Kitab Madza Fi Sya’ban Dan Terjemah [PDF]

Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia dan musim yang agung. Ia merupakan bulan yang penuh dengan berkah dan kebaikan. Perbuatan taubat di bulan itu adalah suatu keberuntungan yang besar. Meningkatkan taat kepada Allah pada saat itu adalah bagaikan berdagang yang mendapatkan laba yang melimpah.

 

Allah telah menjadikan bulan Sya’ban sebagai bagian dari berkah yg terkandung dalam masa, dan Allah akan menjanjikan bagi orang-orang yang bertaubat di bulan itu dengan suatu ketentraman dan ketenangan. Barangsiapa yang membiasakan dirinya rajin beribadah di bulan itu, maka ia akan mendapatkan keberuntungan kelak di bulan Ramadlan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik.

 

Bulan tersebut dikatakan bulan Sya’ban karena merupakan “ suatu bulan yang melahirkan aneka ragam kebaikan. Ada yang mengatakan: “Arti Sya’ban adalah berasal dari kata   yang berarti mencuat dan jelas”. Ada yang mengatakan bahwa nama Sya’ban berasal dari casll yang berarti jalan terjal di -lereng gunung. Ia merupakan suatu jalan menuju kepada kebaikan. Ada yang mengatakan bahwa Sya’ban berasal dari lafadz    yang artinya menutup (lobang), di bulan itu Allah SWT merekatkan hati para hambanya yang sedang retak, di bulan itu hati yang galau, risau dan gundah akan mendapatkan siraman ketenangan dan kebahagiaan.

 

Dalam buku kecil ini, penulis mengupas permasalahan seputa, bulan Sya’ban, apa sajakah yang terjadi di bulan itu? Kenapa uma Islam merayakan bulan Sya’ban dan berupaya kembali kepada Allah dengan memperbanyak taubat, ibadah dan beragam ama sholeh? Kenapa umat Islam pada bulan itu menghidupkan hati. hati mereka dengan berdzikir kepada Allah, berziarah kepada Rasulullah dan meramaikan Baitullah dengan melakukan sholat, thowaf dan umroh?.

 

Sebelum penulis memasuki pada pokok masalah, penulis akan menghaturkan sebuah priambul sebagai pembuka dari permasalahan-permasalahan yang akan dikupas dalam pembahasan ini.

 

Seraya memohon pertolongan kepada Allah SWT, penulis berkata: Merupakan suatu kaidah yang berlaku dan ditetapkan oleh pakar keilmuan bahwa:

 

Suatu masa itu menjadi mulia disebabkan adanya beberapa peristiwa yang terjadi pada masa itu. Peristiwa itulah yang menjadi dasar atas diperolehnya suatu harga diri yang diperhitungkan bagi masa-masa tertentu. Kadar kebesaran suatu peristiwa yang terjadi akan menjadi tolok ukur kebesaran yang didapatkan oleh suatu masa. Dan sejauh mana kemuliaan suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu, sejauh itu pula kemuliaan yang didapatkan oleh masa tersebut.

 

Selama keterikatan manusia kepada suatu peristiwa itu kuat, dan dampak dari peristiwa itu sangat besar, maka keterkaitan dan pengaruh mereka kepada masa itu juga besar dan kuat pula.

 

Dari sini akan menjadi jelas, bahwa tujuan pokok diangkatnya permasalahan ini adalah untuk mengkaitkan umat dengan sejarah, dan mengandalkan pemahaman kepekaan keagamaan mereka dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang bernuansa agama.

 

Memang benar, bahwa cara berdakwah seseorang untuk memberikan pengertian kepada kebenaran amatlah beragam. Mereka sangat beragam dalam mengantarkan kepada sebuah pemahaman yang benar dan tidak mungkin menggunakan metode yang tunggal, akan tetapi tujuan pokok adalah satu, tidak mungkin ada perbedaan diantara mereka.

 

Sesungguhnya ketika kita mengajak untuk mengkaitkan umat dengan sejarah dengan cara mempergunakan sebaik-baiknya kesempatan emas pada momentum tertentu yang pernah diukir oleh sejarah, sesungguhnya kita pada dasarnya (yang terjadi) adalah hanya mengajak kepada kebenaran yang hakiki, akidah yang benar, jalan yang lurus dan fithroh yang sejati. Karena hal tersebut adalah merupakan sejarah dalam kehormatan kita.

 

Dari kaidah di atas, kita selalu berpacu untuk mengajak kepada setiap kebaikan dan kebenaran yang sesungguhnya atas izin Allah adalah bisa diterima karena berdiri di atas kaidah ushuliyah yang unifersal. Seraya kita raih kesempatan-kesempatan emas tersebut di setiap momentum dengan semangat yang berkobar untuk mengingat sejarah dan masa lalu yang cemerlang agar diingat kembali dalam hati sanubari sebagai suatu pelajaran yang amat berharga.

 

Hal tersebut adalah suatu pembelajaran ilmiah yang mana perguruan tinggi manapun berikut para dosennya tidak akan mampu menyampaikan mata kuliah, atau sekolah manapun dengan berbagai macam metode dan sistemnya tidak akan mampu menjadikan manusia seakan-akan hidup, mengalami dan merasakan sebuah peristiwa yang sudah jauh berlalu baik secara sentuhan hati maupun akal pikiran.

 

Sesungguhnya ketika kita merayakan peringatan maulid, peringatan hijrah, peringatan isro’ dan mi’roj atau momentum bulan Sya’ban, hanyalah ingin mengajak manusia kepada suatu keterkaitan dan kesinambungan jiwa, hati dan imejensi mereka dengan hakikat peristiwa-peristiwa bersejarah yang memenuhi dan menghiasi sepanjang masa. Hal tersebut bukan berarti kita mengkultuskan masa, atau mempertahankannya. Akan tetapi, hal itu dilakukan sebagai bentuk pengagungan kepada Allah Dzat yang menciptakan suatu masa dan wahana. Suatu pengagungan hamba kepada Allah Tuhan yang Maha Pencipta. Disamping itu,.

 

juga sebagai bentuk pengagunyan kepada seseorang yang menjadi scbab terjadinya suatu peristiwa, dan mempunyai peran dan andil dalam suatu peristiwa, Scbayai bentuk penghormatan kepada scorang yang mencintai terhadap yang ia cintai, penghormatan kepada seseorang yang mempunyai apa sih lo sebuah keagungan karena ia telah dipilih dan dijadikan Allah untuk mengukir sebuah peristiwa besar yang bersejarah.

 

Kami kadang-kadang merasa heran dengan beberapa pemikiran yang sangat sempit yang suka melupakan pemeran utama suatu peristiwa bersejarah. Yang mana sejarah tersebut terjadi karenanya, untuknya, bersamanya dan berkaitan dengannya. Suatu pemikiran yang hanya memandang sebuah peristiwa dari segi suatu kejadian (tanpa menghiraukan pemeran utama suatu peristiwa). Demikian itu tanpa ragu lagi adalah merupakan hakikat bid’ah, bahkan merupakan kebodohan yang fundamental serta kedangkalan berpikir.

 

Sesungguhnya kita tidak mengagungkan sebuah masa, karena hanya sebuah masa itu sendiri, atau mengagungkan suatu tempat karena hanya sebatas tempat itu sendiri. Dan jika demikian adanya, maka menurut kami itu adalah merupakan kategori syirik.

 

Akan tetapi, kami memandang lebih jauh dan lebih besar, serta lebih tinggi daripada sekedar pengagungan tersebut. Kita tidak mengagungkan dan menghormati seseorang hanya karena fisik dan dzatnya, Akan tetapi lebih daripada itu, kita justru melihat kepada maqom, derajat, kemuliaan, kecintaan, dan lain-lain. Apakah perbuatan seperti itu berdosa?

 

 

 

 

Di bulan Sya’ban terjadi beberapa peristiwa dan kejadian yang seharusnya mendapatkan perhatian tersendiri dengan mengadakan berbagai macam kegiatan. Seperti: acara-acara seremonial, peringatan, seminar dan pertemuan-pertemuan religi yang lain.

 

Kami akan menuturkan sebagian peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Sya’ban. Diantaranya adalah:

 

Perpindahan Qiblat

Pada bulan Sya’ban terjadi perpindahan qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Sebenarnya Rasulullah SAW sendiri sudah menunggu menunggu dan mendambakan hal tersebut. Setiap hari beliau selalu bangun dan memandang ke atas mengharapkan datangnya wahyu dari Allah SWT. Sampai sebelum akhirnya Allah telah memberikan apa yang membuat beliau menjadi tenang dan bahagia, Allah menurunkan sebuah ayat:

 

“Sesungguhnya kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Q.S. al-Baqarah: 144)

 

Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT:

 

“Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Q.S. ad-Dluhaa: 5)

 

Sehingga apa yang dikomentarkan oleh sayyidah “Aisyah telah menjadi sebuah kenyataan, yaitu:

 

“Aku tidak melihat Tuhanmu kecuali Ia selalu segera mengabulkan apa yang engkau inginkan.” (HR. al-Bukhori)

 

Kendati demikian, Rasulullah SAW selalu tetap berupaya melakukan sesuatu yang menjadikan Allah rela kepadanya.

 

Syaikh Abu Hatim al-Busty berkata: “Orang Islam sholat menghadap ke Baitul Maqdis selama 17 bulan dan 3 hari. Demikian itu karena Rasulullah SAW tiba di Madinah pada hari Senin tanggal 12 Robi’ul Awal. Lalu Allah memerintahkan beliau menghadap Ka’bah pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban .

 

Pelaporan Amal

Di antara keistimewaan bulan Sya’ban adalah bulan dilaporkannya amal perbuatan manusia. Pelaporan ini adalah pelaporan yang sifatnya lebih luas dari pada pelaporan-pelaporan yang lain. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid:

 

“Aku mengatakan: Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa di suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban, lalu beliau bersabda : Bulan itu banyak dilupakan oleh manusia. Ia adalah suatu bulan di antara bulan Rajab dan Ramadhan. la adalah suatu bulan yang mana pada saat itu amal perbuatan manusia dilaporkan kepada Allah Tuhan semesta alam. Dan aku ingin ketika amal perbuatanku dilaporkan, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” Imam Mundziri berkata: H.R. Imam Nasa’i.

 

Penulis berkomentar bahwa hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya.

 

Pelaporan amal perbuatan manusia itu tidak hanya terjadi di bulan Sya’ban saja, melainkan berdasarkan beberapa hadits, ada beberapa kali pelaporan amal pada waktu yang berbeda-beda. Dan hal itu tidak menjadikan saling menafikan, karena setiap laporan mempunyai pengertian dan tinjauan hukum tersendiri yang berkaitan dengan masing-masing pelaporan.

 

Pelaporan Amal Di Siang Hari Dan Di Malam Hari

Telah disebutkan dalam kitab Shahih Muslim sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa RA, beliau bercerita :

 

“(suatu ketika) Rasulullah SAW berdiri (seraya menyampaikan) lima kalimat. Beliau bersabda: Sesungguhnya Allah itu tidak tidur dan tidak seyogyanya jika Ia tidur. Allah itu berhak mengurangi pembagian dan menambah pembagian yang lain. Dilaporkannya amal perbuatan di waktu siang sebelum dilaporkannya amal perbuatan di waktu malam. Dan dilaporkannya amal perbuatan di waktu malam sebelum dilaporkannya amal perbuatan di waktu siang. Hijab-Nya adalah cahaya, jika hijab itu dibuka, niscaya kilauan dzat-Nya akan membakar seluruh makhluk-Nya hingga akhir penglihatan-Nya.”

 

Imam Mundziri berkata: Arti pelaporan amal perbuatan manusia yang terkandung dalam hadits di atas adalah: dilaporkannya amal perbuatan siang hari di permulaan malam yang tiba setelahnya. Dan dilaporkannya amal perbuatan malam hari pada permulaan siang hari yang jatuh setelahnya. Karena sesungguhnya para malaikat yang tugasnya berjaga akan naik di saat permulaan siang hari dengan membawa laporan amal perbuatan malam hari ketika telah berakhir, begitu pula mereka akan naik di waktu permulaan malam hari dengan membawa laporan amal perbuatan siang hari.

 

Demikian itu Imam Mundziri bertendensi pada sebuah hadits yang yang termaktub dalam kitab Shahihain dari riwayat Abu Hurairah RA.

 

“Rasulullah SAW bersabda: telah bergantian para malaikat (pencatat amal perbuatan) di malam hari dengan malaikat pencatat amal perbuatan di siang hari. Mereka akan berkumpul di saat shalat subuh dan sholat ashar, maka para malaikat yang semalaman dengan kalian akan naik. Lalu Allah (Tuhan mereka) bertanya, dan Ia adalah Maha Mengetahui, “Bagaimana keadaan hambahamba-Ku di saat sedang engkau tinggalkan dan di saat engkau sedang datang kepadanya? Para malaikat itu pun menjawab: Aku tinggalkan mereka sedang dalam keadaan melakukan shalat dan di Saat aku datang pun mereka juga sedang dalam keadaan shalat.”

 

Imam Mundziri dalam kitab at-Targhib berkata: Hadits tersebut di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Huzaimah dalam kitab shahihnya. Adapun lafadz di sebagian riwayatnya adalah:

 

“Para malaikat (yang bertugas menulis amal perbuatan manusia) di waktu malam dan para malaikat yang bertugas menulis amal perbuatan manusia di waktu siang berkumpul di waktu shalat Subuh dan shalat Ashar, kemudian malaikat yang bertugas di waktu siang hari naik, sedangkan malaikat yang bertugas di malam hari menjalankan tugasnya. Lalu Allah SWT Tuhan mereka bertanya: Bagaimanakah keadaan hamba-hamba-Ku di saat engkau tinggalkan ? lalu mereka menjawab: Ketika aku datang kepadanya mereka sedang dalam keadaan shalat dan ketika aku meninggalkan mereka juga dalam keadaan sedang shalat. Mohon Engkau berkenan mengampuni mereka kelak di hari pembalasan.”

 

Wahai saudaraku seiman, camkanlah pada diri kalian bahwa engkau selalu disertai oleh para malaikat, baik di waktu malam maupun di waktu siang yang terus menerus memantau amal perbuatanmu, lalu dilaporkan kepada Allah Dzat yang Maha Agung.

 

Pelaporan Amal Secara Langsung

Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Saib RA, bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa melakukan Shalat empat rokaat setelah tergelincirnya matahari, demikian itu sebelum diwajibkannya shalat Dhuhur. Lalu beliau bersabda :

 

“Di saat (seperti itu) pintu-pintu langit dibuka, maka aku senang Jika di saat itu ada amalku yang naik.”

 

Disarikan dari hadits di atas adanya keutamaan shalat sunah qobliyah Dhuhur.

 

“Diceritaknan dari Abu Ayub al-Anshori dari nabi SAW, beliau bersabda: shalat qobliyah Dhuhur empat rokaat tanpa adanya salam itu menjadikan pintu-pintu langit terbuka”.

 

Imam Thobroni juga meriwayatkan dari Abu Ayub, ia berkata :

 

“Ketika Rasulullah SAW bertempat tinggal (di rumahku), saat beliau hijrah ke Madinah, aku melihat beliau selalu melakukan shalat empat rokaat setelah melakukan shalat Dhuhur, dan beliau bersabda : sesungghnya jika matahari tergelincir maka pintu-pintu langit dibuka dan pintu itu tidaklah ditutup kembali kecuali jika Shalat Dhuhur sudah dilakukan. Aku senang jika pada saat itu aku melakukan amal kebajikan yang kemudian dilaporkan”.

 

Abdullah berkata : hendaknya seorang muslim senantiasa gemar melakukan shalat sunah qobliyah Dhuhur di saat waktu zawal dan memperbanyak do’a. Karena saat-saat seperti itu adalah saat dikabulkannya do’a, sebab pada saat itu pintu-pintu langit dibuka.

 

Tidak seyogyanya seorang muslim di saat itu disibukkan denyan urusan-urusan duniawi yang tiada abadi dan menyia-nyiakan berbagai macam kebaikan-kebaikan, do’a do’a yang dikabulkan, hembusan rahmat dan keberkahan yang bermanfaat bagi dirinya,

 

Pelaporan Mingguan Dan Dihaturkannya Amal Perbuatan Kepada Allah SWT

Imam Muslim dan Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :

 

“Setiap hari Kamis dan Senin catatan-catatan amal perbuatan dihaturkan kepada Allah lalu Allah mengampuni setiap seseorang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, kecuali orang-orang yang saling bermusuhan dengan saudaranya, maka Allah berfirman : tinggalkanlah mereka sampai mereka berdamai.”

 

Dalam riwayat yang lain :

 

“Pada hari Senin dan Kamis pintu-pintu surga dibuka. (Pada hari itu) Allah berkenan mengampuni semua hamba-Nya yang tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun kecuali seseorang yang saling bermusuhan dengan saudaranya.”

 

“Diceritakan dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda : setiap hari Senin dan Kamis catatan amal perbuatan dihaturkan (kepada Allah). Maka aku senang jika amal perbuatanku dihaturkan sedangkan aku dalam keadaan berpuasa”. (H.R. Tirmidzi. Ia berkata : bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan dan ghorib).

 

“Diceritakan dari Usamah bin Zai, ia berkata : aku katakan kepada Rasulullah SAW : wahai Rasulullah, kadang-kadang engkau berpuasa sunah sampai-sampai nyaris engkau tidak pernah berbuka (selalu berpuasa), dan kadang-kadang engkau tidak melakukan puasa sampai-sampai nyaris seakan-akan engkau tidak pernah berpuasa. Kecuali dua hari (jika kebetulan berada pada hari-hari yang biasa Rasulullah berpuasa pada hari-hari tersebut, jika tidak maka beliau selalu mengkhususkannya berpuasa). Beliau lalu bertanya : hari apakah itu? Aku pun menjawab : yaitu hari Senin dan Kamis. Beliau bersabda : pada hari-dari itu dihaturkannya catatan amal perbuatan kepada Allah Tuhan semesta alam, aku senang jika di saat dihaturkan perbuatanku aku sedang berpuasa.”

 

“Diceritakan dari Jabir RA. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: pada hari Senin dan Kamis dilaporkan catatan amal perbuatan, siapapun yang minta pengampunan (pada hari itu) akan diampuni. Siapapun yang bertaubat, akan diterima taubatnya. (pada hari itu) orang yang mempunyai dendam dan permusuhan akan diabaikan sampai mereka mau bertaubat.”

 

Dari penjelasan beberapa hadits di atas, seorang muslim mengetahui akan keutamaan hari Senin dan hari Kamis, maka hendaknya menjauhkan diri dari sifat dendam dan permusuhan agar tidak terhalang saat dilaporkannya amal-amal perbuatan baik. Dan hendaknya di hari-hari itu memperbanyak amal sholeh dan bertutur kata yang baik karena masing-masing hari mempunyai ciri khas dan keistimewaan tersendiri.

 

Hari itu merupakan media atas berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya. Maka orang yang berakal sehat tidak akan memenuhi media tersebut kecuali dengan sesuatu yang menjadikan dekat kepada Allah, karena di suatu saat kelak media itu akan dibuka dan dipertanggung jawabkan isinya setelah ditutup dan diakhiri dengan sebuah kematian. Pada saat itu semua yang terkandung di dalamnya akan tampak jelas, baik berupa ucapan, amal perbuatan maupun gerak-gerik seseorang.

 

Jika yang termuat di dalam media tersebut hal-hal yang baik maka akan menghembuskan aroma yang harum yang menyebar kemana-mana, tentunya pemiliknya akan menjadi senang, gembira dan merasa aman. Namun, jika yang termuat dalam media tersebut hal-hal yang buruk maka akan mengeluarkan bau busuk, pemiliknya akan dilanda kegelapan dan ia akan dipermalukan di hadapan khalayak ramai, tentunya ia akan merasa sedih dan kebingungan yang tiada tara. Allah berfirman:

 

“Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk)” (QS. Hud : 103)

 

Penentuan Umur

Di dalam bulan Sya ban terdapat penentuan umur, artinya pada bulan itu ditampakkan penentuan itu kepada Malaikat. Karena apapun yang dilakukan Allah tidak dibatasi dan tidak terikat oleh waktu dan tempat.

 

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S asy-Syura 11)

 

Telah diriwayatkan sebuah hadits dari Sayyidah Aisyah RA beliau berkata:

 

“Sesungguhnya dahulu Rasulullah SAW berpuasa di bulan Sya’ban sebulan penuh. Aisyah berkata: Lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, Apakah bulan yang lebih engkau sukai berpuasa itu bulan Sya’ban? Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah telah menulis (mentakdirkan) setiap jiwa yang akan mati pada tahun itu. Maka aku berharap di saat ajalku datang, aku sedang dalam keadaan berpuasa.” (H.R. Abu Ya’la, Hadits tersebut termasuk kategori Hadits Ghorib namun Sanadnya Hasan)

 

Oleh karena itu, dahulu Rasulullah memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban. Anas bin Malik RA bertutur kata:

 

“Bahwa Rasulullah SAW selalu berpuasa seolah-olah tidak pernah berbuka (tidak berpuasa), sehingga kita mengatakan: Tidak ada pada diri Rasulullah SAW berbuka (tidak berpuasa) selama setahun. Kemudian Rasulullah berbuka dan tidak melakukan puasa, sehingga kita berkata: Tidak ada pada diri Rasulullah SAW melakukan puasa sepanjang tahun. Puasa sunah yang paling disenangi Rasulullah adalah puasa bulan Sya’ban”. (H.R. Ahmad dan Thabrani)

 

Keutamaan Puasa Di Bulan Sya’ban

 

Rasulullah SAW pernah ditanya:

 

“Puasa apakah yang lebih utama selain puasa Ramadlan? Beliau menjawab: Puasa di Bulan Sya’ban. Lalu ditanya lagi: Shodaqoh apakah yang lebih utama? Beliau menjawab: yaitu bershodaqoh di Bulan Ramadlan“. (H.R. Tirmidzi, ia berkata ini adalah hadits Gharib)

 

Bahkan Sayyidah Aisyah berkata:

 

“Dahulu Rasulullah selalu berpuasa sehingga kami mengatakan, nyaris Rasulullah SAW tidak pernah berbuka (tiada hari tanpa puasa) dan di saat yang lain, beliau selalu berbuka (tidak puasa) sampai sampai kita mengatakan nyaris Rasulullah SAW tidak pernah puas, Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadlan dan aku tidak pernah melihat Rasulullah memperbanyak puasa pada suatu bulan seperti beliau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban”. (H.R. Bukhori, Muslim dan Abu Dawud)

 

Diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, Turmudzi dan yang lain, bahwa Sayyidah Aisyah berkata:

 

“Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa di suatu bulan yang melebihi bulan Sya’ban. Beliau melakukan puasa di Bulan itu kecuali hanya beberapa hari bahkan kadang-kadang beliau berpuasa seluruhnya ( sebulan penuh )”.

 

Dalam suatu riwayat yang dimiliki Abu Dawud. Sayyidah Aisyah berkata:

 

“Bulan yang paling disenangi Rasulullah untuk melakukan puasa adalah bulan Sya’ban, Kemudian bersambung dengan Bulan Ramadhan”.

 

Disebutkan dalam riwayat lain yang dimiliki oleh Imam Nasa’i bahwa Sayyidah Aisyah RA berkata:

 

“Rasulullah tidak pernah memperbanyak puasa di suatu Bulat yang melebihi bulan Sya’ban. Beliau berpuasa (keseluruhanya) atau paling tidak kebanyakan hari-harinya”.

 

Imam Bukhori dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Sayyidah Aisyah mengatakan :

 

“Rasulullah tidak pernah melakukan puasa di suatu bulan yang melebihi banyaknya berpuasa di bulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau berpuasa di Bulan Sya’ban (Sebulan penuh). Beliau mengatakan: Beramallah semampumu karena sesungguhnya Allah itu tidak akan jemuh (membalas amal ibadah) sehingga engkau sekalian merasa jemuh (beramal). Pekerjaan shalat yang paling dicintai oleh Rasulullah adalah pekerjaan shalat yang dilakukan secara kontinyu, sekalipun hanya sedikit, dan beliau jika melakukan Shalat maka akan ditekuninya”.

 

Penajaman Pernyataan Tentang Puasa Sya’ban

 

Diceritakan dari Sayyidah “Aisyah RA, ia berkata:

 

“Rasulullah SAW tidak pernah melakukan puasa di suatu bulan yang melebihi puasa di bulan Sya ‘ban”. (H.R. al-Bukhorni)

 

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Sayyidah “Aisyah RA, ia berkata :

 

“Dulu Rasulullah SAW berpuasa, sehingga kami mengatakan Rasulullah selalu berpuasa, dan kadang-kadang beliau berbuka (tidak berpuasa) sampai-sampai kita mengatakan beliau Selalu berbuka. Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa di suatu bulan yang melebihi puasanya di bulan Sya’ban. Beliau dulu berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya, juga (kadang-kadang) beliau berpuasa di bulan Sya’ban kecuali beberapa hari, bahkan bisa dikatakan beliau berpuasa di seluruh hari-hari bulan Sya’ban”.

 

Syekh Mulla Ali Qori menjelaskan bahwa perkataan Sayyidah “Aisyah:

 

Artinya hari-hari yang tidak dilakukan puasa oleh Rasulullah pada bulan Sya’ban adalah sedikit.sekali, sehingga sampai disangkakan beliau melakukan puasa seluruh hari-hari bulan Sya’ban. Karena kalimat (.  ) dalam hadits menunjukkan arti “meningkat dan terus menerus“. Jadi perkataan Sayyidah Aisyah (.   ) tidak bertentangan dengan perkataan beliau (  ) juga tidak bertentangan dengan hadits lain:

 

“Bahwasanya Rasulullah tidak pernah berpuasa sebulan penuh, semenjak beliau datang di madinah kecuali puasa di Bulan Ramadlan”.

 

Dimungkinkan juga kata-kata (    ) Dalam hadits diatas adalah bermakna semestinya (keseluruhan), jadi pengertiannya adalah Rasulullah melakukan puasa di bulan Sya’ban sebulan penuh saat beliau belum berdomisili di Madinah.

 

Dengan demikian, maka kata-kata (.  ) adalah menunjukkan makna    (perubahan penjelasan) dari perkataan Sayyidah Aisyah    , yaitu jangan difahami jumlah hari yang sedikit itu adalah sepertiga bulan. Lalu beliau menjelaskan dengan kata-kata (     ) bahwa hari-hari yang tidak dilakukan puasa adalah sedikit sekali, sampai-sampai bisa dikatakan seakan-akan beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (sebulan penuh).

 

Riwayat lain dari Imam Bukhori dan Muslim bersumber dari Sayyidah Aisyah RA, beliau berkata:

 

“Aku sama sekali tidak melihat (Rasulullah) menyempurnakan puasanya di suatu bulan, kecuali di bulan Ramadlan. Dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa di suatu bulan yang melebihi puasanya di bulan Sya’ban”.

 

Disebutkan dalam riwayat lain juga dari Sayyidah Aisyah RA, beliau berkata:

 

“Beliau tidak pernah berpuasa selain bulan RamadHan yang melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban , sesungguhnya beliau berpuasa keseluruhannya.”

 

Riwayat lain yang dimiliki Imam Abu Dawud :

 

“Bulan yang paling disenangi Rasulullah untuk melakukan puasa adalah bulan Sya’ban kemudian beliau menyambungnya dengan Ramadlan”.

 

Riwayat lain yang dimiliki Imam Nasa’i :

 

“Beliau berpuasa di bulan Sya’ban (secara utuh) atau berpuasa kebanyakan hari-hari bulan Sya’ban”

 

Riwayat lain juga:

 

“Beliau berpuasa di bulan Sya’ban secara keseluruhan”,

 

Hadits hadits diatas memberi penjelasan bahwa puasa di bulan Sya’ban adalah lebih utama daripada berpuasa di bulan Rajab atau bulan-bulan mulia yang lain, namun penjelasan di atas seakan-akan bertentangan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (dengan riwayat Marfu’):

 

“Lebih utama-utamanya puasa setelah puasa Ramadlan adalah berpuasa di bulan Muharrom'”,

 

Para Ulama’ menjawab atas anggapan pertentangan di atas, bahwa dimungkinkan adanya keutamaan puasa di bulan Muharrom (.   ) itu baru diketahui oleh Rasulullah di akhir hayat beliau sehingga beliau belum sempat melakukan puasa di bulan itu, atau karena adanya udzur berupa bepergian atau sakit sehingga tidak sempat memperbanyak puasa di bulan tersebut. Demikian dikatakan oleh Imam Nawawi .

 

Namun Imam Mairok berkomentar: Kedua alasan di atas tidak lepas dari sebuah pemahaman yang jauh dari bisa dicerna, juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani yang bersumber dari Sayyidah Aisyah RA.

 

“Dahulu Rasulullah SAW selalu berpuasa 3 hari di setiap bulan namun kadang kadang beliau mengakhirkan puasa tersebut. Sehingga bertemulah dengan puasa sunah (yang lain), lalu beliau berpuasa bulan Sya’ban”.

 

Disamping itu, beliau mengkhususkan bulan Sya’ban untuk dilakukan berpuasa, karena demi mengagungkan bulan Ramadlan. Maka status puasa di bulan Sya’ban adalah bagaikan sholat sunnah rowatib qobliyah sebelum melakukan sholat fardlu. Juga dikuatkan oleh sebuah hadits Ghorib yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, sekalipun dalam deretan sanadnya terdapat seorang rowi yang bernama Shodaqoh, yang oleh Ahli Hadits dianggap kurang begitu kuat, bahwa Rasulullah pernah ditanya:

 

“Puasa apakah yang lebih utama selain puasa Ramadlan ? beliau menjawab: Puasa Sya ‘ban, karena demi mengagungkan Ramadlan”.

 

Puasa Sya’ban adalah bagaikan latihan untuk melatih diri dalam menghadapi puasa Ramadlan. Oleh karenanya, larangan berpuasa pada separuh terakhir (kedua) bulan Sya’ban adalah terkhusus bagi orang yang hanya berpuasa separoh kedua saja, yang mana ia tidak melakukan puasa di hari-hari sebelumnya. Atau ia tidak membiasakan berpuasa sepanjang tahun dan juga tidak berupa puasa qodho’ atau puasa nadzar, sehingga dikhawatirkan puasanya tadi itu justru akan membuatnya lemah di saat sedang berpuasa di bulan Ramadlan.

 

Keutamaan puasa Sya’ban juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Imam Abu Dawud, yang dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah yang bersumber dari

 

Usamah bin Zaid, ia mengatakan

 

“Wahai Rasulullah, aku tidak melihat engkau berpuasa di suatu bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban? Beliau menjawab: Bulan itu banyak dilupakan manusia, yaitu bulan diantara Rajab dan Ramadlan. Pada Bulan itu dilaporkannya amal perbuatan manusia kepada Allah, Tuhan alam semesta, maka aku merasa senang jika ketika amal perbuatanku sedang dilaporkan aku dalam keadaan berpuasa”.

 

Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la yang bersumber dari Sayyidah Aisyah RA hanya saja dalam Hadits ini Rasulullah bersabda:

 

“Sesungguhnya pada tahun itu Allah menulis kematian setiap Jiwa, maka aku senang jika ajalku tiba, aku sedang dalam keadaan berpuasa”.

 

Hadits di atas memberikan suatu pengertian bahwa dahulu orang-orang gemar melakukan puasa di bulan Rajab, karena ja adalah salah satu bulan mulia. Maka diperingatkan jangan sampai melupakan puasa di bulan Sya’ban karena ada satu kelebihan, yaitu: Pada bulan itu dilaporkannya amal perbuatan dan ditentukannya ajal manusia.

 

Hadits di atas diperkuat juga dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwasanya ia berkata:

 

“Wahai Rasulullah, kenapa aku melihat engkau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban ?. lalu beliau menjawab: Sesungguhnya di bulan ini telah dituliskan kepada malaikat maut siapa-siapa yang akan dicabut (nyawanya), maka aku berharap, jangan sampai ajalku termasuk yang ditulis kecuali aku dalam keadaan sedang berpuasa”.

 

Barang kali karena hikmah tersebut bulan Sya’ban mendapatkan prioritas dari Rasulullah SAW dalam sebuah hadits, beliau bersabda:

 

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, Sedangkan Ramadhan adalah bulan umatku“. (H.R. Dailami dan lainya dari Anas)

 

Penulis berkomentar: Hadits di atas telah disebutkan oleh Imam Suyuthi secara mursal dan beliau berkata: Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu al-Fath bin Abi al-Fawaris dalam kitabnya al-Amali dari al-Hasan dengan riwayat mursal. Ja adalah termasuk kategori hadits dhoif.

 

Imam al-Manawi berkata: Imam al-Hafidz Zain al-Irogy berkomentar dalam Syarah Tirmidzi: Hadits diatas adalah hadits yang dhoif sekali, ia adalah merupakan salah satu mursalnya al-Hasan yang kami riwayatkan dalam kitab Targhib wa Tarhib milik imam Asbihani sedangkan mursal-mursalnya hasan tidak dianggap oleh ahli Hadits, disamping itu tidak ditemukan satu hadits pun yang menjelaskan tentang keutamaan bulan Rajab.

 

Perkataan mushonif di atas adalah bagaikan penjelasan bahwa ia tidak menemukan riwayat secara musnad. Sebab jikalau ia menemukannya, niscaya ia tidak akan meriwayatkannya secara mursal. Pernyataan ini disebut cukup aneh, sebab Imam Dailami juga meriwayatkannya dalam kitab Musnad al-Firdaus melalui tiga buah sanad. Begitu juga Ibnu Nashr dan lainya juga meriwayatkannya dari Anas dengan lafadz yang sama.

 

Imam al-‘Ijluni dalam kitab Kasyful Khofa?” mengomentari sabda Rasulullah SAW:

 

“Sya ban adalah bulanku, sedangkan Ramadlan adalah bulan Allah, Bulan Sya ‘han itu mensucikan, sedangkan bulan Ramadlan itu melebur (dosa )”.

 

Bahwa hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Dailami bersumber dari Sayidah Aisyah RA diriwayatkan secara marfu’. Ibnu Ghors berkata: Guru kami al-Hijazi mengatakan bahwa hadits di atas adalah dhoif. Sabda Rasulullah SAW.  (Sya’ban adalah bulanku) artinya aku yang mengajarkan perbuatan amal ibadah di dalamnya.

 

Penulis berkata: Bisa jadi penisbatan itu karena pada bulan Sya’ban diturunkannya ayat yang memerintahkan bersholawat kepada Nabi SAW.

 

 

 

 

Diantara keistimewaan bulan Sya’ban adalah bahwasanya pada bulan tersebut diturunkan ayat shalawat dan salam atas Rasulullah SAW, yaitu ayat yang berbunyi:

 

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”

 

Imam Ibnu Shaif al-Yamani menyebutkan bahwasanya sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, dikarenakan ayat di atas turun pada bulan Sya’ban. Dan Imam Syihabuddin al-Qustholany menyebutkan sebuah pernyataan dari sebagian ulama, bahwasanya bulan Sya’ban merupakan bulan bershalawat kepada Nabi SAW, dikarenakan ayat shalawat yang berupa :

 

Diturunkan dalam bulan Sya’ban. Dan Imam al-Hafidz Ibnu Hajar meyebutkan sebuah pernyataan dari Abi Dzar al-Hurawi, bawasanya perintah shalawat kepada Nabi SAW, dengan ayat :

 

adalah pada tahun ke dua Hijriyah, dan ada yang menyebutkan bertepatan dengan malam Isra” Mi’roj Nabi.

 

Allah berfirman :

 

Allah telah memerintahkan segenap kaum muslimin untuk bersholawat kepada Nabi dengan khitob syafahi, demikian itu setelah ia memanggil-manggil mereka (kaum mu’min) dan memberi dasar penguat berupa informasi bahwa Allah dan malaikat-malaikatNya juga bersholawat kepada Nabi. Artinya, Allah memerintahkan kalian semua untuk bersholawat bukan berarti Allah butuh akan hal itu, melainkan Allah hendak memuliakan kalian karena telah meng-imaninya, dengan suatu perintah yang mana engkau menemukannya telah dilakukan oleh Allah pemilik jagad raya ” dan hamba-hamba Allah yang istimewa, yang baik-baik dan yang terhormat, yaitu bersholawat kepada seorang hamba yang mana Allah telah memberi hidayah kepada kalian melalui dirinya, Allah juga memberikan petunjuk kepada kalian kepada setiap sesuatu yang menjadikan dekat dengan Allah melalui lisan nabi-Nya.

 

Syaikh “Izzudin bin Abdissalam berkata: “Membaca sholawat kepada Rasulullah itu bukan berarti kita bisa memberi syafa’at kepada beliau, karena sesungguhnya orang seperti kita tidak akan mampu memberikan syafa’at kepada orang semacam Rasulullah SAW, Akan tetapi Allah memerintahkan kita agar selalu membalas budi kepada orang yang pernah memberikan kenikmatan dan berbuat baik kepada kita, jika kita tidak mampu balas budi kepadanya, maka kita akan selalu berdo’a agar Allah berkenan membalas kebaikannya kepada kita. Jadi, ketika kita tidak mampu membalas kebaikan Nabi SAW pemimpin umat yang dahulu dan umat yang akhir, maka Allah Tuhan semesta alam memerintahkan agar kita mencintainya dan membaca sholawat untuknya, dengan harapan sholawat kita itu sebagai balas budi akan kebaikan dan keutamaannya. Sungguh!! tidak ada kebaikan yang melebihi kebaikan Nabi SAW kepada kita umatnya .

 

Rasulullah SAW bersabda :

 

“Barang siapa yang membaca sholawat kepadaku, maka Allah bersholawat kepadanya 10 kali” (H.R. Imam Muslim)

 

Imam Qodli “Iyadi berkata: Arti hadits di atas adalah: Allah membalasnya dengan kucuran rahmat dan pelipat gandaan pahala. Sebagaimana firman Allah SWT:

 

“Barang siapa melakukan kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya”.

 

Imam Qadili ‘IyadI juga mengatakan bahwa arti sholawat terkadang berarti apa adanya sesuai dengan dhohirnya lafadz sebagai bentuk pengagungan diantara para malaikat. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits:

 

“Jika ada yang menyebutku dalam sebuah perkumpulan maka aku akan menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari perkumpulannya”. Wallahu A’lam.

 

Di ceritakan dari Ubai bin Ka’ab, bahwasanya ia berkata :

 

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memperbanyak membaca shalawat kepadamu, maka berapa banyak aku harus bersholawat kepadamu? Nabi menjawab: Semaumu, Aku berkata: Seperempat. Nabi menjawab: Semaumu, jika kamu tambah, itu lebih baik. Aku berkata: Setengah. Nabi menjawab: Semaumu, jika kamu tambah, itu lebih baik. Aku berkata: Aku jadikan seluruh shalawatku untukmu. Nabi menjawab: Kalau begitu segala keprihatinanmu akan dicukupi, dan dosamu akan terampuni”. (H.R. Imam Tirmidzi, beliau mengatakan: hadits ini hadits hasan dan shoheh).

 

Imam Nawawi mengatakan bahwasanya makna dari kata :

 

Adalah: Saya memperbanyak do’a, maka berapa banyak aku jadikan do’aku berupa bacaan sholawat kepadamu?

 

Imam Abu Laits as-Samarqandi mengatakan bahwa jika shalawat itu tidak ada pahala selain mengharapkan syafa’at, maka seharusnya orang berakal sehat tidak akan melupakannya. Bagaimana tidak, dengan bershalawat dosa diampuni, dan di situ juga ada shalawat dari Allah SWT, Beliau juga mengatakan bahwa jika kamu ingin mengetahui bahwasanya shalawat kepada Nabi Muhammad SAW lebih utama dari ibadah yang lain, maka renungkanlah firman Allah

 

Maka, untuk ibadah selain shalawat, Allah hanya memerintahkan kepada hamba-Nya. Tetapi untuk shalawat kepada Nabi SAW, Allah terlebih dahulu bershalawat kepada Nabi, kemudian baru memerintahkan kepada kaum mukminin untuk bershalawat kepadanya. Maka menjadi sebuah keniscayaan bahwa shalawat kepada Nabi SAW, merupakan ibadah paling utama.

 

Imam Nawawi mengatakan, ketika seseorang bershalawat kepada Nabi SAW, maka hendaklah mengumpulkan antara shalawat dan salam, dan jangan meringkas salah satunya.

 

Imam Ghazali bercerita dalam kitab Ihya, “Jika saya menulis sebuah hadits dalam kitabku, saya selalu bershalawat kepada Nabi SAW, tanpa menyebutkan salam. Kemudian saya melihat Nabi SAW di dalam mimpi, beliau berkata, “Mengapa kamu tidak menyempurnakan shalawat kepadaku di dalam kitabmu?”. Setelah kejadian itu saya selalu menuliskan shalawat dan salam.

 

Imam Nawawi mengatakan, disunahkan bagi orang yang membaca hadits atau yang lainnya, apabila menyebut lafadz Rasulullah SAW, hendaknya mengeraskan suara seraya bershalawat dan membacakan salam kepadanya. Dan janganlah mengeraskan suara dengan yang melebihi batasan kepatutan. Imam Nawawi mengatakan bahwa di antara yang memberikan penjelasan tentang mengeraskan suara ketika bershalawat adalah Imamul A’dhom alHafidh Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi dan yang lainnya.

 

Diceritakan dari Abi Bayan al-Ashfihani, beliau mengatakan bahwa beliau melihat Rasulullah SAW dalam mimpi, kemudian beliau mengatakan padanya: “Apakah Engkau memberikan suatu manfaat kepada putra pamanmu yaitu as-Syafi’i, ataukah Tuan memberikan suatu kekhususan padanya?” Nabi menjawab: “Iya, aku memohonkan kepada Allah agar tidak menghisabnya”. Saya berkata: “Sebab apa?”. Beliau menjawab: “Karena beliau telah bershalawat dan membacakan salam kepadaku, dengan shalawg yang lain daripada yang lain” Saya berkata: “Shalawat apakah itu” Beliau menjawab: “Dia membaca shalawat:

 

Imam Ibnu Abdil Hakam mengatakan, saya melihat Imam Syafi’i dalam mimpi, kemudian saya berkata padanya: “Apa yang Allah perbuat kepadamu?” Beliau menjawab: “Allah memberiku nikmat, mengampuni dosaku, dan aku diarak di Surga, serta ditaburi bunga laksana pengantin.” Kemudian saya bertanya, “Dengan apa engkau bisa mencapai derajat ini?” Beliau menjawab: “Sebab perkataanku dalam kitab risalah:

 

 

 

 

Sesungguhnya keutamaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sangatlah banyak. Yang mana goresan pena tak akan mampu menyebutkannya, dan bila ditulis, akan menghabiskan berjilidjilid buku. Namun di sini secara ringkas akan disebutkan beberapa keutamaan shalawat kepada Nabi SAW :

 

  1. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat kepada nabi muhammad SAW, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh ali Jipatnya. Imam Muslim dan Ashabus Sunan meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah RA. Beliau mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

 

Barang siapa bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak sepuluh”

 

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Abdurrahman bin Auf a. bahwasanya beliau mengatakan :

 

“Suatu ketika Rasulullah keluar, kemudian aku mengikutinya, sehingga beliau masuk ke dalam kebun kurma. Lalu beliau, sujud dan memanjangkan sujudnya, sampai-sampai aku takut dan khawatir kalau-kalau Allah telah memanggilnya. Kemudian saya mendatanginya untuk melihat keadaan beliau, lalu belia, mengangkat kepala seraya berkata: “Ada apa wahai Abdurrahman? Aku pun menceritakan semuanya kepada Rasulullah SAw Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Seseungguhnya Jibri “Alaihis Salam mengatakan padaku: “Maukah kamu aku beri kabar gembira, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Barang siapa bershalawat kepadamu, maka Aku pun bershalawat padanya. Barang siapa mengucapkan salam kepadamu, maka Aku pun memberikan salam untuknya.” Dan dalam sebuah riwayat disebutkan, “Kemudian saya sujud kepada Allah karena bersyukur”

 

  1. Barang siapa bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, maka Rasulullah Muhammad SAW juga memohonkan rahmat baginya. Diceritakan dari sahabat Anas bin Malik RA. Beliau mengatakan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

 

“Barang siapa bershalawat kepadaku, maka shalawat tersebut akan sampai kepadaku, dan aku pun memintakan rahmat untuknya dan Allah mencatat baginya sepuluh kebaikan selain hal tersebut’ (H.R. Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan sanad yang masih bisa ditolerir. Demikian dalam kitab At Targhib Mundziri).

 

3, Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, maka malaikat memintakan ampun kepadanya:

 

Diceritakan dari sahabat Anas bin Malik RA, bahwasanya belia! mengatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Perbanyaklah kamu sekalian membaca shalawat kepadaku di hari Jum’at, dikarenakan Jibril baru saja mendatangiku menyampaikan pesan dari Allah Tuhannya lalu Dia berfirman: Tidak ada seorang muslim yang berada di atas bumi sedang membacakan shalawat untukmu sekali saja, kecuali Aku dan Malaikat-Kuakan bershalawat kepadanya sebanyak sepuluh kali”.

 

Imam al-Hafidz al-Mundziri mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani.

 

Diceritakan dari Abdullah bin Amr RA. bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

“Barang siapa bershalawat kepadaku dengan satu shalawat, maka Allah dan Malaikat-Nya bershalawat padanya dengan tujuh puluh shalawat”

 

Imam al-Hafidz al-Mundziri mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad hasan.

 

Amir bin Rabi’ah menceritakan hadits dari ayahnya, bahwasanya ayah beliau mengatakan bahwa saya mendengar Rasulullah SAW berkhutbah dan menyampaikan:

 

“Barang siapa bershalawat kepadaku, maka tidak henti-hentinya malaikat memintakan ampun baginya selama ia masih bersholawat kepadaku”.

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Majah dengan sanad hasan. Dan dalam riwayat lain disebutkan:

 

“Tidaklah seorang hamba yang bershalawat kepadaku. melainkan para malaikat memintakan ampun baginya, selagi ia masih bershalawat kepadaku. Maka terserah dari seorang hamba mau mempersedikit atau memperbanyak bacaan shalawat”.

 

  1. Barang siapa bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, maka akan diangkat derajatnya dan akan ditambah kebaikannya serta akan dilebur kejelekannya. Imam Nasai dan Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dan Abi Buraidah bin Niyar, beliau mengatakan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

 

“Barang siapa dari umatku yang bershalawat kepadaku dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah akan memberi rahmat kepadanya dengan sepuluh rahmat, menaikan derajatnya hingga sepuluh derajat, dan menulis baginya sepuluh kebaikan, serta menghapus darinya sepuluh kejelekkan”

 

Diceritakan dari Abi Thalhah al-Anshari RA. Beliau mengatakan, bahwasanya pada suatu pagi Rasulullah SAW terlihat bahagia, dan wajah beliau terlihat berseri-seri. Para shahabat berkata :

 

“Wahai Rasulullah. pagi ini Engkau terlihat begitu bahagia dan wajahmu terlihat berseri-seri.” Rasulullah SAW menjawab, “Iya, ada seorang utusan Allah yang mendatangiku seraya berkata : “Barang siapa dari umatmu yang membacakan shalawat kepadamu, maka Allah akan menuliskan untuknya sepuluh kebaikan, melebur darinya sepuluh kejelekkan, dan mengangkatnya sepuluh derajat, dan baginya sama sebagaimana shalawat yang ia baca.” (Imam Mundziri berkata dalam kitab At Targhib : HR. Imam Ahmad dan Nasa’i)

 

Dan dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan, bahwa Rasulullah SAW pada suatu hari datang dengan wajah gembira, emudian para shahabat berkata: “Ya Rasulallah, sungguh kami melihat raut muka gembira di wajahmu.” Kemudian Rasulullah menjawab: Sesungguhnya telah datang kepadaku seorang Malaikat, Kemudain ia berkata, “Wahai Muhammad apakah engkau senang jika Tuhanmu mengatakan, “Sesungguhnya tidaklah seorang un yang bershalawat kepadamu, kecuali Aku memberi rahmat kepadanya sepuluh kali?”, Nabi mejawab, “Iya (aku senang)”.

 

Terdapat suatu riwayat yang dimiliki Imam Ahmad, bahwa pada suatu hari Rasulullah datang dan kelihatan wajah beliau berseri karena bergembira, lalu para sohabat berkata :

 

“Wahai Rasulullah, kita melihat kegembiraan tampak di wajahmu, lalu Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku telah didatangi malaikat dan ia berkata : Wahai Muhammad, apakah Engkau senang Jika Allah tuhanmu berfirman: Sesungguhnya tiada orang dari umatmu yang membaca sholawat kepadamu kecuali Aku memberi rahmat kepadanya sepuluh kali. Dan tiada seseorang dari umarmu yang membaca salam kepadamu kecuali Aku memberi salam kepadanya 10 kali. Kemudian Rasulullah menjawab: Iya (ak, senang).” (Imam Mundziri berkata: Ibnu Hibban meriwayatkan sesamanya dari kitab shohihnya)

 

Imam Qadli ‘IyadI Ra. menyebutkan, bahwa makna shalawat yang diberikan Allah kepada orang yang membacakan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, adalah pemberian rahmat kepadanya dan pelipatgandaan pahala. Sebagaimana dalam firman Allah :

 

“Barang siapa melakukan kebaikan. maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya.”

 

Namun bisa jadi yang dikehendaki adalah sholawat sebagaimana mestinya, yaitu pujian dan pengagungan yang berupa kalam yang diperdengarkan kepada malaikat sebagai bentuk pengagungan dan pemuliaan terhadap orang yang membaca shalawat. Sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadits:

 

Hadits-hadits di atas memberikan suatu informasi bahwa Allah SWT bershalawat kepada orang yang bershalawat kepada Nabi SAW dengan sepuluh shalawat. Dan bahwasanya penyebutan Allah terhadap seorang hamba adalah lebih agung dibanding dengan berlipat-lipat kebaikan. Demikian itu karena sesungguhnya, tatkala Allah tidak menjadikan balasan kepada orang yang menyebut-nyebut-NYA, kecuali Allah juga menyebut-nyebutnya, sebagaimana dalam hadits dimana Allah berfirman :

 

“Jika hambaku menyebut-nyebut-Ku dengan sendirinya, maka ia akan Aku sebut-sebut pada diri-Ku sendiri, dan jika ia menyebut-nyebut-Ku dalam perkumpulan, maka ia akan aku sebut-sebut dalam perkumpulan yang lebih baik.”

 

Begitu juga Allah memberikan balasan bagi orang yang menyebut-nyebut Nabi dan kekasih-Nya. Maka barangsiapa yang membaca sholawat pada kekasih Allah, maka Allah akan bersholawat padanya. Jadi, bentuk penyebutan Allah adalah pemberian rahmat dan pujian kepadanya, serta berupa penghormatan dan pemberian kebaikan padanya.

 

Imam al-Alamah Syaikh Burhanudin bin Abi Syarif RA. mengatakan: “Barang siapa mencurahkan pikiran dan mau menggunakannya, maka para utusan kebahagiaan silih berganti mendatanginya dengan membawa kebaikan dan kebahagiaan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Duhai agungnya suatu kebahagiaan yang terus-menerus silih berganti. Bisakah shalawat seorang hamba membandingi shalawat Malikul Mulk? Bagaimana bisa, sementara seorang hamba hanya bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW sekali, sementara Allah bershalawat kepadanya sebanyak sepuluh. Maka betapa Allah telah memberikan pahala yang besar.”

 

Dan diceritakan dari shahabat Anas RA. bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

“Tidaklah seorang hamba yang mengingatku, kemudian membacakan shalawat kepadaku, kecuali Allah akan menulis baginya sepuluh kebaikan, dan melebur sepuluh kejelekan, dan mengangkatnya sepuluh derajat.”

 

Besarnya pelipat gandaan pahala shalawat dan salam bagi orang yang bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, menunjukkan bagaimana Allah SWT memuliakan kekasih-Nya, dan memberitahukan keutamaan Nabi SAW dibandingkan dengan nabi-nabi yang lain. Oleh sebab itu, ketika malaikat Jibril memberikan kabar gembira kepada Nabi SAW, beliau langsung sujud sebaya rasa syukur kepada Allah SWT atas pemberian khusus dan hadiah yang agung.

 

Imam Ahmad dan Imam Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari Abdurrahman bin Auf, dan menganggap shahih sanadnya, beliau mengatakan bahwasanya suatu ketika Rasulullah SAW keluar, kemudian saya mengikutinya, sampai pada akhirnya beliau masuk ke dalam kebun kurma. Kemudian beliau sujud, dan memperpanjang sujudnya, sehingga saya khawatir dan takut kalau-kalau Allah telah memanggil beliau. Kemudian saya mendatangi dan melihat beliau. Lalu Rasulullah SAW mengangkat kepalanya seraya bersabda: “Ada apa wahai Abdurrahman?” Kemudian saya menjelaskan semuanya kepada beliau. Dan Nabi bersabda: “ Sesungguhnya Jibril alaihissalam mengatakan padaku: “ Maukah aku beri kabar gembira? Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman: “Barang siapa bershalawat kepadamu, maka Aku bershalawat kepadanya, dan barang siapa mengucapkan salam kepadamu, maka Aku mengucapkan salam kepadanya.” Dalam sebuah riwayat ada tambahan, “Maka aku sujud kepada Allah sebagai rasa syukur.”

 

Imam Ahmad dan Imam Hakim, dan ia menyatakan kesahihan sanadnya, meriwayatkan dari Abdurrahman bin ‘Auf RA. ia berkat:

 

“Ketika Rasulullah keluar rumah, aku mengikutinya sehingga beliau masuk kebun kurma. Lalu beliau sujud dan berlama-lama dalam sujudnya, maka aku khawatir jikalau Allah telah mencabut ruhnya. Abdurrahman bercerita : Lalu aku datang untuk melihatnya, kemudian Rasulullah bangun mengangkat kepalanya dan berkata : ” Ada apa dengan engkau ya Abdurrahman ? Abdurrahman bercerita Aku tuturkan kepada beliau kekhawatiranku tadi, Abdurrahman bercerita : lalu Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya malaikat Jibril mengatakan kepadaku : Aku datang membawa berita gembira, Sesungguhnya Allah berfirman : “Barang siapa yang membaca sholawat kepadamu, maka Allah bersholawat kepadanya, dan barang siapa yang membaca salam untukmu. maka Allah memberikan salam kepadanya”. (Dalam suatu riwayat disebutkan) “Lalu aku bersujud karena Allah sebagai tanda syukur”.

 

Imam al-Hafidz al-Mundziri meriwayatkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun’ya dan Abi Ya’la, lafadzya adalah: “Ada lima atau empat shahabat Rasulullah SAW yang tidak berpisah dengan Rasulullah, yang selalu menggantikan beliau dalam memenuhi kebutuhan baik siang maupun malam.

 

Abdurrahman bin Auf mengatakan: “Aku datang kepada Rasulullah, sementara beliau baru saja keluar. Kemudian aku mengikutinya. Lalu beliau masuk ke sebuah kebun dari beberapa kebunnya Asyrof. Kemudian beliau shalat, lalu sujud dan memanjangkan sujudnya. Saya pun menangis, dan mengatakan: “Allah telah mengambil ruhnya.” Kemudian Rasulullah mengangkat kepalanya dan memanggilku, lalu beliau bertanya: “Ada apa denganmu?” Saya menjawab: “Ya Rasulallah, engkau memanjangkan sujud, dan saya mengatakan Allah telah mengambil ruh Rasulullah SAW, mudah-mudahan itu tidak terjadi selamanya.” Kemudian beliau bersabda: “Aku bersujud, karena syukur kepada Tuhanku atas ujian yang diberikan kepadaku demi umatku. Barang siapa dari umatku bershalawat kepadaku, maka Allah akan menuliskan baginya sepuluh kebaikan, dan melebur darinya, sepuluh kejelekkan.”

 

  1. Barang siapa bershalawat kepada Nabi SAW, maka baginya, pahala sebanding dengan sepuluh budak yang ia merdekakan karena Allah Ta’ala.

 

Diceritakan dari Bara” bin “Azib Ra. sesungguhnnya Nabi SAW bersabda:

 

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan menulis baginya sepuluh kebaikan, dan melebur darinya sepuluh kejelekkan, dan Allah mengangkatnya sepuluh derajat, dan sholawat itu baginya sebanding dengan sepuluh budak.”

 

  1. Sesungguhnya shalawat itu menjadi sebab diampuninya dosa-dosa, dan itu semua tergantung dari keimanan, kecintaan. dan keikhlasan seorang mukmin dalam bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

 

Imam Ibnu Abi “Ashim dan Imam Thabrani meriwayatkan hadits dari Abi Kahil RA, beliau mengatakan: “ Rasulullah SAW. berkata padaku:

 

“Wahai Aba Kahil, barang siapa bershalawat kepadaku setiap hal sebanyak tiga kali, dan setiap malam tiga kali, dikarenakan cinta dan rindu kepadaku, maka ia berhak mendapatkan ampunan Allah pada malam dan hari itu.”

 

Hadits diatas diriwayatkan Imam Mundzir dengan menggunakan lafadl (. ) dan ia menyebutkannya dalam kitab Jala’ul Afham dengan sanadnya.

 

  1. Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, akan bisa memintakan ampunan bagi si pembaca, dan bisa menenangkannya di alam kubur. Diceritakan dari sayyidah “Aisyah RA, beliau mengatakan: Rasulullah SAW, bersabda:

 

“Tidaklah seorang hamba yang bershalawat kepadaku, kecuali telah keluar seorang malaikat dengan membawa shalawat itu hingga menghadap kepada Allah Dzat yang Rahman “Azza wa Jalla.” Dan Allah SWT berfirman: “Pergilah dengan membawa shalawat tadi pada kubur hamba-Ku, agar memohonkan ampun bagi pemiliknya, dan menenangkannya”.

 

  1. Di antara kekhususan shalawat kepada Nabi SAW, adalah Rasulullah SAW akan memberikan syafaat kepada pembacanya.

 

Ibnu Abi Dawud meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari Sahabat Abu Bakar as-Shidiq RA. beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda ketika haji wada’ :

 

“Sesungguhnya Allah “Azza wa Jalla telah melimpahkan padamu dosa-dosamu ketika beristighfar. Barangsiapa beristighfar dengan niat yang sungguh-sungguh maka ia akan diampuni, dan barang Siapa yang mengatakan Laa Ilaaha Illallah, maka akan diberatkan limbangannya, dan barang siapa bershalawat kepadaku, maka aku akan memberikan syafa’at kepadanya di hari kiamat,”

 

  1. Di antara keutamaan shalawat kepada Nabi SAW, adalah bisa menghilangkan kefakiran dan bisa melimpahkan kebaikan dan keberkahan. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat dari sanad yang berbeda-beda yang saling menguatkan.

 

Abu Na’im meriwayatkan dari Samurah bin Jundub RA. beliau mengatakan bahwasanya seseorang datang kepada Rasulullah SAW, dan berkata :

 

“Wahai Rasulullah, amal apa yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah?” Nabi menjawab: “Ucapan yang jujur das menyampaikan amanah.” Lalu saya berkata: “Mohon ditambah lagi”, Nabi menjawab: “Shalat malam dan puasa pada hari-hari cuaca sedang panas.” Lalu saya berkata: “Mohon ditambah lagi”, Nabi menjawab: “Memperbanyak dzikir dan bershalawat kepadaku, bisa menghilangkan kefakiran.” Lalu saya berkali: “Mohon ditambah lagi”, Nabi menjawab: “Barangsiapa menjadi imam shalat, maka ringankanlah, karena sebagian dari mereka ad yang tua, sakit, lemah dan mempunyai keperluan.”

 

Imam al-Hafidz Abu Musa al-Madini meriwayatkan hadit dari Sahal bin Sa’ad RA. bahwasanya beliau mengatakan bahwa’ seseorang telah datang kepada Nabi SAW, lalu ia mengadukan keadaannya yang fakir dan kondisi yang serba kekurangan dalam memenuhi biaya hidup. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :

 

Jika kamu masuk ke dalam rumahmu, maka ucapkanlah salam, baik di dalam ada orang atau tidak, kemudian ucapkanlah salam kepadaku, dan bacalah.   satu kali.”

 

Lalu orang tersebut melakukannya, maka Allah pun melimpahkan rizki kepadanya sehingga bisa meluber kepada tetangga dan kerabat dekatnya.

 

  1. Diantara keutamaan shalawat kepada Nabi SAW, adalah arang siapa yang lebih banyak membacakan shalawat, maka Rasulullah SAW adalah orang yang paling berhak baginya.

 

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Anas RA. bahwasanya Nabi SAW bersabda :

 

“Orang yang paling berhak bersamaku pada hari kiamat adalah di antara mereka yang paling banyak bershalawat kepadaku.”

 

Ibnu Hibban mengatakan, bahwa dalam hadits ini menunjukkan arti bahwa orang yang paling berhak bersama Rasulullah pada hari kiamat (paling dekat dengan Rasulullah) adalah para ahli hadits, karena tidak ditemukan dari umat ini yang lebih banyak bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW daripada ahli hadits.

 

Imam al-Allamah al-Haitami dan yang lainnya mengatakan: Hadits di atas memberi pesan kegembiraan yang besar bagi para ahls hadits, dikarenakan mereka senantiasa bershalawat kepada Nabi SAW, baik dengan ucapan maupun perbuatan, di saat siang ataupun malam, ketika membaca dan menulis. Merekalah yang paling banyak membaca shalawat, Oleh karena ku. merekalah yang bisa meraih derajat tersebut dan merekalah yang paling istimewa daripada golongan ulama’ yang lain

 

  1. Di antara keutamaan shalawat kepada Nabi SAW, adalah bahwasanya keberkahan dan kebaikan shalawat bisa dirasakan pada diri sendiri, anak bahkan cucu. Seperti yang diriwayatkan dari Hudzaifah RA. sesungguhnya ia berkata:

 

“Berkahnya bershalawat kepada Nabi itu bisa menemui orang yang mengucapkannya, anaknya bahkan cucunya.”

 

Harumilah Perkumpulan Dengan Shalawat Kepada Nabi SAW

 

Imam Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau mengatakan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tidaklah dari sebuah kaum yang mengadakan perkumpulan, lalu mereka berpisah dengan tanpa mengucapkan dzikir kepada Allah melainkan sama halnya mereka berpisah dari bangkai himar, dan mereka akan menyesal pada hari kiamat.”

 

Hadits ini juga disebutkan oleh Imam Mundziri dalam kitab at Targhib wa at-Tarhib, ia berkata: H.R. Abu Dawud dan Hakim. ia berkata: Hadits Shohih atas syarat Imam Muslim. Penulis berkata Imam Nawawi menshahihkan sanadnya dalam al-Adzkar dan athRiyadil.

 

Ibnu Jauzi dalam kitab Bustan menyebutkan, ketika ada sebuah majlis yang tidak dibacakan shalawat kepada Nabi SAW, maka ibarat mereka berpisah dari suatu tempat yang lebih busuk dari bangkai himar. Sehingga tidak heran bagi orang yang membacakan shalawat dalam majlisnya, mereka akan berpisah dari suatu tempat yang aromanya lebih harum dari gudang minyak wangi.

 

Hal itu dikarenakan Nabi Muhammad SAW, adalah sosok yang lebih harum daripada orang-orang yang harum, dan lebih suci daripada orang-orang yang suci. Dan ketika Nabi berbicara, maka beliau memenuhi ruangan dengan aroma misik. Begitu juga dengan majlis yang di dalamnya disebutkan nama Nabi Muhammad SAW, maka akan keluar darinya aroma wangi yang menembus langit ke tujuh sehingga mencapai ‘arsy. Dan setiap makhluk Allah, selain manusia dan jin, dapat menemukan aroma itu di permukaan bumi. Karena jika manusia dan jin bisa mencium aroma itu, maka niscaya mereka akan disibukkan dengan kelezatan keharumannya dan meninggalkan pekerjaannya. Malaikat dan semua makhluk Allah tidaklah mendapati aroma tersebut kecuali memohonkan ampun kepada ahlul majlis, dan Allah menulis bagi mereka kebaikan sebanyak bilangan makhluk Allah yang mencium aroma harum tersebut, dan mengangkat derajat mereka sebanyak bilangan makhluk Allah tersebut. Meski dalam majlis itu hanya ada satu atau bahkan seratus ribu orang, maka masing-masing dari mereka akan bisa mendapatkan pahala yang sama dengan bilangan tersebut, dan pahala yang berada di sisi Allah adalah lebih banyak.

 

Disebutkan dalam sebuah syi’ir:

 

“Waktu-waktu menjadi harum semerbak selama dalam sebuah majlis disebutkan berita-berita tentang Nabi. Maha Suci Dzat yang telah menciptakannya sebagai cahaya dan menjadikannya dengan rupa yang sangat rupawan”.

 

Diceritakan dari Imam Kawaz al-Busthami, beliau mengatakan: “Saya meminta kepada Allah Ta’ala agar aku bisa dipertemukan dengan Abu Shaleh dalam mimpi, yang merupakan seorang muadzin. Kemudian saya melihatnya pada suatu malam dengan keadaan yang sangat baik, lalau saya berkata padanya: “Wahai Abu Shaleh, ceritakan padaku tentang sesuatu yang terjadi padamu,” kemudian beliau menjawab: “Aku termasuk dalam golongan orang yang mengalami kehancuran, jika aku tidak memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.”

 

Imam Syibli menceritakan bahwasanya seorang tetangganya telah meninggal. Kemudian aku melihatnya dalam mimpi, lalu aku bertanya tentang keadaannya. Kemudian ia berkata padaku: “Wahai Syibli, aku telah mengalami keadaan yang mencekam, di mana pada saat aku ditanya, mulutku menjadi gagap. Tatkala dua Malaikat menghampiriku, dan salah satunya menginginkan untuk segera menyiksaku, maka tiba-tiba datang seorang dengan “wajah rupawan yang belum pernah aku jumpai sebelumnya, maka ia menjadi penengah antara aku dan kedua malaikat. Setelah ia mengajarkan hujjah kepadaku, kemudian aku berkata padanya: “Siapa kamu?” Ja menjawab: “Aku adalah Malaikat yang Allah ciptakan dari pahala bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Dan kamu merupakan orang yang banyak bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW di dunia. Maka Allah menciptakanku untukmu sebagai balasan shalawatmu kepada Nabi Muhammad SAW, supaya aku bisa menyelamatkanmu dengan izin Allah dari segala kesusahan dan dari siksa neraka sehingga aku memasukkanmu ke dalam surga atas rahmat Allah”,

 

Wahai saudaraku, janganlah bosan-bosan untuk selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

 

 

 

 

Terdapat pada sebagian atsar Sahabat, penamaan bulan Sya’ban dengan bulan al-Qur’an dan telah diketahui bahwa membaca alQur’an dianjurkan di setiap waktu dan tempat. Bahkan anjurannya akan semakin kuat pada waktu-waktu yang diberkahi dan di tempat-tempat yang mulia, seperti membaca al-Qur’an pada bulan Ramadlan dan Sya’ban, membaca al-Qur’an di kota Makkah alMukarromah, Roudloh al-Musyarrofah, dan tempat-tempat lain yang dimuliakan. Pernyataan demikian juga pernah diungkapkan oleh sebagian ulama salaf.

 

Syaikh Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Saya meriwayatkan — dengan sanad yang dloif — dari Anas, ia berkata: Umat Islam ketika memasuki bulan Sya’ban, mereka menyibukkan diri dengan mushaf (al-Qur’an) dan membacanya, mengeluarkan zakat atas harta mereka guna menguatkan orang-orang yang lemah dan miskin dalam menjalankan puasa Ramadlan”, Salamah bin Kuhail berkata: “Bulan Sya’ban disebut dengan Syahrul Qurra’ (Bulan para Ahli al-Qur’an)”. Hubaib bin Abi Tsabit ketika memasuki bulan Sya’ban berkata: “Bulan ini adalah bulan para Ahli Qur’an”, Amar bin Oois al-Mula’iy ketika memasuki bulan Sya’ban menutup tokonya dan menggunakan waktunya untuk membaca al-Qur’an. Hasan bin Sahl berkata: Bulan Sya’ban berkata: “Wahai tuhanku, Engkau menjadikanku di antara dua bulan yang agung, lalu apakah keutamaanku? Lalu Allah berfirman: Aku menjadikanmu waktu untuk membaca al-Qur’an.”

 

Al-‘Allamah Syaikh Ahmad bin Hijazy berkata: “Dahuly Salafus Sholeh selalu mengisi bulan Sya’ban dengan membaca al-Qur’an dan itu mendamaikan hati mereka. Tidak ada dari kalian menghafalkan al-Qur’an seperti al-Fatihah, Ayat Kursi, surat al-Ikhlas, al-Mu’awwidzatain, dan lain-lain, kecuali ia akan menyibukkan diri pada bulan ini dengan apa yang telah ta hafalkan.”

 

Keutamaan Al-Qur’an

 

Al-Qur’an al-Karim memiliki banyak keistimewaan dan kelebihan yang akan kami paparkan beberapa di antaranya yang paling penting, yaitu:

 

  1. Nilai Ibadah dalam Membacanya

Salah satu keistimewaan Al-Qur’an adalah Allah memberikan nilai ibadah bagi seorang hamba yang membacanya dan memberikan pahala serta derajat kedekatan atas sekedar mengutang-ngulang lafadznya, meskipun tanpa memahami maksudnya. Danjika seorang hamba mampu membacanya disertai memahami maksudnya, maka ia akan memperoleh tambahan satu pahala lagi.

 

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka ita mengharapkan perniagaan yang tidak akan – merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri,”

 

Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka ia akan mendapatkan satu kebaikan. Dan satu kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipatnya. Aku tidak berkata    adalah satu huruf, tetapi (alif) satu huruf,    (lam) satu huruf, dan     (mim) satu huruf” (HR. Tirmidzi).

 

la berkata: hadist Hasan dan Sahih. Imam Hakim juga meriwayatkan hadist yang serupa secara marfu’, dan ia berkata: sahih sanadnya.

 

Terdapat hadist lain yang diriwayatkan dari Anas RA. bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Seutama-utamanya ibadah umatku adalah membaca al-Qur’an.”

 

Sanadnya lemah, tetapi telah dikuatkan dengan hadist-hadist lainnya.

 

Keistimewaan inilah yang menjadikan al-Qur’an berbeda dari yang lainnya. Adapun selain al-Qur’an, tidak terdapat pahala dengan hanya sekedar membacanya, tetapi harus disertai memikirkan dan memahami atas maksudnya. Termasuk sholat, yang disebut sebagai tiang agama, seorang yang sholat tidak akan mendapatkan pahala atas sholatnya kecuali sebatas kadar ia merenungi dan mengerti maksudnya.

 

  1. Syafaat Al-Qur’an Bagi Ahli Al-Qur’an

 

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad sahih, dari Rasulullah SAW. beliau bersabda:

 

“Al-Qur’an akan datang menjelma sebagai seorang pemuda pada, hari kiamat dan ia berkata: Apakah kamu mengenalku? Aku adalah yang selalu membuatmu begadang di malam harimu dy membuatmu dahaga di siang hari,”

 

Ibnu Mubarok meriwayatkan dalam kitab Ragaiynya secara, marfu ‘:

 

“Puasa dan al-Qur’an, keduanya mampu memberikan syafaat bag seorang hamba. Puasa berkata: Aku mencegahnya dari makan dan syahwat di siang hari, maka berikanlah syafaat padaku baginya. Al Qur’an berkata: Aku mencegahnya dari tidur di malam hari, maka berikanlah syafaat padaku baginya. Maka keduanya diberi syafaat”

 

Abu Umamah meriwayatkan hadist secara marfu’:

 

“Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada har kiamat dengan memberikan syafaat bagi mereka yang membacanya.” (HR Imam Muslim)

 

Diriwayatkan dari Jabir secara marfu’:

 

“Al-Qur’an dapat memberikan syafaat dan diterima syafaatnya, juga sebagai pembela yang dibenarkan. Barang siapa meletakkannya d depan, maka al-Qur’an akan menuntunnya ke surga. Dan baranf siapa meninggalkannya di belakang maka akan dijerumuskan ke neraka.”

 

  1. Orang Yang Mencintai Al-Qur’an, Allah Akan Mencintainya

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara marfu’:

 

“Barang siapa senang dicintai Allah dan Rasul-Nya, maka lihatlah. Apabila ia mencintai al-Qur’an, maka Allah dan Rasul-Nya mencintainya.” (H.R. at-Thobroni) semua perawinya tsiqoh.

 

  1. Al-Qur’an Adalah Mu’jizat Yang Kekal

 

Salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah keberadaannya sebagai satu mu’jizat yang kekal, yang dibaca di setiap tempat, dan dijamin dengan penjagaan Allah (dari kepunahan dan adanya perubahan). Berbeda dengan mu’jizat-mu’jizat para Nabi lainnya, sesungguhnya mu’jizat tersebut akan berlalu seiring dengan berlalunya waktu, sedangkan al-Qur’an akan selalu tetap kekal sebagaimana adanya, sejak pertama kali diturunkan hingga zaman sekarang, sekalipun telah melewati empat belas gurun. Hujjahnya kuat dan argumennya dapat mematahkan lawan sekalipun saat itu banyak ditemukan ilmuwan dan sastrawan handal di setiap penjuru desa dan kota, yang kerap menantang dan mempertaruhkan pengetahuannya di setiap saat. Tetapi, al-Qur’an akan tetap seperti begitu adanya selama dunia dan isinya masih ada.

 

  1. Pembaca Al-Qur’an dan Pendengarnya Tidak Akan Pernah Jemu

 

Di antara keistimewaan al-Qur’an adalah orang yang membacanya tidak pernah bosan dan pendengarnya tidak akan menolaknya, bahkan mengulang-ulangnya dapat menambah rasa cinta terhadap al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan dalam sya’ir:

 

“Al-Qur’an adalah sebaik-baik teman berbincang yang tidak pernah menjemukan ceritanya, Mengulang-ulangnya akan menambahkan keindahan padanya”

 

Adapun pembicaraan selainnya, meskipun disertai sastra yang tinggi, akan terasa membosankan jika didengar berulang-ulang dan membuat perasaan tidak senang. Namun itu semua adalah bagi orang yang berhati dan berjiwa sehat, bukan bagi seseorang yang mempunyai karakter bobrok.

 

  1. Membaca Al-Qur’an Dapat Mencerahkan Hati Yang Berkarat

 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA. bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Sesungguhnya hati ini dapat berkarat sebagaimana besi. Para Sahabat bertanya: Lalu apa yang dapat mencerahkannya? Lalu Nabi SAW menjawab: Membaca al-Qur’an.”

 

  1. Kemuliaan Penghafal Al-Qur’an, Memuliakannya, dan Mendahulukannya

 

Asal keberadaan al-Qur’an adalah sebagai syi’ar Allah. Allah SWT. berfirman:

 

“Yan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syiar Allah, maka sesungguhnya Itu timbul dari ketakwaan hati”

 

Para ulama mengambil dasar dari ayat tersebut atas kewajiban memuliakan para ahli Al-Qur’an.

 

Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW:

 

“Termasuk mengagungkan keagungan Allah adalah memuliakan tiga orang: Imam yang adil, orang tua yang muslim, dan para penghafal al-Qur’an.” (Riwayat Ibnu Abdil Barr dalam kitab Bayanul Ilmi),

 

la berkata: Penghafal al-Qur’an (Hamilul Quran) adalah orang yang tahu akan hukum-hukumnya, halal haramnya, dan mengamalkannya.

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA. secara marfu’:

 

“Yang berhak menjadi imam atas kaum adalah orang-orang yang benar bacaan al-Qur’annya.” Hadist sahih.

 

Imam Bukhori dan lainnya meriwayatkan:

 

“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengubur dua jenazah lelaki syahid perang Uhud dalam satu liang. Kemudian Rasulullah SAW bertanya: “Mana diantara keduanya yang lebih banyak riwayat al-9ur’annya?” Jika ditunjuk salah satunya, maka Rasulullah SAW mendahulukannya ke dalam liang lahad”

 

  1. Mengambil Berkah dari Al-Qur’an

 

Termasuk keistimewaan al-Qur’an adalah al-Qur’an dapat diambil berkahnya. Allah SWT berfirman:

 

“Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi, membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya”.

 

Imam ad-Darimi meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ikrimah bin Abu Jahal meletakkan al-Qur’an di depan wajahnya seraya berucap: “Ini adalah Kitabnya Tuhanku… ini adalah Kitabnya Tuhanku…”

 

Termasuk berkah al-Qur’an, adalah membaca satu surat alQur’an dan beberapa ayat dapat mengusir syetan dari si pembaca, bahkan dari rumahnya juga. Dan sesungguhnya berkumpul membaca al-Our’ an dapat mencurahkan rahmat Allah SWT, meraih ridlo-Nya, dan memperoleh turunnya ketenangan. juga Allah akan menyebut-nyebut orang yang berkumpul untuk al-Qur’an.

 

Menggunakan al-Qur’an sebagai media penyembuhan dari penyakit jasmani dan bertabarruk dengannya, bukan berarti menafikan penggunaan al-Qur’an sebagai media penyembuhan penyakit hati, menolak kebodohan, keraguan, dan mengamalkan hukum syariat yang terkandung.

 

Barang siapa yang berpendapat bahwa penggunaan alQur’an di satu fungsi dapat mengosongkan fungsi lainnya, atav meniadakannya, maka ia sama dengan mendustakan sesuatu yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabi’in.

 

 

 

 

Hendaknya bagi umat muslim untuk meraup waktu-waktu yang berkah dan saat-saat yang utama, khususnya bulan Sya’ban dan malam nisfu Sya’ban dengan memperbanyak dan menyibukkan diri dengan membaca kalimat Syahadat        dengan meresapi maknanya, mengamalkan, meyakini, menjadikan dasar, menjadikan sebagai ibadah, sebagai dzikir, dan mengulang-ulangnya.

 

Laa ilaaha illallah adalah pintu masuk agama Islam, tangga untuk meraih keimanan, dan mi’rojnya hati dan ruh menuju Tuhan jagat raya yang maha Rahim dan Rahman. Laa ilaaha illallah juga merupakan salah satu cabang iman yang paling utama, merupakan sebesar-besarnya kebaikan yang bisa meremajakan iman dan melebur kejelekan, pada akhirnya ia akan menuntun tangan para pembacanya menuju ke surga. Laa ilaaha illallah adalah kunci langit dan bumi, bahkan juga kunci surga, yang dapat mencegah hamba dari mendapatkan murka Allah SWT dan menyelamatkannya dari adzab-Nya.

 

Terdapat banyak hadist yang menjelaskan tentang keutamaan Laa ilaaha illallah, diantaranya adalah:

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Perbaruilah iman kalian. Dikatakan: Wahai Rasulullah, bagaimana kami memperbarui iman? Rasulullah bersabda: Perbanyaklah membaca Laa Ilaaha illallah” (HR. Ahmad dan at-Thobroni). Diriwayatkan dari Abu Dzar RA ia berkata:

 

“Aku katakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat. Lalu Rasulullah bersabda: “Jika kamu melakukan kesalahan, maka bersegeralah melakukan kebaikan, niscaya akan meleburnya. “Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah Laa ilaaha illallah termasuk dari kebaikan? Nabi SAW bersabda: “Itu adalah utama-utamanya kebaikan.” (HR. Ahmad)

 

Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tidak ada hamba yang membaca Laa ilaaha illaillah pada satu saat di malam atau siang hari kecuali beberapa kesalahannya dihapus dari buku amalnya, dan akhirnya digantikan dengan kebaikan yang Serupa. (HR. Abu Ya’la)

 

Diriwayatkan dari Abu Bakar RA dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:

 

“Perbanyaklah membaca Laa ilaaha illallah dan istighfar, sesungguhnya Iblis berkata: Aku merusak manusia dengan dosadosa. namun mereka merusakku dengan membaca Laa ilaaha Illallah dan istighfar. Ketika aku melihatnya, akupun merusak mereka dengan hawa nafsu, sedang mereka mengira dirinya adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (HR. Abu Ya’la)

 

Imam Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tidak ada di atas bumi seseorang yang membaca ”    ” , kecuali beberapa kesalahannya akan dilebur, meskipun sejumlah busa lautan.”

 

Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau besabda:

 

“Barang siapa membaca      “setiap hari seratus kali, kesalahan-kesalahannya akan dilebur meskipun sejumlah busa lautan”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Orang yang gemar membaca Laa ilaaha illallah tidak memiliki rasa gelisah kelak di dalam kubur dan di mahsyarnya. Seakan-akan aku melihat mereka sedang membersihkan debu dari kepala mereka seraya berucap: Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami”

 

Dalam satu riwayat disebutkan: “Para ahli Laa ilaaha illaillah udak memiliki rasa gelisah ketika mati dan dalam kubur” (HR. Thobroni dan Baihaqi)

 

Terdapat dalam Hadist Samurah bin Jundub — yang panjang Rasulullah SAW bersabda:

 

“Aku melihat lelaki dari umatku yang telah sampai di surga lalu pintunya ditutup atasnya. Lalu datanglah Syahadah Laa ilaaha illallah menggandeng tangannya dan memasukkannya ke dalam Surga”.

 

Hadits di atas juga disebutkan dalam kitab Jami’us Shoghir yang dinisbatkan ke al-Hakim at-Tirmidzi dan at-Thobroni.

 

At-Thobroni meriwayatkan hadits yang bersumber dari Ma’gil bin Yasar RA, bahwa Rasulullah SAW besabda:

 

“Setiap sesuatu memiliki kunci, dan kuncinya langit adalah Laa Ilaaha illallah”

 

Laa ilaaha illallah adalah merupakan kunci langit untuk menghantarkan doa-doa dan bacaankalimat thayyibah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dari Ya’qub bin Ashim RA: dari dua lelaki sahabat Nabi SAW, keduanya pernah mendenga Nabi SAW bersabda:

 

“Tidak ada seorang hamba yang membaca:

 

seraya Ikhlas ruhnya, membenarkan dengan hatinya, dan mengucapkan dengan lisannya, kecuali Allah Azza wa Jalla akan membelah langit guna melihat langsung kepada si pembaca di bumi. Dan merupakan hak bagi seorang hamba yang dilihat Allah adalah diberikan apa yang menjadi permohonannya.”

 

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurirah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tidaklah seorang hamba yang membaca Laa ilaaha illallah dengan ikhlas, kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu langit sampai menuju Arsy, selama ia selalu menjauhi dosa-dosa besar.”

 

Oleh karenanya, banyak dijumpai doa-doa nabawiyah yang dimulai dengan laa ilaaha illallah, atau diakhiri dengannya, termasuk doa di waktu pagi dan sore.

 

Imam Nasai dan Ibnu Hibban meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abi Said RA, dari Rasulullah SAW, sesungguhnya Nabi SAW bersabda:

 

“Nabi Musa AS berkata: Wahai Tuhanku, ajarilah aku sesuatu yang aku gunakan untuk menyebut-Mu dan berdoa kepada-Mu. Allah berfirman: ucapkan Laa ilaaha illallah. Nabi Musa berkata: Wahai Tuhanku setiap hamba-hamba-Mu telah mengucapkannya. Allah erfirman: ucapkan Laa ilaaha illallah. Lantas Nabi Musa berkata: sesungguhnya aku mengharapkan suatu doa yang Engkau berikan khusus kepadaku. Allah berfirman: Wahai Musa, seandainya tujuh langit dan tujuh bumi diletakkan di satu piringan timbangan dan laa Ilaaha illallah diletakkan di piringan lainnya, niscaya piringan akan berdoyong ke arah Laa ilaaha illallah.”

 

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal RA, sesungguhnya Nah SAW bersabda:

 

“Barang siapa akhir ucapannya laa ilaaha illallah maka ia aka masuk surga.” (HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad).

 

Driwayatkan dari Jabir RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Lebih utamanya dzikir adalah laa ilaaha illallah, dan lebih utamanya doa adalah Alhamdulillah.” (HR. Ibnu Majah, Nasai, Ibnu Hibban, dan Hakim).

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA dari Rasulullah SAW. beliau bersabda:

 

“Lebih utamanya dzikir adalah laa ilaaha illallah dan lebih utamanya doa adalah istighfar, kemudian Nabi membaca:

 

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahss Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bst (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” (HR. Thobroni, Mardaweh, dan ad-Dailami).

 

Diriwayatkan dari at-Thobroni dari Ibnu Abbas RA dar Rasulullah SAW, beliau besabda:

 

“Barang siapa membaca:

 

maka ia akan diselamatkan dari kesusahan dan keprihatinan.”

 

Diriwayatkan dari at-Thobroni dari Abi Darda’ RA dari rasulullah SAW, beliau bersabda:

 

“Tidak ada seorang hamba yang membaca laa ilaaha illallah seratus kali, kecuali Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat, sedangkan wajahnya bercahaya seperti bulan di malam purnama. an tidak ada amal hamba lain yang dilaporkan (kepada Allah) yang lebih utama dari amalnya, kecuali orang yang berucap sepertinya atau melebihinya”

 

 

 

Istighfar adalah merupakan suatu hal yang paling agung dan utama bagi orang muslim yang sayogyanya menyibukka dirinya untuk membaca istighfar pada masa-masa yang utama. Di antaranya yaitu, pada bulan Sya’ban dan dan malam separuhnya Membaca istighfar juga termasuk salah satu sebab dimudahkannya rizki. Banyak nash-nash al-Qur’an atau Hadits yang menerangka tentang keutamaannya. Termasuk keutamaan istighfar diantaranya adalah: melebur dosa, menghilangkan kesusahan, kegelisan, dan kesedihan, semua itu terjadi disebabkan oleh banyaknya melakukan dosa. Maka sudah selayaknya membaca istighfar, bertaubat dengan sungguh-sungguh dan memohon pengampunan sebagai obat penyembuh semua itu. Rasulullah bersabda :

 

“Barang siapa yang selalu mebaca Istighfar, maka Allah akan menghilangkan kesusahan, memberi jalan keluar pada setif permasalahan dan memberikan rizqi yang tidak disangka-sangka” (H.R. Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah, dan Ima Hakim).

 

Diriwayatkan juga dari Anas, bahwa ia berkata:

 

“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Allah berfirman wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau masih berdo’a dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni segala dosa yang ada pada dirimu dan saya tidak peduli dengan dosa itu, Wahai anak Adam jikalau dosamu samapai memenuhi langit lalu engkau memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mngampunimu dan saya tidak peduli dengan dosamu, Wahai anak Adam, sesungguhnya jikalau kamu datang kepadaku membawa kesalahan sepenuh bumi dan kamu tidak pernah menyekutukan-Ku, maka Aku akan memberikan pengampunan sepenuh bumi juga” (H.R. Imam Tirmidzi beliau bekata: Hadits ini adalah Hadits Hasan Ghorib).

 

Diceritakan dari Sa’id al-Hudry, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:

 

“Iblis berkata: Demi keagungan-Mu aku akan selalu menyesatkan hamba-hamba-Mu selama mereka masih hidup. Lalu Allah SWT berfirman: demi sifat mulia dan agung-Ku, Aku akan selalu mengampuni mereka selama mereka meminta ampunan kepada-Ku. (H.R. Imam Ahmad dan Imam Hakim, beliau berkata Isnad ad ini shahih)

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Busr, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

 

Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu, kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu Sungsj sungai.”

 

Termasuk dari faidahnya istighfar seperti yang telah diterangkan, dalam kitab “Syarah Tarojim al-Bukhori” karya Imam Muhammad bin Ahmad Fadlol ialah: menghapus dosa, menutupi aih dilimpahkannya rizki, diselamatkan dari kejahatan makhluk, dijaga hartanya, cita-citanya tercapai, hartanya berkah, keberadaannya dekat dengan Allah Dzat yang Maha berhak melakukan pembalasan di hari kiamat, laksana baju yang kotor maka ia lebih membutuhkan sabun daripada asap, hal ini supaya bekas kotoran tadi bisa hilang, dan dibukanya hati, segala puji bagi Allah.

 

Seorang laki-laki pernah melapor kepada Hasan Basri supaya kemarau yang melandanya agar segera berakhir, maka beliau pun berkata: “Bacalah istighfar”, lalu ada yang datang melapor lagi tentang keadaan fagirnya, beliau pun berkata: “Bacalah istighfar”, kemudian ada yang datang lagi melapor tentang belum dikarunia anak, beliau pun berkata: “Bacalah istighfar”, lalu beliau membacakan ayat istighfar kepada mereka.

 

Diriwayatkan bahwa Sahabat Umar pernah meminta turunnya hujan (istisqo”) dengan menambah bacaan istighfarnya, lalu para sahabat berkata: kenapa anda menambah bacaan istighfar? lalu beliau pun menjawab: aku meminta turunnya hujan dengan pembuka-pembuka pintu langit, lalu beliau membaca ayat al Qur’an:

 

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian) niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus meneru) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan”.

 

Allah SWT berfirman menceritakan Nabi Ya’qub AS :

 

“ya’Qub bersabda, Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

 

Telah dikatakan bahwa nabi Ya’qub menunda istighfarnya sam tiba waktu sahur, karena do’a di saat-saat seperti itu tidak akan terhalang, langsung sampai kepada Allah SWT. Ada yang nen takan: istighfarnya ditunda hingga tiba waktu sahur pada malam Jum’at bertepatan dengan malam “Asyuro”. Ada yang en takan, ditunda agar beliau mengetahui akan keseriusan taubat dan keikhlasannya. Ada yang mengatakan, Nabi Ya’qub k endak untuk melanggengkan istighfarnya untuk mereka.

 

Telah diriwayatkan bahwa nabi Ya’qub beristighfar untuk a, setiap malam Jum’at selama 20 tahun lebih.

 

 

 

ISTIGHFAR KENABIAN YANG LENGKAP

 

Diceritakan dari Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bm Jabir bin Abdullah RA. dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:

 

“Telah datang seseorang kepada Rasulullah SAW lah ia meratapi dosa-dosanya: Ooh… dosaku, ooh… Dosaku.!! dig mengucapkannya dua atau tiga kali. Lalu Rasulullah bersabda kepadanya: ucapkanlah:

 

Lalu orang ini mengucapkannya, Nabi bersabda: ulangilah kembali. lalu ia mengulanginya lagi. Nabi bersabda lagi: Ulangilah kembali !, lalu ia mengulanginya lagi. Kemudian Nabi bersabda: Bangkitlah Allah telah mengampunimu”. (H.R. Hakim)

 

 

 

 

ISTIGHFAR SEBANYAK TUJUH PULUH KALI

 

Diceritakan dari Anas bin Malik RA. dia berkata: Dulu ketika rasulullah dalam sebuah perjalanan, pernah bersabda: Mintalah ampunan kamu semua kepada Allah. Lalu kami meminta ampun. Rasulullah bersabda: Genapkan hingga tujuh puluh, lalu kami genapkan hingga tujuh puluh, kemudian Nabi bersabda:

 

“Tidaklah seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan meminta ampunan kepada Allah tujuh puluh kali dalam sehari, kecuali Allah mengampuni tujuh ratus dosanya. Dan celaka bagi seorang hamba yang melakukan lebih dari tujuh ratus dosa dalam sehari semalam” (H.R. Ibny Abi Dun’ya, al-Baihaqi dan al-Asbihani)

 

 

 

 

ISTIGHFAR SELRATUS KALI

 

Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Ibnu Umar RA, berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Aku tidak memasuki waktu pagi kecuali aku beristighfar kepada Allah seratus kali,”

 

Imam Muslim dan Imam Ahmad juga meriwayatkan dari al Muzani al-Aqhor. Bewiu juga Imam Nasa’i juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, ke duanya berkata: bahwasanya Rasulullah SAW suatu ketika mengumpulkan manusia lalu beliau bersabda:

 

“Wahai para manusia, bertaubatlah kalian semua kepada Allah sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya setiap hari seratus kali”.

 

Diceritakan dari Salamah bahwa Nabi SAW bersabda:

 

“Sesungguhnya aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah setiap hari seratus kali.”

 

Dalam riwayat lain:

 

“Sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah setiap sehari semalam seratus Kali “

 

 

 

 

SAYYIDUL ISTIGHFAR

 

Sayyidul Istighfar sesuai yang ada dalam kitab shohihain:

 

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda kepada seorang yang mengeluhkan hutang dan sedikitnya harta. “Apa kamu belum mengetahui sayyidul istighfar ? bacalah pada saat antara terbitnya fajar dan shalat subuh:    sebanyak seratus kali.

 

 

 

 

ISTIGHFAR AGUNG DARI SAYIDINA ALI RA.

 

Seorang Badui datang kepada Sayyidina Ali, dia mengeluh tentang kesulitan yang menimpanya, sedikitnya harta dan banyaknya anggota keluarga. Lalu Sayyidina Ali berkata kepadanya: Rajin-rajinlah beristighfar, karena Allah berfirman dalam al-Qur’an :

 

“Mohonlah pengampunan terhadap Tuhanmu, karena Dia sesungguhnya adalah Dzat yang maha Pengampun”.

 

Lalu dia pun berkata lagi kepada Sayyidina Ali RA. Wahai amirul mukminin, saya sudah banyak membaca istighfar, namun saya belum merasakan perubahan tentang apa yang telah menimpaku, Sayyidina Ali menjawab: Barangkali kamu membaca istighfarnya kurang baik ? dia pun berkata lagi: Ajarilah aku cara membaca istighfar yang baik. Sayyidina Ali menjawab: ikhlaskanlah niatmu dan taatlah kepada tuhanmu lalu bacalah:

 

Orang Baduwi tadi berkata: ketika aku selalu meminta pengampunan dengan do’a tersebut, maka Allah selalu menghilangkan kegelisahan dan kesusahan, rizqiku dilapangkan, dan segala bentuk cobaan dihilangkan.

 

 

 

 

 

 

Dalam bulan Sya’ban terdapat satu malam yang agung, penuh berkah dan mulia. Malam itu adalah malam pertengahan bulan Sya’ban. Dimana pada malam itu Allah SWT memperlihatkan anugerah-Nya kepada makhluk-Nya lewat ampunan dan rahmatNya. Pada malam itu Allah mengampuni orang-orang yang memohon ampunan, memberikan rahmat kepada orang-orang yang berbelas kasih, mengabulkan doa orang-orang yang meminta, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah. Pada malam itu Allah memerdekakan sekelompok orang dari neraka dan pada malam itu juga Allah menuliskan takaran rizqi dan perbuatan hambanya.

 

Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan malam nisfu Sya’ban ini, yang tentunya tidak lepas dari katagori Dhoif atau Inqito’. Namun dari hadits-hadits tersebut ada yang lebih ringan tingkat kelemahannya dibanding dengan yang lain. Meskipun demikian, al-Hafidz Ibnu Hibban menganggap shahih sebagian hadits tersebut. Di sini kami akan menuturkan hadits yang termasyhur dalam pembahasan ini. Imam at-Thobroni dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal RA dari Nabi SAW, beliau bersabda :

 

“Allah memperlihatkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya pada malam nisfu Sya ban dan mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan”. (H.R. atThobroni dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).

 

Kata   dalam hadits, yang dikehendaki adalah orang munafik yang buruk perilakunya yang selalu menyebarkan dan menyulut api permusuhan diantara dua orang yang saling mengasihi. Ibnu Atsir dalam kitab an-Nihayah berkata : 74)” “ adalah orang yang saling bermusuhan. Adapun – artinya adalah permusuhan.

 

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari hadits yang bersumber dari Sayyidah Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

 

“Malaikat Jibril mendatangiku, lalu berkata : Malam ini adalah malam nisfu Sya ‘ban, Allah SWT akan memerdekakan orang-orang dari neraka sebanyak bilangan rambutnya kambing milik Bani Kalb, dan Allah SWT pada malam itu tidak akan melihat kepada orang musyrik, orang yang bermusuhan, orang yang memutus tali persaudaraan, orang yang sombong, orang yang mendurhakai kedua orang tua dan pecandu arak………” beliau menyebutkan hadits dengan keseluruhannya.

 

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

 

“Pada malam nisfu Sya’ban Allah memperlihatkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya, kemudian mengampuni hamba-Nya kecuali dua orang, yaitu orang yang bermusuhan dan pembunuh” Sanad hadits ini adalah lemah sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafidz al-Mundziri.

 

Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah RA, beliau berkata :

 

“(Pada suatu malam) aku kehilangan Nabi SAW, lalu aku keluar mencarinya, ternyata beliau berada di pekuburan Baqi’ dalam Keadaan mengangkat kepala memandang langit, kemudian beliau bersabda: Apakah kamu takut Allah dan utusan-Nya berbuat dholim kepadamu? Aku berkata: Sesungguhnya aku berprasangka engkau mendatangi salah satu istrimu. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah pada malam nisfu Sya’ban menurunkan rahmat-Nya ke langit dunia, lalu Allah mengampuni hamba-Nya lebih banyak dari bilangan bulu kambing milik Bani Kalb”. Imam at-Tirmidzi berkata: Aku tidak mengetahui haditsnya Sayyidah A’isyah kecuali dari sanad ini dan aku mendengar Muhammad (maksudnya Imam al-Bukhori) mendhoifkan hadits ini, karena terputus sanadnya dalam dua tempat.

 

Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari dar Nabi SAW, beliau bersabda :

 

“Sesungguhnya Allah memperlihatkan rahmat-Nya pada malam nisfu Sya’ban, kemudian mengampuni semua hamba-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan”. Hadits ini termasuk yang diriwayatkan Ibnu Lahi’ah. Dalam hadits ini terdapat Phohhak dari Aiman al-Kalabi. Imam Ad Dzahabi berkata: Aku tidak mengenal siapa dia?

 

Imam at-Thobroni dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Mak’hul dari Abu Tsa’labah al-Khosyani RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda :

 

“Allah memperlihatkan rahmat-Nya kepada hamba-Nya pada malam nisfu Sya ‘ban, kemudian mengampuni orang-orang mukmin dan menangguhkan kepada orang-orang kafir, serta meninggalkan para pendendam dengan dendamnya sampai ia mau meninggalkan dendamnya”.

 

Imam Baihaqi berkata : Hadits ini antara Mak’hul dan Abu Tsa’labah terdapat mursal yang bagus.

 

Imam Bazzar dan Baihaqi meriwayatkan dari Abu Bakar ash Shiddiq RA dari Nabi SAW, beliau bersabda :

 

“Allah SWT turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’ban, kemudian mengampuni setiap hal kecuali kepada seorang yang musyrik dan orang yang di hatinya terdapat rasa permusuhan”.

 

Sanad hadits ini tidak mengapa sebagaimana yang diutarakan oleh al-Hafidz al-Mundziri.

 

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang dhoif dari Utsman bin Abi Ash dari Nabi SAW, beliau bersabda :

 

“Ketika malam nifsu Sya’ban tiba, pewarta akan berkumandang: adakah orang yang memohon ampunan? maka Aku akan mengampuninya, Adakah orang yang meminta? maka Aku akan memberinya. Tidaklah seorangpun meminta kecuali Aku akan memberinya, kecuali pezina atau orang musyrik”. Demikian hadits ini menurut riwayat Imam Baihaqi, dalam riwayat lain disebutkan secara mutlag tanpa ada batasan malam Nisfu Sya ‘ban.

 

Dalam kitab Al Musnad diriwayatkan dari Hasan al-Bashri beliau berkata :

 

“Ustman bin Abil Ash berjalan bertemu dengan Kilab bin Umayyah dalam keadaan duduk di tempatnya pemungut pajak di kots Bashroh. Kemudian Ustman bertanya: Apa yang menyebabkanmu duduk disini? Kilab menjawab: Ziyad yang menugaskanku disini. Kemudian Ustman berkata kepada Kilab: Apakah kamu mau aku ceritakan satu hadits yang aku dengar dari Rasulullah SAW? Kilab berkata : Ya, lalu Ustman berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Nabi Dawud AS mempunyai waktu khusus, dimana . beliau membangunkan keluarganya dan berkata: Wahai keluarga Dawud, Bangunlah dan shalatlah kalian semua, karena pada saat ini Allah mengabulkan doa, kecuali penyihir dan pemungut pajak, kemudian Kilab menaiki perahu menuju ke tempat Ziyad lalu mengajukan pengunduran diri, dan Ziyad pun mengabulkannya”.

 

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh at-Thobroni dalam alKabir dan al-Ausath dengan lafadz :

 

“Dari Nabi SAW, beliau bersabda : pintu langit dibuka setiap pertengahan malam, kemudian menyerulah seorang penyeru : Adakah orang yang berdoa, niscaya ia akan dikabulkan? Adakah , orang yang meminta, niscaya Ia akan diberi? Adakah orang yang susah, niscaya Ia akan diberi kelapangan? Maka tidaklah terkecuali : seorang muslim yang berdoa dengan doa apapun, kecuali Allah azza wa jalla mengabulkan doanya, kecuali para pezina yang menjajakan farjinya dan pemungut pajak”. Diantara beberapa « iwayat ini tidak ada penafian sama sekali, dengan asumsi bahwa malam nisfu Sya’ban terkandung dalam riwayatnya Imam Ahmad dan at-Thobroni secara umum.

 

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Mak’hul dari Katsir bin Murroh -dia adalah seorang tabi’ idari Nabi SAW beliau bersabda :

 

“Pada malam nisfu Sya’ban Allah SWT mengampuni seluruh penduduk bumi kecuali orang musyrik dan orang yang saling membenci”. al-Baihaqi berkata : Hadits ini mursal yang jayyid.

 

Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari “Ala’ bin Haris sesungguhnya Sayyidah Aisyah RA berkata :

 

“Pada suatu malam Rasulullah SAW shalat, dalam shalat itu beliau memanjangkan sujudnya, sampai aku berprasangka beliau telah wafat. Ketika aku melihat hal itu, aku pun berdiri sehingga aku menggerak-gerakkan ibu jari Rasulullah SAW, ketika sudah bergerak aku pun kembali ke tempatku semula. Ketika beliau mengangkat kepala dari posisi sujud dan selesai dari shalat, beliau bersabda: Wahai Aisyah – atau Wahai Humairo’ — apakah engkau berprasangka bahwa Nabi SAW akan mencederaimu? Aku menjawab: Tidak, wahai rasulullah, tetapi aku berprasangka sesungguhnya Engkau telah tiada, karena lamanya sujud. Nabi SAW bertanya : Apakah kamu tahu malam apa ini? Aku menjawab : Allah dan rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah bersabda : ini adalah malam nisfu Sya’ban, sesungguhnya Allah SWT mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, berbelas kasih kepada orang yang meminta belas kasihan dan mengakhirkan pendendam dengan keadaannya”. al-Baihaqi berkata : Hadits ini Mursal yang jayyid dan kemungkinan bahwa “Ala’ meriwayatkannya dari Mak ‘hul.

 

 

 

 

Sebagian ulama menyebutkan bahwa malam nisfu Sya’ban mempunyai beberapa nama (biasanya banyaknya nama itu menunjukkan kemuliaan yang mempunyai nama). Imam Abul Khoir at-Tholiqoni menuturkan bahwa: nama malam nisfu Sya’ban itu sebanyak dua puluh dua nama, diantaranya adalah:

 

Lailatul Mubarokah

 

Artinya Malam yang penuh berkah dalam Dzatnya, atau karena makna lain yang terkandung di dalamnya, juga karena pada malam itu para malaikat berdekatan dengan anak Adam.

 

Lailatul Qismah (Malam Pembagian)

 

Diantara nama nisfu Sya’ban adalah malam pembagian rizqi dan malam dimana Allah SWT pada malam itu membagi segala sesuatu yang sudah dipastikan kepada manusia.

 

Nama ini diambil dari kesimpulan riwayat dari Atho’ bin Yasar ia menuturkan :

 

“Ketika datang malam Nisfu Sya’ban, maka bagi malaikat maut akan dituliskan nama-nama setiap orang yang akan mati dar bulan Sya ‘ban ke bulan Sya ‘ban lagi. Sesungguhnya seseorang ity berbuat dholim, berbuat lacur, menikahi perempuan dan menanan pepohonan, padahal namanya telah digantikan dari deretan orang hidup menjadi tertulis jajaran orang-orang yang mati dan tidak ada malam yang lebih mulia setelah Lailatul odar selain malam Nisfi Sya ‘ban

 

Dalam riwayat lain :

 

“Ketika datang malam Nisfu Sya ‘ban, malaikat maut diberi sebuah lembaran. Kemudia dikatakan kepadanya : Cabutlah nyawa orang-orang yang tecantum dalam lembaran ini. Sesungguuhnya seorang hamba menanam tananam, menikahi istri-istrinya dan membangut bangunan padahal namanya telah ditulis dalam deretan orang yang akan meninggal, lalu malaikat maut tidak akan menunggu apapun kecuali dia diperintahkan lalu ia mencabut nyawanya”.

 

Dalam riwayat lain :

 

“Ajal hamba itu ditentukan dari Sya’ban sampai bulan Sya’bal selanjutnya, sehingga seorang laki-laki menikah dan dilahirkan untuknya anak, padahal namanya telah keluar termasuk golonga! prang-orang yang meninggal”.

 

Dalam riwayat lain :

 

“Sesungguhnya dalam malam nisfu Sya’ban Allah memutuskan seluruh keputusan-Nya dan menyerahkannya kepada masing-masing petugas-Nya pada Lailatul Qodr”,

 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa penyerahan itu pada malam ke dua puluh tujuh dalam bulan Ramadlan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa malam dua puluh tujuh Ramadhan ketika terjadi peristiwa itu adalah bertepatan dengan Lailatul Oodr.

 

Lailatul Takfir (Malam Penghapusan Dosa)

 

Diantara nama Nisfu Sya’ban adalah malam penghapusan dosa, karena pada malam ini seluruh dosa selama setahun dihapuskan, sebagaimana hari Jum’at menghapuskan dosa selama seminggu dan malam lailatul Qodar menghapus dosa seumur hidup. Keterangan ini disampaikan oleh Imam as-Subki dalam kitab tafsirnya.

 

Lailatul Ijabah (Malam Pengabulan Doa)

 

Diantara nama Nisfu Sya’ban adalah malam pengabulan permohonan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abdullah bin Umar ra ia berkata :

 

“Lima malam dimana doa di dalamnnya tidak akan ditolak, yaitu malam Jum ‘at, awal malam dari bulan Rajab, malam Nisfu Sya ‘ban, malam Lailatul Qodar dan malam dua hari raya”.

 

Lailatul Hayat dan Lailatul Idil Malaikat (Malam Kehidupan dan Malam Hari Rayanya Malaikat)

 

Diantara nama Nisfu Sya’ban adalah malam kehidupan dan malam hari raya malaikat. Keterangan ini disampaikan oleh Imam Abu Abdullah Thohir bin Muhammad bin Ahmad al-Haddadi dalam kitabnya “Uyunul Majalis. “Sesungguhnya malaikat di langit itu memiliki dua malam hari raya sebagaimana yang dimiliki oleh orang Islam. Adapun 2 hari rayanya malaikat itu adalah Lailatut Baro’ah (malam pembebasan) yaitu malam Nisfu Sya’ban dan malam Lailatul Qodar. Sedangkan hari raya manusia adalah hari Idul Fitri dan Adha. Hari rayanya malaikat itu pada malam hari, karena mereka tidak pernah tidur, jadi bagi mereka antara siang dan malam tidak ada perbedaan. Dan para manusia berhari raya pada siang hari karena waktu malam bagi mereka adalah waktu tidur agar pada malam harinya mereka bisa tidur nyenyak dan beristirahat”.

 

Lailatus Syafa’at (Malam Syafa’at)

 

Diantara nama Nisfu Sya’ban adalah Malam Syafa’at, keterangan ini menurut Imam Abu Mansyur Muhammad bin Abdullah alHakim an-Naisaburi dan beberapa ulama lain.

 

Lailatul Baro’ah dan Lailatus Shok (Malam Pembebasan dan Malam Sertifikasi)

 

Diantara nama Nisfu Sya’ban adalah Malam Pembebasan dan Malam Sertifikasi, dinamakan demikian karena pada malam itu setiap mukmin ditetapkan sebuah kebebasan dari neraka dan pemberian sertifikat pengampunan.

 

Sebagian ulama pernah ditanya, mengapa malam ini dinamakan dengan malam pembebasan? Mereka menjawab: Ketika seorang pegawai menarik pajak dan sedekah kemudian ia telah menunaikan segala hak-hak yang dimiliki oleh baitul mal, maka ia akan diberi sebuah tulisan dan dinyatakan bebas. Karena ia akan terbebas dari semua tanggung jawab yang menjadi bebannya. Begitu juga dengan malam pembebasan, setiap orang akan diberikan sebuah kebebasan dan akan diucapkan kepadanya. Engkau sudah menunaikan segala hak dan engkau sudah melaksanakan semua syarat-syarat peribadatan, maka sekarang ambillah kebebasanmu dari neraka. Kemudian diucapkan kepada salah seorang, engkau telah memperingan hak-ku dan engkau tidak menjalankan syarat-syarat peribadatan, maka ambillah kebebasanmu dari Dzat yang Maha Perkasa.

 

Lailatul Jaizah, lailatur Rujhan, Lailatul Ta’dhim dan Lailatul Qodar

 

Diantara nama Nisfu Sya’ban adalah adalah Lailatul Jaizah (malam penobatan), lailatul Rujhan (malam unggulan), Lailatul Ta ‘dhim (malam pengagungan) dan Lailatul Qodar. Penamaan malam Nisfu Sya’ban dengan nama-nama ini itu berdasarkan keterangan Imam as-Subki dalam kitab tafsirnya.

 

Lailatul Gufron (Malam Pengampunan)

 

Diantara nama Nisfu Sya’ban adalah Malam Pengampunan dan Kemerdekaan dari neraka.

 

Cara Menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban

 

Dalam menghidupkan malam nisfu Sya’ban, ulama Syam berbeda pendapat atas dua qoul :

 

  1. Disunnahkan menghidupkan malam ini dengan berkelompok di masjid. Dulu, Kholid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan beberapa tokoh ulama’ lain, pada waktu malam nisfu Sya’ban mereka memakai pakaian terbaik, memakai bukhur dan memakai celak lalu melakukan ibadah di masjid pada malam itu juga. Hal seperti mi disetujui oleh Ishag bin Rohuyah. Beliau berkomentar tentang pelaksanaan tersebut: Menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan berkelompok tidaklah termasuk bid’ah. Keterangan ini disebutkan oleh Imam Harb al-Karmani dalam kitab Masailnya dari Ishag bin Rohuyah.

 

2, Makruh hukumnya berkumpul bersama-sama di masjid pada malam nisfu Sya’ban untuk melakukan sholat, bercerita dan berdoa, dan tidak dimakruhkan pada malam itu bagi seseorang yang melakukan sholat sendiri-sendiri, Keterangan ini disampaikan oleh Imam al-Auza’i, Seorang Pemuka, Ahli Fikih dan Ulama Negara Syam. Keterangan inilah yang lebih dekat kebenarannya. Insya Allah.

 

 

 

 

 

 

Ringkasan Penting Hadits-Hadits Tentang Malam Nisfu Sya’ban Al-hafidz bin Rajab al-Hambaly berkata dalam kitab al-Lathoif: bahwa kebanyakan para Ulama ahli Hadits menganggap dhoif hadits-hadits yang menerangkan tentang malam nisfu Sya’ban. Sedangkan Ibnu Hibban menilai shohih sebagian dari hadits-hadits tersebut dan meriwayatkannya dalam kitab Shohihnya. Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab ad-Dur al-Mandlud berkata: bahwa para Ulama ahli Hadits dan ahli Fiqh dan juga yang lainnya telah sepakat sebagaimana yang telah disebutkan oleh imam an-Nawawi dan lainnya atas diperbolehkannya mengamalkan hadits dloif dalam hal fadloil a’mal, targhib wat tarhib (anjuran dan larangan). tidak dalam hal yang berkaitan dengan hukum dan sesamanya, selama hadits tersebut tidaklah sangat dloif.

 

Al-‘Izz bin Abdis Salam dan imam Dagig al-“Id mensyaratkan hendaknya terkandung pada dalil asal yang umum. Maka perkataan Abu Bakar al-‘Arobi bahwa hadits dloif tidak bisa digunakan secara mutlak, itu bertentangan dengan ittifaknya para Ulama”. Ada yang mengatakan bahwa hadits dloif bisa diamalkan secara mutlak, jika dalam suatu bab pembahasan tidak ditemukan kecuali hadits dloif serta tidak bertentangandengan hadits lain. Penjelasan ini didapatkan dari Imam Ahmad RA. Imam Abu Dawud (shohibus sunan) berkata: bahwa sanad yang dloif itu boleh diriwayatkan jika dalam suatu bab permasalahan tidak ditemukan selainnya.

 

Adapun hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban dan keutamaan menghidupkan malam nisfu Sya’ban adalah termasuk hadits yang diperbolehkan untuk diamalkan sekalipun dloif, karena sudah memenuhi syarat.

 

Al-Walid al-Imam al-Habib Alawi bin Abbas al-Maliki alHasani berkata dalam kitab fatawanya, bahwa para pakar ilmu Hadits dan lainnya telah sepakat bahwasanya hadits dloif itu bisa digunakan dalam masalah fadloil a’ mal. Termasuk diantara Ulama’ yang mengatakan demikian adalah Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu al-Mubarok, kedua Sufyan (Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan bin “Uyainah), al-Anbari, dan lainnya. Diriwayatkan dari mereka bahwa:

 

“Ketika kita meriwayatkan masalah yang berkaitan dengan halal dan haram, maka kita memperketatnya, sedangkan ketika kita meriwayatkan masalah yang berkaitan dengan fadloil, maka kita mempermudahnya.”

 

Al-Allamah ar-Romli berkata dalam kitab fatawinya yang teks nashnya adalah: Imam an-Nawawi menceritakan di dalam beberapa karangannya tentang ijma’nya Ulama’ akan diperbolehkannya mengamalkan hadits dloif dalam masalah fadloil a’mal dan sesamanya.

 

Ibnu Abdil Bar berkata: bahwa hadits-hadits tentang fadloil tidak diperlukan terhadap orang-orang yang bisa dijadikan hujjah. Imam al-Hakim berkata: saya mendengar Abu Zakariya al-Anbari berkata: bahwa sebuah hadits ketika tidak menjelaskan tentang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara halal dan juga tidak menetapkan sebuah hukum, serta hadits tersebut ada unsur targhib wat tarhib maka samarkanlah dan permudahlah dalam meriwayatkannya. Adapun lafadz Ibnu Mahdi sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Madkhol adalah: ketika kita meriwayatkan dari Nabi SAW tentang perkara halal dan haram serta dalam masalah hukum, maka kita memperketatnya (mempersulit) dalam sanad-sanadnya dan meneliti para rowinya, sedangkan ketika kita meriwayatkan dalam masalah fadloil, masalah pahala, siksa, maka kita mempermudah dalam sanad dan rowinya.

 

Sedangkan lafadznya imam Ahmad RA dalam riwayatnya imam al-Maimuni dari imam Ahmad adalah: hadits-hadits yang menerangkan tentang perkara yang menjadikan tipisnya hati itu tidaklah mengapa mempermudah dalam meriwayatkannya sehingga mendapatkan hadits yang berkenaan dengan hukum, maka kita akan memperketat.

 

Imam Ahmad juga berkata dalam riwayatnya “Ayyasy ad-Dauri dari Ibnu Ishag, ia adalah seorang Ulama’ yang kebanyakan hadits-hadits tentang peperangan dan semisalnya diriwayatkan darinya bahwasanya: ketika ada hadits tentang perkara halal dan haram, maka kita menghendaki perawinya suatu kaum seperti ini (Ayyasy ad-Dauri mengacungkan jempolnya).

 

Imam ar-Romli berkata bahwa hadits-hadits yang sangat dloif ketika digabungkan antara satu dengan yang lainnya maka dapat dijadikan hujjah.

 

Adapun Madzhab an-Nasai RA adalah diperbolehkan meriwayatkan dari rowi-rowi yang tidak disepakati untuk ditinggal. Dan yang dimaksud dengan yang ditinggal dari perkataannya adalah orang-orang yang tidak diriwayatkan suatu hadits kecuali hanya dari dia sendiri dan bertentangan dengan qoidah-qoidah yang sudah jelas, atau ia diketahui pernah dusta dalam ucapannya Sekalipun ia tidak pernah memperlihatkan kebohongannya dalam hadits. Keterangan tersebut didapatkan di dalam kitab an-Nuqoyah.

 

Sedangkan menurut madzhabnya Abu Dawud adalah bahwa diperbolehkan meriwayatkan hadits dloif jika dalam suatu bab pembahasan tidak ditemukan hadits selainnya. Beliau lebih mengutamakan hadits dloif daripada ijtihad.

 

Ibnu Sholah meriwayatkan dari al-Hafidz ibnu al-Arobi alMaliki bahwa tidak diperbolehkan mengamalkan hadits dloif secara mutlak. Ibnu al-Arobi berargumen bahwa fadloil a’ mal itu datang dari syara”, maka menetapkannya dengan hadits dloif adalah merupakan membuat hal baru dalam ibadah di dalam agama yang tidak diperbolehkan oleh Allah swt.

 

Penulis berkata: sungguh mengherankan ungkapan Ibnu Arobi tersebut. Karena sesungguhnya sebuah perbuatan yang berdasarkan hadits dloif itu pada dasarnya adalah sebuah upaya mencari keutamaan dengan tanda-tanda yang lemah yang tidak berdampak pada suatu kerusakan. Atau, perkataan Ibnu Arobi tersebut dimungkinkan mengarah kepada hadits dloif yang betul-betul dloif dan sangat parah kedloifannya, sehingga ia jauh dari derajat sebuah hadits yag biasa dijadikan hujjah menurut pakarnya.

 

Dari sini akan menjadi jelas bahwa menggunakan hadits dloif untuk fadloil a’mal adalah merupakan hal yang disepakati oleh pakar keilmuan, yang tidak ada pertentangan sama sekali. Demikian itu setelah ada kemungkinan mengarahkan perkataan Ibnu Arobi pada hal tersebut. Wallahu a’lam.

 

 

 

 

 

Ibnu Rajab al-Hambali berkata: pada malam nisfu Sya’ban para tabi’in dari Negara Syam, seperti: Kholid bin Ma’dan, Mak’hul, Luqman bin “Amir, dan lainnya, mereka semua mengagungkan dan bersungguh-sungguh dalam ibadah pada malam nisfu Sya’ban. Dan dari merekalah orang-orang telah mengambil dasar akan keutamaan dan keagungan malam nisfu Sya’ban. Telah dikatakan bahwa mereka mendapatkan atsar isroiliyyah mengenai hal tersebut dan ketika isu itu merebak di penjuru Negara, maka terjadilah perbedaan pendapat diantara umat Islam. Diantara mereka ada yang menerimanya dan setuju atas keagungan malam nisfu sya’ban, dan mereka itu adalah golongan ahli ibadah dari Negara Bashroh dan lainnya.

 

Namun, kebanyakan para ulama Negara Hijaz itu mengingkarinya, diantaranya adalah Atho” dan Ibnu Abi Mulaikah. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkannya dari pakar Fiqh kota Madinah bahwa bal itu adalah pendapat ulama madzhab Maliki dan lainnya, mereka berkata bahwa mengutamakan dan mengagungkan malam nisfu Sya’ban adalah bid’ah .

 

Kita tidak mengingkari terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa berkumpul melakukan ritual pada malam nisfu Sya’ban adalah bid’ah. Ini adalah merupakan pendapat dan pemikirannya yang berpedoman pada ijtihad dan penelitiannya, yang mana hal itu adalah merupakan haknya untuk berpendapat dan berpikir serta menetapkan sesuai dengan keinginannya selama dia masih berada dalam jalur yang baik dan bersungguh-sungguh untuk bisa sampai kepada kebaikan tersebut. Akan tetapi, yang menjadikan musibah besar adalah bahwa: kebanyakan orang-orang yang mengingkarinya berupaya menutup nutupi hakikat dan kebenaran kepada umat manusia dan hanya menyampaikan pendapat-pendapat mereka beserta dasar-dasarnya, atau hanya menyampaikan arah beristinbath pendapat-pendapat mereka saja. Dengan demikian orang awam dan orang yang hanya mempunyai pengetahuan umum akan berasumsi bahwa dalam masalah ini tidak ada kecuali pendapat mereka, sedangkan yang lain adalah batal dan bohong. Demikian ini sebenarnya adalah pengkelabuan dan pembohongan yang nyata.

 

Penulis mengatakan kepada mereka (orang-orang yang ingkar): Silahkan kalian berijtihad semau kalian!, silahkan kalian memperkokoh apa yang kalian kehendaki!, silahkan berucap apapun!, namun hendaknya semua itu setelah memberikan penjelasan adanya khilaf dalam suatu masalah dan komitmen untuk menjelaskan apa saja yang datang seperti apa adanya, sekalipun telah terjadi khilaf dan bertentangan dengan pendapatmu, kemudian setelah itu boleh engkau kuatkan mana yang engkau suka atau justru engkau tolak mana yang engkau tidak suka.

 

Lihatlah-wahai saudarakukepada Ibnu Rajab dan amanahnya dalam menyampaikan realita beliau telah memulai ucapannya dengan menyebutkn khilaf, beliau berkata: ulama’ Syam berbeda pendapat dalam masalah menghidupkan malam nisfu Sya’ban atas dua pendapat, yaitu:

 

  1. 1. Disunnahkan menghidupkan malam nisfu sya’ban secara kolektif di masjid-masjid

 

  1. Dimakruhkan menghidupkan malam nisfu sya’ban di masjid-masjid akan tetapi tidak dimakruhkan bagi seseorang melakukan sholat di masjid dengan sendiri-sendiri.

 

Lalu Ibnu Rajab mentarjih dan menganggap shohih pendapatnya seraya berkata: ini adalah yang lebih mendekati kebenaran.

 

Allahu Akbar ! sungguh agung amanat ini, mudah-mudahan para Da’i dan orang-orang yang selalu menyampaikan kebaikan akan memperhatikan metode yang agung ini, yang bisa diterima akal, yang bersih di dalam ucapannya, bukan gemar memerangi terhadap ilmu, ulama”, ahli ibadah, dan orang yang beramal dengan keuatamaan-keutamaan ini.

 

Arti Ucapan Bid’ah Dalam Pembahasan Ini

 

Bid’ah menurut syara” adalah sesuatu yang berlawanan dengan as-Sunnah. Jika demikian adanya, maka hal itu merupakan perkara yang buruk dan tercela. Secara umum dan mutlak bid’ah itu diarahkan terhadap pengertian ini.

 

Namun, terkadang bid’ah juga bisa diartikan sesuatu yang baru yang terjadi setelah masa kenabian dan masih terkandung di bawah naungan dalil yang umum dan terhitung bagus menurut syara”, maka ia merupakan bid’ah yang baik dan terpuji.

 

Al-Imam al-Ghozali berkata dalam bab adabul akli dari kitab Ihya’ Ulumiddin: bahwa tidak semua pekara yang diadakan setelah Rasulullah SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang itu adalah bid’ah yang berlawanan dengan as-Sunnah yang sudah ditetapkan atau menghilangkan suatu perkara dari syara” yang mana illatnya masih berlaku. Bahkan membuat perkara baru itu terkadang wajib pada sebagian keadaan, ketika terjadi perubahan situasi dan kondisi.

 

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa sejatinya bid’ah ketika berada di bawah pokok yang baik menurut syara” maka itu termasuk hal yang baik, sedangkan apabila berada di bawah pokok yang jelek menurut syara” maka itu juga termasuk Jelek, apabila tidak termasuk keduanya maka itu termasuk bagian dari yang yang mubah. Sehingga terkadang bid’ah itu terbagi menjadi lima hukum. :

 

Termasuk ulama yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima hukum adalah imam al-Qorofi karena ikut kepada gurunya : imam al-Izz bin Abdis Salam sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam asy-Syathibi dalam kitab al-I’tishom.

 

Barang siapa yang mengikuti pendapat yang pertama, maka dia menghendaki bahwa menghidupkan malam nisfu sya’ban bukan termasuk bid’ah yang dicela, akan tetapi merupakan bid’ah yang terpuji. Barangkali karena hal tersebut terkandung di bawah pokok yang baik menurut syara” yaitu seperti dzikir dan do’a yang disyariatkan baik dalam keadaan sendirian maupun bersama-sama, baik di masjid-masjid ataupun selainnya, dan di setiap waktu dan keadaan.

 

Sedangkan barang siapa yang mengikuti pendapat yang kedua, maka dia menghendaki bahwa menghidupkan malam nistu sya’an merupakan bid’ah yang dicela menurut syara”, karena dimakruhkannya menetapi ibadah yang ditentukan pada waktu yang ditentukan yang tidak dianjurkan oleh syara”.

 

Imam al-Qorofi  berkata: bahwa mengkhususkan ibadah pada hari-hari yang utama atau selainnya adalah termasuk bid’ah yang dimakruhkan.

 

Imam asy-Syathibi berkata: bahwa melakukan puasa pada hari separuh dari bulan Sya’ban (tanggal 15 sya’ban) dan sholat pada malam harinya itu termasuk bid’ah yang dicela.

 

Di dalam kitab al-I’tishom terdapat pendalaman yang cukup dan sempurna tentang pembahasan bid’ah berikut pengertiannya. Hal itu termasuk penting-pentingnya pembahasan yang berhubungan dengan hukum. Maka pelajarilah kitab al-I’tishom !.

 

Al-Allamah Syihabuddin Ahmad bin Hijazi telah menyebutkan dalam kitabnya (Tuhfatul Ikhwan) tentang sunnahnya menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan sebagian ibadah yang dilakukan secara sendirian dan sebagian ibadah lagi dilakukan secara bersama-sama, karena mengikuti jejak Hujjatul Islam alGhozali yang memperbolehkan ritul secara mutlak, dan mengikuti al-Hafidz Ibnu Rajab dalam hal melakukan ritual nisfu Sya’ban dengan cara sendirian, dan ikut kepada para imam dari tabi’in dan Ulama’ yang sefahaman dengan mereka, yang berpendapat terhadap disunnahkannya menghidupkan malam nisfu Sya’ban dalam keadaan sendirian dan bersama-sama. Al-Allamah Syihabuddin Ahmad bin Hijazi berkata : kesimpulannya adalah, bahwa menghidupkan malam nisfu Sya’ban itu disunnahkan, karena adanya hadits yang menjelaskannya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan sholat dengan tanpa menentukan hitungan secara khusus, dengan membaca al-Qur’an sendirian, dzikir kepada Allah swt, membaca do’a, tasbih, dan sholawat kepada nabi Muhammad saw baik secara bersama-sama maupun sendirian, membaca hadits-hadits dan mendengarkannya, mengadakan pengajian-pengajian dan majelis ta’lim untuk menjelaskan haditshadits Nabi. membicarakan tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban, mendatangi majelis ta’lim dan mendengarkannya, dan ibadah-ibadah yang lainnya.

 

Keutamaan Dzikir Sendiri Dan Berjamaah

 

Dzikir kepada Allah SWT dalam keadaan apapun dan dalam

 

waktu kapan pun adalah termasuk amal yang paling utama keharibaan Allah SWT.

 

Disebutkan dalam hadist, Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tidaklah anak Adam itu beramal suatu amalan yang lebih bisa menyelamatkannya dari siksa Allah dari pada Dzikir”

 

Adapun berkumpul dalam dzikir adalah hal yang disyariatkan dan dianjurkan oleh agama, sebagaimana dalam hadist qudsi:

 

”Aku sebagaimana yang disangkakan oleh hamba-Ku, Aku selalu bersamanya jika mereka menyebut-nyebut-Ku, jika ia menyebutnyebut-Ku dalam dirinya (sendirian) maka Aku akan menyebut-nyebutnya dalam diri-Ku, jika ia menyebut-nyebut-Ku dalam suatu perkumpulan maka Aku menyebut-nyebutnya di suatu perkumpulan yang lebih baik”.

 

Disebutkan di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

 

“Tidaklah duduk suatu kaum seraya berdzikir kepada Allah SWT kecuali para malaikat akan mengelilingi mereka dan rahmat Allah akan menyertai mereka serta akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sekitar-Nya.”

 

Ke dua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan berkumpul untuk mempelajari ilmu, belajar al-Quran, membaca Kitab Tafsir, hadist, Fiqih dan juga berkumpul untuk mendengarkan anjuran taat kepada Allah dan larangan melakukan maksiat, karena semuanya adalah termasuk dzikir kepada Allah SWT dan di dalam perkumpulan tersebut memiliki keutamaan yang agung.

 

Komentar Ulama’ Salaf

 

Diceritakan dari Umar Bin Abdul Aziz: “Sesungguhnya dia mengirim surat kepada pegawainya di kota Bashroh, yang isinya: “Beribadahlah kamu dalam empat malam, sesungguhnyaAllah SWT mencurahkan rahmat-Nya dengan deras di malam-malam tersebut. Yakni: malam pertama bulan Rajab, malam nishfu Sya’ban, malam Idul Fithri dan malam Idul Adha. (Kebenaran cerita ini masih di perselisihkan).

 

Imam Syafi’i berkata: “Aku pernah mendengar bahwa sesungguhya do’a itu pasti akan dikabulkan pada lima malam : Malam Jum’at, malam dua hari raya, malam awal Rajab, dan malam nisfu Sya’ban.”

 

Diriwayatkan dari Ka’ab :

 

“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan malaikat Jibril di malam nisfu Sya’ban untuk pergi ke surga. Lalu ia memerintahkan pada surga agar berhias diri, ia berkata : “Sesungguhnya Allah SWT memberi pembebasan bagi hamba-hamba-Nya dengan pembebasan Sebanyak bintang di langit, sebanyak hitungan siang dan malam hari dunia, hitungan daun-daun pepohonan, beratnya gunung, dan bilangan pasir.”

 

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Sai’d Bin Manshur, bahwa shohabat “Atho’ bin Yasar berkata:

 

“Tidak ada malam yang paling mulia setelah malam Jailaty godar selain malam nishfu Sya’ban. Allah SWT berkenan turun ke langit dunia dan mengampuni semua hambanya kecuali orang musyrik, orang yang bermusuhan dan orang yang memutuskan taf persaudaraan.”

 

Sikap Ibnu Taimiyah Tentang Malam Nishfu Sya’ban

 

Ibnu Taimiyah berkata: Banyak sekali hadits-hadits Nabi serta atsar para sahabat yang menerangkan tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban. Telah diceritakan dari sekelompok Ulama’ bahwa: mengerjakan shalat secara sendiri-sendiri pada malam nisfu Sya’ban merupakan amalan yang telah dilakukan oleh para ulama” terdahulu dan juga memiliki tendensi hukum yang tidak terbantahkan lagi. Sedangkan shalat berjama’ah pada malam itu didasarkan pada kaidah umum perkumpulan melakukan taat dan ibadah. Dalam hal ini ada dua kategori:

 

  1. Sunnah rotibah : Adakalanya wajib dan sunah, seperti Shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat dua hari raya, shalat Gerhana, shalat istisgo’ dan shalat Tarawih. Semua ini adalah termasuk sunah rotibah yang sebaiknya dijaga dan dilakukan dengan istigomah.

 

  1. Selain sunnah rotibah : Seperti berkumpul untuk melakukan shalat sunah malam, membaca al-Qur’an, dzikir atau berdo’a. Amalan-amalan tersebut tidak apa-apa dilakukan selama tidak dijadikan kebiasaan rutin. Nabi SAW sendiri tidak terus menerus melakukan shalat sunah secara berjama’ah, melainkan hanya shalat-shalat sunah rowatib yang telah disebutkan tadi. Begitu juga para sahabat ketika berkumpul, mereka menyuruh salah seorang di antara mereka untuk membaca al-Qur’an sedangkan yang lain mendengarkanya.

 

Umar bin Khottob berkata kepada Abi Musa :

 

‘Ingatkanlah kita pada Tuhan kita, lalu ia membaca (al-Qur’an) dan yang lainnya mendengarkan.”

 

Diriwayatkan dalam sebuah hadits:

 

“Pada suatu hari Nabi SAW keluar untuk menemui ahli shufah, ternyata ada salah satu di antara mereka membaca al-Quran, maka Nabi SAW duduk bersama mereka.”

 

Dan diriwayatkan juga bahwasanya ada Malaikat yang bertugas mencari-cari majlis dzikir sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sudah masyhur.

 

Jika ada suatu kelompok berkumpul untuk melakukan shalat sunah tanpa menjadikannya suatu kebiasaan yang dilakukan terusmenerus hingga menyerupai sunnah rowatib, maka hal tersebut tidak dimakruhkan. Akan tetapi kalau sampai menjadikannya sebagai kebiasaan yang terus-menerus dilakukan setiap waktu, maka hal tersebut menjadi dimakruhkan karena termasuk merubah syariat dan menyerupakan hal yang tidak disyariatkan dengan hal yang disyariatkan. Seandainya hal itu diperbolehkan maka boleh melakukan shalat selain shalat dhuha pada waktu dhuha, melakukan shalat di antara Dzuhur dan Ashar, melakukan shalat tarowih di bulan Sya’ban, melakukan adzan pada dua hari raya serta melakukan haji ke Shokhroh di Baitul Maqdis, padahal semua itu Merubah serta mengganti ajaran agama, begitu juga pembicaraan ini berlaku dalam peringatan malam maulid dan lainya,

 

Adapun bid’ah yang makruhah adalah bid’ah dalam rangka melakukan sesuatu yang tidak ada anjuran dalam syariat yaitu berbuat sesuatu yang tidak disyari’atkan dan tidak diizinkan Allah. Maka siapa pun yang menjadikan sesuatu menjadi amalan agama dan media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa ada ajaran dari Allah, maka dia tergolong pelaku bid’ah yang sesat. ini sebagaimana yang dikehendaki oleh Nabi dalam sabda Beliau:

 

” Setiap bid’ah adalah sesat”

 

Bid’ah merupakan perlawanan dari syariat, sedangkan syarig sendiri adalah Segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baik berupa perkara wajib ataupun sunah meskipun Nabi tidak pernah melakukannya semasa hidupnya, seperti berkumpul untuk melakukan shalat tarawih dengan satu imam, mengumpulkas al-Qur’an dalam mushaf, memerangi orang-orang murtad dan khowarij, dan lain sebagainya

 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap hal yang tidak disyariatkan oleh Allah atau Rasul-Nya adalah bid’ah dan dihukumi sesat, seperti menentukan tempat atau waktu tertentu untuk berkumpul serta melakukan ibadah, sebagaimana syari’at telah mengkhususkan waktu dan tempat tertentu untuk melakukan shalat, haji, hari raya, mengkhususkan kota Makkah sebagai kota mulia, mengkhususkan tiga masjid dan masjid-masjid lainya untuk melakukan shalat dan ibadah lain.

 

Dengan pengertian seperti ini, maka akan menjadi gamblang ketika kita mengkompromikan dalil-dalil tekstual serta ijma para ulama’ yang menghasilkan suatu kesimpulan bahwa yang dikehendaki dari “Bid’ah dliddu syari’ah” adalah setiap perkara yang tidak disyari’atkan oleh agama. Sehingga selama masih menetapi dalil tekstual dan ijma’ para ulama” serta diridloi oleh Allah dan Rasul-nya maka bukanlah tergolong bid’ah. Dan aku tel8 menjelaskannya secara gamblang dalam kitab “Qoidah Kabir? minal Qowa’idil Kibar ,“ Demikian penjelasan Ibnu Taimiyah.

 

 

 

 

 

Diantaranya adalah sebuah atsar yang diriwayatkan dari Nauf aI-Bakali: “Sesungguhnya Sayyidina Ali RA sering keluar pada malam nisfu Sya’ban seraya megarahkan pandanganya ke arah langit dan berkata: “Sesungguhnya di malam ini tidak ada do’a yang tidak dikabulkan, tidak seorangpun yang memohon ampunan kecuali akan diampuni selama dia tidak termasuk golongan pemungut pajak, ahli sihir, ahli Sya’ir’, dukun tukang ramal, polisi, pengumpul pajak, pemain kendang dan tanborin. Wahai Tuhan Nabi Dawud ampunilah orang yang memanggil-manggilmu dan minta ampun kepadamu di malam ini.”

 

Diceritakan dari Sa’id Bin Mansur dalam kitab “Sunan”, bahwa “Atho’ bin Yasar berkata:

 

“Tidak ada malam yang lebih mulia setelah malam lailatul godar selain malam nisfu Sya’ban. (pada malam itu) Allah turun ke langit dunia mengampuni semua hamba-Nya kecuali orang musyrik, orang yang saling bermusuhan dan orang yang memutuskan tali bersaudaraan”.

 

Hadist dan Atsar di atas menunjukkan disunahkannya bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam nisfu Sya’ban baik dengan membaca al-Qur’an, dzikir atau berdo’a untuk mendapatkan rahmat Allah SWT, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh at-Thobroni dan lainnya:

 

“Dalam setiap masa Allah memiliki hembusan rahmat yang akan dibagikan kepada kalian, maka sambutlah rahmat itu. Semoga di antara kalian ada yang mendapatkannya sehingga dia tidak akan celaka selama-lamanya.”

 

Betapa indahnya ungkapan sebagian orang-orang yang mulia:

 

“Bangunlah disaat malam nisfu Sya’ban dan perbanyaklah melakukan shalat, karena kemulyaan bulan Sya ‘ban adalah terdapat pada malam separuhnya”.

 

“Betapa banyak pemuda yang meras aman di saat malam nisfu Sya’ban merasa aman, padahal kematiannya sudah ditulis pada lampiran catatan”.

 

“Maka, bergagaslah melakukan kebaikan sebelum ia habis. hatihatilah jangan sampai kematian menyerang pada bulan itu, yang bisa menyulitkan upaya berbuat baik tadi”.

 

“Puasalah karena Allah di siang harinya dan berharaplah pahalanya agar engkau mendapatkan belas kasihan-Nya disaat engkau diterpa kesulitan”

 

Motivasi Nabi Atas Malam Nisfu Sya’ban

 

Nabi SAW memerintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam meraih berkah dan beramal shalih pada malam nisfu Sya’ban, Diriwayatkan dari sayidina Ali RA, Rasulullah SAW bersabda:

 

“Ketika dalang malam nisfu Sya’ban maka beribadahlah pada malam harinya dan puasalah di siang harinya, karena sesungguhnya Allah (pada malam itu) turun ke langit dunia sejak terbenamnya matahari seraya berfirman: “adakah orang yang memohon ampunan, niscaya Aku aku akan mengampuninya. Adakah orang yang meminta rizki, niscaya Aku akan member rizki. Adalah orang yang sedang di uji, niscaya Aku akan meringankannya, adakah yang meminta ini, adakah yang meminta itu. Sampai munculnya fajar”. (HR. Ibnu Majah, yang dalam deretan sanadnya ada Abu Bakar bin Abdulloh bin Abi Sabroh. Dia berkata dalam kitab “Tagrib”: Para ulama’ mengategorikan hadist ini sebagai hadits yang maudlu”, sedangkan dalam kitab” Khulasoh “, ia berkata : ulama” yang lain mengatakan hadist ini dloif)

 

Hadist ini masih dapat dijadikan sebagai tendensi dalam hal Fadloilul A’mal, sebagaimana komentar para ahli tahqiq dalam beberapa kitab Fadlo’il seperti Imam Mundziri dalam kitab at-Tarqhib Wa Tarhib, Syarof ad-Dimyati dalam kitab al-Majjar arRobih dan Ibnu Rajab dalam kitab Lathoiful Ma’arif.

 

Kesimpulanya: Bahwa sesungguhnya masalah ini adalah memiliki dasar yang menjadikannya layak untuk diamalkan semata-mata mengharap pahala dan anugrah Allah SWT.

 

Hari-hari di bulan Sya’ban secara keseluruhan dan khususnya malam nisfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah merupakan waktu yang tepat serta kesempatan yang baik untuk bersegera dalam melakukan berbagai macam amal kebaikan, serta berlomba-lomba mencari jalan untuk melakukan amal tersebut. Karena bulan Sya’ban adalah waktu yang penuh keutamaan dan barokah, yang mana sudah sayogyanya bagi setiap mukmin untuk memperbanyak amal kebaikan di dalamnya.

 

Do’a adalah merupakan pintu yang agung untuk meraih kebahagiaan, do’a juga merupakan kunci untuk dikabulkannya hajat, penenang bagi orang-orang yang berada dalam kesusahan, jalan keluar yang tepat bagi orang-orang yang sangat sedang dililit berbagai problem, serta perkara yang dapat menghilangkan kesusahan orang-orang yang dihimpit kesulitan.

 

Allah SWT telah memerintahkan kita untuk senantiasa berdo’a. Allah SWT berfirman:

 

“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.”

 

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

 

‘Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”

 

Rasulullah SAW sendiri telah memberikan beberapa kabar gembira bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah SWT untuk dapat berdo’a kepada-Nya.

 

– Orang tersebut tergolong orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

“Barang siapa diantara kalian yang dibukakan oleh Allah SWT pintu do’a, niscaya akan dibukakan pula baginya pintu rahmat. Dan tidaklah Allah SWT dimintai sesuatu (yang lebih Ia sukai) daripada ketika Allah SWT dimintai kesehatan.” (H.R. Tirmidzi dan Hakim)

 

– Akan mendapat perlindungan dari Allah SWT dan penjagaan secara khusus yang mana penjagaan tersebut ibarat sebuah senjata yang dapat ia gunakan untuk memerangi musuh dan menghindarkan dirinya dari bahaya. Rasulullah SAW bersabda:

 

“Do’a merupakan senjata bagi seorang mukmin, tiang agama dan cahaya yang menerangi langit dan bumi.” (H.R. Hakim, ia berkata: Sanadnya shahih)

 

Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya meriwayatkan sebuah hadits yang juga dikuatkan oleh imam al-Hakim, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Janganlah pernah kalian meremehkan do’a, karena sesungguhnya orang-orang yang serintasa bendo’a tidak akan mendapatkan kesusahan. “(H.R Ibnu Hibban di kitab shahihnya dan Hakim)

 

Rasulullah SAW juga bersabda:

 

“Bukankah aku telah menunjukkan kepada kalian perkara yang dapat menyelamatkan kalian dari musuh-musuh kalian dan memperbanyak rizqi kalian? Berdo’alah kepada Allah SWT di waktu siang dan malam hari karena sesungguhnya do’a merupakan senjata bagi seorang mukmin.”

 

– Do’anya pasti akan dikabulkan oleh Allah SWT dan keseriusannya akan diterima oleh-Nya. Rasulullah SAW. bersabda:

 

“Sesungguhnya Allah SWT adalah Dzat yang Pemalu dan Pemurah, Dia merasa malu jika ada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (seraya meminta-minta kepada-Nya) sedangkan Allah SWT mengembalikan kedua tangannya itu hampa dan penuh penyesalan.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan: hadits hasan. Juga diriwayatkan Ibnu Majah, Ibnu Hiban dalam kitab shahihnya dan diriwayatkan oleh Hakim, ia mengatakan: hadits di atas shahih menurut syarat Bukhori dan Muslim)

 

“Sesungguhnya Allah SWT Deat yang Maha Pengasih dan Pemurah. Ia merasa malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya sedangkan Dia tidak meletakkan kebaikan di atas kedua tangannya.” (H.R. Hakim, ia berkata: sanadnya shahih)

 

Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan tentang tata cara Allah dalam mengabulkan do’a para hamba-Nya, bahwa semua tata cara yang dilakukan Allah itu mengandung kebaikan bagi orang yang berdo’a. Namun kadang-kadang kebaikan itu dapat dirasakan seketika atau kelak di kemudian hari, baik disadari atau tidak.

 

Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tidak ada seorang muslim yang berdo’a dengan do’a yang di dalamnya tidak ada perkara yang mengandung dosa dan memutuskan tali shilaturrahim, kecuali Allah SWT akan memberikan baginya salah satu diantara tiga perkara: ada kalanya Allah SWT akan segera mengabulkan do’anya. Atau Allah SWT akan menjadikan do’anya sebagai simpanan baginya kelak di akhirat. Dan ada kalanya Allah akan menghindarkannya dari perkara buruk. Lalu para sahabat berkata: “Kalau begitu kami akan memperbanyaknya (berdo’a). Rasulullah SAW pun menjawab : “Allah memiliki lebih banyak (dari apa yang kalian minta)” (H.R. Ahmad, Bazar, Abu Ya’la dengan beberapa sanad yang jayyid, juga Imam Hakim, ia berkata : Sanadnya shahih)

 

Rasulullah juga memberitahu kepada kita bahwa sesungguhnya do’a itu akan mencegah dari datangnya bencana serta akan meringankan godar Allah SWT dengan godar yang lain. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

 

“Kehati-hatian itu tidak bisa melepas godar, sedangkan do’a itu dapat merubah (keburukan-keburukan) yang telah turun ataupun yang belum turun. Sesungguhnya bala” itu pasti akan turun, lalu akan bertemu dengan do’a sehingga mercka berdua akan berusaha saling melemahkan satu dengan yang lain hingga kelak hari kiamat. t (H.R. Bazar, Thobroni dan Hakim, dan ia berkata: Sanadnya shahih)

 

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tiada suatu perkara pun yang dapat menolak keputusan Allah SWT kecuali do’a. Dan tidak ada perkara yang dapat memanjangkan umur melainkan perbuatan baik.” (H.R. Tirmidzi dan ia berkata: Hadits hasan ghorib)

 

Metode yang harus digunakan oleh orang yang berdo’a supaya do’anya dikabulkan oleh Allah SWT adalah dengan tidak bosan-bosan untuk senantiasa meminta kepadaNya setiap waktu. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada orang mukmin. Beliau bersabda:

 

“Siapapun yang ingin do’anya selalu dikabulkan oleh Allah SWT ketika mengalami kesusahan, maka hendaknya ia senantiasa memperbanyak berdo’a kepada-Nya dikala senang. “(H.R. Tirmidzi dan Hakim, masing-masing mengatakan : sanadnya shahih)

 

Dalam hadits Lain, Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tidak ada perkara yang lebih mulia di hadapan Allah melebihi do’a yang dihaturkan hamba-Nya di waktu senangnya,”

 

Beberapa hadits yang diriwayatkan di atas menunjukkan sesungguhnya do’a merupakan sebab yang paling kuat yang mampu menolak perkara-perkara yang tidak diinginkan. Do’a bagaikan musuh bagi bala’ yang mampu untuk menolaknya, melumpuhkan kekuatannya, mencegah turunnya serta mengangkatnya kembali, atau jika bala’ tersebut sudah turun maka do’a akan meringankannya, Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits di atas bahwa antara bala’ dan do’a itu memiliki tiga peringkat. Pertama: Ada kalanya do’a lebih kuat daripada bala’, sehingga mampu menolaknya. Ke dua: Do’a lebih lemah daripada bala’, sehingga bala’ akan tetap mengenai hamba, meskipun demikian do’a akan tetap mampu menjadikan bala’ tersebut terasa lebih ringan. Ke tiga: Keduanya sama kuat, satu sama lainnya dapat saling mengcegah, tetapi bekas yang disebabkan oleh do’a itu nampak lebih akhir daripada bekas yang disebabkan oleh bala”. Dan terlambatnya bekas yang disebabkan oleh do’a dari bekas yang ditimbulkan oleh bala’ ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

 

– Karena memang kekuatan do’a tersebut lemah sejak asalnya, dikarenakan Allah SWT tidak berkenan dengan do’a tersebut, sebab adanya perkara yang bertentangan dengan etika berdo’a.

 

– Atau disebabkan karena lemahnya hati orang yang berdo’a, dia Udak bersungguh-sungguh ketika menghadap kepada Allah SWT di saat berdo’a. Bagaikan busur yang lemah benangnya, sehingga anak panahnya pun meluncur dengan sangat lemah dan tidak ada kekuatannya sama sekali.

 

– Dikarenakan adanya perkara yang mencegah untuk diterimanya do’a tersebut, seperti: makan perkara yang haram, adanya dosa-dosa yang mengotori hati, dikuasai oleh sifat lupa kepada Allah SWT, terkalahkan oleh syahwatnya atau tidak bersungguh-sungguh dalam berdo’a.

 

Semua hal di atas termaktub dalam kitab “Mustadrok” karangan Imam al-Hakim. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

“Berdoalah kalian semua kepada Allah SWT seraya meyakini akan dikabulkannya do’a tersebut. Ketauhilah bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak berkenan menerima do’a yang diucapkan oleh orang-orang yang hatinya lupa.”

 

Doa juga merupakan sebuah obat yang mujarrab untuk menghilangkan sebuah penyakit. Akan tetapi, lalainya hati dan makanan yang haram dapat melemahkan kekuatan do’a tersebut. Sebagaimana keterangan dari sebuah hadits dalam kitab “Shahih Muslim”, diriwayatkan dari Abu Hurairah , Rasulullah SAW bersabda:

 

“Wahai manusia, Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Suci dan tidak menerima kecuali perkara yang suci. Dan Allah telah mmerintahkan orang-orang mukmin untuk melakukan perkara-perkara yang telah Ia perintahkan atas para utusan-Nya. Allah berfirman:

 

“Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

 

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang haik-baik yang Kami berikan kepadamu” ……….., kemudian Rasulullah SAW menutur seorang laki-laki yang bepergian jauh dengan keadaan rambut yang acak-acakan dan berdebu, kemudian laki-laki tersebut mengangkat kedua tangannya ke arah langit lalu berteriak: “Wahai Tuhanku… wahai Tuhanku….. “. Akan tetapi makanan, minuman serta pakaiannya adalah perkara yang haram, bagaimana mungkin do’anya dapat dikabulkan?”

 

Abdullah bin al-Imam Ahmad menuturkan sebuah cerita dalam kitab “az-Zuhud” karangan ayahnya: “Bahwa suatu ketika bani srail diberi bala’ oleh Allah SWT. Kemudian mereka keluar dari rumah-rumah mereka dan menuju ke suatu tempat. Lalu Allah SWT meurunkan wahyu pada Nabi mereka, untuk mengatakan kepada mereka: “Kalian semua keluar menuju ke tempat yang tinggi dengan membawa badan yang najis. Kalian naik ke tempat perkumpulan tersebut sambil menumpahkan air mata kalian, sedangkan kalian penuhi rumah-rumah kalian dengan perkara haram. sekarang Aku Sudah sangat marah kepada kalian, hingga semua yang kalian lakukan itu hanyalah menambah jauh jarak antara kalian dengan-Ku”,

 

Dalam sebuah Atsar Abu Dzar berkata:

 

“Dianggap cukuplah do’a yang disertai dengan kebaikan sebagaimana makanan yang sudah cukup lezat dengan hanya diberi garam,”

 

Do’a Malam Nisfu Sya’ban

 

Tidak ada ketentuan yang pasti dari Rasulullah SAW mengenai do’a khusus serta sholat yang dikerjakan pada malam nisfu Sya’ban. Rasulullah SAW hanya menganjurkan kepada umatnya untuk meramaikan malam nisfu Sya’ban dengan memanjatkan do’a dan melakukan berbagai macam ibadah lain secara mutlak tanpa ada kekhususan. Sehingga siapa saja yang membaca alQur’an, memanjatkan do’a, menuanaikan sholat, bersedekah, atau melakukan amal ibadah apapun yang ia mampu melakukannya pada malam nisfu Sya’ban, maka dia sudah tergolong orang-orang yang menghidupkan malam nisfu Sya’ban serta mendapatkan pahala dari Allah SWT.

 

Terdapat sebuah do’a yang terkandung dalam hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah “Aisyah, yang terangkum dalam cerita yang panjang, beliau bercerita:

 

Suatu malam Rasulullah SAW singgah di kamarku kemudian menanggalkan pakaiannya, tapi tak lama kemudian Beliau langsung berdiri lagi dan memakai bajunya kembali. Sontak aku pun merasa Sangat curiga karena terkuasai oleh rasa cemburu yang membara. ku menyangka Beliua akan pergi menemui istrinya yang lain, emudian aku pun ikut keluar dan membuntutinya, sampai temukan Beliau berada di pemakaman Baqi’ul Ghorgod. Beliau sedang memintakan ampun bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang mati syahid. Aku pun berkata (di dalam hatiku), “Sungguh Engkau selalu memikirkan tentang Tuhanmu, sedangkan aku selalu memikirkan tentang dunia”. Kemudian aku kembali lagi ke kamarku dengan membawa amarah. Rasulullah SAW pun menemuiku, Beliau bersabda: “Apakah maksud dari amarah ini wahai “Aisyah”. Aku menjawab: “Sungguh engkau telah mendatangiku dan menanggalkan pakaianmu, tapi tak lama kemudian Engkau berdiri lagi, Engkau pakai kembali pakaianmu dan pergi meniggalkanku. Aku pun merasa curiga dan cemburu, aku menyangka Engkau pergi untuk menemui istri-istrimu yang lain, sampai akhirnya aku menemukan Engkau berada di pemakaman Baqi’ sedang melakukan apa yang menjadi hajatmu”. Beliau pun bersabda: “Wahai “Aisyah, apakah kau kawatir Allah dan Rasul-Nya akan berbuat aniaya kepadamu? Sungguh tadi telah datang malaikat Jibril menemuiku, dia berkata: Malam ini adalah malam pertengahan bulan Sya’ban. Pada malam ini Allah SWT berkanan memberikan pembebasan dari api neraka sebanyak bilangan bulu-bulu kambing kabilah Kalb. Pada malam ini Allah (dak berkenan melihat kepada orang musyrik, pendendam, orang yang congkak, anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya serta orang yang membiasakan minum khomer”, “Aisyah berkata:

 

“Kemudian Rasulullah SAW menanggalkan bajunya kembali dan berkata kepadaku: “Wahai “Aisyah. apakah kau izinkan aku untuk beribadah pada malam ini?” Aku pun menjawab: “Iya. sungguh wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah SAW pun melaksanakan sholat dengan sujud yang sangat lama, sampai aku menyangka beliau telah meninggal. Aku pun berdiri untuk mengusap telapak kaki Beliau, ternyata kaki beliau masih bergerak-gerak. Betapa bahagianya aku, ketika aku mendengar Beliau berdo’a dalam sujudnya:

 

Keesokan harinya aku baca do’a tersebut di hadapan Rasulullah SAW. Beliau pun bersabda kepadaku: “Wahai “Aisyah, Engkau telah mempelajari do’a itu? Aku pun menjawab:” Iya”. Lalu beliau bersabda: “Pelajarilah do’a itu, kemudian ajarkanlah. Karena sesungguhnya malaikat Jibril telah mengajariku dan memerintahkanku untuk mengulang-ulanginya ketika sedang sujud”

 

Dalam hadits yang lain sayyidah “Aisyah juga meriwayatkan:

 

“Ketika itu malam nisfu Sya’ban bertepatan dengan giliranku, Rasulullah SAW pun ada bersamaku. Tiba-tiba pada tengah malam Beliau menghilang. Seperti layaknya seorang istri . akupun merasa cemburu dan curiga. Lalu aku kenakan baju buluku untuk menutupi tubuhku dan aku pun mencari beliau ke kamar-kamar istri beliau yang lain, tapi aku tidak menjumpainya, hingga akhirnya kuputuskan untuk kembali lagi ke kamarku. Tiba-tiba aku mendapatinya bagaikan baju yang terjatuh, beliau tetap melanjutkan sujudnya dan berdo’a dalam sujudnya:

 

Kemudian Rasulullah SAW mengangkat kepalanya sebentar dan kembali sujud seraya berdo’a:

 

Setelah selesai dari sujud yang ke dua, beliau kemudian mengangkat kepalanya dan berdo’a:

 

Setelah menyelesaikan semuanya, beliau langsung ikut bersamaku masuk ke dalam selimut, sedangkan aku masih menampakkan amarahku kepada beliau, sehingga beliau pun bertanya kepadaku : “Apakah arti dari amarah ini, wahai Humairo”?” Lalu aku ceritakan semuanya, beliau pun beranjak mendekatiku dan mengusap lututk, seraya bersabda: “Sungguh kasihan kedua lutut ini, ia tidak akap bisa bertemu denganku malam ini, karena malam ini adalah malan nisfu Sya ban, pada malam ini Allah SWT berkenan turun ke langi, dunia untuk memberi ampunan bagi hamba-Nya kecuali orang musyrik dan pendendam”.

 

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi:

 

“Pada malam nisfu Sya’ban Rasulullah SAW melakukan shalat serta memanjangkan sujudnya, hingga aku mengira bahwa beliau felah wafat. Kemudian aku beranjak untuk menggerak-gerakkan ibu Jari kaki beliau, hingga aku ketahui bahwa beliau masih bergerakgerak. Aku pun kembali lagi ke tempat tidurku. Aku dengar beliau berdo’a dalam sujudnya:

 

Setelah beliau selesai dari shalatnya, beliau mengangkat Kepalanya, seraya bersabda: “Wahai “Aisyah — dalam riwayat lain: wahai Humairo”apakah kau menyangka bahwa Nabi akan menghianatimu?” Aku menjawab: “Demi Allah, tidak wahai Rasulullah. Aku mengira Engkau wafat (dalam sujudmu) karena lamanya engkau sujud”. Lalu beliau bertanya: “Taukah kamu malam apa sekarang?” Aku menjawab: “Allah SWT dan RasulNya lebih mengatuhui”. Beliau bersabda: “Sekarang adalah malam nisfu Sya’ban. Sungguh pada malam ini Allah SWT berkenan melihat kepada hamba-hamba-Nya serta mengampuni mereka yang beristighfar, mengasihi orang-orang yang memohon belas kasihan kepada-Nya dan mengakhirkan para pendendam, selama masih berdendam”. (H.R. al-Baihaqi dari jalur “Ala’ bin Harits. Imam al-Baihaqi berkomentar: hadits ini tergolong hadits mursal yang jayyid, yakni “Ala’ tidak mendengar langsung hadits ini dari sayyidah ‘Aisyah).

 

Arti dari lafadz      dalam hadits di atas adalah: berkhianat dan tidak memenuhi haknya. Dan makna yang dimaksudkan lafadz dalam hadits di atas adalah: apakah aku menghianatimu untuk menemui yang lain di saat malam giliranmu?.

 

Do’a-Do’a Yang Biasa Dipanjatkan Dan Yang Terbukti Dikabulkan

 

Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat pada setiap malam nisfu

 

Sya’ban membaca surat Yasin dan do’a khusus, di antaranya:

 

Penulis berkomentar : redaksi dalam do’a yang benar setelah diteliti dan dikaji ulang adalah:  (.      ) Sedangkan penambahan lafadz (.   ) dalam kitab-kitab yang popular adalah tidak benar, barang kali terjadi kesalahan oleh para penulisnya. Hal tersebut dikarenakan perkara yang sudah tertulis di       sudah tidak bisa dihapus ataupun pun di tambah lagi, Sebagaimana Allah SWT berfirman:         dan aku sudah mengungkapkan hal tersebut secara elobal kepada guru-guru saya dan para imam ahli hadits dan fikih, dan ternyata mereka membenarkanku.

 

Masih banyak sekali do’a-do’a yang sejenis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab “al-Mushonnaf” serta oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya “ad-Du’a”. Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: tidak ada seorang hamba pun yang membaca do’a ini kecuali Allah akan melapangkan ma’isyahnya.

 

Do’a-Do’a Pilihan Para Ulama’ Salaf

 

Ada beberapa do’a yang ma’tsur dari ulama’ salaf yang tentunya tidak terkhusus untuk dipanjatkan pada malam nisfu Sya’ban, akan tetapi sebagian ulama” arif billah menganggap baik untuk dipanjatkan pada malam itu, bahkan dianggap baik jika dipanjatkan di setiap malam sesuai dengan kemampuan dan kesiapan. Diantara do’a-do’a itu adalah do’a lailatul Qodar:

 

Do’a tersebut biasa dipanjatkan pada malam lailatul Qodar, dan baik jika dipanjatkan pada malam nisfu Sya’ban karena ia adalah malam termulia setelah lailatul Qodar.

 

Do’a Nabi Adam AS

 

Diantara do’a-do’a ulama’ yang dipanjatkan pada malam nisfu Sya’ban adalah do’a yang diriwayatkan oleh sekelompok ulama’ dengan sanad yang tidak dianggap masalah dari Abi Barzah, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: tatkala Nabi Adam turun ke bumi, beliau melakukan thowaf di Baitullah, setelah itu beliau melakukan shalat dua rokaat di belakang magom Ibrohim, kemudian beliau berdo’a :

 

Lalu Allah memberikan wahyu kepada nabi Adam, “Wahai Adam, Engkau telah berdo’a dengan sebuah do’a, maka Aku Ikan mengabulkannya. Tidak ada seorang dari keturunanmu yang berdo’a dengan do’a ini, kecuali Aku akan mengabulkan do’anya mengampuni dosa-dosanya, menghilangkan kesusahannya, dan akan aku berkahi setiap perdagangannya dengan pedagang, pedagang lain, dan Aku juga akan memberikannya dunia sekalipun ia tidak menginginkannya.

 

Do’a Syaikh Adbul Qodir Al-Jailani

 

Do’a ini dinisbatkan pada syaikh Abdul Qodir al-Jailani yang baik dibaca pada malam nisfu Sya’ban:

 

Do’a Imam Al-Haddad

 

Al-Imam al-Habib Hasan bin Syaikhul Islam al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad telah mengumpulkan (mengkodefiksikan) do’a yang penuh berkah, sebagai berikut :

 

Ini adalah do’a pendek, Adapun do’a yang panjang dan sempurna adalah:

 

 

 

Perlu diketahui bahwa ada beberapa hadits yang batal yang menjelaskan tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban dan menjelaskan tentang tata cara shalat pada malam nisfu Sya’ban, Hadits-hadits tersebut adalah batal yang harus ditolak, tidak boleh diamalkan dan tidak boleh disebarluaskan di kalangan orang

 

orang “Awam, kecuali bertujuan untuk memberi perhatian atau menolaknya.

 

Ada beberapa hadits Shahih, Hasan dan hadits Magbul yang masih cukup relevan sebagai tendensi dari melakukan keutamaan

 

keutamaan dan penuturan biografi bagi orang-orang yang menghendaki melakukan kebajikan.

 

Al-“Allamah al-Muhaddits Syaikh Sayyid Abdulloh bin Muhammad bin Shidiq al-Ghimari berkata: Termasuk hadits-hadits yang mardud adalah hadits yang konon diriwayatkan dari sahabat Ali karramallah wajhah, beliau berkata:

 

“ Aku melihat Rasulullah SAW. Pada malam separuh dari bulan Sya’ban berdiri lantas shalat empat belas rakaat. Kemudian setelah selesai, beliau duduk dan membaca ummul kitab empat belas kali, suratal-Ikhlas empat belas kali, surat al-Falag empat belas kali, surat an-Naas empat belas kali, ayat Kursi sekali, dan dua ayat terakhir dari surat at-Taubah      Ketika beliau telah selesai dari shalatnya, aku bertanya mengenai perbuatan beliau yang telah aku lihat. Rasulullah SAW. menjawab: “ Barang siapa yang melakukan seperti apa yang telah engkau lihat, maka baginya pahala dua puluh haji yang diterima dan puasa dua puluh tahun yang diterima pula dan apabila pada pagi harinya ia berpuasa maka baginya (pahala) seperti puasa dua tahun, setahun yang telah lewat dan setahun yang akan datang”.

 

Hadits ini adalah Maudhu’ sebagaimana telah dinyatakan oleh Imam al-Baihaqi dan yang lainnya selaku pembawa hadits diatas.

 

Demikian juga hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ali karramallah wajhah secara Marfu?:

 

“Barangsiapa yang shalat sebanyak seratus rakaat pada malam separuh dari bulan Sya’ban, membaca surat Al Fatihah dan surat Al Ikhlas sebelas kali di setiap rakaat, maka Allah “azza wa jalla akan memenuhi seluruh hajat yang ia minta pada malam itu. Beliau ditanya: “Apabila Allah telah menjadikannya sebagai orang yang celaka, apakah Dia akan menjadikannya sebagai orang yang bahagia?” Behau menjawab: “Demi Dzat yang telah mengutusku dengan hag. Wahai Ali, sesungguhnya telah tertulis di Lauh Mahtudz “sesungguhnya fulan ibn fulan diciptakan sebagai orang yang celaka” lantas Allah menghapusnya dan menjadikannya sebagai orang yang bahagia”.

 

Syaikh Abdullah juga menuturkan hadits maudhu’ yang telah din nash ke-maudhu’-annya oleh ibnul Jausi dan yang lainnya, yang panjang mengenai keutamaan malam separuh dari bulan Sya’ban. Demikian juga hadits yang dituturkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’nya dari Hasal al-Bashri. Dia berkata:

 

“Telah bercerita kepadaku 30 orang shohabat Rasulullah SAW bahwa “Barangsiapa yang melakukan shalat seperti ini pada malam ini, maka Allah akan berkenan memperhatikannya 70 kali perhatian, setiap kali ia diperhatikan ia dikabulkan hajatnya 70 hajat, paling rendah adalah pengampunan”.

 

Hadits ini juga merupakan hadits yang batal sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Hafidz al-‘Iraqi.

 

Membaca Yasin Agar Terpenuhi Hajat

 

Membaca Yasin dengan niat kebaikan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi, atau bahkan dengan membaca alQur’an dengan secara keseluruhan untuk tujuan tersebut adalah tidaklah berdosa dan tidak pula dilarang, namun sebagian orang ternyata telah mendakwakan bahwa hal tersebut adalah haram atau terlarang atau bid’ah sayyi’ah dan sederet label-label itu sering kita dengarkan diucapkan begitu saja tanpa adanya Qoyyid, Syarat ataupun pengecualian dalam menyikapi hal-hal baru yang dulu tidak ada. Berikut komentar mereka :

 

Apa yang telah dilakukan oleh kebanyakan manusia yaitu embaca surat YaaSiin sebanyak tiga kali. Pertama, dengan niat agar panjang umur dan disertai taufiq untuk melakukan taat. Kedua, engan nial penjagaan dari berbagai marabahaya dan kesusahan, an niat agar mendapat rizki yang lapang. Dan yang ketiga. berniat yar lapang dada dan husnul khatimah, begitu juga shalat yang mereka lakukan diantara do’a dan shalat dengan niat khusus agar ikabulkannya hajat tertentu, semuanya itu adalah batal, tidak erdasar dan tidak sah melakukan shalat kecuali dengan niat yang urni karena Allah, tidak untuk tujuan yang lain. Allah berfirman :

 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah: 5)

 

Demikian tadi yang diucapkan orang-orang yang ingkar.

 

Penulis berkata: “Sesungguhnya dakwaan ini pada dasarnya adalah dakwaan yang batal, karena didasarkan pada pendapat yang tidak, berdasar pula juga mengandung unsur penghakiman dan pembatasan terhadap anugerah Allah dan rahmat-Nya. Yang benar adalah bahwa sama sekali tidak ada pelarangan untuk menggunakan al-Qur’an, dzikir dan do’a untuk tujuan yang bersifat Duniawi, permintaan yang bersifat pribadi, kebutuhan dan tujuan-tujuan lain setelah mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala dalam melakukannya, Sebab yang menjadi syarat adalah ikhlasnya niat dalam beramal karena Allah. Dan hal ini diperintahkan di setiap Ibadah, seperti shalat, zakat, haji, jihad, berdo’a dan membaca a-Qur’an, Oleh karenanya, dalam keabsahan amal tidak dapat lepas dari ihlasnya njal semata karena Allah. Keikhlasan adalah Merupakan suatu keharusan yang tidak diperselisihkan lagi, bahkan jika amal tersebut tidak murni karena Allah, maka amal tersebut akan tertolak. Allah berfirman:

 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus” (QS. al-Bayyinah: 5)

 

Akan tetapi tidak ada larangan bagi manusia untuk menambahkan kepada amal yang dia lakukan beberapa permohonan dan beberapa . hajat yang dihaturkan, baik duniawi ataupun ukhrawi, yang nampak maupun maknawi, yang dzahir maupun batin setelah mengikhlaskan niat kepada Allah. Barang siapa yang membaca surat Yaasiin atau yang lainnya dari al-Qur’an semata karena Allah Ta’ala dan berharap mendapatkan berkah dalam umur, harta, dan kesehatan tidaklah berdosa, dan dia telah menempuh jalan kebaikan (dengan syarat ia tidak menyakini akan disyariatkannya hal tersebut secara khusus), maka ia boleh membaca surat Yaasiin sebanyak tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus kali atau bahkan ia boleh mambaca al-Qur’an secara keseluruhan semata karena Allah yang disertai dengan permohonan dipenuhi hajat-hajatnya, dikabulkan permohonannya, dihilangkan kesusahan dan duka yang menimpanya, disembuhkan dari sakit yang dideritanya dan ditutup hutangnya. Lantas apa yang menjadikan dosa dalam melakukan hal tersebut? Sedangkan Allah sendiri senang kepada hamba-Nya yang selalu memohon kepada-Nya setiap sesuatu hingga dalam masalah garam makanan dan perbaikan tali sandalnya. Jadi, status pendahuluan surat Yaasiin atau shalawat kepada Nabi SAW. tak ubahnya sebagai tawassul dengan amal kebaikan dan bacaan alQur’an al-Karim. Dan hal itu telah disepakati akan disyariatkannya. Penulis telah memaparkan masalah ini dengan detail dalam kitab Mafahim, yang mana teksnya adalah :

 

“Tidak ada satupun dari orang-orang Islam yang berselisih dalam Isyariatkannya tawassul kepada Allah SWT dengan menggunakan mal shalih. Oleh karenanya, barang siapa yang berpuasa, shalat, membaca al-Qur’an atau bershadaqah, maka ia dapat bertawamul dengan puasa, shalat, bacaan, dan shadaqah yany telah sa lakukan, bahkan hal itu lebih diharapkan akan terkabulkannya hayat dan lebih besar harapan diraihnya permohonan. Tidak akan ditemukan sekalipun hanya dua orang yang berselisih dalam hal ms Dalil mengenai hal ini adalah hadits yang menceritakan tiga orang yang terkurung di dalam gua. Lantas salah satu dari mereka bertawassul kepada Allah dengan baktinya kepada kedua orang tua, sedangkan yang kedua bertawassul dengan menjauhi dari perbuatan zina stelah berkesempatan melakukannya, dan yang ketiga bertawassul dengan amanat yang ia pegang dan penjagaan terhadap harta orang lin lalu dikembalikannya kepada pemiliknya dengan sempurna. Dan akhirnya Allah menghilangkan apa yang menyusahkan mereka bertiga dari diri mereka.

 

Bentuk tawassul seperti ini telah dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah secara rinci berikut dalil-dalilnya dan pendalaman permasalahannya dalam kitab beliau “Qoidah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah“,

 

Shalat Karena Allah Semata

 

Shalat adalah suatu ibadah. Sedangkan inti dalam beribadah dalah hendaknya hanya karena Allah SWT. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuah supaya menyembah Allah lengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Qs. al-Bayyinah: 5)

 

Diriwayatkan dari adh-Dhahhag bin Qais, ia berkata : bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

 

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah sebaik-baik sekutu, maka barang siapa yang menyertakan denganKu seorang sekutu, maka dia adalah milik sekutu-Ku”. Wahai para manusia, murnikanlah amal-amal kalian, karena Allah Tabaraka wa Ta’ala hanya menerima amal yang murni karena-Nya, janganlah kalian berkata: “amal ini karena Allah dan karena sanak”, karena sesungguhnya hal itu untuk sanak dan tiada bagi Allah darinya sedikitpun dan janganlah kalian berkata: “ini karena Allah dan karena diri kalian”, karena hal itu hanya milik kalian dan tiada bagi Allah darinya sedikitpun. (H.R. al-Bazzar dengan sanad yang tidak bermasalah juga diriwayatkan Imam Baihaqi).

 

Diriwayatkan dari Rubaih bin Abdurrahman bin Abi Sa’id al-Khudri dari ayahnya dari kakeknya, bahwasannya kakeknya berkata:

 

“Rasulullah SAW. pernah keluar menemui kami yang sedang berbincang-bincang mengenai al-Masih Dajjal, lantas beliau bersabda: “tidakkah aku beritahu kalian tentang apa yang lebih aku takuti menimpa pada diri kalian melebihi al-Masih Dajjal?

 

Kami berkata: “baiklah (ceritakanlah) wahai Rasulullah”. Belrau bersabda: “syirik yang samar, yaitu seorang laki-laki berdiri, lantas melakukan shalat dan menyempurnakannya, sebab ia mengetahui sedang diperhatikan orang lain”. (H.R. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

 

Lafadz Rubaih menggunakan huruf ra’ yang didlammah, ba’ yang berititk satu, difathah dan setelahnya berupa huruf ya”. sedangkan huruf akhirnya adalah ha”? yang tidak bertitik, akan dibahas pada pembahasan yang akan datang. insya Allah.

 

Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid, dia berkata:

 

“Rasulullah pernah keluar seraya bersabda: “wahai para manusia, agalah diri kalian dari syirik hati”. Sahabat bertanya: “apakah syirik hati itu?”. Beliau menjawab: “seseorang berdiri lantas melakukan Shalat dan menyempurnakannya dengan sungguh-sungguh sebab Ia mengetahui pandangan manusia yang tertuju kepadanya”. (H.R. Ibnu Huzaimah dalam kitab Shahihnya).

 

Niat Yang Bersifat Tambahan

 

Niat yang bersifat tambahan tidak dapat mencacatkan niat orang yang sedang shalat, yaitu ketika ia telah niat ikhlas karena Allah, kemudian terdapat niat lain yang masuk ke dalam niat yang asli dan ditambahkan kepadanya. Hal ini telah terdapat dalam hadits Yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal tersebut, bahkan Menganjurkan, mendorong dan mengajak, untuk melakukannya.

 

Hadits yang paling shahih dalam masalah ini adalah hadits tentang shalat istikharah. Di sana juga terdapat shalat hajat dan banyak shalat-shalat lain dengan niat yang beraneka ragam tujuan-tujuan pribadi, hajat, kemaslahatan dan kemanfaatan yang bersifat duniawi. Dan kami akan menuturkan sebagian syahid (dalil penguat) akan hal tersebut.

 

Shalat Karena Allah Kemudian Untuk Istikharah

 

Diriwayatkan dari sahabat Jabir RA., bahwasannya dia berkata:

 

“Rasulullah SAW. telah mengajarkan kita ber-istikharah dalam segala permasalahan, sebagaimana (mengajarkan kita) surat dari al-Qur’an. Beliau bersabda: “ketika salah satu diantara kalian berkehendak kepada suatu perkara, maka hendaklah ia shalat dua raka’at selain shalat fardhu, kemudian ia berdo’a :

(atau ia mengucapkan).   (atau ia mengucapkan)         ( kemudian ia menyebutkan hajatnya)

 

Demikian sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari.

 

Sebagian ulama berijtihad memilih untuk membaca surat Yaasiin dalam shalat tersebut (separuh dibaca pada raka’at pertama dan separuh yang lain pada raka’at yang kedua), sebagian yang jain memilih untuk membaca surat al-Kafirun pada raka’at pertama dan surat al-Ikhlash pada raka’at yang kedua, yang lain memilih membaca ayat Kursi pada raka’at pertama dan beberapa ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada raka’at yang kedua dan sebagian lagi pada raka’at pertama memilih membaca ayat:

 

dan pada rakaat kedua membaca ayat:

 

Rasulullah SAW. bersabda : Kemudian hendaklah ia berdo’a – setelah shalat – (sementara ia dalam keadaan duduk ketika shalat, menghadap kiblat menghadirkan hajatnya kepada Allah) dengan do’a :

 

(la boleh menyebutkan hajatnya atau cukup dengan niat, karena Allah maha tahu akan kehendak hambanya )

 

(atau dia mengucapkan: )

 

Diperbolehkan untuk mengulang-ulang doa ini dalam posisi masih sedang duduk, karena Rasulullah SAW. menyukai terhadap do’a yang diulang hingga tiga kali. Sehingga hatinya menjadi tenang, maka hendaknya ia meneruskannya (baik melakukannya atau meninggalkannya) dengan menyebut nama Allah dan mengharap berkah-Nya.

 

Shalat Kepada Allah Seraya Disertai Niat Menghilangkan Kesulitan Dan Dikabulkan Hajat

 

Tidak diragukan lagi bahwa shalat adalah salah satu pintu menuju kebahagiaan yang paling agung . Allah berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

 

Allah berfirman:

 

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”

 

Disebutkan dalam beberapa Hadits bahwa jika Rasulullah sedang menghadapi suatu masalah yang penting, maka beliau berlindung dengan melakukan shalat. Shalat itu juga bisa mendatangkan rizki, menjaga kesehatan, menolak berbagai hal yang menyakitkan, mengusir penyakit, menguatkan hati, mencerahkan wajah, menjadikan jiwa riang, menghilangkan sifat malas, membangkitkan anggota badan, memberikan kekuatan, melapangkan dada, bagaikan makanan pokok bagi jiwa, menerangi hati, menjaga nikmat, menolak malapetaka, mendatangkan keberkahan, menjauhkan dari syetan, dan menjadikan dekat dengan Allah Dzat yang maha pengasih.

 

Secara global shalat itu membawa dampak yang sangat signifikan dalam menjaga kesehatan, memberikan kekuatan dan dapat menolak unsur negatif dari jiwa dan raga.

 

Jika ada dua orang yang salah satunya rajin melakukan shalat , maka ialah yang lebih sehat dan lebih sedikit mendapatkan terpaan berbagai penyakit dan malapetaka dibanding dengan yang lain .

 

Shalat juga memberikan dampak yang luar biasa dalam hal penolakan keburukan di dunia. Lebih-lebih jika shalat itu dilakukan sesempurna mungkin baik secara dhohir maupun batin. Tidak ada suatu apapun yang engkau jadikan perisai dari keburukan i dunia maupun di akhirat. Juga tidak ada suatu apapun yang bisa mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat yang melebihi kedahsyatan shalat. Rahasia itu semua karena shalat itu adalah merupakan media yang menghubungkan seorang hamba kepada ‘rabbnya. Maka atas kadar persambungan itu akan dibukakan Pintu-pintu kebaikan dan diputusnya aliran-aliran keburukan ‘an sejauh mana kadar kualitas shalat itu, sejauh itu pula Allah ikan melimpahkan baginya taufiq , kesehatan jasmani dan rohani, keberuntungan, kekayaan, ketenangan, kenikmatan, kebahagiaan, dll. Semua itu akan segera datang menghampirinya.

 

Shalat Karena Allah Seraya Mohon Pengampunan

 

Diceritakan dari Ikrimah dan Ibnu Abbas RA bahwa Rasululloh SAW bersabda kepada Abbas bin Abdul Mutholib:

 

“Wahai Abbas wahai pamanku . Adakah aku memberimu, adakah aku menganugerahimu, adakah aku melakukan kepadamu sepuluh perkara, jika engkau melakukannya Allah akan mengampuni dosamu baik yang pertama-tama maupun yang akhir-akhir. Baik yang lama maupun yang baru baik yang disengaja maupun tidak, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang samar maupun yang terang-terangan. Sepuluh perkara itu adalah hendaknya engkau melakukan Shalat 4 rokaat, setiap rokaat hendaknya engkau membaca surat al-Fatihah dan surat yang lain. Setelah engkau menyelesaikan pembacaan surat (selain al-Fatihah) disetiap rakaat, maka bacalah dalam keadaan engkau masih berdiri tegak disetiap rakaat:.  15 kali

 

kemudian engkau melakukan ruku’. Dalam keadaan ruku’ itu engkau membacanya 10 kali lalu engkau angkat kepalamu dari ruku’ engkau juga membacanya 10 kali, setelah itu engkau turun melakukan sujud, di dalam sujud itu engkau membacanya 10 kali lalu bangun dari sujud engkau baca 10 kali kemudian engkau sujud lagi yang kedua juga membacanya 10 kali kemudian engkau bangun dari sujud juga membacanya 10 kali maka jumlah keseluruhanya adalah 75 kali disetiap raka’at. Engkau melakukanya seperti itu 4 rakaat. Jika engkau mampu, maka lakukanlah tiap hari, Jika tidak, maka lakukanlah setiap Jum’at sekali, jika tidak, maka lakukan lah setiap sebulan sekali. Jika tidak maka lakukanlah setahun sekali. Jika tidak, maka lakukanlah seumurmu sekali.” (HR. Abu Dawud. Ibnu Majah, dan Ibnu Huzaimah di dalam kitab Shahihnya, beliau berkata : Jika Hadits ini benar adanya, maka ada sesuatu dalam sanadnya yang mengganjal hati kemudian beliau menyebutkanya, kemudian beliau juga berkata: Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibrahim bin Hakam bin Abbas dari ayahnya dari Ikrimah secara mursal tanpa menyebutkan Ibnu Abbas).

 

Imam al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan beliau meriwayatkanya di akhir hadits, Rasulullah bersabda:

 

“Andaikata dosa-dosamu itu sebanyak buih lautan atau sebanyak pasir Kabilah Alij, niscaya Allah akan mengampunimu.”

 

Hadits diatas telah diriwayatkan melalui beberapa sanad dan diriwayat dari sejumlah shahabat. Diantaranya adalah Ikrimah, begitu juga hadits di atas telah dishohihkan oleh sejumlah Ahli Hadits, diantaranya adalah : al-Hafidz Abu Bakar al-Ajuri, Syaikhuna Abu Muhammad Abdurrohim al-Misri dan Syaikhuna . al-Hafidz Abul Hasan al-Muqoddami. Semoga Allah merahmati mereka, Abu bakar bin Dawud berkata: Aku mendengarkan ayahku berkata: Tidak ada hadits shohih yang menyebutkan Shalat tasbih Selain Hadits ini (Demikian disebutkan dalam kitab Targhib wa tarhib).

 

Melakukan Shalat Karena Allah Seraya Untuk Bertaubat

 

Diceritakan dari Abu Bakar RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

 

“Tidaklah seorang hamba melakukan suatu dosa lalu ia berdiri bersesuci kemudian melakukan shalat dan meminta ampun kepada Allah kecuali Allah mengampuninya kemudian Rasululloh membaca Ayat :

 

(H.R. Turmudzi. Beliau berkata : Hadits hasan. Juga diriwayatkan oleh Abu dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu hiban dalam kitab Shohihnya dan Imam Baihaqi, hanya saja keduanya berkata ( dalam riwayatnya ): kemudian ia melakukan shalat 2 rakaat. Hadits diatas juga disebutkan ibnu Huzaimah dalam kitab Shohihnya tanpa sanad dan beliau menyebutkan dalam riwayatnya: 2 rakaat ).

 

Diceritakan dari Hasan Basri RA ia berkata bahwa Rasululloh SAW bersabda: 

 

“Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia berwudlu dengan benar lalu ta keluar ke suatu tanah lapang dan melakukan shalat 2 rokaat lalu memohon ampun dari dosa yang dilakukan tersebut kecuali Allah mengampuninya.” (HR. Baihaqi secara mursal)

 

Di dalam Hadits ada kata (    ) lafadz tersebut huruf ba’nya di baca kasroh, kemudian setelahnya berupa huruf Ro’ lalu huruf alif dan berikutnya huruf za’ artinya adalah tanah lapang.

 

Diceritakan dari Abdullah bin Buraidah RA dari Ayahnya ia berkata :

 

“Disuatu hari, pagi-pagi Rasulullah memanggil Bilal, lalu beliau bersabda: wahai bilal dengan apakah engkau bisa mendahuluiku ke Surga. Sesungguhnya aku tadi malam masuk surga lantas aku mendengar suara gerakan-gerakanmu di depan-Ku. Bilal menjawab : Wahai Rasululloh aku tidak melakukan dosa kecuali aku melakukan shalat 2 rakaat dan aku tidak berhadats kecuali seketika itu aku berwudhu dan melakukan shalat 2 rakaat.” (HR. Ibnu Huzaimah, di dalam kitab shohihnya dalam riwayat lain menggunakan kata ……, begitu di sebutkan dalam kiitab at-Targhib wa at-Tarhib).

 

Shalat Karena Allah Seraya Mohon Dikabulkan Hajat

 

la adalah shalat hajat, yaitu: Shalat yang dilakukan oleh seorang hamba sebagai mediasi kepada Allah atas hal-hal yang membuatnya prihatin agar Allah berkenan mengabulkan hajatnya atas anugrah-Nya dan Allah berkenan memberikan jalan yang biasa dilalui oleh manusia untuk memperoleh suatu keinginan atas godrat-Nya.

 

Telah diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dengan deretan sanadnya dari Utsman bin Hanif bahwasanya ada seorang lelaki buta datang kepada Nabi SAW, dia berkata :

 

“Aku tertimpa (musibah) pada mataku, mohon engkau berdoa kepada Allah SWT untuk kesembuhanku, lalu Rasulullah SAW bersabda: “Berwudlulah, lalu lakukanlah shalat dua rakaat setelah itu bacalah:

 

Utsman bin Hanif berkata: tidak lama kemudian lelaki tadi dating kembali seakan-akan tidak terkena malapetaka apapun. Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau mempunyai hajat maka lakukanlah seperti apa yang aku ajarkan tadi”,

 

Sebagian riwayat hadist terdapat perbedaan sedikit dari seg lafadznya, dan itu merupakan hal yang tidak dianggap penting.

 

Disebutkan dalam riwayat lain menggunakan kata-kata:

 

Shalat Lain Untuk Permohonan Dikabulkannnya Hajat

 

Diceritakan dari Abdullah bin Aufa RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Barang siapa yang mempunyai hajat kepada Allah SWT atau kepada salah satu dari Bani Adam, maka berwudlulah yang benar, lalu lakukanlah shalat dua rakaat. Setelah itu memujilah kepada Allah dan bershalawatlah kepada Rasulullah SAW, lalu bacalah doa:

 

(HR. Turmudzi dan yang lain),

 

 

 

 

 

Ada beberapa hadist yang menganjurkan membaca sejumlah ayat alau surat-surat al-Qur’an untuk tercapainya suatu tujuan dan permohonan-permohonan tertentu serta diraihnya sebuah idaman baik duniawiyyah ataupun sifatnya pribadi bagi si pembaca.

 

Berikut ini akan kami haturkan beberapa syahid untuk hal-hal diatas: Pembacaan Akhir Surat Al-Baqarah Untuk Perlindungan

 

Diceritakan dari Abi Mas’ud RA, ia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Barang siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat alBagoroh disuatu malam, maka keduanya akan mencukupinya.” (H.R. al-Bukhori)

 

Diceritakan dari Abu Hurairah RA secara marfu’:

 

“Jika engkau berbaring diatas alas tidurmu, maka bacalah ayat kursi, niscaya engkau selalu mendapatkan penjagaan dari Allah SWT dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” (HR. al-Bukhori)

 

Diceritakan dari Sahl bin Sa’ad RA, ia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Sesungguhnya segala sesuatu itu terdapat puncaknya, sedangkan puncaknya Al-Qur’an adalah surat Al-Baqoroh. barang siapa yang membacanya di dalam rumahnya pada malam hari, maka setan tidak akan masuk rumahnya selama tiga hari. Dan barang siapa yang mambacanya di waktu siang hari, maka setan tidak akan memasuki rumahnya selama tiga hari.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shohihnya).

 

Membaca Sebagian Ayat Untuk Perlindung Dari Fitnah Dajjal

 

Diceritakan dari Abu Darda” RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Barang yang menghafalkan 10 ayat dari surat al-Kahfi, maka Ia akan dijaga dari fitnah Dajjal.” (H.R. Bukhori, Abu Daud, da Nasa”i)

 

Menurut riwayat Abu Daud dan Nasa’i berbunyi:

 

Ada riwayat lain yang terdapat pada Imam Muslim dan Abu Daud berupa: ……       … (yang terakhir dari surat Al Kahfi).

 

Berkah Surat Yasin Terhadap Mayit Juga Untuk Tercapainya Hajat

 

Diceritakan dari Ma’qil bin Yasar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Harinya al-Qur’an adalah Surat Yasin, tidak seorang pun yang membacanya dengan harapan (pahala) dari Allah dan (mendapatkan pembalasan) di akhirat kecuali Allah akan mengampuni dosanya. Bacakanlah surat Yasin atas orang-orang yang meniggalkanmu.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasa’l, lafadz hadist adalah miliknya, juga diriwayatkan oleh Ibnu Hajar, dan Hakim, hadist diatas dishohehkan oleh Hakim)

 

Diceritakan dari Anas RA berkata, bahwa Rasulullah SAW

 

bersabda:    , ada:

 

“Segala sesuatu itu memiliki hati, adapun hatinya Qur’an adalah surat Yasin. Barang siapa yang membacanya, maka Allah akan menulis bacaannya tadi seperti membaca Qur’an sepuluh kali.” (HR. Turmudzi, ia berkata: Hadist Ghorib)

 

Surat Tabarok Untuk Keselamatan Dari Siksa Kubur

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata:

 

“Ada sebagian sahabat Nabi yang mendirikan kemah di atas kuburan. Ia tidak mengira bahwa area tadi adalah pekuburan. ja baru sadar bahwa ia berada di atas kuburan seseorang yang sedang membaca surat al-Mulk hingga mengkhatamkannya. lalu ja datang kepada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah SAW, aku mendirikan kemah di atas kuburan, saya tidak menyangka bahwa tempat itu adalah pekuburan, saya baru mengetahui bahwa area itu adalah pekuburan seseorang yang sedang membaca urat al-Mulk hingga mengkhatamkannya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Ia adalah yang akan menolak dari siksa kubur, ia adalah yang akan menyelamatkan dari siksa kubur.” (H.R. Turmudzi, dan ia berkata hadist ghorib)

 

Surat al-Waqiah Untuk Menjaga Dari Kefaqiran

 

Diceritakan dari Sayyidah Fatimah RA, bahwa Utsman bin Abbas RA menjenguk Ibnu Mas’ud disaat ia sedang sakit. lalu Usman bertanya: “Sakit apa yang sedang engkau rasakan?” ia menjawab: “Dosa-dosaku”. Usman bertanya lagi: “Apakah yang engkau tangiskan?”, ia menjawab: “Rahmatnya Allah”, lalu Usman menawarkan: “maukah engkau aku panggilkan dokter?” ia menjawab: “Justru dokter akan menjadikan aku sakit”, Usman bertanya lagi: “Apakah engkau berkenan jika aku perintahkan untuk memberikan pemberian kepadamu?”, ia menjawab: “Sesuatu Yang sebelumnya tidak engkau berikan maka aku tidak butuh 21”, Usman berkata: “Bagaimana jika pemberian tadi aku alihkan kepada keluarga dan anak-anakmu?”, ia menjawab: “Sesungguhnya ky telah mengajarkan kepada mereka sesuatu yang jika mereka membacanya, niscaya mereka tidak akan mengalami kefaqiran. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

 

“Barang siapa yang membaca surat Al Waqiah setiap malam hari, maka ia tidak akan fagir.” (H.R. Baihaqi)

 

Diceritakan dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata: Rasulullah SAw bersabda: “Aku mendengarkan Rasulullah SAW bersabda:

 

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqiah setiap malam, maka ia tidak akan mengalami kefagiran.” (H.R. Baihaqi dengan sanad dho’if, tetapi bisa diamalkan dalam hal keutamaan)

 

Dalam riwayat yang lain dari Ibnu Mas’ud:

 

“Barang siapa yang membaca surat Al-Wagi’ah setiap malam, maka ia tidak akan tertimpa kefagiran selamanya.” (Semuanya diriwayatkan dari Baihaqi dalam Kitab Sya’abul Iman)

 

Penyembuhan Dan Pengobatan Dengan Al-Qur’an

 

Yang dijadikan dasar dalam hal ini adalah firman Allah SWT:

 

“Dan Kami turunkan dari al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

 

Penyembuhan hagigi dengan al-Qur’an adalah penyembuh hati dari berbagai penyakit yang mengantarkan kepada kehancuran dan menuntun kepada akibat buruk, yaitu seburuk-buruk tempat tinggal (neraka).

 

Dengan al-Qur’an, iman akan menjadi semakin kuat, dan memberi ketentraman hati orang mukmin semakin bertambah. Iman itu akan terus bertambah kuat dan kokoh sesuai dengan kadar bersarangnya di lubuk hati. Dan itu dapat terealisasi dengan alQur’an, dengan kekuatan berpegang teguh pada al-Qur’an, dengan mengamalkan hukum-hukum al-Qur’an, dengan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan dengan beretika dengan etika al-Qur’an.

 

Pengertian ini tidak akan diragukan kebenarannya bagi setiap orang Islam, dan juga tidak akan dipertentangkan lagi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa al-Qur’an disamping sebagai media penyembuhan hati, juga bisa dipakai penyembuhan dari berbagai penyakit jasmani yang terdapat di dalam organ tubuh manusia, sehingga berkat al-Qur’an dan berkat kuatnya itikad dengan al-Qur’an atas izin Allah apa yang diinginkan akan terkabulkan.

 

Para sahabat dulu juga melakukannya dengan sepengetahuan, dukungan dan keikutsertaan Rasulullah SAW, bahkan beliau mengapresiasi apa yang dilakukan mereka atas sebuah tuntunan yang benar yang sudah dilakukan sebelum Rasulullah SAW memberitahukannya.

 

Ada sebuah kisah yang gamblang yang berkenaan dengan hal di atas yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, kisah tersebut terdapat dalam shohihain dan yang lain.

 

Diceritakan dari Abu Sa’id al-Khudri RA :

 

“Sesungguhnya sekelompok dari sahabat Raslullah SAW mendatangi salah satu perkampungan Arab, namun penduduk setempat tidak mau menjamu mereka. Pada saat itu kepala suku mereka tersengat (binatang berbisa) lalu mereka menanyakan kepada sekelompok sahabat Rasulullah SAW tersebut : apakah kalian membawa obat? Atau ada yang bisa meruqyah? Lalu sahabat Rasulullah menjawab : kalian tidak mau menjamu kami, maka kami tidak akan melakukan hal apapun kecuali kalian mau menjanjikan suatu imbalan kepada kami, maka mereka menjanjikan imbalan berupa segerombolan kambing. Lalu kepala sekelompok sahabat tadi (yakni Abu Sa’id al-Khudri) bergegas membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah) dan mengumpulkan ludahnya, kemudian ditiupkan kepada kepala suku yang (sedang sakit). Akhirnya kepala suku tersebut sembuh seketika dari sakitnya. Kemudian penduduk tersebut mendatangkan segerombol kambing (sebagai imbalan yang telah dijanjikan). Namun para sahabat berkata: jangan engkau ambil dulu imbalan itu sampai kita bertanya kepada Rasulullah SAW. Lalu mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW. (ketika ditanya) Rasulullah tersenyum seraya bersabda: “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa Fatihah adalah rugyah ?, ambillah imbalan Itu dan berikan sebagiannya kepadaku”. (H.R. Bukhori-Muslim)

 

Penulis telah menyebutkan pembahasan hukum tentang hal ini dalam kitabnya “Haula Khosoisil Qur’an”, di antaranya disebutkan:

 

Diantara keistimewaan al-Qur’an adalah ia merupakan penyembuh dari berbagai penyakit fisik. Demikian itu dengan menggunakannya sebagai rugyah dan ta’widz. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

 

“AI-Qur’an adalah obat.” (H.R. al-Qodlo’i dalam kitab Musnad as Syihab. Imam Munawi berkata: sanadnya adalah hasan)

 

Rasulullah SAW juga bersabda:

 

“Sebaik-baik obat adalah al-Qur’an.” (H.R. Ibnu Majah. Sanadnya hasan)

 

Dalam hadits yang lain. Rasulullah SAW bersabda:

 

“Pergunakanlah selalu dua penyembuhan, yaitu madu dan alQur’an.” (H.R. Ibnu Majah dan Hakim, ia berkata bahwa hadits di atas adalah shahih, dan disetujui oleh Dzahabi. Ibnu Katsir berkata : Sanadnya Jayid)

 

Diriwayatkan dalam sebuah hadits:

 

“Barang siapa yang tidak mau menggunakan al-Qur’an sebagai media penyembuhan. maka ia tidak akan menemukan kesembuhan.” (H.R. Tsa’labi, Sanadnya dloif)

 

Jika engkau menghayati hadits-hadits di atas, maka engkau dapatkan bahwa al-Qur’an adalah penyembuh dan obat, demikian itu juga dijelaskan dalam al-Qur’an, dalam firman Allah :

 

Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

 

Jadi al-Qur’an itu sebagai obat, jika ia digunakan untuk sebuah penyembuhan. Dan tidak perlu dihiraukan pendapat orang yang mentakwil kedua kalimat dalam al-Qur’an (ad-Dawa’ dan as-Syifa”) dengan suatu ta’wil yang meniadakan keistimewaan al. Qur’an sebagai media penyembuhan. Karena demikian itu terdapat dalam hadits secara shahih dan jelas, bahwa Rasulullah SAW pernah berobat dengan menggunakan al-Qur’an, begitu pula para sahabat, yang kemudian diapresiasi oleh Rasulullah SAW. Kenyataan itu akan membungkam pentakwil yang memberlakukan kalimat asSyifa” dan ad-Dawa’ hanya sebatas penyakit-penyakit ma’nawi dan hati.

 

Imam Bukhori dan para Imam pengarang kitab Sunan meriwayatkan dari sayidah “Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW setiap kali jika menghendaki berbaring di tempat tidur, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu meniup keduanya, demikian itu setelah beliau membaca : , (.     ) (.      ), dan (.    ) kemudian kedua telapak tangannya diusap-usapkan kepada seluruh badan beliau yang bisa dijangkau, beliau melakukannya dengan memulai dari mengusap kepala, wajah lalu seluruh badan bagian depan. Beliau mengusap-usapkan tiga kali.

 

Disebutkan dalam kitab Shahihain dan di lainnya dari sayyidah “Aisyah :

 

“Sesungguhnya Rasulullah SAW jika merasa sakit, beliau membaca surat Mu’awidzat dan ditiupkan kepada dirinya sendiri , ketika sakit beliau semakin keras, maka aku yang membacakannya, lalu (aku tiupkan ke tangan beliau) dan aku usap-usapkan tangan beliau (ke badan beliau) dengan harapan mendapatkan berkah dari surat Mu’awidzat tersebut.”

 

Kalimat al-Mu’awidzat : dibaca kasroh huruf wawunya dan ditasydid, yaitu surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas.

 

Terdapat dalam kitab musnadnya Imam Ahmad dan yang lain dari Khorijah bin Sholt at-Tamimi dari pamannya, ia berkata:

 

“Ketika kami pulang dari keharibaan Rasulullah SAW, kami mendatangi suatu perkampungan Arab. Penduduk perkampungan tadi berkata: kita mendapatkan informasi bahwa kalian baru saja datang dari seorang lelaki yang membawa kebaikan. Apakah engkau membawa obat, atau rugyah? Karena di tempat kita ada orang yang sedang diikat karena sakit. Kami menjawab: iya kami mempunyai. Khorijah berkata: lalu mereka datang dengan membawa orang sakit dalam keadaan diikat, Khorijah bercerita lagi: aku membaca Fatihah selama tiga hari diwaktu pagi dan sore. Lalu aku kumpulkan ludahku (di mulut) setelah itu aku tiupkan (kepada orang yang sakit tersebut). Maka seketika itu ia sembuh bagaikan binatang yang terlepas dari tali-temali yang mengikatnya. Khorijah berkata: mereka memberikanku imbalan, maka aku berkata: jangan dulu hingga aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Lalu aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab: makanlah (dari imbalan yang kau dapatkan) demi Dzat yang memegang kehidupanku, ia bukan rugyah batil, melainkan engkau makan dari ruqyah haq.” ( Hadits di atas mempunyai sanad dan lafadz yang berbeda yang terdapat di dalam kitab-kitab sunan dan lainnya)

 

Abdullah bin Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dalam Zawaid al-Musnad dari Ubai bin Ka’ab, ia berkata:

 

“(Suatu ketika) aku duduk bersanding dengan Rasulullah SAW, lalu beliau didatangi oleh A’robi seraya berkata: wahai Rasulullah, aku mempunyai saudara yang sedang sakit. Lantas Rasulullah bertanya: apakah sakitnya? Ia menjawab: ia terkena pengaruh jin (kesurupan). Rasulullah SAW bersabda: bawalah kemari kepadaku. Ubai bercerita: lalu A’robi tadi meletakkan saudaranya di depan Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah memberikan perlindungan dengan membaca surat al-Fatihah, empat ayat dari permulaan surat al-Baqarah, dua ayat dimulai dari) (.    ) , satu ayat dari surat Ali “Imron (.     ), satu ayat dari surat al-A’rof (.     ) , akhir ayat dari surat al-Mukminin (.      ) , satu ayat dari surat jin   ) (, separuh ayat dari awal surat as-Shof, tiga ayat dari permulaan surat al-Hasyr, (.    ) , Surat al-FalaQ dan surat an-Nas. Setelah dibacakan beberapa ayat tadi orang yang sakit tersebut berdiri tegak seakan-akan ia tidak mengalami sakit apapun sebelumnya”. (HR. Abu Ya’la, riwayat yang menyerupai teks di atas, kecuali dalam riwayatnya, Rasulullah SAW bersabda:      : sepuluh ayat dari surat as-Shof dan beliau tidak mengatakan dari permulaan).

 

Ruqyah Dengan Ayat Syifa’

 

Diceritakan dari Imam Syaikh Abi al-Qosim al-Qusyairi (semoga Allah merahmatinya) bahwa putranya sedang sakit keras. la bercerita: sampai aku berputus asa, sementara keadaannya semakin parah. Lalu aku mimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW. Dalam mimpi tadi aku mengadu kepada beliau tentang keadaan anakku, maka beliau bersabda: “Dimana engkau dengan ayat syifa?” kemudian aku terjaga dan berfikir keberadaan ayat Syifa. Ternyata ayat Syifa” itu berada dalam enam tempat di dalam alQur’an, yaitu firman Allah SWT:

 

Syaikh Abi al-Qosim bercerita: Lalu aku tulis ayat syifa di secarik kertas, kemudian aku lunturkan dengan air dan aku minumkan kepada anakku, maka ia sembuh seketika bagaikan binatang yang terlepas dari tali temali yang mengikatnya.

 

Demikian tadi beberapa nash dan atsar yang memberi petunjuk dengan jelas dan gamblang, bahwa tujuan asal membaca al-Qur’an adalah :

 

  1. Demi dzat Allah
  2. Mengharap hidayah, petunjuk dan kesembuhan hati dan jiwa secara maknawiyah.

 

Namun, disamping tujuan-tujuan tersebut di atas, dianjurkan menggunakannya untuk kesembuhan dari berbagai penyakit fisik yang tampak secara medis. Demikian itu juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in dan salafus shalih. hal tersebut tidak akan sampai merusak tujuan semula yang pokok, juga tidak bertentangan. Bahkan hal itu justru merupakan keistimewaan al-Qur’an dan ciri-cirinya yang agung. Jadi sebenarnya justru menjadi nilai tambah akan keutamaan dan keagungan al-Qur’an.

 

 

 

 

 

Wajib bagi setiap muslim menjauhi dosa-dosa yang dapat mengakibatkan menghalang-halangi pengampunan Allah dan dikabulkannya do’a yang dipanjatkan pada malam nisfu Sya’ban. Telah diriwayatkan, bahwa dosa-dosa tersebut adalah: syirik, membunuh dan berzina, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang telah disepakati akan keshahihannya, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW :

 

“Dosa apakah yang paling agung? Rasulullah SAW menjawab: Jika engkau menjadikan sekutu kepada Allah, padahal Ia yang menjadikanmu. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Rasulullah menjawab: Jika engkau membunuh anakmu karena engkau takut ja akan makan bersamamu. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Rasulullah menjawab: Jika engkau berzina dengan perempuan halalnya tetanggamu”. Kemudian Allah menurunkan ayat sebagai pembenar dari sabda Rasulullah SAW:

 

(H.R. Muslim)

 

Sabda Rasul   , lafadz     menggunakan Ha’ tanpa titik, artinya istri tetanggamu.  disebut     karena menjadi halal bagi suaminya atau karena ia bertempat tinggal bersama suaminya, Adapun arti dari  adalah engkau berzina dengannya atas dasar suka sama suka. Karena demikian adalah suatu bentuk kejahatan yang dialakukan oleh istri kepada suami, dan suatu ketertarikan hati terhadap seorang lelaki yang menzinainya. Perbuatan seperti itu adalah sebuah kejahatan besar, terlebih jika dilakukan terhadap tetangga sendiri, maka akan lebih jahat dan lebih runyam, Karena seorang tetangga senantiasa berharap dari tetangganya yang lain suatu perlindungan dan pembelaan bagi dirinya dan bagi istrinya. Dan ia berharap suasana aman dan tentram dan jauh dari kejahatan. Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk berbuat baik dan hormat kepada tetangga. Namun jika semua itu telah dibalas dengan perbuatan zina dengan istrinya, sementara sang istri juga ikut andil dalam sebuah kejahatan berupa kerelaannya menuruti kemauan pezina, maka sungguh hal ini merupakan perbuatan yang amat biadab.

 

Adapun firman Allah.    , artinya: janganlah engkau membunuh jiwa yang asal muasal dijadikannya secara terhormat dan terjaga, kecuali ia yang sudah menghilangkan status asal muasalnya.

 

Termasuk dosa yang bisa menghalang-halangi ampunan adalah permusuhan. Yaitu dendamnya seseorang kepada saudaranya karena didasari rasa benci yang mengikuti hawa nafsu. Itu juga sebagai penghalang suatu pengampunan Allah di waktu-waktu Allah berkenan memberikan pengampunan dan rahmat, sebagaimana tersebut di dalam kitab Shahih Muslim:

 

“Diceritakan dari Abu Hurairah secara marfu’: Pada hari Senin dan Kamis pintu pintu surga dibuka, maka pada hari itu Allah akan mengampuni semua hamba-Nya yang tidak menyekutukanNya dengan suatu apapun, kecuali seorang yang diantara dia dan saudaranya ada permusuhan, maka Allah berfirman: Lihatlah kedua orang ini, sampai keduanya mau berdamai”.

 

Sebenarnya dosa-dosa itu harus dijauhi di setiap waktu dan saat, baik di bulan Sya’ban atau di bulan yang lain, seperti disebutkan di beberapa hadits shahih. Akan tetapi, upaya menjauhi itu hendaknya semakin kuat dan hati-hati di masa-masa tertentu yang berkah dan utama, seperti di bulan Ramadlan, Asyhurul Hurum, (empat bulan mulia) dan di malam nisfu Sya’ban.

 

Oleh karenanya, hendaknya setiap muslim meresapi keagungan dan kehormatan malam nisfu Sya’ban, dan hendaknya mencermati keagungan itu dengan penuh penghormatan, akhlag mulia dan syukur kepada Allah SWT. Implementasinya adalah konsistensi kepada perbuatan yang baik dan manfaat serta menjauh dari perkara mungkar dan haram di setiap saat agar hubungannya dengan Allah SWT selalu terjaga, dan tidak termasuk orang-orang yang tidak mempuyai malu dalam setiap bermu’amalah dengan Allah.

 

Juga hendaknya selalu meminta kepada Allah SWT petunjuk dan pertolongan kepada jalan yang turus, demikian tadi itu kebiasaan orangorang yang mulia. Adapun orang-orang yang hina, maka ampunan dan kemurahan Allah itu justru menjadikannya bertambah membangkang akan perintah Allah, berpaling dari kebaikan, lupa kepada Allah dan meremehkan Syar’at-Nya, Orang-orang mulia itu ketika menyikapi kemurahan Allah, maka ia bertambah malu, merunduk dan menyesali perbuatan-perbuatannya. Dikatakan oleh Sya’ir:

 

 “Jika engkau menghormati orang yang mulia, maka ia semakin membuatmu simpati dengannya. Namun, jika engkau menghormati orang yang hina, maka ia semakin menjadi-jadi pembangkangannya.”

 

 

 

 

Allah berfirman dalam permulaan surat Ad Dukhon :

 

Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”,

 

Ikrimah dan beberapa ahli tafsir yang lain berpendapat, bahwa malam yang disebutkan oleh ayat di atas adalah malam nisfu Sya’ban. Hal itu senada dengan adanya beberapa riwayat hadits dho’if, bahkan sebagiannya sangat dho’if. Diantaranya adalah :

 

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Khotib dalam kitab atTarikh melalui sanad “Amir bin Yasaf al-Yamami dari Yahya bin Abi Katsir dari Abi Salamah dari Sayyidah “Aisyah RA. beliau berkata :

 

“Dahulu Rasulullah berpuasa di bulan Sya’ban secara keseluruhan, sampai beliau menyambungnya dengan puasa Ramadlan, beliau tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali puasa di bulan Sya’ban, bahwasanya beliau berpuasa (di bulan Sya’ban) seluruhnya, Aku katakan (kepada beliau) : “ Wahai Rasulullah, (apakah) bulan Sya’ban merupakan bulan yang paling engkau sukai untuk melakukan puasa ? Beliau menjawab : “Ya, wahai “Aisyah, sesungguhnya tidak ada diri (manusia) yang mati pada suatu tahun kecuali ajalnya sudah ditulis di bulan Sya’ban. dan aku senang jika ajalku ditulis, aku dalam keadan sedang melakukan ibadah kepada Tuhanku dan sedang beramal shaleh”. ( H.R. Abu Ya’la dengan lafadz sesamanya)

 

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab ad-Da’awat al-Kabir dari Sayyidah Aisyah RA.

 

“Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat pada malam nisfu Sya’ban, lalu beliau bersabda : Pada malam ini ditulis setiap anak Adam yang akan dilahirkan dan setiap yang akan mati, pada malam ini juga dilaporkan amal perbuatan mereka dan diturunkan Rizki mereka”. (H.R. Baihaqi, dalam sanadnya ada sebagian rowi yang yang tidak diketahui identitasnya.)

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari ‘Atho bin Yasar ia berkata :

 

“Tidak didapatkan dari Rasulullah SAW memperbanyak puasa Satu bulan melebihi bulan Sya’ban”.

 

Demikian itu karena dalam bulan Sya’ban ditentukan ajal seseorang yang pada tahun itu ia tertulis sebagai orang yang meninggal.

 

Hadits di atas hukumnya juga mursal dan di akhirnya terjadi magtu’. Hadits-hadits yang disebutkan di atas adalah sebagai tendensi orang yang mengatakan bahwa, pada malam nisfu’ Sya’ban ditentukan ajal, rizqi dan lainnya seperti yang sudah disebutkan dan Ikrimah. Hal yang sama juga diriwayatkan dari Atho’ bin Yasar. Ibnu Abi Dun’ya telah meriwayatkan darinya bahwa :

 

 “Jika malam nisfu’ Sya ‘ban tiba, maka lampiran (catatan) diserahkan kepada malaikat maut, dan dikatakan kepadanya: “Cabutlah nyawanya orang-orang yang namanya terdapat dalam lampiran ini. Sesungguhnya seorang hamba masih sempat menanam tanaman, menikahi istri dan membangun bangunan, padahal namanya tertulis termasuk orang-orang yang akan mati”.

 

Akan tetapi, seperti yang penulis katakan bahwa hadits-hadits ini nilainya dlo’if. Sebagian ulama mengatakan : Bahwa penjelasan-penjelasan di atas adalah bertentangan dengan nash al-Qur’an yaitu firman Allah SWT :

 

“Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”

 

Juga firman Allah :

 

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan”.

 

Ayat di atas memberi pengertian bahwa.            yang ada pada surat ad-Dukhon adalah Lailatul Qodar bukan malam nisfu Sya’ban, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Rajab, bahwa pengertian yang seperti itu adalah yang diikuti oleh kebanyakan ulama”, dan mereka tidak menghiraukan hadits-hadits di atas karena statusnya adalah dlo’if dan bertentangan dengan al-Qur’an.

 

Demikian itu adalah salah satu metode men-tarjih-nya. Namun engkau juga boleh menyikapinya melalui metode kompromisasi dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dluha dari Ibnu Abbas RA. ia berkata :

 

“Sesungguhnya Allah telah menentukan beberapa keputusan pada malam nisfu Sya’ban, lalu ia serahkan kepada para petugas-Nya pada Lailatul Qodar”.

 

Alhasil, Allah telah memutuskan di Lauhul Mahfudl apapun yang ia kehendaki pada malam nisfu’ Sya’ban. Jika Lailatul Qodar iba, ia menyerahkan lampiran-lampiran catatan dan penentuannya kepada malaikat. jadi ia menyerahkan lampiran catatan orang2 yang ikan mati kepada malaikat maut, dan ia menyerahkan lampiranampiran catatan rizqi kepada malaikat pembagi rizqi, dan begitu teterusnya, setiap malaikat menerima, kemudian melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.

 

Dalam firman Allah (            ) ada suatu isyaroh akan Jengertian diatas -wallahu a’lamdimana Allah berfirman (.  ) tidak berfirman ,      (memutuskan) atau     (menulis) sedangkan arti     adalah memilah-milah diantara dua hal. Jadi, ayat di atas memberi suatu isyaroh bahwa putusan-putusan Allah dipilah-pilah pada Lailatul Godar dengan cara membagi-baginya kepada para malaikat yang bertugas. Adapun penulisan dan penentuannya adalah terjadi pada malam nisfu Sya’ban, seperti yang dituturkan dalam beberapa hadits yang lalu.

 

Dengan demikian bisa dikompromikan beberapa pendapat tentang masalah ini yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

 

Sungguh Indah sekali ungkapan seorang penyair dalam untaian bait-baitnya yang memukau, semoga ia dinaungi rahmat dan ridlo Allah.

 

“Bulan Rajab yang membawa anugerah telah berlalu darimu wahai seorang yang terbangun (dari tidurnya). Yang akan memberi kesaksian hak-haknya yang tidak engkau penuhi”

 

“Dan ini bulan Sya’ban separuhnya juga telah berlalu, sedangkan engkau masih tetap pada apa yang aku tidak tega mensifatinya”

 

“Maka, bergegaslah melakukan kebaikan sebelum ia habis. Hati-hatilah jangan sampai kematian menyerang pada bulan itu, yang bisa menyulitkan upaya berbuat baik tadi”

 

“Betapa banyak pemuda yang merasa aman di saat ia bermalam pada malam nisfu Sya’ban, padahal kematiannya sudah ditulis pada lampiran catatan”