Kitab Kifayatul Awam Dan Terjemah [PDF]

بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

الحمد لله المنفرد بالإيجاد

Segala puji bagi Allah Yang Esa dalam mewujudkan 

والصلاة والسلام على سيدنا محمد أفضل العباد

Shalawat serta salam semoga untuk junjungan kita Muhamad hamba yang paling mulia 

وعلى آله وأصحابه أولي البهجة والرشاد

Dan bagi keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang memiliki kehormatan dan dan petunjuk

وبعد فيقول العبد الفقير إلى رحمة ربه المتعالى: محمد بن الشافعي الفضالي الشافعي:

Dan setelah itu, berkata seorang hamba yang butuh pada rahmat Tuhan Yang Maha Luhur yaitu Muhammad Syafi’i 

قد سألني بعض الإخوان أن أؤلف رسالة في التوحيد

sebagian teman memintaku agar aku mengarang sebuah kitab tentang Tauhid 

 فأجبته إلى ذلك ناحياً نحو العلاّمة الشيخ السنوسي في “تقرير البراهين” 

Lalu aku penuhi hal tersebut Seraya Menyamai alamat Syekh Sanusi dalam kitab taqrirot barohin

غير أني أتيت بالدليل بجانب المدلول

Hanya saja saya mendatangkan dalil di samping madlul (yang di dalili)

وزدته توضيحاً لعلمي بقصور هذا الطالب

Dan aku tambah penjelasan karena pengetahuanku tentang kurangnya anak yang minta ini 

 فجاءت بحمد الله تعالى رسالة مفيدة

Maka datanglah dengan memuji kepada Allah sebuah kitab yang berkaitan

 ولتقرير ما فيها مجيدة

dan menetapkan apa yang ada di situ yang Bagus

 وسميتُها: “كفايةُ العوامِ فيما يجبُ عليهمْ من علمِ الكلامِ”

Dan aku beri nama kifayatul awam tentang perkara yang wajib bagi mereka dari ilmu kalam

واللهَ تعالى أسألُ أنْ ينفعَ بها

 hanya kepada agar kepada kita

 وهو حسبي ونعم الوكيل

 dialah yang mencukupiku dan sebaik-baik Yang dijadikan wakil

بيان عدد العقائد، وأنَّ كلَّ عقيدة عليها دليلان: إجمالي وتفصيلي

Penjelasan hitungan akidah-akidah, dan bahwasannya setiap aqidah itu memiliki dua dalil, yaitu global dan perincian

وبيان حكم “المقلد” في العقيدة

Penjelasan hukum orang yang ikut dalam akidah 

اعلم أنه يجب على كل مسلم أن يعرف ” خمسين عقيدة “

Ketahuilah bahwasanya wajib bagi setiap muslim agar mengetahui 50 aqidah

 وكل عقيدة يجب عليه أن يعرف لها دليلاً إجمالياً أو تفصيلياً

dan setiap aqidah wajib baginya mengetahui dalil secara global dan perincian 

قال بعضهم: يُشترط أن يعرف الدليل التفصيلي 

Sebagian ulama berkata: disyaratkan agar ia mengetahui dalil secara rinci

 لكن الجمهور على أنه يكفي الدليل الإجمالي لكل عقيدة من هذه الخمسين

Tetapi mayoritas ulama pendapat bahwa cukup dalil secara global bagi setiap aqidah dari 50 aqidah ini 

و” الدليل التفصيلي “: مثاله إذا قيل: ما الدليل على وجوده تعالى؟ 

Dalil secara perinci contohnya jika diucapkan Apa dalil tentang wujudnya Allah ta’ala 

أنْ يُقالَ: هذه المخلوقات

hendaknya dikatakan makhluk makhluk ini 

فيقول له السائلُ: المخلوقات دالةٌ على وجود الله تعالى من جهة إمكانها أو من جهة وجودها بعد عدم، فيجيبَه.

Orang yang bertanya mengatakan kepadanya: makhluk makhluk itu menunjukkan terhadap wujudnya Allah dari segi mungkinnya atau dari segi wujudnya setelah ketiadaan, maka ia menjawab

وأما إذا لم يجبْه، بل قال له: هذه المخلوقات فقط، ولم يعرف من جهة “إمكانها” أو “وجودها” بعد عدم، فيقال له: ” دليل إجمالي “, وهو كافٍ عند الجمهور.

Adapun Jika ia tidak menjawabnya, akan tetapi ia mengatakan kepadanya ini makhluk saja dan tidak tahu segi kemungkinannya atau wujudnya setelah tidak ada, maka di katakan padanya dalil secara global, dan itu cukup menurut Mayoritas ulama

وأما ” التقليدُ ” وهو أنْ يعرفَ العقائدَ الخمسين, ولم يعرفْ لها دليلاً إجمالياً أو تفصيلياً

Adapun taklid yaitu mengetahui 50 aqoid dan tidak tahu dalil secara global dan perinci

 فاختلف العلماء فيه فقال بعضهم: لا يكفي التقليد والمقلد كافر

Maka ulama berbeda pendapat dalam hal tersebut Sebagian ulama mengatakan tidak cukup taqlid dan muqallid adalah kafir 

وذهب إليه ابن العربي  والسنوسي وأطال في ” شرح الكبرى ” في الرد على من يقول بكفاية التقليد

mengikuti pendapat tersebut adalah Ibnu Arabi Sanusi, dan beliau melebar panjangkan dalam kitab syarah kubra untuk menolak orang yang mengatakan kecukupan taqlid

 لكن نُقل أن السنوسي رجع عن ذلك وقال بكفاية التقليد 

Tetapi di nuqil bahwa Sanusi itu mencabut pendapatnya dan mengatakan kecukupan taqlid

لكن لم نر في كتبه إلا القول بعدم كفايته

tetapi kita tidak melihat di kitab-kitab nya kecuali pendapat tentang tidak cukupnya taqlid

بيانُ المقدماتِ العقليةِ والمنطقيةِ التي يحتاج إليها مَنْ يُريدُ دراسةَ علمِ العقيدةِ

Keteranganpendahuluan akal dan logika yang dibutuhkan oleh seorang yang ingin mempelajari ilmu aqidah

 

اعلم أنَّ فهمَ ” العقائد الخمسين ” الآتية يتوقف على أمور ثلاثة: الواجب والمستحيل والجائز

Ketahuilah bahwa memahami aqidah 50 yang akan datang itu terpaku pada tiga perkara, wajib mustahil dan jaiz

فالواجبُ: هو الذي لا يُتصور في العقل عدمُه، أي: لا يصدِّق العقلُ بعدمه

Wajib yaitu sesuatu yang tidak tergambarkan dalam akal ketiadaannya, maksudnya akal tidak membenarkan ketiadaannya

 كالتحيز للجرم، أي: أخذه قدراً من الفراغ، والجرم كالشجر والحجر

seperti bertempatnya benda, maksudnya mengambilnya benda terhadap kadar kekosongan, dan benda itu seperti pohon dan batu 

 فإذا قال لك شخص: إن الشجرة لم تأخذ محلاً من الأرض مثلاً, لا يصدق عقلك بذلك، لأن أخذه محلاً واجب لا يصدق العقل بعدمه

Jika ada seorang yang mengucapkan kepada kamu bahwasannya pohon itu tidak mengambil tempat dari tanah, maka akal mu tidak akan membenarkan hal tersebut, karena pengambilan pohon terhadap tanah itu wajib, akal tidak membenarkan ketiadaannya

والمستحيلُ: هو الذي لا يُتصور في العقلِ وجوده أي: لا يُصدِّقُ العقلُ بوجوده

Mustahil yaitu sesuatu yang tidak tergambar dalam akal adanya, maksudnya akal tidak membenarkan adanya

 فإذا قال قائل: إنَّ الجِرْمَ الفلانيَّ خالٍ عن الحركة والسكون معاً, لا يصدق عقلُك بذلك لأن خلوه عن الحركة والسكون مستحيلٌ لا يُصدقُ العقلُ بوقوعه ووجوده

Jika ada seorang yang mengatakan bahwa benda milik fulan itu terbebas dari gerakan dan diam secara bersamaan, maka akalmu tidak akan membenarkan hal tersebut, karena terbebasnya benda dari gerakan dan diam itu mustahil, akal tidak akan membenarkan terjadinya dan adanya

والجائزُ: هو الذي يصدق العقلُ بوجوده تارةً وبعدمه أخرى, كوجود ولدٍ لزيدٍ

Jaiz yaitu akal membenarkan adanya suatu ketika dan tidak adanya di suatu ketika yang lain seperti adanya anak bagi saya

 فإذا قال قائلٌ: إن زيداً له ولد, جوَّز عقلُك صدقَ ذلك، وإذا قال إن زيداً لا ولد له, جوّز عقلك صدق ذلك

Jika ada yang mengucapkan bahwa Zaid memiliki anak, maka akalmu boleh membenarkan hal tersebut dan jika ada yang mengatakan saya tidak memiliki anak maka akan mu kan Benar kan hal tersebut

 فوجودُ ولد لزيدٍ وعدمُه جائزٌ يصدق العقلُ بوجودِه وعدمِه.

Maka adanya anak bagi saya dan dia tanya itu boleh, akal membenarkan tentang adanya dan tidak adanya 

 

فهذه الأقسام الثلاثة يتوقف عليها فهم العقائد, فتكون هذه الثلاثة واجبة على كل مكلف من ذكر وأنثى، لأن ما يتوقف عليه الواجب يكون واجباً

Maka 3 dasar ini adalah landasan pemahaman aqidah, maka tidak wajib bagi setiap mukallaf baik itu laki-laki atau perempuan, karena sesuatu yang dibuat untuk melaksanakan wajib maka perkara itu wajib

 بل قال إمام الحرمين: إن فهم هذه الثلاثة هي نفس العقل، فمن لم يعرفها، أي: لم يعرف “معنى الواجب” و “معنى المستحيل” و “معنى الجائز” فليس بعاقل

Bahkan imam haromain mengatakan bahwa memahami tiga ini adalah inti dari akal, barang siapa tidak mengetahuinya -maksudnya tidak mengetahui makna wajib mustahil Jaiz- maka dia tidak orang yang berakal

فإذا قيل هنا: القدرة واجبة لله، كان المعنى قدرة لله لا يصدق العقل بعدمها، لأن الواجب هو الذي لا يصدق العقل بعدمه كما تقدم

jika di sini dikatakan, sifat qudrat itu wajib bagi Allah, maka maknanya qudroh itu milik Allah, akal tidak membenarkan ketiadaannya, karena perkara yang wajib yaitu perkara yang akal tidak membenarkan ketiadaanya, seperti yang dahulu

وأما “الواجب” بمعنى ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه، فهو معنى آخر ليس مراداً في علم التوحيد، فلا يشتبه عليك الأمر. 

Adapun wajib dengan makna sesuatu yang diberi pahala karena melakukannya dan disiksa karena meninggalkannya, maka itu adalah makna lain , tidak dimaksudkan pembahasan ilmu tauhid,  Maka jangan bingung 

نعم، لو قيل: يجب على المكلف اعتقاد قدرة لله تعالى، كان المعنى يثاب على ذلك ويعاقب على ترك ذلك.

Ya, jika dikatakan wajib bagi mukallaf mengitakadkan qudrat bagi Allah ta’ala maka maknanya Iya diberi pahala karena hal tersebut, dan disiksa karena meninggalkan hal tersebut

ففرق بين أن يقال: اعتقاد كذا واجب، وبين أن يقال: العلم مثلاً واجب

Maka bedakan antara ucapan mengitikadkan begini adalah wajib, dan antara ucapan sifat ilmu itu wajib

 لأنه إذا قيل: العلم واجب لله تعالى، كان المعنى أن علم الله تعالى لا يصدق العقل بعدمه

karena Jika diucapkan sifat ilmu wajib bagi Allah, maka maknanya bahwasanya ilmu Allah ta’ala itu tidak dibenarkan akal ketiadaannya

 وأما إذا قيل: اعتقاد العلم واجب، كان المعنى يثاب إن اعتقد ذلك، ويعاقب إن لم يعتقد

Jika diucapkan mengikuti sifat ilmu itu wajib, maka maknanya diberi pahala jika mrengitadkan hal tersebut dan di iyaSiksa jika tidak mengikuti hal tersebut

 فاحرص على الفرق بينهما، ولا تكن ممن قلَّد في عقائد الدين فيكون إيمانك مختلَفاً فيه، فتخلد في النار عند من يقول: لا يكفي التقليد.

maka carilah terhadap perbedaan keduanya, dan jangan menjadi orang yang Bertaqlid dalam masalah aqidah agama maka imanmu di perdebatkan, maka kamu kekal di neraka menurut seorang yang mengatakan tidak cukup tablet

قال السنوسي: وليس يكون الشخص مؤمناً إذا قال: أنا جازم بالعقائد، ولو قطعت قطعاً قطعاً لا أرجع عن جزمي هذا، بل لا يكون مؤمناً حتى يعلم كل عقيدة من هذه الخمسين بدليلها.

Imam Sanusi berkata:seorang tidak beriman jika mengatakan saya mantap dengan akidah, walaupun aku dipotong potong aku tidak akan mencabut kemantapanku ini, tetapi ia tidak dikatakan Mukmin sampai ia mengetahui setiap aqidah ini dengan dalil dalilnya 

 

وتقديمُ هذا العلم فرضٌ، كما يؤخذ من “شرح العقائد”, لأنه جعله أساساً ينبنى عليه غيرُه

Mendahulukan ilmu ini adalah fardu, Seperti yang diambil dari kitab Syariah Aqoid, Karena beliau menjadikan ilmu ini adalah pondasi yang untuk membangun yang lain

 فلا يصح الحكم بوضوء الشخص أو صلاته إلا إذا كان عالماً بهذه العقائد أو جازماً بها على الخلاف في ذلك

maka tidak boleh menhukumi wudlunya Seseorang atau solatnya kecuali jika ia mengetahui aqidah-aqidah ini atau mantap tergantung perbedaan ulama dalam hal tersebut

وإذا قيل: العجز مستحيل عليه تعالى، كان المعنى أن العجز لا يصدق العقل بوقوعه لله تعالى ووجوده، وكذا يقال في باقي المستحيلات

jika Dikatakan lemah itu mustahil bagi Allah, maka maknanya lemah itu akal tidak membenarkan terjadinya bagi Allah dan adanya, begitu juga dikatakan di seluruh sifat mustahil 

 وإذا قيل: رَزَقَ اللهُ زيداً بدينار, يقال: جائزٌ, كان المعنى أن ذلك يصدق العقل بوجوده تارة وبعدمه أخرى.

 Jika dikatakan Allah memberi zaid Dinar, dikatakan boleh, maka maknanya bahwa akal membenarkan adanya hal tersebut di suatu ketika, dan ketiadaannya di suatu ketika yang lain 

ولنذكر لك العقائد الخمسين مجملة قبل ذكرها مفصلة:

Maka aku sebut 50 aqidah secara global sebelum penyebutanya secara terperinci

فاعلم أنه يجب له سبحانه وتعالى عشرون صفة, ويستحيل عليه عشرون, ويجوز في حقه أمر واحد، فهذه إحدى وأربعون.

 maka ketahuilah bahwasanya wajib bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala 20 sifat, muhal baginya 20, dan boleh baginya 1, maka ini adalah 41

ويجب للرسل أربعة, ويستحيل عليهم أربعة، ويجوز في حقهم عليهم الصلاة والسلام أمر واحد.

dan Wajib bagi utusan 4, dan muhal baginya 4, dan boleh baginya satu

فهذه الخمسون، وسيأتي تحرير الكلام عند ذكرها مفصلةً إن شاء الله تعالى.

 maka inilah 50 dan akan datang penjelaanya secara terperinci Insya Allah

  1. PENGERTIAN “WUJUD” MENURUT SELAIN IMAM ASY’ARI

 

Sifat wajib Allah yang pertama “Wujud”. Mengenai arti sifat “Wujud” terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Selain Imam Asy’ari dan para pengikutnya berpendapat bahwa “Wujud” artinya adalah suatu keadaan yang harus dimiliki oleh suatu dzat selama dzat tersebut masih ada, dan keadaan semacam ini tidak bisa dibatasi suatu alasan.

 

Yang dimaksud dengan sifat wujud itu merupakan suatu keadaan adalah bahwa sifat tersebut tidak bisa naik kepada tingkatan sesuatu yang diujudkan sehingga dapat dilihat dan juga tidak bisa turun kepada tingkatan sesuatu yang tidak diujudkan sehingga dia sama sekali tidak ada melainkan dia berada ditengah-tengah antara ada dan tidak ada.

 

Tentang “Wujud”, keberadaan si Zaid misalnya adalah suatu keadaan yang harus terjadi pada dirinya dalam arti bahwa keberadaan (wujud) Zaid tidak mungkin terlepas dari dirinya dan senantiasa melekat padanya selama dzat itu ada. ‘

 

Yang dimaksud dengan pendapat para ulama “tidak bisa dibatasi oleh suatu alasan” adalah bahwa hal tersebut tidak bisa timbul dari sesuatu, Ini berbeda dengan keadaan Zaid yang mempunyai “kekuasaan” misalnya, maka hal ini adalah timbul dari kemampuannya sendiri.

 

Oleh karenanya jika seandainya si Zaid itu mempunyai suatu kemampuan dan dia ada (wujud) itu adalah merupakan dua hal yang ada pada dirinya yang tidak dapat dilihat oleh kelima indera manusia. Hanya saja yang pertama tadi mempunyai suatu alasan yang timbul daripadanya, yakni kermampuan, sementara yang kedua tidak mempunyai alasan sama sekali.

 

Inilah suatu patokan bagi,”haal nafsiyah” (keadaan diri pribadi). Dan perlu diketahui bahwa setiap keadaan yang berada pada suatu dzat yang tidak bisa dibatasi dengan suatu sebab itu dinamakan “sifat nafsiyah”, yakni dimana keberadaan dzat tersebut tidak bisa diterima akal manakala tidak dibarengi dengan sifat tadi, dengan kata lain bahwa keberadaan barang tersebut tidak bisa diterima oleh akal sehat dan akal akan mau menerimanya bilamana ia bersamaan dengan sifat tersebut seperti suatu barang yang menempati sebuah tempat. Jika seandainya saudara membayangkannya kemudian dapat menemukannya maka saudara akan dapat menyimpulkan bahwa barang tersebut telah menempati suatu tempat. .

 

Menurut pendapat ini yakin adanya wujud itu adalah merupakan suatu keadaan maka berarti Dzat Allah Ta’ala tidak merupakan wujudnya Allah dan dzat semua yang selain Allah juga bukan merupakan bentuk wujudnya,

 

  1. PENGERTIAN “WUJUD” MENURUT PENDAPAT KELOMPOK ASY’ARI

 

Yang dimaksud dengan “wajib wujud bagi Allah Ta’ala” menurut pendapat yang pertama tadi adalah bahwa sifat nafsiyah yang mana itu adalah merupakan suatu keadaan maka hal tersebut harus ada pada Allah Ta’ala, sedangkan menurut pendapat yang kedua (kelompok Asy’ari) sesuai dengan kenyataannya bahwa Dzat Allah itu pasti ada sehingga jika tabir telah dibuka maka kita akan mampu melihat Dzat ‘ Allah. Dengan demikian berarti bahwa Dzat Allah Ta’ala itu pasti ada, hanya saja menurut pendapat yang pertama tadi wujudnya Allah tidak merupakan dzat-Nya, sementara menurut pendapat kedua bahwa Dzat Allah adalah merupakan bentuk wujud-Nya.

 

  1. BUKTI YANG MENUNJUKKAN ALLAH WUJUD

 

Dalil yang menunjukkan wujud (ada)nya Allah adalah baru diciptakannya alam ini, Maksudnya bahwa alam ini “ada” yang sebelumnya “tidak ada”, Allah ini merupakan suatu bentuk sebagaimana halnya dzat dan juga memiliki sifat seperti bergerak, tenang dan juga mempunyai warna. ,

 

Alam yang baru diciptakan ini dapat menjadi bukti adanya Allah Ta’ala karena pada dasarnya tidak mungkin alam ini bisa ada dengan sendirinya tanpa ada yang mencipatakannya, karena sebelum alam ini diciptakan, keberadaannya sama halnya jika ia tidak diciptakan. Tatkala alam ini telah diciptakan dan tidak adanya telah sirna maka kita menjadi tahu bahwa adanya alam ini telah mengungguli tidak adanya alam tersebut, padahal sebelumnya adanya alam ini sama dengan sebelum diciptakan sehingga tidak mungkin adanya alam ini mengungguli tidak diciptakannya alam itu sendiri.

 

Dari sini maka jelaslah sekarang bahwa diciptakan alam ini ada yang mengunggulkan atas yang lain, yakni (Allah) yang telah menciptakannya karena pengunggulan terhadap salah satu dari dua hal yang diklasifikasinya sama itu tidak mungkin akan terjadi manakala tanpa ada yang mengunggulkannya. .

 

Si Zaid misalnya, sebelum ia diciptakan, bisajadi ia diciptakan pada tahun sekian dan bisa jadi ia tidak diciptakan sama sekali. Dengan demikian berarti diciptakan atau tidak diciptakan Zaid itu sama saja

 

Ketika si Zaid telah diciptakan dan tidak diciptakannya si Zaid itu telah sirna pada masa yang telah ditentukan berarti kita menjadi tahu bahwa adanya si Zaid itu berarti ada yang menciptakan, tidak ada dengan sendirinya.

 

Ini berarti kesimpulan dari dalil tersebut adalah saudara harus mengetahui bahwa alam yang memiliki bentuk dan sifat ini adalah merupakan sesuatu yahg baru ada yang dia ada setelah tidak ada, sedang setiap sesuatu yang baru ada mesti ada yang mengadakan. Kesimpulannya adalah bahwa alam ini pasti ada yang mengadakan. Dan inilah yang disebut dengan “dalil aqli”

 

Tentang siapa yang menciptakan alam ini? Dialah yang biasa disebut dengan menggunakan lafadz “JALALAH” yang mulia (Allah) dan nama- nama lain dimana itu telah dijelaskan melalui para Nabi as.

 

Ingatlah selalu akan permasalahan ini juga dalil yang tersebut di atas yakni alam yang baru diciptakan ini adalah merupakan bukti akan adanya Allah Ta’ala.

 

  1. BUKTI BAHWA ALAM INI BARU DICIPTAKAN

 

Adapun dalil atas barunya alam, ketahuilah bahwa alam ini memiliki bentuk dan sifat-sifat sebagaimana penjelasan terdahulu, sedang sifat-sifat yang ada pada alam ini seperti bergerak atau diam adalah merupakan sesuatu yang baru juga dengan dasar bahwa saudara dapat menyaksikan sendiri bahwa sifat-sifat tersebut selalu berubah-ubah, yang asalnya tidak menjadi ada atau asalnya tidak ada menjadi ada.

 

Sebagaimana gerakan si Zaid yang sering kita lihat misalnya gerakan itu akan menjadi tidak ada manakala dia diam dan sebaliknya diam itu akan menjadi sirna tatkala ia bergerak. Dengan demikian berarti diam yang dilakukan setelah ia bergerak itu akan terjadi setelah ia tidak bergerak dan gerakan yang dilakukan setelah diam itu akan terjadi setelah diam itu tiada. Dan sesuatu yang ada setelah dia tidak ada dan sirna berarti hal itu baru diciptakan.

 

Dari sini dapat dimengerti bahwa segala sifat yang ada berarti itu baru dan segala yang berbentuk pasti tidak akan terlepas dari sifat-sifat tadi karena apapun yang ada di dunia ini tidak mungkin terlepas dari bergerak atau diam, dan setiap sesuatu yang memiliki ciri-ciri barang yang baru maka diapun juga baru, yakni dia ada setelah sebelumnya tidak ada. Segala yang mempunyai bentuk juga baru sama dengan sifatsifat yang dimiliki tadi.

 

Kesimpulan dari dasar tersebut adalah saudara harus berani mengatakan bahwa segala sesuatu yang mempunyai bentuk pasti memiliki sifat yang baru dan setiap sesuatu yang memiliki sifat-sifat baru diapun juga baru sehingga dapat disimpulkan bahwa segala yang mempunyai bentuk pasti baru juga.

 

Mengenai barunya kedua hal tersebut, yakni segala yang rhempunyai bentuk dan semua sifat, atau dengan kata lain bahwa kedua hal tersebut ada setelah sebelumnya tidak ada ini adalah sebagai dasar tentang wujudnya Allah Ta’ala karena setiap sesuatu yang baru’ada sudah pasti ada yang menciptakannya dan tiada lagi yang mampu menciptakan alam ini kecuali hanya Allah Ta’ala semata, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Hal ini sebagaimana penjelasan yang akan datang adalah juga sebagai dalil akan adanya sifat “Wahdaniyah” bagi Allah Ta’ala.

 

Inilah yang dinamakan dalil ijmali yang harus diketahui oleh setiap orang yang telah dewasa (mukallaf) baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana pendapat Imam Ibnu Arabi dan Imam Sanusi. Bahkan mereka berdua berani memvonis kafir bagi siapa saja yang tidak mengerti akan dalil tersebut. Oleh karenanya jaga dan peliharalah iman saudara agar tidak terjadi khilaf,

  1. PENGERTIAN QIDAM

 

Arti daripada qidam adalah tidak ada permulaannya. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan Allah memiliki sifat qidam adalah wujudnya Allah Ta’ala tidak ada permulaannya. Hal ini sangat berbeda dengan si Zaid misalnya, yakni wujudnya Zaid ada permulaannya, yaitu . sejak dari diciptakannya air sperma yang mana dia diciptakan dari air sperma tadi.

 

  1. BEDA PENDAPAT ANTARA QADIM DAN AZALI

 

Ada beda pendapat tentang apakah antara QADIM (qidam) dan Azali itu satu makna atau masing-masing mempunyai arti yang berbeda?

 

Bagi yang mengikuti pendapat pertama (memiliki arti sama) ia mendifinisakan QADIM dengan kata “MAALAAAWWALA LAHU” dengan mengartikan kata “MAA” dengan “SYAI-UN? sesuatu, yakni sesuatu yang tidak mempunyai permulaan, sedang Azali adalah “ASYSYAI-U ALLADZI LAAAWWALALAHU”, sesuatu yang tidak memiliki permulaan” sehingga hal ini akan mencakup Dzat Allah dan segala sifat-sifat-Nya. Sementara yang mengikuti pendapat kedua (yang memiliki arti berbeda) dia mendifinisikan QADIM sebagai sesuatu yang wujud yang tidak mempunyai permulaan dan mendifinisikan Azah sebagai sesuatu yang tidak memiliki permulaan. Azali ini akan mencakup segala yang wujud dan yang tidak wujud dan Azali ini lebih umum dibanding QADIM,

 

Kedua hal tersebut dapat bertemu pada Dzat dan sifat Allah yang ada seperti Qudrah, Iradah dan lain sebagainya, sehingga dapat dikatakan bahwa Dzat Allah itu Azali (dan juga dalam Qadim). Demikian pula qudrah Allah juga Azali (dan Qadim pula).

 

Azali ini dapat berdiri sendiri pada “ahwaal” (sifat-sifat maknawiyah), sebagaimana Allah Ta’ala memiliki sifat qudrah (kuase menurut pendapat yang menyetujui adanya “ahwaal” tadi. Karena Allah Ta’ala itupun azali juga menurut pendapat ini, dan dia tidak dapat dikatakan Qadim lantaran kita telah mengetahui bahwa QADIM itu hans dibarengi dengan wujud, sementara qudrah sendiri tidak akan dapal sampai kepada tingkatan wujud karena wujud itu adalah merupakan keadaan,

 

  1. DALIL YANG MEMBUKTIKAN ALLAH TA’ALA QIDAM

 

Bukti yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala itu qidam adalah jika seandainya Allah Ta’ala itu tidak qidam (ada permulaannya) sudah barang tentu Allah Ta’ala itu hadits (baru diciptakan) karena antara qidam dan hadits itu tidak ada perantaranya sehingga setiap sesuatu yang terlepas dari qidam pasti ia hadits dan jika Allah Ta’ala itu hadits sudah barang pasti ada pencipta yang menciptakan-Nya, sedang yang menciptakan Allah akan butuh kepada yang menciptakannya lagi. Demikian pula seterusnya. :

 

D, TASALSUL DAN DAUR

 

Jika para pencipta Allah itu adalah selalu berurutan tanpa ada habisnya berarti itu akan terjadi “tasalsul”, yakni pertalian sesuatu dengan yang lain tanpa ada batas akhirnya, toh tasalsul yang demikian ini sangat mustahil terjadi,”

 

Bila pertalian para pencipta Allah itu ada batas akhirnya seperti jika pencipta yang telah menciptakan Allah itu terlebih dahulu diciptakan oleh Allah Ta’ala maka akan terjadilah “daur” yakni pertautan sesuatu kepada yang lain dan yang lain itu bertaut kembali kepada yang pertama lgi.

 

Dengan demikian berat jika seandainya Allah Azza Wajalla itu  ada yang menciptakan maka sudah barang pasti Dia akan sangat tergantung kepadanya, padahal kita semua telah berkeyakinan bahwa Allahlah yang menciptakan segala apa yang ada di dunia ini sehingga semuanya sangat bergantung kepada Allah.

 

Daur dalam hat ini sangat mustahil terjadi, yakni hal tersebut tidak akan dibenarkan oleh akal, sedang yang mendatangkan kepada daur dan tasalsul yang muhal itu berarti ada-kesimpulan bahwa Allah Azza Wajalla itu hadits, padahal Allah Ta’ala muhal jika Dia hadits karena setiap sesuatu yang telah sampai kepada tataran muhal berarti itu muhal pula.

 

  1. KESIMPULAN DALIL QIDAM

 

Kesimpulan dari dalil qidam di atas adalah jika seandainya Allah Ta’ala itu tidak qidam atau dengan kata lain Dia itu hadits pasti Dia butuh kepada yang menciptakan. Jika demikian maka akan terjadilah daur dan tasalsul, toh keduanya itu tidak mungkin terjadi. Bila memang Allah Ta’ala itu muhal hadits maka Dia wajib qidam dan inilah yang harus terjadi.

 

Demikian inilah yang disebut dengan “dalil ijmali” tentang Allah QIDAM dan dengan mengetahui dalil inilah seseorang akan terlepas dari belenggu taqlid yang menyebabkan dia akan kekal di neraka menurut pendapat Imam Ibnu Arabi dan Imam Sanusi sebagaimana penjelasan terdahulu

  1. PENGERTIAN BAQA’

Makna dari Baga’ adalah wujud yang tiada akhirnya. Dalil yang dimaksud Allah itu baga’ adalah jika seandainya Allah Itu mungkin ‘adam (tidak ada) niscaya Allah itu hadits dan sudah barang tentu Dia butuh kepada yang menciptakan. Yang demikian ini akan terjadilah daur dan tasalsul sebagaimana pengelasan terdahulu pada sifat qidam

 

 Penjelasannya dalih jika sesuatu itu mungkin ‘adam sudah barang pasti dia tidak qidam, karena setiap yang ‘adam wujudnya tidak menjadi jaiz (bisa ada bisa tidak), sedang settap yang jaiz dan setiap yang hadits pasti butuh kepada yang menciptakan. Padahal Allah Ta’ala sudah jelas qidam sehingga muhal bagi-Nya ‘adam. Dengan demikian berarti ali yang menunjukkan bahwa Allah itu baga’ sama dengan dalil yang ada pada sifat qidam.

 

B.KESIMPULAN DALIL BAQA’

 

Kesimpulannya adalah jika seandainya Allah Ta’ala itu tidak harus. baga’, yakni jika seandainya Allah itu ‘adam (tidak ada) sudah barang pasti tidak mungkin Allah itu qidam, padahal qidam itu sendiri tidak mungkin terlepas dari Allah Ta’ala sesuai dengan dalil di atas.

 

Inilah dalil ijmali tentang baga’ yang harus diketahui oleh setiap ‘ orang. Yang demikian ini juga berlaku untuk seluruh aqidah yang harus diketahui secara keseluruhan disamping harus mengetahui semua dalilnya secara global (ijmal). Jika seseorang hanya mampu mengetahui sebagian aqidah saja berikut dalil-dalilnya sementara yang lain belum diketahuinya lengkap dengan seluruh dalilnya maka orang tersebut belum dianggap cukup menurut pendapat yang mengatakan tidak boleh bertaqlid di bidang aqidah.

  1. PENGERTIAN “MUKHALAFAH LIL HAWADITS”

 

Allah memiliki sifat Mukhalafah lil hawaditsini pengertiannya adalah Allah Ta’ala itu tidak sama dengan makhluq baik itu manusia, jin, malaikat atau yang lain. Dalam hal ini Allah Ta’ala tidak mungkin memiliki sifat yang dimiliki oleh semua makhluq seperti berjalan, duduk atau mempunyai susunan anggota badan. Allah terlepas dari susunan anggota tubuh seperti punya mulut, mata, kuping atau yang lain.

 

Segala sesuatu yang terlintas dalam hati seperti panjang, lebar, pendek dan gemuk, di sini Allah Ta’ala tidak seperti itu. Allah Ta’ala Maha Suci dari segala macam sifat yang dimiliki oleh semua makhluk.

 

  1. DALIL BAHWA ALLAH MEMILIKI SIFAT “MUKHALAFAH LIL HAWADITS”

 

Dalil yang menjelaskan bahwa Allah harus memiliki sifat Mukhalafah lil hawadits adakah jika seandainya ada sedikit saja dari makhluk ini setara dengan Allah Ta’ala, yakni jika seandainya Allah Ta’ala ini memiliki sedikit saja sifat yang sama dengan sifat yang dimiliki  para makhluk niscaya Allah itn baru. Jika Allah.itu baru niscaya Dia butuh kepada yang menciptakan dan yang menciptakan Allah akan butuh juga kepada yang menciptakan lagi dan seterusnya. Yang demikian ini akan menimbulkan adanya daur dan tasalsul. Toh itu sangat muhal terjadi.

 

  1. KESIMPULAN DALIL SIFAT “MUKHALAFAH LIL HAWADITS”

 

Kesimpulan dari dasar tersebut di atas adalah jika seandainya Allah Ta’ala itu menyerupai sedikit saja dari sifat-sifat yang dimiliki oleh salah Satu dari makhluk ini sudah barang tentu Dia menjadi baru sama dengan makhluk tersebut, karena sesuatu yang mungkin terjadi pada salah satu – dari dua hal yang memiliki kesamaan sudah pasti hal itu sangat mungkin terjadi pada yang lain, padahal Mustahil Allah itu hadits (sama dengan makhluk) karena Allah Ta’ala itu wajib qidam.

 

Manakala Allah Ta’ala terlepas dari sifat hadits sudah semestinya Allah itu mukhalafah lil hawadits (tidak sama dengan makhluk).

 

Dengan demikian berarti sudah barang pasti sedikitpun Allah Ta’ala tidak mempunyai kemiripan dengan makhluk. Inilah dalil ijmali yang harus diketahui oleh setiap mukallaf sebagaimana penjelesan terdahulu.

  1. PENGERTIAN SIFAT “QIYAMUHU BINAFSIHI”

 

Arti dari “QIYAMUHU binafsihu” adalah tidak membutuhkan pada tempat dan yang menciptakan. Tempat diartikan sebagai dzat sedang yang menciptakan diartikan sebagai mukhassis.

 

Dengan demikian berarti dari Allah memiliki sifat “Qiyamuhu binafsihi” adalah bahwa Dia tidak butuh kepada dzat lain sebagai sandarannya dan juga tidak butuh kepada yang menciptakan karena memang Dialah Sang Pencipta segala sesuatu.

 

B.DALIL ALLAH MEMILIKI SIFAT “QIYAMUHU BINAFSIHI”

 

Dalil yang membuktikan Allah memiliki sifat “Qiyamuhu binafsihi” adalah jika seandainya Allah itu membutuhkan suatu tempat atau dzat yang dijadikan sebagai pijakan sebagaimana warna putih butuh suatubtempat untuk melekat, niscaya Allah Ta’ala itu berupa suatu sifat sebagaimana halnya warna putih yang juga berupa sifat.

 

Allah Ta’ala tidak mungkin berupa sifat karena Allah Ta’ala sendiri memiliki beberapa sifat sedangkan sifat itu sendiri tidak mungkin memiliki sifat lagi. Dengan demikian berarti Allah Ta’ala itu tidak berupa sifat.

 

Jika seandainya Allah Ta’ala itu butuh kepada yang menciptakan sudah barang tentu Allah itu hadits, dan yang menciptakan Allah juga hadits pula. Bila demikian maka akan terjadilah “Daur dan Tasalsul”. Oleh karenanya maka jelaslah bahwa Allah Ta’ala itu Maha kaya yang memiliki kekayaan mutlak, yakni tidak butuh kepada apapun.

 

Adapun kekayaan yang dimiliki oleh makhluk itu adalah merupakan kekayaan yang terbatas yakni dia hanya memiliki sesuatu tapi masih butuh yang lain. Hanya Allahlah yang memberikan petunjuk kepada kita semua.

  1. PENGERTIAN WAHDANIYYAH

 

Sifat wajib Allah yang ke 6 adalah “Wahdaniyyah” (Esa) yang artinya adalah bahwa Allah Ta’ala itu Maha Esa dalam Dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Esa artinya tidak berbilang.

 

Yang dimaksud Allah Ta’ala Maha Esa dalam dzat-Nya adalah Dzat Allah Ta’ala tidak tersusun dari berbagai macam anggota bada” Dan susunan inilah yang disebut dengan istilah “Kam Muttashil”. Ada lagi yang memberikan pengertian bahwa tidak ada dzat yang manapun yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini yang menyerupai dan mirip dengan Dzat Allah Ta’ala. Kemiripan semacam inilah yang disebut “Kam Munfashil”.

 

Dengan demikian berarti ke-Esa-an Allah dalam dzat ini dapat menafikan (menghapus) dua “Kam” tadi, yakni Kam Muttashil fidz dzat dan Kam Munfashil fidz dzat.

 

Yang dimaksud Allah Esa dalam sifat-Nya adalah bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki dua sifat yang sama, baik sama dalam nama maupun artinya ilmu atau dua sifat iradah. Allah Ta’ala hanya memiliki satu sifat qudrah, satu sifat ilmu dan satu sifat iradah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Sahal yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala itu memiliki beberapa sifat ilmu sesuai jumlah yang diketahui-Nya. Dan inilah – yakni double-nya sifat Allah – yang dinamakan Kam Muttashil fis sifaat.

 

Ada lagi yang mengartikan bahwa tak seorangpun yang memiliki sifat yang menyerupai salah satu dari’sifat-sifat Allah dan inilah – yakni ‘ jika ada orang yang memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifat Allah yang disebut Kam Munfasil fis sifaat.

 

Dengan demikian berarti ke-Esa-an Allah dalam sifat-sifat-Nya telah menafikan adanya Kam Muttashil fis sifaat dan Kam Munfashil fis sifat.

 

Yang dimaksud dengan Allah Maha Esa dalam perbuatan-Nya adalah tak seorangpun di dunia ini yang memiliki perbuatan yang sama atau mirip dengan perbuatan Allah, karena Allahlah yang menciptakan perbuatan semua makhluk tersebut baik itu perbuatan para Nabi, para malaikatatauyanglainnya.

 

Mengenai kematian seseorang atau ada orang yang disiksa lantaran menentang kepada salah satu wali Allah misalnya, itu adalah merupaka! sesuatu yang diciptakan Allah bersamaan dengan marahnya sang wali tersebutkarena dia berani menentangnya.

 

Esa dalam perbuatan tidak boleh ditafsirkan bahwa selain Allah Ta’ala itu memiliki perbuatan sama dengan perbuatan-Nya karena yang demikian itu dapat diartikan bahwa selain Allah juga memiliki perbuatan namun tidak seperti perbuatan Allah. Penafsiran yang demikian ini sam sekali tidak benar karena Allah Ta’alalah yang menciptakan segala perbuatan para makhluk-Nya.

 

Hal-hal yang terjadi pada diri saudara seperti gerakan tangan ketika memukul si Zaid misalnya itu adalah merupakan suatu gerakan yang diciptakan oleh Allah Ta’ala, karena di dalam Al Qur’an Allah telah berfirman: “Dan Allalah yang telah menciptakan kamu dan (menciptakan pula) semua yang kamu lakukan”.

 

Mengenai selain Allah merntiliki perbuatan inilah yang dinamakan dengan istilah “Kam Munfashil fidz dzat”‘.

 

  1. SIFAT WAHDANIYAH MENAFIKAN LIMA KAM

 

Sifat Wahdaniyah (Esa) yang harus dimiliki Allah itu telah menafikan lima Kam yang mustahil bagi Allah, yakni:

 

  1. Kam Muttashul fidz dzat, yakni Dzat Allah memiliki dzat lain yang sama dengan dzat-Nya.
  2. Kam Munfashil fidz dzat, yakni Dzat Allah memiliki dzat lain yang sama dengan dzat-Nya.
  3. Kam Muttashil fis sifat, yakni misalnya bila Allah memiliki dua sifat qudrah (Allah memiliki sifat yang double).
  4. Kam Munfashil fis sifat, yakni bila selain Allah memiliki sifat-sifat yang menyerupai salahsatusifatAllah.
  5. Kam Munfasil fil Afaal, yakni jika selain Allah memiliki perbuatan

 

Kelima kam tersebut di atas menjadi sirna lantaran Allah swt. memiliki sifat Wahdaniyah.

 

  1. DALIL YANG MENUNJUKKAN ALLAH MEMILIKI SIFAT WAHDANIYYAH

 

Dalil yang membuktikan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat Wahdaniyyah adalah adanya alam ini.

 

Jika seandainya Allah Ta’ala memiliki sekutu dalam ke-TuhananNya maka permasalahan ini tidak terlepas dari adakalanya Tuhan tersebut bersatu dalam menciptakan alam ini, yakni Tuhan yang satu berkata “Aku akan menciptakan alam ini”, sedang Tuhan yang lain berkata: “Aku juga ikut menciptakan alam ini bersama kamu agar kita dapat bekerjasama”. Atau bisa jadi kedua Tuhan tersebut saling berselisih dimana Tuhan yang satu berkata: “Aku akan menciptakan alam ini dengan kemampuanku sendiri”, sedang Tuhan yang satunya lagi berkata: “Aku tidak menghendaki jika alam ini diciptakan.”

 

Apabila kedua Tuhan tersebut bersatu dalam menciptakan alam ini, yakni mereka menciptakannya secara bersama-sama dan alam ini terwujud atas kerjasama mereka berdua sudah barang tentu akan terjadi bertemunya dua Tuhan dalam menciptakan satu benda. Padahal yang demikian ini sangat mustahil.

 

Bila kedua Tuhan tersebut tidak bersatu dalam menciptakan alam Ini, bisa jadi kemauan Tuhan yang satu dapat dilaksanakan dan kemudian Tuhan yang lainnya tidak dapat dilaksanakan, maka berarti Tuhan yang tidak mampu melaksanakan kemauannya itu lemah, padahal dibidang ke-Tuhan-anNya – di depan tadi telah kita prediksikan – Tuhan yang tidak mampu melaksanakan kemauannya mempunyai kedudukan yang sama dengan Tuhan yang mampu melaksanakan kemauannya. Jika Tuhan yang satu lemah maka Tuhan yang lainpun juga ikut lemah. Dan jika kedua Tuhan itu sama-sama tidak mampu melaksanakan kehendaknya berarti kedua Tuhan tersebut sama-sama lemah.

 

Andaikan kedua Tuhan tersebut bersatu atau masing-masing Tuhan mempunyai kehendak yang berbeda maka mustahil akan tercipta alam ini karena jika dua Tuhan tersebut bersatu untuk menciptakan alam maka akan terjadilah persekutuan dua Tuhan untuk mewujudkan sebuah benda, padahal ini tidak mungkin terjadi sehingga tidak mudah untuk merealisasikan kehendak kedua Tuhan tersebut yang pada gilirannya tidak mungkin alam ini akan terwujud.

 

Dan jika kedua Tuhan itu mempunyai kehendak yang berbeda dan Tuhan yang satu dapat melaksanakan kehendaknya sementara Tuhan yang.lain tidak, maka Tuhan yang tidak mampu melaksanakan kehendaknya juga lemah sehingga karena kelemahannya itu dia tidak mungkin akan mampu menciptakan alam ini sendirian. Dengan demikian berarti Tuhan itu hanya satu.

 

Jika seandainya kedua Tuhan tersebut berbeda kemauannya dan ‘ masing-masing tidak dapat melaksanakan kemauan tersebut, maka kedua Tuhan tersebut sama-sama lemahnya sehingga mereka tidak akan mampu menciptakan alam ini, padahal sebagaimana kita saksikan bersama alam ini telah tercipta. Dari sini menjadi jelaslah bahwa Tuhan itu hanya satu, yakni Tuhan yang menjadi harapan semua makhluq.

 

Adanya alam ini adalah merupakan bukti atas ke-Esa-an Allah Ta’ala dan juga sebagai bukti bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki sesuatu dan perantara dalam melaksanakan perbuatan-Nya Allah Maha Agung lagi Maha Tinggi, Dialah Yang Maha Kaya yang memiliki kekayaan yang mutlak.

 

Dari dalil di atas dapat diketahui bahwa api, pisau dan makar tidak memiliki kemampuan untuk membakar, memotong dan mengenyangkan. Hanya Allahlah yang menciptakan terbakarnya sesuatu yang disentuh oleh api, Allah-lah yang menjadikan sesuatu itu terpotong lantaran tergores pisau. Dialah yang menciptakan kenyang manakala ia makan dan Allah pulalah yang melenyapkan dahaga bila ia minum.

 

Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa dengan kemampuannya sendiri apa itu bisa membakar, air bisa menyegarkan dan lain sebagainya maka menurut konsensus ulama dia telah menjadi kafir.

 

Dan barangsiapa yang meyakini bahwa api itu dapat membakar lantaran memiliki kekuatan.yang telah diciptakan Allah untuknya maka berarti orang tersebut bodoh lagi fasiq karena berarti dia belum mengetahui tentang hakekat Wahdaniyah.

 

Inilah dalil ijmali yang harus diketahui oleh setiap orang mukallaf laki-laki maupun perempuan. Siapa saja yang tidak mengetahuinya maka ia berstatus kafir menurut pendapat Imam Sanusi dan Imam Ibnu Arabi. Sernoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua. Amin.

 

  1. SIFAT-SIFAT YANG TERMASUK SIFAT SALBIYAH

 

Sifat qidam, baga’, mukhalafah lil hawadits dan giyamuhu binafsih serta wahdaniyah ini dinamakan sifat Salbiyah, yakni sitat-sifat yang memiliki arti menghapus dan meniadakan, karena masing-masing sifat tersebut menghapus dan meniadakan segala sesuatu yang tidak patut bagi Allah Azz wa Jalla.

  1. PENGERTIAN QUDRAH

 

Sifat wajib Allah yang ketujuh adalah “Qudrah” (Kuasa) yang artinya adalah suatu sifat yang menyebabkan ada atau tidak adanya sepala yang mungkin terjadi.

 

Sifat Qudrah ini berkaitan erat dengan sepala sesuatu yang belum ada lalu ia mewujudkannya, sebagaimana saja qudrah yang berhubungan dengan diri sendiri sebelum saudara ada lalu dengan qudrah itu diri saudara menjadi ada.

 

Sifat Qudrah ini juga berkaiatan erat denagn segala sesuatu yang telah ada kemudian ia menjadikannya, sebagaimana sifat qudrah yang berhubungan dengan diri saudara yang dikehendaki Allah untuk tidak ada lalu dengan sifat qudrah itu diri saudara menjadi benar-benar tidak ada.

 

Keterkaitan semacam ini yang dinamakan “Ta’alluq Tanjizi”, yakni keterkaitan sifat qudrah dengan suatu perbuatan. Ta’alluq Tanjizi ini adalah merupakan ta’alluq yang baru.

 

Sifat qudrah ini juga memiliki “Ta’alluq Shaluhi QADIM”, yakni kepatutan sifat qudrah untuk menciptakan sesuatu pada zaman azali (dahulu kala) sehingga pada masa tersebut sifat qudrah ini pantas jika mewujudkan si Zaid menjadi orang yang tingot, pendek atau dempal. dan palut pula menjadikannya st Zaid ini sebagai orang yang berilmu.

 

Ta’alluq Tanjizinya sifat qudrah ini hanya khusus berkaiatan dengan keadaan yang ada pada diri si Zaid saja.

 

Dari penjelasan di atas Japat disimpulkan bahwa sifat qudrah itu memuliii dua ta’alluq, yakru taallug shaluhu qidam sebagaimana penjelasan. di atas dan ta’alluq tanjizi hadits seperti keterkaitan sifat qudrah dengan sesuatu yang tidak ada lalu ia menjadi ada dan juga berkaitan dengan yang telah ada sehingga ia menjadi tidak ada.

 

Keterkaitan semacam inilah, yakni keterkaitan sifat qudrah dengan sesuatu yang ada dan yang tidak ada yang disebut dengan ta’alluq yang sebenarnya.

 

Selain yang tersebut di atas, sifat qudrah juga memiliki ta’alluq lagi yang disebut “Ta’alluq majazi” (keterkaitan yang tidak sebenarnya), yakni keterkaitan sifat qudrah dengan sesuatu yang ada setelah sesuatu itu ada dan sebelum sesuatu itu ada, seperti keterkaitan sifat qudrah dengan diri kita setelah kita ada dan sebelum kita ada. Ta’alluq semacam ini dinamakan “Ta’alluq Qabdlah” dalam arti bahwa wujud itu berada dalam penggaman qudrah, jika Allah menghendaki maka dia akan tetap ada (tidak mati) dan jika Allah menghendaki maka ia akan tidak ada (mati).

 

Hal ini juga sama dengan keterkaitan qudrah terhadap sesuatu yang tidak ada sebelum Allah Ta’ala hendak menciptakannya, sebagaimana keterkaitan sifat qudrah dengan si Zaid pada zaman Topan (kematian massal). Ini juga dinamakan ta’alluq qabdlah, yakni sesuatu yang belum ada itu berada dalam genggaman qudrah, jika Allab menghendaki sesuatu itu akan tetap tidak ada dan jika Allah menghendaki Jain maka Allah akan menyingkirkan yang tidak ada menjadi ada.

 

Masalah ini sama pula dengan keterkaitan qudrah dengan diri kita setelah kita mati nanti sebelum datangnya hari kebangkitan. Ta’alluq yang demikian ini juga dinamakan ta’alluq qabdlah sebagaimana penjelasan di atas.

 

Disamping ta’alluq yang tersebut tadi, sifat qudrah masih memiliki 7 ta’alluq lagi, yaitu:

  1. Ta’alluq shaluhi Qadim.
  2. Ta’alluq qabdlah, yakni keterkaitannya dengan diri kita sebelum Allah menghendaki untuk menciptakan kita.
  3. Ta’alluq bil fi’li, yakni Allah Ta’ala menciptakan sesuatu melalui qudrah-Nya.
  4. Ta’alluq qabdlah, yakni keterkaitannya dengan sesuatu setelah,sesuatu itu ada dan sebelum Allah menghendaki untuk meniadakannya.
  5. Ta’alluq bil fi’li, yakni Allah Ta’ala menciptakan sesuatu dengan qudrah-Nya,
  6. Ta’alluq qabdlah, yakni keterkaitannya dengan sesuatu setelah sesudah stu tidak ada sebelum hari kebangkitan.
  7. Ta’alluq bil fi’il, yakni Allah menciptakan kita kembali pada har kebangkitan nanti,

 

Dari penjelasan di atas, ta’alluq hakiki ini memiliki dua ta’alluq, yakni Allah Ta’ala menciptakan atau tidak menciptakan sesuatu melalui qudrah-Nya.

 

Penjelasan tengang ke 7 ta’alluq tersebut adalah merupaka penjelasan secara rinci, sedangkan penjelasannya secara global adalah bahwa sifat qudrah tersebut memiliki dua ta’alluq sebagaimana yang tersebut di atas yakni ta’alluq shaluhi dan ta’alluq tanjizi. Hanya saja ta’alluq tanjizi ini khusus pada menciptakan atau tidak menciptakan saja.

 

Mengenai ta’alluq qabdlah, ia tidak bisa dikategorikan ke dalam taallug shaluhi Qadim.

 

Penjelasan terdahulu tentang ta’alluqnya sifat.qudrah dengan sesuatu yang telah ada dan yang tidak ada adalah merupakan pendapat kelangan ulama terkenal, sementara pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa sifat qudrah tidak bisa berta’alluq (berkait) dengan sesuatu yang tidak ada. Jika seandainya Allah Ta’ala menghendaki seseorang itu tidak ada maka Allah Ta’ala akan menghambat adanya berbagai macam hal yang menyebabkan dia menjadi tetap hidup.

  1. PENGERTIAN IRADAH

 

Sifat wajib Allah yang kedelapan adalah Qudrah, yang artinya adalah suatu sifat yang menentukan terhadap sesuatu yang mungkin ada atas sebagian sesuatu yang mungkin ada padanya.

 

Zaid misalnya, bisa jadi ia menjadi orang yang tinggi atau pendek. Dalam hal ini sifat iradah adalah yang menentukan dia menjadi orang tinggi, sedangkan sifat qudrah berfungsi untuk mewujudkan “tinggi” yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Dalam hal ini sifat iradah berfungsi menentukan sedang sifat qudrah berfungsi mewujudkan.

 

B.TA’ALLUQ (KETERKAITAN) SEGALA YANG MUNGKIN DENGAN SIFAT QUDRAH DAN IRADAH .

 

Segala yang mungkin yang dikarti (dita’alluqi) oleh sifat qudrah dan iradah ada enam hal, yakni sesuatu yang ada, sesuatu yang tidak ada, sifat seperti panjang dan pendek, masa, tempat dan arah. Semua itu dinamakan hal-hal yang mungkin dan saling berlawanan. Ada. kebalikan tidak ada, panjang kebalikan pendek, atas kebalikan bawah, tempat ini Mesir misalnya adalah kebalikan dari yang lain seperti Syam.

 

Kesimpulannya Adalah si Zaid misalnya sebelum ia diciptakan boleh jadi ja akan tetap tidak diciptakan dan bisa jadi ia akan diciptakan pada masa ini.

 

Ketika si Zaid telah diciptakan maka sifat iradah yang menentukan wujudnya sebagai ganti dari dia tidak diciptakan. Sedangkan sifat qudrah berfungsi mewujudkan si Zaid yang bisa jadi dia diciptakan pada zaman topan atau di masa lain.

 

Sifat yang berfungsi diciptakannya si Zaid di masa ini bukan di masa yang lai adalah sifat iradah.

 

Bisa jadi si Zaid itu menjadi orang tinggi atau pendek. Sifat yang menentukan dia menjadi orang tirggi atau pendek adalah sifat iradah.

 

Dan bisa jadi si Zaid berada di tempat yang tinggi dan sifat yang menentukan dia berada di tempat yang tinggi atau rendah di bumi ini adalah sifat iradah.

 

Qudrah dan iradah merupakan dua sifat yang selalu ada dan senantiasa berada pada dzat Allah Ta’ala sehingga seandainya tabir dibuka dari kita niscaya kita akan mampu menyaksikannya.

 

Kedua sifat tersebut tidak akan berkait kecuali hanya kepada yang mungkin saja dan ia tidak akan terkait dengan segala hal yang mustahil seperti adanya sekutu bagi Allah – Maha Suci Allah dari berbagai macam penyekutuan – dan kedua sifat ini tidak akan berkait dengan hal-hal yang mewajibkan seperti dzat dan sifat Allah.

 

Adalah termasuk kebodohan bila seseorang mengatakan: “Sesungguhnya Allah itu memiliki kekuasaan untuk mengambil anak”, karena alasannya bahwa sifat qudrah tidak mungkin berkaitan dengan segala hal yang mustahil, padahal mengambil anak bagi Allah Ta’ala adalah merupakan sesuatu yang mustahil.

 

Juga tidak boleh dikatakarr “Bila Allah tidak mampu mengambil anak berarti Dia itu lemah”, karena kita telah sepakat kelemahan itu akan terjadi manakala yang tidak mungkin terjadi (mustahil) itu masuk – dalam lingkaran qudrah. Padahal qudrah itu sama sekali tidak terkait dengan segala yang mustahil di samping yang mustahil tadi tidak masuk dalam lingkarannya. Yang masuk pada lingkarannya hanyalah yang mungkin saja.

 

  1. KETERKAITAN (TA’ALLUQ) SIFAT IRADAH

 

Sifat iradah hanya memiliki dua ta’alluq saja, yakni:

 

  1. Ta’alluq shaluhi Qadim, yaitu kepatutan sifat tersebut untuk menentukan segala yang mungkin pada zaman azali. Zaid yang (diciptakan) menjadi orang yang tinggi atau pendek itu bisa jadi tidak seperti apa yang ada pada dirinya sekarang ini tinggal melihat kepada kesesuaian iradah yang ada, yakni mungkin dia menjadi seorang raja (memiliki kedudukan tinggi) atau bisa jadi ia menjadi rakyat jelata (orang rendahan), tinggal melihat bagaimana ta’alluq shaluhinya.

 

  1. Ta’alluq tanjizi Qadim, yaitu penentuan Allah Ta’ala terhadap sesuatu dengan menggunakan sifat yang (sesuatu itu) ada padanya, seperti ilmu yang dimiliki si Zaid itu adalah merupakan iradah (kehendak)Nya. Zaid ditentukan menjadi orang yang berilmu misalnya ja adalah Qadim yang lazim disebut ta’alluq tanjizi Qadim, sedang kepatutan iradah untuk menentukan si Zaid memiliki ilmu atau yang lain dengan hanya melihat kepada dzatnya saja tanpa memandang kepada kepatutan penentuan dengan perbuatannya itu dinamakan ta’alluq shaluhi Qadim.

 

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa sifat iradah memiliki ta’alluq tanjizi hadits, yakni misalnya si Zaid di tentukan menjadi orang yang tinggi ketika dia diciptakan.

 

Bila demikian berarti sifat iradah itu memiliki 3 ta’alluq. Akan tetapi yang jelas yang ketiga ini tidak merupakan bentuk ta’alluq, namun hanya – merupakan sekedar penjelesan dari ta’alluq tanjizi Qadim.

 

Ta’alluqnya sifat qudrah dan iradah ini mencakup semua yang mungkin termasuk segala yang terlintas dalam hati sanubari seseorangpun juga sangat ditentukan oleh iradah (kehendak) Allah Ta’ala yang juga ditentukan melalui qudrah (kekuasaan)-Nya, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Syekh Malawi dalam sebagian bukunya.

 

Ketahuilah bahwa menghubungkan “penentuan” dengan iradah dan “menciptakan serta mewujudkan” dengan qudrah adalah merupakan majaz, sedang sang penentu yang hagigi adalah Allah Ta’ala melalui iradah 9 kehendak-Nya dan pencipta yang hagigi adalah Allah Jalla wa’ala melalui qudrah (kekuasaan)-Nya.

 

Mengenai ucapan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa qudrah dapat membuat orang menjadi begini, bila yang dimaksudkan adalah perbuatan untuk mengubah seseorang itu hakekatnya adalah milik qudrah atau milik qudrah dan dzat Allah maka orang tersebut kafir. “Semoga Allah Ta’ala senantiasa melindungi kita dari kekafiran”. Akan tetapi (yang benar adalah) perbuatan itu adalah milik Allah Azza Wajalla melalui qudrah-Nya.

 

  1. PENGERTIAN ILMU

 

Sifat wajib Allah yang ke sembilan adalah ilmu, yaitu suatu sifat yang Qadim yang melekat pada dzat Allah bagi maujud dimana dengan sifat tersebut segala yang maklum dapat diketahui-Nya dengan jelas tanpa didahului ketidaktahuan terlebih dahulu.

 

  1. KETERKAITAN (TA’ALLUQ) SIFAT ILMU

 

Sifat ilmu ini mempunyai keterkaitan yang erat dengan segala yang wajib, segala yang jaiz dan segala yang mustahil sehingga dengan ilmuNya Dia mampu mengetahui dzat dan sifat-sifat-Nya sendiri, dengan ilmu-Nya pula Dia dapat mengetahui segala sesuatu yang telah ada dan yang belum ada, Dia juga dapat mengetahui segala yang mustahil dalam arti bahwa mengetahui adanya sekutu adalah merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada diri Allah Ta’ala: dan juga mengetahui jika Ia memiliki sekutu maka akan terjadilah kehancuran yang berkepanjangan Maha Suci Allah dari sekutu dan Maha Luhur Dia dengan keluhuran yang tiada tara.

 

Sifat Ilmu ini hanya memiliki ta’alluq tanjizi Qadim saja. Allah Ta’ala mampu mengetahui secara sempurna semua yang tersebut di atas sejak zaman azali tanpa melalui praduga terlebih dahulu dan juga tanpa keragu raguan, karena praduga dan keragu-raguan adalah merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah Ta’ala.

 

Maksud dari pendapat ulama “tanpa didahului adanya ketidakjelasan” adalah bahwa Allah Ta’ala sejak zaman azali telah mengetahui segala sesuatu. Bukan tadinya tidak mengetahuinya baru kemudian dapat mengetahuinya. Maha Suci Allah dari semua itu. Sedang pengetahuan semua yang hadits (makhluq) ada batasnya, yakni pada mulanya ia tidak mengetahuinya baru kemudian dia dapat mengetahuinya.

 

Sifat ilmu ini tidak memiliki ta’alluq shaluhi dalam arti sudah sepantasnya bahwa melalui ilmu-Nya segala sesuatu akan terbuka bagi Allah karena yang demikian itu akan menimbulkan pemikiran bahwa sesuatu itu tidak bisa terungkap dengan suatu perbuatan, sedang tidak dapat terungkapnya sesuatu dengan perbuatan itu adalah merupakan “suatu kebodohan. Maha Suci Allah dari kebodohan itu.

  1. PENGERTIAN HAYAT

 

Sifat wajib Allah yang kesepuluh adalah “Hayat” (hidup), yaitu sugtusifat yang membenarkan kepada orang yang memiliki pemahaman sepert ilmu (pengertian), sama (pendengaran) dan bashar (penglihatan). Artinya Allah harus memiliki sifat “Hayat” tersebut.

 

Dari sifat hayat ini Allah Ta’ala tidak harus memiliki pemahaman melalui perbuatan-Nya Artinya sifat hayat ini sedikit pun tidak memuliki keterkaitan dengan semua yang ada dan yang tidak ada.

 

  1. DALIL TENTANG ALLAH HARUS MEMILIKI SIFAT QUDRAH, IRADAH, ILMU DAN HAYAT

 

Dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala harus memiliki sifat qudrah, adah, ilmu dan hayat adalah adanya semua makhluq ini, karenabila Allah Ta’ala tidak memiliki salah satu dari keempat sifat ini maka seluruh makhluq in tidak akan terwujud. Ketika makhluq ini telah ada maka kita dapat menyimpulkan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat tersebut.

 

Bukti ketergantungan terciptanya makhluq ini terhadap keempat sifat tersebut adalah bahwa seseorang yang hendak membuat sesuatu dia tidak mungkin akan memulai menciptakannya manakala terlebih dahulu ja tidak mengetahui tata cara membuatnya. Setelah ia mengetahuinya baru kemudian punya karsa untuk membuatnya, kemudian kemampuannya bergerak untuk membuatnya dan sudah barang tentu yang membuat sesuatu tersebut harus hidup.

 

Dengan demikian berarti sifat ilmu qudrah dan iradah disebut sifat yang memiliki fungsi ta’tsir (sifat-sifat yang mempengaruhi proses terjadinya sesuatu) karena proses terjadinya sesuatu itu sangat tergantung pada sifat-sifat tersebut, sebab setiap orang yang hendak menciptakan sesuatu, sebelum memulai pekerjaannya tak terlebih dahulu harus mengetahui tatacara membuatnya baru ia mempunyai kemauan untuk membuatnya.

 

Contohnya jika di dalam rumah saudara ada sebuah benda dan saudara hendak mengambilnya maka sebelum saudara mengambilnya harus tahu dulu bagaimana cara mengambilnya. Setelah tahu baru ada karsa untuk mengambilnya, setelah ada karsa baru saudara bisa mengambilnya.

 

Bagi setiap makhluq, keterkaitan sifat-sifat ini harus dilakukan secara berurutan. Pertama dia harus memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dituju, lalu ada karsa kemudian baru melakukan. Sedang bagi Allah Ta’ala sifat-sifat tersebut tidak harus berlaku secara berurutan kecuali jika untuk merasionalkan, yakni menurut pemikiran kitamemang ilmu harus ada dahulu, baru iradah dan kemudian qudrah, sementara dalam praktek dan kenyataannya sifat-sifat Allah tersebut tidak harus berurutan sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ilmu sangat terkait dengan perbuatan, baru iradah kemudian qudrah, karena yang demikian ini hanya berlaku bagi makhluq saja sedang urutan tersebut bagi Allah Ta’ala hanya sebatas uraian pemikiran kita saja.

  1. PENGERTIAN SIFAT SAMA’ DAN BASHAR

 

Sifat wajib Allah yang kesebelas dan dua belas adalah Sama (mendengar) dan Bashar (melihat). Keduanya adalah merupakan sifat yang harus ada pada dzat Allah Ta’ala yang memiliki keterkaitan dengan . segala yang ada, yakni dengan memiliki kedua sifat tersebut segala yang ada di dunia ini akan tampak jelas oleh-Nya baik yang ada itu wajib atau jaiz.

 

  1. KETERKAITAN (TA’ALLUQ) SIFAT SAMA’ DAN BASHAR

 

Sifat sama’ dan bashar ini sangat berkaitan denagn dzat Allah Ta’ala, yang artinya bahwa dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala akan tampak jelas oleh-Nya melalui pendengaran dan penglihatan-Nya melebihi pengamatan melalui ilmu-Nya.

 

Mengenai si Zaid, si Umar dan tembok misalnya Allah Ta’ala mampu melihat diri mereka, juga Allah mampu mendengar dan melihat Slapa pemilik suara tersebut.

 

Jika seandainya saudara berpendapat bahwa mendengarkan suara itu sudah jelas (karena Dia memiliki sifat sama’) lalu bagaimana cara mendengarkan diri Zaid dan tembok. Ini merupakan sesuatu yang perlu ada penjelasan, sementara keterkaitan pendengaran itu hanya kepada suara saja lantaran suara itu hanya bisa didengar. Jawabnya adalah kita harus yakin bahwa kedua sifat tersebut memiliki keterkaitan dengan semua yang ada lalu mengenai bagaimana cara keterkaitannya, itu adalah merupakan hal yang tidak dapat kita ketahui. Dalam hal ini Allah Ta’ala mampu mendengar diri Zaid namun kita tidak tahu bagaimana cara mendengarnya.

 

Yang dimaksud bukan berarti Allah Ta’ala mampu mendengar cara rjalannya si Zaid, karena mendengar akan cara jalan itu telah termasuk alam mendengar suara dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala macam suara. Akan tetapi yang dimaksud adalah mendengar diri dan baan di Zaid melebihi pendengaran-Nya terhadap carajalannya, namun kita tidak tahu bagaimana cara keterkaitan pendengaran Allah Ta’ala dengan bentuk dzat-dzat tersebut.

 

  1. DALIL ADANYA SIFAT SAMA’ DAN BASHAR

 

Dalil yang menunjukkan adanya sifat sama’ dan bashar bagi Allah Ta’ala adalah firman-Nya yang berbunyi:

 

Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat.

 

Ketahuilah bahwa keterkaitan (ta’alluq) sifat sama’ dan bashar bila dihubungkan dengan segala yang baru ada (makhluq) sebelum ia diciptakan disebut ta’alluq shaluhi Qadim, sedang setelah makhluq tersebut diciptakan melalu sifat sama’ dan bashar-Nya Allah Ta’ala mampu melihat secara jelas melebihi pengamatan-Nya melalu sifat ilmu-Nya. Dengan dernikian berarti kedua sifat ini memiliki dua ta’alluq yaitu taallug shaluhi Qadim dan Taallug tanyizi hadits.

 

Akan tetapi bila kedua sifat tersebut dikaitkan dengan dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala maka akan terjadilah ta’alluq tanjizi Qadim dalam arti bahwa dzat dan sifat-sifat Allah sejak zaman azali (dahulu kala) telah dapat diketahui-Nya dengan jelas melalui sifat sama’ dan basharNya sehingga Allah Ta’ala mampu mendengar dzat dan segala sifatNya yang ada seperti qudrah, sama’ dan lain sebagainya. Namun kita tidak tahu bagaimana cara ta’alluqnya, juga kita tidak tahu bagaimana cara Allah Ta’ala memandang dzat dan sifat-sifat-Nya yang ada sepen qudrah, bashar dan yang lain disamping kita tidak tahu pula bagaimana cara ta’alluqnya.

 

Mengenai penjelasan terdahulu tentang sifat sama’ dan bashar memiliki keterkaitan dengan semua yang ada ini adalah pendapat dan Imam Sanusi serta para pengikutnya dan inilah pendapat yang diunggulkan. Ada pula yang berpendapat bahwa sifat sama’ itu hanya berkaitan dengan suara saja, sedang sifat bashar hanya berkaitan dengan segala yang dapat dilihat.

 

Perlu diketahui bahwa pendengaran Allah Ta’ala itu tidak menggunakan telinga dan duan telinga, dan penglihatan-Nya juga tidak menggunakan kurnia dan pelupuk mata. Maha Suci dan Maha Luhur Allah yang tiada tara.

  1. PENGERTIAN KALAM

 

Sifat wajib Allah yang ke tigabelas adalah Kalam (berbicara), yakni suatu sifat Qadim yang berada pada dzat Allah Ta’ala. Pembicaraan (kalam) Allah itu tidak menggunakan huruf dan juga tidak bersuara, tidak ada permulaan dan juga tidak ada akhirnya: tidak memakai susunan dan tidak ada binaknya. Berbeda dengan pembicaraan makhluq.

 

  1. AL QUR’AN BUKAN KALAM ALLAH “Yang dimaksud kalam Allah bukan lafadz-lafadz syarifah (Al Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. itu, karena Al Qur’an an tersebut baru saja diturunkan, sementara sifat kalam yang ada pada Allah Ta’ala itu Qadim (ada sejak dahulu kala).

 

Al Qur’an yang ada pada kita itu pada permulaannya, ada akhirnya, ada surat-suratnya dan ada ayat-ayatnya. Sedang sifat kalam yang Qadim terlepas dari semua itu sehingga disana tidak terdapat ayat, surat maupun i’rabnya, karena semua itu (Al Qur’an) adalah merupakan kalam yang mengandung berbagai macam huruf dan suara, sedangkan pada sifat kalam Qadim tidak terdapat huruf dan suara sebagaimana penjelasan terdahulu.

 

Lafadz-lafadz syarifah (Al Qur’an) tidak dapat menunjukkan adanya sifat kalam Allah yang Qadim tadi. Maksudnya sifat kalam Allah yang Qadim itu ada pada pemahaman Al Qur’an yang artinya bahwa pemahaman dari Al Qur’an itu sama persis dengan pemahaman yang ada pada kalam Allah yang Qadim sehingga seandainya tabir telah terbukti dari kita niscaya kita akan dapat mendengarkannya.

 

Kesimpulannya adalah bahwa lafadz-lafadz yang ada pada Al Qur’an itu menunjukkan suatu makna dan makna ini sama persis dengan pemahaman dari kalam Qadim yang ada pada dzat Allah Ta’ala. Tolong perhatikan perbedaan ini karena banyak orang salah membedakannya.

 

Masing-masing dari sifat Qadimah dan lafadz-lafadz syanifah biasa disebut dengan namaAl Qur’an atau kalam Allah. Hanya saja bedanya bahwa lafadz-lafadz syarifah (Al Qur’an)itu diciptakan dan ditulis di Laukh Al Mahfudz yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw setelah terlebih dahulu Al Qur’an tersebut diturunkan pada – Lalatul Oadar di Baitul Izzah sebuah tempat yangadadi langit dunia yang ditulis pada beberapa lembar kertas dan kemudian disimpan di sana.

 

  1. BAGAIMANA CARA ALQUR’AN DITURUNKAN?

 

Mengenai bagaimana cara Al Qur’an diturunkan, ada beda pendapat di kalangan ulama, yakni:

 

Pertama : Ada yang mengatakan Al Qur’an diturunkan di Batul Izzah dalam satu kali turun, baru kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada masa 20 th, 23 th, atau 25 tahun.

 

Kedua  : Al Qur’an diturunkan di Baitul Izzah pada malam Qadar sesuai dengan ukuran yang ditentukan tiap tahunnya dan ta tidak diturunkan dalam sekali turun.

 

Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. itu berupa lafazh dan maknanya, namun ada yang berperidapat maknanya saja.

 

Tentang cara turunnya Al Qur’an ini dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. mengucapkan makna dan lafadznya, sedang ulama lain mengatakan bahwa malaikat Jibril Lah yang mengucapkan lafadznya.

 

Yang jelas bahwa Al Qur’an itu diturunkan berupa lafazh dan maknanya. Dengan demikian berarti sifat kalam yang ada pada dzat Allah Ta’ala itu Qadim yang tidak menggunakan huruf dan tidak ada suaranya.

 

  1. JAWABAN KELOMPOK AHLUSSUNNAH KEPADA KELOMPOK MU’TAZILAH MENGENAI SIFAT KALAM

 

Kelompok Mu’tazilah merasa bingung tentang adanya kalam (ucapan) tanpa menggunakan huruf, kemudian kelompok Ahlussunnah memberikan jawaban bahwa bisikan hati adalah merupakan ucapan seseorang di dalam hati yang tidak menggunakan huruf dan suara.

 

Dalam hal ini bukan berarti orang-orang Ahlussunnah menyamakan kalam Allah Ta’ala dengan bisikan hati karena kalam Allah itu Qadim sementara bisikan hati adalah hadits. Akan tetapi tujuannya adalah untuk mengcontre pendapat orang-orang Mu’tazilah yang mengatakan tidak ada ucapan yang tanpa menggunakan huruf dan suara.

 

  1. DALIL YANG MEMBUKTIKAN ALLAH MEMILIKI SIFAT KALAM

 

Dasar yang membuktikan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat kalam adalah firman-Nya dalam Al Qur’an: “Dan Allah telah berbicara dengan Nabi Musa dengan sebenar-benar pembicaraan.”

 

  1. KETERKAITAN (TA’ALLUQ) SIFAT KALAM

 

Sifat kalam ini memiliki keterkaitan yang sama dengan sifat ilmu, yaitu berkait pada sesuatu yang wajib, yang jaiz dan yang mustahil. Hanya saja keterkaitan sifat ilmu dengan hal-hal tersebut merupakan ta’alluq inkisyaf yang artinya bahwa segala yang wajib, yang jaiz dan yang mustahil akan menjadi jelas oleh Allah Ta’ala melalui ilmu-Nya, sementara keterkaitan sifat kalam dengan hal-hal tersebut adalah merupakan ta’alluq dalalah yang maksudnya andaikan hijab telah dibuka dari kita dan kita dapat mendengarkan kalam Qadim tersebut niscaya kita akan dapat memahaminya.

  1. PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU QAADIRAN

 

Sifat wajib Allah yang keempat belas adalah Kaunuhu Qaadiran (Allah Maha Kuasa), yakni suatu sifat yang ada pada dzat Allah Ta’ala yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum.

 

Sifat ini berbeda dengan sifat Qudrah, namun antara sifat ini dan sifat Qudrah sama-sama saling membutuhkan sehingga setiap sesuatu yang memiliki qudrah (kekuasaan) pasti disitu ada sebuah sifat yang dinamakan Kaunuhu Qaadiran (dia memiliki kekuasaan) baik sesuatu itu Qadim atau hadits.

 

Si Zaid misalnya, Allah telah menetapkan pada dirinya suatu qudrah (kemampuan) untuk melakukan sesuatu dan pada dirinya pula Allah menciptakan suatu sifat yang disebut “Zaid memiliki kemampuan”. Sifat yang semacam inilah yang disebut haal (keadaan).

 

Qudrah (kemampuan/kekuasaan) bagi makhluq adalah merupakan suatu alasan bagi haal tersebut. Namun bagi Allah Ta’ala qudrah tidak bisa dikatakan sebagai alasan bahwa Allah itu Maha Kuasa, akan tetapi harus dikatakan antara qudrah dan Kaunuhu Qaadiran itu sama-sama saling membutuhkan.

 

Orang-orang Mu’tazilah berpendapat bahwa antara kemampuan makhluk dan ia sebagai orang yang memiliki kemampuan itu sama sama saling membutuhkan. Hanya saja mereka tidak mengatakan bahwa Allah telah menciptakan sifat yang kedua ini. Akan tetapi ketika Allah Ta’ala telah menciptakan suatu kemampuan pada diri makhluq maka dari kemampuan itu akan muncullah sifat lain yang tidak diciptakan oleh Allah yang bisa disebut “dia memiliki kemampuan”.

 

  1. PENGERTIAN SIFAT KAUNUH MURIIDAN

 

Sifat wajib Allah Ta’ala yang kelimabelas adalah Kaunuh Muriidan (Allah Maha Berkehendak), yakni suatu sifat yang berada pada dzat Allah Ta’ala yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum. Dan yang demikian ini disebut “haal”

 

Sifat Kaunuh Muriidan ini tidak sama dengan iradah baik dzat yang memilikinya itu Qadim atau hadits.

 

Pada diri Zaid misalnya, Allah telah menciptakan iradah (kehendak) untuk melakukan seusatu dan pada diri Zaid pula Allah telah menjadikan dia sebagai “orang yang memiliki kehendak.”

 

Penjelasan terdahulu mengenai perbedaan pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah tentang sifat Kaunuhu Qaadiran juga berlaku pada sifat Kaunuhu Muriidan ini.

 

  1. PENGERTIAN SIFAT KAUNUH ‘AALIMAN

 

Sifat wajib Allah yang keenam belas adalah Kaunuh ‘Aaliman (Allah Maha Mengetahui), yakni suatu sifat yang ada pada dzat Allah Taala yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum.

 

Sifat Kaunuhu ‘aaliman ini tidak sama pula dengan sifat ilmu. sifat Imi juga berlaku untuk yang hadits yang contohnya sebagaimana di atas.

 

Beda pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah berlaku pula pada sifat ini.

 

  1. PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU HAYYAN “

 

Sifat wajib Allah yang ketujuh Belas adalah Kaunuhu Hayyan (Allah Maha Hidup), yakni suatu sifat yang ada pada dzat Allah yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum. Sifat ini berada dengan sifat Hayat dan pada sifat ini pula berlaku beda pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah.

  1. PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU SAMII’AN

 

Sifat wajib Allah yang kedelapan belas adalah Kaunuhu Samii’an (Allah Maha Mendengar), yaitu suatu sifat yang berada pada dzat Allah yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum. Sifat ini tidak sama dengan sifat Sama’, dan pada sifat ini terjadi pula perbedaan pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah, sebagaimana penjelasan di depan.

PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU BASHIIRAN

 

“ Sifat wajib Allah yang kesembilan belas adalah Kaunuhu Bashirran (Allah Maha Melihat), yaitu suatu sifat yang berada pada dzat Allah yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum pula. Sifat ini tidak sama dengan sifat Bashar, dan sifat ini juga berlaku beda pendapat antara kelompok kaum Mu’tazilah dan Ahlussunnah sebagaimana di atas.

 

  1. PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU MUTAKALLIMAN

 

Sifat wajib Allah yang kedua puluh yakni sifat yang menjadi kesempurnaan seluruh sifat wajib bagi Allah Ta’ala adalah Kaunuhu Mutakkalimtan (Allah Maha Berbicara), yaitu suatu sifat yang ada pada Dzat Allah yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum.

 

Sifat ini juga tidak sama dengan sifat Kalam dan pada sifat ini pula terdapat perbedaan pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunah sebagaimana pada sifat-sifat

  1. SIFAT-SIFAT YANG TERMASUK DALAM SIFAT MA’ANI DAN MA’NAWIYAH

 

Sifat-sifat yang terdahulu, yakni sifat Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam semua itu dinamakan sifat Ma’ani, sedangkan sifat-sifat yang sesudah itu, yakni Kaunuhu QAADIRAN, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aaliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Samifan, Kaunuhu Bashuiran dan Kaunuhu Mutakalliman disebut sifat Ma’nawiyah. Sifat-sifat Ma’nawiyah ini selalu terkait dan saling berhubungan dengan sifat-sifat Ma’ani karena sifat-sifat tersebut akan selalu bersama dengan sifat-sifat Ma’ani pada sesuatu yang Qadim dan akan muncul daripadanya pada sesuatu yang hadits sebagaimana penjelasan terdahulu.

 

  1. TAMBAHAN IMAM MATURIDI TENTANG SIFAT MA’ANI YANG JUGA DITENTANG OLEH IMAM ASYA’ARI

 

Mengenai sifat Ma’ani Imam Maturidi memberikan tambahan satu sifat lagi sehingga jumlahnya menjadi delapan sifat, yakni yang ia sebut dengan nama “sifat takwin” (menjadikan). Sifat ini adalah merupakan Sifat yang maujud sebagaimana sifat-sifat ma’ani yang lain yang jika seandainya tabir telah dibuka dari hadapan kita niscaya kita akan mampu melihatnya sebagaimana kita mampu melihat sifat-sifat ma’ani yang lainnya.

 

Pendapat ini ditentang oleh kelompok Imam Asy’ari yang mempertanyakan tentang apa sebenarnya manfa’at sifat takwin setelah adanya sifat qudrah? Karena menurut kelompok Imam Maturidi Allah akan mewujudkan atau tidak mewujudkan sesuatu itu menggunakan sifat takwin. Kelompok Maturidi lalu memberikan jawaban bahwa sifat qudrah memiliki fungsi untuk mempersiapkan sesuatu yang mungkin bisa diciptakan yang sebelumnya tidak ada. Dan setelah semuanya beres baru sifat takwinlah yang bertugas untuk mewujudkannya dengan sebuah pekerjaan

 

Jawaban ini dibantah oleh kelompok Asy’ariyah yang mengatakan bahwa sesuatu yang mungkin itu bisa diwujudkan tanpa bantuan sifat yang lain.

 

Dan lantaran kelompok Maturidi ini menambahkan sifat takwim ini ke dalam sifat ma’ani kemudian kelompok Asy’ari lalu memberikan komentar bahwa sifat-sifat perbuatan itu Qadim, seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan mematikan karena kata-kata tersebut adalah merupakan nama-nama untuk menjadikan (takwin) yang mana menurut mereka takwin itu adalah merupakan sifat yang maujud, sementara takwin itu sendiri Qadim sehingga sifat-sifat perbuatan itu juga Qadim.

 

Menurut pendapat kelompok Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat perbuatan itu hadits karena semua itu adalah merupakan nama-nama yang berhubungan dengan ta’alluqnya sifat qudrah. Menghidupkan misalnya adalah merupakan sebuah yang masuk pada ta’alluqnya sifat qudrah dengan hayat, memberikan rizki juga merupakan sebuah nama yang masuk pada taallaugnya sifat qudrah dengan yang diben rizki, menciptakan adalah sebuah nama yang masuk pada ta’alluqnya sitat qudrah dengan yang diciptakan dan mematikan pula merupakan sebuah nama yang masuk pada ta’alluqnya sifat qudrah dengan kematian. Menurut pendapat kelompok Asyari ta’alluqnya sifat qudrah adalah hadits.

  1. PERINCIAN SIFAT MUHALALLAH

 

Dari ke 50 aqidah yang tersebut di atas ada lagi 20 sifat yang menjadi lawan dari ke 20 sifat wajib Allah, yaitu:

  1. Adam (tidak ada) sebagai lawan dari Wujud (ada).

 

  1. Huduts (baru) sebagai lawan dari QIDAM (dahulu kala). “

 

  1. Fana’ (rusak) sebagai lawan dari Baga’ (kekal).

 

  1. Mumatsalah lil hawadits (sama dengan makhluk) sebagai lawan dari Mukhalafah lil hawadits (tidak sama dengan makhluk).

 

Rasanya mustahil bila Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifatnya makhluq sehingga tidak mungkin Allah terlewati oleh masa, Allah tidak memiliki tempat, Allah tidak bergerak, Allah tidak tenang, Allah memiliki warna dan tidak berada dalam suatu arah, Allah Ta’ala tidak boleh dikatakan ada diatas suatu benda dan tidak berada disebelah kanan suatu benda, Allah tidak berada pada suatu arah sehingga tidak boleh dikatakan: “Saya berada di bawah Allah”. Mengenai orang yang mengatakan bahwa saya berada di bawah Tuhan dan Tuhan ada di atas saya, ini adalah merupakan ucapan yang mungkar dimana orang yang meyakininya dikhawatirkan menjadi kafir.

 

  1. Ihtiyaaj (membutuhkan) pada suatu tempat atau sesuatu untuk berpijak, atau Allah Ta’ala butuh kepada seseorang yang menentukan atau yang mewujudkan-Nya. Maha Luhur Allah dari semua itu. Sifat ini adalah merupakan kebalikan dari QIYAMUHU binafsihi (berdiri sendiri).

 

  1. Ta’addud yang artinya bahwa dzat Allah memiliki struktur atau Allah Ta’ala memiliki tandingan baik dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya. Sifat ini adalah merupakan kebalikan dari sifat Wahdaniyah (Esa).

 

7 ‘Ajzu (lemah) sebagai lawan dari Qudrah (Kuasa). Dalam hal ini Allah muhal tidak memiliki kemampuan (untuk menjadikan atau tidak menjadikan) segala yang mungkin dilakukani.

 

  1. Karahah (dipaksa) sebagai lawan dari Iradah (berkehendak). Dalam hal ini mustahil bila Allah Ta’ala ketika menciptakan alam ini dengan cara dipaksa. Oleh karenanya segala yang ada didunia ini telah diciptakan-Nya atas kehendak dan prakarsa-Nya sendiri.

 

Dari keharusan Allah Ta’ala memiliki sifat Iradah ini dapat disimpulkan bahwa terciptanya seluruh alam ini tidak karena adanya suatu sebab atau tidak ada dengan sendirinya. Perbedaan antara adanya alam ini lantaran suatu sebab dan ada dengan sendirinya adalah:

 

  1. Bila alam ini terwujud karena adanya suatu sebab maka ketika sebab itu telah ada niscaya alam ini akan terwujud tanpa adanya ketergantungan dengan hal-hal yang lain. Contohnya gerakan jari jemari kita ini adalah merupakan sebab akan bergeraknya cincin yang ada di jari itu. Manakala jari kita bergerak maka akan bergerak pula cincin yang ada pada jari tersebut.

 

  1. Suatu yang ada karena kemampuannya sendiri akan sangat tergantung dengan adanya syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya. Api misalnya tidak akan dapat membakar manakala api tersebut tidak menyentuh kayu dan kayu tersebut tidak basah dimana basah itu adalah merupakan penghambat sehingga api tidak mampu membakarnya.

 

Memang ada yang berpendapat bahwa api itu bisa membakar sesuatu dengan kemampuannya sendiri -semoga mereka mendapat laknat Allah-. Akan tetapi sebenarnya Allahlah yang menciptakan kayu itu bisa terbakar ketika tersentuh oleh api sebagaimana Allah menciptakan gerakan cincin ketika jari itu digerakkan. Jadi di sini tidak ada sesuatu yang terwujud melalui adanya sebab dan dengan kemampuannya sendiri, kecuali menurut orang-orang yang berpendapat demikian.

 

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Allah mustahil menjadi suatu sebab atas terwujudnya alam ini dimana alam int tercipta tanpa adanya perantara dari Dia atau Dia sebagai mediator yang mana alam ini bisa terwujud karena dimediatoriNya. Maha Suci Allah dari semua itu dan Maha Luhur Allah dengan keluhuran yang tiada tara.

 

  1. Juhlun (bodoh) yang artinya mustahil Allah Ta’ala tidak dapat mengetahui segala yang ada di dunia ini baik itu jahil bashit yakni tidak mengetahuinya sama sekali atau jahil murakkab yakni mengetahui sesuatu tidak sesuai denagn kenyataan yang ada, juga mustahul Allah itwpelupa atau bingung. Sifat ini adalah merupakan kebalikan dari sifat Ilmu (mengetahui).

 

  1. Mautun (mati) sebagai lawan dari Hayat (hidup).

 

11 Shamam (tuli) sebagai lawan dari Sama’ (mendengar)

 

  1. ‘Ama (buta) sebagai layan dari Bashar (melihat)

 

  1. Bakam (bisu) sebagai lawan dari Kalam (berbicara).

 

  1. Kaunuhu ‘Ajizan (Allah itu lemah) sebagai lawan dari Kaunuhu QAADIRAN (Allah Maha Kuasa).

 

  1. Kaunuhu Kaarihan (Allah dipaksakan) sebagai lawan dari Kaunuhu Muriidan (Allah Maha Berkehendak).

 

  1. Kaunuhu Jaahilan (Allah itu bodoh) sebagai lawan dari Kaunuhu ‘Aaliman (Allah Maha Mengetahui).

 

  1. Kaunuhu Mayyitan (Allah itu mati) sebagai lawar’dari Kaunuhu Hayyan (Allah Maha Hidup).

 

  1. Kaunuhu Ashamma (Allah itu tuli) sebagai lawan dari Kaunuhu Samii’an (Allah Maha mendengar).

 

  1. Kaunuhu A’maa (Allah itu buta) sebagai lawan dari Kaunuhu Bashiiran (Allah Maha Mengetahui).

 

  1. Kaunuhu Abkam (Allah itu bisu) sebagai tawan dari Kaunuhu Mutakalliman (Allah Maha Berbicara).

 

Inilah kedua puluh sifat yang mustahil terjadi pada dzat Allah Ta’ala

 

“Ketahuilah bahwadalil dari masing-masing ke 20 sifat wajib Allah Ta’ala adalah bahwa sifat-sifat tersebut sudah menjadi milik tetap Allah yang sekaligus menafikan segala sifat kebalikannya. Dan dalil adanya tujuh sifat Ma’ani adalah dalil yang ada pada ketujuh sifat ma’nawiyah.

 

Inilah ke 40 aqidah yang harus diketahui oleh setiap mukallaf baik laki-laki maupun perempuan, yakni yang 20 berupa sifat wajib Allah, dan yang 20 lagi adalah sifat muhal Allah serta inilah pula 20 dalil yang masing-masing menetapkan satu sifat dan menafikan kebalikannya.

 

Perlu diingat bahwa ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu maujudat, ma’dumat, ahwaal dan i’tibarat.

 

  1. Muajudat (segala yang ada) seperti keadaan dari Zaid sebagaimana yang dapat kita saksikan bersama.
  2. Ma’dumat (segala yang belum ada) seperti anak kita yang belum lahir.
  3. Ahwaal (keadaan) seperti keberadaan seseorang yang memiliki kemampuan.
  4. Itibarat (ketetapan) seperti si Zaid yang ditetapkan sebagai.orang yang sedang berdiri.

 

Pendapat ini, yakni yang membagi menjadi 4 bagian telah ditulis oleh Imam Sanusi dalam kitab “Ash Shughra” karena beliau telah menetapkan adanya ahwaal adn menghitung sifat-sifat wajib Allah ada 20, juga beliau menulisnya pada kitab yang lain lagi yang menjelaskan pula tentang pendapat ulama yang menafikan ahwaal. Inilah pendapat yang benar.

 

Menurut pendapat ini berarti sifat wajib Allah hanya 13 karena pendapat ini menggugurkan 7 Sifat ma’nawiyah, yakni Kaunuhu QAADIRAN, Kaunuhu Muriidan, Kaunuhu ‘Aaliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Samif’an, Kaunuhu Bashiiran dan Kaunuhu Mutakalliman. Dengan demikian berarti Allah tidak memiliki sifat Kaunuhu QAADIRAN karena yang jelas menurutnya tidak menganggap adanya ahwaal. Jika demikian berarti segala yang ada didunia ini hanya 3 bagian, yakni maujudat, Ma’dumat dan i’tibaarat.

 

Manakala dari 20 sifat wajib Allah Ta’ala ada 7 sifat ma’nawiyah yang gugur maka akan gugur pula ke 7 sifat yang menjadi kebalikannya sehingga di sini sifat Kaunuhu ‘Aajizan dan seterusnya tidak akan lagi dan sifat-sifat tersebut tidak masuk lagi dalam jajaran sifat mustahil bagi Allah. Dengan demikian berarti jumlah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah hanya tinggal 13 sifat saja.

 

Jumlah sebanyak itu bila kita masih menghitung sifat Wujud sebagai suatu sifat menurut pendapat selain Imam Asyari. Menurut Imam Asyari sifat Wujud adalah menipakan keadaan sesuatu yang maujud. Menurutnya wujudnya Allah Ta’ala adalah merupakan keberadaan dzat-Nya sendiri sehingga wujud di sini bukan merupakan suatu sifat. Dengan demikian berarti sifat wajib Allah hanya tinggal 12 saja yang dimulai dari QIDAM, Baga’, Mukhalafah lil hawadits. QIYAMUHU binafsihu yang biasa diistilahkan sebagai yang memiliki kekayaan yang mutlak, Wahdaniyah, Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam. Dalam Kal ini sifat ma’nawiyah tidak dihitung karena adanya sifat ma’nawiyah tersebut mengikuti pendapat yang mengakui adanya ahwaal, “padahal yang benar Allah Ta’ala tidak seperti itu.

 

Apabila saudara ingin mengajarkan sifat-sifat AlTah Ta’ala kepada masyarakat umum, maka sebaiknya saudara menggunakan nama-nama lain dari sifat-sifat tersebut. Saudara bisa mengajarkannya kepada mereka bahwa Allah Ta’ala itu maujud (ada), QADIM (dahulu), Baga’ (kekal). Mukhalafah lil hawadits (tidak sama dengan makhluq) atau dengan kata lain Allah tidak membutuhkan sesuatu, Qadiir (kuasa), Muriid (yang berkehendak), ‘Aalim (yang mengetahui), Hayyun (yang hidup), Samii’ (yang mendengar), Bashir (yang melihat) dan Mutakallim (yang berbicara). Disamping itu pula saudara harus mengajarkan sifat-sifat yang menjadi kebalikannya.

Ketahuilah bahwa sebagian ulama telah membedakan antara haal dan itibarat. Menurut mereka haal dan i’tibarat masing-masing merupakan sesuatu yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum akan efapi masing-masing memiliki kepastian tempat pada dirinya sendiri. . Hanya saja Haal itu memiliki keterkaitan (ta’alluq) dan dia berdiri pada suatu dzat sementara itibarat tidak memiliki keterkaitan dengan dzat.

 

Ada yang mengatakan bahwa ibarat itu mempunyai kepastian tempat di luar hati. Pendapat ini ditentang oleh ulama lain yang mengatakan bahwa i’tibarat itu berupa sifat. Jika ia tidak memiliki hubungan dengan dzat dan ia memiliki kepastian tempat di luar hati lahu dimana barang yang disifati? Padahal sifat itu tidak mungkin bisa berdin sendiri dan la sangat membutuhkan pada sesuatu yang disifati. Menurut kami yang benar itibarat tidak memiliki tempat yang pasti kecuali hanya di luar hati saja.

 

  1. PEMBAGIAN I’TIBARAT

 

I’tibarat ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

 

  1. Itibarat ikhtira’i, yaitu sesuatu yang wujudnya tidak ada asalnya sebagaimana jika kita membayangkan seeorang dermawan yang bakhil atau ada orang bodoh yang pandai.

2, Ttibarat intiza! yaitu sesuatu yang dalam kenyataannya memiliki asal mula, seperti keadaan Zaid yang sedang berdiri, Keadaan ini terlepas dari ucapan “Zaid berdiri” dan berdirinya si Zaid menurut kenyataannya sudah ada sebelumnya.

 

Aqidah yang ke 41 adalah sifat jaiz bagi Allah Ta’ala dimana setiap orang mukallaf wajib meyakini bahwa Allah Ta’ala bisa menciptakan , sesuatu yang baik atau yang buruk, Allah Ta’ala bisa saja menciptakan si Zaid sebagai orang Islam dan menciptakan si Umar sebagai orang kafir, bisa saja Allah Ta’ala menjadikan yang satunya pandai dan yang lain bodoh.

Diantara yang wajib diyakini setiap mukallaf adalah bahwa semua masalah yang baik atau yang buruk itu adalah atas qadla’ dan qadar-Nya. Mengenai arti qadla’ dan qadar ini terjadi beda pendapat di kalangan ulama, Ada yang berpendapat bahwa qadla’ (dahulu kala), sedang qadar adalah penciptaan Allah Ta’ala atas sesuatu yang sesuai dengan kehendak-Nya.

 

Kehendak Allah yang ada sejak zaman azali seperti kehendak Pencipa tak saudara menjadi orang pandai atau menjadi presiden itu disebut godla’, sedang menciptakan ilmu pada diri saudara setelah saudara lahir atau menjadi presiden yang sesuai dengan kehendak-Nya itu disebut qadar.

 

Ada pula yang berpendapat bahwa qadla’ adalah iImu Allah yang ada sejak zaman azali yang memiliki keterkaitan dengan segala yang maklum, sedang qadar adalah penciptaan Allah Ta’ala atas sesuatu yang sesuai denagn ilmu-Nya. Ilmu Allah Ta’ala yang ada sejak zaman azali untuk menjadikan seseorang menjadi pandai ketika ia telah lahir nanti itu disebut qadla’, sedang mencipatakan kepandaian pada dirinya setelah Ia lahir nanti disebut qadar. Menurut masing-masing pendapat tersebut ds atas mereka sepakat bahwa qadla’ itu Qadim karena ta adalah | merupakan salah satu dari sifat Allah Ta’ala baik yang mengatakan pada gadia’ rtu sebagai kehendak atau yang mengatakan sebagai ilmu, sedang qadar itu sebagai kehendak atau yang mengatakan sebagai ilmu, sedang qadar adalah hadits karena qadar adalah merupakan penciptaan dan penciptaan itu termasuk pada ta’alluqnya sifat Qudrah, sementara taallugnya sifat Qudrah itu juga hadits.

Dalil yang membuktikan bahwa segala yang mungkin itu jaiz bagi Allah Ta’ala adalah bahwa hal tersebut menurut konsensus ulama adalah memang jaiz. Andaikan Allah Ta’ala harus menciptakan sesuatu niscaya sesuatu yang jaiz itu akan berubah menjadi wajib, dan seandainya Allah harus tidak menciptakan niscaya yang jaiz itu akan berubah menjadi mustahil, sedang perubahan yang jaiz menjadi wajib atau mustahil itu adalah tidak benar (batal).

 

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa Allah Ta’ala tidak mempunyai keharusan atas sesuatupun. Ini sangat berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala harus menciptakan suatu kebajikan terhadap hamba-Nya, dalam arti Allah Ta’ala harus memberikan rizki kepada hamba-Nya. Ini adalah merupakan kebohongan dan kedustaan terhadap Allah Ta’ala Maha Suci Allah dani semua itu. 

 

Misalnya si Zaid dijadikan orang beriman dan diberi ilmu oleh Allah Ta’ala ini adalah merupakan anugerah-Nya, bukan merupakan suatu kewajiban bagi-Nya.

 

Juga termasuk sanggahan terhadap kaum Mu’ttazilah adalah adanya anak kecil yang mendapat cobaan seperti sakit dan lain sebagainya, padahal ini adalah sesuatu yang tidak patut bagi anak kecil tersebut.

 

Jika berbuat baik itu adalah merupakan kewajiban Allah Ta’ala niscaya tidak mungkin anak kecil tersebut akan terkena cobaan, karena menurut mereka (Mu’tanzilah) Allah Ta’ala tidak mungkin akan melalaikan kewajiban-Nya sebab melalaikan kewajiban bagi-Nya adalah merupakan suatu kekurangan. Maha Suci Allah dari segala kekurangan itu.

 

Menurut pendapat Ahlussunnah Allah memberikan pahala kepada orang yang ta’at adalah merupakan anugerah dari-Nya dan memberikan siksa kepada orang yang durhaka adalah merupakan keadilan-Nya, karena ketaatan seseorang tidak akan membawa dampak positif bagi Allah Ta’ala dan kemaksiatan seseorangpun tidak akan membawa dampat negatif bagi-Nya, sebab Dialah yang memberikan manfa’at yang sekaligus memberikan bahaya. Ketaatan dan kemaksiatan yang ada hanyalah sebagai pertanda bahwa Allah Ta’ala berhak untuk memberikan pahala atau menyiksa kepada orang-oang yang mempunyai predikat orang ta’at atau orang durhaka.

 

Barangsiapa yang dikehendaki Allah Ta’ala menjadi yang dekat dengan-Nya maka ia akan diberikan pertolongan untuk ta’at dan barangsiapa yang dikehendaki Allah Ta’ala untuk dihinakan dan jauh daripada-Nya maka ia akan diciptakan sebagai orang yang durhaka.

 

Dengan demikian berarti semua perkara baik itu perbuatan yang baik atau yang buruk adalah merupakan ciptaan Allah Ta’ala karena hanya Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan semua yang mereka lakukan, sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya.

 

Dan Allahlah yangtelah menciptakan kamu. dan (menciptakan pula) segala yang kamu lakukan.

Diantara yang harus diyakini lagi adalah bahwa Allah Ta’ala bisa dilihat oleh orang-orang mu’min di akhirat nanti, karena Allah telah mengkaitkan melihat Allah ini dengan keberadaan gunung sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

 

“Jika ia (gunung itu) tetap berada di tempatnya (sebagaimana sedia – kala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” (Al A’raaf: 143)

 

Keberadaan gunung yang tetap berada di tempatnya itu adalah merupakan sesuatu yang jaiz sehingga melihat Allah yang dikala itu juga menjadi jaiz pula karena sesuatu yang dikaitkan dengan yang jaiz diapun Juganmenjadi jaiznpula.

 

Namun perlu diketahui bahwa melihat Allah swt. nanti tidak bisa dibayangkan, yakni tidak seperti bila kita melihat orang lain. Allah Taala tidak bisa dilihat berada pada suatu arah, tidak ada warnanya dan tidak memiliki bentuk. Maha Suci Allah dari semua itu dengan ketinggian yang tiada bandingnya.

 

Orang-orang Mu’tazilah -semoga Allah menjelek-jelekkan merekatidak mengakui adanya melihat Allah Ta’ala di akhirat nanu dan ini merupakan bagian dari aqidah mereka yang sesat dan tidak benar.

Ada lagi termasuk aqidah mereka yang sesat adalah mereka menganggap bahwa manusia itu mampu menciptakan pekerjaannya sendiri. Sebab pendapatnya yang demikian inilah kelompok yang dinamakan aliran Qodariyah, karena mereka berpendapat bahwa segala yang dilakukan oleh seseorang itu atas prakarsanya sendiri. Aliran ini bertolak belakang dengan aliran Jabariyah yang mengatakan bahwa Seseorang itu sangat dipaksakan oleh Allah untuk melakukan suatu pekerjaan yang akan dilakukan. Aliran ini dinamakan aliran Jabariyah karena identik dengan pemahaman mereka tentang pemaksaan pekerjaan seseorang. Ini juga termasuk aqidah yang sesat.

 

Yang benar seseorang itu tidak mampu menciptakan pekerjaannya sendiri dan dia tidak juga dipaksakan oleh Allah. Akan tetapi Allah-lah yang menciptakan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang disamping dia memiliki kebebasan dalam melakukan pekerjaan tersebut.

 

Imam Sa’ad dalam syarah kitab “Al Aqaa’id” mengatakan: “Kebebasan semacam ini tidak mungkin diungkapkan melalui kata-kata, akan tetapi setiap orang akan dapat membedakan manakah yang dipaksakan antara gerakan tangan yang digerakkan sendiri atau gerakan tangan yang diterpa oleh angin?”

 

Ada lagi yang termasuk sifat jaiz Allah Ta’ala adalah Allah Ta’ala yaitu Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., Nabi Isa as., dan Nabi Nuh as. Tingkatan kemuliaan mereka itu adalah sebagaimana urutan tersebut.

 

Jadi jumlah Nabi yang memiliki gelar Ulul Azmi ada 5 yaitu beliau Nabi Muhammad saw. dan 4 orang Nabi yang tersebut di atas. Ini adalah pendapat yang shahih meskipun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Nabi Ulul Azmi tidak hanya itu saja.

 

Masih ada lagi yang memiliki keutamaan di bawah para Nabi Ulul Azmi, yakni para Rasul dan para Nabi lainnya – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita dan kepada mereka Setelah itu baru para malaikat.

 

Dan yang harus diyakini lagi adalah bahwa Allah Ta’ala telah mengutus para Rasul dan Nabi itu telah diperkuat dengan berbagai macam mu’jizat, dan Nabi Muhammad saw. diciptakan khusus sebagai penutup para Rasul disamping syartat (ajaran agama) beliau tidak akan mungkin diamandemen hingga akhir zaman nanti.

Mengenai Nabi Isaas, di akhir zaman nanti beliau akan turun dan memberikan konsep hukum Nabi kita Muhammad saw.

 

Ada yang berpendapat bahwa hukum yang diberlakukan oleh Nabi Isa as. nanti adalah bersumber dari Al Qur’an dan Hadits Nabi, dan ada pula yang berpendapat bahwa setelah Nabi Isa as. turun nanti beliau terus menuju ke makan Nabi Muhammad saw. dan disitu Nabi Isa as. kemudian belajar kepada beliau Nabi Muhammad saw.

Ketahujlah bahwa sebagian syariat Nabi Muhammad saw, ada yang diamandemen dengan sebagian yang lain, sebagaimana kewajiban iddah (masa menanti) selama satu tahun penuh bagi seorang wanita yang ditinggal mati suaminya yang diamandemen dengan hanya menanti (beriddah) selama 4 bulan 10 hari saja, tidak boleh kurang.

  1. KEWAJIBAN MENGENAL PARA RASUL

 

Setiap mukallaf baik laki-laki maupun perempuan wajib mengenal Secara. rinci para Rasul yang tersebut dalam Al Qur’an dan juga wajib mempercayainya.

 

Menurut pendapat Syekh Malawi cukup beriman kepada masingmasing rasul yang ada saja sehingga jika seandainya dia ditanya tentang nsalanya diapun mau mengakuinya dan dia tidak wajib menghafalnya secara rinci

 

Tentang selain para rasul yang tersebut di atas, kita wajib mempercayainya secara global saja. Namun dalam syarah kitab “Al Maqaashid” menyitir pendapat Imam Sa’ad dikatakan bahwa setiap mukallaf cukup mempercayainya secara global saja, hanya saja dia tidak boleh diikuti.

 

Mengenai para Rasul ini ada sebagian ulama yang menciptakan sebuah syair:

 

Wajib bagi setiap mukallaf mengenal para Nabi secara rinci sebagaimana mereka telah termaktub dalam ayat “WATILKA HUJJATUNAA” yakni sebanyak 18 dan sisanya 7 lagi, yakni Idris, Huud, Syu’aib, Sholeh, Dzul Kifli, dan Adam. Mereka ini diakhiri Nabi pilihan (Muhammad saw.)

 

  1. MASA PARA SAHABAT ADALAH MASA YANG TERBAIK

 

Di antara hal-hal yang harus diyakini lagi adalah bahwa masa para sahabat Rasulullah saw. adalah masa yang terbaik, kemudian disusul masa para tab’in (generasi setelah sahabat) lalu masa tabi’it tabi’in (generasi setelah tabi’in).

 

Perlu diketahui bahwa shahabat yang paling mulia adalah Abu Bakar Ash Shiddig, kemudian Umar, lalu Utsman baru kemudian Ali sesuai dengan urutan yang ada.

 

Akan tetapi Imam Al ‘Aqlami berpendapat bahwa Sayyidatina Fatimah dan saudaranya Sayyid Ibrahim itu lebih utama secara mutlak dibanding dengan semua shahabat termasuk keempat orang Khalifah tersebut di atas. Sementara junjungan kita Imam Malik mengatakan: “Saya tidak berani mengunggulkan seseorangpun melebihi darah daging Rasulullah saw”. Inilah yang harus diyakini dan Insya Allah kita akan bertemu Allah.

 

C.ORANG TUA WAJIB MENDIDIK ANAKNYA MENGENAL KELAHIRAN NABI SAW.

 

Diantara yang harus diyakini lagi adalah bahwa Rasulullah saw. dilahirkan di kota Mekkah dan wafat di Madinah. Setiap orang tua wajib mengajarkan hal ini kepada anak-anaknya.

 

Menurut pendapat Imam Al Ajhuri: “Kecuali mengetahui hal itu juga setiap orang tua wajib mengetahui nasab beliau Rasulullah saw. baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu” Penjelasan tentang nasab Nabi saw. ini insya Allah akan kami beberkan pada bagian penutup nanti.

 

Disamping Itu Sebaiknya setiap orang tua mengenal juga para putra Rasulullah saw. sesuai dengan urutan kelahirannya, karena sebaiknya setiap orang bisa mengenal para pemimpinnya yakni pemimpin ummat. Namun hal ini sepengetahuan saya para ulama tidak ada yang menjelaskan apakah itu hukumnya wajib atau sunnat. Akan tetapi bila diqiyaskan dengan yang tersebut di atas yang sepadan hukumnya akan menjadi wajib.

 

Putera Rasulullah saw. menurut pendapat yang shahih jumlahnya ada 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan.

 

Adapun urutannya dalam kelahiran adalah: Qasim yang lahir pertama kemudian Zainab, Rugayyah, Fatimah, Ummu Kultsum, Abdullah yang juga diberi gelar Thayyib dan Thahir. Kedua nama itulah sebagai gelar Abdullah, bukan nama dua orang yang berbeda. Keenam putera tersebut berasal dari seorang ibu Sayyidatina Khadijah, sedang putera yang ke 7 bernama Ibrahim yang berasal dari Ibu Mariyam Al Qibthiyyah.

 

Kami mohon ini dipahami dahulu-baru kemudian mari kita kembali kepada masalah aqidah.

Aqidah yang ke 42 adalah para Rasuk – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka -itu memiliki sifat “Shidqu” (selalu benar) dalam segala tindakan dan ucapannya,

 

Aqidah yang ke 43 adalah para Rasul tersebut memiliki sifat “Amanah” yakni mereka terlindungi agar tidak terjerumus untuk melakukan yang haram atau yang makruh.

 

Aqidah yang ke 44 adalah para Rasul memiliki sifat “Tabligh” (menyampaikan) segala perintah kepada semua makhluk.

 

Aqidah yang ke 45 adalah para Rasul memiliki sifat “Fathanah” (cerdik).

 

Inilah ke 4 sifat yang harus dimiliki para Rasul – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka – dalam arti bahwa akal tidak bisa menerima manakala sifat-sifat tersebut tidak dimiliki mereka disamping iman seseorang akan sangat beruntung dengan mengetahui sifat-sifat tersebut di atas sesuai beda pendapat antara Imam Sanusi dan yang lain.

 

  1. SIFAT MUHAL PARA RASUL

 

Bagi para Rasul – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka – mustahil memiliki sifat-sifat yang menjadi kebalikan ke 4 sifat tersebut di atas. Mereka mustahil memiliki sifat “Kadzib” (dusta), Khianat sehingga mereka melakukan yang haram atau yang makruh, Kitman (tidak menyampaikan) segala yang diperintahkan untuk disampaikan kepada makhluq dan Baladah (dungu).

 

Keempat sifat inilah yang mustahil dimiliki para Rasul – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka – dalam arti tidak akan mempercayainya manakala mereka memiliki sifat-sifat tersebut disamping iman seseorang akan sangat tergantung kepada mengetahui sifat-sifat tersebut sebagaimana penjelasan di atas.

 

Sampai di sini berarti jumlah aqidah telah mencapai 49 aqidah.

 

  1. SIFAT JAIZ PARA RASUL

 

Yang menjadi penutup dan kesempurnaan 50 aqidah ini adalah Sifat jaiz para Rasul, yaitu:

 

Para Rasul memiliki sifat-sifat yang lazim dilakukan oleh manusia biasa selama sifat-sifat tersebut tidak sampai menurunkan derajat mereka yang tinggi itu.

 

  1. DALIL ADANYA SIFAT SHIDIQ

 

Dalil yang menunjukkan para Rasul – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka – memiliki sifat “Shidiq” adalah jika seandainya mereka itu berdusta niscaya berita-berita yang datang dari Allah itu juga dusta karena Allah Ta’ala telah membenarkan pengakuan mereka sebagai Rasul dengan menampakkan mu’jizat yang ada di tangan mereka dan mu’jizat itu memiliki kedudukan yang sama dengan firman Allah Ta’ala:

 

“Hamba-Ku (Muhammad) selalu benar (jujur) dalam menyampaikan setiap sesuatu yang datang dari Aku.”

 

Penjelasannya adalah bahwa ketika seorang Rasul mendatangi tempatnya dan bekrata: “Aku adalah utusan Allah kepada kamu”, kemudian mereka mempertanyakan: “Apa buktinya jika engkau seorang Rasul?” Lalu ia menjawab: “Terbelahnya gunung” misalnya, kemudian bila mereka mendesak agar ia membuktikan ucapannya maka pada Saat itu pula akan terbelahlah gunung itu sebagai bukti atas kebenaran. pengakuannya sebagai seorang Rasul. Dengan demikian berarti pembelahan gunung oleh Allah Ta’ala mempunyai kedudukan yang sama dengan firman-Nya tadi yakni:

 

Jika seandainya Rasul itu berdusta maka sudah barang pasti berita yang dibawanya itu juga merupakan berita bohong, padahal bohong adalah merupakan sesuatu yang muhal bagi Allah Ta’ala sehingga kebohongan Rasulpun adalah muhal pula. Bila dusta itu tidak terdapat pada diri Rasul maka yang ada tinggallah kebenaran belaka.

 

  1. DALIL ADANYA SIFAT AMANAH

 

Adapun dalil yang membuktikan bahwa para Rasul itu memiliki sifat “Amanah” yakni secara lahir batin mereka terlindungi untuk tidak melakukan yang haram maupun yang makruh adalah jika seandainya mereka berkhianat dengan melakukan hal-hal yang haram atau yang makruh niscaya kita juga diperintahkan untuk melakukan sebagaimana apa yang mereka lakukan, padahal tidak benar bila kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang haram atau yang mekruh karena tidak mungkin Allah Ta’ala akan memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang keji dan mungkar.

 

Dengan demikian maka jelaslah bahwa para Rasul itu hanya melakukan ketaatan saja baik itu yang wajib maupun yang sunnat. Dan tidak menyangkut yang mubah. Andaikan para Rasul itu melakukan hal-hal yang mubah itu hanya sekedar menjelaskan bahwa hal itu boleh dilakukan.

 

  1. DALIL ADANYA SIFAT TABLIGH

 

Adapun dalil yang membuktikan bahwa para Rasul itu memiliki sifat “Tabligh” adalah jika seandainya mereka tidak menyampaikan semua perintah Allah niscaya kita juga akan diperintahkan untuk tidak menyebarluaskan ilmu, Padahal tidak benar bila kita tidak menyebar luaskan ilmu yang kita miliki karena orang yang tidak mau menyebarluaskan ilmunya dia akan dilaknat, Dengan demikian berarti para Rasul itu telah menyampaikan semua perintahnya sehingga mereka memiliki sifat Tabligh.

 

G.DALIL ADANYA SIFAT FATHANAH

 

Adapun dalil yang membuktikan bahwa para Rasul memiliki sifat “Fathanah” (cerdik) adalah bahwa seandainya mereka tidak memiliki kecerdikan niscaya mereka tidak akan mampu menyampaikan hujah dalam berdiskusi, Padahal kenyataannya para Rasul mampu menyampaikan hujjahnya dalam berbagai macam diskusi dan Al Ouran juga telah menunjukkan betapa banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang penegakan hujjah sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:

 

“Dan bantahlah mereka (orang-orang yang menentang)itu dengan – hujjah yang lebih baik.”

 

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada. Penegakan hujjah semacam ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang cerdik saja.

 

  1. DALIL ADANYA SIFAT JAIZ PARA RASUL

 

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa para Rasul itu memiliki sifat-sifat yang lazim dilakukan oleh manusia biasa adalah karena para Rasul tersebut senantiasa naik pada derajat yang lebih tinggi, sementara misalnya mereka terserang suatu penyakit adalah juga dalam rangka menaikkan martabat.mereka yang tinggi itu disamping orang lain (para ummatnya) akan merasa terhibur olehnya serta orang-orang yang berakalpun akan dapat mengetahui bahwa dunia tidak merupakan tempat pembalasan bagi para kekasih-Nya. Sebab jika dunia ini sebagai tempat pembalasan kepada para kekasih-Nya niscaya mereka sedikitpun tidak akan tertimpa dunia ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepadanya, juga kepada pemimpin besar mereka Nabi kita Muhammad saw. seluruh keluarga, para shahabat dan semua ahli baitnya.

  1. NABI KITA MUHAMMAD SAW. MEMILIKI TELAGA

 

Sempurnalah sudah pembahasan tentang ke 50 aqidah berikut tentang kewajiban meyakini hal-hal yang didasarkan kepada sam’iyyat (pendengaran) saja.

 

Ketahuilah bahwa kita wajib beriman bahwa Nabi kita Muhammad saw. memiliki telaga dan tidak mengapa andaikan ada seseorang yang tidak tahu akan keberadaan telaga tersebut, apakah ia berada setelah akhirat atau sebelumnya.

 

Telaga wu di hari kiamat nanti akan didatangi oleh seluruh manusia yang selama di dunia mereka tidak pernah melakukan kezaliman, penyelewengan dan kebid’ahan. Dan perlu di ketahui pula bahwa telaga ini bukan telaga Kautsar, yakni sebuah telaga yang ada di surga.

 

  1. NABI MUHAMMAD SAW. AKAN MEMBERI SYAFA’AT DI HARI KIAMAT

 

Ada lagi yang harus diyakini oleh setiap mukallaf adalah bahwa di hari kiamat nanti di hadapan pengadilan Allah swt. Nabi Muhammad saw. akan memberikan syafa’at (pertolongan) kepada para ummatnya di saat mereka sedang menanti dan berharap untuk segera kembali meskipun ke neraka. Di saat mereka kembali dari tempat inilah Rasulullah saw. kemudian memberikan syafa’atnya, syafa’at semacam ini hanya khusus dimiliki oleh beliau Rasulullah saw. saja.

 

  1. ORANG YANG MELAKUKAN DOSA BESAR TIDAK KAFIR

 

Diantaranya hal yang harus diyakini lagi adalah orang yang melakukan dosa besar selama tidak mengarah kepadakekafiran tidak menyebabkan ia menjadi kafir. Menurut pendapat yang mu’tamad orang yang melakukan dosa meskipun itu dosa kecil seketika itu juga ia wajib bertaubat dan nilai taubatnya tidak akan berkurang lantaran ia mengulangi lagi perbuatan dosanya, akan tetapi untuk dosa yang baru dilakukan ia wajib bertaubat kembali.

 

  1. LARANGAN SOMBONG, HASUD DAN MENGGUNJING

 

Setiap orang wajib menjauhkan diri dari sombong, hasud dan menggunjing sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya dipintu-pintu langit itu terdapat beberapa penjaga untuk menolak amalamal orang yang sombong, orang yang hasud dan orang-orang yang suka menggunjing sehingga amal mereka tidak akan diterima.”

 

 

 

  1. DEFINISI IMAN DAN ISLAM :

 

Iman menurut tujuan bahasa adalah kepercayaan secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt. yang mengisahkan tentang putera nabi Ya’qub As.: “Dan sekali-kali kamu tidak-percaya kepada kami sekalipun kami adalah orang-orang yang benar”

 

Sedang tinjauan iman menurut syar’at adalah mempercayai segala apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

 

Ada beda pendapat di kalangan ulama mengenai kepercayaan terhadap semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa kepercayaan adalah merupakan bentuk dari ma’rifat sehingga orang telah mengenal segala yang dibawa oleh beliau Rasulullah saw. berarti dia orang mukmin. Pendapat ini ditentang oleh pendapat ulama lain yang mengatakan bahwa orang kafir pun telah mengenal pula ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. namun mereka tetap saja tidak mau beriman,

 

Yang benar arti iman adalah bisikan hati nurani yang mengikuti kepada suatu kemantapan, baik kemantapan itu berdasar pada suatu dalil yang mendukungnya yang disebut dengan ma’rifat atau kemantapan Itu timbul karena taklid saja.

 

Devinisi ini tidak dapat memasukkan orang kafir karena dia tidak memiliki bisikan hati sebab maksud dari bisikan hati adalah seperti Jika saudara berkata: “Aku rela atas segala yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw.”, padahal orang kafir tidak pernah.mengatakan semacam itu, Akan tetapi pendapat ini memasukkan orang yang bertaklid karena ia memiliki bisikan hati nurani yang mengikuti kepada suatu kemantapan meskipun kemantapan yang ia miliki tidak berdasar pada sebuah dalil yang relevan.

 

  1. WAJIB MENGETAHUI NASAB NABI MUHAMMAD SAW.

 

Setiap orang mukallaf wajib mengetahui nasab Nabi Muhammad saw. baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu.

 

Adapun nasab Nabi Muhammad saw. dari jalur ayah adalah Nabi Muhammad saw. putera Abdullah, putera Abdul Muthallib, putera Hasyim, putera Manaf, putera Oushay, putera Kilab, putra Murrah, putera Ka’ab, putera Lu-ay, putera Ghalib, putra Fihr, putera Malik, putera Nadhar, putera Kinanah, putra Huzaimah, putera Mudrikah, putera Ilyas, putra Mudlar, putera Nizar, putera Ma’ad, putra Adnan.

 

Menurut konsensus ulama nasab Nabi Muhammad saw. ini hanya berakhir pada Adnan saja, sedangkan nasab seterusnya hingga Nabi Adam as. belum ada pendapat yang menjelaskan secara benar.

 

Adapun nasab Nabi Muhammad saw. dari pihak ibu adalah Nabi Muhammad saw. putera Aminah, putera Wahab, putera Abdul Manaf, (Abdul Manaf ini bukan Abdul Manaf yang masuk pada jajaran kakek Nabi Muhammad saw. dari jalur ayah di depan), putera Kilab yang juga termasuk pada jajaran kakek Nabi Muhammad dari pihak ayah,

 

Dengan demikian berarti nasah Nabi Muhammad saw. dari jalur Ayah dan ibu bertemu pada kakeknya yang bernama Kilab.

 

3, WARNA KULIT NABI MUHAMMAD SAW.”

 

Disamping yang tersebut di atas kita juga harus mengetahui bahwa kulit Nabi Muhammad saw. berwarna putih kemerah-merahan. Ini menurut pendapat sebagian ulama. Jadi tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa kulit Nabi Muhammad saw. berwarna putih mulus atau merah mulus. Akan tetapi kulit beliau berwarna putih kemarah marahan yang mana itu adalah merupakan warna kulit yang terbaik di dunia ini. Adapun warna kulit yang terbaik di akhirat nanti adalah putih kekuning-kuningan sebagaimana warna kulit para penduduk surga, sebagaimana pendapat kalangan ulama ahli tafsir terkenal dalam menafsirkan firman Allah swt.: “Scakan-akan mereka adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik”,

 

Allah menyamakan kulit penduduk surga dengan kulit telur burung onta yang tersimpan rapi yakni yang berwarna putih kekuning-kuningan karena ia memang warna yang terbaik.

 

Warna kulit Rasulullah saw. di dunia ini tidak sama dengan warna kulit beliau di akhirat, ini adalah merupakan suatu keistimewaan dan guna menambah keagungan beliau Rasulullah saw.

 

Ini adalah merupakan akhir dari segala kemudahan yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala melalu anugerah-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa disanjungkan keharibaan pemimpin kita Nabi Muhammad saw., keluarga dan para sahabat dan semua ahli baitnya selama orang-orang yang berdzikir masih menyebut nama-Nya dan selama orang-orang yang lupa tidak mau berdzikir kepada-Nya. Segala puji hanyalah milik Allah Penguasa seluruh alam ini.