Kitab Minhajul Abidin Dan Terjemah [PDF]

قال الشيخ الفقيه الصالح الزاهد عبد الملك بن عبد الله غفر الله له
Berkata seorang yang pintar yang sholih yang meninggalkan dunia yaitu abdul malik ibn abdullah semoga Allah mengampuninya

أملَى على شيخي الأجل الإمام الزاهد السعيد الموفق حجة الاسلام زين الدين شرف الامة أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزلي الطوسي قدس الله روحه ورفع الله في الجنة درجاته هذا الكتاب المختصر
Membacakan kepadaku guruku yang agung yang menjadi pemimpin yang meninggalkan dunia yan beruntung yang diberi petunjuk yaitu bukti agama islam juga perhiasan agaman dan kemuliaan ummat, yaitu abu hamid muhammad ibnu muhammad ibnu muhmmad al ghozali at tusi, semoga Allah menyucikan ruhya dan semoga allah mengankatnya derajatnya di sorga, kitab yang ringkas ini

وهو أخر كتاب صنفه ولم يستعمله منه الا خواص أصحابه وهو
Itu adalah kitab terakhir yang beliau karang dan tidak menggungakanya keculai Sahabat sahabatnya yang khusus, kitab itu adalah

الحمد لله الملك الحكيم الجواد الكريم العزيز الرحيم
Segala puji bagi allah yang menjadi raja yang bijaksana yang murah yang mulia yang maha pengasih

الذي خلق الانسان في أحسن تقويم وفطر السموات والأرض بقدرته ودبر الأمر في الدارين بحكمته وما خلق الجن والانس إلا لعبادته
Yang menciptakan manusian dalam bentuk yang paling bagus, dan menciptakan langit dan bumi dengan kekuasaanya, dan mengatur urusan di dunia dan akhiran dengan kebijaksannanya , dan tidak menciptakan jin dan manusian kecuali untuk menyembahnya

فالطريق إليه واضح للقاصدين والدليل عليه لا ئح للناظين ولكن الله يضل من يشاء ويهدي من يشاء وهو أعلم بالهتدين
Lalu jalan menuju Allah itu jelas bagi yang menuju, dan petunjjuk itu terlihat bagi yang melihat, tetapi allah menyesatkan orang yang ia kehendaki dan menununjukkan oran yang ia kehendaki , dan ia mengetahi orang-orang yang mendapat petunjuk

والصلاة والسلام عليى سيد المرسلين على آله الأبرار الطيبين الطاهرين وسلم عظم إلى يوم الدين
Dan selawat serta salam untuk tuan seluruh utusan , dan untuk keluarganya yang baik-baik yang suci-suci, serta salam dan mengangungkan sampai hari kiamat

Wahai saudara-saudaraku! (semoga Allah melimpahkan keridaan-Nya untuk keberuntungan kita) Ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah merupakan buah dari ilmu, keuntungan dalam umur (hidup), hasil yang diperoleh hamba-hamba Allah yang kuat, aset para wali (kekasih) Allah, jalan yang ditempuh oleh para muttagin, bagian orang-orang yang mulia, target bagi orang berkeinginan tinggi, tanda keagungan, pekerjaan orang yang jantan dan menjadi pilihan bagi orang yang bermata hati.

 

Ibadah merupakan jalan menuju keberuntungan dan juga jalan yang terang menuju surga.

 

Allah ta’ala berfirman:

 

Artinya: “Aku adalah Tuhan-Mu, karena itu beribadahlah kalian Kepada-Ku. (Q.S. Al-Anbiya’: 92)

 

Dan firman Allah Ta’ala:

 

Artinya: “Sesungguhnya (surga dan kenikmatannya) ini diperuntukkan bagi kalian sebagai balasan. Amal usaha kalian di dunia, Aku ridai dan Ku-terima. (Q.S. Al-Insan: 22)

 

Kemudian Aku (Al-Ghazali) merenung serta menelusuri jalan menujunya (ibadah) dari permulaan sampai ke apa yang menjadi tujuan para penempuhnya. Dan ternyata ibadah merupakanjalan yang teramat sukar, sulit (dilalui) dan banyak resikonya. Amat melelahkan, panjang berliku, sangat berbahaya, penuh rintangan, diliputi kebinasaan dan penghalang, banyak musuh yang menghadang dan hanya sedikit orang yang menemani dan mengikuti (penempuhmya). Memang begitulah keadaan yang semestinya, karena ibadah merupakan jalan menuju surga. Dengan demikian maka hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:

 

Artinya: “Ingatlah sesungguhnya surga itu dikepung oleh hal-hal yang dibenci. Dan sesungguhnya neraka itu dikelilingi oleh berbagai kesenangan nafsu.”

 

Nabi Saw. juga bersabda:

 

Artinya: “Ingatlah sesungguhnya surga itu bagai tempat yang rumpil di sebuah bukit yang tinggi. Ingatlah sesungguhnya neraka itu bagai tanah lapang di tempat yang datar.”

 

Di samping hal yang tersebut di atas, manusia sangatlah lemah, sedangkan waktu terus berjalan, peribadatan semakin merosot, waktu luang untuk beribadah sangatlah sempit, sedangkan kesibukan teramat banyak dan umur pun terasa pendek serta amal kebaikan sering tertunda. Dzat yang Maha Meneliti sangatlah waspada, batas kehidupan terasa dekat, sementara jarak yang harus ditempuh masih terlalu jauh dan hanya taat kepada Allah-lah sebagai bekal yang pantas untuk dibawa. Waktu terus melaju dan takkan kembali.

 

Oleh karena itu, orang yang berbuat taat semasa hidupnya berarti dia akan memperoleh kebahagiaan untuk selama-lamanya. Sebaliknya, orang yang tidak taat akan merugi bersama orang-orang yang merugi dan celaka bersama orang-orang yang celaka.

 

Dengan demikian, ibadah merupakan hal yang sangat sulit dilaksanakan tapi juga teramat penting. Oleh sebab itu sedikit sekali orang yang berkeinginan melaksanakannya. Meskipun ada sedikit sekali yang benar-benar melaksanakannya serta jarang yang sampai ke tempat tujuan dan menemukan apa yang dicarinya, namun orang yang sampai ke tempat tujuan itulah orang yang benar-benar mulia, yang dipilih Allah untuk mengetahui (makrifat) dan mencintai-Nya. Allah memberikan petunjuk ke jalan yang benar dengan taufik dan pemeliharaanNya. Kemudian dengan anugerah-Nya Allah menyampaikan mereka ke keridaan dan surga-Nya.

 

Oleh karena itu, kami memohon kepada-Nya, semoga Dia berkenan memasukkan kami dan Anda sekalian ke dalam golongan orang yang beruntung tersebut dengan kasih sayangNya.

 

Demikianlah. Setelah kami mengetahui jalan tersebut begitu rumit, maka kami pun merenung dan berpikir bagaimana cara melaluinya, bekal apa yang mesti dipersiapkan, sarana apa yang dibutuhkan dan bagaimana tehnik melaluinya seperti ilmu dan cara mengamalkannya. Semoga Allah berkenan memberikan taufik-Nya dan melindungi para penempuhnya dari kebinasaan hingga mereka tidak berhenti di tengah jalan yang sangat berbahaya tersebut. Dan hanya Allah tempat berlindung.

 

Kemudian kami menyusun beberapa kitab yang menerangkan cara melintasi jalan tersebut (tatacara beribadah) seperti “Ihya Ulumiddin”, “Qurbah Ilallah”, dan lain sebagainya yang memuat beberapa ilmu dengan halus dan sulit dipahami oleh orang awam, sehingga banyak orang yang mencela kitab-kitab tersebut serta beramai-ramai menjelek-jelekkannya. Padahal sebenarnya mereka tidak mampu membuat kitab yang sebagus itu. Hal itu tidak terlalu aneh. Adakah kalam yang keindahannya melebihi firman Allah Ta’ala, Penguasa alam semesta? Jawabnya pasti tidak. Walaupun begitu, mereka (orang-orang kafir) menganggap bahwa firman Allah hanyalah dongengan orang-orang kuno. Tidakkah Anda mendengar ucapan Zainal Abidin, Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib r.a. yang berbunyi:

 

Sungguh aku menyimpan mutiara mutiara ilmuku agar orang yang bodoh tidak melihat yang sehingga timbul fitnah baginya.

Hal semacam ini juga terjadi pada ayah Hasan (Ali bin Abu thalib) sampai kepada Husain. Sebelum Al-Husain, sayyidina Hasan juga telah berpesan:

“Wahai saudara-saudaraku! Banyak sekali ilmu yang mirtp permata. Jika aku memperlihatkannya, niscaya orang-orang menganggapku sebagai penyembah berhala,

kaum muslimin akan menghalalkan darahku dan mereka berpendapat bahwa membunuhku merupakan tindakan yang baik.”

 

Orang-orang yang mulia di sisi Allah, yakni orang yang ahli mengamalkan agama Allah berpendapat bahwa keadaan tersebut membutuhkan pandangan penuh kasih sayang terhadap para makhluk Allah serta meninggalkan pertentangan terhadap mereka.

 

Dengan penuh kerendahan hati aku memohon kepada Allah, yang ditangan-Nya tergenggam segala urusan dan makhluk, agar Dia berkenan memberi kemudahan dalam menyusun kitab yang telah disetujui oleh para ulama serta dapat diambil manfaatnya oleh para pembaca. Kemudian Allah mengabulkan permohonanku ini, yaitu doa seorang hamba yang betul-betul memohon kepada-Nya. Dan dengan anugerah-Nya pula aku dapat mengetahui rahasia yang tekandung dalam kitab tersebut. Dia juga memberikan ilham dalam cara penyusunan yang sangat menakjubkan dan belum pernah kubeberkan dalam kitab sebelumnya mengenai beberapa rahasia mengamalkan ajaran agama Allah sebagaimana yang kusampaikan saat ini. Hanya Allah tempat memohon petunjuk.

 

Sesungguhnya yang pertama kali mengingatkan seorang hamba untuk beribadah dan menelusuri jalannya adalah pikiran yang datang dari langit berasal dari Allah dan pertolongan khusus dari-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah Swt.

 

Artinya “Apakah kamu mengira orang yang dilapangkan hatinya oleh Allah (yang senang dan rida dalam menjalankan agama Allah) sama dengan orang tidak dikaruniai kelapangan hati? Tentu saja tidak. Orang yang dikaruniai kelapangan hati pasti berperilaku (hidup) menggunakan dasar nur dari Tuhannya.” (Q.S. Az-Zumar: 22)

 

Rasulullah Saw. memberikan isyarat dalam hal ini dengan hadisnya:

 

Artinya “Sungguh, apabila nur telah masuk dalam hati niscaya hati akan menjadi lapang.”

 

Para sahabat.bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah hal tersebut mempunyai tanda-tanda? Rasulullah Saw. menjawab:

 

Artinya “Iya. Yaitu orang yang hatinya kemasukan nur akan menjauhkan diri dari dunia, kembali ke alam keabadian dan mempersiapkan kematian sebelum maut datang kepadanya.”

 

Mula-mula hati seorang hamba akan bergerak dan berkata begini: “Diriku selalu diberi karunia oleh Allah seperti hidup, kemampuan, pikiran, berkata serta berbagai kemuliaan dan kelezatan, di samping terbebas dari penyakit dan segala sesuatu yang merugikanku. Sesungguhnya di balik semua kenikmatan ini, Dzat yang memberikan karunia-Nya menuntutku untuk mensyukuri dan melayani-Nya. Seandainya aku lalai dari melayani dan bersyukur kepada-Nya, tentu Dia akan memalingkan nikmatnikmat tersebut dariku dan menggantinya dengan siksaan. Padahal Dia telah mengirimkan seorang utusan kepadaku yang diperkuatNya dengan berbagai mukjizat luar biasa dan tidak dimiliki oleh seorangpun Selain utusan tersebut. Utusan itu sudah mengabarkan kepadaku bahwa diriku memiliki Tuhan yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, berkehendak, berfirman, memberi perintah dan larangan. Yakni Tuhan yang Maha Kuasa menyiksaku jika tidak mentaati-Nya dan kuasa memberi pahala jika aku mengikuti perintah-Nya, Tuhan yang Maha Mengetahui semua gejolak pikiranku. Dia telah mengancam dan memerintahkan agar aku menjalankan norma-norma syariat.”

 

Bila hati seorang hamba telah bergerak dan berkata seperti ini tentu akan muncul perasaan bahwa tuntutan untuk bersyukur dan melayaninya adalah sesuatu yang bisa dilakukan. Sesudah itu hamba tersebut pasti akan merasa takut dan khawatir bagaimana seandainya nanti mendapat tuntutan Allah (di akhirat).

 

Keadaan semacam ini dinamakan khaatir faza’ (خاطرالفزع) yaitu gerak hati yang mengingatkan dan menggerakkan seorang hamba dengan berbagai dalil serta menolak semua alasan. Hal ini juga mendorong seorang hamba agar berpikir dan mericari dalil.

 

Jika keadaannya sudah seperti itu, maka hamba tersebut tentu akan bergerak. Hatinya selalu gundah mencari jalan agar bisa selamat, aman, dan tenteram dari apa yang bergejolak dalam hati atau apa yang didengar dengan telinganya. Akhirnya jalan yang dia temukan hanya merenungi dalil dan menjadikan makhluk Allah sebagai dalil adanya Sang Pencipta agar ia dapat memperoleh “Ilmul Yaqin, yaitu mengetahui apa yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang dan mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang memberinya kewajiban, memerintahkan dan melarangnya.

 

Ini adalah permulaaan dari jalan rumit yang dilalui seorang hamba dalam menyusuri ibadah dan disebut ‘aqbqtul ilmi wal ma’rifat (.   ) yaitu jalan ibadah berupa ilmu dan makrifat.

 

Jalan ini harus dilalui agar dalam beribadah ia selalu waspada.

 

Selanjutnya ia mulai melangkah untuk menempuh ‘aqabatul ilmi dengan perenungan dalil-dalil secara baik, sempurna dalam berpikir, belajar dan bertanya kepada ulama akhirat yang menjadi petunjuk, penuntun dan pelita umat. Ia juga meminta doa dan mengambil faedah dari mereka agar mendapat kemudahan dan pertolongan Allah dalam menempuh jalan ini.

 

Jika jalan ini sudah dilaluinya, maka dia akan memperoleh ilmul yagin terhadap keadaan yang masih samar dan mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dia-lah Dzat yang menciptakannya, memberinya kenikmatan dengan segalanya. Dia juga membebani hamba-Nya untuk mensyukuri dan memerintahkan hamba tersebut untuk melayani dan mengikuti-Nya secara lahir batin. tuhan memberi peringatan agar dia tidak kufur dan berbuat maksiat. Tuhan menjanjikan pahala yang abadi jika ia mau berbuat taat dan mengancam dengan siksaan jika ia berbuat maksiat dan berpaling dari-Nya.

 

selanjutnya pengetahuan dan keyakinan terhadap sesuatu yang samar tersebut akan mendorongnya untuk melayani dan melaksanakan ibadah kepada Sang Majikan Agung pemberi kenikmatan yang dicarinya selama ini.

 

Pada akhiRnya hamba tersebut dapat menemukan dan mengenal Tuhan setelah sebelumnya bodoh dan tidak mengerti. Akan tetapi ia tidak mengetahui bagaimana caranya beribadah kepada-Nya dan apa yang harus dilakukannya dalam melayaniNya secara lahir-batin.

 

Setelah ia memperoleh pengetahuan tentang Allah dengan susah-payah, maka ia harus belajar dengan giat untuk mengetahui kewajiban syariat yang harus dilakukannya secara lahir-batin.

 

Setelah dia berhasil menyempurnakan ilmu dan pengetahuan tentang kewajihan-kewajiban, maka ia pun bergerak hendak melaksanakan dan sibuk beribadah. Kemudian ia berpikir dan menemukan dirinya bergelimang dosa. Ini dialami oleh kebanyakan manusia. Dia akan berkata pada dirinya sendiri: “Bagaimana aku akan melakukan ibadah, sememntara diriku selalu berbuat maksiat? Aku harus bertobat terlebih dahulu agar Allah mengampuni dosaku, melepaskan diriku dari belenggu dosa dan membersihkan diriku dari kotoran debu-debu maksiat sehingga diriku pantas melayani Allah dan duduk di atas hamparan pendekatan kepada-Nya.”

 

Di sini ia menghadapi jalan sulit, yakni “Aqabatut taubat.

 

Mau tidak mau ia harus melewati jalan tersebut agar bisa sampai ke tempat tujuan yang sebenarnya. Kemudian perlahanlahan ia melaluinya dengan menjalankan tobat sesuai hak dan syarat-syaratnya sampai ia dapat melalui jalan tobat yang rumit tersebut.

 

Setelah benar-benar berhasil dalam tobatnya, maka ia pun bersemangat untuk segera melakukan ibadah. Di tengah jalan ia berpikir dan memandang sekitarnya. Ternyata ia menemukan berbagai rintangan yang mengelilingi dan merintangi agar dia tidak jadi melaksankan niatnya untuk beribadah.

 

Setelah melihat dengan seksama, ternyata yang menghalangi ibadahnya ada empat macam, yaitu kepentingan duniawi, lingkungan, setan dan nafsu. Mau tidak mau ia harus mencari cara untuk menyingkirkan keempatnya. Jika tidak, tentu sangat sulit baginya sampai ke tempat tujuan yang diinginkannya, yakni beribadah.

 

Di sini ia dihadapkan pada ‘aqabatul-‘awaaiq atau jalan penuh rintangan.

 

Untuk menghindari empat rintangan tersebut ia juga memerlukan empat cara. Empat cara tersebut yang pertama adalah membebaskan diri dari kepentingan duniawi. Yang kedua menghindari pengaruh lingkungan. Ketiga menghadapi setan. Dan keempat menghancurkan nafsu (mengalahkannya).

 

Di antara keempatnya yang terberat adalah nafsu. Sebab tidak mungkin orang terlepas darinya, mengalahkan serta menghancurkannya sampai luluh, karena nafsu merupakan kendaraan dan sarana manusia untuk mendapatkan kebahagiaan.

 

Hamba yang hendak beribadah juga tidak bisa banyak berharap nafsu mau menyetujui dan mengikuti kehendaknya. Karena sudah menjadi watak nafsu selalu melawan kebaikan dan mengikuti kejahatan. Oleh karena itu, dibutuhkan rasa takwa untuk mengendalikannya agar ia selalu memberi keuntungan dan tunduk kepadanya dalam beribadah sehingga hamba tersebut tidak durhaka. Ia dapat menggunakan nafsu dalam berbagai kebaikan dan mencegahnya dari berbuat kerusakan.

 

Bila demikian keadaannya, dalam melangkah menghadapi nafsu hamba tersebut harus selalu memohon pertolongan Allah.

 

Setelah melewati jalan tersebut, tentu ia kembali meneruskan ibadahnya. Pada saat itulah tiba-tiba ia menghadapi berbagai rintangan baru yang membuatnya sibuk dan menghalangi ibadahnya.

 

Setelah berpikir jernih ia menemukan bahwa yang menghalangi ibadahnya ada empat:

 

Pertama: Rezeki.

 

Dalam hal ini nafsu selalu membujuk dan berbisik: “Aku harus mendapatkan rezeki dan penguat. Saat ini aku sudah membersihkan diri dari dunia (kebutuhan hidup) dan mengucilkan diri dari masyarakat. Lalu dengan apa aku bisa menjadi kuat (tegak), dan dari mana pula aku mendapatkan rezeki?”

 

kedua: Kekhawatiran (aneka gerak hati).

 

Yaitu perasaan takut, harapan ataupun apa yang dibencinya. Sementara itu, dia tidak tahu apakah yang dibayangkannya itu baik ataukah buruk bagi dirinya, sebab akibat dari segala sesuatu masih terlihat samar. Hatinya kemudian sibuk berpikir karena bisa saja ia terjerumus dalam kerusakan di kemudian hari.

 

Ketiga: Beragam bencana dan malapetaka.

 

Hal itu selalu dia dapati di sekelilingnya. Apalagi dia telah menempatkan diri sebagai orang yang menyimpang dari orang banyak, memerangi setan dan menolak ajakan nafsu. Banyak sekali halangan yang dirasakannya. Betapa banyak kesulitan yang dihadapinya. Betapa banyak kesedihan dan keresahan yang menghadang serta malapetaka yang menimpa.

 

Keempat: Berbagai keputusan Allah.

 

Satu persatu keputusan (takdir) yang dirasa manis dan pahit ja rasakan silih berganti. Sementara nafsu dengan cepat menampakkan kebencian dan membuat fitnah.

 

Di sini hamba tersebut menghadapi jalan yang dinamakan ‘aqabatul ‘awaridh atau jalan rumit berupa rintangan yang datang secara mendadak.

 

Untuk meniti jalan ini ia membutuhkan empat perkara.

 

Pertama, tawakal (berserah diri) kepada Allah dalam masalah rezeki.

Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah mengenai segala yang menjadi kekahwatirannya.

Ketiga, sabar menghadapi bencana. , Keempat, rida dengan segala ketentuan Allah.

 

Kemudian hamba tersebut beranjak melewati jalan ini dengan izin dan pertolongan yang baik dari Allah.

 

Setelah hamba tersebut berhasil melewatinya dan hendak kembali beribadah, ia memandang sekeliling dan mendapati nafsunya melemah, tidak bersemangat dan bergairah menjalankan ibadah seperti lazimnya. Ia cenderung lupa, berleha-leha dan menganggur bahkan mengajak berbuat buruk, omong kosong, merusak dan bertindak bodoh.

 

Dalam keadaan semacam ini hamba tersebut membutuhkan penyemangat yang mendorongnya berbuat kebaikan, taat kepada Allah, bergairah dalam kebaikan dan membutuhkan benteng yang akan menahannya dari berbuat maksiat serta mengendorkan dorongan nafsu untuk berbuat jelek.

 

Penyemangat dan penahan atau benteng tersebut adalah rajaa’ (mengharap pertolongan Allah) dan khauf (takut kepada tindakan Allah).

 

Harapan akan besarnya pahala yang diberikan yaitu janji Allah berupa kemuliaan akan mendorong dan menggiring nafsu berbuat kebaikan dan taat kepada Allah. Sedangkan perasaan takut terhadap siksa yang pedih bisa mencegah nafsu dari perbuatan maksiat dan mengendorkan keinginan untuk melakukannya.

 

Inilah yang dinamakan ‘aqabatul bawaa’its ataujalan-jalan rumit yang memberi dorongan. Untuk melintasi dan menghadapinya ia membutuhkan raja’ dan khauf. Dan dengan izin Allah ia dapat melintasinya dengan selamat.

 

Setelah berhasil melintasi jalan berliku ini hamba tersebut kembali beribadah. Ia merasa tak ada lagi halangan ataupun rintangan yang menghadang. Bahkan ia merasa sangat antusias, karena banyak pendorong yang memberinya semangat. Dengan giat ia pun beribadah penuh gairah hingga tak pernah berhenti. Akan tetapi ia merasakan adanya gejala buruk di dalam ibadahnya. Ia merasa bahwa dua penyakit berbahaya telah menjangkitinya, yakni ujub dan riya.

 

Suatu saat ia berpura-pura melakukan ibadah sekedar agar dilihat orang sehingga dapat merusak ibadahnya. Di saat lain ia mencela dirinya sendiri, menahannya dari parasaan riya namun yang muncul dalam dirinya justru malah sikap ujub (merasa dirinya baik) yang dapat merusak dan menghancurkan ibadahnya. Ia dihadapkan pada ‘aqabatul gawaadih (jalan rumpil yang membuat cacat suatu ibadah).

 

Untuk menjaga kemurnian ibadah dari cacat tersebut ia membutuhkan keikhlasan dan mengingat karunia Tuhan. Ikhlas berarti beramal karena Allah semata. Sedangkan mengingat karunia Tuhan berarti apa yang dikerjakannya selama ini karena anugerah Allah semata, bukan dari dirinya sendiri. Dengan begitu ja bisa melintasi jalan tersebut dengan perlindungan dari Sang Pemelihara Allah Swt. serta tekad dan kehati-hatiannya. Dan ia pun kembali beribadah.

 

Namun kemudian timbul masalah baru, yakni tenggelam dalam kenikmatan yang diberikan Allah Swt. Kenikmatan, pertolongan, pemeliharaan dan kemuliaan yang diberikan Allah membuat hamba tersebut lupa mensyukurinya. Bahkan ia terjerumus dalam kekufuran yang dapat menjerumuskan derajat tingginya, yakni derajat hamba yang ikhlas dalam beramal dan memalingkan kenikmatan tersebut darinya.

 

Kini ia pun dihadapkan pada jalan terakhir yaitu ‘agabatul hamdi wasy-syukri atau tahapan memuji dan mensyukuri nikmat. Hamba tersebut harus melewatinya sekuat tenaga dengan banyak memuji dan bersyukur atas karunia Allah Swt.

 

Bila berhasil melewati tahapan ini, berarti tinggal selangkah lagi ia sampai di tempat tujuan, yakni haribaan Allah Swt. Berada di atas hamparan anugerah-Nnya, di puncak keridaan dan pekarangan Cinta-Nya. Ia pun bergelimang kenikmatan di taman keridaan-Nya, di atas permadani ketenangan, kedekatan dan tempat memohon di haribaan-Nya serta mendapatkan kemuliaan dan berbagai karunia.

 

Begitu nikmatnya sehingga seakan-akan jiwanya telah melayang ke akhirat meski tubuhnya masih berada di dunia fana. Hari demi hari ia menunggu panggilan dari Tuhannya, sampaisampai tumbuh rasa benci dan bosan terhadap kehidupan dunia, makhluk, dan yang ada di sekelilingnya. Ia merindukan kematian untuk menyempurnakan kerinduannya kepada Al-Malaul A’la (golongan tertinggi), yakni para malaikat. Pada saat itulah tibatiba datang utusan dari Penguasa alam semesta. Mereka datang membawakan rasa tenang, wewangian, kabar gembira, keridaan yang murni dari sisi Tuhan tanpa disertai kemurkaan-Nya..Mereka membawanya dalam keadaan senang, gembira, dan keinginan yang kuat untuk meninggalkan dunia yang penuh kepalsuan dan godaan, menuju hadirat Tuhan dan bermukim di taman surga. Dia mendapati dirinya yang dulu lemah telah mendapatkan kenikmatan abadi dan tempat tinggal yang besar. Di sana ia menikmati karunia Tuhan yang Maha Pemurah. Kenikmatan tersebut berupa kelemah-lembutan, cinta kasih, dan kedekatan dengan-Nya serta kenikmatan dan kemuliaan yang tak terbayangkan. Tiada dapat diceritakan dan kian hari kian bertambah. Ia merasa sangat berbahagia. Betapa agung kerajaan yang ditempatinya. Dan sungguh, itulah tempat kembali terbaik bagi orang yang terpuji.

 

Kita memohon kepada Allah Swt. agar Dia berkenan melimpahkan kenikmatan dan karunia-Nya kepada kita semua. Sungguh yang demikian itu tidak sulit bagi Allah. Semoga Allah tidak menjadikan kita semua orang yang hanya mapu melihat, mendengar, mengetahui dan berangan-angan tanpa mampu mengerjakannya. Semoga Dia tidak menjadikan ilmu kita sebagai alasan yang paling tepat untuk mengalahkan kita kelak di hari kiamat. Semoga dengan ilmu tersebut Allah menunjukkan jalan kita semua untuk beramal dan melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

 

Selawat dan salam semoga terlimpah kepada penghulu kita Nabi Muhammad dan keluarga beliau. Begitu juga dengan kemuliaan serta keagungan, semoga terlimpah atas mereka.

 

Inilah urutan jalan beribadah yang kami terima dari Tuhan melalui jalan ilham dengan kesimpulan sebagai berikut:

 

Jalan menuju surga itu memiliki tujuh tahapan:

 

  1. Ilmu dan makrifat.
  2.  
  3.  
  4.  
  5.  
  6.  
  7. Puji dan syukur.

 

Dengan berakhirnya pembahasan ketujuh tahapan tersebut berarti selesai pula kitab “”Minhajul Abidin” ini.

 

Selanjutnya tahapan-tahapan tersebut akan kami ketengahkan secara singkat, padat dan bermakna. Insya Allah setiap tahapan kami hadirkan dalam bab tersendiri.

 

Semoga Allah berkenan melimpahkan taufik dan bimbinganNya kepada kita. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

 

Penyusun

Tentang tahapan ini kami akan mengawalinya dengan seruan: Wahai orang-orang yang ingin terbebas dari bahaya dan beribadah, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kamu sekalian, pertama kali yang harus Anda lakukan adalah menuntut ilmu, karena sesungguhnya ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan.

 

Anda juga harus tahu bahwa ilmu dan ibadah merupakan dua mata rantai yang tak bisa terpisahkan. Sebab segala sesuatu yang kita lihat, kita dengar, dan kita pelajari pada dasarnya diciptakan untuk kedua hal tersebut. Untuk dua hal itu pula Al-Kitab diturunkan. Begitu juga dengan para rasul dan nabi. Mereka diturunkan untuk keduanya. Bahkan Allah menciptakan langit, . bumi dan segala isinya hanya untuk ilmu dan ibadah.

 

Renungkanlah dua ayat Al-Qur’an di bawah ini!

 

  1. Firman Allah:

 

Artinya: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit, dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya Allah, Ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Q.S. Ath-Thalaag: 12)

 

Ayat ini cukup menjadi bukti bahwa ilmu adalah sesuatu yang teramat mulia, terlebih ilmu tauhid.

 

  1. Firman Allah:

 

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 56)

 

Ayat ini menunjukkan kemuliaan ibadah serta kewajiban untuk senantiasa menjalankannya. Betapa besar arti ilmu dan ibadah yang menjadi tujuan utama penciptaan dunia dan akhirat ini. Maka sudah sepantasnya bila kita mencurahkan segala yang kita miliki untuk mengejar ilmu pengetahuan dan menjalankan ibadah. Ketahuilah bahwa selain keduanya sama sekali tidak memiliki kebaikan dan tidak ada yang dapat diperoleh darinya.

 

Bila Anda sekalian telah mengetahui bahwa keduanya bagaikan dua mutiara indah, maka ketahuilah bahwa di antara keduanya ilmulah yang lebih utama. Itu sebabnya Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang beribadah seperti kelebihanku atas orang terendah di antara umatku.”

 

Beliau juga bersabda:

 

Artinya: “Memandang wajah orang alim satu kali lebih baik daripada beribadah selama satu tahun dengan puasa di siang hari dan salat di malam harinya.”

 

Dalam hadis lain diceritakan:

 

Artinya: “Maukah kutunjukkan siapa orang yang paling mulia di dalam surga?” Para sahabat menjawab: “Tentu kami ingin mengetahuinya, ya Rasulullah!” Rasulullah meneruskan: “Mereka adalah para ulama dari golongan umatku”

 

Dengan demikian, jelas sudah bahwa ilmu merupakan permata yang lebih mulia daripada ibadah. Meski begitu, kita tidak boleh melupakan ibadah, di samping harus memiliki ilmu. Sebab ibarat pohon ibadah merupakan buah ilmu. Bukankah yang terbaik dari pohon adalah batangnya dan yang diambil manfaatnya adalah buah?

 

Jika kita tidak beribadah dengan ilmu kita, maka ilmu itu pun akan musnah bagai debu yang tertiup angin. Karena itulah seorang hamba harus memiliki keduanya sesuai dengan porsi masing-masing.

 

Sehubungan dengan hal itu Hasan Al-Bashri berkata:

 

Artinya: “Tuntutlah ilmu dengan tanpa mengesampingkan ibadah dan beribadahlah dengan tanpa melepaskan Ilmu.”

 

Jadijelas, bahwa ilmu dan ibadah keduanya ditekankan harus dimiliki seorang hamba, hanya saja ilmu merupakan yang lebih utama. Sebab ilmu adalah prinsip dasar dan petunjuk beribadah.

Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Karena ilmu merupakan pemimpin yang menjadi panutan, maka ilmu harus didahulukan. Ini harus dilakukan karena adanya dua hal:

 

Pertama, agar dapat selamat dan berhasil dalam ibadah, Anda harus mengetahui siapa yang disembah, baru Anda bisa menyembahnya. Bagaimana mungkin Anda menyembah Dzat yang belum Anda ketahui asma, sifat-sifat wajib dan sifat mustahilnya? Sebab kadang-kadang seseorang meyakini sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Dengan begitu ibadah Anda bagaikan debu yang berhamburan sia-sia.

 

Kami telah menjelaskan hal penting tersebut dalam keterangan mengenai suul-khaatimah dalam bab khauf kitab “Ihya Ulumiddin”.

 

Selanjutnya Anda harus mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya ditinggalkan. Jika tidak, bagaimana mungkin Anda menjalankan ibadah tanpa mengetahui apa dan bagaimana ibadah tersebut? Apakah hal itu harus dikerjakan ataukah harus ditinggalkan? Manakah maksiat yang harus ditinggalkan? Sedangkan kewajiban syariat seperti bersuci, salat, puasa dan ibadah lain memiliki syarat-syarat tersendiri yang harus diketahui sehingga ia bisa mengerjakannya dengan baik.

 

Kadang-kadang Anda menjalankan ibadah selama bertahuntahun dengan cara bersuci dan salat yang tidak benar, misalnya, Anda tidak merasa bahwa hal tersebut tidak benar dan melenceng dari sunnah.

 

Terkadang Anda mendapati suatu kejanggalan dan tidak menemukan orang yang dapat dimintai pendapatnya.

 

Harus pula diketahui bahwasanya pokok (inti) ibadah adalah gerak hati berupa tawakal, berserah diri, rida, sabar, tobat, ikhlas dan gerak hati lain yang insya Allah akan kami terangkan dalam keterangan selanjutnya. Juga kebalikan gerak hati tersebut yang harus dijauhi, seperti benci terhadap takdir Allah, berandai-andai, riya dan sombong. Sebab gerak hati di atas termasuk perintah dan larangan Allah Swt. dalam kitab-Nya yang mulia dan apa yang disampaikan oleh rasul-Nya.

 

Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Dan bertawakallah kalian hanya kepada Allah, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Al-Maaidah: 23)

 

Firman Allah:

 

Artinya: “Bersyukurlah kepada Allah, jika kalian benar-benar orang yang hanya menyembah kepada-Nya.” (Q.S. al-Baqarah: 172)

 

Firman Allah:

 

Artinya: “Bersabarlah. Dan ketahuilah bahwa kesabaranmu itu karena pertolongan Allah semata.” (Q.S. An-Nahl!: 127) Firman Allah:

 

Artinya: “Dan beribadahlah dengan penuh ketekunan.” (Q.S. AlMuzammil: 8)

 

Ketekunan dalam ayat itu artinya dengan betul-betul ikhlas.

 

Dan ayat-ayat lain yang menerangkan ibadah seperti halnya salat dan puasa.

 

Kenapa Anda melakukan salat atau puasa dan meninggalkan kewajiban tawakal, sabar, dan sebagainya ini? Padahal keduanya sama-sama perintah dari Tuhan yang satu dan ada dalam satu kitab. bahkan Anda melupakannya sehingga sama sekali tidak mengetahui gerak hati karena fatwa ulama yang mencintai dunia. Teramat besar kecintaannya terhadap dunia hingga perkara jelek dianggap baik dan yang baik dianggap jelek. Juga karena mengikuti orang yang meninggalkan cahaya, hikmah dan petunjuk Allah dalam kitab-Nya serta mencari ilmu yang digunakan untuk memperoleh harta haram dan memburu sesuatu yang tak berguna.

 

Wahai orang yang mencari petunjuk! Apakah kamu tidak merasa takut menyia-nyiakan sebagian kewajiban atau bahkan sebagian besarnya, sibuk melaksanakan salat serta puasa sunat dan akhirnya tidak mendapatkan sesuatupun?

 

Boleh jadi Anda terus menerus menjalankan maksiat yang menjerumuskan Anda ke dalam neraka dan meninggalkan perkara mubah seperti makan dan minum yang dapat Anda pergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. lalu Anda tidak memperoleh apa-apa darinya.

 

Lebih buruk lagi bila Anda terbuai angan-angan dan selalu berandai-andai dalam beribadah. Padahal yang semacam itu termasuk maksiat yang murni. Anda mengira bahwa hal tersebut merupakan niat baik karena tidak bisa membedakan perbedaan tipis antara keduanya, serta di lain keadaan dua hal tersebut bisa menyatu.

 

Begitu pula di saat Anda membenci dan mengeluhkan ketentuan Allah. Lalu Anda menganggapnya sebagai perendahan diri kepada-Nya, padahal itulah kesombongan yang sebenarnya. Anda menganggap hal tersebut sebagai pujian kepada Allah atau ajakan berbuat baik terhadap manusia. Inilah kemaksiatan yang diangap sebagai ketaatan dan mengharap pahala dari amal yang mendatangkan siksaan. Anda pun tertipu dan terbuai anganangan buruk. Sungguh ini adalah musibah yang teramat jelek bagi orang yang beramal tanpa ilmu.

 

Di balik itu semua, sesungguhnya ada hubungan erat antara amal lahir dan batin. Amal batin dapat memperindah dan merusak amal lahir, di antaranya ikhlas, riya, sombong (bangga dengan dirinya sendiri), mengingat karunia Allah dan lain sebagainya.

 

Barangsiapa tidak mengenal amal-amal batin, pengaruhnya dalam ibadah lahir dan cara mencegah dan menjaga amal lahir darinya, maka kecil kemungkinan ia dapat menyelamatkan amal lahirnya. Ia kehilangan amal lahir dan batin. Dan yang diperolehnya hanyalah kepedihan. Ini merupakan kerugian yang nyata. Karena itu pula Rasulullah Saw. mendefinisikan ilmu dengan sabdanya berikut ini:

 

Artinya: “Sesungguhnya tidur dengan dasar ilmu lebih baik daripada salat yang didasari kebodohan.”

 

Karena orang yang beramal tanpa ilmu kebanyakan merusak amal daripada memperbaikinya.

 

Beliau juga bersabda tentang ilmu:

 

Artinya: “Sesungguhnya ilmu itu diilhamkan kepada orang-orang yang beruntung dan dihalangi dari orang-orang yang celaka.”

 

Maksudnya, wallahu a’lamu bimuraadih, adalah: Orang yang tidak mau belajar kemudian celaka, ia besusah payah melakukan ibadah dengan cara yang salah dan yang diperolehnya tak lain hanya kesulitan. Semoga Allah menjauhkan kita semua dari ilmu dan amal yang tidak berguna.

 

Karena itu, sungguh besar jasa para ulama yang zuhud dan beramal dengan ilmunya, semoga Allah meridai mereka. Karena inti penghambaan, ibadah dan pelayanan kepada Penguasa alam semesta adalah ilmu.

 

Begitulah pandangan orang yang memiliki pandangan mata hati dan mendapat pertolongan dari Allah.

 

Dengan demikian, Anda menjadi tahu bahwa ketaatan seorang hamba tidak akan dihasilkan dengan selamat tanpa adanya ilmu. Karena itulah ilmu harus didahulukan dari ibadah lain.

 

Kedua, penyebab yang mengharuskan pendahuluan ilmu dari ibadah adalah karena ilmu yang bermanfaat akan menghasilkan buah berupa rasa takut kepada Allah.

 

Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.” (Q.S. Faathir: 28)

 

Yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak mengenal Allah dengan benar tentu tidak akan benar-benar takut kepadaNya. Ia tidak dapat mengagungkan Allah sebagaimana mestinya. Dengan ilmu ia dapat benar-benar mengenal, mengagungkan dan takut kepada-Nya. Maka ilmunya menghasilkan ketaatan dan menjauhkannya dari perbuatan maksiat dengan pertolongan Allah.

 

Selain dua hal tersebut diatas (ketaatan dan jauh dari maksiat) tidak ada lagi keinginan lain dalam beribadah. Karena itu, hendaklah kalian senantiasa menuntut ilmu. Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepadamu.

 

Wahai orang-orang yang meniti jalan menuju akhirat! Saat hendak memulai beribadah, semoga Allah meberikan taufik dengan karunia dan rahmat-Nya kepada kita semua.

 

Barangkali Anda akan berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.”

 

Lalu ilmu apa yang harus dipelajari dan sampai di mana batas wajib mempelajari ilmu tentang ibadah?

 

Ketahuilah bahwasanya ilimu harus dipelajari secara global ada tiga macam: Ilmu tauhid, ilmu sirri, yaitu ilmu yang berhubungan dengan gerak hati, dan ilmu syariat. Adapun batas wajib menuntut masing-masing dari ketiganya adalah sebagai berikut:

 

  1. Dalam ilmu tauhid: Sekedar mengetahui pokok-pokok agama bahwa Anda memiliki Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Menghendaki, Maha Hidup, Berfirman, Mendengar, Melihat, Esa, tidak bersekutu, bersifat sempurna, bebas dari segala kekurangan, tidak bersifat baru, berdiri sendiri dengan sifat gidam-Nya, jauh dari yang baru, dan Muhammad Saw. adalah hamba serta utusan-Nya, yang benar dalam segala perintah dan keterangannya tentang akhirat. Dan kemudian perbuatanperbuiatan sunnah yang harus Anda ketahui.

Hati-hati! Jangan sampai Anda mengada-ada (membuat bid ah) dalam agama Allah Swt. dengan sesuatu yang tidak ada nash (dalil) Al-Qur’an dan hadisnya sehingga Anda berada pada posisi yang mengkhawatirkan di hadapan Allah.

Semua dalil ilmu tauhid yang inti sudah disebutkan dalam Al-Qur’an. Kemudian hal itu dijelaskan oleh guru-guru kami, semoga Allah meridai mereka, di dalam kitab-kitab yang telah mereka buat tentang pokok-pokok agama.

Secara umum dapat dikatakan bahwa semua yang menjadikan Anda tidak merasa aman dari kerusakan bila tidak mengetahuinya, maka mencarinya adalah wajib, dan tidak boleh ditinggalkan.

Inilah keterangan yang sebenarnya. Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua.

 

  1. Dalam ilmu sirri: Anda harus mengetahui apa yang wajib dikerjakan dan ditinggalkan, sehingga Anda bisa benar-benar mengagungkan Allah, ikhlas dalam beramal, serta niat yang suci. Insya Allah kesemyanya akan kami terangkan dalam kitab ini.

 

  1. dalam ilmu syariat: Anda harus mengetahui semua kewajiban yang harus Anda kerjakan serta syarat-rukunnya seperti salat, bersuci dan puasa. Sedangkan haji, zakat dan jihad (berjuang) di jalan Allah menjadi wajib mempelajarinya jika Anda berkewajiban melaksanakannya. Bila tidak, maka Andapun tidak wjib mempelajarinya.

 

Inilah batasan ilmu yanmg wajib dipelajari oleh para hamba dan juga merupakan fardu ‘ain yang mau tidak mau harus Anda kerjakan.

 

Jika Anda bertanya: “Apakah aku berkewajiban mempelajari ilmu tauhid yang dapat kugunakan sebagai sanggahan terhadap alasan orang-orang kafir serta agar mereka menerima hujjah agama Islam. Atau kujadikan sebagai penyanggah alasan para pembuat bid ah serta agar mereka menerima hujjah sunnah?”

 

Ketahuilah bahwa hal itu adalah fardu kifayah. Yang fardu ‘ain bagi Anda hanyalah mengetahui ilmu yang menguatkan keyakinan terhadap pokok-pokok agama, bukan yang lain. Begitu pula terhadap cabang-cabang ilmu tauhid dengan segala permasalahannya.

 

Begitulah seharusnya. Tapi jika Anda tidak merasa yakin terhadap suatu pokok agama yang dikhawatirkan dapat merusak keyakinan, maka Anda pun berkewajiban mencari pemecahan masalah tersebut dengan pembicaraan yang memuaskan. Tapi hati-hati! Jangan berdebat dengan cara yang tidak benar, karena itu adalah penyakit yang tidak ada obatnya. Waspadalah darinya. Karena orang yang terjangkit penyakit ini tidak akan selamat kecuali mendapat rahmat dan belas kasih dari Allah Swt.

 

Ketahuilah! Jika di setiap daerah sudah ada penyeru dari gorang-orang Ahlissunnah yang menjelaskan masalah keyakinan yang masih dianggap kabur, menangkal para pembuat bid’ah, dapat mengolah ilmu kalam dan membersihkan hati para pemilik kebenaran dari gangguan para pembuat bid ah, maka kewajiban menuntut ilmu itu telah gugur bagi orang lain. Begitu juga dengan Anda.

 

Anda tidak wajib menuntut ilmu sirri dan segala keajaiban hati selain apa yang dapat merusak ibadah sehingga Anda bisa menghindarinya, dan kewajiban yang harus Anda lakukan seperti ikhlas, memuji, bersyukur, tawakal, serta kewajiban lain sehingga Anda bisa menjalaninya.

 

Adapun selain yang disebut di atas Anda tidak wajib mempelajarinya. Begitu pula dengan ilmu-ilmu fikih seperti jualbeli, sewa-menyewa, perkawinan, perceraian dan hukum pidana. Kesemuanya adalah fardu kifayah dan Anda tidak wajib mempelajarinya bila telah ada yang mempelajari.

 

Jika Anda bertanya: “Apakah ilmu tauhid seperti di atas bisa dipelajari sendiri tanpa adanya seorang guru yang mengajarkannya?”

 

Ketahuilah! Seorang guru hanya bertugas membuka dan memudahkan cara memperolehnya. Mencari ilmu dengan perantara seorang guru akan terasa lebih mudah dan menyenangkan. Lalu Allah, dengan anugerah-Nya memberi karunia kepada orang yang Dia kehendaki. Maka jadilah Allah sebagai pembimbing mereka.

 

Ketahuilah bahwa tahapan ilmu ini adalah jalan rumit yang sulit ditempuh. Namun dengan melaluinya akan tercapai segala maksud dan tujuan. Manfaat tahapan ini besar sekali. Untuk bisa melaluinya juga sangat sulit dan bahayanya juga tidak kecil. Banyak orang yang berpindah dari jalan ini kemudian tersesat. Tidak sedikit penempuhnya yang tergelincir. Banyak orang bingung karena tersesat di dalamnya. Tidak sedikit orang melaluinya lalu berhenti di tengah jalan. Banyak yang melewatinya dalam waktu yang teramat singkat. Namun tidak sedikit pula yang hanya berputar-putar di dalamnya selama tujuh puluh tahun. Semua berada di bawah kekuasaan Allah.

 

Adapun manfaat ilmu, sebagaimana yang telah kami terangkan adalah bisa memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi para hamba sebagai dasar ibadah, lebih-lebih ilmu tauhid dan ilmu sirri.

 

Telah diceritakan bahwa Allah Swt. berfirman kepada Nabi Dawud a.s.: “Hai Dawud! Carilah ilmu yang bermanfaat!” Nabi dawud menjawab: “Wahai Tuhanku! Apakah ilmu yang bermanfaat itu?” Allah berfirman: ” Hendaknya kamu mengetahui kemegahan-Ku, keagungan-Ku, kesombongan-Ku dan kemahakuasaan-Ku yang sempurna atas segala sesuatu. Karena semua itu yang dapat mendekatkanmu kepada-Ku.

 

Diceritakan dari sayyidina Ali karramallahu wajhahu. Beliau berkata: “Aku tidak merasa bahagia seandainya mati di waktu kecil kemudian dimasukkan ke dalam surga sedangkan aku belum dewasa. Sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada-Nya, lebih banyak ibadahnya dan lebih banyak menerima nasehat dari-Nya.

 

Adanya kesulitan mencari ilmu sebaiknya Anda hadapi dengan penuh keikhlasan. Carilah ilmu untuk menimba pengetahuan dan tidak sekedar mendengar cerita.

 

Ketahuilah bahwa bahaya ilmu sangatlah besar. Karena barangsiapa yang mencari ilmu hanya agar terpandang di mata manusia, bisa duduk bersama para pejabat, membanggakan diri di hadapan para pakar dan mengeruk harta, maka perniagaan hidupnya akan bangkrut dan merugi.

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Barangsiapa menuntut ilmu untuk berbangga di hadapan para ulama, dapat menyangkal pendapat orang bodoh atau untuk memalingkan pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka”

 

Abu Yazid Al-Busthami berkata: “Aku bermujahadah selama tiga puluh tahun. Tidak ada yang lebih berat bagiku daripada ilmu dan bahayanya.”

 

Waspadalah terhadap rayuan setan. Ia akan berkata kepadamu: “Jika di dalam hadis telah diterangkan bahaya menuntut ilmu, maka kamu lebih baik meninggalkannya.”

 

Jangan Anda perhatikan omongan setan tersebut. Telah diceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah besabda:

 

Artinya: “Pada malam mi’raj aku melihat kebanyakan penghuni neraka adalah orang-orang miskin.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Adakah mereka miskin karena kekurangan harta?’ Rasulullah menjawab: “Tidak. Tapi mereka adalah orang-orang yang miskin dari ilmu.”

 

Orang yang tidak menuntut ilmu tidak akan mampu ” memahami hukum-hukum ibadah dan menjalankannya sesuai aturan yang berlaku dengan semestinya. Bahkan seandainya ada orang yang beribadah kepada Allah sebagaimana para malaikat langit tapi tidak didasari ilmu, maka ia pun termasuk orang-orang yang merugi.

 

Singsingkan lengan bajumu dalam menuntut ilmu dengan diskusi, mengajar dan mengulangnya. Jangan merasa malas dan bosan. jika tidak, maka Anda berada di dalam bahaya yang teramat besar.

 

Semoga Allah Swt, melindungi kita semua.

 

Secara umum jika Anda melihat tanda-tanda ciptaan Allah yang Maha Agung dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan tahu bahwa kita memiliki Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Berkehendak, Mendengar, Melihat, Berfirman, bersih dari kebaruan baik dari pembicaraan, ilmu dan kemauan, bersih dari segala sifat kekurangan dan berbagai penyakit. Dia tidak bisa disifati dengan sifat-sifat para makhluk, Tidak menjalankan apa yang diperbolehkan bagi para makhluk-Nya. Dia sama sekali tidak menyerupai makhluk, Tidak menetap di suatu tempat maupun arah dan tidak pula bisa ditempati oleh hal-hal baru serta berbagai macam penyakit.

 

Jika Anda memperhatikan mukjizat Rasulullah, ayat-ayat Allah, dan tanda-tanda kenabiannya, tentu kita yakin bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang kepercayaan yang menerima wahyu-Nya. Kita juga mengetahui apa yuang diyakini oleh para ulama salaf ash-shaalih yaitu bahwa kelak Allah akan terlihat di hari kiamat, bahwa Allah Dzat yang ada, tidak menetap di suatu tempat ataupun arah dan bahwa Al-Qur an adalah kalam Allah yang gadim, bukan makhluk, huruf yang terpisah-pisah ataupun berupa suara. Karena bila demikian adanya maka ia inenjadi sama dengan makhluk.

 

Kita pun akan tahu bahwa tidak ada gerak hati dan kejapan mata dari alam nyata (dunia) dan alam gaib (alam malakut) kecuali dengan ketentuan, kekuasaan, dan kehendak Allah Swt. Dari Allah pula muncul kebaikan, keburukan, manfaat, bahaya, iman dan kufur. Allah tidak mempunyai kewajiban apapun kepada makhluk-nya. Orang yang diberi-Nya pahala hanya karena karunia-Nya semata. Dan orang yang disiksa-Nya merupakan keadilan dari-Nya.

 

Ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. tentang akhirat seperti pengumpulan (makhluk), bangkit dari kubur, siksa kubur, pertanyaan Munkar dan Nakir, neraca (amal) dan lintasan (di atas nerakajahannam) merupakan pokok-pokok ajaran yang diyakini dan dijalankan oleh para salaf ash-shaalih sebelum munculnya berbagai bid’ah yang menyesatkan. Hal itu juga telah menjadi kesepakatan para ulama.

 

Semoga Allah menjauhkan kita semua dari perbuatan bid’ah dalam agama dan menuruti keinginan nafsu tanpa berpijak pada suatu dalil.

 

Kemudian Anda juga harus merenungkan tingkah laku hati, kewajiban batin serta larangan-larangannya seperti yang akan diterangkan di dalam kitab ini agar Anda mengetahuinya. Anda juga akan tahu apa saja yang harus dikerjakan seperti bersuci, puasa, salat, dan sebagainya.

 

Dengan demikian, Anda telah memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh Allah, Dzat yang menjadikan Anda seorang hamba dalam bidang ilmu. Anda juga telah menjadi golongan ulama pengikut Muhammad Saw. yang berpengetahuan kuat.

 

Jika Anda mengamalkannya, niscaya Anda akan menjadi seorang hamba yang berilmu dan beramal karena Allah dengan dasar pengetahuan, tidak bodoh, hanya ikut-ikutan ataupun lalai. Anda juga memperoleh kemuliaan yang agung. Ilmu Anda sangat berharga dan memiliki pahala yang melimpah. Anda telah berhasil melewati jalan rumit ini, meninggalkannya: di belakang serta memenuhi haknya dengan izin Allah.

 

Hanya Allah tempat kita meminta taufik dan kemudahan. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang. Dan Tiada daya serta upaya melainkan dengan pertolongan Allah Dzat yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

 

Tobat menjadi suatu keharusan bagi Anda yang hendak beribadah karena dua alasan:

 

Pertama, mempermudah ketaatan Anda. Sebab perbuatan dosa yang buruk akan menghalangi datangnya perbuatan taat dan selalu diikuti kehinaan (tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah). Jerat-jerat dosa akan menghalangi perjalanan ibadah dan bersegera melayani Allah, karena dosa yang berat akan memperberat hati malakukan kebaikan dan menghilangkan gairah untuk berbakti.

 

Melakukan dosa secara terus menerus membuat hati menjadi kelam. Anda akan menemukannya dalam keadaan gelap dan keras. Tidak ada lagi rasa bersih, bening, lezat, dan manis dalam beribadah. Dan jika Allah tidak melimpahkan karunia-Nuya, niscaya ia akan menyeret pemiliknya ke dalam jurang kekafiran dan kesengsaraan.

 

Mengherankan sekali. Bagaimana mungkin seseorang yang berhati kotor dan keras akan berbuat taat? Mungkinkah orang yang senantiasa berbuat maksiat dan sombong dapat berkhidmat (melayani) Allah? Adakah orang yang bermulut kotor dan najis dapat mendekat dan bermunajat kepada Allah? Jawabnya tentu saja “tidak”. — Diriwayatkan dari Ash-Shaadiq wal Mashduuq, Rasulullah Saw. beliau bersabda:

 

Artinya: “Ketika seorang hamba berdusta, maka kedua malaikat pencatat amal akan menjauhinya karena bau bacin yang keluar dari mulutnya.”

 

Jika demikian halnya, bagaimana mungkin mulut yang berdusta ini berdzikir kepada Allah?

 

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila orang yang senantiasa melakukan maksiat tidak mendapatkan taufik dari Allah dan anggota badannya terasa berat diajak beribadah. Kalupun ia menjalankannya tentu merasa sangat payah, bukan dengan perasaan senang dan tulus. Hal itu terjadi karena imbas dari dosa yang ia lakukan dan tobat yang ditinggalkannya.

 

Sangat benar jika ada yang mengatakan “Ketika kamu tidak mampu manjalankan salat malam dan puasa sunat di siang hari berarti kamu telah terbelenggu oleh dosamu sendiri.”

 

Kedua, agar ibadah yang kita kerjakan diterima di sisi Allah.

 

Seorang rentenir tentu tidak mau menerima bunga jika pokok pinjaman tidak dikembalikan. Begitu juga dengan tobat dan mencari keridaan musuh merupakan suatu kewajiban. Sedangkan ibadah Anda kerjakan kebanyakan berupa ibadah sunat. Bagaimana mungkin hadiahmu akan diterima jika hutangmu yang sudah jatuh tempo belum Anda bayar. Bagaimana bisa meninggalkan halal dan mubah karena Allah, jika Anda selalu menerjang larangan dan berbuat haram? Pantaskan Anda mengadu, memohon dan memuji-Nya, sementara Dia sedang murka kepada Anda? Semoga Allah melindungi kita semua dari kemurkaaan-Nya.

 

Inilah keadaan lahir orang-orang yang terus menerus melakukan maksiat. Semoga Allah melindungi kita semua.

 

Jika Anda bertanya: “Apa arti tobat ynag murni, sampai di mana batasan-batasannya dan apa yang harus dilakukan seorang hamba hingga ia bisa terbebas dari segala dosa?”

 

Jawabanku begini: “Tobat adalah salah satu pekerjaan hati. Cara menghasilkannya menurut para ulama adalah membersihkan hati dari dosa.

 

Guruku syekh Abu Bakr Al-Warraq berbicara tentang batasanbatasan tobat: “Batasan tobat adalah tidak mengulang dosa yang telah lalu dengan tidak melakukan dosa sederajatnya yang pernah dilakukannya karena mengagungkan Allah dan takut dari siksaNya.

 

Untuk memenuhi kriteria ini dibutuhkan empat syarat:

 

  1. Meninggalkan dosa dengan sepenuh hati dan sama sekali tidak berniat mengulanginya. Jika ia sudah meninggalkan dosa tapi dalam hatinya tidak ada keinginan untuk tidak mengulanginya di lain waktu, atau masih ada kemungkinan mengulanginya, maka yang demikian ini belum dinamakan tobat tapi menahan diri dari dosa.

 

  1. Meninggalkan dosa yang pernah ia kerjakan. Karena jika belum pernah melakukan dosa seperti itu sebelumnya, maka ia dinamakan orang yang memelihara diri dari dosa.

Karena itu, sangat benar jika ada orang yang mengatakan bahwa Nabi Saw. memelihara diri dari kekufuran. Dan satu kesalahan bila ada yang mengatakan bahwa Nabi Saw. bertobat dari kekufuran, karena Nabi Saw. belum pernah kufur. Suatu kebenaran jika ada yang mengatakan bahwa sahabat Umar bertobat dari kekufuran karena beliau memang pernah kufur sebelum masuk Islam.

 

  1. Hendaklah ia tidak memilih mengerjakan dosa yang sederajat dengan dosa yang pernah ia kerjakan. Ia tidak hanya memingpalhkan dosa tersebut tapi juga meninggalkan dosa yang sederajat dengannya

Cobalah Anda renungkan! Orang tua renta dan rapuh yang pernah berzina dan merampok, jika hendak bertobat tentu dia mampu, sebab pintu tohat masih terbuka baginya Dra tidak mampu meninggalkan keinginan berzina dan merampok, padahal saat itu ra sudah tak mampu lagi melakukannya. Orang sepert itu tidak dinamakan sebagai orang yang merunggalkan dosa dan terhindar darinya. Dia tak mampu malakukannya tapi masih mampu malakukan dosa yang sederajat dengan zina dan merampok seperti berbohong, menuduh isterinya berzina, membrcarakan keburukan orang lain dan mengadu domba. Semua yang disebut di atas berbeda satu sama lain sesuai ukurannya. Namun semua maksiat yang bercabang-cabang ini menempati satu kedudukan sedikit di bawah bid ah, sedangkan bid’ah berada sedikit di bawah kufur. Oleh karena itu, orang tua tersebut saat ini masih belum bertobat dari zina, merampok dan dosa lain yang tak mampu lagi dikerjakannya.

 

  1. Pilihan meninggalkan dosa karena ada motiv mengagungkan Allah, takut dari murka-Nya dan kepedihan siksa-Nya, bukan karena kesenangan duniawi, kebanggan di mata manusia, mengharap pujian agar terkenal, mendapatkan kedudukan karena lemah dan miskin di tengah masyarakat atau harapanharapan lain.

 

Inilah syarat dan rukun bertobat.

 

Jika Anda berhasil menyempurnakan syarat rukun tersebut berarti itulah tobat yang sebenarnya. Adapun hal-hal yang dilakukan sebelum bertobat ada tiga:

 

  1. Mengingat keburukan dosa.

2 Mengingat sakit dan pedihnya siksa serta kemurkaan Allah yang tidak mampu Anda tanggung.

  1. Mengingat kelemahan dan sedikitnya kemampuan pada diri Anda dalam menghadapi siksaan Allah tersebut, karena orang yang tidak mampu menahan panasnya sinar matahari, tamparan polisi dan gigitan semut, bagaimana mungkin bisa menahan panas api neraka jahannam, pukulan palu malaikat Zabaniyah serta patukan ular sebesar leher unta atau sengatan kalajengking sebesar khimar yang diciptakan dari api, berada di dalam tempat penyiksaan dan kerusakan.

 

Kita memohon perlindungan dari murka dan siksa Allah.

 

Jika Anda selalu ingat dan membiasakan diri mengingat hal ini siang malam, maka yang demikian ini akan memotivasi Anda untuk benar-benar bertobat dari dosa-dosa. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik dengan anugerah-Nya kepada kita.

 

Jika dikatakan: “Bukankah Nabi Saw. pernah bersabda:

 

Artinya: “Menyesal dari dosa berarti tobat.”

 

Beliau sama sekali tidak menyebutkan adanya syarat-syarat dan hal-hal berat seperti yang Anda sebutkan.”

 

Makajawabnya adalah: Pertama kali yang harus Anda ketahui adalah penyesalan merupakan hal yang tidak mampu dilakukan seorang hamba dengan sendirinya.

 

Apakah Anda tidak melihat bahwa terkadang seseorang menyesal dalam hati dari berbagai hal. Akan tetapi ia tidak berkeinginan menyesalinya. Sebaliknya, tobat merupakan hal yang diperintahkan. kemudian kita tentu tahu jika seseorang menyesal dari dosa hanya karena hal itu dapat menghilkangkan kedudukannya di mata masyarakat atau takut kehilangan mata pencahariannya, maka tidak diragukan lagi bahwa penyesalan tersebut bukanlah tobat. Dengan demikian, Anda menjadi tahu bahwa di dalam hadis tersebut ada makna yang tak bisa Anda ketahui dari lahirnya saja, yaitu penyesalkan karena mangagungkan Allah dan takut dari siksa-Nya termasuk hal yang membangkitkan tobat yang sebenarnya, karena hal tersebut merupakan sifat dan keadaan orang-orang yang bertobat. Jika seseorang mengingat tiga hal yang merupakan pendahuluan tersebut maka dia akan menyesal. Penyesalan itu dapat mendorongnya untuk meninggalkan dosa-dosa. Pada akhirnya tinggal penyesalan yang ada dalam hati dan hal itu akan mendorongnya untuk merendahkan diri di hadapan Allah, karena penyesalan termasuk penyebab orang mau bertobat dan sebagai sifat orang yang bertobat. Maka Rasulullah Saw. menamakannya dengan sebutan tobat hingga beliau bersabda: “Penyesalan adalah tobat.”

 

Dengan memahami semua itu, insya Allah Anda akan mendapat taufik dari Allah Swt.

 

Jika Anda bertanya: “Bagaimana mungkin seorang manusia sama sekali tidak melakukan dosa baik kecil maupun besar, sedangkan para nabi saja yang merupakan makhluk Allah paling mulia masih diperdebatkan oleh para ulama apakah mereka mencapai kedudukan ini (tidak berdosa sama sekali) ataukah tidak.”

 

Ketahuilah! Hal seperti ini (tidak melakukan dosa sama sekali) adalah sesuatu yang tidak mustahil. Hal tersebut teramat mudah bagi Allah Swt. Dan Allah menentukan rahmat-Nya bagi orang yang Dia kehendaki.

 

Tidak sengaja melakukan dosa termasuk di antara syaratsyarat tobat. Kalaupun ia tergelincir ke dalam dosa karena kelalaian atau sebuah kekeliruan, maka ia terampuni dengan anugerah Allah dan hal itu mudah sekali dilakukan orang yang diberi petunjuk oleh Allah.

 

Jika Anda berkata: “Yang membuatku tidak segera bertobat adalah karena aku tahu bahwa diriku pasti melakukan dosa itu lagi dan tiada gunanya aku bertobat.”

 

Bila demikian, maka ketahuilah bahwa hal itu adalah tipu daya setan. Dari mana Anda tahu kalau akan melakukan dosa itu lagi. Bisa saja Anda mati setelah bertobat dan belum mengulang kembali dosa tersebut. Adapun kekhawatiran akan mengulangi dosa harus Anda hindari dengan keinginan kuat, dan Allah sendiri yang akan menyempurnakannya.

 

Jika Allah menyempurnakan keinginan tersebut, itulah yang kita harapkan dari anugerah-Nya. Namun jika Allah tidak menyempurnakanya, maka semua dosa Anda yang lampau telah terampuni. Anda pun terbebas dan bersih dari dosa-dosa tersebut. Anda hanya berdosa karena perbuatan yang Anda lakukan saat ini.

 

Ini merupakan suatu keuntungan besar dan faedah yang agung. Jangan sampai Anda menunda tobat karena kekhawatiran akan kembali melakukan dosa yang sama. Dengan bertobat Anda berada diantara dua kebaikan.

 

Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya (kepada kita).

 

Untuk dapat keluar dan terbebas dari dosa, maka Anda harus tahu bahwa pada umumnya dosa tersebut terbagi menjadi tiga:

 

  1. Meninggalkan hal yang diwajibkan Allah pada kita, seperti salat, puasa, zakat, membeyar kafarat atau kewajiban yang lain.

Jalan keluarnya adalah sedapat mungkin Anda menggadanya.

  1. Dosa antara Anda dengan Allah, seperti minum khamer, meniup seruling, makan harta riba dan yang sejenisnya.

Jalan keluarnya adalah penyesalan dan berniat tidak kembali mengulangi untuk selamanya.

  1. Dosa antara sesama hamba. Ini adalah dosa yang paling berat dan sulit dihindari. Dosa antara sesama hamba Allah kadang berhubungan dengan harta, jiwa, harga diri, kehormatan dan beragama.

 

Untuk terbebas dari dosa yang berhubungan dengan harta, cara yang terbaik adalah mengembalikan harta tersebut ke pemiliknya jika mampu. Bila tidak mampu mengembalikan karena harta tersebut sudah hilang atau karena miskin, maka Anda harus meminta kerelaannya. Jika hal itu tidak mungkin dilakukan karena pemiliknya pergi atau sudah mati, dan Anda mampu bersedekah, maka yang terbaik bagi Anda adalah memperbanyak kebaikan dan merendahkan diri di hadapan Allah sambil memohon agar Allah membuatnya rida kepadamu pada hari kiamat.

 

Untuk terbebas dari dosa yang berhubungan dengan jiwa, Anda harus menyerahkan diri agar dibalas dengan hukuman yang setimpal atau meminta kerelaannya. Jika Anda tidak mampu melakukannya, maka kembalilah kepada Allah serta merendahkan diri di hadapan-Nya. Memohon agar Allah menjadikannya rela kepada Anda pada hari kiamat.

 

Dosa yang berhubungan dengan harga diri seperti menggunjing, menipu, atau mamaki, hendaknya Anda menghapusnya dengan cara memberi pengertian kepada lawan bicara bahwa Anda sebenarnya berbohong lalu meminta kerelaan kepada orang yang bersangkutan (orang yang digunjing, ditipu atau dimaki) —dengan catatanjika Anda mampu malakukannya dan tidak khawatir menamnbah kemarahannya, menimbulkan masalah baru dengan pernyataan Anda atau bahkan menciptakan kemarahan baru baginya.

 

Bila demikian yang terjadi dan Anda merasa khawatir, maka yang terbaik adalah kembali memohon kepada Allah agar Dia menjadikannya rida terhadap Anda, memberinya kebaikan yang sebanding dengan perbuatan Anda dan perbanyaklah istighfar untuknya.

 

Dosa yang menyangkut kehormatan seperti berkhianat kepada seseorang tentang isteri, anak, atau yang sejenisnya tidak bisa ditebus dengan meminta kerelaan orang tersebut, karena hal itu bisa menimbulkan kemarahannya. Dalam hal ini lebih tepat bila Anda merendahkan diri sambil memohon kepada Allah agar Dia menjadikannya rela kepadamu dan memberikan kebaikan yang banyak sebagai imbalannya. Namun jika tidak khawatir timbul fitnah, meski itu jarang terjadi, maka meminta kerelaan (maaf) adalah lebih baik.

 

Dosa yang berhubungan dengan masalah agama seperti mengkafirkan, menuduh berbuat bid ah dan sesat kepada orang lain adalah hal yang sulit dihapus. Yang Anda butuhkan adalah menyatakan bahwa Anda berbohong dalam pembicaraan Anda di depan lawan bicara, meminta maaf kepada yang bersangkutan (yang dikafirkan, dituduh berbuat bid’ah dan sesat) — dengan catatan jika hal itu memungkinkan untuk Anda lakukan. Jika tidak, maka Anda harus benar benar merendahkan diri kepada Allah serta memohon agar Dia menjadikannya rela kepadamu.

 

Jadi, secara umum, apa yang mungkin (mampu) Anda lakukan seperti meminta maaf kepada musuh, maka lakukanlah. Jika tidak mungkin, maka kembalikanlah semuanya kepada Allah dengan merendahkan diri serta memohon kepada-Nya dan bersedekah, agar Dia menjadikannya rela kepadamu. Semua terserah kehendak Allah kelak di hari kiamat. Hanya saja kita harus berharap Dia memberikan anugerah dengan karunia-Nya yang agung. Bila Dia mengetahui ketulusan hati seorang hamba, maka Dia-pun akan menjadikan musuhnya rela kepada hamba tersebut dengan limpahan karunia-Nya dan tidak ada lagi hukuman (baginya).

 

Pelajarilah hal ini dengan seksama.

 

Bila Anda telah mengetahui apa yang kami sebutkan di atas, kemudian hati Anda telah bersih dari keinginan melakukan dosa yang sejenis di masa mendatang, berarti Anda telah keluar dari lingkaran dosa.

 

Bila Anda berhasil membersihkan hati tapi belum bisa memenuhi (menggada) fardu yang tertinggal dan meminta maaf kepada musuh, berarti tuntutan hak adami masih melekat pada diri Anda, tapi dosa yang lain sudah terampuni.

 

Pembicaraan tentang tobat ini terlalu panjang dan tidak mungkin termuat semuanya dalam buku yang ringkas ini. Jika ingin mengetahui lebih dalam tentang tobat ini, bacalah kitab tobat yang terdapat dalam kitab:

 

  1. Ihya Ulumiddin.
  2. Al-Qurbah ilallah.
  3. Al-Qhaayatul Quswa.

 

Di dalam kitab-kitab tersebut Anda akan memperoleh banyak faedah dan penjelasan yang lebih luas. Sedang yang kami kemukakan di sini hanya pokok-pokoknya saja yang harus selalu diketahui oleh kaum muslimin.

 

Yakinlah bahwa tahapan tobat adalah tahapan yuang amat Sulit, permasalahannya sangat penting dan bahayanya pun besar sekali,

 

Kami pernah mendengar bahwa Ustadz Abu Ishag AlIsfirayini rahimahullah, yang termasuk orang berilmu tinggi serta beramal dengan ilmunya berkata: “Aku berdoa kepada Allah agar dikaruniai tobat yang murni selama tiga puluh tahun. Aku merasa heran dan berkata pada diri sendiri: “Maha Suci Allah. Kebutuhan yang kupinta selama tiga puluh tahun hingga sekarang belum juga terpenuhi. Kemudian aku bermimpi seolah-olah ada penyeru yang berkata padaku: ‘ Apakah dalam hal ini kamu merasa heran? Apakah yang menjadi permintaanmu itu? Kamu meminta agar Allah mencintaimu. Bukankah Allah telah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan (berakhlak) bersih.” (Q.S. al-Baqarah: 222)

 

Apakah kamu mengira bahwa permintaanmu untuk dicintai merupakan hal mudah? Lihatlah para imam yang berusaha dengan sungguh-sungguh agar hatinya bersih serta benar-benar mencari bekal untuk kehidupan akhirat.”

 

Bahaya yang mengkhawatirkan adalah menunda tobat. karena mula-mula suatu dosa akan membuat hati menjadi keras dan pada akhirnya membuat celaka.

 

Kita tidak boleh melupakan kisah Iblis dan Bal am bin Ba’ura. Pada mulanya mereka hanya berdosa dan pada akhirnya menjadi kafir. Keduanya binasa berasama orang-orang yang celaka untuk . selama-lamanya.

 

Kemudian sadar dan bersungguh-sungguhlah. Semoga Anda bisa mencabut akar dosa yang menancap dan tumbuh di hati, serta menyelamatkan diri dari dosa-dosa tersebut. Jangan merasa bebas dari kekerasan hati yang timbul karena dosa.

 

Lihatlah diri Anda.

 

Sebagian orang saleh mengatakan bahwa hati menjadi kelam (hitam) karena dosa. Tanda-tanda hati yang kelam adalah tidak merasa takut ataupun terkejut saat melakukan dosa, ketaatan yang ja kerjakan tidak mempengaruhi (pola hidup)nya, dan tidak mau menerima nasehat.

 

Jangan meremehkan dosa walau sekecil apapun, karena hal itu akan membuat Anda merasa telah bertobat, padahal Anda masih terus menerus melakukan dosa-dosa besar.

 

Aku pernah mendengar berita bahwa Kahmas bin Al-Hasan berkata: “Aku pernah melakukan suatu dosa. Lalu aku menangisinya selama empat puluh tahun.” Beliau kemudian ditanya: “Dosa apa itu wahai hamba Allah?” Beliau menjawab: “Suatu hari aku dikunjungi seorang teman yang beragama Islam. Lalu aku membeli ikan untuk menjamunya. Kemudian aku beranjak mengambil segumpal tanah di balik pagar tetangga tanpa izin untuk mencuci tangannya.”

 

Peristiwa yang membuat gundah Kahmas di atas bisa dijadikan renungan bagi Anda untuk mengoreksi diri sendiri dan sesegera mungkin untuk bertobat. Sebab ajal (batas hidup) masih tersimpan rapi dan tidak dapat kita ukur. Dunia ini hanya menipu, sedangkan nafsu dan setan selalu memusuhi. Rendahkanlah diri Anda di hadapan Allah dan memohonlah kepada-Nya.

 

Cobalah Anda mengingat kisah Nabi Adam a.s. yang diciptakan dengan kekuasaan Allah, ditiupkan ruh padanya dan menempatkannya di surga. Ia tidak berbuat salah kecuali hanya sekali. Lalu turunlah perintah untuk turun dari surga karena satu kesalahan tersebut. Bahkan diceritakan bahwa Allah berfirman kepadanya: “Hai Adam! Kamu memnganggap-Ku sebagai teman yang bagaimana?” Adam menjawab: “Tetangga terbaik wahai Tuhanku.” Allah berfirman: “Enyahlah dari samping-Ku, dan tanggalkan mahkota keagungan-Ku dari kepalamu. Sesungguhnya orang yang durhaka kepada-Ku tidak pantas bertetangga dengan-Ku.” Sehingga diceritakan bahwa Adam menangisi dosa tersebut selama dua ratus tahun sampai kemudian Allah mengampuni dosanya yang hanya dilakukan satu kali.

 

Beginilah sikap Allah terhadap nabi dan orang pilihan-Nya yang melakukan sekali dosa. Kemudian bagaimana dengan orang lain yang banyak melakukan dosa dan bukan nabi?

 

Tangis Nabi Adam merupakan perendahan diri dan permohonan orang yang bertobat. Lalu bagaimana sikap Allah terhadap orang yang selalu berbuat dosa tanpa memikirkan akibatnya? Alangkah indah syair seorang pujangga:

 

Orang yang bertobat merasa khawatir

terhadap dirinya sendiri.

Lalu apa pendapatmu tentang orang

yang tidak mau bertobat?

 

Jika Anda bertobat dan malakukan dosa untuk kedua kalinya, maka segeralah bertobat. Katakan pada diri Anda: “Mudahmudahan aku mati sebelum kembali melakukan dosa seperti ini.” Begitu pula jika Anda melakukan dosa untuk ketiga dan keempat kalinya.

 

Bila Anda melakukan suatu dosa dan mengulanginya sebagai suatu rutinitas, maka Anda pun harus menjadikan tobat sebagai rutinitas. Jangan sampai tobat Anda dikalahkan oleh dosa dan jangan pula berputus asa. Tak perlu menghiraukan godaan setan yang menghalangi tobat Anda, karena bertobat setiap kali melakukan dosa adalah pertanda baik.

 

Tidakkah Anda pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Yang terbaik di antara kamu adalah orang yang sering tergoda namun selalu bertobat.”

 

Maksudnya orang tersebut sering tergoda melakukan dosa tapi banyak bertobat dan kembali kepada Allah dengan penuh penyesalan dan permintaan maaf (istighfar).

 

Ingatlah firman Allah Swt.:

 

Arinya: “Dan barangsiapa berbuat jahat atau menganiaya dirinya sendiri kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya 1a akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisaa: 110)

 

Kesimpulan dari keterangan di atas adalah jika Anda mulai bertobat maka bersihkanlah hati dari dosa-dosa. Artinya Anda menguatkan niat dalam hati untuk selamanya tidak akan kembali melakukan dosa itu kecuali apa yang telah digariskan oleh Allah dalam ilmu-Nya bahwa Anda akan melakukannya. Allah mengetahui bahwa tekad Anda benar-benar keluar dari hati yang tulus. Kemudian maafkan musuh Anda sesuai kemampuan yang Anda miliki.

 

Ganti (qadha)lah kewajiban-kewajiban yang telah lalu sekuat tenaga, sesuai kemampuan yang Anda miliki. Dan yang tidak mampu sebaiknya diserahkan kepada Allah dengan penuh harap dan merendahkan diri agar Dia mencukupkannya untuk Anda.

 

Selanjutnya bersihkanlah badan dan pakaian Anda. Lalu salat empat rakaat sebagaimana mestinya. Letakkan wajah Anda di tanah sepi yang tidak terlihat oleh orang lain kecuali hanya Allah Swt.

 

Taburkan debu di kepala dan benamkan wajah, anggota tubuh yang paling terhormat, dengan cucuran air mata penuh kesedihan disertai suara yang lantang, sebutkan dosa Anda satu persatu sesuai kemampuan. Makilah diri Anda yang berlumur dosa. Katakan padanya: “Hai diriku! Tidakkah kamu merasa malu? Belum datangkah waktu tobat bagimu? Ataukah kamu punya kekuatan untuk menghadapi siksa Allah?” Lalu ucapkanlah umpatan untuknya sebanyak mungkin sambil menangis. Kemudian tengadahkan dua tangan kepada Tuhan yang Maha Pengasih seraya berdoa:

 

Artinya: “Wahai Tuhanku! Hamba-Mu yang lama menghilang telah kembali ke pintu (rahmat)-Mu. Hamba-Mu yang berbuat durhaka telah telah kembali menuju kebaikan. Hamba-Mu yang berdosa telah kembali dengan membawa alasan. Ampuni aku dengan kemurahan-Mu. Pandanglah aku dengan kasih-Mu. Ampunilah dosaku yang telah lalu dan lindungilah diriku dari dosa-dosa dalam sisa hidup (ini). Sesungguhnya, segala kebaikan hanya ada padaMu dan Engkau Maha Penyayang dan Pengasih kepada kami..

 

Lalu berdoa dengan doa penghapus susah sebagai berikut:

 

Artinya:” Wahai Dzat yang menampakkan berbagai permasalahan besar! Wahai Dzat yang menjadi tujuan akhir orang-orang susah! Wahai Dzat yang jika berkehendak terhadap sesuatu cukup berfirman “jadilah” lalu seketika itu wujudlah ia. Dosa-dosaku membuat aku terkungkung, dan hanya Engkau yang kuharapkan sebagai pembalas. Wahai Dzat yang membebaskan setiap kesulitan. Saat ini hanya Engkaulah andalanku, maka terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih.”

 

Kemudian perbanyaklah menangis, merasa hina dan merendah seraya berdoa sebagai berikut:

 

Artinya:” Wahai Dzat yang tidak merasa sibuk menan gani persoalan, dan mendengar pengaduan demi pengaduan. Wahai Dzat yang tidak mungkin keliru dalam memutuskan berbagai persoalan. Wahai Dzat yang tiada bosan memenuhi permintaan yang dilakukan terus menerus! Curahkanlah sejuknya embun maaf dan manisnya ampunan-Mu. Dengan kasih-Mu wahai Dzat yang lebih Pengasih dari para pengasih. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu..

 

Lalu bacalah selawat untuk Nabi Saw. dan keluarga beliau. Mohon ampunlah bagi seluruh orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Dan kembalilah taat kepada Allah. Maka Anda benar-benar telah bertobat dengan baik. Anda juga telah keluar dari lumpur dosa, bersih seperti saat lahir dari rahim ibu Anda, dicintai oleh Allah dan berhak mendapat pahala serta menerima limpahan berkah dan rahmat-Nya yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

 

Kemudian Anda akan memperoleh ketenteraman, keselamatan dan terbebas dari murka Allah, pahitnya maksiat dan bencana di dunia dan ahkirat. Anda pun benar-benar telah melewati tahapan ini dengan izin Allah Swt. Hanya Allah yang menguasai petunjuk dengan anugerah dan karunia-Nya.

 

Tahapan ketiga adalah awanig (godaan).

 

Hai orang-orang yang hendak beribadah! Anda harus dapat menyingkirkan rintangan-rintangan hingga ibadah yang Anda lakukan bisa kokoh dan kuat. Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya padamu.

 

Di depan telah kami sebutkan bahwa ada empat macam rintangan (godaan).

 

  1. Rintangan pertama: Dunia seisinya

 

Untuk menghilangkan rintangan tersebut kita harus menghilangkan ketergantungan terhadapnya dan memalingkan diri darinya. Adapun yang mengharuskan berbuat demikian ada dua:

 

Pertama, agar ibadah Anda lurus dan bertambah banyak. Sebab kecintaan terhadap dunia akan menyibukkan diri Anda. Anggota badan sibuk mencari kekayaan dunia, sedangkan hati selalu dipenuhi keinginan dan sibuk mencari berbagai cara (untuk mendapatkannya). Keduanya akan merintangi ibadah, karena nafsu dan hati merupakan sesuatu yang satu. Jika hati telah sibuk memikirkan sesuatu, maka ia pasti akan melupakan kebalikannya.

 

Dunia dan akhirat bagaikan dua wanita yang dimadu. Jika Anda membahagiakan yang satu, maka yang satu lagi pasti akan kecewa karena merasa terlupakan. Keduanya bagaikan timur dan barat. Jika Anda menghadap kesalah satu sisinya, tentu sisi yang lain berada di belakang Anda.

 

Keterangan yang menyebutkan bahwa kesibukan mencari dunia secara lahir dapat merintangi ibadah adalah apa yang diceritakan oleh Abu Darda’ r.a. Beliau berkata: “Tiada hentinya aku berusaha menyatukan ibadah dan berdagang. Ternyata keduanya tidak dapat menyatu. Kemudian aku memilih beribadah dan meninggalkan perdagangan.”

 

Diceritakan pula bahwa sahabat Umar r.a. berkata: “Jika keduanya (ibadah dan mencari dunia) dapat bersatu pada diri seseorang, tentu aku dapat menyatukannya pada diriku dengan kekuatan dan kelembutan yang dianugerahkan Allah kepadaku.”

 

Bila demikian adanya, maka tinggalkanlah dunia yang pasti rusak dan pilihlah (akhirat yang menjanjikan) keselamatan.

 

Adapun secara batin, hati akan sibuk memikirkannya, karena hati adalah tempat berkeinginan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Beliau bersabda:

 

Artinya: “Barangsiapa mencintai dunia, niscaya ia akan merugi di akhirat. Barangsiapa mencintai akhirat, niscaya dunianya akan terbengkalai. Oleh karena itu pilihlah hal yang bersifat abadi seraya meninggalkan sesuatu yang dijamin pasti binasa.”

 

Sekarang telah nyata bahwa jika secara lahir Anda sibuk berusaha mencari dunia dan secara batin dipenuhi keinginan untuk mendapatkannya, niscaya tidak mudah bagi Anda untuk memenuhi hak-hak ibadah. Sedangkan zuhud (menghilangkan ketergantungan terhadap dunia) akan menjadikan lahir dan batin Anda lapang, mudah beribadah, bahkan seluruh tubuh akan membantu ibadah Anda.

 

Diceritakan dari Salman Al-Farisi. Beliau berkata: “Sesungguhnya apabila hati seseorang tidak terpancang kepada dunia, maka hatinya bersinar terang penuh hikmah dan anggota badannya saling menolong dalam beribadah.”

 

Kedua, sikap zuhud akan membuat Anda semakin berharga,

 

berkedudukan tinggi dan bertambah mulia. Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Dua rakaat yang dikerjakan oleh seorang alim dan berhati zuhud lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada amal yang dikerjakan oleh ahli ibadah sepanjang hidupnya secara terus menerus.”

 

Apabila ibadah yang bisa bertambah mulia dan banyak karena zuhud, maka sudah seharusnya orang yang ingin beribadah bersikap zuhud dan berpaling dari dunia.

 

Jika Anda bertanya: “Apakah arti zuhud di dunia dan bagaimana cara yang benar untuk melakukannya?”

 

Jawabnya adalah: Menurut para ulama, zuhud dibagi menjadi dua. Zuhud yang berada di bawah kemampuan manusia dan zuhud yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia.

 

Zahud yang berada di bawah kemampuan manusia terbagi menjadi tiga:

1 Tidak mencari-cari sesuatu yang tidak menjadi milikinya.

  1. Membagikan apa yang telah terkumpul kepada orang lain.
  2. Di dalam hati tidak menghendaki dunia dan herusaha mendapatkannya.

 

Zuhud yang berada di luar jangkauan kemampuan seorang hamba adalah segala sesuau yang tidak bisa mempengaruhi hati agar berpaling dari ibadah.

 

Perlu diketahui pula bahwa sebenarnya zuhud yang mampu dilakukan oleh seorang hamba adalah permulaan dari munculnya zuhud yang berada di luar batas kemampuan zuhud sesuai dengan kemampuannya seperti tidak mencari sesuatu yang tidak dimilikinya, mau berbagi kesenangan dengan apa yang ia miliki, tidak berhasrat dan memilih dunia serta dikerjakan karena Allah, mengharap keagungan pahala yang diperoleh dengan banyak mengingat bahaya yang ditimbulkannya (dunia), maka hal itu pasti akan membuatnya bersikap masa bodoh terhadap dunia, Dan menurutku “sikap masa bodoh” inilah zuhud yang sebenarnya.

 

Kemudian ketahuilah bahwa yang terberat di antara ketiganya adalah membuang keinginan dari hatinya.

 

Banyak orang yang secara lahir meninggalkan dunia tapi dalam batin tetap menginginkannya. Jadi, ia hanya tenggelam dalam pergulatan dan penderitaan yang melelahkan dirinya sendiri. Dan segala persoalan zuhud sebenarnya bermuara pada “sikap masa bodoh terhadap dunia” ini.

 

Bukankah Allah Swt. telah berfirman:

 

Artinya: “Itulah negeri akhirat. Kami menjadikannya untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi.” (Q.S. Al-Qashshaash: 83)

 

Allah menyandarkan hukum pada “tidak adanya keinginan”, bukan “tidak mencari tahu” atau tidak mewujudkan keinginan.”

 

Juga firman Allah berikut ini:

 

Artinya: “Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat, maka akan Kami tambahkan keuntungan tersebut baginya. Dan barangsiapa menghendaki keuntungan dunia, maka Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tiada sedikitpun bagian di akhirat untuknya.” (Q.S. Asy-syuraa: 20)

 

Firman Allah:

 

Artinya: “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (di dunia – ini), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki.” (Q.S. Al-Israa’: 18)

 

Dan firman-Nya pula:

 

Artinya: “Dan barangsiapa menghendaki kehidupan di akhirat dan berusaha dengan sungguh-sungguh ke arah itu, sedang ia seorang mukmin, maka mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. “(QS.5 Al-lsraa 19)

 

Bukankah Anda tahu bahwa semua petunjuk tersebut menuju ke masalah iradah (keinginan)? Karenanya, dalam keadaan seperti Wu nadah amatlah penting. Akan tetapi jika hamba tersebut tekun dan rajin melakukan dua hal yang pertama, yaitu membagi (harta yanp dimiliki) dan tidak mencari-cari (harta yang bukan miliknya), maka ia masih bisa mengharap anugerah dari Allah agar Dia memberikan taufik untuk menolak keinginan.

 

Adapun pilihan itu berasal dari hati, karena sesungguhnya Dia (Allah) Maha Memberi anugerah dan Maha Mulia.

 

Kemudian, hal yang dapat memotivasi Anda agar tidak mencari-cari perkara yang tidak ada dan memberikan yang sudah menjadi milik kita serta dapat memudahkan hal tersebut adalah mengingat akibat buruk yang ditimbulkan dunia serta kekurangan-kekurangannya.

 

Telah banyak ulama yang membicarakan tentang hal ini. Di antaranya adalah ucapan seorang ulama berikut ini: “Kutinggalkan dunia karena manfaatnya hanya sedikit, sangat melelahkan, mudah (cepat) rusak dan kehinaan orang yang menjadikannya sebagai teman.”

 

Guru kami (Abu Bakr Al-Warraaq) berkata: “Pertanyaan seperti ini memang benar tapi masih semerbak berbau cinta. Sebab orang yang mengeluhkan suatu perpisahan tentu merasa senang bila bertemu kembali. Dan barangsiapa meninggalkan sesuatu karena adanya orang lain yang ikut memilikinya tentu akan merasa senang jika ia memilikinya sendirian. Oleh karena itu, ungkapan yang paling tepat adalah apa yang diutarakan oleh guru karhi: Sesungguhnya dunia ini adalah musuh Allah sedang Anda orang yang mencintainya, dan barangsiapa mencintai seseorang tentu akan ikut membenci musuh kekasihnya.”

 

Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya dunia berasal dari kotoran bangkai. Tidakkah Anda lihat dunia berakhir dengan keadaan kotor, binasa, rusak dan habis. Tapi karena bangkai tersebut diperciki wewangian dan dibungkus dengan perhiasan, maka orang-orang yang lalai menjadi tertipu dengan melihat sisi luarnya. Dan orang-orang yang sempurna akalnya akan pergi menghindar darinya.”

 

Jika ada pertanyaan: “Bagaimana hukumnya zuhud (meninggalkan dunia)? Wajib atau sunat?”

 

Ketahuilah bahwa zuhud bagi kami ditujukan pada barang halal dan haram. Meninggalkan yang haram hukumnya wajib. Sedangkan meninggalkan yang halal hukumnya sunat.

 

Kedudukan barang haram bagi orang-orang yang istiqamah dalam ketaatannya sama persis dengan bangkai yang menjijikkan. Mereka tidak mengambilnya kecuali dalam keadaan terpaksa dan hanya sekedar menolak datangnya bahaya.

 

Zuhud terhadap sesuatu yang halal adalah kedudukan yang dimiliki oleh para “Wali Abdal.” Bagi mereka barang halal itu seperti bangkai. Mereka tidak mengambilnya kecuali sekedar yang harus dimakan. Sedangkan barang haram bagi mereka sama dengan api. Tidak sedikitpun hati mereka tergerak untuk mendapatkannya. Inilah yang dinamakan buruudah (dinginnya hati). Artinya orang-orang yang berzuhud tentu memupus keinginannya terhadap dunia, menganggapnya kotor dan sangat mengingkarinya. Di dalam hatinya sedikitpun tidak tersisa pilihan atau keinginan untuk mmendapatkannya.

 

Jika Anda berkata: “Bagaimana mungkin dunia yang penuh kelezatan, menakjubkan dan banyak dicari oleh orang banyak bisa disamakan dengan api atau bangkai yang menjijikkan, kotor dan berubah, sementara diri dan tabiat kita tidak berubah?”

 

Ketahuilah bahwa orang yang diberi taufik secara khusus dan mengetahui bahwa pada dasarnya dunia itu rusak dan kotor, tentu dunia itu baginya sama dengan bangkai. Orang yang mengagumi masalah ini tak lain hanyalah para pecinta dunia yang tidak melihat cacat dan keburukannya, orang-orang yang tertipu dengan keadaan luar dan hiasannya. Aku akan memberikan berbagai perumpamaan tentang mereka yang beranggapan bahwa dunia itu seperti bangkai.

 

Ada seseorang yang membuat jenang dengan bahan lengkap seperti gula dan lain lain. Lalu ia memasukkan racun yang mematikan ke dalam adonan tersebut. Saat itu ada seseorang melihat kejadian tersebut dan ada seoranp lapi yang tidak melihatnya. Selanjutnya jenang tersebut diletakkan di hadapan kedua orang ini setelah dihias dan dipercantik. Orang yang melihat bahwa jenang itu telah dibumbuhi racun tentu tidak akan menginginkannya. Sedikitpun di dalam hatinya tidak terbersit keinginan untuk mengambil meski apapun keadaannya. Baginya jenang tersebut seperti api dan bahkan lebih dari itu karena ia tahu ada kebinasaan di dalannya. Ia tidak tertipu dengan keadaan luar dan hiasannya.

 

Sedangkan yang satunya, yakni orang yang tidak melihat pembuatan jenang tersebut pasti tertipu dengan keadaan luarnya yang telah dipercantik. Dia sangat menginginkan jenang itu dan bahkan dalam hal ini ia menganggap kawannya yang tidak mau mengambil sebagai orang bodoh.

 

Seperti inilah perumpamaan barang-barang dunia yang haram di mata orang-orang yang melihat sesuatu dengan mata hati serta istiqamah dan di mata orang-orang bodoh yang mencintai dunia.

 

Seandainya orang yang membuat jenang ini tidak membubuhkan racun tapi hanya meludah atau memberinya ingus kemudian memberi wewangian dan menghiasnya, orang yang melihat perbuatan itu tentu merasa jijik dan tidak mau memakannya. Ia tidak mau mengambilnya kecuali dalam keadaan sangat terpaksa dan amat membutuhkannya. Sedangkan orang yang tidak menyaksikan pembuatan jenang tentu tidak tahu apa yang terjadi padanya. Ia tertipu dengan keadaan luarnya, sangat menginginkannya, merasa asyik, kagum dan menyukainya.

 

Seperti inilah perumpamaan barang-barang dunia yang halal di mata dua golonngan, yakni orang-orang yang waspada (melihat sesuatu dengan mata hati) serta istiqamah dan di mata orang: orang yang mencintai dunia serta lalai.

 

Keadaan dua orang yang berwatak dan berperawakan sama ini berbeda hanya karena kewaspadaan dan pengetahuan yang dimiliki salah satu dari keduanya dan kebodohan serta ketertutupan hati yang dimiliki orang kedua.

 

Seandainya orang yanp mnenyukai dunia Ini tahu dan melihat apa yang diketahui oleh zahid (orang yang tidak menyukai dunia) tentu ia pun tidak merasa suka sama dengan si zahid. Seandainya zahid itu tidak tahu dan melihat apa yang tiduk diketahui oleh orang orang yang menyukai dunia tentu ia pun akan menyukainya dan sama dengan orang tersebut.

 

Dengan demikian, Anda pun tahu bahwa perbedaan itu hanya karena adanya kewaspadaan dan tidak terletak pada watak.

 

Semua ini merupakan inti permasalahan yang berguna, suatu keterangan yang benar dan bisa dicerna oleh orang berakal serta orang yang sadar.

 

Hanya Allah yang menguasai petunjuk dan taufik dengan anugerah-Nya. Jika ada yang mengatakan: “Mau tidak mau kita harus mengambil harta dunia ini sekedar menjadikannya sebagai penguat. Lalu bagaimana cara berzuhud dalam hal itu?”

 

Ketahuilah bahwa zuhud itu terletak pada kelebihan barang halal. Yakni sesuatu yang tidak dibutuhkan untuk menegakkan organ tubuh. Jadi, yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan tubuh sehingga bisa beribadah kepada Allah, bukan makan, minum dan merasakan kelezatan.

 

Bila Allah menghendaki, maka Dia akan menegakkannya dengan suatu sebab. Dan bila menghendaki, maka Dia juga bisa menegakkannya tanpa sebab seperti halnya para malaikat.

 

Kemudian jika ingin menegakkannya dengan suatu sebab, bolehjadi Dia menegakkannya dengan sesuatu yang Anda peroleh atau dengan sesuatu yang Anda usahakan. Tapi bisa juga dengan hal lain yang diberikan-Nya tanpa pernah Anda perkirakan dan tanpa Anda cari sebagaimana firman Allah:

 

Artinya: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka Dia akan muanjadikan untuknya jalan keluar (dari kesulitan) dan memberinya rezeka dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)

 

Jika itu yang terjadi, Anda sama sekali tidak perlu mencari dan menginginkannya.

 

Apabila Anda tiba-tiba merasa tidak mampu melakukan zuhud seperti itu dan berusaha mendapatkan dunia, maka niatilah pencarian dunia itu sebagai persiapan dan mencari kekuatan untuk beribadah, bukannya menuruti keinginan syahwat dan mencari kelezatan. Sebab jika Anda niatkan untuk persiapan dan mencari kekuatan untuk ibadah, maka pencarian dan keinginan tersebut pada hakekatnya adalah kebaikan dan mencari akhirat, bukan mencari dunia. Dan hal itu tidak akan mengurangi kedudukan zuhud Anda.

 

Pahamilah keterangan ini! Semoga Anda mendapat petunjuk.

 

  1. Rintangan Kedua: Makhluk .

 

Hendaklah Anda menyendiri dari masyarakat. Hal itu harus dilakukan karena dua hal:

 

Pertama, Lingkungan masyarakat akan membuat Anda sibuk dan melupakan ibadah kepada Allah sesuai dengan apa yang diceritakan seorang ulama bahwa beliau berkata: “ Aku berjalan dan menemukan sekelompok orang yang sedang memanah. Sementara itu ada seseorang yang duduk agak jauh dari mereka dan aku bermaksud mengajaknya berbicara. Akan tetapi ia berkata: “Aku lebih tertarik mengingat (dzikir) Allah ketimbang pembicaraanmu.’ Aku berkata: “Apakah Anda sendirian? Dia menjawab: ‘Aku bersama Tuhan dan dua malaikat (pencatat amal)ku’ Aku bertanya: Siapa yang menang di antara mereka? ia menjawab: ‘Orang yang diampuni Allah. Aku bertanya: ‘Di mana jalan untuk mendapatkannya? Dia menunjuk dengan tangannya ke arah langit dan meninggalkanku seraya bergumant ‘Kebanyakan makhluk telah melupakan-Mu. ”

 

Dengan demikian, masyarakat akan membuat Anda sibuk dan meninggalkan ibadah, menghalangi Anda atau bahkan menjerumuskan ke dalam perbuatan buruk dan merusak yang dikatakan oleh Hatim Al-Asham rahimahullah: “ Aku berusaha mendapatkan lima hal dari masyarakat tapi tidak bisa menemukannya. Aku berusaha agar mereka berbuat taat dan berzuhud tapi mereka tidak melakukannya. Aku berkata: “Jika kalian tidak melakukannya, maka tolonglah agar aku bisa melakukannya” dan mereka pun tidak melakukan hal itu. Lalu aku berkata: “Relakan kalau aku melakukan hal itu.” Mereka juga tidak merelakanku. Aku berkata: “Jangan mencegahku menjalani keduanya.” Mereka malah mencegahku. Aku berkata: “Jangan mengajakku melakukan sesuatu yang tidak diridai oleh Tuhan yang Maha Agung dan jangan memusuhi bila aku tidak mengikuti kalian”. Mereka juga tidak melakukannya. Maka aku pun meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi diri sendiri secara khusus.

 

Ketahuilah wahai saudarakuseagama! Sesungguhnya nabimu Muhammad Saw. telah menggambarkan masa ‘uzlah, menerangkan sifat-sifatnya dan juga sifat-sifat orang menjalaninya serta memerintahkan agar mengasingkan diri pada masa itu. Tak diragukan lagi bahwa beliau lebih tahu yang terbaik dan lebih memberi nasehat kepada kita dibanding diri kita sendiri.

 

Oleh karena itu, jika Anda mengalami masa seperti yang telah diterangkan, maka ikutilah perintah beliau dan terimalah nasehatnya. Jangan ragu! Beliau adalah orang yang lebih mengerti apa yang terbaik buat Anda di masa yang Anda alami. Jangan membuat alasan yang tidak benar dan membohongi diri sendiri. Jika tidak, maka Anda akan binasa dan tidak lagi memiliki alasan.

 

Gambaran di atas adalah keterangan yang terdapat di dalam hadis riwayat Abdullah bin Amr bin “Ash r.a. Beliau berkata: “Suatu saat kami berada di sekeliling Rasulullah Saw. ketika membahas masalah fitnah. Beliau bersabda:

 

Artinya: “(Masa itu akan datang) jika kalian telah melihat manusia mengumbar janji, meremehkan kepercayaan dan sudah seperti ini (beliau menjalin kedua tangannya). Abdullah bertanya, “Apa yang harus kuperbuat di masa itu?” Beliau menjawab, ‘Teteplah tinggal di rumah, kendalikan pembicaraanmu, ambil apa yang telah kau ketahui sisi baiknya dan tinggalkan apa yang kau ingkari. Hendaklah kamu mengurus yang khusus (diri sendiri) dan meninggalkan urusan orang lain.”

 

Dalam hadis lain diterangkan bahwa beliau bersabda:

 

Artinya: “Masa tersebut adalah hari-hari yang penuh pertikaiat Ada yang bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan hari-har! pertikaian?” Beliau bersabda:, “Yaitu hari ketika seseorang tidak merasa aman dari teman duduknya.”

 

Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Harits bin ‘Umairah beliau Saw. Bersabda:

 

Artinya: “Jika kamu dianugerahi umur panjang, maka akan datang padamu masa yang ketika itu benyak tukang pidato tapi sedikit yang berilmu, banyak orang yang meminta tapi sedikit yang memberi. Dan pada saat itu hawa nafsu menjadi penarik dalam menuntut ilmu.”

 

Al-Harits bertanya: “Kapan itu terjadi ya Rasulullah?

Beliau bersabda:

 

Artinya: “Nanti ketika salat berjamaah telah dimatikan (ditinggalkan), (uang) suap telah diterima dan agama dijual dengan harga murah. Kalau sudah begitu maka carilah keselamatan. Kasihan kamu! Carilah keselamatan.”

 

Semua yang disebut dalam hadis ini sudah Anda lihat dengan mata kepala pada zaman di mana Anda hidup. Karena itu, kasihanilah diri Anda.

 

Para salafash-shaalih telah sepakat untuk memelihara diri dari zaman mereka yang penuh fitnah dan orang-orang yang hidup di zaman itu, memilih nengasingkan diri, menganjurkannya dan saling mengingatkan tentang (zaman) itu.

 

Tak diragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih waspada dan pemberi nasehat. Dan lagi masa setelah mereka tidak akan menjadi lebih baik dari sebelumnya bahkan lebih buruk dan lebih pahit.

 

Pendapat ini kuambil dari apa yang dikatakan oleh Yusuf Al. Ashbath. Beliau berkata: “Aku mendebgar bahwa Sufyan Ats. Tsauri mengatakan: ‘Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Telah dihalalkan ‘uzlah (menyendiri) di masa sekarang ini.”

 

Menurutku jika ‘uzlah telah dihalalkan di zaman beliau, maka di zaman kita sekarang ini tentu telah menjadi suatu kewajiban. Diceritakan dari Sufyan Ats-Tsauri juga bahwa beliau menulis surat kepada Abbad Al-Khawash rahimahullah: “Amma ba’du. Sesungguhnya kamu (hidup) di suatu zaman yang diminta oleh para sahabat Rasulullah agar mereka tidak mengalaminya. Menurutku mereka memiliki pengetahuan yang tidak kita miliki. Lalu bagaimana dengan kita jika harus mengalaminya, sementara pengetahuan, kesabaran dan orang yang menolong kebaikan kita hanya sedikit. Dunia kita semakin keruh dan manusia semakin rusak. Dan sesungguhnya sahabat Umar Al-Khaththab telah mengatakan bahwa ‘uzlah membuat kita merasa nyaman danjauh dari pergaulan buruk.’ ”

 

Dalam hal ini ada penyair yang mengatakan:

 

Masa sekarang adalah masa yang kita semua

telah diingatkan darinya dalam ucapan Ka’ab dan Ibnu mas’ud,

suatu masa yang pada saat itu seluruh kebenaran ditolak

sedangkan kezaliman dan perampasan hak tak lagi ditolak.

Saat itu kebutaan dan ketulian bercampur menjadi satu.

Iblis naik dan turun.

Jika masa ini terus berlanjut dan tidak berganti dengan masa yang baru,

niscaya tidak ada orang menangis saat ada kematian dan bahagia saat ada kelahiran.

 

Aku mendengar berita bahwa Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Berilah aku wasiat!” Beliau menjawab, “Kurangi mengenal manusia! Aku berkata, ‘Semoga Allah memberikan rahmat padamu. Bukankah Rasulullah Saw. pernah bersabda:

 

Artinya: “Perbanyaklah mengenal manusia.”

 

Karena setiap orang yang beriman itu berhak memiliki syafaat?” Sufyan menjawab, “Tidak. Kukira kamu tidak tahu benar bahwa apa yang kamu benci tak lain berasal dari orang yang kamu kenal. Aku berkata, Apa yang Anda katakan memang benar.”

 

Kemudian beliau (Sufyan) wafat dan aku bertemu dengannya dalam mimpi dan menanyakan berbagai masalah. Kemudian aku bertanya: “Wahai Abu Abdillah! Berilah aku wasiat! Beliau menjawab, Kurangi mengenal manusia semampu mungkin karena menyelamatkan diri dari mereka teramat sulit.”

 

Ada ulama yang menggubah syair bernada sama dengan isi hadis di atas:

 

Semenjak kepalaku beruban tiada hentinya aku menyelidiki masyarakat

dan ingin mencari tahu tentang mereka.

Ternyata aku tidak mengenal mereka selain kemudian mencela.

Semoga Allah membalas dengan kebaikan kepada orang yang tidak kukenal.

Aku tidak memiliki dosa yang paling kubenci

selain karena aku mencintai orang yang tidak mau sadar.”

 

Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Ada yang mengatakan bahwa Sufyan Ats-Tsauri menulis seperti di bawah ini di atas pintu rumahnya:

 

Artinya: “Semoga Allah membalas dengan kebaikan kepada orangorang yang tidak mengenalku dan tidak membalas dengan itu kepada teman-temanku, karena belum pernah disakiti kecuali oleh mereka.”

 

Para ulama melantunkan syair yang senada dengan ucapan Sufyan Ats-Tsauri sebagai berikut:

 

Semoga Allah membalas dengan kebaikan kepada orang-orang yang antara aku dengannya tidak ada hubungan cinta dan saling kenal mengenal,

karena aku belum pernah merasa susah dan sakit hati

kecuali kecuali karena orang yang kucintai dan orang yang kukenal.

 

Fudhail bin Iyadh berkata: “Sekaranglah saatnya. Pelihara lisanmu, sembunyikan tempat tinggalmu, obati hatimu, ambil apa yang kau ketahui baik dan tinggalkan apa yang kau ingkari (belum diketahui kebaikannya).”

 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Sekarang ini masanya untuk diam, tinggal di dalam rumah dan rela dengan makanan seadanya sampai kamu mati.”

 

Diceritakan dari Dawud Ath-Thaai. Beliau berkata: “Puasalah sejak di dunia dan jadikan akhirat sebagai saat berbuka. Larilah dari manusia seperti saat kamu lari dari singa.”

 

Diceritakan dari Abu ‘Ubaidah. Beliau berkata: “Aku sama sekali belum pernah melihat ahli hikmah selain ia bekata kepadaku sesaat setelah menyudahi pembicaraannya, Jika kamu lebih suka tidak dikenal di tengah masyarakat, maka kamu akan mendapat tempat di sisi Allah.”

 

Hadis yang membicarakan masalah ini teramat banyak sehingga tidak bisa termuat seluruhnya di dalam kitab ini. Kami telah menyusun sebuah kitab tersendiri yang kami namakan dengan kitab “Al-Akhlaaq Al-Abraar wan-Najaat minal Asyraar.” Pelajarilah kitab tersebut niscaya Anda akan menemukan berbagai keajaiban di dalamnya.

 

Orang berakal cukup dengan diberi isyarat. Allah-lah yang menguasai taufik dengan petunjuk dan anugerah-Nya.

 

Kedua, mereka (masyarakat) dapat merusak ibadah yang sudah Anda kerjakan jika tidak dipelihara oleh Allah, karena apa yang diperlihatkan kepada mereka termasuk ajakan riya dan menghias diri.

 

Benarlah apa yang dikatakan Yahya bin Mw’adz Ar-Raazi: “Pandangan manusia adalah hamparan riya.”

 

Orang yang berzuhud benar-benar takut terhadap diri mereka dari arti semacam ini sehingga mereka meninggalkan pertemuan dan saling berkunjung.

 

Diceritakan dari Harim Bin Hayan bahwa beliau berkata pada Uwais Al-Qarani: “Hai Uwais! Sambunglah persaudaraan padaku dengan kunjungan dan pertemuan. Uwais menjawab: “ Aku telah menyambung persaudaraan padamu dengan sesuatu yang lebih bermanfaat ketimbang keduanya, yakni doa dalam keadaan sunyi dan menyendiri, karena sesungguhnya kunjungan dan pertemuan hanya akan menampakkan hiasan dan riya.”

 

Saat Ibrahim bin Adham mengadakan kunjungan, Sulaiman Al-Khawash ditanya: “Apakah Anda tidak datang kepada beliau?” Sulaiman menjawab: “Sungguh, seandainya aku bertemu setan durhaka, maka hal itu lebih aku sukai daripada bertemu dengannya.”

 

Orang-orang tidak mempercayai hal itu, lalu Sulaiman berkata: “Aku takut kalau saat bertemu beliau aku menghias (mempermanis) untuknya, dan saat bertemu setan aku bisa mencegahnya.”

 

Guruku Abu Bakr Al-Warraq pernah bertemu seorang arif, lalu keduanya saling mengingatkan dalam waktu cukup lama. Di akhir perbincangan mereka berdoa. Guruku berkata kepada orang arif tersebut: “Aku tidak mengira bisa duduk di dalam suatu majlis yang lebih kuharap kebaikannya dari majlis ini.” Lalu orang arif tersebut berkata pada beliau: “Akan tetapi aku tidak duduk dalam suatu majlis yang lebih kutakutkan dari majlis ini. Bukankah Anda sengaja membaik-baikkan pembicaraan dan pengetahuan lalu mengutarakanya padaku dan memperlihatkannya untukku? Aku pun demikian juga. Jadi sebenarnya telah terjadi perbuatan riya.” Lalu guruku menangis dalam waktu cukup lama dan kemudian pingsan. Setelah siuman beliau membuat perumpamaan dengan syair-syair berikut ini:

 

Alangkah celakanya diriku karena tempat berdiri

yang tidak lebih mengkhawatirkan dari pada saat Dzat yang Bijaksana mengadili.

Aku memperlihatkan kedurhakaanku kepada Allah,

sementara selain Dia tiada yang menyayangiku.

Wahai Tuhanku! Berikan ampunan-Mu atas orang-orang yang berdosa

dan yang berlebihan. Ingatlah bahwa ia telah menyesal,

dan berdoa saat malam telah menjadi gelap:

‘Ah dosaku, dosa yang ditutupi oleh Tuhan yang Maha mengetahui.

 

Demikian ini keadaan orang yang ahli zuhud dan riyadhah dalam perjumpaan mereka. Lalu bagaimana keadaan orang-orang yang menyukai dunia dan ahli berbuat bathil, atau ahli berbuat buruk dan orang-orang bodoh?

 

Ketahuilah bahwa zaman telah menjadi sangat rusak, dan manusia mengalami banyak bahaya karena mereka sibuk dan melupakan ibadah kepada Allah, sampai-sampai Anda hampir tidak bisa melakukan ibadah. Lalu mereka merusak apa yang telah Anda dapatkan sehingga hampir saja ibadah yang Anda lakukan tidak selamat.

 

Karena itulah Anda harus ber’uzlah, menyendiri dari orang banyak dan memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan zaman ini beserta seluruh penghuninya.

 

Allah-lah yang memelihara dengan anugerah dan rahmatNya.

 

Jika ditanyakan: “Bagaimana hukumnya ‘uzlah dan menyendiri? Terangkanlah tingkatan-tingkatan manusia dalam hal ini dan batasan yang wajib di dalamnya.”

 

Ketahuilah bahwa dalam hal ini manusia ada dua macam. Pertama, orang yang tidak dibutuhkan oleh masayarakat dalam masalah ilmu dan keterangan tentang hukum. Yang terbaik bagi orang semacam ini adalah menyendiri. Jadi, ia tidak bergaul (berbaur) dengan mereka kecuali untuk salat Jum’at, berjamaah, salat Id, haji, majlis pengetahuan tentang sunat-sunat, atay kebutuhan hidup yang sudah menjadi kewajibannya. Kalau bukan untuk hal semacam ini sebaiknya ia menutup diri dan tetap menjadi orang yang tidak mengenal dan tidak dikenal.

 

Namun jika orang semacam ini lebih suka memutuskan hubungan dengan masyarakat, maka hendaklah ia tidak pernah mencampuri mereka dalam urusan apapun, baik dalam urusan agama, dunia, salat jamaah, salat Jum’at atau ibadah selain keduanya, karena adanya kebaikan yang terlihat dalam hal ini. Sebab ia hanya boleh meninggalkan jamaah dan lain-lain karena satu dari dua hal Yaitu adakalanya karena ia berada di suatu tempat yang di situ ia tidak berkewajiban melakukan hal-hal fardu (misalnya salat Jum’at dan berjamaah) seperti berada di puncak gunung, di dasar lembah dan lain sebagainya. Mungkin inilah salah satu alasan yang menarik para ahli ibadah ke tempat-tempat yang jauh dari masayarakat.

 

Adakalanya karena ia benar-benar merasa yakin bahwa bahaya yang ditemui bila bercampur dengan masyarakat saat melakukan hal-hal fardu ini lebih besar daripada meninggalkannya. Saat itulah ia memiliki alasan untuk meninggalkannya.

 

Aku benar-benar melihat di Mekkah ada seorang guru yang menyendiri. Ia tidak mendatangi Masjidil Haram untuk berjamaah meski tempat tinggal beliau berdekatan dan tidak dalam keadaan sakit.

 

Pada suatu hari aku memperbincangkan hal itu ketika sering mengunjungi beliau. Beliau mengemukakan alasan seperti yang kuterangkan di atas, yakni pahala yang beliau dapatkan tidak sesuai dengan dosa-dosa dan tuntutan saat pergi ke masjid dan bertemu dengan masyarakat.

 

Kesimpulannya adalah orang yang memiliki uzur tidak bisa dicela, sedangkan Allah Maha Tahu dengan uzur tersebut. Dan Dia adalah Dzat yang lebih mengetahui isi hati.

 

Namun jalan tengah dalam masalah ini adalah cara pertama, yaitu hendaknya ia bergabung dengan masyarakat dalam melakukan salat Jum’at, berjamaah, dan berbagai kebaikan serta memisahkan diri dari mereka dalam hal selain itu.

 

Jika ia lebih senang memilih jalan kedua, yakni memutuskan diri dari masyarakat secara total, maka cara yang harus ditempuh adalah pergi ke tempat yang di sana ia tidak dihadapkan pada fardu-fardu ini. Sebab jalan ketiga yakni bersatu dengan masyarakat di satu kota dan tidak menghadiri salat Jum’at dan berjamaah karena alasan dosa atau tuntutan-tuntutan untuknya, membutuhkan pemikiran mendalam dan pertimbangan yang matang sehingga kewajiban itu gugur baginya. Dalam hal ini kekhawatiran melakukan kesalahan masih ada. Jadi, dua hal yang pertama itu lebih menyelamatkan dan memelihara dirinya.

 

Hanya Allah yang menguasai petunjuk dengan anugerahNya.

 

Kedua orang yang menjadi panutan di bidang ilmu pengetahuan, masyarakat membutuhkannya untuk menerangkan masalah agama, menjelaskan kebenaran, menolak pembuat bid’ah, mengajak berbuat baik dengan menggunakan perbuatan ataupun ucapan dan sebagainya.

 

Orang semacam ini tidak dibenarkan mengasingkan diri dari masyarakat, bahkan ia harus menempatkan diri di tengah-tengah

 

mereka sebagai pemberi nasehat kepada makhluk Allah, pembela agama dan pemberi penerangan tentang hukum-hukum Allah.

 

Kami telah meriwayatkan dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda:

 

Artinya: “Ketika perbuatan-perbuatan bid’ah telah nampak dan orang yang alim berdiam diri, maka ia berhak menerima laknat dari Allah.”

 

Ini terjadi bila orang alim tersebut berada di tengah-tengah mereka. Dan bila ia keluar dari kalangan mereka, maka ia pun tidak dibenarkan mengasingkan diri.

 

Diceritakan bahwa Al-Ustadz Abu Bakr bin Faurak bermaksud menyendiri dan beribadah kepada Allah seraya menjauh dari masyarakat.

 

Suatu ketika beliau berada di salah satu gunung saat mendengar suara yang memanggil: “Hai Abu Bakr! Ketika kamu telah menjadi bagian dari hujjah (pemberi keterangan) Allah kepada makhluk-Nya, maka kamu meninggalkan hamba-hamba Allah.” Lalu beliau kembali (ke masyarakat). Dan karena itulah beliau bergaul dengan masyarakat.

 

Makmun bin Ahmad mengatakan kepadaku bahwa Al-Ustadz Abu Ishag berkata kepada orang-orang ahli ibadah di gunung Lebanon: “Wahai para pemakan rumput! Kenapa kalian meninggalkan umat Muhammad di tengah-tengah para pembuat bid ah, sementara di sini kalian sibuk makan rumput?” Mereka manjawab: “Kami tidak mampu menemani masyarakat. Karena Allah telah memberi Anda kekuatan, maka Andalah yang harus melakukan itu.”

 

Setelah kejadian itu, Beliau (Abu Ishag) menyusun salah satu kitabnya (yang berjudul) Al-Jaami’ lil Jaliy wal khafty (kitab yang mengumpulkan antara hal yang terang dan hal samar).

 

Orang-orang (di gunung Lebanon) ini di samping memiliki banyak ilmu juga memiliki banyak amal dan pandangan yang lembut dalam meniti jalan akhirat.

 

Ketahuilah bahwa orang yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam bidang agama seperti ini, untuk bergaul dengan mereka, ia membutuhkan dua hal yang amat sulit:

 

  1. Kesabaran yang amat lama, santun yang agung dan pandangan lembut serta selamanya memohon pertolongan kepada Allah.

 

  1. Dalam beribadah hendaknya ia menyendiri dari mereka, meskipun secara lahir berkumpul. Bila mereka mengajaknya berbincang-bincang, maka ia pun berbicara pada mereka. Jika meraka berkunjung, maka ia harus memuliakannya sesuai kedudukan dan kesyukuran mereka. Jika mereka diam dan berpaling darinya, ia harus mengambil keuntungan perbuatan itu dari mereka. Jika mereka berbuat benar dan baik, maka ia harus membantu. Jika mereka berbuat sesuatu yang tak berguna dan berbuat buruk, ia harus meninggalkan mereka, bahkan jika ada kemungkinan mereka menerima larangan dan pencegahan, ia harus mencegah dan melarang. Kemudian ia juga harus memenuhi hak-hak mereka seperti berkunjung, menengok orang sakit, dan memenuhi undangan yang di sampaikan padanya semampu mungkin, tidak meminta balasan yang setimpal dari mereka dan mengharapnya. Ia tidak menampakkan kekecewaan karena tidak mendapat imbalan. Ia menggelar pemberian untuk mereka dan menahan diri tidak menerima bila diberi. Ia harus menahan diri dari hal menyakitkan yang mereka lakukan, memperlihatkan kebahagiaan, memenuhi sendiri kebutuhanya dan mengusahakanya secara lahir batin.

 

Di samping semua itu ia juga perlu memperhatikan diri sendiri dan memberinya kesempatan beribadah secara khusus seperti yang dikatakan oleh Umar bin Al-Khaththabr.a.: “Jika aku tidur di malam hari tentu aku telah menyia-nyiakan diriku. Dan bila aku tidur di siang hari tentu aku menyia-nyiakan rakyat. Bagaimana aku harus tidur di antara keduanya?”

 

Berkenaan dengan artian yang semacam ini aku disodori beberapa bait syair sebagai berikut:

 

Jika kamu merasa senang berada di bawah petunjuk para imam, maka tempatkanlah dirimu di jalan yang mengantarmu pada berbagai kenyataan

dengan hati yang tenang saat menghadapi hal-hal yang tidak disenangi disertai hati yang penuh kesabaran sebagai pencegah di dalam dada.

Lidahmu harus terjaga, pandanganmu terkendali,

rahasiamu tersimpan hanya untuk Tuhan,

dzikirmu tersembunyi, pintumu terkunci,

bibirmu tersenyum, perutmu lapar,

hatimu terluka, (dagangan) pasarmu tidak laku,

keutamaanmu terpendam dan kekurangan (cacat)mu menyebar luas.

Setiap hari kamu mereguk kedukaan

dari waktu dan saudara sementara hati tetap taat.

Siang hari kamu habiskan untuk sibuk mengurusi masyarkat tanpa imbalan.

Di waktu malam kamu sangat merindukan Tuhan tanpa ada yang tahu.

Untukmu malam ini. Ambillah sebagai sarana menyelamatkan

diripada hari yang banyak orang bermuka masam dan sedikit yang mau menolong.

 

Memang benar. Secara lahir beliau berkumpul dengan masyarakat tapi hatinya tetapjauh dari mereka. Dan sumpah demi umurku. Hal itu adalah sesuatu yang teramat sulit dan kehidupan yang amat berat.

 

Dalam masalah ini guruku Abu Bakr Al-Warraq mengatakan dalam wasiat beliau: “Wahai anakku! Hiduplah kamu bersama orang yang hidup di zamanmu dan jangan mengikuti mereka.” Kemudian beliau berkata: “Betapa beratnya kehidupan ini. Berkumpul dengan orang-orang yang masih bernafas tapi mengikuti (perbuatan) orang-orang yang telah tiada (mati).”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. Beliau berkata: “Bergabunglah dengan masyarakat. Tinggalkan mereka dengan menghadapkan hati kepada Allah. Danjangan melukai agamamu.”

 

Semua ini merupakan faedah yang sangat memuaskan.

 

Selanjutnya bila fitnah sudah bergejolak, susul menyusul satu sama lain, urusan agama terhalang (tidak terurus), masyarakat berpaling dari agama dan tidak mempedulikan hak-hak orang mukmin. Mereka tidak mencari orang yang alim, tidak memandang orang yang memberi faedah, dan urusan agama sama sekali tidak memberi manfaat pada mereka. Anda juga melihat fitnah yang sudah merata dan merembet kepada orang-orang khusus. Maka saat itulah orang yang alim memiliki alasan untuk ber’uzlah, menyendiri dan mengubur ilmunya. Dan aku takut kalau apa yang beliau katakan adalah zaman yang sulit sekarang ini.

 

Hanya Allah tempat memohon pertolongan. Dan kepada-Nya kita berserah diri.

 

Inilah hukum ‘uzlah dan mengasingkan diri dari masyarakat. Pahamilah dengan benar, karena kesalahan dalam hal ini adalah suatu masalah besar dan bahayanya juga tidak sedikit.

 

Jika dikatakan: “Bukankah Nabi Saw. telah bersabda:

 

Artinya: “Hendaklah kalian senantiasa berjamaah karena pertolongan Allah diberikan kepada jamaah. Dan setan, bagi manusia bagaikan serigala. Ia akan memakan kambing yang memencilkan diri dari teman-temannya.”

 

Beliau juga bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya setan itu mendampingi orang yang menyendiri dan lebih menjauh dari dua orang (yang bersatu).”

 

Ketahuilah bahwa hadis semacam ini memang ada. Tapi ada juga hadis yang seperti di bawah ini:

 

Artinya: “Tetaplah tinggal di rumahmu, mengurus diri sendiri secara khusus dan tinggalkan urusan umum.”

 

Kemudian beliau memerintahkan ‘uzlah di zaman yang buruk. Dan tidak mungkin ada hadis Nabi yang bertentangan. Oleh karena itu, mau tidak mau kita harus menyatukan dua kebaikan dengan daya dan taufik-Nya.

 

Aku berpendapat bahwa sabda Nabi Saw.: “Tetaplah berjamaah” memiliki tiga kemungkinan:

 

  1. Yang dimaksud dengan kata “berkumpul” dalam hadis tersebut adalah “berkumpul dalam urusan agama dan hukum”, karena tidak mungkin umat ini disuruh bersatu (berkumpul) dalam kesesatan. Jadi, menyimpang dari kesepakatan ulama dan menghukumi sesuatu menggunakan cara yang berbeda dengan apa yang menjadi pegangan jumhur ulama adalah perbuatan bathil dan sesat.

Sedangkan bila ia mengasingkan diri dari mereka untuk kebaikan agamanya, maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa.

 

  1. Maksud hadis tersebut adalah: Tetaplah berjamaah dengan cara tidak memisahkan diri dari mereka pada waktu salat Jum’at dan berjamaah, karena di dalamnya terdapat kekuatan agama, kesempurnaan Islam, serta (memancing) kemarahan orang-orang kafir dan orang-orang yang menyimpang dari agama. Jamaah semacam ini tidak pernah lepas dari berkah dan perhatian Allah dengan rahmat-Nya. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa orang yang menyendiri adalah orang yang bergabung dengan masyarakat secara luas dalam hal kebaikan serta menjauhi mereka dalam pergaulan dan berdesak-desakan di bidang lain, karena di dalamnya terdapat bermacam kerusakan.

 

Hadis tersebut dilontarkan oleh beliau sebelum zaman fitnah kepada orang yang lemah di bidang agama. Adapun orang yang waspada dan berpegang kuat pada perintah Allah, saat melihat zaman fitnah seperti yang telah diperingatkan oleh beliau kepada seluruh umat dan memerintahkan mereka agar ber’uzlah pada masa itu tentu baginya yang terbaik adalah ‘uzlah. Sebab dari pergaulan akan muncul berbagai kerusakan dan bahaya. Dan alangkah baiknya bila ia tidak memutuskan diri dari perkumpulan Islam dan kebaikan-kebaikan secara umum. Dan bila ia ingin menyendiri dari masyarakat secara total, hendaklah ia menetap di puncak gunung atau di tengah gurun pasir demi kebaikan yang ja lihat dalam urusan agamanya.

 

Menurut pendapatku orang semacam ini di manapun berada tentu diberi kesempatan oleh Allah untuk mendatangi jamaahjamaah, salat-salat Jum’at dan pertemuan-pertemuan Islami yang lain.

 

Oleh karena itu, sebaiknya ia datang agar tidak kehilangan bagian dari semua itu, karena pertemuan-pertemuan tersebut memiliki tempat tersendiri di sisi Allah walaupun manusia kebanyakan telah berubah dan menjadi rusak.

 

Begitulah yang kudengar dari para Wali Abdal. Mereka selalu menghadiri pertemuan-pertemuan yang Islami di manapun pertemuan itu berada. Mereka berjalan dari satu tempat menurut kehendak mereka, karena bumi ini bagi mereka bagaikan satu telapak kaki (selangkah).

 

Dalam banyak hadis diterangkan bahwa bumi ini terlipat bagi mereka. Mereka saling memberi penghormatan. Mereka juga dikelilingi dengan bermacam kebaikan dan karamah (kemuliaan). Alangkah enaknya apa yang mereka dapatkan.

 

Semoga Allah memperbagus kesabaran orang lalai yang tiada melihat dirinya serta menolong orang yang mencari dan belum sampai ke tempat tujuan seperti kita ini.

 

Sungguh aku telah disodori beberapa bait syair yang menerangkan keadaanku sebagai berikut:

 

Orang-orang yang mencari telah berhasil mendapatkan apa yang mereka cari. Orang-orang yang ingin “wushul” (mencapai derajat di sisi Allah) sudah bisa wushul.

Dan para kekasih telah beruntung bisa bertemu dengan kekasihmya.

Tinggal aku sendiri yang bingung ke sana ke mari di antara batas “wushul” (sampai kepada Allah) dan “ijtinab” (menjauh dari-Nya).

Aku mengharap kedekatan dengan menjauhkan diri.

Ini adalah suatu hal yang menurut akal sehat tak mungkin terjadi.

Karena itu berilah seteguk minuman penghilang kegelisahan dari sisi-Mu ya Allah.

Tunjukkanlah keadaku jalan menuju kebanaran, wahai Pengobat segala yang sakit, wahai Dzat yang menyembuhkan luka dan Penyembuh penyakit penyakit kronis.

Aku tak tahu dengan apa kusembuhkan lukaku atau dengan apa kuraih keberuntungan di hari perhitungan.

Hendaknya sekarang kuhentikan keterangan ini dan kembali ke tujuan semula tentang ‘uzlah, karena saat ini aku telah benar benar keluar dari pokok bahasan kitab ini.

 

Jika ada yang mengatakan: “Bukankah Nabi Saw. telah bersabda:

 

Artinya: “Ketekunan ibadah umatku adalah duduk di masjid.” Bukankah di dalamnya ada larangan menyendiri?”

 

Ketahuilah bahwa hadis tersebut tidak dilontarkan di masa banyak fitnah seperti yang telah kami terangkan. Selain itu orang tersebut duduk di dalam masjid dan tidak mencampuri urusan mereka sehingga bila dilihat, dirinya bersama masyarakat tapi sebenarnya ia menyendiri dan jauh dari mereka.

 

Itulah makna yang terkandung di dalam ‘uzlah dan menyendiri yang telah kuterangkan, bukan menyendiri dengan tubuh dan tempat. Perhatikan hal ini. Semoga Allah memberimu rahmat.

 

Dalam hal ini Ibrahim bin Adham berkata: “Jadilah orang yang menyendiri di tengah masyarakat. Bersikaplah yang jinak pada Tuhanmu dan liarlah pada orang banyak (masyarakat).”

 

Jika ditanyakan: “Apa yang Anda katakan tentang tempattempat pendidikan para ulama akhirat, pondok-pondok para sufi yang mennempuh jalan akhirat dan bagaimana jika tinggal di dalamnya?”

 

Ketahuilah bahwa dalam hal ini, itulah cara paling mulia bagi ahli ilmu dan para mujtahid, karena dengan tinggal di dalamnya ja akan memperoleh dua faedah yang salah satunya adalah mengasingkan diri dari masyarakat, menyendiri dari pergaulan mereka, dan tidak ikut berebut di dalam urusan mereka.

 

Faedah kedua yaitu bisa bersama-sama dengan mereka dalam melakukan salat-salat Jum’at, salat berjamaah, dan memperbanyak syiar Islam. Dengan cara itu ia bisa memperoleh keselamatan yang didapat oleh orang-orang yang menyendiri. Dan juga memperoleh banyak kebaikan yang diberikan kepada masyarakat Islam pada umumnya, di samping keuntungan yang datang dari masyarakat seperti ketokohan (menjadi panutan), berkah dan nasehat. Dengan begitu tinggal di dalam pondok merupakan jalan tengah, keadaannya paling baik dan paling selamat.

 

Untuk mendapatkan yang seperti ini kebanyakan orang yang ‘arif tinggal di tengah masyarakat untuk memberikan kemanfaatan yang mereka miliki kepada hamba-hamba Allah di bidang agama, serta menekan tindakan yang menyakitkan mereka agar masyarakat melihat langsung budi pekerti dan tingkah laku mereka. Agar masyarakat bisa secara langsung mengikuti langkah mereka. Karena bahasa tindakan lebih mengena (fasih) ketimbang bahasa ucapan. Dengan begitu tempat-tempat tersebut bisa menjadi tempat penataan terbaik di bidang agama. Bisa menjadi tempat pengajian, beribadah dan tempat mencari pendapatpendapat yang kuat.

 

Jika dikatakan: “Apa yang harus dilakukan oleh seorang murid terhadap para mujtahid dan orang-orang yang berriyadhah? Berkawan dengan mereka ataukah menjauhi?”

 

Ketahuilah! Jika mereka masih menjalani cara hidup (mereka) yang mulia dan langkah mereka juga masih seperti yang mereka warisi dari para ulama pendahulu, maka mereka adalah saudara seiman yang paling agung, sahabat dan penolong untuk beribadah kepada Allah. Karena itu, Anda tidak boleh bersembunyi dan menyendiri dari mereka. Sebab seperti yang kudengar, mereka sama saja dengan ahli-ahli zuhud di gunung Lebanon dan lain sebagainya. Di antara mereka ada sekelompok orang yang saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran.

 

Akan tetapi bila mereka telah mengubah langkah dan meninggalkan cara-cara hidup mereka, tidak mengikuti langkah langkah yang diwarisi dari para pendahulu mereka yang salehsaleh, maka mujtahid dan orang yang berriyadhah seperti ini, hidup bersama mereka hukumnya sama saja dengan hidup bersama orang lain (masyarakat umum). Yakni tetap harus mengasingkan diri, bergabung dengan mercka dalam urusan kebaikan dan menjauhi mereka dalam urusan lain serta kerusakan yang mereka timbulkan. Maka ia pun ber’uzlah (mengasingkan diri) dari orangorang yang ber’uzlah dan menyendiri, jauh dari orang-orang yang menyendiri.

 

Jika Anda bertanya: “Bagaimana kalau orang yang bersungguh-sungguh dan berriyadhah ini memilih keluar dari lingkungan mereka, pergi ke tempat lain yang dirasanya bisa mendatangkan kebaikan dirinya dan untuk menjauhi kerusakan yang timbul dari pergaulan bersama mereka.”

 

Ketahuilah bahwa tempat-tempat belajar dan pondok-pondok (para sufi) ini bagaikan benteng kuat yang akan membuat para mujthid terpelihara dari perampok dan pencuri agama. Adapun di luar lingkungan pondok baginya seperti gurun tempat berkeliling pasukan-pasukan setan berkuda dan siap menyambar serta menawannya.

 

Lalu bagaimana jika ia keluar dari pondok dan memberi kesempatan kepada musuh yang datang dari segala arah dengan

 

bebas? Dalam keadaan seperi itu tak ada jalan lain bagi orang yang lemah seperti ini selain tetap tinggal di dalam benteng.

 

Sedangkan orang yang kuat dan waspada, yang tidak dapat dikalahkan oleh musuh dan merasakan kesamaan antara tinggal di dalam benteng dan di gurun, maka seandainya ia keluar tentu tidak perlu dikhawatirkan. Hanya saja bila tetap tinggal di dalam benteng, maka ia pun harus lebih berhati-hati dalam segala keadaan, sebab di luar benteng ia tidak akan merasa aman dari gangguan yang datang dengan tiba-tiba dan berkesempatan tinggal bersama kawan-kawan buruk.

 

Bila keadaaannya seperti ini, maka tinggal bersama orangorang pilihan Allah dan sabar menjalani payahnya pergaulan tentu lebih utama bagi orang yang berriyadhah dan berusaha mencari kebaikan walau dalam keadaan apapun.

 

Sedangkan orang telah kuat dan mencapai derajat istiqamah tidak memiliki alasan yang bisa mencegahnya untuk menyendiri dari mereka.

 

Pahami keterangan ini dan renungkanlah! Niscaya Anda beruntung dan memperoleh keselamatan.

 

Jika ada pertanyaan: “Bagaimana pendapat Anda tentang berkunjung pada saudara-saudara seiman dan bertemu dengan para sahabat untuk saling mengingatkan?”

 

Ketahuilah bahwa sesungguhnya berkunjung pada saudarasaudara seiman termasuk mutiara ibadah kepada Allah Swt. Di dalamnya terdapat pendekatan yang mulia kepada Allah dan bermacam faedah di samping kebaikan hati, tapi dengan dua Syarat:

 

  1. Kunjungan itu tidak terlalu sering dilakukan. Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Bekunjunglah dengan selang waktu, niscaya kecintaaan kepadamu akan bertambah.”

 

  1. Memelihara hak-hak berkunjung dengan cara menjauhi riya, mempermanis ucapan, kata-kata yang tak berguna, menggunjing dan sebagainya yang akan menjerumuskan Anda dan sanak famili ke dalam kerusakan.

 

Dikisahkan bahwa Fudhail bin Iyadh dan Sufyan saling mengingatkan. Setelah itu keduanya menangis. Lalu Sufyar berkata: “Wahai Abu “Ali! Aku berharap kita tidak berkumpul dalam suatu majlis yang lebih kuharapkan kebaikannya dari majlis ini.” Lalu Fudhail menjawab: “Aku belum pernah duduk dalam suatu majlis yang lebih kutakutkan daripada majlis ini.” Sufya” bertanya: “Kenapa bisa begitu wahai Abu ‘ Ali?” Fudhail menjawab: “Bukankah Anda telah merancang perkataan yang terbaik dan membicarakannya kepadaku? Aku juga merancang pembicaraan yang terbaik dan mengutarakannya pada Anda Anda mempermanis mulut padaku dan aku pun mempermanis mulut untuk Anda.” Kemudian Sufyan-pun menangis.

 

Hendaklah pertemuan Anda dengan saudara-saudara seagama tersebut secukupnya Saja, dilakukan dengan hati-hati dan pemikiran yang mendalam sehingga hal itu tidak merusak ‘uzlah dan pengucilan diri Anda dari masyarakat. Dan Anda tidak kembali dengan membawa bahaya serta kerusakan, tapi membawa banyak kebaikan dan manfaat yang besar.

 

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Jika Anda bertanya: “Apa yang bisa membangkitkan diriku untuk ber’uzlah dan dengan mudah bisa melaksanakannya?”

 

Ketahuilah bahwa yang mempermudah Anda untuk melaksanakannya ada tiga hal:

 

Pertama, menghabiskan seluruh waktu yang Anda miliki untuk beribadah. Karena di dalam ibadah tersebut terdapat suatu kesibukan, sementara beramah tamah dengan masyarakat termasuk tanda-tanda kebangkrutan.

 

Bila diri Anda terlihat ingin bertemu dengan masyarakat dan berbicara dengan mereka tanpa suatu kebutuhan dan tidak ada sesuatu yang mamaksa, maka ketahuilah bahwa itu termasuk fudhuul (sesuatu yang tidak bermanfaat) yang muncul karena terdorong oleh waktu yang kosong dan terlalu kagum saat mendapat kenikmatan.

 

Betapa indahnya syair tentang artian semacam ini:

 

Waktu kosong menuntunku pada keselamatan-Mu

Kadang-kadang orang yang menganggur berbuat sesuuatu yang tak berguna.

 

Bila Anda telah menjalani ibadah sebagaimana mestinya niscaya Anda merasakan manisnya bermunajat, merasa tenteram dengan kitab Allah, melupakan masyarakat dan tidak merasa nyaman berkawan serta berbicara dengan mereka.

 

Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa pada saat Nabi Musa a.s. kembali dari bermunajat (kepada Allah), beliau menjadi gelisah dan tidak merasa nyaman bila harus berkumpul dengan masyarakat. Beliau memasukkan duajari tangan ke dalam telinga supaya tidak mendengar perkataan mereka. Di saat itu suara mereka bagi beliau sama persis dengan suara khimar di tengah kesunyian.

 

Oleh karena itu, hendaklah Anda selalu menjalani apa yang diperintahkan oleh guru kami Abu Bakr Al-Warraq rahimahulah:

 

Relakan Tuhanmu sebagai teman

dan tinggalkan masyarakat sejauh mungkin.

Cintai Allah dengan penuh kesungguhan,

baik di tengah masyarakat ataupun jauh dari mereka.

Perlakukan mereka sesuai kehendakmu,

maka pastilah kamu menemukan mereka bagaikan kalajengking.”

 

Kedua, memupus harapan dari mereka. Dengan begitu urusan mereka menjadi sepele bagi Anda. Sebab orang yang Anda tidak mengharapkan sesuatu (kemanfaatan) darinya serta tidak khawatir membahayakan, maka ada dan tidaknya bagi Anda sama saja.

 

Ketiga, melihat bahaya-bahaya mereka, mengingatnya, dan mengulang-ulang hal itu dalam hati.

 

Bila tiga komponen ini Anda jalankan, maka dengan sendirinya Anda akan terdorong untuk meninggalkan pergaulan bersama masyarakat menuju pintu Allah, menyendiri untuk beribadah kepada-Nya, membuat-Nya mencintai Anda dan menempatkan Anda di pintu-Nya.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dan pemeliharaan.

 

  1. Rintangan Ketiga: Setan

 

Kemudian hendaklah Anda memerangi setan dan mengalahkannya karena dua hal:

 

Pertama, ia adalah musuh yang menyesatkan dengan nyata. Tidak ada sedikitpun harapan kebaikan darinya. Dia takkan pernah membiarkan Anda dan bahkan sama sekali tidak merasa puas kecuali setelah melihat kerusakan pada diri Anda. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk merasa aman dari musuh yang sifatnya seperti ini dan juga tidak boleh lengah. Renungkan dua ayat dari kitab Allah yang salah satunya adalah sebagai berikut:

 

Artinya: “Apakah Aku tidak menjanji (memerintahkan) kalian (hai anak Adam) agar tidak menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kamu sekalian.” (Q.S. Yaa Siin: 60)

 

Yang kedua adalah ayat:

 

Artinya: “Sesungguhya setan itu adalah musuh bagi kalian, karena itu anggaplah dia sebagai musuh.” (Q.S. Faathir: 6)

 

Dua ayat ini adalah peringatan keras bagi kita semua.

 

Kedua, ia diberi watak untuk selalu memusuhi Anda. Ia juga telah mempersiapkan diri untuk memerangi Anda selamalamanya. Siang malam ia lemparkan panah ke arah Anda di saat lengah. Lalu apa yang terjadi?

 

Di sisi lain ada hal penting yang terjadi, yaitu Anda menjalankan ibadah kepada Allah dan mengajak masyarakat menuju pintu-Nya dengan perbuatan dan ucapan Anda Sedangkan hal semacam ini bertentangan dengan pekerjaan, cita. cita, keinginan, dan perbuatan setan. Sekali-kali Anda bersiaga dan menyingsingkan lengan baju untuk memancing kemarahan setan, melawan dan berusaha mengalahkannya. Pasti ia pun akan bersiap-siap, menyingsingkan lengan bajunya untuk memusuhi, memerangi dan berupaya dengan berbagai cara sampai berhasil merusak ibadah Anda, atau bahkan menghancurkan Anda secara total. Sebab ia tidak akan merasa aman dari Anda setelah melihat apa yang kusebutkan di atas, karena ia adalah makhluk yang membinasakan dan bertujuan merusak orang yang tidak membuatnya marah atau melawan, tapi malah membenarkan dan menyetujuinya seperti orang-orang kafir, orang-orang sesat dan orang-orang yang suatu saat mencintai setan.

 

Lalu apa tujuan yang hendak dicapainya dari orang-orang yang membuatnya marah dan memusatkan kekuatan untuknya?

 

Saat itulah ia akan memusuhi masyarakat secara umum dan memusuhi Anda secara khusus.

 

Sesungguhya urusan Anda teramat penting. Ia memiliki beberapa pembantu. Pembantu yanb paling berat untuk dihadapi adalah nafsu dan kesenangan diri Anda. Ia juga memiliki sejumlah penyebab dan beberapa pintu masuk di saat Anda lengah.

 

Benar sekali apa yang dikatakan Yahya bin Mu’adz: “Setan itu makhluk yang memiliki waktu luang, sedangkan Anda orang yang sibuk. Setan melihat Anda, sedangkan Anda tidak melihatnya. Ia juga tidak akan melupakan Anda, sementara Anda melupakannya. Dan di dalam diri Anda terdapat pembantu-pembantu setan yang akan merugikan.

 

Jika seperti itu yang terjadi, maka mau tidak mau Anda harus memerangi dan mengalahkannya. Jika tidak, Anda tidak akan bisa terbebas dari kerusakan dan kehancuran. Jika Anda berkata: “Dengan apa aku bisa memerangi setan? Dengan apa aku bisa mengalahkan dan menolaknya?”

 

Ketahuilah bahwa para ahli melakukan pekerjaan seperti ini dengan dua cara:

 

  1. Cara yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka: “Cara terbaik untuk menolak setan tak lain adalah memohon perlindungan kepada Allah. Karena sesungguhnya setan adalah anjing yang diberi kewenangan mencelakakan Anda. Jika Anda sibuk memeranginya tentu akan merasa kesulitan, waktu Anda terbuang, lalu ia pun mendapatkan kemenangan dan bisa melukai Anda. Karena itu, kembali kepada pemilik anjing untuk memalingkannya dari Anda adalah langkah terbaik.

 

  1. Cara yang dikatakan oleh ulama lain bahwa cara yang benar adalah berjuang, senantiasa menolak dan tidak mengikutinya.

 

Menurutku (Al-Ghazali) cara yang benar dan lebih mencakup urusan tersebut adalah menyatukan dua cara. Mula-mula kita memohon perlindungan kepada Allah dari keburukannya seperti yang telah diperintahkan (kepada kita). Dia-lah Dzat yang memelihara dari kejahatan setan.

 

Jika kita melihatnya selalu menang, kita pun tahu bahwa itu adalah cobaan dari Allah agar Dia bisa melihat kesungguhan perjuangan kita, seberapa kekuatan kita dalam menjalankan perintah-Nya dan sampai di mana kesabaran kita. Seperti halnya ketika Dia menguasakan orang-orang kafir atas kita, sementara Dia mampu menyelesaikan urusan mereka. Juga keburukan yang mereka lakukan agar kita semua mendapat bagian berupa (pahala) perjuangan, kesabaran, kebersihan diri (dari dosa) dan mati syahid. seperti firman Allah Swt.:

 

Artinya: “Agar Allah mengetahui orang-orang yang (benar-benar) beriman dan menjadikan orang-orang yang mati syahid di antara kamu sekalian.” (Q.S. Ali Imran: 140)

 

Allah juga berfirman:

 

Artinya: “Apakah kamu sekalian mengira akan memasuki surga, sementara belum jelas orang-orang yang berjuang di antara kalian dan juga orang-orang yang bersabar (menghadapi ujian)?” (Q.S. Ali Imran: 142)

 

Demikian juga dengan apa yang sedang kita bicarakan sekarang ini.

 

Kemudian untuk bisa memerangi dan mengalahkannya, menurut para ulama ada tiga cara:

 

Pertama, mengenali tipu dayanya, dengan begitu ia tidak akan berani mengganggu Anda. Seperti halnya seorang pencuri. Bila ja tahu bahwa pemilik rumah menyadari kedatangannnya tentu akan lari.

 

Kedua, menganggap remeh ajakannya, maka hati Anda tidak akan bergantung padanya. Dan jangan mengikutinya. Karena ia bagaikan anjing menggonggong. Bila Anda menanggapinya maka ja akan merasa senang dan terus menggonggong. Tapi bila Anda berpaling tentu ia akan diam.

 

Ketiga, senantiasa berdzikir kepada Allah dengan lisan dar hati Anda.

 

Nabi Saw, bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya berdzikir kepada Allah itu bagi setan bagaikan penyakit menular bagi tubuh manusia.”

 

Jika Anda bertanya: “Bagaimana aku bisa mempelajari tipu dayanya, dan jalan mana yang harus ditempuh untuk mengetahui hal itu?”

 

Ketahuilah bahwa (yang pertama) ia mempunyai rasa waswas. Perasaan was-was itu bagaikan anak panah yang ia luncurkan. Hal itu akan tampak jelas dengan mengetahui gerakgerak hati dan berbagai macamnya.

 

Kedua, setan itu memiliki tipu muslihat. Tipu muslihat ini bagaikan jaring yang dipasangnya untuk menjerat. Hal itu akan tampak jelas dengan mengetahui tipuan-tipuan, sifat-sifat dan jalan-jalannya.

 

Para ulama telah banyak yang menerangkan berbagai hal tentang gerak hati (khathir). Dan kami telah menyusun sebuah kitab yang kami beri nama “Talbiisu Ibliis.” Kitab (Minhajul ‘Aabidiin) ini tidak banyak memuat tentang itu. Akan tetapi kami akan menerangkan masing-masing satu pokok yang sekiranya bisa mencukupi kalau Anda berpegang teguh padanya.

 

Mengenai Inti Khathir (Gerak Hati)

 

Ketahuilah bahwa Allah memberi kuasa kepada malaikat yang mengajak berbuat baik bagi hati seorang manusia yang bernama Mulhim. Ajakan malikat ini dinamakan ilham. Dan sebagai bandingannya Dia memberi kuasa kepada setan yang akan mengajak seorang hamba berbuat buruk bernama was-was. Ajakan setan ini dinamakan was-wasah. Karena itu, menurut pendapat kebanyakan ulama, malaikat Mulhim tidak akan mengajak seorang hamba selain pada kebaikan. Dan Was-was tidak akan mengajaknya selain pada keburukan.

 

Telah diceritakan dari guru kami rahimahullah bahwa sesungguhnya setan itu kadangkala mengajak berbuat baik, tapi yang menjadi tujuannya tetap buruk. Seperti halnya ketika ia mengajak melakukan suatu hal yang utama agar hamba tersebut tidak melakukan hal yang lebih utama. Atau mengajaknya berbuat baik agar hamba tersebut terseret ke perbuatan dosa, sekira keburukannya tidak sebanding dengan kebaikan yang ia kerjakan, seperb ujub dan sebagainya. Dua makhluk ini senantiasa mengajak dian bersemayam di dalam hati seorang hamba. Hamba tersebut akan mendengar dengan hatinya. Juga merasakan ajakan tersebut, Seperti telah diceritakan di dalam hadis-hadis pilihan bahwa beliau (Nabi saw.) bersbda:

 

Artinya: “Apabila seorang anak Adam dikaruniai seorang anak, maka Allah akan menyertakan bagi anak itu satu malaikat. Dan setan Juga menyertakan baginya satu setan. Setan akan bertengger di atas telinganya sebelah kiri. Sedangkan malaikat bertengger di atas telinganya sebelah kanan. Dan keduanya selalu mengajak anak tersebut (mempengaruhinya).”

 

Nabi juga bersabda:

 

Artinya: “Setan itu memiliki satu tempat pada diri anak Adam. Dan malaikat juga memiliki satu tempat.”

 

Artinya memiliki tempat untuk mengajak, berdasarkan ucapan para ulama: “Mengumpulkan di suatu tempat dan membuatkan sesuatu saat tinggal di sana.”

 

Kemudian di dalam diri seorang manusia, Allah menciptakan watak yang cenderung pada keinginan syahwat dan mencari kelezatan, bagaimanapun keadaannya, entah itu baik atau buruk.

 

Hal itu dinamakan keinginan nafsu yang menarik seseorang menuju pada kerusakan. Jadi, di dalam diri seseorang ada tiga hal yang selalu mengajak (mempengaruhinya). ketahuilah bahwa setelah pendahuluan ini masih ada yang perlu diketahui, bahwa yang dinamakan khathir (gerak hati) adalah pengaruh yang muncul dalam hati seorang hamba. Pengaruh tersebut akan membangkitkannya untuk melakukan sesuatu, meninggalkannya, atau menarik hatinya kepada perbuatan tersebut. Pengaruh itu dinamakan khathir (gerak hati), karena goncangan di dalam hati yang berasal dari perjalanan angin dan semisalnya.

 

Pada hakekatnya kemunculan semua itu di dalam hati seorang hamba berasal dari Allah Swt. Akan tetapi kemunculanya terbagi menjadi empat:

 

  1. Gerak hati yang pertama kali dimunculkan di dalam hati seorang hamba oleh Allah. Gerak hati semacam ini dinamakan “khathir”.
  2. Gerak hati yang dimunculkan sesuai dengan watak manusia. Gerak hati semacam ini dinamakan “hawa nafsu” dan dinisbatkan kepadanya (nafsu).
  3. Gerak hati yang dimunculkan seiring dengan ajakan malaikat Mulhim. Lalu gerak hati tersebut dinisbatkan kepadanya (Mulhim) dan dinamakan “ilham”.
  4. Gerak hati yang dimunculkan seiring dengan ajakan setan. Lalu dinisbatkan kepadanya (setan) dan dinamakan “was-wasah”. Was-wasah ini disandarkan (dinisbatkan) kepada setan, karena gerak hati itu memang berasal dari setan. Akan tetapi pada hakekatnya pengaruh itu muncul pada saat setan mengeluarkan ajakannya. Karena dalam hal ini setan bagaikan penyebab, tapi juga dijadikan sandaran (penisbatan).

 

Inilah empat macam gerak hati. Kemudian setelah pembagian-pembagian ini, ketahuilah bahwa gerak hati yang pertama kali berasal dari Allah kadang mengajak kepada kebaikan sebagai sebuah kemuliaan dan penetapan hujjah. Kadang juga mengajak berbuat buruk sebagai ujian dan pemberatan suatu ujian.

 

Gerak hati yang berasal dari malaikat Mulhim senantiasa mengajak berbuat baik, karena ia adalah pemberi nasehat dan pemberi petunjuk. Ia tidak diutus melainkan hanya untuk itu.

 

Gerak hati yang berasal dari setan senantiasa mengajak berbuat buruk untuk menyesatkan atau agar seseorang tergelincir. Kadang ia mengajak berbuat baik tapi hanya sebagai tipuan.

 

Gerak hati yang berasal dari hawa nafsu mengajak pada keburukan dan sesuatu yang tidak mengandung kebaikan sebagai pencegahan dan agar manusia tidak berpikir panjang.

 

Aku pernah menemukan sebuah pendapat dari seorang salaf bahwa hawa nafsu terkadang juga mengajak berbuat baik, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah agar ia berbuat syirik (bersekutu) pada setan.

 

Inilah macam-macam khathir (gerak hati).

 

Setelah mengetahui semua ini, ketahuilah bahwa sesungguhnya Anda sangat perlu mengetahui tiga pasal yang menjadi keharusan dan di dalamnya terdapat apa yang menjadi tujuan Anda.

 

  1. Perbedaan antara khathir baik dan buruk secara global.
  2. Perbedaan antara khathir buruk yang muncul di permulaan, dinisbatkan pada setan atau yang dinisbatkan pada nafsu dan juga dengan apa membedakan ketiganya, karena masingmasing saling bertolak belakang.
  3. Perbedaan antara khathir baik yang muncul di permulaan, yang dinisbatkan pada ilham, dinisbatkan pada setan, atau dinisbatkan pada nafsu agar Anda dapat mengikuti khathir yang berasal dari Allah atau malaikat Mulhim dan menjauhi khathir yang berasal dari setan.

 

Begitu juga khathir yang berasal dari hawa nafsu, menurut pemdapat orang yang mengatakannya.

 

Pasal pertama: Para ulama berkata: “Jika Anda ingin mengetahui khathir baik dan khathir buruk, serta membedakan antara keduanya, maka timbanglah hal itu dengan salah satu dari pertimbangan berikut, tentu keadaannya akan menjadi jelas bagi Anda.

 

  1. Apa yang tergerak di hati Anda hendaknya disodorkan pada aturan syarak. Jika keinginan tersebut menyamai jenisnya berarti keinginan tersebut baik. Dan jika yang terjadi itu kebalikannya karena adanya keringanan (rukhshah) atau syubhat berarti khathir tersebut buruk.
  2. Jika hal ini masih belum jelas bagi Anda dengan pertimbangan semacam ini, maka hendaknya gerak hati tersebut disodorkan pada panutan. Jika dalam mengerjakannya menganut orangorang saleh berarti itu adalah khathir baik. Tapijika yang terjadi adalah sebaliknya, dan hanya karena mengikuti orang-orang saleh berarti itu khathir buruk.
  3. Jika masalah ini belumjelas bagi Anda dengan ukuran semacam ini, maka sodorkanlah gerak hati tersebut pada hawa nafsu. Kemudian lihatlah! Kalau gerak hati tersebut termasuk hal yang ditinggalkan oleh nafsu menurut wataknya, bukan karena takut kepada Allah, maka khathir itu merupakan khathir baik. Jika hal itu termasuk sesuatu yang nafsu cenderung kepadanya, dan kecenderungan tersebut sesuai dengan wataknya, bukan karena kecenderungan berharap kepada Allah, maka khathir tersebut adalah khathir buruk, karena nafsu selalu mengajak berbuat buruk. Pada dasarnya ia tidak akan cenderung berbuat baik.

 

Dengan melihat berbagai macam ukuran seperti ini serta benar-benar merenungkannya, maka akan tampak jelas bagi Anda perbedaan antara khathir baik dan buruk.

 

Hanya Allah yang menguasai petunjuk dengan anugerahNya. sesungguhnya dia Maha murah lagi Maha Mulia.

 

Pasal kedua: Para ulama berkata: “Jika Anda ingin membedakan antara khathir buruk yang berasal dari setan, khathir buruk yang berasal dari hawa nafsu, atau khathir buruk yang berasal dari Allah pada permulaannya, maka lihatlah khathir tersebut dari tiga sisi:

 

  1. Bila Anda melihatnya kokoh dan menetap pada satu keadaan berarti khathir tersebut berasal dari Allah atau dari hawa nafsu. Jika Anda menemukannya berputar-putar dan berubah, maka ketahuilah bahwa khathir tersebut berasal dari setan.

Seorang ulama saleh mengatakan bahwa perumpamaan hawa nafsu adalah harimau. Kalau sudah menyerang ia tak akan berpaling kecuali karena adanya perlawanan yang teramat sangat. Atau seperti pemberontak yang berperang untuk membela agamanya. Ia tak akan pulang sebelum terbunuh. Perumpamaan setan adalah serigala. Jika Anda mengusirnya dari satu sisi, maka ia akan masuk dari sisi lain.

 

  1. Bila khathir tersebut muncul seiring dengan perbuatan dosa yang baru saja Anda kerjakan berarti khathir tersebut berasal dari Allah sebagai penghinaan dan siksaan disebabkan oleh buruknya dosa tersebut. Allah berfirman:

 

Artinya: “Sekali-kali tidaklah begitu. Bahkan hati mereka telah berkarat karena apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. AlMuthaffifiin: 74)

Guruku rahimahullah berkata: “Demikianlah. Suatu dosa akan mengantar seseorang pada kerasnya hati. Mula-mula hanya berupa khathir (gerak hati) dan akhirnya sampai pada kerasnya hati.”

Bila gerak hati ini muncul terlebih dahulu, tidak beriringan dengan dosa yang Anda kerjakan, maka ketahuilah bahwa khathir tersebut berasal dari setan. Hal ini terjadi pada kebanyakan orang, karena mula-mula ia hanya mengajak berbuat buruk.

 

  1. Bila khathir tersebut tiada melemah dan tidak berkurang dengan berdzikir kepada Allah serta tidak hilang, itu berarti khathir tersebut berasal dari hawa nafsu.

Bila Anda menemukan khathir tersebut Anda temukan melemah dan berkurang karena dzikir kepada Allah, berarti khathir tersebut berasal dari setan, seperti yang disebutkan di dalam tafsir firman Allah yang berbunyi:

 

Artinya: “(Aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan setan yang suka mengganggu dan lagi suka mundur.”

 

Sesungguhnya setan itu bertengger dalam hati anak Adam. saat anak Adam mengingat Allah ia akan mundur. Dan saat anak Adam tersebut lalai ia akan kembali mengganggu.

 

Pasal ketiga: Jika Anda ingin membedakan antara khathir baik yang berasal dari Allah dan yang berasal dari malaikat, maka lihatlah khathir tersebut dari tiga sisi.

 

  1. Bila khathir tersebut tertanam dengan kuat dan kokoh, berarti khathir tersebut berasal dari Allah. Sedangkan bila khathir tersebut hanya mondar-mandir berarti khathir tersebut berasal dari malaikat Mulhim. Sebab kedudukan malaikat Mulhim ini seperti seorang pemberi nasehat yang bisa masuk dari segala arah dan memberikan nasehat dengan harapan Anda mau melakukan dan suka berbuat kebaikan.

 

  1. Apabila khathir tersebut muncul seiring dengan ijtihad dan ketaatan yang Anda kerjakan, berarti khathir itu berasal dari Allah Swt.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang berjuang karena mencari keridaan kami, tentu Kami menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabuut: 69)

Firman-Nya pula:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambahkan petunjuk baginya.” (Q.S. Muhammad: 17)

 

Bila khathir tersebut muncul pertama kali (sebelum ijtihad dan berbuat taat), maka biasanya khathir tersebut berasal dari malaikat.

 

  1. Bila khathir itu menyangkut ibadah-ibadah pokok dan amalamal batin, berarti khathir tersebut berasal dari Allah. Dan bila khathir menyangkut cabang-cabang ibadah dan amal zhahir, maka kebanyakan khathir tersebut berasal dari malaikat Mulhim, karena seorang malaikat tidak memiliki cara untuk mengetahui batin seorang hamba.

 

Sedangkan khathir yang berasal dari setan, maka halitu hanya untuk menarik seseorang agar berbuat buruk dan semakin meningkat keburukannya.

 

Guru kami berkata: “Ketahuilah! Bila saat melakukan keinginan tersebut nafsu Anda terlihat giat tanpa merasa takut, tergesa-gesa, tidak berhati-hati, merasa aman, tidak merasa khawatir, tidak melihat akibat yang ditimbulkan, dan tidak waspada, maka ketahuilah bahwa khathir tersebut berasal dari setan. Karena itu, jauhilah.

 

Bila nafsu Anda nampak sebaliknya, yaitu melakukannya dengan rasa takut, tidak menggebu, berhati-hati, tidak tergesagesa, merasa takut, tidak merasa aman dan nampak waspada dengan melihat akibat yang ditimbulkannya, maka ketahuilah bahwa khathir tersebut berasal dari Allah atau dari malaikat Mulhim.

 

Menurutku, giat/ menggebu di sini adalah perasaan ringan pada diri seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tanpa kewaspadaan dan tanpa mengingat pahala yang membuatnya giat melakukan hal tersebut.

 

Sedangkan perlahan-lahan adalah langkah terpuji, kecuali di beberapa tempat tertentu yang bisa dihitung.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. disebutkan bahwa beliau bersabda:

 

Artinya: “Tergesa-gesa itu berasal dari setan kecuali dalam lima hal: Pertama, menikahkan anak perawan bila sudah mencapai umurnya. Kedua, membayar utang setelah jatuh tempo. Ketiga, mengurus jenazah setelah benar-benar mati. Keempat, menjamu ‘ tamu yang bertandang. Kelima, tobat setelah ia melakukan sebuah dosa.”

 

Adapun khauf (takut) bisa dalam kesempurnaan amal, pengerjaan yang sesuai dengan yang diinginkan (sebagaimana mestinya) dan penerimaan Allah terhadap amal tersebut.

 

Waspada terhadap akibat yang akan terjadi bisa dilakukan dengan cara mawas diri dan merasa yakin bahwa amal tersebut benar dan baik. Bisa gaja hal itu dilakukan karena melihat pahala di kemudian hari dan karena mengharapkannya.

 

Ketahuilah keterangan tersebut niscaya kamu akan mendapatkan taufik.

 

Itulah ketiga pasal yang harus Anda ketahui di dalam masalah khathir (gerak hati). Pelihara dan perhatikan sebaik mungkin sesuai kemampuan Anda, karena hal itu termasuk pengetahuan yang teramat halus dan dalam bab ini termasuk rahasia yang teramat mulia.

 

Hanya Allah yang memberikan taufik dengan anugerah-Nya.

 

Adapun pasal yang menerangkan tentang tipu daya dan bujukan setan, maka tempat berlaku dan contohnya adalah sebagai berikut:

 

Tipu daya setan terhadap keturunan Adam dalam hal ketaatan itu melalui tujuh cara:

 

  1. Menghalanginya dari melakukan ketaatan tersebut. Jika Allah memelihara, hamba tersebut menolak ajakannya dengan berkata: “Sungguh aku sangat membutuhkan ketaatan tersebut, karena mau tidak mau aku harus mencari bekal dari dunia yang fana ini untuk kehidupan akhirat yang tiada pernah berakhir.”

 

  1. Setan akan menyuruhnya agar menunda amal tersebut. Jika Allah memelihara, hamba tersebut menolak ajakan setan seperti dengan mengatakan: “Aku tidak menguasai batas akhir hidupku. jika aku menunda pekerjaanku hari ini dan kukerjakan esok pagi, lalu kapan aku mengerjakan pekerjaanku esok hari? Sebab setiap hari ada pekerjaan yang mesti diselesaikan.”

 

  1. Lalu setan pun akan melakukan dengan cara lain. Ia membujuk hamba tersebut agar tergesa-gesa dengan mengatakan: “Cepatlah! Cepat kerjakan agar segera selesai dan kamu bisa melakukan ini dan itu.” Jika Allah memelihara hamba tersebut, hamba itu pun menolaknya dengan berkata: “Sedikit pekerjaan yang dilakukan dengan sempurna lebih baik ketimbang pekerjaan yang banyak tapi penuh kekurangan.”

 

  1. Kemudian setan akan menggunakan cara lain. Ia akan membujuk hamba tersebut agar mau menyempurnakan amalnya dengan menampakkan amal itu di hadapan orang banyak. Jika Allah memelihara hamba tersebut, hamba itu pun menolak ajakannya dengan berkata: “Untuk apa aku menampakkan pekerjaanku di hadapan banyak orang? Tidakkah pandangan Allah telah cukup bagiku?”

 

  1. Cara lain lagi yang digunakan setan, ia menghendaki agar hamba tersebut tergelincir ke dalam sikap ujub. Ia mengatakan: “Betapa agungnya, betapa waspadanya, dan betapa mulianya Anda.” Jika Allah memelihara hamba tersebut, hamba itu akan menjawabnya dengan berkata: “Yang membuatku bisa begini adalah kebaikan Allah, bukan aku. Dia-lah yang memberiku keistimewaan dengan taufik-Nya. Dia juga yang menjadikan amalku berharga mahal dengan anugerah-Nya.” Jika bukan karena anugerah-Nya, bagaimana mungkin amalku ini bisa berharga bila melihat kenikmatan yang diberikan-Nya padaku, dan juga kemaksiatan yang kulakukan pada-Nya.”

 

  1. Maka setan punakan menggunakan cara yang lain lagi. Ia akan mendatanginya dengan cara keenam. Inilah tipuan yang paling licik dan tidak diketahui oleh orang-orang yang benar-benar waspada, yakni setan akan mengatakan: ” Bersunnguh-sunguhlah di saat tidak ada orang yang melihat, karena Allah akan menampakkanmu.” Ia pun akan mencampuri semua amal yang dikerjakan hamba tersebut. Dengan begitu, ia ingin agar hamba tersebut sedikit berbuat riya. Jika Allah memelihara hamba tersebut, hamba itu juga menjawabnya dengan berkata: “Hai makhluk terkutuk! Sampai saat ini kamu selalu mendatangiku dengan bujukan untuk merusak amalku. Tapi sekarang kau datang dengan bujukan untuk memperbaiki amalku dengan tujuan ingin merusaknya. Sesungguhya aku adalah hamba Allah. Dia-lah Majikanku. Bila menghendaki maka Dia akan menampakkan diriku. Dan bila menghenaki maka Dia akan merahasiakan (menutupi)ku. bila menghendaki maka Dia akan menjadikan aku sebagai orang yang berkedudukan tinggi. Dan bila menghendaki maka Dia akan menjadikan aku sebagai orang yang hina. Semua itu hanya kembali kepada-Nya. Aku tak peduli, mau ditampakkan di hadapan orang banyak atau tidak. Dan mereka tak akan bisa berbuat banyak.”

 

  1. Kemudian setan akan mencari cara lain. Ia akan mendatangi hamba tersebut dengan cara ketujuh. Ia mengatakan: “Sebenarnya kamu tidak memerlukan amal semacam ini. Sebab kalau memang kamu tercipta untuk menjadi orang beruntung, maka kamu tidak akan celaka hanya karena meninggalkan amal semacam ini. Dan kalau kamu memang tercipta untuk menjadi orang celaka, maka tiada gunanya kamu melakukan amal tersebut.” Jika Allah memelihara hamba tersebut, maka hamba itu akan menjawab ucapan setan dengan ucapan: “ Aku hanya seorang hamba. Dan dalam pengabdiannya, seorang hamba harus mengikuti perintah. Sedangkan Tuhan lebih tahu dengan sifat ketuhanan-Nya. Dia memutuskan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya. Dia akan melakukan apa yang diinginkan-Nya. Dan sesungguhnya apapun yang terjadi amal itu tetap berguna untukku. Karena bila aku,memang diciptakan untuk beruntung, maka amal itu kuperlukan untuk menambah pahala. Dan bila aku memang tercipta untuk celaka, maka amal itu kuperlukan agar aku tidak mencela diri sendiri. Hanya saja apapun keadaannya Allah tidak akan menyiksaku karena ketaatan yang kulakukan, dan Dia juga tidak akan mencelakaiku. Bila aku dimasukkan ke dalam neraka dalam keadaan taat, maka hal itu lebih kusukai ketimbang masuk ke dalamnya dalam keadaan durhaka. Bagaimana tidak, jika janjiNya selalu nyata dan ucapan-Nya juga pasti benar? Dia telah menjanjikan pahala atas ketaatan. barangsiapa bertemu Allah dalam keadaan iman dan taat, maka ia sama sekali tidak akan dimasukkan ke dalam neraka. Orang itu akan memasuki surga. Bukannya ia berhak memperoleh surga karena amal yang dikerjakannya, tapi semata-mata karena janji yang benar dari Allah. Maha Suci Allah.”

 

Karena artian semacam inilah Allah mengabarkan tentang keadaan orang-orang yang beruntung saat mereka telah masuk surga dan berkata:

 

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya untuk kami.”

 

Karena itu, sadarlah! Semoga Allah merahmatimu. Sebab segala sesuatunya telah Anda lihat dan Anda dengar. Jadikan semua itu sebagai kiasan untuk melangkah pada perbuatan yang lain. Mohonlah pertolongan kepada Allah. Mintalah perlindungan kepada-Nya, karena segala sesuatu berada di bawah kekuasaan-nya. Dia-lah yang memberikan taufik. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

 

  1. Rintangan Keempat: Nafsu

 

Hai orang-orang yang beribadah! Hendaknya Anda senantiasa berhati-hati dalam menjaga nafsu yang selalu memerintah kepada hal-hal buruk. Ia adalah musuh yang paling berbahaya, cobaannya teramat berat, paling sulit diobati, penyakit yang ditimbulkanya teramat rumit dan pangobatanya juga amat sulit. Hal itu harus dilakukan karena dua hal:

 

  1. Nafsu adalah musuh yang datang dari dalam tubuh

Jika seorang pencuri berasal dari dalam rumah, maka jalan untuk menyiasatinya sangat sulit dan kerugian yang ditimbulkan juga besar.

Benar sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair:

 

Nafsuku senantiasa mengajakku pada hal-hal yang membahayakan dan memperbanyak penyakitku.

Bagaimana caranya menghindar dari musuh jika ia berada di antara tulang igaku.

 

  1. Ia adalah musuh yang disukai

Biasanya seseorang tidak melihat kekurangan yang ada pada kekasihnya. Hampir ia sama sekali tidak melihat kekurangannya. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:

 

Dan kamu tiada melihat kekurangan pada kekasih dan saudaram, Bahkan sebagiannya saja tidak kau lihat jika telah merasa senang Tatapan mata yang senang menutupinya dari segala kekurangan, Tapi tatapan mata yang benci akan menampakkan berbagai keburukan.

 

Kalau sudah seperti itu seseorang tentu menganggap baik segala keburukan dari kekasihnya. Ia nyaris tidak melihat kekurangannya. Sementara ia (nafsu) masih tetap dalam permusuhan dan penggodaannya. Tidak berapa lama nafsu akan menjerumuskannya ke dalam cemoohan dan kerusakan. Orang itu tidak akan merasa kecuali bila Allah memeliharanya dengan anugerah-Nya, dan memberinya pertolongan untuk mengalahkan nafsu dengan rahmat-Nya.

 

Kemudian renungkanlah sebuah arti penting yang cukup memuaskan. Yaitu jika Anda perhatikan, pasti akan tahu bahwa pangkal segala fitnah, cemoohan, kehinaan, kerusakan, dosa dan afat yang menimpa seorang makhluk Allah, dari dulu hingga esok hari kiamat adalah nafsu ini. Kadang dengan nafsu itu sendiri, dan kadang dengan bantuan yang diberikannya.

 

Maksiat kepada Allah yang pertama kali, dilakukan oleh Iblis. Penyebabnya selain takdir yang sudah ditetapkan adalah nafsu. Dengan kesombongan dan kedengkian, nafsu menjerumuskannya ke dalam lautan kesesatan setelah ia beribadah menurut sebuah pendapatselama 80.000 tahun. Maka ia pun tenggelam untuk selamanya, karena di sana tidak ada dunia, orang lain dan setan. Yang ada hanya nafsu bersama kesombongan dan kedengkiannya yang akan memperlakukan Iblis sekehendaknya.

 

Lalu dosa Nabi Adam a.s. dan Hawa. Keduanya dijatuhkan oleh keinginan nafsu dan kerakusannya terhadap keabadian tinggal di surga hingga terbujuk rayuan Iblis. Kemudian dengan bantuan nafsu terjadilah perbuatan tersebut sehingga ia terlempar dari sisi Allah, sampai ke dunia yang hina, sulit, fana dan merusak ini. Keduanya mengalami apa yang harus ia alami. Dan keturunannya juga mengalami hal serupa dari hari itu hingga selamanya.

 

Lalu disusul denpan kisah Oabil dan Habil. Dosa yang mereka Inkukan disebabkan oleh kedengkian dan sifat kikir.

 

Lalu kisah dosa Harut dan Marut. Penyebabnya adalah syahwat. Demikian seterusnya sampai hari kianat.

 

Anda tidak akan menemukan fitnah yang menimpa seorang makhluk, cemoohan, kesesatan dan kemaksiatan selain berpangkal dari nafsu dan keinginannya. Jika tidak, tentu seluruh makhluk akan selamat dan berbuat baik.

 

Jika ada musuh yang mendatangkan bahaya seperti apa yang kusebutkan ini, maka sudah sepantasnya orang yang berakal sangat memperhatikanya.

 

Hanya Allah yang menguasai petunjuk dan taufik serta anugerah-Nya.

 

Jika Anda berkata: “Lalu upaya apa yang harus kami tempuh untuk menghadapi musuh yang seperti ini dan bagaimana cara menyiasatinya? Tolong terangkan masalah itu kepada kami.”

 

Ketahuilah! Di depan telah kami terangkan bahwa urusan nafsu memang teramat sulit, sebab kita tidak mungkin mengalahkanya dengan satu langkah seperti musuh-musuh yang lain, karena ia memang kendaraan dan peralatan kita.

 

Diceritakan bahwa ada seorang pedalaman yang mendoakan seseorang dengan kebaikan. Maka ia berdoa: “Semoga Allah membuat kalah semua musuh Anda selain nafsu.”

 

Ia juga tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena sangat berbahaya. Karenanya, dibutuhkan jalan tengah di antara keduanya, yaitu mendidik dan memberinya kekuatan sekedar agar ia kuat melakukan bermacam kebaikan. Ia juga harus diperlemah dan dikekang sebatas tidak sampai melampaui batas. Karena itu, dalam mengurusnya Anda harus benar-benar merawat dan memperhatikanya dengan teliti.

 

Kami juga pernah nenerangkan bahwa ia harus dikendalikan dengan kendali “takwa” dan “wara” agar bisa memperoleh dua manfaat sekaligus.

 

Jika Anda berkata: “Nafsu ini memang sama dengan hewan tunggangan yang liar, bertabiat buruk dan tidak mau dikendalikan. Lalu bagaimana caranya agar kami bisa menguasainya?”

 

Ketahuilah bahwa apa yang Anda katakan itu benar adanya,

 

Adapun cara mengendalikan nafsu adalah merendahkannya sehingga bisa dikendalikan.

 

Para ulama kita mengatakan: “Cara untuk merendahkan nafsu dan membatalkan keinginannya ada tiga:

 

  1. Menahan hal yang disenanginya, sebab hewan tunggangan yang liar akan menjadi jinak jika makanannya dikurangi.

 

  1. Membebankan ibadah-ibadah yang berat kepada-Nya. Sebab bila seekor keledai ditambah muatannya dan dikurangi jatah makannya, tentu ia akan tunduk dan menurut (jinak).

 

  1. Memohon pertolongan kepada Allah dan merendahkan diri agar Dia berkenan menolong Anda. Dan jika tidak memohon pertolongan, maka Anda tidaklah selamat. Bukankah Anda pernah mendengar perkataan Nabi Yusuf a.s.:

 

Artinya: “Sesungguhnya nafsu selalu mengajak berbuat buruk kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”

 

Bila Anda melakukan tiga hal ini secara rutin, pasti dengan izin Allah nafsu Anda akan tunduk secara total. Saat itulah Anda harus segera menguasainya dan menghindar dari keburukanya.

 

Jika Anda berkata: “Kalau begitu sekarang terangkan arti ketakwaan agar kami bisa mengetahuinya.”

 

Mula-mula sebaiknya Anda mengetahui bahwa takwa adalah tempat menyimpan harta-harta yang sangat indah. Dan bila Anda mendapatkanya maka pasti akan menemukan berbagai permata yang amat mulia dan barang-barang yang sangat elok, banyak kebaikan, rezeki yang mulia, keuntungan yang sangat besar, keberuntungan yang mulia, dan istana yang megah. Seolah-olah semua kebaikan dunia dan akhirat dijadikan satu dan kesemuanya itu digantungkan kepada satu hal, yakni takwa.

 

Renungkan juga firman Allah di dalam Al-Qur’an yang membicarakan tentang takwa. Berapa banyak kebaikan yang Ia gantungkan padanya. Berapa banyak janji pahala dan ancaman siksa yang digantungkan padanya. Berapa banyak keberuntungan yang Dia sandarkan padanya.

 

Di sini kami akan menyebutkan dua belas hal tentang itu.

Pertama, pujian dan sanjungan.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Apabila kamu sekalian bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya hal itu termasuk bagian dari urusan yang diutamakan.” (Q.S. Ali Imran: 186)

Kedua, terpelihara dari musuh.

Firman Allah:

 

Artinya: “Dan jika kamu sekalian sabar serta bertakwa maka tipudaya mereka sedikitpun tidak membahayakan mereka.” (Q.S. Ali Imran: 120)

Ketiga, kekuatan dan pertolongan.

Firman Allah:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah nenyertai orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. An-Nahl: 128)

Dan firman Allah:

 

Artinya: “Dan Allah Dzat yang mengasihi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Jaatsiyah: 19)

Keempat, selamat dari bahaya dan mendapat rezeki halal.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesulitan) dan memberinya rezeki secara tidak disangka-sangka.” (Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)

Kelima, kebaikan dalam amal.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian.” (Q.S. Al-Ahzaab: 70-71)

Keenam, ampunan dari dosa-dosa.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan dia akan mengampuni dosa-dosa kalian. (Q.S. Al-Ahzab:71)

Ketujuh, kecintaan Allah.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa. “(Q.S. At-Taubah: 4)

Kedelapan Diterima amalnya.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari: orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maidah: 27)

Kesembilan, kemuliaan.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang paling mulia di antara kamu sekalian adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (Q.S. Al-Hujuraat: 13)

Kesepuluh, kabar gembira menjelang kematian.

Firman Allah:

 

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan bertakwa, Mereka mendapat kabar gembira di dunia dan ahirat.”(Q.S. Yunus: 63-64)

Kesebelas, bebas dari api (neraka).

Firman Allah:

 

Artinya: “Kemudian kami selamatkan orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Maryam: 72)

Dan firman Allah:

 

Artinya: “Dan ia (neraka) dijauhkan dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.Al-Lail: 17)

Kedua belas, abadi di dalam surga.

 

Artinya: “Surga itu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.Ali Imran: 133)

 

Inilah keterangan kebaikan dan keberuntungan di dunia dan ahkirat yang digantungkan pada ketakwaan.

 

Karena itu,jangan lupa bagian Anda, hai orang-orang yang jantan.

 

Dari semua ini yang khusus diberikan kepada orang-orang yang bertakwa dalam kaitannya dengan ibadah ada tiga macam.

 

  1. Taufik dan pertolongan yang pertama kali khusus diberikan orang-orang yang bertakwa. Firman Allah:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. At-Taubah: 76)

  1. Perbaikan amal dan penyempurnaan kekurangan. Allah berfirman:

 

Artinya: “Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian.” (Q.S. Al-Ahzaab: 71)

  1. Diterima amalnya. Firman Allah:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maidah: 27)

 

Jadi, poros perputaran ibadah itu ada tiga. Pertama taufik yang membuat Anda bisa mengerjakan amal. Kedua memperbaiki kekurangan sampai betul-betul sempurna. Dan ketiga diterima oleh Allah setelah amal itu menjadi sempurna.

 

Inilah tiga hal yang digunakan sebagai sarana untuk merendahkan diri kepada Allah oleh para hamba. Mereka meminta sebagai berikut: “Ya Tuhan kami! Berilah petunjuk agar kami taat kepada-Mu. Sempurnakanlah kekurangan kami dan terimalah ketaatan ini dari kami.”

 

Tetapi sebenarnya Allah menjanjikan semua itu bagi orang yang bertakwa, ia meminta ataupun tidak, pasti diberi. Karena itu hendaknya Anda selalu bertakwa bila ingin bisa beribadah kepada Allah Swt. Atau bahkan untuk meraih keuntungan dunia dan akhirat sekalipun.

 

Benar sekali ungkapan seorang penyair:

 

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan didatangkkan baginya sesuatu yang menguntungkan, Seorang ulama menggubah syair sebagai berikut:

 

Tidak ada satupun yang mengikuti seseorang ke dalam kuburnya selain ketakwaan dan amal saleh.” Ulama yang lain bersyair:

 

Barangsiapa mengenal Allah dan tidak merasa cukup dengan Mengenal-Nya,

berarti itulah orang uang celaka.

Seseorang tidak menjadi mulia karena harta,

karena segala kemuliaan hanya dimiliki oleh orang yang bertakwa. Kesulitan yang dirasakan seseorang saat menjalani ketaatannya tidak akan mencelakakannya. Begitu juga apa yang ditemuinya.” Seorang ulama menulis sebuah syair di atas kubur (nisan):

 

Tiada bekal selain ketakwaan, karena itu ambillah ia sebagai bekal atau tinggalkanlah. hai nafsu!

 

Kemudian renungkanlah satu hal pokok, yaitu seandainya Anda telah mengalami kepayahan sepanjang hidup untuk beribadah, berjuang memerangi hawa nafsu dan bersusah payah hinpga berhasil mendapatkan apa yang Anda idam-idamkan. Bukankah yang terpenting dalam hal ini adalah “penerimaan?” Sementara Anda juga tahu bahwa Allah telah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maaidah: 27)

 

Dengan begitu segala sesuatunya kembali pada ketakwaan.

 

Karena hal itu pula Aisyah r.a. berkata: “Rasulullah Saw. tidak pernah merasa kagum dengan sesuatu atau seorangpun di dunia ini selain pada orang yang bertakwa.”

 

Diceritakan Qatadah. Beliau berkata: “Di dalam kitab Taurat tertulis:

 

Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Bertakwalah kepada Allah dan tidurlah sesukamu.”

 

Aku pernah mendengar tentang “Amir bin abdi Qais. Saat menjelang kematiannya, beliau menangis. Padahal sehari semalam beliau melakukan salat seribu rakaat. Kemudian beliau mendatangi tempat tidur seraya berkata: “Hai tempat kembali segala keburukan! Demi Allah aku sama sekali tidak merasa rela kepadamu karena Allah, walaupun hanya sekejap.”

 

Suatu hari beliau menangis. Lalu ditanya: “Apa yang membuat Anda menangis?”

 

Beliau berkata: “(Yang membuatku menangis adalah) Firman Allah Swt.:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari – orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maaidah: 27)

 

Setelah mengetahui semua itu, renungkan pula satu hal penting lain yang menjdi inti dari beberapa pokok masalah, yaitu apa yang pernah disebutkan bahwa salah seorang ulama berkata kepada gurunya: “Berilah aku wasiat!” Gurunya menjawab: “Aku berpesan kepadamu dengan sesuatu yang dipesankan oleh Allah kepada orang-orang terdahulu dan orang-orang yang hidup kemudian. Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orangorang yang telah diberi Al-Kitab sebelum kamu dan juga kepadamu: ‘Bertakwalah kepada Allah”! (Q.S. An-Nisa’: 131)

 

Menurutku, bukankah Allah mengetahui kebaikan seorang hamba lebih dari siapapun? Bukankah Dia juga Dzat yang memberi nasehat, lebih pengasih dan lebih lembut kepadanya dibanding siapapun? Jika di dunia ini ada suatu perbuatan yang lebih baik bagi seorang hamba, lebih banyak mengumpulkan kebaikan, lebih besar pahalanya, lebih besar penghambaannya, lebih mulia kedudukannya, lebih baik keadaannya dan lebih bermanfaat di akhirat daripada ketakwaan ini, tentu Allah akan memerintahkan hamba-Nya dan berwasiat kepada orang-orang pilihan-Nya dengan hal itu karena kesempurnaan kebijaksanaanNya dan juga karena keluasan rahmat-Nya.

 

Ketika Allah berwasiat dengan satu pekerjaan ini dan juga menyatukan orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian dalam mengerjakannya dan Dia mencukupkan wasiat tersebut, maka Anda pun menjadi tahu bahwa ketakwaan itulah puncak yang tidak boleh dilewatkan dan juga tidak ada tujuan lain selain itu.

 

Sesungguhnya Allah benar-benar telah mengumpulkan segala nasehat, tanda-tanda, petunjuk, peringatan, pendidikan, pengajaran dan pembersihan dalam satu wasiat sesuai dengan kebijaksanaan dan keluasan rahmat-Nya.

 

Anda juga tahu bahwa ketakwaan inilah yang menyatukan dua kebaikan dunia dan akhirat, yang bisa memenuhi berbagai hal penting dan mengantarkan seseorang ke puncak derajat kehambaan.

 

Alangkah indah syair berikut ini:

 

Ingatlah bahwa ketakwaan berarti keagungan dan kemuliaan.

Dan kecintaanmu terhadap dunia itulah kehinaan serta kemiskinan.

Tiada kekurangan pada seorang hamba yang bertakwa

saat ia bersungguh-sungguh dengan ketakwaannya walaupun ia menjadi tukang tenun atau tukang candhuk.”

 

Inilah pokok yang tidak perlu ditambah lagi. Di dalamnya tercakup keterangan yang mencukupi bagi orang yang melihat cahaya dan mendapat petunjuk. Juga orang yang mau mengamalkan dan menganggapnya sudah cukup.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan karunia-Nya. Jika Anda berkata: “Sungguh besar kedudukan takwa dan begitu besar kebutuhan untuk mengetahui semua itu teramat mendesak. Oleh karena itu, mau tidak mau sekarang ketakwaan itu harus diterangkan secara rinci.”

 

Ketahuilah bahwa hal itu memang pantas dianggap besar kedudukannya, harus diusahakan dan perlu diketahui. Tapi Anda juga harus tahu bahwa setiap hal yang penting dan besar, untuk menariknya harus menggunakan banyak cara. Kesulitan yang harus dihadapi juga besar. Harus bertekad kuat dan bersungguh-sungguh. Dengan begitu, seperti halnya ketinggian derajat takwa dan juga kebesarannya, maka perjuangan untuk mencarinya, untuk bisa memenuhi haknya, dan pertolongan untuk bisa mendapatkannya merupakan hal besar. Sebab berbagai macam kemuliaan itu diukur dengan tingkat kesulitan. Dan semua kelezatan diukur dengan ongkos yang dikeluarkan.

 

Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang berjuang untuk mencari (keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka Jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabut: 69)

 

Dia-lah Dzat yang lemah lembut. Oleh karenanya, dengar, ingat, dan patuhi keterangan tentang takwa ini dengan baik sampai Anda mengetahuinya dan bersiap-siap untuk menjalaninya. Mohonlah pertolongan kepada Allah Swt. sampai Anda bisa beramal dengan apa yang telah Anda ketahui, karena segala sesuatunya berhubungan dengan pertolongan tersebut.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dan hidayah dengan anugerah-Nya.

 

Mula-mula ketahuilah bahwa ketakwaan itu menurut guru kami adalah membersihkan hati dari dosa yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya sampai Anda benar-benar berkeinginan kuat meninggalkannya untuk menjaga antara Anda dengan kemaksiatan. Begitulah yang dikatakan guru kami.

 

Pendapat ini keluar karena sesungguhnya kata “taqwa” bila dilihat dari segi bahasa berasal dari kata dasar “waqwa” dengan huruf depan berupa wawu, dan keluar dari kata “wiqaayah”. Perubahan tasrifnya sebagai berikut: “waqa – yaqi – wiqaayatan – waqwan”. Kemudian huruf wawu diganti menjadi ta’ seperti penggantian yang terjadi dalam kata “wuklaan” menjadi “tuklaan” dan sebagainya, maka jadilah kata “taqwan”.

 

Jika seorang hamba telah berhasil menjaga dirinya dari maksiat dengan adanya keinginan kuat dan ketetapan hati untuk penar-benar meninggalkannya, maka hamba tersebut berhak disebut sebagai “muttaqiy.”

 

Dengan begitu kata “taqwa” juga bisa berarti membersihkan hati, keinginan kuat dan ketetapan di dalam hati.

 

Sedangkan di dalam Al-Qur’an kata “taqwa” digunakan dengan tiga macam arti:

Pertama, digunakan dengan arti takut. Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan hanya kepada-Ku (Allah) hendaknya kamu bertakwa (merasa takut).” (Q.S. al-Baqarah: 41)

Firman Allah:

 

Artinya: “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada saat itu kamu sekalian dikembalikan kepada Allah.” (Q.S. al-Baqarah: 281)

Kedua, digunakan dengan arti patuh dan tunduk.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya.” (Q.S. Ali Imran: 102)

 

Ibnu Abbas berkata: “Taatlah kepada allah dengan taat yang sebenar-benarnya.”

 

Mujahid berkata: “Ayat-ayat ini menyimpan arti bahwa sesungguhnya Allah harus selalu ditaati dan tidak didurhakai: diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri.”

Ketiga, digunakan dengan arti membersihkan hati dari dosa. Dan inilah arti takwa yang sebenarnya, bukan yang pertama dan kedua. Tidakkah Anda melihat bahwa Allah berfirman:

 

Artinya: “Barangsiapa tant kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka itulah orangorang yang beruntung.” (Q.S. An-Nuur: 52)

 

Allah menyebutkan kata “taat”, “takut”, dan baru menyebutkan kata “takwa”. Dengan begitu Anda menjadi tahu bahwa pada hakekatnya arti “takwa” bukanlah ““taat” dan “takut’ melainkan “membersihkan hati dari maksiat”.

 

Kemudian para ulama berkata bahwa tingkatan takwa terbagi menjadi tiga:

  1. Membersihkan diri dari syirik.
  2. Membersihkan diri dari bid’ah.
  3. Membersihkan diri dari cabang-cabang maksiat.

 

Allah telah menyebutkan ketiganya di dalam satu ayat, yakni firman:

 

Artinya: “Tiada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh karena memakan makanan yang dahulu mereka makan apabila mereka bertakwa, beriman dan mengerjakan amal saleh. Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman. Lalu mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Maaidah: 93)

 

  1. 1. Membersihkan diri dari syirik. Yang menjadi bandingannya adalah keimanan (pengesaan) kepada Allah.
  2. Membersihkan diri dari bid’ah. Keimanan yang disebut bersamanya adalah mengikuti langkah sunat dan langkah para ulama.
  3. Membersihkan diri dari cabang-cabang maksiat. Dalam tingkatan yang ketiga ini tidak ada pengakuan yang menjadi bandingannya. Karena itu, ketakwaan ini harus diimbangi dengan ihsan, yaitu taat dan istiqamah. Dengan begitu takwa yang ketiga ini menjadi tingkatan orang-orang yang istiqamah dalam ketaatan mereka.

 

Ayat di atas mengumpulkan tiga tingkatan takwa, yaitu tingkatan iman, sunat, dan istiqamah dalam ketaatan.

 

Inilah yang dikatakan oleh para ulama mengenai arti kata takwa.

 

Aku juga menemukan takwa yang berarti menjauhi kelebihan perkara halal.

 

Arti semacam ini terdapat dalam sebuah hadis masyhur dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu dikatakan sebagai ‘muttaqiin’ karena mereka meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk menjaga diri dari hal-hal yang membahayakan.”

 

Kemudian aku lebih cenderung menggabungkan antara pendapat-pendapat para ulama tadi dengan hadis di atas. Maka terciptalah sebuah batasan yang lebih menyeluruh dan artian yang sempurna, yaitu: “Ketakwaan adalah menjauhi segala yang dikhawatirkan bisa membahayakan agama Anda.”

 

Bukankah orang yang sedang sakit dan menghindari suatu pantangan disebut sebagai orang yang “berpantangan’” jika sudah menjauhi semua yang membahayakan tubuhnya baik berupa makanan, minuman, buah-buahan dan sebagainya?

 

Kemudian hal yang dikhawatirkan bisa membahayakan agama ada dua macam:

 

  1. Kemaksiatan dan sesuatu yang benar-benar haram.
  2. Kelebihan perkara halal.

 

Sibuk dengan kelebihan perkara halal dan membiasakan diri dengannya bisa menarik pelakunya kepada sesuatu yang haram dan kemaksiatan yang murni. Hal itu terjadi karena keburukan (kenakalan) nafsu dan keinginannya yang sangat keterlaluan.

 

Barangsiapa ingin selamat dari bahaya yang menimpa agamanya, hendaknya ia menjauhi hal yang mengkhawatirkan dan kelebihan sesuatu yang halal untuk menjaga dirinya agar tidak terseret pada sesuatu yang benar-benar haram, sesuai dengan apa segala yang tidak berguna agar tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang membahayakan.” Artinya, karena mereka meninggalkan kelebihan sesuatu yang halal sebab takut terjerumus ke dalam keharaman.

 

Jadi, arti ketakwaan yang sempurna adalah menjauhi semua yang bisa membahayakan agama berupa kemaksiatan dan kelebihan sesuatu yang halal.

 

Inilah rincian takwa yang sebenarnya.

 

Kemudian jika kita ingin membuat batasan takwa menurut ilmu sirri, batasannya adalah membersihkan hati dari keburukan yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya dengan keinginan kuat untuk meninggalkannya sehingga keinginan tersebut bisa menjadi penghalang antara Anda dan segala keburukan.

 

Kemudian keburukan itu terbagi menjadi dua:

 

  1. Keburukan asli. Yaitu sesuatu yang dilarang oleh Allah secara haram seperti halnya maksiat-maksiat yang murni,

 

  1. Keburukan yang tidak asli, Yaitu sesuatu yang dilarang oleh Allah sebagai upaya mendidik berupa kelebihan sesuatu yang halal, seperti hal-hal mubah yang dilakukan karena keinginan nafsu.

 

Menjauhi keburukan yang pertama termasuk fardu. Danjika ditinggalkan mengakibatkan siksa di neraka.

 

Adapun menjauhi keburukan yang kedua termasuk kebaikan. Dan jika ditinggalkan mengakibatkan penahanan, pemeriksaan, pencelaan dan pencemoohan.

 

Barangsiapa menjalani ketakwaan yang pertama berarti ia menduduki kedudukan terendah dari takwa, yaitu kedudukan orang-orang yang istiqamah menjalani kataatan. Sedangkan orang yang menjalani ketakwaan kedua berarti ia menduduki kedudukan tertinggi dari takwa, yaitu kedudukan orang yang istiqamah meninggalkan hal-hal mubah.

 

Bila sesorang telah mengumpulkan keduanya, yakni menjauhi kemaksiatan dan kelebihan sesuatu yang halal berarti ia telah menyempurnakan arti takwa, menjalaninya dengan benar (sesuai haknya) dan mengumpulkan segala kebaikan di dalamnya. Takwa semacam ini dinamakan wara’ (kehati-hatian) yang sempurna, yang menjadi hal terpenting dari urusan agama. Hal ini juga dinamakan adab (tatakrama) di hadapan Allah Swt.

 

Inilah arti takwa dan keterangan globalnya. Pahamilah! Insya Allah Anda mendapat taufik.

 

Bila Anda berkata: “Kalau begitu sekarang tolong terangkan untuk kami arti takwa dan cara penggunaannya sehubungan dengan nafsu, karena kebutuhan untuk itu sudah muncul. Agar kami bisa mengetahui bagaimana caranya mengendalikan nafsu dengan ketakwaan seperti yang telah Anda terangkan rinciannya, yakni ketakwaan yang sebenarnya.

 

Menurutku (Al-Ghazali) memang harus begitu. Adapun rincian takwa tersebut sehubungan dengan ibadah adalah sebagai berikut:

 

(Langkah pertama) Anda harus menjaganya dengan keinginan yang kuat agar bisa mencegahnya dari segala perbuatan maksiat dan memeliharanya dari kelebihan sesuatu yang halal.

 

Kalau sudah begitu, berarti Anda telah bertakwa kepada Allah dalam urusan mata, telinga, mulut, hati, perut, kemaluan dan seluruh anggota badan serta mengendalikannya dengan kendali “takwa”.

 

Persoalan ini membutuhkan banyak sekali penjelasan dan kami telah menerangkannya di dalam kitab “Ihya Ulumiddin”. Sedangkan keterangan yang harus dijelaskan di dalam kitab ini adalah:

 

Barangsiapa ingin bertakwa kepada Allah, hendaknya ia melihat kembali pada lima inderanya. Sebab lima anggota badan inilah yang menjadi pokok permasalahan, yaitu mata, telinga, mulut, hati dan perut.

 

Ia harus menjaganya dari segala sesuatu yang membahayakan urusan agamanya seperti kemaksiatan, sesuatu yang haram, berlebihan dan boros dengan sesuatu yang halal.

 

Jika seseorang telah berhasil menjaga lima anggota badan ini berarti ia memiliki harapan anggota badan tersebut, maka yang lain bisa selamat.

 

Iajuga telah berhasil menjalani ketakwaan secara menyeluruh dengan semua anggota tubuhnya.

 

Sehubungan dengan hal ini tentunya diperlukan lima pasal tentang rincian lima anggota badan tersebut serta membuat beberapa pasal tentang apa yang diharamkan untuk masingmasing anggota badan sekedar yang sesuai dengan kapasitas kitab (yang dibuat ringkas) ini.

 

Pasal Pertama: Mata

 

Hendaknya Anda senantiasa memelihara mata, karena mata ini sering menjadi penyebab segala fitnah dan kerusakan. Dalam hal ini aku akan menerangkan tiga pokok yang sekira bisa mencukupi.

 

  1. Firman Allah

 

Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman! Hendaklah mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nuur: 30)

 

Meskipun ayat ini pendek, setelah direnungkan ternyata menyimpan tiga arti yang mulia yaitu: Mendidik kesopanan (tata krama), peringatan dan menakut-nakuti. Arti yang mendidik kesopanan yaitu:

 

Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman! Hendaklah mereka menahan pandangan mereka.” (Q.S. An-Nuur: 30)

 

Seorang hamba harus mengikuti perintah majikan dan bersikap sopan seperti diajarkan majikannya. Jika tidak, maka ia akan dianggap buruk budi pekertinya dan terhalang dari anugerah majikannya. Ia juga tidak diperbolehkan menghadiri pertemuan dan bersenang-senang di hadapan majikanya. Pahamilah keterangan ini dan renungkan apa yang tersirat darinya, karena di dalamnya terdapat manfaat yang besar sekali. Yang berisi peringatan adalah firman Allah:

 

Artinya: “Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (Q.S. . An-Nuur: 30)

 

Firman ini dipergunakan untuk dua arti.

Pertama, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka.”

Kata-kata “Az-zakat” berarti “bersih”. Sedangkan “At-tazkiyat” berarti membersihkan.

Kedua, “yang demikian itu lebih meningkatkan kebaikan mereka.”

Kata-kata Az-zakat pada dasarnya memiliki arti “meningkat”.

 

Dengan begitu, di dalam ayat ini Allah mengingatkan bahwa dalam menundukkan pandangan terdapat penyucian hati dan memperbanyak (meningkatkan) ketaatan serta kebaikan. Hal itu terjadi karena apabila Anda tidak menundukkan pandangan dan melepaskannya begitu saja, tentu mata Anda akan memandang hal-hal yang tidak berguna. Kalau itu yang terjadi bukan hal yang tidak mungkin pandangan Anda akan jatuh pada hal-hal haram. Bila Anda dengan sengaja memandangnya maka hal itu merupakan dosa besar, dan kadang hal yang terlihat itu melekat di hati Anda. Dengan begitu, Anda akan binasa bila tidak diberi rahmat oleh Allah.

 

Telah diceritakan bahwa seorang hamba memandang sesuatu hanya sekilas, akan tetapi hatinya menjadi rusak karena sekilas pandangan tersebut seperti kulit yang dimasukkan ke dalam penyamakan, dan tidak bisa di manfaatkan untuk selamanya.

 

Jika yang Anda lihat itu sesuatu yang mubah, maka hati Anda akan menjadi sibuk. Lalu datanglah perasaan was-was dan khawatir karenanya. Bisa jadi Anda tidak bisa menggapai apa yang Anda lihat sehingga hati Anda tetap saja sibuk dan terputus dari kebaikan.

 

Seandainya Anda tidak melihat semua itu, tentu Anda akan merasa nyaman dari semuanya.

 

Sehubungan dengan arti semacam ini, dikisahkan bahwa Nabi Isa a.s. pernah berkata: “Hati-hatilah dengan pandanganmu, karena pandangan tersebut menanamkan keinginan (syahwat) di hatimu. Dan cukuplah hal itu sebagai fitnah bagimu.”

 

Dzun-Nuun Al-Mishri berkata: “Penghalang terbaik untuk syahwat adalah memejamkan mata.”

 

Sungguh indah gubahan seorang penyair berikut ini:

 

Bila suatu hari kau lepas pandanganmu sebagai utusan hati, maka apa yang terlihat akan membuatmu payah.

Kau melihat sesuatu yang tidak semuanya bisa kau raih. Dan engkaupun tidak sabar mendapatkan sebagian darinya.

 

Kalau begitu, sebaiknya Anda menahan pandangan dan memelihara mata. Jangan melihat hal-hal yang tidak bermanfaat dan sesuatu yang tidak penting, niscaya hati Anda akan bersih, lega dan nyaman dari rasa was-was. Diri Anda juga selamat dari berbagai kerusakan. Dan kebaikan Anda pun akan bertambah. Oleh karena itu, ingatlah keterangan yang menyeluruh ini.

 

Hanya Allah yang memberikan taufik dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.

 

Sedangkan yang memiliki arti menakut-nakuti adalah firman Allah:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nuur: 30)

 

Dia juga berfirman:

 

Artinya: “Dia Maha mengetahui (pandangan) mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Q.S. Al-Mu’min: 19)

 

Ayat ini cukup sebagai teguran bagi orang yang takut dengan kekuasaan Tuhannya. Dan ini merupakan dasar utama yang berasal dari kitab Allah Swt.

 

  1. Hadis Nabi Saw.:

 

Artinya: “Sesungguhnya memandang keindahan seorang wanita bagaikan panah beracun dari Iblis. Barangsiapa meninggalkannya akan dicicipkan rasa ibadah yang menyenangkannya.”

 

Temuan rasa manis beribadah dan lezatnya bermunajat bagi para hamba merupakan suatu posisi tersendiri.

Hal ini telah diujicoba dan dibuktikan oleh orang yang mengamalkannya. Sebab jika seseorang menahan pandangan dari hal-hal yang tidak berguna, maka ia akan menemukan kelezatan beribadah dan manisnya ketaatan. Hatinya juga merasakan kebeningan yang belum dia rasakan sebelumnya.

 

  1. Hendaknya Anda melihat setiap anggota tubuh. Apa saja yang pantas dikerjakan, dan sebaiknya digunakan untuk apa. Dengan begitu, Anda bisa menjaga dan memeliharanya.

Kaki digunakan untuk berjalan di taman surga dan istanaistananya. Tangan digunakan untuk memegang gelas minuman dan memetik buah-buahan (surga), dan seterusnya. Sedangkan mata hanya dipergunakan untuk memandang Penguasa alam semesta. Maha Suci Allah. Tidak ada kemuliaan di dunia dan akhirat yang lebih besar ketimbang memandang Penguasa alam semesta.

Jadi, sudah semestinya bila sesuatu yang ditunggu-tunggu dan diharapkan seperti kemuliaan ini dijaga, dipelihara, diagungkan dan dimuliakan.

 

Inilah tiga dalil pokok yang jika benar-benar direnungkan dengan baik cukup sebagai bekal mengamalkan pasal ini. Hanya Allah yang menguasai taufik. Dia-lah yang mencukupiku. Dan Dia-lah sebaik-baik tempat berserah diri.

 

Pasal Kedua: Telinga

 

Hendaklah Anda memelihara pendengaran dari omongan buruk dan tidak berguna. Hal itu harus dilakukan, karena adanya dua hal:

 

Pertama, karena telah diceritakan bahwa orang yang mendengarkan sama hukumnya dengan orang yang berbicara.

 

Dalam hal ini seorang penyair berkata:

 

Pilih jalan tengah di antara jalan yang ada.

Hindari persimpangan yang meragukan.

Jagalah telingamu dari mendengarkan hal buruk.

Seperti halnya menjaga mulut dari mengucapkannya.

Sebab ingatlah! Jika kamu mendengarkan hal buruk,

maka kamu menjadi pasangan orang yang mengucapkannya.

 

Kedua, mendengarkan hal buruk bisa membangkitkan berbagai gerak hati dan rasa was-was di dalamnya. Kemudian akan tampak kesibukan pada diri Anda dan tak satupun anggota badan dibiarkan beribadah.

 

Kemudian ketahuilah bahwa ucapan yang masuk ke dalam hati melalui pendengaran sama halnya dengan makanan yang masuk ke dalam perut. Kadang berbahaya dan kadang juga bermanfaat. Ada yang menjadi sumber energi dan ada yang menjadi racun. Bahkan ucapan yang telah menetap di dalam hati pengaruhnya lebih kuat dibanding makanan. Sebab pengaruh makanan itu bisa hilang dari perut dengan tidur dan sebagainya. Kadang pengaruhnya terasa beberapa saat lalu menghilang. Ada juga penawar untuk menghilangkan pengaruhnya dari tubuh seseorang. Akan tetapi kalau ucapan sudah masuk ke dalam hati, terkadang bersemayam sepanjang hidupnya dan tidak dapat dilupakan. Jika ucapan itu buruk maka tiada hentinya ia membuat payah dan tercela. Hal itu juga bisa mendatangkan berbagai kekhawatiran dan rasa was-was di dalam hati sehingga ia harus berpaling dan berusaha untuk tidak mengingatnya. Ia juga harus memohon perlindungan kepada Allah dari keburukannya. Ia tidak akan terbebas dari dorongan bebuat buruk sehingga yang terjadi adalah kerusakan besar-besaran karenanya.

 

Jika Anda memelihara pendengaran dari hal-hal yang tidak berguna, maka Anda akan merasa nyaman dari semua itu. Dan hendaknya orang yang berakal merenungkan keterangan di atas.

 

Hanya Allah tempat memohon taufik.

 

Pasal Ketiga: Mulut

 

Hendaknya Anda memelihara mulut dan mengendalikannya, karena ia adalah anggota tubuh yang paling sulit diatur, durhaka, serta banyak menimbulkan kerusakan dan permusuhan.

 

Diceritakan dari Sufyan bin Abdullah. Beliau berkata: “Aku bertanya (kepada Rasulullah), Wahai Rasulullah! Apa yang paling banyak Anda khawatirkan padaku? Rasulullah memegang lisannya sendiri dan berkata, “Ini.”

 

Diceitakan dari Yunus bin Abdullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku menemukan diriku sendiri mampu menahan derita puasa saat panas yang teramat sangat di negeri Bashra dan tidak mampu menahan satu ucapan yang tidak berguna.”

 

Karena itu, hendaklah Anda bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan (untuk menjaganya).

 

Di sini kami akan menerangkan lima pokok bahasan: 1. Apa yang diceritakan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa jika seorang keturunan Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuhnya bersegera mendatangi mulut dan berkata kepadanya: “Kami memohon agar kamu bersumpah demi Allah akan berbuat lurus. Sebab jika kamu lurus, maka kami pun akan berbuat lurus. Tapi jika kamu bengkok (berbuat salah), maka kami pun akan bengkok.

 

Menurutku (Al-Ghazali) yang diinginkan dari perkataan tersebut adalah (wallahu a’lamu): Ucapan mulut memberikan pengaruh kepada seluruh anggota badan seseorang berupa taufik dan kehinaan.

 

Keterangan ini diperkuat dengan apa yang diceritakan dari Malik bin Dinar bahwasanya beliau berkata: “Jika kamu melihat kekerasan dalam hatimu, badanmu melemah dan rezekimu terhalang, maka ketahuilah bahwa kamu telah mengucapkan sesuatu yang tiada berguna.”

 

  1. Menjaga waktu. Kebanyakan hal yang dibicarakan oleh seseorang bukanlah dzikir kepada Allah. Jadi, paling tidak hal itu tidak berguna dan hanya membuang-buang waktu. loteng yang sedang dibangun dan berkata: “Sejak kapan loteng ini mulai dibangun?” Beliau pun segera menegur dirinya sendiri seraya berkata: “Hai nafsuku yang suka menipu! Kenapa kamu menanyakan sesuatu yang tidak berguna untukmu?” Kemudian beliau menghukum dirinya dengan puasa selama satu tahun. Beruntung sekali orang-orang yang memperhatikan diri mereka. Alangkah celakanya orang-orang yang lalai, melepas kendali nafsu dan mengumbarnya begitu saja.

 

Hanya Allah tempat memohon pertolongan.

 

Benar sekali ucapan seorang penyair di bawah ini:

 

Abillah keuntungan dua rakaat di kegelapan malam

saat kamu santai dan beristirahat.

Bila kamu ingin berbicara yang tidak berguna dalam hal-hal bathil,

maka gunakanlah waktu itu untuk membaca tasbih.

Tetap diam lebih baik daripada berbicara

meskipun kamu orang yang pandai berbicara.

 

  1. Menjaga amal saleh. Bila seseorang tidak memelihara lisannya dan banyak berbicara, maka bukan tidak mungkin ia terjerumus ke dalam pergunjingan mengenai orang lain, seperti ucapan seorang ulama: “Barangsiapa banyak bicara, maka sering pula pembicaraannya tergelincir.”

 

Menggunjing ibarat halilintar yang merusak ketaatan, sebagaimana dikatakan: “Perumpamaan orang yang menggunjing orang lain adalah memasang alat pelempar (sebangsa meriam). Ia melemparkan kebaikan ke arah timur dan barat, ke kanan dan ke kiri.”

 

Aku telah mendengar bahwa Hasan Al-Bashri pernah diberi tahu oleh seseorang: “Wahai Abu Said! Sungguh si fulan telah menggunjing Anda.” Maka Hasan mengirimkan nampan berisi roti untuk orang (yeng menggunjing) tersebut dan berkata: “Kudengar Anda menghadiahkan kebaikan-kebaikan padaku. Karena itu, aku merasa senang bila bisa membalas kebaikan Anda.”

 

Suatu saat ada gunjingan yang dikeluarkan di hadapan Ibnul Mubarak. Maka beliau berkata: “Seandainya aku menggunjing seseorang, tentu aku akan menggunjing ibuku, karena dialah yang lebih berhak atas kebaikan-kebaikanku.”

 

Diceritakan bahwa suatu malam Hatim Al-Asham tidak melakukan salat malam dan ditegur oleh isteri beliau. Beliau menjawab: “Kemarin malam orang-orang melakukan salat malam. Paginya mereka menggunjingku. Maka kelak di hari kiamat (pahala) salat-salat mereka akan berpindah ke timbangan amalku.

 

  1. Selamat dari bahaya dunia. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Sufyan Ats-Tsauri: “Jangan membicarakan sesuatu yang bisa memecahkan gigimu.”

 

Ulama lain berkata: “Jangan mengumbar mulut agar ibadahmu tidak hancur.”

 

Para ulama menggubah sebuah syair:

 

Pelihara mulutmu! Jangan sampai mengucapkan sesuatu yang menimbulkan petaka bagimu,

karena sesungguhnya petaka itu berpangkal dari ucapan.

 

Ibnul Mubarak menggubah sebuah syair:

 

Ingat! Jaga mulutmu.

Karena sesungguhnya mulut itu bisa mempercepat kematian.

Sesungguhnya mulut merupakan cerminan hati

yang bisa menunjukkan ukuran rasio seseorang.

 

Ibnul Muthi juga bersyair:

 

Mulut seseorang bagaikan singa di dalam kandang.

Jika dilepas pasti ia menerkam.

Jagalah mulut Anda dari bicara buruk dengan pengendali “diam”.

Niscaya pengendali itu jadi penghalang dari segala petaka.

 

Ada peribahasa yang mengatakan: “Banyak ucapan yang berkata kepada pemiliknya “Tinggalkan daku.”

 

Kami memohon taufik kepada Allah dengan rahmat-Nya.

 

  1. Mengingat bahaya akhirat dan akibat yang ditimbulkannya.

 

Dalam hal ini aku akan mengemukakan satu pokok yang penting, yaitu bahwa pembicaraan Anda tidak akan pernah lepas dari dua kemungkinan: Pembicaraan yang diharamkan dan yang diperbolehkan berupa membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat secara berlebihan.

 

Bila pembicaraan tersebut diharamkan, maka Anda berhak mendapat siksa dari Allah yang tidak mampu ditanggung.

 

Telah kami ceritakan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

 

Artinya: “Pada malam ketika aku diisra’kan, aku melihat sekelompok orang di dalam neraka yang sedang memakan bengkai. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril! Siapakah mereka itu?” Jibril menjawab,

 

‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia.’

 

Beliau juga pernah bersabda kepada Mu’adz:

 

Artinya: “Hentikan menggunjing para ahli Al-Qur’an, dan para penuntut ilmu. Jangan mencabik-cabik orang lain dengan mulutmu agar dirimu tidak dicabik-cabik anjing neraka.” Diceritakan dari Abu Qilabah. Beliau berkata: “Sesungguhnya gunjingan itu menyimpan kerusakan hati dari petunjuk Allah.”

 

Kami memohon pemeliharaan kepada Allah dengan anugerah-Nya.

 

Inilah akibat pembicaraan yang terlarang. Sedangkan dalam pembicaraan yang mubah Anda harus memperhatikan empat hal:

 

  1. Kesibukan malaikat pencatat amal karena harus mencatat halhal yang tidak ada kebaikan dan manfaaatnya, sudah semestinya seseorang merasa malu kepada keduanya dan tidak menyakiti mereka.

 

Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada Ragib dan “Atid (malaikat yang mengawasi dan menunggu). (Q.S. Oaf: 19)

 

  1. Dengan melakukan itu berarti kita mengirimkan buku catatan kepada Allah dalam keadaan kosong. Dan hendaknya seorang hamba menjaga dirinya dari hal itu serta merasa takut kepada Allah Swt.

Telah diceritakan bahwa ada ulama yang melihat seorang lakilaki sedang mengeluarkan kata-kata keji. Kemudian ulama tersebut berkata: “Wahai saudara! Sungguh celaka. Kamu sedang mengirim tulisan kepada Tuhanmu. Karena itu, perhatikan apa yang kau tulis untuk-Nya.”

 

  1. Pembacaan buku catatan amal tersebut pada hari kiamat di hadapan para raja yang Maha Perkasa, di depan para saksi, di tengah suasana sulit dan bebagai goncangan dalam keadaan dahaga, telanjang, lapar, jauh dari surga dan terhalang dari kenikmatan.

 

  1. Cercaan dan cemoohan karena ucapan yang Anda keluarkan, kehilangan hujjah dan rasa malu kepada Allah.

 

Ada ulama yang mengatakan:

 

Artinya: “Janganlah kamu berlebihan dalam bicara karena perhitungannya akan panjang.”

 

Kiranya keterangan ini sudah cukup sebagai nasehat bagi orang yang mau menerima nasehat.

 

Kami telah menerangkan hal ini secara panjang lebar dan memuaskan di dalam kitab “Asraari Muaamalat Ad-Diin.” Pelajarilah! Semoga Anda mendapatkan pengobatnya.

 

Pasal Keempat: Hati

 

Sebaiknya Anda senantiasa menjaga hati, memperbagus dan mengawasinya dengan baik dan sekuat tenaga. Sebab hati adalah anggota badan yang paling mengkhawatirkan, paling berpengaruh, paling rumit, paling sulit diperbaiki dan susah perawatannya.

 

Dalam hal ini aku akan menerangkan lima pokok bahasan yang sangat urgen.

 

  1. Firman Allah Swt.:

 

Artinya: “Dia Maha mengetahui (pandangan) mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Q.S. Al-Mu’min: 19)

Juga firman Allah:

 

Artinya: “Dan Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hatimu.” (Q.S. Al-Ahzab: 51)

Firman Allah:

 

Artinya: “Sungguh Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (Q.S. Al-Anfal: 43)

 

Berapa kali Allah menyebut dan mengulang masalah ini di dalam Al-Qur an. Cukuplah kiranya pengawasan Dzat yang Maha Mengetahui sebagai peringatan bagi hamba-hamba pilihan. Sebab muamalah (bergaul) dengan Dzat yang Maha Mengetahui segala urusan gaib adalah hal penting yang berbahaya. Karena itu, perhatikanlah apa yang diketahui-Nya dari hati Anda.

 

  1. Hadis Nabi Saw.:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa dan kulitmu, melainkan Dia hanya memandang hatimu.”

Hadis ini menunjukkan bahwa hati adalah pusat pandangan Tuhan semesta alam. Alangkah mengherankan bila seseorang hanya mementingkan wajah yang hanya menjadi pusat pandangan makhluk. Orang tersebut membasuhnya, membersihkannya dari kotoran dan menghiasinya semampu mungkin agar orang lain tidak melihat kekurangan pada dirinya. Dia tidak mementingkan hati yang menjadi tempat pandangan Tuhan semesta alam. Tidak mau membersihkan, menghias dan mengharumkannya agar Allah tidak melihatnya dalam keadaan kotor, jelek, rusak, dan cacat. Bahkan sebaliknya, ia justru memenuhinya dengan hal memalukan, kotor dan keji, yang seandainya orang lain melihat salah satunya saja tentu mereka akan menyingkir dan membiarkannya begitu saja, atau bahkan mengusirnya.

Hanya Allah tempat memohon pertolongan.

 

  1. Sesungguhnya hati bagaikan seorang raja yang ditaati, Bagaikan pemimpin yang diikuti (anak buahnya). Adapun seluruh anggota badan bagaikan pengikutnya. Bukankah jika pemimpinnya baik anak buahnya juga baik? Jika rajanya berbuat lurus rakyatnya juga lurus?

Keterangan ini diambil dari hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya di dalam jasad (manusia) terdapat segumpal darah yang apabila baik, maka baik pula seluruh jasad. Dan apabila rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ingatlah! Itulah hati.”

Jika kebaikan segala sesuatu tergantung padanya (hati), maka sudah seharusnya kita mencurahkan seluruh perhatian padanya.

 

  1. Sesungguhnya hati adalah tempat penyimpanan segala macam permata indah bagi seorang hamba dan juga menyimpan berbagai hal penting.

Yang pertama akal dan puncaknya adalah makrifat kepada Allah yang menjadi salah satu penyebab kebahagiaan dunia akhirat.

Kemudian disusul oleh bermacam pengetahuan dan hikmah yang menjadi kemuliaan seorang hamba, serta seluruh akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan terpuji yang digunakan untuk mendapatkan jenjang kedudukan orang-orang mulia, seperti yang telah kami jelaskan secara panjang lebar di dalam kitab ” Asraari Mu’aamalat Ad Diin.”

Sudah sepantasnya simpanan seperti ini dipelihara dari bermacam kotoran dan kerusakan. Dijaga dari para pencuri atau perampok. Dan juga dimuliakan dengan bermacam kemuliaan agar permata tesebut tidak kotor dan diambil musuh.

 

  1. Setelah kurenungkan keadaannya ternyata aku menemukan lima hal yang tidak dialami oleh anggota tubuh lain:

 

Pertama, musuh yang selalu mengintai dan berusaha mempengaruhinya. Sebab setan selalu bertengger di atas hati manusia, tempat tinggal ilham dan was-wasah yang membisikkan dua ajakan berbeda untuk selamanya, yakni bisikan malaikat Mulhim dan setan.

Kedua, kesibukan yang harus dijalani karena akal dan nafsu tinggal bersama di dalamnya. Hati adalah medan tempur antara dua pasukan, yakni pasukan hawa nafsu dan pasukan akal. Selamanya hati tetap berada di tengah pertempuran dan luncuran panah mereka. Karena itu, sudah seharusnya kalau tempat itu dijaga, dibentengi dan tidak dilupakan.

Ketiga, di dalam hati terdapat banyak rintangan. Bermacam gerak hati seperti panah yang tiada hentinya menghunjam. Bagaikan hujan yang tiada pernah reda, malam dan siang tiada henti. Sementara itu Anda tidak mampu mencegahnya.

Hati tidaklah sama dengan mata yang berada di tengah kedua kelopaknya. Bisa dipejamkan dan merasa nyaman. Atau diletakkan di tempat sepi dan gelap sehingga pandangannya bisa terhambat.

Hati juga tidak sama dengan lidah yang ada di belakang dua sekat, gigi dan bibir. Anda masih mampu menahannya dan membuatnya diam.

Akan tetapi hati adalah obyek bermacam gerak hati yang bagaimanapun juga Anda sendiri tidak mampu menahan dan menjaga diri darinya. Gerak hati tersebut sedetikpun tak bisa lepas dari Anda. Sementara itu hawa nafsu cepat sekali ingin mengikutinya.

Untuk mencegah hati dari semua itu dengan sekuat tenaga merupakan hal berat dan ujian yang paling besar.

Keempat, pengobatannya yang sulit karena tidak bisa Anda lihat, Hampir saja Anda tidak tahu sampai perlahan-lahan merasakan adanya kerusakan di dalamnya dan juga terjadi halhal baru. Untuk itu, Anda harus membicarakannya dengan sempurna, kekuatan penuh, perenungan mendalam dan banyak riyadhah.

Kelima, kerusakan yang lebih cepat menjalar ke dalamnya, karena pergolakan yang terjadi di dalamnya juga amat cepat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pergolakan hati lebih cepat dibanding air mendidih dalam kendil.

Karena itu dalam syair disebutkan:

 

Tidak dinamakan hati selain karena pergolakannya.

Adapun pikiran bisa menciptakan berbagai keadaan pada manusia.

 

Kemudian bila hati telah tergelincir — semoga Allah melindungi kita semua — maka pasti gelincirannya lebih keras dan jatuhnya juga lebih buruk, karena paling tidak hati menjadi keras dan cenderung kepada selain Allah. Sedangkan puncaknya adalah diakhiri (mati) dengan membawa kekufuran.

 

Tidakkah Anda pernah mendengar firman Allah:

 

Artinya: “Dia (Iblis) membangkang dan menyombongkan diri. Dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah: 34)

 

Kesombongan yang bersemayam di hatinya mendorong untuk berani membangkang dan secara lahir berbuat kufur.

 

Adakah Anda tidak mendengar firman Allah:

 

Artinya: “Akan tetapi (Bal’am) lebih senang abadi di muka bumi dan mengikuti hawa nafsunya.” (Q.S. Al-A’raaf: 176)

 

Kecenderungan mengikuti hawa nafsu bersemayam di hati Bal’am. Dan hal itu mendorongnya melakukan dosa buruk yang tercela.

Adakah Anda tidak mendengar firman Allah:

 

Artinya: “Kami membolak-balikkan hati dan mata mereka sebagaiamana pertama kali mereka tidak beriman kepada Al-Jur’an. Dan Kami membiarkan mereka berada dalam kedurhakaan dalam keadaan bingung.” (Q.S. Al-An’aam: 110)

 

Karena arti semacam inilah para hamba Allah yang terpilih senantiasa mengkhawatirkan hati mereka, menangisinya dan mencurahkan seluruh kekuatan untuk menjaganya.

 

Allah berfirman tentang gambaran mereka:

 

Artinya: “Mereka takut pada suatu hari (yang ketika itu) hati dan penglihatan menjadi bergoncang.” (Q.S. An-Nuur: 37)

 

Semoga Allah berkenan menjadikan kita semua bagian dari orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari contoh-contoh yang ada dan mendapat petunjuk di tempat-tempat berbahaya dan mendapatkan taufik untuk memperbagus hati mereka dengan pemikiran yang baik. Sungguh Dia Maha Pengasih di antara para pengasih.

 

Jika ada yang berkata: “Urusan hati seperti ini memang penting sekali. Karena itu, tolong jelaskan usaha apa saja yang bisa memperbagaus dan kerusakan macam apa yang menghadang dan merusaknya. Siapa tahu aku mendapat taufik untuk bersungguh-sungguh menjalaninya.

 

Ketahuilah bahwa rincian keterangan ini sungguh teramat panjang dan tidak akan muat di dalam kitab ini. Akan tetapi para ulama akhirat berupaya dengan sungguh-sungguh untuk bisa menerangkan hal itu dan menyusun kitab yang tak lain hanya menerangkan urusan hati ini.

 

Dalam hal ini mereka menerangkan sekitar 90 hal terpuji dan 90 hal tercela sebagai bandingannya. Kemudian mereka menerangkan sekitar 90 langkah yang wajib dan 90 langkah terlarang, lengkap dengan perinciannya.

 

Sumpah demi hidupku. Sesungguhnya orang yang memperhatikan urusan agama, bangkit dari tidur orang-orang lupa dan melihat dirinya sendiri, jika mendapat taufik dari Allah, tentu tidak akan keberatan mencari dan mengamalkan semua ini.

 

Kami telah menerangkan sedikit tentang itu di dalam kitab “Keajaiban Hati” yang ada di dalam kitab Ihya Ulumiddin dan menerangkan semuanya disertai berbagai rincian dan cara merawatnya di dalam kitab Asraari Mu’aamalat Ad-Diini, yaitu sebuah kitab berbentuk kecil tapi manfaatnya besar. Manfaat kitab tersebut tidak bisa diambil selain oleh ulama-ulama besar yang berpengetahuan sangat dalam.

 

Sedangkan tujuan kitab ini adalah agar bisa digunakan, baik oleh para pemula ataupun orang yang telah mencapai puncak, orang yang kuat maupun yang lemah. Oleh karena itu, kami berpikir tentang hal-hal pokok yang harus diterangkan dalam upaya merawat hati dan yang sangat dibutuhkan dalam ibadah.

 

Kemudian di dalamnya kami menemukan empat hal yang sering menyebabkan para ahli ibadah tergelincir dan menjadi penyakit para mujtahid. Semua itu merupakan fitnah bagi hati dan bencana untuk nafsu, yang akan menghalangi, memperburuk, merusak dan menghancurkan.

 

Kami juga menemukan empat hal sebagai imbangannya, yaitu hal yang bisa menyebabkan para hamba mengatur peribadatan dan memperbagus hati.

 

Keempat penyakit tersebut adalah:

  1. Khayalan (ngelantur, panjang angan-angan)
  2. Tergesa-gesa
  3. Dengki
  4. Takabbur

 

Sedangkan keempat kebaikan (sifat baik) tersebut adalah:

  1. Pendek angan-angan
  2. Tenang dalam mengerjakan berbagai hal
  3. Memberi nasehat kepada (sesama) makhluk
  4. Tawadhuk dan khusyuk (merendahkan diri)

 

Inilah pokok-pokok kebaikan hati dan kerusakannya serta faedah yang samar dan menjadi sentral pembahasan. Oleh karenanya, hedaklah kita mengerahkan kekuatan penuh untuk memelihara diri dari penyakit-penyakit dan berhasil mendapatkan kemuliaan seperti ini, agar Anda tidak perlu mengeluarkan biaya banyak dan memperoleh apa yang Anda inginkan. Insya Allah.

 

Kami akan menerangkan penyakit-penyakit tesebut dalam bahasa yang ringkas tapi penuh makna.

 

  1. Khayalan (Panjang Angan-angan) | Khayalan merupakan perintang seorang hamba dari segala macam kebaikan dan ketaatan. Ia juga menjadi penarik untuk melakukan segala macam keburukan dan fitnah. Ia adalah penyakit parah yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam berbagai macam bencana.

 

Ketahuilah bahwa jika angan-angan Anda sudah melantur, maka dari diri Anda akan muncul empat hal.

 

  1. Meninggalkan ketaatan dan perasaan malas.

Dalam hal ini Anda akan mengatakan: “Nanti saja kukerjakan. hari masih panjang dan hal itu pasti takkan lepas dariku (sempat kukerjakan).”

Benar sekali Dawud Ath-Thaai yang berkata: “Barangsiapa takut ancaman, maka menurutnya sesuatu yang jauh menjadi dekat. Dan barangsiapa panjang angan-angan (suka berkhayal) maka amalnya menjadi buruk.

Yahya bin Muadz Ar-Raazi berkata: “Angan-angan (khayalan) akan memutuskan segala kebaikan. Dan ketamakan akan menghalangi perkara hag. Kesabaran membawa keberuntungan, dan nafsu mengajak melakukan segala macam kejahatan.

 

  1. Meninggalkan tobat dan menundanya. Anda akan mengatakan: “Nanti saja aku bertobat. Hari-hari masih panjang, sementara umurku masih muda. Umurku sedikit, sedangkan tobat berada di depan mata. Aku bisa melakukannya kapanpun aku mau.”

Kadang orang semacam ini diterkam kematian. Maka kematian pun menyambarnya sebelum ia sempat memperbaiki amal.

 

  1. Rakus untuk mengumpulkan harta dan sibuk dengan urusan dunia serta melupakan akhirat. Anda akan mengatakan: ” Aku khawatir miskin di usia senja. Kadang aku tak mampu bekerja dan mau tidak mau harus memiliki simpanan yang kupersiapkan bila sakit, sudah renta atau miskin.

Perasaan ini dan yang sejenisnya termasuk hal yang menggerakkan Anda untuk mencitai dunia dan rakus terhadapnya. Anda juga akan mementingkan rezeki. Anda akan mengatakan: “Apa yang akan kumakan? Apa yang akan kuminum? Apa yang akan kupakai? Sekarang musim dingin. Sekarang musim panas. Sementara aku tidak memiliki apa-apa. Siapa tahu umurku panjang dan membutuhkan semua itu? Padahal memenuhi kebutuhan di waktu tua amatlah sulit. Sementara itu, aku harus makan dan tidak meminta-minta pada orang lain.”

Perasaan seperti ini dan yang sejenisnya akan menggerakkan Anda untuk mencari dunia, mencintai, menumpuk dan menimbunnya. Hal ini paling tidak akan membuat hati Anda sibuk, menyia-nyiakan umur, menambah keprihatinan dan kesedihan Anda yang tiada berguna. Seperti apa yang diceritakan dari Abu Dzarr r.a. Beliau berkata: “Aku telah . terbunuh oleh keprihatinan terhadap suatu hari yang tak pernah kutemui.”

Ada yang bertanya: “Bagaimana bisa demikian wahai Abu Dzarr! Beliau menjawab: “Karena angan-anganku melebihi batas umurku.”

 

  1. Hati menjadi keras dan melupakan akhirat. Sebab jika berkhayal akan berumur panjang, pasti Anda tak lagi mengingat kematian dan alam kubur seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib r.a.: “Sesungguhnya sesuatu yang paling kukhawatirkan menimpa kalian semua adalah dua hal, yaitu panjang anganangan (berkhayal) dan mengikuti hawa nafsu. Ingatlah bahwa sesungguhnya khayalan itu akan melupakan ahkirat dan mengikuti hawa nafsu akan mencegah seseorang dari sesuatu yang haq.”

 

Kalau sudah begitu, tentu pikiran atau yang Anda pentingkan adalah membicarakan dunia, hal yang menyebabkan bisa hidup, bergaul dengan masyarakat dan sebagainya. Kemudian hati Anda akan menjadi keras karenanya. Sedangkan yang membuat hati menjadi lunak danjernih adalah mengingat kematian, alam kubur, pahala, siksaan dan hal ihwal urusan akhirat. Jika dari ini semua tak satupun yang terdapat di hati Anda, maka bagaimana mungkin hati menjadi lunak dan jernih?

 

Allah berfirman:

 

Artinya: ” Kemudian berlalulah masa panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras.” (Q.S. Al-Hadid: 16)

 

Dengan begitu jika Anda melanturkan angan-angan (berkhayal), maka sedikit sekali kataatan yang Anda kerjakan, tobat Anda tertunda, maksiat menjadi banyak, kerakusan makin menjadi-jadi, hati menjadi keras, dan Anda menjadi orang yang terlalu melupakan akibat yang akan didapatkanya di ahkirat. Akhirnya hilanglah ahkirat Anda. Lalu apa kejadian yang lebih buruk dari ini? Kerusakan apakah yang lebih besar dari ini? Semua ini disebabkan oleh khayalan (angan-angan yang melantur).

 

Adapun jika Anda memendekkan angan-angan, mendekatkan diri pada kematian (selalu mengingatnya), mengingat kawankawan dan saudara-saudara Anda yang dikejutkan oleh kematian pada saat yang tidak mereka perhitungkan, Anda akan sadar bahwasiapa tahu Anda sendiri mengalami hal yang sama dengan mereka. Maka waspadalah hai nafsu! Ingatlah apa yang dikatakan oleh Auf bin Abdullah: “Dan berapa banyak orang yang hidup di suatu hari dan tak sempat menyempurnakannya. Berapa banyak orang yang menunggu pagi dan tidak sempat menjumpainya.”

 

Jika Anda melihat batas umur dan perjalanannya niscaya Anda akan membenci khayalan dan tipuan yang dibuatnya.

 

Tidakkah Anda mendengar perkataan Isa bin Maryam a.s. bahwa dunia ini terbagi menjadi tiga:

  1. Hari kemarin yang telah berlalu, dan Anda tidak mendapat apa-apa darinya.
  2. Hari esok yang Anda sendiri tidak tahu bisa menjumpainya atau tidak.
  3. Hari yang sedang Anda jalani (hari ini). Karena itu ambillah keuntungan darinya.

 

Kemudian ingatlah perkataan Abu Dzar Al-Ghifari berikut ini: ” Dunia ini terbagi menjadi tiga kesempatan.

  1. Kesempatan yang telah berlalu.
  2. Kesempatan yang sedang Andajalani saat ini.
  3. Kesempatan yang Anda sendiri tidak tahu bisa menjumpainya atau tidak (kesempatan setelah ini).”

 

Jadi, pada hakekatnya Anda hanya memiliki satu kesempatan. Kematian terus menunggu dari waktu ke waktu.

 

Selanjutnya ingat pula perkataan guru kami Abu Bakar rahimahullah: “ Dunia ini bagaikan tiga tarikan nafas:

  1. Nafas yang telah berlalu. Yaitu nafas yang Anda pergunakan untuk mengerjakan apa saja.
  2. Nafas yang sedang Anda jalani.
  3. Nafas yang Anda sendiri tidak tahu bisa menjumpainya atau tidak. Sebab betapa banyak orang yang menarik nafas satu kali, lalu ia dikejutkan oleh kematian sebelum sempat menarik nafas kedua kalinya.

 

Pada hakekatnya Anda hanya memiliki satu tarikan nafas, bukan sehari ataupun satu jam. Karena itu, dengan satu tarikan nafas ini bersegeralah menjalankan ketaatan sebelum kesempatan itu hilang. Segeralah bertobat. Siapa tahu pada tarikan nafas yang kedua Anda sudah mati. Jangan terlalu mementingkan rezeki, karena bisa saja Anda tak lagi hidup dan membutuhkannya. Kalau itu yang diutamakan, waktu Anda menjadi sia-sia dan keprihatinan Anda juga tiada gunanya.

 

Untuk apa seseorang mementingkan rezeki yang hanya dibutuhkan untuk sehari, satu jam, atau satu tarikan nafas? Tidakkah ia mengingat sabda Nabi Saw. tentang Usamah? Beliau bersabda:

 

Artinya: “Tidakkah kalian merasa heran kepada Usamah yang membeli dengan tempo sebulan? Sesungguhnya Usamah telah berkhayal. Demi Allah aku tidak meletakkan satu telapak kaki dan berpikir bisa mengangkatnya kembali. Aku tidak pernah menyuap satu suapan dan berpikir bisa menelannya sampai kematian menyusulku. Demi Dzat yang nyawaku berada dalam “genggaman” – Nya. Sesungguhnya apa yang telah dijanjikan pada kalian pasti akan datang. Dan kalian takkan dapat melemahkan Allah.”

 

Jika Anda mengingat peringatan-peringatan ini dan tekun menjalaninya dengan cara mengulang-ulang, maka angan-angan Anda pasti menjadi pendek dengan izin Allah. Saat itu diri Anda akan terlihat bersegera menjalankan ketaatan dan bertobat. Dengan begitu Anda gugur dari kemaksiatan, berzuhud dari dunia dan usaha untuk mencarinya. Lalu perhitungan (hisab) dan tanggung jawab Anda menjadi ringan. Hati Anda memasuki suasana mengingat akhirat dan hal-hal menakutkan yang ada di dalamnya. Semua itu hanya karena dari satu nafas ke nafas berikutnya, ia berjalan menuju ke sana dan melihatnya satu persatu. Kemudian kekerasan hati akan hilang dan nampaklah kelembutan serta kejernihan. Saat itulah Anda akan merasa takut kepada Allah, istiqamah dalam beribadah, memiliki harapan kuat untuk mempersiapkan diri Anda dari kematian dan meraih apa yang Anda inginkan di akhirat. Semua itu didapat karena satu hal, yaitu angan-angan yang pendek setelah mendapatkan anugerah dari Allah.

 

Diceritakan bahwa setelah Zararah bin Aufa wafat, beliau ditanya seseorang di dalam mimpinya: ” Amal apa yang lebih tepat menurut Anda?”

 

Beliau menjawab: “Rida dan pendek angan-angan (tidak berkhayal).”

 

Wahai saudaraku! Lihatlah dirimu. Kerahkan seluruh kemampuan untuk pokok agama yang penting ini. Sebab hal itu memang sesuatu yang paling penting untuk mencapai kebaikan hati dan diri seseorang.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan rahmat-Nya.

 

  1. Kedengkian

 

Dengki merupakan hal yang bisa merusak ketaatan dan mendorong seseorang untuk melakukan berbagai kesalahan. Dengki juga suatu penyakit menular yang banyak diujikan kepada para ahli Al-Qur’an dan ulama, lebih-lebih orang awam dan orangorang bodoh. Sehingga kedengkian tersebut akan merusak dan menjerumuskan mereka ke dalam neraka.

 

Tidakkah Anda mendengar sabda Nabi Saw. berikut ini:

 

Artinya: “Enam golongan masuk ke dalam neraka karena melakukan enam hal: 1) Bangsa Arab karena fanatik terhadap sukunya. 2) Para penguasa karena kezalimannya. 3) Para pemimpin karena bersikap sombong. 4) Para pedagang karena pengkhianatannya. 5) Penduduk kampung (pedalaman) karena kebodohannya. 6) Para ulama karena kedengkiannya.”

 

Suatu kerusakan yang keburukannya saja bisa menyeret para ulama ke dalam neraka. Maka sudah semestinya kita waspada terhadapnya.

 

Ketahuilah bahwa kedengkian itu bisa menimbulkan lima hal: 1. Rusaknya ketaatan. Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Kedengkian akan memakan kebaikan bagaikan api yang memakan kayu bakar.”

 

  1. Perbuatan maksiat dan hal-hal buruk.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Wahb bin Munabbih bahwa orang yang merasa dengki memiliki tiga ciri-ciri:

  1. Saat berhadapan menampakkan rasa senang (menjilat)
  2. Saat jauh akan menggunjing
  3. Merasa gembira dengan musibah yang menimpa orang lain (yang didengki)

Kiranya Anda sudah cukup tahu kalu Allah memerintahkan agar kita berlindung dari orang yang dengki. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (Q.S. al-Falaq: 5)

 

Dia memerintahkan agar kita berlindung dari orang yang dengki seperti Dia juga memerintahkan agar kita berlindung dari kejahatan setan dan tukang sihir. Betapa banyak keburukan yang ditimbulkan rasa dengki hingga pelakunya disejajarkan dengan setan dan tukang sihir. Bahkan tidak ada penolong dan tempat berlindung darinya kecuali hanya Allah, Penguasa alam semesta.

 

  1. Kepayahan dan keprihatinan yang tak berguna.

Bahkan keduanya merupakan dosa dan kemaksiatan seperti yang dikatakan oleh Ibnu As-Samak rahimahullah: “ Aku tidak pernah melihat orang zalim yang pelakunya lebih menyerupai orang yang dizalimi selain orang yang dengki. Ia terus bernafas, pikirannya kosong dan susah berkepanjangan.”

 

  1. Kebutaan dalam hati. Sehingga orang yang dengki nyaris tidak mengetahui satu hukum di antara hukum-hukum Allah.

Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata: “Sebaiknya engkau selalu diam. Dengan begitu kau akan memiliki sikap wara’. Jangan rakus pada dunia, maka dirimu akan terpelihara. Jangan suka mencela, maka kau akan terhindar dari dibicarakan orang banyak. Danjangan merasa dengki, maka kau akan memahami sesuatu dengan cepat.”

 

  1. Halangan dan hinaan.

Orang yang dengki nyaris tidak dapat meraih apa yang diinginkan dan bantuan untuk mengalahkan musuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Hatim Al-Asham: “Orang yang iri bukanlah orang yang beragama. Orang yang mencela bukanlah ahli ibadah. Orang yang mengadudomba bukanlah orang terpercaya. Dan orang yang dengki tidak akan mendapat pertolongan.”

 

Menurutku, bagaimana mungkin orang yang dengki meraih keinginannya, sementara yang diinginkan adalah hilangnya kenikmatan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Bagaimana mungkin ia mendapat pertolongan untuk mengalahkan musuhnya jika yang menjadi musuhnya adalah hamba-hamba Allah yang beriman.”

 

Alangkah indah apa yang dikatakan oleh Abu Ya gub berikut ini: “Ya Allah! Berilah kesabaran atas kesempurnaan nikmat yang ada pada hamba-Mu dan juga bersabar atas kebaikan mereka.”

 

Dengki adalah penyakit yang akan merusak ketaatan Anda dan memperbanyak keburukan serta maksiat Anda. Ia juga akan mencegah Anda dari rasa nyaman di dalam jiwa, kepahaman hati, pertolongan untuk mengalahkan musuh dan mencapai keinginannya.

 

Sekarang penyakit apa lagi yang lebih berbahaya dari ini? Untuk itu hendaklah Anda memelihara jiwa dari penyakit tersebut.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.

 

  1. Tergesa-gesa dalam beribadah

Sikap ini malah bisa menghilangkan apa yang menjadi tujuannya dan menjerumuskannya dalam berbagai kemaksiatan, Sebab dari sikap tersebut akan muncul empat macam afat.

 

  1. Orang yang beribadah menginginkan sebuah kedudukan dan terkadang ia tergesa-gesa untuk mendapatkannya, padahal hari itu belum tiba saat yang telah ditentukan baginya. Lalu ia pun tidak bersemangat dan berputus asa. Maka ia tak lagi bersungguh-sungguh dan terhalang dari kedudukan tersebut. Kalau tidak begitu ia bertindak melampaui batas dan menyusahkan dirinya. Maka ia pun tak dapat mencapai kedudukan tersebut. Dengan begitu ia berada di antara keteledoran dan keterlaluan, yang keduanya merupakan buah dari sikap tergesa-gesa.

Diceritakan dari Nabi Saw. beliau bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya agama kami adalah agama yang kokoh. Jalanilah dengan pelan-pelan, sebab orang yang berpatah semangat itu tidak bisa melintasi bumi dan tidak pula terus berada di atas punggung hewan tunggangan.”

Dalam sebuah peribahasa ada ungkapan lain yaitu: “Jika kamu tidak tergesa-gesa pasti kamu akan sampai (ke tempat tujuan).”

Dalam sebuah syair diungkapkan:

 

Orang-orang melakukan sesuatu dengan pelan dapat mencapai sebagian kebutuhannya.

Dan orang yang tergesa-gesa kadang malah meleset (tidak mendapatkannya).”

 

  1. Seorang hamba memiliki suatu kebutuhan dan memohon kepada Allah untuk mendapatkannya. Kemudian ia memperbanyak doa dan bersungguh-sungguh. Kadang ia tergesa-gesa untuk segera dikabulkan sebelum tiba waktunya. Lalu ia berputus asa dan tidak lagi berdoa. Akhirnya ia pun tidak terpenuhi kebutuhannya dan tujuannya juga tidak tercapai.

 

  1. Hamba tersebut dizalimi oleh seseorang. Lalu ia segera berdoa agar orang yang menzaliminya ditimpa kerusakan. Maka ada seorang muslim yang tertimpa kecelakaan karena (doa) hamba tersebut. Atau hamba tadi bertindak melebihi batas sehingga ja terperosok ke dalam kemaksiatan dan kerusakan.

Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Dan seseorang berdoa dengan suatu keburukan seperti za berdoa meminta kebaikan. Dan manusia itu memang suka tergesagesa.” (Q.S. Al-Israa’: 11)

 

  1. Inti ibadah adalah wara’. Sedangkan wara’ berasal dari pandangan yang teliti dan penyelidikan secara matang terhadap segala sesuatu yang dikerjakan seperti makan, minum, berbicara, dan melakukan sesuatu.

 

Jika seseorang tergesa-gesa dalam berbagai urusan, tidak melakukannya dengan pelan dan berhati-hati untuk mencari titik terang dalam urusan tersebut, tentu ia tidak bisa berhenti pada satu pokok permasalahan dan melihat segala sesuatu dengan benar sebagaimana mestinya.

 

Dengan segera ia berbicara dan terpeleset ke dalam kesalahan. la bersegera untuk makan lalu terjatuh ke dalam hal-hal haram dan syubhat. Begitu pula dengan urusan-urusan yang lain. Ia pun kehilangan sikap wara’. Lalu bagaimana mungkin kebaikan dalam Ibadah bisa tercapai tanpa adanya sikap wara?

 

Jika hamba tersebut sudah terputus dari kedudukan. kedudukan baik, terhalang dari kebutuhan-kebutuhan, merusak kaum muslimin dan dirinya sendiri, dikhawatirkan akan kehilangan sikap wara’nya yang menjadi modal utama. Untuk itu, sudah semestinya bila seluruh manusia memperhatikan hal itu dan berusaha menghilangkannya. Dan setelah itu ia memperbaiki dirinya.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan karunia dan anugerah-Nya.

 

  1. Takabur

Kesombongan adalah sebuah sikap yang bisa merusak segalanya. Tidakkah Anda mendengar firman Allah:

 

Artinya: “Iblis membangkang serta menyombongkan diri. Dan dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah: 34)

 

Sikap seperti ini tidak seperti sikap-sikap lain yang hanya merusak amal dan membahayakan cabang-cabang agama. Akan tetapi sikap ini juga membahayakan inti agama (keimanan) dan merusak agama juga keyakinan.

 

Jika sikap seperti ini tertanam kuat dan menguasai hati, maka tiada lagi yang bisa diharapkan. Na’udzubillah. Paling tidak dari sikap tersebut akan muncul empat kerusakan:

  1. Terhalang dari kebenaran, kebutaan hati dari pengetahuan tentang ayat-ayat Allah dan memahami hukum-hukum-Nya

Allah berfirman:

 

Artinya: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (Q.S. Al-A’raaf: 146)

Firman Allah:

 

Artinya: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.S. A-Mu min: 35)

 

  1. Kemurkaan dan kebencian Allah.

Firman Allah:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (Q.S. An-Nahl: 23)

Diceritakan bahwa Nabi Musa a.s. bertanya: “Wahai Tuhanku! Siapakah makhluk yang paling membuat-Mu benci?” Allah berfirman: “Orang yang hatinya sombong, mulutnya kasar, matanya sipit (tak pernah menangis), tangannya pelit dan pekertinya buruk.

 

  1. Siksaan serta hinaan di dunia dan akhirat.

Hatim Al-Asham berkata: “Jangan sampai kamu mati saat melakukan salah satu dari tiga hal, yaitu sombong, rakus dan pamer kedudukan. Sebab orang yang sombong tidak akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia ini sebelum kehinaannya ditampakkan kepada keluarga dan para pelayannya yang paling hina. Orang yang rakus tidak akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia ini sebelum ia dibuat sangat membutuhkan sekerat roti atau seteguk air dan tidak bisa memperolehnya. Sedangkan orang yang pamer kedudukan tidak akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia ini sebelum disungkurkan ke dalam air seni dan kotorannya.

Ada seorang ulama mengatakan: “Barangsiapa bersikap sombong tidak pada tempatnya, maka Allah akan mewariskan kehinaan yang nyata.”

 

  1. Neraka dan siksaan di akhirat seperti diceritakan bahwa Allah berfirman (dalam hadis qudsi):

 

Artinya: “ Kesombongan adalah selendang (sifat)-Ku. Keagungan adalah kain (sifat)-Ku. Barangsiapa mencopot salah satunya dariKu, maka Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.”

Artinya keagungan dan kesombongan termasuk dari sifat-sifat yang khusus bagi-Ku. Karena itu tidak pantas kalau sifat itu ditempatkan pada selain Aku, seperti selendang dan kain yang khusus dipakai oleh seseorang tentu tidak pantas jika keduanya dipakai orang lain.

 

Jika ada sebuah sikap yang membuat Anda luput dari pengetahuan tentang kebenaran dan memahami arti ayat-ayat Allah dan hukum-hukumnya, segala hal yang menjadi inti agama dan membuahkan murka dari Allah Swt., membuahkan hinaan di dunia dan siksa neraka di akhirat seperti ini, maka tidak seharusnya orang yang memiliki akal lupa diri dan tidak memperbaikinya dengan cara menghilangkan sikap tersebut, menjaga diri dan memohon pertolongan kepada Allah dari hal itu. Dia Maha Agung yang menguasai pemeliharaan dan taufik dengan anugerah-Nya.

 

Demikianlah sedikit keterangan tentang apa yang bisa kami kemukakan tentang empat macam kerusakan (panjang angan-angan, Tergesa-gesa, dengki, dan Takabbur).

 

Orang yang berakal cukup melihat salah satunya, apa lagi jika melihat keempatnya, tentu ia akan lebih berhati-hati mementingkan urusan hatinya dan menjauhkan hal tersebut dari urusan agamanya.

 

Jika Anda bertanya: “Kalau demikian keadaannya maka hal itu harus diketahui hakekat dan batasannya. Oleh karena itu tolong terangkan agar kami mengetahui cara menjaga diri darinya.”

 

Ketahuilah bahwa masing-masing membutuhkan banyak keterangan. Hal itu sudah kami terangkan secara panjang lebar di dalam kitab “Ihya Ulumiddin” dan kitab “Asraari Mu’aamalat Ad-Diin”. Di dalam kitab ini kami hanya menerangkan secara garis besar dan apa yang memang harus diketahui. Karena itu, kami akan menerangkannya satu persatu.

 

Angan-angan

 

Para ulama mengatakan bahwa yang dinamakan angan-angan adalah keinginan untuk hidup dalam waktu yang cukup lama dengan penuh keyakinan (memastikan hal itu akan terjadi pada dirinya —Pen.). Adapun pendek angan-angan adalah tidak memastikan apa yang menjadi keinginannya seperti dengan cara menyandarkan keinginan tersebut pada pengecualian, kehendak Allah dan pengetahuan-Nya di dalam mengutarakan keinginan tersebut, atau dalam menginginkannya disertai syarat adanya kebaikan.

 

Dengan begitu, jika Anda mengatakan bahwa aku pasti hidup sampai tarikan nafas kedua, dua jam lagi, atau dua hari lagi, itu berarti Anda termasuk orang yang mengkhayal (panjang anganangan).

 

Hal itu bagi Anda termasuk sebuah kemaksiatan karena, memastikan sesuatu yang gaib.

 

Jika Anda menyandarkan ucapan tersebut pada kehendak dan pengetahuan Allah serta mengatakan: “Jika Allah menghendaki aku masih akan hidup” atau “Jika Allah mengetahui bahwa aku masih akan hidup”, maka Anda pun telah keluar dari hukum berangan-angan dan berpredikat meninggalkan angan-angan.

 

Begitu juga jika Anda secara pasti menginginkan hidup untuk kedua kalinya, maka Anda termasuk oang yang berangan-angan, Tapi jika Anda menyandarkan keinginan tersebut pada syarat adanya kebaikan, maka Anda telah keluar dari hukum beranganangan dan berpredikat pendek angan-angan, sebab tidak memasukkan kata pasti di dalamnya.

 

Oleh karena itu, sebaiknya Anda tidak usah memastikan sebuah kekekalan dan menginginkannya.

 

Yang dimaksud dengan “mengatakan” di sini adalah kata hati, yaitu memantapkan dan meneguhkan hati pada hal itu.

 

Pahamilah keterangan ini! Semoga Anda mendapat petunjuk. Insya Allah.

 

Kemudian angan-angan ini ada dua macam, yaitu anganangan yang bersifat umum dan angan-angan yang bersifat khusus.

 

Angan-angan yang bersifat umum yaitu bila Anda menginginkan kehidupan yang abadi untuk mengumpulkan kekayaan dunia dan bersenang-senang di dalamnya. Hal ini termasuk kemaksiatan murni dan yang menjadi kebalikannya adalah pendek angan-angan.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenangsenang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (Q.S. Al-Hijr: 3)

 

Sedangkan angan-angan yang bersifat khusus yaitu jika Anda menginginkan kehidupan yang kekal untuk mengumpulkan amal baik yang masih menyimpan kekhawatiran. Hal itu berupa amal yang belum diyakini kebaikannya, sebab terkadang amal itu baik dilakukan dengan sempurna atau tidak, tidak mendatangkan kebaikan bagi seorang hamba. Bisa saja saat melakukan amal tadi hamba tersebut terperosok ke dalam sifat ujub dan kerusakan yang tidak seimbang dengannya.

 

Kalau begitu berarti seorang hamba yang memulai ibadahnya tidak boleh memastikan bisa menyempurnakannya, karena penyempurnaan tersebut termasuk hal gaib. Ia tidak boleh menginginkan ibadah tersebut secara pasti, karena terkadang hal itu tidak membawa kebaikan. Akan tetapi hamba tersebut hendaknya menyandarkan amal itu pada pengecualian atau syarat adanya kebaikan agar ia selamat dari angan-angan yang tercela.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut) Insya Allah.” (Q.S. Al-Kahfi: 23-24)

 

Menurut para ulama kebalikan dari angan-angan semacam ini adalah niat terpuji. Mereka mengemukakan pendapat seperti ini karena semacam kelonggaran, yaitu orang yang memiliki niat terpuji biasanya tidak senang berangan-angan.

 

Inilah hukum angan-angan dan niat terpuji, karena hal itu memang sudah dibutuhkan dan perlu diketahui. Sebab masalah ini memang sangat penting.

 

Para ulama menyebutkan yang lebih luas lagi tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa niat yang benar dan terpuji adalah memastikan keinginan untuk melakukan suatu amal dan menyempurnakannya sebelum memulai amal yang baru disertai penyerahan diri dan pengecualian (Insya Allah) dalam menyempurnaannya.

 

Jika ada yang bertanya: “Kenapa pada saat memulai diperbolehkan memastikannya tapi untuk menyempurnakan harus disertai penyerahan diri dan pengecualian?”

 

Alasannya, karena saat memulai tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan dan hal itu belum terlambat. Juga karena adanya kekhawatiran saat menyempurnakan amal tersebut. Sebah saat menyempurnakan suatu amal ia sudah terlanjur melakukannya. Kemudian dari situ muncul dua kekhawatiran: Pertama khawatir tidak bisa wushul (sampai ke tempat tujuan). Ia tidak tahu entah bisa wushul atau tidak. Yang kedua adalah khawatir amal tersebut menjadi rusak. Ia tidak tahu apakah amal tersebut baik atau tidak.

 

Jadi, ia harus mengecualikan (dengan lafal Insya Allah) karena mengkhawatirkan sampai dan tidaknya amal tersebut. Ia juga harus berserah diri karena mengkhawatirkan kerusakannya.

 

Bila keinginan Anda sudah memenuhi syarat-syarat di atas berarti keinginan tersebut sudah masuk dalam kategori niat terpuji yang bisa mengeluarkan seseorang dari batas panjang anganangan dan kerusakannya.

 

Oleh karenanya, renungkanlah keterangan ini dengan sungguh-sungguh.

 

Ketahuilah bahwa benteng pendek angan-angan adalah mengingat kematian. Dan benteng yang menjadi penjaganya adalah mengingat maut yang selalu datang tiba-tiba, tanpa disangka-sangka dan datang di saat lengah.

 

Peliharalah semua keterangan ini. Semoga Allah memberikan taufik. Sebab kebutuhan untuk itu sudah mendesak. Jangan siasiakan waktu Anda untuk beromong kosong dan berselisih pendapat dengan orang lain.

 

Hanya Allah yang memberikan taufik dengan anugerah-Nya.

 

Kedengkian

 

Dengki adalah keinginan hilangnya nikmat-nikmat yang yang diberikan kepada Allah dari saudara-saudara yang beragama Islam berupa nikmat kebaikan.

 

Jika Anda tidak menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut tapi hanya ingin agar diri Anda mendapatkan yang seperti itu, maka keinginan tersebut dinamakan ghibthah (bercita-cita ingin mendapat seperti orang lain tanpa merasa iri).

 

Cita-cita seperti inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya berikut ini:

 

Artinya: “Tidak diperbolehkan mendambakan nikmat milik orang lain kecuali dalam dua hal…

 

Beliau mengungkapkan “ghibthah” dengan kata “hasad” hanya untuk memberi kelonggaran, karena keduanya memiliki arti yang hampir sama.

 

Bila nikmat yang diberikan oleh Allah tidak mengandung kebaikan baginya, lalu Anda menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut, maka hal itu dinamakan “ghirah” (kecemburuan).

 

Kebalikan dari sikap dengki adalah “nashihah”, yaitu keinginan agar nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada saudara Anda mengandung kebaikan tetap melekat padanya.

 

Jika ada pertanyaan: “Bagaimana caranya mengetahui bahwa nikmat itu mengandung kebaikan atau tidak, agar kami bisa merasa nashih atau merasa dengki?”

 

Ketahuilah bahwa kita pasti memiliki sebuah dugaan yang lebih kuat. Bagi kita dugaan kuat seperti itu bisa disejajarkan dengan pengetahuan.

 

Kemudian jika hal itu terlihat sama, artinya dugaan bahwa hal itu mengandung kebaikan dan tidak, sama-sama kuat, maka jangan sekali-kali menginginkan hilangnya suatu kenikmatan atau tetap melekatnya nikmat tersebut dari sesama muslim kecuali dengan menyandarkannya pada Allah dan dengan syarat hal itu mengandung kebaikan, agar Anda terbebas dari hukum kedengkian dan mendapatkan manfaat “nashihah”.

 

Benteng yang dapat melindungi pertahanan di atas adalah mengingat keagungan yang diberikan oleh Allah, seperti hak seorang mukmin dan kedudukan tinggi. Selain itu masih ada kemuliaan-kemuliaan yang akan diberikan Allah kelak di akhirat dan manfaat-manfaat lain yang diberikan-Nya di dunia seperti saling menolong, saling membantu, berjamaah, dan salat Jum’at. Kemudian syafaat (pertolongan) yang Anda harapkan di akhirat kelak.

 

Semua ini termasuk bagian dari hal-hal yang membangkitkan “nashih” kepada setiap muslim dan menjauhkan Anda dari perasaan dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.

 

Tergesa-gesa

 

Tergesa-gesa adalah sesuatu yang tersusun rapi dalam hati seseorang dan mendorongnya untuk melakukan segala macam keinginan dengan segera tanpa menyelidikinya terlebih dahulu.

 

Kebalikan dari sikap ini adalah al-anat, yaitu sesuatu yang tersusun rapi di dalam hati dan membangkitkan kehati-hatian dalam segala hal, berpikir tentang hal itu dan tidak tergesa untuk mengukuti dan mengamalkannya.

 

Tawaquf (kebimbangan) adalah kebalikan dari Ta’assuf (melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang, teledor — Pen).

 

Guru kami berkata: “Perbedaan antara kebimbangan (tawaquf) dan perlahan-lahan (ta’anniy) adalah: Sesungguhnya kebimbangan itu dilakukan sebelum memulai suatu pekerjaan sampai ia merasa yakin bahwa apa yang akan dikerjakan itu memang benar. Sedangkan perlahan-lahan dilakukan setelah memulainya sehingga ia bisa melakukan bagian-bagiannya dengan sempurna.

 

Permulaan “anat” (perlahan-lahan) adalah mengingat kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul dalam segala hal yang dihadapkan kepadanya. Mengingat kerusakan yang ditakutinya, mengingat keselamatan yang diperoleh dengan kehati-hatian dan mengingat apa yang diperoleh dengan tawagguf dan isti’jal (tergesa-gesa) seperti penyesalan dan cemoohan.

 

Semua ini dan yang sejenisnya merupakan hal-hal yang membangkitkan seseorang untuk perlahan-lahan dan bimbang dalam melakukan sesuatu serta mencegahnya dari ketergesagesaan dan keteledoran.

 

Hanya Allah yang menguasai pemeliharaan dengan rahmatNya.

 

Kesombongan

 

Ketahuilah bahwa kesombongan adalah gerak hati untuk menganggap agung diri sendiri, dan akibatnya bersikap sombong.

Adapun dhi’ah atau rendah diri adalah merendahkan diri, dan akibatnya muncul sikap tawadhu’. Masing-masing bersifat umum dan khusus.

Tawadhu’ yang bersifat umum adalah mencukupkan diri pakaian, tempat tinggal dan kendaraan yang tidak mewah.

Kesombongan yang menjadi bandingannya adalah bermewah-mewah dalam hal tersebut.

Tawadhu’ yang bersifat khusus adalah melatih diri untuk menerima kebenaran dari siapapun datangnya, baik orang yang hina ataupun mulia.

Kesombongan yang menjadi bandingannya adalah hanya menerima kebenaran yang datang dari orang-orang yang mulia.

Kesombongan semacam ini merupakan dosa besar dan kesalahan yang fatal.

Kemudian benteng tawadhu’ yang bersifat umum adalah mengingat asal-muasal, kesudahan dan apa yang terjadi saat ini, – Seperti kerusakan dan hal-hal yang kotor.

Sebagian ulama berkata: “Permulaanmu adalah setetes air mani yang menjijikkan. Kesudahanmu adalah bangkai yang berbau, dan kamu hidup di antara keduanya sambil membawa kotoran.

Benteng tawadhu’ yang bersifat khusus adalah mengingat Siksaan bagi orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan terus menerus berada dalam kebathilan.

Inilah keterangan yang bisa dianggap cukup oleh orang yang waspada.

Hanya Allah yang memberikan taufik dengan anugerah-Nya,

 

Pasal Kelima: Perut dan Pemeliharaannya

 

Wahai orang yang berkehendak untuk beribadah! Hendaklah Anda senantiasa memelihara perut dan meperbaikinya. Sebab perut merupakan anggota tubuh yang paling sulit diperbaiki oleh orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya. Perut juga banyak memerlukan biaya, banyak menyita waktu, sangat berbahaya dan juga sangat berpengaruh. Semua itu disebabkan karena perut merupakan sumber segala macam penyakit. Dari situ akan muncul beberapa hal yang berhubungan dengan anggota badan lain seperti kekuatan, ketidakmampuan, pemeliharaan diri (iffah) tak mau beribadah, dan lain-lain.

 

Jadi pada awalnya Anda harus senantiasa memeliharanya dari barang haram dan syubhat. Setelah itu baru memeliharanya dari kelebihan barang halal kalau Anda memang memiliki keinginan kuat untuk menjalankan ibadah.

 

Anda harus menjauhkannya dari barang haram dan syubhat karena tiga hal:

 

  1. Memelihara diri dari api neraka Jahannam. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim itu sebenarnya mereka memasukkan api ke dalam perut mereka. Dan mereka akan masuk ke dalam neraka sa’iir.” (QS. An-Nisaa’: 10)

 

Nabi Saw. juga bersabda:

 

Artinya: “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka api neraka lebih berluk membakarnya.”

 

  1. Orang yang memakan barang haram dan syubhat ditolak menghadap Allah dan tidak akan mendapat taufik untuk menjalankan ibadah, karena tidak ada yang pantas melayani Allah selain orang-orang yang suci dan bersih. Menurut pendapatku, bukankah Allah telah melarang orang yang sedang junub masuk ke dalam rumah-Nya (masjid)? Ia juga melarang orang yang berhadas memegang kitab suci-Nya.

Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan (jangan mendekat ke masjid) ketika sedang junub kecuali hanya melewati jalan sampai kalian semua mandi.”

Allah juga berfirman:

 

Artinya: “Tidak diperbolehkan menyentuhnya selain orang-orang yang suci.” (Q.S. al-Waqiah: 79)

Padahal junub dan hadas adalah sesuatu yang timbul dari Sesuatu yang diperbolehkan. Lalu bagaimana jika yang melakukannya adalah orang yang berlepotan lumpur haram dan barang syubhat yang najis? Kapan hal itu akan mengajaknya untuk melayani Allah yang Maha Luhur dan mengingat yang Maha Mulia?

Tak mungkin. Hal itu selamanya tak mungkin akan terjadi.

Mu adz Ar-Raazi berkata: “Ketaatan itu tersimpan di dalam gudang Alah. Kunci untuk membukanya adalah doa. Dan gigi anak kuncinya adalah barang halal. Bila kunci itu tidak bergigi, maka pintunya tidak akan terbuka. Dan bila pintu gudang tida terbuka, maka bagaimana mungkin bisa sampai dan mengambil ketaatan yang ada di dalamnya?

 

  1. Orang yang memakan makanan haram dan syubhat akan terhalang dari malakukan kebaikan. Apabila secara kebetulan ja melakukannya, maka kebaikan itu pun ditolak. Jadi, ia tidak menghasilkan apapun selain kepayahan, kesukaran dan buangbuang waktu.

Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Banyak sekali orang yang beribadah di malam hari dan yang didapatkannya hanyalah begadang. Banyak orang yang berpuasa dan yang didapatkan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga.”

Diceritakan dari Ibnu Abbasr.a.: “Allah tidak akan menerima salat dari orang yang di dalam perutnya terdapat barang haram.”

 

Camlan hal ini baik-baik!

 

Adapun kelebihan barang halal, maka ketahuilah bahwa itu adalah kerusakan bagi para ahli ibadah dan bencana bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya.

 

Kemudian aku merenung dan menemukan sepuluh kerusakan yang sangat pokok dalam hal ini:

 

  1. Banyak makan membuat seseorang berhati keras.

Diceritakan dari Nabi Saw. beliau bersabda:

 

Artinya: “Jangan membunuh hati kalian dengan banyak makan dan minum, karena hati akan mati bagai tanaman yang terendam air”

Orang-orang saleh menggambarkan bahwa perut itu bagaikan periuk yang berada di bawah hati dan dididihkan. Uapnya naik ke atasnya (hati). Uap yang banyak akan membuat hati menjadi keruh dan hitam.

 

  1. Banyak makan menimbulkan fitnah bagi seseorang, membangkitkannya untuk mencari kelebihan barang halal dan membuat kerusakan. Sebab seseorang yang perutnya kenyang tentu akan melecehkan nikmat. Matanya selalu ingin memandang hal-hal haram yang tidak ada gunanya atau kelebihan barang halal. Telinganya ingin mendengarkan hal itu. Mulutnya ingin membicarakan hal haram dan tak berguna. Kemaluannya ingin mendapatkan apa yang disukainya. Dan kaki hendak melangkah ke arah itu.

Jika seseorang merasa lapar, maka seluruh anggota badannya akan tenang, dia, tidak menginginkan sesuatu dan tidak ada gairah untuk itu.

Al-Ustadz Abu Ja’far mengatakan bahwa perut adalah satu anggota tubuh. Jika ia lapar, maka seluruh badan menjadi kenyang (diam). Bila ia kenyang, maka seluruh badan menjadi lapar.

Intinya, semua perbuatan dan ucapan seseorang disesuaikan dengan makanan dan minumannya. Jika ada barang haram yang masuk ke dalamnya, maka yang keluar (muncul) adalah perbuatan dan ucapan haram. Jika yang masuk adalah kelebihan barang halal, maka yang keluar juga kelebihan barang halal (sesuatu yang tak berguna). Makanan bagaikan biji perbuatan dan ucapan yang akan tumbuh dan muncul darinya (perut).

 

  1. Banyak makan membuat seseorang berdaya pikir rendah dan kurang pengetahuan. Sebab perut yang penuh akan menghilangkan kecerdasan.

Benar sekali yang dikatakan oleh Ad-Daarani berikut ini: “Jika kamu memiliki suatu kebutuhan dari bermacam kebutuhan dunia dan akhirat, maka janganlah kamu makan sebelum mendapatkannya, sebab makan itu dapat merubah pikiran.”

Ini semua adalah sesuatu yang jelas dan diketahui oleh orang yang pernah mencobanya.

 

  1. Banyak makan bisa mengurangi ibadah seseorang. Sebab apabila seseorang terlalu banyak makan tentu badannya menjadi berat, matanya mengantuk, anggota badan mengendor dan tidak bisa melakukan ibadah sedikitpun. Ia tidak akan bersungguh-sungguh kecuali untuk tidur bagai bangkai yang ditelentangkan.

Ada orang yang mengatakan: “Jika kamu kenyang, maka anggaplah dirimu orang yang lumpuh.”

Telah diceritakan dari Nabi Yahya a.s. bahwa Iblis menampakkan diri pada beliau dengan membawa beberapa jerat. Lalu Nabi Yahya bertanya kepadanya: “Hai Iblis! Apa yang kau bawa itu?” Iblis menjawab: “Ini adalah syahwat yang kupakai untuk memburu keturunan Adam.” Yahya bertanya lagi: “Apakah kamu menemukan sesuatu pada diriku untuk kau jerat?” Iblis menjawab: “Tidak. Hanya saja pada suatu malam engkau merasa kenyang dan aku membuatmu merasa berat melakukan salat.” Yahya berkata: “Sungguh aku tidak akan makan kenyang setelah kejadian itu untuk selamalamanya.” Iblis berkata: ” Akujuga pasti tidak akan memberikan nasehat sebaik ini kepada siapapun untuk selamanya.”

Beginilah keadaan orang yang seumur hidup hanya satu malam merasa kekenyangan. Lalu bagaimana dengan orang yang seumur hidupnya tidak merasa lapar kecuali hanya semalam dan ia berharap bisa beribadah?

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Ibadah bagaikan perusahaan. Kedainya adalah menyepi dan alat yang digunakan adalah lapar.”

 

  1. Banyak makan menghilangkan rasa manis dalam beribadah. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata: ” Aku tidak penah merasa kenyang semenjak masuk Islam agar bisa merasakan manisnya beribadah kepada Tuhanku. Aku tidak pernah merasakan puasnya minum semenjak masuk Islam karena teramat rindu untuk segera bertemu dengan Tuhanku.”

Inilah ciri-ciri orang yang telah terbuka hijabnya. Karena itu, Abu Bakar telah menjadi orang yang mukasyafah, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:

 

Artinya: “ Kelebihan Abu Bakar atas kalian bukanlah karena puasa dan salatnya tapi apa yang tertanam kuat di dalam dirinya.” Ad-Daarani berkata: “Ibadah yang kurasakan paling manis adalah saat perutku lengket dengan lambungku.”

 

  1. Banyak makan menimbulkan kekhawatiran terjerumus ke dalam barang syubhat dan haram. Sebab barang halal yang datang kepada Anda tak lain hanya sebagai penguat.

Telah diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya tidak ada barang halal yang datang kepadamu selain hanya sebagai penguat, sedangkan barang yang haram datang kepadamu secara berbondong-bondong.”

 

  1. Banyak makan menimbulkan kesibukan pada hati dan badan, Mula-mula seseorang sibuk untuk mendaptkannya. Yang kedua ia akan sibuk menyiapkannya dan yang ketiga sibuk memakannya. Lalu yang keempat ia akan sibuk mengeluarkannya. Setelah itu ia akan sibuk menyelamatkan diri dari bahaya yang ditimbulkan seandainya makanan tersebut menimbulkan bahaya pada tubuhnya atau bahkan makanan tersebut bisa merusak agamanya.

Rasulullah Saw. pernah bersabda:

 

Artinya: “Inti segala macam penyakit adalah kekenyangan. Dan inti segala macam obat adalah mengurangi makan.” Artinya, lapar dan menghindari pantangan.

 

Diceritakan dari Malik bin Dinar bahwa beliau berkata: “Wahai sudara-sudaraku! Aku berulangkali masuk ke dalam jamban karena banyak makan, sampai aku merasa malu kepada Tuhanku. Alangkah senangnya bila rezekiku berada di dalam kerikil yang dapat kukulum sampai mati.”

 

Sehubungan dengan keterangan di atas, sehingga menjadikan orang yang ingin beribadah mau tidak mau harus mencari dunia, mengharap pemberian orang lain dan menyia-nyiakan waktu karena banyak makan selama ia tidak merasa takut.

 

  1. Kepayahan yang didapatkan di akhirat sulitnya sakaratul maut.

Diceritakan dalam beberapa hadis bahwa kesulitan sakaratul maut sesuai dengan kelezatan dunia. Barangsiapa yang memperbanyak hal itu (merasa lezat) maka sakaratpun terasa lebih sulit.

 

  1. Berkurangnya pahala di akhirat.

Artinya: ” Kalian telah menghilangkan keenakan-keenakan dalam kehidupan dunia dan bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian akan dibalas dengan azab yang hina karena kesombongan yang tidak sepantasnya di muka bumi dan juga karena kalian berbuat fasik.” (Q.S. Al-Ahqaaf: 20)

Sesunggunya ukuran kelezatan yang Anda rasakan di dunia akan mengurangi kelezatan yang ada di akhirat. Karena itulah, saat Allah menampakkan dunia ini kepada Nabi Muhammad Saw. Dia berfirman: “Dan aku tidak akan sedikitpun mengurangi kelezatanmu diakhirat.” Prioritas seperti ini menunjukkan bahwa selain beliau akan mengalami pengurangan kecuali bila ia diberi anugerah oleh Allah.

Diceritakan bahwa Khalid bin Walid menjamu sahabat Umar bin Al-Khaththab. Beliau menyiapkan makanan tersebut. Maka sahabat Umar bertanya: “Makanan ini untukku. Lalu bagaimana dengan kaum fakir, para muhajirin, orang-orang yang mati kelaparan dan belum pernah merasakan kenyangnya makan roti gandum?” Khalid menjawab: “Wahai amirul mukminin! Mereka telah mendapatkan surga.” Umar berkata: “Jika mereka mendapatkan surga dan makanan ini bagian kita, maka mereka jelas sangat berbeda dengan kita.”

Diceritakan bahwa pada suatu hari sahabat Umar r.a. merasa haus dan beliau meminta air. Seseorang memberikan sebuah cawan berisi air rendaman kurma kepada beliau. Saat mendekatkan cawan tersebut ke mulut, beliau merasakan air yang amat dingin dan manis. Lalu beliau tidak jadi meminumnya dan mendesah. Maka orang yang mengambilkan cawan tersebut berkata: ” Wahai Amirul mukminin! Demi Allah, aku telah membuat minuman itu semanis mungkin.” Maka sahabat Umar menjawab: “Itulah yang membuatku tidak jadi minum. Seandainya tidak ada kehidupan akhirat tentu aku akan menyamai kehidupan kalian.”

 

  1. 10. Banyak makan menimbulkan penahanan, hisab, celaan dan cemoohan, karena mengambil kelebihan barang halal secara tidak sopan dan mencari kesenangan syahwat. Padahal harta dunia yang halal menimbulkan hisab, yang haram menimbulkan siksaan, dan perhiasannya membawa kerusakan.

 

Inilah sepuluh kerusakan yang berkaitan dengan kelebihan barang halal dan masing-masing kiranya sudah mencukupi bagi orang yang mau melihat kepada dirinya sendiri.

 

Oleh karena itu, hai orang yang bersungguh-sungguh, hendaklah Anda sangat berhati-hati dalam mencari makanan agar tidak terjerumus ke dalam barang haram atau syubhat yang membuat Anda berhak disiksa. Selain itu, hendaknya Anda mencukupkan diri dengan barang yang halal sekedar untuk persiapan melakukan ibadah kepada Allah sehingga tidak terjerumus ke dalam hal buruk yang membuat Anda tertahan.

 

Hanya Allah yang menugasai taufik.

 

Jika Anda mengatakan: “Sekarang tolong jelaskan terlebih dahulu kepada kami, bagaimana hukumnya barang yang haram dan syubhat beserta batasannya!”

 

Jawabanku begini: “Demi Allah aku telah menerangkannya secara panjang lebar di dalam kitab “Asraari Mu’aamalat Ad-Diin”. Aku juga menyebutkannya dalam bab tersendiri di dalam kitab “Ihya Ulumiddin”. Akan tetapi kami akan menerangkan beberapa kalimat tersendiri sekira bisa dicapai oleh orang yang daya pemahamannya rendah dan baru memulai ibadahnya, karena memang yang menjadi tujuan utama kitab ini adalah agar bisa dimanfaatkan oleh para pemula dan bisa menolong orang yang sedang belajar.

 

Sebagian ulama mengatakan bahwa segala sesuatu yang Anda yakini bahwa itu milik orang lain dan dilarang oleh agama, maka hal itu adalah murni haram. Sedangkan sesuatu yang belum diyakini milik orang lain tapi menurut dugaan yang kuat hal itu milik orang lain, maka hal itu adalah syubhat.

 

Ulama yang lain mengatakan bahwa barang yang murni haram adalah sesuatu yang Anda yakini atau diduga kuat sebagai sesuatu yang dilarang Allah. Sebab dugaan yang kuat bagi kami sama dengan yakin dalam banyak hukum. Sedangkan jika tandatandanya seimbang dan tidak ada lagi keraguan serta tidak ada yang lebih unggul, hal itu termasuk syubhat. Ia bisa saja halal dan juga bisa haram. Jadi, bagi Anda hal itu belum jelas.

 

Kemudian mencegah diri dari sesuatu yang murni haram adalah suatu kewajiban. Dan mencegah diri dari sesuatu yang syubhat adalah suatu ketakwaan atau sikap wara’. Inilah pendapat yang lebih terpilih di antara dua pendapat.

 

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang menerima bonus yang diberikan oleh para sultan (penguasa) di zaman sekarang ini?”

 

Ketahuilah bahwa dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama mengatakan bahwa segala sesuatu yang belum diyakini keharamannya itu boleh diterima.

 

Ulama yang lain berkata: “Seseorang tidak diperbolehkan menerima (mengambil) sesuatu yang belum diyakini kehalalannya. Sebab diduga kuat harta-harta yang dimiliki oleh para penguasa di zaman sekarang ini adalah haram dan tidak ada sedikitpun atau jarang sekali barang halal di tangan mereka.”

 

Ulama lain berkata: “Pemberian para penguasa itu halal bagi orang kaya dan miskin, karena harta tersebut belum nyata keharamannya, sedangkan tanggung jawabnya (bila harta itu haram —Pen.) dibebankan kepada si pemberi (penguasa tersebut).” Mereka berani berkata begitu karena Nabi Saw. pernah menerima hadiah dari Mugaugis yang menjadi raja Iskandariyah dan beliau juga pernah berutang kepada orang Yahudi. Sementara Allah telah berfirman:

 

Artinya: “Mereka (orang-orang Yahudi) banyak memakan barang haram: (Q.S. Al-Maaidah: 42)

 

Mereka juga mengatakan bahwa ada sekelompok ulama yang mengalami masa pemerintahan orang-orang zalim dan menerima pemberian mereka. Di antara ulama tersebut terdapat Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan ulama-ulama lain, semoga — Allah meridai mereka semua.

 

Ulama lain berkata: “Tidak ada sedikitpun dari harta mereka yang halal bagi orang kaya maupun miskin, karena mereka biasa disebut sebagai orang yang zalim dan harta mereka kebanyakan haram. Oleh karena itu, hukum yang dipakai adalah yang lebih banyak. Dengan begitu, maka diwajibkan untuk menjauhi (harta)nya.

 

Ulama lain mengatakan bahwa segala sesuatu (dari para penguasa) yang belum diyakini keharamannya adalah halal bagi orang miskin dan haram bagi orang kaya, kecuali jika si miskin tahu bahwa harta itu hasil dari ghashab, maka ia tidak boleh mengambilnya kecuali untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Orang miskin tidak berdosa jika mengambil (menerima) pemberian dari penguasa, karena bila harta tersebut memang milik si penguasa dan diberikan kepada orang miskin, maka ia boleh saja mengambilnya tanpa ragu. Dan bila harta itu berasal dari hasil rampasan perang, pajak, atau potongan sepersepuluh, maka orang fakir berhak memilikinya, begitu juga dengan orang yang ahli ilmu.

 

Ali bin Abu Thalib r.a. berkata: “Barangsiapa masuk Islam dengan membawa ketaatan dan secara lahir membaca Al-Qur’an, maka setiap tahun ia berhak mendapat bagian dua ratus dirham, atau dua ratus dinar dari baitul-maal milik kaum muslimin. Jika ja tidak mengambilnya saat hidup di dunia, maka ia akan mengambilnya di akhirat.”

 

Kalau begitu, maka orang fakir dan ahli ilmu berhak mengambil haknya.

 

Para ulama mengatakan: “Jika harta tersebut telah bercampur baur dengan harta hasil ghashab dan tidak mungkin memisahkannya, atau harta tersebut memang harta ghashab yang tidak mungkin dikembalikan kepada pemilik dan keluarganya, maka penguasa tersebut tidak memiliki jalan lain kecuali menyedekahkannya. Allah tidak memerintahkan kepada penguasa untuk bersedekah kepada orang-orang fakir dan melarang si fakir menerimanya. Allah tidak mungkin menyuruh orang fakir menerima sesuatu dan mengharamkan barang tersebut untuknya. Jadi, orang yang fakir boleh menerima pemberian kecuali yang benar-benar hasil ghashab atau haram.

 

Masalah ini tidak mungkin dijelaskan tanpa pembahasan yang panjang, berat dan mengartikan setiap pendapat serta keluar dari tujuan utama kitab ini. Jika Anda ingin mengetahuinya, maka lihatlah kitab “Halal dan haram” bagian dari kitab “Ihya Ulumiddin” yang telah kami susun, tentu di dalamnya akan Anda temukan penjelasannya secara jelas. Insya Allah.

 

Jika ditanyakan: “Bagaimana pendapat Anda tentang pemberian para pedagang pasar dan sebagainya? Haruskah pemberian tersebut ditolak dan dibahas terlebih dahulu? Sementara Anda telah mengetahui jual-beli mereka yang hanya dikira-kira (tanpa ditimbang) dan minimnya perenungan mereka dalam pekerjaan mereka. Begitu pula dengan pemberian saudarasaudara yang lain.”

 

Jawabannya adalah: “Jika secara lahir manusia tersebut bersikap baik dan tersembunyi (keburukannya), maka tak ada salahnya bila Anda menerima pemberian dan sedekah mereka. Tak ada lagi yang perlu dipertanyakan seperti yang Anda katakan bahwa zaman telah menjadi rusak, karena itu hanya buruk sangka terhadap seorang muslim. Bahkan berbaik sangka terhadap kaum muslimin adalah sesuatu yang diperintahkan.

 

Kemudian ketahuilah bahwa yang terpenting dalam menerima pemberian ini adalah dua hal:

  1. Hukum agama dan lahirnya.
  2. Hukum wara’ dan keharusannya.

 

Menurut hukum agama, Anda boleh menerima sesuatu dari seseorang yang secara lahir bersifat baik kecuali Anda merasa yakin bahwa barang tersebut benar-benar hasil ghashab atau haram. Adapun menurut hukum wara’, Anda boleh menerima sesuatu dari seseorang setelah mempertanyakannya secara detail dan membahasnya dengan benar sampai merasa yakin bahwa barang tersebut tidak mengandung syubhat. Jika tidak, maka Anda harus menolaknya.

 

Telah diceritakan dari sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. bahwa salah seorang pelayan beliau datang membawakan susu dan beliau langsung meminumnya. Pelayan tersebut berkata: “Setiap kali aku datang membawakan susu, Anda pasti menanyakan kepadaku tentang susu tersebut. Tapi kali iri Anda tidak menanyaiku tentang susu ini.”

 

Abu Bakar bertanya: “Bagaimana ceritanya?”

 

Pelayan tersebut menjawab: “Pada masa jahiliyah aku pernah membuat penangkal untuk suatu kaum, lalu mereka memberikan susu ini kepadaku.”

 

Maka Abu Bakar segera memuntahkan susu tersebut dan berdoa: “Ya Allah. Hanya inilah kemampuanku. Dan apa yang tersisa dalam ototku, maka Engkaulah yang menghisabnya.”

 

Hal ini menunjukkan keharusan Anda untuk mempertanyakan apa yang disodorkan jika Anda memang memiliki pikiran untuk bersikap wara’ dan memenuhi apa yang harus dilakukan di dalamnya.

 

Jika Anda berkata: “Kalau begitu seakan-akan sikap wara’ berbeda dengan agama dan hukumnya.”

 

Ketahuilah bahwa syarak (agama) itu dibuat atas dasar mempermudah dan mempermurah. Karena itu pula Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Aku diutus dengan agama yang dicenderungi dan dipermurah.”

 

Sikap wara’ dibuat atas dasar memberatkan dan kehati-hatian seperti yang dikatakan oleh seorang ulama bahwa urusan agama bagi orang yang bertakwa itu lebih rumit daripada menghitung sembilan puluh sembilan dengan hitungan jari.”

 

Selain itu sikap wara’ juga berasal dari agama. Pada mulanya dua hal tersebut adalah satu. Akan tetapi agama mempunyai dua hukum, yaitu hukum “boleh” dan “lebih utama untuk lebih berhati-hati”. Hukum “boleh” dinamakan hukum syarak. Sedangkan yang lebih utama untuk berhati-hati” dinamakan wara’. Meski berbeda keduanya tetapi hanya dalam satu prinsip.

 

Pahamilah keterangan ini. Semoga Anda mendapat petunjuk.

 

Jika Anda berkata: “ Apabila diperbolehkan mempertanyakan sesuatu serta menyelidikinya, maka semua yang Anda terima di zaman sekarang ini tentu rusak dan sulit sekali mencari orang yang benar-benar bersikap wara’, karena ia harus memiliki bekal untuk bisa sampai pada tingkat ketaatan.”

 

Ketahuilah bahwa jalan wara’ ini sangat sulit ditempuh dan orang yang ingin menitinya disyaratkan harus memantapkan diri dan hatinya untuk menanggung segala kesulitan. Jika tidak, maka ia tidak akan dapat menitinya dengan sempurna. Karena alasan ini ini pula banyak orang yang ahli dalam hal wara’ dan orangorang terdahulu berjalan menuju gunung Lebanon dan tempattempat lain. Mereka merasa cukup dengan memakan rumput dan buah-buahan yang tak berharga dan tidak mengandung syubhat sama sekali.

 

Maka barangsiapa bercita-cita tinggi untuk mencapai kedudukan tersebut, hendaknya siap menanggung berbagai kesulitan, menjalaninya dengan sabar dan mengikuti langkah mereka supaya bisa mencapai kedudukan tersebut.

 

Sedangkan jika ia tetap tinggal di tengah masyarakat dan memakan barang yang silih berganti di antara mereka, maka hendaklah ia menganggapnya bagaikan bangkai. Ia tidak mengambil kecuali dalam keadaan terpaksa. Kemudian ia juga tidak mencarinya selain hanya sekedar cukup sebagai bekal untuk mencapai ketaatan. Dengan begitu, ia memiliki alasan untuk memakannya dan hal itu tidak akan membahayakan dirinya meski pada dasarnya barang tersebut berupa syubhat, sebab Allah lebih lebih baik dalam menerima alasan.

 

Oleh karena itu, Hasan Al-Bashri berkata: “Pasar telah menjadi rusak. Karena itu, hendaklah kamu sekalian mengambil makanan sekedar untuk penguat. Aku benar-benar telah mendengar kabar bahwa Wahb bin Al-Warid memperlapar dirinya selama satu, dua, atau tiga hari. Kemudian ia mengambil roti dan berkata, Ya Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak kuat beribadah. Aku juga khawatir menjadi lemah. Jika tidak karena itu aku tidak akan memakannya. Ya Allah! Jika di dalamnya ada sesuatu yang kotor (syubhat) atau haram, maka janganlah Engkau menyiksaku karenanya.” Lalu beliau membasahi roti tersebut dengan air dan memakannya.

 

Menurut sepengetahuan kami, inilah dua jalan menuju tingkatan tertinggi dari orang-orang yang bersikap wara.

 

Sedangkan orang yang berada setingkat di bawah tingkatan ini, mereka memiliki sikap berhati-hati sesuai dengan derajat yang mereka miliki. Mereka juga memiliki bagian dari derajat wara’ sesuai dengan tingkatannya. Dan sesuai dengan jerih payah yang Anda kerjakan, maka Anda pun akan mendapatkan apa yang Anda harapkan.

 

Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala seseorang yang memperbagus amalnya. Dan Dia Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

 

Jika ada pernyataan: “Keterangan ini baru pada sisi yang haram. Oleh karena itu, sekarang tolong terangkan sisi yang halal, apa batasan kelebihan barang halal yang yang tidak mengharuskan seseorang ditahan dan dihisab, seberapa ukuran harta yang jika diambil oleh seorang hamba menjadi suatu kesopanan tidak menjadi fudhul serta tidak menyebabkan penahanan dan hisab baginya!”

 

Ketahuilah bahwa keadaan sesuatu yang mubah itu secara global terbagi menjadi tiga macam:

 

  1. Sesuatu yang diambil oleh seorang hamba dengan tujuan membanggakan diri, memperbanyak harta dan pamer. Mengambil harta semacam ini termasuk perbuatan yang secara lahir mengharuskan pelakunya ditahan, dihisab, dicela dan dicemooh. Sedangkan secara batin pengambilan tersebut termasuk perbuatan mungkar dan buruk, yaitu memperbanyak harta, menyombongkan diri dan siksaan di dalam neraka.

Tujuan semacam ini termasuk kemaksiatan dan suatu dosa berdasarkan firman Allah:

 

Artinya: “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah main-main, permainan dan hiasan.” sampai pada firman: “Kelak di akhirat akan menghadapi siksa yang pedih.” (Q.S. Al-Hadiid: 20)

Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Barangsiapa mencari harta dunia yang halal untuk bermegah-megahan, memperbanyak dan karena pamer, maka ia akan bertemu Allah, sedangkan Dia dalam keadaan murka.”

Jadi, ancaman tersebut dihubungkan pada tujuan yang ada di dalam hatinya.

 

  1. Seseorang mengambil harta tersebut secara halal karena mengikuti keinginan nafsu semata. Perbuatan semacam itu termasuk perbuatan buruk dan mengharuskan pelakunya ditahan dan di hisab berdasarkan firman Allah:

 

Artinya: “Kemudian kamu semua pasti akan dimintai pertanggungjawaban pada hari itu mengenai nikmat yang diberikan.” (Q.S. At-Takaatsur: 8)

Nabi Saw. bersabda: 

 

Artinya: “(Harta dunia itu) halalnya akan dihisab.”

 

  1. Seseorang mengambil harta halal pada saat uzur (beralasan) sekedar untuk menolong dirinya agar bisa beribadah kepada Allah dan merasa cukup hanya dengan itu.

Mengambil harta tersebut termasuk baik, bersopan-santun, tidak ada perhitungan (hisab) untuknya dan juga tidak ada siksa karenanya. Bahkan harta semacam itu mengharuskan adanya pahala dan pujian berdasarkan firman Allah:

 

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan.” (Q.S. al-Baqarah: 202)

Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Barungsiapa mencari harta dunia yang halal untuk menjaga din dari menunta minta, berbelas kasih pada tetangganya dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, maka pada hari kiamat ma akan datang dengan muka cemerlang bagaikan bulan saat purnama.”

Halitu disebabkan tujuan yang ingin dicapainya adalah karena Allah.

 

Pahamilah keterangan penting ini.

 

Jika ditanyakan: “Apa yang disyaratkan dalam mengambil perkara mubah sehingga hal itu bisa menjadi suatu kebaikan seperti yang Anda katakan tadi?”

 

Ketahuilah bahwa pada dasarnya hal itu memiliki dua syarat. Yang pertama, keadaan dan yang kedua, adalah tujuan.

 

Keadaan yang dimaksud di sini adalah mengambilnya dalam keadaan uzur. Artinya jika tidak mengambil barang tersebut maka ja dituntut oleh dirinya sendiri. Untuk lebih jelasnya, jika ia tidak mengambil perkara mubah tersebut, maka ia tidak bisa melakukan kewajibanatau kesunatan. Dengan begitu, berarti mengambil perkara mubah tersebut baginya lebih baik ketimbang meninggalkannya, sebab tidak mengambil perkara dunia yang mubah termasuk keutamaan. Jika itu yang terjadi, maka itulah yang dinamakan keadaan uzur.

 

Adapun tujuan yang dimaksud di sini adalah mengambilnya dengan niat untuk persiapan dan pertolongan dalam beribadah kepada Allah. Hal itu dilakukan dengan berkata dalam hati “Seandainya hal itu tidak mengantarkan pada ibadah kepada Allah, tentu aku tidak akan mengambilnya.” Inilah yang dinamakan mengingat alasan kuat (hujjah).

 

Jika ia bisa mengingat hujjah dalam keadaan uzur, maka pengambilannya terhadap harta dunia yang halal bisa menjadi kebaikan dan kesopan-santunan.

 

Sedangkan bila keadaannya adalah keadaan uzur tapi ia tidak memiliki tujuan seperti ini, atau ia memiliki tujuan seperti ini tapi tidak dalam keadaan uzur, maka pangambilan tersebut tidak termasuk dalam kategori kebaikan.

 

Kemudian untuk menjaga kelangsungan bersopan-santun seperti ini Anda membutuhkan kewaspadaan dan tujuan yang bulat, yaitu tidak akan mengambilnya sama sekali kecuali sekedar persiapan untuk beribadah kepada Allah sehingga jika ia lupa tidak mengingat hujjah, maka ia cukup menggunakan tujuan bulat tanpa harus memperbaharui mengingat hujjah.

 

Guru kami Abu Bakr Al-Warraq berkata: “Tiga hal ini menjadi Syarat utama untuk mengambil perkara mubah dari sisi masingmasing.” Artinya, mengingat hujjah dan keadaan (uzur) itu menjadi syarat utama untuk menjadikan pengambilan tersebut sebagai sesuatu yang pada dasarnya sudah baik.

 

Adapun tujuan bulat yang berasal dari kewaspadaan dan menduduki derajat kesopanan itu dibutuhkan untuk kelangsungannya (keistiqamahannya).

 

Pahamilah keterangan tersebut. Semoga Anda mendapat petunjuk.

 

Jika ditanyakan: “Apakah mengambil harta dunia yang halal dengan syahwat itu temasuk perbuatan maksiat? Apakah ia berhak disiksa? Dan apakah mengambil dengan suatu alasan (uzur) itu suatu kewajiban?”

 

Ketahuilah bahwa hal itu adalah sebuah keutamaan dan kami menamakannya sebagai kebaikan. Sementara perintah yang ada di situ adalah mendidik kesopanan.

 

Adapun mengambil dengan syahwat itu merupakan suatu keburukan. Larangan yang ada di situ adalah suatu kesopanan dan bukan termasuk maksiat. Oleh karena itu, ia tidak berhak mendapat siksaan, tapi hanya penahanan, hisab, celaan dan : cemoohan.

 

Jika Anda bertanya: “Apa yang dimaksud dengan hisab dan penahanan yang harus diterima oleh seorang hamba?”

 

Ketahuilah bahwa hisab tersebut adalah, Anda akan ditanya mengenai apa yang Anda usahakan, dibelanjakan untuk apa dan apa tujuan yang ingin Anda capai dengan hal itu. Sedangkan penahanan di sini adalah tertahan dari masuk surga saat terjadi hisab (perhitungan) dan hal itu dilakukan di pelataran Makhsyar di antara peristiwa-peristiwa mengerikan dan hal-hal yang menakutkan di dalamnya dalam keadaan telanjang dan sangat haus.

 

Cukuplah kiranya hal itu sebagai bencana.

 

Jika dikatakan: “Kalau begitu Allah telah menghalalkan barang yang halal ini bagi kita. Lalu untuk apa masih ada makian dan cacian dalam pengambilannya?”

 

Ketahuilah bahwa makian dan cacian itu karena ia tidak sopan. Seperti halnya orang yang diundang dalam jamuan makan di rumah seorang penguasa. Lalu ia tidak bersikap sopan. Ia akan dimaki dan dicaci karena ketidak-sopanannya, meski makanan tersebut boleh ia makan.

 

Yang penting dalam bab ini adalah bahwa Allah menciptakan semua hamba untuk beribadah (menghamba). Dia tetap hamba Allah walau dilihat dari segi manapun. Oleh karena itu, seorang hamba harus beribadah kepada Allah dari segala arah yang mampu dilakukannya. Dia juga harus menjadikan semua yang dikerjakannya sebagai ibadah dari segala segi yang ia kuasai. Jika ia tidak melakukan hal itu dan memilih menuruti keinginan nafsunya serta sibuk dengan keinginan tersebut hingga lalai dari beribadah kepada Tuhannya, sementara itu ia mampu malakukannya tanpa mengalami kesulitan, sedangkan posisinya saat ini adalah posisi melayani dan menghamba, bukan bersenangsenang dan menuruti syahwat, maka dia berhak mendapat makian dan cacian dari tuannya.

 

Oleh karena itu, renungkanlah hal penting ini. Semoga Anda mendapat petunjuk. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

 

Inilah keterangan secara menyeluruh yang kami maksudkan dalam memperbaiki diri dan cara mengendalikannya dengan kendali takwa. Karena itu, peliharalah keterangan ini sebaik mungkin dengan benar dan jagalah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan memperoleh banyak kebaikan di dunia dan akhirat. Insya Allah.

 

Hanya Allah yang menguasai pemeliharaan dan taufik dengan anugerah-Nya.

 

Melihat keterangan di atas hendaklah Anda mengerahkan seluruh kemampuan untuk mengatasi (melewati) tahapan panjang ini. Sebab tahapan ini adalah tahapan yang paling sukar, banyak mengeluarkan biaya, banyak cobaan dan fitnahnya. Karena sesungguhnya semua orang menjadi rusak karena terputus dari jalan kebenaran. Ada yang terputus karena dunia, makhluk, setan, atau nafsu. Kami telah banyak menerangkan apa yang dapat membangkitkan seseorang agar mementingkan pengerahan seluruh tenaganya di dalam kitab-kitab yang kami susun seperti Ihya Ulumiddin,Al-Asraardan “Qurbah Ilallah.

 

Sedangkan tujuan kitab (Minhajul Abidin) ini adalah kami memohon kepada Allah agar Dia berkenan memperlihatkan kami pada rahasia pengobatan nafsu, memperbaiki diri kami, dan agar dia berbuat baik pada kami. Karena itu, di dalam kitab ini kami cukup menerangkan secara ringkas tapi penuh makna sehingga jika Allah menghendaki, maka orang yang mau merenungkannya merasa puas dan bisa menempatkannya padajalan yang nyata.

 

Sedang pasal berikut ini khusus menerangkan ringkasan mengenai pengobatan diri dari pengaruh dunia, makhluk, setan, dan nafsu.

 

  1. Dunia

Dalam masalah dunia seharusnya Anda berhati-hati dan berzuhud di dalamnya. Karena segala sesuatu tidak pernah lepas dari tiga hal:

  1. Adakalanya Anda memiliki kewaspadaan dan kecakapan. Anda cukup mengatasinya dengan merasa bahwa dunia adalah musuh Allah sedangkan Dia adalah kekasih Anda. Dunia adalah perusak akal, sedangkan akal adalah harga diri Anda.
  2. Adakalanya Anda adalah orang yang memiliki keinginan luhur dan bersungguh-sungguh dalam beribadah, karena itu Anda cukup mengatasinya dengan merasa bahwa dunia, keburukannya saja bisa menghalangi Anda dari keinginan beribadah, menyibukkan pikiran hingga melalaikan Anda dari ibadah dan berbuat baik. Lalu bagaimana dengan dunia itu sendiri?
  3. Adakalanya Anda termasuk golongan yang lalai dan tidak memiliki kewaspadaan sehingga tidak bisa melihat kebenaran. Juga tidak memiliki keinginan luhur yang membangkitkan Anda untuk mencari berbagai kemuliaan. Kalau itu yang terjadi, maka Anda cukup mengatasinya dengan merasa bahwa dunia itu tidaklah abadi. Kadang Anda memisahkan diri darinya, atau dia yang memisahkan diri dari Anda. Seperti yang dikatakan oleh Hasan Al-Bashri: Jika dunia ini tetap ada untukmu, maka kamu tidak selamanya hidup di dunia.

Lalu manfaat apa yang Anda dapatkan jika mencari dan menghabiskan umur yang sangat berharga untuk mendapatkannya?

Sungguh indah ucapan seorang penyair berikut ini:

Anggap saja dunia ini digiring kepadamu dengan mudah.

Tapi bukankah pada akhirnya ia akan sirna?

Apa yang Anda harapkan dari kehidupan yang tiada abadi

dan tak lama lagi akan digantikan oleh malam.

Duniamu tak lain bagaikan bayang-bayang.

Menaungimu dan dengan segera pergi berlalu (meninggalkanmu).

 

Oleh karena itu, tidak sepantasnya orang yang memiliki akal sehat terbujuk olehnya.

Benar sekali apa yang diungkapkan oleh seorang penyair:

 

Bagaikan mimpi penghias tidur atau bayang-bayang yang sirna, Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan terbujuk oleh hal-hal seperti itu.

  1. Setan

Dalam masalah setan ini Anda cukup memperhatikan firman Allah Swt. kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.:

 

Artinya: Dan katakanlah hai Muhammad! Ya Tuhanku. Aku berlindung kepada-Mu dari bisikan setan-setan. Dan aku berlindung kepada-Mu wahai Tuhanku dari kedatangan mereka kepadaku.(Q.S. Al-Mukminuun: 97-98)

 

Padahal Nabi Muhammad adalah makhluk yang terbaik, terpandai, paling cerdas dan paling mulia di sisi Allah dibanding makhluk lain. Dia masih dianjurkan memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan setan. Lalu bagaimana dengan Anda yang bodoh, tidak sempurna dan lalai?

 

  1. Makhluk Dalam masalah makhluk ini Anda cukup mengatasinya dengan merasa bahwa jika Anda mencampuri dan mengikuti keinginan mereka, maka Anda telah berdosa dan merusak urusan akhirat Anda sendiri. Jika Anda meninggalkan mereka tentu akan sulit menghindari perlakuan yang menyakitkan dan pengingkaran mereka. Lalu hal itu bisa memperkeruh urusan dunia Anda. Anda juga tidak akan merasa aman dari desakan mereka sampai kadang memusuhi dan membenci mereka sehingga Anda terjerumus dalam keburukan mereka. Dan sesungguhnya jika mereka memuji dan mengagungkan, aku khawatir akan membuat Anda terkena fitnah dan merasa dirinya baik. Dan jika mereka mencela serta menghina, aku khawatir suatu saat Anda merasa sedih dan di saat lain merasa marah bukan karena Allah, dan dua hal ini adalah bencana yang merusak.

 

Kemudian ingatlah bagaimana keadaan Anda dengan mereka setelah terkubur selama tiga hari. Bagaimana mereka meninggalkan, menjauhi dan melupakan Anda. Mereka nyaris tidak meningat Anda. Seolah-olah Anda belum pernah melihat mereka, dan mereka juga belum pernah melihat Anda. Yang ada hanya tinggal Allah Swt. Bukankah rugi besar jika Anda menyianyiakan hari-hari Anda bersama makhluk-makhluk tersebut, sementara sedikit sekali dari mereka yang setia (memenuhi janji) dan tidak banyak yang abadi bersama mereka. Sementara itu Anda meninggalkan pelayanan kepada Allah, yang sebenarnya hanya kepada-Nya segala sesuatu akan kembali.

 

Kemudian tidak ada sesuatu yang abadi bersama Anda kecuali Dia, selamanya. Dia-lah yang mencukupi segala kebutuhan. Dialah yang menyelesaikan segala penyerahan diri. Segala pemeliharaan dalam keadaan apapun dan sesulit apapun, Dialah yang mengurusnya. Tiada sekutu bagi-Nya.

 

Oleh karena itu renungkanlah, hai orang yang miskin. Semoga Anda mendapat petunjuk. Dan hanya Allah yang menguasai petunjuk dengan anugerah-Nya.

 

  1. Nafsu

Dalam masalah nafsu ini Anda cukup melihat bagaimana keadaannya, kerendahan keinginannya, dan keburukan yang menjadi pilihannya.

 

Saat memiliki keinginan ia persis binatang piaraan. Saat marah bagaikan binatang buas. Saat terkena musibah persis anak kecil. Saat mendapat kenikmatan ia bagaikan Fir aun. Saat lapar seperti orang gila. Dan saat kenyang ia menjadi angkuh. Jika Anda membuatnya kenyang, maka ia menjadi sombong dan melonjak kegirangan. Dan jika Anda membuatnya lapar, maka dia akan menjerit dan mengeluh.

 

Dia (nafsu) seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair adalah: 

 

Bagai keledai yang jahat. Jika kau membuatnya kenyang

dia akan menyepak orang lain. Dan jika lapar ia merintih.

 

Benar sekali apa yang dikatakan oleh seorang saleh: Karena terlalu buruk dan bodohnya nafsu, jika ia ingin berbuat maksiat atau membangkitkan syahwat, kemudian Anda membelokkannya, atau memohonkan pertolongan untuknya kepada Allah Swt., para utusan-Nya, semua nabi, kitab-kitab-Nya dan semua orang saleh di masa dahulu di antara hamba-hamba-Nya, dan dia dihadapkan pada kematian, alam kubur, kiamat, surga dan neraka, maka ia tidak mau mengikuti dan tidak mau meninggalkan keinginannya. Kemudian jika Anda menghadapinya dengan tidak memberinya sepotong roti, maka ia akan tenang dan mau meninggalkan keinginannya. Ini kukatakan agar Anda mengetahui kerendahan dan kebodohannya.

Oleh karena itu, berhati-hatilah jangan sampai Anda lengah darinya. Sebab nafsu, seperti yang dikatakan oleh Penciptanya, yang lebih Mengetahui keadaannya, yang Maha Agung keagungan-Nya, adalah:

 

Artinya: Sesunggunya nafsu senantiasa memerintahkan berbuata jahat.(Q.S. Yusuf: 53)

 

Cukuplah ayat ini sebagai peringatan bagi orang yang berakal.

 

Ada sebuah cerita yang sampai kepada kami bahwa seorang ulama saleh yang disebut dengan nama Ahmad bin Argam AlBalkhi berkata: Nafsuku mengajak diriku keluar untuk pergi berperang. Lalu aku berkata, ‘Maha Suci Allah. Sesungguhnya Allah telah berfirman:

 

Artinya: Sesunggunya nafsu senantiasa memerintahkan berbuat jahat.(Q.S. Yusuf: 53)

 

Dan saat ini dia mengajakku berbuat baik, suatu hal yang selamanya tidak akan terjadi. Tapi ia tidak suka dan berkeinginan untuk berjumpa dengan orang banyak agar dapat menyenangkan mereka, agar banyak orang yang saling bercerita mengenai dirinya dan menyambutnya dengan keagungan, kebaikan dan kemuliaan. Aku pun berkata padanya, ‘Aku tidak akan menempatkan dirimu di hadapan orang banyak dan membiarkanmu terkenal. Dia mengiyakan, dan aku tetap berprasangka buruk terhadapnya. Aku bergumam, Allah Swt. adalah yang paling terpercaya di antara para pembicara.”Lalu aku berkata padanya, ‘Aku akan menghadapi musuh tanpa membawa senjata agar kamu menjadi Orang pertama yang terbunuh. Dia juga mengiyakan, dan aku memperburuk sangkaan serta berbagai hal untuk membujuknya. Ja pun mengiyakan semua itu.

 

Ahmad bin Arqam berkata: “Kemudian aku berdoa sebagai berikut, Ya Tuhan! Ingatkanlah dia untukku. Sungguh aku curiga kepadanya dan membenarkan Engkau.

Lalu terbukalah hatiku melihatnya. Seolah-olah ia berkata: Hai Ahmad! Setiap hari kamu berulangkali membunuhku dengan mencegahku dari keinginan dan perselisihan denganmu, sementara tak seorangpun mengenalku. Jika kamu berperang, maka aku akan terbunuh hanya satu kali, lalu aku terbebas darimu dan orang-orang saling membicarakanku. Mereka berkata, ‘Ahmad telah mati syahid’. Aku pun mendapat kemuliaan dan selalu diingat.

 

Ahmad bin Argam berkata: Kemudian aku berdiam diri di rumah dan tidak keluar untuk berperang pada tahun itu.

 

Oleh karena itu, lihatlah bujukan dan tipuan nafsu. Dia ingin menyombongkan diri kepada manusia setelah mati dengan perbuatan yang tak dapat ditemukannya setelah itu.

 

Benar sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair, betapa indah ucapannya:

Peliharalah nafsumu. Kamu tidak akan terbebas dari pengkhianatannya.

Sebab satu nafsu lebih buruk daripada tujuh puluh setan.

 

Oleh karena itu, —semoga Allah memberimu rahmatingatlah bujukan seperti ini yang selalu mengajak berbuat jelek. Mantapkanlah hati Anda untuk selalu tidak menurutinya dalam keadaan apapun, niscaya jika Allah menghendaki Anda akan bebuat benar dan menjadi selamat.

 

Kemudian Anda juga harus selalu mengendalikannya dengan kendali takwa, sebab memang tidak ada cara lain kecuali itu.

 

Ketahuilah bahwa di sini terdapat hal pokok yang sangat mendasar, yaitu sesungguhnya ibadah itu dibagi menjadi dua: Mengerjakan dan menjauhi.

 

Mengerjakan berarti menjalankan berbagai ketaatan. Dan menjauhi berarti mencegah diri dari berbagai perbuatan maksiat dan keburukan. Inilah yang disebut takwa.

 

Sesungguhnya dalam keadaan apapun menjauhi maksiat itu lebih menyelamatkanmu, lebih baik dan lebih utama bagi seorang hamba daripada mengerjakan ketaatan. Karena itulah, para pemula yang baru mencapai tingkatan pertama dari ijtihad dalam ibadahnya selalu sibuk mengerjakan ketaatan. Semua berkenginan puasa di siang hari, beribadah di malam hari, dan menjalankan ibadah yang sejenis dengan hal itu.

 

Orang yang telah mencapai puncak ibadah dan memiliki kewaspadaan akan sibuk dengan menjauhi maksiat. Yang menjadi keinginan mereka adalah menjaga hati dari kecenderungan kepada selain Allah, menjaga perut mereka dari kelebihan barangbarang halal, memelihara lisan dari kata-kata yang tidak berguna dan menjaga mata dari memandang apa-apa yang tidak bermanfaat bagi mereka.

 

Karena hal ini pula, orang kedua dari tujuh ahli ibadah berkata kepada Nabi Yunus: Hai Yunus. Sungguh di antara manusia ada yang dikaruniai perasaan suka melakukan salat sehingga ia tidak memilih ibadah lain untuk mengalahkannya. Sementara itu salat adalah tiang ibadah. (Ia melakukannya) dengan khusyuk, bersungguh-sungguh dan merendahkan diri (kepada-Nya). Di antara mereka ada yang dikaruniai suka berpuasa sehingga ia tidak memilih ibadah lain untuk mengalahkannya. Di antara mereka ada yang dikaruniai rasa suka bersedekah sehingga sama sekali tidak memilih ibadah lain yang dapat mengalahkannya. Hai Yunus. Aku akan memberi penafsiran keadaan-keadaan seperti in kepadamu.

 

Jadikanlah kesabaran menerima kesengsaraan dan penyerahan segala sesuatu kepada Allah sebagai salat panjangmu. Jadikanlah diam dari segala keburukan sebagai puasamu. Jadikanlah mencegah dari hal yang menyakitkan sebagai sedekahmu. Karena sesungguhnya kamu tidak bisa bersedekah dengan sesuatu yang lebih baik dari itu dan tidak bisa berpuasa dengan sesuatu yang lebih bersih darinya.

 

Jika Anda telah mengetahui bahwa menjauhi maksiat lebih utama daripada menjaga diri dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Jika Anda behasil melaksanakan keduanya, yakni berusaha dan menjauhi, berarti urusan Anda telah sempurna. Anda telah berhasil mencapai tujuan, kemudian selamat dan beruntung. Jika Anda tidak dapat mencapai keduanya dan hanya mampu meraih salah satunya, maka pilihlah menjauhkan diri dari maksiat. Maka pasti Anda selamat meski tidak beruntung. Jika tidak, maka Anda akan merugi dari keduanya.

 

Salat dan ibadah lain yang Anda kerjakan di malam hari tidak akan bermanfaat bila Anda mengharcurkannya dengan satu keinginan. Puasa yang Anda lakukan sepanjang hari tidak akan bermanfaat bila Anda merusaknya dengan satu kata.

Kami telah bercerita tentang sahabat Ibnu Abbas r.a. bahwasanya beliau ditanya tentang posisi dua orang lelaki. Yang satu banyak berbuat baik dan juga banyak berbuat buruk. Yang satu lagi sedikit berbuat baik tapi juga sedikit berbuat buruk. Beliau menjawab: Aku tidak menyamakan keselamatan dengan suatu apapun.

 

Perumpamaan dari apa yang telah kami bicarakan adalah keadaan orang yang sakit. Cara untuk mengobati orang yang sedang sakit terbagi menjadi dua. Cara pertama dngan obatobatan. Yang kedua dengan menjauhi pantangan. Jika dua cara tersebut digabung menjadi satu, maka si pasien seakan terbebas dari penyakit dan menjadi sehat. Jika tidak digabungkan, maka berpantang (menjauhi pantangan) saat sakit itu lebih baik. Obatobatan tidak akan berguna jika ia tidak menjauhi pantangan, tapi kadang-kadang berpantang itu bisa berguna meski tanpa memakai obat-obatan.

Sungguh Rasulullah Saw. telah bersabda:

 

Artinya: Inti setiap pengobatan adalah menjauhi pantangan.

 

Arti sebenarnya, hanya Allah yang mengetahuinya, adalah: Berpantang itu cukup sebagai ganti semua obat.

 

Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa pengobatan terbaik yang dilakukan oleh orang India adalah berpantang, dengan cara melarang orang-orang yang sedang sakit dari makan, minum dan berbicara selama beberapa hari. Kemudian si penderita terbebas dari penyakit dengan cara tersebut, bukan dengan cara lain.

 

Dengan begitu, sekarang semua keterangan ini telah menjadi jelas bagi Anda, bahwa sesungguhnya ketakwaan adalah inti dan permata segala sesuatu (ibadah). Orang yang ahli dalam ketakwaannya menempati kedudukan tertinggi di antara para hamba. Oleh karena itu, curahkanlah seluruh kemampuan untuk mencapainya dan menggunakan segala pertolongan yang ada baginya.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dngan rahmat-Nya.

 

Kemudian peliharalah-empat inti anggota badan, yaitu:

  1. Mata

Dalam hal ini Anda cukup memeliharanya dengan berpikir bahwa semua urusan agama dan dunia bermuara di dalam hati. Dan sesungguhnya kekhawatiran, kesibukan, dan kerusakan hati kebanyakan berasal dari mata. Oleh karena itu, Sayyidina Ali bin Abu Thalib karramallahu wajhahu pernah berkata: Barangsiapa tidak bisa menguasai pandangannya berarti ia tidak menghargai hatinya.

  1. Mulut (Lisan) ,

Dalam hal mulut ini Anda cukup memeliharanya dengan merasa bahwa semua keberuntungan dan buah dari jerih payah Anda didapat karena ibadah dan ketaatan.

Sedangkan kehancuran ibadah dan kerusakannya yaitu mengada-ada, menggunjing dan lain sebagainya, yang kebanyakan berasal dari lisan. Hal itu akan merusak apa yang telah Anda kerjakan selama satu tahun atau bahkan lima tahun hanya dengan satu kata.

Karena itulah ada sebuah ungkapan yang berbunyi

Artinya: Tidak ada sesuatu yang lebih pantas untuk senantiasa dipenjara selain mulut.

Dikisahkan bahwa salah seorang dari tujuh ahli ibadah berkata kepada Nabi Yunus a.s.: Hai Yunus! Sesugguhnya jika para hamba itu bersungguh-sungguh dalam ibadah, maka tidak ada kekuatan yang lebih tepat untuk menjalaninya selain menahan diri dari ucapannya dalam waktu yang cukup lama.Kemudian ahli ibadah tersebut mengulang perkataannya tadi dan berkata: Jangan ada sesuatupun yang dipentingkan selain memelihara lisan Anda. Jangan sampai ada sesuatu yang lebih Anda perhatikan selain keselamatan diri Anda.

 

Camkan perkataan ini baik-baik.

 

Kemudian ingatlah bahwa nafas yang Anda pergunakan untuk membicarakan sesuatu yang tak berguna itu tidak akan membahayakan seandainya dipergunakan untuk mengucapkan kata astaghfirullah(aku memohon ampunan kepada Allah). Kadang saat itu bertepatan dengan saat yang mulia. Dengan begitu Allah akan mengampuni Anda dan modal Anda menghasilkan keuntungan. Atau Anda pergunakan untuk mengucapkan Iaa ilaaha illallah (tiada Tuhan selain Allah). Dengan begitu, Anda akan mendapatkan pahala dan simpanan yang tak terbayangkan sebelumnya. Atau Anda pergunakan untuk mengucapkan asalullaaha al ‘aaftyata (aku memohon keselamatan kepada Allah). Dan terkadang hal itu bertepatan dengan pandangan baik (dari Allah). Dengan begitu, Allah mengabulkan permohonan Anda dan Anda pun selamat dari berbagai bencana di dunia dan akhirat.

 

Bukankah suatu kergian yang nyata jika Anda melepaskan faedah-faedah yang mulia ini begitu saja dan menggunakan nafas serta waktu Anda hanya untuk hal tak berguna yang paling tidak menjadikan Anda tercela, dicemooh, dihisab dan tertahan pada hari kiamat?

 

Sungguh indah kata-kata seorang penyair berikut ini:

Jika Anda berkeinginan mengucapkan sesuatu yang bathil, maka gantikanlah tempatnya dengan ucapan tasbih.

3, Perut

Dalam hal ini Anda cukup memeliharanya dengan merasa bahwa yang menjadi tujuan Anda adalah ibadah. Sementara makanan adalah benih amal dan airnya. Dari situlah amal akan tumbuh dan berkembang. Jika benihnya buruk maka tanaman tak akan menjadi baik bahkan tanaman tersebut dikhawatirkan bisa merusak tanah Anda, dan selamanya Anda tidak akan beruntung.

 

Di antara hal yang mengkhawatirkan adalah apa yang kudengar dari Ma’ruf Al-Karkhi bahwa beliau berkata:

 

Artinya: Bila kamu berpuasa, maka perhatikanlah apa yang kamu gunakan untuk berbuka, di hadapan siapa kamu berbuka dan makanan siapa yang kamu makan. Sebab banyak sekali orang yang makan satu kali dan hatinya berubah meninggalkan apa yang dahulu dikerjakannya sehingga ia tidak dapat kembali pada keadaannya semula. Betapa banyak sesuap makanan menyebabkan seseorang terhalang dari ibadah semalaman. Betapa banyak sekilas pandangan yang mencegah seseorang dari membaca satu surah Al-Qur’an. Dan seorang hamba yang hanya memakan satu suapan kadang terhalang dari melakukan ibadah selama satu tahun.”

 

Oleh karena itu, hendaknya Anda melihat dengan teliti dan sangat berhati-hati dalam hal makanan penguat jika Anda memang memperhatikan urusan hati dan memiliki keinginan kuat untuk beribadah kepada Tuhan Anda.

 

Inilah keterangan tentang makanan penguat agar seorang hamba bisa mengambil dari sisi yang dihalalkan.

 

Selanjutnya hendaklah Anda bersopan-santun dalam hal ini. Jika tidak, maka Anda hanya akan menjadi pembawa makanan dan menyia-nyiakan waktu. Sebab kita tahu pasti dan, bahkan melihat jelas bahwa tak ada satupun ibadah yang bisa dilakukan bila perut kita terlalu kenyang. Jika Anda memaksanya sekuat tenaga dengan berbagai alasan, maka ibadah Anda sedikitpun tidak terasa lezat dan manis.

 

Oleh karena itu, ada yang mengatakan: Tidak ada rasa manis ibadah yang bisa diharapkan dengan banyak makan.Mana mungkin ada nur di dalam hati tanpa adanya ibadah. Dan mana mungkin ada nur dalam ibadah tanpa adanya rasa lezat dan manis?

 

Karena arti semacam ini pula Ibrahim bin Adham berkata: Aku bergaul dengan para kekasih Allah yang ada di pegunungan Lebanon dan mereka berpesan kepadaku, Jika kamu kembali pada orang-orang yang mementingkan dunia, maka nasehatilah mereka dengan empat hal. Katakan kepada mereka, Barangsiapa memperbanyak makan, maka ia tidak akan menemukan kelezatan dan rasa manis dalam beribadah. Barngsiapa memperbanyak . tidur, maka ia tidak akan menemukan keberkahan dalam hidupnya. Barangsiapa mencari kerelaan manusia makajanganlah ja menunggu kerelaan Tuhan. Dan barangsiapa banyak mernbicarakan hal-hal yang tak berguna dan menggunjing, maka ja tidak akan keluar dari dunia (mati) dalam keadaan beragama Islam.

 

Diceritakan dari Sahl rahimahullah bahwa beliau berkata: Bersatunya segala macam kebaikan itu terdapat dalam empat hal. Dengan keempatnya pula seseorang bisa menjadi wali Abdal. Empat hal itu adalah perut yang kempis, diam, meninggalkan pergaulan masyarakat dan berjaga di malam hari.

 

Seorang ‘arif berkata: Lapar adalah modal utama kami.

 

Artinya sesuatu yang kami hasilkan seperti waktu longgar, keselamatan, ibadah, rasa manis ibadah, pengetahuan, dan amal yang bermanfaat adalah karena lapar dan kesabaran menjalaninya karena Allah Swt.

  1. Hati

Dalam hal ini Anda cukup memeliharanya dengan mengetahui bahwa hati adalah inti segala hal. Jika Anda merusaknya, maka segalanya akan menjadi rusak. Dan jika Anda memperbaikinya maka segalanya menjadi bagus. sebab hati bagaikan batang pohon dan anggota badan yang lain bagaikan cabang-cabangnya. Dari batang pohon itulah cabang-cabang mendapatkan air dan menjadi baik atau rusak.

 

Hati juga bagaikan raja, sedangkan cabang-cabangnya bagaikan pengikutnya. Jika sang raja baik, maka seluruh rakyat menjadi baik. Danjika raja tersebut rusak maka seluruh rakyatnya juga akan rusak.

 

Kalau begitu, kebaikan mata, lisan, perut dan lain sebagainya menunjukkan kebaikan hati dan kemakmurannya. Bila di dalamnya terdapat berbagai kekurangan (cacat) dan kerusakan, maka ketahuilah bahwa hal itu menunjukkan kekurangan hati dan kerusakan yang terjadi di dalamnya. Bahkan kadang kerusakan yang ada padanya lebih parah. Oleh karena itu, curahkanlah seluruh perhatian untuk memperbaikinya, pasti dengan sekaligus semua menjadi baik dan Anda bisa merasa nyaman.

 

Kemudian urusan hati ini memang pelik, karena digerakkan oleh berbagai khathir yang berada di bawah kemampuan Anda. Sedangkan untuk tidak mengikuti khathir dengan sekuat tenaga merupakan sesuatu yang teramat melelahkan. Karena itu pula memperbaiki hati menjadi sesuatu yang paling berat bagi orang yang bersungguh-sungguh. Dan perhatian terhadap hati ini lebih banyak serta lebih besar bagi orang-orang yang memiliki kewaspadaan.

 

Diceritakan dari Abu Yazid bahwa beliau berkata: Aku mengobati hati selama sepuluh tahun, mengobati lisanku selama sepuluh tahun, dan mengobati nafsuku selama sepuluh tahun. Dari ketiganya hatilah yang terasa paling berat.

 

Camkan hal ini baik-baik!

 

Selanjutnya, hendaklah Anda memperhatikan empat perkara yang telah kuterangkan, yaitu khayalan (panjang angan-angan), tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, dengki dan sombong.

 

Keempatnya kami bahas secara khusus dibanding perkaraperkara lain di tempat ini dan sangat kami anjurkan untuk memelihara diri darinya, karena keempatnya merupakan penyakit yang secara khusus menyerang para ahli Al-Qur’an. Keempat perkara tersebut menyerang masyarakat secara umum dan menyerang para ahli Al-Qur’an secara khusus. Karena itulah keempatnya menjadi sangat buruk.

 

Anda melihat seorang ahli Al-Qur’an yang angan-angannya melantur dan menganggapnya sebagai niat baik. Maka ia akan terjerumus ke dalam kemalasan menunda-nunda amal. Anda melihatnya tergesa-gesa untuk mencapai derajat kebaikan sehingga ia malah terputus dari kebaikan tersebut. Atau ia tergesagesa untuk dikabulkan doanya sehingga malah terhalang dari hal itu. Atau ia tergesa-gesa mendoakan seseorang dengan keburukan dan menyesalinya, seperti yang dikisahkan dari Nabi Nuh a.s.

 

Anda melihatnya merasa dengki dengan teman yang setingkat atas anugerah yang diberikan Allah kepada mereka sampai hampir mencapai tingkatan dengki yang belum tentu dilakukan meski oleh orang yang fasik ataupun fnajir (jahat).

 

Karena keadaan semacam ini pula Sufyan Ats-Tsauri berkata: Aku tidak mengkhawatirkan darahku kecuali dari ancaman para ahli Al-Qur’an dan para ulama.Orang-orang yang mendengar hal itu tidak percaya. Maka beliau kemudian berkata: Aku tidak mengatakan hal itu, tapi yang mengatakannya adalah Ibrahim AnNakha’i rahimahullah.

 

Diceritakan dari ‘Atha’. Beliau berkata: Sufyan Ats-Tsauri berkata kepadaku, ‘Berhati-hatilah terhadap para Ahli Al-Qur’an. Hati-hatilah jika aku bersama dengan mereka. Jika aku berselisih paham, maka aku lebih suka mengatakan bahwa menurutku buah delima itu rasanya manis dan mereka mengatakannya masam. Aku tidak mempercayakan darahku untuk dibawanya kepada penguasa yang jahat.

 

Diceritakan dari Malik bin Dinar. Beliau berkata: Sesungguhnya aku menerima kesaksian para ahli Al-Qur an atas semua orang. Akan tetapi aku tidak menerima persaksian sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, karena aku melihat kebanyakan dari mereka bersifat pendengki.

 

Diceritakan dari Fudhail. Beliau berkata kepada anaknya: Belikan untukku rumah yang jauh dari para ahli Al-Qur an. Apa gunanya tinggal bersama kaum yang jika aku nampak terpeleset, maka mereka membuka aibku. Dan bila nampak kenikmatan pada diriku mereka akan merasa dengki.

 

Begitulah. Anda akan melihatnya sombong kepada masyarakat dan meremehkan mereka. Bila bertemu ia akan berpaling dan bermuka masam. Seakan-akan ia telah dikaruniai kelebihan dua rakaat dari orang lain, mendapat surat keputusan dari Allah akan mendapat surga atau terbebas dari neraka, atau seakan ia merasa yakin dengan keberuntungan bagi dirinya dan kecelakaan bagi orang lain.

 

Di samping itu, ia juga memakai pakaian orang-orang yang bertawadhuk dari bahan wool dan sebagainya serta berpura-pura telah mati (nafsunya).

Semua ini tidak sesuai dengan keangkuhan dan kesombongan serta tidak menjadikannya baik, bahkan malah bertentangan. Akan tetapi orang yang buta tak pernah melihat.

 

Diceritakan bahwa Fargad As-Sabkhi masuk kepada Hasan Al-Bashri dengan memakai pakaian, sementara Hasan memakii pakaian lengkap. Kemudian Hasan Al-Bashri berkata: Apakah kamu tidak melihat pakaianku ini? Ini adalah pakaian ahli surga, sementara pakaianmu adalah pakaian ahli neraka. Aku memang telah mendengar bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah orang-orang yang memiliki pakaian usang.Lalu Hasan berkata: Mereka menempatkan zuhud pada pakaian dan menempatkan kesombongan di dalam dada mereka. Demi Allah sebagai sumpahku. Sungguh salah satu di antara kalian lebih sombong ketimbang orang yang memiliki kain lurik dan memakainya.

 

Karena artian semacam inilah Dzun-Nuun Al-Mislri bersyair:

 

Ia memakai pakaian tasawuf dan membanggakan pakaian bulunya karena bodoh,

sementara sebagian orang memakainya sambil bercanda.

Ia memperlihatkan kehinaan dan kesombongan kepadamu.

Dan kesombongan bukanlah sesuatu sama dengan kehinaan dini.

Ia berlagak sufi agar dikatakan sebagai orang yang terpercaya,

dan kesuftannya tidak berarti apa-apa selain kepercayaan.

Ia tidak menginginkan keridaan Tuhan dengannya

tapi hanya mencari jalan untuk berkhianat.”

 

Oleh karenanya, hendaklah Anda menjaga diri dari empat macam kerusakan yang telah kami sebutkan ini, lebih-lebih dalam hal kesombongan. Sebab tiga hal yang pertama adalah sebuah jalan licin yang jika Anda tergelincir di dalamnya pasti Anda akan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Sedangkan kesombongan adalah sebuah jalan licin yang seandainya Anda tergelincir pasti akan terjerumus ke dalam lautan kufur dan kedurhakaan.

 

Jangan lupa bagaimana kisah Iblis dan fitnahnya. Ia menolak dan bersikap sombong. Lalu ja menjadi bagian dari orang-orang kafir.

Marilah kita kembali kepada Allah. Semoga Dia berkenan memelihara kita semua dengan kebaikan pandangan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Murah lagi Maha Mulia.

Kesimpulannya adalah: Jika Anda merenungkan dengan pikiran jernih, Anda akan tahu bahwa dunia ini tidak ada yang abadi. Manfaatnya tidak sebanding dengan bahaya dan semua hal yang menjadi akibatnya seperti badan lelah, hati yang sibuk berpikir, siksa yang pedih dan perhitungan yang lama di akhirat serta tidak mampu Anda tanggung.

 

Jika Anda benar-benar telah mengetahui hal itu, tentu Anda tidak akan terpancang oleh kelebihannya. Anda tidak akan mengambil darinya kecuali apa yang mau tidak mau harus diambil sebagai sarana beribadah kepada Tuhan. Anda tidak akan bersenang-senang dan bernikmat-nikmat sampai mendapatkan surga, tempat tinggal abadi, tempat bermukim di sisi Penguasa alam semesta, Maha Raja, Maha Kuasa, Maha Kaya, dan lagi Maha mulia.

 

Anda juga tahu bahwa semua makhluk itu tidak setia. Kesengsaraan yang mereka timbulkan lebih banyak daripada pertolongan mereka yang bermanfaat bagi Anda. Anda juga tidak akan bergabung dengan mereka kecuali dalam hal yang memang telah menjadi keharusan bagi Anda. Anda memanfaatkan kebaikan mereka dan menjauhi bahaya yang mereka timbulkan.

 

Anda bersahabat dengan Dzat yang tidak membuat rugi jika berteman dengan-Nya. Anda tidak akan kecewa bila melayaniNya. Dia menghibur Anda dengan kitab-Nya dan kerutinan (ibadah) Anda kepada-Nya. Dalam keadaan apapun Dia tetap ada untuk Anda. Dari-Nya Anda akan melihat semua keindahan dan keutamaan. Anda akan menemukan-Nya setiap kali bahaya mengancam, baik di dunia maupun di akhirat, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam hadisnya:

 

Artinya: Peliharalah (keagungan) Allah. Niscaya kamu akan menemukan-Nya di manapun kamu berada

 

Anda juga tahu bahwa setan itu brengsek. Dia selalu berusaha memusuhi Anda. Oleh karena itu, mohonlah perlindungan dari Tuhanmu yang Maha Kuasa, Maha Mengalahkan, dari anjing yang dilaknat ini. Jangan sampai lengah dari tipu daya dan perangkapnya. Usirlah ia dengan dzikir kepada Allah Swt. Jangan mempedulikannya, karena hal itu teramat remeh.

 

Dengan begitu Anda akan menjadi lelaki sejati seperti yang difirmankan Allah:

 

Artinya: Ia tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan berserah diri kepada Allah.(Q.S.An-Nahl: 99)

 

Benar sekali apa yang dikatakan Abu Hazim: Apakah dunia itu? Dan apa itu Iblis?

 

Dunia. Yang telah berlalu adalah mimpi, dan yang akan datang adalah lamunan. Adapun setan, demi Allah. Dia benarbenar telah dijadikan sebagai panutan, tapi ia tidak memberi manfaat. Dia juga ditentang, tapi tidak membahayakan. Anda pun mengetahui kebodohan nafsu dan perlawanannya dengan mencari sesuatu yang membahayakan dan menghancurkannya. Anda melihatnya dengan kasih sayang seperti pandangan orangorang berakal dan para ulama, yaitu orang-orang yang memandang pada hakekat sesuatu yang nampak. Tidak seperti pandangan orang-orang bodoh dan anak kecil, yaitu orang yang hanya memandang sekilas tanpa memikirkan rasa sakit dikemudian hari. Berlari dari obat yang terasa pahit. Lalu Anda mengendalikannya (nafsu) menggunakan kendali dengan cara mencegahnya dari sesuatu yang benar-benar tidak dibutuhkan seperti omong kosong, memandang dan makan. Sekali-kali Anda terpengaruh perbuatan yang buruk seperti berandai-andai (thuulul amal), tergesa-gesa, iri terhadap orang Islam, takabur tidak pada tempatnya atau makan semata-mata karena syahwat dan rakus.

 

Anda memberikan kepadanya sesuatu yang baginya tidak harus dan Anda tidak khawatir mendapat bahaya darinya, karena tidak ada alasan untuk berlebih-lebihan. Allah telah memperluas segala persoalan bagi hamba-hamba-Nya dengan rahmat-Nya, memperkaya mereka dari sesuatu yang membahayakan dalam urusan agama. Apalagi yang dibutuhkan? Karena menurut seorang ulama saleh sesungguhnya ketakwaan itu sesuatu yang paling mudah. Bila meragukan sesuatu, maka aku akan meninggalkannya. Sebab nafsu itu akan tenang dan terbiasa selama Anda membiasakannya.

 

Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair bahwa nafsu adalah:

 

Nafsu akan merasa senang bila kau senangkan.

Dan bila kau kembalikan ia pada sesuatu yang sedikit, maka ia akan menerima.

Penyair lain berkata:

Dialah nafsu. Apapun yang kau bebankan kepadanya ia pasti mampu memikulnya.

 

Dan diceritakan bahwa bila engkau membiasakannya pasti ia akan terbiasa.

Penyair yang lain lagi berkata:

 

Aku menahan diri dari kelezatan sampai nafsuku berpaling.

Aku memaksanya untuk bersabar dan iapun senantiasa bersabar.

Nafsu itu tak lain mengikuti apa yang dilakukan oleh seorang pemuda.

Jika diberi makan maka iapun menginginkannya. Tapi bila tidak, maka iapun merasa puas.

 

Apabila Anda telah mengetahui ciri-ciri yang kusebutkan tadi, maka Anda akan menjadi bagian dari orang-orang yang berzuhud dari dunia dan mencintai akhirat.

Ketahuilah bahwa yang disebut dengan orang yang berzuhud sama saja dengan diberi seribu nama yang terpuji. Dan Anda termasuk orang-orang yang mengucilkan diri dan memutuskan hubungan dengan masyarakat untuk beribadah kepada Allah Swt., yaitu orang-orang yang merasa tenteram dan berkhidmat kepada Penguasa alam semesta.

 

Anda pun menjadi orang yang seperti dikatakan oleh seorang penyair berikut ini:

 

Sekelompok orang merasa sibuk dengan urusan dunia mereka.

Dan sekelompok orang yang lain menyepi untuk Tuhan mereka.

Lalu Allah mengharuskan mereka untuk diam di pintu keridaanNya.

Dan Dia mencukupkan mereka dari seluruh makhluk.

Mereka membariskan telapak kaki di malam hari

dan pandangan Dzat yang Maha Melihat selalu menjaganya. Maka beruntung sekali mereka itu. Dan sungguh mereka sangat beruntung

dengan penghormatan yang diberikan Allah pada mereka.

 

Anda juga menjadi bagian dari orang-orang yang berzuhud di hadapan Allah, menjadi orang yang istimewa di antara para hamba Allah. Yakni orang-orang yang difirmankan Allah:

 

Artinya: Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tidak ada kekuasaan bagimu atas mereka.(Q.S. Al-Hijr: 42)

 

Anda juga termasuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orangorang yang memiliki keberuntungan dunia dan akhirat. Saat itulah Anda menjadi pertolongan-Nya yang baik serta kemudahan-Nya. Dia-lah Dzat yang mencukupi semua perkara penting. Semoga Allah memberi pertolongan dalam segala kesukaran. Di tangan-Nya tergenggam segala urusan makhluk. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

Inilah yang ingin kami kemukakan dalam bab ini.

 

Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur lagi Maha Agung.

Hai orang-orang yang hendak beribadah! Hendaklah Anda senantiasa mencegah rintangan yang membuat Anda sibuk hingga lalai dari beribadah kepada Allah Ta’ala dan menutup jalan ke arah itu sehingga rintangan tersebut tidak membuat sibuk dan menjauhkan Anda dari tujuan semula. Kami telah menyebutkan bahwa rintangan tersebut ada empat:

 

1, Rezeki dan Tuntutan Nafsu untuk Mencarinya

Rintangan ini bisa diatasi dengan tawakal kepada Allah Swt. Oleh karena itu, hendaklah Anda menyerahkan urusan rezeki dan segala kebutuhan ini kepada Allah, apapun yang terjadi.

 

Ini harus dilakukan karena adanya dua hal:

 

  1. Untuk memperoleh ketenteraman dalam beribadah dan melakukan kebaikan sebgaimana mestinya. Sebab orang yang tidak bertawakal tentu menyibukkan diri dan meninggalkan ibadah karena mengejar kebutuhan, rezeki, dan kebaikan, baik secara lahir maupun secara batin.

 

Kadang ia berusaha dengan cara bekerja seperti lazimnya orang yang mencintai dunia. Dan kadang ia berusaha dengan zikir, keinginan, dan rasa was-was seperti para mujtahidin yany hatinya masih terpancang pada dunia.

 

Sementara itu, ibadah membutuhkan ketenangan hati dan badan agar benar-benar dapat memenuhi haknya. Ketenangan tersebut tidak dimiliki selain oleh orang yang bertawakal. Bahkan menurut pendapatku, orang yang hatinya lemah tidak mungkin memiliki ketenangan jiwa kecuali dengan sesuatu (rezeki) yang sudah diketahui. Ia hampir tidak bisa menyempurnakan urusan dunia dan akhirat yang mengkhawatirkan.

 

Sering kudengar dari guruku Abu Muhammad. Beliau berkata: “Segala urusan di dunia ini akan berjalan dengan baik pada dua macam orang, yakni orang yang bertawakal dan orang yang ngawur (melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang).

 

Menurutku inilah pandangan yang artinya lebih menyeluruh. Sebab orang yang ngawur menginginkan segala sesuatu hanya berdasar pada kekuatan yang sudah berlaku dan keberanian hati. Jatidak menoleh pada sesuatu yang akan memalingkannya atau kekhawatiran yang dapat melemahkannya. Maka terjadilah segala sesuatunya.

 

Sedangkan oang yang bertawakal menginginkan segala sesuatu dengan dasar kekuatan, kewaspadaan dan keyakinan yang sempurna kepada janji Allah dan kepercayaan penuh dengan jaminan-Nya. Maka ia tidak menoleh sedikitpun kepada seseorang yang menakut-nakutinya dan juga setan yang menggodanya. Dengan begitu, ia bisa mencapai tujuan dan mendapatkan apa-apa yang dicarinya.

 

Adapun makhluk Allah yang lemah, selamanya tetap berada di antara tawakal, kebimbangan, lunglai dan bingung, seperti keledai dalam kandangnya atau ayam dalam kurungan. Ia selalu melihat apa yang dibiasakan oleh pemiliknya dan hampir tidak pernah lepas dari itu.

 

Nafsunya tak lagi menginginkan kedudukan-kedudukan tinggi. Cita-citanya telah pupus dan nyaris tidak bertujuan mendapatkan sesuatu yang mulia. Jika menginginkannya maka keinginan tersebut nyaris tak dapat didapatkannya, Ia juga tidak bisa menyempurnakan hal itu.

 

Apakah Anda tidak melihat bagaimana orang-orang yang bercita-cita tinggi dari golongan pecinta dunia yang tidak mendapatkan derajat yang agung dan kedudukan tinggi kecuali dengan memutuskan hati mereka dari diri, harta, dan keluarga mereka?

 

Sedangkan seorang raja akan merasa gembira dengan peperangan dan menghadapi musuh. Ia bisa saja kalah dan bisa pula mendapat kerajaan sampai ia memperoleh kedudukan raja dan memegang tali-tali kekuasaan.

 

Diceritakan bahwa saat Mu’awiyah bin Abu Sufyan melihat dua pasukan dalam perang Shiffin, maka ia berkata: “Barangsiapa menginginkan kedudukan tingi, maka ia harus berani menghadapi kemalangannya yang besar.”

 

Para pedagang menempuh jalan yang bisa menimbulkan kerusakan, menceburkan diri dan harta mereka ke tengah para perampok yang datang dari kanan dan kiri, menempatkan diri mereka pada salah satu dari dua pilihan, yaitu kehilangan nyawa dan mendapat keuntungan sehingga dengan itu mereka bisa mendapatkan keuntungan besar, harta melimpah dan barang-barang mahal yang indah.

 

Para pedagang pasar yang berhati lemah dan keinginannya rendah, maka hatinya tak lepas dari ikatan, yaitu diri dan hartanya. Sepanjang hidup ia hanya berjalan mondar-mandir dari rumahnya menuju kios. Ia tidak bisa mencapai kedudukan yang mulia seperti para raja. Ia juga tidak bisa mendapat banyak keuntungan seperti para pedagang yang pemberani. Jika ia mendapat keuntungan satu dirham dari dagangannya, maka aginya hal itu sudah cukup besar. Hal ini terjadi karena tergantungannya pada sesuatu yang biasa didapatnya.

 

Keterangan ini adalah sesuatu yang hubungannya dengan dunia dan para pecintanya.

 

Adapun orang yang mencintai akhirat, maka modal utama mereka adalah ketakwaan seperti yang telah kuterangkan serta memutuskan hati dari berbagai ketergantungan.

 

Setelah mereka benar-benar mapan dan mendapatkan semua itu, maka mereka berkesempatan beribadah kepada Allah, menempatkan dirinya untuk menyendiri dari semua makhluk, berkelana di muka bumi, tinggal di gunung-gunung dan lembah-lembah. Lalu jadilah mereka hamba-hamba terkuat, tokoh agama di sekelilingnya, manusia merdeka dan pada hakekatnya menjadi raja di muka bumi. Mereka berjalan sekehendak hati dan berhenti sesukanya. Mereka juga menginginkan bermacam hal besar sesuai keinginan, karena tidak ada rintangan dan halangan yang menghalanginya. Bagi mereka semua tempat adalah satu. Semua waktu baginya adalah satu. Dan hal ini diisyaratkan oleh Nabi Saw. dengan sabda beliau:

 

Artinya: “Barangsiapa lebih suka menjadi orang yang terkuat, maka hendaklah ia bertawakal kepada Allah. Barangsiapa lebih suka menjadi orang yang paling mulia, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah. Dan barangsiapa lebih suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah ia lebih percaya kepada apa yang ada dalam genggaman Allah ketimbang apa yang dalam genggamannya.”

 

Diceritakan dari Sulaiman Al-Khawash bahwa seandainya ada seorang lelaki yang benar-benar bertawakal kepada Allah Swt dengan niat yang juga benar, maka ia pasti dibutuhkan oleh para pemimpin pemerintahan dan seluruh bawahannya. Bagaimana tidak dibutuhkan jika tuannya adalah Dzat yang Maha Kaya dan juga Maha Terpuji?

 

Diceritakan dari Ibrahim Al-Khawash bahwa beliau berkata: “Aku pernah bertemu seseorang di tanah Tiih yang putih bagai perak lantakan. Lalu aku bertanya kepada orang itu, ‘Wahai saudara! Anda mau ke mana? Orang itu menjawab, ‘Ke Mekkah. Aku bertanya, “Tanpa bekal dan kendaraan? Orang itu menjawab, Hai orang yang lemah keyakinannya! Dzat yang mampu memelihara langit dan bumi mampu menyampaikanku ke negeri Mekkah tanpa bekal dan kendaraan. Saat aku memasuki Mekkah orang tersebut sedang berthawaf sambil bersyair:

 

Wahai nafsuku! Teruslah berkelana

dan jangan mencintai seorangpun

selain Allah yang Maha Agung, Tuhan tempat meminta.

Hai nafsuku! Matilah kamu bersama dukacita.

 

Saat melihatku ia berkata: “Wahai orang tua! Apakah setelah (menyaksikan) itu (hatimu) masih lemah?”

 

Abu Muthi’ berkata kepada Hatim Al-Asham: “Aku mendengar bahwa Anda menjelajahi gurun dengan tawakal dan tanpa bekal.” Hatim menjawab: “Bekalku ada empat macam.” Abu Muthi bertanya: ” Apakah empat macam itu?” Hatini menjawab: “1) Aku melihat dunia dan akhirat sebagai kerajaan Allah. 2) Aku melihat semua makhluk adalah hamba Allah dari keluarga-Nya. 3) Aku melihat bermacam rezeki dan penyebabnya berada di tangan Allah. 4) Aku melihat bahwa keputusan Allah pasti terjadi di semua penjuru bumi.” Alangkah indah kata seorang penyair:

 

Aku melihat orang-orang yang berzuhud selalu tenang dan tenteram.

Hati mereka jauh dari gurauan dunia.

Jika kau lihat mereka, seolah kau lihat

seorang raja di bumi yang berwatak pemurah.

 

  1. Kekhawatiran dan bahaya besar yang timbul bila kita meninggalkannya (tawakal).

 

Bukankah Allah menyertakan rezeki kepada setiap makhluk? Dia berfirman:

 

Artinya: “Allah menciptakan kalian, kemudian memberi kalian rezeki…” (Q.S. Ar-Ruum: 40)

 

Ayat ini menunjukkan bahwa semua rezeki berasal dari Allah, bukan dari yang lain, seperti juga makhluk yang berasal dariNya. Kemudian Allah tidak cukup hanya menunjukkan, tapi juga memberikan janji. Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rezeki.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 58)

 

Allah tidak hanya memberi janji tapi juga memberikan jaminan. Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan tidak ada seekor binatang melata pun di muka bumi melainkan Allah yang memberinya rezeki.” (Q.S. Huud: 6)

 

Allah juga tidak hanya menjamin, tapi juga bersumpah (akan memberikan rezeki). Allah berfirman:

 

Artinya: “Demi (Allah) Penguasa langit dan bumi, sesungguhnya (rezeki) yang dijanjikan Allah itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 23)

 

Di samping itu semua, Allah juga memerintahkan dengan keras agar kita bertawakal dan juga menakut-nakuti. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup kekal, yang tidak mati.” (Q.S. Al-Furqaan: 58)

 

Dia juga berfirman: .

 

Artinya: “Dan hendaklah hanya kepada Allah kamu sekalian bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. AlMaaidah: 23)

 

Barangsiapa tidak mau merenungkan firman Allah, tidak puas denganjanji-Nya, tidak merasa tenang dengan jaminan-Nya, tidak menerima sumpah-Nya dan tidak mempedulikan perintah, janji Serta ancaman-Nya, maka tunggulah apa yang akan terjadi serta cobaan apa yang akan menimpanya. Ini adalah musibah yang teramat besar tapi kita selalu melupakannya.

 

Nabi Saw. bersabda kepada sahabat Ibnu Umar:

 

Artinya: “Bagaimana jika kamu hidup di tengah-tengah kaum yang menyimpan makanan untuk setahun, karena mereka lemah keyakinannya?”

 

Diceritakn dari Hasan Al-Bashri. Beliau berkata: Allah melaknat suatu kaum yang telah diberi-Nya sumpah dan mereka tidak mempercayainya.”

 

Ketika ayat ini turun para malaikat berkata: “Demi Tuhan langit dan bumi, celakalah keturunan Adam. Mereka membuat Tuhan marah hingga ia bersumpah mengenai rezeki mereka.”

 

Diceritakan dari Uwais Al-Qarani. Beliau berkata: “Seandainya kamu beribadah seperti yang dilakukan oleh penghuni langit dan bumi, maka Allah tidak akan menerimanya hingga kamu membenarkan-Nya.” Kemudian ditanyakan: ” Bagaimana cara membenarkannya?” Uwais berkata: “Kamu merasa aman dan tenteram denganjaminan yang diberikan Allah dalam hal rezekimu, sehingga kamu berkesempatan melakukan ibadah kepada-Nya.”

 

Suatu ketika Haram bin Hayyan bertanya kepada beliau (Uwais): “Di mana Anda menyuruh aku bertempat tinggal?” Uwais memberi isyarat dengan tangannya ke arah negeri Syam. Haram bertanya: “Bagaimana dengan mata pencaharianku di sana?” Uwais berkata: “Sungguh celaka orang yang berhati lemah sepertimu. Ia telah bercampur dengan keraguan sehingga tiada gunanya diberi nasehat.”

 

Aku (Al-Ghazali) pernah mendengar ada seorang pencuri kain di kuburan yang bertobat di hadapan Abu Yazid Al-Busthami. Kemudian Abu Yazid bertanya tentang apa yang terjadi pada pencuri tersebut. Pencuri menjawab: “ Aku telah menggali seribu kuburan. Semua orang yang kugali tidak ada yang menghadap ke arah kiblat kecuali dua orang.” Abu Yazid berkata: “Kasihan mereka. Keraguan tentang rezeki telah memalingkan wajah mereka dari kiblat.”

 

Seorang kawan berkata kepadaku bahwa ia melihat seorang lelaki yang ahli berbuat baik. Lalu ia bertanya tentang keadaan lelaki tersebut: “Apakah Anda selamat karena keimanan Anda?” Ja menjawab: “Iman yang selamat hanya dimiliki oleh orang-orang yang bertawakal.”

 

Kami memohon kepada Allah semoga Dia berkenan memperbaiki kami dengan anugerah-Nya. Dan semoga Dia tidak menyiksa kami karena perbuatan (jelek) yang kami lakukan. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengasih dari para pengasih terhadap hamba-Nya. Ini adalah hal yang penting.

 

Jika Anda berkata: “Terangkanlah pada kami apa hakekat tawakal, bagaimana hukumnya, dan apa yang harus dilakukan seorang hamba dalam hal (tawakal) itu yang berhubungan dengan rezeki.

 

Ketahuilah bahwa pengertian tawakal itu dibagi menjadi empat yaitu arti lafal tawakal, kedudukan, batasan dan benteng tawakal.

 

Pasal Pertama: Arti Kata Tawakal

 

Kata tersebut berasal dari mashdar “wakalah” yang memiliki arti perwakilan. Jadi orang yang bertawakal kepada seseorang berarti ia menganggapnya sebagai seorang wakil yang melaksanakan (mengurusi) pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas kebaikannya dan ia tidak perlu ikut mengerjakan, membebani diri sendiri, ataupun ikut prihatin.

 

Inilah pengertian kata tawakal secara global.

 

Pasal Kedua: Kedudukan Tawakal

 

Kata tawakal ini digunakan pada tiga kedudukan, yaitu kedudukan dalam hal pembagian rezeki, pertolongan dan rezeki Itu sendiri serta berbagai kebutuhan.

 

  1. Dalam hal pembagian rezeki, tawakal berarti percaya penuh bahwa Allah tidak mungkin keliru dalam membagikan rezeki. Nya kepada orang tersebut, karena hukum (ketetapan) Allah tidak dapat diubah. Dan tawakal dalam hal ini hukumnya wajib, berdasarkan Al-Qur’an dan hadis

 

  1. Dalam hal pertolongan, tawakal berarti percaya penuh dengan pertolongan yang dijanjikan-Nya selama ia benar-benar menolong dan berjuang karena-Nya. Allah berfirman:

 

Artinya: “Kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran: 159)

 

Allah juga berfirman:

 

Artinya: “Jika kalian menolong Allah, niscaya Allah akan menolong kalian.” (Q.S. Muhammad: 7) Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan sudah semestinya Aku (Allah) menolong orangorang yang beriman.” (Q.S. Ar-Ruum: 47)

 

  1. Dalam hal rezeki dan kebutuhan, sesungguhnya Allah menjamin segala kebutuhan yang Anda perlukan untuk beribadah sehingga Anda mampu melaksanakannya. Hal itu berdasarkan firman Allah:

 

Artinya: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S. Ath-Thalaq: 3)

Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Apabila kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberikan rezeki padamu seprti Dia memberikan rezeki kepada burung. Pada waktu pagi ia lapar, dan di sore hari kembali (ke sarangnya) dengan perut penuh.”

 

Tawakal dalam bab ini merupakan kewajiban setiap hamba berdasarkan dalil agli dan syar’i.

 

Keterangan ini adalah pendapat terkuat, yaitu tawakal dalam masalah rezeki. Dan inilah yang kami inginkan dalam pasal ini.

 

Jadi, kedudukan tawakal di sini adalah rezeki yang sudah dijamin oleh Allah, seperti yang dikatakan oleh para ulama. Akan tetapi hal itu akan bisa menjadi jelas setelah Anda mengetahui macam-macam rezeki. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa rezeki dibagi menjadi empat:

 

  1. Rezeki madhmun
  2. Rezeki maqsuum
  3. Rezeki mamluk
  4. Rezeki mau’ud

 

  1. Rezeki madhmun

Yaitu rezeki yang dijadikan sebagai penguat dan hal-hal lain yang membuat tubuh menjadi tegak tanpa adanya penyebab lain. Rezeki semacam ini adalah tanggungan Allah. Oleh karena itu, dalam hal ini kita wajib bertawakal kepada-Nya, karena sudah ada dalil agli dan syar’i yang menunjukkannya. Sebab Allah membebani kita dengan tugas melayani dan mentaati perintahNya dengan menggunakan badan kita. Oleh karenanya, Allah tentu menjamin kita dari apa apa yang bisa menyebabkan kerusakan tubuh sehinpya kita dapat menjalankan apa yang dibebankan Nya kepada kita semua.

Seorang ulama dari pengikut mazhab Kiramiyah berpendapat bahwa pada dasarnya tanpyungan rezeki untuk para hamba itu menjadi wajib bila melihat kebijaksanaan Allah, Hal ini disebabkan karena adanya tiga unsur:

 

Pertama, Allah Swt. adalah majikan dan kita semua hamba sahaya. Seorang majikan tentu harus mencukupi hambanya sebagaimana para hamba berkewajiban melayani majikannya.

 

Kedua, Allah membuat mereka butuh terhadap rezeki dan tidak memberi mereka jalan untuk mencarinya, karena mereka sendiri tidak mengetahui apa, di mana, dan kapan rezekei itu bisa didapat agar dapat mencari, mengambil sendiri dari tempatnya dan tepat pada waktunya, sehingga mereka bisa mencapai tempat rezeki itu berada. Oleh karena itu, dalam hal ini Allah wajib mencukupi dan mendatangkan mereka ke tempat rezeki itu.

 

Ketiga, Allah membebani mereka dengan perintah pengabdian. Sedangkan pekerjaan mencari rezeki adalah kesibukan yang dapat melalaikan mereka darinya. Oleh karena itu, Dia wajib mencukupi biaya hidup mereka agar dapat mengabdi (beribadah) dengan tenang.

 

Pendapat seperi ini adalah ucapan orang yang tidak mengetahui rahasia ketuhanan. Orang yang mengatakan bahwa rezeki itu menjadi kewajiban Allah adalah orang bingung. Kami telah menjelaskan kesalahan ucapan atau keyakinan seperti ini dalam ilmu kalam. Lebih baik sekarang kita kembali kepada pokok persoalan yang menjadi tujuan utama kita (masalah rezeki — Pen).

 

  1. Rezeki maqsuum

Yaitu rezeki yang dibagikan oleh Allah dan ditulis-Nya di Lauh Mahfuzh berupa sesuatu yang dimakan, diminum, dan dipakai oleh setiap orang dengan ukuran dan waktu yang sudah ditentukan, tidak bertambah ataupun berkurang, tidak maju maupun mundur dari ketentuan yang telah ditetapkan dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Seperti diterangkan dalam hadis Rasulullah Saw. berikut ini:

 

Artinya: “Semua rezeki telah dibagi dan juga diselesaikan. Ketakwaan seorang muttagi tidak bisa menambahi rezekinya, dan kedurhakaan orang yang durhaka tidak pula dapat menguranginya.

 

  1. Rezeki mamluk

Yaitu rezeki yang dimiliki oleh setiap orang berupa kekayaan dunia dengan ukuran yang telah ditentukan oleh Allah dan dibagikan supaya bisa dimilikinya. Rezeki mamluk ini termasuk rezeki dari Allah Swt. Allah berfirman:

 

Artinya: Nafkahkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sekalian.(Q.S. al-Baqarah: 254)

 

Artinya rezeki yang Kami berikan sebagai milik kalian semua.

 

  1. Rezeki mau’ud

Yaitu rezeki yang dijanjikan oleh Allah bagi para hambanya yang bertakwa dengan satu syarat, yaitu ketakwaaan. Rezeki tersebut berupa sesuatu yang halal dan diperoleh tanpa harus bersusah payah. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah pasti menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesukaran), dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.(Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)

 

Inilah pembagian tentang rezeki. Sedangkan tawakal hanya wajib dilakukan sehubungan dengan rezeki madhmun. Ketahuilah kewajiban ini.

 

Adapun batasan tawakal, seperti yang telah dirasakan oleh para guru kami adalah: Rasa percaya diri dalam hati kepada Allah dengan hanya berharap kepada-Nya tanpa mengharapkan sesuatu dari selain-Nya.

 

Seorang ulama berpendapat bahwa tawakal adalah: Memeliharakan hati kepada Allah dalam hal kebaikan dengan cara meninggalkan ketergantungan hati terhadap sesuatu selain Allah.

 

Syekh Imam Abu Amar berkata: Tawakal adalah meninggalkan ketergantungan hati. Sedangkan ketergantungan hati adalah mengingat-ingat bahwa tubuh Anda bisa tegak karena sesuatu selain Allah.

 

Guru kami Abu Bakr Al-Warraag berkata: Tawakal dan ta’alluq adalah dua ingatan. Tawakal adalah ingatan bahwa tubuh Anda bisa tegak karena Allah. Sedangkan ta’alluq adalah ingatan bahwa yang menegakkan tubuh Anda adalah sesuatu yang selain Allah.

 

Menurutku (Al-Ghazali) semua pendapat dalam masalah ini kembali kepada satu prinsip, yaitu menempatkan hati pada suatu keyakinan bahwa sesungguhnya penegak tubuh Anda, penghambat kefakiran, dan kecukupan yang Anda peroleh adalah berasal dari Allah Swt., bukan karena seorangpun selain Allah, bukan karena harta dunia, juga bukan karena sebab-sebab yang lain.

 

Kemudian, jika Allah menghendaki maka Dia akan memberinya dengan suatu sebab (lantaran) berupa makhluk atau kekayaan dunia. Dan jika Allah menghendaki Dia akan mencukupinya dengan kekuasaan-Nya, tanpa melalui suatu sebab Atau perantara.

 

Jika Anda mau merenungkan hal itu dalam hati dengan rasa mantap, lalu menghilangkan ketergantungan terhadap semua makhluk dan sebab-sebab lain, serta hanya menuju (mengharap) kepada Allah, maka terpenuhi sudah hak-hak tawakal.

Inilah batasan-batasan (dalam) bertawakal.

 

Benteng yang mendorong (membangkitkan) keinginan untuk bertawakal adalah mengingatjaminan dari Allah Swt. Sedangkan yang melindungi benteng tersebut adalah mengingat keagungan Allah, kesempurnaan Ilmu, kekuasaan dan kebersihan-Nya dari mengkhianati janji, lupa, tidak mampu dan sifat kekurangan-Nya. Jika seorang hamba mengingat hal ini secara rutin, maka ingatan tersebut akan mendorongnya bertawakal kepada Allah dalam masalah rezeki.

 

Jika ada pertanyaan: Apakah seorang hamba diharuskan mencari rezeki dalam keadaan tertentu?

Ketahuilah bahwa rezeki madhmun yang merupakan sumber kekuatan yang membuat tubuh menjadi tegak tidak mungkin bisa kita upayakan, karena hal itu termasuk pekerjaan (perlakuan) Allah kepada seorang hamba, seperti halnya kehidupan dan kematian. Seorang hamba tidak mampu mencari (mengusahakan) ataupun menolaknya.

 

Adapun rezeki maqsuum yang memiliki penyebab, seorang hamba tidak wajib mencarinya, karena sebenarnya ia tidak membutuhkannya. Yang diperlukannya adalah rezeki madhmun dan itu berasal dari Allah Swt. serta menjadi tanggungan-Nya. Sedangkan yang dimaksud dalam firman Allah:

 

Artinya: Dan carilah karunia Allah.(Q.S. Al-Jumuah: 10)

adalah ilmu dan pahala.

 

Ada juga yang mengatakan bahwa karunia tersebut adalah keringanan (dispensasi) dari Allah, karena kalimat tersebut berupa perintah yang jatuh setelah kalimat yang berisi larangan, maka hal itu menunjukkan arti boleh, tidak bermakna wajib(keharusan).

 

Jika ditanyakan: Tapi rezeki madhmun juga mempunyai sebab. Apakah kita tidak berkewajiban mencari penyebabnya?

 

Jawabannya adalah: Anda tidak wajib mencari penyebab tersebut. Karena seorang hamba tidak memerlukannya. Sebab Allah melakukannya dengan atau tanpa sebab. Lalu dari mana datangnya kewajiban kita mencari sebab?

 

Kemudian Allah menjamin Anda secara mutlak tanpa syarat berusaha (mencari) maupun bekerja. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Q.S. Huud: 6)

 

Lalu benarkah Allah memerintahkan seorang hamba untuk mencari sesuatu yang tidak ia ketahui di mana tempatnya sehingga ia bisa mencarinya? Tak lain karena ia tidak tahu mana penyebab yang mendatangkan rezekinya dan apa yang menjadi penyebab dirinya kuat serta meningkat.

 

Jadi, masing-masing dari kita tidak mengetahui penyebab tersebut secara benar dari mana ia memperolehnya, karena itu pembebanan terhadap hamba tersebut tidak benar. Renungkanlah! Niscaya kau dapatkan petunjuk, karena hal itu sudah jelas adanya.

 

Cukuplah menjadi pelajaran bagi Anda bahwa para nabi a.s. dan para kekasih Allah yang bertawakal pada umumnya tidak mencari rezeki dan malah memfokuskan diri mereka untuk beribadah. Dan secara keseluruhan mereka tidak meninggalkan perintah Allah dan tidak mendurhakai-Nya dalam hal itu.

 

Dengan demikian, jelaslah bagi Anda bahwa mencari rezeki dan segala penyebabnya bukanlah suatu hal yang wajib dilakukan oleh seorang hamba.

 

Jika Anda bertanya: Adakah rezeki itu bisa bertambah dengan usaha (pencarian) dan berkurang karena ditinggalkan (tanpa melakukan usaha)?

 

Ketahuilah bahwa urusan rezeki itu telah dicatat di Lauh Mahfuzh, telah ditentukan jumlah (ukuran) dan waktunya. Padahal tidak ada yang bisa mengganti hukum Allah. Tidak ada yang bisa mengubah pembagian dan catatan-Nya.

 

Ini adalah pendapat yang sahih menurut para ulama kita. Berbeda dengan pendapat yang dipegang oleh para murid Hatim dan Syaqiiq. Mereka berkata: Sesungguhnya rezeki itu tidak bisa bertambah dan bisa berkurang karena perbuatan seorang hamba. Tapi kalau harta bisa bertambah dan berkurang karenanya.

 

Pendapat seperti ini adalah salah, karena dalil yang menunjukkan dua hal (rezeki dan harta) ini hanya satu, yakni ketetapan (catatan Allah) dan pembagian. Dan juga ini yang diberi isyarat oleh Allah dengan firman-Nya:

 

Artinya: (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang yang diberikannya kepadamu.(Q.S. Al-Hadid: 23)

 

Seandainya rezeki itu bisa bertambah dengan pencarian dan berkurang dengan meninggalkan (tidak mencari)nya tentu ada tempat susah dan senang, karena jika ia seorang hamba tidak serius dan menunda-nunda ia akan kehilangan (rezeki). Dan jika ia bersungguh-sungguh ia bersemangat ia akan memperolehnya.

 

Rasulullah bersabda kepada seorang pengemis:

 

Artinya: Ambillah (kurma) ini. Seandainya kau tidak mendatanginya pasti kurma ini datang kepadamu.

 

Jika ada pertanyaan: Pahala dan siksaan juga telah tertulig di Lauh Mahfuzh, sementara kita juga wajib mencari pahala dan meninggalkan hal yamg mengharuskan adanya siksa. Lalu apakah pahala itu bisa bertambah dengan mencari dan berkurang dengan meninggalkannya?

 

Ketahuilah bahwa sesungguhnya mencari pahala itu wajib, Hal itu karena Allah telah memerintahkannya dengan suatu perintah pasti! Dan mengancam jika hal itu ditinggalkan. Allah juga tidak menjamin pahala tanpa adanya perbuatan (yang mendatangkan pahala) dari kita. Sementara bertambahnya pahala tergantung pada perbuatan seorang hamba.

 

Adapun perbedaan antara keduanya terdapat pada satu titik, yaitu apa yang dikatakan oleh seorang ulama kita bahwa sesungguhnya apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh itu ada dua macam:

 

Pertama, perkara yang tertulis secara mutlak, artinya tanpa embel-embel syarat dan ketergantungan terhadap perbuatan seorang hamba, yaitu berbagai macam rezeki dan ajal. Tidakkah Anda melihat bagaimana Allah menyebutkan keduanya secara mutlak dengan tanpa syarat? Allah berfirman:

 

Artinya: Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Q.S. Huud: 6)

 

Dan Allah berfirman:

 

Artinya: Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya.(Q.S. Al-A’raaf: 34)

Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Ada empat hal yang telah ditetapkan yaitu: Makhluk, budi pekerti, rezeki dan ajal (kematian).

 

Kedua, perkara yang tertulis tapi disertai suatu syarat dan digantungkan pada sesuatu, yakni dengan syarat adanya perbuatan seorang hamba. Hal itu adalah pahala dan siksa.

 

Adakah Anda tidak melihat bagaimana Allah menyebutkan kedua hal itu di dalam kitab-Nya dengan menggantungkan keduanya kepada perbuatan seorang hamba?

Allah befirman:

 

Artinya: Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentu Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan.(Q.S. Al-Maaidah: 65)

 

Kiranya hal ini sudah jelas, pahamilah!

 

Jika ada pertanyaan: Kami telah menemukan banyak orang yang berusaha mencari rezeki dan mereka menemukan rezeki serta harta. Dan kamijuga melihat orang yang tidak mencari rezeki tidak mendapatkan apa-apa serta menjadi fakir.

 

Jawaban untuknya adalah: Sepertinya Anda tidak pernah melihat orang yang berusaha lalu tidak berhasil dan menjadi fakir.

 

Anda juga tidak melihat orang yang tidak mencarinya serta menganggur diberi rezeki dan menjadi kaya.

 

Memang benar bahwa kebanyakan itulah yang terjadi agar Anda tahu bahwa hal itu (rezeki) adalah ketentuan (takdir) dari Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mengetahui. Dan juga merupakan pengaturan dari Maharaja yang bijaksana.

 

Abu Bakar Muhammad bin Saabig Al-Waa’izh Ash-Shiqli di negara Syam melantunkan syair:

 

Banyak sekali orang kuat dan jernih pendapatnya rajin mondarmandir bekerja,

tapi rezeki itu berpaling darinya.

Banyak orang lemah yang tidak rajin mondar-mandir bekerja

tapi ia seakan-akan tinggal menangguk rezeki itu dari tepi laut.

Ini adalah bukti bahwa Tuhan mempunyai suatu rahasia

yang tersimpan rapat hingga tidak bisa disingkap oleh makhluk-Nya.

 

Jika Anda bertanya: Mungkinkah seseorang memasuki daerah pedalaman tanpa membawa perbekalan?

 

Ketahuilah! Jika Anda telah memiliki hati yang kuat terhadap Allah dan kepercayaan yang sempurna terhadap janji Allah, maka masuklah tanpa membawa bekal. Jika Anda belum memilikinya, maka lakukanlah seperti apa yang diperbuat orang pada umumnya dengan membawa segala kebutuhannya (membawa bekal).

 

Aku (Al-Ghazali) pernah mendengar bahwa Abu Al-Ma’aali rahimahullah berkata: Sesungguhnya barangsiapa berjalan (hidup) bersama Allah seperti kebiasaan manusia pada umumnya, maka Allah akan memperlakukannya seperti perlakuan-Nya kepada manusia dalam hal mencukupi kebutuhan.

 

Ini adalah ucapan yang sangat bagus. Di dalamnya terdapat banyak sekali faedah bagi orang yang mau merenungkan.

 

Jika Anda bertanya: Bukankah Allah telah berfirman:

 

Artinya: “Dan hendaklah kamu sekalian membawa bekal, karena sesungguhnya bekal yang terbaik adalah takwa.(Q.S. Al-Baqarah: 197)

 

Ketahuilah bahwa mengenai ayat ini ada dua pendapat:

 

  1. Yang dimaksud bekal di sini adalah bekal menuju akhirat. Oleh karena itu, Dia berfirman: Sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan tidak mengatakan: Harta dunia dan berbagai penyebabnya.
  2. Ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang pergi beribadah haji tanpa membawa perbekalan karena merigandalkan pemberian orang lain. Mereka meminta-minta, mengeluh, nyinyir, dan merugikan orang lain. Kemudian mereka diperintahkan membawa bekal sebagai peringatan bahwa mengambil bekal dari hartanya sendiri itu lebih baik daripada mengambilnya dari orang lain dan mengandalkan mereka.

 

Demikian menurut pendapatku.

 

Jika Anda bertanya: Apakah orang yang bertawakal itu perlu membawa bekal saat bepergian?

 

Ketahuilah bahwa kadang-kadang ia membawa bekal tapi hatinya tidak terpancang pada bekal tersebut. Ia tidak berkeyakinan bahwa bekal tersebut memang menjadi rezekinya dan dari bekal itulah ia mendapatkan kekuatan tubuhnya. Akan tetapi ia menggantungkan hatinya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya seperti dengan mengatakan bahwa rezeki itu telah dibagi dan sudah selesai pembagiannya. Dan jika Allah menghendaki, maka Dia akan menegakkan tubuhku dengan bekal iri atau dengan yang lain.

 

Dan kadang ia membawa bekal dengan maksud lain, seperti untuk menolong seorang muslim dan sebagainya.

 

Yang dipermasalahkan di sini bukan membawa atau tidak membawa bekal, tapi yang dibicarakan adalah hatinya.

 

Jangan menggantungkan hati Anda kecuali pada janji Allah dan kebaikan jaminan-Nya. Berapa banyak orang yang membawa bekal tapi hatinya tetap bergantung kepada Allah. Dan betapa banyak orang yang tidak membawa bekal tapi hatinya tidak bergantung pada Allah. Dengan begitu yang terpenting di sini adalah hati.

 

Pahamilah keterangan-keterangan ini. Insya Allah Anda tidak akan kekurangan biaya hidup.

 

Jika ada yang mengatakan: Nabi Saw. juga membawa bekal. Begitu pua dengan para sahabat dan para pendahulu yang saleh.

 

Maka jawabnya adalah: Tak usah diragukan lagi bahwa urusan membawa bekal itu memang diperbolehkan, tidak dilarang. Tapi yang dilarang adalah menggantungkan hati pada bekal dan meninggalkan tawakal kepada Allah Swt. Camkan baik-baik!

 

Kemudian apa pendapatmu tentang Rasulullah Saw. saat Allah berfirman kepada beliau:

 

Artinya: “Dan bertawakallah kepada Dzat yang Maha Hidup, yang tidak akan mati.(Q.S. Al-Furqaan: 58)

 

Apakah dalam hal ini beliau durhaka kepada-Nya dan menggantungkan hati pada makanan, minuman, dinar, dan dirham?Tidak. Hal itu tak mungkin terjadi. Hatinya tetap bergantung kepada Allah dan tetap bertawakal kepada-Nya seperti yang diperintahkan kepada beliau. Karena sesungguhnya beliau adalah orang yang tidak menoleh pada dunia seisinya dan tidak menjulurkan tangan untuk membuka kunci-kunci penyimpanan bumi. Karena sesungguhnya pengambilan bekal yang dilakukan oleh beliau dan para pendahulu yang saleh didasari oleh bermacam niat baik, bukan karena kecenderungan hati mereka untuk meninggalkan Allah dan menggantungkan diri pada bekal.

 

Yang diperhitungkan adalah tujuan seperti yang telah kami terangkan pada Anda. Pahamilah! Bangunlah dari tidur Anda! Sadarlah dari kelalaian Anda, pasti Anda menjadi paham. Semoga Allah memberimu petunjuk.

 

Jika Anda bertanya: Manakah yang terbaik antara keduanya? Mengambil bekal ataukah meningalkannya?

 

Ketahuilah bahwa jawabannya berbeda menurut perbedaan keadaan. Jika orang tersebut menjadi panutan dan ingin memberi penerangan bahwa membawa bekal itu diperbolehkan, untuk menolong seorang muslim, atau menolong orang kesusahan dan sebagainya, maka baginya lebih baik membawa bekal.

 

Jika orang itu sendirian, hatinya berpegang kuat pada Allah Swt., dan masalah bekal malah membuat sibuk dan membuatnya lupa beribadah, maka baginya yang terbaik adalah meninggalkannya (tidak membawa bekal).

 

Pahamilah keterangan ini dan jagalah diri Anda dengannya. Semoga Anda mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

 

  1. Kekhawatiran dan Apa yang Menjadi Tujuannya

Rintangan ini bisa diatasi dengan berserah diri. Oleh karena itu, berserah dirilah kepada Allah dalam segala hal. Ini harus dilakukan karena adanya dua hal:

 

  1. Ketenangan hati yang diperoleh seketika. Sebab segala sesuatu yang besar dan belum diketahui secara pasti kebaikan serta kerusakannya akan membuat hati Anda menjadi bingung.

 

Nafsu Anda akan bertanya-tanya apakah hal itu membuat baik atau malah merusak? Jika Anda menyerahkan segalanya kepada Allah, maka Anda menjadi tahu bahwa tidak mungkin Allah menempatkan pada selain kebaikan. Anda pun merasa aman dari kekhawatiran dan kerusakan serta dengan seketika hati menjadi tenang.

 

Ketenangan, rasa aman dan kenyamanan dalam hati seperti ini merupakan keuntungan yang sangat besar.

 

Guru kami sering mengatakan dalam majlis beliau: “Serahkan segala urusan kepada Dzat yang menciptakanmu, niscaya kau akan merasa enak.

Dalam hal ini beliau menggubah sebuah syair:

Sesungguhnya orang yang tidak mengetahui

apakah orang yang dicintainya bisa memberi manfaat atau tidak,

maka sudah selayaknya ia menyerahkan apa yang tidak mampu diselesaikannya

kepada Dzat yang akan mencukupinya.

Yakni Tuhan yang Maha Baik,

yang kasih sayang-Nya melebihi ibu bapaknya.

 

  1. Kebaikan yang didapat di masa mendatang. Sebab segala sesuatu pasti memiliki kesudahan yang masih belum jelas. Berapa banyak keburukan yang berwajah kebaikan. Berapa banyak bahaya yang terdapat dalam perhiasan dan kemanfaatan. Berapa banyak racun yang berbentuk madu. Sementara itu Anda tidak mengetahui kesudahan dan bermacam rahasia.

 

Jika Anda menginginkan sesuatu secara pasti dan melakukannya sesuai keinginan Anda, maka tak berapa lama Anda telah terjerumus ke dalam kerusakan tanpa menyadarinya.

 

Telah diceritakan bahwa ada seorang ahli ibadah yang memohon kepada Allah agar bisa melihat Iblis. Kemudian ada yang mengingatkan hendaknya ia memohon keselamatan kepada Allah. Orang tersebut menolak dan tetap meminta hal itu. Lalu Allah memperlihatkan Iblis kepadanya. Setelah melihat Iblis orang tersebut ingin memukulnya. Maka Iblis berkata: Seandainya bukan karena kamu akan hidup seratus tahun lagi, tentu aku akan menghancurkan dan menyiksamu.Maka orang itu pun terbujuk dengan perkataan Iblis dan “berkata dalam hati Sungguh umurku masih teramat panjang. Aku akan melakukan apa saja yang kumau baru kemudian bertobat.Maka ia pun terjerumus ke dalam kefasikan, meninggalkan ibadah dan akhirnya binasa.

 

Dari cerita ini ada sebuah pelajaran bagi Anda agar tidak memastikan suatu keinginan dan bersikeras untuk mencapai apa yang Anda cari. Cerita ini juga mengingatkan Anda dari khayalan (panjang angan-angan), karena hal itu adalah penyakit yang paling besar.

 

Benar sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair:

 

Berhati-hatilah dari berbagai ketamakan dan khayalan.

Berapa banyak khayalan yang menyebabkan kematian.

 

Jika Anda menyerahkan segala urusan kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan memilihkan hal yang mengandung kebaikan untuk Anda, maka tentu Anda mendapat kebaikan dan tidak akan menemukan sesuatu kecuali yang baik

Allah Swt. berfirman tentang seorang hamba yang saleh:

 

Artinya: Dan kuserahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat kepada semua hamba. Kemudian Allah memelihara hamba tersebut dari kejahatan musuh-musuhnya dan menurunkan siksa yang buruk kepada kaum Fir’aun.(Q.S. Al-Mu min: 44-45)

 

Tidakkah Anda melihat bagaimana Allah menurunkan kesudahan dari penyerahan diri berupa pemeliharaan dari keburukan dan memberikan pertolongan untuk mengalahkan musuh serta mendapatkan apa yang diinginkan?

 

Renungkanlah. Semoga Anda mendapat taufik. Insya Allah.

 

Jika Anda berkata: Tolong jelaskan apa arti tafwiidh (penyerahan diri) dan bagaimana hukumnya!

 

Ketahuilah bahwa hal ini terdapat dua pasal yang akan memperjelas semuanya, yaitu:

  1. Kedudukan tafwidh dan hukumnya.
  2. Arti, batasan dan kebalikannya.

 

Kedudukan Tafwidh

 

Ketahuilah bahwa murad (sesuatu yang diinginkan) itu terbagi menjadi tiga:

 

  1. Murad yang secara pasti telah diketahui bahwa itu rusak dan buruk serta sama sekali tidak ada keraguan di dalamnya seperti neraka dan siksa. Dalam perbuatan seperti halnya kufur, bid’ah dan kemaksiatan. Maka tak adajalan untuk menginginkan hal tersebut.
  2. Murad yang secara pasti telah diketahui bahwa itu baik seperti surga, iman, sunnah dan sebagainya. Anda diperbolehkan menginginkan murad seperti ini dengan pasti. Dalam hal ini Anda tidak boleh tafwidh, karena tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan danjuga tak diragukan lagi bahwa hal itu pasti baik.
  3. Murad yang belum diketahui secara pasti bahwa itu mendatangkan kebaikan bagi Anda atau malah mendatangkan kerusakan seperti halnya perbuatan-perbuatan sunat dan mubah. Inilah tempat yang cocok untuk tafwidh. Anda tidak boleh menginginkannya secara pasti, tapi harus menyertainya dengan pengecualian, dan itu yang dinamakan tafwidh.

 

Jika Anda menginginkan hal itu tanpa disertai pengecualian, maka perbuatan seperti itu dinamakan tamak yang dicela dan dilarang.

 

Kalau begitu tempat yang cocok untuk tafwidh adalah setiap murad yang mengandung kekhawatiran, yaitu sesuatu yang belum Anda yakini kebaikannya bagi Anda.

 

Arti Tafwidh

Sebagian dari guru kami mengatakan bahwa tafwidh adalah tidak memilih sendiri sesuatu yang mengandung kekhawatiran dan menyerahkannya pada pilihan Dzat yang Mengatur segala Sesuatu, yang Maha Mengetahui kebaikan seluruh makhluk, yang tiada Tuhan selain Dia.

 

Menurut Syekh Abu Muhammad As-Sijzi, tafwidh adalah meninggalkan pilihan yang mengkhawatirkan Anda menuju Pilihan Dzat yang Maha Memilih agar Dia berkenan memilihkan apa yang terbaik untuk Anda.

 

Syekh Abu Amr rahimahullah mengatakan bahwa tafwidh adalah meninggalkan ketamakan, sedangkan tamak adalah penginginkan sesuatu yang mengandung kekhawatiran secara pasti,

 

Inilah berbagai pendapat para guru kami.

 

Sedangkan menurut pendapatku, tafwidh adalah keinginan agar Allah memelihara kebaikan Anda dari hal-hal yang mengandung kekhawatiran.

 

Kebalikan Tafwidh

Kebalikan dari tafwidh adalah tamak.

 

Secara global tamak berlaku dari dua sisi:

 

  1. Sisi yang sama dengan raja’ seperti halnya bila Anda menginginkan sesuatu yang tidak mengkhawatirkan, atau menginginkan sesuatu yang mengkhawatirkan tapi disertai dengan pengecualian. Tamak yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela seperti yang difirmankan Allah:

 

Artinya: Dan Dzat yang kuharapkan agar Dia mengampuni kesalahanku di hari kiamat.(Q.S. Asy-Syuaraa: 82)

 

Dia juga berfirman: ..

 

Artinya: Sesungguhnya kami menginginkan agar Tuhan kami berkenan mengampuni kesalahan-kesalahan kami.(Q.S. Asy: Syu’araa: 51)

 

Hal semacam ini tidak termasuk sesuatu yang ingin kami terangkan dalam masalah tafwidh.

 

Ada yang mengatakan bahwa kerusakan agama terletak pada ketamakan dan yang bisa mengatasinya adalah sikap wara’.

 

  1. Tamak yang tercela.

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: Hindarilah kalian dari tamak, karena ia adalah kefakiran yang nyata.Ada yang mengatakan bahwa kerusakan agama dan celanya adalah karena tamak, sedang yang memiliharanya adalah wara’,

 

Guru kami berkata: Tamak yang tercela terbagi menjadi dua: Yang pertama, yaitu ketenangan hati terhadap kemanfaatan yang masih diragukan. Dan yang kedua, adalah menginginkan dengan pasti sesuatu yang masih diragukan. Keinginan semacam inilah yang tak lain menjadi kebalikan tafwidh. Pahamilah keterangan tersebut.

 

Benteng Tafwidh

 

Benteng yang menjaga tafwidh adalah mengingat kekhawatiran segala sesuatu dan kemungkinan adanya kerusakan di dalamnya. Benteng yang menjaga benteng tafwidh tersebut adalah mengingat kelemahan Anda untuk memelihara diri dari bermacam kekhawatiran dan mencegah agar tidak terjerumus ke dalamnya karena kebodohan, kelalaian dan kelemahan Anda.

 

Dengan mengingat dua hal ini secara rutin Anda akan terdorong untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah, menjaga diri agar tidak memastikan hal itu dan tidak menginginkannya kecuali dengan syarat adanya kebaikan.

 

Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

 

Jika Anda bertanya: Kekhawatiran macam apa yang mengharuskan seseorang menyerah penuh kepada Allah dalam segala hal?

 

Ketahuilah! Secara umum kekhawatiran itu terbagi menjadi dua: Pertama, kekhawatiran yang meragukan, karena hal itu bisa saja terjadi dan bisa juga tidak. Anda bisa sampai ke sana atau tidak. Kekhawatiran semacam ini membutuhkan pengecualian dan menimpa niat serta angan-angan.

 

Kedua, kekhawatiran terhadap kerusakan seperti halnya pka Anda tidak merasa yakin terdapat kebaikan dalam hal itu bayi Anda, dan kekhawatiran semacam inilah yang memerlukan penyerahan diri (tafwidh).

 

Para ulama mengeluarkan pendapat yang berlainan tentang hal yang mengkhawatirkan ini.

 

Seorang ulama berpendapat bahwa hal yang mengkhawatirkan dalam suatu pekerjaan adalah perbuatan yang jika ditinggalkan akan mendapatkan keselamatan dan bisa saya bercampur dosa. Keimanan, istiqamah dan sunat tidak termasuk perkara yang mengkhawatirkan, sebab tanpa keimanan tidak mungkin diperoleh keselamatan sama sekali. Sedang keistiqamahan sedikitpun tidak tercampur dosa. Dengan begitu boleh saja menghendaki iman dan istiqamah secara pasti.

 

Abu Ishaq berpendapat: Khawatir di dalam pekerjaan adalah perkara yang bisa datang secara mendadak, yang seandainya ia sibuk melakukannya akan lebih baik daripada melanjutkan pekerjaan yang terdahulu. Hal itu terjadi pada hal-hal mubah, sunat dan fardu.

 

Adakah Anda tidak melihat saat seorang hamba kehabisan waktu untuk salat. Lalu ia dihadapkan pada kebakaran atauorang yang hampir tenggelam dan ia berkesempatan menyelamatkannya. Maka lebih baik ia menyelamatkannya daripada melakukan salat.

 

Jadi, tidak dibenarkan menginginkan perkara mubah, sunat dan berbagai kewajiban secara pasti.

 

Jika ada yang bertanya: Benarkah Allah memberi suatu kewawajiban kepada hambanya, juga mengancam jika hamba tersebut meninggalkannya, lalu Dia tidak menciptakan kebaikan dalam menjalankannya?

 

Ketahuilah bahwa guru kami Abu Bakr Al-Warraq berkata: Sesungguhnya Allah tidak memberi suatu kewajiban kepada seorang hamba kecuali di dalamnya terdapat kebaikan dengan catatan tidak ada aral yang melintang. Allah juga tidak mempersempit hambanya dengan suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan olehnya kecuali di dalamnya terdapat kebaikan bagi hamba tersebut. Namun terkadang Allah memberinya sebab sebagai suatu alasan baginya.

 

Dengan begitu lebih baik jika ia berpindah kepada satu dari dua perintah ketimbang sibuk dangan perintah yang satunya, seperti yang pernah kami sebutkan. Dengan demikian dalam hal itu hamba tersebut memperoleh alasan atau bahkan mendapat pahala. Ia mendapat pahala bukan karena meninggalkan kebajikan ini, tapi karena ia melakukan kewajiban kedua yang lebih baik.

 

Pernah kudengar bahwa guruku Imam Haramain dalam hal ini berkata: Sesungguhnya setiap sesuatu yang diwajibkan oleh Allah bagi hamba-Nya seperti salat, puasa, haji dan sebagainya tidak diragukan lagi pasti di dalamnya terdapat kebaikan bagi hamba tersebut. Dan dibenarkan menginginkan hal itu dengan pasti.

Beliau meneruskan: Ternyata pendapatku sangat sesuai dengan hal itu. Dengan begitu yang tersisa dalam masalah ini tinggal bagaimana menghukumi hal yang mubah dan sunat.

 

Perhatikanlah hal itu, karena ia termasuk bab yang mendalam.

Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

 

Jika ada yang bertanya: Adakah orang yang menyerahkan diri (mufawaidh) bisa terbebas (merasa aman) dari kehancuran dan kerusakan, sementara dunia ini adalah tempat ujian?

 

Ketahuilah. Sesungguhnya seorang mufawidh (orang yang berserah diri) akan diperlakukan dengan baik dan terkadang dia diperlakukan tidak baik meski itu jarang terjadi. Karena itulah kadang-kadang Allah menurunkan derajatnya sehingga ia terlempar dari derajat tafwidh. Dan tiada kebaikan yang diperoleh seorang hamba jika ia sudah terhina danjatuh dari derajat tafwidh. Demikian yang dikatakan oleh Syeh Abu Umar.

 

Ada yang berkata begini: Seorang mufawwidh tidak akan diperlakukan kecuali dengan baik dalam hal yang ia serahkan kepada Allah. Sedangkan kehinaan dan turunnya derajat dari tafwidh tidak termasuk dalam kategori tafwidh, karena tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut termasuk kerusakan. Sedangkan tafwidh itu diperuntukkan bagi sesuatu yang masih diragukan kerusakan dan kebaikannya.Ini adalah pendapat terbaik menurut guru kami di antara dua pendapat. Karena bila tidak begitu tentu tidak ada pendorong yang kuat untuk tafwidh.

 

Jika ada yang berkata: Apakah seorang mufawwidh wajib diperlakukan dengan baik?

Ketahuilah. Bahwa mewajibkan sesuatu kepada Allah adalah hal yang mustahil. Allah tidak mempunyai satupun kewajiban kepada hamba-Nya. Kadang Dia memperlakukan seorang hamba dengan sesuatu yang terbaik, tapi bukan yang lebih utama sebagai hikmat dari perbuatannya.

 

Apakah Anda tidak tahu bahwa Allah pernah mentakdirkan rasul beserta para sahabat tertidur sepanjang malam sampai matahari terbit dalam sebuah perjalanan sehingga mereka kehilangan waktu salat malam dan salat fajar, sedangkan salat itu lebih utama daripada tidur.

 

Kadang Allah mentakdirkan bagi seorang hamba kekayaan dan kenikmatan walau sebenarnya kemiskinan itu lebih utama. Kadang Dia mentakdirkan baginya kesibukan mengurus isteriisteri dan anak-amak walaupun memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla itu lebih utama. Karena Dia Maha melihat dan Maha mengetahui terhadap hamba-hambaNya. Seperti halnya seorang dokter ahli akan memilihkan air syair bagi pasien walaupun air gula lebih utama dan lebih enak baginya karena dokter itu tahu bahwa sakitnya akan membaik dengan minum air Syair. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai seorang hamba adalah keselamatan dari kehancuran dan kerusakan, bukan keutaman dan kemuliaan yang disertai kerusakan dan kehancuran.

 

Jika ditanyakan: Apakah seorang mufawwidh berhak memilih?”

 

Ketahuilah. Pendapat yang sahih menurut ulama kita adalah seorang mufawwidh berhak memilih dan hal itu tidak mengurangi kebaikan tafwidhnya. Artinya, jika ia menemukan kebaikan dalam hal hal yang diutamakan dan hal yang lebih diutamakan.

 

Kemudian ia menginginkan agar Allah memberinya yang lebih utama. Seperti halnya pasien yang meminta kepeda dokter: Berilah aku obat dari air gula, bukan air syair jika keduanya baik bagi kesehatanku, agar aku bisa sekaligus dapat memperoleh keutamaan dan kesehatan.Begitu juga seorang hamba yang meminta kepada Allah agar kebaikannya diberikan pada hal yang lebih utama dan meminta penyebab kepadanya agar ia dapat sekaligus menyatukan keutamaan dan kemuliaan, tapi dengan catatan jika Allah memilihkan kebaikan yang terdapat dalam hal yang tidak lebih utama, maka dia akan merelakan hal itu.

 

Jika ditanyakan: Kenapa seorang hamba hanya diperbolehkan memilih yang lebih utama dan tidak diperbolehkan memilih yang terbaik (lebih pantas)?

 

Ketahuilah! Perbedaan antara keduanya adalah bahwa seorang hamba hanya mengetahui yang lebih utama dari hal yang utama, tidak tahu yang lebih baik (pantas) dari hal yang rusak agar ia bisa menginginkannya dengan pasti.

 

Kemudian yang dimaksud dengan pilihan seorang hamba terdapat hal yang lebih utama adalah: Seorang hamba yang menginginkan agar Allah menjadikan kebaikan pada perkara yang lebih utama, lalu Allah memilihkan hal itu dan mentakdirkan untuknya, bukan berarti hamba tersebut pasti mendapatkan apa yang dipilihnya.

 

Inilah sebagian kecil dari keterangan tentang ilmu tasawuf dan rahasia-rahasianya. Seandainya tidak diperlukan, tentu kami tidak akan mengemukakannya, karena hal tersebut termasuk pergolakan dari samudera ilmu mukasyafah. Hanya saja di dalam kitab ini kami meringkasnya menjadi kecil tapi bisa memuaskan dengan maksud memberi penjelasan agar dapat dimanfaatkan oleh ulama-ulama besar dan para pemula. Insya Allah.

 

Hanya kepada Allah kami memohon taufik.

 

  1. Qadha’ (Takdir) dan Berbagai Ragamnya

 

Rintangan seperti ini cukup dihadapi dengan sikap rela. Oleh karena itu hendaklah Anda merasa rela dengan takdir yang diberikan Allah.

 

Sikap rela seperti ini harus dilakukan karena adanya dua hal:

 

Pertama, agar bisa beribadah dengan leluasa, sebab jika Anda tidak bisa menerima keputusan Allah tentu Anda merasa sedih, dan hati pun sibuk berpikir untuk selamanya. Ia berpikir mengapa ini yang terjadi dan mengapa bisa terjadi?

 

Jika hati telah sibuk memikirkan kesedihan seperti ini bagaimana mungkin ia leluasa beribadah? Sebab Anda tidak memiliki hati kecuali hanya satu dan telah Anda penuhi dengan kesedihan serta berpikir tentang apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi dalam masalah dunia.

 

Kemudian di mana tempat untuk berzikir kepada Allah, beribadah untuknya dan berpikir tentang akhirat? Benar sekali apa yang dikatakan Sagig rahimahullah: Sungguh, menyesali apa yang telah terjadi dan merancang apa yang akan terjadi benarbenar dapat menghilangkan keberkahan usiamu ini.

 

Kedua, kekhawatiran mendapat murka berupa siksa dari Allah. Dalam beberapa hadis telah kami ceritakan bahwa salah seorang di antara para nabi mengadukan kepada Allah tentang pengalamannya yang tidak menyenangkan. Lalu Allah menurunkan wahyu kepadanya: “Adakah kamu mengadukanKu, sedangkan Aku tidak pantas dicela dan diadukan? Begitulah. Kelihatan sekali pengetahuanmu tentang ilmu gaib. Lalu kenapa kamu tidak menyukai keputusan-Ku? Apakah kamu ingin agar Aku mengubah dunia untukmu, atau mengganti Lauh Mahfuzh karenamu, lalu Aku memutuskan apa yang kau inginkan berupa sesuatu yang tidak Ku-inginkan? Agar kesenanganmu bisa terwujud, dan bukan kesenangan-Ku? Aku bersumpah demi keagungan-Ku. Jika pikiran semacam ini terlintas dalam hatimu di kemudian hari, pasti Ku-tanggalkan pakaian kenabianmu dan Aku tak peduli. Pasti Aku akan memasukkanmu ke dalam neraka.

 

Menurut pendapatku, alangkah baiknya orang yang bertawakal memperhatikan kalimat diplomatis yang agung dan ancaman yang pedih dari Allah kepada nabi dan kekasih pilihanNya. Lalu bagaimana sikap-Nya terhadap orang lain?

 

Kemudian perhatikan firman Allah: Jika pikiran semacam jni terlintas lagi dalam hatimu di lain waktu…Ancaman ini ditujukan pada bisikan dan kemondar-mandiran hati. Lalu bagaimana dengan orang yang berteriak minta tolong, mengadu, mengumpat dengan suara lantang tentang Tuhannya yang mulia dan Berbuat baik, di hadapan orang, lalu menjadikan mereka sebagai penolong dan sahabat? Ini baru orang yang hanya satu kali merasa murka kepada Allah. Lalu bagaimana keadaan orang yang selama hidupnya selalu murka (tidak rela) kepada Allah?

 

Ancaman ini ditujukan pada orang yang mengadu kepadaNya. Lalu bagaimana dengan orang yang mengadu kepada selain Dia?

 

Kami memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan jiwa kami dan keburukan amal perbuatan kami. Kami juga memohon agar Dia mengampuni dosa-dosa kami dan memaafkan ketidaksopanan kami serta memperbaiki kita semua dengan pengawasan terbaik dari-Nya.

 

Sesungguhnya Dia paling Maha Pengasih kepada hamba-Nya.

 

Jika ditanyakan: “Apa yang dimaksud dengan rida terhadap qadha (takdir), hakekat dan hukumnya?

 

Ketahuilah! Sesungguhnya para ulama kita berkata: Yang dinamakan rida adalah membuang kebencian. Sedangkan kebencian yaitu mengatakan bahwa apa yang tidak ditakdirkan oleh Allah itu lebih utama dan lebih bagus baginya dalam masalah yang belum diyakini kerusakan dan kebaikannya. Jadi, membuang kebencian merupakan syarat menjadi orang yang rida.

 

Jika Anda bertanya: Bukankah keburukan dan maksiat juga takdir Allah dan di bawah kekuasaan-Nya? Lalu bagaimana mungkin Allah rida bila hamba-Nya berbuat buruk dan mewajibkan hal itu?

 

Ketahuilah! Sesungguhnya yang harus direlakan adalah takdirbukan perbuatannya. Takdir buruk tidak berarti perbuatan buruk. Yang buruk hanyalah sesuatu yang ditakdirkan, jadi hamba tersebut tidak rida dengan perbuatan buruk.

 

Para guru kami berkata: Hal-hal yang ditakdirkan itu ada empat macam, yaitu kenikmatan, kesulitan, kebaikan dan keburukan.

 

  1. Kenikmatan.

Seorang hamba harusrela terhadap yang Mentakdirkan (Allah), takdir itu sendiri, dan hal yang ditakdirkan (kenikmatan). Ia juga harus bersyukur atas nikmat tersebut, karena hal itu adalah sebuah kenikmatan. Dan ia juga harus menampakkan kenikmatan tersebut dengan memperlihatkan hasilnya kepada Allah.

  1. Kesulitan.

Dalam kesulitan, seorang hamba juga harus rela dengan yang Mentakdirkan (Allah), takdir itu sendiri, dan sesuatu yang ditakdirkan. Ia juga harus bersabar dalam menghadapi kesulitan yang menimpanya.

  1. Kebaikan.

Seorang hamba harus rela dengan yang Mentakdirkan kebaikan (Allah), takdir itu sendiri, dan sesuatu yang ditakdirkan. Ia juga harus mengingat bahwa itu adalah anugerah, karena memang kebaikan tersebut telah ditunjukkan padanya.

  1. Keburukan.

Seorang hamba harus rela dengan yang Mentakdirkan keburukan (Allah), takdir itu sendiri, dan sesuatu yang ditakdirkan, karena hal itu sudah menjadi takdirnya. Bukan karena hal itu perbuatan buruk.

 

Hal itu termasuk sesuatu yang ditakdirkan jika melihat pada takdir dan yang Mentakdirkan secara benar. Sama halnya dengan jika Anda rela terhadap mazhab lain yang Anda ketahui sebagai sebuah pengetahuan, tidak sebagai mazhab.

 

Pengetahuan tersebut kembali pada ilmu. Jadi, kerelaan dan kecintaan Anda sebenarnya kembali pada ilmu (pengetahuan) tentang mazhab tersebut, bukan pada mazhab itu sendiri. Begitu juga halnya rela dengan sesuatu yang ditakdirkan.

 

Jika ada yang bertanya: Apakah orang yang rela boleh meminta tambahan?

Jawabnya adalah boleh. Tapi dengan catatan hal itu mengandung kebaikan dan maslahat tanpa harus memastikannya. Hal itu tidak membuatnya terlepas dari sikap rela, bahkan hal itu menunjukkan bahwa ia merasa rela dan itu lebih baik. Sebab orang yang kagum terhadap sesuatu dan merasa rela tentu akan berusaha mencari tambahannya.

 

Apabila ada susu yang dihaturkan kepada Nabi Saw. maka beliau berdoa:

 

Artinya: “Ya Allah, berkatilah rezekiku ini dan berilah tambah untuk kami darinya.Dalam kesempatan lain beliau berdoa:

 

Artinya: Dan berilah tambahan untuk kami (susu) yang lebih baik darinya.

 

Tak satupun dari keduanya yang menunjukkan bahwa beliau tidak rela dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah bagi beliau.

 

Jika Anda bertanya: “Kenapa Nabi tidak menyebut pengecualian dan syarat kebaikan serta kemaslahatan?

 

Ketahuilah! Sesungguhnya semua ini hubungannya adalah dengan hati, dan mengucapkannya hanya sebagai suatu Ungkapan. Jadi, beliau tetap mengatakan hal itu di dalam hati meski beliau tidak mengungkapkannya. Ketahuilah hal itu dan yakinlah.

 

  1. Bermacam Bencana dan Musibah

 

Untuk menghadapinya Anda cukup dengan bersabar. Hendaklah Anda bersabar dalam segala sisi kehidupan karena dua hal:

 

Pertama, agar wushul dalam beribadah dan mencapai tujuan. Sebab semua bentuk ibadah dibangun di atas kesabaran dan kemampuan menanggung jerih payah.

 

Barangsiapa tidak bersabar, dia tidak akan pernah mencapai tujuan dengan benar. Karena orang yang bermaksud melaksanakan ibadah kepada Allah dan memfokuskan diri untuk itu, tentu akan dihadapkan pada berbagai kesulitan, cobaan dan musibah dari berbagai segi:

 

  1. Kesukaran

Tidak ada ibadah yang tidak mengandung kesukaran. Karena itulah diberikan iming-iming dan janji pahala untuknya, sebab tidak mungkin seorang hamba dapat melaksanakan ibadah tanpa meredam keinginan dan mengalahkan nafsu yang selalu menghindar dari kebaikan. Tidak menuruti keinginan dan mengalahkan hawa nafsu adalah beban yang paling berat bagi seseorang.

 

2.Sikap berhati-hati

Seorang hamba yang merasa kesulitan dalam melakukan kebaikan harus berhati-hati agar ibadahnya tidak rusak. Sedangkan menjaga amal dari kerusakan itu lebih berat ketimbang melakukan amal itu sendiri.

 

  1. Ujian

Dunia ini adalah tempat menguji. Siapa saja yang hidup di dalamnya mau tidak mau harus menghadapi berbagai kesulitan dan musibah. Ujian tersebut bermacam-macam. Ada yang berasal dari keluarga, kerabat dekat, saudara dan sahabat, seperti kematian, kehilangan dan perpisahan. Ada musibah yang menimpa diri seperti berbagai penyakit yang menjangkitinya. Ada musibah yang menyangkut harga diri seperti ancaman pembunuhan, usaha penjatuhan, gunjingan dan penipuan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Ada musibah yang menyangkut harta benda seperti kehilangan dan sebagainya.

Masing-masing dari musibah ini terasa bagaikan menyengat dan membakar yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, semua membutuhkan kesabaran tersendiri. Sebab jika tidak, tentu ia tidak akan merasa tenang dalam beribadah, karena selalu mengeluh dan bersedih.

 

  1. Cobaan

Orang yang ingin mendapatkan akhirat selamanya akan menghadapi cobaan dan ujian yang berat. Barangsiapa lebih dekat dengan Allah, tentu musibah dan cobaan yang dihadapinya lebih berat dan lebih banyak.

Tidakkah Anda mendengar sabda Nabi Saw.:

 

Artinya: “Orang yang paling keras mendapatkan ujian adalah para nabi, lalu para ulama, orang yang kedudukannya hampir sama dengan ulama dan seterusnya.”

 

Jadi, orang yang ingin berbuat baik dan memfokuskan diri untuk menempuh jalan menuju akhirat akan dihadapkan pada berbagai ujian. Orang yang tidak sabar menghadapinya dan tidak mau berpaling dari ujian tersebut, maka ia akan terputus di tengah jalan. Lalu ia menjadi sibuk dan jauh dari ibadah dan pada akhirnya ia tidak sedikitpun bisa sampai ke tempat tujuan.

 

Allah Swt. telah memberi pengertian agar kita selalu berhati-hati dalam menghadapi berbagai ujian, musibah dan cobaan yang menimpa kita. Dia menyatakan dan menguatkan pernyataan itu dengan firman-Nya:

 

Artinya: “Sungguh. Kamu akan diuji dengan hartamu dan diri kamu. Dan kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orangorang yang diberi kitab sebelum kamu, dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak nmenyakitkan hati.” (Q.S. Ali Imran: 186)

Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:

 

Artinya: “Dan jika kamu sekalian bersabar serta bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Q.S. Ali Imran: 186)

 

Seakan dengan ayat itu Allah berfirman: “Kuatkan dirimu, karena sesungguhnya mau tidak mau kamu sekalian akan mendapat bermacam cobaan. Jika kamu sekalian bersabar, maka kamu semua adalah lelaki sejati, dan cita-cita kalian adalah citacita lelaki sejati.”

 

Dengan begitu, orang yang bercita-cita ingin beribadah kepada Allah mula-mula harus memiliki keinginan kuat untuk bersabar dalam jangka waktu yang cukup lama. Ia harus menguatkan diri untuk menanggung kesulitan-kesulitan besar yang datang silih berganti sampai mati. Jika tidak, berarti ia mencari sesuatu tanpa menggunakan alat dan mencarinya lewat jalan yang keliru. Telah diceritakan dari Fudhail bin Iyadh. Beliau berkata: “Barangsiapa ingin menempuh jalan akhirat, hendaklah ia menjadikan empat macam kematian dalam dirinya, yaitu mati putih, mati merah, mati hitam, dan mati hijau. Mati putih berarti yasa lapar. Mati hitam berarti celaan masyarakat. Mati merah berarti perselisihan dengan setan. Dan mati hijau berarti berbagai kejadian yang silih berganti.”

 

Kedua, kebaikan dunia dan akhirat yang ada di dalam kesabaran. Di antaranya adalah keselamatan dan keberhasilan.

 

Allah berfirman: :

 

Artinya: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah pasti

 

menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesukaran), dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)

 

Maksudnya: Barangsiapa bertakwa kepada Allah dengan penuh kesabaran, maka Dia akan membuatkan jalan keluar untuknya dari berbagai kesulitan.

 

Di antara kebaikan yang diperoleh dengan kesabaran adalah mengalahkan para musuh. Allah berfirman:

 

Artinya: “Maka bersabarlah. Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Huud: 49)

 

Keuntungannya yang lain adalah mendapatkan apa yang diinginkan. Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan telah sempurna perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” (Q.S, AI-A’raaf: 137)

 

Dikisahkan bahwa Nabi Yusuf a.s. menulis surat jawaban kepada Nabi Ya Qub a.s.: “Sesungguhnya nenek moyangmu adalah orang-orang yang bersabar dan mereka memperoleh apa yang mereka inginkan. Karena itu bersabarlah seperti mereka, niscaya akan kau dapatkan keinginanmu seperti mereka juga mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

 

Hal ini juga sesuai dengan arti ungkapan sebuah syair:

 

“Sungguh. Janganlah kamu berputus asa meski pencarian teramat panjang. Jika bersabar akan kau temukan jalan yang lebar.

Sudah sepantasnya orang yang bersabar diberi apa yang dibutuhkannya,

dan orang yang mengetuk pintu bisa masuk rumah.

 

Keuntungan yang lain adalah lebih maju dari orang lain dan menjadi seorang pemimpin. Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan Kami jadikan mereka pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah dari Kami karena mereka bersabar.” (Q.S. As-Sajdah: 24)

 

Keuntungan yang lain adalah pujian (sanjungan) dari Allah. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang bersabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (Q.S. Shaad: 44)

 

Keuntungan lain berupa kabar gembira dengan datangnya rahmat dari Allah. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan berikanlah kabar gembira untuk orang-orang yang bersabar.” (Q.S. al-Baqarah: 155)

sampai pada firman:

 

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang mendapat keberkahan sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 157)

 

Keuntungan lain berupa kecintaan Allah. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Ali Imran: 146)

 

Keuntungan lain berupa derajat tinggi di surga. Allah berfirman:

 

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (di dalam surga) karena kesabaran mereka.” (Q.S. Al Furqaan: 75)

 

Keuntungan lainnya adalah kemulian yang agung. Allah berfirman:

 

Artinya: “Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.” (Q.S. Ar-Ra’d: 24)

 

Keuntungan lain berupa pahala tanpa batas dan tiada habisnya yang berada di luar jangkauan angan-angan, hitungan, dan apa yang dicapai oleh semua makhluk. Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar: 10)

 

Maha Suci Dzat, Tuhan, Tuan yang Maha Pemurah. Sungguh menakjubkan kemuliaan-Nya. Segala kemuliaan di dunia dan akhirat ini Dia berikan kepada hamba-Nya karena kesabaran yang hanya sesaat. Kemudian jelaslah bagi Anda bahwa kebaikan dunia dan akhirat terletak di dalam kesabaran.

Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Tak seorangpun diberi suatu pemberian yang lebih baik dan luas ketimbang kesabaran.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. Beliau berkata: “Segala kebaikan orang-orang mukmin bersatu dalam kesabaran.”

 

Sungguh indah gubahan seorang penyair berikut ini:

 

Kesabaran adalah kunci semua harapan.

Dan segala kebaikan bisa terwujud karenanya.

Bersabarlah walau malam terlalu panjang.

Kuda yang beringaspun kadang menjadi jinak (karena kesabaran).

Kadang sesuatu yang dikatakan tak mungkin

terjadi bisa diperoleh dengan kesabaran.

 

Penyair lain berkata:

 

Aku telah bersabar dan itu bagian dari kepribadianku.

Dan cukuplah bagimu bahwa Allah menyanjung kesabaran.

Aku akan terus bersabar hingga Allah rhemberi kepastian antara kita,entah menuju kemudahan ataukah menuju kesukaran.

 

Oleh karenanya, hendaklah Anda berusaha mendapatkan Perilaku yang mulia dan terpuji ini serta mengerahkan seluruh kemampuan di dalamnya. Dengan begitu Anda termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik.

 

Jika Anda bertanya: “Apakah arti sabar yang sebenarnya dan bagaimana hukumnya?”

 

Ketahuilah bahwa kata “ash-shabru” dilihat dari scgi bahasa adalah menahan diri. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru pada Tuhannya.” (Q.S. Al-Kahfi: 28)

 

Artinya tahanlah hidupmu bersama mereka.

 

Allah Swt. juga bersifat sabar. Artinya Dia menahan siksaan orang-orang yang berdosa. Karena itu Dia tidak tergesa-gesa memberikan siksaan kepada mereka.

 

Kemudian pekerjaan yang dilakukan oleh hati juga dinamakan sabar, karena iajuga menahan diri dari keluh-kesah.

 

Menurut pendapat para ulama, keluh-kesah adalah menyebutkan kegoncangan hati dalam menghadapi kesulitan.

 

Ada ulama yang berkata: “Keluh-kesah adalah keinginan untuk keluar dari kesulitan secara pasti. Sedangkan sabar adalah tidak menginginkan hal (keluar dari kesulitan) ini.

 

Benteng untuk menjaga kesabaran adalah mengingat sampai sejauh mana kesulitan tersebut dan seberapa lamanya. Kesulitan tersebut tidak akan bertambah, berkurang, maju ataupun mundur. Dan tidak ada gunanya mengeluh. Bahkan hal itu berbahaya dan sangat mengkhawatirkan.

 

Yang melindungi benteng ini adalah mengingat kebaikan yang akan diberikan oleh Allah sebagai gantinya. Juga simpanan pahala besar yang ada di sisi-Nya sebagai imbalan.

 

Pahami dan camkanlah hal ini.

 

Tahapan yang sulit dan menjadi penghalang ini suhah seharusnya Anda lalui dengan menyingkirkan rintangan yang empat macam (rezeki, kekhawatiran, qada, dan bencana) sekaligus membersihkan penyakitnya. Karena bila tidak, rintangan tersebut tidak akan membiarkan Anda untuk mengingat tujuan beribadah dan memikirkannya, apalagi sampai melaksanakan dan bisa berhasil (satu hal yang tidak mungkin). Karena masing-masing rintangan memiliki sesuatu yang menyibukkan baik di masa sekarang ataupun di masa mendatang.

 

Kemudian, di antara keempat rintangan tersebut yang paling berat dan sulit adalah urusan rezeki dan pengaturannya. Urusan rezeki adalah ujian yang besar sekali bagi kebanyakan orang. Ujian yang melelahkan diri mereka, menyibukkan hati, menambah kesedihan, menyita waktu, memperbesar kesalahan dan dosa mereka. Membuat mereka berpindah dari pintu Allah dan melayani-Nya menuju pengabdian kepada dunia dan makhluk lain. Lalu mereka hidup di dunia dalam keadaan lalai, gelap, payah, sulit, terhina dan tercela. Dan mereka datang ke akhirat dalam keadaan bangkrut, dihadapkan pada perhitungan dan siksaan, jika tidak mendapatkan rahmat dari Allah dengan anugerah-Nya.

 

Lihatlah! Berapa banyak ayat yamng diturunkan oleh Allah dalam hal ini. Berapa kali Allah mengungkapkan janji, jaminan, dan pembagian masalah rezeki ini. Tiada hentinya para nabi dan para ulama memberikan petuah kepada manusia, memberi penerangan tentang jalan mereka, menyusun berbagai macam kitab, membuat berbagai perumpamaan dan menakut-nakuti mereka dengan siksa dari Allah. Walaupun begitu mereka tetap tidak menerima petunjuk, tidak bertakwa, dan tidak merasa tenang. Bahkan mereka selalu tersiksa oleh hal itu. Tiada hentinya mereka khawatir kehilangan makan pagi dan sore yang kesemuanya berasal dari minimnya perenungan terhadap ayat-ayat Allah Swt. Minimnya berpikir tentang ciptaan Allah dan tidak mengingat sabda Rasul Saw., tidak merenungkan ucapan orang-orang saleh, membiarkan bisikan-bisikan setan, mendengar omongan orang-orang bodoh dan tertipu oleh kebiasaan orang-orang yang lalai. Setan menguasai mereka, dan kebiasaan (orang yang lalai) tertanam kuat dalam hati mereka dan hal itu menyebabkan hati menjadi lemah dan tipis keyakinannya.

 

Adapun orang orang terpilih yang memiliki kewaspadaan, kesungguhan dan bersunppuh sunppuh tentu akan melihat jalan langit sehinppa mereka tidak menghiraukan penyebab-penyebab yang ada di bumi. Mereka berpegang tepuh pada tali Allah, tidak peduli dengan berbagai ketergantungan terhadap para makhluk, merasa yakin pada tanda-tanda Allah dan memperhatikan jalanNya. Mereka juga tidak menoleh terhadap godaan setan, orang lain dan diri sendiri. Jika ada godaan dari setan, orang lain, ataupun diri sendiri (nafsu), maka ia tetap berdiri tegak, menentang, mengusir dan menyimpang sehingga orang lain yang menggoda akan berpaling. Para setan akan pergi memisahkan diri. Nafsu mau menurut (jinak), danjalan lurus menuju ibadah terbuka lebar. Begitulah. Seperti diceritakan dari Ibrahim bin Adham rahimahullah. Pada saat beliau berniat pergi ke pedalaman (hutan), setan datang menakut-nakuti bahwa hutan ini sangat berbahaya. Sedangkan kamu tidak membawa bekal dan alat yang lain. Kemudian beliau tetap bertekad memasukinya dan tidak akan berhenti melakukan salat seribu rakaat setiap kali menempuh jarak satu mil. Ternyata beliau berhasil menjalani apa yang diinginkan dan tinggal di hutan selama dua belas tahun, hingga suatu ketika Harun Al-Rasyid menunaikan ibadah haji pada tahun-tahun itu dan menemukannya sedang melaksanakan salat di bawah penunjuk jarak. Lalu ada yang berkata: “Ini adalah Ibrahim bin adham yang sedang salat.” Kemudian Harun Al-Rasyid mendatangi beliau dan bertanya: “Apa yang terjadi padamu hai Abu Ishaq?” Ibrahim menjawabnya dengan bersyair:

 

“Kutambal duniaku dengan merobek agamaku

dan tiada yang tersisa dari agamaku serta apa yang kutambal (duniaku).

Beruntung sekali seorang hamba yang memilih Allah sebagai Tuhannya

dan bermurah hati dengan hartanya untuk sesuatu yang akan terjadi.

 

Diceritakan bahwa ada orang saleh yang tinggal di daerah pedalaman. Lalu setan datang menggoda dengan mengatakan bahwa di sini Anda tidak mempunyai apa-apa sedangkan tempat ini berbahaya. Tidak ada kehidupan dan orang lain di dalamnya. Beliau tetap bersikeras untuk membiarkan dirinya tanpa memiliki bekal. Beliau menghindari jalan umum agar tidak meminta-minta pada orang lain dan tidak memakan sesuatu sampai ada samin dan madu yang diletakkan di mulutnya. Beliau berpindah dari jalan umum dan mengembara. Aku berjalan sesuai kehendak Allah dan tiba-tiba ada rombongan yang tersesat dari jalan. Mereka terus berjalan, dan saat aku melihat mereka, kulemparkan tubuhku ke tanah agar mereka tidak melihatku. Lalu Allah menjalankan mereka hingga semuanya berhenti di hadapanku. Aku memejamkan mata, lalu merekapun mendekat. Mereka berkata: “Orang ini terpisah dari rombongan dan pingsan karena lapar dan dahaga. Tolong ambilkan samin dan madu, biar kuletakkan di mulutnya. Siapa tahu ia bisa siuman.” Mereka datang membawa samin dan madu. Lalu kukatupkan mulut dan gigiku. Mereka mengambil pisau untuk merobek mulutku hingga terbuka. Aku tertawa dan membuka mulut. Melihat itu mereka bertanya padaku: “Apa kamu gila?” Aku menjawab: “Tidak. Segala puji bagi Allah.” Kemudian kuceritakan kepada mereka sebagian dari apa yang terjadi antara aku dan setan dan mereka kagum akan hal itu,

 

Diceritakan dari salah seorang guru kami. Beliau berkata: “Pada suatu ketika aku pergi untuk mengajar ke sebuah masjid yang jauh dari orang banyak. Aku tidak membawa bekal, seperti kebiasaan yang dilakukan oleh para wali kita. Lalu setan datang menggoda bahwa masjid ini jauh dari pemukiman orang banyak, Jika kamu mau berjalan ke masjid yang ada di tengah orang banyak, tentu penduduknya akan melihatmu dan memberikan kebutuhanmu. Aku berkata: “Aku tidak akan menginap selain di tempat ini. Aku berjanji tidak mau makan apapun selain manisan.

 

Dan aku tidak akan memakannya sampai manisan itu dimasukkan ke dalam mulutku sesuap demi sesuap.” Lalu aku melakukan salat Isya dan mengunci semua pintu. Setelah lewat tengah malam aku dikejutkan seseorang yang mengetuk pintu dan membawa pelita. Setelah berulangkali mengetuk aku pun membuka pintu. Ternyata aku bertemu dengan seorang nenek tua bersama seorang pemuda. Nenek itu masuk dan meletakkan nampan berisi makanan di hadapanku dan berkata: “Pemuda ini adalah anakku. Aku membuatkan makan ini untuknya. Lalu terjadi pembicaraan antara kami dan dia bersumpah tidak mau makan kecuali bersama dengan lelaki asing. Atu nenek tadi berkata “Orang asing yang ada di dalam masjid. Oleh karena itu makanlah. Semoga Allah memberikan rahmat padamu.” Kemudian nenek tadi mulai meletakkan sesuap makanan di mulutku dan sesuap yang lain di mulut anaknya sampai kami berdua merasa cukup. Lalu keduanya pergi dan ia menutupkan pintu untukku sambil merasa heran dengan apa yang terjadi.

 

Semua ini adalah contoh perjuangan orang-orang saleh dan perlawanan mereka terhadap setan.

 

Dari semua itu Anda bisa mengambil tiga hal yang bermanfaat:

 

  1. Anda harus tahu bahwa rezeki itu apapun yang terjadi tidak akan lenyap dari orang yang ditakdirkan menerimanya.

 

  1. Anda harus tahu bahwa urusan rezeki dan tawakal amatlah penting. Dan sesungguhnya setan selalu menggoda dan membuat kebimbangan, sampai-sampai orang yang zuhud seperti itu tidak bisa terhindar dari godaannya. Setan-setan itu tidak akan berputus asa dari mereka setelah melatihnya dalam waktu yang cukup lama dan perjuangan gigih yang dilakukan sejak dulu. Hingga untuk mengusirnya mereka memerlukan perlawanan semacam ini. Sungguh. Aku bersumpah demi umurku. Seseorang yang telah melatih diri selam tujuh puluh tahun tidak akan terbebas dari godaan setan dan hawa nafsu. Seperti mereka juga menggoda para pemula dalam beribadah. Apalagi orang berakal yang sedikitpun tidak pernah melatih diri. Jika kedapatan oleh setan dan hawa nafsu, maka keduanya akan memperlakukan dan merusak mereka seperti kerusakan orang orang yang lalai dan tertipu. Ini merupakan sebuah pelajaran bagi orang yang waspada,

 

3, Anda juga harus tahu bahwa segala sesuatu tidak akan sempurna tanpa usaha dan perjuangan maksimal. Mereka (orang-orang saleh) juga mempunyai daging, darah, tubuh dan nyawa. Bahkan keadaan tubuh mereka lebih kurus, anggota badan mereka lebih rapuh dan tulang mereka lebih kecil dari Anda. Akan tetapi mereka memiliki kekuatan ilmu, cahaya keyakinan, dan cita-cita tinggi dalam urusan agama. Sehingga mereka mampu melakukan mujahadah (perjuangan melawan nafsu) dan tetap menempati kedudukan tersebut. Oleh karena itu, lihatlah diri Anda. Semoga Allah memberikan rahmat pada kita semua. Obatilah diri Anda dari penyakit yang sulit disembuhkan ini. Semoga Anda beruntung.

 

Setelah mengutarakan semua ini kami akan menerangkan hal penting yang bisa bersemayam dalam hati, jika Anda mau mengingat dan mencukupi ongkos yang diperlukannya. Di samping itu Anda juga akan melihat jalan kebenaran yang nyata jika mau merenung dan beramal dengannya.

 

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua.

 

Pertama, sebaiknya Anda mengetahui bahwa Allah Swt. telah menjamin semua rezeki bagi hamba-Nya di dalam Lauh Mahfuzh. Allah telah menjamin rezeki dan menanggungnya bagi Anda. Apa yang akan Anda katakan jika ada seorang penguasa di dunia yang akan menjamu Anda malam ini dan ia sudah mengundang Anda untuk makan. Sedangkan Anda berprasangka baik bahwa ia adalah orang yang jujur, tak pernah bohong dan ingkar janji. Bahkan seandainya ada seorang pedagang pasar yang menjanjikan hal itu, atau mungkin orang Yahudi, Nasrani atau bahkan Majusi yang belum Anda ketahui dengan pasti serta masih perlu berhati-hati dengan ucapannya, Bukankah Anda percaya pada janjinya dan merasa tenang dengan ucapannya. Lalu Anda tak lagi memperdulikan urusan makanan, karena sepenuhnya percaya sepenuhnya kepada orang tersebut di malam itu.

 

Kemudian apa yang terjadi dengan Anda? Bukankah Allah telah berjanji akan menjamin rezeki Anda dan menanggung hal itu bagi Anda? Bahkan Dia telah bersumpah berulangkali. Kenapa Anda tidak merasa tenteram dengan janji-Nya dan tidak merasa tenang dengan firman dan janiman-Nya? Anda tidak melihat bagaimana Dia membagi rezeki. Bahkan hati Anda berguncang dan merasa sedih. Alangkah malunyajika Anda melihat kenyataan sebenarnya. Alangkah besarnya musibah ini jika Anda mengetahui keadaan yang sebenarnya.

 

Diceritakan dari sahabat Ali bin Abu Thalib. Beliau berkata:

 

Adakah kau mencari rezeki Allah dari orang lain

dan merasa aman dari kesudahan yang menakutkan.

Apakah kau rela dengan penukar uang yang akan menjaminmu walau dia seorang musyrik

dan tidak rela dengan jaminan yang diberikan Tuhanmu? Seakan-akan kau tidak membaca apa yang tertulis dalam kitab-Nya sehingga pagi-pagi sudah berpindah keyakinan secara terangterangan.

 

Jika melihat makna semua ini, jelaslah bahwa urusan rezeki Japat menyeret seseorang ke arah kebimbangan dan syubhat (hal meragukan) yang mengkhawatirkan pemiliknya kehilangan makrifat dan agama.

 

Karena makna seperti ini pula, Allah Swt. befirman:

 

Artinya: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Al-Maaidah: 23)

 

Dia juga berfirman:

 

Artinya: “Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin itu bertawakal.” (Q.S. At-Taubah: 51)

 

Cukuplah kiranya satu keterangan singkat ini bagi seorang mukmin yang mementingkan urusan agamanya.

 

Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur lagi Maha Agung.

 

Kedua, hendaknya Anda mengetahui bahwa rezeki itu telah dibagi. Hal itu sudah jelas disebutksn dalam Al-Qur’an dan berbagai hadis Rasul Saw.

 

Anda juga harus tahu bahwa rezeki tersebut tidak dapat diganti dan diubah. Jika Anda mengingkari pembagian tersebut dan menganggap mungkin bisa berkurang, berarti Anda telah mengetuk pintu kekufuran. Naudzubillah. Jika Anda tahu bahwa hal itu benar-benar tidak dapat diubah, untuk apa mementingkan dan mencari (rezeki). Tidak ada yang diperoleh selain kehinaan dan kenistaan di dunia serta kesulitan dan kerugian di akhirat.

 

Karena itulah Rasul Saw. Bersabda:

 

Artinya: “Telah tertulis di atas punggung ikan dan sapi, rezeki untuk si fulan. Jadi orang yang rakus tidak akan mendapat tambahan selain kepayahan.”

 

Dalam hal ini guru kami berkata: “Sesungguhnya apa yang telah ditakdirkan menjadi kunyahanmu tidak akan dikunyah orang lain. Karena itu, makanlah rezekimu dengan kemuliaan dan jangan memakannya’dengan kehinaan.

 

Ini adalah keterangan ringkas yang memuaskan bagi orang-orang yang jantan.

 

Ketiga, apa yang kudengar dari guru kami Imam Haramain yang menceritakan Al-Ustadz Abu Ishag rahimahullah. Beliau berkata: “Sebenarnya di antara hal yang membuat diriku puas dalam urusan rezeki adalah karena aku mengingat dan berkata dalam hati. Bukankah rezeki ini diperuntukkan bagi makhluk yang masih hidup. Sedangkan orang yang telah mati tidak mendapatkan rezeki.” Jika kehidupan seorang hamba berada di dalam gudang Allah dan di bawah kekuasaan-Nya, berarti seperti itu pula urusan rezeki. Bila Dia menghendaki tentu Dia memberiku rezeki. Sedangkan hal itu belum jelas bagiku. Kuserahkan hal itu kepada Allah yang akan mengaturnya sesuai apa yang Ia kehendaki. Aku akan merasa tenang dalam masalah ini.

 

Keterangan singkat ini lembut sekali dan memuaskan para ahli tahqiq.

 

Sesungguhnya Allah menjamin rezeki seluruh hamba dan yang Dia jamin adalah rezeki madhmun, berupa bahan penguat dan pendidikan. Rezeki madmun inilah yang menjadi penguat dan bahan persiapan untuk taat.

 

Adapun mengenai bermacam penyebab seperti makanan dan rainuman, maka jika seorang hamba menfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah dan menyerahkan diri (bertawakal) kepada-Nya, bisa saja penyebab-penyebab tersebut tertahan darinya.

 

Dia tidak perlu mempersiapkan hal itu dan merasa jemu, karena ja tahu benar bahwa jaminan mendapat penguat tubuh dan tawakal kepada Allah hanya berhubungan dengan tegaknya tubuh, tidak ada hubungannya dengan yang lain. Hal yang ditunggu-tunggu dari Allah hanya itu. Sesungguhnya Allah pasti memberinya kekuatan agar ia bisa memenuhi hak-hak ibadah dan pengabdian selama umur serta tuntutan beribadah masih ada padanya. Bantuan semacam inilah yang menjadi tujuan. Dan Allah Maha kuasa terhadap apa yang Ia kehendaki. Jika menghendaki, Dia akan memberi penguat tubuh hamba-Nya dengan perantara makanan dan minuman. Atau dengan tanah liat dan debu. Atau dengan tasbih dan tahlil seperti halnya para malaikat. Dan jika menghendaki, Dia akan memberi penguat tanpa perantara semua itu. Yang dicari seorang hamba tidak lain hanyalah penguat tubuh dan kekuatan untuk beribadah, bukan makan dan minum, syahwat dan keinginan yang menggebu serta merasakan kenikmatan. Jadi, semua penyebab itu di luar perhitungannya. Oleh karena itu, orang-orang yang tekun beribadah dan berzuhud mampu menempuh berbagai perjalanan serta melipat malam dan siang. Di antara mereka ada yang tidak makan selama sepuluh hari. Ada yang tidak makan selama satu atau dua bulan dan mereka tetap kuat seperti biasa.

 

Di antara mereka ada yang menelan pasir, lalu Allah menjadikannya sebagai bahan penguat, seperti cerita tentang Sufyan Ats-Tsauri. Beliau kehabisan bekal di Mekkah dan hidup dengan memakan pasir selama lima belas hari.

 

Abu Mu’awiyah Al-Aswad berkata: “Aku melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah liat selama dua puluh hari.”

 

Diceritakan dari Al-A’masy, beliau berkata: “Ibrahim At-Taimi berkata kepadaku, ‘Aku belum makan selama satu bulan’” Aku bertanya: “Satu bulan?” Ibrahim menjawab: “Tidak. Sebenarnya malah dua bulan, hanya saja seseorang bersumpah demi Allah agar aku memakan setangkai anggur, lalu aku memakannya dan perutku terasa sakit,”

 

Menurutku Anda tidak perlu heran terhadap hal semacam ini. Sesungguhnya Allah mampu mewujudkan apa yang Dia hendaki seperti halnya orang yang sedang sakit. Ia tidak makan Selama sebulan dan terlihat masih hidup. Apapun yang terjadi

orang yang sedang sakit tentu lebih lemah keadaannya dan lebih lembek ketimbang orang yang sehat.

 

Adapun orang yang mati kelaparan, itu adalah ajal yang mendatanginya, sama halnya dengan orang yang mati kekenyangan.

 

Aku pernah mendengar bahwa Abu Sa’id Al-Kharraz rahimahullah berkata: “Seperti biasanya, Allah memberiku makan tiga hari sekali. Lalu aku masuk ke pedalaman. Sudah lebih dari tiga hari aku tidak makan. Pada hari keempat aku merasa lemas dan duduk di tempatku berada saat itu. Tiba-tiba terdengar hatif (Suara tanpa rupa): “Hai Abu Said! Apa yang lebih kamu sukai, penyebab atau kekuatan?” Aku menjawab: “Tidak. Aku tidak butuh selain kekuatan.” Lalu aku berdiri perlahan-lahan dan bisa mengangkat tubuh. Akupun tinggal selama dua belas hari tanpa makan, dan aku tidak merasa sakit karenanya.”

 

Sedangkan bila seorang hamba melihat penyebab yang tertahan untuknya dan mengetahui ada perasaan tawakal dalam dirinya, maka yakinlah bahwa Allah akan memberinya kekuatan. Jangan merasa bosan dengan hal semacam itu, tapi sudah seharusnya ia bersyukur kepada Allah dalam hal ini dengan syukur yang sebanyak mungkin. Karena sesungguhnya ia mendapat anugerah dan perlakuan yang halus tanpa mengeluarkan biaya tapi mendapat pertolongan. Dia berhasil mendapatkan inti dan tujuan, terhindar dari hal berat dan perantara, terlepas dari ketergantungan pada kebiasaan.

 

Allah memperlihatkan jalan kekuasaan dan menyamakan keadaannya dengan para malaikat. Allah mengangkatnya dari tingkatan hewan dan orang lain pada umumnya dengan kemuliaan tersebut.

 

Renungkanlah inti yang penting ini niscaya insya Allah Anda memperoleh keuntungan yang banyak dan agung.

 

Aku (Al-Ghazali) menambahkan: “Mungkin Anda akan berkata bahwa dalam membahas masalah rezeki ini terlalu berlebihan sehingga melenceng dari tujuan utama kitab ini.”

 

Menurutku, demi Sifat Hayat Allah, apa yang Anda katakan terlalu berlebihan ini sangatlah sedikit dibanding kebutuhan segi kebutuhannya. Sebab masalah ini sangat diperlukan dalam beribadah, bahkan menjadi pusat urusan dunia dan peribadatan. Siapa saja yang menganggap penting masalah ibadah hendaklah berpegang teguh dengan keterangan ini serta memelihara hakhaknya. Jika tidak, tentu ia semakin menjauh dari tujuan.

 

Termasuk hal yang menunjukkan kewaspadaan para ulama akhirat yang telah mencapai kedudukan makrifat billah adalah bahwasanya mereka membangun urusan di atas rasa tawakal kepada Allah, meluangkan waktu khusus untuk beribadah kepada Allah dan menyingkirkan semua rintangan. Banyak di antara mereka yang menyusun kitab dan tidak sedikit pula yang meninggalkan wasiat. Lalu Allah mengirim beberapa pembantu berupa pemimpin-pemimpin dan para sahabat sehingga kebaikan yang murni mengalir begitu saja bagi mereka, yaitu melakukan kegiatan yang tidak bisa dilakukan oleh sekelompok imam yang zahid dari aliran Kiramiyah, karena mereka membangun mazhab di atas dasar yang tidak lurus.

 

Kemuliaan kita takkan hilang selama masih berpijak pada jalan para imam yang keluar (telah lulus) dari tempat-tempat ibadah dan madrasah kita. Di antara mereka ada yang menjadi pemuka di bidang pengetahuan seperti Al-Ustadz Abu Ishaq, Abu Hamid, Abu Ath-Thayyib, Ibnu Faurak, guru kita Abu Bakr AlWarraq, dan pemuka-pemuka yang lain. Ada ulama yang tekun beribadah seperti Abu Ishag Asy-Syairazi, Abu Sa’id Ash-Shuffi, Naser Al-Muqaddasi dan imam-imam lain yang lebih unggul dalam ilmu dan kezuhudannya hingga sampai pada orang-orang berhati lemah dan berlumur ketergantungan seperti kita, yang bahayanya lebih banyak ketimbang manfaat yang ditimbulkannya.

 

Akhirnya urusan agama semakin mundur, cita-cita menjadi Pupus, keberkahan pergi melayang, rasa lezat dan manisnya ibadah hilang musnah, dan seseorang nyaris tidak memiliki ibadah yang bersih atau berhasil mendapatkan ilmu dan hakekat.

 

Seberkas sinar yang nampak pada diri kami saat ini tak lain berasal dari orang yang masih berpijak pada jalan ulama-ulama salaf dan guru-guru kami terdahulu seperti Harts Alk-Muhaasibi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi ‘i, Imam Muzani, Harmalah, dan pemuka-pemuka agama yang lain rahimahumullah.

 

Seperti dikatakan seorang penyair, mereka (para ulama) adalah:

 

Mereka tidak bersahabat dengan hari kecuali tetap menjaga diri dan tidak dapat menjauh dari kecintaan Tuhan mereka.

Mereka adalah orang-orang yang mulia, terpercaya dan banyak mendapat petunjuk.

Mereka menjadikan Tuan segala tuan (Tuhan) sebagai tujuan.

Ikatan kesabaran akan terurai bagi orang yang bersabar.

Dan tak satupun ikatan hari-hari mereka yang terurai.

 

Pada awalnya kita menjadi raja, lalu berubah menjadi rakyat. Mula-mula kita penunggang kuda, lalu berubah menjadi pejalan kaki. Semoga saja kita sama sekali tidak terputus dari jalan Allah.

 

Hanya Allah tempat memohon pertolongan, dalam menghadapi berbagai musibah. Dia-lah tempat meminta. Semoga Dia tidak mencabut sisa ilmu ini. Ssungguhnya Dia Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Pemberi anugerah, dan Maha Pengasih. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan

 

Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

 

Adapun tafwidh (penyerahan diri), maka renungkanlah dua hal penting di dalamnya.

 

Pertama, Anda harus tahu bahwa memilih itu tidak layak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang sudah mengetahui sebuah perkara dari segala sisi, baik lahir maupun batin, keadaan ataupun akibatnya. Jika tidak, tentu dia tidak tahu bahwa dirinya telah memilih kerusakan dan kehancuran serta meninggalkan hal yang berisi kebaikan dan kemaslahatan.

 

Apakah Anda tidak melihat bagaimana seandainya diri Anda berkata kepada seorang penduduk desa atau penggembala kambing: “Tolong pilihkan dirham-dirham ini dan bedakan antara yang baik dan buruk untukku!” Orang tersebut pasti tidak bisa membedakannya. Kalaupun Anda mengatakan hal itu kepada seorang pedagang pasar yang tidak terbiasa menukar uang, terkadang ia pun kesulitan membedakannya. Kalau begitu Anda tidak merasa tenteram selain menyerahkan pekerjaan itu kepada penukar uang yang tahu benar dengan emas dan perak serta ciri masing-masing.

 

Pengetahuan yang lebih mencakup semua hal dari segala segi seperti ini tidak pantas dimiliki oleh selain Penguasa alam semesta.. Jadi, tak seorangpun berhak memilihkan dan mengatur selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya.

 

Oleh karena itu Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihkannya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Q.S. Al-Qashash: 69) Kemudian Dia melanjutkan:

 

Artinya: “Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (di dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan.” (Q.S. Al-Qashash: 69)

 

Dikisahkan bahwa seorang saleh menerima ilham dari Allah: “Mintalah! Pasti kamu diberi.” Dania termasuk orang yang mendapat taufik. Oleh karena itu dia berkata. “Sesungguhnya Dzat yang lebih mengetahui segalanya berfirman kepada orang yang tidak tahu apa-apa.” Allah berfirman: “Mintalah! Pasti kamu diberi.” ia menjawab: “Aku tidak tahu apa yang baik agar kupmta, tapi pilihkanlah hal itu untukku.”

 

Camkan hal ini baik-baik.

 

Kedua, apa yang Anda katakan bila ada seorang lelaki yang berkata pada Anda: “Aku akan menyelesaikan semua urusanmy dan mengatur kebaikan-kebaikan yang kamu butuhkan. Karena itu serahkanlah semua urusanmu kepadaku dan sibukkan dirimu dengan sesuatu yang dapat menolongmu.” Lelaki tersebut adalah orang yang terpandai di antara orang banyak pada zaman Anda, paling bijaksana, paling kuat, paling belas kasih, paling terjaga, paling benar (terpercaya) dan paling setia (memenuhi janji) di antara mereka. Apakah Anda tidak mengambil kesempatan itu dan menganggapnya sebagai kenikmatan paling agung, sebagai sebuah anugerah terbesar dan mengucapkan terimakasih yang setimpal serta menyanjungnya dengan pujian terbaik?

 

Kemudian, jika ia memilihkan sesuatu yang Anda lihat tidak ada baiknya, Anda tidak merasa jemu bahkan lebih percaya dan lebih mantap pada pengaturannya. Anda pun tahu bahwa ia tidak akan memilihkan sesuatu kecuali yang terbaik dan tidak akan melihat selain kebaikan pada diri Anda. Apa yang terjadi setelah semua urusan Anda serahkan kepadanya dan ia mau menjamin hal itu?

 

Lalu kenapa Anda tidak menyerahkan segala urusan kepada Allah Penguasa alam semesta. Sedangkan Dia adalah Dzat yang mengatur segala urusan dari langit sampai bumi. Dia terpandai di antara para ilmuan, paling mampu di antara orang-orang yang mampu, lebih kasih sayang di antara para pengasih, dan terkaya di antara orang-orang kaya, agar Dia memilihkan untuk Anda dengan kelembutan ilmu-Nya dan kebaikan (kerapian) cara pengaturnya, sesuatu yang tidak tersentuh oleh pengetahuan Anda dan tidak terlintas dalam pikiran Anda. Setelah itu sibukkanlah diri Anda dengan pekerjaan yang dapat menolong Anda di hari esok.

 

Jika Dia memilihkan untuk Anda sesuatu yang belum Anda ketahui rahasianya, hendaknya Anda merelakan hal itu dan merasa tenang kepadanya apapun yang terjadi, sebab pilihan Allah tentu yang terbaik. Karena itu, renungkanlah! Semoga Anda mendapat petunjuk. Hanya Allah tempat memohon taufik.

 

Rela dengan Takdir

 

Cobalah Anda renungkan dua hal pokok yang bisa memuaskan ini.

 

Pertama, faedah kerelaan yang didapat dengan seketika dan yang akan diperoleh di kemudian hari.

 

Faedah yang diperoleh dengan seketika adalah kosongnya hati dan berkurangnya keprihatinan yang tiada guna. Karena itulah sebagian besar orang zuhud berkata: “Jika takdir Allah telah nyata, niscaya keprihatinan itu tiada guna.” Dasar ungkapan ini adalah hadis Nabi Saw. Beliau berkata kepada Ibnu Mas’ud r.a.:

 

Artinya: “Kurangi keprihatinanmu. Apa yang telah ditakdirkan pasti terjadi, dan apa yang tidak ditakdirkan pasti tidak akan datang padamu.”

 

Ini adalah ucapan kenabian yang bersifat umum tapi cukup memadai, ringkas dan padat.

 

Adapun faedah yang akan diperoleh di kemudian hari adalah pahala dan kerelaan Allah. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Allah meridai mereka, dan mereka pun rida kepada-Nya.” (Q.S. At-Taubah: 100)

 

Kebencian terhadap takdir akan menimbulkan keprihatinan, kesedihan dan rasa jemu dengan seketika serta dosa dan siksaan di kemudian hari yang tiada berguna, Sebab takdir Allah pasti berlaku dan tidak mungkin berpaling karena keprihatinan dan kebencian Anda, seperti dikatakan seorang penyair:

 

Wahai nafsu! Bersabarlah dari apa yang telah ditakdirkan,

niscaya kamu terbebas dari sesuatu yang tidak ditakdirkan.

 

Lihatlah kenyataan! Sesungguhnya hal yang telah ditakdirkan

pasti terwujud untukmu baik kamu bersabar atau tidak.

 

Orang yang memiliki akal tentu tidak akan memilih keprihatinan yang tidak berguna, mendapatkan dosa dan siksaan, meninggalkan hati yang nyaman dan pahala di dalam surga.

 

Kedua, kekhawatiran yang terdapat di dalam kebencian, bahaya, kekufuran dan kemunafikan di dalamnya jika tidak diikuti oleh rahmat dari Allah.

 

Renungkan juga firman Allah di bawah ini:

 

Artinya: “Maka demi Tuhanmu. Mereka (Pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisaa’: 65)

 

Dalam ayat ini keimanan ditiadakan dan Allah bersumpah bahwasanya orang yang membenci dan merasa keberatan terhadap keputusan Rasulullah Saw. tidak memiliki rasa iman. Lalu bagaimana dengan orang yang membenci keputusan (takdir) Allah?

 

Telah kami ceritakan bahwa Allah Swt. berfirman (dalam hadis qudsi):

 

Artinya: “Barangsiapa tidak rela dengan keputusan-Ku, tidak bersabar atas cobaan-Ku dan tidak bersyukur atas nikmat-nikmatKu hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.”

 

Ada yang mengatakan bahwa seakan-akan Allah berfirman: “Orang ini tidak merelakan Aku menjadi Tuhannya ketika dia marah, karena itu hendaklah ia membuat tuhan lain yang ia relakan.”

 

Ayat ini merupakan sebuah ancaman yang sangat tajam dan menakutkan bagi orang yang berakal.

 

Benar sekali apa yang dikatakan oleh seorang ulama salaf saat beliau ditanya: “Apa yang dinamakan pengabdian dan ketuhanan itu?” Beliau menjawab: “Tuhan itu berhak memutuskan dan seorang hamba berhak merelakannya.” Jika Tuhan memutuskan dan hamba itu tidak merelakannya, maka tidak ada pengabdian dan tidak ada ketuhanan. Karena itu, renungkanlah hal penting ini dan lihatlah diri Anda sendiri, semoga Anda selamat dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya.

 

Kesabaran adalah obat yang pahit dan minuman yang tidak menyenangkan namun mengandung berkah, mendatangkan banyak kegunaan dan menolak setiap bahaya dari Anda. Karena itu, jika ada obat yang ciri-cirinya semacam ini, tentu orang yang berakal akan memaksakan diri untuk meminum dan menelannya, menahan rasa pahit dan bau yang menyengat darinya kemudian berkata: “Kepahitan sesaat berarti rasa nyaman setahun.”

 

Manfaat yang Diperoleh dengan Kesabaran

 

Ketahuilah bahwa sabar itu ada empat macam:

– Sabar menjalankan ketaatan

– Sabar menjauhi maksiat

– Sabar menjauhi kelebihan dunia

 – Sabar menghadapi ujian dan berbagai musibah.

 

Jika sesorang telah mampu menahan pahitnya kesabaran dan ia bersabar di dalam empat tempat ini, berarti ia telah berhasil mendapatkan ketaatan dan berbagai macam tingkatannya seperti istiqamah dan menerima pahala yang agung di hari kemudian. Ia tidak akan terjerumus dalam kemaksiatan dan berbagai bencananya di dunia serta imbasnya kelak di akhirat. Ia tidak diuji dengan mencari keduniaan, tidak disibukkan di dunia dan tuntutan di akhirat karenanya. Pahala sesuatu yang diujikan kepadanya dan apa yang ia tinggalkan tidak akan terhapus. Dengan begitu, karena kesabarannya tadi ia bisa mendapatkan ketaatan, berbagai tingkatan yang mulia, pahala, ketakwaan, kezuhudan, pengganti dan pahala yang agung dari Allah.

 

Rincian keterangan di atas adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah.

 

Bahaya yang Ditolak oleh Kesabaran

 

Mula-mula ia akan terbebas dari berkeluh-kesah dan penderitaannya di dunia, kemudian terbebas dari dosa dan siksaannya di akhirat.

 

Adapun orang yang tidak mampu bersabar dan memilih jalan berkeluh-kesah, maka ia akan kehilangan semua manfaat dan menemui berbagai bahaya. Sebab ia tidak bersabar menjalankan beratnya ketaatan, lalu ia tidak menjalankannya. Ia tidak bersabar memelihara taatnya, lalu ia meleburnya. Atau ia tidak sabar melangsungkan ketaatannya sehingga tidak sampai pada kedudukan tertinggi, yakni istiqamah. Atau ia tidak sabar menjauhi maksiat lalu terjerumus di dalamnya. Atau tidak mampu menjauhi kelebihan dunia lalu ia sbuk mencarinya. Atau ia tidak sabar menghadapi musibah dan terrhalang dari pahala kesabaran.

 

Kadang-kadang ia banyak mengeluh sehingga kehilangan pengganti karenanya. Ia pun mendapatkan dua musibah, yakni kehilangan sesuatu dan kehilangan pahala, pengganti, menerima hal yang tidak menyenangkan dan terhalang dari kesabaran.

 

Ada yang mengatakan: “Kehilangan kesabaran menghadapi musibah lebih berat daripada musibah itu sendiri.”

 

Lalu apa gunanya sesuatu yang dapat menghilangkan apa yang sudah ada dan tidak dapat mengembalikan sesuatu yang telah hilang? Karena itu usahakan jika Anda kehilangan salah satunya jangan sampai kehilangan yang satunya lagi.

 

Di antara ungkapan yang mencakup hal ini adalah apa yang kami riwayatkan dari sahabat Ali bin Abu Thalib k.w. bahwa beliau menjenguk seorang laki-laki dan berkata: “Jika kamu bersabar maka takdir Allah akan terjadi padamu dan kamu diberi pahala. Jika kamu mengeluh maka takdir Allah akan terjadi padamu dan kamu menanggung dosa.”

 

Kesimpulannya adalah: Sesungguhnya memutuskan hati dari berbagai ketergantungan yang sudah lazim akan mencegah nafsu dari kebiasaan yang sudah tertanam kuat dengan kemurnian tawakkal kepada Allah yang Maha Agung Asma-Nya, tidak merancang segala sesuatu dan menyerahkannya kepada Allah tanpa mengetahui rahasia yang tersimpan di dalamnya, menahan nafsu dari kebencian dan keluhan yang selalu diburunya, memaksa nafsu dengan kendali “rela” dan menelan pahitnya kesabaran yang selalu dijauhinya adalah hal yang pahit, pengobatan yang sangat keras dan sebuah beban berat, tapi juga aturan yang benar dan sebuah jalan yang lurus. Akibatnya juga terpuji dan mengalami keadaan yang menguntungkan.

 

Apa yang Anda katakan jika ada orang tua yang penuh kasih Sayang dan kaya mencegah anaknya tercinta dari makan kurma atau apel karena ia sedang menderita sakit mata? Kemudian ia menyerahkannya kepada seorang guru yang keras, yang mendidik dan menahannya sepanjang hari di hadapan beliau sampai ia bosan lalu membawanya ke tukang canduk sampai ia merasa kesakitan dan gelisah? Apakah orang tua tersebut mencegahnya karena pelit? Bagaimana mungkin, sementara ia memberi orang lain dan melapangkan mereka. Atau mungkinkah, karena ia berlaku keras kepada anaknya? Padahal ia menyimpan apa yang dimiliki untuk anaknya.

 

Atau mungkinkah orang tua tersebut bermaksud menyakiti anaknya karena marah? Bagaimana mungkin, sedangkan anak itu adalah penyejuk mata dan buah hatinya yang seandainya ditiup angin saja ia akan merasa sangat kasihan?

 

Tidak. Orang tua itu melakukan semua ini karena ia melihat itulah yang terbaik untuk anaknya. Dengan sedikit jerih payah ini anak itu akan memperoleh banyak kebaikan dan mendapatkan manfaat yang sangat besar.

 

Apa yang Anda katakan jika ada seorang dokter ahli yang memberi nasehat dan mencintai pasiennya, lalu ia melarang pasien tersebut minum air, sementara ia sangat dahaga dan kerongkongannya seperti terbakar dan malah memberinya obat pahit yang sangat dibencinya dan membuat diri (pasiennya) mengeluh? Adakah dokter itu melakukannya karena ia memusuhi dan ingin menyakitinya? Tidak. Tapi ia bermaksud memberi nasehat dan berbuat baik, karena ia tahu pasti bahwa jika ia memberikan keinginan pasiennya berarti itulah saat kehancurannya dan ia memberikan kebinasaan kepadanya. Dan dengan mencegahnya berarti itulah obat dan kelangsungan hidupnya.

 

Renungkanlah wahai orang yang jantan. Apabila Allah menahan sepotong roti atau satu dirham dari Anda, sementara Anda tahu dengan nyata bahwa Dia memiliki apa yang Anda inginkan dan mampu menentukannya untuk Anda. Dia juga memiliki kemurahan, anugerah dan mengetahui keadaan Anda sehingga tidak ada sesuatupun yang samar dari-Nya.

 

Allah tidak miskin, tidak lemah dan tidak ada yang tersembunyi dari semua itu. Maha Suci Allah. Dia lebih kaya dari prang-orang kaya, lebih mampu dari orang-orang yang mampu, febih pandai dari para ulama dan lebih pemurah dari para pemurah.

 

Maka dengan semua itu Anda benar bahwa sesungguhnya Dia tidak akan mencegah Anda kecuali karena hal itu baik dan menjadi pilihan-Nya. Bagaimana tidak jika Dia telah berfirman: 

 

Artinya: “Dia menciptakan untukmu semua yang ada di bumi.” (Q.S. al-Baqarah: 29)

 

Bagaimana tidak jika Dia bermurah hati dengan memberi kemakrifatan pada Anda, sesuatu yang dapat merusak dunia dengan berbagai rahasianya?

 

Dalam sebuah hadis diterangkan:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah berfirman, “Sungguh Aku melindungi kekasih-kekasih-Ku dari kenikmatan dunia seperti halnya penggembala yang penuh kasih melindungi ontanya dari tempat kurap berkembang biak.”

 

Tika Dia menguji Anda dengan sebuah kesulitan maka Yakinlah bahwa Dia tidak memerlukan ujian dan cobaan Anda. Dia Maha Tahu keadaan Anda, Maha Melihat kelemahan Anda dan Dia lebih mengasihi Anda. Apakah Anda tidak mendengar Nabi Saw. pernah bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah lebih mengasihi hamba-Nya yang beriman dibanding dari seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya.”

 

Jika telah mengetahui maka Anda pasti mengerti bahwa Dia tidak menurunkan sesuatu yang tidak menyenangkan ini kecuali karena adanya kebaikan, akan tetapi Anda tidak mengetahui kebaikan tersebut sedangkan Dia tahu akan hal itu. Karenanya Anda melihat Dia sering memperbanyak.ujian untuk kekasih pilihan-Nya, yakni hamba-Nya yang paling mulia. Sampai-sampai Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Apabila Allah mencintai suatu kaum tentu Dia menguji mereka.”

 

Beliau juga bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya manusia yang paling banyak menerima cobaan adalah para nabi, lalu para rasul, kemudian orang yang sederajat dengan mereka, dan seterusnya.”

 

Jika Anda melihat Allah menahan dunia dari Anda atau memperbanyak kesulitan dan cobaan kepada Anda, maka ketahuilah bahwa Anda sungguh mulia di hadapan-Nya dan menempati kedudukan tinggi di sisi-Nya. Dia menempatkan Anda pada jalan yang dilalui para kekasih-Nya. Dia Melihat Anda dan tidak membutuhkan semua itu.

 

Apakah Anda tidak mendengar firman-Nya:

 

Artinya: “Dan bersabarlah menunggu keputusan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.” (Q.S. AthThuur: 48)

 

Lihatlah anugerah yang diberikan-Nya kepada Anda dan kebaikan yang dipelihara-Nya untuk Anda. Dia juga memperbanyak pahala dan menempatkan Anda pada derajat orang-orang baik dan mulia di hadapan-Nya. Anda pun melihat kesudahan yang terpuji dan pemberian yang agung.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah-Nya.

 

Secara singkat, jika Anda sudah tahu dan merasa yakin bahwa Allah-lah Dzat yang secara penuh menjamin rezeki yang mau tidak mau Anda perlukan untuk kelestarian hidup Anda dan pelaksanaan ibadah kepada-Nya. Dia mampu melakukan apa yang Dia kehendaki apapun yang diinginkan-Nya. Dia Maha Melihat kebutuhan Anda, keadaan demi keadaan dan waktu demi waktu. Maka Anda pun percaya dengan jaminan-Nya yang nyata, pada janji-Nya yang tepat dan hati Anda pun tenang karenanya. Anda juga berpaling, tidak mengingat berbagai ketergantungan dan penyebab serta ketergantungan hati kepada berbagai penyebab. Karena ketergantungan tersebut tidak bisa mencukupi Anda tanpa adanya Allah Swt., karena Dia-lah yang dah kita memakan dan meminumnya. Kemudin Allah jualah yang membuatnya terasa enak dan membuat nyaman. Dia juga Dzat yang mempertemukan Anda dengan kekuatan dan tannya, menolak keberatan dan bahaya-Nya. Dia-lah yang memperkaya dan mencukupi Anda dengannya jika Dia menghendaki. Dengan demikian segala sesuatu kembali kepadaNya, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu, bertawakallah kepada-Nya, jangan bertawakal kepada yang lain.

 

Di samping itu Anda juga tidak usah merancang semua urusan Anda. Serahkan semuanya kepada Allah, Dzat yang mengatur langit dan bumi. Kosongkan diri Anda dari sesuatu yanp tidak terjangkau pengetahuan dan pikiran Anda, yakni urusan yang terjadi esok pagi. Juga dari pemikiran tentang sesuatu yang akan ditemui atau tidak di keesokan hari, dan bagaimana hal itu akan terjadi.

 

Hendaknya mencukupkan diri, tidak berangan-angan dan berandai-andai, karena hal itu hanya membuat hati Anda sibuk dan menyia-nyiakan waktu yang mulia di dalamnya. Boleh jadi Anda menemukan sesuatu yang sama sekali tidak terbersit dalam benak Anda. Maka apa yang telah Anda pikirkan, Anda rancang, waktu Anda yang mahal terbuang percuma di dalamnya sama sekali tidak berguna, tidak bermanfaat, bahkan menjadi suatu kerugian yang akan Anda sesali. Anda juga rugi karena telah menyibukkan hati dan menyia-nyiakan umur di dalamnya.

 

Seorang ulama yang zuhud bersyair sehubungan dengan arti seperti di atas:

 

Telah terdahulu keputusan dan kepastian dari Allah. Istirahatkan (kosongkan) hatimu dari kata ‘kalau’ dan kata ‘seandainya.’

 

Ulama yang lain berkata:

 

 

Apa yang sudah ditetapkan akan terjadi pada waktunya.

Orang-orang bodoh bersusah payah dan bersedih hati.

Mungkin sesuatu yang kamu takutkan tidak terjadi dan mungkin

Juga apa yang kamu harapkan tidak terwujud.”

 

Lalu dengan cepat Anda berkata pada diri sendiri: “Wahai diriku! Tidak mungkin ada sesuatu yang menimpa kita selain apa yang telah ditakdirkan Allah untuk kita. Dia-lah Tuhan kita. Dia yang mencukupi kita dan Dia-lah sebaikbaik Dzat untuk memasrahkan diri, karena Dia Maha Kuasa dan kekuasaan-Nya tidak terbatas. Dia Maha Bijaksana dan kebijaksanaan-Nya tidak terbatas, dan Maha Pengasih yang tiada batasnya.

 

Orang yang mempunyai sifat-sifat seperti di atas benar-benar telah bertawakal kepada Allah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaklah Anda selalu berserah diri.

 

Begitu pula Anda seharusnya memantapkan hati bahwa apa yang telah diputuskan oleh Allah itulah yang paling cocok dan terbaik walaupun hal itu tidak terjangkau pemikiran kita, bagaimana caranya dan apa rahasianya. Lalu Anda berkata pada diri sendiri: “Wahai diriku! Apa yang telah ditakdirkan pasti terjadi. Karena itu tiada gunanya merasa benci. Pilihan tetap jatuh pada apa yang dibuat Allah dan tiada jalan untuk membencinya. Bukankah kamu pernah berkata: ‘Aku rela Allah menjadi Tuhanku. Kenapa kamu tidak rela dengan keputusan (takdir)Nya? Padahal takdir termasuk urusan ketuhanan dan.itu adalah hak ketuhanan (Allah). Karena itu relakanlah.”

 

Begitu juga jika Anda tertimpa musibah dan mengalami hal yang tidak menyenangkan sebaiknya Anda menahan nafsu dan membatasi hati agar tidak sampai mengeluh. Jangan menampakkan pengaduan dan kesedihan apalagi saat pertama kali mengalaminya. Karena segala sesuatu tergantung pada saat semuanya dimulai, sementara pada saat itu nafsu selalu tergesa-gesa dengan kebiasaannya mengeluh.

 

Kemudian Anda berkata pada diri sendiri: “Wahai diriku! Semua ini telah terjadi. Tidak ada upaya yang bisa mencegahnya, Allah telah mencegah bahaya yang lebih besar darinya, karena sesungguhnya bentuk cobaan yang berada dalam gudang simpanan-Nya lebih banyak. Semua ini akan berakhir, tiada abadi, la bagai mendung yang akan terkuak, karena itu bertahanlah. Hai diriku! Sedikit musibah yang kau alami akan membuahkan kebahagiaan panjang dan pahala yang agung setelah kamu tidak menemukan tempat untuk mencegahnya.”

 

Tiada gunanya mengeluh. Sebenarnya tidak ada bencana (musibah) jika ia dihadapi dengan hati yang puas dan kesabaran. Kemudian mulut Anda sibuk dengan istirja’ dan hati Anda sibuk mengingat pahala yang diterima dari Allah. Lalu Anda mengingat bagaimana sabarnya para nabi yang tabah menerima musibahmusibah besar dan para wali (kekasih) yang mulia di hadapan Allah.

 

Jika pada suatu saat Anda tertahan dari dunia, katakanlah pada diri Anda sendiri: “Wahai diriku! Dia lebih tahu keadaanmu, lebih mengasihimu dan lebih Mulia. Dia-lah Dzat yang memberi makan pada anjing yang hina dan memberi makan orang kafir yang memusuhi-Nya. Sedangkan aku adalah hamba-Nya, mengenal-Nya dan mengesakan-Nya. Apakah aku tidak pantas ditukar dengan sepotong roti? Suatu hal yang mustahil. Karena itu, ketahuilah bahwa Dia tidak akan menahan hal itu kecuali karena ada manfaat yang lebih besar. Dan Allah akan menjadikan kemudahan setelah adanya kesulitan. Oleh karena itu, bersabarlah sebentar pasti kau akan melihat keajaiban dari kelembutan ciptaanNya. Adakah kau tidak mendengar seorang penyair berkata:

 

Nantikanlah apa yang diperbuat Tuhanmu, nanti akan datang apa yang kamu inginkan berupa jalan keluar (dari-kesulitan) yang dekat.

Jangan berputus asa jika menemui suatu musibah,

karena banyak kejadian alam gaib yang ajaib dan menakjubkan.

 

Ungkapan penyair lain yang hampir sama sebagai berikut:

 

Ingatlah wahai orang yang direpotkan sebuah keprihatinan.

Jika kesulitan itu telah memuncak menimpamu

maka pikirkanlah surah “Alam Nasyrah.”

Satu kesengsaraan di antara dua kesenangan.

Jika kamu mau mengulangnya pasti akan gembira.

 

Jika Anda telah menjalankan perintah-perintah ini dan semisalnya, kemudian dengan berkesinambungan Anda mengulang dan melatih diri, maka sungguh hal itu akan mempermudah diri Anda dalam waktu yang singkatjika memang memiliki keinginan kuat dan kesungguhan dalam hati. Dengan begitu Anda benar-benar telah mencegah empat macam rintangan ini dari diri Anda dan menyingkirkan bahayanya. Di hadapan Allah Anda termasuk orang-orang yang bertawakal, berserah diri, rela dengan takdir-Nya dan sabar menerima cobaan-Nya. Anda juga berhasil mendapatkan kenyamanan hati dan badan di dunia, mendapatkan keagungan pahala dan simpanan di akhirat. Mendapatkan derajat mulia dan kecintaan di hadapan Allah Penguasa alam semesta. Lalu Anda pun mengumpulkan dua kebaikan, yakni dunia dan akhirat.

 

Jalan ibadah Anda terbentang lurus karena tidak ada lagi rintangan dan kesibukan. Saat itulah Anda berhasil melewati satu tahapan yang sulit.

 

Hanya Allah tempat meminta. Semoga Dia berkenan membantu Anda dan kita semua dengan kebaikan taufik-Nya, karena segala sesuatu berada di bawah kekuasaan-Nya. Dia Maha Pengasih di antara para pengasih. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

 

Selanjutnya hendaklah Anda terus melangkah bila jalan telah terbentang lurus, mudah ditempuh, berbagai rintangannya telah terangkat dan cobaan yang datang mendadak telah hilang.

 

Anda tidak akan bisa berjalan dengan lurus jika tidak memiliki rasa takut dan menaruh harapan kepada Allah, memenuhi hak-hak dan sesuai dengan batasan yang dimiliki keduanya.

 

Keharusan merasa takut kepada Allah itu disebabkan dua hal:

 

Pertama, mencegah kemaksiatan. Sebab nafsu yang selalu memerintahkan berbuat buruk, cenderung mengajak ke arah keburukan, memandang perbuatan fitnah dan tidak mau berhenti kecuali setelah ditakut-takuti dengan sesuatu yang sangat dahsyat dan diancam dengan ancaman yang gawat karena nafsu tidak memiliki watak orang merdeka yang mementingkan kesetiaan dan kekerasan hatinya bisa dicegah dengan rasa malu.

 

Nafsu, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair adalah:

 

(Nafsu) bagai seorang sahaya yang harus dipukul dengan tongkat, sedangkan seorang yang merdeka cukup menggunakan celaan.

 

Untuk mengatur nafsu selamanya Anda harus memukulnya dengan cemeti takhwif (membuatnya takut) yang berupa ucapan, tindakan dan pemikiran. Seperti yang diceritakan dari seorang saleh bahwa nafsunya mengajak berbuat maksiat. Ia segera pergi melepas pakaiannya dan menggulingkan diri di atas hamparan pasir panas lalu berkata pada nafsunya: “Rasakan! Neraka jahannam itu lebih panas dari ini, hai bangkai di malam hari dan pengangguran di siang hari.”

 

Kedua, agar tidak bangga dengan ketaatannya. Karena kebanggan itu bisa merusak. Bahkan hal itu harus dikalahkan dengan hinaan, celaan, cacat dan kekurangan yang ada di dalamnya seperti hal-hal buruk dan dosa-dosa yang kesemuannya mengandung bermacam kekhawatiran dan sebagainya.

 

Hal itu seperti yang diceritakan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:

 

Artinya: “Seandainya aku dan Nabi Isa a.s. disiksa karena sesuatu yang dikerjakan, tentu kami berdua akan disiksa dengan sesuatu yang belum pernah ditimpakan pada seorangpun di alam semesta ini.” Dan beliau memberi isyarat dengan dua jari beliau.

 

Diceritakan dari Al-Hasan. Beliau mengatakan: “Salah seorang di antara kita tidak akan merasa aman jika melakukan dosa lalu pintu ampunan tertutup untuknya. Dia pun beramal tidak pada tempatnya.

 

Diceritakan dari Abdullah Ibnul Mubarak yang mencela dirinya sendiri: “Wahai diriku! Kamu berkata menggunakan apan orang-orang yang zuhud. Kamu berbuat seperti perbuatan ng-orang yang munafik dan kamu mengharapkan surga. Hal teramat jauh bagimu. Surga sudah memiliki penduduk yang lain. Perbuatan mereka tidak sama dengan perbuatanmu.

 

Hal semacam inilah yang harus diperingatkan bagi seorang hamba kepada diri (nafsu)nya. Peringatan itu selalu diulang baginya agar tidak merasa bangga dengan ketaatannya atau terjerumus ke dalam kemaksiatan. Hanya Allah tempat memohon taufik.

 

Keharusan mengharap (raja’) ini disebabkan dua hal:

 

Pertama, mendorong berbuat taat. Sebab kebaikan adalah sesuatu yang berat. Setan melarang hal itu dan hawa nafsu selalu mengajak berbuat sebaliknya (keburukan). Orang awam yang lalai memiliki tabiat suka mengikuti nafsu secara terang-terangan. Pahala yang diharapkan melalui ketaatan tidak nampak oleh mata, sedangkan untuk mencapai pahala yang menjadi harapannya masih jauh.

 

Jika seperti itu keadaannya maka nafsu tidak akan terdorong berbuat kebaikan, mencintai dengan benar, dan menyukainya kecuali karena sesuatu yang sebanding dengan hal-hal yang menghalanginya atau bahkan yang melebihinya. Sesuatu tersebut adalah raja’ (harapan) yang kuat untuk mendapatkan rahmat Allah dan iming-iming yang menggiurkan berupa kebaikan pahala serta kebesaran imbalannya.

 

Guru kami berkata: “Kesedihan bisa menghilangkan nafsu makan, rasa takut bisa mencegah seseorang berbuat dosa, harapan bisa menguatkan seseorang beribadah, dan ingat mati bisa membuat orang menjauh dari kelebihan dunia.

 

Kedua, memudahkan Anda menanggung bermacam kesulitan,

 

Ketahuilah! Sesungguhnya orang yang sudah mengetahui apa yang dicari pasti mudah menyerahkan sesuatu. Orang yang telah merasakan manisnya sesuatu dan mencintainya dengan sungguh-sungguh pasti mau menanggung kesulitan dan tidak peduli dengan ongkos yang harus dikeluarkannya. Barangsiapa yang benar-benar mencintai seseorang pasti dengan senang hati menanggung (menghadapi) ujiannya, sampai-sampai dengan ujian tersebut dia merasakan berbagai macam kelezatan.

 

Apakah Anda tidak melihat bagaimana orang yang mengambil madu. Ia tidak peduli dengan sengatan lebah karena ingat manisnya madu. Seorang buruh tidak peduli bila harus menaiki tangga yang tinggi dengan beban berat sepanjang hari yang panas karena ingat akan mendapat dua dirham pada sore harinya. Seorang petani tidak memikirkan deritanya panas dan dingin serta menemui kemalangan sepanjang tahun karena mengingat hasil panen.

 

Begitu juga para hamba Allah. Mereka adalah orang yang ahli berjuang jika ingat pada surga dengan keindahan pemandangannya, berbagai macam kenikmatannya, bidadari-bidadarinya, istananya, makanannya, minumannya, perhiasannya dan semua yang dijanjikan Allah untuk para penghuninya. Mereka merasa ringan dengan beban yang harus ditanggung, seperti lelahnya beribadah atau apa yang hilang dari dunia mereka seperti kelezatan dan kenikmatan. Atau bahaya yang harus mereka hadapi seperti hinaan, siksaan dan penderitaan untuk mendapatkannya.

 

Telah diceritakan bahwa murid-murid Sufyan Ats-Tsauri membicarakan beliau tentang apa yang mereka lihat seperti ketakwaan, kesungguhan dan keadaan buruk beliau. Mereka berkata: Wahai ustadz! Seandainya Anda mengurangi semua iri insya Allah Anda tetap mendapatkan apa yang Anda inginkan.” Sufyan menjawab: “Bagaimana aku tidak bersungguh-sungguh, sementara aku telah mendengar bahwa para pemilik (penghuni) surga berada di tempat tinggal mereka, lalu tampak cahaya menerangi kedelapan surga. Mereka menyangka bahwa itu adalah cahaya dari sisi Tuhan. Mereka pun menyungkur seraya bersujud. Lalu mereka diperintahkan agar mengangkat kepala, karena yang kalian sangka Tuhan itu adalah cahaya seorang wanita penghuni Surga yang tersenyum di hadapan suaminya.”

 

Kemudian beliau (Sufyan Ats-Tsauri) bersyair:

 

Orang yang memiliki tempat tinggal di surga firdaus tidak merasa rugi

dengan beban yang ditanggungnya seperti kesengsaraan dan kekurangan harta. Kamu melihatnya berjalan menuju masjid dengan perasaan susah, khawatir dan takut. Ia berjalan dengan pakaian usang.

Hai nafsu! Kamu tidak akan tahan dengan api yang menyala-nyala.

 

Sudah saatnya menghadap surga setelah kamu membelakanginya.

 

Kalau begitu keadaannya, maka menurutku (Al-Ghazali) urusan ibadah itu berkisar pada dua hal, yaitu berbuat taat dan menjauhkan diri dari maksiat. Keduanya tidak akan sempurna dengan adanya nafsu yang selalu mengajak berbuat buruk di sisinya kecuali dengan targhiib (iming-iming) dan tarhiib (menakut-nakuti), memberi harapan dan memberi rasa takut. Sebab hewan tunggangan yang beringas membutuhkan seorang penuntun yang mengarahkannya dan seorang penggiring yang memberinya semangat. Jika ia nyaris masuk ke  kadang ia harus dicambuk dengan cemeti di satu sisi dan di sisi lain diperlihatkan pada gandum sampai ia bangkit dan selamat dari apa yang akan menimpanya.

 

Anak kecil yang membandel tidak akan pergi ke sekolah kecuali dengan harapan yang diberikan oleh orang tuanya dan rasa takut yang diberikan oleh seorang guru. Begitu juga dengan nafsu. Ja adalah kendaraan beringas (nakal) yang hampir jatuh ke jurang dunia. Khauf (rasa takut) adalah cemeti dan penuntunnya sedangkan raja’ (harapan) adalah gandum dan penggiringnya.

 

Nafsu bagaikan anak kecil yang nakal, dibawa ke sekolah, ibadah dan takwa. Sedangkan menyebutkan neraka dan siksaan adalah untuk membuatnya takut dan menyebutkan surga beserta pahalanya adalah harapan dan iming-iming baginya.

 

Begitu juga seorang hamba yang ingin beribadah dan melatih diri harus merasakan dua hal pada nafsunya, yaitu khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan). Jika tidak, maka jangan harap nafsu mau menolong ibadah Anda.

 

Dalam hal ini Al-Qur’an selalu mendatangkan dua hal yang berkumpul di satu tempat seperti janji yang menjadi satu dengan ancaman dan iming-iming yang menjadi satu dengan hal yang menakutkan. Allah mendatangkan keterangan yang berlebihan. Dia menggambarkan pahala dengan sesuatu yang setiap orang tidak sabar ingin meraihnya dan menggambarkan neraka dengan sesuatu yang setiap orang tidak mampu mengalaminya.

 

Kalau begitu keadaannya, maka hendaklah Anda selalu berpegang teguh pada dua hal (raja’ dan khauf) ini, niscaya akan Anda dapatkan keinginan untuk beribadah dan merasa ringan menanggung beban yang berat.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan rahmat-Nya.

 

Jika Anda berkata: “Apa hakekat raja’ dan khauf serta bagaimana hukum keduanya?”

 

Ketahuilah! Menurut ulama kita khauf dan raja’ ini kembali pada gerakan hati (khanthir). Sedangkan seorang hamba hanya mampu menguasai muqaddimah (tahapan awal)nya saja. Mereka berkata: “ Khauf adalah gemuruh di dalam hati yang muncul karena menyangka akan mengalami (mendapatkan) sesuatu yang tidak disukai.

 

Khasyyah (takut) juga hampir sama dengan khauf, akan tetapi perasaan ini menghendaki semacam pengagungan dan rasa kagum. Lawan kata “khauf” adalah “jara’ah” (berani), tapi bisa juga dengan kata “rasa aman” seperti orang yang mengatakan “penakut” sebagai lawan kata dari “orang yang merasa aman” atau “takut” dan “aman”. Sebab orang yang merasa aman adalah orang yang berani (menentang) kepada Allah. Jadi, yang benar lawan kata “khauf’ adalah “jara’ah” (keberanian).

 

Mukadimah (tahapan awal) dari khauf ada empat:

 

  1. Mengingat banyaknya dosa yang telah lalu dan banyaknya musuh, yaitu orang-orang yang terus menerus berbuat zalim. Sedangkan Anda sudah tergadai dan tidak mungkin bisa terlepas setelah itu.
  2. Mengingat pedihnya siksaan Allah Swt. yang tidak mampu Anda tanggung.
  3. Mengingat kelemahan diri Anda saat harus menanggung siksaan.
  4. Mengingat kekuasaan Allah terhadap diri Anda, kapan dan di mana Dia menghendaki.

 

Sedangkan raja’ adalah perasaan senang di dalam hati setelah mengetahui anugerah Allah dan mencari kesenangan pada keluasan rahmat-Nya. Dan raja’ semacam ini termasuk gerak hati yang tidak dikuasai seorang hamba.

 

Ada lagi raja’ yang mamnu dikuasai oleh seorang hamba, yakni mengingat anugerah Allah dan keluasan rahmat-Nya.

 

Mengharapkan sesuatu yang mengkhawatirkan dengan disertai pengecualian juga bisa dinamakan raja’.

 

Yang diinginkan dalam bab ini adalah yang pertama, yaitu ingatan yang sesuai dengan perasaan senang dan mengharapkan kesenangan.

 

Kebalikan (lawan) kata “raja” adalah “ya’s” (putus asa), yaitu mengingat hilangnya rahmat Allah dan anugerah-Nya serta memutuskan harapan di dalam hati. Putus asa ini termasuk kemaksiatan yang murni.

 

Raja’ menjadi wajib bila seorang hamba tidak memiliki jalan lain untuk mencegah keputusasaan. Jika ia memiliki jalan lain maka raja’ ini menjadi sunat baginya setelah meyakini anugerah dan keluasan rahmat Allah secara global.

 

Mukadimah raja’ ada empat:

 

  1. Mengingat anugerah Allah yang diberikan kepada Anda semenjak dahulu tanpa adanya amal yang mendahului serta orang yang menolong.

2 Mengingat anugerah yang dijanjikan allah berupa pahala yang berlimpah dan kemuliaan yang agung, yang diukur dengan anugerah dan kemuliaan-Nya, tidak diukur dengan hak yang Anda miliki karena suatu amal. Sebab jika anugerah tersebut diukur sesuai amal, tentu anugerah itu sangat sedikit dan sangat kecil.

  1. Mengingat banyaknya kenikmatan Allah yang diberikan kepada Anda berupa urusan agama dan dunia dengan seketika seperti bermacam pertolongan dan kelembutan yang diberikan tanpa menuntut hak dan memintanya.
  2. Mengingat keluasan rahmat Allah yang mengalahkan kemurkaan-Nya. Dan sesungguhnya Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kaya, Maha Mulia dan mengasihi hamba-hamba-Nya yang beriman.

 

Jika Anda senantiasa mengingat dua hal ini, maka ingatan tersebut akan membawa Anda pada perasaan raja’ dan khauf dalam segala keadaan.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan karunia dan anugerah-Nya.

 

Pada tahapan ini hendaknya Anda melewatinya dengan sangat berhati-hati, menjaga diri dan menggunakan batas-batas aturan yang ada. Sebab tahapan ini sangat sulit ditempuh dan penuh bahaya karena jalan tersebut berada di antara dua jalan yang menakutkan dan merusak, yaitu rasa aman dan putus asa. Raja’ dan khauf adalah jalan tengah di antara dua persimpangan.

 

Jika perasaan raja’ lebih mendominasi diri Anda sehingga tidak merasa takut sama sekali berarti Anda telah tergelincir ke jalan “rasa aman”. Padahal tidak ada yang merasa aman dari makar (tipu daya) Allah melainkan orang-orang yang merugi.

 

Jika perasaan khauf lebih mendominasi diri Anda sehingga tidak memiliki harapan (raja’) sama sekali berarti Anda telah tergelincir ke jalan “putus asa”. Padahal tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah selain orang-orang kafir.

 

Jika Anda berjalan di antara khauf dan raja’ serta menjaga diri dari keduanya, itulah jalan tengah yang lurus, yaitu jalan yang dilalui para wali (kekasih) Allah dan orang-orang pilihan-Nya, yakni orang-orang yang Dia sifati dengan firman-Nya:

 

Artinya: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka pun berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Q.S. Al Anbiya’: 90)

 

Dengan begitu, tampak jelas bagi Anda bahwa tahapan ini memiliki tiga jalan:

  1. Rasa aman dan berani (kepada Allah).
  2. Putus asa.
  3. Takut dan berharap, yang terbentang di antara keduanya.

 

Jika Anda selangkah menyimpang ke kanan atau ke kiri, maka Anda telah terjerumus ke jalan yang membinasakan dan akan binasa bersama orang-orang yang binasa.

 

Kemudian yang harus diperhatikan adalah bahwa jalan menyimpang yang membinasakan itu lebih luas diameternya, lebih banyak hal yang menarik perhatian dan lebih mudah ditempuh ketimbang jalan tengah yang lurus. Sebab jika Anda melihat ke arah rasa aman, Anda akan melihat keluasan rahmat Allah, anugerah yang banyak, dan kemurahan yang teramat Sangat. Sesuatu yang sedikitpun tidak meninggalkan rasa takut Sehingga Anda mengandalkan hal itu dan merasa aman.

 

Jika Anda melihat ke arah khauf, maka Anda akan melihat besarnya kekuasaan Allah, pengaturan-Nya, banyaknya kemegahan, kejelian dan ketelitian-Nya terhadap para kekasih dan pilihan-Nya sehingga nyaris tidak ada harapan lalu Anda berputus asa.

 

Saat itulah Anda tidak hanya perlu melihat keluasan rahmat Allah sehingga mengandalkan hal itu dan merasa aman. Atau melihat kebesaran, kehebatan dan ketelitian Allah saja sehingga berputus asa. Akan tetapi Anda juga perlu melihat keduanya secara keseluruhan, mengambil sebagian dari yang satu dan sebagian lagi dari yang lain, menapak jalan kecil yang rumit di antara keduanya, kemudian berjalan di atasnya agar selamat.

 

Jalan nya’ yang murni itu mudah, lebar dan lapang (datar), tapi akhirnya mengantar Anda ke tempat rasa aman dan kerugian. Jalan khauf yang murni juga lebar dan lapang tapi akhirnya mengantar Anda pada kesesatan. Sedangkan jalan tengah antara keduanya, yaitu jalan khauf dan raja’ meskipun kecil dan sulit ditempuh, namun jalan itu yang membuat selamat, jalan lurus yang mengantar Anda kepada ampunan dan kebaikan, kemudian sampai ke surga dan keridaan serta bertemu dengan Raja yang Maha Pengasih. Apakah Anda tidak mendengar firman Allah tentang orang-orang yang menempuh jalan ini yang berbunyi:

 

Artinya: “Sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan mengharap.” (Q.S. As-Sajdah: 16)

Kemudian Dia juga berfirman:

 

Artinya: “Dan seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. As-Sajdah:17)

 

Camkanlah semua keterangan ini dengan sungguh-sungguh. singsingkan lengan baju dan ingatlah segala sesuatunya karena itu bukanlah hal mudah. Hanya Allah tempat memohon taufik.

 

Ketahuilah bahwa sesungguhnya Anda tidak bisa melewati jalan ini sambil membawa nafsu yang nakal, malas berbuat baik dengan cara menjauhi kesenangannya dan berusaha menjalankan ketaatan yang dirasanya berat kecuali dengan memelihara tiga hal pokok dan selalu mengingatnya secara terus menerus serta sedikitpun tidak boleh berhenti atau lengah.

 

Pertama, mengingat firman-firman Allah yang berisi hal-hal menyenangkan (iming-iming) dan hal yang menakutkan.

 

Kedua, mengingat pekerjaan yang dilakukan Allah pada saat menyiksa dan mengampuni.

 

Ketiga, mengingat balasan yang diberikan-Nya untuk para hamba di hari kiamat berupa pahala dan siksaan.

 

Perincian setiap pasal dari ketiganya membutuhkan lembaran-lembaran yang teramat banyak. Untuk itu kami telah menyusun sebuah kitab bernama “Tanbrih Al-Ghaafiliin.”

 

Di dalam kitab ini kami hanya menerangkan beberapa kalimat yang bisa mengantar Anda ke tempat tujuan, insya Allah. Dan hanya Allah tempat memohon taufik.

 

Pokok Pertama, Firman Allah Swt.

 

Renungkanlah firman-firman Allah yang ada di dalam kitab Al-Qur’an berupa ayat-ayat menyenangkan (iming-iming), menakut-nakuti, memberi harapan dan membuat takut (khawatir).

 

Di antara ayat yang memberi harapan adalah:

 

Artinya: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa.” (Q.S. Az-Zumar: 53)

 

 

Artinya: “Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah.” (Q.S. Ali Imran: 135)

 

Artinya: “Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (Q.S, Al-Mu’min: 3)

 

Artinya: “Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan.” (Q.S. Asy-Syuura: 25)

 

Artinya: “Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (Q.S. Al-An’aam: 54)

 

Artinya: “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Kutetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-A ‘raaf: 156)

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S. al-Baqarah: 143)

 

Artinya: “Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Ahzaab: 43)

 

Inilah ayat-ayat yang berisi raja’ (harapan).

 

Di antara ayat-ayat yang menimbulkan rasa takut (khauf) adalah:

 

Artinya: “Maka bertakwalah kepada-Ku, wahai para hamba-Ku.” (Q.S. Az-Zumar: 16)

 

Artinya: “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S. Al-Mukminuun: 115)

 

Artinya: “Apakah para manusia mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa dimintai pertanggung jawaban)?” (Q.S. Al-Qiyaamah: 36)

 

Artinya: “Pahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu dan tidak pula menurut angan-angan para ahli kitab. Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya ia akan dibalas dengan kejahatan , itu dan 1a tidak akan menemukan pelindung dan penolong selain Allah.” (Q.S. An-Nisaa’: 123)

 

Artinya: “Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Q.S. Al-Kahfi: 104)

 

Artinya: “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan sebelumnya.” (Q.S. Az-Zumar: 47)

 

Artinya: “Dan Kami hadapi apa yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S. Al-Furqaan: 23)

 

Kami memohon kepada Allah agar Dia berkenan menyelamatkan kita semua dengan rahmat-Nya.

 

Di antara ayat yang mencakup khauf dan raja’ secara bersamaan adalah:

 

Artinya: “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Q.S. Al-Hijr: 49)

 

Lalu Dia melanjutkan ayat tersebut:

 

Artinya: “Dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang teramat pedih.” (Q.S. Al-Hijr: 50)

 

Firman di atas dimaksudkan agar jangan sampai Anda dikuasai oleh raja’ (harapan). Firman Allah yang lain:

 

Artinya: “Maha keras hukuman-Nya.” (Q.S. Al-Mu’min: 3)

 

Lalu Dia melanjutkan lagi dengan firman:

 

Artinya: “Yang memiliki karunia, tiada Tuhan selain Dia.” (Q.S. Al-Mu’min: 3)

 

Firman di atas dimaksudkan agar Anda tidak dikuasai oleh khauf (perasaan takut).

 

Yang lebih menakjubkan lagi adalah firman-Nya berikut ini:

 

Artinya: “Dan Allah memperingatkan kamu dari diri (siksa)-Nya.” (Q.S. Ali Imran: 30)

 

Lalu Dia melanjutkan dengan firman-Nya:

 

Artinya: “Dan Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (Q.S. Ali Imran: 30)

 

Ada lagi ayat yang lebih menakjubkan yaitu:

 

Artinya: “(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pengasih sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya).” (Q.S. Qaaf: 33)

 

Allah menyandarkan perasaan takut seorang hamba dengan asma “Ar-Rahmaan” (Maha Pengasih) tidak pada asma “AlJabbaar” (Maha Gagah), “Al-Muntaqiim” (Maha Membalas), ” Al Mutakabbir” (Maha Sombong) dan sejenisnya, agar perasaan takut tersebut bersatu dengan mengingat kasih sayang-Nya. Dengan begitu rasa takut tersebut tidak menerbangkan hati Anda, tapi membuat takut disertai rasa aman atau menggerakkan sesuatu sambil menenangkan. Sama halnya jika Anda berkata: “Apakah kamu merasa takut kepada seorang ibu yang penuh kasih sayang? Apakah kamu merasa takut kepada seorang ayah yang penuh belas kasih? Atau apakah kamu merasa takut kepada seorang raja yang dermawan?”

 

Yang diinginkan di sini adalah jalan tengah, jadi jangan sampai Anda memilih jalan “rasa aman” atau jalan “putus asa.”

 

Semoga Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mau berpikir tentang ayat-ayat yang bijaksana ini dan bisa mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Sesungguhnya Dia Maha Memberi dan Maha Pemurah. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur lagi Maha Agung.

 

Pokok Kedua, Perbuatan Allah dan Pergaulan-Nya

 

Jika dilihat dari sisi khauf (rasa takut), ketahuilah bahwa sesungguhnya iblis telah beribadah selama delapan puluh ribu tahun. Menurut sebuah pendapat ia tidak pernah meninggalkan sejengkal tanahpun kecuali setelah bersujud kepada Allah satu kali di tempat itu. Lalu ia menolak satu perintah. Kemudian Allah melemparkannya dari pintu (hadapan)-Nya. Allah melemparkan (membuang) ibadah yang ia lakukan selama delapan puluh ribu tahun ke wajahnya. Dia melaknatnya sampai hari kiamat dan menyiapkan siksa yang pedih untuk selama-lamanya.

 

Bahkan diceritakan bahwa Rasulullah Saw. melihat malaikat Jibril a.s. bergelayut pada kelambu ka bah sambil berdoa dengan keras: “Ya Tuhanku! Janganlah Engkau mengubah namaku dan mengganti tubuhku.”

 

Kemudian Nabi Adam a.s. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan juga nabi-Nya. Allah menciptakannya dengan “tangan – Nya, memerintahkan malaikat untuk bersujud dan memikulnya di pundak mereka untuk sampai ke hadapan-Nya. Lalu beliau memakan satu makanan yang tidak diizinkan-Nya, kemudian diumumkan: “Ingatlah! Orang yang durhaka kepada-Ku tidak boleh tinggal di dekat-Ku.”

 

Allah memerintahkan para malaikat yang menyangga tempat duduk beliau untuk menurunkannya dari langit hingga mereka meletakkan beliau di atas bumi dan Allah tidak menerima tobat beliau.

 

Menurut sebuah riwayat beliau menangisi hal itu selama seratus tahun.

 

Beliau menjadi hina dan mengalami berbagai cobaan yang Juga dirasakan oleh keturunan beliau untuk selamanya.

 

Kemudian Nabi Nuh a.s. Beliau adalah tetua para rasul. Orang yang menanggung beban perintah agama. Beliau tidak berkata Salah selain satu kalimat yang tidak pada tempatnya saat kemudian diumumkan:

 

Artinya: “Janganlah kamu meminta kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya Aku memberi nasehat kepadamu agar kamu tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”

 

Sampai-sampai diceritakan bahwa beliau tidak mengangkat kepala ke arah langit selama empat puluh tahun karena merasa malu kepada Allah.

 

Lalu Nabi Ibrahim a.s., kekasih Allah. Beliau tidak melakukan dosa selain sebuah kesalahpahaman. Lalu berulangkali beliau merasa takut dan merendahkan diri sambil berdoa:

 

Artinya: “Demi Tuhan yang kuharapkan akan mengampuni kesalahanku kelak di hari kiamat.”

 

Sampai-sampai diceritakan bahwa beliau menangis karena sangat takutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat Jibril kepada beliau. Jibril berkata: “Wahai Ibrahim! Apakah Anda pernah melihat seorang kekasih yang menyiksa kekasihnya sendiri dengan api?” Beliau menjawab: “Wahai Jibril! Bila mengingat dosaku, maka aku pun lupa dengan belas kasih-Nya.”

 

Lalu Nabi Musa bin Imran a.s. Beliau tidak melakukan kesalahan selain satu tamparan untuk seseorang. Berulangkali beliau merasa takut, merendahkan diri dan meminta ampun. Beliau berkata:

 

Artinya: “Ya Tuhan! Sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.”

 

Di masa (Nabi Musa a.s.) itu pula hidup seorang Bal am bin Ba’ura yang jika memandang ke langit ia dapat melihat Arasy, Dialah yang dimaksud dalam firman Allah:

 

Artinya: “Dan bacakanlah untuk mereka kisah tentang seseorang yang Kami beri tanda-tanda kebesaran Kami dan ia melepaskan diri darinya.” (OQS. Al-A’raaf: 175)

 

Dia tidak melakukan kesalahan selain hanya merasa condong kepada dunia dan penghuninya serta meninggalkan (tidak menghormati) seorang kekasih-Nya (yakni Nabi Musa a.s.) Lalu Allah mencabut kemakrifatannya dan menjadikannya seperti seekor anjing yang terusir.

 

Lalu Allah berfirman:

 

Artinya: “ Perumpamaannya (Bal’am) adalah seekor anjing. Jika kamu mengejarnya maka iaakan menjulurkan lidahnya.” (Q.S. Al-A’raaf: 176)

 

Allah menjerumuskannya ke dalam lautan kesesatan dan kehancuran untuk selamanya. Sampai pernah kudengar seorang ulama mengatakan bahwa pada mulanya jika Bal am mengajar di suatu majlis, di situ terdapat dua belas ribu tempat tinta yang dipergunakan oleh murid-muridnya untuk menulis ilmu darinya. Lalu dia menjadi orang pertama yang mengarang sebuah kitab yang di dalamnya tertulis bahwa dunia ini tidak ada yang membuat.

 

Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kemurkaanNya, siksaan yang pedih dan penghinaan dari-Nya yang kita semua tidak akan mampu menanggungnya.

 

Kemudian lihatlah keburukan dunia. Dengan apa mereka menarik para ulama pada khususnya.

 

Ingatlah bahwa urusan dunia ini sangat mengkhawatirkan, sedangkan usia ini amatlah pendek. Di dalam amal banyak terdapat kekurangan sedangkan yang Maha Mengintai selalu mengawasi.

 

Jika Allah mengakhiri amal-amal kita dengan kebaikan dan menghapus kesalahan-kesalahan kita, maka hal itu tidaklah sulit bagi-Nya.

 

Kemudian kisah Nabi Daud a.s. yang menjadi khalifah Allah di muka bumi. Beliau melakukan sebuah kesalahan lalu beliau menangisi hal itu sampi-sampai tumbuh rumput dari air matanya. Beliau berkata: “Ya Tuhanku! Adakah Engkau tidak merasa kasihan dengan tangis dan tadharru’ (perendahan diri)ku?”

 

Lalu ucapan tersebut dijawab: “Wahai Daud! Kamu melupakan dosamu dan mengingat tangismu.” Kemudian tobat beliau tidak diterima oleh Allah selama empat puluh hari. Bahkan ada yang mengatakan empat puluh tahun.

 

Lalu kisah Nabi Yunus a.s. Beliu satu kali merasa marah yang tidak pada tempatnya dan Allah mengurung beliau dalam perut ikan di dasar laut selama empat puluh hari. Kemudian beiau memanggil-manggil:

 

Artinya: “Sesungguhnya tiada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”

 

Para malaikat mendengar suara beliau dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami! Kami mendengar suara yang telah kami kenal dari sebuah tempat yang tidak kami ketahui.”

 

Allah berfirman: “Itu adalah suara hamba-Ku Yunus.” Lalu ara malaikat memohonkan pertolongan untuk beliau. Dan karena itu semua, Allah mengubah nama beliau dengan nama “DzunNuun”. Sebuah nama yang disandarkan pada tempat di mana beliau dikurung. Lalu Allah berfirman:

 

Artinya: “Lalu ia (Yunus) ditelan ikan, sedangkan ia dicela (karena melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya). Seandainya ia tidak termasuk orang yang mensucikan Tuhannya, niscaya ia akan tinggal di dalam perut ikan sampai hari semua orang dibangkitkan.”

 

Setelah itu Allah menyebutkan kenikmatan dan karunia-Nya. Dia berfirman:

 

Artinya: “Seandainya ia tidak tersusul oleh kenikmatan dari tuhannya, niscaya ia akan dibuang di tempat yang kosong dan menjadi orang tercela.”

 

Lihatlah siasat semacam ini, hai orang yang perlu dikasihani!

 

Begitulah yang terjadi, sampai apa yang terjadi pada penghulu (pemimpin) para rasul, makhluk Allah yang paling mulia. Allah berfirman kepada beliau:

 

Artinya: “Istiqamahlah sebagaimana kamu diperintahkan. Orang-orang yang bertobat ada bersamamu dan janganlah kamu semua melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”

 

Bahkan Nabi Saw. pernah bersabda:

 

Artinya: “Surat Huud dan sejenisnya membuat kepalaku beruban.”

 

Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi Saw. adalah ayat ini dan yang sejenisnya di dalam Al-Qur’an.

 

Kemudian Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan mohonlah ampunan dari dosamu.” (Q.S. Al-Mu’ min: 55)

 

Sampai kemudian Allah mengaruniakan ampunan untuk beliau dan berfirman:

 

Artinya: “Dan kami hilangkan darimu dosa yang memberati punggungmu.” (Q.S. Al-Insyiraah: 2-3)

Dia juga berfirman:

 

Artinya: “Supaya Allah mengampuni dosa yang telah kamu kerjakan dan yang akan kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Fath: 2)

Setelah kejadian itu beliau selalu melakukan salat malam sampai kedua kaki beliau membengkak.

 

Para sahabat bertanya: “Kenapa Anda melakukan semua in wahai Rasulullah. Padahal Allah telah mengampuni dosa yang telah Anda kerjakan dan yang belum Anda kerjakan.”

 

Beliau menjawab: “ Apakah aku tidak pantas menjadi seorang hamba yang bersyukur? Lalu beliau bersabda:

 

Artinya: “Seandainya aku dan Isa bin Maryam a.s. disksa lantaran dua orang ini, tentu kami akan disiksa dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan pada seorangpun di seluruh jagad raya ini.”

 

Beliau menjalankan salat malam, menangis dan berdoa:

 

Artinya: “Aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, dengan rida-Mu dari kemarahan-Mu. Dan aku berlindung kepadaMu dari siksa-Mu. Tidak terhitung pujianku untuk-Mu seperti Engkau memuji pada Dzat-Mu.”

 

Perhatikan juga para sahabat yang hidup pada masa yang paling baik dan berada di tengah umat terbaik pula. Mereka tidak banyak bercanda. Kemudian turunlah firman Allah:

 

Artinya: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk dalam hati mereka karena mengingat Allah?” (Q.S. Al-Hadiid: 16)

 

Kemudian Allah menciptakan batas-batas aturan dan kesopanan untuk umat yang dipenuhi rahmat ini sampai-sampai Yunus bin Ubaid berkata: “Jangan merasa aman dari hukuman potong tangan disebabkan mencuri lima dirham, karena hukuman hukuman perbuatan itu kelak juga seperti ini.

 

Kami memohon kepada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. Maha Suci Allah. Semoga Dia tidak memperlakukan kita kecuali dengan kemurahan-Nya yang murni. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih di antara orang-orang yang mengasihi.

 

Jika dilihat dari sisi raja’ (harapan) maka bicaralah tentang rahmat Allah yang teramat luas, karena hal itu bukanlah suatu hal yang berbahaya.

 

Siapa yang mengetahui ujung rahmat-Nya atau mengetahui sifat dan penghabisan-Nya? Dialah yang menghapus kekufuran tujuh puluh tahun dengan keimanan sesaat.

 

Allah berfirman:

 

Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka mau berhenti (dari kekufurannya), niscaya dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni.” (Q.S. Al-Anfaal: 38)

 

Tidakkah Anda melihat bagaimana yang terjadi pada tukangtukang sihir Firaun. Mereka datang untuk melawan Allah dan bersumpah demi keagungan Firaun yang menjadi musuh-Nya, tak lain dan tak bukan. Setelah mereka melihat tanda-tanda Nabi Musa dan mengetahui kebenaran, mereka pun berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam.” Dan Allah tidak menyebutkan bahwa setelah itu mereka menambah amal.

 

Kemudian lihatlah! Berapa kali Allah mengulang kisah mereka dalam bentuk pujian di dalam kitab-Nya yang mulia? Berapa banyak dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil mereka yang diampuni-Nya hanya karena keimanan sesaat, atau bahkan hanya sekejap. Mereka hanya berucap: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam.” Sebuah ucapan yang keluar dari hati yang benar.

 

Bagaimana Allah menerima mereka dan memberikan dosadosa yang telah lalu. Bagaimana Dia menjadilan mereka pemimpin-pemimpin para syuhada di dulam surga untuk selamanya?

 

Ini baru keadaan (kisah) orang yang mengenal dan mengesakan-Nya dalam waktu yang tidak lama setelah melakukan sihir, kafir, sesat dan kerusakan. Lalu bagaimana dengan orang yang menghabiskan umurnya untuk mengesakan-Nya dan tidak melihat seorangpun selain Dia sebagai keluarga karena mengesakan-Nya?

 

Apakah Anda tidak melihat bagaimana keadaan para Ashaabul Kahfi dan kekufuran mereka selama hidup?

 

Artinya: “Ketika mereka berdiri dan berkata, “Tuhan kami adalah penguasa langit dan bumi. Kami tidak akan menjadikan Tuhan selain Dia.”

 

Mereka berlindung kepada-Nya.

 

Bagaimana Allah menerima mereka dan memberikan anugerah-Nya kepada mereka, lalu memuliakan mereka?

 

Kemudian Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan Kami (Allah) bolak-balikkan badan mereka ke arah kanan dan ke arah kiri.” (Q.S. Al-Kahfi: 18)

 

Bagaimana Allah membesarkan penghormatan kepada mereka, mengenakan pakaian kebesaran dan menakutkan pada mereka. Sampai-sampai Dia berfirman kepada makhluk yang paling mulia (Nabi Muhammad Saw):

 

Artinya: “Seandainya kamu melihat mereka, niscaya kamu berpaling dari mereka seraya berlari dan kamu akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka.” (Q.S. Al-Kahfi: 18)

 

Bahkan lihatlah bagaimana Dia memuliakan seekor anjing yang mengikuti mereka. Sampai-sampai Dia menyebutnya di dalam kitab-Nya yang mulia dengan berulang-ulang, kemudian menjadikannya di dunia bersama mereka dalam keadaan haram lalu memasukkannya ke dalam surga dalam keadaan terhormat?

 

Begitulah anugerah Allah yang diberikan pada seekor anjing yang melangkah beberapa kali mengikuti sekelompok orang yang makrifat kepada-Nya dan mengesakan-Nya dalam beberapa hari tanpa beribadah ataupun melayani.

 

Lalu bagaimanakah anugerah yang Dia berikan kepada seorang hamba yang beriman, yang melayani, mengesakan dan menyembah-Nya selama tujuh puluh tahun? Dan bagaimana seandaiya hamba tersebut hidup selama tujuh puluh ribu hari? Tentu yang menjadi tujuannya hanyalah ibadah.

 

Adakah Anda tidak melihat bagaimana Allah mencela Nabi Ibrahim a.s. karena doa memohon kehancuran yang beliau panjatkan bagi orang-orang yang berdosa? Bagaimana Allah mencela Nabi Musa a.s. mengenai Oarun? Dia berfirman: “Oarun meminta pertolongan kepadamu dan kamu tidak mau menolongnya. Dan sumpah demi keagungan-Ku seandainya dia meminta pertolongan kepada-Ku, niscaya Aku akan menolong dan memaafkannya.”

 

Bagaimana ketika Allah mencela Nabi Yunus a.s. sehubungan dengan kaumnya: “Sesungguhnya merasa susah karena sebuah pohon labu yang Kutumbuhkan dalam waktu sesaat dan membuatnya kering dalam sesaat. Namun kamu tidak merasa sedih atas seratus ribu orang atau lebih (dari pengikutmu).”

 

Kemudian bagaimana Dia menerima alasan mereka dan memalingkan siksa atas mereka setelah sebelumnya Dia menyesatkan mereka?

 

Kemudian lihatlah bagaimana Allah mencela penghulu para rasul (Muhammad Saw.) seperti pernah diceritakan bahwa beliau memasuki Masjidil Haram lewat pintu Bani Syaibah. Lalu beliau melihat sekelompok orang yang sedang tertawa. Beliau kemudian berkata kepada mereka: ” Kenapa kalian semua tertawa? Semoga aku tidak melihat kalian tertawa lagi.” Kemudian sesampainya di Hajar Aswad beliau melangkah mundur dan berkata kepada mereka: “Malaikat Jibril datang kepadaku dan berkata: ‘Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah berfirman kepadamu: “Kenapa kamu memupus harapan hamba-hamba-Ku dari rahmat-Ku?

 

Artinya: “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hijr: 49)

Kemudian Rasulullah bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah lebih mengasihi hamba-hamba-Nya – daripada seorang ibu yang teramat mengasihi anaknya.”

 

Di dalam hadis yang sudah masyhur Nabi Saw. juga bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat (belas kasih). Kemudian satu di antara keseratus rahmat tadi Dia bagikan kepada jin, manusia, dan binatang. Dengan rahmat satu rahmat itulah mereka saling mengasihi dan menyayangi. Dan Dia masih menyimpan yang sembilan puluh sembilan (99) bagi ‘diri’-Nya sendiri untuk mengasihi hamba-hamba-Nya kelak pada hari kiamat.”

 

Dan ketika Allah benar-benar telah memberi Anda satu rahmat, yakni segala pemberian yang mulia berupa makrifat kepada Allah dan termasuk umat yang dikasihi serta mengetahui segala sunah nabi dan para sahabat, sampai kenikmatankenikmatan lain yang ada di hadapan Anda baik yang lahir maupun yang batin, maka yang juga harus kita harapkan dari anugerah-Nya yang agung adalah semoga Dia berkenan menyempurnakannya. Sebab orang yang memberi sesuatu dengan baik sudah semestinya menyempurnakannya. Dan semoga Dia memberikan bagian yang banyak kepada Anda dari 99 rahmatNya. Dan kami memohon kepada Allah, semoga Dia tidak menyianyiakan harapan kami akan anugerah-Nya yang agung. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Pemurah dan Penuh belas kasih.

 

Pokok ketiga, Janji dan Ancaman di Hari Kiamat

 

Hendaklah kita mengingat lima hal yang ada hubungannya dengan janji dan ancaman, yakni kematian, alam kubur, kiamat, surga dan neraka, termasuk apa yang terjadi di dalamnya seperti kekhawatiran yang teramat sangat bagi orang-orang yang taat, durhaka, lalai ataupun bersungguh sungguh.

 

Pertama, kematian.

 

Dalam membicarakan masalah kematian ini aku (Al-Ghazali) akan mengemukakan kisah dua orang lelaki. Salah satunya adalah yang diceritakan dari Ibnu Syabramah. Beliau berkata: “Aku pernah menjenguk sesorang yang sedang sakit besama Asy-Sya bi. Di dekat orang tersebut ada orang lain yang mengajarinya bacaan “Lan ilaaha Illallaahu wahdahu laa syariika lahu. Lalu Asy’Sya’ bi berkata: “Ajarkanlah dengan perlahan” Si sakit berkata: “Anda ajarkan atau tidak, aku tidak akan meninggalkan kalimat tersebut.”

 

Lalu ia membaca surat Al-Fath ayat 26 sebagai berikut:

 

Artinya: “Dan Allah menetapkan kalimat takwa, dan mereka adalah orang yang berhak atas kalimat tersebut dan pantas memilikinya.”

 

Asy-Sya’ bi berkata: “Segala puji bagi Allah. Dialah Dzat yang menyelamatkan sebagian dari kita.”

 

Yang satu lagi adalah kisah seorang murid Fudhail bin ‘Iyadh. Menjelang kematiannya Fudhail menjenguk dan duduk di sisi kepalanya sambil membaca surah “Yaasiin”. Murid tersebut berkata: “Wahai guruku! Janganlah Anda membaca surah ini.” Fudhail pun diam. Lalu beliau mengajarinya bacaan tahlil (laa Unaha illallaah). Ia berkata: “Aku takkan pernah membacanya sebab aku telah cuci tangan dari hal itu.” Lalu ia pun mati dalam keadaan (kufur) seperti itu.

 

Kemudian Fudhail masuk ke rumah beliau dan menangis Selama empat puluh hari serta tidak keluar dari rumah. Setelah itu beliau melihat (murid)nya di dalam mimpi sedang diseret ke neraka jahannam. Fudhail bertanya: “Apa sebabnya Allah mencabut kemakrifatan itu darimu? Padahal kamu adalah muridku yang terpandai.” Murid itu berkata: “Semua itu terjadi karena tiga hal:

 

  1. Adu domba.

Aku mengatakan kepada teman-temanku sesuatu yang lain dengan apa yang kuucapkan pada Anda.

 

  1. Irihati.

Sebab aku sering merasa iri pada teman-temanku.

 

  1. Aku menderita suatu penyakit. Kemudian kutanyakan penyakit itu kepada seorang dokter. Dia mengatakan: “Setahun sekali Anda harus meminum semangkuk arak. Jika hal itu tidak Anda lakukan maka penyakit tersebut tetap akan bersarang di tubuh Anda.” Karena itulah sejak saat itu aku meminum arak”

 

Al-Ghazali berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari murka-Nya yang tidak dapat kami pikul.”

 

Selanjutnya aku (Al-Ghazali) akan menceritakan dua orang lelaki lain . Salah satunya adalah tentang Abdullah Ibnul Mubaarak rahimahullah. Saat kematiannya hampir tiba beliau menengadahkan muka ke langit. Beliau pun tertawa dan berkata: “Seharusnya orang-orang itu melakukan hal semacam ini.”

 

Aku juga mendengar bahwa Imam Haramain bercerita tentang Al-Ustadz Abu Bakr. Sesungguhnya Abu Bakr berkata: “Pada masa belajar dulu aku memiliki seorang teman yang sangat tekun belajar, bertakwa, dan beribadah. Dengan kesungguhannya itu dia hanya berhasil mendapatkan sedikit pengetahuan. Aku pun menjadi heran karenanya.

 

Suatu ketika ia sakit dan tetap tinggal di pemondokannya sendiri yang berada di antara pondokan para wali (di dalam pesantren). Dia tidak masuk rumah sakit dan tetap tekun belajar walaupun dalam keadaan sakit. Setelah penyakitnya betul-betul parah aku pun duduk di dekatnya. Saat itulah tiba-tiba ia mengangkat pandangannya ke langit dan berkata: “Wahai Ibnu Faurak! Seharusnya oang-orang itu melakukan hal semacam ini.” Dan ia pun mati setelah mengatakan hal itu.”

 

Yang satunya lagi adalah cerita dari Malik bin Dinar. Beliau mendatangi seorang tetangga yang sedang sekarat (hampir meninggal dunia). Orang tersebut berkata: “Wahai Malik! Di hadapanku kini terdapat dua buah gunung dari api dan aku diharuskan mendaki keduanya.” Beliau berkata: “Mendengar itu aku bertanya kepada keluarga (isteri dan anak-anaknya). Mereka berkata bahwa ia memiliki dua takaran, satu untuk menimbang bagi orang lain dan yang satunya lagi untuk menimbang dari orang lain. Lalu aku meminta kedua barang itu dan memukulkan satu sama lain sampai keduanya pecah. Kemudian aku bertanya kepada laki-laki tersebut. Dia menjawab: “Yang kuhadapi malah semakin bertambah besar.”

 

Kedua, alam kubur dan kejadian yang dialami setelah kematian.

 

Dalam hal ini aku (Al-Ghazali) akan bercerita tentang dua orang lelaki. Salah satunya adalah cerita seorang saleh yang berkata: “Aku bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri di dalam mimpi setelah kepergian beliau. Aku berkata: “Bagaimana keadaan Anda wahai Abu Abdullah?” Beliau pun berpaling dariku dan berkata: “Saat ini belum waktunya memanggil dengan nama kuniyah (panggilan yang menggunakan kata “abu” dan “ummu”). Kemudian aku berkata: “Bagaimana keadaan Anda wahai Sufyan?” Maka beliau menjawab dengan sebuah syair:

 

Aku dapat memandang Tuhanku dengan jelas. Lalu Dia berfirman kepadaku:

“Selamat. Kamu mendapatkan keridaan-Ku hai Abu Said! Kamu beribadah bila malam telah gulita dengan penuh rindu dan cinta yang mendalam.

Ini semua untukmu. Karena itu pilihlah istana mana yang kamu inginkan

dan datanglah kepada-Ku karena Aku tiada jauh darimu.

 

Yang kedua adalah seorang lelaki yang dimimpikan (terlihat dalam mimpi) oleh seorang saleh. Laki-laki tersebut berwajah pucat sedangkan tangannya dibelenggu dengan lehernya. Kemudian ia ditanya: “Apa yang dilakukan Allah terhadapmu?” Dia pun menjwab dengan sebuah syair:

 

Masa yang kupermainkan telah berlalu

dan saat ini masa itulah yang mempermainkan aku.

 

Ada lagi kisah dua orang lelaki. Salah satunya diriwayatkan dari seorang saleh. Ia berkata: “Aku memiliki seorang anak yang mati syahid dan belum pernah melihatnya di dalam mimpi sampai pada suatu malam, saat Umar bin Abdul Aziz wafat, aku melihatnya. Aku bertanya: “Wahai anakku! Bukankah kamu telah mati?” Ja menjawab: “Tidak. Aku adalah orang syahid dan hidup di sisi Allah Swt. serta diberi rezeki.” Aku berkata: “Apa yang membuatmu datang ke mari?” Dia menjawab: “Ada pengumuman untuk para penduduk langit, Perhatian! Tidak boleh ada seorang nabi, seorang Shiddiq, dan seorang syahidpun yang tidak menghadiri salat (jenazah) Umar bin Abdul Aziz. Karena itulah, aku datang untuk menyalatkannya dan menemuimu untuk mengucapkan salam.”

 

Yang kedua adalah lelaki yang diceritakan dari Hisam bin Hasan. Ia berkata: “Aku memiliki anak yang mati muda. Setelah itu aku melihatnya dalam mimpi sudah penuh uban dan kutanya, ‘Wahai anakku! Kenapa kamu beruban?’ Ia menjawab, ‘Ketika si fulan datang kepadaku, neraka jahannam menyemburkan hawa panas untuk menyambut kedatangannya. Tak seorangpun di antara kami yang tidak beruban karena semburan tadi.”

 

Kami berlindung kepada Allah yang Maha Pemurah dari siksaan yang pedih. Ketiga, kiamat.

 

Dalam hal ini renungkanlah firman Allah Swit.:

 

Artinya: “ (Ingatlah) hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang yang takwa kepada Tuhan yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat, dan Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka jahannam dalam keadaan dahaga.” (Q.S. Marayam: 85-86)

 

Lalu seseorang bangkit dari kuburnya. Tiba-tiba seekor Bourag telah ada di atas kubur dengan membawa mahkota dan pakaian (kebesaran). Maka ia pun segera berganti pakaian dan naik Bourag tersebut menuju surga yang penuh kenikmatan. Karena kemuliaannya ia tidak diperkenankan pergi ke surga dengan berjalan kaki.

 

Di lain tempat seseorang bangkit dari kuburnya. Tiba-tiba Malaikat Zabaniyah telah menghadang dengan belenggu dan rantai di tangannya. Orang yang celaka tidak akan dibiarkan pergi ke neraka dengan berjalan kaki melainkan diseret ke tengahtengah neraka Jahim dengan tertelungkup.

 

Kami memohon perlindungan kepada Allah dari murka-Nya.

 

Aku pernah mendengar bahwa ada seorang ulama yang menceritakan sebuah hadis dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda:

 

Artinya: “Bila hari kiamat telah terjadi, maka akan ada sekelompok orang yang bangkit dari kubur. Mereka mempunyai onta yang dipergunakan sebagai kendaraan. Onta-onta itu memiliki sayap yang berwarna hijau dan membawa mereka terbang ke padang mahsyar sehingga ketika mereka sampai ke dekat dinding surga dan dilihat oleh para malaikat, mereka (para malaikat) bertanya satu sama lain, “Siapa mereka itu?” Yang lain menjawab, “Kami tidak tahu. Mungkin termasuk pengikut Muhammad Saw.’ Lalu salah seorang malaikat datang dan bertanya kepada mereka, “Siapakah kalian dan termasuk pengikut siapa?” Mereka menjawab, “Kami adalah pengikut Muhammad Saw.’ Para malaikat bertanya, “Apakah kalian telah dihisab?’ Mereka menjawab, “Tidak.” Para malaikat bertanya, ‘Apakah amal kalian telah ditimbang?” Mereka menjawab, “Tidak. Para malaikat bertanya, “Apakah kalian membawa buku (catatan amal) kalian?” Mereka menjawab, “Tidak.’ Para malaikat berkata, ‘Kembalilah! Semua itu berada di belakang kalian’ Mereka berkata, ‘Adakah Anda memberi sesuatu kepada kami untuk dihisab?.’”

Dalam hadis lain dikatakan:

 

Artinya: “Mereka berkata, “Kami tidak memiliki sesuatu yang menyebabkan kami berbuat adil atau menyeleweng, tapi kami beribadah kepada Tuhan kami sampai kami semua dipanggil dan memenuhi panggilan-Nya.’ Kemudian terdengar seruan, ‘Apa yang dikatakan hamba-hamba-Ku itu benar. Tidak ada jalan untuk menahan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Adakah Anda tidak mendengar firman Allah:

 

Artinya: “Adakah orang yang dilempar ke dalam neraka itu lebih baik ataukah oran, yang datang dengan aman di hari kiamat?” (Q.S. Fushshilat: 40)

 

Alangkah agurgnya orang yang menyaksikan semua peristiwa yang mengerikan, menggemparkan dan peristiwa peristiwa lain tapi merasa aman. Tidak ada perasaan takut dan berat di dalam hatinya.

 

Kami memohon kepada Allah agar Dia berkenan merasuk. kan kami ke dalam golongan orang-orang yang beruntung seperti itu. Dan hal itu tidaklah sulit bagi Allah (untuk melakukannya).

 

Keempat, surga dan neraka.

 

Dalam hal imi renungkanlah firman Allah Swt. yang tercantum di dalam kitab-Nya.

 

Yang pertama adalah:

 

Artinya: “Dan Tuhan memberi mereka minuman yang bersih. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).” (Q.S. Al-Insaan: 21-22)

 

Allah juga menceritakan orang yang lain lagi dengan firman:

 

Artinya: “Ya Tuhan kami. Keluarkanlah kami dari padanya (dan kembalikanlah kami ke dunia). Maka jika kami kembali berbuat kekufuran tentu kami telah berbuat zalim. Dia Allah berfirman, “Tinggallah di dalamnya dengan hina dan jangan bertncara lagi pada-Ku.” (Q.S Al-Mukminuun: 107-108)

 

Diceritakan bahwa pada saat itu mereka telah berubah menjadi anjing-anjing yang saling menggonggong di dalam neraka. na’uzu billaahi, Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, dari siksa-Nya yang pedih.

 

Segala yang terjadi, menurut apa yang dikatakan oleh Yahya bin Mu’adz Ar-Raazi adalah: Kami tidak tahu manakah musibah yang paling besar, kehilangan surga ataukah masuk neraka. Sebab seseorang tidak sabar ingin segera memasuki surga danjuga tidak sabar jika harus tinggal di dalam neraka. Apapun keadaannya, kehilangan sebuah nikmat tentu lebih ringan daripada harus menahan sakitnya siksaan neraka.

 

Kemudian bencana yang terbesar dan musibah yang paling berat adalah keabadian dalam neraka. Karena apapun yang terjadi secara terpisah (terputus-putus) tentu lebih mudah. Tapi yang terjadi saat itu adalah keabadian yang tiada berujung. Hati siapa yang mampu menahannya? Perasaan siapa yang sabar merasakannya? Karena itulah Nabi Isa a.s. berkata: “Ingatan tentang keabadian orangrang yang abadi (dalam neraka) bisa memutuskan hati orang-orang yang takut.”

 

Dikatakan kepada Hasan Al-Bashri bahwa manusia terakhir yang keluar dari neraka adalah seorang lelaki yang bernama Hannad. Dia disiksa selama seribu tahun seraya memanggilmanggil dengan kata Ya Hannan, Ya Mannaan (wahai Tuhan Ynag Maha Pengasih, wahai Tuhan yang Maha Memberi anugerah). Mendengar itu Hasan Al-Bashri berkata: “Alangkah senangnya seandainya aku menjadi Hannad.” Orang-orang menjadi heran dengan hal itu. Hasan berkata: “Celaka. Bukankah suatu hari ia bisa keluar (dari neraka)?”

 

Aku (Al-Ghazali) berkata: “Jadi, segala sesuatu bermuara pada satu hal yang bisa membuat punggung menjadi patah, wajah memucat, hati menjadi hancur, putus asa dan mengeluarkan air mata darah bagi para hamba, yakni perasaan takut kehilangan makrifat (keimanan). Inilah puncak kekhawatiran orang-orang yang merasa takut dan ditangisi oleh orang-orang yang menangis.

 

Seorang ulama berkata: ” Kesedihan itu ada tiga macam: Sedih dalam berbuat taat karena takut taatnya tidak diterima, sedih melakukan maksiat karena takut tidak diampuni, dan sedih tentang makrifat (keimanan) karena khawatir dicabut.”

 

Orang-orang yang ikhlas (mukhlishuun) mengatakan bahwa Segala kesedihan itu pada dasarnya hanya satu, yakni tercabutnya makrifat (keimanan). Kesedihan yang lain dianggap remeh karena hal itu pasti akan berakhir.”

 

Kami juga telah mendengar bahwa Yusuf bin Al-Asbath berkata: “Aku datang ke tempat Sufyan Ats-Tsauri dan Ia menangis sepanjang malam. Aku bertanya, ‘Apakah Anda menangis karena mengingat dosa?” Yusuf berkata, ‘Bagi Allah dosa-dosa itu lebih ringan daripada ini. Tapi yang lebih kutakutkan adalah jika Allah sampai mencabut Islam dari hatiku.”

 

Kami memohon kepada Allah yang Maha Memberi anugerah semoga Dia tidak menguji kami dengan musibah-Nya, agar Dia berkenan menyempurnakan karunia-Nya dengan memberikan kenikmatan yang banyak dan mencabut nyawa kami dalam keadaan beragama Islam. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.

 

Kami telah menyebutkan penyebab suu-ul khaatimah beserta keterangannya di dalam kitab “Ihya Ulumiddin”. Karena itu, renungkanlah keterangan yang ada di dalamnya. Sebab alam keterangan tentang itu di dalam kitab ini akan menyebabkan bertele-tele. Renungkanlah keterangan yang global ini. Semoga Anda mendapat petunjuk, sebab rinciannya lebih banyak dari apa yang terlintas dalam benak dan disebutkan oleh seseorang. Semoga Anda beruntung dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya.

 

Jika Anda bertanya: “Manakah yang lebih baik, menempuh jalan khauf (takut) ataukah raja’ (mengharap)?”

 

Yang terbaik adalah jalan yang terbentang di antara keduanya. Orang yang terlalu berharap akan menganggap bahwa dosa itu tidak berbahaya, bahkan dikhawatirkan ia akan menganggap semua yang diharamkan oleh Allah boleh dikerjakan, karena menganggap semua dosanya bakal diampuni. Orang yang terlalu takut tidak akan memiliki harapan. Artinya ia menjadi putus asa. Jadi, yang dimaksud di sini adalah jalan tengah, tidak boleh menitikberatkan pada salah satunya. Karena pada hakekatnya harapan sejati tidak lepas dari rasa takut dan ketakutan sejati tidak akan lepas dari berharap. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa harapan itu hanya dimiliki oleh orang yang merasa nyaman dan rasa takut hanya dimiliki oleh orang yang memiliki harapan, bukan orang yang putus asa.

 

Jika Anda bertanya: “ Apakah salah satu dari keduanya lebih unggul dari yang lain? Atukah salah satunya harus lebih banyak diingat karena suatu keadaan tertentu?”

 

Ketahuilah! Jika seorang hamba berbadan sehat dan kuat, maka yang terbaik baginya adalah rasa takut. Tapi jika ia sakit dan lemah, apalagi menjelang kematiaannya, maka yang terbaik baginya selalu berharap.

 

Begitulah yang kudengar dari pembicaraan para ulama.

 

Menurutku (Al-Ghazali) pendapat seperti itu berdasarkan firman Allah (dalam Hadis Qudsi):

 

Artinya: “Aku berada di sisi orang yang hatinya hancur karena takut kepada-Ku”

 

Maka jadilah harapan lebih baik baginya pada saat itu, karena hatinya telah remuk dan ketakutan yang dilakukannya telah ia jalani saat masih sehat, kuat dan mampu. Karena itulah dikatakan kepada mereka: “Janganlah kalian merasa takut dan bersedih hati.”

 

Jika Anda bertanya: “Bukankah telah banyak hadis yang menerangkan tentang berbaiksangka kepada Allah dan imingiming dalam hal itu?”

 

Ketahuilah bahwa termasuk di dalam berbaiksangka kepada Allah adalah berhati-hati (menjauh) dari maksiat, takut mendapat siksa-Nya dan bersungguh-sungguh dalam melayani-Nya?

 

Perlu pula diketahui bahwa dalam hal ini ada dua masalah yang sangat prinsip dan juga keterangan yang penting. Banyak Sekali orang yang keliru memahaminya, yakni perbedaan antara harapan” dan “hayalan”.

 

Harapan adalah sesuatu yang menyangkut persoalan yang mendasar, sedangkan hayalan sama sekali tidak menyangkut masalah itu. Sebagai contoh ada orang menanam padi. Ia bersungguh-sungguh dan mengumpulkan tempat mengerik padi lalu berkata: “Aku berharap mendapatkan seratus karung darinya”. Maka bagi orang tersebut ucapan itu adalah raja’ (harapan).

 

Ada lagi orang yang sama sekali tidak menanam padi, tidak mengerjakan sesuatupun barang sehari, laluia pergi tidur. Ia lalai sepanjang tahun dan bila tiba waktunya panen ia berkata: “Aku berharap mendapatkan seratus karung dari tanaman tersebut.” Lalu orang itu ditanya: “Dari mana datangnya harapanmu itu?” Sungguh ini adalah sebuah hayalan yang tidak mendasar.

 

Begitu juga seorang hamba. Jika ia bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah, menjauhi maksiat dan berkata: “Aku berharap semoga Allah menerima amalku yang sedikit ini, menyempurnakan kelalaianku, membesarkan pahala dan mengampuni kesalahanku, Dan aku berprasangka baik kepadaNya.” Inilah yang dinamakan raja’ (harapan) darinya.

 

Akan tetapi jika ia lalai dari ibadah, tidak berbuat taat, melakukan kemaksiatan, tidak peduli dengan murka Allah, keridaan, janji dan ancaman-Nya, lalu tiba-tiba ia berkata: “Aku mengharapkan surga dari Allah dan terbebas dari neraka”. Maka itulah yang dinamakan hayalan. Tidak ada yang didapat darinya. Sedangkan orang-orang menyebutnya sebagai harapan dan berbaiksangka. Sungguh itu adalah sebuah kesalahan dan kesesatan,

 

Seorang penyair mengungkapkan artian semacam ini dengan syair sebagai berikut:

 

Kamu berharap bisa selamat dan tidak menempuh jalannya,

Sungguh tidak ada perahu yang berlayar di daratan.

 

Di antara yang menerangkan hal penting ini adalah hadis yang kami riwayatkan dari Nabi Saw. Beliau bersabda:

 

Artinya: “Orang yang pandai adalah orang yang merendahkan diri (nafsu)nya dan berbuat sesuatu sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti keinginan nafsunya dan berhayal tentang Allah azza wajalla.”

 

Dalam hal ini Hasan Al-Bashri berkata: “Banyak orang yang terlena dengan hayalan tentang ampunan sampai mereka keluar dari dunia dalam keadaan bangkrut dan sedikitpun tidak memiliki kebaikan. Kemudian salah satu di antara mereka berkata: ‘Sesungguhnya aku telah berbaik sangka kepada Tuhanku. Dan Dia telah berbohong.’ Seandainya ia benar-benar telah berbaiksangka kepada Tuhannya, tentu ia memperbagus amal untuk-Nya.”

 

Kemudian Hasan Al-Bashri membaca ayat:

 

Artinya: “Barangsiapa ingin bertemu (menghadap) Allah maka hendaklah ia beramal saleh.” (Q.S. Al-Kahfi: 110)

 

Diteruskan dengan membaca ayat:

 

Artinya: “Yang demikian itu karena kesalahanmu berprasangka kepada Allah, yang akan mencelakakan dirimu. Maka kamu (orangorang yang berhayal) termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. Fushshilat: 23)

 

Diceritakan dari Ja’far Adh-Dhab’i rahimahullah. Beliau berkata: “Aku melihat Abu Maisarah. Ia adalah seorang ahli ibadah dan terlihatjelas tulang iganya karena sangat bersungguhsungguh. Aku berkata: ‘Semoga Allah merahmatimu, karena rahmat Allah itu luas. Beliau marah dan berkata: ‘Adakah kamu melihat tanda-tanda keputusasaan dari rahmat Allah pada diriku? Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat bagi orang-orang yang berbuat baik.”

 

Ja’far berkata: “Yang membuatku menangis adalah ucapan beliau seperti ini: Jika semua rasul, wali abdal dan para aulia seperti ini kesungguhannya di dalam ketaatan dan menghindari maksiat dan juga mereka terus bertahan, apakah mereka tidak memiliki baik sangka kepada Allah? Tentu, karena mereka lebih tahu keluasan rahmat Allah dan lebih berbaiksangka terhadap kemurahan-Nya daripada Anda. Akan tetapi mereka juga tahu bahwa semua itu tanpa ijtihad hanya akan menjadi hayalan dan tipuan belaka.

 

Ambillah pelajaran dari semua keterangan ini, renungkanlah keadaan mereka dan bangkitlah dari tidur Anda.

 

Hanya Allah yang menguasai semua taufik.

 

Kesimpulannya adalah: Jika Anda mengingat keluasan rahmat Allah yang mendahului kemurkaan-Nya serta lebih luas dari segala sesuatu, mengingat bahwa Anda termasuk umat yang mulia di sisi Allah, mengingat puncak karunia yang agung dan kemurahan-Nya yang sempurna serta mulia, lalu Dia menjadikan permulaan kitab-Nya yang mulia bagi Anda dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Mengingat banyaknya pemberian dan kenikmatan yang diberikan kepada Anda, baik yang kelihatan maupun yang samar tanpa adanya pertolongan atupun amal yang telah Anda lakukan.

 

Di sisi lain Anda juga mengingat kemegahan, keagungan, kebesaran kerajaan dan kehebatannya. Mengingat dahsyatnya kemurkaan-Nya yang tidak mampu dirasakan oleh langit dan bumi. Mengingat kelalaian Anda yang terlalu dan banyaknya dosa serta kecerobohan di samping kelembutan urusan Allah, gawatriya berhubungan dengan-Nya karena cakupan ilmu dan pandangamNya terhadap dosa-dosa dan hal gaib. Mengingat kebaikan janji dan pahala-Nya yang tidak terbayangkan, pedihnya ancaman dan siksaan yang tidak bisa diungkapkan dengan hati.

 

Suatu saat Anda melihat keagungan-Nya, dan di saat lain Anda melihat siksa-Nya. Di satu saat Anda melihat kelemahlembutan dan rahmat-Nya, sedang di saat lain Anda melihat diri dan keingkaran serta kesalahan yang diperbuatnya.

 

Dengan semua itu Anda akan sampai pada kedudukan khauf dan raja’. Anda juga telah meniti jalan tengah yang lurus, menyimpang dari dua jalan yang merusak yaitu rasa aman (dari siksa Allah) dan putus asa (dari rahmat Allah). Anda tidak akan tersesat bersama orang-orang yang sesat dan binasa bersama orang-orang-orang yang binasa. Anda meminum minuman yang telah dioplos dengan benar sehingga tidak rusak karena dinginnya kemurnian raja’ dan panasnya kemurnian khauf.

 

Sepertinya aku (Al-Ghazali) melihat bahwa Anda telah mencapai apa yang diinginkan dengan membawa keuntungan, Sembuh dari dua penyakit dengan selamat, nafsu Anda telah bangkit untuk berbuat taat dan mendekat untuk melayani (Allah) Siang dan malam tanpa rasa jemu dan lengah. Anda telah menjauh dari maksiat dan hal-hal yang hina serta meninggalkannya sama Sekali, sebagaimana yang diungkapkan oleh Nauf Al-Bukhali: “Sungguh jika Nauf ingat akan surga, dia teramat merindukannya: Dan jika mengingat neraka dia akan kehilangan gairah tidurnya.”

 

Dalam keadaan seperti ini Anda telah menjadi orang yang terpilih dan istimewa serta menjadi golongan ahli-ahli ibadah, yakni orang-orang yang disebut oleh Allah dengan firman-Nya:

 

Artinya: “Sesungguhnya mereka bersegera melakukan kebaikan dan menyembah-Ku dengan rasa senang dan takut. Dan mereka khusyuk demi keagungan-Ku.” (Q.S. Al-Anbiyaa’: 90)

 

Anda juga telah melewati tahapan berbahaya ini dan meninggalkannya di belakang dengan izin Allah dan kebaikan taufik-Nya.

 

Anda akan merasakan banyak sekali rasa manis dan kebeningan hati di dunia serta simpanan pahala yang melimpah di akhirat.

 

Hanya Allah tempat meminta. Semoga Dia berkenan memberikan pertolongan dengan taufik dan pembenaran-Nya kepada kita semua. Sesungguhnya Dia lebih mengasihi dan lebih pemurah di antara para pengasih dan para pemurah. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

 

Kemudian setelah Anda melihat jalan dengan jelas dan langkah Anda telah lurus, hendaknya Anda membedakan dan memeliharanya dari hal-hal yang merusak dan membuat langkah (amal) tersebut sia-sia. Anda harus melakukan hal itu dengan cara merasa ikhlas, mengingat karunia Allah dan menjauhi kebalikan dari dua hal tersebut karena adanya tujuan sebagai berikut:

 

Untuk mendapatkan faedah yang ada di dalamnya, yakni penerimaan yang baik dari Allah dan memperoleh pahala (keikhlasan). Jika tidak, maka amal tersebut akan ditolak dan pahalanya juga hilang, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan hadis yang populer dan diriwayatkan dari Nabi Saw.:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, “Aku tidak membutuhkan sesuatu dari orang lain. Barangsiapa mengerjakan suatu amal dan menyekutukannya kepada selain Aku, berarti bagianku dimiliki oleh sesuatu yang lain itu. Jadi aku tidak akan menerima amal selain yang murni (ikhlas) untuk-Ku.

 

Dikatakan juga bahwa sesungguhnya Allah berkata pada hamba-Nya kelak di hari kiamat saat ia meminta pahala amalnya: “Tidakkah telah diluaskan majelis-majelis bagimu? Tidakkah kamu menjadi pemimpin saat di dunia? Tidakkah telah dimurahkan jual belimu? Tidakkah kamu telah dimuliakan?”

 

Hal semacam ini adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan berbahaya.

 

Menurutku (Al-Ghazali) di antara bahaya riya adalah terbukanya dua aib dan timbulnya dua musibah.

 

  1. Dua Aib yang Terbuka
  2. Aib yang terbuka secara samar, yakri terbuka di hadapan para malaikat. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang menceritakan bahwa para malaikat terbang membawa amal seorang hamba ke hadapan Allah dengan gembira. Lalu Allah berfirman:

 

Artinya: “Lemparkan amal tersebut ke neraka Sijjin, karena sesungguhnya dia tidak menghendaki Aku dengan amalnya (tidak ikhlas karena Allah).” Hamba tersebut dipermalukan di hadapan para malaikat.

 

  1. Aib yang terbuka secara terang-terangan, yakni di hadapan semua makhluk kelak di hari kiamat, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:

 

Artinya: Sesungguhnya orang yang berhati riya kelak di hari kiamat akan dipanggil dengan empat sebutan (nama), yaitu hai “Kafir,”hai Penjahat,hai “Pendusta, dan hai “Orang yang merugi. Amalmu salah jalan (tersesat), pahalamu telah musnah, dan hari ini tidak ada bagian untukmu. Mintalah pahala kepada orang yang kamu beramal karenanya hai penipu!

 

Diceritakan pula bahwa ia (orang yang berhati riya) dipanggil oleh penyeru di hari kiamat dengan seruan yang didengar oleh semua makhluk: Di mana orang-orang yang menyembah manusia? Ambillah pahala dari orang-orang yang kamu sekalian beramal karenanya, sebab Aku tidak akan menerima amal yang bercampur dengan sesuatu (selain Aku).

 

  1. Dua Musibah

Musibah pertama, kehilangan surga, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw.:

 

Artinya: Sesungguhnya surga bisa berbicara dan berkata, Diriku haram bagi orang yang kikir dan riya.'”

 

Hadis di atas mengandung dua arti.

 

  1. Yang dimaksud dengan bakhildi sini adalah orang yang enggan mengucapkan kata terbaik, yakni ucapan Laa ilaaha illallaah, Muhammadur Rasulullaah”(Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah).

Yang dimaksud dengan riyadi sini adalah orang yang memamerkan sesuatu yang paling keji, yakni berbuat munafik. Dia memamerkan keimanan dan pengesaan-Nya.

Berarti pendapat seperti ini memberikan sebuah harapan.

 

  1. Jika ia tidak menghentikan perasaan kikir, riya, dan juga tidak memelihara nafsunya, maka ia pun memiliki dua hal yang mengkhawatirkan:

 

Yang pertama bertemu dengan keburukan rasa kikir, terjerumus ke dalam kekufuran, dan yang kedua ia sama sekali tidak mendapatkan surga. Kami berlindung kepada Allah dari murka dan kekerasan kemarahan-Nya.

 

Musibah Kedua, masuk ke dalam neraka,

 

Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi Saw. Beliau bersabda:

 

Artinya: Pada hari kiamat, pertama kali orang yang dipanggil adalah orang yang hapal Al-Qur’an, orang yang berjuang di jalan Allah dan orang yang banyak harta.

 

Allah bertanya kepada orang yang hapal Al-Qur’an: Bukankah Aku telah mengajarimu dengan apa yang telah Aku turunkan kepada rasul-Ku?Ia menjawab: Benar wahai Tuhanku.Allah bertanya: “Apa yang telah kau perbuat dengan pengetahuanmu itu?Ia menjawab: Dengannya aku telah bangun beribadah di tengah malam dan di senja hari.”Allah berfirman: Kamu berdusta!Para malatkat berkata: Bohong kamu!Allah berfirman: “Kamu hanya ingin agar dikatakan Si fulan adalah orang yang (fasih) membaca (Al-Qur’an) dan itu telah terucapkan.

 

Lalu orang yang banyak memiliki harta dihadapkan dan Allah bertanya kepadanya: Bukankah Aku telah memberikan kelebihan harta kepadamu sampai kamu sama sekali tidak membutuhkan orang lain?Ia menjawab: Anda benar, wahai Tuhanku.”Allah berfirman: Bohong kamu.Para malaikat pun berkata: Bohong kamu.Allah berfirman: Apa yang telah kau perbuat dengan harta yang telah Kuberikan padamu?Ia menjawab: Hara itu kupergunakan untuk silaturrahim dan bersedekah.Allah berfirman: Kamu berdusta!Para malaikat berkata: Bohong kamu!Allah berfirman: Kamu melakukan semua itu hanya karena ingin dikatakan sebagai seorang dermawan, dan itu telah terucapkan.

 

Setelah itu orang yang terbunuh saat berperang di jalan Allah dihadapkan dan Allah bertanya: Apa yang telah kamu lakukan?In menjawab: Aku diperintahkan untuk berjuang di jalan-Mu. Aku pergi berperang hingga mati terbunuh.Allah berfirman: “Kamu berdusta!Para malaikat berkata: Bohong kamu!Allah berfirman: Kamu melakukan semua itu hanya karena ingin orang-orang mengatakan ‘Si fulan adalah seorang pemberani, dan itu telah terucapkan.

 

Kemudian Rasulullah menepukkan tangan di atas lututku seraya berkata: Hai Abu Hurairah! Merekalah orang yang pertama kali dibakar dengan api jahannam.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Beliau berkata bahwa Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: Sesungguhnya neraka dan para penghuninya berteriak karena orang-orang suka berbuat riya. Lalu ada orang bertanya, ‘Kenapa mereka berteriak wahai Rasulullah?”Rasulullah menjawab, ‘Karena panasnya api yang digunakan untuk menyiksa mereka.

 

Dengan terbukanya aib semacam ini orang-orang yang memiliki kewaspadaan bisa mengambil pelajaran.

 

Hanya Allah yang menguasai petunjuk dengan anugerah-Nya.

 

Jika Anda berkata: Sekarang terangkanlah kepadaku apa hakekat ikhlas dan riya, hukumnya, serta pengaruh (bekas) yang ditimbulkan keduanya sehubungan dengan ilmu!

 

Ketahuilah bahwa menurut ulama kita, ikhlas itu terbagi menjadi dua: Ikhlas dalam beramal dan ikhlas mencari pahala.

 

Ikhlas dalam beramal artinya keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan (menjalani) perintah-Nya dan memenuhi panggilan-Nya. Pendorong keinginan seperti ini adalah keyakinan yang sehat.

 

Kebalikan dari ikhlas semacam ini adalah kemunafikan, yaitu mendekatkan diri kepada selain Allah.

 

Guru kami (Abu Bakar) rahimahullah berkata: Kemunafikan yaitu keyakinan yang salah (rusak). Sesuatu yang dimiliki oleh orang yang munafik tentang Allah.

 

Keyakinan semacam ini tidak termasuk iradah, karena adanya cacat seperti yang telah kami terangkan di dalam babnya.

 

Adapun ikhlas dalam mengharap pahala adalah keinginan mendapatkan manfaat di akhirat dengan sarana kebaikan yang sama sekali tidak bisa ditolak dengan sebuah alasan, jika ia mengharapkan kemanfaatan darinya.

 

Kami telah menjelaskan syarat-syarat ikhlas semacam ini.

 

Orang-orang Hawariyyin berkata kepada Nabi Isa bin Maryam a.s.: Siapakah orang yang ikhlas beramal?Nabi Isa menjawab: Orang yang beramal karena Allah dan tidak merasa senang jika dipuji oleh seseorang.

 

Ungkapan semacam ini hanya himbauan untuk meninggalkan riya, Nabi Isa hanya menyebutkan hal itu karena riya adalah penyebab terkuat yang mengganggu keikhlasan.

 

Imam Al-Junaid berkata: Ikhlas adalah membersihkan diri dari kotoran-kotoran.”

Fudhail bin ‘Iyadh berkata: Keikhlasan adalah selalu muragabah dengan Allah dan melupakan semua keinginan dirinya sendiri.

 

Inilah keterangan yang sempurna.

 

Pendapat dalam masalah ini banyak sekali dan tidak ada gunanya banyak menyadur setelah kebenaran itu tersingkap.

 

Nabi Saw, pemimpin orang-orang terdahulu dan orang-orang yang hidup belakangan, saat ditanya tentang keikhlasan bersabda:

 

Artinya: “Katakanlah “Tuhanku Allah’, setelah itu lakukanlah hal itu secara terus menerus (istiqamah) sebagaimana kamu diperintah.”

 

Artinya, janganlah kamu menyembah hawa nafsumu. Jangan menyembah kepada selain Tuhanmu dan istiqamahlah dalam beribadah kepada-Nya sebagaimana kamu diperintah.

 

Hadis ini adalah sebuah isyarat agar kita memutuskan hubungan dengan semua yang selain Allah dari ruang pandang kita. Inilah ikhlas yang sebenarnya.

 

Kebalikan dari ikhlas adalah riya, yaitu menginginkan kemanfaatan di dunia dengan amal akhirat. Dan riya ini juga terbagi menjadi dua, riya yang masih murni dan riya campuran.

 

Riya yang murni adalah jika Anda menginginkan kemanfaatan di dunia dengan amal tersebut serta tidak disertai keinginan lain.

 

Riya campuran adalah jika Anda menginginkan keduanya secara bersamaan. Artinya menginginkan kemanfaatan dunia dan kemanfaatan akhirat.

 

Inilah batasan ikhlas dan riya,

 

Ikhlas dan riya juga memiliki pengaruh, karena ikhlas dalam beramal akan membuat Anda menjadikan semua amal sebagai sebuah pendekatan diri kepada Allah. Sedangkan ikhlas dalam mencari pahala membuat amal yang Anda kerjakan diterima, berpahala dan menjadi agung.

 

Kemunafikan dapat menghancurkan semua amal, membuatnya tidak lagi menjadi sebuah pendekatan yang dapat menghasilkan pahala sesuai dengan janji dari Allah Swt.

 

Menurut seorang ulama, riya yang murni tidak akan timbul pada diri seseorang yang telah makrifat kepada Allah, walaupun hal itu dapat menghancurkan separoh pahala.

Menurut ulama yang lain, riya yang murni kadang bisa muncul pada diri orang yang telah makrifat dan menghapus separoh dari kelipatan pahala. Sedangkan mencampuradukkan niat bisa menghapus seperempat kelipatan pahala.

 

Menurut guru kami, pendapat yang benar adalah: Riya yang murni tidak akan timbul pada diri orang yang telah makrifat saat ia sedang mengingat akhirat dan bisa timbul bila ia sedang lupa.

 

Di antara pengaruh riya, menurut sebuah pendapat yang dipilih para ulama adalah amalnya tidak diterima dan pahalanya berkurang. Tidak jelas apakah berkurang separoh atau hanya seperempatnya, karena penjelasan dalam hal ini panjang sekali dan kami telah menerangkannya di dalam kitab Ihya Ulumiddinsecara lebih luas dan memuaskan di dalam babasraari mu’aamalat ad-diin,

 

Jika Anda bertanya: Sekarang di mana keikhlasan itu berada dan ketaatan macam apa yang membutuhkan keikhlasan serta yang wajib ikhlas di dalamnya?

 

Ketahuilah! menurut seorang ulama, semua amal itu terbagi Menjadi tiga:

 

  1. Amal yang bisa ditempati dua keikhlasan secara bersamaan Yaitu ibadah zhahir yang pokok.
  2. Amal yang tidak bisa ditempati oleh salah satu keikhlasan, yaitu ibadah bathiniyyah yang pokok.
  3. Amal yang bisa ditempati keikhlasan mencari pahala tapi tidak bisa ditempati keikhlasan dalam beramal, yaitu amal-amal mubah yang dipersiapkan sebelum beribadah.

 

Guru kami berkata: Setiap amal yang memiliki kemungkinan untuk dibelokkan ke arah selain Allah seperti ibadah-ibadah pokok itu bisa ditempati oleh keikhlasan beramal. Sedangkan ibadah-ibadah bathiniyyah itu kebanyakan bisa ditempati oleh keikhlasan beramal.

 

Para guru aliran Kiramiyah berpendapat bahwa keikhlasan mencari pahala tidak bisa bertempat pada ibadah-ibadah bathiniyyah, karena hal itu tidak b’sa dilihat seorangpun selain Allah. Dengan begitu, tidak mungkin di dalamnya ada ajakanajakan berbuat riya. Karena itulah dalam hal ini tidak diperlukan adanya keikhlasan mencari pahala.

 

Guru kami berkata: Jika seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah berkeinginan mendapatkan kemanfaatan di dunia dengan suatu ibadah, maka hal itu juga termasuk riya.

 

Menurutku (Al-Ghazali) Jika keadaannya seperti itu berarti kemungkinan adanya dua keikhlasan dalam ibadah bathiniyyah tidaklah jauh. Begitu pula ibadah-ibadah sunat. Ia harus menyertainya dengan dua keikhlasan sekaligus saat memulainya. Sedangkan amal-amal (ibadah) mubah yang dipergunakan sebagai persiapan hanya bisa ditempati oleh keikhlasan mencari pahala, bukan keikhlasan beramal. Karena ibadah yang mubah itu sendiri tidak pantas dijadikan sebagai pendekatan diri, tapi hanya sebagai sarana untuk mendekatkan diri (kepada Allah).

 

Jika Anda berkata: Ini semua baru tempat dua macam keikhlasan. Sekarang tolong terangkan kapan waktunya merasa ikhlas dalam suatu amal?

 

Ketahuilah bahwa keikhlasan beramal itu harus dibarengkan dengan amal itu sendiri dan tidak boleh merasa ikhlas setelah selesai mengerjakannya. Sedangkan keikhlasan mencari pahala bisa dilakukan setelah amal itu selesai.

 

Menurut seorang ulama, waktu yang mereka tentukan dalam keikhlasan mencari pahala adalah saat amal itu selesai. Jika amal itu selesai dengan rasa ikhlas atau riya, maka berakhir sudah urusan tersebut dan tidak mungkin bisa diikuti (disusul) dengan keikhlasan lagi.

 

Menurut ulama aliran Kiramiyah, jika hamba tersebut belum mendapatkan suatu manfaat yang ia harapkan dengan riya, maka ja masih berkesempatan menyusuli amal tersebut dengan keikhlasan. Tapijika ia telah mendapatkan suatu manfaat, berarti kesempatan merasa ikhlas itu telah hilang.

 

Menurut seorang ulama, dalam ibadah fardu seorang hamba memiliki kesempatan merasa ikhlas sampai ia mati. Adapun ibadah sunat, maka Anda tidak memiliki jalan selain yang telah disebutkan di atas. Perbedaannya adalah: Allah memasukkan seorang hamba di dalam sebuah kewajiban. Jadi, ada harapan Allah memberi anugerah dan kemudahan kepadanya. Sedangkan dalam ibadah sunat hamba itu sendiri yang masuk ke dalamnya dan membebani diri dengannya. Karena itu, ia harus memenuhi hak yang ia bebankan pada dirinya sendiri.

 

Menurutku (Al-Ghazali) dalam masalah ini terpetik satu faedah, yaitu orang yang terlanjur merasa riya atau meninggalkan keikhlasan masih mungkin mengikuti (menyusulinya) dengan keikhlasan sesuai dengan salah satu cara yang kami sebutkan sebelumnya.

 

Tujuan utama menerangkan pilihan (pendapat) para ulama dalam masalah yang pelik ini adalah agar kita semua tahu bahwa saat ini sedikit sekali orang yang merasa ikhlas, tidak banyak orang yang menempuhjalan ini, dan untuk memudahkan para pemula dalam beribadah. Jika ia tidak menemukan pengobat dalam pendapat yang satu ini, maka ia akan menemukannya dari tempat lain, karena adanya perbedaan penyakit, tujuan, kekurangan dalam berbagai amal dan kerusakannya. Pahamilah niscaya Anda termasuk orang yang pandai. Insya Allah.

 

Jika Anda bertanya: Apakah setiap amal membutuhkan keikhlasan tersendiri?

Ketahuilah bahwa para ulama memiliki pendapat sendiri-sendiri dalam masalah ini.

Ada yang mengatakan bahwa setiap amal membutuhkan keikhlasan tersendiri.

Ada yang mengatakan bahwa satu keikhlasan bisa mencakup bermacam ibadah.

Adapun amal yang memiliki berbagai rukun seperti salat dan wudu, maka keduanya dengan satu keikhlasan, karena satu sama lain saling berkaitan baik dan buruknya. Dengan begitu, dua hal ini seperti telah menjadi satu amal.

 

Jika Anda bertanya: Apakah bila seorang hamba dengan amal baiknya hanya ingin mendapatkan kemanfaatan dari Allah tanpa menginginkan pujian, ketenaran atau kemanfaatan dari orang lain dia termasuk berbuat riya?

 

Ketahuilah bahwa hal semacam itulah yang dinamakan riya secara murni.

 

Guru kami mengatakan bahwa yang diperhitungkan dalam hal ini adalah keinginannya, bukan keinginan yang diharapkan dari hal tersebut.

 

Jika dari amal tersebut Anda menginginkan kemanfaatan duniawi, baik dari Allah ataupun dari orang lain maka itu dinamakan riya. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat maka akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya. Dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, maka Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.(Q.S.Asy-Syu’araa’:20)

 

Yang diperhitungkan di sini bukanlah kata riyadan pengambilan kata tersebut dengan arti ru’yah (penglihatan), tapi keinginan yang tidak benar ini dinamakan riya, karena hal itu kebanyakan menimpa dan terjadi dari sisi manusia dan penglihatan mereka.

 

Jika Anda berkata: Umpama tujuan mendapatkan dunia itu hanya untuk memelihara diri dari meminta-minta kepada manusia serta persiapan untuk beribadah kepada Allah, adakah itu termasuk riya?

 

Ketahuilah! Sesungguhnya pemeliharan diri dari memintaminta kepada manusia itu tidak harus dengan harta yang banyak, kedudukan tinggi serta hal-hal yang tidak berguna. Akan tetapi hal itu terdapat dalam sikap .3 ana’ah (rela dengan karunia Allah) dan percaya penuh dengan jaminan kecukupan dari-Nya.

 

Adapun persiapan ibadah kepada Allah, jika tujuannya memang untuk beribadah, maka hal itu tidak dinamakan riya.

 

Yang dimaksud dengan persiapan di sini adalah sesuatu yang berkaitan dengan urusan akhirat dan berbagai penyebabnya. Jadi, tujuannya tak lain memang untuk itu. Jika persiapan seperti ini dimaksudkan sebagai persiapan berbuat baik, maka keinginan seperti itu juga tidak dinamakan riya. Sebab dengan niat tersebut hal itu telah menjadi suatu kebaikan atau dihukumi amal akhirat. Jadi, keinginan baik itu tidak dinamakan riya.

 

Begitu juga jika Anda ingin dihormati di hadapan orang banyak atau dicintai guru-guru dan para imam. Keinginan itu Anda maksudkan untuk memperkuat mazhab ahlul ha , menolak pendapat para pembuat bid’ah, menyebarkan ilmu atau menghimbau orang lain agar mau beribadah, atau tujuan lain yang Semacam itu, bukan untuk kemuliaan diri sendiri yang Anda peroleh dari hal tersebut, atau harta dunia yang Anda dapatkan.

Keinginan seperti ini termasuk keinginan yang benar dan niat yang terpuji. Tidak sedikitpun dari hal itu yang termasuk riya, karena hakekatnya yang menjadi tujuan dari hal itu adalah urusan akhirat.

 

Ketahuilah bahwa aku pernah bertanya kepada salah seorang guruku tentang kegiatan yang dilakukan oleh para wali kita seperti membaca surah Al-Wagi ah pada saat kesulitan rezeki. Tidakkah yang diinginkan dari hal itu adalah supaya Allah menahan kesulitan tersebut dan memperluas salah satu bagian dari dunia sebagaimana kebiasaan yang sudah berlaku? Apakah menginginkan harta dunia dengan sarana amal akhirat itu dibenarkan? Beliau menjawab bahwa yang diinginkan oleh mereka (para wali) adalah agar Allah memberi rezeki kepada mereka berupa rasa qana’ah (merasa cukup dengan apa yang telah diberikan) atau kekuatan sebagai persiapan untuk beribadah kepada Allah dan kekuatan mempelajari suatu pengetahuan. Hal ini termasuk keinginan baik, bukan termasuk keinginan mendapat harta dunia.

 

Dan perlu diketahui bahwa pekerjaan seperti membaca surah Al-Waqi:ah pada saat kesulitan rezeki termasuk kebiasaan yang ditiru dari Nabi Saw. dan para sahabat r.a. Bahkan saat Ibnu Mas’ud dicela karena tidak meninggalkan sedikitpun harta warisan kepada putera-puteranya, beliau menjawab: Aku telah meninggalkan surah Al-Waqi’ah untuk mereka.Dan dari pokok hadis tersebut kemudian berlaku kebiasaan seperti ini pada perilaku para ulama kita. Jika tidak, tentu mereka tidak mempedulikan kesulitan ataupun kecukupan urusan duniawi dan tetap memuji kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang mengambil keuntungan dari sempitnya urusan dunia dan membanggakan kesempitan tersebut antar sesama mereka. Mereka juga menganggap kesempitan tersebut sebagi anugerah yang agung dari Allah dan merasa khawatir jika tampak tanda-tanda keluasan rezeki yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai kebaikan dan kenikmatan. Mereka khawatir kalau-kalau hal itu menjadi sebuah tipuan dan musibah dari Allah. Bagaimana mereka tidak merasa beruntung jika yang ada di hati mereka hanya ingin berjalan dan berlapar-lapar pada kesempatan biasa? Para pendahulu mereka, mengatakan bahwa lapar adalah modal kami yang utama. Kenyataan seperti ini yang dipilih oleh para ahli tasawuf, pilihan kami, dan pilihan guru-guru kami.

 

Begitulah kebiasaan yang dikerjakan pendahulu kita. Adapun penyelewengan (penyimpangan) yang dilakukan oleh ulamaulama zaman akhir, maka tidak perlu diperhitungkan.

 

Kami menerangkan semua ini agar orang yang berselisih pendapat tidak mencela karena ketidaktahuan mereka terhadap tujuan yang diinginkan suatu kaum mengenai urusan ibadah mereka sendiri. Atau agar para pemula dalam beribadah yang masih bersih hatinya dan belum mempelajari ilmu dengan semestinya tidak salah menilai.

Jika ada yang berkata: Apakah hal itu pantas dilakukan oleh orang yang ahli ilmu pengetahuan, orang yang memfokuskan diri untuk beribadah, orang yang berzuhud, penyabar dan senang melatih diri?

 

Ketahuilah bahwa semua ini diambil dari perilaku Nabi Saw. Yang menjadi tujuan adalah agar bisa mendapatkan rasa gana’ah serta persiapan beribadah. Bukan menuruti kerakusan, syahwat dan bukan karena tidak mampu menanggung kesulitan. Sebagian besar yang Anda lihat setelah melakukan hal itu adalah rasa cukup dalam hati, hilangnya rasa lapar yang rakus seperti anjing. Hatinya semakin melemah, merasa terhibur dan jauh dari makanan serta kesenangannya. Semua itu benar-benar telah dirasakan oleh orang yang pernah mencobanya.

 

Camkan keterangan ini niscaya Anda akan mendapat taufik. Insya Allah.

 

Cacat yang kedua adalah perasaan ujub (kagum pada diri Sendiri). Anda harus menjauhi perasaan seperti itu karena dua hal:

 

Pertama, perasaan seperti itu bisa menghalangi taufik dan pertolongan dari Allah Swt. Karena sesungguhnya orang yang Wub itu dibiarkan tidak tertolong. Jika seorang hamba tidak Mendapatkan pertolongan dan taufik dari Allah tak lama kemudian pasti ia akan celaka. Karena itulah Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Tiga hal yang bisa merusak, yaitu sifat kikir yang dituruti, nafsu yang diikuti dan merasa kagum dengan dirinya sendiri.”

 

Kedua, ujub itu bisa merusak amal saleh. Kaitannya dengan ini, Isa a.s. berkata: “Hai kaum Hawariyyin, banyak lampu padam disebabkan angin dan banyak ahli ibadah yang rusak ibadahnya disebabkan ujub.

 

Jika yang menjadi tujuan dan bisa bermanfaat adalah ibadah, lalu perasaan ujub seperti ini menghalangi seorang hamba sampaisampai ia tidak mendapatkan hasil sedikitpun, ataupun jika memperoleh kebaikan, dengan sedikit rasa ujub kebaikan tersebut rusak tidak tersisa, maka sudah semestinya hamba tersebut berhati-hati dan menjaga diri dari perasaan ujub seperti ini.

 

Jika ada yang berkata: Apakah hakekat ujub, arti, pengaruh dan hukumnya? Tolong jelaskan semuanya untuk kami!

 

Ketahuilah bahwa hakekat ujub adalah menganggap agung suatu amal baik.

 

Menurut para ulama kita, rincian ujub adalah penuturan seorang hamba terhadap kemuliaan suatu amal baik tanpa disandarkan kepada Allah, orang lain ataupun dirinya sendiri.

 

Kadang sikap itu jaga mengarah pada ketiganya, yakni menuturkan amal baik dengan disandarkan kepada Allah, orang lain atau dirinya sendiri. Kadang sikap ujub itu mendua seperti menyandarkannya pada dua arah, atau menyendiri dengan menyandarkannya pada satu dari ketiganya, yakni Allah, orang Jain dan dirinya sendiri.

 

Kebalikan dari sikap ujub adalah mengingat anugerah Allah. Yakni mengingat bahwa semua itu didapat dengan taufik dari Allah Swt. Dan Dia adalah Dzat yang memuliakan, membesarkan pahala dan kedudukan amal tersebut. Mengingat anugerah seperti ini harus dilakukan saat ada ketertarikan merasa ujub, dan sunat dilakukan pada kesempatan yang lain.

 

Pengaruh ujub pada amal, menurut seorang ulama kita adalah: Orang yang ujub berarti menanti kehancuran suatu amal. fikaia bertobat sebelum mati, maka ia akan selamat. Tapi jika tidak maka amal itu akan hancur.

 

Pendapat inilah yang dipilih oleh Muhammad Ibnu Shabir, seorang ulama aliran Kiramiyah. Sedangkan kehancuran amal baginya adalah hilangnya semua bentuk kebaikan yang ada pada amal sehingga hamba tersebut tidak sedikitpun berhak mendapat pahala atau pujian.

 

Adapun ulama lain mengatakan bahwa pengaruh ujub adalah hilangnya kelipatan pahala, dan yang lain tidak berubah sedikitpun.

 

Bagaimana mungkin orang yang makrifat tidak melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya Allah-lah yang memberikan taufik terhadap amal saleh, meninggikan derajatnya serta memperbanyak pahala amal tersebut dengan anugerah dan karunia-Nya?

 

Ketahuilah bahwa dalam masalah ujub ini ada satu arti penting dan menjadi suatu simpanan yang mulia. Yakni bahwasanya semua manusia dalam hal ujub ini terbagi menjadi tiga golongan:

 

1, Orang-orang yang selamanya merasa ujub. Yakni orang-orang yang mengikuti aliran Mu tazilah dan Qadariyah. Mereka tidak sedikitpun melihat bahwa Allah yang memberikan anugerah di dalam pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka mengingkari adanya pertolongan, taufik khusus dan kelembutan rahmat Allah. Hal itu terjadi karena ketidakjelasan yang menguasai perasaan mereka.

 

  1. Orang-orang yang selamanya mengingat anugerah yang telah diberikan oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang istiqamah. Mereka tidak sedikitpun merasa kagum meski dengan satu pekerjaan. Hal itu terjadi karena mata hati yang terbuka dan pertolongan khusus yanp diberikan kepada mereka.

 

  1. Orang orang yanp mencampur aduk. Yakni orang-orang ahli sunnah, Suatu ketika mereka terjapa dan menpinpat anugerah dari Allah. Di saat lain mereka lalai dan kagum dengan amal baik mereka. Hal itu terjadi karena adanya kelalaian yang secara tiba-tiba muncul, kelengahan dalam ijtihad, dan berkurangnya kewaspadaan.

 

Jika Anda bertanya: Bagaimana keadaan orang-orang Qadariyah dan Mu tazilah sehubungan dengan apa yang mereka lakukan?

 

Ketahuilah bahwa dalam hal itu para ulama berselisih pendapat.

 

Ada yang mengatakan bahwa amal tersebut hancur karena keyakinan mereka. Ada yang mengatakan bahwa amal tersebut tidak hancur secara total karena suatu keyakinan yang pada umumnya menyangkut bagian-bagian Islam, kecuali bila semua amalnya disertai ujub seperti halnya keyakinan para ahli sunnah bahwa ujub tidak bisa dihindarkan dari semua amal kecuali mengkhususkan amal tersebut dengan mengingat anugerah dari Allah.

 

Jika ada yang bertanya: Adakah sesuatu yang bisa merusak amal selain ujub dan riya?

 

Jawabnya adalah: Ada.Di dalam amal banyak sekali perusak selain ujub dan riya. Akan tetapi kami banyak menerangkan dua hal tersebut secara khusus, karena keduanya adalah inti dari kebanyakan perusak yang berada di sekelilingnya.

 

Seorang guru berkata bahwa seorang hamba, di dalam amalnya harus memelihara sepuluh perkara, yaitu munafik, riya, mencampur aduk antara ikhlas dan riya, mengungkit-ungkit amal yang telah dikerjakan, menyakiti orang lain, menyesal, ujub, mengeluh, menyepelekan dan takut dicela orang banyak.

 

Lalu guru kami, Syekh Abu Bakr Al-Warraq menyebutkan kebalikan dari sepuluh perkara tadi dan bahaya yang ia timbulkan ada amal.

 

  1. Kebalikan dari sikap munafik adalah ikhlas dalam beramal.

2.Kebalikan dari sikap riya adalah ikhlas mencari pahala.

  1. Kebalikan dari sikap mencampuraduk antara ikhlas dan riya adalah menyatkan tujuan (suatu amal).
  2. Kebalikan dari sikap mengungkit-ungkit adalah menyerahkan semua amal kepada Allah.
  3. Kebalikan dari sikap menyakiti orang lain adalah bersikap baik.
  4. Kebalikan dari sikap menyesal adalah memantapkan diri.
  5. Kebalikan dari sikap ujub adalah mengingat anugerah dari Allah.
  6. Kebalikan dari sikap mengeluh adalah mempergunakan kesempatan secara maksimal untuk kebaikan.
  7. Kebalikan dari sikap menyepelekan adalah menganggap agung taufik dari Allah.

10 Kebalikan dari sikap takut dicela adalah merasa takut kepada Allah semata.

 

Ketahuilah bahwa kemunafikan itu dapat menghancurkan amal. Perasaan riya mengharuskan amal tersebut dikembalikan atau tidak diterima. Mengungkit-ungkit dan menyakiti orang lain bisa menghancurkan sedekah sampai tidak tersisa dalam waktu sekejap. Dan menurut seorang guru kami, keduanya menghilangkan kelipatan pahala. Penyesalan akan menghancurkan amal secara keseluruhan. Ujub akan menghilangkan kelipatan pahala. Sedangkan mengeluh, meremehkan dan takut dicela orang lain akan meringankan suatu amal dan menghilangkan bobotnya.

 

Menurut para peneliti, diterima atau ditolaknya suatu amal itu kembali pada bermacam pengagungan dan perasaan ringan dalam beramal.

 

Yang dimaksud dengan ihbath(hancur) adalah hilangnya manfaat yang keluar dari suatu pekerjaan dan berbagai penyebabnya. Kadang kehilangan tersebut berupa hilangnya pahala, dan kadang berupa hilangnya kelipatan pahala.

 

Yang dimaksud dengan pahala adalah suatu manfaat yang bisa dicerna oleh akal, baik bentuk, tanda-tanda maupun keadaannya.

 

Kelipatan pahala adalah tambahan dari (pahala) ini.

 

Yang dimaksud dengan razanah(bobot suatu amal) adalah tambahan yang diberikan sesuai dengan tanda-tanda pekerjaan lain seperti berbuat baik pada seseorang yang baik, kedua orang tua, dan salah seorang nabi. Jadi, bisa saja amal memiliki bobot tapi tidak memiliki kelipatan pahala,

 

Semua ini kami terangkan untuk meringkas apa yang telah kami kemukakan dalam masalah ini. Camkan hal itu dengan baik. Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

Sebaiknya Anda menyelesaikan tahapan yang sangat mengkhawatirkan, penuh penghalang dan perusak ini dengan menjaga diri secara maksimal. Sebab orang yang memiliki perniagaan ketaatan benar-benar bisa menyelesaikan tahapan ini dan menahan kesukarannya sehingga ia berhasil mendapatkan harta perniagaan dari ibadah yang mulia bernilai tinggi. Ia tidak akan takut kehilangan dagangan selain di jalan (tahapan) yang rumit ini, karena di dalamnya terdapat banyak perampok yang dikhawatirkan akan merampas dagangannya di tengah jalan. Selain itu, juga terdapat banyak tempat yang rusak dan dikhawatirkan bisa menimbulkan bahaya sehingga merusak ketaatannya.

 

Kemudian kekhawatiran yang paling besar dan sering terjadi adalah adanya dua penghadang atau perampok berupa ujub dan riya. Dan sebaiknya kami menerangkan beberapa pokok, masing-masing diterangkan secara tersendiri agar dapat memuaskan dan Anda merasa cukup hanya dengan mendalaminya.

 

Masalah Riya

 

Pokok yang pertama, kami akan mengemukakan satu pokok, yakni firman Allah Swt.:

 

Artinya: “Allah-lah yang telah menciptakan tujuh langit, dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya Allah, Ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.(Q.S. Ath-Thalaaq: 12)

 

Dengan ayat ini seolah Allah berfirman: Sesungguhnya Aku telah menciptakan langit, bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya dengan segala kebaikan dan keindahannya. Bagiku cukuplah kiranya jika kamu mau melihat semua itu serta kamu mengetahui bahwa Aku Maha Kuasa dan Maha Tahu. Kamu hanya melakukan salat dua rakaat yang memiliki kekurangan dan tanpa berpikir (mengerjakannya dengan lalai) tapi kamu tidak merasa cukup dengan pandangan dan pengetahuan-Ku, pujian dan terimaksih dari-Ku sehingga kamu lebih suka jika salat tersebut diketahui orang lain agar mereka memujimu karenanya. Apakah itu yang namanya menepati janji? Apakah seperti itu pikiran yang diinginkan seseorang bagi dirinya? Celaka. Apakah kamu tidak berpikir?

 

Pokok yang kedua, seseorang memiliki berlian yang indah dan laku jika dijual dengan harga satu juta dinar dan ia menjualnya seharga satu keping uang tembaga. Bukankah itu suatu kerugian yang besar, tertipu dengan tipuan yang amat buruk, bukti nyata rendahnya cita-cita, keterbatasan ilmu, kelemahannya dalam berpikir dan tipisnya rasa penghambaan.

 

Sesuatu yang didapatkan seorang hamba dari orang lain berkenaan dengan amalnya seperti pujian dan hal-hal lain yang tidak berguna, jika diukur dengan keridaan, syukur, sanjungan dan pahala dari Allah, maka hal itu nilainya lebih kecil daripada sekeping uang tembaga yang dibandingkan dengan uang satu juta dinar, dua juta, atau berjuta-juta. Bahkan itu tetap lebih kecil meski sekeping tadi dibandingkan dengan dunia seisinya, lebih banyak lagi ataupun lebih besar dari semua itu.

 

Bukankah sebuah kerugian nyata jika diri Anda kehilangan kemuliaan yang sedemikian itu hanya karena urusan sepele dan rendah?

 

Selanjutnya. Kalau memang mau tidak mau Anda harus melakukan pikiran keji semacam ini, maka hendaklah yang menjadi tujuan Anda adalah akhirat, niscaya dunia akan mengikuti Anda. Bahkan (kalau bisa) usahakan mencari rida Tuhan yang Maha Esa, pasti Anda akan diberi keuntungan dunia dan akhirat karena Dia-lah yang menguasai keduanya.

 

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

 

Artinya: Barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia (maka ia akan merugi) karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.(Q.S. An-Nisaa’: 134)

 

Nabi Saw. juga bersabda:

 

Artinya: Sesungguhnya Allah benar-benar akan memberikan dunia karena seseorang melakukan amal akhirat. Akan tetapi Dia tidak akan memberikan (pahala) akhirat karena seseorang melakukan amal dunia.

 

Jika Anda memurnikan niat dan pikiran untuk akhirat, maka Anda akan memperoleh balasan akhirat dan dunia sekaligus. Jika Anda ingin mendapatkan dunia saja, maka akhirat akan lari dengan seketika dan terkadang Anda tiaak memperoleh dunia eperti yang Anda inginkan. Kalaupun bernasil mendapatkannya maka hal itu tidak akan kekal. Dengan begitu Anda akan rugi dunia akhirat. Camkanlah semua itu.

 

Pokok ketiga, makhluk yang Anda tuju dengan amal dan selalu diharapkan kerelaannya itu, jika ia mengetahui bahwa Anda beramal karenanya, tentu ia akan merasa marah, tidak suka, menghina dan meremehkan Anda.

 

Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki akal bekerja untuk seseorang yang jika ia tahu bahwa dirinya diharapkan kerelaaannya akan membenci orang tersebut dan menghinanya?

 

Hai orang yang perlu dikasihani! Bekerjalah untuk Dzat yang jika Anda bekerja untuk-Nya, menginginkan-Nya dengan perbuatan itu seta mengharapkan kerelaan-Nya dengan perbuatan tersebut, niscaya Dia akan mencintai, memberi dan memuliakan Anda sampai-sampai Dia merelakan dan mencukupi Anda dari segala kebutuhan.

 

Perhatikan keterangan ini dan pikirkanlah jika Anda seorang yang berakal.

 

Pokok keempat, sesungguhnya orang-orang yang telah berhasil menjalani hal-hal yang bisa digunakan untuk mencari kerelaan raja yang agung di dunia, kemudian dia masih mencari kerelaan tukang sapu yang diremehkan orang banyak, maka hal itu menjadi bukti ketololan dan kerendahan daya pikirnya serta buruknya bagian yang ia dapatkan. Pantas bila ditanyakan apa perlunya mencari kerelaan tukang sapu ini, sementara Anda mampu mendapatkan kerelaan dari sang raja lalu Anda kehilangan semuanya?

 

Seperti inilah keadaan orang yang berbuat riya. Kemudian apa perlunya Anda mencari kerelaan makhluk yang remeh, lemah dan terhina, sementara Anda mampu mendapatkan kerelaan Allah Tuhan semesta alam yang mencukupi segala kebutuhan? Jika keinginan Anda lemah dan kewaspadaan Anda kurang serta terpaksa mengharapkan kerelaan makhluk, maka jalan yang terbaik adalah memurnikan keinginan dan langkah Anda karena Allah Swt. Sebab hati dan ubun-ubun manusia berada dalam genggaman-Nya. Dia-lah Dzat yang membuat hati manusia cenderung pada Anda serta mengumpulkan diri mereka untuk Anda. Allah juga memenuhi mereka dengan rasa cinta kepada Anda sehingga dari semua itu Anda mendapatkan apa yang tidak bisa diperoleh dengan kesungguhan dan tujuan Anda.

Jika Anda tidak melakukan itu semua dan menginginkan kerelaan para makhluk selain Allah swt. dengan amal Anda, maka Dia akan memalingkan hati mereka dari Anda, membuat diri mereka menjauh dari Anda, dan semua makhluk memarahi Anda. Dengan begitu Anda mendapatkan murka dari Allah dan manusia sekaligus. Ingatlah hai orang-orang yang merugi dan terhalang dari rahmat Allah.

 

Telah kami ceritakan bahwa Hasan Al-Bashri berkata: Ada seseorang yang mengatakan Demi Allah. Aku akan benar-benar menyembah Allah dengan ibadah yang membuatku selalu diingat.Lalu dia menjadi orang yang pertama kali masuk ke dalam masjid dan terakhir kali orang yang keluar darinya. Tak seorangpun yang melihatnya kecuali ia sedang salat, berpuasa tapi tidak berbuka dan duduk di kalangan orang yang sedang zikir. Dia melakukan semua itu selama tujuh bulan. Lalu setelah itu dia tidak berjalan di muka umum kecuali orang-orang mengatakan Semoga Allah melakukan sesuatu kepada orang yang riya iri.

 

Kemudian orang itu memaki dirinya sendiri dan berkata kepadanya: Sungguh aku melihat diriku tidak akan mendapat apaapa. Sungguh. Aku akan menjadikan semua amalku karena Allah.Lalu dia tidak menambahkan amal sedikitpun dari apa yang dulu telah dikerjakannya. Hanya saja niatnya telah berubah menjadi baik.

 

Setelah itu dia berjalan di muka orang banyak dan mereka mengatakan Semoga Allah memberikan rahmat kepada si fulan karena sekarang dia telah berubah menjadi baik.

Lalu Hasan Al-Bashri membaca ayat:

 

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, maka Allah yang Maha Pengasih akan membuatkan rasa cinta untuk mereka.(Q.S. Maryam: 96)

 

Hasan Al-Bashri berkata: Allah mencintai mereka dan membuat mereka mencintai orang-orang mukmin.

 

Benar sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair:

 

Hai orang-orang yang mencari pujian dan pahala

di dalam amal. Kamu mencari sesuatu yang mustahil.

Allah akan menyia-nyiakan orang-orang yang riya

Serta membatalkan langkah dan keletihannya.

Barangsiapa mengharapkan bertemu dengan Tuhan,

tentu ia akan memurnikan pekerjaannya karena merasa takut kepada-nya.

Kekekalan dalam neraka berada dalam genggaman Allah,

karena itu perlihatkanlah amalmu kepada-Nya, niscaya Dia akan memberimu anugerah.

Sedangkan manusia tidak memiliki sesuatu,

lalu untuk apa engkau memperlihatkan amal di hadapan mereka?

 

Ujub

 

Tentang ujub ini sebaiknya kami menerangkan beberapa pokok:

 

Pertama, pekerjaan seorang hamba menjadi berharga karena berada dalam keridaan Allah dan diterima oleh-Nya. Jika tidak, tentunya Anda pernah melihat seorang buruh yang bekerja sepanjang hari hanya mendapatkan upah dua dirham. Sedangkan seorang satpam (penjaga malam) yang tidak tidur semalaman mendapatkan dua keping uang (dinar). Sama halnya dengan orang yang memiliki perusahaan dan pekerjaan. Semuanya bekerja siang malam dan upah yang mereka dapatkan hanya beberapa hutungan dirham.

 

Jika Anda mengalihkan pekerjaan tersebut untuk mendapatkan kerelaan Allah seperti berpuasa karena Allah selama satu hari, maka puasa tersebut tidak ternilai harganya jika Allah meridai dan menerimanya.

Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang bersabar dicukupkan pahalanya tanpa batas.(Q.S. Az-Zumar: 10)

 

Dalam sebuah hadis qudsi diterangkan:

 

Artinya: Aku (Allah) menyediakan bagi orang-orang yang berpuasa, sesuatu (pahala) yang belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbersit di dalam hati manusia.

 

Hari ini adalah hari yang cuma seharga dua dirham, sementara Anda harus menanggung kepayahan yang teramat sangat. Semua itu bisa berubah menjadi lebih berharga dengan menunda makan siang sampai sore hari. Jika Anda mau beribadah semalam karena Allah dan memurnikan ibadah tersebut karenanya, maka perbuatan tersebut tidak ternilai kemuliaan dan keindahannya.

 

Allah berfirman:

 

Artinya: Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam kenikmatan yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan dari apa yang telah mereka kerjakan.(Q.S. As-Sajdah: 17)

 

Seperti inilah pekerjaan yang semula berharga dua keping uang atau dua dirham menjadi begitu mahal. Bahkan seandainya Anda mempergunakan waktu sebentar karena Allah dengan melakukan salat dua rakaat yang singkat, atau bahkan satu tarikan nafas yang Anda pergunakan untuk membaca Laa Ilaaha Illallah pasti harganya juga mahal.

 

Allah berfirman:

 

Artinya: Dan barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka mereka akan masuk surga. Mereka diberi rezeki tanpa hisab di dalamnya.(Q.S. Ghaafir: 40)

 

Seperti ini hanya satu tarikan nafas di antara nafas-nafas Anda yang tidak berharga sedikitpun menurut ahli dunia dan menurut Anda sendiri. Berapa banyak nafas-nafas seperti itu yang Anda Sia-siakan untuk sesuatu yang tidak berguna. Berapa lama masa yang berlalu dari Anda tanpa guna. Semua ini bisa menjadi mulia karena diridai oleh Allah. Setelah itu kedudukannya menjadi tinggi dan harganya menjadi mahal karena anugerah dari Allah. Dengan begitu orang yang berakal harus melihat keremehan amalnya dan kurangnya kemampuan yang dimilikinya dibanding dengan Allah. Dan hendaklah ia tidak melihat kecuali karunia yang diberikan Allah kepadanya sehubungan dengan kemulyaan yang setara dengan amalnya dan lebih besar dari pahala yang Dia berikan. Dan hendaklah ia memelihara pekerjaannya jangan sampai tergelincir ke tempat yang tidak sepantasnya bagi Allah serta tidak menempati keridaan-Nya yang menyebabkan hilangnya nilai yang Anda dapatkan, lalu kembali kepada asalnya. Yakni nilai paling rendah semisal beberapa dirham atau beberapa keping uang, atau bahkan lebih rendah dari itu semua.

 

Satu contoh: Setangkai anggur dan sekuntum bunga, di pasaran hanya seharga satu keping uang. Tapi jika oleh seseorang dihadiahkan kepada seorang raja, meskipun harganya murah tapi hati sang raja merasa senang. Boleh jadi raja tersebut akan memberinya seribu dinar, karena hadiah itu menempati keridaan atau kesenangan sang raja. Dengan begitu, satu biji anggur bernilai seribu dinar. Tapi jika raja itu tidak merasa senang dan mengembalikan hadiah tersebut kepadanya, maka barang itu kembali pada nilainya semula yang rendah, yakni sebiji atau sekeping uang.

 

Begitu juga apa yang sedang kita bicarakan di sini. Karena itu ingatlah, lihatlah anugerah dari Allah dan peliharalah perbuatan Anda dari sesuatu yang mengotorinya di hadapan Allah.

 

Kedua: Seperti Anda ketahui bahwasanya seorang raja di dunia ini jika memberikan sesuatu baik makanan, minuman, pakaian, uang (dirham) atau dinar yang bisa dihitung dan bisa rusak, tentu dia akan menjadikan orang tersebut sebagai pelayannya sepanjang malam dan siang dalam keadaan hina dan nista. Lalu ia berdiri di atas kepalanya sampai kedua kakinya lelah. Diajuga berjalan kaki di depan sang raja saat raja tersebut naik kendaraan. Kadang ia harus berdiri di depan pintu rumah sang raja sebagai penjaga sepanjang malam. Kadang ia melihat musuh sang raja. Maka ia pun harus melawan musuh tersebut. Dia juga menyerahkan nyawanya yang tidak memiliki ganti kepada raja tersebut. Semua pengabdian, beban berat, kekhawatiran dan bahaya seolah hanya untuk mendapatkan manfaat yang menyusahkan dan sangat remeh. Padahal pada hakekatnya manfaat tersebut berasal dari Allah Swt. Raja tersebut dalam hal ini hanya menjadi penyebab. Jadi, Tuhanlah yang menciptakan Anda yang waktu itu tidak bisa apa-apa, memelihara dan mendidik Anda dengan baik. Setelah itu Allah memberikan kerukmatan kepada Anda baik yang tampak maupun yang tidak nampak seperti dalam urusan agama, diri, dan dunia Anda. Sesuatu yang tdak bisa dicerna oleh akal dan pikiran Anda.

 

Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.(Q.S. An-Nahl: 18)

 

Kemudian Anda melaksanakan salat dua rakaat yang memiliki cacat dan kekurangan, sementara Anda tahu apa yang telah dijanjikan Allah untuk keduanya di masa mendatang seperti pahala yang baik dan berbagai macam kemuliaan. Anda menganggap keduanya sebagai suatu keagungan dan Anda juga mengaguminya. Jika Anda mau merenung maka yang demikian itu bukanlah sikap orang yang memiliki akal.

 

Camkanlah keterangan ini dengan baik.

 

Ketiga: Seorang raja memiliki kebiasaan dilayani oleh raja-raja lain dan para pembesar. Di hadapannya berdiri para majikan, orang-orang besar dan dilayani oleh para cendekiawan dan ahli hikmah. Orang-orang pandai dan para ulama mengharapkan pujiannya. Para pembesar dan para pemimpin mengawal di depannya.

 

Seandainya raja semacam ini memberikan izin kepada seorang pedagang pasar atau penduduk desa karena merasa kasihan atau ingin menolongnya, untuk menghadap di hadapannya sehingga mendesak para raja, para majikan, para pembesar dan orang-orang yang mulia, supaya ia bisa melayani dan memujinya. Raja tersebut juga memberikan tempat yang sudah ditentukan di hadapannya serta memandang pelayanannya dengan tatapan senang meskipun pengabdian tersebut masih dirasa kurang. Apakah tidak pantas kalau ada orang yang berkata: Sungguh besar karunia yang diberikan kepada hamba yang rendah ini dari sang raja. Betapa besar pertolongan yang diberikan kepadanya.

 

Jika hamba yang rendah itu mengungkit-ungkit sang raja atas pengabdian yang masih kurang dan menganggap agung pengabdian tersebut serta merasa kagum dengannya, bukankah orang tersebut teramat bodoh, gila, dan sedikitpun tidak berpikir?

 

Setelah semua ini dimengerti, maka sesungguhnya Tuhan kita yang Maha Suci adalah Maharaja. Langit, bumi dan seeluruh isinya membaca tasbih untuk-Nya. Tak satupun makhluk yang tiada membaca tasbih dengan memujinya. Dia-lah Dzat yang selalu disembah. Seluruh penghuni langit dan bumi bersujud kepadaNya, baik dengan ketaatan ataupun karena terpaksa.

 

Pelayan yang berada di sisi-Nya antara lain: Malaikat Jibril Al-Amin, malaikat Mikail, Malaikat Israfil, Malaikat Izrail, para pemikul Aarasy, Malaikat Karubiyyun, Malaikat Ruhaniyyun dan para malaikat lain yang berada tak jauh dari sisi Allah. Dan jumlahnya juga tidak bisa dihitung terkecuali oleh Allah sendiri. Mereka menetap di tempatnya masing-masing yang sangat mulia. Jiwa mereka adalah jiwa yang suci dan ibadah mereka sangat agung.

 

Makhluk lain yang melayani di sisi-Nya antara lain Nabi . Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad Saw. Seorang pilihan yang terbaik di seluruh alam beserta seluruh nabi dan rasul a.s. Mereka menempati kedudukan yang amat tinggi, memiliki kehormatan yang mulia, berpangkat tinggi dan ibadah mereka juga agung serta amat bernilai.

 

Setelah itu baru para ulama, para pemimpin yang baik dan orang-orang yang zuhud. Mereka menempati kedudukan yang tinggi dan megah. Tubuh mereka bersih suci dan ibadah mereka pun banyak, murni, dan saling menolong.

 

Pelayan terrendah yang ada di sisi-Nya antara lain: Raja-raja dunia, dan pemimpin yang semena-mena. Mereka menyungkurkan dagu untuk bersujud dan merasa hina. Mereka melumuri muka dengan debu sambil menunduk, memanjatkan permohonan sambil menangis, meratap dan merendahkan diri. Mereka mengakui kehambaan yang disandangnya hanya untuk Allah, menyadari kekurangan yang ada pada dirinya sambil bersujud dan merendahkan diri sampai suatu saat Allah melihat ke arah mereka, dan dengan anugerahnya Dia memberikan apa yang mereka butuhkan. Atau dengan kemuliaan-Nya Dia memaafkan kesalahan yang mereka perbuat.

 

Dengan semua keagungan dan kesempurnaan yang dimilikiNya, Dia mau memberikan izin kepada Anda yang hina, penuh cela dan kotor. Padahal seandainya Anda meminta izin kepada seorang kepala desa saja belum tentu ia mengizinkan. Seandainya Anda mengajak bicara kepada seorang bupati, kadang ia tidak mau berbicara dengan Anda. Dan seandainya Anda bersujud di hadapan seorang raja, kadang raja tersebut menolehpun tidak mau.

 

Sekarang ini, Allah yang Maha Agung memberi izin kepada Anda sehingga Anda boleh menyembah, memuji, dan berbicara dengan-Nya. Kadang Anda mengajukan permohonan. Kadang dengan berbagai alasan Anda berusaha mendapatkan apa yang Anda butuhkan dan bisa menggapai cita-cita.

 

Kemudian Diajuga rela dengan salat dua rakaat yang masih kurang sempurna dari Anda. Bahkan Dia menyiapkan pahala yang agung bagi keduanya untuk diri Anda. Pahala yang belum pernah terbersit di hati manusia.

 

Sementara itu Anda masih saja kagum dengan dua rakaat yang belum sempurna tersebut, menganggap bahwa itu suatu amal yang banyak dan agung. Anda tidak melihat bahwa hal itu adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada Anda. Buruk sekali hamba semacam itu. Alangkah bodohnya manusia semacam ini.

 

Hanya Allah tempat memohon dan mengadu dari kebodohan yang dilakukan oleh nafsu. Dan kepada-Nya aku berserah diri.

 

Jika dilihat dari segi yang lain, seorang raja yang agung jika memberi izin kepada rakyatnya untuk menyampaikan hadiah, tentu di hadapannya banyak para pemimpin, pembesar, kepala negeri, para bangsawan dan para jutawan yang datang membawa bermacam hadiah berupa permata yang mahal harganya, barangbarang simpanan yang sangat indah serta harta yang banyak jumlahnya. Kemudian jika ada seorang pedagang sayur yang datang membawa seikat sayuran atau seorang penduduk desa yang datang membawa sekeranjang anggur seharga satu keping uang dan masuk ke hadapannya, berdesakan dengan para pembesar dan jutawan yang membawa banyak hadiah serta bagus-bagus. Lalu sang raja mau menerima hadiah dari orang hina tersebut, berkenan melihatnya dengan pandangan menerima dan rela. Kemudian ia memerintahkan bawahannya agar memberikan pakaian yang paling indah kepada orang tersebut serta memberinya kemuliaan. Bukankah hal itu merupakan anugerah dan kemuliaan besar yang diberikan oleh seorang raja?

 

Kemudian jika orang yang rendah ini mengungkit-ungkit hadiah tersebut kepada sang raja, merasa bangga dengan hadiah itu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang berarti serta lupa dengan karunia yang diberikan oleh sang raja, bukankah ia boleh dikatakan sebagai orang yang gila, dungu, tolol, tidak sopan dan teramat bodoh?

 

Jadi, sekarang jika suatu malam Anda telah selesai mengerjakan salat dua rakaat karena Allah, maka sebaiknya Anda berpikir. Pada malam ini berapa banyak orang yang bangun melakukan salat malam di seluruh pelosok bumi di darat, di laut, di gunung, ataupun di kota-kota. Mereka adalah orang-orang yang istiqamah, jujur, takut kepada Allah, sangat merindukan-Nya, para pejuang (orang yang bersungguh-sungguh) dan juga merendahkan diri. Berapa bnyak amal yang sampai ke hadapanNya pada saat ini berupa amal ibadah yang bersih dan pengabdian yang tulus, yang dihaturkan oleh jiwa-jiwa khusyuk, mulut-mulut yang bersih, mata-mata yang menangis, hati yang penuh takwa, dada yang bersih dan anggota badan yang bertakwa.

 

Sedangkan salat Anda, meskipun sebenarnya Anda sudah mengerahkan seluruh kekuatan untuk memperbagus, merapikan dan mengikhlaskannya tidak sedikitpun kelihatan bagus di hadapan raja yang Maha Mulia, tidak tampak jelas di tengahtengah ibadah yang dihamparkan di hadapan-Nya. Bagaimana mungkin bisa pantas bila salat tersebut berasal dari hati yang lengah, bercampur aduk dengan berbagai macam cacat, dari badan kotor yang penuh lumpur dosa, berasal dari mulut yang berlepotan maksiat dan hal-hal tak berguna. Pantaskah hal seperti ini dihadapkan pada persembahan yang (agung) semacam ini? Pantaskah hal itu dihadapkan pada penguasa yang Maha Agung?

 

Guru kami berkata: Wahai orang yang mau berpikir! Renungkanlah. Apakah pantas jika kamu mengirimkan satu di antara salat-salatmu. Sebagaimana kamu mengirim satu macam hidangan ke beberapa rumah orang kaya.

 

Abu Bakr Al-Warraaq berkata: Setiap kali selesai salat aku merasa sangat malu, lebih malu dari seorang perempuan yang habis melakukan zina.

 

Kemudian Allah yang Maha Suci dan Mulia, dengan kemurnian, kemuliaan dan anugerah-Nya telah membesarkan derajat salat dua rakaat ini dan menetapkan pahala yang telah Dia janjikan sebagai balasannya. Anda hanyalah seorang hamba Yang berbuat menurut kehendak-Nya, mengerjakan segala sesuatu dengan pertolongan dan kemudahan yang diberikan-Nya. Meski begitu Anda masih saja merasa bangga dan lupa dengan anugerah yang telah diberikan oleh Allah. Sungguh ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan. Hal seperti ini tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang bodoh yang tidak bisa berpikir, orang lupa yang sama sekali tidak bisa mengingat atau orang yang hatinya telah mati, kosong dan sedikitpun tidak memiliki niat baik.

 

Camkanlah hal ini. Kami memohon kepada Allah agar diberi kecukupan yang baik dengan anugerah dan karunia-Nya.

 

Setelah kami menerangkan semua ini, maka bangkitlah dari tidur Anda saat melewati tahapan ini. Bila tidak, maka pasti Anda akan merugi. Sebab tahapan ini amat sulit, berat, pahit dan berbahaya di antara tahapan-tahapan yang menghadang di depan Anda. Buah dari tahapan-tahapan yang Anda lalui akan berakhir di sini. Bila dalam tahapan ini Anda selamat, maka pasti Anda akan beruntung. Dan bila tidak selamat maka sia-sialah usaha yang Anda kerjakan selama ini, sirnalah semua lamunan dan hidup Anda terbuang percuma.

 

Kemudian yang terpenting adalah bahwa dalam tahapan ini terdapat tiga hal yang harus diketahui:

 

Pertama, tahapan ini adalah tahapan yang sangat pelik. Kerugian yang ditimbulkan besar sekali dan sangat mengkhawatirkan. Tahapan ini dianggap pelik, karena jalan yang dilalui riya dan ujub amatlah kecil dan bisa terlihat dengan inayah (pertolongan) dari Allah. Hampir tidak nampak kecuali jika dilihat oleh orang yang ilmu agamanya sangat mendalam, mata hatinya terjaga dan juga selalu memelihara diri mereka. Orang-orang yang bodoh suka bermain-main, lalai dan banyak tidur tidak mungkin dapat melihatnya.

 

Kami pernah mendengar salah seorang guru-guru kami di Naisabur bercerita bahwa ‘Atha’ As-Salami menenun selembar kain yang yang dibuat serapi dan sebagus mungkin. Lalu ia membawa kain tersebut ke pasar dan memperlihatkannya kepada seorang pedagang kain. Seorang pedagang menawarnya dengan harga murah dan berkata: Kain ini memiliki cacat begini dan begini.’Atha’ mengambil kembali kain itu dan duduk sambil menangis sejadi-jadinya. Pedagang tersebut menyesali perkataannya dan mengakui kesalahannya. Kemudian pedagang tersebut memberikan harga berapapun yang beliau minta. ‘ Atha’ pun menjawab: Yang kutangisi bukanlah seperti yang engkau perkirakan. Tapi karena aku telah melakukan pekerjaan ini dengan sungguh-sungguh. Aku berusaha membuat kain ini serapi dan sebagus mungkin sampai aku mengira tidak ada cacatnya. Setelah kain kuperlihatkan pada orang yang ahli (mengetahui cacatnya) tampak masih ada cacat yang terlewatkan karena kelalaianku. Lalu bagaimana jika aku memperlihatkan amal-amalku kelak di hadapan Allah. Berapa banyak cacat dan kekurangan akan terlihat, yang pada hari ini aku melalaikannya?

 

Diceritakan dari orang saleh. Beliau berkata: Pada suatu malam aku berada di sebuah kamar yang ada di pinggir jalan. Menjelang pagi aku membaca surat Thaha. Setelah selesai aku tertidur sejenak dan bermimpi melihat seseorang turun dari langit membawa sebuah lembaran dan membentangkannya di hadapanku. Di lembaran tersebut terdapat tulisan surat Thaha. Di bawah setiap kalimat terdapat sepuluh kebaikan yang telah ditetapkan kecuali hanya satu kalimat yang terhapus dan di bawahnya tidak terdapat sesuatu. kemudian aku berkata, Demi Allah aku telah membaca kalimat ini dan tidak melihat pahalanya serta pahala tersebut belum ditetapkan. Lalu orang itu berkata, ‘Kamu benar. Kalimat itu telah kamu baca dan kami telah menuliskan pahalanya. Hanya saja terdengar seruan dari balik Arasy Hapuslah tulisan tersebut dan gugurkan pahalanya.Dan kami pun menghapus tulisan itu.

 

Kemudian aku menangis dalam tidur dan bertanya: Kenapa Anda melakukan semua itu?Orang tersebut menjawab: Ketika Anda sedang membaca ada seseorang yang lewat dan Anda mengeraskan bacaan tersebut karenanya. Maka hilanglah pahala dari bacaan ayat tersebut.Camkan baik-baik.

 

Tahapan ini dianggap sangat merugikan, karena riya dan ujub adalah penyakit ganas yang terjadi dalam waktu sekejap dan bisa Merusak ibadah yang Anda kerjakan selama tujuh puluh tahun.

 

Diceritakan bahwa ada seorang lelaki yang menjamu Sufyan Ats-Tsauri dan para sahabatnya. Lelaki tersebut berkata kepada keluarganya: “Bawa kesini talam itu. Jangan talam yang kubawa dari haji yang pertama, tapi ambillah talam yang kubawa dari haji kedua.” Sufyan Ats-Tsauri menatap orang tersebut dan berkata: “Kasihan. Orang ini telah merusak kedua ibadah hajinya dengan kata-kata seperti ini.”

 

Sisi lain yang merugikan adalah: Sedikit ketaatan yang bebas dari riya dan ujub akan mendapatkan nilai yang tak terhingga dari Allah. Akan tetapi amal yang banyak jika sampai terkena penyakit riya semacam ini, maka hal itu tidak berharga sama sekali, kecuali jika amal tersebut disusul dengan anugerah dari Allah, sebagaimana diceritakan dari sahabat Ali r.a. Beliau berkata: “Pahala amal yang diterima oleh Allah tentu tidak akan berkurang. Lalu bagaimana mungkin amal yang diterima itu berkurang?

 

An-Nakha’i pernah ditanya tentang amal ini dan itu serta apa yang menjadi pahalanya. Beliau menjawab: “Pahalanya tidak terhitung apabila amal tersebut diterima (oleh Allah).”

 

Diceritakan dari Wahb. Beliau berkata: “Pada zaman dahulu kala ada seorang lelaki yang beribadah selama tujuh puluh tahun dengan cara berpuasa. Ia hanya berbuka (tidak berpuasa) setiap hari sabtu. Kemudian ia memohon suatu kepentingan kepada Allah, dan permohonan tersebut tidak dikabulkan. Ia pun memaki dirinya sendiri dengan berkata: ‘ Karena kamu, kepentingan itu akan terpenuhi. Seandainya kamu memiliki kebaikan, tentu kebutuhan akan terpenuhi. Kemudian Allah menurunkan malaikat Jibril. Lalu (kepada orang tersebut) Jibril berkata: “Hai anak Adam. Waktu sebentar yang kau gunakan untuk menghina nafsumu lebih baik dari ibadah yang telah kau kerjakan.”

 

Menurutku (Al-Ghazali) sebaiknya orang yang memiliki akal merenungkan pembicaraan (kisah) ini. Bukankah termasuk bencana jika ada seseorang yang telah bersungguh-sungguh dan dengan susah payah beribadah selama tujuh puluh tahun kemudian ada orang lain yang hanya berpikir sesaat. Dan pada akhirnya pikiran yang hanya sesaat itu lebih utama di hadapan Allah ketimbang ibadah yang dilakukannya selama tujuh puluh tahun. Bukankah sangat rugi bila Anda memiliki waktu sesaat yang nilainya lebih baik daripada tujuh puluh tahun tapi meninggalkanya begitu saja untuk hal yang tidak Anda perlukan? Tentu. Demi Allah halitu adalah kerugian yang sangat besar. Dan jika hal itu dilupakan tentu amat merugikan, karena nilainya yang sangat berharga dan derajatnya sangat tinggi. Anda harus berhatihati dan menjauhinya.

 

Karena arti semacam inilah pandangan orang-orang yang waspada tertuju pada urusan yang pelik ini. Dan mementingkan rahasia-rahasia semacam ini agar terlebih dahulu mengetahui dan menjauhkan diri darinya sebagai langkah kedua. Mereka tidak merasa kaya dengan banyaknya amal-amal zhahir. Mereka berkata behwa yang penting adalah kejernihan hati bukan banyaknya amal. Mereka juga berkata bahwa sebutir permata lebih baik dari seribu kalung plastik.

 

Adapun orang-orang yang pengetahuannya dangkal serta tidak jelas dalam melihat hal seperti ini, maka mereka tidak akan mengerti arti semacam ini, melupakan cacat yang ada di hati mereka dan sibuk memayahkan diri dengan rukuk, sujud, menahan diri dari makanan, minuman dan sebagainya. Mereka terbuai dengan jumlah yang banyak dan tidak berpikir tentang anugerah serta kejernihan hati. Buah pala yang banyak tidak akan berguna jika tak ada isinya. Atap yang tinggi tidak akan berarti jika pondasinya tidak diperkuat.

 

Tidak ada yang memikirkan kenyataan semacam ini selain orang-orang yang beramal karena Allah dan terbuka mata hatinya (orang-orang yang mukasyafah). Hanya Allah yang menguasai petunjuk dengan anugerah-Nya.

 

Tahapan sangat mengkhawatirkan karena dilihat dari beberapa sisi:

 

Pertama: Tuhan yang disembah adalah Maharaja yang kemuliaan dan keagungannya tiada batas. Dia telah memberikan hikmat-nikmat yang jumlahnya tidak terhingga, dan Anda hanya memiliki tubuh yang banyak cacat, masih samar (tidak nampak), penuh penyakit dan hal-hal yang menakutkan. Bila Anda terpeleset, sementara nafsu terus mengejar dan Anda harus membuahkan amal yang bersih dan utuh dari badan yang penuh cacat dan nafsu yang cenderung ingin melakukan hal-hal buruk serta mengajak berbuat jahat, untuk dihadapkan ke hadirat Tuhan semesta alam dengan kemuliaan-Nya yang tinggi dan banyaknya pertolongan serta anugerah (yang diberikan)-Nya serta harus menempati keridaan serta penerimaan-Nya. Danjika tidak, maka Anda akan kehilangan keuntungan yang sangat besar dan kadangkadang nafsu Anda tidak akan memberikan toleransi jika sampai tidak mendapatkannya, atau bahkan Anda mendapatkan musibah yang tidak mampu Anda tanggung. Sungguh demi Allah. Ini adalah hal yang amat penting dan pembakar semangat yang sangat besar.

 

Kemuliaan dan keagungan sang raja (bisa dibuktikan) dengan adanya para malaikat Mugarrabiin yang baik-baik berdiri tegak mengabdi kepada-Nya sepanjang hari. Sampai-sampai di antara mereka ada yang sejak diciptakan sampai saat ini selalu berdiri. Ada yang selalu rukuk, bersujud, membaca tahlil dan tahajud. Malaikat yang berdiri tidak menyempurnakan berdirinya, yang rukuk tidak menyempurnakan rukuknya, yang sujud tidak menyempurnakan sujudnya, yang membaca tasbih tidak menyempurnakan tasbihnya, dan yang membaca tahlil tidak menyempurnakan tahlinya. Masing-masing memanjangkan suaranya sampai terompet kiamat. Kemudian setelah menyelesaikan pengabdian yang besar ini mereka berseru dengan kompak:

 

Artinya: Maha Suci Engkau. Ya Allah. Kami tidak beribadah kepadamu sebagaimana mestinya.

 

Rasulullah Muhammad Saw. seorang pemimpin rasul, orang terbaik di jagad raya, dan yang paling alim serta utama dibanding seluruh makhluk, mengatakan:

 

Artinya Aku tidak mampu menghitung pujian kepada-Mu sebanyak Engkau memuji Dzat-Mu.”

 

Beliau mengatakan:

 

Artinya Aku tidak mampu memuji-Mu dengan pujian yang pantas bagi-Mu, apalagi beribadah dengan sesuatu yang pantas bagi-Mu.

 

Beliau adalah seseorang yang pernah mengatakan:

 

Artinya Tidak ada seorangpun yang masuk surga karena amalnya. Para sahabat bertanya, Termasuk Anda ya Rasulullah?”Beliau menjawab, Termasuk aku kecuali jika aku diliputi dengan rahmat Allah.

 

Kenikmatan dan anugerah Allah adalah sebagaimana firmanya:

 

Artinya Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.(Q.S. An-Nahl: 18)

 

Juga seperti apa yang telah diceritakan bahwa kelak di hari kiamat manusia akan dikumpulkan sambil membawa tiga catatan: Catatan amal baik, catatan amal buruk dan catatan kenikmatan. Catatan kebaikan diperbandingkan dengan nikmat-nikmat (yang telah diterimanya). Pada setiap satu kebaikan didatangkan satu kenikmatan sampai semua kebaikan menutupi semua kenikmatan. Yang tersisa hanya keburukan serta dosa-dosa dan hal itu terserah pada Allah (diampuni atau tidak).

 

Mengenai cacat-cacat dan penyakit pada diri seseorang telah kami terangkan di depan di dalam babnya sendiri.

 

Yang menjadi kekhawatiran adalah: Ada seorang hamba yang telah bersusah payah melakukan ibadah dan mengalami kesulitan selama tujuh puluh tahun dan tidak memperhatikan cacat serta penyakitnya. Bisa jadi tak satupun dari ibadah tersebut yang diterima. Kadang ia bersusah payah selama beberapa tahun dan dirusak oleh (perbuatan yang dikerjakan dalam) waktu sekejap.

 

Yang lebih mengkhawatirkan dari semua itu adalah jika Allah melihat seorang hamba yang berbuat riya kepada orang lain dengan ibadah dan pengabdian yang dikerjakannya. Yaitu secara lahir dilakukan karena Allah, tapi secara batin dilakukan karena orang lain. Lalu Allah mengusir orang tersebut sampai ia tidak menemukan jalan untuk kembali.

 

Semoga Allah melindungi kita semua.

 

Aku pernah mendengar bahwa ada seorang ulama yang bercerita tentang Hasan Al-Bashri setelah beliau wafat. Di dalam mimpi beliau ditanya tentang keadaan yang dialaminya. Beliau menjawab: Allah menempatkan diriku di hadapan-Nya. Lalu Dia berfirman Hai Hasan! Apakah kamu masih ingat? Suatu saat kamu salat di dalam masjid. Tiba-tiba orang-orang melayangkan pandangan mereka kepadanu, lalu kamu menambah kebaikan salatmu. Seandainya tidak karena niatmu yang murni karena Aku pada saat memulainya, tentu sudah kuusir kamu dari sisi-Ku dan kuputuskan hubunganmu denganKu satu kali.

 

Karena urusan ini secara umum amat rumit dan sukar, maka orang-orang yang waspada merenung dan mengkhawatirkan diri mereka. Sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak menoleh pada amal-amal yang terlihat oleh orang lain.

 

Dikisahkan juga bahwa Rabiah Al-Adawiyah berkata: Amalamal yang tampak pada diriku tidak kuperhitungkan sedikitpun.

 

Ulama yang lain berkata: Simpanlah (rahasiakan) amal-amal baikmu seperti kamu merahasiakan amal-amal buruk.

 

Yang lain lagi mengatakan: Jika kamu mampu membuat tempat menyembunyikan amal baik maka lakukanlah.

 

Diceritakan pula bahwa Rabiah Al-Adawiyah pernah ditanya: Dengan amal apa Anda sering berharap?Beliau menjawab: Dengan keputusasaanku (tidak adanya harapan) pada amal yang paling besar.

 

Diceritakan juga bahwa Muhammad bin Waasi berkumpul dengan Malik bin Dinar. Malik berkata: Tiada pilihan lain, taat kepada Allah atau neraka.Muhammad bin Wasi’ berkata: Tiada yang lain, rahmat Allah atau neraka.Maka Malik bin Dinar pun berkata: Mengagumkan sekali. Aku amat membutuhkan guru yang seperti Anda.

 

Diceritakan dari Yazid Al-Bushthami. Beliau berkata: “Aku telah bersusah payah menjalankan ibadah selama tiga puluh tahun. Lalu aku melihat seseorang yang berkata kepadaku: Hai Abu Yazid! Gudang-gudang penyimpanan Allah telah penuh dengan ibadah. Jika kamu ingin wushuul (sampai) kepada-Nya, hendaklah kamu selalu merendahkan diri dan merasa butuh.

 

Kami juga mendengar Al-Ustadz Abu Al-Hasan menceritakan Al-Ustad Abu Al-Fadhl. Abu Al-Fadhl berkata: Sebenarnya akau tahu kalau ketaatan yang kulakukan tidak diterima di sisi Allah.Lalu beliau ditanya: Kenapa bisa begitu?Beliau menjawab: Karena aku sudah mengetahui apa saja yang diperlukan oleh ketaatan tersebut agar bisa diterima dan aku tahu kalau aku tak dapat melakukannya. Karena itulah aku menjadi tahu kalau ketaatan itu tidak diterima.

 

Beliau ditanya lagi: Kenapa Anda tetap melakukannya?

 

Jawab beliau: Siapa tahu pada suatu hari Allah menjadikannya baik untukku dan aku pun telah terbiasa berbuat baik sehingga tidak perlu membiasakan dari awal.

Inilah keadaan mereka, yakni para ulama yang ahli bermujahadah, memiliki kekhawatiran, dan maju dalam bidang agama.

 

Sebaiknya Anda menjadi orang yang (ciri-cirinya) seperti dikatakan oleh seorang penyair:

 

Carikan teman untuk dirimu selain mereka

yang putus asa dan gagal meraih cita-cita.

Teramat jauh jika dengan kemalasan kamu ingin menyusul para pemimpin

yang telah menyusahkan diri dan beruntung bisa menghadap kepada (Allah).

 

Aku berpikir untuk meletakkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ash-Shaadiq wal mashduuq Muhammad. Semoga rahmat dan salam Allah diberikan kepada beliau dan para keluarganya. Kami menerangkan hadis itu di dalam lebih dari satu kitab.

 

Diceritakan dari Ibnul Mubarak bahwa ada seorang lelaki bernama Khalid bin Ma dan berkata kepada Mu’adz: Tolong ceritakan sebuah hadis yang Anda dengar dari Rasulullah Saw. yang Anda hapal dan selalu ingat mengenai kelemah lembutan dan kekerasan pemikiran beliau.

 

Mu’adz menjawab: Baikah.Kemudian lama sekali beliau menangis. Lalu beliau mengucapkan kata rindu kepada Rasulullah dan sangat ingin bertemu dengan beliau, lalu berkata:

 

Artinya: “Pada suatu hari aku berada di sisi Rasulullah Saw. Tibatiba beliau menaiki seekor onta dan menyuruhku agar duduk di belakang beliau. Kami berjalan. Beberapa waktu kemudian beliau mengangkat pandangan ke arah langit dan bersabda, Segala puji bagi Allah yang menentukan apa saja yang Dia kehendaki untuk para makhluk-Nya, hai Mu’adz!’ Aku menjawab, “Benar sekali. Ya Rasululllah.’ Beliau bersabda, ‘Aku akan menceritakan sebuah kisah.

 

Jika kamu menghapalnya maka kisah tersebut akan bermanfaat bagimu. Dan jika kamu menyia-nyiakannya maka kamu tak lagi memiliki hujjah di hadapan Allah.

 

Hai Mu ‘adz. Sesungguhnya Allah telah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan beberapa langit dan bumi. Setiap langit memiliki penjaga pintu yang berjaga-jaga. Lalu Dia menciptakan malaikat yang menjaga semua pintu langit sesuai dengan ukuran pintu dan keagungannya.

 

Suatu saat malaikat hafazhah naik sambil membawa amal seorang hamba. Amal tersebut memiliki cahaya bagai matahari. Mereka membawa amal tersebut ke langit dunia dan menganggap bahwa amal tersebut sudah banyak serta bersih. Setelah sampai di depan pintu, seorang malaikat berkata kepada beliau, Pukulkan amal ini ke muka pemilikinya. Aku adalah malaikat yang menjaga gunjingan. Tuhan memerintahkan aku agar tidak membiarkan amal orang yang menggunjing melewatiku.’

 

Keesokan harinya malaikat hafazhah membawa amal baik yang bercahaya dan mereka anggap telah banyak lagi bersih. Sesampainya di pintu langit kedua, seorang malaikat berkata, Stop! Pukulkan amal ini ke muka pemilikinya. Karena dengan amal ini ia mengharapkan harta dunia. Tuhan memerintahkan aku agar tidak membiarkan amal orang tersebut melewatiku.”

 

Para malaikat mengutuk orang tersebut sampai sore hari.

 

Kemudian malaikat hafazah membawa amal hamba tersebut dengan girang karena di dalamnya ada sedekah, puasa dan banyak sekali kebaikan. Mereka menganggap amal itu sudah banyak dan bersih. Setelah sampai di pintu langit ketiga, malaikat penjaga pintu berkata, Stop! Pukulkan amal ini ke muka pemilikinya. Aku adalah malaikat yang menjaga kesombongan. Tuhan memerintahkan aku agar tidak membiarkan amal orang tersebut melewatiku. Sesungguhnya orang tersebut merasa sombong di hadapan orang banyak pada setiap majlismajlis mereka.”

 

Kemudian malaikat hafazah membawa amal hamba tersebut yang bercahaya bagaikan bintang bersinar terang. Amal tersebut bergemuruh dan membaca tasbih. Amal itu berisi puasa, salat, haji, dan umrah. Setelah sampai di pintu langit keempat, malaikat penjaga pintu berkata, Stop! Pukulkan amal ini ke muka pemilikinya. Aku adalah malaikat yang menjaga ujub. Tuhan memerintahkan aku agar tidak membiarkan amal orang tersebut melewatiku. Karena sesungguhnya jika beramal, ia juga memasukkan perasaan ujub (bangga) ke dalamnya.”

 

Kemudian malaikat hafazah membawa amal hamba tersebut dengan cepat seperti pengantin perempuan yang dibawa ke rumah suaminya. Sesampainya di pintu langit kelima dengan membawa amal baik berupa jihad, haji dan umrah, yang bersinar seperti matahari, seorang malaikat mengatakan, “Aku penjaga sifat hasud. Sesungguhnya ia selalu iri dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain karena kemurahan-Nya. Dia juga benar-benar tidak menyukai apa yang diridai oleh Allah. Tuhan memerintahkan aku agar tidak membiarkan amal orang tersebut melewatiku.’

 

Kemudian malaikat hafazah naik membawa amal hamba tersebut berupa wudu yang sempurna, salat yang banyak jumlahnya, puasa, haji dan umrah. Setelah mereka berhasil membawa amal baik tersebut sampai ke pintu keenam, seorang malaikat penjaga pintu mengatakan, “Aku penjaga rahmat. Pukulkan amal ini ke muka pemiliknya, karena ia sama sekali tidak merasa kasihan kepada seorangpun. Jika ada orang terkena musibah dia malah merasa gembira karenanya. Oleh karena itu Tuhan memerintahkan aku agar tidak membiarkan amal orang tersebut melewatiku.’

 

Kemudian malaikat hafazah membawa amal hamba tersebut berupa nafkah yang berjumlah banyak, puasa, salat, jihad, dan wara’. Amal itu menggelegar bagaikan suara petir dan bersinar seperti kilat. Sesampainya di pintu langit ketujuh, malaikat penjaga pintu berkata, ‘Aku penjaga sifat sum’ah (ingin menonjolkan diri dan terkenal di tengah masyarakat). Orang yang memiliki amal ini ingin terkenal di tempat-tempat pertemuan, berkedudukan tinggi di hadapan para sahabat, dan ingin mulia di hadapan para pembesar. Tuhan memerintahkan aku agar tidak membiarkan amal orang tersebut melewatiku.’

 

Setiap amal yang tidak tulus karena Allah adalah riya. Sementara itu Dia juga tidak menerima amal orang yang berbuat riya. Kemudian malaikat hafazah naik kembali membawa amal hamba tersebut seperti salat, zakat, puasa, haji, umrah, pekerti yang mulia, diam, dan dzikir (kepada) Allah. Amal tersebut diantarkan oleh malaikat tujuh langit sehingga melintasi semua dinding penutup dan berhenti di hadapan Tuhan yang Maha Agung. Mereka memberikan kesaksian bahwa amal tersebut baik dan diikhlaskan bagi Allah. Lalu Allah berfirman, “Kamu semua adalah para penjaga amal hamba-Ku. Dan Aku adalah Dzat yang selalu mengawasi isi hatinya. Sesungguhnya ia tidak menginginkan Aku dengan amal ini, melainkan menginginkan orang lain. Dia tidak ikhlas karena Aku, sedangkan Aku lebih mengetahui apa yang dia inginkan dengan amalnya. Dia berhak mendapat laknat-Ku. Dia bisa menipu keturunan Adam serta menipu kamu semua, tapi tidak bisa menipuku. Aku Maha tahu dengan hal-hal gaib, melihat segala isi hati. Bagiku tidak ada hal yang samar. Pengetahuan-Ku terhadap hal yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap hal yang akan terjadi. Ilmu-Ku terhadap hal yang sudah berlalu sama dengan ilmu-Ku terhadap hal yang akan datang. Ilmu-Ku tentang orang-orang terdahulu sama dengan ilmu-Ku tentang orang-orang yang hidup di kemudian han. Aku mengetahui segala rahasia dan hal-hal yang tidak terlihat. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa menipu-Ku dengan amalnya? Ia hanya bisa menipu para makhluk yang tidak tahu. Sedangkan Aku Maha Mengetahui hal-hal gaib. Dia berhak menerima laknat-Ku.

 

Kemudian malaikat yang berjumlah 3007, yang mengantarkan amal tersebut berkata, Ya Tuhan kami! Semoga ia mendapatkan laknat Anda dan laknat kami.”

 

Dan penduduk langit berkata, Semoga ia mendapatkan laknat dari Allah dan laknat dari seluruh makhluk yang bisa melaknati.”Kemudian Mu’adz menangis tersedu-sedu seraya berkata, Ya Rasulullah! Bagaimana caranya agar kami bisa selamat dari apa yang Anda katakan tadi?”

 

Rasulullah menjawab, Hai Mu’adz! Ikutilah keyakinan nabimu.”

Aku (Mu’adz) berkata, “Anda adalah utusan Allah. Sedangkan aku Mu’adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat?

 

Rasulullah berkata, “Benar kamu Mu’adz!. Jika ada kekurangan pada amalmu, maka jauhkanlah lisanmu dari membicarakan keadaan orang lain, lebih-lebih dari para penghapal Al-Qur’an. Sebaiknya kamu mengembalikan keadaan mereka pada kekurangan yang kau dapati pada dirimu sendiri. Jangan membersihkan diri dengan mencela saudara-saudaramu. Jangan mengangkat derajatmu dengan merendahkan saudara-saudaramu. Jangan memperlihatkan amalmu agar dikenal banyak orang. Jangan tenggelam ke dalam urusan dunia yang bisa membuatmu lupa dari urusan akhirat. Jangan bicara berdua dengan seseorang jika di sampingmu ada orang lain. Jangan merasa besar di hadapan banyak orang sehingga kebaikan dunia dan akhiratmu terputus. Jangan berkata buruk dalam suatu majlis sehingga mereka meninggalkanmu karena pekertimu yang buruk. Jangan mengungkit-ungkit orang lain dan mencabik-cabik hati mereka sehingga kelak kamu akan dicabik-cabik oleh anjing-anjing jahannam. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah Swt.: “Demi anjing yang mencabik-cabik dengan cabikan yang sebenarnya.(An-Naazi’aat: 2).

 

Allah berfirman bahwa anjing-anjing itu mencabik daging dari tulangnya.

 

Aku (Mu’adz) berkata, ‘Ya Rasulullah! Siapa yang mampu melakukan semua ini?”

Rasulullah menjawab, “Hai Mu’adz! Semua yang kukatakan kepadamu teramat mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah. Sedangkan kamu cukup melakukannya dengan cara mencintai orang lain seperti mencintai dirimu sendiri dan membenci sesuatu yang menimpa mereka seperti halnya jika hal tersebut menimpa dirimu. Dengan demikian kamu akan selamat.

 

Khalid bin Ma’dan berkata: Dalam setiap majlis (pertemuan)nya Mu’adz bin Jabal lebih banyak membaca dan menerangkan hadis ini ketimbang Al-Qur’an.

 

Jika Anda mendengar hadis ini atau diberi tahu seseorang tentang hadis yang kisahnya agung, sangat mengkhawatirkan, dan pengaruh yang ditimbulkannya amat pedih ini, cerita yang bisa membuat hati terbang melayang, pikiran bingung dan dada serasa sempit saat menampungnya serta orang-orang mengeluh karena cerita tersebut menakutkan, maka sebaiknya Anda memohon perlindungan kepada Majikan Anda, yakni Penguasa alam semesta. Tetaplah berada di pintu (yang menuju kepada)Nya, dengan kerendahan hati, tangis sepanjang malam dan di ujung hari, bersama dengan orang-orang yang merendahkan diri serta berdoa. Karena tidak mungkin selamat dari urusan ini kecuali dengan rahmat-Nya. Dan tidak mungkin terbebas dari lautan ini kecuali dengan pertolongan dari-Nya. Bangkitlah dari tidur orangorang yang lalai. Lakukan segala sesuatunya dengan benar. Perjuangkan nafsumu demi meniti tahapan yang mengkhawatirkan ini. Siapa tahu Anda tidak binasa bersama orang-orang yang binasa.

 

Hanya Allah tempat memohon pertolongan dalam segala hal. Dia-lah sebaik-baik penolong. Dia Maha Tinggi. Lebih pengasih di antara para pengasih. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur lagi Maha Agung.

 

Pendek kata, jika Anda merenung dengan baik dan melihat ketinggian derajat ketaatan kepada Allah serta ketidakmampuan seluruh makhluk, keterbatasan dan kebodohan mereka, maka sebaiknya Anda tidak menggubris mereka. Jangan terpancang dengan sanjungan, pujian, dan pengagungan mereka, karena semua itu tiada artinya. Jangan menginginkan sesuatupun dari mereka dengan menggunakan ketaatanmu. Dan jika kamu melihat betapa kejinya dunia, betapa hina dan cepat-musnah, maka janganlah kamu mengingikannya dengan menggunakan ketaatanmu kepada Allah. Katakan pada nafsumu sendiri: Hai nafsu! Sanjungan dan ungkapan terimakasih dari Allah lebih baik ketimbang sanjungan yang diberikan oleh makhluk-makhluk yang lemah dan bodoh. Mereka tidak mengetahui derajat amalmu serta apa saja yang kau rasakan di dalamnya. Mereka tidak memenuhi hak-hak yang semestinya kau peroleh dengan amalmu. Bahkan kadang-kadang mereka lebih mengutamakan orang-orang yang sebenarnya memiliki derajat di bawahmu dengan memberikan Seribu derajat, menyia-nyiakanmu yang sedang sangat membutuhkan serta melupakanmu. Meskipun mereka tidak melakukan semua itu, apa yang mereka miliki? Mereka juga berada dalam genggaman kekuasaan Allah yang akan memperlakukan mereka menurut kehendak-Nya. Hai nafsu! Jangan sia-siakan kemuliaan taatmu karena mereka. Jangan sampai kehilangan sanjungan-Nya yang penuh kemuliaan. Dan jangan sampai kehilangan anugerah Allah yang akan menjadi simpanan (bagimu).

 

Benar sekali seorang penyair yang mengatakan:

 

Mata yang tadak tidur semalaman untuk selain Engkau tiada gunanya.

Dan tangisan selain karena kehilangan selain Engkau akan sia-sia.

Katakan pada nafsumu!: Hai nafsu! Mana yang lebih baik, surga yang abadi ataukah berlumur keharaman dunia serta halhal tak berguna yang mudah rusak? Sementara itu ketaatan yang kamu lakukan mampu menghasilkan kenikmatan yang abadi. Jangan menjadi orang yang bercita-cita rendah, berkeinginan tidak baik, dan berbuat hina. Apakah kamu tidak pernah melihat seekor merpati yang bisa terbang tinggi? Bagaimana harganya menjadi mahal dan kedudukannya meningkat?

 

Angkatlah cita-citamu setinggi langit. Dan murnikan hatimu untuk Allah yang Esa dan menguasai segala urusan. Jangan siasiakan ketaatanmu untuk mendapatkan sesuatu yang tiada berarti.

 

Begitu pula jika Anda merenung dengan baik dan melihat pertolongan serta anugerah-anugerah Allah yang agung, yang diberikan kepada Anda menjalankan ketaatan.

 

Mula-mula Dia memberi Anda kesempatan dan sarana untuk mengerjakannya. Kemudian menghilangkan berbagai rintangan sampai Anda selesai mengerjakannya sebagai langkah kedua. Langkah ketiga adalah mengistimewakan Anda dengan taufik dar pertolongan, memberi jalan yang mudah dan menghiaskannya di hati Anda sehingga Anda bisa mengerjakannya.

 

Kemudian dengan keagungan yang dimiliki-Nya, ketidakbutuhan-Nya pada ketaatan, dan banyaknya kenikmatan yang Dia berikan kepadamu, Dia juga masih menukar amal yang sedikit itu dengan sanjungan yang berlebihan dan pahala besar, yang sebenarnya kamu tidak berhak mendapatkannya sebagai langkah keempat.

Ditambah lagi Allah masih memuji Anda, menyanjung dengan sanjungan yang berlebih serta mencintaimu hanya karena amal yang sekecil itu sebagai langkah kelima.

 

Semua ini tak lain hanya karena anugerah-Nya yang agung. Jika tidak, apa hak Anda mendapatkan semua ini? Seberapa tinggi derajat amal Anda yang hina dan penuh cacat ini?

 

Hai nafsu! Ingatlah semua anugerah Tuhanmu yang Maha Mulia, yang membuatmu menjadi baik dengan ketaatan ini. Kamu harus merasa malu jika menengok pada amalmu. Tapi lihatlah karunia dan anugerah Allah yang diberikan kepadamu dalam keadaan apapun.

 

Setelah berhasil melakukan ketaatan ini, janganlah kamu menyibukkan diri selain merendah dan memohon agar Dia berkenan menerimanya.

Apakah kamu tidak mendengar ucapan kekasih-Nya (Nabi) Ibrahim sesudah beliau menyelesaikan pengabdiannya dengan membangun Ka’bah? Bagaimana beliau memohon anugerah Allah agar pengabdiannya diterima? Beliau berdoa begini:

 

Artinya: Ya Tuhan kami! Terimalah (amal ini) dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

 

Setelah selesai berdoa, beliau memohon begini:

 

Artinya: Ya Tuhan kami! Terimalah permohonan kami.

 

Bila Allah berkenan memberi anugerah kepadamu dengan menerima dagangan (amal) yang campur aduk ini, berarti Dia menyempurnakan kenikmatan dan membesarkan anugerah-Nya. Alangkah untungnya, alangkah mulianya, alangkah agungnya, alangkah luhurnya, dan betapa terhiasnya dirimu. Karena bagimu semua itu adalah mahkota, kenikmatan, simpanan, dan kemuliaan.

 

Dan bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka betapa ruginya, betapa kamu tertipu dan terhalang. Karena itu bersungguhsungguh dan sibukkanlah dirimu dengan hal seperti ini. Dan jika kamu tekun melakukan semuanya, mengulangnya dalam hati pada saat selesai mengerjakan ketaatan serta memohon pertolongan kepada Allah, niscaya Dia akan memalingkan kamu dari melihat semua makhluk dan diri sendiri, dari kesibukanmu dengan kesombongan dan kebanggaan, membangkitkan dirimu untuk tulus dan ikhlas karena Allah dalam menjalani ketaatan, dan selalu mengingat Allah dalam segala keadaan.

 

Kamu juga akan berhasil melakukan ketaatan yang lebih bisa diharapkan, lebih bersih, dan tidak memiliki kekurangan. Mendapatkan kebaikan yang murni, tiada campuran di dalamnya, dan ibadah yang diterima tak kurang sedikitpun.

 

Bahkan ketaatan semacam ini meski hanya dilakukan sekali seumur hidup, maka pada hakekatnya hal itu amatlah banyak.

 

Sumpah demi hidupku. Sesungguhnya meski amal itu jumlahnya hanya sedikit tapi amat berarti, kedudukannya tinggi, sangat bermanfaat dan pada akhirnya menjadi harum.

 

Adakah hadiah yang lebih mulia ketimbang yang diberikan oleh Penguasa alam semesta? Adakah usaha yang lebih mulia ketimbang usaha yang dipuji oleh Dzat yang memenuhi segala kebutuhan orang-orang yang sangat memerlukan, dan disanjung oleh Penguasa alam semesta? Adakah harta perniagaan yang lebih tinggi nilainya dari harta perniagaan yang dipilih serta diridai oleh Penguasa alam semesta?

 

Renungkanlah! Hai orang-orang yang perlu dikasihani! Berhati-hatilah. Jangan sampai kamu termasuk orang-orang yang merugi.

 

Jika semuanya telah berjalan seperti keterangan yang tersebut di atas berarti Anda termasuk orang-orang yang memurnikan amal karena Allah, merasa takut kepada-Nya, mengingat anugerah-Nya dan lagi diridai oleh-Nya.

 

Anda telah melewati tahapan yang menakutkan ini dan selamat dari bahayanya. Anda adalah orang yang lebih dulu mendapatkan kebaikan dan buah ketaatan, serta mendapat kebahagiaan untuk selamanya, dengan kemuliaan dan keberuntungannya.

Hanya Allah yang memberikan taufik dan pemeliharaan dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.

 

Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

 

 

Setelah berhasil melewati tahapan-tahapan ini dan mendapatkan apa yang menjadi tujuan, yakni ibadah yang bebas dari noda-noda, maka hendaknya Anda memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang agung dan anugerah yang mulia ini.

 

Hal itu harus dilakukan karena dua hal: Kelangsungan nikmat dan memperoleh tambahan.

 

Mendapatkan kelangsungan nikmat karena syukur adalah tali kenikmatan. Dengan tali itu kenikmatan akan tetap ada untuk selamanya dan tidak pergi. Jika tali itu tidak ada maka kenikmatan akan hilang dan berpindah tempat.

 

Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu (kenikmatan) yang ada pada suatu kaum kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d:11)

Dia juga berfirman:

 

Artinya: “Lalu penduduk negeri itu mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka Allah mencicipkan pada mereka pakaian rasa lapar dan takut karena sesuatu yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nahl: 112)

Firman-Nya pula:

 

Artinya: “Allah tidak akan memberikan siksaan kepada kamu sekalian jika kalian bersyukur dan beriman.” (Q.S. An-Nisaa’: 147)

Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya kenikmatan itu memiliki sifat liar seperti liarnya binatang buas. Karena itu ikatlah ia dengan tali syukur.”

 

Anda juga akan memperoleh tambahan, karena bila syukur merupakan tali nikmat, maka syukur itu akan membuahkan tambahan.

 

Allah berfirman:

 

Artinya: “Sungguh jika kalian bersyukur, pasti Aku akan membahkannya untuk kalian.” (Q.S. Ibrahim:7)

Dan firman:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang mengambil petunjuk, pasti Allah menambahkan petunjuk pada mereka.” (Q.S. Muhammad: 17)

Dan firman-Nya pula:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, pasti kami benar-benar akan menunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabuut: 69)

 

Seorang majikan yang bijaksana apabila melihat hambanya benar-benar memenuhi hak suatu kenikmatan, tentu ia akan memberikan kenikmatan lain kepada hamba tersebut dan menganggapnya sebagai orang yang pantas mendapatkan kenikmatan semacam itu.

 

Jika hamba itu tidak memenuhi hak-hak kenikmatan, maka Ia pun akan menghentikan kenikmatan tersebut darinya.

 

Selanjutnya nikmat itu dibagi menjadi dua: Kenikmatan duniawi dan kenikmatan dalam agama.

 

Kenimatan duniawi dibagi menjadi dua: Nikmat kemanfaatan dan nikmat tertolak (tertahan).

 

Nikmat kemanfaatan yaitu pemberian berbagai kebaikan dan kemanfaatan.

 

Nikmat kemanfaatan ini dibagi menjadi dua, yaitu bentuk tubuh yang utuh dan sehat dengan sempurna, dan merasakan kelezatan sesuatu yang disenangi seperti makanan, minuman, Pakaian, pernikahan, dan berbagai manfaatnya.

 

Kenikmatan tertolak yaitu penolakan berbagai kerusakan dan bahaya dari Anda.

 

Nikmat tertolak ini juga dibagai menjadi dua.

 

Yang pertama yaitu penolakan yang terjadi pada jiwa seperti menyelamatkannya dari penyakit merana, dan segala macam penyakit yang bisa menimpanya.

 

Yang kedua yaitu penolakan terhadap hal yang membahayakan diri Anda seperti berbagai rintangan, dan segala yang berniat buruk kepada Anda seperti manusia, jin, binatang buas, binatang melata, dan sebagainya.

 

Kenikmatan di bidang agama juga terbagi menjadi dua: Nikmat pertolongan dan nikmat pemeliharaan (penjagaan).

 

Nikmat pertolongan adalah pertolongan yang diberikan oleh Allah. Mula-mula Anda memeluk agama Islam. Kemudian mengerjakan sunnah dan berbuat taat.

 

Sedangkan nikmat pemeliharaan yaitu pemeliharaan dari Allah. Mula-mula Dia menjaga Anda dari kekufuran, lalu dari kemusyrikan, dari hal-hal baru yang sesat dan maksiat-maksiat lain.

 

Rincian semua keterangan ini tidak ada yang bisa menghitungnya selain Tuhan yang Maha Mengetahui, yaitu Dzat yang memberi Anda kenikmatan, sesuai firman Allah:

 

Artinya: “Jika kamu sekalian ingin menghitung kenikmatan Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (Q.S. An-Nahi: 18)

 

Kelangsungan semua kenikmatan ini, setelah sebelumnya Allah menganugerahkannya serta memberikan tambahan dari segala jalan masuknya, merupakan suatu kenikmatan yang tak terhingga dan tidak terjangkau angan-angan Anda. Semuanya bergantung pada satu hal, yani “Syukur dan puji bagi Allah.”

 

Jika ada perbuatan yang sangat berharga dan mendatangkan berbagai faedah semacam ini, maka sudah seharusnya jika perbuatan itu ditekuni tanpa pernah melupakannya sedikitpun, karena hal itu adalah permata yang amat mahal dan hasil kimia yang amat langka.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan rahmat-Nya.

 

Jika ada pertanyaan: “Apakah hakekat puji dan syukur, apa artinya, dan bagaimana hukumnya?”

 

Ketahuilah bahwa para ulama membedakan cara menghasilkan puji dan syukur.

 

Mereka mengatakan bahwa puji berasal dari bentuk penyucian (tasbih) dan tahlil. Karenanya hal itu termasuk usaha zhahur.

 

Adapun syukur berasal dari kesabaran dan penyerahan diri. Karenanya hal itu termasuk usaha batin, sebab syukur merupakan perbandingan dari kufur, dan puji perbandingan dari celaan.

 

Puji mempunyai arti yang lebih umum dan banyak, sedangkan syukur memiliki arti yang lebih sedikit dan tertentu (khusus).

Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)

 

Jadi keduanya memiliki dua arti berbeda.

 

Pujian adalah sanjungan yang diberikan kepada seseorang karena adanya perbuatan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sury kami rahimahullah.

 

Sedangkan tentang syukur, para ulama membahas artinya Secara panjang lebar.

 

Diceritakan dari Abdullah bin Abbas r.a. Beliau berkata: “Syukur adalah ketaatan dengan menggunakan anggota badan kepada Penguasa seluruh makhluk secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.”

 

Seorang guru kami juga berpendapat sama. Beliau berkata: “Syukur adalah menunaikan ketaatan secara lahir dan batin.”

 

Kemudian beliau mengulang kembali dengan mengatakan bahwa syukur adalah menjauhi maksiat secara lahir dan batin.

 

Ulama yang lain berkata: “Syukur adalah memelihara jangan sampai memilih kemaksiatan.” Anda harus memelihara hati, lisan dan anggota badan Anda, jangan sampai sedikitpun bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan salah satu dari ketiganya.

 

Perbedaan antara pendapat ulama ini dengan pendapat sebelumnya adalah: Beliau menjadikan pemeliharaan sebagai arti yang menguatkan, sebagai penguat dari perkataan “ menjauhi maksiat.”

 

Menjauhi maksiat tidak akan terjadi kecuali bila seseorang tidak melakukannya saat ada hal yang menarik (mengajak)nya. Menjauhi maksiat bukanlah sebuah arti yang diperoleh, yang membuat seorang hamba menjadi sibuk karenanya dan memelihara diri dari kekufuran.

 

Guru kami berkata: “Sesungguhnya syukur adalah mengagungkan pemberi nikmat sebgai imbangan kenikmatan yang diberikannya sehingga ia dianggap tidak mengingkari si pemberi nikmat.

 

Jika Anda mengatakan bahwa mengagungkan seseorang yang berbuat baik sebagai imbangan kebaikannya, agar kesyukuran Allah kepada hamba-Nya dianggap benar, maka ungkapan tersebut baik dan di dalam hal ini ada beberapa rincian yang telah kami terangkan di dalam kitab “Ihya Ulumiddiin”. Tapi yang jelas kesyukuran seorang hamba adalah pengagungan yang mencegahnya dari anggapan “Mengingkari Dzat yang memberi kebaikan kepadanya.” Hal ini karena kebaikannya yang berulangulang, kebaikan orang yang bersyukur karena kesyukurannya, dan keburukan orang yang mengingkari nikmat karena pengingkarannya.

 

Menurutku, seorang pemberi nikmat paling tidak mengharuskan kenikmatan yang diberikan tidak digunakan sebagai sarana melakukan kemaksiatan. Alangkah jeleknya seseorang yang menjadikan kenikmatan sebagai senjata untuk mendurhakai pemberinya.

 

Kalau begitu, sehubungan dengan kewajiban syukur yang sebenarnya, seorang hamba harus melakukan pengagungan kepada Allah, yakni sesuatu yang menghalangi antara hamba tersebut dengan kemaksiatannya, sesuai dengan ingatannya kepada nikmat-nikmat Allah.

 

Jika ia melakukan hal semacam ini berarti ia telah melakukan sesuatu yang penting dalam bersyukur. Kemudian mengimbanginya dengan rajin melakukan ketaatan dan sungguhsungguh dalam pelayanannya. Karena hal itu termasuk hak suatu kenikmatan.

 

Jadi, memelihara diri dari kemaksiatan adalah suatu keharusan.

 

Jika Anda bertanya: “Apa saja sasaran syukur itu?”

 

Ketahuilah bahwa sasaran syukur adalah nikmat-nikmat di bidang agama dan nikmat duniawi sesuai dengan ukuran masingnasing.

 

Sedangkan berbagai kesulitan dan musibah di dunia yang menimpa diri, keluarga ataupun harta, masih diperdebatkan, apakah seorang hamba wajib mensyukurinya atau tidak.

 

Seorang ulama berkata: “Seorang hamba tidak wajib bersyukur karenanya, tapi ia wajib bersabar menghadapinya.”

 

Syukur dilakukan karena adanya nikmat, bukan karena hal lain.

 

Para ulama berkata: “Setiap kesulitan pasti didampingi oleh nikmat-nikmat Allah. Karena adanya nikmat yang mengiringi Itulah seorang hamba harus bersyukur, bukan karena kesulitan Itu Sendiri.

 

Kenikmatan tersebut adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Umar: “Aku tidak pernah diuji dengan suatu bencana kecuali di dalamnya Allah memberikan empat macam kenikmatan:

 

  1. Bencana itu tidak menimpa agamaku.
  2. Bencana itu bukan yang lebih besar.
  3. Aku tidak terhalang untuk merelakan bencana tersebut.

4 Aku bisa mengharapkan pahala (dengan bersabar) menerimanya.

 

Dikatakan pula bahwa nikmat yang ada dalam bencana di antaranya adalah:

 

– Bencana itu akan hilang karena tidak selamanya menimpa seseorang.

– Bencana tersebut berasal dari Allah, bukan yang lain. Danjika bencana itu diberikan lewat seorang makhluk, maka bencana tersebut bermanfaat bagimu dan berbahaya baginya, bukan membahayakan dirimu dan bermanfaat baginya.

 

Dengan begitu seorang hamba harus bersyukur atas kenikmatan yang datang bersama dengan suatu bencana.

 

Ulama yang lain berpendapat bahwa kesulitan dunia termasuk hal yang harus disyukuri oleh seorang hamba, karena pada hakekatna kesulitan itu adalah kenikmatan. Buktinya hal itu dihadapkan pada seorang hamba agar ia mendapatkan berbagai manfaat yang besar, pahala yang banyak, dan imbalan yang mulia di kemudian hari, sesuatu yang tidak sebanding dengan kepayahan orang yang mengalami kesulitan ini. Manakah. kenikmatan yang lebih besar dari semua ini?

 

Pendapat inilah yang lebih utama menurut guru kami, Abu Bakr Al-Warraaq.

 

Contoh dari keterangan diatas adalah: Ada seseorang meminumkan jamu yang menyebalkan serta pahit untuk mengobati penyakit keras, atau mencandhuk (membekam) Anda karena suatu penyakit gawat yang sangat mengkhawatirkan. Semua itu membuat badan sehat dan kehidupan Anda juga bersih.

 

Jadi, kepedihan yang ia berikan kepada Anda dengan kepahitan obatatau goresan candhuk pada hakekatnya adalah kenikmatan yang sempurna, anugerah yang terlihat jelas meskipun bentuknya menyebalkan, ditakuti oleh watak manusia, dan dibenci oleh fiafsu. Karena itu Anda memuji orang yang melakukannya, atau bahkan memberinya berbagai macam kebaikan sesuai dengan kemampuan yang Anda miliki.

 

Seperti itulah arti bermacam bencana.

 

Tidakkah Anda melihat bagaimana Nabi Saw. memuji kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya atas berbagai kesulitan sama dengan pujian beliau atas berbagai kesenangan dengan berkata: “Segala puji bagi Allah atas hal yang buruk dan hal yang menyenangkan.”

 

Tidakkah Anda melihat bahwa Allah berfirman:

 

Artinya: “Siapa tahu kalian membenci sesuatu sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’: 19)

 

Apa yang disebut oleh Allah dengan “Kebaikan” tentu lebih banyak dari apa yang dijangkau oleh angan-anganmu.

 

Di antara hal yang menguatkan pendapat ini adalah: Kenikmatan bukanlah suatu kebaikan yang berasal dari kelezatan dan hal yang disenangi nafsu karena cocok dengan wataknya, Tapi nikmat adalah sesuatu yang menambah ketinggian derajat. ena itu ia dinamakan nikmat dalam arti “tambahan”.

 

Jika suatu kesulitan termasuk penyebab bertambahnya kemuliaan seorang hamba dan ketinggian derajatnya, maka pada hakekatnya kesulitan tersebut adalah nikmat meskipun di sisi luar boleh dikatakan sebagai kesulitan dan ujian.

 

Jika Anda berkata: “Siapa yang lebih utama, orang yang “Syukur ataukah orang yang bersabar?”

 

Ketahuilah! Ada yang mengatakan bahwa orang yang bersyukur itu lebih utama, dengan mengambil dasar firman Allah:

 

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)

 

Allah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang paling istimewa.

 

Dalam memuji Nabi Nuh a.s. Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba ynag banyak bersyukur.” (Q.S. Al-Israa’: 3)

 

Mengenai Nabi Ibrahim Dia berfirman:

 

Artinya: “(Ibrahim adalah) orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya.” (Q.S. An-Nahl: 121)

 

Karena sesungguhnya syukur itu menempati kedudukan berbagai kenikmatan dan kesejahteraan, maka ada ulama yang berkata: “Sungguhjika aku diberi kenikmatan lalu bersyukur maka halitu lebih kusenangi ketimbang aku diuji dan bersabar karenanya.”

 

Ada yang mengatakan bahwa orang yang bersabar adalah lebih utama, sebab sabar itu lebih besar tingkat kesulitannya, jadi lebih besar pahalanya dan lebih tinggi kedudukannya.”

 

Allah berfirman:

 

Artinya: “Kami menemukan Ayyub sebagai seorang penyabar. Dan sebaik-baik hamba adalah Ayyub.” (Q.S. Shaad: 44)

 

Allah juga berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar dipenuhi pahala mereka tanpa hisab (perhitungan).” (Q.S. Az-Zumar: 10)

 

Firman Allah:

 

Artinya: “Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Ali-Imran: 146)

 

Bagiku, pada hakekatnya orang yang bersyukur tak lain adalah orang yang bersabar. Dan orang yang bersabar pada hakekatnya adalah orang yang bersyukur. Sebab orang yang bersyukur di tempat penuh ujian ini tentu tidak pernah lepas dari ujian yang mau tidak mau harus dijalani dengan sabar dan tidak merasa jemu.

 

Karena sesungguhnya syukur adalah mengagungkan sang pemberi tikmat dalam batas tidak mendurhakainya. Sedangkan rasa bosan termasuk suatu kemaksiatan.

 

Orang yang bersabar tidak lepas dari kenikmatan. Seperti pernah kami terangkan di depan bahwa pada hakekatnya kesulitan adalah nikmat. Dengan begitu jika ia bersabar, maka pada hakekatnya dia bersyukur, karena dia menahan dirinya dari tasa bosan demi mengagungkan Allah. Hal ini dianggap syukur karena menahan diri dari rasa bosan adalah pengagungan yang mencegah perbuatan maksiat. Di samping itu, orang yang bersyukur tentu mencegah dirinya dari pengingkaran (kekufuran). Lalu dia menahan diri dari maksiat dan mengajak nafsunya agar mau bersyukur dan bersabar menjalankan ketaatan. Jadi, pada hakekatnya ia orang yang bersabar.

 

Orang yang bersabar akan mengagungkan Allah sampai | pengagungan tersebut mencegahnya dari rasa bosan menghadapi apa yang menimpa dirinya , mampu membawa dirinya kepada rasa sabar, dan dia benar-benar bersyukur kepada Allah. Jadi, pada hakekatnya ia orang yang bersyukur. Sebab ia menahan diri dari pengingkaran (nikmat), semantara nafsu sangat menginginkannya. Dan halitu hanya bisa ditahan oleh orang yang bersyukur.

 

Tertolongnya orang yang bersabar dan terpeliharanya dari kekufuran adalah suatu kenikmatan yang disyukuri oleh seorang penyabar. Karena itu, salah satu dari keduanya tidak bisa lepas dari yang lain, sebab mata hati yang mendorongnya hanya satu, yakni kewaspadan istiqamah-Ini menurut pendapat salah seorang ulama kita.

 

Dari sisi inilah aku bisa mengatakan kalau keduanya tidak bisa lepas satu sama lain. Perhatikanlah keterangan ini.

 

Hendaknya Anda mengerahkan seluruh kemampuan untuk melewati tahapan yang biayanya murah tapi banyak memberikan faedah, berunsur tinggi dan berkedudukan agung ini.

 

Perhatikan dua hal pokok berikut ini:

 

Pertama, kenikmatan hanya diberikan kepada orang yang mengetahui kedudukannya. Sedangkan orang yang mengetahui kedudukan nikmat adalah orang yang bersyukur.

 

Pijakan keterangan yang kusampaikan ini adalah firman Allah yang menceritakan orang-orang kafir dan menolak pendapat mereka, yaitu:

 

Artinya: “Apakah orang-orang miskin itu diberi kenikmatan oleh Allah dari kami. Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur?.” (Q.S. Al-An’aam: 53)

 

Orang-orang bodoh itu mengira bahwa kenikmatan yang besar dan anugerah yang mulia itu diberikan kepada orang-orang yang hartanya paling banyak, paling berkedudukan serta berketurunan paling mulia. Lalu mereka berkata: “Menurut kalian, apa perlunya orang-orang miskin bersama pemimpin para hamba dan orang merdeka itu diberi kenikmatan besar seperti ini?

 

Mereka berkata dengan nada sombong dan menghina: “Apakah orang-orang miskin itu diberi kenikmatan oleh Allah dari kami?”

 

Kemudian Allah menjawabnya dengan halus dan bercahaya:

 

Artinya: “Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur?” (Q.S. Al-An’aam: 53)

 

Penjelasan pembicaraan di atas adalah: Seorang majikan yang mulia hanya akan memberikan kenikmatannya kepada orang yang mengerti kedudukan nikmat tersebut. Sedangkan orang yang mengerti kedudukan nikmat adalah orang yang menerima kenikmatan tersebut dengan diri dan hatinya. Ia memilih kenikmatan tersebut dan meninggalkan yang lainnya. Ia tidak mempedulikan beban yang harus ditanggungnya seperti ongkos yang harus dikeluarkan untuk mendapatkannya. Ia tidak bergeser dari pintu untuk memenuhi kesyukuran nikmat tersebut.

 

Menurut Ilmu-Ku yang terdahulu (gadiim), orang-orang lemah itu lebih mengetahui kedudukan nikmat ini. Tiada hentinya mereka mensyukuri. Dan mereka lebih pantas menerima kenikmatan ini daripada kalian. Kekayaan, jabatan, kemarahan dan keturunan (keningratan) kalian tidak diperhitungkan. Kalian menganggap bahwa kenikmatan hanyalah di dunia dan hal-hal yang tak berguna di dalamnya. Juga ketinggian dan kemuliaan keturunan, bukan agama, ilmu, kebenaran, dan pengetahuan tentang kebenaran. Kalian menganggap semua itu sebagai keagungan dan merasa bangga dengannya.

 

Tidak-tahukah kamu bahwa hampir saja kamu tidak bisa menerima agama, pengetahuan dan kebenaran ini tanpa adanya anugerah yang melekat pada diri orang yang datang membawakannya untukmu. Semua itu karena penghinaan kalian dan mernimnya kepedulian kalian kepadanya. Dan sesungguhnya orang-orang lemah itu rela membunuh diri mereka sendiri untuk mendapatkan semua itu. Mereka menyerahkanjiwa raga dan tidak mempedulikan apa yang hilang dari mereka, dan dengan siapa berhadapan. Agar kamu tahu saja bahwa mereka adalah orangorang yang mengerti kedudukan nikmat semacam ini. Dalam hati mereka tertanam kuat pengagungan nikmat tersebut, menganggap ringan kehilangan segala sesuatu demi mendapatkannya. Dengan senang mereka menahan beban kepayahan di dalamnya dan menghabiskan seluruh umur untuk mensyukurinya.

 

Karena itu semua, menurut pengetahuan Kami yang terdahulu, mereka berhak mendapatkan anugerah yang mulia serta kenikmatan yang agung ini. Dan Kami mengistimewakan mereka, bukan kalian. Camkan baik-baik keterangan ini.

 

Bagiku (Al-Ghazali), begitulah sekelompok orang yang diisttmewakan Allah dengan satu kenikmatan di antara nikmatnikmat agama berupa ilmu atau amal. Dan sesungguhnya Anda akan menemukan bahwa mereka sebenarnya adalah manusia yang paling mengerti kedudukan nikmat tersebut, lebih besar pengagungan terhadapnya, lebih bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, lebih besar penghormatannya, dan lebih rutin mensyukurinya.

 

Adapun orang-orang yang dihalangi oleh Allah untuk mendapatkan hal itu adalah karena minimnya perhatian mereka dan pengagungan hak atas nikmat tersebut di samping karena takdir Allah yang telah terdahulu.

 

Seandainya pengagungan ilmu dan ibadah yang ada di hati orang-orang awam dan para pedagang pasar sama dengan yang ada di hati para ulama dan ahli-ahli ibadah, tentu mereka tidak memilih pasar mereka dan mengalahkan pengagungan nikmat serta merasa ringan meninggalkan pasar.

 

Tidakkah Anda tahu kalau seorang ulama fikih menemukan mecahan suatu masalah yang dulunya belum jelas. Betapa girang hatinya, betapa besar kebahagiaannya, betapa besar pengaruhnya di dalam hati. Sehingga jika seandainya dia menemukan uang seribu dinar pasti hal itu tidak bisa mengimbangi kebahagiaan tersebut. Kadang-kadang ia merasa prihatin memikirkan suatu masalah di bidang agama. Kemudian ja memikirkannya selama satu tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau bahkan lebih. Mereka tidak menganggap itu sebagai waktu yang lama serta tidak merasa jemu sampai akhirnya Allah memberinya pemahaman tentang masalah itu. Ia menganggap pemahaman tersebut sebagai anugerah terbesar dan kenikmatan yang paling agung. Dengan hal itu ia merasa dirinya paling kaya dan paling mulia. Bahkan kadang-kadang hal ini juga tampak pada seorang pedagang pasar atau seorang murid yang malas, yang menyangka dirinya telah menyamai ulama fikih dalam kecintaannya terhadap ilmu. Ia tidak mau mendengar hak-hak seorang ulama fikih.

 

Kadang-kadang jika pembicaraan masalah itu terlalu panjang ia merasa bosan atau tertidur. Jika masalah itu telah menjadi jelas, ia tidak menganggapnya sebagai hal besar.

 

Demikian juga orang yang kembali kepada Allah. Berapa lama ia bersungguh-sungguh dan rajin melatih dirinya, memelihara nafsunya dari keinginan-keinginan serta kelezatan, mengekang anggota tubuhnya dalam gerak dan diam, berharap suatu saat nanti Allah menyempurnakan dua rakaat yang memiliki adab dan kesucian untuknya.

 

Berulangkali ia merendahkan diri kepada Allah, berharap agar Dia memberinya waktu sesaat untuk bermunajat dengan hati yang bersih dan merasakan manis. Sungguh jika ia mendapatkan hal itu sekali dalam sebulan, sekali dalam setahun, atau bahkan sekali dalam seumur hidup, maka ia menganggapnya sebagai karunia yang terbesar dan kenikmatan yang paling agung. Betapa ia merasa bahagia, betapa bersyukurnya kepada Allah. Ia tidak mempedulikan kepayahan yang dialaminya di malam hari serta berbagai kelezatan dalam menghasilkannya.

 

Kami juga pernah melihat orang yang menganggap dirinya menyukai ibadah dan ingin memperoleh bagian darinya. Jika salah satu di antara mereka membutuhkan pengurangan sesuap makanan sore atau meninggalkan ucapan yang tak berguna, atau mencegah mata mereka dari tidur dalam waktu sesaat, tentu nafsu mereka tidak akan merasa lega dengan semua itu. Hati mereka tidak akan nyaman. Dan jika kebetulan mereka berhasil mendapatkan ibadah yang bersih, meski hal ini jarang terjadi, mereka tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang besar. Dan ia tidak mau mempersembahkan banyak syukur.

 

Orang-orang seperti ini akan besar kebahagiaannya dan secara lahir banyak memuji jika mereka berhasil mendapatkan yang satu dirham, mengumpulkan sesuatu yang bercerai-berai, memiliki lauk yang enak, atau tidur panjang dengan nyaman. Saat itulah mereka akan mengucapkan “Segala puji bagi Allah”. Semua ini berasal dari karunia Allah.

 

Bagaimana mungkin orang-orang yang lupa dan tidak mampu itu menyamai orang-orang yang beruntung, yang tekun dan bersungguh-sungguh. Karena itulah orang-orang miskin itu terhalang dari kebaikan dan orang-orang yang tertolong berhasil mendapatkan kebaikan ini serta beruntung karenanya. Dan seperti itu pula pembagian perkara yang dilakukan oleh Dzat yang Maha Bijaksanan. Dan Dia-lah Dzat yang lebih mengetahui alam seisinya. Inilah rincian firman Allah

 

Artinya: “Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al-An’aam: 53)

 

Ketahuilah bahwa Anda sama sekali tidak akan terhalang dari kebaikan yang Anda idamkan kecuali halangan tersebut berasal dari diri Anda sendiri. Kerahkan semua kemampuan agar Anda mengetahui kedudukan nikmat Allah dan mengagungkannya dengan benar, niscaya Anda akan menjadi orang yang pantas mendapatkannya. Lalu Allah menganugerahkan nikmat yang kekal sebagaimana Dia memulai nikmat tersebut bagi Anda sesuai dengan apa yang pernah kami terangkan pada pokok kedua.

 

Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

 

Kedua, nikmat itu hanya akan dicabut dari orang yang tidak mengetahui kedudukannya. Adapun orang yang tidak mengetahui kedudukannya adalah orang-orang yang banyak mengingkari, yaitu orang yang mengingkari nikmat tersebut dan tidak mensyukurinya.

 

Dalil keterangan ini adalah firman Allah:

 

Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka (orang-orang Yahudi), kisah orang yang Aku beri ayat-ayat-Ku, lalu keluar dari nikmat itu dan diikuti oleh setan yang akhirnyu menjadi orang-orang yang sesat. Seandainya Aku menghendaki pasti Aku bisa meluhurkan derajatnya dengan ayat tersebut.” (Q.S. Al-A’raaf: 175-176)

 

Uraian ayat di atas adalah sebagai berikut:

 

Akulah yang memberi kenikmatan kepada hamba ini dengan nikmat-nikmat besar dan pertolongan yang agung dalam bidang agama dengan memberi mereka kesempatan memperoleh derajat yang luhur dan kedudukan yang tnggi di sisi-Ku, agar di hadapan-Ku ia berkedudukan tinggi dan berpangkat mulia. Tapi ia tidak mengetahui kedudukan nikmat-Ku dan cenderung pada dunia yang hina dan remeh, memilih kesenangan nafsunya yang rendah, Yan tidak mengetahui bahwa seluruh dunia ini di hadapan Allah tidak sebanding dengan kenikmatan terendah di bidang agama. Kenikmatan tersebut bagi-Nya tidak sebanding dengan sayap seekor nyamuk.

 

Dalam hal ini orang itu bagaikan anjing yang tak bisa membedakan antara kemuliaan serta rasa nyaman dengan terhina dan kepayahan. antara ketinggian derajat dengan kehinaan. Ia akan menjulurkan lidah untuk keduanya.

 

Baginya kenikmatan yang sempurna terletak pada secuil makanan yang disantapnya, sekerat daging yang dilempar ke arahnya. Baginya sama saja. Kau dudukkan di atas singgasana bersamamu, atau kau suruh berdiri di atas tanah kotor di hadapanmu. Keinginan, kemuliaan, dan kenikmatannya hanya terletak pada apa yang kusebut di atas.

 

Begitulah perumpamaan hama yang buruk. Dengan begitu ia tidak mengetahui kedudukan nikmat-Ku, tidak mengetahui hak kemuliaan yang Kuberikan. Mata hatinya tak dapat melihat dan tidak sopan di hadapan-Ku dengan cara menoleh kepada selain Aku, melupakan nikmat-Ku karena sibuk dengan dunia yang hina dan kelezatan yang hina. Kemudian Aku memandangnya dengan penuh siasat, menghadirkannya di hamparan keadilan-Ku dan Kuperintahkan agar ia diberi hukuman Dzat yang Maha Kuasa.

 

Lalu Kami cabut semua pakaian kebesaran dan kemuliaan Kami. Kami hapus kemakrifatan dari hatinya. Ia pun telanjang dari semua anugerah yang kuberikan padanya. Jadilah ia seekor anjing yang terusir atau setan yang dirajam karena durhaka.

 

Semoga Allah melindungi kita dari kemurkaan dan kepedihan siksa-Nya. Sesungguhnya Dia amat pengasih dan penyayang kepada kita.

 

Kemudian puaslah Anda dengan melihat contoh seorang raja yang memuliakan hambanya, memakaikan sendiri pakaian khusus untuknya, mendekatkan hamba tersebut ke sisinya, menjadikannya lebih tinggi di atas para pelayan dan penjaga pintunya, serta menyuruh hamba tersebut agar tetap berada di hadapannya. Raja tersebut telah memerintahkan agar hamba tadi dibuatkan istana di tempat lain. Singgasananya dibuat tinggi, disediakan berbagai hidangan, diberi pelayan-pelayan wanita cantik dan pelayan-pelayan muda.

 

Bila hamba tersebut kembali dari melayani sang raja, maka ia ditempatkan di sebuah kerajaan, dilayani dan dimuliakan.

 

Jarak antara pengabdian (pelayanannya) dengan istana tersebut hanya satu jam atau malah kurang.

 

Jika hamba tersebut, di depan pintu rumah sang raja melihat seorang perawat kuda sedang makan roti, atau melihat seekor anjing yang menggigit tulang, kemudian hamba tersebut sibuk melihatnya sehingga lupa dengan pelayanan untuk raja. Ia juga tidak melihat pakaian kebesaran dan kemuliaan yang disandangnya. Hamba itu berlari dan meminta sepotong roti – kepada perawat kuda, atau berebut tulang dengan anjing serta menganggap roti atau tulang tersebut sebagai hal besar. Bukankah jika sang raja melihat semua yang dilakukan hamba tersebutakan berkata: “Bodoh benar orang ini, betapa rendah keinginannya, tidak mengetahui betapa tingginya kemuliaanku, tidak melihat betapa besar kemuliaan yang kuberikan kepadanya berupa pakaian-pakaian kebesaran, memuliakannya di sisiku, serta apa yang kulakukan terhadapnya seperti pertolongan dan berbagai simpanan serta anugerah yang kuperintahkan untuknya. Orang Seperti ini tak lain adalah orang yang bercita-cita rendah, teramat bodoh dan tidak bisa membedakan. Lucuti pakaiannya dan lemparkan ia dari hadapanku!”

 

Seperti inilah keadaan orang alim jika ia cenderung melihat dunia, dan keadaan seorang ahli ibadah yang mengikuti hawa hafsunya setelah ia dimuliakan oleh Allah dengan beribadah kepada-Nya, mengetahui pertolongan yang diberikan-Nya, dan mengetahui syariat beserta hukum-hukum-Nya.

 

Kemudian ia tidak mengetahui kedudukan semua itu, maka ladialah ia orang yang paling hina di hadapan Allah. Ia mencintai dunia, rakus untuk mendapatkannya. Dunia itu menjadi sesuatu yang agung dalam hatinya, lebih ia cintai ketimbang nikmat-nikmat mulia yang diberikan kepadanya seperti ilmu, ibadah, hikmah, dan bermacam kebenaran.

 

Demikian juga keadaan orang yang diberi keistimewaan oleh Allah dengan berbagai macam petunjuk, pemeliharaan, dan dihiasi-Nya dengan cahaya-cahaya pelayanan dan ibadah kepadaNya, selalu diperhatikan oleh-Nya dengan pandangan rahmat, dalam banyak kesempatan, dibanggakan di kalangan para malaikat-Nya, diberikan kepemimpinan di hadapan-Nya, ditempatkan pada tempat syafaat dan didudukkan oleh-Nya pada kedudukan tinggi. Sampai-sampai jika orang itu memanggil pasti Dia akan menjawab dan mengiyakannya. Jika meminta kepadaNya pasti diberi. Jika mensyafaati orang lain tentu ia diberi syafaat untuk mereka dan Dia meridainya. Jika bersumpah atas namaNya tentu dikabulkan (dipenuhi). Jika di hatinya terbersit sebuah keinginan, Dia akan memberikannya sebelum ia meminta dengan mulutnya.

 

Barangsiapa keadaannya seperti ini, kemudian tidak mengerti kedudukan derajat tinggi lalu berpindah menuruti keinginan nafsu yang rendah dan tidak punya rasa malu, atau menjilati dunia yang hina dan tiada kekal, tidak melihat kemuliaan-kemuliaan, pakaian kebesaran, hadiah-hadiah, anugerah-anugerah, pemberian, pahala besar yang dipersiapkan untuknya di akhirat, dan kenikmatan yang sempurna untuk selamanya. Betapa hinanya keadaan diri yang seperti ini, betapa buruknya hamba tersebut, alangkah mengkhawatirkan andai dia tahu dan alangkah keji yang dilakukannya jika ia memahami.

 

Kami memohon kepada Allah, Dzat yang Maha Berbuat baik dan Maha Pengasih. Semoga Dia berkenan memperbagus kami dengan anugerah-Nya yang merata dan rahmat-Nya yang luas. Sesungguhnya Dia lebih pengasih di antara para pengasih.

 

Jadi, sebaiknya Anda mengerahkan seluruh kemampuan sehingga bisa mengetahui kedudukan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada Anda.

 

Jika Dia memberikan kenikmatan agama, maka berhatihatilah. Jangan menoleh pada dunia dan hal-hal tak berguna di dalamnya. Sebab perbuatan semacam itu hanya menjadi sebuah penghinaan atas anugerah yang dikuasakan oleh Allah kepada Anda berupa kenikmatan-kenikmatan dalam agama. Tidakkah Anda mendengar firman Allah yang ditujukan kepada pemimpin para rasul sebagai berikut:

 

Artinya: “Dan benar-benar telah Aku turunkan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang (Al-Faatihah) dan Al-Qur’an Al-‘Azhim. Janganlah memanjangkan pandangan matamu pada berbagai kesenangan yang kuberikan kepada orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Hjjr: 87-88)

 

Uraian ayat ini sebagai berikut:

 

Setiap orang yang diberi Al-Qur’an Al Azhim tidak boleh memandang dunia yang hina ini dengan menganggapnya manis, bagus, apalagi mencintainya. Hendaklah ia meneruskan kesyukurannya kepada Allah atas nikmat (diberi Al-Qur’an) tersebut. Nikmat itulah kemuliaan yang sangat diinginkan oleh kekasih-Nya, Ibrahim a.s. agar dianugerahkan kepada ayah beliau tapi tidak dikerjakan (oleh Allah).

 

Hal itu juga diinginkan oleh kekasih-Nya Muhammad Saw. agar dianugerahkan kepada paman beliau (Abu Thalib) tapi hal itu tidak dikerjakan (oleh Allah).

 

Adapun harta dunia yang berguna adalah sesuatu yang Ditimpakan kepada orang-orang kafir, Fir’aun, orang yang menyeleweng, kafir zindig, orang bodoh dan orang fasik. Mereka Adalah makhluk Allah yang paling hina di hadapan-Nya, sehingga la tenggelam di dalamnya. Dunia itu menjauhkannya dari Nabi, orang terpilih Shaadiq, para alim dan abid, yaitu makhluk yang paling mulia di hadapan Alah. Sampai sampai mereka nyaris tidak pernah mendapatkan sepotong roti atau secarik kain. Allah memberi mereka anugerah dengan tidak mengotori mereka.

 

Bahkan Allah berfirman kepada Musa dan Harun a.s.: “Seandainya aku ingin menghias kalian berdua dengan perhiasan, yang jika Firaun melihatnya dia akan tahu bahwa kekuasaannya tidak mampu mendatangkan perhiasan semacam itu, tentu Aku dapat melakukannya. Tapi Aku melarangnya untuk kalian berdua dan membuat kalian membencinya. Begitulah Aku memperlakukan orang-orang yang Ku-kasihi.

 

Sungguh Aku mencegah mereka dari nikmat dunia, seperti penggembala yang penuh kasih mencegah ontanya dari tempattempat kudis berkembang biak. Aku menjauhkan mereka dari ketenangan dan kehidupan (gerak hidup) dunia, bukan karena kehinaan mereka di sisi-Ku, tapi agar mereka dapat menyempurnakan kemuliaan-Ku yang menjadi bagian mereka.”

 

Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan seandainya seluruh manusia bukanlah umat yang satu, niscaya Kami akan membuatkan rumah yang beratap perak untuk orang-orang yang kufur kepada Dzat yang Maha Pengasih.” (Q.S. Az-Zukhruf: 33)

 

Lihatlah perbedaan dua hal tersebut jika Anda memang orang yang waspada. Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi anugerah pada kami seperti anugerah yang diberikan kepada para kekasih dan orang-orang pilihan-Nya, memalingkan fitnah musuh-musuh-Nya dari kami, agar kami memperoleh bagian.” Dan hendaklah kamu mengkhususkan diri dengan syukur yang sempurna, pujian terbesar atas anugerah yang besar dan kenikmatan yang agung, yakni agama Islam, karena nikmat islam itulah yang lebih utama dan lebih pantas, dengan cara tidak henti-hentinya mensyukuri nikmat tersebut siang dan malam. Jika Anda tidak mampu mengetahui kedudukannya, maka ketahuilah dengan kenyataan yang ada, yaitu seandainya Anda diciptakan sejak permulaan dunia, lalu Anda mensyukuri nikmat Islam dari awal hidup sampai akhir hayat, tentu Anda belum bisa memenuhi syukur tersebut dan Anda belum bisa memenuhi sebagian hak Allah karena di sana terdapat keutamaan dan keagungan.

 

Ketahuilah bahwa kitab ini tidak bisa menampung penjelasan dari apa yang telah kuketahui tentang kenikmatan. Dan seandainya aku menulis sejuta halaman tentang hal itu tentu pengetahuanku masih lebih tinggi di atasnya. Sementara aku juga tahu bahwa apa yang telah kuketahui bila dibandingakan dengan hal-hal yang tidak kuketahui bagaikan sekali ludahan yang dibandingkan dengan lautan dunia dengan berbagai rahasia yang ada di dalamnya.

 

Adakah Anda tidak mendengar firman Allah kepada pemimpin para utusan, Muhammad Saw. berikut ini:

 

Artinya: “Hai Muhammad! Engkau tidak tahu apa itu kitab dan apa itu iman.” (Q.S. Asy-Syuuraa: 52)

 

Sampai dengan firman Allah:

 

Artinya: “Dan Allah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan anugerah Allah kepadamu sangat besar.” (O.S. An-Nisaa’: 113)

 

Allah berfirman pada suatu kaum:

 

Artinya: “Sebaliknya Allah memberikan anugeruh kepada kalun setelah Allah memberi petunjuk untuk beriman.” (Q S. Al-Hujuraat: 17)

 

Apakah Anda tidak mendengar sabda Rasulullah Saw. setelah beliau mendengar seorang lelaki mengucapkan “Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau telah memuji Allah atas nikmat yang besar.”

 

Ketika datang pemberi kabar gembira kepada Nabi Ya gub a.s. beliau berkata: “Apakah agama yang dipeluk (Yusuf) saat kamu meninggalkannya?” Pembawa kabar itu menjawab: “Dia memeluk agama Islam.” Nabi Ya’gub berkata: “Sekarang sempurnalah nikmat Allah (untukku).”

 

Ada yang mengatakan: “Tidak ada satu kalimat yang lebih dicintai oleh Allah dan lebih sempurna di hadapan-Nya dalam masalah syukur selain ucapan seorang hamba “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kenikmatan kepada kami, dan menunjukkan kami kepada agama Islam.”

 

Berhati-hatilah! Jangan lupa mensyukuri nikmat Islam dan tertipu dengan apa yang sedang Anda peluk saat ini seperti Islam, makrifat, taufik dan pemeliharaan. Karena dengan semua itu tidak ada tempat untuk merasa aman dan lengah, karena setiap sesuatu memiliki akibat.

 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Tak seorangpun merasa aman di atas agamanya selain agama itu akan dicabut darinya.”

 

Guruku mengatakan: “Jika Anda mendengar keadaan orang-orang kafir dan keabadian mereka di dalam neraka maka Anda tidak akan merasa tenteram memikirkan diri Anda, karena segala sesuatunya sangat mengkhawatirkan, dan Anda tidak tahu akibat apa yang akan diperoleh dan apa yang telah ditetapkan oleh Allah di alam gaib. Janganlah Anda tertipu dengan kebersihan waktu, karena dibawahnya terdapat penyakit-penyakit yang tidak terlihat.”

 

Seorang ulama berkata: “Wahai orang-orang yang tertipu dengan pemeliharaan Allah! Ingatlah bahwa di bawah meliharaan tersebut terdapat berbagai siksa. Allah menghiasi iblis dengan berbagai macam pemeliharaan, sedang di hadapanNyaia benar-benar dilaknati. Allah menghiasi Bal am bin Ba’uraa dengan cahaya-cahaya kewalian, tapi sebenarnya dia adalah musuh Allah.”

 

Diceritakan dari sahabat Ali. Beliau berkata: “Berapa banyak orang yang terpedaya dengan diberi kebaikan. Banyak orang yang terfitnah dengan ucapannya yang baik. Dan banyak orang yang tertipu dengan menutupi keburukannya.”

 

Ditanyakan kepada Dzun-Nuun Al-Mislri: “Cobaan apa yang digunakan untuk memperdaya seorang hamba?” Beliau menjawab: “ Dengan belas kasih dan kemuliaan.”

 

Itulah sebabnya Allah berfirman:

 

Artinya: “Aku akan memperdayakan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Ku dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. Al-A’raaf: 182)

 

Seorang ‘Arif berkata: “Kami melimpahkan nikmat atas mereka dan kami membuat mereka lalai dari bersyukur.”

 

Seorang penyair berkata:

 

Engkau berprasangka baik pada hari-harimu karena ia berbuat baik,

tapi kamu tidak mengkhawatirkan keburukan takdir yang akan datang kepadanya.

Kamu diselamatkan oleh malam-malam dan kamu tertipu dengannya.

Dan saat malam-malammu jernih akan muncul kekeruhan.

 

Ketahuilah bahwa saat engkau lebih dekat dengan Allah, maka urusanmu lebih mengkhawatirkan dan lebih sulit. Berhubungan dengan-Nya lebih berat dan lembut. Kekhawatiranmu bertambah besar karena setiap perkara yang lebih tinggi bila terbalik maka lebih sulit kejadiannya.

 

Burung tidak akan terbang dan meninggi kecuali sama seperti ia terbang dan terjatuh.” Jadi, tidak ada jalan untuk merasa aman, melupakan syukur, dan meninggalkan sikap rendah diri dalam hal memelihara, apapun keadaannya.

 

Ibrahim bin Adham mengatakan: “Mungkinkah Anda merasa aman, sementara Nabi Ibrahim Al-khalil mengatakan (dalam firman Allah):

 

Artinya: “Dan jauhkanlah diri dan anakku dari menyembah berhala.” (Q.S. Ibrahim: 35)

 

Yusuf Ash-Shaadiq mengatakan: “Ya Allah! Semoga Engkau mengambil nyawaku dalam keadaan Islam.”

 

Sufyan Ats-Tsauri tiada hentinya berdoa sebagai berikut: “Ya Allah! Selamatkanlah aku. Selamatkanlah aku.” Seolah beliau berada di atas perahu dan takut tenggelam.

 

Sampai pula kepada kami cerita tentang Muhammad bin Yusuf rahimahullah. Beliau berkata: “Suatu malam aku merenungkan Sufyan Ats-Tsauri. Beliau menangis sepanjang malam. Aku pun bertanya kepada beliau: ‘ Apakah tangis Anda ini karena dosa? Muhammad mengatakan bahwa beliau kemudian mengambil batu bata dan berkata: ‘Bagi Allah, dosadosa itu lebih ringan dari (batu bata) ini. Tapi yang kutakutkan adalah kalau sampai Allah mencabut Islam dariku.”

 

Aku juga pernah mendengar seorang seorang “Arif mengatakan: “Salah seorang Nabi bertanya tentang Bal am bin Ba uraa dan pengusirannya setelah ia memperoleh berbgagai tanda dan kemuliaan (keramat). Maka Allah berfirman: “Suatu hari ia tidak mau bersyukur kepada-Ku atas nikmat yang Kuberikan kepadanya. Seandainya ia mensyukuri nikmat tersebut sekali saja tentu Aku tidak mencabut nikmat tersebut.”

 

Oleh karenanya, sadarlah! Peliharalah tang-tiang syukur dengan sungguh-sungguh. Memujilah kepada Allah atas nikmatrikmat-Nya di bidang agama. Nikmat yang paling tinggi adalah Islam dan makrifat, dan yang terendah adalah kenikmatan yang serupa dengan taufik (pertolongan), tasbih, atau terpelihara dari ucapan yang tak berguna. Siapa tahu Allah menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya kepada Anda dan tidak menguji Anda dengan pahitnya kehilangan nikmat. Sebab sesuatu yang paling pahit dan berat adalah terhina sesudah dimuliakan, terusir setelah didekatkan dan berpisah setelah bertemu.

 

Hanya Allah yang Maha Agung, penuh belas kasih dan Maha Penyayang.

 

Kesimpulannya, jika Anda mau merenungkan dengan baik Anugerah-anugerah besar yang diberikan oleh Allah kepada Anda, pertolongan yang mulia dan tidak bisa dihitung oleh hati, tidak terjangkau angan-angan, sampai akhirnya berhasil melewati tahapan-tahapan berat, berhasil menemukan pengetahuan dan terbukanya mata hati. Anda juga terbebas dari dosa-dosa kecil Yan dosa-dosa besar, bisa mengatasi rintangan dan godaan yang datang kemudian, menemukan pendorong-pendorang untuk melakukan ibadah dan selamat dari hal-hal yang menjadikan cacat.

 

Berapa banyak pekerti mulia yang berhasil Anda perbuat. Berapa banyak derajat tinggi dan megah yang berhasil Anda peroleh. Pertama kali yang Anda dapatkan adalah kewaspadaan dan makrifat kepada Allah. Sedangkan puncaknya adalah kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.

 

Kemudian Anda merenungkannya sesuai kapasitas akal dan taufik yang Anda miliki. Anda juga bersyukur kepada Allah semampunya dengan cara menyibukkan lisan Anda untuk memuji dan menyanjung-Nya. Anda juga memenuhi hati dengan keagungan dan kemegahan-Nya yang mengantarkan Anda sampai ke tempat yang menjadi penghalang antara Anda dan kedurhakaan kepada-Nya. Hal itu juga mendorong Anda untuk melayani-Nya semampu Anda atau dengan seluruh kemampuan yang Anda miliki seraya mengakui keterbatasan Anda dalam memenuhi hak kenikmatan dan kebaikan (yang diberikan)-Nya.

 

Jika suatu saat Anda lupa mensyukurinya, merasa kendor (saat beribadah) ataupun melakukan kesalahan, sebaiknya Anda segera kembali mengulang, bersungguh-sungguh dan merendahkan diri kepada-Nya. Sebaiknya Anda juga bertawassul dan berdoa:

 

Artinya: “Ya Allah, ya Tuhanku. Seperti halnya Engkau mengawali kebaikan kepadaku dengan anugerah-Mu tanpa menuntut hak, maka sempurnakanlah kebaikan itu dengan anugerah-Mu juga tanpa menuntut hak.”

 

Kemudian Anda memanggil-Nya seperti panggilan yang diucapkan oleh para kekasih-Nya, yakni orang-orang yang telah menemukan mahkota hidayah dan merasakan manisnya makrifat sehingga mereka merasa takut bila harus terusir dan terhina. Merasakan duka cita berjauhan (dengan kekasihnya), tersesat, merasakan pahitnya putus hubungan dan kehilangan. Kemudian mereka merendahkan diri di hadapan-Nya, memohon pertolongan, menjulurkan tangan seraya merendah dan memanggilmanggil dalam kesepian untuk meminta pertolongan:

 

Artinya: “Ya Tuhan kami! Janganlah Engkau condongkan hati kami (dari kebenaran) setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami. Dan berikanlah rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Memberi.” (Q.S. Ali Imran: 8)

 

Uraian dari ayat ini adalah: Sesungguhnya kami telah menemukan kenikmatan dari-Mu dan mengharap nikmat lain (yang akan Engkau berikan) karena hanya Engkau yang Maha Pemurah lagi Maha Memberi. Maka seperti pada awalnya Engkau memberikan kelebihan nikmat kepadaku, berikanlah rahmat kesempurnaan pada akhirnya.

 

Tidakkah Anda mendengar bahwa doa yang pertama kali diajarkan oleh Penguasa alam semesta kepada -hamba-Nya yang muslim, yakni orang-orang yang dipilih di antara makhlukNya adalah doa (firman Allah) sebagai berikut:

 

Artinya: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (Q.S. Al Faatihah: 6)

 

Atau yang dimaksudkan adalah: Tetapkanlah kami pada jalan itu dan kekalkanlah jalan itu untuk kami.

 

Demikiankah hendaknya seorang hamba merendahkan diri di hadapan Allah, karena kekhawatiran yang ada sangatlah besar.

 

Ada yang mengatakan bahwa para hukama merenungkan musibah yang menimpa orang alim serta ujian untuknya, dan mereka mengembalikan semua itu pada lima hal: (Tertimpa) suatu penyakit di perantauan, miskin di usia tua, kematian di usia muda, kebutaan sesudah dapat melihat, dan ketidakjelasan setelah mengetahui (dengan pasti).

 

Lebih bagus lagi gubahan seorang penyair di bawah ini:

 

Segala sesuatu jika kau tinggalkan akan datang penggantinya.

Tapi jika yang kau tinggalkan adalah Allah, maka tidak ada yang bisa menggantikan-Nya.

 

Penyair lain mengatakan:

 

Jika dunia masih menetapkan seseorang pada agamanya,

maka apapun yang hilang dari dunia itu tidak akan membuatnya melarat.

 

Begitu juga dengan setiap kenikmatan yang diberikan-Nya kepada Anda dan bantuan yang diberikan untuk bisa melewati tahapan-tahapan ini. Memohonlah agar Dia menetapkan apa yang telah diberikan. Dan memohonlah agar Dia memberi tambahan lebih dari apa yang Anda inginkan serta Anda harapkan.

 

Bila telah melakukan semua itu berarti Anda telah meninggalkan (melewati) tahapan yang sangat mengkhawatirkan ini. Anda mendapatkan dua harta simpanan yang mulia, yakni istiqamah dan istizadah (tambahan). Nikmat yang telah ada dan diberikan kepada Anda menjadi kekal. Anda tidak akan takut kehilangan nikmat tersebut dan Dia akan memberikan tambahan berupa kenikmatan yang dahulu hilang, yakni kenikmatan yang tidak diberikan karena Anda tidak memintanya dengan baik. Jadi Anda tidak takut kehilangan tambahan tersebut.

 

Pada saat itulah Anda telah menjadi bagian dari golongan orang-orang yang makrifat (‘arif), orang-orang yang amat berpengetahuan di bidang agama. Menjadi golongan orang-orang yang bertobat, suci, zuhud di dunia, tekun melayani Allah, bisa mengalahkan setan, bertakwa dengan semestinya menggunakan hati dan anggota badan, pendek angan-angan (lawan kata thuulul amal), memberi nasehat, khusyuk, tawadhuk, bertawakal, berserah diri, rela, sabar, takut (dari siksaan), berharap (mendapatkan rahmat), mukhlish, mengingat anugerah dari Allah, dan mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan mereka, yakni Penguasa alam semesta.

 

Setelah mendapatkan semua itu berarti Anda akan menjadi orang yang istiqamah, mulia, dan benar-benar beriman.

 

Renungkanlah apa yang kubicarakan ini. Semoga Anda mendapat petunjuk.

 

Jika Anda berkata: “Bila seperti itu keadaannya, berarti sedikit sekali orang yang menyembah Allah dan bisa wushul (sampai) kepada tujuan. Dan siapa yang kuat menanggung biaya (ibadah) ni dan memenuhi syarat-syarat serta kesunatannya?”

 

Ketahuilah bahwa Allah juga menyatakar seperti itu. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)

 

Dia juga berfirman:

 

Artinya: “Akan tetapi sebagian banyak manusia tidak bersyukur.”

Di lain tempat Dia berfirman:

 

Mereka tidak mau berpikir.

Dan di lain tempat lagi Dia berfirman:

 

Mereka tidak mengetahui.

 

Dan sesungguhnya hal itu menjadi mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah untuk melakukannya.

 

Kewajiban seorang hamba hanyalah berusaha dengan sun -sungguh, dan Allah-lah yang memberikan petunjuk (hidayah). Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari (keridaan)-Ku, niscaya akan Kutunjukkan pada mereka jalan-jalan menuju keridaan)-Kami.” (Q.S. Al-Ankabuut: 69)

 

Jika seorang hamba yang lemah telah memenuhi kewajiban nya, maka menurutmu apa yang akan dilakukan oleh Allah yang Maha Kuasa, Maha Kaya, Maha Mulia, dan Maha Pengasih?

 

Jika Anda berkata: “Umur yang ada teramat pendek, sementara tahapan ini panjang dan sulit. Lalu bagaimana caranya agar umur (yang pendek) itu cukup untuk menyempurnakan syarat-syarat dan melewati beberapa tahapan (yang panjang) seperti ini?”

 

Sumpah demi umurku. Sesungguhnya tahapan ini memang anjang dan syarat-syarat memang berat. Tapi jika Allah memang ingin mengambil hamba-Nya, tentu Dia akan memendekkan (tahapan) yang panjang untuknya serta meringankan syarat-syarat ang berat untuknya. Sehingga setelah berhasil melewatinya hamba tersebut akan mengatakan: “Heran. Betapa dekatnyajalan ini, dan betapa pendeknya. Betapa ringan urusan ini dan betapa mudahnya.”

 

Begitu juga denganku. Setelah sampai pada puncak semacam ini aku berkata:

 

Tanda-tanda jalan menuju kebaikan telah nampak jelas bagi orang yang menginginkannya

dan kulihat hati manusia telah menjadi buta dari jalan ini.

Aku sungguh heran pada orang yang binasa, sementara keselamatan telah nampak.

dan sungguh aku merasa kagum dengan orang yang selamat.

 

Sampai-sampai di antara mereka ada yang berhasil melewati tahapan-tahapan ini setelah menempuhnya selama 70 tahun. Ada yang berhasil setelah menempuhnya 20 tahun. Ada yang 10 tahun. Ada yang setahun. Ada yang sebulan. Bahkan ada yang berhasil dalam waktu satu minggu, satu hari atau bahkan sekejap mata dengan petunjuk khusus dan pertolongan yang telah ditetapkan Oleh Allah.

 

Tidakkah Anda ingat kisah Ashhaabul-Kahfi yang mendapatnnya dalam sekejap mata saat melihat perubahan pada wajah Diqyanus raja mereka? Lalu mereka berkata:

 

Artinya: “Tuhan kami adalah penguasa langit dan bumi. Kami tidak akan pernah mengakui Tuhan selain Dia.” (Q.S. Al-Kahfi: 14)

 

Mereka berhasil mendapatkan kemakrifatan dan melihat kebenaran-kebenaran yang ada di jalan ini dan melintasinya kemudian jadilah mereka orang-orang yang berserah diri, bertawakal dan istiqamah ketika mereka berkata:

 

Artinya: “Pergilah mengungsi ke dalam goa, niscaya Tuhan kalian akan menebarkan rahmat-Nya kepada kamu semua.” (O.S. AlKahfi: 16)

 

Kesemuanya itu berhasil mereka dapatkan dalam waktu satu jam atau malah sekejap.

 

Ingatkah Anda pada para penyihir Firaun. Waktu mereka untuk mendapatkan hal itu tak lain hanyalah sekejap, yaitu saat mereka melihat mukjizat Nabi Musa a.s. Mereka berkata:

 

Artinya: “ Kami beriman kepada Tuhan alam semesta, Tuhan Musa dan Harun.” (Q.S. Asy-Syu’araa: 47-48)

 

Mereka melihat jalan (menuju Allah) dan menempuhnya sesaat demi sesaat. Jadilah mereka orang-orang yang rela dengan keputusan Allah, bersabar menghadapi cobaan-Nya, bersyukur atas karunia-Nya, dan sangat rindu untuk bertemu dengan-Nya. Mereka berteriak:

 

Artinya: “Tidak apa-apa. Sesungguhnya kami semua akan kembali kepada Tuhan kami.” (Q.S. Asy-Syu’araa: 50)

 

Telah kami ceritakan bahwa Ibrahim bin Adham adalah orang yang memiliki harta melimpah. Kemudian ia berpindah menuju jalan ini. Belum lama berjalan dari Ablakh menuju Marwirudz, beliau melihat seseorang yang terjatuh dari jembatan ke dalam air yang deras. Beliau berteriak “Berhenti!”. Seketika orang tersebut berhenti di tengah udara, dan selamatlah ia.

 

Rabi ah Al-Bashriyyah adalah seorang budak perempuan yang sudah tua. Ia ditawarkan keliling pasar negeri Bashra. Tak seorangpun suka karena umurnya yang sudah tua. Seorang pedangang merasa kasihan dan membelinya seharga sekitar seratus dirham dan memerdekakannya. Dia kemudian memilih jalan ini dan menghadapkan diri untuk beribadah. Belum genap satu tahun, orang-orang zuhud negeri Bashra telah datang. Begitu juga para gurraa’ dan ulama negeri itu. Mereka datang karena ketinggian derajatnya.

 

Adapun orang-orang yang ditakdirkan tidak mendapat pertolongan dan tidak diberi perhatian dengan anugerah dan petunjuk, maka hal itu dibebankan pada dirinya sendiri. Kadang la masih berada di sebuah jalan sulit dari salah satu tahapan selama 70 tahun dan tidak bisa melewatinya. Berulang kali ia berteriak dan menjerit: “Betapa gelapnyajalan ini. Betapa berat dan sulitnya Urusan ini. Dan betapa berbahayanya.”

 

Hal ini disebabkan karena segala urusan kembali pada satu pokok, yakni takdir yang Maha Menang, Maha Mengetahui, Maha Adil dan Maha Bijaksana.

 

Jika Anda bertanya: “Kenapa orang ini diberi keistimewaan dengan taufik dan yang ini dihalang-halangi. Sementara keduanya Sama-sama berpegang pada tali-tali ibadah?”

 

Untuk menjawab pertanyaan semacam ini ada seruan dari tuang kemegahan yang Maha Agung: “Sebaiknya kamu tetap Sopan. Pahamilah rahasia ketuhanan dan hakekat penghambaan. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan ditanya (oleh allah).

 

Jalan (menuju ibadah) yang ada di dunia ini seperti jalan lurus (shiraathalMustagiim) di akhirat, baik tahapan, jarak, ataupun perintangnya. Keadaan orang-orang yang melintasinya juga berbeda. Ada yang berjalan di atasnya seperti kilat yang menyambar. Ada yang berjalan seperti angin bertiup. Ada yang seperti kuda sembrani. yang lain seperti burung. Ada lagi yang berjalan kaki. Ada yang merangkak sampai hitam seperti arang. Ada yang mendengar teriakan Jahannam. Dan ada yang diambil dengan sebuah pengait lalu dimasukkan ke dalam Jahannam.

 

Begitulah keadaan jalan (ibadah) ini beserta para penempuhnya. Jadi, keduanya adalah dua macam jalan, dunia dan akhirat.

 

Jalan akhirat diperuntukkan bagi jiwa orang-orang yang waspada dan bisa melihat hal-hal menakutkan di dalamnya. Jalan dunia diperuntukkan bagi hati. Dan yang bisa melihat ketakutannya hanya orang-orang yang memiliki mata hati serta kecerdasan berpikir. Perbedaan keadaan orang yang berjalan di jalan akhirat itu karena perbedaan mereka saat (berjalan) di dunia.

 

Renungkanlah semua itu dengan benar.

 

Ketahuilah kebenaran yang ada dalam bab ini.

 

Sebenarnya jalan ini panjang dan pendeknya tidak sama dengan perjalanan yang ada, seperti yang sering dilakukan oleh orang-orang dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, dan cara menyelesaikannya diukur dengan kekuatan dan kelemahan tubuh. Akan tetapi jalan ini adalah jalan rohani yang dilewati oleh hati dan ditempuh dengan akal pikiran, sesuai dengan keyakinan dan penglihatan mata hati. Jalan itu berasal dari cahaya langit dan pandangan ketuhanan yang jatuh ke dalam hati seorang hamba, Setelah itu ia merenung sejenak dan dengan perenungan tersebut ia bisa melihat urusan dunia dan akhirat dengan benar. Cahaya semacam ini terkadang dicari oleh seorang hamba selama seratus tahun tapi ia tidak bisa menemukannya, dan pengaruhnya juga tidak nampak. Hal ini terjadi karena ia salah dalam mencari, minimnya kesungguhan dan karena ketidaktahuannya padajalan (yang dicariya) ini.

 

Hamba yang lain bisa menemukannya dalam waktu 50 tahun. ada lagi yang menemukannya dalam waktu 10 tahun. Dan ada lagi yang menemukannya dalam waktu satu jam atau sekejap dengan mendapat pertolongan dari Tuhan yang Maha Mulia.

 

Hanya Allah yang menguasai petunjuk.

 

Di samping itu seorang hamba diperintahkan untuk bersungguh-sungguh. Karenanya, seorang hamba harus melakukan apa yang diperintahkan. Segala urusan telah dibagi dan ditentukan, sedangkan Tuhan adalah Dzat yang teramat bijaksana dan sangat Adil. Dia melakukan apa saja yang menjadi kehendak-Nya dan mengatur dengan apa yang diinginkan-Nya.

 

Jika Anda mengatakan: “Alangkah besarnya kekhawatiran ini. Alangkah sulitnya urusan ini. Dan alangkah banyaknya hal yang dibutuhkan oleh hamba yang lemah ini. Lalu semua perbuatan, kesungguhan dan usaha agar mendapatkan semua ini apa gunanya?”

 

Sumpah demi umurku. Ucapan Anda memang benar bahwa Urusan ini sangat berat kekhawatirannya amat besar. Karena itu Pula Allah berfirman:

 

Artinya: “Aku menciptakan manusia selalu dalam kesulitan.” (Q.S. Al-Balad: 4)

 

Allah juga berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tapi mereka menolak (enggan) menerima amanat tersebut. mereka takut terhadap amanat itu. Akan tetapi manusia mau menanggung amanat tersebut. Sungguh ia sangat zalim dan juga bodoh.” (Q.S. Al-Ahzaab: 72)

 

Karena hal itu juga Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Seandainya kalian semua tahu apa yang kuketahui tentu kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”

 

Diceritakan pula bahwa ada seruan dari arah langit yang berbunyi: “Kalau saja semua makhluk tidak diciptakan. Kalau saja saat dictptakan mereka mengetahui untuk apa semuanya diciptakan. Dan kalau saja saat mereka sudah tahu mau beramal dengan apa yang mereka ketahui.”

 

Para ulama salaf mengatakan: “Diceritakan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. beliau berkata “ Aku lebih suka menjadi dedaunan berwarna hijau sehingga hewan-hewan memakanku, sebab aku takut siksaan Allah.

 

Diceritakan dari Umar bin Al-Khaththab r.a. bahwa beliau pernah mendengar seseorang membaca ayat:

 

Artinya: “Adakah datang kepada manusia suatu saat dari masa yang tidak disebut-sebut sedikitpun ?” (Q.S. Al-Insaan: 1)

 

Umar berkata: “Semoga saja masa itu telah selesai.”

 

Ubaidah bin Al-Jarrah r.a. berkata: “ Aku lebih senang menjadi domba bagi keluargaku. Mereka memotong-motong dagingku dan mereguk kuahku dan aku tidak akan diciptakan kembali.”

 

Diceritakan dari Wahb bin Munabbih. Beliau berkata: ” Anak Adam diciptakan dalam keadaan dungu. Jika tidak karena kedunguannya tentu ia tidak merasakan enaknya kehidupan.”

 

Diriwayatkan dari Fudhail bin Iyadh r.a. Beliau berkata:” Aku ‘ tidak bercita-cita dan merasa iri kepada malaikat yang dekat dengan Allah, kepada seorang nabi yang diutus, dan tidak pula kepada seorang hamba yang saleh. Bukankah mereka juga akan dicela kelak di hari kiamat? Akan tetapi aku bercita-cita dan merasa iri kepada orang yang tidak diciptakan.”

 

Diriwayatkan dari Atha’ As-Sulami. Beliau berkata: “Seandainya ada api yang dinyalakan dan dikatakan bahwa siapa saja yang menjatuhkan diri ke dalamnya ia tidak akan menjadi apa-apa, maka aku merasa khawatir kalau sampai mati sebelum mencapai api tersebut karena kegembiraanku.”

 

Jadi, urusan tersebut memang teramat berat seperti yang Anda katakan tadi. Bahkan hal itu lebih berat dan lebih dahsyat dari apa yang Anda perkirakan. Akan tetapi hal itu sudah menjadi ketetapan dalam “ilmu” yang telah terdahulu, aturan yang telah diberlakukan oleh Dzat yang Maha Mulia dan Maha Tahu. Tak ada jalan lain untuk seorang hamba selain mengerahkan seluruh kemampuan dalam beribadah serta berpegang teguh pada tali Allah dan selamanya merendahkan diri kepada-Nya. Semoga Allah mengasihani dan menyelamatkan hamba tersebut dengan anugerah-Nya.

 

Sedangkan ucapan Anda yang berbunyi “Untuk apa semua ini” adalah ucapan yang menunjukkan bahwa Anda seorang yang Sangat pelupa. Yang benar adalah Anda mengatakan “ Kalau dilihat dari sesuatu yang dicari oleh seorang hamba yang lemah, maka apa arti semua itu?”

 

Tahukah Anda apa yang dicari oleh seorang hamba yang ?

 

Ringkasnya, paling tidak yang dicarinya adalah dua hal, yaitu keselamatan dunia akhirat serta kerajaan di dunia dan akhirat.

 

Hamba yang lemah tersebut mencari keselamatan di dunia, karena dunia itu ada bersama malapetaka dan fitnah-fitnahnya yang tidak mampu dihindari sekalipun oleh malaikat yang didekatkan kepada Allah.

 

Aku pernah mendengar cerita mulai dari Harut dan Marut. Sampai-sampai diceritakan bahwa ketika ruh (nyawa) seorang hamba dinaikkan ke langit. Malaikat penghuni langit berteriak karena merasa kagum.

 

Bagaimana orang ini bisa selamat dari tempat yang di dalamnya malaikat-malaikat pilihan kita mengalami kerusakan?

 

Dan sesungguhnya karena gawat dan sulitnya akhirat itu, para nabi dan rasul berteriak: “Diriku oh diriku. Aku tidak memohon kepada-Mu selain keselamatan diriku.”

 

Sampai pernah diceritakan: “Seandainya ada seorang lelaki yang memiliki amal seperti yang dimiliki oleh 70 orang nabi, pasti dia mengira bahwa dirinya tidak akan selamat.”

 

Barangsiapa ingin selamat dari fitnah dunia ini, hendaklah ia . keluar darinya dalam keadaan Islam dengan selamat dan tidak tertimpa bencana. Jika ingin selamat dari gawatnya kehidupan dunia, hendaklah ia masuk ke dalam surga dengan selamat dan tidak tertimpa marabahaya. Apakah hal itu sesuatu yang mudah?

 

Seorang hamba yang lemah menginginkan kerajaan dan kemuliaan. Yang dimaksud kerajaan di sini adalah kelangsungan kekuasaan dan kehendak. Dan pada hakekatnya hal itu dimiliki oleh para kekasih (wali) Allah dan orang-orang pilihan-Nya, yakni orang-orang yang rela dengan keputusan-Nya. Bagi mereka daratan, lautan dan bumi ini hanya setapak kaki. Batu dan tanah keras bisa menjadi emas dan perak. Jin, manusia, hewan-hewan tenak dan burung-burung tunduk kepada mereka. Mereka tidak menghendaki sesuatu kecuali hal itu terwujud untuk mereka, sebab yang mereka kehendaki sesuai dengan kehendak Allah yang pasti terwujud. Mereka tidak merasa takut kepada satu makhlukpun. sebaliknya makhluk-makhluk itu takut kepada mereka. Mereka tidak melayani satu makhlukpun, bahkan selain Allah,.semua melayani mereka. Lalu manakah raja di dunia ini yang memiliki sepersepuluh derajat dari semua ini? Bahkan milik, mereka lebih sedikit dan hina dari itu.

 

Mengenai kerajaan akhirat Allah berfirman:

 

Artinya: Apabila kamu melihat di sana (surga) tentu kamu melihat nikmat yang tidak terbatas dan kerajaan yang besar.(Q.S. Al-Insaan: 20)

 

Allah mengagungkan apa yang difirmankan-Nya, yaitu bahwa kerajaan di surga itu besar. Sementara itu Anda juga tahu bahwa dunia dan segala yang tersimpan di dalamnya adalah sedikit. Seandainya yang ada di dunia ini abadi dan sejak awal sampai akhir dikumpulkan maka tetap saja sedikit. Dari yang sedikit ini kita hanya mendapat bagian sedikit.

 

Terkadang salah seorang dari kita menyerahkan harta dan nyawa sehingga ia mendapatkan hasil sedikit dari barang-barang yang jumlahnya hanya sedikit dan dalam waktu yang tidak lama. Meski ia berhasil mendapatkannya ia masih saja mencari-cari alasan, merasa iri dan menganggap banyak apa yang diserahkannya berupa harta dan dirinya. Hal ini sesuai dengan ucapan Imruul Qais. Beliau bersyair:

 

Sahabatku menangis saat ia melihat jalan yang menuju ke arahnya.

Ia yakin bahwa kami bedua akan bertemu kaisar.

Aku pun berkata: Jangan sampai matamu menangis.

Kita berdua mencari sebuah kerajaan atau mati dan dimaafkan.

 

Kemudian bagaimana keadaan orang yang mencari kerajaan besar yang berada di dalam tempat kenikmatan, abadi dan selalu ada di sana (bermukim). Dengan melihat semua itu apakah pantas kalau ia menganggap banyak salat yang hanya dikerjakannya sebanyak dua rakaat, menganggap banyak sedekah yang hanya dua dirham atau tidak tidur selama dua hari. Jangan begitu. Bahkan seandainya Anda memiliki sejuta tubuh, sejuta nyawa dan sejuta umur. Setiap umur sama dengan umur dunia atau lebih lama lagi. Kemudian Anda menggunakan semua umur yang dimilikinya untuk mencari kenikmatan besar ini, tentu saja hal itu masih dianggap kecil. :

 

Dan sungguh jika hamba tersebut bisa menemukan nikmat besar tadi setelah menjalani (menyerahkan semuanya) maka hal itu merupakan keuntungan besar dan sebuah anugerah dari Dzat yang telah banyak memberi kepadanya.

 

Karena itu, wahai orang yang perlu dikasihani, sadarlah dari tidur orang-orang yang lalai.

 

Kemudian aku merenungkan apa yang akan diberikan oleh Allah kepada seorang hamba jika ia mentaati, selalu melayaniNya dan menempuh jalan ini selama hidupnya. Lalu aku menemukan 40 kemuliaan dan karunia khusus. 20 di antaranya ada di dunia dan yang 20 lagi ada di akhirat.

 

Kemuliaan yang ada di dunia yaitu:

 

  1. Sebutan dan sanjungan Allah yang diberikan kepadanya. Sungguh mulia seorang hamba yang dianugerahi Allah dengan sebutan dan sanjungan-Nya.
  2. Disyukuri dan diagungkan oleh Dzat yang Maha Agung.

Seandainya ada seorang makhluk lemah bersyukur kepada Anda dan mengangungkan Anda, pastilah Anda menjadi mulia karenanya. Lalu bagaimana jika yang melakukannya adalah Penguasa orang-orang terdahulu dan orang-orang yang datang kemudian?

3, Kecintaan Allah.

Jika Anda dicintai oleh seorang lurah atau bupati, tentu Anda merasa bangga dengan hal itu dan memanfaatkan kecintaan tersebut pada tempat-tempat yang mulia. Lalu bagaimana dengan kecintaan penguasa alam semesta?

  1. Allah menjadi wakil dalam mengatur segala urusannya.
  2. Allah menjadi penanggung rezekinya. Dia menghadapkan hamba tersebut kepada rezkinya dari satu keadaan ke keadaan lain tanpa kesulitan dan merasa bosan.
  3. Allah menjadi penolong untuk mengalahkan semua musuh dan menolak setiap orang yang berkeinginan buruk kepadanya.
  4. Baginya Allah menjadi penghibur yang tiada pernah mengeluh dan takut perubahan serta penggantian.
  5. Kemuliaan diri.

Ia tidak akan bertemu dengan kerendahan melayani dunia dan penduduknya. Bahkan ia tidak akan rela jika sampai dilayani oleh raja-raja dunia dan para pembesarnya.

  1. Cita-cita luhur.

Ia mengangkat dirinya agar tidak berlumur kotoran dunia dan penduduknya. Ia tidak menoleh gemerlap dan permainannya seperti seorang anak laki-laki yang cerdas akan meninggalkan tempat bermain anak kecil dan anak-anak perempuan.

10 Kaya hati.

Ia lebih kaya dari orang-orang kaya di dunia. Jiwanya tenteram dan dadanya lapang. Tidak terkejut dengan sesuatu yang terjadi dan tidak susah karena ketiadaan.

11 Cahaya hati. Dengan cahaya hatinya ia mendapatkan petunjuk untuk mencari ilmu, rahasia-rahasia dan ilmu hikmah, sesuatu yang orang lain tidak mendapatkan petunjuk tersebut kecuali dengan kesungguhan orang yang amat bersungguh-sungguh dan berumur panjang.

12 Lapang dada.

Dadanya tidak akan menyempit hanya karena suatu cobaan, musibah, beban masyarakat dan penipuan mereka.

13 Mendapat kewibawaan dan tempat di hati masyarakat.

Orang-orang baik dan buruk semua memuliakannya, disegani orang-orang yang berperilaku seperti Firaun dan orang-orang yang angkuh.

14.Kecintaan masyarakat.

Allah menciptakan rasa cinta untuknya sehingga hati masyarakat terlihat mencintainya dan mereka dibuat menghormat serta memuliakannya.

  1. Keberkahan di seluruh segi kehidupannya seperti ucapan, nafas, pekerjaan, pakaian dan tempat tinggal. sampai-sampai tanah tempatnya berpijak pun diberkahi. Begitu juga dengan tempat duduk, teman bicara dan orang yang melihatnya saat masih hidup.
  2. Ketundukan bumi.

Dari darat sampai ke laut. Sampai-sampai jika ia menghendaki, ia bisa berjalan di udara atau di atas air dan mengelilingi bumi kurang dari satu jam.

  1. Ketundukan binatang buas, binatang liar dan binatang melata.

Binatang liar akan mencintainya dan singa-singa bersenda gurau dengannya.

  1. Menguasai kunci-kunci penyimpanan bumi.

Jika mau ia bisa sekali memukul dengan tang keluar harta benda. Sekali menghentakkan kaki akan keluar mata air jika ja membutuhkannya. Dan di manapun singgah akan datang hidangan, itu kalau ia menginginkannya.

  1. Menjadi tokoh panutan dan memiliki tempat yang tinggi di hadapan Tuhan yang Maha Agung sehingga banyak orang yang berharap dan menjadikannya sebagai perantara untuk sampai kepada Allah dengan melayani-Nya serta memohon kebutuhan-kebutuhan kepada Allah dengan perantara kedudukan dan berkahnya.
  2. Terkabulnya doa. Ia tidak meminta apapun kepada Allah kecuali Dia akan mengabulkannya. Ia tidak memberi syafaat untuk seseorang kecuali diberi-Nya syafaat tersebut. Jika ia bersumpah atas nama Allah, pasti Dia akan menuruti keinginannya. Sampai-sampai ada salah seorang di antara mereka yang jika menunjuk sebuah gunung, maka gunung itu hancur sehingga ia tidak perlu berdoa menggunakan lisannya. Jika terbersit suatu keinginan dalam hatinya pasti hal itu akan muncul tanpa harus menunjuknya dengan tangan.

Kesemuanya itu adalah kemuliaan di dunia.

Adapun kemuliaan-kemuliaan yang ada di akhirat adalah:

  1. Kemudahan yang diawali dari sakaratul maut, yakni sebuah kejadian yang menakutkan hati para nabi sehingga mereka memohon kepada Allah agar hal itu dimudahkan bagi mereka sehingga di antara mereka ada yang merasakan kematian seperti seteguk air pelepas dahaga.

Allah berfirman:

Artinya: (Orang-orang yang berakwa yaitu) orang-orang yang diambil nyawanya oleh para maliakat dengan senang dan nyaman.(Q.S. An-Nahl: 32)

  1. Ketetapan makrifat dan keimanan. Ketetapan yang menakutkan, penuh tangis dan keluh-kesah. Allah berfirman:

Artinya: Allah menetapkan keimanan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tetap dalam kehidupan dunia dan akhirat.(Q.S. Ibrahim: 27)

  1. Kiriman rasa enak dan menyenangkan, kabar gembira, kerelaan dan rasa aman

Allah berfirman:

Artinya: Janganlah kalian merasa takut dan sedih. Dan berilah kabar gembira dengan surga yang telah dijanjikan bagi kalian semua.(Q.S. Fushshilat: 30)

Ia tidak merasa takut dari apa yang akan dihadapkan kepadanya di surga dan apa yang ia tinggalkan di dunia.

  1. Abadi di dalam surga dan berdekatan dengan Tuhan yang Maha Pengasih.
  2. Perhiasan ruhnya di alam gaib. Lalu ruh tersebut terbang di atas para malaikat langit dengan kemuliaan, kelembutan dan kenikmatan. Ia juga mendapat hiasan tubuh dengan mengagungkan jenazahnya, orang yang berdesakan untuk menyalatinya serta dengan segera mengurusnya. Dengan semua itu orang-orang berharap mendapatkan pahala yang banyak serta menganggap apa yang mereka lakukan sebagai keuntungan besar.
  3. Bebas dari fitnah pertanyaan kubur dan diajari jawaban yang benar sehingga ia bebas dari bahaya tersebut.
  4. Diperluas kuburnya dan diterangi. Ia bagaikan berada di salah satu taman surga sampai hari kiamat.
  5. Terhibur dan dimuliakan ruhnya, kemudian ditempatkan di dalam tembolok burung hijau bersama saudara-saudaranya yang saleh dengan penuh kegembiraan karena diberi kabar tentang karunia yang akan dianugerahkan kepadanya.
  6. Dikumpulkan dalam keadaan mulia dengan perhiasan, mahkota dan menaiki Bouraq.
  7. Wajah putih dan bercahaya. Allah berfirman:

Artinya: Pada hari itu wajah-wajah mereka cemerlang dan memandang Tuhannya.(Q.S. Al-Qiyaamah: 22-23) Dan firman-Nya pula:

Artinya: Pada hari itu wajah-wajah mereka ada yang terang, tertawa dan bergebira.(Q.S.’Abasa: 38-39)

  1. Terbebas dari kedahsyatan hari kiamat. Allah berfirman:

Artinya: Apakah orang yang datang dengan aman pada hari kiamat sama dengan orang yang tidak merasa aman?(Q.S. Fushshilat: 40)

  1. Menerima buku catatan amal dengan tangan kanan. Dan di antara mereka ada yang dirasa cukup menerima catatannya dengan kepala.
  2. Kemudahan hisab.

Di antara mereka ada yang sama sekali tidak dihisab.

34, Beratnya daun timbangan amal dan bahkan ada yang amalnya tidak ditimbang sama sekali.

  1. Sampai ke telaga Nabi Saw., meminum seteguk, dan setelah itu tidak merasa dahaga sama sekali untuk selama-lamanya.
  2. Melewati sirath dengan selamat dan tidak tekena api neraka. Sampai-sampai di antara mereka ada yang tidak mendengar desisannya, selalu merasakan apa yang menjadi kesenangannya dan api neraka pun mereda untuknya.
  3. Memberikan syafaat di pelataran kiamat seperti yang diberikan oleh para nabi dan rasul.
  4. Kerajaan yang abadi di dalam surga.
  5. Keridaan yang besar.
  6. Bertemu Penguasa alam semesta, Tuhan yang menguasai orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian tanpa kita tahu bagaimana caranya bertemu.

Aku menerangkan sekedar yang kupahami dan itu sudah mencapai puncak pengetahuanku yang terbatas dan rasanya masih kurang. Meski begitu aku telah menerangkan secara panjang lebar. Aku hanya menyebutkan pokok dan keterangannya secara global dan seandainya aku rinci tentu tidak termuat dalam kitab ini. Bukankah aku menerangkan kerajaan yang abadi hanya menjadi satu bagian? Seandainya kurincikan tentu akan membengkak menjadi 40 kemuliaan berupa macam-macam bidadari, istana, pakaian dan sebagainya. Kemudian masingmasing memiliki perincian yang tidak diketahui selain oleh Dzat yang Maha mengetahui hal-hal gaib dan hal-hal nyata, yaitu Dzat yang menciptakan dan memilikinya.

 

Bagaimana mungkin kita berharap dapat mengetahuinya, sementara Allah telah berfirman:

 

Artinya: Maka tak seorangpun mengetahui apa yang disimpan untuk mereka berupa apa saja yang menyenangkan pandangan mata,(Q.S. As-Sajdah: 17)

 

Kemudian Rasulullah Saw. juga telah bersabda:

 

Artinya: Di dalam surga Allah telah menciptakan apa yang belum pernah dilihat oleh mata, belum ada telinga yang mendengar dan belum pernah terbersit dalam hati manusia.

 

Para mufassir mengartikan firman Allah:

 

Artinya: Niscaya lautan akan kering sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku.(Q.S. Al-Kahfi: 109): dengan keterangan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan kalimat-kalimat di sini adalah kalimat yang dikatakan oleh Allah bagi penghuni surga dengan lembut dan memuliakannya. Dan kenyataannya memang begitu. Kita tidak mungkin sampai pada satu bagian dari sejuta bagian itu, sementara kita hanya seorang manusia. Atau bagaimana mungkin pengetahuan seorang makhluk bisa mencakupnya? Tentu saja tidak. Bahkan cita-cita seseorang pasti akan terhenti dan akal-akal terlalu pendek untuk memikirkannya. Memang itulah kenyataan yang terjadi.

 

Demikian itulah anugerah Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Mengetahui, sesuai dengan anugerah-Nya yang Agung dan setara dengan kemurahan-Nya yang besar.

Ingatlah! Hendaklah orang-orang yang ingin beramal segera melaksanakannya, dan orang-orang yang bersungguh mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendapatkan kedudukan yang agung. Dan hendaknya mereka juga tahu bahwa Semua itu amatlah sedikit dibanding apa yang mereka butuhkan, yang mereka cari dan mereka usahakan.

 

Hendaknya mereka juga tahu secara global bahwa seorang hamba harus memiliki empat hal: Ilmu, amal, ikhlas dan takut.

 

Pertama kali ia harus mengetahui jalannya. Jika tidak maka la menjadi buta. Kemudian ia beramal menggunakan ilmunya. Danjika tidak pasti ia akan tehalang. Selanjutnya ia harus ikhlas. Karena jika tidak, maka ia akan merugi. Dan selanjutnya ia tidak takut dan menghindari noda-noda sampai ia merasa aman. Kalu tidak maka ia akan tertipu.

 

Benar sekali apa yang dikatakan Dzun-Nuun: Semua makhluk ini mati selain para ulama. Semua ulama tertidur kecuali ulama yang beramal. Orang-orang yang beramal semuanya tertipu kecuali orang-orang yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas semua berada dalam kekhawatiran yang besar.

 

Yang lebih mengherankan adalah empat hal

 

Pertama, orang-orang yang memiliki akal tapi tidak berilmu.

 

Apakah ia tidak mementingkan dirinya untuk mengetahui apa yang ada di hadapannya? Apakah ia tidak berusaha mencari tahu apa yang akan dilihatnya sesudah mati dengan merenungkan dalil-dalil, perumpamaan, mendengar ayat-ayat dan peringatan, merasa bimbang dengan hal-hal yang mengkhawatirkan serta memiliki keberanian membabi buta di dalam dirinya? Allah berfirman: ..

 

Artinya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.(Q.S. AlA’raf: 185)

 

Firman Allah:

 

Artinya: Tidakkah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar.(Q.S. Al-Muthaffifiin: 4-5)

 

Kedua, seorang alim yang tidak beramal dengan ilmunya. Apakah ia tidak tahu pasti bahwa hal-hal gawat dan besar serta tahapan-tahapan yang sulit ditempuh berada di hadapannya?

 

Berita seperti ini adalah berita heboh yang Anda semua berpaling darinya.

 

Ketiga, orang-orang yang beramal tapi tidak ikhlas.

 

Apakah ia tidak berpikir tentang firman Allah:

 

Artinya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.(Q.S. Al-Kahfi: 110)

 

Keempat, orang-orang yang ikhlas tapi tidak merasa takut.

 

Apakah ia tidak merenungkan apa yang dilakukan-Nya terhadap orang-orang pilihan dan kekasih-kekasih-Nya serta para pelayan-pelayan-Nya yang menunjukkan jarak antara Dia dengan makhluk-Nya. Sampai-sampai Dia berfirman kepada makhlukNya yang paling mulia:

 

Artinya: Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu.”(Q.S. Az-Zumar: 65)

 

Dan lain sebagainya, hingga diceritakan bahwa Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: Yang membuatku beruban adalah surat Huud dan Sejenisnya. “

 

Jadi, inti permasalahan dan perinciannya terdapat pada empat ayat firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an Al-Aziz. Firman Allah:

 

Artinya: “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kara menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?(Q.S. Al-Mukminuun: 115)

 

Kemudian Dia berfirman:

 

Artinya: Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Al-Hasyr. 18)

 

Artinya: Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari (keridaan)-Ku, niscaya akan Kutunjukkan pada mereka jalan-jalan mertuju keridaan)-Kami.(Q.S. Al-Ankabuut: 69)

 

Kemudian Dia mengumpulkannya dalam satu ayat:

 

Artinya: Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya Jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Q.S. Al-Ankabuut: 6)

 

Kami memohon ampunan kepada Allah dari setiap langkah kaki yang terpeleset dan kesalahan goresan pena. Kami juga memohon ampunan kepada-Nya dari ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan amal perbuatan kami. Kami memohon ampun kepada-Nya dari apa yang kuakui dan kuperlihatkan berupa pengetahuan tentang agama Allah, padahal aku masih gegabah dalam melaksanakannya. Aku memohon ampun kepada-Nya dari gerak hati yang mengajakku membuat-buat, menghias diri dalam kitab yang kutulis, ucapan yang kubuat bersusun (nazham) dan pemikiran yang kuajarkan.

 

Kami memohon kepada-Nya agar Dia berkenan menjadikan kami serta Anda sekalian, wahai saudara-sudaraku! Sebagai orang-orang yang beramal dengan ilmunya dan mengharap wajah (keridaan)-Nya, serta tidak menjadikan ilmu-ilmu itu sebagai bencana.

 

Semoga Dia berkenan meletakkannya dalam timbangan amalamal baik saat amal-amal tersebut dikembalikan kepada kami. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

 

Al-Ghazali berkata: “Inilah yang ingin kami terangkan di dalam kitab penjabaran tata cara meniti jalan akhirat, dan kami telah memenuhi tujuan tersebut. Segala puji bagi Allah yang dengan kenikmatan-Nya amal-amal baik menjadi sempurna. dan dengan anugerah-Nya bermacam berkah diturunkan.

 

Rahmat Allah semoga tersanjung kepada manusia pilihan yang mengajak umatnya untuk menyempah sesembahan terbaik, yakni Muhammad yang menjadi nabi, dan keluarganya.

 

Sernoga Allah memberikan kesejahteraan yang banyak, bagus, dan diberkahi dalam segala keadaan (kepada beliau dan keluarganya).