Kitab Matan Jazariyah Dan Terjemah [PDF]

(1) يَقُولُ رَاجِي عَفْوِ رَبٍّ سَامِعِ ۞ مُحَمَّدُ بْنُ الْجَزَرِىِّ الشَّافِعِي

Akan berkata seseorang yang mengharap ampunan dari Allaah ﷻ Rabb yang
Maha Mendengar: Syamsuddin Abul Khair Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Yuusuf Al-Jazariy Ad-Dimasyqi Asy-Syaafi’i.

(2) الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ ۞ عَلَى نَبِيِّهِ وَمُصْطَفَاهُ

Segala puji bagi Allaah ﷻ dan shalawat (rahmat) dari Allaah ﷻ atas nabi-Nya dan manusia pilihan-Nya,

(3) مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِه ۞ وَمُقْرِئِ الْقُرْآنِ مَعْ مُحِبِّه

Yaitu Rasuulullaah Muhammad bin Abdullaah juga seluruh keluarga dan para sahabatnya, serta para Muqriil Quran dan para pecintanya.

(4) وَبَعْدُ إِنَّ هَذِهِ مُقَدِّمَه ۞ فيماَ عَلَى قَارِئِهِ أَنْ يَعْلَمهْ

Kemudian setelah itu, sesungguhnya kitab ini merupakan Muqaddimah (pendahuluan) yang berisi mengenai apa-apa yang wajib dipelajari oleh para pembaca Al-Quran.

(5) إذْ وَاجِبٌ عَلَيْهِمُ مُحَتّمُ ۞ قَبْلَ الشُرُوعِ أَوَّلاً أَنْ يَعْلَمُوا

Maka wajib secara mutlak bagi para pembaca Al-Quran, sebelum mereka mulai membaca Al-Quran, hendaklah terlebih dahulu memahami,

(6) مَخَارِجَ الْحُرُوفِ وَالصِّفَاتِ ۞ لِيَلْفِظُوا بِأَفْصَحِ اللُغَاتِ

Tempat-tempat keluarnya huruf hijaiyah serta sifat-sifat yang mengiringinya, agar mereka bisa mengucapkan huruf demi huruf tersebut dengan bahasa yang paling fasih.

(7) مُحَررِي التَّجْوِيدِ وَالمَوَاقِف ۞ وَما الَّذِي رُسِّمَ في المَصاَحِفِ

Menguasai dan mampu menerapkan kaidah-kaidah tajwid juga kaidah-kaidah waqaf (cara berhenti dan memulai membaca Al-Quran) dengan baik dan benar, serta memahami apa-apa yang tertulis pada mushaf-mushaf ‘Utsmani,

(8) مِنْ كُلِّ مَقْطُوعٍ وَمَوْصُولٍ بِهَا ۞ وَ تَاءِ أُنْثَى لَمْ تَكُنْ تُكْتَبْ بِـ :هَا

Yaitu dari mulai mengenai dua kata yang tertulis disambung atau dipisah, juga mengenai penulisan huruf Ta ta’nits (huruf Ta yang digunakan untuk menunjukkan perempuan/ feminin) yang tidak ditulis dengan Ta marbuthah (yakni Ta yang berbentuk seperti huruf Ha dengan dua titik di atasnya), padahal biasanya Ta ta’nits ditulis dengan Ta marbuthah bukan Ta maftuhah (Ta asli).

(9) … مَخَارِجُ الحُروفِ سَبْعَةَ عَشَرْ ۞ عَلَى الْذِي يَخْتَارُهُ مَنِ اخْتَبَرْ

Tempat-tempat keluar huruf hijaiyah itu berjumlah 17 (tujuh belas) tempat untuk 29 (dua puluh sembilan) huruf, berdasarkan pendapat yang terpilih dari para Ulama Ahli Qiraah. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Ibnul Jazariy.

(10) … لِلْجَوْفِ: أَلِفٌ وَ أُخْتَاهَا ، وَهِي ۞ حُرُوفُ مَدٍّ لِلْهَوَاءِ تَنْتَهِي

Maka pada rongga yang mencakup rongga tenggorokan hingga rongga mulut, terdapat Alif dan saudari-saudarinya yakni huruf-huruf mad (Wawu mad dan Ya mad)
yang berhenti seiring dengan berhentinya nafas.

(11) … ثُمَّ لأَقْصَى الحَلْقِ هَمْزٌ هَاءُ ۞ وَمِنْ وَسَطِهِ : فَعَيْنٌ حَاءُ

Kemudian pada tenggorokan yang paling jauh dari rongga mulut, tepatnya pada pangkal pita suara (laring), keluar dua huruf: Hamzah dan Ha. Kemudian pada tenggorokan bagian tengah, yakni pada katup epiglotis (lisaanul mizmaar) keluar huruf ‘Ain dan Ha,

(12) … أَدْنَاهُ غَيْنٌ خَاؤُهَا والْقَافُ ۞ أَقْصَى اللِّسَانِ فَوْقُ ثُمَّ الْكَافُ

 Pada tenggorokan yang paling dekat dengan rongga mulut, keluar huruf Ghain dan Kha, tepatnya merupakan persentuhan antara bagian belakang lidah (jadzrul lisaan) dengan ujung uvula, yakni daging yang tersambung dengan langit-langit dan merupakan persimpangan antara rongga mulut dengan rongga hidung, dekat dengan orofaring (faring bagian tengah).
Adapun huruf Qaf keluar dari pangkal lidah yang bersentuhan dengan langit- langit atas, yakni langit-langit yang lunak.
Kemudian huruf Kaf…

(13) … أَسْفَلُ وَالوَسْطُ فَجِيمُ الشِّينُ يَا ۞ وَالضَّادُ مِنْ حَافَتِهِ إِذْ وَلِيَا

Tempat keluarnya di bawah huruf Qaf, yakni persentuhan antara pangkal lidah dengan langit-langit yang keras dan yang lunak sekaligus, sedikit di bawah tempat keluarnya huruf Qaf.
Pada tengah lidah keluar huruf Jim bila disentuhkan ke langit-langit, serta keluar huruf Syin dan Ya bila digerakkan mendekati langit-langit.
Huruf Dhad keluar dari sisi lidah yang memanjang dari pangkal lidah hingga ke ujung lidah, saat bersentuhan dengan…

(14) … اَلأضْرَاسَ مِنْ أَيْسَرَ أَوْ يُمْنَاهَا ۞ وَاللاَّمُ أَدْنَاهَا لمُنْتَهَاهَا

Gigi geraham, baik yang sebelah kiri ataupun sebelah kanan, bahkan bisa juga kedua sisi lidah disentuhkan dengan gigi geraham yang kiri dan yang kanan sekaligus.
Huruf Lam keluar dari ujung sisi lidah yang merupakan akhir dari tempat keluarnya huruf Dhad di sebelah kiri melingkar hingga sebelah kanan, melalui akhir dari ujung sisi lidah pada bagian depan (kepala lidah). Disentuhkan dengan langit-langit yang dekat dengan gusi gigi seri atas.

(15) … وَالنُّونُ مِنْ طَرَفِهِ تَحْتُ اجْعَلُوا ۞ وَالرَّا يُدَانِيهِ لِظَهْرٍ أَدْخَلُوا

 Dan huruf Nun keluar dari ujung lidah yang bersentuhan dengan langit-langit di bawah tempat keluarnya huruf Lam, lebih dekat ke gusi gigi seri atas.
Adapun huruf Ra keluar dekat dengan tempat keluarnya huruf Nun, namun sedikit masuk ke punggung lidah, yakni bagian ujung lidah yang dekat dengan tengah lidah.

(16) … وَالطَّاءُ وَالدَّالُ وَتَا مِنْهُ وَمِنْ ۞ عُلْيَا الثَّنَايَا والصَّفِيرُ مُسْتَكِنْ

Huruf Tha, Dal, dan Ta keluar dari bagian ujung lidah yang bersentuhan dengan bagian belakang gigi seri atas. Huruf-huruf Shafir (yakni Shad, Zay, dan Sin) keluar bila ujung lidah tegak/ sejajar…

(17) … مِنْهُ وَمِنْ فَوْقِ الثَّنَايَا السُّفْلَى ۞ وَالظَّاءُ وَالذَّالُ وَثَا لِلْعُلْيَا

Dan mendekat ke atas gigi seri bawah. Adapun huruf Zha, Dzal, dan Tsa lebih tinggi lagi,

(18) … مِنْ طَرْفَيْهِما وَمِنْ بَطْنِ الشَّفَهْ ۞ فَالْفَا مَعَ اطْرافِ الثَّنَايَا المُشْرِفَهْ

 Yakni keluar dari persentuhan ujung lidah dengan ujung gigi seri atas. Dan dari perut bibir bawah yang bersentuhan dengan ujung gigi seri atas keluar huruf Fa.

(19) … للشَّفَتَيْنِ الْوَاوُ بَاءٌ مِيمُ ۞ وَغُنَّةٌ مَخْرَجُهَا الخَيْشُومُ

 Dari dua bibir keluar huruf Wawu, Ba, dan Mim. Sedangkan huruf-huruf Ghunnah (suara dengung pada Nun dan Mim) tempat keluarnya adalah rongga hidung.

(20) صِفَاتُهَا جَهْرٌ وَرِخْوٌ مُسْتَفِلْ ۞ مُنْفَتِحٌ مُصْمَتَةٌ وَالضِّدَّ قُلْ

 Sifat-sifat huruf itu di antaranya: Jahr (jelas/ tertahannya udara), Rakhawah (mengalirnya suara), Istifal (merendahnya lidah), Infitah (terbukanya lidah dengan langit-langit), dan Ishmat (lebih sulit keluar). Mereka merupakan sifat-sifat yang memiliki lawan. Adapun lawan-lawannya adalah:

(21) مَهْمُوسُهَا (فَحَثّهُ شَخْصٌ سَكَتَ) ۞ شَدِيدُهَا لَفْظُ (أَجِدْ قَطٍ بَكَتْ)

Sifat Hams (mengalirnya udara) yang merupakan lawan dari sifat Jahr huruf- hurufnya terkumpul pada kalimat “Fahatstsahu Syakhshun Sakat”, yakni huruf Fa, Ha, Tsa, Syin, Kha, Shad, Sin, Kaf, dan Ta.

Sifat Syiddah (kuat/ tertahannya suara), yang merupakan lawan dari sifat Rakhawah, huruf-hurufnya “Ajid Qathin Bakat”, yakni Hamzah, Jim, Dal, Qaf, Tha, Ba, Kaf, dan Ta.

(22) وَبَيْنَ رِخْوٍ وَالشَّدِيدِ ( لِنْ عُمَرْ) ۞ وَسَبْعُ عُلْوٍ خُصَّ ضَغْطٍ قظْ حَصَرْ

Dan di antara sifat Rakhawah dan Syiddah ada sifat pertengahan (bayniyah/ tawassuth), yang huruf-hurufnya terkumpul dalam “Lin ‘Umar”, yakni Lam, Nun, ‘Ain, Mim, dan Ra.

Dan ada tujuh huruf yang lidah tegang dan terangkat saat mengucapkannya (Isti’la, lawan dari Istifal), terangkum dalam “Khushsha Dhaghthin Qizh”, yakni Kha, Shad, Dhad, Ghain, Tha, Qaf, dan Zha.

(23) وَصَادُ ضَادٌ طَاءُ ظَاءٌ مُطْبَقَه ۞ وَفَرَّ مِنْ لُبِّ الحُرُوفُ المُذْلَقَهْ

 Huruf Shad, Dhad, Tha, dan Zha merupakan huruf-huruf yang memiliki sifat Ithbaq, yakni lidah terangkat sangat tinggi hingga seolah-olah menempel langit-langit dan tidak menyisakan ruang antara lidah dengan langit-langit, merupakan lawan dari sifat Infitah.

Dan “Farra Min Lubbi”, yakni huruf Fa, Ra, Mim, Nun, Lam, dan Ba merupakan huruf-huruf yang lebih mudah dan cepat dikeluarkan (Idzlaq) dibandingkan selainnya
(Ishmat), disebabkan dekatnya dengan ujung lidah.

(24) صَفِيرُهَا صَادٌ وَزَاىٌ سِينُ ۞ قَلْقَلَةٌ قُطْبُ جَدٍّ وَاللِّينُ

Juga ada huruf-huruf yang tidak memiliki lawan, di antaranya sifat Shafir (huruf yang berdesis), yakni huruf Shad, Zay, dan Sin. Huruf-huruf yang memiliki sifat Qalqalah

Dan huruf yang memiliki sifat Liin (lembut)…

(25) وَاوٌ وَيَاءٌ سَكَنَا وَانْفَتَحَا ۞ قَبْلَهُماَ وَالاِنْحِرَافُ صُحَّحَا

Yaitu huruf Wawu dan Ya bila keduanya dalam keadaan sukun dan huruf sebelumnya berharakat fathah.

Dan sifat Inhiraf (menyimpangnya makhraj) dibenarkan…

(26) في اللاًَّمِ وَالرَّا وَبِتَكْرِيرٍ جُعلْ ۞ وَلِلتَّفَشِّي الشِّينُ ضَاداً اسْتَطِلْ

Pada huruf Lam dan Ra saja. Huruf Lam makhrajnya menyimpang ke makhrajnya Nun saat mengucapkan Lam tebal dan huruf Ra menyimpang ke makhrajnya Lam saat mengucapkan Ra tipis. Lalu huruf Ra juga memiliki sifat Takrir (getaran yang berulang).

Huruf Syin memiliki sifat Tafasysyi (udara yang berhembus deras di dalam mulut). Sedangkan huruf Dhad memiliki sifat Istithaalah, yakni memanjangnya makhraj Dhad dari sisi ujung lidah hingga ujung sisi lidah pada makhraj Lam.

(27) وَالأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْمٌ لاَزِمُ ۞ مَنْ لَمْ يُجَوْدِ الْقُرَآنَ آثِمُ

Dan mengamalkan tajwid hukumnya wajib secara mutlak. Siapa saja orang yang sengaja tidak mengamalkan tajwid saat membaca Al- Quran, maka ia berdosa.

(28) لأَنَّهُ بِهِ الإِلَهُ أَنْزَلاَ ۞ وَهَكَذَا مِنْهُ إِلَيْنَا وَصَلاَ

Karena bersama dengan tajwid Allah menurunkan Al-Quran dan cara membacanya. Serta bersama dengan tajwid pula Al-Quran dan cara membacanya sampai kepada kita.

(29) وَهُوَ أَيْضاً حِلَْيةُ التِّلاَوَةِ ۞ وَزِينَةُ الأَدَاءِ وَالْقِرَاءَةِ

Dan tajwid juga merupakan penghias bacaan Al-Quran. Bacaan Al-Quran menjadi indah karena tajwid, bukan sekedar karena indahnya suara atau langgam. Baik itu saat tilawah (tadarrus/ wiridan), adaa (talaqqi/ mengambil bacaan dari guru), ataupun qiraah, yakni membaca secara umum. Artinya, Al-Quran mesti dihiasi dengan tajwid dalam keadaan apapun.

(30) وَهُوَ إِعطْاءُ الْحُرُوفِ حَقَّهَا ۞ مِنْ صِفَةٍ لَهَا وَمُستَحَقَّهَا

Tajwid adalah memberikan setiap huruf hak, berupa sifat-sifatnya dan juga mustahaknya.

(31) وَرَدُّ كُلِّ وَاحِدٍ لأَصلِهِ ۞ وَاللَّفْظُ فِي نَظِيرِهِ كَمِثْلهِ

Tajwid juga artinya adalah mengembalikan setiap huruf ke makhraj asalnya. Yakni tidak mengucapkan huruf hijaiyah sembarangan bukan dari tempat keluar yang sebenarnya.

Serta konsisten dalam membaca lafazh-lafazh yang sama hukumnya, tidak membeda-bedakan satu sama lainnya (dalam sekali baca). Misalnya kita membaca mad wajib dengan 5 (lima) harakat pada satu ayat, maka bila bertemu dengan mad wajib di ayat yang lain, kita harus membacanya 5 (lima) harakat, dengan hitungan yang sama. Begitu pula pada hukum-hukum tajwid yang lain.

(32) مُكَمِّلاً مِنْ غَيْرِ مَا تَكَلُفِ ۞ بِاللُطْفِ فِي النُّطْقِ بِلاَ تَعَسُّف

Tajwid juga bermakna membaca Al-Quran dengan sempurna, baik dari sisi makhraj, sifat, dan hukum-hukumnya tanpa berlebih-lebihan, seperti orang yang mengucapkan Hamzah terlalu ditekan sehingga mirip orang yang muntah, atau mengucapkan mad yang dua harakat menjadi empat hingga enam harakat. Jadi usaha kita adalah mengerahkan kemampuan sekuat tenaga hingga tercapai kesempurnaan bacaan, bukan untuk melebihi kapasitas dari apa yang disyari’atkan. Lalu mengalirkan bacaan dengan pengucapan yang lembut tanpa serampangan, yakni dengan mudah dan ringan saat mengucapkannya, namun tetap memenuhi kadar ketentuan yang telah ditetapkan. Bukan mengucapkannya sembarangan dan asal-asalan semau kita.

(33) وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ تَرْكِهِ ۞ إِلاَّ رِيَاضَةُ امْرِئٍ بِفَكِّه

Dan tidak ada yang membedakan antara orang yang mengamalkan tajwid dengan orang yang meninggalkannya, kecuali latihan terus menerus secara konsisten dengan lisannya. Artinya, seseorang yang mempelajari tajwid tidak akan mendapatkan apa-apa. Ia tidak akan berbeda dengan orang yang tidak mempelajari tajwid kecuali bila ia rajin melatih ilmu yang dipelajarinya dengan konsisten dan diiringi dengan kesabaran.

(34) … فَرقَّقَنْ مُسْتَفِلاً مِنْ أَحْرُفِ … وَحَاذِرَنْ تَفْخيِمَ لَفْظِ الأَلِفِ

Dan tarqiq-kanlah (tipiskan) suara pada huruf-huruf Istifal, karena kondisi asal mereka adalah tipis (kecuali Alif, Lam, dan Ra). Serta berhati-hatilah jangan sampai men- tafkhim-kan )menebalkan) lafazh Alif bila sebelumnya huruf-huruf tarqiq.

(35) … كَهَمْزِ أَلْحَمْدُ أَعُوذُ إِهْدِنَا … أللَّهَ ثُمَّ لاَمَ لِلَّهِ لَنَا

Juga berhati-hatilah jangan sampai menebalkan huruf Hamzah, seperti pada kata “Alhamdu”, “A’uudzu”, “Ihdinaa”, dan kata “Allaah”. Kemudian berhati-hatilah jangan sampai menebalkan huruf Lam pada kata “Lillaahi”, “Lanaa”,

(36) … وَلْيَتَلَطَّفْ وَعَلَى اللَّهِ وَلاَ الضْ … وَالمِيمِ مِنْ مَخْمَصَةٍ وَمِنْ مَرَضْ

Juga kata “Walyatalaththaf”, “’Alallaahi”, dan pada kata “Waladh”. Juga berhati-hatilah jangan sampai menebalkan huruf Mim, seperti pada kata “Makhmashah”, dan “Mim Maradh”,

(37) … وَبَاءَ بَرْقٍ بَاطِلٍ بِهِمْ بِذِي … وَاحْرِصْ عَلَى الشِّدَّةِ وَالجَهْرِ الَّذِي

Juga berhati-hatilah jangan sampai menebalkan huruf Ba, seperti pada kata “Barqin”, “Baathil”, “Bihim”, dan “Bidzi”. Lalu jagalah baik-baik sifat Syiddah dan Jahr yang ada pada…

(38) … فِيهَا وَفِى الْجِيِمِ كَحُبِّ الصَّبْرِ … ورَبْوَةٍ اجْتُثَّتْ وَحَجِّ الْفَجْرِ

Huruf Ba dan Huruf Jim, seperti kalimat “Hubbi”, “Ash-Shabri”, “Rabwatin”, “Ujtutstsat”, “Hajji”, dan “Al-Fajri”. Maksudnya jangan sampai menjadikan huruf Ba menjadi huruf yang Rakhawah atau Hams, begitu pula huruf Jim, jangan sampai menyerupai huruf “C”.

(39) … وَبَيِّنَنْ مُقَلْقَلاً إِنْ سَكَنَا … وَإِنْ يَكُنْ فِي الْوَقْفِ كَانَ أَبْيَنَا

Dan jelaskanlah sifat Qalqalah bila hurufnya berada pada posisi sukun, dan bila berada di akhir kalimat (waqaf), maka Qalqalah-nya mesti lebih jelas lagi.

(40) … وَحَاءَ حَصْحَصَ أَحَطْتُ الْحَقُّ … وَسِينَ مُسْتَقِيمِ يَسْطُوا يَسْقُوا

Dan juga berhati-hatilah jangan sampai menebalkan huruf Ha, seperti pada kata “Hash-hasha”, “Ahath-tu”, “Al-Haqqu”. Begitu pun pada huruf Sin, jangan sampai menebalkannya, seperti pada kata “Mustaqiim”, “Yasthu”, dan “Yasqu”

(41) … وَرَقِّقِ الرَّاءَ إِذَا مَا كُسِرَتْ … كَذَاكَ بَعْدَ الْكَسْرِ حَيْثُ سَكَنَتْ

Dan tipiskanlah suara huruf Ra bila berharakat kasrah. Begitu pula tipiskan huruf Ra bila berada pada posisi sukun dan huruf sebelumnya kasrah (atau Ya).

(42) … إِن لَّمْ تَكُنْ مِنْ قَبْلِ حَرْفِ اسْتِعْلاَ … أَوْ كَانَت الْكَسْرَةُ لَيْسَتْ أَصْلاَ

 Huruf Ra yang berada pada posisi sukun dan sebelumnya kasrah (atau Ya) itu dibaca tipis bila huruf Ra-nya tidak berada sebelum huruf Isti’la. Adapun bila setelah huruf Ra-nya adalah huruf Isti’la, maka Ra dibaca tebal.

Begitu pun bila setelah huruf Ra-nya bukan huruf Isti’la, namun kasrah yang ada sebelum huruf Ra sukunnya bukanlah kasrah asli, melainkan kasrah ‘aridh (palsu) atau Hamzah washal, maka Ra dibaca tebal bukan tipis.

(43) … وَالْخُلْفُ فِي فِرْقٍ لِكَسْرٍ يُوجَدُ … وَأَخْفِ تَكْرِيراً إِذَا تُشَدَّدُ

Dan para Ulama berbeda pendapat pada kata “firqin” bila dibaca bersambung (washal). Apakah ia dibaca tebal atau tipis. Karena walaupun di sana setelah huruf Ra- nya terdapat huruf Isti’la (Qaf), namaun huruf Isti’la tersebut berada pada posisi kasrah, dimana ia berada pada derajat tafkhim yang sangat lemah.
Dan sembunyikanlah sifat takrir pada huruf Ra saat ia ditasydidkan. Jadi mengucapkan huruf Ra yang bertasydid bukanlah dengan memperbanyak getarannya seperti menahan huruf “R” dalam bahasa Indonesia, melainkan dengan menyembunyikan getarannya.

(44) … وَفَخِّم اللاَّمَ مِنِ اسْمِ اللَّهِ … عَنْ فَتْحٍ او ضَمٍ كَعَبْدُ اللَّهِ

Dan tebalkanlah suara huruf Lam pada lafazh “Allaah”, bila sebelum lafazh tersebut terdapat huruf yang berharakat fathah atau dhammah, seperti pada kata “’Abdullahi”. Adapun bila sebelumnya berharakat kasrah, maka huruf Lam dibaca tipis.

(45) … وَحَرْفَ الاِسْتِعْلاَءِ فَخِّمِ وَاخْصُصَا … الاِطْبَاقَ أَقْوَى نَحْوُ قَالَ وَالْعَصَا

Dan huruf-huruf Isti’la, tebalkanlah suaranya, karena kondisi asal mereka adalah tebal (tafkhim), lebih khusus lagi adalah huruf-huruf Ithbaq, maka mereka mesti lebih tebal lagi dan lebih kuat daripada huruf Isti’la yang bukan Ithbaq, contohnya seperti pada kata “Qaala” (huruf Isti’la yang bukan Ithbaq) dan “’Ashaa” (huruf Ithbaq).

(46) … وَبَيِّنِ الإِطْبَاقَ مِنْ أَحَطتُ مَعْ … بَسَطتَ وَالخُلْفُ بِنَخْلُقكُّمْ وَقَعْ

 Bila huruf-huruf Ithbaq bertemu dengan huruf-huruf Infitah, maka jelaskanlah ketebalan sifat Ithbaq-nya, seperti pada kata “Ahath-tu” dan “Basath-ta”. Adapun pada kata “Nakhlukkum” maka terdapat perbedaan pendapat dimana sebagian Ulama membawakan riwayat dengan membacanya “Nakhlukkum” dan sebagian lagi membacanya “Nakhluqkum”.

(47) … وَاحْرِصْ علَىَ السُّكُونِ فِي جَعَلْنَا … أَنْعَمْتَ وَالمَغْضُوبِ مَعْ ضَلَلْنَا

Dan jaga baik-baik kejelasan huruf dan kesempurnaan sifat-sifatnya saat sukun, seperti pada kata “Ja’alnaa”, “An’amta”, “Al-Maghdhuub”, dan “Dhalalnaa”.

(48) … وَخَلِّصِ انْفِتَاحَ مَحْذُوراً عَسَى … خَوْفَ اشْتِبَاهِهِ بِمَحْظُوراً عَصَى

 Lalu sempurnakanlah kejelasan sifat Infitah pada kata “Mahdzuuran” dan “‘Asaa”, khawatirnya akan menyerupai kata “Mahzhuuran” dan “‘Ashaa”. Maknanya, perjelas perbedaan antara huruf Dzal dengan Zha dan huruf Sin dengan Sha, juga huruf- huruf lain yang mirip agar maksud dan kandungan Al-Quran tidak berubah.

(49) … وَرَاعِ شِدَّةً بِكَافٍ وَبَتَا … كَشِرْكِكُمْ وَتَتَوَفَّى فِتْنَتَا

Dan peliharalah baik-baik sifat Syiddah yang terdapat pada huruf Kaf dan Ta. Jangan sampai Hams pada keduanya terlalu mendominasi sehingga menghilangkan sifat Syiddah pada keduanya. Sebagaimana dalam kalimat “Syirkikum”, jangan dibaca “Syirkhikhum”, “Tatawaffa” jangan dibaca “Cacawaffa”, dan “Fitnata” jangan dibaca “Ficnaca”.

(50) … وَأَوَّلَىْ مِثْلٍ وَجِنْسٍ إنْ سَكَنْ … أَدْغِمْ كَقُل رَّبِّ وَبَلَ لاَ وَأَبِنْ

Dan apabila ada dua huruf yang sama, atau sama makhrajnya namun beda sifatnya bertemu, dimana huruf yang pertama berada pada posisi sukun dan yang kedua berharakat, maka idgham-kanlah, yakni huruf pertama melebur kepada huruf yang kedua, seperti pada kata “Qul-Rabbi” yang dibaca “Qurrabbi” dan “Bal-la” yang dibaca “Balla”. Namun, izh-har-kanlah, maksudnya perjelas bunyi dari kedua huruf tersebut…

(51) … فِي يَوْمِ مَعْ قَالُوا وَهُمْ وَقُلْ نَعَمْ … سَبِّحْهُ لاَ تُزِغْ قُلُوبَ فَالْتَقَمْ

Bila huruf yang pertamanya adalah huruf Mad, seperti pada kata “Fii Yaum” tidak dibaca “Fiy Yaum”, juga kata “Qaalu Wahum” tidak dibaca “Qaaluw Wahum”. Begitu pun bila terjadi pertemuan antara huruf Lam dalam sebuah fi’il (kata kerja) dengan kata yang awal hurufnya berdekatan makhrajnya seperti pada kata “Qul Na’am” tidak dibaca “Qun Na’am”.

Perjelas juga suara kedua huruf yang berdekatan makhrajnya bila bertemu, seperti huruf Ha dan Ha pada kata “Sabih-hu” tidak dibaca “Sabbihhu”. Juga huruf Ghain dan Qaf seperti pada kata “Laa tuzigh quluuba” tidak dibaca “Laa tuziq quluuba”. Begitu pula bila huruf Lam yang terdapat pada kata kerja salam satu kata, mesti dibaca jelas, seperti pada kata “Iltaqam” tidak dibaca “Ittaqam

(52) … وَالضَّادَ بِاسْتِطَالَةٍ وَمَخْرَجِ … مَيِّزْ مِنَ الظَّاءِ وَكُلُّهَا تَجِي

Dan huruf Dhad dengan sifat Istithalah-nya bedakanlah dengan huruf Zha dalam mengucapkan keduanya. Karena sebagian pembaca Al-Quran tidak bisa membedakan keduanya. Bahkan, karena sulitnya mengucapkan huruf Dhad, begitu banyak orang yang menggantinya –selain dengan huruf Zha- juga kadang menggantinya dengan Zay, Dal, atau Shad yang tercampur dengan Zay. Begitu pula huruf Zha, mesti jelas jangan sampai tercampur dengan suara selain huruf Zha, seperti Dzal, Zay, atau
selainnya. Dan seluruh huruf Zha dalam Al-Quran terdapat pada kalimat berikut:

(53) … في الظَّعْنِ ظِلَّ الظُهْرِ عُظْمِ الْحِفْظِ … أَيْقَظْ وَانْظُرْ عَظْمِ ظَهْرِ اللَّفْظِ

Pada kata (الظَّعْنِ) artinya rihlah/ berjalan, terdapat pada satu tempat yakni QS. 
An-Nahl 16:80. Pada kata (الظِـلُّ) artinya naungan, terdapat pada 22 tempat, di
antaranya QS. Al-Baqarah 2:57 Kata (الظُهْـرِ) artinya zhuhur (siang hari), terdapat pada 2 tempat, di antaranya Qs. An-Nuur 24:58 [َوَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ الظَّهِيرَةِ]. Kata (الُعُظْمُ) artinya
besar/ dahsyat. Terdapat pada 103 tempat, di antaranya QS. Al-Baqarah, 2:7 [وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ]. Kata (الْحِفْـظِ) artinya menjaga, terdapat pada 42 tempat, salah satunya QS. Al-Baqarah, 2: 238 [َحَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ].

Kata (أيْقِـظْ) artinya bangun/ terjaga. Terdapat pada satu tempat yakni QS. Al-Kahfi 18:18 [وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا]. Kata (الإنظار) artinya penangguhan, terdapat pada 20 tempat,
di antaranya QS. Al-Baqarah 2:162 [َلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنظَرُونَ]. Kata (َالعَظْم ) artinya
tulang, terdapat pada 15 tempat, di antaranya QS. Al-Baqarah, 2: 259 [وَانظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا]. Kata (الظَهْـرِ) artinya punggung, terdapat pada 16 tempat, salah satunya QS. Al-
Baqarah, 2: 101 [َوَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ]. Kata (اللَّـفْـظ) artinya lafazh (ucapan), terdapat
pada satu tempat yakni QS. Qaaf, 50:18 [مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ ]

(54) … ظَاهِرْ لَظَى شُوَاظِ كَظْمٍ ظَلَمَا … أُغْلُظْ ظَلامَ ظُفْرٍ انْتَظِرْ ظَمَا

 Kata (َظَاهِرَ) artinya zhahir (fisik), terdapat pada banyak tempat dalam Al-Quran, salah satunya QS. Al-An’aam, 6: 120 [وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ]. Kata (لَظَـى) artinya api yang menyala-nyala, terdapat pada 2 tempat, salah satunya QS. Al-Ma’arij, 70: 15 [كَلَّا ۖ إِنَّهَا لَظَىٰ]. Kata (شُـوَاظُ) nyala/ kobaran, terdapat pada satu tempat yakni QS. Ar-Rahman, 55:35 [يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ]. Kata (كَـظْـمٍ) artinya menahan, terdapat pada 6 tempat, salah satunya QS. Ali ‘Imran, 3:134 [وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ]. Kata (الظلم) artinya zhalim, terdapat pada 288 tempat, di antaranya QS. Al-Baqarah, 2: 35 [وَلَا تَقْرَبَا هَـٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ].

Kata (الغلظ) artinya kasar/ keras, terdapat pada 13 tempat, di antaranya QS. Ali ‘Imran, 3: 159 [ْوَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ ]. Kata (الظلَام), artinya kegelapan, terdapat pada 26 tempat, di antaranya QS. Al-Baqarah, 2: 17 [َوَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَّا يُبْصِرُونَ]. Kata (ْظفر) artinya kuku/ cakar, terdapat pada satu tempat, yakni QS. Al-An’am, 6: 146 [وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ]. Kata [الإنتظار] artinya menanti/ menunggu, terdapat pada 26 tempat, di antaranya QS. AL-Baqarah, 2: 210 [هَلْ يَنظُرُونَ إِلَّا أَن يَأْتِيَهُمُ اللَّـهُ]. Kata (َالظمأ) artinya haus, terdapat pada 3 tempat, di antaranya QS. At-Tawbah, 9:120 [لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ].

(55) … أَظْفَرَ ظَنَّاً كَيْفَ جَا وَعَظْ سِوَى … عِضِينَ ظَلَّ النَّحْلُ زُخْرُفٍ سَوَا

Kata (الظفَر ) artinya kemenangan, terdapat pada satu tempat, yakni QS. Al-Fath, 48: 24 [ْمِن بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ]. Kata (الظن), artinya prasangka (bagaimana pun bentuknya dalam Al-Quran), terdapat pada 69 tempat, di antaranya, QS. Al-Ahzaab, 33:10 [وَتَظُنُّونَ بِاللَّـهِ الظُّنُونَا]. Kata (َالوَعْظ) artinya nasihat, terdapat pada 24 tempat, di antaranya QS. Al-Baqarah, 2: 66 [وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ ] kecuali kata (عِضِيْن). QS. Al-Hijr, 15: 91 Dibaca dengan “Dhad”.

Kata (َّظل), artinya menjadi, terdapat pada 9 tempat, di antaranya pada An-Nahl (58) dan Az-Zukhruuf (17) [ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ],

(56) … وَظَلْتُ ظَلْتُمْ وَبِرُومٍ ظَلُّوا … كَالْحِجُرِ ظَلَّتْ شُعَرَا نَظَلُّ

 Dan juga pada bentuk-bentuk berikut: Kata (ْظَـلَّـتْ) pada QS. Thaaha (97) [ ظلت عليه عاكفا]. Kata (ْظَلْـتُـمْ) pada QS. Al-Waaqi’ah (65) [فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ]. Dan pada QS. Ar-Ruum (51)dengan bentuk (لَّظَلُّوا مِن بَعْدِهِ يَكْفُرُونَ] juga pada QS. Al-Hijr (14) [ُ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ]. Dan dengan bentuk (ظلَّت) pada QS. Asy-Syu’ara (4) [َ فَظَلَّتْ أَعْنَاقُهُمْ لَهَا خَاضِعِينَ] dan bentuk (ََنَظَلُ) pada ayat (71) [ فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ]

(57) … يَظْلَلْنَ مَحْظُورَاً مَعَ المُحْتَظِر … وَكُنْتَ فَظَّاً وَجَمِيعٍ النَّظَرِ

Dan dengan bentuk (َيَظْلَلْـنَ) pada QS. Asy-Syuura (33) [فَيَظْلَلْنَ رَوَاكِدَ عَلَىٰ ظَهْرِهِ]

Kata (الحظر) artinya terhalang, terdapat pada satu tempat, yakni QS. Al-Isra, 17:20 [وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا]. Kata (مَحْظُورًا), artinya pohon dan duri-duri kering yang dijadikan kandang binatang, terdapat pada satu tempat, yakni QS. Al-Qamar (31) [فَكَانُوا كَهَشِيمِ الْمُحْتَظِرِ ]. Kata [ظا] terdapat pada Ali ‘Imran (159) [وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ]. Dan seluruh kata (النَّظر) yang artinya menyaksikan, terdapat pada 86 tempat, di antaranya QS. Al-Baqarah, 2:50 [وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ]

(58) … إِلاَّ بِوَيْلٌ هَلْ و أَولَى نَاضِرَهْ … وَالْغَيْظِ لاَ الرَّعْدِ وَهُودٍ قَاصِرَهْ

Kecuali pada: “Waylun” (QS. Al-Muthaffifiin) [نَضْرَةَ النَعِيْم],“Hal” (QS. Al-Insaan)
[وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا]. Dan awal pada kata (نَّاضِرَةٌ) dalam QS. Al-Qiyaamah [ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ], semuanya dibaca dengan “Dhad”.

Kata (الْغَيْـظُ) artinya marah/ dengki, terdapat pada 11 tempat, salah satunya QS. Ali ‘Imran, 3:119 [عَضُّواْ عَلَيْكُمُ الانامل مِنَ الغيظ ] selain pada: QS. Ar-Ra’du (8) [وَمَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ] dan QS. Huud (44) [ُوَغِيضَ الْمَاءُ]. Maka keduanya dibaca dengan “Dhad”.

(59) … وَالْحَظُّ لاَ الْحَضُّ عَلَى الطَّعَامِ … وَفي ضَنِينٍ الْخلاَفُ سَامِي

Dan semua al-hazhzhu (الْحَـظُّ) yang artinya balasan, terdapat pada 7 tempat, salah satunya QS. Ali ‘Imraan, 3: 176 [يُرِيدُ اللَّهُ أَلَّا يَجْعَلَ لَهُمْ حَظًّا فِي الْآخِرَةِ]. Semuanya dengan Zha kecuali jika disandingkan dengan (ٱلطعَام), yakni pada kalimat berikut: [وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ] QS. Al-Fajr ayat 18, Al-Haaqqah 34, dan Al-Maa’uun 3, semuanya dengan Dhad.

Dan pada kata (بِضَنِـيْـنٍ) pada QS. At-Takwir terjadi perbedaan pendapat di antara para
Qurra’ (ahli tajwid), apakah dengan Dhad atau Zha.

(60) … وَإِنْ تَلاَقَيَا البَيَانُ لاَزِمُ … أَنْقَضَ ظَهْرَكَ يَعَضُّ الظَّالِمُ

Dan jika keduanya (Dhad dan Zha) bertemu, maka wajib membaca keduanya dengan jelas (izhhar), seperti: (أَنْقَضَ ظَهْرَكَ) dan (يَعَضُّ الظَّالِمُ)

(61) … وَاضْطُرَّ مَعْ وَعَظْتَ مَعْ أَفَضْتُمُ … وَصَفِّ هَا جِبَاهُهُم عَلَيْهِمُ

Begitu juga wajib dibaca dengan jelas) pada pertemuan Dhad dan Tha seperti: kata (َّوَاضْطُـرَّ). Zha dengan Ta’ seperti: (وَعَظْتَ) dan Dhad dengan Ta seperti: (ُأَفَضْـتُـمُ). Dan
perjelas juga huruf Ha seperti pada lafadz (ُجِبَاهُـهُـم ) dan (ُعَلَـيْـهِـمُ).

(62) … وأَظْهِرِ اْلغُنَّةَ مِنْ نُونٍ وَمِنْ … مِيمٍ إِذاَ مَا شُدِّدَا وَأَخْفِيَنْ

Dan jelaskanlah sifat ghunnah yang ada pada huruf Nun dan Mim saat keduanya bertasydid, karena pada saat keduanya berada pada posisi tasydid, maka mereka berada pada tingkatan ghunnah yang paling sempurna. Lalu, samarkanlah (ikhfa-kan).

(63) … الْمِيمَ إِنْ تَسْكُنْ بِغُنَّةٍ لَدَى … بَاءٍ عَلَى المُخْتَارِ مِنْ أَهْلِ اْلأَدَا

 Huruf Mim yang sukun disertai ghunnah saat berhadapan dengan huruf Ba, menurut pendapat yang terpilih di kalangan para Ulama Ahli Qiraah.

(64) … وَاظْهِرَنْهَا عِنْدَ بَاقِي اْلأَحْرُفِ … وَاحْذَرْ لَدى وَاوٍ وَفَا أنْ تَخْتَفِي

Kemudian jelaskanlah Mim sukun saat berhadapan dengan sisa hurufnya (selain Ba dan Mim), serta berhati-hatilah jangan sampai menyamarkan suara Mim sukun saat berhadapan dengan Wawu dan Fa karena dekat dan kesamaan makhrajnya.

(65) … وَحُكْمُ تَنْوِينٍ وَنُونٍ يُلْفى … إِظْهَارٌ ادْغَامٌ وَقَلبٌ اخْفَا

Dan hukum Tanwin dan Nun sukun itu ada empat, yakni izh-har (dibaca jelas huruf Nun-nya), idgham (huruf Nun melebur ke huruf setelahnya), qalb (huruf Nun berubah ke huruf Mim), dan ikhfa (huruf Nun disamarkan dan lidah sudah bersiap-siap
mengucapkan huruf setelahnya).

(66) … فَعِنْدَ حَرْفِ الحَلْقِ أَظْهِرْ وَادَّغِمْ … فِي اللاَّمِ وَالرَّا لاَ بِغُنَّةٍ لَزِمْ

Dan bila Nun sukun bertemu dengan huruf-huruf halq, yakni huruf-huruf yang keluar dari makhraj al-halq (Hamzah, Ha, ‘Ain, Ha, Ghain, dan Kha), maka jelaskanlah huruf Nun-nya. Lalu idgham-kanlah bila Nun sukun bertemu dengan huruf Lam dan Ra, yakni suara huruf Nun dianggap tidak ada dan langsung dibaca huruf Lam dan Ra dengan bertasydid serta wajib tanpa menyisakan ghunnah saat membacanya. Ini merupakan bacaan pada riwayat Imam Hafsh jalur Syathibiyyah.

(67) … وَأَدْغِمَنْ بِغُنَّةٍ في يُومِنُ … إِلاَّ بِكِلْمَةٍ كَدُنْيَا عَنْوَنُو

Dan idgham-kanlah huruf Nun sukun dengan disertai sifat ghunnah saat membacanya bila bertemu dengan huruf “yuuminu” (Ya, Wawu, Mim, dan Nun). Kecuali bila pertemuan kedua huruf tersebut berada pada satu kata, seperti kata “Dun- ya” dan yang semisalnya, sepert “Qin-wan”, “Shin-wan”, dan “Bun-yan”. Semuanya mesti dibaca dengan jelas (disebut dengan istilah izh-har muthlaq).

(68) … وَاْلَقْلبُ عِنْدَ الْبَا بِغُنَّةٍ كذا … لاِخْفَاء لَدَى بَاقِي الحُرُوفِ أُخِذَا

 Dan ubahlah huruf Nun menjadi huruf Mim (Qalb) saat bertemu dengan huruf Ba disertai ghunnah saat membacanya. Lalu ikhfa-kan (samarkanlah) huruf Nun saat bertemu dengan sisa huruf selain izh-har, idgham, dan qalb

(69) … والمدُّ لاَزِمٌ وَ وَاجِبٌ أَتَى … وَجَاَئزٌ وَهْوَ وَ قَصْرٌ ثَبَتَا

Dan hukum mad itu lazim (mesti dipanjangkan hingga enam harakat), wajib (harus dipanjangkan lebih dari dua harakat), dan jaiz (boleh dipanjangkan lebih dari dua harakat, boleh dibaca dua harakat saja). Hukum mad (membaca lebih dari dua harakat)
dan qashr (membacanya hanya dua harakat saja) itu keduanya ada di dalam Al-Quran.

(70) … فَلاَزِمٌ إِن جَاءَ بَعْدَ حَرْفِ مَدْ … سَاكِنَ حَالَيْنِ وَبِالطُّولِ يُمَدْ

Mad lazim terjadi bila setelah huruf mad (Alif, Ya mad, dan Wawu mad) terdapat sukun asli, baik di tengah kalimat (dibaca washal) ataupun di akhir kalimat (dibaca waqaf). Cara membacanya adalah memanjangkan mad dengan thuul (enam
harakat).

(71) … وَوَاجِبٌ إنْ جاءَ قَبْلَ هَمْزَةِ … مُتَّصِلاً إِنْ جُمِعَا بِكِلْمَةِ

Mad wajib yaitu apabila huruf mad berada sebelum Hamzah, dimana Hamzah
tersebut berada pada satu kata dengan huruf mad. Maka mad mesti dipanjangkan lebih dari dua harakat.

(72) … وَجَائزٌ إِذَا أَتَى مُنْفَصِلاَ … أَوْعَرَضَ السُّكُونُ وَقْفاٌ مُسْجَلاَ

Mad jaiz yaitu apabila ada Hamzah setelah huruf mad, dimana Hamzah tersebut berada pada kata yang berbeda (terpisah) dengan huruf mad. Juga mad dihukumi jaiz apabila setelah huruf mad terdapat sukun ‘aridh di akhir kalimat, yakni huruf hidup yang disukunkan. Maka, mad boleh dipanjangkan lebih dari dua harakat.

(73) … وَبَعْدَ تَجْوِيدِكَ لِلْحُرُوفِ … لاَبُدَّ مِنْ مَعْرِفَةِ الْوُقُوفِ

Dan setelah engkau memahami kaidah-kaidah dan praktik dalam tajwidul huruf (bab makhraj sampai mad). Maka selanjutnya engkau mesti memahami kaidah-kaidah waqaf (tata cara berhenti) dalam membaca Al-Quran, karena kesempurnaan membaca
Al-Quran adalah “tajwiidul huruuf wa ma’rifatul wuquuf”.

(74) … وَالاْبِتِدَاءِ وَهْىَ تُقْسَمُ إِذَنْ … ثَلاَثَةٌ تَامٌ وَكَافٍ وَحَسَنْ

Dan juga memahami tata cara ibtida` (memulai bacaan) dalam membaca Al-
Quran. Hukum waqaf dan ibtida terbagi menjadi tiga: taam (sempurna), kaaf (cukup), dan hasan (baik).

(75) … وَهْىَ لِمَا تَمَّ فَإنْ لَّمْ يُوجَدِ … تَعَلُق أَوْ كَانَ مَعْنَى فَابْتَدى

Dan apabila engkau berhenti pada kata yang susunan kalimatnya telah sempurna. Baik itu: tidak ada hubungan lafazh dan makna dengan kata setelahnya atau terdapat hubungan makna dengan kata setelahnya namun tidak terdapat hubungan
lafazh, maka mulailah bacaan (ibtida`) dari kata setelahnya.

(76) … فَالتَّامُ فَالْكَافِى وَ لَفْظاً فَامْنَعَنْ … إِلاَّ رُؤُس الآىِ جَوِّزْ فَالحَسَنْ

Berhenti pada kata yang tidak memiliki hubungan lafazh dan makna dengan kata setelahnya disebut waqaf taam. Sedangkan berhenti pada kata yang memiliki hubungan makna namun tidak memiliki hubungan lafazh dengan kata setelahnya disebut waqaf kaaf.

Adapun bila engkau berhenti pada kata yang memiliki hubungan lafazh dan makna, maka janganlah engkau ibtida` pada kata setelahnya. Kecuali bila engkau berhenti di akhir ayat, walaupun masih memiliki hubungan lafazh dan makna dengan ayat setelahnya, namun engkau boleh langsung ibtida` pada awal ayat, tanpa mengulangi kata yang ada pada akhir ayat sebelumnya. Karena berhenti pada setiap
akhir ayat merupakan kebaikan (waqaf hasan).

(77) … وَغَيْرُ مَا تَمَّ قَبِيحٌ وَلَهُ … الوقَفُ مُضْطُرَّاً وَيُبْدَا قَبْلَهُ

Apabila engkau berhenti pada kata yang belum sempurna lafazh atau maknanya dengan sengaja, maka itu adalah waqaf qabih, yakni cara berhenti yang buruk. Kecuali bila berhenti karena darurat, seperti kehabisan nafas atau bersin, maka hal tersebut diperbolehkan. Lalu, engkau memilih beberapa kata sebelumnya untuk ibtida` agar tidak merusak makna, sehingga maksud dan tujuan ayat tersebut tercapai.

(78) … وَلَيسَ في الْقُرْآنِ مِنْ وَقْفٍ وَجَبْ … وَلاَ حَرَامٌ غَيْرَ مَالَهُ سَبَبْ

Dan permasalahan waqaf dan ibtida’ dalam Al-Quran ini tidak ada yang hukumnya wajib atau haram selama tidak ada sebabnya. Bila ada sebab sebagaimana yang telah dijelaskan, yakni berkaitan dengan hubungan lafazh dan makna, lalu mengakibatkan makna ayat berubah, maka hukumnya bisa jatuh menjadi makruh, haram, atau bahkan kufur.

(79) … وَاعرِفْ لِمَقْطُوعٍ وَمَوْصُولٍ وَتَا … فِي مُصْحَفِ الإِمامِ فِيمَا قَدْ أَتَى

Dan ketahuilah permasalahan maqthu’ (dua kata yang ditulis terpisah) dan maushul (dua kata yang ditulis bersambung), serta permasalahan penulisan huruf Ta, apakah ditulis dengan Ta marbuthah atau ditulis dengan Ta maftuhah pada mushaf Imam (Utsmani). Karena pengetahuan terhadap penulisan ini erat kaitannya dengan persoalan waqaf dan ibtida`. Khususnya saat waqaf dan ibtida` yang darurat atau waqaf
dan ibtida` ikhtibariy (sebagai bentuk ujian dan pengajaran).

(80) … فَاقْطَعْ بعَشْرِ كَلِمَاتٍ أنْ لاَّ … مَعْ مَلْجَإٍ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ

Pisahkan pada sepuluh kalimat penulisan (أن) dan (ل), yakni saat berhadapan dengan “malja`a” (At-Taubah 118), “laailaaha” (Huud 14),

(81) … وَتَعْبُدُوا يَاسينَ ثَانِي هُودَ لاَ … يُشْرِكْنَ تُشْرِكْ يَدْخُلَنْ تَعْلوا عَلَى

 Juga bila (أن) dan (ل) berhadapan dengan “ta’budu” pada surat Yasin (ayat 60) &
Hud (ayat 26), “laa yusyrikna” (Mumtahanah 12), “tusyrik” (Al-Hajj 26), “yadkhulan” (Al-Qalam 24), “ta’lu ‘ala” (Ad-Dukhaan 19),

(82) … أَن لاَّ يَقُولُوا لاَ أَقُولَ إِن مَّا … بِالرَّعْدِ وَالمَفُتُوحَ صِلْ وَعَن مَّا

Juga bila (أن) dan (ل) berhadapan “laa yaqulu” (Al-A’raaf 169) dan “laa aquula” (Al-A’raaf 105). Dan pisahkan juga kata (إن) dan (ما) pada surat Ar-Ra’du (ayat 40), dan bila difathahkan Hamzahnya maka sambungkanlah, yakni kata (أم) dan (ما).
Dan juga pisahkanlah kata (عن) dan (ما)…

(83) … نُهُوا اقْطَعوا مِن مَّا بِرُومٍ وَالنِّسَا … خُلْفُ المُنَافِقِين أَم مَّنْ أَسَّساَ

 Sebelum kata “nuhuu” (Al-A’raaf 166).
Dan pisahkanlah (من) dan (ما) pada QS. Ar-Ruum (28) & An-Nisaa (25). Sedangkan pada QS. Al-Munafiqun 10 para Ulama berbeda pendapat apakah penulisan (من) dan (ما) disambung atau dipisah.
Dan pisahkanlah (أم) dan (من) sebelum “assasa” (QS. At-Taubah 109),

(84) … فُصِّلَتِ الَّنسَا وَذِبْحِ حَيْثُ مَا … وَأَن لَّمِ المَفْتُوحَ كَسْرُ إِنَّ مَا

Juga pisahkanlah (أم) dan (من) pada surat Fushshilat 40, An-Nisa 109, dan surat yang menceritakan penyembelihan (dzibhin), yakni QS. Ash-Shaaffat 11. Dan pisahkan juga (حيث) dan (ما) pada semua tempat di dalam Al-Quran, dengan kesepakatan para Ulama. Juga pisahkanlah (أن) dan (لم) pada semua tempat di dalam Al-Quran, dengan kesepakatan para Ulama.
Dan pisahkanlah (ن إ) dan (ما) pada…

(85) … اَلانْعَامِ وَالمَفْتُوحَ يَدْعُونَ مَعَاَ … وَخُلْفُ الاَنْفَالِ وَنَحْلٍ وَقَعَا

urat Al-An’aam 134, dan terjadi perbedaan pendapat pada Surat An-Nahl.
Dan pisahkanlah (ن أ) dan (ما) pada sebelum kata “yad’uuna” (QS. Al-Hajj 62 & Luqman 30). Serta terjadi perbedaan pendapat pada Surat Al-Anfaal (28 & 41), dimana dalam riwayat dari Imam Hafsh disambung.

(86) … وَكُلَّ مَا سَأَلتُمُوهُ وَاخْتُلِفْ … رُدُّوا كَذَا قُلْ بِئْسَمَا وَالوَصْلُ صِفْ

Dan pisahkanlah (كل) dan (ما) pada sebelum kata “sa`altumuhu” (QS. Ibrahim 34). Serta terjadi perbedaan pendapat pada sebelum kata “ruddu” (QS. An-Nisaa 91), dimana dalam riwayat Hafash dipisah penulisannya.

uga (terjadi perbedaan pendapat) pada penulisan (بئ) dan (َسمـا) pada قل بئسما
(Al-Baqarah 93) dan sambungkan (بئ) dan (َسمـا)

(87) … خَلَفْتُمُوِنى وَاشْتَرَوْا في مَا قْطَعَا … أُوحِى أَفَضْتُمُ اشْتَهَتْ يَبْلُو مَعَا

Sebelum “khalaftumuuni” (Al-A’raaf 150) dan “wasytaraw” (Al-Baqarah 90).
Lalu pisahkanlah (في) dan (ما) sebelum “uuhii” (Al-An’aam 145), “afadhtum” (An- Nuur 14), “isytahat” (Al-Anbiya 102), setelah “liyabluwakum” (Al-Maaidah 48 & Al- An’aam 165), dan juga…

(88) … ثَانِي فَعَلْنَ وَقَعَتْ رُومٌ كِلاَ … تَنْزِيلُ شُعَرَاءٍ وَغَيْرَ ذي صِلاَ

 Sebelum “fa’alna” yang kedua (Al-Baqarah 240), Al-Waqiah (61), Ruum (28), dua tempat pada Tanzil (Az-Zumar 3 & 46), dan Syu’ara (146). Sedangkan selainnya disambungkan.

(89) … فَأَيْنَمَا كَالنَّحْلِ صِلْ وَ مُخْتَلِفْ … في الشُّعَرَا الأَحْزَابِ وَالنِّسَا وُصِفْ

Dan sambungkanlah (أين) dan (ما) pada (َمـا ْينَ فَأَ Al-Baqarah 115) & An-Nahl (76), dan para Ulama berbeda pendapat apakah penulisannya disambung atau dipisah pada Asy-Syu’ara (92), Al-Ahzaab (61), & An-Nisaa (78).

(90) … وَصِلْ فَإِلَّمْ هُودَ أَلْن نَّجْعَلاَ … نَجْمَعَ كَيْلاَ تَحْزَنُوا تَأْسَوْا عَلَى

 Dan sambungkanlah (إن) dan (لم) pada (فَإلَّـم ) Surat Huud (14). Juga sambungkanlah (أن) dan (لن) sebelum kata “naj’ala” (Al-Kahfi 48) & “najma’a” (Al- Qiyaamah 3).

Dan sambungkanlah (كي) dan (لا) sebelum kata “tahzanu” (Aali Imran 154) & “ta’saw ‘alaa” (Al-Hadid 23),

(91) … َحجُّ عَلَيْكَ حََرجٌ وَقَطَعْهُمْ … عَن مَّن يَشَاءُ مَن تَوَلَّى يَوْمَ هُمْ

 Juga pada surat Al-Hajj (5), dan sebelum “’alayka harajun” (Al-Ahzab 50).
Dan pisahkanlah (عن) dan (من) sebelum kata “yasyaa” (An-Nuur 43) & pada “man tawalla” (An-Najm 29). Dan juga pisahkanlah kata (يوم) dan (هم).

(92) … ومَالِ هَذَا وَالَّذينَ هَؤْلاَ … تَحِينَ في الإِمَامِ صِلْ وَوُهِّلاَ

 Dan pisahkanlah (َمــال ) dengan kata setelahnya bila kata tersebut “haadza” (Al- Kahfi 49 & Al-Furqan 7), “alladziina” (Al-Ma’arij 36), dan “haa-ulaa” (An-Nisaa 78).
Dan kata (لات) dan (حين) dalam (mushaf) Imam terdapat keraguan apakah disambungan (atau dipisahkan). Adapun pendapat terpilih dalam riwayat Imam Hafsh: dipisahkan.

(93) … وَوَزَنُوهُمُ وَكَالُوهُمُ صِلِ … كَذاَ مِنَ أل وَهَا وَيَا لاَ تَفْصِلِ

Dan sambungkanlah kata (ََ وَ زَنُـوا) dan (ُهــم ), juga sambungkan kata (َكـالُـو ) dan (ْهـم ُ).
Cara menyambungkannya adalah dengan menghilangkan Alif setelah Wawu jamak.
Begitu pula jangan pernah pisahkan penulisan (ال ta’rif) dengan kata setelahnya
(baik itu Qamariyyah atau Syamsiyyah). Sama halnya dengan (يَـا nida) dan (هـا tanbih) dengan kata setelahnya

(94) … وَرَحْمَتُ الزُّخْرُفِ بِالتَا زَبرَهْ … الاَعْرَافِ رُومٍ هُودٍ كَافِ الْبَقَرَهْ

 Dan kata “rahmat” pada QS. Az-Zukhruuf (32) ditulis dengan Ta Maftuhah. Begitu juga pada QS. Al-A’raaf (56), Ruum (50), Huud (73), Kaaf (Maryam: 2), dan Al-Baqarah (218).

(95) … نعْمَتُهَا ثَلاَثُ نَحْلٍ ابْرَهَمْ … مَعَا أَخِيرَاتُ عُقُودُ الثَّانِ هَمْ

Juga kata “ni’mat” padanya (Al-Baqarah 231) ditulis dengan Ta maftuhah, tiga pada An-Nahl (72, 83, 114), dua pada akhir Ibrahim (28 & 34), pada ‘Uqud (Al- Maaidah 11) sebelum kata “ham” yang kedua, sedangkan sebelum “ham” yang pertama
ditulis dengan Ta marbuthah.

(96) … لُقْمَانُ ثُمّ فَاطِرٌ كَالطُّورِ … عَمِرَانُ لَعْنَتَ بِهَا وَالنُّورِ

Juga kata “ni’mat” pada Luqman (31) ditulis dengan Ta maftuhah, kemudian Faathir (3), juga Ath-Thuur (29), dan Aali ‘Imraan (103).
Kemudian kata La’nat padanya (Aali ‘Imraan (61)) ditulis dengan Ta maftuhah juga pada An-Nuur (7).

(97) … وَامْرَأَتٌ يُوسُفَ عِمْرَانَ الْقَصَصْ … تَحْرِيمَ مَعْصِيَتْ بِقَدْ سَمِعْ يُخَصْ

Dan kata “imra`at” pada QS. Yuusuf (30 & 51), Aali ‘Imraan (35), Al-Qashash (9), dan At-Tahriim (10 & 11) ditulis dengan Ta maftuhah. Begitu pun kata “ma’shiyat”
yang terdapat pada Qad Sami’ (Al-Mujaadalah (8 & 9).

(98) … شَجَرَتَ الدُّخِانِ سُنَّتْ فَاطِرِ … كُلاً وَالاَنْفَالَ وَحرفَ غَافرِ

Kata “syajarat” pada QS. Ad-Dukhaan (43 & 44) ditulis dengan Ta maftuhah.
Bagitu pun kata “sunnat” pada QS. Faathir (43), dan Al-Anfaal (38) serta Ghaafir (85).

(99) … قُرَّتُ عَيْنٍ جَنّتٌ في وَقَعَتْ … فِطْرَتْ بَقِيَّتْ وَابْنَتْ وَكَلِمَتْ

Kata “Qurrat” bila bersandingan dengan ‘ain (QS. Al-Qashash 9), kata “Jannat”
pada surat Al-Waaqi’ah (89), kata “Fithrat” pada Ar-Ruum 30, “Baqiyyat” pada Huud 86, dan “Ibnat” pada At-Tahriim 12 dan kata “Kalimat”…

(100) … أَوْسَطَ اَلاعْرَافِ وَكُلُّ مَا اخْتُلِفْ … جَمْعَا وَفَرْداً فيهِ بِالتَاءِ عُرِفْ

 Pada pertengahan Al-A’raaf (137). Serta semua kata yang diperselisihkan oleh para Ulama Qurra mengenai mufrad atau jamaknya, maka ditulis dengan Ta’ Maftuhah.

(101) … وَابْدَأُ بِهَمْزِ الْوَصْلِ مِنْ فِعْلٍ بِضَمْ … إنْ كَانَ ثَالِثٌ مِنَ الْفِعْلِ يُضَمْ

Dan bacalah Hamzah washal pada fi’il (kata kerja) dengan dhammah, Bila huruf ketiga pada fi’il tersebut berharakat dhammah.

(102) … وَاكْسِرْهُ حَالَ الْكَسْرِ وَالْفَتْحِ وَفِى … الاَسْمَاءِ غَيْرَ اللاَّمِ كَسْرَهَا وَفِى

 Dan bacalah Hamzah washal dengan kasrah bila huruf ketiganya berharakat kasrah atau fathah.

Juga bacalah Hamzah washal dengan kasrah apabila berada pada awal kata benda yang tidak didahului Lam ta’rif (Alif Lam), karena pada Alif Lam, Hamzah washal selalu dibaca fathah.

(103) … ابْنٍ مَعَ ابْنَةِ امْرِىءٍ وَاثْنَيْنِ … وَامْرَأةٍ وَاسْمٍ مَعَ اثْنَتَيْنِ

Contoh kata benda yang tidak didahului Lam ta’rif adalah ibnin, ibnati, imriin, itsnaini, imraatin, ismin, dan itsnataini. Semua Hamzah washal yang berada pada awal kata-kata tersebut dibaca dengan kasrah, bila kita ingin memulai bacaan darinya.

(104) … وَحَاذِرِ الْوَقْفَ بِكُلِّ الحَرَكَهْ … إِلاَّ إِذَا رُمْتَ فَبَعْضُ حَرَكَهْ

 Dan berhati-hatilah jangan sampai engkau membaca huruf yang berada di akhir kalimat saat waqaf dengan harakat yang sempurna. Kecuali bila engkau membacanya dengan raum, yakni membaca huruf dengan sebagian harakatnya saja, para Ulama mengatakan: sepertiga harakat. Maksudnya membaca huruf terakhir dengan membunyikan sebagian harakatnya saja.

(105) … إِلاَّ بِفَتْحٍ أَوْ بِنَصْبٍ وَأَشِمْ … إِشَارَةً بِالضَّمْ فِي رَفْعٍ وَضَمْ

 Namun membaca dengan raum itu tidak bisa dilakukan bila harakat pada akhir hurufnya fathah atau nashab. Jadi, raum hanya bisa dilakukan bila harakat pada akhir hurufnya kasrah atau 

Selain raum, berhenti pada akhir kalimat juga bisa dilakukan dengan cara isymam. Yakni memberikan isyarat dengan kedua bibir sebagaimana kita mengucapkan dhammah (memonyongkan kedua bibir tanpa suara). Dan Isymam hanya bisa dilakukan bila harakat pada huruf terakhirnya rafa’ atau dhammah.

(106) … وَقَدْ تَقَضَّى نَظْمِىَ المُقَدَّمَهْ … مِنَّى لِقَارِئِ القُرَآنِ تَقْدِمَهْ

Telah tuntas nazhamku : Al-Muqaddimah. Sebagai hidangan yang aku sajikan kepada segenap para pembaca Al-Quran.

(107) … أَبْيَاتُهَا قَافٌ وَزَاىٌ فِي الْعَدَدْ … مِنْ يُحْسِنِ التَّجْوِيدَ يَظْفَرْ بِالرَّشَدْ

(Bait-baitnya berjumlah Qaf (seratus) dan Zay (tujuh). Siapa saja yang membaguskan bacaan Al-Quran dengan tajwid, merekalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan keuntungan yang besar.)

(108) … وَالحَمْدُ لِلِه لَهَا خِتامُ … ثُمَّ الصَّلاَةُ بَعْدُ وَالسَّلاَمُ

Segala puji bagi Allaah ﷻ atas terselesaikannya bait-bait ini, kemudian shalawat teriring salam,

(109) … عَلَى النَّبِىِّ المُصْطَفى وَآلِهِ … وَصَحْبِهِ وتابعِ منوالهِ

(Atas Nabi Muhammad Al-Mushthafa ﷺ dan keluarganya. Juga kepada para Sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah dan manhajnya.)
Aamiin.