.

 

Maksudnya ia selalu peduli kepada makhluk. Untuk merasakan bahwa tidak ada yang berbuat baik, kecuali hanya Allah swt, tidaklah mudah dan bahkan sulit untuk mengutarakannya. Akan tetapi seorang yang telah mencapai tingkatan baga’, maka perasaan tersebut tidak sulit . baginya untuk mengutarakannya.

 

Ketika seorang sufi harus menerima sesuatu dari tangan seorang, maka sebaiknya ia melakukannya berdasarkan ilmu pengetahuan dan tatakrama lahir dan batin. Adapun ilmu lahir adalah, engkau tidak boleh menerima sesuatu, kecuali yang diperbolehkan menurut syari’at.

 

Adapun ilmu batin adalah engkau tidak boleh menerima sesuatu yang tidak engkau butuhkan, kecuali dengan niat untuk mengeluarkannya. kembali kepada orang lain tanpa ada keinginan sedikitpun untuk memiliki. Sedangkan arti keinginan itu sendiri adalah sesuatu yang engkau harapkan dan engkau inginkan untuk mendapatkannya dari tempat tertentu. Ini termasuk tatakrama batin, Jika seorang melaziminya, maka hal itu adalah baik.

 

Menurut ilmu batin, seorang harus percaya bahwa Allah swt adalah Dzat Pemberi yang utama. Dia memberi karunia kepada seorang, dan Dia pula yang mengilhaminya untuk menyalurkan karunianya itu kepada orang lain. Kebaikan apapun yang dilakukan oleh seorang, pada hakekatnya adalah untuk dirinya sendiri.

 

Maka tanyakanlah kepadaku: “Apabila seorang telah merasakan bahwa kebajikan apapun yang ia terima dari seorang, semuanya berasal dari Allah swt, maka apakah ia hanya memandang baik kepada orang itu ataukah ia harus memandang baik pula kepada Allah swt? Meskipun demikian, janganlah engkau lupa dari berterima kasih dan berdo’a untuk orang-orang yang telah berbuat baik kepadamu.

 

Sebab, Allah swt memerintahkanmu untuk berterima kasih kepada mereka, dan Allah swt pula yang menjadikan mereka untuk berbuat baik kepadamu. Karena itu, Allah swt menghargai kebajikan mereka dan Allah swt pun menyuruhmu untuk menghargai pula kebajikan mereka. Dari keterangan diatas dapat engkau ketahui etika menerima pemberian dari manusia menurut ahli fana, ahli baga’ dan ahli suluk, maka perhatikanlah baik-baik dan amalkanlah.

 

           

 

Penulis Kitab al-Quut al-Quluub berkata: “Jika engkau secara kebetulan dapat berbuat kebajikan kepada seorang dari ahli yagin, maka berbuatlah kebajikan untuknya, meskipun ada kemungkinan 1a tidak akan berterima kasih kepadamu dan tidak pula ia akan berdo’a untukmu. Sebab, ia tidak dapat melihatmu, namun keyakinannya lebih bermanfaat bagimu dan lebih berat timbangannya pada timbangan kebajikanmu daripada berterima kasihnya kepadamu dan do’anya untukmu.”

 

 

 

 

Aku pernah ditanya tentang keutamaan membaca surat al. Wagi’ah. Ketahuilah bahwa ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa membaca surat al-Wagi’ah pada setiap malam dapat menjadi pengaman bagi pelakunya dari minta-minta kepada manusia, sehingga dapat menjadikannya hina di dunia dan ternoda kehormatannya.

 

Ibnu Mas’ud pernah ditanya ketika saat kematiannya hampir tiba: “Mengapa engkau tinggalkan putera-puteramu dalam keadaan miskin?” Jawab Ibnu Mas’ud: “Aku tidak meninggalkan putera-puteraku dalam keadaan miskin, sebab aku telah meninggalkan kepada mereka sebuah kekayaan, yaitu suratal-Wagi’ah.”

 

Tentang kekhususan surat-surat atau ayat-ayat al Qur’an, dan dzikir serta do’a dari Nabi saw telah diketahui secara luas oleh umum, semuanya terdapat dalam kitab-kitab sunnah. al-Imam Ghazali pernah menyusun Kitab adz-Dzahab al-Ibriz Fi Khawashil Kitabil al-Azis, di dalamnya termuat tentang kekhususan surat-surat atau ayat-ayat alQur’an, dan dzikir serta do’a dari Nabi Muhammad saw. :

 

Meskipun di antara kekhususan membaca surat al-Wagi’ah dan surat lain yang sejenis, dapat mendatangkan manfaat serta menolak bahaya duniawi, namun hal itu tidak boleh menodai pengamalan pelakunya dan niatnya. Sebaiknya si pelaku membacanya demi untuk mendapat kebajikan di akhirat.

 

Seorang yang tidak butuh kepada pertolongan orang lain, maka hal itu merupakan niat yang baik. Seorang mukmin yang mengerti, tidak ingin membuang rasa butuhnya kepada pertolongan manusia karena ingin berbangga diri, namun ia ingin membebaskan diri dari berbagai keburukan dalam agamanya. Sebab cukup banyak orang yang butuh kepada pertolongan orang lain yang mendapat berbagai cobaan.

 

Karena itulah, para wali Allah swt selalu memohon perlindungan Allah swt dari cobaan semacam itu demi untuk menjaga diri mereka yang lemah ketika menghadapi berbagai cobaan yang tidak mereka inginkan. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw selalu memohon perlindungan Allah swt dari kemiskinan dan tertimpanya sebuah penyakit. Sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad saw:

 

Artinya: “Sering kali kemiskinan menyebabkan seorang menjadi kafir.”

 

Karena ai cobaan mendera manusia, maka yang kita dapatkan adalah sifat mengeluh, putus asa, dan kecewa. Dalam hal ini, asy-Syeikh Sofyan ats-Tsauri berkata: “Aku tidak sedih karena bencana yang menimpa padaku, tetapi akukhawatir menjadi kafir ketika aku dicoba suatu bencana.”

 

Sesungguhnya manusia yang paling sempurna adalah ketika ia ridha dengan ketetapan Tuhannya, puas dengan ilmunya dan menyerahkan diri dengan kehendak Tuhannya tanpa peduli kepada daya upayanya sendiri.

 

Seorang ‘arif berkata: “Didalam surat al-Wagi’ah terdapat sebuah rahasia, yang dapat mengokohkan keyakinan, ketenangan hati, kedamaian baik ketika mendapatkan kenikmatan ataupun tidak, karena Allah swt mengawali dan mengakhiri kandungan surat tersebut dengan kisah hari kiamat dan adanya tingkatan-tingkatan manusia pada hari itu.”

 

Siapapun yang merenungkan isi surat tersebut baik-baik, maka ia akan menganggap ringan segala kesulitan yang ada di dunia. Dalam surat tersebut juga dijelaskan tentang asal-usul manusia yang dijadikan dari setetes air yang hina. Serta dijelaskan pula asal-usul tanaman dan air, yang keduanya menjadi sumber terpenting dalam kehidupan manusia.

 

Maka dari itu, manusia diperintahkan untuk memikirkan baik-baik tentang kejadian keduanya. Karena mereka tidak mampu membuatnya, sehingga mereka menyakini bahwa Yang Maha Kuasa dan Yang Maha mengatur sesuatu hanyalah Allah swt. Jika seorang telah yakin bahwa yang menciptakan seluruh alam semesta dan yang mencukupi kebutuhan makhluk-Nya adalah Allah swt, maka hatinya akan tenang dan ia akan memotivasi hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Allah swt.

 

 

 

 

Jika seorang terus menerus membaca sebagian surat dari al-Qur’an dan membaca berbagai macam dzikir serta do’a yang dijanjikan akan mendatangkan manfaat baginya yang cukup besar. Namun jika kalian tidak melihat tanda-tandanya”, maka janganlah kalian meragukan janji Allah swt sedikitpun.

 

Sebaiknya ia mengoreksi dirinya terlebih dahulu, apakah hatinya bisa dikonsentrasikan kepada Allah swt ketika ia sedang membacanya ataukah tidak. Sebab, banyak orang yang membacanya, namun hatinya melayang kemana-mana, sehingga manfaat bacaannya tidak nampak sama sekali.

 

Syarat utama untuk datangnya sebuah manfaat dari bacaan suatu surat dalam al-Qur’an ataupun dzikir maupun do’a adalah, konsentrasinya hati si pembaca kepada Allah swt. Dan tak kalah pentingnya adalah dengan ia meyakini dengan kuat bahwa apa-apa yang telah dibacanya akan dikabulkan oleh Allah swt. Serta hendaknya ia berbaik sangka terhadap Allah swt sambil mengkonsentrasikan hatinya hanya kepada Allah swt.

 

Ternyata, berbagai aspek tersebut jarang sekali dapat terangkum dalam diri manusia yang sedang membaca ayat al-Qur’an ataupun saat membaca dzikir untuk mendapatkan sesuatu. Justru mereka beranggapan bahwa Allah swt tidak mengabulkan hajatnya.

 

Ketahuilah, bahwa manusia yang semacam ini, menunjukkan bahwa semangatnya sangat rendah, aktivitasnya juga lemah dan tidak mempunyai kemauan yang baik. Orang yang sedemikian ini tidaklah pantas untuk mencela, selain kepada dirinya sendiri. Dan Allah swt sama sekali tidak berbuat dzalim kepada hamba-Nya.

 

 

 

Aku ditanya tentang seorang ketika mendengar bait-bait puisi, maka rohaninya tergetar, sehingga ia merasa letih karenanya, maka sebaiknya ia menghadiri majelis yang diperdengarkan bait-bait puisi di dalamnya ataukah tidak?

 

Ketahuilah, bahwa mendengar bait-bait puisi cukup berbahaya, sehingga al-Qutub ar-Rabbani al-Habib Abdullah ibnu Abubakar al-Aydrus berkata: Ada kalanya Allah memberikan petunjuk kepada seorang karena ia mendengar bait-bait puisi yang didendangkan oleh seorang, dan ada kalanya Allah menyesatkan seribuorang karenanya.”

 

Yang perlu diterangkan di sini adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh bait-bait puisi yang didendangkan tersebut. Seharusnya bait-bait puisi yang didendangkan dapat membangkitkan perasaan yang positif dan benar dan bebas dari pengaruh hawa nafsu, karena itu tidak boleh mendengar bait-bait puisi kecuali karena ilmu pengetahuan.

 

Sebaik-baik bait puisi yang didendangkan adalah yang dapat memberi pengaruh yang positif, seperti ketika seorang mendengar ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah Nabi dan nasehat-nasehat yang baik. Pengaruh yang baik dari mendengar bait-bait puisi atau lagu-lagu yang indah adalah sesuatu yang terpuji, asalkan terkait erat dengan masalahmasalah agama atau jika tidak terkait dengannya, maka hukumnya boleh atau mubah, asalkan tidak keluar dari batasan mubah.

 

Yang kami terangkan di sini adalah puisi-puisi yang dapat menenangkan hati pendengarannya. Di luar itu, banyak buku-buku agama yang menerangkan tentang hukumnya mendengarkan lagu-lagu, khususnya Kitab Ihya’ dan al-‘Awarif. Adapun jika seorang mendapatkan hasil positif seperti yang kami bicarakan di atas, jika ia takut riya’ kepada orang lain ketika mendengarnya, maka lebih utama baginya jika ia tidak menghadiri majelis-majelis yang diperdengarkan lagu-lagu di dalamnya.

 

Jika ia tidak takut mengenai hal itu, tetapi mendengarnya tidak memberinya keuntungan apapun, misalnya dapat menambah rasa rindunya kepada Allah swt, atau menambah frekuensi ibadah kepada-Nya, maka tidak menghadirinya lebih baik baginya, sebab tidak baik seorang Jika seorang membuang waktunyasia-sia.

 

Tetapi jika kehadirannya membawa keuntungan baginya dan bagi agamanya, maka ia boleh mempertimbangkan untung ruginya dan baik buruknya. Pokoknya, para arif tidak melarang seorang membuang waktunya atau meletihkan tubuhnya demi untuk membersihkan hatinya dan menenangkannya. Sebab, masalah ini lebih penting bagi mereka dari pada mendapatkan keuntungan yang lain.

 

 

 

 

Aku pernah ditanya tentang ucapan al-Imam al-Ghazali: “Mengetahui sesuatu berbeda dengan pengetahuan mengetahui sesuatu.”

 

Ketahuilah bahwa ucapan tersebut sebenarnya sudah jelas. Namun supaya dapat mudah dimengerti, kami akan mencoba membuat sebuah permisalan. Kamu tahu bahwa hanya Allah swt yang menciptakan dirimu dan segala sesuatu. Itulah yang dimaksud dengan mengetahui sesuatu. Kemudian engkau mengetahui segala ciptaan Allah swt yang diciptakan untukmu, itulah dimaksud dengan pengetahuan mengetahui sesuatu.

 

Asy-Syeikh Khalil ibnu Ahmad berkata: “Kaum lelaki ada empat macam: Pertama, ada lelaki yang mengerti, namun ia mengetahui bahwa dirinya mengerti. Itulah orang’yang berilmu, maka ikutilah dirinya.

 

Kedua, ada lelaki yang mengerti, namun ia tidak mengetahui bahwa dirinya mengerti. Itulah orang yang tidur, maka bangunkanlah ia.

 

Ketiga, lelaki yang tidak mengerti, namun ia mengetahui bahwa dirinya tidak mengerti. Itulah orang yang meminta petunjuk, maka berikanlah petunjuk kepadanya.

 

Keempat, lelaki yang tidak mengerti, namun ia tidak mengetahui bahwa dirinya tidak mengerti. Itulah orang yang bodoh, makajauhilah ia.”

 

 

Akupun pernah ditanya tentang ucapan al-Imam al-Ghazali: “Ilmu akan membuahkan keadaan dan keadaan akan membuahkan tingkatan.” Apakah pendapat itu benar? Sebab ada yang berbeda pendapat dengannya.

 

Ketahuilah bahwa pendapat al-Imam al-Ghazali itu merupakan pemikiran yang pokok, meskipun ada yang berbeda pendapat dengannya, namun hal itu tidak dapat mengalahkannya. Keterangan dari pendapat ini dikenal dengan tingkat keyakinan, sehingga tingkatan-tingkatan yang lain dapat dikiaskan dengannya

 

Ketahuilah bahwa zuhud merupakan tingkatan yang mulia, sumber dasarnya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah dan tuturkata para salafunassalihin yang mencela dunia dan orang-orang yang rakus terhadapnya, serta memuji mereka yang berpaling dari dunia dan mencurahkan perhatiannya kepada akhirat, sehingga hatinya menjadi zuhud terhadap dunia dan berharap besar kesenangan di akhirat.

 

Yang pertama adalah ilmu pengetahuan dan pengaruhnya adalah keadaan. Adapun sebagai tandanya adalah enggannya anggota tubuh kita menerima segala bentuk kesenangan dunia dan kemauan kita untuk mendapatkan kesenangan di akhirat dengan memperbanyak amal-amal shaleh.

 

Selanjutnya, ada kalanya pengaruh ini mendapat halangan berupa was-was dari setan dan hawa nafsu yang mengajak seorang condong kepada kesenangan dunia, sehingga untuk sementara waktu ia raguragu dan ada kalanya ia mengalami kondisi yang lemah atau ada kalanya ia menghilang was-wasnya itu pada sebagian waktu, itulah yang dinamakan keadaan.

 

Tetapi, jika perasaannya telah mantap dan akar-akar kokoh di dalam hati dan kemauannya tidak goyah sedikitpun, sehingga ia tidak ingin mendapatkan kesenangan dunia sedikitpun, maka di saat itu dinamai magam atau tingkatan, yang dengan kata lain disebutkan bahwa pengetahuan dapat membuahkan keadaan dan keadaan dapat membuahkan maqam atau tingkatan.

 

Dan bagi keduanya mempunyai tanda-tanda tertentu yang dapat membuktikan apakah ia benar ataukah ia palsu? Tanda-tanda itu terlihat pada sikap lahiriyah yang biasanya disebut amalan dan ia tumbuh dari ilmu pengetahuan, hanya saja ia terkait erat dengan sikap lahiriyah, sehingga dapat dibedakan antara ia dan keadaan.

 

Penyusun Kitab al-‘Awaarif menyebutkan bahwa keadaan-keadaan merupakan awal tingkatan-tingkatan, jika tingkatan keyakinan seorang telah mantap, maka ia telah meraih tingkatan yang lebih tinggi daripada yang telah ia raih pada waktu sebelumnya, maka ketahuilah baik-baik hal itu.

 

Perlu diketahui pula bahwa keadaan-keadaan mempunyai dua bagian, yang pertama seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya. Sedangkan yang kedua adalah, karunia apa saja yang datang kepada hati yang bercahaya sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan perjuangan yang keras, seperti timbulnya rasa tenang, fana, mabuk cinta dan bertemu.

 

Keadaan-keadaan semacam ini tidak dapat diraih dengan ilmu, tetapi hanya dapat diraih dengan berbagai amal shaleh yang dipenuhi dengan konsentrasi dan niat yang benar. al-Imam al-Ghazali tidak bermaksudkan menerangkan keadaan-keadaan yang sering dibicarakan oleh kaum sufi, yaitu keadaan bagian kedua.

 

 

Aku pernah ditanya tentang ucapan al-Imam al-Ghazali: “Untuk mengerjakan amal-amal kebajikan, tidak cukup hanya mengetahui bahwa hal itu adalah amal kebajikan. Tetapi, harus diketahui pula ketentuan waktu pelaksanaannya, tata tertibnya, dan persyaratannya.”

 

Yang dimaksud waktunya adalah waktu yang telah ditentukan untuk mengerjakan amal-amal kebajikan. Misalkan mengerjakan Shalat Subuh pada waktu Subuh, mengerjakan puasa Ramadhan pada Bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji pada bulan-bulan Haji.

 

Yang dimaksud tata tertibnya adalah ketentuan mengerjakan suatu amal kebajikan sesuai dengan tata tertibnya yang telah ditentukan, misalnya apa yang harus didahulukan dan apa yang harus diakhirkan. Seperti jika seorang hendak mengerjakan shalat, maka ia harus bersuci lebih dulu, jika keduanya dikerjakan tanpa peduli dengan tata tertibnya, maka keduanya tidak sah. Maka ketertiban merupakan hal yang wajib bagi semua amal-amal kebajikan. Dan hukumnya waktu dan tata tertib bagi amal-amal kebajikan adalah jelas.

 

Adapun persyaratan menurut al-Imam al-Ghazali adalah, ilmu yang terkait erat dengan pelaksanaan segala amal kebajikan dan termasuk terkait erat dengan kesempurnaannya. Misalnya, akal yang waras termasuk persyaratan yang harus dipenuhi bagi sahnya keimanan dan keislaman seorang.

 

Dan keduanya merupakan persyaratan yang harus dipenuhi bagi sahnya melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan maupun bagi amal-amal kebajikan yang bersifat sunnah. Dan yang paling penting dalam masalah ini adalah membersihkan niat dari segala sifat riya’ agar amal-amal kebajikan yang dilakukan dapat menambah tabungan akhirat.

 

 

 

Aku pernah ditanya tentang perkataan al-Imam al-Ghazali tentang masalah perasaan dalam hati dan sangsinya. Sebenarnya masalah ini sudah jelas. Secara global dapat dijelaskan bahwa selama perasaan dalam hati itu masih ragu-ragu, apakah ia baik ataukah buruk? Maka hal itu tidak akan mendatangkan pahala ataupun siksa, sampai timbulnya kemantapan yang pasti. Pada saat itulah orientasi balasan baru ditetapkan.

 

Adapun perasaan dalam hati yang dibicarakan oleh al-Imam alGhazali dalam bab ini tidak berbeda dengan ucapannya yang disebutkan olehnya dalam bagian akhir Kitab al-Khauf. Di sana ia menyebutkan bahwa di dalam batin manusia terdapat berbagai sifat yang buruk, seperti sombong, riya’, dengki dan sifat apapun yang semisalnya dengannya.

 

Yang mana kesemuaanya itu akan terlihat dalam wajah yang menakutkan setelah ia mati, sebab ia tersiksa oleh karena perkara itu. Masalah ini akan dialami oleh seorang yang belum sempat membersihkan berbagai noda buruk di dalam hatinya sampai ajalnya datang.

 

Jika perasaan dalam hati yang disebutkan di dalam Kitab al-Khauf memang seirama dengan yang kami sebutkan dalam bab ini, maka hal itu tidak ada kesulitan, karena perasaan dalam hati adalah sesuatu yang bergetar di dalam jiwa, kemudian maju dan mundur di dalam dada hingga mencapai puncaknya, namun terkadang ada kalanya ia surut sebelum itu.

 

Sifat-sifat buruk inilah yang pernah disebutkan dalam Kitab al-Khauf, kesemuanya merupakan sifat yang dapat membinasakan seorang, dan kesemuanya sering timbul di hati seorang dan kesemuanya merupakan dosa-dosa besar yang menyebabkan datangnya siksa segera ataupun lambat. Dari situ dapat dibedakan antara sifat-sifat buruk yang ada di dalam hati dengan perasaan yang tergerak di dalam hati.

 

Jika keterangan kami di atas merupakan jawaban bagi pertanyaanmu, maka aku bersyukur kepada Allah swt. Tetapi kalau tdak, maka kirimkan kepada kami keterangan yang terdapat di dalam Kitab al Khauf yang tidak engkau mengerti, agar kami dapat memberikan jawabannya untukmu.

 

 

 

Aku pernah juga ditanya tentang ucapan al-Imam al-Ghazali di dalam Kitab Asrar at-Tilawah: “Lisan sebagai pemberi nasehat, akal sebagai penerjemah dan kalbu sebagai penerima pengaruh.”

 

Apa yang dikatakan oleh al-Imam al-Ghazali memang jelas. Tugas lisan adalah mengutarakan rangkaian kalimat yang mengandung arti, sedangkan akal mencernanya, kemudian menyalurkannya ke dalam kalbu, dan kalbulah yang bertindak sebagai penerima pengaruh. Dalam hal ini, akal bertindak sebagai seorang wazir yang bertindak sebagai penerjemah, sebab ia berada di antara lisan dan kalbu.

 

Masalah yang ia sebutkan ini diperuntukkan bagi Ashabul Yamin yaitu orang-orang yang mampu menyerap makna al-Qur’an ketika ia sedang dibaca maupun sesudahnya.

 

Sedangkan kaum mugarrabin, mereka dapat memahami kandungan makna al-Qur’an sebelum al-Qur’an dibaca, sebab kandungan makna alQur’an telah bercokol kuat di hati mereka dan ia senantiasa menyertai mereka, baik ketika al-Qur’an di baca ataupun tidak.

 

 

 

 

 

Aku juga pernah ditanya tentang ucapan al-Imam al-Ghazali tentang seorang yang menggunakan karunia-karunia Allah swt untuk maksiat: Sebenarnya mengharap sirnanya nikmat dari seorang tidak timbul karena hasud, tetapi timbul karena cemburu kepada Allah swt.

 

Perlu diketahui bahwa apa yang dikatakan oleh al-Imam al-Ghazali itu adalah benar, akan tetapi alangkah baiknya jika seorang mengharap sirnanya nikmat dari seorang yang suka berbuat maksiat, dan memohonkan petunjuk baginya, agar ia mensyukuri nikmat-nikmat Allah dan menggunakannya untuk hal-hal yang baik.

 

Sejak pertama telah disebutkan kisah Dzan Nun bahwa ia melihat sekelompok orang berada di sebuah perahu, mereka ingin menuju ke suatu tempat dan mereka ingin menyaksikan bersihnya seorang dari dosa dengan cara yang batil dan menjauhi yang benar. Maka ia memohon kepada Allah swt, sehingga mereka tenggelam. Ketika ditanya, mengapa ia berbuat demikian, maka ia berkata: “Kesaksian laut lebih baik bagi mereka dari kesaksian yang tidak baik.”

 

Kejadian di atas dialami juga oleh asy-Syeikh Ma’ruf al-Karkhi, yaitu ketika ia berjalan dengan kawan-kawannya di tepi sungai Tiqris. Di tempat itu mereka melihat sekelompok orang sedang mabukmabukan dan bersenang-senang di atas sebuah perahu. Maka kawankawan asy-Syeikh Ma’ruf berkata kepadanya: “Wahai syeikh, berdo’alah kepada Allah untuk mereka.”

 

Maka ia mengangkat kedua tangan dan berdo’a: “Ya Allah, sebagaimana Engkau membahagiakan mereka di dunia, maka bahagiakan pula mereka di akhirat.” Mendengar do’a tersebut, kawan-kawannya bertanya: “Jika mereka engkau do’akan semacam itu, tentunya mereka akan bertaubat.” Maka dengan izin Allah swt, mereka mendatangi asy-Syeikh Ma’ruf al-Karkhi dan menyatakan taubatnya masing-masing.

 

Apa yang dilakukan oleh asy-Syeikh Ma’ruf merupakan perbuatan yang cukup mulia, karena ia bersifat kasih sayang kepada orang-orang yang berdosa, padahal ia adalah seorang wali Allah swt yang memiliki kedudukan besar disisi-Nya.

 

Apa yang disebutkan oleh al-Imam al-Ghazali tentang asy-Syeikh Ma’ruf di atas menunjukkan betapa besarnya kecemburuannya untuk Allah swt, meskipun ia dikenal sebagai seorang yang tegas di dalam agama.

 

Ketahuilah bahwa sifat cemburu ada dua macam: Yang pertama adalah k emburuan seorang untuk Tuhannya, yaitu ketika larangan-larangan Allah swt dilanggar oleh orang lain dan hak-hak-Nya diremehkan, maka ia murka karena Allah swt. Orang semacam ini selalu menyuruh yang baik dan mencegah yang munkar, dan membenci para pelaku kedzaliman dan suka mendo’akan mereka, seperti dilakukan oleh Nabi Allah Nuh dan Nabi Allah Musa as.

 

Yang kedua adalah kecemburuan seorang terhadap miliknya dan ia tidak ingin ada orang lain yang bersekutu dengannya, seperti seorang lelaki yang memiliki seorang isteri. Rasa cemburu macam ini ada kalanya terlalu agresif, sehingga seorang dapat menuduh yang tidak baik kepada orang lain, misalnya ia cemburu dalam masalah ilmu pengetahuan, ibadah, kedudukan, dan ada kalanya ia hasud dan membenci kepada orang-orang yang memiliki kelebihan, tentunya rasa cemburu macam ini tidak terpuji.

 

Adapun cemburu karena Allah swt adalah timbulnya rasa murka pada diri seorang ketika ia melihat hak-hak Allah swt dilecehkan oleh seorang, misalnya ketika melihat orang lain menyembah selain Allah swt dan melakukan maksiat terhadapnya, dan ada kalanya ia merasa cemburu karena Allah swt ketika ia melihat ada orang lain yang mempunyai sifat seperti sifat Allah swt, seperti sifat sombong, keagungan, kemuliaan dan yang semisal dengannya yang tidak pantas untuk dimiliki oleh siapapun selain Allah swt Yang Maha Agung.

 

 

 

Aku pernah ditanya tentang mimpi baik yang pernah diucapkan oleh al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdullah al-Aydrus.

 

Ketahuilah bahwa mimpi yang baik merupakan satu bagian dari kenabian, ja mempunyai tanda-tanda khusus, ia mempunyai alam tertentu, yaitu alam barzah, antara alam kasyaf batin dan alam sadar lahiriyah. Mimpi yang baik merupakan berita gembira yang diperlihatkan kepada seorang wali seperti yang pernah diperlihatkan kepada Nabi saw sebelum ia diutus, tetapi tidak semua mimpinya bersifat demikian, bahkan boleh dikata hal ini jarang terjadi bagi seorang yang belum mencapai tingkatan senior.

 

Ada kalanya mimpi yang baik dilihat oleh seorang yang belum mencapai tingkatan senior, tetapi setan ikut intervensi di dalamnya, sehingga mimpi yang baik itu tercampur dengan mimpi yang buruk, sehingga sulit untuk dimengerti isinya dan sulit pula untuk ditafsirkan. Seorang yang ketika belum tidur dikuasai oleh setan, maka dikala ia tidur, setan akan mempengaruhi mimpinya, ia mendengar ucapannya dan memahaminya pula, meskipun ia terlelap dalam tidurnya.

 

Mimpi yang baik tidak akan memberi pengaruh buruk kepada kesehatan yang bermimpi, asalkan pandangan batinnya sehat. Tetapi jika pandangan batinnya sakit, maka mimpi-mimpi tersebut akan memberi pengaruh buruk baginya, terutama jika ia menderita penyakit broncitis dan empedu yang rusak, bahkan ia dapat melihat sesuatu dalam bentuk yang kontradiktif dengan kondisi realnya.

 

Imam al-Ghazali menuturkan bahwa seorang yang suka berbicara sendiri di dalam hatinya tentang suatu yang mustahil, lisannya juga sering menyebutkan sesuatu yang tidak baik, atau meyakini sesuatu yang pernah ia lihat maupun yang diperlihatkan kepadanya, maka ia Sulit untuk mempercayai kebenaran suatu mimpi yang baik.

 

Ini merupakan bagian akhir dari jawaban semua pertanyaan Anda, meskipun singkat, tetapi cukup jelas dapat dimengerti. Sebab, sebaikbaik tuturkata adalah yang paling singkat tetapi cukup dimengerti.

 

Sebagai penutup, akan kami coba untuk menerangkan secara ringkas beberapa bait puisi karya al-Habib Abubakar bin Abdullah Alaydrus Ba’alawi, yang di awal kitab ini engkau telah memintaku untuk menjelaskannya. Semoga Allah swt memberi manfaat kepada kami dan bagi seluruh kaum muslimin.

 

 

 

Sebagai penutup, inilah penjelasan dari bait-bait sya’ir yang sangat indah, karya al-Habib Abubakar bin Abdullah al-Aydrus: “Bertiup angin lembut penyambung kasih sayang yang tidak pernah terikat dan terputus. Sesuai dengan kemisterian naiknya dan ilmu tidak dapat membahasnya. Karena ia adalah hasil dari keyakinan dan tangga naik ke peringkatparipurna.”

 

Penjelasannya: Syeikh Abubakar bin Abdullah al-Aydrus sengaja menyebutkan ungkapan ‘Angin lembut’ untuk menandai adanya tiupan lemah lembut dari pihak Allah swt untuk para kekasih-Nya, yaitu waliwali-Nya yang senantiasa menyibukkan diri untuk bermunajat kepada Allah swt dengan sungguh dan penuh tatakrama dalam setiap waktunya, demi untuk menjalin rasa kasih sayang antara mereka dengan Allah swt, karena mereka senantiasa memadukan cintanya kepada Allah swt dan melupakan segala kesenangan dunia. ,

 

Tiupan kasih sayang dari Allah swt tersebut merupakan jalinan cinta yang misteri kepada wali-wali-Nya karena ilmu pengetahuan tidak dapat mengungkapkannya. Sebab, tiupan kasih sayang tersebut adalah hasil keyakinan yang dihaturkan oleh wali-wali Allah swt kehadirat Tuhannya Yang Maha Agung, sehingga bentuk cinta mereka tidak dapat diketahui oleh akal maupun nafsu. Maka mereka mendapat kasih sayang Allah berupa kasyaf dan musyahadah dan kenaikan pangkat disisi Allah swt.

 

Selanjutnya: “Maka siapapun yang mengikuti baik-baik jejak para wali, maka ia akan mendapat petunjuk dan ia akan menjadi hamba pilihan.

 

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal kebajikan yang diperintah dan ia melakukan dengan keyakinan penuh, maka ia akan mendapat kesenangan surgawi sebagai hasil kecintaannya.”

 

Yang dimaksudkan dengan ‘mengikuti’ dalam bait puisi di atas adalah mengikuti jejak Rasulullah saw dan wali-wali Allah swt dalam tindak tanduknya dan tuturkatanya serta tatakramanya. Siapapun yang mengikuti jejak mereka dengan sungguh-sungguh, maka mereka akan mendapat petunjuk untuk sampai kepada Allah swt seperti yang disebutkan dalam firman Allah: “Siapapun di antara mereka yang berjuang sungguh-sungguh di jalan Kami, maka Kami akan menunjukkan mereka ke Jalan Kami.”

 

Yang dimaksud dengan kata ‘petunjuk’ dalam ayat di atas adalah mukasyafah atau tersingkapnya berita-berita misteri dari alam ghaib. Hal ini tak akan diraih kecuali dengan kebersihan hati. Sedangkan kebersihan hati adalah mendapatkan hakekat keyakinan dan pancaran pertolongan kedekatan dari Dzat Yang Maha Kuat, Yang Maha Perkasa.

 

Maka tahapan mendapatkan petunjuk lebih tinggi nilainya, karena la adalah hasil mengikuti sunnah. Sementara kebersihan hati lebih tinggi nilainya, karena ia adalah ruhnya dan tujuannya. Kebersihan tersebut dapat diartikan bahwa Allah swt membersihkan hamba-Nya demi untuk dapat mengenal Dzat-Nya, kasih sayang-Nya dan memberinya kasyaf dan musyahadah keagungan Dzat-Nya dan kesucian sifat-Nya.

 

Seorang yang bersih hatinya, maka ia akan rindu kepada hadirat Ilahi jika ia mendengarkan bait-bait puisi yang melantunkan lagu-lagu cinta kepada Allah swt Yang Maha Pengasih, maka ia akan mencari jalan yang bisa menyampaikan dirinya kepada hadirat Ilahi. Arti melazimi sesuatu adalah mengerjakan segala sesuatu yang diperintah dengan penuh keyakinan secara istigamah, diantaranya seperti melakukan shalat, sedekah, dan lain-lain yang semacamnya, serta mengerjakan tatakrama yang batin seperti rendah hati, zuhud, ridha dan lain-lain yang semacamnya.

 

Keyakinan adalah iman yang murni dan benar, sebagaimana yang telah disampaikan di muka dan tempatnya adalah di dalam hati. Dengan rahmat-Nya, Allah swt menjadikan amal-amal ibadah dan memikirkan kejadian langit dan bumi serta tanda-tanda kebesaran Allah swt yang lain sebagai jembatan untuk meraih keyakinan yang teguh. Seorang yang teguh keyakinan dihatinya dan ia menghiasi dirinya dengan berbagai amal shaleh, maka ia akan mencapai nilai takarub di sisi Allah swt yang terdekat dan ia akan mendapat surga kedamaian dan menikmati lezatnya di sisi Allah swt.

 

Adapun buah wushul adalah akan berupa pembukaan rabbani, kedamaian, dialog dan bermunajat di sisi Allah swt, serta kenikmatankenikmatan rohani lainnya yang senantiasa dirindukan oleh wali-wali Allah swt, dan itulah kenikmatan yang diberikan Allah swt kepada hamba-hamba yang disenangi oleh-Nya.

 

Selanjutnya beliau berkata: “Ini adalah ilmu-ilmu yang sejati, para tokohnya adalah orang-orang terbaik. Keyakinan mereka tidak ternodai oleh keraguan sedikitpun, dan petunjuk mereka tidak dinodai oleh kesesatan sedikitpun. Mereka telah mengikuti jejak para pendahulunya dengan baik, kemudian mereka bersungguh-sungguh dan mereka menyaksikan buahnya maka lenyaplah yang mustahil.”

 

Setelah asy-Syeikh Abubakar menyebutkan beberapa karunia Allah swt yang diberikan kepada wali-wali-Nya berupa mukasyafah dan musyahadah, maka beliau memerintahkan para hamba Allah swt untuk mengikuti Jejak mereka, agar mereka mendapat petunjuk dan karuniakarunia Allah swt lainnya. Kemudian ia menerangkan bait-bait diatas sebagai berikut: “Inilah berbagai pengetahuan, yang dikatakan realistis oleh mereka yang ahli di bidangnya, mereka memandang sesuatu dengan cahaya ( Allah swt, keluar dari batasan ilmu akal menuju mukasyafah yang pandangan hakekatnya lebih jelas dari penemuan akal.”

 

Meskipun para ilmuwan tidak mempercayai ilmu mukasyafah yang tidak dapat dicerna oleh para ilmuwan karena keterbatasan cara berfikir mereka dan mereka tidak dapat membuktikan sisi batin ilmu sufi, Apalagi menelitinya, karena itu asy-Syeikh al-Junaid berkata: “Mempercayai ilmu mukasyafah yang kami miliki termasuk salah satu tingkatan kewalian.”

 

Kemudian asy-Syeikh Abubakar memuji para wali yang telah meraih ilmu mukasyafah dan musyahadah dengan ucapannya: “Mereka adalah para tokoh, dan mereka telah berhasil membebaskan diri mereka dari perbudakan nafsu dan mereka telah menghilangkan segala noda di dalam hati dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, serta memfokuskan seluruh perhatiannya kepada hadirat Ilahi secara lahir dengan memperbanyak amalamal kebajikan dan secara batin dengan merendahkan hatinya kepada Allah swt. Itulah sifat seorang sufi yang murni.”

 

Kaum sufi adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji seperti yang kami sebutkan diatas, yaitu: mereka yang tidak menodai keyakinannya dengan keraguan sedikitpun dan tidak menodai petunjuk dan amal-amal kebajikan mereka dengan kesesatan dan kebatilan sedikitpun. Karena itu, mereka senantiasa menekan diri dan bersungguh-sungguh hingga nafsunya bersih sehingga mereka mendapat ilmu-ilmu baik dan mereka mendapat petunjuk, sehingga mereka terhindar dari bodoh dan sesat, karena mereka telah merengkuh inti islam dan iman, bukan hanya kulit luarnya.

 

Mereka tidak dapat merengkuh inti iman dan islam kecuali setelah mengikuti tatakrama syari’at secara penuh, mempelajari ilmu-ilmu iman dan islam, mengamalkan dengan sungguh-sungguh dan mendidik moral mereka dengan menekan nafsu mereka sekuatnya.

 

Asumsi inilah yang dikatakan oleh asy-Syeikh Abubakar dengan ungkapan: “Mereka benar-benar mengikuti jejak para sesepuhnya….” Maksudnya mereka mempelajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan serta mengamalkannya dengan sungguh-sungguh.

 

Berkaitan dengan menekan nafsu dan pembersihan jiwa, asy: Syeikh Abubakar mengungkapkannya sebagai berikut: “Dan kemudian mereka bersungguh-sungguh…” Setelah mereka bersungguh-sungguh mencari ilmu dan mengamalkannya dengan baik, maka hati bercahaya pandangannya terbuka, sehingga mereka dapat menyaksikan kemisterian alam malakut dengan mukasyafah dan musyahadah, sehingga segala yang mustahil dapat dihilangkan.

 

Selanjutnya ia berkata: “Mereka telah merengkuh ilmu yakin, kemudian mereka merengkuh pula ‘ainul yakin, bahkan mereka sampai merengkuh haqqul yakin tanpa keraguan. Mereka fana dari alam semesta, ketika melihat alam musyahadah. Mereka hidup setelah mereka mati, ketika mereka menyaksikan alam musyahadah.”

 

Perlu diketahui bahwa ilmu yakin membuktikan keimanan yang mantap yang di dukung oleh bukti-bukti yang jelas. Adapun ‘ainul yagin lebih tinggi tingkatannya dari ilmu yakin, karena, pada tingkatan ini seorang sudah tidak butuh dengan dalil apapun karena, bukti-buktinya telah nyata di hadapan mata.

 

Adapun haqqul yagin tingkatannya paling tinggi, yang di kenal dengan ilmu mukasyafah, pengetahuan ini hanya diberikan kepada para wali senior dan para ‘arif pilihan yang mewarisi dari para nabi dan para as-Shiddigin. Dan masalah ini tidak perlu diragukan kebenarannya, karena bukti-buktinya telah jelas.

 

Adapaun fana dari alam semesta merupakan suatu kondisi yang mulia, yang diberikan oleh Allah swt kepada wali-wali-Nya. Maksudnya mereka meleburkan diri mereka dari alam semesta, sehingga mereka Yapat menyaksikan hakikat diri mereka dan kemisterian alam lain. Hasil Yari kefanaan seorang dapat menyaksikan sifat-sifat Allah swt Yang Maha Mulia dan Maha Benar, jika hal ini terjadi, maka segala sikap dirinya dan Yam semesta menjadi hilang dan lenyap, yang ada hanya alam Allah swt Yang Maha Mulia dan Maha Benar.

 

Ketika fana telah benar-benar terwujud, maka sifat-sifat Allah swt akan tampak jelas bagi pelakunya, sehingga arwah mereka menjadi sentosa, diri mereka lenyap mereka melebur terhadap sifat ketuhanan yang maha sempurna dan mereka merasa bahagia dan senang berada di sisi Allah swt dan perasaan ini tidak dapat disifatkan nikmatnya dan keindahannya, karenaitu, tingkatan ini sangat diharap oleh para wali Allah swt.

 

Kenikmatan dan keindahan di sisi Allah swt yang di rasa oleh para wali Allah swt pernah disebutkan oleh asy-Syeikh Ibnul Farid di dalam bait-bait puisinya sebagai berikut: “Itulah malam-malam yang pernah aku lewati dalam usiaku bersama para kekasihku, aku rasa semuanya sebagai malam pengantin. Mataku tak pernah berkedip sedikitpun dari memandang mereka dan hatiku tidak pernah merasa sesejuk ketika bersama mereka. Wahai surga, engkau ditinggalkan oleh nafsu karena terpaksa, andai kata aku sudah

 

. tidak untuk mendapatkanmu kembali pasti aku mati karena putus asa.”

 

Penyusun bait-bait diatas asy-Syeikh as-Suddi dan kaum ‘arifin

 

lainnya banyak menyebutkan bait-bait puisi yang kami sebutkan diatas.

 

Tingkatan seperti ini merupakan tingkatan yang diberikan oleh Allah swt kepada wali-wali-Nya yang mau berusaha untuk meraihnya. Tingkatan ini merupakan tingkatan yang kekal. Dari tingkatan ini si ‘arifbillah akan kembali kepada masyarakatnya dan mengajak mereka untuk menuju kepada Allah swt dan bertatakrama seperti tatakrama mereka, sebagai sebuah refleksi untuk memberikan relevansi antara mereka dan dirinya, sehingga mereka dapat menerima dirinya.

 

Konsep tersebut membutuhkan keterangan yang luas yang mengandung banyak pengertian, teliti dan rahasia-rahasia yang misteri yang tidak boleh disebarluaskan di segala buku agar tidak jatuh ke tangan orang yang bukan ahlinya, agar ia tidak mengaku bahwa dirinya telah mencapai tingkatan tersebut, sehingga ia menjadi sesat. Kemudian syeikh berkata: “Sampai jiwa mereka bersih dari segala kotoran, sehingga nilainya tidak dapat diukur dengan harta. Alam semesta tunduk kepada mereka, sedikitpun tidak akan membantah kehendak mereka itulah Sang Raja tidak diragukan lagi, yang tidak dapat digoyahkan dan tidak pula diturunkan.”

 

asy-Syeikh Abubakar menjelaskan bahwa mereka fana setelah menyaksikan alam musyahadah, yaitu setelah menyaksikan hadirat Ilah itulah hasil pembersihan nafsu mereka dari segala noda dan keburukan.

 

Sebagai penjelasannya, meskipun seorang wali telah berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan segala noda dan keburukan hatinya, tetapi noda tersebut akan tetap ada, pada suatu saat hatinya akan condong kepada dunia, sehingga noda-noda tersebut akan kembali. Maka untuk tetap menjaga kebersihan hatinya seorang wali diperluka fana yang melupakan segala yang berkaitan dengan alam semesta Karena itu, seorang tidak pantas menjadi syeikh tarekat, kecuali setelah iamencapai tingkatan fana dan baqa”‘.

 

Kemurnian di sini adalah emas murni dan emas yang benar-benar asli. Di dalam dirinya sudah tidak tersisa kotoran sedikitpun. Setelah batin para ‘arifbillah telah suci dari segala noda dan keburukan, Sehingga pengertian mereka, ilmu mereka dan tatakrama mereka tidak bisa dinilai dengan harta, karena harta tidak mempunyai nilai Sedikitpun di sisi Allah swt.

 

Ketika nafsu, kemauan dan harapan mereka sudah lenyap, dan mereka tidak mempunyai keinginan apapun selain ridha Allah swt dan kedekatan dengan-Nya, maka di saat itulah seluruh alam semesta diizinkan oleh Allah swt tunduk kepadanya, karena mereka tundu. kepada Allah swt.

 

Selamanya alam semesta akan tunduk kepada khaliknya. Siapapu yang taat kepada Allah swt, maka Allah swt akan cinta kepadanya, kala Allah swt sudah cinta kepadanya, maka seluruh alam semesta aka tunduk kepada orang itu. Di dalam salah satu firman Allah swt pernal disebutkan:

 

Artinya: “Wahai putra Adam.. Akulah Allah yang dapat menjadika segala sesuatu dengan kehendak-Ku, maka taatlah engkau kepada-Ku aga engkau dapat menjadikan segala sesuatu dengan kehendak-Ku”.

 

Maka apapun yang diinginkan dan dikehendaki oleh seorang ‘arifi billah, akan terwujud dengan izin Allah swt. Akan tetapi karen. keinginan mereka telah lenyap dari hati mereka, maka tidak suat keinginan pun yang timbul dari hati mereka kecuali yang sesuai denga kehendak Allah swt. Maka masalah ini perlu diperhatikan baik-baik, sebab masalah ini sangat pelik.

 

Intinya semua keinginan para arif billah selalu dikembalikan kepada Allah swt, sehingga keinginan mereka selalu sesuai dengan keinginan dan kehendak Allah swt. Tunduknya seluruh alam semesta kepada wali-wali Allah swt adalah sesuatu yang diketahui oleh umum, berdasarkan periwayatan yang mutawatir. Apa saja yang dikehendaki oleh para wali Allah swt akan terjadi, demi untuk Jebih menguatkan keimanan mereka kepada Allah swt.

 

Pengalaman seperti ini dapat juga dialami oleh wali-wali Allah swt yang telah mencapai tingkatan fana. Hanya saja mereka sedikit yang merasakannya, karena jiwa mereka lenyap dan lebur dalam kefanaan dan mereka tidak mempunyai keterkaitan apapun dengan alam semesta.

 

Adapun wali-wali Allah swt yang telah mencapai tingkatan baga’ yang kesibukannya hanya berdakwah ke jalan Allah swt, maka pengalaman seperti itu Jarang terjadi, karena nafsu mereka telah puas dengan kehendak Allah swt dan keterkaitan mereka dengan semesta sudah terputus, sehingga mereka sudah tidak mempunyai keinginan apapun.

 

Namun ada kalanya mereka diberi izin untuk memperlihatkan kedigdayaannya bagi orang-orang yang lemah imannya atau bagi mereka yang mengingkari kekuasaan Allah atau untuk menunjukkan penghargaan Allah swt kepada wali-wali-Nya.

 

Andaikata, seorang menyuruh sebuah gunung untuk hancur atau menghendaki air laut untuk kering, pasti keinginannya akan terkabul karena izin Allah swt. Perlu diketahui, bahwa para wali Allah tidak | pernah menginginkan karamah, mereka berkata: “Sebaik-baik karomah adalah istigamah.”

 

Ucapan mereka ini mengandung ketidakpedulian mereka terhadap karamah dan mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan mengikuti jejak Rasulullah saw secara lahir dan batin. Tidak seorang bun diantara mereka dapat meraih karamah kecuali setelah nafsunya menjadi sangat lembut setelah memperbanyak menekannya dan setelah mereka mampu menyimpan segala rahasia Allah swt dan setelah nafsy mereka tidak mempunyai keinginan apapun.

 

Siapapun di antara mereka yang mendapatkan karamah sebelum dapat membunuh hawa nafsunya, maka karamah yang diberikan kepadanya akan menjadi cobaan baginya, kecuali jika ia dilindungi oleh Allah swt. Dan ia telah melepaskan dirinya dari keterkaitan dengan alam semesta dan dari kesenangan apapun, ia hanya menyibukkan dirinya untuk mendekat kepada Allah swt, sehingga ia tidak mempunyai hubungan apapun dengan selain Allah swt.

 

Ia bagai seorang raja yang tidak butuh bantuan dan dukungan dari siapapun, ia tidak takut disaingi atau didesak oleh siapapun, seperti para penguasa yang selalu takut disaingi atau didesak oleh kaum perusuh. Sebab wali-wali Allah swt adalah penguasa akhirat, sedangkan para penguasa adalah penguasa bumi.

 

Kekuasaan raja yang paling mulia adalah jika ia sudah mampu melenyapkan semua keinginan nafsunya dan tidak butuh pada pertolongan dan dukungan selain Allah swt, ia tidak mempunyai keinginan apapun di dunia maupun di akhirat selain berharap ridha Allah dan kedudukan yang dekat di sisi Allah swt. Itulah sifat para wali Allah dan orang-orangnya disayangi oleh-Nya. Allah swt ridha kepada mereka dan mereka pun demikian. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah swt:

 

Artinya: “Mereka adalah partai Allah swt. Ketahuilah, sesungguhnya partai Allah swt adalah orang-orang yang sukses”.

 

asy-Syeikh Abubakar menerangkan beberapa aspek dalam baitbait yang singkat, tetapi isinya cukup padat. Dalam bait-bait itu ia menerangkan berbagai karunia Allah swt yang berupa mukasyafah dan musyahadah yang diberikan kepada wali-wali-Nya, termasuk juga karunia tagarub dan karunia kefanaan.

 

Ia memisalkan wali-wali Allah swt sebagai kaum penguasa yang hakiki, yaitu kaum penguasa yang tidak butuh pada bantuan dan dukungan siapapun dan tidak takut disaingi atau didesak siapapun. Selain itu ia menerangkan juga tentang perjalanan tarekat ke jalan. Allah swt secara jelas mulai dari awal hingga akhir, sehingga siapapun yang ingin mengikuti jalan tarekat, maka ia akan mudah melakukannya.

 

Selanjutnya ia mengakhiri bait-bait puisinya: “Sebagai penutup baitbait puisi ini maka bershalawatlah kalian kepada Nabi, seorang yang sempurna tutur katanya dan kelakuannya, dan kepada sahabat-sahabat Beliau, manusia pilihan, dan kepada segenap keluarga Beliau, sebaik-baik keluarga.”

 

Sebagai penutup dari keterangannya tentang bait-bait di atas, maka | asy-Syeikh Abubakar mengajak kita untuk mengikuti tarekat ke jalan Allah swt yang pernah ditempuh oleh wali-wali Allah swt, seperti yang telah diterangkan panjang lebar diatas.

 

Ia menutup keterangannya dengan menganjurkan orang-orang yang membaca bait-bait puisi di atas untuk rajin bershalawat kepada Rasulullah saw. Sebab shalawat merupakan rahmat dan penghormatan Allah swt, bagi Rasulullah saw, Nabi yang mempunyai kedudukan tinggi disisi-Nya.

 

Sebagai penutup penjelasannya, ia menganjurkan kita rajin membaca shalawat kepada Nabi saw sebagai pemberitahuan bahwa karunia apapun yang ia peroleh dan para arif billah merupakan hasil dari mengikuti jejak Rasulullah saw, sebab tutur kata dan kelakuan Beliau sangat sempurna. Tutur kata Beliau saw adalah jujur, berbobot, bersih dari kata-kata bohong, sebab Allah swt telah menerangkan kepada kita bahwa Beliau tidak mengucapkan satu kalimat pun kecuali didasari wahyu dari Allah swt.

 

Demikian pula tindak tanduk Beliau saw cukup bersih dari segala noda dan kekurangan, sebab Beliau saw tidak bertindak sesuatu dan tidak bertutur kata, kecuali sesuai dengan petunjuk dan isyarat dari Allah swt. Maka sangat beruntung siapapun yang mengikuti jejak Beliau saw dan mengamalkan sunnah Beliau saw. Sebaliknya, sungguh sangat celaka seorang yang enggan, apalagi menolak mengikuti jejak Beliau saw dan mengamalkan yang tidak sesuai petunjuk dan sunnah Beliau saw.

 

Para sahabat Nabi saw adalah orang-orang yang pernah hidup di masa Beliau saw, mereka beriman kepada Beliau saw, berhijrah bersama Beliau saw, menolong agamanya, berjuang bersama Beliau saw, dan menyampaikan ajaran Beliau saw, baik perbuatan Beliau mapun tutur katanya. Karena mereka memiliki sifat-sifat mulia, seperti yang kami sebutkan di atas, maka tidak seorang pun yang seperti mereka, mereka adalah manusia pilihan dan tokoh panutan.

 

Keluarga Rasulullah saw adalah kaum kerabat Beliau saw yang terkait erat dengan hubungan darah dan agama. Mereka adalah manusia yang paling dekat dengan Rasulullah saw dan yang paling dicintai oleh beliau saw. Allah swt mewajibkan umat Islam menyintai, menyayangi dan menghormati mereka. Mereka disucikan oleh Allah swt dari segala hal yang buruk. Karena itu mereka adalah keluarga yang paling mulia, karena mereka terkait erat dengan Nabi Muhammad saw, beliau adalah makhluk yang paling mulia.

 

Namun kemuliaan seperti itu tidak akan berguna bagi mereka, jika mereka tidak mengikuti jejak Rasulullah saw. Sebab, mereka adalah manusia terdekat dengan beliau dan manusia yang paling wajib untuk mengikuti jejak beliau saw. Siapapun di antara mereka yang enggan mengikuti jejak beliau saw, makaia adalah manusia yang paling celaka.

 

Sebab, mereka adalah manusia yang paling dekat dengan beliau saw. Sebagaimana halnya kemuliaan dan keutamaan akan diraih oleh mereka yang mengikuti sunnah Rasul dengan baik, maka kemuliaan dan keutamaan tersebut akan lebih agung dan lebih utama bagi keluarga beliau saw yang paling baik amal kebajikannya.

 

Ya Allah… Anugerahkan kepada kami untuk mengikuti jejak Rasul-Mu dengan sempurna, baik akhlaknya, perbuatannya maupun tutur katanya. Bantulah kami untuk melakukan semua itu, berilah petunjuk kepada kami, anugerahkanlah ikhlas dan kesungguhan kepada kami dalam mengikuti jejak beliau saw.

 

Hidupkan dan matikan kami dalam mengikuti jejak Beliau sampai Engkau mempertemukan kami dengan beliau saw di surga-Mu kelak dan Engkau meridhai dalam kebaikan dan keselamatan, Wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

 

Ini adalah akhir ulasanku tentang bait-bait puisi karya asy-Syeikh Abubakar di atas. Meskipun demikian, aku tidak mengakui bahwa ulasanku persis dengan yang dimaksud oleh penyusunnya. Namun ini adalah ulasan dari yang aku mengerti tentangnya. Jika ulasanku ini memang cocok, maka aku bersyukur kepada Allah swt. Jika sebaliknya, ulasanku ini semoga dapat memberi manfaat bagi sebagian orang yang memperhatikannya baik-baik.

 

Selanjutnya, kuakui dengan sesungguhnya, bahwa aku tidak banyak mengerti tentang hakekat wali-wali Allah swt dan kerinduan mereka kepada Allah swt dan tentang budi pekerti mereka yang mulia.

 

Dan kuakui pula bahwa kecintaanku kepada wali-wali Allah swt masih cukup, aku ingin mengikuti jejak mereka dan menambah jumlah mereka, dan aku berprasangka yang baik terhadap mereka, dan aku yakin bahwa mereka telah meraih ilmu mukasyafahdan musyahadah.

 

Aku berharap, semoga Allah swt mengikutkan aku bersama mereka dan mengaruniaiku makrifat dan kecintaan sesuatu yang diberikan kepada mereka. Sebuah hadis menyebutkan:

 

Artinya: “Manusia akan bersama orang yang disukainya.”

 

Dalam sebuah hadis yang lain disebutkan:

 

Artinya: “Barangsiapa meniru jejak suatu kaum, maka ia adalah sebagian dari mereka.”

 

Dalam hadis yang lain disebutkan:

 

Artinya: “Barangsiapa memperbanyak jumlah anggota suatu kaum, maka ia adalah sebagian dari mereka.”

 

Meskipun demikian kisah perjalanan mereka telah lenyap, bahkan peninggalan-peninggalan mereka telah tiada, sehingga kita kesulitan untuk mencari orang-orang seperti mereka. Namun itulah yang terjadi. Sehubungan dengan hal ini asy-Syeikh Abu Madyan pernah menyebutkan dalam bait-bait puisinya yang awalnya mempunyai arti sebagai berikut: “Tidak ada kelezatan hidup kecuali bergaul dengan waliwali Allah swt…” Selanjutnya ia menyebutkan sebagai berikut:

 

“Ketahuilah, bahwa perjalanan hidup wali-wali Allah swt telah punah, maka bagaimanakah menurutmu, kalau ada orang yang mengaku-ngaku sebagai mereka pada hari ini. Kapan aku dapat melihat mereka, apakah mungkin aku dapat melihat mereka, atau apakah mungkin telingaku dapat mendengar kisah tentang mereka. Untuk siapakah aku, adakah orang sepertiku yang ingin menyaingi mereka di tempat-tempat mereka yang tidak pernah aku dapati ada kotoran di tempat itu.

 

Sungguh aku menyintai mereka, dan aku selalu merindukan mereka dengan tetesan air mataku, terutama ada beberapa orang diantara mereka. Mereka mempunyai budi pekerti yang mulia, dimanapun mereka duduk, pasti keharuman jejak mereka tetap semerbak.

 

Ilmu tasawuf telah mendidik budi pekerti mereka menjadi budi pekerti yang mulia, sehingga aku tidak dapat memejamkan mata di malam hari setelah melihat mereka. Mereka adalah kekasihku dan kecintaanku dan mereka memiliki budi pekerti yang dapat dibanggakan. Aku senantiasa ingin bersama mereka, semoga dosa-dosa kami dapat diampuni karena menyintai mereka.”

 

Inilah akhir penulisan Kitab Tthaaf as-Saail Bijawaabal-Masaail’ semoga Allah swt menjadikan kitab ini sebagai amal yang ikhlas, karena Allah swt Yang Maha Mulia, sebagai sarana untuk mendekatkan kepada rahmat dan ridhaNya. Semoga Allah swt mengampuni kami dari perbuatan yang tidak kami sengaja, yang bertentangan dengan kebenaran yang condong kepada kebatilan atau kepadahawanafsu, seperti, riya’ dan pura-pura.

 

Demikian pula semoga Allah swt mengampuni bagi siapapun yang menyebabkan terbitnya buku ini, bagi pembacanya, bagi penulisnya, bagi pendengarnya dan bagi ayah-ayah kami dan bagi seluruh saudara kami kaum muslimin.

 

Ya Allah, kami bersaksi bahwa karunia apapun yang ada pada diri kami, lahir serta batin, yang berada di dunia dan akhirat adalah dari-Mu, Engkau lah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, hanya untuk-Mu segala puji syukur atas semua karunia-Mu dan kami mohon perlindungan-Mu dari dicabutnya karunia-Muserta ditimpakannya siksa-Mu.

 

Kami mohon kepada-Mu, demi kemurahan-Mu, kasihanilah kami, sesuai dengan keluasan kemurahan-Mu dan karunia-Mu, meskipun kami tidak berhak mendapatkan karunia-Mu, tetapi kami yakin bahwa Engkau berhak untuk melimpahkan karunia-Mu. Ya Allah, limpahkan ampunan dan rahmat-Mu kepada kami, karena Engkau Maha Pengasih Maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam dicurahkan bagi Nabi kami saw dan segenap rasul-rasul-Mu. Walhamdulillaahi Rabbil ‘Alamiin.

 

Penulisan kitab ini selesai pada awal Hari Jum’at tanggal 15 Muharram, tahun 1072 H