Pembukaan
فَصَاحَةُ الْمُفْرَدِ أَنْ يَخْلُصَ مِنْ * تَنَافُرٍ غَرَابِةٍ خُلْقٍ زُكِنْ
Fashohah kalimat mufrod itu harus terbebas dari Tanafur (kalimat yang sukar diucapkan) , Gharabah (kalimat yang sukar artinya), Perbedaan yang telah diketahui (kaidah Nahwu atau Sharaf).
وفِي الْكَلَامِ مِنْ تَنَافُرِ الْكَلِمْ * وَضَعْفُ تَأْلِيْفٍ وتَعْقِيْدٍ سَلِمْ
dan (fashohah) dalam kalam (itu harus terbebas) dari kalimat-kalimat yang Tanafur, lemah susunannya dan selamat dari ta‘qid.
وذِي الْكَلَامِ صِفَةٌ بِهَا يَطِيْقْ * تَأْدِيَةُ الْمَقْصُوْدِ بِاللَّفْظِ الْأَنِيْقْ
dan (fashohah dalam) orang yang berbicara itu sifat yang dengan sifat itu, ia dapat menyampaikan maksudnya dengan ucapan yang baik
وجَعَلُوْا بَلَاغَةَ الْكَلَامِ * طباقه لِمُقْتَضَى الْمَقَامِ
Para ulama ahli Maani menjadikan definisi kalam balaghah itu, ialah sesuainya kalam itu dengan muqtadh-al-maqām-nya (keadaannya serta fashāḥah).
وَ حَافِظٌ تَأْدِيَةُ الْمَعَانِيْ * عَنْ خَطَاءِ يُعْرِفُ بِالْمَعَانِيْ
“Ilmu yang menjaga jangan sampai mutakalim itu salah di dalam menerangkan makna yang di luar makna yang dikehendaki, itu disebut Ilmu Ma‘ānī”.
وَ مَا مِنَ التَّعْقِيْدِ فِي الْمَعْنَى يَقِي * لَهُ الْبَيَانُ عِنْدَهُمْ قَدِ انْتَفِي
“Ilmu untuk menjaga kalām (ucapan) dari ta‘qīd yang berhubungan dengan makna (ta‘qīd Ma‘nāwī), itulah yang disebut Ilmu Bayān”.
وَ مَا بِهِ وُجُوْهُ تَحْسِيْنِ الْكَلَامْ * تُعْرَفُ يُدْعٰى بِالْبَدِيْعِ وَ السَّلَامْ
“Ilmu untuk mengetahui cara-cara memperbaiki kalam atau ucapan, itulah yang disebut Ilmu Badī
Fan Pertama: Ilmu Ma’ani
عِلْمٌ بِهِ لِمُقْتَضَى الْحَالِ يُرَى * لَفْظًا مُطَابِقًا. وفِيْهِ ذُكِرَا
ilmu yang digunakan untuk melihat lafaz yang sesuai dengan keadaan. dan di dalam ilmu itu diterangkan
إِسْنَادٌ مُسْنَدٌ إِلَيْهِ مُسْنَدُ * ومُتَعَلِّقَاتُ فِعْلٍ نُوْرَدُ
الْحُكْمُ بِالسَّلْبِ أَوِ الْإِيْجَادِ * إِسْنَادُهُمْ، وقَصْدُ ذِي الْخِطَابِ
إِفَادَةُ السَّامِعِ نَفْسَ الْحُكْمِ * أَوْ كَوْنَ مُخْبِرٍ بِهِ ذَا عِلْمٍ
Isnad ahli balaghah adalah memberi hukum meniadakan atau menetapkan. Adapun tujuan orang yang bicara ialah memberi informasi kepada pendengar suatu ketetapan atau memberitahu bahwa pembicara pun mengetahui
فَأَوَّلٌ فَائِدَةٌ والثَّانِيْ * لَازِمُهَا عِنْدَ ذَوِي الْأَذْهَانِ
Maka yang pertama itu faedah, dan yang kedua kepastian faedah menurut orang-orang yang berakal
ورُبَّمَا أُجْرِيَ مَجْرَى الْجَاهِلِ * مُخَاطَبٌ إِنْ كَانَ غَيْرَ عَامِلِ
Dan terkadang lawan biara diperlakukan seperti orang bodoh jika ia tidak melakukan
كَقَوْلِنَا لِعَالِمِ ذِيْ غَفْلَةٍ * الذِّكْرُ مِفْتَاحُ لِبَابِ الْحَضْرَةِ
Seperti ucapan kita kepada orang ‘alim yang lupa: Zikir itu kunci ke pintu hadirat Allah
فَيَنْبَغِي اقْتِصَارُ ذِي الْأَخَبَارِ * عَلَى الْمُفِيْدِ خَشْيَةَ الْإِكْثَارِ
maka harus meringkas kabar, karena takut kebanyakan
فَيُخْبِرُ الْخَالِيْ بِلَا تَوْكِيْدٍ *مَا لَمْ يَكُنْ فِي الْحُكْمِ ذَا تَرْدِيْدٍ
Maka Ia mengabari orang yang masih kosong dengan tanpa penguat. Selama ia tidak mempunyai keraguan dalam hukum.
فَحَسَنٌ. ومُنْكِرُ الْأَخَبَارِ * حَتْمٌ لَهُ بِحَسَبِ الْإِنْكَارِ
(Kalau mukhathab ragu) maka bagus. Dan orang yang mengingkari berita, maka wajib memakai penguat dengan memperhitungkan keingkarannya
كَقَوْلِهِ إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُوْنَ * فَزَادَ بَعْدُ مَا اقْتَضَاهُ الْمُنْكِرُوْنَ
Seperti firman Allah: Sesungguhnya kami diutus kepada kamu sekalian. lalu Allah sesudah itu menambah penguat yang sesuai dengan keingkarannya
واسْتُحْسِنَ التَّأْكِيْدُ إِنْ لَوْحَتْ لَهُ * بِخَبَرٍ كَسَائِلٍ فِي الْمَنْزِلَةْ
Dan dianggap baik memakai penguat, jika kamu mengisyaratkan akan penguat itu kepada lawan bicara, sebab ada kabar yang pada derajatnya seperti orang bertanya.”
Maksudnya: dianggap baik memakai alat penguat dalam menyampaikan berita kepada khālī-dzihni. Bila ia memperlihatkan sikap bertanya atau tanda-tanda keraguan.
والْحَقُوْا أَمَارَةَ الإنكار بِهِ * كَعَكْسِهِ لِنُكْتَةٍ لَمْ تَشْتَبِهْ
“Dan ulama menyamakan akan tanda-tanda ingkar kepada ingkar, demikian sebaliknya yaitu yang mungkir dianggap mengaku, sebab ada tandanya masing-masing.”
قَصْرٌ وإِنْشَاءٌ وفَصْلٌ وَصْلٌ أَوْ * إِيْجَازٌ إِطْنَابٌ مُسَاوَاةٌ رَأَوْ
Isnad, Musnad ilaih, Musnad, hubungan-hubungan fiil, Qashar, Insya’, Fashl dan Washal, Ijaz, ithnab dan Musawah. Yang telah dilihat Para ulama.
الْبَابُ الْأَوَّلُ: أَحْوَالُ الْإِسْنَادِ الْخَبَرِيِّ
Bab pertama: keadaan isnād khabarī
Isnad ahli balaghah adalah memberi hukum meniadakan atau menetapkan. Adapun tujuan orang yang bicara ialah memberi informasi kepada pendengar suatu ketetapan atau memberitahu bahwa pembicara pun mengetahui
Maka yang pertama itu faedah, dan yang kedua kepastian faedah menurut orang-orang yang berakal
Dan terkadang lawan biara diperlakukan seperti orang bodoh jika ia tidak melakukan
Seperti ucapan kita kepada orang ‘alim yang lupa: Zikir itu kunci ke pintu hadirat Allah
maka harus meringkas kabar, karena takut kebanyakan
Maka Ia mengabari orang yang masih kosong dengan tanpa penguat. Selama ia tidak mempunyai keraguan dalam hukum.
(Kalau mukhathab ragu) maka bagus. Dan orang yang mengingkari berita, maka wajib memakai penguat dengan memperhitungkan keingkarannya
Seperti firman Allah: Sesungguhnya kami diutus kepada kamu sekalian. lalu Allah sesudah itu menambah penguat yang sesuai dengan keingkarannya
Dan penguat dianggap baik, jika kamu mengisyaratkan akan penguat itu kepada lawan bicara, sebab ada kabar yang pada derajatnya seperti orang bertanya
“Dan ulama menyamakan akan tanda-tanda ingkar kepada ingkar, demikian sebaliknya yaitu yang mungkir dianggap mengaku, sebab ada tandanya masing-masing
isim dapat ditaukidi dengan qosam, qod, inna, lam ibtida dan nun taukid
Nafi itu seperti isbat dalam bab ini, berlaku atas tiga nama
dengan in, kana, lam, ba’ dan qosam. Seperti ma jalisil fasiqin bil amin (teman duduk orang-orang fasik itu tidak aman)
فَصْلٌ فِي الإسْنَادِ العَقْلِي
Fasal tentang isnad aqli
ولحقيقةٍ مجازٍ وردا * للعقلِ منسوبين، أمّا المُبتدا
Haqikah dan majaz keduanya berlaku dalam keadaan disandarkan pada akal, adapun yang pertama adalah
إسنادُ فِعْلٍ أو مُضاهيهِ إلى * صاحِبِهِ كَفاز من تَبَتَّلا
menyandarkan fiil atau yang menyerupai fiil pada pemiliknya seperti faza man tabattala (bahagia orang yang beribadah
أقسامُه مِنْ حيثُ الاعتقادُ * وواقعٌ أربعةٌ تفادُ
Pembagiannya dan segi keyakinan dan keyataan itu ada empat
والثانِ أَنْ يُسْنَد للملابَسِ * ليسَ لَهُ يُبْنى كَـ”ثوبٍ لابِسِ”
yang kedua adalah menyandarkan fiil kepada mulabas (pendekat) yang peletakannya tidak untuknya, seperti saubun labisu (pakaian yang memakai)
أقسامُه بِحَسَبِ النَّوْعَيْنِ فيْ * جُزْأيهِ أَرْبَعٌ بلا تَكَلُّفِ
pembagiannya menurut dua macamnya dalam dua bagiannya itu empat, tanpa keberatan
وَوَجَبَتْ قرينةٌ لفظيَّةْ * أَوْ معنَوِيَّةٌ وَإِنْ عادِيَّةْ
Dan wajib qorinah lafdziyah atau maknawiyah walaupun adiyah
الْبَابُ الثَّانِي: فِي الْمُسْنَدِ إِلَيْهِ
Bab II: Tetang Musnad Ilaih
يُحْذَفُ لِلْعِلْمِ وَ لِلاخْتِبَارِ * مُسْتَمِعٍ وَ صِحَّةِ الْإِنْكَارِ
“Musnad ilaih boleh dibuang karena telah diketahui, menguji, dan pengesahan terhadap keingkaran.”
سِتْرٍ وَ ضِيْفٍ فُرْصَةٍ إِجْلَالٍ * وَ عَكْسِهِ وَ نَظْمِ اسْتِعْمَالِ
“Menutupi dan karena sempitnya kesempatan serta pengagungan, dan sebaliknya itu serta penggunaan dalam nazham (sajak)
كَحَبَّذَا طَرِيْقَةُ الصُّوْفِيَّةْ * تَهْدِيْ إِلَى الْمَرْتَبَةِ الْعَلِيَّةْ
seperti: Habbadza huwa thoriiqatush Shuufiyah.”
وَ اذْكُرْهُ لِلْأَصْلِ وَ الْإِحْتِيَاطِ * غَبَاوَةٍ إِيْضَاحٍ إِنْبِسَطِ
“sebutlah musnad ilaih karena: Keaslian, keberhati-hatian, lemah pendengaran, memperjelas dan untuk memperluas.”
تَلَذُّذٍ تَبَرُّكٍ إِعْظَامٍ * إِهَانَةٍ تَشَوُّقٍ نِظَامِ
“Karena keenakan mengucapkannya, guna mengambil berkah, karena menaruh hormat (takzim), penghinaan, kerinduan, kedaruratan nazham atau sajak
تَعَبُّدٍ تَعَجُّبٍ تَهْلِيْلٍ * تَقْرِيْرٍ أَوْ إِشْهَادٍ أَوْ تَسْجِيْلٍ
peribadatan, kekaguman, mempertakuti, pernyataan (penetapan), kesaksian dan pencatatan.”
وَكَوْنُهُ مُعَرَّفًا بِمُضْمَرِ* بَحَسَبِ الْمَقَامِ فِي النَّحْوِ دُرِي
“Adapun musnad ilaih dima’rifatkan dengan isim dhamir, karena memperhitungkan tempatnya sebagai telah diketahui dalam ilmu nahwu.”
وَالْأَصْلُ فِي الْمُخَاطَبِ التَّعْيِينُ * وَالتَّرْكُ لِلشُّمُولِ مُسْتَبِينُ
“Adapun asal dalam kalimat-mukhathab itu adalah ta’yin (penentuan/kepastian), dan terhadap yang sudah jelas maksudnya dibiarkan tetap mencakup umum.”
وَكَوْنُهُ بِعَلَمٍ لِيَحْصُلَا * بِذِهْنِ سَامِعٍ بِشَخْصٍ أَوَّلَا
تَبَرُّكٍ تَلَذُّذٍ عِنَايَةِ * إِجْلَالٍ اوْ إِهَانَةٍ كِنَايَةِ
musnad ilaih dengan isim alam agar menghasilkan kesan pertama dalam perhatian pendengar dengan jalan membawakan nama seseorang, supaya mendapatkan berkah, keenakan dalam membicarakannya, mendapatkan dukungan, ‘pengagungan atau penghinaan dan kinayah.
وَكَوْنُهُ بِالْوَصْلِ لِلتَّفْخِيمِ * تَقْرِيرٍ اوْ هُجْنَةٍ اوْ تَوْهِيمِ
إِيمَاءٍ اوْ تَوَجُّهِ السَّامِعِ لَهْ * أَوْ فَقْدِ عِلْمِ سَامِعٍ غَيْرَ الصِّلَهْ
musnad ilaih dengan isim maushul untuk Suatu kehebatan atau kedahsyatan, pernyataan atau pengongkretan tujuan, memandang jijik, dugaan kesalahan, pengisyaratan, penghadapan jiwa pendengar, ketidaktahuan pendengar selain silah maushulnya.”
وَبِإِشَارَةٍ لِكَشْفِ الْحَالِ * مِنْ قُرْبٍ اوْ بُعْدٍ وِلِاسْتِجْهَالِ
أَوْ غَايَةِ التَّمْيِيزِ وَالتَّعْظِيمِ * وَالْحَطِّ وَالتَّنْبِيهِ وَالتَّفْخِيمِ
Musnad ilaih dengan menggunakan isim isyarat, dimaksudkan untuk mengungkap keadaan, dekatnya dan jauhnya, memandang bodoh, atau untuk tujuan pembedaan, untuk mengagungkan, menghinakan, pemberitahuan dan lebih mengagungkan
وَكَوْنُهُ بِاللَّامِ فِي النَّحْوِ عُلِمْ * لَكِنَّ الِاسْتِغْرَاقَ فِيهَا مُنْقَسِمْ
إِلَى حَقِيقِيٍّ وَعُرْفِيٍّ وَفِي * فَرْدٍ مِنَ الْجَمْعِ أَعَمُّ فَاقْتَفِي
musnad ilaih dengan —menggunakan lam ta’rif sudah jelas dapat diketahui dalam ilmu Nahwu juga, tetapi istighraq itu terbagi menjadi hakikat dan urfi. Sedangkan dalam kalimat mufrad harus diketahui lebih umum dari kalimat jamak!
وَبِالْإِضَافَةِ لِحَصْرٍ وَاخْتِصَارْ * تَشْرِيفِ أَوَّلٍ وَثَانٍ وَاحْتِقَارْ
تَكَافُؤٍ سَآمَةٍ إِخْفَاءِ * وَحَثٍّ اوْ مَجَازٍ اسْتِهْزَاءِ
Musnad ilaih dengan idhafah untuk: Mencakup semua, mempersingkat, memuliakan mudhaf, memuliakan mudhaf ilaih, menghinakan mudhaf dan mudhaf ilaih, membalas, bosan, menyamakan, menganjurkan, atau idhafah menyimpan majaz dan memperolok-olokkan
وَنَكَّرُوا إِفْرَادًا اوْ تَكْثِيرَا * تَنْوِيعًا اوْ تَعْظِيمًا اوْ تَحْقِيرَا
كَجَهْلٍ اوْ تَجَاهُلٍ تَهْوِيلِ * تَهْوِينٍ اوْ تَلْبِيسٍ اوْ تَقْلِيلِ
Orang arab menakirahkan musnad ilaih —dengan maksud-: Memencilkan, menganggap banyak, menganggap bermacam-macam, mengagungkan, menghinakan, sebab bodoh atau berpura-pura bodoh, menakut-nakuti, menyenangkan, menyamarkan, dan memperkecil.”
وَوَصْفُهُ لِكَشْفٍ اوْ تَخْصِيصِ * ذَمٍّ ثَنَا تَوْكِيدٍ اوْ تَنْصِيصِ
“Penyifatan —musnad ilaih adalah dimaksudkan untuk membuka perhatian, menentukan suatu pengkhususan, mencela, memuji, penguatan dan pengnashan (memberikan penjelasan).”
وَأَكَّدُوا تَقْرِيرًا اوْ قَصْدَ الْخُلُوصْ * مِنْ ظَنِّ سَهْوٍ أَوْ مَجَازٍ أَوْ خُصُوصْ
Orang arab mentaukidi untuk menguatkan, atau dengan tujuan terhindar dari prasangka lupa atau majaz atau khusus
وَعَطَفُوا عَلَيْهِ بِالْبَيَانِ * بِاسْمٍ بِهِ يَخْتَصُّ لِلْبَيَانِ
Para ulama ahli ma‘ani telah mengathafkan musnad ilaih dengan athaf bayan, maksudnya untuk menjelaskan dengan isim yang mengkhususkan
وَأَبْدَلُوا تَقْرِيرًا اوْ تَحْصِيلَا * وَعَطَفُوا بِنَسَقٍ تَفْصِيلَا
لِأَحَدِ الْجُزْأَيْنِ أَوْ رَدًّا إِلَى * حَقٍّ وَصَرْفَ الْحُكْمِ لِلَّذِي تَلَا
وَالشَّكِّ وَالتَّشْكِيكِ وَالْإِبْهَامِ * وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَحْكَامِ
“Para ulama ahli ma’ani telah menjadikan badal dari musnad ilaih untuk tujuan: Penetapan dan menghasilkan. Mereka (para ulama) telah mengathafkan dengan athaf nasaq untuk tujuan: Memerinci salah satu dari kedua bagian (juz) atau menolak mengembalikan pada yang benar dan memindahkan kedudukan hukum cari suatu perkara ke perkara yang berikutnya, keragu-raguan dan meragukan, membingungkan dan lain-lainnya daripada beberapa ketentuan
وَفَصْلُهُ يُفِيدُ قَصْرَ الْمُسْنَدِ * عَلَيْهِ كَـ(الصُّوفِيُّ هُوَّ الْمُهْتَدِي)
Adapun memisahkan musnad ilaih dari musnad dengan isim dhamir, maksudnya —adalah untuk meringkas/ mengkhususkan musnad ilaih itu bagi musnad saja, seperti: Ahli tasawuf itu betul-betul mendapat hidayah
وَقَدَّمُوا لِوَضْعٍ اوْ تَشْوِيفِ * لِخَبَرٍ تَلَذُّذٍ تَشْرِيفِ
وَحَطٍّ اهْتِمَامٍ اوْ تَنْظِيمِ * تَفَاؤُلٍ تَخْصِيصٍ اوْ تَعْمِيمِ
إِنْ صَحِبَ الْمُسْنَدَ حَرْفُ السَّلْبِ * إِذْ ذَاكَ يَقْتَضِي عُمُومَ السَّلْبِ
Orang arab mendahulukan musnad ilaih karena keasliannya, mengukuhkan berita dalam hati pendengar, enak mendahulukannya dan memultakan-musnad ilaih, merendahkan, mementingkan, darurat nazham —atau sajak-, mengharap berkah, mengkhususkan musnad ilaih bagi musnad, dan maksud umum kalau musnadnya menyertai huruf salab (nafi) sebab kalau begitu ia menuntut pada keumuman nafi (salab).”
فَصْلٌ: فِي الْخُرُوجِ عَنْ مُقْتَضَى الظَّاهِرِ
Pasal tentang keluar dari muqtadlo zahir
وَخَرَجُوا عَنْ مُقْتَضَى الظَّوَاهِرِ * كَوَضْعِ مُضْمَرٍ مَكَانَ الظَّاهِرِ
Orang arab keluar dari muqtadha zhahir, seperti meletakkan isim dhamir pada tempat isim zhahir
لِنُكْتَةٍ كَبَعْثٍ اوْ كَمَالِ * تَمْيِيزٍ اوْ سُخْرِيَةٍ إِجْهَالِ
Untuk bermacam-macam kegunaan, yaitu seperti: Membangkitkan, menyempurnakan perbedaan, menghinakan, menganggap tidak tahu
أَوْ عَكْسٍ اوْ دَعْوَى الظُّهُورِ وَالْمَدَدْ * لِنُكْتَةِ التَّمْكِينِ كَاللهُ الصَّمَدْ
Sebaliknya (menganggap tahu), mengaku jelas, menambah faedah untuk menetapkan musnad ilaih, seperti Allah itu Dzat tempat meminta
وَقَصْدِ الِاسْتِعْطَافِ وَالْإِرْهَابِ * نَحْوُ (الْأَمِيرُ وَاقِفٌ بِالْبَابِ)
agar disayangi dan menakut-nakuti, seperti: Raja itu berdiri di pintu
وَمِنْ خِلافِ الْمُقْتَضَى صَرْفُ مُرَادْ * ذِي نُطْقٍ اوْ سُؤْلٍ لِغَيْرِ مَا أَرَادْ
لِكَوْنِهِ أَوْلَى بِهِ وَأَجْدَرَا * كَقِصَّةِ الْحَجَّاجِ وَالْقَبَعْثَرَا
Dan sebagian dari yang menyalahi muqtadha zhahir, ialah: Memalingkan tujuan pembicara, atau tujuan penanya kepada selain tujuan yang dimaksudkan, yang dikehendaki, karena anggapan bahwa ialah yang paling tepat dan lebih baik diucapkan atau ditanyakan, seperti kisah Hujjaj dan Quba’tsara
وَالِالْتِفَاتُ وَهْوَ الِانْتِقَالُ مِنْ * بَعْضِ الْأَسَالِيبِ إِلَى بَعْضٍ قَمِنْ
iltifat ialah pindah dari satu uslub ke uslub yang lain
وَالْوَجْهُ الِاسْتِجْلابُ لِلْخِطَابِ * وَنُكْتَةٍ تَخُصُّ بَعْضَ الْبَابِ
kegunaannya ialah, untuk menarik perhatian pendengar, dan faedah lain yang khusus bagi sebagian bab
وَصِيغَةَ الْمَاضِي لِآتٍ أَوْرَدُوا * وَقَلَبُوا لِنُكْتَةٍ وَأَنْشَدُوا
Orang arab memakai sighat madi untuk yang telah datang, dan mereka membalik karena ada faedah, dan mereka menyayikan:
وَمَهْمَهٍ مُغْبَرَّةٍ أَرْجَاؤُهُ * كَأَنَّ لَوْنَ أَرْضِهِ سَمَاؤُهُ
“Adapun daerah padang pasir penuh dengan debu, seakan-akan tanahnya itu bagaikan langit.”
الْبَابُ الثَّالِثُ: الْمُسْنَدُ
Bab ketiga: Musnad
يُحْذَفُ مُسْنَدٌ لِمَا تَقَدَّمَا * وَالْتَزَمُوا قَرِينَةً لِيُعْلَمَا
Musnad dibuang karena alasan yang telah dikemukakan (dalam musnad ilaih) dan para ulama mewajibkan adanya Qarinah agar diketahui
وَذِكْرُهُ لِمَا مَضَى أَوْ لِيُرَى * فِعْلًا أَوِ اسْمًا فَيُفِيدَ الْمُخْبَرَا
Penyebutan Musnad karena alasan yang telah lewat, atau agar dilihat sebagai fiil atau isim dan memberi faedah pada yang dikabari
” وَأَفْرَدُوهُ لِانْعِدَامِ التَّقْوِيَهْ * وَسَبَبٍ كَـ(الزُّهْدُ رَأْسُ التَّزْكِيَهْ)
“Dan para ulama telah memufradkan musnad, karena tidak memberi faedah untuk menguatkan suatu hukum (yakni: Tidak dipergunakan untuk penetapan suatu hukum) dan bukan sababi, seperti: Zuhud itu adalah pokok kebersihan jiwa.”
وَكَوْنُهُ فِعْلًا فَلِلتَّقْيِيدِ * بِالْوَقْتِ مَعْ إِفَادَةِ التَّجْدِيدِ
musnad dengan fi’il untuk membatasi waktu serta berfaedah tajaddud.
وَكَوْنُهُ اسْمًا لِلْثُبُوتِ وَالدَّوَامْ * وَقَيَّدُوا كَالْفِعْلِ رَعْيًا لِلتَّمَامْ
Musnad dengan isim untuk (menunjukkan) tetap dan selamanya. Orang arab membatasi musnad seperti fiil untuk menjaga kesempurnaan kalam
وَتَرَكُوا تَقْيِيدَهُ لِنُكْتَةٍ * كَسُتْرَةٍ أَوِ انْتِهَازِ فُرْصَةٍ
mereka meninggalkan membatasi musnad karena alasan seperti: menutupi atau menggunakan kesempatan
وَخَصَّصُوا بِالْوَصْفِ وَالْإِضَافَهْ * وَتَرَكُوا لِمُقْتَضٍ خِلَافَهْ
Para ulama telah mengkhususkan musnad itu dengan sifat dan idhafat, dan adakalanya mereka meninggalkannya sebab ada yang menuntut (mengharuskan) pada kebalikan dari pengkhususan itu
وَكَوْنُهُ مُعَلَّقًا بِالشَّرْطِ * فَلِمَعَانِي أَدَوَاتِ الشَّرْطِ
musnad dihubungkan dengan syarat untuk mendapatkan makna-makna dari adat syarat
وَنَكَّرُوا إِتْبَاعًا اوْ تَفْخِيمَا * حَطًّا وَفَقْدَ عَهْدٍ اوْ تَعْمِيمَا
Orang arab menakirahkan musnad, untuk mengikutsertakan pada musnad ilaih, mengagungkan, merendahkan, tidak mengetahui dan atau bermaksud umum
وَعَرَّفُوا إِفَادَةً لِلْعِلْمِ * بِنِسْبَةٍ أَوْ لَازِمٍ لِلْحُكْمِ
Para ulama telah memakrifatkan musnad guna memberi faedah kepada pendengar, bahwa dia mengetahui akan nisbah, bahwa maksud musnad itu memang untuk musnad ilaih atau untuk mengetahui kelaziman hukum
وَقَصَرُوا تَحْقِيقًا اوْ مُبَالَغَهْ * بِعُرْفِ جِنْسِهِ كَـ(هِنْدُ الْبَالِغَهْ)
“Dan ulama mengqashar —pada musnad yang dima’rifatkan dengan maksud untuk menyatakan atau mubalaghoh, atau mengistimewakan dari pengenalan kebiasaan jenisnya, seperti: Hindun inilah yang sudah baligh
وَجُمْلَةً لِسَبَبٍ أَوْ تَقْوِيَهْ * كَـ(الذِّكْرُ يَهْدِي لِطَرِيقِ التَّصْفِيَهْ)
“Adapun musnad dengan —kalimat jumlah (baik ismiyah maupun fi’liyah) adalah karena menjadi sababi, dan karena untuk menguatkan hukum, seperti: Zikir itu menunjukkan ke jalan pembersihan (hati)
وَاسْمِيَّةُ الْجُمْلَةِ وَالْفِعْلِيَّهْ * وَشَرْطُهَا لِلنُّكْتَةِ الْجَلِيَّهْ
“Adapun —pembentukan musnad denganjumlah ismiyah dan fi’liyah beserta pensyaratannya itu, karena adanya faedah yang jelas
وَأَخَّرُوا أَصَالَةً وَقَدَّمُوا * لِلْقَصْرِ مَا بِهِ عَلَيْهِ يُحْكَمُ
Orang arab mengakhirkan musnad karena memang asalnya, dan mereka mendahulukan guna meringkaskan hukum masnad ilaih dengan masnad itu
تَنْبِيهٍ اوْ تَفَاؤُلٍ تَشَوُّفِ * كَـ(فَازَ بِالْحَضْرَةِ ذُو تَصَوُّفِ)
Untuk mengingat, merespons, rindu, seperti: orang tasawwuf mendapatkah hadrah
الْبَابُ الرَّابِعُ: فِي مُتَعَلَّقَاتِ الْفِعْلِ
Bab keempat: tentang hubungan-hubungan fiil
وَالْفِعْلُ مَعْ مَفْعُولِهِ كَالْفِعْلِ مَعْ * فَاعِلِهِ فِيمَا لَهُ مَعْهُ اجْتَمَعْ
fiil beserta maf’ulnya seperti fiil bersama failnya di dalam hal berkumpulnya fiil, fail dan maf’ul
وَالْغَرَضُ الْإِشْعَارُ بِالتَّلَبُّسِ * بِوَاحِدٍ مِنْ صَاحِبَيْهِ فَائْتَسِ
tujuannya ialah memberitahu mengenal pemakaian salah satu dari kedua teman fiil (fail dan maf’ul). ikutilah itu
وَغَيْرُ قَاصِرٍ كَقَاصِرٍ يُعَدّْ * مَهْمَا يَكُ الْمَقْصُودُ نِسْبَةً فَقَدْ
fiil bukan lazim bisa dianggap fiil lazim ketika yang dimaksud adalah hanya penisbatan
وَيُحْذَفُ الْمَفْعُولُ لِلْتَعْمِيمِ * وَهُجْنَةٍ فَاصِلَةٍ تَفْهِيمِ
مِنْ بَعْدِ إِبْهَامٍ وَالِاخْتِصَارِ * كَـ(بَلَغَ الْمُولَعُ بِالْأَذْكَارِ)
Maf’ul dibuang karena untuk mengumumkan, karena tidak pada biasanya menyebutnya, karena ujung kalimat (fashilah), yang memberi pemahaman sesudah kesamaran dan penyingkatan, seperti: Telah sampai orang yang bergembira dengan zikir-zikir
وَجَاءَ لِلتَّخْصِيصِ قَبْلَ الْفِعْلِ * تَهَمُّمٍ تَبَرُّكٍ وَفَصْلِ
maf’ul disebut sebelum fiil untuk pentakhsisan, memandang penting, mencari berkah dan fashilah (ujung kalimat)
وَاحْكُمْ لِمَعْمُولَاتِهِ بِمَا ذُكِرْ * وَالسِّرُّ فِي التَّرْتِيبِ فِيهَا مُشْتَهِرْ
Dan tetapkanlah hukum bagi ma’mul-ma’mul —lainnya-, sesuai dengan yang telah diterangkan, sedangkan rahasia di dalam menertibkan ma’mul-ma’mul itu sudah termasyhur.
الْبَابُ الْخَامِسُ:الْقَصْرُ
Bab kelima: Qasr
تَخْصِيصُ أَمْرٍ مُطْلَقًا بِأَمْرِ * هُوَ الَّذِي يَدْعُونَهُ بِالْقَصْرِ
menghususkan suatu perkara untuk perkara lainnya secara mutlak, ialah yang mereka sebutkan qashar
يَكُونُ فِي الْمَوْصُوفِ وَالأَوْصَافِ * وَهْوَ حَقِيقِيٌّ كَمَا إِضَافِي
qashar itu ada di maushuf (yang disifati) dan sifat, ialah yang disebut qashar haqiqi, seperti halnya qashar idhafi.
لِقَلْبٍ اوْ تَعْيِينٍ اوْ إِفْرَادِ * كَإِنَّمَا تَرْقَى بِالِاسْتِعْدَادِ
tujuan qashar ialah untuk membalikkan pendapat pendengar, menentukan atau menyendirikan, seperti: ‘Bahwasanya bisa naik derajat dengan persiapan yang sungguh-sungguh’.”
وَأَدَوَاتُ الْقَصْرِ إِلَّا إِنَّمَا * عَطْفٌ وَتَقْدِيمٌ وَمَا تَقَدَّمَا
alat qashar ialah: Ila, Innama, athaf, mendahulukan lafaz yang biasanya di belakang, dan yang telah dikemukakan dahulu (dalam musnad ilaih dan musnad)
الْبَابُ السَّادِسُ: فِي الْإِنْشَاءِ
Bab keenam tentang Insya
مَا لَمْ يَكُنْ مُحْتَمِلًا لِلصِّدْقِ * وَالْكَذِبِ الْإِنْشَا كَـ(كُنْ بِالْحَقِّ)
Yang tidak mengandung arti benar atau dusta, disebut insya seperti: bersamalah dengan kebenaran
وَالطَّلَبُ اسْتِدْعَاءُ مَا لَمْ يَحْصُلِ * أَقْسَامُهُ كَثِيرَةٌ سَتَنْجَلِي
thalab adalah mencari suatu yang belum berhasil. pembagiannya banyak, sebagaimana yang akan diutarakan nanti
أَمْرٌ وَنَهْيٌ وَدُعَاءٌ وَنِدَا * تَمَنٍّ اسْتِفْهَامٌ أُوتِيتَ الْهُدَى
yaitu: Amar, nahi, doa, tamanni dan istifham, tentu kamu diberi hidayah.
وَاسْتَعْمَلُوا كَلَيْتَ لَوْ وَهَلْ لَعَلْ * وَحَرْفَ حَضٍّ وَلِلِاسْتِفْهَامِ هَلْ
أَيٌّ مَتَى أَيَّانَ أَيْنَ مَنْ وَمَا * وَكَيْفَ أَنَّى كَمْ وَهَمْزٌ عُلِمَا
orang arab menggunakan seperti: laita, lau, hal, laallah dan huruf tahdhiidh. untuk istifham lafal: hal, ayun, mata, ayyana, aina, man, ma, kaifa, anna, kam, dan hamzah
وَالْهَمْزُ لِلتَّصْدِيقِ وَالتَّصَوُّرِ * وَبِالَّذِي يَلِيهِ مَعْنَاهُ حَرِي
Hamzah untuk tashdiq dan tashawwur dan makna hamzah pantas bagi lafal yang berikutnya
وَهَلْ لِتَصْدِيقٍ بِعَكْسِ مَا غَبَرْ * وَلَفْظُ الِاسْتِفْهَامِ رُبَّمَا عَبَرْ
لِأَمْرٍ اسْتِبْطَاءٍ اوْ تَقْرِيرِ * تَعَجُّبٍ تَهَكُّمٍ تَحْقِيرِ
تَنْبِيهٍ اسْتِعْبَادٍ اوْ تَرْهِيبِ * إِنْكَارِ ذِي تَوْبِيخٍ اوْ تَكْذِيبِ
Hal adalah-untuk tashdiq, kebalikan dari yang telah lalu. Dan adakalanya lafal istifham digunakan untuk perintah, melambatkan, menguatkan, takjub, mengolok-olok, menghina, peringatan, menganggap jauh, menakuti, mencela dengan hardikan, dan mendustakan
وَقَدْ يَجِي أَمْرٌ وَنَهْيٌ وَنِدَا * فِي غَيْرِ مَعْنَاهُ لِأَمْرٍ قُصِدَا
Adakalanya amar, nahi dan nida’ itu bukan dengan makna yang seharusnya.
وَصِيغَةُ الْأَخْبَارِ تَأْتِي لِلطَّلَبْ * لِفَأْلٍ اوْ حِرْصٍ وَتَصْدِيقٍ أَدَبْ
shighat khabariyah kadang untuk maksud thalab, karena berharap berkah atau menampakkan keinginan, mengharapkan lawan bicara (mukhathab) supaya membenarkan pihak pembicara (mutakallim) dan karena adab
الْبَابُ السَّابِعُ:الْفَصْلُ وَالْوَصْلُ
Bab ketujuh: Fasal dan wasal
اَلْفَصْلُ تَرْكُ عَطْفِ جُمْلَةٍ أَتَتْ * مِنْ بَعْدِ أُخْرَى عَكْسَ وَصْلٍ قَدْ ثَبَتْ
Fashol adalah meninggalkan meng-ataf-kan jumlah yang datang setelah jumlah yang lain, sebagai bentuk kebalikan dari washal yang telah tetap
فَافْصِلْ لَدَى التَّوْكِيدِ وَالْإِبْدَالِ * لِنُكْتَةٍ وَنِيَّةِ السُّؤَالِ
وَعَدَمِ التَّشْرِيكِ فِي حُكْمٍ جَرَى * أَوِ اخْتِلافٍ طَلَبًا وَخَبَرَا
وَفَقْدِ جَامِعٍ وَمَعْ إِيهَامِ * عَطْفٍ سِوَى الْمَقْصُودِ فِي الْكَلَامِ
Pisahkan ketika taukid dan ibdal, karena suatu faedah dan ingin pertanya; tidak ada perserikatan —antara kalimat yang pertama dengan kedua dalam hukum yang berlaku, atau berbeda antara kedua jumlah itu yakni: antara kalam tholab (insya’) dan kalam khabar. Dan —di antara dua jumlah itu terlepas dari jihad jami’ dan dengan adanya athaf dapat menimbulkan makna selain yang dimaksudkan dalam kalam itu.”
وَصِلْ لَدَى التَّشْرِيكِ فِي الْإعْرَابِ * وَقَصْدِ رَفْعِ اللَّبْسِ في الْجَوَابِ
وَفِي اتِّفَاقٍ مَعَ الِاتِّصَالِ * فِي عَقْلٍ اوْ فِي وَهْمٍ اوْ خَيَالِ
Washalkan ketika sama i’rabnya, bermaksud menghilangkan kekeliruan dalam jawaban, sesuai serta bersambung, baik menurut akal atau waham dan maupun khayal
وَالْوَصْلُ مَعْ تَنَاسُبٍ فِي اسْمٍ وَفِي * فِعْلٍ وَفَقْدِ مَانِعٍ قَدِ اصْطُفِي
Washal itu dipandang baik ketika terdapat penyesuaian (munasabah) dalam jumlah ismiyah dan fi’liyahnya, dan tidak ada penghalangnya
الْبَابُ الثَّامِنُ: الْإِيجَازُ وَالْإِطْنَابُ وَالْمُسَاوَاةُ
Bab kedelapan: Ijaz, Itnab dan Musawah
تَأْدِيَةُ الْمَعْنَى بِلَفْظِ قَدْرِهِ * هِيَ الْمُسَاوَاةُ كَـ(سِرْ بِذِكْرِهِ)
mengungkapkan makna dengan lafaz sesuai kadarnya, ialah musawah, seperti: Berjalanlah dengan mengingatnya
وَبِأَقَلَّ مِنْهُ إِيجَازٌ عُلِمْ * وَهْوَ إِلَى قَصْرٍ وَحَذْفٍ يَنْقَسِمْ
كَـ(عَنْ مَجَالِسِ الْفُسُوقِ بُعْدَا) * وَلا تُصَاحِبْ فَاسِقًا فَتَرْدَى
Dan dengan lafaz yang lebih sedikit dari pada makna disebut ijaz, dan ijaz itu dibagi pada: qashar dan hadzf (yakni: membuang sebagian), seperti: Jauhilah dari tempat-tempat duduk kefasikan kefasikan! Dan janganlah kamu bersahabat orang fasik, niscaya kamu menjadi rusak.”
وَعَكْسُهُ يُعْرَفُ بِالْإِطْنَابِ * كَـ(الْزَمْ رَعَاكَ اللهُ قَرْعَ الْبَابِ)
kebalikan ijaz disebut ithnab, seperti: Tetaplah kamu, semoga Allah memeliharamu, akan mengetuk pintu (ke hadirat Allah).
يَجِيءُ بِالْإِيضَاحِ بَعْدَ اللَّبْسِ * لِشَوْقٍ اوْ تَمَكُّنٍ فِي النَّفْسِ
ithnab itu untuk menjelaskan sesudah terjadi kekeliruan, untuk Kerinduan, atau untuk supaya memberikan kemantapan dalam hati
وَجَاءَ بِالْإِيغَالِ وَالتَّذْيِيِلِ * تَكْرِيرٍ اعْتِرَاضٍ اوْ تَكْمِيلِ
يُدْعَى بِالِاحْتِرَاسِ وَالتَّتْمِيمِ * وَقَفْوِ ذِي التَّخْصِيصِ ذَا التَّعْمِيمِ
ithnab itu juga untuk ighol, tadzyiil, takriir, i’tirodh atau takmiil, yang disebut dengan ihtiros dan tatmim, dan untuk mengikutkan yang khusus kepada yang umum
وَوَصْمَةُ الْإِخْلالِ وَالتَّطْوِيلِ * وَالْحَشْوِ مَرْدُودٌ بِلَا تَفْصِيلِ
Tanda kesalahan, memanjangkan kalam. Hasywu (sisipan kalam) ditolak tanpa diperinci
Fan kedua: Ilmu Bayan
فَنُّ الْبَيَانِ عِلْمُ مَا بِهِ عُرِفْ * تَأْدِيَةُ الْمَعْنَى بِطُرْقٍ مُخْتَلِفْ
وُضُوحُهَا، وَاحْصُرْهُ فِي ثَلَاثَةِ * تَشْبِيهٍ اوْ مَجَازٍ اوْ كِنَايَةِ
Fan Ilmu Bayan ialah ilmu yang dengannya dapat diketahui mengumpakkan makna dengan lafal yang berbeda-beda kejelasannya. Dan ilmu bayan terbagi tiga, yaitu: Tasybih, Majaz dan kinayah.
فَصْلٌ فِي الدَّلالَةِ الْوَضْعِيَّةِ
Pasal tentang Dilalah wadiyyah
وَالْقَصْدُ بِالدَّلَالَةِ الْوَضْعِيَّهْ * عَلَى الْأَصَحِّ الْفَهْمُ لَا الْحَيْثِيَّهْ
Yang dimaksudkan dilalah wadh’iyah menurut pendapat paling benar ialah pemahaman, bukan sekadar memberi pengertian secara mutlak
أَقْسَامُهَا ثَلَاثَةٌ مُطَابَقَهْ * تَضَمُّنٌ الْتِزَامٌ، امَّا السَّابِقَهْ
فَهْيَ الْحَقِيقَيَّةُ لَيْسَ فِي فَنِّ الْبَيَانِ * بَحْثٌ لَهَا وَعَكْسُهَا الْعَقْلِيَّتَانِ
pembagian dilalah wadh’iyah ada tiga, yaitu: muthabaqah, tadhammun dan iltizam. Adapun yang pertama ialah hakikat, yang di dalam ilmu bayan tidak ada pembahasan. dan sebaliknya, ialah dua dilalah aqliyah, yaitu: dilalah tadhammun dan iltizam
الْبَابُ الأَوَّلُ:التَّشْبِيهُ
Bab pertama: Tasybih
تَشْبِيهُنَا دَلَالَةٌ عَلَى اشْتِرَاكْ * أَمْرَيْنِ فِي مَعْنًى بِآلَةٍ أَتَاكْ
tasybih ialah lafal yang menunjukkan pada berserikatnya dua perkara (yakni: Musyabbah dan Musyabbah bih) dalam suatu makna (wajah syabah) dengan suatu alat (adat tasybih).
أَرْكَانُهُ أَرْبَعَةٌ وَجْهٌ أَدَاهْ * وَطَرَفَاهُ فَاتَّبِعْ سُبْلَ الهُدَاهْ
Rukun Tasybih ada empat, yaitu: Wajah syabah; adat tasybih dan dua sisi (yaitu: musyabbah dan musyabbah bih). Ikutilah jalan keselamatan
فَصْلٌ وَحِسِّيَّانِ مِنْهُ الطَّرَفَانْ * أَيْضًا وَعَقْلِيَّانِ أَوْ مُخْتَلِفَانْ
“Pasal: kedua sisi tasybih (musyabbah dan musyabbah bih) iadakalanya bersifat hissi (dapat dirasa) kedua-duanya atau bersifat aqli kedua-duanya dan atau kedua-duanya berbeda
وَالْوَجْهُ مَا يَشْتَرِكَانِ فِيهِ * وَدَاخِلًا وَخَارِجًا تُلْفِيهِ
Wajah syabah adalah titik temu musyabah dan musyabah, dan mengikuti ketika masuk dan keluar
وَخَارِجٌ وَصْفٌ حَقِيقيٌّ جَلَا * بِحِسٍّ اوْ عَقْلٍ وَنِسْبِيٌّ تَلَا
Wajah syabah khariji itu terbagi pada dua macam, ialah sifat haqiqi, yakni yang jelas dengan pancaindera dan aqli (yang sebaliknya), dan kedua sifat idhafi atau nisbi—yang. mengikuti khariji.”
وَوَاحِدًا يَكُونُ أَوْ مُؤَلَّفَا * أَوْ مُتَعَدِّدًا، وَكُلٌّ عُرِفَا
بِحِسٍّ اوْ عَقْلٍ، وَتَشْبِيهٌ نُمِي * فِي الضِّدِّ لِلتَّلْمِيحِ وَالتَّهَكُّمِ
Wajah syabah itu ada yang satu atau tersusun atau banyak, semuanya dapat diketahui melalui hissi atau akal. Dan dinisbahkan pada kebalikannya (yakni: kebalikan musyabbah dan musyabbah bih), untuk memperindah perkataan atau menghinakan
فَصْلٌ فِي أَدَاةِ التَّشْبِيهِ وَغَايَتِهِ وَأَقْسَامِهِ
Pasal tentang Adat tasybih, tujuan tasybih dan pembagian tasybih
أَدَاتُهُ كَافٌ كَأَنَّ مِثْلُ * وَكُلُّ مَا ضَاهَاهُ، ثُمَّ الْأَصْلُ
إِيلَاءُ مَا كَالْكَافِ مَا شُبِّهَ بِهْ * بِعَكْسِ مَا سِوَاهُ فَاعْلَمْ وَانْتَبِهْ
alat tasybih ialah: kaaf, kaanna, mitslu dan semua lafal yang menyerupainya (seperti: nahwu, mitsal dan syibih). Dan asalnya adalah harus mengikutkan lafal yang diserupainya (musyabbah bih) pada alat tasybih dengan kaaf dan sebagainya. Sebaliknya, selain kaaf (yaitu: kaanna dan sebagainya) alat tasybihnya diikuti (oleh musyabbah), ketahuilah! Dan ingatkanlah!”
وَغَايَةُ التَّشْبِيهِ كَشْفُ الْحَالِ * مِقْدَارٍ اوْ إِمَكَانٍ اوْ إِيصَالِ
تَزْيِينٌ اوْ تَشْوِيهٌ اهْتِمَامُ * تَنْوِيهٌ اسْتِطْرَافٌ اوْ إِيهَامُ
رُجْحَانِهِ فِي الْوَجْهِ بِالْمَقْلُوبِ * كَاللَّيْثُ مِثْلُ الْفَاسِقِ الْمَصْحُوبِ
Tujuan tasybih untuk: 1. Mengungkapkan keadaan musyabbah; 2. Ukurannya; 3. Kemungkinan adanya,; 4. Menetapkan keadaan musyabbah bagi pendengar; 5. Memperindah musyabbah; 6. Menjelekkan musyabbah,; 7. Memandang penting; 8. Memuji musyabbah; 9. Memandang aneh, atau 10. Menyangka musyabbah lebih unggul dari musyabbah bih pada wajah syabahnya yang dituntut. Seperti: Macan itu seperti orang fasik yang ditemani.”
وَبِاعْتِبَارِ طَرَفَيْهِ يَنْقَسِمْ * أَرْبَعَةً تَرْكِيبًا افْرَادًا عُلِمْ
“Dengan memperhatikan kedua sisi —musyabbah dan musyabbah bih—nya, dapat diketahui tasybih itu terbagi pada empat bagian —ialah-: murokkab dan mufrad
وَبِاعْتِبَارِ عَدَدٍ مَلْفُوفٌ اوْ * مَفْرُوقٌ اوْ تَسْوِيَةٌ جَمْعٌ رَأَوْا
“Dengan memperhatikan bilangan —musyabbah dan musyabbah bih, maka para ulama ahli ilmu bayan memandang, pembagian tasybih itu pada—: Malfuf (yang dilipat); mafruq (dipisah-pisah); taswiyah (mempersamakan); dan jamak.”
وَبِاعْتِبَارِ الْوَجْهِ تَمْثِيلٌ إِذَا * مِنْ مُتَعَدِّدٍ تَرَاهُ أُخِذَا
“Dengan memperhatikan wajah syabahnya, kamu akan melihat tasybih tamtsil, bila diambil dari wajah syabah yang banyak.”
وَبِاعْتِبَارِ الْوَجْهِ أَيْضًا مُجْمَلُ * خَفِيٌّ اوْ جَلِيٌّ اوْ مُفَصَّلُ
“Dan dengan menilik wajah syabahnya, tasybih itu terbagi pula pada: Mujmal, khofi, jali dan mufashshol.”
وَمِنْهُ بِاعْتِبَارِهِ أَيْضًا قَرِيبْ * وَهْوَ جَلِيُّ الْوَجْهِ عَكْسُهُ الْغَرِيبْ
لِكَثْرَةِ التَّفْصِيلِ بُعْدِ النِّسْبَةِ * وَالذِّكْرِ وَالتَّرْتِيبِ فِي كَنُهْيَةِ
“Ada lagi sebagian tasybih dengan memperhatikan wajah syabahnya ada yang dekat (qorib), yaitu yang jelas wajah syabahnya dan sebaliknya, yaitu asing (ghorib), karena banyak perinciannya, atau karena jarang ditemukan dalam pikiran, seperti yang murokkab aqli.
وَبِاعْتِبَارِ آلَةٍ مُؤَكَّدُ * بِحَذْفِهَا وَمُرْسَلٌ إِذْ تُوجَدُ
Dengan memperhatikan alat tasybih itu terbagi pada tasybih muakkad, yaitu dengan membuang alatnya; dan tasybih mursal, yaitu dengan tidak membuang alatnya
وَمِنْهُ مَقْبُولٌ بِغَايَةٍ يَفِي * وَعَكْسُهُ الْمَرْدُودُ وَالتَّعَسُّفِ
“Dan dari sebagian tasybih itu ada yang maqbul, yaitu yang menemui tujuan, dan sebaliknya adalah tasybih mardud, yaitu yang memiliki paksaan/tekanan.”
وَأَبْلَغُ التَّشْبِيهِ مَا بِهِ حُذِفْ * وَجْهٌ وَآلَةٌ يَلِيهِ مَا عُرِفْ
tasybih yang paling baik, yaitu tasybih yang dibuang wajah syabahnya, alatnya atau membuang musyabbahnya dalam menjawab, dan mengikuti tasybih (yang dibuang wajah syabahnya atau alatnya atau membuang musyabbah dalam jawaban, sebab) sudah dimengerti
الْبَابُ الْثَانِي: الْحَقِيقَةُ وَالْمَجَازُ
Bab kedua: Hakikat dan Majaz
حَقِيقَةٌ مُسْتَعْمَلٌ فِيمَا وُضِعْ * لَهُ بِعُرْفِ ذِي الْخِطَابِ فَاتَّبِعْ
Hakikat ialah lafaz yang digunakan sesuai peletakannya, sesuai kebiasaan mukhatab. maka ikutilah
ثُمَّ الْمَجَازُ قَدْ يَجِيءُ مُفْرَدَا * وَقَدْ يَجِي مُرَكَّبًا، فَالْمُبْتَدَا
كَلِمَةٌ غَايَرَتِ الْمَوْضُوعَ مَعْ * قَرِينَةٍ لِعُلْقَةٍ نِلْتَ الْوَرَعْ
Kemudian majaz itu terkadang mufrad dan terkadang murokkab. Adapun yang pertama ialah kalimat yang tidak sesuai peletakannya disertai oleh qorinah kerena adanya hubungan. Dengan demikian kamu pasti dapat lepas dari kesalahan
كَاخْلَعْ نِعَالَ الْكَوْنِ كَيْ تَرَاهُ * وَغُضَّ طَرْفَ الْقَلْبِ عَنْ سِوَاهُ
Seperti: Kamu harus melepaskan keinginanmu terhadap makhluk-makhluk, agar kamu dapat melihat Dia (Allah), dan pejamkan penglihatanmu dari selain Dia
كِلَاهُمَا شَرْعِيٌّ اوْ عُرْفِيُّ * نَحْوُ ارْتَقَى لِلْحَضْرَةِ الصُّوفِيُّ
أَوْ لُغَوِيٌّ…
“Masing-masing keduanya —yakni: hakikat dan majaz itu terbagi pada tiga macam, yaitu: syar’i (menurut syarak) atau urfi (menurut adat, yakni yang sudah lumrah dikenal) dan atau lughawi (menurut bahasa), seperti: Orang sufi itu telah naik ke hadirat Allah.
…وَالْمَجَازُ مُرْسَلُ * أَوِ اسْتِعَارَةٌ فَأَمَّا الْأَوَّلُ
فَمَا سِوَى تَشَابُهٍ عَلَاقَتُهْ * جُزْءٌ وَكُلٌّ أَوْ مَحَلٌّ آلَتُهْ
ظَرْفٌ وَمَظْرُوفٌ مُسَبَّبٌ سَبَبْ * وَصْفٌ لِمَاضٍ أَوْ مَآلٍ مُرْتَقَبْ
majaz ada mursal dan ada isti‘arah. yang pertama (majaz mursal) ialah:kalimat yang -kaitan antara kedua ujungnya tidak ada persamaan (tasyabbuh). Ada yang diartikan sejuz (sebagian) dari lafal yang -artinya semua, arti kulli (semua), yakni arti kulli dari lafal juz’i, atau mengartikan hal dari arti mahal (tempatnya), atau sebaliknya, atau mengartikan alat dari ma’lut, atau mengartikan zharaf pada mazhruf, arti musabbab pada sebab atau sebaliknya, atau mengartikan yang madhi ‘(sudah) dengan arti mustaqbal, atau arti mustaqbal dengan arti madhi. Itulah yang ditunggu-tunggu.”
فَصْلٌ فِي الِاسْتِعَارَاتِ
Pasal tentang istiarah
وَالِاسْتِعَارَةُ مَجَازٌ عُلْقَتُهْ * تَشَابُهٌ كَأَسَدٍ شَجَاعَتُهْ
isti’‘arah ialah majaz yang alaqahnya adalah tasybib, seperti lafaz (untuk laki-laki yang gagah). Adapun alagah (perhubungan)nya ialah sama-sama gagahnya.
وَهْيَ مَجَازٌ لُغَةً عَلَى الْأَصَحّْ * وَمُنِعَتْ فِي عَلَمٍ لِمَا اتَّضَحْ
Adapun menurut kaul yang lebih sah, isti’arah adalah majaz lughawi. Dan dilarang adanya isti’arah pada alam, sebab sudah jelas.
وَفَرْدًا اوْ مَعْدُودًا اوْ مُؤَلَّفَا * مِنْهُ قَرِينَةٌ لَهَا قَدْ أُلِفَا
isti‘arah ada yang mufrad, ada yang tersusun banyak dan ada yang pertalian satu dengan lainnya, yang semuanya mempunyai Qarinah (yang menunjukkan pengertian bukan arti asalnya).”
وَمَعْ تَنَافِي طَرَفَيْهَا تُنْتَمَى * إِلَى الْعِنَادِ وَالْوِفَاقِ فَاعْلَمَا
Dengan saling meniadakan dua sisi isti‘arah, istiarah dibagi menjadi inadiyah dan wifaqiyah, ketahuilah
ثُمَّ الْعِنَادِيَّةُ تَلْمِيحِيَّهْ * تُلْفَى كَمَا تُلْفَى تَهَكُّمِيَّهْ
Kemudian inadiyah ada yang talmihiyah, dan ada yang tahakkumiyah
وَبِاعْتِبَارِ جَامِعٍ قَرِيبَهْ * كَـ(قَمَرٌ يَقْرَأُ) أَوْ غَرِيبَهْ
Dengan memperhatikan jami’, isti’arah terbagi menjadi qaribah, seperti: rembulan itu sedang membaca’, atau gharibah.
وَبِاعْتِبَارِ جَامِعٍ وَطَرَفَيْنِ * حِسًّا وَعَقْلًا سِتَّةٌ بِغَيْرِ مَيْنِ
dengan memperhatikan jamik dan kedua sisi terbagi menjadi hissi dan aqli. ada enam pembagian tanpa keraguan
وَاللَّفْظُ إِنْ جِنْسًا فَقُلْ أَصْلِيَّهْ * وَتَبَعِيَّةً لَدَى الْوَصْفِيَّهْ
وَالْفِعْلِ وَالْحَرْفِ كَحَالِ الصُّوفِي * يَنْطِقُ أَنَّهُ الْمُنِيبُ الْمُوفِي
lafaz istiarah jika berupa isim jenis, maka namakan ashliyah. dan namakan tabi’iyah ketika berupa isim sifat, sebutlah, dan demikian pula kalau dari jumlah fi’liyah dan harfiyah, seperti: Kelakuan ahli tasawuf menyatakan: Bahwa ia kembali kepada Zat yang memenuhi kebutuhan
وَأَطْلَقَتْ وَهْيَ الَّتِي لَمْ تَقْتَرِنْ * بِوَصْفٍ اوْ تَفْرِيعِ أَمْرٍ فَاسْتَبِنْ
“Dan isti’arah itu —adakalanya dimutlakkan: (tanpa taqyid), yaitu isti‘arah yang tidak diiringi dengan sifat atau pencabangan suatu perkara. Maka, carilah penjelasan olehmu!
وَجُرِّدَتْ بِلَائِقٍ بِالْأَصْلِ * وَرُشِّحَتْ بِلَائِقٍ بِالْفَصْلِ
Dan disebut mujarrodah bila disertai mulaaiq musta’ar lah. Dan disebut murosyahah bila disertai mulaaiq musta’ar minhu
نَحْوُ ارْتَقَى إِلَى السَّمَاءِ الْقُدْسِ * فَفَاقَ مَنْ خَلَّفَ أَرْضَ الْحِسِّ
“Seperti: la telah naik ke hadirat Yang Maha Suci, maka ia berada atas derajat orang-orang yang membelakangi bumi yang terasa (yakni: urusan dunia).”
أَبْلَغُهَا التَّرْشِيحُ لِابْتِنَائِهْ * عَلَى تَنَاسِي الشِّبْهِ وَانْتِفَائِهْ
“Yang paling balaghoh (ablagh) dari tiga macam isti’arah itu, ialah murosysyahah, sebab bentuknya dapat melupakan adanya penyerupaan (tasybih) dan bahkan dapat meniadakannya (jika tidak dicermati).”
فَصْلٌ: فِي الِاسْتِعَارَةِ التَّحْقِيقِيَّةِ وَالْعَقْلِيَّةِ
Pasal tentang istiarah tahqiqiyah dan Aqliyyah
وَذَاتُ مَعْنًى ثَابِتٍ بِحِسٍّ اوْ * عَقْلٍ فَتَحْقِيقِيَّةٌ كَذَا رَأَوْا
isti’arah yang mempunyai makna tetap dengan hissi, maka disebut: Majaz isti’arah tahqiqiyah, atau dengan akal saja (yakni ketetapan makna itu), disebut aqliyah. Demikian menurut pandangan ulama.
كَأَشْرَقَتْ بَصَائِرُ الصُّوفِيَّهْ * بِنُورِ شَمْسِ الْحَضْرَةِ الْقُدْسِيَّهْ
Contoh tahqiqiyah, seperti: Telah terbit (bercahaya) pandangan ahli tasawuf dengan kelapangan dadanya (yang seperti sinar matahari) ke hadirat Tuhan Yang Maha Suci
فَصْلٌ: فِي الْمَكْنِيَّةِ
Pasal tentang Makniyyah
وَحَيْثُ تَشْبِيهٌ بِنَفْسٍ أُضْمِرَا * وَمَا سِوَى مُشَبَّهٍ لَمْ يُذْكَرَا
وَدَلَّ لَازِمٌ لِمَا شُبِّهَ بِهْ * فَذَلِكَ التَّشْبِيهُ عِنْدَ الْمُنْتَبِهْ
Ketika tasybih disimpan dalam hati, dan selain musyabbah tidak disebut, dan lazim menunjukkan musyabbah bih, maka yang demikian itu menurut orang-orang yang ingat adalah tasybih
يُعْرَفُ بِاسْتِعَارَةِ الْكِنَايَةِ * وَذِكْرُ لازِمٍ بِتَخْيِيلِيَّةِ
Disebut isti‘arah bil-kinayah, sedangkan yang menerangkan lazimnya itu disebut -dengan nama-. isti’arah takhyiliyah (khayalan atau bayangan hati, sebab tidak dapat diraba oleh perasaan atau akal).
كَأَنْشَبَتْ مَنِيَّةٌ أَظْفَارَهَا * وَأَشْرَقَتْ حَضْرَتُهَا أَنْوَارَهَا
Seperti: Mati itu telah menancapkan kuku-kukunya dan makrifat itu telah memancarkan cahayanya
فَصْلٌ: فِي تَحْسِينِ الِاسْتِعَارَةِ
Fasal tentang memperbaiki istiarah
مُحَسِّنُ اسْتِعَارَةٍ تَدْرِيهِ * بِرَعْيِ وَجْهِ الْحُسْنِ لِلتَّشْبِيهِ
وَالْبُعْدُ عَنْ رَائِحَةِ التَّشْبِيهِ فِي * لَفْظٍ وَلَيْسَ الْوَجْهُ أَلْغَازًا قُفِي
Cara membuat isti’arah yang baik, dapat diketahui dengan memelihara wajah tasybih yang baik, jauh dari bau tasybih dalam lafalnya dan wajah tasybihnya itu bukan sebagai teka-teki yang dituruti
فَصْلٌ: فِي تَرْكِيبِ الْمَجَازِ
Pasal tentang menyusun majaz
مُرَكَّبُ الْمَجَازِ مَا تَحَصَّلَا * فِي نِسْبَةٍ أَوْ مِثْلَ تَمْثِيلٍ جَلَا
majaz murokkab yaitu yang terjadi di nisbat atau tamtsil yang jelas
وَإِنْ أَتَى اسْتِعَارَةً مُرَكَّبُ * فَمَثَلًا يُدْعَى وَلا يُنَكَّبُ
jika majaz murokkab berbentuk isti’arah, maka disebut isti’arah matsal dan tidak diubah
فَصْلٌ: فِي تَغْيِيرِ الْإِعْرَابِ
Pasal tentang perubahan Irab
وَمِنْهُ مَا إِعْرَابُهُ تَغَيَّرَا * بِحَذْفِ لَفْظٍ أَوْ زِيَادَةٍ تُرَى
Sebagian majaz ada yang berubah i’rabnya dengan membuang lafalnya atau dengan adanya tambahan yang dapat dilihat
الْبَابُ الثَّالِثُ: الْكِنَايَةُ
Bab ketiga: Kinayah
لَفْظٌ بِهِ لَازِمُ مَعْنَاهُ قُصِدْ * مَعَ جَوَازِ قَصْدِهِ مَعْهُ، تُرِد
إِلَى اخْتِصَاصِ الْوَصْفِ بِالْمَوْصُوفِ * كَالْخَيْرُ فِي الْعُزْلَةِ يَا ذَا الصُّوفِي
Kinayah adalah lafaz yang dikehendaki lazim maknanya, bersama diperbolehkan menghendaki maknanya bersama lazim maknanya. Kinayah itu datang untuk: 1). Pengkhususan (penentuan) sifat untuk maushuf, seperti: Adanya kebaikan itu dalam uzlah, wahai ahli tasawuf
وَنَفْسِ مَوْصُوفٍ وَوَصْفٍ وَالْغَرَضْ * إِيضَاحٌ اخْتِصَارٌ اوْ صَوْنٌ عَرَضْ
أَو انْتِقَاءُ اللَّفْظِ لاسْتِهْجَانِ * وَنَحْوِهِ كَاللَّمْسِ وَالْإِتْيَانِ
2). Untuk menentukan zat maushuf; 3). Untuk menentukan dzat sifat. Sedangkan tujuan kinayah ialah: 1. Menjelaskan, 2. Ikhtishar; 3. Memelihara kehormatan; atau 4. Menghilangkan lafal sebab dipandang jelek dan sebagainya, seperti: menyapu dan mendatangi (bersetubuh) (dalam ayat Al Qur’an)
فَصْلٌ: فِي مَرَاتِبِ الْمَجَازِ وَالْكُنَى
Pasal tentang tingkatan Majaz dan Kinayah
ثُمَّ الْمَجَازُ وَالْكُنَى أَبْلَغُ مِنْ * تَصْرِيحٍ اوْ حَقِيقَةٍ كَذَا زُكِنْ
فِي الْفَنِّ تَقْدِيمُ اسْتِعَارَةٍ عَلَى * تَشْبِيهٍ ايْضًا بِاتِّفَاقِ الْعُقَلَا
Kemudian, majaz dan kinayah lebih ablagh dari kalimat tashrih atau hakikat. Demikian diketahui dalam fan bayan. Begitu juga mendahulukan isti’arah atas tasybih, sesuai kesepakatan orang-orang yang berakal.
Fan ketiga: Ilmu Badi
عِلْمٌ بِهِ وُجُوهُ تَحْسِينِ الْكَلَامْ * يُعْرَفُ بَعْدَ رَعْيِ سَابِقِ الْمَرَامْ
“Suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui cara-cara membentuk kalam yang baik, sesudah memperhatikan tujuan yang terdahulu (muthabaqah atau wujuhud dilalah).
ثُمَّ وُجُوهُ حُسْنِهِ ضَرْبَانِ * بِحَسَبِ الْأَلْفَاظِ وَالْمَعَانِي
Kemudian cara pembentukan kalam yang baik itu ada dua macam, yaitu dengan memperhatikan lafal dan maknanya.
الضَرْبُ الْأَوَّلُ: الْمَعْنَوِيُّ
Macam pertama: Maknawi
وَالثَّانِ مِنْ أَلقَابِهِ الْمُطَابَقَهْ * تَشَابُهُ الْأَطْرَافِ وَالْمُوَافَقَهْ
macam-macam badi’ maani ialah: Muthabaqah, Tasyabuhul Athraf, dan Muwafaqah
وَالْعَكْسُ وَالتَّسْهِيمُ وَالْمُشَاكَلَهْ * تَزَاوُجٌ رُجُوعٌ اوْ مُقَابَلَهْ
akas, tas-him, musyakalah, tazawuj, rujuk, atau mugabalah
تَوْرِيَةٌ تُدْعَى بِإِيهَامٍ لِمَا * أُرِيدَ مَعْنَاهُ الْبَعِيدُ مِنْهُمَا
badi’ tauriyah disebut juga badi’ iham, sebab makna yang dimaksudkan jauh dari kedua maknanya.
وَرُشِّحَتْ بِمَا يُلَائِمُ الْقَرِيبْ * وَجُرِّدَتْ بِفَقْدِهِ فَكُنْ مُنِيبْ
Dan – badi’ yang disertai sesuatu yang mengisyaratkan pada makna dekat dan terdapat yang dikosongkan, karena tidak adanya sesuatu itu. Maka kamu adalah orang yang kembali kepada Tuhanmu
جَمْعٌ وَتَفْرِيقٌ وَتَقْسِيمٌ وَمَعْ * كِلَيْهِمَا أَوْ وَاحِدٍ جَمْعٌ يَقَعْ
“Dan badi’ jamak, tafriq, taqsim dan tafriq jamak serta taqsim jamak juga tiba.”
وَاللَّفُّ وَالنَّشْرُ وَالِاسْتِخْدَامُ * أَيْضًا وَتَجْرِيدٌ لَهُ أَقْسَامُ
“Dan badi’ laf, nasyr, istikhdam dan tajrid, yang memiliki bagian-bagian.”
“ثُمَّ الْمُبَالَغَةُ وَصْفٌ يُدَّعَى * بُلُوغُهُ قَدْرًا يُرَى مُمْتَنِعَا
أَوْ نَائِيًا وَهْوَ عَلَى أَنْحَاءِ * تَبْلِيغٌ اغْرَاقٌ غُلُوٌّ جَائِي
Kemudian badi’ mubalaghah, yaitu mengaku adanya suatu sifat yang sampai pada ukuran yang dipandang tercegah atas mustahil adanya (pada suatu kehebatan atau terlalu lemahnya), atau jauh akan dapat dibuktikan. Badi’ mubalaghah itu terbagi atas beberapa macam, yaitu: tabligh, ighrok dan ghuluw (kelebihan itu) datang
مَقْبُولًا اوْ مَرْدُودًا التَّفْرِيعُ * وَحُسْنُ تَعْلِيلٍ لَهُ تَنْوِيعُ
Badi’ ghuluw itu ada yang dapat diterima dan ada pula yang ditolak. Adapun badi’ tafri’ dan husnut ta’lil itu bermacam-macam
وَقَدْ أَتَوْا فِي الْمَذْهَبِ الْكَلَامِي * بِحُجَجٍ كَمَهْيَعِ الْكَلَامِ
Orang arab mendatangkan badi’ madzahab kalam dengan beberapa alasan, seperti perjalanan ahli kalam.
وَأَكَّدُوا مَدْحًا بِشِبْهِ الذَّمِّ * كَالْعَكْسِ وَالْإِدْمَاجُ مِنْ ذَا الْعِلمِ
Orang arab menguatkan pujian dengan seperti celaan, seperti sebaliknya juga (yakni: mencela seperti memuji). Adapun badi’ idmaji termasuk dalam ilmu ini juga
وَجَاءَ الِاسْتِتْبَاعُ وَالتَّوْجِيهُ مَا * يَحْتَمِلُ الْوَجْهَيْنِ عِنْدَ الْعُلَمَا
badi’ istiba’ dan badi’ taujih, yaitu badi yang dapat mengandung dua wajah menurut ulama
وَمِنْهُ قَصْدُ الْجَدِّ بِالْهَزْلِ كَمَا * يُثْنَى عَلَى الْفَخُورِ ضِدَّ مَا اعْتَمَا
sebagian badi’ adalah bermaksud sungguh-sungguh dengan perkataan main-main, seperti memuji orang yang merasa megah dengan pernyataan yang sebaliknya dari tujuan
وَسَوْقُ مَعْلُومٍ مَسَاقَ مَا جُهِلْ * لِنُكْتَةٍ تَجَاهُلٌ عَنْهُمْ نُقِلْ
menyusun perkataan yang diketahui dengan rangkaian perkataan yang tidak diketahui, karena mengandung faedah pura-pura bodoh. Itulah yang dinukil dari ulama ahli badi
وَالْقَوْلُ بِالْمُوجَبِ قُلْ ضَرْبَانِ * كِلَاهُمَا فِي الْفَنِّ مَعْلُومَانِ
qaul bil-mujab, katakan Adalah dua macam, keduanya maklum dalam fan ini
وَالِاطِّرَادُ الْعَطْفُ بِالْآبَاءِ * لِلشَّخْصِ مُطْلَقًا عَلَى الْوِلَاءِ
“Dan badi’ iththirod, yaitu mendatangkan nama beberapa bapak (anak) bagi seseorang dengan berturut-turut secara mutlak.”
الضَّرْبُ الثَّانِي:اللَّفْظِيُّ
Macam kedua: Lafdzi
مِنْهُ الْجِنَاسُ وَهْوَ ذُو تَمَامِ * مَعَ اتِّحَادِ الْحَرْفِ وَالنِّظَامِ
Diantara badi’ lafzhi ialah badi’ jinas, yaitu yang memiliki kesempurnaan serta sama huruf dan susunannya,
وَمُتَمَاثِلًا دُعِي إِنِ ائْتَلَفْ * نَوْعًا وَمُسْتَوْفًى إِذَا النَّوْعُ اخْتَلَفْ
dan dinamakan mutamatstsil kalau sama macamnya dan disebut, mustaufi kalau berbeda.
لَنْ تَعْرِفَ الْوَاحِدَ إِلَّا وَاحِدَا * فَاخْرُجْ عَنِ الكَوْنِ تَكُنْ مُشَاهِدَا
Seperti: Orang yang menyendiri tidak akan mengetahui, kecuali kepada Dzat Yang Esa dan keluarlah dari makhluk, kamu akan menjadi orang yang musyahadah
وَمِنْهُ ذُو التَّرْكِيبِ ذُو تَشَابُهِ * خَطًّا وَمَفْرُوقٌ بِلَا تَشَابُهِ
Badi’ jinas taam ada yang tersusun (murokkab), yang serupa tulisannya, dan yang tidak serupa disebut mafruq
وَإِنْ بِهَيْئَةِ الْحُرُوفِ اخْتَلَفَا * فَهْوَ الَّذِي يَدْعُونَهُ الْمُحَرَّفَا
“Kalau berbeda keadaan hurufnya, para ulama menamakannya dengan muharrof.”
وَنَاقِصٌ مَعَ اخْتِلَافٍ فِي الْعَدَدْ * وَشَرْطُ خُلْفِ النَّوْعِ وَاحِدٌ فَقَدْ
Kedua, badi’ naqish, dengan syarat berbeda bilangan huruf dan macamnya, tetapi cukup dengan berbeda sehuruf saja.
وَمَعْ تَقَارُبٍ مُضَارِعًا أُلِفْ * وَمَعْ تَبَاعُدٍ بِلَاحِقٍ وُصِفْ
Dan bersama susunan yang berdekatan disebut mudhari’, dan bersama susunan yang berjauhan disebut laahig
وَهْوَ جِنَاسُ الْقَلْبِ حَيْثُ يَخْتَلِفْ * تَرْتِيبُهَا لِلْكُلِّ وَالْبَعْضِ أَضِفْ
Badi’ jinas naqish, jika sekiranya berbeda tertibnya dan mengidhafahkan pada semuanya dan kepada sebagiannya adalah dinamakan jinas qolab
مُجَنَّحًا يُدْعَى إِذَا تَقَاسَمَا * بَيْتًا فَكَانَ فَاتِحًا وَخَاتِمَا
Disebut jinas qolab mujannah, bila dua lafal itu terbagi dalam satu bait, yang satu pada permulaan bait dan yang satu lainnya pada akhirnya.
وَمَعْ تَوَالِي الطَّرَفَيْنِ عُرِفَا * مُزْدَوِجًا كُلُّ جِنَاسٍ أُلِفَا
Dan apabila berurut-turut ujungnya menurut adat, adalah disebut jinas qolab muzdawwaj.
تَنَاسُبُ اللَّفْظَيْنِ فِي اشْتِقَاقِ * وَشِبْهِهِ فَذَاكَ ذُو الْتِحَاقِ
Kesesuaian dua lafaz dalam mustaqnya dan yang menyerupainya, yang demikian itu disebut jinas mulhaq
وَيَرِدُ التَّجْنِيسُ بِالْإِشَارَةِ * مِنْ غَيْرِ أَنْ يُذْكَرَ فِي الْعِبَارَةِ
“Dan datang badi’ jinas dengan isyarah, yang tidak disebut dalam ibaratnya.”
وَمِنْهُ رَدُّ عَجُزِ اللَّفْظِ عَلَى * صَدْرٍ فَفِي نَثْرٍ بِفَقْرَةٍ جَلَا
مُكْتَنِفًا وَالنَّظْمِ الُاولَى أَوَّلَا * آخِرَ مِصْرَاعٍ فَمَا قَبْلُ تَلَا
مُكَرَّرًا مُجَانِسًا وَمَا الْتَحَقْ * يَأْتِي كَـَخْشَ النَّاسَ وَاللهُ أَحَقّْ
Dari sebagian badi’ jinas lafaz ada lagi badi’’ yang kembali ke ujung lafal permulaannya yang jelas pada bentuk natsar dengan farqoh (susunan kalam), sambil melingkupi (mengepung) dan dalam nazham. Lafal pertama didahulukan, lalu ada lafal yang terbaca sebelum akhir mishro’ kedua (yakni: diselang lafal lain). Lafal itu datang sambil diulang-ulang, sejenis dan semulhag, seperti: (dan kamu takut kepada manusia, padahal Allah jualah yang berhak untuk kamu takuti
فَصْلٌ: فِي السَّجْعِ
Pasal tentang sajak
وَالسَّجْعُ فِي فَوَاصِلٍ فِي النَّثْرِ * مُشْبِهَةً قَافِيَةً فِي الشِّعْرِ
sajak dalam fashilah (kalimat akhir) dalam kalam natsar itu seperti gofiyah dalam kalam syi’ir
ضُرُوبُهُ ثَلَاثَةٌ فِي الْفَنِّ * مُطَرَّفٌ مَعَ اخْتِلَافِ الْوَزْنِ
مُرَصَّعٌ إِنْ كَانَ مَا فِي الثَّانِيَهْ * أَوْ جُلُّهُ عَلَى وِفَاقِ الْمَاضِيَهْ
وَمَا سِوَاهُ الْمُتَوَازِي فَادْرِي * كَـ(سُرُرٍ مَرْفُوعَةٍ) فِي الذِّكْرِ
macam-macamnya ada tiga macam dalam fan int, yaitu:
- Muthorrof dengan perbedaan wazan (namun huruf akhirnya sama);
- Muroshsho’ kalau lafal pada faqroh kedua atau kebanyakannya sesuai dengan faqroh yang pertama.
- Mutawazi, seperti: sururin marfuah dalam Alquran.
أَبْلَغُ ذَاكَ مُسْتَوٍ فَمَا تُرَى * أُخْرَى الْقَرِينَتَيْنِ فِيهِ أَكْثَرَا
Sajak yang paling balaghah (terbaik) ialah yang sama faqrohnya, lalu kau lihat faqroh yang akhir dari kedua faqroh itu lebih banyak (panjang).
وَالْعَكْسُ إِنْ يَكْثُرْ فَلَيْسَ يَحْسُنُ * وَمُطْلَقًا إِعْجَازُهَا تُسَكَّنُ
Adapun sebaliknya, yaitu faqroh pertama lebih panjang dari faqroh kedua, tidak baik dan kamu boleh menyukunkan (mematikan) ujung garinah dengan mutlak (sama i’rab kalimatnya maupun tidak).”
وَجَعْلُ سَجْعِ كُلِّ شَطْرٍ غَيْرَمَا * فِي الْآخَرِ التَّشْطِيرُ عِنْدَ الْكُرَمَا
menjadikan sajak pada setiap syathor bait selain yang terakhir dinamakan sajak tasythir demikian menurut ulama. Dan sajak tasythir itu ialah menjadikan dua syathor bait sebagai sajak yang berbeda dengan syathor bait lainnya.
فَصْلٌ: فِي الْمُوَازَنَةِ
Pasal tentang Muwazanah
ثُمَّ الْمُوَازَنَةُ وَهْيَ التَّسْوِيَهْ * لِفَاصِلٍ فِي الْوَزْنِ لَا فِي التَّقْفِيَهْ
Kemudian badi’ jinas muwazanah itu sama kedua fashilahnya dalam wazannya, tetapi tidak sama dalam Qofiyahnya (ujung kalimatnya).
وَهْيَ الْمُمَاثَلَةُ حَيْثُ يَتَّفِقْ* فِي الْوَزْنِ لَفْظُ فَقْرَتَيْهَا فَاسْتَفِقْ
Dan ada pula badi’ mumatsalah jika ternyata sama wazan lafal farqohnya, amalkanlah olehmu!
وَالْقَلبُ وَالتَّشْرِيعُ وَالْتِزَامُ مَا * قَبْلَ الرَّوِيِّ ذِكْرُهُ لَنْ يَلْزَمَا
Dan badi’ qolab, tasyri’ dan iltizam, yaitu mendatangkan lafal yang tidak mesti sebelum huruf rowi (huruf berbentuk fashilah).”
السَّرِقَاتُ
Sariqat
وَأَخْذُ شَاعِرٍ كَلَامًا سَبَقَهْ * هُوَ الَّذِي يَدْعُونَهُ بِالسَّرِقَهْ
syair yang mengambil perkataan dari syi’ir orang lain yang mendahuluinya, itulah yang ulama namakan dengan badi’ sarigoh
وَكُلُّ مَا قُرِّرَ فِي الْأَلْبَابِ * أَوْ عَادَةٍ فَلَيْسَ مِنْ ذَا الْبَابِ
“Setiap sesuatu (syi’iran) yang ditetapkan dengan akal atau adat, tidak termasuk sariqah ini.” (Boleh jadi hanya karena adanya persamaan dalam pemrkirannya atau salah satunya yang lebih dari pemikiran yang lainnya).
وَالسَّرِقَاتُ عَنْدَهُمْ قِسْمَانِ * خَفِيَّةٌ جَلِيَّةٌ، وَالثَّانِي
تَضَمُّنُ الْمَعْنَى جَمِيعًا مُسْجَلَا * أَرْدَاهُ الِانْتِحَالُ مَا قَدْ نُقِلَا
بِحَالِهِ وَأَلْحَقُوا الْمُرَادِفَا * بِهِ وَيُدْعَى مَا أَتَى مُخَالِفَا
لِنَظْمِهِ إِغَارَةً وَحُمِدَا * حَيْثُ مِنَ السَّابِقِ كَانَ أَجْوَدَا
“Menurut ulama, badi’ sariqah itu ada dua bagian, yaitu yang samar dan yang jelas.
Adapun yang kedua, yaitu lafal yang menyimpan makna lafal yang terdahulu secara keseluruhannya dengan mutlak (dengan lafalnya secara keseluruhan atau sebagiannya dan atau maknanya saja).
Adapun yang terendah, ialah menurut lafal yang dinukil dengan semua tingkahnya.
Ulama mengikutkan lafal yang taraduf pada badi’ sariqoh intihal (menjiplak atau menyalin).
Lafal yang datang menyalahi susunan. lafal terdahulu, disebut: Sariqoh ighoroh (karena menggubah kalimat asal atau mengambil sebagiannya saja).
Sekiranya syi’iran yang kedua lebih baik dari yang terdahulu, adalah mendapatkan pujian.”
وَأَخْذُهُ الْمَعْنَى مُجَرَّدًا دُعِي * سَلْخًا وَإِلْمَامًا وَتَقْسِيمًا فَعِي
“Adapun jika mengambil maknanya saja, adalah disebut: salakh dan ilmam (menanggalkan atau melebur). Kamu harus memelihara pembagian itu.” –
السَّرِقَاتُ الْخَفِيَّةُ
Al-Sariqat al-Khafiyyah
وَمَا سِوَى الظَّاهِرِ أَنْ يُغَيَّرَا * مَعْنًى بِوَجْهٍ مَا وَمَحْمُودًا يُرَى
Badi’ sariqoh selain yang jelas, ada pula yang mengubah makna dengan cara yang halus dan dipandang baik
كَنَقْلٍ اوْ خَلْطٍ شُمُولِ الثَّانِي * أَوَ قَلْبٍ اوْ تَشَابُهِ الْمَعَانِي
أَحْوَالُهُ بِحَسَبِ الْخَفَاءِ * تَفَاضَلَتْ فِي الْحُسْنِ وَالثَّنَاءِ
seperti memindahkan atau mencampurkan atau mencakup keduanya (pada kalam terdahulu) dan qolab (yang kedua kebalikan yang pertama) atau kedua-duanya serupa maknanya. Adapun derajat (tingkatan) badi’ sariqoh ini (baik atau tidaknya) adalah dengan memperhitungkan kesamarannya. Saling lebih-melebihi pada kebaikan dan pujiannya.”
الِاقْتِبَاسُ
Iqtibas
وَالِاقْتِبَاسُ أَنْ يُضَمَّنَ الْكَلَامْ * قُرْآنًا اوْ حَدِيثَ سَيِّدِ الْأَنَامْ
“Badi’ iqtibas ialah kalam yang tersimpan Alquran atau hadis junjungan seluruh makhluk.”
وَالِاقْتِبَاسُ عِنْدَهُمْ ضَرْبَانِ * مُحَوَّلٌ وَثَابِتُ الْمَعَانِي
Menurut ulama, badi’ iqtibas ada dua bagian, yaitu: Muhawwal (diubah lafalnya), dan Tsabitul Ma‘ani (tetap maknanya).
وَجَائِزٌ لِوَزْنٍ اوْ سِوَاهُ * تَغْيِيرُ نَزْرِ اللَّفْظِ لَا مَعْنَاهُ
Boleh diubah sedikit lafalnya sebab kebutuhan wazan atau lainnya, bukan maknanya
التَّضْمِينُ وَالْحَلُّ وَالْعَقْدُ
Tadmin, Hal, Aqd
وَالْأَخْذُ مِنْ شِعْرٍ بِعَزْوِ مَا خَفِي * تَضْمِينُهُمْ وَمَا عَلَى الْأَصْلِ يَفِي
بِنُكْتَةٍ أَجَلُّهُ وَاغْتُفِرَا * يَسِيرُ تَغْيِيرٍ وَمَا مِنْهُ يُرَى
بَيْتًا فَأَعْلَى بِاسْتِعَانَةٍ عُرِفْ * وَشَطْرًا اوْ أَدْنَى بِإِيدَاعٍ أُلِفْ
“Mengambil syi’iran orang lain dengan menisbatkan/ mengingatkan syi’iran itu dengan samar (kepada syi’iran asalnya), itulah yang dimaksudkan dengan tadhmin, demikian menurut ulama. Adapun syi’iran (baru) yang melampaui atau melebihi (syi’iran lain) karena ada gunanya, itulah yang terbaik. Dan adapun syi’iran yang kelihatan diambil satu bait saja, adalah disebut ida’ yang disusun.” .
وَالْعَقْدُ نَظْمُ النَّثْرِ لَا بِالِاقْتِبَاسْ * وَالْحَلُّ نَثْرُ النَّظْمِ فَاعْرِفِ الْقِيَاسْ
“Adapun badi’ aqod, ialah menazhamkan natsar, bukan dengan cara igtibas, dan badi’ hill ialah menatsarkan nazham, ketahuilah akan Qias.
وَاشْتَرَطُوا الشُّهْرَةَ فِي الْكَلَامِ * وَالْمَنْعُ أَصْلُ مَذْهَبِ الْإِمَامِ
Dan para ulama telah mensyaratkan harus masyhur kalamnya. Adapun adanya cegahan, yang demikian itu datang dari mazhab Imam Maliki.”
التَّلْمِيحُ
Talmih
إِشَارَةٌ لِقِصَّةٍ شِعْرٍ مَثَلْ * مِنْ غَيْرِ ذِكْرِهِ فَتَلْمِيحٌ كَمُلْ
isyarat (pengindikasian) pada suatu kisah atau syl’iran atau contoh dengan tidak menerangkan asalnya, maka yang demikian itulah yang dinamakan talmih, sempurnakanlah!”
تَذْنِيبٌ فِي أَلْقَابٍ مِنَ الْفَنِّ
Pelengkap tentang laqab-laqab fan ilmu Badi’
مِنْ ذَلِكَ التَّوْشِيعُ وَالتَّرْدِيدُ * تَرْتِيبٌ اخْتِرَاعٌ اوْ تَعْدِيدُ
sebagian nama-nama fan badi’ ialah: badi’ tausyi’; tardid,; tartib, ikhtiro’ atau ta’did,
كَـ(التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونْ * اَلسَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونْ)
seperti: orang-orang yang taubat, orang-orang yang meyembah, orang-orang yang memuji, orang-orang yang melakukan perjalanan, orang-orang yang rukuk, orang-orang yang sujud
تَطْرِيزٌ اوْ تَدْبِيجٌ اسْتِشْهَادُ * إِيضَاحٌ ائْتِلَافٌ اسْتِطْرَادُ
“Badi’ tahtriz; tadbij; isisyad; idhoh; i’tilaf dan istithrod.”
إِحَالَةٌ تَلوِيحٌ اوْ تَخْيِيلُ * وَفُرْصَةٌ تَسْمِيطٌ اوْ تَعْدِيلُ
Badi ihalah, talwih, takhyiil, fursah, tasmit, tadil
تَحْلِيَةٌ أَوْ نَفْلٌ اوْ تَخَتُّمُ * تَجْرِيدٌ اسْتِقْلَالٌ اوْ تَهَكُّمُ
“Badi’ tahliyah; naqal; takhottum, tajrid; istiqlal; tahakkum.”
تَعْرِيضٌ اوْ إِلغَازٌ ارْتِقَاءُ * تَنْزِيلٌ اوْ تَأْنِيسٌ اوْ إِيمَاءُ
“Badi’ ta’ridh; ilghoz, irtiqo’; tanzil, ta’nis atau imaa’.”
حُسْنُ الْبَيَانِ وَصْفٌ اوْ مُرَاجَعَهْ * حُسْنُ تَخَلُّصٍ بِلَا مُنَازَعَهْ
“Badi’ husnul bayaan,; roshfun, muroja’ah, husnul takhollush; tanpa perebutan.”
فَصْلٌ فِيمَا لَا يُعَدُّ كَذِبًا
Pasal tentang yang tidak dianggap berdusta
وَلَيْسَ فِي الْإِيهَامِ وَالتَّهَكُّمِ * وَلَا التَّغَالِي بِسِوَى الْمُحَرَّمِ
مِنْ كَذِبٍ وَفِي الْمِزَاحِ قَدْ لَزِبْ * بِحَيْثُ لَا مَنْدُوحَةٌ عَنِ الْكَذِبْ
“Tidak termasuk dusta suatu perkataan yang disamarkan, memperolok-olok dan menghebatkan, selain dengan cara yang diharamkan (tidak keterlaluan) dan ketika berkelakar (bercanda), karena sesungguhnya —yang demikian itu sudah biasa, sekira tidak ada jalan lain, selain —harus berdusta.” : |
Macam pertama: Maknawi
وَالثَّانِ مِنْ أَلقَابِهِ الْمُطَابَقَهْ * تَشَابُهُ الْأَطْرَافِ وَالْمُوَافَقَهْ
macam-macam badi’ maani ialah: Muthabaqah, Tasyabuhul Athraf, dan Muwafaqah
وَالْعَكْسُ وَالتَّسْهِيمُ وَالْمُشَاكَلَهْ * تَزَاوُجٌ رُجُوعٌ اوْ مُقَابَلَهْ
akas, tas-him, musyakalah, tazawuj, rujuk, atau mugabalah
تَوْرِيَةٌ تُدْعَى بِإِيهَامٍ لِمَا * أُرِيدَ مَعْنَاهُ الْبَعِيدُ مِنْهُمَا
badi’ tauriyah disebut juga badi’ iham, sebab makna yang dimaksudkan jauh dari kedua maknanya.
وَرُشِّحَتْ بِمَا يُلَائِمُ الْقَرِيبْ * وَجُرِّدَتْ بِفَقْدِهِ فَكُنْ مُنِيبْ
Dan – badi’ yang disertai sesuatu yang mengisyaratkan pada makna dekat dan terdapat yang dikosongkan, karena tidak adanya sesuatu itu. Maka kamu adalah orang yang kembali kepada Tuhanmu
جَمْعٌ وَتَفْرِيقٌ وَتَقْسِيمٌ وَمَعْ * كِلَيْهِمَا أَوْ وَاحِدٍ جَمْعٌ يَقَعْ
“Dan badi’ jamak, tafriq, taqsim dan tafriq jamak serta taqsim jamak juga tiba.”
وَاللَّفُّ وَالنَّشْرُ وَالِاسْتِخْدَامُ * أَيْضًا وَتَجْرِيدٌ لَهُ أَقْسَامُ
“Dan badi’ laf, nasyr, istikhdam dan tajrid, yang memiliki bagian-bagian.”
“ثُمَّ الْمُبَالَغَةُ وَصْفٌ يُدَّعَى * بُلُوغُهُ قَدْرًا يُرَى مُمْتَنِعَا
أَوْ نَائِيًا وَهْوَ عَلَى أَنْحَاءِ * تَبْلِيغٌ اغْرَاقٌ غُلُوٌّ جَائِي
Kemudian badi’ mubalaghah, yaitu mengaku adanya suatu sifat yang sampai pada ukuran yang dipandang tercegah atas mustahil adanya (pada suatu kehebatan atau terlalu lemahnya), atau jauh akan dapat dibuktikan. Badi’ mubalaghah itu terbagi atas beberapa macam, yaitu: tabligh, ighrok dan ghuluw (kelebihan itu) datang
مَقْبُولًا اوْ مَرْدُودًا التَّفْرِيعُ * وَحُسْنُ تَعْلِيلٍ لَهُ تَنْوِيعُ
Badi’ ghuluw itu ada yang dapat diterima dan ada pula yang ditolak. Adapun badi’ tafri’ dan husnut ta’lil itu bermacam-macam
وَقَدْ أَتَوْا فِي الْمَذْهَبِ الْكَلَامِي * بِحُجَجٍ كَمَهْيَعِ الْكَلَامِ
Orang arab mendatangkan badi’ madzahab kalam dengan beberapa alasan, seperti perjalanan ahli kalam.
وَأَكَّدُوا مَدْحًا بِشِبْهِ الذَّمِّ * كَالْعَكْسِ وَالْإِدْمَاجُ مِنْ ذَا الْعِلمِ
Orang arab menguatkan pujian dengan seperti celaan, seperti sebaliknya juga (yakni: mencela seperti memuji). Adapun badi’ idmaji termasuk dalam ilmu ini juga
وَجَاءَ الِاسْتِتْبَاعُ وَالتَّوْجِيهُ مَا * يَحْتَمِلُ الْوَجْهَيْنِ عِنْدَ الْعُلَمَا
badi’ istiba’ dan badi’ taujih, yaitu badi yang dapat mengandung dua wajah menurut ulama
وَمِنْهُ قَصْدُ الْجَدِّ بِالْهَزْلِ كَمَا * يُثْنَى عَلَى الْفَخُورِ ضِدَّ مَا اعْتَمَا
sebagian badi’ adalah bermaksud sungguh-sungguh dengan perkataan main-main, seperti memuji orang yang merasa megah dengan pernyataan yang sebaliknya dari tujuan
وَسَوْقُ مَعْلُومٍ مَسَاقَ مَا جُهِلْ * لِنُكْتَةٍ تَجَاهُلٌ عَنْهُمْ نُقِلْ
menyusun perkataan yang diketahui dengan rangkaian perkataan yang tidak diketahui, karena mengandung faedah pura-pura bodoh. Itulah yang dinukil dari ulama ahli badi
وَالْقَوْلُ بِالْمُوجَبِ قُلْ ضَرْبَانِ * كِلَاهُمَا فِي الْفَنِّ مَعْلُومَانِ
qaul bil-mujab, katakan Adalah dua macam, keduanya maklum dalam fan ini
وَالِاطِّرَادُ الْعَطْفُ بِالْآبَاءِ * لِلشَّخْصِ مُطْلَقًا عَلَى الْوِلَاءِ
“Dan badi’ iththirod, yaitu mendatangkan nama beberapa bapak (anak) bagi seseorang dengan berturut-turut secara mutlak.”
Macam kedua: Lafdzi
مِنْهُ الْجِنَاسُ وَهْوَ ذُو تَمَامِ * مَعَ اتِّحَادِ الْحَرْفِ وَالنِّظَامِ
Diantara badi’ lafzhi ialah badi’ jinas, yaitu yang memiliki kesempurnaan serta sama huruf dan susunannya,
وَمُتَمَاثِلًا دُعِي إِنِ ائْتَلَفْ * نَوْعًا وَمُسْتَوْفًى إِذَا النَّوْعُ اخْتَلَفْ
dan dinamakan mutamatstsil kalau sama macamnya dan disebut, mustaufi kalau berbeda.
لَنْ تَعْرِفَ الْوَاحِدَ إِلَّا وَاحِدَا * فَاخْرُجْ عَنِ الكَوْنِ تَكُنْ مُشَاهِدَا
Seperti: Orang yang menyendiri tidak akan mengetahui, kecuali kepada Dzat Yang Esa dan keluarlah dari makhluk, kamu akan menjadi orang yang musyahadah
وَمِنْهُ ذُو التَّرْكِيبِ ذُو تَشَابُهِ * خَطًّا وَمَفْرُوقٌ بِلَا تَشَابُهِ
Badi’ jinas taam ada yang tersusun (murokkab), yang serupa tulisannya, dan yang tidak serupa disebut mafruq
وَإِنْ بِهَيْئَةِ الْحُرُوفِ اخْتَلَفَا * فَهْوَ الَّذِي يَدْعُونَهُ الْمُحَرَّفَا
“Kalau berbeda keadaan hurufnya, para ulama menamakannya dengan muharrof.”
وَنَاقِصٌ مَعَ اخْتِلَافٍ فِي الْعَدَدْ * وَشَرْطُ خُلْفِ النَّوْعِ وَاحِدٌ فَقَدْ
Kedua, badi’ naqish, dengan syarat berbeda bilangan huruf dan macamnya, tetapi cukup dengan berbeda sehuruf saja.
وَمَعْ تَقَارُبٍ مُضَارِعًا أُلِفْ * وَمَعْ تَبَاعُدٍ بِلَاحِقٍ وُصِفْ
Dan bersama susunan yang berdekatan disebut mudhari’, dan bersama susunan yang berjauhan disebut laahig
وَهْوَ جِنَاسُ الْقَلْبِ حَيْثُ يَخْتَلِفْ * تَرْتِيبُهَا لِلْكُلِّ وَالْبَعْضِ أَضِفْ
Badi’ jinas naqish, jika sekiranya berbeda tertibnya dan mengidhafahkan pada semuanya dan kepada sebagiannya adalah dinamakan jinas qolab
مُجَنَّحًا يُدْعَى إِذَا تَقَاسَمَا * بَيْتًا فَكَانَ فَاتِحًا وَخَاتِمَا
Disebut jinas qolab mujannah, bila dua lafal itu terbagi dalam satu bait, yang satu pada permulaan bait dan yang satu lainnya pada akhirnya.
وَمَعْ تَوَالِي الطَّرَفَيْنِ عُرِفَا * مُزْدَوِجًا كُلُّ جِنَاسٍ أُلِفَا
Dan apabila berurut-turut ujungnya menurut adat, adalah disebut jinas qolab muzdawwaj.
تَنَاسُبُ اللَّفْظَيْنِ فِي اشْتِقَاقِ * وَشِبْهِهِ فَذَاكَ ذُو الْتِحَاقِ
Kesesuaian dua lafaz dalam mustaqnya dan yang menyerupainya, yang demikian itu disebut jinas mulhaq
وَيَرِدُ التَّجْنِيسُ بِالْإِشَارَةِ * مِنْ غَيْرِ أَنْ يُذْكَرَ فِي الْعِبَارَةِ
“Dan datang badi’ jinas dengan isyarah, yang tidak disebut dalam ibaratnya.”
وَمِنْهُ رَدُّ عَجُزِ اللَّفْظِ عَلَى * صَدْرٍ فَفِي نَثْرٍ بِفَقْرَةٍ جَلَا
مُكْتَنِفًا وَالنَّظْمِ الُاولَى أَوَّلَا * آخِرَ مِصْرَاعٍ فَمَا قَبْلُ تَلَا
مُكَرَّرًا مُجَانِسًا وَمَا الْتَحَقْ * يَأْتِي كَـَخْشَ النَّاسَ وَاللهُ أَحَقّْ
Dari sebagian badi’ jinas lafaz ada lagi badi’’ yang kembali ke ujung lafal permulaannya yang jelas pada bentuk natsar dengan farqoh (susunan kalam), sambil melingkupi (mengepung) dan dalam nazham. Lafal pertama didahulukan, lalu ada lafal yang terbaca sebelum akhir mishro’ kedua (yakni: diselang lafal lain). Lafal itu datang sambil diulang-ulang, sejenis dan semulhag, seperti: (dan kamu takut kepada manusia, padahal Allah jualah yang berhak untuk kamu takuti
Pasal tentang sajak
وَالسَّجْعُ فِي فَوَاصِلٍ فِي النَّثْرِ * مُشْبِهَةً قَافِيَةً فِي الشِّعْرِ
sajak dalam fashilah (kalimat akhir) dalam kalam natsar itu seperti gofiyah dalam kalam syi’ir
ضُرُوبُهُ ثَلَاثَةٌ فِي الْفَنِّ * مُطَرَّفٌ مَعَ اخْتِلَافِ الْوَزْنِ
مُرَصَّعٌ إِنْ كَانَ مَا فِي الثَّانِيَهْ * أَوْ جُلُّهُ عَلَى وِفَاقِ الْمَاضِيَهْ
وَمَا سِوَاهُ الْمُتَوَازِي فَادْرِي * كَـ(سُرُرٍ مَرْفُوعَةٍ) فِي الذِّكْرِ
macam-macamnya ada tiga macam dalam fan int, yaitu:
- Muthorrof dengan perbedaan wazan (namun huruf akhirnya sama);
- Muroshsho’ kalau lafal pada faqroh kedua atau kebanyakannya sesuai dengan faqroh yang pertama.
- Mutawazi, seperti: sururin marfuah dalam Alquran.
أَبْلَغُ ذَاكَ مُسْتَوٍ فَمَا تُرَى * أُخْرَى الْقَرِينَتَيْنِ فِيهِ أَكْثَرَا
Sajak yang paling balaghah (terbaik) ialah yang sama faqrohnya, lalu kau lihat faqroh yang akhir dari kedua faqroh itu lebih banyak (panjang).
وَالْعَكْسُ إِنْ يَكْثُرْ فَلَيْسَ يَحْسُنُ * وَمُطْلَقًا إِعْجَازُهَا تُسَكَّنُ
Adapun sebaliknya, yaitu faqroh pertama lebih panjang dari faqroh kedua, tidak baik dan kamu boleh menyukunkan (mematikan) ujung garinah dengan mutlak (sama i’rab kalimatnya maupun tidak).”
وَجَعْلُ سَجْعِ كُلِّ شَطْرٍ غَيْرَمَا * فِي الْآخَرِ التَّشْطِيرُ عِنْدَ الْكُرَمَا
menjadikan sajak pada setiap syathor bait selain yang terakhir dinamakan sajak tasythir demikian menurut ulama. Dan sajak tasythir itu ialah menjadikan dua syathor bait sebagai sajak yang berbeda dengan syathor bait lainnya.
Pasal tentang Muwazanah
ثُمَّ الْمُوَازَنَةُ وَهْيَ التَّسْوِيَهْ * لِفَاصِلٍ فِي الْوَزْنِ لَا فِي التَّقْفِيَهْ
Kemudian badi’ jinas muwazanah itu sama kedua fashilahnya dalam wazannya, tetapi tidak sama dalam Qofiyahnya (ujung kalimatnya).
وَهْيَ الْمُمَاثَلَةُ حَيْثُ يَتَّفِقْ* فِي الْوَزْنِ لَفْظُ فَقْرَتَيْهَا فَاسْتَفِقْ
Dan ada pula badi’ mumatsalah jika ternyata sama wazan lafal farqohnya, amalkanlah olehmu!
وَالْقَلبُ وَالتَّشْرِيعُ وَالْتِزَامُ مَا * قَبْلَ الرَّوِيِّ ذِكْرُهُ لَنْ يَلْزَمَا
Dan badi’ qolab, tasyri’ dan iltizam, yaitu mendatangkan lafal yang tidak mesti sebelum huruf rowi (huruf berbentuk fashilah).”
Sariqat
وَأَخْذُ شَاعِرٍ كَلَامًا سَبَقَهْ * هُوَ الَّذِي يَدْعُونَهُ بِالسَّرِقَهْ
syair yang mengambil perkataan dari syi’ir orang lain yang mendahuluinya, itulah yang ulama namakan dengan badi’ sarigoh
وَكُلُّ مَا قُرِّرَ فِي الْأَلْبَابِ * أَوْ عَادَةٍ فَلَيْسَ مِنْ ذَا الْبَابِ
“Setiap sesuatu (syi’iran) yang ditetapkan dengan akal atau adat, tidak termasuk sariqah ini.” (Boleh jadi hanya karena adanya persamaan dalam pemrkirannya atau salah satunya yang lebih dari pemikiran yang lainnya).
وَالسَّرِقَاتُ عَنْدَهُمْ قِسْمَانِ * خَفِيَّةٌ جَلِيَّةٌ، وَالثَّانِي
تَضَمُّنُ الْمَعْنَى جَمِيعًا مُسْجَلَا * أَرْدَاهُ الِانْتِحَالُ مَا قَدْ نُقِلَا
بِحَالِهِ وَأَلْحَقُوا الْمُرَادِفَا * بِهِ وَيُدْعَى مَا أَتَى مُخَالِفَا
لِنَظْمِهِ إِغَارَةً وَحُمِدَا * حَيْثُ مِنَ السَّابِقِ كَانَ أَجْوَدَا
“Menurut ulama, badi’ sariqah itu ada dua bagian, yaitu yang samar dan yang jelas.
Adapun yang kedua, yaitu lafal yang menyimpan makna lafal yang terdahulu secara keseluruhannya dengan mutlak (dengan lafalnya secara keseluruhan atau sebagiannya dan atau maknanya saja).
Adapun yang terendah, ialah menurut lafal yang dinukil dengan semua tingkahnya.
Ulama mengikutkan lafal yang taraduf pada badi’ sariqoh intihal (menjiplak atau menyalin).
Lafal yang datang menyalahi susunan. lafal terdahulu, disebut: Sariqoh ighoroh (karena menggubah kalimat asal atau mengambil sebagiannya saja).
Sekiranya syi’iran yang kedua lebih baik dari yang terdahulu, adalah mendapatkan pujian.”
وَأَخْذُهُ الْمَعْنَى مُجَرَّدًا دُعِي * سَلْخًا وَإِلْمَامًا وَتَقْسِيمًا فَعِي
“Adapun jika mengambil maknanya saja, adalah disebut: salakh dan ilmam (menanggalkan atau melebur). Kamu harus memelihara pembagian itu.” –
Al-Sariqat al-Khafiyyah
وَمَا سِوَى الظَّاهِرِ أَنْ يُغَيَّرَا * مَعْنًى بِوَجْهٍ مَا وَمَحْمُودًا يُرَى
Badi’ sariqoh selain yang jelas, ada pula yang mengubah makna dengan cara yang halus dan dipandang baik
كَنَقْلٍ اوْ خَلْطٍ شُمُولِ الثَّانِي * أَوَ قَلْبٍ اوْ تَشَابُهِ الْمَعَانِي
أَحْوَالُهُ بِحَسَبِ الْخَفَاءِ * تَفَاضَلَتْ فِي الْحُسْنِ وَالثَّنَاءِ
seperti memindahkan atau mencampurkan atau mencakup keduanya (pada kalam terdahulu) dan qolab (yang kedua kebalikan yang pertama) atau kedua-duanya serupa maknanya. Adapun derajat (tingkatan) badi’ sariqoh ini (baik atau tidaknya) adalah dengan memperhitungkan kesamarannya. Saling lebih-melebihi pada kebaikan dan pujiannya.”
Iqtibas
وَالِاقْتِبَاسُ أَنْ يُضَمَّنَ الْكَلَامْ * قُرْآنًا اوْ حَدِيثَ سَيِّدِ الْأَنَامْ
“Badi’ iqtibas ialah kalam yang tersimpan Alquran atau hadis junjungan seluruh makhluk.”
وَالِاقْتِبَاسُ عِنْدَهُمْ ضَرْبَانِ * مُحَوَّلٌ وَثَابِتُ الْمَعَانِي
Menurut ulama, badi’ iqtibas ada dua bagian, yaitu: Muhawwal (diubah lafalnya), dan Tsabitul Ma‘ani (tetap maknanya).
وَجَائِزٌ لِوَزْنٍ اوْ سِوَاهُ * تَغْيِيرُ نَزْرِ اللَّفْظِ لَا مَعْنَاهُ
Boleh diubah sedikit lafalnya sebab kebutuhan wazan atau lainnya, bukan maknanya
Tadmin, Hal, Aqd
وَالْأَخْذُ مِنْ شِعْرٍ بِعَزْوِ مَا خَفِي * تَضْمِينُهُمْ وَمَا عَلَى الْأَصْلِ يَفِي
بِنُكْتَةٍ أَجَلُّهُ وَاغْتُفِرَا * يَسِيرُ تَغْيِيرٍ وَمَا مِنْهُ يُرَى
بَيْتًا فَأَعْلَى بِاسْتِعَانَةٍ عُرِفْ * وَشَطْرًا اوْ أَدْنَى بِإِيدَاعٍ أُلِفْ
“Mengambil syi’iran orang lain dengan menisbatkan/ mengingatkan syi’iran itu dengan samar (kepada syi’iran asalnya), itulah yang dimaksudkan dengan tadhmin, demikian menurut ulama. Adapun syi’iran (baru) yang melampaui atau melebihi (syi’iran lain) karena ada gunanya, itulah yang terbaik. Dan adapun syi’iran yang kelihatan diambil satu bait saja, adalah disebut ida’ yang disusun.” .
وَالْعَقْدُ نَظْمُ النَّثْرِ لَا بِالِاقْتِبَاسْ * وَالْحَلُّ نَثْرُ النَّظْمِ فَاعْرِفِ الْقِيَاسْ
“Adapun badi’ aqod, ialah menazhamkan natsar, bukan dengan cara igtibas, dan badi’ hill ialah menatsarkan nazham, ketahuilah akan Qias.
وَاشْتَرَطُوا الشُّهْرَةَ فِي الْكَلَامِ * وَالْمَنْعُ أَصْلُ مَذْهَبِ الْإِمَامِ
Dan para ulama telah mensyaratkan harus masyhur kalamnya. Adapun adanya cegahan, yang demikian itu datang dari mazhab Imam Maliki.”
Talmih
إِشَارَةٌ لِقِصَّةٍ شِعْرٍ مَثَلْ * مِنْ غَيْرِ ذِكْرِهِ فَتَلْمِيحٌ كَمُلْ
isyarat (pengindikasian) pada suatu kisah atau syl’iran atau contoh dengan tidak menerangkan asalnya, maka yang demikian itulah yang dinamakan talmih, sempurnakanlah!”
تَذْنِيبٌ فِي أَلْقَابٍ مِنَ الْفَنِّ
Pelengkap tentang laqab-laqab fan ilmu Badi’
مِنْ ذَلِكَ التَّوْشِيعُ وَالتَّرْدِيدُ * تَرْتِيبٌ اخْتِرَاعٌ اوْ تَعْدِيدُ
sebagian nama-nama fan badi’ ialah: badi’ tausyi’; tardid,; tartib, ikhtiro’ atau ta’did,
كَـ(التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونْ * اَلسَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونْ)
seperti: orang-orang yang taubat, orang-orang yang meyembah, orang-orang yang memuji, orang-orang yang melakukan perjalanan, orang-orang yang rukuk, orang-orang yang sujud
تَطْرِيزٌ اوْ تَدْبِيجٌ اسْتِشْهَادُ * إِيضَاحٌ ائْتِلَافٌ اسْتِطْرَادُ
“Badi’ tahtriz; tadbij; isisyad; idhoh; i’tilaf dan istithrod.”
إِحَالَةٌ تَلوِيحٌ اوْ تَخْيِيلُ * وَفُرْصَةٌ تَسْمِيطٌ اوْ تَعْدِيلُ
Badi ihalah, talwih, takhyiil, fursah, tasmit, tadil
تَحْلِيَةٌ أَوْ نَفْلٌ اوْ تَخَتُّمُ * تَجْرِيدٌ اسْتِقْلَالٌ اوْ تَهَكُّمُ
“Badi’ tahliyah; naqal; takhottum, tajrid; istiqlal; tahakkum.”
تَعْرِيضٌ اوْ إِلغَازٌ ارْتِقَاءُ * تَنْزِيلٌ اوْ تَأْنِيسٌ اوْ إِيمَاءُ
“Badi’ ta’ridh; ilghoz, irtiqo’; tanzil, ta’nis atau imaa’.”
حُسْنُ الْبَيَانِ وَصْفٌ اوْ مُرَاجَعَهْ * حُسْنُ تَخَلُّصٍ بِلَا مُنَازَعَهْ
“Badi’ husnul bayaan,; roshfun, muroja’ah, husnul takhollush; tanpa perebutan.”
Pasal tentang yang tidak dianggap berdusta
وَلَيْسَ فِي الْإِيهَامِ وَالتَّهَكُّمِ * وَلَا التَّغَالِي بِسِوَى الْمُحَرَّمِ
مِنْ كَذِبٍ وَفِي الْمِزَاحِ قَدْ لَزِبْ * بِحَيْثُ لَا مَنْدُوحَةٌ عَنِ الْكَذِبْ
“Tidak termasuk dusta suatu perkataan yang disamarkan, memperolok-olok dan menghebatkan, selain dengan cara yang diharamkan (tidak keterlaluan) dan ketika berkelakar (bercanda), karena sesungguhnya —yang demikian itu sudah biasa, sekira tidak ada jalan lain, selain —harus berdusta.” : |
Penutup
وَيَنْبَغِي لِصَاحِبِ الْكَلَامِ * تَأَنُّقٌ فِي الْبَدْءِ وَالْخِتَامِ
بِمَطْلَعٍ سَهْلٍ وَحُسْنِ الْفَالِ * وَسَبْكٍ اوْ بَرَاعَةِ اسْتِهْلَالِ
“Seyogianya bagi seorang pembicara, agar merangkai pembicaraan yang baik —sejak permulaan kata dan hingga penutupnya, dengan mengedepankan perkataan yang baik (menarik melebihi perkataan lainnya). Sebab, rangkaian kata yang baik itu (mudah dibaca dan dipahami), baik susunannya maupun baro’atul istihlal-nya.”
وَالْحُسْنُ فِي تَخَلُّصٍ أَوِ اقْتِضَابْ * وَفِي الَّذِي يَدْعُونَهُ فَصْلَ الْخِطَابْ
Dan baik —pula dalam pemindahan suatu uraian atau pemindahannya pada suatu perkataan yang serasi dan pada susunannya yang oleh para ulama disebut dengan fasal khithob.
وَمِنْ صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي الْخِتَامِ * إِرْدَافُهُ بِمُشْعِرِ التَّمَامِ
Dan tanda baik penutupnya, yaitu memberi tahu akan ditutupnya suatu perkataan
هَذَا تَمَامُ الْجُمْلَةِ الْمَقْصُودَهْ * مِنْ صَنْعَةِ الْبَلَاغَةِ الْمَحْمُودَهْ
Ini adalah peyempurna jumlah yang dimaksud dari karya ilmu balaghah yang terpuji
ثُمَّ صَلَاةُ اللهِ طُولَ الْأَمَدِ * عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدِ
“Kemudian rahmat Allah sepanjang masa bagi Nabi Mushthofa yang bernama Muhammad.”
وَآلِهِ وَصَحْبِهِ الْأَخْيَارِ * مَا غَرَّدَ الْمُشْتَاقُ بِالْأَسْحَارِ
“Bagi keluarga dan sahabatnya yang baik-baik, selama masih memperindah suaranya orang yang merindukan ketika tengah malam (waktu sahur).”
وَخَرَّ سَاجِدًا إِلَى الْأَذْقَانِ * يَبْغِي وَسِيلَةً إِلَى الرَّحْمَنِ
“Dan selama masih sujud kepada dagunya (hamparan bumi) mencari wasilah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah.”
تَمَّ بِشَهْرِ الْحِجَّةِ الْمَيْمُونِ * مُتِمِّ نِصْفِ عَاشِرِ الْقُرُونِ
“Tamat pada bulan haji yang mengandung berkah, yang menamatkan separo dari sepuluh kurun (yakni tahun 950 H.).”