(Aku memulai karanganku ini) bersama dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah mecnolongku mencapai pemahaman ilmu-ushul. Dan memudahkanku untuk meniti beberapa jalan ’ kebaikan, sebab kekuatan yang telah diberikan di dalam akal. Shalawat dan salam semoga tetap tereurahkan pada Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga dan shahabatnya, orang-orang beruntung atas diterimanya mereka di sisi Allah Swt.

 

Selanjutnya, setelah basmalah, hamdalah, shalawat serta salam, kitab ini (yang ada dalam hati) adalah sebuah ringkasan menjelaskan (materi) dua ushul (yakni ushul fiqh dan ushuluddin) dan paket kajian yang dibahas bersama keduanya. Dalam kitab ini, saya merangkum kitab Jam’ul Jawami’ karya AI‘Allamah At-Tajj As-Subki, rahimahullah.

 

Kemudian aku mengganti dari kitab tersebut, pendapat yang tidak mu’tamad dan tidak wadlih (Jelas) dengan pendapat yang mu’tamad dan wadlih disertai dengan beberapa tambahan yang baik.

 

Dan pada umumnya saya mengingatkan atas perbedaan dengan Mu’tazilah dengan kata dan perbedaan dengan selain Mu’tazilah dengan kata . Kemudian kitab ini saya beri nama ‘Lubb al-Ushul’, dengan harapan agar diterima oleh Allah SWT. Dan saya memohon pada Allah agar memberikan manfaat sebab kitab ini. Karena Alah-lah sebaik-baik pengharapan. Sasaran kitab Lubb Al-Ushul teringkas dalam beberapa mukaddimah dan tujuh kitab pembahasan.

 

PENGANTAR MU’ALLIF

 

Pengarang kitab ini, yaitu Syaikh Abi Yahya Zakaria Al Anshan membuka karyanya dengan basmalah. Dengan maksud, permulaan karangannya seiring bersama dengan nama Allah SWT yang diharapkan berkahnya manakala disebutkan. Berikut uraian kata perkata dari basmalah;

Tersusun dari huruf; yang menunjukkan arti mushahabab (bersamaan) dan dari akar kata yang artinya tinggi.

 

: Nama dari Dzat yang wajib wujudnya, dan berhak menyandang segala sifat terpuji.

 

: Silat musyabbihat dalam kerangka mubalaghah (melebihkan) dari  dan memiliki nilai lebih dibanding  karena ada aspek tambahan bina” (konstruksi lafadz).

: Sifat musyabbihat dalam kerangka mubalaghah (melebihkan) dari ;

 

Dilanjutkan dengan hamdalah, sebagai ungkapan syukur atas nikmat pertolongan berupa pencapaian pemahaman ilmu ushul. Dan kemudahan untuk meniti jalan kebaikan. Berikut uraian kata perkata dari hamdalah,

 

: Secara bahasa adalah memuji dengan lisan atas sesuatu yang baik secara ikbttyari, dalam konteks pengagungan. Dan secara , adalah perbuatan yang mengungkapkan pengagungan Sang Pemberi nikmat.

 

:Keunggulan syukur menggunakan redaksi ini adalah  secara fafshiliyah (perincian) lebih mengena dalam hati.

 

Karena lafadz tersebut memuat huruf lam yang memiliki arti milk (kepemilikan), sehingga dapat diartikan, hanya Dialah yang memiliki segala macam pujian.

 

Pengarang membuka karyanya dengan basmalah dan hamdalah dengan maksud mengikuti susunan Al-Qur’an, serta mengamalkan HR. Abu Dawud; ;

 

perkara bernilai prioritas syar’i yang tidak dimulai di dalamnya dengan Bismillahirrahmanirrahim. Dalam riwayat lain, ‘dengan albamdulillab, maka terputus berkahnya”

 

Dan basamalah didahulukan dari hamdalah, karena mengamalkan Al-Qur’an dan ijma’ fi’ly, yakni bahwa semua orang yang mengumpulkan

 

basmalah dan hamdallah, maka dalam ucapan maupun tulisan, dia pasti mendahulukan basmalah dari hamdallah.

 

Pengarang memulai karyanya dengan mencuplik kata kata ‘al ushul’, dengan maksud memberitahukan sejak dini bahwa materi utama pembahasan kitab ini adalah imu ushul. Model penyajian semacam ini disebut ‘ ’ yaitu sebuah seni sastra dimana pembicara atau pengarang menampilkan beberapa ungkapan kata pada permulaan karangannya, hingga dari ungkapan tersebut dapat terpotret maksud dan kandungan yang termuat dalam karyanya.

 

Shalawat serta salam semoga tetap tereurahkan pada Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga dan shahabatnya. Shalawat dari Allah SWT bermakna rahmat, dari malaikat bermakna memintakan ampunan, dan dari manusia bermakna mendekatkan diri dan doa.

 

POLA PENYAJIAN LUBB AL-USHUL

 

Kitab Lubb al-Ushul ini merupakan resume atau ringkasan kitab Jam’ul Jawami’ karya Al-‘Allamah At-Tajj As-Subki, rahimahulah. Sebuah kitab yang di dalamnya memuat penjelasan materi dua ushul, ushul fiqh dan ushuluddin, serta paket kajian yang dibahas bersama keduanya. Pengarang melakukan beberapa pembenahan atas Jamul Jawami’ dalam berbagai aspek, di antaranya;

 

  1. Pengarang mengganti pendapat yang tidak mu’tamad dan tidak wadlih (jelas) dengan pendapat yang mu’tamad dan wadlih disertai dengan beberapa polesan tambahan yang baik.

 

  1. Pengarang memakai beberapa istilah baru sebagai penunjuk peta khilafiyah, yakni,;

 

  1. Istilah ‘ ’ digunakan untuk menunjukkan kontroversi dengan Mu’tazilah, meskipun pada posisi Mu’tazilah didukung kelompok lain, seperti sebagian Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

 

  1. Istilah ‘ ‘ digunakan untuk mecnunjukkan kontroversi dengan selain Mu’tazilah saja, seperti kalangan Hanafiyah, Malikiyyah atau sebagian Ashhab As-Syafi’i.

 

Istilah di atas berlaku secara umum, dan terkadang pengarang menggunakan istilah ‘ ’.

 

Kemudian pengarang menamakan kitab ini dengan ‘Lubb alUshul’, atau intisari ushul. Dengan harapan agar diterima oleh Allah SWT dan bermanfaat.

 

PEMBAHASAN DALAM LUBB AL-USHUL

 

Kitab Lubbul Ushul ini memuat dua bagian, waqaddimah yang di dalamnya dipaparkan tentang definisi ushul fiqh, fiqh, hukum dan pembagiannya, dan lain sebagainya. Serta berisi tujuh kitab pembahasan, lima kitab tentang dalil-dalil fiqh, yakni;

 

  1. Pembahasan tentang Al-Kitab (Al-Qur’an)
  2. Pembahasan tentang As-Sunnah
  3. Pembahasan tentang Ijma’
  4. Pembahasan tentang Qiyas
  5. Pembahasan tentang istdlal

 

Dilanjutkan dua kitab kecnam dan ketujuh, yakni;

 

  1. Pembahasan tentang ta’adul dan tarijih di antara lima dalil di atas saat terjadi pertentangan
  2. Pembahasan tentang ijtihad yang menghubungkan antara dalil-dalil dan madlul-nya. Serta hal-hal yang terkait dengannya, berupa pembahasan tentang taqlid, hukum-hukum muqallid (pelaku taqlid) dan kode etik fatwa. Juga dibahas pula tentang ilmu kalam, diawali pembahasan ‘aqlid dalam ushuluddin (pokok-pokok agama), dan diakhiri dengan pembahasan yang selaras dengannya, yakni tasawwuf, sebagai pamungkas kitab’.

 

(Beberapa pendahuluan). Ushul fiqh adalah Dalil dalil global fiqh (ijmaliy) teori pengambilan dalil-dalil tafshili (yang telah terperinci) dan serta karakteristik (sifat-sifat)  mujtahid (pengguna dalil-dalil tersebut). Dan menurut satu pendapat lain, ushul fiqh ialah pengetahuan mengenai hal-hal di atas.

 

BEBERAPA MUKADDIMAH: DEFINISI USHUL FIQH

 

Definisi ushul fiqh secara terminologi menurut pendapat pertama adalah sebagai berikut;

 

“Dalil-dahil fiqh bersifat. global, dan metode penggunaan dalil tersebut, serta persyaratan (karakteristik) orang yang mengoperasikan dalil tersebut”.

 

Menurut pendapat lain, di antaranya Imam Al Baidlawi, dan Ibnu Al-Hajib, ushul fiqh adalah,

 

‘Pengetahuan (tashdiq) mengenai dalil-dalil fiqh yang bersifat global, metode penggunaan dalil tersebut, dan persyaratan orang yang mengoperasikannya

 

PENGERTIAN DALIL IJMALI GLOBAL:

 

Dalil Ijmali (global) adalah kaidah-kaidah yang bersifat umum yang belum berkaitan dengan suatu kasus. Contoh, Amr (perintah) mutlak secara hakikat menunjukkan wajib, dan nahi (larangan) mutlak menunjukkan haram. Dati pengertian ini dapat disimpulkan beberapa contoh permasalahan yang berada di luar koridor ushul fiqh.

 

  1. (dirikanlah shalat)

 

  1. (Jangan mendekati zina)

 

  1. Nabi SAW shalat di dalam Ka’bah (HR Bukhari-Muslim)

 

4, Ijma’ bahwa cucu perempuan dari anak laki-laki, bersama dengan anak perempuan kandung mayit mendapat bagian seperenam, jika tidak ada waris lain yang menjadikan ashabah pada keduanya.

 

  1. Pengqiyasan beras pada gandum, dalam hal larangan menjual sebagian dengan sebagian yang lain, kecuali sama timbangannya, dan diserah terimakan langsung.

 

  1. Meneruskan hukum suci bagi orang yang mengalami ragu-ragu dalam kesuciannya.

 

Beberapa contoh di atas berada di luar koridor ushul fiqh dikarenakan statusnya merupakan dalil tafshili (terperinci), bukan Ijmali.

 

Dalil-dalil fafshifi adalah dalil dalil yang bersifat terperinci ( ) yang berkaitan pada sebuah permasalahan khusus dan juga menjelaskan pada hukum khusus. Seperti firman Allah: ‘‘Diharamkan alas kamu (mengawini) ibumu’. Ini adalah dalil tafshili, yakni dalil juz yang berhubungan dengan permasalahan khusus yaitu menikahi seorang ibu dan juga menunjukkan hukum khusus yaitu haramnya menikahi seorang ibu. Dan firman Allah swt: “(Dan janganlah Ramu mendekati zina sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk’’. Ini merupakan dalil Juz’i (terperinci) yang berkaitan dengan permasalahan khusus yaitu zina dan juga menunjukkan pada hukum khusus yaitu haramnya zina’’.”

 

PENGERTIAN METODE PENGGUNAAN DALIL

 

Metode penggunaan dalil ywali ialah sebuah metode atau teori yang digunakan oleh seorang mujtahid disaat terjadi kontradiksi antara dua dalil yang bersifat tafsihli, Seperti, mendahulukan dalil yang bersifat khash (khusus) daripada dalil yang bersifat  (umum). Untuk mecmahaminya secara mendalam, akan dikupas tuntas pada pembahasan Kitab Keenam.

 

KARAKTERISTIK OPERATOR DALIL IJMALI.

 

Yang dimaksud karakteristik orang yang melakukan operasionalisasi dalil ijmali adalah beberapa pecrsyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar memenuhi kriteria sebagai mvujtahid. Mengenai pembahasannya secara detail akan dijelaskan pada pembahasan Kitab Ketujuh.

 

Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum syara’ praktis (amaliab) wang diupayakan dari dalil-dalil bersifat terperinci.

DEFINISI FIQH

 

Tigh secara bahasa berarti al-fahm (kepahaman). Sedangkan secara istilah, ada beberapa definisi. Salah satunya adalah sebagai berikut :

 

“fiqh adalah pengetabuan tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan (amaliyah) yang diupayakan dari dali bersifat tafshili (terperinci)”’

 

Contoh:

  1. Pengetahuan bahwa niat dalam wudlu adalah wajib.

 

  1. Pengetahuan bahwa shalat witir adalah sunnah.

 

  1. Pengetahuan bahwa menginapkan niat di malam hari adalah syarat dalam puasa Ramadan.

 

Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwasanya sebuah pengetahuan dapat dikatagorikan sebagai fiqh apabila memenuhi kriteria (qayyid) sebagai berikut;

 

  1. Pengetahuan tentang hukum. Maka pengetahuan tentang dzat atau sifat tidak termasuk ilmu fiqh. Seperti menggambarkan zatnya manusia, atau menggambarkan warna putih. Maksud ‘pengetahuan tentang hukum’ adalah pengetahuan akan penyandaran (misbaf) sebuah perkara pada perkara lain dari sisi positif (ijab) dan negatifnya (salb). Sehingga pengetahuan akan nisba, artinya penilaian atas hal-hal yang terkait dengan nisbat itu tersebut. Sedangkan hubungan hukum dengan amaliyah adalah dari sisi katfiyah-nya, yakni wajib, sunnah, dan lain sebagainya.

 

  1. Wukum berbentuk syar’i, Maka tidak termasuk ilmu fiqh, pengetahuan tentang hukum ‘aqli (akal), seperti bilangan satu merupakan separuh dari dua, hukum bissi (keindraan), seperti api ita membakar, hukum lughawi (bahasa), seperti fa’il adalah isim yang terbaca rafa’, dan wadh’ (peletakan alamiah), seperti cahaya itu penerang.

 

  1. Berkaitan dengan perbuatan (amaliyyah). Maka tidak termasuk ilmu fiqih, pengetahuan tentang hukum syar’i yang berkaitan dengan masalah keyakinan. Seperti dalam ushul fiqh, bahwa ijma’ adalah hujjah, dan dalam ushuluddin, bahwa Allah SWT Dzat Yang Maha ‘Tunggal.

 

  1. Diupayakan dari sebuah dalil. Maka mengecualikan pengetahuan Allah SWT, malaikat Jibril dan malatkat lain, dan para Nabi melalui wahyu. Juga pengetahuan kita yang didapatkan secara dbaruri (mudah-pasti), seperti kewajiban shalat, zakat, haji, haramnya zina dan mencuri.

 

  1. Diupayakan dari dalil ‘afshii (terperinci), Maka mengecualikan pengetahuan seorang wuqallid (pengikut mujtahid). Karena pengetahuan tersebut didapatkan dari mujtahid melalui dalil yang bersifat global (ijmali). Dalil global ini bentuknya adalah bahwa hukum ini telah difatwakan seorang mufti, dan setiap yang difatwakan mufti adalah hukum Allah SWT baginya. Sehingga pengetahuan muqallid bahwa niat adalah wajib dalam wudhu, bukanlah tergolong fiqh.

 

Karena muqallid tidak mengambil dalil tafshili tertentu atas setiap masalah, namun menggunakan dalil global di atas.

 

Penggunaan redaksi ‘al-‘ilmu’ dalam definisi fiqh di atas tidak menqur’angi obyektifitas pendefinisian. Kata ‘al-‘ilnmu’ semestinya digunakan untuk pengetahuan yang dimensi kebenarannya pasti, sedangkan kebanyakan permasalahan fiqh terbatas dalam ranah dhan (dugaan) saja. Titik temunya, bahwa yang dikehendaki dalam hal ini adalah dhan (dugaan, asumsi) yang bersumber dari seorang mujtahid, Karena sangat kuatnya dhan tersebut, sehingga mendekati taraf ‘al-‘ilmu’ atau diyakini kebenarannya.

 

Hukum adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf, berupa tuntutan atau pilihan atau berhubungan dengan sesuatu yang lebih umum secara wadh yaitu Rhithab yang terlaku menjadi sabab, syarat, shahih dan fasid. Dan hukum tidak ditemukan kecuali semua bersumber dari Allah

 

DEFINISI HUKUM

 

Definisi hukum adalah;

 

“Titah Allah yang berbubtingan dengan. ‘perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan atau pilihan atau berhubungan dengan sesuatu yang lebih umum secara wadh’i”

 

Berpijak dari definisi ini, hukum terbagi dua, hukum taklif dan wadh’i. Karena definisi tersebut menegaskan bahwa hukum wadh’i termasuk bagian dari hukum.’

 

Definisi ini dapat diuraikan sebagai berikut;

 

  1. Pengertian khithab (titah) yaitu kalam nafsi Allah SWT yang telah ada sejak zaman azali. Zaman azali adalah penisbatan kepada azal, yang memiliki arti tidak ada permulaan. Menurut sebuah pendapat, antara azali dengan qadim (dahulu tanpa permulaan) secara sekilas memiliki makna sama, akan tetapt dalam reealitanya ada perbedaan tuptis di antara keduanya. Yakni bahwa azali lebih umum dari qadim, sebab azali mencakup dua hal, yakni wajudi (eksistensi) dan adami (ketiadaan), sedangkan qadim terkhusus pada wajudi, dalam pemaknaan tidak adanya permulaan bagi wujudnya sesuatu.’

 

  1. Maksud ‘perbuatan mukallaf dalam definisi di atas memiliki cakupan makna cukup luas, meliputi;

 

  1. Perbuatan hati, baik berupa keyakinan, seperti meyakini Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Tunggal, atau selain keyakinan, seperti niat.

 

  1. Perbuatan berbentuk ucapan, seperti mengucapkan takbiratul ihram pada saat memulai shalat.

 

  1. Perbuatan badan, seperti pelaksanaan ritual haji.

 

3, Maksud ‘mukallaf’ adalah orang yang berakal dan menginjak usia baligh, serta tidak mustahil dikenai tuntutan. Baik hubungannya bersifat a’nawi saat seseorang belum wujud sempurnanya sifat mukallaf atau setelah wujud, namun sebelum terutusnya Nabi, atau tanjizi, saat sudah wujud sempurnanya sifat mukallaf dan setelah teutusnya Nabi.

 

  1. Maksud ‘berupa tuntutan’ adalah tuntutan atas sesuatu, baik secara wajib, sunnah, haram, makruh, atau khilaful aula.

 

  1. Maksud ‘pilihan’ adalah antara melakukan dan meninggalkan, dalam arti pembolehan. Hal ini meliputi peerbuatan hati berjenis keyakinan, dan yang lain, ucapan dan yang lain, pencegahan, seorang mukallaf seperti Nabi SAW dalam beberapa kekhususannya, dan yang Iebih dari satu orang.

 

  1. Definisi di atas menyimpulkan, hukum ada dua macam;

 

  1. Hukum , adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik bersifat tuntutan seperti wajib, haram, sunah, makruh atau khilaful aula. Atau bersifat pilihan (antara mengerjakan atau meninggalkan), seperti mubah.

 

  1. Hukum wadli, adalah hukum diposisikan oleh syara’ sehagai sabab, syarat, mant, shahih dan fasih (batal).

 

AL-HAKIM

 

Umat Islam secara keseluruhan menyepakati bahwa sumber segala macam hukum taklif dan wadh’i adalah dari Allah SWT. Baik dengan jalan menetapkan nash dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, atau dengan perantara ulama ahli fiqh dan para mujtahid. Karena para mujtahid hanyalah menampakkan hukum, bukan mencetuskan hukum dari dirinya sendiri. Allah SWT berfirman;

 

‘Tidak ada hukum, kecuali hanyalah milik Allah SWT”

 

Hanya saja kemudian Mu’tazilah dan Ahlussunnah berbeda pendapat mengenai penunjuk dan mekanisme memahami hukum-hukum Allah SWT sebelum terutusnya Rasul. Dalam arti, mereka memperdebatkan diterimanya akal sebagai media penunjuk memahami hukum Allah SWT tanpa melalui mekanisme naqli (wahyu). Asy’ariyah berpendapat, penunjuk hukum hanyalah para Rasul, dan tidak ada peluang memahami hukum melalui akal. Sehingga di masa sebelum terutusnya Rasul, perbuatan manusia tidak terikat hukum dari Allah SWT, perbuatan hukum tidak terkena vonis haram, dan keimanan tidak menjadi sebuah kewajiban. Berbeda dengan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa akal memungkinkan memahami hukum Allah SWT dalam perbuatan manusia. Dan perbuatan tersebut akan terikat dengan hukum sesuai dengan ketetapan yang disimpulkan akal, berisi sifat baik dan buruk, baik secara dzatyah, faktor-faktor lain, maupun karena aspek sudut pandang. Statemen mereka, sebenarnya syariat menyingkap atas perkara yang telah difahami akal sebelumnya. Perbedaan pendapat di atas berakar dari pembahasan hasan (baik) dan qabih (buruk) yang akan dijclaskan nanti.

 

Banyak istilah yang digunakan menggambarkan proporsi dan posisi Al-Qur’an, sunnah, ya’ dan qiyas terhadap khitab Allah SWT, di antaranya;

 

  1. Al-Kasyifa atau sebagai penguak khitab Allah SWT.
  2. Ad-Dalil atau petunjuk khitab Allah SWT.
  3. AL-Madbar al-lukm atau sebagai penjelas khitab Allah SWT.
  4. .Addilah al-Ahkam atau sebapai petunjuk hukum. Dimana istilah ini sering terpakai dalam disiplin imu ushul.”

 

Menurut sendapat kita (Asy’ariyyah) bahwasanya hasan (baik) dan qabth (buruk)  dengan pengertian adanya konsekwensi pujian dan cacian seketika (di dunia) dan konsekuensi (pahala dan) siksa kelak (di akhirat), adalah ke bersifat syar’i.

 

SEPUTAR HASAN DAN QABIH

 

Golongan Asy’ariyah dan Mu’tazilah menyepakati sebuah konsensus, bahwa akal dapat memahami hasan (baik) dan qabih (buruk) dalam dua pemaknaan :

 

  1. Hasan manakala diartikan sesuatu yang sesuai dengan tabiat (selera) manusia, seperti senang rasa manis, merdunya suara, dan menolong orang tenggelam. Dan manakala qabih diartikan dengan sesuatu yang kontadiktif dan tidak disukai tabiat manusia, seperti tidak menyukai rasa pahit, suara kasar dan perampasan harta secara dhalim.

 

  1. Hasan manakala diartikan sifat kesempurnaan, seperti berilmu dan jujur. Dan qabih diartikan dengan sifat kekurangan, seperti bodoh dan berbohong.

 

Silang pendapat terjadi manakala hasan diartikan sesuatu yang ketika dijalankan memuiki konskuensi pujian di dunia dan pahala di akhirat dan qabih diartikan kebalikannya.

 

  1. Menurut Asy’ariyah, sumber penetapan dan pemahaman hasan (baik) dan qabih (buruk) hanyalah syariat yang dibawa oleh seorang Rasul. Segala apapun yang diperintahkan syara’, seperti beriman, sholat dan haji adalah hasan, dan apapun yang dilarang syara’, seperti berbuat kekufuran, dan perkara haram lainnya adalah qabih. Akal tidak memiliki wewenang sama sekali dalam penetapan hukum. Sehingga seseorang tidak dituntut melakukan atau meninggalkan perkara yang menurut akalnya baik atau buruk, kecuali dakwah Rasul telah sampai kepadanya. Dan konskuensinya, siksa Allah SWT tidak akan ditimpakan pada pelaku perbuatan yang menurut akalnya perbuatan tersebut qabih (buruk), atau meninggalkan perbuatan yang menurut akalnya Aasan (baik), sampai Allah SWT mengutus seorang Rasul.

 

  1. Menurut Mu‘tazilah, dan bebetapa kelompok pendukung, seperti Karamiyah, Khawarij, Syiah fa’fariyah, Barahimiyah dan Tsanawiyyah, Mereka mempatakan, sumber penctapan dan pemahaman hasan (haik) dan qabih (buruk) adalah akal, dan tidak tergantung dengan adanya syara. ‘Tereela dan berdosanya seseorang sebelum terutusnya Rasul ditetapkan oleh akal. Anggapan mereka, syariat yang ditetapkan pada manusia merupakan sesuatu yang di dalamnya dapat dicerna dan dicapai oleh akal, dalam arti dapat ditelusuri bahwa di dalamnya pasti terkandung sebuah kemanfaatan atau kemadharatan. Kesimpulan mereka, apapun yang difahami oleh akal sebagai perkara yang baik atau buruk, maka syariat pun selaras dengan hal tersebut. Kedatangan Rasul hanyalah sebagai penguat terhadap segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh akal”.

 

  1. Pendapat ketiga yang diusung oleh As’ad Ali Az-Zanjany dan Abu Al. Khithab dari golongan Hanabillah berpendapat bahwa akal memiliki peran menghukumi hasan dan qabih-nya sesuatu, akan tetapi tidak memiliki konskuensi pahala dan dosa. Pendapat ketiga ini bisa dikatakan sebagai penengah antara pendapat pertama dan kedua.”

 

Dan menurut kita (Asy‘ariyyah), bersyukur kepada Pemberi kat Allah) dalah wajib secara syar’i. Dan tidak ada hukum sebelum adanya syara’ (diutusnya seorang rasul). Bahkan sebuah permasalahan ditangguhkan status  hukumnya hingga kedatangan syara’,

 

BERSYUKUR PADA PEMBERI NIKMAT

 

Penjabaran dan silang pendapat dalam menentukan sumber penilaian hasan dan qabih dikembangkan dalam dua cabang masalah (furu’), yaitu mengenai persoalan bersyukur kepada Dzat pemberi nikmat dan kejelasan hukum pra kerasulan.

 

Bersyukur pada Allah SWT Dzat pemberi nikmat adalah penggunaan seorang hamba atas semua nikmat Allah SWT, berupa pendengaran dan lain lain dalam fungsi asal penciptaannya. Hal ini dapat dilakukan melalui sanjungan atas segala anugerah tereiptakan, rizki, kesehatan dan lain lain, atau melalui hati dengan meyakini bahwa Allah SWT yang berkuasa atas segala nikmat, dan juga melalui lisan dengan cara tahadduts bi an-ni’mah (mengikrarkan kenikmatan) dan lain-lain.

 

Menurut Imam Al-Isnawi, maksud bersyukur dalam pembahasan ini adalah menjauhi perkara yang dinilai buruk oleh akal dan melakukan perkara yang dinilai baik oleh akal, bukan ucapan “Alhamdulillah”, “Puji syukur kepada Allah SW” dan yang semacamnya. Dalam hal ini pakar ushul berselisih pendapat mengenai apakah kewajiban tersebut berdasarkan ketetapan syar’i atau akal?

 

  1. Menurut ahlussunah, diwakili Asy’ariyah, Muta’akhirin Maturidiyah, yakni Jumhur Hanafiyah, bersyukur kepada Allah SWT, Dzat pemberi nikmat adalah kewajiban berdasarkan ketetapan syara’, bukan akal.

 

  1. Menurut Mu’tazilah dan Mutaqaddimin Maturidiyah, berdasarkan ketetapan akal. Syekh Abu Ishaq menemukan kontradiksi dalam kedua ini. Mereka melontarkan statemen, “Bagi Allah SWT wajib memberikan pahala bagi hamba yang taat dan wajib memberi nikmat pada makhluk”. Kerancuan statemen ini, manakala pahala wajib diberikan, maka bersyukur menjadi tidak ada artinya. Sebagaimana seseorang yang melunasi tanggungan hutangnya, maka dia tidak berhak mendapatkan ucapan syukur dari orang yang dihutangi, dikarenakan hal itu adalah tanggung jawab yang harus dilaksanakan.’

 

KEADAAN HUKUM PRA KERASULAN

 

Cabang masalah kedua, mengkaji seputar keberadaan hukum pra kerasulan. Apakah harus berdasarkan ketetapan syara’ Silang pendapat terjadi dalam menjawab persoalan ini.

 

  1. Menurut ahlussunah, sebelum terutusnya Rasul, perbuatan manusia tidak dihukumi haram, wajib, atau hukum yang lain. Sebagaimana firman Allah SWT :

 

“Kami tidak akan menyilera seseorang sebelum kami mengutus seorang Rasul”.

 

Dan ayat tersebut bisa diambil kesimpulan, bahwa Allah tidak menyiksa sampai datangnya seorang utusan,

 

  1. Menurut Mu’tazilah, sebelum terutusnya Rasul, perbuatan manusia sudah memiliki keterkaitan dengan hukum. Sedangkan perangkat yang berfungsi sebagai pencntu hukum adalah akal. Mereka menangpapj dalil ahlussunah, berupa QS. Al-Isra’ ayat 15 di atas, bahwa makna kata dalam ayat tersebut adalah akal. Kemudian menurut versi ini perbuatan manusia diklasifikasikan menjadi dua.

 

  1. Dharuri, seperti bernafas di ruang udara, maka dipastikan hukumnya mubah (boleh).

 

  1. Ihtiyari, dengan perincian; 1). Haram, apabila sebuah perbuatan mengandung nilai a sadah manakala dilakukan, seperti berbuat kezhaliman. 2) Wajib, apabila sebuah perbuatan mengandung nilai mafsadah manakala ditinggalkan, seperti berbuat adil. 3). Sunnah, apabila sebuah perbuatan mengandung kemashlahatan manakala dilakukan, seperti berbuat baik. 4). Makruh, apabila sebuah perbuatan mengandung kemashlahatan manakala ditinggalkan. 5). Mubah, apabila perbuatan tersebut tidak mengandung unsur maslahah atau mafsadab. Hanya saja apabila akal tidak mampu menjangkau makna dari sebuah perbuatan, maka terdapat tiga pendapat. Pertama, haram, karena segala benda dan manfaat alam semesta milik Allah SWT, dan melakukan perbuatan tersebut artinya memanfaatkan milik Allah SWT tanpa ada ijin. Kedua, mubah, karena Allah SWT pencipta hamba dan segala manfaatnya. Manakala memanfaatkannya tidak boleh, maka penciptaan itu menjadi tidak berarti. Ketiga, menangguhkan (mauquf), karena dalil-dalil dalam hal ini bertentangan”.

 

Pendapat Ashah, tidak mungkin mengenakan taklif pada orang yang tidak sadar dan orang terpaksa, lain halnya pada orang yang dipaksa.

 

KLASIFIKASI TAKLIF

 

Taklif ditinjau dari sudut pandang mungkin tidaknya terlaksana terbagi dua macam;

 

  1. Taklif al mubal adalah menuntut seseorang yang mana dia tidak mungkin dapat menperjakan tujuan taklif. Seperti, menuntut mayit atau benda tidak bernyawa. Menurut pendapat Ashah, takhif semacam ini tidak diperbolehkan.

 

  1. Taklif bi al-muhal adalah menuntut dengan sesuatu hal yang tudak mungkin dikerjakan. Seperti, menuntut berjalan pada orang yang lumpuh.

 

Perbedaan antara keduanya, taklif al-muhal letak ketidak mungkinan ada pada orang yang diperintah (al-ma’mur), sedangkan takhif bi al mubal Ietak ketidak mungkinan ada pada perbuatan yang diperintahkan (ma’mur bib)’.

 

TAKLIF PADA GHAFIL MULJA’ DAN MUKRAH

 

Berangkat dari definisi di atas, pengarang menampilkan beberapa bentuk Taklif al-muhal, dimana menurut pendapat Ashah, obyek taklif tidak mungkin dikenai tuntutan.

 

  1. Al-Ghafili, yaitu orang yang tidak mengerti atas taklif. Seperti orang tidur dan orang lupa. Hal ini dikarenakan tujuan dari taklif adalah pelaksanaan atas dasar kepatuhan, dimana hal ini terikat dengan syarat harus mengetahui adanya tuntutan. Sedangkan al-ghafili tidak mengetahui hal tersebut, sehingga dia tidak mungkin dikenai tuntutan,

 

  1. Al-Mulja’, adalah orang yang dalam keadaan sadar tidak mempunyai puihan untuk menghindar dari apa yang terjadi dengan dirinya. Seperti orang yang jatuh dari tempat yang tinggi, hendak mecnimpa dan membunuh orang lain di bawahnya. Maka dia tidak ditaklif atas apa yang akan mengenai dirinya, juga atas kebalikannya, karena dia tidak mampu melakukannya.

 

  1. Al-Mukrah, adalah orang yang tidak mempunyai pilihan atas apa yang dipaksakan pada dirinya kecuali dengan bersabar menerima sesuatu yang diancamkan kepadanya. Ulama berselisih pendapat mengenai status taklifnya.

 

  1. a) Menurut madzhab Asy’ariyah, sebagai pendapat Ashah, al-mukrah dikenai taklif atas sesuatu yang dipaksakan atau kebalikannya. Karena dia dinilai mampu menjalankan taklif tersebut, yakni dengan melakukan perkara yang dipaksakan sesuai dengan tuntutan syara’, seperti seseorang yang dipaksa menunaikan zakat, kemudian dia betniat zakat saat harta dtambil darinya. Atau melakukan kebalikannya, dan bersabar atas perkara yang diancamkan kepadanya, meskipun syara’ tidak menuntutnya bersabar, seperti seseorang yang dipaksa minum Asamr, kemudian dia menolak dengan resiko mendapat siksaan yang diancamkan.

 

  1. b) Menurut madzhab Mu’tazilah, tidak dikenai taklif atas sesuatu yang dipaksakan atau kebalikannya. Dan taklif ini di golongkan sebagai taklif al-mukhal. Karena al-mukrah tidak rnampu menjalankan taklif, Hal ini dilatarbelakangi bahwa perbuatan yang dilakukan di bawah intimidasi tidak akan menghasilkan pelaksanaan atas dasar kepatuhan, juga tidak memungkinkan menjalankan kebalikannya saat masih ada intimidasi. Menurut versi ini, orang yang dipaksa membunuh orang lain yang sederajat dengan kata-kata “Bunuhlah orang ini, jika tidak maka aku akan membunuhmu”, maka dia tidak dikenai tuntutan untuk mengurungkan pembunuhan, karena dia berstatus tidak mampu sebab adanya paksaan. Sedangkan dosa pembunuhan yang disepakati ulama adalah akibat dirinya memilih hidup dibanding orang lain, bukan akibat pemaksaan yang terjadi.

 

  1. c) Pendapat Mukhtar, terdapat perincian. Perfama, perbuatan yang tidak dihalalkan sebab dipaksa, seperti mecmbunuh, zina dan sodomi, maka seseorang dituntut meninggalkannya. Kedua, dihalalkan sebab dipaksa, dan wajib dilakukan, seperti merusak harta orang lain, maka dia dituntut untuk melakukannya. Keézga, perbuatan yang dihalalkan sebab dipaksa, namun tidak wajib dilakukan, seperti meengucapkan kalimat kufur dan minum kamr, maka dia tidak dituntut melakukan atau meninggalkannya.

 

Dan menurut kita, sebuah titah berkaitan pada perkara yang belum wujud, secara keterkaitan maknawi.

 

TAHALLUQ KHITHAB

 

Silang pendapat dalam penctapan cksistensi kalam nafsi antara Asy’ariyah dan Mut’tazilah memicu perdebatan panjang tentang persoalan, apakah sebuah khithab, baik berbentuk amr (perintah) atau yang lain, berhubungan dengan aksi orang mukallaf secara mutlak, baik sesudah wujud atau sebelum wujud (ma’dum), ataukah hanya terkhusus bagi yang telah wujud?.

 

Sebelum dibahas lebih lanjut, ada baiknya terlebih dahulu kita memahami ragam ta’alluq (hubungan) dan pengertiannya.

 

  1. Ta’aluq ma’nawi atau istilah lain disebut shuluhi qodim yaitu hubungan antara sebuah khithab di jaman azali dengan seseorang saat belum wujud sempurnanya sifat mukalaf. Dalam arti, sewaktu waktu seseorang ditemukan telah memenuhi persyaratan taklif, maka tuntutan khithab di jaman aqali tersebut akan terhubung dengannya, tanpa adanya khithab baru.

 

  1. Ta’aluq tanjizi, yaitu hubungan antara sebuah khithab dengan seseorang setelah wujudnya mukallaf agar menjalankan kandungan khithab tersebut.

 

Berpijak pada definisi di atas, menurut Asy’ariyah, khithab Allah SWT yang berupa amr (perintah) dan nahi (larangan) berhubungan dengan seseorang yang wujud dan sempurna sifat taklifnya, maupun yang ma‘dum (belum wujud). Hanya saja hubungan dengan ma’dum adalah secara maknawi, bukan tanjizi. Karena tidak mungkin sebuah khithab terhubung secara tanjizi dengan seseorang yang belum sempurna sifat taklifnya. Dan manakala seseorang telah memiliki kriteria mukallaf secara sempurna, maka dia akan terkena beban khithab tersebut secara tanjizi. Kelompok Mu’tazilah yang menolak keberadaan kalam nafsi berpendapat, bahwa khithab Allah SWT hanya berkaitan dengan mukallaf yang telah memiliki kecakapan untuk dibebani taklif, sehingga tidak ada istilah khithab ma’nawi menurut mereka.

 

Jika titah Allah menuntut terwujudnya perbuatan selain mencegah dengan tuntutan yang tegas, maka dinamakan wajib; atau (bersifat) tidak tegas, maka dinamakan sunnat; atau (titah menunuut) untuk meninggalkan (perbuatan) dengan tuntutan tegas, maka dinamakan haram. Atau tidak tegas dengan larangan secara maqshud (konkrit), maka dinamakan makruh; atau larangan tidak maqshud (tidak konkrit), maka disebut khilaful aula; atau diberi kebebasan memilih, maka disebut mubah. Dan (dengan hal di atas), batasan masing-masing sudah diketahui.

 

KLASIFIKASI HUKUM

 

Hukum terbagi menjadi dua macam, takhlifi dan wadh’s.

 

  1. Tukum takhlifi, adalah;

 

Hukum yang menciapkan tuntutan melakukan sebuah pekenjaan dari seorang mukallaf, atau mencegah sebuah perbuatan, atau member piliban antara melakukan dan meninggalkannya.

 

Hukum takhlifi ada enam macam:

 

  1. Wajib, yaitu khithab yang menuntut dilakukannya sebuah perbuatan selain mencegah dengan tuntutan yang bersifat mengharuskan atau tidak boleh ditinggalkan.

 

Hukum wajib dilihat dari sudut pandang waktunya, menurut Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali, terbagi dua;

 

  1. a) Wajib muwassa’ (dilapangkan), yaitu suatu kewajiban yang memiliki durasi waktu wajib Lebih longgar dibandingkan waktu pelaksanaannya. Dalam arti, terdapat sisa waktu setelah terpakai melaksanakan kewajiban. Contoh, shalat fardhu dilihat dari sisi waktunya.

 

  1. b) Wajib wadzayyaq (dipersempit), yaitu suatu kewajiban yang memiliki durasi waktu wajib sebanding dengan kadar wakmu pelaksanaannya. Dalam arti waktunya sempit, sehingga mukallaf tidak memiliki peluang mengakhirkan keseluruhan atau sebagian kewajiban. Contoh, puasa yang memiliki waktu sehari.

 

Kemudian dari sudut pandang penetapan kadar dan batasan dari as-Syari’ (pencetus syariat), juga terbagi dua;

 

  1. a) Wajib muhaddad, yaita hukum wajib yang mana as-Syari’ telah menetapkan kadar tertentu, sehingga mukallaf belum dianggap bebas dari tanggungan, selama dia belum mengerjakannya sesuai sifat yang telah ditentukan as-Syan’. Seperti shalat lima waktu, zakat dan lain-lain.

 

  1. b) Wajib ghairu mubljaddad, yaitu hukum wajib yang mana as Syan’ tidak menetapkan kadar tertentu, dan hanya menuntat mukallaf untuk melakukannya tanpa ada batasan, Seperu menafkahkan harta di jalan Allah SWT, saling menolong dalam kebaikan, bersedekah pada fakir miskin dan lain lain

 

Dari sudut pandang orang yang dibebani, maka terbagi dua.

 

  1. a) Wajib ‘ain, yaitu kewayiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukallaf), dan udak bisa digantikan orang lain. Misalnya, kewajiban melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam, menghindari perbuatan yang diharamkan seperti zina, dan minum khamr.

 

  1. b) Wajib kifa’y, yaitu kewajiban yang dituntut terlaksana, tanpa memandang siapa pelaksananya, dan kewajiban ini dibebankan kepada seluruh mukalaf secara komunal. Kewajiban jenis ini apabila telah dilaksanakan oleh satu orang, maka dianggap sudah menggugurkan tuntutan bagi yang lain. Dan jika ditinggalkan oleh semuanya, maka dosa ditanggung bersama. Mengenai penjelasan Lebih rinci, akan dijabarkan pada pembahasan yang akan datang.

 

Sedangkan dari sudut pandang pencntuan tuntutan, terbagi menjadi dua;

 

  1. a) Wajib muayyan (tertentu), adalah kewajiban yang dituntut oleh syara’ secara tertentu, tanpa ada hak memilih bersama Iternatif lain, seperti kewajiban shalat, dan puasa.

 

  1. b) Wajib mukhayyar (diberi hal pilih) atau mubham (tersamarkan), adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ secara tersamarkan di antara beberapa peersoalan yang telah ditentukan, seperti salah satu bentuk kafarat bagi pelanggar sumpah”.

 

  1. Sunnah, adalah khithab yang menuntut dilakukannya sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat tidak mengharuskan atau boleh ditinggalkan.

 

  1. Haram, adalah khithab yang menuntut ditinggalkannya sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat mengharuskan atau tidak boleh dilakukan.

 

  1. Makruh, adalah khithab yang menuntut ditinggalkannya sebuah perbuatan dengan tuntutan: yang bersifat tidak mengharuskan yang ditunjukkan oleh nahi maqshud atau larangan yang tertuju pada petkara tertentu, batk mash, iyma’ atau qiyas. Seperti makruhnya meninggalkan shalat tahiyyatul masjid, berdasarkan larangan khusus dalam hadits;

 

“Jika salah seorang diantara kahan masuk masjid, maka jangan duduk sebelum mengerjakan salat dua rakaat”.

 

  1. Khilaful aula, adalah khithab yang menuntut ditinggalkannya sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat tidak menghatuskan yang ditunjukkan oleh nahi ghairn magshud atau larangan yang tidak magshud (konkrit) pada perkara tertentu. Dalam arti, larangan ini disimpulkan dari perintah mengerjakan perkara sunnah. Karena setiap perintah atas sebuah perkara, merupakan larangan untuk melakukan kebalikannya. Seperti, meninggalkan shalat dhuha.

 

Catatan:

 

  1. Kualitas larangan dalam nahi maqshud lebih kuat dibandingkan larangan dalam nahi ghairu magshud, karena larangan dalam nahi magshud dimaksudkan secara tersurat (qashdan), sedangkan dalam ghairu maqshud hanya tersirat (dhimniy).

 

  1. Silang pendapat tentang penentuan hukum makruh dan khilaful aula didasari dari ada tidaknya nahi maqshud di dalamnya. Contoh puasa hari Arafah bagi orang yang berhaji, Menurut sebagian ulama hukumnya makruh, dan menurut sebagian yang lain hukumnya khilaful aula. Pendapat pertama berargumentasi bahwa dalam hal ini ditemukan nahi magshud, yakni HR. Abi Dawud;

 

“Bahwa sesunggubnya Nabi SAW melarang puasa hari Arafah di Arafah”

 

Namun hadits ini dikritik oleh pendapat kedua sebagai hadits dha’if (lemah) menurut keterangan ahli hadits.

 

  1. Pemilahan antara makruh dan khilaful aula yang ditambahkan pengarang dari rumusan ulama ushul, diakomodir dari statemen ulama fiqh muta’akhirin, termasuk Imam Haramain yang menggunakan bahasa nahi magshud dan ghairun maqshud.

 

Sedangkan fuqaha mutaqaddimin menycbut makruh untuk perkara yang memilki nahi makhsus dan ghairu makhsus. Mereka hanya membedakan dengan sebutan makruh syadidah untuk perkara yang memiliki mahi makhsush,

 

  1. Mubah, adalah khithab yang memperbolehkan memiulih antara melaksanakan atau meninggalkan sebuah perbuatan,

 

Menurut pendapat Ashah, fardlu dan wajib   adalah dua lata semakna. Seperti lafad mandub, mustahabb, tathawwu’ dan sunnah. Dan perbedaan pendapat tersebut sebatas retorika lafadh

 

ISTILAH WAJIB DAN FARDHU

 

Ulama berselisih pendapat mengenai pemaknaan dan penggunaan istilah fardhu dan wajib. Menurut kalangan Hanafiyyah, keduanya berbeda. Wajib adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanniy, dan fardhu adalah hukum yang yang ditetapkan berdasarkan dalil qathi’y. Contoh hukum wajib adalah membaca fatihah dalam shalat. Hukum ini ditetapkan berdasarkan dalil zhanniy, berupa hadits ahad riwayat Bukhari-Muslim;

 

“Tidaklah sempurna shalit seseorang yang lidak, membaca fatibahnya Al-Qur’an”

 

Konskuensinya, seseorang yang shalat tanpa membaca fatihah, dia dianggap berdosa, namun tidak membatalkan shalat. Sedangkan contoh hukum fardhu adalah membaca Al-Qur’an dalam shalat. Hukum ini ditetapkan berdasarkan dahil qathi’y, berupa ayat Al-Qur’an;

 

“Bacalah yang mudah bagimu dari Al-Qur’an (QS. muzammil 20)”

 

Menurut kalangan Syafiiyyah, yang merupakan pendapat Ashah, fardhu dan wajib merupakan sinonim, atau dua kata yang memiliki satu arti, yakni khithab Allah SWT yang menuntut dilakukannya sebuah pekerjaan dengan tuntutan yang bersifat mengharuskan. Perbedaan yang terjadi dinilai oleh pengarang hanya sekedar retorika lafadz dan formalitas penamaan. Karena jika disimpulkan, sebuah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i, setelah disebut fardhu, apakah bisa disebut wajib?. Dan sebaliknya, hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil dhanni, setelah disebut wajib, apakah bisa disebut fardhur.

 

Jawabannya, menurut kalangan Hanafiyyah, tidak bisa, karena mereka mencuplik makna lafadz ‘fardhu’ dari ungkapan   dengan arti  , yakni memotong sebagian. Dan makna lafadz ‘wajib’ dari . ungkapan   aqli   yakni gugur. Sesuatu yang tetap dengan dalil dhanni, dianggap gugur (turun) dari level yakin (pasti).

 

Kemudian jawaban Syafi’iyyah, bisa. Karena meninjau lafadz ‘fardhu’ berasal dari (menetapkan kadar ukuran), dan  lafadz ‘wajib’ berasal dari  (menetap). Masing-masing dari al mugaddar (yang ditetapkan ukurannya) dan ats-tsabit (yang tetap), lebih umum dari sekedar tetap dengan dalil qath’i atau dhanni.

 

Keterangan terdahulu, bahwa meninggalkan bacaan Al-Fatihah di dalam shalat tidak membatalkan menurut Hanafiyyah dan membatalkan menurut Syafi’iyyah, tidak mempengaruhi cksistensi penycbutan silang pendapat bersifat retorika lafadz. Karena persoalan tersebut sudah masuk dalam ranah fiqhiyyah yang tidak dipersoalkan dalam penamaan fardhu dan wajib dalam pembahasan ini”.

 

MANDUB MUSTAHAB TATHAWWU DAN SUNNAH

 

Menurut pendapat Ashah, kata mandub, mustahab, tathawwu’ dan sunnah merupakan beberapa kata yang memiliki satu arti (sinonim), yaitu khithab Aah yang menuntut sebuah pekerjaan dengan tuntutan yang tidak mengharuskan.

 

Menurut pendapat ulama lain, termasuk imam Qadhi Husain dan Baghawi, mandub, mustahab, tathawwn’ dan sunnah merapakan beberapa kata yang memiliki arti berbeda-beda.

 

  1. Sunnah adalah perbuatan yang selalu dilakukan Rasulullah SAW.

 

  1. Mustahab adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW namun tidak dilakukan secara rutin.

 

  1. Tathawwu’ adalah perbuatan yang bermula dari inisiatif manusia sesuai dengan yang dia kehendaki berbentuk beberapa kebiasaan.

 

Catatan; ada beberapa nama dati sunnah, dimana masing-masing memilki pemaknaan yang berbeda dengan yang lain.

 

  1. Muraghab fih, karena mendorong mukallaf melakukannya dengan janji pahala.

 

  1. Mustahab, dimana artinya secara urf, bahwa perbuatan tersebut dicintai oleh Allah SWT.

 

  1. Nafl, yang artinya perbuatan tersebut ketaatan (tha‘at) yang tidak wajib, dan bagi manusia bisa melaksanakannya tanpa ada keharusan.

 

  1. Tathawwu’, artinya orang yang melakukanya tergolong orang yang patuh dan tunduk terhadap Allah SWT, padahal bukan tergolong pengabdian yang harus dilakukan.

 

  1. Sunnah, yang memiliki arti urf sebagai ketaatan yang hukumnya tidak wajib.”

 

(Versi Ashah), bahwa sunnah tidak wajib dilakuan, Dan wae menyempurnakan (dengan sebab mulai dilakukannya haji sunnah),  dikarenakan haji sunnah sama seperti haji wajib, dalam hal niat, dan selainnya.

 

HUKUM MENYEMPURNAKAN SUNNAH

 

Mengenai hukum sunnah, tersisa persoalan manakala sunnah sudah mulai dijalankan. Apakah saat dijalankan, sunnah boleh untuk dibatalkan?ataukah wajib disempurnakan?. Dalam hal ini silang pendapat ulama terpetakan menjadi dua kelompok.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, perbuatan sunnah manakala sudah mulai dijalankan tidak wajib untuk disempurnakan, dan apabila dibatalkan, maka tidak wajib meng-qadha’i-nya. Karena pada dasarnya sunnah boleh untuk ditinggalkan, dan membatalkan sunnah yang sedang dijalankan sama halnya dengan meninggalkannya.

 

  1. Menurut Imam Abu Hanifah, wajib menyempurnakan ibadah sunnah yang sedang dijalankan, dan wajib meng-qadha’i manakala dibatalkan, seperti membatalkan puasa dan shalat sunah. Hal ini berdasarkan ayat:

 

“Janganlah kalian membatalkan amal perbuatan kalian”.

 

Argumentasi ini disangkal oleh pendapat pertama, bahwa seseorang yang sedang menjalankan puasa sunnah bebas memilih antara melanjutkan dan membatalkan, berdasarkan HR. Tirmidzi;

 

“Orang yang berpuasa sunnah, dia berbak mengatur dirinya, apabila menghendaki, maka ia meneruskan puasanya dan apabila ia berkehendak lain maka ia boleh membatalkanya”

 

Hadits ini menjadi pentakhsish ayat Al-Qur’an di atas. Sehingga puasa sunnah tidak dilarang untuk dibatalkan. Dan shalat sunnah dalam hal ini diqiyaskan pada puasa.

 

Dari pemaparan pendapat pertama di atas, menyisakan persoalan ibadah haji sunnah yang wajib disempurnakan. Kewajiban ini berdasarkan alasan bahwa haji sunnah dan fardlu memiliki banyak kesamaan, baik dari sisi niat, kafarah dan lain-lain. Dari sisi niat, dimana niat dalam haji sunnah dan fardhu adalah sama, yaitu sengaja masuk ke dalam ibadah haji. Dan dari sisi kafarat, dimana kafarat diwajibkan dalam haji wajib maupun sunnah akibat bersetubuh yang merusak ibadah tersebut. Serta dari sist bahwa pelaku haji wajib dan sunnah tidak bisa keluar (masih berstatus thram) sebab rusaknya ibadah tersebut. Bahkan wajib melanjutkannya sampai selesai. Hukum umrah dalam hal ini sama dengan haji. Dan tidak ada ibadah sunnah selain haji dan umrah yang sunnahnya memiliki kesamaan dengan fardlunya.”

 

Sabab adalah sifat yang jelas, terukur, yang menunjukkan pada hukum. 

Syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya menuntut ketiadaan hukum, dan perwujudannya tidak menuntut wujud dan tidaknya hukum.

Mani’ (penghalang) adalah sifat yang berupa Perwujudan (bukan ketiadaan), terukur, dan sebagai petunjuk kebalikan hukum. Seperti membunuh dalam warisan.

 

PEMBAHASAN SABAB

 

Sabab menurut arti bahasa adalah tali dan sesuatu yang menghantarkan pada perkara lain. Pirman Allah SWT;

 

“Maka hendaklah merentangkan tali ke langit”

 

Sedangkan definisi sabab menurut istilah ulama ushul adalah,  

 

‘Sesuatu yang menjadi tempat sandaran hukum, karena hukum terkait dengannya, dari sist bahwa sesuatu itu adalah penanda hukum, atau yang lain”

 

Definisi ini tergolong rasm, karena menggunakan khasshah ‘aradhiyah atau perkara khusus yang berbentuk sifat. Ulama lain seperti Imam Al-Amidi mendefinisikan sabab dengan pola had, yakni menggunakan wmafhum (makna yang difaham)

 

“Sebuah sifat yang jelas dan terukur dan menjadi penanda hukum”

 

Mengacu pada definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut sabab dalam pembahasan kali ini adalah  dalam pembahasan qiyas yang akan datang. Contoh:

 

“Dirikan salat sesudah matahari tergelincir”’

 

Dalil ini menegaskan bahwa tergelincirnya matahari menjadi sabab dari wajibnya shalat dhuhur.

 

Catatan ;

 

  1. Dalam definisi sabab, kriteria wajudi (wujud) tidak ditambahkan pada sifat, karena ‘Sabab terkadang berbentuk sifat ‘adamiy (ketiaadaan). Beda halnya dengan definisi mani’, karena dalam mani’ tidak ditemukan sifat “adam.

 

  1. Sebagian ulama ushul mengaggap sabab dan ‘‘illat adalah sama. Pendapat ini mengacu pada ketentuan bahwa antara ‘‘illat dan hukum tidak harus ada keserasian (al-munasabah), sebagaimana antara sabab dan hukum. Pendapat ini dinilai sebagai pendapat yang benar, seperti dalam keterangan pembahasan ‘‘illat mendatang. Pendapat kecdua, antara sabab dan ‘illat tidak sama. Berpijak pada keteentuan bahwa antara Zaft dan hukum harus ada keserasian. Sehingga menurut pendapat kedua ini sabab seperti tergelincirnya matahari dalam shalat dhuhur, rukyah dalam puasa, tidak bisa disebut dengan ‘‘illat. Karena akal manusia tidak mampu menemukan keserasian yang nampak antara sabab dan hukumnya.

 

PEMBAHASAN SYARAT

 

Syarat secara bahasa dapat ditilik dari dua tinjauan yang masingmasing memiliki pemaknaan berbeda, yaitu;

 

  1. Berbentuk mashdar dengan huruf ra’ yang disukun dan memiliki bentuk jamak syurutun. Maka arti yang terkandung adalah menctapkan sesuatu dan menyangeupinya.

 

  1. Dengan huruf ra’ yang berharakat dan bentuk jamak asyrath, Maka memiliki arti sebuah tanda. Sebagaimana firman Allah SWT;

 

“Karena sesungeubnya Yeah datang tanda-tandanya”.

 

Sedangkan syarat secara istilah, memiliki pengertian sebagai berikut;

 

Sesuatu yang yang ketiadaannya menetapkan tidak adanya hukum dan keberadaanya tidak, menetapkan ada atau tiadanya hukum.

 

Contoh, wudhu sebagai syarat shalat. Tidak adanya wudhu menycbabkan tidak adanya shalat. Dan wujudnya wudhu tidak menetapkan ada dan tidak adanya shalat.

 

Keterangan lebih mendalam tentang syarat akan dipaparkan pada bab mukhasshis (pentakhsish) mendatang.”

 

PEMBAHASAN MANI’

 

Mani’ ada dua bentuk, mani’ al-hukm (pencegah hukum) dan mani’ as-sabab (pencegah sabab). Dan ketika diucapkan secara mutlak memiliki arti mani’ al-hukm (pencegah hukum). Definisi pertama dari mani’ al-hukm disampaikan oleh pengarang;

 

“Sifat yang berupa perwujudan (bukan Retiadaan), Jelas, terukur, dan sebagai penanda kebalikan bukum”

 

Definisi lain dikutip oleh Syckh Wahbah Az-Zuhaili;

 

‘Sesuatu yang keberadaannya memastikan tidak adanya hukum atau batalnya sabab hukum”

 

Contoh, membunuh metupakan mani’ seorang kerabat atau yang lain mendapatkan warisan, karena memuat hikmah berupa  tidak menyyepaskannya ahli waris atas kematian orang yang diwaris dengan cara dibunuh. Contoh lain, sifat kebapakan menjadi mani’ seseorang terkena hukum qishas.

 

Sedangkan mani’ as-sabab atau mani’ al-’illat penycbutannya selalu dibatasi dengan kata sabab atau ‘illat. Dan pembahasan selengkapnya ada dalam pembahasan ‘illat mendatang”.

 

Sah adalah kesesuaian perbuatan persis ganda terhadap syara’, menurut pendapat Ashah.

Dan maksud keabsahan ibadah adalah muncul ijza’-nya, yakni pemenuhan ibadah dalam mengguyurkan tuntutan, menurut Ashah. Dan maksud keabsahan selain ibadah, muncul pengaruhnya (yakni tujuan akad), ijza’ terkhusus pada ibadah yang diperintahkan (wajib maupun sunnah), menurut Ashah.

 

PEMBAHASAN SAH

 

Sah atau dalam ucapan arabnya shihhab secara bahasa adalah sehat. Menurut istilah, pengertian sah versi ulama ushul adalah;

 

“Kesesuatan perbuatan bersist ganda (dua wajah) dari aspek realisasinya terhadap syara’”

 

Sebagian ulama menggunakan redaksi berbeda, sebagaimana dikutip Syekh Wahbah Az-Zuhaili;

 

“Terealsasinya perbuatan bersisi ganda sesuai dengan perintab syara’”

 

Dari definisi di atas, kita mencmukan beberapa kesimpulan;

  1. Maksud ‘bersisi ganda’ atau ‘dua wajah’ adalah sisi kesesuaian dengan syara’ dan sisi bertentangan dengan syara’. Dalam arti, sebuah perbuatan yang sudah terealisasi sekali tempo sesuai dengan syara’, karena memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan syara’, dan pada tempo yang lain bertentangan dengan syara’, karena tidak memenuhi rukun atau syarat.

 

  1. Dari kata ‘bersisi ganda’, mengecualikan perbuatan yang hanya memiliki satu sisi, yaitu selalu sesuai dengan syara’, seperti makrifat pada Allah SWT. Meskipun sesuai dengan syata’, namun perbuatan tersebut tidak dapat dinilai dengan sah. Karena jika perbuatan tersebut terealisasi dan bertentangan dengan syara’, maka tidak lagi disebut dengan makrifat, namun dinamakan jahl (bodoh).”

 

Definisi sah di atas ketika diaplikasikan dalam ibadah menimbulkan silang pendapat.

 

  1. Sah dalam ibadah menurut pendapat Ashah, adalah kesesuaian ibadah yang telah terealisasi dengan syara’, meskipun belum menggugurkan kewajiban melakukan gadba’. Pendapat ini disampaikan kelompok mutakallimin (para pakar teologi).

 

  1. Sah dalam ibadah adalah kesesuaian ibadah yang telah terealisasi dengan syara’, sekaligus menggugurkan kewajiban melakukan gadba’, Pendapat ini disampaikan kelompok ahli fiqh.

 

Contoh kasus, shalat seseorang yang menyangka dirinya dalam keadaan suci, kemudian terbukti dia telah berhadats. Menurut pendapat pertama, shalatnya sah, meskipun dia tetap berkewajiban qadha’. Dan menurut pendapat kedua, shalatnya tidak sah, karena shalat yang dia kerjakan belum menggugurkan gadha’.

 

Menurut Imam Al-Qarrafi, khilaf tersebut hanya retorika lafadz, karena dua kelompok tersebut sepakat mengenai tidak adanya gadha’ bagi seseorang yang tidak terbukti bahwa dirinya shalat dalam keadaan hadats. Dan menetapkan wajib gadba’ apabila terbukti bahwa dirinya shalat dalam keadaan hadats. Namun pendapat ini ditolak oleh Imam Az-Zarkasyi, beliau mengatakan bahwa silang peendapat tersebut sudah sampai pada tataran substansial (maknawi). Karena kelompok mutakallimin tidak mewajibkan qadha’, sekaligus menyatakan tegas shalatnya sah.

 

Berikutnya, definisi sah ketika diaplikasikan dalam muamalah memiliki pengertian berlanjutnya tujuan akad. Contoh, ketika jual beli dinyatakan sah, maka pihak pembeli berhak memanfaatkan barang yang dibelinya. Sah dan berlanjutnya tujuan akad (taratiub alsar al-‘agdi) tidak sama. Karena sah merupakan penentu munculnya tarattub atsar al-‘aqdi.

 

Dalam arti, ketika akad dinyatakan sah, maka tarattub atsar al-‘aqdi akan muncul dari keabsahan tersebut, bukan berarti secara langsung memunculkan tarattub atsar al ‘aqdi. Sehingya kasus jual beli di tengah masa khiyar, meskipun dihukumi sah, akan tetapi tarattub atsar al-‘aqdi belum bisa direalisasikan, karena menunggu habisnya masa khiyar’’.

 

MAKSUD DAN PENGERTIAN IJZA’

 

Ijza’ secara bahasa artinya mencukupi. Sedangkan pengertian ijza’ dalam terkait dengan sahnya ibadah, ulama ushul berselisih pendapat.

 

  1. Ijza’ adalah mencukupi dalam menggugurkan sebuah tuntutan, meskipun belum menggugurkan kewajiban qadha’. Pengertian ini berpijak pada pendapat rajih tentang hukum sah dalam ibadah. Sehingga za’ menurut versi ini muncul dari hukum sah, dan bukan sebagai sinonim dari sah. Contoh, seseorang yang shalat karena menyangka dirinya suci dari hadats. Kemudian terbukti ternyata persangkaannya salah. Maka menurut ini, shalatnya dihukumi sah, dan konskucnsinya ditetapkan za’ karena telah gugur tuntutannya, meskipun dia masih berkewajiban gadha’.

 

  1. Ijza’ adalah menggugurkan qadha’.. Pengertian ini berpijak pada pendapat manuh tentang hukum sah dalam ibadah. Sehingga za’ menurut versi ini sinonim dari sah. Contoh, dalam masalah shalat dengan menyangka dirinya suci dari hadats sebagaimana di atas. Menurut versi ini shalatnya dihukumi tidak sah sekaligus belum dianggap Ijza’.

 

Kemudian terjadi silang pendapat mengenai obyek ibadah yang dapat disifati dengan ijza’

 

  1. Pendapat Ashah, ijza’ terkhusus pada ibadah secara mutlak, baik wajib atau sunnah. Tidak dapat diterapkan dalam selain keduanya, seperti akad dan lain-lain.

 

  1. Pendapat kedua, ijza’ hanya terkhusus pada ibadah wajib saja.

 

Faktor pemicu silang pendapat di atas adalah HR. Ibn Majah;

 

“Empat perkara yang tidak mencukupi digunakan berkurban”

 

Kata ijza’ terpakai dalam ibadah kurban, dimana menurut kalangan Syafi’yyah hukumnya sunnah, sehingga istilah ijza’ digunakan untuk ibadah wajib dan sunnah. Dan menurut kalangan Hanafiyah, kurban hukumnya wajib, sehingga istilah ijza’ digunakan untuk ibadah wajib saja. Meskipun demikian, ada beberapa contoh dimana dua kubu dj atas sepakat menggunakan ijza’ dalam ibadah wajib. Di antaranya HR, Daruquthni;

 

‘Tidak cukup shalatnya seorang laki-laki yang tidak menbaca umraul Al-Qur’an”

 

Berbanding dengan sah, adalah batal. Batal adalah fasad. Dan silang pendapat yang terjadi sebatas retorika lafadz.

 

DEFINISI BATAL DAN FASAD

 

Sebagai kebalikan dari sah adalah batal dan fasad. Mengenai definisi dan pemilahannya, ulama berselisih pendapat.

 

1, Menurut pendapat Ashah, dari kalangan Syafi’iyyah, batal dan fasad merupakan sinonim. Keduanya didefinisikan sebagai ketidaksesuaian sebuah perbuatan yang bersisi ganda (memiliki dua wajah) terhadap syariat. Contoh, dalam jual beli, syara’ menetapkan ketentuan syarat dan rukun. Manakala jual beli melanggar ketentuan ini, maka jual beli tersebut disebut batal dan fasad.

 

  1. Menurut Imam Abu Hanifah, batal dan fasad berbeda. Beliau membedakan antara keduanya, bahwa hukum yang larangan di dalamnya mengarah pada asalnya (syarat atau rukun), maka dinamakan batal. Seperti melakukan shalat tanpa memenuhi sebagian rukun atau syaratnya. Atau mengarah pada sifatnya ibadah, maka dinamakan fasad, seperti puasa pada hari raya kurban, karena berpaling dari suguhan Allah bagi manusia berupa daging kurban yang telah di syariatkan di hari itu. Dan puasanya dinyatakan sah. Contoh lain, bernadzar puasa di hari kurban, ketika dia berpuasa di hari itu, maka puasanya dihukumi sah, akan tetapi dia berdosa dari sisi pelaksanaannya, bukan nadzarnya. Solusi agar terhindar dari maksiat (dosa) dan memenuhi nadzarnya adalah dengan membatalkan puasanya dan meng-qadha~inya di lain waktu.

 

Perbedaan antara Syafiyyah dengan Hanafiyah hanyalah retorika lafadz. Karena secara kesimpulan, tidak sesuainya sebuah perbuatan bersisi ganda (memiliki dua wajah) terhadap syara’, dengan larangan yang mengarah pada asaf (syarat dan rukun), selain dinamakan batal, apakah juga bisa dinamakan fasad Atau adanya larangan mengarah pada sifatnya, selain dinamakan fasad, apa jupa dapat disebut batal?. Menurut Imam Abi Hanifah tidak bisa, menurut kita (Syafi’iyah) bisa.

 

Menurut pendapat Ashah, ada’ ialah melakukan seluruh ibadah tau satu rakaat (shalat) pada waktunya. Waktu ada’ adalah masa yang dikira-kirakan secara syara’.

Dan (versi Ashah) bahwasanya qadha’ adalah melakukan seluruh ibadah atau seluruhnya kecuali kurang dari satu rakaat setelah waktunya keluar, sebagai susulan (pengganti) dari perbuatan yang sebelumnya ada penuntut untuk melakukannya.

Menurut pendapat Ashah, i’adah adalah ita mengerjakan ibadah pada waktunya untuk kedua kalinya, secara mutlak.

 

DEFINISI ADA’

 

Mengenai persoalan ada’, pakar hukum berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.

 

  1. Pendapat Ashah, ada’ adalah melakukan ibadah atau satu rakaat shalat pada waktunya. Kata ‘ibadah’ dalam definisi ini mencakup haji, shalat, puasa dan lain-lain, baik wajib maupun sunnah. Berdasar HR. Bukhari-Muslim;

 

“Barang siapa menemukan satu rakaat dari shalat, maka ia menemukan shalat”

 

Contoh, melakukan satu rakaat shalat dhuhur pada waktunya, maka shalatnya dihukumi ada’, meskipun tiga rakaat sisanya berada di luar waktu.

 

  1. Pendapat kedua, ada’ adalah melakukan seluruh ibadah pada waktunya (masa yang ditentukan oleh syara’). Sehingga apabila yang dikerjakan pada waktunya hanya satu rakaat, maka tidak dihukumi ada’.

 

Dalam hal ini, yang dimaksud al-muadda (perkara yang dikerjakan secara ada) adalah ibadah yang telah dikerjakan pada waktunya menurut pendapat pertama dan kedua di atas, atau pada waktunya dan waktu setelahnya menurut pendapat pertama.

 

Berikutnya yang dimaksud ‘waktu’ adalah masa yang ditentukan syara’ bagi pelaksanaan ibadah tersebut secara mutlak, baik mawassa’ (diperlonggar) seperti waktu shalat lima waktu, sunnah rawatibnya, shalat dhuha, dan ied, atau mudhayyaq (dipersempit) seperti waktu puasa , Ramadhan dan hari-hari bulan terang (ayyam al-bidh). Sedangkan ibadah yang tidak dibatasi waktu, seperti shalat sunnah mutlak dan nadzar mutlak, termasuk yang harus disegerakan seperti iman, maka tidak bisa disifati dengan qadha’ dan ada’, meskipun pelaksanaannya jelas membutuhkan waktu.

 

DEFINISI QADLA’

 

Perbedaan pendapat tentang definisi ada’, berdampak pada definisi qadha’, sebagai mana keterangan dibawah ini.

 

  1. Pendapat Ashah, gadba’ adalah mengerjakan ibadah atau mengerjakan mayoritas rakaat shalat (sisanya kurang dari satu rakaat) di luar waktu yang telah ditentukan syara’, dengan tujuan mengganti sesuatu yang sebelumnya dituntut untuk dikerjakan secara mutlak. Baik tuntutan tersebut kepada orang yang mengganti, seperti meng-qadha’ shalat yang ditinggalkan tanpa adgur, atau kepada orang lain, seperti gadha’ shalat dari orang yang tidur dan gadba’ puasa dari wanita yang haid. Karena tuntutan shalat dan puasa yang ada secbelumnya diperuntukkan bagi selain orang yang tidur dan wanita haid, bukan mereka berdua. Catatan ‘dengan tujuan menggant’, mengecualikan pengulangan shalat di luar waktu, setelah sebelumnya dikerjakan secara ada’.

 

  1. Pendapat kedua, qadha’ adalah mengerjakan ibadah atau sebagian ibadah, meskipun kurang dari satu rakaat di luar waktu yang telah ditentukan.

 

Dalam hal ini, yang dimaksud al-maqdhiy (perkara yang dikerjakan secata gadha’) adalah ibadah yang telah dikerjakan setelah waktu keluar menurut pendapat pertama dan kedua di atas, atau sebelum keluar waktu dan setelah keluar waktu menurut pendapat kedua.

 

Perbedaan dua pendapat di atas dapat digambarkan dalam contoh kasus berikut ini; seseorang yang mengerjakan shalat mahgrib, setelah selesai satu rakaat ternyata waktunya habis, maka shalatnya tidak dinamakan qadla’ menurut pendapat pertama, dan dihukumi qadha’, jika menpikuti pendapat kedua.

 

DEFINISI I’ADAH

 

Dalam mendefinisikan i’adah ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat Ashah, i’adah adalah mengulangi ibadah untuk kedua kalinya di dalam waktu ada’-nya, karena faktor adanya udzur dalam pelaksanaannya yang pertama, baik berupa cacat berupa tidak terpenuhinya syarat atau rukun, ataupun menginginkan fadhilah (keutamaan) yang tidak ada dalam pelaksanaan pertama, karena faktor imam Lebih ‘alim, atau wira’i, atau jamaahnya Lebih banyak, atau tempatnya Lebih mulia. Atau tanpa adanya udzur yang jelas, semisal kedua jamaah tersebut sederajat, atau jamaah pertama Lebih utama. Contoh, mengulangi shalat-dengan berjamaah setelah sebelumnya dikerjakan sendirian tanpa ada cacat. Shalat ini disebut shalat al-mu’adah (dikerjakan secara i’adah) menurut pendapat kedua, karena didapatkannya fadhilah jamaah, dan tidak disebut al-mu’adah menutut pendapat pertama, karena tidak ada cacat pada pelaksanaan pertama.

 

  1. Pendapat pertama, i’adah adalah mengulangi ibadah untuk kedua kalinya di dalam waktu ada-nya, karena faktor adanya cacat dalam pelaksanaannya yang pertama. Contoh, shalat dengan membawa najis, atau tanpa membaca fatihah karena lupa. Pendapat ini adalah qaul masyhur yang dipilih Imam Ar-Razi dan diunggulkan Imam Ibnu Al-Hajib.

 

Hukum syar’, jika berubah menjadi ringan karena adanya sdzur, besertaan masih adanya sebab bagi hukum asal, maka dinamakan rukhshah. Adakalanya wajib, sunnah, mubah dan khilaful aula. Seperti memakan bangkai, shalat qashar, sesuai asyaratnya, akad salam, dan tidak berpuasa bagi musafir yang puasanya tidak memberatkan dirinya. Jika tidak demikian, maka dinamakan ‘azimah.

 

DEFINISI RUKHSHAH

 

Rukhshah adalah hukum syara’ yang dari sisi keterkaitannya dengan mukallaf mengalami perubahan dari sulit menjadi ringan, karena adanya udzur (alasan) disertai masih tetapnya sabab dari hukum asal,

 

Contoh:

  1. Memakan bangkai
  2. Meng-gashar shalat di perjalanan 3 marhalah.
  3. Melakukan akad salam
  4. Tidak berpuasa bagi musafir yang tidak kelelahan

 

Tabel contoh rukhshah dan macam rukhshab.

 

DEFINISI ‘AZIMAH

 

Azimah adalah hukum syara’ yang tidak memenuhi kriteria rukhshah, meliputi;

 

  1. Hukum yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Seperti, wajibnya shalat lima waktu.

 

  1. Perubahan hukum menjadi lebih berat. Seperti, haramnya berburu bagi seseorang yang berihram, dimana hukum sebelum thram adalah diperbolehkan.

 

3, Perubahan hukum menjadi ringan tanpa disertai udzur, Seperti bolehnya tidak berwudhu, manakala menghendaki shalat yang kedua atau ketiga kalinya, bagi mereka yang belum berhadast. Dimana hukum asalnya adalah haram. Maksud ‘boleh’ dalam contoh tni adalah khilaful aula.

 

4, Perubahan hukum menjadi ringan karena adanya udzur, namun tanpa disertai sabab dari hukum asal. Seperti, dipeerbolehkannya melarikan diri dari medan peperangan bagi satu orang saat menghadapi sepuluh orang kafir. Udzur dalam hukum ini adalah beratnya bertahan saat kaum muslimin dalam jumlah besar”. Sebelumnya melarikan diri semacam itu diharamkan. Ifukum asal haramnya melarikan diri pada mulanya didasari sabab sedikitnya kaum muslimin, akan tetapi pada saat hukum moelarikan diri berubah menjadi boleh, sabab tersebut sudah tidak ada, karena saat itu kaum muslimin berjumlah besar.

 

Catatan; dua ta’rif mkhshah dan ‘azimah menyisakan kemusykilan manakala diaplikasikan dalam hukum wajibnya meninggalkan shalat dan puasa bagi wanita yang mengalami haid. Hukum ini adalah ‘azimah, namun juga masuk dalam decfinisi rvkbshah. Persoalan ini dijawab, bahwa hukum tersebut tidak masuk definisi rvkbshah, karena haid yang menjadi udzur meninggalkan shalat dan puasa, sekaligus berstatus mani’ (pencegah) untuk melaksanakan keduanya. Dari status mani’ inilah kemudian muncu! hukum wajib meninggalkan shalat dan puasa”.

 

Dalil ialah sesuatu yang dapat mengantarkan pada kesimpulan perbentak haber yang dikehendaki, melalui proses penalaran yang benar. Menurut kita, pengetahuan yang didapat setelah melalui proses penalaran tersebut tergolong muktasab (pengetahuan yang diupayakan).

 

DEFINISI DALIL,

 

Dalil secara lughat adalah sesuatu yang menunjukkan pada perkara lain. Secara istitlah dalil adalah sesuatu: yang ketika dianalisa dengan benar (shahih an-nadhar) racmungkinkan sampai pada kesimpulan berbentuk

khbar. Dengan penjclasan sebagai berikut;

 

  1. Maksud shabih an-nadhar adalah analisa yang dilakukan dengan cara yang berpotensi memahamkan hati pada kesimpulan (al-mathlub). Disebut juga dengan wajh ad-dalalah (aspek penunjukkan dalil).

 

  1. Maksud ‘sampai’ adalah menghasilkan keyakinan atau dugaan (dhan).

 

  1. Nadhar dalam pembahasan ini adalah berpikir secara umum tanpa batasan bisa sampai pada keyakinan atau dugaan.

 

  1. Berpikir (al-fikr) adalah gerak hati menganalisa beberapa perkara yang bersifat rasional (al-ma’qulal) bukan yang terlihat panca indra (al-mahsusat).

 

  1. Definisi di atas mencakup dalil qath’i seperti alam semesta sebagai dalil wujudnya Pencipta, dan dhbanni, seperti api sebagai dalil adanya api, dan  sebagai dalil wajibnya shalat.

 

HASIL PENGETAHUAN DARI ANALISA DALIL

 

Selanjutnya ulama mempersoalkan mengenai kesimpulan pengetahuan ( ) yang didapatkan melalui proses analisa dengan benar (shahih an-nadhar), apakah disebut mukhtasab ataukah tidak?.

 

  1. Pendapat Ashah, disebut mukhtasab (diusahakan), karena kesimpulan pengetahuan tersebut dihasilkan melalui usaha analisa. Pendapat ini disampaikan jumhur.

 

  1. Pendapat keedua, bukan mukhtasab, karena kesimpulan pengetahuan tersebut dihasilkan secara otomatis, tanpa mampu ditolak dan tidak bisa terlepas. Namun selisih pendapat dengan versi pertama di atas hanya bersifat retorika lafadz.

 

Ulama juga berselisih pendapat mengenai pola hubungan yang terjadi antara analisa dengan benar (shabih an-nadhar) dan pengetahuan yang dihasilkan.

 

  1. Pendapat pertama, dihasilkan secara ‘adat, artinya sunatullah memberlakukan biasanya menciptakan pengetahuan setelah ada analisa, meskipun secara akal pengetahuan tersebut mungkin saja tidak dihasilkan. Karena Allah SWT bisa jadi tidak menciptakan pengetahuan setelah ada analisa, tidak sebagaimana ‘adaf biasanya.

 

Sebagaimana tidak terbakarnya benda saat tersentuh apt, padahal ‘adat biasanya terbakar. Salah satu pendukunp pendapat ini adalah Imam Al Asy’ari.

 

  1. Pendapat kedua, dihasilkan secara kelaziman akal, dimana statusnya tidak mungkin terlepas. Sebagaimana adanya materi mecnunjukkan adanya sifat dari materi tersebut. Disampaikan Imam Ar Razi dan mayoritas ulama Asy’ariyah.

 

  1. Pendapat ketiga, analisa melahirkan pengetahuan, seperti lahirnya gerakan kunci dari gerakan tangan. Disampaikan oleh Mu’tazilah. Catatan; menurut penparang, status dhan (dugaan) sama dengan al ilm (pengetahuan) dalam silang pendapat yang terjadi_ terkait penamaan muktasab dan tidak, namun tidak dalam silang pendapat mengenai pola ‘adat atau kelaziman akal. Dan menurut Imam Zakariya Al-Anshari, seluruh silang pendapat dalam al ‘ilm berlaku pada dhan. 

 

Had (definisi) ialah sesuatu yang dapat membedakan sat perkara dengan perkara lain. Disebut juga al-jami’ (universal) sekaligus  al-mani’ (protektif) dan al-muththarid (setiap terdapat had, pasti dijumpai mahdud) sekaligus al-munakis (setiap terdapat mahdud, pasti di jumpai had).

 

Kalam nafshi di saat azali, dinamakan khithab (secara hakikat) dan beragam bentuk, menurut pendapat Ashah.

 

DEFINISI HAD

 

Had secara etimologi artinya menccegah. Dan menurut istilah ushul fiqh adalah sesuatu yang dapat membedakan suatu perkara dengan perkara lain. Hal ini semakna dengan mu’arrif (definisi) menurut ulama mantiq. Membedakan suatu perkara dengan perkara lain hanya bisa dihasilkan dengan batasan dimana semua satuan individu mahbdud (perkara yang didefinisikan) terakomodir tanpa terkecuali, dan individu lain di luar cakupan individu-individu mahdud terhalang masuk dalam had. Definisi semakna disampaikan pengarang, sebagaimana Imam Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani, bahwa had adalah al-jami’ dan al-mani’.

 

Atau redaksi lain, had adalah al-muththarid dan al-munakis. Dengan penjclasan sebagai berikut;

 

  1. Maksud al-jami’ (universal) adalah mampu mengakomodir satuan individu-individu yang masuk dalam cakupan had.

 

  1. Maksud al-mani’ (protektif) adalah mampu menolak masuknya individu lain di luar cakupan individu-individu mahdud.

 

  1. Maksud al-muttharid yaitu setiap kali had (definisi) ditemukan, maka mahdud (perkara yang didefinisikan) juga ditemukan. Sehingga individu lain di luar cakupan individu-individu mahdud terhalang masuk dalam had, atau dalam bahasa lain al-mani’.

 

  1. Maksud al-mun’akis yaitu setiap kali mahdud (perkara yang didefinisikan) ditemukan, maka had (definisi) juga ditemukan. Sehingga semua satuan individu mahdud (perkara yang didefinisikan) terakomodir tanpa terkecuali, atau dalam bahasa lain al-jam’.

 

Contoh, manusia adalah spesics hewan yang mampu berpikir. Definisi ini sudah memenuhi syarat jami’-mani’ dan muttharid-mun‘akis. Lain halnya ketika definisinya demikian, manusia adalah spesics hcwan yang mampu menulis. Maka definisi semacam ini belum dikatakan Jami’. mani’, kareena definisi tersebut tidak mengakomodir Zaid yang tidak bisa menulis, padahal Zaid juga manusia.

 

PENAMAAN KHITHAB ATAS KALAM NAFSI

 

Kontroversi terjadi mengenai penamaan khithab atas kalam nafsi di jaman aah.

 

  1. Mecnurut pendapat Ashah, bahwa kalam nafsi di jaman azali dapat disebut khithab secara hakikat. Karena memposisikan perkara ma‘dum (belum wujud) yang nantinya akan wujud, sebagai perkara yang mand.

 

  1. Menurut pendapat kedua, kalam afi di jaman azal tidak bisa disebut khithab secara hakikat. Karena tidak adanya orang yang dikhithab pada saat itu. Padahal kalam nafsi disebut hakikat pada perkara yang terus berlangsung, manakala terwujud orang yang memahaminya, serta diperdengarkan kepadanya dengan perantara lafadz, seperti AlQur’an, atau selain lafadz, seperti khariq al-‘adah (tidak sesuai kebiasaan sunatullah) yang terjadi pada nabi Musa AS, seperti pendapat pilihan Imam Al Ghazali. Versi lain, nabi Musa AS mendengar lafadz dari sepala arah secara khariq al‘adab.

 

MACAM-MACAM BENTUK KALAM NAFSI

 

Selanjutnya silang pendapat terjadi menyikapi keanckaragaman kalam nafsi di jaman azali, berbentuk amr, nahi, khabar, dan lain-lain.

 

  1. Pendapat Ashah, kalam nafsi di jaman aqali sudah berbentuk macammacam. Karena memposisikan perkara ma‘dum (belum wujud) yang nantinya akan wujud, sebayai perkara yang wanjud. Dan argumentasi bahwa macam-macam kalam tersebut bersifat hadits, meskipun kalam nafsi yang dipersekutukan antar macam tersebut bersifat qidam (dahulu), akan mengakibatkan hal yang mustahil, yaitu kebeeradaan jinis (kalam nafsi) tanpa disertai beberapa nau’ (macam-macam kalam nafsi).

 

  1. Pendapat kedua, kalam nafsi di jaman azah tidak berbentuk macam-macam. Karena tidak ada orang yang terikat dengan macam-macam kalam tersebut di saat itu. Dan menjadi bermacam-macam dalam pada perkara yang terus berlangsung, manakala wujudnya orang yang terikat dengan kalam tersebut. Sehingga macam-macam kalam tersebut bersifat adits, meskipun kalam nafsi yang dipersekutukan antar macam tersebut bersifat qidam (dahulu). Pendapat ini disampaikan Imam Abdullah bin Said bin Kullab, salah satu ulama ahli sunnah”.

 

Nadhar adalah berpikir yang menyampaikan (keyakinan), qad, atau dhann (dugaan).

 

Idrak (mengenali sesuatu) tanpa penyandaran hukum disebut thaswwur (identifikesi)  sedangkan idrak, dengan penyandaran hukum disebut tashawwur sekaligus tashdiq (pengangpapan). Tashdiq adalah hukum.

 

Hukum (tashdiq) yang mantap, apabila tidak menerima perubahan dinamakan ilmu (keyakinan); jika tidak demikian(mencrima perubahan) dinamakan i’tiqad (pendirian), i’tiqad shahih (pendirian yang benar) jika sesuai kenyataan, dan itiqad fasih (pendirian yang salah) jika tidak sesuai kenyataan.

 

Sedangkan hukum (tashdiq) yang tidak menetap meliputi dhaan (dugaan), wahm (khayalan) dan syakk (kebimbangan), karena penganggapan tersebut Adakalanya kemungkinan besar benar, atau kemungkinan kecil atau sama.

 

DEFINISI NADHAR

 

Nadhar secara bahasa memiliki beberapa arti, di antaranya i’tibar dan melihat. Sedangkan dalam istilah ushul ialah berfikir (menggerakan hati menuju hal-hal yang dapat dicerna oleh akal) yang pada akhirnya membuahkan hasil berupa ilmu atau keyakinan atau persangkaan (dhan).

 

DEFINISI IDRAK

 

Idrak ialah pencapaian akal pada suatu makna yang sempurna. Dalam arti, menggambarkan hakikat sesuatu secara sempurna. Dan sebelum mencapai makna yang sempurna, maka dinamakan syu’ur (perasaan). Contoh, penggambaran diri Zaid secara sempurna.

 

Tashowwur adalah pencapaian akal pada suatu makna yang sempurna tanpa disertai hukum. Contoh, mencmukan suatu gambaran terhadap diri Zaid secara sempurna. Sedangkan tashdq adalah pencapaian akal pada suatu makna yang sempurna disertai penyadaran hukum. Contoh,  pada contoh ini terdapat penyadaran hukum  terhadap .”

 

DEFINISI ILMU DAN I’TIQAD

 

Kemudian tashdiq atau penghukuman yang mantap (jazim) terpilah menjadi dua bagian.

 

  1. Ilmu (keyakinan), adalah tashdiq yang mantap dan tidak dapat berubah. Hial ini dikarenakan adanya sabab yang mendukung berupa panca indra, akal atau ‘adat, sehingga sesuai dengan kenyataannya. Seperti hukum bahwa Zaid bergerak, yang datang dari orang yang menyaksikannya bergerak, atau hukum bahwa alam semesta bersifat hadits.

 

  1. I’tiqad (pendirian), adalah tashdiq yang mantap dan masih dapat berubah. Hal ini dikarenakan tidak adanya sabab yang mendukung, baik sesuai dengan kenyataan, disebut i’tiqad shahih (pendirian yang benar), seperti i’tiqad orang yang bertaqlid bahwa shalat dhuha hukumnya sunnah. Atau tidak sesuai dengan kenyataan, disebut i’tiqad fasid (pendinan yang salah), seperti keyakinan filosof bahwa alam semesta bersifat gidam (dahulu). I’tikad shahih dapat berubah sebab adanya tasykik (diragukan), dan i’tiqad fasid dapat berubah sebab tasykik atau menyaksikan sendiri hakikat sebenarnya.

 

Sedangkan tashdiq yang tidak mantap meliputi;

 

  1. Dhann (dugaan), apabila mahkum bih (hukum) lebih unggul (rajih) dibandingkan kebalikannya.

 

  1. Wahm (anggapan), apabila mahkum bih (hukum) kalah unggul (marjuh) dibandingkan kebalikannya.

 

  1. Syakk (kebimbangan), apabila mahkum bih (hukum) setara dari aspek terjadi dan tidaknya secara bergantian. Dalam posisi ini syakk diperdebatkan statusnya. Menurut Imam Haramain dan Al-Ghazali, syakk, adalah dua hukum. Dipertegas oleh Imam Al-Banani, yang dikehendaki setara adalah terkumpulnya dua sisi, yakni dua hukum yang tidak mantap. Menurut ulama lain sepertt Imam Ar-Raghib, syakk, adalah dua i’tiqad yang tidak mantap dan sepadan sabab-nya. Sebagian ulama muhaqqiqin mengatakan, wahm dan syakk bukan tergolong tashdiq, namun termasuk tashawwur, karena wahm meelihat sisi makna marjuh, dan syakk melihat dua kemungkinan, terjadi dan tidaknya.

 

Ilmu, adalah hukum (tashdiq) yang mantap, dan tidak menetima perubahan. Dan ilmu itu nadhari, dan terdefinisikan, menurut pendapat Ashah.

 

SEPUTAR ILMU (KEYAKINAN)

 

Ilmu dilihat dari aspek penggambarannya secara hakikat, menyisakan silang pendapat ulama ushul.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, ‘Ilmu berstatus nadhari, sehingga terdefinisikan.

 

  1. Imam Ar-Razi dalam Al-Mahshul berpendapat bahwa ‘ilmu berstatus dharuri. Dalam arti, dihasilkan secara otomatis oleh hati, tanpa membutuhkan analisa dan usaha. Beliau juga menyampaikan definisi dalam Al-Mahshul;

 

“Penghukuman pikiran dengan mantap, dan sesuai pada kenyataan, karena adanya suatu penyebab”.

 

  1. Pendapat lain, ‘ilmu berstatus dharuri, dan tidak perlu didefinisikan.

 

  1. Pendapat Imam Haramain, ‘ilmu berstatus nadhari, akan tetapi sulit didefinisikan, kecuali dengan analisa yang sangat dalam. Pendapat ini cenderung didukung oleh pengarang dengan statemen, “Pendapat yang benar adalah menahan diri dari mendefinisikannya”. Motif dari versi ini adalah menjaga hati dari kesulitan membahas hal-hal rumit.

 

Para ulama muhagqiq berkata, bahwa ilmu tidak berbeda-beda, kecuali sebab banyaknya hal-hal yang berkaitan dengannya.

 

KUALITAS JUZ-JUZ DARI ILMU

 

ulama menyepakati bahwa ilmu Allah SWT merupakan sifat tunggal yang tidak berbilangan dan tidak memiliki perbedaan kualitas sesuai dengan beberapa perkara yang terkait dengannya (muta’alliqat). Silang pendapat terjadi mengenai perbedaan kualitas iimu makhluk dalam beberapa juznya (juz’iyat), dilihat dari sudut pandang kadar kemantapannya.

 

  1. Menurut muhaqqiqun, kualitas ilmu tidaklah berbeda-beda dalam Juz’iyatnya. Sebagian juz, meskipun bersifat dharuri, tidak Lebih kuat kemantapannya dibandingkan juz yang lain, meskipun bersifat sadhari. Ilmu yang ada pada Zaid dan yang ada pada Umar tidak berbeda kualitas kemantapannya. Dan hal ini. termasuk jenis tawathu’. Kemudian pendukung pendapat ini terpetakan menjadi dua kelompok.

 

Kelompok pertama, yakni sebagian pengikut Asy’ariyah, menyatakan imu tidak menjadi banyak, sebab banyaknya perkara yang diketahui, dan ilmu adalah sifat tunggal, sama dengan ilmu Allah SWT. Berdasarkan hal ini, maka perbedaan dalam juziyyat hanya terjadi sebab banyaknya muta’alliqat, dalam arti banyaknya perkara yang diketahui dalam sebagian juz, bukan juz yang lain. Seperti imu (pengetahuan mantap) atas tiga perkara dan ilmu atas dua perkara. Kelompok, kedua, yaitu Imam Al-Asy’ari dan ulama Mu’tazilah, menyatakan ilmu menjadi banyak, sebab banyaknya perkara yang diketahui. Ilmu (pengetahuan mantap) tentang sebuah perkara bukanlah ilmu tentang perkara yang lain.

 

  1. Menurut mayoritas, kualitas smu berbeda beda dalam juz’iyyat nya. Karena ilmu (pengetahuan mantap) bahwa satu adalah setengahnya dua, kualitas kemantapannya Iebih besar dibandingkan ilmu bahwa alam semesta bersifat hadits. Argumentasi ini disangkal pendapat pertama, bahwa perbedaan kualitas ilmu dalam contoh semacam ini tidak terletak pada aspek kemantapan, namun pada aspek lain, semisal kecenderungan hati atas salah satunya.

 

Catatan; maksud juziyyat (beberapa juz) ilmu, menurut teori bahwa ilmu bersifat tunggal, adalah bagian-bagian ilmu yang berada pada individu, seperti iimunya Zaid, dan ilmunya Umar. Dan menurut teori bahwa ilmu dapat menjadi banyak, adalah bagian-bagian ilmu yang berada pada individu ditambah bagian-bagian ilmu dari per individu yang menjadi banyak sebab banyaknya perkara yang diketahuinya, seperti iimunya Zaid dan ilmunya Umar, ditambah beberapa bagian ilmu Umar sesuai perkara yang diketahuinya.

 

Jahl adalah ketiadaan pengetahuan tentang hal yang dituju sebagai obyck pengetahuan, menurut pendapat Ashah. Dan sahwu adalah lupa dari obyek yang pernah diketahui.

 

DEFINISI JAHL (BODOH)

 

Menurut pendapat Ashah, jahl (bodoh) didefinisikan;

 

“Tidak adanya pengetahuan tentang sesuatu yang berkarakteristik sebagai obyek pengetahuan”.

 

Pengertian jahl ini dapat diaplikasikan menjadi dua bentuk.

 

  1. Jahl Basith, yaitu tidak menemukan pengetahuan sama sekali atas sesuatu yang berkarakteristik sebagai obyek pengetahuan.

 

  1. Jahl Murakkab, yaita menggambarkan sesuatu tidak sesuai dengan realita sebenarnya. Contoh, pengetahuan filosof bahwa alam bersifat qadim (dahulu tanpa permulaan). Pengetahuan mereka tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, karena kenyataan sebenarnya alam bersifat hadits (tereipta baru). Ditandai dengan perubahan dan sifat-sifat yang nampak pada alam. Jahl semacam ini disebut murakkab (bertingkat), karena pelakunya selain tidak tahu realitas, juga tidak menyadari bahwa dirinya bodoh (tidak sadar bahwa pencmuannya salah).

 

Definisi jahl yang kedua,

 

“Jabl adalah penggambaran sebuah obyek pengetabuan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya”.

 

Contoh, keyakinan filosof bahwa alam bersifat qadim. Berpijak dari pengertian ini, maka jahl basith bukanlah tergolong jahl

 

DEFINISI SAHWU DAN NISYAN

 

Sahwu adalah lupa atas sebuah pengetahuan yang sudah dihasilkan, dan akan teringat jika diingatkan dengan cara paling ringan. Sedangkan nisyan adalah hilangnya pengetahuan dan membutuhkan untuk mengulanginya dari awal. Dikarenakan tidak tersisa sedikitpun ingatan pada perkara yang pernah diketahui. Kemudian Al-Barmawi membedakan antara keduanya, bahwasanya apabila sebentar masa hilangnya pengetahuan, maka disebut sahwu, dan jika tidak sebentar (lama), disebut nisyan. Beliau mengatakan, “ini adalah pembedaan terbaik antara keduanya””.

 

Permasalahan menurut versi Ashah, hasan (kebaikan) adalah perbuatan yang dipuji atas, melakukannya. Sedangkan qabih ialah perbuatan yang dicela atas melakukannya, perbuatan yang tidak dipuji dan tidak dicela disebut washithah (perantara).

 

PEMBAHASAN HASAN DAN QABIH

 

Menurut pendapat Ashah, Hasan adalah perbuatan yang diperintahkan untuk dipuji. Maksud pujian di sini adalah pujian yang menctapkan pahala. Hal ini mencakup wajib, sunnah dan perbuatan Allah SWT. Sedangkan qabih ialah perbuatan yang diccla atas melakukannya, yakni perbuatan haram. Sedangkan perbuatan yang tidak dipuji dan tidak dicela, berupa makruh, khilaful aula, dan mubah, disebut washithah (peerantara).

 

Pendapat kedua, hasan adalah pekerjaan mukallaf yang mendapatkan lisensi (al-ma’dzun fih) dari syara’, baik berpahala atau tidak. Berpijak dari pengertian ini, maka hukum yang tereakup dalam hasan adalah wajib, sunnah dan mubah. Pecndapat lain, termasuk bagian Aasan adalah perbuatan selain mukallaf, seperti anak kecil, orang yang lupa, dan hewan. Hal ini mengacu bahwa pengertian hasan adalah sesuatu yang tidak ada larangan dari syara’.

 

Sedangkan pengertian qabih adalah peerbuatan mukallaf yang dilarang, meskipun berbentuk larangan umum yang difahami dari perintah sunnah. Dari pengertian ini, qabih mencakup haram, makruh, dan khilaful aula.

 

Imam Haramain berpendapat, makruh dan khilaful aula tidak termasuk qabih, karena tidak diccla, dan tidak termasuk hasan, karena tidak mencrima pujian (yasughu ats-tsana’). Sedangkan mubah menerima pujian, meskipun tidak diperintahkan memujinya. Sebagian ulama menjadikan mubah sebagai perantara (wasithah), mengacu pada pengertian hasan adalah perbuatan yang diperintahkan memberikan pujian (umira bi ats-tsana’).’

 

Menurut versi Ashah, sesuatu. yang boleh ditinggalkan tidak dinamakan wajib. Perbedaan pendapat ini bersifat lafdhi (retorika semata).

 

PERKARA YANG BOLEH DITINGGALKAN TIDAK DISEBUT WAJIB

 

Sebuah perkara yang sabab kewajibannya telah wujud, namun udzur datang sesudah atau sebelumnya, hingga terus berlangsung sampai masa pelaksanaan, dan syara’ menctapkan perkata tersebut boleh ditinggalkan, seperti puasa bagi wanita yang haid, orang sakit dan musafir. Maka apakah perkara ini dapat disebut wajib atau tidak?. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat.

 

  1. Ulama ushul menyatakan bahwa sebuah perkara yang boleh ditinggalkan tidak disebut wajib. Karena jika disebut wajib, tentunya perkara tersebut tidak boleh ditinggalkan, padahal meninggalkannya ternyata boleh. Dan tidak dibedakan, baik status perkara tersebut boleh dilakukan, seperti puasa bagi orang sakit dan musafir, atau tidak boleh dilakukan, seperti puasa bagi wanita yang haid. Berpijak pada pendapat ini, maka wanita yang haid, orang sakit dan musafir, semuanya tidak terkena tuntutan wajib. Dan mengenai kewajiban gadha’ puasa bagi mereka, adalah dikarenakan sabab telah wujud, bukan karena puasa wajib bagi mereka saat udzur berlangsung.

 

  1. Mayoritas ulama fiqh menyatakan, wajib hukumnya berpuasa bagi wanita yang haid, orang sakit dan musafir, meskipun boleh ditinggalkan. Berdasarkan firman Allah swt

 

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Al-Baqarah : 185)

 

Ketiga orang tersebut termasuk ‘hadir di bulan Ramadan’. Sedangkan bolehnya meninggalkan puasa adalah sebab udzur yang ada pada mereka. Alasan lain adalah ditetapkannya kewajiban gadha’ atas sejumlah puasa yang ditinggalkan. Dan gadba’ dihukumi wajib atas perkara yang asalnya juga wajib.

 

  1. Pendapat lain, wajib puasa bagi musafir, tidak bagi wanita yang haid dan orang sakit. Karena musafir dinilat mampu, sedangkan wanita yang haid dinilai tidak mampu secara syar’, dan orang yang sakit dinilai tidak mampu secara hissi (lahiriyah). Pendapat ini diriwayatkan Ibnu Sam’ani dari ulama Hanafiyah.”

 

  1. Pendapat keempat, wajib puasa bagi musafir melakukan di antara dua pilihan, berpuasa pada bulan yang hadir, yakni Ramadhan, atau pada bulan lain setelah Ramadhan. Sehingga termasuk kewajiban mukhayyar, dimana manakala salah satunya dilakukan, maka kewajiban sudah tertunaikan, sebagaimana dalam kafarat sumpah. Pendapat ini disampaikan Imam Ibnu al-Khathib Ar-Razi.’ Silang pendapat di atas, hanya sekedar retorika lafadz, karena para ulama sepakat bahwa meninggalkan puasa saat adanya udzur diperbolehkan, dan meng-qadla’ puasa setelah hilangnya udzur disepakati wajib hukumnya.’

 

Menurut gaul ashah, mandub tergolong ma’murbih (obyek perintah). Dan mandub bukan  tergolong —mukallaf bih (obyck takilif) sebegaimana makruh. Hal ini berpijak, bahwa taklif adalah pengharusan atas sesuatu yang mengandung nilai kesulitan, bukan tuntutan atas sesuatu tersebut.

 

Menurut qaul ashah, bahwasanya mubah bukan jenis dari wajib. Dan bahwa mubah secara dzatiyah bukanlah ma’mir big (obyck perintah).

 

Dan bahwasanya sbahah termasuk hukum syar’i, Perbedaan pendapat ini hanyalah sekedar retorika lafadz.

 

MANDUB SEBAGAI MA’MUR BIH

 

Ulama ushul berbeda pendapat mengenai eksistensi mandub (sunnah), apakah disebut ma’mur bib (perbuatan yang diperintahkan) secara hakikat, ataukah secara majaz.

 

  1. Pendapat Ashah, mandub disebut ma’mur bih secara hakikat. Berpijak dari pendapat bahwa hakikat sighat awr adalah menunjukkan kadar yang dipersekutukan (qadra al-musytarak) antara wajib dan mandub, yaitu tuntutan melakukan perbuatan. Pendapat ini dikutip oleh al-Qadhi Abu Thayyib dari nash Imam as-Syafi’i, dan diamini oleh mayoritas Ashhab serta diunggulkan Imam Al-Amidi.

 

  1. Pendapat kedua, mandub disebut ma’mur bih secara majaz. Berpijak darj pendapat bahwa hakikat sighat amr adalah menunjukkan wajib. Imam Al-Khathib mengambil dalil HR. Ahmad;

 

“Keutamaan shalat dengan bersiwak dibanding shalat tanpa bersiwak adalah kelipatam tujuh puluh”

 

Dan sabda Nabi SAW;

 

“Jikalau saja Aku tidak memberatkan umatkn, pastilah Aku perintahkan mereka bersiwak”

 

Hadits pertama menunjukkan bersiwak sunnah (wandub) dilakukan setiap kali shalat. Namun pada hadits kedua menyimpulkan bahwa Nabi SAW tidak menuntut bersiwak, dalam arti bersiwak bukan ma’mur bib. Sehingga dapat dirumuskan bahwa mandub tidak disebut ma’mur bih secara hakikat. Pendapat ini dipilih Imam Abu Hamid dan diunggulkan Imam Ar-Razi’.

 

MANDUB SEBAGAI MUKALLAF BIH

 

Pengertian taklif menurut pendapat Ashah adalah.

 

“Mengharuskan sebuah perbuatan yang di dalamnya ada unsur kesulitan”

 

Sedangkan menurut Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani;

 

“Menuntut sebuah perbuatan yang di dalamnya ada unsur kesulitan”

 

Berpijak dari definisi taklif pertama, mandub (sunnah) dan mubah, menurut Ashah keduanya tidak tergolong wukallaf bih (perbuatan yang ditaklif). Karena tidak ada keharusan mengerjakan dalam keduanya. Sedangkan mengacu pada definisi taklif’ versi Al-Qadhi, maka mandub (sunnah), makruh, dan khilaful aula tergolong mukallaf bib, sebagaimana wayjib dan haram. Karena semuanya termasuk tuntutan, baik bersifat mengharuskan atau tidak. Sehingga menurut versi kedua ini, semua hukum tergolong mukallaf bib, kecuali mubah. Namun menurut Imam Abu Ishaq Al-Isfirayyini, mubah terpolong mukallaf bth dart sisi kewajiban meyakini kebolehannya agar seluruh pembagian hukum takllifi menjadi Iengkap. Menurut Imam al-Banani silang pendapat, terutama dalam mubah bersifat retorika lafadz, karena semua sepakat bahwa mubah secara dzatiyah tidak tergolong mukallaf bih’.

 

MUBAH BUKAN JENIS DARI WAJIB

 

Terdapat dua kelompok dalam mengartikan mubah,

 

  1. Mubah adalah diperbolehkannya suatu perbuatan untuk dikerjakan atau ditinggalkan. Definisi ini adalah pengertian yang masyhur.

 

  1. Mubah adalah perbuatan yang mendapat lisensi atau izin dari syara’

 

Dari perbedaan definisi di atas, terjadi silang pendapat mengenai apakah mubah adalah jenis bagi wajib atau bukan?.

 

  1. Berpijak dari definisi pertama, maka menurut Ashah, mubah bukanlah sebuah jinis (jenis) yang di dalamnya terdapat nau’ (macam) berupa wajib. Akan tetapi mubah dan wajib merupakan nau’ dari sebuah jinis, yakni perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syar’i.”

 

  1. Berpijak dari definisi kedua, mubah merupakan sebuah jinis yang di dalamnya terdapat beberapa nau’ (macam), di antaranya wajib, mandub, makruh, dan mukhayyar fih. Sehingga perbuatan yang mendapat lisensi atau izin dari syara’ dapat dipilah berdasarkan fashl-nya’ sebagai berikut;

 

– Apabila dilarang meninggalkan, disebut wajib.

 

– Apabila tidak ada larangan meninggalkan, dan perbuatan tersebut lebih baik dikerjakan, maka disebut mandub.

 

– Apabila tidak ada larangan meninggalkan, dan perbuatan tersebut lebih baik ditinggalkan, maka disebut makruh.

 

– Apabila tidak terdapat larangan meninggalkan, dan antara melakukan dan meninggalkan sama, maka disebut mukhayyar Fih.

 

Khilaf di atas sebatas retorika lafadz, karena mereka sepakat, manakala mubah diartikan sebagai perbuatan yang mendapatkan ijin syara’, maka mubah merupakan jinis bagi wajib. Dan manakala mubah diartikan sesuatu yang boleh ditinggalkan dan dilaksanakan, maka mubah bukan jinis bagi wajib.

 

MUBAH BUKAN MA’MUR BIH

 

Menurut pendapat Ashah, mubah bukanlah wa’mur bih (sesuatu yang diperintah). Artinya, tidak disebut wajib atau sunnah (mandub). Hal imi berpijak bahwa amr merupakan sebuah tuntutan (¢halab). Dan dalam mubah tidak ditemukan adanya tuntutan semacam ini.

 

Menurut Imam Al-Ka’bi, mubah adalah ma’mur bib. Artinya, mubah adalah perkara wajib. Beliau berhujjah dengan pola qiyas mantiqi sebagai berikut;

 

– Mukaddimah shughra : mubah adalah perkara yang menjadi penyempurna sebuah kewajiban.

 

– Mukaddimah kubra: perkara yang menjadi penyempurna sebuah kewajiban adalah wajib.

 

– Natijah: mubah adalah wajib.

 

Pada mukaddimah kubra sudah dapat difahami, sedangkan pada mukaddimah shughbra membutuhkan argumentasi dalil. Dalam hal ini mukaddimah shaghra didahului tiga mukaddimah lain, yaitu;

 

  1. Setiap perkara mubah saat dikerjakan memastikan terealisasinya meninggalkan perkara haram.

 

  1. Sesuatu yang memastikan terealtsasinya porkara tertentu adalah penyempuina perkara tersebut,

 

  1. Meninggalkan perkara haram adalah wajib.

 

Silang pendapat di atas hanya sekedar retorika lafadz. Karena menilik sisi argumentasinya, Imam Al-Ka’bi menyepakati bahwa mubah bukanlah ma’mur bih manakala dipandang dari sepi dzatiyyah-nya. Dan pendukung pendapat yang berseberangan juga sepakat dengan Imam Al-Ka’bi bahwa mubah adalah ma’mur bib, manakala sisi pandangnya adalah faktor-faktor cksternal (di luar dzatiyah).

 

MUBAH ADALAH HUKUM SYAR’I

 

Menurut pendapat Ashah, status mubah adalah hukum syar’i, kerena substansi dari mubah adalah memberi pilihan untuk mengerjakan dan meninggalkan suatu perbuatan, dimana keberadaannya terkait dengan syara’ (terutusnya Rasul pembawa syariat). Menurut sebagian Mu’tazilah, status mubah bukanlah hukum syar’i, karena substansi dari mubah adalah tidak adanya dosa atas melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan. Dan hal ini sudah berlaku sebelum datangnya syara’, dan terus berlangsung setelah syara’ datang.

 

Dan (menurut qaul ashah) bahwasanya hukum wajib tatkala telah Sihapas maka tersisa hukum jawaz, Maksud jawaz adalah tidak ada Konsekwensi dosa, menurut gaul ashah.

 

SISA HUKUM PASEA PENGHAPUSAN KEWAJIBAN

 

Manakala syara’ menetapkan hukum wajib atas sebuah perbuatan, kemudian syari’ menghapusnya dengan mengatakan semisal, “Aku telah menghapus kewajibannya” atau “Aku telah menghapus haramnya meninggalkan perkara tersebut”, maka kemudian hukum apa yang tersisa pasea penghapusan tersebut?. Dalam hal ini terdapat silang pendapat.

 

  1. Pendapat Ashah, yang tersisa adalah jawaz, yakni tidak adanya dosa manakala dilakukan atau ditinggalkan, bisa jadi berbentuk mubah, sunnah, makruh atau khilaful aula. Jawaz tersebut disimpulkan dari substansi wajib, yakni adanya ijin melaksanakan sebuah perbuatan disertai dengan adanya fashl berupa adanya ijin untuk meninggalkan yang menjadi sisa hilangnya larangan untuk meninggalkan.

 

  1. Pendapat kedua, yang tersisa adalah mubah. Karena dengan hilangnya kewajiban, mengakibatkan hilangnya tuntutan (thalab), sehingga yang menctap hanya tingegal hak memilih (takhyir).

 

  1. Pendapat ketiga, yang tersisa adalah sunnah. Karena yang paling diyakini setelah hilangnya tuntutan yang mengharuskan (jazum) adalah masih adanya tuntutan yang tidak mengharuskan (ghair al-jazim), yaitu sunnah.

 

  1. Menurut Imam Ghozali, tidak ada sisa hukum jawaz pasea penghapusan. Karena penghapusan sebuah kewajiban menjadikan kewajiban tersebut seolah tidak pernah ada. Sehingga perkara tersebut dikembalikan pada keadaan hukum asal sebelum perkata tersebut diwajibkan oleh syara’, yakni haram atau mubah, sebab adanya madharat atau. manfaat.’

 

Permasalahan: perintah melakukan satu di antara beberapa hal, berarti mewajibkan salah satu di antaranya secara mubham, menurut kita.

 

Menurut qaul ashah, manakala sukallaf melakukan semuanya, versi pendapat terpilh. jika dia melakukannya secara berurutan, maka yang berpahala wajib adalah yang pertama. Dan jika dia melakukannya secara bersamaan, maka yang berpahala wajib adalah yang tertinggi tingkat pahalanya. Dan jika ia meninggalkan semuanya, maka dia akan disiksa sebab meninggalkan perbuatan yang paling rendah tingkat dosanya.

 

Boleh (mungkin secara akal) pengharaman satu di antara beberapa hal, secara mubham, menurut kita, sebagaimana permasalahan wajib yang mukhayyar (bebas pilih).

 

WAJIB MUKHAYYAR Wajib makhayyar (diberi hal pilih) atau mabham (tersamarkan), adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ secara tersamarkan di antara beberapa perkara yang telah ditentukan, seperti salah satu bentuk kafarat bagi pelanggar sumpah. Firman Allah SWT:

 

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan ‘sumpah-sumpahmu yang tidak di maksud (untuk bersumpah) akan tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang disengaja, maka kafarot (melanggar) sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu makanan yang biasa kalian berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian pada mereka, atau memerdekakan seseorang budak. Barang siapa yangtidak sanggup melakukan yang sedemikian maka kafarotnya puasa tiga hari” (QS. Al-Maidah : 89)

 

Dari ayat di atas, Allah mewajibkan untuk membayar salah satu jenis kafarat bagi pelanggar sumpah. Kafarat yang diperintahkan Allah SWT tersebut adalah :

 

  1. Memberi makan pada fakir miskin
  2. Memberi pakaian pada fakir miskin
  3. Memerdekakan budak

 

Contoh lain, dalam  haji, syara’ mempeerbolehkan melaksanakannya sécara ifrad, tamattu’ atau qiran Dalam dua contoh di atas, Allah SWT tidak mencntukan kafarat dan haji dengan perbuatan tertentu. Kewajiban semacam inilah yang disebut wajib mukhayyar.

 

Perintah dalam wajib mukhayyar atas satu perkara yang tersamarkan dari beberapa perkara yang ditentukan secara konkrit, diperselisthkan mengenai sasaran kewajibannya.

 

  1. Pendapat Ahlussunah, mewajibkan satu perkara saja, yakni kadar yang dipersekutukan dari beberapa perkara tersebut yang terkandung dalam perkara yang ditentukan pilihannya.

 

  1. Pendapat kedua, mewajibkan keseluruhan, sehingga melakukannya diberi pahala sesuai pahala mengerjakan beberapa kewajiban dan meninggalkannya akan disiksa sesuai siksaan menelantarkan beberapa kewajiban. Namun dianggap telah melakukan perintah manakala salah satunya telah dikerjakan. Karena perintah tersebut terkait dengan satu per satunya secara khusus dengan model mencukupkan salah di antaranya.

 

  1. Pendapat ketiga, perkara yang wajib hanya satu perkara tertentu menurut Allah SWT. Karena pemberi perintah harus mengetahui perkara yang diperintahkannya, dan mustahil memerintahkan sesuatu yang tidak jclas. Dan manakala mukallaf melakukan perkara bertepatan dengan yang telah ditentukan Allah SWT, maka persoalannya menjadi jelas. Namun apabila mukallaf melakukan perkara yang lain, maka kewajiban diangpap gugur, memandang secara lahiriyah perintah tersebut sasarannya tidak tertentu dan juga karena kesulitan mukallaf mengetahui hal ghaib. Pendapat kedua dan ketiga datang dari Mu’tazilah.

 

  1. Pendapat keempat, perkara yang wajib hanya satu perkara tertentu menurut Allah SWT dan hal itu berupa perkara yang dipilih oleh mukallaf. Dimana dalam hal ini Allah SWT mengetahui bahwa mukallaf tersebut tidak akan memilih yang lain, meskipun pilihan masing-masing mukallaf berbeda-beda. Dalam arti, perkara yang wajib manakala belum dilakukan tertentu menurut Allah SWT’ saja, dan manakala sudah dilakukan tertentu menurut Allah SWT dan manusia.

 

Pendapat ini disebut qaul tarajum (saling menuduh), karena Mu’tazilah menuduh pendapat ini datang dari kalangan Asy’ariyah, dan sebaliknya Asy’ariyah menuduh pendapat ini datang dari Mu’tazilah. Sedangkan kedua kubu sepakat tentang kebatalannya.

 

Berpijak pada pendapat pertama, manakala dalam wajib mukhayyar seluruh perkara yang menjadi pilihan dikerjakan, contoh seseorang melakukan tiga bentuk kafarat sumpah, yakni memberi makan fakir miskin, memberikan pakaian fakir miskin dan memesdekakan budak, maka perkara manakah yang berpahala wajib?. Atau seluruh perkara tersebut ditinggalkan, maka perkara manakah yang akan mendapat balasan siksaan?. Silang pendapat yang terjadi dipilah sebagai berikut;

 

  1. Pendapat pertama memilah,

 

  1. Apabila beberapa perkara tersebut kualitas pahalanya berbeda, maka yang berpahala wajib adalah yang tertinggi pahalanya. Baik dilakukan berurutan atau bersamaan. Namun jika seluruhnya ditinggalkan, maka siksaan diatasnamakan perkara yang paling ringan siksanya.

 

  1. Apabila beberapa perkara tersebut kualitas pahalanya setara, maka yang berpahala wajib adalah salah satu di antaranya. Baik dilakukan berurutan atau bersamaan. Dan apabila seluruhnya ditinggalkan, maka siksaan diatasnamakan salah satunya.

 

  1. Pendapat kedua memilah;

 

  1. Apabila beberapa perkara tersebut dilakukan secara berurutan, maka yang berstatus wajib dan berpahala wajib adalah yang pertama. Baik kualitas pahalanya sama atau berbeda.

 

  1. Apabila beberapa perkara tersebut dilakukan secara bersamaan, maka yang berpahala wajib adalah yang tertinggi pahalanya. Sedangkan mengenai persoalan meninggalkan semua perkara secara keseluruhan, perincian dari pendapat kedua sama dengan pendapat pertama.

 

Selanjutnya, mengenai perkara yang dikerjakan selain perkara yang mendapatkan pahala wajib, semuanya mendapatkan pahala sunnah menurut semua versi pendapat di atas”.

 

HARAM MUKHAYYAR

 

Kebalikan dari wajib mukhayyar adalah haram mukhayyar, yakni mengharamkan sebuah perkara secara tersamarkan dari beberapa perkara yang telah ditentukan. Asy’ariyah memperbolehkan terjadinya haram mukhayyar. Contoh, larangan, “Jangan kamu mengkonsumsi ikan, atau susu atau telur”. Maka wajib meninggalkan salah satu dari beberapa perkara yang ditentukan dari ikan, susu dan telur, dan boleh mengkonsumsi yang lain karena tidak ada faktor pencegah. Dalam hal ini, perincian dan silang pendapat sama dengan yang ada dalam wajib mukhayyar. Dalam arti, ulama berselisth mengenai perkara mana yang berstatus haram dalam haram mukhayyar.

 

  1. Pendapat Ahlussunnah, yang berstatus haram adalah salah satunya tanpa tertentu, yakni kadar yang dipersekutukan dari beberapa perkara tersebut yang terkandung dalam perkara yang ditentukan pilihannya. Dalam hal ini mukallaf wajib meninggalkan satu di antara beberapa perkara tersebut, dan boleh melakukan yang lainnya.

 

  1. Pendapat kedua, yang berstatus haram adalah seluruhnya, sehingga melakukannya diberi siksa sebagaimana siksaan mengerjakan beberapa perkara haram, dan mendapatkan pahala seperti pahala meninggalkan beberapa perkara haram jika meninggalkan semuanya disertai niat mematuhi perintah. Dan kewajiban meninggalkan beberapa perkara haram dapat digugurkan dengan meninggalkan salah satunya.

 

  1. Pendapat ketiga, yang berstatus haram hanya satu perkara tertentu menurut Allah SWT. Dan kewajiban meninggalkan beberapa perkara haram dapat diguggurkan dengan meninggalkan perkara yang sudah ditentukan tersebut atau meninggalkan perkara lain.

 

  1. Pendapat kecmpat, yang berstatus haram yang berstatus haram hanya satu perkara tertentu mecnurut Allah SWT dan hal itu berupa perkara yang dipilih oleh mukallaf. Dimana dalam hal ini Allah SWT mengetahui bahwa mukallaf tersebut tidak akan memilih yang lain, meskipun pilihan masing-masing mukallaf berbeda-beda.

 

  1. Pendapat kelima dari kelompok Mu’tazilah, permasalahan tersebut tidak pernah ditemukan dalam lughat. Sedangkan contoh semisal dalam firman Allah SWT;

 

“Dan janganlah kamu ikut orang yang ber osa dan yang kair di antara mereka”

 

Merupakan larangan untuk mengikuti keduanya berdasarkan ijma’. Sedangkan menurut Ahlussunnah, itjma’ sebab ada sandarannya, telah memalingkan ayat tersebut dari makna dhahir-nya.

 

Mengikuti pendapat pertama dalam haram mukhayyar, apabila seluruh perkara yang menjadi pilihan dikerjakan, maka perkara manakah yang akan mendapat balasan siksaan?. Atau seluruh perkara tersebut ditinggalkan, maka perkara manakah yang berpahala wajib (pahala meninggalkan perkara haram)?. Silang pendapat yang terjadi dipilah sebagai berikut;

 

  1. Pendapat pertama memilah;

 

  1. Apabila bebecrapa perkara tersebut kualitas dosanya berbeda, maka pahala wajib diatasnamakan meninggalkan yang terberat siksanya. Namun jika seluruhnya dikerjakan, maka siksaan diatasnamakan perkara yang paling ringan siksanya. Baik dilakukan berurutan atau bersamaan.

 

  1. Apabila beberapa perkara tersebut kualitas dosanya setara, maka pahala wajib diatasnamakan meninggalkan salah satu di antaranya. Dan apabila seluruhnya dikerjakan, maka siksaan juga diatasnamakan salah satunya. Baik dilakukan berurutan atau bersamaan.

 

  1. Pendapat kedua memilah;

 

  1. MApabila beberapa perkara tersebut dilakukan secara berurutan, maka siksaan diatasnamakan yang terakhir. Baik kualitas dosanya sama atau berbeda.

 

  1. Apabila beberapa perkara tersebut ditinggalkan secara bersamaan, maka pahala wajib diatasnamakan meninggalkan perkara yang terberat dosanya.

 

Sedangkan mengenai persoalan mengerjakan semua perkara secara keseluruhan, perincian dari pendapat kedua sama dengan pendapat pertama,

 

Selanjutnya, mengenai perkara yang ditinggalkan selain perkara yang mendapatkan pahala wajib, semuanya mendapatkan pahala sunnah menurut semua versi pendapat di atas. Dan mengenat perincian hukum sunnah, sama dengan wajib, dan hukum makruh sama dengan haram di atas, kecuali dalam persoalan siksaan, karena sunnah dan makruh tidak diancam siksa manakala ditinggalkan atau dikerjakan”.

 

Permasalahan: Fardlu kifayah adalah hal penting yang diprioritaskan hasilnya secara tegas, tanpa memandang siapa pelakunya.

 

Menurut pendapat Ashah, fardlu kifaya keutamaannya di bawah fardlu ‘ain. Fardlu kifayah wajib atas seluruh mukallaf, dan gugur sebab dilakukan oleh sebagian.

 

FARDHU KIFAYAH

 

Imam Al-Qarrafi mendefinisikan fardhu kifayah sebagai berikut;

 

“Sesuatu yang penting yang diprioritaskan hasilnya, tanpa memandang pada pelakunya”

 

Imam Ar-Raf’i mengomentari, maksud definisi ini adalah bahwa fardhu kifayah merupakan sesuatu yang bersifat universal dan terkait dengan beberapa kemaslahatan agama atau dunia, dimana perwujudannya akan menentukan kestabilan. Sehingga dalam hal ini tujuan utama syara’ adalah realisasinya, bukan membebankan atau sebagai ujian pada individu. Sedangkan fardhu ‘ain, seluruh mukallaf dituntut dan diberi titah untuk merealisasikannya”.

 

FARDHU KIFAYAH DIBANDING FARDHU ‘AIN

 

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat, mengenai apakah fardhu kifayah yang Lebih utama, ataukah fardhu ‘ain.

 

  1. Fadhu ‘ain lebih utama dibanding fardhu kifayah, karena secara umum as-syar’ sangat menckankan agar terlaksana dari setiap individu mukallaf. Pendapat ini dikutip Imam As-Syihab Ibn Al-‘Imad dan Al. Qadhi Abu At-Thayyib dari Imam As-Syafi’i. Menurut pengarang, versi ini adalah pendapat Ashah.

 

  1. Fardhu kifayah lebih utama dibanding fardhu ‘ain, karena ancaman dosa bagi seluruh mukallaf dapat terantisipasi dengan terlaksananya fardhu kifayah oleh sebagian orang hingga tuntutan terpenuhi. Sedangkan pelaksanaan fardhu ‘ain hanya mengantisipasi dosa per individu orang yang melakukannya. Pendapat ini disampaikan oleh Al-Ustadz Abu Ishaq, Imam Haramain dan ayahnya Syekh Abu Muhammad Al-Juwaini.

 

SASARAN FARDHU KIFAYAH

 

Silang pendapat juga terjadi mengenai sasaran fardhu kifayah, apakah terhadap seluruh mukallaf atau sebagian mukallaf?

 

  1. Menurut pendapat Ashah, disampaikan Jumhur, dan merupakan nash Imam As-Syafi’i dalam Al-Umm, sasaran fardhu kifayah adalah seluruh mukallaf. Karena seluruh mukallaf ditetapkan berdosa manakala meninggalkannya. Dan kewajiban ini bisa gugur sebab sebagian mukallaf telah melakukannya. Dengan dalil;

 

“Perangilah orang-orang yang tidak. beriman kepada Allah“ Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan seluruh mukminin berperang, bukan sebagian saja.

 

  1. Pendapat kedua, selaras dengan Imam Ar-Razi, sasaran fardhu kifayah adalah sebagian mukallaf. Karena perwujudannya dicukupkan dari sebagian. Dengan dalil firman Allah SWT:

 

‘Hendaklah ada segolongan diantara kalian kamu yang mengajak kepada kebatkan,menyuruh berbuat kebyikan dan melarang berbuat kejahatan dan mereka itulah orang-orang yang berbahagia” (QS Ali Imron : 104)

 

Dalam hal ini ungkapan ‘minkum’ menyimpulkan kewajiban hanya pada sebagian, bukan keseluruhan.

 

Berpijak pada pendapat kedua, maksud ‘sebagian’ sebagai sasaran fardhu kifayah masih diperselisihkan eksistensinya.

 

1) Menurut pendapat yang dipilih (Al-Muhtar), sehagian tersebut bersitat mubham (tidak tertentu), karena tidak ditemukan dalil yang menjelaskan tertentunya sebagian tersebut. Siapapun melaksanakan kewajiban ini, maka kewajiban dinyatakan gugur.

 

2) Pendapat kedua, sebagian tersebut tertentu menurut Allah SW’T. Dan kawajiban tersebut gugur manakala dilaksanakan oleh sebagian mukallaf tersebut atau oleh orang lain, sebagaimana gugurnya hutang dari seseorang atas pelunasan orang lain.

 

3) Pendapat ketiga, sebagian tersebut tertentu menurut Allah SWT dan hal itu berwujud orang yang melaksanakannya. Karena kewajiban gugur sebab perbuatannya.

 

Catatan;

 

1, Pijakan pemberlakuan hukum fardhu kifayah adalah pada dhan (dugaan). Dengan pemilahan sebagai berikut;

 

– Berpijak pada pendapat bahwa sasaran fardhu kifayah adalah sebagian mukallaf, apabila seseorang menduga (dhan) orang lain belum atau tidak akan melakukannya, maka dia wajib melakukannya. Dan jika tidak ada dugaan sama sekali, atau ragu-ragu atau menduga orang lain sudah melakukan, maka kewajiban gugur baginya, karena dia secara hukum asal tidak mempunyai tanggungan.

 

– Berpijak pada pendapat bahwa sasaran fardhu kifayah adalah seluruh mukallaf, apabila seseorang menduga orang lain sudah atau akan melakukannya, maka kewajiban gugur baginya. Dan jika tidak ada dugaan sama sekali, atau ragu-ragu orang lain sudah melakukannya, atau menduga orang lain belum melakukannya, maka kewajiban belum gugur baginya.

 

  1. Apabila seluruh mukallaf melakukannya bersamaan, maka perbuatan setiap mukallaf terhitung fardhu. Atau dilakukan berurutan, maka perbuatan setiap mukallaf juga terhitung fardhu, hanya saja perbuatan orang pertama saja yang menggugurkan dosa. Namun jika maksud dari fardhu kifayah sudah sempurna terlaksana, seperti memandikan mayit, maka hanya perbuatan orang pertama yang terhitung sebagai fardhu.

 

Menurut pendapat Ashah, Fardlu kifayah tidak berubah menjadi fardlu ‘ain dengan sebab telah mulai dilakukan. Kecuali jihad, shalat jenazah, haji dan umrah. Sunnah kifayah definisinya sama dengan fardhu kifayah, dengan mengganti kata tegas dengan kebalikannya (tidak tegas).

 

MENYEMPURNAKAN FARDHU KIFAYAH

 

Menurut pendapat Ashah, fardlu kifayah tidak berubah menjadi fardhu ‘ain sebab telah mulai dilakukan, dalam arti tidak wajib disempurnakan. Karena tujuan fardhu kifayah secara umum adalah realisasinya, sehingga tidak berubah menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang melakukannya. Kecuali jihad, shalat jenazah, haji dan umrah. Karena sangat mirip dengan fardhu ‘ain. Alasan lain, jika tidak disempurnakan, dalam jihad akan dapat melemahkan mental para pasukan jihad yang lain, Sedangkan dalam shalat jcnazah, akan merusak kehormatan mayit.

 

Pendapat pertama, fardlu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain sebab telah mulai dilakukan, dalam arti mecnyamai fardhu ‘ain dalam kaitan hukum wajib menycmpurnakannya. Pendapat ini dishahihkan dalam Jam’u al-Jawami’ mengikuti Imam Ibn Ar-Riffah. Versi ini sulit dibenarkan dari aspek furu’-nya, karena mayoritas fardhu kifayah tidak berubah menjadi fardhu ‘ain manakala sudah mulai dikerjakan, seperti beberapa pekerjaan, profesi dan shalat jamaah.

 

DEFINISI SUNNAH KIFAYAH

 

Sunnah yang definisinya sudah dipaparkan terdahulu, terbagi menjadi sunnah ‘ain dan sunnah kifayah. Pengertian dari sunnah kifayah adalah;

 

“Sesuatu yang penting yang diprioritaskan hasilnya dengan tanpa keharusan, lanpa memandang pada pelakunya”

 

Contoh, memulai salam dan mendoakan orang bersin. Sunnah kifayah memiliki persamaan dengan fardhu kifayah dalam cmpat aspek, yaitu;

 

  1. Sunnah kifayah dibedakan dengan sunnah ‘ain, bahwa sunnah kifayah hasil perbuatannya diprioritaskan tanpa memandang pelakunya, seperti mengucapkan salam. Berbeda dengan sunnah ‘ain dimana hasil perbuatannya diprioritaskan dari setiap individu, seperti shalat rawatib.

 

  1. Lebih utama kedudukannya dibanding sunnah “ain, jika berpijak pada pendapat Al-Ustadz Abu Ishaq dan selainnya.

 

  1. Menurut mayoritas ulama, tuntutanya dibebankan pada seluruh mukallaf. Pendapat lain dibebankan pada sebagian, dimana menurut pendapat Mukhtar sebagian tersebut tidak tertentu, versi lain, tertentu menurut Allah SWT dan versi ketiga tertentu menurut Allah SWT berujud orang yang melakukannya.

 

  1. Berubah menjadi sunnah ‘ain apabila telah mulai dilaksanakan menurut Ashah. Dalam arti, menyamai sunnah ‘ain dalam hal sanyat dianjurkan untuk disempurnakan.

 

Permasalahan ;Menurut pendapat Ashah, waktu shalat fardhu secara jewaz, merupakan waktu ada’-nya. Dan wajib bagi orang yang ingin mengakhirkan, untuk melakukan ‘zam (berniat melakukan).

 

WAJIB MUWASSA’

 

Hukum wajib dilihat dari sudut pandang waktunya, menurut Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali, terbagi dua;

 

  1. Wajib wuwassa’ (dilapangkan), yaitu suatu kewajiban yang memilki durasi waktu wajib Iebih longgar dibandingkan waktu pelaksanaannya. Dalam arti, terdapat sisa waktu setelah terpakai melaksanakan kewajiban. Contoh, shalat fardhu dilihat dari sisi waktunya.

 

  1. Wajib mudzayyaq (dipersempit), yaitu suatu kewajiban yang memiliki durasi waktu wajib sebanding dengan kadar waktu pelaksanaannya. Dalam arti, waktunya sempit, sehingga mukallaf tidak memiliki peluang mengakhirkan keseluruhan atau sebagian kewajiban. Contoh, puasa yang memiliki waktu sehari”.

 

Berdasarkan pengertian di atas, silang pendapat terjadi menyikapi waktu ada’ dan kewajiban ‘azm bagi yang mengakhirkannya.

 

  1. Kelompok pertama, ulama yang menetapkan adanya wajib muwassa’, yaitu mayoritas golongan fuqaha dan ahli kalam. Menurut kelompok ini, seluruh waktu dari wajib muwassa’, seperti waktu jawaz dalam shalat dhuhur, adalah waktu ada’ dari kewajiban tersebut. Pada bagian manapun seseorang meletakkannya, maka dia sudah memecenuhi kewajiban pada waktu ada-nya. Waktu jawaz di sini tidakmemasukkan waktu dharurah (waktu hilangnya penghalang) dan waktu hurmah (akhir waktu yang tidak mencukupi rukun).

 

Berkembang dalam persoalan mengakhirkan wajib muwassa’ dari waktu pertama, ulama pendukung kelompok ini berselisih mengenai kewajiban ‘azm (bertekad bulat) melakukan sebelum habis waktunya.

 

  1. Pendapat Ashah, ‘azm wajib dilakukan. Agar dapat dibedakan antara pengakhiran yang boleh dan tidak, juga antata pengakhiran wajib muwassa’ dan sunnah dalam kaitan boleh diakhirkan darj awal waktu. Imam Ar-Razi mengutip pendapat ini dari mayoritas Ashhab As-Syafi’i dan Mu’tazilah, dan dishahihkan Imam An. Nawawi dalam Syarh Al-Muhadzab dan At-Tahaiq.

 

  1. Pendapat kedua, ‘zam hukumnya tidak wajib dilakukan.

 

  1. Kelompok kedua, ulama yang mengingkari adanya wajib mawassa’

 

Mereka berselisih pendapat mengenai penetapan waktu ada’.

 

  1. Pendapat pertama, bahwa waktu ada’ tertentu di awal waktu. Dan jika diakhirkan dari awal waktu, maka dihukumi qadla’. Al-Imam meriwayatkan dalam Al-Ma’alim dari kalangan Syafiiyyah, akan tetapi hal ini adalah kesalahan, karena tidak ada dati mereka yang mengatakannya.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa waktu ada’ tertentu di akhir waktu. Dan apablla dilakukan di awal waktu, maka disebut tajil (menggegaskan), namun dapat menggugurkan kewajiban, sepetti menggegaskan zakat.

 

  1. Pendapat ketiga, dari golongan Hanafiyyah, bahwa waktu ada’ adalah bagian waktu yang bersingeungan dengan pelaksanaan (fi’lu) ibadah. Dan jika pelaksanaan tidak bersinggungan dengan waktu, dalam arti pelaksanaan tidak berada pada waktunya, maka waktu ada’ beralih pada bagian akhir dari waktu. Karena pelaksanaan harus dilakukan pada waktu itu, sebab belum terlaksana pada waktu sebelumnya.

 

  1. Pendapat keempat, dari Imam Al-Karkhi. Pada dasarnya waktu ada’ menurut beliau sama dengan Hanafiyah, namun berbeda dari sisi persyaratan. Menurut versi ini, apabila ibadah didahulukan dari akhir waktu, dan dilaksanakan sebelum akhir waktu, maka ibadah vang terlaksana menjadi fardhu, dengan syarat pelaku tetap dalam kondisi mukallaf (tidak gila atau meninggal) sampai akhir waktu. Jika tidak, maka ibadah yang disegerakan tersebut menjadi sunnah.”

 

Barangsiapa yang mengakhirkan kewayiban muwassa’ dengan persangkaan akan kehilangan (kewajiban tersebut), maka dia telah durhaka. Dan jika jclas persangkaannya salah, dan melakukan pada waktunya, maka Statusnya adalah ada’. Barang siapa mengakhirkan kewajiban dengan persangkaan tidak akan kehilangan, maka dia tidak durhaka, beda halnya dengan kewajiban yang waktunya seumur hidup, seperti haji.

 

HUKUM MENGAKHIRKAN WAJIB MUWASSA’

 

Dalam wajib muwassa’ semacam shalat fardhu, meskipun pada dasarnya alokasi waktu yang diberikan longgar, akan tetap ada beberapa faktor yang menycbabkan waktu menjadi sempit, seperti pelaku menduga dirinya akan meninggal, haid atau wawani’ as-shalat (pencegah keabsahan shalat) yang lain. Di saat dalam kondisi semacam ini, mengakhirkan wajib muwassa’ dari awal waktu mecngalami perubahan rumusan, karena waktu menjadi sempit sebab dugaannya. Berikut selengkapnya.

 

  1. Seseorang yang menduga akan mengalami kecmatian, haid atau penghalang shalat yang lain seteclah melewati masa yang cukup digunakan shalat. Bagi orang seperti ini mengakhirkan shalat dari awal waktu dihukumi durhaka (berdosa). Namun apabila dugaannya salah, dalam arti dia masih hidup atau tidak mengalami haid, kemudian dia melakukan shalat pada waktunya, maka menurut Jumhur sebagai qaul Ashah, shalat yang dilakukan dihukumi ada’, karena dia melakukannya pada waktu yang ditentukan syara’. Menurut pendapat Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani dan Qadhi Husein, dihukumi gadha’, karena shalat tersebut dilakukan setelah waktu menjadi sempit sebab dugaannya, meskipun akhirnya meleset.

 

  1. Seseorang yang menduga selamat dari faktor-faktor di atas sampai akhir waktu, namun kemudian meninggal atau haid sebelum melakukan shalat. Bagi orang seperti ini mengakhirkan shalat dari awal waktu menurut qaul Ashah dihukumi tidak berdosa (durhaka), karena mengakhirkan shalat boleh dilakukan, sedangkan hilangnya kesempatan bukan atas kehendaknya. Pendapat lain, orang tersebut dihukumi berdosa, memandang persyaratan boleh mengakhirkan shalat adalah selamat sampai akhir.

 

Lain halnya kewajiban yang waktu pelaksanaannya sepanjang umur, seperti ibadah haji, maka apabila seseorang yang menduga selamat mengakhirkannya setelah melewati waktu yang memungkinkan terlaksana, namun ternyata dia meninggal sebelum melaksanakannya, maka menurut Ashah dia dianggap berdosa. Karena jika tidak, maka kewajiban tidak akan terealisasi. Pendapat lain, tidak dihukumi berdosa, karena mengakhirkan haji baginya diperbolehkan. Pendapat ketiga dari Imam Al-Ghazali, jika orang tersebut lanjut usia maka dia berdosa, tetapi jika masih muda, tidak berdosa. Mengikuti pendapat pertama, hukum dosa ditetapkan mulai akhir tahun dia berkesempatan haji, karena dia boleh mengakhirkan sampai batas tersebut. Pendapat lain, mulai awal tahun, karena kewajiban berstatus tetap pada saat itu. Pendapat ketiga, tidak disandarkan pada tahun tertentu.

 

Permasalahan: Sesuatu an mampu dilakukan mukallaf, yang mana sebuah kewajiban yang mutlak tidak akan sempurna tanpanya, maka sesuatu tersebut adalah wajib, Menurut pendapat Ashah.

 

Apabila tidak mungkin meninggalkan sesuatu yang diharamkan kecuali dengan meninggalkan sesuatu selainnya, maka wajib meninggalkan sesuatu yang lain itu. Atau jika wanita yang halal sulit dibedakan dengan wanita lain, maka keduanya haram. Sebagaimana jika seseorang menccraikan isteri tertentu (di antara beberapa isteri), kemudian dia lupa (siapa yang dicerainya).

 

PENYEMPURNA PERKARA WAJIB

 

Untuk merealisasikan perkara wajib, dibutuhkan beberapa penghantar, dimana sebuah kewajiban tidak akan terwujud tanpa adanya penghantar tersebut. Mengenai eksistensi hukum dari penghantar atau penyempurna kewajiban, baik berupa syarat atau sabab, ulama berselisih pendapat;

 

  1. Menurut pendapat Ashah dari mayoritas ulama, perkara yang menjadi penyempurna sebuah kewajiban, baik berupa sabab atau syarat dihukumi wajib. Karena jika tidak wajib, maka kewajiban yang dihantarkan tentunya boleh ditinggalkan. Dengan kaidah,

 

‘Perbuatan yang mampu dilakukan oleh orang mukallaf, dimana sebuah kewajiban mutlak tidak dapat sempurna kecuali dengannya, maka perbuatan tersebul dihukum wajib”

 

Dari kaidah ini, disimpulkan ada dua persyaratan;

 

1) Kewajiban bersifat mutlak. Mengecualikan kewajiban yang status wajibnya masih tergantung pada adanya perkara lain (wajib muqayyad). Contohnya adalah zakat, dimana kewajibannya tergantung atas kepemilikan satu nishab. Maka dalam hal ini seseorang tidak bisa ditetapkan wajib mengusahakan harta satu nishab.

 

2) Penyempurna kewajiban tersebut dalam batas kemampuan manusia ( ). Mengecualikan hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia. Adakalanya karena mustahil, seperti kuasa dan kehendak Allah swt yang menjadi penentu ada dan tidaknya perbuatan manusia. Ada juga karena faktor kesulitan di dalamnya meskipun mungkin diwujudkan, seperti mengusahakan 40 orang dalam shalat Jum’at.

 

  1. Pendapat kedua, penyempurna tersebut tidak dihukumi wajib secara mutlak (baik berupa sabab atau syarat). Karena dalil yang menunjukkan wajib tidak ada.

 

  1. Pendapat ketiga, penyempurna tersebut dihukumi wajib jika berupa sabab, bukan berupa syerat, sebagaimana api yang secara adaf menjadi sabab adanya pembakaran. Versi ini membedakan antar sabab dengan syarat dari sisi kuatnya ikatan, menurut mereka keterkaitan sebuah sabab dengan musabab lebih kuat dibanding keterkaitan antara syarat dengan masruth.

 

  1. Pendapat keempat yang didukung Imam Hlaramain, penyempurna tersebut dihukumi wajib jika berupa syarat syar’, seperti wudhu dalam shalat. Tidak berupa syarat yang bersifat adiy (adat), seperti membasuh sebagian kepala untuk menyempurnakan pembasuhan wajah, atau bersifat aqli (logika rasio), seperti meninggalkan sesuatu yang kontadiktif (dhidd) dengan kewajiban sebagai penycmpurna terlaksananya sebuah kewajiban. Juga tidak berupa sabab yang bersifat syar’i, seperti shighat sebagai penycmpurna pemerdekaan budak, atau ‘aqi, seperti analisa sebagai penyempurna dihasilkannya ilmu, atau ‘adiy, seperti mencbas Ieher sebagai penyempurna eksekusi mati.

 

PENYEMPURNA MENINGGALKAN HARAM

 

Berdasarkan kaidah di atas, berkembang dalam perkara yang menjadi penghantar atau penyempurna meninggalkan haram. Dalam hal ini ulama menctapkan bahwa hukumnya wajib meninggalkan perkara mubah (boleh dilakukan), manakala hal itu. menjadi penyempurna meninggalkan perbuatan haram. Contoh, air sedikit yang kemasukan najis. Memakai keseluruhan air tersebut dihukumi haram, karena meninggalkan pemakaian air secara keseluruhan menjadi satu-satunya cara agar terhindar dari memakai najis. Contoh lain, ketika seorang suami menjumpai istrinya sulit dibedakan dengan wanita lain karena kemiripannya. Maka suami haram menyetubuhi kedua wanita tersebut. Karena dengan cara inilah, suami akan terhindar dari menyetubuhi wanita lain yang diharamkan.

 

 Permasalahan : ‘“Kemutiakan perintah tidak akan mencakup pada hal yang makruh, menurut endapat Ashah. Sehingga, tidak sah shalat vane dilakukan pada waktu-waktu makruh, meskipun sekadar makruh tanzib, menurut qaul Asha.

 

KETERKAITAN AMR MUTLAK DAN MAKRUH

 

Kemutlakan amr (perintah) untuk melakukan suatu perkara yang hakikat sebagian jaz di dalamnya berupa makruh tahrim atau tanzih, menurut pendapat Ashah tidak mancakup atau terkait dengan makruh tersebut, baik tahrim atau tanzih. Karena akan mengakibatkan satu perkara dituntut untuk dilakukan dan ditinggalkan dari satu sudut pandang (jihah wahidah), hingga terjadilah tanaqudh (kontradiksi). Hal ini baik terjadi dalam perkara yang memiliki satu sudut pandang, atau dya sudut pandang (jihatain) yang saling terkait (bainahuma luzum). Contoh, shalat pada waktu makruh, seperti saat terbit matahari atau menjelang tenggelam, baik mengacu pendapat bahwa shalat tersebut makruh tahrim maupun tanzih. Dalam kasus ini, shalat dihukumi tidak sah, karena jika shalat vang hukumnya makruh tahrim atau tanzih ini dinyatakan sah, dalam arti tereakup dalam perintah sunnah mutlak yang disimpulkan dart hadits hadits taghrib (pendorong amal), maka akan terjadi kontradiksi. Sehingga status shalat mengacu pada pendapat makruh tanzih, meskipun boleh dilakukan, namun dihukumi fasidah (rusak), dalam arti tidak sah sebab tidak tereakup amr, juga tidak berpahala. Pendapat lain, status shalat mengacu pada pendapat makruh tanzih, dihukumi sah sebab tereakup amr, dan berpahala. Sedangkan larangan (nahi) di dalamnya mengarah pada faktor eksternal (amr kharif), seperti menyamai penyembah matahari dalam penyembahan mereka saat terbit dan tenggelam.

 

Kelompok Hanafiyyah, diikuti Syekh Abu Ishaq, Imam Haramain dan lainnya menyatakan bahwa kemutlakan amr (perintah) mencakup makruh. Kemudian mereka berselisih pendapat, sebagaimana disampaikan Imam As-Sarkhasi.

 

  1. Dari Imam Abu Bakar Ar-Razi, bahwa kemutlakan amr (perintah) mencakup makruh, disertai tetapnya sifat makruh. Sepeerti melakukan shalat Ashar setelah matahari berubah menjclang terbenam. Shalat ini boleh dilakukan dan diperintahkan syara’, namun hukumnya juga makruh. Contoh lain, thawaf seseorang yang berhadats, dimana thawaf ini tereakup dalam perintah dalam firman Allah SWT;

 

“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (baitullah) (Al-Hajj : 29) Meskipun demikian, thawaf tetap dihukumi makruh.”

 

  1. Pendapat Ashah yang disitir Imam As-Sarkhasi, bahwa kemutlakan amr (perintah) mencakup makruh, namun dalam arti datangnya amr menghilangkan kemakruhan. Hal ini manakala makruh tidak mengatah pada amrin khariy (faktor eksternal). Sehingga dalam contoh di atas, kemakruhan tidak pada shalat Asharnya, namun karena menyerupai para penyembah matahari. Kemakruhan juga tidak pada thawaf sebagai pengagungan Baitullah, namun karena sifat tertentu pada pelakunya, yakni hadats.

 

Kemudian apabila dalam makruh terdapat dua yang tidak saling menetapi antara keduanya, maka kemutlakan perintah mencakup makruh secara pasti dalam makruh tanzih, dan menurut versi Ashah dalam makruh tahrim

 

Menurut versi Ashah, shalat di tempat yang dighashab sah hukumnya, dan pelakunya tidak diberi pahala.

 

Menurut versi Ashah, seseorang yang sedang keluar dari tempat ghashab-an dengan niat bertaubat berarti sedang melakukan sebuah kewajiban.

 

MAKRUH YANG MEMILIKI DUA PERSPEKTIF

 

Makruh terkadang memiliki dua sudut pandang (jihatain) yang keduanya tidak saling terkait (la luzuma bainahuma), dalam arti wujud salah satunya tidak tergantung pada yang lain. Dalam hal ini manakala mengacu pada pendapat bahwa kemakruhannya bersifat tanzih, sepetti shalat di tempat-tempat makruh, maka dipastikan makruh tereakup dalam kemutlakan amr. Dan manakala mengacu pada pendapat bahwa kemakruhannya bersifat tabrim, seperti shalat di tanah ghasab an, maka menurut Ashah, makruh tereakup dalam kemutlakan awr. Pendapat lain, tidak tereakup, karena memandang sisi tahrim-nya.

 

HUKUM SHALAT DI TANAH HASIL GHASHAB

 

Shalat di bumi hasil ghashab memiliki dua sisi pandang, yakni sisi shalat dan sisi ghashab atau menguasai milik orang lain dengan jalan yang salah, dimana antara keduanya tidak saling terkait, dalam arti satu dengan yang lain dapat terwujud tanpa ada saling ketergantungan. Mengenal hukumnya, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat Ashah, sah shalatnya, memandang sisi shalat yang diperintahkan, baik fardhu atau sunnah, namun tidak berpahala, memandang sebagai hukuman dari sisi ghasabnya.

 

2, Pendapat kedua, sah shalatnya, dan berpahala dari sisi shalatnya, meskipun akan disiksa dari sisi ghashabnya. Karena terkadang seseorang disiksa dengan tanpa terhalangi mendapatkan seluruh atau sebagian pahala perbuatannya.

 

  1. Imam Ar-Razi dan Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berpendapat, tidak sah salatnya secara mutlak, memandang sisi ghasabnya, akan tetapi tuntutan melakukan shalat sudah gugur ketika shalat wujud. Karena memandany fakta bahwa ulama salaf tidak memerintahkan gadha’, padahal mereka mengetahuinya. Sebagaimana gugurnya membasuh tangan, mankala terpotong. Dengan demikian gugurnya tuntutan bukan sebab shalat tersebut, akan tetapi karena adanya ijma’.

 

  1. Imam Ahmad berpendapat, tidak sah shalatnya, dan tidak pula gugur tuntutannya. Karena berdiam di tempat ghashaban adalah larangan, dan shalat adalah berdiam dengan perakan atau diam. Sehingga mustahil perkara yang dilarang berubah menjadi ketaatan. Karena mengakibatkan satu perkara disifati dengan wajib dan haram.

 

KELUAR DARI TEMPAT HASIL GHASHAB

 

Kasus lain, mengenai seseorang yang bergegas keluar dari tempat yang di-ghashab-nya dalam keadaan bertaubat, dalam arti menyesali telah masuk dengan cara yang tidak dibenarkan syara’ dan bertekad tidak akan mengulanginya, serta menempuh jalan terpendek dan paling ringan resikonya. Beberapa kalangan berselisih tentang status orang ini.

 

  1. Menurut Ashah, dia telah melakukan kewajiban, dan kemaksiatannya telah berakhir sewaktu memulai keluar dari tempat tersebut. Karena dengan keluar dalam keadaan semacam itu, kewajiban taubat baginya dapat terealisasi.

 

  1. Menurut Imam Abu Hasyim dari Mu’tazilah, orang tersebut tetap dikatakan melakukan kemaksiatan. Karena dia masih seperti saat berdiam diri sebagai orang yang menggunakan milik orang lain tanpa ijin. Dan tidak benar-benar disebut bertaubat sebelum sampai pada akhir batas tanah yang di-ghashab-nya, karena pada saat itulah dia telah melakukan kewajiban iqla’ (memutus kemaksiatan).

 

  1. Pendapat penengah, datang dari Imam Haramain, bahwa orang tersebut telah mencampur adukkan kemaksiatan, bersamaan dengan terputusnya tuntutan nahi dari orang tersebut, berupa tuntutan menghentikan penggunaan milik orang lain tanpa ijin dengan cara keluar dalam keadaan bertaubat. Sehingga dengan sekedar keluar, dia belum terlepas dari kemaksiatan, karena sebab dia masuk ke tempat tersebut, penycbab kemaksiatan masih terwujud. Dan Imam Haramain mempertimbangkan dua sisi pada saat dia keluar, sisi kemaksiatan dan sisi ketaatan, meskipun sisi pertama tidak bisa terlepas dari sisi kedua. Sedangkan Jumhur mengabaikan sisi kemaksiatan berupa madbarat menggunakan milik orang lain tanpa jin saat keluar, demi mengantisipasi madharat yang lebih besar, yakni berdiam di tempat ghashaban. Sebagaimana diabaikannya madharat berupa hilangnya akal, untuk mengantisipasi madharat yang lebih besar berupa hilangnya nyawa ketika suapan nasi menghentikan jalan napas dan tidak ditemukan selain khamr untuk menggelontornya.

 

Orang yang sedang jatuh, yang akan menimpa korban (dibawahnya) dan berakibat kematiannya, atau kematian orang yang sederajat dengannya (jika tidak meluruskan jatuhnya), maka hendaknya ia meluruskan jatuhnya (tidak berusaha menghindar).

 

ORANG YANG JATUH DARI KETINGGIAN

 

Selanjutnya ulama berselisih pendapat mengenai seseorang yang jatuh dari ketinggian atas atau tanpa kehendaknya dan mengancam nyawa orang lain di bawahnya manakala dia tidak berpindah ke arah lain, atau jika dia berusaha untuk berpindah, akan mengancam korban lain yang sederajat dengan orang pertama dalam hal sifat-sifat kesetaraan gishash.

 

  1. Pendapat Ashah, dia wajib menetapi posisinya dan tidak boleh berpindah, berdasarkan kaidah;

 

“Sebuah bahaya tidak boleh dihilangkan dengan memunculkan bahaya yang lain”

 

Juga dikarenakan berpindah posisi artinya memulai pekerjaan baru, sedangkan dalam persoalan ini melanjutkan pekerjaan (tetap dalam posisinya) lebih ringan hukumnya dibandingkan memulai pekerjaan baru (berpindah posisi). Karena dalam melanjutkan pekerjaan akan ditolerir perkara yang tidak ditolerir manakala dilakukan saat memulai pekerjaan. Namun apabila salah satunya adalah seorang Nabi SAW, wali, atau imam yang adil, maka harus diprioritaskan dan wayib berpindah, sebagaimana statemen Imam Ibn ‘Abd As Salam.

 

  1. Pendapat kedua, boleh memilth antara tetap dalam posisinya atau berpindah. Hal ini memandang kapasitas kemudharatan dari keduanya setara.

 

  1. Pendapat ketiga dari Imam Haramain, dalam persoalan tersebut tidak ada hukum, baik berupa ijin atau larangan. Karena mengijinkan orang tersebut untuk tetap atau berpindah dari posisinya, atau mengijinkan salah satunya, akan mengakibatkan pembunuhan yang diharamkan. Sedangkan melarang keduanyva tidak mungkin terlaksana. Dan menurut beliau, manakala dia jatuh atas kehendaknva sendiri, maka kemaksiatannya terus berlangsung, sebab masih adanya penyebab kemaksiatan, yakni menjatuhkan dirinya sendiri.

 

  1. Pendapat keempat dari Imam Al-Ghazali, status hukumnya mauquf (ditangguhkan). Dalam kitab Al-Mustashfa beliau mengatakan, tiga pendapat tersebut memiliki peluang benar. Dan dalam kitab AlMankhul, beliau memilih pendapat ketiga.

 

Permasalahan : Menurut pendapat shah, diperbolehkan (mungkin seeara akal), taklif dengan sesuatu yang mustahil, secara mutlak.

 

Dan (menurut Ashah) taklif dengan sesuatu yang mustahil, hanya karena keterkaitan sifat ilmu Allah dengan tidak terjadinya sesuatu tersebut, diakui keberadaannya.

 

TAKLIF BI AL-MUHAL

 

Sebagaimana terdahulu, taklif ditinjau dari sudut pandang mungkin tidaknya terlaksana terbagi dua macam;

 

  1. Taklif al-muhal adalah menuntut seseorang yang mana dia tidak mungkin dapat mengerjakan tujuan taklif. Seperti, menuntut mayit atau benda tidak bernyawa. Menurut pendapat Ashah, taklif semacam ini tidak diperbolehkan sebagaimana pembahasan terdahulu.

 

  1. Taklif bi al-muhal adalah menuntut dengan sesuatu hal yang tidak mungkin dikerjakan. Seperti, menuntut berjalan pada orang yang lumpuh.

 

Perbedaan antara keduanya, taklif al-muhal letak ketidak mungkinan ada pada orang yang diperintah (al-ma’mur), sedangkan taklif bi al-muhal letak ketidak mungkinan ada pada perbuatan yang diperintahkan (ma’mur bih).

 

Mengenai bentuk taklif kedua, yakni taklif bi al-muhal, ulama berselisih pendapat mengenai boleh dan tidaknya.

 

  1. Pendapat Ashah, menyatakan taklif tersebut boleh secara mutlak, baik muhal li dzatihi atau muhal li ghoirihi. Muhal li dzatihi adalah sesuatu yang tereegah wujudnya karena faktor pemahamannya sendiri. Dalam arti tereegah secara adat dan akal. Contoh taklif untuk mengumpulkan warna putih dan hitam dalam satu waktu dan tempat. Dan muhal li ghoirihi adalah sesuatu yang tereegah wujudnya bukan karena faktor pemahamannya sendiri, namun mungkin karena dzatiyah-nya atau karena pemahamannya sendiri. Muhal li ghairihi ada dua. Pertama, sesuatu yang tereegah secara adat, namun tidak secara akal. Contoh, menuntut berjalan pada orang yang lumpuh. Kedua, sesuatu yang tereegah secara akal, namun tidak secara adat. Contoh, menuntut seseorang untuk beriman, sedangkan dalam ilmu Allah SWT sudah dimaklumi bahwa orang tersebut tidak akan beriman. Seperti tuntutan beriman pada Abu Jahal, dimana secara adat hal tersebut dapat diterima manusia, karena mereka tidak mengetahui apa yang tereatat pada fauhul al-mah ud. Namun secara akal hal tersebut tidak dapat diterima (muhal), karena akan berakibat ilmu qadim Allah menjadi jahl

 

  1. Mayoritas Mu’tazilah, Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini, Imam Ghazali, dan Ibnu Daqiqil ‘Id mencegah bolehnya taklif dengan sesuatu yang kemustahilannya bukan karena keterkaitan sifat imu Allah SWT dengan tidak terjadinya sesuatu. Karena manakala tereegahnya sesuatu menjadi jelas bagi para mukallaf, maka menuntut sesuatu tersebut dari mereka tidak berfaidah.

 

  1. Ulama’ Mu’tazilah Baghdad dan Al-Amudi mencegah bolehnya taklif dengan sesuatu yang kemustahilannya mandiri (li dzatih), bukan karena faktor lain (li ghairihi).

 

  1. Imam Haramain tidak menerima keberadaan taklif dengan sesuatu vang kemustahilannya bukan karena keterkaitan sifat imu Allah SWT dengan tdak terjadinya sesuatu, sebagai obyck tuntutan (mathlub). Namun jika hanya sekedar keberadaan redaksi tuntutan, tanpa menyertakan makna tuntutan, menurut beliau tidak tereegah. Seperti dalam firman Allah SWT ;

 

“Jadilah kamu kera yang hina….!”

 

EKSISTENSI TAKLIF BI AL-MUHAL

 

Selanjutnya ulama yang memperbolehkan taklif bi al muhal berselisih pendapat mengenai eksistensinya (wuqu’).

 

  1. Pendapat Ashah, dari Jumhur, mengakui keberadaan takiif dengan sesuatu yang mustahil karena keterkaitan ilmu Allah SWT atas tidak terjadinya hal tersebut, dan tidak mengakui keberadaan sesuatu yang kemustahilannya mandiri dan disebabkan hal lain secara adat, bukan akal. Berdasar firman Allah SWT;

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

 

Taklif dengan sesuatu yang mustahil karena keterkaitan ilmu Allah SWT atas tidak terjadinya hal tersebut secara lahiriyah termasuk sanggup dan mampu dilakukan mukallaf.

 

  1. Pendapat kedua adalah mengakui keberadaan taklif dengan sesuatu yang kemustahilannya disebabkan hal lain, bukan sesuatu yang kemustahilannya mandiri (dzatiyah). Karena Allah SWT menuntut manusia dan jin untuk beriman, dan Allah SWT berfirman;.

 

“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman

 

walaupun kamu sangat menginginkannya” Keimanan sebagian besar manusia tidak mungkin terwujud karena Allah SWT mengetahui hal tersebut tidak akan terjadi. Dimana hal ini termasuk sesuatu. yang kemustahilannya disebabkan hal lain. Sedangkan tidak diakuinya keberadaan sesuatu yang kemustahilannya mandiri (li 1dzatihi) adalah berdasarkan istiqra’ (penelitian).

 

  1. Pendapat ketiga, mengakui keberadaannya secara mutlak, baik dengan sesuatu yang kemustahilannya disebabkan hal lain, atau sesuatu yang kemustahilannya mandiri. Karena orang-orang yang ayat Al-Qur’an telah turun mengenai ketidak imanan mereka, seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan selain keduanya, semisal dalam ayat;

 

“Sesungguhnya orang-orang haf sama saja bagi mereka, Ramu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman”

 

Dalam hal ini, mereka adalah termasuk sejumlah orang yang dituntut membenarkan apapun yang dibawa Nabi SAW dari Allah SWT, termasuk bahwa mereka tidak akan beriman (membenarkan apa yang dibawa Nabi SAW). Sehingga terjadi kontradiksi, dimana mereka dituntut membenarkan Nabi SAW atas ajaran yang berisi mereka tidak akan membenarkan Nabi SAW. Dengan demikian persoalan inj termasuk sesuatu yang kemustahilannya mandiri (li dzatihi).

 

Menurut pendapat Ashah, secara akal taklif diperbolehkan dengan sesuatu yang tidak tereapai syarat syar’i-nya. Seperti, orang kafir yang boleh dituntut melakukan cabangan-cabangan syariat. Dan (menurut pendapat Ashah) takli tersebut terjadi.

 

TAKLIF ATAS PERKARA YANG TIDAK TERPENUHI SYARATNYA

 

Ulama berbeda pendapat tentang syarat syar?, apakah keberadaannya menjadi syarat keabsahan sebuah taklif (tuntutan) ataukah udak.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, dari mayoritas ulama, tidak menjadi syarat. Hukumnya boleh dan sah menuntut sesuatu yang disyarati ( ) ketika syaratnya tidak ada, karena syarat mungkin dilakukan sebelum . Sehingga sah menuntut orang kafir atas fura’ as-syari’ah (masalah-masalah syariat), meskipun syarat berupa iman tidak ada. Hal ini dikarenakan sebagian besar furu’ as-syart’ah membutuhkan niat yang dinilai tidak sah dari orang kafir.

 

  1. Pendapat lain, menjadi syarat. Sehingga tidak boleh dan tidak sah menuntut sesuatu yang disyarati ( ) ketika syaratnya tidak ada. Karena jika tidak demikian, seandainya hal itu terjadi, maka pelaksanaannya menjadi tidak mungkin.

 

Maksud dari syarat dalam permasalahan di atas adalah perkara yang harus dipenuhi, sehingga mencakup sabab. Dikecualikan dari kata ‘syar’i adalah syarat lughani, seperti, “Jika kamu masuk masjid, maka shalatlah dua rakaat’, syarat ‘aqli, seperti syarat hidup untuk bisa menerima ilmu, serta syarat ‘adiy, seperti membasuh sebagian juz kepala untuk menyempurnakan basuhan wajah. Sedangkan maksud taklif adalah khithab taklif, berupa haram, wajib dan lain-lain, serta khbithab wadh’i yang kembali pada khithab taklifi, seperti talak sebagai sabab diharamkannya istri. Bukan khithab wadh’i yang tidak kembali pada khithab taklifi, seperti merusak harta, penganiayaan dari sisi sebagai sabab dari dhaman (ganti rugi), serta konskuensi akad yang sah, seperti kepemilikan barang dagangan, tetapnya nasab, dan tetapnya kompensasi dalam akad dzimmah, maka dalam semuanya ini ulama sepakat status kafir sama dengan muslim.

 

Selanjutnya ulama memperselisihkan mengenai keberadaan taklif semacam di atas.

 

  1. Pendapat Ashah, menuntut sesuatu yang disyarati ( ) ketika syarat tidak ada, diakui keberadaannya. Sehingga bagi yang tidak melaksanakan akan disiksa. Meskipun kewajiban tersebut gugur dalam rangka targhib fih (memotifasi) manakala orang kafir beriman. Firman Allah SWT.

 

“Mereka tanya menanya tentang (keadaan orang-orang yang berdosa, “Apa yang membuat kalian berada di neraka neraka Saqar? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk. orang-orang yang mengerjakan shalat (O.S Al-Mudatssir : 40-43)

 

Ayat ini menyimpulkan, bahwa orang kafir mendapat siksaan karena mereka tidak melakukan shalat saat di dunia. Ayat lain;

 

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang stapa_yang melakukan_yang demikian itu, niseaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya) (68) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”

 

Ayat ini menunjukkan tentang siksaan berlipat ganda untuk orang kafir yang melakukan pembunuhan, zina, dan kekufuran.

 

  1. Pendapat kedua, dari Imam Abu Hamid Al-Isfirayini dan mayoritas Hanafiyah, bahwa taklif semacam itu tidak diakui keberadaannya secara mutlak. Menurut mereka orang-orang kafir tidak terkena taklif atas permasalahan furu’, memandang bahwa ma’murat (hal-hal yang diperintahkan) tidak bisa dilakukan dalam keadaan kufur, serta tidak diperintahkan men-qadha’-nya setelah beriman. Sedangkan manhiyyas (hal-hal terlarang) disamakan dengan ma’murat, agar tidak terjadj pemisah-misahan taklif.

 

  1. Pendapat ketiga, diakui keberadaannya dalam ma’murat, namun diakui dalam manhiyat, karena mungkin dilaksanakan meskipun dalam keadaan kafir, memandang bahwa keterkaitan manhiyyat adalah meninggalkan sebuah perkara, dimana hal ini tidak membutuhkan niat yang dipersyaratkan didahului adanya iman.

 

  1. Pendapat keempat, diakui keberadaannya pada orang murtad. Karena ulama sepakat menctapkan taklif, dengan tetap berlangsungnya tuntutan sewaktu Islam.

 

Permasalahan: ‘Tiada taklif kecuali dengan perbuatan. Sehingga dalam larangan, yang menjadi mukallaf bih adalah mencegah, yakni menyudahi (perbuatan yang dilarang), menurut pendapat Ashah.

 

Versi Ashah, sebuah tuntutan terhubung dengan perbuatan sebelum dilakukan, dan Setelah masuk waktu secara ilzam (pengharusan), dan sebelum masuk secara i’lam (pemberitahuan). Dan keterkaitan ilzam berlanut sampai saat sedang dilakukan.

 

PEMBAHASAN MUKALLAF BIH

 

Perkara yang sah dituntut ( ) dalam taklif adalah perbuatan, yakni perbuatan yang mungkin diwujudkan dan mampu dilakukan oleh mukallaf. Dalam amr bentuk konkrit dari mukallaf bis jclas, karena amr adalah tuntutan melakukan sebuah perbuatan atau pekerjaan. Contoh,  (pukullah!). Sedangkan bentuk konkrit mukallaf bih dalam nahi, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, sependapat dengan Imam As-Subki, mukallaf bih dalam nahi adalah al-kaffu (mencegah), yakni berhenti dari perkara yang dilarang, meskipun tidak bertujuan imtitsal (mentaati syara’). Maksud berhenti di sini adalah perbuatan hati, dimana hal tersebut muncul dalam hati dengan usaha, setelah hati cenderung pada sebuah perkara yang dilarang. Dengan syarat, hati sudah berhadapan dengan perkara tersebut. Dan al-kaffu dapat dihasilkan dengan melakukan kebalikan (dhiddn) dari perkara yang dilarang.

 

  1. Pendapat kedua, mukallaf bih dalam nahi adalah melakukan kebalikan (dhiddu) dari perkara yang dilarang.

 

  1. Pendapat ketiga, mukallaf bih dalam nahi adalah ketiadaan perkara yang dilarang. Hal ini mampu dilakukan mukallaf, dengan cara tidak menghendaki melakukannya, dimana pada dasarnya hal tersebut dapat terwujud dengan kehendaknya. Sebagai contoh, jika ada seseorang mengatakan, “Kamu jangan bergerak!”’, maka yang dituntut menurut pendapat pertama adalah berhenti dari bergerak yang dapat dihasilkan dengan melakukan kebalikannya, seperti diam. Menurut pendapat kedua, melakukan kebalikannya, yaitu diam. Dan menurut pendapat ketiga adalah tidak adanya bergerak, dengan tetap berlangsungnya ketiadaan bergerak yang muncul dari diam, karena jika berhenti diam maka ketiadaan bergerak akan terputus.

 

Kemudian bersamaan dengan menghentikan perkara yang dilarang, dalam melakukan mukallaf bih (perkara yang dituntut) dalam nahi, ulama berselisih pendapat mengenai persyaratan qashdu at-tarki imtitsalan (tajuan meninggalkan karena taat perintah syara’).

 

  1. Pendapat Ashah, hal tersebut tidak disyaratkan. Karena persyaratan tersebut hanya untuk menghasilkan pahala. Berdasarkan HR. Bukhari-Muslim;

 

“Bahwa sesungguhnya keabsahan beberapa amal hanya ditentukan niatnya”

 

  1. Pendapat kedua, hal tersebut disyaratkan. Sehingga apabila tidak bertujuan demikian, maka mengakibatkan siksaan di akhirat.

 

TALLUQ ILZAMI DAN I’LAMI

 

Menurut pendapat Ashah, hubungan yang terjalin antara sebuah taklif dengan perbuatan yang diperintahkan (ma’mur bih) ada dua macam.

 

  1. Hubungan ilzam (ta’aluq ilzam), yaitu ketika perbuatan tersebut belum dikerjakan dan sudah memasuki waktu pelaksanaannya. Maksud ta’aluq ilzam adalah imtisal, yakni melakukan sesuatu yang di perintahkan. Pendapat lain, ta’alluq ilzam terhubung saat perbuatan sedang dikerjakan. Menurut pengarang, pendapat ini adalah pendapat yang jelas. Dan jika dikatakan bahwa hal ini berimplikasi tidak adanya hukum durhaka manakala perbuatan yang diperintah ditinggalkan, maka dijawab bahwa celaan sebelum dilakukannya perbuatan, didasarkan atas menahan diri dari melakukan perbuatan yang diperintah, dimana menahan diri semacam ini adalah terlarang. Mengikuti versi Ashah, ulama berselisih mengenai batas waktu berlangsungnya ta’alluq ilzam.

 

  1. Pendapat Ashah, ta’aluq ilzam tetap berlangsung manakala sesuaty yang diperintahkan sedang dikerjakan.

 

  1. Pendapat kedua, ta’aluq ilzam terputus manakala sesuatu yang diperintahkan sedang dikerjakan. Karena jika tidak, akan berakibat adanya tuntutan atas sesuatu yang sudah berhasil dikerjakan dan menuntut hal macam itu tidaklah berfaidah.

 

  1. Hubungan i’lam (ta’aluq i’lam), yaita ketika belum masuk waktu pelaksanaannya. Maksud ta’alug i’lam adalah meyakini akan kewajiban mewujudkan perbuatan yang diperintahkan.

 

Masalah di atas menurut Imam Al-Qarrafi adalah kaidah terpelik dalam ushul fiqh, padahal sedikit kegunaannya. Karena kaidah ini tidak nampak melahirkan furu’ dalam tataran aplikasinya”’.

 

Permasalahan: Pendapat Ashah, menuntut sesuat dalam Kondisi di mana hanya pemberi perintah mengetahui ketiadaan syarat terjadin ma’mur bih pada waktunya, Seperti memerintahkan seseorang untuk berpuasa di hari di mana diketahui dia akan mati sebelum hari tersebut. Dan versi Ashah, orang yang diperintah (al-ma’mur) dinyatakan mengetahui dirinya adalah orang yang diperintah pada saat tepat setelah mendengar perintah.

 

TAKLIF DI SAAT AMIR DAN MA’MUR MENGETAHUI SYARAT TIDAK TERPENUHI

 

Dalam kajian ini terdapat dua permasalahan;

 

Masalah pertama, sah menuntut seseorang atas sebuah perkara, dalam keadaan syarat mewujudkannya tidak terpenuhi pada waktunya. Sehingga hal itu tidak mungkin terjadi karena syaratnya tidak ada. Masalah pertama ini ada beberapa kemungkinan sebagai berikut,

 

  1. Pemberi perintah (al-amir) mengetahui tidak adanya syarat, sedangkan orang yang diperintah (al-ma’mur) tidak mengetahuinya. Menurut Jumhur, taklif dihukumi sah, bertendensi bahwa faidah taklif adalah menguji mukallaf (ibtila’). Sedangkan menurut Imam Haramain dan Mu’tazilah, tidak sah, bertendensi bahwa faidah taklif hanyalah untuk dilaksanakan (imtitsal). Contoh, memerintahkan seseorang untuk mengerjakan puasa pada hari tertentu, dimana pemberi perintah telah mengetahui bahwa orang tersebut akan meninggal dunia sebelum hari itu. Dampak teori ini dapat disaksikan dalam furu’ tentang kewajiban kafarat bagi orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan, meskipun di pertengahan siang itu dia meninggal atau gila. Hal ini jika berpijak pada pendapat pertama. Dan tidak wajib kafarat menurut pendapat kedua.

 

  1. Orang yang diperintah (al-mwa’mur) mengetahui tidak adanya syarat. Menurut Adhhar, taklif dihukumi sah, dan pendapat kedua, tidak sah, karena faidah taklif tidak ditemukan. Namun hal ini disangkal dengan statemen ahli fiqh dalam masalah wanita yang mengetahui dirinya akan mengalami haid di pertengahan siang Ramadhan berdasarkan adat (kebiasaan) atau ucapan Nabi SAW, maka wajib baginya memulai puasa di siang hari tersebut. Juga masalah bolehnya seorang laki-laki yang terpotong penisnya melakukan taubat dari zina. Faidah dari kedua contoh di atas adalah tekad kuat melakukan ketaatan dengan mengira-ngirakan adanya kemampuan.

 

  1. Pemberi perintah (al-amir) tidak mengetahui tentang tidak adanya syarat, meskipun orang yang diperintah (al-ma’mur) mengetahuinya. Dimana hal ini terjadi manakala pemberi perintah adalah selain AsSyari’ (pembuat syariat). Menurut pengarang Jam’u al-Jawami’, mengikuti Imam Ibn Al-Hajib, taklif model ini disepakati sah. Namun Imam As-Shafi Al-Hindi menegaskan, bahwa dari statemen ulama lain ada indikasi terjadi silang pendapat. Contoh, seorang miayjikan memerintahkan budaknya untuk menjahit pakaian esok hari.

 

  1. Syarat taklif dikatakan sah adalah orang yang ditaklif (mukalaf) sudah mengetahui pada taklif tersebut. Menurut qoul ashoh setandar dianggap mengetahuinya mukalaf terhadap taklif adalah dengan mendengarkan tentang adanya taklif tersebut (tanpa menunggu zaman terselesainya pekerjaan taklif).

 

Masalah kedua, mayoritas ulama mengatakan, orang yang diperintah (al-ma’mur) dinyatakan mengetahui dirinya adalah orang yang diperintah pada saat tepat setelah mendengar perintah, tanpa syarat telah melewati waktu yang memungkinkan untuk melaksanakannya. Dalam arti, sebuah perbuatan yang secara dzatiyah mampu dilakukan, manakala Allah SWT memerintahkan dilakukan oleh hambanya, kemudian pada waktu itu hamba tersebut mendengarnya, kemudian memahaminya, maka hamba tersebut dinyatakan mengetahui bahwa dirinya adalah orang yang diperintah, meskipun bisa jadi dia terhalang kerena faktor kematian atau tidak mampu. Karena turunnya perintah nyata keberadaannya, sedangkan hilangnya perintah sebab tidak terpenuhinya syarat masih diragukan. Pendapat lain, pada saat tersebut al-ma’mur belum dinyatakan mengetahui, karena bisa jadi dia tidak mungkin melaksanakannya karena mati atau tidak mampu sebelum tiba waktunya.

 

Penutu : Sebuah hukum terkadan berhubungan dengan dua hal secara berurutan atau secara bergantian. Kemudian mengumpulkannya haram, atau mubah, atau sunnah.

 

HUBUNGAN HUKUM SECARA TARTIB ATAU BADAL

 

Sebuah hukum terkadang memiliki keterkaitan dengan dua perkara atau lebih secara tartib (berurutan), disebut wajib murattab. Atau secata badal (bergantian), disebut wajib mukhayyar.

 

Wajib murattab terbagi tiga bagian.

 

  1. Haram mengumpulkan, seperti memakan hewan sembelihan dan bangkai. Keduanya boleh dikonsumsi, akan tetapi hukum boleh pada bangkai hanya berlaku manakala tidak mampu memakan hewan sembelihan, sehingga haram mengumpulkan keduanya, karena memakan bangkai diharamkan ketika masih ada hewan sembelihan.

 

  1. Boleh mengumpulkan, seperti tayamum dan wudhu. Keduanya diperbolehkan, namun bolehnya tayammum adalah ketika tidak mampu berwudhu. Namun terkadang keduanya boleh dikumpulkan, seperti seseorang yang bertayammum karena mengalami luka di sekujur anggota wudhu dan khawatir lama sembuhnya. Akan tetapi kemudian dia berwudhu dengan menangpung resiko sembuh yang lama. Meskipun tayammum yang dilakukan dinyatakan batal karena tidak ada faidahnya.

 

  1. Sunnah mengumpulkan, seperti mengerjakan semua bentuk opst kafarat persetubuhan di siang Ramadahan. Ketiga bentuk kafarat hukumnya wajib, namun kewajiban memberi makan fakir-miskin adalah ketika tidak mampu melakukan puasa, dan kewajiban puasa adalah ketika tidak mampu memerdekakan budak. Hanya saja sunnah mengumpulkan ketiganya”, dan masing-masing diniati kafarat, meskipun kewajiban sudah gugur dengan yang pertama, sebagaimana niat dalam shalat yang diulangi.

 

Kemudian wajib mukhayyar juga terbagi tiga bagian.

 

  1. Haram mengumpulkan, seperti seperti menikahkan perempuan dengan dua orang laki-laki (poliandri).

 

  1. Boleh mengumpulkan, seperti menutupi aurat dengan dua pakaian sekaligus.

 

  1. Sunnah mengumpulkan, seperti opsi pada kafarat sumpah.

 

Al-Kitab adalah Al-Qur’an. Dan yang dikehendaki dengan Al-Qur’an di sini (yakni dalam pembahasan ushul fiqh) ialah lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai mukjizat (pembenar risalah kenabian) dengan satu surat darinya, yang menjadi sarana ibadah dengan membacanya,

 

DEFINISI AL-QUR’AN

 

Al-Qur’an ialah suatu lafadz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai pembenar pengakuan kerasulan (i’jaz) dengan satu surat dan membacanya dinilai sebagai ibadah. Dengan penjclasan definisi sebagai berikut.

 

  1. Dari kata ‘lafadz yang diturunkan’, maka mengecualikan hadist-hadits yang tidak dirtwayatkan dari Allah SWT (ghair ar-rabbaniyyah), yakni hadits nabawi. Karena hadits nabawi bukanlah lafadz yang diturunkan, dan hanya maknanya saja yang diturunkan, sedangkan peredaksian lafadznya dilakukan oleh Nabi SAW. Sebab itulah, bagi yang ahli bahasa, boleh meriwayatkannya secara makna, tidak terikat dengan redaksinya.

 

  1. Dari kata ‘kepada nabi Muhammad SAW’, maka mengecualikan kitabkitab samawi lainnya, seperti kitab Taurat dan Injil.

 

  1. Dari kata ‘pembenar pengakuan kerasulan’, maka mengecualikan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Allah SWT (ar-rabbaniyyah), atau hadits qudsi. Mengikuti pendapat bahwa redaksi lafadz dalam hadits seperti ini diturunkan dari Allah SWT. Contoh HR. Bukhari Muslim,

 

 “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku pada-Ku”’

 

  1. Dari kata ‘dengan satu surat’, maksudnya adalah satu surat dari beberapa surat dalam Al-Qur’an, meskipun yang terpendek, seperti Al-Kautsar yang berisi tiga ayat, atau surat lain yang kadarnya sama. Mengecualikan sebagian surat yang berisi kurang dari kadar AlKautsar. Pendapat lain dari Imam As-Syamsu Al-Birmawi menyatakan bahwa i’jaz dapat terwujud dengan dua atau satu ayat, selama kandungan ayat tersebut memiliki nilat ta’jiz (membenarkan kerasulan), tidak seperti ayat;

 

“kemudian dia memikirkan”

 

  1. Dari kata ‘dan membacanya dinilai sebagai ibadah’, maksudnya adalah yang selamanya dinilai ibadah. Mengecualikan ayat yang telah dinasakh, seperti;

 

“Laki-laki tua dan wanita tua ketika keduanya berzina, waka rajamlah keduanya dengan pasti”

 

Definisi Al-Qur’an di atas adalah menurut kalangan pakar ushul, sedangkan definisi menurut ahli kalam ialah arti yang ditunjukan oleh lafadz yang menetap pada dzat Allah SWT. Al-Qur’an merupakan salah satu hujjah, dalam arti keberadaan Al-Qur’an merupakan salah satu dari lima sumber hukum Islam.’

 

Termasuk dari Al-Qur’an ialah basmalah pada permulaan setup surat, selain surat Bara’ah, menurut qaul ashab. Bukan (termasuk Al-Qur’an) bacaan syadz, menurut qaul ashah. Qira’ah Sab’ah adalah mutawatir, meskipun bacaan yang termasuk ada’ (tata cara pelafalan), seperu bacaan mad,

 

BASMALAH TERMASUK AL-QUR’AN

 

Ulama sepakat bahwa Basmalah merupakan bagian dari Al-Qur’an dalam pertengahan surat An-Naml, yakni pada ayat 30;

 

“Sesunggubnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya:

 

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

 

Sebaliknya, ulama juga menyepakati bahwa Basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an pada permulaan surat Bara‘ah atau surat At-Taubah. Karena surat Bara’ah diturunkan dalam konteks peperangan, dimana substansinya tidak serasi dengan Basmalah yang memiliki substansi rahmat dan kasih sayang.

 

Sedangkan mengenai eksistensi Basmalah pada permulaan sura, Al-Fatihah dan surat-surat yang lain, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, Basmalah pada permulaan setiap surat termasuk Al-Patihah adalah bagian dari Al-Qur’an. Karena Basmalah tertulis sama dengan khath (tulisan) surat-surat dalam beberapa mushaf pata Sahabat Nabi SAW’. Padahal mereka sangat melarang penulisan sesuatu yang bukan termasuk Al-Qur’an, bahkan harakat atau titik sekalipun. Berpijak pada versi ini, menurut pendapat shahih, Basmalah berstatus Al-Qur’an secara hukum, bukan secara gath’ (pasti). Dalam arti, sebuah surat tidak sempurna tanpa membaca Basmalah di permulaannya, bahkan shalat tidak sah manakala Basmalah ditinggalkan di awal Al-Fatihah. Namun bagi yang mengingkarinya tidak ditetapkan vonis kufur, sebab adanya silang pendapat dalam masalah ini.

 

  1. Pendapat kedua, bukan bagian dari Al-Qur’an secara mutlak.

 

  1. Pendapat ketiga, menjadi bagian dari Al-Qur’an dalam Al-Fatihah, bukan dalam surat-surat yang lain. Karena Allah SWT secara adat memulai Al-Kitab dari beberapa kitab-Nya dengan Basmalah. Disampaikan oleh kalangan Syafiiyyah dan Imam Abu Bakar AlBaqilani dari kalangan Malikiyyah, dan ulama lain. Sedangkan dalam awal surat-surat lain berfungsi sebagai pemisah antar surat.

 

BACAAN SYADZ BUKAN TERMASUK AL-QUR’AN

 

Bacaan syadz yaitu bacaan yang diriwayatkan oleh perorangan (ahad) dan tidak mencapai kualifikasi qira’ah shabihah (bacaan yang benat), seperti lafadz yang terdapat dalam rangkaian ayat’;

 

Diperselisihkan, apakah bacaan tersebut termasuk Al-Qur’an ataukah tidak.

 

  1. Menurut Ashah, bukan termasuk bagian dari Al-Qur’an. Karena tidak diriwayatkan secara mutawatir atau yang selevel dengan mutawatir. Padahal Al-Qur’an dalam posisi ijaz-nya, dimana manusia tidak mungkin menirunya meskipun hanya surat terpendek, menuntut eksistensinya ternukil secara mutawatir.

 

  1. Pendapat kedua, termasuk bagian dari Al Qur’an, Karena mengangap kemutawatirannya telah terjadi di kurun pertama, sebab keadilan perawinya, dimana hal tersebut sudah mencukupi.

 

QIRA‘AH SAB’AH

 

Qira’ah sab’ah ialah suatu gira’ah atau bacaan yang diriwayatkan oleh tujuh Imam, yakni Imam Abu ‘Amr, Imam Nafi’, Imam Ibnu Katsir, Imam ‘Amir, Imam ‘Ashim, Imam Hamzah Dan Imam Kisa‘i.

 

Ketujuh qira’ah (bacaan) di atas adalah mutawatir dari Rasulullah sampai pada kita, dalam arti bacaan tersebut dirtwayatkan oleh segolongan orang yang tidak memungkinkan timbul kesepakatan dari mereka untuk berdusta kepada golongan serupa dan seterusnya. Dari sini diperselisihkan mengenai kemutawatiran hal-hal yang terkait dengan ada’, yakni pengambilan bacaan dati para guru‘. Ada’ merupakan sifat dari lafadz, dimana keberadaan lafadz tersebut tidak terikat dengannya.

 

  1. Mayoritas ushuliyyin menyatakan, persoalan seputar ada’ tergolong mutawatir.

 

  1. Imam Ibnu Hajib berpendapat, persoalan seputar ada’ tidak tergolong mutawatir. Sebagaimana bacaan mad wajib muttashil, mad jaiz mun ashil, membaca takhfif huruf hamzah dan bacaan imalah. Imam Ibn Al-Jazari mengomentari, bahwa pendapat ini belum ada sebelumnya dari kalangan ushuliyyin.

 

  1. Imam Abu Syamah berpendapat, termasuk yang tidak mutawatir adalah lafadz-lafadz yang masih diperselisihkan di antara ulama ahli gira’ah. Seperti pengucapan lafadz dengan huruf ber-sasydid.”

 

Haram membaca qira’ah syadz, Menurut qaul qira’ah syadz adalah selain qira’ah asyrah (bacaan riwayat sepuluh orang Imam). Dan versi Ashah, qira’ah syadz berlaku sebagaimana diberlakukannya hadis ahad  (dalam kehujjahannya).

 

HUKUM MEMBACA QIRA‘AH SYADZ

 

Dalam pembahasan terdahulu, menurut pendapat Ashah, bacaan yang diriwayatkan secara ahad (perorangan) atau disebut juga dengan qira’ah syadz, bukan termasuk bagian dari Al-Qur’an. Berpijak pada alasan ini, ulama menycpakati larangan membaca qira’ah syadz, baik di dalam shalat atau di luar shalat. Hukum ini berlaku ketika pembaca meyakini giraah syadz termasuk Al-Qur’an. Bahkan hanya sekedar meyakini qira’ah syadz termasuk Al-Qur’an, tanpa disertai membaca, hukumnya juga haram. Dan jika hanya sekedar membaca tanpa disertai keyakinan bahwa qiraah syadz termasuk Al-Qur’an, maka tidak terlarang.

 

Imam An-Nawawi berkata, membaca giraah syadz mengakibatkan . batalnya shalat, manakala sampai merubah makna, atau menambah dan menqur’angi huruf, dalam keadaan disengaja dan mengetahui keharamannya. Dan apabila dibaca tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak membatalkan shalat, meskipun sunnah menggantinya dengan sujud Sahwi.

 

BEBERAPA QIRA’AH SYADZ

 

Dalam hal ini diperselisihkan qira’ah yang masuk kategori syadz dari beberapa qira’ah yang dikenal.

 

  1. Pendapat Ashah, yang tergolong syadz adalah selain qira’ah ‘asyrah (sepuluh qira’ah), yakni qira’ah dari tujuh imam (qira’ah sab’ah) ditambah qira’ah Imam Ya’qub, Abi Ja’far dan Imam Khalaf. Pendapat ini disampaikan oleh ulama ahli qira’ah, kalangan ahli fiqh, termasuk Imam Al-Baghawi dan Imam As-Subki. Dikarenakan gira’ah dari tiga imam terakhir tidak menyalahi rasm dari qira’ah sab’ah dari sisi keakuratan sanad, kebenaran tata bahasa Arab dan kesesuaian dengan rasm utsmani.

 

  1. Pendapat kedua, yang tergolong syadz adalah selain qira’ah sab’ah (bacaan riwayat tujuh imam). Versi ini disampaikan oleh kalangan ahli ushul, dan sekelompok ahli fiqh, termasuk Imam An-Nawawi. Menurut pendapat ini, haram hukumnya membaca dengan qiraah tiga imam, Imam Ya’qub, Abi Ja’far dan Imam Khalaf.

 

FUNGSI HUJJAH QIRA’AH SYADZ

 

Mengenai kehujjahan qira’ah syadz, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat Ashah menyatakan, eksistensi qira’ah syadz sejajar dan diberlakukan sama dengan khabar ahad. Karena qira’ah syadz dinukil dari Nabi SAW, sedangkan ditiadakannya status khusus sebagai Al-Qur’an, tidak serta merta meniadakan status umummnya sebagai sebuah khabar. Contoh, ‘ ’ yang terdapat dalam rangkaian ayat;

 

Banyak ulama fiqh madzhab Syafi’i menggunakan qira’ah syadz di atas untuk menctapkan hukum potong tangan kanan bagi pencuri’.

 

  1. Pendapat kedua didukung sebagian Ashhab As-Syafi’l, tidak bisa dijadikan hujjah. Karena gira’ah syadz dinukil dari Nabi SAW sebagai Al-Qur’an, padahal status ke-qur’an-annya belum dipastikan sebab tidak diriwayatkan secara mutawatir. Sehingga manakala status ke-qur’an-annya belum dipastikan, maka status ke-khabar-annya juga belum bisa dipastikan’.

 

Dan menurut pendapat Ashah, tidak boleh (secara akal) adanya lafadz yang tidak bermakna dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Juga tidak boleh (secara akal) adanya lafadz yang dikehendaki selain makna dhahir-nya kecuali dengan dalil.

 

LAFADZ TANPA MAKNA DALAM AL-QUR’AN

 

Menurut pendaapat Ashah, tidak diperbolehkan dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah terdapat lafadz yang tidak mempunyai makna. Karena hal tersebut akan dianggap layaknya mengigau. Hal ini tidak patut terjadi pada manusia berakal, apalagi pada Allah SWT dan Rasul-Nya.

 

Secara berseberangan golongan Hasyawiyah memperbolehkan hal tersebut terjadi. Seperti yang terdapat pada beberapa permulaan surat, seperti  dan  . Sedangkan As-Sunnah disamakan dengan Al-Qur’an. Pendapat ini disangkal, bahwa huruf-huruf tersebut sebenarnya mempunyai sebuah makna, termasuk di antaranya sebagai nama bagi sebuah surat.

 

Imam Al-‘Iraqi berkomentar, perbedaan pendapat di atas terjadi pada lafadz-lafadz yang memiliki makna, hanya saja akal pikiran kita tidak mampu memahaminya, seperti yang terdapat pada beberapa awal surat, Sedangkan lafadz-lafadz yang tidak memiliki makna sama sekali, ulama sepakat tidak memperbolehkannya.

 

Selanjutnya, menurut mayoritas ulama, dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah boleh dikatakan, “Kalimat ini zyadah”, seperti kalimat   dalam ayat;

 

“dan jika anak ttu semuanya perempuan dua (atau lebih), maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”

 

Hal tersebut diperbolehkan manakala berpijak pada definisi qaidah, bahwa gaidah adalah sebuah perkara dimana tanpa keberadaannya, kalam tidak menjadi cacat (berubah). Bukan dengan definisi, sebuah perkara yang sama sekali tidak memiliki makna.

 

KEBERADAAN MAKNA SELAIN DHAHIR

 

Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak diperbolehkan terdapat lafadz yang dikehendaki selain makna dbahir-nya tanpa adanya dalil yang memperjelas maksudnya, dalam arti dalil yang memalingkan lafadz dari makna dhahirnya, baik disertai penentuan maksud maknanya, sebagaimana madzhab ulama khalaf, atau tidak, sebagaimana madzhab salaf. Seperti lafadz ‘am (umum) yang ditakhsish dengan dalil lain yang turun sesudahnya.

 

Pendapat berbeda disampaikan kelompok Murji’ah, mereka memperbolehkan hal tersebut terjadi tanpa dalil. Mereka mengatakan, maksud ayat dan hadits yang secara dhahir menjelaskan siksaan bagi mukmin pelaku maksiat adalah menakut-nakuti saja. Hal ini dipengaruhi akidah mereka, bahwa perbuatan maksiat tidak mempengaruhi seseorang, manakala disertai keimanan, sebagaimana ketaatan tidak mempengaruhi seseorang manakala disertai kekufuran.”

 

Dan menurut pendapat Ashah, tidak ada lafadz mujmal yang dituntut untuk diamalkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, belum dijelaskan. Serta (menurut pendapat Ashah), dalil-dalil  naqli terkadang menyimpulkan keyakinan sebab terkumpulnya unsur lain.

 

KEBERADAAN MUJMAL TANPA BAYAN

 

Ulama berselisih pendapat, menyenat keberadaan mujmal yang belum diperjelas maksudinya dalam Al-Qur’an dan As Sunnah. Dalam arti, makna yang dikehcndaki masith belum jelas sampat wafatnya Rasulullah SAW.

 

  1. Pendapat Ashah, tidak terdapat ayat mujmal yang dituntut untuk mengamalkannya, belum diperjelas atau masih dalam keadaan mujmal hingga wafatnya Nabi SAW. Karena penjelasan tersebut dibutuhkan agar tidak berimplikasi terjadinya sebuah tuntutan atas sesuatu di luar batas kemampuan.

 

  1. Pendapat kedua, tidak terdapat ayat mujmwal yang belum diperjelas maksudnya secara mutlak. Karena Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam sebelum wafatnya Rasulullah SAW, sebagaimana QS. Al-Maidah : 03;

 

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukwmu agamamu”

 

  1. Pendapat ketiga, terdapat ayat mujmal yang bellum diperjelas maksudnya. Berdalil QS. Ali Imran : 07;

 

“Dan tidaklah mengetabui ta’wilnya (ayat mutasyabihat) selain Allah”

 

Dikarenakan waqaf pada ayat ini terletak pada , sebagaimana pendapat Jumhur. Hal ini berlaku juga pada As-Sunnah, karena tidak ada pendapat yang membedakan keduanya.”

 

DALIL NAQLI TERKADANG BERFAIDAH YAKIN

 

Ulama berselisih pendapat mengenai kekuatan dalil naqli dalam menghasilkan sebuah keyakinan.

 

  1. Pendapat Ashah, menghasilkan keyakinan apabila dalil-dalil tersebut ditopang faktor lain, seperti faktor kemutawatiran atau qarinah haliyah (bukti empiris), seperti musyahadah (menyaksikan langsung). Seperti dalil-dalil tentang kewajiban shalat, dimana para sahabat memahami makna yang dikehendaki dari dalil tersebut melalui garinah musyahadah (bukti yang didasari penyaksian langsung) terhadap perbuatan shalat yang dilakukan Rasulullah SAW, yang mana obeliau selalu melakukannya baik dalam keadaan sehat atau sakit, ditambah adanya anjuran-anjuran langsung dari Beliau untuk melaksanakannya.

 

Sedangkan kita mendapatkan keyakinan atas dalil wajibnya shalat berdasarkan penukilan qarinah-qarinah tersebut kepada kita secara mutawattr.

 

  1. Pendapat kedua, secara mutlak menghasilkan keyakinan. Diriwayatkan Imam Al-Amidi dari golongan Hasyawiyah

 

  1. Pendapat ketiga, secara mutlak tidak menghasilkan keyakinan. Karena tidak diyakininya maksud dari dalil tersebut.

 

MANTHUQ DAN MAFHUM

 

Manthuq ialah makna yang ditunjukkan oleh sebuah lafadz, dalam wilayah pengucapannya. Apabila lafadz tersebut menghasilkan sebuah makna yang tidak mungkin mengarah pada makna lain, seperti lafadz Zad, maka disebut nash. Atau menghasilkan makna yang mungkin mengarah pada makna lain yang diungguli, seperti lafadz  (yang di artikan hewan buas) maka disebut dhahir.

 

DEFINISI MANTAUQ

 

Suatu lafadz manakala ditinjau penunjukkannya atas sebuah makna terbagi dua macam, manthuq dan mafhum.

 

Manthuq adalah sebuah makna yang ditunjukkan suatu lafadz dalam wilayah pengucapannya. Baik berupa hukum, seperti haramnya berkata kasar pada orang tua yang ditunjukkan oleh ayat;

 

“Janganlah kamu berkata hasar ‘pada kedua orang tua”

 

Makna berupa hukum haram berkata kasar pada orang tua ditunjukkan oleh pengucapan lafadz dari ayat tersebut. Atau berupa selain hukum, seperti makna seseorang yang bernama Zaid yang ditunjukkan dari kalimat  (Zaid telah datang).

 

NASH DAN DHAHIR

 

Manthuq diklasifikasikan menjadi dua macam :

 

  1. Nash, yakni manakala menghasilkan makna yang tidak terbuka kemungkinan diarahkan pada makna lain. Contoh, lafadz “Zaid’ dalam kalimat (Zaid telah datang). Makna yang dihasilkan dari contoh ini adalah sosok tertentu, tanpa ada kemungkinan diarahkan pada makna lain.

 

  1. Dhohir, yakni manakala menghasilkan makna yang terbuka kemungkinan diarahkan pada makna lain yang marjuh (lemah) sebagai pengganti makna pertama. Contoh (hari ini saya melihat harimau). Lafadz memiliki makna hewan buas, namun berpeluang diarahkan pada makna lelaki pemberani, dimana makna ini marjuh karena termasuk makna majaz.

 

Sedangkan manakala menghasilkan makna yang terbuka kemungkinan diarahkan pada makna lain yang setara (musaui), seperti kata   mungkin dimaknai hitam dan putih secara setara, maka disebut dengan mujmal.

 

Selanjutnya, lafadz jika bagian juznya menunjukkan makna juz dari maknanya lafadz, dinamakan murakkab, dan jika sebaliknya maka dinamakan mufrad.

 

MURAKKAB DAN MUFRAD

 

Ditinjau dari sudut pandang berbeda, lafadz terbagi juga menjadi murakkab dan mufrad.

 

  1. Murakkab, yaitu sebuah lafadz yang jug atau per bagian dari lafadz tersebut menunjukan pada per bagian dari makna utuhnya. Contoh, kalimat (Budak milik Zaid), dimana juz penyusun lafadz ini, yakni dan  masing-masing menunjukan per bagian dari makna utuhnya,  artinya budak dan  artinya Zaid. Dalam hal ini meliputi tarkib idha’, sebagaimana contoh di atas, sarkib isnadi, contoh   (Zaid berdiri), atau tarkib taqyidi, contoh  (Hewan yang mampu berpikir).

 

  1. Murad, yaitu sebuah lafadz yang juz atau per bagian dari lafadz tersebut tidak menunjukan pada per bagian dari makna utuhnya.

 

Gambaran lafadz mufrad ada tiga variasi.

 

  1. Lafadz yang tidak memiliki juz (penyusun), seperti hamzah istifham.

 

  1. Lafadz yang memiliki juz (penyusun), namun tidak menunjukan makna. Contoh, lafadz yang tersusun dari huruf za’, ya’, dan dal, dimana masing-masing tidak menunjukkan makna.

 

  1. Lafadz yang memiliki juz (penyusun) dan menunjukkan makna, namun bukan per bagian dari makna utuhnya. Contoh, nama seseorang (Abdullah), dengan penyusun berupa lafadz dan , hanya saja makna yang ditunjukkan oleh penyusun tersebut bukan per bagian dari makna utuhnya.

 

Menunjukkanya lafadz pada arti yang selaras dengan lafadz, dinamakan muthabaqah. Dan jika menunjukkan pada sebagian dari makna lafadz, maka ‘dinamakan tadhammun. Serta apabila menunjukkan pada kelaziman makna lafadz sebangsa hati, maka disebut iltizam. Dua dalalah pertama (muthabaqah dan tadhammun) terkategori sebagai dalalah lafdziyyah. Sedangkan yang terakhir (dalalah iltizam) bersifat ‘aqliyah.

 

Kemudian bagian terakhir (dipilah), apabila kebenaran atau keabsahan maknanya tergantun ada penyimpanan lafadz, maka dinamakan dadalah iqtidho’ ‘Dan jika tidak, maka apabila menunjukkan pada arti yang tidak dikehendaki maka disebut dengan dalalah lsh tsyarah. Jika tidak, maka disebut dalalah ima’.

 

DALALAH MUTHABAQAH TADHAMMUN DAN ILTIZAM

 

Dalalah (Indikator) menurut definisi ulama ushul adalah makna baru pada suatu perkara yang dihasilkan dari penyamaan pada perkara lain. Dalam arti, eksistensi sebuah perkara dimana dengan memahaminya akan memunculkan pemahaman atas perkara lain. Terbagi dua macam, lafdziyyah dan ghairu lafdziyyah.

 

Datalah lafdziyyah diklasifikasikan menjadi tiga macam :

 

  1. ‘Aqliyah, yaitu lafadz yang menjadi petunjuk (dalalah) dengan perantaraan analisa akal terhadap lafadz tersebut. Contoh, keberadaan lafadz menunjukkan (mengindikasikan) hidupnya orang yang melafadzkannya.

 

  1. Thabi’iyyah (‘Adat), yaitu lafadz yang menjadi petunjuk (dalalah) dengan perantaraan sifat alami (pembawaan) yang biasa terjadi dari lafadz tersebut. Contoh, suara batuk mengindikasikan adanya sakit dada (paru-paru).

 

  1. Wadhiyyah, yaitu lafadz yang menjadi petunjuk (dalalah) dengan perantaraan ketetapan istilah (kesepakatan manusia) yang telah ada sebelumnya terhadap lafadz tersebut. Bagian inilah yang akan dibahas dalam bab ini. Contoh, (Kata ‘harimau’ menunjukkan pada spesies hewan buas).

 

Dalam hal ini, dalalah lafdziyah wadh’iyyah dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :

 

  1. Muthabaqah (dalil kata cocok), yaitu dalalah lafadz (indikator kata) terhadap keseluruhan makna yang ditetapkan untuk kata tersebut, Contoh, (Ungkapan ‘manusia’ menunjukkan pada spesies hewan yang berakal)

 

  1. Tadhammun (dalil kandungan), yaitu dalalah lafadz atau (indikator kata) terhadap sebagian dari makna lengkap yang terkandung pada kata tersebut.

 

Contoh,  (Ungkapan ‘manusia’ yang menunjukkan bahwa dia adalah spesies hewan atau menunjukkan dia berakal).

 

  1. Iltizamiyyah (dalil kata kelaziman), yaitu dalalah lafadz (indikator kata) terhadap sesuatu yang berada di keluar kandungan makna yang telah ditetapkan pada kata tersebut. Akan tetapi masih merupakan hal yang lazim (berkaitan erat) secara dzihni (analisa hati) dengan kandungan makna dari kata tersebut.

 

Contoh,  (Ungkapan ‘manusia’ yang menunjukkan bahwa dia dapat menerima ilmu pengetahuan).

 

Kemudian manthuq dari sudut pandang kejclasan maknanya terklasifikasi menjadi dua” ;

 

  1. Manthuq sharih, yaita makna yang ada peletakan lafadznya. Penunjukan manthuq model ini adalah dengan dalalah muthabaqah atau tadhammun.

 

  1. Manthuq ghairu sharih, yaita makna yang tidak ada peletakan lafadznya, mamun menjadi kelaziman dari peletakan lafadznya. Penunjukan manthuq model ini adalah dengan dalalah iltizamiyah. Selanjutnya terklasifikasi menjadi tiga.

 

  1. a) Dalalah iqtidha’, yakni manakala kebenaran manthuq atau keabsahannya secara akal atau syara’ tergantung dengan adanya pengira-ngiraan.

 

Contoh 01 (kebenaran manthuq tergantung dengan adanya pengira-ngiraan), adalah hadits Nabi SAW :

 

“dibebaskan dari umatku siksaan yang timbul dari kesalahan dan kelalaian”

 

Dari hadits di atas mengira-ngirakan lafadz  . (siksaan) karena tanpa adanya lafadz tersebut manthuq tidak dapat dibenarkan, karena kenyataannya kesalahan dan kelalaian ada di tengah umat.

 

Contoh 02 (keabsahan manthuq secara akal tergantung dengan adanya pengira-ngiraan) adalah QS. Yusuf : 82:

 

 “Bertanyalah pada (penduduk) desa”

 

Dalam contoh ini, dikira-kirakan lafadz  (penduduk), karena lafadz  memiliki makna sekumpulan bangunan yang secara akal tidak mungkin untuk ditanyai.

 

Contoh 03 (keabsahan manthuq secara syara’ tergantung dengan adanya pengira-ngiraan), adalah ucapan seseorang pada pemilik budak :

 

‘Merdekakan hambamu dari dirikn”

 

Maka, pemerdekaan tersebut dihukumi sah bagi orang tersebut dengan mengira-ngirakan terjadinya perpindahan kepemilikan terlebih dahulu dari pemilik budak. Karena secara syara’, keabsahan pemerdekaan tergantung pada adanya kepemilikan. Sehingga dalam hal ini dikira-kirakan adanya kepemilikan melalui pembelian sebelum kalimat di atas terucap”.

 

  1. b) Dalalah ima’, disebut juga Tanbih, yaita manakala kebenaran atau keabsahan manthuq tidak tergantung pada pengira-ngiraan dan lafadz menunjukkan pada makna yang dimaksud secara dzatiyah. Imam Wahbah Az-Zuhaili menjabarkan, bahwa mutakalim dalam mengungkapkan kalimat dibarengi indikasi sebuah ‘illat atas hukum. Seperti memerintahkan memerdekakan budak ketika jimak, dalam hal ini menunjukkan bahwa jimak merupakan ‘ilat dari memerdekakan budak.

 

  1. c) Dalalah isyarah, yaita manakala kebenaran atau keabsahan manthuq tidak tergantung pada pengira-ngiraan dan lafadz menunjukkan pada makna yang tidak dimaksud secara dzatiyah. Sebagaimana firman Allah SWT : ,

 

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bereampur dengan isteri-isteri kamu”

 

Ayat ini memiliki dalalah isyarah manakala menunjukkan hukum sah puasanya seseorang yang tatkala masuk waktu subuh masih dalam keadaan junub. Karena makna ini adalah kelaziman dari makna yang dimaksud berupa hukum halal menggauli istri di malam bulan puasa yang juga mencakup bagian terakhir dari malam.

 

Dalalah muthabaqah dan dalalah tadhammun menurut pengarang termasuk petunjuk yang berkaitan dengan lafadz. Dikarenakan dalalah (petunjuk) murni muncul dari dzatiyyah-nya lafadz tersecbut dengan tanpa mengalami perubahan, sedangkan perubahan yang terjadi pada dalalah tersebut bukan muncul dari dzatiyah-nya lafadz, akan tetapi dari sisi penisbatan (yakni jika dalalah tersebut dinisbatkan pada semua juz-juznya lafadz dinamakan dalalah muthabaqah. Dan jika dalalah tersebut dinisbatkan pada salah satu dari juz-juznya arti sebuah lafadz maka dinamakan dalalah tadhammun). Sedangkan dalalah iltizam merupakan dalalah yang berkaitan dengan akal, dikarenakan ketergantungan akal atas perpindahan hati dari makna lafadz menuju kelaziman dari makna lafadz tersebut, Hanya saja menurut pengarang Jam’u Al-Jawami’, dalalah tadhammun termasuk dalalah yang berkaitan dengan akal, karena adanya ketergantungan akal atas perpindahan hati dari makna lafadz menuju juz maknanya.

 

Menurut pakar ilmu Manthiq, dalalah muthabaqah, tadhammun dan iltizam, merupakan dalalah lafdziyah (petunjuk yang berkaitan dengan latadz). Faktor khilafiyyah tersebut menurut Imam Qarrafi dalam karyanya yang berjudul Syarh al-Mahshul, karena perbedaan dalam mengarukan ungkapan (wadh’iyyah). Sebagian ulama mengartikan , dengan dalalah (petunjuk) yang dihasilkan oleh sebuah arti, tanpa adanya sebuah perantara. Sehingga, yang masuk dalam cakupan dalalah lafdziyyah hanyalah dalalah muthabagah. Sebagian ulama lain mengartikan dengan dalalah yang dihasilkan oleh arti lafadz, walaupun dengan sebuah perantara. Sehingga ketiganya (dalalah muthabagah, tadhammun dan itizam) masuk dalam cakupan dalalah lafdziyyah

 

Mafhum adalah sebuah makna yang ditunjukkan oleh lafadz dan tidak terdapat dalam wilayah Pengucapannya. Apabila hukum mafhum selaras dengan manthuq-nya, maka disebut mafhum muafagah, meskipun mafhum menyamai manthuq, menurut pendapat Ashah. Kemudian disebut fahwa al-khithab, manakala melebihi kapasitas hukum manthuq-nya. Dan disebut lahn al-khithab, jika menyamai hukum manthuq-nya. Kemudian dalalah (mafbum) muwafaqah adalah bersifat pemahaman lafadz, menurut versi Ashah.

 

DEFINISI MAFHUM 

 

Mafhum adalah sebuah makna yang ditunjukkan suatu lafadz tidak dalam wilayah pengucapannya. Makna tersebut berbentuk hukum sekaligus mahal (penyandang) dari hukum tersebut (mahal al-hukm). Contoh, dari ayat;

 

“Janganlah kamu berkata kasar pada kedua orang tua”

 

Hukum yang dipahami (mafhum) dari ayat ini adalah haram, sedangkan penyandang hukumnya adalah memukul dan lain-lain. Contoh lain, dari ayat :

 

“Sesungeuhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dholim. Maka sesunggubnya mereka itu akan memakan api dalam perut mereka dan mereka akan masuk neraka Sa’ir’.

 

Hukum yang dipahami (mafhum) adalah haram, sedangkan penyandangnya adalah membakar harta anak yatim.

 

MAFHUM MUWAFAQAH DAN PEMBAGIANNYA

 

Mafhum terbagi menjadi dua macam, muwafaqah dan mukhalafah.

 

1, Mafhum muwafaqah, ialah makna mafhum yang selaras dengan manthuq dari sisi hukumnya. Contoh, membakar harta anak yatim dengan manthuq berupa memakan harta anak yatim, dimana keduanya selaras karena memiliki substansi persoalan yang sama, yakni adanya staf (merusak harta).

 

Mafhum muwafaqah terbagi menjadi dua macam :

 

  1. Fahwa al-Khithab, yaitu mafhum yang kapasitasrya lebih besar dibanding makna manthuq-nya. Contoh, mafbum berupa haramnya memukul orang tua, dengan manthuq berupa berkata kasar pada orang tua dalam QS. Al-Isra’ : 23 di atas. Dalam hal ini mafhum, yakni memukul tingkatannya lebih berat dibandingkan berkata kasar dilihat dari aspek menyakitinya.

 

  1. Lahn al-Khithab, yaitu mafhum yang kapasitasnya menyamai manthuq. Contoh, membakar harta anak yatim yang difahami dari manthuq berupa ‘memakan harta anak yatim’ dalam QS. An-Nisa : 10 di atas. Dilihat dari aspek perusakannya, kedua hal ini setara. Menurut sebagian pendapat, mafhum yang kapasitasnya menyamai manthuq tidak disebut mafhum muwaaqah, meskipun sama-sama dijadikan hujjah.

 

  1. Mafhum mukhalafah, dimana definisi dan penjelasannya akan dipaparkan setelah pembahasan ini.

 

KARAKTERISTIK DALALAH MUWAFAQAH

 

Mengenai karakteristik dalalah yang disebut dengan muwafaqah, sebenarnya ulama tidak semuanya sependapat bahwa hal tersebut tergolong mafhum. Berikut silang pendapat yang terjadi.

 

  1. Mayoritas ulama, termasuk Hanafiyah, sebagai pendapat Ashah, menyatakan dalalah muwaagah bereorak mafhum, bukan manthuq atau qyas. Artinya, dengan cara memahami dari redaksi lafadz, bukan pada wilayah pengucapannya (mahal an-nuthqi).

 

  1. Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah mengatakan, dalalah muwafaqah bereorak qiyas jali, baik berbentuk awlawi, atau musani. Karena definisi qiyas cocok diterapkan dalam contoh-contohnya. Semisal, ‘illat dalam contoh pertama (QS. Al-Isra’ : 23) di atas ida’ (menyakiti) dan dalam contoh kedua (QS. An-Nisa : 10) di atas adalah itlaf (merusak). Pendapat ini didukung Imam Haramain dan Ar-Razi.

 

  1. Sebagian ulama berpendapat, dalalah muwafaqah bereorak lafdzi, karena bisa difaham dari lafadznya tanpa menggunakan qiyas. Hanya saja menurut Imam Al-Ghazali dan Al-Amidi, dalalah tersebut bisa difahami tidak bisa hanya dari aspek lafadznya, namun membutuhkan aspek siyaglq al-kalam (konteks pembicaraan) dan beberapa indikator (al-qara’in). Semisal, larangan memukul orang tua tidak dapat difahami dari larangan berkata kasar dalam QS. Al-Isra’ ayat 23 kecuali memandang faktor bahwa konteks ayat tersebut berbicara mengenai anjuran memulyakan dan menghormati orang tua. Karena seseorang dianggap sah mengatakan, “‘Jangan kamu berkata kasar pada Fulan, tapi pukal saja dia’. Larangan membakar harta anak yatim tdak mungkin difahami dari larangan memakan harta anak yatim dalam QS. An-Nisa ayat 10 kecuali memandang faktor bahwa konteks ayat tersebut berbicara mengenai anjuran menjaga dan merawat harta anak yatim.

 

Karena seseorang bisa jadi bersumpah, “Demi Allah SWT, aku tidak memakan harta orang lain”, kemudian dia membakarnya, maka dia dinyatakan tidak melanggar sumpahnya.

 

Berpijak dari pendapat kedua ini, ulama kembali berselisth mengenai bagaimanakah sifat dari dalalah yang bereorak lafdzi.

 

  1. a) Pendapat pertama, bersifat maaz, dengan menggunakan pola hubungan (‘alaqah) berupa ithlaq al-akhas ‘ala al-a’am (menyebutkan lafadz khusus, menghendaki makna umum). Sehingga dalam contoh pertama (QS. Al-Isra’ : 23) di atas, disebutkan larangan berkata kasar pada orang tua, namun yang dikehendaki adalah larangan menyakiti orang tua. Dan dalam contoh kedua (QS. An-Nisa : 10) di atas, disebutkan larangan memakan harta anak yatim, namun yang dikehendaki larangan merusak harta anak yatim.

 

  1. b) Pendapat kedua, bersifat hakikat ‘urfi dengan jalan naql (memindah) lafadz menuju makna yang lebih umum secara ‘urf, sebagai ganti dari makna khusus yang ditunjukkan secara lughat.

 

Catatan: dalalah muwafaqah menurut pendapat ketiga ini bukan tergolong manthuq, meskipun menurut versi yang menyatakan majaz membutuhkan garinah.

 

Dan jika hukum mafhum tidak sesuai dengan hukum manthuq maka disebut mafhum mukhalafah. syarat mafhum mukhalafah yaitu penyebutan manthuq secara khusus tidak memunculkan faidah baru, selain menafikan hukum dari al-maskut Seperti halnya lafad  yang tersebut didatangkan karena sebuah keumuman, menurut pendapat Ashah. Atau karena khawatir ada salah sangka, atau menyesuaikan realitas, atau sebagai jawaban pertanyaan, atau menjelaskan sebuah kasus baru, atau sebab ketidaktahuan atas hukum manthuq, atau sebaliknya (ketidaktahuan atas hukum maskut).

 

DEFINISU MAFHUM MUKHALAFAH

 

Mafhum mukhalafah adalah makna mafhum yang tidak selaras dengan manthuq dari sisi hukumnya. Mafhum mukhala ah disebut juga dengan  . Contoh:

 

“Kemudian ska suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia nikah dengan suami yang lain”.

 

Ayat ini menunjukkan, larangan menikahi mantan istri yang telah tertalak tiga kali dibatasi sampai istri tersebut menikah dengan laki-laki lain. Secara mafhum mukhalaah, boleh bagi suami pertama menikahinya kembali setelah mantan istri menikah dengan orang lain kemudian disetubuhi dan dicerai.

 

SYARAT-SYARAT MAFHUM MUKHALAFAH

 

Untuk merealisasikan keberadaan mafhum mukhalafah, ulama menetapkan beberapa persyaratan bahwa penycbutan manthuq secara khusus tidak memunculkan faidah baru, selain menafikan hukum dari al-maskut. Sehingga apabila muncul faidah baru sebagaimana yang telah disebutkan dalam contoh-contoh di atas, maka mafhum mukhalafah tidak bisa diamalkan.

 

Faidah-faidah tersebut di antaranya;

 

  1. Lafadz manthuq diucapkan bukan karena sebuah keumuman (al-ghalib). Contoh :

 

‘Dan anak-anak. tirt perempuan (dart) istrimu yang dalam pemeliharaanimu dari istri yang telah engkau qauli”’

 

Ayat ini secara manthuq memberi petunjuk haramnya menikahi anak tiri perempuan yang berada di dalam naungan suami dari istri yang telah digaulinya. Sedangkan apabila diambil mafhum mukhalafah, maka akan didapatkan pemahaman bolehnya menikahi anak tiri perempuan yang tidak berada dalam naungan suami dari istri yang telah digaulinya. Namun pengambilan mafhum mukhalaah ini tidak dibenarkan, sebab penyebutan lafadz   (berada dalam naungan suami) hanya memandang keumuman saja, dalam arti pada umumnya anak perempuan tiri dipelihara oleh bapak tirinya. Syarat ini mengikuti pendapat Ashah. Pendapat lain, dari Imam Haramain, persyaratan ini tidak diperlukan.

 

  1. Keberadaan al-maskut (perkara yang tidak disebutkan) tdak ditinggalkan karena faktor khawatir ada persangkaan buruk. Contoh, ucapan seseorang yang baru masuk Islam kepada budaknya di depan kaum muslimin; “Sedekahlah harta ini kepada orang-orang islam!’’. Padahal dia menghendaki juga kepada selain orang-orang Islam. Namun dia meniadakan ucapan, “‘dan kepada selain orang-orang Islam’’ karena adanya kekhawatiran dituduh munafik manakala dia mengucapkannya.

 

  1. Didatangkannya manthuq bukan karena menyesuaikan suatu realitas (al-waqi’). Contoh :

 

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi kekasih dengan meninggalkan orang-orang mukmin”

 

Secara manthuq menunjukkan makna bahwa orang-orang mukmin tidak diperbolehkan mengambil orang-orang kafir menjadi kekasih, dengan tanpa memperdulikan orang mukmin yang lain. Dan secara mafhum mukhalaah, menunjukkan bahwa bagi orang mukmin boleh mengambil orang-orang kafir menjadi kekasih, jika dia memperdulikan orang mukmin yang lain. Mafhum mukhalafah tersebut tidak terpakai karena penyebutan mwanthuq menyesuaikan realitas yang terjadi pada saat turunnya ayat. Dimana konteks turunnya ayat tersebut, sebagaimana komentar Imam Al-Wahidi dan yang lain, adalah tentang sekelompok muslim yang mengikat tali kasih dengan orang Yahudi, tanpa memperdulikan kaum mukmin yang seagama.

 

  1. Lafadz manthuq didatangkan bukan sebagai jawaban dari pertanyaan tentang manthuq. Contoh, seumpama Rasulullah SAW ditanyai,

 

“Apakah pada kambing yang dipembala ada kewajiban zakat?”, Kemudian Rasul SAW menjawab, “Dalam kambing yang digembalakan terdapat kewajiban zakat”. Maka manthuq dari jawaban ini tidak bisa diambil mafhum mukhala ah-nya.

 

  1. Lafadz manthuq didatangkan bukan karena menjelaskan sebuah hukum baru yang terkait dengan manthuq. Contoh, seandainya dikatakan dj hadapan Rasulullah SAW, “Zaid memiliki kambing yang digembala”, Kemudian Rasul SAW betsabda, “Dalam kambing yang digembalakan terdapat kewajiban zakat”. Maka manthuq dari sabda tersebut tidak bisa diambil mafhum mukhala ab-nya.

 

  1. Lafadz manthuq didatangkan bukan karena tidak mengetahui hukum manthuq, namun mengetahui hukum al-maskut. Atau kebalikannya, tidak mengetahutihukum al-maskut, namun mengetahui hukum manthuq. Contoh, seandainya Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kambing yang digembalakan terdapat kewajiban zakat”, dimana sabda ini ditujukan pada seseorang yang tidak mengetahui hukum kambing yang digembalakan, namun mengetahui hukum kambing yang diberi makan, atau sebaliknya. Maka manthuq dari sabda tersebut tidak bisa diambil mafhum mukhalafah-nya”

 

Tidak terlarang mengqiyaskan maskut pada manthuq. Dan lafad yang dibatasi (al-ma’rudhi) tidak berlaku umum (mencangkup) pada maskut. Pendapat lain, berlaku umum (mencangkup) pada maskut.

 

MENG-QIYAS-KAN MASKUT PADA MANTHUQ

 

Faktor-faktor yang menghalangi terwujudnya mafhum mukhala ah di atas, keberadaannya tidak mencegah penyamaan hukum maskut pada manthuq dengan sistem qiyas, selama memenuhi persyaratan dalam qiyas, berupa adanya ‘‘illat yang mempertemukan keduanya.

 

Kaidah di atas berpijak dari pendapat yang diklaim sebagai ijma’, bahwa ma’radh (afadz yang dibatasi sifat atau hal lain) tidak bersifat ‘am (umum) atau udak mencakup pada maskut yang memiliki ‘‘illat Hal ini dikarenakan keberadaan ‘and) (pembatas berupa sifat atau hal lain) di dalam lafadznya. Sehingga hukum maskut hanya dapat disamakan pada manthuq dengan cara qias,

 

Pendapat lain, ma’rudh bersifat am (umum) atau mencakup pada maskut yang memiliki ‘illat, Karena’ keberadaan ‘aridh manakala dinisbatkan pada wmaskut dianppap seolah olahtidak disebutkan. Konsekucnsi dari pendapat ini adalah tidak diperbolehkannya qiyas, karena dengan tereakupnya maskut ke dalam hukum manthuq, maka qiyas menjadi tidak dibutuhkan.

 

Catatan : Yang dikehendaki dengan marndh adalah manthuq yang telah di-qayyid-i (dibatasi) dengan sifat atau hal-hal lain. Sedangkan yang disebut ‘aridh adalah qayyid (pembatas) berupa sifat atau vang lain. Contoh;

 

“Dan anak-anak tiri perempuan (dari) tstrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah engkau qauli”

 

dalam ayat ini yang disebut ma’rudh adalah  (anak-anak dari istrimu), dan yang disebut ‘aridh adalah  (yang dalam pemeliharaanmu).

 

Mafhum mukhala ah adalah sifat, seperti lafadz  (kambing yang digembala), atau  (kambing gembalaan), Dan seperti (yang digembala), menurut pendapat Ashah. Perkara yang ditiadakan dalam dua  contoh pertama (  dan lafadz  )  adalah kambing yang diberi makan, menurut  pendapat terpilih, dan dalam contoh ketiga adalah ternak yang diberi makan.

 

Termasuk dalam sifat adalah ‘‘illat, dharaf, hal, Syarat, juga ghayah, mendahulukan ma’mul pada umumnya, dan dengan samzah terbaca kasrah, memiliki faidah meringkas, menurut pendapat Ashah.

 

Kemudian dhamir fashl, dan  bersama  istitsna’. Yang terakhir ini ( bersama ) adalah derajat paling tinggi dari beberapa macam mafhum mukhalafah, kemudian lafadz yang menurut satu pendapat terkategort manthuq bih al-isyarah, seperti ghayah. Kemudian , syarat, shifat lain yang munasibah, shifat ghairu munasibah, Donnell ‘adad, dan mendahulukan ma’mul

 

MAFHUM SHIFAT MACAM DAN PERINGKATNYA

 

Mafhum mukhalafah dalam konteks sebagai obyek hukum (muhal al-hukm) memiliki beberapa varian, di antaranya;

 

  1. Mafhum sifat, yaitu sebuah lafadz yang membatasi lafadz lain, yang bukan berupa syarat, istitsna, atau ghayah. Pengertian ini mengacu pada statemen Imam Haramain dan ulama lain, dimana maksud séfar di sini bukan hanya za’at, namun mereka memasukkan ‘dad dan adharaf. Contoh, lafadz   dalam   (dalam Rambing yang digembala ada kewajiban zakat) atau dalam   (dalam yang digembala dari kambing ada kewajiban zakat) dengan cara lafadz   didahulukan, kemudian di-wudhafkan pada maushuf-nya. Kedua contoh ini diriwayatkan dalam hadits, dan dari sisi maknanya, tereantum dalam HR. Bukhari,

 

“Dalam permasalahan zakat kambing, bahwa dalam Lembalaan kambing apabila mencapai empat puluh Sanpat seratus dua puluh, wajib dikeluarkan satu Rambing”

 

Menurut pendapat Ashah, dari Jumhur Ashhab As-Syafi’i, bahwa lafadz   tersebut tergolong sifat yang dapat diambil wafhum mukhalafah-nya. Karena lafadz ini menunjukkan makna as-saum (menggembala) yang menjadi tambahan dari sekedar makna dai. Jelas berbeda dengan laqab yang hanya menunjukkan makna dzat saja. Jumhur menyatakan, isim musytaq (kata benda yang memiliki akar kata), seperti al-muslim, al-qatil, al-warits, diberlakukan seperti lafadz yang dibatasi dengan sifat. Pendapat kedua, lafadz   dalam  (dalam ternak yang digembala ada kewajiban zakat)   dengan tanpa menyebutkan waushuf (perkara yang disifati) bukanlah tergolong sifat yang dapat diambil mwafhum mukhalafah-nya. Karena sebuah kalam akan menjadi cacat tanpa adanya lafadz tersebut, sebagaimana dalam laqab.

 

Selanjutnya silang pendapat terjadi dalam menentukan perkara yang dinafikan sebagai obyek zakat dari tiga contoh di atas, yaitu;

 

  1. (kambing yang digembala)
  2. (yang digembala dari kambing)
  3. (ternak yang digembala)

 

Pendapat terpilih, diunggulkan oleh Imam .Ar-Razi dan ulama lain, bahwa yang dinafikan dari contoh satu dan dua adalah kambing yang diberi makan (ma’luf al-ghanam) Hal ini dimunculkan dari pemahaman as-sanm yang di-mudhaf-kan pada latadz al-ghanam. Dan yang dinafikan dari contoh ketiga adalah ternak vang diberi makan (ma‘lufah an-na‘am). Dimunculkan dari pemahaman as-sanm saja tanpa di-mudhaf-kan pada al-ghanam.

 

Pendapat kedua, yang dinafikan dari contoh satu dan dua adalah ternak (kambing dan selain kambing) yang diberi makan (ma’lufah an-na’am).

 

Pendapat ketiga, disampaikan pengarang dalam Man’u Al-Mawani’, bahwa yang dinafikan dari contoh satu adalah kambing yang diberi makan (ma’lufah al-ghanam), dan yang dinafikan dari contoh dua adalah ternak yang digembala selain kambing (satmah ghira alghanam).

 

MACAM-MACAM MAFHUM SHIFAT

Beberapa model di bawah ini termasuk bagian dari mafhum sifat, yakni;

 

  1. Mafhum ‘illat, contoh, (berilah orang yang meminta karena kebutuhanya..). Dengan “mafhum, berilah peminta-minta yang membutuhkan, bukan yang lain.

 

  1. Mafhum dbaraf, baik berupa dharaf makan (keterangan tempat), contoh, (Duduklah di depan Zaid… Dengan mafhum, tidak duduk di Belakang Zaid. Atau dharaf zaman (keterangan waktu), contoh , (Pergilah pada hari Jum‘at..). Dengan mafhum, tidak pada selain hart Jum’at.

 

  1. Mafhum hal, contoh, (Berbuat baiklah pada hamba sahaya yang taat). Dengan mafhum tidak yang durhaka.

 

  1. Mafhum syarat, contoh :

 

“Dan sika mereka (istri-istri yang sudak ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka”.

 

Dengan mafhum, selain istri yang sedang hamil tidak wajih dinafkahi.

 

  1. Mafhum ghayah, menurut pendapat Ashah, contoh :

 

“kemudian jtka suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sehingga dia kawin dengan suami yang lain”.

 

Dengan mafhum, jika sudah menikah lagi dengan suami kedua, disetubuhi dan dicerai, maka halal bagi suami pertama.

 

Pendapat lain, ghayah adalah manthuq secara isyarah, katena mudah dipahami hati.

 

  1. Mafhum mendahulukan ma’mul, berlaku secara dominan, contoh:

 

“Hanya kepadaMu kami menyentbah”

 

Dengan mafbum, tidak selainMu SWT. Pendapat lain, tidak berfaidah Aashr (meringkas), dan dalam contoh di atas berfaidah hashr karena adanya qarinah, yakni sudah diketahui bahwa mereka yang mengatakannya, yaitu orang-orang mukmin tidak menyembah selain Allah SWT.

 

  1. Mafhum ‘adad, menurut pendapat Ashah, contoh : (

 

“maka cambuklah mereka (yang menuduh zina itu) delapan puluh kali cambukan”

 

Dengan mafhum, tidak lebih dan tidak kurang dari jumlah tersebut. Dinulal Syckh Abu Hamid dan ulama lain dari Imam As-Syafi’i dan dari Jumhur. Pendapat lain, tidak termasuk mafhum shifat. Imam An-Nawawi menyandarkan pendapat ini pada mayoritas pakar ushul.

 

  1. Mafbum dari , dimana menurut Ashah, berfaidah hashr, yakni menetapkan hukum pada yang disebutkan, dan menafikannya pada hal lain. Contoh :

 

“Sesungguhnya Tuhan kalian hanyalah Allah SWT”

 

Dengan mafhum, selain Allah SWT bukan ‘Tuhan dan bukan sesembahan yang sejati.

 

Pendapat kedua, tidak berfaidah hashr, karena  tersusun dari  yang berfaidah mengukuhkan (taukid) dan  yang berstatus zaidah kaffah (tambahan penccgah amal), sehingga tidak ada nafi (penafian) di dalamnya. Pendapat ketiga, berfaidah Aashr secara manthuq secara isyarah.

 

  1. Mafhum semisal dhamir fashl. Contoh:

 

“Maka Allah, Dia ah penolong (yang sebenarnya)”’

 

Dengan mafhum, selain Allah SWT bukanlah penolong sejati.

 

  1. Mafbum semisal bersama istitsna’ contoh:

 

“Tiada orang alim kecuali Zaid”

 

Secara manthuq meniadakan ilmu dari selain Zaid, dan secara mafbum menetapkan ilmu bagi Zaid

 

KUALITAS BEBERAPA MAFHUM MUKHALAFAH

 

Dari beberapa macam mafhum mukhalafah, memiliki kualitas berbeda-beda. Peringkat tersebut secara berurutan sebagai berikut;

 

  1. Mafbum semisal bersama istitsna’ . Karena menurut sebagian pendapat penunjukan atas maknanya merupakan wanthug yang sharih (jelas), sebab mudah difahami oleh hati. Dalam arti, lafadz diperuntukkan sebagai pengecualian, sedangkan penunjukkan atas makna pengecualian adalah dengan manthuq, bukan mafhum.

 

  1. Mafhum yang menurut sebagian pendapat sebagai manthuq secara isyarah, seperti ghayah, dan mafhum dari .

 

  1. Mafhum syarat. Karena tidak ada satupun pendapat yang menyatakan sebagai manthuq.

 

  1. Mafhum sifat munasibah (yang selaras) dengan hukum, seperti na‘at, hal, dharaf, dan ‘illat yang semuanya selaras. Karena sebagian versi menyebut ini sebagai mafhum syarat.

 

  1. Mafhum sifat ghairu munasibah (tidak selaras), seperti na’at, hal, dharaf dan ‘illat lughawiyah yang semuanya tidak selaras.

 

  1. Mafhum ‘adad. Karena sebagian kalangan mengingkari keberadaannya.

 

  1. Mafhum mendahulukan ma’mul. Karena tidak berfaidah hashr (meringkas) pada setiap contoh, hanya pada mayoritas contoh.

 

Catatan: fungsi pengurutan petingkat beberapa mafhum di atas adalah agar dapat dilakukan tarjih (pengunggulan), manakala terjadj pertentangan. Semisal, terjadi pertentangan antara mafhum ghayah dan syarat, maka ghayah harus didahulukan, demikian seterusnya.”

 

Beberapa mathum (mukhala ah) dapat dijadikan hujjah, secara dalil bahasa, menurut pendapat Ashah. Dan tidak termasuk mafhum mukhalafah adalah mafhum laqab, menurut versi Ashah.

 

MAFHUM MUKHALAFAH SEBAGAI HUJJAH LUGHAT Beberapa: macam mafhum mukhalaah merapakan hujjah dalam syatiat menurut pendapat Ashah. Kemudian ulama memperselisihkan mengenai dalil yang menunjukkan kehujjahannya.

 

  1. Pendapat Ashah, secara lughat, dalam arti berdasarkan dalil lughat, atau metode peletakan bahasa. Hal ini berdasarkan statemen mayoritas pakar bahasa, termasuk Abu Ubaidah dan muridnya, ‘Ubaid. Keduanya mengatakan tentang HR. Bukhari-Muslim;

 

“Menunda pembayaran hutang bagi orang yang kaya adalah dhalim”

 

Hadits ini menunjukkan bahwa menunda pelunasan hutang selain orang kaya bukan tindakan dhaim. Mereka berkata demikian semata-mata berdasarkan pengetahuannya atas bahasa Arab.

 

  1. Pendapat kedua, secara syara’, dalam arti berdasarkan dalil syara’. Karena hal itu dapat diketahui dari beberapa pernyataan As Syari’, Dengan contoh QS. At-Taubah :

 

“Kendatipun engkau memintakan ampun untuk mereka (munafiq) tujuh pulub kali namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka”

 

Dari ayat ini Nabi SAW memahami bahwa ketentuan hukum memintakan ampun lebih dari tujuh puluh, berbeda dengan tujuh puluh. Sehingga Beliau bersabda;

 

‘Dan aku akan menambahkan ampunan dari tajuh puluh”

 

Pendapat ini disangkal oleh pendapat pertama, bahwa argumentasi yang mereka kemukakan justru menunjukan kebenaran pendapat pertama. Sebab Rasulullah SAW adalah orang Arab, sehingga dalalah mafhum di atas semestinya datang dari bahasa Arab.

 

  1. Pendapat ketiga, secara makna, atau dengan dalil akal. Yaitu bahwa seandainya manthuq yang disebutkan tidak menafikan hukum pada maskut, maka penyebutannya menjadi tidak berfaidah.

 

Selanjutnya, ulama berselisih pendapat mengenai kehujjahan mafhum laqab.

 

  1. Pendapat Ashah, mafhum laqab bukan merupakan hujjah, baik berupa isim ‘alam, isim jinis, atau isim jamak. Disampaikan jumhur pakar ushul.

 

  1. Pendapat kedua, wafhum laqab merupakan hujjah. Disampaikan oleh Imam Ad-Daqqaq, As-Shairafi, dari kalangan Syafiyyah, Ibnu Khuwaizi Mandad dari kalangan Malikiyyah, dan sebagian Hanabilah. Baik berupa ‘alam, contoh (wajib haji bagi Zaid), artinya tidak wajib bagi selain Zaid, atau isim jinis, contoh (Dalam ternak ada kewajiban zakat), artinya tidak dalam selain ternak. Karena tidak ada faidah lain dalam penyebutannya kecuali menafikan hukum dari yang lain”,

 

Permasalahan : Termasuk di antara sekian anugrah, adalah munculnya peletakkan bahasa. Bahasa lebih berfacdah daripada isyarat dan rambu, dan juga lebih mudah dibanding keduanya.

 

ANUGERAH BAHASA

 

‘Termasuk di antara anugerah dan kasih sayang Allah SWT pada manusia, adalah munculnya  al-maudhu’at al-lughawiyyah (beberapa peletakan bahasa), atas ciptaan Allah SWT. Meskipun ada yang mengatakan bahwa peletak bahasa adalah selain Allah SWT, yakni para hamba sendiri, munculnya bahasa tetap saja menjadi anugerah agung dari-Nya, karena Allah-lah yang menciptakan semua perbuatan hambaNya. Setiap manusia membutuhkan bahasa sebagai pengungkap makna dalam hati, untuk berinteraksi dengan sesama. Karena secara fitrah, manusia makhluk sosial, tidak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan dunia dan akhiratnya.

 

Keunggulan bahasa dibandingkan isyarat dan rambu :

 

  1. Bahasa lebih memberikan faidah daripada isyarat dan rambu. Karena bahasa bisa menunjukkan pada dzat (materi), sesuatu yang maujud (dapat ditemukan pengindera, konkrit), dan sesuatu yang baru, serta kebalikan dari ketiganya. Sedangkan isyarat dan rambu tidak mampu mengungkapkan sesuatu yang walim (tidak dapat ditemukan pengindera, abstrak), dan hal yang qadimw (dahulu, bukan yang baru).

 

  1. Bahasa lebih mudah daripada isyarat dan rambu, karena bahasa sesuai dengan fitrah alami manusia.

 

Bahasa adalah lafadz-lafadz yang menunjukkan atas makna-makna. Lafadz penunjuk makna diketahui dengan cara pemindahan (periwayatan secara mulawatir) dan dengan cara istinbath (penalaran) oleh akal.

 

DEFINISI AL-MAUDHU’AT AL-LUGHAWIYAH

 

Al-Mandhu’at al-lughaniyyah atau lebih ringkasnya bahasa adalah lafadz-lafadz yang menunjukkan atas makna. Definisi ini dijelaskan sebagai berikut.

 

  1. Dan kata ‘lafadz’, mengecualikan tulisan, isyarat dan penunjuk penunjuk lainnya, karena definisi lafadz adalah suara yang tersusun dari sebagian huruf hijaiyyah.

 

  1. Dari kata ‘lafadz’, memasukkan lafadz yang muqaddar (dikira-kirakan) seperti dlamir mustatir (kata ganti yang tidak nampak) dalam fi’il (kata kerja). Contoh : Ada lafadz terkandung dalam fi’il . Meski tidak tecrucap (tidak ada suara) secara nyata, akan tetapi lafadz  secara hukum terucap, dengan bukti disandarkannya fi’il padanya, bolehnya men-taukid-i serta bolehnya meng-athaf-kan padanya.

 

  1. Dari kata “yang menunjukkan atas makna’’, mengecualikan lafadz yang muhmal atau tak bermakna.

 

SUMBER BAHASA

 

Bahasa atau pengetahuan bahasa dihasilkan dari beberapa sumber sebagai berikut.

 

  1. Periwayatan secara mutawatir (masal), seperti lafadz-lafadz yang diketahui oleh khalayak umum (dalam hal ini tentu saja orang Arab), seperti lafadz (langit); (bumi);   (panas);   (dingin), atasmakna-maknanya yang telah diketahui umum.

 

  1. Periwayatan secara ahad (orang per orang), yakni tidak banyak orang yang mengetahuinya. Seperti lafadz yang bermakna ganda, makna “haid”’ dan makna “suci’’.

 

  1. Penalaran yang dilakukan oleh akal dari naql (periwayatan). Contoh, bahwa bentuk jama’ yang di-ma’riatkan dengan berfaedah (umum). Kesimpulan ini dinalar oleh akal dari informasi nagl, bahwa bentuk jama’ yang di-ma’rifat-kan dengan  bisa di-istitsna’-kan dengan menggunakan   atau salah satu alat istitsna’. Dan setiap lafadz yang bisa di-istitsna’-kan adalah lafadz yang  . Dari sumber ketiga ini dapat disimpulkan, bahasa tidak bisa diketahui dari sekadar penalaran akal belaka, dan harus melalui perantara naql. Karena akal murni tidak memiliki akses menuju pemahaman bahasa.

 

Yang ditunjukkan lafadz adakalanya makna atau kulli, atau lafadz mufrad (tunggal atau lafadz murakkab (yang tersusun).

 

MADLUE DARI SEBUAH LAFADZ

 

Dalalah ( ) didefinisikan sebagai berikut;

 

“Mengetahui sebuah perkara dari perkara yang lain”

 

Perkara pertama disebut madlul (yang ditunjukkan), dan perkara kedua disebut dal (yang menunjukkan). madlul lafdzi ditunjukkan oleh penunjuk lafadz. Madlul ini dikenal dengan sebutan al-Mashadagq, yaitu sesuatu yang ada dalam realita lafadz.

 

Madlul (yang ditunjukkan) dari sebuah lafadz adakalanya :

 

  1. Makna, terbagi dua;
  2. a) Juz’i adalah makna yang penggambarannya menghindarkan terjadinya syirkah (persamaan antar individu makna) di dalamnya. Artinya, lafadz yang bermakna juz’i hanya mengarah pada satu madlul (yang ditunjukkan oleh lafadz). Seperti lafadz yang menunjuk pada satu orang yang dinamai dengan nama tersebut.

 

  1. b) Kulli adalah makna yang penggambarannya tidak menghindarkan terjadinya syirkah (persamaan antar individu makna) di dalamnya. Artinya, lafadz yang bermakna kulli bisa mengarah pada satu madlul atau lebih. Seperti lafadz yang bisa menunjuk pada lebih dari satu orang manusia. Misalnya, Zaid bisa disebut Si Umar juga bisa disebut   Si Bakar juga bisa disebut   Berbeda dengan latadz  , hanya Si Zaid yang bisa disebut dengan lafadz itu. Dan, meski orang bernama Zaid banyak, tetap saja lafadz   diperunmkkan pada 1 orang. Karena masingmasing orang tua yang menamakan anaknya dengan nama “Zaid”, misalnya, pastilah yang dikehendaki bukanlah selain anaknya. Karenanya, lafadz   hanyalah mengarah pada satu pribadi saja

 

  1. Lafadz, terbagi dua;
  2. a) Mnufrad, terpilah menjadi;

1) Musta’mal, seperti madlul dari kalimah. Kalimah adalah ucapan tunggal. Contoh

2) Mubmal, seperti madiul dari nama-nama huruf Hijaiyyah. Contoh,   sebagai nama dari huruf dalam

 

  1. b) Murakkab, terpilah menjadi,

1) Musta’mal, seperti madlul dari kalam khabar (kalimat berita), contoh   (Zaid berdiri).

2) Muhmal, seperti madiul dari ungkapan orang-orang yang mengigau

 

Al-wadh’u (secara istilah) adalah menjadikan lafadz sebagai penunjuk atas makna, meskipun lafadz dengan maknanya serasi (mandsabah),  menurut pendapat Ashah.

 

DEFINISI WADHA’ Al-Wadh’u secara harfiah adalah peletakan atau pencetakan. Dan secara istilah adalah menjadikan lafadz sebagai penunjuk atas makna. Artinya, yang dimaksudkan dengan mencetak lafadz adalah menentukan sebuah lafadz agar khusus menunjukkan pada makna tertentu, sehingga dapat dipahami oleh orang yang mengetahui peletakan sebuah lafadz pada maknanya.

 

Dalam peletakan sebuah lafadz, menurut pendapat Ashah, tidak disyaratkan adanya mundsabah (keserasian) antara lafadz dan maknanya. Astinya, secata wadha’, keberadaan lafadz menjadi tanda dari makna. Dan sudah dimaklumi bersama bahwa sebuah tanda tidak harus serasi dengan perkaa yang ditandai. Contoh, lafadz   memiliki dua makna hakikat, yakni makna hitam dan makna putih. Lafadz yang diletakkan untuk menunjukkan dua makna yang saling berlawanan, tentu saja tidak ada munasabah di dalamnya.

 

Pendapat lain, dari Imam Abu Sahl Abbad bin Sulayman as. Shaymari (seorang tokoh Mu’tazilah Basrah) mengharuskan adanya munasabah (keserasian), karena jika tidak ada munasabah, buat apa sebuah lafadz harus terkhusus untuk makna tertentu?. Sehingga terkhususnya sebuah lafadz untuk makna tertentu seharusnya ada mukhasshis-nya (faktor yang menjadikan tertentu). Dalam hal ini mandsabab adalah mukhasshis-nya. Mengenai persyaratan mundsabah sebagaimana dikehendaki as-Shaymari ini, terdapat dua analisis kemungkinan :

 

1, Menurut versi yang diriwayatkan Imam Al-Amidi, yang dikehendaki as-Shaymari adalah bahwa mundsabah mendorong al-wadhi’ (peletak bahasa) agar meletakkan atau mencetak sebuah lafadz untuk makna tertentu.

 

  1. Menurut versi yang diriwayatkan Imam As-Subki, yang dikehendaki as-Shaymari adalah bahwa mundsabah saja sudah dianggap cukup dalam penunjukan lafadz pada maknanya, tak dibutuhkan lagi adanya peletakan atau pencetakan. Dan hal itu dapat difahami oleh orang-orang yang distimewakan oleh Allah SWT, sedangkan orang lain dapat memahaminya melalui perantara orang-orang tersebut. Al-Ashbihani berkomentar, “kemungkinan kedua inilah riwayat yang sahih dari as-Shaymari”

 

Lafadz dicetak uatuk makna dalam hati, menurut pendapat terpilih.

 

ASAL PELETAKAN SEBUAH LAFADZ

 

Lafadz yang memiliki makna dzihni khariji, dalam arti memiliki perwujudan dalam hati (dzihni) melalui daya tangkap pikiran (idrak), dan memiliki perwujudan dalam realitas (khariji) melalui hasil nyata (tahaqquq), diperselisihkan apakah peletakannya atas dasar aspek dzrhni, atau khariji, atau bahkan mungkin tidak atas dasar aspek keduanya?. Ada tiga versi pendapat menjawab permasalahan ini.

 

  1. Lafadz dicetak untuk al-makna adz-dzihni, yakni makna yang tergambarkan dalam hati atau pikiran, meski tidak sesuai dengan kenyataannya. Hal ini menurut pendapat terpilih, sependapat dengan Imam Ar-Razi dan ulama lain.

 

Karena semisal seseorang melihat sebuah materi dari kejauhan, kemudian dia menyangka materi itu batu besar, maka dia akan menamakannya batu besar. Jika dia semakin mendekat dan materi itu ternyata hewan, lalu orang menyangkanya sebagai burung, maka dia menyebutnya burung. Jika semakin mendekat lagi, dan sesuatu itu ternyata manusia, maka dia menyebutnya manusia. Perubahan nama berdasar perubahan persangkaan ini menunjukkan bahwa lafadz dicctak untuk menunjukkan makna yang ada dalam angan-angan atau pikiran.

 

2, Lafadz dicetak untuk al-makna al-khariji, yakni makna dari sesuatu yang wujud dalam kenyataan. Karena dengan ini, hukum-hukum menjadi tetap. Pendapat ini didukung Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam kitab Al-Luma’, dan disahihkan oleh pengarang kitab Jam’ul Jawami’.

 

Contoh, lafadz  dicetak untuk menunjukkan makna “kambing” yang wujud secara nyata, bukan menunjuk pada makna “kambing” yang ada dalam angan-angan atau pikiran seseorang.

 

Versi pendapat kedua mencpis argumen pendapat pertama, bahwa perbedaan nama disebabkan perbedaan makna yang ada dalam hati karena adanya dugaan bahwa sesuatu itu dalam kenyataannya adalah seperti yang diangan-angankan. Bukan semata perbedaan makna dalam hati. Karenanya, sasaran peletakan lafadz tetaplah pada makna dalam kenyataannya, dan pengungkapannya mengikut pada hasil idrak atau deteksi angan-angan.

 

  1. Lafadz dicetak untuk makna tanpa batasan tertentu, yakni tanpa mempertimbangkan makna dalam kenyataannya ataupun makna dalam hati. Karenanya, penggunaan lafadz untuk maknanya, baik secara khariji ataupun dzihni, merupakan penggunaan lafadz secara hakikat. Pendapat ini didukung oleh Imam As-Subuki.

 

Perbedaan pendapat ini, sebagaimana dikatakan Imam At-Tajj As-Subki terjadi pada isim jenis, yakni pada isim zakirah. Karena isim ma’rifat sebagian diletakkan untuk makna kyariji, sebagian diletakkan untuk makna dzihni.

 

Tidak ada keharusan setiap makna memiliki lafadz. Akan teetapi lafadz hanyalah untuk makna yang membutuhkan pada lafadz.

 

MAKNA TANPA KATA

 

Tidak semua makna harus terwakili oleh kata-kata. Flanya makna yang membutuhkan lafadz saja yang dibuatkan sebuah lafadz. Karena bermacam-macam aroma dengan jumlahnya amat banyak, ternyata tidak memiliki lafadz khusus, sebab tidak mampu diidentifikasi dengan konkrit, Untuk menunjukkannya, dapat dilakukan dengan menambahkan qayyid (embel-embel). Seperti, “aroma kopi’, “aroma teh’, “aroma melati” dan lain-lain. Dalam contoh ini ditambahkan kata “‘kopi’’, “teh” atau “‘melati” di belakang kata ‘‘aroma’’. Tidak butuh mencetak lafadz secara khusus. Begitu pula macam-macam rasa sakit, tidak perlu diletakkan lafadz khusus untuk masing-masing”.

 

Al-Mubkam adalah lafadz yang jelas maknanya. Sedangkan afmutasyabih adalal ‘selainnya (yang tidak jelas maknanya). Dan terkadang Allah  menunjukkan maknanya pada sebagian kekasih-Nya

 

AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH

 

Menurut pendapat Ashah, al-Muhkam adalah lafadz yang jelas maknanya. Dalam arti tidak lagi ada kemusykilan, baik berupa zash atau dhahir. Sedangkan al-Mutasyabih adalah lafadz yang tidak jelas maknanya, meskipun bagi ulama yang dalam keilmuannya (ar-rasikh). Berpijak pada pendapat jumhur bahwa waga pada QS. Ali Imran : 07;

 

“Dan tidaklah mengetahui ta’wilnya (ayat mutasyabihat) selain Allah”

 

Adalah terletak pada   Dan terkadang Allah menunjukkan maknanya pada sebagian kekasih-Nya, sebagai mukjizat atau Aaramah.

 

Pendapat lain, al-Mutasyabih adalah lafadz yang tidak jelas maknanya bagi selain ulama yang dalam keilmuannya. Berpijak pada pendapat bahwa waqaf terletak pada lafadz

 

Definisi pengarang Iebth tepat dibanding definisi bahwa al-Mutasydbth adalah lafadz yang maknanya hanya diketahu: Allah SWT, Karena definisi ini menggunakan malzum

 

Lafadz yang beredar luas (di kalangan orang pintar dan rang awam) tidak boleh dicetak untuk makna yang samar menurut orang awam. Sebagaimana ucapan oleh para teolog yang menctapkan al-hal (keadaan di antara ada dan tiada), “Gerakan adalah sebuah makna yang menyebabkan bergerak-geraknya suatu zat”

 

LAFADZ MASYHUR DENGAN MAKNA KHAFI

 

Lafadz yang beredar luas di kalangan orang pintar dan orang awam tidak boleh dicctak untuk makna yang samar bagi orang kebanyakan (awam). Karena tidak boleh terjadi perbincangan di antara mereka dengan kata-kata yang samar dan tidak terjangkau pemahaman mereka. Contoh, perkataan para pakar teologi penganut faham adanya adanya al-hal (sebuah kondisi pertengahan antara ada dan tiada):

 

“Gerakan adalah sebuah makna yang menyebabkan bergerakgeraknya suatu materi”.

 

Makna ini sulit difahami oleh orang awam, sehingga makna ‘gerakan’ di sini bukanlah makna ‘gerakan’ yang beredar luas di seluruh kalangan (pintar maupun awam). Pemaknaan lahiriyah yang sudah dikenal adalah: “Gerakan adalah perpindahan’’, atau ““Gerakan adalah bergerak-geraknya suatu zat’

 

Permasalahan: menurut pendapat terpilih, beberapa bahasa bersifat tauqify, dimana Allah mengajarkannya melalui perantara wahyu atau menciptakan beberapa suara atau menciptakan pengetahuan secara Spontan. Dan bahwa states tauqif adalah madhnun (dugaan).

 

SILANG PENDAPAT TENTANG ASAL MUASAL BAHASA

 

Pakar ushul berselisih pendapat mengenai asal muasal bahasa. Dalam hal ini dapat dipetakan menjadi enam kelompok :

 

  1. Pendapat terpilih, yakni pendapat mayoritas ulama, bahwa bahasa bersifat tauqifi, dalam artian bahwa Allah SWT yang menciptakan bahasa. Kemudian Allah SWT mempublikasikan bahasa pada manusia dengan beberapa media, di antaranya;

 

1) Melalui perantara wahyu kepada beberapa Nabi. Dimana hal inj adalah yang nampak secara lahiriyah, karena hal ini yang biasa dilakukan Allah SWT dalam memberi pelajaran.

 

2) Menciptakan beberapa suara yang terdapat di dalam jism (materi) Contoh, suara berkokoknya ayam, berkicaunya burung, gemuruhnya ait, gesekannya batang-batang pohon bambu, Melalui perantara beberapa suara tersebut, bagi orang yang mendengarnya akan mengerti akan bahasa tersebut.

 

3) Menciptakan pengetahuan secara dharuri (tanpa analisa) kepada sebagian hamba Allah SWT atas makna bahasa tertentu.

 

Dalil pendapat pertama ini adalah firman Allah SWT yang mengkisahkan pengajaran Allah swt pada nabi Adam AS,

 

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) selurubnya” Maksud ‘al-Asma” dalam ayat tersebut adalah lafadz-lafadz yang memuat beberapa isim, fi’ik, dan huruf, karena masing-masing merupakan isim (tanda) dari musamma-nya (perkara yang dinamai). Pengajaran Allah SWT dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa pencipta bahasa adalah Allah SWT, bukan manusia.

 

  1. Pendapat kedua, bahasa bersifat istilahi, dalam arti dibuat oleh satu atau beberapa manusia. Sedangkan publikasi pada manusia lain melalui media isyarah dan qarinah (tanda-tanda). Sebagaimana anak kecil yang mengerti bahasa orang tuanya, melalui perantara isyarat atau tanda. Pendapat ini dipelopori oleh mayoritas Mu’tazilah . mereka menggunakan argumentasi dalil firman Allah SWT;

 

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya”

 

Dari ayat ini, dapat difahami bahwa tereiptanya bahasa lebih dahulu dari pada terutusnya Rasul, dengan demikian seandainya bahasa bersifat tauqifi melalui pengajaran wahyu, semestinya bahasa muncul setelah terutusnya Rasul.

 

  1. Pendapat ketiga, diwakili Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfirayini memilah, bahwa kadar tertentu dari bahasa yang dibutuhkan untuk mengajarkan atau mengenalkannya pada orang lain tergolong tauqifu, karena adanya kebutuhan yang menuntut. Dan yang tidak dibutuhkan untuk menyayarkan atau mengenalkannya, maka ada kemungkinan bersifat tanqifi atau istilahi.

 

  1. Pendapat keempat, adalah kebalikan dari pendapat ketiga. Bahwa kadar tertentu dari bahasa yang dibutuhkan untuk mengajarkan atau mengenalkannya pada orang lain tergolong istilahi, dan jika tidak maka mungkin saja bersifat tauqifi atau istilahi.

 

  1. Pendapat kelima, dipelopori oleh Al-Qadhi memilih menangguhkan statusnya, dan tidak memihak salah satu dari beberapa pendapat di atas. Dikarenakan dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing kelompok kontradiktif.

 

Selanjutnya, menurut pendapat terpilih, status tauqif hanyalah madhnun (praduga kuat), dikarenakan dalil yang digunakan berbentuk dhahir (jclas). Sedangkan mendahuluinya bahasa atas terutusnya Rasul tidak serta merta memunculkan kesimpulan bahasa bersifat istilahi. Karena bisa jadi bahasa bersifat tauqif, hanya saja pengajarannya melalui wahyu terjadi di masa antara kenabian dan kerasulan.

 

Dan bahwasanya bahasa tidak tetap melalui metode qiyas, dalam lafadz yang dalam maknanya terkandung sifat.

 

PENETAPAN BAHASA MELALUI METODE QIYAS

 

Qiyas lughat adalah menyematkan nama dari isim (perkara yang memiliki nama) yang maknanya memuat sifat yang serasi dengan penamaannya, kepada isim lain yang dalam maknanya ditemukan sifat tersebut.

 

Terkait dengan penetapan bahasa melalui metode qiyas ini, ulama masih berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat pertama, disampaikan di antaranya oleh Al-Qadhi, Imam Hlaramain, Al-Ghazali dan Al-Amidi, menyatakan bahasa tidak bisa ditetapkan melalui metode qiyas.

 

  1. Pendapat kedua, disampaikan di antaranya oleh Imam Ibnu Suraij, Ibnu Abi Hurairah, Abu Ishaq As-Syairazy dan Imam ArRazi, menyatakan bahasa bisa ditetapkan melalui metode qiyas.

 

Contoh; menamakan nabidz dengan nama khamr.

 

Dengan penjelasan sebagai berikut;

 

Versi ini terpecah menjadi dua kelompok:

 

  1. a) Kelompok pertama, menyatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan dari sudut pandang lughat.

 

  1. b) Kelompok kedua, menyatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan dari sudut pandang syar’i, sebagaimana pendapat Ibnu Syuraij yang dipilih oleh Imam Ibnu Sam’ani. Beliau mengatakan, dasar argumentasinya adalah bahwa syariat memberi nama shalat, karena adanya sifat tertentu, dimana apabila sifat tersebut lepas, maka tidak lagi disebut shalat. Dan setiap perkara yang menyamai shalat dalam sifat tersebut, maka bisa disebut dengan shalat.

 

  1. Pendapat ketiga, bahasa hakikat ditetapkan dengan qiyas, lain halnya dengan majaz. Karena majaz lebih rendah derajatnya. Catatan:

 

  1. Konteks silang pendapat di atas terjadi dalam bahasa yang keumumannya tidak ditetapkan melalui metode penelitian (istiqra’), dan pada selain beberapa ‘alam.

 

  1. Bahasa yang keumumannya ditetapkan melalui metode penelitian, seperti terbaca rafa’-nya fa’il, dan terbaca sashabnya maful dan sebagainya, maka ulama sepakat memperbolehkan qiyas.

 

  1. Sedangkan beberapa ‘alam, ulama sepakat tidak memberlakukan qiyas. Karena ‘alam termasuk perkara yang memiliki makna irrastonal, sedangkan qiyas adalah cabang dari makna (rasional).

 

Permasalahan : lafadz dan makna apabila masing-masing tunggal, ketika makna yang ditemukan mencegah syirkah (kesamaan makna beberapa afrad), maka disebut lafadz juz’iy. Dan jika menerima syirkah, maka disebut kully. Dimana (lafadz kulli) ini dinamakan muthawati’ karena makna sama-sama dimiliki afrad-nya. Dan dinamakan musakkik jika berbeda dalam afraf-nya.

 

Dan apabila lafadz dan makna masing-masin ganda, maka disebut mutabdayin. Dan jika lafadz saja yang ganda (maknanya tunggal), maka disebut muradif dan kebalikannya (makna ganda, lafadz tunggal), jika diberlakukan secara hakikat pada kedua maknanya, maka disebut musytarak. Namun jika tidak, maka disebut hakikat (saat digunakan pada makna pertama) dan majaz (saat digunakan pada makna kedua)

 

RELASI (NISBAT) LAFADH DENGAN MAKNA

 

Relasi (nisbat) lafadz dengan makna, ditinjau dari bentuk tunggal dan gandanya, dapat diklasifikasikan menjadi empat :

 

  1. Lafadz dan maknanya tunggal. Terbagi dua;

 

1) Juz’i, disebut juga juz’i hakiki, yakni manakala makna yang ditemukan mencegah syrkah (kesamaan makna beberapa afrad). Contoh, lafadz ‘ ‘ (Zaid; nama seseorang). Makna hakikat yang dikandung dari lafadz ini tidak mungkin dimiliki dua orang dalam kenyataannya (fi al-kharij),. yang artinya tidak ada pemahaman syirkah.

2) Kulli, manakala makna yang ditemukan mencrima syirkah. Lafadz Kuli memiliki beberapa pembagian dan contoh.

 

* Tafadz yang maknanya (afrad-nya) tidak mungkin wujuq secara nyata. Contoh;  (terkumpulnya dua ha yang bertentangan). Karena hal ini tergolong jenis muhal li dzatih atau tidak mungkin wujud berdasarkan dalil akal.

 

* Lafadz yang maknanya (afrad-nya) mungkin wujud, namun kenyataannya tidak ada. Contoh; lafadz  (lautan air taksa).

 

* Lafadz yang maknanya (afrad-nya) wujud, namun afrad lain tidak mungkin menyamai. Contoh; lafadz   (yang disembah secara haq).

 

* Lafadz yang maknanya (afrad-nya) wujud, dan afrad lain mungkin menyamai, namun kenyataannya tidak ada. Contoh, lafadz   (matahari).

 

= Lafadz yang maknanya (afrad-nya) wujud, dan afrad lain mungkin menyamai sekaligus wujud secara nyata. Contoh; lafadz   (manusia).

 

Lafadz kulli ditinjau dari aspek makna dalam afrad-nya terbagi dua;

 

  1. a) Muthawati, ketika makna yang dikandung sama-setara dimiliki oleh afrad-nya. Contoh, lafadz dimana maknanya sama-setara dimiliki oleh afrad-nya berupa Zaid, Umar, Bakar dst.

 

  1. b) Musyakkik’, ketika ada perbedaan makna dalam afrad-nya. Contoh, lafadz, dimana makna ‘putih’ dalam salju lebih besar dibandingkan dalam gading.

 

  1. Lafadz dan maknanya ganda, maka disebut mubdyin. seperti lafadz dan .

 

  1. Lafadz ganda dan maknanya tunpgal, maka disebut murqdif. Seperti lafadz dan keduanya memiliki satu arti.

 

  1. J.afadz tunggal dan maknanya ganda, maka dipilah;

 

  1. a) Apabila lafadz tersebut dibeerlakukan secara hakikat pada kedua maknanya, maka disebut musytarak. Seperti lafadz yang memiliki arti haid dan suci.

 

  1. b) Apabila lafadz tersebut diberlakukan secara hakikat pada satu makna, dan majaz pada makna yang lain, maka disebut hakikat majaz. Seperti lafadz yang digunakan untuk makna hewan buas dan pria pemberani.

 

Menurut Syaikh Jalaluddin Al-Mahali, sebuah lafadz yang mengandung dua makna maaz, tidak bisa disaksikan keberadaannya.

 

Alam adalah lafadz yang diperuntukkan pada sasaran makna tertentu, dengan sebuah peletakan (wadha). Apabila penentuan makna tersebut berdasarkan kenyataan yang nampak (khariji) maka disebut dengan ‘alam syakhash Ot cae ls dan jika tidak (berdasarkan pemahaman dalam hati), maka dinamakan ‘alam jinis.

 

DEFINISI ALAM SYAKHSH ‘ALAM JINIS DAN ISIM JENIS ‘Alam adalah lafadz yang menentukan sesuatu yang dinamai secara wadha’. Artinya, diperuntukkan pada sasaran makna tertentu, dimana secara wadha’, makna tersebut tidak bisa diarahkan pada perkara lain. Mengecualikan ma’r at selain ‘alam, dikarenakan menentukan sasaran maknanya tidak dengan wadha’, namun dengan faktor lain. Kemudian ‘alam terpilah menjadi dua, yaitu;

 

  1. ‘Alam syakhash, yakni lafadz yang secara wadba’ diperuntukkan pada sasaran makna tertentu dalam realitasnya (kharji)*.Contoh, (Zaid).

 

  1. ‘Alam jinis, yakni lafadz yang secara wadha’ diperuntukkan pada sasaran makna tertentu dalam hati (dzihniy). Contoh, (singa).

 

Selanjutnya perlu diketahui juga definisi dari isim jinis. Ada dua definisi dalam hal ini.

 

  1. Ising jinis adalah lafadz yang secara wadha’ diperuntukkan pada makna tidak tertentu dalam jinis-nya. Definisi ini disampaikan oleh segolongan ulama muhaqqiqin.

 

  1. Isim jinis adalah lafadz yang secara wadha’ diperuntukkan pada makna hakikat secara mutlak, tanpa menentukan dalam realitas (kharij) atau hati (dzihmi). Definisi ini disampaikan oleh pengarang dan segolongan ulama lain, serta dinilai sebagai pendapat pilihan, Contoh: (singa).

 

Catatan:

 

1, Kesamaan isim jenis dan ‘alam jenis adalah dari aspek makna, yaknj masing-masing bisa mencangkup perindividu dari jenisnya.

 

  1. Perbedaan isim jenis dan ‘alam jenis ada dua aspek;

 

  1. a) Aspek hukum-hukum lafadznya. Bahwa ‘alam jenis memiliki hukum yang ditetapkan adalah hukum beberapa ‘lam, berupa man’u sharfi (tereegah menerima tanwin), dijadikan mubtada’ tanpa musawigh, tidak bisa di-ma’ri at-kan dengan alif dan lam dsb. Sedangkan isim jenis termasuk nakirah murni.

 

  1. b) Aspek peletakan dari al-wadhi’ (pencetus bahasa). Bahwa manakala alwadbi’ menghadirkan gambaran singa untuk tujuan membuatkan bahasa, maka gambaran yang nampak di hatinya merupakan juz’iyyah dari aspek penampakannya di hati. Sedangkan gambaran secara mutlak merupakan perkara kul, Apabila al-wadhi’ membuat bahasa atas gambaran dalam hatinya, maka disebut ‘alam jinis, namun apabila membuat bahasa atas gambaran secara mutlak, maka disebut isim jinis. Dari sini perbedaan ditentukan oleh peletakan bahasa alwadhi?

 

Permasalahan; Isytiqaq adalah mengembalikan sebuah lafadz (far’u) pada lafadz lain (ashlu), karena ada keserasian antara keduanya dalam aspek makna dan huruf-huruf asalnya. Kemudian (lafadz musytaq) adakalanya diberlakukan secara muthatharid sebagaimana isim fail, dan terkadang juga diberlakukan secara mukhtash (sebagai nama dari dzat atau benda tertentu) seperti lafadz ‘al-Qarurah’,

 

DEFINISI DAN SYARAT ISYTIQAQ

 

Isytiqaq menurut bahasa adalah mengambil. Sedangkan menurut istilah adalah mengembalikan sebuah lafadz (far’u) pada lafadz lain (ashlu), dikarenakan ada keserasian antara keduanya dalam aspek makna dan huruf-huruf aslinya. Definisi ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

 

  1. Maksud ‘mengembalikan’ adalah menghukumi bahwasanya lafadz pertama (far’u) dihasilkan atau menjadi cabang dari lafadz kedua (ashlu).

 

  1. Maksud keserasian dalam aspek makna adalah ditemukannya makna lafadz kedua (ashlu) di dalam lafadz pertama (far’u).

 

  1. Maksud keserasian dalam huruf-huruf asli adalah keberadaan urutan huruf-huruf asli dari lafadz kedua dan pertama adalah sama. Meskipun tidak disyaratkan huruf-huruf asli tersebut ada semuanya, karena terkadang sebagian terbuang karena alasan tashrif.

 

Isytiqaq selain terdapat pada hakikat, juga terdapat dalam majag. Contoh, lafadz   dari masdar , dimana makna hakikatnya adalah berbicara, dan makna majaznya adalah dalalah (indikasi), seperti dalam ucapan;  (keadaan mengindikasikan demikian).

 

Namun terkadang isytiqaq tidak bisa dilakukan pada majaz. Seperti lafadz   yang memiliki arti wajaz perbuatan. Dalam hal ini tidak boleh diucapkan   atau  . Berbeda halnya dengan yi yang memiliki arti ucapan, maka hal itu boleh dilakukan.

 

Termasuk syarat terwujudnya isyzqag adalah adanya perubahan, baik secara nyata, seperti   dari  , atau secara perkiraan (taqdiri), seperti.  dari , maka dikira-kirakan bahwa bacaan fathah pada lay, dalam fi’il-nya berbeda dengan yang ada dalam mashdar-nya.

 

Kemudian lafadz musytaqg adakalanya diberlakukan secarg muthtbarid, dalam arti memberlakukan secara umum pada semua contoh yang yang memiliki persamaan makna, sehingga tidak membutuhkan dalil sama’i. Sebagaimana isim fa’il, contoh , maka bisa memasukkan Setiap orang yang memiliki sifat memukul tanpa terkecuali. Dan terkadang juga diberlakukan secara mukhtash, tertentu pada sebuah perkata, sepert lafadz  untuk menunjukkan arti botol, berasal dari kata  yang berarti tempat menetap, Dan lafadz  tidak bisa digunakan untuk menunjukkan selain botol, dari beberapa tempat menetapnya air (wadah air), seperti kendi, walaupun makna  ditemukan.

 

Catatan :

 

Isytiqaq menurut ulama ada tiga macam;

 

1) Isytiqaq akbar, yaita ketika semua huruf-huruf asal tidak ditemukan dan hanya ada keserasian makna. Contoh lafadh  dan .

 

2) Isytiqaq kabir yaitu ketika semua huruf-huruf asal ditemukan, namun tidak urut. Contoh, lafadz  dan .

 

3) Isytiqaq shaghir, yaitu ketika ketika semua huruf-huruf asal ditemukan dan urut. Dan yang dikehendaki isytiqaq dalam bab ini adalah isytiqaq shaghir.

 

Segala sesuatu yang tidak didiami oleh sebuah sifat, maka tidak diperbolehkan membuatkan ism (nama) baginva dari lafadz sifat tersebut, menurut versi kita. Dan apabila sebuah perkara di dalamnya terdapat sifat yang memiliki nama, maka wajib melakukan isytiqaq (dari nama itu kepada sesuatu yang memiliki sifat serupa). Namun jika perkara tersebut di dalamnya tidak dijumpai sifat yang memiliki nama, maka tidak boleh melakukan  isytiqaq dari sifat itu.

 

MEMBUAT ISIM PADA SEBUAH PERKARA

 

Ulama berselisih pendapat mengenai segala sesuatu yang tidak didiami oleh sebuah sifat, apakah diperbolehkan membuatkan ism (nama) baginya dari lafadz sifat tersebut?

 

  1. Kelompok Ahlussunah mengatakan, tidak diperbolehkan. Semisal, sesuatu yang tidak memiliki sifat berdiri, maka tidak diperbolehkan membuat ism (nama)  (orang yang berdiri) padanya.

 

  1. Kelompok Mu’tazilah mengatakan, diperbolehkan. Seperti halnya mereka menafikan sifat dzatiyah seperti  (mengetahui),   (kuasa),  (berfirman), dan lain-lain. Namun mereka menyepakati bahwa Allah SWT  (Maha Mengetahui),  (Maha Kuasa), ( Maha Berfirman). Hanya saja maksud mereka, Allah SWT Maha Mengetahui, dan Kuasa dengan dzat-Nya, bukan dengan sifat tambahan dari dzat, dalam arti dzat Allah SWT sudah cukup untuk membuka segala macam pengetahuan, tidak membutuhkan sifat tambahan. AUah SWT juga Maha Berfirman, namun dengan arti Allah SWT menciptakan kalam (firman) pada jisim (materi), seperti pada pohon yang kemudian didengar oleh Nabi Musa AS. Hal ini berpijak bahwa kalam menurut mereka (Mu’tazilah) hanyalah berupa huruf dan suara, dimana Allah SWT terlarang untuk disifati demikian. Pada dasarnya tidak ada perbedaan prinsip, karena mereka juga mengakui adanya sifat kalam dengan pemaknaan Allah SWT menciptakaannya, di samping itu mereka juga sepakat mensucikan Allah SWT dari kebalikan sifat-sifat tersebut. Mereka hanya menafikan sifat-sifat tersebut adalah tambahan dari dzat, dan menyangka sifat-sifat tersebut adalah dzat itu sendiri. Semua ini agar terhindar dari ta’addud al-qudama’ (banyaknya beberapa perkara qadim) yang telah membuat umat Nasrani menjadi kafir. Namun hal ini disangkal, bahwa ta’addud al-qudama’ yang terlarang adalah dalam konteks beberapa dzat, bukan dalam satu dzat dan beberapa sifat. Berpijak dari pendapat mereka ini, dalam kisah tentang Nabi Ibrahim as yang diperintah menyembelih anaknya dalam ayat;

 

“Hai anakku sesungguhnya aku melthat dalam mimpt bahbwa aku menyembelihmu”’

 

mereka menycpakati bahwa Nabi Ibrahim AS adalah orang yang menyembelih putranya, Nabi Ismail AS, dimana menurut mereka Nabi Ibrahim AS telah menjalankan alat penyembelih di atas Ieher dari Nabi Ismail AS. Namun mereka berselisih pendapat apakah Nabi Ismail AS berstatus disembelih?. Pendapat pertama menyatakan disembelih, hanya saja luka sembelihan tersebut pulih kembali. Pendapat kedua menyatakan, tidak disembelih, dalam arti tidak ada yang terpotong sedikitpun. Pemilik pendapat kedua ini telah menamakan ‘orang yang menyembelih’ atas orang yang tidak melakukan perbuatan menyembelih, namun dalam arti menjalankan alat penyembelih di atas leher. Sehingga jika kita cermati, hal ini tidak menyalahi kaidah isytiqaq, karena masih dalam koridor membuat isytiqaq dari majaz, yakni mengucapkan ‘menyembelih’ untuk perbuatan ‘menjalankan alat penyembelih’. Menurut pendapat kalangan Asy’ariyah, Nabi Ibrahim AS bukan orang yang menyembelih, dan Nabi Ismail AS bukan orang yang disembelih, baik dalam arti memotong atau menjalankan lat penyembelih. Karena perintah menyembelih telah di-nasakh sebelum memungkinkan diamalkan. Firman Allah SWT;

 

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”

 

Kemudian manakala sebuah perkara di dalamnya terdapat sifat yang memiliki nama, maka wajib melakukan istiyqaq (dari nama itu kepada sesuatu yang memiliki sifat serupa). Seperti membuat lafadz  dari  (pengetahuan) bagi orang yang memiliki pengetahuan. Namun jika perkara tersebut di dalamnya dijumpai sifat yang tidak memiliki nama, seperti macam-macam aroma, maka tidak wajib (tidak boleh) melakukan isytiqaq dari sifat itu. Karena tidak mungkin dilakukan

 

Menurut pendapat Ashah, disyaratkan tetapnya makna musytaq minhu pada sesuatu yang dishifati (mahal) untuk menjadikan sebuah lafadz musytaq yang diucapkan disebut hakikat. Hal ini apabila makna tersebut mungkin menetap, dan jika tidak mungkin menctap, maka hanya disyaratkan tetapnya juz akhir dari makna tersebut. Maka, ism fa’il disebut hakikat saat makna atau sifat yang terkandung di dalamnya sedang dijalankan (hal at-talabbus), bukan hanya pada saat ism alfa’il itu diucapkan (hal an-nuthgi). Dan lafadz musytaq tidak memiliki arah makna pada kekhususan dzat.

 

SYARAT MUSYTAQ DISEBUT HAKIKAT

 

Pengucapan musyfaq atas makna musylag minhu pada sesuatu yang dishifati (mahal) terklasifikasikan menjadi tiga bentuk;

 

  1. Makna masih menetap pada dzat (di saat sedang terjadi)

 

  1. Makna belum menetap pada dzat (pada masa yang akan datang)

 

  1. Makna sudah tidak menctap atau habis pada dzat (pada masa yang telah lewat).

 

Dari paparan tiga bentuk di atas, yang telah disepakati dihukumi hakikat adalah bentuk yang pertama, dalam hal ini terbagi dua;

 

  1. Makna musytaq minhu mungkin menctap, maka disyaratkan tetapnya makna wusytag minhu pada sesuatu yang dishifati (mahal). Contoh, berdiri, dimana seseorang disebut orang yang berdiri ( ) secara hakikat, di saat masih dalam keadaan berdiri.

 

  1. Makna musytaq minhu tidak mungkin menetap, maka disyaratkan tetapnya juz akhir dari makna tersebut. Contoh,   (bicara), makna bicara tidak mungkin menctap, karena manusia berbicara dengan suara yang sambung menyambung (habis kemudian dilanjutkan lagi). Maka seseorang dapat disebut orang yang bicara (pembicara) secara hakikat apabila akhir perkataannya (juz akhir) masih tetap ada.

 

Dan yang disepakati sebagai majaz adalah bentuk kedua, dimana pengucapan musytaq memandang menetapnya makna di masa yang akan datang. Seperti kata   (pencuri), diucapkan untuk orang yang akan atau berniat melakukan pencurian.

 

Sedangkan bentuk yang ketiga, seperti contoh kata . (pencuri), diucapkan untuk orang yang usai melakukan pencurian, maka ulama ushul berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat Ashah, menyatakan termasuk kategori majaz, sebab syarat dihukumi hakikat adalah masih menetapnya makna masytaq minhu pada mahal.

 

  1. Pendapat kedua, menyatakan termasuk hakikat, karena dalil sstishhab, yaitu menctapkan status hakikat pada saat pengucapan sebelumnya. Pendapat ini menurut Imam Al-Jubaiy dan putranya Abu Qasim dan Ibnu Sina.

 

  1. Pendapat ketiga, menangguhkan tentang harus ada atau tidaknya persyaratan di atas (menetapnya makna musytaq minhu pada mahal). Dikarenakan dalil-dalil di dalamnya kontradiktif.

 

  1. Pendapat keempat, jika pada mahal (perkara yang dishifati) muncul, sifat lain yang wujud dan berlawanan dengan sifat pertama, sepery hitam setelah putih, berdiri setelah duduk, maka tidak diperkenankan menamakan mahal dengan sifat yang pertama. Contoh, seseorang yang semula duduk kemudian berdiri, maka dia tidak bisa disebut Orang yang duduk, karena sifat berdiri berlawanan dengan duduk.

 

PENYEBUTAN HAKIKAT PADA ISIM FA’IL

 

Berpijak dari silang pendapat di atas, maka dalam ini sim fa’il disebut sakikat saat makna musytag minhu atau juz akhirnya secara urfi sedang dijalankan (hal at-talabbus) atau wujud, baik makna tersebut wujuq saat musytag tersebut diucapkan (hal an-nuthgi), atau wujud di kemudian hari. Contoh, : Nabi SAW bersabda :

 

“Dua orang yang berual beli, masing-masing dari keduanya memiliki hak khiyar atas yang lain, selama keduanya belum berpisah”

 

Hakikat   (dua orang yang berjual beli) adalah ketika jual belj sedang dijalankan, bukan pada saat tawar menawar. Sehingga khiyar majlis ditetapkan bagi mereka yang secara hakikat melakukan jual beli, bukan yang hanya tawar menawar saja. Bahkan apabila ada seseorang mengatakan:

 

“Istriku aku cerai jika kalian (Zaid dan Umar) berdua orang yang melakukan jual beli”

 

Kemudian Zaid dan Umar melakukan tawar menawar barang, tidak sampai membeli, maka istri ditetapkan tidak tertalak karena Zaid dan Umar bukan orang yang melakukan jual beli secara blhakikat. Hal ini selaras apa yang disampaikan As-Syafi’i dalam Al-Umm.

 

Berbeda dengan pendapat Imam Al-Qarrafi yang menyatakan bahwa ism al-fa’il disebut hakikat saat makna musytaq minhu atau juz akhirnya diucapkan (hal an-nuthgi) saja, tidak saat sebelumnya dan tidak setelahnya.

 

MUSYTAQ TIDAK MENYIMPULKAN KEKHUSUSAN DZAT

 

Lafadz musytaq tidak memiliki pemaknaan yang mengarah pada kekhususan dzat, dalam arti yang dapat difahami dari musytaq adalah makna sebuah sifat yang melekat pada sebuah dzat, dan tidak berbicara mengenai spesifikasi dzat tersebut apakah berupa jini (materi) atau berupa yang lain. Contoh kata menunjukkan makna perkara yang berwarna hitam, namun udak menunjukkan spesifikas: perkara (dzat) rersebut, apakah berupa materi atau yang lain. Hal ini didasan argumentasi, bahwa ucapan   (perkara yang hitam itu adalah materi) adalah benar. Dan jika   menunjukkan spesifikasi makna materi, maka akan terjadi pengulangan (takrar) makna tanpa faidah dalam contoh di atas, yakni menjadi   (materi yang hitam itu adalah materi), dan ini tidak dibenarkan.

 

Permasalahan : menurut Ashah, lafadz muradif diakui keberadaannya dalam kalam Arab. Menurut pendapat Ashah, bad (definisi) dan mahdud (yang didefinisikan) serta lafadh hasan , dan lafadh basan bukan termasuk muradif. Menurut pendapat yang benar, tabi’ (lafadz yang mengikuti mathu’) berfaidah mengukuhkan.

 

EKSISTENSI MUTARADIF (SINONIM)

 

Lafadz muradif atau mutaradif adalah sebuah lafadz yang sejak pertama kali dibuat (wadh’i) menyamai lafadz lain dari sisi maknanya, seperti al-asad (singa) dan al-laits (singa). Mengenai eksistensinya, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat Ashah, mutaradif diakui keberadaannya dalam kalam Arab.

 

  1. Pendapat kedua, dari Imam Tsa’lab dan Ibnu Faris, menafikannya secara mutlak. Menurut mereka berdua, lafadz-lafadz yang diduga termasuk muradif, sebenarnya adalah lafadz mutabayin bi as-shifat (dua lafadz yang artinya berbeda berdasarkan perbedaan sifat). Seperti lafadz dan , dimana arti lafadz pertama adalah manusia dari sudut pandang ‘peelupa’ dan lafadz kedua adalah manusia dari sudut pandang ‘nampak kulit tubuhnya’.

 

Dikisahkan dari Imam Ibnu Khalawiyah, beliau berkata, “Saya mengelabui lima puluh sebutan (nama lain) dari pedang’. Kemudian dijawab oleh Imam Abu Ali Al-Farisy, “menurutku hanya ada satu sebutan untuk pedang, yaitu ‘saif’. Imam Ibnu Khalawiyah menjawab, “bukankah Sharim, Mihnad, Mastul, Mikhdzam dan lain sebagainya merupakan sebutan untuk pedang?’. Tanggapan Abu Ali Al-Farisy, “dafadz-la adz itu hanya sebatas sifat bukan sebutan atau nama pedang’. Sedang menurut Asy. Syeikh, dalam istilah mutaradif tidak dibedakan antara sifat dan nama, Al-Ashbihani menengah-nengahi silang pendapat di atas, bahwa akar perselisihan adalah dalam konteks satu bahasa (lugha). Karena pengingkaran tidak mungkin terjadi dari orang yang berakal, jika tinjauan lafadz mutaradif dari dua bahasa yang berbeda.

 

  1. Pendapat ketiga, dari Imam Ar-Razi dalam kitab al-Mahshul, lafadz mutaradif hanya berkutat dalam lughat, tidak dalam istilah syar’i. Hal injidikarenakan pembuatan mutaradif tidak mengikuti kaidah dasar (hukum asal), bahwa setiap satu lafadz mewakili satu makna, dimana pemicunya adalah kebutuhan (hajat) semisal dalam nadham atau sajak, Dan hajat semacam ini tidak ditemukan dalam kalam Asy-Syari’ (pembuat syariat). Pengarang, sebagaimana Imam Al-Qarrafi menyangkal pendapat ini, dengan menyodorkan lafadh fardlu, wayib, sunah dan tathawwu’ ?. Sangkalan ini ditanggapi, bahwa lafadz-lafadz tersebut tidak masuk dalam koridor syar? akan tetapi istilahi, karena yang dimaksud syar’i adalah perkara yang dibuat oleh Asy-Syari’

 

BEBERAPA PERKARA YANG BUKAN MUTARADIF

 

Dalam hal ini ada beberapa perkara yang tidak masuk dalam pengertian mutaradif, meskipun masih terjadi tarik ulur pendapat. Di antaranya;

 

  1. Had (definisi), contoh had, (spesies hewan yang mampu berfikir) dan mahdud (yang didefinisikan), contoh (manusia). Menurut pendapat Ashah, keduanya tidak disebut mutaradif, dikarenakan had menunjukkan beberapa juz dari hakikat makna secara terperinci (tafshil), sedangkan mahbdud hanya secara global (ijmaly). Dan juga status mutaradif hanya berlaku untuk lafadz mufrad (tunggal). Jadi jelas keduanya berbeda, karena perkara mujmal (global) berbeda dengan mufasshal (terperinci). Menurut pendapat kedua, termasuk mutaradif, karena faktor mujmal dan mufasshal tidak perlu diperhitungkan.

 

  1. Lafadz dan yakni dua lafadz, yang pertama berstatus lafadz yang diikuti (al-matbu’) dan yang kedua berstatus lafadz yang mengikuti (at-tabi’). Menurut pendapat Ashah, dua lafadz di atas bukan mutaradif, dikarenakan at-tabi’ tidak akan memiliki faidah makna, tanpa adanya al-matbu’. Sedangkan standar wutaradif, masingmasing lafadz harus mampu menghasilkan makna secara mandiri. Menurut pendapat kedua, keduanya tergolong mutaradif, karena alasan sebagatama di atas tidak bisa diterima.

 

Berpijak dari pendapat Ashah, at-tabi’ memiliki fungsi menguatkan makna, karena apabila tidak demikian, penyebutan at-tabi’ menjadi tidak ada faidahnya. Sedangkan orang Arab dengan kalam hikmahnya selalu menghindari pembicaraan tanpa faidah.

 

(Pendapat Ashah), bahwasanya masing-masin lafadz mutarodif boleh menempatkan pada posisi yang lain.

 

MUTARADIF BOLEH SALING MENGISI

 

Ulama berselisih pendapat mengenai saling mengisinya dua lafadz yang saling bersinonim (mutaradif), dalam arti masing-masing mengisi posisi yang lain.

 

  1. Pendapat Ashah, di antaranya dari Imam Ibnu Hajib dan Imam AsSubki mengatakan, masing-masing dari lafadz muradi diperbolehkan menggantikan posisi yang lain secara mutlak, baik masih dalam satu bahasa atau dua bahasa. Contoh; (Zaid duduk), bisa diucapkan Zaid duduk). Contoh lain : apabila seorang suami mengatakan pada istrinya :

 

“Kamu tertalak apabila kamu menghendakinya, kemudian istri menjawab ‘aku menghendakinya”

 

Dalam hal ini menurut Imam Al-Ardzabili sebaiknya dihukumi jatuh talak, karena lafadz   dan  keduanya tergolong mutaradif.

 

Hal ini mengecualikan manakala sebuah lafadz bersifat ta’abudi, (dogmati), seperti dalam lafadz takbirotul ihram. Maka bagi orang yang mampu tidak boleh mengganti latadz takbirotul ihram dengan lafadz lain yang semakna dari bahasa lain. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah, boleh diganti dengan bahasa lain, bahkan sekalipun bagi mereka yang mampu menggunakan bahasa Arab dengan baik. Dalil lain adalah sebuah hadits yang menceritakan sahabat Barra’ RA saat mendapatkan doa sebelum tidur dari Rasulullah SAW berbunyi;

 

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW meminta sahabat Barra’ mengulangi doa tersebut. Kemudian sahabat Barra’ mengucapkan,   dengan sedikit perubahan, yang semula   diganti dengan  . Melihat hal ini, Rasul SAW langsung melarangnya dan memerintahkannya membaca sesuai redaksi yang pertama. Dari paparan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa, meskipun lafadz   dan   tergolong mutaradi, namun karena lafadz tersebut termasuk ta‘abudi, maka masing-masing dari dua lafadz tersebut tidak bisa menempati posisi yang lain.

 

  1. Pendapat kedua, di antaranya dari Imam Ar-Razi, mengatakan tidak diperbolehkan secara mutlak, baik dalam satu bahasa atau dua bahasa. Dikarenakan manakala dalam sebuah kalam, kalimat berbahasa Arab diganti dengan berbahasa Persia, seperti lafadz (dari) dalam diganti dengan bahasa Persia  (dari), maka bahasa akan rusak. Karena mencampur satu bahasa ke dalam bahasa yang lain sepadan dengan mencampur kata musta’mal (terlaku maknanya) dengan kata muhmal (tidak terlaku maknanya). Nalar logika dalam konteks dua bahasa ini juga berlaku dalam satu bahasa.

 

  1. Pendapat ketiga, di antaranya dari Imam Al-Baidhowi dan As-Shafi Al-Hindy, mengatakan tidak diperbolechkan jika terjadi dalam dua bahasa. Dengan nalar yang sama dengan pendapat kedua.

 

Permasalahan : menurut pendapat Ashah, lafadz musytarak diakui keberadaannya (dalam sebuah kalam) secara jawaz (boleh).

 

DEFINISI DAN KEBERADAAN MUSYTARAK

 

Musytarak adalah sebuah lafadz vang memiliki beberapa makna hakiki. Dan mengenai boleh-tidaknya, serta ada-tidaknya musytarak terdapat silang pendapat ulama.

 

  1. Pendapat Ashah, jawaz (boleh) dan diakui keberadaannya (wuqu’), namun tidak wajib adanya. Contoh lafadz musytarak adalah lafadz yang memiliki arti (haid) dan  (suci), lafadz  yang memiliki arti  (menghadap) dan  (membelakangi), serta huruf  (ba’) yang memiliki arti  (sebagian) dan  (minta pertolongan).

 

  1. Jawaz, namun tidak diakui keberadaannya. Pendapat ini disampaikan oleh imam Tsa’lab, Al-Abhari dan Al-Bulkhin. Mereka mengatakan, lafadz-lafadz yang diduga sebagai musytarak, sebenarnya adakalanya hakikat, majaz atau mungkin muthawathi’ (lihat bab sebelum ini). Contoh makna hakikatnya adalah mata dan makna-makna lain adalah majaz, seperti makna emas (karena kemurniannya), atau matahari (karena terangnya).

 

  1. Tidak diakui keberadaannya hanya dalam Al-Qur’an. Versi ini disampaikan Abi Dawud adz-Dhahiri. Karena jika hal tersebut terjadi dalam Al-Qur’an, maka ada dua kemungkinan. Pertama, adakalanya lafadz tersebut telah dijelaskan maksud maknanya, maka akan berakibat pemanjangan kata-kata tanpa faidah. Kedua, adakalanya lafadz tersebut belum dijelaskan maknanya, maka berakibat menjadi tidak berfaidah. Dalam hal ini Al-Qur’an disucikan dari kedua kemungkinan di atas.

 

  1. Tidak diakui keberadaannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan argumentasi sebagaimana di atas.

 

  1. Wajib diakui keberadaannya, karena pada dasarnya makna-makna yang beredar lebih banyak dibandingkan lafadz-lafadz yang menunjukkannya.

 

  1. Tereegah keberadaannya secara akal, karena akan mengakibatkan pemahaman makna yang cacat dari maksud pembuatannya.

 

  1. “Tereegah keberadaannya hanya adalam dua perkara yang bertentangan. Seperti lafadz yang menunjukkan makna wujudnya sesuatu, sekaligus makna tidak adanya sesuatu tersebut. Versi ini disampaikan oleh Imam Ar-Razi. Beliau mengatakan, jika dua makna tersebut ditetapkan untuk satu lafadz, maka saat mendengarkan lafadz tersebut, faidah yang bisa diambil hanyalah kebimbangan antara keduanya. Meskipun secara akal, kebimbangan tersebut dapar diterima, namun akan berakibat pembuatannya menjadi sia-sia’.

 

(Menurut pendapat Ashah), berdasar musytarak sah diucapkan atas kedua maknanya Sekaligus secara mayaz,

 

 (Dan menurut versi Ashah), bahwa men-jamak kan lafadz musytarak, dengan memandang dua maknanya, adalah berpijak pada keabsahan mengucapkan mwsytaruk atas kedua maknanya sekaligus (di atas).

 

PENGGUNAAN MUSYTARAK DALAM DUA MAKNANYA

 

Lafadz musytarak terkadang digunakan dalam dua maknanya sekaligus. Mengenai hal ini ulama berbeda pendapat.

 

  1. Sah diucapkan, menurut pendapat Ashah.

 

Contoh 01; seseorang dalam satu waktu mengatakan   dengan menghendaki kata  diartikan dengan  (mata) sekaligus   (Sumber air).

 

Contoh 02 ; firman Allah swt QS. Al-Ahzab :

 

 “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi”

 

Lafadz   adalah lafadz musytarak dan yang dikehendaki dalam ayat ini adalah beberapa makna ‘shalat’ sekaligus, yakni ampunan (dari Allah), istighfar dan doa (dari selain Allah). Namun menyikapi bentuk keabsahannya, ulama pendukung versi ini berbeda pendapat.

 

Pendapat Ashah, menyatakan sah secara lughat. Mengenai pola bahasanya, sang pendapat juga terjadi.

 

  1. Versi Ashah menyatakan majaz. Karena lafadz tersebut awal mulanya tidak dibuat untuk kedua maknanya sekaligus, namun untuk masing masing makna secara mandin, batk dengan cara al-wadhi’ (pencetus) keberadaannya lebih dari satu, atau dicctuskan oleh satu orang karena lupa pada pencetusan pertarna.

 

  1. Versi kedua, dari as-Syafi’i, menyatakan hakikat, karena sejak semula lafadz tersebut dibuat untuk kedua maknanya. Dan secara dhahir diperuntukkan untuk keduanya, dan diarahkan pada keduanya sekaligus karena termasuk lafadz ‘am. Namun manakala ditemukan qarinah yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki adalah salah satu di antara beberapa maknanya, maka qarinah tersebut wajib diikuti. Contoh:

 

“(yaitu) orang-orang yang meyakint, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”

 

Lafadz  adalah lafadz musytarak, antara arti  (ragu-ragu) dan  (yakin). Ayat ini disampaikan dalam konteks pujian atas mukminin. Sehingga konteks inilah garinah yang mengarahkan arti lafadz  adalah yakin, bukan ragu-ragu.

 

  1. Menurut Al-Qadhi, menyatakan hakikat dan distatuskan mujmal, serta diarahkan pada keduanya sekaligus dalam rangka ihtiyath (berhati-hati). Sedangkan menurut mayoritas ulama, lafadz tersebut tidak boleh diarahkan pada salah satu atau kedua maknanya, dan statusnya ditangguhkan sampai ditemukannya qarinah.

 

Pendapat kedua, menyatakan sah seecara akal, tidak secara lughat (bahasa), karena hal tersebut menyalahi wadha’ (peletakan makna) pertama, dimana seharusnya setiap satu makna diperuntukkan satu lafadz saja.”

 

  1. Sah dalam kalam nafi (negatif), contoh; (Tidak ada sumber airlmata di dekatku), tidak dalam kalam itsbat (positif). Letak perbedaan antara keduanya, adalah penggunakan lafadz nakirah dalam runtutan kalam nafi (negatif), disampaikan oleh pengarang kitab Al-Hidayah dari kalangan madzhab Hanafi.

 

Perbedaan pendapat di atas terjadi pada lafadz yang kedua maknanya dapat dikumpulkan. Namun apabila kedua maknanya tidak mungkin dikumpulkan, seperti penggunaan lafadz   (kalimat perintah) untuk makna   (menuntut pekerjaan) dan   (menakut. nakuti), maka hal tersebut disepakati tidak sah’.

 

JAMAK (PLURAL) DARI MUSYTARAK DALAM DUA MAKNANYA

 

Kemudian ulama berbeda pendapat mengenai pembuatan kata jJamak (plural) dari lafadz musytarak dengan menghendaki kedua maknanya sekaligus. Contoh; , dengan menghendaki makna mata, logam emas dan mata air. Menurut pendapat Ashah, hukum boleh tidaknya mengikuti hukum penggunaan lafadz musytarak pada kedua maknanya sekaligus sebagaimana di atas. Menurut pendapat lain, hal ini berbeda dengan masalah di atas, bahkan boleh secara mutlak, karena bentuk jamak sebanding dengan pengulangan kata tunggal ( ) dengan cata ‘atha (penggabungan), sehingga seolah-olah tiap satu kata tunggal mewakili satu makna’.

 

 (Menurut versi Ashah), perbedaan ulama tentang pengucapan sebuah lafadz atas dua maknanya sekaligus, berlaku dalam makna hakikat dan majaz dan dalam dalam dua Majaz.

 

 Maka contoh,  bersifat umum pada perkara wajib dan sunnah.

 

PENGGUNAAN BERSAMA MAKNA HAKIKAT-MAJAZ DAN DUA MAKNA MAJAZ

 

Menurut pendapat Ashah, perbedaan pendapat dalam persoalan menggunakan lafadz musytarak pada kedua maknanya berimplikasi terjadinya perbedaan pendapat ulama menyikapi boleh tidaknya mengpunakan sebuah lafadz pada makna hakikat dan majaznya sekaligus. Contoh mengucapkan kata : dengan menghendaki makna membeli langsung (hakikat) dan menawar (majaz). Atau mengucapkan kata   dengan menghendaki makna hewan buas (hakikat) dan pemuda pemberani (majaz).

 

Berpijak pada pendapat ini, maka lafadz yang cdipunakan pada makna hakikat dan majaz secara bersamaan tersebut berstatus mayaz. Karena asal dari setiap lafads adalah digunakan pada makna hakikatnya saja, sedangkan pada persoalan int, lafadz digunakan pada makna hakikae dan pada selain hakikat, sehingya dinilai telah keluar dari hukum asalnya.Sebagian ulama tetap menstatuskan lafadz tersebut sebagai hakikat-majaz dengan dua sudut pandang.

 

Imam Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani menyatakan, menggunakan sebuah lafadz pada makna hakikat dan majaznya sekaligus tidak diperbolehkan, meskipun beliau memperbolehkan penggunaan lafadz dalam dua makna hakikatnya sekaligus. Karena mengakibatkan terkumpulnya dua hal yang bertentangan dan saling menafikan, yakni menghendaki makna wadha’ (makna saat pembuatan) pada awalnya, namun secara bersamaan menghendaki makna selain wadha’. Namun alasan ini dibantah, bahwa antara keduanya tidak ada pertentangan, karena anggapan terjadinya pertentangan dapat dibenarkan manakala keduanya berada dalam satu sasaran, padahal di sini ditemukan dua sasaran.

 

Perbedaan pendapat di atas terjadi pada saat ditemukan garinah (petunjuk) bahwa yang dikehendaki adalah makna majaz beserta makna hakikatnya. Sebagaimana imam Syafi’i mengarahkan lafadz  pada ayat  (An-Nisa’:43) pada makna menyentuh dengan tangan chakikat) dan bersetubuh (majaz). Namun apabila garinah yang ditemukan mengarah pada salah satunya, dalam arti menghendaki makna hakikat Saja atau majaz saja, maka harus diarahkan pada salah satunya.

 

Perbedaan pendapat juga terjadi tentang persoalan menggunakan sebuah lafadz pada kecdua makna majaznya sekaligus. Contoh;  (demi Allah, aku tidak akan membeli) dengan menghendaki makna menawar dan membeli melalui perantara wakil. Namun hal ini dengan syarat tidak adanya pertentangan antara kedua makna tersebut, seperti makna  (memperbolehkan) dan   (menakut-nakuti) pada lafadz  (kalimat perintah)’.

 

Berpijak pada pendapat yang memperbolehkan di atas, maka contoh sebagaimana  (kalian lakukanlah kebaikan..!) bersifat umum, baik perkara wajib maupun sunnah. Hal ini dikarenakan lafadz   diarahkan pada makna hakikat, yakni wajib, sekaligus makng majaznya, yakni sunnah. Dengan qarinah, lafadz yang terkait langsung yaitu   dapat mencakup kedua maknanya.Namun menurut pendapat kedua (tidak memperbolehkan penggunakan makna hakikat dan majaz secara bersamaan), contoh di atas hanya memiliki arti wajib. Dan pendapat ketiga, memiliki arti yang dimiliki bersama (al-qadr al-musytarak) antara wajib dan sunnah, yakni tuntutan melakukan sebuah perbuatan, Pendapat terakhir ini memakai pijakan, bahwa hakikat dari lafadz   adalah untuk kadar makna yang dimiliki bersama (al-qadr al-musytarak) antara wajib dan sunnah’.

 

Hakikat adalah lafadz yang digunak (musta’mal) pada makna yang ditetapkan saat lafadz tersebut tereetus pertama kal. Dan hakikat ada yang berbentuk lughawi, ‘urfi dimana keduanya diakui keberadaannya dalam kalam Arab, dan berbentuk syar’i. Menurut pendapat terpilih, yang bersifat urw’ terjadi dari syar’i bukan yang bersifat teology.

 

PEFINISI DAN PEMBAGIAN HAKIKAT

 

Hakikat adalah lafadz yang digunakan (musta’mal) pada makna yang ditetapkan saat lafadz tersebut tereetus pertama kali. Definisi ini membuahkan beberapa pengecualian;

 

  1. Dari kata-kata ‘yang digunakan’, mengecualikan lafadz (tidak terpakai) dan lafadz yang tereetus namun belum digunakan, maka keduanya tidak bisa dihukumi hakikat atau majaz.

 

  1. Dari kata-kata ‘pada makna yang ditetapkan saat lafadz tersebut tereetus’, mengecualikan lafadz yang tereetus akibat kesalahan. Contoh kamu mengatakan; (ambillah kuda ini.!), dengan berisyarat menunjuk (keledai).

 

  1. Dari kata-kata ‘pertama kali’, mengecualikan lafadz majaz, karena makna dalam lafadz majaz ditetapkan saat lafadz tersebut terectus pada tahap kedua.

 

Hakikat terbagi menjadi tiga, lughawi, ‘urfi dan syar’.

 

  1. Hakikat lughawi, adalah sebuah lafadz yang dicetuskan oleh ahli lughat (bahasa) untuk menunjukkan makna tertentu melalui pembuatan istilah atau (menerima pemahaman istilah jadi dari Allah SWT). Contoh; lafadz untuk makna hewan buas.

 

  1. Hakikat ‘urfr, terbagi dua macam;

 

  1. (umum), adalah sebuah lafadz yang dipindah dari makna aslinya pada makna yang lain melalui penggunaan umum. Adakalanya sebab mengkhususkan sebuah nama pada sebagian perkara yang dinamai, seperti lafadz , dimana secara lughat adalah hewan meelata, kemudian pelaku ‘urf mengkhususkannya pada makna hewan berkaki empat. Dan adakalanya sebab kemasyhuran majaz, hingga enggan menggunakan makna hakikatnya, seperti menyandarkan hukum haram pada khamr, meskipun hakikatnya hukum haram disandarkan pada perbuatan meminum khamr.

 

  1. (khusus), adalah sebuah lafadz yang dipindah dari makna aslinya oleh golongan tertentu. Seperti istilah i’rab rafa’, nashab, Jer, fa’il, maf’ul yang dicetuskan oleh ulama ahli nahwu.

 

  1. Hakikat syar’i, adalah sebuah lafadz yang dicctuskan oleh as-Syari’ (pembawa syari’at). Sehingga penggunaan lafadz tersebut pada makna yang dimaksud hanya dikenal dari syara’. Seperti lafadz bermakna ibadah khusus.

 

Imam as-Shafi al-Hindiy membagi hakikat syar’i menjadi cmpat.

 

  1. Keberadaan lafadz dan maknanya diketahui oleh ahli lughat (bahasa), namun mereka tidak mencctuskan lafadz tersebut untuk makna yang dimaksud. Contoh lafadz .

 

  1. Keberadaan lafadz dan maknanya tidak diketahui sama sekali oleh ahli lughat (bahasa). Seperti beberapa permulaan surat dalam al-Qur’an, menurut ulama yang menjadikannya sebagai nama dari surat atau dari al-Qur’an.

 

  1. Keberadaan latadznya diketahui oleh ahli lughat, namun maknanya tidak diketahui. Seperti lafadz dan ,

 

  1. Keberadaan maknanya diketahui, namun lafadznya tidak. Seperti lafadz , makna lafadz ini dikenal oleh orang Arab, yakni (rumput), namun tidak dikenal di kalangan ahli lughat.

 

Menurut pendapat vang paling unggul, kecmpat bagian di atas diakui keberadaannya

 

EKSISTENSI HAKIKAT SYAR’I

 

Dlama menyepakati, hakikat lughani dan ‘urf diakui keberadaannya dalam kalam Arab. Sedangkan mengenai Aakikat syar’i terjadi perbedaan pendapat;

 

  1. Pendapat terpilih, menolak cksistensi hakikat syar’i yang bersifat dinityah (akidah), seperti iman, karena iman terpakai dalam syara’ menurut makna lughatnya, yakni pembenaran hati. Meskipun As-Syari’ mempertimbangkan pengucapan dua kalimat syahadat bagi yang mampu dalam kealbsahannya. Dan menerima eksistensi hakikat syar’i yang bersifat fariyyab (cabang), seperti shalat. Disampaikan oleh Imam Haramain dan Imam ar-Razi, serta dipilih oleh [bn al Hajib dan pengarang Jam’u al-Jawami’.

 

  1. Tidak mungkin ada, karena antara lafadz dan makna terdapat keserasian yang menccgah pemindahan makna satu ke makna lainnya. Pendapat ini disampaikan satu kelompok dari Murji’ah. Bertolak belakang dengan keterangan dalam kitab Al-Mahshul yang mengklaim ulama sepakat bahwa Aakikat syari dimungkinkan keberadaannya.

 

  1. Menolak cksistensi akikat syar’i dalam kalam Arab. Sedangkan lafadz-lafadz yang terpakai dalam syara’ untuk menunjukkan maknamakna tertentu yang tidak dapat difahami orang Arab, semuanya masih menunjukkan makna lughatnya. Dan tambahan-tambahan yang melebihi makna lughat, merupakan syarat-syarat di dalamnya. Contoh, lafadz ‘as-shalat” terpakai dalam syara’ menurut makna lughawinya, yakni doa kebaikan, hanya saja syara’ menggariskan ketentuan dan syarat, seperti rukuk dan yang lain, agar shalat dapat dihukumi sah. Versi ini disampaikan Al-Qadhi Abu Bakar, Ibn alQusyari, dan riwayat Al-Mawardi dari Jumhur.

 

  1. Mengakui eksistensi hakikat syar’i secara mutlak. Pendapat ini berasal dari kelompok Mu’tazilah.

 

  1. Mengakui cksistensi sakikat syar’i, kecuali iman, karena iman terpakai dalam syara’ menurut makna lughatnya, sebagaimana di atas. Versi ini disampaikan Syekh Abu Ishaq As-Syairazi dalam kitab Syarh alLuma’,

 

  1. Menangguhkan eksistensinya. Pendapat ini dipilih Al-Amidi.

 

Majaz adalah lafadz yang digunakan denganpeletakan makna eda arena adanya sebuah  ‘alagab (penghubung). Maka (dalam majaz) wajib didahului adanya wadh’i (atas makna pertama), tidak wajib didahului adanya isti’mal penggunaan) menurut versi Ashah. Dan diakui keberadaannya dalam kalam menurut Ashah.

 

DEFINISI MAJAZ Majaz adalah lafadz yang digunakan dengan peletakan makna kedua karena adanya sebuah alaqah (penghubung). Ulama bayay menambahkan redaksi, ‘‘disertai adanya qarinah yang mencegah menghendaki makna yang dicctuskan pertama kali’. di Ada beberapa kesimpulan yang dapat difahami dari definisi majar atas;

 

  1. Dari kalimat ‘digunakan dengan peletakan makna kedua’, akan mengecualikan hakikat. Dan dari kalimat ‘karena adanya sebuah ‘alaqah’, akan mengecualikan kalam manqul, karena penukilannya tidak disertai adanya ‘lagah.

 

  1. Dalam majaz diharuskan memenuhi dua persyaratan, adanya ‘alaqah dan qarinah, menurut sebagian ulama. ‘alaqah adalah sesuatu yang menghubungkan antara makna pertama dan makna kedua yang digunakan, sehingga dengan perantara ini, hati berpindah menuju makna kedua. Dan qarinah adalah sesuatu yang berbarengan yang menunjukkan pada makna yang dimaksud dan memastikan bukan makna pertama yang dikehendaki. Persyaratan adanya garinah adalah versi ulama yang melarang penggunaan makna hakikat dan majaz secara bersamaan’.

 

  1. Ulama menyepakati, dalam majaz disyaratkan terlebih dahulu harus ada wadh’u (penetapan lafadz untuk sebuah makna) atas makna pertama (hakikal). Hanya saja mengenai persyaratan harus didahului adanya isti’mal (penggunaan makna) dari makna hakikat, ulama berbeda pendapat;

 

  1. Pendapat Ashah, tidak disyaratkan secara mutlak, karena tidak ada faktor yang melarang sebuah lafadz dibuat majaz sebelum digunakan pada makna hakikinya.

 

  1. Pendapat kedua, disyaratkan secara mutlak, karena apabila tidak demikian, lafadz pertama menjadi tidak berfaidah.

 

  1. Pendapat ketiga, versi dari pengarang Jam’u al-Jawami’, hal tersebut tidak diwajibkan, selain pada mashdar. Tidak akan terwujud bahasa majaz pada lafadz musytaq (tereetak dari mashdar), kecuali telah didahului penggunaan mashdar-nya secara hakikat, meskipun lafadz musytaq tersebut tidak digunakan secara hakikat. Contoh, lafadz .

 

Catatan; menurut pendapat ashah, ketika sebuah lafadz mashdar digunakan dalam makna aslinya, maka lafadz yang musytaq (terectak) dari mashdar tersebut sah dibuat majaz, meskipun mashdar tersebut tidak terpakat pada susylag lahu (perkara yang dibuatkan lafadz musyfaq), Contoh, lafadz   tereetak dari mashdar  dan mashdar ini terpakai dalam makna aslinya, yakni kelembutan hati. Namun makna ini tidak sah dipakai dalam musytag labu (perkara yang dibuatkan lafadz musytaq), yaitu Allah swt, karena muhal (tidak diterima akal). Sehingga pembuatan majaz dalam  dianggap sudah sah”.

 

EKSISTENSI MAJAZ

 

Mengenai diakui tidaknya keberadaan majaz dalam kalam Arab, ulama berbeda pendapat menyikapinya;

 

  1. Menurut pendapat Ashah, mengakui eksistensinya secara mutlak.

 

  1. Sebagian ulama, menolak eksistensinya secara mutlak. Termasuk Imam Abi ‘Ali Al-Farisi, sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Kajjin, dalam keterangan kitab Fawaid ar-Rihlah karya Ibn as-Shalah. Namun murid Ibn Jinniy meriwayatkan dari Beliau bahwa majag dominan dalam setiap bahasa. Pendapat yang sama datang dari imam Abu Ishaq al-Isfirayini. Hanya saja Al-Ghazali masih meragukan keabsahannya dan mengatakan, “Bisa jadi Beliau menghendaki bahwa majaz tidak diakui tetapnya, setaraf pengakuan pada hakikat’.

 

  1. Segolongan ulama menolak eksistensinya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka mengatakan bahwa majaz dari sisi lahiriyah adalah bohong, seperti ucapan yang ditujukan pada orang bodoh, “Ini adalah keledat”. Sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah disucikan dari kebohongan. Hanya saja argument ini dipatahkan, bahwa tidak ada nilai kebohongan, selama masih menyertakan ‘alaqah (penghubung makna). Pendapat adalah versi Dhahiriyyah dan dinukil dalam kitab Al-Mahshul dari imam Abi Dawud, juga dinukil oleh Ibn Hazm dalam Al-Ahkam dari segolongan ulama. Sedangkan al-‘Ubadi menukil pendapat ini dari lbn al-Qadhi, sebagian Ashhab as-Syaf’i dalam kitab Thabaqat-nya’’.

 

Dan sebuah makna dialihkan pada makna karena makna hakikatnya berat pengucapannya, atau kurang enak didengar, atau hakikat tidak diketahui, atau tingkat balaghah-nya (nilai sastra) majaz, atau masyhurnya majaz atau faktor lainnya.

 

FAKTOR PERPINDAHAN HAKIKAT MENUJU MAJAZ

 

Faktor-faktor perpindahan hakikat menuju wajaz adalah sebagai berikut;

 

  1. Lafadz dari makna hakikat berat pengucapannya. Contoh lafad, yang berarti marabahaya, dipindah menjadi lafadz

 

  1. Kurang cnak didengar, misalnya lafadz. , artinya kotoran yang diganti dengan lafadz , arti hakikat-nya dataran rendah.

 

  1. Ketidaktahuan baik dari mutakallim (pembicara) atau mukhathab (lawan bicara) atas lafadz hakikat, bukan majaz-nya.

 

  1. Karena nilai sastra yang terkandung. Contoh, lafadz   (Zaid seperti singa) dalam keberaniannya. Ini memiliki nilai sastra lebih tinggi dibandingkan lafadz 

 

  1. Makna majaz lebih dikenal daripada makna hakikatnya.

 

Dan beberapa faktor lainnya, seperti menyamarkan maksud . perkataan pada selain dua pihak yang berdialog yang tidak tahu akan majaz, bukan hakikat, pembuatan wazan, gatyah, saja’ dengan majaz, bukan dengan hakikat-nya.

 

Menurut pendapat Ashah, majaz tidak lebih dominan dibanding sakikat. Dan majaz tidak dijadikan tumpuan makna, manakala makna hakikat-nya mustahil,

 

DOMINASI MAJAZ ATAS HAKIKAT

 

Menurut pendapat Ashah, kedudukan majaz tidak lebih dominan dalam setiap bahasa dibandingkan hakikat. Namun Imam Ibn Jinniy mengklaim, majaz lebih dominan dalam setiap bahasa dibandingkan hakikat. Karena hampir semua lafadz umumnya memuat makna majaz. Contoh; “Aku melihat Zaid” dan “Aku memukul Zaid”, padahal perkara yang dilihat dan dipukul adalah sebayian anggota tubuh dari Zaid, meskipun rasa sakit akibat dipukul dirasakan seluruh tubuhnya.

 

MENGAMALKAN MAJAZ KETIKA HAKIKATMUSTAHUIL

 

Kaidah berikutnya, apabila sebuah lafadz dikehendaki makna majaz-nya, Damun makna sakikat-nya mustahil ditetapkan, maka menurut ulama ushul kalangan Syafi’iyyah, sebagai versi Ashah, majaz tersebut dinyatakan tidak ada fungsinya dan tidak dapat dijadikan pedoman. Sedangkan menurut Imam Abi Hanifah, wajaz tersebut dapat diamalkan. Contoh, seorang majikan mengatakan pada hamba sahayanya yang berusia lebih tua, “Orang ini adalah anakku” dengan maksud memerdekakan hamba sahaya tersebut, karena sifat menjadi anak menetapkan hukum merdeka. Maka menurut madzhab kita, hamba sahaya tidak dihukumi merdeka. Karena sebuah lafadz dinilai sah menjadi majaz ketika berbentuk asal hakikat. Sedangkan lafadz di atas dalam konteks ini makna hakikat-nya mustahil diterapkan. Menurut Imam Abi Hanifah, hamba sahaya tersebut merdeka, untuk menjaga ucapan agar tidak sia-sia karena tidak diamalkan’’.

 

Majaz dan naql menyalahi hukum asal. Dan (keduanya) Iebih baik dibanding isytirak (menjadikan musytarak). Seedangkan takhshish lebih baik dari keduanya (wajaz dan naql).

 

Menurut versi Ashah, idhmar lebih baik dibanding naql Dan bahwasanya majaz l menyamai idbmar

 

KONTRADIKSI MAJAZ NAQL, ISYTIRAK TAKHSHISH DAN IDHMAR

 

Majaz dan naql keberadaannya menyalahi hukum asal. Naql atau manqul adalah memindah makna awal pada makna kedua yang digunakan karena ada keserasian, kemudian makna awal ditinggalkan (dilupakan).

 

Ketika sebuah lafadz mungkin diarahkan pada makna hakikat dan majaz, atau pada makna asli sebelum dipindah (manqul ‘anhu) dan makna kedua hasil pemindahan (manqul ilaih), maka yang unggul adalah diarahkan pada makna hakikat, karena di dalamnya tidak membutuhkan qarinah. Atau pada manqul ‘anhu, karena makna wadha’ pertama tetap.

 

Kemudian ketika sebuah lafadz memiliki peluang diarahkan pada majaz, naql, isytirak, takhshish, dan idhmar, maka kualitas masing-magi, yang akan menentukan pilihan yang lebih baik. Selengkapnya lihat tabel di bawah ini. .

 

Majaz (ditinjau dari aspek ‘alaqah-nya) ada yang dengan (keserupaan) bentuk, sifat lahiriyah, mempertimbangkan sesuatu yang pasti akan terjadi, atau diduga akan terjadi berkesekebalikan, berdampingan, penambahan, dan penqur’angan. Dengan nama sabab untuk musabbab, keseluruhan untuk sebagian, yang bergantung (muta‘allig) untuk yang digantungi (muta’llag), dan dengan beberapa kebalikannya, Dan dengan sesuatu yang ada dalam kenyataan untuk  sesuatu yang ada secara potensi (quwwah)

 

BEBERAPA MACAM ‘ALAQAH

 

‘Alaqah (hubungan) antara makna hakikat dan majaz merupakan syarat sah dalam pembuatan majaz. Karena seandainya ‘alaqah tidak dipertimbangkan, maka mengucapkan setiap lafadz atas setiap makna menjadi legal (boleh) dilakukan.

 

Dalam hal ini terdapat beberapa macam ‘alaqah dalam majaz, di antaranya;

 

  1. Adanya keserupaan bentuk, seperti menamakan ukiran gambar singa pada tembok dengan nama singa.

 

  1. Adanya keserupaan sifat, dengan syarat nampak secata lahiriyah, dimana hati Ickas mudah memahaminya. Seperti mengucapkan ‘singa’ untuk lelaki pemberani. Karena sifat pemberani adalah sifat yang nampak secara lahiriyah pada hewan buas.

 

  1. Menamakan sebuah perkara dengan sesuatu yang pasti atau diduga akan terjadi, bukan yang kemungkinan kecil terjadi. Contoh yang pasti akan terjadi, QS.Az-Zumar:30;

 

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)”

 

Contoh yang diduga akan terjadi adalah menamakan perasan anggur dengan khamr. Dan contoh yang kemungkinan kecil akan terjadi adalah menamakan hamba sahaya dengan orang merdeka. Yang terakhir ini hukumnya tidak diperbolehkan. Sedangkan menamakan sebuah perkara dengan sesuatu yang telah lewat waktunya sudah dibahas dalam bab isytiqaq. Contoh, menamakan orang yang sudah merdeka dengan hamba sahaya. Atau menyebut orang yang telah turun dari jabatan qadhi dengan nama qadhi.

 

4, Menamakan sebuah perkara dengan kebalikannya. Seperti menamakan ‘dataran berbahaya’ dengan  , yang berasal dari kata   (beruntung atau selamat). Disebut demikian sebagai ‘afa‘ul (pengharapan) agar selamat.

 

  1. Menamakan sebuah perkara dengan sesuatu yang berdampingan. Seperti menamakan girbah (tempat air) dengan nama rawiyah, yakni nama hewan yang ditunggangi untuk membantu pengairan.

 

  1. Penambahan, contoh QS. As-Syura : 11:

 

“Tiada sesualu yang menyerupai allah”

 

Huruf kaf memiliki arti , yang apabila difungsikan maknanya maka akan terjadi pemahaman yang muhal (tidak diterima akal). Karena maksud ayat di atas adalah menafikan sesuatu yang menyerupai Allah swt. Sehingea kaf di sini dihukumi ziyadah (tambahan). Penambahan ini tidak memiliki arti, namun ada fungsi tertentu seperti menggukuhkan.

 

  1. Penqur’angan, contoh QS. Yusuf : ‘Bertanyalah pada (penduduk) desa”

 

Dalam contoh ini, ada penqur’angan lafadz  (penduduk) dengan qarinah, tidak mungkin bertanya pada desa yang berbentuk benda mati.

 

  1. Menamakan musabbab dengan sabab-nya dan sebaliknya. Contoh

 

pertama;   (Pada pemimpin ada kekuasaan). Dalam contoh   kekuasaan dibahasakan dengan   (tangan) karena wujudnya, kekuasaan adalah dengan tangan.

 

Contoh kedua (kebalikan di atas), menamakan sakit parah dengan mati, karena sakit parah biasanya menyebabkan kematian.

 

  1. Menamakan sebagian dengan keseluruhan dan sebaliknya.

Contoh pertama, dalam QS. Al Baqarah 19;

 

“Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya”

 

Contoh kedua (kebalikan di atas), seperti mengucapkan ar-ragabah (Ieher) untuk menamakan manusia.

 

  1. Menamakan sesuatu yang bergantung (muta’alliq) dengan perkara yang digantungi (muta’llaq). Maksudnya adalah ta’alluq yang dihasilkan antara mashdar dan isim fail, serta isim maful. Seperti contoh-contoh berikut;

 

* Mengucapkan mashdar atas isim fa’il, contoh,;   (seorang lakilaki yang adil).

 

* Mengucapkan isim fa’il atas mashdar, contoh;   (berdirilah kamu dengan sungguh-sungguh.!).

 

* Mengucapkan mashdar atas isim mafful, contoh QS. Luqman : 11;  . (makhluk Allah SWT).

 

* Mengucapkan isim maful atas mashdar, contoh QS. Al-Qalam : 06; (dalam siapakah di antara kamu fitnah itup).

 

* Mengucapkan isiw, a‘ilatas isim maful, contoh QS. At-Thariq : 06;   (air yang dipancarkan).

 

* Mengucapkan isim maful atas isim ail, contoh QS. Al-Isra’ : 45;  (suatu dinding yang menutupi).

 

  1. Menamakan sesuatu yang ada secara hukum dengan sesuatu yang ada dalam kenyataan. Seperti menamakan khmr dalam wadahnya dengan muskir (perkara yang memabukkan)”’.

 

Menurut pendapat Ashah, sajaz ada dalam isnad, musytaqgl, huruf, tidak dalam ‘alam,

 

Dan menurut pendapat Ashah, disyaratkan adanya sam’u (mendengar dari orang Arab) dalam macam dari majaz.

 

MAJAZ DALAM ISNAD MUSYTAQ DAN HURUF

 

Menurut pendapat Ashah, majaz terjadi dalam isnad (penyandaran hukum), dengan cara sesuatu disandarkan pada selain pelaku semestinya, karena terdapat interaksi (persinggungan) antara keduanya.

 

Contoh; (musim semi telah menumbuhkan sayuran). Masing-masing kata dalam contoh ini memiliki makna hakikat, kemudian’ dibuatlah mgwaz dengan penyandaran ‘menumbuhkan’ pada ‘musim semi’, dimana hakikatnya merupakan perbuatan Allah SWT.

 

Berbeda dengan pendapat segolongan ulama, seperti Ibn al-Hajib dan as-Sakaki. Ibn al-Hajib menganggap contoh sebagaimana di atas sebagai hakikat, karena perbuatan (menumbuhkan) disandarkan pada pelakunya (fa’il) secara ‘urf Sedangkan as-Sakaki menganggap sebagai isti’arah bi al-kinayah, dimana kata ‘musim semi’ dipinjam untuk pelaku hakiki, yaitu ANah SWT.

 

Majaz terkadang ditemukan juga dalam lafadz musytaq dan beberapa huruf, menurut versi Ashah.

 

Contoh dalam musytaq, QS. Al-A’raf: 44; .

 

‘Dan para penghuni surga akan berseru”

 

Pada contoh ini kata  (fi’il madhi) terpakai untuk mengungkapkan makna yang seharusnya menggunakan mustaqbal, yakni kata . Contoh dalam huruf, QS. Al-Haqqah : 08:

 

Maka kamu tidak. melihat seorangpun yang tinggal di antara mereka

 

Pada contoh ini huruf   terpakai untuk makna nafi yang seharusnya menggunakan huruf .

 

Pendapat berbeda disampaikan Imam ar-Razi, beliau menolak keberadaan majaz mufrad dalam huruf secara mutlak, baik dengan sendirinya (bid dzat) maupun dengan mengikuti (bit taba’i) kalimat lain.

 

Hal ini dikarenakan huruf tidak memiliki faidah tanpa terkumpul dengan kalimat lain. Sehingga hanya ada dua kemungkinan, yakni disebut hakikat manakala huruf berkumpul dengan kalimat yang semestinya disandari atau disebut majaz murakab, manakala berkumpul dengan kalimat yang tidak semestinya disandari. Namun an-Naqsyawani tidak menyepakati status majaz murakab, beliau mengatakan bahwa pengumpulan burug dengan kalimat lain adalah bukti (garinah) adanya majaz mufrad. Imam ar. Razi juga menolak keberadaan majaz dalam fi’il dan musytaq dengan sendirinya (bid deat), dan hanya mungkin terjadi dengan mengikuti (bi taba’i) pada mashdar-nya.

 

Menurut Ashah, majaz tidak diakui keberadaannya dalam beberapa ‘alam (nama). Karena pada ‘alam tidak ditemukan ‘alaqah yang menjadi persyaratan dalam majaz. Dan andai saja ditemukan ‘alaqah, seperti nama Mubarak yang diberikan kepada seseorang karena otang tuanya berharap adanya berkah, maka ini juga tidak disebut maya. Karena apabila contoh ini disebut majaz, maka nama Mubarak akan terlaranp diucapkan manakala ‘berkah’ sudah hilang. Menurut Al-Ghazali, majag diterima dalam ‘alam yang diisyarati sifatnya (li lamhis shifat), seperti nama al-Harits dan al-Asad, bukan ‘alam yang dibuat hanya untuk membedakan antara dzat, seperti Zaid dan Umar”.

 

SYARAT PENUKILAN DARI BAHASA ARAB

 

Ulama terjadi silang pendapat mengenai keharusan adanya penukilan setiap macam majaz dari bahasa Arab.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, setiap macam majaz disyaratkan pernah didengar dari orang Arab. Sehingga setiap macam majaz, semisal Sabab li al-musabbab (mengucapkan sebab untuk menunjukkan sesuatu yang disebabi) tidak boleh diucapkan selama belum ada pereontohannya dalam bahasa Arab. Dan jika tidak konkrit didengar dant orang Arab, maka tidak diperbolehkan membuat sebuah macam majaz baru, semisal membuat kata sebagai majaz atas (orang yang napasnya bau), karena bau napas termasuk sifat dari singa, padahal hal semacam ini tidak diperbolehkan. Namun jika hanya sekedar membuat contoh-contoh baru, bukan macam maja ulama sepakat memperbolehkan.

 

2, Pendapat kedua, tidak disyaratkan. Dan dalam pembuatan setiap macam majaz cukup menggunakan “alaqah. Dalam hal ini, seandainya disyaratkan, maka pemakai bahasa Arab akan mengalami keterbatasan, dan hanya berkutat pada contoh-contoh, padahal mereka menciptakan banyak karya maaz, karena menganggap hal itu sebagai kebanggaan bahasa mereka.

 

  1. Imam Amidi menangguhkan disyaratkan tidaknya hal tersebut.

 

Makna majaz dapat diketahui dengan, (1) mudahnya makna lain difahami (dari lafadz tersebut), seandainya qarinah tidak ditemukan, (2) legalnya penafian, (3) tidak adanya keharusan berlaku secara’ umum, (4) pembuatan jamak berbeda dengan Jamak-nya hakikat, (5) selalu terikat peng-qayid-an, (6) ketergantungan pada penamaan lain, (7) mengucapkan atas hal yang mustahil.

 

PERANTARA MEMAHAMI LAFADZ DAN MAKNA MAJAZ

 

Agar dapat diketahui keberadaannya, majaz memiliki beberapa alamah (ciri-ciri), di antaranya;

 

  1. Mudahnya makna lain difahami (dari lafadz tersebut), seandainya garinah tidak ditemukan. Contoh;

 

“Aku melibat lelaki pemberani memanah”

 

Seandainya tidak menilik garinah berupa kata ‘memanah’, maka makna ‘hewan buas’ sebagai makna hakikat lebih mudah difahami.

 

  1. Legalnya penafian makna hakikat secara realita (nafsul amr), contoh, ucapan pada orang bodoh; (Ini adalah orang bodoh seperti keledai). Boleh dinafikan dengan kata-kata, “Bukan keleda?’.

 

  1. Tidak adanya keharusan berlaku secara umum. Baik tidak berlaku umum sama sekali, contoh; (Dan tanyalah penduduk desa), dalam hal ini contoh lain tidak bisa disamakan, meskipun memiliki ‘alaqah (hubungan) yang sama dengan contoh di atas. Sehingga tidak boleh diucapkan; (Dan tanyalah pemilik tikar). Atau berlaku umum, namun tidak ada keharusan. Contoh, kata  untuk makna lelaki pemberani. Pengucapan majaz ini sah pada seluruh juz makna, tanpa ada keharusan, karena boleh mengucapkan hakikat pada sebagian juz-nya.

 

  1. Pembuatan jamak berbeda dengan jamak-nya hakikat. Contoh, lafadz yang memiliki arti majaz perbuatan, dirubah dalam bentuk jamak menjadi Berbeda dengan makna hakikatnya yaknj ucapan, maka bentuk jamaknya menjadi  .

 

5S. Selalu terikat peng-qayid-an (pembatasan). Contoh,   (rendah diri) dan   (kecamuk peperangan). Dikarenakan dalam hal ini lafadz  dan   terpakai secara hakikat tanpa qayid (batasan).

 

  1. Ketergantungan pada penamaan lain secara hakikat. Adakalanya secara lafdzi (tahqigz), contoh QS. Ali Imran :

 

“Orang-orang ka ir itu menmbuat tpu’daya, dan Allah membalas tipu daya mereka”

 

Pemakaian kata  untuk menunjukkan makna ‘membalas’, digantungkan pada keberadaan kata itu secara lafdzi sebelumnya. Ada juga secara taqdiri (dikira-kirakan), contoh;

 

“Katakanlah: “Allah lebih cepat pembalasannya (atas tipu daya itu)”

 

Dalam contoh ini, meskipun kata   sebelumnya tidak disebutkan secara lafdzi, namun dikira-kirakan secara makna. ;

 

  1. Mengucapkan atas hal yang mustahil. Contoh, (Dan tanyalah penduduk desa). Dalam contoh inimenanyakan sesuatu pada ‘desa’ adalah hal yang mustahil, karena desa adalah bangunan tidak bernyawa. Sehingga dengan bukti ini kata adalah majaz.

 

Permasalahan : Al-Mu’arrab adalah lafadz selain berbentuk ‘alam yang dipakai oleh orang Arab pada makna yang mendasari peletakan lafadz tersebut dalam selain bahasa mereka. Menurut versi Ashah, a-Mu‘arrab tidak terdapat dalam Al-Qur’an.

 

AL-MU’ARRAB DAN EKSISTEENSINYA

 

Al-Mu’arrab adalah lafadz, selain berbentuk ‘alam yang dipakai aleh orang Arab pada makna yang mendasari peletakan Jafadz tersebut dalam selain bahasa mereka. Dari definisi ini mengecualikan hakikat dan majaz, dimana keduanya terpakai pada makna dalam bahasa orang Arab.

 

Mengenat eksistensinya dalam Al-Qur’an, ulama terjadi silang pendapat,

 

1, Lafadz al-Mu’arrab tidak terdapat dalam Al Qur’an. Pendapat Ashah ini diungkapkan as-Syafi’i, Ibnu Jarir dan mayoritas ulama. Karena jika hal itu terjadi, Al-Qur’an akan memuat bahasa selain bahasa Arab, sehingga Al-Qur’an tidak seluruhnya berbahasa Arab. Padahal Allah SWT berfirman dalam QS. Yusuf : 02;

 

“Sesanggubnya Kami menurunkannya berupa Al Quran berbahasa Arab”

 

  1. Lafadz al-Mu’arrab terdapat dalam Al-Qur’an. Pendapat ini diungkapkan Imam Ibn Al-Hajib. Karena sedikitnya jumlah lafadz selain Arab tidak menyalahi ayat yang menjclaskan Al-Qur’an berbahasa Arab (QS. Yusuf:02) sebagaimana yang didakwakan oleh pendapat pertama. Sebagaimana Qashidah Persia, penamaannya sebagai ‘Persia’ tidak berubah dengan adanya kalimat-kalimat berbahasa Arab di dalamnya. Hikmah yang dapat diambil, Al-Qur’an yang eksistensinya mengumpulkan ilmu awwalin (orang terdahulu) dan akhirin (orang yang akhir), sudah semestinya Al-Qur’an juga mengumpulkan keanckaragaman dialek dan bahasa. Ibn Jarir meriwayatkan dari Abi Maysarah At-Tabi’i;

 

“Dalam Al-Qur’an terdapat setiap bahasa”

 

Di antara contohnya adalah;   (sutera tebal) dari bahasa Persia,   (timbangan) dari bahasa Rum, dan   (lobang angin yang tidak tembus) dari bahasa India.

 

  1. Membenarkan kedua pendapat di atas. Pendapat ini dipelopori oleh. Imam Abu Ubaid dan diamini oleh beberapa ulama seperti Imam Al-Jawaligiy dan Ibn Al-Jauzi. Menurut mereka huruf-huruf dalam kalimat tersebut asalnya selain Arab (‘ajam), namun kemudian berada di tangan orang Arab yang kemudian meng-arab-kannya dan menggubah lafadznya dari ‘ajam menjadi Arab. Kemudian setelah itu Al-Qur’an turun dalam keadaan huruf-huruf tersebut sudah bereampur dengan kalam Arab, Sehingga mereka yang mengatakan lafadz-lafadz tersebut berbahasa Arab adalah benat dan yang mengatakan berbahasa ‘ajam (selain Arab) juga benar.

 

Permasalahan : sebuah lafadz adakalanya hakikat saja, atau majaz saja, atau hakikat dan majaz dengan dua pertimbangan. Dan kedua perkara ini (bakikat dan majaz) tidak ada dari sebuah lafadz sebelum terpakai.

 

PEMAKAIAN LAFADZ DALAM MAKNA

 

Dalam hal ini lafadz yang terpakai untuk menunjukkan sebuah makna terklasifikasi menjadi empat bagian;

 

  1. Hakikat saja. Contoh lafadz untuk makna hewan buas.

 

  1. Majaz saja. Contoh lafadz untuk makna lelaki pemberani.

 

  1. Hakikat dan majaz dengan dua sudut pandang”. Hal ini terjadi dengan cara, pertama kali dibuat secara lughat untuk makna umum, kemudian syara’ atau ‘urf mengkhususkannya pada satu macam saja. Contoh, secara lughat memiliki makna mencegah, kemudian syara’ mengkhususkan pada makna mencegah dengan cara tertentu. Kata secara lughat memiliki makna setiap makhluk melata di muka bumi, kemudian ‘urf ‘am mengkhususkan pada makna hewan_berkaki empat dan penduduk Iraq mengkhususkan pada makna kuda.

 

Pemakaian lafadz tersebut dalam makna umum disebut hakikat lughawi sekaligus majaz syar’i atau ‘urfi. Dan pemakaian dalam makna khusus disebut kebalikannya.

 

  1. Bukan hakikat dan majaz. Yaitu status lafadz sebelum terpakai. Dimana keberadaannya tidak bisa disifati hakikat dan majaz, karena pemakaian merupakan syarat penyebutan hakikat dan majaz. Termasuk bagian ini adalah beberapa alam, menurut Imam Al-Baidhawi.

 

Kemudian lafadz diarahkan pada urf dari pemberi khithab (pembicara). Maka dalam khithab syar’i, diarahkan pada -makna syar’i, kemudian urf ‘am, dan selanjutnya makna lughawi, menurut pendapat Ashah.

 

 

MENGARAHKAN LAFADZ PADA ‘URF AL-MUKHATHIB Selamanya lafadz diarahkan pada urf dari pemberi khithab (pembicara), yakni As-Syari’ (pembawa syariat), ahli ‘urf, atau ahli lughat.

 

Dalam hal ini Jumhur merumuskan petincian sebagai berikut,

 

  1. Apabila pemberi khithab adalah As-Syari’, maka diarahkan pada makna syari, sebab makna syar’i adalah arf dari As-Syari’. Hal ini Jantaran Nabi SAW diutus untuk menjelaskan syariat, bukan lughat.

 

  1. Apabila makna syar’ tidak memungkinkan, bisa jadi karena makna syar’i tidak ditemukan, atau ditemukan, namun dibelokkan arah maknanya oleh faktor tertentu, maka diarahkan pada makna ‘urz ‘am, yakni sesuatu yang dibiasakan seluruh manusia pada saat khithab dan terus berlangsung. Hal ini karena secara lahiriyah makna tersebut dikehendaki lantaran lekas difahami dalam hati.

 

3, Apabila makna ‘urz ‘am tidak memungkinkan, bisa jadi karena makna ‘urz ‘am tidak ditemukan, atau ditemukan, namun dibelokkan arah maknanya oleh faktor tertentu, maka diarahkan pada makna lughawi, menurut pendapat Ashah”.

 

Kesimpulan penjelasan Jumhur di atas, lafadz yang selain memiliki makna syar’, juga memiliki makna ‘urf, atau lughawi atau keduanya, maka pertama kali harus diarahkan pada makna syar’, Sedangkan lafadz yang memiliki makna ‘urf ‘am dan lughawi, maka pertama kali harus diarahkan pada makna ‘urf ‘am. Contoh; apabila seseorang mengucapkan sumpah;

 

“Dia tidak akan menjual khamr atau budak mustauladah”

 

Apabila dia memutlakkan, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah sebab menjualnya, karena diarahkan pada makna syar’, dimana jual beli secara syar’ tidak bisa direalisasikan dalam kedua harang tersebut. Namun apabila menghendaki bahwa dia tidak mengucapkan bahasa akad dengan disandarkan pada kedua barang tersebut, maka dia dianggap melanggar sumpah sebab menjualnya karena mengarahkan pada makna ‘urf.

 

Dalam kategori lafadz yang memiliki makna syar’ dan lughawi, Imam al-Ghazali dan al-Amidi berpendapat, apabila terdapat dalam kalam itsbat (positif), maka diarahkan pada syar’, Contoh HR. Muslim no, 1951;

 

“Nabi SAW masuk raumahku suatu hari, kemudian Beliau berkata, “Apakah pada kalian ada sesuatu untuk dimakan”. Aku menjawab, ‘Tidak ada’. Nabipun berkata, ‘Maka jika demikian sungguh aku berpuasa” Shaum’ di sini diarahkan pada makna puasa secara syar’, sehingga menyimpulkan hukum sah, yakni berpuasa sunnah dengan niat dj siang hari. Dan apabila terdapat dalam kalam ilahi (larangan), maka tidak diarahkan pada makna syar’i. Menurut al-Ghazali status lafadz adalah mujmal (tidak jelas maksud maknanya), karena tidak mungkin diarahkan pada makna syar’ sebab keberadaan nahi, dan juga tidak mungkin diarahkan pada makna lughawi, karena Nabi SAW diutus untuk menjelaskan syariat. Menurut al-Amidi diarahkan pada makna lughawi, karena tidak mungkin diarahkan pada makna syar’ sebab adanya ahi. Contoh HR. Muttafaq ‘Alaih;

 

“Bahwa Nabi SAW melarang puasa pada dua hari, hari Idul Fitri dan hari Nahr (Idul Adha)”

 

Shaum’ di sini tidak mungkin diarahkan pada makna syari’, katena akan menimbulkan hukum sahnya puasa, lantaran syara’ hanya melarang puasa yang mungkin dilakukan secara syar’i, Dalam hal ini puasa secara syar’i tidak mungkin dilakukan, karena waktu ini (hari ied dan nahr) tidak boleh dibuat puasa juga tidak mungkin diarahkan pada makna lughawi, karena sama halnya dengan mengarahkan kalam pada selain ‘urf dari pembicara. Berdasarkan hal ini, lafadz tersebut menurut Imam Al-Ghazali berstatus mujmal. Sedangkan menurut Imam Al-Amidi, diarahkan pada makna lughawi, yakni imsak (mencegah). Artinya, maksud ‘shaum’ yang dilarang adalah imsak (mencegah) secara lughat. Sehingga pada hari ied dan nahr hukumnya wajib makan, sebagai realisasi ‘tidak boléh mencegah’ sebagai makna lughawi dari ‘shaum’ yang dilarang.

 

Menurut pendapat Ashah, bahwa manakala terjadi pertentangan antara majaz rajib (ungguk) dan hakikat marjuhah (diungguli), maka keduanya setara.

 

PERTENTANGAN MAJAZ RAJIH DAN HAKIKAT MARJUHAH

 

Terkadang pemakaian majaz lebih dominan dibandingkan hakikat. Dan ketika terjadi pertentangan antara majaz rajih (unggul dan dominan) dan hakikat marjuhah (diungguli) terdapat beberapa pendapat.

 

  1. Keduanya sederajat. Dikarenakan masing-masing memiliki sisi kelebihan. Pendapat ini oleh pengarang dinilai sebagai versi Ashah.
  2. Hakikat lebih baik sebagai sandaran mengarahkan makna, karena hakikat adalah asal.
  3. Majaz lebih baik sebagai sandaran mengarahkan makna, karena majaz lebih dominan.

 

Contoh, seseorang bersumpah;

 

“Aku tidak akan minum dari sungal ini”

 

Makna hakikat ‘minum’ yang sudah diketahui adalah meminum air dengan mulut, dan makna majaz yang dominan adalah minum dengan menggpunakan alat penciduk. Kemudian apabila dia tidak berniat apapun, apakah dinyatakan melanggar sumpah dengan cara pertama atau cara kedua, atau melanggar dengan masing-masing dari keduanya?. Menurut pendapat Ashah, melanggar dengan masingmasing dari minum air dengan mulut dan menggunakan alat penciduk. Pendapat kedua, melanggar dengan minum air dengan mulut saja. Dan pendapat ketiga, melanggar dengan minum air mengegunakan alat penciduk

 

Versi Ashah, tetapnya sebuah hukum (dengan dalil), dimana hukum tersebut mungkin dikehendaki dari sebuah khithab, namun secara majaz maka ketetapan semacam itu tidak menunjukkan bahwa hukum tersebut yang dikehendale dari Abithab, Sehingya khithab tetap dalam hakikat-nya.

 

TETAPNYA KHITHAB PADA KONTEKS HAKIKAT-NYA

 

Manakala kita menjumpai sebuah khithab memiliki sisi hakikat dan majaz, kemudian ditemukan sebuah ketetapan hukum syar’i yang memungkinkan keberadaannya digali dari khithab tersebut secara Majaz apakah kita akan mengatakan, ketetapan hukum yang ditemukan diambil dan dikehendaki dari khithab tersebut?, sehingga khithab diarahkan pada makna majaz. Atau kita katakan, khithab tersebut tetap dalam hakikatnya?dan ketetapan hukum tersebut memiliki dalil lain (selain sisi majaz dari khithab). Dalam hal ini terjadi silang pendapat;

 

  1. Pendapat Ashah, tetap dalam hakikatnya. Karena tidak adanya faktor yang memalingkan dari makna hakikat.

 

  1. Pendapat kedua, tidak tetap dalam hakikatnya, dan menunjukkan bahwa ketetapan hukum tersebut adalah yang dikehendaki dari khithab. ‘

 

Contoh; ketetapan hukum, wajib tayammum bagi orang yang bersetubuh dan tidak menjumpai air secara ijma’. Dimana ketetapan hukum ini ada kemungkinan dikehendaki secara majaz dari QS. AnNisa :

 

“Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak, mendapat air, maka bertayamumlah kamu”

 

Makna hakikat   adalah menyentuh dengan tangan dan makna majaznya adalah jimak (setubuh). Menurut pendapat pertama, makna   tetap dalam hakikatnya, sehingga menunjukkan hukum menyentuh dengan tangan membatalkan wudhu. Dan bisa jadi sandaran ijma’ bukan ayat tersebut, namun tidak disebutkan karena mencukupkan dengan adanya ijma’. Pendapat kedua, makna  dalam ayat di atas adalah jimak (setubuh), sehingga tidak menunjukkan batalnya wudhu sebab menyentuh dengan tangan, Dan ayat di atas merupakan sandaran dari ijma’, karena tidak ada sandaran yang disebutkan selain ayat tersebut.

 

Permasalahan : sebuah lafadz apabila terpakai pada makna hakikinya, agar beralih menuju kelaziman maknanya, maka disebut. Dan kinayah termasuk hakikat.

 

Atau lafadz tersebut terpakai pada maknanya secara mutlak (baik hakikat, majaz atau kinayah) untuk mengisyarati makna yang lain, maka disebut ta’ridh. Ta’ridh terbagi menjadi hakikat, majaz dan kinayah.

 

KINAYAH DAN EKSISTENSINYA

 

Lafadz terbagi menjadi sharih, Rinayah dan ta’ridh.

 

  1. Sharih adalah lafadz yang maknanya tidak memungkinkan diarahkan pada selain yang dimaksud.

 

  1. Kinayah adalah lafadz yang terpakai pada makna hakikatnya, namun tidak dikehendaki dengan sendirinya, akan tetapi agar beralih menuju kelaziman maknanya.

 

Contoh;   (Zaid tinggi postur tubuhnya). Kata   diucapkan pada makna hakikatnya, yakni tingginya gantungan pedang, namun bertujuan agar beralih menuju kelaziman dari makna tersebut, yakni  (tinggi postur tubuhnya).

 

Status dari kinayah adalah termasuk hakikat ghair as-sharihah (hakikat yang tidak sharih). Hal ini disimpulkan dari statemen pengarang kitab At-Talkhish dan dijclaskan oleh Imam As-Sakaki dan ulama lain, termasuk As-Sa’du At-Taftazani.

 

Perbedaan kinayah dengan pengumpulan makna hakikat dan majaz sekaligus adalah bahwa dalam makna hakikat dalam kinayah tidak dikehendaki dengan sendirinya (dzatiyyah), sedangkan dalam pengumpulan makna hakikat dan majaz dikehendaki dengan sendirinya. Ulama berbeda pendapat mengenai status hakikat atau majaznya.

 

  1. Ta’ridh adalah lafadz yang terpakai pada maknanya secara mutlak (baik hakikat, majaz atau Ainayah) untuk mengisyarati makna lain Disebut ta’ridh, karena makna difahami melalui sindiran lafadz (tepi lafadz). Contoh firman Allah SWT QS. Az-Zumar :

 

“Jika kamu mempersehulukan (Tuhan), niseaya akan hapuslah amalmu”

 

Khithab dalam ayat ini diperuntukkan bagi Nabi SAW, namun merupakan sindiran bagi orang-orang kafir. Artinya, lafadz dalam ayat ini digunakan pada maknanya, namun merupakan isyarat bagj pendengar pada perkara lain.

 

Ta’ridh terbagi tiga, hakikat, majaz dan kinayah, tergantung makna asal yang dipakai. Hanya saja jika memandang makna ta’ridh yang dihasilkan, maka makna tersebut tidak bisa disimpulkan dari lafadznya, namun berdasarkan siyag al-kalam (konteks ucapan)”.

 

 sebagai jawab dan jaza’. Dikatakan satu pendapat, fungsi ini selamanya, pendapat lain,  secara umum.  sebagai syarat, nafi dan taukid  menunjukkan keraguan, menyamarkan, atau  memberi pilihan, kumpul secara mutlak, pembagian, menggunakan makna  , dan  idhrab.  dengan hamzah yang difathah dan tanpa tasydid, untuk menunjukkan penafsiran,  memanggil sesuatu yang jauh, menurut  pendapat Ashah.

 

MAKNA   DAN

 

Pertama,  ; termasuk yang menashabkan fi’il mudhari’. Pendapat Ashah termasuk huruf basith (tidak tersusun), bukan susunan (murakkab) dari dan   dan juga bukan isim. Maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Sebagai jawab dan jaza’. Sebagaimana statemen Imam Sibawaih. Dan menurut Imam As-Syalubin, fungsi ini selamanya pada setiap tempat. Contoh, seseorang mengatakan; “ (Aku akan menjengukmu), kemudian kamu mengatakan (Jika demikian, aku akan memuliakanmu). . Maka artinya kamu telah men-jawab sekaligus menjadikan ‘memuliakan’ sebagai jaza’ (balasan) dari penjengukan orang tersebut.

 

  1. Terkadang menjadi jawab saja. Karena menurut imam Al-Farisi, fungsi jawab sekaligus jaza’ hanya secara umum pada mayoritas tempat. Contoh, seseorang mengatakan; “ (Aku menyukai kamu), kemudian kamu mengatakan   (jika demikian, aku membenarkanmu). Maka artinya kamu hanya men-jawab saja. Namun dalam hal ini imam As-Syalubin bersikukuh menganggap contoh ini sebagai jaza’, dengan mengira-ngirakan ;  dengan mengin-ngirakan  (jika kamu sungguh ucapkan hal itu, maka aku membenarkanmu).

 

Kedua,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Mayoritas terlaku sebagai syarat, yakni menggantungkan keberaq, isi dari sebuah jumlah pada keberadaan isi dari jurnlah lain, Contoh QS. Al-Anfaal : 38:

 

“Jika mereka berhenti (dari kekafirannya , niseaya Allah akan Mengampui mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”

 

  1. Nafi searti dengan . Contoh QS. Al-Mulk : 20; ,

 

 “Orang-orang ka ir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu”

 

  1. Ziyadah (tambahan), contoh;

 

“Zaid tidak berdirt”’

 

Ketiga,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menunjukkan keraguan pembicara, contoh QS. Al-Kahfi : 19;

 

“Kita berada (asin) sehari atau setengah hari”

 

Contoh lain;

 

“Aku tidak tabu, apa dia salam atau berbamitan”’

 

Pendapat Imam Al-Hariri bahwa contoh kedua ini memiliki makna mendekatkan kemiripan telah ditanggapi Imam Ibn Hisyam.

 

  1. Menyamarkan pada pendengar, contoh QS. Saba’ : 24:

 

“Dan sesunggubnya kami atan kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”

 

  1. Memberi pilihan antara dua hal yang disandarkan (di-atha -kan), baik dua hal tersebut tereegah berkumpul, contoh; (Ambillah dari hartaku, baju atau dinar), atau boleh berkumpul, contoh,; (Duduklah bersama para ulama atau penasehat)

 

  1. Kumpul secara mutlak, sebagaimana , contoh;

 

“Laila menyanyka babwa aku sungguh jahat. Ketakwaan diriku bermanfaat bagiku dan kejahatan diriku mencelakakanku”

 

  1. Pembagian, contoh;

 

“Kalimat terbagt menjadi isin, fi’il dan huruf”

 

6, Menggunakan makna  sehingga menashabkan fi’il mudhari’ yang ada setelahnya dengan yang tersimpan. Contoh;

 

“Aku akan terus di dekatmu sampat kamu menunaikan hakku”

 

  1. Idhrab seperti Contoh QS. As-Shaafat : 147:

 

“Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang, bahkan lebih”

 

Keempat,   dengan hamzah yang difathah dan ya’ yang disukun. Maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menunjukkan penafsiran, baik atas mufrad atau jumlah. Contoh;

 

“Padaku ada ‘asad, yaitu emas”

 

“Kamu menuduhku dengan pandangan, artinya kamu bersalah”

 

  1. Menurut pendapat Ashah, untuk memanggil sesuatu yang jauh, seperti yang diunggulkan Imam Ibn Malik, menukil pendapat Imam Sibawaih. Pendapat lain dari Imam As-Suyuthi, untuk memanggil sesuatu yang mutawasith (tengah-tengah). Karena menurut beliau dalam (si tidak terdapat pemanjangan huruf seperti dalam namun juga tidak seperti hamzah yang digunakan untuk memanggil sesuatu yang dekat. Pendapat ketiga, untuk memanggil sesuatu yang dekat, contoh;

 

“Penghuni surga yang masuk terakhir dan paling : rendah derajatnya, dia memanggil Wahai Tuhanku” Padahal Allah SW’T telah berfirman dalam QS. Al-Baqatah ayat 186 ;   (bahwasanya Aku adalah dekat)

 

 dengan tasydid, untuk isim syarat, istifham, mausul, menunjukkan makna sempurna dan peramtara nida’ (panggilan) lafadz yang berimbuhan alif lam.

 

   adalah isim penunjuk zaman madhi sebagai dharaf, maf’ul bih, badal dari maf’ul, disandari oleh isim zaman, dan juga menunjukkan zaman mustaqbal. Berlaku juga untuk makna ta’lil berbentuk huruf dan untuk menunjukkan mufaja’ah juga berbentuk huruf, sesuai pendapat Ashah.

 

MAKNA  DAN

 

Kelima,  dengan tasydid. Makna yang terlaku sebagai berikut;

 

  1. Isim syarat, contoh QS. Al-Qashash : 28 :

 

“Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi)”

 

  1. Istifham, contoh QS. At-Taubah : 124:

 

“Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?”

 

  1. Maushul, contoh QS. Maryam : 69

 

“Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka”

 

  1. Menunjukkan makna sempurna, yaitu ketika menjadi sifat dari isim nakirah atau hal dari isim makrifat. Contoh;

 

“Aku berjalan bertemu laki-laki yang sempurna kelaki-lakiannya’.

 

“Aku berjalan bertemu Zaid yang sempurna kelaki-lakiannya”

 

  1. Perantara nida’ (panggilan) atas lafadz yang berimbuhan alif lam. Contoh; (Wahai kalian para manusia).

 

Keenam,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menjadi isim untuk menunjukkan zawan madhi (lampau), adakalanya;

 

  1. Sebagai dharaf, dan ini adalah mayoritas, contoh QS. AtTaubah : 40;

 

“Maka sesunggeubnya Allah telab menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dart Mekah)”

 

  1. Sebagai maful bih, contoh QS. Al-A’raf : 86:

 

“Dan ingatlah di wakin dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu”

 

  1. Sebagai badal dari maful bih, contoh QS. Al-Maidah : 20:

 

“Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi nabi diantaramu”

 

  1. Terbaca Jer dengan disandari oleh isim zaman, contoh QS. Ali Imran : 08:

 

“Ya Tuhan kami, “janganlah Engkau jadikan hati kami condong . kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami”

 

  1. Menjadi ism untuk menunjukkan zaman mustagbal (yang akan datang) menurut pendapat Ashah. Contoh, QS. Ghafir : 70-71 :

 

“Kelak mereka akan mengetahui ketika belenggn dan rantai dipasang di leher mereka”

 

Pendapat lain, tidak menunjukkan wustagbal Dalam contoh ini, pengeunaan mustaglqbal, karena nyata akan terjadi, sehingga seperti madhi.

 

  1. Berlaku juga untuk makna ta’lil, berbetuk huruf, menurut versi Ashah. Contoh QS. Az-Zuhruf : 39 :

 

“(Harapanmu itu) sekaht-kali tidak akan memberi manfaat kepadanan di hari itu karena kamu telah menganiaya (dirimu sendiri). Sesunggubnya kamu bersekutu dalam azab itu”

 

Pendapat lain, berbentuk dbara’ dengan makna waktu, dan makna ta‘lif didapatkan dari kekuatan sebuah kalam.

 

  1. Menunjukkan mufaja’ah, berbentuk huruf, ketika terletak setelah dan sesuai pendapat Imam Sibawaih. Contoh;

 

“Suatu saat aku sedang demikian, tiba-tiba Zaid datang”

 

Pendapat lain, berbentuk dharaf zaman, dan versi lain dharaf makan, Menurut satu qaul, tidak menunjukkan mufaja’ah”.

 

untuk menunjukkan waufaja’ah berbentuk huruf, menurut pendapat Ashah. Dan terlaku sebagai dharaf untuk makna mustagbal yang mayoritas menyimpan makna syarat. Dan jarang datang untuk makna madzi dan hal.

 

menunjukkan ishaq secara hakiki dan majazi, ta’diyah, sababiyah, mushahabah, dharfiyah, badaliyah, muqabalah, mujawazah, isti’la’, qasam, ghayah, taukid, dan juga tab’idh, menunut pendapat Ashah.

 

MAKNA  DAN  .

 

Ketujuh,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Pendapat Ashah, berbentuk huruf menunjukkan mufaja’ah, yakni ketika berada di antara dua jumlah, dimana jumlah kedua berupa ismiyyah, Hal ini sesuai pendapat Imam Akhfasy dan Ibnu Malik. Imam Mubarrad dan Ibnu Ushfur mengatakan, sebagai dhara makan. Dan menurut Imam Az-Zajjad dan Az-Zamakhsyari, sebagai dharaf zaman. .

 

“Aku keluar, tiba-tibal di tempat itulahl saat itulah Zaid berdiri”

 

  1. Menunjukkan selain wu aja’ah, hal ini adakalanya;

 

  1. Mayoritas terlaku sebagai dhara untuk makna mustaqbal yang menyimpan makna syarat, serta khusus masuk pada fi’il dengan jawab yang berimbuhan fa’, Contoh An-Nasht : 01

 

“Apabila telah datang pertolongan Allah”

 

Dan jawabnya pada ayat 03 :  (Maka bertasbihlah).

 

  1. Jarang terlaku untuk makna madzi dan yal, Contoh makna madzi ;

 

 ‘Dan apabila mereka melibat pertiagaan atau permainan”

 

Contoh makna hal:

 

“Demi malam apabila menutupt (cayaya siang)”

 

Kedelapan,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menunjukkan ilshaq (menjadikan bertemu) secara hakiki, contoh (Penyakit itu mengenainya) dan majazi, contoh (Aku berjalan mendekati Zaid).

 

  1. Ta’diyah, contoh (Allah hilangkan cahaya mereka).

 

  1. Sababiyah, contoh (Maka masing-masing mereka itu Kami siksa disebabkan “dosanya). Termasuk di sini adalah yang berfaidah Isti’anah, contoh (Aku menulis menggunakan pena)

 

  1. Mushahabab, (Sesungguhnya telah datang ; Rasul itu kepadamu dengan disertai kebenaran).

 

  1. Dharfiyah, baik zaman, contoh (Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar). Atau makan, contoh (Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing).

 

  1. Badaliyah, contoh ucapan Shahabat Umar ra dalam HR. Abi Dawud Kalimat yang tidak membahagiakanku andaikan dunia menjadi gantinya bagiku).

 

  1. Muqabalah, contoh (Aka membeli kuda seharga seribu).

 

  1. Mujawazah, seperti contoh, (Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut putih)

 

  1. Isti’la’, contoh (Ada orang yang jika kamu mempereayakan kepadanya harta yang banyak)

 

10.Qasam, contoh   (Den Allah, aku akan lakukan hal ini),

 

11.Ghayah, con toh b (Dan sungguh dia telah berbuat baik kepada ku)

 

  1. Tankid, contoh (Cukup Allah sebagai saksi).

 

13.Tab’idh, menurut Ashah, sesual pendapat Imam Ashmu’i, Al-Farisi dan Ibnu Malik. Contoh,  Mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum). Pendapat lain, tidak berfaidah tab’idh, dan kata   dalam contoh tersebut memiliki arti   (sega), dan huruf ba’ dalam contoh bermakna sababiyyah

 

Dan menunjukkan ‘athaf sekaligus idhrab, idbrab saja, baik untuk ibthal (membatalkan) atau intiqal (berpindah) dari satu tujuan ke teujuan yang lain.

 

menggunakan makna  dan makna  (karena sebab). Menurut Ashah, termasuk yang memakai makna ini adalah hadits;

 

 adalah huruf ‘athaf untuk menunjukkan  tasyrike (penyekutuan) dan selang waktu. Dan menunjukkan tartib, menurut versi Ashah.

 

 menunjukkan batas maksimal pada  umumnya, jarang digunakan untuk istisna’, dan  menunjukkan makna ta’lil.

 

 menurut versi Ashah, huruf yang menunjukkan taktsir dan taqlil, serta tidak  tertentu pada salah satunya, menurut Ashah.

 

 menurut pendapat Ashah terkadang  berbentuk isim dengan arti ‘di atas’, dan berbentuk huruf untuk makna ‘uluww,

 

 mushahabah, mujawazah, ta’lil, dharfiyah, istidrak, taukid dan menggunakan makna huruf  dan Adapun  maka berstatus fi’il

 

MAKNA   DAN .

 

Kesembilan,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menunjukkan ‘athaf sekaligus idhrab, manakala dibarengi lafadz mufrad, baik mujab (positif), contoh (Zaid datang, lernyatd Umar), atau ghairu mujab (negatif), contoh (Zaid tidak datang, tetapi Umar).

 

  1. Idhrab saja, ketika dibarengi jumlah, baik berfungsi ibthal (membatalkan) atas kandungan lafadz yang dibarenginya, contoh;

 

“Atau (apakah patut) mereka berkata: “Padanya (Muhammad) ada penyakit gila” Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka”

 

Atau intigal (berpindah) dari satu tujuan ke tujuan yang lain. Contoh,

 

“Pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya, Tetapi hati orang-orang kafir itu dalam kesesatan dari (memahami kenyataan) ini”’

 

Kesepuluh,   yaitu isim yang selalu dinashabkan dan disandarkan pada  dan shilab-nya. Maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menggunakan makna ghairu, contoh (Dia banyak harta, hanya saja bakhil).

 

  1. Menggunakan makna (karena sebab). Menurut Ashah, termasuk yang memakai makna ini adalah hadits;

 

“Aku adalah orang yang paling asth mengucapkan dhad, karena sebab itulah aku berasal dari Quraisy”

 

Kaum Quraisy adalah yang paling fasih mengucapkan dhad, dan Nabi SAW adalah yang paling fasih di antara mereka. Penyebutan Quraisy  sebagai isyarat sulitnya dhad diucapkan bagi selain orang arab Pendapat lain menyangeap   semakna dengan  . Sehingga haditg tersebut berisi pengukuhan pujian dengan redaksi menyerupai celaan,

 

Kesebelas,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Huruf ‘athaf untuk menunjukkan tasyrik (penyamaan) dari sisi i’rab dan hukum, menunjukkan selang waktu dan tartib, menurut pendapat Ashah.

 

“Zaid datang kemudian ‘Amr’

 

  1. Menurut Imam ‘Abadi, dalam contoh;

 

“Aku waka kan harta ini pada anak-anakku dan kemudian pada anak-anak dari anak-anakku, satu marga ke marga yang lain”

 

makna  di sini adalah  (kumpul secara mutlak) seperti wawu.

 

Kedua belas,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Umumnya menunjukkan batas maksimal, adakalanya;

 

  1. Mengejerkan isim sharih, contoh;

 

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”

 

  1. Berupa mashdar yang di-ta’wil dari dan . Contoh;

 

“Kami akan tetap menyembah patung anak lenibu ini, hingga Musa kembali kepada kami”

 

  1. Meng-athaf-kan perkara yang tinggi atau rendah. Contoh;

 (Manusia mati hingga sampai ulama).

 (Orang-orang yang berhaji datang hingga mereka yang berjalan kaki)

 

  1. Menjadi ibtida’ (permulaan), baik setelahnya dijadikan permulaan jumlah ismiyah, contoh;

 

“Tak hentinya orang-orang yang terbunuh membuang darah mereka Di Sungai Dijlah, sampai air Dijlah putih memerah”

 

Atau jumlah fi’liyyah, contoh;

 

“fulan sakit sampat mereka tidak, berharap padanya”’

 

  1. Makna ta’lil, dengan cirri-ciri pantas digantikan contoh; ,

 

“Masuklah Islam, agar supaya engkau masuk surga”

 

  1. Jarang digunakan untuk istitsna’.

 

“Pemberian dari kelebihan bukan dermawan, kecuali kamu dermawan Saat apa yang ada padamu sedikit”

 

Ketiga belas,  adalah huruf menurut Ashah. Pendapat lain, berbentuk isim. Maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menunjukkan taktsir. Contoh;

 

“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim”

 

  1. Menunjukkan taqlil Contoh,

 

“Ingat, sedikit anak terlahir tanpa bapak dan anak yang tidak diadakan kedua orang tuanya”

 

Maksud syair ini adalah Nabi Isa as dan Adam as.

 

Dan menurut Ashah, faidah taqlil dan taktsir semua terlaku dan tidak tertentu pada salah satunya.

 

Pendapat lain, terlaku untuk taktsir saja, versi lain, untuk taqlil saja.

 

Pendapat yang dipilih Imam Ibn Hayyan, bahwa  adalah huruf itsbat yang tidak menunjukkan taqlil atau taktsir. Akan tetapi kedua makna ini difahami melalui qarinah (tanda-tanda).

 

Keempat belas,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menurut pendapat Ashah terkadang berbentuk isim dengan arti ‘di atas’, contoh;

 

“Aku berangkat lewat sisi atas (dataran tinggi) pantai”’

 

  1. Berbentuk huruf untuk makna ‘ulluw, baik secara hissi (tetlihar) contoh (Semua yang ada di bumi itu akan binasa) Atau secara maknawi, contoh (Kami Iebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain).

 

  1. Mushahabah, contoh; (Dan memberikan harta bersama dengan cintanya atas harta itu)

 

  1. Mujawazab, contoh; (Aku meridhai atas dirinya).

 

  1. Ta’lil, contoh (Dan bendaklah kamu mengagungkan Allah karena petunjuk-Nya yang diberikan kepadamm).

 

  1. Dharfiyah, (Dan Musa masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah).

 

  1. Istidrak, (Fulan tidak masuk surga karena jelek perbualanyya, akan tetapi dia tidak putus asa dari rahmat Allah SWT).

 

  1. Taukid, contoh; (Aku tidak akan berikrar sumpah)

 

  1. Menggunakan makna huruf , contoh;

 

“Wajib atasku tidak mengatakan’

 

10.Menggunakan makna huruf , contoh;

 

“Apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi”

 

  1. Adapun maka berstatus fi’il Contoh;

 

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi”

 

yang menjadi huruf ‘athf, menunjukkan tartib, ta’qib, dan menunjukkan sababiyah. Menunjukkan dharfiyyah, mushahabah, ta’lil, ‘ullaw, taukid, ta’widh, menggunakan makna  ,   dan

 

  menunjukan ta’lil dan menggunakan makna  mashdariyah

 

  sebuah isik yang menunjukkan makna menghabiskan afrad lafadz nakirah, makrifat yang berbentuk jamak, dan menghabiskan juz-juz lafadz makrifat mufrad.

 

  yang menge-jer-kan menunjukkan ta’lil istihqaq, ikhtishash, milki, zhairurah, tamlik, syibb tamlik, syibh tamlik, taukid nafi, ta’diyah, taukid, menggunakan makna.   dan.

 

MAKNA   dan  

 

Kelima belas,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Sebagai huruf ‘athaf, menunjukkan tartib secara makna dan penyebutan (dzikri), serta ta’qib (menjadikan sesuatu sesudah perkara lain tanpa selang waktu lama) dalam setiap perkara sesuai modelnya,contoh;

 

  (Zaid berdiri kemudian ‘Amr). Di sini berdirinya ‘Amr terjadi setelah berdirinya Zaid dengan selang waktu tidak lama.

 

 (Fulan menikah kemudian dikaruniai anak). Manakala   antara menikah dan mendapatkan karunia anak hanya dipisah waktu hamil dan sejenak untuk berhubungan badan.

 

 Contoh tartib secara penyebutan, yakni peng-athaf-an lafadz mu asshal (berisikan perincian), pada lafadz mujmal (global);

 

‘Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”

 

  1. Menunjukkan sababiyah. Namun juga diharuskan ta’qib.

 

“Lalu Musa meninjunya, dan matilah musubnya itu”

 

Keenam belas,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menunjukkan dua model dharaf, yaitu zaman, contoh;

 

“Dan berdetkirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa har yang berbilang

 

Dan makan, contoh;

 

“Sedang kamu beri’tikaf dalam masji”

 

  1. Mushahabah,

 

‘Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat”

 

  1. Ta’lil,

 

“Niseaya Ramu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan Ramu tentang berita bohong itn”

 

  1. Uluww,

 

“Sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekahan d atas pangkal pohon kurma”

 

  1. Taukid,

 

“Natklah kamu sekalian ke perabu”

 

  1. Ta’widh, contoh

 

(Aku berzuhud atas apa yang aku suka), asalnya

 

  1. Menggunakan makna

 

‘Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasanganpasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu”

 

“Lalu mereka menutupkan tangannya ke muluinya” .

 

“Ini adalah lengan dari baju”

 

Ketujuh belas, maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menunjukkan ta’lil, dan menashabkan fi’il mudhari’ dengan yang tersimpan, contoh;

 

“Aku datang agar supaya dapat melihatmu”

 

  1. Menggunakan makna mashdariyah, dengan cara dimasuki lam, contoh;

 

“Aku datang agar Supaya engkau memuliakanku”

 

Kedelapan belas,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Isim yang menunjukkan makna menghabiskan afrad (individu) lafadz nakirah yang disandarinya, contoh;

 

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”

 

  1. Menghabiskan afrad (individu) mudhaf ilaih yang dimakrifatkan yang berbentuk jamak, contoh;

 

 ‘Setiap hamba sahaya datang”

 

  1. Serta menghabiskan juz-juz lafadz makrifat mufrad, contoh;

 

“Setiap Zaid atau Seorang laki-laki bagus”

 

Kesembilan belas,   maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menunjukkan ta’lil, contoh;

 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia”

 

  1. Istihqaq, contoh (Neraka bagi orang-orang Kafir).

 

  1. Ikhhtishash, contoh (Surga hanya bagi orang-orang bertaqwa).

 

  1. Milki, contoh (Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi).

 

  1. Shairurah yakni ‘aqgibah, contoh;

 

“Maka dipungutlah ia oleh keluarga fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka”.

 

  1. Tamlik, contoh (Aku membert baju bagi Zaid).

 

  1. Syibh tamlik, contoh;

 

“Allah menjadikan bagi kamu istert-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadihan bagimu dari isten-istert kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu”

 

  1. Taukid nafi contoh, (Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, ‘sedang kamu berada di antarg mereka).

 

  1. Ta’diyah, contoh, (Sesuatu yang luar biasa apakah Jang menjadikan Zaid’ memukul Amr)

 

10.Ta’kid, contoh,   (Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki).

 

11.Menggunakan makna huruf;

 

 contoh   (Maka Kami halau awan itu kesuaty negeri yang mati)

 contoh   (Mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.)

 contoh   (Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamatl)

, contoh   (Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran manakala kebenaran itu datang kepada mereka).

Bacaan ini menurut versi qitaah Imam al-Jahdari, yakni dengan lam terbaca kasrah dan mim tanpa tasydid.

 contoh  (Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir).

 contoh   (Aku mendengar teriakan dari orang itu).

 contoh   (Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendabului kami (beriman) kepadanya)”’.

 

  adalah huruf yang dalam jumlah ismiyah bermakna tereegahnya jawab karena wujudnya syarat, dan makna dalam jumlah mudhari’iyyah adalah tahdhidh dan ‘irdh, serta makna dalam jumlah madhiyah adalah taubikh. Menurut pendapat Ashah tidak terlaku untuk nafi dan istifham

 

 adalah huruf syarat kebanyakan untuk madzi. Kemudian dikatakan pendapat lain, hanya sekedar penghubung (syarat-jawab). Pendapat Ashah, sebagai huruf yang menunjukkan tidak adanya jawab, karena tidak adanya syarat secara – realitas. Terkadang terlaku sebaliknya (tidak adanya syarat, karena tidak adanya jawab) ‘secara yakin. Dan terkadang terlakuuntuk menetapkan jawabnya, apabila serasi dengan tidak adanya syarat, secara awlawi, contoh,

 Atau musawvi, contoh,.

 Atau adwan, contoh,

Terlaku juga untuk tawanni, tahdhidh, “irdh, dan taqlil, contoh;

Dan terlaku sebagai mashdariyyah.

 

MAKNA DAN

 

Keduapuluh,   maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Berbentuk huruf yang maknanya dalam jumlah ismiyah, tereegahnya jawab karena wujudnya syarat,

 

“Seandainya Zaid tidak ada, pastilah aku akan menghinamu”

 

‘Menghina’ tereegah karena keberadaan Zaid. Kata   sebagai syarat, yang kedudukannya menjadi mubtada’ dari kbabar yang wajib dibuang,

 

  1. Makna dalam jumlah mudhari’iyyah adalah tahdhidh (menuntut dengan keras),

 

“Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah”

 

  1. Makna dalam jumlah madhiyah adalah taubikh (mencela).

 

“Mengapa mereka (yang menudub itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?”

 

  1. Menurut pendapat Ashah, tidak terlaku untuk nafi dan istifham, Pendapat lain, terlaku untuk nafi, contoh;

 

‘Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman”

 

Dan terlaku untuk istifham, contoh;

 

“Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?”

 

Keduapuluh satu,   maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Huruf syarat dan mayoritas untuk madzi, contoh;

 

“Seandainya Zaid datang, maka pastilah aku akan memulyakannya”

 

Dan sedikit terpakai untuk mustaqbal, contoh;

 

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka”.

 

Dan ulama berbeda pendapat mengenai fungsinya;

 

  1. Pendapat Ashah, menunjukkan tereegahnya jawab, karena tereegahnya syarat secata kenyataan. Baik keduanya mutsbat, contoh;

 

“Jika kamu datangi aku, maka aku akan mulyakan kamu”

 

Atau keduanya nafi contoh;

 

“Jika kamu tidak datang aku, maka aku tidak akan mulyakan kamu”

 

Atau variatif, contoh;

 

“J‘Tika kamu datangi aku, maka aku tidak akan menghinamu”

 

“Jika kamu tidak datanyi aku, maka aku akan menghinamu”

 

  1. Imam Sibawaih mengatakan, adalah huruf yang menunjukkan sesuatu yang akan terjadi, karena terjadinya perkara lain. Artinya, menetapkan perbuatan di masa lampau yang diharapkan tetap karena tetapnya perkara lain. ‘Diharapkan tetap’ artinya tidak terjadi.

 

  1. Imam As-Syalubin yang diikuti Al-Khadhrawi mengatakan, hanya sekedar penghubung jawab dengan syarat serta hanya menunjukkan penggantungan pada masa lampau (wadzz). Secara ijma’ tidak menunjukkan pencegahan (émtina’) atau ketetapan (tsubut). Imam Ibn Hisyam berkomentar, pendapat yang disampaikan dua ulama ini seperti mengingkan hal-hal yang bersifat pemahaman pasti. Karena pemahaman pencegahan (imtina’) sadah amat gamblang. Setiap orang yang mendengar kata-kata (jika dia berbuai), maka dipastikan dia memahami perbuatan tersebut tidak terjadi.

 

  1. Pendapat Imam As-Subki, adalah huruf yang menunjukkan tereegahnya sesuatu yang mengiringinya, dan hal ini menetapkan pada jawab yang mengiringinya. Contoh;

 

(Seandainya Zaid berdin, maka ‘Amr juga berdiri) ‘Berdirinya Zaid dihukumi tidak ada, dimana keberadaannya menetapkan keberadaan ‘berdiri’ bagi ‘Amr. Dalam hal ini diperinci;

 

* Menetapkan ternafikannya jawab. Hal ini apabila jawab serasi dengan syarat, baik karena adanya hubungan kelaziman akal, adat atau syara’, serta hal lain-tidak bisa menggantikan syarat. Sepertt contoh;

 

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tnhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa”

 

Dalam hal ini ‘rusaknya langit dan bumi’ serasi dengan ‘banyaknya tuhan’, karena secara adat adanya tuhan lebih dari satu akan menimbulkan saling ketergantungan atau tidak adanyag kesepakatan menciptakan sesuatu. Dan ‘banyaknya tuhan’ tidak bisa digantikan hal lain agar serasi dengan jawabnya.

 

* Tidak menetapkan ternafikannya jawab. Hal ini apabila ada hallain yang dapat menggantikan svarat, seperti ucapanmu,;

 

“Sekiranya makhluk itu manusta, maka pastilah hewan”

 

Dalam hal ini, ‘hewan’ serasi dengan ‘manusia’, karena secara akal hewan adalah juz (bagian) dari hakikat manusia. Namun ‘manusia’ bisa digantikan hal lain seperti keledai agar serasi runtutannya dengan hewan. Sehingga ternafikannya ‘manusia’ udak menetapkan ternafikannya ‘hewan’, karena bisa jadi makhluk tersebut keledai.

 

“Menctapkan adanya jawab disertai tidak adanya syarat. Hal ini apabila penetapan tersebut tidak menafikan pada tidak adanya syarat, dan penetapan tersebut serasi dengan tidak adanya syarat, baik dengan awlawi(lebih tinggi nilainya), contoh hadits”,

 

“Sekiranya Shubaib tidak takut pada Allah SWT, maka pastilah dia tidak berbuat durhaka”

 

“Tidak berbuat maksiat’ dikaitkan dengan ‘tidak takut pada Allah SWT’, padahal yang Lebih serasi dikaitkan dengan kebalikannya, yakni ‘takut pada Allah SWT” yang dihasilkan dari faidah.

 

Karena faidah  mencegah terjadinya syarat, dimana dalam contoh di atas isi dari syarat yaitu ‘tidak takut’ adalah naff (ncgatif). Dan pencegahan nafi menghasilkan itsbat (positif), yakni ‘takut pada Allah SWT’, Makna lengkapnya, Shuhaib tidak pernah berbuat maksiat dalam keadaan apapun, baik disertai takut pada Allah SWT, atau tanpa ada rasa takut dimana hal ini untuk mengagungkan Allah SWT dari maksiat hambanya. Atau musawah (setara), contoh,

 

“Sekiranya Durrab bukan anak tin, pastilah dia tidak halal (bagiku) karena persusnan”

 

Dicuplik dari hadits Muttafaq ‘alaih, bahwa Nabi SAW bersabda mengenai Durrah, anak perempuan Ummi Salamah, manakala mendengar kaum wanita memperbincangkan bahwa Beliau hendak menikahinya;

 

“Sekiranya Durrah bukan anak tirikku dalam pemeliharaanku,pastilah dia tidak. halal bagiku, karena dia anak saudaraku sepenyusuan” “Tidak halal’ dikaitkan dengan ‘bukan anak tiri’ dengan penjelasan keberadaannya sebagai anak perempuan dari saudara sepenyusuan. Dalam hal ini, ‘sepenyusuan’ ini serasi secara syar’i dengan hukum ‘tidak halal’. Di sisi lain faidah menghasilkan makna Durrah adalah ‘anak tiri’ dari Nabi SAW, yang mana hal ini juga serasi secara syar’i dengan hukum ‘tidak halal’. Posisi keharaman sebab sepenyusuan dan mushabarah (kekeluargaan sebab perkawinan) adalah setara. Sehingga makna dari hadits tersebut adalah Durrah tidak halal bagi Nabi SAW, karena dia memiliki dua sifat yang masing-masing sudah mengharamkannya untuk dinikahi, yakni sebagai anak tiri dan anak saudara sepenyusuan.

 

Atau adwan (lebih rendah), contoh ucapanmu mengenai wanita yang ditawarkan kepadamu untuk dinikahi,

 

“Sekiranya persaudaraan sepenyusuan tidak, ada, pastilah dia tidak halal bagiku, karena hubungan nasab”

 

“Tidak halal’ dikaitkan dengan ‘tidak adanya sepenyusuan’ yang kemudian dijelaskan dengan adanya persaudaraan nasab, dimana ‘persaudaraan nasab’ ini serasi secara syar’i. Di sisi lain ‘tidak halal’ dikaitkan dengan ‘adanya sepenyusuan’ yang dihasilkan dari faidah . Dan hal ini juga serasi secara syar’i dengan ‘tidak halal’, hanya saja nilainya lebih rendah daripada yang pertama. Karena haramnya nikah sebab persaudaraan sepenyusuan lebih rendah dibandingkan sebab persaudaraan nasab.

 

  1. Sedikit digunakan untuk mustaqbal (masa yang akan datang), artinya mengaitkan wustagbal pada mustaqbal lain. Contoh;

 

 “Muliakanlah Zaid, meskipun dia berbuat jelek”’

 

Contoh lain;

 

“Dan mereka hendaklah takut kepada Allah, manakala mereka meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah”

 

  1. Terlaku juga untuk tamanni, yakni mengharap sesuatu yang tidak ada harapan terjadi, ‘ardh, yakni mengharap sesuatu dengan halus, dan tabdhidh, yakni mengharap sesuatu dengan dorongan. Di sini fi’il mudhari’ dinashabkan dengan ot yang tersimpan, dan terletak setelah fa’ berposisi menjadi jawab. Contoh tamanni

 

“Maka sekiranya kita dapat embali sekali lagi (ke dunia) nistaya kami menjadi orang-orang yang beriman”

 

Contoh ‘ardh;

 

“Andaikan kamu mau singgah di sampingku, niseaya kamu akan memperoleh kebaikan”

 

Contoh tahdhidh,

 

“Tendaklah kamu memerititah, pastilah kamu ditaati”

 

  1. Taqlil, contoh :

 

“Bersedekalah meskipun dengan kuku binatang yang dibakar”

 

 sebagai hurnf nafi, nashab, dan istiqbal Menurut’ pendapat Ashah, tidak berfaidah mengukuhkan dan melanggengkan nafi. Versi Ashah, terlaku juga untuk du’a.

 

 terlaku berbentuk isim, adakalanya berbentuk manshul, nakirah maushufah, tammah ta’jjubiyyah, tamyiziyyah, mubalaghiyyah, istifhamiyah, syarthiyah zamaniyah dan selain zamaniyah. Terlaku juga sebagai huruf mashdariyyah (zamaniyyah dan selain zamaniyyah), natah, aidah pencegah amal, dan yang tidak mencegah amal.

 

 umumnya menunjukkan batas maksimal permulaan, batas akhir maksimal, tab’idh, tabyin, ta’lil, badal, menjelaskan makna umum, mengukuhkan penjelasan makna umum, fashl menyamait makna .

 

 adakalanya berbentuk maushul, nakirah maushufah, syartiyyah tammah, istifham, dan tamyiziyyah.

 

 mayoritas untuk menuntut tashdiq, dan sedikit berfungsi menuntut tashawwur.

 

 yang berstatus huruf ‘thaf, menunjukkan kumpulnya dua lafadz secara mutlak, menurut pendapat Ashah.

 

MAKNA DAN .

 

Keduapuluh dua,  maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Sebagai huruf nafi, nashab, dan istiqbal. Menurut Ashah, tidak berfaidah mengukuhkan dan melanggengkan nafi. Berdasarkan firman Allah SW’T pada Nabi Musa AS dalam QS. Al-A’raf : 143;

 

“Kamu sekali-kaht tidak sanggup melihat-Ku”

 

Dan sudah dimaktumi bersama, bahwa Nabi Musa AS seperti halnya Drang-orang mukmin, kelak akan melihat Allah SWT di akhirat Sebagian ulama seperti Imam Az-Zamakhsyari menyatakan berfaidah mengukuhkan nafi yang bersifat mustagbal dan melanggengkannya (ta’bid). Contoh;

 

  (Saya tidak akan melakukan hal itu selamanya)

 (Sekali-kali sesembahan selain Allah tidak dapat menciptakan ‘seekor lalatpun) (Al-Hajj : 73).

 

Pendapat ini disangkal, bahwa didapatkannya faidah-faidah tersebut dalam dua contoh ini adalah dari faktor eksternal (amr kharij), Sebagaimana dalam contoh,

 

Dan sekah-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya

 

Faidah melanggengkan nafi didapatkan dari kata   dan keberadaan lafadz  sebagai taukid, menyalahi dhahir. Menurut Imam Ibn Malik, apa yang disampaikan Imam Az-Zamakhsyari dipicu dari keyakinannya dalam QS. Al-A’raf : 143;

 

“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku”

 

Menurutnya, Allah SWT tidak bisa dilihat, dimana hal ini adalah batal.

 

  1. Menurut Ashah, terlaku juga untuk du’a, dengan perantaraan fi’il setelahnya, sesuai pendapat Imam Ibnu ‘Ushfur. Contoh;

 

Semoga kamu tidak terus-menerus demikian, Kemudian semoga aku selalu melanggengi selanggeng gunung-gunung”

 

Imam Ibnu Malik dan ulama lain menolak pendapat di atas, dan mengatakan, bait syair di atas tidak bisa dijadikan pijakan, karena ada kemungkinan berbentuk kalam khabar. Namun argumentasi Imam Ibnu Malik ini jauh dari kebenaran, karena bertentangan dengan siyaq al-kalam (konteks pengucapan). Dimana lafadz yang diathafkan dengan  adalah kalam insya’, karena berbentuk du’a, sehingga meng‘athafkan kalam insya’ pada kalam insya’ sebelumnya, adalah yang serasi.

 

Keduapuluh tiga,  maknanya sebapai berikut ;

 

1, Terlaku berbentuk isim, bentuknya bermacam-macam;

 

  1. Menjadi maushul, contoh;

 

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”

 

  1. Nakirah maushufah, contoh;

 

“Aku berjalan bertemu dengan sesuatu yang membualmu heran”

 

  1. Nakirah tammah ta’jjubiyyah, contoh;

 

“Luar biasa yang mem uat Zaid menjadi baik”

 

  1. Nakirah tammah tamyiziyyah, contoh;

 

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik, sekali

 

  1. Nakirah tammah mubalaghiyyah, contoh;

 

Sesungguhnya Zaid tereipta dari tulisan Hal ini manakala menghendaki mengkhabarkan Zaid sangat sering menulis.

 

  1. Istifhamiyah, contoh;

 

“Apakah urusanmu yang penting (selain itu)?”

 

  1. Syarthiyah zamantyah, contoh;

 

“Maka selama mereka berlaku lurus terhadapniu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka”

 

  1. Syarthiyah selain zamaniyah, contoh;

 

“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebatkan, niseaya Allah mengetahuinya”

 

  1. Terlaku berbentuk huruf. Adakalanya;

 

  1. Terlaku sebagai mashdar zamaniyah, contoh;

 

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”

 

  1. Mashdar ghairu zamaniyah, contoh;

 

“Maka rasatlah olehnru (stksa int) disebabkan Ramu melupakan”

 

  1. Menjadi nafi, baik beramal, contoh,

 

“Ini bukanlah manusia”

 

Atau tidak beramal, contoh,

 

“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah”

 

  1. Zaidah pencegah amal, contoh,

 

“Sedikit persahabatan yang abadi”

 

Dan yang tidak mencegah amal, contoh,

 

‘Kerjakan hal ini, jika kamu tidak mengerjakan yang lain”

 

Keduapuluh empat, maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Umumnya menunjukkan batas maksimal permulaan tempat, contoh (Dari Masjidil Haram) atau permulaan zaman, contoh, (Dari permulaan hari) atau selain keduanya,  contoh   (Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman).

 

  1. Intiha’ al-Ghayah, contoh, (Aku mendekat kepada dia).

 

  1. Tab’idh, contoh, (Sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai).

 

  1. Tabyin, yakni manakala lafadz yang dimasuki win, sah diarahkan pada lafadz mubham sebelumnya. Contoh, (Ayat mana saja yang Kami nasakhkan).

 

  1. Ta’lil contoh, Mereka menyurmbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir).

 

  1. Badal, contoh, (Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?).

 

  1. Menjelaskan makna umum, yakni manakala masuk pada isim nakirah yang tidak tertentu pada nafi, Contoh, (Di rumah tidak ada seorang laki-lakipun).

 

8, Fashl manakala masuk pada lafadz kedua dari dua lafadz yang pertentangan maknanya, Contoh,  (Dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan).

 

  1. Menyamai makna huruf;

 

 contoh   (Mereka melihat dengan pandangan yang lesu).

 contoh  (Sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini

 contoh  (Apabila disern untuk menunaikan shalat pada hari jum’at

 contoh  (Harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka).

 contoh   (Dan Kami telah menolongnya dari kaum).

 

Keduapuluh lima, maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Mausbul, contoh (Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi).

 

  1. Nakirah maushufah, contoh (Aku berjalan bertemu orang yang mengherankan dirimu). .

 

  1. Nakirah tammah berbentuk syarat, contoh (Barangsiapa yang mengenakan kejahatan, niseaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu).

 

  1. Istifham, contoh (Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?).

 

  1. Nakirah tammah tamyiziyyah, contoh;

 

“Dia adalah sebaik laki-laki di waktu sembunyi dan terang-terangan”

 

Keduapuluh enam,  maknanya adalah;

 

  1. Mayoritas digunakan untuk menuntut tashdiq, yakni menghukumi ada atau tidaknya sebuah penyandaran hukum. Baik berbentuk ijab (positif) atau salb (negatif), Contoh; (Apakah Zaid berdin), Hal ini berbeda dengan pendapat dalam Jamu al-Jawami’, bahwa hanya menuntut tashdiq untuk kalam ijab (positif), mengikuti Imam Ibn Hisyam. Menurut Syekh Jalaluddin adalah kealpaan yang diambil dani pendapat Ibn Hisyam.

 

  1. Sedikit digunakan untuk menuntut tashanwur.

 

Keduapuluh tujuh, ; maknanya sebagai berikut ;

 

  1. Menurut Ashah, menunjukkan pengumpulan hukum secara mutlak tanpa batasan, baik perbuatan terjadi satu waktu dari dua orang, atau salah satunya mendahului. Contoh; (Zaid dan ‘Amr datang). Dalam hal ini ada kemungkinan keduanya datang bareng, atau salah satu ada yang lebih dahulu dan yang lain lebih akhir.

 

  1. Menurut pendapat kedua, menunjukkan tartib, dan pendapat ketiga, menunjukkan ma ‘iyyah (berbarengan). Semisal dalam contoh di atas, maka menurut pendapat kedua, ‘Amr datang lebih akhir, dan menurut pendapat ketiga, mereka berdua datang berbarengan”.

 

Lafadz yang tersusun dari huruf  (alif),  (mim), dan  (ra’) secara hakikat diperuntukkan pada ucapan tertentu, dan secara  majaz  diperuntukkan pada perbuatan, menurut pendapat Ashah.

 

Amr nafsi adalah tuntutan melakukan perbuatan selain mencegah yang ditunjukkan dengan selain lafadz  . Dalam amr tidak memandang ‘uluw (tingginya derajat penuntut), isti’la’ (bernsda tinggi) dan menghendaki dalalah  thalab (tuntutan).

 

Mengenai thalab sifatnya mudah difahami. Dan amr nafsi bukanlah iradah, menurut kita.

 

DEFINISI DAN PEMBAGIAN AMR

 

Amr terbagi menjadi dua macam; .

 

  1. Amr lisani, yaitu lafadz yang tersusun dari huruf (alif), (mim), dan  (ra’). Dumana secara hakikat memiliki arti ucapan tertentu, yakni bahasa yang menuntut dilakukannya sebuah perbuatan, contoh;

 

“Dan perintahkanlah kepada Reluargamu mendirtkan shalat”

 

Makna ayat ini adalah   (Katakan pada mereka, ‘Shalatlah kalian!”)

 

Dan secara majaz memiliki arti perbuatan, contoh;

 

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam perbuatan itu”

 

Makna kata ‘amr’ di sini adalah  (Perbuatan yang hendak kamu lakukan).

 

Menurut sebagian pendapat untuk kadar yang dipersekutukan antara ucapan dan perbuatan. Pendapat lain, dipersekutukan antara keduanya. Dan menurut ulama lain, dipersekutukan antara ucapan, perbuatan, keadaan (urusan), sifat dan perkara. Contoh;

 

 (Padahal urnsan fir’aun sekali-hay; bukantah urusan yang benar).

 

 (Karena stat yang sempurna, orang mulia diangkat menjadi pemimpin).

 

 (Karena sesuatu apakah, Qashir memotong hidungnya).

 

  1. Amr Nafsani (Nafsi), yaita tuntutan melakukan perbuatan selain mencegah yang ditunjukkan dengan selain lafadz . Dari definisi ini dapat disimpulkan beberapa hal;

 

– Kata ‘tuntutan’ memasukkan bentuk jagw (mantapl mengharuskan) dan ghaira jazm (tidak mengharuskan). Dan mengecualikan makna zbahbah dan makna lain yang terpakai dalam shighat amr (akan dijelaskan dalam babnya).

 

– Kata ‘perbuatan selain mencegah’, memasukkan perbuatan yang isinya tidak mencegah, seperti  (Pukullah!). Dan mengecualikan nahi yang isinya perbuatan mencegah.

 

– Kata ‘yang ditunjukkan dengan selain lafadz , memasukkan perbuatan mencegah yang ditunjukkan dengan lafadz   dan yang semakna, seperti   (Tinggalkan!),   (Tinggalkan!), dan   (Tinggalkan’). Lafadz-lafadz ini disebut amr, bukan nahi. Dan mengecualikan perbuatan mencegah yang ditunjukkan dengan selain lafadz  , seperti   (Jangan kamu lakukan).

 

Perbedaan amr lisani dan nafsani adalah, amr lisani berujud ucapan yang menuntut dilakukannya sebuah perbuatan, sedangkan amr nafsani adalah tuntutan itu sendiri’.

 

PERSYARATAN   DAN MENGHENDAKI THALAB

 

Dalam amr, ulama berselisih pendapat mengenai persyaratan   dan   (menghendaki thalab).   adalah lebih tingginya derajat penuntut dibandingkan orang yang, dituntut. Seperti tuntutan Allah swt pada hamba-Nya. Hal ini merupakan sifat dari watakallim (penuntut).

 

 adalah tuntutan yang bernada tinggi, meskipun sebenarnya penuntut tidak lebih tingpi derajatnya. Seperti tuntutan fakir miskin pada orang kaya dengan keras dan nada tinggi. Hal ini merupakan sifat dari kalam (tuntutan).

 

 adalah menghendaki arah makna (dalalah) dari lafadz amr memberi faidah thalab (tuntutan).

 

Mengenai tiga syarat di atas ada cmpat pendapat ulama:

 

  1. Pendapat Ashah, tidak mensyaratkan ketiganya, karena penyebutan amr tidak membutuhkan ketiganya

 

  1. Mensyaratkan dan , sehingga mengucapkan amr tanpa kedua unsur tersebut adalah majazi. Diungkapkan Imam Ibn AIQusyairi dan Qadhi Abd Al-Wahhab.

 

  1. Mensyaratkan saja, sehingga apabila penuntut setara derajatnya, disebut iltimas, dan jika penuntut lebih rendah derajatnya, maka disebut su’al, Diungkapkan oleh kelompok Mu’tazilah, Abu Ishaq as-Syairazi, Ibn as-Shabagh dan as-Saml’ani.

 

  1. Mensyaratkan saja, diungkapkan Abu al-Husain dari Mu’tazilah, Imam Ar-Razi, al-Amidi dan Ibn al-Hajib.

 

  1. Mensyaratkan dan Apabila pembicara tidak menghendaki thalab dengan lafadz amr, maka tidak disebut amr, karena terkadang lafadz tersebut terpakai pada selain makna thalab, seperti tahbdid (menakut-nakuti). Untuk membedakannya tidak ada cara lain selain dengan menghendaki makna thalab. Dalam hal ini mayoritas ulama menolak, mereka mengatakan, pemakaian lafadz amr pada selain makna thalab adalah majazi yang bisa dicermati lewat garinah, berbeda ketika yang dikehendaki makna thalab. Disampaikan Abu Ali Al-Juba’i dan anaknya, Abu Hasyim dari kalangan Mu’tazilah

 

SIFAT DARI THALAB

 

Dalam hal ini thalab (tuntutan) bersifat badihi (mudah difahami), artinya pemahamannya dihasilkan hanya dengan tangkapan hati, tanpa ada analisa. Karena setiap orang berakal dapat membedakan antara thalab dan fungsi lain, seperti thalab (memberi kabar). Dan thalab bersifat wijdani (ditemukan lewat kepekaan hati), seperti lapar dan kenyang. Dari sini, seharusnya definisi amr terdahulu dengan redaksi ‘tuntutan’ yang artinya adalah thalaab termentahkan, Karena thalab berstatus lebih sama, pemaknaannya, padahal sebuah ta’rif (definisi) menggunakan perkar, yang lebih samar tidak bisa diterima’,

 

ANTARA AMR DAN IRADAH

 

Kalangan Mu’tazilah menganggap amr dan iradah adalah sama, Manakala mereka mengingkari keberadaan kalam nafsi, namun tidak mungkin mengingkari iqtidha’ (tuntutan) dalam definisi amr, hingga kemudian mereka menyebut amr adalah iradah.

 

Menurut Ahlus Sunnah, amr dan iradah (kehendak) adalah dua hal yang berbeda. Terkadang seseorang memberi perintah, padahal dig tidak menghendaki. Seperti majikan yang memukul hamba sahayanya karena tidak taat perintah. Manakala perkara ini dimeja hijaukan di depan hakim, majikan tersebut memerintahkan hamba sahayanya untuk melayaninya minum, padahal sebenarnya majikan tidak menghendakj hambanya menyanggupi. Hal ini semata-mata untuk membuktikan ketidak taatan hambanya di depan hakim. Dan terkadang sebaliknya, seseorang menghcndaki, namun tidak memberi perintah. Seperti seseorang yang memerintahkan anaknya yang masih kecil menghapalkan pelajaran. Dia mengatakan, “Jika kamu menghapalkan pelajaranmu, maka aku beri imbalan. Namun jika tidak hapal, aku beri sangsi’”. Kemudian dia membiarkan anak tersebut untuk menguji ketaatannya. Ternyata dia menjumpai anak tersebut hanya bermain tidak mau menghapal. Dia biarkan hal itu, padahal dia mampu melarang anaknya bermain. Dalam hal ini, orang tersebut telah menghendaki anaknya bermain, karena dia mampu mencegahnya. Namun dia tidak memerintahkan anaknya bermain, Sedangkan anak tersebut bermain bukan karena patuh pada orang tuanya. Hanya saja dia bermain atas kehendak orang tuanya.

 

Dari penjelasan ini, nampak jelas perbedaan antara amr dan iradah, keduanya tidak sama dan berlainan. Dapat disimpulkan menjadi empat kategori;

 

  1. Memerintah sekaligus menghendaki, seperti keimanan Shahabat Abu Bakar RA, dimana Allah SWT memerintahkan sekaligus menghendakinya.

 

  1. Memerintah, namun tidak menghendaki, seperti keimanan Abu Lahab, dimana Allah SWT memerintah, namun tidak menghendakinya.

 

  1. Tidak memerintah, dan tidak menghendaki, seperti kafirnya Orang yang mati dalam keadaan beriman.

 

  1. Tidak memerintah, namun menghendaki, seperti kafirnya Musailamah, dimana Allah SWT tidak memerintah, namun menghendakinya’.

 

Permasalahan : menurut pendapat Ashah bahwa shighat tertentu pada amr nafsi

 

PERDEBATAN SEPUTAR SHIGHAT AMR NAFSI

 

Mereka yang berpendapat adanya kalam nafasi, pada tahap berikutnya berselisih, apakah dalam amr terdapat shighat khusus, artinya menunjukkan pada amr, tidak pada yang lain.

 

1, Pendapat Ashah, shighat   dan bahasa-bahasa yang menunjukkan amr, meskipun dengan perantara, tertentu pada amr nafsi. Artinya dicetuskan untuk menunjukkan amr nafsi, bukan yang lain.

 

  1. Pendapat kedua menyatakan tidak ada shighat khusus. Dan shighat dapat menunjukkan amr dengan adanya garinah. Contoh, (Shalatlah kamu secara wajib). Pendapat-ini diklaim datang dari Imam Abi Hasan al-Asy’ari. Murid-murid Beliau berbeda pendapat mengenai maksudnya. Menurut satu pendapat, Beliau bermaksud menangguhkan statusnya, karena ucapan seseorang “ ”, tidak diketahui tereetak dalam bahasa Arab untuk menunjukkan makna apardari semua makna yang terlaku. Pendapat lain, Beliau menghendaki bahwa bahasa tersebut dipersekutukan antara beberapa makna yang terlaku.

 

Menurut Imam Haramain dan Al-Ghazali, perbedaan pendapat di atas terjadi dalam shighat  dan bahasa-bahasa yang menunjukkan amr, tidak dalam ucapan semisal :   (Aku memerintahkanmu),   (Aku mewajibkan kepadam),   (Aku mengharuskanmu).

 

Shighat   ditemukan terlaku untuk menunjukkan,  (1) wajib, (2) sunnah, (3) mubah, (4) menakut-nakuti, (5) memberi petunjuk (6) menghendaki dilakukan (8) mendidik adab, (9) memperingatkan (10) memberi anugrah, (11) memulyakn, (12) merubah wujud, (13) menjadikan (14) melemahkan, (15) menghinakan (16) menyamakan, (17) doa, (18) berkhayal (19) meremehkan, (20) mengkhabari (21) memberi nikmat, (22) menyerahka (23) terheran-heran, (24) mendustakan (25) musyawarah, dan (26) mengambil teladan,

 

BEBERAPA MAKNA SHIGHAT

 

Shighat  dan setiap bahasa yang menunjukkan am; diberlakukan memiliki beragam makna. Pengarang mengikuti Imam Ibp As-Subki menyebutkan 26 makna;

 

Perbedaan beberapa makna dari amr yang memiliki kemiripan;

 

  1. untuk tujuan pahala akhirat, bertujuan membersihkan akhlak dan memperbaiki adat kebiasaan, dan  tujuannya adalah kemashlahatan dunia, seperti memperkuat kepereayaan dalam muamalah, tanggung jawab harta, dan segala macam hak.

 

  1. berbentuk murni izin, izin yang disertai penyebutan kebutuhan atau ketidakmampuan kita, dan   disertai penyebutan kebutuhan paling pokok.

 

  1. adalah menakut-nakuti dan adalah menyampaikan dibarengi dengan menakut-nakut.

 

4,   dilakukan dengan ucapan, perbuatan, meninggalkan ucapan atau meninggalkan perbuatan tertentu, tidak hanya sekedar keyakinan. Dan   berupa keyakinan saja atau minimal berawal dari keyakinan.

 

  1. adalah berpindah dari keadaan satu menuju keadaan Jainnya yang direndahkan dan wujud dengan cepat dari keadaan tidak ada, tanpa ada perpindahan dati keadaan satu menuju yang lain’.

 

 Menurut pendapat Ashah, shighat hakikatnya menunjukkan wajib, secara lughat, menurut versi Ashah.

 

SILANG. PENDAPAT MAKNA HAKIKAT AMR

 

Ulama berbeda pendapat mengenai apakah makna yang secara hakikat dikehendaki dari shighat  . Dalam hal ini terdapat dua belas pendapat:

 

  1. Menurut pendapat Ashah, disampaikan Imam As-Syafi’i dan jumhur, shighat amr secara hakikat menunjukkan wajib saja, dan secara majaz menunjukkan makna yang lain. Mengenai perspektif penunjukannya, terdapat beberapa madzhab.

 

Pendapat Ashah, secara lughat, karena pakar lughat menetapkan bahwa pembangkang perintah majikan berhak menerima sangsi. Pendapat ini diceritakan dalam Al-Burhan dari Imam As-Syafi’i, serta dishahihkan oleh Imam Abu Ishaq.

 

Pendapat kedua, secara syara’, karena secara lughat shighat tersebut hanya menunjukkan tuntutan, sedangkan yang memantapkan dan menetapkan arah makna wajibnya, dalam arti terkena sangsi (siksa) apabila ditinggalkan, didapatkan dari syara’ dalam perintahnya atau perintah dari seseorang yang syara’ mewajibkan ditaati. Pendapat ini dipilih Imam Haramain.

 

Pendapat ketiga, faidah wajib didapatkan dari lughat yang mengharuskan mengarah pada wajib, karena mengarahkan pada sunnah akan merubah makna menjadi ;  (Lakukanlah jika kamu menghendaki), padahal pembatasan ‘jika kamu menghendaki’ ini tidak tersebut dalam redaksi.

 

  1. Shighat amr secara hakikat menunjukkan sunnah, karena hal ini yang diyakini dari dua jenis thalab (tuntutan). Disampaikan oleh Imam Abu Hasyim dan ulama lain.

 

  1. Secara hakikat menunjukkan kadar tertentu yang dipersekutukan antara wajib dan sunnah, yakni thalab (tuntutan). Sehingga hal ini tergolong tawathu’ (kesamaan arad dalam memiliki makna thalab), mengantisipasi terjadinya isytirak (persekutuan makna) dan mayjaz. Disampaikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi.

 

  1. Secara hakikat diperuntukkan pada makna wajib dan sunnah, artinya termasuk bentuk isytirak. Disampaikan Imam Al-Murtadha dari kalangan Syiah.

 

  1. Secara hakikat diperuntukkan pada keduanya dan mubah.

 

  1. Secara hakikat diperuntukkan pada empat makna, tiga makna di atas dan tahdid. Artinya dipersekutukan antara kecmpatnya.

 

  1. Secara hakikat dipetuntukkan pada cmpat makna di atas, dan irsyad

 

  1. Dipersekutukan antara lima macam hukum, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

 

  1. Bahwa amr (perintah) Allah SWT secara hakikat menunjukkap wajib, dan perintah Nabi SAW yang menjadi pijakan awal”, secar, hakikat menunjukkan sunnah. Apabila tidak menjadi pijakan awa| seperti perintah yang mencocoki nash dan yang menjelaskan dalj mujmal, maka secara hakikat juga menunjukkan wajib. Disampaikan oleh Imam Abu Bakar Al-Abhari dari kalangan Malikiyyah.

 

  1. Secara hakikat menunjukkan tuntutan yang mantab secara lughat, Sehingga tidak menerima pembatasan dengan ‘kehendak’, sertg ancaman sangsi (siksaan) tetap berdasarkan syata’ sebab amrin khan; (faktor eksternal). Dari sini penetapan wajib adalah hasil akumulasj semuanya. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abi Hamid Al-Isfiraynj dan Imam Haramain serta pilihan dalam kitab Jam’u al-Jawami?’ ini, Perbedaannya dengan pendapat pertama di atas, bahwa di sini tuntutan mantap ditetapkan berdasarkan lughat dan kewajiban diambil dari akumulasi lughat dan syar’i. Sedangkan pendapat pertama di atas tuntutan mantap sekaligus makna kewajiban ditetapkan berdasarkan syara’. Menurut ulama lain pendapat ini sama persis dengan pendapat pertama, karena keduanya sepakat bahwa kewajiban diartikan dengan adanya sangsi (siksaan) atas ditingealkannya perintah, juga keberadaannya dihasilkan dari syara’.

 

  1. Menangguhkan status makna di dalamnya, dalam arti ada kemungkinan secara hakikat menunjukkan wajib, sunnah dan keduanya. Disampaikan Imam Al-Qadhi Al-Bagilani, Al-Ghazali, dan Al-Amidi.

 

  1. Shighat tersebut dibuat untuk menghendaki adanya pelaksanaan (imtitsal) yang mengarah pada wajib dan sunnah. Sedangkan pengambilan kesimpulan wajib dan sunnah dihasilkan dari beberapa garinah, Disampaikan oleh Imam ‘Abdul Jabbar dari kalangan Mu’tazilah’,

 

Dan menuruat pendapat Ashah, harus meyakini wajibnya nerkara ang dituntut shighat amr sebelum meneliti. .

 

Dan (menurut Ashah) bahwa apabila shighat muncul setelah adanya larangan atau aad USUI setelah permohonan izin, maka amr tersebut menunjukkan mubah.

 

Dan (menurut Ashah) bahwa shighat nahi yang muncul setelah adanya kewajiban, menunjukkan haram.

 

MEYAKINI WAJIB SEBELUM DITELITI

 

Berpijak pada pendapat bahwa shighat amr secara hakikat menunjukkan kewajiban, manakala shighat amr tereetus dari pembawa syariat dalam keadaan terlepas dari beberapa qarinah yang mengarahkan, maka apakah ada keharusan meyakini bahwa yang dikehendaki adalah wajib, sebelum meneliti keberadaan perkara yang memalingkan dari kewajiban tersebut?. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat sebagaimana silang pendapat bahwa dalam lafadz ‘amm (umum) Apakah wajib diyakini makna umumnya sehingga dijadikan pegangan, sebelum meneliti adanya dalil pen-‘akhsish. Menurut pendapat Ashah (kuat), diwajibkan meyakini makna wajib pada amr’? sebelum ditemukan qarinah yang mengarahkan makna selain wajib. Meskipun ada kemungkinan di kemudian hari ditemukan qarinah yang mengarahkan pada makna sunnah atau makna-makna majaz yang lain”.

 

PERINTAH SESUDAH LARANGAN

 

Masih berpijak pada pendapat bahwa shighat amr secara hakikat menunjukkan kewajiban, apabila shighat  muncul setelah sebelumnya ada larangan atau setelah permohonan izin, maka ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat Ashah, shighat tersebut menunjukkan ibahah (boleh) secara hakikat, karena zbahah mudah diterima hati, serta pemakaiannya dominan. Dan mudahnya hati menerima merupakan salah satu ciri hakikat. Contoh;

 

Dan apabila karan telah mene ibadah bagi maka bolehlah berburu.

 

2, Shighat jail tersebut menunjukkan wajib secara hakikat, karena keberadaan shighat menuntut hal tersebut. Dan kemunculannya setelah ada larangan tidak mempengaruhi hal itu. Contoh;

 

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu”

 

  1. Menangguhkan statusnya. Tidak menghukumi dengan ibahah atay wajib.

 

Dan apabila shighat  muncul setelah sebelumnya ada permohonan izin (isti’dzan), maka menurut Imam Fahr Ad-Din statusnya sama dengan amr yang muncul setelah larangan di atas. Contoh HR, Muttafag ‘alaih;

 

“Bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Nabi SAW menjawab; “Katakanlah Semoga Allah SWT memberi rabmat kepada Muhammad dan seterusnya”

 

LARANGAN SESUDAH DIWAJIBKAN

 

Sedangkan shighat nahi (pelarangan) yang muncul setelah adanya kewajiban, ulama juga berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, menunjukkan haram. Disampaikan oleh Jumhur. Hanya saja sebagian ulama pendukung pendapat ini adalah yang berpendapat bahwa amr yang muncul sesudah larangan menunjukkan mubah. Mereka membedakan bahwa tujuan nahi adalah menolak mafsadah, sedangkan amr bertujuan mengusahakan kemashlahatan. Dimana pembawa syariat lebih memprioritaskan penolakan mafsadah.

 

  1. Menunjukkan makruh tanzih. Disamakan dengan amr yang datang setelah larangan yang menunjukkan ibahah. Dengan titik temu, masing-masing diarahkan pada batas minimalnya, dimana minimal perintah adalah ibahah, dan minimal larangan adalah makruh.

 

  1. Menunjukkan ibahah (boleh), mempertimbangkan bahwa pelarangan (nahi) atas suatu perkara sesudah perkara tersebut diwajibkan, akan menghilangkan thalab (tuntutan) atas perkara tersebut. Sehingga hanya tersisa takhyir (hak memilih), Beragumentasi dengan sebuah ayat, ‘

 

“Jika aku bertanya kepadamn tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu”

 

4, Menunjukkan penghilangan hukum wajib, sehingga menjadi nasakh (penghapusan hukum). Dan amr kembali pada status hukum sebelumnya, baik haram ataupun mubah.

 

  1. Menangguhkan statusnya, sebagaimana dalam amr yang muncul sesudah larangan”

 

Permasalahan ; menurut pendapat Ashah, lafdzi diperuntukkan menuntut mahiyah (hakikat sebuah perkara). Sekali dilakukan adalah dharuriyah (keharusan). Dan orang yang bergegas melakukan dianggap telah Melaksanakan perintah (mumtatsil).

 

FUNGSI AMR MEWU UDKAN HAKIKAT SESUATU

 

Menurut pendapat Ashah, shighat . memiliki fungsi dasar mewujudkan   (hakikat dan tujuannya), tidak menetapkan pengulangan (takrar) atau dilakukan satu kali (marrah), juga tidak menetapkan segera dilakukan (faur) atau tidak segera dilakukan (tarakhi). Sedangkan dilakukan satu kali merupakan keharusan   untuk mewujudkan tujuan tersebut.

 

Pendapat kedua, amr menetapkan sekali dilakukan (marrah), karena sekali dilakukan adalah hal yang sudah diyakini.

 

Mengikuti pendapat dua pendapat di atas, apabila ditemukan dalil di luar amr yang menuntut pengulangan, maka harus diamalkan. Contoh perintah shalat, dimana dalil kewajiban mengulangi shalat lima waktu adalah hadits shahih Bukhari-Muslim:

 

“Allah mewajibkan shalat lima puluh kali pada umatku di malam Isra’. Kemudian aky Ndak benti-bentinya menawar dan aku minta kepadaNya keringanan, hingga Allah su menjadikan 5 kali sehari semalam”

 

Pendapat ketiga, menetapkan pengulangan secara mutlak. Karen, hal ini yang lebih dominan, dan diarahkan pada sekali dilakukan Manakala ada qarinah.

 

Pendapat keempat, menetapkan pengulangan apabila digantungkan dengan syarat atau shifat. Contoh,

 

“Dan jika kamu junub maka mandilah”.

 

Dan contoh,

 

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.

 

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa pengulangan mandi dan dera terikat dan disesuaikan dengan diulanginya janabat dan zina.

 

Pendapat kelima, menangguhkan antara takrar (pengulangan) dan marrah (sekali dilakukan). Maksud menangguhkan di sini, menurut satu versi, dipersekutukan antara keduanya. Versi lain, diperuntukkan salah satunya, namun kita tidak mengetahuinya. Sehingga ditangguhkan pemberlakuan atas salah satunya sampai adanya qarinah.

 

Pendapat keenam, menunjukkan aur, dalam arti segera dilakukan, setelah datangnya perintah. Karena hal ini adalah yang paling hati-hati.

 

Pendapat ketujuh, menunjukkan éarakhi (boleh ditunda), atau boleh mengakhirkan. Karena hal ini mengganti dari aur, tidak sebaliknya.

 

Pendapat kedelapan, dipersekutukan keduanya. Karena shighat tersebut terpakai untuk keduanya.

 

Pendapat kesembilan, menunjukkan yaur atau ‘azm (tekad kuat) seketika itu untuk melakukannya. Mengambil dalil QS. Al-A’raf: 12:

 

“Apakah yang menghalangimu untuk, bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyurubmue”,

 

Dalam ayat ini Allah swt mencela Iblis atas keengganannya bersujud kepada Nabi Adam as seketika itu, sedangkan amr dalam hal ini bersifat mutlak, Seandainya amr tidak menuntut faur, maka tentunya tidak ada celaan bagi Iblis.

 

Pendapat kesebelas, ditangguhkan, dalam arti menunjukkan salah satunya, namun kita tidak tahu.

 

Selanjutnya menurut versi Ashah, orang yang bergegas (segera) melakukan petbuatan yang diperintah, dianggap telah melaksanakan perintah (mumtatsil).

 

Pendapat kedua, tidak dianggap mumtatsil, karena bisa jadi menghendaki tarakhi.

 

Pendapat ketiga, menangguhkan anggapan mumtatsil atau tidak. Versi terakhir ini berpijak pada pendapat bahwa peletakan amr tidak jelas kepentingannya, apakah untuk fawr, ataukah tarakhi.

 

Permasalahan; menurut pendapat Ashah, bahwasanya amr (atas sesuatu yang ditentukan waktunya) tidak menetapkan adanya qadba’. Namun qadba’ wajib dilakukan berdasarkan amr   jadid (perintah baru).

 

AMR MENETAPKAN ADANYA QADHA’

 

Amr (perintah) atas perkara yang dibatasi waktu, menurut pendapat Ashah, tidak menetapkan adanya gadha’, apabila tidak dikerjakan pada waktunya. Karena sasaran dan tujuan amr pertama adalah dilaksanakan pada waktunya, bukan terlaksana secara mutlak. Dan gadha hanya diwajibkan berdasarkan amr jadid (perintah baru). Contoh HR. Bukhari-Muslim,

 

“Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakan shalat itu saat dia mengingatnya” dan HR. Muslim,

 

“Apabilah salah satu dari kalian  yertidur meninggalkan shalat atau lupa mengerjakan shalat, maka kerjakan shalat itu saat dia mengingainya”

 

Pendapat kedua, ar tersebut menctapkan adanya qadha’ Dalam arti, penetapan gadha’ berdasarkan awr pertama. Karena keberadaan amp menunjukkan tuntutan untuk mengeanti perkara yang ditinggalkan, karena tujuan amr adalah terealisasinya perkara tersebut secara mutlak, baik di dalam atau di luar waktu,

 

Pendapat Ashah, bahwa melakukan perbuatan yang diperintahkan ( ) (sesuai aturan) akan menetapkan ijza’ (mencukupi). Dan bahwa perintah pada seseorang untuk memerintahkan orang lain melakukan sesuatu, bukanlah perintah pada orang lain tersebut untuk melakukannya. Serta bahwasan pemberi perintah dengan menggunakan lafadz yang pantas bagi dirinya, dinyatakan tidak masuk dalam lafadz tersebut. Dan bahwa menurt kita, niyabah (penggantian) diperbolehkan secara akal dalam ibadah badaniyyad.

 

MENJALANKAN PERINTAH MENETAOKAN IJZA’

 

Menurut pendapat Ashah, dilaksannkannya perbuatan yang diperintahkan ( ) sesuai dengan ketentuan syara’, melepaskan seseorang dari tuntutan amr. Dalam pengertian, melakukan perbuatan tersebut menetapkan status ijza’ (mencukupi). Pendapat ini berpijak dati pengertian ijza’ yang didefinisikan dengan  (mencukupi dalam melepaskan tuntutan). Artinya, khithab yang pada awalnya berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan cara tertentu, apabila dikerjakan sesuai dengan cara dan ketentuan tersebut, maka terputuslah ikatan khithab tersebut dari dirinya’’, Terputusnya ikatan ini merupakan keharusan, karena seandainya amr masih tetap mengikat setelah perbuatan yang diperintahkan terlaksana, maka sama halnya menuntut sesuatu yang sudah berhasil ditunaikan.

 

Menutut sehagian pendapat, melakukan perbuatan tersebut tidak menetapkan ijza’. Versi ini berpijak pada pendapat bahwa ijza’ adalah  (menggugurkan tuntutan qadla’). Karena bisa jadi perbuatan yang telah dikerjakan masih belum melepaskan seseorang dari tuntutan qadla’ atau masih butuh dikerjakan untuk kedua kalinya. Seperti shalat dari seseorang yang menyangka suci, namun kemudian terbukti nyata telah berhadats

 

PERINTAH UNTUK MEMERINTAHKAN ORANG LAIN

 

Menurut pendapat Ashah, perintah pada seseorang untuk memerintahkan orang lain melakukan sesuatu, bukanlah perintah pada orang lain tersebut untuk melakukannya. Semisal perintah kepada Zaid untuk memerintahkan orang lain melakukan sesuatu, maka perintah tersebut bukanlah perintah kepada orang lain tersebut untuk melakukannya. Artinya, tidak menjadikan orang lain tersebut diperintah berdasarkan perintah yang diberikan kepada Zaid (perintah pertama). Contoh sabda Nabi SAW dalam HR. Abi Dawud; ;

 

‘Perintahkan anak-anak. kalian melakukan shalat, saat mereka anak-anak berumur tujuh tahun”

 

Maka dalam hal ini anak-anak tidak diperintahkan menjalankan shalat oleh syari’ (pembawa syariat). Menurut sebagian pendapat, perintah tersebut juga sebagai perintah kepada anak-anak untuk melakukan shalat. Karena jika tidak demikian, maka perintah tersebut tidak berguna pada selain mukhathab (penerima titah). Dalam hal ini, apabila ditemukan garinah bahwa selain mukhathab juga diperintah melakukan, maka ulama tidak berselisih pendapat”’. Contoh HR Bukhari-Muslim

 

Bahwa Ibn Umar men-talak istrinya dalam keadaan haid. Umar mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW bersabda; ‘Perintahkan dia, hendaklah dia merujuk istrinya’

 

Dalam hal ini, qarinah yang ada mengarahkan bahwa yang dikehendaki perintah pertama adalah tabligh. Artinya, Shahabat Umar ra diperintah untuk menyampaikan kapada putranya Ibnu Umar ra. Sehingga menyimpulkan bahwa Ibnu Umar diperintah untuk merujuk istrinya, Menurut Imam Al-Banani,  qarinah nya adalah kalimat  dimana bentuknya adalah amr ghaib, sehingea Ibn Umar mendapatkan perintah Nabi SAW untuk merujuk istrinya™.

 

PEMBERI PERINTAH MENGGUNAKAN LAFADZ YANG  PANTAS BAGI DIRINYA

 

Menurut pendapat Ashah, pemberi perintah (al-amir) dengan menggunakan lafadz yang pantas menjangkau dirinya, dinyatakan tidak masuk dalam lafadz tersebut. Karena jauh kemungkinan pemberi perintah menghendaki dirinya sendiri. Contoh, ucapan majikan kepada hamba sahayanya;

 

 (Mukyakan orang yang berbuat baik kepadamu)

 

Dan majikan tersebut termasuk orang yang berbuat baik pada hamba sahaya yang diperintahnya. Pendapat ini dinyatakan sebagai pendapat masyhur. Termasuk yang mentashhih adalah Imam Ar-Razi dan Al-Amidi, Dalam kitab Ar-Raudhah dinyatakan, apabila seseorang mengatakan, “Para istri muslimin semuanya tertalak”, maka istri orang tersebut dihukumi tidak tertalak menurut pendapat Ashah. Karena versi Ashah dalam Ushul, menurut Ashhab As-Syafi’i, orang tersebut tidak masuk dalam khithab yang diucapkannya.

 

Pendapat kedua, menyatakan masuk dalam lafadz tersebut. Hal ini karena memandang keumuman amr. Sedangkan kedudukannya sebagai pemberi perintah tidak menafikan ketentuan tersebut.

 

Namun apabila ditemukan garinah yang menunjukkan tidak masuknya pemberi perintah, maka pemberi perintah dipastikan tidak masuk. Contoh, ucapan majikan kepada hamba sahayanya;

 

 (Berikan sedekah pada orang yang masuk rumahku)

 

Dan majikan tersebut termasuk orang yang memasuki rumah.

 

Dalam persoalan ini, pemberi larangan (an-nahi) disamakan dengan pemberi perintah (al-amir).

 

Kaidah yang berlaku bagi pemberi perintah (al-amir) di atas, tidak berlaku pembawa Ahabar (al-mukhbir), karena menurut Ashah, pembawa khabar dinyatakan masuk dalam khithab yang disampaikannya. Karena ada kemunghinan pemberi perintah menghendaki dirinya sendiri, Contoh firman Allah SWT;

 

‘Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatylu”

 

Dalam hal ini Allah SWT Maha Mengetahui akan Dzat dan sifat-Nya,

 

NIYABAH (PERGANTIAN) DALAM MA’MUR BIH

 

Ahlussunnah berpendapat, secara akal, niyabah atau pergantian boleh dilakukan dalam ibadah badaniyah, atau perbuatan badan yang dituntut dilakukan.

 

Dari kata ‘secara akal’, mengecualikan secara syar’iy, dimana niyabah tidak boleh dilakukan dalam ibadah badaniyah, kecuali dalam haji dan umrah, dan puasa setelah seseorang meninggal dunia. Dan dari kata ‘badaniyyah’, mengecualikan ibadah maliyyah, seperti zakat, maka niyabah sepakat diperbolehkan di dalamnya.

 

Menurut kalangan Mu’tazilah, niyabah tidak diperkenankan masuk pada bentuk badani (dikerjakan badan), karena perintah dalam bentuk ini bertujuan memecah dan memaksa nafsu dengan mengerjakannya. Sedangkan niyabah menyalahi tujuan semacam ini, selain dalam keadaan darurat, seperti dalam haji. Menanggapi argumentasi Mu’tazilah, kalangan kita menyatakan bahwa niyabah tidak menyalahi tujuan tersebut, karena dalam ntyabah terdapat pemberian biaya atau menanggung budi baik orang lain”.

 

Permasalahan : menurut pendapat terpilih, bahwa amr nasi atas perkara tertentu, bukan merupakan larangan untuk melakukan kebalikannya, serta tidak menetapkannya. Dan nahi (larangan), dalam hal ini menyamai amr,

 

PERINTAH ATAS SESUATU ADALAH LARANGAN MELAKUKAN KEBALIKANNYA

 

Ketika seseorang memerintahkan orang lain supaya duduk, maka ada dua kebalikan yang terkandung;

 

  1. Kebalikan secara dzatiyah, yakni tidak duduk.
  2. Kebalikan secara kelaziman yang disebut (dhiddu), seperti berdiri atau tidur miring. Dengan batasan, setiap makna yang bertentangan dengan perbuatan yang diperintahkan.

 

Mengenai hal ini, ulama berbeda pendapat terkait apakah amr (perintah) nafsi atas perkara tertentu, merupakan larangan untuk melakukan kebalikannya ataukah tidak?

 

  1. Pendapat terpilih, mengikuti Imam Haramain, Al-Ghazali, dan An. Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah pada bab Thalak, menyatakan bahwa amr nafst bukan larangan melakukan kebalikannya, juga tidak menetapkannya secata kelaziman. Karena bisa jadi saat perintah disampaikan, kebalikan tersebut tidak terbersit dalam hati. Hal ini baik amr (perintah) berbentuk wajib atau sunnah, dan baik kebalikan (dhiddu) ada satu, seperti kebalikan diam, yaitu bergerak, atau ada banyak, seperti kebalikan berdiri, yaitu duduk dan lain-lain.

 

  1. Pendapat kedua, amr nafsi tersebut’ merupakan larangan untuk melakukan kebalikannya.

 

  1. Pendapat ketiga, amr nafsi tersebut menetapkan larangan untuk melakukan kebalikannya secara kelaziman.

 

Semisal, perintah untuk diam, menurut pendapat pertama, bukan larangan untuk bergerak dan tidak menetapkan larangan bergerak secara kelaziman. Menurut pendapat ketiga, menetapkan larangan bergerak secara kelaziman. Dan menurut pendapat kedua, merupakan larangan untuk bergerak. Dalam arti, tuntutan di sini hanya satu, hanya saja dipandang dari sisi ‘diam’ adalah awr, dipandang dari sisi ‘bergerak’ adalah nahi.

 

Contoh; suami mengatakan pada istrinya; “jika kamu melanggar perintahku, maka kamu tertalak”. Berikutnya suami mengatakan; “Jangan kamu berbicara pada Zaid !’”. Namun istri tetap berbicara pada Zaid. Maka istri tidak tertalak, karena dia melanggar larangan suami, bukan perintahnya. Ini pendapat masyhur. Imam al-Ghazali mengatakan, “Ahli urf menganggap istri telah melanggar perintah”.

 

Sedangkan amr Jafdzi, maka bukanlah larangan melakukan kebalikannya secara pasti, juga tidak menetapkannya menurut pendapat Ashah.

 

Selanjutnya menurut pendapat terpilih, nahi (larangan) nafsi melakukan sesuatu, baik secara haram atau makruh, menyamai amr dalam perincian di atas. Dalam arti, nahi bukan merupakan perintah atas kebalikannya, juga tidak menetapkannya secara kelaziman, Pendapat kedua, merupakan perintah atas kebalikannya. Pendapat ketiga, menetapkannya secara kelaziman. Pendapat keempat, pendapat kedua dan ketiga hanya berlaku dalam nahi tahrim, bukan nahi makruh. Pendapat kelima, secara pasti merupakan perintah atas kebaikannya. Berpijak pahwa tuntutan dalam nahi adalah melakukan kebalikannya. Pendapat keenam, secata pasti bukan merupakan perintah atas kebalikannya, Perpijak bahwa tuntutan dalam nahi adalah tidak dilakukannya perbuatan yang dilarang’’.

 

Permasalahan : dua perintah (amr) yang tidak berkesinambungan, atau berkesinambungan dengan bentuk yang keduanya tidak sama, adalah dua hal yang berbeda. Dan juga dianggap dua hal yang berbeda, dua amr yang berkesinambungan dengan bentuk yang sama keduanya, dan tidak ada penghalang dari pengulangan, menurut pendapat Ashah. Apabila ada penghalang dari pengulangan herbentuk adiy, namun hal ini ditentang dengan adanya aftha, maka statusnya ditangguhkan. Dan jika tidak demikian, maka yang kedua berfungsi ta’kid (mengukuhkan).

 

DUA AMR YANG BERKESINAMBUNGAN

 

Manakala seorang pemberi perintah (al-amir) mengeluarkan dua perintah, maka perinciannya sebagai berikut;

 

  1. Dihukumi berbeda satu dengan yang lain, dan keduanya wajib diamalkan. Yakni manakala sebagai berikut;

 

  1. Keduanya tidak berkesinambungan. Dalam arti, perintah kedua datang dengan selisih waktu dari perintah pertama, Baik bentuk keduanya sama dan tidak ada faktor penghalang (mani’) untuk dianggap sebagai pengulangan, atau bentuk keduanya berbeda.

 

  1. Keduanya berkesinambungan dengan bentuk yang keduanya tidak sama. Baik di-atha-kan, seperti (Dirkanlah shalat dan tunaikanlah zakat), atau tidak di-athaf-kan, seperti (Pukullah Zaid, berilah ia dirham).

 

  1. Dihukumi berbeda satu dengan yang lain menurut versi Ashah, dan keduanya wajib diamalkan. Yakni manakala keduanya berkesinambungan dengan bentuk yang sama, dan tidak diternukan faktor penghalang (mani’) untuk dianggap sebagai pengulangan. Baik dengan di-athaf-kan, seperti, (Shalatlah dua rakaat…dan shalatlah dua rakaat). Atau tidak di-athafkan, seperti, (Shalatlah dua rakaat…shalatlah dua rakaat), Karena pada bentuk yang di-athaf-kan, posisi ‘athaf secara lahiriyah berfaidah ta’sis (menjadi permulaan). Dan pada bentuk selain yang di-atha -kan, ta’sis (menjadi permulaan) merupakan hukum asal. Pendapat kedua, perintah yang kedua berfungsi ta’kid (pengukuh), Karena kedua perintah setara. Pendapat ketiga, menangguhkan Status ta’sis dan ta’kid pada bentuk yang tidak di-athafkan.

 

  1. Ditangguhkan hukumnya, dan belum ditentukan status ta’sis dan ta’kid-nya. Yakni manakala keduanya berkesinambungan dengan bentuk yang sama, dan ditemukan faktor penghalang (mani’) berbentuk ‘adiy untuk dianggap sebagai pengulangan. Namun ditentang dengan adanya ‘thaf. Semisal, (Shalatlah dua rakaat…dan shalatlah dua rakaat),

 

  1. Perintah yang kedua dihukumi ta’kid Yakni manakala keduanya berkesinambungan dengan bentuk yang sama, dan ditemukan faktor penghalang (mani’) untuk dianggap sebagai pengulangan, berupa;

 

  1. Penghalang ‘adiy (kebiasaan), Namun tidak ditentang dengan adanya ‘athaf. Contoh, (Shalatlah dua rakaat…shalatlah dua rakaat itu). Kaidah menjelaskan lafadz makrifat yang jatuh setelah nakirah adalah sama maknanya. Contoh lain, (Berilah aku air minum…berilah aku air minum): Secara adat, cukup satu ucapan untuk kebutuhan meminta air minum.

 

  1. Penghalang akal; (Bunuhlah Zaid..bunuhlah Zaid).

 

  1. Penghalang (Merdekakan budakmu..merdekakan budakmul)

 

Nahi nafsi adalah tuntutan mencegah perbuatan yang ditunjukkan dengan selain lafadz Ketetapan dari nahi adalah selamanya, selama tidak dibatasi dengan hal lain, menurut versi Ashah. Shighat nahi terlaku menunjukkan haram, makruh, irsyad (memberi petunjuk), doa, bayan al-‘aqibah (menjelaskan akhir sesuatu), (menjadikan sedikit), ihtiqar (menghina) dan ya’su (menjadikan putus asa). Mengenai syarat adanya iradah (kehendak) pada lafadz nahi dan menunjukkannya nahi pada haram, terdapat perbedaan pendapat sebagaimana dalam amr.

 

DEFINISI NAHI

 

Nahi nafsi adalah tuntutan mencegah perbuatan yang ditunjukkan dengan selain lafadz   dan sesamanya. Dari definisi ini didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut;

 

  1. Dari kata-kata ‘tuntutan mencegah perbuatan’, mengecualikan amr.

 

  1. Dari kata-kata ‘dengan selain lafadz dan sesamanya’, mengecualikan ucapan seperti, (Cegahlah perbuatan ini),  (Hentikan!),  (Tinggalkan!),  (Tinggalkan!), dan  (Tinggalkan!). Semua ini disebut amr, bukan nahi.

 

Kemudian mengenai persyaratan,  dan  terdapat perbedaan pendapat sebagaimana dalam amr terdahulu.

 

KETETAPAN NAHI

 

Menurut pendapat Ashah, ketetapan dari nahi ketika dimutlakkan adalah   (selamanya), yakni berfaidah menjauhi perkara yang dilarang selamanya. Karena ulama senantiasa mengambil dalil nahi untuk menjauhi sesuatu, dalam waktu yang berbeda-beda, tanpa mengkhususkannya pada waktu tertentu. Hal ini selama tidak dibatasi dengan selain   Contoh,  (Jangan engkau pergi hari ini). Pendapat lain, ketetapan nahi adalah  (selamanya) secara mutlak. Pembatasan dengan sekali pelaksanaan hanya memalingkannya dari ketetapan asli.

 

BERAPA MAKNA SHIGHAT NAHI

 

Shighat nahi terlaku menunjukkan beberapa makna sebagai berikut;

 

  1. Haram, sebagai faidah asal, contoh;

 

“Dan janganlah kamu mendekah zina”.

 

  1. Makruh, contoh;

 

“Dan janganlah kamu memilth yang buruk-bumk lalu kamu menafkabkan daripadanya”

 

Maksud   di sini adalah perkara yang jelek, bukan haram.

 

  1. Irsyad (memberi petunjuk), contoh;

 

“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang Jika diterangkan kepadamu akan menyusabkan kamu”

 

  1. Doa, contoh;

 

“Ya Tuban kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan”

 

  1. Bayan al-‘agibah (menjelaskan akhir sesuatu), contoh;,

 

“Janganlah kamu mengira baben orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup”

 

Artinya, akhir dari perkara mereka adalah kehidupan yang kekal, bukan kematian.

 

  1. Taqlil (menganggap sedikit), hal ini manakala terkait dengan perkara yang dilarang (manhi ‘anhu). Contoh;

 

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka”

 

  1. Ibtiqar (menghinakan), hal ini manakala terkait dengan orang yang dilarang (al-manhi). Contoh;

 

“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”

 

  1. Ya’su (menjadikan putus asa).

 

“Janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini”

 

IRADAH DAN PENUN UKKAN HAKIKAT NAHI

 

Mengenai syarat adanya iradah (kehendak) pada lafadz nahi, terdapat perbedaan pendapat sebagaimana dalam amr. Dimana menurut pendapat Ashah, tidak disyaratkan adanya iradah. Sebagaimana dalam amr, silang pendapat juga terjadi mengenai penunjukan shighat nahi.

 

  1. Pendapat Ashah, secara hakikat menunjukkan haram berdasarkan lughat. Versi lain, ada yang mengatakan berdasarkan syar’i, ada yang berdasarkan akal.

 

  1. Pendapat kedua, secara hakikat menunjukkan tuntutan yang mengharuskan, berdasarkan lughat dan ancaman manakala dikerjakan, berdasarkan syara’.

 

  1. Pendapat ketiga, secara hakikat menunjukkan makruh.

 

  1. Pendapat keempat, menunjukkan makruh dan haram.

 

  1. Pendapat kelima, menunjukkan salah satu dari haram dan makruh, namun tidak diketahui secara spesifik”.

 

Terkadang sasaran nahi mengarah satu perkara, dan ada yang mengarah pada beberapa tperkara (muta’addid), baik dari sisi terkumpulnya (jaman), seperti perkara haram yang diperbolehkan memilih, atau dari sisi terpisahnya (farqan), seperti dua sandal dimana terpakai keduanya atau tereopot keduanya, atau dari sisi keseluruhan (jami’an), seperti zina dan mencuti.

 

PEMILAHAN SASARAN NAHI

 

Sasaran nahi dalam hal ini dapat dipilah sebagai berikut;

 

  1. Mengarah pada satu perkara. Dan hal ini pembahasannya jelas.
  2. Mengarah pada beberapa perkara (muta’addid). Terbagi menjadi tiga;

 

  1. Terlarang dari sisi terkumpulnya (jam’an), seperti perkara haram yang diperbolehkan memilih, contoh, .

 

‘Jangan kamn lakukan perbuatan ini atau itu”

 

Maka boleh melakukan salah satunya dengan tersendiri, kareng yang haram adalah mengumpulkan keduanya, bukan melakukan salah satunya Saja.

 

  1. Terlarang dari sisi terpisahnya (farqan), seperti dua sandal dimana keduanya semestinya terpakai atau keduanya tereopot, . Disimpulkan dari Hadits Nabi SAW ,

 

“Sungguh seorang dari kalian jangan berjalan di atas satu sandal. Hendaklah dipakai keduanya semua, atau dicopot keduanya semua”

 

Dua sandal dalam hal ini dilarang terpakai atau tereopot, namun dari sisi terpisahnya, bukan terkumpulnya.

 

  1. Terlarang dari sisi keseluruhan (jami’an), yakni atas satu persatunya, baik dilakukan tanpa atau bersama perkara yang lain. Seperti larangan zina dan mencuri”

 

Menurut pendapat Ashah, kemutlakan nahi meskipun tanzih menetapkan fasad (rusak) dalam perkara yang dilarang secara syara’. Apabila’ nahi tersebut kembali pada perkara yang dilarang itu sendiri (‘ainih), atau pada juz-nya, atau faktor yang menctap (lazim) padanya, atau tidak diketahui tempat kembalinya (sasarannya).

 

Menafikan diterimanya sebuah perbuatan  menurut satu versi, merupakan dalil sahnya  Sebuah perbuatan. Versi lain, merupakan dalil  fasad (tidakk sah). Dan yang menyamai menafikan diterimanya sebuah perbuatan adalah menafikan ijza (mencukupi). Pendapat ww ee lain, (menafikan ijza’) lebih menunjukkan fasad.

 

KEMUTLAKAN NAHI MENUNJUKKAN FASAD

 

Menurut pendapat Ashah, kemutlakan aah, meskipun berbentuk tanzib menunjukkan fasad (rusaknya perkara yang dilarang), baik berbentuk ibadah atau selain ibadah. Hal ini manakala sasaran nahi kembali pada hal-hal sebagai berikut;

 

1, Ain manhi ‘anhu (dzatiyah perkara yang dilarang). Seperti larangan shalat dan puasa bagi wanita yang sedang mengalami haid. Dengan dalil HR. Bukhari:

 

“Bukankah jika sedang mengalami haid maka ta tidak dapat melaksanakan salat dan puasa?”

 

Dalil ini menunjukkan shalat dan puasa dilarang dari segi dzatiah (bentuknya) sebagai shalat dan puasa. Contoh lain, larangan berzina, demi menjaga garis keturunan.

 

2, Juz manhi ‘anhu (bagian dari perkara yang dilarang). Seperti, larangan jual beli janin dalam perut induknya. Karena tidak adanya barang yang diperjualbelikan, dimana hal ini termasuk rukun dalam jual beli. Contoh lain, larangan jual beli hashat (kerikil)”. Karena tidak adanya shighat dalam transaksi. Dan shighat termasuk rukun akad.

 

  1. Lazim manhi ‘anhu (sesuatu yang tidak terpisah dari perkara yang dilarang). Seperti, larangan menjual satu dirham, dibeli dengan dua dirham. Karena memuat tambahan dalam salah satu alat tukarnya, dimana hal ini tidak terpisah dari syarat yang dihasilkan dari terwujudnya akad semacam itu. Contoh lain, larangan melakukan shalat sunnah mutlak” di waktu-waktu makruh™, Karena tidak sahnya shalat yang dilakukan pada waktu-waktu ini, dimana waktu tidak bisa terpisah dari shalat.

 

  1. Tidak jelas sasaran kembalinya nahi. Hal ini disampaikan Imam Ibn Abd As-Salam. Karena memenangkan faktor penuntut ke-fasad-an atas faktor lainnya. Seperti larangan menjual makanan, sampai dilakukan penakaran sha’.

 

Semua nafi di atas menunjukkan fasad, karena perkara makruh dituntuy untuk ditingpalkan, sedangkan ma’mur bib (perkara yang diperintahkan) dituntut untuk dilakukan. Sehingya terjadilah saling menafikan antara keduanya.

 

Namun apabila sasaran nahi diarahkan pada  (faktor eksternal yang terpisah), maka tidak menunjukkan fasad (rusaknya) perbuatan yang dilarang. 1). Bidang ibadah, contoh, berwudly menpeunakan air hasil ghashab, shalat di atas tanah ghashab. Sasaran larangan di sini bukan dzatiah wudhu dan shalatnya, namun pada faktor eksternal yang membarengi keduanya, berupa ghashab yang diharamkan. Sehingga shalatnya sah, namun ghashabnya tetap haram. 2) Bidang muamalah, contoh jual beli yang dilakukan tepat saat adzan Jum’at. Nahi dalam hal ini mengarah pada faktor eksternal berupa khawatir kehilangan shalat jum’at, tidak mengarah pada dzatiah jual belinya. Karena yang diharamkan bukan hanya jual beli, namun segala tindakan yang mengakibatkan hilangnya shalat jum’at. Hilangnya shalat merupakan unsur yang berbarengan dengan jual beli. Dan hal ini tidak menetap (mungkin terpisah), karena terkadang bisa terjadi akibat jual beli, bisa juga akibat selain jual beli.

 

Berpijak pada pendapat Ashah ini, ulama berselisih pendapat mengenai perspektif penunjukkan jasad pada nahi. Pendapat Ashah mengatakan secara syara’. Karena fasad tidak mungkin difahami dari selain syara’. Pendapat kedua, secara lughat. Karena pakar lughat bisa memahaminya dari redaksi yang digunakan. Pendapat ketiga, secara makna (makna akal). Karena nahi menunjukkan jeleknya perkara yang dilarang, dimana hal ini pijakan disyariatkannya sesuatu.

 

Pendapat kedua, kemutlakan nahi menunjukkan fasad dalam ibadah saja. Dan fasad pada selain ibadah, adalah sebab faktor eksternal (khariji), seperti tidak terpenuhinya rukun atau syarat.

 

Pendapat ketiga, berfaidah fasad secara mutlak, meskipun kembali pada faktor faktor eksternal ( ). Sehingga menghukumi batal wudhunya seseorang yang menggunakan air hasil ghashab dan shalat di tempat hasil ghashab. Dan lafadz nahi secara hakikat diperuntukkan menunjukkan asad tersebut. Meskipun pada sebagian kasus asad hilang karena faktor adanya dalil lain. Sebagaimana larangan dalam men-‘thalak istri dalam kondisi haid. Dijelaskan dalam bab amr terdahulu, perintah untuk merujuk istri merupakan dalil bahwa zahi dalam hal ini tidak menunjukkan asad. (lihat dalam HR. Bukhari-Muslim di bab amr).

 

Pendapat keempat, nahi tidak berfaidah asad secara mutlak. Dan perkara yang dilarang karena ‘ain-nya (dzatiyah), seperti shalat wanita semasa haid dan jual beli janin dalam perut induknya, adalah tidak disyariatkan, serta fasad di dalamnya bersifat hal baru yang tidak berasal dari nahi.

 

MENIADAKAN QABUL DAN IJZA’

 

Qabul secara istilah adalah terurutkannya tujuan yang dikehendak dari syara’ atas sebuah perbuatan. Definisi ini menyimpulkan pemahaman, bahwa sah dan qabul (diterimanya amal) adalah saling menetapi dan terkait. Pendapat lain, gabul adalah keberadaan sebuah jbadah, dimana pelaksanaannya berimplikasi membuahkan pahala. Definisi ini menyimpulkan bahwa gabul lebih spesifik dibandingkan sah. Setiap ibadah yang diterima (maqbul) adalah sah, namun tidak kebalikannya. .

 

Berangkat dari perbedaan pendefinisian di atas, manakala syara’ menyebutkan penafian gabul (diterima) dalam sebuah ibadah, apakah hal itu menunjukkan fasad ataukah menunjukkan sah?. Ada dua pendapat dalam hal ini.

 

  1. Menunjukkan sah, karena penafian gabul secara lahiriyah menyimpulkan tidak adanya pahala, bukan i’tidad (lengkap syaratrukunnya). Pendapat ini mengacu pada definisi kedua dari gabul di atas. Contoh HR. Muslim.

 

“Barangsiapa mendatangi paranormal, lalu menanyakanya sesuatu dan membenarkannya, maka tidak diterima baginya shalat selama empat puluh hari”

 

  1. Menunjukkan jasad, karena penafian gabul secara lahiriyah menyimpulkan tidak adanya i’tidad (lengkap syarat-rukunnya). Dan sah dan gabul saling menctapi dan terkait. Penafian salah satunya akan menctapkan penafian yang lain.

 

Menyikapi dua pendapat ini, Syekh Waliy ad-Din mencoba menengahi dengan pemilahan sebagai berikut;

 

  1. Apabila penafian gabul dibarengi sebab adanya maksiat, maka hanya menyimpulkan tidak adanya pahala, dan tetap sah. Contoh;

 

“Barangsiapa meminum khamr, maka lidak diterima baginya Shalat selama empat puluh pagi”

 

  1. Apabila tidak dibarengi maksiat, maka penafian gabul menyimpulkan fasad. Karena dilatarbelakangi tidak terpenuhinya syarat dalam sebuah ibadah. Contoh;

 

 “Tidak diterima shalat seseorang di antara kalan kelika berhadats, sampai dia berwudhu”

“Tidak diterima shalat wanita yang mencapai umur haid, kecuali dengan kerudung mukena”

 

Dalam dua contoh ini syarat ibadah tidak terpenuhi, yakni suci dari hadats pada contoh pertama, dan menutup aurat pada contoh kedua.

 

Silang pendapat juga terjadi dalam penafian ijza’ (mencukupi), apakah menunjukkan fasad atau sah?. Di sini ada tiga pendapat.

 

1, Menunjukkan fasad, berpijak pada pendefinisian ijza’ adalah   (mencukupi dalam melepaskan tuntutan).

 

  1. Menunjukkan sah, berpijak pada pendefinisian ijzs’ adalah (menggugurkan tuntutan gadla’). Karena perkara yang belum menggugurkan gadla’, terkadang dihukumi sah, seperti shalat seseorang yang tidak bisa berwudhu dan tayammum.

 

  1. Lebth menunjukkan fasad dibandingkan penafian gabul. Karena hati lebih mudah memahami bahwa penafian ijza’ mengarah pada tidak adanya i’tidad (lengkap syarat-rukunnya). Dan terkadang ditemukan ibadah yang sah, meskipun tanpa gabul (diterima dan berpahala), namun tidak ditemukan ibadah yang sah, manakala ijza’ tidak ada.

 

Contoh HR. Daruquthni,

 

“Tidak mencukupi shalat yang di dalamnya seseorang tidak membaca Ummil Qur’an”

 

Am (lafadz umum) adalah lafadz yang menghabiskan makna yang pantas bagi lafadz tersebut tanpa batas. Menurut pendapat Ashah, perkara yang jarang (nadirab) dan yang tidak disengaja (ghair al-maqshudah) masuk dalam cakupan hukum ‘am. Dan bahwa ‘am terkadang berbentuk majaz. Serta bahwasanya sifat umum termasuk ‘awaridh (sifat-sifat) yang masuk pada lafadz saja. Pendapat lain, juga pada sisi makna, Dan diucapkan istilah a’am (lebih umum) untuk makna, dan (umum) untuk lafadz.

 

DEFINISI ‘AM

 

‘Am (lafadz umum) adalah lafadz yang menghabiskan makna yang pantas bagi lafadz tersebut tanpa batas. Dari definisi ini disimpulkan beberapa hal;

 

  1. Dari kata-kata ‘lafadz’, disimpulkan bahwa ‘aw termasuk sifat-sifat lafadz. Dimana yang dikehendaki di sini adalah satu lafadz, bukan lafadz banyak yang menunjukkan perkara yang juga banyak.

 

  1. Maksud kata-kata ‘menghabiskan’ adalah mencakup dengan sekali diucapkan (defatan). Mengecualikan nakirah dalam kalam itsbat, baik berbentuk mufrad, tatsniyah atau jamak, juga isim ‘adad ditinjau dari selain individu maknanya. Hal ini karena keduanya makna yang pantas bagi lafadz tersebut dengan cara badal (saling mengganti). Contoh;

 (Mulyakan seorang laki-lakil)

 (Sedekahlah dengan lima dirham).

 

  1. Dari kata-kata ‘yang pantas bagi lafadz tersebut’, memasukkan lafadz yang terpakai pada dua makna hakikatnya, atau hakikat dan majaz, atau dua makna majaznya.

 

  1. Dari kata-kata ‘tanpa batas’, mengecualikan isim ‘adat ditinjau dari individu maknanya dan nakirah yang di-tatsniyah-kan. Karena keduanya menghabiskan makna yang pantas, namun terbatas.

 

AS-SHURAH AN-NADIRAH DAN GHIATRU Al-MAQSHUDAH DALAM ‘AM

 

As-shurah an-nadirah adalah perkara atau sebuah bentuk kasus yany jarang tetjadi dan pada umumnya tidak terbersit dalam hati mutakallim (pembicara). Menurut pendapat ashah, as-shurah an-nadirah masuk dalam cakupan hukum ‘am, karena memandang keumuman lafadznya. Mecnurut pendapat lain, tidak masuk dalam cakupan hukum ‘am, karena memandang pada tujuannya. Contoh, silang pendapat tentang mwusabagah (berlomba) dengan tunggangan gajah. Pendapat ashah memperbolehkan, karena keumuman hadits riwayat Abi Dawud,

 

“Tidak, ada musabaqah yang boleh, selain dalam hewan bertapak, atau berkuku atau dalam panah” Dalam hal ini gajah termasuk hewan yang bertapak. Pendapat lain, tidak diperbolehkan. Karena musabaqah (berlomba) dengan tunggangan gajah jarang dilakukan.

 

Sedangkan ghair al-maqshudah adalah perkara atau bentuk kasus yang bukan menjadi tujuan, meskipun terkadang terbersit dalam hati pembicara dan meskipun umum terjadi. Menurut pendapat ashah, ghair almagshudah masuk dalam cakupan hukum ‘am, karena memandang keumuman lafadznya dan tujuan pembicara tidak mungkin dibatasi. Menurut pendapat lain, tidak masuk dalam cakupan hukum ‘am, karena memandang pada tujuannya. Contoh, apabila seorang majikan mewakilkan seseorang untuk membeli beberapa hamba sahaya dari Fulan, dimana di antara mereka ada orang-orang yang menjadi merdeka jika dimiliki majikan tersebut, sedangkan miajikan tersebut tidak mengetahuinya. Maka menurut ashah, pembelian tersebut sah, karena mengacu pada masalah ketika seorang majikan mewakilkan seseorang membeli hamba sahaya, kemudian orang tersebut membeli hamba sahaya yang menjadi merdeka jika dimiliki majikan tersebut.

 

Dalam hal ini apabila ditemukan garinah yang menunjukkan asShurah an-nadirah atau ghair al-maqgshudah menjadi tujuan pembicara, maka dipastikan keduanya masuk dalam cakupan hukum ‘am.

 

SAM TERKADANG BERBENTUK MAJAZ

 

Menurut pendapat ashah, bahwa ‘am terkadang berbentuk majaz. Hal ini manakala majaz dibarengi salah satu dari adat (perangkat) ‘am.

 

Contoh,

 

Telah datang kepadakn, para pemberam, yang abli-abli memanah, kecuali Zaid”

 

Hal ini dikarenakan tidak ada satupun ulama pakar lughat menyatakan pahwa perangkat alif dan lam dan nakirah dalam konteks sai hanya pertaidah dalam hakikat saja. Pendapat shahih di atas berlandaskan dalil sebuah hadits riwayat Imam Hakim dalam Al-Mustadrak;

 

“Thawa di Baitullah seperti shalat, hanya saja sesungguhnya Allah SWT memperbolehkan berbicara di dalamnya”

 

Penyebutan thawaf sebagai ‘shalat’ adalah majaz, dan keberadaan istitsna’ dalam hadits tersebut adalah tolak ukur adanya lafadz ‘am. Hal ini menunjukkan penetapan bahwa thawaf seperti shalat bersifat umum.

 

Pendapat kedua, majaz tidak bisa bersifat umum, karena majaz ditetapkan menyalahi hukum asal sebab adanya hajat (kebutuhan). Dan di dalam majaz yang berbarengan dengan adat (perangkat) umum, hajat ini bisa dipenuhi oleh sebagian afrad (individu makna). Sehingga tidak boleh menghendaki seluruh afrad kecuali ada garinah, seperti adanya istitsna’ dalam dua contoh di atas. Mereka menukil pendapat ini dari sebagian kalangan Syafiiyyah yang mendasati pendapat mereka dengan hadits ;

 

“Jangan kalian semua menjual satu dirham dengan dua dirham dan barang yang ditakar satu sha’ dengan dua sha’”

 

Kata   terpakai secara majaz, dan yang dimaksud adalah   (benda yang ditakar dengan ukuran 1 sha’). ‘Barang yang ditakar’ di sini tidak dijadikan umum, dan cukup dimaknai dengan sebagian benda yang bisa ditakar, yakni makanan. Karena menurut kalangan Syafi’iyyah, ‘illat haramnya riba pada selain emas dan perak adalah thu’mu (makanan). Untuk membuktikan bahwa makna yang dikehendaki adalah sebagian benda yang bisa ditakar, yakni makanan, bukan seluruhnya, bisa disumak dalam HR. Muslim:

 

“Tidak boleh menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ kurma, dua sha’ gandum dengan satu sha’ gandum, dan satu dirham dengan dua dirham”

 

‘AM ADALAH BAGIAN DARI ‘AWARIDH AL-ALFADZ

 

Pendapat ashah, sifat umum termasuk ‘awaridh (sifat-sifat) yang masuk pada sisi lafadz saja, bukan sisi makna. Yang dikehendaki dati haj ini bukanlah mensifati lafadz dengan umum tanpa menghiraukan maknanya. Namun yang dikehendaki tetap dengan memandang maknanya yang mengandung sesuatu yang banyak.

 

Pendapat lain, sifat umum juga termasuk ‘avaridh (sifat-sifat) yang masuk pada sisi makna. Ketika ada penyebutan lafadz ‘am, maka juga ada penyebutan makna ‘am secara hakikat. Baik berbentuk dzihniy (di hati), seperti makna   (manusia) atau kharijiy (realitas), seperti makna   (hujan) dan  (subur). Karena sudah masyhur dari semisal   mencakup laki-laki dan wanita.

 

Versi lain menyatakan, sifat umum merupakan “waridh makna dzihniy (dalam hati) secara hakikat. Karena adanya pencakupan pada beberapa makna. Berbeda dengan kharijiy, maka bisa disifati umum hanya secata majazi. Karena setiap perkara yang realitasnya ada, pasti terbatasi dengan tempat dan keadaan tertentu yang tidak ditemukan pada yang lain. Sehingga mustahil memuat banyak makna. Hujan dan subur di satu tempat semisal, pasti berbeda dengan hujan dan subur di tempat lain.

 

Dalam tradisi ulama ushul, penggunaan istilah a’am (lebih umum) dan akhash (lebih khusus) untuk makna, serta istilah ‘am (umum) dan khash (amum) untuk lafadz. Hal ini untuk membedakan antara ad-dal (petunjuk) dan al-madlul (yang ditunjukkan). Menurut Imam Al-Qarafi, pengpunaan shighat af’al at-tafdhil dalam makna, dikarenakan makna lebih penting dibanding lafadz”.

 

Makna yang ditunjukkan lafadz ‘am berbentuk kuliyyah, artinya yang dihukumi adalah setiap individu secara muthabagah (sepadan), baik dari sisi positifnya maupun dari sisi negatifnya,

 

MADLUL DARI LAFADZ AM

 

Penghukuman atas sebuah perkara terbagi menjadi beberapa macam, yaitu;

 

  1. Kuliyyah (general), adalah menghukumi satu persatu individu (perindividu) yang ada di suatu kelompok secara keseluruhan. Contoh; (Setiap yang berjiwa akan merasakan mati).

 

  1. Kull (seluruh, kolektif), adalah menghukumi kumpulan (majmu’) dari seluruh individu atau kutmpulan dari sebagian individu. Dalam arti, fukum ditetapkan pada saat individu-individu tersecbut berkumpul, sehingya pada saat individu-individu tersebut terpisah, hukum tidak mengikuti satu persatunya. Contoh 01 ; QS. Al-Haqqah : 71

 

“Dan pada hari itu delapan Malaikal” menyangga ‘arsy Tuhanmu di atas mereka”. Pada contoh pertama ini, hukum “‘menyangga ‘arsy’ ditetapkan pada kumpulan (majmu’) delapan malaikat, bukan pada keseluruhan (jami’) dari mereka. Karena jika hukum menyangga ‘arsy ditetapkan pada keseluruhan (jami’), maka tentunya satu persatu dari delapan malaikat mampu menyangga ‘arsy sendirian. Sedangkan kenyataan yang terjadi, penyangga ‘arsy adalah kumpulan delapan malaikat.

 

  1. Kully (substansial), adalah menghukumi hakikat sebuah perkara, tanpa memandang individu-individu maknanya. Contoh; (Hakikat laki-laki lebih baik dari perempuan) Di sini yang dihukumi bukan per individu, karena banyak individu perempuan mengungguli individu laki-laki.

 

Dalam hal ini hukum yang berada dalam lafadz ‘am termasuk jenis pertama, yakni kuliyyah, bukan kull atau kulliy. Artinya, hukum ditetapkan pada setiap individu secara muthabaqah (sepadan). Hal ini baik berbentuk itsbat (positif), seperti khabar atau amr, contoh;

 

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik,”

 

Firman Allah SWT ini menempati posisi kata-kata

 

‘Bunuhlah Zaid yang musyrik, ‘Amr yang musyrik, dan seterusnya……” Sampai tidak tersisa individu dari musyrikin, semuanya tereakup dalam lafadz tersebut. Maupun berbentuk salb (negatif), seperti nafi atau nahi.

 

Contoh;

 

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunubnya)”

 

Imam Al-Qarafi mengingkari penunjukkan hukum secara muthabaqah di atas. Beliau mengatakan bahwa penunjukkan secara muthabaqah adalah penunjukkan sebuah lafadz atas musamma (makna yang dikandung) secara sempurna. Dalam contoh di atas, oafadz ‘am tidak dibuat untuk menunjukkan makna Zaid saja, sehingga penunjukkan atas Zaid dan lain-lain bukan secara muathabaqah, Pernyataan mardud, dan ditangpapi oleh Imam Al-Ashbihani, bahwa firman Allah SWT,   secara hukum diangpap sepadan dengan banyak jumlah, yakni makna yang berulang kali akibat pencakupan atas perindividu. Sehingga, lafadz tersebut tidak menunjukkan membunuh Zaid yang musyrik dari sisi keberadaannya sebagai Zaid, namun ditunjukkan oleh keumumannya, sebagai bagian dari banyak jumlah tersebut. Dan makna yang tersimpan dari sekumpulan itu menunjukkannya secata muthabaqab

 

Penunjukan lafadz ‘am atas makna aslinya badalah bersifat qath’iy (pasti). Dan penunjukan atas setiap individunya secara khusus adalah bersifat dhanniy, menurut pendapat Ashah. Dan keumuman beberapa sosok, menetapkan umumnya keadaan, waktu dan tempat, menurut pendapat terpilih.

 

PENUNJUKKAN ‘AM ATAS MAKNA ASLI DAN SETIAP INDIVIDU

 

Ulama menyepakati, penunjukan lafadz ‘am atas makna aslinya adalah bersifat qath’iy (pasti). Makna asli tersebut adalah satu dalam bentuk mufrad, dua dalam bentuk tatsniyah, dan dua atau tiga dalam bentuk jamak. Dan ulama berbeda pendapat mengenai penunjukannya atas setiap individu secara khusus.

 

  1. Bersifat dhanniy. Karena adanya kemungkinan takhsish, meskipun pentakhsish belum jelas. Dimana keberadaan takhsish dalam lafadz ‘am banyak terlaku.

 

  1. Bersifat qath’iy. Karena makna lafadz ‘am mengharuskan mengarah pada perindividu secara pasti. Sehingga berstatus qath’iy, sampai terbukti tidak demikian, sebab adanya takhsish”.

 

Perdebatan ini terjadi apabila tidak ditemukan garinah. Apabila ditemukan qarinah yang menunjukkan bahwa makna yang dimaksud menyeluruh (ta’mim) dan tidak ada takhsish, maka ulama sepakat penunjukkannya atas setiap individu bersifat qath’iy. Contoh yang di dalamnya terdapat qarinah berupa akal;

 

“Dan bahwa sesungeuhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

 

KEUMUMAN PELAKU MENETAPKAN KEUMUMAN KEADAAN WAKTU DAN TEMPAT

 

Pendapat terpilih menyatakan, keumuman dalam para pelaku -menetapkan keumuman beberapa keadaan, waktu dan tempat. Karena pelaku tidak bisa terlepas dari semuanya. Contoh 01,

 

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik ” Maksud ayat ini, setiap musyrik dalam semua keadaan, waktu dan tempat. Hanya saja pelaku akad dzimmah (jaminan perlindungan) dan hudnah (gencatan senjata) disendirikan hukumnya melalui takhsish.

 

Pendapat kedua, lafadz yang umum menjelaskan para pelaku adalah muthlaq dalam keadaan, waktu dan tempat. Karena tidak ada shighat umum yang menjelaskan aspek-aspek tersebut. Sehingga contoh  di atas mencakup setiap musyrik, namun tidak berlaku umum dalam semua keadaan, hingea sampai membunuh dalam keadaan ada jaminan (dzimmah), juga tidak dalam semua waktu, hingga menunjukkan boleh memerangi di hari Ahad semisal, serta tidak dalam semua tempat, hingga menunjukkan untuk memerangi kaum musyrik Negara India misalnya. Dan hal-hal yang menurut pendapat pertama sebagai pen-takhsish, merupakan mubayyin (penjelas) atas maksud makna yang dimutlakkan. Namun pendapat ini disangkal, bahwa keumuman di sini secara istilzam (penetapan kelaziman), bukan secara wadha’, sehingga tidak membutuhkan shighat

 

 Permasalahan : lafadz   dan yang menyamai,; menunjukkan  makna umum secara hakikat, menurut Ashah.

 

Seperti juga lafadz jamak yang dimakrifatkan dengan alif lam atau idbafah, selama tidak nyata berfaidah ‘ahdu (diketahui). Lafadz mufrad (yang dimasuki alif lam) juga demikian,

 

Lafadz nakirah dalam rangkaian kalam nafi menunjukkan makna umum secara Wadha’ (asal pembuatan), menurut Ashah, Dan berbentuk nash apabila dimabnikan fsthah, serta berbentuk dhahir apabila tidak dimabnikan.

 

Terkadang lafadz diumumkan secara ‘urf seperti mafhum muwafaqah, menurut pendapat terdahulu. Dan contoh qlayat :

 

Atau secara makna, seperti meruntutkan hukum atas sifat dan seperti mafhum mukhalafah, menurat pendapat terdahulu. 

 

Perbedaan pendapat bahwa mafhum tidak memiliki makna umum bersifat lafdzi.

 

SHIGHAT-SHIGHAT LAFADZ AM

 

Shighat-shighat lafadz ‘am (umum) secata keseluruhan terbagi sebagai berikut;

 

  1. Umum berdasarkan ketetapan (wadla) lughat. Terbagi dua;

 

  1. Ketetapan lughat murni tanpa qarinah. Ada 5 macam,
  2. Seimbang digunakan pada yang berakal dan tidak berakal. Lafadznya adalah sebagat berikut;

 

  1. termasuk shighat paling kuat. Contoh: “Tiap-tiap yang benjiwa akan merasakan mati”

 

  1. baik istifham, syarthtyah atau maushul. Contoh, “Siapapun budak-budakeku datang padamun, maka berbuatlah baik padanya”

 

“Apapun perkara-perkara yang kamu inginkan, aku akan memberimu perkara itu”

 

  1. coal, baik mufrad, tasintyah, atau jamak. Contoh : “Mulyakan orang laki-laki mendatangimu”’

 

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan kei di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya”.

 

“Dan orang-orang yang berjthad untuk (mencari keridhaan) Kavi, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalanjalan Kami”.

 

  1. Contoh : (Mubakan seorang perempuan_yang mendatangimu)

 

  1. Contoh : (Telah datang seluruh kaum)

 

  1. ., yang diambil dari makna akar kata (tembok batas kota) bukan dari   (sisa). Contoh:  “Telah keluar seluruh kaurm untuk berjithad”

 

  1. Untuk yang berakal secara hakikat, namun terkadang dipakai yang tidak berakal secara majaz, yaitu lafadz Umum – digunakan untuk laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak. Baik berbentuk syarthiyah, contoh:

 

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niseaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu”

 

Atau istifhamiyah, contoh:

 

“Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?”

 

Atau maushulah, conton:

 

“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi”

 

  1. Untuk yang tidak berakal secara hakikat, namun terkadang dipakai yang berakal secara majaz, yakni lafadz

 

Baik berbentuk syarthiyah, contoh:

 

“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niseaya A Mah mengelahuinya”’,

 

Atau istifhamiyah, contoh:

 

“Berkata (pula) Ibrahim: “Apakah urusannu yang penting (selain itu), hai para utusan?”

 

Atau maushulah, contoh:

 

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”.

 

  1. Untuk keterangan waktu saja, yakni lafadz Baik berbentu, istifhamiyah, contoh:

 

“Dan mereka berkata: “Kapankah (datangnya) janji ini?”

 

Atau syarthiyyah, contoh:

 

“Kapanpun engkau mendatangiku, aku akan memuliakanmu”.

 

  1. Untuk keterangan tempat saja, yakni lafadz Baik berbentuk istifhamiyah, contoh:

 

“Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang mu’min)?”

 

Atau syarthiyyah, contoh:

 

“Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat)”’.

 

Selain itu ada lafadz  yang berbentuk syarthiyah, contoh:

 

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya’

 

Ulama berselisih pendapat mengenai makna hakikat dari shighat-shighat tersebut di atas.

 

1, Pendapat ashah, secara hakikat menunjukkan makna umum, karena hal ini yang Ickas difahami oleh hati. Disampaikan oleh Jumhur.

 

  1. Pendapat kedua, secara hakikat menunjukkan makna khusus. Yaitu menujukkan satu dalam selain bentuk jamak, dan menunjukkan tiga dalam bentuk jamak. Karena makna inilah yang diyakini. Sedangkan pemakaian shighat-shighat ini pada makna umum adalah majaz.

 

3, Pendapat ketiga, secara hakikat menunjukkan makna umum dan khusus, dan termasuk dipersekutukan. Hal ini dikarenakan shighat-shighat tersebut terpakai pada keduanya. Padahal asal dati pemakaian adalah menggunakan makna hakikatnya.

 

  1. Pendapat kempat, menangguhkan, artinya tidak jelas apakah secara hakikat menunjukkan umum atau khusus, atau keduanya.

 

  1. Ketetapan lughat murni disertai qarinah. Ada 2 jents:

 

  1. Qarinah dalam kalimat itsbat (positif), ada 4 macam, a. Jamak yang dimasuki alif lam, atau aljam’u al-mu’arraf (jamak yang dimakrifatkan). Contoh:

 

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”

 

  1. Jamak yang dimakrifatkan dengan idhafah, contoh: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”.

 

Makna umum ini terlaku selama tidak nyata berfaidah ‘ahdu (diketahui). Dan jika nyata berfaidah ‘ahdu, maka diarahkan pada faidah ini, tidak berlaku umum. Berbeda dengan pendapat Imam Abi Hasyim, bahwa jamak yang dimasuki alif lam tidak menunjukkan umum secara mutlak, baik berfaidah ‘ahdu atau tidak. Namun menunjukkan jenis yang mewakili sebagian arad (individu), karena itu makna yang diyakini, seperti ucapan;

 

“Aku menikahi wanita, aku memiliki hamba sahaya”

 

Hal ini selama tidak ditemukan garinah yang mengarahkan pada makna umum, seperti dua ayat di atas. Berbeda juga dengan pendapat Imam Hqaramain yang mecngatakan, apabila memungkinkan berfaidah ‘ahdu, (diketahui) dan jenis, dan keduanya tidak berdalil, maka berstatus mujwal, yang memungkinkan pada keduanya.

 

  1. Mufrad yang dimakrifatkan dengan alif lam, disebut juga dengan isim jinis. Menunjukkan umum karena Ickas dipahami oleh hati. Contoh:

 

“Allah telah menghalalkan jual beli”

 

Artinya, setiap jual beli, dan jual beli fasid (rusak) seperti riba disendirikan melalui fekhAsish. Makna umum ini terlaku selama tidak nyata berfaidah ‘hduw (diketahui). Berbeda dengan pendapat Imam Ar-Razi, bahwa mufrad yang dimakrifatkan dengan alif lam tidak menunjukkan umum secara mutlak. Namun menunjukkan jenis yang mewakili sebagian afrad (individu), karena makna inilah yang diyakini. Seperti dalam lafadz;

 

“Aku memakai baju dan akiit meminum air”

 

Hal ini selarma tidak ditemukan garinah yang mengarahkan keumumannya. Seperti contoh;

 

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam Rerugian. Kecuali orang-orang yang berimman”

 

Imam Hiaramain dan Al-Ghazali mengatakan, apabila lafadz wurad-nya tidak dibedakan dari jenisnya mengegunakan huruf za, maka tidak bersifat umum, contoh,  namun jika dibedakan dengan ta’, maka bersifat umum, contoh,

 

“Jangan kamu menjual kurma dengan kurma, kecuali saling menyarat”

 

Imam Al-Ghazali menambahkan, atau terbedakan dengan sifat wahdah (satu) pada mufradnya, Contoh, lafadz,   karena bisa diucapkan,   (Satu laki-laki), Berbeda dengan yang tidak terbeedakan dengan sifat wabdah, seperti contoh,  (emas).

 

  1. Mufrad yang dimakrifatkan dengan idhafah, contoh:

 

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul”.

 

2, Qarinah dalam kalimat nafi (negatif)

Terdapat dalam isim nakirah yang terletak dalam runtutan kalimat nafi, baik menggunakan   ataupun yang lainnya. Hanya saja dalalab-nya akan berbentuk nash apabila dimabnikan fathah, contoh:

 

 “Tidak ada seorang laki-lakipun di dalam rumah”

 

Dan berbentuk dzahir apabila tidak mabni fathah, contoh:

 

“Tidak ada seorang laki-lakipun di dalam rumah”

 

Dalam hal ini ulama berselisih mengenai penunjukannya atas makna umum.

 

  1. Secara wadha’ (asal pembuatan) dengan muthabaqah (sepadan). Disampaikan Ashhab as-Syafi’i dan dipilih Imam Al-Qarrafi, karena hukum dalam lafadz ‘am adalah atas per individu.

 

  1. Secara kelaziman, karena memandang bahwa nafi, awal mulanya menunjukkan hakikat sesuatu, kemudian menjadi keharusan untuk menafikan per individu, agar hakikat menjadi hilang secara darurat

 

Hal-hal yang semakna dengan nafihukumnya disamakan. Seperti nahi, contoh:

 

“Janganlah kamu memukul seseorang”

 

Atau istifham inkari, contoh:

 

“Apakah Ramu mengetabut ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)e”

 

Nakirah dalam dalam runtutan kalimat syarthi hukumnya juga disamakan. Contoh:

 

“Dan jika seorang dt antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah”

 

  1. Umum berdasarkan Urf

 

Termasuk dalam hal ini adalah penyandaran hukum pada a’yaq (benda-benda). Contoh,

 

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”

 

Dalam hal ini ‘urf mengalihkan dari pengharaman benda (ibu-ibumu), menuju pengharaman kesenangan yang menjadi tujuan utama dari kaum perempuan, seperti hubungan intim dan lain-lain. Termasuk bagian ini adalah mafhum mufawaqah. Hal ini mengikuti pendapat lemah, bahwa dalalah-nya bersifat lafdziyyah. Baik aulawi (lebih tinggi) maupun masawi (menyamai). Contoh 01:

 

“Maka sekali-kak jangan kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.

 

Urf dalam hal ini memindah lafadz dalam contoh di atas menuju makna segala macam perbuatan menyakiti yang lebih tinggi dibanding perkataan “ah”, seperti memukul dan lain-lain. Contoh 02:

 

“Sesungeuhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim”.

 

Urf mengumumkan pada semua bentuk perusakan yang menyamai memakan harta dengan titi persamaan berupa membuat dharar (membahayakan) atas harta anak yatim.

 

III. Umum berdasarkan makna

 

Batasannya adalah setiap hukum yang dikaitkan dengan sifat, sehingya menyimpulkan sifat tersebut menjadi ‘illat-nya. Contoh:

 

“Potonglah fangan orang yang mencuri”’

 

“Mulyakanlah orang alim”

 

Contoh-contoh di atas mengindikasikan bahwa sifat yang menjadi ‘illat dari teerbangunnya sebuah hukum. Sehingga secara akal menctapkan bahwa setiap ditemukan sifat tersebut, maka hukum juga ditemukan. Perantaraan akal inilah yang membantu lafadz-lafadz di atas menunjukkan sifat umum. Hal ini selama alif lam dalam contoh tersebut dijadikan jemis tidak dijadikan berfaidah umum atau ‘ahdu (diketahui). Karena jika dijadikan berfaidah umum, maka penunjukkan makna umum bukan lagi berdasarkan makna (akal), namun berdasarkan wadha’.

 

Termasuk dalam bagian ini adalah mafhum mukhalafah, mengikuti pendapat lemah, bahwa dalalah dari lafadz atas selain yang tersebut (madzkur) adalah kebalikan dari hukum madzkur secara makna (akal). Dalam arti, kalau saja lafadz yang disebutkan tidak menafikan hukum dari waskut (yang tidak tersebut), maka penycbutannya tidak berfaidah. Contoh,

 

“Menunda pembayaran hutang bagi orang yang kaya adalah zhalim”

 

Artinya, berbeda hukumnya dengan menunda pembayaran hutang dari selain orang kaya.

 

Perbedaan pendapat bahwa mafhum batik muwafaqah atau mukhalafah tidak memiliki makna umum, hanyalah retorika lafadz dan penamaan, terkait apakah bisa disebut lafadz umum, berpijak pada versi bahwa keumuman adalah sifat lafadz dan makna, atau tidak disebut lafadz umum, berpijak pada versi versi bahwa keumuman adalah sifat lafadz saja?.

 

Pendeteksi sifat umum adalah istitsna’. Pendapat Ashah, bahwa lafadz jamak yang dinakirahkan bukan lafadz umum. Dan batas minimal sesuatu yang dinamakan jamak adalah tiga Dan bahwa jamak menunjukkan makna satu secara majaz, Dan menurut Ashah, menetapkan keumuman lafadz ‘am yang didatangkan karena tujuan tertentu, dan tidak ditentang lafadz ‘am yang lain. Juga menetapkan keumuman contoh seperti dan  dan. Tidak menetapkan keumuman muqtadhi, lafadz yang di-athaf-kan pada lafadz ‘am, fi’il yang matsbat (positif), meskipun bersama kata  dan perkara yang dikaitkan dengan ‘illat secara lafadz, namun bisa bersifat umum secara makna.

 

BATASAN LAFADZ UMUM

 

Batasan dan pendeteksi sifat umum adalah istitsna’. Artinya, petunjuk atas keumuman dari sebuah lafadz adalah menerima istitsna’ (pengecualian). Setiap lafadz yang sah diterapkan istitsma’ darinya, berupa lafadz yang memiliki makna tanpa batas, maka itu adalah lafadz ‘am, seperti jamak yang dimakrifatkan, karena dipastikan lafadz tersebut memuat mustatsna (perkara yang dikecualikan), Contoh,

 

“Beberapa laki-laki telah datang, selain Zaid”

 

Sedangkan pembuatan istitsna’ dari jamak yang dinakirahkan hukumnya tidak sah, kecuali jika di-takhsish, maka bersifat umum pada bagian yang di-takhsish tersebut. Contoh,

 

“Beberapa laki-laki yang ada di dalam rumahmu berdiri, selain Zaid dart mereka”

 

JAMAK YANG DI-NAKIRAH-KAN

 

Pendapat Ashah yang didukung Jumhur, bahwa lafadz jamak yang dinakirahkan dalam kalam itsbat (positif) tidak menunjukkan keumuman. Dan justru diarahkan pada batas minimal jamak, karena hal ini Qdalah yang diyakini. Hal ini selama tidak ter-takhsish,

 

Pendapat kedua, jamak yang dinakirahkan menunjukkan keumuman. Karena jamak yang dinakirahkan selain menunjukkan pada batal minimal jamak (aqallil jam’i), juga menunjukkan seluruh afrad (individu makna) dan sekaligus menunjukkan makna antara keduanya, Sehingga diarahkan pada seluruh afrad, demi kehati-hatian. Hal ini manakala tidak ditemukan faktor pencegah (mani). Namun apabila mani’ ditemukan, maka secara pasti diarahkan pada batas minimal jamak (aqallil jam’i) . contoh,

 

“Aku melibat beberapa laki-laki”

 

Mani’ dalam contoh ini adalah akal, dimana secara akal tidak mungkin meihat seluruhnya.

 

Perbedaan pendapat di atas, menurut segolongan ulama berlaku untuk jamak gillah dan jamak katsrah. Dan menurut Imam As-Shafiy Al-Hindi, hanya dalam jamak katsrah, tidak dalam jamak qillah, karena tetbatas, sehingga bukan termasuk lafadz ‘am.

 

BATAS MINIMAL AMAK ADALAH TIGA

 

Mengenai batas minimal sesuatu yang dinamakan jamak (musammah al-jam’i), alama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, adalah tiga. Karena hal ini yang lekas dipahami hati.
  2. Menurut pendapat lain, adalah dua. Pendapat ini mengambil dalil sebagai berikut;

 

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesunygubnya hati-hati kamu berdua telah condong (untuk, menerima kebaikan)”

 

Redaksi jamak   (hati-hati mereka) padahal maksud ayat ini ditujukan pada ‘Aisyah RA dan Hafshah RA, dimana mereka berdua hanya memiliki dua hati.

 

Tanggapan pendapat pertama mengenai dalil ini, bahwa keduanya -pakai secara majaz, Faktor pemicu tereetusnya bahasa dalam ayat ‘sebut adalah menjauhi pengumpulan dua lafadz tatsniyah dalam mudhaf dan sesuatu yang memuat mudhaf, karena keduanya seperti satu kesatuan, Dalam hal ini madhafnya adalah lafadz  (hati) dan mudhaf ilath-nya adalah dhamir (kata ganti) berupa lafadz , yang mewakili ‘Aisyah RA dan Hafshah RA, dimana madha’ ilaih secara makna memuat tmudhaf karena hati adalah bagian dari manusia.

 

JAMAK MENUN UKKAN MAKNA SATU SECARA MAJAZ

 

Menurut pendapat ashab, bahwasanya jamak, batk qillah atau katsrah, baik dimakrifatkan atau dinakirahkan menunjukkan makna saty secara majaz. Karena jamak terpakai untuk makna satu. Seperti ucapan seorang laki-laki pada istrinya yang telah mempertontonkan kecantikannya kepada seorang laki-laki lain;

 

“Apakah kamu akan mempertontonkan kecantikanmu pada para laki-laki?”

 

Karena kemakruhan mempertontonkan kecantikan sama antara satu atau banyak laki-laki.

 

Pendapat lain, tidak menunjukkan makna satu secara majaz, juga tidak terpakai untuk makna satu. Dan jamak dalam contoh di atas sesuai dengan yang seharusnya. Karena maksud contoh di atas adalah bahwa wanita yang mempertontonkan kecantikan pada seorang laki-laki, biasanya juga melakukan hal serupa pada laki-laki lainnya.

 

LAFADZ ‘AM UNTUK TUJUAN TERTENTU

 

Manakala lafadz ‘am didatangkan dalam rangka tujuan tertentu, seperti madh (pujian), dzamm (celaan), dan menjelaskan ukuran, maka apakah lafadz ‘am tersebut ditetapkan bersifat umum?. Dalam hal ini wama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat ashah, ditetapkan bersifat umum, apabila tidak ditentang lafadz ‘aw lain yang didatangkan bukan untuk tujuan tersebut. Dan apabila ditentang, maka ditetapkan bersifat umum dalam bagian yang ditentang. Contoh tanpa penentang;

 

“Sesunggunya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dala punga yang penuh kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durbaka benarhenat berada dalam neraka”.

 

Contoh disertai penentang; 

 

‘Dan ovrang-orang yang menjaga kemaluannya, hecnall terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki”

 

Ayat ini didatangkan dalam konteks madh (pujian) dan secara jahiriyah bersifat umum mencakup dua wanita bersaudara yang dikumpulkan dalam kepemilikan sebagai budak. Namun ditentang ayat lain,

 

‘Dan (haram) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara”

 

Ayat ini memuat larangan mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam kepemilikan sebagai budak, dan ayat ini didatangkan tidak dalam konteks madb. Sehingga makna ayat pertama diarahkan pada selain kasus dua wanita bersaudara yang dikumpulkan dalam kepemilikan sebagai budak. Hal ini dengan cara menganggap ayat pertama tidak dikehendaki memuat kasus tersebut.

 

  1. Tidak ditetapkan bersifat umum secara mutlak. Karena lafadz tersebut tidak didatangkan untuk menetapkan keumuman, namun untuk tujuan tertentu.

 

  1. Ditetapkan bersifat umum secara mutlak. Dan jika terjadi pertentangan akibat adanya dalil penentang, maka akan mempertimbangkan adanya murajih (faktor yang mengunggulkan)”.

 

KEUMUMAN   DAN .

 

Menurut pendapat Ashah, menetapkan keumuman contoh semacam   yakni setiap lafadz yang menunjukkan penafian isiwa’ (kesamaan) dan yang serupa, seperti penafian musawah (kesamaan), tamatsul (kesamaan), dan mumatsalah (saling menyamai). Contoh;

 

“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak Sama”

 

“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga”

 

Lafadz  dan   diperuntukkan menafikan semua sisi kesamaan yang memungkinkan untuk dinafikan. Karena fi’il yang dinafikan menyimpan mashdar yang dinakirahkan. Sehingga terwujudiah nakirah berada dalam konteks nafi yang berfaidah menjadikan umum,

 

Pendapat lain, tidak bersifat umum. Karena kesamaan yang dinafikan adalah persekutuan dari sebagian sisi. Dan bilamana mengikut pendapat ini, maka contoh tersebut tergolong salb al-‘umum (peniadaan keumuman), sedangkan menurut pendapat Ashah, tergolong ‘umum as-salb (mengumumkan penafian).

 

Berpijak pada versi Ashah di atas, dapat disimpulkan dati gabungan dua ayat, bahwa orang kafir tidak boleh menjadi wali dalam urusan anaknya yang muslim. Dan bahwa seorang muslim tidak dibunuh sebab membunuh kafir demmi. Hal ini dengan menghendaki maksud   dalam ayat pertama adalah kafir, melalui garinah perbandingannya dengan . Dalam dua masalah ini kalangan Hanafiyah berbeda sikap, mereka menyatakan, orang kafir boleh menjadi wali dalam urusan anaknya yang muslim, dan seorang muslim dibunuh sebab membunuh kafir dzimmi.

 

Selanjutnya menurut Ashah, menetapkan keumuman contoh semacam,   (Demi Allah aku tidak akan makan), yakni berbentuk muta’adi (memiliki maf’ul bih) yang tidak disebutkan maful-nya (obyeknya)” dan terletak setelah nafi. Lafadz ini diperuntukkan untuk menafikan semua makanan dengan cara menafikan semua afrad makan yang terkandung dalam fi’ilnya. Dan juga menetapkan keumuman contoh semacam  Apabila aku makan, maka istriku tertalak), yakni fi’il berbentuk muta’adi yang tidak disebutkan mafulnya (obyeknya) dan terletak dalam konteks syarat. Lafadz ini diperuntukkan untuk mencegah segala macam makanan. Sehingga dalam dua contoh di atas, men-takhsish pada sebagian makanan dengan niat dapat diterima, dan kehendaknya dapat dibenarkan.

 

Imam Abu Hanifah berpendapat, tidak ada keumuman dalam contoh-contoh tersebut. Sehingga men-takhsish dengan niat tidak sah, karena sasaran penafian dan pencegahan adalah hakikat dari makan. Dan hakikat ini perkara yang hanya satu, tidak bersifat umum. Dimans penatian dan pencegahan adalah hakikat dari makan tersebut secara lazim menetapkan penafian dan pencegahan segala macam makanan. Sehingga disepakati, bahwa memakan salah satu dari makanan tersebut dianggap relah melanggar sumpah.

 

HAL-HAL YANG TIDAK MEMILIKI SIFAT UMUM

 

  1. Keumuman muqtadhi

 

Muqtadhi adalah sesuatu yang tidak bisa benar dalam sebuah ungkapan kecuali dengan mengira-ngirakan salah satu di antata beberapa perkara. Perkara yang dikira-kirakan disebut muqtadha. Menurut Ashah, muqtadhi tidak bersifat umum mencakup keseluruhan perkaraperkara tersebut, karena kebutuhan (membenarkan ungkapan) sudah tereukupi dengan salah satunya. Sehingga menjadi berstatus majmal (ambigu) di antara perkara-perkara tersebut. Dan akan menjadi tertentu manakala ditemukan qarinah.

 

Pendapat lain, bersifat umum mencakup keseluruhan perkaraperkara tersebut. Hal ini demi menghindari status mujmal Contoh dalam sebuah hadits,

 

“Dihilangkan dari umatku siksaan yang timbul dari kesalahan dan kelalaian”

 

Karena kesalahan dan kelalaian realitanya terjadi dari umat, maka ungkapan ini tidak dibenarkan tanpa mengira-ngirakan salah satu di antara  (siksaan),  (tanggungan), atau yang lain. Kemudian dikira-kirakan   (siksaan), karena hal tersebut yang bisa difahami secara ‘urf dari redaksi-redaksi serupa.

 

  1. Lafadz yang di-athaf-kan pada lafadz ‘am

 

Peng-‘athafan pada lafadz ‘am tidak menctapkan keumuman ma’thuf (latadz yang di ‘athafkan). Kalangan Hanafiyyah menyatakan, menetapkan keumuman ma’thuf. Karena ma’thuf haras menyamai mathuf ‘alaih (lafadz yang di-‘athaf-i) dalam hukum dan sifatnya (umum-khususnya). Menurut pendapat pertama hanya menyamaj dalam hukum, tidak dalam sifatnya. Contoh, HR. Abu Dawud;

 

“Tidak dibunuh seorang muslim sebab membunuh kafir, dan tidak, dibunuh kafir mu’ahad saat gencatan perang (sebab membunuh kafir harbi)”

 

Kalangan Hanafiyyah mengira-ngirakan pada ma’thu kata (sebab membunuh kair), sechingga makna lengkapnya menjadi umun, yaitu kafir mu’ahad tidak dibunuh sebab membunuh kafir. Hanya saja kemudian di-takhsish dengan ijma’, bahwa kafir mu’ahad dibunuh sebab membunuh kafir dzimmi. Dari takhsish ini makna pe: menjadi kafir harbi. Sechingga maksud selengkapnya, tidak dibunuh seorang muslim sebab membunuh kafir harbi, dan tidak. dibunuh kafir mu’ahad saat gencatan perang sebab membunuh kaw harbi. Hal ini menyimpulkan, seorang muslim dibunuh sebab membunuh kafir dzimwii. Menurut pendapat pertama dari kalangan Syafi’iyyah, pengira-ngiraan semacam itu tidak perlu dilakukan. Cukup dikira-kirakan pada ma’thuf kata  (sebab membunuh kafir harbi) dan ma’thu tidak perlu mengikuti keumuman ma’thuf ‘alaih, Makna selengkapnya, tidak dibunuh seorang muslita sebab membunuh kafir, dan tidak, dibunuh kafir mu’ahad saat gencatan perang sebab membunuh kafir harbi. Wal ini menyimpulkan, seorang muslim tidak dibunuh sebab membunuh kafir, baik harbi atau dzimmi. Pendapat ketiga, menjadikan ma’thu sebagai jumlah ‘tammah (sempurna) tanpa mengira-ngirakan apapun. Sechingga maknanya, dan tidak boleh dibunuh kai mu’ahad saat perjanjian gencatan masih berlangsung. Pendapat keempat, menjadikan ‘tqdim (mendahulukan) dan takhir (mengakhirkan). Sehingga susunan aslinya; “

 

“Tidak dibunuh storang muslim dan kaw mu’ahad saat gencatan perang sebab membunuh kafir”?

 

  1. Fi’il yang mutsbat (positif), meskipun bersama .

 

Menurut Ashah, fi’il mutsbat (positif), meskipun bersama dengan , tidak menunjukkan keumuman. Contoh 01; HR. Bukhari-Muslim, bahwa Shahabat Bilal ra mengatakan;

 

“Bahwasanya Nabi SAW melaksanakan shalat di dalam Ka’bah”

 

Maka tidak mencakup secara umum atas shalat fardhu dan sunnah, Karena perbuatan seperti nakirah, dimana setiap nakirah tidak memiliki sifat umum dalam kalam itsbat (positif). Contoh 02 ; HR. Bukhari;

 

“Bahwasanya Nabi SAW menjamak antara dua shalat dalam bepergian”

 

Hadits ini tidak umum mencakup setiap macam shalat, jamak stagdim dan ta’khir, serta setiap macam bepergian. Pendapat lain, keduanya bersifat umum. Sehingga dalam dua contoh di atas, keduanya bersifat umum secara hukum, bukan lafadz. Yakni hukum jawaz (boleh), dalam arti boleh jadi shalat dalam contoh pertama fardhu dan sunnah, dan jamak dalam contoh kedua boleh jadi tagdim atau ta’khir, secara bergantian. Karena yang terjadi pada Nabi SAW hanyalah satu shalat.

 

Dan terkadang bersama fi’il mudhari’ menetapkan faidah takrar (pengulangan). Contoh tentang kisah Nabi Ismail AS

 

Dan ia menyuruh ablinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat

 

Dan pendapat ini yang sesuai dengan berlakunya ‘urf

 

  1. Perkara yang dikaitkan dengan ‘illat

 

Menurut Ashah, perkara yang dikaitkan dengan ‘‘illat, secara lafadz tidak bersifat umum mencakup semua obyek hukum yang War tersebut ditemukan di dalamnya. Hanya saja bisa bersifat umum secara qiyas melalui perspektif makna. Contoh, pembawa syariat mengatakan;

 

“Khamr diharamkan karena memabukkannya”

 

Maka tidak bisa berlaku umum atas setiap perkara yang memabukkan secara lafadz. Menurut pendapat lain, bisa bersifat umum secara lafadz, karena disebutkannya ‘‘illat. Seolah-olah mengatakan;

 

“Perkara yang memabukkan diharamkan”

 

Di sini penyebutan ‘‘illat menunjukkan bahwa kata  tidak dipakai dalam makna hakikatnya”’.

 

Menurut Ashah, bahwa mengabaikan perincian (atas beberapa keadaan kasus), diposisikan sebagai keumuman dalam ucapan. Dan bahwa semacam tidak mencakup pada umat dan semacam mencakup Rasul SAW, meskipun dibarengi kata. Dan versi Ashah,  bahwa berlaku umum bagi hamba sahaya, serta memuat pada mereka yang ada ada saat diucapkan saja.

 

Pendapat Ashah, bahwa  mencakup perempuan dan bahwa jamak mudzakar salim, tidak mencakup para perempuan di dalamnya secara dhahir. Dan bahwa khithab bagi satu orang, tidak menjalar pada orang lain. Serta khithab dengan kata-kata tidak mencakup umat. Juga bahwasanya contoh semacam menetapkan pengambilan dari setiap macam harta.

 

MENGABAIKAN PERINCIAN ATAS BEBERAPA KEADAAN KASUS

 

Menurut Ashah, bahwa mengabaikan perincian atas beberapa keadaan kasus, diposisikan sebagai keumuman dalam ucapan.

 

Bermula dari statemen As-Syafi’i

 

“Mengabaikan perincian atas beberapa keadaan kasus, disertai adanya sudut kemungkinan diposisikan sebagai keumuman dalam ucapan” Contoh sabda Nabi SAW pada Ghailan ibn Salamah At-Tsaqafi yang masuk Islam dengan memiliki sepuluh istri;

 

Pertahankan enpat orang dan ceraikan sisanya

 

Nabi SAW tidak memerinci, apakah Ghailan menikahi mereka bersamaan atau berurutan. Seandainya hukum tidak berlaku umum mencakup dua keadaan ini, pastilah Nabi SAW tidak menyebutkan mutlak. Karena tidak diperkenankan menyebutkan mutlak pada obyek yang membutuhkan adanya perincian.

 

Pendapat lain, tidak diposisikan umum, namun ucapan tersebut menjadi mujmal (ambigu). Pendapat ini diusung kalangan Hanafiyyah. Mereka mentafsiri kata  dengan   (mulailah.). Dan tafsiran mereka selengkapnya,

 

“Mulailah akad nikah baru atas empat orang dari mereka dalam pernikahan yang bersamaan. Dan teruskanlah empat orang pertama, dalam pernikahan yang berurutan”

 

KHITHAB  DAN

 

Menurut Ashah, bahwa khithab yang khusus bagi Nabi SAW, semisal  dan  tidak mencakup umat. Karena shighat yang terpakai terkhusus bagi Nabi SAW. Pendapat lain, mencakup umat. Karena perintah mengikuti Nabi SAW, secara urf merupakan perintah bagi pengikutnya berbarengan dengan Nabi SAW. Seperti halnya perintah Raja pada panglima perangnya untuk menaklukkan sebuah negara atau mengusir musuh. Namun arpumentasi ini dibantah, bahwa contoh terakhir ini adalah dalam konteks sesuatu yang diperintahkan memiuliki keterpantungan dilakukan bersama-sama, sedangkan masalah yang sedang dibahas tidak demikian.

 

Juga menurut Ashah, didukung mayoritas ulama, bahwa khithah mencakup Rasul SAW. Karena keumuman shighat yang digunakan, baik dibarengi kata atau tidak. Pendapat kedua, tidak mencakup Rasul SAW secara mutlak. Karena bahasa itu muncul dari beliau untuk disampaikan pada orang lain, disamping itu Beliau memiliki beberapa kekhususan. Pendapat ketiga, memerinci. Apabila dibarengi kata, maka tidak mencakup Rasul SAW, karena secara lahiriyah hal tersebut dalam rangka tabligh (menyampaikan pada orang lain). Dan apabila tidak dibarengi, maka mencakup Rasul. Pendapat terakhir ini disampaikan Imam As-Shairafi.

 

Selanjutnya menurut Ashah, khithab  berlaku umum bagi hamba sahaya, berdasarkan keumuman lafadz. Pendapat lain, tidak mencakup hamba sahaya, karena secara syara’ manfaat dirinya sudah diberikan kepada majikannya. Pengarang membatasi, pada selain waktu-waktu yang sempit digunakan ibadah.

 

Khithab  menurut Ashah, pada dasarnya hanya mencakup mereka yang ada pada saat diucapkan, tidak pada orang-orang setelahnya. Versi lain, mencakup orang-orang setelahnya, karena berdasarkan ijma’, secara hukum mereka menyamai orang-orang yang ada saat khithab diucapkan. Argumentasi ini ditanggapi, bahwa ijma’ tersebut bersandar pada dalil lain seperti qiyas atau yang lain, bukan dari cakupan khithab di atas.

 

DAN AMAK MUDZAKAR SALIM

 

Pendapat Ashah, bahwa  baik syathiyah, istifhamiyyah, maushulah, mausufah, atau tammah, mencakup perempuan. Dengan dalil,

 

“Barangsiapa yang mengerjakan amalamal sale’ baik, laki-laki maupun wanita”

 

Penafsiran   dengan (laki-laki maupun wanita) menuanjukkan cakupannya atas laki-laki dan perempuan.

 

Pendapat kedua, tertentu bagi laki-laki. Berpijak pada pendapat Kedua inilah kalangan Hanafiyah berargumentasi tentang tidak dibunuhnya wanita murtad, Karena mereka tidak memasukkannya dalam keumuman HR. Bukhari, ;

 

“Barangsiapa menganti agamanya, maka bunuhlah dia”

 

Dampak perbedaan dua pendapat di atas, terlihat dalam ulasan hukum dari HR. Muslim;

 

“Barangsiapa mencun pandangan di rumah segolongan kaum tanpa ijin dari mereka, maka sungguh halal bagi mereka untuk mencongkel matanya” Mengikuti pendapat pertama, manakala seorang perempuan mencuri pandangan pada rumah orang lain, maka boleh untuk dilempar batu. Namun menurut pendapat kedua, tidak boleh.

 

Selanjutnya, jamak mudzakar salim juga tidak mencakup perempuan secara dhahir. Dan masuknya perempuan dihasilkan dari garinah. Pendapat kedua, jamak mudzakar salim mencakup perempuan, dan tidak bisa dikeluarkan kecuali dengan dalil. Karena dalam syara’ banyak persamaan perempuan dan laki-laki dalam berbagai hukum. Sehingga pembawa syariat tidak menghendaki pembatasan hukum pada laki-laki. Versi ini diriwayatkan Imam Amidi dari kalangan Hanabilah. Ulama lain mertwayatkan dari Hanafiyah. Dan dishahihkan oleh Imam Al-Mawardi, dan Ar-Ruyani. Sedangkan jika berbentuk jamak taktsir, ulama sepakat mencakup perempuan, sebagaimana komentar sebagian ulama’.

 

KHITHAB BAGI SATU ORANG TIDAK MEN ALAR PADA ORANG LAIN

 

Menurut Ashah, khithab yang terkhusus pada satu orang dari umat, tidak menjalar pada orang lain, kecuali dengan melalui dalil terpisah. Pendapat lain, menjalar pada orang lain secara adat, tidak secara lughat. Karena kebiasaan manusia pada umumnya memberlakukan khithab pada satu orang dengan menghendaki orang banyak dalam halhal yang ada keseragaman. Argumentasi ini ditanggapi, bahwa semacam itu tergolong majaz yang membutuhkan adanya garinah.

 

KHITHAB

 

Khithab dengan kata kata   tidak mencakup umat Muhammad SAW (selain ahli kitab), Karena lafadz tersebut terbatas pada, mereka. Pendapat lain, mencakup selain ahli kitab jika memiliki kesarmaan makna. Contoh,

 

“Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu”

 

KHITHAB

 

Manakala ma’mur bih berbentuk isim jinis, dijamakkan dan di-jer. kan dengan huruf seperti contoh;

 

 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”

 

Maka Jumhur dalam hal ini mengatakan, hal itu menetapkan pengambilan setiap macam dari beberapa harta. Memandang bahwa makna yang terkandung adalah ‘dari seluruh harta’. Imam Al-Karkhi mengatakan, pelaksanaan perintah itu bisa dihasilkan dengan mengambil dari satu macam harta. Memandang bahwa makna yang terkandung adalah ‘dari kumpulan harta’. Pendapat ini juga dipilih Imam Ibn AlHajib. Sedangkan Imam Al-Amidi menangguhkan untuk mentarjih salah satu dari kedua pendapat di atas.

 

Takhsis adalah meringkas (membatasi) lafadz ‘am pada sebagian afrad-nya. Yang menerima takhsish adalah hukum yang menetap pada sesuatu. yang berbilangan (muta’addid).  Pendapat ashah, takhsish diperbolehkan sampai minimal tersisa satu, apabila lafadz am tidak berbentuk jamak, dan sampai minimal jamak, apabila berbentuk jamak.

 

DEFINISI DAN SASARAN TAKHSISH

 

Takhsish adalah pembatasan syari’ atas hukum dari lafadz ‘am pada sebagian afrad-nya (individu-individu maknanya). Dengan tidak menghendaki sebagian arad yang lain. Secara dhahir, definisi di atas memasukkan lafadz ‘am yang dihendaki sifat khususnya (ak ‘am urida bihi al-khusush) sebagaimana lafadz ‘am yang tertakhsish (al ‘am al-makhsush). Perkara yang mencrima takhsish adalah hukum yang menctap pada sesuatu yang berbilangan (muta’addid) dari sisi lafadznya saja. Dan perkara yang ditakhsish secara hakikat adalah hukum. Contoh;

 

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik,”

 

Dari ayat ini, kafir dzimmi dan sesamanya dikhususkan hukumnya dari keumuman orang-orang musyrik.

 

Pendapat yang menyatakan bahwa keumuman berlaku untuk makna, sebagaimana lafadz, mencontohkan dengan mafhum dari ayat;

 

‘Maka sekali-kali jangan kamu mengalakan kepada keduanya perkataan “ah”.

 

Dalam ayat ini, keumuman maknanya adalah semua macam perbuatan menyakiti. Kemudian dikhususkan dari ayat ini masalah memenjarakan kedua orang tua sebab tanggungan hutang pada anaknya, dimana menurut pendapat yang dishahihkan Imam Al-Ghazali dan ulama lain, hukumnya boleh. Mecnurut pendapat Ashah yang dishahihkan Imam AlBaghawi dan An-Nawawi, hukumnya tidak boleh’.

 

BATAS MAKSIMAL TAKHSISH

 

Ulama berbeda pendapat mengenai batas maksima memberlakukan takhsish,

 

1 Pendapat Ashah, Takhsish diperbolehkan sampai minimal tersisa satu apabila lafadz ‘am tidak berbentuk jamak, seperti  dan mufraq yang dimakrifatkan. Dan sampai minimal jamak, apabila lafadz ‘am berbentuk jamak, seperti  dan

 

  1. Pendapat kedua, boleh sampai tersisa satu secara mutlak. Bahkan dalam bentuk jamak juga demikian, karena afrad di dalamnya juga berisi individu individu, sama dengan yang lain.

 

  1. Pendapat ketiga, tidak boleh sampai tersisa satu secata mutlak, Berlaku dalam jamak dan yang lain. Paling tidak harus tersisa batas minimal jamak. Pendapat ini diklaim syadz.

 

  1. Pendapat keempat, harus tersisa bilangan tanpa batas. Dalam arti ada banyak, sehingga sulit mengetahui kadarnya’.

 

Lafadz ‘am yang tertakhsish, keumuman dikehendaki secara cakupan, tidak secara hukum Sedangkan lafadz ‘am yang dihendaki sifat khususnya, keumumannya tidak dikehendaki, bahkan termasuk lafadz kulliy yang terpakai pada juz (bagian) di dalamnya, Maka lafadz tersebut tergolong majaz secara pasti

 

AL-‘AM AL-MAKHSUSH DAN AL-MURAD BIH AL-KHUSUSH

 

Termasuk hal penting dalam bab ini adalah membedakan lafadz ‘am yang tertakhsish (al-‘am al-makhsush) dan lafadz ‘am yang dihendaki sifat khususnya (al-‘am urida bihi al-khusush). Berikut perbedaannya;

 

  1. AL ‘am al-makhsush, keumuman dan cakupannya pada semua afrad dikehendaki dari sisi cakupan lafadz, namun tidak dari sisi hukumnya. Karena sebagian a rad tidak tereakup hukum, memandang adanya pentakhsish. Sedangkan al-‘am urida bihi al-khusush, keumuman dan cakupannya pada semua afrad tidak dikehendaki, baik dari sisi cakupan lafadz maupun sisi hukum. Contoh;

 

“Orang-orang yang kepada mereka seseorang (Nu‘aim bin ‘Mas‘ad) mengatakan”

 

Kata   terpakai untuk menghendaki Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i, karena dia menjadi simbol dari orang-orang yang merintangi kaum mukminin menemut Abi Sufyan dan rekan-rekannya.

 

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad)”

 

Kata  terpakai untuk menghcndaki Rasulullah SAW, karena Beliau sosok yang merepresentasikan semua akhlak terpuji manusia.

 

  1. Qarinah dalam al-‘am al-makhsush bersifat lafdziyah dan terkadang terpisah. Sedangkan garinah dalam al-‘am urida bihi al-khusush bersifat ‘aqliyyah dan tidak terpisah.

 

  1. Al-‘am urida bihi al-khusush tergolong majaz secara pasti. Karena termasuk lafadz kully (memiliki afrad) yang terpakai pada juz’ (salah satu dari arad-nya). Sehingpa lafadz tersebut sudah dipindah dari makna asalnya. Sedangkan al-‘am al-makhsush tergolong hakikat menurut pendapat ashah, dan majaz menurut mayoritas’. Dimana silang pendapat yang terjadi selengkapnya ada dalam pembahasan di bawah ini.

 

Pendapat Ashah, bagian pertama (‘am yang ditakhsish) adalah hakikat, Dan bagian pertama ini adalah hujjah.

 

AL-‘AM AL-MAKHSUSH, HAKIKAT ATAU MAJAZ ?

 

Mengenai status hakikat dan majaz dari al‘am al-makhsush (lafadz ‘am yang ter-takhsish), ulama berselisih pendapat;

 

  1. Pendapat ashah, tergolong hakikat secara mutlak pada sebagian yang tersisa setelah takhsish. arena pencakupan lafadz atas sebagian yang tersisa setelah takhsish, adalah sebagaimana pencakupannya tanpa takhsish. Dan pencakupan tersebut disepakati bersifat hakiki. Sehingga pencakupan di sini juga hakiki.

 

  1. Pendapat kedua, tergolong hakikat apabila sisanya tidak terbatas. Karena masih menyisakan ciri khas dari sifat umum. Namun jika tidak demikian, maka tergolong majaz.

 

  1. Pendapat ketiga, tergolong hakikat apabila ditakhsish dengan pentakhsish yang tidak mandiri, seperti sifat, syaral, atau istitsna’. Karena pentakhsish yang tidak bisa berdiri sendiri merupakan jaz (bagian) dart pembatas makna, maka keumuman hanya memandang pada pentakhsish tersebut. Dan apabila ditakhsish dengan pentakhsish yang, mandiri, seperti dalil naqli, atau akal, maka tergolong majaz,

 

  1. Pendapat keempat, tergolong hakikat dan majaz dari dua sudut, pandang. Memandang sisi cakupannya atas sebagian yang tersisa adalah hakikat, dan memandang sisi teringkasnya pada sehagiay tersebut adalah majaz.

 

  1. Pendapat kelima, tergolong majaz secara mutlak. Karena pertama kali terpakai dalam sebagian makna yang terectak.

 

  1. Pendapat keenam, tergolong majaz apabila ditakhsish dengan istitsna’ dan tergolong hakikat apabila ditakhsish dengan sifat atau syarat, Karena dengan istitsna’ memperjelas bahwa yang dikehendaki adalah mustatsna (perkara yang dikecualikan), Berbeda dengan syarat atay sesamanya, pertama kali dapat difahami bahwa sifat umum hanya dengan memandang keberadaan pembatasan itu saja.

 

  1. Pendapat ketujuh, menganggap majaz apabila ditakhsish dengan pentakhsish selain berbentuk lafadz, seperti akal.

 

KHILAF HUJJAH LAFADZ ‘AM YANG DITAKHSISH

 

Manakala takhsish masuk dalam lafadz ‘am, apakah lafadz ‘am tersebut tetap menjadi hujjah dalam makna yang tersisa setelah takhsish, ataukah tidak?. Dalam hal ini terdapat beragam pendapat.

 

  1. Menjadi hujjah secara mutlak. Baik ditakhsish dengan perkara mu’ayyan (jclas), atau mubham (tidak jelas). Hal ini dikarenakan para shahabat menggunakannya sebagai dalil tanpa ada yang mengingkari. Versi ini dinilai sebagai pendapat ashab.

 

  1. Menjadi hujjah apabila ditakhsish dengan perkara mu’ayyan (jelas), semisal contoh;

 

“Bunubhlah orang-orang musyrik, kecuali ahli dzimmah”

 

Dan bukan hujjah apabila ditakhsish dengan perkata mubham (tidak jelas), semisal contoh;

 

“Bunuhlah orang-orangy musyrik, kecuali sebagian dari mereka”

 

Karena setiap individu bisa berpotensi menjadi yang dikecualikan. Alasan ini ditanggapi, bahwa lafadz ‘am tersebut tetap bisa diamalkan sampai tersisa satu. Mengenai statemen Imam Al-Amidi dan selainnya bahwa lafadz ‘am yang tertakhsish dengan perkara mabham disepakati pukan hujah, tertolak dengan penukilan Imam fbn Burhan dan selainnya tentang adanya khilaf dalam masalah ini. Meskipun fbn Burhan sendiri tetap mengunpeulkan statusnya menjadi hujjah.

 

3, Menjadi hujjah apabila ditakhsish dengan pentakhsish mutashil (bersambung), seperti sifat, syarat atau istitsna’, Karena dengan ini menjadi haktkat dan keumuman hanya memandang pada pentakhsish saja. Berbeda dengan pentakhsish wan ashil (terpisah), karena bisa jadi perkara yang ditakhsish tidak jclas, sehingga sisanya dirapukan.

 

4, Menjadi hujjah makna yang tersisa apabila lafadz umum sudah menjclaskan sisa tersebut. Contoh;

 

“Maka bunublah orany-oraiyg musyrik”

 

Lafadz ‘am dalam ayat ini menjclaskan tentang kafir bari, karena hati Iekas memahaminya, sebagaimana kafir dzimnn. Sehingga manakala kafir dzimmi dikeluarkan dengan takhsish, ayat tersebut tetap menjadi hujah bagi kafir harbi, Berbeda halnya apabila lafadz umum belum menjelaskan sisa tersebut. Contoh;

 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri”

 

Lafadz ‘am dalam ayat ini tidak menjclaskan tentang pencuri harta sebanyak seperempat dinar atau Lebih dari tempat simpanannya, sebagaimana juga tidak menjelaskan pencuri atas harta yang lain. Sehingga manakala pencuri harta seperempat dinar atau Lebih dikeluarkan dengan takhsish, ayat tersebut tidak menjadi hujjah bagi makna yang tersisa. Karena makna tersebut diragukan sebab kemungkinan adanya pertimbangan batasan lain.

 

  1. Menjadi hujjah pada batas minimal jamak (tiga atau dua). Karena hal ini adalah makna yang diyakini Dan makna yang lain masih diragukan, karena ada kemungkinan telah ditakhsish. Pendapat ini berpijak dari versi yang menyatakan bahwa takhsish tidak diperbolechkan sampai batas lebih sedikit dari minimal jamak.

 

  1. Bukan hujjah secara mutlak. Artinya, lafadz tersecbut menjadi majmal (ambigu) yang tidak bisa dijadikan dalil pada makna yang tersisa, kecuali ditemukan dalil lain. Karena makna yang dimaksud diragukan, sebab kemungkinan tertakhsish dengan perkara yang tidak jelas.

 

Perbedaan pendapat di atas terjadi manakala kita mengatakan bahwa makna yang tersisa setelah takhsish adalah majaz. Namun apabila, kita katakan hakikat, maka dipastikan statusnya menjadi hujjah’.

 

Lafadz ‘am diamalkan, meskipun wafat Nabi SAW, sebelum meneliti keberadaan pentakhsish.

 

LAFADZ ‘AM SAAT NABI SAW HIDUP DAN SETELAH WAFAT.

 

Ulama menyepakati, lafadz ‘am dijadikan pedoman atau diamalkan dalam semua afrad (individu) maknanya semasa hidup Nabi SAW, sebelum mencliti ada tidaknya pentakhsish.

 

Hal ini juga berlaku setelah wafat Beliau, karena secara hukum asal, pentakhsish tidak ada. Dan kemungkinan pentakhsish dalam posisi marjuh (diungguli), sedangkan sifat keumuman yang nampak dalam posisj rajih (anggul), dan mengamalkan rajih adalah sebuah kewajiban.

 

Pendapat lain, lafadz ‘am tidak diamalkan setelah wafat Beliau, sebelum meneliti ada tidaknya pentakhsish. Karena masih dimungkinkan adanya pentakhsish. Berpijak pada pendapat ini, menurut ashah, dalam mencliti cukup menggunakan dugaan (dhan) bahwa pentakhsish tidak ada’,

 

Pentakhsish ada dua bagian; MUTTASHIL yang mana bagian ini ada 5 macam. (1) Istisna’  yaitu mengeluarkan (mengecualikan) dengan sesamanya daru satu Orang pembicara, menurut pendapat ashah. Istitsna’ wajib bersambung secara ‘adat dengan mustatsna minhu, ‘renurut ashah. Sedangkan istitsna’ munqathi’ adalah majaz menurut pendapat ashah.

 

PEMBAGIAN PENTAKHSISH

 

Pentakhsish adalah penunjuk dan penghasil faidah adanya takhsish, baik berbentuk lafadz atau selain lafadz. Terbagi menjadi dua bagian;

 

  1. Muttashil, yakni pentakhsish yang tidak dapat berdiri sendiri. Dalam keterangan lain didefinisikan sebagai pentakhsish yang tidak mampu berdiri sendiri dalam menghasilkan makna, dan tergantung dengan lafadz umum sebelumnya, sehingga harus dibarengkan agar berfacdah. Meliputi 5 macam; istitsna’, syarath, shifat, ghayah dan badal ba’dhi min alRulti.

 

  1. Munfashil, yakni pentakhsish yang dapat berdiri sendiri, baik berupa lafadz atau selain lafadz. Definisi lain, yaitu pentakhsish yang mampu berdiri sendiri dalam menghasilkan makna, dan tidak membutuhkan lafadz umum yang akan ditakhsish’.

 

Penjelasan 5 macam pentakhsish muttashil;

 

  1. Istitsna’, yaitu mengeluarkan (mengecualikan) dari perkara berbilangan (muta‘addid) dengan lafadz yang tereetak untuk istitsna, seperti dan

 

Contoh;  (Kaum telah datang kecuali Zaid)

 

Ketentuan dan persyaratan istitsna’,

 

  1. Perkataan yang dikecualikan dan pengecualian berasal dari satu orang pembicara, menurut pendapat ashah. Berpijak pada syarat kalam yang harus berasal dari satu pembicara. Pendapat kedua tidak disyaratkan. Sehingga apabila seseorang mengatakan;

 

 (Beberapa laki-laki telah datang)

 

Kemudian orang lain menimpali dengan kata-kata;

 

 (Kecuali Zaiad)

 

Maka kalimat ini menjadi istitsna’ menurut pendapat kedua, dan laghwu (tidak bermakna) menurut pendapat pertama. Hanya saja apabila Nabi SAW bersabda;

 

 (Kecuali kafir dzimmi)

 

Menyusul setelah turunnya ayat;

 

 (Bunuhlah orang-orang musyrik)

 

Maka sabda Nabi SAW tersebut dipastikan sebagai istitsna’, karena posisi Beliau sebagai mubaliigh (penyampai) dari Allah SWT. Meskipun sabda beliau tergolong bukan Al-Qur’an. Pendapat lain, sabda Beliau menjadi pentakhsish yang terpisah.

 

  1. Istitsna’ wajib bersambung secara ‘adat dengan mustatsna minhu, menurut pendapat ashah. Maksudnya bersambung dalam standar ‘urfi (kebiasaan), sehingga tidak dipersoalkan andaikan terpisah oleh batuk atau mengambil napas. Karena jika tidak demikian, maka persoalan seperti memerdekakan budak, talak, dan pelangearan sumpah menjadi tidak terwujud (tetap), karena setelahnya bisa di-ustitsna’-i sesuka hati. Berikut pendapat-pendapat lainnya;

 

Pertama, ada beberapa riwayat dari Imam Ibn Abbas, di antaranya, boleh terpisah sampai satu bulan, sampai satu tahun, dan sampai selamanya. Imam Abu Al-Fadhl mengatakan, “Aku tidak menemukan fiwayat yang mengatakan satu bulan, aku hanya menjumpai riwayat yang mengatakan cmpat puluh hari”.

Kedua, versi Said ibn Jubair, boleh sampai empat bulan.

Ketiga, versi Imam ‘Atha’ dan Hasan, boleh dalam majlis.

Keempat, versi Imam Mujahid, boleh sampai dua tahun.

Kelima, versi Ibrahim An-Nakha’i, boleh selama belum terucap ungkapan lain.

Keenam, versi sebagian Malikiyyah, boleh dengan syarat diniati dalam kalam, karena hal tersebut menjadi dikehendaki sejak awal. Ketujuh, versi terakhir, boleh dalam kalam Allah SWT saja. Karena tidak ada satupun yang luput dari ilmuNya. Dan i

istitsna’ tersebut dikehendakiNya.

 

Dalil dari pendapat Imam Ibn Abbas dan pendapat lain, di antaranya Qs. Al Kahfi

 

“Dan yangan sekali-kali kamu mengatakan tentang Sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengeyakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa”

 

Artinya, apabila kamu lupa mengucapkan ‘insya Allah’ atau istitsna’, kemudian kamu ingat, maka sebutkanlah hal tersebut. Dalam hal ini tidak ditentukan waktu untuk menycbutkan insya Allah atau istitsna’, sehingga ulama berbeda pandangan mengenai batasan waktu ini’.

 

  1. Istitsna’ sah apabila masih tersisa sesuatu dati mustatsna minhu. Silang pendapat mengenai syarat ini akan dibahas nanti.

 

  1. Boleh mendahulukan mustastna dari mustatsna minhu.

 

  1. Boleh istitsna’ dari satu jenis dan dari yang tidak sejenis’.

 

ISTITSNA’ MUNQATH’

 

Istitsna’ terbagi dua macam;

 

  1. Mauttashil, yaitu istitsna’ dari yang sejenis, dimana di dalamnya mustatsna termasuk sebagian dari mustatsna minbu. Seperti contoh di atas.

 

  1. Mungathi’, yaitu istitsna’ dari yang tidak sejenis, dimana di dalamnya mustatsna bukan sebagian dari mustatsna minhu. Contoh;

 

“Di rumah tidak ada siapapun selain keledai”

 

Mengenai eksistensi dan status isatsna’ munqathi’, ulama berselisih pendapat,

 

  1. Berstatus majaz, menurut pendapat Ashah. Sebab yang Ickas dipahami hati dari istitsna’ adalah muttashil (yang sejenis).
  2. Berstatus hakikat, seperti istitsna’ muttashil. Karena hal tersebut merupakan pemakaian asli. Sehingga berstatus musytarak,
  3. Berstatus mutawathi’, Dalam arti, lafadz istitsna’ terectak untuk menunjukkan kadar yang dipersekutukan antara muttashil dan mungathi, yakni sebuah bahasa pertentangan dengan perangkat dan lafadz lain yang semakna. Hal ini untuk menghindari status majaz, dan musytarak.
  4. Statusnya ditangguhkan. Tidak jelas apakah hakikat pada muttashil dan munqathi, atau salah satunya, atau pada kadar yang dipersekutukan”,

 

Menurut Ashah, bahwa yang dikehendak; sepuluh dalam ucapanma “Bagi Zaid atas langgunganku, sepuluh kecuali tiga” adalah sepuluh, memandang seluruh afrad, kemudian dikecualikan tiga dan selanjutnya disandarkan pada sisanya (tujuh) secara taqdiri. Meskipun penyandaran ini secara penyebutan terjadj sebelum mengecualikan, ;

 

PEMBAHASAN BAHASA ISTITSNA’

 

Ada beberapa persoalan dalam istitsna’ yang membutuhkan pembahasan dan kajian. Di antaranya, persoalan dalam ‘adad (bilangan). Dalam hal ini, manakala wustatsna termasuk bagian mustatsna minhu, maka terjadi sanagudh (kontradiksi), karena pertama kali ada penetapan (itsbat), nhamun kemudian ada penafian (nafi). Dan manakala tidak termasuk bagian mustatsna minhu, maka bagaimana ikhraj (pengecualian) bisa sah?. Padahal pakar bahasa Arab menyepakati bahwa istitsna’ adalah ikhra, Demi menghindari tanaqudh, dan untuk mewujudkan ikhraj dalam istitsna’, ulama berselisih pendapat dalam pengira-ngiraannya.

 

1, Menurut Ashah, caranya adalah dengan menghendaki seluruh afrad (individu makna) dari mustatsna minhu, dan hukum penyandaran (isnad) ditetapkan setelah mustatsna dikecualikan. Contoh ucapan seseorang;

 

“Bagi Zaid atas tanggunganku, sepuluh kecuali tiga”

 

Maksud pertama kali dari ucapan ini adalah sepuluh memandang seluruh afrad. Namun penyandaran khabar, yakni kata  (bagi Zaid) pada mubtada’, yakni kata   (sepuluh) belum ditetapkan secara hukum, kecuali setelah mengecualikan   (tiga) dari (sepuluh). Seolah-olah orang tersebut mengatakan;

 

‘Bagi Zaid atas tanggunganku, sisa dari sepuluh yang dikecualikan tiga darinya”

 

Dalam arti, secara taqdiri disandarkan pada sisanya (tujuh). Meskipun penyandaran ini secara penyebutan terjadi sebelum pengecualian, Secara lafadz, penyandaran terjadi pada  (sepuluh), namun secara makna, penyandaran terjadi pada  , (tujuh). Dengan cara demikian, yang ada hanya penctapan (itsbat) dan tidak ada penafian (nafi) sama sekali, sehingea tanaqudh terhindari. Dan cara ini lengkap mewujudkan ikhraj (pengecualian) dan menghindari tanaqudh (kontradiksi).

 

  1. Mayoritas ulama mengatakan, yang dikehendaki dalam contoh di atas adalah tujuh. Termasuk pengucapan kull (menyeluruh) untuk menghendaki sebagian maknanya. Dan perangkat istitsna’ dalam kalimat ‘kecuali tiga’ adalah garinah dari majaz yang menjelaskan maksud pembicara.

 

3, Imam Al-Qadhi Abu Bakar berpendapat, bahwa mustatsna dan mustatsna minbu secara keseluruhan tereetak untuk menunjukkan satu makna, yakni makna yang disimpulkan terakhir kali. Sehingga dalam contoh di atas,   (tujuh) sebagai makna yang disimpulkan terakhir kali, memiliki dua nama; nama mu rad, yakni  (tujuh) dan murakkab, yakni  (sepuluh kecuali tujuh).

 

Dua pendapat terakhir ini tanaqudh dapat dihindari, karena tidak adanya penafian (nafi). Namun tidak terwujud ikhraj (pengecualian) yang disepakati ulama ada dalam istitsna’. Tidak selengkap pendapat pertama yang mampu mengumpulkan keduanya.

 

Tidak dibenarkan adanya istitsna’ yang menghabiskan wustatsna minhu. Pendapat ashah, istitsna’ lebih banyak dan menyamai dari sisanya, serta mengecualikan pencacah utuh (sepuluh dst) adalah sah. Dan istitsna’ dari nafi adalah itsbat dan sebaliknya.

 

ISTISTSNA’ MENGHABISKAN MUSTATSNA MINHU

 

Tidak dibenarkan adanya istitsna’ yang menghabiskan mustatsna minhu. Contoh seseorang mengatakan; (Baginya atas tanggunganku, sepuluh kecuali sepuluh). Dalam arti, tidak ada pengaruh apapun dalam hukum. Sehingga dalam contoh ini, orang tersebut wajih membayar sepuluh. Imam Al-Amidi dan Ibn Al-[ajib menukil adanyg yma’ dalam hal ini. Namun tidak demikian adanya, karena ditemukan beberapa pendapat syadz yang menyimpulkan berbeda.

 

Imam Ibn Thalhah meriwayatkan dua pendapat dalam kitab Al. Madkhal mengenai permasalahan seseorang yang mengatakan pada istrinya;  (Kamu tertalak tiga, kecuali tiga), dimanapendapat pertama menghukumi talak jatuh, dan pendapat kedua menghukumi talak tidak jatuh, karena mengangpap ssttsna’ yang menghabiskan wustatsna minhu sah. Imam Ibn Hayyan juga meriwayatkan hukum sah dart Imam Al-Faro’, bahkan memperbolehkan juga istitsna’ lebih banyak dari wustatsna minhu, seperti contoh;  (Baginya atas tanggunganku, seribu Recuali dua ribu).

 

 ISTISTSNA’ AL-AKTSAR MUSAWI DAN ‘ADAD

 

Menurut versi ashah, sah hukumnya istitsna’ lebih banyak (aktsar) dari sisanya, contohy   (Baginya alas fanggunganke, sepalih kecuali sembilan). Pendapat kedua; tidak boleh. Pendapat ketiga, tidak boleh Lebih banyak apabila bilangan pada mustatsna dan mustatsna minhy sharih (jclas), sebagaimana dalam contoh di atas. Dan apabila tidak sharzh, maka boleh, contoh;   (Ambillah dirham-dirham itu, kecuali beberapa yang palsu), dan terfiyata dirham palsu yang lebih banyak.

 

Dan juga mengikuti versi ashah, sah hukumnya istitsna’ yang menyamai (musawi) dati sisanya. Contoh;  (Baginya atas tanggunganku, sepuluh kecuali ima). Pendapat lain, tidak diperbolehkan.

 

Sah juga hukumnya mengecualikan pencacah utuh (sepuluh dst) dari bilangan, menurut versi ashah, Contoh;  (Baginya seratus kecuali sepuluh). Dan boleh contoh seperti;   (Baginya seratus kecuali sembilan). Pendapat lain, tidak sah.

 

ISTISTSNA’ DARI NAFI DAN ITSBAT

 

Menurut ashah, istitsna’ dati nai (negatif) adalah itsbat (positif) dan sebaliknya istitsna’ dari itsbat (positif) adalah nafi (negatif).

 

Pendapat kedua, dari kalangan Hanafiyah, mereka mengatakan tidak demikian, bahkan mustatsna dari sisi hukumnya tidak ditetapkan (maskut ‘anhu).

 

Contoh 01; (Tidak ada satupun yang berdiri selain Zaid)

 

Contoh 02;   (Segolongan orang berdiri selain Zatd)

 

Contoh pertama menunjukkan penetapan (itsbat) hukum berdiri pada Zaid. Dan contoh kedua menunjukkan penafian (nafi) hukum berdiri dati Zaid. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah, tidak menunjukkan keduanya, dan Zaid tidak dihukumi, baik berdiri atau tidaknya.

 

Perbedaan pendapat ini berakar dari keberadaan mustatsna, apakah dikecualikan dari mahkum bih (hukum spesifik), sehingga masuk dalam kebalikannya, berupa ‘berdiri’ atau ‘tidak berdiri’?. Ataukah dikecualikan dari hukum (hukum umum), sehingga masuk dalam kebalikannya, berupa ‘tidak ada hukum’?. Karena kaidah berbicara, bahwa sesuatu yang terkecualikan dari sebuah perkara, maka akan masuk dalam kebalikan perkara tersebut.

 

Berpijak pada pendapat kedua, pemahaman itsbat dalam kalimat tauhid  dihasilkan dari  (tradisi syara’) dan dalam istitsna’ mu arragh, semisal  (Tidak ada yang berdiri selain Zaid) dihasilkan dari ‘urf ‘am (tradisi manusia umum)”,

 

Istitna’ lebih dari satu, apabila saling disambung dengan athaf, maka kembali pada mustatna minhu. Namun jika tidak disambung dengan huruf ‘athaf, maka setiap istitsna kembali pada lafadz sebelumnya, selama tidak menghabiskannya.

 

Pendapat ashah, bahwa sebuah istitsna’ akan dihukumi kembali pada masing-masing dari beberapa kalimat yang saling bersambung dengan athaf dengan huruf yang menyekutukan.

 

Pembarengan antara dua jumlah secara lafadz tidak menetapkan persamaan dalam hukum yang tidak disebutkan.

 

ISTITSNA’ BERUNTUN

 

Mengenai permasalahan istitsna’ lebih dari satu (beruntun), ulama memilah sebagai berikut;

 

  1. Saling disambung dengan ‘athaf, Maka, seruanya kembali pada mustatsna minhu. Karena masing-masing tidak memungkinkan kembal; pada lafadz sebelumnya, sebab adanya huruf ‘athaf. Contoh;

 

“Baginya, atas tanggunganku sepuluh kecuali empat, dan kecuali tiga, dan kecuali dua”

 

Maka yang wajib ditanggung (dibayar) adalah satu.

 

  1. Tidak disambung dengan huruf ‘athaf , maka dipilah;

 

  1. Apabila tidak menghabiskan, maka setiap istitsna’ kembali pada lafadz sebelumnya yang dibarengi,. Contoh;

 

“Baginya, atas tanggunganku sepuluh kecuali lima, kecuali empat, kecuali tiga”

 

Maka yang wajib ditanggung (dibayar) adalah enam. Karena tiga mengecualikan empat, tersisa satu. Satu dikecualikan dari lima, tersisa empat. Empat dikecualikan dari sepuluh, sehingga tersisa enam.

 

  1. Apabila setiap istitsna’ menghabiskan lafadz sebelumnya yang dibarengi, maka seluruh istitsna’ dihukumi batal. Contoh;

 

“Baginya, atas tanggunganku sepuluh Rkecuali sepu uh, Recuali sepuluh”

 

  1. Apabila selain istitsna’ pertama menghabiskan, maka semua istitsna’ kembali pada mustatsna minhu. Coutoh;

 

 “Baginya, atas tanggunganku sepuluh kecuali dua, Recualt tiga, kecuali empat” Maka yang wajib ditanggung (dibayar) adalah satu.

 

  1. Apabila istitsna’ pertama saja yang menghabiskan, maka menurut pendapat pertama, istitsna’ pertama batal, dan istitsna’ jain mengikuti batal. Contoh;

 

“Baginya, atas tanggunganku sepuluh kecuali sepuluh, kecuali empat”

 

Maka yang wajib ditanggung (dibayar) adalah sepuluh. Menurut pendapat kedua, wajib empat, memandang istitsna’ kedua mengecualikan istitsna’ pertama. Pendapat ketiga, wajib enam, memandang istitsna’ kedua, bukan istitsna’ yang pertamal’, Dan yang shahih dalam fiqh adalah pendapat kedua, Dari sini seandainya sesecorang mengatakan; ,

 

“Kamu tertalak tiga, kecuali tiga, kecuali dua”

 

Maka menurut pendapat pertama, jatuh talak tiga. Menurut pendapat kedua, jatuh talak dua. Dan menurut pendapat ketiga, jatuh talak satu’,

 

ISTITSNA’ DARI RUNTUTAN JUMLAH DAN MUFRAD Menurut pendapat ashah, istitsna’ yang terletak setelah beberapa kalimat, baik berbentuk jamlah (rangkaian kalimat) atau mufrad, dan saling bersambung dengan ‘athaf, dengan huruf “athaf yang berfungsi menyamakan (menyekutukan), seperti wawu dan fa’, maka kembali pada masing-masing dari beberapa kalimat tersebut, apabila pantas bagi istitsna’ tersebut. Karena secara dbahir demikian. Contoh yang berupa jumlah;

 

“Mulyakan ulama, wakafkan rumahmu kepada kerabatmu, dan merdekakan budak-budakmu, kecuali orang-orang yang asik di antara mereka”.

 

Contoh yang berupa mufrad,

 

‘Bersedekahlah pada orang-orang fakir, orang-orang miskin dan para ibnu sabil, kecuali orang-orang fasik di antara mereka”

 

Pendapat kedua, kembali pada yang terakhir saja. Karena hal ini yang diyakini. Pendapat ketiga, kembali pada seluruhnya, apabila beberapa didatangkan untuk satu tujuan. Contoh; .

 

“Aku mewakafkan rumahku kepada paman-pamanku, aku wakafkan kebunku kepada paman-pamanku (dari jalur ibu), dan aku sediakan (sebagai wakaf) tempat air minumku kepada tetanggaku, kecuali mereka pergi”

 

Tujuan dalam contoh tersebut satu, yakni wakaf. Namun apabil, idatangkan untuk beberapa tujuan, maka istitsna’ hanya kembali pada yang paling akhir. Contoh;

 

“Mulyakan ulama, wakafkan rumahmu kepada kerabatmu, dan merdekakan budak-budakmu, kecuali orang-orang yang asik di antara mereka”.

 

Pendapat keempat, kembali pada seluruhnya, apabila di-athaf-kan dengan huruf wawu. Dan kembali pada jumlah terakhir, apabila di-athaf kan dengan selain wawu.

 

Pendapat kelima, berstatus musytarak (dipersekutukan antara kembali pada seluruhnya dan pada yang terakhir). Karena sama-sama terpakai untuk keduanya.

 

Pendapat keenam, menangguhkan, karena tidak diketahui arah petunjuk maknanya.

 

Dua pendapat terakhir menyatakan bahwa, penentu pemahaman makna yang dimaksud tergantung pada keberadaan garinah. Jika qarinah ditemukan, maka silang pendapat dengan sendirinya hilang.

 

Contoh 01 (kembali pada seluruhnya secara ijma’ berdasar garinah) :

 

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang dibaramkan Allah (membunubnya) kecuali dengan (alasan) yang benar”….sampai ayat, “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengenakan amal saleh; maka itu kejabatan mereka diganti Allah dengan kebajikan”

 

Qarinah dalam contoh ini adalah bahwa isim isyarah (kata penunjuk) di dalamnya kembali pada semuanya, karena tidak ada yang mengkhususkan pada sebagian dengan isyarah.

 

Contoh 02 (kembali pada yang akhir saja secara ijma’ berdasar garinah) :

 

“Dan barangsiapa membutuh seorang mukmin karena tersalah (bendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.

 

Dalam contoh ini, ulama sepakat bahwa istitsna’ kembali pada jumlah terakhir, yakni diyat, bukan kaarah (memerdekakan budak). Dengan garinah, kembalinya dhamir (kata ganti) dalam lafadz pada keluarga korban pembunuhan. Dan mereka disebutkan dalam dtyat, bukan dalam tahrir (memerdekakan budak). Dan bahwa ‘bersedekah’ mudah dilakukan dalam diyat, karena berupa hak adami, berbeda dengan memerdekakan udak.

 

Contoh 03 (kembali pada yang akhir, bukan yang pertama secara ijma’) ;

 

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”….sampai ayat “kecuali orang-orang yang bertaubat”’.

 

Qarinah di sini adalah, bahwa tuduhan zina tergolong hak adami dan tidak bisa terlepas hanya dengan taubat, maka akhirnya dipastikan istitsna’ tidak kembali pada jumlah pertama (tentang dera). Dan istitsna’ pasti kembali pada jumlah terakhir, yakni tentang status fasik. Sehingga berimplikasi pemahaman bahwa setelah bertaubat, persaksian penuduh zina dapat diterima dan terhapus status kefasikannya. Kemudian mengenai kembalinya ititsna’ pada jumlah kedua, yakni tentang tidak diterimanya persaksian, ulama berselisih pendapat. Versi ashah, diterima persaksiannya setelah bertaubat. Dengan mengembalikan istitsna’ pada. seluruhnya. Pendapat kedua, tidak diterima, dengan mengembalikan istitsna’ pada jumlah yang akhir saja. Berimplikasi pemahaman bahwa persaksian penuduh zina tidak diterima seclamanya, meskipun sudah bertaubat’’.

 

PEMBARENGAN BEBERAPA UMLAH

 

Menurut pendapat ashah, pembarengan dua atau beberapa jumlah secara lafadz (dengan di-‘athaf-kan) tidak menetapkan persamaan dalam hukum yang tidak disebutkan, dimana hukum tersebut sudah diketahui berada pada salah satu jumlah berdasarkan faktor eksternal (dalil lain).

 

Pendapat kedua, menetapkan persamaan dalam hukum yang tidak disebutkan. Contoh HR. Abi Dawud;

 

“Sungguh salah satu dari kalian janganlah kencing di air yang tidak mengalir. Dan Jangan mandi dari junub di dalamnya”

 

Kencing dalam air yang tidak mengalir menycbabkan air tersebut menjad; najis, dengan syarat air tersebut sedikit (kurang dua kullah) atau menycbabkan perubahan dalam air yang banyak (Lebih dua kullah). Hal ini adalah hikmah dari larangan dalam hadits. Hukum yang disebutkan adalah adanya nahi (larangan) yang ada dalam dua jumlah. Dan hukum yang tidak disebutkan adalah penajisan air sebab kencing dan mandj junub. Menurut pendapat kedua di atas, mandi junub dalam air tersebut hukumnya juga sama, karena dua jumlah tersebut dibarengkan”

 

(2) Syarat, yaitu menggantungkan sebuah perkara dengan perkara lain, dimana masing-masing dari keduanya berada di masa mendatang. Atau perkara yang menunjukkan atas penggantungan tersebut. Syarat menyamai istitsna’

 

PENTAKHSISH MUTTASHIL KEDUA ; SYARAT

 

  1. Syarat, yaitu menggantungkan sebuah perkara dengan perkara lain, dimana masing-masing dari keduanya berada di masa mendatang. Atau bahasa yang menunjukkan atas penggantungan tersebut, yakni shighat (jumlah pertama) sebagaimana, (Mulyakan Bani Tamim, jika mereka datang).

 

Syarat yang menjadi pentakhsish menyamai istitsna’ dalam tiga aspek;

 

  1. Keharusan muttashil (bersambung).
  2. Kembalinya syarat pada seluruh jamlab yang mendahuluinya. Contoh;

 

Mulyakan Bani Tamim, dan berbiat baiklab pada kabilah Rabi’ah, dan berilah sesuatu pada kaum Mudhbar, jika mereka datang kepadamu”

  1. Diperbolehkan mengecualikan sesuatu yang lebih banyak dari Sisanya menggunakan syarat. Contoh;

 

‘Mulyakan Bani Tamim, jika mereka ulama’

 

Dalam konteks orang-orang bodoh dari Bani Tamim Jebih banyak. Sehingga, selain harus niat menjadikan syarat, menurut ashah, syarat harus muttashil, kembali pada seluruh jumlah yang mendahuluinya, meskipun syarat mendahului atau menengah nengahi, dan boleh mengecualikan sesuatu. yang lebih banyak dari sisanya mengeunakan syarat. Pendapat lain, ulama sepakat dalam ketiganya’”.

 

(3) Shifat, dan (4) Ghayah, dimana keduanya menyamai istitsna’. Maksud ghayah di sini adalah ghayah yang didahului lafadz umum yang akan Memuatnya (jikalaun ghayah tidak ada), dan tidak dikehendaki mencgaskan keumuman. Seperti contoh;  (Sampai mereka membayar jizyah). Sedangkan mengenai contoh;  (Sampai terbit fajar), dan contoh ; (Jari-jarinya dipotong dari kelingking hingga jempol, maka berfungsi menegaskan keumuman,

 

PENTAKHSISH MUTTASHIL KETIGA & KEEMPAT: SHIFAT & GHAYAH

 

  1. Shifat. Yang dimaksud adalah shifat maknawiyah (berupa makna), tidak hanya terbatas shiat dalam pandangan nahwu, serta yang dapat dihasilkan mafhum-nya. Contoh;

 

“Mulyakan Bani Tamim yang ahli fiqh”

 

Dapat menghasilkan mafhum, selain ahli fiqh tidak diperintahkan untuk dimulyakan.

 

  1. Ghayah, yaitu batas akhir dari suatu perkara, dimana hukum perkara yang terletak setelahnya berlawanan dengan perkara yang terletak sebelumnya. Contoh;

 

“Mulyakan Bani Tamim sampai mereka tidak taat”

 

Maksud ghayah di sini adalah ghayah yang didahului lafadz umum yang akan memuatnya jikalau ghayah tidak ada. Bukan ghayah yang berfungsi menegaskan keumuman lafadz sebelumnya. Seperti contoh;

 

“Perangilah orang-orang yang tidak. beriman kepada Allah” ….Sampai ayat “sampai mereka membayar jizyah”

 

Dalam ayat ini jikalau ghayah berupa tidak ada maka pastilah kita diperintah memerangi mereka, baik membayar jizyah atau tidak. Dalam hal ini ada dua bentuk ghayah yang dikecualikan;

 

  1. Ghayah yang seandainya tidak disebutkan, maka tidak ada yang menunjukkan keberadaannya. Yakni ghayah yang tidak termuat lafadz umum sebelumnya. Contoh;

 

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”

 

Ghayah dalam contoh ini berfaidah menegaskan keumuman lafadz sebelumnya, bukan sebagai pentakhsish, karena ‘terbitnya fajar’ bukan termasuk bagian dari malam juga tidak termuat di dalamnya. Maksud penegasan keumuman, bahwa malam itu penuh kesejahteraan dalam semua bagiannya.

 

  1. Ghayah yang lafadz sebelumnya jelas memuatnya. Contoh;

 

“Jari-jarinya dipotong dari kelingking hingga jermpol”

 

Ghayah dalam contoh ini seandainya tidak disebutkan, sudah termuat pada lafadz sebelumnya. Faidahnya adalah menegaskan keumuman. Yakni seluruh jari-jarinya terpotong.

 

Shifat dan ghayah yang menjadi pentakhsish ini menurut pendapat ashah, menyamiai istitsna’ dalam tiga aspek;

 

  1. Keharusan muttashil (bersambung).

 

  1. Diperbolehkan mengecualikan sesuatu yang lebih banyak dari sisanya menggunakan keduanya.

 

  1. Kembalinya shiat dan ghayah pada seluruh jumlah yang mendahuluinya. Meskipun shifat ada di awal, atau di tengah. Contoh shifat;

 

“Aku waka kan kepada anak-anakku dan anak-anak dari anak-anakku yang membutuhkan”

 

“Aku wakafkan kepada mereka yang membutuhkan dari anak-anakku dan anak-anak dari anak-anakku”

 

“Aku waka kan kepada anak-anakku yang membutubkan dan anak-anak dari anak-anakku”

 

Contoh ghayah;

 

“Mulyakan Bani Tamim, dan berbuat baiklah pada kabilah Rabi’ah, dan belas kasibanilah kaum Mudhar, sampai mereka pergi”

 

(5) Badal ba’dhi min al-kull, atau isytimal. Dan mayoritas ulama tidak menyebutkannya.

 

PENTAKHSISH MUTTASHIL KELIMA: BADAL

 

  1. Badal ba’dhi min al-kull dan isytimal, disebutkan oleh Imam Ibn Al-Hajib. Contoh;

 

“Mulyakan manusia, yakni ulama’

 

Dan badal isytimal, seperti dinukil Imam Al-Barmawi dari Abi Hayyan dari As-Syafi’i. Contoh;

 

“Zaid membuatku terkesima, yakni ilmunya”

 

Namun mayoritas ulama tidak menyebutkannya. Pendapat mereka dibenarkan oleh Syekh Imam As-Subki, Al-Ashbihani, dan Al-Hindi. Karena mubdal minhu (perkara yang dibadali) dikira-kirakan terbuang, sehingga makna pengecualian tidak bisa terwujud dalam badal, Padahal takhsish diharuskan mengandung unsur pengecualian. Dengan demikian, tidak ada takhsish dalam badal. Hal ini disangkal Imam Al-Barmawi, bahwa dikira-kirakan terbuang adalah pendapat sebagian ulama saja, sedangkan mayoritas berbeda pendapat. Imam As-Sairafi mengatakan, pakar-pakar nahwu tidak menghendaki membuang mubdal minhu, mereka menghendaki bahwa badal berdiri sendiri, bukan penjelas lafadz sebelumnya, sebagaimana na’at pada man’at”.

 

(Pentakhsish bagian kedua) ; MUNFASHIL, Diperbolehkan mentakhsish dengan akal, menurut beberapa ashab.

 

MACAM-MACAM PENTAKHSISH MUNFASHIL

 

Sebagaimana yang telah dijelaskan di depan, bahwa pentakhsish munfashil adalah pentakhsish yang dapat berdiri sendiri, baik berupa lafadz atau selain lafadz dan tidak membutuhkan lafadz umum yang akan ditakhsish, serta tidak berbarengan dengan lafadz umum yang ditakhsish. Menurut pendapat ashad, diperbolehkan men-takhsish dengan akal. Baik melalui perantaraan hissi (panca indra), yakni penglihatan (musyahadah) atau panca indra lainnya, atau tanpa perantaraan hal tersebut. Contoh dengan perantara musyahadah ; firman Allah SWT’ tentang angin yang dilepas sebagai adzab bagi kaum ‘Ad;

 

“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya”

 

Dalam hal ini akal mencerna dengan perantara penglihatan nyata atas adanya benda yang tidak rusak, seperti langit. Contoh tanpa perantara ; firman Allah SWT,

 

“Pencipta segala sesnatu”

 

Kita menemukan kepastian dengan akal, bahwa Allah SWT tidak menciptakan diriNya sendiri dan sifat-sifat Dzat-Nya.

 

Sebagian ulama menolak adanya takhsish dengan akal, dengan argumentasi bahwa perkara yang mana akal menafikan berlakunya hukum dari dalil ‘am di dalamnya, tidak termuat dalam lafadz ‘am. Karena perkara tersebut tidak sah dikehendaki.

 

(Pendapat Ashah, diperbolehkan) mentakhsish kitab dengan kitab, sunnah dengan sunnah, dan masing-masing dengan selainnya. Dan dengan qiyas, dengan mafhum mukhalafah, juga boleh dengan mafhum muwafaqah.

 

MACAM-MACAM TAKHSISH

 

Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ada beberapa bentuk takhsish yang beragam. Berikut perinciannya;

 

  1. Mentakhsish kitab dengan kitab

 

Menurut pendapat Ashah diperbolehkan. Dan termasuk pen-takhsishan dalil ber-matan qathiy dengan dalil ber-matan qath’iy yang lain. Contoh;

 

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklab mena dirt (menunggu) tiga kali suci”

 

Ayat ini menjelaskan iddah bagi wanita yang tertalak, termasuk juga mencakup para wanita hamil. Kemudian di-sakbsish dengan ayat;

 

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddab mereka itu talah sampai mereka melahirkan kandungannya”

 

Pendapat lain, tidak diperbolehkan, berdasarkan dalil ayat;

 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menjelaskan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”

 

Dalam kalimat ‘agar kamu menjelaskan’ disimpulkan bahwa Allah SWT menyerahkan ‘penjelasan’ pada Nabi SAW. Sedangkan status takhsish merupakan ‘penjelasan’, sehingga ‘takhsish hanya bisa dihasilkan dengan ucapan atau perbuatan Nabi SAW. Argumentasi ini ditanggapi pendapat Ashah, bahwa mentakhsish kitab dengan kitab konkrit ada (waqu’) dalam Al-Qur’an, seperti contoh di atas.

 

Seandainya ada yang mengatakan bahwa dimungkinkan dalil yang mentakhsish bukan ayat Al-Qur’an di atas, namun sunnah Nabi SAW. Maka pendapat Ashah menjawab, bahwa secara hukum asal ‘takhsis dengan sunnah tersebut tidak ada, karena Allah SWT berfirman;

 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran untuk menjelaskan segala sesuatu”

 

  1. Mentakhsish sunnah dengan sunnah Menurut pendapat Ashah diperbolehkan, baik mutawatir atau tidak Contoh hadits shahih Bukhari-Muslim :

 

“Dalam tanaman yang diairi dengan air hujan ada Rewajiban zakat sepersepuluh”

 

Di-takhsish dengan hadits shahih Bukhari-Muslim: 

 

‘Tidak ada kewajiban zakat dalam hasil panen yang kurang lima wasaq”.

 

Pendapat lain, tidak diperbolehkan, berdasarkan dalil ayat yang sama dengan di atas;

 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menjelaskan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”

 

Dalam kalimat ‘apa yang telah diturunkan kepada mereka’ disimpulkan bahwa perkara yang dijelaskan oleh Nabi SAW terbatas dalil Al-Qur’an saja, bukan sunnah atau yang lain. Argumentasi ini ditanggapi pendapat Ashah, bahwa mentakhsish sunnah dengan sunnah konkrit ada (waqu’), sebagaimana dalam contoh di atas. Serta tidak ada penghalang hal tersebut terjadi, karena Al-Qur’an dan AsSunnah semuanya dari Allah SWT. Firman Allah SWT;

 

“Dan tiadalah yang diucapkannya itn menurut Remanan hawa nafsunya”

 

  1. Mentakhsish kitab dengan sunnah dan sebaliknya Bagian pertama, yakni men-takhsish kitab dengan sunnah, ulama berselisih pendapat.
  2. Menurut pendapat ashah, diperbolehkan. Contoh; . .

 

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”

 

Ayat ini mencakup anak-anak yang kafir. Kemudian ditakhsish dengan hadits Bukhari-Muslim;

 

“Tidak bisa mewaris, seorang mushm dari kafir, dan orang kafir dari muslim”

 

Contoh ini adalah men-tekhsish dengan khabar ahad, dan tentunya dengan khabar mutawatir lebih diperbolehkan.

 

  1. Pendapat kedua, tidak diperbotehkan dengan sunnah mutawatir betbentuk perbuatan. Hal ini berpijak pada pendapat bahwa perbuatan Nabi SAW tidak bisa mentakhsish.

 

  1. Pendapat ketiga, tidak diperbolehkan secara mutlak. Karena akan mengakibatkan pengabaian dalil qathi diganti dengan dalil dhanni. Namun hal ini ditanggapi, bahwa obyek dari takhsish adalah dalalah dari lafadz ‘am yang bersifat dhanniy, Dan mengoperasikan dua dalil dbanni lebih utama dibandingkan mengabaikan salah satunya.

 

  1. Pendapat keempat, diperbolehkan apabila kitab ditakhsish dengan pentakhsish yang terpisah (munfashil), artinya yang mandiri, baik bersifat gath’i atau dhanni. Karena dengan ini, dalalah-nya menjadi lemah. Dan banyak lagi pendapat lainnya.

 

Bagian kedua, yakni men-takhsish sunnah dengan kitab, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat Ashah diperbolehkan. Contoh HR. Muslim;

 

“(Hukuman) perawan yang berzina dengan perawan, adalah dera seratus kali”

 

Ayat ini mencakup budak wanita. Kemudian ditakhsish dengan QS. An-Nisa:25:

 

“Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersama”

 

  1. Pendapat kedua, tidak diperbolehkan, berdasarkan dalil QS. AnNahl : 44;

 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menjelaskan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”

 

Sunnah (ucapan dan perbuatan) Nabi SAW merupakan penjelasan dari Al-Qur’an, bukan sebaliknya, Al-Qur’an menjadi penjelasan dari sunnah. Dan dalam konteks ini kedudukan tkhsish adalah penjelasan. Argumentasi ini ditanggapi pendapat Ashah bahwa hal tersebut tidak tereegah, karena baik sunnah maupun Al-Qur’an, semua dari Allah SWT. Firman Allah SWT;

 

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”

 

Bagian ketiga, termasuk sunnah adalah perbuatan dan taqrir Nabi SAW Silang pendapat terjadi menyikapi pen-takhsish-an kitab atau sunnah dengan perbuatan dan taqrir Nabi SAW”,

 

  1. Menurut Ashah, diperbolehkan. Seperti seandainya Nabi SAW mengatakan;

 

“Puasa wishal haram bagi sebiap muslim”

 

Kemudian Beliau menjalankannya, atau membiarkan orang yang menjalankannya. Contoh lain, seperti dalam riwayat Bukhari-Muslim, Nabi SAW larangan menghadap kiblat saat buang air besar dan kecil. Kemudian diriwayatkan juga bahwa Beliau melakukan hal tersebut. Maka dengan perbuatan Beliau ini, keumuman nahi (larangan) tertakhsish.

 

  1. Pendapat kedua, perbuatan dan sagnir tidak men-stakhsish, akan tetapi me-nasakh hukum dalil ‘am’. Karena secara hukum asal manusia memiliki posisi sama dalam hukum. Argumentasi ini ditanggapi, bahwa takbsish lebih utama dibandingkan naskh, karena dalam sakhsish ada pemberlakuan dua dalil.

 

  1. Mentakhsish kitab dan sunnah dengan qiyas.

 

Mengenai hal ini ulama sepakat memperbolehkan, apabila berbentuk qiyas qath’ti. Namun mereka berselisih pendapat, manakala berbentuk qiyas dhanniy.

 

  1. Pendapat ashah, diperbolehkan mentakhsish kitab atau sunnah dengan qiyas yang disandarkan pada nash khusus, meskipun berupa khabar ahad.

 

Contoh firman Allah QS. An-Nur: 02 :

 

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tap-tiap seorang dari keduanya seratus dak dera”’

 

Ayat ini mencakup orang merdeka dan budak. Kemudian ditakhsish pada selain budak wanita dalam QS. An-Nisa:25:

 

“Dan apabila mereka telah henjabe dirt dengan avin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang kei (zina), maka atas mereka separuh hukuman dani hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”

 

Hukum budak laki-laki masih tereakup dalam keumuman ayat pertama. Kemudian dilakukan qiyas, dengan menyamakan budak laki-laki dengan budak wanita yang hukum had-nya hanya separuh dati orang merdeka. Dan dengan qiyas ini, ayat pertama kemudian di-takhsish.

 

  1. Pendapat kedua, tidak diperbolehkan secara mutlak. Hal tersebut untuk menjaga agar qiyas tidak didahulukan dari nash sebagai dalil asal dari qiyas secara global.

 

3, Pendapat ketiga, diperbolehkan apabila qiyas berbentuk jaly, bukan khafi, karena eksistensinya lemah. Dan banyak pendapat ulama lainnya.

 

  1. Mentakhsish kitab dan sunnah dengan mafhum mukhalafah.

 

Menurut pendapat Ashah diperbolehkan. Contoh hadits Nabi saw;

 

“Allah menciptakan air suci mensucikan, tidak bisa dinajiskan sesuatu kecuak air yang berubah rasa atau warna atau baunya”

 

Hadits ini mencakup air sedikit dan banyak. Kemudian di-takhsish dengan mafhum hadits Nabi saw:

 

“Ketika air mentapat dua kullah, maka tidak menerima najis”

 

Hadits ini menunjukkan secata mafhum bahwa air yang kurang dari dua kullah menerima dan tidak bisa menolak najis. Sehingga secara hukum menjadi najis; akibat persentuhan dengan najis, baik ada perubahan atau tidak

 

Pendapat kedua, tidak diperbolehkan, karena penunjukkan makna dari lafadz ‘am adalah manthuq. Dan manthuq didahulukan dari mafhum. Hal ini ditanggapi, bahwa manthuq yang didahulukan dari mafhum adalah manthuq model tertentu, bukan manthuq yang menjadi bagian dari individu makna lafadz ‘am. Justru. untuk model ini, mafhum, didahulukan dari manthuq. Karena mengoperasikan dua dalil, lebih utama dibandingkan mengabaikan salah satunya.

 

  1. Mentakhsish kitab dan sunnah dengan mafhum muwafaqah.

 

Ulama memperbolehkan penggunaan alfahwa atau mafhum muwafaqah sebagai pentakhsish, meskipun mengikuti versi bahwa dalalah dj dalamnya bersifat qiyas. Contoh, pentakhshisan HR. Abi Dawud,

 

“Menunda pembayaran hutang bagi orang yang kaya menghalalkan harga diri dan hukuman (penjara) baginya”

 

Dengan mafhum dari ayat;

 

“Janganlah kamu berkata ‘cih’ ‘pada kedua orang tua”

 

Mafhum muwafaqah dari ayat ini mengharamkan menyakiti kedua orang tua dengan dipenjara dan cara lainnya. Sehingga takhsish ini menghasilkan kesimpulan hukum, haram memenjatakan kedua orang tua sebab hutang kepada anaknya. Sebagaimana dishahihkan oleh Imam An-Nawawi”.

 

Menurut pendapat Ashah, peng-athaf-an lafadz ‘am pada lafads bbash, kembalinya dhamir pada sebagian ‘am, madzhab dari perawi lafadz ‘am, serta penyebutan sebagian afrad ‘am, semuanya tidak men-takhsish lafadz ‘am.

 

Dan menurat Ashah, bahwasanya ‘am tidak terbatas dalam sesuatu yang dibiasakan (mu’tad), juga tidak terbatas dalam selain mu’tad. Dan bahwa semacam (Nabi SAW melarang jual-beli beresiko), tidak umum (atas setiap resiko).

 

 PENG-‘ATHAF-AN LAFADZ ‘AM PADA LAFADZ KHASH

 

Menurut pendapat ashah, peng-‘athaf-an lafadz ‘am pada lafadz khash dan sebaliknya, tidak mentakhsish lafadz ‘a. Pendapat lain, dari pengikut madzhab Hanafi, dapat mentakhsish lafadz ‘am, dalam arti menjadikan lafadz ‘aw teringkas dalam lafadz Ahsash. Karena ma’thuf (latadz yang di-‘afhaf-kan) harus menyamai ma’thu ‘alath (lafadz yang di athaf‘i) dalam hukum dan sifatnya (umum-khususnya). Menurut pendapat pertama hanya menyamai dalam hukum, tidak dalam sifatnya. Contoh peng-‘atha -an lafadz khash pada lafadz aw, HR. Abu Dawud;

 

“Tidak, dibunuh seorang muslim sebab ‘membunuh kafir, dan tidak, dibunuh kafir mu’ahad saat gencatan perang (sebab membunuh kafir harbi)”

 

Menurut pendapat pertama, pada ma’thuf dikira-kirakan kata  (sebab membunuh kair harbi, karena ditemukan ijma’ bahwa kafir mu’ahad dibunuh sebab membunuh kafir selain harbi (dzimmi). Sehingga ma’thuf tidak mentakhsish keumuman ma’thu ‘alaih. Makna selengkapnya, tidak dibunuh seorang muslim sebab membunuh kaw, dan tidak dibunuh kai mu’ahad saat gencatan perang sebab membunuh kair harbi. Hal ini menyimpulkan, seorang muslim tidak dibunuh sebab membunuh kafir, baik harbi atau dzimmi. Kalangan Hanafiyyah juga mengira-ngirakan pada ma’thu ‘alath kata  (sebab membunuh ka ir harbi), karena ma’thu: ‘alaih haruas menyamai ma’thu” dalam sifatnya (umum-khususnya). Di sini keumuman ma’thaf alaih tertakhsish oleh wa’thu. Sehingga maksud selengkapnya, tidak dibunuh seorang muslim sebab membunuh kafir harbi, dan tidak, dibunuh kair muahad saat gencatan perang sebab membunuh kaw harbi. Hal ini menyimpulkan, seorang muslim dibunuh sebab membunuh kafir dzimmi (lihat selengkapnya di dalam bab lafadz ‘am, pembahasan hal-hal yang tidak memiliki sifat umum). ;

 

Contoh peng-‘atha-an lafadz aw pada lafadz khash, seumpama dikatakan;

 

“Kafir dzimmi tidak dibunuh sebab membunuh Rafir harbi, Dan tidak dibunuh muslim sebab membunuh kafir”

 

Maksud kafir yang pertama adalah kafir harbi, dan yang kedua tetap bersifat umum, tidak tertakhsish. Menurut kalangan Hanafiyah, maksud kafir yang kedua juga kafir harbi, karena ma’thu harus menyamai ma’thuf, alaih dalam sifatnya (umum-khususnya), sehingga keumuman ma’thuf tertakhsish oleh ma’thuf ‘alaih’.

 

KEMBALINYA DHAMIR PADA SEBAGIAN ‘AM

 

Menurut pendapat Ashah, kembalinya dhamir yang terlerak setelah lafadz ‘am pada sebagian arad (individu makna) ‘am, tidak menjadikan lafadz ter-takshish. Artinya, tidak menjadikan lafadz ‘am terbatasi pada sebagian arad tersebut. Pendapat lain, menjadikan tertakshsish, karena menghindari ketidakserasian dhamir pada marji’-nya (tempat kembalinya). Hal ini ditanggapi oleh pendapat pertama, bahwa ketidakserasian boleh saja terjadi selama ditemukan garinah. Contoh,

 

“Wanita-wanita yang ditalake hendaklah menahan diri (menanti) tiga kali suci”…sampai ayat; “Dan suami-suaminya berhak merujuknya”.

 

Dhamir pada   kembali pada wanita-wanita yang tertalak raj‘i, dan kalimat   umum mencakup wanita-wanita yang tertalak raj’i dan wanita-wanita yang tertalak ban. Meskipun kembalinya dhamir pada sebagian afrad lafadz ‘am, namun tidak menjadikan lafadz ‘am tertakhsish. Sehingga hukum  (wajib menanti) tidak tertentu bagi wanita-wanita yang tertalak raj’i saja, namun juga bagi wanita-wanita yang tertalak ba’in. Pendapat lain, kalimat Jlileii; tidak mencakup wanita-wanita yang tertalak ba’in, dan dhamir tersebut kembali pada   yang secara majaz menghendaki makna wanita-wanita yang tertalak raj’i. Dengan demikian menjadikan lafadz ‘am tertakhsish dan terbatasi pada wanitawanita yang tertalak raj’i. Sedangkan hukum   (wajib menanti) bagi wanita-wanita yang tertalak ba’in diambilkan dari dalil lain, seperti ijma”.

 

MADZHAB DARI PERAWI

 

Pendapat ashah menyatakan bahwa madzhab dari perawi lafadz ‘am yang berbeda dengan kandungan dalil ‘am yang diriwayatkannya tidak mentakhsish dalil ‘am tersebut, meskipun dari kalangan shahabat. Pendapat ini disampaikan Jumhur. Pendapat kedua, mentakhsish secara mutlak, baik perawi dari kalangan shahabat atau bukan. Pendapat ketiga, mentakhsish apabila perawi dari kalangan shahabat. Karena berbedanya madzhab darinya dipastikan hasil dari adanya dalil. Hal ini ditanggapi, bahwa dalil yang dimaksud di sini hanya menurut dugaannya saja, tidak secara realitas (nafsu al-amri). Dan bagi orang lain tidak boleh mengikutinya, karena mujtahid tidak boleh bertaklid pada mujtahid lain.

 

Contoh, HR. Bukhari dari Ibn Abbas ra;

 

“Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”

 

Dan shahabat Ibn Abbas (perawi) sendiri menyatakan bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh. Namun ada kemungkinan Beliau berpendapat bahwa syarthiyyah tidak mencakup mu ‘annats, sebagaimana disampaikan salah satu pendapat dalam babnya terdahulu. Jika benar demikian, berbedanya Ibn Abbas ra dalam masalah di atas bukan tergolong takhsish.

 

Sedangkan madzhab seseorang yang bukan perawi lafadz ‘am dan berbeda dengan kandungan lafadz ‘am, ditetapkan juga tidak bisa mentakhsish. Pendapat lain, bisa men-takhsish.

 

PENYEBUTAN SEBAGIAN AFRAD ‘AM

 

Menurut pendapat ashah, penyebutan sebagian afrad (individu) lafadz ‘am menggunakan hukum dari lafadz ‘am, tidak menjadikan lafadz ‘am ter-takhsish. Pendapat lain, menjadikan lafadz ‘am ter-takhAsish, artinya menjadikan teringkas pada sebagian afrad tersebut dengan pemahamannya. Karena hanya inilah faidah penyebutannya. Hal ini disangkal, bahwa mafhum laqab (kepahaman sebuah nama) tidak bisa dijadikan hayah. Dan faidah penyebutan sebagian alrad tersebut adalah untuk menghilangkan kemungkinan keberadaannya tertakhsish dari dalil ‘am. Contoh HR. Tirmidzi;

 

“Jenis apapun kulit yang disamak, maka sungguh suci hukumnya”

 

Dan HR. Muslim; Nabi SAW berjalan dan menemukan bangkai. kambing, kemudian Beliau bersabda;

 

“Mengapa tidak, kalian ambil kulitnya, lala kalian samak, kemudian kalian memanfaatkannya. Shahabat mengakan,; ‘“Kambing itu bangkai”. Nabi bersabda; ‘Tanya memakannya yang diharamkan”

 

Penyebutan ‘kulit kambing’ sebagai salah satu afrad (individu) lafadz ‘am tidak menjadikan lafadz ‘am ter-takhsish, dan tetap dalam keumumannya, yakni kulit semua hewan.

 

‘AM TIDAK TERBATAS DALAM MU’TAD

 

Menurut ashah, lafadz ‘am tidak terbatas pada sesuatu yang dibiasakan (mu’tad), dan juga tidak terbatas pada selain mu’tad. Kemudian dalil ‘am dalam kedua pembagian ini diberlakukan keumumannya, Pendapat lain, terbatas pada keduanya. Contoh bagian pertama, diumpamakan kebiasaan manusia mengkonsumsi gandum, kemudian muncul larangan menjual belikan antar makanan sejenis dengan kadar tidak sama (mutafadhilan). Maka, menurut pendapat kedua, makanan dalam kasus ini terbatas pada gandum yang biasa dikonsumsi. Contoh bagian kedua, diumpamakan kebiasaan manusia menjual gandum dibelj gandum dengan kadar tidak sama, kemudian muncul larangan menjual belikan antar makanan sejenis dengan kadar tidak sama. Maka, menurut pendapat kedua, makanan dalam kasus ini terbatas pada selain gandum yang dibiasakan. Menurut pendapat pertama (Ashah), kedua kasus tersebut tidak terbatasi’.

 

UCAPAN SHAHABAT

 

Menurut ashah, semisal ucapan shahabat  (Bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli beresiko) sebagaimana riwayat Muslim dari shahabat Abu Hurairah, tidak menjadikannya umum atas setiap jual beli yang mengandung unsur gharar (resiko yang tidak jelas akhirnya). Karena jika demikian, maka setiap jual beli yang mengandung unsur gharar akan batal. Padahal tidak demikian, ulama banyak menetapkan hukum sah atas jual beli yang mengandung unsur gharar, seperti jual beli budak tanpa memperlihatkan auratnya, dimana ada kemungkinan pada aurat tersebut terdapat cacat penyebab harga berkurang.

 

Pendapat lain, dapat bersifat umum atas setiap jual beli yang mengandung unsur gharar. Karena orang yang menyampaikan adalah orang adil dan memahami bahasa dan makna. Andaikata keumuman hukum dari apa yang disampaikan Nabi SAW tidak jelas, pastilah orang tersebut tidak meriwayatkannya menggunakan redaksi umum (‘am). Argumentasi ini ditanggapi, bahwa kejelasan keumuman hukum hanya berdasar subycktifitas dugaannya, bagi kita tidak boleh mengikutinya. Karena ada kemungkinan larangan jual beli yang mengandung unsur gharar tersebut didasarkan sifat khusus yang ada di dalamnya, namun disangka perawi sebagai lafadz ‘am.

 

Permasalahan : jawaban dari seorang penanya yang tidak bisa berediri sendiri tanpa pertanyaan tersebut, menpikuti pertanyaan dalam sifat umum (dan khususnya). Sedangkan jawaban yang berdiri sendiri dan bersifat lebih khusus hukumnya diperbolehkan, apabila memungkinkan mengetahuit maskut (hukum yang tidak disebutkan). Sedangkan yang  bersifat setara hukumnya jelas.

 

SIFAT UMUM AWABAN PERTANYAAN

 

Manakala khithab dari pembawa syari’at menjadi jawaban atas sebuah pertanyaan, maka dipilah sebagai berikut;

 

  1. Tidak bisa berdiri sendiri atau tidak bisa memberikan faidah tanpa pertanyaan tersebut. Dalam arti, seandainya dijadikan permulaan, tidak akan menghasilkan faidah apapun, seperti kata (benar) dan (benar) dan sesamanya. Maka statusnya mengikuti pertanyaan dalam sifat umum dan khususnya. Karena sebuah pertanyaan akan diulangi di dalam jawabannya. Contoh yang bersifat umum HR. Tirmidzi; .

 

“Bahwasanya Nabi SAW ditanyat tentang menjual kurma basah dibeli Rkurma ering. Belian bertanya, “Apakah kurma basah susut ketika kering”. Shahabat menjawab, ‘Benar”. Beliau menjawab,; “Jika demikian maka tidak boleh”.

 

Maka dengan demikian hukum ini umum mencakup semua model jual beli kurma basah yang dibeli dengan kurma kering. Baik muncul dari penanya, maupun orang lain. Contoh yang bersifat khusus;

 

“Maka apakah kamu telah menperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu merjanjikannya (kepadamu)?”” Mereka (penduduk neraka) menjawab: “Betul”. Maka dalam hal ini jawaban mengikuti kekhususan dari pertanyaan, dan tidak berlaku umum.

 

  1. Bisa berdiri sendiri atau bisa memberikan faidah tanpa pertanyaan tersebut. Dalam arti, seandainya dijadikan permulaan, akan menghasilkan faidah umum. Terbagi tiga macam,

 

  1. Bersifat Iebih khusus dibanding pertanyaannya. Maka hukum pembuatan semacam ini boleh dan dibenarkan apabua hukum maskut (yang tidak disebutkan) memungkinkan diketahui. Contoh,

 

“Barangsiapa bersetubuh di siang ‘hari Ramadhan, maka wajib baginya kafarat seperti orang yang berdhihar”

 

Yang menjadi jawaban atas pertanyaan;

 

“Barangsiapa membatalkan puasa di siang hari Ramadhan, apa yang wajib baginya?

 

Di sini hukum maskut dapat diketahui, karena dati kata ace (bersetubuh) dapat dipahami bahwa membatalkan puasa dengan selain bersetubuh tidak ada denda kafarat-nya. Namun apabila hukum maskut tidak mungkin diketahui, maka tidak diperbolehkan. Karena akan mengakibatkan pengakhiran bayan (penjelasan) dari waktunya dibutuhkan.

 

  1. Bersifat setara dengan pertanyaannya. Maka hukumnya sudah jelas. Contoh;

 

“Barangsiapa bersetubuh di siang hari Rama han, maka wajib baginya ka arat seperti dhihar”

 

Yang menjadi jawaban atas pertanyaan;

 

“Apa yang wajib bagi seseorang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan?

 

  1. Bersifat lebih umum dibanding pertanyaannya. Bagian ini akan dijelaskan di bawah ini.

 

Menurut pendapat ashah, dalil ‘am yang terlaku atas dasar sabab khusus keumumannya diakui. Dan bahwa sebuah bentuk sabab, secara gathi (pasti) masuk dalam dalil umum, sehingga tidak boleh ditakhsish dengan ijtihad. Hampir sama dengan bentuk sabab tersebut adalah dalil Ahash dalam Al-Qur’an yang dalam tulisannya dibarengi dalil ‘am, dikarenakan ada keserasian.

 

DALAL ‘AM DARI SABAB KHUSUS

 

Menurut pendapat ashah, dalil ‘am yang terlaku atas dasar sabab (hasus pemicu turunnya dali) tertentu (khusus), baik dalam pertanyaan atau selain pertanyaan, maka keumumannya diakut. Karena memandang lahiriyah lafadznya. Kaidah ini disampaikan oleh ulama lain dengan ungkapan,

 

“Pertimbangan adalah dengan Reumuman lafadz, bukan dengan kekhususan sabab”’

 

Pendapat kedua, hanya terbatas pada sabab saja, karena dalil ‘am didatangkan untuk hal tersebut. Baik ditemukan garinah yang menunjukkan keumuman, atau tidak. Contoh yang ditemukan qarinah;

 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”

 

Karena sebab turunnya ayat ini, menurut satu pendapat, adalah seorang laki-laki yang mencuri pakaian Shawfan bin Umayyah. Penyebutan kalimat   (perempuan yang mencuri) merupakan garinah bahwa yang dikehendaki dengan  (laki-laki yang mencuri) bukan hanya laki-laki dalam kejadian itu saja. Contoh yang tidak ditemukan garimah, HR. Tirmidzi;

 

“Ditanyakan, Yaa Rasulallah, apakah tuan berwudhu dari sumur Budha’ah, padahal sumur itu tempat pembuangan kain bekas darah wanita haid, daging-daging anjing dan perkara yang busuk baunya?. Nabi SAW menjawab, “Bahwa air sumur tersebut adalah suc, tidak bisa dinajiskan apapun”

 

Kata   (apapun) berlaku umum mencakup ketiga benda yang ada dalam hadits, dan selainnya. Menurut pendapat lain, hanya berlaku untuk ketiganya, dan untuk yang lain belum dijelaskan hukumnya.

 

Dan terkadang  ditemukan gqarinah yang menunjukkan kekhususannya pada sabab. Contoh, larangan membunuh perempuan saat perang. Latar belakang larangan ini disebabkan Nabi SAW melihat perempuan kafir harbi terbunuh dalam sebagian peperangan yang beliau pimpin. Hal ini menunjukkan bahwa larangan tersebut khusus atas perempuan kafir harbi, tidak mencakup perempuan murtad.

 

Lebih lanjut, versi ashah menyatakan, sebuah bentuk sabab (kasus) yang melatarbelakangi kemunculan dalil ‘am, secara qath’i (pasti) ma, ik dalam dali) umum. Sehingga tidak boleh di-tekhsish dengan ijtihag Pendapat lain, menyatakan hanya secara danni (dugaan), sehingga boich, di-takhsish (dikecualikan) dengan ijtihad.

 

Syekh Imam As-Subki menambahkan, hampir menyamai benty sabab dalam hal secara gath’ atau dhanni masuk dalam dalil umum, adala’ dalil khash dalam Al-Qut’an yang dalam penulisannya dibarengi dalil ‘am meskipun waktu turunnya ayat tidak berurutan. Hal ini dikarenakan aq keserasian antara ayat pengiring dan yang diiringi. Contoh;

 

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al kitab? mereka pereaya kepada jibt dan thaghut” Ayat ini sebagaimana komentar ahli tafsir, merupakan isyarat atas Ka’ah bin Asyraf dan ulama Yahudi lainnya. Manakala mereka datang ke Makkah, dan menyaksikan para korban perang Badar, kemudian memprovokasi musyrikin untuk melakukan pembalasan dan memerangj Nabi SAW. Kemudian musyrikin bertanya kepada mereka, “Siapa yang benar jalannya, Muhammad dan shahabatnya atau kami?”. Mereka menjawab, “Jalan yang kalian tempuh lebih benar”. Karena dengki, mereka mengkhianati amanat untuk menyampaikan kebenaran tentang sifat Nabi SAW yang tereantum dalam kitab Taurat. Ayat dan ucapan mereka mengandung ancaman yang secara tidak langsung berfaidah gar (perintah) untuk melakukan sebaliknya, yakni menjelaskan sifat Nabi SAW dalam kitab mereka. Kesimpulan ini serasi dengan firman Allah; (on: Lisi)

 

“Sesungguhnya Allah menjurud ham menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”

 

Ayat ini umum (‘am) untuk semua amanat, dan ayat di atas khusus (bash) untuk amanat berupa menyampaikan sifat Nabi SAW. Dalil ‘am ini mengiringi dalil Afash dalam tulisannya, meskipun lebih akhir tanggal turunnya, dengan selisih enam tahun (antara perang Badar di bulan Ramadlan tahun 2 H sampai penaklukan Makkah di bulan Ramadlan tahun 8 H).

 

Permasalahan : menurut pendapat ashah, apabila dalil khash tidak datang lebih akhir melewati waktu diamalkannya dalil ‘am, maka dalil khash men-takhsish dalil ‘am. Namun jika tidak demikian, maka dalil khash menasakh dalil ‘am. Dan menurut ashah, apabila masing-masing umum dari satu sisi (dan khusus dari sisi lain), maka dilakukan tarih,

 

PERTENTANGAN DALIL ‘AM DAN KHASH

 

Apabila terjadi pertentangan antara dua nash, salah satunya ‘am dan yang lain khash, maka dipilah sebagai berikut;

 

1, Dalil khash datang sesudah masa pengamalan dalil ‘am. Maka menurut ashah, dalil khash menasakh dalil ‘am pada wilayah yang dipertentangkan saja, tidak pada seluruh afrad (individu).

 

  1. Dalil khash tidak datang sesudah masa pengamalan dalil ‘am. Baik datang sesudah munculnya &hithab lafadz ‘am, namun sebelum masuk masa pengamalannya, atau dalil ‘am datang sesudah dalil khash secara mutlak (sesudah khithab dalil khash atau pengamalannya), atau keduanya berbarengan (saling berkesinambungan), atau keduanya tidak diketahui tanggal turunnya. Dalam kesemuanya ini, menurut pendapat ashah, dalil khash mentakhsish dalil ‘am.

 

Menurut pendapat lain, apabila keduanya berbarengan, maka terjadi ta’arrudh (pertentangan) antara keduanya dalam kadar pemahaman dalil khash, sebagaimana yang terjadi dalam dua dalil yang berbeda secara nash. Sehingga untuk mengamalkan dalil khash dibutuhkan murajjih (pengunggul).

 

Kalangan Hanafiyah dan imam Haramain mengatakan, dalil ‘am yang datang sesudah dalil khash berfungsi menasakh dalil khash, sebagaimana kebalikannya. Kemudian mereka juga mengatakan, apabila penanggalan (waktu turunnya dalil) tidak diketahui, maka ada dua pendapat, menangguhkan pengamalan keduanya, dan saling mengeliminasi (tasaquth). Hal ini dikarenakan masing-masing dari keduanya memungkinkan menjadi yang ter-nasakh, sebab bisa jadi salah satunya lebih dahulu dari yang lain. Selanjutnya, manakala masing-masing dari dua nash tersebut umum dari satu sisi dan khusus dari sisi lain, baik keduanya berbarengan atau salah satunya Lebih akhir, maka wajib dilakukan tarjig dengan dalil lain”, Kalangan Hanafiyah mengatakan, dalil yang akhir menasath yang lebih dahulu, Contoh, HR. Bukhazi dari Ibn Abbas ra;

 

“Barang siapa menggonti agamsnya, maka banuhlah dia”

 

Dan HR. Bekhari-Muslim:

 

“Nabi melarang membunuh kaum wanita”

 

Hadits pertama umum atas Iaki-laki dan perempuan dan khasus tentang oreng murtad. Hadis kedua khusus tentang perempuan dan umum atas perempuan kafih harbi dan murtad. Hingga terjadi pertentangan pada taasaizh wanita murtad, apakah dibunuh atau tidak?. menurut pendapat rajih (unggul), hadits pertama diunggulkan, sehingga berimplikasi hukum wanita murtad dihukumi bunuh. Karena dapat qarinah yang mengarahkan hadits kedua terbatas pada sabab-nya (khusus yang melatarbelakangi), yakni wanita kafir harbu, diceritqkan dalam sebuah peperangan, Nabi SAW menjumpai seorang wanita terbunuh. Kemudian Beliau bersabda; “Kenapa dia dibunuh, padahal dia tidak berperang?” lalu Nabi SAW melarang pembunuhan wanitadan anak-anak. darisini diketahui bahwa yang dikehendaki Nabi SAW adalah wanita kafir harbi.

 

 

Menurut pendapat terpilih, matlak adalah dalil yang menunjukkan hakikat tanpa ada batasan.

 

DEFINISI MUTLAKDAN MUQAYYAD

 

Mutlak secara bahasa memiliki arti lafadz yang tidak disertai qayyid (pembatasan) dan syarat. Secara istilah, menurut pendapat terpilih. mutlak adalah lafadz yang menunjukkan mahiyah (substansi sebuah perkara) tanpa mempertimbangkan batasan (satu atau banyak). Dengan demikian termasuk ketegori lafadz kulli (substansial).

 

Pendapat lain, dart Imam Amudi dan Ibn Hajib, mutlae adalah lafadz yang menunjukkan makna yang merata dalam jenis-nya. Mereka salah mengira lafadz mutlak sebagai nakirah yang tidak bersifat umum. Mereka berargumentasi, bahwa perintah atas substansi sesuatu, seperti  (pemukulan) tanpa dibatasi, merupakan perintah atas juz’i (bagian) makna di dalamnya, seperti memukul dengan cemeti, tongkat dan yang lain. Karena hukum-hukum syariat mayoritas dibangun atas perkara juz’i, bukan mahiyah (substansi), karena sulit terwujud secara tealita. Menurut pendapat lain, merupakan perintah atas seluruh perkata juz’i di dalamnya, dan versi lain merupakan izin dalam perkara jaz’i untuk dilaksanakan.

 

Imam As-Subki mengatakan, seharusnya yang benar antara mutlak dan nakirah dibedakan. Hal ini sesuai pendapat ulama ushul dan fiqh, dimana mereka berselisih pendapat dalam kasus seseorang yang berucap pada istrinya, “Jika kandunganmu seorang Jaki-laki, maka kamu tertalak”. Ternyata kemudian lahir dua anak laki-laki. Satu pendapat menyatakan, istri tidak tertalak, memandang redaksi nakirah yang menyimpulkan makna satu. Perndapat lain, tertalak, karena mengarahkan pada jenis. Imam Jalal Ad-Din Al-Mahali mengatakan bahwa latadz dart mutlak, dan nakirah adalah satu. Perbedaan antara keduanya hanya dari sisi sudut pandang. Manakala memandang penunjukkan pada hakikat tanpa batasan, maka disebut mutlak dan isim jenis. Dan manakala disertai memandang batasan satu, maka disebut nakirah. Imam Amidi dan Ibn Hajib mengingkari sudut pandang pertama, dan menjadikannya sebagai yang kedua, sehingga mutlak menurut mereka berdua menunjukkan saty individu secara merata (alwahdah as-sya-i’ah). Dan menurut selain mereka, menunjukkan hakikat (mabiyah) tanpa batasan, serta satu individu merupakan hal yang pasti, karena hakikat tidak akan ada wujudnya dengan perkara yang kutang dari satu’,

 

Permasalahan: mullak dan muqayyad menyamai ‘am dan khash. Kemudian menurut pendapat ashah, apabila hukum dan sabab dari dalil mutlak dan muqayyad tunggal (sama), dan keduanya mutsbat, manakala dalil muqayyad datang akhir melewati waktu mengamalkan dalil mutlak, maka dalil muqayyad menasakh dalil mutlak. Dan apabila tidak demikian, maka dalil muqayyad membatasi dalil mutlak.

 

Apabila salah satunya mutsbat, dan yang lain kebalikannya (naz atau nahi), maka dalil mutlak dibatasi dengan kebalikan dari sifat (dalam dalil muqayyad). Dan jika tidak demikian (keduanya nafi, atau nahi, atau salah satu nafi, yang lain nahi), maka dalil mutlak dibatasi dengan sifat tersebut, menurut versi ashah, Dan masalah tersebut termasuk masalah khash dan ‘am.

 

Apabila hukum keduanya berbeda, atau sabab keduanya berbeda, dan tidak ada lafadz muqayad yang saling menafikan (di dua  tempat), atau ada, namun lafadz mutlak lebih sesuai dibatasi salah satunya (dibanding yang lain), maka lafadz mutlak dibatasi dengan muqayyad, secara qiyas menurut pendapat ashah,

 

MENGARAHKAN DALIL MUTLAK PADA MUQAYYAD

 

Mutlak dan muqayyad (dibatasi) menyamai ‘am dan khash dalam hukum-hukum yang telah disebutkan di depan. Perkara yang di dalamnya pen-takhshish-an ‘am diperbolehkan, maka peng-qayyid-an mutlak juga diperbolehkan. Sehingga menurut pendapat ashah, diperbolehkan mengqayyid-i (membatasi) kitab dengan kitab dan sunnah, sunnah dengan kitab dan sunnah, kitab dan sunnah dengan qiyas dan dua macam mafhum, perbuatan dan taqrir Nabi SAW. Hanya saja khusus mafhum muwafaqah, ulama sepakat memperbolehkan, Perbecdaannya, dalam bab ini, madzhab perawi dan penyecbutan sebagian juz lafadz mutlak tidak boleh mecmbatasi lafadz mutlak.

 

Kemudian tatacara mengkompromikan dua dalil mutlak dan muqayyad diperinci sebagai berikut,

 

  1. Hukum dan sabab keduanya sama, terbagi dua;
  2. Keduanya berbentuk mutsbat, contoh, dalam kafarah dhihar disampaikan dua dalil; (merdekakan budak!) dan (merdekakan budak, mukmin’), maka diperinci;

 

  1. Dalil muqayyad datang sesudah masa pengamalan dalil mutlak. Maka dalil muqayyad menasakh dalil mutlak.
  2. Dalill muqayyad tidak datang sesudah masa pengamalan dalil mutlak. Baik datang sesudah munculnya khithab lafadz mutlak, namun sebelum masuk masa pengamalannya, atau dalil mutlak datang secsudah dalil muqayyad secara mutlak (sesudah khithab dalil muqayyad atau pengamalannya), atau keduanya berbarengan (saling berkesinambungan), atau keduanya tidak diketahui tanggal turunnya. Maka dalil mutak diarahkan pada dalil muqayyad, artinya dalil muqayyad membatasi dalil kutlak, untuk mengkompromikan dua dalil. Pendapat kedua, dalil muqayyad menasakh dalil mwutlak, apabila dalil muqayyad datang sesudah munculnya khithab lafadz mutlak. Pendapat ketiga, kebalikan pendapat pertama, yakni dalil muqayyad diarahkan pada dalil mutlak, dengan mecnghilangkan fungsi qayyid (batasan) dan dalil mutlak, tetap dalam kemutlakannya. Kerena penyebutan salah satu afrad dari mutlak tidak bisa menjadikannya ter-qayyd-i.

 

  1. Salah satunya berbentuk kutsbat, baik amr atau khabar, dan yang lain berbentuk hahi atau nafi, contoh; (merdekakan budak!) dan (Jangan merdekakan budak kafari). Maka dalil wutlak dibatasi dengan kebalikan sifat dalam muqayyad, agar dapat dikompromikan. Dalam contoh di atas, budak dalam dalil mutlak dibatasi dengan ‘mukmin’ (kebalikan sifat kafir dalam dalil muqayyad).

 

  1. Keduanya berbentuk nafi contoh, (tidak mencukupi memerdekakan budak mukatab) dan (tidak mencukupi memerdekakan budak mukatab yang kafir) atau keduanya nahi contoh, (Jangan kamu merdekakan budak mukatab) dan (jangan kamu merdekakan budak. mukatab yang kafir,) Maka menurut pendapat ashah (ulama yang berpendapat mafhum mukhala ah adalah hujjah), dalil wutlak di-qayyid-i dengan sifat dalam dalil muqayyad. Dan masalah ini masuk kategori masalah Abash dan ‘am. Karena dalil wudak dalam konteks naz bersifat umum. Dan pendapat lain (menurut ulama yang menafikan mafhum), fungsi qayyid (batasan) dihilangkan dan dalil wutlak tetap diamalkan dalam kemutlakannya.

 

  1. Sabab keduanya sama, namun hukum-nya berbeda, atau hukum keduanya sama, namun sabab-nya berbeda, maka hukumnya dipilah sebagai berikut;

 

  1. Menurut ashah, dalil mutlak dibatasi dalil muqayyad secara qiyas. Hal ini manakala tidak ada lafadz muqayyad yang saling menafikan di dua tempat. Atau ada, namun lafadz mutlak lebih sesuai dibatasi salah satunya dibanding yang lain. Pendapat kedua, diarahkan secara lafadz, dengan hanya melihat keberadaan lafadz muqayyad, tanpa membutuhkan titk temu (jami). Pendapat ketiga, dari pengikut madzhab Hanafi, lafadz mutlak tidak dibatasi dalil lafadz muqayyad, karena hukum atau sabab-nya berbeda. Dan dalil mutlak tetap dibiarkan berbeda dengan muqayyad, karena tidak terpenuhinya syarat qiyas.

 

Contoh pertama (sabab sara, hukum berbeda), adalah dalil dalam tayammum; .

 

“Sapulah mukamu dan tanganmu”

 

Dan dalil dalam wudhu;

 

“Basublah mukarmu dan tanganmu sampai dengan siku”

 

Sabab dari keduanya sama berupa hadats dan menghendaki shalat dan ibadah lainnya, namun hukumnya berbeda, yakni mengusap dalam tayammum dan membasuh dalam wudhu. Dalam ayat tentang tayammum, kata al-yadd (tangan) dimutlakkan dan dalam ayat tentang wudhu, dibatasi dengan al-marafiq (siku). Sehingga dalil mutlak dibatasi dalil muqayyad secara qiyas, bahwa maksud mengusap kedua tangan dalam tayammum adalah sampai siku. Dengan titik temu (jami’), sabab keduanya merupakan perkara yang mewajibkan bersuci.

 

Contoh kedua (sahab sama, hukum berbeda), dalam kafarah dhihar dikatakan;   (merdekakan budak) dan dalam kafarah pembunuhan dikatakan;  (merdekakan budak. mukmin). Dalam contoh ini, dalil mutlak dibatasi dalil muqayyad secara qiyas, dengan titik temu (jami’) bahwa sabab dari keduanya sama-sama diharamkan, yakni dbihar dan pembunuhan’.

 

Contoh ketiga (ada lafadz muqayyad yang saling menafikan di dua tempat dan lafadz mutlak Lebih sesuai dibatasi salah satunya);

 

Dalam a arat sumpah disebutkan madak;  “Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari”

 

Dalam ka arab dhihar disebutkan muqayyad,  “Maka (wajib alasnya) berpuasa dua bulan berturut-lurut”’

 

Dalam puasa denda haji tamattu’ disebutkan muqayyad,  “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali”

 

Dalam contoh ini, dalil matlak sumpah Lebih baik dibatasi dalil muqayyad dalam dhihar secara qiyas, dalam hal berturut-turutnya puasa, dibandingkan dengan dibatasi dalil muqayyad dalam haji tamattu’, dalam hal bolehnya memisah puasa (tidak berturut-turut). Hal ini dikarenakan, antara sumpah dan dhihar ada titik temu (jami’), bahwa keduanya sama-sama dilarang.

 

  1. Dahil mutlak di atas tetap dalam kemutlakannya. Hal ini manakala ada lafadz muqayyad yang saling menafikan di dua tempat dan lafadz mutlak tidak lebih sesuai dibatasi salah satunya dibanding yang lain. Contoh,

 

Dalam qadha’ Ramadhan disebutkan mutlak;  “Maka (wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan tin pada hari-hari yang lain”

 

Dalam ka arah dhibar disebutkan muqayyad, “maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut”

 

Dalam puasa denda haji tamattu’ disebutkan muqayyad,

 

“Maka wajib berpuasa tiga bari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali”

 

Dalam hal ini dalil watiak di atas tetap dalam kemutlakannya, karena tidak diperbolehkan di-qayyid-i dengan kedua dalil muqayyad karena saling menafikan, atau di-qayyidi dengan salah satunya, karena tidak ada faktor yang mengungeulkan (murajjih). Sehingga dalam puasa gadba Ramadhan tidak diwajibkan berturut-turut seperti dalam kafarah dhihar dan tidak diwajibkan dipisah seperti dalam puasa tamattu.

 

Dhahir adalah lafadz yang menunjukkan makna dengan dilalah dzanniyyah (lebih unggul).  Sedangkan ta’wil adalah mengarahkan dalil dhahir pada kemungkinan makna yang marjuh (diungguli). Apabila diarahkan berdasarkan dalil, maka disebut ta’wil shabih. Atau berdasarkan sesuatu yang diduga sebagai dalil, maka disebut ta’wil fasid. Atau tanpa dasar Apapan, maka disebut la’bu (main-main).

 

DHAHIR MUAWWAL DAN TA’WIL

 

Pengertian dhahir secara lughat adalah jclas. Dan secara istilah adalah lafadz yang menunjukkan makna dengan dilalah dzanniyyah (Lebih unggul). Atau dikatakan dalam kitab lain, lafadz yang menunjukkan pada makna aslinya (wadla’) secara dhanni (dugaan), disertai adanya kemungkinan makna lain. 

 

Seperti lafadz dalam contoh:  (aku melihat singa hari ini). Lafadz ini tergolong dhahir yang Lebih unggul (rajih) menunjukkan arti hewan buas, dan memiliki makna marjuh laki-laki pemberani..

 

Faktor yang menjadikan makna Iebih jelas secara akal di antaranya;

 

  1. Wadla’ (peletakan lafadz atas makna tertentu), seperti di atas.

 

  1. Faktor dominannya pengeunaan urf contoh lafadz yang menunjukkan makna perkara (kotoran) yang keluar dari manusia. Makna ini Lebih rajih (unggul) secara urf daripada makna tempat yang cekung di atas muka bumi (makna narjuh).

 

Ta’wil secara bahasa artinya kembali. Dan secara istilah adalah mengarahkan lafadz dhahir pada kemungkinan makna yang marjuh (diungguli).

 

Ta’wil berdasarkan sah Fasid-nya terbagi tiga macam,

 

  1. Ta’wil Shahih, yakni ta’wil yang dilakukan berdasarkan dalil,

 

  1. Ta’wil Fasid, yakni ta’wil yang dilakukan berdasarkan sesuatu yang diduga dalil oleh keyakinan penta’wil, padahal kenyataannya bukan dalil.

 

  1. La’bu (main-main), yakni ta’wil yang dilakukan tanpa dali apapun’.

 

Bagian pertama ada ta’wil qarib (dekat) dan ta’wil baid (jauh), seperti menta’wil kalimat  dengan  dengan menta’wil dengan qadha’  dan nadzar, dan menta’wil dengan penyerupaan,

 

TA’WIL QARIB DAN BA’ID SERTA CONTOH KEDUANYA

 

Ta’wil berdasarkan jauh – dekatnya terbagi dua macam;

 

  1. Qarib (dekat), yaitu ta’wil yang menjadikan makna di dalamnya ungeul dibanding makna dbahirnya dengan dalil atau penjelasan sederhana. Contoh;

 

 “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat”

 

Dengan dita’wil; “Sengaja hendak mengerjakan shalat”.

 

  1. Ba’id (jauh), yaitu ta’wil yang menjadikan makna di dalamnya unggul dibanding makna dhahir-nya dengan dalil yang Lebih kuat dari dhabirnya. Contohnya dalam pembahasan setelah ini’.

 

Berikut ini beberapa contoh ta’wil ba’id (jauh);

 

  1. Men-ta’wil kalimat dengan (mulailah.). Ta’wil ini disampaikan kalangan Hanafiyyah dalam sabda Nabi SAW pada Ghailan yang masuk Islam dengan memiliki sepuluh istri;

 

“Pertahankan empat orang dan ceraikan sisanya

 

Hal ini manakala mereka dinikahi berbarengan, Sehingya tafsiran Hianafiyyah selenpkapnya;

 

Mulailah akad nikah baru atas empat orang dari mereka dalam pernitahan yang bersamaan. Dan teruskanlah empat orang pertama, dalam pernikahan yang berurutan”

 

Aspek ba’id-nya, karena orang yang diberi titah (mukhathab) yakni Ghailan adalah orang yang baru masuk Islam, dimana dia belum pernah menerima penjelasan tentang syarat-syarat nikah, padahal dia membutuhkannya. Juga tidak pernah dinukil dilakukannya pembaharuan nikah dari mukhatab atau dari orang lain, padahal mereka banyak dan seharusnya jika memang terjadi pembaharuan nikah, mereka akan menukilnya.

 

  1. Men-ta’wil QS. Al-Mujadalah : 4; (Maka berilah makan enam puluh orang miskin) dengan . (enam puluh mud). Disampaikan oleh kalangan Hanafiyah dengan mengira-ngirakan adanya mudhaf (lafadz yang disandarkan), menjadi (makanan enam puluh mud kepada orang miskin). Sehingga boleh memberikannya kepada satu orang miskin selama enam puluh hari, sebagaimana juga boleh memberikannya kepada enam puluh orang miskin dalam sehari. Karena tujuan pemberiannya adalah memenuhi kebutuhan, dan memenuhi kebutuhan satu orang dalam cnam puluh hari sama dengan memenuhi kebutuhan enam puluh orang dalam satu hari.

 

Aspek ba’id-nya, karena ta’wil tersebut memperhitungkan perkara yang tidak disebutkan, yakni mudhaf, dan menghilangkan fungsi perkara yang disebutkan berupa bilangan orang miskin yang secara lahiriyah bertujuan agar mendapatkan keutamaan jamaah (orang banyak), berkah dari mereka dan saling bahu membahunya hati-hati mereka untuk mendoakan kepada orang yang berbuat baik.

 

  1. Men-ta’wil HR. Abi Dawud (barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari, maka tidak ada puasa baginya) dengan puasa gadba’ dan nadzar, karena selain keduanya sah diniati di siang hari.

 

Aspek baid-nya adalah karena telah mecmbatasi dalil ‘am yang jelas keumumannya pada perkara yang jarang terjadi, karena qadha’ dan nadzar jarang terjadi ditilik dari konteks puasa yang diperintahkan asli dari syariat.

 

  1. Men-ta’wil HR. Ibnu Hibban, (sembelihan induk janin menjadi sembelihannya janin) dengan tasybih (penycrupaan). Menjadi sembelihan janin seperti sembelihan induknya. Disampaikan oleh Imam Abi Hanifah. Sehingga maksudnya adalah janin yang hidup. karena menurut mereka janin yang mati hukumnya haram. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf, Muhammad dan As-Syafi’i hukumnya halal. Aspek ba’id-nya, karena adanya pengira-ngiraan perkara yang tidak dibutuhkan. Karena cara mentarkibnya bisa dengan membaca rafa, pada lafadz menjadi khabar mugaddam dari mubtada’ berupa lafadz  Atau membaca nashab dengan menjadikan berbentuk dharfiyyah, sehingga maknanya, sembelihan janin dihasilkan saat penyembelihan induknya. Dari sini disimpulkan, maksud janin dalam hadits adalah janin yang mati dan bahwa penyembelihan yang menjadikan induk halal, sekaligus menjadikan janin halal, mengikut; kehalalan induknya.

 

Majmal adalah suatu perkara yang tidak jelas dilalah-nya (arah maknanya). Maka menurut ashah, tidak ada sifat mujmal dalam ayat tentang pencurian, dan contoh-contoh semacam,    karena dilalah dati masing-masing sudah jelas.

 

PENGERTIAN MUJMAL

 

Mujmal secara bahasa adalah bereampur. Secara istilah, majmal adalah ucapan atau perbuatan yang dalalah-nya (arah maknanya) tidak jelas. Mengecualikan kata muhmal (tidak terpakai), karena tidak ada dalalahnya dan mubayyan (sudah dijelaskan), karena dalalabnya sudah jelas. Contoh mujmal dalam ucapan, seperti lafadz   yang mungkin diartikan suci dan haid, karena musytarak (dipersekutukan) antara dua makna tersebut. Dan contoh mujmal dalam perbuatan, seperti hadits yang menjelaskan bahwa Nabi saw meninggalkan tasyahud dan berdiri melakukan rakaat ketiga. Ada kemungkinan Nabi meninggalkan dengan sengaja, sehingga hukum tasyahud hanya sunnah dan boleh ditinggalkan.

 

Kemungkinan yang lain Nabi saw meninggalkan karena lupa, sehingga hukum sasyahud adalah wajib.

 

Mujmal terbagi menjadi tiga macam.

 

  1. Lafadz yang secara lughat tidak dipahami maknanya. Penyebabnya adalah lafadz tersebut gharib (tidak terpakai umum), seperti kata sebelum ditafsiri.

 

  1. Lafadz yang maknanya diketahui secara Jughat, namun tidak dikehendaki, dan justra menghendgki makna lain. Penyebabnya adalah pembicara sengaja menyamarkan. Seperti kata; (riba), (shalat) dan  (zakat).

 

  1. Lafadz yang maknanya dikeahui secara lughat, namun berjumlah banyak dan yang dikehendaki hanya satu serta tidak mungkin menentukannya kareena buntunya metode tarjih. Seperti lafad, musytarak, Penycbabnya adalah banyaknya wadli’ (pembuat bahasa) atau terlupakannya pembuat bahasa pertama, jika pembuatnya selain Allah SWT’.

 

SILANG PENDAPAT KE-MUJMAL-AN BEBERAPA CONTOH

 

Berikut ini beberapa contoh lafadz yang tergolong bukan maujmal Menurut pendapat ashah, karena dilalah dari masing-masing sudah jelas, Meskipun segolongan ulama berbeda pendapat dalam semuanya.

 

  1. Ayat tentang pencurian, (laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya), Ayat ini tidak bersifat majmal baik dalam menjelaskan makna (tangan) atau   (pemotongan). Pendapat lain, dari sebagian Hanafiyah, menyatakan ayat tersebut sajmal dalam menjelaskan makna ‘dh ketena id! diucapkan untuk keseluruhan (dari ujung jari sampai pundak) dan untuk sebagian, adakalanya sampai pergelangan, atay sampai siku. Hal ini berarti menganggap lafadz  sebagai musytarak (dipersekutukan). Selain itu, ayat di atas juga mujmal dalam menjclaskan makna , kerena  diucapkan untuk makna memotong dan melukai. Dan salah satu dari semua makna tetsebut tidak ada yang dhahir. Sedangkan pemotongan Nabi SAW mulai dari pergelangan tangan menjadi penjelas (mubayyin) bahwa yang dikehendaki adalah memotong dari pergelangan tangan. Argumentasi ini ditanggapi pendapat pertama, bahwa makna dhahir dari  adalah keseluruhan anggota tangan sampai pundak, dan makna dhabir dari  adalah memotong. Dan pemotongan Nabi SAW mulai dari petgelangan tangan menjelaskan bahwa yang dikehendaki dari kata ich adalah sebagian. Dan hal ini tergolong mayaz, dimana menurut tinjauan kaidah, majaz lebih baik dibandingkan isytirak.

 

  1. Contoh semacam, (Diharamkan bagimu (memakan) bangkai), sebagaimana juga (dibaramkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu).” Pendapat lain, menyatakan bahwa penyandaran hukum haram pada benda (‘ain) tidak dibenarkan, karena hukum hanya berhubunpan dengan perbuatan manusia. Sehingga harus ada perbuatan yang dikira kirakan dalam contoh tersecbut. Dalam hal ini memungkinkan adanya becberapa alternatif lafadz yang dikira-kirakan, padahal tidak ada mwurayih (faktor yang mengungpulkan) antara satu persatunya dengan yang lain, Sehingga kemudian menjadi berstatus mujwal Argumentasi ini dibantah oleh pendapat pertama, bahwa murajjih jclas keberadaannya, yakni berupa ‘urf. ‘Urf telah menctapkan bahwa yang dikehcndaki dalam contoh di atas adalah keharaman istimta’ (mencumbui), baik dengan menyetubuhi atau yang lain.

 

3, Contoh semacam (dan usaplah kepalamu!). Pendapat lain, menyatakan ayat tersebut mujmal, karena mengusap mungkin diarahkan pada seluruh kepala atau sebagian kepala. Dan mengusapnya Nabi SAW atas ubun-ubun menjadi penjclas (mubayyin) atas hal tersebut. Argumentasi ini ditanggapi oleh pendapat pertama, bahwa kemungkinan tersebut tidak ada. Karena yang dimaksud dalam ayat adalah kemutlakan ‘mengusap’ yang bisa mengarah pada batas minimal dari makna “mengusap’ atau selainnya.

 

  1. Contoh HR. Baihaqi; (dibebaskan dari umatku siksaan yang timbul dari kesalahan).”Pendapat lain mengatakan bahwa pembebasan kesalahan tidak dibenarkan kareena kesalahan terlihat nyata adanya. Dengan demikian diperlukan pengira-ngiraan perkara lain. Dan terjadi tarik ulur mengenai beberapa perkara yang dikira-kirakan, dalam kondisi tidak ada wurayih (yang mengunggulkan) salah satunya. Sehingga menjadi berstatus wwzjwal. Pendapat pertama menanggapl, bahwa dalam contoh di atas ditemukan murayih berupa ‘wr yang mengarahkan makna yang dikehendaki adalah membebaskan (siksaan).

 

  1. Contoh HR. Tirmidzt; (dak ada nikah yang sah Recuali dengan adanya walt). pendapat lain, secara tekstual tidak dibenarkan menafikan nikah tanpa wali, padahal wali jclas ada. Sehingga harus dikira-kirakan kata-kata lain di dalamnya. Dan terjadi tarik ulur antara mengira-ngirakan kata ‘sah’ atau ‘sempurna’, dalam kondisi tidak ada murayih (yang mengunggulkan) salah satunya. Sehingga statusnya menjadi mujwal. Pendapat pertama menanggapi, bahwa dalam contoh di atas ditemukan wurajjih yang mengunggulkan kata ‘sah’ untuk dikira-kirakan. Yakni bahwa penafian hukum sah lebih dekat dengan penafian dzat (nikah itu sendiri), karena setiap perkara yang tidak sah, maka tidak diperhitungkan, dan seolah-olah tidak aca (ma’dum). Berbeda dengan penafian kesempurnaan, maka terkadang masih diperhitungkan,

 

Akan tetapi mawal ada dalam contoh dan seperti kata  serta firman Allah SWT:

 

Sabda Nabi SAW

 

Dan ucapanmu

 

BEBERAPA CONTOH MUJMAL

 

Mujmal adakalanya terjadi dalam lafadz mu rad dan adakalanya dalam lafadz murakkab. Berikut contoh wujmal dalam lafadz mufrad dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya.

 

  1. Faktor peletakan lafadz untuk menunjukkan beberapa makna. Contoh, lafadz yang mungkin diartikan suci dan haid, karena musytarak, (dipersekutukan) antara dua makna tersebut.

 

  1. Faktor kepantasan untuk menunjukkan beberapa makna sebab kemiripan. Contoh, lafadz yang pantas diartikan akal dan cahaya matahari. Karena keduanya memiliki sisi kemiripan dapat memberikan petunjuk.

 

  1. Faktor kepantasan untuk, menunjukkan beberapa makna sebab persamaan. Contoh, lafadz yang pantas diartikan bumi dan langit. Karena keduanya memiliki persamaan dari sisi luas dan jumlah.

 

  1. Paktor kepantasan untuk menunjukkan beberapa makna sebab unsur ‘i’lal (perubahan huruf ‘illat) di dalamnya. Contoh, lafadz karena lafadz ini berkutat antara fa’il dan maful melalui proses penggantian huruf ya’ yang berharakat kasrah atau fathah menjadi alif.

 

Kemudian beberapa contoh mujmal dalam lafadz murakkab di antaranya;

 

  1. Firman Allah SW’T; (atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah). Karena makna ayat ini mungkin diarahkan pada wali dan suami. Imam As-Syafi’i mengarahkan pada suami, dan Imam Malik mengarahkan pada wali, karena keduanya memiliki dalil pendukung.

 

  1. Firman Allah SWT; (kecuali yang akan dibacakan kepadamu). Karena makna ayat urf ‘tidak diketahui sebelum turun ayat lain yang menjclaskan, yakni ayat; (diharamkan bagimu (memakan) bangkai). Dan ke-mujmal-an ayat di atas berdampak pada wymal-nya mustatsna minhu (perkara yang dikecualikan), yakni  (dibalalkan bagimu binatang ternak).

 

  1. Firman Allah SWT; (Padahal tidak, ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya). Karena lafadz mungkin dijadikan permulaan (ibtida’) dan mungkin dijadikan athaf (bersambung dengan sebelumnya). Jumhur mengarahkannya pada ibtida’ berdasarkan dalil bahwa seandainya lafadz  dijadikan ‘athaf, maka tentunya lafadz  menjadi ibtida’, dimana hal ini menyalahi kriteria bahasa yang fasih.

 

  1. Sabda Nabi SAW: (janganlah seseorang dari kalian melarang tetangganya meletakkan kayu pada temboknya). Karena dhamuir (kata ganti) dalam lafadz memungkinkan kembali pada  dan  Dalam hal ini Imam As-Syafi’i dalam qaul jadidnya melarang seseorang meletakkan kayu pada tembok tetangganya tanpa disertai ijin. Dalam hal ini Imam As-Syaf’i mengembalikan dhamir pada lafadz . Dipertegas dengan dalil HR. Hakim tentang khutbah Nabi SAW saat haji wada’;

 

“tidak halal bagi seseorang dari harta saudaranya, kecuali sesuatu yang Saudaranya berikan Repadanya dengan kerelaan hati”

 

Sedangkan dalam qaul qadim-nya, Imam As-Syafi’i tidak melarang, karena dhamir tersebut sesuai runtutan semestinya kembali pada

 

  1. (Zaid adalah tabib yang ahli), Karena lafadz memungkinkan kembali pada   dan pada  . Dan masing Masing akan berimplikasi perbedaan makna yang mencolok.

 

  1. (Tiga tersusun dari genap dan ganjil). Karena lafad, Buy memungkinkan disifati dengan dua sifat genap dan ganjil dan memungkinkan juz penyusunnya, yakni dua dan satu disifati dengan genap dan ganjil. Meskipun setelah menimbang amr kharij (faktor eksternal) berupa kebenaran ucapan dari pembicara, maka kemungkinan kedualah yang terpakai. Karena mengarahkan pada kemungkinan pettama akan mengakibatkan pembicara dianggap berbohong’.

 

Menurat ‘ashah, lafadz mujmal ada dalam Kitab dan As-Sunah, dan bahwasanya musamma syar’i (pemaknaan syar‘i) lebih jelas dibanding musamma lughawi, dimana hal itu sudah tersebut di depan. Apabila musamma syari sulit diterapkan secara hakikat, maka akan dikembalikan pada musamma syar’i secata majaz,

 

EKSISTENSI DALIL MUJMAL

 

Menurut ashah, lafadz mujmal ada dalam Al-Kitab dan As-Sunah, dengan bukti contoh-contoh di atas. Sedangkan Imam Dawud AdDhahiri menafikan keberadaannya. Ada kemungkinan kita pisahkan contoh-contoh di atas dengan mengatakan bahwa contoh pertama di atas  secara dhahir menunjukkan makna suami, karena  dialah yang memiliki ikatan pernikahan. Contoh kedua  berbarengan dengan ayat yang mentafsirinya, yakni  Contoh ketiga   secara dhabir menunjukkan ibtida’ (permulaan). Dan contoh keempat  secata dbahir kembali pada lafadz  karena lafadz ini adalah pusat perbincangan.

 

PENERAPAN MUSAMMA SYAR’I DAN LUGHAWI Menurut ashab, musamma syari (pemaknaan syari) pada sebuah lafadz lebih jelas dibanding musamma lughawi dalam konteks urf syari, lantaran Nabi SAW diutus untuk menjelaskan syariat, hingga kemudian diarahkan pada syar’i, Pendapat kedua, statusnya tidak Lebih jclas dalam nahi. Pendapat ketiga, berstatus majmal Pendapat keempat, diarahkan pada lughawi. Maksud musamma syar’i adalah sebuah pemaknaan yang diambilkan dari syara’, baik shahih atau fasid. Dan masalah ini telah dibahas dalam pembahasan pembagian lafadz menjadi hakikat dan majaz terdahulu.

 

Kemudian apabila musamma syar‘i sulit diterapkan pada sebuah lafadz secara hakikat, maka dalam hal ini terjadi silang pendapat,

 

  1. Pendapat ashah, dikembalikan pada wusamma syari secara majaz. Hal ini demi menjaga keberadaan syar’i sebisa mungkin. Diunggulkan Imam Zakariya Al-Anshari dan dipilih pengarang Jam’u Al-Jawami’ dalam kitab Al-Mukhtashar.

 

  1. Pendapat kedua, lafadz tersebut berstatus mujwal, karena berkutat antara majaz syar’i dan musamma lughani.

 

3, Diarahkan pada lughawi, dalam rangka mendahulukan hakikat dari majaz.

 

Contoh permasalahan ini adalah HR. Tirmidzi ;

 

“Thawaf di. Baitullah seperti shalat, hanya saja sesunggubnya Allah SWT menghalalkan berbicara di dalamnya”

 

Dalam hadits ini pemaknaan shalat secara syar’i sulit diterapkan, maka menurut pendapat ashah, dikembalikan pada musamma syar’i secara majaz dengan mengatakan “thawaf seperti shalat’” dalam persoalan harus bersuci, niat dan selainnya. Menurut pendapat kedua, diarahkan pada musamma lughawi, yakni doa kebaikan, karena thawaf memuat doa-doa tersebut. Sehingga tidak disyaratkan suci, niat dan hal-hal lain. Menurut pendapat ketiga, berstatus mujmal, karena berkutat pada dua perkara yang memungkinkan.

 

(Menurut pendapat ashah), bahwa lafadz yang suatu saat terpakai pada satu makna, dan saat  yang lain pada dua makna, dimana makna pertama bukan salah satu dari kedua makna tersebut, maka berstatus mujmal. Dan apabila makna pertama adalah salah satu dari keduanya, maka makna tersebut wajib diamalkan, sedangkan makna yang lain ditangguhkan. 

 

MUJMAL KARENA FAKTOR PEMAKAIAN MAKNA

 

Apabila pembawa syariat mecnyampaikan sebuah lafadz yang mutlak, dimana lafadz tersebut memiliki dua pemakaian. Sekali wakty terpakai pada satu makna, dan saat yang lain pada dua makna. Dan makna pertama bukan salah satu dari kedua makna ini, serta kedudukan dua pemakaian tersebut setara. Maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama;

 

  1. Pendapat ashah, lafadz tersebut berstatus mujmal. Karena berkutat antara satu makna dan dua makna.

 

  1. Pendapat kedua, diarahkan pada dua makna tersebut, karena akan lebih banyak mendatangkan faidah. Contoh dalam HR. Muslim;

 

“Tidak boleh menikah seseorang yang berihram, juga tidak. boleh dintkahi”

 

Mengacu pada pemaknaan “nikah” yang dipersekutukan antara akad dan persetubuhan, maka ketika diarahkan pada makna persetubuhan, akan menghasilkan satu makna, yakni seseorang yang berihram dilarang menyetubuhi dan memberi kesempatan orang lain menyetubuhinya. Dan apabila diarahkan pada makna akad, akan menghasilkan dua makna, yakni seseorang yang berihram dilarang melakukan akad untuk dirinya sendiri dan melakukan akad untuk orang lain, dimana kedua makna ini ada kadar yang dipersekutukan, yakni kemutlakan akad.

 

Kemudian apabila makna pertama adalah salah satu dari kedua makna, maka makna tersebut wajib diamalkan, karena makna ini ada dalam dua pemakaian. Sedangkan makna yang lain ditangguhkan, karena masih berkutat pada beberapa kemungkinan. Pendapat lain mengatakan, makna lain ini juga diamalkan, karena akan mendatangkan lebih banyak faidah. Contoh HR. Muslim;

 

“Wanita janda lebih berhak atas dirinya dibandingkan walinya”

 

Pemakaian pertama dari lafadz hadits adalah pada satu makna, yakni wanita janda boleh mengakadi dirinya sendiri. Sedangkan pemakaian kedua adalah pada dua makna, yaitu wanita janda boleh mengakadi dirinya sendiri dan memberi ijin walinya untuk mengakadi tanpa ada ybar (paksaan). Dimana salah satu dari kedua makna ini adalah makna yang dihasilkan pemakaian pertama. Imam Abi Hanifah mengatakan, boleh mengakadi dirinya sendiri. Sebagian Ashhab As-Syafi’i juga berpendapat sama, namun dalam Kondish berada di suatu tempat dimana wali dan hakim tidak dijumpai. Imam Yunus bin Abd al-A’la menukil pendapat ini dari Imam As-Syafi’i

 

Adalah mengeluarkan sesuatu dari keadaan tidak jelas (musyki) menuju keadaan jelas (tajally) Bayan menjadi kewajiban bagi orang yang diharapkan memahami sesuatu yang musykil,

 

Menurut pendapat ashah, bayan terkadang menggunakan perbuatan, dan bahwasanya dalil yang menunjukkan dhan bisa menjadi bayan dari dalil yang bersifat yakin.

 

DEFINISI DAN HUKUM BAYAN

 

Pengertian bayan secara bahasa adalah menjelaskan atau memisah, Secata istilah, bayan adalah mengeluarkan sesuatu yang bersifat tidak jelas (musykil) menuju sifat jelas (tajally). Sedangkan mendatangkan lafadz dhahir tanpa didahului musykil, tidak disebut sebagai bayan.

 

Ulama sepakat, bayan menjadi kewajiban (belas kasihan dari Allah SWT) bagi orang yang dikehendaki Allah SWT memahami sesuatu yang musykil. Karena orang tersebut butuh untuk diamalkan atau difatwakan. Sedangkan selain orang sebagaimana di atas tidak ada keharusan, karena tidak ada keterkaitan padanya, serta dia tidak membutuhkannya.

 

RUKUN DAN BENTUK-BENTUK BAYAN

 

Rukun dari bayan ada tiga macam;

  1. Mubayyan (yang dijelaskan), yakni dalil mujmal dan dhabir.
  2. Mubayyan labu, yakni orang mukallaf yang terkena khithab.
  3. Mubayyin (yang menjelaskan), ada beberapa macam;
  4. Berbentuk ucapan. Adakalanya dari Allah swt contoh QS. AlBaqatah;

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina”

 

Sebagai bayan dari firman Allah swt QS. Al-Baqarah : 69:

 

“Adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya”

 

Adakalanya dari Nabi SAW, contoh, sabda Nabi;

 

“Dalam tanaman yang diairi dengan air hujan ada kewajiban zakat sepersepuluh ”

 

Sebagai bayan dari firman Allah SWT  QS. Al-An’am:141:

 

“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik, hasilnya”’

 

  1. Berbentuk perbuatan Nabi SAW. Karena lebih kuat menunjukkan makna yang dimaksud, sebab bisa disaksikan. Disampaikan oleh pendapat ashah. Contoh, sabda Nabi saw;

 

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukan shalat”

 

Sabda dalam hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan Nabi SAW dalam mengerjakan shalat menjadi bayan dari firman Allah swt QS. Al-An’am:72:

 

“Dirikanlah shalat”

 

Pendapat lain, tidak diperbolehkan menggunakan perbuatan. Karena lamanya masa dari perbuatan, hingga berakibat pengakhiran bayan, padahal memungkinkan digegaskan dengan ucapan. Hal semacam ini secara akal tidak boleh terjadi. Pendapat ashah menanggapi, ketidakbolehan tersebut tidak bisa diterima, karena boleh mengakhirkan bayan sampai waktunya dilakukan atau karena tujuan tertentu.

 

Termasuk perbuatan Nabi SAW adalah bayan menggunakan taqrir (ketetapan), khtabah (tulisan), dan isyarah (isyarat). Menurut pengarang kitab Al-Wadhih dari kalangan Hanafiyah, tidak ada silang pendapat mengenai bayan menggunakan &itabah dan isyarah. Contoh khitabah, surat yang dikirim Nabi saw pada penduduk Yaman tentang penjelasan diyat nyawa dan anggota badan. Juga surat yang dikirimkan Nabi saw tentang penjclasan kadar zakat. Contoh isyarah, Nabi saw yang berisyarat dengan kesepuluh jarinya sebanyak tiga kali sebagai penjelasan tentang bilangan hari dalam satu bulan, yakni tiga puluh hari. Kemudian Beliau mengulangi isyaratnya tiga kali dan pada ketiga kalinya menqur’angi satu jarinya yang artinya bulan terkadang hanya dua puluh sembilan hari”

 

MENJELASKAN DALIL MA’LUM DENGAN MADIINUN

 

Menurut ashah, dalil yang bersifat dhan (madhnun) sisi matannya diperbolehkan menjadi bayan dasi dalil a’lum (qath’i) matannya, seperti Al-Qur’an, As-Sunnah yang mutawatir. Pendapat lain, tidak diperbolehkan, karena derajat wadhnun di bawah ma’lum. Disanggah oleh ashah, bahwa madhnun diposisikan setara dengan ma’lum karena kejelasan yang didapatkan dari penjelasan ma‘lum’,

 

(Dan menurut ashah), dalil yang lebih dahulu meskipun keberadeannya kita tidak tahu, baik ucapan atau perbuatan, adalah dalil penjelas (mubayyin). Hal ini apabila ucapan atau perbuatan cocok, Jika tidak, maka yang menjadi bayan adalah ucapan. Dan perbuatan Nabi SAW (yang melebihi tuntutan ucapan Beliau) hukumnya sunnah, wajib atau keringanan.

 

MENDAHULUINYA PERBUATAN ATAU UCAPAN

 

Apabila bayan muncul berbentuk ucapan dan perbuatan, dimana keduanya cocok (sepadan) dalam penjelasannya, dalam arti salah satunya tidak melebihi atau kurang dari yang lain, semisal contoh, setelah turun ayat tentang ibadah haji yang memuat thawaf di dalamnya, Nabi SAW melakukan thawaf satu kali dan memerintahkan thawaf satu kali. Maka mengenai posisi dalil yang menjadi penjelas (wubayyin), ulama berselisih pendapat;

 

  1. Menurut ashah, yang menjadi mubayyin adalah yang lebih dahulu, dan dalil yang lain (kedua) berstatus mengukuhkannya (ta’kid), meskipun kekuatannya di bawah dalil pertama. Baik kita mengetahui keberadaan dalil yang lebih dahulu, atau tidak mengetahuinya.

 

  1. Menurut pendapat kedua, apabila dalil kedua kekuatannya di bawah dalil pertama, maka dalil kedua inilah yang menjadi mubayyin. Karena sebuah perkara tidak dikukuhkan dengan perkara yang lebih rendah kekuatannya. Namun argumentasi ini ditanggapi, bahwa alasan semacam itu dapat dibenarkan dalam konteks pengukuhan (ta’kid) dengan sesuatu yang tidak bisa berdiri sendiri, seperti menggunakan latadz,  dalam contoh  (Kaum telah datang seluruhnya), dimana dari sisi cakupannya lafadz lebih kuat dibandingkan lafadz Dan jika dengan sesuatu yang bisa berdiri sendiri, seperti ucapan dan perbuatan, maka hal ini tidak dilarang, bahkan boleh mengukuhkan perbuatan yang lebih kuat dengan ucapan yang kekuatannya lebih rendah.

 

Sedangkan apabila keduanya (ucapan dan perbuatan) tidak cocok (sepadan) dalam penjelasannya, dalam arti salah satunya melebihi atau kurang dari yang lain, semisal contoh, setelah turunnya ayat haji, Nabi SAW melakukan thawaf dua kali dan memerintahkan thawaf satu kali, Atau sebaliknya, melakukan thawaf satu kali dan memerintahkan thawaf dua kali. Maka mengenai posisi dalil yang menjadi penjelas (mubayyin), ulama juga berselisih pendapat;

 

  1. Pendapat pertama, yang menjadi bayan adalah ucapan, baik posisi ucapan mendahului perbuatan, atau lebih akhir, karena ucapan lebih kuat lantaran menunjukkan bayan dengan sendirinya tanpa perantara dan perbuatan menunjukkan dayan dengan perantara ucapan. Sedangkan perbuatan Nabi SAW yang melebihi tuntutan sabda (ucapan)nya, hukumnya bisa jadi sunnah atau wajib bagi Beliau, bukan bagi umatnya. Dan perbuatan yang berkurang dari sabdanya, menjadi takhfif (keringanan) bagi Beliau. Hal ini dalam rangka mengkompromikan dua dalil.

 

2, Pendapat kedua, yang terdahulu adalah bayan. Sehingga apabila yang lebih dahulu adalah ucapan, maka hukum perbuatan sama dengan pendapat pertama di atas. Namun jika perbuatan yang lebih dahulu, maka ucapan berposisi menasakh perkara yang melebihi dari salah satunya serta ucapan menuntut perkara yang melebihinya

 

Permasalahan : mengakhirkan bayan dari waktu pelaksanaan adalah tidal terjadi, meskipun boleh terjadi. Sedangkan mengakhirkannya (dari waktu khithab) sampai waktu pelaksanaan diakui keberadaannya menurut ashah, baik dalil yang dijelaskan  memiliki dzahir atau tidak,

 

 Dan boleh bagi Rasul SAW mengakhirkan, tabligh sampai waktu hajat. Dan bahwasanya diperbolehkan seorang mukallaf tidak mengetahui bahwa sebuah perkara yang wujud merupakan dzatiyah mukhasshish dan bahwa hal itu adalah mukhasshish, meskipun menurut versi yang melarang pengakhiran bayan.

 

MENGAKHIRKAN BAYAN

 

Mengakhirkan bayan atas dalil mujmal atau dhahir yang tidak dikehendaki sisi dhahirnya dari waktu pelaksanaan adalah tidak terjadi, meskipun secara akal dan syara’ boleh terjadi menurut ulama yang memperbolehkan menuntut sesuatu yang tidak mampu dilakukan (taklif ma la yuthaq). Sedangkan mengenai pengakhiran bayan dari waktu hithab dampai waktu pelaksanaan, ulama berselisih pendapat;

 

  1. Menurut ashah, boleh dan diakui keberadaannya, baik dalil yang dijclaskan berbentuk dhahir, dimana hal ini bukan mujmal, seperti dalil ‘am yang dijelaskan pentakhsishannya, mutlak yang dijelaskan penqayidannya dan petunjuk hukum yang dijelaskan penasakhannya, Atau dalil yang dijelaskan selain dbahir, yakni mujmal, seperti lafadz musytarak yang dijelaskan salah satu dari dua maknanya dan muthawathi’ yang dijelaskan salah satu anggota makna yang terkandung.

 

2, Menurut pendapat kedua, tidak diperkenankan secara mutlak. Karena hal itu mencacatkan pemahaman makna yang dikehendaki saat khithab.

 

  1. Menurut pendapat ketiga, tidak diperkenankan pada dalil selain mujmal, yakni yang berbentuk dhahir. Karena akan mengkaburkan mukhathab (penerima khithab) hingga terjerumus memahami makna yang tidak dikehendaki. Berbeda halnya ketika berbentuk dalil mujmal.

 

  1. Menurut pendapat keempat, tidak diperkenankan mengakhirkan bayan berbentuk global (ijmali) dalam dalil yang berbentuk dbahir. Contoh, “dalil ‘am ini tertakhsish”, “dalil mutlak ini terqayidi”, dan “hukum ini ternasakh disertai pengganti’. Hal ini dikarenakan akan menjerumuskan mukhathab pada makna yang tidak dikehendaki. Berbeda halnya dengan dalil yang berbentuk majmal, seperti musytarak dan mutawathi’, maka boleh mengakhirkan bayan berbentuk global (ijmali) maupun perincian (tafshili). Contoh, “makna yang dikehendaki adalah salah satu dari dua makna ini”, dan “makna yang dikehendaki adalah salah satu anggota makna yang terkandung”’.

 

Berikut beberapa contoh sebapai bukti diakuinya keberadaan pengakhiran bayan dari waktu khithab sampai waktu pelaksanaan,;

 

  1. Contoh 01; “Ketahuilah, sesungeuhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk, Allah”

 

Ayat ini umum (‘am) pada semua harta rampasan. Kemudian ditakshish HR. Bukhari-Muslim;.

 

“Barangsiapa membunuh seseorang (dalam perang), dan atas hal itu terdapat sakst baginya, maka baginya harta lucutan orang tersebut”

 

Hadits ini lebih akhir dari turunnya ayat di atas. Karena ayat tersebut turun saat perang Badar, sedangkan hadits ini turun saat perang Hunain.

 

  1. Contoh 02; “Adalah sapi betinabyang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya”

 

Lafadz di atas mutlak, kemudian diqayidi dengan beberapa jawaban atas pertanyaan Bani Israil dalam lanjutan ayatnya. Dalam contoh ini juga terdapat pengakhiran sebagian bayan dari sebagian yang lain.”

 

MENGAKHIRKAN TABLIGH BAGI RASUL SAW

 

Diperbolehkan bagi Rasul SAW mengakhirkan tabligh (penyampaian) atas perkara yang diwahyukan kepadanya, baik Al-Qur’an atau yang lain sampai waktu hajat (dibutuhkan untuk diamalkan), meskipun berpijak pada pendapat yang mencegah pengakhiran bayan. Karena tidak menyebabkan pemahaman makna menjadi cacat. Serta kewajiban mengetahui perkara yang diwahyukan hanyalah untuk kepentingan diamalkan, sehingga seseorang tidak membutuhkannya sebelum diamalkan. Pendapat lain, tidak diperbolehkan, berpijak pada pendapat yang mencegah pengakhiran bayan. Karena berdasar firman Allah SWT;

 

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturankan kepadamu dari Tubanmu”

 

Maksud ayat ini adalah menyampaikan segera. Karena kewajiban menyampaikan wahyu sudah dimaklumi secara pasti berdasarkan akal sehingga perintah dalam ayat tersebut tidak ada faidah selain menyegerakan penyampaian. Hal ini ditanggapi, bahwa faidah perintah qj sini adalah menguatkan dalil akal dengan dalil naql.

 

MENGETAHUI KEBERADAAN MUKHASSHISH

 

Sebelum waktu pengamalan, seorang mukallaf diperbolehkan tidak mengetahui bahwa sebuah perkara yang wujud merupakan datiyah mukhasshish (pentakhsish) dan bahwa hal itu sifatnya menjadi mukhasshish, padahal dia tahu dzatiyah perkara tersebut. Hal ini meskipun berpijak pada pendapat yang mencegah pengakhiran bayan. Seperti halnya ketika mukhasshish berupa akal, dan Allah SWT tidak memberikan pengetahuan sebab akal tersebut kepadanya.

 

Pendapat lain, tidak diperbolehkan dalam wakhashish berbentuk dalil naqk (sam’i), manakala berpijak pada pendapat yang mencegah pengakhiran bayan, Karena akan berakibat mengakhirkan pemberitahuan adanya bayan. Namun hal ini disangkal, bahwa yang dilarang hanyalah mengakhirkan bayan, dan hal ini tidak ditemukan dalam persoalan tersebut. Adapun ketidaktahuan mukallaf atas makhashish sebab tidak meneliti adalah kecerobohan.

 

Sedangkan mukhashish berbentuk akal, ulama menyepakati bahwa diperbolehkan bagi Allah SWT’ memperdengarkan lafadz umum (‘am) pada seorang mukallaf, tanpa memberitahukan bahwa dalam akal terdapat sesuatu yang mentakhsishnya. Dan semua diserahkan pada analisa akal dari orang tersebut. Dan sebagai buktinya, ada beberapa kejadian dimana sebagian shahabat tidak mendengar dalil pentakhsish dan baru mendengarnya setelah rentang waktu tertentu.

 

  1. Sayyidah Fatimah ra putri Nabi SAW saat menuntut warisannya dari harta peninggalan Nabi SAW, mengacu pada keumuman firman Allah SWT;

 

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”

 

Kemudian Khalifah Abu Bakar ra mendebatnya dengan meriwayatkan HR. Bukhari-Muslim;

 

“Kami (para Nabi) tidak diwaris Apa yang hawt tinggalkan adalah shadaqah”

 

2, Sayyidina Umar ibn Khattab ra yang tidak mengetahui dalil pentakhsish tentang kafir Majusi, dari firman Allah SWT;

 

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik”

 

Beliau berkata saat menyebutkan Majusi; “Aku tidak tahu bagaimana aku memperlakukan mereka”. Kemudian Abdurrahman ibn ‘Auf ra meriwayatkan sabda Nabi SAW dalam HR. As-Syafi’i;

 

 “Berlakukan bagi mereka seperti aturan pada Abhi Kitab”

 

Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan, Sayyidina Umar ra tidak mengambil jizyah (pajak) dari kafir Majusi, sampai kemudian Abdurrahman ibn ‘Auf ra mempersaksikan bahwa Rasululah SAW telah mengambil jizyah dari kafir Majusi tanah Hajar”.

 

Nasakh adalah menghilangkan (hubungan) hukum syar’i (dengan sebuah perbuatan) menggunakan dalil syar’.

 

DEFINISI NASAKH PENGHAPUSAN HUKUM

 

Nasakh secara lughat memiliki dua arti, menghilangkan dan memindah. Nasakh secara istilah menghilangkan (menghapus) hubungan hukum syar’i dengan sebuah perbuatan, menggunakan dalil syar’i. Dari definisi ini, disimpulkan beberapa persoalan.

 

  1. Maksud ‘menghilangkan’ adalah bahwasanya khithab Allah swt berhubungan dengan perbuatan manusia, dimana seandainya dalil penasakh tidak ada, maka khithab tetap berlaku. Namun kemudian dalil penasakh menghilangkan dan memutus hubungan tersebut dari perbuatan manusia.

 

  1. Dari kata ‘hukum syar’i’ mengecualikan penghapusan ibahah ashliyah (boleh secara asal), seperti menghapus bolehnya tidak berpuasa Ramadhan dengan kewajiban puasa Ramadhan.

 

  1. Dari kata ‘menggunakan dalil syar’i mengecualikan penghapusan hukum dengan adanya kematian, gila, tidur, lupa dan dengan ijma’. Karena ijma’ sah terwujud pasea wafatnya Nabi SAW, dan nasakh tidak sah terjadi pra wafatnya Nabi SAW. Sedangkan semasa Beliau hidup, dalil yang dijadikan pedoman adalah sabda Nabi SAW, bukan ucapan pelaku ijma’. Kemudian, berbedanya pelaku tjma’ dari hukum yang ditunjukkan sebuah dalil nash, mengandung maksud penasakhan secara tersirat. Dan nasakh tersebut menjadi sandaran ijma’ mereka.

 

Dari penjelasan di atas, dapat difahami bahwa tidak sah hukumnya menasakh dengan menggunakan akal. Seseorang yang kewajiban ibadahnya gugur karena tidak mampu melakukannya, maka tidak dikatakan bahwa ibadah tersebut dinasakh baginya. Dari sinilah dapat diketahui bahwa statemen Imam Ar-Razi dalam Al-Mahshul,

 

“Barangsiapa terputus kedua kakinya, maka dihapus basuhan keduanya”, dianggap cacat. Karena hilangnya hukum sebab hilangnya obyek atau sabab-nya secata istilah tidak disebut nasakh.

 

Diperbolehkan, menurut pendapat asha menasakh sebagian AL-Qur’an. Dan menasakh perbuatan sebelum mungkin dilaksanakan.

 

MENASAKH SEBAGIAN AL QUR’AN

 

Ulama menyepakati bahwa menasakh seluruh Al-Qur’an secara syata’ tidak diperbolehkan, meskipun secara akal boleh terjadi.

 

Sedangkan mengenai menasakh sebagian Al-Qur’an, ulama berselisih pendapat,

 

1, Pendapat ashah, diperbolehkan menasakh sebagian Al-Qur’an dari sisi tilawah dan hukum atau salah satunya saja. Dan ketiganya diakui keberadaannya. Berikut perinciannya;

 

  1. Menasakh hukum dan tilawah, Contoh HR. Muslim dari ‘Aisyah ra:

 

“Ada dalam perkara yang diturunkan, sepuluh susuan yang diketahui dapat menjadikan mabram. Kemudian dinasakh dengan lima susuan yang diketahui”.

 

  1. Menasakh tilawah, menetapkan hukum. Contoh;

 

“Laki-laki tua dan wanita tua ketika Reduanya berzina, maka rajamlah keduanya dengan pasti”

 

Dikarenakan Nabi SAW memerintahkan merajam dua pezina mubshan, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim.

 

  1. Menasakh hukum, menetapkan tilawah, Contoh ini terdapat banyak dalam al-Qur’an. Salah satunya ayat tentang ‘iddah;

 

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklab berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun”

 

Dinasakh dengan ayat:

 

“(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan Sepuluh hari”

 

Ayat ini sebagaimana komentar ahli tafsir, turun lebih akhir dari ayat pertama, meskipun dari sisi bacaannya lebih dahulu.

 

  1. Pendapat kedua, tidak diperbolehkan menasakh sebagian Al-Qur’an, sebagaimana menasakh seluruhnya yang tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’.

 

  1. Pendapat ketiga, tidak diperbolehkan dalam sebagian Al-Qur’an menasakh tilawah tanpa menasakh hukum, dan sebaliknya. Karena hukum adalah perkara yang ditunjukkan lafadz, seandainya dikirakirakan salah satunya tidak ada, maka akan menetapkan ketiadaan yang lain”.

 

ME-NASAKH SEBELUM MUNGKIN DILAKSANAKAN

 

Ulama menyepakati, diperbolehkan menasakh perbuatan setelah memungkinkan untuk dilaksanakan, yakni manakala waktu pelaksanaan telah masuk dan sesudah melewati masa yang cukup digunakan untuk melaksanakannya.

 

Sedangkan menasakh perbuatan sebelum mungkin dilaksanakan, yakni manakala waktu pelaksanaannya belum masuk atau sudah masuk, namun belum melewati masa yang cukup’ digunakan untuk melaksanakannya, maka ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, pilihan Jumhur, diperbolehkan menasakhnya. Contoh, kisah tentang ‘Nabi Ibrahim as yang diperintah menyembelih anaknya dalam ayat;

 

“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelibmu”

 

Kemudian penyembelihan tersebut dinasakh sebelum memungkinkan untuk dilaksanakan dengan ayat;

 

“Dan Kami tebus anak itu -engan seekor sembelihan yang besar”

 

Kemungkinan bahwa penasakhan dalam ayat di atas terjadi sesudah memungkinkan dilaksanakan bertolak belakang dengan dhahir (lahiriyah) dari sifat para Nabi dalam menyalankan perintah, dimana mereka selalu bergepas melaksanakan meskipun waktu pelaksanaan longgar.

 

  1. Pendapat kedua, tidak diperbolehkan menasakhnya, karena sakiif (tuntutan) belum istigrar (tetap)”

 

(Diperbolehkan menurut ashah), menasakh As Sunnah dengan Al-Qur’an, sebagaimana menasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Dan menasakh Al Qur’an dengan As-Sunnah, namun tidak ada kecuali dengan Sunnah Mutawatir, menurut ashah, Dan seandainya menasakh Al-Qur’an dengan As Sunnah terjadi, maka pastilah Sunnah tersebut dibarengi dalil Al-Qur’an penguat sunnah. Atau ditemukan nasakh As-Sunnah dengan Al-Qur’an, maka tentu Al-Qur’an tersebut dibarengi penguat dalil sunnah.

 

 

PERINCIAN NASAKH DALAM AL-QUR’AN & AS-SUNNAH

 

Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat beragam bentuk penasakh-an yang legal dilakukan, dimana pada beberapa bagian, terdapat silang pendapat ulama di dalamnya. Perincian selengkapnya sebagai berikut;

 

  1. Menasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Ulama sepakat memperbolehkan. Contoh ayat tentang ‘iddah;

 

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia at antara kamu dan meninggalean ister, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi na kab hingga setahun lamanya”

 

Dinasakh dengan ayat:

 

“(hendaklah para isteri itu) menanggubkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh bari”

 

  1. Menasakh as-Sunnah dengan Al-Qur’an. Menurut pendapat ashah diperbolehkan. Contoh dinasakhnya hukum haram menggauli istri di malam hari bagi orang yang berpuasa yang ditetapkan berdasarkan asSunnah dengan firman Allah SWT:

 

“Dihalalkan bagi kamu pada malam bari bulan puasa bereampur dengan isteri-isteri kamu’

 

Menurut sebagian pendapat, manasakh as-Sunnah dengan Al-Quran tidak diperbolehkan karena firman Allah SWT;

 

Dan Kami turunkan kepadanu Al-Quran, agar Ramu menjelaskan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”

 

Dalam ayat ini Allah SWT menjadikan Nabi SAW sebagai penjelas atas Al-Qur’an, maka Al-Qur’an tidak bisa berfungsi sebagai penjelas bagi sunnah Nabi SAW. Hal ini disangkal, bahwa tidak dipersoalkan hal itu terjadi karena keduanya datang dari Allah SWT, sebagaimana dalam ayat;

 

 “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kermauan hawa nafsunya”

 

Bolehnya nasakh dipertegas dengan ayat;

 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk. menjelaskan segala sesuatu”

 

  1. Menasakh Al-Qur’an dengan as-Sunnah. Menurut ashah diperbolehkan, baik mutawatir maupun ahad. Berdasar firman Allah SWT; .

 

“Agar kamu menjelaskan pada umat manusia apa_yang telah diturunkan kepada mereka”

 

Menurut pendapat kedua, tidak diperbolehkan secara mutlak, berdasar firman ANah SWT;

 

‘Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri”.

 

Menasakh dengan As-Sunnah adalah mengganti dari diri Nabi SAW, dimana dalam ayat ini tidak diperkenankan. Hal ini disangkal, bahwa hal itu bukanlah dari diri Nabi SAW, namun semua dari Allah SWT;

 

‘Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”

 

Menurut pendapat ketiga, tidak diperbolehkan menasakh Al-Qur’an dengan Sunnah Ahad.

 

Kemudian menurut pendapat ashah, realitanya menasakh Al-Qur’an dengan as-Sunnah yang ada (wuqu’) hanya dengan sunnah mutawatir. Pendapat lain, ada juga dengan sunnah ahad, contoh;

 

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, benvasiat untuk ibu-bapak dan karib herabatnya”

 

Dinasakh dengan HR. Tirmidzi;  ‘Tidak ada wasiat yang sah bagi ahli waris”

 

Imam As-Syafi’l berpendapat, seandainya menasakh Al-Qur’an dengan, As-Sunnah terjadi, maka pastilah sunnah tersebut dibarengi penguat dalil Al-Qur’an lain. Atau ditemukan nasakh As-Sunnah dengan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an tersebut tentu dibarengi penguat dalil sunnah lain yang menjelaskan kecocokan Al-Kitab dan AsSunnah. Contoh pe-nasakh-an menghadap Baitul Maqdis yang ditetapkan berdasarkan sunnah fi’liyyah (perbuatan) dalam hadits shahih Bukhari-Muslim, dinasakh dengan firman Allah;

 

“Palingkanlah mukamu ke arab Masjidil Haram”

 

Dan sebagai penguat, Nabi SAW juga menghadap Masjidil Haram

 

  1. Menasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah. Baik mutawatir atau ahad. Contoh, hadits Nabi SAW :

 

“Bahwasanya wajibnya mandi hanyalah dari sebab keluarnya sperma”

 

Dinasakh dengan hadits;

 

“Ketika dua bagian kemaluan yang aikhitan sejajar bertemu maka mandi sungguhlah wajib”.

 

(Diiperbolehkan menurut ashab) menasakh qiyas yang ada di masa Nabi SAW dengan nash atau qiyas yang Lebih jelas.

 

Dan juga menasakh mafhum muwafaqah, tanpa menasakh asalnya, apabila tetapnya asal dijelaskan, serta kebalikannya. Dan boleh juga menasakh dengan mafhum muwafaqah. Namun tidak boleh menasakh nash dengan qiyas.

 

 Diperbolehkan menasakh mafhum mukhalafah, tanpa menasa asalnya. Namun tidak sebalikknya (menasakh asal, tanpa mafhum mukhalafah). Dan tidak boleh menasakh dengan mafhum mukhalafah menurut pendapat ashah.

 

PE-NASAKH-AN IYASDENGAN NASH ATAU QIYAS

 

Menurut pendapat ashah, diperbolehkan menasakh qiyas yang ada semasa hidup Nabi SAW dengan nash atau qiyas lain yang lebih jelas dibanding qiyas yang dinasakh. Dan tidak cukup menggunakan qiyas adwan (yang lebih rendah), karena tidak sebanding, atau qiyas musawi (yang setara), karena tidak ada faktor yang mengunggulkan (maurajjih), Pendapat lain, qiyas adwan dan qiyas musawi sadah mencukupi.

 

Contoh menasakh qiyas dengan nash; seandainya Nabi SAW bersabda; “melebihkan alat tukar dalam jual beli gandum adalah haram, karena gandum adalah makanan”. Dan beras di-qiyas-kan dengan titik temu berupa makanan. Kemudian Nabi SAW bersabda; “Juallah beras dengan beras secara selisih!”. Maka nash sabda ini menasakh qiyas beras pada gandum dalam keharamannya.

 

Contoh menasakh qiyas dengan qiyas, setelah meng-qiyas-kan beras pada gandum sebagaimana di atas, datang nash yang memperbolehkan penjualan jagung dengan jagung secara selisih. Kemudian penjualan beras dengan beras secara selisih di-qiyas-kan pada jagung. Maka qiyas terakhir ini menasakh qiyas pertama di atas.

 

Pendapat lain, tidak diperbolehkan menasakh qiyas tersebut. Karena qiyas disandarkan pada nash, sehingga selama nash masih tetap, qiyas juga akan tetap.

 

PE-NASAKH-AN MAFHUM

 

Menasakh mafhum muwafaqah sekaligus asalnya (manthuq), ulama sepakat memperbolehkan. Namun mengenai pe-nasakh-an salah satunya, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Menutut pendapat ashah, diperbolehkan menasakh mafhum munafaqah, baik awlawi maupun musawi tanpa menasakh asalnya (manthuq), dan sebaliknya, menasakh asal tanpa menasakh mafhum muwafaqah, Hal ini selama tetapnya asal dan mafhum dijclaskan. Karena mafhum muwafaqah dan asal adalah dua madlul berbeda, sehingga masing-masing dapat dinasakh tersendiri. Seperti, menasakh keharaman memukul kedua orang tua, tanpa menasakh keharaman ta’lif (mengatakan ‘cis’.)

 

  1. Pendapat kedua, tidak diperbolehkan menasakh masing-masing mafhum muwafaqah dan asal secara tersendiri. Karena mafhum muwafaqah adalah kelaziman dari asal, sehingga salah satunya tidak dapat dinasakh tanpa yang lain, karena akan menafikan kelaziman antara keduanya. Mayoritas ulama berpendapat, bahwa menasakh salah satu dari mafhum muwafaqah dan asalnya, menetapkan penasakh-an yang lain.

 

  1. Pendapat ketiga, bagian pertama (menasakh mafhum mawafaqah tanpa menasakh asal) tidak diperbolehkan, karena tetapnya malzum manakala lazim ditiadakan tidak boleh terjadi. Berbeda dengan bagian kedua, karena tetapnya lazim manakala malzum ditiadakan boleh terjadi.

 

Selanjutnya, ulama sepakat memperbolehkan menasakh mafhum mukhalafah, baik dinasakh bersama asalnya (manthuq), atau tanpa asalnya. Contoh menasakh mafhum mukhalafah bersama asalnya; menasakh wajibnya zakat pada hewan yang digembalakan (as-saimah) sekaligus menasakh mafhum mukhalafah-nya tentang tidak adanya kewajiban pada hewan yang diberi makan (al-ma’lufah), dimana keduanya ditunjukkan oleh hadits terdahulu (lihat bab mafhum). Selanjutnya eksistensi hewan yang diberi makan kembali pada keadaan sebelumnya, yakni mengikuti dalil umum tentang hukum asal dari perbuatan setelah datangnya syara’ bahwa sesuatu yang menghandung madlarat haram hukumnya, dan yang bermarifaat mubah hukumnya. Contoh menasakh mafhum mukhalafah tanpa asalnya; hadits;

 

“Bahwasanya wajibnya mandi hanyalah dari sebab keluarnya sperma”

 

Mafhum mukhalafab dari hadits ini, yakni tidak wajib mandi manakala tidak mengeluarkan sperma, dinasakh dengan hadits,

 

“Ketika dua bagian Kemaluan yang dikhitan. Sejajar bertemu maka mandi sungguhlah wajib”

 

Sedangkan menasakh sal, tanpa mafhum mukhalafah, terjadi silang pendapat,;

 

  1. Menurut pendapat ashah, tidak boleh. Karena mafhum mukhalafa, mengikuti asal, sehingga hilangnya asal menyebabkan hilangnya mafhum, namun hilangnya mafhum tidak selalu menghilangkan asal,

 

2, Pendapat kedua, diperbolehkan. Sedangkan mengikutinya mafhum mukhala ah pada asal adalah dari sisi penunjukan lafadz atas mafhum bersama asal, bukan dari sisi dzatiyah asal”.

 

ME-NASAKH DENGAN MAFHUM

 

Menurut ashah, diperbolehkan menasakh dengan mafhum muwafaqah, seperti asalnya. Pendapat lain, tidak diperbolehkan, berpijak bahwa mafhum muwafaqah adalah qiyas, serta bahwasanya qjyas tidak boleh menasakh nash. Dan tidak boleh menasakh dengan mafhum mukhala ab, sebagaimana statemen Imam Ibn As-Sam’ani. Karena mafhum ini dinilai leomah untuk membandingi nash. Pendapat lain, yang diklaim shahih oleh Imam As-Syairazi, diperbolehkan seperti wanthug. nya, karena mafhum ini setara dengan manthuq.

 

MENASAKH NASH DENGAN QIYAS

 

Mengenai persoalan boleh tidaknya menasakh nash dengan qiyas, ulama berselisih pendapat;

 

  1. Pendapat ashah, tidak diperbolehkan, karena menghindari mendahulukan qiyas dari nash, dimana nash adalah asal bagi qiyas.

 

  1. Pendapat kedua, diperbolehkan menasakh nash dengan qiyas. Karena qiyas bersandar pada nash, sehingga seolah-olah nash sendirilah yang menasakh. Versi ini adalah pendapat shahih.

 

  1. Pendapat ketiga, diperbolehkan apabila berbentuk qiyas jaiy, bukan qiyas khafi, karena dianggap lemah.

 

Diperbolehkan menasakh kalam insya’, meskipun menggunakan lafadz qadla atau shighat khabar, atau dibatasi dengan ta’bid (selamanya) dan yang lain.

 

Dan boleh menasakh ketetapan peng-khabar-an atas sebuah perkara, meskipun termasuk perkara yang tidak berubah, dengan ketetapan peng-khabaran atas kebalikan perkara tersebut.

 

Namun tidak boleh menasakh (madlul) kalam meskipun termasu perkara yang berubah.

 

PE-NASAKH-AN KALAM INSYA’

 

Mengenai persoalan ini, terdapat beberapa pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing;

 

  1. Menurut Ashah, diperbolehkan menasakh kalam insya’ secara mutlak, baik menggunakan lafadz qadla’, khabar, maupun dibatasi dengan ta’bid (selamanya).

 

  1. Tidak diperbolehkan, apabila menggunakan lafadz gadla, karena lafadz gadla’ hanya terpakai untuk perkara yang tidak berubah, contoh;

 

“Dan Tubanmu telah memerintabkan supaya Ramu jangan menyembah selain Dia”

 

  1. Tidak diperbolehkan, apabila menggunakan lafadz khabar, contoh;

 

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menaban dari (menunggu) “

 

Makna ayat ini adalah, “Hendaklah mereka menahan din (menunggu)”. Pendapat yang dipilih Imam Ad-Daqaq ini memandang sist lafadz. Sedangkan mayoritas ulama memandang sisi makna.

 

  1. Tidak diperbolehkan, apabila dibatasi dengan ta’ bid (selamanya) atau yang lain, seperti (puasalah kalian selamanya), (puasalah kalian secara pasti). Karena ada pertentangan antara nasakh dan ta’bid atau tahtim (memastikan), karena ta’bid menetapkan istimrar (terus berlangsung), sedangkan nasakh menafikannya. Sebagian pendapat, tidak diperbolehkan apabila batasan di atas digunakan dalam jumlah ismiyah, contoh  (puasa adalah kewajiban yang berlangsung selamanya), berbeda dengan contoh apabila pembicara mengatakannya secara insya’, berbeda jumlah fr’liyah, seperti contoh di atas. Karena ta’bid dalam jumlah fi’liyyah membatasi perbuatan, dan dalam jumlah ismiyyah membatasi kewajiban dan istimrar (terus berlangsung), dimana hal itu tidak ada pengaruhnya. Versi ini disampaikan Imam Ibn Hajib.

 

PE-NASAKH-AN IKHBAR

 

Mewajibkan seseorang untuk mengkhabarkan sebuah perkara, diperbolehkan dinasakh dengan mewajibkan untuk mengkhabarkan kebalikan perkara tersebut. Meskipun perkara tersebut termasuk perkarg yang tidak berubah-ubah keadaannya. Contoh, mewajibkan seseorang mengkhabarkan tentang berdirinya Zaid dengan mengatakan;

 

“Kalian khabarkanlah tentang berdirinya Zaid”

 

Kemudian sebelum berdirinya Zaid dikhabarkan, mewajibkan mengkhabarkan Zaid tidak berdiri. Karena bisa jadi keadaan Zaid berubah dari berdiri menjadi tidak berdiri.

 

Menurut Mu’tazilah, tidak diperbolehkan manakala hal itu termasuk perkara yang tidak berubah-ubah keadaannya, seperti sifat baru pada alam semesta. Karena pengkhabaran tersebut termasuk kebohongan, dan tuntutan (taklif) berbohong adalah qabih (jelek), maka Allah SWT dijauhkan dari hal tersebut. Contoh, mewajibkan seseorang mengkhabarkan tentang sifat baru pada alam semesta dengan mengatakan;

 

“kalian khabarkan tentang alam semesta bahwa sungguh alam semesta adalah baru”

 

Kemudian sebelum sifat baru pada alam semesta dikhabarkan, mewajibkan mengkhabarkan kebalikannya. Argumentasi Mu’tazilah tersebut dibantah, bahwa terkadang berbohong dilandasi tujuan baik, ulama fiqh menyebutkan beberapa keadaan yang mewajibkan seseorang berbohong, seperti saat menyembunyikan orang yang terdzalimi dan ditanyai keberadaannya””.

 

PE-NASAKH-AN KALAM KHABAR

 

Mengenai permasalah menasakh madlul dari kalam khabar, ulama berselisih pendapat.

 

1, Tidak diperbolehkan menasakh madlul kalam khabar. Baik atas perkara yang berubah atau tidak berubah. Karena mengakibatkan persangkaan terjadinya kebohongan, manakala memberi khabar tentang sebuah perkara, kemudian memberi khabar kebalikannya. Dan hal ini muhal terjadi pada Allah SWT.

 

  1. Diperbolehkan pada perkara yang berubah, apabila terjadi di masa yang akan datang (mustaqbal), tidak yang terjadi di masa lampau (madhi). karena Allah SWT berhak menghapus apa yang sudah ditakdirkan-Nya. Firman Allah SWT,

 

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)”

 

Versi ini disampaikan Imam Al-Baidhawi.

 

  1. Diperbolehkan, baik terjadi di masa lampau (madhi) atau masa yang akan datang (mustaqbal) Karena Allah SAW boleh saja berfirman tentang Nabi Nuh as; (Nuh berdiam di tengah kaumnya seribu tahun), kemudian sesudahnya Allah SWT berfirman; (Nuh berdiam di tengah kaumnya seribu tahun, kecuali lima puluh tahun). Versi ini disampaikan Imam Ar-Razi dan Al-Amidi.

 

Diperbolehkan menurut kita, menasakh dengan pengganti lebih berat dan dengan tanpa pengganti, namun hal ini tidak ditemukan, menurut pendapat ashah.

 

NASAKH DENGAN DAN TANPA HUKUM PENGGANTI

 

Nasakh terbagi menjadi dua;

 

  1. Nasakh dengan tanpa pengganti. Namun hal ini tidak ditemukan, sesuai pendapat ashah. Pendapat lain, ditemukan keberadaannya. Contoh QS. Al-Mujadilah12:

 

“Apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (pada akir-miskin) sebelum pembicaraan kamu”

 

  1. Nasakh dengan pengganti, terbagi tiga;

 

  1. Penggantinya lebih berat. Menurut Ahlussunnah diperbolehkan. Kalangan Mu’tazilah mengatakan, tidak boleh, karena tidak ada kemashlahatan yang didapat dengan berpindah dari yang mudah menuju yang sulit. Hal ini disangkal, alasan tersebut tidak diterima, karena mashlahat cukup diwujudkan meskipun sekedar menambah pahala. Dan bagian ini juga ditemukan keberadaannya, seperti menasakh bolehnya memilih antara puasa Ramadhan dan membayar fidyah.

 

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak herpuasa) membayar fidyah”

 

Dinasakh menjadi ditentukan puasa saja. Firman Allah SWT;

 

“barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

 

  1. Penggantinya lebih ringan. Contoh.

 

“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niseaya mereka akan dapat mengalabkan dua ratus orang musuh”

 

Dinasakh dengan ayat;

 

“Maka sika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niseaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir”

 

  1. Pengganti yang menyamai. Contoh dinasakhnya menghadap Baitul Maqdis yang ditetapkan berdasarkan sunnah fi’liyyah (perbuatan) dalam hadits shahih Bukhari-Muslim dengan menghadap Masjidil Haram dalam firman Allah;

 

“Palingkanlah mukamu ke arab Masjidil Haram”

 

Permasalahan: nasakh (boleh) dan diakui keberadaannya menurut seluruh umat Islam. Abu Muslim menyebutnya dengan takhsish, Sedangkan perbedaan tersebut bersifat lafdzi,

 

EKSISTENSI NASAKHT

 

Mengenai boleh tidaknya nasakh, serta eksistensinya (wuqu), beberapa kalangan berselisih pendapat;

 

  1. Nasakh diperbolehkan secara akal dan diakui keberadaannya secata syara’ menurut seluruh umat Islam.

 

  1. Sebagian kaum Yahudi selain ‘Isawiyah mengatakan tidak diperbolehkan, sebagian lapi mengatakan tidak diakui keberadaannya. Sedangkan kelompok ‘Isawiyah mengakui boleh dan diakuinya keberadaan nasakh.

 

3, Abu Muslim menycbut nasakh sebagai takhsish. Sehingga dikatakan, Abu Muslim berbeda pendapat tentang keberadaan nasakh, karena penyebutannya berbeda. Hanya saja perbedaan tersebut bersifat lafdzi.

 

Menurut endapat terpilih, menasakh, hukum asal akan menjadikan hukum far’iy tidak menetap bersamanya. Dan bahwa setiap hukum syar’iy menerima nasakh. Dan penasakh-an seluruh taklif dan kewajiban Ma’rifat tidak terjadi secara ijma’.

 

(Menurut pendapat terpilih), bahwa dalil penasakh sebelum Nabi SAW menyampaikanya kepada umat, tidak dianggap tetap bagi umat

 

DAMPAK PE-NASAKH-AN ASHL

 

Menurut pendapat terpilih, menasakh hukum ashl (asal) akan berdampak menjadikan hukum far’iy (cabangan) tidak menetap bersamanya. Karena ‘illat yang dijadikan landasan penctapan hukum far’iy hilang bersama hilangnya hukum ashl Pendapat lain dari kalangan Hanafiyah, hukum far’iy tetap ada, karena peran qiyas adalah menampakkan hukum ary, bukan menetapkannya. Sehingga tidak adanya hukum ashl tidak serta merta menetapkan tidak adanya hukum far’iy.

 

SETIAP HUKUM MENERIMA NASAKH

 

Menurut pendapat terpilih, setiap hukum syar’iy menerima nasakh. Sehingga diperbolehkan menasakh seluruh atau sebagian hukum. Menurut Imam Al-Ghazali, sependapat dengan Mu’tazilah, dilarang menasakh seluruh taklif (tuntutan). Karena pengetahuan tentang nasakh yang menjadi tujuan membutuhkan pengetahuan akan nasakh dan penasakh, dimana hal ini termasuk beberapa taklif yang sulit menasakhnya. Pendapat lain dari Mu’tazilah melarang penasakhan kewajiban makrifat tentang Allah SWT. Karena menurut mereka, hal itu dinilai baik secara dzatiyah dan tidak berubah sebab perubahan waktu, maka hukumnya juga tidak mencrima nasakh. Hanya saja menurut ijma’ menasakh seluruh taklif dan menasakh kewajiban makri at tidak ditemukan.

 

PENASAKH SEBELUM TABLIGH

 

Menurut pendapat terpilih, bahwa dalil penasakh sebelum Nabi SAW menyampaikannya kepada umat, hukumnya tidak berlaku sebagaj ketetapan bagi umat. Karena mereka tidak mengetahuinya. Pendapat lain, berlaku sebagai ketetapan bagi umat, dalam arti ketetapan secara tangeungan yang harus diqadha’, bukan dalam arti harus dilakukan, Sebagaimana orang yang tidur pada waktu-waktu shalat. Sedangkan dalil penasakh setelah Nabi SAW menyampaikan pada umat, berlaku sebagai ketectapan bagi mereka yang sudah dan yang belum menerima penyampaian, asalkan memungkinkan mereka untuk mengetahuinya. Dan jika tidak memungkinkan untuk mengetahuinya, maka silang pendapat yang terjadi sebagaimana di atas”’.

 

(Menurut pendapat terpilih), penambahan juz, syarat atau sifat pada nash tidak dinamakan nasakh. Dan menyamai penambahan di atas, adalah penqur’angan (juz, syarat, atau sifat dari tuntutan nash).

 

PENAMBAHAN NASH

 

Menurut pendapat terpilih, penambahan yang terjadi pada nash, baik berbentuk penambahan juz, syarat, atau sifat, tidak dianggap menasakh hukum nash yang ditambahi. Seperti menambahkan rakaat, rukuk, membasuh betis dan lengan dalam wudhu, sifat iman dalam budak pencbus kafarat, atau beberapa dera dalam dera had. Pendapat kedua dari kalangan Hanafiyah, dianggap menasakh. Akar perbedaan pendapat ini adalah persoalan apakah penambahan dianggap menghilangkan hukum syari atau tidak?. Menurut kita tidak menghilangkan hukum syar’i, sehingga tidak dianggap menasakh, dan menurut kalangan Hanafiyah, menghilangkan hukum syar’i, memandang bahwa perintah atas perkara tanpa disertai penambahan di dalamnya, menctapkan pengabaian atas keberadaan tambahan. Sehingga penambahan yang terjadi berstatus menghilangkan ketetapan tersebut.

 

Dari dasar inilah muara dari beberapa pendapat terperinci dan peberapa cabang hukum, di antaranya;

 

1 Penambahan taghrib (mengasingkan) atas hukuman decra (jilid) yang ditetapkan dalam shahih Bukhari-Muslim;

 

“Hukuman zina bujang dengan perawan adalah Seratus kali dera dan diasingkan satu tahun”

 

  1. Penambahan memperhitungkan saksi dan sumpah atas dua orang lakiJaki serta satu laki-laki dan dua perempuan yang ditetapkan dalam HR. Muslim;

 

‘Nabi SAW menetapkan hukum berdasarkan satu saksi disertat sumpah”

 

Hal ini apabila kita berpijak pada pendapat bahwa dalil mutawatir tidak boleh menasakh dalil ahad. Dari contoh-contoh inilah kalangan Hanafiyah merumuskan teorinya bahwa khabar ahad tidak diamalkan dalam konteks penambahannya atas Al-Qur’an.

 

Sebagaimana penambahan di atas, silang pendapat terjadi dalam penqur’angan juz, syarat, atau sifat dari ketetapan nash, baik dalam ibadah atau selain ibadah. Seperti menqur’angi rakaat, wudhu, dan sifat iman dalam budak penebus kafarat.

 

  1. Pendapat pertama, penqur’angan juz, syarat, atau sifat menasakh semua perkara di atas, dengan pengganti berupa perkara yang kurang tersebut. Karena akhirnya menjadi diperbolehkan atau diwajibkan setelah sebelumnya diharamkan.

 

  1. Pendapat Jumhur, penqur’angan juz, syarat, atau sifat tidak menasakh semua perkara di atas, dan nasakh hanya terjadi pada juz, syarat atau sifatnya saja. Karena ketiga perkara inilah yang ditinggal (dikurangi).

 

  1. Pendapat ketiga, penqur’angan juz berstatus menasakh, namun penqur’angan syarat dan sifat tidak. Dalam hal ini tidak dibedakan antara syarat muttashil, yakni yang berbarengan dengan seluruh perkara yang disyarati, seperti menghadap kiblat. Atau syarat wun ashil, yakni yang mendahului dari perkara yang disyarati, seperti wudhu. Pendapat lain menyatakan, ulama sepakat bahwa penqur’angan syarat munfashil bukanlah nasakh.

 

Penutup nasakh : menjadi sebuah keharusa dalil penasakh harus ‘ada di akhir. mengetahui posisi akhirnya adalah dengan ijma’ atau sabda Nabi SAW; “Dalil ini penasakh dalil sebelumnya”, atau “Dalil ini turun setelah dalil pertama”, atau “Aku telah melarang sesuatu, maka (sekarang) lakukanlah!”, atau nash yang bertentangan dengan nash pertama, atau ucapan perawi; “Dalil ini lebih akhir”. ‘Tidak bisa diketahui dengan kecocokan salah satu dati dua Salih nash pada hukum asal, dan juga tetapnya salah satu dari dua ayat setelah ayat lain dalam mushaf. Juga tidak bisa diketahui dengan lebih akhirnya keislaman perawi yang menjadi akhir (belakangan) serta ucapan perawi “Dalil ini adalah penasakh”, menurut pendapat ashah, lain halnya dengan ucapan: “Dalil inilah yang bersetatus penasakh”.

 

METODE MENGETAHUI POSISI AKHIR DALIL PENASAKH

 

Ulama menyepakati, dalil penasakh sebuah perkara harus lebih akhir datangnya dari perkara tersebut. Berikut beberapa perangkat yang digunakan mengetahui posisi akhir sebuah dalil penasakh;

 

  1. Ijma’, yakni ulama menyepakati bahwa dalil ini lebih akhir berdasarkan alasan tertentu.

 

  1. Sabda Nabi SAW; “Dalil ini penasakh dalil sebelumnya”, atau “Dalil ini turun setelah dalil pertama”, atau “Aku telah melarang sesuatu, maka (sekarang) lakukanlah! ” contoh;

 

“Aku telah melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarailah kuburan!”

 

  1. Nash yang bertentangan dengan dalil pertama, artinya menyebutkan sesuatu berbeda dengan apa yang telah disebutkan pertama kali.

 

  1. Ucapan perawi; “Dalil ini lebih akhir’. Atau; “Dalil inilah yang berstatus penasakh”.

 

Dalam hal ini ada beberapa perkara yang tidak memiliki peran sebagai perangkat penentu posisi akhir sebuah penasakh;

 

  1. Kecocokan salah satu nash dengan hukum asal (al-bara’ah al-ashliyyah).

 

Dalam hal ini tidak bisa disimpulkan bahwa dalil yang cocok dengan hukum asal lebih akhir dari dalil yang bertentangan dengan hukum asal. Pendapat lain, faktor kecocokan dengan dalil asal dapat dijadikan penentu posisi akhir dalil penasakh. Karena secara hukum asal, syara’ bertentangan dengan al-bara’ah al-ashliyyah. Sehingga dalil yang bertentangan dengan hukum asal posisinya lebih dahulu dibandingkan yang cocok.

 

  1. Tetapnya satu ayat setelah ayat lain dalam mushaf. Pendapat lain, posisi akhir dapat diketahui dengan hal ini, karena secara hukum asal, pembuatan (wadla’) ayat sesuai dengan turunnya ayat tersebut.

 

  1. Keislaman perawi sebuah hadits yang menjadi akhir (belakangan) dibanding islamnya perawi hadits lainnya. Karena boleh jadi orang yang lebih dahulu masuk Islam mendengar dari orang yang lebih akhir keislamannya. Pendapat lain, posisi akhir dapat diketahui dengan perangkat ini, karena lahiriyahnya memang demikian.

 

  1. Ucapan perawi; “Dalil ini adalah penasakh”. Pendapat lain, hal ini bisa menjadi perangkat penentu posisi akhir penasakh. Karena keadilan perawi mengharuskan ucapan tersebut berdasarkan dalil yang ada padanya.

 

Sunnah adalah beberapa ucapan peruatan Nabi Muhammad SAW. Semua nabi, adalah orang-orang yang terjaga dari dosa, meskipun dosa kecil dalam keadaan lupa. Sehingga Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan seseorang dalam kebatilan,

 

Diamnya Nabi SAW meskipun tidak gembira, atas sebuah perbuatan secara mutlak, adalah dalil bolehnya perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku dan oleh selain pelaku, menurut pendapat ashah,

 

DEFINISI SUNNAH

 

Sunnah adalah beberapa ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Termasuk sunnah adalah taqrir (penetapan) Nabi SAW, karena tagrir adalah mencegah, dan mencegah termasuk bagian dari perbuatan.

 

KEMAKSHUMAN PARA NABI

 

Semua nabi, shalawat salam semoga tereurahkan pada mereka, adalah orang-orang yang makshum (terjaga dari dosa), tidak ada dosa dilakukan oleh mereka, baik dosa besar atau kecil, sengaja ataupun lupa. Karena derajat kemuliyaan mereka di hadapan Allah SWT. Hal ini sesuai pendapat ustadz Abi Ishaq al-Isfirayini, As-Syahrastani, Qadhi Iyadh, dan Syekh As-Subki. Menurut pendapat mayoritas, lupa melakukan dosa kecil boleh (ditolerir) dilakukan oleh mereka. Mengutip dal HR. Bukhari;

 

“Aku hanyalah manusia seperti kalian, aku lupa seperti kalian. Apabila aku lupa, maka ingatkanlah!”

 

Namun ulama sepakat, tidak ditolerir dosa kecil yang menunjukkan hissah (nilai rendah), yakni perbuatan yang mengakibatkan pelakunya dinilai hina dan rendah, serta dicap acuh kepedulian agamanya akibat jatuhnya harga diri. Seperti mencuri sesuap nasi dan menqur’angi timbangan seberat biji kurma’.

 

TAQRIR DAN DIAMNYA NABI SAW

 

Karena kemakshumannya itulah, Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan seseorang dalam kebatilan. Sedangkan diamnya Nabi SAW meskipun tidak gembira, atas sebuah perbuatan yang diketahuinya, apakah menjadi dalil bolehnya perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku dan oleh selain pelaku?. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat;

 

  1. Menurut Ashah menjadi dalil secara mutlak

 

  1. Menjadi dalil, kecuali perbuatan seseorang yang berpotensi melakukan pengingkatan pada Nabi SAW. Berpijak pada pendapat bahwa hal tersebut menggugurkan kewajiban mengingkari.

 

  1. Menjadi dalil, kecuali orang kafir meskipun munafik. Berpijak pada pendapat bahwa kafir tidak dituntut atas cabang-cabang syariat. Dan orang munafik tergolong kafir secara bathin.

 

  1. Menjadi dalil, kecuali kafir selain munafik. Karena orang munafik berlaku hukum Islam secara lahiriyah.

 

  1. Menjadi dalil bagi pelaku saja, tidak bagi selain pelaku. Karena diam bukanlah khithab, hingga bersifat umum. Versi ini disampaikan Al-Qadhi Abi Bakar Al-Bagilani. Meskipun hal ini disangkal, bahwa diam tersebut setara kedudukan khithab, sehingga bisa bersifat umum’.

 

Perbuatan Nabi SAW bukan perkara makruh. Dan setiap perbuatan yang bersifat jibiliy (perwatakan), bayan (penjelasan), dan yang terkhasus bagi Nabi SAW. maka hukumnya jelas. Dan selain model perbuatan yang sudah disebutkan, apabila sifatnya (wajib, sunnah dan mubah) diketahui, maka umat Beliau menyamai, menurut pendapat Ashah.

 

HUKUM ASAL DAN KLASIFIKASI PERBUATAN NABI SAW

 

Perbuatan Nabi SAW menurut syara’ bukan perkara haram, karena Beliau terjaga, dan bukan perkara makruh atau khilaful aula, karena keduanya jarang terjadi pada umatnya yang bertakwa, apalagi pada Nabi SAW.

 

Perbuatan dari Nabi Muhammad SAW ada dua jenis;

 

  1. Memiliki unsur pendekatan diri dan ketaatan, diperinci;
  2. Ada dalil yang mengkhususkan bagi nabi, maka diarahkan khusus bagi Nabi SAW. Seperti memiliki lebih dari empat istri.

 

  1. Tidak ada dalil yang mengkhususkan bagi Nabi SAW, maka tidak dikhususkan bagi Nabi SAW. Dan diarahkan pada wajib menuruy sebagian Ashhab Syafi’iyyah, bagi Nabi dan bagi kita. Sebagian Ashhab menyatakan, diarahkan pada sunnah. Ashhab yang lain menyatakan, ditangguhkan.

 

  1. Memiliki unsur selain pendekatan diri dan ketaatan, maka diarahkan Pada wubah (boleh dilakukan), seperti makan dan minum, bagi Nabj Maupun bagi kita.

 

Secara lebih terperinci perbuatan Nabi saw terklasifikasi sebapaj berikut:

 

  1. Jibiliyyah, yakni perbuatan yang dihasilkan dari perwatakan aslimanusia, berupa duduk, berdiri, tidur, makan, minum, bergerak dan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan ibadah. Menurut jumhur umat tidak dituntut melakukannya. Dalam arti, hal tersebut tidak terikat perintah maupun larangan menyalahinya, dan menunjukkan ibahah (boleh).

 

  1. Perbuatan khusus bagi Nabi SAW. Seperti memiliki lebih dari empat istri. Bagian ini umat juga tidak dituntut sesuai prioritas yang didapatkan Nabi SAW. Adakalanya tidak dituntut sama sekali, seperti memiliki istri lebih dari empat, atau dituntut dengan skala yang berbeda dengan Nabi SAW, seperti shalat dhuha.

 

  1. Perbuatan sebagai penjelas (bayan) hukum. Seperti Nabi SAW memotong tangan dari pergelangan, sebagai bayan dari ayat yang menjelaskan hukum potong tangan bagi pencuri. Ini menjadi dalil bagi umat dan wajib diikuti. Hukum yang dihasilkan mengikuti dalil mujmal yang diperjelas. Jika hukum dalam wujmal wajib, maka perbuatan Nabi SAW yang menjadi mubayyin (penjelas) juga dihukumi wajib. Jika hukum mujmal sunnah, maka perbuatan Nabi SAW juga sunnah. Dan jika mubah, maka perbuatan Nabi SAW juga mubazh.

 

4, Perbuatan yang berkutat antara jibiliyyah dan syari, contoh Nabi SAW berangkat untuk melakukan shalat Ied lewat satu jalan dan pulang lewat jalan yang lain, atau Nabi SAW berhaji dengan menunggangi kendaraan. Ulama berseelisih sebagaimana dua pendapat dalam kontradiksi hukum asal dan dhahir. Ada kemungkinan disamakan dengan jbilliy, karena hukum asal sesuatu adalah tidak disyariatkan, sehingga tidak sunnah.

 

Kemungkinan lain disamakan dengan syar’i, karena Nabi SAW diutus menjelaskan syariat, sehingga sunnah hukumnya. Menurut ahli fiqh madzhab Syafi’iyyah diunggulkan sisi sunnah daripada ibahah (boleh).

 

  1. Perbuatan selain yang tersebut di atas. Dalam hal ini terbagi dua:
  2. Diketahui sifat hukumnya (mubah, sunnah atau wajib), baik berbentuk ibadah atau yang lain. Dalam hal ini menurut pendapat ashah, umat sama dengan Nabi SAW. Jika wajib bagi Nabi SAW, maka wajib juga bagi umat. Pendapat lain, sama dengan Nabi SAW jika berbentuk ibadah saja. Pendapat ketiga, tidak sama dengan Nabi SAW secara mutlak, bahkan sama dengan perbuatan yang sifatnya tidak diketahui.

 

  1. Tidak diketahui sifat hukumnya. Apabila ada tujuan pendekatan diri (gurbah), maka menurut pendapat Ashah menunjukkan sunnah. Apabila tidak ada tujuan qurbah, maka menurut pendapat Ashah menunjukkan wajib bagi Nabi SAW dan bagi umat. Dan silang pendapat dalam bagian ini akan dibahas pada bab selanjutnya.

 

  1. Sesuatu yang ingin dilakukan, tapi tidak dilakukan Nabi SAW. Seperti contoh sabda Nabi yang menjelaskan Beliau akan membakar rumah-rumah mereka yang enggan melaksanakan shalat berjamaah. Hal ini tidak bisa disebut perintah atau perbuatan Nabi SAW, dan hanya sekedar hamm (keinginan). Dan umat tidak diperintahkan mengikuti, dengan membakar rumah dan juga tidak diperintah ingin membakar rumah, karena Nabi SAW tidak melakukan apa yang awalnya ingin dilakukan.

 

Sifat dari perbuatan Beliau diketahui dengan nash, penyamaan dengan perkara yang diketahui sifatnya, dan keberadaannya menjadi bayan (penjelas) atau imtisal (aplikasi) dari dalil yang menunjukkan wajib, sunnah, atau mubah.

 

Khusus sifat wajib diketahui dengan tanda-tandanya, seperti shalat den adanya adzan. dan diketahui dengan keberadaannya adalak terlarang seandainya tidak wajib, seperti had. Dan khusus sifat sunnah diketahui melalui kemurnian tujuan qurbah. Kemudian apabila sifatnya tidak diketahui, maka menunjukkan wajib, menurut pendapat ashah.

 

PERANGKAT ME GETAHUI SIFAT PERBUATA NABI SAW

 

Sifat dari perbuatan Nabi SAW, baik wajib, sunnah atau mubah, diketahui dengan beberapa perangkat;

 

  1. Dengan nash (penjelasan) bahwa perbuatan tersebut wajib, sunnah atau mubah. Contoh, Nabi SAW bersabda; ‘‘Perkara ini wajib”, “Perkara ini sunnah’’, tanpa mengatakan “‘Bagiku’’.

 

  1. Penyamaan dengan perkara yang diketahui sifatnya. Contoh, Nabi SAW bersabda; “Perbuatan ini sama dengan perbuatan itu dalam hukumnya’’. Dan kita sudah memahami sifat hukum perbuatan yang dijadikan obyek persamaan (yang disamai).

 

  1. Keberadaannya menjadi bayan (penjelas) atau imtitsal (pelaksanaan) dan dahl lain (mubayan atau mumtatsal) yang menunjukkan wajib, sunnah, atau mubah. Sehingga hukumnya mengikuti mubayyan atau mumtatsal.

 

PERANGKAT MENGETAHUI SIFAT WAJIB DAN SUNNAH

 

Khusus sifat wajib diketahui dengan beberapa perangkat, di antaranya;

 

  1. Tanda-tanda yang menunjukkan perbuatan tersebut wajib. Sepert adzan yang menunjukkan bahwa wajibnya shalat. Karena penelitian syariat menyimpulkan bahwa shalat yang diadzani hukumnya wajib, dan yang tidak diadzani, seperti shalat ied dan istisqa’ hukumnya sunnah.

 

  1. Perbuatan tersebut terlarang seandainya tidak wajib. Seperti Zad dan khitan, karena keduanya adalah siksaan. Sehingga seandainya keduanya tidak wajib, maka pastilah keduanya diharamkan.

 

Namun terkadang perangkat di atas tidak menyimpulkan hukum wajib karena adanya dalil lain dari syari’. Seperti sujud sahwi dan tilawah dalam shalat. Seharusnya secara kaidah, perangkat di atas ada dalam keduanya. Bahwasanya seandainya sujud sahwi dan tilawah tidak waijib, maka tentunya keduanya dilarang, karena terrmasuk menarnbah gerakan shalat. Namun keduanya tidak ditetapkan wajib karena adanya dalil lain.

 

Dan khusus sifat sunnah diketahui melalui beberapa perangkat, di antaranya,

 

  1. Kemurnian tujuan qurbah dari tanda-tanda wajib. Perbuatan semacam ini banyak jumlahnya. Seperti shalat, puasa, dzikir, membaca AIQur’an dan lain-lain. Dalam Jam’u al-Jawami’ diikuti dalam Lubb AIUshul hanya menyebutkan peerangkat pertama ini.

 

  1. Sebuah perbuatan menjadi qadha’ dari perkara sunnah. Disebutkan dalam kitab al-Minhaj.

 

3, Nabi SAW melanggengkan sebuah perbuatan, kemudian ditinggalkan tanpa ada nasakh.

 

Kemudian ulama berbeda pendapat mengenai hukum manakala sifat dari perbuatan Nabi SAW tidak diketahui.

 

  1. Menunjukkan wajib bagi Nabi SAW dan bagi umat, karena hal ini lebih berhati-hati. Pendapat ini adalah versi ashah.

 

  1. Menunjukkan sunnah, karena hal ini yang nyata sesudah adanya tuntutan.

 

  1. Menunjukkan mubah, karena secara hukum asal, tuntutan tidak ada.

 

  1. Menangguhkan dalam kesemuanya, karena arah pemikiran masingmasing pendapat bertentangan

 

  1. Menangguhkan dalam dua pendapat pertama secara mutlak, karena keduanya merupakan yang lebih dominan dari perbuatan Nabi SAW.

 

  1. Menangguhkan dalam dua pendapat pertama apabila tujuan qurbah jelas. Jika tidak jelas, maka mubah’.

 

Apabila ucapan dan perbuatan bertentangan, dan ada dalil yang menunjulkan pengulangan faktor pemicu munculnya ucapan tersebut, Manakala ucapan tersebut khusus bagi Nabi SAW, maka dalil terakhir berperan menjadi penasakh. Dan apabila yang akhir tidak diketahui, maka pendapat ashah adalah menangguhkannya. Sehingga tidak ada pertentangan (bagi kita),

 

Dan apabila ucapan terkhusus bagi kita, maka tidak ada pertentangan bagi Nabi SAW, serta terakhir menjadi penasakh, apabila ada dalil yang menunjukkan agar kita menteladani Nabi e SAW. Dan apabila penanggalan tidak diketahui, maka menurut ashah, ucapan yang diamalkan.

 

Apabila ucapan bersifat umum bagi kita dan bagi Nabi saw maka hukum ucapan dan perbuatan sebagaimana terdahulu, ucapan yang bersifat umum berbentuk dhahir bagi Nabi SAW, maka perbuatan mentakhsish ucapan.

 

PERTENTANGAN UCAPAN DAN PERBUATAN NABI SAW

 

Apabila ucapan dan perbuatan bertentangan, kemudiay ditemukan dalil yang menunjukkan pengulangan faktor pemicy munculnya ucapan tersebut, maka diperinci sebagai berikut;

 

  1. Ucapan tersebut khusus bagi Nabi SAW, seperti Nabi SAW bersabda; “Wajib bagiku berpuasa di hari ‘Asyura’ setiap tahun’’, kemudian Nabi SAW tidak berpuasa pada hari ‘Asyura’ pada tahun tertentu, baik hal ini terjadi sebelum atau sesudah sabda di atas. Pada bagian ini apabila dalil yang akhir diketahui, maka dalil terakhir berperan menjadi penasakh dari yang lebih dahulu, baik ucapan atau perbuatan. Kemudian apabila dalil yang akhir tidak diketahui, maka bagi kita sudah tidak ada pertentangan, manakala ditemukan dalil yang menunjukkan menteladani perbuatan Nabi SAW. Namun bagi Nabi SAW, ulama berselisih pendapat. Pendapat Ashah, menangguhkannya sampai ada kejelasan penanggalannya. Pendapat kedua, ucapan diunggulkan karena dalalahnya lebih kuat, dimana pendapat ini disandarkan pada Jumhur. Pendapat ketiga, perbuatan diunggulkan, karena lebih kuat dalam aspek bayan.

 

  1. Ucapan tersebut khusus bagi kita, contoh sabda Nabi SAW; “Wajib bagi kalian berpuasa di hari ‘Asyura’ setiap tahun’? dan seterusnya seperti di atas, maka tidak ada pertentangan amtara ucapan dan perbuatan bagi Nabi SAW, karena ucapan tersebut tidak mencakup Nabi SAW. Sedangkan bagi umat, dalil terakhir menjadi penasakh, apabila ditemukan dalil yang menunjukkan menteladani perbuatan Nabi SAW. Dan apabila penanggalan tidak diketahui, maka pendapat Ashah, ucapan yang diamalkan. Pendapat kedua, perbuatan yang diamalkan. Pendapat ketiga, menangguhkan. Namun apabila tidak ditemukan dalil yang menunjukkan menteladani perbuatan Nabi SAW, maka tidak ada pertentangan bagi umat. Karena hukum perbuatan tersebut tidak tetap bagi kita.

 

  1. Ucapan bersifat umum bagi kita dan bagi Nabi SAW, contoh sabda Nabi SAW; “Wajib bapiku dan kalian berpuasa di hari ‘Asyura’ setiap tahun” dan seterusnya seperti di atas. Pada bagian ini perinciannya sama dengan dua bagian di atas. Yakni apabila dalil yang akhir diketahui, maka dalil terakhir berperan menjadi penasakh dari yang Jebih dahulu. Hal ini berlaku bagi Nabi SAW dan bagi kita, manakala ditemukan dalil yang menunjukkan menteladani perbuatan Nabi SAW. Dan jika tidak ditemukan, maka tidak ada pertentangan bagi kita. Kemudian apabila dalil yang akhir tidak diketahui, maka menurut ashah, bagi Nabi SAW ditangguhkan hukumnya. Dan bagi kita, ulama berselisih pendapat sebagaimana terdahulu. Kecuali ucapan yang bersifat umum berbentuk dhahir bagi Nabi SAW, bukan berbentuk nash. Contoh; sabda Nabi SAW; “Wajib bagi setiap orang berpuasa di hari ‘Asyura’ setiap tahun” dan seterusnya seperti di atas, maka perbuatan mentakhsish ucapan yang bersifat umum bagi Nabi SAW, baik perbuatan lebih dahulu atau lebih akhir, atau tidak diketahui. Dan tidak ada nasakh dalam persoalan ini, karena takhsish dinilai lebih ringan resikonya, sebab di dalamnya terdapat penggunaan dua dalil.

 

PEMBAHASAN KALAM KHABAR

 

Lafadz murakkab adakalanya muhmal, dimana lafadz mubmal tidak tereetak dan menurut pendapat ashah ditemukanwujudnya. Atau adakalanya mustamal, dimana menurut pendapat terpilih, lafadz murakkab musta’mal tereetak.

 

Kalam Asani adalah sebuah lafadz yang penyandaran (isnad) yang mufid (berfaidah) dan disengaja dengan sendirinya. Dan kalam na sani adalah makna dalam hati, yang diungkapkan oleh Asani.

 

Pendapat ashah menurut kita, bahwa kalam  dipersekutukan (antara lisani dan nafsani). Dan ahli ushul hanya membicarakan kalam Asani.

 

PEMBAGIAN LAFADZ MURAKKAB

 

Latadz murakkab terbagi menjadi dua;

 

  1. Muhmal, yaitu lafadz yang tidak memiliki makna dipandang dari sisi huruf penyusunnya, seperti penunjukan lafadz atau hasil pembalikan dari lafadz . Dan menurut pendapat ashah, lafadz mubmal ditemukan wujudnya. Pendapat kedua, tidak ditemukan, karena tujuan dari sarkib adalah memberi faidah makna, sehingga apabila faidah hilang, maka ‘tarkib juga hilang. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa lafadz muhmal tidak tereetak (ghairu maudhu’). Karena wadha’ adalah mencetak lafadz sebagai petunjuk adanya sebuah makna. Dan hal ini tidak ada dalam muhmal.

 

  1. Musta’mal, yaita lafadz yang memiliki makna. Menurut pendapat Mukhtar, lafadz musta’mal tereetak secara nau’iy (macamnya). Karena seuiap keadaan yang berbeda-beda akan menunjukkan makna yang berbeda-beda. Dan maksud secara nau’iy adalah memandang sisi lafadz dengan aturan kulli (universal) dan sisi makna dengan atutan khusus. Pendapat lain, lafadz murakkab musta’mal tidak tereetak, karena yang tereetak adalah kata-perkata (mufradat). Dan lafadz murakkab musta’mal yang berfaidah dibahasakan dengan istilah kalam.

 

PEMBAHASAN KALAM

 

Kalam lisani adalah lafadz yang memuat penyandaran (isnad) yang mufid (berfaidah) dan disengaja dengan sendirinya (li dzatihi). Mengecualikan tulisan, rumus, isyarah, beberapa tanda, lafadz mufrad seperti, tarkib yang tidak berfaidah seperti  (api itu panas), ucapan yang tidak disengaja seperti ucapan orang tidur, dan mengecualikan ucapan yang disengaja, namun untuk perkara lain (bukan li dzatihi), seperti shillah dari isim maushul, seperti  karena shillah berfaidah dengan digabungkan wmaushul bersama lafadz yang menyertainya dan disengaja untuk menjelaskan makna wmaashul. Sedangkan kalam nafsani adalah makna di dalam hati yang diungkapkan dengan ucapan lisan.

 

Kemudian, menurut pendapat ashah dari ahlussunnah bahwa kalam statusnya wmusytarak (dipersekutukan) antara lsani dan nafsani. Karena hukum asal dari penggunaan lafadz adalah hakikat. Pendapat ini disampaikan Imam Ar-Razi dan didukung muhaqgiqin ahlussunnah. Pendapat kedua, kalam merupakan hakikat dalam makna hati (nafsani), dan menunjukkan pada lisani secara majaz. Pendapat ketiga, dari Mu’tazilah, bahwa kalam merupakan hakikat dalam ucapan (Asam), karena hal inilah yang mudah difahami. Dan dalam hal ini Ahli Ushul hanya membicarakan kalam lisani, bukan makna nafsani. Karena pembahasan mereka berkutat pada kalam lisani’.

 

Apabila kalam sani secara wadha’ menghasilkan faidah thalab (tuntutan), maka tuntutan menyebutkan hakikat sebuah perkara disebut istifham. Dan tuntutan menghasilkan hakikat, atau menghasilkan pencegahan hakikat disebut amr dan nahi, meskipun datang dari orang yang sederajat  atau lebih rendah. Dan jika tidak berfaidah thalab, apabila kalam tidak memiliki potensi nilai benar dan salah, maka disebut tanbih dan insya’ sedangkan yang memiliki dua nilai tersebut disebut khabar. Kadang dikatakan, insya’ adalah kalam dimanq perkara yang ditunjukkannya ditangkap dalam dengan kalam itu sendiri. Sedangkan khabar adalah kebalikannya.

 

PEMBAGIAN KALAM

 

Kalam terbagi menjadi beberapa macam;

 

Pertama, apabila secara wadha’ menghasilkan faidah shalab (tuntutan), baik penuntut derajatnya lebih tinggi, rendah, atau setara, maka dipilah;

 

  1. Tuntutan menyebutkan hakikat sebuah perkara disebut istifham.
  2. Tuntutan menghasilkan hakikat, disebut amr.
  3. Tuntutan menghasilkan pencegahan hakikat disebut nahi.

 

Kedua, apabila tidak berfaidah thalab secara wadha maka dipilah;

 

  1. Kalam tidak memiliki potensi nilai benar dan bohong, disebut sanbip dan insya”. Pendapat lain, insya’ adalah kalam dimana makna yang ditunjukkannya (wadlu) ditangkap dalam realita dengan kalam itu sendiri.

 

Contoh;  (Kamu perempuan tertalak) dan (Berdirilah!). Dalam dua contoh ini, wadlul berupa penjatuhan talak dan menuntut berdiri dihasilkan dari kalam itu sendiri, bukan dari perkara lain.

 

  1. Sedangkan yang memiliki dua nilai tersebut disebut khabar. Sebagian golongan mencegah pendefinisian khabar, sebagaimana ilmu, wujud dan ‘adam (tidak ada). Pendapat lain, khabar adalah kalam dimana makna yang ditunjukkannya (madlul) ditangkap dalam realita dengan selain kalam itu sendiri. Artinya kalam ini memiliki realitas benar dan bohong.

 

Contoh;  (Zaid telah berdiri). Madlul yang berupa ‘berdirinya Zaid’ dihasilkan dari selain kalam itu sendiri. Bisa jadi cocok dengan realitas, sehingga dinilai benar, atau tidak-cocok, maka dinilai salah”.

 

Dan khabar tidak keluar dari unsur benar dan bohong, karena acdakalanya khabar cocok dengan realitas, atau kaclang tidak cocok. Sehingga tidak ada penengah antara keduanya, menurut pendapat ashah.

 

KHABAR BENAR DAN BOHONG

 

Kandungan makna dalam khabar tidak terlepas dari unsur benar dan bohong. Dalam mendefinisikan khabar benar dan bohong, dan mengenai keberadaan wasithah (penengah) antara keduanya, ulama berselisth pendapat.

 

  1. Menurut pendapat Ashah, sebagai madzhab Ahlussunah, bahwa khabar benar adalah khabar yang cocok dengan realitas (al-waqi). Dan khabar bohong adalah khabar yang tidak cocok dengan realitas. Meskipun keyakinan pemberi khabar dalam keduanya berbeda. Tidak ada wasithah (penengah) antara benar dan dan bohong.

 

  1. Menurut Imam Al-Jahid dari kalangan Mu’tazilah, khabar benar adalah khabar yang cocok dengan realitas serta pemberi khabar yakin atas kecocokan tersebut. Dan khsabar bohong adalah khabar yang tidak cocok dengan realitas serta pembawa khabar yakin atas ketidak kecocokan tersebut. Dan selain dua kategori di atas adalah wasithah, yang tidak dapat disebut benar atau bohong. Dimana hal ini ada empat bentuk. Pertama, cocok dengan realitas, dan pemberi khabar tidak meyakini apapun. Kedua, cocok dengan realitas, namun pemberi khabar meyakini tidak cocok. Ketiga, tidak cocok dengan realitas, dan pemberi khabar tidak meyakini apapun. Keempat, tidak cocok dengan realitas, dan pemberi khabar meyakini cocok.

 

  1. Menurut selain imam Al-Jahid, khabar yang benar adalah yang cocok dengan keyakinan pemberi khabar, baik sesuai dengan realitas atau tidak. Sedangkan khabar bohong adalah yang tidak cocok dengan keyakinan pemberi khabar. Sehingga khabar yang tidak ada keyakinan di dalamnya (as-sadzij) adalah wasithah (penengah) antara benar dam bohong. Pendapat lain, tidak ada wastthah, dan as-sadzij di atas tergolong khabar bohong.

 

  1. Pendapat Imam Ar-Raghib sama dengan Al-Jahid di atas. Hanya saja dalam empat bentuk wasithah, Beliau mengatakan, bahwa wasithah dapat dinilai benar dan bohong dari dua sudut pandang. Dinilai benar dari sisi kecocokannya dengan realitas dan keyakinan. Dan dinilai bohong dari sisi tidak adanya kecocokan dengan realitas dan keyakinan.

 

Makna yang ditunjukkan khabar adalah tetapnya nisbat dalam realitas, bukan menghukumi terjadinya nisbat.

 

Sasaran penilaian benar dan bohong adalah hanyalah nisbat yang termuat dalan khabar (bukan yang lain). Seperti berdirinya Zaid dalam contoh ;  (Zaid putra Amr berdiri)  bukan tentang menjadi anaknya Zaid dari Amr. Sehingga persaksian atas perwakilan Fulan anak Fulan kepada Fulan adalah persaksian tentang perwalkilan saja. Menurut  pendapat rajih, merupakan persaksian nasab . Secara, dzimniy (tersirat) dan persaksian tentang perwakilan secara asli.

 

MADLUL DALAM KHABAR

 

Makna yang ditunjukkan khabar adalah tetapnya nisbat dalam realitas, bukan menghukumi terjadinya nisbat. Pendapat ini diunggulkan oleh Imam As-Sa’du At-Taftazani. Pendapat kedua, makna yang ditunjukkan adalah menghukumi terjadinya nisbat. Pendapat ini diunggulkan pengarang Jam’u al-Jawami’ sependapat dengan Imam Ar-Razi.

 

Contoh;  (Zaid telah berdiri), menurut pendapat pertama, makna yang ditunjukkan adalah tetapnya berdiri bagi Zaid dalam realitas. Menurut pendapat kedua, menghukumi berdirinya Zaid.

 

SASARAN PENILAIAN BENAR DAN BOHONG

 

Dalam hal ini, obyek penilaian benar dan bohong dalam khabar hanyalah nisbat isnadiyah yang termuat di dalamnya, bukan model nisbat yang lain. Seperti

 (berdirinya Zaid) dalam contoh;

 (Zaid putra Amr berdiri)

 

Dan sasarannya bukan menjadi anaknya Zaid dari Amr. Dari dasar inilah, Imam Malik dan sebagian Ashhab kita mengatakan, persaksian atas perwakilan Fulan anak Fulan kepada Fulan adalah persaksian tentang perwakilan saja. Menurut pendapat rajih, hal ini merupakan persaksian nasab secara dzimniy (tersirat) dan persaksian tentang perwakilan secara asli. Karena tetapnya perwakilan yang menjadi maksud asli, memuat tetapnya nasab orang yang mewakilkan, sebab tidak hadir dalam majlis hukum”’,

 

Permasalahan: babar adakalanya dipastikan bohong tanpa silang pendapat seperti khabar yang dimaklumi kesalahannya secara dzaruri (tanpa dalil), atau secara istidlal (penggunaan dalil)

 

Setiap khabar dati Nabi SAW yang mengesankan kebathilan dan tidak menerima ta’wil, maka hal itu adalah kebohongan pada Nabi atau bisa jadi terkurangi bagian yang menghilangkan kesan tersebut.

 

Sebab pemalsuan babar adalah lupa, atau menjauhkan (dari ajaran Nabi SAW), atau kesalahan, atau hal-hal lain.

 

Atau dipastikan bohong menurut pendapat  ashah. Seperti khabar dari pengaku kerasulan tanpa mukjizat atau tanpa pembenaran dari orang yang dipastikan jujur. Dan khabar yang diteliti, namun tidak ditemukan pada perawi ahli. Serta khabar yang dinukil secara ahad dalam persoalan yang enotifmotif penukilan secara mutawatir terakumulasi.

 

KHABAR BERDASAR AMRIN KHARIJ

 

Meskipun kandungan makna asli dari babar memungkinkan benar dan bohong, namun dengan meninjau faktor eksternal (amr Rharij di luar kepahaman maknanya), Ahabar acap kali dipastikan kebohongannya (makdzub ‘alaih). Dan model ini terbagi dua;

 

  1. Disepakati bohongnya. Bagian ini ada dua macam,;

 

  1. Khabar yang dimaklumi kesalahannya secara dzaruri (tampa dalil). Seperti ucapan “Dua perkara yang bertolak belakang terkumpul” atau “Api bersifat dingin”’.

 

  1. Khabar yang dimaklumi kesalahannya secara istidlal (penggunaan dalil). Seperti ucapan ahli filsafat; “Alam semesta qadim”.

 

  1. Dipastikan bohongnya menurut pendapat ashah. Bagian ini akan diulas nanti.

 

KHABAR MAUDHU’ (PALSU) DAN FAKTOR PEMICUNYA

 

Setiap khabar dari Nabi SAW yang mengesankan kebathilan dan, tidak mencrima ta’wif, maka ada dua kemungkinan;

 

  1. Merupakan Ahabar maudhu’ (kebohongan pada Nabi). Contoh hadits.

 

“Bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan dirinya sendiri”

 

Hadits ini mengesankan perkara bathil, yakni Allah SWT adalah hadits (tereipta bara), padahal dalil kepastian akal bahwa Allah Swr disucikan dari hal tersebut.

 

  1. Terkuranginya bagian yang menghilangkan kesan kebathilan dari perawi. Contoh HR. Bukhari-Muslim;

 

“Rasulullah SAW shalat Isya’ bersama kami di akhir hidupnya. Manakeala selelah salam, Belian berdiri dan bersabda; “Apakah kalian tahu malam kahian ini, maka sungguh pada permulaan seratus tahun dari mala mini, tidak ada satu orangpun tersisa dari orang yang hidup pada hari ini”

 

Shahabat Ibn Umar ra mengatakan bahwa para shahabat yang mendengarkan sabda Nabi SAW keliru memahami pengertian sabda int, manakala mereka tidak mendengar kata eal (hari ini). Padahal maksudnya adalah tidak tersisa manusia yang hidup di kurun (masa) ini. Dalam keterangan lain, banyak manusia pada masa itu yang memahami bahwa maksud sabda Nabi SAW adalah dunia akan berakhir seratus tahun kemudian.

 

Selanjutnya latar belakang pemicu terjadinya pemalsuan babar di antaranya;

 

  1. Faktor lupa dari perawi, hingga menyampaikan hal lain karena menyangka hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan.

 

  1. Faktor membuat tidak suka, seperti pemalsuan kaum kafir Zindiq atas banyak hadits yang bertentangan dengan prinsip akal, untuk menjauhkan orang-orang yang berakal dari syariat Nabi SAW.

 

  1. Faktor kesalahan dati perawi, dengan cara salah mengucapkan pada selain yang diriwayatkannya, atau meletakkan kata yang dianggap mewakili makna sebagai ganti dari lafadz lain.

 

4, Faktor lain seperti pemalsuan hadits tentang himbauan ketaatan atau menjauhkan dari maksiat’’,

 

KHABAR YANG DIPASTIKAN BOHONG YERSI ASHAH

 

Dalam hal ini ada beberapa khabar yang menurut pendapat ashah dipastikan kebohongannya, di antaranya;

 

1, Khabar dari pengaku kerasulan sebelum terutusnya Nabi SAW tanpa mukjizat atau tanpa pembenaran dari orang yang dipastikan jujur. Karena kerasulan dari Allah SWT tidak sejalan dengan adat (kebiasaan), dan adat menctapkan kebohongan dari seseorang yang mengklaim tidak sejalan dengan adat tanpa dalil. Dan yang setingkat mukjizat adalah pembenaran dari orang yang dipastikan jujur, seperti nabi sebelumnya yang sudah diakui kenabiannya. Pendapat lain, tidak dapat dipastikan kebohongannya, meskipun tanpa mukjizat atau pembenaran orang yang jujur. Karena secara akal, bisa jadi pengakuan tersebut benar. Sedangkan pengaku kenabian, dalam arti mendapatkan wahyu, maka tidak dipastikan kebohongannya, seperti yang dikutip Imam Haramain. Permasalahan di atas berlaku dalam konteks sebelum terutusnya Nabi SAW, penutup para nabi. Sedangkan setelah terutusnya Nabi SAW, maka dipastikan bohong, karena adanya dalil gath yang memastikan bahwa Nabi SAW adalah penutup para nabi.

 

  1. Hadits yang diteliti, namun tidak ditemukan pada perawi ahli termasuk khabar yang dipastikan bohong. Karena adat menghukumi bahwa pelaku penukilannya berbohong. Pendapat lain, tidak dipastikan kebohongannya, karena secara akal bisa jadi pelaku tersebut benar. Persoalan ini dalam konteks setelah masa keberadaan khabar sudah istiqrar (dipatenkan). Sedangkan pada masa khabar belum istiqrar, seperti pada masa shahabat, maka diperbolehkan seseorang meriwayatkan khabar yang tidak ditemukan pada yang lain, sebagaimana statemen Imam Ar-Razi.

 

  1. Khabar yang dinukil secara ahad dalam persoalan dimana faktor-faktor penuntut penukilan secara mutawatir telah terakumulasi. Berbeda dengan pendapat Rafidlah yang mengatakan bahwa hal itu tidak dipastikan kebohongannya, karena memungkinkan benar secara akal. Seperti hadits-hadits yang mereka riwayatkan tentang kekhalifahan Sayyidina Ali ra pasea Rasulillah SAW”,

 

Khabar juga adakalanya dipastikan kebenarannya, seperti khabar Yang Maha Benar, dan sebagian khabar yang disandarkan pada Nabi SAW.

 

KHABAR YANG DIPASTIKAN BENAR

 

Khabar ada yang dipastikan kebenarannya berdasarkan faktor eksternal (amr khariji), di antaranya;

 

  1. Khabar Allah SWT Yang Maha Benar, karena Allah SWT dibersihkan dari sifat bohong. Serta khabar Rasulullah SAW, karena Beliau terjaga dari berbuat dosa.

 

  1. Sebagian Ababar yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW, meskipun kita tidak mengetahui wujudnya.

 

  1. Khabar mutawatir, baik secara makna atau lafadz.

 

Dan khabar mutawatir, yaitu khabar yang diriwayatkan sekumpulan orang yang tidak dimungkinkan bersepakat dalam kebohongan atas sesuatu yang terlihat panca indra.

 

Didapatkannya keyakinan adalah tanda terpenuhinya persyaratan khabar mutawatir.

 

Dan jumlah sekumpulan orang tersebut tidak cukup empat orang. Pendapat ashah, jumlah yang melebihi empat orang, pantas tanpa ada batasnya.

 

Menurut Ashah, tidak disyaratkan dalam mutawatir islamnya perawi dan (syarat) tidak tereakupnya para perawi dalam sebuah

 

PEMBAHASAN KHABAR MUTAWATIR

 

Mutawatir adalah Ababar yang diriwayatkan sekumpulan orang yang tidak dimungkinkan bersepakat dalam kebohongan atas sesuatu yang terlihat panca indra (bukan yang bisa diakal). Tanda terpenuhinya persyaratan khabar mutawatir dalam sebuah khabar adalah didapatkannya keyakinan aka isi dari khabar tersebut.

 

Selanjutnya manakala mereka menyepakati sisi lafadz dan makna, maka disebut matawatir lafdz. Dan jika menyepakati maknanya saja, maka disebut mutawatir makna. Semisal, seseorang mengkhabarkan tentang Hatim, bahwa dia membeti uang dinar, orang lain meriwayatkan Hatim memberi kuda, serta orang ketiga meriwayatkan dia memberi keledai.

 

Maka ada makna umum yang disepakati, yaitu ‘memberi’ yang menunjukkan kedermawanan, meskipun mereka tidak menyepakati bentuk khususnya. Kemudian mengenai kriteria ‘sekumpulan orang’ yang harus terpenuhi dalam mutawatir, ulama berselisih pendapat;

 

  1. Pendapat ashah, tidak cukup empat orang, karena jumlah ini masih membutuhkan tazkiyah (penyaksian adil) dalam kasus seandainya mereka menjadi saksi zina, sehingga tidak berfaidah yakin. Pendapat ini disampaikan Imam As-Syafi’i, dan Qadhi Abu Bakar. Jumlah yang melebihi empat orang lebih layak menjadi standar, tanpa ada batasnya. Meskipun Al-Qadhi menangguhkan dalam lima orang.

 

  1. Pendapat kedua, dari Imam Al-Ustukhri, paling sedikit adalah sepuluh orang. Karena jumlah yang lebih sedikit dikategorikan khabar ahad.

 

3, Pendapat ketiga, paling sedikit dua belas orang. Sebagaimana jumlah 12 pemimpin yang diutus Nabi Musa AS untuk memata-matai kaum Jabbarin dalam ayat;

 

‘Dan telah Kami angkat diantara méreka 12 orang pemimpin”

 

  1. Pendapat keempat, paling sedikit dua puluh, berdasar firman Allah SWT;

 

“Jika ada dua pulub orang. yang sabar diantaramu ”

 

  1. Pendapat kelima, paling sedikit empat puluh, berdasar firman Allah SWT;

 

“Hai Nabi, cukuplah ‘Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu”

 

Saat itu jumlah yang ada cmpat puluh orang laki-laki, digenapi Umar bin Khattab yang masuk Islam atas doa Nabi SAW.

 

  1. Pendapat keenam, paling sedikit tujuh puluh, jumlah sahabat Nabi Musa AS yang dipilih dari kaumnya, Sesuai ayat,

 

“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan”

 

  1. Pendapat ketujuh, paling sediktt tiga ratus lebih sepuluh orang, jumlah tentara perang Badar dan sahabat ‘Thalut. Masing-masing pendapat di atas mendasari argumentasinya bahwa angka-angka itulah batas minimal jumlah yang menghasilkan keyakinan. Namun enam pendapat terakhir bersstatus lemah, karena pendapat-pendapat tersebut tidak terkait dengan pembahasan khabar. Dan seandainya ditemukan keterkaitan, di dalamnya juga tidak ditemukan petunjuk bahwa bilangan-bilangan tersebut menjadi syarat dalam sebuah kejadian, atau berfaidah yakin.

 

KEISLAMAN DAN CAKUPAN WILAYAH BAGI PERAWI

 

Menurut Ashah, tidak disyaratkan dalam mutawatir islamnya perawi dan (syarat) tidak tereakupnya para perawi dalam sebuah wilayah.

 

Sehingga diperkenankan terdiri dari orang-orang kafir, fasik, atau tereakup dalam satu wilayah. Seperti halnya penduduk Kostantinopel mengkhabarkan matinya raja mereka. Karena jumlah yang banyak mencegah mereka untuk sepakat dalam kebohongan. Pendapat lain, tidak diperbolehkan, karena orang-orang kafir, fasik dan yang hidup dalam satu wilayah negara dapat bersepakat dalam kebohongan.

 

Sedangkan (menurut pendapat ashah), keyakinan dalam mutawatir bersifat pasti

 

KEYAKINAN DALAM MUTAWATIR

 

Teori mengenai sifat keyakinan dalam mutawatir, diperselisihkan ulama;

 

  1. Pendapat ashah, bersifat dzaruri (pasti). Artinya, dihasilkan saat mendengar, tanpa membutuhkan analisa, karena dapat dicerna oleh mereka yang tidak memiliki kemampuan analisa, seperti anak kecil dan orang bebal.

 

  1. Pendapat kedua, dari Imam Al-Ka’bi dari Mu’tazilah, Imam Haramain dan Ar-Razi, bersifat nadzari (analisa). Imam Haramain sebagaimana dipertegas Imam Al-Ghazali menjelaskan teori nadzari, bahwa yang dimaksud adalah keberadaannya tergantung pada beberapa mukaddimah (premis) yang ada pada pendengar, berupa syarat-syarat terwujudnya mutawatir (dalam definisi), dan yang dimaksud bukanlah mombutuhkan analisa pasea mencdenpar tmutawatir, Sehingya secara substansi (naka) tidak ada perbedaan antara dua pendapat di atas.

 

Kemudian apabila para perawi khabar mutawatir mengkhabarkan dari penyaksian langsung, maka hal itu jelas hukumnya. Namun jika tidak demikian, maka mengkhabarkan dari penyaksian langsung pada tingkatan pertama mencukupi.

 

(Pendapat ashah) bahwa keyakinan dihasilkan mutawatir sebab banyaknya jumlah Perawi adalah sama bagi para pendengar. Dan yang dihasilkan sebab beberapa qarinah, terkadang berbeda.

 

MUTAWATIR HASIL PENYAKSIAN LANGSUNG

 

Manakala seluruh perawi khabar mutawatir mengkhabarkan dari penyaksian langsung, dalam arti mereka hanya satu tingkatan (thabaqah) saja, maka jelas terwujud mutawatir. Namun jika seluruh perawi tidak mengkhabarkan dari penyaksian langsung, dalam arti mereka berada dalam beberapa tingkatan (thabaqat), dan yang mengkhabarkan dari penyaksian langsung hanya pada tingkatan pertama saja, maka hal ini sudah mencukupi untuk mewujudkan mutawatir, disertai persyaratan dalam setiap tingkatan terdiri dari sekumpulan orang yang tidak mungkin bersepakat dalam kebohongan. Dan apabila persyaratan ini hanya terpenuhi pada tingkatan pertama saja, maka tingkatan setelahnya dianggap berstatus ahad, sebagaimana dalam bacaan-bacaan syadz dalam Al-Qur’an yang hanya mutawatir di tingkatan pertama saja.

 

KUALITAS KEYAKINAN BAGI PENDENGAR

 

Selanjutnya mengenai keyakinan yang diperoleh dalam mutawatir bagi setiap orang yang mendengarkannya apakah berlaku sama rata, ataukah satu dengan yang lain berbeda-beda?. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat ashah, apabila keyakinan yang dihasilkan lantaran faktor banyaknya jumlah perawi, maka berlaku sama rata bagi para pendengar. Dan apabila keyakinan dihasilkan lantaran beberapa garinah yang menjadi aspek tambahan selain jumlah minimal perawi, maka terkadang berbeda satu dengan yang lain, karena garmah terkadang dijumpai satu orang, namun tidak dijumpai oleh orang yang lain. Yang dikehendaki qarinah adalah perkara yang terkait erat (lazimah-muttashilah) dengan mutawatir, baik berupa beberapa keadaan yang erat hubungannya, semisal para perawi sama persis dalam menggunakan satu lafadz dan satu sifat. Atau terkait dengan pembesi khabar (mukhbar ‘anhu), semisal pembecri khabar jujur, atau terkait dengan perkara yang dikhabarkan (mukhbar bih), semisal perkara yang dikhabarkan termasuk perkara yang jelas bagi pendengar,

 

  1. Menurut pendapat kedua, keyakinan tersebut wajib dihasilkan bagi seluruh pendengar secara mutlak. Karena garinah dalam persoalan semacam ini jelas dan tidak samar bagi para pendengar.

 

  1. Menurut pendapat ketiga, keyakinan tersebut tidak wajib dihasilkan secara mutlak. Bisa jadi dihasilkan oleh seluruh pendengar, atau sebagian saja. Karena sangat mungkin keyakinan tidak berhasil didapatkan oleh sebagian orang sebab benyaknya jumlah perawi, sebagaimana qarinah.

 

Dan menurut pendapat ashah, bahwa ijma’ yang sesuai dengan isi dari sebuah Khabar, tetapnya khabar yang mana beragam motif terakumulasi untuk membatalkannya secara terpecahnya ulama menyikapi sebua khabar, antara men-ta’wil dan menjadikan dalil, (ketiganya) tidak menunjukkan kebenaran khabar tersebut.

 

IJMA’ SELARAS DENGAN KHABAR

 

Ketika sebuah khabar diriwayatkan, kemudian tereetus ijma’ yang selaras dengan isi dari khabar tersebut, maka apakah hal itu menunjukkan kebenaran khabar tersebut secara nafs al-amri (hakikat sebenarnya)?.

 

  1. Pendapat ashah, tidak menunjukkan kebenaran Ahbabar tersebut. Karena ada kemungkinan ijma’ memiliki sandaran lain.

 

  1. Pendapat kedua, menunjukkan kebenaran khabar. Karena manakala tidak ada penjelasan, secara dhair pelaku ijma’ bersandar pada khabar tersebut, sebab tidak nampak adanya sandaran lain.

 

  1. Pendapat ketiga, dapat menunjukkan kebenaran khabar, apabila para pelaku ijma’ menerimanya dengan cara menjelaskan bahwa khabar tersebut adalah sandaran ijma’ mereka.

 

KHABAR YANG SEHARUSNYA DIBATATLKAN,

 

Tetapnya keberadaan sebuah Ababar yang mana beragam motif terakumulast untuk membatalkannya, namun oleh mereka (pemilik motif) tidak dibatalkan, padahal mereka mendenparnya secara ahad, menurut pendapat ashah, tidak menunjukkan kebenaran khabar tersehut. Menurut pendapat kedua, hal tersebut menunjukkan kebenaran khabar. karena sudah terwujud kesepakatan mencrima khabar tersebut. Hal ini disangkal, bahwa kesepakatan menerima sebuah khabar hanya menunjukkan dugaan mereka bahwa khhsabar tersebut benar, namun tidak menunjukkan kebenaran khabar secara hakikat sebenarnya (nafs al-amri). Contoh HR. Bukhari-Muslim tentang sabda Nabi SAW pada shahabat Ali kwj;

 

Kamu bagiku sepadan dengan Nabi Harun AS bagi Nabi Musa AS, hanya saja tidak ada nabi lagi sesudahku” Motif Bani Umayah yang telah mendengar hadits ini untuk membatalkan hadits ini sudah terakumulasi, karena hadits ini menunjukkan kekhalifahan Ali kwj yang mereka benci, sebagaimana kekhalifahan Nabi

 

Harun AS atas Nabi Musa AS dalam ayat,  (Gantikanlah aku dalam mengurusi kaumku..!), namun mereka tidak membatalkannya.

 

PERSELISIHAN ANTARA BERHUJJAH DAN MEN-TA’WIL

 

Ketika sebuah khabar terlontar, kemudian ulama berbeda sikap, sebagian menerima dan menjadikannya dalil, sebagian yang lain menfawilnya, maka apakah hal tersebut menunjukkan kebenaran (keshahihan) khabar?

 

  1. Pendapat ashah menyatakan, tidak menunjukkan kebenaran khabar tersebut. Karena mengamalkan dalil madbnun setara dengan dalil maqgthu’, dan pen-fa’il-an khabar dengan mengira-ngirakan tetap, bukanlah dalil bahwa khabar tersebut tetap.

 

  1. Pendapat kedua mengatakan, menunjukkan kebenaran Ahabar. Karena sudah terwujud kesepakatan menerima khabar tersebut.

 

Pendapat ashah, bahwa orang mengkhabaraen di depan orang sejumlah mutawatir yang tidak mendustakannya serta tidak ada faktor yang mendorong mereka untuk diam, atau seseorang yang mengkhabarkan di tempat yang terjangkau pendengaran Nabi SAW, serta tidak ada faktor yang mendorong Beliau mendiamkannya, adalah orang yang benar atas khabar yang dibawanya,

 

KEBENARAN PEMBAWA KHABAR

 

Manakala seseorang menyampaikan Ababar atas sesuatu yang terekam panca indra di depan orang banyak (‘adad at-tawatur) dan mereka tidak mendustakannya, serta tidak ada motif yang mendorong mereka untuk diam, baik karena takut, mengharap sesuatu dari orang tersebut, atau ketidaktahuan atas khabar yang disampaikan, maka menurut pendapat ashah, orang tersebut dianggap benar atas khabar yang dibawanya. Karena diam mereka menunjukkan pembenaran pada orang tersebut secara ‘adat Sehingea khabar tersebut bernilai kebenaran, Pendapat kedua, diam mereka tidak menunjukkan pembenaran atas pembawa &habar tersebut, karena bisa jadi mereka diam dan tidak mendustakan tanpa sebab apapun.

 

Begitu juga menunjukkan pembenaran pembawa khabar menurut versi ashah, seseorang yang mengkhabarkan di tempat yang terjangkau pendengaran Nabi SAW, serta tidak ada yang mendorong Beliau mendiamkan. Baik tentang perkara duniawi atau diniy (agama). Karena Nabi SAW tidak membiarkan seseorang melakukan kebohongan.

 

Pendapat kedua, diamnya Nabi SAW tidak menunjukkan kebenaran pembawa khabar. Baik dalam persoalan agama, karena bisa jadi Nabi SAW menjelaskannya atau mengakhirkan penjelasan yang berseberangan dengan apa yang telah disampaikan pembawa khabar. Atau dalam persoalan duniawi, karena bisa jadi Nabi SAW tidak mengetahui keadaan perkara tersebut. Seperti dalam persoalan pengawinan kurma, dalam HR. Muslim;

 

“Bahwasanya Nabi SAW pernah berjalan menjumpai kaum yang mengawinkan kurma. Dan Nabi SAW mengatakan, “Andaikan tidak kalian lakukan, pastilah menjadi baik”. Anas RA mengatakan, “kemudian kurma ita berbuah sangat jelek”. (Suatu saat) Nabi SAW lewat dan berpapasan dengan mereka, Beliau berkata, “Bagaimana yang terjadi dengan kurma kalian”. Mereka menjawab, “Baginda dahulu mengatakan begini dan begini”. Nabi SAW bersabda, ‘Kalian lebih tahu mengenat persoalan duniawi kalian”

 

Pendapat ketiga, menunjukkan kebenaran pembawa Ahabar manakala dia mengkhabarkan perkara duniawi, bukan diniy (agama). Pendapat keempat, kebalikan pendapat ketiga.

 

Kemudian manakala ditemukan motf atau faktor yang mendorong mereka untuk diam, semisal pembawa khabar tergolong penentang agama, sehingga pengingkaran tidak berfaidah, maka secara pasti tidak menunjukkan menunjukkan kebenaran pembawa khabar”.

 

Adapun khabar yang diduga kebenarannya adalah khabar wahid (ahad) yakni khabar yang tidak mencapai standar mutawatir. Termasuk di antaranya khabar mustafidh, yaitu khabar yang tersebar dari seorang imam. Dan terkadang dinamakan khabar masyhur. Paling sedikit perawi khabar masyhur adalah dua, menurut pendapat lain, hitungan lebih dari tiga.

 

Permasalahan khabar ahad berfaidah yakin dengan disertai qarinah.

 

KHABAR AHAD DAN MASYHUR

 

Jenis berikutnya adalah khabar yang diduga kebenarannya, artinya kebenaran babar ini tidak dipastikan, namun juga tidak mengandung kemungkinan benar dan bohong dengan kedudukan setara. Khabar ini disebut khabar wahid (ahad), yakni Ababar yang tidak mencapai standar mutawatir. Baik perawinya satu atau lebih, menghasilkan faidah keyakinan melalui qarinah terpisah atau tidak.

 

Termasuk macam dari khabar ahad adalah mustafidh yaitu khabar yang tersebar luas di tengah manusia dari imam yang terpereaya periwayatannya. Khabar ini disebut juga dengan masyhur menurut satu pendapat. Pendapat kedua, masyhur semakna dengan mutawatir. Pendapat ketiga, masyhur adalah istilah berbeda dari mutawatir dan ahad. Dan menurut ulama pakar hadits, masyhur lebih umum dibanding mutawatir.

 

Paling sedikit perawi khabar mustafidh adalah dua, menurut pendapat pakar fiqh. Menurut pendapat pakar ushul, minimal perawinya lebih dari tiga. Dan menurut versi pakar hadits, minimal tiga”.

 

FAIDAH YAKIN DALAM KHABAR AHIAD DAN MASYHUR Ulama berselisih pendapat mengenai faidah keyakinan yang bersitat nadhari dalam khabar ahad.

 

  1. Pendapat ashah, tidak berfaidah yakin kecuali dengan disertai garinah, Seperti halnya seorang laki-laki yang mengkhabarkan kematian anaknya yang sudah diketahui kematiannya sudah dekat, dengan garinah tangisan, mempersiapkan kain kafan dan keranda mayat. Dan tidak disyaratkan adilnya perawi khabar ahad, karena berpedoman pada qarinah.

 

  1. Mayoritas ulama menyatakan, tidak berfaidah yakin secara mutlak. Baik dilingkupi garinah atau tidak. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam At-Taj As-Subki dalam Syarh Al-Mukhtashar.

 

  1. Pendapat ketiga, berfaidah yakin secara mutlak dengan syarat adanya sifat adil. Karena dengan demikian, khabar ini wajib diamalkan. Kewajiban mengamalkan rhabar yang berfaidah yakin, berdasar firman Allah SWT;

 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”

 

“Mereka tidak lain hanyalah mengi uti persangkaan belaka”

 

Dalam dua ayat ini terdapat larangan mengikuti perkata yang tidak diyakini dan celaan mengikuti dugaan. Namun argumentasi ini disangkal, bahwa konteks ayat di atas adalah dalam persoalan yang tuntutan di dalamnya mengharuskan yakin, seperti ushuluddin. Juga karena dalam persoalan furu’ mengamalkan dugaan hukumnya diperbolehkan.

 

  1. Pendapat keempat, berfaidah keyakinan bersifat nadhari, apabila khabar ahad berupa mustafidh. Dalam hal ini, khabar mustaidh menjadi penengah antara mutawatir yang berfaidah keyakinan bersifat dharun dan khabar ahad yang menghasilkan dugaan.

 

Permasalahan : wajib mengamalkan Khabar ahad dalam fatwa dan Syahadah secata ijma’. Dan juga dalam beberapa perkara agama dan duniawi, menurut pendapat ashah, secara dalil naqgli. Pendapat lain, secara dalil aqli.

 

MENGAMALKAN KHABAR AHAD

 

Ulama menycpakati, wajib mengamalkan khabar ahad dalam fatwa dan syahadah (persaksian). Setara dengan fatwa adalah hukum. Dan mengenai beberapa perkara agama dan duniawi lainnya, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat ashah, wajib mengamalkan khabar ahad. Meskipun bertentangan dengan qiyas. Seperti Ahabar tentang masuknya waktu shalat, najisnya air, khabar dokter tentang manfaat dan bahayanya sesuatu. Kemudian dalil kewajiban ini adalah dalil naqli saja, yakni bahwasanya Nabi SAW mengirimkan satu persatu sahabatnya kepada kabilah-kabilah dan seluruh penjuru untuk menyampaikan hukumhukum agama, seandainya hukum mengamalkan khabar mereka tidak wajib, maka pendelegasian Nabi SAW tidaklah ada gunanya. Pendapat lain, selain dalil naql diatas juga disertai dalil aqli, yakni seandainya mengamalkan khabar ahad tidak wajib, maka kasus-kasus yang diriwayatkan secara ahad akan terbengkalai, padahal berjumlah sangat banyak.

 

  1. Pendapat kedua, tidak wajib mengamalkan secara mutlak. Karena meskipun dikatakan sebagai hujjah, namun hanya berfaidah dhan, padahal kita dilarang mengikuti dhan, sebagaimana dalam pembahasan terdahulu.

 

  1. Pendapat ketiga, tidak diamalkan dalam beberapa had. Karena had ditolak sebab adanya keserupaan (syubhat), dan adanya kemungkinan bohong dalam khabar ahad merupakan syubhat.

 

4, Pendapat keempat, dari Hanafiyah, tidak wajib diamalkan dalam hal-hal berikut,

 

  1. a) Perkara yang umumnya dibutuhkan manusia, contoh HR. Ahmad;

 

“Barangsiapa menyentuh kélaminnya, maka hendaklah dia berwudh’’

 

Karena sesuatu yang pada umumnya dibutuhkan manusia akan banyak ditanyakan, sehingga ‘adat menetapkan penukilannya mutawatir, karena adanya akumulasi faktor yang menuntut.

 

  1. b) Perkara yang amal perawinya berbeda, karena berbedanya perawi pastilah berdasar dalil Contoh HR. Bukhari-Muslim dari Abi Hurairah;

 

“Ketika seekor anjing minum pada wadah kalian semua, maka hendaklah dia membasuhnya tujuh kali”

 

Imam Ad Daruquthni meriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Beliau memerintahkan membasuh dari jilatan anjing sebanyak tiga kali. Menurut Beliau, yang shahih dari Abi Hurairah adalah tujuh basuhan. Perbedaan pendapat ini hanya terjadi manakala hadits yang diritwayatkan Lebih dahulu. Jika Lebih akhir atau tidak jclas, maka ulama sepakat mengamalkannya.

 

  1. c) Perkara yang bertentangan dengan qiyas dalam keadaan perawinya bukan ahli fiqh. Karena pertentangan ini mengunggulkan sisi kemungkinan bohong dalam khabar. Imam Al-Amidi dan Ibn AlHajib dalam khabar yang bertentangan dengan qiyas memilih pendapat ketiga yang memerinci. Apabila ‘illat diketahui berdasarkan nash yang unggul dibandingkan khabar, dan ‘illat ditemukan secara pasti pada far’i, maka babar yang berseberangan tidak diterima. Atau ditemukan secara dhan pada ari, maka ditangguhkan. Dan jika tidak demikian, yakni Wat diketahui berdasarkan sstinbath, atau nash yang setara atau warjuh (diungguli), maka kbabar yang berseberangan dapat diterima. Contoh HR. Bukhari-Muslim; . ;

 

“Jangan kalian tidak memerah susu (Jawa; ngembeng) onta dan kambing, Jika seseorang membelinya setelah adanya larangan, maka dia memiliki yang terbaik antara dua pilihan setelah diperas. Jika menghendaki, maka boleh menahannya, dan jika menghendaki, dia kembalikan dan (mengganti) satu sha’ kurma”

 

‘Mengembalikan kurma sebagai ganti dari susu’ menyalahi qiyas tentang kewajiban mengganti mts (benda yang serupa) atau gimah (nominal harga) bagi perusak barang orang lain.

 

Permasalahan: menurut pendapat terpilih, mendustakannya ashl (cura) pada far’i (murid). dimana murid tersebut mantap, tidak menggugurkan Khabar yang diriwayatkan. Karena seandainya keduanya berkumpul dalam persaksian, maka persaksian tidak ditolak. 

 

PENDUSTAAN ASHL PADA FAR’IY

 

Manakala seorang ashl (guru) mendustakan periwayatan far’iy (musid) atas sebuah khabar dasinya, dimana far’iy mantab bahwa khabar tersebut berasal dari ashl, serta keduanya tergolong tsiqqah (adilterpereaya), maka dipilah;

 

Pertama, ashi mantab dengan pengingkarannya, semisal dengan ucapan,

 

“Dia berdusta padaku” atau “Aku tidak meriwayatkan kepadanya khabar ini”. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat;

 

  1. Menurut pendapat terpilih, pendustaan itu tidak menyebabkan khabar yang dirtwayatkan tereliminasi dan keluar dari standar diterima. Karena dimungkinkan ashl lupa setelah meriwayatkannya pada far’iy, sehingga masing-masing tidak cacat sebab pendustaan tersebut. Pendapat ini didasari dalil bahwa apabila keduanya berkumpul dalam petsaksian, maka persaksian tidak ditolak.

 

  1. Pendapat kedua, pendustaan tersebut menjadikan khabar tereliminasi dan keluar dari standar diterima. Karena salah satu dari ashl dan far’iy dipastikan bohong, dan dimungkinkan yang berbohong adalah fari’y, sehingga Ahabar yang diritwayatkannya tidak tetap (diakui).

 

Kedua, ashl tidak mantab, dalam arti ragu-ragu meriwayatkan atau menduga tidak meriwayatkan pada far’iy. Maka lebih layak diterima dibandingkan perincian pertama, karena dimungkinkan ashl lupa. Pendapat ini adalah versi mayoritas. Pendapat lain, tidak diterima, seperti dalam syahadah (persaksian).

 

Kemudian manakala far’iy menduga (dhan) adanya periwayatan dari ashi, sedangkan ashl mantab mengingkarinya, maka khabar jelas ditolak. Dan jika ashl menduga meriwayatkannya, maka terjadi pertentangan, dimana secara hukum asal periwayatan tidak pernah ada. Imam Al-Hindi menambahkan perincian, apabila far’iy ragu-ragu, maka khabar dipastikan ditolak. Dan jika far’iy menduga, dan ashl ragu-ragu, maka termasuk yang diperselisihkan ulama.

 

Penambahan dari perawi adil bisa diterima,  apabila tidak diketahui satu majlis, yakni manakala majlis diketahui ada banyak. Jika tidak demikian ini, maka menurut pendapat terpilih, tidak diterima, apabila perawi selain yang menambahi sekaliber orang yang tidak lalai atas tambahan semacam ita ‘secara adat atau terakumulasi alasan untuk menukilnya, Apabila perawi yang tidak menyebutkan tambahan lebih kuat hapalannya, atau menjclaskan tentang tidak adanya tambahan dengan penjelasan yang bisa diterima, maka dua babar yang diriwayatkan dinyatakan bertentangan.

 

Menurut pendapat ashah, apabila seorang perawi meriwayatkan tambahan pada satu kesempatan, namun meninggalkannya pada kesempatan yang lain, atau seorang perawi meriwayatkan tambahan berbeda dari perawi lain, maka periwayatannya diterima. sedangkan jika penambahan menyebabkan perubahan atas i’rab dari lafadz yang lain, maka dua khabar dianggap bertentangan.

 

Menurut ashah, pembuangan sebagian khabar diperbolehkan menurut mayorites, kecuali sebagian khabar tersebut terkait dengan sebagian yang lain.

 

Apabila seorang perawi memusnadkan khabar, dan perawi lain memursalkannya, maka statusnya seperti masalah penambahan.

 

PENAMBAHAN DALAM KHABAR

 

Seorang perawi adil yang menambahkan sesuatu dalam sebuah khabar, dimana tambahan tersebut tdak disebutkan para perawi adil lainnya, maka diperinci sebagai berikut;

 

Pertama, tidak diketahui mereka berada satu majlis dari Nabi SAW. Baik jelas diketahui terjadi dalam beberapa majlis, atau tidak jelas keduanya, maka penambahan tersebut diterima. Karena ada kemungkinan Nabi SAW menyebutkan penambahan tersebut dalam satu majlis, dan di majlis yang lain Beliau tidak menyebutkannya.

 

Kedua, diketahui bahwa mereka berada dalam satu majlis. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat.

 

  1. Ditolak apabila perawi yang tidak meriwayatkan tambahan sekaliber orang yang tidak lalai atas tambahan semacam itu. Juga ditolak apabila tuntutan untuk menukil menjadi terakumulasi. Pendapat ini versi Al-Mukhtar. Apabila perawi yang tidak menyebutkan tambahan lebih kuat hapalannya, atau menjelaskan tentang tidak adanya tambahan dengan penjelasan yang bisa diterima, semisal, “Aku tidak penah mendengar tambahan tersebut”’, maka dua khabar yang diriwayatkan dinyatakan bertentanpan.

 

  1. Ditolak secara mutlak, karena perawi yang menampilkan tambahan dimungkinkan salah. Disampaikan kalangan Hanafiyah.

 

  1. Tambahan tersebut diterima secara mutlak, karena dimungkinkan perawi yang tidak menambahkan lupa. Pendapat ini versi yang masyhur dari Imam As-Syafi’i, dan Imam Al-Khathib meriwayatkannya dari Jumhur ahli fiqh dan hadits. Karena perawi yang tidak menampilkan tambahan dimungkinkan salah.

 

  1. Diterima, apabila perawi yang tidak meriwayatkan tambahan sekaliber orang yang tidak lalai atas tambahan semacam itu. Disampaikan Imam Amidi dan Ibn Al-Hajib.

 

  1. Ditangguhkan, karena dalil-dalilnya saling bertentangan.

 

Kemudian apabila terjadi kasus, seorang perawi meriwayatkan tambahan pada satu kesempatan, namun meninggalkannya pada kesempatan yang lain, atau seorang perawi meriwayatkan tambahan berbeda dari perawi lain, maka diperinci sebagai berikut;

 

  1. Jika jelas diketahui terjadi dalam beberapa majlis, maka ulama sepakat tambahan tersebut diterima.

 

  1. Jika tidak diketahui terjadi dalam beberapa majlis, meskipun diketahui terjadi pada satu majlis, maka menurut pendapat ashah, diterima, karena pada kasus pertama, dimungkinkan tidak adanya tambahan sebab perawi lupa, dan pada kasus kedua, karena perawi yang menambahkan memiliki pengetahuan yang lebih. Pendapat kedua, tidak diterima, karena pada kasus pertama, dimungkinkan penambahan tersebut adalah kesalahan, dan pada kasus kedua, karena perawi tersebut berbeda dengan rekan perawi lain. Dan pendapat terakhir, menangguhkan pada kasus pertama, sedangkan kasus kedua di-qiyas-kan pada kasus pertama.

 

Sedangkan jika penambahan menyebabkan perubahan atas i’rab dari lafadz yang lain, maka dua khabar dianggap bertentangan, dan salah satunya tidak diterima tanpa adanya murayih (faktor yang mengunggulkan). Pendapat lain menyatakan diterima, sama seperti yang tidak ada perubahan i’rab. Contoh HR. Bukhari-Muslim;

 

“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dengan membayar satu sha’ dari kurma”

 

Seandainya ada periwayatan lain menggunakan redaksi,  dimana tambahan   merubah i’rab kata   dari nashab menjadi jer.

 

PEMBUANGAN SEBAGIAN KHABAR

 

Pembuangan sebagian khabar diperbolehkan bagi seorang perawi menurut pendapat ashah, kecuali sebagian khabar tersebut terkait dengan sebagian yang lain, maka ulama sepakat tidak memperbolehkar, pembuangan, karena akan merusak makna yang dikehendaki, Sebagaimana ketika menjadi ghayah atau mustatsna, seperti dalam HR Bukhari-Muslim;

 

“Bahwasanya Nabi SAW melarang menjual buah-buahan sampai warnanya memerah”

 

Dan HR. Muslim;

 

“Jangan kalian menjual emas dngan emas, perak. dengan perak, kecuali timbangan dengan timbangan, saling menyamai dan setara benyaknya”

 

Dan jika tidak terkait dengan sebagian yang lain, maka boleh dibuang, karena dianggap seperti khabar yang berdiri sendiri. Pendapat lain, tidak diperbolehkan, karena dimungkinkan penggabungan tersebut ada faidah yang akan hilang sebab dipisah. Contoh pembuangan sebagian khabar, HR. Abi Dawud

 

“(Laut) adalah yang suci airnya dan halal bangkainya”

 

Dalam periwayatan diperbolehkan membuang kalimat   karena kalimat sebelumnya berdiri sendiri dalam memberikan faidah tentang sucinya air laut. .

 

KONTRADIKSI MUSNAD-MURSAL MAUQUF-MARFU’

 

Apabila seorang perawi me-musnad-kan khabar pada Nabi SAW, dan perawi lain me-mursal-kannya dengan tidak menyebutkan perawi sahabat, atau me-marfu’-kannya pada Nabi SAW, dan yang lain memauqu -kannya pada sahabat atau tingkatan di bawahnya, maka pe-musnad-an dan pe-mursal-an tersebut statusnya seperti penambahan di atas, Dengan perincian sebagai berikut;

 

  1. Apabila diketahui majlis tempat mendengarkan hadits dari guru lebih dari satu, maka diterima, karena dimungkinkan guru melakukannya pada satu kesempatan, tidak dalam kesempatan yang lain. Dan babar tersebut diterima menurut pendapat yang unggul.

 

  1. Apabila tidak ada kejelasan satu atau beberapa maijlis, maka juga diterima, karena umumnya hal itu terjadi pada beberapa majlis.

 

  1. Apabila diketahui satu majlis, maka pendapat pertama mengunggulkan pe-musnad-an dan pe-marfu’-an. Pendapat kedua, mengunggulkan pemursal-an dan pe-mauquf-an. Pendapat ketiga menangguhkan. Dan pendapat kecmpat, apabila perawi yang me-mursal-kan atau me-mauquf- kan umumnya tidak lalai menyebutkan pe-masnad-an dan pe-marfu’an, maka tidak diterima. Dan jika sebaliknya, maka diterima. Kemudian apabila mereka lebih kuat hapalannya, atau menjelaskan tentang tidak adanya pe-musnad-an dan pe-marfu’-an dengan penjelasan yang bisa diterima, semisal, “Aku tidak penah mendengar guru me-musnad-kan atau me-marfu’-kan hadits ini”, maka dua model khabar yang diriwayatkan dinyatakan bertentangan”.

 

Apabila seorang dari golongan shahabat mengarahkan khabar yang diriwayatkannya pada salah satu dari dua kemungkinan maknanya, maka khabar diarahkan pada makna tersebut, apabila kedua makna bertentangan. Dan apabila kedua makna tersebut tidak bertentangan, maka Statusnya seperti lafadz musytarak dalam hal mengarahkan pada kedua maknanya. Kemudian jika orang tersebut mengarahkan khabar yang diriwayatkannya pada selain makna dhbahbir, maka tetap diarahkan pada makna dbahir-nya, menurut pendapat ashab.

 

ARAHAN MAKNA SHAHABAT

 

Manakala seorang perawi dari golongan shahabat meriwayatkan khabar yang di dalamnya terdapat lafadz musytarak, kemudian mengarahkannya pada salah satu dari dua maknanya, maka dipilah,

 

  1. Apabila dua makna tersebut bertentangan, maka arahan makna tersebut diikuti. Karena secara dhahir orang tersebut mengarahkan atas dasar garinah, Imam Abu Ishaq As Syairazi dalam hal ini menangeuhkan, Beliau mengatakan, “dalam hal ini perlu dikaji ulang, karena ada kemungkinan orang tersebut menparahkan karena menycsuathan pendapatnya sendiri.

 

  1. Apabila kedua makna tersebut tidak bertentangan, maka menurut pendapat ashah, statusnya seperti lafadz musytarak, yakni diarahkan pada kedua maknanya menurut pendapat yang unggul. Dan tidak boleh membatasi pada arahan makna perawi saja, kecuali mengikutj pendapat bahwa madzhab perawi dapat mentakhsish.

 

Selanjutnya apabila khabar yang diriwayatkan tidak menggunakan lafadz musytarak, namun menggunakan lafadz yang memiliki makna dhahir, kemudian seorang perawi dari kalangan shahabat mengarahkan pada selain makna dhahirnya (makna ta’wil), seperti mengarahkan lafadz pada makna majaz, atau mengarahkan amr (perintah) pada makna sunnah, maka ulama berselisih pendapat;

 

  1. Menurut pendapat ashah, arahan tersebut tidak diikuti dan tetap menggunakan makna dbahir-nya. Dalam persoalan inilah Imam As-Syafi’i mengatakan; “Bagaimana aku bisa mengesampingkankan khabar, karena ucapan seseorang yang seandainya aku hidup di masanya, pastilah aku akan berbantah dengannya”’.

 

  1. Pendapat kedua dari mayoritas Hanafiyah, diarahkan pada ta’wil-nya secara mutlak, karena orang tersebut mengarahkan demikian karena ada dalil.

 

  1. Pendapat ketiga, dari Imam Abu Al-Husain Al-Bashri, diarahkan pada ta’wil, apabila orang tersebut mengarahkan ta’wil karena pengetahuannya atas tujuan Nabi SAW melalui perantara garinah yang disaksikannya.

 

Permasalahan: tidak diterima periwayatan orang yang cacat akalnya, kafir, dan juga anak kecil, menurut pendapat Ashah.

 

Pendapat ashah, diterima periwayatan anak kecil yang menghafalkan, kemudian menjadi baligh, dan menyampaikan hatalannya. Juga periwayatan ahli bid’ah yang mengharamkan berbohong dan bukan termasuk orang yang mengejak orang lain mengikuti bid’ahnya, serta tidak divonis kufur sebab bid’ahnya. Juga diterima periwayatan seseorang yang bukan ahli fiqih meskipun menyalahi qiyas. Serta orang yang menyepelekan persoalan slain hadirs. Diterima juga periwayatan orang yang, memperbanya riwayat, dalam posisi dia jarang bergaul dengan para ahli hadits, apabila memungkinkan didapatkannya kadar sebanyak itu dalam rentang waktu selama bergaul.

 

MEREKA YANG DITERIMA DAN DITOLAK PERIWAYATANNYA

 

Berikut ini perincian orang yang ditolak dan diterima periwayatannya, disertai silang pendapat di dalamnya.

 

  1. Tidak diterima periwayatan orang yang cacat akalnya, seperti orang gila, karena orang semacam ini tidak dimungkinkan menjaga dari cacat. Baik gilanya terus menerus atau terputus-putus dan mempengaruhi di waktu sadat.

 

  1. Tidak diterima periwayatan kafir, meskipun diketahui taat beragama dan menjaga diri dari kebohongan. Karena secara umum sifat keadilan dari orang ini sudah tidak ada, sedangkan derajat peritwayatan adalah mulia, tidak membutuhkan orang kafir. Namun apabila saat kafir dia menghapal, kemudian menyampaikannya setelah masuk islam, maka diterima.

 

  1. Tidak diterima petiwayatan anak kecil yang mencapai usia tamyiz, menurut pendapat Ashah. Karena manakala dia mengetahui dirinya tidak terkena taklif (tuntutan), terkadang dia tidak menjaga dari kebohongan, sehingga dia tidak dapat dipereaya. Pendapat lain, diterima apabila diyakini menjaga dari berbohong. Apabila anak kecil tersebut menghafalkan, kemudian menjadi baligh, dan menyampaikan hafalannya, maka diterima menurut pendapat ashah. Versi lain, tidak diterima, karena usia kecil merupakan madbinnah (persangkaan) tidak akuratnya hafalan dan tidak menjaga kebohongan.

 

  1. Diterima periwayatan ahli bid’ah yang mengharamkan berbohong, tidak mengajak orang lain mengikuti bid’ahnya, dan tidak divonis kufur sebab bid’ahnya. Pendapat lain, tidak diterima secara mutlak. Pendapat ketiga, kecuali orang yang mengajak orang lain mengikut bid’ahnya. Karena dimungkinkan mereka memalsukan khabar sejalan dengan bid’ahnya. Sedangkan ahli bid’ah yang tidak mengharamkan berbohong, maka tidak diterima, baik dinyatakan kufur sebab bid’ahnya ataupun tidak. Juga yang mengharamkan berbohong, namun dinyatakan kufur, menurut mayoritas seperti kelompok mujassim (yang menyematkan sifat makhluk pada Allah SWT). Karena kualitas bid’ah mereka tidak bisa ditolerir.

 

  1. Diterima periwayatan seseorang yang bukan ahli fiqh, meskipun menyalahi qiyas, menurut pendapat ashah. Pencdapat lain, dari Hanafiyah, tidak diterima dalam persoalan yang menyalahi qiyas.

 

  1. Diterima periwayatan orang yang menycpelekan persoalan selain hadits, menurut pendapat ashah. Dalam arti menyepelekan pembicaraan antar manusia, namun menjaga hadits Nabi SAW. Pendapat lain, riwayat orang ini ditolak secara mutlak. Karena setiap tindakan menyepelekan akan menyeret seseorang menyepelekan hadits Nabi SAW.

 

  1. Diterima juga periwayatan orang yang memperbanyak riwayat, dalam posisi dia jarang bergaul dengan para ahli hadits, apabila memungkinkan didapatkannya kadar sebanyak itu dalam rentang waktu selama bergaul. Jika tidak memungkinkan, maka tidak diterima, karena jelas kebohongannya.

 

Syarat seorang perawi adalah sifat adil, yakni karakter kuat yang mencegah seseorang melakukan beberapa dosa besar dan dosa kecil yang rendah, seperti mencuri sesuap nasi, dan etika rendah yang mubah, seperti kencing di jalan. Dan menurut pendapat ashah, tidak diterima perawi yang sifat adilnya tidak diketahui secara batin, yakni yakni al-mastur (tertutup keadilannya), perawi yang sifat adilnya tidak diketahui secara dhahir-batin, dan perawi yang tidak jelas sosoknya. Namun apabila ada sekaliber orang seperti As-Syafi’i mensifatinya sebagai orang terpereaya, atau dengan menafikan kecurigaan, menurat pendapat ashah. Hal ini sebagaimana orang yang dalam keadaan udzur melakukan perbuatan yang madhuun (diduga) atau maqthu’ (dipastikan) menyebabkan fasik.

 

SYARAT PERAWI DAN DEFINISI ‘ADALAH

 

Termasuk syarat seorang perawi adalah bersifat adil, yakni karakter kuat yang mencegah seseorang melakukan beberapa dosa besar dan dosa kecil yang rendah, seperti mencuri sesuap nasi, clan ctika rendah yang mubah, seperti kencing di jalan yang makruh hukumnya dan makan di pasar bagi selain penghuni pasar. Dengan melakukan salah satu dari beberapa perkara tersebut, maka sifat adil menjadi hilang.

 

Sedangkan dosa kecil yang tidak rendah, seperti berbohong yang tidak bernilai madlarat, dan memandang wanita yang bukan mahram, maka tidak menghilangkan sifat adil, kecuali dilakukan terus mencrus dan tha’at-nya tidak lebih dominan dari maksiatnya.

 

PERIWAYATAN AL-MAJHAUL

 

AlMajhul adalah orang yang tidak diketahui idecntitas atau kredibilitasnya sebagai seorang perawi. Dalam hal ini mengenai diterima atau tidaknya periwayatan al-majhul, disesuaikan dengan klasifikasinya.

 

Pertama, al-majhul bathinan, yakni perawi yang sifat adilnya tidak diketahui secara batin, dan hanya adil secara lahiriyah saja. Disebut juga dengan al-mastur (tertutup keadilannya). Hal ini manakala ada dua orang atau lebih meriwayatkan dari perawi ini, namun belum sepenuhnya dinilai adil. Ulama berselisth pendapat mengenai status periwayatannya;

 

  1. Menurut pendapat ashah, tidak diterima, karena syarat diterimanya periwayatan berupa sifat adil tidak terpenuhi secara nyata.

 

  1. Pendapat kedua, diterima. Pendapat ini diklaim a@shah versi ahli hadits dan juga pendapat imam Abi Hanifah, Ibn Fauraq dan Salim (ArRazi), serta dishahihkan Imam Ibn As-Shalah dalam Al-Mukhtashar dan Imam An-Nawawi dalam Syarh Al-Muhaddzab. Karena mencukupkan dugaan terpenuhinya syarat. Dugaan adil secara batin diperoleh dari keadilan lahiriyahnya.

 

  1. Pendapat ketiga, ditangguhkan, sampai jelas kredibilitasnya melalui penelitian. Imam Haramain mengatakan, apabila perawi tersebut meriwayatkan hukum haram, maka wajib menunda sampai ada kejelasan.

 

Kedua, al-majhul dhahiran wa bathinan, yaitu perawi yang sifat adilnya tidak diketahui secara dhahir-batin. Hal ini manakala perawi tersebut dikenal sosoknya, sebab ada dua perawi adil yang meriwayatkan darinya. Dalam hal ini periwayatannya menurut ashah ditolak. Pendapat lain, diterima, karena berbaik sangka pada seorang perawi.

 

Ketiga, majhul al-‘ain, yaita seseorang yang periwayatan darinya dilakukan satu orang saja. Definisi ini disampaikan Imam As-Suyuthi. Definisi lain dari Imam Az-Zarkasyi yang dikutip pensyarah adalah seseorang yang tidak disebutkan namanya, seperti “diritwayatkan dari seorang laki-laki”. Dalam hal ini ulama sepakat periwayatannya ditolak. Karena selain tidak jelas sosoknya, keadaan dan sifatnya juga tidak jelas,

 

Hanya saja manakala pakar hadits sekaliber As-Syafi’i mensifatj majhul al-‘ain sebagai orang terpereaya, seperti statemen Imam As-Syafi’i dalam banyak hadits, “Seorang yang terpereaya telah mengkhabariku”, maka menurut pendapat ashah, periwayatannya diterima. Berbeda dengan imam as-Shairafi dan Al-Khathib. Karena ada kemungkinan ada pencacat yang tidak diketahui oleh orang yang mensifatinya. Dan juga diterima ketika pakar sekaliber As-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak mencurigainya berbohong”. Imam Ad-Dzahabi mengatakan, kata-kata tersebut bukan legitimasi kejujuran seseorang.

 

Keempat, al-majhul ismuh wa nasabuh, yaitu orang yang tidak diketahui nama dan nasabnya, namun sosoknya dan keadilanny diketahui, Periwayatan orang ini diterima, seperti penjelasan Imam Al-Khathib dan dimantabi oleh Imam An-Nawawi.

 

PERIWAYATAN PELAKU KEFASIKAN

 

Seseorang yang melakukan perbuatan penyebab kefasikan dalam keadaan ma’dzur (ada adzur), maka status periwayatannya diperselisihkan.

 

  1. Pendapat ashah, dapat diterima, baik dalil yang menunjukkan kefasikan bersifat dhanniy (dugaan), seperti minum nabidh (minuman keras dari selain perasan anggur), atau qath’iy (pasti), seperti minum khamr. Dan baik orang tersebut meyakini boleh atau tidak meyakini apapun. Karena dia dimaafkan atas ketidaktahuannya.

 

  1. Pendapat kedua, tidak diterima secara mutlak, karena telah melakukan tindakan penyebab kefasikan, meskipun meyakini boleh.

 

  1. Pendapat ketiga, diterima dalam perkara yang dalilnya bersifat dhanniy (dugaan), bukan qath‘iy (pasti).

 

Sedangkan orang yang melakukan perbuatan penyebab kefasikan dalam keadaan mengetahui hukum haramnya, maka dipastikan periwayatannya tidak diterima.

 

“Menurut pendapat te ilih, bahwa dosa besar adalah perbuatan yang pada umumnya ditetapkan ancaman secara khusus. Seperti membanuh, zina, liwath (setubuh anus), minum khamr dan perkara memabukkan, mencuri, ghashab, menuduh zina, mengadu domba, persaksian palsu, sumpah palsu, memutus silaturahim, durhaka pada orang tua, lari dari barisan perang, mengambil harta anak yatim, berkhianat, mendahulukan dan mengakhirkan shalat dari waktunya, berbohong pada Nabi SAW, memukul muslim lain, mencaci shahabat, menyembunyikan persaksian, suap menyuap, membiarkan istri berbuat asusila, membiarkan selain istri berbuat asusila, mengorbankan orang lain pada orang dzalim, menolak berzakat, putus asa dari rahmat Allah SWT, merasa aman dari balasan Allah SWT, sumpah dazihar, memakan bangkai dan daging babi, meninggalkan puasa Ramadhan, membegal, sihir, riba, dan melakukan dosa kecil terus menerus.

 

PEMBAHASAN DOSA BESAR

 

Perdebatan tentang pendefinisian dosa besar belum mencapai titik kesimpulan yang memuaskan. Imam Ibn ‘Abd As-Salam mengatakan, “Aku tidak melihat dosa-dosa besar dapat terbatasi oleh definisi”, dalam arti belum ada satu definisi pun yang terlepas dari gugatan. Berikut sebagian definisinya;

 

  1. Dosa besar adalah perbuatan yang secara khusus ditetapkan ancaman dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Definisi ini lebih banyak dijumpai dalam kasus-kasus dosa besar, serta lebih sesuai saat disampaikan secara perincian. Sejalan dengan statemen Imam Ibn Abbas, “‘Setiap dosa yang Allah SWT memastikan neraka, murka, laknat, atau siksaan adalah dosa besar”.

 

  1. Dosa besar adalah perbuatan yang di dalamnya dikenai sangsi Aad. Imam Ar-Raf’i mengatakan bahwa ulama lebih cenderung mengungpulkan definisi ini.

 

  1. Dosa besar adalah segala bentuk dosa. Disampaikan Al-Ustadz Abu Ishaq, Qadhi Abu Bakar, Ibn Al-Qusyairi, dan diriwayatkan Imam Ibn Fauraq dari Asy’ariyah, serta dipilih Imam As-Subki. Mereka meniadakan istilah dosa kecil. Memandang besarnya kesalahan orang yang mendurhakai Allah SWT serta pedihnya siksaan yang diterima.

 

  1. Dosa besar adalah setiap dosa yang menyimpulkan bahwa pelakunya memiliki kepedulian apama yang rendah dan tipis rasa keberagamaannya. Disampaikan oleh imam Haramain,

 

Beberapa deftnisi di atas adalah pengertian dosa besar dalam konteks masih disertai iman. Sedangkan mengenai jumlah dosa besar, ulama juga berselisih pendapat. Imam Ibn ‘Abbas menychutkan sampai sekitar tujuh puluh, Imam Said Ibn Jubair menyebutkan sampat sekitar tujuh ratus, pendapat lain empat puluh, dan lain sebagainya. Berikut perincian sebagian dosa besar selain kekafiran sebagai dosa paling besar.

 

  1. Membunuh, baik yang ‘amd (sengaja) atau syibh ‘amd (serupa sengaja), bukan khatha’ (kesalahan).

 

  1. Berzina, berdasar HR. Bukhari-Muslim;

 

“Seorang lelaki berkata, ‘Ya Rasulallah, dosa apakah yang ‘paling besar di hadapan Allah SWT?. Nabi SAW menjawab, “Menyembah sekutu bagi Allah SWT, sedangkan Dia menciptakanmu”. Lelaki itu bertanya, “Kemudian apalagi?”. Nabi SAW menjawab, “Membunuh anakmu karena takut makan bersamamu”. Lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian apalagi?”. Nabi SAW menjawab, “Menzinai istri tetanggamu”.

 

Dan firman Allah SWT;

 

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuban yang lain beserta Allah dan ‘lidak membunuh jiwa yang dibaramkan Allah (membunubnya) Recuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina”

 

  1. Liwath (sodomi), karena telah menyia-nyiakan benih keturunan, sebagaimana zina. Dalam HR. Ibn Jamaah;

 

“Siapapun yang kalian temukan mengerjakan perbuatan (livath) seperti kaum Nabi Luth as, maka bunuhlah yang melakukan dan yang dijadikan sasaran”’

 

  1. Minum khamr, yakni hasil fermentasi perasan anggur, meskipun sedikit dan tidak memabukkan.

 

  1. Minum perkara memabukkan, seperti yang terbuat dari rendaman anggur kering dan lain-lain. Berdasar HR. Muslim,

 

“Sesungguhnya pada Allah SWT ada ancaman pedih havi orang yany meminurt perkata jane meniabukkan, untuk memberinya minum dari thinah al-khabal. Shababat bertanya, ‘Wahat Rasulallah, apakah thinah al-khabal. Nabi SAW menjawab, “keringat penghuni neraka”.

 

  1. Mencuri dengan kadar barang secharga seperempat mitsqal,

 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”’

 

7, Ghashab, sabda Nabi SAW dalam HR. Bukhari-Muslim; ;

 

 

“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara dzalim, maka Allah SWT akan mengalungkan tanah itu padanya kelak di hari kiamat dari tujuh lapis bumi” Segolongan ulama membatasi dengan kadar barang seharga , seperempat mitsqal, seperti dalam pencurian.

 

  1. Menuduh zina, selain pada Sayyidah ‘Aisyah, sebab menuduh zina pada Beliau menyebabkan kufur, karena mengandung pendustaan AlQuys’an. Mengecualikan tuduhan suami pada istrinya yang diketahui berzina, maka hukumnya boleh, bahkan wajib jika istri melahirkan anak yang diyakini bukan dari dirinya. Imam Al-Halimi mengatakan bahwa menuduh wanita kecil, budak wanita, wanita merdeka yang merusak harga dirinya, kesemuanya termasuk dosa kecil. Karena kadar idza’ (menyakiti) pada mereka lebih ringan. Dan Imam Ibn ‘Abd As-Salam mengatakan, menuduh zina atas orang yang terjaga harga dirinya di tempat sepi, dan tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT dan malaikat ba adzah termasuk dosa kecil.

 

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)”

 

  1. Mengadu domba, adalah menceritakan ucapan sebagian orang kepada yang lain dengan tujuan merusgk antar mereka. Nabi SAW bersabda;

 

“Tidak akan masuk surga, seseorang yang mengadu domba”

 

10.Persaksian palsu, karena dalam beberapa hadits, Nabi SAW menggolongkannya sebagai dosa besar dan terbesar.

 

11.Sumpah palsu, dalam HR, Bulhari-Muslim, Nabi SAW bersabda;

 

“Barangsiapa bersumpah atas harta seorang muslim dengan tanpa (alasan) yang benar, maka dia akan berjunpa dengan Allah SWTdalam keadaan murka kepadanya”

 

“Barangsiapa mengambil hak orang seorang mushm dengan sumpahnya, maka Allah SWT menetapkan baginya neraka dan mengharamkan baginya surga. Seorang laki-laki bertanya pada Beliau, “Meskipun perkara sedikit wabai Rasulallah?. Nabi SAW menjawab, “Meskipun sebatang kayu arak”’.

 

12.Memutus silaturahim, dalam HR. Bukhari-Muslim, Nabi SAW bersabda;

 

“Tidak akan masuk surga, seseotang yang memutus silaturahim”

 

13.Durhaka pada orang tua, karena dalam beberapa hadits, Nabi SAW menggolongkannya sebagai dosa besar dan terbesar.

 

14.Lari dari barisan perang, karena hal ini termasuk tujuh macam dosa besar yang merusak dalam HR. Bukhari-Muslim;

 

“Jauhilah tujuh dosa besar yang merusak, mensekutukan Allah SWT, sibir membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) Recuali dengan (alasan) yang benar, memakan harta anak yatim, memakan riba, berpaling saat kecamuk perang, menuduh zina pada wanita-wanita yang menjaga kemaluannya, mengabaikan perbuatan buruk dan beriman kepada Allah SWT” Namun apabila bertahan akan menyebabkan kematian tanpa merugikan pihak musuh, maka wajib melarikan diri, karena pengagungan agarna tidak terwujud dengan bertahan.

 

15.Mengambil tanpa haknya atas harta anak yatim, firman Allah SWT,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara alim, sebenarnya mereka ith menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”

 

16.Berkhianat, selain dalam hal yang remeh, baik dalam takaran, atau yang lain, seperti tmbangan, atau melalui ghulul (korupsi), yakni berkhianat atas harta baitul mal, ghanimah, atau zakat. Firman Allah SWT

 

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang”’

 

Dan firman Allah SWT:

 

“Sesungguhnya Allah tidak mehyuhai orang-orang yang berkhianat”

 

Juga firman Allah SWT;

 

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu”

 

17.Mendahulukan dan mengakhirkan shalat dari waktunya, dan lebih berat lagi meninggalkannya. Nabi SAW bersabda dalam HR. Tirmidzi;

 

“Barangsiapa mengumpulkan antara dua shalat dengan tanpa udzur, maka sungguh dia telah memasuki satu pintu dari beberapa pintu dosa besar”

 

18.Berbohong pada Rasulullah, berdasar HR. Bukhari-Muslim;

 

‘Barangsiapa mendustakan diriku dengan sengaja, maka dia akan mengambil tempatnya di neraka”

 

Sedangkan berbohong pada selain Nabi SAW adalah dosa kecil.

 

19.Memukul muslim lain tanpa alasan yang benar, berdasar HR. Muslim;

 

“Dua golongan dari umatku termasuk penduduk neraka yang aku belum menyaksikannya. Yaitu kaum yang bersamanya cemeti seperti ekor sapi yang mereka gunakan memukuli manusia dan para wanita yang menutupi sebagian badan dan membuka sebagian yang lain”.

 

20.Mencaci shahabat,

 

‘Janganlah kalian mengumpat para sahabatku. Demi Dzat yang dirikeu ada dalam keknasaannya, seandainya salah satu dari kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, tidaklah dia menyamai satu mud (sedekah) mereka, dan tidak pula separuh mudnya”

 

21.Menyembunyikan persaksian, firman Allah SWT

 

“Dan janganlah kamu (para saksi metwenibinivihean porsaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesunggubnya ta adalah orang yang berdosa hatinya”

 

22.Suap menyuap, yakni memberi harta untuk membenarkan perkara bathil, atau membathilkan perkara haq. Dalam HR. Ibn Majah;

 

“Laknat Allah SWT ditimpakan pada penyuap dan penerimanya”

 

23.Ad-Diyatsah (membiarkan istri berbuat asusila), dan al-qiyadah (membiarkan selain istri berbuat asusila). Dalam hadits;

 

“Tiga orang tidak, akan masuk, surga, pembangkang kedua orang tuanya, mucikari, dan wanita peniru lakt-laki”

 

24.Mengorbankan orang lain pada orang dzalim, dalam Nihayah Al-Gharib, terdapat hadits;

 

“Orang yang merigorbankan orang lain adalah pembuat rusak”

 

25.Menolak berzakat, dalam HR. Bukhari-Muslm;

 

“Tidak, ada satuprn pemilik emas, dan perak yang tidak menunaikan hak darinya, kecuali ketika datang hari kiamat, akan direntangkan beberapa lempengan dari api, Remudian di atasnya dihidupkan api di neraka jahanam serta dengan itu lambung, pelipis dan punggung mereka dibakar”’

 

26.Putus asa dari rahmat Allah SWT. Berdasarkan HR. Abu Dawud;

 

“Termasuk. di antara beberapa dosa besar adalah menyekutukan lah dan berputus asa atas rahmat Allah SWT”

 

Maksud putus asa di sini adalah menganggap pengampunan Allah SWT sulit dicapai, sebab menilai dosanya yang besar. Bukan dalam arti mengingkari besarnya rahmat Allah SWT atas dosa hamba-Nya, karena hal ini tergolong kufur berdasarkan dhahir firman Allah SWT;

 

“Dan jangan kamu berputus asa dari rabmat Allah, Sesurigpuhnya tiada berputus ata dart rabmatl Allah, melainkan kaum yang kafir”

 

27.Merasa aman dari balasan Allah SWT, dengan membiarkan dirinya berlarut dalam kemaksiatan dan berpegang pada pengampunan-Nya. Firman Allah SWT;

 

“Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”

 

28.Sumpah dzihar, seperti ucapan seorang suami pada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku (dalam keharamannya)”. Karena terdapat penyerupaan istri pada ibu dalam hal keharaman ibu bagi suami. Allah SWT berfirman;

 

“Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta”’

 

29.Memakan bangkai dan daging babi, selain dalam keadaan darurat. Firman Allah SWT;

 

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu ‘yaitu diwahyukan kepadaku, sesuatu yang dibaramkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesunggubnya semua itu kotor”

 

30.Meninggalkan puasa Ramadhan, selain karena udzur. Karena puasa Ramadhan merupakan rukun Islam, sehingga meninggalkannya menunjukkan pelaku tipis rasa kepedulian agamanya.

 

31.Membegal orang yang lewat dengan menakut-nakuti mereka. Allah SWT berfirman;

 

“Sesungguhnya pembalasan terbadap ‘orang-orang yang memerangi “Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi”

 

32.Sihir dan riba, karena dua hal ini termasuk tujuh macam dosa besar yang merusak seperti dalam HR. Bukhari-Muslim yang telah lewat.

 

33.Melakukan dosa kecil terus menerus. Batk dari satu macam atau beberapa macam dosa kecil.

 

Dosa besar tidak hanya terbatas pada yang tersebut di atas, Sedangkan keberadaan hadits hadits yang isinya bervariasi, hanyalah menyesuaikan konteks dan kebutuhan saat hadits tersebut diucapkan”,

 

Sedangkan mengkhabarkan sesuatu yang bersifat khusus di depan hakim, adalah syahadah, apabila sesuatu tersebut berupa hak bagi selain pemberi khabar yang membebani orang lain. Pendapat terpilih, lafadz  (saya bersaksi) adalah kalam insya’ yang menyimpan makna ikhbar (pengkhabaran). Dan bahwa beberapa shighat akad, dan pelepasan hak seperti , (aku menjual)  dan  (aku merdekakan) adalah kalam insya’

 

RIWAYAH-SYAHADAH DAN BAHASA DALAM KEDUANYA

 

Riwayah dan syahadah adalah dua kata yang mirip, namun memiliki perbedaan pengertian secara hakikat. Riwayah secara hakikat adalah mengkhabarkan sesuatu yang bersifat umum bagi seluruh manusia, Dalam arti, mengkhabarkan dihasilkannya sesuatu yang secara dzatiyah bersifat umum, bukan mengkhabarkan tentang sifat keumumannya. Sedangkan syahadah adalah mengkhabarkan sesuatu yang bersifat khusus bagi sebagian manusia di depan hakim, manakala sesuatu tersebut berupa hak bagi selain pemberi khabar yang membebani orang lain. Namun apabila berupa hak bagi pemberi khabar yang membebani orang lain, maka disebut da’wa (dakwaan). Atau hak bagi orang lain yang membebani pemberi khabar, maka disebut iqrar (pengakuan).

 

Termasuk contoh nwayah adalah mengkhabarkan Ahbushushiyah (hal yang bersifat khusus) bagi Nabi SAW. Karena tujuan pengkhabarannya adalah agar meyakini kekhususan perkara tertentu bagi seseorang yang mendapatkan khushushiyah. Dimana hal ini bersifat umum bagi semua manusia. Sedangkan hal-hal yang termuat dalam perkara yang dirtwayatkan berupa amr, nahi dan yang menyerupai keduanya, maka dikembalikan pada khabar dengan pen-ta’wilan. Semisal ta’wil dari perintah (dirikanlah shalat!) adalah   (shalat hukumnya wajib), dan ta’wil dari ‘(janganlah kalian mendekati zina!) adalah  (zina hukumnya haram).

 

Menurut pendapat Mukhtar, lafadz  (saya bersaksi) adalah kalam sya’ yang menyimpan makna ‘khbar (pengkhabaran) atas perkara yang dipersaksikannya, bukan murni skhbar atau insya’. Hal ini karena memandang aspek lafadz dimana muatan isinya terwujud dalam realitas, sekaligus memandang aspek muta’allaq (perkara-perkara yang terkait). Pendapat lain, lafadz   adalah murni ikhbar, dengan memandang aspek muta‘allaq saja. Dan pendapat ketiga, insya’ murni, karena memandang aspek lafadz saja. Menurut pendapat pertama, status lafadz  sebagai insya’ dan keberadaan makna syahadah sebagai ikhbar tidak bertentangan, karena lafadz tersebut merupakan shighat yang merepresentasikan makna berupa pengkhabaran khusus dengan memandang keterkaitan yang ada.

 

Beberapa shighat akad, dan pelepasan hak seperti, (aku menjual) dan  (aku merdekakan) adalah kalam insya’, karena muatan isinya terwujud dalam realitas. Dalam hal ini shighat tersebut dipindah (manqgul dari ikhbar menuju insya’ secata majaz, hingga kemudian menjadi hakikat ‘urftyah. Menurut imam Abi WHanifah, termasuk khbar (pengkhabaran) atas ashlnya, artinya tetap dalam makna lughawi-nya, karena hukum asalnya, pemindahan (naql) tidak ada. Dengan cara mengira-ngirakan muatan isinya terwujud dalam realitas menjelang shighat-shighat tersebut terucap”.

 

Pendapat terpilih, bahwa Jarh (pencacatan) dan ta’dil (penilaian adil) bisa tetap dengan satu orang hanya dalam riwayat.

 

Kemudian menurut pendapat terpilih, disyaratkan menyebutkan sabab dari jarh dalam keduanya (riwayat dan syahadah). Dan Jarh cukup dimutlakkan dalam riwayat, apabila madzhab pencacat (al-jarih) diketahui.

 

Jarh didahulukan (dari ta’dil) apabila jumlah pencacat (al-jarih) melebihi jumlah penilai adil (al-mu’addil). Juga didahulukan ketika tidak Melebihi jumlah penilai adil, menurut pendapat ashah.

 

DEFINISI JARH WA AT-TA’VDIL,

 

Secara bahasa, al-jarh bermakna akibat atau bekas luka pada tubuh. Secara istilah ilmu hadis, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi atau keadaan seorang rawi yang tidak adil dan menycbabkan gugurnya atau Iemahnya riwayat yang disampaikan. Adapun kata ta’dil secara bahasa berarti mengemukakan sifat-sifat adil seseorang. Menurut istilah ilmu hadis, kata ta‘dil berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jclas keadilan pribadi periwayat itu dan riwayatnya dapat diterima.

 

‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani mengatakan bahwa ilmu aljarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut. Pada prinsipnya, ilmu jarh wa ta’dil adalah bentuk lain dari upaya untuk meneliti kualitas hadis bisa diterima (maqbul) atau ditolak (mardud). Adapun yang menjadi objek penelitian suatu hadis selalu mengarah pada dua hal penting, yang pertama berkaitan dengan sanad rawi (rangkaian yang menyampaikan) hadis, dan kedua berkaitan dengan watan (redaksi) hadis. Dengan demikian keberadaan sanad dan matan menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan”.

 

KETENTUAN JARH WA AT-TA’DIL

 

Mengenai penetapan syarat bahwa jarh wa at-ta’dil (pencacatan dan penilaian adil) dalam nwayah dan syahadah cukup dilakukan satu orang, ulama berseelisth pendapat. ;

 

  1. Pendapat terpilih, satu orang diterima dalam riwayah, artinya diterima dalam jarh wa at-ta‘dil bagi seorang perawi, namun tidak diterima dalam Syahadah, atau syahid (saksi). Pendapat ini adalah versi Ashah dari kalangan ahli hadits, Imam Ar-Razi, Al-Amidi, dan pengikut keduanya, dan diriwayatkan Ibn Al-Hajib dari mayoritas.

 

  1. Pendapat kedua, satu orang tidak diterima dalam keduanya (rwayah dan syahadah). Memandang bahwa jarh dan ta’dil tergolong syahadah.

 

  1. Pendapat ketiga, jarh (pencacatan) dan ta‘dil (penilaian adil) bisa tetap dengan satu orang. Memandang bahwa keduanya adalah khabar. Dan bahwa keduanya setara dengan sebuah hukum, sehingga tidak disyaratkan pelaku terdiri dari banyak orang.

 

Kemudian ulama juga berselisih pendapat apakah jarh wa at-la’dil dalam riwayah dan syahadah diharuskan menycbutkan sebab-sebabnya, ataukah cukup secara mutlake.

 

1, Pendapat terpilih, harus disebutkan sabab dari jarh saja, bukan fa’dil Karena perbedaan manusia menetapkan kriteria perkara yang menetapkan jarh. Sedangkan dalam ta’dil tidak demikian. Menurut Imam Al-Ghazali, alasan utamanya adalah karena sebab-sebab seseorang ditetapkan adil sangat banyak, maka menjadi sulit disebutkan, sehingga cukup dengan dimutlakkan.

 

Hanya saja dalam riwayah cukup menyebutkan mutlak, manakala madzhab pencacat diketahui, yakni bahwasanya dia tidak mencacat kecuali disertai adanya alasan kuat.

 

  1. Pendapat kedua, harus disebutkan sabab dari keduanya, karena ada kemungkinan seseorang mencacat sesuatu yang sebenarnya bukan perkara cacat, atau tergesa-gesa menetapkan keadilan seseorang berdasarkan aspek lahiriyah.

 

  1. Pendapat ketiga, jarh wa at-ta’dil cukup dengan dimutlakkan. Karena mencukupkan pada pengetahuan dari orang yang melakukan jarh wa at-ta‘dil.

 

  1. Pendapat keempat, harus disebutkan sabab dari ta’dil saja, bukan jarh. Karena jarh yang mutlak sudah dapat membatalkan sifat keadilan, sedangkan ta’dil yang mutlak belum tentu menctapkan sifat keadilan, karena banyaknya upaya merekayasa hal-hal yang menampakkan keadilan, sehingga bisa jadi keadilan hanya berpedoman aspek lahiriyah saja.

 

PERTENTANGAN ARADAN TA’DIL

 

Manakala jarh dan ta’dil bertentangan, maka diperinci ;.

 

  1. Apabila jumlah orang yang mencacat (al-jarih) lebih banyak dibanding jumlah orang yang menilai adil (al-mu’addil), maka ulama sepakat jarh didahulukan.

 

  1. Apabila jumlah pencacat (al-jarih) seimbang atau lebih sedikit dibanding jumlah penilai adil (al-mu’addil, maka ulama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut ashah, jarh didahulukan, karena afjarih didukung tambahan pengetahuan yang tidak dimiliki al-mu’addil. Kalangan ahli fiqh membatasi, selama al-mu’addil tidak mengatakan, “Aku tahu sebab-sebab cacatnya, namun perawi itu bertaubat dan aku angegap baik prilakunya’. Karena dengan ucapan ini, al-mu’addil didahulukan.

 

  1. Menurut Imam Ibn Sya’ban dan kalangan Malikiyyah, diperlukan tarjih pada keduanya,

 

  1. Apabila jumlah orang yang menilai adil (mu’addil lebih banyak dibanding jumlah orang yang mencacat (al-jarih), maka tad didahulukan menurut pendapat riwayat Imam Al Khathib, Ibn As. Shalah, An Nawawi”,

 

Termasuk ta’dil pada seseorang adalah vonis hukum dari hakim yang menetapkan kriteria sifat adil bagi saksi berdasar persaksian dari orang tersebut. Juga pengamalan seorang yang berilmu, serta periwayatan seseorang yang tidak meriwayatkan selain dari orang adil, menurut pendapat ashah.

 

Tidak termasuk jarh (mencacat) seseorang,  Meninggalkan amail atas khabar yang ditiwayatkannya, dan meningpalkan penetapan hukum atas persaksiannya, juga had yang ditimpakan dalam persaksian zina, dan seperti Meminum nabidz, serta tadlis (pengkaburan) dengan cara menyebut seseorang dengan nama yang tidak masyhur. Kecuali seandainya ditanyai tentang orene tersebut, maka dia tidak akan menjelaskannya. Juga tedlis dengan Menamai seseorang dengan nama lain untuk tujuan menyerupakan, seperti ucapan pengarang kitab asal; “Telah memberi khabar padaku Abu Abdillah Al-Hafidz”, dengan Menghendaki Ad-Dzahabi, Dimana hal ini menyerupai Al-Baihaqi dimana beliau menghendaki Al-Hakim dari kata-kata itu. Serta tadlis dengan cara mengesankan pernah bertemu dan mengesankan sebuah lokasi tertentu. Sedangkan pelaku tadlis dalam beberapa matan, maka dinilai cacat.

 

BEBERAPA BENTUK TA‘DIL

 

Ta‘dil (penetapan status adil) pada seseorang adakalanya dengan fashrih (pernyataan jelas) dan adakalanya dengan sadbammun (terkandung, terlinud di dalamnya). Hal ini terdapat dalam beberapa bentuk.

 

  1. Vonis hukum dari bakin berdasar persaksian seorang, dimana hakim tersebut menctapkan kriteria sifat adil bapi saksinya. Vonis hukum di sini menurut ashah mengandung penctapan status adil bagi orang tersebut (saksi), karena seandainya dia tidak adil, tentu hakim tidak memvonis hukum berdasarkan persaksiannya.

 

  1. Pengamalan atau fatwa dari seorang alim berelasar riwayat seseorang, dimana orang alim tersebut menctapkan kriteria adil bagi perawinya. Menurut ashah, hal ini mengandung unsur penctapan status adil bagi orang tersebut (perawi), karena seandainya tidak adil, tentu orang alim tersebut tidak mengamalkannya. Pendapat lain, tidak mengandung penetapan status adil bagi perawi. Karena bisa jadi orang alim tersebut mengamalkannya demi kehati-hatian.

 

  1. Periwayatan seseotang yang tidak meriwayatkan sesuatu selain dari orang adil. Hal ini menurut ashah mengandung unsur penetapan status adil bagi orang adil tersebut, baik diketahui melalui penjelasan, seperti ucapan, “Dia orang adil’, atau diketahui lewat kebiasaannya. Pendapat lain, tidak mengandung status adil bagi orang tersebut, kerena bisa jadi orang yang mengambil riwayat darinya meninggalkan kebiasaannya.

 

HAL-HAL YANG TIDAK TERGOLONG JARAH

 

Berikut ini hal-hal yang tidak tergolong sebagai jarh (mencacat) atas seseorang.

 

  1. Meninggalkan amal atas khabar yang diriwayatkannya

 

  1. Meninggalkan penctapan hukum atas persaksiannya. Karena bisa jadi ditinggalkannya hukum atau amal karena adanya faktor penghalang.

 

  1. Had yang ditimpakan dalam persaksian zina saat kuota empat orang tidak terpenuhi. Karena 4ad ditimpakan sebab jumlah yang tidak memenuhi syarat saja.

 

  1. Had yang ditimpakan dalam kasus meminum semacam nabidz (fermentasi selain anggur) dari beberapa masalah ijtihadi yang masih diperselisihkan. Namun untuk nabidz, sebatas kadar yang tidak memabukkan. Karena bisa jadi pelaku meyakini hal tersebut boleh.

 

  1. Tadlis (pengkaburan) atas orang yang menjadi sumber riwayat dengan cara menyebutnya mengeunakan nama yang tidak masyhur. Imam Ibn As-Sam’ani mengatakan, kecuali seandainya ditanyai tentang orang tersebut, maka dia tidak akan menjelaskannya. Maka ini dinilai mencacatkan, karena kebohongan yang nampak.

 

  1. Tadis dengan menamai seseorang dengan nama lain untuk tujuan menyerupakan. Seperti ucapan pengarang, “Telah memberi khabar padaku Abu Abdillah Al-Hafidz’’, dengan menghendaki Ad-Dzahabi.

 

Hal ini menyerupai Al-Baihaqi saat menpatakan, ‘“Telah memberi khabar padaku Abu Abdillah Al-Hafidz”, dimana yang dikehendaki beliau dart kata-kata ini adalah Al Hakim,

 

  1. Vadis dengan cara mengesankan pernah bertemu, seperti contoh ucapan seseorang yang sekurun dengan Imam Az Zuhri, namun dia belum pernah bertemu dengannya, “Imam Az-Zubri berkata”, Ucapan ini untuk mengesankan bahwa dia mendengar langsung dari Imam Az-Zuhsi. Atau dengan cara mengesankan sebuah lokasi tertentu. Seperti ucapan seseorang, “Telah memberi hadits kepadaky di belakang sungai”, mengesankan bahwa yang dikehendaki adalah sungai Jaihun, padahal yang dikehendaki adalah sungait Mesir sebagaimana di kota Jizah pesisir sungai Nil. Sedangkan pelaku tadlis dalam beberapa matan, yakni mereka yang memasukkan ucapan pribadi bersama dengan matan, maka dinilaj cacat. Karena menyebabkan orang lain terjebak membohongi Rasulullah SAW.

 

Permasalahan : sosok shahabat adalah orang yang berkumpul bersama Nabi SAW dalam keadaan mukmin, meskipun tidak meriwayatkan apapun dan tidak berkumpul lama. Sebagaimana sosok tabi’in bersama dengan shahabat.

 

Menurut pendapat ashah, apabila seseorang yang hidup semasa Nabi SAW dan bersifat adil mengaku sebagai shahabat, maka diterima.

 

Dan menurut pendapat ashab, bahwa shahabat semuanya adil.

 

KRITERIA SHAHABAT DAN TABI’IN

 

Sosok shahabat adalah orang yang berkumpul bersama Nabi SAW semasa hidup beliau dalam keadaan beriman dan mencapai taraf usia tamyiz, meskipun tidak meriwayatkan apapun dan tidak berkumpul lama. Sehingga orang yang berkumpul dalam keadaan kafir, belum tamyiz, atau setelah beliau wafat, tidak disebut shahabat. Imam Al-Barmawi berpendapat, orang yang belum tamyiz dapat disebut shahabat. Mengenai syarat harus meriwayatkan sesuatu dart Nabi SAW dan berkumpul lama, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Keduanya disyaratkan, karena kebiasaan dalam persahabatan adalah berkumpul lama, dan periwayatan merupakan tujuan pokok menjadi shahabat Nabi SAW dalam rangka menyampaikan hukum.

 

  1. Disyaratkan salah satunya saja. Dalam arti sebagian ulama mensyaratkan berkumpul lama saja, dan ulama lain mensyaratkan meriwayatkan meskipun hanya satu hadits dari Nabi SAW.

 

  1. Disyaratkan pernah berperang bersama Nabi SAW atau berkumpul minimal setahun. Karena menjadi shahabat Nabi SAW adalah kemulyaan besar yang hanya bisa diperoleh dengan berkumpul lama hingga nampak akhlak terpuji menjadi karakter seseorang. Setara dengan hal ini adalah berperang yang di dalamnya terdapat unsur bepergian, sempalan dari susah dan payah. Dan waktu satu tahun adalah rentang masa yang memuat empat musim dimana di dalamnya perwatakan menjadi berbeda-beda.

 

Sedangkan sosok tabi’in adalah orang yang berkumpul bersama shahabat semasa hidupnya dalam keadaan beriman. Pendapat ini diunggulkan Imam Ibn As-Shalah dan An-Nawawi. Pendapat lain, berkumpul lama menjadi syarat sebab memandang kebiasaan dalam persahabatan adalah berkumpul lama. Hal ini berbeda dengan definisi shahabat di atas, karena berkumpul dengan Nabi SAW meskipun sebentar memiliki pengaruh cahaya hati yang berlipat ganda dibandingkan berkumpul dengan shahabat atau orang lain.

 

PENGAKUAN MENJADI SHAHABAT

 

Menurut pendapat ashah, klaim atas status menjadi shahabat dari seseorang yang hidup semasa Nabi SAW dan memiliki sifat adil dapat diterima. Karena keadilan dalam dirinya mencegah orang tersebut melakukan kebohongan dalam hal semacam itu. Pendapat lain, tidak diterima, karena dirinya mengklaim kedudukan tinggi pada dirinya sendiri, dimana hal tersebut patut dicurigai, sebagaimana ketika seseorang mengatakan, “Aku adalah orang yang adil’.

 

KEADILAN SHAHABAT

 

Ulama salaf dan khalaf berselisih pendapat mengenai persoalan status keadilan bagi shahabat.

 

  1. Pendapat ashah menyatakan, semua shahabat memiliki sifat adil. Sehingga mereka tidak perlu dipersoalkan dalam riwayat maupun persaksiannya, karena mereka adalah umat terbaik. Firman Allah SWT;

 

“Kalian adalah umat yang lerbaik yang dilabivdan untuk manusia”

 

Dan firman Allah SWT ;

 

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian umat yang adil”

 

Serta sabda Nabi SAW dalam HR. Bukhari-Muslim; ‘

 

“Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku”

 

  1. Pendapat kedua, shahabat sama seperti yang lain, mereka diteliti status keadilannya dalam riwayat dan persaksian. Kecuali mereka yang nampak jelas atau dipastikan keadilannya, seperti shahabat Abu Bakar ra dan Umar ra.

 

  1. Pendapat ketiga, mereka semua adil, hingga peristiwa terbunuhnya Sayyidina Utsman ra. Karena semenjak peristiwa itu fitnah terjadi. Termasuk yang dinilai adil adalah mereka yang tidak turut campur dalam peristiwa tersebut.

 

  1. Pendapat keempat, mereka adil, kecuali orang-orang yang memerangi Sayyidina Ali karramallah wajhab. Karena mereka adalah orang-orang fasik, sebab membelot dari Imam yang sah. Hal ini disangkal, bahwa mereka sebenarnya berijtihad dalam memeranginya, sehingga tidak berdosa dan bahkan berpahala, meskipun secara fakta salah”.

 

Permasalahan : Mursal adalah khabar yang dilangsungkan (di-marfu’-kan) selain shahabat pada Nabi SAW. Menurut pendapat ashah, mursal tidak diterima, kecuali pembuat mursal termasuk pembesar tabi’in, dan ditopang oleh faktor bahwa pembuat mursal tidak meriwayatkan kecuali dari orang adil, maka mursal semacam ini secara hukum adalah musnad. Atau faktor yang menopang mursal adalah ucapan atau perbuatan shahabat, ucapan adalah ucapan atau ucapn mayoritas ulama, pe-masnad-an, pe-mursal-an lain, tersebar luas, qiyas, pengamalan orang-orang di masa itu, atau faktor lainnya, (maka mursal jaga diterima). Dan hasil penggabungan (mursal dan penopangnya) merupakan hujjah, apabila penopangnya tidak bisa mandiri menjadi hujjah. Namun jika bisa maneliri, maka mursal dan penopangnya berstatus dua dalil.

 

Dan menurut pendapat ashah, bahwa mursal dengan ditopang dalil lemah, kedudukannya lebih lemah dibanding musnad. Kemudian apabila mursal tidak memiliki penopang, dan tidak ditemukan dalil lain dalam sebuah masalah, maka menurut ashah, wajib Menangguhkan perkara tersebut karena sebab mursal,

 

PEMBAHASAN HADITS MURSAL

 

Mursal menurut definisi populer versi ulama ushul, pakar fiqh dan hadits adalah khabar yang di-marfu’-kan selain shahabat, baik tabi’in atau orang setelahnya langsung kepada Nabi SAW, dengan menggugurkan perantara antara dirinya dan Nabi SAW. Seperti ucapan, “Nabi SAW telah bersabda atau telah melakukan demikian”. Berbeda dengan definisi mayoritas ulama hadits, bahwa mursal adalah khabar yang di-marfu’-kan seorang tabi’in kepada Nabi SAW. Dan menurut mereka, wu’dhal adalah khabar yang meniadakan berturut-turut dua perawi atau lebih. Sedangkan, munqathi’ adalah khabar yang meniadakan satu perawi selain shahabat, atau lebih dari satu, manakala tidak berurutan.

 

Mengenai eksistensi ke-hujjah-an mursal, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, menolak mursal sebagai hujjah. Karena orang yang digugurkan tidak diketahui keadilannya, meskipun dari kalangan shahabat. Kecuali apabila pembuat waursal (al-mursil) adalah pembesar tabi’in, seperti Imam Qais ibn Abi Hazm, Abi Utsman An-Nahdi, dan Abi Raja’ Al-‘Utharidi, serta ditopang oleh salah satu di antara faktor lemah berikut ini;

 

Pertama, pembuat mursal tidak meriwayatkan kecuali dari orang adil, seperti Imam Sa’id ibn Al-Musayyab dan Abi Salamah ibn Abdurrahman yang keduanya meriwayatkan dari Abi Hurairah, maka diterima. Mursal semacam ini secara hukum adalah wusnad, karena pengguqur’an orang yang adil setara dengan menyebutkannya.

Kedua, acapan shahabat.

Ketiga, perbuatan shahabat.

Keempat, acapan mayoritas ulama yang tidak berstatus shahabat.

Kelima, pemusnadan, baik dari pembuat warsal atau orang lain.

Keenam, pemursalan lain, yakni ada perawi lain yang memursalkan dari guru yang berbeda.

Ketujuh, tersebar luas tanpa ada yang mengingkari.

Kedelapan, qiyas.

Kesembilan, pengamalan orang-orang pada masa itu yang sesuai kandungan khabar.

Kesepuluh, faktor-faktor lain, semisal pembuat maursal manakala bersama-sama penghapal hadits lain meriwayatkan beberapa hadits, maka dia cocok dan tidak berbeda, kecuali hanya sekedar penqur’angan redaksi yang tidak sampai mempengaruhi makna.

 

Kemudian dalam kualifikasinya, gabungan khabar mursal dan faktor penopang tersebut merupakan hujjah. Hal ini manakala penopang tersebut secara mandiri tidak mampu berperan menjadi hujjah. Jika mampu mandiri, maka status keduanya merupakan dua dalil.

 

  1. Pendapat kedua, menjadikan mursal sebagai hujjah secara mutlak. Karena seorang yang adil tidak menggugurkan perantara antara dirinya dan Nabi SAW kecuali dia menilai perantara tersebut adil. Sebab jika tidak demikian, hal ita akan menjadi pengkaburan yang mengakibatkan cacat.

 

  1. Pendapat ketiga, menolak mursal sebagai hujjah secara mutlak, karena alasan sebagaimana di atas.

 

  1. Pendapat keempat, menjadikan mursal sebagai hujjah apabila pembuat mursal termasuk para imam penukil hadits, seperti Imam Sa’id ibn AlMusayyab dan As-Syi’bi. Berbeda halnya jika selain mereka, karena terkadang mereka menyangka orang yang tidak adil sebagai orang yang adil, hingga kemudian digugurkan berdasarkan prasangkanya.

 

Kemudian mengikuti ulama yang menetapkan mursal sebagai hujjah sebab adanya faktor penopang yang lemah, maka kedudukan mursal lebih lemah dibandingkan musnad, yakni yang sanadnya bersambung dan tidak ada perawi yang digugurkan. Pendapat lain, marsal lebih kuat, karena orang adil hanya menggugurkan perawi yang dia yakini keadilannya. Berbeda dengan perawi yang disebutkan, bisa jadi persoalannya berubah menjadi tidak adil.

 

Selanjutnya, apabila mursal tidak memiliki penopang, dan tidak ditemukan dali lain dalam sebuah perkara yang berisi pelarangan sebuah perbuatan, maka menurut pendapat ashah, wajib menangguhkan perkara tersebut demi kehati-hatian. Karena menyebabkan adanya kesamaran yang mengharuskan penangguhan. Pendapat lain, tidak wajib ditangguhkan, karena dalam kondisi tersebut, status mursal bukanlah hujjah. Dan manakala ditemukan dalil lain yang kandungannya sama dengan wursal, maka secara pasti wajib menangguhkan perkara tersebut. Dan jika kandungannya tidak sama, maka kandungan dalil lain tersebut yang diamalkan”

 

Permasalahan : menurut pendapat ashah, diperbolehkan menukil hadits secara makna bagi orang yang berpengetahuan.

 

PENUKILAN HADITS BIL MAKNA

 

Menukil hadits bil ma’na adalah meriwayatkan hadits dengan cara mengganti salah satu redaksinya dengan lafadz lain yang menyamai dalam pemahaman dan makna yang dikehendaki, meskipun tidak lupa pada sedaksi aslinya, dan meskipun lafadz pengganti tidak semakna dengan lafadz yang diganti. Mengenai hukum melakukannya, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Menurut pendapat ashah, diperbolehkan bagi orang yang mengetahui betul makna yang ditunjukkan sebuah lafadz dan memahami kedudukan kalam. Perwujudannya adalah mampu mengganti lafadz satu dengan lafadz lain yang semakna serta tidak merubah maksud dan pemahaman, baik berbentuk insya’ atau khabar.

 

  1. Pendapat kedua, boleh apabila lupa pada redaksi lafadznya. Jika tidak lupa, maka tidak boleh, karena akan menghilangkan nilai kefasihan dari kalam Nabi SAW.

 

  1. Pendapat ketiga, boleh -dengan menggunakan lafadz semakna (wuradif), disertai tetapnya susunan dan kedudukan kalamnya, karena jika tidak demikian, maka terkadang maksud yang dikehendaki tidak tereapai.

 

  1. Pendapat keempat, melarang penukilan tersebut secara mutiak. Karena menjauhi adanya perbedaan pemahaman, meskipun penukil menduga hal semacam ini tidak ada. Karena ulama banyak sekali perselisihan faham mengenai makna yang dikehendaki dalam sebuah hadits

 

  1. Pendapat lain, semisal versi yang memperbolehkan apabila ketetapan hadits tersebut berupa keyakinan. Namun jika berupa amaliyah, maka sebagian tidak diperbolehkan, yakni yang di dalamnya memiliki nilai balaghah tinggi. Semisal HR. Bukhari-Muslim;

 

“Lima macam dari binatang semnanya menggangen melebihi batas, yang boleh dtbunuh di tanah halal dan haram, burung gagak, rajawali, kalajengking, likus, dan anjing yang suka menggigit”.

 

Dan menurut pendapat ashah, ucapan seorang shahabat, “Nabi SAW bersabda” dapat dijadikan hujjah. Dan juga ucapan, “Dari Nabi SAW”, serta ucapan, “Aku mendengar Nabi SAW memerintahkan atau melarang”, atau ucapan, “Kami diperintah”, atau yang sejenis. Dan ucapan; “Termasuk sunah”’, “Kami, seluruh manusia melakukan hal ini semasa hidup Nabi SAW”, “Manusia melakukan hal ini semasa hidup Nabi SAW”, “Kami melakukan hal ; hal ini semasa hidup Nabi SAW”, “Manusia melakukan hal ini”, dan ‘“Mereka tidak memotong tangan dalam pencurian sesuatu yang remeh”’.

 

BERHUJJAH DENGAN REDAKSI PENUKILAN SHAHABAT

 

Berikut ini adalah bahasa-bahasa yang digunakan shahabat meredaksikan apa yang dinukilnya dari Nabi SAW. Dan penetapan bahasa tersebut sebagai hujjah, masih diperselisihkan ulama. Setiap bentuk bahasa memiliki kekuatan secara berurutan. Berikut tingkatan dan silang pendapat di dalamnya secara berurutan.

 

  1. Ucapan shahabat, (Nabi SAW bersabda). Menurut pendapat ashah dapat dijadikan hujjah. Karena secara lahiriyah bahasa tersebut menunjukkan shahabat mendengar langsung dari Nabi SAW. Pendapat lain, tidak dapat dijadikan hujjah, karena ada kemungkinan antara shahabat dan Nabi SAW terdapat perantara shahabat lain. Berpijak pada pendapat bahwa kita wajib meneliti keadilannya.

 

  1. Ucapan, (dari Nabi SAW) atau (bahwasanya Nabi). Menurut pendapat ashah dapat dijadikan hujjah. Karena secara Jahiriyah bahasa tersebut menunjukkan shahabat mendengar langsung dari Nabi SAW, meskipun tidak sekuat yang pertama di atas.

 

Pendapat lain, tidak dapat dijadikan hujjah, karena Jahiriyahnya menunjukkan shahabat tidak mendengar langsung.

 

3, Ucapan,   (aku mendengar Nabi SAW memerintahkan atau melarang). Menurut pendapat ashah Aapat dijadikan hujjah. Karena secara lahiriyah bahasa tersebut menunjukkan keluarnya perintah atau larangan. Pendapat lain, tidak dapat dijadikan hujjah, karena bisa jadi perawi mengucapkan hal itu secara tasammuh (mempermudah) atas sesuatu yang bukan perintah atau larangan.

 

  1. Ucapan,   (kami diperintah demikian), atau  (kami dilarang demikian). Menurut pendapat ashah dijadikan hujjah, karena secara lahiriyah pemberi perintah dan larangan adalah Nabi SAW. Pendapat lain, tidak dijadikan hujjah, karena bisa jadi pemberi perintah atau larangan adalah salah satu dari khalifah.

 

  1. Ucapan, (diwajibkan), (diharamkan), atau  (diringankan) dengan dimabikan maful. Pendapat ashah, dijadikan hujjah, karena alasan sebagaimana di atas. Pendapat lain, tidak dijadikan hujjah, karena bisa jadi pengucap menyandarkannya pada qiyas atau pengegalian ijtthad. ;

 

  1. Ucapan, (demikian termasuk sunnah), atau (aku menyesuaikan sunnah), dan yang sejenis. Pendapat ashah, dijadikan hujjah, karena secara lahirryah yang dimaksud adalah sunnah Nabi SAW. Pendapat lain, tidak dijadikan hujjah, karena bisa jadi yang dikehendaki adalah sunnah suatu daerah.

 

  1. Ucapan, (kami, seluruh manusia melakukan hal ini semasa hidup Nabi SAW), atau (manusia melakukan hal ini semasa hidup Nabi SAW). Pendapat ashah, dijadikan hujjah, karena secara lahiriyah Nabi SAW menyaksikan dan menetapkan hal tersebut. Pendapat lain, tidak dijadikan hujjah, karena bisa jadi Nabi SAW tidak mengetahuinya.

 

  1. Ucapan, (kami melakukan hal ini semasa hidup Nabi SAW). Silang pendapat dalam bahasa ini lebih kuat dari sebelumnya. Karena dhamir (kata ganti) dalam kata ‘kami’ memungkinkan merujuk kelompok tertentu.

 

  1. Ucapan, (manusia melakukan hal ini), tanpa disandarkan pada semasa hidup Nabi SAW. Ulama juga berselisih pendapat dalam hal ini. Karena dengan disandarkan, secara lahiriyah Nabi SAW menetapkannya.

 

10.Ucapan,   (mereka melakukan demikian), semisal kata kata  (mereka tidak memotong tangan dalam pencurian sesuatu yang sedikit), Menurut mayoritas dijadikan hujjah dan tingkatannya dibawah bahasa di atas. Karena tidak dijclaskan mengenai penunjukkan dhamir, sehingga ada kemungkinan mengarah pada kelompok tertentu.

 

Penutup : Sandaran selain shahabat adalah bacaan guru, secara imla’ (ditulis dan dibaca), atau secara tahdits (dibacakan), kemudian bacaannya di depan guru, mendengar bacaan orang lain, munawalah (pemberian) dan mukatabah (tulisan) yang (keduanya) dibarengi ijazah. Kemudian ijazah (tanpa munawalah dan mukatabab) bagi khusus dalam riwayat khusus, khusus dalam riwayat umum, umum dalam riwayat khusus, dan umum dalam riwayat umum. Serta bagi Fulan dan keturunannya yang ditemukan. Kemudian munawalah dan mukatabah (tanpa ijqzah), secara i’lam (pemberitahuan) tanpa ijazah, wasiat, dan wijadah (penemuan).

 

Menurut dapat terpilih, boleh meriwayatkan dengan hal-hal yang tersebut di atas, namun tidak boleh ijazah pada semua orang yang dijumpai dari keturunan Fulan.

 

Beberapa redaksi periwayatan merupakan hasil penyusunan para ahli hadits.

 

TINGKATAN TAHAMMUL

 

Berikut ini kesimpulan dari beberapa sandaran selain shahabat dan urutan derajat lafadz-lafadznya.

 

  1. Bacaan guru, secata imla’ (ditulis dan dibaca), atau secara sahdits (dibacakan). Apabila guru bertujuan memperdengarkan pada perawi itu sendiri atau bersama orang lain, maka perawi boleh mengatakan, (telah menyampaikan hadits padaku l kami), atau (telah memberi khabar padaku l kami). Namun bila guru tidak bertujuan demikian, maka kata-kata di atas tidak diperbolehkan, Dan hanya boleh mengatakan;  (fulan mengalakan begini, dan aku mendengarkannya’), atau (menyampaikan hadits begini), atau kata-kata  (aku mendengarnya mengatakan begini). Bagian pertama ini adalah derajat tahammul (mengambil hadits dari guru) paling tinggi.

 

2, Murid (perawi) membaca di depan guru dan guru mendengarkannya. Maka boleh bagi perawi mengatakan  (telah menyampaikan badits padaku), atau  (telah memberi khabar padaku) atau  (aku mendengarnya) . Sebagian pendapat tidak memperbolehkan mengatakan  (telah menyampaikan hadits padaku).

 

  1. Perawi mendengar bacaan orang lain di depan guru. Maka boleh bagi perawi mengatakan;  (telah menyampaikan hadits pada kami dengan cara membaca di depanya) atau ade  (telah memberi khabar padaku dengan membaca di depannya). Boleh juga tanpa menyebutkan atau (dengan membaca di depannya).

 

  1. Dengan model ijazah, yakni guru mengatakan pada murid; “Aku ijazahkan padamu untuk meriwayatkan hadits ini l kitab ini l beberapa kitab ini dartku”. Ijazah terbagi tiga jenis.

 

  1. Derajat paling tinggi adalah yang dibarengi dengan munawalah (serah terima) atas ashl sama’ (hadits yang didengarkan), seperti,, “Ini adalah hadits yang aku dengar”, atau yang setara, seperti, “Ini adalah riwayatku dari Fulan”, kemudian guru mengatakan; “Aku ijazahkan riwayat hadits ini dariku”. Atau diberengi kitabah (tulisan), seperti, guru menulis hadits bagi orang yang hadir atau yang tidak hadir, kemudian mengatakan pada orang tersebut, “Aku ijazahkan periwayatan hadits ini dariku”.

 

  1. ijazah tanpa munawalah atau kitabah, ada beberapa macam.

1) Ijazah khusus dalam riwayat khusus, contoh “Aku ijazahkan padamu riwayat al-Bukhari”.

2) Ijazah khusus dalam riwayat umum, contoh “Aku ijazahkan padamu riwayat semua hadits yang aku dengar”.

3) Ijazah umum dalam riwayat khusus, contoh “Aku ijazahkan pada orang yang berjumpa denganku riwayat Muslim’.

4) Ijazah umum dalam riwayat umum, contoh “Aku ijazahkan pada orang yang semasa denganku riwayat semua hadits yang aku dengar”’.

5) Ijazah bagi Fulan dan keturunannya yang ditemukan, contoh “Aku ijazahkan bagi Fulan dan keturunannya yang ditemukan setelahnya”

 

Saat menyampaikan (ada), bagi perawi yang mencrima ijazah boleh mengatakan  (telah memberi ijazah padaku). Atau  (telah memberi khabar padaku dengan cara ijazah).

 

  1. Dengan model munawalah atau kitabah tanpa ijazah, yakni seorang guru menyerahkan lembaran pada muridnya dengan mengatakan, “Ini adalah hadits yang aku dengar”, namun tidak memperbolehkan muridnya untuk meriwayatkan. Sehingga menurut pendapat shahih tidak boleh diriwayatkan.

 

  1. Dengan secara i’lam (pemberitahuan), seperti dengan mengatakan, “Kitab ini adalah termasuk apa yang aku dengarkan dari Fulan’”.

 

  1. Dengan model wasiat, seperti guru memberi wasiat sebuah kitab atau semua kitab pada seorang murid atau beberapa muridnya saat bepergian atau akan meninggal dunia.

 

  1. Dengan model wijadah (penemuan), seperti murid menemukan kitab atau hadits yang menggunakan khath (tulisan) guru terkenal. Maka boleh meriwayatkan jika yakin dengan tulisan tersebut.

 

Menurut pendapat terpilih, boleh meriwayatkan dengan semua bentuk di atas, kecuali bentuk ijazah pada semua orang yang dijumpai dari keturunan Fulan. Pendapat kedua, diperbolehkan. Pendapat ketiga, tidak boleh dengan semua bentuk ijazah. Pendapat keempat, tidak boleh dalam riwayat umum.

 

Kemudian mengenai redaksi ada’ (penyampaian riwayat), merupakan hasil perumusan dan prakarsa ulama pakar hadits”.

 

Ijma’ adalah kesepakat mujtahid umat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada masa atas perkara apapun. Meskipun tanpa imam makshum, atau tanpa mencapai bilangan mutawatir, atau tanoa orang-orang adil atau (adanya mujtahid) bukan sosok shahabat, atau meskipun pendek rentang waktu.

 

Dapat difahami bahwa ijma’ terkhusus bagi para mujtahid. Sehingga kesepakatan selain mujtahid secara pasti tidak diperhitungkan. Juga (tidak diperhitungkan) persetujuan selain mujtahid pada mereka para mujtahid, menurut , pendapat ashah.

 

Dapat difahami juga, dapat fahami juga, itjma’ terkhusus bagi kaum muslimin, dan bahwa ijma’ harus diulakukan seluruh mujtahid. Dan hal tersebut adalah pendapat ashah. Serta dapat difahami bahwa ijma’ tidak sah terjadi sernasa Nabi Muhammad SAW masih hidup.

 

DEFINISI IJMA’

 

Ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang disepakati umat Islam. Ijma’ secara bahasa memiliki dua makna, ‘azm (meng’azam, bertekad bulat melakukan), dan sepakat.

 

Secara istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dari umat Muhammad SAW ‘setelah Beliau wafat pada satu masa atas perkara apapun. Meskipun tanpa imam makshum, atau tanpa mencapai bilangan mutawatir, atau tanpa orang-orang adil, atau (adanya mujtahid) bukan sosok shahabat, atau meskipun pendek rentang waktunya. Dan berikut ini penjelasan selengkapnya.

 

  1. Maksud kesepakatan adalah sama dalam keyakinan hukum yang ditunjukkan oleh ucapan, perbuatan, ketetapan, atau susunan dari seluruh atau sebagian unsur-unsur ini. Contoh sebagian mengucapkan, yang lain menjalankan.

 

  1. Maksud ‘mujtahid’ adalah seluruh mujtahid mutlak dari ahli fiqh.

 

Mengecualikan ahli ushul atau fiqh yang belum mencapai taraf mujtahid, serta orang awam, dimana kesepakatan maupun tidak sepakatnya mereka tidak dipertimbanykan.

 

  1. Kalimat ‘dari umat Muhammad SAW’, menpecualikan mujtahid bagi umat-umat terdahulu seperti Yahudi dan Nasrani. Kesepakatan mereka tidak disebut ijma’.

 

  1. Maksud ‘atas perkara apapun’ adalah masalah syartyyah, lughawiyah (jenis bahasa), ‘aqliyah (jenis akal) atau dunyawiyah (jenis dunia), Menurut pendapat lain, ijma’ terjadi dalam masalah syar’iyyah (jenis syar’i), karena masalah ini adalah bidang ijtihad para ahli fiqh.

 

  1. Kalimat ‘setelah Beliau wafat’, mengecualikan ijma’ di masa Nabi saw, maka tidak dianggap sah. Karena seandainya ijma’ itu cocok dengan sabda Nabi saw, maka sabda Nabi lah yang dipakai, dan seandainya tidak cocok, maka yang dianggap adalah sabda Nabi, ucapan yang lain tidak dipertimbangkan’.

 

Dari keterangan di atas, beberapa kriteria masih diperdebatkan, yakni;

 

  1. Adanya imam makshum.

 

Keabsahan ijma tidak disyaratkan adanya seorang imam ma’shum. Berbeda dengan kelompok Rafidhah yang mengharuskan imam ma’shum. Menurut faham mereka, keberadaan imam ma’shum pasti ada sepanjang masa, meskipun keberadaanya tidak diketahui. Dan menurut mereka hujjah berada di tangan imam ma’shum, dan manusia lain hanya sebagai pengikut.

 

  1. Pelaku mencapai bilangan mutawatir.

 

Dalam ijma’ hal ini tidak disyaratkan, karena kriteria mujtahid umat dapat tereapai dengan jumlah yang belum mencapai mutawatir. Imam Haramain berpendapat, jumlah mutawatir tetap disyaratkan, memandang kebiasaan umumnya.

 

  1. Pelaku ijma’ adalah orang-orang adil. .

 

Menurut pendapat pertama, hal ini tidak menjadi syarat, berpijak pada versi ashah, bahwa sifatadil tidak menjadi rukun ijtihad.

 

Pendapat kedua, sifat adil menjadi syarat, berpijak pada pendapat bahwa sifat adil menjadi rukun dalam ijtihad.

 

Selanjutnya mengacu pada pendapat kedua ini, maka persetujuan orang fasik tidak dipertimbangkan. Pendapat kedua, persetujuan orang fasik dipertimbangkan untuk hak pribadinya, bukan untuk orang lain. Pendapat ketiga, dipertimbangkan apabila orang fasik tersebut menjclaskan dasar pengambilan dalilnya. Karena jika dasar pengambilan dalil tidak dia jelaskan, maka tidak tertutup kemungkinan dia bicara tanpa dasar dali.

 

  1. Mujtahid selain sosok shahabat.

 

Dalam hal ini ijma’ tidak tertentu bagi shahabat. Karena istilah mujtahid umat dalam satu masa, mencakup selain shahabat.

 

Kalangan Dzahiriyah berbeda pendapat, menurut mereka ijma’ tertentu bagi shahabat, karena kurun selain mereka jumlah mujtahid sudah sangat banyak, sampai tidak terbatasi, sehingga sangat tidak mungkin mereka menyepakati suatu persoalan.

 

  1. Rentang waktu pasea ijma’.

 

Untuk mengesahkan ijma’, tidak disyaratkan adanya rentang waktu pasea ijma’. Karena definisi ijma’ sudah tereapai, meskipun tidak ada rentang waktu, seperti halnya setelah ijma’ tereetus, para pelaku ijma’ meninggal seluruhnya sebab tertimpa sreruntuhan. Pendapat lain, disampaikan Imam Haramain, bahwa adanya rentang waktu pasea ijma’ disyaratkan dalam ijma’ dbanni, agar pendapat menjadi tetap’.

 

BEBERAPA PEMAHAMAN DEFINISI

 

Dari definisi ijma’ di atas, berimplikasi munculnya beragam pemahaman sebagai berikut;

 

  1. Ijma’ khusus bagi para mujtahid

 

Berpijak pada definisi ijma’ di atas, maka dapat disimpulkan pemahaman bahwa ijma’ terkhusus bagi para mujtahid. Hal ini disepakati keberadaannya, sehingga kesepakatan selain mujtahid, tidak terhitung sebagai kesepakatan yang sah. Kemudian apakah persetujuan orang awam (selain mujtahid) kepada para mujtahid perlu dipertimbangkan?. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, tidak dipertimbangkan.
  2. Pendapat kedua, persetujuan orang awam kepada para mujtahid perlu dipertimbangkan secara mutlak’, baik dalam masalah masyhur (dikenal luas) atau khafiy (rumit).
  3. Pendapat ketiga, dipertimbangkan dalam perkara masybur saja, bukan perkara khafiy (ramit), seperti ilmu fiqh yang rumit.
  4. Pendapat keempat, persetujuan pakar ushul teerhadap para mujtahid dipertimbangkan dalam masalah-masalah furu’. Karena penggalian furu’ tergantung pada ushul. Namun hal in disangkal, bahwa pakar ushul dalam hal ini berstatus awam’,

 

  1. Ijma’ Khusus Bagi Muslimin

 

Ijma’ dalam hal ini terkhusus bagi kaum muslimin, karena islam merupakan syarat dari ijtihad yang dicuplik dari definisinya. Hal ini mengecualikan orang kafir, baik yang mengakui kekafirannya, atau tidak, yakni mereka yang dihukumi kafir sebab bid’ab-nya. Maka sepakat atau tidaknya mereka tidak terhitung.

 

  1. Pelaku Ijma’ Adalah Seluruh Mujtahid

 

Menurut pendapat ashah, dalam ijma’ kesepakatan harus dilakukan oleh seluruh mujtahid. Sehingga penentangan satu orang, meskipun seorang tabi’in, yakni orang yang menjadi mujtahid saat shahabat bersepakat, menjadikan ijma’ rusak dan tidak sah. Berikut pendapat lainnya. .

 

  1. Pendapat kedua, penentangan dua orang dapat merusak ijma’
  2. Pendapat ketiga, penentangan tiga orang dapat merusak ijma’.
  3. Pendapat keempat, penentangan orang sejumlah batas mutawatir dapat merusak ijma’.
  4. Pendapat kelima, cukup adanya kesepakatan masing-masing mujtahid dari Makkah, Madinah dan penduduk keduanya.

 

4, Ijma’ Semasa Hidup

 

Nabi Saw Disimpulkan pula bahwa ijma tidak sah terjadi semasa hidup Nabi SAW. Dikarenakan seandainya Nabi SAW menyampaikan hukum yang sama dengan hasil ijma’, maka justru hujjah yang terpakai adalah sabda Beliau. Dan jika tidak sama dengan hasil ijma’, maka ucapan mereka, tanpa persetujuan Nabi SAW tidak terpakai’.

 

Difahami juga bahwa seandainya pada satu masa tidak on selain satu maujtahid, maka sucapannya bukanlah ijma’ dan bukan sebagai hujjah, menurut pendapat terpilih.

 

Difahami juga bahwa habisnya pelaku ijma’ pada satu masa tidak menjadi disyaratkan.

 

  1. Satu Masa Hanya Ada Satu Mujtahid

 

Selanjutnya dapat difahami bahwa seandainya pada satu masa hanya satu mujtahid, maka tidak disebut ijma’, karena batas minimal kesepakatan mujtahid umat adalah dilakukan dua orang. Juga tidak bisa dijadikan hujjah, menurut pendapat terpilih, karena ticlak adanya jjma’ dari satu orang. Pendapat kedua, satu orang dapat dijadikan hujjah, meskipun tidak disebut ijma’, karena ijtihad menjadi terbatasi pada orang tersebut.

 

  1. Syarat Inqiradh Al-Ashr

 

Habisnya pelaku ijma’ pada satu masa (inqiradh al-ashy), dalam arti. meninggalnya semua pelaku ijma’ pada satu masa, tidak menjadi syarat sahnya ijma’. Karena definisi ijma’ sudah tereapai, meskipun pelaku ijma’ dan orang-orang yang semasa masih hidup. Versi ini adalah pendapat ashah. Pendapat kedua, habisnya seluruh pelaku ijma’ dalam satu masa menjadi syarat. Karena bisa jadi sebagian pelaku ijma’ di kemudian hari mempunyai ijtihad berbeda dengan apa yang telah disepakati, sehingga dia wajib menarik diri dari kesepakatan (ijma’) pertama. Pendapat ketiga, hanya mensyaratkan habisnya mayoritas pelaku ijma’. Pendapat keempat, disyaratkan habisnya seluruh atau mayoritas ulama dari para pelaku ijma’. Dan ada beberapa pendapat lain, seperti disyaratkan habisnya seluruh pelaku ijma’ dalam ijma’ sukuti, bukan qauli.

 

Difahami juga bahwa ijma’ terkadang terjadi atas sebuah qiyas. Hal tersebut adalah pendapat ashah dalam dua persoalan (di atas).

 

Dan bahwasanya kesepakatan umat-umat terdahulu bukanlah ijma’, dan bukan sebagai hujjah, menurut pendapat ashah.,

 

  1. Ijma’ Atas Obyek Qiyas

 

Ijma’ terkadang terjadi atas sebuah qiyas, karena ijtihad yang dicuplik dari definisi ijma’ harus memiliki sandaran, sedangkan qiyas merupakan salah satu dari sandarannya. Pendapat kedua, menolak diperbolehkannya ijma’ atas obyek qiyas. Pendapat ketiga, menolak terjadinya ijma’ atas obyek qiyas dalam qiyas kha wy saja, tidak dalam qiyas jali. Pendapat keempat, boleh secara akal namun eksistensi (wuqu’) tidak diakui. Dasar pemikiran mereka yang menolak, secara umum didasarkan atas pertimbangan bahwa kerena qiyas mayoritas bersifat dhanni, maka boleh ditentang berdasarkan dalil yang lebih kuat, sehingga manakala ijma’ atas obyeck qiyas diperbolehkan, akan berakibat bolechnya menentang ijima’. Namun alasan ini disangkal, bahwa menentang qiyas diperbolehkan, selama ketetapannya belum disepakati (ada ijma’). Realitanya, ulama telah sepakat mengharamkan lemak babi, yang status hukum haramnya di-qiyaskan pada dapingnya. Dan sepakat membuang (tidak memakai) minyak yang kemasukan bangkai tikus, dimana status hukumnya diqiyas-kan dengan minyak samin.

 

  1. Ijma’ Umat Terdahulu

 

Menurut Ashah, ijma’ dari umat-umat terdahulu bukanlah hujjah. Karena dalil yang menjelaskan ijma’ sebagai hujjah, terkhusus umat Muhammad SAW. Pendapat kedua, dapat dijadikan hujjah. Hal ini berpijak bahwa syariat umat-umat terdahulu merupakan syariat bagi kita (amat Muhammad SAW)’.

 

(Dapat difahami), bahwa kesepakatan para mujtahid atas salah satu dari dua pendapat, sebelum khilafiyah di antara mereka tetap, adalah diperbolehkan, meskipun dari orang-orang baru setelah pemilik dua pendapat tersebut. Dan boleh juga kesepakatan pemilik dua pendapat setelah tetapnya khilaf, tidak kesepakatan dari orang setelah mereka, menurut pendapat ashah.

 

(Dan bisa difahami), berpedoman pada batas minimal dari beberapa versi adalah kebenaran,

 

  1. Bersepakat Sebelum Dan Sesudah Tetapnya Khilaf

 

Kesepakatan para mujtahid atas salah satu dari dua pendapat, sebelum khilafiyah di antara mereka tetap (istiqrar), sebab pendeknya waktu antara khilafiyah dan kesepakatan, adalah diperbolehkan. Meskipun dari orang-orang baru setelahnya, apabila mereka semua meninggal dunia. Karena hal tersebut masih tereakup dalam definisi ijma’. Pertimbangan yang mendasari bolehnya hal tersebut terjadi adalah adanya kemungkinan setelah berbeda pendapat, kemudian muncul sandaran yang jelas, hingga akhirnya mereka bersepakat.

 

Sejarah membuktikan, shahabat bersepakat mengebumikan Nabi SAW di rumah ‘Aisyah RA, setelah mereka berbeda penclapat (khilaf), narnun sebelum khilaf tersebut tetap.

 

Kemudian mengenai ijma’ dari pemilik dua pendapat yang terjadi setelah khilafiyah tetap, ulama berselisih pendapat’;

 

1) Pendapat ashah memperbolehkan secara mutlak. Karena hal tersebut masih tereakup dalam definisi tjma’. Versi ini dishahihkan Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim.

 

2) Pendapat kedua, melarang secara mutlak. Karena tetapnya khilaf bisa diartikan sepakat memperbolehkan pengambilan salah satu dari pendapat yang ada dengan cara ijtihad atau taqlid, sehingga setelahnya tidak dibenarkan terjadinya kesepakatan atas salah satunya.

 

3) Pendapat lain, boleh kecuali pijakan mereka berupa dalil qath’i. Karena jika dalil qath’iy, dikhawatirkan akan mengabaikan keberadaannya.

 

Sedangkan ijma’ dari orang setelah mereka (pemilik dua pendapat), setelah khilafiyah tetap, maka ada tiga pendapat.

 

1) Pendapat ashah, hal tersebut terlarang apabila rentang waktu tetapnya khilaf lama. Karena dengan rentang waktu yang lama, seandainya ditemukan aspek kekurangan yang akan berakibat penganuliran khilqaf, pastilah hal itu nampak bagi mereka yang berselisih pendapat. Lain halnya jika rentang waktunya pendek, j kadang aspek tersebut tidak nampak oleh mereka, namun justru nampak oleh orang lain.

 

2) Pendapat kedua, hal tersebut diperbolehkan secara mutlak. Karena bisa jadi selain mereka yang berselisih pendapat menemukan kejelasan penganuliran khilaf .

 

  1. Berpedoman Pada Batas Minimal

 

Dapat difahami dari definisi ijma’, bahwa berpedoman pada batas minimal dari beberapa versi adalah kebenaran. Karena hal itu berpedoman pada sesuatu yang disepakati, didukung bahwa hukum asal dari perkara yang melebihi batas minimal adalah tidak wajib.

 

Contoh, ulama berbeda pendapat tentang diyat kafir dzimmi yang dibebankan bagi pembunuhnya. Satu pendapat, seperti diyat seorang muslim, pendapat lain, seperti separo diyat seorang muslim, versi lain, seperti sepertiganya. Di sini Imam As-Syafi’i mengambil Sepertiga, karena sepertiga adalah oanpka yang disepakati kewajibannya. Beliau juga meniadakan kewajiban membayar diyas lebih dari sepertiza dengan menggunakan hukum asal. Namun apabila ditemukan dalil atas kewajiban perkara yang Lebih banyak, maka dalil tersebut harus diambil. Contoh, basuhan atas jilatan anjing, satu pendapat mengatakan tiga kali, versi lain menyatakan tujuh kali. Hanya saja dalam HR. Bukhari-Muslim ditemukan dalil bahwa basuhannya adalah tujuh, maka tujuh basuhan yang diambil sebagai hukum’.

 

Difahami juga bahwa ijma’ adakalanya terjadi dalam masalah dinty (agama), duniawi, dan ‘aqliy (akal) yang keabsahan ijma udak tergantung padanya, serta lughawi. Dan ijma’ harus memiliki landasan dalil dimana hal tersebut adalah pendapat ashab.

 

BENTUK-BENTUK IJMA’

 

Ijma’ ditemukan keberadaannya dalam permasalahan agama, seperti shalat dan zakat, dalam urusan duniawi, seperti mengatur strategi pasukan perang, siasat peperangan dan mengatur kemakmuran masyarakat. Ada juga dalam permasalahan logika, seperti alam semesta adalah baru. Dalam permasalahan logika ini dibedakan dua bagian;

 

  1. Logika yang tidak menjadi penentu kebenaran ijma’, seperti alam semesta adalah baru, dan ke-Esa-an Pencipta. Maka boleh berhujjah dengan ijma’.

 

  1. Logika yang menjadi penentu kebenaran ijma’, seperti tetapnya Sang Pencipta, dan tetapnya kenabian. Maka tidak bisa dijadikan hujjah, karena akan berakibat terjadinya siklus tanpa ujung (aa-daur).”

 

Dan ada juga dalam permasalahan lughat, seperti keberadaan huruf fa’ berfaidah ta’qib (berurutan dengan selang waktu).

 

SANDARAN DALIL IJMA’

 

Silang pendapat terjadi mengenai, apakah dalam ijma’ harus ada sandaran dalil ataukan tidak?

 

  1. Pendapat ashah, ijma’ harus ada sandaran dalil. Karena ucapan tentang agama tanpa sandaran adalah kesalahan murni.

 

  1. Pendapat kedua, ijma’ tidak harus ada sandaran dalil. Karena bisa jadi ijma’ dihasilkan tanpa sandaran, yakni dengan cara para pelaku diberi ilham untuk bersepakat dalam sebuah kebenaran.

 

Sedangkan ijma’ sukuti, yakni sebagian mujtahid mendatangkan sebuah hukam, dan sebagian yang lain mendiamkannya, dalam keadaan mereka mengetahuinya, diamnya terlepas dari tanda-tanda ridho, dan benci, serta hukum yang didatangkan bersifat ijtihadi-taklifi, dan telah melewati masa jeda untuk berfikir secara kebiasaan umum, adalah merupakan ijma’ dan hujjah menurut pendapat ashah. 

 

IJMA’ SUKUTI DAN SYARATNYA

 

Mengenai pendefinisian ijma’ sukuti, pakar ushul memiliki beragam bahasa. Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili;

 

“Sebagian mujtahid dalam suatu masa menyampaikan sebuah pendapat terkait sebuah kasus. Sementara para mujtahid yang lain memilih untuk diam, setelah mengetahuinya, tanpa adanya indikasi pengingkaran”.

 

Definisi lain mengatakan,

 

“Sebagian dari mujtabid mendatangkan hukum, sedangkan mujiabid yang lain memilih diam, setelah mengetahui hukum tersebut. Dan diamnya terlepas dari tanda-tanda ridho, dan benci, serta hukum yang didatangkan bersifat itihadi-taklifi, juga telah melewati masa Jeda untuk berfikir secara kebiasaan umum ”.

 

Mengenai status kehujjahan dan penycbutannya sebagai ijma’, terdapat berancka ragam versi:

 

  1. Pendapat ashah, sebagai ijma’ sekalipus hujjah. Karena secara adat sikap diam para ulama dapat diasumsikan sebagai bentuk persetujuan mereka atas pendapat yang dilontarkan.

 

  1. Pendapat kedua, bukan ijma’, juga bukan hujjah. Karena sikap diam belum tentu mengamini atas pendapat yang dilontarkan. Akan tetapi, dibalik sikap diam terdapat berbagai kemungkinan, adakalanya karena rasa takut, segan atau masih ragu atas pendapat yang dilontarkan. Pendapat ini disandarkan pada Imam As-Syafi’i berdasarkan ucapan beliau yang populer

 

“sebuah pendapat tidak bisa di nisbatkan pada sikap diam”

 

  1. Pendapat ketiga, bukan sebagai ijma’, hanya sebagai hujjah. Karena kemutlakan nama ijma’ terkhusus pada bentuk ijma’ yang dipastikan mufakatnya saja, meskipun menurut pendapat ini ijma’ sukati termasuk ijma’ hakiki.

 

  1. Pendapat keempat, sebagai hujjah dengan syarat para miujtahid pelaku ijma’ baik yang berpendapat maupun yang diam pada kurun tersebut semuanya telah meninggal. Karena dengan meninggalnya mereka, ketetapan produk ijma’ tidak mungkin terjadi revisi dan penentangan.

 

  1. Pendapat kelima, menjadi hujjah apabila berbentuk fatwa, bukan putusan hakim. Karena fatwa biasanya berpeluang dianalisa, sehingga diamnya mereka mencerminkan sikap mufakat (setuju) atas fatwa yang dilontarkan. Berbeda dengan sebuah keputusan hakim yang bersifat absolut.

 

  1. Pendapat keenam, mengatakan sebaliknya, dalam arti menjadi hujjah apabila berbentuk hukum, bukan fatwa. Karena produk hokum biasanya muncul setelah ada kajian dan kesepakatan ulama, beda halnya dengan fatwa.

 

  1. Pendapat ketujuh, menjadi hujjah, apabila para mujtahid yang diam jumlahnya lebih sedikit dibanding mujtahid yang berkomentar.

 

Permasalahan: Pendapat ashah, ijma’ mungkin terjadi, dan berstatus ‘hujjah syar’i meskipun dinukil secara ahad. Serta bersifat qath’i, apabila mereka yang menyatakan fjma’ sebagai hujjah menyepakatinya. Berbeda halnya apabila mereka berselisih pendapat, seperti ijma’ suka,

 

BERHUJJAH DAN KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’

 

Ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma,

 

  1. Pendapat ashah, ijma’ memungkinkan terjadi secara adat.

 

  1. Pendapat kedua, ijma’ tidak mungkin terjadi secara adet. Sebagaimana tereegahnya bersepakat (ijma’) untuk makan satu macam makanan, mengucapkan satu kalimat, pada satu waktu. Namun hal ini disangkal, bahwa bersepakat model ini tidak ada faktor yang mempertemukan (al-jami’) para pelaku untuk melakukan hal tersebut bersamaan, karena keinginan dan faktor pendorong mereka berbeda. Lain halnya dengan hukum syar’i, dimana faktor yang mempertemukan mereka adalah dalil yang mereka sepakati ketetapannya. Argumentasi dasar pendapat kedua ini adalah bahwa wilayah kekuasaan Islam semakin luas, ulama saling berjauhan di beberapa kota. Mayoritas negara yang berbeda-beda tidak saling tersambung informasinya. Di samping itu tingkat kecerdasan, watak, tujuan dan pola pikir berbeda-beda. Meniseayakan terjadinya ijma’, ibarat meniseayakan seluruh manusia saat pagi hari duduk bersama, dan makan bersama

 

Manakala ijma’ kita katakan mungkin terjadi, mengenal status hujjahnya, ulama berbeda pendapat.

 

  1. Pendapat ashab, ijma’ adalah hujjah syar’i, dan wajib diamalkan, meskipun dinukil secara ahad. Dengan dasar firman Allah SWT;

 

“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul seoudaB Jelas kebendran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”

 

Kandungan ayat ini adalah ancaman mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka mengikuti jalan mereka berupa ucapan dan perbuatan adalah kewajiban. Dengan demikian ijma’ adalah hujjah.

 

  1. Pendapat kedua, ijma’ bukan hujjah syar’i, dengan dasa firman Allah SWT;

 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)”

 

Dalam ayat ini, saat terjadi perbedaan, Allah SWT membatasi solusi penyelesaiannya hanya pada Allah SWT dan Rasul.

 

Mengacu pada versi bahwa ijma’ adalah hujjah, maka mengenaj kualitas sifat hujjahnya, ulama berbeda pandangan.

 

  1. Pendapat ashah, bersifat qath’i. apabila mereka yang menyatakan ijma’ sebagai hujjah menyepakatinya sebagai ijma, semisal masing-masing menjelaskan hukum yang sudah disepakati tanpa ada yang terlewati. Hal ini karena secara adat, mereka mustahil bersepakat dalam kebohongan. Berbeda halnya yang masih diperdebatkan, seperti ijma’ sukuti.

 

  1. Pendapat kedua, ijma’ bersifat dzannty secara mutlak. Karena pelaku ijma’ menyatakannya dari hasil dugaan, dimana secara logika mereka masih mungkin bersepakat bohong. Dan ijma’ atas perkara qath,i realitanya tidak ditemukan,

 

Merusak ijma’ hukumnya haram. Sehingga dapat difahamu hukumnya haram memunculkan pendapat ketiga dan tafshil apabila keduanya merusak kesepakatan.

 

Dapat difahami, diperbolehkan memunculkan dalil, ta’wil, atau ‘‘illat, apabila tidak merusak apa yang. disebutkan sebelumnya.

 

MERUSAK IJMA’

 

Merusak ijma’ (kharq al-ijma’) dengan cara menentangnya hukumnya adalah haram dan tergolong dosa besar. Karena adanya ancaman bagi mereka yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin dalam ayat di atas (An-Nisa : 115). “’

 

MENCETUSKAN QAUL KETIGA DAN TAFSHIL

 

Berawal dari larangan merusak ijma’ di atas, manakala seluruh mujtahid pada suatu masa mengomentari sebuah kasus, kemudian hasilnya mereka menyepakati ada dua pendapat. Apakah boleh membuat versi (pendapat) ketiga (ihdats qaunl tsalits), Atau manakala mereka mengomentati dua kasus, dan sepakat tidak memerinci, hanya sebagian menjawab dengan itsbat (tetapnya hukum), sebagian yang lain menjawab nafi (tidak adanya hukum). Apakah boleh membuat tafshil (perincian) baru? Dalam hal ini ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, haram memunculkan pendapat ketiga (qaul tsalist) dan fafshil, jika keduanya dapat merusak ketetapan yang telah disepakati oleh seluruh mujtahid sebelumnya.

 

  1. Pendapat kedua, memunculkan pendapat ketiga (qaul tsalist) dan tafshil, secara mutlak diangegap merusak ketetapan yang telah disepakati oleh seluruh mujtahid sebelumnya. Karena berbeda dalam dua versi mengandung maksud kesepakatan untuk melarang berpindah dari keduanya. Dan tidak memerinci pada dua kasus, mengandung maksud kesepakatan mencegah perincian.

 

Contoh versi ketiga (qaul tsalits) yang merusak ;

 

Pendapat yang menyatakan bahwa saudara laki-laki menggugurkan kakek. Pendapat ini merusak kesepakatan di masa shahabat. Karena pada periode itu, shahabat berbeda pendapat dalam dua versi. Versi pertama, kakek mendapatkan warisan dan menggugurkan saudara laki-laki. Versi kedua, kakek bersama saudara laki-laki mendapat warisan dengan sistem musyarakah. Dua versi ini mengandung sebuah kesepakatan bahwa kakek tetap mendapatkan bagian, baik dengan sendirinya atau dengan musyarakat. Sehingga, memunculkan pendapat bahwa saudara laki-laki menggugurkan kakek, merusak kesepakatan ini.

 

Contoh versi ketiga (qaul tsalits) yang tidak merusak;

 

Pendapat yang menyatakan bahwa hewan yang disembelih tanpa membaca basmalah karena unsur lupa, bukan sengaja, halal dimakan. Disampaikan kalangan Hanafiyah. Sebelumnya sudah ada versi pertama dari kalangan Syafi’iyyah yang mengatakan halal secara mutlak, baik lupa atau sengaja. Dan versi kedua, yang mengatakan hewan tersebut haram secara mutlak, baik lupa atau sengaja. Dari sini versi ketiga yang memilah antara lupa dan sengaja, ada kecocokan dengan dua versi yang tidak memilah. Karena versi ketiga tidak menghilangkan sesuatu yang disepakati dua versi yang menyatakan mutlak.

 

Contoh pentafshilan (perincian) yang merusak;

 

Pendapat yang menyatakan bahwa bibi dari jalur ayah dapat mewaris, bukan bibi dari jalur ibu, atau sebaliknya. Sedangkan sebelumnya ulama berbeda pendapat dalam dua versi tanpa perincian. Versi pertama, bibi dari jalur ayah atau ibu mendapat harta peninggalan mayit disaat ahli waris mayit tidak ditemukan sebab keduanya tergolong dzawil arham. Versi kedua, bibi dari jalur ayah atau ibu tidak mendapat harta peninggalan mayit disaat ahli waris mayit tidak ditemukan, sebab keduanya bukan tergolong dzawil arham, Kedua versi ini menyepakati bahwa ‘‘illat mewaris tidaknya bibi dari jalur ayah atau ibu adalah karena mereka tergolong dyawil arham atau tidak. Sehingga pendapat yang memerinci seperti di atas merusak kesepakatan dua versi, karena mengambil ‘‘illat selain yang disepakati di atas.

 

Contoh pentafsilan yang tidak merusak;

 

Pendapat kalangan Syafiiyyah yang menyatakan bahwa zakat diwajibkan pada harta milik anak kecil, dan tidak wajib pada perhiasan yang boleh dipakai. Sebelumnya, versi pertama menyatakan wajib zakat pada keduanya. Dan versi kedua, tidak wajib zakat pada keduanya. Versi pertama yang memerinci di atas mencocoki versi yang tidak memerinci dalam sebagian substansi pendapat mereka”,

 

MEMUNCULKAN DALIL, TA’WIL, ATAU ‘illat

 

Kemudian ulama berselisih pendapat mengenai pemunculan dalil, ta’wil, atau ‘illat berbeda dengan apa yang ditetapkan para mujtahid sebelumnya.

 

  1. Pendapat ashah, diperbolehkan apabila tidak merusak dalil, ta’wil, atau ‘illat yang sudah ditetapkan. Karena tiga perkara ini dilegalkan terjadi lebih dari satu. Namun apabila merusak, dalam arti para mujtahid sebelumnya telah mengatakan, “tidak ada dalil, ta’wil, atau ‘‘illat selain yang kami sebutkan’’, maka tidak diperbolehkan.

 

  1. Pendapat kedua, tidak diperbolehkan secara mutlak. Karena hal ini termasuk selain jalan orang mukmin yang mengikutinya dikenakan ancaman dalam ayat Al-Qur’an. Namun alasan ini disangkal, bahwa ancaman dikenakan untuk jalan yang berlawanan dengan jalan orang beriman, bukan sesuatu yang tidak dijclaskan oleh orang-orang beriman,

 

Contoh pemunculan dalil baru;

 

Semisal ijma’ menyatakan, dalil dari kewajiban niat adalah QS. Al Bayyinah : 05;

 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”

 

Kemudian seorang mujtahid mengatakan bahwa dalil kewajiban niat adalah hadits NabiSAW;

 

“Sesunggubnya keabsahan beberapa amal hanyalah dengan niat”

 

Contoh pemuriculan ta’wil baru;

 

Semisal ulama sepakat menta’wili hadits Nabi SAW;

 

“Dan lumurilah wadah itu pada tahap kedelapan dengan debu”

 

Dengan ta‘wil, tidak menyepelekan tujuh basuhan dengan menqur’anginya. Kemudian mujtahid setelahnya memunculkan ta’wil baru, bahwa maksudnya adalah debu sebagai alat bersuci manakala membarengi basuhan ketujuh, maka seolah-olah debu tersebut tahap kedelapan. Dan ta’wil inipun sah dilakukan.

 

Contoh pemunculan ‘‘illat baru;

 

Semisal ulama sepakat bahwa ‘illat dalam keharaman riba pada gandum adalah sifat makanan pokok. Kemudian mujtahid setelahnya memunculkan ‘‘illat-nya adalah makanan simpanan”.

 

Dan bahwa mustahil secara dalil aqli murtadnya umat. Namun tidak mustahil umat bersepakat tidak mengetahui sesuatu yang tidak ada tuntutan bagi mereka. Dan juga terbaginya umat menjadi dua kelompok, dimana masing-masing melakukan kesalahan dalam sebuah , masalah (dari dua masalah.

 

MUSTAHILNYA KEMURTADAN UMAT

 

Berpijak dari keharaman merusak ijma’, menurut pendapat ashah, berdasarkan dalil sam’i, mustahil seluruh umat dalam satu kurun menjadi murtad, meskipun memungkinkan secara akal. Karena hal ini akan metusak ima’ oranp-orang terdahulu tentang keharusan iman terus berlangsung. Maksud merusak di sini adakalanya dengan ucapan, atau dengan perbuatan. Pendapat ini mengambil dalil HR. Tirmidzi:

 

‘Sesungguhnya Allah SWT tidak. mengumpulkan umatku pada kesesatan”

 

Pendapat lain menyatakan, hal tersebut memungkinkan secara sam’i, sebagaimana memungkinkan juga secara akal. Menurut versi ini, dalam hadits di atas, tidak ada substansi yang memustahilkan hal tersebut. Karena saat murtad, status umat sudah tidak melekat pada mereka. Namun hal ini disangkal, bahwa makna hadits di atas adalah Allah SWT tidak mengumpulkan umat, dengan resiko ditemukan sesuatu yang menyesatkan mereka. Dimana hal ini mencakup kemurtadan.

 

SEPAKAT TIDAK MENGETAHUI SEBUAH PERKARA

 

Kemudian menurut pendapat ashah, tidak mustahil umat pada suatu masa bersepakat tidak mengetahui sesuatu yang tidak dituntut dari mereka untuk mengetahuinya. Semisal, tentang pengutamaan shahabat ‘Ammar RA dan Hudzaifah RA. Karena tidak ada kesalahan dalam hal semacam itu, lantaran tidak ada tuntutan.

 

Pendapat lain, hal tersebut mustahil terjadi, karena jika terjadi maka kebodohan menjadi jalan dari umat (orang beriman) dan harus diikuti, dimana hal ini adalah tidak benar. Namun hal ini disangkal, bahwa jalan seseorang adalah perkara yang dia pilih, baik berbentuk ucapan atau perbuatan. Ketidaktahuan atas sesuatu bukanlah bagian dari jalan yang dimaksud dalam pembahasan ini.

 

Sedangkan mengenai bersepakat tidak mengetahui sesuatu yang dituntut untuk mengetahuinya, maka jclas dipastikan mustahil.

 

UMAT TERPECAH DUA KELOMPOK DALAM DUA KASUS

 

Ulama berbeda pendapat mengenai masalah terpecahnya umat menjadi dua kelompok, terkait ketetapan hukum atas dua kasus yang hampir sama, dimana masing-masing melakukan kesalahan dalam salah satu dari dua masalah tersebut. Contoh, satu dari dua kelompok menyepakati wajibnya tartib dalam wudhu dan tidak wajib dalam shalat faitah (shalat yang ditinggalkan pada waktunya). Dan kelompok kedua menyepakati kebalikannya. ‘

 

  1. Pendapat ashab, hal tersebut tidak mustahil, memandang bahwa dalam masalah ini, kesalahan hanya pada sebagian, memperhitungkan masing-masing masalah, sesuai dengan porsinya
  2. Pendapat kedua, hal tersebut mustahil, memandang bahwa umat melakukan kesalahan pada kumpulan dari dua masalah. Sedangkan kesalahan sudah ditiadakan berdasarkan HR. Tirmidzi di atas.”

 

Dan bahwa tidak ada ijma’ yang menentan ijma’ sebelumnya. Hal tersebut adalah pendapat ashah, dalam seluruhnya (enam masalah di atas). Dan ijma’ tidak ditentang  dali lain.

 

Kemudian kecocokan ijma’ pada sebuah khabar, tidak menunjukkan bahwa ijma’ berasal dari Khabar tersebut. Akan tetapi secara dhahir ijma’ berasal dari khabar tersebut, apabila tidak ditemukan khabar lainnya.

 

IJMA’DAN DALIL QATH’I MENENTANG IJMA

 

Menurut pendapat ashah, tidak diperbolehkan terjadinya ijma’ yang berimplikasi menentang hasil kesepakatan ijma’ sebelumnya. Karena akan menetapkan terjadinya pertentangan dua dalil qath’iy, dimana jika kita berpijak pada pendapat bahwa ima’ bersifat qath’iy, maka hal tersebut tidak mungkin terjadi.

 

Pendapat kedua, terjadinya ijma’ yang berimplikasi menentang hasil kesepakatan ijma’ sebelumnya diperbolehkan. Karena tidak terlarang seumpama eksistensi ijma’ kedua sebagai penuntas ijma’ pertama.

 

Kemudian berpijak pada pendapat bahwa ijma’ adalah bersifat qath’iy, maka keberadaanya tidak boleh bertentangan dengan dalil qath’iy atau dhanni lain. Karena tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua dalil qath’iy, sebab kontradiksi antara dua perkara, akan menetapkan salah Satunya dipastikan salah. Dan tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dalil qath’iy dan dalil dhanni, karena akan menycbabkan dalil dbanni diabaikan,

 

Sedangkan apabila ijma’ berbentuk dbanni, seperti ijma’ sukulj maka diperbolehkan ditentang dengan dalil dhanni yang lain.

 

KECOCOKAN IJMA DENGAN HADITS

 

Manakala terdapat kecocokan antara ijma’ dengan sebuah khabar (hadits), maka tidak dapat disimpulkan bahwa keberadaan tyma’ muncul dani khabar tersebut. Karena bisa jadi ijma’ berpijak pada dalil lain, namun terkadang dalil lain tersebut tidak sampai penukilannya kepada kita, sebab mencukupkan pada hadits yang sudah ada. Kemudian apabila dalil lain yang semakna tidak ditemukan, maka secara dhahir, ijma’ muncul dari hadits tersebut. Karena ijma’ selalu butuh sandaran.

 

Pendapat kedua, kecocokan antara ijma’ dengan sebuah khabar (hadits), menyimpulkan bahwa keberadaan ijma’ muncul dari khabar tersebut.

 

Sebagian ulama mengatakan, silang pendapat di atas terjadi pada Khabar ahad. Sedangkan jika berbentuk khabar mutawatir, maka ulama sepakat bahwa keberadaan ijma’ muncul dati khabar tersebut. Namun hal ini perlu dikaji ulang, karena masih ada kemungkinan ijma’ muncul dari dalil lain. Karena kemutawatiran khabar, tidak selalu dijadikan sandaran ijma’.”

 

Penutup : Pengingkar mujma’ ‘alaih (perkara yang disepakati) yang dikerahui dari agama secara dzaruri adalah kafir secara pasti, apabila di dalamnya terdapat nash. Juga apabila di dalamnya tidak terdapat nash, menarut pendapat ashah,

 

PENGINGKAR HUKUM HASIL IJMA’

 

Mengingkari hukum-hukum produk ijma’ (mujma’ alaih) adalah haram, bahkan dalam kasus tertentu bisa berakibat pada kekufuran. Lebih detail tentang konsekwensi kufur ini adalah sebagai berikut :

 

– Permasalahan mujma’ ‘alaih yang telah diyakini luas sebagai bagian dari ajaran agama Islam (al-ma‘lum min ad-din bidl-dlarurah) yang di dalamnya terdapat nash, seperti kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa Ramadan, keharaman zina, keharaman khamr, kehalalan jual beli, maka pengingkaran terhadapnya dipastikan menyebabkan kekufuran. Karena mengingingkarinya sama halnya dengan mendustakan Syari (pemberlaku syariat, Allah dan RasulNya).

 

Namun jika tidak terdapat nash di dalamnya, maka menyebabkan kufur menurut pendapat ashah, Pendapat lain, tidak kufur, karena tidak adanya nash.

 

– Permasalahan majma’ ‘alaih yang jarang diketahui oleh khalayak, dan hanya orang-orang tertentu saja dari para ulama’ dan penekun disiplin ilmu syariat yang mengetahuinya, seperti batalnya haji sebab hubungan badan; maka pengingkaran terhadapnya tidak menyebabkan kufur. Meskipun permasalahan mujma’ ‘alaih tersebut manshish (di-nash dalam Al-Qut’an dan hadis), seperti kewarisan anak perempuan dari anak lelaki dengan mendapat seperenam ketika bersama anak perempuan kandung, untuk menggenapi jatah bagian dua pertiga.

 

– Permasalahan mujma’ ‘alaih yang bukan merupakan permasalahan agama, seperti keberadaan kota Baghdad misalnya; maka pengingkaran terhadapnya dipastikan tidak menyebabkan kufur.”

 

Adalah menyamakan perkara ma’lum pada perkara ma‘lum lainnya, arena menyamainys perkara pertama dalam ‘illat hukum perkara kedua menurut orang yang menyamakan. Apabila hanya ditentukan mendefinikan qiyas Shahih, maka bagian akhir dari definisi dibuang.

 

DEFINISI QIYAS

 

Secara bahasa, qiyas adalah at-taqdir (mengukur) dan at-taswiyah (menyamakan). Secara istilah, qiyas didefinisikan sebagai berikut:

 

“Mengarahkan perkara ma’lum’ atas perkara ma’lum lainnya karena kesamaan dalam ‘lat hukumnya, ntenurut orang yang mengarabkan”.

 

Terkait definisi di atas, terdapat beberapa penjclasan dan konsekwensi logis dari pemahamannya, sebagai berikut:

 

  1. Maksud dari “al-hamlu” (mengarahkan) adalah al-ihlaq (menemukan, menyamakan) atau at-taswiyah (menyamakan).

 

  1. Ma’lum, berasal dari akar kata al-ilmu dengan makna at-tashawwur (menggambarkan, membayangkan). Jadi, al-ma’lum maksudnya adalah al-mutashawwar, sesuatu yang tergambarkan atau terbayangkan. Sehingga mencakup keyakinan (yaginiy), kemantapan (i’tiqadiy) dan dugaan atau asumsi (dhanniy).

 

  1. Dalam definisi dipilih redaksi ‘ma’lum’ bukan “maujud’ (hal yang wujud) atau ‘syai’un’ (sesuatu), karena qiyas berlaku pada maujud dan ma‘dum (hal yang tidak ada). Dan, ma’dum tidak dapat dikategorikan sebagai syai’un oleh kalangan Asy’ariyyah. Tidak pula dipilih redaksi far’u”’ dan “ashl” sebagaimana dikemukakan Ibnul Hajib, karena pendefinisian gqiyas dengan redaksi ‘“far’u” dan “ashl” akan menyebabkan daur (perputaran logika)’.

 

  1. Batasan “menurut orang yang mengarahkan”, dimaksudkan untuk mendefinisikan qiyas secara umum, baik qiyas shahih maupun qiyas fasid. Jika yang dikehendaki dari “qiyas” hanyalah “qiyas shabih? maka ‘batasan “menurut orang yang mengarahkan” ini tidak diperlukan.

 

5, “Orang yang mengarahkan”, yakni mujtahid, bisa mencakup pada mujtahid mutlak, ataupun mujtahid madzhab yang meng-qiyas-kan atas ashl dari imamnya’.

 

Qiyas merupakan hujjah dalam beberapa perkara duniawi juga selain duniawi, menurut pendapat ashah. Kecuali dalam masalah kebiasaan (adiyah) — dan pembawaan asli (khilqiyah), selain dalam seluruh masalah hukum dan selain qiyas pada dalil mansukh, maka tereegah menurut pendapat ashah.

 

QIYAS ADALAH HUJJAH

 

Qiyas merupakan hujjah dalam persoalan-persoalan duniawi, seperti masalah obat-obatan. Semisal, tetumbuhan A yang mengandung unsur X bermanfaat menyembuhkan penyakit batuk misalnya. Sedangkan dalam tetumbuhan B juga mengandung unsur X, maka tetumbuhan B ini diqiyaskan pada tetumbuhan A dalam hal bisa digunakan sebagai obat batuk. Hal semacam ini adalah urusan duniawi. Tentang kehujjahan qiyas dalam persoalan-persoalan duniawi ini, Imam Ar-Razi, mengklaim bahwa hal ini telah disepakati.

 

Sedangkan dalam persoalan-persoalan lain, terdapat sejumlah pendapat tentang keabsahannya sebagai hujjah.

 

  1. Pendapat ashah, glqiyas boleh dijadikan hujjah dalam perkara-perkara syar’i dan aqliy (akal). Karena banyak shahabat mengamalkannya berulang-ulang dan diketahui secara luas, tanpa ada penolakan dari shahabat yang lain. Sikap diam atau tidak adanya penolakan, dalam konteks ushul ammah (kaidah pokok universal) dinilai sebagai kesepakatan, atau ijma’ sukuti. Jaga didasarkan firman Allah SWT.:

 

Maka ambillah untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai Wawasan,

 

Dan, yang dikehendaki dengan al-i’tibar dalam ayat ini adalah meng. qiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa qiyas tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, secara akal. Artinya, akal menyimpulkan bahwa qiyas bukanlah hujjah. Yakni, akal memastikan bahwa Syari’ tidak menjadikannya sebagai dalil’. Ini karena qiyas adalah metode yang tidak aman dari kekeliruan. Sehingga akal mencegah dari penggunaan metode semacam ini.

 

  1. Pendapat ketiga, bahwa qiyas bukanlah hujjah, secara syara’. Karena nash-nash syariat telah mencakup segala kejadian dengan namanama secara bahasa, tanpa butuh istinbath dan qiyas.

 

  1. Pendapat keempat, bahwa selain qiyas jaliy tidak bisa dijadikan hujjah. Berbeda halnya dengan qiyas jaliy yang meliputi qiyas aula dan qiyas musawi, maka dapat dijadikan sebagai hujjah.

 

  1. Pendapat kelima, bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai hujjah, kecuali dalam permasalahan hudud (sanksi hukuman fad), kaffarat (denda), rikhshah dan taqdirat (kadar-kadar ukuran). Karena dalam permasalahan-permasalahan ini tidak dapat ditemukan ‘illatnya.

 

Hanya Saja, alasan ini disanggah, bahwa dalam sebagian kasus, ‘‘illat dapat ditemukan, sehingga qiyas dapat diberlakukan. Beberapa kasus ini adalah contohnya:

 

* “Nabbasy” (penggali kubur yang mengambil kain kafan) diqiyaskan pada “pencuri”’ dalam hal sama-sama harus dihukum potong tangan, dengan jami’ (titik temu) berupa “mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanannya secara sembunyisembunyi”. Ini adalah contoh qiyas dalam permasalahan hudud.

 

* Pembunuh dengan kesengajaan diqiyaskan pada pembunuh karena ketidaksengajaan, dalam hal kewajiban membayar kaffarat, dengan jami’ berupa “pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan”. Ini adalah contoh qiyas dalam permasalahan kaffarat.

 

* “Selain batu’’ diqiyaskan pada “batu” dalam hal boleh ber-istinja’ dengan kedua media tersebut, dengan jami’ bahwa batu dan selain batu adalah “benda padat, suci, dapat membersihkan”’. Ini adalah contoh qiyas dalam permasalahan rukhshah, Meski menolak qiyas dalam permasalahan semacam ini, kalanyan Hanafiyah tetap membolehkan ber-ssHinja’ dengan selain batu, karena memasukkan media ‘“seclain batu’? dalam cakupan nama “batu’’, dan menamakannya dengan dalalah nash.

 

* Kadar kewajiban nafkah atas istri diqiyaskan pada kadar kaffarat. Yakni penctapan atas suami kaya dengan keewajiban nafkah 2 mud, seperti halnya fidyah dalam haji; dan penetapan atas suami miskin dengan kewajiban nafkah 1 mud, seperti halnya a arat pelanggaran jima’ (hubungan badan) di siang hari Ramadan. Jami’ di antara keduanya adalah bahwa keduanya adalah “harta yang wajib karena hukum syara’, dan tetap dalam tanggungan’’. Ini adalah contoh qiyas dalam permasalahan taqdirat. Dasar pembedaan kadar kewajiban suami kaya dan miskin adalah firman Allah: ;

 

Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi na kah dar? harta yang diberikan Allah kepadanya. (QS. Ath-Thalaq: 7)

 

QIYAS DALAM “ADIYAH DAN KHILQIYYAH

 

Menurut pendapat ashah, ada beberapa permasalahan yang tidak dapat ditetapkan melalui metode qiyas.

 

  1. Dalam permasalahan kebiasaan (‘adiyyah) dan pembawaan asli (khilqiyyah). Yakni permasalahan-permasalahan yang dikembalikan pada kebiasaan dan pembawaan asli, seperti batas minimal dan maksimal masa haid, nifas dan kehamilan. Maka hal-hal ini tidak dapat ditetapkan dengan qiyas. Karena dalam permasalahanpermasalahan tersebut tidak dapat ditemukan ‘illat-nya, sehingga ketetapan hukumnya merujuk pada perkataan orang yang jujur. Pengqiyasan dalam permasalahan adtyyah dan khilqiyyah dicontohkan, seperti meng-qiyaskan nifas pada haidl dalam hal masa minimalnya, yang sehingga menyimpulkan bahwa masa minimal nifas adalah sehari semalam, sebagaimana masa minimal haidl. Qiyas semacam ini tidak dibenarkan, karena masa minimal didasarkan pada ‘dat (kebiasaan), sedangkan haidl adalah sesuatu yang menjadi pembawaan asli (khilqiyyah). Pendapat lain, qiyas dalam permasalahan ‘adiyyah) dan khilqiyyah adalah boleh, karena terkadang dapat ditemukan ‘illatnya.

 

  1. Dalam semua hukum. Karena di antara hukum-hukum_ syariat, terdapat hukum-hukum yang tidak dapat ditemukan ‘illat-nya, seperti kewajiban dziyat atas ahli waris ashabah (‘aqilah). Pendapat lain, dikatakan bahwa qiyas dalam semua hukum syariat adalah boleh, Dalam artian bahwa masing-masing dari hukum syariat layak ditetapkan berdasarkan qiyas, dengan ditemukannya ‘tat di dalamnya. Kewajiban diyat yang dibebankan atas ahli waris ‘aqilah, di dalamnya ada makna (‘‘illat) yang dapat ditemukan, yakni bantuan pada janiy (pelaku penganiayaan) dalam masalah yang ia dianggap ma‘dzur (ada alasan yang dapat diterima, yakni pembunuhan tanpa unsur murni kesengajaan). Sebagaimana halnya orang yang berhutang demi mendamaikan perselisihan dua pihak, dimana ia berhak dibantu dari alokasi dana zakat.

 

  1. Pada hukum yang telah mansikh. Karena jami tidak lagi dianggap keberadaannya dengan sebab adanya nasakh. Pendapat lain, qiyas boleh dilakukan pada hukum yang mansiikh, karena qiyas hanyalah menampakkan hukum far’u yang terpendam, sedangkan nasakh terhadap ashl bukanlah nasakh terhadap, far’u

 

Penjelasan tentang sebuah ‘illat, bukanlah perintah melakukan qiyas, menurut pendapat ashab.

 

NASH ATAS TELAT

 

Nash atau penjelasan lugas atas adanya sebuah ‘‘illat menutrut pendapat ashah bukanlah perintah untuk melakukan qiyas, baik penjelasan tersebut dari sisi fi’lu (keharusan melakukan) atau dari sisi tarku (keharusan meninggalkan).

 

  1. Contoh nash atas ‘illat dari sisi fi’lu:

 

Muliakanlah Zaid karena ilmunya

 

Hukum “keharusan memuliakan” berdasarkan ‘‘illat “ilmu’’. Sehingga selain Zaid, asalkan mempunyai ilmu, juga harus dimuliakan.

 

  1. Contoh nash atas ‘illat dari sisi fi’lu :

 

Khamr adalah haram karena memabukkan

 

Dalam hal ini, hukum “keharaman khamr’ berdasarkan ‘illat “memabukkan”. Sehingga selain khamr, asalkan memabukkan, juga haram hukumnya.

 

Meski demikian, nash atas ‘illat dalam dua sisi, fi’lu dan tarku, bukanlah perintah untuk melakukan qiyas.

 

Pendapat kedua, penjelasan adanya sebuah ‘illat adalah perintah untuk melakukan qiyas, dari sisi tarku (keharusan melakukan) atau dari sisi fi’lu (keharusan meninggalkan). Karena tidak ada faidah penyebutan ‘‘illat, kecuali hal tersebut.

 

Pendapat ketiga, penjelasan adanya sebuah ‘illat adalah perintah untuk melakukan qiyas, dari sisi arew (keharusan meninggalkan), bukan dari sisi fi’lu (keharusan melakukan). Karena ‘‘illat dalam ‘arkuw adalah mafsadah, dan tujuan menghilangkan mafsadah dapat terlaksana dengan pencegahan dari setiap individu yang tereakup dalam ‘‘illat. Sedangkan ‘‘illat dalam fi’lu adalah mashlahat, dan tujuan dicapainya mashlahat dapat dihasilkan dengan satu individu’.

 

Rukun qiyas ada empat. Pertama, Ashl. Menurut pendapat ahah ashi adalah obyek hukum yang diserupai. Dan tidak disyaratkan dalam ashl, adanya perkara yang menunjukkan diperbolehkannya qiyas pada ashl dengan macam dan bentuknya. Juga tidak disyaratkan adanya kesepakatan Keberadaan ‘illat di dalam qiyas. :

 

RUKUN-RUKUN QIYAS

 

Dalam qiyas terdapat empat rukun.

 

  1. Ashl (kasus asal), atau al-maqis ‘alaih (kasus yang di-qiyas-i).
  2. Al-Far’u (kasus cabangan) atau al-magis (yang di-qiyas-kan).
  3. Hukmul ashl (pukum kasus asal).
  4. ‘‘illat (alasan hukum kasus asal) atau mana musytarak, (makna yang dipersekutukan).

 

RUKUN PERTAMA; ASHL

 

Dalam hal ini, ashl didefinisikan dengan beragam versi. 1. Pendapat ashah, Ashl adalah obyek hukum yang diserupai

  1. Pendapat kedua, Ashl adalah hukum dari obyek

3, Pendapat ketiga, Ashl adalah dalil dari hukum.

 

Menurut pendapat ashah, dalam ashl tidak disyaratkan adanya dalil yang menunjukkan diperbolehkannya qiyas pada ashl dengan macam dan bentuknya. Juga tidak disyaratkan adanya kesepakatan atas keberadaan ‘illat di dalam qiyas.

 

Pendapat lain, kedua hal di atas disyaratkan. Manakala syarat pertama ditetapkan, maka beberapa permasalahan jual beli tidak bisa di qiyas-han, kecuali ditemukan dalil diperbolehkannya qiyas dengan macam atau bentuknya. Dan manakala syarat kedua ditetapkan, maka kasuskasus yang masih diperdebatkan keberadaan ‘illat di dalamnya tidak bisa di-qiyas-kan. Dan hams ada kesepakatan bahwa hukum pada ashl memiliki ‘‘illat, dan ‘illat-nya adalah demikian. Namun, pendapat yang mensyaratkan ini dinilai mardud (tertolak), karena tidak memiliki landasan dalil, sehingga tidak dapat dijadikan pedoman’.

 

Kedua, hukum Ashl, dan syaratnya adalah ditetapkan dengan selain qiyas, meskipun (selain qiyas tersebut) adalah ijma’. Dan tidak bersifat muta’abbad fih (dogmatif irrasional) secara yakin, menurut satu pendapat. Juga harus termasuk jenisnya hukum far’u Dan hukum ashl tidak boleh bergeser dari beberapa tatacara qiyas. Juga disyaratkan dalil dari hukum ashl tidak mencakup pada hukum far’i serta keberadaan hukum ashl disepakati secara pasti di antara dua orang yang beradu hujjah Saja, menurut pendapat ashah. Dan versi ashah, tidak disyaratkan adanya perbedaan umat (selain dua orang yang beradu hujjah).

 

RUKUN KEDUA; HUKUM ASHL

 

Hukmul ashl (hukum kasus asal) adalah hukum yang telah ditetapkan terhadap kasus ashl, baik berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits maupun al-Ijma’, Termasuk syarat-syarat hukum ashl di antaranya;

 

  1. Hukum ashl ditetapkan dengan selain qiyas, meskipun berupa ijma’. Karena jika tetap berdasarkan qiyas, maka apabila ‘‘illat-nya satu, qiyas kedua menjadi tidak berfungsi, karena sudah dicukupkan dengan dengan qiyas aru pada ashl yang pertama. Dan jika ‘‘illat-nya berbeda, maka qiyas tidak sah dilakukan, karena antara far’u dan ashl tidak ada tittk temu dalam aspek ‘illat hukumnya.

 

Contoh apabila ‘illat-nya satu: meng-qiyas-kan apel pada gandum dalam hal tergolong ribawi, dengan titik temu sama-sama makanan. Kemudian meng-qiyas-kan safarjal (sejenis jambu) pada apel dalam hal seperti di atas. Qiyas kedua ini tidak berfungsi, karena sudah dicukupkan dengan meng-qiyas-kan sa arjal pada gandum.

 

Contoh apabila ‘illat-n lya berbeda : meng-qiyas-kan ratqu (tersumbatnya liang setubuh) pada terpotongnya penis dalam hal bolehnya melakukan fasakh nikah, dengan titik temu sama-sama menghilangkan hak bersenang-senang dengan istri Kemudian meng-qiyas-kan penyakit kusta pada ratqu. Qiyas ini tidak sah, karena hilangnya hak bersenang-senang dengan istri tidak ada dalam kusta. Pendapat lain, juga ditetapkan tidak dengan ijma’, kecuali diketahui bahwa sandarannya adalah nash, supaya qiyas dapat disandarkan pada nash tersebut.

 

  1. Hukum ashl disyaratkan tidak bersifat muta’abbad fih (dogmatif irrasional) secara yakin. Karena setiap hal yang bersifat demikian, perkara lain yang disamakan pada obyek hukumnya, maka harus bersifat qath’iy, seperti akidah. Padahal qiyas tidak berfaidah yakin.

 

  1. Hukum ashl harus sejenis dengan hukum , far’iy, baik berupa hukum syari atau selain syar’iy. Sehingga hukum ashl harus berapa hukum syar’i, manakala hukum yang hendak ditetapkan melalui qiyas adalah hukum syar’iy. Dan berupa hukum aqliy (akal) manakala hukum yang hendak ditetapkan melalui qiyas adalah hukum ‘aqliy. Serta berupa hukum laghawiy, manakala hukum yang hendak ditetapkan melalui qiyas adalah hukum lughawiy.

 

4, Hukum ashl tidak boleh bergeser dati beberapa tatacata qiyas. Dan jika bergeser, maka tidak bisa di-qiyas-kan pada obyek hukumnya. Karena akan sulit dilakukan penjalaran hukum. Contoh persaksian dari shahabat Khuzaimah RA dalam HR. Abi Dawud’,

 

“Barangsiapa Khuzaimah bersaksi untuknya, maka cukup sebagai bukti”

 

Hukum ini tidak berlaku bagi selain Khuzaimah RA, meskipun lebih tinggi derajatnya dalam aspek yang serasi dengan diterimanya persaksian, berupa kualitas agama dan kejujurannya, seperti Abu Bakar RA.

 

  1. Dalil dari hukum ashl tidak mencakup pada hukum far’i. Karena dengan demikian qiyas sudah tidak dibutuhkan, dan mencukupkan pada dalil tersebut. Di samping itu, menjadikan sebagian kasus yang termuat dalam sebuah dalil sebagai ashl bagi sebagian kasus yang lain, tidak lebih utama dari kebalikannya. Contoh, seandainya hukum ribawi pada gandum didasarkan pada HR. Muslim;

 

“Menjual makatian dibeli dengan makanan, dengan sama kadarnya”

 

Kemudian jagung di-qiyas-kan pada gandum dengan titik temu berupa sifat makanan. Maka dalam hal ini sifat makanan mencakup gandum dan jagung secara setara.

 

  1. Keberadaan hukum ashl disepakati. Karena jika tidak, saat perdebatan, penolakan atas dalil tersebut membutuhkan itsbat (penetapan). Sehingga berakibat berpaling dari konteks menuju masalah lain, dan masalah menjadi membias, sampai akhirnya tujuan utama terabaikan. Pendapat ashah menyatakan, harus disepakati antara dua orang yang beradu hujjah. Karena pembahasan tidak keluar dari mereka berdua. Pendapat lain, harus disepakati di tengah umat, agar tidak memungkinkan celah penolakan.

 

Namun menurut pendapat ashah, tidak disyaratkan adanya perbedaan umat menyikapi hukum selain dua orang yang beradu hujjah. Bahkan boleh bagi umat menyepakati hukum, seperti dua orang yang beradu hujjah. Pendapat lain, perbedaan umat menyikapi hukum disyaratkan, agar bagi lawan debat mudah melakukan penolakan. Karena baginya akan sulit menolak sesuatu yang telah disepakati, serta lawan debat yang sedang mengkaji tidak terikat dengan madzhab tertentu’.

 

Apabila hukum ashl disepakati di antara dua orang yang beracdu hujjah, bersamaan dengan penolakan lawan debat bahwa ‘illatnya adalah hal semacam ini, maka qiyas disebut murrakab al-ashl Atau penolakan keberadaanya dalam hukum ashl maka disebut murakkab al washf. Dua macam qiyas ini tidak diterima, menurut pendapat ashah.

 

MURAKKAB AL-ASHL DAN MURAKKAB AL-WASHF

 

Hukum ashl mutlak harus disepakati oleh dua orang yang beradu hujjah, sebagaimana dalam penjelasan di atas. Hanya saja kemudian memandang latar belakang ‘‘illatnya, ulama membagi qiyas menjadi dua macam,;

 

  1. Qiyas murrakab al-ashl, apabila hukum ashl disepakati di antara dua orang yang beradu hujjah, akan tetapi lawan debat menolak bahwa ‘illat-nya adalah perkara yang disampaikan pendalil, dan dia memilih ‘‘illat lain yang berbeda.

 

Contoh, meng-qiyas-kan perhiasan wanita baligh pada anak kecil dalam hukum tidak wajibnya zakat. Hukum tidak wajib zakat pada ashl, yakni harta anak kecil, disepakati oleh kalangan Syafi’iyyah dan Hanafiyah. Dan ‘illat di dalamnya menurut kalangan Syafi’iyyah adalah statusnya sebagai perhiasan yang boleh dipakai. Sedangkan menurut Hanafiyah adalah statusnya sebagai harta anak kecil.

 

Qiyas ini disebut mwurakkab al-ashl, karena hukum tersusun dari dua ‘illat ashl dari dua orang yang beradu hujjah.

 

  1. Qiyas murakkab al wash, apabila hukum ashl disepakati atas dasar ‘‘illat yang ditolak keberadaanya dalam hukum ashl oleh lawan debat. Contoh, meng-qiyas-kan ucapan; “Jika aku menikahi Fulanah, maka ia tertalak’’ dengan ucapan; ““Fulanah yang akan aku nikahi tertalak’’, dalam hal tidak jatuhnya talak setelah nikah. Dan tidak jatuhnya talak pada ashl disepakati oleh kalangan Syafiiyyah dan Hanafiyah. ‘‘illat dalam hal ini adalah menggantungkan talak sebelum memiliki hak talak. Dan kalangan Hanafiyah menolak wujudnya ‘‘illat pada ashl, karena ucapan tersebut menurut mereka bersifat tanjizi (tanpa penggantungan), bukan ta’liq (penggantungan). Sehingga qiyas tidak bisa dilakukan, karena tidak adanya ‘‘illat pada far’u, sebab far’u berbentuk ta’liq, sedangkan ashl berbentuk tanjizi.

 

Qiyas ini disebut murakkab al-washi, karena hukum tersusun dari sifat yang ditolak keberadaanya dalam hukum ashl oleh lawan debat.

 

Dua macam qiyas ini tidak diterinna, karena dalam qiyas murakkab al-ashl lawan debat menolak wujudnya ‘‘illat pada far’u. Sedangkan dalam murakkab al-washfi, karena lawan debat menolak wujudnya ‘‘illat pada ashl Menurut pendapat kedua, keduanya diterima. Karena memandang kedua belah pihak menyepakati hukum ashl.

 

Apabila lawan debat (kbashm) menetima ‘‘illat-nya pendalil (mastadil), kemudian pendalil menetapkan adanya ‘illat, atau lawan debat menerima keberadaan Maka dalil menjadi tegak. Dan apabila dua orang yang beradu hujjah tidak menyepakati hukum ashl dan ‘illat-nya, namun pendalil menghendaki menetapkan hukum kemudian menetapkan ‘illat, maka menurut ashah, hal tersebut diterima.

 

Pendapat ashah, tidak syaratkan adanya kesepakatan bahwa hukum ashl memiliki ‘illat atau penjelasan atas

 

TEGAKNYA DALIL DAN SAHNYA QIYAS

 

Manakala lawan debat (khashm) menerima ‘illat dari pendalil (mustadil), dalam arti menerima bahwa ‘illatnya adalah apa yang disebutkan mustad, namun dia tidak menerima wujudnya ‘‘illat pada ashl Kemudian pendalil menetapkan wujudnya ‘illat pada ashi, di saat keduanya berselisih mengenai wujudnya ‘‘illat pada ashl. Atau lawan debat menerima keberadaan ‘illat. Maka dalam hal ini, dalil menjadi tegak dan Qiyas dinyatakan sah.

 

Contoh;

 

Mustadill : ‘illat dalam riba adalah sifat makanan

Khashm : Saya setuju bahwa ‘illat dalam riba adalah sifat makanan, namun saya tidak setuju ‘‘illat tersebut ada dalam gandum

Mustadil ; Saya menetapkan wujudnya ‘illat tersebut dalam gandum dengan metode ini

Konsekuensi : Dalil menjadi tegak pada ashl, karena dalil atas khashm terwujud, sehingga qiyas menjadi sah,

Atau,

 

Muastadill : ‘illat dalam riba adalah sifat makanan

 

Khashm : Saya setuju bahwa ‘‘illat dalam riba adalah sifat makanan, dan saya setuju ‘‘illat tersebut ada dalam gandum

 

Konsekuensi : Dalil menjadi tegak pada ashl, karena pengakuan khashm atas wujudnya ‘‘illat.

 

Dan apabila dua orang yang beradu hujjah tidak menyepakati ashl (hukum dan ‘illat-nya), namun pendalil menghendaki menetapkan hukum ashi dengan sebuah dalil, kemudian menetapkan ‘iat dengan sebuah metode, maka menurut ashah, hal tersebut ditetima. Karena penetapan mustadil setingkat dengan pengakuan Ahbashm. Pendapat lain, hal tersebut tidak diterima, dan kedua pihak harus menyepakati ashl, agar perdebatan tidak membias”’.

 

KESEPAKATAN PENENTUAN ‘‘ILLAT DARI ASHL

 

Pendapat ashah, tidak disyaratkan adanya kesepakatan dari seluruh umat bahwa hukum ashl memiliki ‘illat, atau penjelasan atas ‘illat (bahwa ‘‘illat hukum ashl adalah demikian). Karena tidak ada dalil tentang pensyaratan ini. Dan cukup menetapkan bahwa hukum ashl memiliki ‘illat dengan dalil. Pendapat lain, hal tersebut disyaratkan.

 

Dan masih mengikuti ashah, tidak disyaratkan adanya kesepakatan bahwa ‘‘illat dari hukum ashl adalah demikian, sebagaimana penjelasan terdahulu pada rukun qiyas pertama.

 

Ketiga, Far’u yaitu obyek yang diserupakan, menurut pendapat ahah. Pendapat texpilih, diterima adanya mn‘aradhah (bantahan) dalam faru dengan dalil yang menuntat pertentangan atau perlawanan hukum.

 

Menurut pendapat terpilih, penolakan mu’aradhah dapat dilakukan dengan tarjih. Dan bahwa tidak wajib memberi isyarat atas tarjih di dalam dalil.

 

Syarat far’u adalah wujudnya ‘illat secara sempurna di dalamnya. Apabila ‘illat bersifat qathiy, maka qiyas bersifat qath’iy, Dan jika bersifat dzanniy, maka qiyas bersifat dzanniy dan disebut qiyas al-adwan, seperti pengqiyasan apel pada pandum dengan litik temu berupa makanan. Dan far’u tidak dibantah, serta tidak adanya dalil qath’iy yang bertentangan dengan far’u. Dan juga (tidak adanya) hadits ahad (yang bertentangan), menurut ashah. Kecuali (qiyas tersebut) demi menjajal analisa. Dan hukum far’u harus menyamai hukum ashl (dalam maknanya). Serta hukum far’u tidak bileh mendahului hukum ashl, manakala tidak ada dalil lain pada far’u (selain qiyas).

 

RUKUN KETIGA; FAR’U

 

Far’u adalah obyek yang diserupakan dengan ash4 menurut definisi pendapat ashah. Pendapat lain, hukum dari obyek tersebut. Menurut pendapat terpilih, dalam ar’ menerima adanya mu-aradhah (bantahan) dengan dalil yang menuntut pertentangan atau perlawanan hukum. Dalam arti khasham (lawan debat) memunculkan sifat yang menunjukkan pertentangan atau perlawanan dari apa yang telah ditunjukkan dari qiyas yang dilakukan mustadil (pemapar dalil). Bentuk tangapan pada faru, semisal mu’taridh (pengkritisi dalil) mengatakan pada mustadil (pemapar dalil), “Sifat yang telah kamu sebutkan, meskipun menetapkan hukum pada far’u, akan tetapi menurutku ada sifat lain yang akan menetapkan kebalikan atau perlawanan hukum tersebut’’.

 

Contoh pertentangan;

Mustadill : Mengusap sebagian kepala adalah rukun wudhu, maka sunnah mengulanginya tiga kali, seperti membasuh wajah.

 

Mu’aridh : Mengusap sebagian kepala dalam wudhu tidak sunnah diulangi tiga kali, seperti mengusap khuff (sepatu musim dingin).

 

Contoh perlawanan;

Mustadill : Salat witir rutin diakukan Nabi SAW, sehingga hukumnya wajib, seperti tasyahud.

 

Mu’aridh : Shalat witir dibatasi dengan waktu shalat lima waktu, sehingga sunnah, seperti shalat qalbiyah subuh (shalat fajar).

 

Dalam hal ini dikecualikan bantahan dengan dalil yang menuntut perbedaan hukum. Maka hal ini secara pasti tidak membuat cacat, karena tidak menafikan dalil wustadil.

 

Contoh;

 

Maustadill : Sumpah palsu adalah ucapan yang pengucapnya divonis berdosa, sehingga tidak menetapkan kafarat, seperti persaksian palsu.

 

Mu‘aridh : Suampah palsu adalah ucapan yang mengukuhkan perkara bathil dan disangka sebagai realita, sehingga menetapkap ta’zir, seperti persaksian palsu.

 

Menurut pendapat terpilih, tekhnis menolak mu’aradhal (bantahan), selain dengan apa yang diupayakan wustadil, adalah dengan pen-tarjih-an (pengunggulan) sifat wustadil atas sifat mu’aridh dengan sebuah murajjih qiyas. Karena menjadi keharusan untuk mengamalkan dalil yang unggul. Pendapat lain, hal tersebut tidak diterima, karena yang dipertimbangkan dalam bantahan adalah terwujudnya ashl ad-dhan (dugaan sifat yang disampaikan mu’taridh menjadi ‘‘illat), bukan menyamainya ashl ad-dhan pada dhan al-ashl (dugaan sifat ashl yang ada dalam qiyas-nya mustadil menjadi ‘‘illat). Dan ashl ad-dhan tidak bisa tertolak dengan ‘tarjih.

 

Berpijak pada diterimanya tarjih, maka menurut pendapat terpilih, semenjak pertama kali tidak wajib memberi ‘syarat atas tarjih di dalam dalil. Pendapat lain, hal tersebut wajib dilakukan, karena dalil tidak sempurna tanpa adanya penolakan terhadap mu‘aridh.

 

BEBERAPA SYARAT FAR’U

 

Untuk mewujudkan qiyas yang benar, far’u memilki beberapa persyaratan, di antaranya;

 

  1. Terwujudnya ‘illat ashi secara sempurna dalam far’u, baik sama persis atau disertai tambahan.

 

Contoh yang sama persis, lat berupa memabukkan dalam qiyas minuman keras dari perasan selain anggur (nabidz) pada perasan angeur (khamr).

 

Contoh yang disertai tambahan, ‘illat berupa menyakiti dalam qiyas memukul orang tua pada berkata kasar.

 

Berdasarkan hal ini, qiyas terbagi sebagai berikut;

 

1) Qiyas gath’iy, apabila ‘illat bersifat gath’iy. Dalam arti dipastikan sebuah sifat menjadi ‘illat pada ashf, dan terwujud pada aru. Contoh, memabukkan dan menyakiti seperti tersebut di atas. Dalam hal ini, seolah-olah far’u termuat dalam dalil ashi Dan apabila dalil dari hukum ashl berbentuk dhanni, maka hukum far’u juga demikian.

 

Qiyas gath’iy ini mencakup dua macam qiyas;

 

  1. Awlani, yakni qiyas yang tetapnya hukum pada far’u lebih tinggi dibandingkan pada ashl Seperti, qiyas memukul orang tua pada berkata kasar.

 

  1. Musawi, yakni qiyas yang tetapnya hukum pada far’u setara dibandingkan pada ashl Seperti, qiyas membakar harta anak yatim pada memakan hartanya.

 

2) Qiyas dhanni atau adwan, apabila ‘illat bersifat dzannty. Dalam arti diduga sebuah sifat menjadi ‘‘illat pada ashl, meskipun dipastikan terwujud pada far’u. Contoh, pengqiyasan apel pada gandum dalam riba dengan titik temu berupa makanan. Sifat makanan adalah ‘illat riba dalam ashl (gandum), disertai kemungkinan pendapat lain, bahwa ‘‘illat-nya adalah makanan simpanan pokok, seperti versi Malikiyyah, atau takaran, seperti versi Hanafiyah. Sedangkan dalam far’u (apel) hanya ada sifat makanan saja. Sehingga tetapnya hukum pada apel, lebih rendah dibanding tetapnya hukum pada gandum yang memiliki tiga sifat sekaligus.

 

  1. Adanya far’u tidak dibantah.

 

Sebagaimana di atas, bahwa far’u menerima mu’aradhah (bantahan), maka disyaratkan dalam far’u tidak dibantah dengan bantahan yang sulit diantisipasi.

 

  1. Tidak adanya dalil gath’iy dan hadits ahad yang bertentangan dengan far’u.

 

Maksud persyaratan ini adalah hukum dalam far’u tidak boleh bertentangan dengan dalil gath’iy. Karena qiyas tidak sah dilakukan, manakala ditemukan dalil gath’iy yang bertentangan. Dan syarat ini disepakati ulama.

 

Menurut pendapat ashah, hukum dalam far’u juga tidak boleh bertentangan dengan khabar ahad. Jika hal ini terjadi, maka khabar ahad didahulukan daripada qiyas, sebagaimana pembahasan khabar terdahulu.

 

Persyaratan di atas berlaku selain dalam konteks menjajal analisa dari mustadil, serta uji cobanya memakai qiyas dalam berbagai masalah. Dalam konteks semacam ini, qiyas yang bertentangan dengan kedua dalil di atas dengan sendirinya dibenarkan, meskipun tidak diamalkan karena adanya pertentangan tersebut, bukan karena bentuknya yang salah. Kebenaran qiyas ini ditunjukkan oleh kaidah, bahwa ketika nash dan qiyas bertentangan, maka nash didahulukan.

 

  1. Far’u menyamai ashl dan hukum far’u menyamai hukum ashl.

 

Maksud persyaratan ini, bahwa far’u harus menyamai ashl dalam maknanya (‘illatnya), Dan apabila berbeda, maka qiyas tidak sah, karena hukum ashl menjadi tidak ada pada far’u. Dan tekhnis menjawab mustadil manakala mun’taridh (pengkritisi dalil) menyatakan adanya perbedaan ‘‘illat hukum ashl dan far’u adalah dengan menjelaskan kesamaannya, sebagaimana pembahasan yang akan datang. Contoh;

 

Mustadill  (Syafi’i): Sumpah dhihar kafir dzimmi sama dengan dhihar muslim, dalam hal haramnya menggauli istrinya.

 

Mu’taridh(Hanafi) : Haramnya menggauli istri bagi muslim selesai dengan membayar kafarat. Sedangkan orang kafir bukan ahli kafarat, karena dia tidak mungkin berpuasa (sebagian dari bentuk kafaraf), karena niatnya rusak. Maka haramnya menggauli istri tidak bisa selesai baginya. Dengan demikian hukum jelas berbeda, dan qiyas tidak sah.

 

Mustadill (Syafi’i): Memungkinkan bagi kafir dzimmi untuk berpuasa, dengan cara masuk Islam, kemudian puasa. Danbjuga ulama menyepakati bahwa memerdekakan budak serta memberi makan sah dilakukan, meskipun dalam keadaan kafir. Maka dia termasuk ahli kafarat. Dari sini hukum ashl dan far’u sama, dan qiyas dinyatakan sahl.

 

  1. Hukum far’u tidak boleh mendahului hukum ashl

 

Syarat tidak boleh mendahuluinya hukum far’u pada hukum ashl ini berdasarkan aspek penampakannya bagi mukallaf, bukan keberadaannya secara hakiki. Dan berlaku manakala tidak ada dalil atas far’u selain qiyas. Contoh, meng-qiyas-kan wudhu pada tayammum dalam hal wajibnya niat. Wudhu diperintahkan sebelum hijrah, sedangkan tayammum diperintahkan setelah hijrah. Dan jika mendahuluinya hukum far’u pada hukum ashl diperbolehkan, maka akan berimplikasi tetapnya hukum far’u saat mendahului tanpa adanya dalil. Dimana hal ini jelas tereegah, karena tergolong tuntutan dengan khithab yang tidak diketahui saat menuntut. Hanya saja apabila hal itu disebutkan dalam rangka mengalahkan lawan debat, maka diperbolehkan. Contoh, ucapan penganut madzhab Syafi’i pada penganut madzhab Hanafi yang berpendapat wajib niat dalam tayammum, tidak dalam wudhu, “Dua thaharah yang keduanya tidak terpisah, karena keduanya sama secara makna”.

 

Kemudian manakala ada dalil lain pada far’u, maka mendahuluinya hukum far’u pada hukum ashl diperbolehkan. Karena hal-hal yang dilarang dalam uraian di atas menjadi tidak ada, serta mempertegas menegaskan pendapat bolehnya beberapa dalil dalam satu madlul,

 

Tidak disyaratkan tetapnya hukum far’u berdasarkan nash secara global. Juga tidak disyaratkan tidak adanya nash atau ijma’ yang selaras dengan hukum qiyas, menurut pendapat terpilih.

 

SYARAT FAR’U YANG DIPERSELISIHKAN

 

Berikut ini beberapa perkara yang diperselisihkan sebagai syarat dalam far’u.

 

  1. Tetapnya hukum far’u berdasarkan nash secara global

 

Menurut pendapat terpilih, tetapnya hukum far’u berdasarkan nash secara global tidak disyaratkan. Pendapat kedua, dari segolongan ulama, hal tersebut disyaratkan. Kemudian dituntut perinciannya dengan qiyas. Seandainya tidak ada pengetahuan tentang adanya nash atas pewarisan kakek secara global, maka pastilah qiyas dalam masalah pewarisannya bersama beberapa saudara laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan. Dimana dalam hal ini kakek diqiyas-kan pada bapak, sehingga saudara laki-laki tidak mendapat bagian saat bersama kakek. Atau di-qiyas-kan dengan saudara lakilaki, sehingga beberapa saudara laki-laki dan perempuan bersekutu (musyarakah). Namun pendapat kedua ini disangkal, bahwa ulama meng-qiyas-kan ucapan “Kamu haram bagiku” dengan talak, dhihar, dan sumpah ila’, sedangkan dalam hal ini nash baik yang terperinci dan yang global tidak ditemukan.

 

  1. Tidak adanya nash atau ijma’ yang selaras dengan hukum qiyas.

 

Hal ini tidak disyaratkan menurut pendapat terpilih. Sehingga qiyas boleh dilakukan, meskipun bersama adanya nash atau ijma’ yang selaras dengan qiyas tersebut. Hal ini mengacu pada diperbolehkannya beberapa dalil atas satu madlul. Pendapat kedua, hal tersebut disyaratkan, meskipun mengacu pada diperbolehkannya beberapa dalil atas satu madlul. Hal ini memandang bahwa kebutuhan terhadap qiyas menjadi urgen manakala tidak ditemukan nash atau ijma’.

 

Keempat ‘‘illat. Menurut ashah, ‘illat adalah petunjuk yang memberitahukan adanya hukum.

 

Juga bahwasanya hukum ashl tetap berdasarkan ‘illat. Dan ‘illat terkadang ada yang menolak adanya hukum, atau menghilangkan hukum, atau memerankan keduanya.

 

RUKUN KEEMPAT: ‘‘ILLAT

 

‘‘illat, atau al-washf al-jami’ (sifat yang mempertemukan) antara ashl dan far’u, memiliki definisi berbeda-beda yang berpengaruh terhadap segala permasalahan yang akan dijelaskan nanti

 

  1. Definisi pendapat ashah;

 

“Petunjuk yang memberitabukan adanya hukum”

Maksud ‘memabukkan’ menjadi ‘‘illat adalah keberadaannya menjadi petunjuk atau tanda atas haramnya perkara yang memabukkan, seperti khamr dan nabidz.

 

  1. Definisi Mu’tazilah;

 

“Sesuatu yang dengan sendirinya (dzatiyah) mempingaruhi dalam hukum”

Definisi ini berpijak pada pendapat bahwa hukum selalu mengikuti mashlahat-mafsadah.

 

  1. Definisi Imam Al-Ghazali;

 

“Sesuatu yang dengan dengan izin Allah SWT miempengarubi dalam hukum’’

Maksud dengan izin Allah SWT adalah dengan dijadikan oleh Allah SWT.

 

  1. Definisi Imam Al-Amidi;

 

“‘‘illat adalah pemicuadanya hukum”

 

Berdasarkan definisi pertama di atas, menurut pendapat ashah, hukum ashl tetap berdasarkan ‘illat, bukan nash. Berbeda dengan pendapat kalangan Hanafiyah yang mengatakan, hukum ashl tetap berdasarkan nash, karena nash yang berfaidah menunjukkan hukum.

 

‘‘ILLAT MENOLAK ATAU MENGHILANGKAN HUKUM

 

‘illat dipandang dari hasil hukumnya terbagi menjadi tiga macam;

 

  1. Menolak adanya hukum. Contoh pertama adalah ‘iddah, dimana posisinya menolak halalnya nikah dari selain suami, namun tidak menghilangkan pernikahan atau halalnya melanggengkan nikah. Sebagaimana ‘iddah yang terjadi karena wathi subhat, yang mana hal ini tidak menghilangkan pernikahan suami, karena jika tidak demikian, semestinya istri tidak halal bagi suami setelah ‘iddah selesai tanpa disertai akad baru. Dan yang hilang di sini hanya halalnya istimta’.

 

  1. Menghilangkan hukum. Contoh talak, dimana talak menghilangkan bolehnya istimta, mamun tidak menolak nikah, karena diperbolehkannya nikah setelah talak, dengan akad baru.

 

  1. Memerankan keduanya (menolak sekaligus menghilangkan). Contoh, radha’ (sepersusuan), dimana posisinya menolak halalnya nikah, sekaligus menghilangkannya, manakala radba’ muncul di tengahtengah nikah, sebagaimana seseorang menikah dengan wanita yang masih menyusui, kemudian wanita ini disusui oleh istrinya yang lain.

 

‘‘illat berbentuk sifat hakiki yang dhahir (jclas) dan mundhabath (teruker Gengan patasan). atau sifat ‘urfiy  yang mauttharid terlaku umum). Juga pendapat ashah, ‘illat dapat berbentul Sifat Lughawi, atau hukum syar’i, atau sifat murakkab (tersusun).

 

SYARAT-SYARAT ‘‘ILLAT

 

‘illat memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yakni;

 

  1. Berbentuk sifat hakiki, yakni sifat yang dapat difahami dengan sendirinya, tanpa ada ketergantungan dengan ‘urf, syar’i, atau lughat. Seperti sifat makanan sebagai ‘‘illat dari perkara mnbani. Sifat ini tergolong hakiki, karena bisa ditemukan pancea indra. Atau sifat ‘urfiy yang muttharid (terlaku umur), tidak berubah-ubah dengan adanya perubahan waktu, seperti sifat mulia dan rendah dalam kafa’ah.

 

2, Harus dhahir (jclas), artinya dapat dibedakan dari perkara lain. Bukan sifat yang khafi (samar), seperti pembuahan di rahim, keluarnya sperma, dan persetubuhan. Hal-hal semacam ini tidak bisa dijadikan Wat dari ‘iddah. Dan ‘‘illat yang digunakan dalam ‘iddah adalah khalwah (berduaan di kamar).

 

3, Harus mundhabath (terukur dengan batasan), artinya tidak berubahubah dengan adanya perubahan individu (mudhtharib). Sepert masyaqqah (kesulitan), dimana hal ini tidak bisa dijadikan ‘‘illat dalam persoalan gashar shalat, karena kadarnya berbeda-beda tiap individu.

 

Selain hal-hal di atas, menurut pendapat ashah, beberapa bentuk lain dapat digunakan sebagai ‘‘illat.

 

  1. Sifat lughawi, dimana diperbolehkan. Seperti menetapkan keharaman nabidz (perasan selain anggur) dengan ‘‘illat bahwa nabidz dapat disebut Ahsamr, seperti minuman keras yang terbuat dari perasan angeur. Hal ini berpijak pada tetapnya lughat dengan qiyas. Pendapat kedua, hukum syar’i tidak boleh di-’illati dengan perkara lughani.

 

  1. Hukum syar’i, baik perkara yang di-’illat-i juga berupa hukum syar’i, seperti menetapkan bolehnya menggadaikan al-musya’ (dimiliki bersama dan belum ditentukan pembagiannya) dengan ‘illat bolehnya al-musya’ diperjualbelikan. Atau perkara yang di-‘‘illat-i berupa perkara hakiki, seperti menetapkan sifat hidup pada rambut dengan ‘‘illat dihararmkan sebab talak dan dihalalkan sebab nikah, seperti tangan. Pendapat kedua, ‘illat tidak boleh berbentuk hukum, karena seharusnya hukum merupakan perkara yang di-’illat-i, bukan justru menjadi ‘illat. Pendapat ketiga, ‘illat boleh berbentuk hukum syar’i, manaka perkara yang di’illati berbentuk perkara hakiki.

 

  1. Sifat murakkab (tersusun) atau sifat yang memiliki juz (bagian), seperti meng-’illat-i wajibnya qishas dengan pembunuhan sengaja dengan aniaya pada orang yang sederajat. Pendapat kedua, tidak bisa dijadikan ‘illat, karena penetapan ‘illat dengan perkara murakkab akan berimplikasi kemustahilan secara logika (muhal ‘aqli). Karena hilangnya satu juz dari penyusun murakkab, akan menetapkan status Watnya menjadi hilang. Setelah itu, manakala juz lainnya juga hilang, maka akan terjadi sahshil al-hashil (mewujudkan perkara yang sudah ada), dalam arti juz tersebut menghilangkan sesuatu yang sudah hilang sebab tidak adanya juz pertama. Pendapat ketiga, boleh selama penyusunnya tidak melebihi lima juz. Pendapat ini diriwayatkan Syekh Abu Ishaq As-Syairazi dan Imam Mawardi dari sebagian ulama dalam Syarh Al-Luma’. Al-Imam mengomentari, dasar penetapan jumlah maksimal lima juz ini tidak memiliki dasar, Namun versi lain menyatakan, dasarnya adalah istiqra’ (logika induktif)”.

 

Disyaratkan untuk melakukan (penyamaan) berdasarkan ‘‘illat adalah, memuatnya ‘‘illat atas hikmah yang mendorong mukallaf untuk melaksanakan dan layak dijadikan dalil penggantungan sebuah hukum, Dan pencegah (mani) dari ‘illat adalah sifat gk wujud yang membuat cacat hikmah dari ‘‘illat.

 

Tidak diperbolehkan, menurut ashah, adanya ‘‘illat berupa hikmah itu sendiri, manakala tidak terukur dengan batasan. Dan ‘at tidak boleh berbentuk ‘adami (tidak adanya hukum) dalam perkara yang berbentuk tsubuti (adanya hukum).

 

SYARAT ILHAQ  PADA HUKUM ASHL SEBAB TELAT Termasuk di antara beberapa syarat shaq (penyamaan) pada hukum ashl berdasarkan ‘illat, di antaranya;

 

  1. Memuatnya ‘illat atas bikmah (kemashlahatan yang menjadi tujuan pensyariatan hukum) yang mendorong mukallaf untuk melaksanakan dan layak dijadikan dalil penggantungan sebuah hukum dengan ‘‘illat, Seperti, menjaga nyawa yang merupakan sikmah dari vonis gishash yang ditetapkan berdasarkan ‘‘illat berupa membunuh dengan sengaja. Seseorang yang mengetahui bahwa apabila dirinya membunuh, konskuensinya dia akan dibalas bunuh, pastilah ia akan menghindari perbuatan membunuh. Namun terkadang ada yang tidak menghindar, karena sudah memutuskan pilihan nyawanya melayang. Hikmah ini mendorong mukallaf, yakni pembunuh dan penegak hukum, untuk melaksanakan perintah yang berbentuk kewajiban gqishash. Hal ini dilakukan dengan cara masing-masing memberi kesempatan pada waris dari korban pembunuhan untuk mengeksekusinya. Dan ‘illat tersebut layak dijadikan dalil penggantungan kewajiban gishash dengan ‘illlat-nya. Kemudian pembunuhan menggunakan alat berat disamakan dengan pembunuhan menggunakan benda tajam dalam kewajiban gishashnya, karena memiliki kesamaan ‘‘illat yang memuat hikmah tersebut.

 

Dari persyaratan tersebut, maka pencegah (wani’) dari ‘illat adalah sifat wujud yang membuat cacat hikmah dari ‘illat, Seperti hutang, mengikuti pendapat bahwa hutang menghalangi kewajiban zakat bagi orang yang berhutang. Hutang adalah sifat wujud yang membuat cacat hikmah dari ‘illat kewajiban zakat, dimana ‘illat-nya adalah kepemilikan satu nishab, dan hikmahnya adalah kepemilikan harta berlebith. Dalam hal ini orang yang berhutang bukan orang yang berlebih hartanya, karena dia membutuhkannya untuk melunasi hutang.

 

2, Adanya ‘illat tidak diperbolehkan berupa hikmah itu sendiri, manakala tidak terukur dengan batasan, menurut versi ashah. Seperti masyaqqah (kesulitan) dalam perjalanan, karena tidak terukur dengan batasan. Namun jika terukur dengan batasan, maka diperbolehkan, sebagaimana yang diunggulkan Imam Al-Amidi, Ibn Al-Hajib, dan selain keduanya. Karena aspek yang dikhawatirkan sudah tidak ada. Pendapat kedua, diperbolehkan secara mutlak, karena hikmah merupakan pijakan disyariatkannya sebuah hukum. Pendapat ketiga, tidak diperbolehkan secara mutlak.

 

  1. ‘illat tidak boleh berbentuk ‘adami (ketiadaan) dalam hukum yang berbentuk tsubuti (wujud), menurut versi ashah, sependapat dengan Imam Ibn Al-Hajib. Sehingga tidak sah mengucapkan, “Aku menghukumi begini karena tidak adanya perkara ini’’. Hal ini baik Wat ‘adami tersebut sebab ketiadaan jez dari tat, yakni manakala Wat tersusun dari beberapa juz, salah satunya berupa ‘adami. Contoh, hukum penentuan diyat mughalladhah (diperberat) dalam pembunuhan sytbh al-amd di-’illat-i dengan pembunuhan dengan tindakan sengaja yang secara umurm tidak mematikan. Atau Mat ‘adami tersebut sebab penyandaran (idhafi), yakni manakala pemahaman ‘‘illat tergantung pada pemahaman perkara lain, seperti sifat menjadi bapak. Semua ini dikarenakan ‘‘illat harus lebih jelas dibanding perkara yang di-’illat-i, sedangkan ‘ada lebih samar dibanding ssubun.

 

Pendapat kedua, diperbolehkan, karena sah mengucapkan, “Fulan memukul budaknya, karena budak itu tidak taat perintah’’. Contoh, wajib membunuh orang murtad, karena dia tidak Islam.

 

Sedangkan membuat ‘illat berbentuk swbutt dalam hukum yang berbentuk tsubut, ulama sepakat memperbolehkan. Seperti haramnya khamr di-’illat-i dengan memabukkan. Dan juga diperbolehkan membuat ‘illat berbentuk adami dalam hukum yang berbentuk adam. Seperti, tidak sahnya tasharruf, di-’illat-i dengan tidak adanya akal. Serta membuat ‘‘illat berbentuk ‘tsubuti dalam hukum yang berbentuk ‘adami. Seperti, tidak sahnya tasharruf, di-’illat-i dengan israf (melebihi batas),

 

Silang pendapat di atas terjadi dalam ‘illat ‘adami yang disandarkan, Sedangkan untuk ‘illat ‘adami yang mutlak, ulama sepakat tidak memperbolehkan, Karena penisbatan pada seluruh kasus bersifat setara, sehingga tidak mungkin diandaikan menjadi ‘illat secara logika”.

 

Diperbolehkan menetapkan ‘iat dengan sesuat yang tidak dikeetahui hikmahnya. Dan hukum menjadi tetap dalam sebuah kasus yang dipastikan hikmah tidak ada di dalamnya pada madhinnah, menurut versi ashah, ”

 

PENETAPAN ‘‘ILLAT YANG ABSTRAK HIKMAH-NYA

 

Selanjutnya diperbolehkan menetapkan hukum berdasarkan ‘illat yang tidak diketahui hikmahnya, seperti perkara ribawi yang di-’illati dengan sifat makanan, dan lain-lain. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa kaidah sebuah ‘‘illat selalu tidak terlepas dari hikmah, hanya berlaku secara umum dan dalam sebagian kasus saja.

 

Kemudian manakala dalam sebuah kasus dipastikan hikmah tidak ada, maka di sini silang pendapat terjadi.

 

  1. Menurut pendapat ashah, hukum menjadi tetap pada madbinnah (tempat yang diduga mewujudkan hikmah). Contoh, bolehnya meng-gashar shalat sebab bepergian bagi seseorang yang naik perahu dan mampu menempuh jarak gashar dalam waktu sebentar, tanpa ada kesulitan (masyaqqah) sedikitpun.

 

  1. Kelompok jadaliyyun (pakar ilmu debat) mengatakan, hukum tidak tetap. Karena madhinnah tidak diperhitungkan, manakala nyata-nya tanda-tanda wujudnya hikmah tidak ada.

 

Berpijak pada pendapat pertama, melakukan ilhaq pada madhinnah diperbolehkan. Seperti menyamakan tidak puasa dengan gashar di serjalanan. Sedangkan keterangan terdahulu mengenai persyaratan bahwa at harus memuat hikmah, bisa jadi hanya syarat dalam sebagian kasus tau syarat untuk memastikan bolehnya melakukan ilhaq. Kemudian stapnya hukum dalam permasalahan di atas tidak bisa berlaku umum, bahkan terkadang hukum tidak ditemukan. Seperti, seseorang yang bangun dari tidur dan yakin tangannya suci, maka hukum makruh memasukkan tangannya pada air sedikit sebelum dicuci tiga kali tidak bisa ditetapkan, bahkan tidak makruh sama sekali. Hal ini bersebrangan dengan pendapat Imam Haramain.

 

Pendapat ashah memperbolehkan pembuatan ‘‘illat dengan ‘illat al-qashirah (terbatas), dikarenakan ‘‘illat tersebut berbentuk obyek hukum atau jaz (bagian) dati obyek hukum (yang khusus), atau sifat khusus dari obyek hukum.

 

Termasuk faidahnya adalah untuk mengetahui adanya keserasian, dan memperkuat nash.

 

MEMBUAT ‘‘ILLAT ASHIRAH

 

‘illat qashirah (tidak menjalar) adalah;

 

“Sebuah ‘illat yang tidak dapat keluar dari kasus dimana siat tersebut ditemukan, baik berupa sifat yang dipaparkan dalam redaksi teks atau berupa si at yang digali (tidak dipaparkan dalam redaksi teks).

 

Atau dalam definisi lain,

 

“Sebuah ‘illat yang tidak dapat menjalar keluar dari kasus yang dijelaskan”

 

Mengenai pembuatan ‘‘illat gashirah dalam sebuah hukum, ulama berselisih pendapat;

 

  1. Pendapat ashah, memperbolehkan ‘Hat al-qashirah secara mutlak.
  2. Segolongan ulama melarangnya secara mutlak
  3. Kalangan Hanafiyah melarang, apabila tidak tetap berdasarkan nash atau ijma’. Menurut pendapat kedua dan ketiga, karena pembuatan semacam ini tidak berfaidah.

 

Menurut pendapat ashah, termasuk faidah ‘illat gashirah antara lain;

 

1) Untuk mengetahui adanya keserasian antara hukum dan kasus, sehingga mudah diterima.

 

2) Memperkuat nash yang menunjukkan kasus yang di-‘‘illati. Yaitu manakala berbentuk dalil dhahir, bukan gath’i.

 

3) Menambah pahala manakala bertujuan melaksanakannya atas dasar ‘illat. Karena bertambahnya motifasi sebab perhatian yang sangat intens untuk menerima perkara yang yang di-’illati. Hal ini disampaikan Syekh Imam As-Syubki

 

BENTUK-BENTUK ‘‘ILLAT QASHIRAH

 

Sebuah ‘illat teridentifikasi sebagai gashirah, dan ditetapkan tidak menjalar, manakala ‘illat berbentuk sebagai berikut;

 

  1. Berbentuk obyek hukum. Contoh, meng’illati haramnya riba pada emas dengan ‘illat karena keberadaanya sebagai emas.

 

  1. Menjadi bagian khusus dari obyek hukum, yakni juz yang tidak ditemukan pada obyek yang lain. Contoh, meng’illati batalnya wudhu pada al-kharj (perkara yang keluar dari qubul-dubur), dengan ‘illat karena keluar (khuruj) dati keduanya. Karena ‘keluar dari gubuldubur adalah juz (bagian) dari makna al-kharij, sebab definisi al-kharij adalah dzat yang sifat keluar tetap padanya. Dalam hal ini al-kharij adalah obyek hukum berupa membatalkan wudhu, karena al-kharij adalah perkara yang membatalkan wudhu.

 

  1. Berbentuk sifat khusus dari obyek hukum, yakni manakala obyek hukum yang lain tidak disifati dengan sifat ini, Contoh, meng-‘‘illat-i haramnya riba pada emas-perak dengan keberadaan keduanya sebagai penakar segala sesuatu.

 

Dan (menurut ashah) boleh menetapkan ‘illat dengan isim laqab, dan musytaq.

 

MEMBUAT ‘‘ILLAT DENGAN ISIM LAQAB

 

Maksud isim laqab adalah,

 

Isim selain musytaq, dan syibh shuriy, baik berbentuk ‘alam, isim jenis atau mashdar”

 

Menurut pendapat ashah, diperbolehkan menctapkan ‘illat dengan ido lagabh. Seperti penctapan ‘illar yang dilakukan Imam As-Syafi’i atas pajisnya kencing hewan yang halal dimakan dagingnya dengan ‘illat karena disebut kencing, seperti kencing, manusia.

 

Pendapat kedua, tidak diperbolehkan. Karena kita mengetahui secara pasti bahwa penamaan khamr tidak mempengaruhi keharaman khamr. Beda halnya dengan sifat dati musamma-nya, yakni dampak menutupi akal, maka termasuk pembuatan ‘illat dengan sifat.

 

MEMBUAT ‘ILLAT DENGAN ISIM MUSYTA

 

Sedangkan pembuatan ‘illat dari lafadz musyfaq menurut pendapat ashah diperbolehkan. Baik yang diambil dari fi’il, seperti lafadz   dalam ayat;  (laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya), atau diambil dari akar kata shifat, seperti   (perkara yang putih) yang diambil dari akar kata sifat . Dan bentuk kedua ini dinamakan qiyas syabah shuriy. Karena tidak ada keserasian dalam putih, hitam atau warna yang lain untuk menghasilkan kemashlahatan atau menolak mafsadah. Pendapat lain, tidak memperkenankan pembuatan ‘‘illat dalam dua bentuk tersebut.

 

(Menurut ashah), boleh menetapkan ‘illat dengan beberapa ‘‘illat syar’i Dan hal tersebut diakui keberadaannya.

 

BEBERAPA ‘‘ILLAT UNTUK SATU HUKUM

 

Menurut pendapat ashah, diperbolehkan baik secara akal maupun syar’i menetapkan dua ‘illat atau lebih pada satu sasaran hukum secara mutlak, baik dalam ‘tat wanshushah (ditetapkan berdasarkan nash), maupun mustanbathah (digali melalui ijtihad). Karena posisi beberapa ‘‘illat syar’iy adalah sebagai ‘alamat (petunjuk), dan tidak dipersoalkan berkumpulnya beberapa petunjuk dalam sebuah perkara.

 

Kemudian dua ‘illat atau lebih pada satu hukum juga diakut keberadaannya, seperti al-lamsu (menyentuh), al-massu (menyentuh), ah baul (kencing), yang masing-masing secara mandiri menetapkan hadats dan mencegah keabsahan shalat.

 

Pendapat kedua, memperbolehkan dalam ‘illat manshushah, bukan mustanbathah. Warena sifat-sifat hasil penggalian ijtihad yang masing-masing layak dijadikan ‘illat, bisa jadi kumpulannya merupakan ‘da menurut as-Syari’ secara hakiki. Sehinpga tidak dapat dipastikan kemandiriannya menjadi ‘illat, lain halnya dengan sifat yang sudah ditetapkan mandiri dengan dalil nash.

 

Pendapat ketiga, melarangnya mutlak secara syara’, meskipun boleh secara akal. Karena jika secara syara’ diperbolehkan, maka pasti terjadi (keberadaannya diakui), meskipun jarang. Namun realitanya tidak ditemukan.

 

Pendapat keempat, yang dishahihkan dalam Jam’u al-Jawami’, tereegah secara akal, karena berimplikasi perkara wuhal (tidak mungkin), seperti mengumpulkan dua perkara yang bertentangan. Karena sebuah perkara dengan disandarkan pada masing-masing dari beberapa ‘illat menyebabkan tidak butuh pada ‘illat lain yang tersisa. Sehingga yang terjadi perkara tersebut tidak butuh pada masing-masing ‘illat, sekaligus membutuhkannya. Terjadilah pengumpulan dua perkara yang bertolak belakang. Dan akan mengakibatkan tahshil al-hashil (mewujudkan sesuatu yang sudah wujud), dalam beberapa ‘illat yang saling bergantian. Karena Semisal hukum yang ditemukan sebab ‘illat kedua, dengan sendirinya adalah hukum yag ditemukan sebab ‘illat pertama

 

Pendapat kelima, boleh dalam ‘illat yang saling mengganti, bukan yang bersamaan. Karena akan menetapkan perkara mustahil, seperti mengumpulkan dua perkara yang bertentangan”,

 

Dan kebalikannya (dua hukum dengan satu ‘‘illat boleh dan diakui keberadaannya, baik berbentuk penetapan seperti mencuri, ataupun penafian, seperti haid.

 

BEBERAPA HUKUM DENGAN SATU ‘‘ILLAT

 

Manakala berpijak pada pendapat ashah, bahwa definisi ‘dat adalah petunjuk hukum (¢lwu’arnf), maka dalam persoalan dua hukum dengan satu ‘illat sepakat diperbolehkan dan diakui keberadaannya. Baik secara itsbat seperti mencuri pada hukum memotong tangan dan mengganti rugi (manakala harta curian rusak). Ataupun secara naj, seperti haid pada hukum puasa, shalat, dan selain keduanya.

 

Sedangkan apabila berpijak pada definisi ‘‘illat adalah pemicu adanya hukum (al-baits), maka dalam persoalan dua hukum dengan satu ‘illat terjadi silang pendapat. Menurut pendapat ashah, diperbolehkan dan diakui keberadaannya. Dan menurut pendapat kedua, hal tersehut dilarang, berpijak pada pensyaratan harus adanya keserasian dalam ‘illat Karena keserasian pada hukum akan merealisasikan tujuan dengan cara mewujudkan hukum dari ‘‘illat tersebut. Dan manakala ada ‘‘illat lain yang serasi, akan terjadi sahbshil al-hashil (mewujudkan sesuatu yang sudah wujud). Pendapat ketiga, dua hukum dengan satu ‘illat diperbolehkan apabila keduanya tidak berlawanan. Dan tidak diperbolehkan manakala bertentangan, seperti ‘‘illat ta’bid (selamanya) untuk keabsahan jual beli dan batalnya sewa menyewa. Karena sebuah perkara tidak akan serasi dengan dua hal yang bertentangan.

 

(Disyaratkan) dalam rangka ilhaq, tetapnya ‘‘illat tidak Iebih akhir dari tetapnya hukura ashl, menurut pendapat ashah.

 

Juga (disyaratkan) ‘illat tidak kembali pada hukum ashl dengan dampak membatalkan. Namun secara umum ‘‘illat boleh kembali pada hukum ashl dengan dampak mentakhsish, menurut pendapat ashah,

 

Dan (disyaratkan), ‘illat mustanbathah tidak ditentang dengan penentang yang menafikan ketetapan ‘illat yang berada dalam ashl.

 

Juga (disyaratkan), ‘illat tidak pertentangan dengan nash atau ijma’ dan ‘‘illat mustanbathah tidak memuat tambahan atas nash yang menafikan ketetapan nash.

 

Serta (disyaratkan), ‘illat harus tertentu. Namun (tidak disyaratkan) ‘‘illat tidak boleh berupa sifat yang muqaddar (diandaikan wujudnya). Dan juga (tidak disyaratkan), dalil dari ‘illat tidak boleh mencakup hukum far’u, karena keurnumannya. atau kekhususannya.

 

SYARAT ILHAQ LAINNYA

 

Di depan sudah disebutkan tiga (3) syarat ilhaq, berikutnya ada beberapa syarat yang lain, di antaranya;

 

  1. Tetapnya ‘illat tidak lebih akhir dari tetapnya hukum ashl, menurut versi ashah. Hal ini baik ‘‘illat dengan pengertian pemicu hukum atau petunjuk hukum. Karena pemicu dan petunjuk sesuatu tidak datang lebih akhir dari hukumnya. Pendapat lain, dari sepolongan ulama, tetapnya ‘illat boleh Lebih akhir. Ilal ini berpijak pada decfinisi Gaz sebagai petunjuk hukum. Contoh, ucapan, “Keringat anjing najis seperti air liurnya, karena dianggap menjijikkan’’. Di sini ‘‘illat menjijikkan tetap setelah tetapnya kenajisan air liur.

 

  1. ‘illat tidak kembali pada hukum ashl dengan dampak membatalkan. Karena ashl adalah sumber dari ‘‘illat, pembatalan ‘‘illat pada ashl sama dengan pembatalan ‘‘illat itu sendiri. Contoh, Hanafiyah meng-’illat-i kewajiban mengeluarkan kambing dalam zakat dengan menolak kebutuhan orang fakir. Hal ini menjadikan bolehnya mengeluarkan harga kambing, dan akan berakibat tidak wajibnya zakat dengan bentuk tertentu, karena boleh memilih antara kambing dan harganya.

 

Kemudian apabila ‘at kembali pada hukum asal dengan dampak men-takhsish, terdapat dua pendapat. Pendapat ashah, memperbolehkan, sehingga tidak kembalinya ‘illat pada hukum asal dengan dampak men-takhsish tidak perlu disyaratkan. Pendapat kedua, tidak boleh, sehingga hal tersebut disyaratkan. Contoh, meng-‘illqt-i ayat;

 

“atau kamu telah menyentuh perempuan”

 

Bahwa lamsu (menyentuh) adalah madhinnah (tempat persangkaan) adanya istimta’ (merasakan kenikmatan). Hal ini mengecualikan wanita-wanita muhrim, maka persentuhan dengan mereka tidak membatalkan wudhu, sebagaimana pendapat yang lebih dhahir dari dua qaul Imam As-Syafi’i. Versi kedua, wudhunya batal karena mengamalkan keumumannya. Sebaliknya apabila ‘illat kembali pada hukum asal dengan dampak menjadikannya umum, maka diperbolehkan secara pasti. Contoh, meng-’illat-i HR. Bukhari-Muslim;

 

“Hendaklah seseorang tidak menghukumi di antara dua orang, sedang dia dalam keadaan emosi”

 

Dengan ‘‘illat membuat keruh pikiran, di mana hal ini memuat juga selain keadaan emosi.

 

  1. ‘‘illat mustanbathah tidak ditentang dengan penentang yang menafikan ketetapan ‘illat dan berada dalam ashi Karena dengan keberadaan penentang tersebut, ‘‘illat tidak diamalkan kecuali ada faktor yang, mengungeulkan. Contoh, ucapan penpikut madzhab Hanafi dalam menatikan kewajtban berniat di malam hari saat puasa Ramadhan, “Puasa Ramadhan adalah puasa yang dituntut tertentu dari setiap mukallaf, maka dapat dilakukan dengan niat sebelum tergelincirnya matahari, seperti puasa sunnah’. Kemudian pengikut madzhab Syafi’i mencntangnya dengan mengatakan, ‘‘Puasa Ramadhan adalah puasa fardhu, maka harus disikapi hati-hati dan tidak didasarkan atas kemudahan, berbeda dengan puasa sunnah’’. Contoh ini adalah gambaran penentangan secara umum, dan ‘illat tidak menafikan hukum ashl serta tidak berada dalam ashl

 

Menurut sebagian pendapat, juga disyaratkan tidak ditentang dengan penentaog yang menafikan ketetapan ‘illat dan berada dalam far’u. Karena tujuan dari tetapnya ‘‘illat adalah tetapnya hukum pada far’u, dan manakala ditemukan perkara yang menafikan dengan disandarkan qiyas lain, maka hukum menjadi tidak tetap. Contoh; ucapan pengikut madzhab Syafi’i, “Mengusap sebagian kepala adalah rukun wudhu, maka sunnah mengulanginya tga kali, seperti membasuh wajah”. Kemudian ditentang oleh lawan debat dengan mengatakan, “Mengusap sebagian kepala dalam wudhu adalah usapan dan tidak sunnah diulangi tiga kali, seperti mengusap khuff (sepatu musim dingin).” Contoh ini adalah gambaran penentangan secara umum, dan ‘‘illat tidak menafikan hukum ashl Namun yang saling menafikan adalah ketetapannya, bahwa rukun menetapkan sunnahnya mengulangi tiga kali, dan mengusap menetapkan tidak sunnahnya mengulangi tiga kali.

 

  1. ‘illat tidak bertentangan dengan nash atau ijma’. Karena keduanya didahulukan dari qiyas. Contoh bertentangan dengan nash; ucapan pengikut madzhab Hanafi, “Wanita menguasai kehormatannya, maka sah nikahnya tanpa ada ijin walinya, disamakan dengan menjual harta dagangannya’’. Hal ini bertentangan dengan HR. Abi Dawud;

 

“Setiap wanita yang menikahkan dirinya Sendiri, tanpa seijin walinya, maka nikahnya batal”

 

Contoh bertentangan dengan ijma’ meng-qiyas-kan shalat musafir pada puasanya musafir, dalam hal tidak adanya kewajiban, dengan titik temu bepergian yang membuat payah. Hal ini bertentangan dengan ijma’ bahwa shalat wajib dilaksanakan oleh musafir.

 

  1. ‘‘illat mustanbathah tidak memuat tambahan atas nash, apabila tambahan tersebut menafikan ketetapan nash. Dengan gambaran, nash menunjukkan sebuah sifat menjadi ‘‘illat, kemudian penggalian ijtihad (istinbath) menambahkan batasan yang menafikan nash. Maka utinbath tidak diamalkan, karena nash harus didahulukan.

 

  1. ‘illat harus tertentu (teridentifikasi dengan jelas) atau berbentuk sifat tertentu, menurut versi ashah. Sehingga sifat yang mubhamah (tidak jelas) tidaklah mencukupi. Hal ini karena ‘‘illat adalah acuan dalam ta’diyah (penjalaran hukum) yang menjadi faktor penting bagi keberadaan qiyas sebagai sebuah dalil. Dan sebagian dari kriteria dalil adalah harus mu‘ayyan (teridentifikasi jelas), termasuk ‘illat yang menjadi acuannya.

 

SYARAT ILHAQ YANG DIPERSELISIHKAN

 

Berikut ini beberapa syarat ilhaq yang masih diperselisihkan;

 

  1. ‘Tat tidak boleh berupa sifat yang mugaddar atau diandaikan wujudnya. Menurut pendapat ashah, tidak disyaratkan. Contoh, menetapkan ‘illat dari bolehnya ‘asharra dengan kepemilikan, dimana hal ini adalah makna syar’iy yang diandaikan ada dalam sebuah obyek. Pendapat kedua, hal tersebut disyaratkan. Pendapat ini diunggulkan dalam Jam’u Al-Jawami’ senada dengan pendapat Imam Ar-Razi.

 

  1. Dalil dari ‘iat tidak boleh mencakup hukum far’u, dengan keumumannya atau kekhususannya. Menurut pendapat ashah, hal ini tidak disyaratkan. Karena adanya dalil lebih dari satu tidak dilarang. Pendapat kedua, hal tersebut disyaratkan. Karena apabila dalil dari wat mencakup hukum far’u, maka dalil tersebut mencukupi dan tidak butuh lagi pada qiyas.

 

Contoh ketereakupan karena keumumannya, contohnya adalah hadis riwayat Imam Muslim: ,

 

Makanan dijualbelikan l dibarter) dengan makanan haruslah sama kadarnya.

 

Hadis ini menunjukkan ke-’illatan faktor “makanan’”. Sehingga jika gandum burr ditetapkan statusnya sebagai komoditas ribawi berdasar hadis di atas, maka apel tidak perlu diqiyaskan pada gandum burr dalam status hukum ribawi-nya karena adanya sami’ berupa faktor “makanan’’. Karena status ribawi dalam apel bisa disimpulkan langsung dari dalil nash. Karenan ungkapan ‘ath-tha’an?’ atau “makanan’’ memiliki cakupan umum, yang juga mencakup “‘apel’’. Sedangkan contoh ketereakupan karena kekhususan adalah hadis riwayat Ibnu Majah berikut:

 

Barangsiapa muntah atau mimisan, maka berwudlulah! Hadis ini menunjukkan ke-’illat-an faktor “‘sesuatu yang keluar yang najis’” dalam membatalkan wudlu, menurut ulama’ Hanafiyyah. Maka, bagi kalangan ini, tidak perlu meng-qiyas-kan “muntah” atau “mimisan” pada “‘sesuatu yang keluar dari dua saluran’’, dengan jam’ “sesuatu yang keluar yang najis’, karena pijakan hukum telah tereukupi dari teks hadis. Sedangkan kalangan ulama’ yang membolehkan qiyas dalam permasalahan semacam ini, berdalih bahwa ketereukupan dengan nash sehingga tidak membutuhkan qiyas, tidak lantas diartikan bahwa qiyas harus diabaikan. Karena boleh saja terjadi, ada dua dalil untuk sebuah madlif

 

(Tidak disyaratkan) dalam ‘illat mustanbathah memastikan hukum ashl dan memastikan keberadaannya dalam far’u. Juga (tidak disyaratkan), ‘‘illat mustqnbathah tidak, bertentangan dengan madzhab seorang shahabat, serta tidak adanya penentang pada ‘‘illat tersebut.

 

Penentang di sini adalah sifat yang layak dijadikan ‘illat, setingkat dengan kelayakan ‘illat yang ditentang, serta mengakibatkan perbedaan dalam far’u. Seperti sifat makanan berbarengan dengan takaran pada gandum, dalam kasus apel. 

 

KETENTUAN ‘illat MUSTANBATHAH

 

Dalam ‘illat mustanbathah ada beberapa ketentuan yang diperdebatkan. 

 

1, Pendapat ashah, tidak disyaratkan memastikan hukum ashl dengan gambaran dalilnya harus bersifat qath’iy, baik Al-Qur’an, sunnah mutawatir, atau ijma’ gath’iy.

 

  1. Pendapat ashah, tidak disyaratkan tidak adanya penentangan ‘illat mustanbathah atas madzhab shahabat. Karena madzhab shahabat bukanlah hujjah. Pendapat kedua, hal tersebut disyaratkan, karena secara dhahir, madzhab shahabat bersandarkan dalil nash yang menjadi sumber penggalian ‘illat.

 

  1. Pendapat ashah, tidak disyaratkan memastikan keberadaannya dalam far’u. Dan dicukupkan adanya dugaan atas ‘illat mustanbathah dan atas hukum ashl Karena tujuan akhir dari ijtihad dalam perkara yang dituju adalah mengamalkannya. Pendapat kedua, hal tersebut disyaratkan, karena dugaan akan melemah sebab banyaknya mukaddimah, bahkan terkadang hilang.

 

  1. Pendapat ashah, tidak disyaratkan terlepas dari adanya penentang (al-muaridh), berpijak pada diperbolehkannya penetapan dua ‘illat dalam satu hukum, sebagaimana pendapat jumhur. Pendapat kedua, hal tersebut disyaratkan, berpijak pada dilarangnya penetapan dua ‘illat dalam satu hukum. Dan juga karena mengamalkan ‘illat harus disertai faktor yang mengungeulkannya.

 

MAKSUD AL-MU’ARIDH

 

Penentang (al-mu’aridh) di sini adalah sifat yang layak dijadikan ‘illat, setingkat dengan kelayakan ‘illat yang mengakibatkan terjadinya perbedaan antara dua orang yang berdebat dalam far’u.

 

Contoh, sifat makanan berbarengan dengan takaran dalam gandum. Masing-masing dari sifat makanan dan takaran layak dijadikan ‘‘illat dari keharaman riba, dimana salah satunya tidak menafikan yang lain, hanya saja permasalahan kemudian berubah menjadi perbedaan antara dua orang yang berdebat dalam kasus apel. Menurut kalangan Syaf’iyyah apel adalah bani, seperti gandum dengan ‘‘illat sifat makanan. Menurut lawan debat yang menentang bahwa ‘‘illat-nya adalah takaran, apel bukan mbawi, karena tidak adanya takaran dalam apel. Masing-masing butuh untuk mengunggulkan ‘‘illat-nya atas ‘‘illat yang lain, agar klaim hukum pada far’u dapat ditetapkan.

 

Menurut pendapat athah, mu’taridh (pengkritisi dalil) tidak harus menafikan sifat yang digunakannya dari far’u, dan tidak harus menampilkan dalil penguat.

 

Dan bagi mustadil (pemapar dalil) berhak menolak sanggahan dengan mencegah keberadaan sifat, menjelaskan kemandirian sifat lain dalam satu bentuk kasus, meskipun penjelasan tersebut menggunakan dalil dhahir yang bersifat umum, apabila mustadil tidak menjelaskan atas keumumannya. Juga dengan menuntut penyanggah menyampaikan ta’tsir (pengaruh) atau syabah (kemiripan) dari sifat, apabila dalil mustadil dalam menetapkan ‘illat bukan sabru.

 

Apabila mustadil mengatakan pada mu’taridh, “Hukum telah tetap dalam kasus ini, serta sifat yang kamu sampaikan tidak ada”, maka ucapan ini tidak cukup sebagai penolakan, meskipun berbarengan dengan tidak adanya sifat tersebut, sifat dari mustadil ditemukan.

 

MENAFIKAN SIFAT DARI FAR’U BAGI MU’TARIDH

 

Menurut pendapat ashah, dalam melakukan kritik terhadap dalil mustadill (pemapar dalil), mu’taridh (pengkritisi dalil) tidak harus menafikan sifat yang digunakannya dari far’u secara mutlak, baik menjelaskan perbedaan antara ashl dan far’u atau tidak. Karena sudah tetwujudnya tujuan mu’tandh berupa meruntuhkan sifat yang dijadikan ‘‘illat oleh mustadil hanya dengan melakukan penentangan. Contoh;

 

Mustadill : Gandum adalah ribawi karena sifat makanan. Maka apel di-qiyas-kan padanya.

 

Mu’taridh : ‘‘illat-nya menurutku adalah takaran. (Tidak harus menambahkan kata-kata, “Dan takaran tidak ditemukan pada apel’’)

 

Pendapat kedua, mu’taridh harus menafikannya secara mutlak. Agar berfaidah meniadakan hukum dari far’u yang menjadi tujuan utama.

 

Pendapat ketiga, mu’taridh harus menafikannya, apabila dia menjelaskan perbedaan ashl dan far’u dari sisi hukum. Contoh, mu’taridh mengatakan, “Tidak ada riba dalam apel, beda halnya dengan gandum”, kemudian dia menentang penetapan sifat makanan sebagai ‘‘illat pada ashi, dengan mengatakan, “’‘illatnya adalah takaran”. Karena dengan menjelaskan perbedaan ashl dan far’u, maka mu’taridh menyanggupi menafikan sifat yang digunakannya dati far’u, meskipun sebenarnya hal itu pada awalnya tidak wajib.

 

Kemudian mu’taridh tidak harus menampilkan dalil penguat sifat yang digunakannya untuk menecntang, agar supaya dipertimbangkan, menurut pendapat terpilih. Pendapat kedua, hal tersebut harus dilakukan, sampai penentangannya diterima. Contoh, mu’‘taridh mengatakan, ‘‘illat dalam gandum adalah sifat makanan, bukan qut (makanan pokok), dengan dalil garam, maka apel adalah ribawi”. Namun hal ini disangkal oleh pendapat pertama, bahwa menentang dengan sifat yang layak dijadikan ‘illat, sudah mencukupi guna menghasilkan tujuan berupa meruntuhkan sifat yang dimunculkan mustadil”.

 

TEKHNIS MENOLAK PENENTANGAN BAGI MUSTADIL

 

Bagi mustadil (pemapar dalil) berhak menolak penentangan yang dilakukan mu’taridh dengan salah satu dari tiga macam metode.

 

  1. Mencegah keberadaan sifat yang digunakan menentang di dalam ashl, meskipun dengan gadb (mencacat ke-‘‘illat-an sifat tersebut). Contoh, dalam menolak penentangan sifat makanan (tha’mu) dengan takaran pada semisal buah pala, wustadil mengatakan, “Saya tidak menerima buah pala termasuk perkara yang ditakar, karena acuan yang digunakan adalah kebiasaan di masa Nabi SAW. Dan saat itu buah pala ditimbang atau dicacah”. Atau dengan cara mencacat kelayakan sifat yang digunakan menentang dengan menjelaskan kesamarannya. Contoh, dalam masalah wajibnya sad dalam zina, wustadil mengangkat ‘‘illat bahwa hal tersebut adalah memasukkan kelamin ke dalam kelamin yang diharamkan syara’ dan sudah memicu hasrat normal. Lalu mu’taridh menyanggah, bahwa ‘illat-nya adalah adanya pembuahan. Maka mustadil berhak mencacat bahwa hal tersebut samar (abstrak). Atau mencacat ketidak terukurannya. Contoh, dalam masalah bolehnya meng-gashar shalat, mustadil mengangkat ‘illat berupa bepergian dua marhalah atau lebih. Lalu mu’taridh mengatakan, bahwa ‘illat-nya adalah masyaqqah (kepayahan). Maka mustadil berhak mencacat bahwa hal tersebut tidak terukur. Atau dengan hal-hal lain yang tergolong perusak ‘illat.

 

  1. Menjelaskan kemandirian sifat dari mustadil dalam sebuah kasus, meskipun penjelasan tersebut menggunakan dalil dbahir yang bersifat umum, seperti dengan ijma’, nash gath’iy atau dalil dhahir yang khusus. Hal ini manakala mustadil tidak menjclaskan keumumannya. Contoh; mustadil menjclaskan kemandirian ‘‘illat sifat makanan yang ditentang dengan ‘‘illat takaran pada sebuah kasus, dengan dalil dhahir yang bersifat umum, berupa hadits riwayat Imam Muslim;

 

“Menjual makanan dibeli dengan makanan, dengan sama kadarnya” Dalam hal ini ‘‘illat yang mandiri didahulukan dari yang lain. Namun apabila mustadil menjelaskan keumuman dari dalil, seperti dengan mengatakan, “Sifat riba setiap makanan menjadi tetap’’, maka dia sudah keluar dari konteks penetapan hukum melalui metode qiyas (dimana dia dalam posisi menolak penentangan), menuju penetapan hukum berdasarkan nash umum. Sehingga penentangan terlepas dari cacat, dan qiyas menjadi tidak sempurna.

 

  1. Menuntut pihak mu’taridh menyampaikan ta’tsir (pengaruh) atau syabah (kemiripan) dari sifat yang digunakan menentang, apabila dalil mustadil dalam menetapkan ‘illat bukan sabru wa taqsim. Bisa jadi berupa dalil munasub atau syabah, agar tereapai penentangan dengan dalil sesamanya. Dan apabila dalil yang digunakan adalah sabru, maka dengan sekedar murni kemungkinan, sudah dapat menjadikannya cacat. Contoh, diucapkan bagi mu’taridh yang menentang ‘‘illat makanan pokok dengan sifat takaran, “Kenapa kamu mengatakan bahwa takaran memiliki pengaruh’’. Dan menjadi tugas mu’taridh menjawab bahwa takaran memiliki pengaruh dengan sebuah dalil. Namun jika mu’taridh tidak menjawab, maka penentangan menjadi tertolak.

 

TEKHNIS PENOLAKAN YANG TIDAK MENCUKUPI

 

Selanjutnya apabila mustadil mengatakan pada mu‘taridh, “Hukum telah tetap dalam kasus ini, serta sifat yang kamu pertentangkan atas sifatku tidak ada’’, maka ucapan ini tidak cukup sebagai penolakan.

 

Meskipun berbarengan dengan tidak adanya sifat mu’taridh, sifat dari mustadil ditemukan. Karena seumpama sifat mustadil ditemukan, maka

 

keduanya setara karena sama-sama sifatnya tidak ditemukan. Juga berpijak pada bolehnya menetapkan dua ‘‘illat untuk satu hukum secara mutlak. Pendapat kedua, mencukupi sebagai penolakan apabila sifat mustadil ditemukan. Hal ini berpijak pada larangan menetapkan dua ‘illat untuk satu hukum.

 

Pendapat kedua ini dishahihkan dalam Jam’u Al-Jawami’. Dan dari dasar inilah kemudian disimpulkan, bahwa dalam persoalan dimana sifat dari mustadil tidak ditemukan dalam kasus, maka mustadil dinyatakan terputus argumentasinya, karena dirinya menpakui bahwa sifatnya juga dianulir, Hal ini manakala sifat mustadil menyamai mu’taridh dalam aspek yang membuatnya cacat. Juga karena tidak adanya in’ikas (hukum tidak ada sebab sifat tidak ada), dimana dalam hal ini hukum tetap ada manakala sifat tidak ada. Alasan kedua ini (tidak adanya in’ikas) sebenarnya tidak berimplikasi putusnya argumentasi mustadil, dan disebutkan hanya untuk memperkuat alasan pertama

 

Apabila mu’taridh memunculkan sifat lain pengganti sifat yang dianulir maka dinamakan ta’addu al-wadh’i peletakan ganda). Dan berakibat hilangnya faidah dari penganuliran (ilghba’), Hal ini selama mustadil tidak menganulir sifat pengganti tersebut dengan selain klaim atas keterbatasannya atau mengklaim lemahnya makna madzinnah (tempat persangkaan). Pendapat lain menyatakan, bahwa dua klaim tersebut sebagai ilgha’ (penganuliran).

 

TA’ADDUD AL-WADH’I

 

Seandainya terjadi dalam sebuah kasus, sifat yang disampaikan mutaridh dianulir oleh mustadil, kemudian mu’taridh memunculkan sifat lain menggantikan sifat yang dianulir, maka hal ini dinamakan ta‘addud alwadh’i (peletakan ganda). Karena berulangkalinya peletakan dasar pijakan hukum, berupa sebuah sifat setelah sifat yang lain.

 

Dampak yang ditimbulkan dari pemunculan sifat pengganti ini adalah hilangnya faidah dari penganuliran (ilgha), yakni terlepasnya sifat mustadil dari cacat. Hal ini selama wwstadil tidak menganulir sifat pengganti tersebut dengan beberapa metode ilgha’ (penganuliran), selain metode klaim atas keterbatasan sifat (tidak menjalarnya sifat) atau klaim lemahnya makna wadzinnah (tempat persangkaan).

 

Pendapat lain, dua metode klaim tersebut merupakan ilgha’ (penganuliran). Dan apabila mustadil menganulir sifat pengganti dengan selain dua klaim di atas, maka faidah penganuliran (ilgha’) yang pertama tetap ada.

 

Contoh;

 

Mustadill : Kontrak aman (suaka hukum) budak sah bagi kafir harbi seperti orang merdeka dengan titik temu islam dan berakal. Karena dua hal ini madhinnah menampakkan kemashlahatan iman dari pemberian suaka hukum

 

Mu’taridh : Sifat merdeka adalah bagian (juz) dari ‘illat, dan ‘‘illat keabsahan pemberian kontrak aman adalah islam, berakal dan merdeka. Karena merdeka adalah wmadhinnah konsentrasi dalam analisa, beda halnya dengan budak yang sibuk melayani tuannya.

 

Mustadill : Namun kita sepakat, tanpa sifat merdeka, kontrak awan sah dilakukan oleh budak yang diijinkan berperang (Ini tahapan ilgha’)

 

Mu’taridh : Ijin dalam hal ini menggantikan sifat merdeka. Karena adanya ijin merupakan madhinnah mencurahkan kemampuan dalam analisa atas kemashlahatan berperang dan iman, sebab tidak ada kesibukan lain (Ini tahapan memunculkan sifat pengganti)

 

Kemudian apabila mustadil kembali menganulir sifat pengganti yang dimunculkan mu’taridh, maka faidah penganuliran (ilgha’) pertama tidak hilang. Namun sekali lagi bagi mustadil boleh menganulir dengan metode apapun selain dengan klaim keterbatasan ‘‘illat (tidak menjalarnya ‘‘illat) dan klaim lemahnya makna madhinnah”.

 

Keunggulan sifat dari mustadil tidak cukup digunakan untuk menolak nenentangan. Dan terkadang mustadil disanggah dengan perbedaan jenis hikmah dalam ashl dan far’u, meskipan titik temu ashl dan far’u tunggal (sama). Sanggahan ini dijawab dengan membuang sifat Khusus ashl untuk diperhitungkan dalam ‘‘illat.

 

Sedangkan ‘illat, apabila berbentuk wujudnya mani’ (penghalang), atau tidak adanya syarat, maka tidak selalu berimplikasi pada wujudnya penuntut terjadinya hukum,  menurut pendapat ashah.

 

KEUNGGULAN SIFAT MUSTADIL DALAM PENOLAKAN

 

Dalam konteks penentangan (mu’aradhah) pada ashi, keungeulan sifat dari mustadil disebabkan faktor Lebih sesuai, atau Lebih mirip dibanding sifat mu’aradhah dari mu’taridh tidak cukup digunakan untuk menolaknya. Hal ini manakala berpijak pada pendapat yang memperbolehkan terjadinya banyak ‘illat, sehingga masing-masing dari dua sifat tersebut merupakan ‘illat. Pendapat kedua, hal tersebut sudah mencukupi. Berpijak pada larangan terjadinya banyak ‘‘illat. Dimana pendapat kedua ini diunggulkan dalam Jam’u Al-Jawami’.

 

PENENTANGAN BENTUK LAIN

 

Sesekali dalam konteks mu‘aradhah, mustadil ditentang oleh mu’taridh dengan perbedaan jenis hikmah atau mashlahat dalam ashl dan far’u, meskipun titik temu ashl dan faru tunggal. Bagi kustadil penentangan ini bisa ditangkal dengan membuang sifat khusus ashl supaya tidak diperhitungkan dalam ‘illat dengan menggunakan metode pembatalan (akan dibahas pada bab khusus), hingga dapat diterima bahwa ‘illat-nya hanyalah kadar yang mempertemukan antara ashl dan far’u, tidak menyertakan sifat khusus ashl.

 

Contoh;

 

Mustadill : Pelaku sodomi dikenakan had seperti pezina, dengan titik temu, keduanya adalah perbuatan memasukkan kelamin pada kelamin lain yang secara alami mengundang hasrat dan diharamkan syariat.

 

Mu’taridh =: Hikmah diharamkannya sodomi adalah mengantisipasi kebejatannya, sedangkan dalam keharaman zina adalah mencegah pereampuran keturunan. Hikmah keduanya berbeda, maka hukum keduanya pun bisa jadi berbeda, dengan maksud as-Syari’ membatasi had hanya pada zina. Sehingga sifat khusus zina diperhitungkan dalam ‘‘illat hukum had. Bisa saja dikatakan, “Pezina dikenai had, karena dia memasukkan kelamin pada kelamin lain dengan cara zina’’.

(Ini tahapan penentangan)

 

Mustadill : Ucapan, “Dengan cara zina’’ tidak bisa difahami terbalik, bahwa memasukkan kelamin pada kelamin lain selain dengan cara zina tidak dikenai had. Sehingga ‘‘illat nya adalah titik temu antara zina dan sodomi di atas, tidak karena zina itu sendiri.

 

(Ini tahapan jawaban dengan menggunakan meetode pembatalan dalam sabru wa taqsim)

 

‘‘ILLAT ATAS TIDAK ADANYA HUKUM

 

Pembahasan terdahulu sudah mengupas secara tuntas persoalan yjat yang berimplikasi penetapan sebuah hukum (li tsubut al-hukm). Kali jni akan dibahas persoalan ‘‘illat yang berimplikasi peniadaan sebuah hukum.

 

Tat bentuk kedua di atas, manakala berbentuk perwujudan mani’ (penghalang), seperti kebapakan dari pembunuh yang meniadakan gishas sebab membunuh anaknya, atau berbentuk ketiadaan syarat, seperti tidak memiliki sifat shshan (terjaga) pada wanita perawan yang meniadakan rajam sebab berzina, dalam kaitan ini apakah bentuk tersebut berimplikasi pada wujudnya muqtadhi ‘ilkat yang menuntut adanya hukum)?

 

  1. Pendapat ashah, tidak menetapkan wujudnya muqtadhi. Karena tidak adanya hukum, selain sebab tidak wujudnya muqtadhi, bisa juga sebab wujudnya mani’ atau ketiadaan syarat.

 

2, Pendapat kedua, menetapkan wujudnya maqtadhi, Karena jika muqtadhi dimungkinkan tidak wujud, maka tidak adanya hukum tentunya disebabkan tidak wujudnya kuqtadbi, bukan karena wujudnya ani’ atau ketiadaan syarat.

 

Contoh; manakala ‘illet tidak di-qishas-nya bapak sebab membunuh anaknya adalah sifat kebapakan, maka menurut versi ashah, hal ini tidak menetapkan wujudnya pembunuhan yang menuntut (wuqtadhi) adanya gishas, akan tetapi tidak adanya gishas di-’illati dengan sifat kebapakan, meskipun pembunuhan tidak wujud. Namun menurut pendapat kedua, tidak adanya gishas tidak boleh di’‘illati dengan sifat kebapakan, karena tidak adanya qishas adalah sebab tidak wujudnya pembunuhan, dikarenakan tidak adanya mugtadbi, bukan karena wujudnya mani’ berupa sifat kebapakan”.

 

(Metode Pencarian ilat) yang pertama adalah ijma’

 

PENGERTIAN DAN MACAM MASALIK AL-‘‘ILLAT

 

Masalik al-‘‘illat (metode pencarian ‘‘illat) adalah:

 

“Teoriyang dapat menunjukkan sebuah sifat sebagai ‘illat”

 

Dalam menginventarisir masalik al-‘illat, para ulama melontarkan beragam pendapat. Sebagian pendapat mengatakan, ada sembilan macam metode pencarian ‘illat, ada pula yang mengatakan sepuluh.’ Terlepas dari silang pendapat mengenai jumlah masalik: al-‘illat di atas, dalam buku ini akan menguraikan penjelasan secara terperinci mengenai 10-macam masilik, al-‘illat berdasarkan jumlah dan urutan yang tertera dalam kitab Matan Lubb Al-Ushul.

 

PERTAMA : IJMA’

 

Urutan pertama dari beberapa macam masalikul ‘‘illat adalah ijma’, maksudnya ialah sebuah metode pencarian ‘illat berdasarkan ketetapan ijma’,

 

Seperti HR. Bukhari-Muslim:

 

“Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah”.

 

Dari rangkaian hadits di atas, para ulama telah bersepakat (ijma’) untuk menetapkan  (mengacaukannya kondisi marah pada kejernihan analisa) sebagai ‘illat hukum. Dan beberapa faktor pemicu kacaunya kejernihan analisa lainnya, seperti kondisi terlalu lapar dan kenyang, diqiyaskan pada kondisi marah’,

 

Contoh lain, ijma’ bahwa ‘‘illat didahulukannya saudara laki-laki sekandung dari saudara laki-laki sebapak dalam pewarisan adalah adanya pereampuran dua nasab pada saudara sekandung. Dan masalah perwalian nikah, imam shalat jenazah, dan yang lain, diqiyaskan pada pewarisan’.

 

(Metode pencarian ‘illat) kedua adalah nash as-sharih, seperti  (karena alasan demikian),  (karena sebab demikian), lafadz  (oleh karena), sesama  (supaya), dan lafadz  Dan nash yang dbahir, seperti huruf  (am)  secara ditampakkan dan yang dikira-kirakan. Kemudian huruf   huruf  dalam  redaksi ungkapan syari’, (fa’) dari perawi yang  ahli fiqh, kemudian (perawi) yang bukan ahli fiqh. Kemudian dan  dan huruf yang telah  lewat dalam pembahasan beberapa huruf.

 

KEDUA ; NASH SHARIH

 

Urutan kedua dari masalik al-’illat adalah nash, maksudnya bahwa nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘‘illatnya hukum dari suatu peristiwa.

 

Petunjuk berupa zash dapat dipilah dalam dua bentuk:

  1. Shariq (Eksplisit). Penunjukan ashl secara sharih ialah bahwa nash secara tekstual menunjukkan ‘illat dengan jelas dan pasti (qath’i), sekira tidak mungkin untuk diarahkan pada selain ‘‘illat Seperti;

– Lafadz  (karena alasan demikian)

– Lafadz  (karena sebab demikian)

– Lafadz  (oleh karena).

– Lafadz  (oleh karena)

 

sebagaimana firman Allah Swt:

 

“Oleh karena itu kami setapkan (suatu within) atas Bani Israil”

 

Arti yang tersirat dalam ayat di atas berikut runtutan peristiwanya, dapat dikatakan bahwa alasan Allah mensyariatkan hukuman gisbash adalah karena tindakan anak turun Adam AS, yang membunuh saudaranya. Sedangkan tujuan dari pensyari’atan gishash adalah untuk menjaga kedamaian umat manusia.

 

– Lafadz  (supaya) ataupun  (supaya jangan), seperti:

 

“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Raya saja dari kamu”

– Lafadz   seperti:

 

“Kalau terjadi demikian Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat ganda sesudah mati”

 

  1. Ad-Dhahir

Ad-Dhahir yaitu petunjuk nash yang ada peluang kecil untuk diarahkan pada selain ‘‘illat. Seperti :

 

– Huruf (lam) yang tertera dalam bunyi teks, seperti yang termuat dalam firman Allah Swt: .

“Kitab yang Kami tarunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cuhaya terang benderang”

 

– Huruf   (lam) secara taqdiri (dikira-kirakan). Contoh;

“Dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina … Karena Dia mempunyai (banyak) harta dan anak”

 

– Huruf. (ba’)

“Maka disebabkan rabmat dari Allah-lab karin berlaku lemah lembut terhadap mereka”.

 

– Huruf  (fa’) yang tertera pada perkataanya Sari’, dalam hal ini dapat dipetakan dalam dua bentuk:

1) Masuk dalam hukum yang disebutkan setelah sifat yang pantas dijadikan ‘‘illat, seperti dalam Al-Qur’an :

 

“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah kedua tangannya”

 

2) Masuk dalam sifat yang pantas bagi hukum sebelumnya, seperti dalam HR. Bukhari-Muslim:

 

“Janganlah kamu menyentuh wewangian pada orang sedang ber-ihram Janganlah kamu menutupi kepalanya (yakni orang yang meninggal dalam keadaan sedang ber-ihram), karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan ber-talbiyah”.

 

– Huruf  (fa’) dari ungkapan seorang perawi Hadits yang menyandang gelar al-faqih’, seperti perkataan Imran bin Hushain dalam HR. Abu Dawud dan lainnya:

“Rasulullah pernch ipa saat melakukan shalat, kemudian belian melakukan sujud”.

 

– Huruf   (fa’) dari ungkapan seorang perawi yang tidak memiliki gelar al-Faqih.

 

Dua macam terakhir ini, menurut pendapat pertama, hanya masuk dalam hukum. Menurut sebagian Muhaqgigin, hanya masuk dalam sifat. Karena perawi menceritakan sesuatu yang terespons oleh panca indra, dan hal ini hanyalah mahkum bih, yaita sifat. Beda halnya dengan hukum yang tidak terespons panca indra.

 

– Huruf. (inna) dengan dibaca kasrah hamzah-nya dan tasydid (ganda) pada nun-nya. Seperti dalam firman Allah SWT:

(Nah berkata:) “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal….(QS. An-Nuh 26-27).

 

– Huruf  sebagai mana pada perkataan di bawah ini:

“Saya memukul hamba sahaya di saat dia melakukan kejahatan”.

 

– Huruf-huruf yang mengandung arti ta’lil (alasan) sebagaimana yang telah diulas pada pembahasan yang telah lewat.’

 

(Metode Pencarian ilat) ketiga adalah Ima’, yaitu  pembersamaan (penyebutan) sebuah sifat  al malfudz (tertuang secara tekstual) dengan sebuah hukum, walaupun (hukum tersebut masih akan) digali. Dan andaikata penyebutan sifat tersebut tidak berfaedah pada ‘illat atau sesamanya sifat al-malfudz, maka niseaya (pembersamaan) menjadi jauh (dari as-Syari’), seperti ketetapan hukum dari syari’ setelah mendengar ada sebuah Sifat dan seperti penyebutan syari’ atas sebuah  sifat (alasan) dalam ranah hukum, andaikata sifat tidak dijadikan sebagai ‘illat, niseaya tidak akan berfaedah. Dan seperti pemilahan di antara dua hukum dengan sebuah sifat disertai penyebutan keduanya. Atau (hanya) menyebut salah satu (dari hukum tersebut). Atau (memilah antara dua hukum) dengan syarat, ghayah, istitsna’ atau istidrak. Dan seperti merangkai hukum atas sifat dan seperti pelarangan (syari’) atas sebuah perbuatan yang dapat meniadakan perkara yang diperintahkan. Kemudian tidak  disyaratkan (dalam ima’) adanya keselarasan sifat yang digunakan sebagai isyarat pada hukumnya, menurut pendapat ashah.

 

KETIGA: IMA’ (SYARAT)

 

Urutan Ketiga dari macam-macam masalikal ‘illat yaitu ima’ (isyarad). Ima’ (isyarat) secara bahasa memiliki arti isyarat yang rerselubung (samar). Dan secara istilah ialah pembarengan sebuah sifas gang tertuang secara tekstual (al-malfudz)’ dengan hukum, baik hukum tersebut tertuang secara tekstual atau masih akan digali melahg ijtihad Atau membarengkan sifat yang sepadan (nadhir) dengan al-malfudz dengan sebuah hukum yang tidak ditampakkan dalam bunyi teks. Dimana andaikata penyebutan sifat tersebut tidak berfaedah pada ‘illat, maka hal tersebut sangat tidak mungkin terjadi dari pembawa syariat (as Syari’). Karena hal tersebut tidak layak dengan kafasihan dan keakuratan bahasa yang dimiliki as-Syari’.

 

Ada beberapa macam Ima’, di antaranya ialah:

 

  1. Hukum yang ditetapkan As-Syari’ (Nabi SAW) setelah mendengar sifat (persoalan) yang diajukan kepadanya. Seperti sabda Nabi SAW  (merdekakan seorang budak!) pada seorang Badui, manakala mengadu di hadapan Rasulullah, “Celakalah saya”. “Apa yang membuatmu celaka ?”, tanya Rasul. “Saya telah menggauli istri saya di (siang hari) bulan Ramadlan”, jawab Badui itu. “Merdekakan seorang budak !”, perintah Rasul.”!

 

Dari cuplikan dialog ini, dapat difahami bahwa perintah Rasul (merdekakanlah seorang budak) seteluh muncul penyebutan berhubungan badan (wiqa’) menunjukkan bahwa hubungan badan ini adalah ‘illat dari hukum wajibnya memerdekakan budak. Karena jika tidak demikian pertanyaan yang diajukan kepada Nabi tidak memperoleh jawaban, dimana hal ini jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’. Sehingga pertanyaan tersebut dikira-kirakan ada dalam jawaban, menjadi kata-kata, “Kamu telah menggauli istrimu, maka merdekakan budak..!”,

 

  1. Membubuhkan sifat saat menecltapkan hukum, dimana seandainya sifat tersebut bukan ‘iat dari hukum, maka penycbutan sifat tersebut tidak berfaidah. Contoh, hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Bakar Ra:

 

“Janganlah seseorang menghukumi di antara dua orang, disaat dia dalam keadaan marab”

 

Dari susunan antara sifat dan hukum di atas mengidentifikasikan bahwa sifat marah yang berefck pada tidak jernihnya pemikiran, berstatus sebagai ‘at dari hukum berupa larangan memutuskan suatu kasus. Seandainya difahami bahwa sifat tersebut bukan sebuah ‘illat, maka penycbutan sifat tersebut tidak berfaidah, dimana hal ini jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’

 

  1. Membedakan dua hukum disertai menyebutkan dua sifat yang berbeda pula. Terpilah dalam dua bentuk.

1) Menyebutkan semua hukum secara bersamaan. Contoh, seperti hadits yang diriwavatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :

 

‘Sesungguhnya Nabi SAW memberi Barisan berkuda dua bagian. Dan Barisan berjalan kaki satu bagian”

 

Dalam hadits di atas, pemilahan dua hukum yang berbeda dengan dua sifat yang tidak sama, andaikata tidak ditujukan untuk sebuah ‘Hat, maka hal itu jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’.

 

2) Hanya menyebutkan salah satu dari dua hukum. Contoh, HR. Imam Turmudazi: 

 

“Seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan”

 

Dalam hadits di atas, pemilahan antara hukum terhalang warisan dan mendapatkan warisan sebagaimana yang sudah difahami, dengan menggunakan sifat membunuh yang dibubuhkan bersama hukum tidak mewaris, mengindikasikan bahwa sifat tersebut sebagai ‘illat. Karena jika tidak demikian, maka hal itu jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’.

 

4, Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti:

 

“Emas dibels dengan emas, perak dibeli dengan perak, gandum putih dibeli dengan gandum putih, gandum merah dibeli dengan gandum merah, garam dibeli dengan garam, dengan jumlah yang sama, dan saling serah terima. Bila berbeda barangnya maka jual belilah sekehendakmu selama masih saling serah terima”.

 

Pembedaan dua hukum berdasar dua syarat, yakni pertama, ‘jumlah tidak sama (mutafadhilan) yang berakibat hukum haram transaksi jual beli. Kedua, ‘berbeda barangnya’ yang berakibat hukum diperbolehkannya transaksi jual beli. Andaikata dua syarat tersebut tidak ditujukan sebagai ‘illat, maka hal itu jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’.

 

  1. Membedakan dua hukum dengan ghayah, seperti:

 

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sehingga mereka suci, dan ketika mereka telah suci maka datangilah mereka’.

 

Dalam hal ini terjadi pembedaan dua hukum, haram menggauli istri di saat haid dan boleh menggauli di saat keadaan suci. Andaikata ‘keadaan suci’ tidak ditujukan sebagai ‘iat dari hukum. boleh menggauli istri, maka hal itu jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’,

 

  1. Membedakan dua hukum dengan istitsna’ (pengecualian) sebagaimana firman Allah SWT:

 

“Maka bayarlah separuh dari mahar 5 yang telah kamu tentulean itu, hecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan (QS. Al-Bagarah: 237)

 

Dalam hal ini terjadi pemmbedaan dua hukum, wajib membayar separuh dari mahar manakala tidak adanya ampunan (ari istri) dan tidak wajib membayar separuh dari mahar manakala ada ampunan. Andaikata pembedaan ini tidak bertujuan menetapkan ‘pengampunan’ sebagai ‘‘illat dari tidak wajib membayar separuh dari mahar, maka hal itu jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’.

 

  1. Membedakan dua hukum dengan huruf istidrak, seperti ayat Al-Quran:

 

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk, bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpahsumpah yang kamu sengaja (QS. Al-Maidah 89)

 

Dalam hal ini terjadi pembedaan dua hukum, tidak adanya sangsi (kafarat) sumpah manakala mengucapkan sumpah tanpa disengaja dan adanya sangsi (kafarat) saumpah manakala mengucapkan sumpah disertai kesengajaan. Andaikata pembedaan ini tidak bertujuan menetapkan ‘mengucapkan sumpah disertai kesengajaan’ sebagai Wat dari adanya sangsi (kafarat) sumpah, maka hal itu jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’.

 

  1. Merunutkan hukum atas dasar sebuah sifat, seperti ungkapan:

 

“Mulyakanlah ulama’

 

Tersusunnya hukum (memulyakan) atas dasar sifat (ilmu) mengindikasikan bahwa keberadaan sifat merupakan ‘illat dari hukum. Jika tidak demikian, maka akan jauh dari nilai kebenaran dan kefasihan sastra.

 

  1. Larangan pembawa syariat (as-Syari’) atas perbuatan yang dapat meningpalkan perintah utama (al-mathlub).

 

“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” (QS. Al-Jum’ah 9)

 

Larangan transaksi saat dikumandangkan adzan Jum’at, karena terkadang menyebabkan ditinggalkannya shalat Jum’at, jika bukan karena ‘illat berupa dugaan (madhinnah) ditinggalkannya shalat, maka hal itu jauh dari kefasihan dan keakuratan bahasa syari’.

 

KESELARASAN DI ANTARA SIFAT DENGAN HUKUM.

 

Menurut pendapat ashab, dalam Ima’ tidak disyaratkan adanya keselarasan (munasabah) antara sifat yang digunakan sebagai isyarat dan hukumnya. Hal ini berpijak pada definisi ‘‘illat adalah petunjuk keberadaan sebuah hukum (al-muarrif).

 

Pendapat lain, disyaratkan adanya munasabah (keselarasan diantara sifat dengan hukum). Berpijak Pada pengertian ‘illat adalah pemotifasi adanya sebuah hukum (al-ba’its).

 

(Metod pencarian ‘‘illat) keempat, adalah As-Sabru Wa at-Taqsim membatasi jumlah Sifat yang terdapat pada asal (yang mungkin  menjadi ‘‘illat), dan membatalkan sifat yang tidak layak (menjadi ‘‘illat) hingga (keberadaan ‘‘illat), tertentu pada yang tersisa. (Menolak sanggahan mu’taridl) cukup dengan ungkapan dari mustadil “saya sudah menelitinya, dan saya tidak menemukannya”, Pada dasarnya tidak ada lagi sifat-sifat lain.

 

KEEMPAT AS-SABRU WA AT-TAQSIM

 

Urutan keempat dari macam-macam masalikul ‘illat adalah As-Sabru Wa at-taqsim. As-Sabru secara bahasa adalah meneliti kemungkinan-kemungkinan, sedangkan At-Taqsim memiliki arti menampakkan satu perkara dengan berbagai macam cara. Sedangkan secara istilah adalah membatasi beberapa sifat yang termuat ashl dan memungkinkan menjadi ‘‘illat dalam jumlah tertentu, serta membatalkan sifat-sifat yang tidak layak menjadi ‘Hat, hingga mengerucut pada yang tersisa”. Dari metode penelitian tersebut pada akhirnya dapat diketahuj bahwa yang tersisa itulah yang layak dan pantas menjadi ‘illat.

 

Contoh penentuan ‘‘illat dengan menggunakan metode al-sabru wa al-taqsim ini adalah mengqiyaskan ad-dzurrah (jagung) dengan al-bur (gandum). Dari hasil penelitiannya ditemukan dua sifat yang memungkinkan untuk dijadikan ‘‘illat, yaitu sifat makanan (at-tha’mu) dan selain makanan (ghoiru tho’mu). Selanjutnya dengan tetap berpedoman pada syarat-syarat ‘‘illat, mujtahid meneliti secara seksama satu persatu sifat tersebut, hingga pada akhirnya ditetapkan bahwa sifat selain makanan tidak layak untuk dijadikan sebagai ‘‘illat, dengan demikian ‘sifat makananlah yang menjadi ‘‘illat nya.

 

Hasil akhir penelitian seorang mustadil tidak mudah lepas dari sanggahan yang muncul dari pihak mu’taridl dan jika sanggahan tersebut memang terjadi, semisal mu’taridl mengatakan, “mungkin saja dalam ashl masih terdapat sifat lain yang belum terhitung, karena mustadil belum membahasnya”, maka untuk menolak sanggahan tersebut, cukuplah bagi mustadil menjawab dengan ungkapan; “saya sudah menelitinya, dan saya tidak menemukan sifat lain’. Hal ini dikarenakan sifat adil dan keahlian yang dimiliki mustadil, serta didukung hukum asal bahwa tidak ada lagi sifatsifat lain yang masih bisa dibatasi.

 

(Dasar penelitian) nadhir kembali pada dugaannya. Jika pembatasan dan pembuangan tergolong gath’i, maka metode pencarian ‘illat pun menjadi gath’i, dan jika tidak, maka dhanniy. Metode masalik yang dhanniy dapat dijadikan sebagai hujjah menurut pendapat ashah. 

 

METODE PENETAPAN ‘‘ILLAT QHAT’I DAN DHANNI

 

Bagi nadhir, yakni mujtahid yang beristidlal (menggali dalil) untuk amaliyah pribadinya dan bagi pengikutnya, tolak ukur dalam menilai penelitiannya, dikembalikan pada dugaannya (dhan). Sehingga bagian Wajib mengambil dan mengamalkan sifat apapun yang dihasilkan oleh dugaannya, dan tidak boleh mengingkari dirinya sendiri.

 

Teori penetapan ‘‘illat dengan metode al-sabru wa al-taqsim dapat diaplikasikan dalam dua bentuk:

 

  1. Qath‘i (pasti)

Hal ini manakala penelitian dalam pembatasan dan pembuangan tersebut bersifat pasti. Dalam arti, bahwa akal dapat memastikan bahwa tidak ada ‘iat lain selain sifat terpilih yang layak untuk dijadikan ‘illat, seperti menetapkan sifat shighar (kecil) dalam permasalahan kewenangan ayah untuk menikahkan anak gadisnya yang belum dewasa.

 

  1. Dhanni (dugaan)

Hal ini manakala keduanya (yakni penelitian dalam pembatasan dan pembuangan tersebut) secara dhanni, atau sabru (penelitian dalam pembatasan) berupa dhanni, sedangkan taqsim-nya (membuang sifatnya) berupa qath’i atau sebaliknya. Maksudnya ialah penentuan mujtahid terhadap salah satu sifat yang dijadikan ‘‘illat belum sampai pada taraf gath’i, sehingga masih ada peluang bagi mujtahid lain, untuk berbeda kesimpulan.

 

KEDUDUKAN HASHR DAN IBTHAL DHANNI

 

Mengenai kedudukan hujjah bashr dan ibthal bentuk kedua (dhanni), ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat ashab, bahwa model metode masalik secara dhanni dapat dijadikan sebagai bayah, baik bagi pribadi nadbir atau bagi munadzir untuk menyanggah musuhnya. Karena wajibnya mengamalkan dhan (dugaan) yang dihasilkan.

 

  1. Pendapat kedua, model metode masalik secara dhanni kedudukannya bukan sebagai hujjah secara mutlak, baik bagi nadhir atau bagi munadzir, Dengan alasan, bisa saja terjadi kesalahan dalam sisa sifat yang ditetapkan sebagai ‘illat.

 

  1. Pendapat ketiga, di antaranya disampaikan Imam Al-Haramain, dapat digunakan sebagai hujjah, baik untuk sadbir maupun munadzir, namun dengan syarat, jika ke-’illat-an hukum asal telah disepakati (bukan ta‘abudi). Hal ini untuk menghindari kesalahan pelaku kesepakatan akibat dari pembatalan sisa sifat yang ditetapkan sebagai ‘illat

 

  1. Pendapat keempat, dapat dijadikan sebagai hujjah, bagi diri nadhir bukan untuk munadzir. Dikarenakan dban-nya tidak dapat di jadikan buyab untuk lawan diskusinya’’.

 

Apabila mu’taridl menampilkan sifat yang lebih, maka bagi mu’taridl tidak dituntut untur menjelaskan kelayakan (sifat tersebut) sebagai ‘illat. Dan belum dianggap adanya kekalahan dari pihak muystadil, sampai dia tidak mampu untuk membatalkan sifat (yang telah tampilkan oleh mu ’taridl), menurut pendapat ashah, Dan apabila mustadil dan mu’taridl sepakat membatalkan selain dua sifat (‘‘illat yang diperdebatkan), maka dianggap bagi mustadil mengkaji ulang seputar dua sifat (yang telah disepakati).

 

SANGGAHAN MU’TARIDL DALAM HASHR DHANNI

 

Jika dalam hasil pembatasan (hashr) secara dhanni yang dilakukan mustadil tidak disetujui oleh pihak mua’taridl, kemudian mu‘taridl menampilkan sifat lain, maka mu’taridl tidak dituntut untuk mendatangkan sebuah dalil untuk menguji kelayakan sifat tersebut sebagai ‘illat. Karena batalnya pembatasan sebab mu’taridl menampilkan sifat baru, sudah mencukupi sebagai sanggahan. Dan bagi mustadil harus mampu menolak sanggahan mu’taridl dengan membatalkan pembuatan ‘‘illat dengan sifat tersebut.

 

Menurut pendapat Ashah, dalam hal ini mustadil belum diangga kalah, sampai dia tidak mampu untuk membatalkan sifat (yang telah tampilkan oleh mu’taridl). Karena mustadil tidak mengklaim pembatasan tersebut bersifat pasti, dan usaha mu‘taidl menampilkan sifat baru maksimal hanya sebatas mencegah (man’u) atas mugaddimah (hashr) dijadikan sebagai dalil. Padahal mustadil secara teori tidak bisa kalah sebab adanya pencegahan (man’u).

 

Contoh, penctapan ‘‘illat hukum riba dari gandum.

Mustadil berkata: ‘illat-nya hanyalah sifat makanan, kemudian muncul sanggahan dari pihak mu’taridl, bahwa ‘illat-nya bukan hanya sifat makanan, tetapi juga karena diukur dengan timbangan. Pada kondisi tersebut, pihak mustadil belum dianggap kalah sampai batas dia tidak mampu untuk membatalkan sifat yang ditampilkan oleh mu’taridl. Sedangkan mengenai tata cara pembatalan sifat yang ditampilkan oleh mu’taridl akan dikupas pada pembahasan yang akan datang (pembahasan teoti pembatalan sifat).

 

Selanjutnya manakala keduanya (mustadil dan mu‘taridl) sepakat membatalkan sifat-sifat pada ashl selain dua sifat yang diperdebatkan, meskipun masih belum menyepakati manakah di antara dua sifat tersebut yang menjadi ‘at, maka dalam as-sabru wa at-tagsim, bagi mustadil cukup memfokuskan diti meneliti ulang (tardid) pada dua sifat yang telah disepakati. Dan tidak perlu meneliti kembali sifat yang telah dibatalkan oleh keduanya. Contoh tardid, semisal mustadil mengatakan, “’‘illat dalam hukum ini mungkin sifat A atau sifat B. Dan sifat B tidak boleh dijadikan ‘illat karena alasan demikian, maka jelas sifat A yang tertentu menjadi ‘‘illat nya”,

 

Salah satu cara membatalkan (sifat) adalah, memperjelas bahwa sifat telah diabaikan (oleh as-Syari), seperti sifat panjang dan seperti laki-laki dalam kasus memerdekaan budak.

 

Dan tidak menampakkan keselarasan (sifat) yang dibuang. (Dalam hal ini) cukup dengan ungkapan mustadil “Saya sudah menelitinya, namun saya tidak menjumpai hal-hal yang mengarah pada adanya munasabah’. Dan jika pihak mu’taridl menggugat bahwa sifat (‘illat) yang ditetapkan ternyata sama saja (tidak mempunyai aspek munasabah), maka pihak mustadil tidak perlu menjelaskan aspek munasabab-nya, namun mustadil boleh mengunggulkan hasil penelitiannya dengan kesesuaian yang dapat menjalar (pada hukum).

 

TEORI PEMBATALAN SIFAT

 

Pada pembahasan kali ini akan menjelaskan mengenai teori bagaimana mustadil membatalkan sifat yang ditampilkan oleh mu’taridl dan tidak layak menjadi ‘illat.

 

1, Menjelaskan bahwa sifat tergolong thardiy

Maksudnya ialah mustadil menjelaskan kepada mu’taridl bahwa sifat yang ditampilkannya tergolong thardit, dalam arti sifat tersebut termasuk jenis yang diketahui telah diabaikan oleh as-Syari’. Hal ini dapat dipetakan dalam dua bentuk;

  1. Tidak diperhitungkan secara mutlak, yakni pembuangan sifat yang menurut mustadil sama sekali tidak diperhitungkan oleh syari’ dalam penetapan semua hukum. Seperti sifat panjang dan pendek postur, hitam dan putih warna kulit, sernua ini tidak berpengaruh sama sekali dalam penctapan hukum, seperti dalam qishash (pembalasan sepadan atas pelaku penganiayaan), membayar kafarat, pembagian harta pusaka, pemerdekaan budak dan lain-lain, sehingga dua sifat tersebut tidak layak untuk dijadikan ‘illat suatu hukum.

 

  1. Tidak diperhitungkan secara khusus dalam hukum yang sedang dibahas. Seperti sifat lelaki dan perempuan dalam kasus memerdekaan budak, sebagaimana firman Allah swt.:

 

Maka merdekakanlah seorang budak. (QS. An-Nisa’ 92)

 

Kandungan ayat di atas ialah perintah agar memerdekakan seorang budak, tanpa memperhitungkan sifat laki-laki atau perempuan. Kendati sifat tersebut masih diperhitungkan dalam kasus lain. Seperti dalam menctapkan hukum persaksian dan pembagian harta pusaka.

 

  1. Tidak dijumpainya mundasabah

 

Tata cara pihak mustadil membatalkan sifat yang ditampilkan oleh pihak mu’taridl adalah dengan menyatakan bahwa setelah melalui penclitian, sifat yang akan dibuang tidak adanya kejclasan mundsabah untuk dipertimbangkan dalam sebuah hukum. Hal ini dikerenakan tidak adanya faktor pendorong berupa kongkritnya munasabah untuk dijadikan sebagai ‘illat, berbeda halnya dalam teori ima’ yang tidak disyaratkan adanya kejclasan munasabah. Dalam penetapan tidak adanya nilai mwundsabah, mujtahid cukup menyatakan, “Setelah aku telah mengkaji sifat ini dengan teliti, ternyata aku tidak menjumpai hat-hal yang dapat memberikan kecenderungan munasabah antara sifat ini dengan hukum yang aku bahas’. Hal ini mencukupi karena berpedoman pada sifat adil dan keahlian analisa dari mustadil.

 

Kemudian jika pihak mu’taridl mengklaim bahwa sifat yang ditetapkan sustadil juga tidak ada kejelasan munasabah, maka pihak mustadil tidak diharuskan mengungkapkan bukti-bukti keserasian sifat tersebut. Karena hal ini akan -dianggap sebagai intiqal (berpaling) dari sabru (penelitian sebuah sifat) menuju munasabah (penycelarasan sifat dengan hukum). Intiqal semacam akan berdarnpak terjadinya intisyar (pembiasan diskusi) yang dilarang agama, karena berpotensi memantik emosi dan ketegangan, hingga nilai kebenaran dalam diskusi menjadi sulit terkuak. Sedangkan langkah yang harus dilakukan mustadil adalah mengunggulkan hasil penelitiannya dengan argumentasi bahwa penelitiannya mencocoki ta’diyah (penjalaran ‘illat. Mustadil bisa mengatakan; ‘illat yang saya tetapkan dapat menjalar (muta’adi) pada kasus-kasus yang lain, berbeda dengan ‘illat yang anda sampaikan, dimana ‘illat tersebut hanya menjalar pada sebagian kasus saja (qasbirah)”.

 

Dalam hal ini posisi mustadil meskipun secara perdebatan mengakui bahwa sifat yang disampaikannya tidak memiliki mandsabah, namun dia mengalahkan mu‘taridl dengan menyebutkan murajjih (faktor yang mengunggulkan) sifat yang disampaikannya atas sifat yang disampaikan mu’taridl, Dikarenakan sifat yang menjalar (muta’adi) pada semua kasus, lebih bersifat umum dan lebih banyak faidahnya dibandingkan sifat yang terbatas (gashirah).”

 

(Metode pencarian ‘illat) yang kelima adalah munasabah, Dan proses memunculkan sifat yang munasib disebut dengan takhritlij al-manath, yaitu menentukan ‘illat dengan cara Memunculkan keselarasan (antara “‘illat yang ditentukan dan hukum) disertai adanya kebersamaan, seperti sifat memabukkan. Kemandirian sifat (yang akan dijadikan sebagai ‘illat) terealisasi dengan tidak   ditemukannya sifat-sifat lain melalui tekhnis as-sabru (penelitian sempurna).

 

KELIMA : AL-MUNASABAH

 

Urutan keempat dari macam-macam masalikul ‘illat al-munasabah atau disebut juga dengan al-ikhalah.

 

Al-Munasabah secara bahasa adalah keserasian, sedangkan secara istlah memiliki beberapa definisi. Di antaranya,

 

  1. Definisi dari Imam Wahbah Az-Zuhaili;

“Manakala antara sifat dengan hukum terdapat sebuah keserasian”.

 

  1. Definisi dari Imam Zakariya Al-Anshari,

‘Keserasian antara sifat yang ditentukan sebagai ‘illat dengan hukum”.

 

Sedangkan teori memunculkan ‘illat melalui metode pencarian ‘illat munasabah disebut dengan tabrij al-manath.

 

TAHRIJ AL-MANATH

 

Tahhrij al-manath adalah mencntukan ‘‘illat dengan cara memunculkan keselarasan (antara ‘illat yang ditentukan dan hukum) disertai adanya kebersamaan antara keduanya. Contoh, ‘‘illat memabukkan (iskar) dalam HR. Muslim;

 

“Setiap perkara yang memabukan adalah haram”

 

Yat memabukkan yang berakibat hilangnya akal, memiliki keserasian dengan hukum haram. Disamping itu ‘‘illat dan hukum disebutkan secara bersamaan dalam hadits.

 

Selanjutnya kemandirian sifat (yang akan dijadikan sebagai ‘illat terealisasi manakala sifat-sifat lain tidak ditemukan melalui tekhnis assabru (membatasi beberapa sifat yang termuat ashl dan memungkinkan menjadi ‘illat dalam jumlah tertentu). Dan tidak cukup hanya dengan ucapan mustadil, “Aku sudah mengkaji, dan aku tidak menemukan sifat yang lain. Dan secara hukum asal, sifat yang lain memang tidak ada”.

 

Beda halnya dengan metode sabru wa taqsim terdahulu, maka ucapan semacam ini sudah mencukupi, karena tidak ditemukan cara lain. Dan juga motif utama dalam metode ini adalah menctapkan kemandirian sebuah sifat yang layak dijadikan ‘illat, sedangkan dalam sabru wa taqsim, motif utamanya adalah menafikan sifat yang tidak layak dijadikan ‘‘illat.

 

Al-Munasib adalah sebuah sifat yang jelas dan terukur batasannya, dimana peruntutan (penetapan) hukum atas dasar sifat tersebut, secara rasional dapat menghasilkan sesuatu yang (memang) layak menjadi tujuan syari’, beruapa menggapai kemaslahatan atau mencegah kemafsadatan (kerusakan). Jika sifat tersebut samar atau tidak terukur batasannya, maka yang  diperhitungkan adalah sesuatu yang menetapi sifat tersebut, yaitu madzhinnah,

 

MACAM-MACAM DEFINISI AL-MUNASIB

 

Al-Munasib yang dikutip dari definisi al-munasabah sebagaimana di atas memiliki beberapa versi definisi. Di antaranya;

 

  1. Al-Munasib adalah sifat yang jelas (dbahir), terukur batasannya (mundhabath), yang secata rasional penctapan hukum berdasarkan sifat tersebut dapat mewujudkan sesuatu yang layak menjadi tujuan syari’, berupa menggapai kemaslahatan atau mencegah kemafsadatan. Namun, jika sifat tersebut samar atau tidak terukur batasannya, maka yang dianggap menjadi ‘illat adalah mulazim (sesuatu yang menetapi sifat), yakni madhinnah (tempat persangkaan) terwujudnya sifat tersebut yang nampak jelas dan terukur batasannya. Seperti persetubuhan, dimana posisinya adalah madhinnah (tempat persangkaan) terisinya rahim seorang wanita. Pada dasarnya, yang memunculkan kewajiban ‘iddah adalah terisinya rahim seorang Wanita, demi tujuan menjaga pereampuran nasab. Namun karena terisinya rahim merupakan perkara yang samar (abstrak), maka kewajiban ‘iddah disandarkan pada madhinnah-nya, yakni persetubuhan. Contoh lain, safar (bepergian) adalah madhinnah (tempat persangkaan) timbulnya masyaglqqah (kesulitan). Pada dasarnya, yang menimbulkan keringanan hukum (rkhshah) adalah masyaqqah itu sendiri. Akan tetapi, karena masyaqqah tidak bisa terukur batasannya karena perbedaan standar penilaian dari masing masing individu, kondisi dan waktu, maka hukum rukhshah tersebut disandarkan disandarkan pada madhinnah-nya, yakni bepergian (safar).

 

  1. Al-Munasib adalah sebuah sifat yang memiliki kesesuaian secara adat (kebiasaan) dengan perbuatan orang-orang yang berakal sehat, dimana mereka bertujuan menghasilkan maksud tertentu. Pendapat ini yang dipilih dalam Jam’u Al-Jawamy’.

 

  1. Al-Munasib adalah sesuatu yang dapat menarik kemanfaatan atau menolak kerusakan dari manusia. Menurut Imam Ar-Razi dalam AlMahshul, pendapat ini datang dari kelompok yang meng-‘‘illati hukum-hukum Allah SWT dengan mashlahat. Sedangkan pendapat pertama di atas datang dari kelompok yang menolak hal tersebut.

 

  1. Al-Munasib adalah sesuatu yang jika ditawarkan pada akal yang niseaya akal merespon untuk mencrimanya. Disampaikan oleh Imam Abu Zaid Ad-Dabusi”.

 

Terkadang tereapainya tujuan dari pensyariatan hukum, (adakalanya) secara pasti, seperti kepemilikan dalam jual beli, atau adakalanya secara dugaan (kemungkinan besar), seperti (membuat) efek jera pada gishas. Dan adakalanya masih bersifat relatif secara setara, seperti (membuat) efck jera pada kasus khamr, atau secara marjuh (kemungkinan kecil), seperti keturunan dalam pernikahan budak wanita.

 

Pendapat ashah, boleh menjadikan ‘illat pada dua terakhir (ketiga dan keempat). Apabila (tujuan syariat) tersebut tidak ada sama sekali (dalam sebagian kasus), maka menurut ashah, tujuan tersebut tidak diperhitungkan, baik dalam kasus yang mengandung nilai ta’abbudiy, Seperti istibra-nya seorang budak yang dibeli oleh penjualnya (dari pembeli pertama) di tempat ia menjalankan transaksi. Atau tidak  mengandung nilai ta’abbudiy, seperti ketetapan nasab anak dari seorang wanita di barat dengan itu (bapaknya) yang di timur.

 

TINGKAT PENCAPAIAN TUJUAN SYARIAT

 

Tingkat pencapaian tujuan (maqshud) dari pensyariatan sebuah hukum terklasifikasi menjadi empat bentuk:

 

  1. Tereapai secara yakin, seperti adanya perpindahan kepemilikan dalam jual beli.

 

  1. Tereapai secara dugaan (dban), seperti pencegahan (inzijar) yang menjadi tujuan dari ditetapkannya hukum gishdsh. Tujuan ini tingkat pencapaiannya masih bersifat dban, karena dengan disyariatkannya gishash, orang yang tidak berani membunuh lebih banyak dari pada yang berani melakukannya.

 

  1. Tereapai secara relatif setara (muhtamal sawa’), seperti pencegahan (inzijar) yang menjadi tujuan dari ditetapkannya hukum had (dera) bagi peminum arak. Namun tingkat tereapainya tujuan ini masih setara dengan tingkat tidak teereapainya, sebab secara realitas para peminum arak relatif sama banyaknya dengan yang menghindarinya.

 

  1. Tereapai secara marjuh (diungguli), sebab kemungkinan tidak tereapainya tujuan syariat lebih besar (unggul) dibandingkan tereapainya. Seperti tujuan mendapatkan keturunan dalam masalah menikahi budak perempuan, atau dalam redaksi lain, wanita menopouse (ayisah). Tujuan tersebut kemungkinan besar tidak akan tereapai dengan menikahi perempuan tersebut.

 

Bentuk pertama dan kedua dari empat bentuk di atas, dipastikan dapat dijadikan ‘‘illat. Sedangkan mengenai penetapan ‘‘illat menggunakan bentuk ketiga, yakni yang tingkat pencapaiannya setara, dan bentuk keempat, yakni yang pencapaiannya maruh, ulama berselisih pendapat;

 

  1. Menurut pendapat ashah, boleh menjadikan ‘Mat dari keduanya. Memandang maksud keduanya secara umum sudah dicapai.

 

  1. Pendapat kedua, tidak boleh menjadikan ‘‘illat dari keduanya. Karena pada bentuk ketiga, pencapaiannya masih diragukan, dan pada bentuk keempat, pencapaiannya marjuh sebab masih mauhum (kecil peluangnya).

 

Selanjutnya manakala tujuan syariat tersebut tidak ada sama sekali dalam sebagian kasus, dalam arti tidak ditemukan dalam kasus-kasus langka, meskipun ditemukan dalam mayoritas kasus, maka mengenai dipethitungkan tidaknya tujuan syariat tersebut, ulama berselisih Pendapat.

 

  1. Menurut Ashah, tujuan syariat tersebut tidak diperhitungkan, baik dalam kasus yang mengandung nilai ta’abbudiy, seperti istibra’-nya seorang budak yang dijual oleh majikannya kepada seseorang, kemudian oleh majikan tersebut dibeli lagi, saat masih berada dj tempat ia menjalankan transaksi. Atau di dalamnya tidak mengandung nilai ta’abbudiy seperti ketetapan nasab seorang anak dari orang tua yang berada di timur dan barat.

 

  1. Kalangan Hanafiyah mengatakan, tujuan syariat tersebut tetap diperhitungkan hingga hukum dan segala macam konskuensinya ditetapkan dalam sebagian kasus tersebut.

 

Al-Munasib (ada tiga) dharuriy, hajiy, dan tabsiniy. (Munasib) dharuniy seperti menjaga agama, jiwa, akal,. keturunan, harta dan kehormatan. Dan (sama) seperti dharuriy yaitu hal-hal yang dapat menyempurnakan sifat dharuriy, seperti mendera sebab meminum sedikit perkara yang memabukkan. (Manasib) hajiy seperti jual-beli, dan sewa-menyewa, Dan terkadang yang asalnya hajiy menjadi dbaruriy, seperti sewa menyewa untuk mendidik anak. Dan hal-hal yang dapat menyempurnakan hajiy seperti khiyar dalam jual-beli. Sedangkan tabsiniy (ada dua, pertama) bertentangan dengan kaidah, seperti akad kitabah. (Kedua), tidak bertentangan dengan kaidah, seperti menghapus hak persaksian bagi budak.

 

STRATIFIKASI AL-MUNASIB

 

Selanjutnya, al-munasib dalam arti hikmah manakala dilihat dari posisinya sebagai tujuan dari pensyariatan sebuah hukum, terpetakan menjadi beberapa tingkatan:

 

  1. Dharuri, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan sampai batas darurat.

Tujuan-tujuan hukum yang termasuk kategori ini adalah:

 

  1. Perlindungan agama, yang direalisasikan dengan memerangi orang-orang kafir (jihad), dan lain-lain.

 

  1. Perlindungan jiwa, yang direalisasikan dengan menetapkan hukum qishash.

 

  1. Perlindungan akal, yang direalisasikan dengan menetapkan hukum had bagi peminum arak.

 

  1. Perlindungan keturunan, yang direalisasikan dengan menetapkan hukum had bagi pelaku zina.

 

  1. Perlindungan harta, yang direalisasikan dengan menetapkan hukum had bagi pencuri dan pembegal.

 

  1. Perlindungan kehormatan, yang direalisasikan dengan menetapkan had bagi pelaku qadzf (tuduhan zina tanpa disertai bukti).

 

Termasuk yang setara dengan dharuri adalah setiap perkara yang menjadi penyempurna dharuri. Seperti had (dera) sebab meminum sedikit perkara yang memabukkan. Karena sedikit perkara yang memabukkan akan menyeret seseorang meminum banyak, dimana hal ini akan menciderai perlindungan akal (hufdzu al-‘aql). Sehingga perlindungan ini diperketat dengan melarang meminum sedikit perkara yang memabukkan dan menderanya seperti meminum banyak. Contoh lain, hukuman bagi penyeru perbuatan bid’ah, karena akan menyeret pada tindak kekufuran yang menciderai perlindungan agama. Contoh ketiga, gishash dalam anggota badan, karena menghilangkan anggota badan menyeret pada pembunuhan yang menciderai perlindungan jiwa.

 

  1. Hajiy, yakni sesuatu yang dibutuhkan namun tidak sampai batas darurat. Sebagaimana ditetapkannya undang-undang yang mengatur berbagai bentuk transaksi, seperti jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Acap kali perkara hajiy berubah menjadi dharuri karena adanya faktor eksternal, semisal sewa jasa petawatan dan penyusuan anak, dimana apabila sewa jasa ini tidak diatur demi menjaga nyawa anak tersebut, maka kepemilikan manfaat berupa perawatan dan menyusui akan hilang sebab matinya anak yang dirawat.

 

Termasuk yang setara dengan hajjiy adalah setiap perkara yang menjadi penyempurna hajiy. Seperti khiyar dalam jual beli yang disyariatkan sebagai masa tenggang penyempurna transaksi jual beli, agar terbebas dari kerugian yang menetapkan pengembalian barang, hingea dapat merusak tujuan disyariatkannya jual beli.

 

  1. Tahsiniy, yakni sesuatu yang dinilai baik menurut adat, namun tidak dibutuhkan. Dalam hal ini terbagi dua;

1) Bertentangan dengan kaidah syariat, seperti akad khitabah. Hal ini sebenarnya tidak dibutuhkan, karena seandainya khitabah dilarang, tidak akan menimbulkan masalah. Hanya saja penetapan khitabah dinilai baik menurut adat, untuk memberi ruang seseorang terbebas dari perbudakan. Dan khitabah ini merusak kaidah syariat berupa larangan bagi seseorang untuk menjual sebagian hartanya dibeli dengan sebagian hartanya yang lain. Karena hasil kerja dari seorang budak mukatub secata hukum adalah milik majikan.

 

2) Tidak bertentangan dengan kaidah syariat, seperti menghapus hak persaksian bagi budak. Hal ini sebenarnya tidak dibutuhkan, karena seandainya hak tersebut ditetapkan bagi budak, tidak akan menimbulkan masalah. Hanya saja penghapusan tersebut dinilaj baik menurut adat, karena budak memiliki kekurangan untuk memiliki hak mulia semacam ini, Padahal hak ini akan menjadi penentu vonis bagi orang yang dipersaksikan. Berbeda halnya dengan hak riwayat yang tidak memiliki peran penentu vonis.

 

Kemudian sifat al-Munasib, jika macam sifat tertentu cipertimbangkan oleh As-Syari’ dalam macam hukum tertentu, dengan nash atau ijma’, maka disebut dengan al-mu’atsir atau dengan rentetan hukum yang sesuai dengan sifat.

 

Dan apabila. macam tertentu  dipertimbangkan oleh As-Syari’ dalam jenis hukum tertentu, atau sebaliknya, atau mempertimbangkan jenis sifat tertentu pada jenis hukum tertentu, maka disebut al-mula’im. Dan jika tidak demikian (macam atau jenis tidak dipertimbangkan dengan nash atau ijma’), maka disebut al-gharib, Kemudian jika sifat al-Munasib tidak dipertimbangkan, jika ada dalil yang menunjukkan bahwa ‘illat tersebut diabaikan, maka udak bisa dibuat menjadi ‘iat, namun jika tidak ada dalil (bahwa ‘illat tersebut diabaikan) maka disebut dengan al-mursal, dimana mayoritas ulama menolaknya.

 

MACAM-MACAM AL-MUNASIB

 

Al-Munasib dalam arti sifat serasi yang dijadikan ‘‘illat (bukan dalam arti hikmah), dilihat dari aspek diperhitungkan tidaknya oleh AsSyari’ terbagi menjadi 4 macam:

  1. Al-Munasib al-muatsir
  2. Al-Munasib al-mula’im.
  3. Al-Munasib al-gharib
  4. Al-Munasib al-mursal (al-masblabah al-nursalah)

 

AL-MUNASIB AL-MUATSIR

 

Adalah manakala ‘ain al-washfi (macam sifat tertentu) diperhitungkan oleh As-Syari’ dalam ‘ain al-hukmi (macam hukum certentu), melalui nash atau ijma’ yang menjelaskan sebagai ‘illat. Disebut al-muatsir karena pengaruh hukumnya terlihat jelas sebab nash atau jima’ yang dijadikan pertimbangan.

 

Contoh dipertimbangkan melalui nash, adalah meng’illati ‘ain al-hukmi berupa batalnya wudhu yang berimplikasi haramnya shalat, dengan tin al-washft berapa menyentuh kemaluan, yang dicuplik dari HR. Tirmidzi:

 

“Barang siapa yang menyentub kemaluanya, maka hendaklah ia berwudlu”

 

Contoh dipertimbangkan melalui ijma’ adalah mengati in alhukmi berupa petwalian harta, dengan ‘ain al-washfi berupa ‘masih kecil’.

 

AL-MUNASIB AL-MULAIM

 

Adalah manakala ‘ain alwashfi (macam sifat tertentu) diperhitungkan dalam ‘ain al-hukmi (macam hukum tertentu) dengan selain nash dan ijma’, namun dengan sebab As-Syari’ meruntutkan hukum dari sifat serupa. Dalam hal ini ada tiga bentuk;

 

  1. Pertama, memperhitungkan macam sifat tertentu (‘ain al-washft) dalam jenis hukum tertentu (‘ain al-hukm).

Contoh, sifat shighar (masih kecil) dijadikan ‘‘illat bagi hukum tetapnya kekuasaan ayah dalam menikahkan anak perawannya yang masih kecil. Nash telah memutuskan bahwa ayah adalah orang yang paling berkuasa dalam menikahkan anak perawannya yang masih kecil. Ketetapan ini memang sangat sesuai dengan sifat ‘masih kecil’ dan ‘perawan’ yang ada pada kasus tersebut. Namun dari nash ataupun ijma’ tidak ada kejclasan mengenai ‘Wat dari penctapan hukum tersebut, apakah sifat perawannya ataukah sifat masih kecilnya. Meskipun demikian dalam kasus yang sejenis, ijma’ telah menetapkan sifat ‘masih kecil’ sebagai ‘‘illat bagi hukum tetapnya kekuasaan ayah atas pengelolaan harta anak kecil. Berangkat dari adanya ijma’ ini dan memandang bahwa antara hukum tetapnya kekuasaan sang ayah atas harta anak kecil dan hukum tetapnya kekuasaan sang ayah dalam menikahkan anak perawan yang masih kecil adalah merupakan hukum yang sejenis (sama-sama bentuk kekuasaan), maka sifat masih kecil ditetapkan sebagai ‘‘illat bagi hukum tetapnya sang ayah untuk menikahkan anak perawannya yang masih kecil. Dan, karena sifat ‘masih kecil’ juga ditemukan pada wanita yang tidak lagi perawan, gila dan dungu yang masih kecil, maka hukum ketiganya disamakan dengan perawan yang masih kecil.

 

  1. Kedua, memperhitungkan jenis sifat tertentu (jins al-washfi) dalam macam hukum tertentu (‘ain al-hukmi).

Contoh, kondisi hujan yang ditetapkan sebagai — ‘illat diperbolehkannya mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu (jama’). Nash telah menetapkan sebuah hukum bahwa ketika kondisi hujan, shalat boleh untuk di-jawa’. Dan keputusan itu memang sangat sesuai dengan kondisi hujan, akan tetapi, baik nash ataupun ijma’ tidak menunjukkan bahwa hujan adalah ‘‘illat di balik penetapan hukum tersebut. Meskipun demikian, nash yang lain menetapkan bahwa men-jama’ dua shalat dalam satu waktu ketika dalam perjalanan adalah diperbolehkan, dan ijma’ telah menetapkan bahwa ‘illat di balik keputusan ini adalah kondisi bepergiaan (safar), Berangkat dari adanya ijma’ ini, dan memandang bahwa hujan dan safar adalah masih sejenis (sama-sama mendatangkan kesulitan), maka ditetapkanlah hujan sebagai ‘illat diperbolehkannya melakukan jama’ shalat pada kondisi itu, dan pada akhirnya salju dan hawa dingin bisa disamakan dengan hujan.

 

  1. Ketiga, memperhitungkan jenis sifat tertentu (sins al-washfi) dalam jenis hukum tertentu (sins al-hukmi).

Contoh, sifat ‘membunuh dengan sengaja dan secara aniaya’ dijadikan sebagai ‘illat penetapan hukum gqishas pada kasus pembunuhan dengan memakai benda-benda berat dan ijma’ telah menetapkan bahwa gishas diberlakukan pada kasus sejenisnya, yakni pembunuhan dengan menggunakan benda-benda tajam. Sisi kesamaan kedua kasus tersebut terletak pada jenisnya, yakni keduaduanya tergolong jenis pembunuhan yang disengaja dan secara aniaya (tanpa hak).

 

AL-MUNASIB ALGHARIB

 

Adalah sifat vang tidak diperhitungkan oleh As-Syari’, yakni manakala ada dalil yang menuniukkan bahwa sifat tersebut tidak diperhitungkan. Disebut dengan al-gharib, karena kecil peluangnya untuk diperhitungkan. Dan sifat semacam ini disepakati. ulama tidak bisa dijadikan ‘‘illat,

 

Contoh, undang-undang wajib berpuasa dua bulan berturut-turut yang dibuat oleh Imam Yahya bin Yahya”, sebagai sanksi kafarat yang dijatuhkan kepada seorang raja yang berani membatalkan puasa Ramadhan dengan melakukan hubungan badan. Demikian ini karena substansi tujuan syara’ adalah membuat jera pelaku, sedangkan memberikan sanksi berupa memerdekakan budak bagai raja, merupakan sesuatu yang mudah dilakukan. Akan tetapi syara’ menolak undangundang di atas dan syara tetap mewajibkan menerapkan sanksi pelangparan sesuai dengan urutan, yakni memerdekaan hamba sahaya, dan jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut, dan jika tidak dapat melaksanakanya maka berpindah memberi makanan enam puluh miskin.

 

AL-MUNASIB AL-MURSAL

 

Al-Munasib al-mursal atau biasa disebut dengan al-mashlahah almursalah atau al-istishlah adalah sifat yang tidak ditemukan dalil syara’, baik dalil yang memperhitungkan maupun yang mengabaikannya.

 

Mengenai diterima tidaknya munasib al-mursal atau maslahah mursalah, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat pertama, dari mayoritas ulama, menolak secara mutlak, karena tidak ada dalil menunjukkan diperhitungkannya sifat tersebut.

 

  1. Pendapat kedua, dari Imam Malik, menerima al-munasib al-mursal secara mutlak, untuk menjaga eksistensi mashlahat. Berpijak dari pendapat ini, diperbolehkan memukul seseorang yang statusnya muttaham (disinyalir) mencuri, agar mengakui perbuatanya. Dalam hal ini Imam Haramain hampir senada dengan pendapat Imam Malik, karena secara umum juga mempertimbangkan mashlahat, namun Imam Haramain tidak memperhitungkan jenis mashlahat secara mutlak sebagaimana Imam Malik, bahkan dalam kitab Al Burhan secara keras menentangnya.

 

  1. Pendapat ketiga, menolak diterapkan dalam kasus ibadah, dan boleh diterapkan dalam muamalat, dan hudud. Karena dalam ibadah tidak mempertimbangkan aspek maslahah, berbeda dalam kasus muamalat dan had

 

Bukan tergolong dari macamnya sunasib mursal yaitu kemaslahatan bertaraf dharun, universal, dan dipastikan (terjadi), Atau bertaraf dhan yang hampir pastii Dan kemaslahatan tersebut kebenaran universal yang pasti.

 

MASHLAHAH DHARURI, UNIVERSAL, PASTI

 

Sebuah kemashlahatan yang mencapai taraf dharurtyah (emeregency), kulliyyah (universal), dan gath’iyyah (pasti terjadi), tidak termasuk bagian dari al-munasib al-mursal atau maslahah mursalah. Karena landasan dalil menegaskan kemaslahatan tersebut harus diperhitungkan, Dalil tersebut adalah bahwa dalam pandangan syara’, menjaga kemaslahatan yang bersifat Auli (universal) lebih diutamakan daripada kemaslahatan juz’i (individu atau kelompok).

 

Maksud mencapai taraf dharuriyyah (emeregency) adalah berbentuk salah satu dari dharuriyyat al-khams, yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Dan maksud kulliyyah (universal) adalah terkait dengan seluruh umat Islam, bukan sekelompok orang saja. Dan yang dikehendaki gath’iyyah (pasti terjadi) adalah positif terjadinya. Atau minimal bersifat dhanniyah (diduga akan terjadi) yang mendekati pasti.

 

Dalam hal ini status kemashlahatan tersebut adalah kebenaran universal secara pasti (haqqun kulliy qath’an), dan bukan munasib mursal atau mashlahat mursalah. Berbeda dengan pendapat Imam Al-Ghazali yang memasukkan kemashlahatan tersebut sebagai munasib mursal atau mashlahah mursalah, namun bukan dengan arti sifat yang tidak ditemukan dalil syara’ untuk memperhitungkannya. Menurut beliau, kemashlahatan tersebut menjadi syarat untuk memastikan pemakaian manasib mursal.

 

Contoh, menyerang dengan menghujani panah, menembak atau mengepom serdadu pasukan kafir yang menjadikan tentara muslim yang tertawan sebagal tameng dalam sebuah peperangan, hingga berakibat tentara muslim yang tertawan mati bersama mereka. Hal ini boleh dilakukan manakala dipastikan atau ada dugaan yang mendekati kepastian pahwa apabila mereka tidak diserang, maka justru mereka yang akan membunuh seluruh pasukan islam, baik yang ditawan atau yang lain. Dan apabila mereka diserang, maka pasukan muslim selain yang ditawan akan selamat. Dalam hal ini, bolehnya melakukan penyerangan adalah demi menyelamatkan sebagian umat Islam.

 

Berikut ini beberapa contoh kasus yang tidak memenuhi syarat.

 

Munasabah menjadi gugur sebab mafsadah yang menetap pada hukum dan lebih unggul atau menyamai dibandingkan  mashlahatnya, menurut pendapat ashab

 

BATALNYA MUNASABAH

 

Munasabah akan dianggap batal manakala terdapat mafsadab (kerusakan) yang menetap dalam sebuah hukum dan lebih unggul dibandingkan mashlahbat yang dihasilkan, atau minimal menyamai mashlahat-nya menurut pendapat ashah, Hal ini berdasarkan sebuah kaidah;

 

“Mencegah beberapa mafsadah didahulukan daripada menarik, kebaikan”.

 

Menurut Imam Ar-Razi dan pengikutnya, seperti Imam Baidhawi, munasabah tidak dianggap batal, meskipun mereka juga menyepakati tentang tidak adanya hukum. Hanya saja tidak adanya hukum menurut mereka karena faktor keberadaan al-mani’ (penghalang), sedangkan menurut pendapat Ashah di atas karena faktor karena tidak adanya mugtadhi (dalil penuntut).

 

(Metode pencarian ‘ila keenam adalah syabah, yaitu menyerupainya sebuah sifat pada munasib dan thardiy. Dan sifat ini juga dinamakan syabah. Syabab memiliki posisi di tengah-tengah antara munasib dan thardiy,  Menurut pendapat ashab, Dan tidak boleh membuat qiyas syabah, saat memungkinkan qiyas ‘illat, secata ijma’, Jika qiyas ‘illat tidak bisa, maka (qiyas syabah) bisa menjadi hujjah pada selain qiyas shuny, menurut pendapat  ashab.

 

ENAM: SYABAH

 

Urutan keenam dari macam-macam masalikul ‘illat yaitu Syabah. Mengenai definisi pabeh, terdapat beragam pendapat ulama. Menurut Imam As-Subki, banyak perdebatan tentang pendefinisian syabah, dan saya belum menemukan definisi yang benar.

 

  1. Menurut pengarang, Imam Zakariya Al-Anshari;

 

“Menyerupainya sifat pada munasib dan thardiy”

 

Menurut pendapat ashah, posisi syabah ada di tengah-tengah antara munasib dan thardu, menyerupai thardu dari sisi statusnya adalah bukan sifat yang serasi secara dzatiyah (dengan sendirinya), dan menyerupai munasib secara dzatiyah, dari sisi adanva respon syara’ secara umum. Seperti sifat laki-laki dan perempuan dalam persaksian dan qadha’ (peradilan). Baik dari sisi penetapan atau peniadaannya. Semisal sifat perempuan, syara’ meresponnya dari sisi peniadaannya dalam qadha’, tidak dalam memerdekakan budak.

 

2, Menurut pendapat kedua dari Al-Qadli Abu Bakar Al-Baqilani; 

 

“Sifat yang serasi dengan cara mengikuti pada perkara lain yang serasi”.

 

Dalam riwayat lain, Al-Qadhi mengatakan,

 

“Sifat yang dengan sendininya tidak serasi pada hukum, dan menetapkan sifat lain yang dengan sendirinya serasi”.

 

Maksud ‘mengikuti pada perkara lain’ adalah menctapkan sifat lain yang dengan sendirinya serasi.

 

Contoh, thaharah sebagai ‘illat disyaratkannya niat, dimana secara dzatiyah (dengan sendirinya), thaharah tidak serasi dengan disyaratkannya niat. Akan tetapi menctapkan sifat lain yang serasi dengan hukum disyaratkannya niat, yaitu ibadah.”

 

  1. Menurut Syekh Wahbah Al-Zuhaili;

 

“Suatu sifat yang tidak nampak nilai keserasian (dengan hukum) di dalamnya setelah diadakan penelitian yang maksimal, namun keadaan sifat tersebut direspon oleh syara’ (tebagai ‘illat) pada sebagain buku”.

 

Contoh, bersuci dengan air, setelah dikaji secara mendalam, ternyata tidak ditemukan keserasian antara hukum thaharah dan kekhususan memakai air. Hanya saja, pada sebapian kasus yang lain, seperti shalat dan thawaf, As-Syari‘ mencegaskan bahwa keberadaan sifat tersebut (sifat air) diperhitungkan sebagai ‘illat.

 

Selanjutnya, tidak diperbolehkan membuat qiyas syabah, saat memungkinkan qiyas ‘illat yang di dalamnya terdapat munasib secara dzatiyyah. Namun manakala qiyas ‘illat tidak bisa dioperasikan karena tidak adanya munasib secara dzatiyyah, maka posisi qiyas syabah diperselisihkan.

 

  1. Pendapat ashah, qiyas syabah bisa menjadi hujjah selain dalam syabah shuriy, karena memandang kemiripannya dengan munasib. Imam Syafi’i menggunakannya sebagai hujjah di berbagai kasus. Di antaranya ucapan beliau pada saat mewajibkan niat wudhu seperti tayammum, “Dua thaharah yang keduanya tidak terpisah”. Artinya, tidak ditemukan perkara yang paling mirip dengan wudhu selain tayammum, sehingpa wudhu di-qiyas-kan dengan tayammum.’

 

  1. Pendapat kedua menyatakan, qiyas syabah ditolak. Karena memandang kemiripannya dengan thardu”.

 

Tingkatan tertinggi qiyas syabah yaitu qiyas syabab  yang memiliki satu ashl Kemudian qiyas ghalabah al-asybah dalam segi’ hukum dan sifat. Kemudian ghalabab al-asybah dalam segi hukum,  lalu ghalabah al-asybah dalam segi sifat.

 

PERINGKAT QIYAS SYABAH

 

Berangkat dari pendapat yang menyatakan qiyas syabah dapat dijadikan bujah, secara kualitas qiyas syabah tersusun beberapa peringkat sebagaimana berikut.

 

  1. Osyas syabah yang memiliki satu ashl.

 

Qiyas ini dinilai paling tinggi, karena ashl terlepas dari penentangan ashi yang lain. Contoh, dikatakan dalam persoalan bersuci dari najis, bahwa bersuci model ini adalah bersuci dalam rangka melaksanakan shalat, sehingga tertentu menggunakan air, di-gfyas-kan dengan bersuci dari hadats. Dalam hal ini bersuci dari najis menyerupai thardu, dari aspek tidak nampaknya keserasian antara bersuci dan penentuan penggunaan air. Dan menyerupai al-munasib, dari aspek bahwa syara’ memperhitungkan bersuci dari hadats dengan air dalam shalat dan hal-hal lainnya.

 

  1. Qiyas ghalabab al-asybah fi al-hukwmi wa as-shifat

 

Didefinisikan sebagai berikut;

 

“Manakala far’u (kasus cabang) (memiliki keniripan) antara dua ashl; kemudian far’u disamakan dengan ashl yang paling banyak memiliki kemiripan dalam sisi hukum dan sifat”’

 

Atau secara sederhana, sebuah teori qiyas dengan cara memenangkan salah satu ashl yang dianggap paling mirip dengan far’u, baik dalam hukum atau dalam sifatnya.

 

Contoh, dalam kasus pembunuhan seorang budak, seorang budak yang dalam kasus ini berstatus sebagai far’a memiliki dua ashf pertama, memiliki kemiripan dengan manusia merdeka dani sisi keduanya sama-sama manusia. Kedua, memiliki kemiripan dengan binatang ternak dari sisi sama-sama berstatus harta yang dimiliki. Maka dalam hal terkait pembecrian kompensasi ganti rugi, budak disamakan dengan binatang ternak sesuai harga tertinggi, karena kemiripan budak dengan binatang ternak lebih besar.

 

Sedangkan yang dimaksud ‘kemiripan’ ialah kesamaan antara far’u dan ashl dalam dua aspek;

 

  1. Aspek hukum, seperti bolehnya budak diperjualbelikan, disewakan, dipinjamkan dan lain-lain, sebagaimana binatang ternak.
  2. Aspek sifat, seperti standar harga penjualan budak tergantung dari keadaan baik buruknya budak tersebut. Demikian ini sama dengan binatang ternak, dimana faktor yang menentukan tingginya harga penjualan, tergantung keadaan binatang ternak tersebut. Semisal, binatang yang sehat tentunya lebih mahal dibanding yang sakit.

 

  1. Qivas ghalabah alasybah fi al-hukmi Didefinisikan sebagai berikut;

 

“Manakala far’u (asus cabang) berkutat (memiliki kemiripan) antara dua ashl; kemudian yang paling banyak memilikei kemiripan pada salab satu (dari dua ashi) ” sisi hukum dan sifat. Dan menyerupai ashl yang lain dari sisi hukum saja”

 

  1. Qiyas ghalabah al-asybah fi as-shifat

 

‘Manakala far’u (kasus cabang) berkutat (memiliki kemiripan) antara dua ashl: kemendian yang paling banyak memiliki kemiripan pada salah satu (dari dua ashi) dari sisi bukum dan sifat. Dan menyerupai ashl yang lain dari sisi sifat saja”.

 

  1. Qiyas Shuny

Adalah penyamaan far’u dengan ashl atas dasar keadaan bentuk. Seperti, menyamakan kuda dengan himar (keledai) dan bighal (peranakan kuda dan keledai) dalam masalah tidak wajibnya zakat. Menurut pendapat ashah, qiyas shuriy bukanlah hujjah. Pijakan dalil tentang qiyas shuriy adalah firman Allah SWT:

 

“Barangsiapa yang membunuh binatang buruan ketika ihram maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan binatang buruan yang dibunubnya”. (QS. Al-Maidah

 

(Metode pencarian ‘illat) Relujuh adalah Dauran yaitu ditemukannya (keterkaitan) hukum pada saat terwujudnya sifat dan ditiadakannya hukum pada saat tidak ditemukan sifat. Dauran berfaidah (menunjukkan ‘illat) secara dhanni, menurut pendapat ashah.

 

KETUJUH ; DAURAN

 

Urutan ketujuh dari macam-macam masalikul ‘illat adalah dauran. mam Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan dauran sebagai berikut:

 

Sebuah istilah tentang terjadinya sebuah hukum akibat wujudnya sifat dan tiadanya hukum sebab tidak adanya sifat,

 

Definisi lain, dari pengarang, bahwa dauran adalah;

 

Ditemukannya hukum manakala sifat wujud, dan dittadakannya hukum manakala sifat tidak ada.

 

Sifat dalam definisi di atas disebut al-madar (poros perputaran hukum), sedangkan hukum disebut ad-dair (sesuatu yang berputar). Contoh, hukum keharaman arak (khamr) disebabkan adanya sifat berpotensi memabukkan (iskar). Dan keharaman arak (khamr) menjadi hilang, ketika khamr berubah menjadi cuka, karena dalam cuka tidak ditemukan lagi sifat memabukkan.

 

EKSISTENSI DAURAN

 

Para ulama berbeda persepsi mengenai apakah dauran dapat menunjukkan bahwa sebuah sifat merupakan sebuah ‘illat ? Dalam hal ini ada dua pendapat:

 

  1. Pendapat ashah, sependapat dengan mayoritas, bahwa dauran secara dhanni (dugaan) bisa menunjukkan keberadaan sebuah sifat sebagai ‘illat. Karena masih adanya kemungkinan sebagaimana dalam masalah bau khamr di atas.

 

  1. Pendapat kedua, daurdn sama sekali tidak bisa menunjukkan pada tat. Karena bisa jadi sifat tersebut sekedar mulazim (perkara yang menetap) pada ‘illat, bukan ‘illat itu sendiri. Seperti bau khas dari perkara yang memabukkan, seperti bau khas khamr. Bau dan sifat memabukkan adalah dua hal yang manakala ditemukan, maka hukum haram ditemukan, serta sebaliknya, semisal Ahamr berubah menjadi cuka. Meskipun demikian bau tersebut bukanlah ‘illat keharaman Ahamr.

 

  1. Pendapat ketiga, dauran secara gath’iy (pasti) bisa menunjukkan keberadaan sebuah sifat sebagai ‘illat. Pencetus pendapat ini seolah menyatakan gath’ty manakala ada keserasian antara sifat dan hukum, seperti sifat memabukkan dalam hukum keharaman khamr.”

 

Muastadil tidak harus menjclaskan tidak adanya sifat yang Lebih bagus dari pada dauran Dan pihak mastadil unggul dengan ta‘diyah (manakala ‘illat dari mu’taridl qashirah) apabia mu’taridl menampilkan (tawaran) sifat (‘illat) lian (selain al-madar). Menurut pendapat ashah, jika ‘illat dari mu’taridl menjalar (muta’adi) pada far’u (kasus diperdebatkan), dan tuntutan dua sifat mereka (mastadil dan mu’taridh) sama, atau Sifat tersebut menjalar pada far’u lain, maka pihak mustadil tidak dituntut untuk men-tarjih  (dengan dalil lain).

 

BEBERAPA PERSOALAN DALAM DAURAN

 

Pengarang selanjutnya memaparkan beberapa persoalan yang terkait dengan dawran. Persoalan tersebut di antaranya;

 

  1. Dalam dauran, seorang mustadil tidak harus menjelaskan tidak adanya sifat yang lebih akurat untuk dijadikan ‘illat dari pada dauran. Bahkan dibenarkan menjadikan dauran sebagai dalil, meskipun memungkinkan menggunakan dalil lain yang lebih akurat, semisal dengan metode as-sabru atau ikhalah. Berbeda dengan syabab, dimana dalam metode ini sudah digariskan aturan, bahwa manakala masih memungkinkan mempraktikkan qiyas ‘illat yang akurasinya lebih kuat, maka tidak diperbolehkan membuat qiyas syabah.

 

  1. Manakala mu’taridl (mujtahid yang menyanggah dalilnya mustadil) menampilkan (tawaran) sifat lain, maka ada beberapa kemungkinan;

1) Sifat tersebut tergolong sifat gashirah (tidak dapat menjalar pada far’u), maka pihak mustadil dinyatakan unggul manakala sifat yang ditampilkan muta’adi (menjalar) “. Contoh;

 

Mustadill : ‘Hat dalam keharaman riba pada emas adalah sifatnya sebagai nuqud.

Mu’taridl : ‘illat dalam keharaman riba pada emas adalah sifatnya sebagai emas

 

Dalam contoh ini, ‘illat yang ditampilkan mestadil lebih unggul dibandingkan ‘illat yang disampaikan mu’taridl Karena illet dani mustadil menjalar (muta’adi) pada far’u, semisal perak, sedangkan ‘illat dari mu’taridl tidak menjalar (gashirab).

 

2) Sifat tersebut termasuk sifat muta‘adi (menjalar pada far’u), maks diperinci sebagai berikut:

 

– Apabila menjalar pada far’ yang sedang diperdebatkan” dan tuntutan dua sifat mereka (mustadil dan mu’taridh) sama, maka dalam hal ini ada dua pendapat.

 

Pertama, sebagai pendapat ashah, mustadil tidak dituntut mentarjih ‘illat (sifat) yang disampaikannya. Hal ini berpijak pada pendapat yang memperbolehkan pembuatan dua ‘illat,

 

Kedua, mustadil dicuntut men-tanih ‘illat yang disampaikannya,

 

Dan jika dia tidak mampu, maka akan dinyatakan kalah. Hal ini berpijak pada pendapat yang melarang pembuatan dua ‘illat.

 

Contoh;

 

Mustadil : ‘illat dalam keharaman riba pada apel adalah sifat makanan. Dan kelapa di-qiyas-kan dengan apel dalam ‘‘illat ini.

 

My’taridl ; ‘illat dalam keharaman riba pada apel adalah sifat warnu (ditimbang). Dan kelapa di-qiyas-kan dengan apel dalam ‘illat ini.

 

Dalam contoh ini, ‘illat yang dibawa mustadil maupun mu’taridl menjalar pada far’u berupa kelapa.

 

Namun apabila tuntutan dua sifat mereka (mustadil dan mu’taridh) berbeda, semisal satu sifat menuntut halal, sifat yang lain menuntut haram, maka mustadil dituntut men-sanih ‘llat yang disampaikannya.

 

– Apabila menjalar pada far’u lain (meskipun tidak menjalar pada Jar’u yang sedang diperdebatkan), maka dalam hal ini ada dua pendapat.

 

Pertama, sebagai pendapat ashah, mustadil tidak dituntut mentarjih ‘illat (sifat) yang disampaikannya. Hal ini berpijak pada pendapat yang memperbolehkan pembuatan dua ‘illat.

 

Kedua, mustadil dituntut men-tarjih ‘illat yang disampaikannya.

 

Hal ini berpijak pada pendapat yang melarang pembuatan dua ‘illat.

 

Contoh; .

 

Mastadil : Diharamkan riba pada gandum karena ‘illat berupa sifat menjadi makanan pokok. Dan gandum merah di-qiyas-kan dengan gandum dalam ‘illat ini.

 

Mu’taridl : Diharamkan riba pada gandum karena ‘illat berupa sifat menjadi makanan. Dan apel di-qiyas-kan dengan gandum dalam ‘illat ini.

 

Dalam contoh ini, masing-masing dari ‘illat yang dibawa mustadil dan mu’taridl menjalar pada far’u yang berbeda dengan far’u dari sifat yang lain.

 

(Metode pencarian ‘illat yang) kedelapan adalah At Thardu Yaitu membarenginya hukum pada Sifat (tanpa ada keserasian). Mayoritas ulama menolak thardu

 

KEDELAPAN ; AT-THARDU

 

At-Thardu secara bahasa ialah kebiasaan. Dan secara istilah adalah membarenginya hukum pada sifat, dimana antara sifat dengan hukum tidak ada keserasian, baik secara dzatiyyah atau dengan jalan diikutkan (taba).

 

Contoh, seperti statement sebagian ulama tentang cuka (al-khall); “Cuka adalah sejcnis benda cair yang di atasnya tidak didirikan jembatan, sehingpa tidak dapat digunakan untuk menghilangkan najis, seperti minyak, berbeda halnya dengan air”. Dalam contoh ini, sifat berupa pendirian jembatan di atas air dan tidak didirikannya jembatan di atas cuka, masing-masing dari keduanya tidak serasi dengan hukum hilangnya najis dengan air dan tidak hilangnya najis dengan cuka. Meskipun teon tersebut tidak bisa diruntuhkan, karena sudah berlaku umum. Dari sini dapat dipahami bahwa maksud ‘membarenginya hukum pada sifat adalah bahwa pembarengan tersebut dapat disaksikan dalam realita. Semisal realita menyatakan bahwa setiap benda cair yang tidak dapat digunakan mensucikan najis, di atasnya pasti tidak didirikan jembatan.

 

STATUS HUJJAH AL-THARD

 

Silang pendapat terjadi mengenai status ke-hujjah-an at-thardu.

 

  1. Mayoritas ulama, menolak fbardu. Karena dalam at-thardu antara sifst dan hukum tidak ada nilai munasabah (keserasian) sama sekali. lama madzhab Syafi’i mengatakan, “Qiyas makna (sifat yang memuat bikmab) tergolong munasib, karena memuat sifat yang serasi, qiyas syabab tergolong fagnb (mendekatkan far’u pada ashi), dan qiyas thardiy adalah klaim tanpa dali (tahakkum), sehingga tidak berfaidah menetapkan hukum pada far’u. Karena kemungkinan sebuah sifat menjadi ‘illat atau tidak adalah setara.

 

2, Pendapat kedua, at-thardu menunjukkan ‘illat bagi munadhir (pembela madzhab imamnya), bukan nadhir (mujtahid penganalisa dalil bagi dirinya sendiri). Karena munadhir dalam hal ini berada dalam konteks penolakan (ad-daf’u), sedangkan nadhir dalam konteks penetapan (itsbat) yang membutuhkan penopang yang kuat.

 

  1. Pendapat ketiga, jika hukum membarengi sifat pada seluruh kasus selain kasus yang diperselisihkan, maka at-thardu dapat menunjukkan ‘illat dari hukum.

 

4, Pendapat keempat, pembarengan hukum pada sifat cukup dalam satu kasus saja, selain kasus vang diperselisihkan.

 

(Metode pencarian kesembilan, Tanqih al-Manath, yaitu manakala nash dhahir menunjukkan atas ke-’illatan sebuah sifat, Kemudian kekhususan sifat tersebut dibuang dari pertimbangan melalui ijtihad, dan hukum digantungkan pada yang Iebih umum. Atau  (dalam kasus tersebut mengandung) beberapa sifat, kemudian sebagian sifat tersebut dibuang dan hukum digantungkan pada sifat yang tersisa.

 

KESEMBILAN : TANQIH AL-MANATH

 

Tangih Al-Manath atau dapat dipahami sebagai meringkas sifat yang menurut As-Syari’ menjadi dasar digantungkannya sebuah hukum, memiliki dua definisi.

 

  1. Definisi pertama, penunjukan nash dhahir atas ke ‘illatan sebuah sifat, kemudian kekhususan sifat tersebut tidak dipertimbangkan melalui ijtihad, dan hukum digantungkan pada yang lebih umum,

 

  1. Definisi kedua, dalam sebuah kasus terkandung beberapa sifat, kemudian sebagian sifat tersebut tidak dipertimbangkan melalui ijtihad, dan hukum digantungkan pada sifat yang tersisa.

 

Contoh, hadits Nabi SAW mengenai kisah Badui yang menggauli istrinya di bulan Ramadhan, hingga kemudian Nabi SAW memerintahkannya memerdekakan budak sebagai kafarat.

 

Dari kejadian ini, terkuak beberapa sifat yang kemungkinan oleh As-Syari‘ dijadikan sebagai ‘illat. Ditemukan dua bentuk sifat;

 

1) Sifat khusus yaitu persetubuhan dengan sengaja di saat siang hari bulan Ramadhan. Juga terkandung beberapa sifat lain, di antaranya, pelakunya adalah seorang badui, orang yang digauli adalah istrinya, dan persetubuhan dilakukan pada gubul (jalan depan).

 

2) Sifat umum yaitu perbuatan yang bisa membatalkan puasa, seperti makan dan minum.

 

Mengikut: definisi pertama, dalam contoh ini Imam Abu Hanifah dan Malik bin Anas membuang (mengabaikan) sifat khusus, kemudian mengarahkan pada sifat umum. Dengan demikian menurut Imam Abu Hanifah dan Malik bahwa semua perbuatan yang bisa membatalkan puasa, seperti makan dan minum, bila dilakukan dengan sengaja di siang hari di bulan Ramadlan, mewajibkan pembayaran kafarat. Karena orang tersebut telah merusak kehormatan bulan Ramadlan. Mengikuti definisi kedua, Imam As-Syafi’i dalam contoh kasus di atas mengabaikan sifat-sifat selain persetubuhan, seperti pelakunya adalah seorang badui, orang yang digauli adalah istrinya, dan hubungan biologis dilakukan pada qubul (jalan depan). Kemudian menggantungkan hukum wajibnya membayar kafarah hanya dengan persetubuhan saja.”

 

Adapun Tahqiq al-Manath adalah menetapkan ‘illat pada salah satu bentuk (kasus far’u) seperti menctapkan bahwa orang yang mengambil kain kafan dari kuburan sebagai pencuri. Sedang takhrij al-Manath telah berlalu (penjelasannya).

 

PENGERTIAN TAHQIQ AL-MANATH

 

Tahqiq al-Manath adalah menetapkan ‘‘illat pada sebuah bentuk kasus far’u. Maksud ‘‘illat di sini adalah yang disepakati berdasarkan nash atau ijma’, Dan maksud kasus far’u di sini adalah kasus yang perwujudan iHat di dalamnya samar atau sulit difahami. Contoh, menetapkan bahwa seseorang yang menggali kubur dan mengambil kain kafan dianggap sebagai pencuri. Karena dalam kasus ini ditemukan modus pencurian harta secara sembunyi-sembunyi dari hirzu mitsli (tempat penyimpanannya yang standar), sehingga dikenakan sangsi potong tangan. Berbeda dengan pandangan’ kalangan Hanafiyah yang menghukumi tidak dipotong tangan, karena menganggap belum memenuhi syarat hirzu mitsli.

 

(Metode pencarian ‘‘illat) kesepuluh adalah ilgha’ al-fariq, seperti menyamakan’ budak perempuan dengan budak laki-laki dalam kasus sirayah.

 

KESEPULUH ILGHA AL-FARIQ

 

Ilgha’ al-F’ariq atau pembatalan sifat yang membedakan antara ashl dan far’u, adalah menjelaskan bahwa sifat pembeda (al-fariq) tidak mempengaruhi terhadap pembedaan hukum ashl dan far’u, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan sifat yang menyamakan keduanya (dengan mengabaikan al-fariq). Ditinjau dari bentuk ilgha’-nya, terpilah menjadi dua bentuk.

 

  1. Isha’ (pembatalan atau pengabaian) bersifat gath’iy (karena dalilnya gath’iy), seperti meng-qiyas-kan penuangan air kencing pada air yang tidak mengalir dengan kencing di air tersebut, dalam hukum kemakruhannya yang didasarkan hadits;

 

“Sungguh janganlah di antara kalian semua kencing di air yang diam”

 

Sifat yang membedakan antara ashl dan far’u dalam contoh adalah mecnuangkan air kencing dari selain kemaluan. Namun hal ini secara gath’iy (dipastikan) tidak mempengaruhi untuk mencegah pemberlakuan hukum makruh. Sehingga hukum makruh ditetapkan dalam far’u berupa menuangkan air kencing pada air yang tidak mengalir, berdasarkan sifat yang menyamakannya dengan kencing di air yang tidak mengalir, yairu sama-sama membuat kotor air yang suci.

 

  1. Ilgha’ (pembatalan atau pengabaian) bersifat dbanni (karena dalilnya dhanni), seperti meng-gyas-kan budak wanita dengan budak laki-laki dalam hukum sirayah (penjalaran sifat merdeka pada keseluruhan diri budak, tatkala sebagian_m dirinya dimerdekakan), sebagaimana dalam hadits;

 

“Barangsiapa memerdekakan bagian dari haknya dalam budak (yang dimmiliki bersama), dan ia memiliki sejumlah harta yang setara dengan barga budak. tersebut (dari sisa bagian yang tidak dimilikinya), maka ditakstrlah nilas budak. tersebut sebagatmana takstran seorang adil, kemudian ta memberikan bagian hak para sekutunya dan merdekalah budak tersebut. Bila tidak, maka sterdekalah budak tersebut dengan kadar bagian dari haknya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Sifat yang membedakan antara ashl dan far’u dalam contoh ini adalah jenis kelamin perempuan. Namun hal ini secara dhanni (dugaan) tidak mempengaruhi untuk mencegah pemberlakuan hukum sirdyah. Sehingga hukum sirayah ditetapkan dalam far’u berupa budak wanita, berdasarkan sifat yang menyamakannya dengan budak laki-laki, yaitu sama-sama hamba sahaya yang dimiliki majikan. Contoh kedua ini tergolong dhanni, karena terkadang ada gambaran kemungkinan bahwa dalam kemerdekaan budak laki-laki, As-Syari’ mempertimbangkan kemandirian budak laki-laki dalam jihad, shalat jum’at, dan lain-lain, yang tidak bisa dilakukan budak wanita.

 

Ilgha’ al-fariq, dauran dan at-thardu pada sebuah macam keserupaan (dengan ‘illat)

 

ILGHA’ AL-FARIQ, DAURAN DAN AT-THARDU

 

Masalik al-’illat yang berupa ilgha’ al-fariq, dauran dan at-thardu, mengikuti pendapat bahwa at-thardu termasuk masalk al-’illat, substansi ketiganya adalah menyerupai ‘illat, bukan ‘illat sesungguhnya (hakiki).

 

Karena ketiganya pada keadaan tertentu menghasilkan sebuah dugaan, namun tidak sampai mencntukan aspek kemaslahatan (hikmah) yang menjadi tujuan dari pensyariatan sebuah hukum. Sebab kemaslahatan tidak bisa ditemukan dengan ketiganya. Berbeda dengan munasabah dan masalik al-’illat lain yang mampu menemukannya.”

 

Penutup; Mudahnya (sahnya) qiyas sebab ditetapkannya sebuah sifat sebagai ‘illat dan ketidakmampuan merusak sifat yang dijadikan ‘illat, (keduanya) bukanlah dalil atas ke’illat-an  sebuah sifat, menurut pendapat Ashah.

 

PENUTUP : METODE PENCARIAN ‘‘ILLAT

 

Pembahasan terakhir dari masalik al-’illat adalah mengulas dua macam metode pencarian ‘illat menurut pendapat lemah. Dua metode ini adalah sebagai berikut;

 

  1. Metode pertama, manakala qiyas pada nash mudah dilakukan sebab ditetapkannya sebuah sifat sebagai ‘illat, dan qiyas menjadi sulit apabila sifat tersebut tidak dijadikan sebagai ‘illat, maka sifat tersebut harus dijadikan ‘illat, agar mudah melakukan qiyas yang diperintahkan dalam QS. Al-Hasyr;  (dan ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran). Dan dengan melakukannya, seseorang terlepas dari tuntutan perintah tersebut. Namun menurut pendapat ashab, hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil bahwa sifat tersebut adalah ‘illat. Karena terlepas dari tuntutan perintah dalam ayat di atas, tidak harus dengan melakukan qiyas. Dan dalam hal ini manakala keabsahan qiyas digantungkan dengan penetapan sebuah sifat menjadi ‘illat, maka jika apabila kita menetapkan sebuah sifat menjadi ‘illat berdasarkan kemudahan qiyas, maka akan terjadi daur (siklus tanpa ujung).

 

  1. Metode kedua, diriwayatkan dari Imam Abu Ishag, bahwa apabila kita tidak mampu mengusahakan dalil atas rusaknya (tertolaknya) sebuah sifat yang dijadikan ‘‘illat, maka hal itu menunjukkan bahwa sifat tersebut merupakan ‘illa Sebagaimana mukjizat yang menunjukkan kebenaran Rasul, karena tidak mampu dilawan. Namun menurut pendapat ashah, hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil bahwa sifat tersebut adalah ‘‘illat, Karena persoalan ini jelas berbeda dengan mu’jizat, karena ketidakmampuan melawan dalam mu’jizat adalah dari makhluk, dan dalam masalah ini dari lawan debat.”

 

PENGERTIAN QAWADIH

 

Qawadih adalah perkara yang membuat dalil menjadi rusak, baik dalil berbentuk ‘illat atau selain ‘‘illat. Syaikh Al-Adludl menjelaskan, bahwa pada hakikatnya, qawadih adalah kritik atas dalil yang menunjukkan pada sebuah ke’‘illat-an’. Bentuk-bentuk kritik tersebut bermuara pada bentuk man’u (penolakan) dan mu’aradlah (pembenturan)”. Jika tidak demikian, maka kritik tersebut tidak dapat diterima. Karena dalam alur diskusi ini, pihak mustadill (pemapar dalil) layaknya mudda’i (pendakwa), penetapan hukum dalam sebuah kasus adalah obyck dakwaan (mudda’a), dalil bertindak sebagai saksinya. Kelayakannya dalam bersaksi bergantung keabsahan mugaddimat (premis-premis), efek persaksian adalah dengan peruntutan, munculnya hukum tatkala tidak dijumpai mu’aridl (dalil pembentur), dan jika ada, mu’aridl maka sebagaimana halnya jika terjadi benturan dua persaksian.

 

Kemudian, mu’aridl (pengkritisi dalil) berperan sebagai mudda’a alaih (terdakwa) dan penolak dakwaan. Sedangkan penolakan dakwaan adalah dengan meruntuhkan salah satu dari dua hal, meruntuhkan persaksian dalil atau meruntuhkan efek persaksian. Meruntuhkan persaksian dalil dengan merusak keabsahannya dengan menolak sebagian di antara premisnya, atau menuntut pembuktian kebenaran premis. Sedangkan meruntuhkan efek persaksian adalah dengan mu’aradlah (pembenturan) dengan dalil lain yang mampu mengimbangi atau mencegah penctapan hukumnya.

 

Berikut ini bentuk-bentuk qawadih yang akan dituturkan secara berurutan pada pembahasannya masing-masing:

 

  1. Takhalluful hukeni ‘anil ‘‘illat l an-nagdlu
  2. Al-Kasru
  3. ‘Adamul ‘aks l takhalluful ‘aks
  4. ‘Adamut ta’tsir
  5. Al-Qalbu
  6. Al-Qaul bil Mujab
  7. Al-Qadhu fil munasabah
  8. Al-Qadhu fi shalahiyyah ifdla al-hukmi ilal maqshud
  9. Al-Qadhu fidh dhuhur
  10. Al-Qadhu fil indlibath
  11. Al-Farqu
  12. Fasidul wadl’i

13, Fasidul i’tibar

  1. Al-Muthalabah bi tash-hih al-‘‘illat
  2. Ikhtilaf adl-dlabith
  3. Taqsim

 

Di antara gawidih (bentuk-bentuk perusak dalil)  adalah tertinggalnya (tidak wujudnya) hukum dari ‘‘illat mustanbathah, tanpa adanya. mani’ (pencegah) atau tidak terpenuhinya persyaratan, menurut pendapat “Ashab, Dan Perbedaan pendapat bersifat maknawi (substantif)

 

TAKHALLUF AL-HUKMI ‘AN AL-’ILLAT AN-NAQDLU

 

Qawadih pertama, takhalluful hukmi ‘anil ‘‘illat, yakni bahwa dalam kasus tertentu terdapat ‘‘illat, tetapi tidak dijumpai hukum.

 

Contoh’:

Mustadill berkata: “Niat adalah syarat dalam wudlu, sebagaimana tayammum, dengan titik temu bahwa keduanya adalah bentuk thaharah (bersuci)”.

 

Ash : Tayammum

Far’u : Wudlu

Hukum ashl : Wajib niat l dipersyaratkan niat

‘illat Merupakan bentuk Thaharah (bersuci)

 

Mu’taridl menyanggah: “Dalil ini tidak benar, karena ‘‘illat ini ada dalam membasuh pakaian dari najis, tetapi hukum tidak dijumpai hukum”. Artinya bahwa menghilangkan najis adalah termasuk “thaharah”. Jika “thaharah” merupakan ‘‘illat dari pensyaratan niat, semestinya menghilangkan najis dipersyaratkan adanya niat, karena telah wujud Wet di dalamnya. Dalam kenyataannya, menghilangkan najis tidak butuh niat, sebagaimana telah disepakati. Karena itu, ‘‘illat “thaharah” tidak sah dalam meng-’illat-i keharusan niat dalam wudlu.

 

Secara terperinci, dalam takhalluful hukmi anil “‘illat — selanjutnya disebut takhallaf saja — ada sembilan ragam pendapat ulama’ tentang pengaruhnya terhadap dalil :

 

  1. Pendapat ashah, takhalluf adalah perusak dalam ‘‘illat mustanbathah (‘‘illat yang digali), apabila jika ketertinggalan hukum tidak disebabkan karena ada mani’ atau ketiadaan syarat, Karena seandainya ‘‘illat tersebut menjadi ‘‘illat dari hukum, maka pastilah hukum ditetapkan pada saat Flat ditemukan. Sebagaimana contoh di atas. Dan pendapat ini dipilih Imam Ibn Al-Hajib dan ulama Muhaqqiqin lainnya. Dan pendapat ini merupakan maksud Imam As-Syafi’i yang menganggap fakhalluf sebagai perusak dalil secara umum.

 

  1. Pendapat kedua, takhalluf adalah perusak secara mutlak, baik berupa ‘illat manshiishah dengan taraf kebenaran gath’i ataupun dhanni, atau berupa ‘‘illat mustanbathah, baik ketertinggalan dikarenakan ketiadaan syarat atau adanya mani’ (penghalang), atau tidak karena keduanya. Karena apabila penetapan ‘‘illat dianggap sah dengan adanya takhalluf, maka penetapan hukum pada kasus yang di dalamnya terdapat takhalluf secara darurat, akan mengakibatkan kaitan erat antara “ilat dan kasus yang di-‘‘illati. Pendapat ini dipedomani oleh pengarang Jam’u al-Jawami.

 

  1. Pendapat ketiga, takhalluf bukan perusak secara mutlak. Ini adalah pendapat mayoritas ulama’ Hanafiyyah. Mereka menyebutnya takhshishul “‘illat. Pendapat ini, sebagaimana dalam Jam’ul Jawami’, diklaim sebagai pendapat madzhab Hanafiyyah”.

 

  1. Pendapat keempat, takhalluf merusak dalam “ilat mustanbathah, tidak dalam ‘‘illat manshushah.

 

  1. Pendapat kelima, kebalikan pendapat keempat, takhalluf merusak dalam ‘‘illat manshiishah, tidak dalam Silat mustanbathah. Ini karena dalil dari ‘‘illat mustanbathah adalah kebersamaan hukum dengan ‘‘illat. Dan hukum tidak wujud dalam kasus adanya takhalluf, maka menunjukkan sifat tersebut tidak lagi bertindak sebagai ‘‘illat dalam kasus adanya takhalluf. Berbeda dengan flat manshishah, dalilnya adalah nash yang mencakup pada kasus adanya takhalluf. Sehingga ketiadaan hukum dalam kasus tersebut menyebabkan pembatalan dalil, dengan arti menangguhkan pengamalannya. Argumentasi pendapat ketiga ini disanggah dengan anuteris berikut balm kebersamaan sifat dengan hukum menunjukkan ke ‘illatan tersebut dalam semua kasusnya (termasuk dalam kasus adanya takhalluf), sebagaimana dalil dalam ‘‘illat manshkshalf.

 

  1. Pendapat kelima, takhalluf adalah perusak, kecuali jka ketertunggalan hukum disebabkan karena adanya mani’ atau ketiadaan syarat, maka dalam hal ini takhalluf tidak rnerusak secara mutlak, baik “‘illat berupa wansbeishah ataupun mustanbathah. Pendapat ini dipedomani mayorts fuqaha’ Syafi’iyyah.

 

Contoh ketika terdapat mani’ : Wajib ditegakkan hukuman qishash dalam pembunuhan, karena merupakan pembunuhan dengan kesengajaan dan tanpa alasan pembenar. Akan tetapi, dalam pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya, dan oleh majikan terhadap budaknya, tidak diberlakukan hukuman gishash, meskipun ‘‘illat telah wujud. Ini bukan karena sifat tersebut tidak layak sebagai ‘‘illat, akan tetapi karena adanya mani” yang berupa faktor hubungan orang tua dan majikan.

 

Ashl : Pembunuhan

Far’u : Pembunuhan oleh orang tua terhadap anaknya, atas pembunuhan oleh majikan terhadap budaknya

Hukum ashl : Diberlakukan gishash

‘‘illat : Merupakan bentuk pembunuhan dengan kesengajaan dan tanpa alasan pembenar

Hukum faru : “Tidak diberlakukan gishash

 

Contoh ketika syarat tidak terpenuhi: Wajib ditegakkan hukuman rajam karena perbuatan zina. Akan tetapi, dalam zina yang dilakukan oleh seorang lajang, tidak diberlakukan hukuman rajam, meskipun ilat berupa perbuatan zina telah wujud. Ini bukan karena sifat tersebut tidak layak sebagai ‘ill, akan tetapi karena syarat penegakan hukuman rajam belum terpenuhi, yakni sifat mubsham (terpelihara dengan pernah menikah)

 

Ash : Zina

Far’u : Zina oleh seorang lajang

Hukum ashl : Diberlakukan rajam

‘‘illat : Merupakan bentuk perbuaran zina

Hukum far’u: Tidak diberlakukan rajam

 

Selanjutnya, perbedaan pendapat tentang pengaruh takhalluf, sebagai qawadih atau bukan, menurut pendapat pertama merupakan perbedaan maknawi (berkisar pada substansi makna). Namun menurut Ibnul Hajib dan ulama lain, sekadar retorika lafadh (perbedaan lafdhi).

 

Perbedaan ini terbangun dari perbedaan penafsiran makna ‘‘illat, Jika ‘‘illat dimaknai sebagai muatstsir (pemberi efek munculnya hukum), yakni sesuatu yang wujudnya meniseayakan wujud hukum, maka takhalluf adalah perusak, karena dengan adanya ketiadaan hukum di saat ‘‘illat wujud, berarti tidak ada ta’tsir (efek) dalam ‘‘illat tersebut. Atau jika ‘‘illat dimaknai sebagai ba’its (pembangkit munculnya hukum) atau mu’arif anda keberadaan hukum), maka takhalluf bukan perusak, karena ba’its atau ma’arrif senantiasa ada, sedangkan ketiadaan hukum disebabkan karena adanya mani”.

 

Di antara cabangan perbedaan maknaui adalah kekalahan mustadill (pemapar dalil), batalnya munasabah sebab mafsadah, dan selain keduanya.

 

DAMPAK KHILAF MAKNAWI

 

Kemudian, dari status Ahilafiyah yang bersifat maknawi, memunculkan beberapa cabangan permasalahan. Di antaranya:

 

1.Kekalahan musradill (pemapar dalil).

 

Mustadill dinyatakan kalah jika takhalluf sebagai senjata sanggahan mu’taridl dianggap sebagai salah satu qawadih. Dan sebaliknya, mustadill belum dinyatakan kalah jika takhalluf dianggap bukan sebagai gawadih. Setelah disodori kasus takhalluf, mustadill boleh berkilah dengan mengatakan, “Yang kukehendaki adalah sisi ke-’illat-an di selain kasus di mana terjadi takhalluf.

 

  1. Batalnya munasabah dengan adanya mafsadah.

 

Dalam sebuah kasus, dijumpai sifat yang munasib (selaras) terhadap pemberlakuan sebuah hukum, sehingga sifat tersebut diplot sebagai Wat dari hukum. Jika dalam peruntutan sifat munasib terhadap kemunculan hukum berkonsekwensi terhadap adanya mafradah, maka bagaimanakah status sifat tersebut, masihkah memiliki unsur munasabah ataukah tidak? Jawaban dari hal ini bergantung pada apakah takhalluful hukmi ‘anil ‘‘illat dapat merusak dalil ke ‘‘illatan ataukah tidak. Jika takhalluf adalah perusak, maka munasabah yang ada pada sifat terbatalkan dengan adanya mafsadah, sehingga sifat tersebut tidak layak menjadi penctap (mugtadli) peruntutan hukum. Jika takhalluf bukan perusak, maka mundsabah tidak terbatalkan, sedangkan ketiadaan hukum disebabkan karena adanya mani’, sebab mugtadir tidak dapat efektif bekerja dengan adanya mani.

 

Contoh : Seorang musafir yang menempuh perjalanan jauh (3 marhalah atau lebih) sunnah untuk meng-gashar shalat.

– Sifat munasib -> perjalanan jauh.

– Hukum yang diruntutkan dari sifat munasib -> kesunnahan gashar. -> Sifat munasib (dalam hal ini perjalanan jauh) diplot sebagai ‘‘illat dari hukum kesunnahan gashar.

 

Paparan semacam di atas diuji dengan sebuah antitesis, yakni bahwa seorang musafir yang memilih menempuh perjalanan melalui jalur yang lebih jauh dengan tujuan semata-mata agar bisa melakukan gashar shalat, dalam hal ini musafir tidak boleh melakukan gashar.

 

– Maftadah -> tujuan semata-mata agar bisa meng-gashar. -> Dalam hal ini, ‘‘illat telah terwujud dalam kasus (yakni perjalanan jauh). Sedangkan hukum tidak terwujud (yakni, tidak ada hukum sunnah menggashar shalat).

 

Dalam kasus takhalluf semacam ini, apakah dalam sifat tersebut masih terdapat munasabah terhadap hukum, ataukah tidak, mengingat dalam efektivitas munasib terhadap hukum, ada mufsadah menghadang. Ini bergantung pada: apakah takhalluf merusak dalil ke-‘‘illat-an ataukah tidak. Jika takhalluf merusak, maka munisabah terbatalkan. Jika takhalluf tidak merusak, maka mundsabah tidak terbatalkan, hanya saja ketiadaan hukum disebabkan karena adanya mani”

 

Selain dua permasalahan cabangan di atas, masih ada permasalahan cabangan yang lain. Di antaranya, takhshishul “‘illat. Jika takhalluf merusak, maka takhshishul ‘illat tidak diperbolehkan. Sebaliknya, jika takhalluf tidak merusak, takhshishul “‘illat boleh terjadi.

 

Tanggapan atas fakhalluf adalah menolak adanya ‘‘illat ketiadaan hukum jika ketiadaan hukum bukan merupakan madzhab mustadil (pemapar dalil). Atau menjelaskan adanya penghalang, atau tidak  terpenuhinya syarat.

 

TANGGAPAN ATAS TAKHALLUF AL-HUKMI ‘AN AL-’ILLAT

 

Berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa takhalluf adalah perusak dalil (qawadih), tatkala paparan dalil mustadill tentang ‘‘illat dari sebuah hukum disanggah oleh mww’aridd dengan pola ‘takhalluf, maka mustadill memiliki hak jawab dengan tiga tekhnik tanggapan:

 

  1. Menolak adanya ‘‘illat

 

Dalam penolakan ini, mustadil menolak adanya ‘‘illat dalam kasus yang dikritisi (shiratun-nagdl), bukan karena keingkaran atau kesombongan, akan tetapi dengan menjelaskan dalam ‘‘illat tentang batasan yang diperhitungkan dalam kemunculan hukum, yang wujud dalam obyek peng-‘‘illat-an (mahall at-ta’lil), tetapi tidak wujud dalam kasus yang menjadi obyek kritik (shuratun-naqdlii).

 

Di bawah ini contoh berikut illustrasinya:

 

Mustadil : Nabbasy (penggali kubur pencuri kain kafan) adalah pengambil harta se-nishabh dari tempat penyimpanan standarnya tanpa alasan yang dibenarkan, karena itu disebut pencuri, yang harus dipotong tangannya.

 

Mu’taridll : Bagaimana dengan pencuri kafan dari kuburan di hutan, yang ternyata tidak dipotong tangan?

 

Mustadill : Kasus itu bukan dari penyimpanan standarnya.

 

Hukum : Wajib dipotong tangan

‘‘illat : mengambil harta se-mishab dari tempat penyimpanan standarnya tanpa alasan yang dibenarkan

Mahall at-ta lil : Nabbasy (penggali kubur pencuri kain kafan), harus dipotong tangan (karena ‘‘illat telah wujud).

 

Shiratun nagdli : Pencuri kafan dari kuburan di hutan, tidak dipotong tangan. (karena tidak wujud ‘‘illat, hutan bukan penyimpanan standar kafan) 

 

  1. Menolak ketiadaan hukum.

 

Bentuk lain dari tanggapan mustadill atas sanggahan mu’taridl yang berupa takhallufu hukmi ‘anil ‘‘illat, adalah menolak ketiadaan hukum sebagaimana diklaim mu’taridl Keabsahan tanggapan dengan pola ini dengan catatan jika ketiadaan hukum tersebut bukan merupakan madzhab mustadill. Jika ketiadaan hukum merupakan madzhab mustadil maka dia tidak boleh menggunakan tanggapan dengan pola ini, baik kenadaan hukum ini juga merupakan madzhab mu’taridl ataupun bukan.

 

Contoh’

Mustadill : Kurma adalah komoditas ribawi, karena merupakan bahan yang ditimbang.

 

Mu’taridl : Bagaimana dengan apel yang juga ditimbang, tetapi bukan termasuk ribawi?

 

Mustadill : “Tidak demikian. Akan tetapi apel adalah komoditas ribawi,

 

  1. Menjelaskan bentuk mini atau ketiadaan syarat

 

Adalah menjelaskan bentuk mani’ atau ketiadaan syarat. Ini berpijak pada pendapat bahwa takhalluf efektif sebagai perusak jika bukan karena adanya mani” atau ketiadaan syarat.

 

Contoh ketika terdapat mini’

 

Mustadill : Pembunuhan dengan benda berat mengharuskan vonis gishish, sebagaimana pembunuhan dengan benda tajam, karena merupakan pembunuhan yang disengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan.

 

Mu’taridl : Bagaimana dengan pembunuhan yang dilakukan ayah terhadap anaknya, ternyata tidak berkonsekwensi gishash?

 

Mustadil : “Tidak adanya hukum gishish padahal ‘‘illat telah wujud, adalah semata karena adanya mani’ dalam permasalahan ini, yakni adanya hubungan orangtua-anak, yakni jika orangtua menjadi penyebab keberadaan anak terlahir ke dunia ini, maka anak tidak boleh menjadi penyebab ketiadaan orangtua.

 

Hukum : Wajib gishash

‘illat : Pembunuhan yang disengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan

Mahall at’ta’lil : Pembunuhan dengan benda berat mewajibkan adanya gishash atas pembunuhnya, sebagaimana pembunuhan dengan benda tajam, karena merupakan pembunuhan yang disengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan. |

 

Shsiratun nagdli : Pembunuhan yang dilakukan orangtua kepada anaknya, tidak  mewajibkan gishash, karena meskipun ‘‘illat telah wujud, akan tetapi ada mini’ yang menghalangi berlakunya hukum, yakni adanya hubungan orangtua-anak dalam pembunuh-terbun .

 

Contoh ketika tidak terpenuhi syarat”:

 

Mustadil : Wajib mengeluarkan zakat atas pemilik harta zakawi, karena adanya kepemilikan atas kadar nishab.

 

Mu’taridl : Bagaimana dengan seseorang baru saja memiliki harta yang mencapai kadar nisbah, tetapi ternyata tidak wajib mengeluarkan zakatnya?

 

Mustadill : Tidak adanya kewajiban mengeluarkan zakat padahal ‘‘illat telah wujud, adalah karena tidak terpenuhinya syarat, yakni belum mencapai haul (setahun).

 

Hukum : Wajib mengeluarkan zakat

‘illat : Kepemilikan atas kadar zishab

Mahal at-ta’lil : Wajib mengeluarkan zakat atas pemilik harta zakani, karena adanya kepemilikan atas kadar nishab.

Shuratun naqdli : Seseorang yang baru saja memiliki harta yang mencapai kadar nishab, tidak wajib mengeluarkan zakatnya, karena belum terpenuhi syaratnya, yakni belum mencapai haw! (satu tahun).

 

Mu’aridl (pengkritik dalil) tidak berhak memaparkan dalil atas wujud ‘‘illat, menurut kebanyakan ulama’, karena dianggap berpindah jalur (dari i’tiradl menuju istidlal) .

 

Jika mustadill menunjukkan atas wujud ‘‘illat dengan dalil yang juga terdapat pada kasus obyek takhalluf, lalu dia menolak keberadaan ‘‘illat, kemudian mu’taridl berkata, “dalilmu terbatalkan”, maka perkataan mu’taridl tidak perlu didengar, karena dia telah berpindah jalur dari kritik atas ‘‘illat menuju kritik atas dalil keberadaan ‘‘illat.

 

Mu’taridl tidak berhak memaparkan dalil atas ketertinggalan hukum, menurut pendapat Ashah.

 

ATURAN BERARGUMENTASI TERKAIT TAKHALLUF

 

Dalam takhalluf, ada sejumlah aturan berargumentasi, di antaranya berkaitan dengan mu’taridl, dan di antaranya berkaitan dengan mustadill, Di bawah ini akan dijelaskan tata aturan berkaitan dengan mu’taridl, berikut kontroversi pendapat para ulama,

 

Bolehkah mu’taridl mengejutkan argumentasi (istidlal) atau keberadaan ‘‘illat?

 

Tatkala mustadil memaparkan ‘‘illat dari sebuah hukum, dan mu’taridl menyangkalnya dengan gawadih berpola takhalluful hukmi ‘amil ‘illat dengan menyodorkan kasus lain yang di dalamnya tidak terdapat hukum padahal — menurut mu’taridl — “‘illat telah wujud, lalu mustadill menanggapi sangkalan tersebut dengan menolak keberadaan ‘‘illat, kemudian mu’taridl bersikukuh dengan klaim keberadaan ‘‘illat dalam kasus tersebut, maka bolehkah dia memaparkan argumentasi atas sikapnya bahwa ‘‘illat tersebut benar-benar ada? Dalam masalah ini ada sejumlah versi pendapat.

 

  1. Pendapat pertama, mu’aridl tidak berhak melakukan istidlal atas keberadaan ‘‘illat, Karena dengan begitu dia berpindah jalur pembahasan sebelum pembahasan pokok tuntas, sehingga akan menyebabkan melebarnya pembahasan. Pendapat pertama ini diungkapkan oleh mayoritas ulama’ pakar analisa.

 

  1. Pendapat kedua, mu’taridl berhak melakukan istidlal atas keberadaan ‘‘illat, karena hal ini merupakan pelengkap dari pembatalan ‘‘illat yang dipaparkan mustadill.

 

  1. Pendapat ketiga, mu’taridl berhak melakukan istidilal atas keberadaan ‘‘illat hanya jika tidak ada cara selain takhalluf yang lebih efektif dalam membatalkan ‘‘illat. Tetapi jika masih ada cara lain, maka istidlal atas keberadaan ‘‘illat tidak boleh dilakukan mu’taridl.

 

  1. Pendapat keempat, mu’taridl berhak melakukan istidlal atas keberadaan ‘‘illat jika ilat tersebut tidak berbentuk hukum syar’i,

 

Contoh:

Mustadill : Gandum burr adalah komoditas ribawi, karena merupakan bahan yang ditakar. ( mahall at-ta’lil)

 

Mu’taridl : Kapur gamping juga ditakar, tetapi bukan merupakan barang ribawi. ( mahal an-nagdli)

 

Mustadill : Aku tidak setuju bahwa kapur gamping adalah bahan yang ditakar. Kapur gamping itu ditimbang.

 

Dalam kondisi ini, meskipun mustadill bersikukuh dengan ketiadaan ilat dalam mahall an-nagdli, atau mustadill tidak berusaha menafikan ‘‘illat, mu’taridl tidak perlu repot-repot membuktikan keberadaan ‘‘illat dalam mahall an-nagdii. Karena ada cara lain yang lebih efektif dalam membatalkan ‘‘illat yang dipaparkan mustadil daripada pembatalan dengan pola takhalluf. Yakni dengan memaparkan nash hadist yang menjelaskan bahwa ‘‘illat riba adalah makanan.

 

Bolehkah mu’taridIl melakukan kritik atas dalil keberadaan ‘‘illat

 

Berpijak pada pendapat yang melarang mu’taridl untuk ber-istidlal atas keberadaan ‘‘illat, jika mustadill sendiri yang memaparkan dalil atas keberadaan ‘‘illat dalam kasus yang menjadi obyek ta’lil (mahall at-ta’lil) , dan dalil tersebut ternyata menunjukkan atas keberadaan ‘‘illat dalam kasus yang menjadi obyek kritik (mahall an-naqdli), akan tetapi mustadill memungkiri keberadaan ‘‘illat dalam obyek kritik tersebut, maka jika mu’taridl berkata: “Dalilmu terbatalkan”, apakah perkataan ini perlu didengar? Ada dua pendapat tentang hal ini.

 

  1. Pendapat pertama, perkataan mu’aridl tersebut tidak perlu didengar. Karena dengan demikian, dia telah berpindah jalur pembahasan dari kritik atas ‘‘illat menuju kritik atas dalil keberadaan ‘‘illat.

 

  1. Pendapat kedua, perkataan mu’taridl tersebut perlu didengar. Karena kritik atas dalil berarti juga kritik atas madlul (obyek penunjukan dalil. Artinya, kritik atas dalil keberadaan ‘‘illat berarti juga kritik atas ‘‘illat. Sehingga berpindahnya jalur pembahasan dalam hal ini bukan merupakan hal terlarang.

 

Contoh 01:

 

Mustadill : Gandum burr adalah bahan makanan, dengan bukti bahwa gandum burr diputar-putar dalam mulut dan dikunyah. Sehingga, gandum burr adalah komoditas ribawi.

 

Mutaridl : ‘‘illat yang kau kemukakan yakni berupa makanan, terbatalkan dengan apel. Apel adalah bahan makanan, akan tetapi apel bukan merupakan komoditas ribawi.

 

Mustadill : Aku tak setuju bahwa apel adalah bahan makanan.

 

Mutaridl : Dalil yang kau kemukakan tentang kriteria sesuatu itu disebut makanan, telah terwujud dalam apel. Terbukti, apel juga diputar-putar dalam mulut dan dikunyah, sehingga jelaslah apel itu makanan. Jika kau mengingkarinya, berarti dalilmu tentang kriteria sesuatu itu disebut makanan, terbatalkan

 

Contoh 02 :

 

Hanafiyah Mustadill : Puasa Ramadan sah dengan niat yang dilakukan sebelum tergelincir matahari, seperti halnya puasa sunnah. Dengan ‘‘illat bahwa keduanya sama-sama ibadah yang berupa “puasa”, Dalil bahwa ‘‘illat berupa “puasa” telah terwujud dalam puasa Ramadan yang diniati sebelum tergelincir matahari, adalah bahwa puasa tersebut merupakan “menahan diri (dari yang membatalkan puasa) yang diniati”

 

Syafi’iyyah Mu’taridl : ‘‘illat yang kau kemukakan yakni “puasa”, terbatalkan dengan puasa Ramadan yang diniati setelah tergelincir matahari. Ini juga “puasa”, tetapi tidak sah dengan ruat setelah tergelincir matahari.

 

Hanafiyah Mustadil : Aku tak setuju bahwa puasa Ramadan yang diniati setelah tergelincir matahari, masih disebut “puasa”

 

Syafiiyyah Mu tarid : Dalil yang kau kemukakan tentang kriteria sesuatu itu disebut “puasa”, telah terwujud dalam puasa Ramadan yang diniati setelah tergelincir matahari. Terbukti, di dalamnya ada bentuk “menahan diri yang diniati”. Sehingga jelaslah hal itu juga puasa. Jika kau mengingkarinya, berarti dalilmu tentang kriteria sesuatu itu disebut “puasa”, terbatalkan

 

Ashl : Puasa sunnah

Far’u : Puasa Ramadan

Hukum : Sah dengan niat sebelum tergelincir matahari

‘‘illat : Berupa “puasa”

Dalil ilat : Sesuatu disebut “puasa” jika terdapat “menahan diri dari yang membatalkan puasa, disertai dengan niat”, -> imsak + niat

 

Mahal at-ta’lil: Puasa Ramadan yang diniati sebelum tergelincir matahari

-> Sah, sama seperti puasa sunnah. Karena keduanya sama-sama berupa “puasa”.

 

Shuratun nagdli: Puasa Ramadan yang diniati setelah tergelincir matahari tidak sah. Padahal ‘‘illat telah terwujud (bisa disebut “puasa”, terbukti bahwa puasa yang diniati setelah tergelincir matahari = imsak + niat)

 

Namun jika mu’taridl mengulang-ulang di antara dua hal, dan dia berkata: “Konsekwensi bagimu adalah terbatalkannya ‘‘illat, atau terbatalkannya dalil yang menunjukkan adanya ‘‘illat dalam far’u, maka ‘‘illat-mu tidak tetap”, maka ulama sepakat bahwa sanggahan ini harus didengarkan. Karena mu’taridl tidak berpindah jalur pembahasan

 

Bolehkah mu’taridl ber-istidlal atas takhalluf

 

Tatkala mustadill memaparkan ‘‘illat dari sebuah hukum, dan mu’tarid menyangkalnya dengan gawadih berpola takhalluful hukmi ‘anil ‘illat lalu apakah mu’taridl boleh mengajukan dalil untuk membuktikan sikapnya?, meskipun setelah mustadill menanggapi sangkalan tersebut dengan menolak ketiadaan hokum. Ada tiga pendapat tentang hal ini.

 

  1. Pendapat ashah, bahwa mu’aridl tidak boleh ber-istidal atas ketertinggalan hukum. Karena hal ini akan menvebabkan berpindah jalur dari i’tiradl menjadi istidlal, yang akan menyebabkan bertele-tele nya pembahasan, serta menyebabkan berubahnya posisi mu’taridl menjadi mustadill, demikian pula mustadill akan bertukar menjadi mu’taridl.

 

  1. Pendapat kedua, mu’taridl boleh melakukan istidlal atas ketertinggalan hukum, agar tuntas tujuannya dalam membatalkan ‘‘illat paparan mustadill,

 

  1. Pendapat ketiga, mu’taridl boleh melakukan istidlal atas ketertinggalan hukum hanya jika merupakan istidlal merupakan satu-satunya cara dalam membatalkan ‘‘illat Jika masih ada cara lain yang lebih utama, semisal dengan memaparkan nash hadis tentang ‘illat riba yang berupa “makanan”, maka istidlal tidak boleh dilakukan.

 

Contoh :

Mustadill : Riba dalam ganduro burr hukumnya haram, karena adanya ‘illat yang berupa “bahan yang ditakar”.

 

Mu’taridl : Bagaimana dengan dedak, ini merupakan bahan yang ditakar, ternyata bukan komoditas ribawi?

 

Mustadill : Aku tak setuju bahwa dedak bukan komoditas ribawi. Dedak itu termasuk komoditas ribawi.

 

Dalam kondisi ini, meskipun mustadill bersikukuh dengan keberadaan hukum dalam mahall an-nagdli, atau mustadill tidak berusaha menegaskan keberadaan hukum, mu’taridl tidak perlu repot-repot membuktikan ketiadaan hukum dalam mahall an-nagdli. Karena ada cara lain yang lebih efektif dalam membatalkan ‘‘illat yang dipaparkan mustadill daripada pembatalan dengan pola takhalluf. Yakni dengan memaparkan nash hadis yang menjelaskan bahwa ‘‘illat riba adalah makanan, yang akan membatalkan ‘‘illat paparan mustadil. Berikut  ini nash hadis dimaksud:

 

“Makanan diperjualbelikan dengan barter makanan, terdapat unsur riba”.

 

wajib membuat pengecualian dari takhalluf, atas Munadhir (mugalid) secara mutlak, dan atas mddbir (mujtahid), selain dalam persoalan yang telah populer dari beberapa perkara yang dikecualikan,

 

ANTISIPASI DARI SANGGAHAN TAKHALLUF

 

Berpijak pada pendapat bahwa takhalluful hukmi ‘anil ‘‘illat atau magdim adalah salah satu gawidih atau perusak dalil, maka agar terhindar dari sanggahan mu’taridldengan pola takhalluf, mustadill dapat mengantisipasinya semenjak dini, dengan menjelaskan pengecualian dari paparan ta’lil-nya.

 

Contoh mustadif berkata: “Hukum kewajiban gisbash dalam pembunuhan, “‘illat-nya adalah karena hal tersebut merupakah : pembunuhan disengaja, tanpa alasan yang dibenarkan, yang terjadi pada selain ayah yang membunuh anaknya”

 

Ungkapan mustadill “yang terjadi pada selain ayah yang membunuh anaknya” adalah bentuk pengecualian yang menjadi antisipasi dari sanggahan berupa nagdlu. Andaikan mustadil tidak mengatakannya, pastilah mu’tarid akan mengajukan sanggahan dengan menyodorkan kasus pembunuhan ayah terhadap anaknya, yang telah dijumpai “‘illat akan tetapi tidak muncul hukum kewajiban gishash.

 

Mengenai apakah antisipasi mustadil dengan menyebutkan kasus pengecualian ini, menjadi sebuah kewajiban, ataukah bukan? Ada empat pendapat tentang hal ini.

 

  1. Pendapat pertama, bahwa dalam hal ini ada pemilahan:

* Bagi munadhir, pelaku diskusi, yakni mugallid pembela madzhab imamnya, wajib melakukan antisipasi dengan menyampaikan kasus pengecualian secara mutlak, baik kasus pengecualian yang telah populer (seperti kasus jual beli ar4y4), atau kasus yang tidak populer.

* Bagi nadhir, pemikir, yakni mujtahid yang bernalar untuk argumentasi bagi dirinya sendiri, wajib melakukan antisipasi dengan menyampaikan kasus pengecualian, kecuali dalam permasalahan yang telah populer. Sehingga, dalam permasalahan yang ada kaitannya dengan jual beli araya, seorang mujtahid tidak wajib menyebutkan kasus araya sebagai pengecualian dari paparan ta’lil-nya. Karena kasus pengecualian yang telah populer seakan telah disebutkan, karena kemasyhurannya.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa wajib melakukan antisipasi dengan menyebutkan kasus pengecualian secara mutlak, baik kasus pengecualian yang telah populer ataupun yang tidak. Sehingga, menurut pendapat kedua ini, mujtahid tetap wajib menyebutkan kasus pengecualian, karena sesuatu yang tak disebutkan tidaklah sama dengan sesuatu yang disebutkan.

 

  1. Pendapat ketiga, bahwa wajib melakukan antisipasi, kecuali dalam kasus-kasus pengecualian (mmustatsnayat)  secara mutlak, baik kasus pengecualian yang telah populer ataupun tidak. Karena sudah dimaklumi bahwa hal tersebut tidak dikehendaki.

 

  1. Pendapat keempat, tidak wajib melakukan tindakan antisipasi dengan menyebutkan pengecualian, secara mutlak. Karena kewajiban mustadill adalah memaparkan dalil ‘‘illat dari sebuah hukum, dan dia telah menunaikannya. Adapun nagdlu atau takhalluf, adalah sebagian di antara mu’aradlah (sanggahan). Sedangkan mu’aradlah bukanlah dalil. Pendapat ini adalah pendapat terpilih dari Ibnu al-Hajib. Dan diriwayatkan oleh Al-Hindi dari mayoritas ulama’

 

Penetapan terhadap kasus (tertentu atau tersamarkan) atau penafian terhadapnya, terbatalkan dengan penafian atau penetapan  yang keduanya umum, atau dengan sebaliknya.

 

PEMBUATAN INGKARAN NEGASI NAQIDL

 

Permasalahan ini dibahas karena berkaitan dengan alur diskusi dalam pembahasan qiyas. Dalam hal ini disebutkan beberapa ketentuan sebagai berikut:

 

  1. Bahwa klaim penetapan (itsbat, pernyataan positif) terhadap kasus tertentu (shurah mu’ayyanah), dinegasikan dengan penafian (pernyataan negatif) yang umum

 

  1. Bahwa klaim penetapan terhadap kasus tersamar (shurah mubhamah), dinegasikan dengan penafian yang umum

 

  1. Bahwa klaim penafian terhadap shurah mu’ayyanah, dinegasikan dengan penetapan yang umum

 

  1. Bahwa klaim penafian terhadap kasus shurah mubhamah, dinegasikan dengan penetapan yang umum

 

  1. Begitu pula kebalikannya (lihat contoh pada tabel no. 5, 6, 7 dan 8)

 

Ketentuan di atas tidak keluar dari tata aturan perumusan tanaqudl (negasi) dalam ilmu logika atau manthig”,

 

Dalam Tharigatul Hushul dipaparkan beberapa contoh penerapan saudi terkait diskusi tentang qiyas.

 

  1. Nomor (3), yakni bahwa klaim penafian terhadap shrah mu’ayyanah dinegasikan dengan penetapan yang umum, contohnya adalah diskusi berikut:

Masadill : Nabidz itu tidak najis, diqiyaskan pada anggur

Mu’taridl : Semua nabidz itu memabukkan (muskir), dan semua yang memabukkan itu najis. Sehingga nabidz itu najis.

 

  1. Nomor (4), yakni bahwa klaim penafian terhadap shiirah mubhamah dinegasikan dengan penetapan yang umum, contohnya adalah diskusi berikut:

Mustadill : Sungai si A dengan sungai si B terjadi isytibah (yakni ada kemiripan hingga sulit membedakan yang mana yang merupakan hak masing-masing), maka tidak halal meminum dari salah satu dari kedua sungai tersebut. Sebagaimana wadah si A dan wadah si B yang terjadi isytibih, dengan titik temu antara keduanya, yakni samasama merupakan kasus isytibah.

 

Mu’taridl : Pendapat shahih menyatakan bahwa halal hukumnya meminum dari semua sungai orang lain yang mengalir.

 

Diantara qawadih (bentuk bentuk perusak dalil) menurut pendapat ashahh adalah “al-kasru”, Al-Kasru adalah pengabaian sebagian ‘‘illat disertai dengan menggantinya atau tidak, dan melakukan nagdhu (pembatalan) pada sebagian yang lain. Seperti dikatakan tentang shalat khauf adalah shalat yang wajib di-gadla’, sehingga wajib dilakukan secara ada’, sebagaimana shalat dalam keadaan aman Lalu perkataan ini disanggah, dan hendaklah diganti dengan “ibadah”. Kemudian dibatalkan (nagdlu) dengan puasa wanita haid. Atau tidak diganti, sehingga tak tersisa kecuali perkataan “yang wajib menggadla-nya”. Kemudian dibatalkan dengan hal yang telah lewat.

 

AL-KASRU

 

Qawadih kedua, al-kasru, dan sebelum memahami definisinya, kita simak contoh berikut ini:

 

Mustadill : Shalat khauf adalah shalat yang wajib di-gadla’, sehingga wajib dilakukan secara ada”, sebagaimana shalat dalam keadaan aman.

 

Mu’taridl : Ungkapan “shalat” dalam let yang kau ajukan tidak berpengaruh dalam hukum. Karena tidak hanya shalat saja yang ketika wajib di-gadla’ maka wajib dilakukan secara ada’. Contohnya haji, wajib di-gadla” sehingga wajib pula dilakukan secara ada’ Karena itu, ungkapan “shalat? hendaklah digugurkan, agar bisa mencakup terhadap haji, Karena itu, ungkapan “shalat? hendaklah digugurkan, agar bisa mencakup terhadap haji,

-> bentuk ilgha (pengabaian) terhadap sebagian sifat dari 1llat murakkabah (‘‘illat kompleks).

 

Mustadill : Baiklah, shalat kbanf wajib dilakukan secara ‘ada’ sebagaimana shalat dalam kondisi aman. ‘‘illat-nya adalah bahwa keduanya sama-sama wajib di-gadla’

 

Mu’taridl : Jika demikian, ‘‘illat yang kau ajukan barusan, tidak efektif berlaku dalam kasus puasa bagi wanita haid. Puasa bagi wanita haid wajib di-gadla. Akan tetap! Puasa bagi wanita haid tidak wajib dilakukan secar” ada ‘‘illat telah wujud, akan tetapi ternyata hukum tidak muncul.

-> bentuk nagdlu l takhalluful bukmi ‘anil “ilat.

 

* Perincian komponen qiyas dalam paparan mustadill pada awal mula :

Ashl : Shalat dalam keadaan aman

Far’u : Shalat khauf (shalat dalam keadaan takut l bahaya)

Hukum ushl : Wajib dilakukan secara ada”.

‘‘illat : Merupakan shalat yang wajib di-gadla’

 

* Kemudian mu’taridl mengkritisi ‘‘illat, bahwa batasan “shalat” bukan patokan, karena tidak berpengaruh terhadap hukum. Dengan bukti haji, yang wajib dilakukan secara ada”, karena juga wajib di-gadla, Kemudian mu’taridl menawarkan untuk menggugurkan ungkapan “shalat”.

 

* Perinciain komponen qiyas dalam paparan mustadill setelah mu’taridl melakukan ilgha” terhadap ungkapan “shalat” :

Ashl : Shalat dalam keadaan aman

Far’u : Shalat khauf (shalat dalam keadaan takut l bahaya)

Hukum ashl : Wajib dilakukan secara ada”.

‘illat : Sesuatu yang wajib di-gadla’

 

* Lalu muw’taridl melanjutkan sanggahan susulan berbentuk nagdlu (takhalluful hukmi ‘anil ‘‘illat). Bahwa tidak semua yang wajib di-gadla’ itu wajib dilakukan secara ‘ada’, seperti puasa bagi wanita haid. Bagi wanita haid, puasa wajib di-gadla’, tetapi tidak wajib dilakukan secara ada.

 

Sanggahan dalam narasi diskusi di atas adalah bentuk al-kasru. Pengarang mendefinisikan al-kasru sebagai berikut:

 

“Mengabaikan sebagian ‘illat (murakkabah), disertai dengan menggantinya atau tidak, dan melakukan nagdhu (pembatalan) pada sebagian yang lain”.

 

Pengabaian (ilgha) adalah menjelaskan bahwa sifat tersebut diabaikan, dan tidak ada pengaruhnya dalam peng-’illat-an.

 

Sedangkan Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Imam Al-Baydlawi menjelaskan penganan al-kasru sebagai berikut”

 

“Tidak adanya pengaruh salah satu dari dua bagian ‘‘illat, dan melakukan nagdlu pada yang lain”

 

Terdapat dua bentuk al-kasru, pertama: yakni pengguqur’an salah satu sifat komponen ‘‘illat dengan penggantian sifat yang lebih umum. Kedua, pengguqur’an salah satu sifat komponen ‘‘illat tanpa penggantian.

 

Contoh pengguqur’an dengan penggantian adalah sebagaimang narasi diskusi di bawah ini:

 

Mustadill : Shalat khauf adalah shalat yang wajib di-gadla’, sehingga wajib dilakukan secara ada’, sebagaimana shalat dalam keadaan aman.

 

Mu’taridl : Ungkapan “shalat” dalam ‘‘illat yang kau ajukan tidak berpengaruh dalam hukum. Karena tidak hanya shalat saja yang ketika wajib di-gadla’ maka wajib dilakukan secara ada’ Contohnya haji, yang juga merupakan ibadah yang wajib digadia’ sehingga wajib pula dilakukan secara add”. Karena itu, ungkapan “shalat” hendaklah digugurkan dan diganti dengan sifat yang lebih umum, yakni “ibadah”, agar bisa mencakup terhadap haji.

-> bentuk ilghd’ (pengabaian) terhadap sebagian sifat dari ‘‘illat murakkabah (‘‘illat kompleks), dan menggantinya dengan sifat yang lebih umum.

 

Mustadil : Baiklah, shalat khauf wajib dilakukan secara ‘ada, sebagaimana shalat dalam kondisi aman. ‘‘illat-nya adalah bahwa keduanya sama-sama ibadah yang wajib di-gadla’.

 

Mu’taridl : Jika demikian, ‘‘illat yang kau ajukan barusan, tidak efektif berlaku dalam kasus puasa bagi wanita haid. Puasa bagi wanita haid adalah ibadah yang wajib di-gadla’. Akan tetapi puasa bagi wanita haid tidak wajib dilakukan secara ada. ‘‘illat telah wujud, akan tetapi ternyata hukum tidak muncul.

-> bentuk nagdlu l takhalluful bukmi ‘anil “‘illat.

 

* Perincian komponen qiyas dalam paparan mustadill pada awal mula :

Ashl : Shalat dalam keadaan aman

Far’u : Shalat khauf (shalat dalam keadaan takut l bahaya) Hukum ashl : Wajib dilakukan secara ada’

‘‘illat : Merupakan shalat yang wajib di-gadla

 

* Kemudian mu’taridl mengkritisi ‘‘illat, bahwa batasan “shalat” bukan patokan, karena tidak berpengaruh terhadap hukum. Dengan bukti haji. Wajib dilakukan secara ada’, karena juga wajib di-gadla. Kemudian mu’taridl menawarkan penggantian, ungkapan “shalat” diganti dengan sesuatu yang lebih umum, yakni “ibadah”.

 

* Perincian komponen qiyas dalam paparan mustadill setelah mu tarid melakukan ileha’ terhadap ungkapan “shalat” :

Ashl : Shalat dalam keadaan aman

Far’u : Shalat khauf (shalat dalam keadaan takut l bahaya)

Hukum asl : Wajib dilakukan secara ada”,

‘illat : Merupakan ibadah yang wajib di-gadla’

 

* Lalu mu’taridl melanjutkan sanggahan susulan berbentuk nagdiu (takhalluful hukmi ‘anil lai), bahwa terjadi ketertinggalan hukum dalam permasalahan puasa bagi wanita haid. Bagi wanita haid, puasa wajib diqadla’, tetapi tidak wajib dilakukan secara ada’.

 

Menurut pendapat ashah, al-kasru mempunyai efek perusak (al qadih), karena dalam proses al-kasru terdapat unsur nagdlu atau kritik dengan adanya takhalluful hukmi ‘anil “ilat (ketertinggalan hukum dari ‘‘illat)”. Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa al-kasru bukanlah perusak.

 

Penerapan kasus sebagaimana definisi a-kasru di atas, oleh Ibnul Hajib dan juga Al-Amudi disebut an-ragdlu al-maksiir. Sedangkan istilah a-kasru oleh keduanya didefinisikan dengan “adanya hikmah dari ‘‘illat, tanpa adanya ‘‘illat dan hukum”. Istilah al-kasru versi Ibnul Hajib dan AlAmudi ini juga disebut dengan istilah nagdlul ma’na, yakni nagdlu terhadap hikmah. Menurut pendapat rajih, bahwa nagdlul ma’na ini tidak memiliki efek perusak, karena tidak mengarah pada ‘‘illat. Pendapat lain mengatakan bahwa ragdlul ma’na berefek merusak, karena kritik atas maksud dari ‘‘illat, yakni hikmah”.

 

Di antara qawadih adalah ketiadaan ‘aks, menurut pendapat yang melarang ‘‘illat ganda. Al-‘aks adalah ketiadaan hukum, dengan arti ketiadaan pengetahuan atau dugaan, karena keadaan ikat, Jika tetap Pula muqabil (lawan) dari ‘aks, maka hal itu lebih kiat (dalam keterbalikan l ‘aksiyyah)

 

Dalil dari ‘aks adalah sabda Rasulullah SAW : “Bagaimana pendapat kalian, seandainya ia meletakkan syahwatnya pada yang haram, apakah ada dosa atasnya? Maka demikian pula jika ia meletakkan syahwatnya pada yang halal, maka ada pahala baginya”, sebagai jawaban dari (pertanyaan shahabat) “Apakah seseorang di antara kita yang menyalurkan Syahwatnya, baginya akan ada pahala dalam hal tersebut?”

 

ADAM AL-‘AKS TAKHALLUF AL-‘AKS

 

Qawadih ketiga, ‘adamul ‘aks. Sudah dipahami bersama bahwa salah satu syarat dari ‘‘illat adalah al-‘aks. Secara harfiah, al ‘aks bermakna kebalikan. Dalam kaitannya dengan persyaratan ‘‘illat, al-‘aks adalah ketadaan hukum karena ketiadaan ‘‘illat, Dalam peruntutan nalar, ‘‘illat menjadi penyebab munculnya hukum. Artinya, dengan adanya ‘illat, pastilah dijumpai hukum. Pola ini dikenal dengan sebutan “thardu” atau “Iththirad”. Dan inipun merupakan syarat dari ‘‘illat, yakni bahwa ‘‘illat haruslah “muththarid”. Jika pola thardu ini dibalik, maka akan muncul pola nalar sebagai berikut: “Jika hukum telah wujud, maka pastilah dijumpai ‘‘illat, Pola kebalikan ini disebut “al ‘aks”.

 

Karenanya, dalam pembahasan gawadih yang merupakan kritik atas ‘‘illat, tidak terpenuhinya syarat ‘‘illat berupa keharusan “muththarid” dan “mun’akis” menjadi sebagian dari sekian bentuk qawadih. Ketiadaan Ihthirad atau muththarid dikenal dengan takhalluful hukmi ‘anil Silat atau nagdiu. Sedangkan ketiadaan alsks atau mun’akis dikenal dengan ‘adamul ‘aks atau takhalluful ‘aks, sebagaimana pembahasan saat ini.

 

Pola nalar di atas sebenarnya tidak berbeda dengan definisi thardu dan ‘aks. Bahwa thardu adalah “tetapnya hukum disebabkan tetapnya ‘‘illat”. Maknanya adalah “setiap kali dijumpai ‘‘illat pasti dijumpai hukum”. Qadliyyah (pernyataan) ini memiliki naqdlu (bentuk ingkaran) sebagai berikut: “Tidak selalu, ketika dijumpai ‘ilat akan dijumpai hukum”. Artinya, dalam suatu tempo ditemukan kasus bahwa ‘ilat telah wujud, tetapi udak dijumpai hukum di sana. Ini adalah bentuk takhalluful hukmi nil ‘‘illat, atau nagdiu, sebagaimana paparan bentuk gawadih yang pertama.

 

Selanjutnya, ‘aks adalah “ketiadaan hukum disebabkan ketiadaan ‘‘illat Maknanya adalah “setiap kali ‘‘illat tiada, pasti hukum juga tiada.” (pernyataan) ini memiliki naqidl (bentuk ingkaran) sebagai berikut: “Tidak selalu, ketika ‘‘illat tiada, hukum juga tiada”, Artinya, dalam suatu tempo ditemukan kasus bahwa ‘‘illat tidak dijumpai, tetapi hukum dijumpai. Ini adalah bentuk takhalluful ‘aksi, atau ‘adamul ‘aksi, sebagaimana pembahasan kita kali ini.

 

Argumentasi berpola ‘aks ini berlandaskan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim:

 

Sebagian shahabat berkata pada Rasulullah SAW.: “Orang-orang kaya pergi membawa pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka”.

 

Rasulullah menjawab, “Tidakkah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya dalam setiap bacaan tasbih ada sedekah, dalam setiap bacaan takbir ada sedekah, dalam setiap bacaan tahmid ada sedekah, dalam setiap bacaan tahlil ada sedekah, amar ma’ruf dan nahi anil munkar juga sedekah, dan dalam kemaluan salah seorang dari kalian juga ada sedekah”.

 

Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita menyalurkan syahwatnya, dan paginya ada pahala?” Rasul menjawab:

 

“Bagaimana pendapat kalian, jika dia meletakkan syahwatnya dalam sesuatu yang haram, apakah dia menanggung dosa? Demikian pula, jika dia meletakkan syahwatnya dalam sesuatu yang halal, maka baginya ada pahala”. (HIR. Muslim)

 

Berpijak dari tetapnya hukum dosa karena hubungan badan yang haram, Rasulullah membuat kesimpulan ketiadaan hukum dosa dari hubungan badan yang halal. Ketiadaan hukum dosa juga sesuai dengan kasus “mendapatkan pahala”.

 

Pola penyimpulan sebagaimana di atas dikenal dengan sebutan qiyas ‘aks, sebagaimana akan dipaparkan pada pembahasan tentang istidlal Contoh dasi takhalluful ‘aks atau ‘udamul ‘aks ini adalah sebagaimana Ungkapan ulama’ Hanafiyyah dalam berargumen tentang ketiadaan adzan shubuh sebelum masuk waktunya, sebagai berikut?”

 

Hanafiyah Mustadill : Tidak ada adzan Shubuh sebelum masuk waktu. Karena Shubuh adalah shalat yang tidak bisa di-gashar. Sebagaimana shalat Maghrib, tidak dilakukan adzan sebelum masuk waktu Maghrib, karena Maghrib adalah shalat yang tidak bisa digashar.

 

Syafi’iyyah Mu’taridl : Argumentasi yang kau ajukan tidak tepat. Terbukti dalam sebagian kasus, hukum telah ditemukan, sementara ‘‘illat tidak dijumpai. Dalam shalat Dhuhur misalnya, hukum “tidak ada adzan sebelum masuk waktu” telah wujud. Akan tetapi ‘‘illat berupa “udak bisa di-gashar” tidak dijumpai. Artinya, adzan Dhuhur tetap tidak diperbolehkan dilakukan sebelum masuk waktunya, meski shalat Dhuhur bisa di-gashar.

 

Ashl : Maghrib

Far’u : Shubuh

Hukum : “Tidak ada kesunnahan adzan sebelum masuk waktu shalat

‘illat : Shalat yang tidak bisa di-gashar

 

Argumentasi mustadill terbantahkan dengan pola ‘adamul ‘aks yang diajukan mu’taridl, yakni bahwa hukum telah wujud, padahal ‘‘illat tidak dijumpai, dalam kasus shalat Dhuhur. Tidak ada adzan Dhuhur sebelum masuk waktunya, padahal Dhuhur adalah shalat yang bisa di-gashar.

 

Selanjutnya, damul ‘aks termasuk salah satu di antara perusak dalil (qawidih) menurut para ulama’ yang berpandangan tidak diperbolehkannya dua ‘‘illat untuk satu hukum. Karena jika hukum muncul hanya disebabkan satu ‘‘illat, maka jika ‘‘illat tidak dijumpai, pastilah hukum juga tidak wujud. Akan tetapi dalam ‘adamul ‘aks, ada hukum tanpa keberadaan ‘‘illat. Tentu saja hal ini menjadi perusak dalil.

 

Adapun menurut para ulama’ yang berpandangan bahwa boleh terjadi dua ‘‘illat atau lebih dalam sebuah hukum, kemunculan hukum disebabkan salah satu di antara beberapa ‘‘illat-nya. Jika salah satu Fat tidak dijumpai, masih ada kemungkinan hukum wujud, karena adanya ‘‘illat yang lain. Sehingga menurut kelompok ulama’ ini, ‘adamul ‘aks bukan merupakan salah satu di antara gawadih.

 

Kemudian, dari penjelasan di atas, maksud dari ketiadaan hukum adalah ketiadaan keyakinan atau dugaan akan adanya hukum, bukan ketiadaan hukum yang sebenarnya. Karena bukan sebuah keniseayaan, bahwa ketiadaan dalil akan memunculkan ketiadaan hukum. ‘‘illat yang merupakan sebagian dari dalil adanya hukum, ketiadaannya tidak lantas meniseayakan ketiadaan hukum. Karena dalam argumentasi pembuktian keberadaan Tuhan, dapat dipastikan bahwa seandainya Allah tidak menciptakan alam semesta (yang mana keberadaan alam semesta merupakan dalil keberadaan Allah), maka bukan berarti wujud Allah menjadi tiada.

 

Di antara qawddih adalah ‘adamut ta’tsir (ketiadaan pengaruh), yakni meniadakan mundsabah (keserasian) dari sifat (yang diplot sebagai ‘‘illat). Karenanya, adamut tafsir terkhususkan pada qiyas makna yang ‘‘illat.nya mustanbathah dan mukhtalaf (masih diperselisihkan).

 

‘Adamut ta’tsir terbagi menjadi empat bagian. (1) Dalam sifat, yakni sifat tersebut berstatus thardiy atau syabah. (2) Dalam ashl, mengikuti pendapat marjuh, seperti (dikatakan dalam bai’ al-ghaib), “Obyek jual beli yang tidak dapat dilihat, maka jual beli tidak sah, seperti burung di angkasa”. Lalu mu’taridl berkata, “Tidak berpengaruh, alasan barang tidak dapat dilihat karena tidak mampu diserahterimakan telah cukup (menyebabkan ketidakabsahan)”.

 

ADAM AT-TA’TSIR

 

Qawadih keempat, ‘adamut ta’tsir atau ketiadaan ta’tsir (efek atau pengaruh). Yakni bahwa sifat yang hendak diplot sebagai ‘‘illat tidak ada munsabah (keserasian) terhadap hukum. Karenanya, bentuk qawadih ini dikhususkan hanya untuk qiyas makna saja, yakni qiyas yang berbasis munisabah antara “‘illat dan hukum. Sehingga ‘adamut ta’tsfr tidak dapat diterapkan dalam qiyas syabah.

 

Bentuk gawadih ‘adamut ta’tsir juga hanya diarahkan pada ‘‘illat mustanbathah yang masih mukhtalaf, yakni ‘ilat yang digali hasil penalaran ijtihad dan masih diperdebatkan di antara ulama’, Sehingga ‘adamut ta’tsir udak dapat diterapkan dalam ‘‘illat manshiishah (‘‘illat yang tertera dalam nash Al-Qur’an atau hadis) atau ‘‘illat mustanbathah yang mujma’ ‘alaih (menjadi kesepakatan semua ulama).

 

“Adamut ta’tsir terbagi dalam empat bagian:

 

  1. ‘Adamut ta’tsfr dalam sifat
  2. ‘Adamut ta’tsir dalam ashl

3, ‘Adamut ta’tsir dalam hukum

  1. ‘Adamut ta’tsir dalam far’u

 

Bagian pertama, ‘adamur ta’tsir dalam sifat. Yakni bahwa sifat yang hendak diplot sebagai ‘‘illat keberadaannya berstatus thardiy atau syabah.

 

Contoh berstatus thardiy :

Shalat shubuh adalah shalat yang tidak bisa di-gashar, sehingga adzan Shubuh tidak boleh dilakukan mendahului dari waktu Shubuh, sebagaimana shalat Maghrib.

 

Ashl : Maghrib

Far’u : Shubuh

Hukum : Tidak ada kesunnahan adzan sebelum masuk waktu shalat

‘‘illat : Shalat yang tidak bisa di-gashar

 

‘illat berupa ketiadaan gashar shalat bersifat thardiy’, dalam arti tidak ada pengaruhnya pada hukum ketiadaan adzan sebelum masuk waktu shalat. Terbukti, dalam kasus lain, semisal Dhuhur, hukum ketiadaan adzan sebelum masuk waktu tetap wujud, meskipun shalat Dhuhur dapat digashar.

 

Contoh berstatus syabah :

Wudhu adalah thaharah (bersuci) yang membutuhkan niat seperti tayammum.

 

Ashl : Tayammum

Far’u : Wudhu

Hukum  : Membutuhkan niat

‘‘illat : Termasuk Ihaharah

 

‘illat berupa thaharah bersifat syabah, dalam arti menyerupai ‘‘illat yang serasi secara dzatiyah, yakni bahwasanya wudhu adalah ibadah.

 

Bagian kedua, Adamut ta’tsir dalam ashl. Yakni dengan memunculkan ‘‘illat lain bagi hukum ashf.

 

Contoh 

 

Mustadill : Bay’ul ghaib (menjual barang yang tidak ada di tempat transaksi) adalah jual beli dengan mabi’ (barang yang dijual) yang tidak dapat dilihat, sehingga hukum jual beli tidak sah. Sebagaimana menjual burung yang sedang terbang di udara.

Mutaridl : Tidak terlihatnya barang tidak ada pengaruh dalam kasus ahsl, Karena alasan tidak mampu diserahterimakan telah mencukupi sebagai penyebab ketidakabsahan jual beli.

Ashl : Jual beli burung yang sedang terbang di udara

Far’u : Jual beli barang yang tidak ada di tempat transaksi

Hukum : Tidak sah

‘illat : Mabi’ (barang yang dijual) tidak dapat dilihat

 

‘‘illat berupa tidak terlihatnya mabi’ dalam kasus ashl tidak ada pengaruhnya dalam ketidakabsahan akad jual beli. Karena alasan tidak mampu diserahterimakan telah cukup menyebabkan ketidakabsahan jual beli. Terbukti, burung yang sedang terbang di udara dan terlihat oleh mata, tetap tidak sah diperjualbelikan, karena tidak mampu diserahterimakan.

 

(3) Dalam hukum. Ini terbagi beberapa bentuk. Sesuatu yang tidak terdapat faedah dalam penyebutannya. Seperti perkataan ulama’ Hanafiyyah tentang orang-orang murtad, “Mereka adalah para musyrik yang merusak harta di negeri kafir harbi, sehingga tidak ada kewajiban ganti rugi, sebagaimana orang kafir Penyebutan lafadh “negeri kafir harbi”  menurut mereka adalah thardi, sehingga penyebutannya tidak berfaedah. Dan pembahasan kembali pada bagian pertama , (Yakni adam akta’tsir dalam sifat).

 

(Bentuk kedua), sesuatu yang menurut, pendapat Ashah, penyebutannya terdapat faedah dlaruriyyah, seperti ucapan ulama’ yang mengharuskan pengulangan dalam bereebok dengan batu, “adalah ibadah yang berhubungan dengan batu yang tidak didahului kemaksiatan, sehingga disyaratkan pengulangan dalam bereebok dengan batu, sebagaimana melempar jumrah”, Perkataan “yang tidak didahului kemaksiatan” tidak memiliki pengaruh, akan tetapi mustadill terpaksa menyebutkannya agar tidak disanggah dengan kasus rajam (hukuman lempar batu hingga mati atas pelaku zina muhshan).

 

Atau (dalam penyebutannya terdapat faedah)  yang bukan dlaruriyyah. Seperti (dikatakan), “shalat Jum’at adalah shalat yang diwajibkan, sehingga tidak membutuhkan izin pemerintah, sebagaimana shalat Dhuha?” Lafadh “yang diwajibkan” sekedar sisipan, karena jika dibuang maka sifat tersisa tidak terbatalkan. Akan tetapi lafadh itik disebutkan agar mendekatkan far’u pada pada ashl dengan menguatkan kemiripan antara keduanya, karena fardlu dengan fardlu lebih mirip.

 

(4) Dalam far’u Seperti dikatakan, “perempuan menikahkan dirinya sendiri dengan lelaki yang tidak sepadan, sehingga akad nikah tidak sah. Sebagaimana apabila dia dikawinkan (oleh wali pada lelaki yang tidak sepadan”. Bagian ini ” seperti bagian kedua. Karena di dalamnya, batasan “yang bukan sepadan” tidak memiliki pengaruh. Pembagian keempat ini kembali pada sanggahan terhadap al-fardlu (pengandaian), yakni (bahwa al-fardlu adalah) pengkhususan — sebagian — kasus yang diperdebatkan dengan hujjah-hujjah. Pendapat ashahh adalah diperbolehkannya al-fardlu.

 

Bagian ketiga, “adamut ta’tsir dalam hukum.

‘Adamut ta’tsir dalam hukum terbagi lagi dalam tiga kondisi.

 

  1. Dalam penyebutan sifat yang terkandung dalam ‘‘illat, tidak terdapat faedah.
  2. Dalam penyebutan sifat yang terkandung dalam ‘‘illat, terdapat faedah dlaruriyyah (primer).

3, Dalam penyebutan sifat yang terkandung dalam ‘‘illat, terdapat faedah ghairu dlaruriyyah (bukan primer).

 

* Contoh 1 (dalam penyebutan sifat tidak terdapat faedah) Perkataan mustadill dari kalangan Hanafiyyah :

“Orang-orang murtad yang merusak harta benda orang muslim di negeri darul harbi, tidak wajib dlamin (ganti rugi) atas mereka. Karena mereka adalah orang-orang musyrik yang merusak harta benda di negeri daru| harbi. Sebagaimana halnya orang-orang kafir harbi yang merusak harta benda orang muslim, tidak ada kewajiban ganti rugi atas mereka.”

 

Ashl : Orang-orang kafir harbi yang merusak harta benda orang muslim

Far’u : Orang-orang murtad yang merusak harta benda orang muslim di negeri darul harbi

Hukum : Tidak ada kewajiban dlamin (ganti rugi)

‘ilat : Sama-sama merupakan orang musyrik yang merusak harta benda di negeri darul harbi

 

Ungkapan “negeri darul harb?” dalam adalah sifat #hardy, tidak ada faedah dalam penyebutannya. Karena para ulama’ yang mewajibkan dlaman akibat perusakan oleh orang murtad terhadap harta orang muslim, seperti ulama’ Syafi’iyyah, tetap mewajibkan dlaman meskipun perusakan tidak terjadi di negeri darul harbi. Begitu pula, para ulama’ yang meniadakan kewajiban dlaman akibat perusakan oleh orang murtad terhadap harta orang muslim, seperti ulama? Hanafiyyah, tetap meniadakan dlaman meskipun perusakan tidak terjadi di negeri darul harbi. Artinya, penyebutan “darul harb?” tidak ada pengaruhnya dalam hukum. Ulama’ yang mewajibkan dlaman tetap mewajibkan dlaman meski perusakan tidak terjadi di darul harbi. Ulama? yang meniadakan kewajiban dlaman tetap meniadakan kewajiban dlaman meski perusakan tidak terjadi di darul harbi. Model ‘adamut ta’tsir semacam ini kembali pada bagian pertama, yakni bahwa mu’taridl menuntut mustadill untuk menjelaskan sisi ta’tsir dari penyebutan “darul harbi”.

 

* Contoh 2 (dalam penyebutan sifat terdapat faedah dlaruriyyah) Perkataan dari para “ulama’ yang mensyaratkan bilangan (pengulangan) alam istijmir (cebok dengan media batu):

 

“Istijmar adalah ibadah yang berhubungan dengan batu yang tidak didahului adanya kemaksiatan. Sehingga, dalam istijmar disyaratkan bilangan (pengulangan), seperti halnya melempar jumrah”

 

Ashl : Melempar jumrah

Far’u : Istjmar

Hukum : Disyaratkan bilangan (pengulangan)

‘‘illat : Sama-sama merupakan ibadah yang berhubungan dengan batu yang tidak didahului adanya kemaksiatan.

 

Penyebutan “tidak didahului adanya kemaksiatan” tidak ada pengaruhnya dalam ashl dan far’u. Akan ‘tetapi, mustadill terpaksa menyebutkannya vagar tidak disanggah dengan kasus eksekusi rajam atas pelaku zina muhshan. Karena cksekusi rajam adalah juga ibadah yang berhubungan dengan batu, akan tetapi tidak disyaratkan pengulangan (dalam rajam, yang terpenting adalah bahwa pelaku zina muhshan dilempar dengan batu hingga mati, tidak ada ketentuan satu kali atau beberapa kali).

 

* Contoh 3 (dalam penyebutan sifat terdapat faedah ghairu diaruriyyah)

“Jum’at adalah shalat yang difardlukan, sehingga dalam mendirikannya tidak butuh adanya izin dari penguasa, sebagaimana halnya shalat Dhuhur”

 

Ashl : Shalat Dhuhur

Far’u : Shalat Jum’at

Hukum : Tidak disyaratkan adanya izin penguasa

‘‘illat : Sama-sama merupakan shalat yang difardlukan. Penyebutan “yang difardlukan” tidak memiliki faedah apapun dalam efek hukum. Seandainya dibuangpun, komponen sifat yang tersisa sebagai ‘‘illat tidak terbatalkan sama sekali, Hanya saja, ungkapan “yang difardlukan” disebutkan untuk lebih mendekatkan far’u pada ashl, dengan penguatan sisi kesamaan, karena ke-fardlu-an dengan ke-fardlu-an lebih memiliki kemiripan.

 

Bagian keempat, adamur ta’tsir dalam far’u. Ini karena sifat tidak berlaku (muththarid) dalam semua kasus yang diperdebatkan sisi hukumnya. Contohnya adalah argumentasi tentang ketidakabsahan akad nikah yang dilakukan seorang perempuan yang menikahkan dirinya sendiri, sebagaimana ungkapan berikut:

 

“Perempuan yang menikahkan dirinya sendiri, akad nikahnya tidak sah, karena dia menikahkan diri kepada lelaki yang bukan sepadan. Sebagaimana perempuan yang dinikahkan oleh walinya kepada lelaki yang bukan sepadan”

 

Ashl : Akad nikah dilakukan oleh wali pihak perempuan

Far’u : Akad nikah dilakukan oleh perempuan untuk menikahkan dirinya sendiri

Hukum : Tidak sah

Iilat : Sama-sama merupakan pernikahan kepada lelaki yang bukan sepadan.

 

Penyebutan batasan “kepada lelaki yang bukan sepadan” tidak memiliki dampak terhadap hukum. Karena klaim mustadill dari awal mula adalah ketidakabsahan akad nikah yang dilakukan perempuan untuk menikahkan dirinya sendiri, secara mutlak, tanpa ada batasan kepada jelaki yang sepadan atau bukan sepadan. Sehingga dengan penyebutan patasan “kepada lelaki yang bukan sepadan” dalam ‘‘illat masih menyisakan perdebatan tentang status hukum pernikahan oleh perempuan yang menikahkan dirinya sendiri kepada lelaki yang sepadan. ‘Adamut ta’tsir bagian ini, sama seperti bagian kedua, yakni ‘adamut ta’tsir dalam ashl. Yakni, bahwa hukum far’u dalam bagian ini digantungkan tidak pada sifat yang disebutkan, sebagaimana hukum ashl dalam bagian kedua juga digantungkan tidak pada sifat yang disebutkan.

 

Bagian keempat ini pada ujungnya merupakan sanggahan terhadap al-fardlu (pengandaian). Al-fardlu dalam kaitannya dengan hal ini adalah pengkhususan sebagian kasus yang diperdebatkan dengan hujjahhujjah. Mengacu pada contoh penerapan di atas, alfardiu dijelaskan sebagai berikut. Bahwa klaim hukum ketidakabsahan nikah adalah untuk semua bentuk pernikahan perempuan untuk menikahkan dirinya sendiri, secara mutlak, baik kepada lelaki yang sepadan ataupun bukan sepadan. Kemudian klaim hukum ini dilandasi dengan argumentasi dalam sebagian kasus saja, dalam contoh ini adalah perempuan menikahkan dirinya sendiri kepada lelaki yang bukan sepadan. Seakan-akan mustadill mengajukan klaim bahwa pernikahan perempuan dalam menikahkan dirinya sendiri adalah batal. Lalu dia berkata, “Aku mengandaikan bahwa pernikahan perempuan dalam menikahkan dirinya sendiri ini terjadi dalam kasus pernikahan dengan lelaki yang bukan sepadan. Lalu akan aku paparkan argumentasinya secara khusus”.

 

Tentang keabsahan berargumentasi dengan pola alfardlu ini, terdapat perbedaan pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, yakni pendapat ashahh, menyatakan bahwa hal ini diperbolehkan. Karena terkadang mustadill tidak cukup terbantu dengan adanya dalil untuk diterapkan di semua kasus, dan dia tidak mampu menanggapi sanggahan mu’aridl dalam sebagian kasusnya karena masih terdapat isykal, maka dengan pola alfardiu, mustadill dapat memanfaatkannya untuk bisa sampai pada tujuan yang dibenarkan (gharadl shahih)”.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa al-fardlu tidak diperbolehkan. Ini adalah pendapat Ibnu Faurak, ia berkata: “Syarat dari dalil adalah menjadi pertanda atau petunjuk bagi semua kasus yang diperdebatkan, agar sesuai dengan pokok pembahasan dan mampu menanggapi sanggahan mur’taridl.”

 

  1. Pendapat ketiga, bahwa al-fardlu diperbolehkan dengan syarat pengembangan masalah, yakni mengembangkan masalah selain obyek al-fardlu, dengan acuan obyek al-fardlu. Maksudnya, klaim hukum pada sebagian kasus telah dilandasi argumentasi. Sedangkan klaim hukum dalam sebagian kasus yang lain belum ada pijakan argumentasinya. Lantas, klaim hukum dalam sebagian kasus yang belum ada argumentasinya ini dicarikan pijakan acuan pada sebagian kasus yang telah dilandasi argumentasi. Yakni dengan cara qiyas dengan jami” tertentu, atau diungkapkan perkataan demikian: “Hukum telah tetap dalam sebagian kasus, maka hendaklah hukum yang sama juga tetap dalam sebagian kasus yang tersisa, karena tidak ada yang mengatakan adanya perbedaan antara sebagian kasus dengan sebagian yang lain”. Kalangan Hanafiyyah juga berpijak pada pola ini dalam pendapat mereka bahwa perempuan yang menikahkan dirinya sendiri pada lelaki yang bukan sepadan, hukum pernikahannya adalah sah, sebagaimana dia menikahkan dirinya pada lelaki yang sepadan.

 

Di antara qawadih adalah “al-Qalbu”, menurut pendapat asbhah adalah klaim bahwa argumentasi yang digunakan mustadil dan dianggap benar, justru melemahkan pendiriannya, dalam permasalahan yang diperdebatkan. Karena itu,  dengan al-qalbu dimungkinkan adanya sikap. menerima keabsahan argumen. Menurut ashah, Al-Qalbu .dapat diterima, adakalanya sebagai pembentur dalil ketika keabsahannya diterima, dan sebagai perusak dalil ketika tidak diterima.

 

Al-Qalbu terbagi dua bagian, Pertama, untuk membenarkan pendapat mutarid membatalkan pendapat mustadill Semisal dikatakan oleh mustadil tentang penjualan fadluli, “Adalah sebuah akad tanpa adanya penguasaan  (atas barang), sehingga tidak sah, sebagaimana pembelian fadluli, Lalu dikatakan mu’taridl, “penjualan Judi adalah akad sehingga sah ”. sebagaimana pembelian fadluli”. Dan semisal, “I’tikaf adalah berdiam diri, maka dengan adalah berdiam diri, maka tidak disyaratkan berpuasa, sebagaimana halnya wuguf di Arafah”

 

Kedua, untuk membatalkan pendapat mustadill, “(kepala adalah) anggota secara jelas, Wudlu, maka tidak cukup batas minimal yang bisa digunakan menyebut namanya, sebagaimana wajah”, Lalu dikatakan, “(kepala adalah anggota wudlu), maka tidak layak dibatasi pembasuhannya dengan seperempat, sebagaimana wajah”

 

Atau secara implisit. Seperti “(jual beli barang yang tidak wujud) adalah akad imbal balik, maka sah dengan ketidaktahuan terhadap obyek jual beli, sebagaimana nikah”, Lalu dikatakan, “(jual beli barang yang tidak wujud adalah akad imbal balik), maka tidak disyaratkan khiyar ru’yah, sebagaimana nikah”

 

Termasuk dalam kategori “al-galbu” adalah “GQalbul musawah”, maka diterima menurut pendapat Ashah. Seperti, “(wudlu dan mandi, masing-masing adalah) bersuci dengan benda cair, maka tidak wajib niat, seperti bersuci dari najis”, Lalu dikatakan, “maka sama saja, bersuci dengan benda kering dan benda cair, sebagaimana bersuci dari najis”

 

Al-QALBU

 

Qawadih kelima, al albu. Secara harfiah, al-galbu bermakna pembalikan. Dalam kaitannya beradu argumentasi, secara umum al-galbu diklasifikasikan dalam dua pembagian.

 

Pertama, al-qalbu yang khusus dalam permasalahan qiyas. al qalbu dalam cakupan khusus qiyas ini, didefinisikan sebagai berikut:

 

“Mu’taridl mengaitkan pendapat yang berbeda dengan mustadil atas ‘‘illat yang yang dipaparkannya, dengan menyamakan pada ashl yang oleh mustadill dijadikan sebagai magis alaih”.

 

Yakni, mu’taridl mengatakan, “Aku mendasarkan hukum yang berbeda dengan hukum yang kau ajukan, dari ‘‘illat yang kau paparkan, sehingga hukum yang berbeda juga tetap dalam far’u dengan ‘‘illat tersebut. Karenanya, hukum yang kau klaim ketetapannya tidaklah terbukti, sebab tidak samanya kedua hukum itu dalam far’u.

 

Kedua, al-qalbu yang umum dalam kritikan atas dalil berupa qiyas atau selainnya. Pengertian al-qalbu mengacu pada al-galbu dengan cakupan umum. Yakni didefinisikan sebagai berikut:

 

“Klaim dari mu’taridl ajaa argumekasi yang digunakan mustadil dalam permasalahan yang diperdebatkan, dari sisi argumentasi yang sama, justru melemahkan pendirian mustadill, bukan menguatkannya, jika memang argumentasi itu benar”.

 

Maksud “Dari sisi argumentasi yang sama” adalah bahwa sisi argumentasi yang digunakan sebagai istidlal (pemaparan dalil) oleh mustadill merupakan sisi argumentasi yang digunakan sebagai i’tiradl(sanggahan) oleh mu’taridl. Sehingga jika dalam sebuah dalil terdapat dua sisi argumentasi, mustadill berargumen dengan salah satu sisi, dan mu’taridl berargumen dengan sisi yang lain, maka hal semacam ini tidak dinamakan al-galbu. Sebagaimana jika sisi argumentasi mustadill adalah makna hakikat, sedangkan sisi argumentasi mu’taridl adalah makna majaz. Contohnya adalah istidlal ulama’ Hanafiyyah atas penyimpulan hukum kewarisan paman dari jalur ibu, berdasarkan hadis:

 

“Paman dari jalur ibu adalah pewaris orang yang tidak memiliki ahli waris”

 

Lalu mu’taridl menyanggah bahwa hadis di atas justru menunjukkan bahwa paman dari jalur ibu bukanlah ahli waris, karena ungkapan hadis menghendaki bentuk mubalaghah (melebihkan, hiperbolis) dari ketiadaan status ahli waris pada diri paman jalur ibu. Pola mwbalaghah dalam hadis ini sebagaimana ungkapan:

 

“Kelaparan adalah bekal bagi orang yang tak ada bekal baginya. Kesabaran adalah rekayasa (upaya penyelisaian masalah) bagi orang yang tak ada rekayasa baginya”,

 

Padahal, kelaparan bukanlah bekal: demikian pula kesabaran bukanlah upaya, Dalam contoh di atas, mustadil berargumen dengan hadis dari sisi makna hakikat, sedangkan mu’taridl menyanggahnya dengan bermodal hadis itu pula, tetapi dengan sisi makna majaz. Contoh sanggahan semacam ini bukan termasuk dalam al-qalbu.

 

Selanjutnya, batasan definisi “jika memang argumentasi itu benar”, menegaskan pendapat pengarang Jam’ul Jawimi’ tentang kedudukan al-qalbu. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat”.

 

  1. Pendapat ashah, bahwa al-qalbu bisa berarti pengakuan kebenaran argumentasi mustadill, dan bisa pula sebaliknya. Dalam hal kondisi pertama, argumentasi yang telah diakui kebenarannya oleh mu’taridl justru dianggap melemahkan pendapat mustadil, bukan menguatkannya. Dalam hal kondisi kedua, jika argumentasi mustadil tidak dianggap benar, tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai penguat pendapatnya.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa al-qalbu adalah pengakuan kebenaran argumentasi mustadill, secara mutlak, baik dalam kenyataannya benar ataupun tidak. Karena dari sisi bahwa argumentasi paparan mustadill dijadikan oleh ma’taridl sebagai senjata pelemah pendapat mustadill, penggunaan argumentasi tersebut berarti pengakuan mu’taridl atas kebenarannya.

 

3, Pendapat ketiga, bahwa al-qalbu adalah jfsid (klaim cacat) atas argumentasi musfadill, secara mutlak, baik dalam kenyataannya benar ataupun tidak. Karena dari sisi bahwa mu’aridl tidak menganggap argumentasi paparan mustadill sebagai penguat pendapatnya, maka mutaridl menganggapnya sebagai perusak (mufsid) argumentasi tersebut berarti menjadi counter atau sanggahan atas pendapat lawan.

 

Berdasarkan dua pendapat terakhir, batasan “jika argumentasi itu benar l sah” tidak diperlukan lagi.

 

Selanjutnya, berpijak pada pendapat pertama, bahwa dengan al qalbu masih memungkinkan adanya pengakuan kebenaran argumentasi mustadill, ada dua pendapat tentang efektivitas al-qalbu :

 

1) Pendapat ashah, bahwa meski memungkinkan adanya pengakuan atas kebenaran argumentasi lawan, qawadih berpola al-qalbu ini dapat diterima.

 

* Dalam kondisi adanya pengakuan kebenaran argumentasi mustadill, al-qalbu adalah sebentuk mu’aradlah (pembenturan terhadap dua dalil atau lebih), yang karenanya tidak dianggap pencacat (qadih), dan respon balik yang dibutuhkan untuk menanggapinya adalah tarih. Dalam kaitannya dengan algalbu yang khusus daam permasalahan qiyas, kondisi mu’aradlah ini adalah dengan memunculkan qiyas dengan jimi” (titik temu) dan ashl sama seperti yang diajukan mustadil

 

* dalam kondisi tidak adanya pengakuan atas kebenaran argumentasi mustadill, a-galbu adalah pencacat (qadih)”.

 

2) Pendapat kedua, bahwa al-galbu adalah gawadih yang cacat (fasid), dan tidak dapat diterima karena al-galbu adalah sebentuk persaksian palsu syahadah al-qalbu, yang bersaksi menguntungkan pelaku al-galbu sekaligus merugikannya. Karena pelaku al-galbu di satu sisi menerima kebenaran argumentasi mustadill, tetapi di sisi lain melakukan penyimpulan yang berbeda dengan kesimpulan yang diajukan mustadill, karenanya tidak dapat diterima.

 

PEMBAGIAN AL-QALBU

 

Al-Qalbu terbagi menjadi dua bagian.

Pertama: Al-Qalbu untuk membenarkan pendapat mu’taridl.

 

Ada dua kondisi dalam pembagian pertama ini :

 

  1. Al-Qalbu yang membenarkan pendapat mu’faridl sekaligus membatalkan pendapat mustadill secara eksplisit.

 

Contoh : Perdebatan seputar status hukum penjualan fadluli sebagai berikut:

 

Syafi’iyah Mustadill : Penjualan fudidif adalah akad tanpa penguasaan terhadap obyek akad. Sehingga tidak sah, sebagaimana pembelian fadluli, yakni membelikan sesuatu untuk orang lain tanpa izinnya, maka tidak sah untuk pihak yang dibelikan.

 

Hanafiyah mu’taridl : Penjualan fadluli adalah akad. Sehingga sah, sebagaimana pembelian fadluli, yakni membelikan sesuatu untuk orang lain tanpa izinnya, yang juga sah akan tetapi atas nama dirinya sendiri.

 

Berikut ini komponen-komponen qiyas dalam perdebatan di atas.

Ashl : Pembelian judi

Far’u : Penjualan judi

Hukum : – Tidak sah (menurut mustadill) – Sah (menurut mu’taridl)

‘‘illat : Sama-sama merupakan akad

 

Ungkapan mu’taridl yang menyatakan bahwa penjualan fudluli adalah sah, sekaligus membatalkan pendapat mustadill yang berpendapat “tidak sah”.

 

  1. Al-qalbu yang membenarkan pendapat mu’taridl tanpa membatalkan pendapat mustadill secara eksplisit.

Contoh : Perdebatan seputar pensyaratan puasa di saat i’tikaf, sebagai berikut:

 

Hanafiyah Mustadill : I’tikaf adalah berdiam diri. Sehingga, tidak dapat dengan sendirinya bernilai ibadah tanpa dibarengi dengan aktivitas ibadah?, Sebagaimana wuguf di Arafah, yang bernilai ibadah karena dibarengi dengan aktivitas ibadah.

 

Syafi’iyyah mu’taridl : I’tikaf adalah berdiam diri. Sehingga tidak disyaratkan harus berpuasa. Sebagaimana wuquf di Arafah yang tidak ,disyaratkan berpuasa. Berikut ini

 

komponen-komponen qiyas dalam perdebatan di atas.

Ashl : Wuguf di Arafah

Far’u : I’tikaf

Hukum : – disyaratkan harus dibarengi ibadah: dalam T’tikaf dibarengi puasa, dalam wuguf dibarengi ihram (menurut mustadill) – tidak disyaratkan dibarengi puasa (menurut mu’taril))

‘illat : Sama-sama berupa aktivitas berdiam diri

 

Dalam contoh di atas, terdapat pembatalan pendapat mustadill, tapi tidak secara sharih (eksplisit), karena ungkapan mu’taridl membatalkan tidak disyaratkannya puasa, yang mana hal ini tidak disebutkan oleh mustadill dalam paparan argumennya. Mustadill hanya menyebutkan bahwa i’tikaf harus bersamaan dengan aktivitas ibadah. Dan mu’taridl menyanggahnya dengan ketiadaan pensyaratan puasa.

 

Kedua : Al-Qalbu untuk membatalkan pendapat mustadill, tanpa menjelaskan pendapat mu’taridl.

 

Pembatalan pendapat mutadill ini adakalanya dilakukan secara sharih, yakni dengan dalalah muthabaqah. Adakalanya dilakukan dengan dalalah iltizam.

 

Contoh yang dilakukan secara sharih : Perdebatan seputar kadar kepala yang harus diusap saat wudlu, sebagai berikut:

 

Hanafiyah Mustadill : Kepala yang harus diusap saat wudlu adalah anggota wudlu, sehingga tidak cukup diusap hanya sekadar minimal untuk bisa disebut dengan nama kepala. Sebagaimana wajah, tidak cukup dibasuh hanya sekadar minimal untuk bisa disebut dengan nama wajah.

 

Syafi’iyah Mu’taridl : Kepala yang harus diusap saat wudlu adalah anggota wudlu, sehingga keharusan mengusapnya tidak boleh dibatasi dengan seperempatnya. Sebagaimana wajah, yang keharusan membasuhnya tidak dibatasi dengan seperempat.

 

Berikut ini komponen-komponen qiyas dalam perdebatan di atas.

Ashl : Wajah dalam pembasuhan saat wudlu

Far’u : Kepala dalam pengusapan saat wudlu

Hukum : – tidak cukup dengan kadar minimal untuk bisa disebut dengan namanya (menurut mustadill) – tidak boleh dibatasi dengan seperempat (menurut mu’taridl)

‘‘illat : Sama-sama merupakan anggota wudlu.

 

Dalam perdebatan ini, qawadih yang diajukan mu’taridl berfokus hanya untuk membatalkan pendapat mustadill, tanpa pembelaan argumentasi terhadap pendapatnya sendiri. Dan pembatalan ini diungkapkan dengan sharih, yakni dengan daldlah muthabagah.

 

Contoh yang dilakukan dengan cara iliizim : Perdebatan seputar kadar kepala yang harus diusap saat wudlu, sebagai berikut:

Hanafiyah Mustadill : Jual beli ghaib adalah akad mu’awadlah (tukar menukar), karenanya sah meskipun dengan adanya ketidaktahuan atas obyek tukarnya, sebagaimana halnya nikah.

 

Syaf’iyyah mu’taridl : Jual beli ghaib adalah akad mu’awadiah (tukar menukar), karenanya tidak ada pensyaratan khiyar ru’yah (opsi kelanjutan akad setelah melihat obyek akad), sebagaimana halnya nikah.

 

Berikut ini komponen-komponen qiyas dalam perdebatan di atas.

Ashl : Nikah

Far’u : Jual beli ghaib

Hukum : – sah (menurut mustadill)

– tidak ada pensyaratan khiyar ru’yah (menurut mru’tarid)

‘‘illat : Sama-sama merupakan akad mu’awadlah.

 

Tanggapan mu’taridl tentang tidak diperlukannya persyaratan kbiyar ru’yah merupakan pembatalan atas pendapat mustadill dengan cara iltizim. Karena peniadaan syarat khiyar ru’yah adalah merupakan peniadaan keabsahan jual beli ghaib. Karena ulama’ yang menyatakan keabsahan jual beli ghaib pastilah mensyaratkan khiyar ru’yah bagi keabsahannya.

 

QALBU AL-MUSAWAH

 

Termasuk dalam bagian aL-qalbu yang membatalkan pendapat mustadill dengan cara iltizam adalah qalbul musawah, Sebelum memahami definisi qalbul musawah, ada baiknya kita simak contoh perdebatan tentang keharusan niat dalam wudlu dan mandi, sebagai berikut:

 

Hanafiah Mastadill : Wudlu dan mandi adalah kegiatan bersuci dengan media  benda cair, maka tidak tidak wajib adanya niat, sebagaimana menghilangkan dari najis.

 

Syafi’iyah mu’taridl : Wudlu dan mandi adalah kegiatan bersuci, maka tidak ada bedanya antara bersuci dengan media benda cair ataupun media benda padat, sebagaimana menghilangkan najis.

 

Berikut ini komponen-komponen qiyas dalam perdebatan diatas.

 

Ashl : Menghilangkan najis

Far’u: Wudlu dan mandi

Hukum : – tidak wajib niat (menurut mustadil) – hukumnya sama antara bersuci dengan media benda cair dan media benda padat (menurut mu’taridl)

‘‘illat : Sama-sama merupakan kegiatan bersuci.

 

Dalam perdebatan di atas terdapat contoh gawadih dengan metode al-Qalbu, dalam hal ini adalah qalbul musawah. Qalbul musawah didefinisikan sebagai berikut:

 

“Bahwa dalam segi ashl terdapat dua hukum, salah satunya ditiadakan dari segi far’u menurut kesepakatan dua pihak, sedangkan hukum yang lain dalam segi far’u-nya diperdebatkan di antara kedua belah pihak. Dan ketika mustadill menetapkan bukum dalam far’u sebagai peng qiyas-an atas ashl, maka mu’taridl berkata, “seharusnya ada penyamaan antara dua hukum dalam segi far’u, sebagaimana penyamaan dalam segi ashi”

 

Mengacu pada contoh, definisi qalbul musawah di atas dijelaskan dalam tabel berikut “:

 

Dalam hukum far’u yang masih diperdebatkan, ketika mustadill hendak menetapkannya (yakni, mengukuhkan bahwa dalam wudlu dan mandi tidak wajib niat), maka mu’taridl mengajukan penyamaan antara dua hukum dalam segi far’u, sebagaimana adanya penyamaan hukum dalam segi ashl.

 

Tentang legalitas beragumentasi dengan qalbul musawah, pendapat ashah dari mayoritas ulama’ menerimanya. Sedangkan Al-Oadli Abu Bakar al-Bagillini menolaknya. Beliau beralasan bahwa sisi istidlal yang digunakan mu’taridl berbeda dengan sisi istidlal yang digunakan mustadill. Karena dalam galbul musawah hukum dari ‘‘illat tidak mungkin dinyatakan secara jelas, karena kesimpulan hukum dalam ashl adalah penafian (tidak wajib niat dalam menghilangkan najis), sedangkan kesimpulan hukum dalam far’u adalah penetapan (wajib niat dalam wudlu dan mandi). Namun, alasan paparan Al-Qadli ini ditanggapi, bahwa perbedaan kesimpulan hukum ini tidak memberikan dampak serius, karena hal tersebut tidak sampai meniadakan prinsip kesamaan dalam sifat yang dijadikan sebagai jami’, yakni thaharah”.

 

Di antara gawadih adalah “al-qaul bil mujab”, yaitu mencrima dalil dengan masih tersisanya perselisihan. Sebagaimana dikatakan terkait pembunuhan dengan benda berat, “adalah “pembunuhan dengan sesuatu yang biasanya bisa membunuh, sehingga tidak meniadakan gishash, sebagaimana membakar”. Lalu dikatakan, “kami mencrima ketiadaan pertentangan, akan tetapi mengapa engkau katakan itu menetapkan gishqsh?”

 

Dan sebagaimana dikatakan, “perbedaan dalam perantara (yakni alat pembunuhan) tidak mencegah gishash, sebagaimana perbedaan tindakan kriminal penghantar kematian (mutawassal ilaih). Kemudian dikatakan, “argumentasi diterima, tetapi pembatalan sebuah penghalang (mini) tidak selalu berakibat ketiadaan penghalangpenghalang lain, dan (juga tidak berakibat) terwujudnya syarat-syarat dan penuntut hukum (mugtadli)”.

 

Pendapat terpilih, membenarkan mu’taridl dalam perkataannya, “Ini bukan dalil pengambilanku”. Dan terkadang mustadill tidak mengatakan muqaddimah (premis) yang tidak populeer, karena khawatir disanggah, hingga berakibat tertolaknya al-qaul bil mujab.

 

AL-QAUL BIL MUJAB

 

Qawadih keenam, Al-Qaul bil miijab. Pada dasarnya al-1aul bil mujab tidak hanya berlaku dalam qiyas saja, melainkan dalam argumentasi bentuk lain. Secara sederhana diterjemahkan sebagai “pengungkapan konsekwensi dalil paparan mustadill”. Selanjutnya, definisi al-qaul bil mujab adalah penerimaan dalil dengan tetap tersisanya perbedaan pendapat. Yakni, bahwa mu’taridl menampakkan tidak adanya keniseayaan dari dalil dalam memutus sengketa pendapat.

 

Syahid (dalil) dari adanya agaul bil mijab adalah firman Allah SWT : 

 

“Mereka (orang-orang munafik) berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, maka orang yang mulia benar-benar akan mengusir orang yang hina dari Madinah.” Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, milik rasul-Nya dan milik prang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui”. (QS. Al Munafiqun: 8)

 

Orang-orang munafik menyangka bahwa mereka akan mampu mengusir Rasullah SAW. dan kaum muslimin dari kota Madinah. Dari klaim ini mereka mengajukan pernyataan (atau semacam dalil) “Orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari kota Madinah”. Lalu Allah menanggapi pernyataan mereka dengan semacam penerimaan, bahwa “Benar, orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari kota Madinah”. Akan tetapi dari pernyataan ini tidak serta merta memberikan kesimpulan bahwa pihak yang bertindak sebagai pengusir adalah orang-orang munafik, sedangkan pihak yang terusir adalah Rasulullah dan kaum muslimin. Penyimpulan dari pernyataan tersebut benar, jika telah diketahui siapakah pemilik kemuliaan. Karenanya, Allah menegaskan, bahwa “Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman”.

 

Terdapat tiga kondisi munculnya al-qaul bil mujab”.

Pertama, penyimpulan oleh mustadill dari dalil yang diungkapkannya dengan sebuah kesimpulan yang disangkanya merupakan mahal an-niza” (obyek masalah yang diperdebatkan) atau mulizim-nya (permasalahan yang memiliki keterkaitan erat dari mahall an-niza’), padahal kenyataannya tidak demikian.

 

Contoh: Perdebatan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah tentang pembunuhan menggunakan benda berat, apakah mengharuskan adanya gishash?

Syaffiyyah Mustadill : Pembunuhan menggunakan benda berat adalah sebuah pembunuhan dengan alat yang biasanya dapat membunuh, sehingga tidak bertentangan dengan keharusan gishasb. Sebagaimana pembunuhan dengan cara membakar.

 

Hanafiyah mu’taridl : Kami menerima, bahwa tidak ada pertentangan antara pembunuhan dengan benda berat dan kewajiban gishash. Akan tetapi berdasarkan apa kau katakan bahwa pembunuhan dengan benda berat menyebabkan gishash?

 

Pembunuhan dengan benda berat memang tidak bertentangan dengan keharusan gishish. Akan tetapi hal ini tidak selalu berarti bahwa pembunuhan dengan benda berat menyebabkan keharusan gishash Karena tidak adanya pertentangan dengan sebuah perkara, tidak selalu berati menetapkan adanya perkara tersebut.

 

Kedua, penyimpulan oleh mustadill dari dalil yang diungkapkannya dengan sebuah kesimpulan yang membatalkan suatu obyek yang disangkanya merupakan dasar pengambilan pendapat pihak lawan atau pendapat imamnya, sedangkan pihak lawan membantah bahwa obyek tersebut adalah dasar pengambilan pendapatnya atau pendapat imamnya.

 

Contoh: Perdebatan tentang pembunuhan dengan benda berat, apakah menyebabkan gishash ataukah tidak.

 

Mustadill : Perbedaan dalam wasilah (perantara) pembunuhan? tdak mencegah (menjadi mini) adanya gishsh, sebagaimana perbedaan dalam mutawassal ilaih (perbuatan yang menjadi target dan perantara).

 

Mu’aridl : Dapat diterima, bahwa perbedaan dalam perantara pembunuhan tidak mencegah (menjadi mani) adanya gishsh. Akan tetapi pembatalan sebuah mani’ tidak serta merta meniadakan bentuk-bentuk mini” yang lain, juga tidak serta merta mewujudkan adanya syarat-syarat dan muqtadif (penyebab).

 

Selanjutnya, terkait dengan bentuk kedua ini, tatkala mastadil membuat kesimpulan yang membatalkan sesuatu yang disangkanya menjadi dasar pengambilan pendapat pihak mu’taridl lalu pihak mu’taridl menyangpgahnya dan berkata “Ini bukan dasar pengambilanku”, maka apakah mu’taridl dapat dibenarkan dengan ucapannya ini? Terdapat dua pendapat tentang hal ini:

 

  1. Pendapat terpilih, mu’taridl dapat dibenarkan dengan ucapannya tersebut, karena dia lebih tahu tentang pendapatnya, dan juga sifat ‘adalah-nya akan mencegah dia dari berkata bohong.

 

  1. Pendapat kedua, mu’taridl tidak dibenarkan, sampai dia menjelaskan dasar pengambilan lain yang dia pedomani. Karena terkadang sebenarnya pendapat mu’aridl adalah sebagaimana yang telah dinafikan mustadill, akan tetapi dia menyanggah hanya karena semata mata mengingkarinya.

 

Ketiga, diamnya mustadill dari penyebutan mugaddimah shughra (premis minor) yang tidak populer: kemudian mu’taridl melancarkan serangan qawadih berupa al-qaul bil mujab.

 

Contoh: Perdebatan seputar pensyaratan niat dalam wudlu dan mandi.

 

Mustadill : Sesuatu yang merupakan ibadah, disyaratkan niat di dalamnya, sebagaimana shalat.

Mu’taridl : Dapat diterima, bahwa sesuatu yang merupakan ibadah, disyaratkan niat di dalamnya. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menyimpulkan adanya pensyaratan niat dalam wudlu dan mandi.

 

Dalam contoh di atas, mustadill tidak menyebutkan muqaddimah shughra (premis minor), yakni ungkapan “Wudiu dan mandi adalah ibadah”.

 

Selengkapnya tentang runtutan argumentasi dalam contoh di atas adalah sebagai berikut:

 

Muqaddimah sughra : Wudlu dan mandi adalah ibadah

Muqaddimah keubra : Sesuatu yang merupakan ibadah disyaratkan niat

Natijah : Wudlu dan mandi disyaratkan niat

 

Jika mustadill menyebutkan mugaddimah shughra, maka dalam hal inipun mu’taridl masih berkesempatan melakukan penolakan (man’u), hanya saja tidak disebut a-qaul bil mujab.

 

Di antara gawadih adalah kritik (pembatalan mundsabah, pembatalan Kelayakan efek hukum pada tujuan, dan pembatalan indlibath (keterukuran) dan dhuhur (kenampakan). Tanggapan atas bentuk ini adalah dengan penjelasan.

 

AL-QADH FI AL-MUNASABAH

 

Qawadih ketujuh, al-Qadh fi al-munasabah (kritik atas munasabah). Sebagaimana paparan dalam pembahasan masdlkul ‘‘illat, bahwa munasabah dapat terbatalkan karena adanya mafradah yang dominan (rajihah) atau menyamainya (musawiyah). Maka tatkala mu’taridl memunculkan bentuk mafsadah rajihah atau musawiyah, maka pemunculan ini termasuk dalam salah satu bentuk gawidih. Tanggapan yang harus diberikan mustadill tatkala mu’taridl melancarkan gawidih bentuk ini, adalah dengan menjelaskan sisi dominan maslahah daripada mafsadah. Berikut ini contoh perdebatan terkait al qadhu fil munasabah berikut tanggapannya.

 

Mustadill : Melulu melakukan ibadah (tanpa menikah) adalah lebih baik daripada menikah, karena dalam ibadah terdapat penyucian diri.

 

Mu’taridl : Kemaslahatan tersebut (yakni penyucian diri) akan menelantarkan kemaslahatan yang berlipat-lipat seperti mewujudkan keturunan, memelihara pandangan dan menundukkan syahwat.

 

Mustadill : Justru kemaslahatan dalam melulu beribadah tanpa menikah, lebih unggul daripada bentuk-bentuk kemaslahatan dalam menikah sebagaimana disebutkan. Ini karena kemaslahatan dalam ibadah berfokus pada pemeliharaan agama, sedangkan bentuk-bentuk kemaslahatan dalam menikah berfokus pada pemeliharaan keturunan.

 

AL-QADH FI SHALAHIYYAH IFDLA’ AL-HUKMI ILAL MAQSHUD

 

Qawidih kedelapan, al-Qadh fi shalahiyyah ifdla” a-hukmi ilal magshud (kritik atas kelayakan hukum dalam mengantarkan pada hikmah pensyari’atan). Bahwa dalam hukum setiap pensyariatan hukum Islam terdapat hikmah dan tujuan. Jika sebuah hukum yang dirumuskan oleh mustadill dianggap tidak layak mengantarkan pada hikmah dan tujuan pensyari’atan, maka hal ini menjadi salah satu di antara bentuk gawadih. Tanggapan yang harus diberikan mustadill tatkala mu’taridl melancarkan gawadih bentuk ini, adalah dengan menjelaskan bahwa hukum telah mengantarkan pada hikmah pensyari’atan. Berikut ini contoh perdebatan terkait al-qadhu fi shalahiyyah ifdla’ al-hukmi ilal maqshid berikut tanggapannya :

 

Mustadill : Penetapan status mahram secara permanen pada hubungan mertua-menantu layak untuk mengantarkan pada hikmah dan tujuan penetapan mahram, yakni meniadakan perbuatan tidak senonoh (zina).

 

Mu’taridl : Penetapan status mahram tersebut tidak layak mengantarkan pada himah pensyariatan. Bahkan, penetapan status mahram itu justru akan mengantarkan pada perbuatan tidak senonoh l sina. Karena nafsu memiliki karakter condong pada hal-hal yang dilarang.

 

Mustadil : Penetapan mahram secara permanen adalah langkah preventif menutup pintu keinginan liar terhadap mertua, agar menjadi seperti orang yang tidak disyahwati, sebagaimana ibu kandung.

 

AL-QADH FI AL-INDLIBATH

 

Qawadih kesembilan, al gadhu fil indlibath (kritik atas keterukuran). Yakni bahwa sebuah ‘‘illat haruslah bersifat mundlabith (terukur). Tatkala mustadil memaparkan sebuah argumentasi qiyas, mu’taridl dapat mengajukan sanggahan dengan gawadih berbentuk al qadhu fidh indlibath, yakni dengan mengklaim bahwa ‘‘illat yang diajukan mustadill tidak bersifat mundlabith. Mustadill dapat merespon balik dengan menjelaskan sisi indlibath (keterukuran) sifat tersebut, atau dengan sifat lain yang dapat membatasinya.

 

Contoh: Mustadill berargumen dalam disyariatkannya jama’ dan gashar shalat dengan sebuah ‘‘illat berupa “masyaqqah atau kepayahan”. Mur’taridl menyanggahnya dengan menyatakan bahwa masyaqqah adalah sesuatu yang tidak mundlabith (terukur). Maka kemudian mustadill dapat merespon baik dengan menyebutkan sisi ke-mundlabith-an masyaqqah, atau menycbutkan sebuah sifat yang dapat membatasi masyaqqah sehingga menjadi terukur, dalam hal ini adalah safar atau bepergian.

 

AL-QADH FI ADH-DHUHUR

 

Qawadih kesepuluh, al-Qadh fi adh-dhuhur (kritik atas status dhahir). Yakni bahwa sebuah ‘‘illat haruslah bersifat dhahir. “Tatkala mustadill memaparkan sebuah argumentasi qiyas, mu’tarid” dapat mengajukan sanggahan dengan qawadih berbentuk al-qadhu fidh dhuhir, yakni dengan mengklaim bahwa ‘‘illat yang diajukan mustadill tidak bersifat dhahir. Mustadill dapat merespon balik dengan menjelaskan sebuah sifat yang dhihir.

 

Contoh: Mustadill berargumen dalam disyariatkannya akad-akad dengan sebuah ‘‘illat berupa “ridla atau kerelaan”. Mu’taridl menyanggahnya dengan menyatakan bahwa ridla adalah sesuatu yang khafi atau samar, bukan sesuatu yang dhahir, Maka kemudian mustadill dapat merespon balik dengan menyebutkan sebuah sifat yang dhahir, dalam hal ini adalah shighat.

 

Di antara gawidih adalah “al-farqu”. Menurut Ashah, akfargu adalah Pemain dengan memunculkan qayyid (batasan) dalam ‘‘illat dari hukum ashlatau memunculkan mani’ (penghalang) pada far’u, atau dengan keduanya sekaligus. Menurut Ashah, al-farqu adalah perusak, dan jawabannya dengan penolakan.

 

(Menurut pendapat Ashah), berbilangnya ashl diperbolehkan. Dan Baba diajukan klaim perbedaan (al-farqu) antara far’u dan salah satu diantara beberapa ashl, maka semacam ini telah mencukupi, menurut Ashah. Kemudian jika mustadil hanya menanggapi satu ashl saja, terdapat dua pendapat dalam permasalahan ini.

 

AL FARQU

 

Qawadih kesebelas, al-fargu (pembedaan antara ashl dan far’u), yaitu mu’aradIah (pembenturan) dengan memunculkan qayyid (batasan) dalam ‘‘illat dari hukum ashl atau dengan memunculkan mani’ (penghalang) pada far’u yang menghalangi tetapnya hukum ashl dalam far’u, atau dengan pemunculan kedua-duanya secara bersamaan”, .

 

Dengan demikian, mu’aradlah pada ashl maksudnya adalah dengan memunculkan qayyid dalam ‘‘illat dari hukum yang ada pada ashl Sedangkan maksud dari mu’aradlah pada far’u rnaksudnya adalah dengan memunculkan mdni’ pada far’u.

 

Sebuah pendapat menyatakan bahwa al-fargu hanyalah bentuk mu’aradlah pada ash! sekaligus far’u. Sehingga menurut pendapat ini, mu’aradlah pada ashl saja atau mu ‘Gradlah pada far’u saja, belum dapat disebut alfargu.

 

Contoh mu’aradIah pada ashl

Mustadill (Syafi’iyah) : Wajib adanya niat dalam wudlu, sebagaimana tayammum, dengan jami’ berupa thahdrah.

 

Mu’taridl (Hanafiyah) :Akan tetapi ‘‘illat dalam ashl adalah thaharah dengan debu.

 

Contoh mu’aradlah pada far’u.

Mustadill (Hanafiyah) : Seorang muslim harus di-gishish akibat membunuh seorang kafir dgimmi. Sebagaimana pula selain orang muslim yang membunuh kafir dzimmi. Karena ada jami” berupa pembunuhan dengan faktor kesengajaan dan tanpa alasan yang dibenarkan.

 

Mu’taridl (Syafk’iyah) : Akan tetapi dalam far’u terdapat keislaman, yang dapat  mencegah dari diterapkannya gisbash. Selanjutnya, mengenai efektivitas alfarqu sebagai salah satu bentuk gawadih, terdapat beberapa pendapat:

 

1, Pendapat Ashah menyatakan bahwa al-farqu adalah perusak dalil, meski berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa penamaan al-farqu hanyalah untuk bentuk mu’aradlah terhadap ashl sekaligus far’u secara bersamaan, atau berpijak pada pendapat lemah bahwa al-farqu adalah dua su-al, atau berpijak pada pendapat tentang diperbolehkannya ‘‘illat yang lebih dari satu. Atau mengikuti pendapat kita bahwa ‘‘illat ganda diperbolehkan. Karena al-farqu dapat mempengaruhi sisi kesamaan (jami) yang diajukan mustadill, sekaligus membatalkan tujuannya. Dan juga, seandainya al-farqu bukan perusak, pastilah tidak terlarang adanya tahakkum atau klaim tanpa dasar.

 

2, Pendapat kedua, al-farqu tidak mempengaruhi dalil secara mutlak. Karena tujuan dari akfargu adalah ilhag (penyamaan) dengan sebuah jami” meskipun ada jami’ yang lebih selaras. Ini didasarkan pada diperolehkannya ‘‘illat yang lebih dari satu. Hal ini karena, hukum dalam ashl jika di-’illati dengan sebuah sifat yang musytarak (dimiliki bersama) antara ashl dan far’u, kemudian setelah itu di-‘‘illati dengan sifat yang khusus, maka peng-‘‘illatan kedua ini tidak menghalangi dari peng-‘‘illatan pertama. Karena pada akhirnya, hal ini berujung pada peng-’illat-an dengan dua at. Dan, dari awal telah diasumsikan kebolehan pengillta-an dengan dua ‘‘illat tersebut.

 

  1. Pendapat ketiga, al-farqu tidak mempengaruhi dalil, jika berpijak pada pendapat bahwa al-farqu adalah dua su-al, Karena membuat titik kesamaan (jami”) dari beberapa sanggahan yang berbeda-beda tidaklah dapat diterima”’.

 

Kemudian, respon balik (tanggapan) yang dapat diajukan oleh mustadill tatkala disanggah dengan gawadih berbentuk al-farqu, adalah sebagai berikut:

 

1) Menolak bahwa sesuatu yang dimunculkan dalam ashl adalah bagian dari ‘‘illat,

 

2) Menolak bahwa sesuatu yang dimunculkan dalam far’u adalah mani atau penghalang dari hukum.

 

Selanjutnya, bolehkah ada dua ashl atau lebih bagi sebuah far’u?.

Ada perbedaan pendapat tentang hal ini.

 

  1. Pendapat ashah, boleh terjadi secara mutlak, baik dengan .terdapat ta’addud al-’illat ataupun tidak. Yakni dengan meng-qiyaskan pada dua ashl dengan sebuah ‘‘illat yang wujud dalam far’u, atau dengan dua ‘‘illat yang keduanya wujud dalam faru. Karena dengan demikian akan semakin kuat dugaan adanya hukum. Pendapat ini di-tashih oleh Ibnul Hajib dan yang lainnya dan yang sesuai dengan hukum bolehnya ‘‘illat ganda pada sebuah ma’lul (obyek yang di’‘illati).

 

  1. Pendapat kedua, menyatakan bahwa hal ini tidak diperbolehkan, meskipun berpijak pada pendapat yang membolehkan ‘‘illat ganda pada sebuah ma’lul (obyek yang di-‘‘illat). Karena akan menimbulkan melebarnya pembahasan, padahal tujuan dapat dicapai dengan salah satunya saja.

 

Kemudian, berpijak pada kebolehan dua ashl atau lebih bagi satu far’u, tatkala mu’taridl melancarkan counter gawidih berbentuk alfargu, yakni mengajukan pembedaan antara far’u dengan salah satu ashl, maka apakah hal ini telah mencukupi dalam mencacatkan dalil qiyas? Tentang hal ini, terdapat tiga pendapat:

 

  1. Pendapat ashah, telah mencukupi, karena mu’taridl telah berhasil membatalkan sisi kesamaan antara ashl dan far’u yang diklaim oleh mustadill.

 

  1. Pendapat kedua, tidak mencukupi, karena kemandirian masingmasing dari ashi.

 

  1. Pendapat ketiga, telah mencukupi jika yang dikehendaki adalah ilhaq (penyamaan) terhadap gabungan beberapa ash, Karena hal ini membatalkan sisi kesamaan antara ashl dan far’u. Berbeda halnya jika yang dikehendaki adalah masing-masing dari ashi-ashl tersebut secara mandiri.

 

Selanjutnya, jika mu’taridl mengajukan pembedaan antara faru dengan semua ashl-nya, cukupkah mustadill menanggapi salah satu ashl saja? Ada dua pendapat tentang hal ini:

 

  1. Telah mencukupi, karena tujuan yang berupa tanggapan atas salah satu di antara ashl-ashl tersebut telah tereapai.

 

2 Tidak cukup, karena mustadill telah menyanggupi untuk menampilkan keseluruhan ashl, maka dia wajib pula memberikan tanggapan pada satu per satu as yang di-farqu oleh mu’tarid. Pendapat kedua ini adalah versi aujah yang selaras dengan pendapat ashah di atas”.

 

Di antara qawadih adalah “fasidul wadl’i” (kesalahan peletakan), dengan deskripsi bahwa dalil tidak layak untuk peruntutan hukum. Seperti menyimpulkan peringanan dari pemberatan, perluasan dari kesempitan, dan penetapan dari peniadaan, dan ketetapan mempertimbangkan jami’ (titik temu) dengan nash atau ijma’ dalam kebalikan dari hukum. Dan tanggapan atas fasidul wadl’i adalah dengan menetapkan penafiannya (dari dalil).

 

FASADUL WADL’I

 

Qawadih kedua belas, asadul wadi’i (salah peletakan)” Yaitu dalil tidak layak diperhitungkan dalam peruntutan munculnya hukum. Seperti, bahwa dalil layak untuk memunculkan kebalikan (dlidd) atau negasi (naqidl) dari hukum, atau tidak layak sama sekali, yakni dalil yang ada berupa sifat yang thardi, yang tidak layak diplot sebagai ‘‘illat. Sebagaimana

 

beberapa hal berikut:

 

  1. Penyimpulan hukum yang meringankan (takhfif) dari dalil yang semestinya menimbulkan hukum yang memberatkan (taghlidh),

 

  1. Penyimpulan hukum yang melonggarkan (tausi) dari dalil yang semestinya menimbulkan hukum yang mengetatkan (tadlyig):

 

  1. penyimpulan hukum yang meniadakan (nafi) dari dalil yang semestinya menimbulkan hukum yang menetapkan (itsbat),

 

4 Penyimpulan hukum yang menetapkan (itsbat) dari dalil yang semestinya menimbulkan hukum yang meniadakan (nafi).

 

  1. Jami” antara ash dan far’u yang direkomendasikan oleh nash atau ijma’ sebagai dasar penetapan dari kebalikan hukum yang diajukan mustadill.

 

Sedangkan tanggapan yang bisa diberikan mustadill adalah dengan menetapkan bahwa fasadul wadl’i tidak ditemukan dari dalil yang disampaikannya. Dalam arti, bahwa dalil yang disampaikannya telah memenuhi kelayakan dalam peruntutan menuju hukum yang diajukan,

 

Berikut ini contoh masing-masing dari beberapa bentuk qawadih fasadul wadl’i berikut tanggapan yang bisa diberikan mustadill.

 

Contoh penyimpulan hukum yang meringankan (takhfif) dari dalil yang semestinya menimbulkan hukum yang memberatkan (taghlyiq),

 

Mustadill Hanafiyah : Pembunuhan dengan kesengajaan adalah sebuah kejahatan berat, karenanya tidak wajib adanya kafarat, sebagaimana tindakan murtad

 

Mu’taridl : Alasan “kejahatan berat” seharusnya justru menyimpulkan hukum yang memberatkan, bukan malah: meringankan, dengan meniadakan kewajiban kaffarat.

 

Mustadill : Bahwa dalam permasalahan pembunuhan ini, pemberatan telah dilakukan dengan penerapan gishash, sehingga tidak perlu diberatkan lagi dengan kaffarat.

 

Contoh penyimpulan hukum yang melonggarkan (tausi) dari dalil yang semestinya menimbulkan hukum yang mengetatkan (tadlyiq):

 

Mustadill : Zakat wajib ditunaikan dengan cara irtifaq (memperhatikan kepentingan muzakki) untuk tujuan memenuhi kebutuhan pencrima zakat. Karenanya, zakat bersifat tarakhi (tidak harus segera ditunaikan)

 

Mu’aridl : Alasan “memenuhi kebutuhan” seharusnya justru menyimpulkan hukum yang mengetatkan (mudlayyig), bukan malah melonggarkan (tansi), dengan menetapkan sifat tarakhi.

 

Mustadill : Dalam dalil terdapat sisi irtifag (memperhatikan kepentingan murzakki) yang memang selayaknya menimbulkan hukum tarakhi.

 

Dalam argumentasi mustadill di atas, terdapat dua sisi, sisi irtifaq dan sisi pemenuhan kebutuhan. Mu’taridl memandang sisi pemenuhan kebutuhan, sehingga menurutnya hukum yang disimpulkan adalah bahwa yakat bersifat segera, bukan sebaliknya, bersifat tarakhi, Akan tetapi mustadill memandang sisi irtifaq, sehingga menurutnya hukum yang disimpulkan adalah tarakhi.

 

Contoh penyimpulan hukum yang meniadakan (nafi) dari dalil yang semestinya menimbulkan hukum yang menetapkan (itsbat) ,

 

Mustadill : Dalam mu’athah pada selain barang-barang yang sepele, bersamaan dengan kerelaan tidak ditemukan adanya shighat, karenanya jual beli dihukumi sah, sebagaimana dalam mu’athah pada barang-barang yang sepele.

 

Mu’taridl : alasan “tidak adanya shighat” seharusnya justru menyimpulkan hukum yang meniadakan (nafi), bukan malah menetapkan (itsbat), dengan mengesahkannya. Yakni bahwa ketiadaan shighat semestinya menimbulkan tidak sahnya jual beli, bukan malah sebaliknya.

 

Mustadill : Hukum keabsahan jual beli didasarkan pada adanya kerelaan, bukan dari ketiadaan shighat.

 

Contoh penyimpulan hukum yang menetapkan (itsbat) dari dalil yang semestinya menimbulkan hukum yang meniadakan (nafi),

 

Mustadill : Dalam mu’athah pada barang-barang yang sepele, hanya ada saling kerelaan, karenanya jual beli tidak sah, sebagaimana dalam mu’athah pada selain barang-barang yang sepele.

 

Mu’taridl : Alasan “hanya ada saling kerelaan” seharusnya justru menyimpulkan hukum yang menetapkan (itsbat), bukan malah meniadakan (nafi), dengan tidak mengesahkan jual beli. Yakni bahwa adanya saling kerelaan semestinya menimbulkan keabsahan jual beli, bukan justru sebaliknya.

 

Mustadill : Hukum tidak sahnya jual beli didasarkan pada tidak adanya shighat, bukan dari adanya kerelaan.

 

Contoh jimi’ yang direkomendasikan oleh nash sebagai dasar penetapan dari kebalikan hukum yang diajukan,

 

Mustadil Hanafiyyah : Kucing adalah hewan buas yang bertaring, sehingga air sisa minumannya dihukumi najis, sebagaimana anjing

 

Mu’taridl : faktor “hewan buas” seharusnya justru menimbulkan hukum “suci”, bukan sebaliknya. Karena ada nash yang merekomendasikan bahwa faktor “hewan buas” menjadi “Ya dari hukum “suci”. Nash tersebut adalah sebuah hadis riwayat Imam Ahmad dan yang lain, bahwa Rasulullah saw. pernah diundang ke sebuah rumah yang ada anjing di dalamnya, lalu beliau menolak datang. Kemudian beliau diundang ke rumah yang lain, yang ada kucing di dalamnya, lalu beliau menghadirinya. Saat ditanya tentang alasannya, beliau menjawab, “Kucing itu hewan buas”

 

Mastadill : Tidak adanya hukum najis pada sisa air minuman kucing semata-mata karena adanya mani’ (penghalang)?,

 

Contoh jami’ yang direkomendasikan oleh ijma?’ sebagai dasar penetapan dari kebalikan hukum yang diajukan,

 

Mustadil Syafi’iyah : Mengusap kepala dalam berwudlu adalah termasuk pengusapan, karenanya disunnahkan adanya pengulangan, sebagaimana istinja’ yang disunnahkan melakukannya dengan bilangan ganjil Mu’taridl : Faktor “pengusapan” seharusnya justru menimbulkan hukum “tidak disunnahkannya pengulangan”. Karena ada ijma’ (sebagaimana dalam sebuah riwayat) yang menyatakan bahwa pengusapan khuf (sepatu kulit) yang juga terdapat faktor “pengusapan” tidak disunnahkan adanya pengulangan.

Mustadil : Jami’ dalam permasalahan ini tetaplah “pengusapan” Adapun dalam permasalahan pengusapan khuf yang tidak disunnahkan adanya pengulangan, semata-mata karena adanya mani (penghalang), yakni bahwa dengan mengulang-ulang mengusap khuf akan mempatalkannya, sebagaimana membasuh khuf.

 

Di antara gawadih adalah fasadul i’tibir, dengan deskripsi, bahwa dalil bertentangan dengan nash atau ijma’. Bentuk ini lebih umum daripada fasadul wadl’i Mu’taridl boleh mendahulukan fasadul i’tibar dari sanggahan-sanggahan lain, atau mengakhirkannya.

 

Tanggapan atas fasaddul itibar adalah seperti kritik atas sanad (dari nash atau ijma), atau mempertentangkannya (dengan nash lain), atau menolak klaim dhahir (dalam dalilah-nya), atau dengan men-ta’wil-nya dengan dalil.

 

FASAD AL-I’TIBAR

 

Qawadih ketiga belas, fasadul itibir, adalah bahwasanya dalil yang diajukan menyalahi nash atau ijma’. Fasidul itibir ini tidak tertentu berlaku pada qiyas saja, akan tetapi juga dalil-dalil yang lain. Berikut ini beberapa contohnya:

 

  1. Contoh fasidul i’tibir dengan ketidaksesuaian terhadap nash berupa Al-Qur’an: Argumentasi tentang kewajiban tabyit an-niyyat (menginapkan malam), yakni melakukan niat puasa pada malam hari. Mustadill menyatakan bahwa puasa ada’ di bulan Ramadan adalah puasa fardlu, maka tidak sah dengan niat yang dilakukan pada siang hari. Sebagaimana puasa gadla. Kemudian mu’taridl menyanggahnya, bahwa argumentasi tersebut bertentangan dengan firman Allah berikut:

 

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim laki-laki dan perempuan jang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala Jang besar”. (QS. Al-Ahzab: 35)

 

Dalam ayat ini Allah meruntutkan adanya pahala yang besar atas puasa, sebagaimana pula amalan lainnya, tanpa menjelaskan keharusan melakukan niat di malam hari. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa keabsahan puasa tanpa meletakkan niat di malam hari.

 

  1. Contoh fasadul i’tibar dengan ketidaksesuaian terhadap nash berupa hadis:

 

Argumentasi tentang ketidakabsahan qardlu (hutang piutang) dengan obyek berupa hewan. Mustadill menyatakan bahwa qardlu (hutang piutang) tidak sah dalam obyek yang berupa hewan, karena tidak dapat terukur sisi kesamaan dalam kadarnya, sebagaimana pula bahan-bahan campuran. Kemudian mu’taridl menyanggahnya, bahwa argumentasi tersebut bertentangan dengan hadits berikut :

 

“Bahwa Rasulullah saw. pernah berhutang l memesan dengan akad salam berupa anak unta dan mengembalikanl melunasinya berupa unta berumur tujuh tahun. Beliau bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam melunasi hutang”. (HR. Muslim dari Abi Rafi)

 

  1. Contoh fasidul i’tibar dengan ketidaksesuaian terhadap ijma’:

 

Argumentasi tentang ketidakbolehan seorang lelaki memandikan jenazah isterinya. Mustadill menyatakan bahwa suami tidak boleh memandikan jenazah isterinya, karena keharaman rnemandangnya, sebagaimana wanita gjnabiyyah. Kemudian mu’taridl menyanggahnya, bahwa argumentasi tersebut bertentangan dengan ijma’ sukuti, terkait tindakan Ali bin Abi Thalib ra. yang memandikan jenazah Fathimah ra., dimana para shahabat mendiamkan tindakan tersebut, sehingga terbentuklah ijma’ sukuti tentang diperbolehkannya suami memandikan jenazah isterinya.

 

Selanjutnya, mu’aridl dapat mendahulukan sanggahan berupa fasadul i’tibar sebelum mengajukan sanggahan-sanggahan dalam bentuk lainnya. Atau sebaliknya, mendahulukan sanggahan-sanggahan lain sebelum pada akhirnya mengajukan fasadul i’tibir.

 

Sedangkan tanggapan yang bisa diberikan oleh mustadill dalam menangkal sanggahan berupa fasadul i’tibar yang dilancarkan mu taridl adalah beberapa hal sebaga berikut:

 

  1. Kritik atas sanad dari nash, dengan klaim mursal atau yang lain.
  2. Mu’aradlah, yakni dengan menampilkan naspb lain yang muatannya bertentangan dengan nash yang diajukan mu’aridl sebagai sanggahan. Sehingga, dimungkinkan terjadi tasaquth (saling menggugurkan di antara dua nash) dan pada akhirnya, kembali ke dalil awal yang dijadikan argumentasi oleh mustadill.

 

3, Menolak bahwa nash yang diajukan mu’taridl dengan makna sebagaimana yang diklaimnya, adalah dhdhir.

 

4 Melakukan ta’wil terhadap nash yang diajukan mutaridl,

 

Di antara gawidih adalah menolak ke’illat-an sifat. Ini amamakan “muthilabah bi tashhih al ‘illat”, Menurut pendapat ashahh, muthalabah ini dapat diterima. Dan tanggapannya adalah AGS dengan menetapkan ke-’illat-an sifat. Di antara penolakan adalah menolak sifat dari ‘‘illat. seperi perkataan kita dalam pembatalan puasa dengan selain jimak, “Kaffarat diberlakukan untuk menjerakan dari jimak yang terlarang dalam puasa, sehingga kaffarat terkhusus pada jimak, sebagaimana hukuman hadd”. Lalu dikatakan, “Akan tetapi menjerakan dari pembatalan yang terlarang dalam puasa”.

 

Tanggapan atas bentuk penolakan ini adalah dengan menjelaskan dipertimbangkannya kekhususan sebuah sifat. Dan seakan-akan mu’taridl melakukan tanqihul manath dan mustadill melakukan tahqiqul manath.

 

Dan antara penolakan) adalah menolak ashl. Dan menurut pendapat ashah, perkataan mu’taridl didengar (sebagai qawadih).

 

AL-MUTHALABAH BI TASH-HIH AL-’ILLAT

 

Qawadih kempat belas, man’u ‘iliyyat al-washfi (penolakan ke-’illat an sifat), atau dalam nama lain disebut al-Muthdlabah bi tash-hih al-‘‘illat (tuntutan pengujian ‘‘illat) atau muthdlabah saja. Adalah sebuah sanggahan yang menolak klaim bahwa sifat tertentu yang diajukan mustadill adalah ‘illat dari hukum yang diperdebatkan. Tentang keabsahan muthalabah ini sebagai qawadih, terdapat dua pendapat:

 

  1. Pendapat ashahh, bahwa muthalabah dapat diterima. Karena jika tidak, pastilah mustadill akan berpegangan dengan apapun sifat yang disukainya sebagai ‘‘illat karena dia aman dari penolakan lawan.

 

  1. Pendapat lain, bahwa muthalabah tidak dapat diterima, karena akan menyebabkan pelebaran pembahasan, sebab adanya penolakan terhadap setiap sesuatu yang diasumsikan sebagai ‘‘illat.

 

Sedangkan tanggapan yang dapat diberikan mustadill atas qawadih berbentuk muthdlabah ini adalah dengan menetapkan ‘‘illat dengan salah satu di antara masdlikul ‘‘illat yang ada.

 

Selanjutnya, terkait dengan muthalabah yang merupakan sebentuk man’u (penolakan), ada beberapa bentuk man’u yang juga merupakan bentuk-bentuk gawadih, Paparan penjelasannya sebagaimana sub pembahasan berikut:

 

  1. Man’u washfil ‘‘illat (penolakan terhadap sifat dari ‘‘illat)

Maksudnya adalah penolakan bahwa sebuah sifat secara khusus dipertimbangkan sebagai bagian dari ‘‘illat. Contohnya adalah argumentasi Syafi’iyyah tentang pembatalan puasa dengan selain hubungan badan (jimak) tanpa perlu kaffarat, sebagaimana alur diskusi berikut:

 

Mustadill Syafi’iyah : Kaffarat diberlakukan langkah pencegahan dari jimak yang dikhawatirkan terjadi dalam puasa. Karenanya, kaffarat haruslah dikhususkan bagi pelanggaran perbuatan jimak. Sebagaimana badd yang juga dikhususkan bagi pelaku jimak dengan cara zina.

 

Mu’taridl : Kami tidak menerima jika kaffarat diberlakukan hanya sebagai langkah pencegahan dari jimak secara khusus. Akan tetapi sebagai langkah pencegahan dari segala bentuk pembatalan puasa yang dikhawatirkan terjadi.

 

Berikut komponen dalam qiyas diaatas:

Ashl : Hadd

Faru : Kaffarat

Hukum : Wajib adanya kekhususan hadd l kaffirat

‘illat : Sebagai langkah pencegahan dari jimak

 

Berbeda dengan man’u ‘iliyyat al-washfi atau muthdlabah, dalam man’u washfil ‘‘illat tidak terdapat perbedaan pendapat dalam keabsahannya sebagai gawidih, yakni bahwa semua ulama’ sepakat menerimanya. Syaikh Asy-Syirbini dalam Taqrirat-nya atas syarah Jam’ul Jawami’, menyatakan bahwa barangkali alasan penerimaan man’u washfil ‘illat dengan kesepakatan bulat ini karena tidak terjadinya pelebaran pembahasan, karena minimnya ‘‘illat-‘‘illat yang merupakan gabungan sifat-sifat”,

 

Kemudian, tanggapan yang harus diberikan mustadill adalah dengan menegaskan kekhususan sifat yang diplot sebagai sifat. Dalam contoh di atas, musfadill menegaskan kekhususan “perbuatan jimak” sebagai faktor kunci dalam keharusan kaffarat. Bukan semata-mata perbuatan yang membatalkan puasa. Ini karena Syari’ (dalam hal ini Rasulullah saw.) meruntutkan hukum kewajiban kaffarat dari perbuatan jimak, sebagaimana dalam sebuah hadis, bahwa ada seseorang yang melapor kepada beliau bahwa dia telah melakukan jimak di siang hari bulan Ramadan, lalu Rasul menyuruhnya untuk melakukan kaffirat.

 

Dalam hal ini, seakan-akan mu’taridl melakukan tangihul manath dengan membuang kekhususan-kekhususan pada obyek dan menggugurnya dari faktor yang menjadi pertimbangan hukum. Sedangkan mustadill seakan-akan melakukan tahgigul mandth dengan menjelaskan kekhususan sifat pada sebuah obyek untuk dijadikan sebagai faktor pertimbangan hukum.

 

  1. Man’u hukmil ashli (penolakan terhadap hukum ashal)

Contohnya adalah perdebatan tentang status akad ijarah (persewaan, jasa) setelah pelaku akad meninggal dunia, sebagai berikut:

 

Mustadill Hanafiyah : Ijarah adalah akad atas kemanfaatan, sehingga batal dengan adanya kematian, sebagaimana nikah. Mautaridl : Nikah tidak batal dengan adanya kematian, akan tetapi sekadar telah usai.

 

Berikut komponen dalam qiyas di atas”:

Ashl : Nikah

Far’u :Ijarah

Hukum : – Batal akibat adanya kematian (versi mustadill)

– Tidak batal akibat adanya kematian (versi mu tarid))

‘illat : Akad atas kemanfaatan

 

Apakah bentuk sanggahan ini dapat diterima? Ada dua pendapat menyikapi hal ini: Pendapat pertama, yakni pendapat ashahh menyatakan bahwa man’u hukmil ashli dapat diterima. Pendapat kedua, yakni pendapat yang diriwayatkan dari Syaikh Abu Ishaq asy-Syairavzi, bahwa man’u hukemil ashli tidak dapat diterima. Karena mu’taridl tidak fokus melakukan sanggahan terhadap obyek utama, yakni penetapan hukum dalam far’u, akan tetapi justru mempermasalahkan hukum ashl Menurut versi ashah, bahwa mustadill belum dinyatakan kalah sebab man’u hukmil ashli. Dan menurut ashah, apabila mustadill mengemukakan dalil atas hukum ash maka mu’taridl belum kalah, bahkan dia boleh menyanggah (kedua kalinya). Terkadang dikatakan, “Kami tidak menerima hukum ash”, “Kami menerima (hukum ash), tetapi kami tidak menerima bahwa hukum ashl itu bisa dijadikan acuan qiyas”, “Kami menerima (bahwa hukum ashl itu bisa dijadikan acuan qiyas), tetapi kami tidak mencrima bahwa hukum ashl di-‘‘illati”, “Kami menerima (bahwa hukum ashl d ‘illati), tetapi tidak menerima bahwa sifat ini adalah ilat-nya”, “Kami mencrima (bahwa sifat ini adalah ‘‘illatat-nya), tetapi kami tidak mencrima adanya sifat tersebut dalam ashl: “Kami menerima (adanya sifat dalam ashl), tetapi kami tidak mencrima bahwa sifat tersebut bisa dikembangkan”, “Kami menerima (bahwa sifat tersebut bisa dikembangkan), tetapi kami tidak menerima adanya sifat dalam far’u. Kemudian dijawab tanggapan menggunakan sebagian metode-metode yang telah diketahui. Sehingga diperbolehkan mengajukan  sanggahan-sanggahan dari satu macam bentuk, begitu pula diperbolehkan dari berbagai macam bentuk, meskipun berantai, menurut pendapat ashah.

 

KEKALAHAN MUSTADIL SEBAB MAN’U HUKMIL ASHLI

 

Selanjutnya, berdasarkan pendapat pertama yang menyatakan bahwa man hukmil ashli dapat diterima, maka apakah dengan bentuk sanggahan ini, mustadil begitu saja dinyatakan kalah? Ada beberapa pendapat tentang hal ini.

 

  1. Pendapat pertama, yakni pendapat yang unggul, menyatakan bahwa mustadill belum dinyatakan kalah. Karena bentuk sanggahan ini hanya menolak mugaddimah atau premis dari qiyas, maka tatkala mustadil! disanggah, dia bisa menanggapinya dengan membuktikan bahwa hukum ashl adalah sebagaimana yang dia paparkan. Mustadill baru dinyatakan kalah jika dia tidak mampu membuktikan hukum as sebagaimana dia klaimkan.

 

2 Pendapat kedua, bahwa mustadill telah dinyatakan kalah. Karena dia telah berpindah dari jalur pembahasan yang semestinya (yakni penetapan hukum dalam far’u) menuju pembahasan yang lain (yakni penetapan hukum ashl).

 

  1. Pendapat ketiga, bahwa mustadill dinyatakan kalah jika penolakan hukum ashl itu merupakan sesuatu yang jelas yang diketahui kebanyakan fuqaha’, dan mustadil tidak mecngatakan, “jika kau menerima hukum ashl kalau tidak maka aku akan berpindah pembahasan”. Berbeda halnya jika hanya diketahui oleh beberapa orang fuqaha’ saja atau mustadill mengatakan ucapan di atas, maka dia belum dianggap kalah.

 

Kemudian sebaliknya, jika setelah diajukan man’u hukumil ashli oleh mu’taridl, dan ternyata mustadill menyuguhkan dalil guna membuktikan pendapat awalnya, maka apakah mu’aridl dianggap kalah semata-mata akibat adanya dalil lanjutan yang disodorkan msutadill ini? Ada dua pendapat tentang hal ini.

 

  1. Mu’taridl belum kalah. Dia berhak mengganti argumentasinya dan menyanggah dalil yang diajukan mustadilll karena bisa jadi argumentasinya-lah yang benar.

 

  1. Mu’taridl dianggap kalah, sehingga tidak berhak lagi mengajukan sanggahan, karena dia telah dianggap keluar dari alur diskusi sehingga berpaling dari pokok pembahasan.

 

Berikut ini contoh ungkapan-ungkapan penolakan yang dilakukan secara berantai:

 

  1. Kami tidak menerima hukum ashl sebagaimana disebutkan.

 

  1. Kami menerima hukum ashl ini, akan tetapi kami tidak menerima jika hukum ini termasuk di antara hukum-hukum yang berlaku qiyas di dalamnya. Mengapa tidak dikatakan bahwa dalam hukum ini terdapat perselisihan tentang berlakunya qiyas di dalamnya?

 

  1. Kami menerima bahwa hukum ini termasuk di antara hukum-hukum yang berlaku qiyas di dalamnya, akan tetapi kami tidak menerima jika hukum ini dapat di-‘‘illati. Mengapa tidak dikatakan bahwa hukum tersebut ta’abbudi?

 

  1. Kami menerima bahwa hukum ini dapat di-‘‘illati, akan tetapi kami tidak menerima bahwa sifat ini adalah ‘‘illat-nya. Mengapa tidak dikatakan bahwa ‘‘illat-nya adalah sifat yang lain?

 

  1. Kami menerima bahwa sifat ini adalah ‘‘illat-nya, akan tetapi kami tidak menerima bahwa sifat ini ada pada ashl.

 

  1. Kami menerima bahwa sifat ini ada pada ashl, akan tetapi kami tidak menerima jika sifat ini muta’addi. Mengapa tidak dikatakan bahwa sifat

 

  1. Kami menerima bahwa sifat ini myta’addi, akan tetapi kami tidak menerima bahwa sifat ini ada pada far’u.

 

Penolakan-penolakan di atas, tiga yang pertama berhubungan dengan hukum ashl, empat yang terakhir berhubungan dengan ‘‘illat, sebagian terkait dengan ashl, sebagian terkait dengan far’u. Tanggapan yang dapat dilontarkan oleh mustadill adalah dengan menyangkal masing-masing dari penolakan tersebut dengan caranya masing-masing, jika mustadill menghendakinya. Jika tidak demikian, mustadil fdapat langsung menanggapi sanggahan terakhir saja, karena yang terakhir diajukan dengan pengandaian penerimaan poin-poin sebelumnya. Contoh penerapan:

 

Mustadill : Buah pohon “bidara adalah barang ribawi, dengan ‘‘illat bahan yang ditakar, sebagaimana kurma Mu’taridl :

  1. Kami tidak menerima bahwa kurma adalah barang ribawi.

 

  1. Kami menerima bahwa kurma adalah barang ribawi, akan tetapi kami tidak menerima bahwa hukum ini termasuk di antara hukum-hukum yang di dalamnya berlaku qiyas.

 

  1. Kami menerima bahwa hukum ini termasuk di antara hukum-hukum yang di dalamnya berlaku qiyas, akan tetapi kami tidak mencrima bahwa hukum ini dapat di’illati Mengapa tidak dikatakan bahwa hukum tersebut ta’abbudi?

 

  1. Kami menerima bahwa hukum ini dapat di-’illati, akan tetapi kami tidak menerima bahwa “bahan yang ditakar” adalah ‘‘illat-nya. Mengapa tidak dikatakan bahwa ‘‘illat-nya adalah sifat yang lain?

 

  1. Kami menerima bahwa “bahan yang ditakar” adalah ‘‘illat-nya, akan tetapi kami tidak menerima wujudnya ‘‘illat tersebut pada kurma.

 

  1. Kami menerima wujudnya ‘‘illat tersebut pada ashl. yakni kurma, akan tetapi kami tidak menerima bahwa ‘‘illat tersebut dapat mengembang (muta’addi) pada obyek yang lain, buah pohon bidara misalnya. Mengapa tidak dikatakan bahwa ‘‘illat tersebut adalah gashir (tidak dapat mengembang)?

 

  1. Kami mencrima bahwa ‘‘illat tersebut muta’addi, namun kami tidak menerima wujudnya ‘‘illat tersebut pada buah bidara.

 

Dan paparan di atas, diketahmu bahwa boleh mengajukan beberapa sanggahan. Jika beberapa sanggahan tersebut dari satu macam bentuk saya, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang bolehnya hal ini. Seperti pengajuan beberapa an-naqdlu sekaligus, atau beberapa mu’aradlah dalam ashl ataupun farm secara sekaligus. Karena beberapa sanggahan tersebut tak ubahnya satu sanggahan saja, baik berantai ataupun tidak.

 

Sedangkan jika beberapa sanggahan tersebut dari berbagai macam bentuk, seperu an-nagdlu, ‘adamut ta’tsir dan mu’aradlah, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat

 

  1. Pendapat ashah, sebagaimana dipedomani mayoritas ulama’, bahwa sanggahan dari berbagai bentuk tersebut diperbolehkan, meskipun disampaikan secara berantai. Penyampaian sanggahan secara berantai maksudnya bahwa sanggahan setelahnya mengharuskan adanya penerimaan atas obyek sanggahan sebelumnya. Hal ini karena penerimaan tersebut hanyalah sebatas pengandaian (taqdiri) saja.

 

2 Pendapat kedua, tidak diperbolehkan secara mutlak, karena akan menyebabkan melebarnya pembahasan. Sehingga harus fokus pada satu sanggahan saja.

 

  1. Pendapat ketiga, terdapat perincian. Jika sanggahan-sanggahan tersebut disampaikan tidak secara berantai, maka diperbolehkan. Tetapi jika disampaikan secara berantai, maka tidak diperbolehkan, karena sanggahan-sanggahan sebelum yang terakhir semuanya diterima, sehingga penyebutannya menjadi sia-sia. Dengan disampaikannya sanggahan kedua, berarti mu’taridl telah menerima pernyataan pada sanggahan pertama, yakni bahwa mu’taridl telah menerima bahwa hukum dalam ashl adalah sebagaimana dinyatakan musfadill. Karenanya, sanggahan pertama menjadi tidak berguna, dan tentu saja tidak berhak untuk dijawab oleh mustadill. Namun, mayoritas ulama’ menanggapi bahwa penerimaan tersebut hanyalah sebatas pengandaian saja. Bukan penerimaan yang sebenarnya, yang sehingga menjadikannya tidak berguna, sebagaimana diklaim oleh pendapat ketiga ini.

 

Berikut ini contoh-contoh penyampaian sanggahan-sanggahan, baik dari satu bentuk ataupun beberapa bentuk, secara berantai ataupun tidak: .

 

Sanggahan dari satu macam bentuk secara berantai:

->Apa yang telah disebutkan bahwa hal itu adalah ‘‘illat, di-nagdlu dengan hal demikian. Dan seandainya diterima, maka hal itu di-nagdlu dengan hal demikian.

 

Sanggahan dari satu macam bentuk secara tidak berantai:

-> Apa yang telah disebutkan bahwa hal itu adalah ‘‘illat, di-nagdlu dengan hal demikian, dan juga di-naqdlu dengan hal demikian.

 

Sanggahan-sanggahan dari beberapa macam bentuk secara berantai:

-> Apa yang telah disebutkan berupa sifat, tidak ditemukan dalam ashl. Dan seandainya diterima, maka hal itu di-mu’aradlah dengan hal demikian.

 

Sanggahan-sanggahan dari beberapa macam bentuk secara tidak berantai:

-> Sifat ini di-nagdlu dengan hal demikian, atau tidak ada ta’fsir karena hal demikian.

 

Di antara gawadih adalah ikhrilafudl dlabithail  ashli wal fari (perbedaan batasan dalam ashl dan far’u). Tanggapannya adalah dengan menjelaskan bahwa jami-nya adalah kadar kesamaan (al-qadrul musytarak), atau bahwa efek pada hukum adalah sama, bukan tanggapan dengan mengabaikan perbedaan.

 

IKHTILAF ADL-DLABITH

 

Oawadih kelima belas, ikhtilaf adl-dlabith atau perbedaan dlibith” antara ashl dan far’u, dikarenakan tidak adanya keyakinan terhadap jdmi’, baik dari sisi keberadaannya maupun kesamaannya.

 

Contohnya adalah perdebatan tentang saksi palsu yang menyebabkan orang lain dibunuh, apakah menyebabkan gishash ataukah tidak. Mustadill menyatakan bahwa saksi palsu menyebabkan terbunuhnya orang yang dipersaksikannya. Karena itu dia wajib dikenakan gishash. Sebagaimana seseorang yang memaksa orang lain untuk membunuh. Lalu mu’taridl menyanggah,bahwa dlabith dalam ashl adalah “pemaksaan”, sedangkan dlabith dalam far’u adalah “persaksian”. Karenanya, mu’taridl mengajukan sanggahan dengan salah satu di antara dua sanggahan:

 

  1. Di manakah letak jami’ (pemersatu) di antara dlabith dalam ashl dan diabith dalam far’u

 

  1. Meskipun sama-sama menycbabkan pada tujuan (yakni bahwa penerapan vonis gishash dalam kasus pemaksaan dan persaksian palsu sama-sama bermuara pada hifdhun-nafsi atau perlindungan jiwa), tetapi di manakah letak kesamaannya? Bukankah pola hubungan sebab-akibat (yakni bahwa dengan memvonis gishash akan tereapai tujuan hidhun-nafs) dalam dlabith “pemaksaan” lebih besar daripada pola sebab-akibat dalam dlabith “persaksian palsu”?

 

Kemudian tanggapan dari mustadilldapat bisa menggunakan salah satu dari dua cara:

 

  1. Menjelaskan bahwa jami-nya adalah a-gadrul musytarak (kadar yang menjadi faktor kesamaan) di antara kedua dlabith tersebut. Dalam hal ini adalah tasabbub (perantara penyebab pembunuhan), dan hal ini mundlabith (terukur) secara urf’.

 

  1. Menjelaskan bahwa pola hubungan sebab-akibat (ifdla) dalam dlabith dari far’u, sama seperti pola hubungan sebab-akibat dalam dlabith dari ashl. Dalam arti, sama dalam menghantarkan menuju maksud, berupa peruntutan hukum.

 

Keterangan :

  1. Tanggapan nomor (1) mengacu pada sanggahan nomor (1), dan tanggapan nomor (2) mengacu pada sanggahan nomor (2).

 

  1. Tanggapan belum cukup hanya dengan mengabaikan selisih (perbedaan) antara dua dlabith. Karena adanya perbedaan terkadang diabaikan sebagaimana “Orang pandai di-gishish karena membunuh orang bodoh”, perbedaan sifat pandai dan bodoh diabaikan dalam hal adanya konsekwensi gishish, Dan, terkadang perbedaan menjadi pertimbangan, sebagaimana “Orang merdeka tidak di-gishash karena membunuh budak”.

 

Di antara gawadih adalah at-taqsim, yakni keberadaan lafadh berkisar antara dua hal, salah satunya tereegah. Pendapat terpilih menyatakan bahwa tagsim bisa diterima (sebagai gawadih).

 

Tanggapan atas tagsim adalah bahwa lafadh tereetak meski sedara urf (kebiasaan), atau bahwa lafadh itu dhahir dalam makna yang dikehendaki.

 

AT-TAQSIM

 

Qawadih keenam belas, tagsim, adalah keberadaan lafadz yang ditampilkan dalam dalil berkutat pada dua makna atau lebih, secara seimbang, dan salah satu atau di antaranya tereegah. Menurut pengarang, fagsim bermuara pada bentuk istifsar bersamaan dengan man’u terhadap wujud ‘‘illat dalam salah satu kemungkinan makna lafadh.

 

Sedangkan tanggapan yang dapat diberikan oleh mustadill adalah bahwa lafadh tersebut dicetak untuk menunjukkan makna sebagaimana dikehendaki mustadill, meski secara ‘urf saja, sebagaimana lafadh tersebut dicetak untuk makna tertentu secara lughat. Atau, bahwa lafadh tersebut adalah dhihir dalam makna yang dikehendaki mustadill, meski dengan bantuan adanya garinah, sebagaimana sebuah lafadh dapat berstatus dhdhir tanpa bantuan qarinah. Dalam menyatakan tanggapan, mustadill harus menjelaskan sisi wadl7 dari periwayatan para imam ahli lughat, atau sisi dhahir dalam makna yang dikehendakinya.

 

Berikut ini contoh gawiadih berbentuk tagsim,

Mustadill : Wudlu adalah sebuah bentuk ibadah. Maka dalam wudlu wajib adanya niat. Sebagaimana tayammum.

 

Mu’taridl : Wudlu adakalanya bermakna “aktivitas kebersihan” atau “pekerjaan-pekerjaan yang khusus”. Makna pertama tereegah bahwa itu adalah ibadah. Sedangkan makna kedua dapat diterima bahwa itu adalah ibadah, akan tetapi tidak dapat memberikan kesimpulan tentang wajibnya niat.

 

Mustadill : Lafadh “wudlu” dengan makna haqiqat syar’iyyah adalah makna kedua.

 

Contoh lain”: Istidlal terhadap tetapnya kepemilikan bagi pembeli dalam masa khiyar syarat, dengan wujudnya penyebab kepemilikan, yakni jual beli yang dilakukan oleh ahlinya (yakni orang yang memenuhi syarat melakukan jual beli) pada tempatnya (yakni obyek yang layak diperjualbelikan). Kemudian mu’aridl menyanggah, bahwa penyebab kepemilikan adakalanya mutlaknya jual beli (yakni sembarang bentuk jual beli), atau jual beli yang mutlak, yang tidak ada persyaratan di dalamnya. Yang pertama tereegah (karena tidak semua bentuk jual beli menyebabkan adanya kepemilikan). Dan yang kedua dapat diterima (yakni bahwa jual beli tanpa adanya pensyaratan, dapat menyebabkan adanya kepemilikan), akan tetapi hal ini bukanlah pokok pembahasan (karena pokok pembahasan adalah jual beli di masa khiyar syarat, yakni jual beli dengan adanya pensyaratan opsi melanjutkan jual beli atau tidak).

 

Contoh lain”: Mustadill menyatakan bahwa perempuan mukallaf adalah perempuan yang berakal, sehingga akad nikah yang dilakukannya adalah sah, sebagaimana lelaki. Lalu mu’taridl menyanggah, bahwa yang dimaksud ‘ “perempuan berakal” adakalanya perempuan yang berpengalaman, atau perempuan yang memiliki ide dan rencana bagus, atau perempuan yang memiliki akal secara alamiah (yakni bukan orang gila). Dua kemungkinan makna yang pertama tereegah, yakni tidak layak diplot sebagai ‘‘illat. Sedangkan kemungkinan makna ketiga dapat diterima, akan tetapi argumentasi dengan makna ini tidak memadahi. Karena perempuan yang masih bocah juga memiliki akal secara alamiah, akan tetapi tidak sah melakukan akad nikah. Ini adalah contoh dari tardid (mengutatkan) sebuah lafadh dalam lebih dari dua arahan makna.

 

Selanjutnya, menurut pendapat terpilih, tagsim dapat diterima sebagai gawadih, karena tidak sempurnanya dalil akibat adanya taqsim. Yakni, bahwa dengan semata-mata menawarkan arahan makna lain selain yang dikehendaki mustadill, istidlal yang diterapkan mustadill menjadi tersanggah karena lafadh yang menjadi pijakan istidlal dianggap tidak jelas mengarah pada yang dikehendaki. Pendapat lain menyatakan bahwa taqsim tidak efcktif sebagai qawadih, karena sanggahan salah sasaran. Yakni bahwa dalam tagsim, man’u yang dilancarkan mu’aridl tidak mengarah pada arahan makna yang dikehendaki oleh mustadil.

 

Sanggahan-sanggahan kesemuanya kembali pada penolakan. Pendahuluannya adalah isistifsar (permintaan penjelasan), yakni permintaan untuk menyebutkan makna lafadh jika terdapat ungkapan asing atau sisi myjmal. Dan menurut pendapat ashahh, penjelasan keduanya (terdapat ungkapan asing dan sisi mujmal) adalah tugas mu’tarid. Dia tidak dibebani kewajiban membuktikan berimbangnya beberapa arahan makna dari lafadh (dalam klaim mujmal). Mu’taridl cukup mengatakan, “Yang lebih unggul, beberapa arahan makna tersebut tidak berbeda”. Kemudian mustadil menjelaskan ketiadaan keduanya (yakni ungkapan asing dan sisi mujmal), atau menjelaskan lafadh dengan pemaknaan yang muhtamal (kemungkinan makna yang dapat diterima secara bahasa): dikatakan (dalam sebuah pendapat) atau dengan pemaknaan yang bukan muhtamal, Pendapat terpilih, klaim mustadill atas ke-dhahiran dalam makna yang dimaksud tidak diterima, tanpa dalil nagl atau qarinah.

 

HAL-HAL TERKAIT QAWADIH”

 

Dalam kaitannya dengan gawadih, ada bentuk-bentuk sanggahan dengan istilah tertentu. Namun jika disimpulkan, secara garis besar setidaknya ada dua bentuk sanggahan, man’u dan ma’aradlah.

 

Secara harfiah, man’u bermakna mencegah atau menolak. Secara istilah, man’u adalah menuntut dalil atas muqaddimah dari dalil.

 

Contoh:

Mustadill memaparkan argumentasi bahwa dalam wudlu wajib adanya niat. Dia menyatakan bahwa wudlu adalah ibadah. Dan dalam setiap ibadah wajib adanya niat. Karenanya, dalam wudlu wajib adanya niat. Lalu ma’taridl menyanggahnya dengan menyatakan bahwa dia menolak l tidak setuju jika wudlu adalah ibadah.

 

Sedangkan mu’aradlah, secara harfiah berarti mempertentangkan atau membenturkan. Dan secara istilah adalah menampilkan dalil yang memberikan kesimpulan yang merupakan nagidl (negasi) atau diidd (antonim) dari kesimpulan yang dipaparkan mustadill.

 

Contoh: Mustadill memaparkan argumentasi tentang bocah perempuan yang tidak memiliki ayah dan kakek, hak perwalian nikah atasnya dipegang oleh para wali selain ayah dan kakek, sebagaimana halnya bocah perempuan yang memiliki ayah atau kakek, dengan sebuah ‘‘illatat “sifat bocah”.

 

Mu’taridl menyanggahnya dengan memaparkan dalil lain, bahwa “sifat bocah” mengharuskan perwalian nikahnya tidak boleh dipegang oleh saudara, sebagaimana perwalian dalam pengurusan hartanya, dengan ‘‘illat “keterbatasan rasa kasih sayang”.

 

Selanjutnya, sebagaimana dipaparkan pengarang, bahwa semua bentuk i’tiradl atau sanggahan (yang dikendaki dalam hal ini adalah semua bentuk qawadih) bermuara pada bentuk man’u (secara harfiah: penolakan). Sedangkan menurut mayoritas ulama’, bahwa bentuk-bentuk i’tiradl bermuara pada salah satu di antara man’u atau mu’aradlah. Hal ini karena tujuan mustadill dalam mengukuhkan klaimnya terwujud dengan keabsahan muqaddimah agar layak sebagai “saksi”, dan dengan terhindar dari hal-hal yang bertentangan (mu’aridl), agar persaksian muqaddimah tersebut bisa efektif berlaku. Sedangkan tujuan mu’taridl dalam meruntuhkan klaim mustadill terwujud dengan sanggahan atas keabsahan dalil melalui penolakan atas muqaddimah atau melalui pembenturan dengan dalil yang mampu membandinginya. As-Subuki dan sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa semua i’tiradl bermuara hanya pada bentuk man’u saja, menegaskan bahwa pada hakikatnya, mu’aradlah adalah menolak (man’u) “Silat dari berlaku secara efektif untuk memunculkan hukum.

 

Kemudian, bentuk pendahuluan dari i’tiradl adalah isistifsar, yakni permintaan untuk menyebutkan makna sebuah lafadh sekira mu’taridl menganggapnya gharib (asing) atau mujmal (global). Dan menurut pendapat ashah, pembuktian bahwa sebuah lafadh adalah gharib atau mujmal, menjadi beban tanggung jawab dari mu’taridl, karena secara hukum asal keduanya tidak ada. Menurut sebagian pendapat, pembuktian Status gharib atau mujmal dari sebuah lafadh dibebankan atas mustudill, agar argumentasinya menang. Berpijak pada pendapat bahwa pembuktian status gharib atau mujmal dibebankan pada mu’taridl, dia tidak diharuskan menjelaskan sisi kesamaan arahan makna dari sebuah lafadh agar bisa disebut mujmal, karena hal tersebut sulit dibuktikan. Dan seandainya mu’taridl mau bermurah hati dengan menjelaskan sisi kesamaannya, maka dia cukup mengatakan, “Hukum asal adalah tidak adanya perbedaan di antara sekian arahan makna lafadh ini”, meskipun dalam menanggapi ini, mustadill juga berkilah senada, “bahwa hukum keasalan adalah tidak adanya status mujmal”.

 

Dan tatkala sanggahan mu’taridl telah tuntas, mustadil menanggapinya dengan menjelaskan ketiadaan status gharib dan mujmal. Yakni dengan mengatakan bahwa lafadh yang diungkapkannya adalah dhahir dalam makna yang dikehendaki oleh mustadil Seperti contoh dialog berikut:

 

Mustadill : Wudlu adalah bentuk ibadah, maka wajib adanya niat.

Mu’taridi : Lafadh “wudlu” diungkapkan untuk makna “aktivitas kebersihan” dan makna “pekerjaan-pekerjaan yang khusus”.

Mustadill : Haqiqat syar’iyyah dari lafadh “wudlu” adalah makna kedua (yakni pekerjaan-pekerjaan yang khusus).

 

Atau, mustadill dapat menanggapinya dengan menjelaskan lafadh dengan sebuah makna yang muhtamal (makna yang bisa menjadi arahan makna lafadh tersebut secara bahasa).

 

Dalam sebuah pendapat, bahkan maustadill boleh mengarahkan lafadh pada makna yang bukan muhtamal. Hal ini, menurut pendapat tersebut, karena pada akhirnya maustadill berbicara dengan bahasa baru, dan hal ini tidak terlarang, berdasarkan kaidah bahwa bahasa adalah sebuah istilah. Contohnya adalah dialog berikut:

 

A : Aku melihat “asad”

B : Apa makna “asad”?

A : “Asad” adalah keledai

B : “Keledai” bukanlah makna yang muhtammal dari lafadh “asad”

A : Ini adalah istilahku sendiri

 

Akan tetapi pendapat ini ditolak, bahwasanya hal tersebut akan membuka pintu kebebasan penafsiran sekehendak hati.

 

Selanjutnya manakala mustadil setuju pada mu’tarid atas kemujmalan sebuah lafadz, kemudian mustadil mengajukan klaim atas status dhahir pada makna yang dikehendakinya, tanpa ada dalil naql berupa lughat atau urf atau tanpa garinah, apakah klaim maustadilltersebut dapat diterima ataukah tidak?. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.

  1. Pendapat terpilih, tidak dapat diterima. Karena klaim dhahir tidak berpengaruh setelah mu’taridl menjelaskan sisi mujmal.

 

  1. Pendapat lam, dapat diterima. Karena untuk menghindan yang statusnya menyalahi hukum asal. Silang pendapat ini berlaku pada lafadz yang tidak masyhur mujmalnya. Jika terjadi pada lafadz mujmal yang masyhur, seperti lafadz  dan , maka ulama sepakat menyatakan tidak diterima”.

 

Selanjutnya, penolakan tidak bisa ditujakan pada periwayatan pendapat, akan tetapi pada  dalil, sebelum tuntasnya dalil, atau setelah tuntasnya dalil. Yang mana (yakni saat dalil belum tuntas) adakalanya penolakan semata, Atau bersamaan dengan sandaran pendapat, seperti “Kami tidak menerima hal demikian mengapa tidak yang demikian saja?”, atau “Ini akan menjadi demikian hanya jika demikian”. Yang pertama ini dinamakan mundgadiah. Jika pihak penolak menampilkan hujjah atas klaim ketiadaan pendahuluan dalil, maka tindakan ini adalah ghashab (mengambil alih posisi mustadil), yang tidak diterima oleh para ulama’ muhaqqiq:

 

Yang kedua (yakni saat dalil telah tuntas), adakalanya besertaan dengan penolakan dalil, berpijak pada ketertinggalan hukumnya, maka disebut an-nagdlu at-tafshili, atau bisa juga disebut an-nagdu alijmali, atau besertaan dengan penerimaan dalil akan tetapi ber-istidlal dengan sesuatu yang menafikan ketetapan madlul, maka disebut mu’aradlah. (Gambarannya) mutaridl mengatakan, “Apa yang kau sebutkan, meski menunjukkan (atas apa yang kau katakan), tetapi menurutku terdapat hal yang menafikannya”. Dengan ini, mu’taridI berubah posisi sebagai mustadil. Bagi mustadill wajib menolak dengan memakai dalil.

 

Jika mu’taridl melakukan penolakan (kedua kalinya), maka seperti permasalahan yang telah lewat. Demikian seterusnya,hinggan melemahkan mustadilh atau meyakinkan penolak (mu’taridi).

 

SANGGAHAN DENGAN MAN’U DAN YANG LAIN

 

Teori man’u tidak dapat meng-counter terhadap periwayatan pendapat, akan tetapi terhadap dalil dari pendapat yang diriwayatkan. Dan, yang dikehendaki dari “man’u” di atas adalah semua bentuk I’tradl atau sanggahan, baik berupa man’u dengan pengertiannya sebagai sebuah istilah khusus dari sebentuk sanggahan atau yang selainnya.

 

Yakni, bahwa tatkala mustadil meriwayatkan beberapa pendapat ulama’, maka periwayatan ini tidak dapat disanggah, hingga mustadill menjatuhkan pilihan terhadap salah satunya dan ber-istidlal atas pendapat yang dipilihnya tersebut. Akan tetapi sasaran dari i’tiradl adalah dalil, baik sebelum tuntas dan sempurnanya dalil ataupun setelahnya. Dalil yang belum tuntas, yakni bahwa i’tiradl diarahkan pada mugaddimah dari dalil.

 

Kategori pertama, yakni sanggahan atas klaim sebelum tuntasnya dalil, disebut dengan istilah mundgadiah. Terbagi dalam dua kondisi.

 

  1. Sanggahan dengan menyertakan sandaran pendapat pribadi mu’taridl

 

Contoh:

– Kami tidak menerima hal semacam ini (A), mengapa tidak demikian (B) saja?

– Kami tidak menerima hal semacam ini (A), hukum menjadi semacam ini (A) hanya jika permasalahan adalah demikian (X).

 

  1. Sanggahan tanpa menyertakan sandaran pendapat pribadi mu’taridl

 

Contoh:

– Kami tidak menerima hal semacam ini (A). Jika dalam proses adu argumentasi, mu’taridl menampilkan hujjah (melakukan pembuktian) atas ketiadaan muqaddimah yang disanggahnya, maka hal semacam ini berarti ghashab atau mengambil alih peran mustadill,.dan para ulama’ muhaggig dari para pakar debat mengabaikan tindakan ini, artinya bahwa tindakan mu’taridl tersebut tidak berhak untuk mendapatkan tanggapan.

 

Kategori kedua, adalah sanggahan atas klaim setelah tuntasnya dalil Juga terbagi dalam dua kondisi.

 

  1. Sanggahan atas klaim disertai dengan penolakan (man’u) terhadap dalil (muqaddimah), berdasar adanya takhalluful hukmi. Ini disebut dengan an-nagdlu al-ijmali.

 

Contoh:

– Klaim yang kau sebutkan adalah tidak benar, karena tertinggalnya hukum dalam permasalahan demikian.

 

Disebut “ijmali” karena fokus man’u tidak tertentu. Berbeda halnya dengan an-nagdlu at-tafshili, yang merupakan man’u setelah tuntasnya dalil, yang berfokus pada muqaddimah tertentu.

 

  1. Sanggahan atas klaim hukum disertai dengan penerimaan (taslim) terhadap dalil (muqaddimah), dan istididl dengan kesimpulan yang menafikan tetapnya madiil (kesimpulan mustadill). Ini disebut ma’aradlah.

 

Contoh:

– Apa yang kau sebutkan, meskipun dapat menunjukkan atas klaim yang kau ajukan, akan tetapi aku memiliki dalil lain yang menafikannya.

 

Dalam kategori ma’aradlah ini, mu’taridl berpindah peran menjadi mustadill, dan sebaliknya, mustadill berubah menjadi mu ‘taridl. Kemudian, dengan adanya i’tiridl, mustadil berkewajiban memberikan tanggapan pembelaan dengan menyertakan dalil, tidak cukup hanya sekedar memberikan tanggapan berupa penolakan (man’u). Jika mu’tarid mengajukan sanggahan kedua, maka sebagaimana proses yang lalu (perincian sebelum dan sesudah tuntasnya dalil). Demikian pula jika ada siklus penolakan dan tanggapan yang ketiga, keempat dan seterusnya, hingga terkalahkannya mustadill dengan sanggahan-sanggahan, atau penerimaan mu’taridl jika telah sampai pada batas kesimpulan yang bertaraf kebenaran niseaya (dlaruri) atau keyakinan yang telah masyhur, sehingga tak mungkin lagi mu’taridl menyanggahnya'”.

 

Penutup : pendapat Ashah, qiyas adalah bagian dari agama. Dan qiyas juga bagian dari ushul fiqh.

 

Hukum dari maqis (perkara yang di-qiyas-kan) diucapkan bahwa “Itu adalah agama Allah”, dan tidak boleh dinyatakan bahwa “Allah dan Nabi-Nya telah mengatakannya”

 

Kemudian qiyas itu fardlu kifayah, yang menjadi fardlu ain atas mujtahid yang membutuhkannya.

 

URAIAN PENUTUP

 

Dalam uraian penutup ini, terdapat beberapa poin pembahasan sebagai penghujung tentang qiyas. Secara berurutan terpapar dalam sub-sub bab berikut ini.

 

QIYAS MERUPAKAN BAGIAN DARI AGAMA

 

Menurut pendapat ashah, qiyas adalah merupakan bagian dari agama. Pendapat ini beralasan bahwa qiyas itu diperintahkan oleh Allah melalui firman-Nya:

 

“Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”

 

Berikut ini skema logis dari penyimpulan di atas: Muqaddimah sughra : Oiyas adalah sesuatu yang diperintahkan

Muqaddimah kubra: Sesuatu yang diperintahkan adalah bagian dari agama

Natijah : Qiyas adalah bagian dari agama

 

Dalil dari Muqaddimah sughra tertera sebagaimana dalam ayat di atas. Sedangkan dalil dari muqaddimah kubra adalah sebagai berikut: bahwa agama adalah setiap sesuatu yang dengannya Allah SWT ditaati. Yakni bahwa dengan melakukan sesuatu itu, seseorang dianggap mentaati Allah SWT. Menurut pendapat lain, qiyas bukan merupakan bagian dari agama. Karena yang layak disematkan sebagai bagian dari agama adalah setiap sesuatu yang tsabit (tetap) dan mustamirr (berlanjut). Sedangkan qiyas tidaklah demikian, karena terkadang qiyas tidak dibutuhkan. Sehingga, dalam hal ini qiyas tidak mustamirr meskipun tsabit.

 

Pendapat ketiga menengah-nengahi. Bahwa qiyas adalah merupakan bagian dari agama, jika merupakan satu-satunya dalil pemutus permasalan hukum, dikarenakan tidak ada dalil selainnya. Lain halnya jika keberadaan qiyas bukan satu-satunya dalil pemutus hukum, dikarenakan masih ada dalil lain, sehingga keberadaan qiyas tidak dibutuhkan”.

 

QIYAS MERUPAKAN BAGIAN DARI USHUL FIQH

 

Menurut pendapat ashah, qiyas merupakan bagian dari ushul fiqh, sebagaimana dimaklumi dari definisinya. Pendapat lain, bukan merupakan bagian dari ushul fiqh. Karena qiyas disebutkan dalam kitab-kitab ushul fiqh karena tujuan para pakar ushul dalam mengukuhkan hujjahnya bergantung pada pemaparan qiyas. Pendukung pendapat kedua ini termasuk Imam Haramain. Beliau mengatakan, karena ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh, sementara dalil hanyalah untuk sesuatu yang memiliki dimensi kebenaran gath’i atau pasti. Sedangkan qiyas hanya menunjukkan dimensi kebenaran dhanni atau asumsi. Alasan yang dikemukakan Imam Haramain ini ditepis, bahwa qiyas terkadang memiliki dimensi kebenaran garth’. Juga tidak benar jika dalil hanya terkhusus untuk sesuatu yang berdimensi gath’i saja”.

 

PRODUK QIYAS MERUPAKAN AGAMA SYARIAT ALLAH

 

Produk qiyas, yakni hukum dari maqis (obyek masalah yang diqiyaskan) boleh kita sebut sebagai “agama Allah dan Rasul-Nya” atau “syariat Allah dan Rasul-Nya”. Akan tetapi tidak boleh kita katakan “perkataan Allah” atau “perkataan Rasulullah”. Karena produk qiyas adalah hasil istinbath, bukan nash.

 

HUKUM AKTIVITAS QIYAS Bahwa aktivitas qiyas adalah fardlu kifayah yang harus dijalankan oleh salah seorang dari mujtahid jika orang-orang muqallid tengah membutuhkannya, yakni tatkala mereka membutuhkan solusi hukum, dan hanya qiyas jalan keluarnya. Maka dalam hal ini, salah seorang mujtahid harus segera melakukan aktivitas qiyas untuk menjawab kebutuhan masyarakat mugallid. Aktivitas qiyas menjadi fardlu ‘ain jika seorang mujtahid dihadapkan pada sebuah masalah hukum, dan dia tidak mencmukan dalil selain qiyas.

 

Qiyas terbagi dalam qiyas qiyas jali, yaitu qiyas yang dipastikan ketiadaan Pembeda, atau qiyas yang mendekati hal tersebut. Sedangkan qiyas khafi adalah kebalikan qiyas jali. Beberapa versi lain dikatakan (dalam definisi qiyas jali dan khafi).

 

Qiyas ‘‘illat adalah qiyas yang ‘‘illat di dalamnya dijklaskan secara tersurat. Dan qiyas dalalah adalah qiyas dihimpun di dalamnya hal yang menjadi kelaziman dari ‘‘illat, lalu dampaknya, lalu hukumnya. Dan, qiyas dalam makna asal adalah menghimpun kesamaan dengan mengabaikan pembeda.

 

PEMBAGIAN OIYAS

 

  1. Berdasar kuat lemahnya qiyas : qiyas jaliy, qiyas khafiy dan qiyas widlih

 

Berdasar kuat lemahnya, qiyas terbagi menjadi qiyas jaliy dan qiyas khafiy. Oiyas jaliy didefinisikan dengan salah satu dari dua pengertian berikut: :

 

  1. Qiyas yang dapat dipastikan tidak adanya firig (pembeda antara ashl dan far’u). Yakni,. faktor pembeda dapat dipastikan terabaikan. Maksudnya, faktor pembeda dapat dipastikan tidak akan mempengaruhi terhadap kesamaan hukum antara ashl dan far’u.

Contoh: peng-qiyasan budak perempuan terhadap budak laki-laki dalam ketentuan hukum sirayah. Sirayah adalah menjalarnya status kemerdekaan budak akibat pemerdekaan oleh salah satu pemiliknya. Kejelasannya adalah sebagai berikut: Seorang budak dimiliki oleh dua orang (misalnya, atau lebih) dalam sebuah persekuan kepemilikan. Tatkala salah seorang pemiliknya (misalkan A) memerdekakannya, sedangkan pemilik yang lain (misalkan B) tidak memerdekakannya, : maka si budak merdeka sebatas kadar kepemilikan A yang memerdekakannya. Adapun sisanya (yakni kadar kepemilikan B yang tidak memerdekakannya) tidak ikut merdeka. Akan tetapi jika A adalah orang kaya (yakni memiliki harta sekadar uang yang bisa untuk menebus harga dari sisa kepemilikan atas budak yang dimiliki B), maka A wajib menebusnya dari B dan si budak merdeka secara penuh. Dan hak kewarisan wala’ ada pada A. Ketentuan ini tereantum dalam sebuah hadis yang secara tekstual menggunakan redaksi ‘abd (budak laki-laki). Kemudian, budak perempuan (amai), ketentuan hukumnya disamakan. Faktor pembeda berupa jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, dipastikan tidak mempengaruhi terhadap kesamaan hukum di antara keduanya dalam ketentuan sirayah.

 

  1. Oiyas yang keberadaan farig-nya memiliki peluang kemungkinan yang lemah. Artinya, keberadaan faktor pembeda antara ashl dan far’u kecil kemungkinan mempengaruhi kesamaan hukum antara ashl dan far’u.

 

Contoh: peng-qiyasan hewan ternak yang buta terhadap hewan ternak yang kabur pandangan matanya, dalam hal ketidakabsahan sebagai hewan kurban.

 

Sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas yang bukan kategori qiyas jaliy. Yakni qiyas yang pengaruh hukum oleh faktor pembeda di dalamnya memiliki peluang kemungkinan yang kuat.

 

Contoh: peng-qiyasan pembunuhan dengan benda berat terhadap pembunuhan dengan benda tajam, dalam hal kewajiban gishash. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa tidak ada gishash dalam pembunuhan dengan benda berat.

 

Tentang pengertian qiyas jaliy dan qiyas khafiy, terdapat alternatif pendapat yang lain. Di antaranya sebagai berikut:

 

– Qiyas jaliy diartikan sebagaimana pengertian pada pendapat terdahulu, yakni qiyas yang dapat dipastikan tidak adanya farig, atau qiyas yang keberadaan fariq-nya memiliki peluang kemungkinan yang lemah. Sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas syabah. Pendapat ini menambahkan bentuk qiyas yang lain, yakni qiyas widlih, yakni qiyas yang berada di antara qiyas jaliy dan qiyas khafiy.

 

– Qiyas jaliy adalah qiyas aulawiy, seperti peng-qiyasan pemukulan orang :tua terhadap perkataan kotor (ta’fif): Oiyas wadiih adalah qiyas musiwi, seperti peng-qiyasan pembakaran harta anak yatim terhadap memakan harta mereka, Sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas adwan, seperti peng-qiyasan apel terhadap gandum burrr dalam status ribawi. Berdasarkan versi pendapat pertama, pengertian qiyas jaliy mencakup pada qiyas aulawi dan musiwi.

 

  1. Berdasarkan ‘‘illat : qiyas “‘illat, qiyas dalalah dan qiyas fi ma’nal ashl Selanjutnya, berdasarkan ‘‘illat-nya, qiyas terbagi dalam tiga kategori, yakni qiyas ‘‘illat, qiyas dalalah dan qiyas fi ma’nal ashl. Karena, dalam qiyas adakalanya disebutkan jami” (pemersatu) atau disebutkan ilgha’ alfarig (pengabaian fariqlpembeda). Yang kedua disebut qiyas fi ma’nal ashl. Sedang yang pertama, jika jami” yang disebutkan adalah ‘‘illat, maka ini disebut qiyas ‘illat. Atau jika jami’ yang disebutkan adalah hal-hal sebagai berikut secara berurutan: kelaziman (keniseayaan) dari ‘‘illat, atau dampak dari ‘‘illatat, atau hukum dari ‘‘illatat, maka ini disebut qiyas dalalah. Berikut ini penjelasannya:

 

  1. Qiyas ‘‘illat

Oiyas ‘‘illat adalah qiyas yang disebutkan keberadaan ‘‘illat-nya. Maksudnya, bahwa yang bertindak sebagai jami’ dalam qiyas tersebut adalah ‘‘illat itu sendiri, bukan kelaziman ‘‘illat, dampak, atau hukumnya.

 

Contoh:

“Nabidz (minuman dari perasan selain anggur) itu haram, sebagaimana tehamr (minuman dari perasan anggur), karena memabukkan”

 

Dalam ungkapan di atas, disebutkan ‘‘illat- nya secara eksplisit, yakni ungkapan “ memabukkan”.

 

  1. Qiyas dalilah

 

Oiyas dalilah adalah qiyas yang di dalamnya disebutkan salah satu dari beberapa hal berikut secara berurutan: kelaziman (keniseayaan) ‘‘illat, atau dampaknya, atau hukumnya.

 

Contoh Qiyas dalalah an: disebutkan kelaziman ‘‘illat

 

“Nabidz ita haram, sebagaimana khamr, dengan jami’ berupa adanya aroma menyengat”

 

‘illat dalam qiyas di atas adalah “memabukkan”. Akan tetapi dalam ungkapan di atas, ‘‘illat tersebut tidak disebutkan secara eksplisit. Yang disebutkan justru sesuatu yang menjadi kelaziman dari ‘‘illat, sebagai jaminya, yakni ungkapan “aroma menyengat”. Aroma menyengat adalah kelaziman atau keniseayaan dari “memabukkan”, Karena setiap minuman memabukkan pastilah memiliki aroma menyengat.

 

Contoh Qiyas dalalah yang disebutkan kelaziman ‘‘illat “Pembunuhan dengan benda berat mengharuskan adanya gishash, sebagaimana pembunuhan dengan benda tajam, dengan jam’ berupa dosa”.

 

‘illat dalam qiyas di atas adalah “pembunuhan dengan kesengajaan dan kesewenang-wenangan”. Akan tetapi dalam ungkapan di atas, ‘‘illat tersebut tidak disebutkan secara eksplisit. Yang disebutkan justru sesuatu yang menjadi dampak dari ‘‘illat, sebagai jami-nya, yakni ungkapan “dosa”. Dosa adalah dampak dari “pembunuhan dengan kesengajaan dan kesewenang-wenangan”.

 

Contoh Qiyas dalalah yang disebutkan hukum ‘‘illat

 

“Tangan beberapa orang harus dipotong akibat mereka memotong tangan satu orang, sebagaimana beberapa orang harus dibunuh akibat mereka membunuh satu orang, dengan j4mi’ berupa adanya kewajiban diyat atas mereka, tatkala hal tersebut dilakukan tanpa unsur kesengajaan.”

 

‘illat dalam qiyas di atas adalah “tindakan pemotongan” untuk kasus pertama (magis) dan “tindakan pembunuhan” untuk kasus kedua (magis alaih). Akan tetapi dalam ungkapan di atas, ‘‘illat tersebut tidak disebutkan secara eksplisit. Yang disebutkan justru sesuatu yang menjadi hukum dari ‘illat, sebagai jami-nya, yakni ungkapan “kewajiban diyat”. Kewajiban diyat adalah hukum dari “tindakan pemotongan” atau “tindakan pembunuhan” yang keduanya tanpa disertai unsur kesengajaan.

 

Disebut qiyas dalalah, karena sesuatu yang disebutkan dalam qiyas ini sebagai jami’, meski bukan berupa ‘‘illat, akan tetapi dapat menunjukkan pada ‘‘illat.

 

  1. Qiyas fi ma’nal ashl

 

Qiyas fi ma’nal ashl adalah menghimpun ashl dan far’u dengan meniadakan fariq. Dinamakan demikian karena jar dalam qiyas ini tak ubahnya seperti 2shl, karena ketiadaan fariq di antara keduanya”. Oiyas in juga dinamakan qiyas jaliy, atau ilgha’ al-fariq.

 

Contoh:

Kencing di wadah, lalu menuangkannya dalam air yang diam, Ini diqiyaskan terhadap kencing di air yang diam, dalam hal sama-sama merupakan hal yang terlarang. Tentang kencing di air yang diam, hadis Rasulullah menjelaskan pelarangan hal ini, sebagaimana hadis riwayat Muslim dari Jabir ra. Sedangkan kencing di wadah lalu menuangkannya dalam air yang diam, memiliki dampak yang tak beda, sehingga dalam hukumnya juga sama-sama terlarang.

 

Istidlal adalah dalil yang bukan berupa nash, bukan ijma’, dan bukan pula qiyas syar’i. Maka yang secara pasti masuk dalam kategori istidlal adalah. qiyas igtirani, dan qiyas istitsna’. (Dan secara pasti termasuk isfidlal), ucapan ulama, “dalil menuntut sebuah perkara tidak dihukumi semacam ini, yang ditentang dalam kasus demikian, karena terdapat sifat yang tidak ada dalam kasus yang diperdebatkan”, maka kasus yang diperdebatkan tetap dalam hukum asalnya.

 

(Dan termasuk istidlal) menurut pendapat ashah adalah qiyas ‘aks, dan tidak ditemukannya dalil dari hukum, seperti perkataan kita, Sebuah hukum mengharuskan adanya dalil. Jika tidak, pastilah terjadi pembebanan terhadap orang Yang lupa. Dan, tidak ada dalil setelah diteliti, atau berdasarkan keasalan”

 

Namun (tidak termasuk issidial), perkataan para pakar fiqh, “Telah ditemukan penyebab (mugtadli), atau penghalang (mani), atau tidak ditemukan syarat”, manakala bersifat mujmyal.

 

Syaikhul islam, Zakariya Al-Anshari mengatakan, bahwa istidlal secara bahasa memiliki arti mencari dalil. Dan secara urf disampaikan dengan pengartian mencgakkan dalil secara mutlak, baik berupa nash, ijma’ atau dalil yang lain. Juga diartikan satu macam khusus dari bentuk dali?”. Pemaknaan terakhir ini yang dikehendaki dalam pembahasan sekarang’.

 

Selanjutnya istidlal didefinisikan dengan ungkapan berikut : “Dalil yang bukan nash (Al-Qur’an dan as-Sunnah), bukan ijma’ dan bukan qiyas gyar?”. Hal-hal yang termasuk dalam kategori istidlal adalah sebagai berikut:

 

  1. Oiyas iqtiraniy dan qiyas isutsnd-iy

 

Dua bentuk qiyas ini adalah merupakan qiyas manthigiy. Oiyas manthigiy adalah ucapan yang tersusun dari pernyataan-pernyataan, yang jika diakui kebenarannya, pastilah dengan sendirinya akan berkonsekwensi pada ucapan yang lain (yakni kesimpulan). Sesuatu yang menjadi konsekwensi (al-lazim) tersebut (yakni natijah atau nagidl-nya), jika disebutkan dalam qiyas secara fa’il (tekstual, eksplisit), maka disebut qiyas istitsna-iy. Dan jika penyebutannya hanya secara quwwah (makna kandungan, implisit) saja maka disebut qiyas igtiraniy.

 

Bentuk qiyas ini dinamakan qiyas istitsna’iy karena terdapat huruf ishtsna” (untuk pengecualian) yakni lafadh (bermakna “akan tetapi”).

 

  1. Al-Bagiy

 

Penamaan “al-bagiy” untuk bentuk istidilal ini diungkapkan oleh Imam As-Suyuthi dalam al-Kaukabus Sathi”. Bentuk istidlal dimaksud adalah ungkapan berikut: “Dalil menuntut sebuah perkara tidak dihukumi semacam ini, yang ditentang dalam kasus demikian, karena terdapat sifat yang tidak ada dalam kasus yang diperdebatkan. Maka kasus yang diperdebatkan ini tetap dalam hukum semula sebagaimana dalil menunjukkannya”.

 

Contoh: Dalil menuntut bahwa menikahnya perempuan tidak dihukumi boleh secara mutlak (baik menikahkan dirinya sendiri, ataupun dinikahkan oleh walinya). Karena dalam menikah, seorang perempuan direndahkan dengan disetubuhi oleh lelaki dan dengan hal-hal lainnya, dimana hal ini ditolak secara konsep kemanusiaan, karena kemuliaan manusia yang ditetapkan dalam dalil-dalil Al-Qur’an. Akan tetapi ketidak bolehan ini ditentang dalam kasus perempuan yang dinikahkan oleh walinya, dengan alasan bahwa sang wali memiliki akal sempurna mempertimbangkan kemaslahatan pada diri perempuan asuhannya untuk dinikahkan. Alasan ini tidak ditemukan dalam kasus yang diperdebatkan, yakni perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Karena keterbatasan akal perempuan untuk menimbang kemaslahatan dirinya dalam menikah. Sehingga, kasus perempuan menikahkan dirinya sendiri, tetap dalam hukum semula sebagaimana ditunjukkan dalil, yakni tidak boleh.

 

  1. Oiyas ‘Aks

 

Yakni penetapan ‘aks (kebalikan) dari hukum sesuatu pada sesamanya, karena saling berkebalikan dalam ‘‘illat-nya. Menurut pendapat ashah, qiyas ‘aks termasuk istidlal. Pendapat lain, qiyas ‘aks bukan termasuk dalil, seperti diriwayatkn dari kalangan ashhab Syafi’iyyah.

 

Contoh: hadis riwayat Muslim, bahwa seorang shahabat bertanya, “Apakah seseorang yang memenuhi syahwatnya (dalam sesuatu yang halal) bisa mendapatkan pahala?” Rasul menjawab, “Bagaimana menurut kalian, andaikan orang itu meletakkan syahwatnya dalam sesuatu yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa?” Berdasarkan hadis di atas, jika seseorang menyalurkan syahwatnya dalam sesuatu yang haram akan mendapatkan dosa, tentu saja sebaliknya, takala dia menyalurkan syahwatnya dalam sesuatu yang halal, pastilah juga akan mendapatkan pahala.

 

  1. Tidak ditemukannya dalil hukum

 

Setelah berupaya maksimal dalam melakukan penelitian, mujtahid tidak menjumpai dalil. Tidak dijumpainya dalil semacam ini merupakan dalil atas ketiadaan hukum. Pendapat lain, hal ini bukan dalil, karena tidak dijumpainya dalil tidak begitu saja menyimpulkan ketiadaan hukum.

 

Contoh : ucapan kita pada lawan debat: “Sebuah hukum mengharuskan adanya dalil, jika tidak, maka sama halnya dengan memberikan beban taklif kepada orang lupa. Sementara, tidak ada dalil yang mendasari hukum yang kamu klaim, setelah diteliti, atau berdasar kesimpulan hukum keasalan”

 

Selain empat hal di atas, termasuk dalam kategori istidlal adalah istigra’, istisshhab, istihsan, pendapat shahabat, dan iham. Dan masingmasing akan disendirikan pembahasannya, karena terdapat perincian, silang pendapat yang kuat, dan sebagian memiliki pembahasan yang lebar.

 

Selanjutnya ada beberapa hal yang tida masuk kategori istidlal menurut pendapat ashah. Di antaranya, ucapan pakar fiqh, “Ditemukan mugtadli, atau ada mini” (penghalang), atau tidak ada syarat”. Beberapa hal ini tidak termasuk istidlal manakala berbentuk mujmal (global), dan tidak disebut dalil, akan tetapi sekedar klaim dalil. Akan bisa menjadi dalil jika pemaparnya menjelaskan bentuk muqtadli yang mana, atau bentuk mani’ yang bagaimana, atau syarat mana yang tidak terpenuhi. Tentang mugtadli dan mini”, harus dibuktikan wujud keberadaannya, sedangkan tentang syarat, tidak perlu pembuktian ketiadaannya, karena telah sesuai dengan hukum keasalan (yakni bahwa hukum asal adalah tidak adanya sesuatu).

 

Pendapat kedua, termasuk istidlal, Pendapat ini diunggulkan oleh pengarang Jam’ul Jawami’. Dalam arti, ditemukan mugtadli menjadi dalil dari adanya hukum, dan adanya mani’ (penghalang) atau tidak ada syarat menjadi dalil dari tidak adanya hukum.

 

Pendapat ketiga, disebut dalil, namun bukan termasuk istidlal, apabila ditetapkan berdasarkan nash, ijma’ atau qiyas. Jika tidak demikian, maka termasuk istidlal.

 

Permasalahan : pengamatan atas perkara juz’iy untuk menetapkan hukum atas perkara jika berbentuk tamm (sempurna), adalah dalil gath’iy menurut mayoritas ulama. Atau berbentuk nagish (kurang, tidak sempurna), maka statusnya dhanniy, Dan ini dinamakan ilhagul fardl bil aghlab.

 

TENTANG ISTIQRA LOGIKA INDUKTIF

 

Istigra’ adalah pengamatan atas unit-unit permasalahan secara khusus, kemudian menetapkan kesimpulannya pada permasalahan secara umum atau keseluruhan. Istigra’ serupa dengan metode berpikir secara induktif.

 

Contoh sederhana: Jika “Zaid”, “Umar” dan “Bakar” adalah juz’iy atau unit-unit permasalahan khusus dari kulliy atau permasalahan umum yang berupa “santri Ponpes Al-Barokah”, maka pola berpikir model istigra’ adalah sebagai berikut:

 

– Zaid mendapatkan nilai ulangan 100

– Umar mendapatkan nilai ulangan 100

– Bakar mendapatkan nilai ulangan 100

 

Dari hasil pengamatan pada Zaid, Umar dan Bakar ini, kemudian disimpulkan: “Bahwa Santri Ponpes Al-Barokah mendapatkan nilai ulangan bagus”

 

Istiqra’ terbagi dalam dua bagian, istigra’ mm (sempurna) dan istigra’ naqish (kurang, tidak sempurna). Istigra’ tamm, berarti bahwa pengamatan atau penelitian dilakukan pada semua unit l juz’iy di bawah “cakupan kulliy. Dalam konteks contoh di atas, penelitian dilakukan pada semua anak yang menjadi santri Ponpes Al-Barokah. Sedangkan dalam isigra’ nagish, obyek pengamatan hanya sampel, tidak keseluruhan santri Ponpes Al-Barokah.

 

Dalam konteks istidlal dalam ushul fiqh, istigra’ mm adalah pengamatan pada semua perkara juz’iy di bawah cakupan perkara kulliy, kecuali permasalahan yang sedang diperdebatkan, dan. menetapkan hukumnya pada perkara kulliy tersebut. Kemudian dengan perantara penetapan hukum pada perkara kulliy ini, akhirnya hukum ditetapkan pada permasalahan yang sedang diperdebatkan. Istigra’ mm ini, menurut mayoritas ulama’, merupakan dalil yang gath’iy. Pendapat lain menyatakan bahwa istigra’ tamm bukanlah dalil gath’iy, karena ada kemungkinan permasalahan yang diperdebatkan tersebut berbeda hukumnya dengan permasalahan lain yang menjadi juz dari kulli, meski kemungkinannya kecil. Pendapat pertama menyanggah, bahwa kemungkinan kecil ini sama halnya dengan tidak ada.

 

Sedangkan istiqra’ naqish berarti bahwa pengamatan atau penelitian dilakukan pada mayoritas perkara juz’iy (unit) di bawah cakupan perkara kulliy, yang bukan merupakan permasalahan yang sedang diperdebatkan. Istiqra’ nagish ini merupakan dalil dhanniy, karena ada kemungkinan bahwa yug’iy vang tidak menjadi obyek pengamatan memiliki hukum berbeda. Isriqra’ naqish ini juga dinamakan ilhaqul fardi bil aghlab (menyamakan satu dengan kebanyakan)

 

Permasalahan: (pendapat ashah, bahwa istishhab (seberlanjutan) atas keriadaan yang asal, istishhib atas keumuman atau nash, dan berapa isaishhib atas sesuatu yang ketetapannya ditunjukkan syara’ karena wujud sebabnya, hingga datangnya pengubah, adalah hujjah. Kecuali jika ditentang oleh dalil dhahir yang ghalib dan Pemiliki sebab, serta diduga lebih Kuat, maka dhahir ini didahulukan (dari hukum asal). Seperti air kencing yang jatuh ke dalam air yang banyak, lalu air tersebut  ditemukan berubah, dan dimungkinkan perubahan itu karena air kencing, serta dekatnya waktu tidak adanya perubahan.

 

(Pendapat ashah), istishhah terhadap keadaan ijma” dalam permasalahan khilaf (yang diperdebatkan), tidak dapat dijadikan hujjah. Sehingga istishhib adalah tetapnya sesuatu di masa kedua, karena tetap di masa pertama, karena tidak adanya perkara yang layak untuk mengubahnya.

 

Adapun tetapnya sesuatu di masa pertama (karena tetap di masa kedua), maka disebut istishhab maqlub. Terkadang dikatakan dalam istishhab maqlub “Andaikan sesuatu yang tetap pada hari ini tidak tetap pada masa. kemarin, maka pastilah sesuatu itu tidak tetap kemarin. Dan istishhab pada hari kemarin berkonsekwensi bahwa sesuatu itu pada saat sekarang tidaklah tetap. Dan kenyataannya tidak demikian. Maka nalar ini menunjukkan sesuatu itu juga tetap kemarin,

 

TENTANG ISTISHHAB

 

Istishhab secara bahasa berarti thalab al-mushahabah (tuntutan untuk bersama). Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa definisi istishhab berdasarkan beberapa bentuknya. Secara umum, istilah istishhab merujuk pada makna keberlanjutan status sesuatu. Bentuk istidlal ini populer digunakan oleh kalangan ulama’ Syafi’iyyah, tidak bagi kalangan ulama’ Hanafiyyah. Karenanya, untuk lebih tepat dalam memetakan khilafiyah para ulama’, berikut ini penjelasan tentang bentuk-bentuk istishhab

 

Ada sejumlah bentuk istishhab, yang legalitas penggunaannya sebagai argumentasi mengundang ragam pendapat di antara para ulama’.

 

Berikut ini dipaparkan macam-macam bentuk istishhab :

 

  1. Istishhab al-adam al-ashliy, atau istishhab terhadap hukum asal ketiadaan. Yakni menganggap tidak ada terhadap sesuatu yang ditiadakan oleh akal, dan tidak ditetapkan oleh syara”. Hingga dijumpai perkara yang menjadikannya berubah, berupa penetapan syara” atas sesuatu yang ditiadakan oleh akal. Seperti kewajiban puasa Rajab, syara tidak menetapkannya, sedangkan akal meniadakannya. Karena hukum keasalan adalah terbebasnya manusia dari beban kewajiban apapun, hingga terdapat dalil yang mewajibkannya. Hukum “ketiadaan kewajiban” dalam puasa Rajab yang telah disimpulkan oleh akal, dianggap berlanjut (istishhab) hingga dijumpai hukum yang menjelaskan kewajiban puasa tersebut.

 

  1. Istishhab terhadap keumuman, hingga ada dalil yang men-takhshish, atau istishhab terhadap terapan nash, hingga ada dalil yang me-nasakh.

 

  1. Istishhab terhadap sebuah hukum yang penctapannya ditunjukkan oleh syara? karena adanya sebab. Hingga adanya sebab baru yang menuntut hilangnya hukum yang penetapannya ditunjukkan oleh syara”. Seperti, bahwa status kepemilikan muncul karena terjadinya pembelian, adanya beban tanggung jawab (dzimmah) karena adanya transaksi qardlu (hutang piutang), Status kepemilikan dianggap berlanjut selama tidak diketahui adanya pemindahtanganan, demikian pula beban tanggung jawab dianggap berlanjut selama tidak diketahui adanya pelunasan.

 

Dalam menyikapi ketiga bentuk istishhab ini, para ulama’ berbeda pendapat.

 

1) Secara mutlak merupakan hujjah (pendapat ulama’ Syafi’iyyah). Pendapat ini adalah versi ashah.

 

2) Secara mutlak bukan hujjah (pendapat sebagian mutakallimin, pendapat ulama’ Hanafiyyah sebagaimana keterangan Imam Ar-Razi)

 

3) Bentuk ketiga dari istishhab di atas merupakan hujjah untuk membiarkan sesuatu tetap pada keadaan sebelumnya, bukan untuk menetapkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Penjelasan ini sama dengan “bahwa istishhab adalah hujjah dalam ad-dafu (menolak), bukan dalam ar-raf’u (menghilangkan)”.

Contoh: Dalam permasalahan mafqud (orang hilang yang tak diketahui kabarnya, hidup atau mati), istishhab (menganggap berlanjut) pada status hidupnya sebelum menghukuminya mati, berfungsi sebagai hujjah yang dafi’ (menolak) dari mewaris hartanya. Akan tetapi istishhib terhadap status hidupnya tidak bisa berfungsi sebagai hujjah yang rafi’ (menghilangkan), karena mafqud tidak bisa mewaris harta kerabatnya yang meninggal, sebab status hidupnya masih diragukan. Sehingga istishhib tidak bisa menetapkan kepemilikan baru pada mafqud, karena hukum asal adalah keadaan kepemilikan terhadap harta kerabatnya.

 

4) Bentuk ketiga dari istishhab di atas merupakan hujjah, dengan syarat tidak berbenturan dengan dhihir. Jika berbenturan, maka yang didahulukan adalah dhdhir. .

 

Selanjutnya, berpijak pada pendapat ashah, terumuskan kaidah bahwa hukum asal didahulukan dari dhahir. Kecuali hukum asal ditentang oleh dalil dhahir yang ghalib dan memiliki sebab, serta diduga lebih kuat dibanding dalil asal, maka dhahir ini didahulukan dari hukum asal. Seperti air kencing yang jatuh ke dalam air yang banyak, lalu air tersebut ditemukan berubah, dan dimungkinkan perubahan itu karena air kencing atau karena faktor lain yang tidak mempengaruhi kesucian air, seperti diam yang lama. Serta jarak waktu antara terjadinya perubahan dan sebelum adanya perubahan (sebelum terkena air kencing) hanya sebentar. Maka air dihukumi najis. Karena hukum asal berupa kesucian air

 

ditentang oleh kenajisan yang dhahir dan ghalib, serta memiliki sebab yang yang diduga lebih kuat dibanding hukum asal”.

 

ISTISHHAB TERHADAP KONDISI OBYEK IJMA’

 

Menurut pendapat ashah, istishhab terhadap kondisi obyek ijma’ dalam permasalahan khilaf (yang diperselisihkan), tidak dapat dijadikan hujjah. Yakni, dalam sebuah kondisi, disepakati sebuah hukum melalui ijma’, lalu kondisi berubah sehingga terjadi perbedaan pendapat. Istishhab berupaya mempertahankan hukum yang telah disepakati dalam ijma’ meski kondisi telah berubah. Pendapat lain, dapat dijadikan hujjah.

 

Contoh: sesuatu yang keluar dari selain dua jalan (saluran depan dan belakang) menurut kita kalangan Syafi’iyyah, tidak membatalkan wudlu. Hukum ini berdasar istishhab (keberlanjutan) terhadap keadaan sebelum keluarnya sesuatu tersebut, yakni tetapnya wudhu (tidak batal), dimana hukum ini disepakati melalui ijma’.

 

ANTARA ISTISHHAB DAN ISTISHHAB MAQLUB

 

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi istishhab adalah tetapnya sesuatu di masa kedua, karena tetap di masa pertama, sebab tidak adanya perkara yang layak untuk mengubahnya. Sehingga menurut kalangan Syafi’iiyyah, harta dua puluh dinar dalam keadaan berkurang, namun laku sebagaimana yang sempurna, yang sudah mencapai satu tahun, tidak dibebani zakat. Karena berdasar istishhab (melanjutkan) hukum tidak terbebani zakat yang ada sebelum mencapai satu tahun, terhadap keadaan setelah masuk satu tahun.

 

Sedangkan kebalikannya, yakni tetapnya sesuatu di zaman pertama karena menctap di zaman kedua, disebut dengan istishhab maglub atau istishhab terbalik”. Seperti diungkapkan: “Takaran yang ada saat sekarang ini adalah sama seperti takaran pada masa Rasulullah saw., dengan melalui pola nalar istishhab maglub, yakni dengan menerapkan keberlanjutan keadaan masa sekarang untuk masa yang telah lalu”. Untuk memperjelas sisi istidlal dari istishhab maqliib, terkadang diungkapkan dalih berikut:

 

“Andaikan takaran yang ada pada hari ini bukan merupakan takaran yang ada pada hari kemarin, maka pastilah takaran yang ada pada hari ini tidak wujud pada hari kemarin. Dan jika pada hari kemarin tidak wujud, tentunya hari inipun takaran tersebut tidak wujud. Pada kenyataannya, pada hari ini takaran tersebut wujud. Sehingga takaran yang ada pada hari ini juga merupakan takaran yang ada pada kemarin”,

 

Permasalahan: pendapat terpilih, orang yang meniadakan sesuatu dituntut untuk menampilkan dalil, jika ketiadaan sesuatu tersebut tidak diketahui Secara dlaruri, Jika tidak, maka dia tidak dituntut menampilkan dali.

 

Dan (menurut pendapat terpilih), tidak wajib mengambil yang paling ringan, atau yang paling berat.

 

MENAMPILKAN DALIL DALAM PENIADAAN

 

Menurut pendapat terpilih, manakala seorang mujtahid mengklaim ketiadaan sesuatu, baik berbentuk ketetapan ‘aqliyyat (rasio), ataupun syar’iyyah, maka mujtahid diharuskan membuktikan ketiadaan tersebut dengan dalil. Hal ini selama ketiadaan tersebut diketahui tidak secara dlaruriy, misalkan berdimensi pengetahuan nadhariy, bersifat dugaan, atau tidak diketahui sama sekali. Karena sebuah pengetahuan yang tidak berdimensi dlaruriy selalu multi interpretatif (isytibah), sehingga harus ada tuntutan dalil untuk dikaji ulang. Berbeda halnya jika diketahui secara dlaruriy, maka dia tidak dituntut untuk menampilkan dalil atas ketiadaan tersebut. Karena dengan demikian, seorang mujtahid tidak mengklaim hal tersebut dari hasil analisa, dan juga sebuah pengetahuan yang berdimensi dlaruriy tidak multi interpretatif (isytibah) yang membutuhkan dalil untuk dikaji. Pendapat kedua, tidak dituntut membuktikan ketiadaan tersebut dengan dalil. Pendapat ketiga, dituntut dalil dalam ketetapan ‘aqliyyat (rasio), bukan syar’iyyah ,

 

PENGEMBALIAN HUKUM DARI YANG PALING MINIMAL,

 

Sebagaimana pernah disinggung dalam pembahasan tentang ijma’, bahwa al-akhdzu bi agalli mad qila atau pengambilan hukum dari yang paling minimal, adalah sebentuk Istidlal yang wajib digunakan.

 

Contoh: Dalam menentukan diyat (denda) yang harus dibayar akibat membunuh kafir dzimmi, para ulama’ dari kalangan shahabat berbeda pendapat. Sebagian menyatakan bahwa diyatnya seperti diyat karena membunuh orang Islam (100 %). Sebagian yang lain berpendapat bahwa diyat-nya separuh diyat muslim (50 %). Sebagian lainnya mematok besaran diyat sepertiga diyat muslim (33,33 %). Dengan metode al-akhdzu bi aqalli ma qil, diambil keputusan bahwa diyatnya adalah sepertiga dari diyar seorang muslim.

 

Hampir serupa dengan pola issidlal ini, adalah al-akhdzgu bil akhaff. Yakni, tatkala sebuah dalil menyimpulkan penerapan al-akhaff (yang lebih ringan) atau al-atsqal (yang lebih berat): atau jika terdapat perbedaan pendapat ulama’ terkait sebentuk penentuan hukum yang ringan dan yang berat, manakah yang harus diambil? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama:

 

  1. Pendapat terpilih, tidak ada kewajiban mengambil yang paling ringan atau yang paling berat, dan boleh kedua-duanya. Karena hukum asal adalah tidak adanya kewajiban.

 

  1. Wajib mengambil hukum yang paling ringan, berdasarkan firman Allah:

 

Allah menghendaki kemudahan bagi kalian (QS. Al-Bagarah: 185)

 

  1. Wajib mengambil hukum yang paling berat, karena lebih banyak pahalanya, dan juga lebih hati-hati”.

 

Permasalahan: pendapat terpilih, bahwa Nabi Muhammad SAW dibebani” (melakukan peribadatan) sebelum kenabian dengan syariat tertentu. Dan (pendapat terpilih) menangguhkan akar penentuan syariat siapa (yang dianut). Dan setelah kenabian, menganutnya Nabi SAW pada syariat sebelumnya adalah tereegah.

 

SYARIA KAUM SEBELUM KITA

 

Syar’u man qabland atau syariat sebelum kita, yakni syariat yang telah ada sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai utusan Allah dengan membawa syariat Islam, menjadi salah satu topik pembahasan dalam ranah ushul fiqh, khususnya terkait dengan istidlal Apakah syariat sebelum kita bisa dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan hukum ataukah tidak?.

 

Sebelum mengarah ke pembahasan berikut kontroversi pendapat di dalamnya, perlu ditegaskan di sini, bahwa yang menjadi pembahasan dalam hal ini adalah furu’ atau cabangan syariat, bukan ushul atau prinsip prinsip syariat yang berupa konsep ketuhanan dan tauhid. Karena prinsip ajaran yang dibawa oleh semua nabi dan rasul adalah konsep tauhid atau keesaan Tuhan.

 

Selanjutnya, untuk menguraikan permasalahan syar’u man qablana ini, para ulama’ ushul fiqh membaginya dalam dua fokus permasalahan. Pertama, sebelum diangkat menjadi rasul, apakah Baginda Muhammad SAW. dituntut untuk menjalankan syariat terdahulu ? Kedua, pasea pengangkatan beliau sebagai Rasul, apakah beliau beserta umatnya dibebani untuk menjalankan syariat terdahulu?

 

Pada masa pra kenabian, apakah Baginda Muhammad SAW. terbebani menjalankan syariat nabi sebelumnya? Terdapat tiga pendapat mengenai hal ini:

 

  1. Pendapat terpilih, Nabi Muhammad SAW terbebani menjalankan syariat nabi sebelumnya. Berdasar dalil dalam beberapa hadits, bahwa Nabi SAW melakukan ibadah, shalat, dan thawaf. Aktifitas ini adalah amalan-amalan syariat, yang dapat diketahui dari orang yang membiasakannya adanya tujuan mentaati perintah syara’, dan tidak bisa terealisasi tanpa ada tujuan ibadah. Karena rasio murni tidak menilai hal tersebut baik.

 

  1. Pendapat kedua, tidak terbebani menjalankan syariat nabi sebelumnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Oadli Abu Bakar alBagilani dari mayoritas ulama’ mutakallimin.

 

  1. Pendapat ketiga, menangguhkan permasalahan, karena tidak adanya dalil nash maupun ijma’ dan juga argumentasi logis yang memadahi. Pendapat ini adalah pendapat terpilih versi Jam ‘al Jawami’

 

Selanjutnya, mengikuti pendapat terpilih yang menyatakan bahwa Baginda Muhammad SAW. terikat dengan pembebanan syariat tertentu dari syariat-syariat terdahulu, maka mengenai syariat siapa yang diikuti, memilih menangguhkannya. Dan berikut ini ragam pendapat lainnya beserta alasannya:

 

– Syariat yang dijalankan adalah syari’at Nabi Adam AS. karena merupakan syariat yang pertama kali.

 

– Syariat Nabi Nuh AS, karena Beliau rasul pertama peletak undangundang syariat. Juga berdasarkan firman Allah SWT. “Dia telah mensyari’atkari bagi kamu tentang agama, yakni apa yang telah diwashiatkan-Nya kepada Nuh.”

 

– Syariat Nabi Ibrahim AS., karena Beliau pemilik agama besar. Juga berdasarkan pada firman Allah : “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) dan orang-orang yang beriman.”

 

– Syariat Nabi Musa AS. karena beliaulah yang Nabi yang diberikan wahyu dalam sebuah Kitab, yakni Taurat.

 

– Syariat Nabi Isa AS. karena Nabi Isa AS. adalah nabi yang paling dekat masanya dengan Nabi Muhammad SAW.

 

– Setiap syariat yang tetap, tanpa ditentukan nabi tertentu.

 

Sedangkan pasea kenabian, apakah Baginda Muhammad SAW., dan juga umatnya, terbebani dengan melaksanakan syariat kaum terdahulu? Dalam hal ini juga terdapat beragam pendapat:

 

  1. Pendapat” terpilih, Nabi Muhammad SAW tidak dibebani menjalankan syariat kaum terdahulu. Karena bagi Nabi SAW sudah ada syariat khusus yang statusnya me-nashk syariat terdahulu.

 

  1. Pendapat kedua, Rasulullah SAW terkena pembebanan syari’at kaum terdahulu yang belum ter-nas&h dan tidak ada wahyu baru, sebagai bentuk istishhab terhadap pembebanan sebelum kenabian”.

 

Menurut pendapat terpilih setelah kenabian), bahwasanya hukum asal hal-hal yang bermanfaat adalah halal. Dan hal-hal yang membahayakan adalah haram.

 

HUKUM ASAL SESUATU

 

Sebelum terutusnya Rasul, tidak ada hukum apapun terkait dengan perbuatan hamba. Status hukum segala sesuatu ditangguhkan hingga terutusnya Rasul. Ketentuan ini sebagaimana dipaparkan dalam bab terdahulu.

 

Adapun setelah terutusnya Rasul, tentang hukum asal sesuatu, para ulama’ berbeda pendapat tentang hal ini:

 

  1. Pendapat terpilih, bahwa sesuatu yang berbahaya hukum asalnya adalah haram, dan sesuatu bermanfaat hukum asalnya adalah halal. Kehalalan sesuatu yang bermanfaat ini berdasarkan pada firman Allah:

 

“Dialah yang menjadikan untuk kalian semua yang ada di muka bumi”

 

Allah SWT menyampaikan ayat ini dalam konteks imtinan (pemberian anugerah). Dan Allah SWT tidak memberi anugerah kecuali dengan sesuatu yang diperbolehkan. Sehingga, hukum asal dari hal-hal yang bermanfaat adalah boleh atau halal. Sedangkan dalam kaitannya bahwa hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram, terdapat sabda Rasulullah SAW dalam HR. Ahmad dan Ibn Majah,

 

Tidak ada perbuatah merusak dalam agama, terhadap diri sendiri dan orang lain.

 

  1. Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah diperbolehkan, kecuali sesuatu yang dilarang oleh syariat. Pendapat ini berpandangan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah adalah untuk dimanfaatkan. Seandainya tidak diperkenankan untuk memanfaatkannya, pastilah ciptaan-Nya sia-sia.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah terlarang, kecuali sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat. Pendapat ini berpandangan bahwa segala sesuatu di alam ini, baik materi maupun kegunaannya adalah milik Allah semata. Melakukan sesuatu berarti sama halnya dengan memakai hak milik Allah, sehingga perlu izin dari-Nya, yakni dengan adanya dalil yang membolehkannya”,

 

Permasalahan : pendapat terpilih, bahwasanya intihsan bukanlah dalil.

 

Istihsan ditafsiri dengan dald yang muncul di benak mujtahid dan tidak mampu diungkapkan hakikatnya. Definisi ini ditolak, karena jika dalil tersebut nyata ada, maka seharusnya dipertimbangkan

 

Dan (istibsin juga ditafsiri) dengan berpindah dari satu bentuk qiyas ke bentuk qiyas yang lebih kuat, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Atau berpindah dari suatu dalil ke adat Definisi ini ditolak, karena jika terbukti adat tersebut benar, maka jelas ada dalilnya. Jika tidak terbukti benar, maka adaf tersebut ditolak.

 

Maka seandainya Btibsan yang diperdebatkan itu nyata ada, maka arangsiipa yang menggunakannya, berarti dia telah memberlakukan aturan sendiri.

 

Dan bukan termasuk istihsin yang Siperdebatkan, (penilaian baik) yang dilakukan Imam Asy-Syafi’i terhadap masalah bersumpah atas mushaf, dan diskon angsuran dalam akad kitabah, dan yang semacam keduanya.

 

TENTANG ISTIHSAN

 

Menurut pendapat terpilih, isfihsin, yakni mengabaikan qiyas dan mengambil sesuatu yang lebih bermanfaat bagi manusia, bukan sebuah dalil dari sekian dalil-dalil syar’i, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Karena tidak ditemukan dalil yang mendukung eksistensinya.

 

Pendapat lain, istihsan adalah dalil. Pendapat ini dianut Imam Abu Hanifah dan para pengikut madzhabnya. Berdasar dalil firman Allah SWT:

 

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Dalil iri ditanggapi, bahwa maksud kalimat ar adalah perkara yang lebih jelas dan utama, bukan istihsan.

 

Selanjutnya ada beragam ungkapan lain untuk mendefinisikan isfihsin. Beberapa di antaranya adalah sebagaimana berikut:

 

  1. Istihsan adalah dalil yang muncul di benak mujtahid yang tidak mampu diungkapkan hakikatnya.

 

Definisi ini disangkal, bahwa jika dalil tersebut jika nyata terbukti di hadapan seorang mujtahid, maka semestinya dalil tersebut diperhitungkan. Ketidakmampuan mengungkapkannya tidak mempengaruhi diperhitungkannya dalil tersebut’”.

 

  1. Istihsan adalah berpindah dari satu bentuk qiyas ke bentuk qiyas yang lebih kuat:

Al-Isnawi mencontohkan istihsin dengan pengertian ini dengan kasus anggur kering (‘inab) yang haram diperjualbelikan (lebih tepatnya barter) dengan anggur basah (zabib), baik masih berada di pohonnya ataupun tidak, ini diqiyaskan pada permasalahan kurma basah (ruthab) yang haram dibarterkan dengan kurma kering (tamr). Kemudian syariat memberikan keringanan dengan diperbolehkannya barter ruthab yang masih ada pada pohonnya dengan tamr. Kemudian dengan metode qiyas, pembolehan ini juga diterapkan pada barter inab dan gabib. Sehingga qiyas terdahulu yang mengharamkan praktik barter ‘inab dengan gabib ditinggalkan dan beralih pada qiyas yang membolehkannya. Pengalihan ini disebut istihsan. Dalam definisi kedua ini, tidak ada perdebatan tentangnya. Artinya, semua ulama’ sepakat bahwa qiyas yang paling kuat yang harus menjadi prioritas untuk diamalkan.

 

  1. Istihsan adalah berpindah dari suatu dalil ke adat (tradisi). Contoh: diperbolehkannya penggunaan jasa persewaan kamar mandi dengan tanpa ketentuan kadar lamanya penggunaan, kadar air yang digunakan, dan kadar imbalan jasa yang harus diberikan. Transaksi jasa kamar mandi ini telah menjadi tradisi yang dibiasakan menyimpang dari dalil. Yakni dalil umum bahwa dalam transaksi sewa atau ijarah haruslah disertai dengan kejelasan-kejelasan tertentu. Definisi ketiga ini disangkal, bahwa jika tradisi tersebut adalah sesuatu yang benar (semisal telah berlaku di zaman Rasulullah SAW., dan beliau mendiamkannya, atau telah berlaku setelah masa Rasulullah SAW., dan para ulama? membiarkannya tanpa pengingkaran), maka tentu saja telah ada dalil sunnah atau ijma’ yang melandasi berlakunya tradisi tersebut, dan tradisi tersebut secara pasti diamalkan.” Dan sebaliknya, jika tradisi tersebut bukan merupakan

 

Sesuatu yang benar, maka tentu saja secara pasti harus ditolak. Sehingga istihsan yang diperdebatkan tidak dapat terealisasi.

 

Oleh karena itu, seandainya ada bentuk penerapan istipsin yang diperdebatkan sudah terealisasi, dalam arti layak dikategorikan sebagai perdebatan substantial (maknawi), maka siapapun yang mengatakannya, berarti telah memberlakukan aturan sekehendak sendiri. Sebagaimana ungkapan populer Imam Asy-Syafi’i dalam menolak metode istihsin:

 

Barangsiapa yang ber-istihsan, maka ia lelah membuat syari’at baru

 

Dimana hal tersebut akan berdampak hukum kufur, manakala berkeyakinan boleh dilakukan, atau minimal dosa besar, manakala tidak berkeyakinan demikian.

 

Selanjutnya, meski Imam Asy-Syafi’i menolak keras penggunaan istihsan sebagai dalil, namun sebagaimana diriwayatkan para pengikutnya, beberapa kali beliau melontarkan ungkapan “istihsan” dalam mengambil kesimpulan hukum. Ungkapan “istihsan” beliau ini bukanlah termasuk istihsin yang menjadi bahan kontroversi. Ungkapan ini hanyalah ungkapan harfiah semata yang landasannya bukan akal, melainkan adanya dalil tertentu yang tidak beliau ungkapkan. Berikut ini beberapa masalah yang di dalamnya Imam Asy-Syafi’i melontarkan ungkapan “istihsin”.

 

– Dalam masalah bersumpah dengan mushhaf, Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Saya melihat sebagian hakim bersumpah menggunakan mushhaf, ini adalah baik.”

 

– Dalam masalah diskon angsuran kitabah, Imam Asy-Syafii mengatakan: “Aku menganggap baik tentang disisakannya angsuran akad kifabah (sebagai modal) untuk mukitab”.

 

– Dalam pencntuan kadar mutah Imam Asy-Syafii berkata: “Saya menganggap baik bahwa kadar mut’ah (pemberian suami kepada istrinya karena terjadi peceraian) adalah tiga dirham.”

 

– Penentuan masa syufah (hak pemilikan paksa). Imam Asy-Syafii mengutarakan: “Saya menganggap baik (bahwa masa syufah adalah) tiga hari.” “

 

Permasalahan: Qaul Shahabat bukan merupakan hujjah atas shahabat yang lain, sesuai kesepakatan para ulama. Dan bukan merupakan hujjah atas selain shahabat, menurut pendapat ashah.

 

Menurut pendapat ashah, shahabat tidak boleh ditaqlidi. Adapun kesamaan pendapat Imam Asy-Syafii terhadap Zaid bin Tsabit dalam permasalahan faraidl (fiqh waris), maka hal itu dikarenakan karena adanya dalil, bukan karena taqlid

 

TENTANG QAUL SHAHABAT

 

Permasalahan qaul shahabat sebagai sebuah metode istidlal terbagi dalam dua permasalahan.

 

Permasalahan pertama, kehujjahan gaul salah seorang shahabat bagi shahabat yang lain yang berstatus mujtahid. Dalam permasalahan ini, semua ulama’ sepakat bahwa gaul salah seorang shahabat bukanlah hujjah bagi shahabat yang lain.

 

Permasalahan kedua, kehujjahan qaul shahabat bagi selain shahabat, seperti tabi’in. Dalam permasalahan kedua ini, terdapat beberapa pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, bahwa gaul shahabat bukanlah hujjah bagi generasi setelahnya. Hal ini karena perkataan seorang mujtahid secara mandiri bukanlah hujjah. Sedangkan penggunaan qaul shahabat dalam permasalahan hukum ta’abbudi karena memandang statusnya termasuk bagian dari khabar marfu’, dimana secara lahiriyah hal ini bersandar pada taugif atau pengajaran dari Rasulullah SAW, bukan memandang statusnya sebagai gaul shahabat.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa gaul shahabat adalah hujjah bagi selain shahabat. Dan qaul shahabat derajatnya di atas qiyas. Sehingga tatkala terjadi ta’arudl (berbenturan), maka gaul shahabat didahulukan.

 

  1. Pendapat ketiga, bahwa qaul shahabat adalah hujjah bagi selain shahabat. Dan qauk shahabat derajatnya di bawah qiyas. Sehingga tatkala terjadi ta’arul (berbenturan), maka qiyas didahulukan.

 

  1. Pendapat ketiga, gaul shahabat adalah hujjah jika telah tersebar dan tidak ditentang dengan pendapat yang berbeda. Karena dengan demikian gaul shahabat menjadi ijma’ sukuti. Para pakar fiqh menjadikannya hujjah dari sisi statusnya sebagai ijma” sukuti, bukan dari sisi sebagai gaul shahabat.

 

  1. Pendapat keempat, gaul shahabat adalah hujjah jika menyalahi qiyas.

 

  1. Pendapat keenam, bahwa secara khusus, qaul Abu Bakar ash-Shiddig dan Umar bin Khaththab radliyallihu anhuma adalah hujjah, bukan selain keduanya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

 

Ikutilah dua orang sepeninggalku, Abu Bakar dan Umar (HR, Turmudzi)

 

Mengikuti pendapat bahwa qaul shahabat merupakan hujjah, apabila ada dua shahabat berbeda pendapat dalam sebuah masalah, maka kedua gaul shahabat tersebut diperlakukan layaknya dua dalil, salah satunya harus di-tarjih dengan dalil tertentu.

 

Dan, jika gaul shahabat bukan hujjah, bolehkah sekadar bertaqlid padanya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, dianut para ulama’ muhaqqiq, menyatakan bahwa tidak diperkenankan ber-taqlid pada shahabat, bukan karena madzhab shahabat kualitasnya sebawah para imam mujtahid pendiri madzhab empat, akan tetapi semata-mata karena keberadaan madzhab shahabat belum dapat dipertanggungjawabkan kesahihan riwayat atau keutuhan konsepnya, karena tidak terbukukan secara rapi. Berbeda halnya dengan empat madzhab yang pendapat-pendapat nya terbukukan secara rapi dalam kitab-kitab karya para ulama’ pengikut masing-masing. Sehingga redaksi kitab yang satu menjadi penjclas terhadap redaksi kitab yang lain, menjadi pengqayyid terhadap yang mutlak, atau pen-takhsish terhadap yang umum. Demikian Ibnu as-Shalah memberikan alasan. Beliau juga menegaskan bahwa ketidak bolehan bertaqlid ini bukan hanya pada madzhab shahabat saja, akan tetapi mencakup pada semua ulama’ yang madzhabnya tidak terbukukan.

 

  1. Pendapat kedua, boleh bertaqlid pada shahabat. Berpijak pada pendapat yang memperbolehkan berpindah antar beberapa madzhab.

 

Adapun fakta bahwa pendapat Imam Asy-Syafii dalam permasalahan faraidl atau hukum-hukum waris seringkali sama seperti pendapat Zaid bin sabit, maka hal tersebut bukan karena beliau bertaqlid, akan tetapi karena semata adanya dalil-dalil yang dijadikan landasan pencetusan hukum. Yakni, bahwa hasil ijihad yang dicetuskan oleh Imam Asy-Syaf’i kebetulan sama dengan hasil ijtihad yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit’.

 

Permasalahan: menurut pendapat ashah bahwasanya ilham, yakni iban Yang karenanya jiwa merasa tenteram, dan telah Allah SWT istimewakan bagi sebagian orang pilihan-Nya, bukan merupakan hujjah, dari selain orang ma’shum (terpelihara dari segala dosalkesalahan).

 

TENTANG ILHAM

 

Ilham menurut definisi bahasa adalah menyusupkan sesuatu dalam hati, yang karenanya jiwa merasa tenteram. Dan ilham diberikan Allah SWT kepada sebagian dari orang-orang pilihan-Nya. Definisi lain datang dari Abu Zaid dalam kalangan Hanafiyyah, sebagaimana diriwayatkan As-Sam’aniy dalam kitab Qawithi’ al-Adillah bahwa ilham adalah “sesuatu yang menggerakkan hati dengan ilmu yang mengajakmu untuk mengamalkannya tanpa ber-istidlal dari ayat, dan tanpa olah pikir dari hujjah”.

 

Ada beberapa pendapat tentang legalitas mengamalkan ilham, sebagai berikut:

 

  1. Pendapat ashah, ilham tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, apabila berasal dari selain orang ma’shum (terpelihara dari dosa). Karena gerak-gerik hatinya tidak dapat dipereaya, sebab tidak adanya jaminan bebas dari susupan syaithan.

 

  1. Pendapat kedua, hijjah bagi diri penerima ilham sendiri, bukan bagi orang lain.

 

  1. Pendapat ketiga, hujjah baik bagi diri penerima ilham sendiri, maupun bagi orang lain.

 

Sedangkan ilham yang berasal dari orang ma’shim seperti Nabi SAW., maka berstatus sebagai hujjah, baik bagi diri sendiri, maupun orang lain, apabila berhubungan dengan mereka, sebagaimana wahyu, sehingga wajib untuk diamalkan.

 

Penutup: pondasi bangunan fiqh berdiri di atas (1) Bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan, (2) Hal berbahaya harus dihilangkan, (3) Kepayahan akan menarik kemudahan, (4) Kebiasaan menjadi acuan penetapan hukum.

 

KAIDAH-KAIDAH FIQH

 

Pembahasan tentang istidlal dalam kitab ini diakhiri dengan paparan tentang kaidah-kaidah fiqh, karena ada kemiripan antara kaidah dan dalil. Kaidah tidak terbatas dalam bab-bab tertentu, berbeda dangan dlabith, demikian Syaikhul Islam menyatakan.

 

Pondasi bangunan fiqh terbangun atas lima kaidah, yang di atasnya terbangun sekian banyak permasalahan cabangan fiqh.

 

Pertama, bahwa keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan. Maksudnya, bahwa dari sisi keberlanjutan hukum yang diakibatkan dari keyakinan, munculnya keraguan tidak dapat menafikannya. Seperti halnya seseorang yang yakin telah melakukan wudlu, lalu muncul keraguan, apakah dia telah ber-hadats atau tidak. Dalam hal ini dia harus mengambil sisi keyakinannya, yakni bahwa dia masih dalam keadaan suci, tidak harus berwudlu lagi jika ingin melakukan shalat misalnya.

 

Kedua, bahwa djarar (dampak negatif) harus dihilangkan. Seperti adanya kewajiban mengembalikan barang yang di-ghasah (dikuasai tidak secara sah) dan mengganti rugi bila terjadi kerusakan. Kewajiban ini demi menghilangkan dampak negatif yang dialami pemilik barang akibat tidak dapat mengakses kemanfaatan barang yang secara sah menjadi miliknya.

 

Ketiga, bahwa masyaggah (kepayahan) menyebabkan kemudahan. Seperti diperbolehkannya melakukan jama’ dan gashar shalat, serta tidak berpuasa, dalam rangka perjalanan, dengan syarat dan ketentuan berlaku.

 

Keempat, tradisi l kebiasaan menjadi faktor penentu hukum, dalam arti diamalkan secara syara’. Seperti halnya dalam penentuan batas minimal dan maksimal masa haidl.

 

Sebagian ulama’ menambahkan satu kaidah, bahwa segala macam perkara akan dicapai dengan kesengajaan. Di antara cabangan permasalahannya adalah kewajiban niat dalam wudlu, shalat, puasa, dan ibadah ibadah lainnya yang mengharuskan adanya niat. Pengarang Jam’ul Jawami’ memasukkan kaidah kelima ini dalam cakupan kaidah pertama, karena jika suatu perbuatan tidak sengaja dilakukan, maka keyakinan yang muncul adalah perkara tersebut tidak berhasil diwujudkan secara syara, meskipun secara bentuk dapat disaksikan wujudnya.

 

Tidak mungkin terjadi persebandingan antara dua dalil gath’i, tidak antara dalil gath’i dan dhanni yang keduanya berbentuk nai, juga (persebandingan) antara dua tanda (dua dalil dhanni) dalam kenyataannya, menurut pendapat ashah. Jika sebenarnya terjadi persebandingan (ta’adul), maka Data menurut pendapat terpilih, kedua dalil saling menggugurkan.

 

TENTANG TA’ADUL

 

Bab ini menjelaskan tata cara ber-istidlal tatkala terjadi ta’arudl antara dua dalil. Dalam sebagian kitab ushul fiqh, bab ini memang dijelaskan dalam judul pembahasan “ta’arudl”. Keduanya merujuk pada makna yang sama. Hanya saja, istilah ta’aduk digunakan tatkala dua dalil yang berbenturan berkekuatan sama dan saling sebanding, sehingga tidak ada celah jamu atau tarjih. Sedangkan istilah ta’arudl kebanyakan digunakan untuk dalil-dalil yang secara dhahir berbenturan, akan tetapi ada celah jam’u (upaya kompromi) atau tarjih.

 

Sebagai bekal memahami pengertian ta’adul dan ta’arudl, berikut ini dipaparkan pengertian keduanya. Tentang ta’arud, terdapat dua definisi sebagai berikut:

 

Persinggungan dua dalil dengan cara saling mencegah

 

Dalam ungkapan lain disebutkan bahwa definisi ta’arudl adalah :

 

Saling mencegah di antara dua dalil secara mutlak, yakni salah satunya menunjukkan makna yang berbeda dengan yang ditunjukkan dalil lain.

 

Sedangkan ta’adul didefinisikan sebagai berikut :

 

Ta’adul adalah kesamaan dan kesebandingan dari segala sisi.

 

TA’ADUL DUA DALIL QATHIY

 

Kemudian, secara aqliy, tidak mungkin terjadi ta’idul antara dua dalil gath’iy. Salah satu dalil menunjukkan makna yang bertentangan dengan makna yang ditunjukkan oleh dalil yang lain. Karena jika hal demikian boleh terjadi, pastilah keduamadlul (kandungan makna yang ditunjukkan oleh dalil) sama-sama berlaku, dan terjadilah berkumpulnya dua hal saling bertentangan (tanafiy), dan hal semacam ini adalah mustahil. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada secara perwujudan, dua dalil yang gath’iy yang saling bertentangan.

 

Ketentuan kemustahilan ta’adul antara dua dalil gath’iy ini mencakup kasus ta’adul antar dua dalil ‘aqliy, atau antar dua dalil naqliy, atau antara dalil aqliy dan dalil naqliy. Contoh ta’adul antar dua dalil ‘aqliy, seperti dalil yang menunjukkan atas barunya alam (selain Pencipta), dan dalil yang menunjukkan atas keabadian alam. Karena mustahil sifat baru dan abadi berkumpul dalam alam.

 

TA’ADUL DALIL QATH’IY DAN DHANNIY

 

Kebalikan dari hal di atas, ta’adul antara dalil gath’iy dan dalil dhanni memungkinkan terjadi, manakala keduanya berbentuk dalil naqliy. Karena kedua dalil tetap pada dalalah (penunjukan)nya, meskipun dhann (asurnsi) yang terbangun akan dengan sendirinya hilang akibat kepastian dari kebalikan asumsi tersebut, disebabkan pada kondisi semacam ini dalil gath’iy yang harus dikedepankan.

 

Berbeda halnya jika keduanya berbentuk dalil ‘aqliy, maka tidak mungkin terjadi. Karena pada kondisi semacam ini dalalah (penunjukan) dalil dhanni menjadi hilang. Pada posisi inilah maksud perkataan Imam Ibn Al-Hajib, bahwa tidak mungkin terjadi ta’arudl antara dalil gath’iy dan dalil dhanni. Contoh, semisal Zaid diduga ada di rumahnya, berdasarkan petunjuk bahwa mobil beserta ajudannya ada di depan pintu rumah. Lalu dengan mata kepala dilihat jelas bahwa ternyata Zaid sedang berada di luar rumah. Maka dhann (asumsi) keberadaan Zaid di dalam rumah yang ditunjukkan dengan adanya mobil yang parkir di depan rumah berikut ajudannya, dengan sendirinya sirna begitu disaksikan keberadaan’ Zaid yang sedang ada di luar ramah. Sehingga, tidak ada ta’arudl dalam hal ini.

 

TA’ADUL DUA AMARAH

 

Sedangkan ta’adul antara dua amdrah (pertanda penunjukan, yakni dalil dhanniy), dipilah sebagai berikut,

 

  1. Terjadi dalam pemikiran seorang mujtahid, maka hal tersebut dipastikan terjadi. Karena ta’adul inilah sumber keraguan mujtahid.

 

  1. Terjadi dalam kenyataan sebenarnya. Dalam hal ini, mengenai mungkin terjadi atau tidaknya ta’dul antara dua amarah, ulama berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, bahwa ta’adul antara dua amdrah mungkin terjadi, baik ada murajiih (faktor yang mengunggulkan) atau tidak. Karena jika tidak mungkin terjadi, pasti sebab adanya sebuah dalil. Sedangkan secara hukum asal, dalil tersebut tidak ada. Pendapat ini dipedomani oleh Ibnul Hajib mengkiblat mayoritas ulama’.

 

  1. Pendapat kedua, ta’adul antara dua amarah tidak mungkin terjadi, jika tidak disertai adanya murajjih. Pendapat ini diunggulkan pengarang Jam’ul Jawimi:. Dengan alasan, untuk mengantisipasi terjadinya ta’arudl (pertentangan) dalam kalam as-Syari’ (pencetus syariat, Allah dan Rasul-Nya). Namun hal ini disangkal oleh pendapat pertama, bahwa tidak ada yang perlu diantisipasi dalam hal ini, karena terkadang membuat dua amarah adalah demi tujuan yang dibenarkan.

 

Berpijak pada pendapat ashah, apabila pada kenyataan sebenarnya ta’adul tetap terjadi, dan tidak ditemukan murajjih, maka ada beberapa pendapat tentang hal ini.

 

  1. Pendapat terpilih, keduanya saling menggugurkan. Sehingga kedua dalil tidak dipakai, dan mujtahid berpindah pada pemakaian dalil lainnya, yakni al-bara’ah al-ashliyyah (hukum asal terbebas tanggungan). Ini sebagaimana ketika terjadi ta’arudl (pertentangan) di antara dua bayyinah (bukti, saksi).

 

  1. Pendapat kedua, boleh memilih salah satu dari keduanya untuk diamalkan.

 

  1. Pendapat ketiga, menangguhkan pengamalan kedua dalil hingga tampak adanya murajjih yang menggunggulkan salah satu dari kedua dalil tersebut.

 

  1. Pendapat keempat, boleh memilih di antara dua dalil jika permasalahannya terkait kewajiban-kewajiban, seperti bolehnya memilih salah satu dari bentuk kaffaraf sumpah. Jika tidak, maka kedua dalil gugur, sebagaimana halnya ta’arudl antara hukum mubah dan haram”.

 

Apabila diriwayatkan dari seorang mujtahid dua pendapat, jika keduanya silih berganti (tidak bersamaan), maka pendapat yang akhir itulah pendapatnya. Jika tidak demikian, maka (yang dianggap pendapatnya) adalah pendapat yang di dalamnya mujtahid menyebutkan isyarat tarjih. Jika dia tidak menyebutkannya, maka dia dianggap orang yang ragu (di antara kedua pendapatnya itu). Keragu-raguan ini terjadi pada diri Imam Asy-Syafi’i dalam belasan empat permasalahan. Kemudian dikatakan bahwa pendapat yang berbeda dengan Imam Abu Habifah di antara kedua pendapat Imam Asy-Syafi’i adalah lebih unggul daripada pendapat yang bersesuaian dengan Imam Abu Hanifah. Pendapat lain, sebaliknya. Dan menurut shah, harus dilakukan tarjih (terhadap dua pendapat tersebut) dengan penalaran. Jika tarjih mengalami kebuntuan, maka (pengunggulan) harus ditangguhkan.

 

RAGAM PENDAPAT MUJTAHID BAGI PENGIKUTNYA Pendapat mujtahid adalah hujjah bagi mugallid atau pengikutnya, sebagaimana lebih lanjut dijelaskan dalam pembahasan tentang taqlid. Terkait dengan pembahasan ta’arudl, jika di mata mujtahid, ta’arudl terjadi antar dalil syara” berupa ayat Al-Qur’an atau hadis, maka di mata mugallid, ta’arudl terjadi antara dua pendapat berbeda dari imam mujtahidnya.

 

Jika terdapat periwayatan dua pendapat berbeda dari seorang mujtahid, maka dalam menyikapi hal ini, ada sejumlah pemilahan:

1) Jika dua pendapat tersebut diungkapkan silih berganti (ta’aqub)’, maka yang dianggap sebagai pendapat mujtahid tersebut adalah pendapatnya yang terakhir, sedangkan pendapat yang diungkapkan pertama kali, dianggap telah dicabut.

 

2) Jika dua pendapat mujtahid tersebut diungkapkan secara bersamaan maka yang dianggap sebagai pendapat mujtahid tersebut adalah pendapat yang diungkapkan dengan isyarat tarjih dari mujtahid tersebut terhadap salah satu pendapatnya. Isyarat tarjih semisal dengan ucapannya, “Pendapat yang ini lebih mirip dengan benar”, atau dengan tindakan mujtahid yang men-tafri” (mencabangkan, atau mengembangkan permasalahan)

 

3) Jika dua pendapat mujtahid tersebut diungkapkan secara bersamaan, dan dia tidak mengungkapkan isyarat tarjih terhadap salah satu pendapat tersebut, maka dia dianggap orang yang orang taraddud (ragu di antara kedua pendapatnya itu)’.

 

Keragu-raguan ini terjadi pada diri Imam Asy-Syafi’i dalam belasan tempat permasalahan, yakni 16 atau 17 permasalahan, sebagaimana dituturkan Imam Abu Hamid al-Marwaziy. Dan, taraddud ini justru menunjukkan atas keluhuran derajat keilmuan dan keberagamaannya. Dikatakan luhur derajat keilmuannya, karena taraddud dalam dua pendapat tanpa men-tarjih pada salah satunya, muncul dari kedalaman analisisnya yang akurat, sehingga tidak berhenti pada satu kondisi saja. Sedangkan dikatakan luhur derajat keberagamaannya, karena dia berani mengambil sikap taraddud dalam dua pendapat dengan tanpa men-tarjih, tanpa mempedulikan cibiran publik yang biasanya memandang sikap tersebut sebagai keterbatasan daya pikir seseorang. Secara khusus terkait dua pendapat berbeda dari Imam Asy-Syafi’i, terdapat sejumlah versi pendapat dalam men-tarjih-nya. Berikut ini ragam pendapat dalam menyikapinya:

 

  1. a) Bahwa pendapat Imam Asy-Syafi’i yang berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah atau imam madzhab lain, dinilai lebih unggul daripada pendapat Imam Asy-Syafi’i yang bersesuaian dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Karena Imam Asy-Syafi’i berbeda pendapat pastilah berdasarkan dalil tertentu. Penilaian ini dinyatakan oleh Syaikh Abu Hamid Al-Isfirayini.

 

  1. b) Kebalikan dari penilaian di atas, yakni bahwa pendapat Imam Asy-Syafi’i yang bersesuaian dengan pendapat Imam Abu Hanifah dinilai lebih unggul daripada pendapat Imam Asy-Syafi’i yang berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Ini karena pendapat yang bersesuaian tersebut dianggap kuat, karena banyaknya orang yang berpendapat. Penilaian ini disampaikan oleh Al-Qaffal, dan disahihkan oleh An-Nawawi’. Hanya saja, pendapat ini disanggah, bahwa kekuatan sebuah pendapat muncul dari dalil.

 

  1. c) Menurut pendapat ashah, bahwa tarjih di antara dua pendapat harus dilakukan berdasarkan penalaran. Jika tarjih mengalami kebuntuan, maka penentuan keunggulan salah satu dari dua pendapat juga harus ditangguhkan, hingga nampak faktor murajiih (yang men-tarjih).

 

Dan jika tidak diketahui ada gaul (pendapat) dari seorang mujtahid dalam sebuah akan tetapi ada gaul darinya dalam permasalahan lain yang serupa, maka gaul-nya dalam masalah lain yang serupa itu adalah gaul mukharraj (dalam permasalahan yang dibahas), menurut versi ashah. Dan menurut pendapat ashah, gaul tersebut tidak disandarkan pada mujtahid tersebut secara mutlak, akan tetapi disandarkan secara muqayyad (dibatasi). Dari perbenturan sebuah nash (gaul tekstual dari mujtahid) terhadap nash lain dalam permasalahan yang serupa, muncullah beberapa tharigah.

 

TENTANG TAKHRIJ

 

Takhrij berasal dari akar kata  (bermakna harfiah keluar), dimbuhkan tambahan berupa penggandaan huruf, menjadi berikut, laman yang dalam kaitannya dengan pembahasan ini bermakna “menerangkan arti atau maksud dari permasalahan”.

 

Secara istilah, takhrij didefinisikan sebagai berikut:

 

Mengnggali hukum dengan cara pencabangan masalah atas nash imam mujtahid dalam permasalahan lain yang serupa.

 

Artinya, manakala dalam sebuah kasus baru tidak ditemukan pendapat seorang mujtahid mengenai status hukumnya, akan tetapi ada nash atau teks pendapat dari mujtahid tersebut mengenai kasus lain yang serupa (dengan kasus baru), kemudian para pengikutnya (mujtahid madzhab) mencabangkan atau mengembangkan status hukum kasus baru tersebut berpijak pada putusan hukum imamnya dalam kasus lain yang serupa, maka pencabangan semacam ini disebut takhrij.

 

Tentang bolehkah takhrij dilakukan? Dan bisakah produk hukum takhrij itu disandarkan pada imam mujtahid, alias bisakah dianggap sebagai pendapatnya layaknya pendapat yang disampaikannya secara tekstual? Terdapat beberapa pendapat dalam hal ini:

 

  1. Pendapat ashah, sebagaimana dipedomani mayoritas ulama’, bahwa takhrij boleh dilakukan, akan tetapi produk takhrij tersebut tidak bisa disandarkan pada imam mujtahid kecuali secara muqayyad (terbatasi) dengan penyebutan label “mukharraj” (hasil takhrij). Maksudnya, bahwa produk hukum hasil takhrij tidak dapat disebut sebagai “gaul sang imam”, akan tetapi boleh menyebutnya sebagai “gaul mukharraj sang imam”. Yakni, penyebutannya sebagai gaul sang imam hanya boleh ketika diembel-embeli label “mukharraf”, agar tidak tereampur dengan gaul manshush.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa produk takhrij boleh disandarkan pada imam mujtahid, baik penyebutannya secara mutlak (tanpa embel-embel label “mukharraj”) ataupun secara muqayyad (dengan embel-embel label “mukharraj”). Karena produk takhrij ini telah dijadikan sebagai gaul sang imam mujtahid.

 

Terkadang Imam mujtahid mencetuskan nash hukum tertentu dalam sebuah kasus, dan dalam kasus lain yang serupa juga mencetuskan nash hukum yang berbeda atau bertentangan, dan tidak tampak adanya perbedaan mendasar dalam kedua permasalahan tersebut. Dari sinilah muncul beberapa tharigah dalam madzhab. Para ulama’ madzhab lantas berbeda sikap. Sebagian tetap mengakomodir kedua nash tersebut, karena menganggap kedua kasus memiliki titik perbedaan. Sebagian lagi ada yang men-takhrij dari nash dalam kasus pertama untuk diterapkan dalam nash kedua, dan sebaliknya, sehingga dalam masing-masing dari kedua kasus tersebut terdapat dua gaul, yakni gaul dengan periwayatan (yakni gaul manshush) dan gaul dengan cara takhrij (yakni gaul mukharraj).

 

Contoh sederhana, semisal sang imam mujtahid menyatakan nash tentang halalnya nabidz (minuman dari perasan selain anggur). Di kesempatan lain menyatakan nash tentang haramnya khamr (minuman dari perasan anggur). Dalam dua kasus ini, yakni nabidg dan khamr, terdapat kemiripan, akan tetapi sang imam mencetuskan hukum yang berbeda. Lantas para ulama’ madzhab pengikutnya berbeda sikap. Sebagian mengukuhkan cetusan imamnya dengan hukum yang berbeda, yakni khamr hukumnya haram, dan nabidz hukumnya halal, karena kedua kasus memang memiliki titik beda. Sebagian yang lain melakukan takhrij terhadap nash dalam kasus nabidz untuk diterapkan dalam kasus Khaur, sehingga menyimpulkan hukum halal untuk khamr berdasar gaul mukharraj. Demikian pula sebaliknya, lakbrij dilakukan terhadap nash dalam kasus khamr untuk diterapkan dalam kasus nabidz, sehingga menyimpulkan hukum haram untuk nabidz berdasar gaul mukharraj. Dengan demikian, dalam kasus nabidz, terdapat dua riwayat mengenai hukumnya, halal, berdasar gaul manshush, dan haram berdasar gaul mukharraj. Sedang dalam kasus khamr juga terdapat dua riwayat, haram berdasar gaul manshush, dan halal berdasar gaul mukharraj.”

 

Tarjih adalah penguatan salah satu dari dua dalil dhanniy, Dan mengamalkan dalil yang unggul adalah wajib, menurut pendapat ashah.

 

Dan tidak ada tarih dalam dalil-dalil gath’iy. Yang datang lebih akhir Cari dua nash yang saling crbenturan adalah penasakh, enak meskipun diriwayatkan secara dhad.

 

TENTANGAN TARJIH DAN MENGAMALKAN AR-RAJIH

 

Tarjih adalah penguatan terhadap salah satu dari dua dalil dhanniy yang saling berbenturan, dengan menggunakan salah satu dari faktor-faktor penguat. Adanya faktor murajjih menjadikan salah satu dari dua dalil tersebut akan unggul. Dan menurut pendapat ashah, mengamalkan dalil yang unggul (rajih) adalah wajib dalam penisbatannya dengan dalil yang diungguli (marjuh). Artinya, ketika ada dalil yang rajih maka mengamalkan dalil marjuh itu dilarang, baik keunggulan tersebut bertaraf gath’iy atau hanya sebatas dhanny.

 

Pendapat kedua, tidak wajib mengamalkan dalil yang unggul (rajih), apabila keunggulan tersebut sebatas dhanny, seperti sifat-sifat, kondisi, banyaknya dalil dan semisalnya. Bahkan tidak boleh mengamalkan salah satu dari keduanya, karena tidak dijumpainya murajjih bertaraf gath’y. Pendapat ketiga, jika tarjih bertaraf dhanny, maka boleh memilih pengamalan di antara dua dalil tersebut.

 

TARJIH DALAM BEBERAPA DALIL QATH’IY

 

Selanjutnya, tarjih tidak diterima dalam beberapa dalil gath’iy, baik berbentuk naqli ataupun ‘aqliy, Karena antar dalil gath’iy tidak ada pertentangan (ta’arudl).

 

Tidak adanya ta’arudl antar dalil gath’iy tersebut berlaku manakala dalil yang lebih akhir tidak diketahui. Jika kronologi kemunculan dua nash yang saling ta’arudl diketahui, maka nash yang kemunculannya lebih akhir menjadi nasikh (dalil pe-nasakh) terhadap nash yang lebih awal, baik keduanya berupa ayat Al-Qur’an, atau keduanya berupa hadis, atau antara ayat Al-Qur’an dan hadis, tentunya dengan syarat sebagaimana dalam pembahasan nasakh. Meskipun dalil yang lebih akhir teriwayatkan secara ahad, karena keberlanjutan nash tersebut dengan tanpa adanya perbenturan dengan dalil lain itu sekedar asumsi (madhnun). Sebagian ulama mengatakan, jika sebuah nash teriwayatkan secara ahad, maka tidak diperbolehkan menjadi pe-nasakh, karena dalam satu kasus akan mengakibatkan penganuliran dalil mutawatir dengan dalil ahad’.

 

Menurut endapat hah bahwa mengamalkan dua dalil yang saling berbenturan meski dati satu sisi, lebih utama daripada mengabaikan salah satunya.

 

(Dan menurut pendapat ashahh Al-Qur’an tidak didahulukan atas as-sunnah, juga tidak sebaliknya).

 

MENGAMALKAN DUA DALIL YANG BERBENTURAN

 

Ketika dua dalil yang saling berbenturan masih mungkin untuk dikompromikan, maka mengamalkan keduanya meski dari satu sisi tertentu, adalah lebih baik daripada mengabaikan salah satunya, dengan cara men-tarjih dalil lain. Meskipun yang terjadi adalah antara dalil assunnah yang yang berhadapan dengan dalil Al-Qur’an. Demikian pendapat ashah menyatakan. Pendapat lain menyatakan bahwa terjih-lah yang harus ditempuh. Contoh dua dalil yang saling berbenturan

Dalil pertama, hadis Rasulullah saw.

 

Apapun kulit (binatang) jika disamak, maka Sinpguh telah suci. (HR. Tirmidzi)

Dalil kedua, hadis Rasulullah saw.

 

Janganlah kalian memanfaatkan sesuatu dari bangkai, dengan kuhit atau uratnya. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

 

Hadis pertama menyimpulkan bahwa segala kulit jika disamak maka akan menjadi suci, termasuk kulit bangkai binatang. Sedangkan hadis kedua menyimpulkan bahwa semua bagian dari bangkai haram dimanfaatkan, termasuk kulit dari bangkai yang belum atau telah disamak. Kemudian para ulama’ mengarahkan penerapan hadis kedua pada kulit bangkai yang belum disamak, sedangkan kulit bangkai yang telah disamak dapat dimanfaatkan karena telah berstatus suci.

 

Ketentuan tentang keharusan mengkompromikan dua dalil yang saling ta’arudl ketika mungkin dilakukan, ini tidak terkecuali dalam permasalahan tatkala benturan terjadi antara dalil as-sunnah yang berhadapan dengan dalil Al Qur’an. Dan memang, terkait dalil dari ayat Al-Qur’an dan as-sunnah, menurut pendapat ashah, tidak ada yang lebih menjadi prioritas di antara keduanya. Al-Qur’an tidak lebih didahulukan daripada as-Sunnah. Begitu pula as-sunnah tidak lebih didahulukan daripada Al-Qur’an. Ini berbeda dengan pendapat sejumlah ulama’ yang beranggapan tidak demikian.

 

Pendapat kedua, menyatakan bahwa Al-Qur’an harus dikedepankan daripada as-sunnah. Mereka berdasar dengan hadis Mu’adz bin Jabal tatkala mendapatkan pembekalan Rasulullah saw. sebelum diutus ke sebagai gadli ke daerah Yaman. Ketika Rasulullah menanyakan, apa yang dijadikannya dasar pengambilan keputusan, Muadz menjawab, Al-Quran. Baru kemudian ketika tidak ditemukan ayat Al-Quran yang menjelaskannnya, Muadz menyatakan beralih kepada sunnah Rasul-Nya. Dan, Rasulullah pun merestui jawaban ini. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lain.

 

Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa as-Sunnah lah yang harus dikedepankan, Pegangan pada firman Allah

 

Kami menurunkan kepadamu Adz Dzikr (Al-Quran) Saar kamu menerangkan kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka.

 

Contoh ta’arudl antara dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah hadis Rasulullah SAW.:

 

Laut itu airnya suci dan bisa mensucikan, dan bangkainya halal (HR. Abu Dawud)

 

Hadis di atas ber-ta’arudl dengan firman Allah berikut: ,

 

Katakan: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor…”

 

Hadis di atas menyimpulkan bahwa babi laut itu halal karena termasuk binatang laut. Sedangkan ayat di atas menyimpulkan babi laut itu haram, karena meski binatang laut, tetap saja binatang itu bernama babi. Maka diadakanlah kompromi, dengan mengarahkan penerapan ayat Al-Qur’an di atas hanya pada babi darat, karena tatkala diungkapkan kata “babi”, yang sekilas dengar akan dipahami adalah bahwa yang dimaksud adalah babi darat”,

 

Jika tidak mungkin mengamalkan dua dalil yang berbenturan, manakala diketahui dalil yang lebih akhir, maka yang akhir itulah pe-nasakh. Jika tidak,

maka dikembalikan pada murajih, Dan apabila pengembalian ini sulit dilakukan, manakala kedua dalil tidak muncul berbaren an, dan keduanya menerima di-nasakh, maka mujahid harus mencari selain keduanya. Dan jika tidak demikian (dua dalil berbarengan dan menerima nasakh), maka mujtahid harus memilih salah satu, jika tarjih sulit dilakukan.

 

KESULITAN MENGAMALKAN DUA DALIL YANG BERBENTURAN

 

Jika tidak memungkinkan mengamalkan kedua dalil yang berbenturan dengan cara jam’u (kompromi), maka dalam hal ini ada beberapa kondisi yang menuntut penyikapan berbeda:

 

  1. Kondisi pertama, diketahui secara nyata dalil yang muncul lebih akhir, dan tidak sampai terlupakan, maka dipilah,

 

  1. Dalil yang akhir me-nasakh dalil yang awal, apabila dalil yang muncul lebih awal menerima di-nasakh”.
  2. Keduanya gugur dari pengamalan (tasaquth), apabila dalil yang muncul lebih awal tidak mencrima di-nasakh.

 

  1. Kondisi kedua, tidak diketahui secara nyata dalil yang muncul lebih akhir. Dalam arti kedua dalil berbarengan, atau tidak diketahui bahwa salah satu dalil lebih akhir, atau diketahui bahwa salah satu dalil lebih akhir, akan tetapi tidak diketahui dalil mana yang lebih akhir, atau diketahui, namun kemudian terlupakan, maka urutan prosedurnya sebagai berikut,

 

  1. Dikembalikan pada murajjih (faktor yang mengunggulkan), jika memungkinkan.
  2. Beralih pada dalil lain selain keduanya. Hal ini dilakukan jika prosedur di atas sulit dilakukan, dan kedua dalil tidak berbarengan, serta keduanya tidak menerima di-nasakh.
  3. Menangguhkan pengamalan salah satu dari dua dalil. Hal ini harus dilakukan manakala dalil lain selain keduanya tidak ditemukan.
  4. Memilih salah satu dari dua dalil untuk diamalkan. Hal ini dilakukan jika kedua dalil berbarengan, dan keduanya menerima di-nasakh, namun proses tarih sulit ditempuh.
  5. Mentarjih salah satu dari dua dalil dengan mencari murajjih. Hal ini dilakukan jika kedua dalil berbarengan, dan keduanya menerima di-nasakh, serta proses tarjih bisa ditempuh”.

 

Permasalahan: (salah satu dari dua dalil yang berbenturan) di-tarjih berdasarkan banyaknya dalil, dan banyaknya perawi, menurut versi ashah. Juga sanad yang tinggi, keunggulan rawi dalam fiqh, bahasa, dan nahwu, sifat wira’i-nya, kecermatan, dan kecerdasannya, meskipun hadis yang marjuh diriwayatkan dengan teks (dan hadis yang rajih diriwayatkan dengan makna). Juga berdasarkan kuatnya ingatan, ketiadaan bid’ah, dan kemasyhuran sifat ‘adalah-nya (keadilannya).

 

Al-MURAJJIHAT FAKTOR-FAKTOR PEN-TARJIH

 

Upaya tarjih di antara beberapa dalil dapat dilakukan dengan mempertimbangkan banyak faktor. Faktor-faktor itu secara garis besar dikelompokkan dalam kategori-kategori berikut:

  1. Tarjih berdasarkan sanad, atau keadaan r4wi (periwayat).
  2. Tarjih berdasarkan matan, atau keadaan obyek periwayatan.
  3. Tarjih berdasarkan madlul (obyek penunjukan lafadh hadis).
  4. Tarjih berdasarkan faktor luar.
  5. Tarjih antar ijma’.
  6. Tarjih antar qiyas berdasarkan ashl.
  7. Tarjih antar qiyas berdasarkan ‘‘illat.
  8. Tarjih antar hadud (batasan-batasan).

 

PERTAMA TARJIH BERDASARKAN SANAD

 

Tarjih-tarjih yang dilakukan berdasarkan sanad atau keadaan rawi (periwayat) dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.

 

  1. Banyaknya dalil pendukung atau banyaknya perawi, menurut pendapat ashah. Dalam arti, apabila salah satu dari dua dalil yang berbenturan memiliki banyak dalil pendukung yang selaras atau memiliki perawi lebih banyak, maka akan diunggulkan dari yang lain. Karena banyaknya dalil atau perawi menambah kekuatannya. Pendapat lain, keduanya tidak dipertimbangkan, seperti persaksian dua orang saksi yang dapat membentur persaksian dua atau empat orang. Namun hal ini disangkal, bahwa maksud persaksian adalah memutus perseteruan, supaya tidak berkepanjangan. Sehingga dibatasi dengan kuota tertentu. Sedangkan maksud dari dalil adalah menduga hukum, dimana mujtahid berkesempatan menganalisa, sehingga semakin kuat dugaannya, akan semakin baik dipertimbangkan.

 

  1. Mata rantai sanadnya ‘aliy (secara harfiah : tinggi).

Hadis dengan mata rantai sanad yang ‘aliy adalah hadis dengan sedikitnya perantara. Contoh :

Hadis X diriwayatkan oleh mujtahid Z dari B yang meriwayatkan dari shahabat A yang meriwayatkan dari Rasulullah saw.

Hadis Y diriwayatkan oleh mujtahid Z. dari D yang meriwayatkan dari C yang meriwayatkan dari shahabat A yang meriwayatkan dari Rasulullah saw. Berikut skema hadis dengan mata rantai sanad ‘aliy:

 

Hadis X memiliki mata rantai sanad yang ‘aliy jika dibandingkan dengan had Y, karena perantara antara mujtahid Z dengan Rasulullah saw. pada hadis X lebih sedikit jika dibandingkan dengan perantara antara mujtahid Z dengan Rasulullah saw. pada hadis Y. Ini karena semakin sedikit perantara, semakin minim resiko kesalahannya.

 

  1. Tingkat penguasaan rawi terhadap ilmu fiqh”. Karena dengan bekal penguasaan fiqh, seorang dwi dapat membedakan mana yang boleh diberlakukan dan mana yang tidak. Serta semakin minim resiko kesalahannya.

 

  1. Tingkat penguasaan rawi terhadap ilmu bahasa, karena dengan bekal penguasaan bahasa, seorang rawi lebih tahu terhadap penggunaan lafadh-lafadh dari hadis yang diriwayatkannya, sehingga semakin minim resiko kesalahannya.

 

  1. Tingkat penguasaan rawi terhadap ilmu nahwu (tata bahasa Arab), karena dengan bekal penguasaan ilmu nahwu, seorang raw lebih dapat menghindarkan diri dari ungkapan-ungkapan yang salah, sehingga semakin minim resiko kesalahannya.

 

  1. Tingkat wara” (kehati-hatian dalam beragama) yang dimiliki rawi. Yakni, berusaha keras menjalankan sunnah dan menjauhi makruh

 

  1. Tingkat dlabth atau kecermatan rawi. Yakni, berusaha keras menjaga hadits.

 

  1. Tingkat kecerdasan rawi

Selanjutnya, ketentuan tarjih mulai dari nomor 2 sampai nomor 8 ini tetap diberlakukan meskipun hadis yang rajih (unggul) sebab didukung ketujuh faktor ini diriwayatkan sekadar dengan riwayat bil ma’na sedangkan hadis yang marjih diriwayatkan dengan riwayat bil lafdhi.

 

  1. Tingkat ingatan rawi. Yakni pelaku tidak pelupa. 

 

  1. Ketiadaan perilaku bid’ah dari rawi. Yakni bahwa rawi adalah orang yang baik akidahnya.

 

  1. Tingkat kemasyhuran rawi sebagai seorang yang memiliki sifat adalah. Dengan enam faktor terakhir ini, seorang rawi dianggap sangat kredibel atau terpereaya dalam periwayatan hadis.

 

Dan bahwa r4wi adalah seorang yang ditazkiyah (dianggap adil) secara. langsung (oleh Mujtahid), atau lebih banyak orang yang menfagkiyah-nya, dan yang dikenal nasabnya. Dikatakan (dalam sebuah pendapat): dan yang masyhur nasabnya. Dan yang melalui tazkiyah secara sharih (jelas, eksplisit) lebih diunggulkan atas adanya vonis hukum berdasar kesaksian rawi, dan adanya pengamalan hadis dari hasil periwayatan rawi. Dan dihafalkannya hadis yang diriwayatkan, penuturan sebab (kemunculan hadis), pijakan berdasar hafalan, bukan tulisan, dhahir-nya jalan periwayatan) pendengaran terhadap hadis tanpa media penghalang. Dan bahwa rawi adalah seorang lelaki, dan orang yang merdeka, menurut pendapat ashah.

 

  1. Tazkiyah (uji kelayakan riwi) dengan pola ikhtibdar atau dilakukan sendiri oleh mujtahud, lebih diunggulkan daripada tazkiyah dengan pola ikhbar (rekomendasi pihak lain)

 

Tazkiyah adalah uji kepatutan tentang ‘adalah (keadilan, integritas moral) dari seorang periwayat hadis, sehingga hadis yang diriwayatkannya dianggap layak pakai karena besar dugaan periwayatnya adalah seorang yang jujur dalam meriwayatkan hadis. Tazkiyah memiliki banyak pola. Pola ikhtibir adalah pola tazkiyah yang dilakukan sendiri oleh mujtahid pengguna hadis dengan mengenal atau mengetahui langsung bahwa rawi adalah seorang yang memiliki sifat adalah. Sedangkan pola iktibar adalah pola tazkiyah melalui rekomendasi atau keterangan dari orang lain bahwa rawi adalah seorang yang memiliki sifat adalah. Tentu saja pemberi rekomendasi ini juga merupakan orang terpereaya. Hadis yang pola tazkiyah terhadap rawi-nya dengan menggunakan pola ikhtibar lebih diunggulkan daripada hadis dengan pola tazkiyah berupa ikhbar.

 

  1. Banyaknya pemberi rekomendasi tazkiyah pada seorang rawi.

 

Jika pola tagkiyah menggunakan pola ikhbir, maka hadis yang rawinya di-tazkiyah oleh banyak muzakki (pemberi rekomendasi tazkiyah) lebih diunggulkan daripada hadis yang rawi-nya mendapatkan rekomendasi dari sedikit muzakki.

 

  1. Bahwa rawi adalah orang yang dikenali nasabnya. Ini karena rawi yang dikenali nasabnya lebih dipereaya. Pendapat lain, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Hajib dan Al-Amudiy, bahwa kemasyhuran nasab rawi juga menjadi pertimbangan tarjih. Masyhur adalah sisi lebih dari sekadar dikenali. Kedua ulama’ ini memberi alasan, karena orang yang nasabnya masyhur akan melakukan pemeliharaan diri dari hal-hal yang menqur’angi kemasyhurannya, berbeda dengan orang yang nasabnya tidak masyhur. Akan tetapi menurut pendapat ashahh, kemasyhuran nasab bukanlah faktor tarjih, sebagaimana dalam teks Jam’ul Jawami’.

 

  1. Tazkiyah dengan penilaian secara tashrih (eksplisit) lebih diunggulkan daripada tazkiyah dengan penilaian secara dlimniy (implisit) dengan :

 

– Menggunakan persaksiannya sebagai landasan vonis peradilan.

– Mengamalkan hadis hasil periwayatannya

 

Tazkiyah dengan penilaian secara tashrih adalah penilaian dari seorang muzakki terhadap rawi dengan semisal pernyataan berikut : “Rawi ini adalah seorang yang memiliki sifat adalah”. Sedangkan tazkiyah dengan penilaian secara dlimniy adalah penilaian dari seorang muzakki terhadap rawi tidak dengan ungkapan lugas, akan tetapi melalui tindakan muzakki yang mengesankan bahwa rawi adalah seorang yang memiliki sifat adalah.

 

Tindakan muzakki tersebut bisa berupa menggunakan persaksian rawi sebagai landasan vonis peradilan. Dalam hal ini muzakki memegang jabatan gadli yang diharuskan memutus vonis dalam pengadilan berdasarkan keterangan saksi. Sedangkan saksi haruslah seorang yang memiliki sifat adalah. Dengan digunakannya persaksian rawi sebagai pijakan putusan pengadilan, sama halnya gadi menganggap rawi adalah orang yang memiliki sifat adalah.

 

Bentuk tindakan lain dari muzakki yang secara tidak langsung sama dengan penilaian tagkiyah secara lugas adalah pengamalan hadis yang diriwayatkan oleh rawi. Dalam hal ini, Muzakki adalah seorang mujtahid. Mujtahid yang mengamalkan kandungan hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi sama halnya mujtahid telah menganggap bahwa rawi tersebut adalah seorang yang memiliki sifat adalah, sehingga dia mengamalkan isi kandungan hadisnya. Andai rawi hadis tersebut bermasalah, tentunya mujtahid tidak akan mengamalkan hadis tersebut.

 

  1. Bahwa rawi adalah orang yang hafal terhadap hadis hasil periwayatannya. Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang hafal terhadap teks hadisnya Lebih diunggulkan daripada hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tidak hafal teks hadisnya, karena hafalnya rawi menunjukkan perhatiannya yang lebih terhadap hadis yang diriwayatkannya itu.

 

  1. Bahwa rawi adalah orang yang menuturkan sebab-sebab kemunculan khabar. Hadis yang dituturkan besertaan dengan sebab-sebab kemunculannya lebih diunggulkan daripada hadis yang tidak disertakan sebab-sebab kemunculannya. Karena ada sisi perhatian lebih dalam obyek hadis yang diriwayatkannya. Hal ini berlaku pada konteks dua khabar yang masing-masing berbentuk lhash.

 

  1. Bahwa rawi adalah orang yang berpegangan pada hafalannya tatkala meriwayatkan hadis. Ini lebih diunggulkan daripada rawi yang berpegangan pada catatan tulisan”. Hal ini karena acuan tulisan sangat memungkinkan mengalami perubahan, dengan tambahan atau penqur’angan. Sedangkan adanya kemungkinan isytibah (kekacauan hafalan) dan kelupaan dalam kasus rawi yang berpegangan pada hafalan di saat meriwayatkan, dianggap tidak ada atau diabaikan.

 

  1. Dhahir-nya metode periwayatan.

Sebagaimana dipaparkan dalam pembahasan tentang khabar, bahwa dalam periwayatan hadis, ada beberapa metode rekam atau tahammul. Di antara beberapa metode tersebut ada penjenjangan, seperti bahwa metode sam4′ berada di peringkat pertama dan lebih diunggulkan daripada metode ijazah. Metode sama’ dengan semisal rawi berkata : “saya mendengarkan si Fulan (guru si rawi) berkata…”, atau : “si Fulan menceritakan kepadaku bahwa…” Sedangkan metode ijazah adalah adanya pemberian izin dari guru kepada murid untuk meriwayatkan hadis.

 

  1. Bahwa riwi mendengarkan hadis langsung melalui musyafahah (berhadap-hadapan atau face to face dengan gurunya), tanpa penghalang. Ini lebih diunggulkan daripada rawi yang mendapatkan hadis dengan mendengarnya dari balik tabir. Seperti riwayat Al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah, “bahwa Barirah telah dimerdekakan, sedangkan suaminya seorang budak”, dan riwayat Al-Aswad dari Aisyah, “bahwa suaminya adalah orang yang merdeka”. Riwayat Al-Qasim lebih diunggulkan karena beliau mendengar hadis tersebut tanpa ada tabir penghalang, sedangkan Al-Aswad mendengarkannya dari balik tabir.

 

  1. Jenis kelamin periwayat hadis. Hadis yang diriwayatkan oleh rawi laki-laki lebih unggul daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi perempuan, menurut pendapat ashah. Ini karena secara umum, kaum lelaki lebih cermat dalam pengamatan khabar”, Namun dalam hal ini terdapat pendapat yang berbeda. Pendapat kedua, bahwa periwayatan rawi perempuan lebih diunggulkan dalam hukum-hukum permasalahan perempuan, sedang dalam permasalahan selainnya periwayatan rawi laki-laki lebih diunggulkan. Pendapat ketiga, bahwa jenis kelamin tidak menjadi faktor tarih. Karena faktor

 

kecermatan yang menjadi alasan dalam menempatkan jenis kelamin laki-laki sebagai faktor tarjih hanyalah terjadi secara kasuistik dalam satu per satu hadis yang diriwayatkan, sementara dalam kenyataannya banyak raw perempuan lebih cermat daripada kebanyakan rawi laki-laki. Karenanya, faktor jenis kelamin laki-laki ini bukanlah merupakan faktor tarjih. Az-Zarkasyi mendukung pernyataan Al-Isfirayiniy ini, dan mengatakan bahwa pendapat kedua inilah yang benar. As-Sam’ani dalam Oawathi’ al-Adillah menyatakan bahwa pendapat kedua inilah yang menjadi pegangan madzhab Syafi’i. Bahkan Ilkiya meriwayatkan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan ulama’.

 

  1. Periwayat hadis merupakan orang yang merdeka. Ini karena, dengan kemuliaannya, orang merdeka lebih memelihara kehormatannya, lebih dari pemeliharaan kehormatan oleh seorang budak. Hanya saja, Az-Zarkasyi dan As-Sam’ani menentang ketentuan tarjih ini. Az-Zarkasyi berkata, “Pendapat ini (kemerdekaan sebagai faktor tarjih) adalah pendapat yang lemah, sebagaimana dalam faktor jenis kelamin”. As-Sam’ani berkata, “Faktor kemerdekaan tidak memiliki pengaruh dalam kuatnya dugaan kebenaran riwayat”.

 

Dan bahwa rawi adalah para shahabat senior: dan bahwa rawi adalah orang yang masuk Islam belakangan, menurut versi ashah. Dan bahwa rawi adalah orang yang merekam hadis setelah menjadi mukallaf, dan bahwa riwi bukan seorang mudallis: dan bahwa rawi tidak memiliki dua nama, dan bahwa rawi adalah orang yang berkaitan langsung dengan peristiwas dan orang yang menjalani psristiwa, dan yang meriwayatkan hadis secara lafdzi, dan riwayat yang tidak diingkari oleh rawi sumbernya, dan bahwa hadis tersebut tereantum dalam dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim).

 

  1. Senioritas shahabat periwayat hadis. Hadis riwayat sahabat-sahabat senior atau para pembesar shahabat lebih diunggulkan daripada hadis riwayat shahabat lainnya. Ini karena para shahabat senior itu Memiliki kedekatan dengan majelis Rasulullah SAW., juga karena tingkat beragama mereka yang lebih dibandingkan lainnya.

 

  1. Periwayat hadis merupakan shahabat yang masuk Islam belakangan. Yakni bahwa hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang masuk Islam belakangan lebih diunggulkan dari hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang masuk Islam lebih dahulu, menurut pendapat ashah. Ini karena hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang masuk Islam belakangan, secara dhahir kemunculannya lebih akhir dari hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang masuk Islam lebih dahulu. Pendapat kedua, sebaliknya, yakni hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang masuk Islam lebih dahulu lebih diunggulkan dari hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang masuk Islam belakangan. Ini karena shahabat yang masuk Islam lebih dahulu keislamanannya lebih mengakar, sehingga lebih berhati-hati dalam meriwayatkan hadis.

 

  1. Periwayat merekam hadis (tahammul) setelah menjadi mukallaf. Ini karena seseorang yang telah mukallaf, lebih cermat dalam rekam peristiwa (tahammul) dibanding seseorang belum mukallaf

 

  1. Periwayat hadis bukan seorang mudallis (orang yang melakukan pengkaburan)”. Karena kepereayaan kepada rawi yang bukan mudallis lebih kuat daripada kepereayaan kepada mudallis yang dapat diterima.

 

  1. Periwayat hadis tidak memiliki dua nama”. Yakni bahwa hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang memiliki satu nama lebih diunggulkan daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang memiliki dua nama. Hal ini karena rawi yang memiliki dua nama, ada kemungkinan salah satu namanya sama dengan nama rawi lainnya yang ternyata lemah.

 

  1. Periwayat hadis merupakan orang yang bersentuhan langsung dengan peristiwa. Sehingga, hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersentuhan langsung’ dengan peristiwa, lebih diunggulkan daripada hadis yang periwayatnya tidak bersentuhan langsung dengan peristiwa.

 

Contoh: Dua hadis tentang akad nikah Rasullah saw. dengan Maimunah radhiyallahu anhu.

 

Hadis pertama : diriwayatkan oleh Turmudzi dari Abu Rif “Bahwa Rasulullah saw. menikahi Maimunah dalam keadaan halal (tidak sedang ihram) dan berbulan madu dalam keadaan halal”. Abu Rafi’ berkata: “Dan aku menjadi perantara di antara keduanya”,

 

Hadis kedua : diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, “Bahwa Rasulullah saw. menikahi Maimunah dalam keadaan beliau adalah muhrim (sedang ihram)”. Dalam sebuah riwayat Bukhari, “Bahwa Rasulullah saw. menikahi Maimunah, sedangkan beliau dalam keadaan sedang ihram, dan berbulan madu sedangkan beliau dalam keadaan halal,.dan Maimunah wafat di tanah Sarif”.

 

Kedua hadis ini saling bertentangan. Dan hadis pertama diunggulkan daripada hadis kedua, karena periwayatnya, yakni Abu Rafi, merupakan orang yang bersentuhan langsung dengan peristiwa, yakni sebagai perantara di antara Rasul dan Maimunah. Sedangkan hadis kedua tidak digunakan karena periwayatnya, yakni Ibnu Abbas, tidak terlibat langsung dalam peristiwa tersebut.

 

  1. Periwayat hadis merupakan pelaku peristiwa. Hadis yang diriwayatkannya lebih diunggulkan daripada hadis yang diriwayatkan bukan oleh pelaku peristiwa.

Contoh: Dua hadis juga tentang akad nikah Rasullah saw. dengan Maimunah radhiyallahu anhu.

 

Hadis pertama : diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Maimunah beliau berkata: “Rasulullah menikahiku, dan kami berdua dalam keadaan halal di tanah Sarif”. Juga hadis yang diriwayatkan Muslim dari yazid bin Al-Asham, dari Maimunah, bahwa Rasulullah saw. menikahi Maimunah, sedang Rasul dalam keadaan halal.

 

Hadis kedua : diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, “Bahwa Rasulullah saw. menikahi Maimunah dalam keadaan beliau adalah muhrim (sedang ihram)”. Dalam sebuah riwayat Bukhari, “Bahwa Rasulullah SAW. menikahi Maimunah, sedangkan beliau dalam keadaan sedang ihram, dan berbulan madu sedangkan beliau dalam keadaan halal, dan Maimunah wafat di tanah Sarif”.

 

Kedua hadis ini saling bertentangan. Dan hadis pertama diunggulkan daripada hadis kedua, karena periwayatnya, yakni Maimunah, adalah pelaku peristiwa pernikahan. Sedangkan hadis kedua tidak digunakan ” karena periwayatnya, yakni Ibnu Abbas, bukan pelaku peristiwa. Selanjutnya, terkait periwayatan yang berbeda ini, Sa’id bin Musayyab — sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud – mengatakan, “Ibnu Abbas telah salah menduga tentang pernikahan Rasulullah SAW. dan Maimunah, dalam keadaan beliau sedang ihram”

 

  1. Hadis teriwayatkan secara lafadh (tekstual). Ini lebih diunggulkan daripada hadis yang teriwayatkan secara ma’na (substansial). Karena dengan periwayatan secara lafadh, obyek hadis yang diriwayatkan tertutupi dari celah kekeliruan sebagaimana mungkin terjadi dalam hadis yang diriwayatkan secara ma’na.

 

  1. Materi periwayatan hadis oleh seorang rawi tidak diingkari syaikh (Sumber riwayat)-nya. Hadis semacam ini lebih diunggulkan daripada hadis yang diingkari.oleh syaikh sebagai sumber riwayatnya, dengan semisal syaikh mengatakan, “Aku tidak pernah meriwayatkan hadis kepada dia (rawi)”. Karena dugaan kebenaran pada hadis pertama lebih kuat.

 

  1. Hadis tereantum dalam dua kitab shahih, yakni Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Hadis yang tereantum dalam dua kitab shahih ini lebih diunggulkan daripada hadis yang tereantum dalam kitab shahih selain keduanya, meski hadis tersebut telah sesuai dengan kriteria shahih versi Bukhari dan Muslim. Ini karena kaum muslimin telah sepakat menerima hadis-hadis dalam kedua kitab shahih tersebut. Dari ketentuan ini, muncul sejumlah ketentuan terkait pemeringkatan hadis berdasarkan pencantumannya dalam kitab-kitab shahih hadis, sebagai berikut:

 

1) Hadis yang tereantum dalam shahih Bukhari sekaligus dalam shahih Muslim lebih diunggulkan daripada hadis yang tereantum dalam shahih Bukhari saja.

 

2) Hadis yang tereantum dalam shahih Bukhari saja lebih diunggulkan daripada hadis yang tereantum dalam shahih Muslim saja.

 

3) Hadis yang tereantum dalam shahih Muslim saja lebih diunggulkan daripada hadis yang telah memenuhi kriteria shahih versi Bukhari dan Muslim, akan tetapi tidak tereantum dalam keduanya.

 

4) Hadis yang telah memenuhi kriteria shahih versi Bukhari dan Muslim lebih diunggulkan daripada hadis yang telah memenuhi kriteria shahih versi Bukhari saja.

 

5) Hadis yang telah memenuhi kriteria shahih versi Bukhari saja lebih diunggulkan daripada hadis yang telah memenuhi kriteria shahih versi Muslim saja.

 

6) Hadis yang telah memenuhi kriteria shahih versi Muslim lebih diunggulkan daripada hadis yang telah memenuhi kriteria shahih versi selain keduanya.

 

7) Hadis yang di-takhrij oleh Ibnu Khuzaimah lebih diunggulkan daripada hadis yang disahihkan Ibnu Hibban dan Al-Hakim.

 

8) Hadis yang disahihkan Ibnu Hibban lebih diunggulkan daripada hadis yang disahihkan oleh Al-Hakim”.

 

Dan bahwa hadis tersebut merupakan khabar gauli, lalu, lalu fi’li, lalu taqriri Dan diunggulkan redaksi hadis yang fasih, juga yang lebih fasih menurut satu pendapat, dan hadis yang memuat tambahan, menurut pendapat ashah, dan hadis yang disampaikan dengan logat Ouraisy, dan hadis madaniy (turun setelah hijrah): dan hadis yang mengesakan keluhuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

KEDUA: TARJIH BERDASARKAN MATAN

 

Tarjih-tarjih yang dilakukan berdasarkan matan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Matan hadis merupakan khabar gauli (ucapan Nabi), lalu khbabar fi’li (perbuatan Nabi), lalu lhabar tagriri (persetujuan Nabi).

Yakni bahwa berdasarkan ketiga variabel ini, hadis di-tarijih berdasarkan ketentuan berikut:

1) Hadis yang matan-nya berupa khabar gauli lebih diunggulkan daripada hadis yang matan-nya berupa khabar fi’il. Karena ucapan lebih kuat dalalah (penunjukan)-nya atas pensyariatan daripada perbuatan, dan sebab perbuatan ada kemungkinan terkhusus pada Nabi SAW.

 

2) Hadis yang matan-nya berupa khabar fi’li lebih diunggulkan daripada hadis yang matan-nya berupa khabar taqriri. Karena perbuatan lebih kuat dalalah (penunjukan)-nya atas pensyariatan, daripada persetujuan. Hal ini disebabkan perbuatan adalah murni perwujudan dan persetujuan memiliki kemungkinan melebihi kemungkinan yang ada dalam perbuatan.

 

Hadis berisi redaksi yang fasih.

 

Hadis semacam ini lebih diunggulkan daripada hadis yang berisi ungkapan tidak fasih, karena ada kemungkinan hadis yang tidak fasih ini diriwayatkan secara ma’na saja.

 

Jika keduanya fasih, dan salah satunya lebih fasih, apakah faktor lebih fasih dapat menjadi acuan tarjih? Dalam hal ini terdapat perbedaan pandangan. Pendapat ashah, bahwa faktor lebih fasih bukanlah acuan tarjih, karena Rasul SAW berbicara dengan ungkapan paling fasih dan yang fasih, terlebih apabila beliau sedang berbicara dengan orang-orang yang tidak memahami ungkapan paling fasih. Rasulullah SAW berbicara dengan orang-orang di penjuru Arab dengan bahasa yang dapat mereka pahami. Pendapat kedua, sebagai pendapat marjuh, bahwa faktor lebih fasih menjadi acuan tarjih. Karena Rasulullah SAW. adalah orang yang paling fasih. Sehingga sangat tidak mungkin Rasulullah SAW mengucapkan redaksi selain yang paling fasih.

 

  1. Hadis yang memuat tambahan.

Hadis semacam ini lebih diunggulkan daripada hadis yang tidak memuat tambahan, menurut pendapat ashah. Karena hadis yang memuat tambahan tentu saja ada surplus informasi. Seperti dua hadis riwayat Abu Dawud yang menjelaskan tentang jumlah takbir dalam shalat id atau shalat hari raya. Salah satu hadis menjelaskan bahwa takbir dalam shalat id adalah tujuh kali. Hadis yang lain menyatakan empat kali. Imam Abu Hanifah menggunakan hadis kedua, sebagai bentuk prioritas terhadap jumlah yang lebih sedikit.

 

  1. Hadis yang tersampaikan dengan logat Quraisy.

Hadis semacam ini lebih diunggulkan daripada hadis yang tersampaikan dengan logat selainnya. Karena hadis yang tersampaikan dengan logat selain Ouraisy ada kemungkinan merupakan periwayatan bil mana.

 

  1. Merupakan nash madaniy.

Nash madaniy lebih diunggulkan daripada nash makkiy, karena lebih akhir kemunculannya. Yang dikehendaki dari nash madaniy adalah nash yang kemunculannya setelah peristiwa hijrah ke Madinah. Dan yang dimaksud nash makkiy adalah nash yang kemunculannya sebelum peristiwa hijrah ke Madinah.

 

  1. Hadis yang menunjukkan keluhuran derajat Rasulullah saw.

Hadis semacam ini dianggap muncul belakangan. Hal ini karena derajat Rasulullah saw. semakin bertambah dari waktu ke waktu, sehingga hadis yang isinya menunjukkan ketinggian derajat beliau, dianggap sebagai hadis yang muncul belakangan”.

 

Dan nash yang alamnya disebutkan hukum bersama ‘illatnya dan nash yang di dalamnya penyebut ‘illat lebih dahulu dari peyebutan hukumnya, menurut pendapat ashah. Dan dan nash yang di dalamnya terdapat ancaman atau penguatan.

 

  1. Nash yang di dalamnya disebutkan hukum besertaan dengan ‘‘illatnya. Nash semacam ini lebih diunggulkan daripada nash yang di dalamnya hanya disebutkan hukumnya saja, tanpa disebutkan ‘‘illatnya. Karena bentuk pertama lebih kuat dalam aspek perhatian hukumnya dibanding yang kedua.

Contoh : Hadis pertama :

 

Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia! (HR. Bukhari)

Hadis kedua:

 

Bahwasanya Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hadis pertama lebih diunggulkan karena di dalamnya terdapat ‘illat dari vonis mati yang selaras, yakni murtad atau keluar dari agama Islam. Sedang hadis kedua tidak terdapat sifat-sifat yang selaras dengan larangan membunuh. Karenanya, hadis kedua yang melarang membunuh wanita, diarahkan pada wanita kafir harbi saja, sedangkan wanita murtad, harus dibunuh, sesuai dengan penerapan hadis pertama.

 

  1. Nash yang dalam penyebutan ‘‘illat-nya lebih dahulu dari hokum, menurut pendapat ashah.

Yakni bahwa nash yang di dalamnya disebutkan ‘illat terlebih dahulu daripada hukumnya, lebih diunggulkan daripada nash yang disebutkan hukumnya terlebih dahulu daripada ‘‘illat-nya. Karena hal ini lebih menunjukkan atas keterkaitan erat antara hukum dengan ‘‘illat-nya. Pendapat lain, berkebalikan dari pernyataan di atas. Yakni bahwa mash yang disebutkan hukumnya terlebih dahulu daripada ‘‘illatnya, lebih diunggulkan daripada nash yang di dalamnys disebutkan ‘‘illat terlebih dahulu daripada hukumnya. Dengan alasan bahwa hukum jika diungkapkan terlebih dahulu, maka pikiran pendengar akan segera mencari ‘‘illatnya. Dan jika ‘‘illat telah ditemukan, maka pikiran akan tertambat kepada ‘‘illat tersebut dan tidak mencari ‘illat lainnya. Sedangkan sifat atau ‘illat jika diungkapkan terlebih dahulu, maka pikiran pendengar akan mencari hukumnya. Dan jika hukum telah ditemukan, maka ada dua kemungkinan:

 

1) Terkadang telah dianggap cukup dengan sifat atau 5llat terdahulu jika mundsabah antara keduanya sangat kuat. Seperti dalam ayat berikut:

 

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah: 38)

 

Antara hukum potong tangan dengan ‘‘illat berupa mencuri, terdapat munasabah (keselarasan) yang sangat kuat.

 

2) Terkadang belum dianggap cukup dengan sifat atau “‘illat terdahulu, akan tetapi dicari ‘‘illat yang lain.

 

Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki (QS. Al-Maidah: 6)

 

Antara hukum keharusan berwudlu dengan ‘‘illat berupa “hendak melakukan shalat” tidak ada munisabah (keselarasan) yang kuat, sehingga perlu dikuatkan dengan ‘illat lain berupa “sebagai bentuk pengagungan terhadap Dzat yang disembah”.

 

  1. Nash yang di dalamnya terdapat ancaman atau penguatan. Nash semacam ini lebih diunggulkan daripada nash yang di dalamnya tidak terdapat ancaman atau penguatan. Contoh pertama, yakni nash yang memuat ancaman, adalah hadis Nabi saw.

 

Barangsiapa yang berpuasa (puasa sunnah) pada hari syyakk (diragukan tentang masuknya dalam bulan Ramadan) maka dia telah durhaka pada Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu “alaihi wa sallam. (HR. Bukhari.

 

Hadis di ini memuat ancaman vonis “durhaka” bagi orang yang berpuasa sunnah pada hari sya&k. Hadis ini lebih diunggulkan daripada hadis-hadis yang berisi anjuran berpuasa sunnah.

 

Contoh kedua, yakni nash yang mengandung penguatan (ta’kid), adalah hadis berikut:

Manapun perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal (HR. Abu Dawud).

 

Hadis ini mengandung penguatan dalam bentuk pengulangan kalimat “maka nikahnya batal, maka nikahnya batal”. Karenanya hadis ini lebih diunggulkan daripada hadis berikut:

 

Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. (HR. Mushm)“.

 

Dan dalil mm yang keumumannya mutlak (didahulukan) atas nash yang memiliki sabah, selain  dalam kasus sabab, nash yang amm dengan bentuk syarat (didahulukan) atas ‘amm dengan bentuk nakirah yang di-nafikan, menurut pendapat ashahh, dan amm dengan bentuk nakirah yang di-nafikan (didahulukan) atas bentuk-bentuk amm lainnya. Dan jamak yang di-ma’rifat-kan (didahulukan) atas lafadh  dan : dan ketiganya (jamak yang di ma’rifatkan, lafadh  dan ) (didahulukan) atas kata jenis yang di-ma’rifat-kan. Serta (didahulukan) lafadh ‘amm yang belum di-takhshish (atas ‘amm yang ter-lakhshish) dan lafadh ‘amm yang sedikit diLas takhshish (atas ‘amm yang banyak di-takhsbith).

 

  1. Dalil umum yang keumumannya mutlak, lebih diunggulkan daripada dalil umum yang memiliki sabah (kasus yang melatarbelakangi munculnya dalil), kecuali shurah as-sabab (kasus yang melatarbelakangi tersebut). Hal ini karena dalil umum yang memiliki sabah ada kemungkinan hanya menghendaki sabab-nya saja, sehingga menjadikan kekuatannya di bawah dalil umum yang keumumannya mutlak. Namun khusus dalam shurah as-sabab (kasus yang melatarbelakangi kemunculannya), dalil umum yang memiliki sabab lebih kuat dibanding dalil umum yang keumumannya mutlak. Karena shiirah as-sabab tereakup secara pasti (gath’iyyatud dukhul). Sebagaimana pendapat ashah.

 

  1. ‘Am suarthiy diunggulkan atas ’em nakirah manfiyah, inenurut pendapat ashabh.

 

‘Am syarthiy atau ‘am yang menggunakan piranti syarat seperti lafadh  dan lafadh  , lebih diunggulkan daripada ‘am yang menggunakan pola nakirah manfiyyah (isim nakirah yang dinafikan). Karena ‘Am syarthiy memberikan fungsi ta’lil (peng-iilaan), berbeda dengan nakirah manfiyyah.

 

Pendapat lain menyatakan sebaliknya, karena nakirah manfiyyah jauh dari target takhshish, karena keumumannya kuat, berbeda halnya dengan ‘am syarthiy.

 

  1. ‘Am nakirah manfiyyah diunggulkan atas bentuk-bentuk ‘am lainnya, seperti lafadh yang di-ma’rifatkan dengan alif dan lam atau dengan idlafah. Karena nakirah manfiyyah memiliki makna ‘amm secara wadl’iy, menurut pendapat ashahh sebagaimana paparan terdahulu, berbeda halnya dengan lafadh yang di-ma’rifatkan dengan alif dan lam atau dengan idlafah, yang keumumannya berdasarkan garinah, menurut kesepakatan para ulama’.

 

13, Jama’ yang di-ma’rifa-kan dengan alif-lam atau dengan idlifah, diunggulkan atas lafadh  dan lafadh  yang bukan merupakan piranti syarat (seperti lafadh dan lafadh  yang merupakan piranti istifham). Karena Jama’ yang di-ma’rifatkan dengan alif-lam atau dengan idlafah tidak dapat di-takhshish sampai tersisa satu unit, berbeda halnya dengan lafadh  dan lafadh  yang merupakan piranti istifham.

 

  1. Jama’ yang di-ma’rifat-kan dengan alif-lam atau dengan idlifah, dan juga lafadh  dan lafadh  yang bukan merupakan piranti syarat, keduanya diunggulkan atas isim jenis yang di-ma’rifakkan dengan alif-lam atau dengan idlafah. Karena isim jenis yang dirangkai aliflam, ada kemungkinan berfungsi sebagai ahdiy (telah diketahui). Berbeda halnya dengan lafadh  dan lafadh yang tidak mungkin diarahkan pada fungsi ahdiy. Sedangkan jama’ yang terangkai alif-lam, kecil kemungkinan diarahkan pada fungsi ‘ahdiy.

 

  1. Lafadh amm yang belum di-takhshish diunggulkan atas lafadh ‘amm yang sudah di-takhshish. Dikarenakan dalam lafadh ‘amm yang sudah di-takhshish, terdapat perbedaan pendapat tentang sisi kehujjahannya. Di sisi lain, lafadz ‘amm model ini tergolong majaz, sedangkan lafadz amm yang belum di-takhsish tergolong hakikat, sedangkan hakikat secara pasti didahulukan dari majaz. Pendapat lain dari pengarang Jam’ul Jawami” dan Imam As-Shafiy Al-Hindi menyatakan sebaliknya, karena lafadh ‘amm yang di-takhshish itulah yang dominan. Sesuatu yang dominan itu lebih utama dibanding yang lain.

 

  1. Lafadh ‘amm yang sedikit di-takhshish diunggulkan atas lafadh “amm yang banyak di-takhshish. Karena kadar kelemahan lafadh amm yang sedikit di-takhshish lebih rendah daripada lafadh ‘amm yang banyak di-takhshish?.

 

Dan (diunggulkan) dalalah iqtidlal, kemudian dalalah isyarah, kemudian ima. Keduanya (yakni dalalah isyarah dan ima) diunggulkan atas dua mafhum (muwafaqah dan mukhilafah), Dan mafhum muwafaqah (diunggulkan) atas mafhum mukhalafah.

 

  1. Nash dengan dalalah iqtidla’ lebih diunggulkan daripada nash dengan dalalah isyirah dan dalilah ima’. Dan nash dengan dalalah isyarah diunggulkan daripada daldlah ima’. Karena madlul ‘alaih pada daldlah iqtidia’ adalah sesuatu yang menjadi tujuan utama dan menjadi kunci penentu kebenaran atau keabsahan pernyataan. Sedangkan madlul alaih pada dalalah ima” adalah sesuatu yang menjadi tujuan utama yang tidak menjadi kunci penentu kebenaran atau keabsahan pernyataan. Dan madlul ‘alaih pada dalalah isyarah adalah sesuatu yang bukan merupakan tujuan utama.

 

  1. Dalalah isyarah dan ima’ lebih diunggulkan daripada dua mafhum, yakni mafhim muwafaqah dan mafhim mukhalafah. Karena dalalah isyarah dan ima’ menempati posisi manthuq (eksplisit, tekstual), tidak sebagaimana mafhim.

 

  1. Mafhum muwafaqah lebih diunggulkan daripada mafhum mukhalafah, menurut pendapat ashah. Karena mafhum mukhalafah dianggap lemah, sebab masih diperdebatkan kehujjahannya.

 

Pendapat lain menyatakan sebaliknya. Karena mafhim mukhilafah berfaidah ta’sis (menampilkan faidah baru yang tidak ada sebelumnya), beda halnya dengan mafhum mukhalafah.

 

(Didahulukan) dalil yang mengalihkan dari hukum asal (atas yang mengukuhkannya), dan dalil yang menetapkan atas yang meniadakan, menurut pendapat ashah, Dalil berbentuk khabar (didahulukan atas insya), dalil larangan (atas dalil mewajibkan), dalil mewajibkan (atas dalil memakruhkan), dalil memakruhkan (atas dalil mensunatkan), dalil mensunatkan (atas dalil membolehkan), kemudian dalil membolehkan, menurut pendapat ashah dalam sebagian hal-hal yang telah disebutkan. Dalil ma’gul al-makna (diketahui ‘illat-nya) didahulukan (atas Yang tidak diketahui). juga (didahulukan), dalil yang meniadakan hukum (atas yang menetapkannya dan dalil yang menetapkan hukum wadli (didahulukan) atas yang menetapkan hukum taklifi menurut pendapat ashahh.

 

KETIGA : TARJIH BERDASARKAN MADLUL

 

Tarjih-tarjih yang dilakukan berdasarkan madlul (obyek penunjukan lafadh) dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

 

  1. Dalil yang mengalihkan dari hukum asal Sebagaimana pendapat ashah, dalil yang muatannya mengalihkan dari hukum asal lebih diunggulkan daripada dalil yang mengukuhkan hukum asal. Hukum asal yang dimaksud dalam hal ini adalah bar’ah ashliyyah (terlepas beban secara asal). Karena nash yang mengalihkan dari hukum asal, menunjukkan hukum syara’ yang menambahi hukum keasalan. Berbeda halnya dalil yang muatannya bersesuaian dengan hukum asal.

 

Pendapat lain sebaliknya. Dengan cara mengira-ngirakan dalil yang mengukuhkan hukum asal berada di akhir. Agar berfaidah ta’sis (menampilkan faidah baru yang tidak ada sebelumnya), sebagaimana faidah dari dalil yang mengalihkan dari hukum asal, sehingga statusnya menasakh dalil yang mengalihkan hukum asal ini. Contoh sebagaimana berikut :

 

Hadis pertama:

Barangsiapa menyentuh batang kemaluannya, maka hendaklah dia berwudlu,

 

Hadis kedua:

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh seorang lelaki, “Orang yang menyentuh kemaluannya, apakah wajib wudlu atasnya?” Rasul menjawab, “Tidak, itu hanyalah sepotong dari tubuhmu”.

 

Hadis pertama lebih diunggulkan daripada hadis kedua, karena hadis pertama mengalihkan dari hukum asal. Yakni, bahwa hukum asal adalah tidak wajib melakukan wudlu. Hadis pertama mewajibkan wudlu, sedangkan hadis kedua tidak mewajibkan wudlu.

 

  1. Dalil yang menetapkan (al mutsbit)

Yakni, bahwa dalil yang menetapkan diunggulkan atas dalil yang menafikan (an-nafiy). Karena dalam dalil yang mutsbit terdapat sisi tambahan informasi dan kandungan ta’sis.

Pendapat kedua, sebaliknya, yakni dalil yang menafikan harus didahulukan karena dikuatkan oleh hukum asal.

Pendapat ketiga, keduanya sama kuat.

 

3, Dalil berbentuk kalimat berita (khabar) yang memuat pembebanan (aktif) diunggulkan atas dalil berbentuk insya’ (kalimat perintah dan larangan). Karena tuntutan dengan dalil berbentuk kalimat khabar lebih kuat daripada berbentuk insya, sebab kalimat khabar menunjukkan kepastian terjadi sesuatu.

 

  1. Dalil yang melarang diunggulkan atas dalil yang mewajibkan. Karena larangan bertujuan untuk menolak mafsadah (kerusakan, hal negatif), sedangkan kewajiban bertujuan untuk menarik kemaslahatan. Sedangkan usaha syara’ dalam menolak mafsadah itu lebih ditekankan daripada menarik kemasiahatan.

 

  1. Dalil yang mewajibkan diunggulkan atas dalil yang memakruhkan. Karena ada unsur kehatian-hatian dengan menuntut terwujudnya sesuatu.

 

  1. Dalil yang memakruhkan diunggulkan atas dalil yang mensunatkan. Karena demi mengantisipasi celaan.

 

  1. Dalil yang mensunatkan diunggulkan atas dalil yang membolehkan. Karena berhati-hati dalam sebuah tuntutan.

 

  1. Dalil yang melarang, mewajibkan, dan mensunatkan diunggulkan atas dalil yang membolehkan, menurut pendapat ashah. Pendapat kedua sebaliknya, karena dalil yang membolehkan dikuatkan oleh hukum asal. Pendapat ketiga, antara dalil yang membolehkan dan melarang setara. Sedangkan dalil yang mewajibkan dan mensunatkan disamakan dengan dalil yang melarang. Namun mungkin juga sebaliknya.

 

  1. Dalil yang diketahui illanya didahulukan atas dalil yang tidak diketahui ‘‘illatnya. Karena dalil yang diketahui “‘illat-nya lebih menarik untuk diikuti, serta lebih berfaidah dalam pengqiyasan.

 

  1. Dalil yang meniadakan hukuman didahulukan atas dalil yang menetapkan hukuman, menurut pendapat ashah: Karena dalam dalil yang meniadakan hukuman terdapat unsur kemudahan dan tidak adanya kesulitan, yang mana hal ini sesuai dengan ayat-ayat berikut:

 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu

 

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan

 

Pendapat kedua sebaliknya, karena dalil yang menetapkan hukuman berfaidah ta’sis.

 

  1. Dalil yang menetapkan hukum wadl’i didahulukan atas dalil yang menetapkan hukum taklif, menurut pendapat ashahh. Karena hukum wadli tidak bergantung pada pemahaman manusia sebagai obyek hukum dan tidak pula bergantung pada kemungkinan untuk melaksanakannya. Tidak sebagaimana dalam hukum taklifi.

 

Dalil yang bersesuaian dengan dalil lain (didahulukan atas yang tidak bersesuaian dengan dalil lain). Begitu pula, (didahulukan dalil yang bersesuaian dengan) hadis mursal gaul shahabat, amaliah penduduk Madinah, atau mayoritas  ulama, menurut pendapat ashah.

 

(Diunggulkan) dalil yang bersesuaian dengan Zaid dalam permasalahan faraidl, lalu yang bersesuaian dengan Muadz, lalu Ali. Kemudian Muadz dalam hukum-hukum selain faraidl, lalu Ali.

 

KEEMPAT : TARJIIH BERDASARKAN FAKTOR LUAR.

 

Tarjih yang dilakukan berdasarkan faktor luar dipengaruhi oleh kesesuaian dengan dalil lain. Yakni bahwa dalil yang sesuai dengan dalil lain, baik berupa Alqur’an, as-Sunnah, ijma’, qiyas, akal, ataupun hissi (realita yang terlihat mata), lebih diunggulkan daripada dalil yang tidak bersesuaian dengan dalil lain. Karena dengan persesuaian dengan dalil lain, dhann (dugaan atau asumsi) menjadi lebih kuat. Seperti dua hadis yang menjelaskan tentang pelaksanaan shalat Shubuh oleh Rasulullah saw. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. dijelaskan bahwa shalat Shubuh dilakukan segera. Dalam hadis yang lain dijelaskan bahwa shalat Shubuh dilakukan saat langit mulai terang. Hadis Aisyah lebih diunggulkan, karena bersesuaian dengan dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalat di awal waktu, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut:

 

Peliharalah semua shalat (QS. Al-Bagarah: 238)

 

Menurut pendapat ashah, termasuk dalam kategori dalil lain yang dapat menguatkan sebuah dalil sebagai faktor tarjih adalah beberapa perkara yang keberadaannya sebagai dalil mandiri masih diperdebatkan, yakni:

 

  1. Hadis mursal
  2. Qaul shahabat
  3. Amaliah penduduk Madinah
  4. Amaliah mayoritas ulama’.

 

Pendapat kedua, bahwa hadis mursal, gaul shahabat, amaliah penduduk Madinah dan amaliah mayoritas ulama’ tidak dapat dijadikan sebagai penguat sebuah dalil, sehingga dapat diunggulkan, karena hal-hal tersebut bukanlah hujjah.

 

Pendapat ketiga, khusus terkait gaul shahabat, bisa menjadi penguat dan kesesuaian dengannya bisa menjadi faktor tarjih dengan syarat, apabila shahabat tersebut diistimewakan oleh nash dalam tema fiqh yang bersesuaian, seperti Zaid bin ‘Tsabit dalam permasalahan faraidl.

 

Berpijak pada pendapat ketiga di atas, maka sebagaimana komentar Imam Asy-Syafi’i radliyallihu anhu, dirumuskan kaidah-kaidah tarjih sebagai berikut,

 

1) Jika dalam sebuah permasalahan faraidl terdapat dua dalil yang saling bertentangan, maka diunggulkanlah dalil yang bersesuaian dengan pendapat Zaid bin Tsabit. Jika dalam permasalahan tersebut tidak dijumpai pendapat Zaid, maka diunggulkanlah dalil yang bersesuaian dengan pendapat Mu’adz bin Jabal. Jika dalam permasalahan tersebut juga tidak dijumpai pendapat Mu’adz, maka diunggulkanlah dalil yang bersesuaian dengan pendapat Ali bin Abi Thalib.

 

2) Jika dalam sebuah permasalahan selain faraidl terdapat dua dalil yang saling bertentangan, maka diunggulkanlah dalil yang bersesuaian dengan pendapat Mu’adz bin Jabal. Jika dalam permasalahan tersebut tidak dijumpai pendapat Mu’adz, maka diunggulkanlah dalil yang bersesuaian dengan pendapat Ali bin Abi Thalib.

 

Dua perincian di atas berdasarkan hadits Nabi SAW,

 

“Orang Jang paling tahu tentang faraidl di antara kalian adalah Zaid bin Tsabit dan yang paling tahu balal-haram (selain faraidl) adalah Muadz bin Jabal, serta yang paling tahu tentang putusan hukum adalah Ali bin Abi Thalib”

 

Ijma’ (didahulukan) atas nash. Ijma’ orang-orang terdahulu (didahulukan atas ijma’ selain mereka). Ijma’ seluruh umat (didahulukan) atas ijma’ yang ditentang oleh orang awam. ijma’ yang pelakunya telah meninggal  (didahulukan atas selainnya) dan ijma’ yang tidak didahului perbedaan pendapat (didahulukan atas selainnya), menurut pendapat ashah.

 

Pendapat ashah menyatakan kesamaan antara Al-Quran dan as-Sunnah yang keduanya mutawatir,

 

KELIMA : TARJIH TERKAIT IJMA’

 

Tarjih-tarjih yang dilakukan terkait dengan ijma? dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

 

  1. Bahwa ijma’ lebih diunggulkan daripada nash, baik berupa ayat AlQuran ataupun as-sunnah. Karena dalil berupa ijma’ aman dan masakh, berbeda dengan nash.

 

  1. Ijma’ orang-orang terdahulu lebih diunggulkan daripada ijma’ selain mereka. Sehingga ijma’ shahabat diunggulkan daripada ijma’ orang-orang setelahnya, baik generasi tabi’in atau yang lain. Dan ijma’ tabi’in diunggulkan daripada ijma’ orang-orang setelahnya, demikian seterusnya. Hal ini karena kemulyaan generasi terdahulu, sebab kedekatannya dengan Nabi SAW. Juga berdasarkan hadits,

 

“Sebaik-baiknya beberapa kurun adalah orang-orang di kurunka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka”

 

  1. Ijma’ seluruh umat lebih diunggulkan daripada ijma’ ulama’ yang ditentang oleh kalangan awam. Karena ijma’ model kedua dinilai lemah, sebab masih diperdebatkan kehujjahannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Amudiy.

 

  1. Ijma’ yang generasi pelakunya telah habis, lebih diunggulkan daripada ijma’ yang generasi pelakunya belum habis. Karena ijma model kedua dinilai lemah, sebab masih diperdebatkan kehujjahannya.

 

  1. Ijma’ yang tidak didahului dengan perbedaan pendapat lebih diunggulkan daripada ijma’ yang didahului dengan perbedaan pendapat, menurut pendapat ashah. Karena ijma’ model kedua masih diperdebatkan status kehujjahannya. Pendapat kedua, menyatakan sebaliknya. Karena dalam ijma’ yang didahului perbedaan pendapat memiliki nilai plus, sebab adanya kajian mendalam oleh para peserta ijma’ terhadap dasar pengambilannya. Pendapat ketiga, keduanya sama kuat, karena faktor murajjih dari keduanya sama.

 

Selanjutnya menurut pendapat ashah, antara dalil mutawatir AlQur’an dan dalil mutawatir as-Sunnah, status kedudukannya setara, tidak ada yang diunggulkan satu dengan yang lain. Pendapat kedua, dalil mutawatir Al-Qur’an diunggulkan, karena lebih mulia. Pendapat ketiga, dalil mutawatir As-Sunnah diunggulkan, berdasar firman Allah SWT:

 

“Agar kamu menjelaskan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”

 

Sedangkan apabila dua dalil sama-sama berupa Al Quran mutawatir, atau Sama-sama As-Sunnah mutawatir, maka ulama sepakat menyatakan bahwa keduanya setara.

 

Qiyas diunggulkan (dari qiyas lain) dengan kuatnya dalil dari hukum ashl dengan keberadaan qiyas yang berada di jalurnya, yakni bahwa far’u berupa sesuatu yang sejenis dengan ashk

 

KEENAM : TARJIH ANTAR QIYAS BERDASARKAN ASHL

 

Tarjih yang dilakukan antar qiyas berdasarkan ashl, dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

 

  1. Kekuatan dalil dari hukum ashl.

Oiyas yang dalil hukum ahbl-nya kuat itu diunggulkan atas qiyas yang dalil hukum ashl-nya lemah. Misalnya, qiyas pertama, dalil dari hukum ashlnya memiliki penunjukan secara manthuq, sedangkan qiyas kedua, dari dari hukum ashl-nya memiliki penunjukan secara mafhum. Maka qiyas pertama lebih diunggulkan daripada qiyas kedua. Karena dugaan akan semakin kuat dengan kuatnya dalil.

 

  1. Oiyas berada pada jalurnya (sunan al-qiyas)

Maksud dari sunan ak-qiyas dalam hal ini adalah bahwa far’u berupa sesuatu yang sejenis dengan ashl. Sehingga qiyas dengan kriteria demikian lebih diunggulkan daripada qiyas yang tidak memenuhi kriteria semacam ini. Karena antar sesama jenis tentu lebih mirip.

 

Contoh :

Oiyas 1: Dalam permasalahan penganiayaan dengan ganti rugi di bawah taraf ganti rugi penganiayaan model madlihah (luka yang menembus tulang), tanggung jawab pembayaran ada pada ahli waris ‘agilah. Karena diqiyaskan pada ganti rugi model »4dlihah.

 

Far’u : Penganiayaan di bawah taraf model mudlihah

Ashl : Penganiayaan model mudlihah

Hukum ashl : Ganti rugi dibebankan atas ahli waris agilah

 

Oiyas 2: Menurut Hanafiyyah, penganiayaan dengan ganti rugi di bawah taraf ganti rugi penganiayaan model midlihah, ganti ruginya tidak menjadi tanggung jawab ahli waris ‘aqilah. Ini karena diqiyaskan pada gharamit al-amwal (ganti rugi perusakan harta).

 

Far’u : Penganiayaan di bawah taraf model mudlihah Ashl : Perusakan atas harta

Hukum ashl : Ganti rugi tidak dibebankan atas ahli waris aqilah

 

Oiyas 1 diunggulkan atas qiyas 2. Karena dalam qiyas 1, far’u dan ashlnya masih dalam jenis yang sama, yakni jinayah ‘alal badan (penganiayaan atas anggota badan). Sedangkan dalam qiyas 2, far’u dan ashl-nya berada pada jenis yang berbeda, yakni far’u merupakan penganiayaan atas anggota badan, sedang ashl merupakan perusakan atas harta benda”,

 

Juga (diunggulkan) ‘‘illat yang mempunyai duaashl atas ‘illat yang mempunyai satu ashl ‘illat dzatiyah (diunggulkan) atas ‘illat hukmiyah. Dan (diunggulkan) keberadaan ‘‘illat yang lebih sedikit sifat-sifatnya, menurut pendapat ashah, ‘illat yang menetapkan kehati-hatian dalam perkara fardhu (diunggulkan): Dan (diunggulkan) ‘illat yang merata cakupannya pada ashl.

 

KETUJUH : TARJIH ANTAR QIYAS BERDASARKAN ‘ILLAT

 

Tarjih yang dilakukan antar qiyas berdasarkan ‘illat, dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

 

  1. “‘illat yang memiliki dua ashl diunggulkan atas ‘illat yang memiliki satu ashl, menurut pendapat ashah. Dalam arti, salah satu dari dua Flat kembali pada beberapa ashl, dan ‘illat yang lain kembali pada satu ashl saja. Pendapat lain, tidak diunggulkan, namun kedudukannya setara. Perbedaan pendapat dalam masalah ini sama seperti perbedaan pendapat dalam tarjih berdasarkan banyaknya dalil. Contoh, kewajiban ganti rugi atas barang yang mengalami kerusakan saat berada di tangan penawar. Hal ini di’illati bahwa penawar telah mengambil barang untuk kepentingan dirinya, tanpa ada hak. Sebagaimana hal ini menjadi ‘illat dalam kewajiban ganti rugi atas barang yang rusak saat di tangan peng-ghashab dan peminjam. Sedangkan kalangan Hanafiyah meng-’illati dengan bahwasanya penawar mengambil barang untuk dimiliki. Dimana ‘illat ini tidak diterapkan untuk kasus-kasus serupa.

 

  1. ‘‘illat berbentuk dzatiyyah (sifat yang melekat pada dzatiyah barang) didahulukan atas ‘‘illat berbentuk bukmiyyah (sifat yang berhubungan dengan obyek barang melalui penetapan syara’), menurut pendapat ashah. Hal ini karena ‘illat dzatiyyah lebih mantap. Pendapat lain, sebaliknya. Karena antara hukum dan ‘illat berbentuk hukum lebih memiliki kemiripan. ‘illat dzatiyyah sebagaimana tha’mu (makanan) dan iskar (memabukkan), sedangkan ‘illat hukmiyyah seperi keharaman dan kenajisan.

 

Contoh, qiyas nabidz (minuman dari perasan selain anggur) pada khamr (minuman dari perasan anggur) dengan titik temu (‘illat) iskar (memabukkan), diunggulkan daripada qiyas nabidz pada khamr dengan titik temu (‘illat) kenajisan.

 

  1. ‘‘illat yang memiliki sedikit sifat didahulukan atas ‘illat yang memiliki banyak sifat. Karena lebih sedikit sifat berarti lebih selamat dari gugatan dan sanggahan. Pendapat lain, sebaliknya, karena yang lebih banyak sifatnya, akan memiliki lebih banyak kemiripan.

 

Contoh ‘‘illat dengan sedikit sifat, kewajiban gishash di-’illati dengan pembunuhan disengaja dan secara aniaya.

 

Contoh ‘illat dengan banyak sifat, kewajiban gishash di-’illati dengan pembunuhan disengaja, secara aniaya, pada orang yang sederajat dan bukan berstatus anaknya.

 

  1. ‘‘illat yang menetapkan kehati-hatian dalam hukum fardlu” diunggulkan dari yang menetapkan hal tersebut. Karena kehati-hatian lebih selaras terhadap hukum fardlu, dibanding yang tidak menetapkan kehati-hatian.

 

  1. ‘illat yang mencakup semua bagian dari ash, lebih diunggulkan dari ‘illat yang mencakup ashl dalam bagian atau keadaan tertentu. Karena “Ulat yang mencakup semua bagian ashl akan lebih banyak faidahnya. Contoh, dalam pembahasan riba, burr (gandum) distatuskan sebagai ribawi karena ‘‘illat berupa thu’mu (makanan) menurut Syafi’iyah. Sedangkan menurut Hanafiyyah, ‘illat-nya adalah qut (makanan pokok). Unsur “makanan” akan selalu ditemukan dalam semua bagian atau keadaan dari gandum, banyak ataupun sedikit. Sedangkan unsur “makanan pokok’ hanya akan ditemukan dalam gandum jika dalam keadaan banyak saja. Jika gandum sedikit, maka unsur “makanan pokok” tidak ada. Sehingga mereka memperbolehkan penjualan gandum secakup gandum dibeli dengan dua cakup gandum, karena ‘‘illat tidak ditemukan”.

 

Dan Silat yang disepakati dijadikan ‘illat dari hukum ashlnya (lebih diunggulkan): Dan ‘illat yang bersesuaian dengan banyak ashl (diunggulkan) atas ‘illat yang bersesuaian dengan satu ashl. Dan (diunggulkan) ‘illat yang  bersesuai dengan ‘illat yang lain

 

  1. ‘illat yang disepakati dijadikan ‘illat dari hukum ash-nya lebih diunggulkan daripada ‘illat diperdebatkan dijadikan ‘illat dari hukum ashl-nya. Karena qiyas yang peng-’illat-an ashl-nya belum disepakati, dianggap lemah karena kehujjahannya masih diperdebatkan.

 

  1. ‘illat yang bersesuaian dengan banyak ashl lebih diunggulkan daripada ‘illat yang bersesuaian dengan satu ashl. Karena model yang pertama lebih banyak buktinya.

 

Contoh: Pengusapan sebagian kepala dalam wudlu, apakah disunnahkan tatslits (pengulangan tiga kali)? Dalam hal ini terdapat dua peng-qiyas-an.

 

Oiyas 1: Pengusapan sebagian kepala dalam wudlu diqiyaskan pada tayammum dan mengusap khuff (sepatu), maka tidak ada tuntunan tatslits (pengulangan tiga kali).

 

Oiyas 2: Pengusapan sebagian kepala dalam wudlu diqiyaskan pada anggota wudlu lainnya, maka disunnahkan tatslits.

 

Oiyas 1 diunggulkan atas qiyas 2 karena dalam qiyas 1 terdapat persesuaian dengan dua ashl, sedangkan dalam qiyas 2 terdapat persesuaian hanya dengan satu ashl. 1

 

  1. ‘‘illat yang bersesuaian dengan ‘illat lain, jika diperbolehkan adanya dua ‘illat, lebih diunggulkan daripada yang tidak bersesuaian dengan ‘illat lain.

 

Deskripsi dari faktor tarjih ini adalah bahwa dalam sebuah permasalahan terdapat dua ashl dengan hukum berbeda. Salah satu ashl memiliki dua ‘illat, sedangkan ashl yang lain memiliki satu ‘illat. Dan, far’u berkutat dengan kemungkinan untuk disamakan dengan kedua ashl tersebut karena adanya ketiga ‘‘illat di dalamnya. Maka apakah keberadaan dua ‘‘illat yang ada pada ash! pertama bisa menjadi faktor farjih? Dalam hal ini, terdapat dua pendapat. Pendapat ashah, hal tersebut menjadi faktor tarjih sehingga pengqiyas-an pada ashl pertama lebih diunggulkan, karena di dalamnya terdapat dua ‘‘illat.

 

Pendapat kedua, bahwa keberadaan dua ‘illat dalam sebuah ashl bukanlah merupakan faktor tarjih. Sebagaimana perbedaan pendapat tentang tarjih berdasarkan banyaknya dalil pendukung”.

 

Dan (diunggulkan) qiyas yang ‘illat-nya tetap melalui ijma’, lalu nash, yang keduanya gath’iy, kemudian yang keduanya dhanny, menurut pendapat ashah, Kemudian (qiyas yang ‘illat-nya tetap) melalui ima’ lalu sabru, lalu munasabah, lalu syabah, lalu dawran. Dikatakan (dalam sebuah pendapat), dawran (terlebih dahulu), lalu munasabah.

 

  1. Oiyas yang penetapannya ‘illat berdasarkan beberapa hal berikut secara berurutan, sesuai dengan beberapa versi pendapat serta alasan yang melandasinya.

 

Oiyas makna (diunggulkan) atas qiyas dalalah, qiyas yang bukan murakkab (diunggulkan) atas qiyas murakkab, jika dapat diterima, menurut pendapat ashah. Sifat hagigiy (diunggulkan), lalu sifat ‘urfy, lalu sifat syar’iy, yang wujudiy (dari ketiga sifat tersebut) lalu yang ‘adamiy, secara pasti dan yang simpel (basith) dari sifat-sifat tersebut, lalu yang kompleks (murakkab), menurut pendapat ashah.

 

  1. Oiyas makna (diunggulkan) atas qiyas dalalah. Karena qiyas makna mengandung makna yang mundsib (selaras), sedangkan qiyas dalalah menunjukkan atas kelaziman (keniseayaan) dari makna munasih, atau atsar (dampak, akibat), atau hukumnya, sebagaimana paparan dalam pembahasan at-thardu dan penutup qiyas terdahulu.

 

  1. Oiyas yang bukan murakkab (diunggulkan) atas qiyas murakkab, jika berpijak pada pendapat yang menerima qiyas murakkah, menurut pendapat ashah. Karena qiyas murakkab dianggap lemah sebab keberadaannya masih diperdebatkan. Pendapat kedua, qiyas murakkab lebih dikedepankan daripada qiyas yang bukan murakkab. Karena qiyas murakkab dianggap kuat sebab adanya kesepakatan dua belah pihak atas hukum ashl di dalamnya.

 

  1. Oiyas yang peng’illat-annya dengan beberapa sifat dengan ketentuan prioritas berikut:

 

– Di antara sifat hagigiy, urfiy dan syar’iy, maka yang dikedepankan adalah hagigiy, lalu ‘urfy, lalu syar’iy. Karena sifat hagigiy tidak bergantung pada sesuatu, beda halnya dengan sifat ‘urfiy. Dan sifat ‘urfiy itu disepakati, berbeda dengan sifat syar’y.

– Di antara masing-masing dari ketiga sifat di atas, dikedepankan sifat yang wujudiy daripada sifat yang ‘adamiy. Karena sifat ‘adamiy dianggap lemah sebab statusnya diperdebatkan para ulama’. Contoh: antara sifat hagigiy wujudiy dan hagigiy ‘adamiy, maka yang didahulukan adalah sifat hagigiy wujudiy.

– Di antara masing-masing dari wujudiy dan ‘adamiy, dikedepankan sifat yang basith (yang simpel) daripada sifat yang murakkab (yang kompleks), menurut pendapat ashah. Karena sifat murakkab dianggap lemah sebab statusnya diperdebatkan para ulama’. Pendapat kedua, sebaliknya. Pendapat ketiga, keduanya setara. Contoh: antara sifat hagigiy wajiidiy yang basith dan hagigiy wujudiy yang murakkab, maka yang didahulukan adalah sifat hagigiy wujudiy yang basith.

 

Secara sistematis, pola tarjih di atas dapat dilihat pada tabel di bawah sebagai berikut:

 

Dan secara terperinci, tata urutan farjih di atas adalah sebagai berikut:

  1. Sifat hagigiy wujudiy basith,
  2. Sifat hagigiy wujudiy murakkab,
  3. Sifat hagigiy ‘adamiy basith,

4, Sifat hagigiy ‘adamiy murakkab,

  1. Sifat ‘urfiy wujudiy basith,
  2. Sifat urfiy wujudiy murakkab,
  3. Sifat urfiy ‘adamiy basith,
  4. Sifat urfiy adamiy murakkab,
  5. Sifat syar’i wujudiy basith,
  6. Sifat syar’i wujudiy murakkab,
  7. Sifat syar’i ‘adamiy basith,
  8. Sifat syar’i ‘adamiy murakkab.

 

‘‘illat ba’itsah (pembangkit hukum) (diunggulkan) atas ‘illat amarah (penanda): kemudian ‘‘illat muththaridah sekaligus mun’akisah (diunggulkan atas ‘illat muththaridah saja), lalu ‘illat yang muththaridah saja (diunggulkan) atas illlaf yang mun’akisah saja, Juga (diunggulkan) ‘illat muta’addiyah dan yang lebih banyak far’u-nya, menurut versi ashaah.

 

  1. Oiyas dengan ‘illat ba’itsah (‘illat pembangkit hukum) diunggulkan atas amarah (‘‘illat berupa penanda). Maksud dari Silat ba’itsah adalah “lat yang memiliki mundsabah yang jelas, sedangkan amarah adalah “‘illat yang tidak tampak sisi mundsabah-nya. Jadi, ‘illat ba’itsah dalam pembahasan kali ini bukanlah yang berbanding dengan mu’arrif atau muatstsir sebagaimana dalam pembahasan definisi ‘illat.

 

  1. Oiyas dengan ilat yang muththaridah sekaligus mun’akisah diunggulkan atas qiyas dengan ‘‘illat yang muththaridah saja. Karena ‘illat yang muththaridah saja dianggap lemah sebab adanya perbedaan pendapat tentangnya. Kemudian illlat yang muththaridah saja diunggulkan atas ‘‘illat yang mun’akisah saja. Karena kelemahan model ‘illat yang kedua sebab tidak adanya ifiradh lebih berat dibanding kelemahan model yang pertama sebab tidak adanya in ‘ikas.

 

  1. Oiyas dengan ‘illat muta’addiyah diunggulkan atas qiyas dengan illlat gashirah menurut pendapat ashah. Karena Silat muta’addiyah lebih berfaidah sebab berguna dalam peng-qiyas-an.

Pendapat kedua, ‘illat gishirah lebih diunggulkan, karena kekeliruan di dalamnya lebih minim.

Pendapat ketiga, keduanya setara, karena dianggap seimbang dengan sisi kelebihan masing-masing.

 

  1. Oiyas dengan ‘illat muta’addiyah yang lebih banyak faru nya diunggulkan atas qiyas dengan ‘illat muta’addiyah yang lebih sedikit faru-nya, menurut pendapat ashah. Pendapat kedua, sebaliknya, seperti dalam ‘illat muta’addiyah dan ‘‘illat gashirah

 

Dan (diunggulkan) dari budud sam’iyat (batasan-batasan syar’iy) yanglebih dikenal atas yang lebih samar (kurang dikenal), Dan yang berupa dzatiy (diunggulkan) atas yang berupa ‘aradliy, Yang sharih (diunggulkan atas selainnya). Yang bereakupan lebih umum (diunggulkan atas yang lebih khusus). Yang bersesuaian dengan periwayatan sam’iy dan bahasa (diunggulkan atas selainnya). Yang jalan mendapatkannya lebih unggul (diunggulkan atas selainnyq)

 

Dan faktor-faktor tarjih tidak terbatasi banyakya. Muaranya ‘ adalah ghalabatudh dhann (kuatnya dugaan).

 

KEDELAPAN : TARJIH ANTAR HUDUD

 

Tarjih yang dilakukan antar hudud (batasan-batasan) dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

 

  1. Hudud sam’iyat (batasan-batasan syari) yang lebih dikenal, diunggulkan atas budid sam ‘iyat yang lebih samar atau kurang dikenal. Ini karena hudud sam’iyat yang lebih dikenal lebih menghantarkan pada tujuan dari sebuah sa’rif daripada hudid sam’iyat yang kurang dikenal.

 

  1. Hudud sam’iyat yang berupa dzatiy diunggulkan atas hudud sam’iyat yang berupa ‘aradliy, Karena pendefinisian dengan dzaty menunjukkan batas maksimal dari sebuah hakikat, tidak sebagaimana ‘aradliy. Yang dimaksud dari budid sam’iyat berupa dzatiy adalah definisi yang keseluruhan bagiannya berupa dzat atau materi. Sedangkan yang dimaksud dari hudud sam’iyat berapa ‘aradliy adalah definisi yang keseluruhan atau sebagiannya berupa ‘aradl atau sifat”.

 

  1. Hudud sam’iyat yang sharih (lugas, tidak ada unsur majaz atau musytarak) diunggulkan atas hudiid sam’iyat yang tidak sharih, yakni yang terdapat ungkapan majaz atau musytarak di dalamnya. Karena batasan yang diungkap dengan tidak sharih, memiliki cacat dan berpeluang disalah artikan.

 

  1. Hudud sam’iyat yang bereakupan lebih umum diunggulkan atas hudid sam’iyat yang bereakupan lebih khusus, menurut pendapat ashah. Karena pendefinisian dengan sesuatu yang lebih umum akan bisa memberikan lebih banyak faidah, sebab banyaknya perkara yang tereakup. Pendapat lain menyatakan bahwa yang lebih khusus harus diunggulkan, sebagai langkah mengambil sesuatu yang telah dipastikan saja.

 

  1. Hudud sam’iyat yang bersesuaian dengan makna syar’i dan bahasa diunggulkan atas selainnya. Karena pendefinisian yang tidak sesuai dengan keduanya, harus berdasarkan periwayatan dari keduanya. Padahal, hukum keasalan adalah hal tersebut tidak ada.

 

  1. Hudud sam’iyat diunggulkan dengan sebab derajat periwayatan untuk mendapatkannya, karena dugaan keabsahan lebih besar. Hal ini disebabkan semua hudud sam’iyat diambil dari dalil periwayatan, sedangkan jalur periwayatan menerima penilaian kuat dan lemah.

 

Selanjutnya, faktor-faktor tarjih tidak hanya terbatasi pada poin-poin keterangan di atas. Masih banyak faktor tarjih yang belum diungkapkan, yang semuanya bermuara pada terbentuknya ghalabah adhdhann (dugaan kuat). Sebagian dari faktor-faktor tersebut telah dituturkan dalam pembahasan di bab-bab terdahulu, seperti:

 

* Sebagian bentuk mafhum mukhalafah didahulukan atas bentuk mafhum mukhalafah lainnya.

 

* Sebagian dari ungkapan yang berpotensi disalahartikan atas sebagian yang lain, seperti mendahulukan majaz atas musytarak.

 

* Mendahulukan makna syar’iy atas makna “urfiy, mendahulukan makna “urfiy atas makna lughawi, dalam khithab Syari’

 

* Mendahulukan sebagian bentuk masalikul ‘‘illat berupa nash atas bentuk serupa yang lain.

 

* Mendahulukan sebagian bentuk munasib atas bentuk munasib lain.

 

* Dan lain sebagainya”.

 

Ijihad adalah pengerahan kemampuan dari seorang fagih untuk menghasilkan dugaan atas sebuah hukum.

 

Mujtahid itu adalah seorang fagih (ahli fiqh), yaitu seorang baligh, berakal, dalam arti memiliki kemampuan melekat, sebagai alat dia mengetahui sebuah obyek pengetahuan. Dan akal adalah kemampuan melekat ini, menurut pendapat ashah. (Dia) sosok yang sangat cerdas ikirannya, meskipun mengingkari qiyas Pnengetahui dalil akal, memiliki tingkat pemahaman menengah dalam aspek bahasa Arab, ushul fiqh, dan obyek terkait hukum-hukum, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, meskipun tidak hafal matan (teks dasar) dari cabang-cabang ilmu tersebut.

 

PENGERTIAN IJITIHAD

 

Secara harfiah, kata ‘ijtihad’ berasal dari akar kata berikut :

 

yang bermakna ‘bersungguh-sungguh”, yakni pengerahan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang di dalamnya terdapat kesulitan.

 

Sedangkan definisi ijtihad secara istilah:

 

Pengarahan kemampuan dari Seorang Jagih untuk menghasilkan dugaan atas sebuah hukum

 

Penjelasan definisi:

 

  1. “Pengerahan kemampuan”, maksudnya mujtahid mengerahkan kemampuan secara maksimal dalam melakukan olah pikir dan analisis atas dalil-dalil yang ada. Pengerahan kemampuan dalam hal ini dalam batas sekiranya mujtahid merasa tidak mampu lagi menambah lebih dari itu.

 

Dalam hal ini dikecualikan pengerahan kemampuan dari selain fagih, atau pengerahan kemampuan untuk menghasilkan kepastian atas hukum akal. Kedua hal ini tidak disebut ijtihad.

 

  1. “Seorang fagih, yang dikehendaki dalam definisi ini adalah orang yang memiliki potensi menghasilkan pemahaman fiqh, secara majaz yang umum. Dan nantinya setelah menghasilkan hukum fiqh, disebut fagih secara hakikat. Hal ini agar definisi memenuhi kualifikasi jami. Karena seandainya yang dikehendaki adalah fagih secara realita, maka menjadikan mujtahid tidak tereakup dalam definisi, sebab dia tidak disebut fagih kecuali setelah menghasilkan hukum.

 

Kemudian mujtahid yang menghasilkan dugaan hukum adalah seorang fagih, sebagaimana dikatakan ulama ushul bahwa seorang fagih adalah mujtahid. Sedangkan keumuman seorang fagih yang mencakup selain mujtahid, yakni penghapal furu’, bukanlah istilah dari ulama ushul’.

 

KRITERIA MUJTAHID

 

“Fagih’ sebagaimana dalam definisi ijtihad di atas, atau mujtahid adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai berikut: ,

 

“Fagih adalah orang baligh, berakal, pikirannya sangat cerdas, mengetahui dalil akal, dar memiliki tingkat perrahaman menengah tentang bahasa Arab, ushul, dan obyek terkait hukum-hukum, yakni al-Quran dan as-Sunnah”.

 

Dari ungkapan di atas, didapatkan beberapa kriteria mujtahid, sebagai berikut:

 

  1. Baligh.

Kriteria ini ditetapkan, karena selain orang baligh (yakni masih anak-anak) akalnya dianggap belum sempurna sampai pada taraf pendapatnya bisa dipertimbangkan.

 

  1. Berakal Kriteria ini ditetapkan, karena orang yang tidak berakal tidak memiliki tamyiz (sensor pembeda) sebagai petunjuk atas apa yang dikatakannya, sampai pada taraf pendapatnya bisa dipertimbangkan. Kemudian tentang maksud dari “akal”, ada tiga pendapat mengenai persoalan ini :

 

Pendapat ashah, akal adalah malakah yakni karakter yang melekat dalam diri seseorang yang dapat digunakan untuk menemukan segala pengetahuan, yakni segala sesuatu yang berpotensi diketahui.

 

Pendapat kedua, akal adalah ilmu itu sendiri, yakni idrak (temuan, hasil identifikasi) baik dlarury atau nadhariy., Sehingga perbedaan kualitas akal manusia adalah disebabkan banyak sedikitnya ilmu. Pendapat ketiga, akal adalah ilmu dlaruriy saja.

 

  1. Fagihun nafsi (sangat cerdas pikirannya) Yakni secara natural (thab’iy) sangat tajam pemahamannya atas maksud-maksud dari ungkapan, hingga mampu mengolahnya menjadi argumentasi. Kriteria ini ditetapkan karena selain orang yang memiliki sifat ini, tidak mampu melakukan istinbath (penggalian hukum dari dalil) yang menjadi sasaran inti dari ijtihad.

 

Terkait denyan kriteria ini, apakah status fagihun nafsi akan dianulir karena persoalan pengingkarannya terhadap qiyas? Dalam hal ini ada beberapa pendapat:

 

Pendapat pertama, pengingkaran terhadap qiyas tidak mempengaruhi statusnya sebagai fagihun nafsi.

 

Pendapat kedua, pengingkaran terhadap qiyas dapat mengeluarkan seseorang dari status fagihun nafsi. Sehingga ucapannya tidak dipertimbangkan.

 

Pendapat ketiga, dapat mempengaruhi status fagihun nafsi, apabila pengingkaran tersebut terhadap qiyas jaliy, Karena dengan demikian nampak sekali ke-jumud-annya.

 

  1. Memiliki pengetahuan atas dalil aqliy (rasio).

Yakni bahwa seorang mujtahid haruslah memiliki bekal pengetahuan memadahi tentang dalil aqliy, yakni bara’ah ashliyyah atau hukum asal terbebas dari tanggungan, dan bahwa kita terikat dengan dalil aqliy tersebut, selama belum ada dalil syar’i yang mengalihkan dari hukum asal tersebut. “

 

  1. Memiliki tingkat pemahaman menengah dalam bahasa Arab. Yang menjadi persyaratan dalam hal ini ada lima cabang ilmu, yaitu ilmu lughat (kosakata bahasa), ilmu nahwu (gramatika Arab), sharaf, ma’ani dan bayan, meskipun cabang ilmu bahasa Arab pada dasarnya secara keseluruhan ada dua belas macam”. Kriteria ini ditetapkan, karena tanpa bekal pengetahuan dalam ilmu-ilmu ini, makna yang dikehendaki tidak dapat dipahami dari mustanbath minhu (dalil AlQur’an dan AlHadits yang digali), sebab dalil ini berbentuk bahasa Arab yang sangat fashih. Standar pemahaman yang harus dicapai adalah hingga taraf mampu memahami sebuah khithab.

 

  1. Memiliki tingkat pemahaman menengah dalam ushul fiqh. Pengetahuan tentang ushul fiqh dipersyaratkan karena dengan ilmu ini dapat diketahui tata cara ber-istinbath dan aturan lain yang dibutuhkan, seperti syarat-syarat qiyas dan diterimanya riwayat.

 

  1. Mengetahui sesuatu dari Al-Qur’an dan as-Sunnah yang berhubungan dengan hukum.

Yakni mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits yang memiliki petunjuk hukum. Termasuk dari aspek tata letak, meliputi awal akhirnya sebuah ayat atau hadits, baik dari tinjauan rasm maupun waktu turunnya. Kriteria ini ditetapkan karena ayat Al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengandung hukum merupakan obyek istinbath.

 

Dalam Syarh Minhaj karya Ash-Shafawi, disebutkan bahwa ayat-ayat ahkam dalam Al-Qur’an sebanyak 500 ayat? Kemudian berkaitan dengan hadis-hadis ahkam, Imam Al-Ghazali berkomentar, bahwa seorang mujtahid cukup memiliki referensi rujukan kitab induk tentang hadis-hadis ahkam yang telah disahihkan, seperti Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Baihagi, atau kitab induk lainnya yang menghimpun hadis-hadis ahkam’.

 

Dalam ketiga syarat terakhir (5, 6, dan 7) seorang mujtahid tidak diharuskan menghafal teks di luar kepala.

 

Selanjutnya, kadar pengetahuan yang dipersyaratkan adalah kadar menengah. Tidak harus menjadi yang paling pakar, juga tidak hanya sekedar asal-asalan. karena yang dikehendaki dari kadar pengetahuan menengah dalam hal ini adalah kadar yang memadahi sebagai bekal untuk melakukan istinbath.

 

Imam Tagiyyuddin As-Subuki, menyatakan bahwa penguasaan ilmu-ilmu tersebut di atas dengan tingkat penguasaan menengah belumlah cukup sebagai persyaratan seorang mujtahid. Ilmu-ilmu tersebut haruslah menjadi bakat kemampuan melekat baginya. Mujtahid juga harus menguasai sebagian besar kaidah-kaidah syara”, lalu mengolahnya sedemikian rupa hingga menghasilkan daya pikir yang bisa dimanfaatkan untuk memahami tujuan yang dikehendaki as-Syari’ (pembuat syari’at, Allah SWT dan rasul-Nya) ‘.

 

Disyaratkan dalam rangka merealisasikan ijtihad adanya mujtahid waruslah orang yang mengetahui permasalahan-permasalahan ijma’, dalil nasikh dan mansukh, asbabun nuzul  (sebab-sebab turunnya wahyu), mutawitir dan ahad, hadis shahih dan selainnya dan keadaan para periwayat hadis. Dan di masa Kita, cukuplah merujuk pada keterangan para imam di bidang ilmu tersebut.

 

KRITERIA MEWUJUDKAN IJTIHAD YANG BENAR

 

Selain itu, terdapat beberapa persyaratan dalam ijtihad, sebagai kriteria dalam mewujudkan ijtihad secara benar.

 

  1. Mengetahui obyek permasalahan ijma”, agar hasil ijtihadnya tidak merusak permasalahan-permasalan yang disepakati hukumnya (kharq al-ijma) yang hukumnya haram dilakukan. Tidak disyaratkan menghafal obyek-obyek permasalahan ijma”. Cukup dengan hanya dengan memastikan bahwa hukum yang digalinya tidak bertentangan dengan ijma’, adakalanya dengan mengetahui bahwa fatwanya bersesuaian dengan pendapat mujtahid lain, atau dengan menduga bahwa permasalahan yang difatwakannya adalah kasus baru yang belum pernah dibahas oleh mujtahid generasi terdahulu.

 

  1. Mengetahui mana-mana nash yang nasikh dan mansukh. Karena dalil nasikh didahulukan pengamalannya daripada mansikh. Hal ini disyaratkan agar mujtahid tidak sampai terbalik mendahulukan mansukh.

 

  1. Mengetahui asbabun nizil atau peristiwa yang melatarbelakangi kemunculan ayat-ayat atau hadis-hadis ahkam. Karena dengan hal ini mujtahid mendapat petunjuk memahami makna yang dikehendaki.

 

  1. Mengetahui mana-mana hadis yang mutawatir dan mana mana hadis yang ahad. Karena dalil mutawatir didahulukan pengamalannya daripada ahad, Hal ini disyaratkan agar mujtahid tidak sampai terbalik mendahulukan ahad, dimana hal ini tidak diperbolehkan.

 

  1. Mengetahui hadits yang shahih, hasan dan dlaif, Agar hadits shahih didahulukan daripada hasan, dan hadits shahih dan hasan didahulukan daripada dla’if.

 

  1. Mengetahui keadaan para periwayat hadits, dari aspek diterima dan ditolaknya, atau aspek jarh (penilaian cacat) dan ta’dil-nya (penilaian adil). Agar yang diterima didahulukan dari yang ditolak, baik dalam dua hadits yang bertentangan, atau selainnya. Dan pembesar dan orang yang lebih alim dari shahabat didahulukan daripada yang lain, dalam dua hadits yang bertentangan. Karena jika tidak mengetahui hal semacam ini, seorang mujtahid kadang melakukan sebaliknya. Selanjutnya, terkait dengan persyaratan mengetahui keadaan para periwayat hadits, di masa sekarang cukup dengan merujuk pada keterangan para imam ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim dan lainnya, juga merujuk pada kitab-kitab yang dikarang dalam persoalan tersebut. Sehingga dalam jarh dan ta’dil mereka dapat dijadikan pedoman, karena dua hal tersebut sulit dilakukan di masa sekarang tanpa perantara. Dan mereka adalah orang-orang yang lebih terpereaya diikuti dibanding yang lain, karena pengetahuan yang sempurna dan kesungguhan usahanya.

 

Maksud “mengetahui” dalam beberapa persyaratan di atas adalah penguasaan terkait kasus baru yang diijtihadi, bukan seluruh kasus baruf.

 

Dan tidak disyaratkan (sebagai kriteria mujtahid) penguasaan ilmu Mana penguasaan permasalahan-permasalahan cabangan fiqh, (tidak disyaratkan pula) laki-laki, merdeka, begitu pula (tidak disyaratkan) adalah (sifat adil) menurut pendapat ashahh.

 

BEBERAPA HAL YANG TIDAK MASUK PERSYARATAN

 

Berikut ini beberapa hal yang tidak disyaratkan bagi mujtahid, maupun dalam melakukan aktivitas ijtihad:

 

  1. Pengetahuan ilmu kalam (teologi). Karena istinbath bagi orang yang mantap dengan akidah Islam melalui taqlid adalah memungkinkan.

 

  1. Pengetahuan detail cabangan fiqh. Karena, detail cabangan fiqh baru diketahui setelah melakukan ijtihad, bagaimana mungkin hal ini menjadi persyaratan ijtihad?. Dan seandainya disyaratkan, maka akan terjadi daur (siklus logika tanpa ujung), karena masing-masing tergantung pada yang lain.

 

  1. Jenis kelamin laki-laki. Karena terbuka kemungkinan bagi sebagian wanita memiliki kemampuan ijtihad, meskipun secara fitrah umumnya mereka memiliki sisi minus dalam berpikir.

 

  1. Status merdeka. Karena terbuka kemungkinan bagi sebagian hamba sahaya untuk berijtihad, misalnya si hamba sahaya tersebut berolah nalar di saat senggang, ketika tidak ada tugas melayani majikannya.

 

  1. Sifat “adalah (adil), menurut pendapat ashahh. Karena terbuka kemungkinan bagi seorang fasig memiliki kemampuan ijtihad. Pendapat lain menyatakan bahwa “adalah menjadi persyaratan, agar pendapat mujtahid dapat dijadikan pegangan. Pendapat kedua ini pada dasarnya tidak berbeda dengan pendapat pertama. Karena pensyaratan ‘adalah dengan tujuan agar pendapatnya dapat diambil sebagai pegangan, tidaklah bertentangan dengan ketiadaan pensyaratan ‘adalah dalam berijtihad. Karena seorang mujtahid yang fasig wajib mengambil hasil ijtihad yang dilakukannya sendiri, meskipun ulama menyepakati bahwa hasil ijtihad seorang mujtahid fasig tidak bisa dijadikan pegangan. Sehingga silang pendapat hanya sekedar retorika lafadz saja.

 

Mujtahid hendaklah meneliti keberadaan dalil penentang.

 

HAL-HAL YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN MUJTAHID

 

Termasuk di antara perkara yang sebaiknya dilakukan seorang mujtahid dalam ijtihadnya adalah meneliti keberadaan dalil penentang (al-mu’aridl).Maka dalam hal ini seorang mujtahid sebaiknya meneliti ada tidaknya mukhashshish dalam dalil yang ‘qmm, ada tidaknya dalil muqayyad dalam dalil yang muthlag, ada tidaknya dalil nasikh dalam nash, ada tidaknya garinah yang mengalihkannya dari makna dhahir dalam sebuah lafadz”. Hal ini dimaksudkan agar hasil ijtihadnya terbebas dari cacat.

 

Selanjutnya, meneliti keberadaan dalil penentang (al-mu’arid) hanyalah sebatas keutamaan, bukan sebuah kewajiban. Hal iri agar selaras dengan paparan terdahulu, bahwa menurut pendapat ashah boleh berpegang pada dalil 47mm sebelum meneliti keberadaan mkhashshish, dan bahwa wajib meyakini wajib terhadap shighat  sebelum meneliti keberadaan perkara yang memalingkan dari kewajiban tersebut.

 

Imam Az-Zarkasyi dan pengikutnya mengklaim, bahwa meneliti keberadaan dalil penentang (al-mu’arid) adalah sebuah kewajiban. Dan hal ini tidak bertentangan dengan keterangan mengenai bolehnya berpegang pada dalil ‘amm sebelum mencari mukhashshish. Karena keterangan tersebut hanya menjelaskan kebolehan berpegang pada dhahir lafadz tanpa disertai gari’nah, sedangkan pembahasan kali ini tentang pensyaratan mengetahui mu’aridl setelah terbukti keberadaannya melalui bantuan qarinah.

 

Di bawah tingkatan mujtahid dengan kualifikasi di atas (yakni mujtahid mutan), terdapat mujtahid madzhab. Yakni orang yang berkemampuan men-takhrij versi-versi periwayatan pendapat atas teks-teks imamnya.

 

Di bawah tingkatan mujtahid madzhab terdapat mujtahil fatwa. Yakni orang yang berpengetahuan luas yang berkemampuan men-tarjih pendapat tertentu atas pendapat lainnya.

 

TINGKATAN-TINGKATAN MUJTAHID

 

Kualifikasi yang disebutkan di atas adalah persyaratan bagi mujtahid muthlag. Dan saat ini, mujtahid muthlag tidak lagi ditemukan. Imam An-Nawawi dalam al-Maajmu’ Syarh al-Muhadzdzab menyatakan bahwa ketiadaan mujtahid muthlag telah berlangsung sejak masa yang lama”,

 

Di bawah tingkatan mujtahid muthlag, terdapat beberapa level mujtahid sesuai tingkat kemampuannya, sebagai berikut:

 

  1. Mujtahid madzhab Mujtahid madzhab adalah ulama’ yang memiliki kemampuan mentakhrij (mengembangkan) ragam hukum berdasarkan nash (teks penjelasan) imamnya dalam berbagai masalah baru. Artinya, tatkala terjadi sebuah kasus baru yang tidak ditemukan penjelasannya secara tekstual dari pendapat imamnya, maka mujtahid madzhab melakukan penalaran berdasarkan putusan hukum dari imamnya dalam kasus lain yang serupa.

 

Persyaratan mujtahid madzhab, sebagaimana diungkap Imam AnNawawi dalam Syarh al-Muhadzadzab, adalah sebagai berikut:

– Mengetahui fiqh, ushul fiqh dan dalil-dalil hukum secara terperinci

– Menguasai metode qiyas beserta “‘illat

– Terampil dalam takhrij dan istinbith dengan meng-ilhag-kan kasus baru yang secara tekstual tidak dijelaskan oleh imamnya dengan berbekal kaidah-kaidah imamnya tersebut.

 

Dengan demikian, sebenarnya mujtahid madzhab tidak lepas dari taqlid kepada imamnya. Karena kemampuannya terbatas jika dibandingkan dengan kemampuan imamnya. Nash imam di mata mujtahid madzhab tak ubahnya nash syara’ di mata imam mujtahid muthlag. Ini adalah kualifikasi ashhab al-wujuh.

 

  1. Mujtahid fatwa

Mujtahid fatwa adalah ulama’ yang luas pengetahuannya tentang madzhab imamnya, sehingga mampu melakukan arjih di antara beberapa pendapat. Imam An-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan bahwa mujtahid fatwa adalah orang-orang yang berpikiran sangat cerdas, hafal madzhab imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, menguatkannya, membuat deskripsi, rumusan, batasan, landasan, mempromosikan dan mengunggulkannya: akan tetapi kemampuannya terbatas dibandingkan mujtahid madzhab. Ini adalah kualifikasi kebanyakan ulama’ mutaakhirin di akhir abad keempat’!.

 

Menurut pendapat shah, tajazzu” al-ijtihad (pembidanpan itihad) dalarn bagian dari beberapa bab fiqh adalah boleh.  

 

Menurut pendapat ashah ijtihad bagi Nabi Muhammad SAW adalah diperbolehkan dan diakui keberadaannya. Dan (menurut pendapat rai ashah) bahwasanya ijtihad Beliau tidak akan salah.

 

TAJAZZU AL-IJTIHAD

 

Tajazzu’ al-ijtihad (ijtihadi secara parsial) adalah ijtihad seseorang telah memenuhi berbagai macam persyaratan ijtihad, akan tetapi khusus hanya yang berkaitan dengan bidang pembahasan tertentu. Semisal, seseorang telah menguasai ayat-ayat dan hadits hadits ahkam yang secara khusus berkenaan dengan permasalahan hukum waris (faraidl), disertai pengetahuannya akan obyek-obyek ijma’ dan kemampuan bernalar dengan qiyas yang juga khusus berkenaan dengan hukum waris, nasikh-mansikh tentang waris, pengetahuan bahasa Arab, dan persyaratan ijtihad lainnya yang juga berkenaan dengan waris.

 

Mengenai boleh tidaknya konsep tajazzu’ al-ijtihad atau ijtihad yang dilakukan secara parsial, terdapat dua pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, tajazzu’ al-ijtihad diperbolehkan. Dengan gambaran, seseorang telah memiliki bekal kemampuan ijtihad dalam sebagian bab, semisal bab faraidl atau pernikahan. Yakni, dia telah mengetahui dalil-dalil tentang bab faraidl tersebut melalui istiqra” yang dilakukannya sendiri, atau istiqra’ yang dilakukan oleh mujtahid yang komplit kemampuan ijtihadnya di segala bidang, lalu ia melakukan penalaran terhadap dalil-dalil tersebut hingga menghasilkan kesimpulan hukum.

 

  1. Pendapat kedua, tejaggu’ al-ijtihad tidak diperbolehkan. Karena ada kemungkinan di antara dalil-dalil yang tidak diketahuinya, terselip mu’aridl atau hal-hal yang bertentangan dengan dalil yang telah dikuasainya. Berbeda halnya dengan orang yang menguasai dalil-dalil secara menyeluruh, kemungkinan semacam ini dapat diminimalisir. Namun kemungkinan ini disangkal pendapat pertama, bahwa hal tersebut sangat kecil. Karena yang mungkin diandaikan adalah pelaku telah menguasai seluruh faktor penguat dalam permasalahan khusus tersebut berdasarkan dugaannya, baik keberadaan maupun ketiadaannya.

 

IJTIHAD BAGI RASULULLAH SAW.

 

Mengenai boleh tidaknya ijtihad bagi Nabi SAW, dan mengenai diakui tidaknya (wuqu’) keberadaan ijtihad tersebut dalam permasalahan yang tidak dijumpai nash di dalamnya, terdapat silang pendapat ulama.

 

1, Pendapat ashah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh melakukan ijtihad dalam permasalahan yang tidak dijelaskan oleh nash wahyu. Dan ijtihad tersebut diakui keberadaannya. Sebagaimana disimpulkan dari beberapa ayat berikut:

 

Tidak patut bagi seorang “Nabi mempunyai tawanan “sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. (QS. Al-Anfal : 67)

 

Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)? (QS. At-Taubah: 43)

 

Dalam ayat pertama, Allah menegur Rasul-Nya yang mengambil tebusan dari tawanan perang Badar. Sedangkan dalam ayat kedua, Allah menegur Rasul-Nya yang memberi izin pada orang-orang munafik untuk tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Sebuah tequr’an tidak ditujukan terhadap perbuatan yang dilakukan atas dasar wahyu. Namun ditujukan terhadap perbuatan yang dilakukan atas dasar ijtihad.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa Rasulullah SAW tidak diperkenankan melakukan ijtihad, karena beliau bisa mendapatkan status hukum sebuah permasalahan dengan dimensi kebenaran pasti (yakin), yakni melalui wahyu, dengan menunggu hingga turun wahyu yang menjelaskannya. Orang yang mampu atas sesuatu dengan dimensi yakin tidak diperkenankan melakukan ijtihad yang hasilnya sebatas dugaan. Akan tetapi, pendapat ini disanggah, bahwa turunnya wahyu itu di luar kuasa dan kemampuan Rasulullah saw.

 

  1. Pendapat ketiga, bahwa ijtihad boleh dilakukan Rasulullah SAW, dan diakui keberadaannya dalam beberapa pendapat umum dan strategi peperangan. Pendapat ini sebagai langkah kompromi terhadap dalil-dalil yang dipaparkan dua pendapat di atas.

 

Selanjutnya, berpijak pada pendapat yang membolehkan ijtihad bagi Rasulullah SAW, maka menurut pendapat ashah, beliau tidak pernah keliru dalam ijtihadnya. Hal ini ditegaskan sebagai bentuk pemeliharaan derajat kenabian dari kesalahan berijtihad.

 

Pendapat lain menyatakan bahwa Rasulullah terkadang mengalami kekeliruan dalam ijtihadnya, namun segera mendapatkan tequr’an. Seperti dalam dua ayat tentang pengambilan tebusan dan pemberian izin tidak berperang di atas. Dua ayat ini menunjukkan adanya kesalahan berijtihad dari Nabi SAW, namun tidak dibiarkan begitu saja, bahkan segera mendapatkan tequr’an. Pendapat ini disangkal, bahwa tequr’an dalam dua ayat tersebut bukan karena kesalahan, namun karena meninggalkan keutamaan. Karena dalam redaksinya tidak yang secara eksplisit (sharih) menjelaskan adanya kesalahan dalam ijtihad Nabi SAW”,

 

Menurut pendapat ashahh, bahwa ijtihad boleh dilakukan (oleh shahabat) di masa hidup Nabi. Dan bahwasanya hai itu diakui keberadaannya.

 

IJTIHAD DI MASA RASULULLAH SAW.

 

Sebuah permasalahan muncul terkait dengan boleh tidaknya secara akal ijtihad dilakukan oleh mujtahid umat pada saat Rasulullah masih hidup. Ulama dalam hal ini berbeda pendapat.

 

  1. Pendapat ashahh, bahwa ijtihad boleh dilakukan semasa hidup Rasulullah SAW.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan semasa hidup Rasulullah SAW. Karena kejelasan hukum bisa didapatkan oleh mujtahid pada saat itu secara yakin, dengan cara menanyakannya pada Rasulullah SAW.

 

  1. Pendapat ketiga, bahwa ijtihad boleh dilakukan dengan seizing Nabi SAW. Sebagian pendukung pendapat ini mensyaratkan izin dari Nabi SAW tersebut harus berupa izin sharih (eksplisit). Sebagian pendukung lainnya memposisikan diamnya Nabi SAW dengan tidak melarang saat mengetahui seseorang melakukan ijtihad, sederajat dengan izin.

 

  1. Pendapat keempat, boleh berijtihad bagi mereka yang jauh dari lokasi Nabi SAW. Sehingga mereka yang dekat lokasinya, tidak diperkenankan berijtihad, karena mudahnya menanyakan kejelasan hukumnya langsung pada Beliau.

 

  1. Pendapat kelima, boleh berijtihad bagi mereka yang menjadi pemimpin, seperti shahabat Ali karamallahu wajhah dan Mu’adz RA saat diutus ke Yaman. Hal ini sebagai bentuk pemeliharaan atas derajat pemimpin agar tidak diremehkan di mata rakyat atau bawahannya.

 

Kemudian, jika berpijak pada bolehnya berijtihad di masa Nabi SAW, menurut pendapat ashahh, bahwa ijtihad tersebut diakui keberadaannya (pernah terjadi). Sebagaimana dikisahkan dalam HR. Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW mengangkat Sa’ad bin Muadz Al-Anshari RA sebagai juru hukum untuk memutuskan sanksi pelanggaran bagi Bani Quraidhah. Sa’ad berkata, “Orang-orang Bani Quraidhah yang memerangi harus dibunuh, sedang wanita dan anak-anak mereka harus ditawan”, Rasulullah SAW berkomentar tentang putusan Sa’ad ini, “Sungguh, engkau telah menjatuhkan putusan atas mereka sesuai dengan hukum Allah”.

 

Pendapat kedua menyatakan bahwa ijtihad tersebut tidak pernah terjadi bagi shahabat yang hadir dalam wilayah domisili Nabi SAW. Pendapat ketiga, menangguhkan permasalahan ini.

 

Permasalahan: Pendapat yang benar dalam beberapa permasalahan aqliyyah (logika rasional) hanya satu. Pendapat yang salah (dalam permasalahan ini) dihukumi berdosa, bahkan juga kafir, apabila menafikan keislaman.

 

Pendapat yang benar dalam beberapa permasalahan naqliyyah (dalil nukilan) yang di dalamnya terdapat dalil qath’iy, hanya satu. Pendapat lain, mengikuti silang pendapat yang akan datang.

 

Pendapat ashah, (pendapat yang benar dalam permasalahan naqliyyah) dan tidak ada dalil gath’iy di dalamnya hanya satu. Dan bahwa Allah SWT memiliki hukum tertentu sebelum adanya ijtihad. Serta terdapat tanda (amarah) Atas hukum tersebut. Dan mujtahid dibebani tugas agar bersesuaian dengan hukum tersebut

 

Mujtahid yang salah (dalam permasalahan naqliyya) tidak berdosa, bahkan diberi pahala. Kemudian manakala mujtahid teledor (dalam ijihadnya), maka dia berdosa.

 

KEBENARAN DAN KESALAHAN IJTIHAD

 

Aktivitas ijtihad adakalanya bersentuhan obyek permasalahan aqliyyah (logika rasional), yakni sesuatu yang terjangkau akal, meskipun syara’ sudah menjelaskannya. Dalam beberapa permasalahan aqliyyah yang diperdebatkan, hanya ada kebenaran tunggal. Yakni pendapat yang sesuai dengan kebenaran sejati, dimana hal ini secara realita tertentu keberadaannya. Seperti sifat baru dari alam, adanya Sang Pencipta, sifat-sifat Tuhan dan terutusnya para Rasul. Karena tidak mungkin dua perkara yang bertolak belakang terkumpul secara realita. Dan sebaliknya, pendapat yang salah, baik didasari ijtihad atau tidak, secara ijma’ dinyatakan berdosa. Sebab ketidaksesuaian pendapatnya dengan kebenaran sejati. Bahkan dinyatakan kafir, manakala menafikan keseluruhan atau sebagian hakikat keislaman, seperti orang yang mengingkari terutusnya Nabi Muhammad SAW. Karena hakikat Islam sangat transparan, lebih terang daripada siang hari, hingga tidak ada celah mendustakannya melalui ijtihad, atau melalui cara-cara lain. Lantaran jjtihad hanyalah untuk sesuatu yang masih kabur dan sulit dipahami.

 

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan setiap mujtahid dalam permasalahan ‘aqliyyah adalah benar, dan bahwasanya pendapat yang salah tidak dinyatakan berdosa, keduanya jelas pendapat yang merusak ijma’.

 

KEBENARAN IJTIHAD DALAM MASALAH NAQLIYYAH

 

Permasalahan non-aqliyyah, yakni permasalahan naqliyyah, terbagi dalam dua kategori:

 

  1. Permasalahan naqliyyah yang di dalamnya terdapat dalil gath’iy. Manakala sebuah permasalahan naqliyyah memiliki sandaran dalil gath’iy, baik berupa nash atau ijma, kemudian ulama berbeda pendapat mengenai status hukumnya, disebabkan sebagian tidak mengetahuinya, dan seandainya mereka tahu, dipastikan silang pendapat akan hilang, maka ulama sepakat kebenaran dalam hal ini adalah tunggal. Yaitu pendapat yang sesuai dengan dalil gath’iy tersebut. Pendapat lain mengatakan, tetap ada silang pendapat tentang nilai kebenarannya, seperti silang pendapat yang tejadi dalam permasalahan naqliyyah yang di dalamnya tidak terdapat dalil gath’iy yang akan dibahas di bawah ini.

 

  1. Permasalahan naqliyyah yang di dalamnya tidak terdapat dalil gath’iy. Bagiaan kedua ini, terdapat silang pendapat tentang nilai kebenaran di dalamnya.
  2. Pendapat ashah, pendapat yang benar hanyalah satu.
  3. Pendapat kedua, semua mujtahid adalah benar.

 

KEBERADAAN HUKUM ALLAH SWT

 

Selanjutnya mengenai keberadaan hukum dari setiap permasalahan, ulama berbeda pendapat.

 

1, Pendapat ashah, dalam setiap permasalahan, Allah SWT telah menentukan hukumnya, sebelum ijtihad dilakukan oleh mujtahid.

 

  1. Pendapat kedua, hukum Allah SWT mengikuti pada dhann mujtahid. Apapun hukum yang dihasilkan oleh dhann mujtahid, maka itulah hukum Allah SWT bagi diri mujtahid dan pengikutnya.

 

  1. Pendapat ketiga, dalam setiap permasalahan terdapat sesuatu yang seandainya Allah SWT menentukan hukum, pastilah dengan sesuatu tersebut. Akan tetapi penentuan hukum oleh Allah sesuai itu tidak terjadi. Bahkan Allah menjadikan hukum mengikuti pada dugaan mujtahid. Namun hal ini dikomentari, bahwa pendapat tersebut tergolong menghukumi perkara gaib (abstrak). Dan pada saat mujtahid, tidak sesuai dengan sesuatu tersebut, maka dikatakan dia benar secara ijtihad dan permulaannya, namun salah secara hukum dan hasila akhirnya.

 

KEBERADAAN AMARAH DARI SEBUAH HUKUM

 

Kemudian terkait dengan ada tidaknya dalil petunjuk dari sebuah hukum, ulama juga berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, terdapat tanda-tanda (amarah) atas hukum Allah SWT. Maksudnya, ada dalil penunjuk yang bersifat dhanniy yang akan mengantarkan orang-orang yang berupaya keras menalarkannya, menuju hukum Allah SWT yang sebenarnya.

 

  1. Pendapat kedua, terdapat dalil gath’iy atas hukum Allah SWT.

 

  1. Pendapat ketiga, tidak ada dalil yang menunjukkan atas hukum Allah SWT, baik dhanniy maupun gath’iy, Hukum Allah bagaikan harta karun terpendam, yang akan ditemukan oleh orang yang dikehendaki-Nya. Sehingga manfaat dari beberapa dalil nash serta analisanya, menurut pendapat ini adalah menjadi asbab al-adiyah (penghantar secara kebiasaan umumnya) untuk menghasilkan kesesuaian atas hukum Allah SWT.

 

TUNTUTAN MENEMUKAN HUKUM ALLAH SWT

 

Berikutnya, mengenai beban (taklif) menemukan hukum Allah SWT, ulama juga berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat ashah, para mujtahid punya beban tugas agar menemukan hukum Allah SWT. Karena hal tersebut memungkinkan terlaksana. Dan juga apabila tidak ada beban semacam itu, maka ijtihad menjadi tidak bermakna. Sebab dengan demikian, manapun hukum yang diambil dianggap sudah mencukupi.

 

  1. Pendapat kedua, tidak dibebani tugas itu, karena hukum Allah SWT arnat samar, sulit untuk ditemukan.

 

KESALAHAN IJTIHAD DALAM NAQLIYYAH

 

Manakala terjadi kesalahan ijtihad dalam permasalahan naqliyyah, baik yang memiliki dalil gath’iy maupun yang tidak, apakah mujtahid divonis berdosa? dan apakah pahala ijtihad masih tersisa?. Silang pendapat terjadi menyikapi hal ini.

 

  1. Pendapat ashah, tidak berdosa, bahkan mendapat pahala, karena mujtahid telah melakukan upaya maksimal menemukan kebenaran. Rasulullah SAW. bersabda :

 

Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala dan apabila ia salah maka akan mendapatkan satu pahala (HR. Bukhari dan Muslim).

 

  1. Pendapat kedua, berdosa, karena mujtahid tidak berhasil menemukan kebenaran yang dibebankan padanya.

 

Berbeda halnya apabila mujtahid melakukan keteledoran dalam ijtihadnya, maka dia dinyatakan berdosa, meskipun hukum yang dihasilkan sesuai dengan kebenaran. Karena dalam hal ini dia telah meninggalkan kewajibannya berupa upaya maksimal dalam berijtihad”.

 

Permasalahan: Putusan hukum dalam permasalahan ijtihadiyyah tidak boleh dibatalkan. Jika hukum bertentangan dengan nash, ijma’, atau qiyas jaliy, atau mujtahid mencetuskan hukum berbeda dengan hasil ijtihadnya, atau berbeda dengan nash imamnya, tanpa bertaqlid pada selain imamnya, atau (bertaqlid, namun) taqlid tidak boleh, maka hukum harus dibatalkan.

 

Jika seseorang menikah tanpa wali, lalu ijihadnya berubah, atau ijtihad orang yang ditaqlidi berubah, maka menurut versi  ashahh, wanita yang dinikahi haram baginya. Mujtahid yang berubah ijtihadnya (setelah berfatwa), maka harus memberitahukannya kepada peminta fatwa, agar menahan diri. Dan apa yang telah dilakukannya tidak dibatalkan. Dia juga tidak mengganti sesuatu yang rusak, jika ijtihadnya berubah, bukan karena adanya dalil qath’iy.

 

PEMBATALAN DAN REVISI HUKUM DALAM IJTIHAD

 

Putusan hukum dalam permasalahan-permasalahan itihadiyyah tidak boleh dibatalkan, baik dibatalkan oleh hakim itu sendiri jika hasil ijihadnya berubah, atau dibatalkan oleh hakim lain karena perbedaan hasil ijtihad. Karena jika pembatalan hukum diperbolehkan, pastilah diperbolehkan membatalkan sebuah pembatalan, dan begitu seterusnya. Sehingga fungsi pengangkatan seorang hakim, berupa memutus sengketa, akan terabaikan.

 

Pembatalan hukum hanya diperbolehkan karena beberapa hal sebagai berikut:

 

  1. Jika bertentangan dengan dalil nas), baik dari Al-Qur’an, ataupun hadis.

 

  1. Jika bertentangan dengan ijma?.

 

  1. Jika bertentangan dengan qiyas jaliy, baik awawi aatau musawi.

 

  1. Hakim yang berkualifikasi mujtahid memberi putusan berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri. Semisal dia berijtihad kemudian menghukumi berbeda dengan hasil ijtihadnya, baik dengan bertaqlid pada orang lain atau tanpa bertaqlid. Atau dia tidak melakukan ijihad sama sekali, kemudian menghukumi dengan hukum dari mujtahid lain, baik dengan taqlid atau tidak. Maka putusan hakim semacam ini harus dibatalkan, karena hakim telah menyalahi hasil ijtihadnya sendiri, dan di sisi lain dia dilarang bertaqlid dalam permasalahan yang telah dia ijtihadi.

 

  1. Hakim yang berkualifikasi mugallid (pelaku taqlid) memberi putusan berbeda dengan nash imamnya, tanpa bertaqlid pada selain imamnya. Atau bertaqlid pada selain imamnya, dan mengacu pada pendapat yang melarang seorang mugallid bertaqlid pada selain imamnya. Maka dalam dua kasus ini putusan hakim harus dibatalkan. Karena dia telah menyalahi nash imamnya, dimana kedudukan nash imam tatkala seseorang memiliki komitmen untuk bertaqlid, layaknya dalil di mata mujtahid.

 

Akan tetapi jika hakim tersebut bertaqlid pada selain imamnya, dan mengacu pada pendapat yang membolehkan seorang mugallid bertaqlid pada selain imamnya, maka putusan tersebut tidak boleh dibatalkan, baik oleh dirinya sendiri atau oleh orang lain. Karena dengan sifat ‘adalah-nya (keadilannya), hakim membuat putusan dengan sebuah pendapat hanya ketika menurutnya pendapat tersebut unggul.

 

Termasuk di antara cabangan fiqh yang dikembangkan dari ketentuan di atas adalah manakala seorang lelaki menikahi wanita tanpa wali atau tanpa dua saksi, berdasar hasil ijtihadnya sendiri atau berdasar hasil ijtihad imamnya, yang menyimpulkan keabsahan nikah tersebut. Namun kemudian hasil ijtihadnya, atau hasil ijtihad imamnya berubah menyimpulkan bahwa akad nikah tersebut batal. Maka menurut pendapat ashahh, wanita tersebut haram baginya, karena dugaannya atau dugaan imamnya menyimpulkan batal. Pendapat lain menyatakan bahwa wanita tersebut tidaklah haram, apabila hakim telah rnemberi putusan keabsahan nikah. Agar tidak mengakibatkan pembatalan hukum dengan ujtihad. Namun alasan ini disangkal, bahwa pembatalan hukum yang dilarang adalah pembatalan secara menyeluruh (ash), dan hal ini bukan yang dikehendaki dalam permasalahan nikah di atas. Karena yang dikendaki adalah mengamalkan hasil ijtihad kedua.

 

PASEA PERUBAHAN IJTIHAD DALAM FATWA

 

Kemudian, apabila seorang mujtahid telah berfatwa dengan suatu hukum, kemudian pasea fatwa berubah hasil ijtihadnya, maka akan muncul beberapa konskuensi sebagai berikut,

 

  1. Mujtahid pemberi fatwa harus memberitahukan perubahan hasil ijihadnya itu pada mustafti (pemohon fatwa) agar mustafi menahan diri dari mengamalkan fatwa hasil ijtihad pertama, jika memang ia belum mengamalkannya.

 

  1. Perkara yang dilakukan mustafti tidak dibatalkan, manakala ia telah terlanjur mengamalkan fatwa tersebut. Karena ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lainnya.

 

  1. Mujtahid pemberi fatwa tidak berkewajiban mengganti rugi sesuatu yang dirusak (mutlaf) sebab fatwanya yang mengharuskan itlaf (perusakan, pemakaian habis) terhadap sesuatu, dimana pasea fatwa hasil ijtihadnya berubah menjadi tidak memperbolehkan itlaf. Uraian di atas berlaku manakala perubahan hasil ijtihad bukan karena adanya dalil gath’iy, namun sekedar berdasar dalil dhanniy saja. Berbeda halnya jika perubahan hasil ijtihad tersebut berdasarkan dalil gath’iy, maka perkara yang terlanjur dilakukan mystafti harus dibatalkan dan mujtahid pemberi fatwa harus mengganti rugi sesuatu yang dirusak (mutlaf). Karena dalam hal ini terdapat unsur kelalaian dan keteledoran.

 

Permasalahan: menurut pendapat terpilih, boleh (secara akal) diucapkan pada Nabi. atau orang alim, “Cetuskan hukum dengan, sekechendakmu, maka hasil cetusan hukum itu adalah benar”. Dan (ucapan tersebut) menjadi dalil syar’iy, sekaligus disebut tafwidl. Kemudian (menurut pendapat terpilih), bahwa tafwidl tidak diakui keberadaannya. Serta diperbolehkan menggantungkan perintah kepada pilihan orang yang diperintah.

 

TETANG TAFWIDL (PENYERAHAN HUKUM)

 

Sandaran hukum syara”, ada beberapa hal, sebagaimana pernyataan Imam Jalaluddin As-Suyuthi:

 

  1. Penyampaian dari Allah ta’ala. Ini hanya tertentu bagi para rasul.

 

  1. Yang didapatkan dari ijtihad. Ini adalah tugas para ulama’ umat. Tentang bolehnya ijtihad bagi Nabi saw., telah dibahas dalam paparan terdahulu. .

 

  1. Yang didapatkan dari tafwidl, sebagaimana akan dibahas lebih detail dalam sub bab pembahasan ini.

 

Tafwidl adalah penyerahan kewenangan untuk menentukan hukum kepada nabi atau mujtahid dengan sekehendaknya tanpa dalil. Yakni, dikatakan kepada nabi melalui ilham dari Allah, atau melalui malaikat, atau dikatakan kepada seorang alim (mujtahid) melalui lisan nabi, “Cetuskan hukum dengan sekehendakmu, maka hasil cetusan hukum itu adalah benar dan sesuai dengan hukum-Ku”.

 

Ada beberapa pendapat ulama’ tentang boleh tidaknya tafwidl dari perspektif akal.

 

  1. Pendapat terpilih, tafwidl merupakan sesuatu yang jawaz (boleh) secara akal. Karena tidak ada hal yang menjadikannya mustahil. Dan tafwid ini adalah dalil syar’iy.

 

  1. Pendapat kedua, tafwidl tidak diperbolehkan secara mutlak, baik bagi nabi atau orang alim.

 

  1. Pendapat ketiga, tafwidl boleh terjadi khusus bagi nabi, bukan orang alim, karena derajat orang alim tidak proporsional mendapat tafwidl!.

 

Selanjutnya, setelah tafwidl dinilai sebagai sesuatu yang jawaz aqliy, maka apakah tafwidl diakui keberadaannya?

 

  1. Pendapat terpilih, bahwa tafwidl tidak diakui keberadaannya (tidak pernah terjadi).

 

2, Pendapat kedua, tafwidl diakui keberadaannya, berdasar hadits:

 

Andaikan aku tidak khawatir akan meniperberat uniatka, niseaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap hendak melaksanakan shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Maksudnya, “pastilah aku wajibkan siwak atas mereka dari diriku sendiri”, karena menurut pemilik pendapat ini, Allah SWT telah mengatakan pada Nabi SAW, “Berilah hukum sekehendakmu”. Namun argumentasi di atas disanggah, bahwa dua hadis di atas tidak menunjukkan klaim pendapat tentang terjadinya tafwidl. Karena bisa jadi beliau diberi pilihan, yakni pilihan mewajibkan siwak atau tidak mewajibkannya. Atau, bisa jadi sabda Rasul tersebut bersumber dari wahyu, bukan berasal dari beliau sendiri”.

 

PERINTAH BERGANTUNG PADA KEHENDAK MA’MUR

 

Serupa dengan kasus di atas, adalah menggantungkan perintah kepada pilihan orang yang diperintah, yakni, semisal dikatakan kepada orang yang diperintah: “Lakukanlah jika kau menghendaki untuk melakukannya”. ‘

 

Mengenai boleh tidaknya hal tersebut dalam perspekuf akal (jawaz ‘aqliy), terdapat perbedaan pendapat ulama’.

 

  1. Pendapat terpilih, hal tersebut boleh-boleh saja terjadi, dan adanya pemberian pilihan merupakan garinah (indikasi) bahwa tuntutan tersebut bukanlah sebuah tuntutan yang tegas.

 

  1. Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis, bahwa Rasulullah bersabda, “Shalatah kalian sebelum shalat Maghrib”, beliau mengulangnya tiga kali, dan pada kali yang ketiga, beliau menambahkan, “bagi orang yang menghendakinya”. Permasalahan ini ditampilkan sebagai pembanding, dan pembahasan secara detailnya telah dipaparkan pada pembahasan tentang amar sebagaimana bab terdahulu.

 

  1. Pendapat kedua, hal tersebut tidak boleh, karena antara perintah tuntutan untuk melakukan dan takhyir (memberikan pilihan) terdapat pertentangan. Karena perintah (amr) menuntut keharusan (jazim) untuk dilakukan?

 

Permasalahan : taqlid adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil hukumnya,

 

Taqlid wajib atas selain mujtahid mutlak, selain dalam beberapa permasalahan akidah, menurut pendapat ashah. Dan taqlid haram bagi mujtahid yang telah memiliki dugaan hukum dengan ijtihadnya. Juga bagi mujtahid (punya kapasitas ijtihad, namun belum menghasilkan dugaan hukum), menurut pendapat ashah.

 

TENTANG TAQLID

 

Sebagaimana paparan dari teks Lubb al-Ushul, bahwa definisi taqlid adalah sebagai berikut:

 

Mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil hukumnya.

 

Penjelasan definisi:

  1. Maksud dari “mengambil?” adalah menerima pendapat tersebut dengan sebuah keyakinan, baik diamalkan ataupun tidak.

 

  1. “Mengambil pendapat orang lain”, dikecualikan mengambil pendapat yang tidak tertentu pada orang lain, semisal pendapat yang sudah maklum diketahui dalam agama secara dharuri.

 

  1. “Tanpa mengetahui dalilnya”, dikecualikan mengambil pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya. Maka semacam ini disebut ijihad yang bersesuaian dengan ijtihad .orang lain. Karena mengetahui dalil aspek yang menentukan terlahirnya hukum merupakan kemampuan yang dimiliki orang sekaliber mujtahid.

 

TAQLID BAGI SELAIN MUJTAHID

 

Dalam permasalahan taqlid bagi selain mujtahid mutlak, ulama berselisih pendapat sebagai berikut,

 

  1. Pendapat ashah, selain mujtahid diwajibkan untuk ber-taqli selain dalam persoalan akidah, baik orang awam ataupun selain awam, bahkan mujtahid yang kemampuannya hanya berijtihad dalam sebagian masalah fiqh. Berdasarkan firman Allah:

 

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai kemampuan, jika. kamu semua tidak mengetahuinya

 

2, Pendapat kedua, seorang alim yang kemampuannya belum mencapai level mujtahid, wajib ber-taqlid dengan syarat nampak baginya kebenaran hasil ijtihad dari mujtahid yang diikutinya, dengan semisal nampak adanya dalil sandaran yang melandasi hasil ijtihadnya. Hal ini agar mugallid yang alim tersebut terhindar dari kewajiban mengikuti mujtahid dalam sebuah kesalahan.

 

3, Pendapat ketiga, tidak diperbolehkan bertaqlid dalam permasalahanpermasalahan gath’iy, yakni permasalahan yang cara pencetusannya pasti.

 

4, pendapat keempat, tidak diperbolehkan bertaqlid bagi orang alim, meskipun belum mencapai level mujtahid, karena dia memiliki kelayakan dalam mengambil hukum dari dalil, berbeda halnya dengan orang awam.

 

Sedangkan taqlid dalam permasalahan akidah, menurut pendapat terpilih, tidak diperbolehkan, meskipun benar, ketika disertai kemantaban. Namun kesimpulan statemen dalam Jam’u al-Jawami’, taqlid dalam permasalahan akidah juga diwajibkan sebagaimana yang lain”.

 

TAQLID BAGI MU TAHID

 

Bagaimana dengan mujtahid terkait hukum taqlid baginya?. Apabila seorang mujtahid telah melakukan ijtihad dan berhasil menemukan dugaan kesimpulan hukumnya, maka wajib baginya mengamalkan (maksudnya meyakini) hasil ijtihadnya tersebut, dan haram baginya melakukan taqlid. Ini merupakan kesepakatan para ulama’. Karena dengan ber-taqlid, berarti dia telah menyalahi hasil ijtihadnya sendiri, padahal wajib baginya mengikuti hasil ijtihadnya sendiri.

 

Akan tetapi apabila mujtahid belum melakukan ijtihad, maka tentang hukum bertaqlid baginya, terdapat beberapa pendapat:

 

  1. Pendapat ashah, tidak boleh bertaqlid terkait kejadian yang akan dialaminya. Karena ia dapat melakukan ijtihad, dimana posisi ijtihad merupakan asal dari taglid. Dan tidak diperbolehkan berpindah dari asal menuju penggantinya, sebagaimana wudlu dan tayammum. Jika masih bisa melakukan wudlu, maka tidak boleh bertayammum. Sebagaimana jika masih bisa berijtihad, maka tidak boleh bertaqlid.

 

  1. Pendapat kedua, boleh bertaqlid, karena tidak adanya pengetahuan tentang hukum yang dimiliki mujtahid saat ini, karena memang dia belum melakukan ijuhad dan membuat kesimpulan hukum.

 

  1. Pendapat ketiga, boleh bertaqlid bagi seorang gadli karena dia membutuhkannya untuk memutus persengketaan yang dituntut selalu berlanjut.

 

  1. Pendapat keempat, boleh bertaqlid, asalkan pada mujtahid yang lebih alim daripada dirinya sendiri. Karena obyek taqlidnya lebih unggul, berbeda halnya dengan yang sepadan dan sebawahnya.

 

  1. Pendapat kelima, boleh bertaqlid ketika sempitnya waktu. Karena dikhawatirkan akan terjadi keterlambatan jika mujtahid tersibukkan dengan jijtihad. Seperti pertanyaan tentang shalat yang berbatas waktu.

 

  1. Pendapat keenam, boleh bertaqlid untuk konsumsi pribadi, bukan untuk difatwakan untuk orang lain”.

 

Permasalahan: menurut pendapat shah, apabila sebuah kasus terjadi berulang-ulang pada seorang mujtahid yang tidak ingat dalil terdahulu, maka wajib memperbaharui nadhar (kajian). Atau (terjadi berulang-ulang) pada Seorang awam yang meminta fatwa pada orang alim, maka wajib mengulangi meminta fatwa, meskipun (orang alim tersebut) bertaqlid pada mujtahid yang telah meninggal.

 

KASUS YANG TERULANG

 

Tatkala sebuah kasus terjadi, kemudian mujtahid berijtihad menyelesaikannya, hingga tereetus sebuah hukum tertentu. Di kemudian hari kasus tersebut terulang kembali, dan mujtahid tidak ingat dalil yang ia gunakan dalam kasus pertama. Maka apakah mujtahid tersebut wajib memperbaharui radhar (kajian) dan ijtihad untuk kedua kalinya?

 

  1. Pendapat ashah, wajib memperbaharui nadhar. Artinya, ia wajib mengulangi ijtihad lagi, baik menghasilkan hukum yang menganulir dugaan hukum ijtihad yang pertama, atau tidak. Karena jika ia mengambil hasil kesimpulan ijtihad pertama, tanpa mengulangi nadhar, maka sama halnya ia mengambil sesuatu tanpa dalil. Dalam hal ini dalil pertama, sebab tidak diingat oleh mujtahid, menjadi tidak bisa dipertanggungjawabkan sebagai sandaran dugaan hukum.

 

  1. Pendapat kedua, mujtahid tidak wajib melakukan nadhar lagi. Berpijak pada pemikiran bahwa dugaan hukum dalam kasus pertama adalah kuat, sehingga menjadi diamalkan. Karena secara hukum asal, dugaan dalam kasus yang lain tidak mengungguli.

 

Namun apabila mujtahid masih ingat dalil yang ia gunakan dalam kasus pertama, maka dalam hal ini ia tidak wajib melakukan nadhar lagi, karena hal itu tidak dibutuhkan,

 

Hal serupa juga dapat terjadi pada seorang awam yang berstatus mustafi (pemohon fatwa). Dalam arti, manakala orang awam tersebut menghadapi sebuah kasus, kemudian ia memintakan fatwa pada seorang alim. Di kemudian hari kasus tersebut terulang kembali. Maka apakah orang awam tersebut wajib mengulangi permohonan fatwa untuk kedua kalinya?

 

  1. Pendapat ashah, wajib mengulangi permohonan fatwa kepada orang alim tersebut. Meskipun orang alim yang berfatwa bertaqlid pada mujtahid yang telah meninggal. Tentu saja hal ini berpijak pada pendapat bolehnya seorang mugallid memberi fatwa, juga berpijak pada pendapat bolehnya bertaqlid kepada mujtahid yang telah meninggal. Karena jika orang awam tersebut berpegangan pada jawaban dari kasus pertama, sama halnya ia berpegangan pada sesuatu tanpa dalil, Maksud dalil bagi orang awam dalam konteks ini adalah statemen pemberi fatwa.

 

  1. Pendapat kedua, tidak wajib mengulangi permohonan fatwa. Karena secara hukum asal, tidak ada perubahan ijtihad”.

 

Permasalahan: menurut pendapat terpilih, boleh bertaqlid pada mafdhul mujahid yang kalah unggul), bagi orang yang yakin dia tidak mafdhul. Dan tidak wajib meneliti orang yang paling unggul (diantara para mujtahid). Dan (menurut pendapat terpilih, orang yang dari sisi keilmuan, berada di atas orang yang unggul dari sisi wira’i-nya.

 

BERTAQLID KEPADA MAFDLUL

 

Dalam ber-taqlid seharusnya seorang mugallid mengikuti pendapat yang paling unggul dari beberapa mujtahid. Kemudian apakah mengikuti mujtahid yang mafdhul (kalah unggul) diperbolehkan?. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat sebagai berikut,

 

Hendaklah mukallaf memantapkan simpul keyakinannya, bahwa alam adalah baru, dan ada penciptanya, yaitu Allah Yang Maha Esa.

 

Esa adalah sesuatu yang tidak dapat terbagi sama sekali, atau tidak diserupai dari aspek apapun.

 

ALAM ADALAH BARU DAN MEMILIKI PENCIPTA

 

Alam adalah segala sesuatu selain Allah. Disebut “alam” tereetak dari akar kata ‘alimah, yakni “tanda”, karena alam menjadi pertanda atas wujud penciptanya.

 

Hendaklah seorang mukallaf memantapkan simpul keyakinannya, bahwa alam adalah baru, diwujudkan dari tiada. Karena alam berubah, sebagaimana kita saksikan. Dan setiap yang berubah adalah baru, karena diwujudkan setelah tiada.

 

Dan hendaklah mukallaf memantapkan keyakinannya, bahwa alam ada penciptanya, karena merupakan keniseayaan bahwa sesuatu yang tereipta pasti ada penciptanya. Dan penciptanya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena seandainya secara akal boleh terjadi adanya dua tuhan, maka pastilah secara akal boleh juga terjadi salah satu tuhan menghendaki sesuatu, tuhan yang lain menghendaki kebalikan tunggal dari sesuatu itu. Semisal, dua tuhan, A dan B, tuhan A menghendaki bergeraknya Zaid, tuhan B menghendaki diamnya Zaid. Maka mustahil kedua kehendak itu terwujud, mustahil pula kedua kehendak itu tidak terwujud. Karena antara bergerak dan diam adalah dua hal yang mustahil berkumpul, mustahil pula keduanya tiada. Maka tak ada lagi pilihan kecuali terjadinya salah satu kehendak. Dan yang kehendaknya terwujud itulah Tuhan yang sebenarnya, bukan tuhan yang kehendaknya tidak terwujud, karena ia lemah. Karenanya, Tuhan hanyalah satu.

 

Nalar berpikir sebagaimana paparan di atas senada dengan firman Allah:

 

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. Al-Anbiya’: 22)

 

ALLAH SWT MAHAESA

 

Disimpulkan di atas bahwa Allah SWT Maha Esa (wahid).Selanjutnya, “wahid’ didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak terbagi sama sekali, atau tidak serupa sama sekali. Karena sesuatu yang bisa terbagi, bisa bertambah dan berkurang.

 

Maksud dari ‘tidak serupa sama sekali’ adalah tidak menyerupai sesuatu dan tidak diserupai sesuatu, hingga dalam wujudnya.

 

Wahdah (satu) disebut untuk Allah Ta’ala dari tiga sisi:

 

  1. Dengan makna “meniadakan banyak’
  2. Dengan makna “meniadakan sesuatu yang sepadan dalam dzat dan sifat-Nya’
  3. Dengan makna “sendirian dalam mencipta, mewujudkan dan mengatur”.

 

Allah ta’la itu qadim (Maha Dahulu). Hakikat (esensi) Allah berbeda dengan segala bentuk hakikat. Berkata para ulama’ muhaggig, bahwa hakikat Allah tidak dapat diketahui sekarang. Dan menurut pendapat terpilih, juga tidak mungkin diketahui di akhirat.

 

ALLAH SWT ADIM

 

Kemudian, Allah ta’la itu qadim, Maha Dahulu. Yakni yang tidak ada permulaan bagi wujud-Nya. Karena andaikan Allah itu baru, pastilah butuh pada pencipta, dan penciptanya juga butuh pencipta, hingga akhirnya terjadi tasalsul (rentetan tak berujung). Tasalsul adalah muhal (tidak bisa diterima akal), maka perkara yang mengakibatkan muhal juga ditetapkan muhal.

 

Hakikat (Dzat) Allah SWT berbeda total dari semua aspek dengan hakikat perkara-perkara lainnya. Ulama’ muhaggigin menyatakan, hakikat Allah SWT tidak diketahui oleh manusia di dunia.

 

Berbeda halnya dengan pendapat banyak ulama’ mutakallimin, mereka menyatakan bahwa hakikat Allah SWT dapat diketahui oleh manusia di dunia, karena mereka dibebani kewajiban untuk mengetahui keesaan Allah SWT. Dan pengetahuan akan keesaan-Nya bergantung pada pengetahuan akan hakikat-Nya, Alasan ini disanggah, tidak benar bahwa mengetahui keesaan-Nya bergantung pada mengetahui hakikatNya. Akan tetapi mengetahui keesaan Allah SWT hanya bergantung pada salah satu aspek pengetahuan akan hakikat Allah SWT, yakni aspek sifat sifat-Nya. Seperti jawaban Nabi Musa ‘alaihissalam atas pertanyaan Firaun, sebagaimana dikisahkan Allah Al-Qur’an:

 

Firaun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?” Musa menjawab ; “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempereayai-Nya”. (QS. Asy-Syu’ara’: 23-24)

 

Kemudian, berpijak pada pendapat pertama, para ulama muhaggigin berbeda pendapat, mungkinkah mengetahui hakikat Allah SWT di akhirat?

 

  1. Pendapat terpilih, menyatakan tidak mungkin mengetahui hakikat Allah SWT di akhirat.

 

  1. Pendapat lain, menyatakan hal tersebut memungkinkan, karena Allah SWT dapat dilihat kelak di akhirat, sebagaimana dalam pembahasan selanjutnya.

 

Alasan ini disangkal oleh pendapat pertama, bahwa melihat Allah SWT tidak menyimpulkan hakikat-Nya”.

 

Allah bukan jisim (materi), bukan jauhar (atom), bukan ‘aradl (sifat) Allah senantiasa Esa, tidak terikat dimensi ruang dan waktu.

 

ALLAH SWT BUKAN MATERI BUKAN ATOM

 

Allah SWT bukan jisim (materi), bukan Jauhar (atom), bukan pula arad), Karena Allah SWT tersucikan dari baru, sedangkan jisim, jauhar, dan ‘radl adalah baru. Karena jauhar, jisim dan ‘aradl adalah pembagian dari alam. Karena alam itu adakalanya berdiri sendiri, atau berdiri dengan yang lain. Bagian kedua (berdiri dengan yang lain) adalah ‘aradl. Sedangkan bagian pertama (yang berdiri sendiri) yang disebut ‘ain dan menjadi tempat bagi ‘radl, adakalanya tersusun, yakni jisim, dan adakalanya tidak tersusun, yakni jawhar, terkadang disebut dengan jauhar fard (atom tak terbagi).

 

Allah senantiasa Esa, tidak terikat dimensi ruang dan waktu. Yakni, bahwa Allah ada dengan sendiriNya sebelum adanya ruang dan waktu”.

 

Kemudian Allah SWT menciptakan alam ini tanpa membutuhkannya. Andai Dia menghendaki, maka tidak akan diciptakan alam. Penciptaan Allah SWT tidak memunculkan sesuatu yang baru pada dzat- Nya. Allah Maha Berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada sesuatu yang seperti Allah SWT.

 

Qadar, baik dan buruknya adalah dari Allah SWT. Pengetahuan Allah SWT mencakup segala sesuatu yang dapat diketahui. Kekuasaan Allah SWT mencakup ke segala sesuatu yang dapat dikuasai. Apa yang Allah SWT ketahui akan wujud, berarti Allah menghendakinya. Apa yang Dia ketahui tidak wujud, berarti Dia tidak menghendakinya. Kekekalan Allah SWT tidak pernah berakhis

 

MENCIPTAKAN TANPA MEMBUTUHKAN

 

Allah SWT menciptakan alam ini, yang sebagian dapat disaksikan, seperti langit dan bumi serta semua perkara di dalamnya dan di antara keduanya, tanpa membutuhkannya, Kerena butuh adalah kekurangan, dan Allah SWT disucikan dari sifat semacam itu. Andai Dia menghendaki, Allah SWT tidak akan menciptakan alam. Karena Allah SWT berbuat dengan kehendak-Nya, bukan dengan dzat-Nya (harus berbuat seperti statemen ahli filsafat). Allah SWT berfirman,

 

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.

 

Penciptaan Allah SWT tidak memunculkan sifat yang baru pada dzat-Nya, seperti kesulitan atau kepayahan. Dan Allah SWT tidak seperti makhluk, yang menjadi tempat dari sifat baru, keadaan dari sifat baru dan berbaur dengan sifat baru. Seperti firman Allah SWT:

 

Allah Maha berbuat terhadap apa dikehendaki-Nya

 

“Tiada sesuatu yang menyerupai allah”

 

QADAR, ILMU, DAN QUDRAH

 

Qadar atau sesuatu yang terjadi pada hamba yang telah ditentukan Allah SWT sejak azaliy, baik dan buruknya adalah dari Allah SWT, yakni diciptakan dan dikehendaki oleh-Nya”. Allah SWT berfirman:

 

Allah menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan. (Ash-Shaffat :96)

 

Pengetahuan (ilmu) Allah SWT mencakup segala sesuatu yang layak diketahui, baik berupa sesuatu yang mungkin, atau sesuatu yang mustahil, berbentuk juz’iyyat (hal-hal terperinci) maupun kulliyyat (hal-hal global).

 

“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya meliputi sepala sesuatu”

 

Kekuasaan (qudrah) Allah SWT meliputi segala sesuatu yang layak dikuasai. Yakni, bahwa kekuasaan Allah SWT mencakup segala hal yang mungkin (mumkinati), bukan hal-hal yang mustahil dan yang wajib. Maka sesuatu yang mustahil dan yang wajib tidak termasuk dalam cakupan kekuasaan Allah SWT, bukan karena keterbatasan-Nya, akan tetapi karena hal mustahil tidak mungkin terwujud. Begitu pula hal wajib, tidak mungkin dikaitkan dengan sifat qudrah karena akan berkonsekwensi pada tahshilul hashil (menghasilkan sesuatu yang telah hasil), yang merupakan sebuah kemustahilan. Karenanya, hal-hal mustahil dan hal-hal yang wajib tidak layak untuk menjadi obyek keterkaitan sifat qudrah Allah SWT.

 

HUBUNGAN IRADAH ILMU DAN TENTANG BAQA’

 

Selanjutnya, sesuatu yang Allah SWT ketahui semenjak azali akan wujud, berarti Allah SWT menghendaki wujudnya. Meskipun sesuatu tersebut terlarang atau tidak boleh dilakukan secara syara. Dan sebaliknya, sesuatu yang Dia ketahui tidak wujud, berarti Dia tidak menghendaki wujudnya. Jadi, menurut kita, sifat iradah mengikut pada sifat ilmu (bukan pada perintah).

 

Kekekalan (baqa’) Allah SWT’ tidak ada akhirnya. Dalam arti, wujud-Nya akan selalu berlangsung, abadi tanpa batas akhir,”

 

Allah SWT senantiasa wujud dengan menyandang asma-asma dan sifat-sifat dzatNya yakni sesuatu yang ditunjukkan oleh perbuatan-Nya, berupa sifat qudrah, sifat ‘ilmu, sifat hayat, dan sifat iradah. Atau sesuatu yang di ditunjukkan oleh tanzih (keterbebasan) dari sifat kekurangan, berupa sifat sama”, sifat bashar, sifat kalam, dan sifat baqa’

 

ASMA DAN SIFAT ALLAH SWT

 

Eksistensi wujudnya Allah SWT senantiasa tidak terlepas dari beberapa hal berikut:

 

  1. Beberapa makna asma, yakni sesuatu yang menunjukkan atas dzat Allah SWT dengan memandang sifatnya, seperti Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui) dan Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan).

 

  1. Beberapa sifat dzat. Bagian ini terbagi dalam dua kategori.

 

2) Sifat-sifat yang ditunjukkan oleh perbuatan Allah SWT yakni sifat iradah (Maha Berkehendak), sifat ilmu (Maha Mengetahui), sifat hayat (Maha Hidup) dan sifat qudrah (Maha Kuasa).

 

  1. b) Sifat-sifat yang ditunjukkan oleh tanzih (keterbebasan) Allah SWT dari sifat kekurangan, yakni sifat sama’ (Maha Mendengar), sifat bashar (Maha Melihat), sifat kalam (Maha Berfirman), sifat baga’ (Maha Kekal).

 

Dua bagian di atas, yaitu beberapa makna asma dan beberapa sifat dzat, adalah bersifat azali dan dahulu. Berikut penjelasan singkat sifat-sifat Allah SWT di atas:

 

  1. Qudrah adalah sifat azali yang mempengaruhi sebuah perkara manakala sifat tersebut terhubung dengannya.

 

  1. Ilmu adalah sifat azaff yang terhubung dengan sebuah perkara secara ihathah (mengetahui dari semua aspek), sesuai dengan keadaan sebenarnya, dan tanpa didahului ketidakjelasan.

 

iii. Hayat adalah sifat yang berkonsekwensi bolehnya sifat ilmu dan sifat-sifat lain bagi maushuf (yang disifati)nya.

 

  1. Iradah adalah sifat yang mengkhususkan salah satu dari dua sisi sebuah perkara, yang berupa ‘melakukan’ dan “meninggalkan”, supaya terjadi.

 

  1. Sama’ dan bashar adalah dua sifat agali yang dengan keduanya ketersingkapan sesuatu bertambah atas ketersingkapan dari sifat ilmu, tidak seperti pendengaran dan penglihatan makhluk.

 

  1. Kalam adalah sifat yang berada pada dzat Allah SWT, yang diungkapkan dengan runtutan susunan yang disebut kalamullah, atau juga bisa disebut Al-Qur’an.

 

vii. Baqa’ adalah keberlanjutan wujud.

 

  1. Beberapa sifat-sifat af’al, seperti al-khalg (menciptakan), ar-rizqu (menganugerahi rizgi), al-ihya’ (menghidupkan), dan al-imatah (mematikan). Sifat-sifat ini tidak termasuk sifat-sifat azaliyyah (dahulu), akan tetapi termasuk sifat-sifat yang haditsah (baru), yakni yang diperbaharui (mutajaddidah) dalam hati”. Berbeda dengan Mutakhirin Hanafiyyah yang menganggap sifat-sifat tersebut merupakan tambahan dari sifat-sifat terdahulu”.

 

Keterangan yang shahih dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah tentang sifat-sifat Allah SWT, maka kita meyakini dhabir maknanya, dan kita mensucikan Allah SWT di saat mendengar keterangan yang musykil (janggal).

 

Kemudian para imam kita berbeda pendapat, apakah musykil tersebut kita ta’wil ataukah kita serahkan (maknanya pada Allah SWT), dengan menyucikan Allah SW (dari makna dhahirnya)? Disertai kesepakatan para imam bahwa tidak tahunya kita atas makna terperincinya tidak mencacatkan (agidah kita).

 

MEYAKINI DHAHIR MAKNA SIFAT ALLAH DALAM AL-QUR’AN MAUPUN SUNNAH

 

Dalam Al-Qur’an maupun hadits, terdapat sejumlah keterangan shahih (tetap) tentang sifat-sifat Allah SWT”, maka kita meyakini makna dhahir-nya, yaitu makna yang jelas dan tidak ada kejanggalan di dalamnya. Kemudian manakala menjumpai keterangan yang memiliki makna musykil (janggal), maka kita harus mensucikan Allah SWT dari hal-hal yang tidak layak baginya. Di antara beberapa contohnya. adalah sebagai berikut:

 

Tuhan yang maha pemirah yang ber-istiwa’di atas arsy

 

Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

 

“Yad” Allah di atas tengah-tengah mareka

 

Sesungguhnya hati anak cucu Adam semuanya ada di antara “ushbu” dari sekian “ushbu”‘-nya Allah Sang Maha Pemurah, seperti hati seseorang, yang digunakan sesukanya. (HR. Muslim)

 

SILANG PENDAPAT MEMILIH TA’WIL ATAU TAFWID

 

Pada contoh ayat dan hadits di atas, lafadh istiwa’ secara dhahir memiliki makna bersemayam, wajh memiliki makna wajah, yad memiliki makna tangan dan ushbu’ memiliki makna jari. Lafadz-lafadz tersebut tergolong musykil, karena pemakaian makna dhahir akan memunculkan kejanggalan, sebab berakibat tasybih (penyerupaan pada makhluk). Dan mengenai makna sebenarnya, para ulama’ ahlussunnah wal jamaah berbeda pendapat dalam menyikapinya.

 

  1. Pendapat pertama, kita menyerahkan makna sebenarnya yang dikehendaki sepenuhnya kepada Allah SWT. Kita tidak boleh melakukan ta’wil (menafsirkannya), dan senantiasa mensucikan Allah SWT dari makna dhahir-nya. Sikap ini dikenal dengan tafwidl, dan menjadi pedoman ulama salaf. Tafwidl semacam ini dinilai lebih selamat dan lebih baik dibanding tafwidl (menafsirkannya), karena ada kemungkinan penafsiran tidak sesuai makna yang dikehendaki.

 

  1. Pendapat kedua, kita men-ta’wilnya dengan makna yang layak dengan sifat keagungan Allah SWT. Istiwa’ kita ta’wil sebagai berkuasa, sagjh kita ta’wil dengan dzat, yad kita ta’wil dengan kekuasaan, dan makna-makna lain yang layak bagi Allah. Sikap ini dikenal dengan ta’wil dan menjadi pedoman ulama thalaf. Tari semacam ini dinilai lebih membutuhkan pengetahuan.

 

Meskipun demikian, kedua pendapat ini sepakat bahwa ketidaktahuan kita terhadap makna terperinci dari lafadz-lafadz tersebut tidak sampai mencacatkan akidah kita sebagai makna global yang dikehendaki dari lafadz tersebut”.

 

Al-Qur’an nafsi (bertempat pada dzat) bukan makhluk, yang tertulis di mushhaf-mushhaf kita, tersimpan di dada-dada kita, terbaca melalui lisan-lisan kita, secara  Hakikat

 

AL-QUR’AN BUKAN MAKHLUQ

 

Al-Qur’an nafsi adalah kalam Allah ta’ala yang dahulu, tidak berupa huruf atau suara. Kalam adalah makna yang menetap pada dzat Allah SWT. Al-Qur’an nafsi bukanlah makhluq (yang diciptakan). Karena Al-Qur’an zafsi adalah kalam Allah SWT, dan kalam adalah sifat Allah SWT, sehingga mustahil jika dzat Allah SWT yang qadim menyandang sifat yang hidits (baru).

 

Kemudian secara haqiqat syar’iyyah (bukan majaz atau haqiqat aqliyyah), sah dikatakan bahwa Al-Qur’an tertulis di mushhaf kita, terjaga di dalam dada kita, dan terbaca melalui lisan kita.

 

Manakala ditanyakan, bagaimana sifat bukan makhluq (qadim), tertulis, terjaga, dan terbaca dapat berkumpul dalam Al-Qur’an? Maka jawabannya adalah, bahwasanya pemberian semua sifat tersebut pada AlQur’an berdasarkan aspek empat perwujudan dari perkara yang maujud (terwujud). Karena setiap perkara maujud, memiliki wujud dalam kenyataan luarnya (fil kharij), wujud dalam pikiran (fidz-dzihni), wujud dalam ungkapan (fil ibarat), dan wujud dalam tulisan (fil kitabah). Dan AlOuwran dengan memandang wujudnya dalam kenyataan luar adalah qadim dan menetap pada dzat, memandang wujudnya dalam pikiran, Al-Qur’an terjaga di dalam dada, memandang wujud lisaniy, Al-Qur’an itu terbaca, memandang wujud bayaniy (lewat ukiran, tulisan ujung jari), Al Qur’an itu ditulis di Mushaf-mushaf. Tulisan menunjukkan atas ungkapan, ungkapan menunjukkan atas apa yang ada dalam pikiran, dan apa yang ada dalam pikiran menunjukkan atas apa yang ada dalam kenyataan luar”,

 

Allah SWT memberi pahala atas ketaatan, dan menyiksa atas perbuatan maksiat, Kami kecuali Dia melebur dan mengampuni dosa selain syirik.

 

Boleh bagi Allah SWT mengganjar pahala kepada pelaku maksiat, menyiksa pelaku ketaatan, mencicipkan sakit kepada hewan dan anak-anak. Dan mustahil mensifati Allah SWT dengan dhalim (aniaya).

 

BALASAN ATAS KETAATAN DAN KEMAKSIATAN

 

Balasan pahala atas ketaatan akan diberikan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, baik yang mukallaf maupun anak kecil. Hal ini semata-mata atas dasar anugerah dan perlakuan baik dari Allah SWT, bukan kewajiban bagiNya”. Rasulullah bersabda:

 

“Tak seorangpun dari kalian yang dapat masuk sorga karena amalnya” “Para shahabat bertanya, “Tidak juga Anda wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Tidak juga aku, kecuali Allah mencurahkan rahmat dan anugerah-Nya padaku” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Dan siksaan atas perbuatan maksiat juga akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang pendosa. Hal ini semata-mata atas dasar keadilanNya, bukan kewajiban bagiNya. Karena Allah SWT telah memberi khabar tentang ha! tersebur. Firman Allah SWT,

 

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).

 

Kecuali jika Allah SWT memberi ampunan atas dosa kemaksiatan yang dilakukan, selain perbuatan syirik (menyekutukan Allah)”. Firman Allah SWT,

 

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. AnNisa”: 48)

 

SIKSAAN ATAS KETAATAN DAN PAHALA UNTUK KEMAKSIATAN

 

Sebaliknya, secara akal Allah SWT boleh menyiksa pelaku ketaatan, dan mengganjar pahala pelaku kemaksiatan. Karena mereka adalah milik Allah SWT, dimana Dia berhak melakukan apapun sekehendakNya. Hanya saja hal tersebut tidak terjadi di akhirat nanti, karena Allah SWT telah memberi khabar tentang pahala bagi orang yang taat dan siksaan bagi pelaku maksiat, sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an terdahulu. Ashhab mengatakan bahwa maksiat bukan alasan adanya siksaan, dan ketaatan bukan alasan adanya pahala, keduanya hanya amarah (penanda) adanya siksaan dan pahala.

 

MENCICIPKAN RASA SAKIT PADA BINATANG DAN ANAK KECIL

 

Allah SWT juga berhak mencicipkan rasa sakit pada anak kecil dan binatang, meskipun mereka tidak memiliki dosa. Karena anak kecil dan binatang adalah milik Allah SWT, dimana Dia berhak melakukan apapun sekehendakNya. Hanya saja hal tersebut tidak terjadi di akhirat nanti, karena tidak ada keterangan yang menjelaskan”, selain dalam persoalan gishash (pembalasan), Nabi SAW bersabda dalam HR. Muslim,

 

Sungguh akan ditunatkan semua hak pada pemiliknya di hari kiamas hingga akan dibalas impas bagi kambing tanpa tanduk dari kambing bertanduk

 

Hadits di atas menetapkan bahwa gishash tidak tergantung pada adanya taklif (tuntutan) pada hari kiamat, sehingga mencicipkan rasa sakit dengan gishash terjadi pada anak kecil dan binatang. Hanya saja setelah proses tersebut, binatang menjadi debu. Dan anak kecil dari kaum muslimin akan masuk surga, menurut ijma ulama. Sedangkan anak kecil kaum kafir, masih diperselisihkan ulama mengenai nasibnya”.

 

MUSTAHIL ALLAH SWT BERBUAT DHALIM

 

Secara akal maupun syara’, mustahil Allah SWT bersifat dhalim (aniaya). Karena Dia adalah Sang Pemilik semua perkara tanpa batas, dan berhak melakukan apapun yang Dia kehendaki. Tidak sedikitpun ada kedhalim-an dalam persoalan menyiksa dan mencicipkan rasa sakit dalam pembahasan di atas seandainya dijumpai. Firman Allah SWT,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar semut kecil”

 

Orang-orang mukmin dapat melihat Allah di Akhirat. Dan menurut pendapat terpilih, dapat dilihat di dunia.

 

MENYAKSIKAN ALLAH SWT DI AKHIRAT

 

Orang-orang mukmin akan dapat melihat Allah kelak di akhirat, sebelum maupun sesudah masuk sorga. Sebagaimana keterangan dalam hadits-hadits shahih, di antaranya HR. Bukhari dari Abu Hurairah RA,

 

“Orang-orang “bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan melihat Tuhan kami di bari kiamat?” Rasul bersabda, “Apakah kalian kesulitan melihat matahari yang tak terhalang mendung?” Mereka menjawab, “Tidak wahai Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “Apakah kalian kesulitan melihat bulan purnama yang tak terbalang mendung?” Mereka menjawab, “Tidak wahai Rasulullah”. Rasul bersabda, “Maka kalian akan melihat-Nya pada hari kiamat sejelas itu” (HR Bukhari)”

 

Dan HR. Muslim dari Shuhaib RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Pada saat penduduk surga memasuki surga, Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu yang aku tambah bagi kalian?”. Mereka menjawab: “Bukankah sudah Engkau putihkan wajah-wajah kami, bukankah sudah Engkan masukkan kami ke dalam surga, bukankan sudah Engkau selamatkan kami dari neraka”. Kemudian Allah SWT membuka tabir, dan mereka tidak pernah diberikan anugrah yang lebih membahagiakan dibanding melihat Tuhannya azza wajalla”

 

Dalam riwayat lain, “Kemudian Allah SWT membaca ayat ini,”

 

“Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya”

 

Maksud ‘pahala yang terbaik’ adalah surga, dan maksud “tambahan’ adalah melihat Allah SWT.

 

Hadis di atas sesuai dengan firman Allah,

 

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. (QS. Al-Qiyamah: 22-23)

 

Ayat di atas men-takhsish ayat berikut:

 

Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihata n mata, sedang “Dia dapat melihat segala yang kelihatan: dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-An’am: 103)

 

Kemudian, melihat Allah SWT dicapai dengan inkisyaf (terbukanya pengetahuan) secara sempurna melalui nur pandangan melebihi nur pengetahuan. Atau dengan cara Allah SWT menjadikan pengetahuan atas Allah SWT, di saat panca indra menghadap pada Allah SWT, yang terbebas (munazzah) dari unsur berhadap-hadapan, arah dan tempat.

 

Sedangkan orang-orang kafir, mereka udak dapat melihat Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:

 

sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari Tuhan mereka. (QS. Al Muthafifin: 15)

 

MELIHAT ALLAH SWT DI DUNIA

 

Persoalan berikutnya terkait dengan boleh tidaknya secara akal melihat Allah SWT di dunia. Ulama alam hal ini berselisih pendapat.

 

  1. Pendapat terpilih, bahwa melihat Allah SWT saat terjaga dengan mata atau saat bermimpi dengan hati adalah boleh secara akal. Dalil melihat Allah SWT saat terjaga, adalah permintaan Nabi Musa AS untuk melihat Allah SWT dalam ayat,

 

“Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melibat kepada Engkau”

 

Padahal Nabi Musa AS tahu apa yang boleh dan terlarang bagi Allah SWT. Sedangkan dalil melihat Allah SWT dalam mimpi adalah ijma’ yang dinukil Imam Oadhi Iyadh.

 

  1. Pendapat kedua, bahwa melihat Allah saat terjaga dengan mata atau saat bermimpi dengan hati adalah tidak boleh secara akal. Dalil tidak boleh melihat Allah SWT saat terjaga adalah kisah permintaan kaum Nabi Musa AS untuk memperlihatkan Allah SWT, namun justru mereka disiksa. Firman Allah SWT,

 

Mereka (ahli kitab) berkata: “Perlihatkanlab “Allah kepada kami dengan nyata”. Maka mereka disambar petir karena kedhalimannya (QS. An-Nisa’ : 153).

 

Argumentasi dari ayat ini disanggah, bahwa siksaan yang menimpa mereka adalah disebabkan keingkaran dan sikap mempersulit yang mereka lakukan, dengan meminta diperlihatkan dzat Allah SWT, bukan karena hal tersebut terlarang.

 

Dalil tidak boleh melihat Allah SWT dalam mimpi, karena sesuatu yang disaksikan lewat mimpi adalah khayalan dan bayangan, dan kedua hal ini mustahil terjadi pada dzat yang qadim. Argumentasi ini disanggah, tidak ada yang mustahil dalam mimpi, karena yang melihat adalah ruh, bukan mata.

 

Selanjutnya, berpijak pada pendapat terpilih, apakah melshat Allah SWT di dunia pernah terjadi?, Perincian dan silang pendapat di dalamnya adalah sebagai berikut,

 

1, Pada saat terjaga

  1. Menurut Jumhur, tidak terjadi pada selain Nabi SAW, berdasar firman Allah SWT’:

 

“Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh Kenglihatan mata”.

Dan berdasar hadits Nabi SAW,

 

Seseorang di antara kalian tidak akan melihah Tuhannya azza wa jalla hingga mati. (HR. Muslim).

 

  1. Pendapat shahih, terjadi pada Nabi SAW di malam Isra’ Mi’raj. Dan hal ini menjadi tendensi pendapat yang menetapkan hal tersebut terjadi pada selain Nabi SAW.

 

  1. Di dalam mimpi
  2. Pendapat terpilih, terjadi. Karena banyak ulama salaf mengalami hal ini, termasuk Imam Ahmad bin Hambal. Dan hal ini dipedomani oleh ulama penafsir mimpi, hingga mereka membuat bab tersendiri dalam kitabnya tentang pembahasan melihat Allah SWT.

 

  1. Pendapat kedua, tidak terjadi. Karena seperti keterangan terdahulu bahwa hal tersebut tidak boleh terjadi”.

 

Orang beruntung adalah orang yang dicatat Allah SWT di jaman azaliy kematiannya dalam peta keadaan beriman. Dan orang celaka adalah sebaliknya. Kemudian, dua catatan itu tidak berubah.

 

Abu Bakar ash-Shiddig RA senantiasa berada dalam keridlaan dari Allah SWT.

 

ORANG YANG BERUNTUNG DAN CELAKA

 

Orang beruntung adalah orang yang Allah SWT mencatatnya (mengetahuinya) sejak azaliy akan mati dalam keadaan beriman, meskipun sebelumnya orang tersebut pernah menganut agama kafir. Dan sebaliknya, orang celaka adalah orang yang Allah SWT mengetahuinya sejak azaliy akan mati dalam keadaan kafir, meskipun sebelumnya orang tersebut pernah beriman.

 

Kemudian, dua catatan nasib sejak azaliy tersebut tidak akan berubah. Berbeda halnya dengan catatan selain azaliy, semisal pada lauhal mahfudh atau pada buku catatan yang ditulis malaikat saat mentupkan ruh pada manusia”, maka terkadang bisa berubah. Allah SWT berfirman:

 

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kebendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (pengetahuan di sisi Allah).

 

Shahabat Abu Bakar ash-Shiddig radliyallihu anhu sebagai salah satu orang yang beruntung, senantiasa berada dalam keridlaan Allah SWT, meskipun tidak menyandang predikat iman sebelum membenarkan Rasulullah shallallahu “alaihi wasallam. Karena tidak ada riwayat kekufuran yang pernah beliau anut, sebagaimana riwayat hidup shahabat lain sebelum beriman,

 

Menurut pendapat terpilih, bahwasanya ridha (kerelaan) dan mahabbah (kecintaan) berbeda dengan kemauan dan kehendak.

 

Allah adalah Pemberi rizgi. Rizgi adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan, meski haram.

 

RIDHA DAN MAHABBAH

 

Ulama’ ahlussunnah berbeda pendapat mengenai sama tidaknya antara ridla (kerelaan) atau mahabbah (kecintaan) dari Allah SWT dengan masyi’ah (kemauan) dan iradah (kehendak) dari Allah SWT?.

 

  1. Pendapat terpilih, bahwa ridla atau mahabbah dari Allah SWT bukanlah masyi’ah atau inidah dari Allah SWT. Karena ridla dan mahabbah adalah dua lafadz muradif (sinonim, bermakna sama), begitu pula masy’iah dan iridah, Dan makna dua lafadz pertama (ridla dan mahabbah) lebih khusus dibanding makna dua lafadz berikutnya (masyi’ah dan iradah), karena makna ridla adalah kehendak (iradah) tanpa adanya keberatan atas perbuatan yang dikehendaki, bahkan terkadang disertai memberi nikmat dan anugrah. Maka dalam hal ini lafadz yang lebih khusus berbeda dengan yang lebih umum. Dengan dalil firman Allah SWT:

 

Allah tidak meridlai kekafiran bagi hamba“hambaNya (QS. Az-Zumar: 7)

 

Dimana di sisi lain, kekafiran terjadi pada sebagian hamba Allah SWT atas kehendakNya, sebagaimana firman Allah SWT:

 

Jikalau Tuhanmu menghendaki niseaya mereka tidak mengerjakannya

 

  1. Pendapat kedua, bahwa ridla dan mahabbah sama dengan masyi’ah dan iradah. Keempat lafadz ini adalah muradif dengan satu” makna. Pendapat ini dipedomani Mu’tazilah, sebagian Asyariyah termasuk Syaikh Abu Ishag asy-Syairaziy.

 

Pendukung pendapat ini menyanggah bahwa maksud ayat pertama di atas adalah Allah SWT tidak meridlai kekafiran dari aspek keagamaan dan syara’ akan menyiksa atas perbuatan tersebut. Dan bahwa yang dikehendaki dari “hamba-hamba-Nya’ adalah orang yang diberi pertolongan untuk beriman. Oleh karenanya Allah SWT memuliakan mereka dengan menyandarkan pada Allah SWT dalam ayat berikut:

 

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu (syetan) tidak dapat berkuasa atas mereka, Dan dalam ayat,

 

(yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum

 

DEFINISI RIZQI

 

Allah SWT adalah Maha Pemberi Rizgi, yang memberi rizgi semua makhluk yang membutuhkannya. Dan tidak ada pemberi rizgi selain Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:

 

Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Pemberi Rizgi (QS. Adz-Dzarryat: 58)

 

Kaum Mu’tazilah menyatakan bahwa seseorang yang mendapatkan rizgi tanpa susah payah, maka dia adalah pemberi rizgi bagi dirinya sendiri. Dan yang mendapatkannya tanpa susah payah, maka Allah SWT pemberi rizgi baginya.

 

Menurut ahlussunah wal jamaah, riggi (perkara yang diberikan sebagai rizgi), adalah sesuatu yang bermanfaat, meskipun haram. Sedangkan menurut Mu’tazilah, rizgi hanyalah sesuatu yang halal saja. Karena secara umum, rizgi disandarkan pada Allah SWT. Sesuatu yang disandarkan pada Allah SWT untuk kemanfaatan hamba-Nya, akan dianggap buruk jika berupa sesuatu yang haram yang akan berkonsekwensi siksa. Kita menyanggah pendapat Mu’tazilah ini, bahwa tidak ada hal buruk bagi-Nya, Dia melakukan apapun yang Dia kehendaki. Disiksanya seorang hamba dikarenakan buruknya upaya (asbab) yang dilakukannya dalam mendapatkan rizgi.

 

Konskuensi pendapat Murtazilah ini, akan timbul pemahaman, bahwa orang yang sepanjang hidupnya hanya memakan harta haram, maka ia tidak diberikan rizqi oleh Allah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT.:

 

Dan tidak ada satupun mekbluk melata di muka bumi melainkan Allab-lah yang memberi rezkinya (QS. Hud: 6)

 

Dimana dalam hal ini Allah SWT tidak akan menelantarkan sesuatu yang telah Dia khabarkan menjadi tanggungan-Nya, seperti rigi, meskipun sebagai anugrah”.

 

Dalam kekuasaan-Nya lah petunjuk dan penyesatan. (Keduanya) adalah menciptakan kemauan menerima petunjuk, dan kesesatan.

 

Pendapat terpilih, bahwa luthfu (kasih sayang) adalah menciptakan kemampuan melakukan ketaatan. (Dan definisi) taufiq juga demikian, sedangkan khadzlan adalah kebalikannya.

 

Al-khatmu, ath-thab’u, al-akinnah, dan iqfal adalah menciptakan kesesatan dalam hati.

 

Hakikat-hakikat (sesuatu yang mungkin wujudnya) itu diciptakan, menurut versi ashah. Dan silang pendapat sekedar retorika lafadz.

 

PETUNJUK DAN PENYESATAN

 

Allah SWT adalah dzat yang berkuasa memberi hidayah (petunjuk) dan idhlal (penyesatan). Hidayah adalah menciptakan kemauan menerima petunjuk, yaitu keimanan, sedangkan idhlal adalah menciptakan kesesatan, yaitu kekafiran. Allah SWT berfirman:

 

“Dan kalau Allah menghendaki, niseaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja),” tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikebendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya”.

 

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), nisesya disesatkanNya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niseaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus”.

 

Mu’tazilah menyatakan, bahwa kekuasaan hidayah dan idhlal di tangan seorang hamba. Dia bisa memberi petunjuk atau menyesatkan dirinya sendiri. Berpijak pada ucapan mereka bahwa hamba menciptakan. sendiri perbuatannya”.

 

LUTHF, TAUFIQ & KHIDZLAN

 

Menurut pendapat terpilih, pengertian luthf adalah menciptakan kemampuan untuk melakukan ketaatan. Baik berupa melakukan perkara yang diperintah (fi’lu al-mathlub), atau meninggalkan perkara maksiat (tarku al-ma’shiyah). Dan versi Jam’u al-Jawami’, adalah sesuatu yang di sisinya terjadi kebaikan hamba di akhirat di akhir hayatnya. Dalam arti, yang terjadi pada hamba di akhir hayatnya adalah ketaatan bukan kemaksiatan.

 

Sedangkan taufiq secara definisi sama dengan taufiq, menurut pendapat terpilih. Pendapat kedua, taufiq adalah menciptakan ketaatan itu sendiri pada seorang hamba.

 

Kemudian khidzlan (penghinaan) adalah kebalikan dari luthf, yakni menciptakan kemampuan untuk melakukan kemaksiatan, ini menurut pendapat pertama. Pendapat kedua, khidzlan adalah menciptakan kemaksiatan itu sendiri”.

 

AL-KHATMU ATH-THAB’U AL-AKINNAH DAN IQFAL

 

Sedangkan al-khatmu, ath-thab’u, al-akinnah, dan iqfal adalah tiga ungkapan semakna, yakni menciptakan kesesatan (kekafiran) dalam hati hamba. Ketiga lafadh ini terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut:

 

“Allah tela mengunci-mati hati mereka”

 

“Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya”

 

“Kami telah meletakkan tutup di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya”

 

“Ataukah hati mereka terkunci?”

 

Kelompok Mu’tazilah menta’wil lafadz-lafadz tersebut dengan penafsiran yang tidak sesuai dengan ayat yang memuatnya, seperti keterangan dalam kitab-kitab tafsir dan ilmu kalam”,

 

HAKIKAT-HAKIKAT SESUAT YANG MUNGKIN WUJUD

 

Menurut pendapat ashah, hakikat-hakikat atau beberapa esensi yang mungkin wujud adalah diciptakan. Yakni, bahwa setiap esensi eksis karena dijadikan oleh yang menjadikan. Ketentuan ini berlaku secara mutlak, baik hakikat yang basithah (simpel, tunggal) maupun hakikat yang murakkabah (kompleks, tersusun).

 

Pendapat kedua, bahwa hakikat-hakikat itu tidak diciptakan, baik murakkabah atau basithah. Artinya, bahwa hakikat-hakikat yang mumkinat, tetap dengan sendirinya (dzatiyah), tidak membutuhkan adanya afsar (pengaruh) dari pelaku.

 

Pendapat ketiga, bahwa hakikat-hakikat itu diciptakan jika berupa hakikat murakkabah (yang tersusun, kompleks). Karena syarat sesuatu yang dijadikan (majulah) adalah butuh pada sentuhan atsar, dan “kebutuhan” ini merupakan ciri sesuatu yang mungkin wujud. Hal semacam ini tidak wda dalam basithah. Di sisi lain, “menjadikan” adalah proses yang terjadi dalam sebuah nisbat (penyandaran), yang hanya ditemukan dalam dua unsur. Dan basithah tidak terbangun dari dua unsur, sehingga proses “menjadikan” tidak berlaku.

 

Namun silang pendapat ini menurut pengarang hanya sekedar retorika lafadz. Karena versi ashah menghendaki maksud “menjadikan adalah terkait dengan perwujudan esensi yang mungkin wujud, bukan sebagai dzat. Versi kedua menghendaki esensi yang mungkin wujud dari aspek dzat-nya. Dan versi ketiga menghendaki maksud “menjadikan” adalah menyusun”.

 

Allah SWT mengutus para rasul-Nya dengan membawa mukjizat. Dan Allah SWT mengistimewakan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau adalah penutup para nabi yang diutus untuk seluruh makhluk dan diutamakan atas mereka. Kemudian (setelah Beliau), para nabi, kemudian para malaikat tertentu.

 

Mu’jizat adalah sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan, dan dibarengi tantangan, tanpa ada tandingan.

 

PENGTUSAN PARA RASUL DAN MAKHLUK PALING UTAMA

 

Termasuk di antara hal-hal yang wajib diyakini adalah terutusnya para rasul, dengan diperkuat mukjizat yang unggul (menang).

 

Tentang jumlah para rasul, Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Abu Umamah secara marfu’, bahwa jumlah nabi adalah 124 ribu orang, dan jumlah rasul di antara mereka 313 orang.

 

Imam Abu Ya’la meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad diaif, dari Anas RA, secara myarfu’, bahwa Allah SWT mengutus 8.000 orang nabi, 4.000 orang diutus pada Bani Israil, selebihnya pada kaum-kaum lainnya,

 

Dan Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam mendapat beberapa keistimewaan, di antaranya:

 

  1. Bahwa beliau adalah penutup para nabi. Allah SWT berfirman:

 

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. (QS. Al-Ahzab: 40)

 

  1. Bahwa beliau diutus pada selurah makhluk. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW. bersabda:

 

Dan aku diutus untuk makbluk, secara keseluruhan (HR. Muslim)

 

“Makhluk” dalam hadits ini ditafsiri dengan manusia dan jin. Kemudian firman Allah SWT:

 

Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang Al-Qur’an sampai (kepadanya).

 

“Orang-orang yang Al-Qur’an sampai kepadanya” dalam ayat ini ditafsiri dengan manusia dan jin. Dan firman Allah SWT:

 

Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furgaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam

 

‘Seluruh alam’ dalam ayat ini juga ditafsiri dengan manusia dan jin. Selanjutnya, Imam Al-Halimiy dan Al-Baihagi tegas menyatakan bahwa Nabi SAW tidak diutus pada malaikat. Dalam kitab tafsir Imam Ar-Razi (Mafatih al-Ghaib) dan An-Nasafi (At-Taysir) diriwayatkan adanya ijma” ulama tentang hal ini Namun sebagian ulama mengutip keterangan dari Tafsir Ar-Razi, bahwa Nabi SAW diutus untuk malaikat. Sepertinya ulama ini mengutip dari salah satu redaksi Tafsir Ar-Razi yang memang ditemukan berbeda-beda.

 

  1. Bahwa beliau adalah yang paling utama di antara seluruh makhluk, meliputi para nabi, para malaikat, dan selain keduanya.

 

Selanjutnya, terkait derajat keutamaan para makhluk, maka setelah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, derajat keutamaan berikutnya adalah para nabi, baik yang menjadi rasul maupun yang tidak, kemudian malaikat khusus (yang terutus), manusia pilihan selain nabi (atqiya’ dan awliya’), dan malaikat biasa. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa malaikat khusus lebih utama dibanding manusia pilihan selain nabi, dan manusia pilihan selain nabi lebih utama dibanding malaikat biasa. Dalam sebuah hadits,

 

Seorang mukmin lebih mulia di hadapan Allah azza wa jalla dibanding sebagian malaikat-Nya

 

Selanjutnya, As-Suyuthi memerinci peringkat keutamaan para nabi dan rasul, sebagai berikut:

 

  1. Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wasallam.
  2. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
  3. abi Musa ‘alaihissalam.
  4. abi Isa ‘alaihissalam.
  5. abi Nuh ‘alaihissalam.

 

Kelima nabi di atas termasuk dalam ulul azmi, yakni para nabi yang memiliki kesungguhan yang sangat.

 

  1. Rasul-rasul yang lain.
  2. Nabi-nabi yang lain”.

 

TENTANG MU’JIZAT

 

Mu’jizat adalah sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan, dan dibarengi tantangan (tahaddi), tanpa tandingan. Berikut penjelasan dan pengecualian dari definisi:

 

  1. Maksud “menyimpang dari kebiasaan”, adalah muncul tidak sesuai dengan kebiasaan. Seperti menghidupkan orang mati, memusnahkan gunung, dan. mengucurnya air dari sela-sela jari jemari. Mengecualikan sesuatu yang tidak menyimpang dan telah biasa, seperti terbitnya matahari setiap hari.

 

  1. Maksud ‘tantangan’ adalah meminta orang lain mendatangkan hal serupa dengan apa yang mereka bawa, meskipun dengan isyarat. Seperti, pengakuan sebagai utusan Tuhan, dimana hal ini mencukupi sebagai pengganti bahasa ‘tantangan” secara terang-terangan.

 

Mengecualikan sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan tanpa dibarengi tantangan, seperti karamah para wali.

 

  1. Dari kata-kata “dibarengi tantangan’, mengecualikan sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan, namun terjadi sebelum menyampaikan tantangan, seperti mendung yang menaungi Rasulullah sebelum diangkat menjadi nabi, maka semacam ini disebut irhish. Atau terjadi setelah menyampaikan tantangan, seperti khabar Nabi SAW tentang korban perang Uhud sebelum waktu perang meletus.

 

  1. Dari kata-kata “tanpa tandingan’, dikecualikan sihir dan sya’badgah (sulap) yang dapat ditandingi oleh siapapun.

 

Iman adalah pembenaran hati. Dan disyaratkan dalamnya pengucapan dua kalimat syahadat dari orang yang mampu. (Dan pengucapan tersebut) merupakan syarat keimanan, bukan bagian dari keimanan.

 

Islam mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan dalam Islam disyaratkan adanya keimanan.

 

Ihsan adalah engkau menyembah Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu seakan-akan melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

 

IMAN DAN SYARAT-SYARNYA

 

Pengertian iman ditinjau dari sudut bahasa adalah tashdiq (pembenaran). Sedangkan ditinjau dari sudut syara? adalah:

 

Pembenaran hati terhadap segala sesuatu yang diketahui dibawa oleh Rasul secara dlaruriy.

 

Berikut ini penjelasan definisi di atas:

 

  1. Maksud ‘pembenaran hati’ adalah tunduk dan menerima. Setiap manusia dituntut untuk beriman, artinya dituntut untuk tunduk dan menerima. Realisasi tuntutan untuk tunduk dan menerima, meskipun hal ini termasuk hal-hal yang berhubungan dengan hati, bukan perbuatan yang bisa diusahakan, adalah dengan menuntut sabab-sabab-nya, seperti memasukkan dalam hati, memaksimalkan analisa, dan mengoperasikan panca indra.

 

  1. Maksud “segala sesuatu yang diketahui dibawa Rasul secara dlaruri adalah seperti tauhid, kenabian, dan kewajiban shalat. Mengecualikan sesuatu yang diketahui tidak secara dlaruri, seperti beberapa permasalahan ijtihadi.

 

Ulama kalangan kita menyatakan, bahwa agar terlepas dari tuntutan (taklif) untuk beriman, disyaratkan mengucapkan dua kalimat syahadat bagi orang yang mampu mengucapkannya”. Karena pengucapan ini menjadi petunjuk bagi kita atas pembenaran yang terpendam dalam hati. Sampai-sampai orang munafik dapat disebut mukmin menurut kita, kafir menurut Allah SWT. Firman Allah SWT,

 

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka

 

Sehingga iman tidak terwujud tanpa terkumpulnya hati dan ucapan, karena ucapan juga diperintahkan sebagaimana keyakinan. Allah SWT berfirman:

 

Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah “(OS . Al-Baqarah: 136)

 

Berdasarkan pendapat masyhur, apakah berucap syahadat merupakan syarat iman ataukah bagian dari iman? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.

 

  1. Pendapat pertama, bahwa berucap syahadat merupakan syarat iman. Dalam arti, menjadi syarat diberlakukannya hukum-hukum mukmin secara duniawi, berupa waris mewaris, pernikahan dan hokum lainnya. Pendapat ini dipedomani oleh jumhur muhaggigin

 

  1. Pendapat kedua, bahwa berucap syahadat merupakan bagian dari iman. Dalam arti, bagian dari iman dan rukun dalam iman.

 

Sehingga seseorang yang membenarkan dalam hati dan belum mengucapkan syahadat, padahal ada kesempatan, serta tidak ada tuntutan untuk mengucapkannya, maka menurut pendapat pertama dia berstatus mukmin di hadapan Allah SWT, dan bukan mukmin menurut pendapat kedua. Hal tersebut adalah dhahir dari statemen Imam Al-Ghazali, mengikuti dhahir statemen gurunya, Imam Haramain”,

 

ISLAM DAN SYARAT-SYARATNYA

 

Sedangkan Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat bagi orang yang mampu melafadzkannya. Menurut versi Jam’u Al-Jawami’, Islam adalah amal-amal ketaatan dari anggota badan, seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, dan zakat. Mengacu pada dhahir hadits :

 

(Islam yaitu) engkan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, dan engkan mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu meniti jalan ke sana. (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Islam dalam hadits ini diarahkan oleh Muhaggigin pada hukum-hukum syariat di dalamnya, atau pada Islam yang sempurna.

 

Kemudian agar terlepas dari tuntutan Islam, disyaratkan adanya keimanan. Islam tidak diperhitungkan tanpa iman, sebagaimana iman tidak diperhitungkan tanpa Islam”.

 

DEFINISI IHSAN

 

Sedangkan ihsan adalah beribadah kepada Allah SWT seakan-akan melihat-Nya, jika tidak mampu demikian, maka dengan merasakan bahwa Dia melihat hamba-hamba-Nya. Dalam arti, seorang hamba sebaiknya solah tingkahnya, manakala dia tidak dapat melihat Allah SWT, seolah-olah sama seperti dapat melihat-Nya. Karena dalam dua keadaan ini, Allah SWT selalu memantau dirinya.

 

Ke-fasiq-an tidak menghilangkan keimanan. Orang yang mati dalam keadaan beriman tetapi fasig, berada dalam kehendak Allah.

 

Adakalanya dia disiksa kemudian dimasukkan sorga, adakalanya dia diberi kemurahan.

 

IMAN BERSAMA KEFASIKAN

 

Menurut ahlussunah, kefasikan, yakni melakukan dosa dnea besar, tidak menghilangkan keimanan. Pelakunya disebut mukmin yang bermaksiat. Berbeda halnya dengan pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa perbuatan dosa besar dapat menghilangkan keimanan. Yakni bahwa seorang yang telah beriman kemudian melakukan perbuatan dosa besar, maka ia berada di antara kekufuran dan keimanan. Mereka menyangka bahwa amal merupakan bagian dari iman, berdasar firman Allah SWT,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…… Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenarbenarnya”

 

Dan HR. Bukhari,

 

Saat berbua tidaklah seorang pezina Melakukan zina, dalam keadaan (sempurna) imannya

 

Namun argumentasi tersebut disangkal, dengan bentuk kompromi dua dalil, bahwa maksud iman dalam ayat adalah kesempurnaannya. Sedangkan maksud dalam hadits adalah memberatkan ancaman, sehingga makna adalah keimanan yang sempurna disertai syarat-syaratnya, sempurna dengan wara-nya (wira’i) dan rasa takut pada Allah SWT. Bahkan j juga bertentangan dengan HR. Bukhari,

 

Jibril AS mendatangiku, dia memberi kabar gembira  padaku, bahwa barangsiapa mati dari umatku, dia tidak menyekutukan Allah SWT sedikitpun, maka masuk surga. (Aku bertanya), meskipun berzina dan mencuri. Jawabnya “Ya meskipun bergina dan mencuri”,

 

Sedangkan orang yang mati dalam keadaan beriman dan fasik, karena belum sempat bertaubat, berada dalam kehendak Allah SWT. Dalam arti, tidak dipastikan akan diampuni atau disiksa. Adakalanya dia disiksa kemudian dimasukkan surga, adakalanya dia diberi kemurahan sama sekali tidak masuk neraka. Hal ini atas anugrah dari Allah SWT semata, atau anugrah disertai syafa’at Nabi Muhammad SAW atau syafa’at seseorang yang dikehendaki Allah SWT. Dalam sebuah hadits,

 

“Para Nabi, ulama, kemudian syuhada’ kelak akan memberi syafa’at di hari keramat”.

 

Sedangkan Mu’tazilah menyangka bahwa orang beriman yang mati dalam keadaan fasik tersebut akan kekal di neraka. Mereka tidak boleh diampuni dan diberikan syafa’at. Berdasarkan firman Allah SWT,

 

“Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya”.

 

Namun hal ini disangkal, bahwa kandungan ayat ini khusus diperuntukkan bagi orang kafir, dalam rangka mengkompromikan beberapa dalil”.

 

TENTANG SYAFA’AT

 

Pemberi syafa’at pertama dan yang utama di hari kiamat adalah Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam. Nabi SAW adalah pembuka pintu syafa’at bagi yang lain. Rasul bersabda:

 

Aku adalah orang pertama yang memberi syyaa’at dan orang pertama yang diterima syafa’atnya. (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Dan juga karena Nabi SAW lebih mulia di sisi Allah SWT dibandingkan seluruh alam. Kemudian, Rasulullah SAW memiliki 5 macam syafa’at.

 

  1. Pertama, yang paling agung (syafa’at udhma), syafa’at dalam mempereepat hisab, dan memudahkan dari kesulitan lamanya penantian. Syafa’at ini hanya terkhusus bagi Rasullullah SAW. Dalil yang menunjukkan adalah ayat berikut,

 

“(Mudah-mudahan Tuban-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”

 

Para pakar tafsir menyampaikan bahwa maksud “tempat terpuji” adalah derajat syafa’at ‘udhmya (agung).

 

  1. Kedua, syafa’at dalam memasukkan surga tanpa hisab. Menurut Imam An-Nawawi, syafa’at ini hanya bisa diberikan oleh Rasullullah SAW. Sebagian ulama masih belum memastikan kekhususannya bagi Nabi SAW.

 

  1. Ketiga, syafa’at dalam memasukkan surga untuk orang-orang yang seharusnya masuk nerakka. Syafa’at ini selain diberikan oleh Rasullullah SAW, juga bisa diberikan oleh para nabi lainnya, para malaikat dan orang-orang mukmin.

 

  1. Keempat, syafa’at dalam mengeluarkan orang-orang beriman yang telah dimasukkan neraka. Syafa’at ini selain diberikan oleh Rasulullah SAW, juga bisa diberikan oleh para nabi lainnya, para malaikat dan orang-orang mukmin.

 

  1. Kelima, syafa’at dalam menambah derajat orang yang masuk surga. Imam An-Nawawi mengajukan kemungkinan bahwa syafa’at ini hanya bisa diberikan oleh Rasullullah SAW”.

 

Seseorang tidak akan mati kecuali ajalnya telah tiba. Ruh masih tetap ada setelah matinya badan. Pendapat shah, ruh selamanya tidak akan binasa, seperti tulang ekor.

 

Hakikat ruh, Nabi kita Muhammad SAW tidak berkomentar. Maka kita menahan diri dari pembahasan tentang hal ini.

 

KEMATIAN DAN KEBINASAAN RUH

 

Seseorang tidak akan mati kecuali ajalnya telah tiba. Ajal adalah waktu yang dicatat oleh Allah sejak agaliy sebagai batas akhir hidupnya, baik dengan dibunuh atau selainnya.

 

Dalam hal ini Alah SWT telah menggariskan ajal hamba-hambaNya tanpa ragu-ragu. Dan bahwa ajal tersebut tidak dapat dimundurkan atau diajukan barang sesaat. Allah SWT berfirman,

 

Maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya (QS. Ak-A’raf : 34)

 

Banyak ulama Mu’tazilah menyangka bahwa orang yang dibunuh berarti ajalnya telah diputus oleh si pembunuh, andai ia tidak dibunuh, pastilah akan hidup lebih lama lagi. Berdasar HR. Bukhari,

 

“Barang siapa Ingin ngginya dlapangkan dan ditambahi ajalnya, maka bendaklah dia menyambung tali silaturrahim”

 

Hal ini disangkal, tidak bisa diterima bahwa maksud ‘atsar’ adalah ajal. Dan seandainya diterima, hadits tersebut bersifat dhanniy, karena termasuk hadits ahad yang tidak bisa menentang dalil gath’iy dalam ayat di atas. Di sisi lain, “tambahan’ dalam hadits tersebut ditafsiri waktu yang berkah untuk menjalankan ketaatan”,

 

EKSISTENSI RUH

 

Ruh atau jiwa masih tetap ada setelah matinya badan, baik mendapatkan nikmat atau siksa. Berdasar firman Allah SWT,

 

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gagur di “jalan Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat regki. (QS. Ali Imran : 169)

 

Selanjutnya menurut pendapat ashah, ruh tidak akan binasa selamanya. Karena hukum asal bahwa ruh tetap ada setelah mati” adalah berlanjut, sampai ada faktor yang mengalihkan dari hukum asal ini.

 

Pendapat lain menyatakan ruh akan binasa manakala sangkakala ditiup pertama kali, seperti makhluk yang lain. Berdasar dhahir dari firman Allah SWT,

 

Semua yang ada di bumi itu akan bisa binasa, (QS. Ar-Rahman : 26)

 

Termasuk yang diperselisihkan adalah persoalan ‘ajb ad-dzanbi (tulang ekor). Yaitu tulang yang berada di bawah tulang rusuk, dan posisinya mirip dengan pangkal ekor binatang berkaki empat. Menurut pendapat ashah, tulang ekor tidak akan hancur selamanya Berdasar hadits,

 

Tidak ada sesuatupun dari diri manusia melainkan akan binasa, bea satu tulang, yakni tulang ekor. Darinya akan tersusun makhluk di bari kiamat. (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Pendapat lain yang dishahihkan Imam Al Muzani menyatakan tulang ekor akan hancur. Dan Al-Muzani men-ta’wil hadis di atas, bahwa memang benar tulang ekor tidak akan hancur dengan tanah, akan tetapi akan hancur dengan selain tanah. Sebagaimana Allah SWT membuat malaikat mant mati dengan tanpa malaikat maut”,

 

HAKIKAT RUH

 

Hakikat ruh tidak pernah dikomentari oleh Nabi Muhammad SAW, meskipun pernah ditanyai. Karena tidak pernah turun perintah untuk menjelaskan Firman Allah SWT, :

 

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-lsra” 85)

 

Maka seharusnya kita sebagai umat menahan diri dari pembahasan tentang hakikat ruh, dan tidak menyebutnya melebihi bahwasanya ruh itu ada dan tereipta oleh Allah SWT, sebagaimana dianjurkan oleh Syaikh Al-Junaid dan yang lain.

 

Sedangkan kelompok kedua, yakni mereka yang membahas hakikat ruh, tidak terlepas dari silang pendapat hingga mencapai kisaran seratus versi.

 

  1. Mayoritas ulama’ mutakallimin menyatakan bahwa ruh adalah jisim (materi) yang halus, yang berbaur dengan badan, sebagaimana berbaurnya air dengan kayu hijau. Pendapat ini dinukil Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim dari tashhih Ashhab As-Syaffi’i, termasuk Imam Haramain. Versi ini berhujjah dengan beberapa hadits yang menyebutkan sifat ruh dengan bertiup, naik, berkeliling di alam Barzakh, dimana hal ini memperkuat statusnya sebagai jisim.

 

  1. Banyak dari ulama’ mutakallimin menyatakan bahwa ruh adalah ‘aradl (sifat) yakni kehidupan yang dengan wujudnya badan menjadi hidup.

 

  1. Golongan filosof dan shufiyyah menyatakan bahwa ruh bukanlah jisim, bukan pula aradl, akan tetapi ruh adalah jauhar (bagian terkecil dari benda) yang menyendiri yang berdiri sendiri, tidak mengambil ruang, berhubungan dengan badan dengan pengaturan dan penggerakan, akan tetapi tidak masuk dalam badan, juga tidak keluar darinya”.

 

Karamah para wali adalah (benar adanya), Dan karamah para wali terbatasi dengan selain semisal anak tanpa bapak. Berbeda dengan pendapat Imam Al Qusyairi,

 

KERAMAT PARA WALI

 

Karamah adalah perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan datang dari seorang wali (kekasih Allah SWT) tanpa disertai pengakuan menjadi nabi. Para wali adalah mereka yang mengetahui secara makrifat pada Allah SWT dan sifat-sifat-Nya dan konsisten menjalankan ketaatan, menjauhi kemaksiatan, serta hati mereka berpaling dari terlarut dalam keenakan dan kesenangan.

 

Karamah dari para wali adalah kebenaran. Dalam arti boleh dan diakui keberadaannya, meskipun dengan usaha dan permohonan mereka. Contoh-contohnya sangat banyak, di antaranya,

 

  1. Kembali mengalirnya Sungai Nil setelah Khalifah Umar bin Khaththab RA menyuratinya”.

 

  1. Khalifah Umar bin Khaththab yang dapat melihat pasukan kaum muslimin yang berada di Nahawand, sementara beliau berada di atas mimbar di kota Madinah. Sampai beliau berkata kepada pimpinan pasukan yang bernama Sariyah ibn Zunaim ibn Abdillah Ad-Dw’ali, “Wahai Sariyah, merapat ke bukit…merapat ke bukit !”, memperingatkannya dari taktik musuh di balik bukit. Dan Sariyah mendengar itu semua, padahal jarak antara keduanya sangat jauh”,

 

Selanjutnya tentang batasan khariqul adat (sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan) yang bisa menjadi karamah bagi wali, ada beberapa pendapat:

 

1, Pendapat pertama, sesuatu yang bisa menjadi mukjizat bagi nabi, bisa menjadi karamah bagi wali. Tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali ada tidaknya pengakuan sebagai utusan Allah. Pendapat ini didukung mayoritas ulama’.

 

  1. Pendapat kedua, dari Imam Al-Qusyairi membatasi bentuk karamah yakni segala bentuk khatiqul ‘adat asalkan tidak sampai pada bentuk seperti kelahiran anak tanpa orang tua (yakni mukjizat Nabi Isa AS), mengubah benda mati menjadi hewan (seperti batu menjadi unta, mukjizat Nabi Sholeh AS, tongkat menjadi ular, mukjizat Nabi Musa AS). Pendapat ini meskipun didukung oleh Imam ‘Tajuddin As-Subuki, namun berseberangan dengan Jumhur. Dan Jumhur menentang pemilik pendapat ini. Hingga putranya sendiri, Imam Abu An-Nashr dalam kitabnya, Al-Mursyid. Bahkan Imam An-Nawawi mengatakan, bahwa hal itu kesalahan pemilik pendapat, dan pengingkaran atas fakta yang dapat disaksikan.

 

  1. Al-Ustadz Abu Ishag Al-Isfirayini membatasi bentuk karamah: setiap sesuatu yang diperkirakan bisa menjadi mukjizat bagi nabi, maka tidak mungkin tampak hal yang sama sebagai karamah wali. Menurutnya, karamah hanya sebatas terkabulkannya doa, atau terpenuhinya kebutuhan air di hutan yang umumnya tak ada harapan menemukannya, atau yang semisalnya, dari bentuk-bentuk di bawah level kharigul ‘adat. Pendapat ini hampir-hampir menafikan karamah”.

 

Kita tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat, menurut pendapat terpilih.

 

Kita meyakini bahwa siksa kubur, pertanyaan dua malaikat, dan kembalinya jisim (materi) (adalah kebenaran), yakni penciptaan setelah kemusnahan, atau pengumpulan setelah terpisah-pisah. Dan pendapat yang benar adalah menangguhkan. Dan bahwa hasyr (pengumpulan makhluk), shirath (titian) dan mizan (timbangan amal) adalah haq (benar adanya).

 

Surga dan neraka telah diciptakan keduanya

 

TIDAK MENGKAFIRKAN AHLI KIBLAT

 

Menurut pendapat terpilih, kita kalangan ahlussunnah, tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat, sebab bid’ah yang dilakukannya, sebagaimana pengingkar sifat-sifat Allah SWT, pengingkar bahwa Allah SWT menciptakan perbuatan hamba hamba Nya, dan dapat dilihat kelak di hari kiamat. Karena adanya kemiripan (syubhat) penafsiran, meskipun lemah. Kecuali disertai perkara yang jelas menjadikan kafir, yang tidak memiliki celah selainnya. Sebagian kalangan kita menghukumi kafir mereka. Namun pendapat ini disangkal, bahwa mengingkari sifat bukanlah pengingkaran atas perkara yang disifati. Dan pendapat ini berstatus lemah.

 

Sedangkan apabila bidah yang dilakukan telah menjadikannya keluar dari ahli kiblat, maka tak ada perselisihan lagi tentang status kufurnya. Karena mereka mengingkari sebagian perkara yang secara dharuri (pasti) diketahui telah dibawa oleh Rasul, meskipun mereka melaksanakan shalat dan berpuasa Ramadhan. Di antara bid’ah yang mengeluarkan dari ahli kiblat antara lain:

 

  1. Mengingkari bahwa alam adalah baru
  2. Mengingkari kebangkitan dari kubur
  3. Mengingkari berkumpulnya jisim (materi).
  4. Mengingkari bahwa Allah Maha Mengetahui hal-hal yang terperinci (juz’iyyat) “

 

SIKSA KUBUR DAN PERTANYAAN DUA MALAIKAT

 

Di antara perkara yang wajib diyakini menurut ahlussunnah adalah bahwasanya siksa kubur adalah haq (benar adanya). Diperuntukkan bagi orang kafir dan fasik yang dikehendaki disiksa. Yakni dengan cara ruh dikembalikan ke jasad, atau sisa dari jasad. Berdasar HR. Bukhari Muslim,

 

Siksa kubur adalah hag (benar adanya). (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Bahwasanya Nabi SAW melewati dua kuburan, dan Beliau bersabda: “Dua penghuni kubur itu sungguh keduanya disiksa”.

 

Termasuk yang wajib diyakini adalah bahwasanya pertanyaan dua malaikat, Munkar dan Nakir adalah haq (benar adanya). Yakni setelah ruh orang yang dikubur dikembalikan”, dua malaikat tersebut akan menanyainya tentang tiga hal, Tuhannya, agamanya, dan Nabinya. Dan dia akan menjawab sesuai dengan keyakinan terakhir saat meninggal dunia, berupa iman atau kafir. Berdasar HR. Bukhari-Muslim:

 

Bahwa seorang hamba ketika diletakkan di kuburnya, dan sahabat-sahabatnya telah berpaling, maka dua malaikat akan mendatanginya. Kemudian keduanya mendudukkannya dan berkata kepadanya, “Apa yang kamu katakan tentang nabi Muhammad S.AW?…….dan seterusnya.

 

Dan HR. Abu Dawud;

 

Kedua malaikat itu mengatakan kepadanya “Siapa Tuhanmu, apa agamamu, dan siapa laki-laki ini yang diutus di tengah-tengah kamu?”. Kemudian orang mukmin menjawab, “Tuhanku adalah Allah, Agamaku Islam, dan laki-laki yang diutus adalah Rasulullah”. Dan orang kafir dalam tiga pertanyaan itu menjawab, “Aku tidak tahu”.

 

PENGEMBALIAN JISIM

 

Kembalinya jisim (materi) menurut ahlussunah adalah hag (benar adanya), dan wajib diyakini. Dan mengenai definisi “pengembalian jisim” di kalangan ahlussunnah.

 

  1. Pendapat pertama, “pengembalian jisim” adalah menciptakan bagianbagian jisim yang asli dan sifat-sifat di dalamnya, setelah sebelumnya mengalami kemusnahan (fana).

 

  1. Pendapat kedua, “pengembalian jisim” adalah mengumpulkan jisim setelah terpisah-pisah, disertai pengembalian ruh.

 

  1. Pendapat ketiga, sebagai pendapat yang benar, adalah menangguhkan. Karena tidak ada dalil naqli yang memastikan salah satunya.

 

Semua ini berdasar firman Allah SWT,

 

Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya.

 

Sebagaimana Kami telah memulai Panciptaan pertama begitulah Kami akan mengembalikannya.

 

Kaum filosof mengingkari pengembalian jisim. Mereka mengatakan, bahwa yang dikembalikan hanyalah ruh. Dalam arti, setelah kematian badan, ruh dikembalikan pada keadaan asalnya, yakni terlepas dari materi penyusun, dengan merasakan kesempurnaan, atau merasa sakit atas kekurangan. Hal ini termasuk salah satu penyebab mereka karir.

 

HASYR, SHIRATH, DAN MIZAN

 

Hasyr adalah dikumpulkannya makhluk untuk diadili dan dihisab setelah dihidupkan lagi yang didahului kebinasaan mereka. Menurut ahlussunah, hasyr adalah haq (benar adanya) dan wajib diyakini. Berdasar firman Allah SWT,

 

Dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka. (QS. Al-Kahfi: 47)

 

Dan HR. Bukhari-Muslim,

 

Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat tanpa sandal, telanjang bulat dan tidak dikhitan.

 

Shirath (titian) adalah jembatan yang dibentangkan di atas neraka Jahannam, yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Semua makhluk akan melewatinya. Ahli surga akan dapat melaluinya. Ahli neraka akan terpeleset telapak kakinya. Beberapa hadits shahih yang menerangkan di antaranya,

 

Titian dipasang di atas neraka Jahanam

 

Sedangkan mizan (timbangan amal), adalah jisim (materi) yang terlihat menyerupai timbangan di dunia, dan memiliki lisan (penunjuk keseimbangan timbangan) dan dua piringan, satu untuk amal baik terbuat dari cahaya, satu untuk amal jelek terbuat dari kegelapan. Berfungsi untuk mengetahui kadar amal perbuatan, dengan cara catatan amal ditimbang, atau amal-amal ditimbang setelah berubah berujud jisim (materi). Mizan adalah haq (benar adanya) dan wajib diyakini. Allah SWT berfirman:

 

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. (QS. Al-Anbiya’ 47)

 

Dan HR. Baihagi: ,

 

“Anak cucu Adam didatangkan di hari kiamat, dan ditampatkan di depan dua piringan mizan”

 

SURGA DAN NERAKA TELAH TEREIPTA

 

Madzhab ahlussunnah menyatakan bahwa sorga dan neraka saat ini telah tereipta. Dalam arti, tereipta sebelum datangnya hari pembalasan. Beberapa nash syariat menjelaskannya, sebagai berikut:

 

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imron: 133)

 

Dan peliharalah dirimu dari Dak yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. (QS. Ali Imron: 131)

 

Dan juga kisah Nabi Adam alaihissalam dan Ibu Hawa’ yang ditempatkan di surga, dan dikeluarkan dari surga. Kaum Mu’tazilah menyangka bahwa surga dan neraka diciptakan pada hari kiamat yang merupakan hari pembalasan. Berdasar firman Allah SWT,

 

Negeri akhirat itu, Kami berikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.

 

Kalimat  menurut mereka berarti “akan kami ciptakan”, redaksi fi’il mudhari’ menunjukkan bahwa penciptaan surga adalah di masa depan, bukan saat ini. Namun hal ini disangkal, bahwa kalimat memiliki arti memberikan, bukan menciptakan, di samping itu masih berpeluang menunjukkan masa sekarang dan terus berlangsung”.

 

Dan wajib atas manusia untuk menegakkan pemimpin, meski bukan orang terbaik. Dan bisa kita tidak memperbolehkan keluar dari ketaatannya.

 

Dan tidak wajib atas Allah SWT sesuatu apapun.

 

NASHBUL IMAMAH

 

Wajib hukumnya atas manusia untuk menegakkan Imam, yakni pemimpin di bidang agama dan dunia sebagai pengganti Nabi SAW, meskipun bukan orang terbaik. Kepemimpinan merupakan sebuah keniseayaan. Pemimpin dalam sebuah komunitas, diperlukan untuk mengurusi kemaslahatan manusia, seperti membangun pertahanan, menata angkatan bersenjata, memberantas pemberontakan dan gangguan keamanan. Berdasar ijma’ shahabat setelah wafat Rasulullah SAW menjadikan penegakan kepemimpinan sebagai kewajiban terpenting, dan mendahulukannya dari penyemayaman jenazah Rasulullah SAW. Dan manusia dalam setiap dekade selalu demikian.

 

Tentang siapa yang harus memegang kepemimpinan? Maka pemimpin tidak harus yang terbaik, asal telah memenuhi persyaratan sebagai pemimpin. Karena kewajiban penegakan pemimpin telah tertunaikan dengan membaiat bukan orang terbaik sebagai pemimpin. Pendapat lain, harus memilih yang terbaik sebagai pemimpin.

 

Golongan Khawarij berpandangan bahwa penegakan pemimpin bukan merupakan kewajiban. Sebagian golongan mereka menyatakan, wajib ketika ada fitnah, tidak di saat negara sedang aman, sebagian lagi menyatakan sebaliknya. Sedangkan sekte Imamiyyah berpandangan bahwa penegakan pemimpin merupakan kewajiban Allah SWT, bukan kita.

 

KELUAR DARI TA’AT PADA IMAM

 

Kalangan Asy’ariyah menetapkan tidak boleh keluar dari ketaatan kepada Imam, dengan cara melanggar ketaatan, meskipun ja’ir (pemimpin dzalim). Berdasar firman Allah SWT,

 

Hai Orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu

 

Kalangan Mu’tazilah memeperbolehkan keluar dari ketaatan kepada Imam yang ja’ir. Karena dengan kedzalimannya, Imam ter-ma’zul-kan.

 

TIDAK ADA KEWAJIBAN APAPUN BAGI ALLAH

 

Secara akal, naql, maupun adat, tidak ada kewajiban apapun atas Allah SWT kepada hambaNya. Karena Allah SWT adalah pencipta makhluk, bagaimana mungkin Allah SWT wajib melakukan sesuatu yang menjadi hak para makhluk-Nya?, Dan seandainya Allah SWT wajib melakukan sesuatu, pastilah karena ada mujib (penuntut), padahal tidak ada penuntut selain Allah SWT. Juga tidak boleh kewajiban tersebut lantaran Allah SWT mewajibkan pada diri-Nya sendiri, karena secara akal tidak bisa diterima. Contoh seperti ayat,

 

Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang

 

Maksud ayat ini bukan dalam konteks mewajibkan, namun “dalam konteks memberi anugrah dan kebaikan. Dan “keharusan yang tersirat, muncul dari janji Allah SWT akan sesuatu. Dan Allah SWT tidak pernah ingkar pada janjiNya.

 

Mu’tazilah berpandangan bahwa secara akal Allah SWT wajib melakukan beberapa hal. Sebagian dari kewajiban Allah SWT adalah :

  1. Memberikan balasan pahala atas ketaatan, menjatuhkan siksaan atas kemaksiatan

 

  1. Memberikan kasih sayang (al-luthfu), yakni melakukan sesuatu terhadap hamba-Nya agar mereka dekat dengan ketaatan dan jauh dari kemaksiatan. Namun tidak sampai taraf memaksakan tanpa ada pilihan (ilja).

 

  1. Melakukan sesuatu yang paling maslahat dalam masalah agama dan dunia dari sisi hikmah dan pengaturan”,

 

Kita meyakini bahwa sebaik-baik umat setelah para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah Abu Bakar ash-Shiddig, lalu Umar bin Khaththab, lalu Utsman bin Affan, lalu Ali bin Abi Thalib, radhiyallah ‘anhum. Kita juga meyakini terbebasnya Aisyah RA (dari segala apa yang dituduhkan padanya). Dan kita menahan diri dari (komentar terhadap) apa yang terjadi di antara para shahabat, segta kita meyakini bahwa semuanya diberi pahala.

 

MANUSIA TERBAIK SETELAH PARA NABI

 

Di antara prinsip ahlussunnah adalah keyakinan bahwa manusia terbaik setelah para Nabi dan malaikat khusus, secara berurutan adalah:

  1. Abu Bakar ash-Shiddig radliyallahu anhu.
  2. Umar bin Khaththab radliyallahu anhu.
  3. Utsman bin Affan radliyallahu anhu.
  4. Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu.

 

Karena generasi salaf telah sepakat bulat atas terpilihnya mereka di sisi Allah SWT dengan urutan tersebut.

 

Sedangkan golongan Syiah dan kebanyakan Mur’tazilah berpandangan bahwa yang terbaik di antara umat setelah para nabi adalah Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu.

 

Selanjutnya, As-Suyuthi menambahkan dalam tata urutan keutamaan setelah empat shahabat di atas sebagai berikut:

 

  1. Enam orang yang tersisa dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga, yakni:

– Thalhah radliyallahu anhu.

– Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallahu anhu.

– Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail radhiyallahu anhu.

– Az-Zubair radhiyallahu anhu.

– Abdurrahman bin “Auf radliyallahu anhu.

– Abu “Ubaidah bin al-Jarrah radliyallahu anhu.

 

  1. Shahabat veteran Perang Badar yang berjumlah 313 orang shahabat. Termasuk di dalamnya, sepuluh orang yang terjamin surga.
  2. Shahabat veteran Perang Uhud.
  3. Shahabat peserta bai’atur-ridlwan di Hudaibiyyah.
  4. Shahabat Nabi SAW secara umum.
  5. Umat Muhammad SAW yang lain.

 

TERBEBASNYA AISYAH RA. DARI TUDUHAN KEJI

 

Di antara prinsip ahlussunnah adalah wajib meyakini terbebasnya Aisyah radliyallahu anha, putri shahabat Abu Bakar RA dari segala tuduhan keji yang dialamatkan padanya. Karena telah diturunkan ayat al-Qur’an yang membersihkan nama beliau. Allah SWT berfirman:

 

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu Juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bobong itu buruk bagi kamu babkan ia adalah   baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya siksa yang besar. (QS. An-Nur: 11)

 

Karenanya, barangsiapa melemparkan tuduhan keji (qadzf) pada beliau, berarti dia telah kufur, karena telah mendustakan ayat Al-Qur’an tersebut.

 

MENAHAN DIRI DARI KE JADIAN ANTAR SHAHABAT

 

Kita juga menahan diri dari memberikan komentar negatif terhadap apa yang terjadi di antara para shahabat, berupa peperangan di antara mereka, dan pertikaian berkepanjangan yang berujung pada terbunuhnya banyak shahabat di antara mereka. Maka darah yang tertumpah akibat pertikaian tersebut, adalah darah yang Allah SWT telah menyucikan tangan-tangan kita darinya, maka janganlah kita melumuri lisan-lisan kita dengan darah tersebut.

 

Dan kita juga meyakini bahwa semua shahabat diganjar pahala. Karena pertikaian dan peperangan tersebut muncul dari hasil ijtihad mereka dalam permasalahan dhanniyyah. Bagi mereka yang mendapati kebenaran, akan diganjar dua pahala. Dan bagi yang salah diganjar satu pahala”.

 

Dan (kita juga meyakini) bahwa para pemimpin madzhab empat, dan pemimpin kaum muslimin lainnya, mereka semua berada di bawah naungan petunjuk dari Tuhan mereka.

 

Dan (kita berkeyakinan) bahwa Imam Abu al-Hasan al-Asyariy adalah pemimpin dalam sunnah dan dikedepankan (dari selainnya). Dan bahwa jalan yang ditempuh Syaikh Al Junaid adalah jalan yang lurus.

 

IMAM KAUM MUSLIMIN DALAM NAUNGAN HIDAYAH

 

Kita meyakini bahwa pemimpin madzhab empat, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta imam-imam yang lain, seperti Imam Sufyan ats-Tsauriy, Imam Sufyan bin “Uyainah, Imam Al-Auza’iy, Imam Ishag bin Rahawaih, Imam Dawud adh-Dhahiriy, mereka semua berada di bawah naungan petunjuk dari Allah SWT. Baik dalam bidang akidah ataupun bidang-bidang lainnya. Dan tidak dipedulikan pihak yang mengkritik dengan hal-hal yang tidak ada pada mereka. Karena mereka telah diberi ilmu dan anugrah pemberian dari Allah SWT, kemampuan menggali hukum rumit, dan pengetahuan luas.

 

IMAM AL-ASY’ARI DAN IMAM JUNAID

 

Kita juga berkeyakinan bahwa Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, keturunan dari shahabat Abi Musa Al-Asyari adalah pemimpin dalam sunnah, yakni jalan keyakinan. Karena beliau yang memimpin penolakan terhadap kekeliruan penganut bid’ah, Mur’tazilah, dan kelompok lainnya. Kedudukannya lebih dikedepankan dari selainnya, seperti Abu Manshur al-Maturidiy. Dan tidak dipedulikan pihak yang mengkritik dengan hal-hal yang tidak ada pada beliau.

 

Kita juga berkeyakinan bahwa jalan yang ditempuh Syaikh Abu al-Oasim ibn Muhammad ibn Al-Junaid Al-Baghdadi, seorang pemimpin di kalangan shuffyyah dari aspek ilmu dan amal, adalah jalan yang lurus. Karena terlepas dari bid’ah, berkutat antara taslim (penerimaan utuh), dan tafwidh (penyerahan diri). Di antara perkataan Syaikh Al-Junaid adalah: “Jalan menuju Allah tertutup atas makhluk-Nya, kecuali atas orang-orang yang menganut jejak langkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Beliau menutupi kewaliannya (tasattur) dengan kemampuan mendalam tentang fiqh dan berfatwa dengan madzhab gurunya, Imam Abu Tsaur. Dan tidak dipedulikan pihak yang menuduh beliau dan pengikutnya sebagai zindig (menampakkan Islam, menyembunyikan kekafiran) di depan khalifah Abi Al-Fadhal Ja’far Al-Mugtadir”.

 

Termasuk di antara hal-hal yang tidak berbahaya jika tidak diketahui, dan mengetahunya akan berguna, adalah bahwa pendapat ashahh, sesungguhnya wujudnya sesuatu adalah sesuatu itu sendiri. Maka sesuatu yang ma’dim (tidak ada) bukanlah sesuatu apapun, bukan dzat, bukan pula sesuatu yang tetap. Begitu pula berpijak pada pendapat marjuh.

 

Dan (versi asha) nama adalah musamma (yang dinamai) itu sendiri. Dan bahwa nama-nama Allah ta’ala itu bersifat taufiqiyyah.

 

Dan bahwa seseorang boleh berucap: “Aku seorang mu’min, jika Allah menghendaki”, bukan karena ragu-ragu saat mengucapkannya.

 

HAL-HAL YANG SEBAIKNYA DIKETAHUI

 

Pembahasan berikut ini dan pembahasan-pembahasan setelahnya, adalah termasuk di antara hal-hal yang tidak membahayakan akidah jika tidak diketahui, namun akan berguna jika diketahui.

 

  1. Antara Sesuatu dan Wujudnya

Pendapat ashahh menyatakan, bahwa wujud sesuatu (baik wajib wujudnya maupun mungkin wujud) dalam kenyataan, adalah sesuatu itu sendiri. Pendapat kedua, wujud sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri. Dalam arti wujud tersebut bertempat pada sesuatu, ditinjau dari wujudnya sesuatu itu sendiri, tidak mempertimbangkan wujud dan tidak adanya. Pendapat ketiga, memilah, apabila sesuatu tersebut wajib wujudnya, maka wujud adalah sesuatu itu sendiri, dan apabila sesuatu tersebut mungkin wujudnya, maka wujud bukanlah sesuatu itu sendiri.

 

Berpijak pada pendapat ashahh, sesuatu yang ma’dum (tidak ada) dan mungkin terwujud, bukanlah sesuatu apapun, bukan dzat (materi), bukan pula tsabit (sesuatu yang tetap). Yakni bahwa ma’dim tidak memiliki hakikat atau esensi dalam kenyataannya, dan hanya bisa terealisasi sebab wujud dalam kenyataannya. Begitu pula jika berpijak pada pendapat marjuh (wujud sesuatu itu bukanlah sesuatu itu sendiri). Menurut kelompok Mu’tazilah, bahwa ma’dim adalah sesuatu, artinya sebuah hakikat yang tetap dalam kenyataan dan terlepas dari sifat wujud.

 

  1. Nama Adalah Musamma

Pendapat ashahh menyatakan, bahwa al-ism (nama) itu adalah musamma (yang dinamai) itu sendiri. Hal ini menurut Imam Al-Asy’ari berlaku dalam nama Allah SWT, dan menurut selain beliau berlaku mutlak. Pendapat lain menyatakan bahwa al-ism berbeda dengan musamma, sebagaimana sekilas paham. Seperti, bahwa lafadz “api” tentu berbeda dengan “api” itu sendiri.

 

  1. Nama-nama Allah SWT Adalah Taugifi

Dan bahwasanya nama-nama Allah itu taufiqiyyah, yakni merupakan pengajaran dogmatif dari syara”. Artinya, tidak boleh diucapkan sebuah nama yang merujuk pada Allah, kecuali ada tuntunan dari syara”.

 

Mu’tazilah berpandangan bahwa boleh-boleh saja mengucapkan sebuah nama yang merujuk pada Allah, asalkan makna dari nama-nama itu layak untuk-Nya, meski tidak ada tuntunan dari Syara” untuk mengucapkan nama itu.

 

  1. Mengucapkan, “Aku mukmin jika Allah menghendaki”

Seseorang boleh berucap: “Aku adalah seorang mukmin, jika Allah menghendaki”, meski dalam ucapan ini terdapat penggantungan (ta’liq) dengan “jika Allah SWT menghendaki”. Beberapa alasan diajukan untuk membenarkan pendapat ini:

 

– Karena khawatir dari su’ul khatimah (buruknya akhir hayat) yakni mati dalam keadaan kufur, yang mana su’ul khatimah tak diketahui oleh seorangpun. Naudza billah min dzalik.

– Menghindari tazkiyatun nafs (menganggap baik diri sendiri).

– Tabarruk (berharap berkah) dengan nama Allah SWT.

– Etika dalam menyerahkan segala urusan pada kehendak Allah SWT.

 

Kebolehan berucap semacam ini dipersyaratkan tidak adanya keragurapuan saat mengucapkan dalam keimanannya. Artinya, tetap mantap terus berlangsung sampai akhir hayat yang diharapkan husnul khatimahnya.

 

Imam Abi Hanifah dan ulama lain melarang ucapan ini, karena menimbulkan salah persepsi adanya keraguan dalam iman. Namun hal ini disangkal, bahwa timbulnya salah persepsi tidak serta merta menetapkan hukum dilarang, dan hanya sekedar menetapkan hukum khilaful aula. Karena yang lebih utama adalah mantap. Sebagaimana yang dimantapi Imam As-Sa’du At-Taftazani, seperti ulama lainnya.

 

Dan apabila seseorang mengucapkan hal tersebut benar-benar ragu-ragu dalam keimanan, maka ulama sepakat menghukumi kafir”,

 

Dan (menurut versi asbah) bahwa pemberian harta pada orang kafir adalah istidraj

 

Dan bahwa sesuatu yang ditunjuk dengan ungkapan “saya” adalah bentuk yang perasa dikhususkan.

 

Dan bahwa jawbar fardu (substansi tunggal) — yakni bagian yang tidak dapat terbagi lagi — adalah tetap adanya.

 

Dan bahwasanya tidak ada perantara, yakni tidak ada yang menengah-nengahi antara yang Wujud dan yang tidak wujud

 

Dan bahwasanya penisbatan-penisbatan dan penyandaran-penyandaran adalah hal-hal abstrak (i’tibariyyah)

 

Dan bahwasanya aradl (sifat) itu tidak dapat bertempat di ‘aradl yang lain. Dan bahwa sebuah ‘aradl tidak tetap dalam dua masa, dan tidak bertempat dalam dua tempat.

 

NIKMAT BAGI KAFIR

 

Pemberian harta dunia oleh Allah SWT pada orang kafir, adalah istidraj dari Allah SWT, bukan nikmat. Istidraj adalah menarik ke arah kebinasaan secara berangsur-angsur. Firman Allah SWT:

 

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui

 

Seorang kafir yang memiliki kekayaan melimpah, misalnya, merasa bahwa tidak ada yang salah pada dirinya, karena terbukti hidupnya nyaman. Akibatnya, si kafir akan terus-menerus menetapi kekafiran, ibarat madu beracun, sehingga siksanya di akhirat akan berlipat-lipat.

 

Sedangkan Mu’tazilah menyatakan bahwa kenikmatan yang dirasakan oleh orang kafir adalah nikmat yang harus disyukuri. Berdasar firman Allah SWT,

 

Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir

 

Namun hal ini disangkal, bahwa penyebutan “nikmat’ dalam ayat ini karena memandang pada keyakinan mereka.

 

MUSYAR ILAIH DARI 

 

Menurut pendapat ashah, sesuatu yang ditunjuk dengan ungkapan “saya” atau bentuk diarsir (kata ganti) lainnya, adalah haikal (bentuk) yang dikhususkan, yakni badan, yang di dalamnya termuat jiwa. Karena seorang yang berakal, ketika ditanya “Apa itu manusia?”, ia akan menunjuk pada bentuk yang dikhususkan ini. Di sisi lain, khithab yang ada saat itu tertuju padanya.

 

Kebanyakan dari Mu’tazilah dan yang lain, berpandangan bahwa yang ditunjuk dari ungkapan tersebut adalah jiwa, karena jiwalah yang memegang kendali dan kontrol pengaturan diri.

 

Pendapat ketiga, bahwa yang ditunjuk dari ungkapan tersebut adalah gabungan antara bentuk dan jiwa, sebagaimana bahwa kalam itu nama untuk gabungan lafadz dan makna.

 

AL-JAUHAR AL-FARDU

 

Jauhar fardu (substansi tunggal) adalah bagian yang tidak dapat terbagi lagi. Menurut pendapat ashahh, bahwa jauhar fardu itu ada dalam kenyataannya, meski biasanya tidak dapat dilihat, kecuali jika digabungkan dengan yang lain. Berbeda dengan pandangan hukama’, yakni falasifah, yang menafikan keberadaan Jauhar fardu.

 

PENENGAH ANTARA MAUJUD DAN MA’DUM

 

Pendapat ashahh menyatakan bahwa tidak ada yang menengah-nengahi antara yang wujud dan yang tidak wujud. Karena sesuatu adakalanya nyata dalam faktanya, yakni disebut maujud) dan adakalanya tidak demikian, yakni disebut ma’dum. Semacam ini merupakan sesuatu yang disimpulkan oleh akal.

 

Pendapat kedua, menyatakan bahwa ada sesuatu yang menengah-nengahi di antara maujud dan ma’dum. Contoh warna bagi hitam, dimana warna ini tetap dalam hitam, namun tidak maujud pada hitam, juga tidak ma’dum dari hitam. Contoh lain, wujud bukanlah maujud, juga bukan ma’dum.

 

Menurut pendapat pertama, contoh-contoh tersebut tergolong ma’dum, karena termasuk amrun i’tibariy (perkara sebatas ungkapan)”, Sedangkan menurut pendapat kedua, contoh-contoh tersebut merupakan sifat bagi perkara maujud, tidak bisa disifati wujud atau tidak wujud. Dalam arti, tidak ditemukan perwujudannya dalam benda, namun juga tidak sirna di dalam hati.

 

dampak) adalah imkan (kemungkinan) ataukah hudhts (barunya kemunculan) ataukah keduanya menjadi dua alasan, ataukah yang menjadi alasan adalah imkdn dengan syarat

 

DUA ‘ARADL YANG SAMA TIDAK DAPAT BERKUMPUL

 

Menurut pendapat ashah, dua ‘aradl yang sama itu tidak dapat berkumpul dalam satu tempat, sebagaimana dua d (hal yang berlawanan). Mu’tazilah membolehkan hal tersebut. Mereka beralasan, bahwa suatu jisim yang direndam dalam pewarna agar menjadi hitam, akan muncul padanya hitam, lalu hitam yang lain, lalu hitam yang lain lagi, hingga mencapai hitam pekat. Alasan ini disanggah, bahwa datangnya hitam pada jisim bukan dengan cara berkumpul, melainkan dengan cara 1mengganti. Maka hitam pertama hilang digantikan hitam kedua, hitam kedua hilang digantikan hitam ketiga, dan seterusnya. Ini berpijak pada pendapat bahwa “aradl tidak dapat menetap pada dua masa.

 

Berbeda halnya dua Khilaf (hal yang saling berbeda) yang dapat saling berkumpul. Seperti hitam dan manis, dapat berkumpul dalam satu jisim. Adapun dua nagidl (hal yang saling bernegasi) tidak dapat berkumpul keduanya, dan tidak dapat menghilang keduanya. Seperti “berdiri” dan “tidak berdiri”, keduanya tidak mungkin berkumpul dalam satu jisim.

 

SALAH SATU DARI DUA SISI PERKARA YANG MUNGKIN

 

Menurut pendapat ashah, salah satu dari dua sisi hal yang mungkin, tidaklah lebih utama dari yang lain. Yakni, bahwa al-mumkin (sesuatu yang mungkin), seperti keberadaan Zaid sebelum dilahirkan, memiliki dua sisi: sisi wujud dan sisi ‘adam (tiada). Salah satu dari kedua Sisi ini tidak ada yang lebih utama dari sisi yang lain.

 

Pendapat lain menyatakan bahwa sisi adam lebih utama, karena lebih mudah terjadi. Karena sisi adam bisa dipastikan terjadi dengan ketiadaan satu di antara bagian-bagian ‘illat sempurna bagi sisi wujud, yang mana dalam kepastian terjadinya wujud ini dibutuhkan kepastian keseluruhan bagian-bagian ‘illat.

 

Pendapat ketiga menyatakan bahwa sisi wujud lebih utama ketika ada ‘illat dan tiada syarat. Karena terkadang ‘illat ditemukan meskipun al-mumkin tidak ditemukan karena ketiadaan syarat.

 

Dan bahwa al-baqi (perkara mungkin yang wujud atau tersisa) membutuhkan penyebab. Yakni, suatu a-mumkin untuk menjadi wujud, butuh sabab (penyebab, yakni muatstsir). Begitu pula setelah al-mumkin telah wujud, untuk tetap terus wujud, juga butuh sabab. Pendapat lain menyatakan tidak demikian.

 

Perbedaan pendapat tentang hal ini terbangun dari pernyataan bahwa ‘illat (alasan) dari butuhnya atsar (maksudnya al-mumkin) terhadap muatstsir itu apakah status imkan ataukah huduts, ataukah keduanya menjadi dua alasan, ataukah yang menjadi alasan adalah imkan dengan syarat huduts.

 

Berpijak pada yang pertama, al-mumkin dalam baqa’-nya butuh terhadap muatstsir karena karena status imkan tak pernah lepas dari al mumkin. Karenanya, keadaan baqa’ butuh terhadap muatstsir karena wujudnya ‘illat berupa iftiqar (butuh), yakni status imkan tersebut. Sedangkan jika berpijak pada yang kedua, ketiga dan keempat, al-mumkin dalam baqa’-nya tidak butuh terhadap myuatstsir, karena muatstsir dibutuhkan untuk keluar dari adam menuju wujud, tidak dalam baqa” (bertahan).

 

Menurut pendapat ashah, ruang adalah jarak perkiraan tnayah dan dapat ditembus jarak jisim (bangun tiga dimensi). Jarak maya inilah yang disebut khala’ (ruang kosong). Dan ruang kosong ini diperbolehkan menurut kita. Yang dikehendaki dari hal ini adalah bahwa keberadaan dua jisim tidak saling bersentuhan, dan tidak ada di antara kedua jisim tersebut sesuatu yang bersentuhan dengan keduanya.

 

Dan bahwa zaman adalah berbarengannya mutajjadid mauhum (bal baru yang terandaikan) pada mutajjadid ma’lum (hal baru yang diketahui).

 

HAKIKAT RUANG DAN WAKTU

 

Tidak diragukan lagi bahwa sebuah jisim berpindah dari dan menuju ruang, serta bertempat di dalamnya. Jisim akan bertemu dengan ruang, sehingga pasti akan bersentuhan atau menembusnya. Dalam mendefinisikan “ruang” terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:

 

  1. Pendapat ashah, ruang adalah jarak maya yang dapat ditembus jisim (bangun tiga dimensi). Yakni dengan menembusnya jarak dari jisim yang bertempat di dalamnya, pada jarak nyata tersebut.

 

  1. Pendapat kedua, ruang adalah atap (atau lapisan) bagian dalam dari pelingkup yang menyentuh atap bagian luar dari terlingkup. Seperti lapisan dalam dari gelas yang bersentuhan dengan lapisan luar dari air yang bertempat di dalamnya.

 

  1. Pendapat ketiga, ruang adalah jarak nyata, yang diandaikan jika jisim menembusnya.

 

Jarak maya inilah yang disebut khala’ (ruang kosong). Keberadaan khala’ adalah boleh secara akal. Yang dikehendaki dari khala’ adalah bahwa keberadaan dua jisim tidak saling bersentuhan, dan tidak ada di antara kedua jisim tersebut sesuatu yang bersentuhan dengan keduanya. Maka alam yang jawaz aqliy ini adalah khala’ yang merupakan jarak maya, yang menjadi pengertian dari “ruang”, yang karenanya terbebas dari syaghil (sesuatu yang menempati). Pendapat ini adalah pendapat mutakallimin. Sedangkan dua pendapat pertama adalah pendapat hakama atau falasifah.

 

Para ulama’ mutakallimin mengingkari wujud zaman. Mereka memposisikan zaman sebagai amr i’tibariy (hal abstrak). Sedangkan bukama’ dan muhaggigin menetapkan wujud zaman. Berikut beberapa pendapat tentang zaman.

 

  1. Pendapat ashah, menyatakan bahwa zaman adalah berbarengannya mutajaddid mauhum (hal baru yang tersamarkan) pada mutajaddid ma’lum (hal baru yang diketahui) untuk menghilangkan kesamaran yang ada pada yang pertama. Contoh: “Aku mendatangimu ketika terbit matahari”. Dalam contoh ini, mutajaddid mauhum adalah “kedatangan”, yang masih terandaikan atau belum jelas kapan waktunya. Mutajaddid ma’um dalam contoh ini adalah “terbitnya matahari” yang telah diketahui. Berbarengannya “kedatangan” dengan “terbitnya matahari” untuk menghilangkan sisi kesamaran pada “kedatangan”, inilah yang disebut “zaman”. Pendapat ini adalah Versi mutakallimin. Sedang pendapat sebelumnya adalah versi hukama’.

 

  1. Pendapat kedua, zaman adalah jauhar (substansi) yang bukan jisim (yang tersusun), bukan pula jusmani (yang masuk dalam jisim). Ini adalah pendapat falasifah generasi awal. Mereka mengatakan bahwa zaman adalah jauhar yang tidak tidak berisi maddah (materi) yang berdiri sendiri, bukan jisim, bukan pula jusmani, dan tidak menerima adam (ketiadaan). Karena ketiadaan akan berkonsekwensi suatu keadaan mustahil, Karena jika zaman bisa tiada, pastilah ketiadaannya setelah wujudnya itu ba’diyyah (kondisi “setelah”, yang pastinya tidak akan terjadi kecuali bersamaan zaman. Sebab makna “ketiadaan zaman setelah wujudnya zaman” adalah bahwa ketiadaan zaman terjadi di suatu zaman setelah zaman wujudnya. Jika demikian, berkonsekwensi pada wujudnya zaman ketika zaman itu tiada. Dan ini mustahil. Namun, alasan ini disanggah, bahwa kemustahilan tersebut muncul dari pengandaian ketiadaan zaman dengan qayyid “setelah wujudnya zaman”, tidak dari pengandaian ketiadaan zaman secara mutlak. Jika demikian, tidak akan ada konsekwensi “tidak menerima tiada secara dzatiyyah.

 

  1. Pendapat ketiga, zaman adalah garis orbit ma’dil an-nahar. Yakni, jisim yang garis edarnya, yakni yang minthagatul buruj (rasi bintang) darinya dinamakan ma’dil an-nahir, karena berbandingannya siang terhadap malam di semua daerah ketika matahari di atasnya.

 

  1. Pendapat keempat, zaman itu ‘aradl. Berpijak pendapat ini, ada beberapa ragam pendapat. Pertama, zaman adalah pergerakan ma’dil an-nahar. Kedua, zaman adalah kadar dari pergerakan ma’dil an-nahar. Ada yang menyatakan bahwa zaman adalah pergerakan dalam garis orbit dan kadarnya”.

 

Tereegah (secara aqly) saling memasukinya beberapa jauhar (materi). Dan (juga tereegah) kekosongan jauhar dari segala aradl (sifat)

 

Jisim tidak tersusun dari beberapa aradi. Dan Jarak-jarak tiga dimensi jisim (panjang, lebar dan tinggi) itu berbatas.

 

TADAKHUL AL-JAWAHIR DAN KEKOSONGAN JAUHAR

 

Secara ‘aqliy, tidak mungkin terjadi ladakhul al-jawahir (saling memasukinya beberapa jauhar). Yakni suatu jauhar memasuki jauhar yang lain dengan cara menembus, yakni menjadi satu dalam ruang kosong yang sama. Atau saling bertemu bagian-bagiannya tanpa bertambah bentuknya. Kemustahilan ini dikarenakan dalam tadakhul terdapat persamaan antara kull dan juz. Al-Aththar mengemukakan alasan lain yang dianggap lebih tepat. Yakni, andaikan tadakhul boleh terjadi, pastilah suatu jisim tertentu itu merupakan jisim-jisim yang banyak yang saling merasuki. Satu meter kain bisa jadi merupakan 1000 meter kain. Bahkan bisa jadi, semesta alam masuk dalam sebiji sawi, Bisa jadi pula alam yang ada ini terpisah menjadi sekian banyak alam, padahal sebagaimana kita saksikan, alam tetaplah seperti adanya. Karena itu, teori tadakhul ini terbantahkan oleh fakta”,

 

Secara aqliy, mustahil pula terjadi, kekosongan jauhar dari segala ‘aradl. Baik jauhar tersebut mufrad (tunggal, yakni jauhar fard atau substansi tunggal) maupun murakkab (tersusun, kompleks). Karenanya, secara aqliy, jauhar tatkala maujud, wajib adanya satu di antara ‘aradl. Karena jauhar tidak akan dijumpai tanpa adanya sosok. Dan adanya sosok membutuhkan adanya ‘aradl.

 

Jisim tidak tersusun murni dari aradld saja. Karena ‘aradl tidak dapat berdiri sendiri, berbeda halnya dengan Jauhar. Pernyataan ini berbeda dengan pendapat An-Najjad dan An-Nadhdham dari kalangan Mu’tazilah, yang menyatakan bahwa jauhar dapat tersusun murni dari ‘aradl-‘aradl, berupa warna, rasa, bau dan lainnya.

 

Selanjutnya, jarak-jarak tiga dimensi jisim, yakni panjang, lebar dan tinggi itu berbatas. Teori ini disepakati oleh semua orang berakal”.

 

Ma’luk (obyek terapan ‘illat) mengiringi setelah ‘‘illat secara singkatan. Pendapan ashah, ma’lul membarengi ‘illat dari sisi waktunya.

 

ANTARA MA’LUL DAN ‘ILLAT

 

‘illat adalah sesuatu yang darinya muncul sembarang perkara, secara mandiri jika berupa ‘‘illat sempurna, atau bersama hal lain jika berupa ‘‘illat tidak sempurna. Sedangkan ma’lul adalah sesuatu yang muncul. Pembahasan ini berfokus pada ‘illat sempurna”,

 

Ulama menyepakati bahwa ma’lil (obyek terapan ‘‘illat) mengiringi setelah ‘illat-nya dari segi kedudukannya (rutbah).

 

Pendapat ashah, sebagai versi yang disampaikan mayoritas dan dishahihkan Imam An-Nawawi dalam Ashl Ar-Raudhah, menyatakan bahwa ma’il (obyek terapan ‘‘illat) berbarengan dengan ‘illa-nya dari segi masa. Baik ‘illat tersebut berupa “‘illat ‘aqliyyah, seperti pergerakan kunci sebab pergerakan jari. Atau Silat wadl’iyyah, baik peletaknya adalah As-Syari” atau yang lain, seperti ucapanmu, “Jika kamu masuk rumah, maka kamu merdeka”, dan ucapan pakar nahwu, “Status menjadi fa’il adalah ‘illat terbaca rafa’-nya sebuah kalimat”.

 

Pendapat kedua menyatakan bahwa dari segi masa, ma’lul itu beriringan setelah ‘‘illat-nya, secara mutlak, yakni baik ‘‘illat tersebut berupa ‘illat ‘aqliyyah atau “‘illat wadl’iyyah. Pendapat ini dipilih oleh pengarang Jam’ul Jawami’ mengikuti orang tuanya, Syaikh Tagqiyyuddin As-Subuki. Karena jika seorang suami mengatakan pada istri yang belum pernah disetubuhi, “Pada saat aku mentalakmu, maka kamu tertalak”, kemudian dia mengatakan, “Kamu tertalak”, maka yang ditetapkan jatuh adalah kata-kata terakhir yang berbentuk munajjazah (tanpa penggantungan), bukan kata-kata pertama yang berbentuk mu’allaqah (penggantungan). Seandainya ma’lul berbarengan dengan ‘‘illat-nya, maka yang berbentuk mu’allaqah juga jatuh. Namun hal ini disangkal bahwa tidak jatuhnya talak pada mu’allaqah adalah karena secara kedudukannya (ratbah) bentuk munajjazah lebih dahulu, sehingga obyek sudah tidak lagi menerima ditalak.

 

Pendapat ketiga, bahwa ma’lul beriringan setelah ‘‘illat jika berupa ilat wadl’iyyah. “Termasuk di antaranya adalah ‘‘illat syar’iyyah, dimana ‘‘illat ini lebih dahulu dari ma’lul Namun jika berupa ‘‘illat ‘aqliyyah maka keduanya bersamaan, karena ‘‘illat dalam hal ini mempengaruhi dengan sendirinya”.

 

(Menurut pendapat ashah), kelezatan (duniawi) adalah kepuasan saat idrak (menjumpai hal yang serasi). Idrak adalah malgam dari kelezatan. Berbanding dengan kelezatan adalah rasa sakit.

 

Sesuatu yang terbayang oleh akal adakalanya wajib, atau tereegah, atau mungkin.

 

KELEZATAN DUNIAWI

 

Menurut pendapat ashah, kelezatan adalah kepuasan saat idrak (menjumpai) hal-hal yang serasi atau selaras dengan keinginan (mulaim). Dalam hal ini idrak (menemukan) merupakan malzum (pemicu konskuensi) dari kelezatan, bukan kelezatan itu sendiri.

 

Pendapat kedua, kelezatan adalah keterhindaran dari rasa sakit. Pendapat ini disanggah, bahwa terkadang sesuatu dirasakan kelezatannya tanpa didahului rasa sakit berupa kebalikan dari kelezatan yang dirasakannya. Seperti seseorang yang tiba-tiba dapat menemukan pengetahuan dari sebuah masalah keilmuan, atau tiba-tiba menemukan harta karun tanpa disangka dan didahului keinginan untuk menemukan keduanya.

 

Pendapat ketiga, kelezatan adalah menemukan hal-hal yang selaras dengan keinginan (mulaim). Menemukan rasa manis adalah kelezatan, dijumpai dengan indra perasa, menemukan kecantikan adalah kelezatan, dijumpai dengan mata, dan menemukan indahnya suara adalah kelezatan, dijumpai dengan pendengaran.

 

Imam Ar-Rizi mengatakan bahwa kelezatan duniawi pada hakikatnya adalah sesuatu yang dihasilkan dari ma’arif ‘aqliyyah (objek-objek abstrak yang dijumpai akal). Dan apa yang disangka kebanyakan orang sebagai sesuatu yang lezat, seperti kelezatan lahiriah berupa pemenuhan syahwat perut dan syahwat kemaluan, atau kelezatan khayaliyyah (pengandaian) seperti suka akan ketinggian derajat, suka menjadi penguasa, maka sebenarnya hal-hal semacam ini hanyalah menolak rasa sakit. Kelezatan makan dan minum adalah menolak rasa sakit berupa lapar dan haus. Kelezatan berhubungan badan adalah menolak rasa sakit berupa penggelitikan mani pada tempatnya. Kelezatan berupa derajat tinggi dan kekuasaan adalah menolak rasa sakit berupa tertekan dan terkalahkan. 

 

Sesuatu yang terbayang oleh akal terbagi menjadi tiga hal, yaitu wajib, mumtani” (mustahil), atau mumkin (mungkin). Wajib adalah manakala suatu dzat yang terbayang menetapkan wujudnya dzat tersebut dalam kenyataan. Artinya, secara akal, dzat itu harus ada. Tidak dapat dibayangkan secara akal ketiadaannya.

 

Sedangkan mumtani’ atau mustahil adalah manakala suatu dzat yang terbayang menetapkan ketiadaan dzat tersebut dalam kenyataan. Artinya, secara akal, dzat itu tidak boleh ada. Tidak dapat dibayangkan secara akal bahwa dzat itu ada.

 

Adapun mumkin adalah manakala suatu dzat yang terbayang tidak menetapkan wujud maupun ketiadaan. Artinya, secara akal, dzat itu boleh ada, boleh pula tidak ada”,

 

Tashawwuf didefinisikan oleh Imam Al-Ghazali:

 

“Memurnikan hati hanya karena Allah SWT, dan menilai hina selain Allah SWT”

 

Maksud ‘menilai hina selain Allah SWT” adalah manakala dibandingkan dengan keagungan Allah SWT. Dalam arti, tidak bersandar pada selain Allah SWT, bukan menghina secara hakikatnya. Pendapat kedua, tashawwuf adalah meninggalkan usaha. Pendapat ketiga, tashawwuf adalah berusaha keras meniti jalan menuju Allah SWT, Raja diraja. Dan beberapa versi lain sebagaimana disebutkan dalam kitabku, Ihkam Ad-Dalalah “Ala Tahrir Ar-Risalah, Syarah Risalah Ousyairiyah, karya Imam Al-‘Arif Billah Abi Al-Oasim Al-Ousyairi. Menurut Imam As-Sahrawardi, pendapat ulama tentang hakikat tashawwuf lebih dari seribu versi. Masing-masing menganalisa menurut magam orang yang berpendapat dari aspek yang dominan dialaminya, hingga dia meyakini hal tersebut merupakan aspek terpenting, kemudian mendefinisikannya melalui hal tersebut!.

 

Tashawwuf merupakan buah dari semua macam ilmu syar’iy, bukan ilmu yang terkodifikasi dan memiliki dasar-dasar (mabadi) dan maksud akhir (magashid), juga tidak memiliki kaidah tertentu, meskipun disendirikan pembukuannya. Pembukuan ilmu ini terpilah menjadi dua bagian,

 

  1. Berisi pembersihan akhlak dan berprilaku dengan budi pakerti mulia, seperti kitab Out al-Qulub, karya Imam Abu Thalib Al-Makki, Ihya’ Ulumiddin, karya Imam Al-Ghazali, dan beberapa karya Imam Abd Al-Wahhab As-Sya’rani. Model ini dapat dipahami oleh orang yang berpengetahuan biasa.

 

  1. Berisi pengalaman spiritual pengarang, mukasyafah, dan tajalliyat, seperti karya-karya Imam Ibn Al-Arabi dan Al-Jiliy. Model ini sulit dipahami, kecuali bagi mereka yang mengalami hal yang sama dengan mereka. Terkadang redaksi yang mereka pakai terlalu ringkas, bahkan acap kali secara lahiriyah bertentangan dengan dasar-dasar rasionalitas. Yang paling baik dilakukan adalah tidak menceburkan diri untuk memahaminya, dan menyerahkan semuanya pada mereka.

 

Karena sumber ajaran tashawwuf adalah amaliyah hati dan anggota badan lahiriyah, maka pengarang memulai kajian ini dengan mengulas dasar-dasar amaliyah.

 

Kewajiban pertama adalah ma’rifat (mengetahui Allah SWT), menurut ashah.

 

KEWAJIBAN PERTAMA ADALAH MENGETAHUI ALLAH

 

Menurut pendapat ashah, kewajiban pertama adalah atas seorang mukallaf adalah ma’rifat (mengetahui Allah SWT). Karena ma’rifat merupakan pondasi dari kewajiban-kewajiban lainnya. Sebab tanpa adanya ma’rifat, kewajiban-kewajiban lain, bahkan kesunnahan-kesunnahan tidak akan menjadi sah.

 

Pendapat kedua, kewajiban pertama adalah nadhar (olah pikir) yang mengantar pada ma’ifat. Karena madhar adalah muqaddimah dari ma ‘rifat. Bisa dicapai adanya ma’rifat melalui sebuah nadhar.

 

Pendapat ketiga, kewajiban pertama adalah pendahuluan dari nadhar. Karena nadhar secara sempurna dan tuntas tidak akan tereapai tanpa pendahuluan atau awal dari nadhar.

 

Pendapat keempat, kewajiban pertama adalah kesengajaan melakukan nadhar. Karena terlaksananya nadhar bergantung adanya kesengajaan untuk melakukannya.

 

Semua pendapat ini benar adanya, dan perbedaan hanya sekedar retorika lafadz. Namun pendapat pertama diunggulkan, karena ma’rifat merupakan maqshud (sasaran) pertama, sedangkan yang lain adalah wasilah (penghantar) pertama”,

 

Dan barangsiapa mengetahui “Tuhannya, pastilah membayangkan bahwa Tuhan bisa menjauhkannya, bisa pula mendekatkannya. Sehingga ia takut (siksa-Nya) dan berharap (pahala-Nya), lalu ia memperhatikan perintah dan larangan-Nya, menjalani (perintah) dan menjauhi (larangan). Hingga ia dicintai Tuhannya, menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya. Dan Dia akan menjadikannya wali (orang yang dicintai), yang apabila meminta padaNya, maka Dia akan memberinya, dan apabila memohon perlindungan, maka Dia akan melindunginya.

 

KHAUF DAN RAJA’

 

Mengetahui Allah adalah dengan mengetahui asma-asma dan sifat-sifat keangungan-Nya. Barangsiapa mengetahui Tuhannya, pastilah membayangkan bahwa Tuhan bisa saja menjauhkan hamba-Nya dengan menyesatkannya, bisa pula mendekatkannya dengan memberikannya petunjuk.

 

Hingga kemudian hamba takut terhadap siksa-Nya, sebab disesatkan, dan berharap pahala-Nya, sebab diberi petunjuk. Setelah itu dia akan memperhatikan perintah dan larangan-Nya. Perintah-Nya ia jalani, dan larangan-Nya ia jauhi. Buahnya, ia akan dicintai Tuhannya dan akan dipelihara pendengaran, penglihatan, tangan, dan kakinya’. Serta Allah SWT akan menjadikannya wali atau orang yang dicintai, dimana setiap permintaannya akan dikabulkan, dan setiap permohonan perlindungan juga terkabul.

 

Penjelasan ini dicuplik dari sebuah hadits gudsi. Allah SWT berfirman:

 

Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri pada-Ku dengan melakukan kesunnahan-kesunnahan hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku akan memelihara pendengarannya yang dengannya ia mendengar, dan penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan tangannya yang dengannya ia berusaha, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Dan jika ia meminta pada-Ku, maka aku memberinya. Dan jika ia berlindung pada-Ku, maka Aku melindunginya. (HR. Bukhari).

 

Orang tinggi cita-citanya, akan mengangkat dirinya dari perkara-perkara yang rendah, menuju perkara-perkara yang mulia.

 

Orang yang rendah cita-citanya tidak akan peduli (ke mana nafsu menyeretnya) sehingga tidak tahu (perkara agamanya), dan keluar dari agama.

 

Maka ambillah kebaikan ataukah kebinasaan, bahagia ataukah celaka.

 

ORANG YANG TINGGI DAN RENDAH CITA-CITANYA

 

Orang yang tinggi cita-citanya, yakni orang yang menghendaki derajat tinggi di akhirat. Dia akan berusaha mengangkat dirinya melalui mujahadah’ dari perkara rendah, menuju perkara yang tinggi. Perkara rendah adalah akhlak-akhlak tereela, seperti sombong, marah, menyimpan dendam, dengki, jeleknya budi pakerti, dan tidak bersabar. Sedangkan perkara mulia adalah akhlak-akhlak terpuji, seperti tawadhu”, sabar, batin yang jernih, zuhud, bagusnya budi pakerti, dan banyak bersabar. Hal ini dicuplik dari HR. Baihagi dan At-Thabrani,

 

“Sesungguhnya Allah SWT mencintai hal-hal yang mulia dan membenci hal-hal yang rendah”

 

Sedangkan orang yang rendah cita-citanya, yakni orang yang enggan ber-mujahadah atau bersungguh-sungguh mengangkat nafsunya dari perilaku rendah, ia tidak akan peduli ke mana nafsu menyeretnya. Akibatnya, ia akan terbutakan dan bodoh tentang perkara agamanya, hingga melesat jauh keluar dari agamanya, na’udzubillah.

 

Setelah kita mengetahui bagaimana kriteria orang-orang yang luhur dan yang rendah cita-citanya, dan kita yakin bahwa Allah SWT mengawasi setiap ucapan, perbuatan, dan apa yang ada di hati kita, dan pasti akan membalas semuanya, maka hendaklah memilih kebaikan, dengan amal shalih, dan keberuntungan, dengan ridha Allah SWT atas kita, sebab keikhlasan hati. Dan jangan sekali-kali memilih kerusakan, dengan amal keburukan kita, dan kecelakaan, dengan murka Allah SWT atas kita, sebab keburukan niat di hati,

 

Dan jika terbersit sesuatu dalam hatimu, maka timbanglah dengan timbangan syara’, Jika berupa perkara yang diperintahkan, maka bersegeralah melakukan, karena detak hati itu dari Allah Sang Maha Pengasih. Jika kau khawatir terlaksananya hal yang diperintahkan dengan sifat terlarang, tanpa kesengajaan melakukannya maka tidak ada dosa atasmu.

 

Butuhnya istighfar kita pada istighfar yang lain, tidak mengharuskan kita meninggalkan istighfar. Maka beramalah, meskipun kamu khawatir ujub (membanggakan diri), sembari tetap ber-istigfar dari hal itu.

 

Dan jika (yang terbersit dalam hatimu) itu perkara yang dilarang, maka hindarilah, Janin karena detak hati itu dari Syaithan. Jika kau berkeinginan melakukannya, maka mohonlah ampun pada Allah. Haditsun nafsi (kata hati) dan keinginan, selama kamu tidak ucapkan atau lakukan, keduanya diampuni.

 

PENIMBANG DENGAN SYAR’I

 

Manakala manusia di dalam hatinya terbersit sesuatu, maka sikap yang harus diambil adalah menimbangnya dengan timbangan syara” Dalam hal ini ada tiga kondisi:

 

  1. Kondisi pertama, sesuatu yang terbersit diperintahkan syara”, baik wajib ataupun sunnah, maka bersegeralah melakukannya. Karena detak hati tersebut (al-khathir) berasal dari Allah SWT yang telah menyayangimu dengan dibersitkan di hatimu, dalam arti Allah SWT menghendaki kebaikan bagimu”.

 

Dan jika muncul kekhawatiran bahwa terlaksananya hal yang diperintahkan tersebut dibarengi sifat terlarang, tanpa ada kesengajaan, seperti ujub (bangga diri) dan riya’ (pamer), maka jika benar-benar terjadi, bagi pelaku tidak dikenakan dosa. Dia hanya sunnah beristighfar. Namun jika atas kesengajaan, maka pelaku berdosa dan wajib beristighfar. Fudlail bin “Iyadl berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya”, dan ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya”

 

ISTIGHFAR YANG BUTUH ISTIGHFAR LAIN

 

Butuhnya istighfar kita pada istighfar yang lain, karena nilai kekurangan akibat hati yang lupa, tidak mengharuskan kita untuk meninggalkan istighfar yang diperintahkan. Dan tidak berarti diam lebih baik, namun tetap kita lakukan, meskipun membutuhkan istighfar lainnya. Karena manakala lisan sudah membiasakan dzikir, besar kemungkinan hati akan mengikuti dan menyesuaikan.

 

Berbeda halnya istighfar yang datang dari orang-orang yang ikhlash, seperti Rabi’ah Al-‘Adawiyah RA. Beliau mengatakan, “Istighfar kita butuh pada istighfar yang lain. Namun maksud beliau adalah untuk menghancurkan nafsunya. Imam Al-Ghazali berkata, “Jangan mengira bahwa Rabi’ah mencela gerak lisan dengan istighfar dari sisi bahwa ia adalah dzikir pada Allah. Akan tetapi Rabi’ah mencela lalainya hati. Maka seseorang butuh ber-istighfar dari lalainya hati, bukan dari gerak lisan. Dan jika ia diam dari ber-istighfar dengan lisan pula, maka ia butuh pada dua istighfar.”

 

Sebab itulah, maka lakukan amal, meskipun khawatir mengalami ujub (bangga diri), dengan senantiasa beristighfar. Hukumnya sunnah beristighfar, jika benar-benar terjadi tanpa disengaja, dan wajib jika terjadi dengan kesengajaan. Karena meninggalkan amal sebab khawatir ‘ujub, temasuk tipu daya syetan.

 

  1. Kondisi kedua, sesuatu yang terbersit dilarang syara’, maka hindarilah, jangan mendekatinya, karena detak hati itu dari Syaithan atau dari nafsu. Perbedaan keduanya, bahwa detak hati dari nafsu tidak berulang terjadi, sedangkan detak hati dari Syaithan terkadang berpindah pada bentuk lain jika manusia bersikukuh untuk tidak melakukannya. Karena tujuan Syaithan adalah menggoda manusia tidak khusus pada satu kemaksiatan tertentu”,

 

Dan jika kita berkeinginan melakukannya, maka hendaklah kita bermohon ampun pada Allah SWT atas keinginan ini, agar menjadi penebusnya”.

 

HADITSUN NAFSI DAN HAMM

 

Haditsun nafsi (kata hati) adalah keraguan hati dalam melakukan atau meninggalkan apa yang terbersit di hati. Sedangkan hamm adalah keinginan melakukannya. Kedua hal tersebut diampuni, selama tidak diucapkan atau dilakukan. Rasulullah saw. bersabda:

 

Sesungguhnya Allah “azza wa jalla mengampuni umatku dari apa yang oleh hatinya, selama tidak dilakukannya atau diucapkannya.

 

“Barangsiapa berkeinginan melakukan kejelekan dan tidak dilakukannya, maka tidak dicatat”, Yakni sebagai dosa atasnya. (HR. Muslim). Dalam riwayat lain olehnya, “maka Allah akan mencatat di sisi-Nya sebagai sebuah kebaikan yang sempurna”.

 

Dan jika nafsu amarah tidak menurutimu, maka perangilah dia! Jika engkau terlanjur melakukannya, maka bertaubatlah! Jika engkau tidak menghentikannya karena menikmatinya, atau karena malas, maka ingatlah akan kematian dan kedatangannya yang tiba-tiba, atau karena putus asa, maka takutlah murka Tuhanmu, dan ingatlah keluasan kasih sayang-Nya.

 

Tawarkan (pada nafsumu) taubat. Taubat itu penyesalan (atas perbuatan maksiat). Dan taubat itu terealisasi dengan penghentian (perbuatan maksiat) dan keinginan untuk tidak mengulanginya, serta menyusulkan terhadap hal-hal yang mungkin disusulkan.

 

Taubat sah dilakukan dari sebuah dosa, meskipun telan dirusak, atau disertai terus melakukan dosa besar. Dan menurut pendapat ashah, taubat wajib dilakukan atas dosa kecil.

 

MEMERANGI NAFSU AL-AMMARAH

 

Manakala manusia berkeinginan melakukan bersitan hati yang terlarang, maka wajib meninggalkan dan memohon ampun pada Allah, seperti penjelasan yang lalu. Namun apabila nafsu amarah bis su (mengajak berbuat maksiat)” tidak mau patuh untuk meninggalkannya, karena nafsu tersebut secara alami menyukai kesenangan-kesenangan yang terlarang, maka harus diperangi (wujahadah)” agar tunduk kepada kita, dan dikerahkan segenap kemampuan untuk memeranginya dengan menentangnya. Karena nafsu itulah yang akan menjerumuskan pada kehancuran abadi, dengan cara berangsur-angsur menarik kita dari satu kemaksiatan menuju kemaksiatan yang lain, hingga terjatuh dalam kehancuran. Dalam arti, manakala nafsu amarah menggilas dan tidak bisa terbendung dengan mujahadah, maka kemaksiatan demi kemaksiatan akan berlangsung, hingga kehancuran abadi, yakni kekafiran ada di depan mata. Dalam situasi semacam ini, nafsu adalah musuh paling berbahaya. Rasulullah saw. bersabda ,

 

Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang berada di antara lambungmu.

 

Sebaliknya, apabila bersitan hati yang terlarang terlanjur terealisasi, karena nafsu telah menguasai, maka harus segera dihentikan, agar dosa melakukannya dapat dihilangkan dengan bertaubat. Allah SWT telah berjanji menerima taubat, sebagai anugrah dari-Nya,

 

Dan Dialah yang menerima taubat dari hambah Nya (QS. Asy-Syura: 25)

 

Jika perbuatan maksiat tidak segera dihentikan karena menikmatinya, atau karena malas beranjak, maka obatnya adalah dengan mengingat kematian dan kedatangannya yang tiba-tiba. Keduanya menutup pintu taubat dan segala perbuatan ketaatan. Karena mengingat keduanya menjadi pendorong yang kuat untuk menghentikan kemaksiatan. Rasulullah SAW bersabda:

 

Perbanyaklah dari mengingat mengingat pemutus kelezatan (Yakni kematian).

 

Namun jika penyebab tidak segera dihentikannya kemaksiatan itu karena karena berputus asa dari rahmat atau pengampunan Allah SWT, karena besarnya dosa, atau karena membayangkan siksaan Allah SWT, maka hendaklah takut pada beratnya siksaan Allah SWT. Karena dosa telah ditambahi dengan rasa putus asa dari pengampunan Nya. Allah SWT berfirman:

 

Sesungguhnya tidaklah berputus asa Lari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir Karenanya, obat mujarab dalam hal ini adalah dengan mengingatingat keluasan kasih sayang-Nya yang tanpa batas. Agar tidak berputus asa dari pengampunan-Nya. Allah berfirman:

 

Wahai hamba-hamba-Ku yang malampani batas terbadap diri meraka sendiri Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah anda dosa-dosa semuanya. (QS. Az-Zumar: 53).

 

Rasulullah shallallahu “alaihi wasallam bersabda:

 

Demi Tuhan yang jiwaku ada dalam kekuasan-Nya, andaikan kalian tidak berbuat dosa, pastilah Allah akan menghilangkan kalian, dan pastilah Allah akan mendatangkan kaum yang berbuat dosa lain mereka meminta ampunan, kemudian Allah mengampuni mereka. (TIR. Muslim).

 

DEFINISI PAN SYARAT TAUBAT

 

Setelah seseorang mengingat kematian, merasa takut pada beratnya siksaan Allah SWT, dan mengingat luasnya rahmat Allah SWT, maka hendaklah dia tawarkan taubat pada nafsunya. Agar mau bertaubat dari dosa yang telah dikerjakan, hingga nantinya diterima dan diampuni atas anugrah Allah SWT.

 

Taubat menurut istilah syara” adalah penyesalan atas dosa, dari tinjauan bahwa sebuah perbuatan adalah dosa, bukan dari tinjauan Jain. Penyesalan atas meminum khamr, karena membahayakan badan, tidak disebut taubat. Penyesalan tidak harus dilangsungkan setiap waktu, namun cukup dengan ishtishhab hukmi (konsisten secara hukum), dalam arti tidak melakukan hal-hal yang membatalkan taubatnya.

 

Dalam merealisasikan taubat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Dalam arti, ralisasi taubat tidak terlepas dari beberapa syarat ini, bukan dalam arti setiap taubat harus memenuhi beberapa syarat ini. Karena terkadang taubat dapat terwujud, meskipun sebagian syarat-syaratnya digugurkan.

 

  1. Menghentikan perbuatan maksiat dengan seketika. Dengan cara meninggalkannya, baik bagi orang yang sedang melakukan, atau bagi orang yang biasa mengulanginya. Syarat ini gugur manakala perbuatan dosa telah selesai dilakukan.

 

  1. Tekad untuk tidak mengulanginya di masa mendatang. Syarat ini berlaku bagi orang yang memiliki kesempatan melakukan dosa yang sama. Sedangkan bagi semisal pezina yang terpotong kelaminnya setelah berzina atau penuduh vina yang terpotong lidahnya setelah menuduh zina, maka syarat bagi mereka adalah bertekad meninggalkan seandainya kemampuan melakukan dosa pulih kembali.

 

  1. Menyusulkan perkara yang mungkin disusulkan. Hal ini terkait dengan hak orang lain yang muncul dari perbuatan dosa. Seperti hak qadlf (menuduh zina), maka cara menyusulkannya adalah dengan memberi kesempatan orang yang memiliki hak, baik orang yang dituduh maupun ahli warisnya untuk menunaikan atau membebaskannya haknya. Namun jika tidak mungkin disusulkan, semisal orang yang memiliki hak tidak ditemukan, maka syarat ini menjadi gugur, sebagaimana ketika sebuah dosa tidak memunculkan hak adami.

 

PERKARA YANG TIDAK MEMBATALKAN TAUBAT

 

Kemudian, ada beberapa hal yang diperselisihkan ulama terkait dengan keabsahan taubat, apakah mempengaruhi keabsahannya, ataukah tidak?, di antaranya,

 

  1. Merusak taubat dengan mengulangi dosa yang sama. Menurut pendapat ashah, taubat tetap dinyatakan sah. Mengulanginya orang yang bertaubat atas dosa yang telah ia taubati tidak membatalkan taubat yang pertama, dan dianggap sebagai dosa baru yang harus ditaubati. Pendapat lain, taubat pertama tidak sah, dan dinyatakan batal.

 

  1. Bertaubat sambil terus menerus melakukan dosa besar. Pendapat ashah menyatakan taubat dinyatakan sah, meskipun orang yang bertaubat masih terus menerus melakukan dosa besar. Dalam arti, taubat sah dilakukan atas sebagian dosa, tidak sebagian yang lain, sambil terus menerus melakukan dosa yang lain. Meskipun dosa yang ditaubati adalah dosa kecil, dan dosa yang masih terus dilakukan adalah dosa besar.

 

BERTAUBAT ATAS DOSA KECIL

 

Menurut pendapat ashah, sebagai pendapat yang dinukil dari ahlussunah, bahwa bertaubat atas dosa kecil adalah wajib. Pendapat lain menyatakan, bahwa bertaubat atas dosa kecil adalah tidak wajib. Karena dosa kecil dapat terhapus sebab seseorang menjauhi dosa besar. Allah SWT berfirman:

 

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niseaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)”

 

Versi ashah menyangkal, bahwa terhapusnya dosa kecil tidak serta merta menggugurkan kewajiban bertaubat. Dan seandainya saja argumentasi semacam itu diterima, tidak bertaubat atas dosa kecil akan mengakibatkan keberlangsungannya secara terus menerus, dimana hal ini terkadang menjadi dosa besar yang wajib ditaubati”,

 

Dan jika engkau ragu, apa yang terbersit di hati, apakah hal yang diperintahkan ataukah hal yang dilarang, maka tahanlah dirimu. Sehingga dalam permasalahan orang berwudlu yang ragu apakah tahapan yang dibasuhnya adalah basuhan ketiga atau kecmpat, maka menurut sebagian pendapat, dia tidak perlu membasuh.

 

  1. Kondisi ketiga, sesuatu yang terbersit dalam hati diragukan apakah merupakan hal yang diperintah, baik wajib atau sunnah, ataukah hal yang dilarang, baik haram atau makruh. Maka seseorang dalam hal ini hendaknya menahan diri, agar tidak terjatuh dalam perkara yang dilarang. Karena meninggalkan hal tersebut jauh lebih utama daripada melakukannya. Karena syara’ menaruh perhatian sangat besar terhadap dar’ul mafisid (antisipasi mafsadah) daripada jalbul mashalih (menarik kemaslahatan). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 

Tinggalkanlah hal yang meragukanmu, menuju hal yang tidak meragukanmu (HR. Muslim).

 

Karenanya, Imam Abdullah ibn Yusuf Abu Muhammad Al-Juwaini, ayahanda Imam Haramain, berpendapat dalam permasalahan orang yang berwudlu yang ragu apakah dia akan membasuh dengan basuhan ketiga atau keempat, maka dia tidak perlu membasuhnya. Karena khawatir terjatuh dalam perkara yang terlarang, yakni membasuh lebih dari tiga kali, dimana hal ini hukumnya bid’ah. Sehingga ada dua kemungkinan, antara meninggalkan kesunnahan dan melakukan bid’ah. Dalam hal ini meninggalkan sunnah lebih ringan resikonya dibandingkan melakukan bid’ah. Namun pendapat ashah menyatakan seseorang dalam hal ini hendaklah membasuhnya. Karena basuhan ketiga adalah hal yang diperintah, dan tidak mungkin terealisasi sebelum basuhan keempat ini”.

 

Dan segala sesuatu yang terjadi itu karena kekuasaan dan kehendak Allah SWT. Dia Pencipta daya upaya hamba, dengan menentukan baginya kadar kemampuan tertentu yang layak untuk berdaya upaya, bukan untuk mewujudkan. Maka Allah SWT yang mencipta, bukan yang mengupayakan, “sedangkan hamba kebalikannya.

 

Menurut pendapat ashah, kemampuan hamba berbarengan dengan perbuatannya. Dan tidak layak berkaitan dengan dua hal yang berlawanan. Dan (menurut pendapat erhah) bahwa kelemahan adalah sifat wujudiyyah yang berbanding dengan kemampuan secara perlawanan.

 

PERBUATAN HAMBA

 

Semua kejadian, baik kebaikan maupun keburukan, ketaatan maupun kemaksiatan, termasuk apa yang terbersit dalam hati, seluruhnya atas kekuasaan dan kehendak Allah SWT.

 

Perbuatan dan daya upaya (kasb) hamba diciptakan oleh Allah SWT. Hamba memiliki daya upaya, tapi tidak menciptakannya. Allah SWT menciptakan daya upaya dengan menentukan baginya kadar kemampuan tertentu yang layak untuk berdaya upaya, bukan untuk mewujudkan. Kemampuan yang dimaksud adalah terjadinya sebuah perbuatan dari hamba, tanpa ada pilihan (mulja). Allah menyandarkan penciptaan perbuatan pada diri-Nya sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT:

 

Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu

 

Dan Allah menyandarkan kasab (upaya) atau ikhtiyar pada diri hambaNya. Sebagaimana firman Allah SWT:

 

…sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan

 

Maka perbuatan hamba diciptakan oleh Allah SWT, diupayakan oleh hamba. Maka Allah-lah yang menciptakan, bukan berupaya. Dan hambalah yang berupaya, bukan menciptakan. Pendapat ini adalah menengah-nengahi antara pendapat Mu’tazilah yang menyatakan hamba menciptakan perbuatannya karena ia diganjar pahala dan ditimpakan siksa atas perbuatan itu, dan pendapat Jabariyyah bahwa tidak ada perbuatan bagi hamba sama sekali, hamba hanyalah semata-mata alat, seperti pisau di tangan pemotong.

 

Sedangkan hal-hal yang terjadi dalam statemen sebagian ahli makrifat, yang terkesan selaras dengan akidah Jabariyah dan menafikan adanya ikhtiyar, sebenarnya maksud yang mereka kehendaki adalah tidak menggubris perbuatan mereka sendiri, karena mereka berkonsentrasi atas apa yang datang dari Allah SWT, bukan yang datang dari mereka.

 

KEMAMPUAN & PERBUATAN HAMBA

 

Menurut pendapat ashah, kemampuan hamba ditemukan berbarengan dengan perbuatan. Karena kemampuan adalah sifat, sehingga tidak bisa mendahului perbuatan. Dan jika tidak demikian, perbuatan akan terjadi tanpa disertai kemampuan, sebab tetapnya sifat| sifat pada dua waktu atau lebih adalah terlarang. Maksud kemampuan hamba di sini adalah sifat yang diciptakan Allah SWT setelah ada kehendak berbuat dan sabab serta alat (piranti)-nya terluluskan.

 

Pendapat lain, kemampuan hamba ditemukan sebelum adanya perbuatan. Kerena taklif (tuntutan) ada sebelumnya, dan seandainya kemampuan hamba tidak ditemukan sebelumnya, maka akan terjadi tuntutan atas orang yang tidak mampu.

 

HUBUNG (TA’ALLUQ) KEMAMPUAN HAMBA

 

Mengingat bahwa hamba hanya” berdaya upaya, tidak menciptakan perbuatan, dan kemampuannya berbarengan dengan perbuatan yang dilakukan, maka satu kemampuan hamba tidak layak berhubungan dengan dua hal yang berlawanan. Kemampuan hamba hanya layak berhubungan dengan salah satu dari keduanya, yakni dengan perkara yang dikehendakinya. Bahkan ulama menyatakan, satu kemampuan hamba tidak berhubungan dengan dua perkara yang mampu dilakukan, baik keduanya berlawanan, sama persis, atau kedunya berbeda, tidak dengan cara berbarengan atau secara bergantian (ala sabilil badal).

 

Pendapat lain menyatakan bahwa kemampuan hamba layak berhubungan dengan dua hal berlawanan, akan tetapi secara bergantian (‘ala sabilil badal). Namun hal ini disanggah, bahwa pendapat ini hanya tepat diaplikasikan sebelum perbuatan dilakukan, bukan berbarengan dengan perbuatan yang menjadi pembahasan di sini.

 

Sedangkan apabila berpijak pada pendapat bahwasanya hamba menciptakan perbuatannya sendiri, maka qudrah-nya seperti qudrah Allah SWT, sehingga dapat ditemukan sebelum perbuatan dilakukan, dan layak berhubungan dengan dua hal yang berlawanan, secara bergantian, tidak secara terkumpul. Karena kemampuan selalu berhubungan dengan perkara yang memungkinkan terwujud, padahal terkumpulnya dua hal yang berlawanan adalah terlarang.

 

KELEMAHAN HAMBA

 

Menurut pendapat ashah, kelemahan hamba adalah sifat wujudiyyah (bereksistensi) yang berbanding dengan kemampuan secara berlawanan. Pendapat lain menyatakan, kelemahan adalah tidak adanya kemampuan atas perkara yang mampu dilakukan. Menurut pendapat ini, perbandingan antara kelemahan dan kemampuan adalah perbandingan ketiadaan dan keberadaan. Sebagaimana hal tersebut didasarkan pada pendapat bahwa hamba menciptakan perbuatannya.

 

Maka menurut pendapat ashah, pada orang lumpuh terdapat substansi (ma’na) yang tidak ditemukan pada orang yang tereegah melakukan sebuah perbuatan. Padahal terdapat sisi kesamaan, yaitu sama-sama tidak mungkin melakukannya. Sedangkan menurut pendapat kedua, tidaklah demikian, karena orang yang lumpuh adalah orang yang mampu, dan orang yang tereegah melakukan sebuah perbuatan adalah orang yang tidak mampu, dalam arti keadaannya mampu dengan standar kebiasaan umum.

 

(Menurut pendapat ashah) bahwa pengunggulan antara sikap pasrah (tawakkal), dan sikap berupaya (ikhtisab) berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan manusia.

 

Sehingga kehendak untuk tajrid (melulu dalam peribadatan) disertai adanya penuntut asbab (berupaya lahir) adalah sebentuk syahwat yang tersamar. Dan kehendak untuk meniti jalan asbab disertai adanya penuntut tajrid adalah kemerosotan dari derajat yang tinggi.

 

Terkadang syaitan datang dengan membuang sisi ber-tyrid pada Allah (akan tetap) dalam kedok asbib, atau dengan kemalasan dalam kedok tawakkal.

 

Orang yang diberi pertolongan akan meneliti keduanya, dan meyakini bahw tidak ada yang terjadi kecuali dikehendaki oleh Allah SWT.

 

ANTARA TAWAKKAL DAN IKTISAB

 

Menurut pendapat ashah, mengenai hal yang lebih utama dipilih antara tawakkal (berpasrah diri) dan iktisab (berusaha) berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan manusia. Orang yang dalam tawakkalnya tidak marah atas kesulitan rezeki, tidak pula hatinya berharap dapat meminta minta salah seorang dari makhluk, dan tidak memiliki tanggungan nafkah wajib atas orang yang tidak menerima keadaannya, maka tawakkal bagi orang semacam ini adalah lebih baik. Karena dalam tawakkal terdapat kesabaran dan memerangi hawa nafsu.

 

Sedangkan orang yang dalam tawakkalnya bertolak belakang dari keadaan di atas, maka iktsab bagi orang semacam ini adalah lebih baik. Hal ini demi menjauhi emosi dan mengharap harta orang lain, Bahkan terkadang iktisab menjadi wajib baginya, sebagaimana ketika seseorang tidak mungkin berkonsentrasi ibadah kecuali dengan memenuhi kebutuhan primernya.

 

Pendapat kedua, tawakkal lebih utama secara mutlak. Tawakkal di sini adalah meninggalkan ikhtisab dan berpaling dari sabab-sabab (hukum kausalitas alam), karena kepereayaan hati kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:

 

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya”. (QS. Ath-Thalaq: 3)

 

Pendapat ketiga, bahwa iktisab lebih utama secara mutlak. Bukan untuk mengumpulkan harta dunia, meyakini dapat menarik rizki, dan membawa manfaat, namun karena ikhtisab tergolong sunnah yang diperintahkan Allah SWT dalam firman-Nya,

 

“Dan catilah karunia Allah”

 

ANTARA TARJIH DAN SULUK AL-ASBAB

 

Berdasarkan pendapat ashah di atas, seseorang yang menghendaki tajrid (melulu dalam peribadatan) padahal garis ketentuan Allah SWT mendorongnya ke arah asbab (upaya lahir), maka kehendak tersebut adalah syahwat yang tersamar. Maksud “Allah SWT mendorongnya ke arah asbab adalah bahwasanya Allah SWT telah menempatkan seseorang dalam asbab, dan dia menemukan keselamatan agamanya bersama dengan pertolongan asbab tersebut. Disebut syahwat, karena orang yang menghendaki demikian tidak konsisten bersama dengan kehendak Allah SWT, sebab dia menginginkan bagi dirinya sesuatu yang berbeda dengan kehendak tersebut, Dan disebut ‘tersamar’, karena dia tidak bertujuan mencari hal duniawi, namun bertujuan mendekatkan diri, agar mendapatkan derajat lebih tinggi menurut persangkaannya.

 

Sedangkan kebalikannya, seseorang yang menghendaki meniti jalan asbab padahal garis ketentuan Allah SWT mendorong ke arah tajrid, maka kehendaknya merupakan kemerosotan dari derajat yang tinggi menuju derajat rendah. Karena fgrid merupakan derajat tinggi, dimana Allah SWT telah menempatkan orang-orang pilihan di dalamnya.

 

Dalam kaitan ini, terkadang syaithan datang dengan membuang sisi ber-tajrid pada Allah SWT, akan tetapi dalam kedok asbab, atau dengan kemalasan, akan tetapi dalam kedok tawakkal.

 

Seperti diucapkan pada orang meniti jalan tajrid, yang mana tajrid lebih utama baginya, “Sampai kapan engkau meninggalkan upaya lahir? Tidakkah kau tahu, bahwa meninggalkan upaya lahir akan men-famakkan hati pada apa yang ada di tangan manusia? Maka tempuhlah jalan asbab agar kau selamat dari bahaya semacam tadi”.

 

Dan dikatakan pada orang yang meniti jalan asbib, yang mana jalan itu lebih utama baginya, “Andai saja kau tinggalkan upaya lahir, dan kau tempuh jalan tgjrid, dan kau bertawakkal pada Allah SWT, maka akan bening hatimu, akan bersinar cahaya itu, dan akan datang padamu rezeki dari sisi Alah SWT yang bisa mencukupimu. Maka tinggalkanlah asbah, agar tereapai untukmu kebeningan hati”.

 

Orang yang diberikan pertolongan (taufiq) akan meneliti dua hal ini, agar diselamatkan dari keduanya. Dengan tetap meyakini bahwasanya tidak akan terwujud, kecuali perkara yang dikehendaki Allah SWT dari keduanya, atau selain keduanya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 

Jika Allah Kena memimpahkna suatu kemudharatan kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia, Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya”.

 

Dan sungguh telah sempurna kitab ini (Lubb al-Ushul) dengan pujian bagi Allah SWT dan berkat pertolongan-Nya. Semoga dengan perantara kitab ini, Allah SWT menjadikanku bersama orang-orang  yang telah mendapatkan anugrah dariNya, yaitu para nabi, shiddiqin, syabada dan shalihin. Merekalah sebaik-baiknya sahabat di Surga.

 

Pengarang kitab Lubb Al-Ushul, Sayyiduna Wa Maulana Syaikhu Masyayikhil Islam Malikul Ulama’ Al-A’lam, Abu Zakariya Al-Anshari “As-Syafi’i mengatakan, “Selesainya pembuatan. kitab ini -adalah pada tanggal delapan belas, bulan Ramadhan, tahun 902 H”

 

Sebagai penutup, dengan kerendahan hati pengarang menyampaikan pujian kepada Allah SWT atas pertolongan yang dianugrahkan kepadanya. Juga memanjatkan harapan agar beliau termasuk ke dalam golongan orang-orang.yang mendapatkan anugrah dari Allah SWT. Yaitu para nabi, shiddigin, syuhada dan orang-orang shalih. Karena mereka adalah sahabat terbaik kelak saat menghuni surga. Amien yaa rabbal ‘alamien.