Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Syekh al-Barzanji memulai kitab dengan basmalah karena ingin meneladani kitab-kitab samawi dan mengikuti hadis-hadis Nabi saw. serta ijma’ umat Islam. Alasan ini juga yang dipakai – beliau saat melanjutkan basmalah dengan hamdalah.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan segala yang wujud sebab adanya Nur Muhammad yang rahasianya (sirr) mengalir pada segala sesuatu. Allah juga menjadikan gemerlap dzat Nur Muhammad sebagai penutup dan ujung segala sesuatu.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan seluruh makhluk sebab adanya cahaya Nabi Muhammad saw. Rahasia (sirr) dari cahaya tersebut mengalir pada segala sesuatu yang diciptakan Allah pada 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Dia juga menjadikan gemerlap cahaya Nabi Muhammad sebagai penutup dan ujung dari segala sesuatu tersebut.
Ka’ab al-Abbar ra. menuturkan,
Ketika Allah hendak menciptakan seluruh makhluk, menundukkan bumi, dan meninggikan langit, Dia “menggenggam” satu genggaman dari cahaya-Nya. Lalu berfirman kepada cahaya itu, “Jadilah engkau sebagai Muhammad!” Seketika itu juga cahaya itu berubah menjadi pilar cahaya yang menghilangkan kegelapan.
Pilar itu lalu bersujud seraya berkata, “Alhamdulillah.” Allah lalu berfirman kepada pilar cahaya itu, “Aku telah menciptakaninu dan memberimu nama Muhammad. Darimu Aku mulai penciptaan dan darimu pula Aku akhiri semua rasul.” Setelah itu, Allah membagi pilar cahaya itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Allah menciptakan Lauhul Mahfuzh. Dari bagian kedua, Allah menciptakan Pena (al-Qalam).
Allah lalu berfirman kepada Pena, “Tulislah!” Pena bergetar selama seribu tahun sebab wibawa firman Allah itu. Pena lalu bertanya kepada Allah, “Apa yang harus hamba tulis?’”’ Allah menjawab, “Tulislah la ilaha ilallah muhammadun rasalulladh (Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah).” Pena pun menulis kalimat tersebut.
Setelah itu, Pena mendapatkan hidayah berupa pengetahuan Allah mengenai makhluk-Nya. Lalu pada tulang rusuk Adam as., Pena menulis sebuah aturan untuk anak-anak Adam, “Siapa pun yang taat kepada Allah, Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga. Sebaliknya, siapa saja dari mereka yang bermaksiat terhadap Allah, Allah akan memasukkan mereka ke dalam neraka.”
Pena lalu menulis aturan umat Nabi Nuh as., “Siapa pun yang taat kepada Allah, Dia akan memasukkannya ke dalam surga. Sebaliknya, siapa saja yang bermaksiat terhadap Allah, Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”
Dia juga menulis aturan yang sama untuk umat Nabi Ibrahim as., “Siapa pun yang taat kepada Allah, Dia akan memasukkannya ke dalam surga. Sebaliknya, siapa saja yang bermaksiat terhadap Allah, Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”’
Begitu pula untuk umat Nabi Musa as. dan Nabi Isa as., “Siapa pun yang taat kepada Allah, Dia akan memasukkannya ke dalam surga. Sebaliknya, siapa saja yang bermaksiat terhadap Allah, Allah akan memasukkannya mereka ke dalam neraka.”
Akhirnya, Pena pun menulis aturan umat Nabi Muhammad saw., “Siapa pun yang taat kepada Allah, Dia akan memasukkannya ke dalam surga. Sebaliknya, siapa saja yang bermaksiat terhadap Allah…”
Sampai di situ, Pena berniat mengulangi kalimat yang sama, “Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” Namun, tiba-tiba terdengar seruan dari Tempat Tertinggj (al-Ali al-A’lla), “Wahai Pena, jagalah sikapmu!” Sontak Pena pun terbelah disebabkan wibawa firman Allah dan patah dj “tangan” al-qudrah (sifat Mahakuasa Allah). Sejak saat itu, pena mana pun hanya dapat digunakan menulis jika sudah dibelah dan dipatahkan. Allah lalu berfirman kepada Pena, “Tulislah ummah mudznibah wa rabbun ghafir (Umat melakukan dosa, tapi Tuhan Maha Pengampun).”
Dari bagian ketiga milik pilar cahaya tadi, Allah menciptakan Arasy (Singgasana). Selanjutnya, Allah membagi bagian keempat dari pilar cahaya itu menjadi empat bagian lagi. Allah menciptakan akal dari bagian pertama, makrifat dari bagian kedua, dan cahaya Arasy, cahaya mata, dan cahaya matahari dari bagian ketiga. Semua cahaya itu bersumber dari Nur Muhammad, makhluk yang paling pertama diciptakan.
Sementara bagian keempat tetap tersimpan di bawah Arasy. Kemudian saat Allah menciptakan Adam as, Allah memasukkan bagian ke empat itu ke punggung Adam.
Allah kemudian memerintahkan semua malaikat bersujud kepada Adam, lalu Allah memasukkan Adam ke dalam surga. Para malaikat berdiri bersaf-saf di belakang punggung Adam sembari semua melihat ke arah Nur Muhammad.’
Adam pun bertanya, “Ya Allah, mongapa para malaikat itu berdiri bersaf-saf di belakang punggungku?” Allah menjawab, “Wahat Adam, mereka melihat Nur kekasih-Ku, Muhammad, yang menjadi penutup para rasul. Kelak, Aku akan mengeluarkan cahaya itu dari punggungmu.”
Adam memohon, “Ya Allah, letakkan Nur itu di depanku agar para malaikat berada di depanku.” Allah mengabulkannya dan meletakkan Nur itu di dahi Adam. Para malaikat pun berpindah dan berdiri di hadapan Adam.
Setelah itu Adam berdoa lagi, “Ya Allah, letakkanlah Nur ini di tempat yang dapat aku lihat.” Allah pun mengabulkannya dan meletakkan Nur itu di jari telunjuk Adam. Adam akhirnya bisa melihat Nur yang keindahan dan wibawanya terus bertambah. Adam juga mendengar Nur ini mengucapkan tasbih yang agung.
Kemudian Nur itu berpindah darinya kepada Hawa. Adam pun melihat Nur yang berada di wajah Hawa laksana matahari yang bersinar.. Saat Hawa melahirkan rasul pertama, Nur itu berpindah dari wajah Hawa kepada Nabi Syits as.
Allah lalu bersumpah kepada Adam bahwa Nur itu hanya bertempat pada wanita yang suci. Sejak sumpah itu diucapkan, Nur itu berpindah dari satu orang mulia ke orang mulia berikutnya dan dari perempuan suci ke perempuan suci berikutnya. Sampai akhirnya Nur itu sampai ke tulang punggung Abdullah bin Abdul Muththalib.
Nabi Muhammad saw. akhirnya dilahirkan dan Allah menjadikan beliau sebagai Sayyidul Mursalin (Pemimpin Para Rasul), Khatamun Nabiyyin (Penutup Para Nabi), Rahmatan lil ‘Alamin (Rahmat bagi Alam Semesta), dan Qa’idul Ghurril Muhajjalin (Pemimpin Orang-Orang yang Wajahnya Bercahaya).
Allah mengistimewakan keluarga beliau yang membanggakan serta keturunan beliau yang suci dengan berbagai rahasia ilahiyah. Mereka adalah benteng kokoh bagi penghuni bumi dan pelindung bagi agama.
Keluarga Nabi Muhammad adalah seluruh orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah saw. dan semua istrinya, sedangkan yang dimaksud keturunan beliau adalah anak-anak beliau. Mereka semua adalah orang yang suci dari segala aib, baik aib lahir maupun batin.
Keluarga dan keturunan Nabi Muhammad mendapatkan rahasia ilahiyah berupa ilmu makrifat yang tertanam dalam hati. Dengan demikian, mereka menjadi benteng yang sangat kokoh bagi penghuni bumi. Tanpa mereka, niscaya semua penghuni bumi akan binasa, seperti sabda Nabi dalam sebuah hadis. Selain itu, mereka juga adalah orang-orang yang senantiasa menjaga agama Islam dengan segenap hukum syariatnya.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan) kepada
Saydina Muhammad, sang manusia terbaik, juga kepada keluarga, para sahabat, semua pengikut, dan segenap orang yang mencintai beliau.
Semoga rahmat yang disertai pengagungan dan keselamatan tercurah kepada Sayidina Muhammad, manusia terbaik, juga kepada keluarga, para sahabat, semua pengikut, dan segenap orang yang mencintai beliau.
Frasa khairul bariyyah artinya makhluk terbaik. Orang Arab mengabaikan hamzah pada kata bariyyah. Imam al-Fara’ menyatakan, “Apabila kata bariyyah diambil dari kata al-bard yang berarti tanah, asal kata itu memang tidak memiliki hamzah.”
“Keluarga Nabi” (Alihi) adalah semua Ahlu Bait Rasulullah saw., yaitu orang-orang mukmin dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Pengulangan kata “kepada” (‘ala) yang dilakukan di sini merupakan isyarat bahwa shalawat yang dilimpahkan kepada keluarga beliau saw. lebih rendah derajatnya daripada shalawat yang dianugerahkan kepada Nabi saw. Pengulangan ini juga menunjukkan bahwa masing-masing dari keduanya terkhususkan dengan satu shalawat tertentu. Sebab, jika keduanya disatukan (disamakan), hal itu merupakan bentuk su‘ul adab atau ketidaksopanan.
“Para sahabat Nabi” (ashhabihi) adalah para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. “Para pengikut beliau” (atba’ihi) adalah segenap kaum muslim, termasuk orang-orang muslim yang melakukan maksiat. Sementara “segenap orang yang mencintai Nabi” (an w4lah) adalah siapa pun yang mo, muliakan dan mencintai Rasulullah saw.
Berikut ini adalah perkataan seorang ahli makrifat yang telah menghimpun segala anugerah tertinggi serta telah menghiasi dirinya dengan ilmu lahir dan ilmu batin sehingga kedua ilmu ini menjadi kebiasaan serta tujuan akhirnya.
Setelah menyampaikan basmalah, hamdalah, shalawat, dan salam, seorang ahli makrifat, yang mengenal Allah swt. dan telah berhasil menghimpun segala anugerah, berupa beragam nikmat jangka pendek seperti ilmu, ketabahan, kejujuran, amanah, dan sifat malu, ingin menjelaskan: ilmu merupakan nikmat yang bersifat jangka pendek jika manfaatnya tidak dirasakan orang lain, seperti halnya sebuah pemberian.
Sosok ahli makrifat itu juga telah mendapatkan segala anugerah tertinggi dan terbaik serta telah menghiasi dirinya dengan ilmu lahir, ilmu mengenai berbagai praktik ibadah, muamalah, dan sebagainya, dan ilmu batin, ilmu mengenai cara menyucikan hati dari segala noda. Akhirnya, ilmu-ilmu tersebut menjadi kebiasaan ahli makrifat itu sekaligus meNjaqj puncak tujuannya.
“Kebiasaan” (didan) boleh ditulis menggunakan hurut alif sebelum huruf pun ( ) dan boleh ditulis tanpa menggunakan huruf alif ( ).
Dia adalah pemilik nasab yang suci dan menyelamatkan siapa pun yang mencintainya di hari Kiamat dari api neraka yang berkobar. Dia adalah Maulana Sayid Ja’far bin Hasan yang marga dan negaranya diatribusikan kepada al-Barzanji.
Sosok ahli makrifat itu adalah pemilik nasab suci lagi bersih dari segala bentuk kotoran yang dapat menimpa para lelaki dan para wanita, yaitu nasab Rasulullah Muhammad saw. Kelak di hari Kiamat, ketika semua manusia dibangkitkan kembali untuk tunduk kepada Allah, Tuhan semesta alam, kecintaan pada nasab Nabi akan menjadi penyelamat dari api neraka Jahanam yang berkobar dengan panasnya yang tak terperi.
Sosok itu adalah Maulana Abu Zain Sayid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim (yang dimakamkan di Jedah) bin Sayid Mu, hammad al-Madani al-Barzanji. Dari kakeknya inilah, nama al-Barzanji disematkan kepada Sayid Abu Ja’far dan sekaligug menunjukkan tempat lahirnya.
Aku memulai pembahasan ini dengan menyebut nama Dzat Yang Mahatinggi serta memohon limpahan berkah atas apa yang Allah berikan dan karuniakan kepada beliau (Rasulullah saw.). Yang kedua, aku memuji (kepada Allah) dengan pujian yang sumbernya mudah seraya “mengendarai unta” yang berbentuk rasa syukur yang indah.
Aku memulai pembacaan maulid, sirah, dan berbagai pernak-pernik kehidupan Nabi Muhammad ini dengan menyebut nama Dzat yang memiliki derajat Mahatinggi pada semua sifat kesempurnaan-Nya.. Aku juga memulai dengan memohon limpahan berkah atas apa yang Allah berikan dan karuniakan kepada Rasulullah saw. Yang kedua, aku memuji kepada Allah dengan lisan yang sumbernya tulus tanpa ada paksaan.
Kata berarti “yang kedua” jika huruf tsa’ berharakat fathah dan huruf nan berharakat kasrah (ulsanni). Sementara jika huruf hamzah berharakat dhanimah dan huruf tsa’ berharakat sukun (utsni), artinya menjadi “aku memuji”. Dengan demikian, arti kalimat di atas menjadi, “Aku memuji dengan pujian yang sumbernya yang mudah tanpa susah payah.”
“Sumber” (mawarid) adalah sumber pujian, yaitu lisan dan seluruh kejadian, baik ataupun buruk, yang memunculkan pujian tersebut.
Secara bahasa, kata al-hamd yang dicantumkan pada awal kitab adalah pujian yang diucapkan lisan ketika menghadapi kejadian, baik yang menyenangkan maupun tidak, yang dianggap sebuah keindahan yang hakiki atau majas, dengan disertai pengagungan secara lahir dan batin. Artinya, saat mengucapkan pujian, seseorang beserta seluruh tindakannya tidak meyakini bahwa Allah suci dari segala sifat yang berkebalikan dengan sifat baik-Nya.
Sementara secara istilah, arti al-hamd adalah perbuatan yang menunjukkan pengagungan Sang Pemberi Nikmat karena Dia memberikan nikmat kepada pihak yang memuji dan juga pihak lainnya, baik perbuatan itu berupa ucapan lisan, berupa keyakinan hati, maupun tindakan anggota tubuh. Pujian dengan arti ini tidak diperintahkan untuk selalu tercantum di awal kitab.
Semua sumber pujian (al-hamd) itu begitu mudah dan gampang, sebab memuji tidak hanya terbatas pada alat ucap, melainkan bisa dilakukan oleh anggota tubuh lainnya, termasuk tangan. Demikian pula halnya dengan hal-hal yang berkaitan dengan pujian. Hal-hal itu tidak sulit ditemukan karena pujian bisa saja muncul ketika kita mendapatkan nikmat atau tertimpa bala.
Semua itu dilakukan dengan “mengendarai unta” yang berbentuk rasa syukur yang indah. “Mengendarai” (mumtathiyan) adalah hal (kata benda penjelas) untuk subjek dari kata kerja memuji (utsni). Jika kata kerjanya berarti “yang kedua” (utsanni), “mengendarai” (mumtathiyan) menjadi hdl bagi kata hamd.”
Mathéyé merupakan jamak dari kata mathiyyah yang berarti “unta”. Kata ini menjadi objek dari kata mumtathiyan, Sementara frasa min asy-syukri berstatus sebagai kata penjelas untuk mathdya yang diletakkan lebih dulu.
Artinya, aku memuji Allah seraya menghantarkan rasa syukur kepada-Nya. Sebab, syukur (asy-syukr) secara bahasa memiliki arti yang sama dengan pujian (al-hamd) secara istilah, yaitu perbuatan yang menunjukkan pengagungan Sang Pemberi Nikmat karena Dia adalah memberikan nikmat kepada pihak yang memuji dan juga pihak lainnya, baik perbuatan itu berupa ucapan lisan, berupa keyakinan hati, maupun tindakan anggota tubuh.
Sementara syukur secara istilah adalah perbuatan seorang hamba terhadap semua nikmat yang Allah berikan kepadanya, baik berupa pendengaran maupun lainnya, yang sesuai dengan fungsi penciptaan nikmat tersebut.
Sayid Ja’far al-Barzanji menyerupakan nikmat dengan unta sekaligus menyerupakan dirinya dengan penunggang unta karena dia senantiasa memuji dan bersyukur, seperti penunggang unta yang terus mengendarai untanya.
Aku memohon semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada cahaya yang mendahului dan mengawali (seluruh makhluk). Yang terus berpindah pada orang-orang yang mulia dan terkemuka.
Aku memohon semoga rahmat dan keselamatan dari Allah tetap tercurahkan kepada sang pemilik cahaya yang mendahului dan mengawali semua makhluk. Sebab, sang pemilik cahaya itulah makhluk pertama, seperti yang dinyatakan dalam hadis. Suatu ketika, Jabir ra. bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai apa yang pertama kali Allah ciptakan. Nabi pun bersabda,
“Allah menciptakan cahaya nabimu sebelum menciptakan segala sesuatu. Kemudian Dia menjadikan cahaya itu berputar dengan kuasa-Nya. Pada saat itu, belum ada Lauhul Mahfuzh, Pena, surga, neraka, malaikat, manusia, jin, bumi, langit, matahari, dan bulan.”
Berdasarkan dalil ini, cahaya itu berupa esensi (jauhar) dan bukan berupa aksiden (‘ardh).”
Cahaya itu terus berpindah pada orang-orang yang mulia dan terkemuka. Sebagaimana dinyatakan oleh penyair dalam syair berikut ini,
Nur Musthafa sang pemimpin manusia berpindah ke punggung Adam.
Cahaya itu lebih terang dari bulan
Ia melihat para malaikat datang dari langit
Lalu mereka bersujud memuliakan Maha Pembentuk Rupa.
Mereka bertasbih dan bersyukur kepada Tuhannya
Mengangungkan al-Mahmid (yang terpuji)
Mulialah Dia Yang Maha Menundukkan.
Dalam Injil telah disebutkan sifat-sifatnya
Juga di dalam Taurat dan beberapa surat al-Quran
Ketika Adam melihat para malaikat turun mengarah ke punggungnya.
Lalu, mereka bersujud hormat, Adam pun takjub “llahi, itu Nur milik manusia yang belum lahir
Aku lihat para malaikat ramai mendatanginya,” kata Adam.
Rahman berfirman padanya, “Itulah Nur Muhammad!
Yang Aku pilih di antara semua orang desa dan perkotaan.”
Adam berkata, “Wahai Rabb, aku ingin
Nur ini diletakkan di depanku agar aku bisa melihatnya.
Letakkan ia di telunjukku, sedangkan sahabatnya
Abu Bakar di jari tengahku, dan di jari manisku Umar.
Di kelingkingku Utsman pemilik cahaya dan wibawa
Di ibu jariku ada Haidar (Ali) yang suci lagi gagah.”
Oleh karena itulah, jika Adam bertasbih kepada Sang Maha Merawat
Ikut bertasbih pula Muhammad dan para sahabat yang mulia.
Aku memohon kepada Allah ridha khusus bagi keluarga Nabi yang suci dan ridha umum bagi para sahabat, para tabi’in, dan siapa saja yang mencintai beliau. Aku memohon kepada-Nya hidayah untuk menempuh jalan yang jelas lagi terang dan perlindungan dari kesesatan di semua tempat dan langkah. Aku akan menceritakan kisah kelahiran Nabi saw. yang mulia ibarat pakaian yang indah lagi paripurna. Kisah ini akan menghimpun nasabnya yang mulia laksana untaian mutiara yang dipakai di telinga.
Aku memohon kepada Allah keridhaan serta anugerah-Nya yang khusus bagi Ahlul Bait yang suci dari segala bentuk kesyirikan dan kotoran. Mereka semua bernasab kepada Nabi saw. sebagai keturunan beliau. Aku juga memohon ridha umum bagi para sahabat, tabi’in, dan siapa saja yang mencintai Nabi.
Sahabat adalah siapa saja yang pernah bertemu Rasulullah saw. dalam kondisi terjaga (bukan dalam mimpi) dan beriman kepada beliau di saat beliau sudah diangkat menjadi nabi dan sebelum beliau wafat.
Semua yang memenuhi syarat di atas adalah sahabat, walaupun mereka tidak meriwayatkan hadis dari beliau, walaupun pertemuannya dengan beliau sebentar, walaupun mereka tidak duduk bersama beliau, walaupun mereka tidak dapat melihat beliau karena suatu kondisi, seperti tunanetra, walaupun Nabi saw. tidak melihatnya, walaupun saat itu mereka masih anak kecil, dan walaupun mereka sempat murtad serta tidak sempat bertemu Nabi saw. lagi sampai beliau wafat, tapi mereka meninggal dalam kondisi mukmin.
Tabi’in adalah orang-orang yang sempat bertemu dengan para sahabat Nabi. Sementara mereka yang mencintai Nabi adalah mereka yang mencintai sekaligus menghormati Nabi.
Aku juga memohon kepada Allah hidayah petunjuk untuk menjalani hukum-hukum syariat sehingga menjadi jalan yang jelas lagi terang untuk mencapai surga. Syariat diserupakan dengan dengan jalan yang kita ketahui karena sama-sama mengantarkan kita kepada sebuah tujuan dan keselamatan.
Aku juga memohon perlindungan kepada Allah dari kesesatan di semua tempat atau segala hal dan kesalahan mengambil langkah.
Khithath merupakan bentuk jamak dari kata khiththah yang berarti tanah kosong yang tidak dihuni oleh siapa pun. Namun, khithath dapat pula dibaca khuthath yang merupakan jamak dari kata khiththah dan berarti suatu hal, keadaan, atau karakter.
Sementara khuthah berarti thuruq (beberapa jalan). Kata ini merupakan bentuk kata plural tak beraturan (jam’ katsrah) dari kata khuthwah yang berarti langkah. Satu langkah setara tiga kaki atau satu setengah hasta.
Aku akan menceritakan kisah kelahiran, riwayat hidup, dan pernak-pernik kehidupan Nabi Muhammad saw. yang mulia ibarat pakaian yang indah lagi paripurna.
Buraid adalah bentuk jamak dari kata burd (pakaian). Bentuk jamak dari kata ini bisa berupa kata abrdd atau abrad. Sementara kata burdah berarti kain hitam segi empat yang bermotif dan biasa dikenakan kaum Badui. Jamak kata burdah adalah burad, sebagaimana yang tertulis dalam kitab ashShihah dan kitab linguistik lainnya.
“Paripurna” (‘abqariyyah) berarti berharga lagi detail pembuatannya. Di dalam al-Qdmas, kata ‘abqari diartikan sebagai sesuatu yang sempurna pada segala aspek atau berarti sesuatu yang berada di puncak dalam kualitasnya.
Apa yang akan aku ceritakan ini menghimpun nasab Rasulullah saw. laksana kalung (‘iqd) dari rangkaian permata.
Kata ‘iqd memang memiliki arti kalung permata seperti yang dinyatakan oleh Muhammad asy-Syanwani. Akan tetapi, kata ‘iqd di sini artinya beberapa permata, sebab yang dirangkai menggunakan benang adalah permata dan bukan kalung.
Permata-permata itulah yang dijadikan perhiasan pada
telinga semua yang hadir di majelis-majelis pembacaan kitah maulid ini. Bacaan yang lebih fasih untuk kata “hula” adalah dengan membaca kasrah pada huruf ha’ (hila). Hula adalah kata jamak dari kata hilyah yang berarti deskripsi, sifat, atay penjelasan. Ada dua kata yang dibuang sebelum kata hula, Frasa lengkapnya adalah telinga orang-orang yang mendengarkan penjelasan nasab ini.
Oleh karenanya kalimat tahalld al-masdmi’ berstatus manshub, sebagai penjelas (sifah) kata ‘iqd. Namun, bisa saja jika kata ‘iqd berstatus sebagai sifat atau hdl bagi kata burtidan sehingga kata ganti pada kata hulahu merujuk kepadanya atau kata ‘iqd menjadi hal bagi kata gishshah al-maulid sehingga kata ganti pada kata hulahu merujuk kepadanya pula. Akan tetapi apabila huruf ha’ dibaca fathah (hulahq), aku tidak mempunyai penjelasan untuk hal itu.
Aku memohon pertolongan dengan daya dan kekuatan Allah swt. yang kuat. Sebab, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan bantuan Allah. Ya Allah, harumkanilah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Aku memohon pertolongan Allah dalam membuat pakaian ini, yaitu dalam menuturkan kisah dalam lembaran-lembaran ini, dengan daya dan kekuatan Allah swt. yang sempurna. Sebab, tidak ada daya menghindari maksiat dan tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ibadah kecuali dengan perlindungan dan taufik-Nya.
Setiap kali Sayid Ja’far sampai pada akhir penjelasannya, beliau memberi jeda dengan shalawat dan salam yang dihadiahkan kepada manusia paling mulia. Berikut kalimat shalawat yang selalu Sayid Ja’far ulangi ketika berpindah dari satu topik ke topik yang lain,
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Kalimat ini merupakan bentuk permohonan kepada Allah agar berkenan mengharumkan kuburan Nabi saw., manusia yang memiliki segala kesempurnaan, dengan semerbak cendana berupa shalawat dan salam.
Makna kalimat di atas adalah “Wahai Allah, harumkanlah uburan beliau dengan semerbak wewangian cendana, yaitu berupa rahmat dan salam,” jika kata syadziy dibaca dengan huruf ya’ bertasydid sehingga ia menjadi sifah. Demikian pula halnya jika kata syadziy menjadi mudhaf ilaih bagi kata ‘arf sehingga itu adalah bentuk penggabungan sebuah kata kepada sifatnya.
Huruf syin dan dzal pada kata syadziy juga boleh dibaca fathah (syadza) sebagai bentuk jamak dari kata syadzah. Jika dibaca seperti itu, kata tersebut berstatus sebagai mudhaf ilaih. Syekh Ilyasi menyatakan, “Jika saja penulis menggunakan kalimat ‘bi asy-asyadza ‘arfin shalah wa taslim”, tentu itu lebih baik. Jika saja penulis menyatakan ‘‘aththirillahumma turbatahul ‘ulyah ‘arf syadzid min afdhal salam wa shalah, itu akan berima seperti kalimat-kalimat sebelumnya.”
Berikut penjelasanku, beliau adalah Sayidina Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib, namanya adalah Syaibatul Hamdi yang luhur perilakunya. Beliau putra Hasyim, yang namanya adalah Amr, putra Abdi Manaf, yang bernama asili Mughirah, keluhuran adalah citranya karena tinggi derajatnya.
Aku akan mulai menguntai mutiara nasab Nabi Muhammad saw., lalu kemudian menyulam perjalanan dan laku kehidupan beliau.
Beliau adalah Sayidina Muhammad, putra Abdullah. Dulu, setiap kali Abdullah mclintas di siang hari, aroma kesturi dan ambar tersebar dari tubuhnya. Sementara jika dia melintas di malam hari, ada cahaya yang bersinar scporti pelita di antara kedua matanya. Inilah yang menyebabkan penduduk Makkah menjuluki Abdullah dengan Mishbéh al-Haram (Pelita Tanah Haram).
Abdullah adalah putra Abdul Muththalib. Abdul Muththalib wafat saat berusia 110 tahun di Barman, sebuah tempat di jalur perjalanan menuju Yaman. Dia dimakamkan di Hajun. Namun, ada yang mengatakan dia berusia 140 tahun. Inilah pendapat yang lebih tepat.
Menurut pendapat yang sahih, nama asli Abdul Muththalib adalah Syaibatul Hamdi. Nama Syaibah (uban) didapatkan karena ketika dilahirkan, Abdul Muththalib sudah memiliki sehelai rambut uban. Nama Syaibah itu lalu disandingkan dengan hamd (pujian) sebagai isyarat bahwa dia hidup dalam pujian.
Syaibah mendapatkan julukan “Abdul Muththalib” karena ketika pamannya yang bernama Muththalib tiba dari Madinah dengan membawa Syaibah memasuki Makkah, Nur Rasulullah saw. di wajahnya bersinar sampai menerangi celah gunung dan dataran tinggi di sana.
Orang-orang pun berdatangan dari berbagai penjuru menyambut Muththalib seraya berkata kepadanya, “Wahai Tuan, siapakah gerangan yang bersamamu ini? Cahayanya telah menyinari seluruh dataran tinggi!” Muththalib pun menjawab, “Ini adalah ‘abd? (budakku).” Sontak, orang-orang itu berseru, “Betapa terangnya cahaya Abdul Muththalib (Budak Muththalib), betapa baiknya Abdul Muththalib.”
Abdul Muththalib adalah putra Hasyim. Setiap kali Hasyim melintas di dekat batu, tanah, atau pohon, semua Dia putra Qushai yang bernama asli Mujammi’. Dia disebut qushai karena dia merantau ke negeri Qudha’ah yang sangat jauh. Saat Allah swt. mengembalikannya ke Tanah Haram yang terhormat, Dia memeliharanya dengan pemeliharaan yang sempurna. Qushai putra Kilab yang bernama asli Hakim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr. Fihr bernama asli Quraisy. Kepadanya, semua Bani Quraisy dinasabkan. Mereka yang di atas Fihr termasuk Bani Kinanah, sebagaimana pendapat yang diterima oleh banyak orang.
Abdu Manaf adalah putra Qushai. Nama aslinya adalah Mujammi’. Dia dijuluki mujammi’ (orang yang mengumpulkan) karena dengan dialah Allah mengumpulkan kabilah-kabilah dari Fihr. Sementara julukan gushai dia dapatkan karena dia merantau dan jauh dari keluarganya di negeri Qudha’ah.
Qudha’ah adalah kepala perkampungan dari Yaman yang bernama lengkap Qudha’ah bin Malik bin Himyar bin Saba’. Negeri itu sangat jauh dari Makkah. Perantauan ini terjadi ketika ibu Qushai yang bernama Fathimah binti Sa’ad membawanya dari Makkah ke Qudha’ah setelah kematian ayahnya.
Qushai terus menetap di sana sampai Allah swt. mengembalikannya ke Tanah Haram, Makkah, yang terhormat lagi diagungkan. Lalu Dia melindunginya dari segala hal yang terlarang di Tanah Haram Makkah.
Qushai adalah putra Kilab yang merupakan kakek ketiga dari Aminah, ibunda Nabi saw. Kilab menjadi titik temu antara nasab ayah dan nasab ibunda Nabi Muhammad saw. Nama asli Kilab adalah Hakim. Dia dijuluki kilab (kilab jamak kalb, berarti anjing) karena dia sering berburu dengan mengerahkan banyak anjing.
Kilab adalah putra Murrah yang merupakan kakek keenam Abu Bakar ra. dan menjadi titik pertemuan antara nasab Nabi saw. dan nasab Imam Malik.
Murrah adalah putra Ka’ab. Dia dinamai Ka’ab (kemuliaan) karena keagungan serta keluhurannya. Dia adalah kakek kedelapan Umar bin Khaththab ra.
Ka’ab adalah putra Luai. Sementara Luai adalah putra Ghalib. Ghalib (penakluk) mendapatkan namanya ini karena dia selalu berhasil meraih kemenangan ketika melawan musuh-musuhnya.
Ghalib adalah putra Fihr yang memiliki nama asli Quraisy. Seluruh Bani Quraisy berasal dari Fihr ini. Jika bersama dengan ya nisbah kata Quraisy yang berarti Bani Quraisy ditulis dengan tanpa huruf ya’ sebelum huruf syin. Hal ini dilakukan untuk membedakannya dengan binatang laut yang karnivora (ikan hiu).
Semua nenek moyang Fihr bermarga Kinanah yang dinasabkan kepada Kinanah bin Khuzaimah al-Qurasyi. Demikian menurut pendapat yang benar sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Ahmad al-Qasthalani dan diterima banyak orang.
Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas. Ilyas adalah orang pertama yang mengurbankan budn (hewan kurban) ke Tanah Haram. Dari tulang sulbinya, terdengar suara Nabi saw. yang sedang berzikir serta membaca talbiyyah untuk Allah swt.
Fihr adalah putra Malik (pemilik). Dia mendapatkan Namanya ini karena dia menguasai Arab. Malik adalah putra Nadhr yang bernama asli Qais. Dia dijuluki nadhr (cemerlang) karena wajah bersinar memancarkan cahaya.
Nadhr adalah putra Kinanah. Ada yang menyatakan bahwa dia disebut Kinanah karena dia selalu berada di pemukiman (kinn) kaumnya. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa nama itu muncul karena dia selalu melindungi serta menjaga rahasia (kanna) kaumnya.
Kinanah adalah putra Khuzaimah. Khuzaimah wafat dalam kepatuhan pada ajaran Ibrahim as.
Khuzaimah adalah putra Mudrikah. Nama aslinya adalah Amr dan julukan kunyah-nya adalah Abu Hudzail. Ada yang menyatakan bahwa dia mendapatkan julukan Mudrikah karena pada suatu ketika untanya melihat seekor kelinci lalu untanya melarikan diri, tapi kemudian Amr berhasil mendapatkan (adraka) untanya lagi.
Mudrikah adalah putra Ilyas. Menurut Ibnu Anbari, huruf hamzah padanya namanya berharakat kasrah. Inilah pendapat yang paling benar dan masyhur. Namun menurut Qasim bin Tsabit, huruf hamzah tersebut bisa dibaca dengan harakat fathah (alyas).
Ilyas adalah orang pertama yang mengurbankan budn, yakni unta atau sapi betina, untuk disembelih ke Tanah Haram. Istilah “budn” dipakai untuk menyebut hewan sembelihan disebabkan badan hewan sembelihan selalu besar dan karena kebiasaan orang Arab menggunakan kata itu untuk menyebut hewan sembelihan, sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Mishbéh dan ash-Shihaéh. Yang dimaksud “ar-rihadb al-haramiyyah” di sini adalah Tanah Haram.
Dari tulang sulbi Ilyas inilah pernah terdengar suara Nabi saw. berzikir menyebut nama Allah serta menyahut panggilan-Nya. Bacaan yang terdengar sama dengan yang biasa dikumandangkan dalam pelaksanaan ibadah haji. Kedudukan Ilyas pada bangsa Arab setara dengan Luqman pada kaumnya.
Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Inilah kalung yang butiran-butiran permatanya terangkai oleh hadis yang sahih. Penyebutan orangorang di atas Adnan sampai kepada al-Khalil Ibrahim as. dilarang dan dicegah oleh Syari’ (Pembawa Syariat).
Ilyas adalah putra Mudhar. Nama aslinya adalah Amr. Dia dijuluki Mudhar karena dia sangat menggemari susu yang masam (mddhir). Namun, ada juga yang menyatakan karena dia selalu menawan hati (yumdhir al-qulab) siapa pun yang melihatnya. Bahkan, setiap orang yang melihatnya, orang itu pasti akan langsung menyukainya karena saking tampan wajahnya. Apalagi dia disebut-sebut sebagai manusia yang paling indah suaranya.
Mudhar adalah putra Nizar. Dia disebut seperti itu karena sosoknya yang kurus. Nur kenabian tampak di antara kedua matanya. Menurut pendapat yang sahih, Nizar adalah orang pertama yang menulis kitab dalam bahasa Arab. Nizar adalah titik pertemuan nasab Nabi saw. dengan nasab Imam Ahmad.
Nizar adalah putra Ma’ad. Dia disebut ma’ad karena dia selalu siap (mu’id) berperang melawan Bani Israil. Ma’ad adalah sosok selalu berhasil mengalahkan musuhnya. Ada yang menyatakan bahwa Ma’ad adalah Nabi Armiya as.
Ma’ad adalah putra Adnan. Ada yang menyatakan bahwa Adnan hidup pada zaman Nabi Isa as. Namun, pendapat yang benar adalah dia hidup pada masa Nabi Musa as. Pendapat yang terakhir ini diperkuat oleh riwayat dari Abu Umamah. Rasulullah saw. bersabda,
“Ketika empat puluh keturunan Ma’ad bin Adnan berhadapan dengan pasukan Musa dan _ berhasil mengalahkannya, Musa pun mendoakan keburukan terhadap mereka. Namun, Allah lalu befirman kepada Musa, ‘Janganlah engkau mendoakan keburukan terhadap mereka, sebab di antara mereka akan ada Nabi yang tidak bisa membaca, menulis, dan menyampaikan peringatan serta kabar gembira.’” (HR. Thabrani) Berikut adalah nazham milik seorang ulama yang berisi nama-nama nenek moyang Rasulullah saw.,
Muhammad, Abdullah, Muththalib, Hasyim
Manaf, Qushai, Kilab, lalu Murrah
Setelah itu Ka’b, Luay, Ghalib, Fihr, dan Malik
Juga Nadhar, putra Kinanah bin Khuzaimah
Kemudian Mudrikah, Ilyas, Mudhar
Nizar, Ma’ad, dan Adnan
Menurut Sayid Ahmad al-Marzugi, lafal ibn (dalam susunan nasab di atas) berharakat kasrah karena menjadi sifat (kata benda penjelas) bagi nama yang berharakat kasrah sebelumnya, kecuali kata ibn yang pertama. Kata ibn ini berharakat dhammah karena menjadi sifat bagi kata benda yang berharakat dhammah.
Inilah nasab mulia laksana kalung yang butiran-butiran permatanya dirangkai dari hadis-hadis yang tinggi (sahih). Kata “saniyyah” (tinggi) sendiri mungkin diambil dari kata sand yang berarti ketinggian (raf’ah) atau diambil dari kata sand yang berarti sinar (dhau’). Sayid Ja’far menyerupakan hadis sahih yang menunjukkan nasab mulia Nabi dengan sosok manusia yang mulia.
Penyebutan nasab di atas Adnan sampai kepada Ibrahim ditahan dan dilarang Rasulullah yang membawa syariat Islam. Sebab, Rasulullah menyampaikan nasab beliau hanya sampai Adnan, bukan sampai Ibrahim as. Ibnu Abbas as. meriwayats kan bahwa setiap kali Nabi saw. menyampaikan nasab beliau, beliau selalu berhenti sampai Ma’ad bin Adnan. Lalu beliay bersabda, “Telah berdusta orang-orang yang menentukan nasab.” Beliau mengatakan itu dua atau tiga kali. (HR. Ibnu Asakir)
Sementara itu diriwayatkan bahwa setiap kali Ibnu Mas’ud ra. membaca firman Allah,
“Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Samud, dan orang-orang setelah mereka? Tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka selain Allah. Rasul-rasul telah datang kepada mereka dengan (membawa) bukti-bukti yang nyata, tetapi mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (sebagai tanda penolakan dan karena kebencian) dan berkata, ‘Sesungguhnya kami tidak percaya akan ajaran yang kamu bawa dan kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan menyangkut apa yang kamu serukan kepada kami.” (QS. Ibrahim [52]: 9)
Dia selalu berkata, “Telah berdusta orang-orang yang menentukan nasab.” Maksudnya, orang-orang itu mengklaim mengetahui ilmu nasab, padahal Allah telah menafikan pengetahuan tentang ilmu itu dari semua hamba-Nya.
Imam Malik juga pernah menolak orang yang menyebutkan nasabnya sampai Nabi Adam as., bahkan sampai Nabi Ismail. Dia lalu berkata kepada orang itu, “Siapakah yang memberitahumu semua itu?” Selain itu, Imam Malik juga memakruhkan penyebutan nasab para nabi, semisal penyebutan bahwa Ibrahim adalah putra dari Fulan. Dia selalu berkata kepada orang-orang yang seperti itu, “Siapakah yang memberitahumu semua itu?”
Tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memiliki ilmu nasab bahwa nasab Adnan sampai kepada Ismail yang dijadikan kurban. Betapa agungnya nasab yang berupa untaian mutiara berkilau. Bagaimana tidak, sementara Junjungan yang paling mulia saw. terpilih untuk berada di tengah-tengah.
Tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memiliki ilmu nasab bahwa nasab Adnan sampai kepada Ismail yang dijadikan kurban. Kata “muntamah” (sampai) menggunakan huruf mim, seperti yang terdapat dalam kitab ash-Shihah. Namun, ada naskah yang mencantumkan kata “muntahah” dengan huruf hd yang berarti ujung.
Betapa agungnya nasab yang berupa untaian mutiara berkilau. Huruf hamzah pada kata a’zhim dibaca fathah dan huruf zha’-nya dibaca kasrah. Bentuk kata ini memang seperti perintah (amr/verba imperatif), padahal ia adalah fi’l madhi (verba perfektif) yang menunjukkan rasa takjub. Lafal “min ‘iqd”’ berstatus sebagai tamyiz (kata benda penjelas) milik verba yang menunjukkan rasa takjub (yaitu a’zhim), sekaligus menjadi tafsir bagi kata ganti pada “bihi’, sebab tamyiz sering muncul pada verba yang menunjukkan rasa takjub.
Jadi maksud kalimat ini adalah sesuatu agung yang menimbulkan rasa takjub itu adalah nasab Nabi saw. yang keelokannya menyerupai kalung indah yang rangkaian mutiaranya laksana bintang-gemintang yang gemerlap.
Kata durriyyah merupakan sifat milik kawGkib (bintang-bintang). Kata ini berasal dari kata durr yang artinya mutiara besar atau berasal dari kata durr yang berarti susu putih.
Bagaimana tidak muncul ketakjuban atas keagungan nasab Nabi saw. itu, sementara junjungan yang menjadi pemimpin segenap makhluk ciptaan Allah serta memiliki dzat dan sifat yang paling mulia terpilih menjadi liontin kalung tersebut.
Setelah berkata demikian, Sayid Ja’far menyampaikan syair yang menggambarkan ketakjuban itu, yaitu kasidah yang digubah oleh ahli makrifat Muhammad bin Sa’id ad-Dulashi al-Bashiri, sebuah kasidah luar biasa yang sulit dicari tandingannya, sebab seluruh baitnya menjadi alasan bagi bait pertamanya. Syair itu sebagai berikut,
Nasab yang diyakini ketinggiannya sebab perhiasannya bintang Jauza‘ yang telah merangkai bintang-bintangnya Alangkah indahnya untaian kesempurnaan dan kemegahan. Sementara engkau di dalam untaian itu unik lagi terpelihara Kata “nasab” dalam syair ini berstatus sebagai mubtada’ (subjek), sedangkan kalimat tahsibu dan selanjutnya adalah khabar (predikat). Huruf sin pada kata tahsibu boleh dibaca kasrah dan boleh dibaca fathah (tahsabu). Namun, apabila kata ini dibaca tahsabu, artinya menjadi mengira.
Kata al-’ula di sini berstatus sebagai maf’ul (objek) pertama bagi verba “tahsibu”’. Kata ini adalah bentuk jamak dari kata ‘alya’ yang merupakan bentuk mu‘annats (feminim) darj kata a’la. Sementara huruf ha’ pada kata huléh boleh dibaca dhammah atau kasrah (hiléh). Bacaan yang kedua lebih fasih. Namun, yang mana pun di antara kedua pilihan itu, kedua. nya tetap bentuk jamak dari kata hilyah. Dhamir (kata ganti) yang melekat pada kata ini merujuk kepada “nasab’, sedangkan huruf ba’ di depannya merupakan ba’ sababiyyah (berartj sebab).
Pada kata galladathu, demikian yang tertulis pada beberapa naskah, terdapat dhamir berjenis mudzakkar (maskulin) yang merujuk kepada kata al-’ula dengan meninjau lafalnya. Namun dalam beberapa naskah lain, lafal ini tertulis dengan dhamir berjenis mu’annats yang juga merujuk kepada kata al-’ula dengan meninjau maknanya, yaitu al-mardtib (tingkatan-tingkatan). Dhamir berupa huruf ha’ di sini merupakan maf’ul (objek) pertama bagi verba qallada, sedangkan annujam merupakan maf’dl kedua.
Kata al-jauza dalam syair ini berstatus sebagai fa’il (subjek) bagi verba qallada. Al-Jauza adalah salah satu di antara dua belas rasi bintang paling terkenal yang ada di langit. Kata ini digunakan untuk menyebut serangkaian bintang yang sudah dikenal luas. Sementara kalimat qalladathu dan seterusnya yang terdiri dari fa’il dan maf’al merupakan maf’dal kedua bagi verba tahsabu.
Makna bait syair ini adalah nasab Nabi saw. yang berujung pada Adnan telah membuat siapa pun yang melihat nasab itu meyakini bahwa Nabi telah mencapai tingkat ketinggian yang sedemikian luhurnya hingga seakan-akan Nabi adalah rangkaian bintang-bintang yang terang sekaligus dapat menjadi pemandu dalam perjalanan.
Atau dapat pula berarti bahwa semua tokoh yang terangkai dalam nasab Nabi saw. adalah sosok yang di masa hidup mereka masing-masing menjadi pemandu dan penuntun bagi kaum mercka. Sehingga, hal itu membuat rangkaian nasab beliau laksana untaian permata dan menjadikannya nasab yang paling agung. Apalagi di tengah untaian itu terdapat sebongkah permata yang paling hebat, yaitu Rasulullah saw. Rangkaian permata itu layaknya bintang-bintang yang membentuk satu rasi tertentu.
Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan al-Jauza (rasi Gemini) adalah nasab, sedangkan yang dimaksud dengan an-nujiim adalah nenek moyang Nabi. Dengan demikian, nasab Rasulullah saw. serupa dengan al-Jauza, sedangkan semua nenek moyang beliau serupa dengan bintang-bintang karena mereka semua menjadi pedoman bagi kaumnya. Demikian yang dinyatakan oleh asy-Syanwani dalam Hdsyiyah al-Hamziyyah.
Kata habbadza (dalam syair kedua) adalah ungkapan pujian. Kata ini seperti lafal “ni’ma”, baik dari sisi lafal, makna, maupun pengamalannya. Hanya saja, kata habbadza mengungguli lafal ni’ma karena kata habbadza hanya digunakan untuk memuji objek yang sangat dicintai dan disukai. Makna kata habbadza adalah “Sebuab hal yang dicintai” (shadra mahbiban), sebab menurut pendapat yang sahih, ia merupakan perpaduan dari kata habba (mencintai) sebagai verba perfektif (fi’il mddhi) dan kata dza yang menjadi fa’il-nya.
Kata ‘iqd bisa saja berstatus sebagai mubtada’ yang diakhirkan dan kata sebelumnya berstatus sebagai khabar. Atau mungkin pula khabar dari mubtada’ pada bait ini berstatus mahdzif (tidak tampak) sehingga artinya menjadi: nasab Nabi merupakan ‘igd (untaian). Namun, boleh pula jika ‘iqd berstatus sebagai badal atau ‘athf bayGn dari lafal dza. Ada yang menyatakan bahwa lafal habbadza adalah sebuah kata tunggal, sedangkan kata ‘iqd berstatus sebagai fa’il.
Mengedepankan objek pujian yang dikhususkan atas lafal habbadza tidak diperbolehkan, meskipun hal seperti itu terkadang dibolehkan pada kata ni’ma. Hal ini disebabkan karena bentuk ungkapan pujian yang asli adalah ni’ma, sedangkan lafal habbadza adalah cabang. Sesuatu yang bersifat asli tentu dapat digunakan pada kondisi yang tidak dapat diberlakukan kepada sesuatu yang bersifat cabang. Salah satunya adalah mengedepankan objek.
Akan tetapi, pendapat ini tidak disepakati semua ulama. Sebab, ada sebagian ulama yang memperbolehkan hal ini pada lafal habbadza sehingga menjadi sama dengan ni’ma dan menjadi sama pula antara sesuatu yang bersifat asli dengan sesuatu yang bersifat cabang.
Huruf ‘ain pada kata ‘igd dalam syair ini dibaca kasrah, artinya kalung permata. Kata su’dud aslinya memiliki hamzah. Huruf sin dan huruf dal pada kata tersebut dibaca dhammah, tetapi boleh juga huruf sin dibaca dhammah dan huruf dal dibaca fathah (menjadi dibaca su’dad). Ia merupakan kata benda asal (ism masdar) yang artinya kemuliaan sempurna, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qadmas dan al-Mishbah.
Kata fakhdr dalam syair ini merupakan ism mashdar yang artinya terpuji dengan sifat-sifat mulia. Kata yatimah berarti permata yang tidak tertandingi atas keindahannya. Sementara kata ashmd berarti terjaga atau terlindung dari keburukan tangan-tangan jahat disebabkan kemuliaannya mengungguli semua yang selainnya.
Makna bait ini adalah: saya memuji nasab Nabi saw. yang terangkai dalam untaian permata-permata indah di antara semua permata yang ada. Sebab, jati diri Nabi saw. adalah sosok paling unggul di antara semua makhluk dan nasab beliau adalah yang paling luhur di antara semua nasab yang ada.
Alangkah mulianya nasab yang Allah swt. sucikan dari perzinaan kaum Jahiliyyah. Zain al-Iraqi menuturkan dan meriwayatkannya di dalam karangannya yang indah.
Alangkah mulianya untaian nasab yang Allah swt. sucikan dari perzinaan kaum Jahiliyyah. Kata akrim bihi adalah fi’l ta’ajjub, sedangkan lafal min nasab menjadi tamyiz bagi fi’l tersebut. Jadi, Sayid Ja’far di awal merasa takjub pada keagungan nasab Nabi, lalu dia merasa takjub dengan kemuliaan nasab itu.
Nasab mulia itulah yang Allah sucikan dari perzinaan yang dilakukan kaum Jahiliyyah. Sementara jahiliyyah adalah masa-masa sebelum terjadinya Penaklukan Makkah (fath makkah).
Zain al-Iraqi yang bernama asli Abdurrahim dan berasal dari Irak telah menuturkan dan meriwayatkan nasab yang panjang ini di dalam karangannya yang indah. Kata haniy di bagian ini adalah enak didengar dan enak dibaca. Karangannya adalah Alfiyah an-Nasab yang juga berisi beberapa hadis dari ulama lain.
Di dalam karyanya itu, al-Iraqi menuturkan sebuah syair,
Dia putra Adnan. Dalam kitab-kitab. kalangan ahli nasab telah menyepakati nasab beliau yang sampai sini.
Nasab yang sesudahnya memiliki banyak sekali perselisihan. Sementara yang paling sahih adalah yang ada di nazham ini
Setelah itu, Sayid Ja’far menyampaikan syair miliknya atau milik ulama lain yang menjelaskan rasa takjub pada nasab Nabi,
Tuhan menjaga semua leluhurnya yang mulia demi kehormatan Muhammad dan perlindungan nama baiknya.
Mereka tidak berzina. Aib ini tidak pernah menimpa mereka, dari Adam sampai kepada ayah dan ibunya
Frasa demi kehormatan Muhammad (karamatan li muhammadin) berstatus sebagai ta’Jil (alasan) bagi lafal hafizha (menjaga).
Kata amjdd berarti orang-orang yang mulia dalam perbuatan mereka. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata majid, sama seperti kata syarif yang bentuk jamaknya adalah asyraf. Al-majd dan asy-syaraf yang berarti kemuliaan terwujud dengan semua leluhur, kedudukan mulia, dan kemuliaan Nabi saw. Keduanya dapat terwujud pada satu individu, walaupun individu itu tidak memiliki nenek moyang yang mulia.
Frasa “perlindungan nama baiknya” (shaunan li ismihi) merupakan badal (penjelas) bagi lafal kardmah atau ‘atf bayan (konjungsi penjelas) atau ma’thif ‘alaihi bagi lafal tersebut dengan huruf ‘atfh yang dihilangkan. Di antara tuntutan nama “muhammad” (yang terpuji) adalah objek yang diberi nama itu haruslah sosok yang sempurna sifat-sifatnya, baik lahiriah maupun maknawiah, sekaligus nasabnya juga harus tinggi, luhur, lagi mulia.
Frasa “mereka tidak” (taraka) dalam syair ini berstatus sebagai tambahan keterangan bagi frasa “Allah menjaga” (hafizha al-ilah) dengan membuang huruf fa’, sebab artinya “Sehingga, para nenek moyangnya meninggalkan/tidak melakukan…”.
Kata sifah artinya persetubuhan tanpa akad nikah. Imam as-Subki menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh semua individu yang terdapat di dalam garis nasab Rasulullah saw. memenuhi syarat keabsahan pernikahan, seperti pernikahan Islam yang terjadi sekarang. Yakinilah hal ini dengan hatimu lalu pegang teguhlah keyakinan itu dan jangan sedikit pun berpaling darinya, sebab itu akan membuatmu merugi di dunia dan akhirat.
Aib perzinaan yang terlarang dalam syariat tidak pernah menimpa semua leluhur Rasulullah saw. Hal itu terus berlangsung sampai ayah Rasulullah saw. yang bernama Abdullah dan juga sampai ibunda beliau yang bernama Aminah binti Wahb bin Abd Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah dan seterusnya sampai Adnan. Hal ini adalah sesuatu hal yang wajib diketahui oleh mukalaf.
Mereka adalah para pemimpin yang cahaya kenabian mengalir di garis-garis dahi mereka yang cemerlang. Cahayanya semakin jelas di dahi kakeknya, Abdul Muththalib, dan anaknya, Abdullah.
Leluhur Nabi adalah para pemimpin mulia yang cahaya kenabian Muhammad mengalir di garis-garis dahi mereka yang cemerlang, sebagaimana yang disampaikan di dalam hadis, “Garis-garis dahi mereka cemerlang.” Kata asarir di sini adalah kata plural dari kata yang plural, sebab asarir adalah jamak dari kata asrar yang merupakan jamak dari kata sirar.
Cahayanya tampak di dahi kakeknya, Abdul Muththalib. Kata badara di sini berarti zhahara (jelas atau tampak). Akan tetapi di dalam naskah lain, kata yang digunakan di bagian ini adalah bada‘a dengan alif di akhir.
Kata badruhu (bulan purnama) di sini berarti cahaya Rasulullah yang serupa dengan bulan purnama. Cahaya itu tampak jelas di dahi kakek Rasulullah, Abdul Muththalib sampai-sampai terlihat terang di tengah gelap.
Konon, ketika Abdul Muththalib keluar Makkah menuju Madinah, dia mengenakan beberapa lapis kain untuk menutup wajahnya. Ternyata, dari balik kain yang menutup dahinya itu tetap memancar cahaya, sebab cahaya yang ada di dahi Abdul Muththalib itu tidak dapat dihalangi dengan hijab atau penghalang apa pun.
Cahaya itu juga tampak pada anak Abdul Muththalib yang bernama Abdullah. Dia tumbuh setiap hari seperti pertumbuhan manusia biasa selama satu bulan dan tumbuh besar setiap bulan seperti pertumbuhan manusia biasa selama satu tahun.
Orang-orang yang tinggal di pelosok dan di perkotaan takjub pada cahaya, pertumbuhan, kerupawanan, dan kesempurnaan Abdullah. Setiap kali ada wanita yang melihatnya, pasti langsung terpana oleh ketampanan, cahaya, wibawa, dan daya tariknya. Ketika melihatnya, seakan-akan para wanita itu mengalami seperti apa yang dulu terjadi pada wanita-wanita yang melihat Yusuf as.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Ketika Allah swt. hendak menampakkan hakikat Nabi Muhammad yang terpuji dan memunculkannya sebagai tubuh dan ruh dalam bentuk dan maknanya, ‘ Dia memindahkannya ke tempat menetapnya, yaitu kandungan Aminah az-Zuhriyyah. Dzat Yang Mahadekat lagi Maha Mengabulkan memilih Aminah sebagai ibu bagi makhluk pilihan-Nya. Diserukan di penjuru langit dan di bumi bahwa Aminah mengandung cahaya dzat Nabi Muhammad.
Ketika Allah swt. hendak menampakkan dan mengeluar. kan hakikat Nabi saw. yang terpuji di alam dunia ini sebagaj jasad dan ruh dalam bentuk badan dengan segenap anggota tubuh dan warna kulit juga dalam maknanya, yaitu berupa sifat-sifat batiniah yang agung, Dia memindahkan Nur Kena. bian dari punggung Abdullah ke tempat menetapnya di dalam kandungan Aminah az-Zuhriyyah, perut yang serupa dengan cangkang mutiara.
Sayid Ja’far menjelaskan tempat Nur tersebut dengan kata “shadafah” (cangkang) untuk menunjukkan keserupaan Nabj saw. dengan mutiara yang tersembunyi di dalam cangkang tiramnya. Kata az-zuhriyyah merupakan nama leluhur Aminah, Zuhrah bin Kilab.
Allah yang Mahadekat dengan hamba-hamba-Nya secara maknawi lagi Maha Mengabulkan doa setiap pendoa memilih Aminah untuk menjadi ibu bagi makhluk pilihan-Nya di antara semua makhluk-Nya, sebab Aminah adalah perempuan yang paling utama nasabnya dan paling suci leluhurnya di tengah kaumnya.
Kelahiran Rasulullah saw. dari kedua orang tuanya tidak disertai dengan satu pun saudara, baik saudara lelaki maupun saudara perempuan sehingga beliau menjadi satu-satunya orang yang memiliki nasab kenabian.
Diserukan di langit dan di bumi bahwa Aminah mengandung cahaya dzat Rasulullah. Sahal bin Abdullah at-Tustari ‘menuturkan bahwa ketika Allah hendak menciptakan Muhammad saw. di dalam perut Aminah pada suatu malam Jum’at di bulan Rajab, Allah memerintahkan malaikat Ridwan as., sang penjaga surga, pada malam itu untuk membuka surga Firdaus, lalu terdengarlah penyeru di langit dan bumi berkata,
“Ketahuilah bahwa pada malam ini, Nur yang tersimpan dan tersembunyi, asal muasal Nabi penyampai hidayah, akan bertempat di dalam perut ibunya untuk disempurnakan penciptaannya lalu keluar ke tengah umat manusia sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan.”
Setiap perindu merindukan embusan angin sepoi-sepoinya. Setelah lama gersang, tumbuhan mulai subur dan bumi seperti memakai sutra tebal.
Setiap perindu merindukan kabar tentang Nabi saw. yang bergerak cepat laksana angin sepoi-sepoi. Kabar Nabi diserupakan dengan angina sepoi-sepoi karena keduanya bermanfaat bagi tubuh dan memunculkan perasaan nyaman. Kata shabG artinya angin yang menyenangkan, sebab ia berembus dari tempat terbitnya matahari ketika malam dan siang seimbang.
Susunan jar (li) dan majrar (Hubab) di sini berkaitan dengan kata shaba. Kata ini masih diperselisihkan apakah berupa shaba atau shabb. Seorang penyair menggubah syair berikut ini,
Selamat datang wahai angin sepoi-sepoi
Kau datang memberi gembira pada semesta
Menumbuhkan kembali kesenangan dalam setiap hati
Kau sebarkan kebaikan pada segenap wujud Ketika kulihat alam, bahagia telah muncul
Hatiku menjadi dekat dengan tempatnya
Semua yang bertuhan senandungkan nama Muhammad
Nabi mulia pemilik syafaat sang pilihan
Rasul agung sang Musthafa pemilik keluhuran
Dengan zikir yang luhur, dia dekati Allah
Jika bukan karena dia, orang tidak akan berhaji ke Makkah
Tidak pula ada orang yang merindukan Najd
Setelah lama gersang akibat hujan yang lama tidak turun, bumi dipakaikan sutra tebal berupa tumbubh-tumbuhan. Frasa min an-nabdt (berupa tumbuh-tumbuhan) menjadi (mubayyin) penjelas bagi lafal sesudahnya, yaitu kata alladzi huwa (yang berupa). Sebab, apabila setelah mubayyin berupa ism ma’rifah, kata yang dijelaskan berupa alladzi huwa (yang berupa), dan apabila berupa ism nakirah, kata yang dijelaskan berupa Huwa (berupa). Ketentuan ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan dibolehkannya mendahulukan penjelas daripada objek yang dijelaskan.
Namun, kata setelah frasa min an-nabat tidak dapat dinyatakan sebagai hal (penjelas keadaan), sebab harus ada huruf min yang bermakna sebagian (tab’idh), seedangkan kata nabat (tumbuh-tumbuhan) bukan termasuk jenis hulal (pakaian). Jadi, yang dimaksud dari penyerupaan tumbuh-tumbuhan (nabat) dengan pakaian sutera (hulal sundusiyyah) adalah karena masing-masing dari kedua objek itu selalu membuat takjub orang yang melihatnya karena keindahan keduanya.
Lafal pakaian sutera (hulal sundusiyyah) berstatus sebagai maf’al (objek) kedua bagi verba Kusiyat, sedangkan yang berstatus sebagai maf’al pertama adalah na ibul fa’il (subjek pengganti).
Buah-buahan menjadi masak dan pohon-pohon seakan mendekati orang yang akan memetiknya. Setiap binatang menuturkan bahwa beliau sedang dikandung dengan bahasa Arab yang fasih. Singgasana para raja dan patung-patung tersungkur ke depan. Binatang-binatang liar di timur dan barat bumi serta binatang laut saling bertemu. Seluruh alam merasakan kesenangan minuman humayya.
Buah-buahan menjadi masak dan pohon-pohon mendekati orang yang akan memetik buah masaknya. Bahkan, tahun dikandungnya Rasulullah saw. di perut ibunda beliau itu disebut Sanah al-Fath wa al-Ibtihaj (tahun terbukanya segala kebaikan dan kesenangan).
Pada saat itu, setiap binatang menuturkan dengan bahasa Arab yang fasih bahwa Nabi Muhammad saw. sedang dikandung. Di sini digunakan kata fishah yang merupakan bentuk jamak dari kata fashih. Kalimat yang diucapkan binatang kala itu adalah, “Muhammad sedang dikandung. Demi Tuhan Pemilik Ka’bah, dia adalah imam dunia dan akhirat serta pelita bagi penghuninya.”
Singgasana para raja di seluruh dunia dan patung-patung yang disembah oleh orang-orang musyrik tersungkur ke arah depan. Pada hari itu, semua raja menjadi bisu. Kata afwéh adalah bentuk jamak dari kata fam (mulut) yang berasal darj kata fawah, seperti kata sabab dan bentuk jamaknya yaity asbab. Lafal ini termasuk gharib (aneh) karena bentuk jamak. nya tidak selaras dengan bentuk tunggalnya, sedangkan semua bentuk jamak harus merujuk pada bentuk aslinya, sebagaimana halnya lafal tashghir.
Selain itu, kata fam juga memiliki bentuk dual (mutsanna) dari lafal tunggalnya sehingga yang muncul adalah kata famdni. Namun, boleh juga dengan lafal fawdni, seperti yang tercantum dalam al-Mishbéh.
Pada malam itu, binatang-binatang liar yang ada di daerah timur bumi bergerak mendatangi binatang-binatang liar yang ada di daerah barat bumi karena munculnya sebuah berita gembira. Begitu pula halnya dengan segenap penghuni lautan, mereka juga saling menyampaikan kabar gembira antar satu sama lain.
Selain itu, dinyatakan pula dalam sebuah hadis dhaif, pada setiap bulan ketika Nabi saw. berada dalam kandungan, selalu terdengar seruan di bumi dan seruan di langit yang berbunyi, “Bergembiralah kalian! Sungguh telah tiba waktu kemunculan Abul Qasim yang dianugerahi dan diberkahi.”
Seluruh alam dengan segala makhluk di dalamnya, merasakan kesenangan cawan humayya-nya. Kata humayya berarti khamr syadidah (khamar yang kuat). Di bagian ini, penyandaran kata ka‘s kepada kata humayya berstatus sebagai penjelasan. Sementara kata ganti di akhir kata humayya merujuk kepada Rasulullah saw.
Sayid Ja’far menyorupakan kogembiraan dengan minuman khamar karena kedua hal tersebut menimbulkan perasaan ringan pada tubuh, membuat diri semangat, dan menanamkan rasa nyaman pada badan.
Tentu saja, pengertian seperti ini lebih mudah dipahami daripada pengartian kata ka‘s sebagai cawan, sebab cawan tidak dapat diminum.
Ada riwayat yang menyatakan bahwa pada malam itu, tidak ada satu pun rumah yang tidak bersinar, tidak ada satu pun tempat yang tidak dimasuki cahaya, dan tidak ada seekor pun binatang melata yang tidak berbicara.
Jin mendapatkan berita gembira menjelang masa kelahirannya. Para dukun tak berguna dan para pendeta menjadi takut. Setiap orang alim yang pandai ramai membicarakan beritanya dan kebingungan dengan sifat-sifat baiknya.
Bangsa jin mendapatkan berita gembira menjelang kemunculan Nabi saw. di dunia ini. Jin di sini adalah keturunan jan. Di antara mereka ada yang muslim dan ada yang kafir, sebagaimana halnya kita manusia. Jin-jin itu juga mati, makan, dan minum. Hanya saja, cara makannya berbeda dengan cara makan kita.
Ada yang menyatakan bahwa cara makan jin adalah dengan mencium (syum) dan ada yang menyatakan bahwa makannya jin adalah makan dalam arti yang sebenarnya. Ber dasarkan pernyataan yang kedua, ada yang menyatakan bahwa makanan yang dimakan oleh jin adalah tulang yang telah disebutkan nama Allah padanya dan telah ditambah daging yang lebih banyak dari daging yang ada sebelumnya, sedangkan makanan hewan tunggangan mereka adalah kotoran manusia yang kemudian diubah menjadi jerami, gandum, kacang, atau rumput. Keterangan ini disampaikan oleh Muhammad asy-Syanwani.
Pada saat itu, para dukun yang menyampaikan berbagaj berita gaib tentang masa depan tidak berguna. Menurut Muhammad as-Samnudi, bukan hanya ramalan mereka, tapi sihir mereka juga percuma.
Pada saat itu, para pendeta menjadi takut. Kata rahbdniyyah yang disebutkan di sini bukanlah mashdar melainkan adalah bentuk jamak dari kata tunggal rahban (pendeta), sebagaimana yang tertulis dalam al-Qamus. Dengan status seperti itu (sebagai jamak), kata rahbdniyyah tidak membutuhkan bantuan kata lain. Adapun arti kata tersebut adalah tokoh agama dari Nasrani. Verba berbentuk mu‘annats yang digunakan di bagian ini sudah benar, sebab semua bentuk jamak tak beraturan adalah mu‘annats.
Pada saat itu, setiap orang alim yang mengetahui berita tentang kehadiran Nabi dari kitab-kitab samawi kuno ramai membicarakannya. Mereka juga ramai membincangkan tentang sifat-sifat kebaikan beliau yang membuat bingung. Huruf ha’ pada kata hula juga dapat dibaca kasrah (hila), bahkan inilah yang dinyatakan lebih fasih.
Ibu Nabi didatangi seseorang saat tidur, kemudian dia berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau telah mengandung pemimpin seluruh alam dan sebaik-baik manusia. Apabila sudah dilahirkan, berilah nama muhammad (yang terpuji), sebab ia akan dipuji di akhirat.”
Ketika kandungannya berusia enam bulan, ada sosok mendatangi ibu Nabi yang sedang tidur. Sosok itu kemudian menggerakkan kaki ibunda Nabi untuk membangunkannya, lalu dia berkata kepadanya, “Wahai Aminah, Sesungguhnya engkau telah mengandung pemimpin seluruh alam dan sebaik-baik manusia. Apabila sudah dilahirkan, berilah nama muhammad (yang terpuji), sebab ia akan dipuji di akhirat.
Dalam riwayat yang berstatus dhaif jiddan (sangat lemah), dinyatakan bahwa sosok itu melanjutkan perkataannya, “Pasangkan jimat ini di tubuhnya!” Aminah berkata, “Lalu aku terjaga dan di samping kepalaku tergeletak selembar emas yang di atasnya tertulis tamimah berikut:
Aku memohon perlindungan baginya pada yang Maha Esa. Dari kejahatan setiap pendengki. Dari setiap pencari keburukan. Baik sedang berdiri maupun duduk. Memohon perlindungan dari jalan yang menyimpang. Yang menjerumuskan ke dalam kerusakan. Juga dari peniup buhul atau pengakad. Serta setiap makhluk pemberontak. Yang mengambil setiap tempat pengawasan. Di tempat umum.
Aku menghalau semua hal itu darinya dengan nama Allah yang Mahatinggi, dan aku lindungi dia dari mereka dengan Tangan Tinggi (al-yad al-ulya) serta perlindungan yang tidak terlihat. Tangan Allah di atas tangan mereka. Hijab Allah di luar kemampuan mereka. Mereka tidak dapat menimpakan bahaya padanya baik di tempat duduk, tempat tidur, tempat berjalan, dan juga tempat berdiri, baik di awal malam maupun di akhir hari.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Menurut riwayat yang termasyhur, ketika beliau genap dikandung dua bulan, ayahnya, Abdullah, wafat di Madinah al-Munawwarah. Kala itu dia singgah di rumah para pamannya dari Bani Adi yang termasuk suku Najjar. Dia tinggal di tengah-tengah mereka selama satu bulan karena sakit. Mereka sibuk mengurus sakit dan keluhnya.
Dari berbagai riwayat milik ahli hadis yang berbeda-beda, riwayat yang paling masyhur menyatakan, tatkala Nabi genan dikandung dua bulan, ayahnya Abdullah wafat di Madinah al-Munawwarah dalam usia dua puluh lima tahun. Namun, ada yang menyatakan bahwa pada saat itu usia Abdullah dua puluh delapan tahun. Ada pula yang-menyatakan bahwa usianya kala itu adalah tiga puluh tahun. Ada pula yang me, nyatakan delapan belas tahun.
Muhammad as-Samnudi menyatakan bahwa Abdullah meninggal dunia ketika ibu Nabi saw. mengandung beliay saw. pada usia kandungan enam bulan. Ad-Daulabi menya.takan Abdullah wafat ketika Nabi saw. sudah berada dalam buaian. Sementara Ibnu Abu Khaitsumah menyatakan bahwa pada saat itu usia Nabi saw. sudah menginjak dua bulan. Ada pula yang menyatakan bahwa pada saat itu usia beliau adalah tujuh bulan. Ada pula yang menyatakan bahwa umur beliau saat itu sudah mencapai dua puluh delapan bulan.
Dari keterangan as-Samnudi dan seperti yang dinukil oleh Ibnu Wahab dari az-Zuhri, kala itu Abdullah diperintah ayahnya Abdul Muththalib untuk membeli kurma dan kismis karena suatu walimah yang akan diselenggarakan. Namun menurut al-Waqqidi, Abdullah pergi ke Gaza bersama orangorang Quraisy untuk berniaga. Lalu dia kembali ke Makkah bersama mereka dalam kondisi sangat lemah.
Saat itu (kembali ke pendapat as-Samnudi), Abdullah melewati kota Madinah dalam keadaan tertinggal rombongan mereka. Ia pun singgah di rumah pamannya dari Bani Adi, anak kabilah Najjar, suku yang diatribusikan kepada Tayim an-Najjar. Ada yang menyatakan bahwa Tayim dijuluki “an-najjar” (si Tukang Kayu) karena dia disunat menggunakan kapak. Ada pula yang karena dia memahat wajahnya menggunakan kapak.
Sebenarnya, Bani Adi bin Najjar adalah paman Abdul Muththalib dari garis ibu, sebab ayah Abdul Muththalib yang bernama Hasyim menikahi Ummu Salamah yang merupakan wanita Bani Adi bin Najjar. Istrinya itu lalu melahirkan Abdul Muththalib. Sementara para paman Abdullah dari pihak ibu yang sesungguhnya adalah orang-orang Quraisy dari Bani Makhzum.
Setelah itu, Abdullah tinggal di tengah mereka selama satu bulan penuh karena sakitnya. Mereka pun sibuk mengurus sakitnya yang berkepanjangan dan mendengar ada yang Abdullah keluhkan kepada mereka disebabkan sakitnya itu.
Ketika rombongan Abdullah tiba di Makkah, Abdul Muththalib pun menanyakan Abdullah kepada mereka. Mereka menjawab, “Kami tinggalkan dia dalam keadaan sakit.” Seketika itu juga, Abdul Muththalib mengirim Harits, saudara Abdullah. Harits adalah anak sulung Abdul Muththalib. Namun, ketika Harits sampai di Madinah, adiknya sudah meninggal dunia dan dimakamkan di Dar Tababi’ah. Ada yang menyatakan bahwa Abdullah dikuburkan di Abwa’.
Beberapa saat kemudian, ketika kabar kematian Abdullah sampai ke telinganya, Abdullah Muththalib menangis seraya melantunkan syair,
Kekasihku, segala sesuatu di mataku tidak berharga
Ketika kau pergi saat inginku belum tuntas terlaksana
Jauhmu, membuatmu hilang dari hati dan pandangan mata
Kobaran api kesedihan menghenyakkan pandangan mata
Tetapi ketetapan Allah tak bisa dicegah
Maka, tak perlu ada penolakan atas takdir yang sudah ada
Sungguh indah ada yang dinyatakan dalam sebuah syair mengenai hikmah keyatiman Rasulullah saw. di masa kecilnya,
Tuhan mengambil ayah Rasul, Dia selalu Menyayangi Rasul-Nya yang yatim itu Nyawaku tebusan bagi Nabi saat beliau yatim Mutiara terbaik memang selalu sendirian
Menurut pendapat yang unggul, ketika Nabi genap dikandung sembilan bulan hijriyah, dan masa segera kehilangan dahaganya, Asiyah dan Maryam bersama para wanita suci mendatangi ibu Nabi pada hari kelahirannya. Lalu Aminah merasakan sakitnya melahirkan, kemudian Nabi saw. lahir bagaikan cahaya yang cemerlang.
Ada yang menyatakan saat itu Nabi berusia delapan bulan, sepuluh bulan, tujuh bulan, dan ada yang berkata enam bulan. Sayid Ja’far menyerupakan panjangnya masa penantian kelahiran dengan kondisi dahaga, sebab di masa-masa penantian kemunculan Rasul, umat manusia menjadi lemah. Mereka kehilangan agama yang benar, layaknya lemahnya orang yang kehausan karena tidak mondapatkan asupan air.
Sementara penyerupaan Rasulullah saw. dengan air adalah karena keduanya menjadi sebab bagi kehidupan. Rasulullah saw. adalah sebab bagi hidupnya agama, sedangkan air adalah sebab bagi hidupnya makhluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan.
Asiyah rah. adalah putri Muzahim al-Israiliyyah, anak perempuan dari paman Nabi Musa as., sedangkan Maryam adalah putri Imran. Imran adalah nama non-Arab sehingga ia tidak dapat menerima tanwin disebabkan statusnya sebagai nama, kata non-Arab (‘ajam), dan berbentuk mu‘annats. Jadi ada tiga alasan di dalamnya.
Kata hadhara (datang) boleh ditulis dengan bentuk mudzakkar (hadhara) atau mu‘annats (hadharat), walaupun sebenarnya subjeknya adalah mu‘annats. Hal ini dibolehkan karena adanya pemisah antara kata kerja dengan subjeknya. Hanya saja, bentuk mu‘annats lebih utama daripada bentuk mudzakkar.
Dalam bahasa Arab, Maryam berarti hamba Allah (amatullah). Namun, ada yang menyatakan bahwa arti nama itu adalah pelayan Baitullah (khadimah baitillah) yaitu Baitul Maqdis. Maryam adalah keturunan Nabi Sulaiman as. dengan jarak nasab 24 orang.
Tampaknya hikmah kemunculan Asiyah dan Maryam pada saat kelahiran Rasulullah saw. adalah karena kedua wanita itu kelak akan menjadi istri Nabi saw. di surga. Begitu pula Kultsum, saudara perempuan Musa as. Dalam kitab alJami’ ash-Shaghir dinyatakan,
“Kelak di surga, Allah akan menikahkanku dengan Maryam binti Imran, istri Fir’aun (Ayisah), dan saudara perempuan Musa (Kultsum).” (HR. Thabrani)
“Zawwajani” (menikahkanku) adalah: Allah menetapkan bagiku bahwa para perempuan itu akan menjadi istriku dj Surga.
“Saudara perempuan Musa” yang disebutkan dalam hadits itulah yang menunjuk pada Kultsum, berdasarkan firman Allah,
“Dia (ibu Musa) berkata kepada saudara perempuan Musa, ‘Ikutilah jejaknya.’ Kemudian, dia melihatnya dari kejauhan, sedangkan mereka (pengikut Fir’aun) tidak menyadarinya.” (QS. al-Qashash [28]: 11)
Kedua perempuan itu datang bersama sekelompok perempuan yang sebenarnya adalah para bidadari yang jelita, mulia, dan suci dari segala noda. Hazhirah al-Quds adalah nama surga.
Sebab kehadiran mereka adalah karena begitu banyaknya bidadari yang nanti akan mendampingi Rasulullah saw. di dalam surga. Kedatangan mereka itu membuat tempat tinggal Aminah menjadi terang oleh cahaya mereka dan hilanglah segala kesedihan serta rasa nyeri darinya disebabkan kehadiran mereka. Mereka pun memberi salam kepada Aminah.
Sesaat kemudian, Aminah merasakan sakitnya orang melahirkan, bayi di kandungannya bergerak hendak keluar. Aminah akirnya melahirkan Nabi saw. yang seperti cahaya yang cemerlang. Nur Nabi saw. pada saat itu menerangi seluruh penjuru bumi.
Seorang penyair menggubah sebuah syair tentang peristiwa ini,
Nur kelahirannya hapuskan gelap kesyirikan
Tak perlu heran, karena malam biasa mengenyahkan pagi
Mencium terompahnya jadi harapan setiap jiwa
Tetapi ada yang dipenuhi harapannya dan ada yang tidak
Ketika Nabi saw. dilahirkan, Arasy bergetar karena saking girangnya. Kursi’pun bersinar karena takjubnya. Segenap bangsa jin terhalang naik ke langit, sampai-sampai mereka berkata, “Sungguh kami mengalami kelelahan dalam perjalanan kami.” Sementara para malaikat riuh bertasbih. Udara berembus menggiring angin sampai membuat dahan-dahan pepohonan di dalam taman-taman bergerak. Lalu seluruh semesta berseru dari segala penjuru, “Ahlan wa sahlan wa marhaban!” (Selamat datang!)
Sayid Ja’far lalu menukil enam bait syair dari al-Qashidah al-Hamziyyah yang susunannya dia ubah sebagai berikut,
Wajahmu bersinar bagaikan matahari # Karenanya malam tersingkap menjadi pagi
Kata muhayyan dalam syair ini berarti wajah. Kedudukan kata ini sebagai mubtada’ karena ia adalah kata yang terletak di awal kalimat. Sementara yang berstatus sebagai khabar-nya adalah lafal asfarat dan seterusnya.
Kata ka asy-syamsi yang berupa susunan jar dan majrir berkaitan dengan sifat milik kata muhayyan (mudhi). Artinya, wajah yang disebutkan itu muncul laksana matahari dalam sinar, pancaran, dan cahayanya.
Sayid Ja’far menyerupakan wajah Nabi saw. dengan matahari, sebab cahaya yang muncul dari wajah Nabi saw. Walaupun cahaya itu mengungguli semua cahaya yang ada, cahaya itu tidak menghalangi wajah Nabi saw. Ini berbeda dengan cahaya matahari yang silaunya menghalangi kita untuk melihat bentuk matahari. Selain itu, cahaya matahari juga melemahkan penglihatan kita.
Penyerupaan seperti ini dibenarkan, sebab terdapat isyarat dalam hadis Abu Hurairah ra. yang berkata,
“Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih rupawan dibandingkan Nabi saw. Seakan-akan matahari berotasi di wajah beliau.” (HR. Tirmidzi)
Matahari terletak di langit keempat. Ukurannya adalah 160 kali lipat lebih besar dibandingkan ukuran dunia. Berbeda ‘dengan bulan yang ukurannya 120 kali lipat. Akan tetapi, ada yang menyatakan bahwa ukuran kedua benda langit itu samasama, yaitu 120 kali lipat ukuran dunia.
Kata minka berarti darimu, mudhf berarti bersinar, asfarat berarti tersingkap, dan frasa Jailah gharra’ artinya malam yang terang. Pada saat Nabi dilahirkan, malam yang gelap berubah menjadi terang karena kemunculan wajah Nabi saw. yang mulia, bukan karena adanya bulan pada saat itu. Ini berdasarkan dalil yang menyatakan bahwa Nabi saw. dilahirkan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah beliau dilahirkan pada malam hari atau pada siang hari.
Sebagian ulama menyatakan bahwa Nabi saw. dilahirkan menjelang terbitnya fajar. Pendapat ini sangat masyhur di kalangan ulama. Jika demikian, makna dari syair di atas bisa berbentuk demikian: Sayid Ja’far sebenarnya membuat
majas dengan titik temu berdekatan dan sama-sama masih gelap, sebab sesuatu yang dekat dengan sesuatu dapat dihukumi dengan hukum sesuatu itu. Dalam hal ini, menjelang fajar masih terhitung malam karena pada saat menjelang fajar, langit masih gelap.
Malam kelahiran beliau membawa kegembiraan dan kemegahan bagi agama.
Kata al-maulid berarti peristiwa terjadinya kelahiran Nabi saw.., frasa allazi kanat artinya sesuatu yang terjadj lalu tetap seperti itu secara berkesinambungan, frasa li ad-din adalah hukum-hukum syariat, sedangkan surur artinya kegembiraan yang luar biasa.
Dalam pengaitan antara kegembiraan (surur) dengan agama terdapat majas karena yang sebenarnya membuat gembira adalah para pemeluk agama. Namun, juga terbilang benar jika yang terjadi dalam kalimat ini adalah kiasan (kinayah), sebab Sayid Ja’far menyerupakan agama dengan sosok manusia yang mengalami kegembiraan.
Frasa bi yaumihi berarti hari kelahiran Nabi saw., yaitu hari Senin. Sementara kata izdiha artinya kebanggaan dan kemegahan yang bertambah.
Hari ketika putri Wahab memperoleh kemegahan yang tidak diperoleh wanita-wanita lain lantaran melahirkan Nabi saw.
Kata yaum berarti hari atau waktu. Kata yaum di sini berharakat fathah karena ia digabungkan dengan verba ndlat. Namun, yaum dihukumi rafa’ sebagai badal (kata penjelas) bagi lafal Jailah (pada bait sebelumnya) atau dihukumi jar sebagai badal bagi lafal al-maulid. Kata ini juga dapat dihukumi rafa’ sebagai khabar bagi mubtada’ yang tidak tampak. Dalam kondisi yang jarang terjadi, kata ini sebenarnya boleh dibaca kasrah atau dhammah dengan status sebagai mudhaf bagi kata sesudahnya. Akan tetapi, seperti apa pun juga harakat kata yaum di sini, ia tetap memiliki arti yang sama.
Kata nalat berarti dianugerahi, frasa bi wadh’ihi berarti disebabkan kelahiran Nabi saw., kata ibnatu wahb berarti Aminah binti Wahab, dan frasa min fakhér berarti bahwa Aminah terpuji dengan berbagai sifat luhur yang diridhai. Frasa min fakhdr menjadi penjelasan (bayan) yang diletakkan lebih dulu daripada kata md yang dijelaskan (mubayyan) karena tuntutan rima bait, sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad asy-Syanwani.
Namun, bisa saja susunan ini terjadi karena mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa boleh mendahulukan penjelasan (bayan) daripada objek yang dijelaskan (mubayyan).
Makna keseluruhan bait ini adalah: Aminah binti Wahb, sebab melahirkan Rasulullah saw., telah Allah anugerahi dengan kemegahan yang tidak pernah Dia berikan kepada semua wanita selain dia.
Aminah membawakan kaumnya manusia yang lebih utama daripada yang dikandung oleh Maryam sang perawan.
Kata atat berarti mendatangkan. Kata ini berkonjungsi dengan kata verba nalat. Kata qaumaha berarti kaum Aminah, termasuk para wanitanya. Kata ini berstatus sebagai maf’ul bagi verba atat.
Frasa bi afdhal berarti dengan kelahiran sosok yang Paling utama, yaitu Nabi saw. yang keutamaannya mengunggul; semua makhluk.
Frasa mimma hamalat maksudnya: dibandingkan dengan sosok yang dikandung oleh Maryam, yaitu Nabi Isa as.
Kata qabl maksudnya sebelum kehamilan Aminah. Sementara jarak waktu antara kelahiran Nabi saw. dengan Isa as. adalah sekitar enam ratus tahun.
Kata maryam di syair ini maksudnya adalah Maryam, perempuan suci yang menjaga kemaluannya.
Kata al-’adzra artinya perawan, yaitu perempuan yang tidak pernah melakukan hubungan intim sama sekali. Dia melahirkan Isa as. tanpa melalui proses perkawinan ataupun sentuhan laki-laki. Kehamilan itu terjadi atas izin Allah swt, Jibril as. mengembus pada rongga rahimnya sehingga hal itu membuat Maryam hamil. Kemudian hanya satu bulan setelah peristiwa itu, Maryam melahirkan sebagai bentuk karamah baginya sekaligus sebagai bentuk irhash’ bagi Isa as.
Sayid Ja’far sengaja menggubah bait ini, walaupun sebenarnya keunggulan Nabi saw. melebihi Isa as. telah diketahui dari pernyataan sebelumnya. Alasannya adalah karena Isa as. dilahirkan tanpa ayah, dia dikandung dalam perut Maryam dalam masa yang berbeda dengan umumnya masa kehamilan, dan dia tidak pernah diganggu setan. Boleh jadi, berbagai keistimewaan Isa as. ini akan menimbulkan sangkaan bahwa Isa as. lebih utama dibandingkan Rasulullah Muhammad saw.
Dengan dimuatnya bait syair ini, prasangka seperti itu pun menjadi hilang. Apalagi telah diketahui bahwa terkadang ada hal-hal tertentu yang dimiliki sosok yang kalah unggul dan tidak dimiliki sosok yang lebih unggul.
Makna keseluruhan bait ini adalah: Aminah binti Wahab telah menghadirkan untuk kaumnya sosok yang lebih unggul daripada Nabi Isa as. yang dilahirkan oleh Maryam si Perawan. Bahkan menurut ijma’, Nabi Muhammad saw. lebih utama daripada semua makhluk, baik dari kalangan manusia, jin, ynaupun malaikat.
Kelahiran yang dalam pandangan kaum kafir adalah petaka dan wabah atas mereka.
Kata maulid berarti waktu kelahiran Nabi saw. Kata ini dapat dibaca dengan harakat kasrah (maulidin), sebagai badal bagi kata al-maulid pada bait kedua. Kata ini juga dapat dibaca dhammah (maulidun), sebagai badal bagi kata lailah pada bait kedua atau sebagai khabar bagi mubtada’ yang tidak tampak. Dengan dibaca dhammah, kata ini berarti waktu kelahiran Nabi saw. Namun, ketika dibaca kasrah, kata ini berarti kejadian kelahiran.
Kata kana pada bait ini menunjukkan kesinambungan. Frasa minhu berarti karena, sedangkan kata gantinya merujuk kepada al-maulid. Namun, boleh juga merujuk kepada mauldd, yaitu Nabi saw.
Frasa fi thali’ al-kufr berarti pada pandangan orang-orang kafir, kata wabal berarti petaka atau penghinaan yang keras, frasa ‘alaihim artinya atas orang-orang kafir, dan waba’ pada bait ini artinya wabah penyakit yang parah dan menimpa banyak orang, seperti sakit demam.
Makna keseluruhan bait ini adalah: kelahiran Rasulullah saw, menjadi petaka atau wabah bagi orang-orang kafir. Ternyata, hal itu memang benar-benar terjadi.
Suara gaib terus-menerus menyampaikan kabar gembira bahwa sosok terpilih telah dilahirkan dan kegembiraan itu menjadi nyata.
Kata hatif aslinya berarti jin yang menyampaikan suara tanpa sosok. Pengartian yang paling tepat bagi kata ini dalam syair ini memang seperti itu. Sebab menurut asy-Syanwani, sosok yang melontarkan suara gaib pada malam kelahiran Nabi saw. tentu adalah jin.
Frasa an qad artinya bahwa telah. Frasa ini sebenarnya diawali dengan huruf ba’ di depannya (bi an qad), tapi huruf ba’ itu dihilangkan.
Kata al-mushthafa berarti sosok pilihan di antara semua makhluk. Kata haq pada bait ini artinya “telah dipastikan”. Kata hana’ berarti rasa gembira yang muncul karena kelahiran Nabi saw.
Makna keseluruhan bait ini adalah: kabar gembira tentang kelahiran Nabi saw. terus disampaikan oleh para jin dan kegembiraan atas kelahiran beliau juga terus dirasakan oleh umat manusia karena beliau adalah rahmat bagi alam semesta.
Itulah bait-baitnya. Para imam yang memiliki riwayat dan kecerdasaan memandang berdiri ketika disebutkan kelahiran beliau yang mulia adalah sesuatu yang baik. Maka, keberuntungan bagi orang yang mengagungkan Nabi saw. menjadi puncak harapan dan tujuannya.
Pahamilah semua penjelasan ini, sebab para imam dari kalangan ulama serta orang-orang saleh terdahulu yang memiliki riwayat dan kecerdasan memandang berdiri ketika dituturkan peristiwa kelahiran beliau yang mulia sebagai sebuah kebaikan. Sebab, kemuliaan kelahiran beliau saw. mengungguli semua kelahiran para nabi dan rasul lainnya.
Selain itu, berdiri ketika mendengar maulid (mahall algiyam) mempresentasikan kegembiraan, kesenangan, dan sikap hormat atas Nabi saw. Berkenaan dengan dianjurkannya berdiri, Yahya ash-Sharshari telah menggubah syair berikut,
Tulisan emas untuk memuji Mushthafa masih terbilang sedikit
Meskipun ditulis di atas perak dan dikerjakan oleh orang terbaik
Orang-orang mulia berdiri ketika mendengarnya
Berdiri berbaris-baris atau bersimpuh di atas lutut
Allah mengagungkan dia dengan menulis namanya
Di atas Arasy-Nya. Duhai betapa tingginya kedudukan itu.
Syekh Taqiyyuddin as-Subki pernah sontak berdiri ketika dia mendengar bait-bait syair di atas dilantunkan, tepatnya pada bait kedua. Padahal saat itu ada banyak hakim dan petinggi yang hadir di hadapannya. Peristiwa itu terjadi ketika Imam as-Subki menyelesaikan pendidikannya.
Sementara itu, asy-Syabramalisi menyatakan, “Telah menjadi kebiasaan bahwa ketika para pecintan Nabi mendengar cerita tentang kelahiran Nabi saw., mereka semua berdiri sebagai bentuk mengagungkan Nabi saw., walaupun sebenarnya tindakan berdiri seperti itu merupakan bid’ah yang tidak ada dasarnya.
Maka keberuntungan bagi orang yang menjadikan pengagungan terhadap Nabi saw. sebagai puncak harapan dan tujuannya. Kata thaba dapat berarti kebaikan yang banyak, tetapi juga dapat diartikan sebagai nama pohon surga yang berbuah pakaian dan perhiasan.
Keberuntungan dan pahala besar akan dilimpahkan bagi orang yang menjadikan pengagungan kepada Nabi saw. sebagai tujuan hatinya hingga seakan-akan sikap itu terus terbatang di depan matanya.
Frasa ta’zhimuhu adalah khabar yang didahulukan bagi kana, sekaligus berstatus sebagai mudhaf bagi maf’ul-nya, yang artinya takzim bagi Nabi saw. Sementara lafal ghdyah menjadi ism kana. I’rab ini lebih mudah daripada yang lainnya dalam pengulangan kata ganti dan lebih memahamkan.
Keutamaan Merayakan Maulid
Merayakan kelahiran Nabi saw. merupakan salah satu bentuk jbadah yang paling agung. Perayaan ini dilakukan dengan menyediakan makanan, membaca al-Quran, melantunkan kasidah-kasidah kenabian, dan sebagainya. Namun, itu harus diniatkan untuk memperingati hari kelahiran Nabi saw., baik siang maupun malam kelahiran beliau saw., dan dilakukan pada hari-hari di bulan kelahiran beliau. Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa pun yang mengagungkan maulidku, aku akan menjadi pemberi syafaat baginya di Hari Kiamat. Siapa pun yang menginfakkan satu dirham karena maulidku, dia sama saja menginfakkan satu gunung emas untuk agama Allah.”!”
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berkata,
“Siapa pun yang menginfakkan satu dirham untuk maulid Nabi saw., dia adalah temanku di surga.”
Umar ra. berkata,
“Siapa pun yang mengagungkan maulid Nabi saw, dia telah menghidupkan Islam.”
Utsman ra. berkata,
“Siapa saja yang menginfakkan satu dirham untuk pembacaan maulid Nabi saw., dia sama saja menghadiri Perang Badar dan Hunain.”
Ali ra. berkata,
“Siapa pun yang mengagungkan maulid Nabi saw. dia akan keluar dari dunia dengan membawa iman.
Imam Syafi’i ra. berkata,
“Siapa pun yang mengumpulkan teman-temannya untuk maulid Nabi saw. lalu menghidangkan makanan untuk mereka serta melakukan kebaikan, niscaya Allah membangkitkannya di Hari Kiamat bersama orang-orang yang benar, para syuhada, dan orang-orang shalih. Dia juga akan berada di surga yang penuh kenikmatan.”
Sari Saqathi berkata,
“Siapa pun yang mendatangi suatu tempat pembacaan maulid Nabi saw., dia telah diberi satu taman dj dalam surga, sebab dia pasti mendatangi tempat ity karena kecintaannya kepada Nabi saw.”
Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa pun yang mencintaiku, dia akan bersamaku di dalam surga.” (HR. Anas bin Malik)
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Nabi saw. lahir dengan meletakkan kedua tangannya di atas tanah seraya menengadahkan kepalanya ke langit. Beliau mengisyaratkan kepemimpinan dan ketinggiannya. Beliau juga mengisyaratkan ketinggian derajatnya atas seluruh makhluk. Beliau adalah orang yang dicintai dan baik watak serta perangainya.
Nabi saw. lahir dari perut ibundanya sembari meletakkan kedua telapak tangannya terbentang di atas tanah setelah meletakkan kedua lututnya. Pada awalnya, beliau bertumpy dengan kedua tangannya, lalu duduk menggunakan kedua lututnya.
Dalam riwayat Ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Umar al-Aslami dinyatakan bahwa beliau bersimpuh dengan kedua lutut seraya kedua tangan menjadi tumpuannya, lalu meng, ambil segenggam tanah. Dia juga meriwayatkan bahwa beliay lalu menunduk bersujud.
Pada saat itu, beliau melayangkan pandangannya ke arah langit. Dengan tindakan mengangkat kepala itu beliau mengisyaratkan kepemimpinan beliau atas segenap makhluk dan ketinggian beliau pada segala bentuk kemuliaan. Sebab, keinginan beliau selalu mengarah ke arah yang tinggi. Tindakan beliau memandang ke langit itu juga mengisyaratkan ketinggian derajatnya atas seluruh makhluk.
Kata ‘ala berasal dari kata ‘ala. Kata ini merupakan imashdar dari kata aliya – ya’la, seperti verba ta’iba — yat’abu, sebagaimana yang disampaikan dalam al-Mishbah. Sementara kata ‘ula adalah bentuk jamak dari kata ‘ulya~ yang merupakan bentuk mu‘annats dari kata a’la. Ini sama seperti kata kubrd dan kubr.
Inilah sebagian dari tanda-tanda keistimewaan Nabi saw. Semua tindakan di atas adalah perbuatan pertama yang dilakukan Nabi saw. sesaat setelah beliau dilahirkan. Di dalam semua perbuatan beliau itu terkandung isyarat bagi siapa pun yang mau merenungkannya.
Semua yang terjadi pada diri Rasulullah saw. sejak beliau lahir sampai beliau wafat, menunjukkan kepada akal kita bahwa beliau adalah sosok yang ketinggian derajatnya terus bertambah di setiap waktu sehingga beliau menjadi yang paling tinggi di antara semua makhluk. Selain itu, semua itu juga menunjukkan bahwa boliau adalah orang yang dicintai Allah swt. dan baik watak serta perangainya.
Sebagian ulama menyatakan bahwa ketika Isa as. dilahirkan, dia berkata, “Aku adalah hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia jadikan aku sebagai seorang nabi.’’ Kemudian Isa as. menyampaikan bahwa dirinya adalah hamba sekaligus rasul Allah. Sementara ketika Nabi kita dilahirkan, beliau langsung bersujud. Jadi, kehambaan Isa as. ditunjukkan dengan ucapan, sedangkan kehambaan Nabi Muhammad saw. ditunjukkan dengan perbuatan.
Sujud yang dilakukan Nabi saw. ketika beliau baru dilahirkan itu menjadi isyarat bahwa kedekatan beliau dengan Allah adalah dekatnya kedudukan. Jadi, apa yang dilakukan Isa as. menunjukkan maqam kehambaan, sedangkan apa yang dilakukan Sayyidina Muhammad saw. menunjukkan maqam kedekatan dengan hadirat Allah.
Ibunya memanggil Abdul Muththalib yang sedang thawaf di bangunan itu (Ka’bah). Dia pun bergegas datang lalu melihat beliau. Dia merasakan kegembiraan yang didambakannya. Abdul Muththalib lalu memasukkan beliau ke Ka’bah yang bersinar lalu berdoa dengan niat yang tulus. Dia bersyukur kepada Allah swt. atas apa yang telah Dia anugerahkan dan berikan kepadanya.
Ibunda Nabi menyuruh seseorang untuk menyampaikan kabar gembira perihal kelahiran Nabi saw. kepada Abdul Muththalib, agar dia segera datang padanya. Pada saat itu, Abdul Muththalib sedang thawaf di Ka’bah.
Lafal hatika merupakan kata penunjuk objek yang jauh. Hak ini menunjukkan jauhnya keunggulan kemuliaan Ka’bah di atas semua masjid lainnya.
Ketika orang suruhan Aminah itu sampai di hadapan sang kakek Abdul Muththalib, dia pun langsung bangkit bersama para pemuka kaum yang sedang bersamanya. Dia pun bergegas datang menemui Aminah.
Ternyata, Aminah meletakkan bayi Muhammad di bawah belanga, sebagaimana kebiasaan orang Arab pada masa itu terhadap orang Quraisy yang dilahirkan di malam hari. Aminah ingin agar kakek beliau menjadi orang pertama yang melihat anaknya itu. Akan tetapi, Aminah malah mendapati belanga yang menutupi tubuh Nabi saw. itu sudah pecah terbelah dua.
Abdul Muththalib melihat Nabi saw., yang ternyata sudah dapat melihat. Bayi itu sedang mengarahkan pandangannya ke langit sembari mengisap ibu jarinya yang mengeluarkan susu. Lalu bayi itu memberi isyarat kepada kakeknya seperti layaknya orang yang menyampaikan salam.
Abdul Muththalib pun memperoleh kegembiraan yang didambakannya. Abdul Muththalib lalu memasukkan beliau ke Ka’bah yang bersinar, mulia, lagi diagungkan. Lalu dia berdoa kepada Allah dengan niat yang tulus, bersih dari keburukan seperti riya. Dia bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat yang telah Dia anugerahkan dan berikan kopadanya. Kala itu dia bersyair,
Segala puji bagi Allah yang telah memberi anugerah Anak yang suci lagi mulia
Dalam buaian ia sudah memimpin pada pemuda
Aku melindunginya di Bait yang memiliki beberapa penyangga
Agar dia dapat mencapai usia balig sebagai pemuda
Sampai kulihat dia berhasil mencapai segala cita
Dari kejahatan pendengki, aku melindunginya
Juga orang hasad yang matanya batinnya buta
Yang memiliki keinginan tapi tidak memiliki dua mata
Sampai kulihat dia menjadi sosok bermartabat mulia Inilah dia yang disebut-sebut dalam al-Furgan Juga di setiap kitab yang pasti lagi diulang-ulang
Ahmad tertulis di tempat yang tinggi
Bagi Allah segala pujian dan penghulu makna
Nabi Muhammad saw. dilahirkan dalam keadaan bersih, telah dikhitan, dan dipotong pusarnya dengan “tangan” kekuasaan Ilahi. Ia harum, rambutnya telah dilapisi minyak, dan sepasang matanya memakaj celak pertolongan Ilahi. Ada yang mengatakan bahwa kakeknya Abdul Muththalib mengkhitannya setelah genap tujuh malam. Dia menggelar walimah, memberi makan, dan menamainya Muhammad. Ia pun mendapatkan kedudukan yang mulia.
Nabi saw. dilahirkan dalam keadaan bersih dari segala kotoran dan telah dikhitan, kemaluannya sudah seperti kemaluan lelaki yang telah dikhitan. Demikian dinyatakan dalam banyak riwayat.
Jumlah nabi yang lahir dalam kondisi sudah terkhitan adalah 17 nabi. Syekh Abdul Basith al-Bulqini menggubah bait mengenai hal ini,
Di antara para rasul, ada yang sudah terkhitan Jumlahnya delapan ditambah sembilan.
Semuanya baik lagi mulia
Mereka adalah: Zakariya, Syits, Idris, Yusuf Hanzhalah, Isa, Musa, dan Adam Nuh, Syu’aib, Sam, Luth, dan Shalih Sulaiman, Yahya, Hud, dan Ahmad sang penutup
Selain itu, beliau juga lahir dalam keadaan sudah terpotong pusarnya. Kata surr berarti tali pusar yang dipotong dan terletak di depan pusar bayi. Orang Arab memiliki ungkapan, “Araftuka gabla an yuqtha’ surruka” (Aku mengenalmu sebelum tali pusarmu dipotong).
Yang digunakan dalam kalimat itu bukan “surrah”, melajinkan “surr’”, sebab surrah (pusar) tidak dapat dipotong. Ketika ada orang yang menggunakan frasa, “maqthu’ as-surrah” (pusarnya terpotong), yang dia maksud sebenarnya adalah tali pusar (surr) yang terhubung dengan pusar (surrah). Namun, bisa saja yang dia kehendaki “surr’” (tali pusar) melalui majas, sebab kedekatan antara tali pusar dan pusar.
Pusar Nabi saw. terpotong dengan tangan kekuasaan Ilahi. Tubuh beliau harum, sampai-sampai siapa pun yang menemui Nabi saw. dan melihat beliau lalu orang itu. kembali ke rumahnya, selalu saja istri orang itu bertanya, “Apakah engkau memakai wewangian?” Orang itu pun menjawab, “Tidak, aku baru saja melihat Muhammad bin Abdullah.”
Rambut beliau seperti selalu memakai minyak rambut karena saking bagusnya. Sepasang mata beliau memakai celak pertolongan Ilahiyah.
Ada yang mengatakan bahwa kakek Nabi mengkhitannya setelah genap tujuh malam. Tepatnya delapan hari setelah hari kelahiran beliau. Kemudian Abdul Muththalib menyelenggarakan walimah dengan mengumpulkan penduduk Makkah.
Dia menyembelih domba dan memanggang dendeng, lalu menghidangkan semuanya, bahkan dia juga memberikannya kepada binatang-binatang liar. Orang-orang pun ramai membincangkan walimah yang diselenggarakan Abdul Muththalib untuk Rasulullah saw. Kegembiraannya atas kelahiran Nabi membuat penduduk Makkah juga bergembira dan hilanglah segala lelah dari mereka, sebab keinginan dan harapan mereka terpenuhi.
Setelah itu Abdul Muththalib menamai Nabi “Muhammad” dan Abdul Muththalib memuliakan kedudukan Nabi. Abdul Muththalib begitu menyayangi dan mencintainya melebihi rasa sayangnya terhadap anak-anaknya sendiri. Kala itu, dia berkata, “Aku berharap dia mencapai kemuliaan yang tidak pernah dicapai oleh siapa pun, baik yang hidup sebelum maupun sesudahnya.” Diriwayatkan bahwa Abdul Muththalib menuturkan,
Ketika aku sedang tidur di Hijir Ismail, aku mengalami mimpi yang mencengangkanku sehingga aku benar-benar ter, henyak akibat mimpi itu. Lalu aku mendatangi seorang dukun perempuan Quraisy dengan mengenakan pakaian wol. Ketika dukun itu melihatku, dia langsung mengenaliku. Dia melihatku pucat, padahal saat itu aku adalah pemimpin kaumku.
“Ada apakah gerangan, wahai pemimpin kami? Wajahmy pucat, Apakah engkau mengalami sesuatu?” Tanya dukun itu,
Setiap orang yang berbicara dengan dukun perempuan itu pasti selalu mencium tangan kanannya lalu meletakkan tangan di atas kepala dukun tersebut seraya menyebutkan hajatnya. Namun, aku tidak melakukan hal itu karena aku adalah pemimpin sebuah kaum.
Aku lalu duduk dan bercerita, “Semalam, aku tidur di Hijir. Aku pun bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat seakan-akan sebuah rantai perak muncul dari punggungku. Rantai itu memiliki empat ujung. Satu ujungnya mencapai timur bumi, satu ujung lainnya mencapai barat bumi, satu ujung lainnya lagi mencapai petala langit, dan satu ujung menembus tanah.
Ketika aku melihat rantai itu, tiba-tiba rantai itu berubah menjadi sebatang pohon hijau yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun. Tidak ada pohon yang Jebih lebih bercahaya dibandingkan pohon itu dan tidak pernah ada pohon yang lebih indah dibandingkan pohon itu.
Ketika aku sedang melihat pohon itu, tiba-tiba muncul dua sosok yang berdiri di hadapanku. Salah satu di antara mereka memiliki kepala dan jenggot yang hitam, sedangkan yang satu lagi berwarna putih. Aku pun bortanya kepada sosok yang ber kepala dan berjenggot hitam, “Siapakah ongkau?”
“Tidakkah engkau mengenalku?” Dia bertanya balik. Aku pun menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Aku Nuh, nabinya Tuhan semesta alam.” Aku lalu berkata kepada sosok yang satu lagi, “Siapakah engkau?” Dia menjawab, “Aku Ibrahim, kekasih Tuhan semesta alam.” Lalu, tiba-tiba aku terbangun.”
Setelah mendengar ceritaku, dukun perempuan itu perkata, “Kalau memang mimpimu itu benar, pasti akan keluar dari punggungmu seseorang yang diimani oleh penghuni langit dan bumi. Dia pasti akan akan langsung dikenali dengan jelas di tengah banyak orang.”
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Ketika Nabi saw. lahir, tampaklah berbagai hal luar biasa dan hal-hal aneh yang gaib. Ini semua sebagai awal ketetapan kenabiannya dan pemberitahuan bahwa beliau adalah orang pilihan Allah swt. Langit ditambah penjagaannya dan para jin pembangkang serta setan tertangkal darinya. Bintang-bintang yang bersinar pun merajam setiap makhluk terkutuk yang berusaha naik.
Ketika Nabi Muhammad saw. lahir, tampaklah berbagai hal di luar kebiasaan, serta hal-hal aneh yang gaib sehingga sukar dipahami dan tak dapat dinalar menggunakan akal. Ini semua sebagai ketetapan awal bagi kenabian beliau yang baru dikukuhkan empat puluh tahun lagi.
Semua hal itu juga sebagai pemberitahuan bagi segenap makhluk, bahwa beliau adalah orang pilihan Allah swt. Pada saat itu, langit yang menjadi tempat turunnya gadha dan qadar serta menjadi jalan bagi penurunan al-Quran ditambah penjagaannya dari segala jin yang mencuri dengar.
Bangsa jin sering naik sampai ke langit ketujuh untuk mencuri dengar berbagai hukum dan hal-hal gaib yang ditulis serta dibincangkan oleh para malaikat. Mereka lalu membawa apa yang mereka dengar itu ke bumi untuk disampaikan kepada para dukun dengan menambahi satu buah kebenaran dan seratus kebohongan.
Ketika Isa as. dilahirkan, jin-jin itu dihalangi untuk mencapai tiga lapis langit tanpa menggunakan lontaran meteor. Allah melemahkan mereka sehingga mereka tidak mampu naik ke lapisan langit itu. Ketika Rasulullah Muhammad saw. lahir, para jin itu juga dihalangi untuk mencapai semua langit dengan menggunakan lontaran meteor.
Namun, mereka tetap dapat naik dan mencapai tempat-tempat yang dekat dengan pintu-pintu langit untuk kemudian dari tempat itu mereka mencuri dengar. Nanti, ketika Nabi saw. benar-benar telah diangkat menjadi nabi dan rasul, penghalang terhadap para jin itu ditambah lagi dengan kian banyaknya meteor yang dilontarkan ke arah mereka sehingga mereka sama sekali tidak dapat naik ke langit.
Pada malam kelahiran Nabi saw., para jin pembangkang dan setan-setan yang mencuri dengar pembicaraan pada ma. laikat tertangkal. Mereka tidak bisa memberi kabar kepada para dukun di bumi atas apa yang akan terjadi nanti. Sementara itu, Iblis sama sekali terhijab dari kabar langit.
Pada malam itu, bintang-bintang yang bersinar merajam setiap makhluk terkutuk yang naik. Bintang-bintang itu tidak berpindah dari tempatnya, walaupun ada yang menyatakan bahwa bintang-bintang itu berpindah dari tempatnya untuk membakar setan-setan lalu’ kembali ke tempatnya semula., Setiap kali ada bagian dari bintang yang menargetkan para jin pencuri dengar, bagian itu tidak akan meleset.
Di antara para jin itu ada yang langsung tewas akibat lontaran bintang tersebut, ada pula yang hanya terbakar tubuhnya, dan ada pula yang menjadi gila karenanya. Akibatnya, jin itu berubah menjadi hantu yang pekerjaannya menyesatkan manusia di tengah hutan.
Bintang-bintang yang cemerlang menunduk kepada Nabi saw. Lembah dan bukit Tanah Haram tersinari dengan cahaya bintang. Bersama beliau, keluarlah cahaya yang menerangi istana-istana kaisar di Syam.
Orang yang berada di Makkah pun dapat melihatnya.
Bintang-bintang yang cemerlang menunduk kepada Nabi saw. Kata tadallat berarti mendekat hingga menjadi sangat dekat, seperti yang dinyatakan oleh asy-Syarbaini ketika menafsirkan firman Allah,
“Dia kemudian mendekat (kepada Nabi Muhammad), lalu bertambah dekat.” (QS. an-Najm [53]: 8)
Kata az-zuhriyyah berarti cemerlang. Sebenarnya, kata ini diatribusikan kepada zuhrah (cemerlang), sebagaimana dinyatakan dalam kitab ash-Shihah.
Al-Baihagqi meriwayatkan dari Fathimah ats-Tsaqafiyyah bahwa dia berkata, “Ketika aku mendatangi kelahiran Nabi saw., aku melihat Baitullah dipenuhi cahaya ketika beliau dilahirkan dan kulihat bintang-bintang mendekat sampai-sampai aku mengira bahwa bintang-bintang itu akan jatuh menimpaku.” Padahal seluruh bintang memilik ukuran sebesar gunung, sebab sesuatu yang sangat besar dan letaknya jauh akan menjadi terlihat kecil di mata manusia. Pada saat itu, lembah dan bukit Tanah Haram tersinari dengan cahaya bintang-bintang itu. Bersamaan dengan kelahiran beliau, keluarlah cahaya yang menerangi istana-istana kaisar di Syam. Sayid Ja’far menggunakan kata qaishar yang merupakan gelar bagi para penguasa Romawi. Sementara kata syaam adalah wilayah yang panjangnya terbentang dari Arisy sampai Eufrat dan lebarnya terbentang dari Gunung Thayi’ arah Madinah sampai Laut Romawi.
Dalam riwayat lain, frasa yang digunakan di bagian inj adalah “qushér bushrdé” (istana-istana Busra). Penyebutan kota Busra”’ pada riwayat itu menunjukkan bahwa kota itulah yang menjadi titik awal wilayah Syam. Semua wilayah ity tersinari oleh Nur Muhammad. Oleh karena itu, negeri asing pertama yang ditaklukkan oleh kaum muslim adalah Syam.
Sebagian ulama menjelaskan, peristiwa tersinarinya kawasan Syam oleh Nur Muhammad mengandung isyarat bahwa Nabi saw. akan menyinari setiap mata hati serta meng. hidupkan kalbu yang mati.
Diriwayatkan dari Himam bin Yahya bahwa ibunda Nabi saw. berkata, “Ketika melahirkan Nabi, kemaluanku mengeluarkan cahaya yang menerangi istana-istana Syam.”
Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Aminah berkata, “Pada malam kelahirannya, aku melihat cahaya yang menerangi istana-istana Syam sampai-sampai aku dapat melihat istana tersebut.”
Demikianlah yang dinyatakan dalam riwayat-riwayat itu. Boleh jadi, sebenarnya yang terjadi pada saat itu adalah Allah membuka tabir penglihatan Aminah sehingga dia dapat melihat istana-istana Syam tersinari oleh cahaya Nabi. Namun, mungkin saja Aminah memang benar-benar melihat cahaya itu tampak jelas secara fisik.
Pada saat melihat cahaya itu keluar, Aminah belum mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Barulah setelah tersebar luas bahwa pada hari tertentu terlihat cahaya menerangi istana-istana Syam, Aminah tahu bahwa hari itu bertepatan dengan hari kelahiran Nabi saw.
Cahaya yang menerangi istana-istana Syam -terang hingga membuat orang-orang yang berada di Makkah dapat melihat istana tersebut. Kata bithGh makkah adalah kawasan Muhashshab yang sekarang disebut Mu’abadah (tempat melempar jumrah di Mina).
Istana-istana Syam yang tersinari oleh cahaya Nabi saw. merupakan isyarat bahwa kelak beliau akan mendatangi sendiri istana-istana itu. Ini juga menunjukkan bahwa perjalanan Isra’ dilakukan menuju ke kawasan itu dan kemudian itu begitu berlanjut ke langit. Selain itu, hal tersebut juga mengisyaratkan bahwa Syam akan menjadi daerah kekuasaan beliau, Syam adalah tempat hijrahnya para nabi, dan Syam adalah negeri yang seluruh nabi pernah berada di sana, berhijrah ke sana, atau berasal dari sana. Di negeri ini pula, Nabi Isa as. kelak akan turun (menjelang kiamat), bahkan negeri ini juga akan menjadi tempat penghimpunan (mahsyar).
Istana Kisra di Madain yang bangunannya ditinggikan dan dibangun oleh Anusyirwan pun retak. Empat belas menaranya yang tinggi roboh. Kerajaan Kisra binasa karena terkejut dengan apa yang menimpanya.
Keretakan yang dialami oleh istana itu memang be. nar-benar nyata dan dapat terlihat oleh siapa pun. Bahkan, istana itu bergetar hingga suara getarannya dapat terdengar ke luar. Kata iwdn berarti sebuah bangunan yang dibuat memanjang tanpa ditutup bagian depannya. Bangunan itulah yang digunakan oleh raja dan menjadi tempat persemayaman raja bersama keluarganya untuk mengurus kerajaan.
Istana yang terletak di Madain itu adalah sebuah istana yang masyhur di kawasan tersebut. Madain adalah sebuah kota yang terletak di Irak. Jarak antara istana ini dengan Baghdad adalah satu marhalah (40 km). Tempat itu masih ada sampai saat ini.
Konon, tinggi atapnya mencapai seratus hasta dengan ukuran panjang juga seratus hasta. Istana itu sangat kokoh karena dibangun menggunakan batu bata besar yang dibakar lalu direkatkan dengan gypsum. Bahkan, istana itu dianggap sebagai satu di antara beberapa keajaiban dunia disebabkan bentuk bangunan, ukuran luas, dan kekokohannya.
Penyebab retaknya istana itu sama sekali bukan dari kualitas bangunannya, melainkan karena Allah memang menghendaki terjadinya hal itu sebagai tanda dari-Nya yang akan terus ada di muka bumi untuk menunjukkan keistimewaan Nabi saw.
Sebanyak 14 dari 20 menaranya yang tinggi roboh. Panjang setiap menaranya lima belas hasta. Runtuhnya keempat belas menara itu menjadi isyarat bahwa hanya akan ada empat belas raja yang berkuasa di istana itu setelah lahirnya Nabi.
Ternyata, memang setelah itu hanya ada dua belas raja dan dua ratu yang berkuasa dari istana itu.
Sepuluh dari mereka berkuasa selama sepuluh tahun dan empat lainnya berkuasa pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan ra. Pada masa itulah, kaum muslim menaklukkannya. Demikianlah yang dinyatakan sebagian ulama, walaupun penjelasan yang benar menyatakan bahwa sepuluh dari raja-raja itu berkuasa pada masa Umar ra.
Huruf kaf pada kata “kisra” terkadang dilafalkan dengan fathah (kasra), walaupun yang lebih benar adalah “kisrd”. Kata yang diatribusikan kepadanya terkadang ditulis “kisriy” dan terkadang ditulis “kisrawiy”, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qamas.
Kata “kisra” berasal dari bahasa Persia yang dalam bahasa Arab berarti pembaru hukum. Kata ini termasuk nama yang Jazim digunakan oleh raja-raja Persia, seperti qaishar (kaisar) yang menjadi gelar raja Romawi, taba’ yang menjadi gelar raja Yaman, nu’man yang menjadi gelar raja Arab dari pihak nonArab, najasyi yang menjadi gelar raja Habasyah (Abyssinia), jalut yang menjadi gelar raja Berber, khaqan yang menjadi gelar raja Turki, kata fir’aun yang menjadi gelar raja Kopti, atau al-‘aziz yang menjadi gelar raja Mesir.
Raja Kisra terkejut dengan apa yang menimpanya. Dalam sebuah riwayat sahih, Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila Kisra ini mati, maka tidak akan ada Kisra lagi sesudah dia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, Nabi Muhammad saw. pernah mendoakan kehancuran terhadap kerajaan yang dipimpin Kisra, tepatnya ketika Kisra menerima surat yang beliau kirimkan lalu ternya. ta Kisra merobek-robek surat itu. Ternyata benar, Allah kemu. dian merobek kerajaan Kisra sampai hancur berkeping-keping, Sebab, doa Nabi saw. selalu terkabul, baik berupa doa kebaikan maupun doa kebinasaan.
Seorang penyair menuturkan,
Wahai orang yang tertipu oleh dunia, ambillah pelajaran
Dari negeri Kisra, sosok yang terkemuka
Dulu, negeri itu tempat tinggal para raja, tetapi sekarang berubah
Setelah berlalunya zaman, negeri itu menjadi seperti yang kamu lihat
Telah diriwayatkan bahwa suatu ketika Kisra pernah mengumpulkan empat orang dokter asal Irak, Hindustan, Romawi, dan Sudan. Lalu Kisra berkata kepada mereka, “Masing-masing dari kalian harus menyampaikan kepadaku suatu obat yang dapat menyembuhkan penyakit apa pun.”
Dokter asal Irak berkata, “Paduka, minumlah tiga gelas air hangat setiap hari.”” Dokter asal Romawi berkata, “Paduka, makanlah sedikit habb rasyad (semacam kubis) setiap hari.” Dokter asal Hindustan berkata, “Paduka, makanlah tiga butir Ihlilaj setiap hari.” Ihlilaj adalah gandum Hindustan berwarna hitam yang terkenal sebagai obat.
Sementara para dokter itu bicara, dokter asal Sudan tetap diam seribu bahasa. Kebetulan dia adalah yang paling pandai di antara mereka tetapi paling muda. Raja pun bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak bicara apa-apa?” Dokter asal Sudan itu menjawab,
“Wahai paduka, air hangat akan molarutkan lemak serta menyamankan lambung, habb rasyad akan merangsang empedu kuning sebagaimana halnya ahlilaj. Obat yang menyembuhkan segala penyakit adalah paduka hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Jika padukan melakukan itu, penyakit yang bisa menyerang paduka adalah kematian.”
Ternyata, ucapan dokter asal Sudan itu dibenarkan oleh dokter yang lain. Dokter asal Sudan itu pun berkata lagi, “Menjaga kesehatan di saat masih sehat lebih baik daripada meminum obat di saat sakit.”
Padam pula api sesembahan Kerajaan Persia karena cahaya Nabi yang terang dan wajahnya yang bersinar. Danau Sawah yang terletak di antara Hamadzan dan Qum di negeri ‘ajam juga ikut surut. Sumber-sumber air danau itu kering sebab tersumbatnya mata air.
Pada malam kelahiran Nabi, api yang disembah oleh orang-orang Majusi di kerajaan Persia padam. Pada masa ity, kuil-kuil penyembahan api mereka memiliki pendeta yang bertugas menjaga api sesembahan. Secara bergiliran, para pendeta itu selalu menjaga agar nyala api tidak padam.
Itulah sebabnya, sesaat sebelum kelahiran Nabi saw., apj sesembahan mereka tidak pernah padam sekejap pun sejak dua ribu tahun sebelumnya. Siang dan malam api itu selaly berkobar menyala. Kemudian, ketika tiba malam kelahiran Nabi saw., mendadak api itu padam dan tidak ada seorang pun yang mampu menyalakannya lagi.
Padamnya api sesembahan kaum Majusi itu mengandung isyarat bahwa setelah kelahiran Nabi saw., kerajaan dan keperkasaan hanya dimiliki Nabi Muhammad.
Sawah merupakan sebuah desa di negeri Persia. Danau atau mata air Sawah terletak di antara Hamadzan, sebuah negeri di Khurasan yang diberi nama dengan nama keturunan Hamadzan bin Faluj bin Sam bin Nuh as., dan Qumm, sebuah negeri di negeri non-Arab.
Syekh Khalid menyatakan, “Sawah adalah sebuah kota yang terletak pada jalur perjalanan menuju Hamadzan yang jaraknya dengan Ray sejauh 22 farsakh (121 km).” Dalam al-Mishbéh tertulis bahwa Ray terletak di Irak yang menjadi lokasi makam Imam al-Kisa’i dan Muhammad bin Hasan.
Pada saat kelahiran Nabi, seluruh sumber air yang terdapat di danau Sawah menjadi kering karena aliran air yang semula deras menjadi kering. Ukuran panjang dan lebar danau itu sama, yaitu enam mil.
Selain Danau Sawah, Danau Thabariyah yang terletak di Syam yang ukurannya mencapai sembilan farsakh (50 km persegi) juga surut. Kelak, danau ini akan benar-benar kering ketika Ya’juj dan Ma’juj keluar.
Pada semua peristiwa ajaib tersebut di atas terkandung tanda-tanda yang menunjukkan musnahnya korajaan para penguasa serta keruntuhan negeri mereka.
Lembah Samawah meluap. Ini menjadi keberuntungan bagi padang pasir. Sebelumnya, di tempat itu tidak ada air untuk orang yang haus. Kelahiran beliau di tempat yang dikenal dengan Irash di Makkah, sebuah negeri yang pohonnya tidak boleh ditebang dan rumpurnya tidak boleh dipotong.
Danau Samawah berasal dari Bahasa Arab sala ma‘uh (airnya mengalir). Danau ini terletak di antara Syam dan Kufah.
Peristiwa meluapnya danau Samawah menjadi keberuntungan bagi padang pasir, sebab sebelumnya tempat tersebut tidak memiliki air. Hal ini menjadi tanda akan kemunculan agama yang benar bagi penduduk di kawasan itu.
Kelahiran beliau saw. di suatu tempat di Makkah, sebuah negeri yang pohonnya tidak boleh ditebang dan selalu dibiar. kan tumbuh dengan sendirinya, serta rumputnya hanya boleh dipotong jika dijadikan obat.
Tempat itu terkenal dengan sebutan Suq Lail (Pasar Malam) di ujung komplek Bani Hasyim, yaitu di gang Dalk, tepatnya pada sebuah rumah milik Ugail bin Abu Thalib ketika Nabi saw. berhijrah, kemudian rumah itu dijual oleh anaknya kepada saudara al-Hajjaj yang bernama Kulaib bin Yusuf, Setelah itu, rumah itu dibeli oleh Khaizuran ibunda Harun ar-Rasyid atau Zubaidah istri Harun ar-Rasyid yang akhirnya mengubah rumah itu menjadi masjid.
Setelah itu, para khalifah dan sultan silih berganti melakukan renovasi dan rekonstruksi terhadap bangunan tersebut sampai sekarang. Bangunan itulah yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Maulid.
Ada perbedaan pendapat mengenai tahun, bulan, dan hari kelahirannya. Namun, pendapat yang kuat menyebutkan, kelahiran itu menjelang fajar hari Senin tanggal 12 bulan Rabi’ul Awal tahun Gajah. Kala itu, Allah mencegah pasukan gajah untuk sampai ke Ka‘bah. Dia menjaga Ka’bah.
Pendapat masyhur menyatakan, Nabi Muhammad saw. lahir 50 hari setelah Peristiwa Gajah. Namun, ada yang menyatakan beliau lahir 50 hari setelah peristiwa itu. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau lahir sebulan setelah peristiwa itu, 40 hari setelah peristiwa itu, sepuluh tahun setelah peristiwa itu, dan bahkan ada yang menyatakan, beliau lahir 15 tahun sebelum Peristiwa Gajah.
Terdapat perbedaan pula mengenai bulan dan hari lahir beliau. Pendapat yang masyhur menyatakan, beliau lahir pada bulan Rabiul Awal. Namun, ada yang menyatakan, beliau lahir pada bulan Muharam, Shafar, Rabiul Akhir, Ramadhan, atau Rajab. Ada juga yang menyatakan, beliau lahir pada tanggal delapan, sepuluh, 12, 18, dan bahkan ada yang menyatakan, beliau lahir pada tanggal 22.
Namun, pendapat yang kuat dari para ulama sejarawan menyatakan, Nabi dilahirkan menjelang fajar, yaitu saat terkabulnya doa di setiap malam, hari Senin tanggal 12 bulan Rabiul Awal tahun Gajah, seperti yang termaktub dalam naskah Sayid Ja’far.
Artinya, pendapat yang lebih benar adalah Nabi saw. lahir di pagi hari tepat ketika fajar terbit atau sesaat setelah fajar terbit. Ini adalah waktu penuh berkah seperti yang dinyatakan dalam hadis,
“Umatku akan diberkahi pada pagi hari.” (HR. Abu Daud)
Kejadian bintang-bintang jatuh di awal hari seperti yang disebutkan di atas tidak mustahil, sebab itu merupakan sebuah peristiwa luar biasa. Namun, bisa saja itu semua terjadi karena waktu kelahiran Nabi saw. adalah setelah fajar terbit ketika bintang-bintang masih kuat sinarnya.
Nabi saw. adalah sosok Rabi’ al-Khalq (berakhlak mulia) dan Rabi’ al-Fu‘ad (berhati tulus) sehingga kelahiran beliay pada musim rabi’ (semi) yang merupakan musim paling nyaman dan terbaik menjadi simbol bahwa syariat yang beliay emban adalah syariat yang paling seimbang dan terbaik dj antara semua syariat yang ada.
Sebuah syair menyatakan hal ini,
Bulan ini memiliki keutamaan dalam Islam
Serta kedudukan yang mengungguli bulan lain
Yang lahir di dalamnya memiliki nama, makna, dan tanda-tanda kebenaran yang jelas terlihat
Rabi’ di dalam rabi’ di dalam rabi’
Cahaya di atas cahaya di atas cahaya
Maulid (yang lahir) adalah Nabi saw., ism (nama) adalah bulan Rabiul Awal, ma’né (makna) adalah musim semi. Nabi saw. disebut sosok bersifat rab?’ karena beliau adalah Rabi’ al-Khalq (berakhlak mulia) dan Rabi’ al-Fu‘ad (berhati tulus).
Rabj’ yang pertama adalah Nabi, rabi’ yang kedua adalah bulan Rabiul Awal, dan rabi’ yang ketiga adalah musim semi (fashl rabi’). Nar (cahaya) yang pertama adalah Nabi saw., frasa fauqa an-nur (di atas cahaya) yang kedua dan ketiga adalah berbagai kejadian luar biasa yang dimiliki oleh Nabi saw.
Pada tahun Gajah itu, Allah menghalau pasukan gajah untuk mencapai Ka’bah karena Dia sclalu menjaganya. Berikut kisah peristiwa gajah itu,
Abrahah, raja Yaman, membangun sebuah kuil megah lagi indah yang dia beri nama Qulais. Tujuan membuat kuil itu adalah untuk mengalihkan para jamaah haji agar mendatangi kuil itu. Abrahah mengirim surat kepada Raja Najasyi. Dia menyatakan bahwa dia telah membangun kuil di Sana’a yang belum pernah dibangun oleh raja-raja sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mengalihkan tujuan para jamaah haji Arab.
Rupanya hal itu terdengar oleh seseorang dari Bani Malik bin Kinanah. Lelaki itu pun mendatangi kuil buatan Abrahah itu di malam hari, lalu dia mengotori kuil itu dengan kotoran tepat di bagian depannya. Peristiwa itu terdengar oleh Abrahah. Dia murka dan seketika itu juga dia bersumpah akan berangkat ke Ka’bah untuk menghancurkannya hingga seluruh batunya hancur.
Abrahah pun mengirim surat lagi kepada Raja Najasyi untuk mengabarkan tentang itu. Dia juga memohon kepada Najasyi agar berkenan mengirimkan gajah miliknya. Pada masa itu, Raja Najasyi memang dikenal memiliki gajah yang sangat besar bernama Mahmud. Sang raja mengirimkan gajahnya kepada Abrahah. Abrahah berangkat bersama 60.000 prajurit menuju Makkah.
Ketika hal itu terdengar oleh orang-orang Arab, mereka pun takut dan menganggap bahwa mereka harus berjuang melawan Abrahah. Kemudian, salah seorang pembesar Yaman yang bernama Dzu Nafar keluar bersama orang-orang Arab yang tunduk padanya untuk memerangi Abrahah.
Setelah menyerang pasukan Abrahah, ternyata Abrahah berhasil mengalahkan pasukan Dzu Nafar, bahkan Dzu Nafar ditawan dan Abrahah pun melanjutkan perjalanannya.
Ketika pasukan Abrahah mendekati negeri Khats’am, tampillah Nufail bin Habib bersama kaumnya dan kabilah-kabilah Yaman yang patuh padanya untuk melawan pasukan Abrahah. Mereka pun menyerang Abrahah, tetapi pasukan Abrahah kembali berhasil mengalahkan para penyerang itu, Nufail ditawan oleh Abrahah.
Ketika Abrahah ingin membunuhnya, Nufail berkata, “Janganlah engkau membunuhku, sebab aku dapat menjadj pemandumu di tanah Arab ini.” Abrahah pun membebaskan Nufail.
Abrahah melanjutkan pergerakannya menuju Makkah. Ketika Abrahah tiba di daerah Thaif, seorang tokoh Arab bernama Mas’ud bin Mughits datang menghadap padanya lalu berkata, “Wahai raja, kami adalah hamba sahayamu. Kami mengirim orang untuk memandumu.” Penduduk Thaif lalu mengutus seorang sahaya milik mereka yang bernama Abu Raghal.
Ketika pasukan Abrahah tiba di Maghmas, sebuah daerah di pinggiran Tanah Haram, Abu Raghal mati. Abu Raghal itulah yang kelak kuburannya selalu dilempari orang-orang.
Dari Maghmas, Abrahah mengirim seorang lelaki Habasyah yang bernama Aswad bin Mas’ud untuk memimpin pasukan berkuda di depan serta memerintahkannya untuk merampas semua ternak milik penduduk daerah itu. Aswad pun merampas semua unta milik kaum Quraisy. Di antara unta-unta yang dirampas itu terdapat empat ratus unta betina milik Abdul Muththalib.
Setelah itu, Abrahah mengutus Hunathah ke Makkah seraya berkata, “Tanyakan tentang pemimpin penduduk negeri ini. Katakan kepadanya, ‘aku tidak datang untuk menyerang. Aku datang hanya untuk menghancurkan Ka’bah.”
Hunathah beranjak bergegas momasuki Makkah. Dia berhasil bertemu dengan Abdul Muththalib bin Hasyim lalu perkata, “Raja mengutusku kepadamu untuk mengabarkan padamu bahwa dia tidak datang untuk menyerang. Dia datang hanya untuk menghancurkan Ka’bah. Setelah itu, dia akan pulang meninggalkan kalian.”
Abdul Muththalib menyahut, “Demi Allah, kami juga tidak ingin memerangi dia, sebab kami tidak memiliki kekuatan untuk melakukan itu. Biarlah Baitullah al-Haram dan Bait kekasih-Nya Ibrahim as. Apabila Dia mencegah Abrahah, Ka’bah memang Bait dan Tanah Haram-Nya, tapi jika Dia membiarkannya, demi Allah, kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya.”
Hunathah berkata, “Jika demikian, mari ikut bersamaku untuk menghadap raja. Dia memerintahkanku untuk membawamu bersamaku.”
Abdul Muththalib pun berangkat bersama Hunathah dengan didampingi oleh beberapa anaknya. Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di tempat pasukan Abrahah. Di situ Abdul Muththalib bertanya tentang Dzu Nafar yang ternyata adalah sahabatnya. Dia pun menemui Dzu Nafar lalu menyampaikan apa yang dialaminya. Dzu Nafar lalu mengantarnya menemui Unaits, seorang pawang gajah, untuk mengantar Abdul Muththalib kepada sang raja.
Sesaat kemudian, Abdul Muththalib pun berangkat bersama Unaits menghadap Abrahah. Setibanya di hadapan sang raja, Unaits berkata kepada Abrahah, “Ada pemimpin Quraisy tiba di pintu paduka. Aku ingin agar paduka mengizinkannya berbicara dengan paduka untuk menyampaikan keperluannya.” Abrahah pun memberi izin.
Ketika Abdul Muththalib masuk, Abrahah melihatnya sebagai sosok yang sangat rupawan. Abrahah pun begitu menghormati serta memuliakan Abdul Muththalib. Abrahah memang tidak suka Abdul Muththalib duduk bersamanya qj atas singgasana, tetapi dia juga tidak mau Abdul Muththalih duduk di bawahnya. Akhirnya, Abrahah turun dari atas sing, gasananya lalu duduk di atas permadani seraya mempersilakan Abdul Muththalib untuk duduk di sampingnya.
Setelah itu, Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya, ‘Apa keperluanmu menemui raja.” Si penerjemah pun menyampaikan itu. Abdul Muththalib laly berkata, “Keperluanku menghadap raja adalah agar dia me. ngembalikan semua untaku kepadaku.”
Abrahah lalu berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya, “Tadi aku kagum ketika aku melihatmu, tapi kemudian aku kecewa kepadamu.’” “Mengapa begitu?” Tanya Abdul Muththalib. Abrahah menjawab, “Aku datang mendatangi Ka’bah yang menjadi simbol agamamu dan agama nenek moyangmu untuk kuhancurkan. Lantas mengapa engkau berbicara denganku mengenai unta?”
Abdul Muththalib menyahut, “Aku adalah pemilik untaunta itu, sedangkan Ka’bah itu ada juga milik Pemiliknya. Dia yang akan melindunginya.” Abrahah menukas, “Dia tidak akan mampu melindunginya dariku.” Abdul Muththalib berkata, “Lihat saja apa yang akan terjadi.”
Abrahah pun mengembalikan semua unta milik Abdul Muththalib, lalu Abdul Muththalib beranjak pergi. Dia lalu menambatkan untanya sebagai sembelihan di Baitullah lalu membagikannya di Tanah Haram. Abdul Muththalib lalu mendatangi Ka’bah kemudian meraih gelang pintu Ka’bah bersama beberapa orang Quraisy. Mereka berdoa kepada Allah memohon pertolongan untuk mengalahkan Abrahah.
Sementara itu, Abrahah yang berada di Maghmas tengah bersiap-siap untuk memasuki Makkah. Dia menghampiri gajah yang paling bosar lalu dia tarik telinga gajah itu seraya berkata. “Berlututlah, wahai Mahmud. Kembalilah ke tempat asalmu dengan kemenangan.”
Gajah itu pun berlutut, lalu para prajurit mengarahkannya untuk bergerak maju. Akan tetapi, gajah itu menolak sehingga mereka memukul kepalanya menggunakan beliung. Namun, gajah itu bergeming (diam saja) di tempatnya. Mereka lalu mengarahkan gajah itu ke arah pulang menuju Yaman dan gajah itu pun langsung berdiri.
Mereka lalu mengarahkan gajah itu ke arah Syam dan gajah itu pun juga langsung berdiri. Mereka lalu mengarahkan gajah itu ke arah timur dan gajah itu pun juga langsung berdiri. Namun, ketika mereka kembali mengarahkannya ke Tanah Haram, gajah itu pun langsung duduk menolak berdiri.
Sebelum Abrahah dan pasukannya memasuki Tanah Haram, Allah mengirimkan mereka kawanan burung berwarna hitam yang bergelombang-gelombang. Di depan setiap keJompok burung-burung itu ada seekor burung yang memandu mereka. Warna paruhnya merah, kepalanya berwarna hitam, dan lehernya panjang. Setiap burung yang datang itu membawa tiga butir batu: satu di paruh dan dua butir lainnya dicengkeram menggunakan kedua kaki.
Ukuran batu itu lebih kecil dari kacang Arab dan tertulis di atas tiap-tiap batu itu nama orang yang akan dikenainya. Setiap burung menewaskan tiga orang dengan menggunakan tiga butir batu. Batu yang dijatuhkan burung-burung itu mengenai kepala prajurit Abrahah lalu melubangi tengkorak kepalanya hingga batu itu lalu melesak ke dalam kepala dan terus menerobos hingga tembus keluar lewat dubur.
Akan tetapi, tidak semua pasukan Abrahah tertimpa azab itu. Aisyah rah. berkata, “Aku melihat pemimpin gajah dan pawangnya buta. Mereka berdua meminta-minta makanan kepada orang banyak.”
Pada kejadian itu, jari-jemari Abrahah putus. Setiap kalj satu jarinya putus, darahnya mengucur deras. Sampai ketika akhirnya dia berhasil mencapai Sana’a, tubuhnya rontok seperti bulu anak burung. Dia pun tewas dengan dada hancur,
Menteri Abrahah, Abu Yaksum, berhasil mencapai Sana’ walaupun ada seekor burung yang terus menguntit di atasnya, Ketika akhirnya dia berhasil menemui Najasyi untuk mence. ritakan semua yang terjadi, tepat di saat dia menuntaskan la. porannya, burung yang mengikutinya itu menjatuhkan sebutir batu ke tubuhnya dan Abu Yaksum pun tewas seketika di hadapan Najasyi. Wallahu a’lam.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Ibunda Nabi menyusui selama beberapa hari, kemudian dilanjutkan oleh Tsuwaibah al-Aslamiyah. Seorang perempuan yang telah dimerdekakan Abu Lahab ketika ia datang kepada Abu Lahab memberitahukan kabar gembira kelahiran Nabi saw.
Ibunda Nabi saw., Aminah, menyusui beliau sekitar tujuh atau sembilan hari. Setelah itu, Nabi disusui oleh Tsuwaibah al-Aslamiyah. Kelak ibu susu Nabi saw. ini wafat di Makkah pada tahun ke-7 Hijriyah/628 M. Dia adalah perempuan dari Bani Aslam, sebuah kabilah di Yaman.
Tsuwaibah telah dimerdekakan oleh Abu Lahab yang bernama asli Abdul Uza. Dia dijuluki Abu Lahab sebagai hinaan atau sebagai pujian karena wajahnya selalu memerah, seperti kobaran api. Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena budak itulah yang datang kepadanya untuk memberi. tahukan kabar gembira kelahiran Nabi saw.
Pada saat itu, Tsuwaibah berkata kepada Abu Lahab, “Hamba ingin memberi kabar, Tuan. Aminah telah melahir. kan seorang anak laki-laki dari saudara Tuan yang bernama Abdullah.” Demi mendengar itu, Abu Lahab kontan berkata, “Pergilah, engkau telah merdeka!”
Menurut riwayat yang sahih, Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah pada saat itu lalu dia perintahkan agar perempuan itu menyusui Nabi saw. Oleh karena itulah, Allah meringankan azab Abu Lahab setiap malam Senin, sebagai imbalan atas kegembiraannya atas kelahiran beliau saw. atau sebagai balasan atas perintahnya kepada Tsuwaibah untuk menyusui Nabi saw.
Menurut sebuah riwayat, setahun setelah kematian Abu Lahab, saudaranya yang bernama Abbas bermimpi. Di dalam mimpi itu, Abbas bertanya kepada Abu Lahab, “Bagaimana kabarmu?”
“Aku sedang disiksa. Namun, azabku itu diringankan setiap malam Senin dan aku dapat mengisap air dari sela jari-jemariku seperti ini,” ucap Abu Lahab seraya menunjukkan ibu jarinya. Lalu dia melanjutkan, “Itu terjadi karena aku memerdekakan Tsuwaibah di saat dia menyampaikan kabar gembira kepadaku atas kelahiran Muhammad dan karena aku memerintahkannya untuk menyusui Muhammad.”
Jika keadaan Abu Lahab yang kafir dan al-Quran sudah menyatakan kehinaannya, tapi ternyata dia diberi balasan kebaikan di neraka karena bergembira pada malam kelahiran Nabi saw., bagaimana balasan yang didapatkan umat Muhammad saw. yang bergembira dengan kelahiran beliau serta memberikan sedekah semampunya demi kecintaannya terhadap beliau. Dengan anugerah-Nya, Allah pasti akan memasukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan.
Al-Hafizh Syams ad-Dimasygi bersyair,
Jika orang kafir yang telah dinyatakan baginya
Bahwa kedua tangannya celaka dan dia kekal di neraka
Pada setiap hari Senin dia senantiasa
Diringankan azabnya karena Ahmad menggembirakannya
Lantas apakah kiranya hamba yang sepanjang umurnya
Merasa senang pada Ahmad dan dia mati mengimani Allah?
Tsuwaibah menyusui Nabi bersama dengan Masruh, anak laki-lakinya, dan Abu Salamah. Tsuwaibah memuliakan dan sangat menyayangi Nabi saw. Sebelumnya, Tsuwaibah menyusui Hamzah yang terpuji karena menolong agama Islam. Nabi selalu memberi Tsuwaibah (setelah beliau dewasa) beberapa keperluan dan pakaian yang layak dari Madinah sampai kematian datang kepada Tsuwaibah dan kubur menutupinya. Ada pendapat yang mengatakan, Tsuwaibah tetap mengikuti agama orang-orang Jahiliyyah. Namun, ada pula yang mengatakan, dia masuk Islam. Ibnu Mandah menceritakan perbedaan pendapat itu.
Tsuwaibah menyusui Nabi Muhammad saw. selama beberapa hari sebelum Halimah datang. Saat itu, Tsuwaibah juga sedang menyusui Masruh, anak laki-lakinya, dan Abu Salamah, alias Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi.
Tsuwaibah menyusui Abu Salamah setelah dia menyusui Nabi saw. Abdullah bin Abdul Asad diberi kunyah dengan nama anak lelakinya dari Ummu Salamah. Kelak, setelah kematiannya, Ummu Salamah diperistri oleh Rasulullah saw. Ummu Salamah adalah Ummul Mukminin terakhir dan wafat pada masa kekuasaan Yazid.
Abu Salamah ra. adalah salah seorang pemuka sahabat dan merupakan orang pertama yang mencatat perjanjian setelah Sayidina Umar bin Khaththab ra. Ibunya yang bernama Barrah binti Abdul Muththalib adalah bibi Rasulullah saw. dari pihak ayah.
Tsuwaibah begitu memuliakan dan menyayangi Nabi saw. Sebelum menyusui Nabi saw., Tsuwaibah menyusui Hamzah, paman Nabi yang usianya dua tahun lebih tua dari beliau.
Hamzah adalah sosok yang terpuji karena monolong agama islam. Rasulullah saw. bersabda,
“Demi Dzat menggenggam jiwaku, sungguh di sisi Allah di langit ketujuh, telah tertulis Hamzah sang singa Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Thabrani)
Rasulullah saw. selalu memberi beberapa keperluan dan pakaian untuk Tsuwaibah sampai ibu persusuan beliau itu akhirnya wafat. Ketika Rasulullah saw. menaklukkan kota Makkah, beliau bertanya tentang Tsuwaibah dan putranya yang bernama Masruh. Sayangnya, keduanya telah meninggal dunia.
Ada pendapat yang mengatakan, Tsuwaibah meninggal dunia dengan memeluk agama orang-orang Jahiliyyah. AlHafizh menyatakan bahwa dia tidak menemukan satu pun riwayat yang menyatakan bahwa Tsuwaibah dan Masruh masuk Islam. Pendapat ini mungkin saja benar. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan bahwa Tsuwaibah masuk Islam.
Perbedaan pendapat mengenai hal ini telah disampaikan oleh ulama hadis Imam al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah. Dia adalah seorang ulama asal Ashbahan yang wafat tahun 355 H/966 M.
Abu Nu’aim menyatakan bahwa satu-satunya ulama yang dia ketahui menyampaikan keislaman Tsuwaibah adalah Ibnu Mandah. Namun, menurut pendapat yang benar, semua ibu persusuan Rasulullah saw. telah memeluk agama Islam.
Kemudian Nabi disusui oleh perempuan muda, Halimah as-Sa’diyah. Dulunya, setiap kaum menolak payudaranya (menolak menyusukan bayi kepadanya) karena dia dan orang tuanya miskin. Lalu, kehidupannya menjadi lebih baik sebelum malam itu tiba. Payudaranya penuh dengan air susu. Dia menyusui beliau dengan payudara kanan dan payudara kiri untuk menyusui saudaranya. Sebelumnya, dia kurus dan miskin, tapi kemudian dia pun menjadi kaya. Unta dan kambingnya yang kurus menjadi gemuk. Hilanglah semua bencana dan musibah darinya. Kebahagiaan menyulam pakaian kehidupannya.
Nabi Muhammad saw. disusui oleh seorang perempuan muda bernama Halimah as-Sa’diyah. Dia adalah istri Harits pin Abdul Uzza. Keturunan Bani Sa’ad bin Bakr yang merupakan kakek kesembilan Halimah. Namanya diatribusikan kepada Sa’ad karena dialah kakeknya yang paling terkenal.
Dulunya setiap orang yang memiliki bayi di Makkah menolak menyusukan bayi mereka kepada Halimah karena dia dan orang tuanya miskin. Kondisi seperti itu tentu menimbulkan sangkaan bahwa dia akan kekurangan makanan sehingga susunya berkurang dan dapat membahayakan bayi.
Namun kemudian, kehidupannya menjadi lebih baik sebelum malam itu tiba, malam di mana pada siang harinya dia mengambil Muhammad saw. yang masih bayi untuk dia susui. Payudara Halimah menjadi penuh dengan air susu.
Halimah menyusui Nabi Muhammad saw. dengan payudara kanan, sebab Nabi memang menyukai arah kanan pada segala hal. Sementara payudaranya yang kiri dia gunakan untuk menyusui saudara sepersusuan Nabi yang bernama Dhamrah. Akan tetapi, ada yang menyatakan bahwa namanya adalah Abdullah bin Harits.
Setelah sebelumnya kurus dan miskin, Halimah pun menjadi kaya, sebab berkah Nabi Muhammad. Unta dan kambingnya yang kurus menjadi gemuk. Hilanglah semua bencana dan musibah darinya. Kebahagiaan seakan-akan tengah menyulam pakaian kehidupannya.
Ada yang meriwayatkan, pada saat itu Halimah kerap menyenandungkan sebuah syair berikut kepada Nabi saw.,
Wahai Rabb, kekalkaniah segala yang Engkau berikan kepadanya
Tinggikanlah dia ke maqam tertinggi dan luhurkanilah dia
Gelincirkanlah semua kebatilan musuh darinya
Pada saat itu, ada perempuan bernama Syaima yang merupa kan saudara sepersusuan Nabi saw. Syaima juga kerap Mengasuh beliau sembari melantunkan syair berikut ini,
Ini saudaraku yang tidak dilahirkan ibuku
Ia juga bukan dari nasab ayah dan pamanku
Kutebus dia dengan banyaknya paman yang mulia
Tumbuhkanlah dia dengan pertumbuhan yang terbaik, ya Allah
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Beliau tumbuh dalam sehari seperti pertumbuhan anak kecil dalam sebulan lantaran anugerah Ilahiah. Beliau telah berdiri di atas kedua telapak kakinya pada usia tiga bulan, berjalan pada usia lima bulan, dan kekuatannya sudah sempurna serta fasih pula
ucapannya pada usia sembilan bulan.
Nabi saw. tumbuh dalam sehari seperti pertumbuhan anak kecil dalam sebulan dan tumbuh dalam sebulan seperti pertumbuhan anak kecil dalam setahun berkat anugerah Ilahiah. Pada usia dua bulan, Nabi saw. sudah dapat merang, kak, usia tiga bulan berdiri, lalu usia empat bulan telah dapay memegang dinding dan berjalan sedikit demi sedikit.
Nabi Muhammad saw. dapat berjalan sempurna pada usia lima bulan, dapat berjalan cepat pada usia enam bulan, mampu berlari pada usia tujuh bulan, dan sudah mampu ber. bicara dengan jelas pada usia delapan bulan.
Pada usia sembilan bulan, kekuatan fisik Nabi dan ucap. annya sudah sempurna. Pada usia sepuluh bulan, beliay sudah mampu menembakkan anak panah bersama anak-anak kecil lainnya. Pada usia dua tahun, Halimah menyapih beliau dan mengembalikannya kepada ibundanya.
Menurut pendapat yang paling sahih, pada usia empat tahun Nabi saw. didatangi oleh Jibril dan Mikail. Mereka berdua menyamar menjadi sosok yang mengenakan pakaian serba putih. Pada saat itu, beliau sedang berada di belakang perumahan penduduk untuk menggembala domba. Demikian yang dinyatakan oleh al-Iraqi dalam Alfiyah as-Siyar, Dia tinggal bersama Halimah di kediaman Sa’ad bin Bakr Empat tahun berlalu dan sempurnalah kebahagian Halimah Kedua malaikat itu lalu membawa Nabi saw. ke puncak gunung, kemudian mereka membaringkan beliau.
Kedua malaikat membelah dada Nabi yang mulia ketika beliau tinggal dengan Halimah. Kedua malaikat itu mengeluarkan gumpalan darah dari dada itu, menghilangkan bagian setan, dan mencuci dadanya dengan salju, lalu memenuhinya dengan hikmah dan makna-makna keimanan. Kemudian, mereka berdua menjahitnya kembali dan menyegelnya dengan segel kenabian. Setelah itu, kedua malaikat tadi menimbangnya dan Nabi mengungguli seribu orang dari umatnya yang istimewa. Beliau tumbuh dengan sifat-sifat yang paling sempurna sejak masa kanak-kanaknya.
Ada yang menyatakan bahwa kedua malaikat itu Jibril dan Israfil, Ada pula yang menyatakan bahwa yang mendatangi beliau adalah tiga sosok malaikat dan Mikail sebagai malaikat yang ketiga.
Bagian yang dibedah oleh para malaikat itu dari bawah leher sampai perut bawah Nabi. Itu dilakukan untuk mengeluarkan jantung (qalb). Tentu saja tidak dapat dinyatakan bahwa para malaikat melihat aurat Nabi saw., sebab mereka bukan mukalaf. Atau mungkin pula ketika melakukan pembedahan itu, para malaikat tidak perlu melihat sehingga dada beliay tetap dapat dibedah tanpa melihat aurat beliau saw. Sebab, tidak ada seorang pun yang boleh melihat aurat beliau. Siapa pun yang melihat aurat Nabi saw. pasti matanya menjadi buta,
Riwayat yang sahih menyatakan bahwa pembedahan ity dilakukan menggunakan alat, sebab itu lebih menguatkan hal tersebut sebagai mukjizat. Apalagi diketahui bahwa saat itu Nabi sama sekali tidak merasakan sakit dan bekas pembedah. an juga langsung pulih.
Hanya saja, tidak pernah ada satu pun hadis sahih yang menyebutkan alat pembedahan sehingga yang mengetahuj hakikat peristiwa itu hanya Allah semata. Selain itu, tubuh Nabi saw. juga tidak mengalir darah sedikit pun, sebab beliau tengah berada dalam kondisi di luar nalar manusia (khariq al-’adah).
Kedua malaikat itu mengeluarkan gumpalan berwarna hitam seperti darah dari dada Nabi. Namun, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa yang dikeluarkan dari jantung beliau berjumlah dua gumpalan yang keduanya berwarna hitam.
Kedua malaikat itu lalu menghilangkan bagian setan tersebut. Bagian itu dimiliki setiap manusia dan menjadi jalan setan untuk mengembuskan waswas, terkecuali pada Isa bin Maryam as. Di dalam gumpalan itu pula tempat bersemayamnya rasa iri, dengki, syahwat, dan semua perangai buruk lainnya.
Mereka lalu mencuci jantung Nabi di dalam sebuah bejana emas dengan salju karena dapat mendinginkan sekaligus membersihkan jantung. Dihilangkannya bagian setan dari diri beliau adalah tanda kemaksuman yang Allah anugerahkan kepada beliau. Setelah itu, mereka berdua memenuhi jantung beliau dengan hikmah kenabian. Namun, lebih tepat jika hikmah di sini diartikan sebagai ilmu dan kebaikan amal sebagaimang dinyatakan dalam syarah asy-Syifa. Jantung beliau juga dipenuhi dengan makna-makna koimanan, berupa iman, keyakinan, serta berbagai rahasia gaib Jainnya.
Kemudian mereka mengembalikan jantung itu ke tempatnya semula dan menjahit dada beliau kembali. Tentu saja yang dimaksud menjahit di sini adalah bersifat maknawi. Sebab, yang terjadi adalah: salah satu malaikat memerintahkan maJaikat yang lain untuk menggerakkan tangan di atas dada Nabi yang terbelah dan belahan itu pun kembali pulih secara seketika. Setelah itu, mereka menyegelnya dengan segel kenabian. Tujuannya adalah agar jangan sampai sesuatu apa pun yang tidak layak masuk ke dalam dada Nabi Muhammad saw.
Segel (khatam) di sini adalah sebuah alat yang terbuat dari cahaya yang berada di tangan Jibril as. Alat itu tidak dapat dilihat karena saking terangnya. Penyegelan ini mengikuti kebiasaan masyarakat yang menyegel wadah penuh untuk demi melindungi isinya.
Itulah yang dilakukan para malaikat ketika berbagai rahasia dan hikmah ilahiah dituangkan ke dalam jantung Nabi saw. Jibril menyegel dada beliau dengan alat tersebut demi menjaga sekaligus untuk menenteramkan hati beliau.
Setelah itu, mereka menimbangnya dan beliau mengungguli seribu orang dari umat beliau yang istimewa. Wahab bin Munabbih berkata, “Aku telah membaca tujuh puluh satu kitab dan pada kesemuanya kudapati pernyataan: Nabi adalah manusia yang paling unggul akalnya dan paling utama pendapatnya.”
Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Wahab berkata, “Aku mendapati di dalam semua kitab itu pernyataan: Semua akal yang diberikan Allah kepada manusia, dari awal sampai akhir generasi mereka, tidak akan sebanding dengan akal beliau saw. Akal mereka itu hanya seperti sebutir pasir dj tengah tumpukan pasir.”
Nabi saw. tumbuh dengan sifat-sifat yang paling sempur. na sejak masih kanak-kanak. Beliau menghimpun semua hal baik, terpuji, dan benar, seperti sifat tabah, sabar, syukur, adil, zuhud, tawadhu, terhormat, pemurah, pemberani, pemalu, dan berwibawa.
Halimah bercerita, “Suatu ketika Nabi saw. keluar bersama anak-anak kampung. Namun, ketika beliau melihat mereka bermain, aku pun menjauhkan beliau dari mereka, Ketika tubub beliau sudah kuat, beliau bertanya kepadaku, “Wahai ibu, mengapa aku tidak meilhat saudara-saudaraky itu di kampung pada siang hari?” Aku pun menjawab, “Wahai anakku, mereka keluar bersama domba-domba yang Allah re. zekikan kepada mereka karena berkahmu. Jika nanti malam datang, mereka kembali bersama domba-domba itu ke sini.”
Demi mendengar itu, Nabi saw. pun berkata, “Mengapa engkau membedakanku dengan saudara-saudaraku itu? Aku duduk di sini dalam kesejukan, makan di bawah naungan, dan meminum susu atau air yang segar. Sementara saudara-saudaraku itu harus berpanas-panasan dan wajah mereka terpapar oleh sinar matahari.” Aku pun menjawab, “Wahai anakku, aku melakukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dari ancaman musuh. Aku juga takut jika orang-orang yang melintasi jalan melihat ketampanan dan cahaya terang tubuhmu lalu mereka tidak kuasa untuk tidak mengambilmu.”
Nabi Muhammad saw. yang saat itu masih kecil berkata, “Wahai ibu, Allah adalah sebaik-baik pelindung. Pasrahkanlah aku pada-Nya. Bertawakallah engkau kepada-Nya. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Jika Allah menjadi pelindungku, walaupun seluruh penghuni bumi bersatu (untuk menggangguku), mereka tidak akan mampu mengusikku.”
Aku sangat terkejut ketika mendengar ucapan beliau jtu. Aku pun langsung bertanya kepadanya, “Jadi, apa yang engkau inginkan sekarang?” Nabi menjawab, “Aku ingin ikut bersama saudara-saudaraku ke tempat penggembalaan, Aku jngin bersama mereka dalam suka dan duka.” “Demi cinta dan penghormatan, silakan, Nak,” jawabku.
Kemudian aku bertanya kepada anakku, Dhamrah, “Wahai anakku, apa yang kau lihat dari saudaramu hari ini?” Dhamrah pup menjawab, “Wahai ibu, hari ini aku melihat keajaiban.” “Apa yang engkau lihat, wahai anakku?” tanyaku.
Dhamrah langsung menjawab, “Wahai ibu, semua batu, pohon, tanah, dan gunung mengucapkan salam untuknya. Mereka semua berbicara dengannya secara kasat mata. Seluruh tempat yang dia injak dengan kakinya langsung tumbuh rumput yang menghijau.
Semua domba mematuhinya. Jika dia memerintahkan kepada mereka agar diam, mereka pun diam. Jika dia memerintahkan mereka untuk berjalan, mereka pun berjalan.
Namun, yang lebih hebat dari itu adalah ketika kami memasuki lembah yang dihuni banyak binatang liar dan kami pun memperingatkannya agar tidak memasuki lembah itu, dia tetap ingin memasukinya.
Ketika dia memasuki lembah itu, tiba-tiba kami dihadang oleh seekor binatang buas yang menyeramkan, wajahnya keras seperti perisai dan pipinya seperti batu gerinda. Binatang itu membuka mulutnya sehingga tampaklah taring laksana deretan pisau belati dan matanya mendelik tampak seperti nyala api. Akan tetapi, ketika binatang buas itu melihat Muhammad, ia sontak berlutut menjatuhkan tubuhnya ke bawah lalu meletakkan pipinya di atas tanah.
Binatang itu pun berbicara dengan kata-kata manusia, ‘Salam bagimu wahai Muhammad.’ Saudaraku itu pun men, dekati binatang tersebut tanpa sedikit pun rasa takut. Dia laly membisikkan sesuatu ke telinga binatang itu dan binatang ity tampak menganggukkan kepalanya.
Muhammad lalu memberi isyarat kepada binatang itu dan binatang itu pun berbalik lalu pergi. Aku kemudian bertanya kepadanya, ‘Wahai saudaraku, apa yang engkau katakan kepada binatang itu sampai dia pergi meninggalkanmu?’ Dia menjawab, ‘Aku berkata kepadanya agar dia jangan mendekati lembah ini dan jangan pernah sekali pun memasukj tanah kita ini untuk selamanya. Dia mengiyakan ucapanky itu dan kemudian pergi.’”
Catatan:
Siapa pun yang dihina karena pekerjaannya menggembala domba tidak boleh membalas hinaan itu dengan berkata bahwa dulu Nabi saw. menggembala domba. Apabila dia berkata seperti itu, hakim berhak memberikan hukuman kepadanya. Karena kegiatan menggembala domba merupakan sebuah kesempurnaan bagi Nabi saw., tapi tidak bagi selain beliau. Demikian pula halnya apabila seseorang diejek karena buta huruf, dia tidak boleh membalas ejekan itu dengan berkata bahwa dulu Nabi saw. juga buta huruf. Apabila dia melakukan itu, hakim berhak memberikan hukuman kepadanya.’
Kemudian Halimah mengembalikan Nabi kepada ibunya meskipun dia tidak rela. Dia melakukannya karena takut Nabi mengalami petaka yang dikhawatirkannya. Kelak, Halimah datang kepada beliau pada hari-hari setelah beliau menikah dengan Khadijah, seorang nyonya yang baik. Lalu Halimah menerima pemberian yang banyak dari Nabi. Halimah juga datang kepada beliau pada Perang Hunain, lalu beliau bangun menemuinya dan dia pun memperoleh pemberian yang banyak. Nabi bentangkan kebajikan dan kedermawanan untuknya dari serbannya yang mulia. Menurut pendapat yang sahih, Halimah telah masuk Islam bersama suaminya, anak-anak-nya, dan keluarganya. Sekelompok perawi terpercaya memasukkan mereka berdua ke dalam golongan sahabat.
Setelah peristiwa pembelahan dada Nabi saw., Halimah mengembalikan beliau kepada ibunya meskipun hatinya tidak rela. Sebab, dia khawatir jika perpisahannya dengan Nabi saw, akan menghilangkan segala berkah dan kebahagiaan yang telah diraihnya.
Akan tetapi, Halimah juga merasa takut jika Nabi meng. alami petaka yang dikhawatirkannya, sebab suatu ketika Halimah pernah berkata kepada Rasulullah ketika beliau memohon izin kepadanya untuk keluar menggembala ternak,
“Aku mengkhawatirkan keselamatanmu dari ancaman musuh dan para pendengki. Aku juga takut jika para musafir akan membawamu karena ketika mereka melihat ketampa.nan dan cahaya tubuhmu, mereka tidak kuasa untuk tidak mengambilmu. Aku takut jika itu terjadi, semua berkah dan kebahagiaan ini akan hilang dari kami atau kakekmu Abdul Muththalib akan menuntutku untuk menyerahkanmu.”
Kelak, Halimah binti Abdullah bin Harits bin Syijnah mendatangi Nabi saw. lagi pada hari-hari setelah beliau menikah dengan Ummul Mukminin pertama lagi paling utama, Khadijah binti Khuwailid, yang merupakan sosok nyonya yang baik di tengah kaumnya.
Dalam naskah ini, Sayid Ja’far menggunakan kata wadhiyah (baik). Namun, di beberapa versi naskah lain tertulis kata radhiyah yang artinya sosok perempuan yang ridha kepada Allah dan rasul-Nya serta diridhai oleh keduanya.
Pada saat itu, Halimah mendatangi Nabi saw. setelah beliau menikahi Khadijah rah. untuk menyampaikan kesulitan hidup yang dialaminya kepada. Nabi pun memberikan Halimah begitu banyak pemberian. Kala itu, Nabi saw. memberi Halimah 20 domba gemuk dan beberapa ekor unta.
Halimah juga mendatangi beliau pada saat Perang Hunain, yaitu pada tahun kedelapan setelah Penaklukan Makkah.
Hunain adalah nama sebuah lembah dekat Thaif yang jaraknya dengan Makkah adalah sekitar belasan mil. Demikian yang dinyatakan oleh Khalid al-Azhari. Pada saat itu, Rasulullah saw. sedang duduk di Ji’ranah untuk membagi-bagikan daging, lalu beliau bangun menemui Halimah dan Halimah pun memperoleh pemberian yang banyak sekaligus ketentesaman hati.
Nabi saw. juga pernah membentangkan serbannya yang mulia demi menghormati Halimah. Dia duduk di atasnya atas perintah beliau. Bahkan, ketika kemudian suami Halimah datang, beliau mempersilakannya duduk di samping istrinya. Lalu, ketika saudara sepersusuan beliau juga datang, beliau lagi-lagi mempersilakannya duduk di antara mereka berdua. Tindakan itu pula yang Nabi saw. lakukan ketika kemudian saudara perempuan sepersusuannya yang bernama Syaima juga datang.
Nama saudara perempuan sepersusuan Rasulullah adalah Syaima’. Terkadang, nama perempuan ini ditulis tanpa huruf ya’ dan huruf mim yang bertasydid (syamma’). Sebenarnya, syaima’ adalah nama julukanya, sebab nama aslinya adalah Jadzamah atau Hadzafah.
Dalam banyak riwayat sahih, pemberian yang Rasulullah saw. berikan seperti hujan karena saking banyaknya. Di bagian ini, Sayid Ja’far menyampaikan pemberian dari Nabi saw. dengan menggunakan kata nada yang berarti hujan.
Dalam peristiwa lain, ketika Syaima’ ditawan bersama para tawanan perang asal Hawazin dan Hunain, dia berkata kepada kaum muslim, “Demi Allah, aku adalah saudara perempuan sahabat kalian (Nabi Muhammad saw.).” Para prajurit muslim pun membawa Syaima’ kepada Nabi saw., lalu perempuan itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah saudara perempuanmu.” Beliau saw. bertanya,
“Apakah tanda yang menunjukkan itu?” Syaima’ menjawab “Ada satu bekas gigitan mulutmu di dadaku.’ Setelah mendengar itu, beliau pun mengenalinya.
Nabi saw. lalu membentangkan serban beliau seray, mempersilakan Syaima’ untuk duduk di atasnya. Setelah itu, beliau saw. meminta Syaima’ untuk memilih, “Jika engkay mau, aku memiliki kehidupan yang mulia. Jika engkau may, aku dapat memberimu kenyamanan atau engkau ingin Pulang kepada kaummu.” Ternyata, Syaima’ memilih untuk pulang kepada kaumnya.
Rasulullah pun memberinya begitu banyak pemberian berupa beberapa ekor domba serta tiga orang budak: seorang budak laki-laki, seorang budak perempuan, dan seorang budak muda yang bernama Makhul. Syaima’ lalu menikahkan Makhul dengan budak perempuan miliknya dan pasangan ity melahirkan banyak keturunan.
Menurut pendapat yang sahih, Halimah telah masuk Islam bersama suaminya yang bernama Harits bin Abdul Uzza. Begitu juga keluarga mereka. Sekelompok perawi terpercaya memasukkan mereka berdua, Halimah dan suaminya, ke dalam golongan sahabat. Sebab, mereka berdua menemui Nabi saw. setelah beliau diangkat menjadi nabi dan beriman kepada ajaran beliau.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Ketika Nabi Muhammad saw. mencapai usia empat tahun, ibunya membawanya ke Madinah. Kemudian saat kembali, Aminah wafat di Abwa’ atau Syi’bul Hajun. Setelah itu, Nabi dirawat oleh pengasuhnya,
Ummu Aiman al-Habasyiyyah, yang kelak beliau nikahkan dengan Zaid bin Haritsah, budak beliau. Ummu Aiman lalu menyerahkan Nabi ke kakeknya, Abdul Muththalib. Kemudian Abdul Muththalib memeluknya dan dia sangat sayang kepadanya. Lalu dia berkata, “Anakku (cucuku) ini mempunyai kedudukan yang agung, beruntunglah orang yang menghormati dan memuliakannya.”
Kejadian wafatnya ibunda Nabi terjadi saat beliau berusia empat tahun atau lima tahun, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim. Ada juga yang menyatakan enam tahun, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Ibnu Abbas, Zuhri, dan Ashim. Inilah riwayat yang dipercaya, sebab pembedahan dada Nabi saw. terjadi ketika beliau diasuh oleh Halimah dalam usia empat tahun. Namun, al-Waqidi menyatakan bahwa umur Nabi saw. ketika mengalami pembedahan dada adalah lima tahun lebih sebulan.
Pada saat itu, Aminah berangkat ke Madinah bersama Nabi saw. dan pengasuhnya yang bernama Ummu Aiman al-Habasiyyah. Nama Madinah diatribusikan kepada Nabi saw. (an-nabawiyyah) karena kota itu menjadi mulia dengan keberadaan beliau saw.
Aminah mendatangi Madinah untuk menjenguk paman dari kakek Nabi saw. Abdul Muththalib, yaitu keturunan Bani Adi bin Najjar. Di kota itu, Aminah tinggal di daerah Tababi’ah. Aminah menetap di sana selama satu bulan.
Setelah itu, Aminah pun kembali ke Makkah. Namun, di tengah perjalanan pulang Aminah jatuh sakit sampai akhirnya wafat di Abwa’, sebuah desa di kawasan Fur’ berjarak 30 mil dari Madinah.
Daerah itu disebut abwa’ karena memiliki banyak aliran air (tatabawwa’)). Ada yang mongatakan, Aminah wafat di Syi’bul Hajun. Pendapat terakhir inilah yang dipercaya. Kata syi’b berarti jalan di tengah gunung, sedangkan Hajun adalah sebuah daerah yang terletak di sebuah gunung di dekat Ma’lah, Makkah.
Aminah wafat saat berusia sekitar dua puluh tahun. Imam Ja’far Shadiq ra. pernah ditanya alasan di balik Rasulullah saw. dipisahkan dari kedua orang tua beliau sehingga menjadi yatim piatu. Ja’far Shadiq menjawab, “IJtu terjadi agar Nabi Muhammad saw. tidak menanggung hak orang lain.” Namun, ada pula yang menyatakan bahwa itu terjadi agar beliau tidak bergantung kepada siapa pun selain Allah. Sebab, sikap bersandar kepada manusia adalah bukti kekurangan. Syihab al-Khafafi menggubah syair tentang hal ini,
Kedua orang tua Thaha memiliki maqam yang mulia Di surga keabadian dan negeri pembalasan pahala Bahkan sebutir tetesan dari bekas Rasulullah
Dalam tubuh dapat menyelamatkan dari api menyala Lalu, bagaimana bisa rahim yang pernah mengandung beliau dibakar api neraka
Sebagian ulama dari kalangan Malikiyyah menyatakan, siapa pun yang mengatakan “Rasulullah saw. adalah yatim” padahal dia tidak sedang meriwayatkan hadis, orang itu sudah kafir dan tidak dapat diterima tobatnya. Bahkan sebagian dari mereka memutuskan fatwa bahwa orang itu harus dijatuhi hukuman mati. Namun, sebagian dari mereka menyatakan bahwa orang itu tidak boleh dihukum mati jika dia bertaklid pada mazhab Syafi’i.
Setelah kematian Aminah, Nabi saw. dirawat oleh pengasuhnya, Ummu Aiman Barakah binti Muhshan al-Habasyiyyah. Ummu Aiman adalah budak yang beliau warisi dari ayahnya, Abdullah, tapi kemudian beliau memerdekakan Ummu Aiman.
Di antara keistimewaan Ummu Aiman adalah suatu ketika di saat ia ingin berbuka dan tidak memiliki air sama sekali, tiba-tiba dari langit turun sebuah timba bertali putih berisi air, Ummu Aiman meraih timba itu lalu meminum airnya sampaj kenyang.
Warisan yang diterima Rasulullah saw. dari ayahnya adalah Ummu Aiman, lima ekor unta, dan beberapa ekor domba. Beliau menerima warisan itu bersama ibunya Aminah dan kakeknya Abdul Muththalib.
Kelak setelah Nabi saw. diangkat menjadi nabi, beliau menikahkan Ummu Aiman dengan pemuda kesayangannya, Zaid bin Haritsah al-Kalabi. Zaid adalah budak Nabi yang kemudian dimerdekakan oleh beliau, sebagaimana halnya Ummu Aiman.
Dari pernikahan mereka, lahir Usamah bin Zaid ra. yang juga merupakan sosok kesayangan Rasulullah saw. Usamah lahir setelah Ummu Aiman menikah dengan Ubaid bin Zaid dari Bani Harits yang kemudian melahirkan anak bernama Aiman. Inilah mengapa dia dijuluki Ummu Aiman (bukan Ummu Usamah). Pada kemudian hari, Aiman gugur sebagai syahid dalam Perang Hunain.
Setibanya di Makkah, Ummu Aiman menyerahkan Nabi saw. ke kakeknya, Abdul Muththalib, tepat lima hari setelah wafatnya Aminah. Abdul Muththalib pun langsung memeluknya karena dia sangat menyayangi beliau.
Abdul Muththalib begitu mencintai Nabi saw. sampai-sampai diketahui bahwa dia tidak pernah memiliki rasa sayang sebesar itu kepada anaknya yang lain. Dia begitu telaten mengurus, menyayangi, dan mencintai Nabi saw., jauh melebihi sayangnya kepada anak-anaknya sendiri.
Setiap kali Abdul Muththalib menerima makanan, dia akan meminta Nabi saw. untuk duduk di sampingnya atau bahkan di pangkuannya, lalu dia memberikan makanan itu Jebih dulu daripada anak-anak kandungnya. Pada masa itu, Abdul Muththalib kerap memerintahkan anak-anaknya untuk mengurus berbagai urusan. Namun setelah mereka pergi, dia selalu mengutus Muhammad saw. sehingga urusan yang mereka hadapi itu pun beres. Sebab, setiap kali Nabi diutus untuk membereskan masalah, apa pun itu, Nabi selalu berhasil menyelesaikannya.
Yang lebih istimewa lagi, pada saat itu Abdul Muththalib memiliki permadani yang diletakkan di bawah naungan bangunan Ka’bah. Tidak ada satu pun orang termasuk anak-anaknya yang berani menduduki permadani itu demi penghormatan bagi Abdul Muththalib.
Hal itu membuat anak-anak Abdul Muththalib dan para pemimpin Quraisy iri pada Nabi. Sebab, suatu ketika Rasulullah saw. yang masih kecil mendatangi Ka’bah lalu duduk di atas permadani kehormatan itu. Sontak paman-paman Nabi saw. bergegas mendatangi beliau untuk memindahkan beliau. Akan tetapi, Abdul Muththalib yang melihat hal itu justru berkata, “Biarkanlah anakku itu!”
Abdul Muththalib lalu berkata, “Demi Allah, anakku (cucuku) ini mempunyai kedudukan yang agung, beruntunglah orang yang menghormati dan memuliakannya!”
Setelah berujar demikian, Abdullah mendudukkan Nabi saw. bersamanya di atas permadani itu kemudian dia mengusap punggung beliau. Apa pun yang dilakukan oleh Muhammad saw., Abdul Muththalib selalu menyukainya. Abdul Muththalib pernah berkata, “Aku berharap dia mencapai kemuliaan yang tidak pernah dicapai oleh siapa pun, baik generasi sebelumnya maupun sesudahnya.”
Ketika memuji Nabi saw., Abdul Muththalib mengucap. kan lafal bakhin bakhin. Lafal bakhin bakhin adalah ucapan yang digunakan untuk memuji atau ketika seseorang senang akan sesuatu hal. Kata ini dapat diucapkan bakhi, bakhin, atau bakhun. Namun, yang sering digunakan adalah kata bakhi yang diucapkan berulang sebagai bentuk mubdlaghah (superlatif) sehingga menjadi bakhin bakhin atau bakhin bakh. Bahkan, kata ini menggunakan tasydid (bakh bakh). Demikian yang tertulis dalam kitab ash-Shihah, al-Qamis, dan al-Mishbah.
Di waktu kanak-kanaknya, Nabi tidak pernah sekali pun mengeluhkan lapar dan haus atas dirinya, sebab beliau memang enggan mengeluh. Sering kali beliau sarapan di waktu pagi dengan hanya meminum air zamzam dan itu memembuatnya kenyang juga tidak haus. Ketika kematian menjemput kakeknya, Abdul Muththalib, beliau dirawat: oleh pamannya, Abu Thalib, saudara kandung ayahnya, Abdullah. Dia merawat beliau. dengan tekad yang kuat, penuh semangat, dan penuh perlindungan. Abu Thalib mendidik Nabi dan lebih mengutamakan beliau daripada dirinya dan anak-anaknya sendiri.
Baik, pada masa kanak-kanak maupun dewasanya, Nabi saw. tidak pernah sekali pun mengeluhkan lapar dan haus. Beliau memang enggan mengeluh.
Huruf ya’ pada kata abiyyah bisa dibaca tanpa tasydid dan huruf hamzah-nya dibaca mad (abiyah). Kata abiyyah merupakan ism fa’il (kata benda menunjukkan pelaku) dari verba aba — ya’ba yang sebenarnya memiliki tiga bentuk ism fa’il, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ismail Jauhadi dalam ash-Shihah, yaitu ab, abiyun, dan abayan. Arti kata ini adalah enggan mengeluh sehingga memang diketahui Nabi saw. tidak pernah mengeluh dalam kondisi apa pun.
Sering kali Nabi saw. sarapan di waktu pagi dengan hanya meminum air zamzam dan ini sudah bisa membuatnya kenyang layaknya orang yang menyantap makanan. Beliau juga tidak merasa haus karena zamzam menghilangkan dahaga. Mungkin saja pada saat itu beliau ditawari makanan tetapi beliau berkata, “Aku sudah kenyang”.
Ketika Rasulullah berusia delapan tahun atau lebih, kematian menjemput kakeknya, Abdul Muththalib, yang saat itu berusia 140 tahun. Menurut pendapat yang dipercaya, jenazahnya dikebumikan di Hajun. Setelah itu, Nabi saw. dirawat oleh pamannya yang bernama Abu Thalib, saudara kandung ayah beliau, Abdullah.
Ketika Abdul Muththalib meninggal dunia, penduduk Makkah berduka atas kematiannya, sampai-sampai pasar-pasar di Makkah tutup hingga berhari-hari. Sesaat sebelum kematiannya, Abdul Muththalib berwasiat kepada Abu Thalih untuk mengurus Nabi saw. Abdul Muththalib memang lebih mengutamakan Abu Thalib daripada paman-paman Nabi yang lain, sebab Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah, ayah Nabi.
Pamannya yang bernama Abdul Ka’bah, walaupun meru, pakan saudara kandung Abdullah, tetapi dia telah mening. gal di saat masih belia dan lebih dulu wafat daripada Abdu) Muththalib sendiri. Sementara paman Nabi yang bernama Zubair, walaupun ia juga merupakan saudara kandung Abdul. lah, tetapi menurut pendapat tertentu dia kalah dalam undian yang dilakukan oleh Abdul Muththalib untuk menentukan siapakah di antara Zubair dan Abu Thalib yang harus mengasuh Nabi saw.
Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa sebenarnya Zubair juga ikut memiliki tanggung jawab mengurus Nabi. Sementara Abu Thalib lebih sering disebut jika membahas paman yang mengasuh Nabi. Sebenarnya, hal ini terjadi dikarenakan panjangnya usia Abu Thalib, sebab Zubair meninggal sebelum Islam.
Abu Thalib merawat Rasulullah dengan tekad yang kuat, penuh semangat, dan penuh perlindungan. Dia melindungi Nabi dari segala macam gangguan. Selain mendidik Nabi, Abu Thalib juga selalu lebih mengutamakan beliau baik dalam urusan makanan maupun urusan lainnya daripada dirinya dan anak-anaknya sendiri.
Abu Thalib sangat mencintai Nabi saw. dengan cinta yang bahkan tidak pernah dia berikan kepada anak-anak kandungnya sendiri. Dia selalu tidur di samping Nabi. Dia selalu mengistimewakan Nabi dalam hal makanan. Dia selalu mengajak beliau kapan pun dia bepergian.
Setiap kali Abu Thalib ingin memberi makan keluarganya baik di pagi maupun di malam hari, dia selalu berkata kepada anak-anaknya, “Jangan mulai dulu sampai anakku Muhammad tiba.” Lalu ketika Nabi tiba, beliau pun makan bersama mereka. Ketika tiba saatnya minum susu, Nabi menjadi orang pertama yang meminumnya, kemudian barulah anak-anak Abu Thalib yang lain menyusul meminum susu itu.
Saat beliau mencapai umur dua belas tahun, Abu Thalib mengajaknya pergi ke negeri Syam. Pendeta Bahira mengenalnya dengan sifat kenabian yang ada pada diri beliau. Dia berkata, “Aku melihat dia akan menjadi pemimpin alam semesta, utusan Allah, dan nabi-Nya. Pohon dan batu sujud kepadanya, padahal keduanya hanya sujud kepada nabi yang awwah (selalu kembali kepada Allah). Aku mendapati sifatnya di dalam kitab-kitab samawi terdahulu.”
Di antara kedua bahunya terdapat cap kenabian yang dinaungi cahaya. Bahira lalu memerintahkan pamannya untuk membawa beliau kembali ke Makkah, sebab dia khawatir perlakuan para pemeluk agama Yahudi kepada beliau. Akhirnya, Abu Thalib membawa beliau pulang dari Syam yang suci tanpa melewati Busra.
Menurut pendapat mayoritas ulama, saat Nabi saw. mencapai umur dua belas tahun, Abu Thalib pamannya mengajaknya pergi ke negeri Syam. Mereka pun berangkat hingga akhirnya tiba di Busra. Rasulullah berkata kepadanya, “Wahai paman, kepada siapakah engkau akan menitipkan aku di sini?” Beliau mengucapkan kalimat itu sembari memegangi telapak tangan Abu Thalib, sehingga membuat sang paman iba dan mengajak beliau.
Setelah beberapa saat melakukan perjalanan, mereka singgah pada seorang pendeta pemilik biara. Ketika melihat Nabi, pendeta itu bertanya kepada Abu Thalib, “Siapakah anak ini?” Abu Thalib menjawab, “Dia anakku.” Pendeta itu menukas, “Dia pasti bukan anakmu. Dia tidak memiliki ayah yang masih hidup.” Abu Thalib pun menyergah, “Mengapa seperti itu?” Pendeta itu menjawab, “Sebab wajahnya adalah wajah seorang nabi dan matanya juga mata seorang nabi.” Demikianlah pendeta itu terus menyampaikan berbagai hal sampai akhirnya dia berkata, “Hindarkanlah dia dari orangorang Yahudi.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan, sampai kemudian singgah di kapel lain yang dihuni oleh pendeta lain. Ternyata pendeta itu juga berkata kepada Abu Thalib seperti yang dikatakan pendeta pertama. Hanya saja, pendeta kedua itu tidak mengatakan kalimat, “Hindarkanlah dia dari orangorang Yahudi.” Abu Thalib lalu berkata kepada Nabi, “Wahai keponakanku, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan itu?” Nabi menjawab, “Wahai paman, janganlah engkau ingkari takdir Allah.”
Beberapa lama kemudian, ketika rombongan itu sampai di Busra, tempat tinggal seorang pendeta besar bernama Bahira, ternyata Bahira juga mengenali siapa sebenarnya Rasulullah saw.
Bahiré terkadang ditulis dengan alif maqsharah atau mamdidah (menjadi atau ). Namun, ada yang menyatakan bahwa nama pendeta itu ditulis dengan huruf ba’ berharakat dhammah (buhaira). Nama asli pendeta ini adalah Jirjis.
Pendeta Bahira mengenali Rasulullah dengan sifat kenabian yang ada pada diri beliau. Pada mulanya, Bahira adalah menganut agama Yahudi, tetapi kemudian dia memeluk agama Nasrani. Dia menguasai ilmu ajaran Nasrani yang dj. warisi oleh para pemeluknya dari gonerasi ke generasi.
Bahira adalah pewaris wasiat Nabi Isa as. dan dia wafat dalam agama yang benar. Sebab, walaupun dia tidak menyak, sikan kenabian Muhammad saw., tetapi dia telah memeluk agama Nasrani yang benar, sebelum agama itu dinasakh dengan diutusnya Muhammad saw. Apalagi diketahui bahwa dia menyatakan dirinya bersaksi atas kerasulan Nabi saw.
Kala itu, Bahira berkata seraya menggamit lengan Rasulul. lah, “Sungguh aku melihat dia akan menjadi pemimpin alam semesta, utusan Allah, dan nabi-Nya.” Beberapa tetua Quraisy yang ikut hadir pada saat itu pun bertanya, “Apa yang membuatmu mengetahui hal seperti itu?”
Bahira menjawab, “Ketika kalian tiba di perbukitan ini, pohon dan batu bersujud kepadanya. Padahal kedua benda itu hanya bersujud kepada nabi yang awwah (selalu kembali kepada Allah).”
Selain itu, Bahira juga melihat awan putih selalu menaungi Nabi saw. Ukuran panjang awan itu adalah sepuluh hasta dan lebarnya juga sepuluh hasta. Awan itu mengambang di atas kepala beliau juga sejauh sepuluh hasta. Awan putih itu selalu menaungi beliau saw. sebelum beliau diangkat menjadi nabi sebagai bukti awal kenabian beliau. Adapun setelah beliau diangkat menjadi nabi, awan putih itu tidak menaungi beliau lagi.
Menurut sebuah riwayat, pada saat itu Nabi saw. bernaung di bawah sebatang pohon bidara (siar) yang tumbuh dekat tempat Bahira. Tampaklah awan putih menaungi pohon tersebut dan dahan ranting pohon itu condong ke arah Rasulullah saw. ketika beliau bernaung di bawahnya. Ketika kemudian beliau beranjak dari pohon itu, pohon itu pun tercabut hingga akarnya.
Bahira terus memperhatikan dengan cermat berbagai hal yang ada di tubuh Rasulullah saw. Dia pun menemukan sifat-sifat nabi ada pada tubuh beliau. Bahira lalu berkata kepada rombongan Nabi, “Apakah merah yang ada di kedua matanya itu terkadang muncul dan terkadang hilang, ataukah merah-merah itu selalu ada di situ?” Orang-orang pun menjawab, “Kami selalu melihat matanya memiliki merah-merah itu.”
Bahira berkata, “Aku benar-benar mendapati sifatnya di dalam kitab-kitab samawi terdahulu,” yaitu Taurat dan Injil. Bahira juga mengetahui bahwa di antara kedua bahu beliau terdapat cap kenabian yang dinaungi cahaya.
Khatam Nubuwwah (cap kenabian) itu berbentuk seperti buah apel. Namun, ada yang menyatakan bahwa cap itu berupa kumpulan bulu seperti bulu surai yang ada pada tengkuk kuda. Ada pula yang menyatakan bahwa bentuknya seperti telur burung merpati. Ada pula yang menyatakan bahwa bentuknya seperti telur burung hajalah (semacan burung dara).
Dalam buku sejarah karya Ibnu Abu Khaitsumah, bentuk Khdétam Nubuwwah (cap kenabian) berupa tahi lalat besar (tompel) berwarna hijau yang melekat di daging. Bahkan di dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa cap itu berbentuk seperti telur burung merpati yang bagian tengahnya bertuliskan aksara Arab, “Alla4hu wahdah 14 syarika lah” (Allah Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya), dan di bagian tepinya tertulis aksara Arab, “Tawajjah haitsu kunta, fainnaka manshir’” (Menghadaplah kemana pun sekehendakmu, karena sesungguhnya engkau pasti ditolong).
Bahira lalu memerintahkan Abu Thalib untuk mengembalikan Nabi ke Makkah, sebab dia mengkhawatirkan keselamatan beliau atas perlakuan kaum Yahudi. Pada saat itu, tujuh orang Yahudi telah bergerak dari Romawi. Mereka adalah Durais, Taman, dan Zuraiq yang merupakan pemimpin mereka, sedangkan empat yang lainnya adalah pembantu,
Tujuan pergerakan mereka itu adalah untuk membunuh Nabi. Bahira tentu saja menghalangi keinginan orang-orang itu. Dia telah mengetahui, orang-orang Yahudi telah menyebar di setiap jalan karena mereka tahu bahwa calon nabi terakhir akan keluar pada bulan itu.
Bahira berkata kepada orang-orang Quraisy, “Aku berkata kepada kalian atas nama Allah, siapakah dari kalian yang menjadi wali anak ini?” Mereka menjawab, “Abu Thalib!” Bahira kemudian terus memohon kepada Abu Thalib dengan menyebut nama Allah agar dia mau membawa pulang Nabi. Sebenarnya Bahira sama sekali tidak takut kalau Nabi saw. terbunuh, sebab beliau tidak akan tewas di tangan orang-orang Yahudi itu. Akan tetapi, dia khawatir akan terjadi hal lain pada diri beliau.
Akhirnya, Abu Thalib pulang dengan membawa Nabi saw. dari Syam yang suci dari noda kekufuran, sebab Syam adalah negeri para nabi, tanpa melewati Busra, sebuah kota di kawasan pinggiran Damaskus dan menjadi kota pertama dari wilayah Syam yang ditaklukkan oleh kaum muslim.
Ketika Rasulullah saw. menginjak usia dua puluh tahun, beliau kembali melakukan perjalanan menuju Syam untuk berniaga bersama Abu Bakar ra. yang saat itu baru berusia delapan belas tahun. Sampai ketika mereka tiba di sebatang pohon bidara (sidrah), Nabi pun bernaung di bawah pohon itu.
Pada saat itu, Abu Bakar mendatangi pendeta Bahira untuk bertanya tentang sesuatu hal. Pendeta itu bertanya kepada Abu Bakar, “Siapakah lelaki yang bernaung di bawah pohon itu?” Abu Bakar menjawab, “Itu adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib.” Pendeta itu menukas,
“Demi Allah dia adalah seorang nabi. Sebab seseorang yang akan bernaung di bawah pohon itu setelah Isa as. adalah Muhammad saw.” Ucapan pendeta itu begitu berkesan di hati Abu Bakar ash-Shiddiq, sampai ketika Rasulullah akhirnya diangkat menjadi rasul, Abu Bakar pun langsung mengimani beliau.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Ketika mencapai usia dua puluh lima tahun, beliau bepergian ke Busra untuk memperdagangkan barangbarang Khadijah, seorang wanita yang tertutup (karena selalu di rumah). Beliau ditemani budak Jaki-laki Khadijah, Maisarah, untuk membantunya. Dalam perjalanan, beliau singgah di bawah pohon di depan biara Nastura, seorang pendeta Nasrani. Pendeta itu mengenali beliau karena bayangan pohon condong dan melindunginya. Sang pendeta berkata, “Yang singgah di pohon ini pasti seorang nabi yang mempunyai sifat suci dan seorang rasul yang telah dikhususkan dan diberi keutamaan oleh Allah swt.” Kemudian pendeta itu berkata kepada Maisarah, “Apakah pada kedua matanya terdapat tanda kemerah-merahan yang menunjukkan tanda yang tersembunyi?” Maisarah menjawab, “Ya.” Dengan ini, apa yang diduga dan dimaksudkan oleh pendeta itu tentang beliau menjadi benar. Pendeta itu lalu berkata kepada Maisarah, “Janganlah kamu berpisah darinya, tetaplah bersamanya dengan kebenaran, tekad, dan hati yang baik, sebab dia termasuk orang yang dipilih dan dimuliakan oleh Allah swt. dengan maqam kenabian.”
Ketika Nabi saw. moncapai usia dua puluh lima tahun, beliau bepergian ke Busra pada 14 malam torakhir dari bulan Dzulhijjah untuk memperdagangkan barang-barang Khadi, jah binti Khuwailid bin Asad, seorang wanita yang tertutup karena selalu di rumah.
Hal itu terjadi karena paman beliau berkata, “Wahai ke, ponakanku, sungguh masa kekeringan telah mendatangi kita, Kita tidak memiliki harta ataupun barang perniagaan. Semen, tara Khadijah memberi (modal) kepada orang selain engkau, padahal engkau lebih utama menerima itu.” Nabi pun menya. hut, “Mudah-mudahan dia mengirim orang kepadaku.”
Rupanya berita tentang ucapan Nabi itu terdengar oleh Khadijah yang langsung mengirim utusan kepada beliau, Pesan Khadijah itu berbunyi, “Sungguh aku telah mende. ngar sifat-sifatmu yang terpuji.” Khadijah pun memberi harta (modal) kepada Nabi dengan menetapkan bagian beliau darj keuntungan yang nanti didapatkan. Selain modal, Khadijah juga mengirim Maisarah, seperti yang dinyatakan oleh Sayid Ja’ far.
Nabi saw. didampingi budak laki-laki Khadijah yang bernama Maisarah untuk membantu beliau. Nama asli Maisarah adalah Dhabiy. Kata maisarah boleh dibaca dengan harakat dhammah pada huruf sin (maisurah).
Ketika mereka sampai di pasar Busra, Nabi singgah di bawah pohon bidara yang tumbuh di depan biara milik Nasthura, seorang pendeta Nasrani. Nama nasthura dapat dibaca dengan huruf nun berharakat dhammah (nusthura). Pendeta inilah yang namanya dijadikan asal kata dari aliran Nasthuriyyah (Nestorian), salah satu di antara beberapa aliran dalam ajaran Nasrani.
Kaum Nasrani terbagi menjadi empat golongan:
- Nasthuriyyah, yaitu mereka yang percaya bahwa Isa adalah anak Allah.
- Ya’qubiyyah, yaitu mereka yang percaya bahwa Isa adalah Allah yang turun ke bumi lalu naik ke langit.
- Mulkaniyyah, yaitu mereka yang percaya bahwa Isa adalah hamba dan nabi Allah.
- Israiliyyah, yaitu mereka yang percaya bahwa Isa adalah tuhan, ibunya juga tuhan, dan Allah juga tuhan.
Pendeta itu mengenali Nabi karena bayangan pohon bidara itu melindungi Nabi dari terik matahari, sehingga seakan-akan pohon itu menjadi tempat perlindungan baik di siang hari maupun malam hari.
Rasulullah mendekati pendeta itu dan ia pun mencium kepala serta kedua telapak kaki beliau, lalu ia berkata, “Aku beriman kepadamu dan aku bersaksi bahwa engkau utusan Allah, Nabi yang ummiy (tidak bisa membaca dan menulis), al-hasyimiy (keturunan Bani Hasyim), al-’arabiy (berbangsa Arab), al-makkiy (tinggal di Makkah), pemilik telaga, syafaat, dan panji pujian di akhirat. Dialah yang diberi anugerah di Hari Kiamat. Allah menciptakannya dari cahaya yang muncul dari mulut Adam ketika bersin.” Beliau pun membalasnya, “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”
Sang pendeta Nasthura lalu berkata kepada Maisarah, “Sejak masa Isa as., yang akan berteduh di bawah pohon ini adalah seorang nabi yang mempunyai sifat suci dan seorang rasul yang telah dikhususkan dan diberi keutamaan oleh Allah swt.” ;
Kemudian pendeta Nasthura berkata lagi, ““Apakah pada kedua matanya terdapat tanda merah-merah yang menunjukkan tanda yang tersembunyi?” Maisarah menjawab, “Ya.” Dengan demikian, apa yang diduga dan dimaksudkan oleh pendeta itu, yaitu bahwa Muhammad adalah nabi dan Rasul pengemban risalah, adalah benar.
Pendeta Nasthura lalu berkata lagi kepada Maisarah, “Janganlah kamu berpisah darinya, tetaplah bersamanya dengan kebenaran, tekad, dan hati yang baik, sebab dia akan diangkat sebagai rasul dan dipilih sebagai nabi terakhir.
Kemudian Nabi kembali ke Makkah. Khadijah yang sedang bersama perempuan-perempuan lain di dalam kamar melihat beliau datang. Dua malaikat menaungi kepala beliau yang mulia dari terik matahari. Maisarah mengabari Khadijah bahwasanya dia melihat hal itu pada seluruh perjalanan. Dia juga mengabarkan apa yang dikatakan oleh sang pendeta dan pesan yang disampaikannya. Allah melipatgandakan keuntungan dalam perdagangan itu dan mengembangkannya. Jelaslah bagi Khadijah mengenai apa yang dia lihat dan dengar bahwa beliau adalah utusan Allah swt. kepada umat manusia yang telah Dia istimewakan dengan kedekatan pada-Nya dan Dia menjadikan beliau sebagai pilihan. Khadijah pun meminangnya untuk dirinya agar dia dapat mencium wewangian iman dari beliau. Lalu Nabi memberitahukan kepada para pamannya tentang apa yang disampaikan oleh wanita yang baik dan bertakwa itu. Mereka pun senang kepada Khadijah karena melihat keutamaan, agama, kecantikan, harta, kedudukan, dan nasabnya. Semua hal ini diinginkan oleh setiap orang dari kaum:
Rasulullah saw. pun kembali ke Makkah tanpa melewati Busra. Khadijah sang pemilik barang-barang perniagaan yang dibawa oleh Nabi saw., yang saat itu sedang bersama perempuan-perempuan lain di dalam kamar, melihat beliau datang dengan mengendarai unta.
Pada saat itu, dua sosok malaikat menaungi kepala beliau yang mulia dari panas terik matahari menggunakan sayap-sayap yang mereka berdua miliki, sebagai bentuk pemuliaan bagi beliau. Menurut sebuah riwayat, sejak keberangkatan Nabi dari kota Makkah, segumpal awan selalu menaungi beliau. Jika memang gumpalan awan yang disebutkan dalam riwayat itu bukan kedua sosok malaikat tersebut, berarti awan itulah yang menaungi Nabi saw. di sepanjang perjalan berangkat beliau, sedangkan kedua malaikat tersebut menaungi beliau di sepanjang perjalanan pulang.
Maisarah menceritakan kepada Khadijah bahwasanya dia melihat keberadaan dua malaikat yang menaungi Nabi dari panas sinar matahari di sepanjang perjalanan, mulai dari berangkat sampai beliau kembali pulang. Maisarah juga menceritakan bahwa telah terjadi perselisihan antara Nabi dengan seseorang menyangkut barang dagangan yang beliau jual, lalu orang itu berkata kepada beliau, “Bersumpahlah engkau atas nama Lata dan Uzza!” Namun, beliau langsung menyergah, “Seumur hidup aku tidak akan bersumpah dengan nama keduanya!”
Maisarah juga menceritakan kepada Khadijah perkataan pendeta Nasthura mengenai merah-merah di kedua mata Nabi dan pernyataannya bahwa beliau adalah seorang nabi yang akan menjadi nabi terakhir. Selain itu, Maisarah juga menyampaikan pesan yang dinyatakan sang pendeta kepadanya untuk jangan sampai berpisah dengan Nabi.
Allah melipatgandakan keuntungan dalam perdagangan itu dan mengembangkan labanya berkali-kali lipat dari yang biasa terjadi sehingga ketika Nabi kembali, Khadijah memberi imbalan kepada Nabi lebih banyak dari yang seharusnya beliau terima.
Khadijah mengetahui secara jelas mengenai apa yang dia lihat dengan kedua mata kepalanya berupa sosok dua malaikat yang menaungi Nabi dan apa yang dia dengar dari Maisarab yang menyatakan bahwa beliau adalah seorang utusan Allab swt. kepada umat manusia, bahkan kepada segenap makhluk.
Itulah sebabnya, hati Khadijah terpaut kepada Nabi saw. dengan sebegitu kuatnya, sampai akhirnya dia menawarkan dirinya kepada beliau untuk dinikahi. Menurut sebuah riwayat, Khadijah menyampaikan keinginannya itu dengan perantara seorang wanita lain. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa dia menyatakan itu tanpa perantara siapa pun.
Berselang sekitar dua bulan setelah Nabi pulang dari Busra, Khadijah meminang beliau untuk dirinya sendiri agar dia dapat mencium iman dari beliau. Sayid Ja’far menyerupakan iman kepada beliau saw. dengan wewangian yang dapat dihirup aromanya karena sama-sama tidak ternilai dan disukai setiap orang.
Lalu Nabi memberitahukan kepada para pamannya tentang lamaran yang dilayangkan oleh wanita yang baik dan bertakwa itu. Bertakwa di sini adalah sosok yang melaksanakan berbagai perintah sekaligus senantiasa meninggalkan semua larangan, sebab bahkan di masa jahiliyah, Khadijah disebut ath-Thahirah (wanita suci) karena dia sangat ketat dalam menjaga kehormatan dirinya.
Paman-paman Nabi pun senang kepada Khadijah karena dia disebut sebagai pemimpin para wanita Quraisy, wanita yang teguh, wanita yang cantik, wanita Quraisy yang paling kaya, wanita Quraisy yang paling mulia, dan wanita Quraisy yang paling bagus nasabnya. Semua hal ini diinginkan yang setiap orang dari kaum Quraisy.
Kata “hasab” yang disebutkan di bagian ini artinya sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebanggaan milik nenek moyang seseorang, baik berupa ketaatan beragama, kemuliaan, maupun banyaknya harta. Namun, ada yang menya.takan bahwa “hasab” dan kemuliaan bisa dimiliki orang yang leluhurnya tidak mulia, sedangkan kemuliaan yang disebut dengan kata syarafdan majd adalah kemuliaan yang terwujud dengan adanya kemuliaan dari para leluhur.
Setelah itu, Nabi pun berangkat bersama beberapa pemuka Quraisy termasuk di antaranya Hamzah, untuk menemui Khuwailid bin Asad demi meminang Khadijah. Mahar yang beliau serahkan kepada Khadijah pada saat itu adalah 20 ekor unta betina muda. Hadir pula pada kesempatan itu Abu Bakar dan para pemimpin kabilah Mudhar.
Abu Thalib meminang dan memuji Nabi setelah memuji Allah dengan pujian yang tinggi. Dia berkata, “Demi Allah, Muhammad kelak memiliki perjalanan yang hebat dan terpuji.” Lalu, ayah Khadijah menikahkannya dengan Nabi. Namun, ada yang mengatakan pamannya yang menikahkan dan ada pula yang mengatakan saudaranya. Kebahagiaan Khadijah telah ditentukan sejak zaman azali. Dia gnelahirkan semua putra-putri Nabi saw., kecuali putra yang memiliki nama al-Khalil (Ibrahim).
Pada saat itu Abu Thalib meminang Khadijah untuk Nabi dengan bunyi khotbah lamaran sebagai berikut,
Segala puji bagi Allah swt. yang telah menjadikan kita sebagai keturunan Ibrahim, keturunan Ismail, berasal dari Ma’ad, dan keturunan Mudhar. Kita telah dijadikan sebagai pemelihara Bait-Nya (Ka’bah) dan pengatur Tanah Haram-Nya. Dia telah memberi kita Bait yang diziarahi, tanah suci yang aman sejahtera, dan menjadikan kita pemimpin manusia.
Keponakanku ini bernama Muhammad bin Abdullah. Jika dibandingkan dengan lelaki mana pun, dia pasti lebih unggul darinya. Meskipun jika dilihat dari segi harta dan kekayaan, dia tidaklah berarti apa-apa. Akan tetapi, harta hanyalah bayangan yang akan sirna, benda yang akan hilang, dan pinjaman yang akan dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
Muhammad adalah seorang lelaki yang telah kalian ketahui latar belakang keluarganya.
Dia bermaksud meminang Khadijah binti Khuwailid. Untuk itu, dia memberikan mahar kepadanya (Khadijah) sekian yang dipinjam dari harta saya dan akan dikembalikan sebatas kemampuannya, cepat ataupun lambat. Demi Allah, dia akan memiliki peran yang sangat besar dan kedudukan yang agung di masa yang akan datang.
Waraqah bin Naufal, perwakilan dari pihak Khadijah, menjawab dengan khotbah berikut,
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dan meng. unggulkan kita seperti yang engkau sebutkan tadi. Kita adalah para pemuka dan pemimpin bangsa Arab. Kalian adalah orang-orang yang memiliki semua itu. Keutamaan kalian tidak diingkari oleh keluarga kami. Wibawa dan kemuliaan kalian tidak diingkari oleh siapa pun. Kami benar-benar suka untuk menjalin hubungan dengan kalian dan kemuliaan kalian.
Wahai orang-orang Quraisy, bersaksilah untukku bahwa aku menikahkan Khadijah binti Khuwailid dengan Muhammad bin Abdullah dengan mahar empat ratus dinar (sekitar 1700 gram emas).”
Abu Thalib lalu berkata kepada Waraqah, “Aku suka apabila paman Khadijah ikut menikahkan Khadijah dengan Muhammad.” Paman Khadijah pun berkata, “Persaksikanlah aku, wahai orang-orang Quraisy. Aku menikahkan Muhammad bin Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid.” Persaksian itu pun disaksikan oleh para pemuka Quraisy yang hadir di situ.
Setelah itu, ayah Khadijah yang bernama Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay menikahkan putrinya itu dengan Nabi saw. Namun, ada yang menyatakan bahwa yang menikahkan adalah paman Khadijah yang bernama Amr bin Asad, sebab pada saat pernikahan itu terjadi, Khuwailid sudah meninggal dunia. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa yang mengawinkan mereka adalah saudara lelaki Khadijah yang bernama Amr bin Khuwailid.
Pada saat itu, umur Khadijah adalah empat puluh lebih sekian tahun, sedangkan umur Nabi saw. adalah 21 tahun, 25 tahun, atau 30 tahun. Namun yang terbaik dari semua hal adalah yang tengah-tengah (25 tahun).
Nabi saw. menikahi Khadijah sebelum beliau diangkat menjadi nabi dan rasul. Kelak Khadijah wafat sekitar tiga tahun sebelum Rasulullah saw. berhijrah dari kota Makkah ke Madinah. Sebelum menikah dengan Nabi, Khadijah telah menikah dengan Abu Halah bin Zararah at-Taimi. Dari pernikahan itu lahir dua orang anak laki-laki bernama Hindun dan Halah. Setelah itu, Khadijah menikah dengan Arib Aid al-Makhzumi. Dari pernikahan itu, lahir dua orang anak bernama Hindun dan Atiq.
Khadijah melahirkan semua putra-putri Nabi saw., kecuali putra beliau yang bernama Ibrahim. Seorang ulama telah menggubah syair yang menyebutkan nama-nama mereka
secara berurutan sebagai berikut,
Anak al-Mushthafa yang pertama Qasim ar-Ridha
Dengannya Nabi memiliki nama kunyah. Pahamilah
Sesudahnya Zainab, kemudian Ruqayyah
Lalu Fathimah az-Zahra Iahir berikutnya
Juga Ummu Kultsum Iahir sesudahnya
Abdullah pun lahir sebagai pelengkap
Mereka semua Iahir dari Khadijah
Sementara Ibrahim lahir di Thibah sesudahnya
Dari perempuan jelita bernama Maria. Ucapkanlah
Keselamatan bagi mereka, bak kesturi dan cendana
Sementara itu ada ulama lain yang menggubah syair b urutan nama-nama anak Nabi saw. sebagai berikut,
Wahai Tuhan kami, dengan Qasim bin Muhammad Zainab, Ruqayyah, lalu Fathimah Umm Kultsum, lalu Abdullah kemudian . Dengan hak Ibrahim, pembuat nazam ini memohon keselamatan
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Ketika Rasulullah saw. mencapai umur 35 tahun, suku Quraisy membangun kembali Ka’bah karena dindingnya retak akibat banjir abthah. Mereka berselisih mengenai Hajar Aswad. Masing-masing ingin lagi berharap mengangkatnya. Kian tajamlah salingsilang ucapan mereka. Mereka saling bersumpah untuk berperang karena kefanatikan marga. Mereka lalu saling mengajak untuk adil dengan menyerahkan urusan mereka kepada seseorang yang mempunyai pendapat yang benar dan hati-hati. Orang itu pun memutuskan bahwa hal itu akan ditengahi oleh orang yang pertama masuk dari pintu Sadanah Syaibiyyah.
Menurut pendapat yang masyhur, kejadian ini terjadj ketika Nabi mencapai umur 35. Walaupun ada yang menyatakan beliau berumur 25 tahun, bahkan ada yang menyatakan ketika beliau masih remaja.
Kala itu, suku Quraisy membangun kembali Ka’bah bukan dengan mengikuti pondasi warisan Ibrahim karena kurangnya biaya yang mereka miliki. Mereka mengurangi lebar dan panjang Ka’bah beberapa hasta. Itu adalah pembangunan kesembilan sehingga Baitullah sudah mengalami pembangunan ulang sebanyak sepuluh kali.
Yang paling pertama membangun Ka’bah adalah para malaikat dengan bahan permata yaqut. Setelah itu yang membangunnya adalah Adam, kemudian Syits anak Adam dengan mengokohkan bangunan Ka’bah. Setelah itu, barulah Ibrahim as. bersama Ismail as. Lalu yang membangun Ka’bah secara berurutan adalah kaum Amaligah, kabilah Jurhum, Qushay, dan Kilab. Setelah itu, yang membangun Ka’bah adalah kaum Quraisy dan kemudian Abdullah bin Zubair. Dia mendirikannya kembali di atas pondasi peninggalan Ibrahim.
Setelah Abdullah, yang membangun Ka’bah adalah al-Hajjaj, tetapi tidak di atas pondasi peninggalan Ibrahim. Bangunan hasil renovasi al-Hajjaj itulah yang ada sampai sekarang dan perubahan besar Ka’bah hanya pada bagian mizab (talang air), pintu, atap, batu marmer, dan beberapa motif pada bagian dinding.
Ketika Allah menunjukkan tempat Baitullah kepada kekasih-Nya, Ibrahim as., seraya memerintahkannya untuk membangun bangunan itu, Ibrahim pun datang dari Syam. Pada saat itu, Ibrahim berusia 100 tahun, sedangkan putranya Ismail 36 tahun.
Kemudian Allah mengirimkan sakinah yang memiliki kepala seperti kepala kucing serta memiliki dua buah sayap. Dalam riwayat lain dinyatakan, makhluk itu bentuknya seperti awan yang di tengahnya terdapat bagian tinggi seperti kepala dan dapat berbicara. Ukuran tubuhnya sebesar Baitullah.
Ketika Ibrahim sampai di Makkah, makhluk itu berkata, “Wahai Ibrahim bangunlah di atas bayanganku ini, jangan lebih dan jangan kurang.” Dalam riwayat lain disebutkan, tubuh makhluk itu melingkar di atas pondasi Ka’bah seperti ular.
Setelah al-Khalil Ibrahim as. hampir menyelesaikan pembangunan Baitullah, tepatnya berakhir pada bagian yang kelak menjadi tempat Hajar Aswad, dia meminta sebongkah batu kepada Ismail untuk diletakkan di bagian terakhir sebagai penanda tempat dimulainya tawaf. Tiba-tiba, Jibril datang dengan membawa Hajar Aswad yang berasal dari Gunung Abu Qubais. Rupanya Allah menitipkan batu hitam itu di gunung tersebut ketika banjir besar (Nabi Nuh) melanda bumi.
Namun, ada riwayat lain yang menyatakan bahwa yang terjadi saat itu adalah Hajar Aswad memanggil al-Khalil dari arah Abu Qubais dengan berseru kepada Ibrahim, “Aku di sini!” Ibrahim pun bergegas mendatangi batu hitam itu untuk mengambilnya lalu meletakkan batu itu di tempatnya.
Ada pula riwayat lain yang menyatakan bahwa yang terjadi kala itu adalah Gunung Abu Qubais memanggil Ibrahim as. dengan berseru, “Wahai Ibrahim, aku memiliki amanat untukmu. Ambillah amanat ini!”
Renovasi yang dilakukan kaum Quraisy itu diselenggarakan karena dinding Ka’bah retak akibat serangan banjir Abthah, sebuah tempat di Makkah yang disebut lembah Munhana dan menjadi lokasi bertemunya air dari aliran Gunung Hara’ dan aliran Mina. Selain itu, kerusakan juga terjadi karena pada saat itu pintu Ka’bah berada di atas tanah sehingga air banjir dapat memasuki bagian dalamnya hingga merusak keindahan Ka’bah.
Ketika proses pembangunan itu mencapai bagian tempat Hajar Aswad, para pemuka dan pemimpin Quraisy berselisih mengenai Hajar Aswad. Mereka bersengketa tentang hak meletakkan Hajar Aswad di Rukun As’ad. Setiap kabilah menyatakan bahwa mereka yang paling berhak untuk meletakkan batu hitam itu di tempatnya.
Dulu, Hajar Aswad berupa permata yaqut berwarna putih. Namun, lambat laun batu itu menghitam karena dosa-dosa umat manusia. Batu itu diturunkan kepada Adam dari surga, sebagaimana halnya tongkat Musa as. yang terbuat dari kayu As yang tumbuh di surga, batu maqam Ibrahim as., cincin Sulaiman as., daun tin, dan kayu ‘ud yang digunakan sebagai bukhur.
Panjang tongkat Musa as. adalah sepuluh hasta. Tongkat itu memiliki dua cabang yang keduanya dapat menyala di tengah gelap. Nama tongkat itu adalah Zaidah. Pada batang tongkat itu tertulis kalimat berikut,
Setiap penguasa yang tidak adil sama dengan Fir’aun. Setiap orang beriliu yang tidak mengamalkan ilmunya sama dengan Iblis. Setiap orang kaya yang tidak mengambil kebatkan dari hartanya saina dengan Qarun. Setiap orang fakir yang tidak bersabar dengan kefakirannya sama dengan anjing.
(Kembali ke peristiwa renovasi Ka’bah)
Masing-masing tetua Quraisy ingin mendapatkan hak mengangkat Hajar Aswad lalu meletakkannya di tempatnya yang semula sebelum bangunan Ka’bah lama diruntuhkan. Mereka menginginkan keistimewaan yang tidak dimiliki tetua lainnya.
Perdebatan di antara mereka kian tajam. Mereka bahkan saling bersumpah untuk berperang karena Kuatnya kefanatikan suku. Kata ‘ashbiyyah berasal dari kata ‘ashb berupa mashdar yang artinya kepungan perang, sebagaimana yang termaktub dalam al-Mishbah. Namun apabila dibaca ‘ushbiyyah, itu berarti sekumpulan orang yang terdiri dari sepuluh sampai 40 orang, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qamias.
Namun, kemudian mereka saling mengajak untuk bersikap adil dengan menyerahkan urusan Hajar Aswad ini kepada orang yang mempunyai pendapat yang benar dan hati-hati. Dalam suatu riwayat, orang tersebut adalah al-Makhzumi, saudara dari al-Walid, tetapi riwayat lain menyatakan bahwa orang itu adalah al-Walid sendiri, bahkan ada yang menyatakan bahwa orang itu adalah Hudzaifah.
Siapa pun dia, yang pasti dia memutuskan bahwa urusan Hajar Aswad ini akan ditengahi oleh orang yang pertama masuk dari pintu Sadanah Syaibiyyah.
Sadanah berari para pelayan Ka’bah. Syaibiyyah merupakan kata yang diatribusikan kepada Syaibah al-Hajbi. Pada saat itu, kunci Ka’bah berada di tangan keturunan Syaibah, yaitu anak Utsman bin Thalhah bin Abduddar bin Qushay.
Ketetapan itu menyatakan bahwa siapa pun yang pertama memasuki pintu itu, dia adalah orang yang berhak menetapkan keputusan demi menghilangkan pertikaian antar sesama tetua Quraisy.
Akan tetapi pada naskah lain, kata “hakama” tertulis “hakamad” yang menyebabkan arti kalimatnya berubah menjadi “mereka menetapkan putusan bersama-sama”. Itu berarti, semua tetua Quraisy yang nyaris berperang itu bersepakat untuk menyerahkan keputusan kepada siapa pun yang memasuki pintu itu.
Ternyata, yang pertama kali masuk adalah Nabi Muhammad saw. Para tetua pun langsung berkata, “Dia adalah al-Amin (orang yang terpercaya). Kami semua menerima dan ridha padanya.” Mereka memberi tahu Nabi jika mereka ridha kepada beliau untuk menjadi pengambil sekaligus pelaksana keputusan dalam masalah yang mendesak ini, Lalu Nabi meletakkan Hajar Aswad pada selembar kain, kemudian beliau. memerintahkan semua kabilah untuk mengangkatnya. Mereka pun mengangkat ke tempatnya pada satu rukun bangunan itu. Setelah jtu beliau meletakkannya dengan tangan beliau yang mulia di tempatnya semula.
Nabi saw. adalah orang yang pertama kali masuk dari pintu yang telah disepakati itu. Semua pemuka Quraisy itu Jangsung mengakui sifat amanah yang beliau miliki, “Dia adalah al-Amin. Kami semua menerima dan ridha padanya.” Sebelum diangkat menjadi nabi, orang-orang Quraisy selalu menyebut Rasulullah saw. dengan panggilan al-Amin karena sifat amanah serta ketaatan yang beliau miliki.
Para tetua itu langsung memberi tahu beliau saw. bahwa mereka ridha kepada beliau untuk menjadi pengambil keputusan dalam permasalahan mendesak yang telah membuat mereka nyaris saling bunuh. Mereka juga menunjuk beliau sebagai pelaksana keputusan itu.
Rasulullah saw. pun menghamparkan serbannya di atas tanah, lalu beliau letakkan Hajar Aswad di atasnya. Dalam suatu riwayat, beliau berujar, “Bisakah kalian beri aku sehelai kain?” Mereka pun menyerahkan sehelai kain kepada Nabi dan beliau pun meletakkan Hajar Aswad di atasnya.
Setelah beliau meletakkan Hajar Aswad itu pada selembar kain, beliau memerintahkan semua kabilah untuk mengangkatnya. Nabi saw. memerintahkan pada kepala kabilah untuk mengangkat pinggiran kain tersebut. Setiap sudut kain dipegang oleh adalah Utbah bin Rabi’ah, Zam’ah, Abu Hud. zaifah bin Mughirah, dan Qais bin Adi.
Mereka pun mengangkat kain itu ke tempat Hajar Aswad yang semula. Setelah itu, Nabi saw. meletakkannya dengan tangan beliau yang mulia di tempatnya semula.
Berkenaan dengan renovasi yang dilakukan kaum Quraisy pada saat itu, ada beberapa hal yang melatarbelakangj pelaksanaannya.
Pertama, bangunan lama Ka’bah sudah rapub akibat kebakaran. Dulu, seorang wanita pernah mengasapi Ka’bah, tetapi ternyata ada sebongkah bara yang terpental dari wadahnya sehingga mengenai kiswah Ka’bah dan membakarnya.
Kedua, banjir yang membuat air masuk ke dalam bangunan Ka’bah hingga membuat dindingnya rapuh.
Ketiga, ada sekelompok orang yang mencuri kain Ka’bah yang sulamannya terbuat dari emas. Namun, ada yang menyatakan bahwa yang dicuri adalah sebuah sulaman yang berjahit permata dan diletakkan dalam sumur di dalam Ka’bah.
Dengan beberapa hal ini, mereka melaksanakan renovasi terhadap bangunan Ka’bah dengan meninggikan pintunya agar hanya dapat dimasuki oleh mereka yang berkepentingan.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Menurut pendapat yang paling diterima oleh para ulama, ketika usia Nabi Muhammad saw. genap 40 tahun, Allah swt. mengutusnya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam. Beliau menebarkan kasih sayang kepada mereka semua. Kejadian pengangkatan Rasul berjalan sampai genap enam bulan dengan mimpi yang benar dan jelas. Mimpi yang beliau lihat selalu seperti sinar subuh yang memancar. Mimpi itu dijadikan wahyu pertama sebagai latihan bagi daya kemanusiawian beliau agar tidak terkejut lalu tidak kuat akan kehadiran malaikat yang menyampaikan kenabian. Beliau juga dibuat senang untuk berkhalwat sehingga beliau beribadah di Hira selama beberapa malam. Sampai kemudian datang kepadanya kebenaran yang jelas dan sempurna. Itu terjadi pada hari Senin tanggal 17 bulan Lailatul gadar (Ramadhan). Terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kejadian. Ada yang mengatakan 27, 24, atau 28 dari bulan dilahirkannya wajah laksana purnama (Rabiul Awal).
Ketika usia Nabi Muhammad genap empat puluh tahun, Allah swt. mengutusnya kepada seluruh alam, sebagai pembawa kabar gombira borupa surga dan kedokatan dengan Allah bagi siapa saja yang beriman kepada-Nya dan pemberi peringatan berupa neraka dan dijauhkan dari-Nya bagi siapa saja yang kufur terhadap-Nya.
Nabi pun menjadi rahmat bagi seluruh alam, sesuai dengan firman Allah,
“Kami benar-benar mengutus engkau (Nabi Muhammad) sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 107)
Allah mengutus Nabi kepada segenap umat manusia sebagai rahmat bagi mereka dalam urusan agama karena beliau diutus sebagai rasul ketika umat manusia berada dalam kejahiliyahan dan kesesatan. Mereka semua kebingungan karena mereka terlalu lama tersesat serta banyaknya perselisihan di dalam kitab-kitab mereka sehingga mereka tidak memiliki jalan menuju kebenaran. Rasulullah hadir menyeru mereka dan menjelaskan kepada mereka jalan kebenaran.
Nabi juga diutus sebagai rahmat dalam urusan dunia karena dengan diutusnya beliau sebagai rasul, umat manusia pun selamat dari kehinaan dan kemudian berjaya dengan berkat agama mereka.
Mungkin akan ada yang bertanya bagaimana mungkin Rasulullah dapat menjadi rahmat bagi semesta alam, sedangkan beliau datang menghunuskan pedang terhadap orang-orang sombong lagi pembangkang. Beliau membuat mereka seperti dirundung mendung dan ketakutan, bahkan banyak dari mereka yang kemudian musnah.
Jawaban atas pertanyaan itu adalah siapa pun yang me, nentang beliau dan menolak mengikuti ajaran beliau, tenty melakukan itu berdasarkan keinginan dirinya sendiri sehing, ga dia bersikap sombong dan membangkang. Dengan demikian, dia sendiri yang menyia-nyiakan bagiannya dari rahmat Rasul itu.
Imam Zamakhsyari memiliki perumpamaan atas orang. orang pembangkang seperti itu. Dia menyatakan, “Hal inj seperti ketika Allah menyediakan mata air yang menye. garkan untuk semua makhluk hidup, termasuk ternak dan tumbuh-tumbuhan, sehingga semuanya sejahtera. Namun, ternyata ada orang-orang pembangkang yang menolak mengam. bil air anugerah Allah itu sehingga mereka kehilangan jatah mereka.
Mata air itu tentu saja merupakan nikmat dan rahmat dari Allah bagi kedua golongan manusia itu (yang taat dan yang membangkang), tetapi kemudian golongan pembangkang mengubahnya menjadi petaka bagi dirinya, sebab mereka sendiri yang menolak mengambilnya serta enggan memanfaatkannya. Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang beruntung. Amin.”
Kejadian pengangkatan Rasul berjalan sampai genap enam bulan dengan mimpi pada bulan Rabiul Awal. Mimpi itu adalah mimpi yang benar (shadiqah) karena tidak mengandung kerancuan dan mimpi yang jelas (jaliyyah) karena tidak membutuhkan penafsiran lagi. Kebenara mimpi itu sama seperti wahyu karena tidak ada celah sedikit pun bagi setan untuk merusaknya.
Selama enam bulan itu, mimpi Rasulullah saw. selalu berupa sinar subuh yang memancar. Sebab, awal dari cahaya “matahari” kenabian memang berupa mimpi, sampai kemudian sinarnya menjadi jelas dan sempurna.
Mimpi yang benar ini merupakan latihan bagi daya kemanusiawian Nabi sekaligus untuk menonteramkan kalbu beliau agar tidak terkejut dengan kehadiran malaikat yang menyampaikan wahyu kenabian.
Nabi Muhammad saw. juga dibuat senang untuk berkhalwat. Sayid Ja’far memang menyebutkan “dibuat senang” (hubbiba), sebab memang tidak dinyatakan siapakah pelaku yang membuat beliau seperti itu. Walaupun tentu saja segala sesuatu berasal dari Allah. Atau bentuk pernyataan itu adalah untuk mengingatkan bahwa rasa senang itu tidak muncul dari motivasi manusiawi. Beliau dibuat menyukai khalwat karena berkhalwat menenteramkan hati dan memutuskan diri dari makhluk sehingga pada saat itulah wahyu menjadi mantap.
Nabi beribadah di Gua Hira selama beberapa malam. Ada yang menyatakan bahwa kata hira’ dilafalkan dengan huruf ra’ berharakat fathah tanpa mad (hird). Kata hira’ bisa menerima tanwin apabila yang dimaksud adalah tempat (makan), tetapi kata ini tidak dapat menerima tanwin apabila yang dimaksud adalah situs (buq’ah).
Dengan perincian di atas, kata hira’ dapat dinyatakan memiliki empat status, yaitu kata mudzakkar, kata mu‘annats, ber-mad, dan tanpa mad. Status kata hira’ yang seperti itu serupa dengan kata quba’. Bahkan, seorang penyair menyampaikan hal ini dalam sebuah syairnya, Hira dan quba adalah kata mudzakkar sekaligus mu‘annats Ber-mad dan tidak ber-mad, bisa menerima tanwin dan tidak Hira merupakan nama gunung yang berjarak sekitar tiga mil dari sebelah kanan Makkah ke arah Mina. Sementara yang dimaksud gua adalah sebuah lubang yang ada pada gunung.
Selama beberapa malam (beborapa hari) Nabi berkhalwat di Gua Hira. Di bagian ini Sayid Ja’far memilih menyebut lavali (malam), bukan menyebut siang, walaupun sebenarnyag Rasulullah berada di Hira sepanjang hari. Hal ini disebabkan malam lebih cocok untuk menjadi waktu berkhalwat.
Sampai kemudian wahyu yang dengan perantaraan Ma. laikat Jibril datang ketika beliau sedang berbaring di dalam Gua Hira. Peristiwa ini terjadi pada Senin, tanggal 17 bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan disebut bulan Lailatul qadar karena malam itu terjadi di bulan Ramadhan.
Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat mengenaj malam turunnya wahyu pertama ini. Sebab, ada yang menyatakan, peristiwa itu terjadi pada malam 27 atau dua 24 Ramadhan. Bahkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abdul Barr, wahyu pertama itu turun pada tanggal 28 bulan Rabiul Awal, tepat 41 tahun setelah Tahun Gajah.
Bulan yang paling mulia adalah Ramadhan, setelah itu Muharam, Rajab, Dzulhijjah, Dzulqa’dah, lalu Sya’ban. Sementara bulan-bulan lainnya setara.
Malam kelahiran Rasulullah saw. adalah malam yang paling mulia, setelah itu Lailatul qadar, malam terjadinya perjalanan Isra’, malam Arafah, malam Jum’at, malam Nisfu Sya’ban, lalu malam Hari Raya.
Sementara hari yang paling utama adalah Hari Arafah, setelah itu Nishfu Sya’ban, lalu hari Jum’at. Namun bagaimana pun juga, malam lebih utama daripada siang hari. Oleh karena itu, yang paling utama adalah ketujuh malam di atas, lalu disusul tiga hari ini. Semua malam dan hari yang lainnya setara dalam keutamaan.
Kemudian malaikat berkata kepada Nabi, “Bacalah!” Namun beliau menolak. Malaikat pun mendekap beliau kuat-kuat, kemudian berkata lagi kepada beliau “Bacalah!” Beliau kembali menolak. Malaikat mendekap beliau untuk kedua kalinya sehingga beliau sesak. Kemudian malaikat berkata lagi kepada beliau, “Bacalah!” Akan tetapi, beliau menolak. Malaikat mendekapnya ketiga kalinya agar beliau menghadapi . apa yang akan disampaikan kepadanya dengan tekad bulat. Beliau pun menghadapi itu dengan sungguhsungguh dan menerimanya. Kemudian wahyu terputus selama tiga tahun atau tiga puluh bulan, agar beliau rindu kepada embusannya yang harum. Lalu diturunkan kepada beliau Ya ayyuhal muddatstsir (Wahai orang yang berselimut). Kemudian jJibril menyampaikan itu kepada beliau dan memanggil. Bagi kenabian beliau, Iqra~ bismi rabbika (Bacalah dengan nama Tuhanmu) merupakan wahyu yang pertama. Hal ini juga membuktikan bahwa risalahnya berupa kabar gembira dan peringatan bagi orang yang diserunya. Saat itu, Jibril berkata kepada Nabi saw., “Bersiaplah untuk membaca.” Namun, beliau menolak dengan mengatakan “Ma aqra’.” Jika ma diartikan sebagai pertanyaan, arti kalimat ini menjadi “Apa yang aku baca?’”’. Namun, ada yang menyatakan ma berarti tidak (Aku tidak bisa membaca). Sebab, dalam riwayat lain milik al-Bukhari dikatakan bahwa yang beliau ucapkan pada saat itu adalah kalimat “ma ana bi-qari-” (Aku tidak dapat membaca), seperti yang dijelaskan dalam asy-Syifa-.
Setelah Nabi saw. menjawab seperti itu, Jibril mendekap beliau kuat-kuat, kemudian dia lepaskan tubuh beliau seraya berkata lagi kepada beliau, “Bacalah!’”’. Namun, lagi-lagi Nabi berkata kepada Jibril, “Bagaimana bisa aku membaca?”, sebagaimana diriwayatkan oleh Abul Aswad dari Urwah. Jibril pun mendekap beliau untuk kedua kalinya sehingga beliau sesak.
Kemudian Jibril melepaskan dekapannya seraya berkata lagi kepada beliau, “Bacalah!” Namun, beliau kembali berkata kepada Jibril, “Apa yang aku baca?”, sebagaimana diriwayatkan oleh Ubaid bin Umair.
Jibril mendekap Nabi untuk ketiga kalinya agar beliau berkonsentrasi pada apa yang akan disampaikan kepadanya dengan segenap hati, badan, pendengaran, dan penglihatan. Beliau pun menuruti kemauan Jibril.
Hikmah dari tindakan Jibril mendekap Rasulullah pada saat itu adalah agar beliau tidak berpaling pada urusan dunia apa pun, sebab itu akan memecah konsentrasi beliau atas wahyu yang akan disampaikan. Sementara hikmah dekapan Jibril sebanyak tiga kali adalah dianjurkannya mengulang apa pun sebanyak tiga kali. Bahkan ada yang menjadikan apa yang dilakukan Jibril ini sebagai dalil bagi para guru untuk memberi pelajaran tiga kali kepada murid, sebagaimana yang disampaikan dalam syarah asy-Syifa’.
Dalam syarah Shahih al-Bukhari, al-Qasthalani menuturkan, “Dekapan yang dilakukan Jibril itu hikmahnya adalah untuk membuat Rasulullah saw. tidak melihat urusan dunia apa pun serta dapat menerima wahyu secara sempurna.” Al-Qasthalani juga menyatakan bahwa seorang guru tidak boleh memukul muridnya lebih dari tiga kali.
Namun, ada pula yang menyatakan bahwa dekapan Jibril yang pertama adalah agar Rasulullah saw. mengosongkan pikiran dari urusan dunia. Dekapan yang kedua adalah agar beliau berkonsentrasi pada apa yang akan diwahyukan kepada beliau. Dekapan yang ketiga adalah untuk menenteramkan beliau.
Setelah dekapan ketiga, Jibril berkata,
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq [95]: 1—5)
Setelah itu, wahyu terputus dan sama sekali tidak turun selama tiga tahun, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Ishaq, atau selama dua tahun setengah, seperti yang disebutkan oleh ad-Dalaji. Tujuannya adalah agar rasa kaget dalam diri beliau benar-benar hilang dan beliau rindu terhadap Jibril yang menyampaikan wahyu dari hadirat Allah.
Setelah wahyu pertama tadi, wahyu berikut turun,
“Wahai orang yang berselimut (Nabi Muhammad), bangunilah, lalu berilah peringatan! Tuhanmu, agungkanlah! Pakaianmu, bersihkanlah! Segala (perbuatan) yang keji, tinggalkanlah!” (QS. al-Muddatstsir [74]: 1—5)
Inilah beberapa ayat yang diturunkan kepada Nabi saw. setelah masa berhentinya wahyu. Jibril menyampaikannya dengan memanggil, ‘‘Wahai orang yang berselimut!” sebagai bentuk kelembutan bagi beliau.
Nabi Muhammad saat itu disebut muddatstsir (orang yang berselimut) karena beberapa hal. Di antaranya adalah karena ucapan Nabi saw. kepada Khadijah rah. “Datstsiruni”’ (Selimutilah aku). Yang kedua adalah karena Nabi sedang tidur dengan berselimutkan kain untuk menghangatkan tubuh, lalu datanglah Jibril kepada beliau.
Jibril membangunkan Nabi saw. dengan berkata, “Wahai orang yang berselimut!”. Namun, Ikrimah menyatakan bahwa yang dimaksud muddatstsir (orang yang berselimut) itu adalah seseorang yang “berselimut” kenabian.
Wahyu yang berbunyi Iqra’ dan seterusnya mewakili kenabian Muhammad saw., sedangkan wahyu yang berbunyi ya ayyuhal muddatstsir dan seterusnya mewakili kerasulan peliau.
Allah hanya menyatakan izin memberi peringatan (indzdr) kepada Nabi dalam firman-Nya “Berilah peringatan!” (QS. al-Muddatstsir [74]: 2), walaupun sebenarnya beliau diutus juga untuk menyampaikan kabar gembira. Alasannya adalah karena memang peringatan yang harus disampaikan lebih dulu. Ketika peringatan sudah disampaikan lalu hamba menjadi taat, Allah pun menurunkan ayat,
“Wahai Nabi (Muhammad), sesungguhnya Kami mengutus engkau untuk menjadi saksi, pemberi kabar gembira, dan pemberi peringatan.” (QS. al-Ahzab (33]: 45)
Bagi orang-orang yang taat, Rasulullah adalah penyampai kabar gembira berupa surga, pahala, ampunan, syafaat, ridha Allah, rasa aman pada Hari Pembalasan, dan kesempatan melihat Wajah Allah. Sementara bagi para pemaksiat, Nabj menjadi penyampai peringatan berupa hukuman dan neraka,
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Orang pertama yang beriman kepada Nabi dari kalangan laki-laki dewasa adalah Abu Bakar, sosok yang menemani Nabi di gua dan yang sangat mempercayai Nabi, sedangkan yang dari kalangan anak-anak adalah Ali, dari kalangan wanita adalah Khadijah, yang telah Allah teguhkan dan lindungi hatinya, dari kalangan hamba merdeka adalah Zaid bin Haritsah, dan dari kalangan hamba sahaya adalah Bilal yang disiksa Umayah karena dia beriman kepada Allah. Tuannya yang kemudian, Abu Bakar ash-Shiddiq, memberi Bilal kenikmatan berupa kebebasan. Kemudian masuk Islam pula Utsman, Sa’ad, Sa’id, Thalhah, Ibnu Auf, dan putra bibinya yang bernama Shafiyah. Selain mereka adalah orang yang diberi minuman bagaikan jernihnya nektar kepercayaan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq. Ibadah beliau dan para sahabatnya berlangsung secara sembunyi-sembunyi. Sampai kemudian turun wahyu “Fashda’ bima tu‘mar” (Sampaikaniah [Nabi Muhammad] secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadainu), Nabi pun secara terangterangan menyeru segenap makhluk kepada Allah.
Penduduk Makkah tidak menjauhi beliau sampai beliau mencela tuhan-tuhan mereka dan beliau memerintahkan untuk menolak selain Yang Maha Esa. Mereka pun serta merta memusuhi dan menyakiti beliau. Dan kian beratlah bala atas muslimin sehingga pada tahun kelima (dari kenabian) mereka hijrah ke Najasyiyah (Habasyah/Abbesinia). Sementara pamannya, Abu Thalib, sangat menyayanginya dan menjaganya sehingga setiap orang dari kaum itu takut padanya.
Setelah menjadi Nabi, orang pertama yang beriman kepada Muhammad saw. dari kalangan laki-laki dewasa merdeka adalah Abu Bakar yang bernama asli Abdullah bin Utsman bin Abu Quhafah, menurut pendapat masyhur. Abu Bakar disebut ShGhib al-Ghadr (teman dalam gua) karena dialah yang menjadi teman Rasulullah saw. di dalam gua Gunung Tsur. Nama asli gunung tersebut adalah Athhal, tapi kemudian diatribusikan kepada Tsur bin Abd Manat karena dia tinggal di gunung itu.
Abu Bakar juga disebut ash-Shiddiq (yang sangat mempercayai Nabi), sebab dia adalah orang pertama yang mengakui kebenaran Rasulullah tanpa ragu pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Akan tetapi, ada yang menyatakan bahwa lelaki dewasa merdeka pertama yang masuk Islam adalah Waraqah bin Naufal.
Yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak adalah Ali bin Abi Thalib. Dia masuk Islam ketika berusia sepuluh atau delapan tahun. Pendapat yang torakhir inilah yang lebih kuat. Keislaman Ali yang masih kanak-kanak ini sah karena semua hukum mengikuti kondisi tamyiz (matang akal).?
Yang pertama masuk Islam dari kalangan wanita adalah Khadijah yang telah Allah teguhkan dan lindungi hatinya, Bahkan, Khadijah adalah manusia pertama yang masuk Islam, Sebab, Rasulullah saw. bersabda kepada Khadijah, “Demj Allah, sungguh aku khawatir akan mati ketakutan.” Lalu Nabj menceritakan kejadian Jibril yang mendekap tubuh beliay kepada Khadijah.
Pada saat itu, Khadijah berkata, “Tak mungkin! Demj Allah, Allah tidak mungkin menghinakanmu selamanya, Sebab, engkau selalu menyambung silaturahmi, menanggung beban, menolong orang tak mampu dengan pemberian yang tidak mereka dapatkan dari orang lain, menghormati tamu, dan menolong orang-orang yang benar.”’
Yang pertama masuk Islam dari kalangan mantan budak adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahbil bin Ka’b al-Kalabi. Pada mulanya, dia adalah budak Nabi saw. lalu beliau merdekakan dia dan mengangkatnya sebagai anak karena pada saat itu tindakan adopsi masih boleh. Bahkan, nama sahabat Nabi saw. yang pernah disebut oleh Allah hanya nama Zaid. Hal ini menjadi kebanggaan baginya.
Yang pertama masuk Islam dari kalangan hamba sahaya adalah Bilal, sang muadzin Rasulullah. Bilal bin Rabah al-Habsyi adalah sosok yang disiksa oleh Umayah bin Khalaf, pemimpin kaum kafir, karena dia beriman kepada Allah. Kelak, Umayah mati di tangan Bilal dalam Perang Badar.
Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian membeli Bilal dengan harga lima uqgiyah emas (sekitar 159 gram emas). Setelah itu, Abu Bakar membebaskannya. Pada saat itu, setiap kali Abu Bakar melintas di dekat budak yang sedang cdisiksa, diag langsung membeli budak itu untuk dimerdekakan. Ada tujub pudak yang dia merdekakan dan Bilal menjadi salah satunya, yang lainnya adalah Amir bin Fuhairah dan Zinnirah yang juga disiksa karena beriman kepada Allah sehingga membuat penglihatannya buta.
Ketika Bilal masuk Islam, orang-orang kafir langsung mengikatkan tali di lehernya lalu menyeretnya ke tengah sekumpulan anak-anak untuk mereka permainkan. Hal ini membuat lehernya terluka. Mereka bahkan mengarak Bilal kejiling Makkah, sedangkan Bilal terus saja mengucap, “Ahad (Maha Esa)…Ahad…”” Bilal mencampurkan pahitnya siksaan dengan manisnya keimanan.
Setelah Zaid bin Haritsah, masuk Islam pula Utsman bin, Sa’d bin Abu Waqqash bin Malik az-Zuhri, Sa’id bin Zaid bin Amr bin Naufal, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman Ibnu Auf al-Qurasyi az-Zuhri, dan Zubair bin Awwam sepupu Nabi dari Shafiyah binti Abdul Muththalib.
Selain mereka adalah orang yang diberi minum oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dengan nektar kepercayaan. Artinya, Abu Bakar menuangkan keyakinan kepada Allah dan Rasulullah yang serupa dengan nektar kepada mereka.
Di antara mereka yang masuk Islam karena Abu Bakar adalah Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Jarah, Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad, Argqam bin Abul Arqam al-Makhzumi, Utsman bin Mazh’un al-Jamhi, dan dua saudaranya yang bernama Qudamah dan Abdullah, lalu Ubaidah bin Harts bin Abdul Muththalib bin Abdu Manaf, Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nafil, dan istrinya yang bernama Fathimah binti Khaththab.
Selama tiga tahun setelah wahyu turun, Rasulullah saw. terus mengajak manusia untuk mengesakan Allah secara sembunyi-sembunyi. Pada masa itu, beliau dan para sahabat, nya merahasiakan ibadah mereka sehingga tidak diketahyj oleh kaum kafir Qurasiy. Mereka melakukannya di kediaman Argam (Darul Arqam).
Sampai akhirnya, perintah untuk berdakwah secara terang. terangan datang kepada beliau melalui ayat yang berbunyi,
“Sampaikanlah (Nabi Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. al-Hijr [15]: 94)
Dengan turunnya ayat ini, Nabi langsung secara terang-terangan berdakwah menyeru segenap makhluk untuk menyembah Allah semata.
Pada kala itu, penduduk Makkah tidak menjauhi dan tetap memercayai Nabi, sampai beliau mulai melarang mereka untuk menyembah berhala. Bahkan beliau memerintahkan mereka untuk bertauhid kepada Allah yang Maha Esa dalam sifat, dzat, dan perbuatan-Nya serta membuang keyakinan yang lain.. Beliau berkata kepada mereka, “Sembahlah Allah semata. Janganlah kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apa pun. Tinggalkanlah semua yang dikatakan oleh nenek moyang kalian!”
Semua itu terjadi pada tahun keempat kenabian. Penduduk Makkah pun serta merta memusuhi dan menyakiti Nabi. Bala yang dilancarkan oleh kaum kafir Quraisy terhadap umat Islam kian berat hingga akhirnya Nabi mengizinkan mereka untuk berhijrah.
Pada tahun kolima dari konabian, kaum muslim Makkah melakukan hijrah ko Najasyiyah, yaitu nogori raja Najasyi (Negus) yang bornama asli Ashhamah di Habasyah (sekarang Ethiopia).
Kelak, raja Najasyi ini masuk Islam di masa Nabi masih hidup. Namun, karena dia tidak pernah bertemu langsung dengan Nabi, dia dimasukkan ke dalam golongan tabi’in. Uniknya, di tangan Najasyi inilah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Amr bin Ash masuk Islam. Ini merupakan peristiwa menarik karena ternyata Amr ra. menjadi satu-satunya sahabat yang masuk Islam di tangan seorang tabi’in.
Sementara paman Nabi, Abu Thalib, sangat menyayangi Nabi dan terus menjaga beliau sehingga setiap orang dari penduduk Makkah takut padanya.
Kalimat terakhir ini menggambarkan peristiwa ketika Nabi saw. berkumpul dengan paman beliau Abu Thalib dan semua pemuka Bani Hasyim, kecuali Abu Lahab, serta semua pemuka Bani Muththalib untuk menyatakan perlindungan bagi beliau.
Pada saat itulah kaum kafir Quraisy berkumpul lalu mendatangi Abu Thalib untuk melakukan keburukan terhadap Nabi saw. Namun, Abu Thalib menanggapi niat busuk mereka dengan ucapannya, “Mari tunggu sampai unta itu pergi. Jika unta betina itu kembali bukan kepada induknya, barulah aku serahkan dia kepada kalian!”
Abu Thalib lalu bersyair, Demi Allah, mereka semua takkan bisa menyentuhmu
Sampai aku berbantal dalam kubur
Sampaikan terang-terangan urusanmu, tiada aib bagimu Sampaikan kabar gembira dan bersenang hatilah
Engkau seru aku karena engkau yakin engkau penasihatku
Engkau sungguh benar dan engkau memang orang terpercaya
Engkau ajukan agama yang kuketahui bahwa agama itu
Adalah agama terbaik di antara semua agama manusia
Kalau bukan karena celaan dan aku takut pada makian
Pasti engkau dapati aku berpegang pada agama itu dengan tegas
Ketika orang-orang Quraisy berniat menyakiti Nabi saw., Abu Thalib bersyair,
Ketika kulihat kaum itu tidak memiliki cinta dalam diri mereka
Mereka memutuskan semua pertalian dan hubungan
Terang-terangan mereka memusuhi dan menyakitiku
Mereka patuhi perintah musuh yang memisahkan
Abdu Manaf ataukah kalian yang terbaik
Janganlah kalian syirik dalam urusan kalian
Sungguh aku takut jika Allah tidak mempermudah urusan kalian
Kalian menjadi seperti cerita orang-orang celaka
Aku berlindung dengan Tuhan manusia dari segala penyerang
Dari segala keburukan atau kebatilan atasku
Orang yang jahat akan dilaknat di tempatnya
Sementara orang bajik naik dan turun di Hira
Di Bait yang berada di tengah Makkah
Demi Allah sesungguhnya Allah bukan Dzat yang lalai
Kalian berdusta, demi Baitullah kami tundukkan Muhammad
Ketika kalian serang dia dan kalian berusaha melakukannya
Kami tidak akan serahkan dia dan kami berjaga di sekelilingnya
Kami pun melupakan anak-anak dan istri-istri kami
Nabi diwajibkan melaksanakan ibadah di sebagian waktu malam. Kemudian dinasakh dengan firmanNya, “Bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya (al-Quran) dan tegakkanlah shalat.” Diwajibkan pula atas Nabi dua rakaat di pagi hari dan dua rakaat di malam hari. Kemudian dinasakh dengan kewajiban shalat lima waktu pada malam Isra‘. Saat Abu Thalib meninggal pada pertengahan Syawal tahun kesepuluh kenabian, kian besarlah musibah itu baginya. Tiga hari kemudian, Khadijah menyusulnya, kian keraslah bala atas kaum muslim, seperti ikat pinggang yang terikat terlalu kencang. Kaum Quraisy menimpakan beliau segala hal menyakitkan. Lalu beliau pergi ke Thaif, mendakwahi Bani Tsaqif, tapi mereka tidak menyambut dengan baik kedatangan beliau. Mereka memprovokasi orang-orang bodoh dan para budak sehingga mereka memaki beliau dengan kata-kata kotor. Juga melempari beliau dengan batu, hingga darah menetes sampai melumuri kedua terompah beliau. Kemudian beliau kembali ke Makkah dengan sedih, lalu malaikat penjaga gunung meminta izin kepadanya untuk menghancurkan penduduk Makkah?! yang fanatik. Namun beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku berharap agar Allah melahirkan dari tulang punggung mereka orang-orang yang merawat agama-Nya.”
Allah mewajibkan Nabi dan umatnya ibadah di sebagian waktu malam, tepatnya firman Allah,
“Wahai orang yang berkelumun (Nabi Muhammad), bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, (yaitu) seperduanya, kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu. Bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan.” (QS. al-Muzzammil [73]: 1—4)
Semua kata atau (au) dalam ayat ini berfungsi menunjukkan pilihan. Rasulullah saw. juga memilih di antara ketiga ketentuan itu. Beliau mendirikan shalat sampai subuh karena beliau khawatir tidak dapat memenuhi kadar yang diwajibkan. Sebagian sahabat beliau juga melakukan hal serupa. Namun, hal itu memberatkan mereka hingga membuat telapak kaki mereka bengkak.
Kewajiban itu kemudian dihapus dongan firman Allah yang terdapat di akhir al-Muzzammil,
“Bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya (al-Quran) dan tegakkanlah shalat” (QS. al-Muzammil [73]: 20)
Imam Syafi’i menyatakan bahwa kewajiban shalat malam (qiyamul lail) dihapus secara keseluruhan. Apabila telah dipastikan bahwa giydmul lail (shalat malam) tidak wajib, firman Allah di atas berarti, “Bacalah apabila hal itu mudah bagi kalian dan shalatlah apabila kalian memang berkenan.”
Sementara asy-Syarbini menyatakan bahwa penafsiran firman Allah, “Dirikanlah shalat,” adalah shalat lima waktu. Apabila seperti itu, berarti setelah shalat malam, shalat yang wajib hanya shalat lima waktu. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Sayid Ja’ far.
Selain itu, Nabi juga diwajibkan melaksanakan shalat dua rakaat di pagi hari dan dua rakaat di malam hari. Mugatil menyatakan bahwa inilah shalat wajib yang pertama ditetapkan, berdasarkan firman Allah,
“Bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi!” (QS. Ghafir [40]: 55)
Namun, ketetapan ini kemudian dihapus dengan kewajiban shalat lima waktu pada malam Isra’. Kewajiban shalat malam, dua rakaat shalat di pagi dan petang, serta kewajiban wudhu turun setelah wahyu pertama dan sebelum masa kosongnya wahyu. Pendapat ini berbeda dengan penjelasan dalam kitab al-Mawahib.
Ketika Rasulullah saw. menginjak usia 49 tahun lebih delapan bulan sebelas hari, paman beliau, Abu Thalib, meninggal dalam usia 87 tahun. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Syawal atau Ramadhan tahun kesepuluh kenabian. Kian besar pula musibah bagi Nabi akibat kematian Abu Thalib.
Tiga hari atau lima hari kemudian jika ikut pendapat bulan Ramadhan, Khadijah menyusul. Bala atas kaum muslim semakin berat, seperti ikat pinggang yang terikat terlalu kencang. Rasulullah bahkan menyebut tahun itu dengan sebutan Tahun Kesedihan (‘4m al-huzn). Khadijah telah mendampingi Rasulullah selama 25 tahun. Beberapa hari setelah wafatnya Khadijah, Nabi menikahi Saudah binti Zam’ah.
Kaum Quraisy menimpakan Rasulullah segala hal menyakitkan. Lalu, tiga bulan setelah wafatnya Khadijah, Nabi pergi ke Thaif bersama Zaid bin Haritsah. Beliau berada di Thaif selama sebulan, tetapi ada yang menyebut beliau berada di sana selama sepuluh hari. Beliau menyampaikan dakwah kepada Bani Tsaqif, induk kabilah Hawazin.
Ketika sampai di Thaif beliau menemui para pemimpin Tsaqif yang terdiri dari tiga: Abdu Yalil alias Kinanah, Mas’ud, dan Habib. Mereka semua adalah putra Amr bin Umair ats-Tsaqifi.
Setelah menemui mereka, Nabi menyampaikan ajaran agama Islam dan perihal kaum Quraisy yang menentang dakwah beliau. Demi mendengar itu, salah seorang pemimpin Tsaqif berujar, “Apabila momang Allah mengutusmu,” lalu pemimpin kedua molanjutkan, “Tidakkah mungkin bagi Allah untuk mengutus orang sclain engkau.”
Pemimpin ketiga langsung ikut berbicara, “Demi Allah aku tidak sudi berbicara denganmu lagi selamanya! Sebab, jika memang engkau benar-benar utusan Allah, berarti engkay adalah bahaya yang sangat besar. Apabila ternyata engkau berbohong terhadap Allah, berarti aku tidak pantas berbicara denganmu!”
Rasulullah pun beranjak meninggalkan mereka, beliau putus asa akan kebaikan Bani Tsaqif. Kelak, Mas’ud dan Habib masuk Islam dan menjadi sahabat Nabi.
Pada saat itu, para pemuka tersebut memprovokasi orangorang bodoh dan para budak sehingga mereka memaki Nabi dengan kata-kata kotor. Bahkan mereka juga melempari beliau dengan batu. Pelipis beliau robek hingga darah mengalir sampai melumuri kedua terompah beliau.
Setiap kali lemparan batu membuat Nabi tersuruk ke tanah, orang-orang itu menarik lengan beliau untuk memaksa beliau berdiri. Namun, setelah Nabi kembali melangkah, mereka melempari beliau lagi sembari tertawa. Zaid bin Haritsah ra. yang mendampingi beliau terus berusaha melin-~dungi beliau dengan menggunakan badannya hingga hal itu membuat kepala Zaid mengalami luka.
Setelah berhasil meninggalkan penduduk Thaif, di tengah jalan Nabi bertemu dengan dua orang bersaudara bernama Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah, pemilik kebun yang dilewati Nabi. Ketika mereka melihat apa yang terjadi pada diri Nabi, hati mereka pun merasa iba dan mempersilakan Nabi untuk singgah.
Kedua orang itu lalu memerintahkan Adas, seorang Nasrani yang merupakan budak milik mereka, untuk membawakan Nabi setandan anggur. Nabi monorima anggur itu lalu ketika hendak mengambilnya beliau berucap, “Bismillah!” lalu beliau pun memakannya.
Adas yang mendengar itu spontan menatap wajah Rasulullah saw., lalu berkata, “Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini.” Rasulullah saw. berkata, “Dari negeri manakah engkau dan apa agamamu?” Adas menjawab, “Aku adalah seorang Nasrani yang berasal dari Ninawa.”
Nabi pun bertanya, “Dari negeri seorang lelaki shalih bernama Yunus bin Matta?” Adas bertanya, “Mengapa engkau bisa tahu tentang itu?” Nabi menjawab, “Dia adalah saudaraku dan dia adalah seorang nabi sama seperti diriku.” Demi mendengar itu, kontan Adas mencium kedua tangan, kedua kaki, dan kepala Nabi, lalu dia mengucapkan salam.
Nabi melanjutkan perjalanan kembali ke Makkah dengan perasaan sedib. Melihat hal itu, malaikat penjaga gunung (malak al-jibal) mengucapkan salam kepada Nabi lalu berkata, “Perintahkanlah aku melakukan apa pun sekehendakmu. Jika engkau mau aku untuk menimpakan dua gunung kepada mereka (penduduk Makkah), aku pasti akan melakukan itu.”
Dua gunung yang dimaksud oleh malaikat itu adalah Gunung Abu Qubais dan Gunung Qaiqa’an. Akan tetapi Rasulullah menyahut, “Aku tidak ingin memusnahkan mereka, sebab aku benar-benar berharap agar Allah melahirkan dari tulang punggung mereka orang-orang yang merawat agama Allah dan menyembah-Nya tanpa menyekutukan Dia dengan sesuatu yang lain.”
Setelah mendengar itu, sang malaikat pun berkata,
“Engkau memang sebagaimana Tuhanmu menyebutmu, ra‘af rahim (belas kasih lagi penyayang).”
Pada saat itulah Rasulullah berdoa kepada Allah dengan doa berikut,
“Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu atas lemahnya kekuatanku dan sedikitnya usahaku serta kehinaan diriku di hadapan manusia, wahai Dzat yang paling penyayang di antara semua penyayang. Engkaulah Dzat yang paling penyayang di antara semua penyayang dan Engkau Tuhan orang-orang yang lemah. Kepada siapa Engkau serahkan diriku? Apakah kepada musuh yang jauh lagi menyerangku atau kepada teman yang dekat dan Engkau serahkan urusanku padanya. Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli yang mana. Namun, tentu kesejahteraan dari-Mu lebih luas. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari petala langit dan segala gelap yang ada. Karena cahaya-Mu pula segala urusan dunia dan akhirat menjadi baik, murka-Mu padaku tidak jadi turun, dan marah-Mu tidak menimpaku. Engkaulah yang berhak menerima segala pemgakuan dosa hingga Engkau ridha. Tiada daya dan kekuatan selain hanya dengan pertolongan-Mu.” (HR. Thabrani)
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Ruh dan tubuh Rasulullah saw. diperjalankan pada malam hari dalam keadaan terjaga. Perjalanan dimulai dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan serambinya yang kudus. Beliau kemudian dinaikkan ke langit. Beliau melihat Adam as. di langit pertama. Dia telah muliakan dan Dia meninggikan Adam berkat ketabahannya. Di langit yang kedua beliau melihat Isa as., putra Maryam sang perawan, bajik, lagi suci, dan sepupu Isa dari ibunya, Yahya as., yang telah diberi hikmah ketika masih kanak-kanak. Di langit yang ketiga beliau melihat Yusuf as. dengan rupanya yang tampan. Di langit yang keempat beliau melihat Idris as. yang Allah angkat dan tinggikan kedudukannya. Di langit yang kelima beliau melihat Harun as. yang dicintai di kalangan umat Israil. Di langit keenam beliau melihat Musa as. yang telah Allah ajak bicara dan dia bisa bermunajat kepada-Nya. Di langit ketujuh beliau melihat Ibrahim as. yang telah datang kepada Tuhannya dengan hati yang bersih dan maksud yang baik. Allah juga telah memelihara dan menyelamatkan Ibrahim dari api Numrud.
Lima tahun setelah diangkat menjadi rasul atau satu tahun sebelum hijrah ke Madinah, tepatnya pada malam 27 Rajab, Rasulullah saw. diperjalankan pada malam hari (menjalani Isra’) dengan ruh dan tubuhnya dalam koadaan terjaga dari Hijir Ismail (Masjidil Haram) ke Masjidil Aqsha.
Setelah sampai di Masjidil Aqsha, Nabi Muhammad saw. dinaikkan ke langit dengan menggunakan tangga (mi’rdj) yang memiliki dua buah penyangga: satu terbuat dari permata yaqut merah dan yang lain terbuat dari permata zamrud hijau. Tangga itu memiliki sepuluh anak tangga yang satu sisi terbuat dari emas dan sisi yang lain terbuat dari perak. Anak tangga pertama adalah anak tangga di langit dunia.
Anak tangga itu turun lalu Nabi menaikinya bersama Jibril. Di langit kedua terdapat anak tangga kedua. Ketika beliau keluar dari langit dunia, anak tangga itu menjulur ke arah mereka berdua dan keduanya pun menaikinya seperti pada anak tangga pertama. Demikian seterusnya mereka mencapai langit ketujuh menggunakan tujuh anak tangga.
Setelah keduanya melewati langit ketujuh, mereka berdua mendapati uluran anak tangga kedelapan yang terjulur dari Syajarah al-Muntaha (pohon tertinggi yang berada dalam kekuasaan Allah). Ketika mereka berdua melewatinya, mereka berdua mendapati anak tangga kesembilan yang terjulur dari tempat di mana suara Pena (al-aqla4m) terdengar. Setelah mereka berdua melewatinya, mereka berdua mendapati anak ‘ tangga kesepuluh yang terjulur dari Arasy.
Isra’ dan Mi’raj termasuk mukjizat paling dahsyat yang dimiliki Rasulullah saw. Peristiwa itu terjadi sekitar satu tahun setengah sebelum terjadinya hijrah. Saat itu, Nabi Muhammad saw. berusia 51 tahun lebih delapan bulan 13 hari.
Menurut pendapat yang dijadikan rujukan, Rasulullah saw. menjalani Isra’ dan Mi’raj dalam keadaan terjaga, bukan tidur. Menurut pendapat yang masyhur, kedua peristiwa itu terjadi pada satu malam yang sama. Menurut pendapat yang sahih, peristiwa itu dijalani oloh beliau dongan jasad dan sekaligus ruh beliau.
Nabi Muhammad saw. dan Adam as.
Dalam perjalanan Mi’raj, Nabi melihat Adam as. di langit pertama atau disebut sama’ ad-dunya (langit dunia) atau sama’ al-qurba (langit terdekat). Adam terlihat dengan bentuk aslinya yang jelas, indah, dan berseri-seri. Allah telah memujiakan Adam dan Dia meninggikannya berkat ketabahannya.
Tinggi badan Adam adalah 60 hasta dan lebar tubuhnya adalah tujuh hasta dengan ukuran hasta kita. Dia hidup selama 1000 tahun atau 960 tahun. Hikmah terlihatnya Adam di langit pertama adalah dia moyang pertama Rasulullah. Dia menjadi yang pertama untuk melipur berat beban kenabian yang Rasulullah tanggung. Adam pun merasa bangga dengan kenabian Rasulullah saw.
Selain itu, pertemuan mereka menunjukkan bahwa akan terjadi pada Rasulullah rangkaian peristiwa yang mirip dengan apa yang terjadi pada Adam as. Semula Adam berada dalam naungan Allah dekat dengan-Nya di surga, tetapi kemudian musuhnya yang bernama Iblis membuatnya terusir dari surga.
Peristiwa pertama yang dialami Rasulullah dan serupa dengan apa yang dialami Adam adalah hijrahnya beliau. Keduanya sama-sama merasakan kesusahan serta pahitnya perpisahan dengan tempat tinggal, walaupun kelak keduanya akan kembali ke kampung halaman mereka.
Nabi Muhammad saw., Isa, dan Yahya as.
Di langit yang kedua, Nabi Muhammad saw. melihat Isa as. putra Maryam yang dianugerahi berbagai bukti kebenaran seperti kemampuan menyampaikan hal-hal gaib, menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang bisu, dan mengobati penyakit lepra. Tubuh Isa berukuran sedang, tidak tinggi dan juga tidak pendek. Wajahnya putih sayu kemerahan dengan perut yang kurus.
Isa adalah putra Maryam sang perawan karena ia tidak pernah menikah, sebagaimana diriwayatkan dalam riwayat-riwayat sahih. Maryam adalah sosok perempuan bajik lagi suci dari segala cela, sebab dia selalu meninggalkan segala yang terlarang sekaligus senantiasa melaksanakan hal-hal yang diperintahkan.
Di langit kedua ini, Nabi juga melihat sepupu Isa as. dari pihak ibu, yaitu Nabi Yahya as., yang telah diberi hikmah berupa kenabian, kebijaksanaan, dan pemahaman Taurat ketika dia masih berusia tiga tahun.
Yahya disebut sebagai sepupu Isa dari pihak ibu karena Imran yang merupakan kakek Isa as. dari ibunya, menikahi perempuan selain Hannah, lalu dari pernikahan itu lahir anak perempuan yang bernama Isya’. Perempuan inilah yang kemudian dinikahi oleh Zakariya as. dan melahirkan Yahya.
Yahya as. dan Isa as. memiliki ikatan saudara dari bibi pihak ibu dari ayah, sebab ketika ibu Yahya adalah Isya’ binti Imran bin Matsan, berarti ibu Isa adalah Maryam binti Imran bin Matsan sehingga keduanya adalah sepupu satu sama lain.
Padahal, yang benar tidak demikian. Isya’ adalah putri Faqud, bibi pihak ibu Maryam dan saudara perempuan Hannah binti Faqud. Jadi, Yahya adalah anak dari bibi pihak ibu dari ibunya Isa, bukan anak bibi Isa dari pihak ibu, sedangkan Isa adalah anak dari putri bibi Yahya dari pihak ibu, bukan anak dari bibi Yahya dari pihak ibu.
Alasan mengapa nama Isa disobutkan lebih dulu daripada Yahya adalah karena Isa diutus kepada Yahya juga, sebab Yahya enam bulan lebih tua daripada Isa.
Pada saat itu, ibu Yahya berkata kepada Maryam, “Aku melihat janin yang ada di dalam perutku melakukan sujud penghormatan kepada janin yang ada di dalam perutmu.” Bahkan, ada yang menyatakan bahwa ketika Yahya masih berada di dalam perut ibunya, dia berbicara dengan Isa dan menjawab salamnya.
Pertemuan Rasulullah dengan Isa dan Yahya di langit kedua itu menunjukkan akan terjadinya peristiwa pada hijrah kedua, yaitu ketika orang-orang Yahudi memusuhi beliau dan menyakiti beliau, bahkan berusaha menjatuhkan sebongkah batu besar ke tubuh beliau saw. Namun, Allah memberi tahu beliau tentang semua itu dan menyelamatkan beliau dari kejahatan orang-orang Yahudi itu.
Hal ini serupa dengan apa yang dialami oleh Isa as. Ketika orang-orang Yahudi ingin membunuhnya, Isa bersembunyi di dalam sebuah ruangan pada sebuah rumah bersama 17 orang hawari. Ketika keadaan kian mendesak, Isa berkata, “Siapa saja dari kalian yang mau menggantikanku lalu terbunuh, dia akan masuk surga.” Seseorang lalu menyahut, “Aku!” Kemudian Allah membuat orang itu berwujud serupa Isa. Orang itulah yang kemudian diseret, dibunuh, dan kemudian disalib.
Namun, ada yang menyatakan bahwa yang terjadi adalah ada salah seorang hawari yang munafik dan membocorkan keberadaan Isa kepada musuh. Atas jasanya itu, dia menerima uang tiga puluh dirham perak, tetapi kemudian Allah membuat orang itu borwujud serupa Isa. Allah lalu mengangkat Isa dalam kondisi sodang tidur, sebagaimana dinyatakan para mufasir ketika menjelaskan firman Allah yang berbunyi
“Wahai Isa, sesungguhnya Aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku.” (QS. Ali Imran [3]: 55)
Sementara yang terjadi pada Yahya as. adalah orang-orang Yahudi berhasil membunuhnya dengan menggunakan seorang wanita. Namun, ada yang menyatakan bahwa ada seorang wanita yang menunjukkan keberadaan Yahya kepada orangorang Yahudi sehingga mereka berhasil membunuhnya.
Bagian yang sama dari cerita mereka adalah ketika Isa as. meminta bantuan kepada sahabatnya (hawari) dengan ucapannya, “Siapakah yang menjadi penolong-penolongku untuk Allah?” Para hawari menjawab, “Kamilah penolong-penolong Allah.”??
Sementara Rasulullah saw. juga meminta kepada kaum Anshar untuk berangkat ke Perang Badar Wustha dan mereka pun memenuhi permintaan beliau itu. Pada saat itu mereka berkata, “Kami tidak akan berkata seperti Bani Israil yang dulu berkata, ‘Pergilah engkau bersama Tuhanmu lalu berperanglah kalian berdua.’ Kami akan berkata, ‘pergilah dan kami akan menemanimu.’”
Nabi Muhammad saw. dan Yusuf as.
Di langit yang ketiga beliau melihat Yusuf as. dengan rupanya yang tampan. Mungkin akan ada yang bertanya mengapa ketampanan Yusuf dapat membuat para wanita begitu terpesona padanya sampai-sampai ada beberapa wanita yang memotong jari mereka karena ketampanan Yusuf, sedangkan hal seperti itu tidak terjadi pada Rasulullah, padahal diketahui bahwa Rasulullah saw. lebih tampan dan lebih rupawan dibandingkan Yusuf.
Jawaban atas pertanyaan di atas dijawab oleh al-Qurthubi bahwa ketampanan Rasulullah saw. yang sesungguhnya belum tampak bagi manusia saat ini. Sebab, jika ketampanan beliau itu tampak sepenuhnya, tidak akan ada mata yang sanggup melihat beliau. Tidak ditampakkannya ketampanan Rasulullah pada pandangan manusia merupakan bentuk kelembutan Allah kepada kita.
Sayid Umar bin Faridh menggubah syair mengenai hal ini,
Dengan ketampanan yang tertutup oleh kemuliaan Siksa akan terasa baik dan menyenangkan di sana
Dari penjelasan di atas dapat diketahui, para wanita terpesona oleh ketampanan Yusuf as. dari cahaya wajahnya yang terlihat menerangi dinding, tembok, dan pintu-pintu, seperti sinar matahari. Sementara ketampanan Rasulullah saw. tertutupi dengan kemuliaan beliau sehingga tidak ada seorang pun wanita yang terpesona olehnya, seperti yang dulu terjadi pada Yusuf.
Pertemuan Rasulullah saw. dengan Yusuf di langit ketiga itu menunjukkan bahwa di tahun kotiga (sotelah hijrah) Nabj mengalami suatu keadaan yang sorupa dongan keadaan Yusuf,
Ketika Nabi berperang di Uhud lalu tersiar kabar bahwa Nabi telah terbunuh, kaum muslim pun dirundung kesedih. an atas Nabi yang mereka sangka telah gugur. Namun, ketika mereka melihat bahwa Nabi masih hidup, mereka pun gembira hingga berhasil meraih kemenangan.
Hal ini serupa dengan apa yang dialami Yusuf ketika ayahnya Ya’qub as. bersedih atas Yusuf yang dinyatakan dimangsa serigala oleh saudara-saudaranya. Yusuf juga terusir karena ulah mereka, tetapi kemudian dia berhasil menundukkan mereka dan memaafkan mereka dengan berkata, “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian!”
Apa yang dilakukan oleh Yusuf ini serupa dengan Rasulullah saw. yang diusir dan diperangi oleh kaum Quraisy. Pada akhirnya, Rasulullah saw. berhasil menaklukkan mereka dalam peristiwa Penaklukan Makkah dan ternyata beliau mengampuni musuh-musuh beliau. Pada saat itu beliau saw. bersabda, “Aku berkata seperti dulu saudaraku Yusuf berkata, ‘Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian.”
Diceritakan bahwa ketika saudara kandung Yusuf Bunyamin datang bersama saudara-saudaranya yang lain ke Mesir, dia ditangkap setelah alat penakar ditemukan di dalam barang bawaannya yang sebelumnya dimasukkan ke situ tanpa sepengetahuannya sehingga dirinya dituduh mencuri.
Padahal dalam syariat Ya’qub dinyatakan bahwa siapa pun yang mencuri harus ditangkap. Pada saat itu, yang menjabat sebagai raja Mesir adalah Yusuf. Ketika saudara-saudara Yusuf pulang menemui ayah mereka Ya’qub tanpa membawa serta Bunyamin, Ya’qub lalu bortanya kepada mereka tentang Bunyamin. Mereka menjawab bahwa Bunyamin ditangkap karena pencurian. Ya’qub pun mongirim surat kepada Aziz™ yang pada saat itu dijabat oloh anaknya sondiri.
Surat itu berbunyi sebagai berikut,
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari hamba Allah Ya’qub Israilullah bin Ishaq Dzabihullah bin Ibrahim Khalilullah untuk Aziz Mesir,
Kami tidak mencuri dan tidak pernah melahirkan pencuri. Kami adalah keluarga yang tertimpa kemalangan. Ayahku adalah Ishaq yang telah ditimpa bala berupa penyembelihan, tetapi Allah menggantinya dengan sembelihan besar dari surga. Sementara kakekku Ibrahim telah ditimpa bala berupa api, tetapi kemudian Allah menjadikan api itu dingin dan menyelamatkannya. Sementara aku sendiri, aku memiliki anak yang paling kucintai di antara semua anakku. Namun, dia pergi bersama saudara-saudaranya lalu ternyata mereka kembali tanpa bersamanya. Mereka berkata bahwa dia dimangsa serigala. Anakku itu memiliki saudara kandung yang sangat kusayangi dan engkau merenggutnya. Oleh karena itu, apabila engkau tidak membebaskannya, aku pasti akan mendoakan keburukan atas dirimu yang doa itu juga akan menimpa sampai tujuh keturunanmu. Wassalam.
Ketika surat itu sampai ke tangan Yusuf, dia pun menangis tersedu-sedu. Telah diriwayatkan bahwa kemudian Yusuf mengirim surat kepada ayahnya yang isinya berbunyi sebagai berikut,
Sesungguhnya semua leluhurmu telah bersabar, mereka pun berhasil mendapatkan keberuntungan. Oleh Karena itu, bersabarlah engkau sebagaimana dulu mereka semua bersa.bar, niscaya engkau akan juga memperoleh keberuntungan.
Yusuf lalu mengirim penyampai kabar gembira dengan membawa baju Yusuf guna kepada Ya’qub. Pembawa kabar itu memberi tahu bahwa Yusuf masih hidup dan Bunyamin sama sekali tidak bersalah.
Nabi Muhammad saw. dan Idris as.
Di langit yang keempat Rasulullah saw. melihat Idris as. yang Allah angkat dan tinggikan kedudukannya. Idris adalah cucu Syits as. sekaligus merupakan kakek Nuh as. Kata idris adalah gelar, sebab nama aslinya adalah Akhnukh. Dia adalah manusia pertama yang membuat senjata dan menggunakannya untuk berperang. Dia juga manusia pertama yang mengenakan pakaian berjahit, sekaligus manusia pertama yang menjahit. Sebelum Idris, manusia mengenakan pakaian berbahan kulit hewan.
Idris juga manusia pertama yang menulis menggunakan pena. Dari dirinyalah kemampuan menulis itu lalu menyebar ke seluruh penduduk bumi. Idris mengirim surat kepada rajaraja untuk menyeru mereka mengesakan Allah. Dialah yang bergelar al-Hakim karena menghimpun tiga perkara sekaligus: hikmah, kenabian, dan kekuasaan.
Idris adalah sosok yang ditinggikan tempatnya. Dia ditempatkan di langit. Namun, ada yang menyatakan bahwa Idris dinaikkan ke surga. Allah menaikkannya ke tangan malaikat yang bertugas membawa matahari dan merupakan teman Idris.
Ketika dia memohon kopada Idris agar Allah meringankan berat matahari yang dibawanya, Idris pun berdoa untuknya dan ternyata doa itu dikabulkan. Malaikat itu lalu mongangkat jdris ke langit dalam keadaan hidup. Pengangkatan ke langit dalam kondisi hidup hanya terjadi pada Idris dan Nabi saw.
Idris memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan Isa as. Malaikat yang menjadi teman Idris berjumlah sembilan. pi dalam hadis dinyatakan bahwa yang bertugas membawa matahari adalah sembilan malaikat yang setiap hari melempari matahari dengan salju, agar matahari tidak membakar segala yang disinarinya.
Para ulama menyatakan bahwa ada empat orang nabi yang masih hidup sampai sekarang: dua berada di langit dan dua lagi di bumi. Dua nabi yang bersemayam di langit adalah Idris as. dan Isa as., sedangkan dua nabi yang tinggal di bumi adalah Khidhr as. dan Ilyas as.
Ka’bul Ahbar bercerita: suatu ketika di saat Idris melakukan sebuah perjalanan, dia terpapar oleh panasnya matahari. Dia pun berdoa, “Wahai Tuhan, aku baru berjalan seharian dan aku sudah kepanasan oleh terik matahari, lantas apa yang dirasakan oleh malaikat pembawa matahari yang bergerak sejauh perjalanan 500 tahun dalam satu hari. Wahai Allah, ringankanlah baginya berat dan panas matahari.”
Keesokan paginya, ternyata malaikat pembawa matahari mendapati bahwa matahari yang dibawanya terasa ringan dan panasnya berkurang. Malaikat itu pun bertanya, “Wahai Tuhan, Engkau meringankan panas matahari dariku. Apa yang Engkau tetapkan padanya?”
Allah menjawab, “Sesungguhnya hambaku Idris memohon kepadaku agar Aku mengurangi berat dan panas matahari darimu, Aku pun mengabulkan doanya.” Malaikat itu berkata lagi, “Wahai Rabb, pertemukanlah aku dengannya.” Allah pun mengizinkan matahari melakukan itu.
Diriwayatkan dari Wahab bin Munabbih bahwa sebab di, angkatnya Idris adalah karena banyaknya ibadah Idris yang diangkat ke langit setiap hari setara dengan ibadah yang dila. kukan seluruh penghuni bumi. Malaikat maut pun memohon izin kepada Allah untuk mengunjungi Idris.
Setelah mendapatkan izin, malaikat itu mendatangi Idris dalam wujud manusia. Kebetulan pada saat itu Idris sedang berpuasa. Ketika waktu berbuka tiba, Idris mengajak tamunya itu berbuka besama, malaikat itu pun menolak untuk makan bersamanya. Sampai tiga hari Idris mengalami kejadian yang sama sehingga Idris pun menaruh sangsi pada tamunya itu.
Idris bertanya, “Siapa engkau sebenarnya?” Malaikat maut menjawab, “Aku adalah malaikat maut. Aku memohon izin kepada tuhanku untuk mendampingimu, dan Dia mengizinkanku.” Idris lalu berkata kepada malaikat maut, “Bolehkah aku meminta bantuanmu?” Malaikat maut menyahut, “Apa itu?” Idris menjawab, “Cabutlah nyawaku.” Malaikat maut bertanya, “Untuk apa?” Idris menjawab, “Agar aku dapat merasakan pedihnya kematian sehingga aku lebih kuat siap menghadapinya.”
Allah pun mewahyukan kepada malaikat maut agar mencabut nyawa Idris. Sang malaikat mencabut nyawa Idris sebentar lalu mengembalikannya lagi. Setelah beberapa lama berlalu, Idris berkata lagi kepada Malaikat Maut, “Aku masih butuh bantuanmu.” Malaikat maut menyahut, “Silakan?” Idris menjawab, “Antarkan aku ke langit, agar aku dapat melihat surga dan neraka.” Allah kembali mengizinkan itu dan sang malaikat mengangkat Idris ke langit sehingga dia dapat melihat neraka. Ternyata hal itu membuatnya jatuh pingsan.
Setelah siuman, Idris berkata, “Sckarang tunjukkan surga kepadaku.” Sang malaikat pun memasukkan Idris ke dalam surga. Setelah beberapa saat berlalu, Malaikat maut berkata, “Sekarang keluarlah engkau dan kembalilah ke tempat asalmu.” Akan tetapi, Idris bergelayut di sebatang pohon surga seraya berujar, “Aku tidak akan keluar dari surga.”
Allah pun mengutus sosok malaikat yang sangat besar untuk menjadi penengah antara Idris dan malaikat maut. MaJaikat itu bertanya kepada Idris, “Mengapa engkau menolak keluar?”
Idris menjawab, “Karena Allah telah berfirman bahwa setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian.” Aku sudah merasakan kematian itu. Dia berfirman bahwa tidak ada satu pun dari kalian kecuali mendatanginya (neraka).”” Aku sudah mendatanginya. Dia juga berfirman bahwa mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan darinya (surga).”‘ Oleh karena, itu aku menolak keluar (dari surga).”
Pada saat itu, Allah berkata kepada Malaikat Maut, “Hamba-Ku Idris telah mendebatmu dan dia menyampaikan argumentasi yang kuat. Biarkanlah dia, sebab sesungguhnya dengan izin-Ku dia masuk dan dengan izin-Ku dia keluar.”
Mungkin akan ada pertanyaan bahwa jika memang Idris berada di dalam surga, lantas mengapa Nabi melihatnya berada di langit keempat? Pertanyaan ini sudah dijawab oleh sebagian ulama, ada kemungkinan bahwa ketika Idris mendengar Rasulullah saw. hendak diperjalankan di malam hari, dia keluar dari surga menuju langit keempat agar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad saw.. sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan kerinduannya kepada Nabi saw.
Pertemuan Rasulullah saw. dan Idris as. di langit keempat menunjukkan keserupaan peristiwa yang akan terjadi pada tahun keempat (setelah hijrah) dengan apa yang terjadi pada Idris as.
Ketika umat Islam menguat dan menyebar luas, Nabi saw, mengirimkan surat-surat kepada raja-raja untuk menyeru mereka masuk Islam. Pada saat itulah beliau saw. membubuhkan cap saat mengirimkan surat kepada raja-raja di pelbagai penjuru sehingga membuat para raja segan kepada beliau.
Sebagian dari para raja itu ada yang bersedia menjadi pengikut Nabi saw. seperti Najasyi dan Raja Uman. Di antara mereka ada yang ingin bersahabat dengan heliau serta mengirimkan hadiah kepada beliau seperti Harqal (Heraklius) dan Muqaugis. Di antara mereka ada yang membangkang lalu Allah hancurkan kerajaannya, seperti Kisra.
Semua itu mirip dengan apa yang dialami Idris ketika mengirimkan surat kepada raja-raja di zamannya untuk menyeru mereka agar bertauhid. Dia lalu memerangi Bani Qabil dan orang-orang yang seperti mereka. Di antara kemiripan lain antara Idris dengan Nabi saw. adalah bahwa Idris merupakan manusia pertama yang menulis menggunakan pena, sedangkan Muhammad saw. adalah manusia pertama yang membubuhkan cap dalam surat.
Nabi Muhammad saw. dan Harun as.
Di langit yang kelima Rasulullah saw. melihat Harun as. yang dicintai di kalangan umat Israil karena kelembutan dan rasa sayangnya pada mereka. Harun as. memang sosok yang lembut dan berlapang dada, berbeda dengan Sayyidina Musa as. yang diketahui memiliki sikap keras.
Pertemuan Nabi saw. dengan Harun as. di langit kelima menunjukkan serupanya kondisi Nabi saw. pada tahun kelima (setelah hijrah) dengan apa yang terjadi antara Harun as. dan Bani Israil.
Bani Israil menganggap remeh Harun ketika Musa pergi untuk bermunajat dan meninggalkan Harun bersama mereka. Pada saat itu, Bani Israil terpecah belah dan ingin membunuh Harun. Mereka membatalkan perjanjian dan memilih menyembah patung anak sapi.
Namun, Allah menolong Harun dengan mengalahkan Bani Israil serta menetapkan bahwa mereka hanya dapat bertobat dengan melakukan bunuh diri, sebagaimana yang Allah nyatakan,
“(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahan). Oleh karena itu, bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu.’” (QS. al-Baqarah [2]: 54)
Setelah perintah ini turun, seketika itu juga 70.000 orang dari Bani Israil binasa.
Hal serupa terjadi pada Nabi saw. di tahun kelima setelah hijrah. Bani Quraizhah, yang awalnya tampak menghormati Nabi dan menunjukkan pemuliaan terhadap beliau, mempersilakan beliau duduk di bawah sebuah dinding, lalu mereka berniat menjatuhkan sebongkah batu besar ke Nabi. Namun, Jibril memberi tahu rencana pembunuhan mereka sehingga beliau pun bangkit dari tempat duduk dengan menunjukkan kesan bahwa beliau hendak buang hajat, padahal Nabi lang. sung pulang ke Madinah.
Tidak lama berselang, Rasulullah mengerahkan pasukan untuk memerangi Yahudi Bani Quraizhah. Mereka pun ber. gabung dengan suku Yahudi lain. Mereka tampakkan sikap permusuhan, membatalkan perjanjian damai, menganggap enteng kaum muslim, dan menggalang koalisi dengan banyak pasukan lain.
Namun, Allah berkenan menyelamatkan Rasulullah dari kejahatan mereka. Beliau memerintahkan Sa’ad bin Mu’adz untuk menyerang mereka. Pasukan Mu’adz menyerang mereka dan menurut suatu riwayat berhasil menewaskan sekitar 700 orang Yahudi.
Di antara keserupaan antara Harun as. dan Rasulullah saw. yang lain adalah Nabi pada awalnya begitu dicintai oleh kaum Quraisy sebagaimana halnya Harun juga sangat dicintai oleh kaumnya. Hal lainnya adalah sama-sama fasih berbicara. Walaupun Nabi kita memiliki tempat yang lebih utama, sebab Harun fasih berbahasa Ibrani, sedangkan Rasulullah fasih berbahasa Arab dan telah diketahui bahwa bahasa Arab lebih indah daripada Bahasa Ibrani.
Nabi Muhammad saw. dan Musa as. .
Di langit keenam Rasulullah saw. melihat Musa. Sosoknya bertubuh sedang, tinggi, tidak tampak kasar, dan rambutnya ikal, antara keriting dan lurus. Dia hidup selama 120 tahun. Dialah yang telah Allah swt. ajak bicara dua kali, yaitu pada malam hairah dan di Gunung Sina. Dialah Nabi yang bisa Jangsung bermunajat kepada-Nya.
Pertemuan ini menjadi peringatan bagi Rasulullah atas apa yang akan terjadi pada tahun keenam (setelah hijrah). Sebab, beliau akan mengalami peristiwa yang mirip dengan apa yang dialami oleh Musa.
Ketika Musa memerintahkan perang dan penegakan syariat di Tanah Kudus, ternyata kaumnya menolak perintahnya itu dengan menyatakan, “Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa.” Namun, Allah tetap memenangkan musa atas orang-orang perkasa yang ada di negeri itu. Musa lalu memasukkan Bani Israil ke negeri itu setelah musuh mereka binasa.
Peristiwa ini serupa dengan yang terjadi pada nabi kita pada tahun keenam. Ketika beliau hendak mengerahkan pasukan dalam Perang Tabuk di wilayah Syam, ternyata Allah memenangkan beliau atas penduduk Daumatu Jandal yang berujung dengan perjanjian damai berikut kesediaan membayar jizyah setelah menjadi tawanan.
Setelah itu, beliau berhasil menaklukkan Makkah dan memasukkan para sahabat beliau ke kota itu setelah mereka sebelumnya diusir dari. Mereka memang tidak berhasil memasuki kota Makkah pada tahun tersebut, melainkan pada tahun berikutnya.
Pada saat itu para sahabat Nabi saw. berkata, “Kami tidak akan berkata seperti dulu Bani Israil berkata, ‘Pergilah engkau bersama Tuhanmu lalu berperanglah kalian berdua, kami akan duduk di sini.’ Tetapi kami akan berkata, ‘pergilah engkau bersama Tuhanmu lalu berperanglah kalian berdua dan kami akan bersama kalian untuk ikut berperang.’” Di bagian sebelumnya telah disampaikan bahwa mereka mengatakan kalimat itu sekali lagi. Kala itu Rasulullah bersabda, “Sungguh Musa telah disakiti lebih dari init.”
Nabi Muhammad saw. dan Ibrahim as.
Di langit yang ketujuh, Nabi melihat Ibrahim bin Tarakh bin Takhur bin Sahur bin Raghu bin Faligh bin Abir bin Syalih, Ada yang menyatakan bahwa Azar adalah paman Ibrahim, bukan ayahnya. Ibrahim adalah sosok berjenggot tebal dan jenggotnya berwarna hitam bercampur putih.
Ibrahim adalah sosok yang telah datang kepada Tuhannya dengan hati yang bersih dan maksud yang baik. Dialah yang Allah pelihara dan selamatkan dari api Numrud. Di bagian ini, yang tertulis memang Numrud (bukan Namrud), sebagaimana yang tercantum dalam al-Qdmias. Namun, yang jelas bahwa nama raja ini tidak dapat menerima tanwin karena termasuk golongan nama dan non-Arab.
Hikmah pertemuan Rasulullah dengan Ibrahim yang pada saat itu sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’mur di langit ketujuh adalah terjadinya peristiwa pada tahun ketujuh (setelah hijrah), yaitu sampainya Nabi ke Baitul Haram di tahun itu.
Pada tahun itulah, beliau dan para sahabat memasuki Tanah Suci untuk melaksanakan Umratul Qadha’ dengan menegakkan syiar-syiar warisan Ibrahim sekaligus menghidupkan sunahnya yang telah dimatikan pada masa jahiliyah.
Hikmah lainnya adalah pelipur lara dari Allah untuk Rasulullah karena bertemu dengan bapak kedua manusia ketika memasuki Hadirat Keagungan, sebagaimana Allah melipur beliau saat mempertemukannya dengan bapak manusia pertama ketika memasuki Alam Keagungan.
Selain itu, pertemuan tersebut juga menunjukkan bahwa kedudukan Rasulullah lebih tinggi dibandingkan Ibrahim. Sebab, dari langit tempat pertemuan dengan Ibrahim itu, Nabi terus melanjutkan perjalanan ke tempat tertinggi sebagaimana yang dituturkan oleh penulis.
Kemudian Nabi naik ke Sidratul Muntaha hingga beliau dapat mendengar deritan Pena (al-Qalam) mengenai beragam ketetapan Allah. Beliau terus naik sampai ke maqam keterbukaan tirai dan Allah dekatkan beliau kepada-Nya. Allah menyingkap segala tirai cahaya keagungan dari Nabi. Allah perlihatkan Hadirat Ketuhanan kepada beliau dengan kedua mata kepalanya. Dia hamparkan bagi beliau permadani idlal pada al-majali adzdzatiyyah. Allah mewajibkan atas beliau dan atas umat beliau 50 kali shalat. Kemudian awan anugerah itu muncul sehingga dikecilkan sampai lima (shalat) yang diamalkan. Namun, itu tetap memiliki pahala 50 (shalat) sebagaimana yang Dia kehendaki dan tetapkan sejak zaman azali. Kemudian beliau kembali malam itu juga dengan membawa berbagai anugerah Ilahi. Lalu, ash-Shiddiq membenarkan Isra‘ beliau. Begitu juga setiap yang mempunyai akal dan pemikiran. Namun, kaum Quraisy mendustakannya dan menjadi murtadlah orang yang disesatkan dan digelincirkan oleh setan.
Dengan menggunakan anak tangga kedelapan, Nabi Muhammad naik ke al-Kursi yang terbuat dari mutiara putih. Rasulullah pun dinaikkan ke dahan Sidratul Muntaha yang tumbuh di langit kedelapan. Itulah yang disebut al-Kursi. Ini adalah puncak ketinggian yang dapat beliau capai. Sidratul Muntaha berupa pohon bidara yang menjadi ujung alam makhluk.
Dari situ Nabi dinaikkan lagi dengan anak tangga kesembilan—ada yang menyatakan tanpa anak tangga—hingga beliau mencapai angkasa tertinggi, sebuah tempat di mana beliau dapat mendengar deritan Pena (al-Qalam) yang bergerak menulis takdir. Yang menulis di situ adalah para malaikat, sedangkan yang ditulis adalah semua ketetapan dan wahyu Allah yang sudah ditulis di Lauhul Mahfuzh. Termasuk di antaranya adalah firmannya,
“Setiap hari Dia menangani urusan.” (QS. ar-Rahman [55]: 29)
Penggunaan kata agi4m dalam bentuk jamak (alih-alih menggunakan kata galam) mungkin menunjukkan keagungan Pena (al-Qalam), seperti yang dijelaskan dalam syarah asy-Syifa.
Namun, Ibnul Qayyim menyatakan bahwa jumlah Pena ada dua belas:
- Qalam al-Qudrah (Pena Kekuasaan) yang menulis kadar segala sesuatu sampai Kiamat. Sebagian ulama menyatakan bahwa itu adalah Pena yang dijadikan sebagai objek sumpah oleh Allah di dalam al-Quran (pada surat al-Qalam).
- Qalam al-Wahy (Pena Wahyu).
- Qalam at-Tauqi’ (Pena Penanda) dari Allah dan Rasulullah.
- Qalam Thibb al-Abdan (Pena Obat Badan).
- Qalam Tauqi’ al-Muluk wa Nuwabihim (Pena Penanda Para Raja dan Wakil) yang menulis siasat para raja.
- Qalam al-Arzaq (Pena Rezeki) yang menuliskan rezeki dan penetapan harta berikut kadarnya.
- Qalam Tanfizh al-Ahkdm (Pena Pelaksanaan Hukum) yang menulis pelaksanaan hukum, keputusan, dan hak.
- Qalam asy-Syahddat (Pena Kesaksian) berfungsi untuk menjaga hak-hak dan sebagainya.
- Qalam Wahy al-Mandm (Pena Wahyu Saat Tidur) yang menafsirkan mimpi.
- Qalam Tarikh al-’Ilm (Pena Sejarah Ilmu) yang menulis sejarah dan berbagai peristiwa.
- Qalam al-Lughat (Pena Bahasa) yang menulis beragam bahasa berikut perinciannya.
- Qalam al-Jami’ (Pena Penghimpun) yang berfungsi untuk membantah para pelaku kebatilan serta mengenyahkan penyerupaan terhadap Allah yang dilakukan oleh orang-orang kafir.
Namun, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa
Pena ada empat:
- Qalam al-Akwéan (Pena Semesta).
- Qalam al-Mald@ikah (Pena Para Malaikat).
- Qalam al-Magqéddir (Pena Takdir).
- Pena yang digunakan oleh umat manusia.
Pembagian ini adalah ringkasan dari yang sebelumnya dengan tambahan pena keempat, sebab itu bukanlah pena yang digunakan malaikat. Wallahu a’lam.
Dari situ, Rasulullah saw. dinaikkan lagi ke Hadirat Keagungan yang di situlah terjadi perjumpaan, munajat, dan penglihatan. Inilah maqam tersingkapnya tirai (kasyf al-ghitha’) dari Rasulullah saw. dan Allah mendekatkan Rasul kepada-Nya. Tentu saja yang dimaksud “dekat” di sini adalah kedekatan maknawi, yaitu berupa terkabulnya doa dan segala yang diminta.
Di situlah Allah hilangkan bagi beliau saw. segala tirai cahaya keagungan. Allah juga memperlihatkan hadirat ketuhanan kepada kedua mata kepala Nabi.
Kata hadirat menjelaskan bahwa ketika AUah memperlihatkan dzat-Nya kepada Rasulullah sehingga dapat terlihat mata, Allah memasukkan daya ke dalam mata Nabi sehingga beliau dapat melihat-Nya tanpa penggambaran dan tanpa ada keterhubungan dengan cahaya serta tanpa arah. Sebab, hal-hal seperti itu mustahil bagi Allah.
Rasulullah bahkan melihat Allah dengan yang paling kudus karena Allah melimpahkan rahasia hakikat ruh kepada beliau. Dengan demikian, Nabi dapat mencapai kasih-Nya yang sempurna.
Dalil yang menyatakan itu adalah firman Allah swt,
“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (QS. an-Najm [53]: 11)
Tentu saja yang dimaksud “melihat” dalam ayat ini adalah melihat menggunakan “kedua mata”, sebab Allah tidak menyatakan “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah hati itu lihat.”
Artinya, apa yang diyakini oleh hati Muhammad saw. tidak menyelisihi apa yang dia lihat dengan kedua matanya. Allah melesakkan penglihatan atas diri-Nya ke dalam hati Nabi atau Allah melesakkan hatinyanya ke dalam penglihatannya. Sebab menurut mazhab Ahlussunah Wal Jama’ah, penglihatan terjadi dongan kehendak Allah swt, bukan dengan kemampuan Nabi saw.
AUah hamparkan bagi beliau permadani idlal pada almajali adz-dzdatiyyah. Yang dimaksud dengan idlal di sini adalah tidak adanya rasa sungkan. Artinya, Allah menghilangkan rasa sungkan dan takut dari diri Rasulullah saw. serta mengizinkan beliau untuk berbicara dengan-Nya di Hadirat Keagungan itu.
Inilah yang dimaksud dalam riwayat dari Wahab bin Munabbih yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah berfirman, ‘Mintalah wahai Muhammad!’ Aku pun bertanya, ‘Apa yang harus aku minta wahai Rabb?’ Allah berfirman, ‘Mintalah sesukamu, niscaya Aku akan mengabulkannya.’
Akupun berkata, ‘Sesungguhnya Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih, engkau berbicara dengan Musa secara langsung, engkau memilih Nuh, dan engkau memberi Sulaiman kerajaan yang tidak akan dimiliki siapa pun setelahnya.”
Allah berfirman, “Bukankah Aku telah memberimu yang lebih baik dari semua itu. Aku beri engkau telaga al-Kautsar. Aku sandingkan namamu dengan nama-Ku_ sehingga diserukan di petala langit. Aku jadikan bumi suci bagimu dan umatmu. Aku ampuni semua dosamu yang telah lalu dan semua yang akan datang sehingga engkau berjalan di tengah manusia dalam keadaan senantiasa diampuni. Aku tidak pernah melakukan itu kepada siapa pun sebelummu. Aku jadikan hati umatmu sebagai lembaran mushafnya. Aku sembunyikan syafaatmu dan aku tidak menyembunyikannya bagi nabi lainnya.” .
Seorang ulama bersyair,
Engkau mendapatkan kedekatan dari Maulamu, wahai manusia termulia
Engkau menjadi penutup bagi setiap rasul
Engkau pemberi syafaat kami pada hari Kiamat Engkau menjadi imam bagi setiap nabi
Bagimu ucapan selamat dari Allah yang Pemurah
Ucapan penuh berkah, ridha, dan salam kedamaian
Allah mewajibkan beliau dan umat beliau 50 kali shalat dalam sehari semalam. Dengan kewajiban seperti ini, shalat Zuhur 10 kali dengan jumlah 40 rakaat, shalat Ashar juga seperti itu, dan seterusnya. Asy-Syibramalisi menyatakan bahwa semua 50 shalat itu dilakukan dua rakaat, sampai maghrib. Namun, ternyata kewajiban yang benar-benar diwajibkan adalah lima kali shalat.
Kemudian kebaikan Allah muncul sehingga shalat 50 waktu itu dikembalikan menjadi lima shalat wajib dalam sehari semalam. Ini terjadi setelah Rasulullah saw. bolak-baliknya berbicara dengan Allah meminta keringanan sampai sembilan kali, hingga akhirnya Allah menguranginya menjadi lima.
Seiring dengan itu, shalat yang tinggal lima waktu itu memiliki pahala lima puluh shalat dengan dilipatgandakannya pahala. Sebab, setiap satu kebaikan selalu diganjar dengan sepuluh kali lipat, sebagaimana yang Dia kehendaki dan tetapkan sejak zaman azali sebagai takdir yang pasti terjadi.
Hikmah pewajiban shalat lima puluh waktu yang secara azali ditetapkan lima itu adalah untuk menunjukkan keutamaan Rasulullah saw. di sisi para malaikat dengan diterimanya syafaat beliau untuk memohon keringanan dan tetapnya pahala pada apa yang disyafaati oleh beliau walaupun sesuatu itu sudah digugurkan.
Pewajiban shalat pada malam itu menjadi dalil yang menunjukkan keagungan shalat, karena ibadah yang satu ini diwajibkan secara langsung di al-hadhrah al-muqaddasah dan itu terjadi pada waktu munajat beliau kepada Allah; karena orang yang melaksanakan shalat bermunajat kepada Allah yang pasti akan dijawab oleh Allah dengan kata-kataNya “Hamba-Ku memuji-Ku. Hamba-Ku memuji atas-Ku. Hamba-Ku memuliakan-Ku”, asalkan si hamba hatinya tidak “menolak” Allah dengan memalingkannya dari-Nya kepada yang selain Dia.
Shalat mengandung semua jenis salam perhormatan bagi para raja yang biasa dilakukan oleh rakyat mereka. Salam hormat bangsa Arab adalah ucapan salam, salam hormat para Kisra adalah sujud, salam hormat bangsa Persia adalah meletakkan tangan di atas tanah, salam hormat bangsa Habasyah adalah meletakkan tangan di dada, salam hormat bangsa Romawi adalah menundukkan kepala, salam hormat kenabian adalah mengangkat jari diiringi doa, dan lain sebagainya.
Diwajibkannya shalat pada malam itu bertepatan dengan kejadian Nabi saw. melihat para malaikat melaksanakan ibadah dengan berbagai keadaan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang terus menerus berdiri, sebagian lain ada yang terus menerus rukuk, ada pula yang terus menerus bersujud, terus menerus bertasbih, terus bertakbir, dan sebagainya dengan berbagai macam doa atau zikir.
Semua itu membuat Nabi merasa ingin memiliki cara ibadah untuk diri beliau dan umat beliau yang serupa dengan yang dilakukan para malaikat itu. Allah pun mengajari beliau ibadah yang seperti itu serta memberi beliau sebagaimana apa yang beliau minta berikut tambahannya, seperti bacaan tertentu pada setiap rakaat. Sebab, keutamaan al-Quran hanya dikhususkan kepada manusia, bukan para malaikat.
Setelah itu, Nabi saw. kembali turun, sedangkan para maJaikat di hadapannya dan para rasul Ulul Azmi memberi salam kepada beliau. Nabi mengendarai Buraq dari kubah Shakhrah Baitul di Maqdis sampai ke Makkah bersama Jibril.
Ketika beliau sampai ke Dzu Thuwa beliau berkata, “Wahai Jibril, sesungguhnya kaumku tidak mempercayaiku.” Jibril menukas, “Abu Bakar mempercayaimu karena dia sangat mempercayaimu (ash-Shiddiq).” Nabi pun sampai ke Makkah pada malam itu juga dengan membawa berbagai anugerah Ilahi.
Setelah sampai di kediaman keluarganya, beliau pun turun dari Buraq lalu melanjutkan langkahnya ke rumahnya pada sisa malam itu. Ketika pagi datang, beliau pun menceritakan perjalanan Isra’ itu kepada penduduk Makkah. Sesuai perkataan Jibril, Abu Bakar ash-Shiddiq langsung membenarkan Isra’ beliau.
Abu Bakar bernama asli Abdullah. Ia adalah seorang sahabat sekaligus anak dari seorang sahabat. Dia dijuluki “ash-shiddiq” karena dia shadaqqa (membenarkan, mempercayai, dan meyakini)’! apa yang dikabarkan oleh Nabi menyangkut perjalanan Isra’ dan Mi’raj yang beliau alami.
Ada pula yang menyatakan bahwa Abu Bakar digelari “ash-shiddiq” karena begitu seringnya dia bersikap shidq (mempercayai) dan tashdiq (membenarkan) terhadap Nabi saw. sebelum orang lain bersikap seperti itu.
Kabar Isra’ dan Mi’raj itu juga dipercayai oleh setiap orang beriman yang mempunyai akal sehat. Namun, kaum Quraisy mendustakannya. Misalnya Walid bin Mughirah dan Muth’im bin Adi yang meminta beliau menjelaskan Baitul Maqdis. Saat itu, Allah langsung menampakkan Baitul Maqdis di hadapan Nabi sehingga beliau dapat menjelaskan semuanya.
Ketika kaum Quraisy tidak dapat menemukan cara lain untuk mendustakan dan tidak dapat menemukan bukti untuk menyalahkan Nabi, mereka pun hanya mengandalkan sikap kepala batu, kufur, dan sesat untuk kemudian mereka menuduh Nabi sebagai penyihir.
Setelah Nabi menyampaikan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, orang yang sempat masuk Islam tapi disesatkan dan digelincirkan dalam jurang kebodohan oleh setan menjadi murtad.
Di antara kaum Quraisy ada yang murtad, ada yang menjadi munafik, ada yang mendustakan Nabi dan mencela beliau, ada yang tetap dengan kondisinya semula, ada yang
timbul keraguan dalam hatinya tetapi dia merahasiakannya, dan ada yang membenarkan ucapan Nabi serta meyakininya. Seorang penyair menyatakan, Manusia seperti tanah karena mereka memang darinya Ada yang dari batu keras, ada yang dari tanah Iunak Ada yang keras dan membuat kaki terluka Ada pula batu (itsmid) bahan baku celak yang diletakkan di mata
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Pada musim haji, Nabi Muhammad saw. mengenalkan diri kepada kabilah-kabilah sebagai utusan Allah, Lalu berimanlah pada beliau enam orang dari kalangan Anshar yang Allah khususkan mereka dengan keridhaan-Nya. Pada tahun berikutnya, 12 laki-laki dari mereka melaksanakan haji dan berbaiat kepada Rasulullah dengan baiat yang sebenarnya.
Mereka pun pulang dan Islam mulai tumbuh di Madinah, sebuah tempat berlindung dan menetapnya Nabi kelak. Pada tahun ketiga, datanglah 73 atau 75 laki-laki dan dua orang wanita dari kabilah Aus dan Khazraj. Lalu mereka berbaiat kepada Nabi dan beliau mengangkat dua belas orang sebagai pemimpin. Lantas umat Islam Makkah berhijrah kepada mereka. Mereka meninggalkan kampung halaman karena menginginkan apa yang dijanjikan bagi orang yang meninggalkan kekafiran dan menjauhinya.
Ketika Allah berkehendak untuk menampilkan agamaNya, memuliakan nabi-Nya, serta memenuhi janji-Nya, Rasulullah keluar mengenalkan diri kepada kabilah-kabilah Arab bahwa beliau adalah utusan Allah. Rasulullah melakukan ini pada hari-hari musim haji, tepat di saat orang-orang banyak berkumpul untuk melaksanakan haji.
Usaha Nabi membuat enam orang dari kalangan Anshar beriman. Mereka disebut “anshar’” karena mereka menolong (nashara) Rasulullah dan kalangan Muhajirin. Keenam orang itu adalah Abu Umamah As’ad bin Zurarah, Auf bin Harits bin Rafa’ah bin Afra’, Rafi’ bin Malik bin ‘Ajlan, Quthbah bin Amir bin Hadidah, Uqbah bin Amir bin Nabi, dan Jabir bin Abdullah bin Rayab.
Rasulullah bersabda kepada mereka, “Kalian melindungi punggungku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Tuhanku.” Mereka pun berjanji untuk datang lagi di musim haji tahun berikutnya. Janji mereka tidak omong kosong. Tahun depan, ada 12 orang—ada yang menyatakan sebelas orang—melaksanakan haji.
Di antara mereka ada lima orang yang pernah berjanji kepada Nabi pada tahun sebelumnya. Mereka adalah: Abu Umamah, Auf bin Afra’, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin Amir bin Hadidah, dan Ugqbah bin Amir, sedangkan Jabir bin Abdullah bin Rayab tidak turut bersama mereka.
Sementara tujuh berikutnya adalah: Mu’adz bin Harits bin Rifa’ah, Dzakwan bin Abdul Qais az-Zardaqi, Ubadah bin Shamit bin Qais, Abu Abdirrahman Yazid bin Tsa’labah, dan Abbas bin Ubadah bin Nadhlah. Mereka berasal dari kabilah Khazraj. Di tambah dua orang dari kabilah Aus, yaitu Abu Haitsam bin Tihan dan Uwaim bin Sa’idah.
Mereka berbaiat kepada beliau dengan baiat yang sebenarnya,
“Kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun. Kami tidak akan mencuri, berzina, membunuh anakanak kami, melakukan kebohongan di antara kami, dan bermaksiat. Kami siap mendengar dan taat, baik dalam kesusahan maupun kemudahan, bahagia maupun sengsara. Kami tidak akan menentang urusan pada pemiliknya. Kami akan berkata benar di mana pun kami berada. Kami tidak takut celaan pencela demi patuh kepada Allah.”
Rasulullah saw. lalu bersabda setelah baiat itu, “Apabila kalian memenuhi itu, kalian berhak mendapatkan surga.
Siapa saja yang melanggarnya, urusannya_ diserahkan kepada Allah. Apabila Dia mau, Dia akan mengazabnya atau mengampuninya.”
Lantas kedua belas orang itu pun pulang ke Madinah dan Islam mulai tumbuh di sana, sampai-sampai setiap rumah di perkampungan kaum Anshar selalu menyebut nama Rasulullah saw.
Pada saat itu, As’ad bin Zararah mengumpulkan orangorang yang masuk Islam di Madinah. Lalu kabilah Aus dan Khazraj mengirim surat kepada Nabi saw. yang berbunyi, “Kirimkanlah orang yang dapat membacakan al-Quran untuk kami.” Rasulullah mengutus Mush’ab bin Umair dan di tangannya begitu banyak orang dari kalangan Anshar yang masuk Islam.
Di antara mereka adalah Sa’ad bin Mu’adz yang kematiannya mengguncang Arasy, Usaid bin Hudhair yang berkatnya semua warga Bani Abdul Asyhal masuk Islam dalam satu hari, baik lelaki maupun perempuan, kecuali al-Ushairim yang bernama asli Amr bin Tsabit bin Waqsy. Dia belum masuk Islam sampai meletusnya Perang Uhud. Saat itulah dia masuk Islam dan dia gugur sebagai syahid di Uhud sebelum sempat sekali pun bersujud kepada Allah. Namun, Rasulullah mengatakan bahwa dia termasuk penghuni surga.
Pada tahun ketiga kenabian, yaitu tahun setelah terjadinya baiat ‘Aqabah kedua, tepatnya pada bulan Dzulhijjah di pertengahan hari-hari tasyriqq, datanglah 73—sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Ishaq—atau 75 laki-laki—sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Hakim—dan dua orang wanita dari kabilah Aus dan Khazraj. Kedua kabilah itu adalah keturunan dari Haritsah bin Tsa’labah dari Yaman dan Qailah.
Mereka semua berbaiat kepada Nabi untuk melindungi beliau dari segala sesuatu, sebagaimana mereka para wanita dan anak-anak mereka. Mereka juga siap berperang dengan bangsa Arab dan non-Arab. Pada saat itu, orang pertama yang menjabat tangan beliau yang mulia adalah Barra’ bin Ma’rur.
Dalam baiat itu, beliau mengangkat dua belas orang sebagai pemimpin. Rasulullah saw. bersabda kepada para pemimpin itu, “Kalian adalah penanggung jawab atas kaum kalian seperti orang-orang Hawari dulu bertanggung jawab bagi Isa bin Maryam.” Mereka pun menyahut, “Ya.”
Setelah itu, para sahabat Rasulullah yang berada di Makkah hijrah ke Madinah, tempat para pemimpin itu, atas perintah Rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman mereka di Makkah karena menginginkan apa yang dijanjikan oleh Allah bagi orang yang meninggalkan kekafiran dan menjauhinya.
Orang pertama yang berhijrah dari Makkah ke Madinah adalah Abu Salamah bin Abdul Asad yang berhijrah satu tahun sebelum peristiwa baiat ‘Aqabah kedua. Dia sebenarnya baru datang dari Habasyah dan ketika mendengar bahwa ada orang-orang Anshar yang telah masuk Islam, dia pun bergegas berangkat mendatangi mereka.
Setelah Abu Salamah, yang berikutnya adalah Amir bin Rabi’ah dan istrinya yang bernama Laila. Berikutnya adalah Abdullah bin Jahsy bersama keluarganya dan saudaranya. Setelah itu ada serombongan kaum muslim yang berhijrah. Berikutnya adalah Umar bin Khaththab bersama saudaranya yang bernama Zaid dan Ayasy bin Abu Rabi’ah dan 20 orang yang berkendara dengan hewan mereka.
Setelah itu, berhijrah pula Utsman bin Affan sehingga yang tetap berada di Makkah bersama Rasulullah hanyalah Ali bin Abu Thalib dan Abu Bakar ash-Shidiq. Ketika Abu Bakar memohon izin untuk berhijrah, Rasulullah bersabda, “Jangan terburu-buru. Semoga Allah menetapkan teman untukmu.” Abu Bakar pun sangat berharap untuk berhijrah bersama Rasulullah.
Suku Quraisy takut beliau bergabung dengan sahabatsahabatnya. Mereka pun berencana untuk membunuh beliau, tapi Allah memelihara dan menyelamatkan beliau dari tipu daya mereka. Setelah Allah mengizinkan beliau berhijrah, orang-orang musyrik mengintai beliau agar mereka, menurut anggapan mereka, dapat membunuh beliau. Lalu beliau keluar dan menaburkan debu di atas kepala mereka. Beliau menuju ke Gua Tsur dan Abu Bakar ash-Shiddiqg beruntung sebab menemani Nabi. Mereka berdua tinggal di dalam gua selama tiga hart. Burung merpati dan laba-laba menjaga beliau. Kemudian keduanya keluar pada malam Senin dan beliau menaiki sebaikbaiknya kendaraan. Suragah mengejar beliau dan beliau berdoa memohon kepada Allah swt. Lantas, kaki binatang yang dinaiki Suraqah itu masuk ke dalam tanah yang keras dan kuat. Suraqah pun memohon jaminan keamanan kepada beliau dan beliau megabulkannya.
Suku Quraisy takut Rasulullah bergabung dengan sahabat-sahabat beliau yang telah berhijrah ke Madinah dan orang-orang mukmin Anshar. Mereka pun berunding untuk membunuh beliau. Mereka berkumpul di Darun Nadwah pada hari Sabtu yang merupakan hari perancangan makar dan tipu daya.
Darun Nadwah adalah tempat musyawarah kaum Quraisy. Mereka selalu memutuskan sebuah permasalahan di tempat itu. Sekarang, tempat tersebut menjadi tempat tinggal al-Hanafiyyah yang berjumlah seratus orang. Abu al-Buhturi bin Hisyam berkata, “Belenggulah dia dengan besi, lalu kunci dia di balik pintu kemudian siksa dia, sebagaimana kalian menyiksa para penyair sebelum dia!”
Abul Aswad Rabi’ah bin Amr dan al-Amiri berkata, “Kely. arkan dan usir saja dia dari negeri ini. Kita tidak perlu peduli ke mana dia pergi.”
Abu Jahal berkata, “Demi Allah, sungguh aku memilikj sebuah pendapat. Kalian pasti akan menyetujuinya. Menurutku, setiap kabilah menunjuk seorang pemuda tangguh dan diberi sebilah pedang yang tajam untuk menyerangnya. Setelah itu, mereka semua menikamnya secara bersamaan. Dengan begitu, kita akan dapat bebas dari hukuman, darahnya ditanggung oleh semua kabilah, dan Bani Abdu Manaf tidak akan mampu memerangi kita sendirian.”
Mereka pun bersepakat untuk membunuh Rasulullah saw. dengan cara Abu Jahal. Namun, Allah memelihara dan menyelamatkan beliau dari tipu daya mereka. Rasulullah tetap bertahan di Makkah menunggu izin dari Allah bagi beliau untuk berhijrah.
Saat Rasulullah diizinkan untuk berhijrah ke Madinah, Jibril memerintahkan beliau untuk menjadikan Abu Bakar sebagai pendamping. Jibril mendatangi Nabi lalu berkata kepada beliau, “Janganlah engkau tidur di atas kasur yang biasa engkau pakai untuk tidur.”
Pada saat itu, orang-orang musyrik mengintai beliau agar rencana mereka berjalan mulus. Rasulullah saw. lalu memerintahkan Ali ra. untuk tidur di tempat tidur beliau dan menggunakan selimut hijau beliau.
Setelah itu, Nabi keluar seraya merapalkan firman Allah dalam surat Yasin mulai dari ayat pertama yang berbunyi Yasin sampai ayat yang berbunyi Fa aghsyainadhum fahum la yubshiraiin (ayat 1 sampai 9). Allah mengambil penglihatan para pemuda suku Quraisy sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang dapat melihat beliau. Beliau beranjak keluar dengan menaburkan debu di atas kepala mereka.
Rasulullah lalu berjalan sesuai keinginan beliau sampai kemudian datanglah seseorang mendatangi para pemuda suku Quraisy. Orang itu berkata, ‘“Siapa yang kalian tunggu di sini?” Mereka menjawab, “Muhammad!” Orang itu berkata, “Allah telah mencelakai kalian. Demi Allah, Muhammad sudah keluar meninggalkan kalian. Dia menaburkan debu di kepala kalian semua dan kemudian pergi.”
Para pengepung itu pun meletakkan tangan di atas kepala mereka dan ternyata benar banyak debu di situ. Mereka pun bergegas melihat ke dalam rumah Rasulullah dan mereka lihat Ali (yang mereka kita Rasulullah) di atas kasur memakai selimut hijau milik Nabi sehingga mereka berkata, “Demi Allah itu Muhammad masih tidur dengan selimutnya!” Mereka pun terus menunggu sampai akhirnya pagi terang dan Ali bangkit dari kasur beliau.
Pada saat itu, para pengepung berkata, “Demi Allah orang yang berbicara dengan kita tadi memang benar.’” Mereka lalu bertanya kepada orang itu tentang Rasulullah, tetapi orang itu menjawab, “Aku tidak tahu tentang dia.”
Rasulullah menuju ke Gua Tsur yang terdapat di bawah Makkah. Itulah al-ghar (gua) yang disebutkan di dalam al-Quran. Sementara Tsaur sendiri adalah nama sebongkah batu berbentuk perahu terbalik yang di bagian bawahnya terdapat sebuah pintu kecil. Mulut gua itu terletak di atas gunung sejauh perjalan satu jam. Ada yang menyatakan bahwa jaraknya dari Makkah adalah tiga mil dengan ketinggian sekitar satu mil. Nama gunung tempat Gua Tsur berada adalah Athhal.
Rasulullah keluar dari kota Makkah pada hari Kamis dan Abu Bakar ash-Shiddiq beruntung berkat mendampingi Rasulullah saw. Menurut pendapat yang masyhur, mereka berdua tinggal di dalam Gua Tsur selama tiga hari. Selama bermalam di dalam gua, Abdullah bin Abu bakar yang pada saat itu masih remaja ikut menemani mereka.
Abdullah lalu meninggalkan mereka berdua menjelang fajar untuk menuju Makkah,sehingga di pagi hari dia sudah berada di tengah kaum Quraisy. Nanti, ketika malam tiba, Abdullah kembali mendatangi Rasulullah dan Abu Bakar untuk menyampaikan berita mengenai keadaan kaum Quraisy pada hari itu.
Sementara itu, ada pula Ami bin Fuhairah yang menggembala sekawanan domba untuk Rasulullah dan Abu bakar. Selepas waktu isya, dia mendatangi mereka berdua lalu bermalam di gua dengan membawa susu dari ternak gembalaannya. Dia melakukan itu selama tiga hari.
Selama bermalam di Gua Tsur, burung merpati serta labalaba menjaga beliau di tempat beliau berlindung dari kaum kafir. Burung-burung itu beterbangan di depan gua, sedangkan laba-laba membuat sarang tepat di mulut gua dengan cepat. Seperti itulah penjelasan Syekh Khalid. Allah juga menumbuhkan pohon Ummu Ghailan di pintu gua itu setelah Rasulullah masuk ke dalamnya.
Diriwayatkan bahwa ada dua ekor merpati yang bertelur di depan gua, sehingga ketika orang-orang musyrik sampai di situ mereka pun berkata bahwa kalau memang Rasulullah dan Abu Bakar masuk ke dalam, pasti telur itu akan pecah dan jaring laba-laba juga akan koyak.
Kemudian keduanya keluar dari Gua Tsur pada tengah malam Senin. Lalu beliau menaiki sebaik-baiknya kendaraan berupa unta yang ditemukan dalam perjalanan. Unta itu diberi nama jad’a’, walaupun hidung unta itu sama sekali tidak “terpotong” (jad’a’).
Pada saat itu, mereka berdua didampingi oleh Amir bin Fuhairah, budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar. Dia adalah keturunan kulit hitam dan termasuk budak yang pernah disiksa karena beriman kepada Allah. Selain itu, Rasulullah dan Abu Bakar juga menyewa Abdullah bin Uraiqith untuk menjadi pemandu jalan, meskipun dia masih menganut keyakinan kaum Quraisy.
Di tengah perjalanan itulah, Suraqah mengejar beliau. Suraqah bernama lengkap Suragah bin Malik bin Ju’syum. Rupanya, kaum Quraisy telah menawarkan hadiah sebesar seratus ekor unta bagi siapa pun yang sanggup menangkap Nabi dan Abu Bakar.
Pengejaran ini terjadi ketika Rasulullah sudah melewati kawasan Qudaid. Sebab, kafir Quraisy mendengar suara gaib yang mengatakan bahwa Rasulullah dan Abu Bakar tidur di kemah Umm Ma’bad. Setelah mendengar itu, mereka pun langsung memerintahkan Suraqah untuk mengejar beliau.
Rasulullah pun berdoa memohon kepada Allah swt., “Ya Allah, selamatkan kami darinya dengan cara apa pun sesuai kehendak-Mu.” Atau, “Ya Allah, lakukanlah apa pun sekehendak-Mu terhadap Suraqah.” Doa itu beliau panjatkan karena beliau melihat kejahatan Suraqah yang mungkin akan membahayakan.
Maka seketika itu juga kaki kuda cepat yang dikendarai Suraqah mendadak terperosok ke dalam tanah tak berpasir. Suraqah pun terjatuh dari kudanya dan segera menaikinya lagi. Ketika kudanya kembali mendekati Rasulullah saw., tibatiba kaki kudanya kembali melesak ke dalam tanah sehingga membuat Suraqah terjungkal.
Akhirnya, Suraqah memohon jaminan keamanan kepada beliau dan beliau pun mengabulkannya. Bahkan Rasulullah mendoakan keselamatan bagi Suraqah serta meminta Ibnu Fuhairah agar menulis surat jaminan keamanan baginya. Surat itupun ditulis di atas lembaran kulit.
Beberapa tahun kemudian, ketika Rasulullah saw. baru menyelesaikan Perang Hunain, beliau bertemu lagi dengan Suraqah di Ji’ranah yang ternyata masih membawa surat jaminan keamanan itu. Kala itu, Suraqah mengangkat tangannya ke arah beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ini suratmu.” Rasulullah pun menyahut, “Ini adalah hari pemenuhan janji.” Suraqah pun masuk Islam.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Di Qudaid, Rasulullah melewati tempat tinggal Ummu Ma’bad al-Khuza’iyyah. Beliau ingin membeli susu atau daging darinya, tapi dia tidak memiliki apa-apa. Lalu, beliau melihat kambing di rumah itu tidak digembalakan karena sakit. Beliau meminta izin kepadanya untuk memerah kambing itu. Wanita itu mengizinkan dan berkata, “Seandainya kambing memiliki susu, kami pasti memerahnya.” Kemudian beliau mengusap susu kambing itu lalu berdoa kepada Allah dan kambing itu langsung mengalirkan susu.
Beliau memerah dan memberi minum setiap orang dari kaum itu hingga mereka kenyang. Lalu beliau memerah, memenuhi bejana, dan meninggalkannya pada wanita itu sebagai tanda kebenaran yang jelas.
Ketika Rasulullah bersama Abu bakar, Amir, dan Abdullah bin Uraigith tiba di Qudaid, sebuah tempat sumber air atau lembah yang terletak di antara daerah Rabigh dan Khalish, mereka melewati tempat tinggal Ummu Ma’bad binti Khalid al-Khuza’iyyah.
Khuza’ah adalah nama kabilah asal Yaman yang merupakan keturunan Azad bin Ghauts. Mereka disebut khuza’ah karena ketika Azad keluar dari Makkah mereka berpencar di berbagai negeri dan Khuza’ah menjadi yang tertinggal di belakang sehingga ia menetap di situ.
Pada saat itu, Ummu Ma’bad diketahui kerap memberi minuman dan makanan bagi siapa saja yang melintas di dekat tempat tinggalnya. Rasulullah saw. pun ingin membeli susu atau daging darinya karena bekal yang beliau bawa bersama Abu Bakar dan lainnya sudah habis, sedangkan kala itu baru menjelang musim dingin.
Namun, Ummu Ma’bad tidak memiliki apa-apa lagi. Lalu Nabi melihat kambing di rumah itu yang tidak digembalakan karena sakit. Beliau pun meminta izin kepadanya untuk memerah kambing, “Apakah engkau mengizinkanku memerah susunya?” Wanita itu mengizinkan Nabi, “Seandainya kambing itu memiliki susu, kami pasti memerahnya.”
Kemudian Rasulullah mengusap susu kambing itu seraya berdoa kepada Allah. Kambing itu pun mengalirkan susu. Beliau meminta diambilkan bejana lalu beliau memerah dan memberi minum setiap orang dari kaum itu, termasuk Ummu Ma’bad sendiri, Rasulullah, dan lainnya, hingga mereka semua kenyang.
Lalu beliau memerah lagi susu kambing itu hingga memenuhi bejana dan meninggalkannya pada wanita itu sebagai tanda kebenaran yang jelas. Sebab, itu merupakan mukjizat yang tampak nyata. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa kala itu Rasulullah bersabda kepada Ummu Ma’bad, “Serahkanlah ini kepada Abu Ma’bad apabila ia mendatangimu.”
Tak lama kemudian, datanglah Abu Ma’bad, sang suami, dan dia melihat susu itu. Sontak hal itu membuatnya sangat terkejut. Dia bertanya, “Dari mana engkau dapatkan susu ini? Padahal, tidak ada kambing perah di rumah ini yang dapat mengeluarkan susu walau hanya setetes.” Wanita itu menjawab, “Tadi telah lewat di tempat kita ini seorang laki-laki penuh berkah.” Abu Ma’bad berkata kepadanya, “Ini adalah orang Quraisy.” Dia bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa seandainya dia melihatnya, dia akan beriman, mengikuti, dan mendekatinya. Rasulullah tiba di Madinah pada Senin, 12 Rabiul Awal dan bersinarlah segenap penjuru kota yang suci. Orang-orang Anshar menjemput beliau, sedangkan beliau singgah di Quba’ dan membangun masjidnya di atas ketakwaan.
Tak lama kemudian, suami Ummu Ma’bad yang bernama Abu Ma’bad Aktsam bin Abul Jun datang dan melihat susu itu. Sontak, hal itu membuatnya sangat terkejut. Dia bertanya, “Dari mana engkau dapatkan susu ini? Padahal tidak ada kambing perah di rumah ini yang dapat mengeluarkan susu walau hanya setetes.” Wanita itu menjawab, “Demi Allah, tadi telah lewat di tempat kita ini seorang laki-laki penuh berkah.”
Abu Ma’bad berkata kepadanya, “Coba engkau terangkan ciri-ciri orang itu, wahai Umm Ma’bad.”
Ummu Ma’bad pun berkata, “Aku melihat seorang lelaki yang sungguh elok. Wajahnya berseri-seri. Bagus perawakannya. Tidak gemuk. Tidak kecil kepalanya. Memiliki rupa yang tampan rupawan. Bola matanya hitam legam dan bulu matanya panjang. Suaranya agak serak. Matanya indah bagaikan bercelak. Alisnya panjang melengkung dengan kedua ujung yang bertemu. Rambutnya hitam legam. Lehernya jenjang. Jenggotnya lebat.
Bila diam, dia tampak tenang. Bila berbicara, dia tampak berwibawa. Kata-katanya laksana untaian mutiara indah. Tidak sedikit bicaranya, tidak pula berlebihan, dan manis tutur katanya. Tegas dan tidak pernah marah berlebihan ataupun menghina. Amat bagus dan elok dilihat dari jauh. Amat rupawan dipandang dari dekat.
Perawakannya sedang. Tidak enggan dipandang karena terlalu tinggi dan juga tidak dapat dianggap remeh karena terlalu pendek. Dia bagai pertengahan antara dua dahan. Dia yang paling tampan dan paling mulia dari ketiga temannya yang lain. Dia memiliki teman-teman yang mengelilinginya.
Bila dia berbicara, mereka mendengarkan ucapannya baik-baik. Bila dia memerintahkan sesuatu, mereka dengan segera menaati perintahnya. Dia selalu dilayani dan menjadi pemimpin mereka, tetapi tidak pernah mengumpat. Dia tak pernah bermuka masam dan tak bertele-tele ucapannya.”
Abu Ma’bad berkata kepada istrinya, “Demi Allah, ini adalah orang Quraisy.” Abu Ma’bad lalu bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa seandainya dia melihat lelaki itu, dia pasti akan beriman, mengikuti agamanya, dan mendekatinya untuk menjadi sahabatnya tanpa pernah berpisah lagi dengannya.
Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Madinah pada Senin siang, 12 Rabiul Awal dan bersinarlah segenap penjuru kota yang suci itu. Anas bin Malik menyatakan bahwa ketika Rasulullah datang di Madinah, segala sesuatu yang ada di kota itu tampak bersinar. Sementara pada hari ketika Rasulullah saw. wafat, segala sesuatu yang di kota itu tampak menjadi gelap.
Diriwayatkan pula dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, “Aku menyaksikan tibanya Nabi saw. ke Madinah dan aku tidak pernah melihat satu hari pun yang lebih indah dan lebih bercahaya dibandingkan hari itu.”
Diriwayatkan dari Barra’ bin Azib, “Aku tidak pernah melihat penduduk Madinah begitu bergembira seperti gembiranya mereka melihat Rasulullah saw. tiba”
Sampai-sampai pada saat kedatangan beliau itu, para wanita yang berada dalam kamar naik ke balkon rumah mereka lalu bersyair,
Purnama terbit di atas kami
Dari lembah wada’
Kita wajib mensyukuri
Seruan penyeru Allah
Wahai yang diutus kepada kami
Engkau datang dengan perintah yang ditaati
Lalu budak dari Bani Najjar keluar sembari menabuh dafuf (rebana) seraya bersyair,
Kami tetangga dari Bani Najjar Wahai Muhammad tetangga tercinta
Demi mendengar itu, Rasulullah saw. bertanya, “Apakah kalian mencintaiku?” Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasulullah!” Beliau pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian.”
Sementara itu, terlihat anak-anak dan para pelayan berhamburan di jalan-jalan seraya riuh berseru, “Muhammad sang utusan Allah telah datang!”
Orang-orang Anshar dari kabilah Aus dan Khazraj menjemput beliau, semua keluar menyambut dengan membawa senjata mereka ketika mereka mendengar seruan seorang Yahudi dengan suara lantang, “Wahai warga kabilah, ini yang kalian nanti telah tiba!”
Sebelum memasuki pusat kota Madinah, Rasulullah singgah di Quba’, sebuah daerah di pinggiran Madinah, tepatnya perkampungan Bani Amr bin Auf yang berjarak sekitar satu farsakh (sekitar 5 km) dari Masjid Nabawi. Di tempat itu, beliau bermalam selama empat hari: Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis. Beliau lalu keluar dari Quba’ pada pagi hari Jum’at dengan mengendarai hewan tunggangan dan menuju Madinah. Kala itu, beliau berboncengan dengan Abu Bakar.
Di tengah perjalanan, waktu shalat Jum’at tiba di saat Rasulullah berada di perkampungan Bani Salim bin Auf yang terletak di tengah jalan tepat di tengah lembah Ranuna’. Beliau pun melaksanakan shalat di sebuah masjid yang bernama Ghubaib bersama sekitar seratus lebih kaum muslim yang menamni beliau. Itulah shalat Jum’at pertama yang dilaksanakan oleh Rasulullah di Madinah.
Masjid yang Rasulullah saw. dirikan di Quba’ adalah masjid yang dibangun di atas landasan ketakwaan. Itulah masjid pertama yang beliau dirikan di dalam Islam dan menjadi masjid pertama digunakan beliau shalat bersama para sahabat secara berjamaah.
Sejak saat itu, Rasulullah terus menetap di Madinah sampai sepuluh tahun berikutnya.
Tahun Pertama
Pada tahun pertama hijriyah, Rasulullah mendirikan masjid Nabawi sekaligus tempat tinggal beliau. Pada tahun ini pula Allah mewajibkan jihad. Beliau pun mengirim Hamzah ra. bersama 30 orang Muhajirin untuk menyergap kafilah dagang Quraisy di bulan Ramadhan, mengirim Ubaidah bin Harits bersama 60 orang Muhajirin ke Bathn Rabi’, dan mengirim Sa’ad bin Abi Waqqash ke Kharar, sebuah mata air di dekat Juhfah, pada bulan Dzulqa’dah bersama 20 orang Muhajirin untuk menyergap kafilah dagang Quraisy.
Pada tahun ini juga meletus Perang Abwa’, sebuah desa di antara Makkah dan Madinah. Pada bulan Safar, meletus pula Perang Waddan, sebuah desa dekat wilayah luas dekat Madinah yang bernama Far’.
Pada tahun ini, azan pertama kalinya dikumandangkan untuk shalat. Di tahun ini pula Rasulullah saw. menikahi Aisyah. Di tahun ini shalat orang yang bermukim ditetapkan sebanyak empat rakaat yang sebelumnya dilaksanakan dua rakaat sampai sebulan setelah tibanya beliau di Madinah. Di tahun ini, Rasulullah saw. untuk pertama kalinya melaksanakan shalat Jum’at. Di tahun ini, Abdullah bin Salam masuk Islam dan As’ad bin Zararah wafat.
Pada tahun ini, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, tepatnya delapan bulan setelah kedatangan beliau di Madinah. Pada tahun ini Rasulullah saw. melaksanakan shalat jenazah atas Barra’ bin Ma’rur pada satu bulan setelah kematiannya dan atas raja Yaman yang beriman kepada Nabi tujuh ratus tahun sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Raja Yaman inilah orang pertama yang memakaikan kiswah ke bangunan Ka’bah dan dia wafat pada hari Rasul tiba di Madinah.
Tahun Kedua
Pada tahun kedua hijriyah, tepatnya pada paruh kedua bulan Sya’ban, kiblat shalat diubah dari arah Baitul Maqdis ke atas Ka’bah. Pada tahun ini, zakat harta diwajibkan,sebelum puasa Ramadhan, sebab puasa Ramadhan baru ditetapkan sebagai kewajiban pada akhir Sya’ban. Pada tahun ini, meletus Perang Badar Kubra. Tepatnya pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan dan pada tanggal 28 Ramadhan zakat fitrah diwajibkan.
Pada tahun kedua, Nabi untuk pertama kalinya melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Pada saat itu, beliau menyembelih dua ekor kambing yang sudah bertanduk: satu beliau sembelih atas nama beliau sendiri, sedangkan yang lain beliau sembelih atas nama umat beliau.
Pada tahun ini, Utsman bin Mazh’un dan putri Rasulullah yang bernama Ruqayyah wafat, Ali ra. menikah dengan Fathimah ra., terjadi Perang Buwath, sebuah gunung di antara gunung-gunung Juhainah berhasil ditaklukkan, dan pada tahun ini pula meletus Perang Dzul Usyairah, Bani Qainuqa’, Sawiq, dan perang lainnya.
Tahun Ketiga
Pada tahun ketiga hijriyah, khamar diharamkan, tepatnya pada bulan Syawal tahun ini. Namun, ada yang menyatakan bahwa khamar baru diharamkan pada tahun keempat. Pada tahun ini, Utsman menikahi Ummu Kultsum, Nabi menikah dengan Hafshah binti Umar ra. dan Zainab binti Khuzaimah al-Hilaliyyah, serta Hasan bin Ali ra. dilahirkan.
Pada tahun ketiga hijriyah inilah meletus Perang Uhud dan Humra’ al-Asad, sebuah tempat yang terletak sejauh tiga mil dari Madinah. Meletus pula pada tahun ini Perang Ghathafan dan beberapa perang lainnya.
Tahun Keempat
Pada tahun keempat hijriyah, terjadi Perang Bani Nadhir dan Perang Dzat Riga’. Pada tahun ini, shalat khauf dilaksanakan untuk pertama kalinya, Zainab al-Hilaliyyah wafat, Nabi saw. menikahi Ummu Salamah ra. dan Zainab binti Jahsy ra., Husein bin Ali ra. lahir, ayat tayammum diturunkan, Rasululjah menjatuhkan hukuman rajam terhadap dua orang Yahudi yang berzina, dan ketentuan shalat Qashar dalam bepergian ditetapkan.
Tahun Kelima
Pada tahun kelima hijriyah, meletus Perang Daumatu Jandal dan Perang Muraisi’. Pada tahun ini, turun ayat tentang hijab, Nabi menikahi Juwairiyah binti Harits ra. dan Raihanah binti Zaid ra., Rasulullah melakukan pacuan kuda, meletus Perang Khandagq atau Ahzab, dan juga meletus Perang Bani Quraizhah setelah Perang Khandagq, serta beberapa peperangan lainnya.
Tahun Keenam
Pada tahun keenam hijriyah, meletus Perang Hudaibiyah, sebuah tempat dekat Makkah pada awal bulan Dzulqa’dah. Pada saat itu, jumlah sahabat yang menemani Rasulullah mencapai 1400 orang. Mereka semua membaiat Rasulullah saw. dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Baiat Ridhwan. Baiat itu dilakukan di bawah sebatang pohon. Pada tahun ini, terjadi kekeringan sehingga Nabi melaksanakan shalat istisqa bersama kaum muslim dan hujan pun turun. Itu terjadi di bulan Ramadhan. Pada tahun ini, meletus Perang Bani Lihyan, meletus pula Perang Ghabah, dan perang sebagainya.
Tahun Ketujuh
Pada tahun ketujuh hijriyah, terjadi peristiwa Umratul Qadha pada awal Dzulqa’dah. Pada saat itu Nabi bersama 2000 sahabat. Beliau membawa 60 hewan sembelihan dari Madinah yang kemudian beliau sembelih. Setelah tiga hari berada di Makkah, mereka lalu pulang.
Pada tahun ini, meletus Perang Khaibar, Abu Hurairah dan Imran bin Hushain masuk Islam, Nabi menikahi Maimunah binti Harits ra., Shafiyah binti Huyay ra., dan Ummy Habibah binti Abu Sufyan ra., Rasulullah mengirim utusan kepada raja-raja dan membuat cap untuk menyegel surat-surat yang beliau kirimkan, keledai jinak diharamkan, Rasulullah menerima Mariyah al-Qibthiyyah dan keledai Duldul, serta pada tahun ini pula terjadi beberapa peristiwa lain.
Tahun Kedelapan
Pada tahun kedelapan hijriyah, terjadi Perang Penaklukan Makkah. Allah membuka kota Makkah di bulan Ramadhan akibat tindakan Quraisy membatalkan perjanjian. Nabi melaksanakan thawaf mengelilingi Baitullah pada hari Jum/’at tanggal 20 Ramadhan. Pada saat itu di Ka’bah masih terdapat 360 berhala.
Setiap kali beliau melewati sebuah patung, beliau tunjuk patung itu menggunakan tongkat beliau seraya bersabda, “Kebenaran datang dan kebatilan lenyap. Sesungguhnya kebatilan pasti lenyap.” Setelah mengatakan itu, tersungkurlah patung itu dengan bagian wajah terpuruk ke tanah.
Pada tahun ini, Khalid bin Walid datang bersama Utsman bin Thalhah dan Amr bin Ash untuk masuk Islam. Pada tahun ini meletus Perang Hunain dan Perang Thaif.
Pada tahun ini pula, Rasulullah mulai menggunakan mimbar untuk berkhotbah di atasnya. Mimbar Rasulullah itulah mimbar pertama yang dibuat dalam Islam. Sebelumnya, beliau selalu berkhotbah di dekat sebatang pokok kurma yang ada di dalam Masjid, sampai kemudian dibuat sebuah mimbar untuk beliau dengan tiga anak undakan.
Ketika beliau berkhotbah di atas mimbar itu, terdengarlah rintihan batang kurma itu seperti suara sapi betina sehingga beliau pun turun untuk menenangkan pokok pohon itu hingga ia pun tenang. Rasulullah lalu bersabda, “Jika aku tidak menenangkannya, pasti dia akan merintih sampai hari Kiamat.”
Pada tahun ini, putra Rasulullah yang bernama Ibrahim dilahirkan, Zainab ra. binti Rasulullah wafat, Saudah ra. menghibahkan hari jatah gilirannya kepada Aisyah ra., dan terjadi beberapa peristiwa lainnya.
Tahun Kesembilan
Pada tahun kesembilan hijriyah, meletus Perang Tabuk, Masjid Dhirar dihancurkan, utusan dari negeri-negeri jiran datang, dan Abu Bakar ash-Shiddiq berhaji bersama orangorang yang jumlah mereka mencapai 300 orang laki-laki dengan membawa 20 hewan sembelihan.
Pada tahun ini Rasulullah memerintahkan Ali ra. untuk membaca surat al-Bara’ah (at-Taubah) pada musim haji dengan pernyataan bahwa tidak boleh ada lagi orang musyrik yang berhaji setelah tahun itu, sebagaimana mereka juga terlarang melakukan tawaf di Baitullah tanpa busana.
Pada tahun ini, Raja Najasyi wafat,dan Rasulullah saw. melaksanakan shalat jenazah atasnya. Pada tahun ini pula, Ummu Kultsum binti Rasulullah wafat dan beberapa peristiwa lainnya
Tahun Kesepuluh
Pada tahun kesepuluh hijriyah, terjadi peristiwa Haji Wada’ (haji perpisahan) yang juga disebut dengan istilah Hajjatul Islam. Pada saat itu, Rasulullah saw. berangkat dari Madinah pada hari Kamis bulan Dzulga’dah bersama 40.000 orang sahabat. Namun, ada yang menyatakan bahwa jumlah mereka saat itu adalah 70.000, bahkan ada yang menyebut 100.000, dan sebagainya.
Wukuf haji yang beliau laksanakan itu jatuh pada hari Jum’at. Pada saat itulah turun firman Allah,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3)
Setelah hijrah, haji yang dilaksanakan oleh Rasulullah adalah Haji Wada’ ini. Walaupun beliau sebelum hijrah pernah beberapa kali melaksanakan haji, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya, tanpa diketahui bilangan pastinya. Sementara jika umrah, setelah berhijrah Rasulullah melaksanakan empat kali umrah: Umrah Hudaibiyah, Umratul Qadha, umrah dari Ji’ranah selepas Perang Hunain, dan umrah yang beliau laksanakan bersama pelaksanaan Haji Wada’.
Pada tahun kesepuluh ini, Jarir bin Abdullah al-Bajli masuk Islam, turun surat al-Fath di Mina pada Idul Adha dalam peristiwa Haji Wada’, walaupun ada yang menyatakan bahwa surat ini turun tiga hari menjelang wafatnya beliau.
Pada tahun kesepuluh ini juga, Ibrahim putra Nabi saw. wafat tidak lama setelah beliau pulang ke Madinah seusai melaksanakan haji. Rasulullah tetap berada di Madinah menghabiskan bulan Dzulhijjah tahun kesepuluh hijriyah.
Detik-Detik Meninggalkan Kita
Masuklah tahun kesebelas. Rasulullah melewati bulan Muharam dan Safar tahun itu seperti biasa. Lalu pada hari Rabu di akhir bulan Safar, Rasulullah saw. mulai mengalami demam dan sakit kepala. Pada saat itu, beliau menunjukkan isyarat sangat jelas atas penunjukkan Abu Bakar sebagai khalifah (pengganti) beliau. Beliau memuji Abu Bakar di atas mimbar sebagaimana yang dapat dipahami oleh sebagian sahabat.
Beliau bersabda di akhir khotbah bahwa ada seorang hamba yang Allah memberinya pilihan antara Dia memberinya gemerlap dunia atau sesuatu yang ada di sisi-Nya, dan ternyata si hamba itu memilih apa yang ada di sisi-Nya.
Maksud dari Rasulullah adalah diri beliau sendiri. Abu Bakar pun menangis seraya berkata, “Kami menebusmu wahai Rasulullah dengan ayah dan ibu kami.” Rasulullah pun menyahut ucapan Abu Bakar itu dengan sabda beliau,
“Sesungguhnya orang yang menjadi tanggunganku dalam persahabatan dan harta adalah Abu Bakar. Jika saja aku boleh mengambil kekasih di antara penghuni bumi, aku pasti akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Akan tetapi, cukuplah persaudaraan Islam.” Kemudian beliau melanjutkan, “Di masjid ini satu-satunya pintu yang tidak akan aku tutup adalah pintu Abu Bakar.”
Setelah itu, beliau menegaskan perintah khilafah kepada Abu Bakar. Dia diperintahkan untuk mengimami kaum muslim. Ketika perintah itu dikembalikan, Nabi bersabda, “Perintahkan dia untuk mengimami shalat.” Abu Bakar pun mengimami shalat sebanyak tujuh belas shalat. Sementara itu, Rasulullah diizinkan untuk menjalani sakit di rumah Aisyah ra. ketika mereka melihat bahwa beliau memang menginginkan itu.
Rasulullah memasuki rumah Aisyah pada hari Senin dan Allah mewafatkan beliau juga pada hari Senin ketika matahari gelincir. Namun, ada yang menyatakan bahwa beliau wafat di waktu dhuha, seperti waktu masuknya beliau ke Madinah saat tiba dari perjalanan hijrah. Rasulullah wafat dengan posisi kepala beliau yang mulia berada di antara mulut dan dada Aisyah. Itu terjadi pada Senin, 12 Rabiul Awal tahun 11 hijriyah.
Menurut riwayat yang sahih, Rasulullah (jenazah beliau) tetap berada di rumah Aisyah di sepanjang hari Senin sampai hari Selasa esoknya. Jenazah beliau baru dikebumikan pada malam Rabu. Tertundanya pemakaman beliau disebabkan semua sahabat sibuk untuk membaiat Abu Bakar sampai tuntas. Namun, ada yang menyatakan bahwa penyebab tertunda pemakaman beliau adalah karena para sahabat tidak semuanya sepakat bahwa beliau benar-benar telah wafat.
Lama sakitnya Rasulullah saw. adalah 13 hari. Namun, ada yang menyatakan 14 hari, 12 hari, dan berbagai pendapat Jainnya. Rasulullah wafat dalam usia 63 tahun. Yang memandikan jenazah beliau adalah Ali ra. dan Fadh] bin Abbas ra., sedangkan Usamah bin Zaid ra. membawa air. Selain itu, ada pula Syaqran (mantan budak Nabi) dan Abbas yang berdiri di tempat itu.
Sebuah syair menjelaskan hal ini,
Ada lima orang yang terpilih untuk menghadiri pemandian Yaitu Ali, Abbas, lalu Fadhl, sebagaimana yang dirawikan Usamah dan Syagqran. Inilah kelima orang tersebut Tidak pernah terlihat sekalipun debu di mata Nabi saw.
Jenazah Rasulullah dikafani dengan tiga kain putih tanpa gamis, tanpa celana, dan tanpa serban kepala. Para sahabat menshalatkan jenazah beliau sendiri-sendiri. Kemudian liang lahat untuk beliau tepat digali di tempat tidur beliau, lalu beliau diletakkan dengan kain merah di bawahnya dan kain itu digunakan untuk membungkus jenazahnya. Beliau memang memerintahkan sahabat untuk melakukan itu dan itu termasuk kekhususan Nabi saw. Setelah dikuburkan, diletakkan tujuh buah batu bata di atasnya.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang paling sempurna tubuh dan akhlaknya. Beliau memiliki tubuh dan sifat-sifat yang luhur. Ukuran tubuh beliau sedang, warna kulitnya putih kemerah-merahan, kedua matanya lebar lagi bercelak, kedua alisnya tipis dan panjang, giginya renggang, mulutnya lebar dan bagus, Dahinya lebar seperti hilal, pipinya tirus, hidungnya tampak sedikit tinggi dan mancung. Bahunya bidang, telapak tangannya lebar, tulang persendiannya besar, daging tumitnya tipis, jenggotnya tebal, kepalanya besar, rambutnya sampai ke daun telinga.
Rasulullah adalah manusia yang paling sempurna dan nabi yang paling rupawan bentuk tubuh dan akhlaknya. Beliau memiliki tubuh dan sifat-sifat yang luhur. Ukuran tubuh beliau sedang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnu Abu Khaitsumah. Beliau tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek, walaupun tubuh beliau terbilang tinggi.
Warna kulitnya putih kemerah-merahan. Inilah warna putih yang paling bagus. Namun, ini adalah warna kulit beliau di dunia, sebab di akhirat kelak, warna kulit beliau adalah putih kekuning-kuningan. Demikianlah Allah menghimpunkan bagi al-Mushthafa dua kemuliaan. Warna kulit beliau di dunia tidak seperti warna kulit beliau di akhirat agar tidak ada satu pun di antara dua kebaikan yang luput dari beliau.
Kedua matanya lebar dan bulu mata beliau terdapat warna hitam sehingga terlihat seperti bercelak walaupun sebenarnya beliau tidak bercelak. Kedua alisnya berbulu lebat. Bulu matanya panjang dan rapat.
Gigi serinya renggang. Mulutnya lebar dan bagus. Ini adalah isyarat yang menunjukkan kefasihan Rasulullah dan manisnya tutur kata beliau. Sebab, orang Arab selalu memuji mulut yang lebar dan menganggap jelek mulut yang kecil.
Keningnya lebar dan berdahi seperti hilal, disebabkan selalu tampak berkilau Jaksana rembulan. Pipinya tirus. Hidungnya tampak sedikit tinggi dan mancung. Bahunya bidang. Telapak tangannya lebar dalam artian sebenarnya dan arti majasnya, yaitu beliau gemar memberi. Jari-jemari beliau panjang. Tulang persendiannya besar. Daging tumitnya tipis.
Jari telunjuk kakinya lebih panjang daripada semua jari lainnya, sebagaimana dinyatakan oleh Maimunah binti Kardam, “Aku melihat Rasulullah saw. dan aku tidak lupa jari telunjuk kakinya lebih panjang dari semua jari lainnya.” (HR. Ahmad dan Thabrani). Jenggotnya tebal, sebab bulu jenggotnya banyak dan akarnya pun rapat. Kepalanya besar, karena itu menunjukkan ketenangan dan wibawanya. Rambutnya sampai ke kedua daun telinga. Terkadang rambut kepala Rasulullah melewati cuping telinga beliau.
Di antara bahunya terdapat Khatam Nubuwwah (segel kenabian) yang diliputi oleh cahaya. ‘Keringatnya bagaikan mutiara dan aromanya lebih harum daripada wangi kesturi. Beliau tenang dalam berjalan, seakan beliau sedang turun dari tempat yang tinggi. Jika beliau menjabat tangan orang dengan tangannya yang mulia, orang itu mendapati aroma semerbak darinya sepanjang hari. Jika beliau meletakkan tangannya di atas kepala anak-anak, anak yang disentuhnya akan ketahuan di antara anak-anak lainnya. Wajah beliau yang mulia berkilap seperti cemerlangnya bulan di malam purnama. Orang yang menyifatinya berkata,
“Aku tidak pernah melihat orang yang seperti dia. Tidak ada pula manusia yang terlihat sepertinya.”
Di antara bahu. Nabi terdapat Khatam Nubuwwah (segel kenabian) yang diliputi oleh cahaya. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah ketika Nabi dilahirkan beliau sudah memiliki Khatam Nubuwwah ataukah tidak. Ada yang mengatakan bahwa Khatam Nubuwwah berupa daging hitam (tompel) kekuning-kuningan yang ditumbuhi bulu di sekelilingnya seperti surai pada kuda.
Imam Zargani menyatakan bahwa pada bagian tengah Khatam Nubuwwah itu tertulis kalimat “Allahu wahdah la syarika-lah. Muhammad ‘abduhu wa rasuluh” (Allah Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya), dan di bagian tepinya sebelah kanan tertulis aksara Arab yang berbunyi, “Tawajjah haitshy syi ta,” (Menghadaplah kemana pun sekehendakmu), dan di sebelah kiri tertulis kalimat, “Fainnaka manshar” (Karena sesungguhnya engkau ditolong).
Ilustrasi Khatam Nubuwwah
Khatam Nubuwwah ini memiliki banyak keistimewaan sebagaimana yang dinukil dari Imam Tirmidzi, “Siapa pun yang berwudhu lalu melihat itu di waktu Subuh, niscaya Allah menjaganya sampai petang. Siapa pun yang melihatnya di waktu Maghrib, niscaya Allah menjaganya sampai waktu pagi. Siapa pun yang melihatnya di awal bulan, niscaya Allah menjaganya dari bala dan petaka sampai akhir bulan.
Siapa pun yang melihatnya di waktu perjalanan, niscaya perjalanan itu akan menjadi berkah baginya. Siapa pun yang mati dengan kebiasaan itu, niscaya Allah akan menanamkan iman baginya satu kali lalu Allah menjaganya dari semua yang dia benci sampai dia menemui Allah.”
Keringat Nabi bagaikan mutiara karena saking jernih dan putihnya. Aromanya lebih harum daripada wangi kesturi.
Diriwayatkan dari Anas, “Suatu ketika Rasulullah masuk menemui kami lalu beliau tidur di dekat kami dan keringat beliau pun mengalir. Kemudian masuklah ibuku membawa botol lalu dia memasukkan keringat beliau ke dalamnya. Rasulullah lalu terbangun dan bersabda, “Wahai Ummu Sulaim, apa yang sedang engkau lakukan?” Dia menjawab, “Ini keringatmu, kami jadikan sebagai wewangian kami, sebab ia adalah wewangian yang paling harum.” (HR. Muslim)
Beliau tenang dalam berjalan, seakan beliau sedang turun dari tempat yang tinggi. Sebagaimana diriwayatkan dari ad-Dalaji. Jika beliau menjabat tangan orang dengan tangannya yang mulia, orang tersebut terus mendapati aroma semerbak darinya sepanjang hari. Rasulullah s.a.w bersabda,
“Siapa pun yang ingin menghirup aromaku, hendaklah dia menghirup mawar merah.”
Jika beliau meletakkan tangannya yang mulia di atas kepala anak-anak, anak itu akan berbeda di antara anak-anak lainnya yang tidak disentuh oleh Nabi, sebab aroma tangan beliau di kepala si anak. Diriwayatkan dari Anas bahwa apabila Rasulullah lewat di suatu jalan di kota Madinah, para sahabat mendapati aroma harum beliau sehingga mereka berkata, “‘Rasulullah telah lewat di jalan ini.”
Wajah beliau yang mulia berkilau seperti cemerlangnya bulan di malam purnama. Penyerupaan wajah Rasulullah saw. memang selalu menyebut “bulan purnama”, seperti yang dimuat dalam hadis Hindun bin Abu Halah, sebab itulah waktu sempurnanya penampakan bulan. Bulan di malam keempat belas disebut “badr” karena pada malam itu seakan-akan matahari bergegas tenggelam lalu bulan bergegas terbit untuk kemudian pergi agar matahari terbit lagi esok paginya.
Orang yang menyifati Rasulullah pasti menyadari bahwa dia tidak pernah melihat ada manusia sebelum adanya Rasulullah yang terlihat seperti beliau. Ungkapan itu muncul karena kesempurnaan semua hal yang meliputi diri beliau serta kemuliaan dan keutamaan beliau.
Seorang ulama bersyair,
Kenyataan lebih indah daripada ucapan
Para ahli balaghah yang melembutkan ataupun membanggakan
Begitu indah apa yang dikatakan para pemujinya Al-Quran juga telah bicara tentangnya
Penyair lain menyatakan, .
Sebanyak apa pun pujian takkan mampu meliputi sifatnya
Pernakah Tsuraya berada di tangan orang yang mencarinya?!
Walaupun ada begitu banyak penjelasan disampaikan tentang Rasulullah saw., tapi tetap saja semua penjelasan itu tidak akan mampu mencakup seluruh sifat beliau secara lengkap. Itulah sebabnya penyair tersebut membandingkan hal itu dengan bintang Tsurayya. Apakah bisa tangan manusia memegangnya? Seperti itulah pula halnya penjelasan tentang sifat-sifat beliau saw.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Nabi Muhammad saw. adalah seorang yang sangat Pemalu dan rendah hati. Beliau menjahit sendiri terompahnya, menambal pakaiannya, dan memerah dombanya. Beliau melayani keluarganya dengan perilaku yang baik. Beliau mencintai orang-orang fakir miskin dan duduk bersama mereka. Beliau menjenguk orang-orang sakit di antara mereka dan mengiringi jenazah mereka, tidak menghina orang fakir dan tidak membiarkannya tetap dalam kefakiran. Beliau menerima alasan, dan tidak menghadapi seseorang dengan sesuatu yang dia benci. Beliau berjalan dengan janda-janda dan hamba sahaya. Beliau tidak takut kepada raja-raja. Beliau marah dan ridha hanya karena Allah swt. Beliau berjalan di belakang para ) sahabatnya dan bersabda, “Kosongkanlah belakangku untuk para malaikat Ruhaniyah!”
Rasulullah adalah sosok yang sangat pemalu, sampai-sampai dikatakan bahwa beliau lebih pemalu daripada perawan dalam pingitan. Beliau juga sangat rendah hati dengan segala ketinggian kedudukan yang beliau miliki.
Rasulullah menjahit sendiri terompahnya. Terompah yang beliau kenakan adalah terompah sibutiyyah, terompah dari kulit yang sudah disamak. Pada bagian alasnya, terompah itu terdiri dari beberapa lapis kulit yang dijahit. Terompah itu terdapat dua tali depan: yang satu menyelip di antara jari tengah dan yang satu lagi menyelip di antara jari manis. Terompah beliau mengecil di bagian tengahnya dan sangat elastis.
As-Samlawi menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai ciri-ciri dan bentuk terompah Nabi. Bahkan ada tujuh riwayat. Namun, di sini hanya akan disampaikan satu riwayat. Sebagian ulama menyatakan bahwa ciri-ciri terompah Nabi memiliki berbagai keistimewaan dan manfaat.
Berikut ini adalah syair yang menjelaskan sifat terompah Rasulullah,
Segala puji bagi Allah yang telah meninggikan
Sebuah terompah lantaran dipakai manusia terbaik
Serta mengkhususkannya dengan ciri-ciri termulia
Karena ia menyentuh kaki nabi terakhir
Ketahuilah bahwa bagi permisalan yang jelas
Banyak manfaat yang terlalu besar untuk dijelaskan
Di antaranya: siapa yang selalu membawa terompahnya
Akan mendapatkan ridha dari segenap semesta
Dia juga akan dapat menyaksikan Nabi dalam mimpi
Atau menziarahi makam beliau untuk mendapatkan anugerah
Setiap yang memegangnya
Akan senantiasa aman Penjahat atau musuhnya
Akan dikalahkan oleh musuh yang melawan
Dia juga akan terjaga dari kejahatan penjahat
Dari kalangan setan serta tipu daya pendengki
Seluruh temannya
Pasti selalu melihat cahaya perlindungan miliknya
Jika ia berada di suatu tempat atau rumah
Dia aman dari perampokan dan api kebakaran
Siapa pun yang membawa terompahnya di dalam serban kepala
Niscaya akan mendapatkan apa yang dia citakan
Ia akan mendapatkan keamanan
Tak akan kalah dalam pasukan yang berperang
Siapa pun yang bertawasul secara terang-terangan
Dengan nama Rasul dalam doa
Pasti dikabulkan harapan miliknya
Bentuknya yang tinggi penolong kebaikan
Tuhan kita bershalawat dan memberi salam kepadanya
Selama lembah-lembah masih menghangatkan
Ilustrasi terompah
Al-Hafizh al-Iraqi menggubah suatu syair tentang terompah Rasulullah yang mulia sebagai berikut,
Terompahnya yang mulia dan juga terjaga
Beruntung siapa yang menyentuhkannya ke dahi
Terompah ini memiliki dua sisi
Terdiri dari dua lapis yang dijahit kulit
Panjangnya satu jengkal dan lebih dua jari
Lebarnya pada bagian sisi kedua mata kaki
Adalah tujuh jari, sedangkan tengah telapak kaki Lima jari.
Sementara bagian atasnya memiliki ikatan
Kepalanya berbatas, dan lebarnya yang ada di
Antara dua kait depannya yang diikat sepanjang satu jari
Inilah penggambaran terompah tersebut
Perannya lebih mulia dari sekedar terompah biasa
Di antara syair terbaik yang menjelaskan tentang terompah Rasulullah saw. adalah syair berikut ini,
Aku minyaki putih ubanku
Ketika Nabi mengikatkan tali pengikat beliau
Bukan cinta pada perumpamaan yang dinanti hatiku
Tetapi cinta pada dia yang mengenakan terompah itu
Ulama lain menyatakan,
Wahai yang melihat gambar terompah nabi-Nya
Ciumlah gambar terompah itu dan jangan sombong
Teruslah menenggelamkan dirimu pada
Telapak kaki Nabi di setiap pagi dan petang
Tidakkah kau lihat pecinta selalu mencium
Bayangan, walaupun tidak ada kabar tentangnya
Rasulullah menambal pakaian beliau sendiri, dan memerah domba beliau. Beliau juga mengikat unta, memberi makan hewan tunggangan beliau, makan bersama pelayan, mengaduk adonan bersama pelayan, melayani diri sendiri, dan bahkan membawa sendiri barang-barang dari pasar. Beliau melayani keluarga serta istri-istri beliau dengan perilaku yang baik. Beliau biasa menyapu rumah dan mencuci baju sendiri. Beliau mencintai orang-orang fakir miskin dan bahkan bersantap bersama mereka. Beliau bersabda,
“Rendah hatilah kalian dan duduk-duduklah bersama orang-orang miskin, niscaya kalian akan menjadi orang-orang besar di sisi Allah dan kalian akan terbebas dari kesombongan.” (HR. Suyuthi)
Nabi Muhammad saw. menjenguk orang-orang muslim yang sakit, baik mereka baik maupun tidak. Beliau mengisingi jenazah mereka dan tidak menghina orang fakir. Seiring dengan itu, Rasulullah tidak membiarkan orang-orang fakir jtu tetap dalam kefakiran mereka.
Rasulullah selalu bersedia menerima alasan. Termasuk ketika orang yang menyampaikan alasan itu sebenarnya tidak mengatakan yang sebenarnya. Ketika itu terjadi, beliau hanya menyerahkan urusan hati orang itu kepada Allah.
Beliau juga tidak pernah menghadapi seseorang dengan sesuatu yang tidak disukai. Beliau biasa berjalan dengan janda-janda miskin dan hamba sahaya untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka. Beliau tidak pernah takut kepada raja-raja, dan beliau marah serta ridha hanya karena Allah swt. Ketika beliau marah karena Allah, tidak satu pun orang yang mampu meredamnya. Beliau selalu menegakkan kebenaran, walaupun hal itu akan menimpakan kemudaratan terhadap diri beliau sendiri atau para sahabat.
Beliau berjalan di belakang para sahabat sebagai bentuk kerendahan hati di hadapan Allah dan untuk mengajari para sahabat. Hal itu beliau lakukan ketika tidak sedang bepergian. Sementara jika di tengah safar, beliau lakukan itu untuk menjaga orang-orang lemah dalam rombongan agar tidak tertinggal. Beliau memang tidak pernah membiarkan siapa pun berjalan di belakang beliau. Beliau bersabda,
“Kosongkanlah belakangku untuk para malaikat!” CHR. Ibnu Majah)
Nabi Muhammad mengendarai unta, kuda, bagal (peranakan kuda dan keledai), dan keledai yang dihadiahkan oleh beberapa raja. Beliau mengikatkan batu di perutnya karena lapar, padahal beliau telah diberi kunci perbendaharaan bumi. Gunung-gunung merayunya untuk menjadi emas baginya, tapi beliau menolaknya. Beliau mengurangi omong kosong dan memulai salam kepada orang yang bertemu dengannya. Beliau memanjangkan shalat’ dan memendekkan khotbah Jum’at. Beliau bersimpati kepada orang-orang mulia dan menghormati orangorang utama. Beliau bergurau tetapi hanya mengatakan yang benar dam disukai oleh Allah swt. Aku cukupkan perkataan-perkataan baik yang berisi penjelasan-penjelasan. Inilah akhir penjelasan Nabi Muhammad yang jelas.
Rasulullah biasa mengendarai unta,.kuda, bagal, dan keledai yang dihadiahkan oleh beberapa raja kepadanya. Beliau memiliki tiga ekor unta yang bernama Qashwa’, Jad’a’, dan Adhba’. Beliau memiliki sepuluh ekor kuda yang bernama as-Sakab yang berwarna hitam pekat tapi bermuka putih, Sajah, Murtajiz yang berwarna blonde, Lizar, Lakhif, ‘Dharb, Wurd, Sharm, Mulawih, dan Bahr.
Beliau memiliki enam ekor bagal yang bernama Duldul, Fidhdhah, Ailah, bagal hadiah dari Kisra, bagal dari Daumatul Jandal, dan bagal dari Ashhamah Raja Habasyah. Sementara keledai yang beliau miliki merupakan hadiah dari Muqauqdis. Beliau memiliki tiga ekor keledai, yaitu Afir hadiah dari Muqauqis, Ya’fur hadiah dari Farwah, dan keledai ketiga hadiah dari Sa’ad bin Ubadah.
Ketika berkendara, terkadang beliau menunggang hewan tunggangan beliau sendiri dan terkadang dengan berboncengan. Hal itu beliau lakukan disebabkan begitu rendah hatinya beliau. Padahal beliau bisa memilih untuk mengendarai kuda, bagal, atau bahkan unta. Bahkan terkadang beliau berjalan kaki tanpa mengenakan alas kaki.
Beliau biasa mengikatkan batu di perutnya karena lapar. Beliau melakukan itu scbagai bentuk sikap zuhud dan bukan sengaja membuat tubuhnya menjadi lemah. Beliau mengikatkan batu seperti itu untuk meredam rasa lapar, sebab lambung yang tidak terisi makanan pasti panasnya akan menyerap cairan tubuh sehingga membuat orang yang mengalaminya menjadi merasa lapar dan batu dapat meredam hal itu.
Beliau tetap melakukan seperti itu, padahal beliau telah diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi. Beliau menyatakan itu dalam sabdanya, “Aku telah diberi kunci-kunci dunia di atas kuda belang yang di atasnya ada sutra.” Dalam riwayat lain dinyatakan,
“Aku telah diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi dan itu diletakkan di hadapanku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Gunung-gunung merayunya untuk menjadi emas baginya, tapi beliau menolaknya. Telah diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa suatu ketika Jibril turun kepada beliau lalu berkata, “Sesungguhnya Allah menyampaikan salam kepadamu dan Dia berfirman, ‘Apakah engkau mau jika gunung-gunung ini (semua gunung mulai dari Abu Qubais sampai semua gunung lain di sekitar Makkah) Aku jadikan emas dan di mana pun engkau berada gunung-gunung di sekitarmu akan menjadi emas?’”
Rasulullah diam sesaat lalu bersabda, ‘Wahai Jibril, sesungguhnya dunia adalah rumah bagi orang yang tidak memiliki rumah (di akhirat), harta bagi orang yang tidak memiliki harta (di akhirat). Yang mengumpulkan dunia hanyalah orang yang tidak memiliki akal.” Jibril lalu berkata kepada beliau, “Semoga Allah menetapkanmu wahai Muhammad dalam ucapan (syahadat) yang tetap.” Demikian disampaikan dalam asy-Syifa’.
Berkenaan dengan penjelasan hadis tersebut, at-Tamalsani menyatakan bahwa ada sebuah masalah di sini, yaitu bahwa ketika seseorang berkata, “Semua hartaku menjadi milik orang yang paling berakal!”, para ahli fikih memfatwakan bahwa harta orang itu harus diserahkan kepada orang-orang zuhud, bukan kepada orang-orang yang paling cerdas. Alasannya adalah karena orang-orang yang paling cerdas adalah mereka yang sudah menjatuhkan talak terhadap dunia.
Berkenaan dengan hal ini seorang ulama bersyair,
Jatuhkan talak tiga pada dunia
Carilah istri selain dia
Dunia adalah istri yang buruk
Ia tak peduli siapa yang mendatanginya
Engkau beri dia keinginannya
Dia beri engkau punggungnya
Jika ia mendapatkan impiannya darimu, ia akan berpaling membelakangi Rasulullah selalu mengurangi omong kosong. Beliau tidak pernah berbicara yang tidak perlu. Beliau hanya berbicara urusan penting mengenai keagamaan, keduniawian, masalah ilmiah, atau masalah amaliah. Beliau selalu menolak orang yang berbicara tidak baik, dan beliau sering diam untuk bertafakur ketika menyaksikan Alam Malakut serta mengingat Alam Jabarut.
Rasulullah selalu memulai salam kepada orang yang bertemu dengannya. Sebab, tindakan seperti itu lebih sempurna dan akan mendatangkan pahala. Hal ini mencerminakn sifat tawaduk dan mewajibkan orang lain untuk menjawabnya. Beliau juga selalu menyodorkan tangan lebih dulu untuk menjabat para sahabat.
Menurut at-Talamasani, jabat tangan beliau dilakukan dengan mempertemukan bagian dalam telapak tangan dengan bagian dalam telapak tangan orang yang ditemui. Jabatan itu ditahan selama mengucap salam atau selama pertanyaan disampaikan. Sementara tindakan menarik tangan ketika bertemu hukumnya adalah makruh, seperti yang disampaikan dalam syarah asy-Syifa’.
Nabi Muhammad saw. memanjangkan shalat yang memang sebaiknya dilakukan dalam waktu panjang, seperti shalat Jum’at, Zuhur, dan Subuh. Namun, tentu saja hal ini beliau lakukan pada kondisi dan waktu tertentu pula.
Beliau juga selalu memendekkan khotbah Jum/’at. Tujuannya agar para pendengar tidak bosan dan juga karena khotbah sebenarnya adalah sebagai mukadimah shalat, bukan menjadi tujuan utama. Ini berbeda dengan shalat yang dilakukan memang karena ia merupakan tujuan utama.
Kata jum’ah (dialek Agqil) boleh dilafalkan jumu’ah menurut dialek Hijaz dan juma’ah menurut dialek Bani Tamim.
Rasulullah senantiasa bersimpati kepada orang-orang mulia, dan menghormati orang-orang utama. Sebagaimana halnya beliau selalu menjalin hubungan silaturahim tanpa pernah bersikap pandang bulu.
Beliau biasa bergurau dengan bermain kata-kata atau gerak tubuh tanpa menyakiti orang lain kepada para sahabat, baik lelaki maupun perempuan, orang dewasa, maupun anakanak. Akan tetapi, beliau hanya mengatakan kebenaran yang disukai oleh Allah swt. dan diridhai-Nya. Hal itu memang beliau lakukan baik ketika sedang bergurau maupun ketika sedang marah.
Ya Allah, harumkanlah kuburan manusia yang mulia ini dengan wewangian berupa shalawat dan salam.
Ya Allah, wahai Dzat yang kedua tangan-Nya terbuka dengan pemberian. Wahai Dzat yang apabila diangkat telapak-telapak tangan hamba kepada-Nya, Dia akan mencukupinya. Wahai Dzat yang Mahasuci dalam dzat dan sifat-Nya Yang Maha Esa dari adanya sesuatu yang menyamai dan menyerupai-Nya. Wahai Dzat yang bersendiri dengan kekekalan, kedahuluan, dan keazalian. Wahai_ satu-satunya Dzat yang diharapkan dan dimintai pertolongan. Wahai Dzat yang manusia bersandar kepada kekuasaan-Nya yang berkelanjutan dan Dzat yang memberikan petunjuk dengan anugerah-Nya kepada orang yang memohon bimbingan-Nya serta memohon petunjuk-Nya.
Kami memohon kepada-Mu dengan cahaya kudus-Mu yang menghilangkan segala gelapnya keraguan. Kami bertawasul kepada-Mu dengan kemuliaan diri Nabi Muhammad, sosok nabi terakhir dalam lahir dan nabi paling awal dalam hakikat, juga dengan keluarganya bagaikan bintang-bintang keamanan bagi manusia dan perahu keselamatan, serta para sahabatnya para pemilik petunjuk dan keutamaan yang mengorbankan jiwa mereka karena mencari anugerah dari Allah, juga dengan para pembawa syariat beliau pemiliki manaqib (perbuatan-perbuatan luar biasa) dan kekhususan yang merasa gembira dengan nikmat dan anugerah dari Allah.
Kami memohon kepada-Mu untuk memberi taufik kepada kami dalam perkataan dan perbuatan agar dapat ikhlas. Kami mohon kalbulkan permintaan dan cita-cita setiap orang yang hadir. Kami mohon selamatkan kami dari tawanan syahwat dan segala penyakit hati. Wujudkan harapan-harapan yang kami sangkakan pada-Mu. Jagalah kami dari segala kegelapan hati dan bala. Janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang yang diseret oleh hawa nafsu.
Dekatkan buah yang mudah diambil dan sudah matang kepada kami lantaran keyakinan yang baik.
Hapuskan setiap dosa yang kami perbuat. Tutup cacat, kelemahan, dan kebingungan kami. Mudahkan amal shalih yang bagian-bagian puncaknya sulit bagi kami.
Limpahkan kepada kami perbendaharaan karuniaMu yang mulia, dengan rahmat dan ampunan, dan kami mohon kekalkan ketidakbutuhan kami kepada siapa pun selain Engkau.
Ya Allah, wahai Dzat yang kedua tangan-Nya dipenuhi kekuasan, perbuatan tak terbatas, dan pemberian-Nya berupa anugerah rezeki bagi semua makhluk non-fisik dan makhluk fisik, tanpa ada siapa pun yang dapat menghalangi itu.
Wahai Dzat yang apabila diangkat telapak-telapak tangan hamba kepada-Nya, Dia mengabulkan mereka semua atas kebutuhannya itu. Wahai Dzat yang Mahasuci dalam dzat dan sifat-Nya yang Maha Esa dari adanya sesuatu yang menyamai dan menyerupai-Nya, baik dalam dzat maupun dalam sifat, walaupun keserupaan itu hanya pada satu sifat saja. Dengan demikian, tidak ada sesuatu apa pun yang menyamai-Nya.
Wahai Dzat yang Mahakekal, tanpa memiliki akhir wujud, Mahakadim, tanpa memiliki awal wujud, dan Mahaabadi karena tidak mungkin musnah. Wujud-Nya ada sebelum semua makhluk ada, dan tetap ada sesudah semua makhluk ada.
Wahai satu-satunya Dzat yang diharapkan dan dimintai pertolongan untuk memenuhi segala kebutuhan, baik kebutuhan duniawi maupun kebutuhan ukhrawi.
Wahai Dzat yang manusia bersandar kepada kekuasaan-Nya yang berkelanjutan dan Dia memberikan petunjuk ke jalan yang lurus dengan anugerah-Nya kepada orang yang memohon bimbingan-Nya untuk dapat istikamah di atas jalan yang lurus dan memohon petunjuk-Nya berupa hidayah dalam urusan agama serta dalam urusan dunia.
Kami memohon kepada-Mu dengan cahaya kudus-Mu yang bersih dari segala kekurangan, menghilangkan segala gelapnya keraguan. Kami juga memohon kepada-Mu dengan bertawasul kepada kemuliaan diri Nabi Muhammad, sosok nabi terakhir dalam lahir dan nabi paling awal dalam hakikat.
Nabi Muhammad saw. adalah hakikat yang Allah ciptakan dan Dia beri nama Nur. Yang dimaksud “Nur” di sini bukanlah “cahaya” yang merupakan lawan dari “gelap”, melainkan suatu hakikat yang esensinya hanya diketahui Allah. Ada yang menyatakan bahwa Nur itu berbentuk sesuai citra Rasulullah saw. dalam wujud eksternal.
Namun, sikap yang lebih selamat dalam hal ini adalah dengan tidak berkomentar apa-apa (wagqf). Telah diriwayatkan bahwa ketika Adam as. bertemu dengan Rasulullah pada malam Isra’, dia berkata, “Selamat datang wahai anak citraku dan ayah maknawiku!” Dia mengucapkan hal ini karena Adam adalah “ayah” pada sisi lahiriah, sedangkan Sayidina Muhammad adalah “ayah” pada sisi maknawiah.
Kedua, kami juga bertawasul dengan keluarga Rasulullah yang laksana bintang-bintang keamanan bagi manusia serta perahu keselamatan dari petaka dan kebinasaan. Telah diriwayatkan bahwa Nabi bersabda,
“Bintang-bintang adalah jaminan keamanan penghuni bumi dari ketenggelaman, sedangkan ahlul baitku adalah jaminan keamanan bagi penghuni bumi dari perselisihan. Apabila ada satu kabilah Arab yang menyelisihi mereka, niscaya mereka akan berselisih lalu mereka pun menjadi kelompok Iblis.” (HR. Hakim an-Naisaburi)
Diriwayatkan pula bahwa beliau bersabda,
“Bintang-bintang adalah jaminan keamanan penghuni langit. Apabila bintang-bintang musnah, penghuni langit juga musnah. Ahlul baitku adalah jaminan keamanan bagi penghuni bumi. Apabila ahlul baitku musnah, penghuni bumi juga musnah.” (HR. Bazzar)
Rasulullah juga bersabda,
“Perumpamaan Ahlu Baitku di tengah kalian adalah bahtera Nuh di tengah kaumnya. Siapa saja yang menaikinya pasti selamat dan siapa saja yang tidak menaikinya pasti tenggelam.” CHR. Timidzi)
Al-Munawi menyatakan bahwa berdasarkan hadis-hadis di atas, disepakati bahwa wali quthub di setiap zaman selalu berasal dari kalangan ahlul bait Rasulullah.
Ketiga, kami juga bertawasul dengan para sahabat Rasulullah para pemilik petunjuk jalan kebenaran dan keutamaan yang benar. Mereka mengorbankan jiwa karena mencari anugerah dari Allah di akhirat.
Rasulullah saw. bersabda, .
“Perumpamaan para sahabatku di tengah umatku adalah garam pada makanan.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Rasulullah menyatakan ini karena dengan adanya para sahabat itulah kebaikan agama dan dunia dapat terwujud.
Keempat, kami juga bertawasul dengan para pembawa syariat beliau, pemiliki manaqib (perbuatan-perbuatan luar biasa) dan kekhususan yang merasa gembira dengan nikmat dan anugerah dari Allah. Mereka adalah para ulama yang mengamalkan ilmu mereka.
Allah swt. berfirman,
“Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah [58]: 11)
Allah juga berfirman,
“Bagi orang-orang yang berbuat baik (ada pahala) yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah).” (QS. Yanus [10]: 26)
Rasulullah saw. bersabda,
“Perumpamaan umatku adalah seperti hujan. Tidak diketahui apakah yang awal atau yang akhir yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini tontu tidak bolch menjadi celah bagi munculnya keraguan pada keyakinan kita bahwa kaum muslim awal tentu lebih baik daripada genorasi muslim yang belakangan. Sebab, generasi awal umat Islam terdiri dari orang-orang utama yang mengungguli generasi sesudah mereka dan begitu seterusnya.
Yang dimaksud oleh hadis di atas adalah peran kaum muslim dalam menyebarkan syariat, bukan mengafirmasi bahwa tidak ada perbedaan antara berbagai generasi muslim, sebab masing-masing generasi umat Islam memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi kebaikannya, sebagaimana halnya setiap limpahan hujan memiliki manfaat bagi tumbuhnya tanaman yang tidak dapat disangkal.
Kami mohon Engkau memberi taufik kepada kami dalam perkataan dan perbuatan agar dapat ikhlas berniat. Kami mohon kalbulkan permintaan dan cita-cita setiap orang yang hadir. Kami mohon selamatkan kami dari tawanan syahwat dan segala penyakit hati. Wujudkan harapan-harapan yang kami sangkakan pada-Mu. Engkau pasti memenuhi segala kebutuhan kami dan pasti menolong kami dalam segala urusan kami.
Jagalah kami dari segala kegelapan hati, baik yang disebabkan oleh setan maupun manusia, dan juga dari bala. Janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang yang diseret oleh hawa nafsu hingga terjerembab dari maqam ketinggian ke tempat yang rendah.
Tutuplah cacat, kelemahan, dan kebingungan kami. Mudahkan kami melakukan amal shalih, sebab mendaki menuju puncak ketinggian amal shalih sangat sulit.
Dekatkan buah yang mudah diambil dan sudah matang kepada kami. Buah itu adalah pengetahuan musyahadah (menyaksikan Allah) yang merupakan tingkat keyakinan tertinggi. Ar-Razi menyatakan bahwa keyakinan adalah kendaraan bagi keikhlasan. Keyakinan adalah puncak derajat kaum awam dan tahapan awal bagi kalangan khusus. Ilmul Yaqqin adalah sikap menerima segala yang tampak dari Mahabenar, sikap menerima segala yang tidak tampak dari Mahabenar, dan berdiam diri dari segala yang dilakukan oleh Mahabenar.
Rasulullah saw. bersabda,
“Hal terbaik yang masuk ke dalam hati adalah keyakinan.” (HR. Thabrani)
Ya Allah, hapuskan setiap dosa yang kami perbuat. Limpahkan perbendaharaan karunia-Mu yang mulia, berupa rahmat dan ampunan, kepada kami, yaitu orang-orang yang berkumpul untuk mendengar kisah mulia ini, termasuk mereka yang datang sekedar hadir tanpa mendengarkannya. Kami juga mohon agar Engkau kekalkan ketidakbutuhan kami kepada siapa pun selain Engkau.
Ya Allah, Engkau telah memberikan magam dan keistimewaan bagi setiap peminta, dan mengabulkan apayang diangankandandiharapkansetiap pengharap. Kami telah meminta pada-Mu serta mengharapkan anugerah Ilahi-Mu. Ya Allah, amankanlah kami dari hal-hal yang menakutkan, perbaikilah para pemimpin dan rakyat. Besarkanlah pahala bagi orang yang melakukan kebaikan pada hari ini. Ya Allah, jadikanlah negeri ini dan seluruh negeri Islam aman dan sejahtera. Siramilah kami dengan hujan yang merata kepada tanah datar dan bukitnya. Ampunilah Sayidina Ja’far, penulis burdah yang indah dan berisi kelahiran Nabi ini, yang nasabnya sampai kepada al-Barzanji. Wujudkanlah baginya kebahagiaan, harapan, dan cita-cita berupa dekat dengan-Mu. Jadikanlah tempat peristirahatan dan tempat tinggalnya bersama orang-orang yang didekatkan (kepada-Mu). Tutuplah cacatnya, kelemahannya, keterbatasannya, dan kebingungannya. Limpahkan semua hal ini kepada penulisnya, pembacanya, dan orang yang mendengarkannya.
Ya Allah, Engkau telah memberikan maqam kedudukan dan keistimewaan berupa anugerah bagi setiap peminta serta mengabulkan apa yang diangankan dan diharapkan setiap pengharap. Kami telah meminta pada-Mu serta mengharapkan anugerah Ilahi-Mu, anugerah yang datang dari-Mu tanpa usaha kami.
Ya Allah, amankanlah kami dari hal-hal yang menakutkan, perbaikilah para pemimpin dan rakyat. Yang dimaksud dengan ru’ah di sini adalah para pemimpin dan penguasa. Mereka disebut dengan istilah ru’ah (penggembala) karena merekalah yang mengurus orang banyak. Sementara yang dimaksud dengan ra’iyyah adalah kalangan masyarakat umum. Namun, kata ru’ah juga dapat diartikan sebagai para kepala keluarga, sedangkan ra’iyyah maksudnya adalah para istri, anak-anak, hewan ternak, dan berbagai objek lain yang menjadi tanggung jawab para ru’ah.
Besarkanlah pahala bagi orang yang melakukan kebaikan pada hari ini. Yaitu orang yang menyelenggarakan pertemuan pembacaan kisah ini. Termasuk juga para hadirin yang ikut membantu terselenggaranya majelis ini.
Ya Allah, jadikanlah negeri ini dan seluruh negeri Islam aman dan sejahtora. Siramilah kami dengan hujan yang merata kepada tanah datar dan bukitnya.
Ampunilah Sayidina Ja’far, penulis burdah yang indah dan berisi kelahiran Nabi ini, yang nasabnya sampai kepada al-Barzanji. Wujudkanlah baginya kebahagiaan, harapan, dan cita-cita berupa dekat dengan-Mu. Jadikanlah tempat peristirahatan dan tempat tinggalnya bersama orang-orang yang didekatkan (kepada-Mu).
Tutuplah cacatnya, kelemahannya, keterbatasannya, dan kebingungannya. Limpahkan semua hal ini kepada penulisnya, pembacanya, dan orang yang mendengarkannya.
Ya Allah limpahkanlah shalawat dan kesejahteraan atas orang yang pertama menerima tersingkapnya hati dengan cahaya-cahaya kegaiban dari segala hakikat, yaitu Sayidina Muhammad saw. Juga atas keluarga beliau, para sahabatnya, serta siapa pun yang menolong dan memuliakannya. Limpahkan semua hal itu selama telinga dihiasi dengan anting-anting permata karena mendengarkan untaian kata tentang sifat-sifat beliau dan selama dada orang-orang yang ada di sini diisi dengan untaian sifat-sifat beliau. Sebab, majelis yang paling luhur adalah majelis yang menjadi tempat bagi pembaca kisah ini. Shalawat dan kesejahteraan paling utama semoga tercurah kepada Sayidina dan Maulana sang penutup para nabi dan para rasul, juga atas keluarga dan sahabatnya semua. Mahasuci Tuhanmu, (wahai Nabi), Pemilik kemuliaan (karena suci) dari segala yang orang-orang kafir sifatkan. Semoga kesejahteraan senantiasa terlimpah atas para rasul. Segala puji milik Allah, Tuhan sekalian alam.
Kitab syarah ini mulai ditulis pada hari Rabu, 18 Rabiul Awal 1293 H/12 April 1876 M dan selesai ditulis pada hari Sabtu, tanggal 19 Rabiul Akhir 1293 H/13 Mei 1876 M. Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam ke haribaan Sayidina Muhammad, kepada keluarga, dan segenap sahabat beliau.