Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Dan hanya kepadaNya kami memohon pertolougan

 

Shalawat Allah dan salamNya semoga terlimpahkan kepada Sayyid kita Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.

 

Syaikh al-Imam al-Alim al-Amil al-Auhad, Najmuddin Abu alAbbas Ahmad bin Syaikh al-Imam al-Alim az-Zahid al-Abid al-Allamah Izzuddin Abu Abdullah Muhammad bin Syaikh al-Imam al-Alim azZahid al-Abid al-Allamah Syaikhul Islam, Mufti al-An’am, Sayyid alUlama wa al-Hukkam, Syamsuddin Abu Muhammad Abdurrahman bin Syaikh al-Imam al-Alim al-Amil al-Arif az-Zahid al-Wara’ Syaikhul Islam Abu Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, beliau berkata:’

 

Segala puji bagi Allah yang rahmatNya meliputi seluruh hambaNya. Mengkhususkan orang-orang yang taat dengan hidayah menuju jalan yang lurus, yang memberikan taufik kepada mereka dengan kemurahanNya untuk melakukan amal shalih sehingga mereka beruntung meraih apa yang diharapkan. Aku memujiNya dengan pujian hamba yang mengakui kebesaran pemberianNya, dan aku berlindung kepadaNya dari pengusiran dari rahmatNya.

 

Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, kesaksian yang aku simpan untuk Hari Kiamat. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, yang menjelaskan jalan hidayah dan petunjuk yang lurus, menundukkan orang-orang ingkar dan mulhid dari kalangan para penyimpang dan penentang. Shalawat Allah semoga tercurahkan kepada beliau, keluarga dan para sahabat beliau yang mulia lagi dermawan, shalawat yang menyampaikannya ke puncak harapan dan tujuan.

 

Amma ba‘du: Suatu kali aku mendapatkan kitab Minhajul Qashidin wa Mufid ash-Shadiqin karya Syaikh al-Imam al-Alim al-Auhad Jamaluddin Ibnul Jauzi, aku melihatnya termasuk kitab paling berharga dan bermanfaat, mengandung dan sarat dengan banyak faedah, maka kitab tersebut membuatku takjub. Hal itu mendorongku untuk menelaah dan mengkaji isinya. Manakala aku memperhatikannya sekali lagi, ternyata ia melebihi apa yang aku duga sebelumnya. Aku melihat sebuah kitab yang memaparkan secara baik (berbagai masalah agama), maka aku berhasrat membuat catatan pada ringkasan yang menampung banyak tujuan dan perkara-perkara penting serta faedah-faedah utamanya, selain yang disebutkan di bagian awal kitab berupa masalah-masalah furu’iah yang sudah jelas. Masalah tersebut sudah masyhur dalam buku-buku fikih dan dikenal baik di kalangan masyarakat. Hal itu karena tujuan dari kitab ini adalah selain itu.

 

Aku tidak terpaku dengan urutan kitab dan kalimat-kalimatnya, sebaliknya aku menyebutkan sebagian dari kandungannya secara maknawi, dengan tujuan meringkas, terkadang aku menyebutkan satu hadits padanya atau beberapa atsar yang memiliki korelasi dengan topik. Wallahu a’lam.

 

Penulis berkata,  ‘Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.’

 

Segala puji bagi Allah yang membangunkan orang-orang yang tidur pulas dalam kelalaian mereka dengan kegelisahan-kegelisahan yang membangunkan, membersihkan orang-orang yang bertaubat dari kesalahan-kesalahan mereka dengan nasihat-nasihat yang menggugah, menyampaikan kalimat-kalimat dan bisikan-bisikan lembut kepada orang-orang yang mengenalNya dalam kesendirian mereka, memperingatkan para ahli zuhud terhadap hawa nafsu paling tinggi mereka dengan penuh kesantunan sehingga mereka membedakan diri dari orang-orang kebanyakan pada umumnya, mereka bangkit memerangi hawa nafsu seperti singa yang menyerang karena amarah, mereka menjaga apa yang harus mereka jaga dan mereka pun benar-benar menjaga, karena penjagaan memang hanya diberikan kepada para penjaga.

 

Aku memuji Allah dengan pujian yang banyak, tidak terhingga. Aku bershalawat dan mengucapkan salam kepada NabiNya, Muhammad, yang membuktikan ketidaksanggupan orang-orang berlisan fasih terhadap apa yang beliau bawa yaitu para pengendus jejak yang ahli di hari Ukazh, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau para pemilik keyakinan, ketakwaan dan kewaspadaan, shalawat yang melindungiku di Hari Kebangkitan dari panas ‘api yang bergejolak’ dan  ‘api yang bergejolak,”

 

‘Api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras.’ (At-Tahrim: 6).

 

Penulis, Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin al-Jauzi berkata, Aku menamakan kitabku ini Minhajul Qashidin wa Mufid ash-Shadiqin. Aku memohon kepada Allah agar memberikan manfaat darinya kepada kita semuanya, orang yang membaca atau mendengar atau melihatnya, menjadikannya ikhlas karena wajahNya yang mulia, menutup hidup kita dengan kebaikan, membimbing kita menuju perkataan, perbuatan dan niat yang diridhaiNya, memaafkan kekurangan kita, tidak menyandarkan kita kepada diri kita sekejap mata pun dan tidak pula kepada salah satu makhluknya, sesungguhnya Dia mencukupi kita dan sebaik-baik penolong.”

 

Penulis, Ibnul Jauzi berkata setelah menyelesaikan khutbah di atas,

 

Amma ba’du: Sesungguhnya aku telah melihatmu wahai orang yang tulus menginginkan (kebaikan), bertekad kuat, dan berkemauan yang besar. Engkau telah melatih dirimu untuk meninggalkan perkara-perkara dunia yang tidak penting namun menyibukkan. Engkau berkeinginan untuk berkonsentrasi kepada akhirat, karena engkau tahu bahwa bergaul dengan manusia menyebabkan kerancuan, membiarkan jiwa tanpa muhasabah merupakan sumber kelalaian. Apabila umur tidak dimanfaatkan dengan baik, maka ia pergi dengan percuma, embusan nafas membawa pemiliknya menuju rumah kematian. Maka aku melihat buku yang bisa menjadi teman baikmu di saat kesendirian, yang berbicara kepadamu di saat engkau diam. Bila engkau memilih kitab Inya’> Ulumuddin karena engkau menganggapnya tiada banding jenis dan keindahannya, maka sadarilah bahwa di dalam kitab tersebut terdapat penyakit-penyakit yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama, paling tidak karena memuat hadits-hadits batil lagi maudhu’, hadits-hadits mauquf yang oleh penulisnya dimarfu’kan, penulisnya hanya menukilnya sebagaimana yang dia baca, bukan dia yang membuat-buatnya, tidak patut beribadah kepada Allah dengan dasar hadits palsu dan terkecoh dengan kalimat-kalimat yang direkayasa.

 

Bagaimana aku rela melihatmu melaksanakan shalat siang dan malam padahal dalam masalah ini tidak ada satu pun kalimat dari Rasulullah? Bagaimana aku menerima bila telingamu menangkap perkataan orang-orang sufi yang dia’ kumpulkan dan dia anjurkan untuk diamalkan padahal semua itu tidak berdasar sama sekali? Fana, baqa (kekekalan), anjuran untuk berlapar-lapar, mengembara tanpa tuntutan kebutuhan, masuk ke padang pasir tanpa bekal, dan masih banyak lagi yang telah saya singkap kekeliruan dalam kitab tersebut dalam kitabku yang bernama Talbis Iblis.”

 

Aku akan menulis untukmu sebuah kitab yang terlepas dari kekeliruan-kekeliruan tersebut, namun faedah-faedahnya tidak terlewatkan. Aku berpijak kepada nukilan-nukilan paling shahih dan paling masyhur, makna-makna yang paling bagus dan akurat, membuang apa yang tidak diperlukan dan menambah apa yang dibutuhkan.”

 

Kemudian Ibnul Jauzi berkata sesudah itu, “Karena tekadmu untuk beruzlah dalam rangka memenuhi hak yang Mahabenar pada dirimu sudah bulat dan membimbing langkahnya, maka hendaknya pembimbingmu adalah ilmu, teruslah mencari titik samar hawa nafsu, semoga dengan itu engkau selamat darinya, berhati-hatilah terhadap dua jalan: Seorang ulama yang menguasai debat di bidang fikih, merasa puas dengan kedudukannya atau memegang kursi peradilan lalu dia berupaya mempertahankan kedudukannya atau dia memperindah kata-kata nasihat sehingga dia mempersempit lubang perangkap (kesalahannya). Orang kedua adalah ahli zuhud yang berkutat dengan pendapat rusaknya dalam kebodohannya, mencium tangannya dianggap sebagai ibadah yang mendekatkan, diyakini membawa keberkahan, padahal yang bersangkutan beramal atas dasar hawa nafsunya, bukan syariat dan ketentuan Allah.

 

Dua orang ini sama-sama menyimpang dari kebenaran, merasa puas dengan amalan-amalan kulit dan mengesampingkan intinya, menipu para pemula dengan fatamorgana palsu, jalan keduanya menyimpang dari jalan as-Salaf ash-Shalih yang merupakan jalan kebenaran dan keselamatan.

 

Aku akan tuliskan secara bertahap untukmu dalam kitab ini, insya Allah, sebagian dari kisah-kisah yang menunjukkan peninggalan mereka. Buku kami ini dibutuhkan oleh orang-orang alim, sebagaimana ia juga diperlukan oleh pemula, karena ia mengandung rahasia-rahasia ibadah dan peringatan terhadap perusak-perusak muamalat.

 

Aku mengikuti penulis” dengan membagi kitab menjadi empat bagian:”

 

Pertama: Seperempat ibadah.

Kedua: Seperempat adat (kebiasaan).

Ketiga: Seperempat muhlikat (yang membinasakan).

Keempat: Seperempat munjiyat (yang menyelamatkan).

 

Setiap bagian di atas mencakup kitab-kitab, bab-bab, dan pasal-pasal.

 

[Keutamaan Ilmu dan Belajar]

 

Allah  berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'” (Az-Zumar: 9). Allah juga berfirman,

 

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11).

 

Ibnu Abbas  berkata,

 

 “Para ulama memiliki derajat-derajat di atas orang-orang beriman dengan 700 derajat, jarak antara dua derajat perjalanan selama 500 tahun.”

 

Dan Allah berfirman,

 

“Sesungeuliiya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28).

 

Dalam ash-Shahthain dari hadits Mu’awiyah bin Abu Sufyan, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda,

 

“Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan baginya, maka Dia menjadikannya memahami agama.”

 

Dari Abu Umamah, beliau berkata, Rasulullah pernah diberi tahu tentang dua orang: abid (ahli ibadah) dan alim (ahli ilmu), maka beliau bersabda,

 

“Keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang terendah dari kalian.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah, para malaikatNya, penduduk langit dan bumi, hingga semut dalam lubangnya, bahkan ikan bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan shahih [gharib].”

 

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan rembulan di malam purnama atas bintang-bintang, sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi; dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar, tidak pula dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa yang mengambilnya, maka dia mendapatkan bagian yang melimpah.”’ Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.

 

Dari Shafwan bin Assal bahwa Nabi bersabda,

 

“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka (sebagai tanda hormat) untuk pencari ilmu sebagai ungkapan keridhaan mereka terhadap apa yang dia cari.””

 

Al-Khaththabi berkata, Terdapat tiga pendapat tentang makna sabda Nabi  ‘Para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka.

 

Pertama, mereka membentangkan sayap-sayap mereka.

 

Kedua, maksudnya adalah tawadhu’ sebagai penghormatan kepada pencari ilmu.

 

Ketiga, maksudnya adalah turun ke majelis-majelis ilmu dan tidak terbang.

 

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

‘Barangsiapa meniti sebuah jalan yang padanya dia mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya dengan (usahanya) itu jalan ke surga.’ Diriwayatkan oleh Muslim.

 

Diriwayatkan juga dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

‘Barangsiapa mati dalam keadaan mencari ilmu untuk menghidupkan Islam, (maka di surga), antara dirinya dengan para nabi hanya satu derajat,’ Banyak lagi hadits (lain) dalam masalah ini.”

 

Sebagian ahli hikmah berkata, “Duhai gerangan diriku, apa yang didapatkan oleh orang yang tidak mendapatkan ilmu? Dan (sebaliknya) apa yang tidak didapatkan oleh orang yang mendapatkan ilmu?”

 

[Keutamaan Mengajarkan ilmu]

 

Di antara keutamaan ta’lim (mengajarkan ilmu) adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Sungguh Allah memberi petunjuk kepada seorang laki-laki melalui dirimu adalah lebih baik bagimu daripada kamu mempunyai unta merah (harta yang paling berharga).”

 

Ibnu Abbas berkata,

 

“Sesungguhnya orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, semua hewan termasuk ikan di lautan memohonkan ampunan kepada Allah untuknya.”

 

Yang semakna dengannya diriwayatkan secara marfu’ kepada Nabi.

 

Bila ada yang berkata, Bagaimana ikan memohonkan ampunan untuk orang yang mengajarkan kebaikan?

 

Maka jawabannya: Bahwa manfaat ilmu mencakup segala sesuatu, termasuk ikan, karena dengan ilmu para ulama mengetahui apa yang halal dan apa yang haram, mereka menasihati orang-orang agar berbuat baik kepada segala sesuatu, termasuk kepada hewan yang disembelih dan kepada ikan, maka Allah mengilhamkan istighfar kepada semua itu sebagai balasan bagi kebaikan mereka (yang mengajarkan kebaikan tersebut).

 

Dari Abu Musa, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya perumpamaan hidayah dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah seperti hujan yang turun ke bumt, di antara bumi terdapat tanah yang baik, yang menyerap air lalu ia menumbuhkan padang gembala dan rerumputan yang tebal, di antara bumi terdapat tanah yang keras yang menampung air, maka dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia sehingga mereka bisa minum, memberi minum, dan bercocok tanam. Hujan itu juga turun di atas tanah yang lain yang merupakan tanah tandus yang tidak menampung air dan tidak menumbuhkan padang gembala. Itulah perumpamaan orang yang memahami Agama Allah, Allah memberinya manfaat dari apa yang Dia mengutusku dengannya, lalu orang tersebut mengetahui dan mengajarkan dan perumpamaan orang yang tidak sudi mengangkat kepala dengannya dan tidak menerima hidayah yang dengannya aku diutus,” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain.

 

Perhatikanlah hadits ini, semoga Allah merahmatimu, betapa mengenanya hadits ini terhadap manusia, karena para fuqaha adalah orang-orang yang memiliki pemahaman (agama), seperti bagian bumi yang mencrima air hujan lalu ia menumbuhkan padang rumput; karena mereka mengetahui dan memahami, mercka mengembangkan dan mengajarkan. Sedangkan para rawi yang hanya meriwayatkan hadits dan tidak diberi fikih dan pemahaman, diumpamakan dengan tanah yang keras yang menampung air, maka apa yang ada pada mereka dapat diambil manfaatnya. Adapun orang-orang yang mendengar tetapi tidak belajar dan tidak menghafal, maka mereka adalah orang-orang awam yang bodoh.

 

Al-Hasan berkata, “Kalau tidak ada ulama, niscaya manusia seperti hewan.”

 

Mu’adz bin Jabal berkata,

 

” Pelajarilah ilmu karena mempelajarinya karena Allah merupakan sikap takut kepadaNya, mencarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, membahasnya adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum mengetahuinya adalah sedekah, usaha memberikannya kepada yang berhak adalah ibadah yang mendekatkan (kepada Allah), ilmu adalah teman di saat kesendirian dan sahabat dalam khalwat.”

 

Ka’ab berkata,

 

“Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Belajarlah kebaikan wahai Musa dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya Aku menerangi kubur orang-orang yang belajar dan mengajarkan kebaikan kepada manusia sehingga mereka tidak merasa asing di tempat mereka’.”

 

PASAL [Ilmu yang Terpuji dan ilmu yang Tercela; Macam-Macam dan Hukum-Hukumnya]

 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Mencari ilmu adalah fardhu (kewajiban) atas setiap Muslim.” Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Ilal.

 

Para fuqaha berkata,”Yang dimaksud oleh hadits ini adalah ilmu fikih, karena dengannya yang halal dan yang haram diketahui.”

 

Para ahli tafsir dan para ahli hadits berkata, “Ia adalah ilmu alQur’an dan as-Sunnah, karena keduanya adalah kunci semua ilmu.”

 

Orang-orang sufi berkata, “Ia adalah ilmu ikhlas dan penyakitpenyakit hati.”

 

Orang-orang mutakallimin berkata, “Ia adalah ilmu kalam.”

 

Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat yang tidak satu pun darinya bisa diterima.

 

Yang shahih adalah ilmu muamalat (interaksi) hamba dengan Tuhannya.

 

Muamalat yang dibebankan kepada hamba terbagi menjadi tiga: I’ tiqad (Meyakini), melaksanakan, dan meninggalkan.

 

Bila seorang anak menginjak dewasa, maka kewajiban pertama atasnya adalah mempelajari dua kalimat syahadat, memahami maknanya, sekalipun tanpa pertimbangan dan pendalilan, karena Nabi sudah mencukupkan (menerima) pembenaran (keimanan) dari orang-orang pedalaman yang kasar, tanpa mereka harus mempelajari dalil, karena hal itu adalah kewajiban (berkaitan dengan) waktu, kemudian wajib atasnya mengkaji dan berdalil. Bila waktu kewajiban shalat telah tiba, maka dia wajib mempelajari thaharah dan shalat. Bila dia hidup sampai bulan Ramadhan, maka dia wajib mempelajari puasa. Bila dia  mempunyai harta dan sudah berputar satu tahun, maka dia harus mempelajari zakat. Bila waktu haji tiba dan dia termasuk mampu, maka dia wajib mempelajari manasik haji.

 

Adapun masalah-masalah yang harus ditinggalkan, maka ia sesuai dengan situasi dan kondisinya, karena orang buta tidak wajib mengetahui apa yang haram dilihat atasnya. Orang bisu tidak wajib mengetahui perkataan yang haram atasnya. Bila seseorang tinggal di daerah yang khamar mewabah dan sutra dipakai, maka dia wajib mengetahui keharamannya.

 

Adapun I’tiqad (keyakinan), maka ia wajib mengetahuinya menurut bisikan hati nurani, bila hatinya dirundung kebimbangan dalam perkara makna yang ditunjukkan oleh dua kalimat syahadat, maka dia wajib mempelajari sampai batas yang dengannya dia bisa mengusir keraguan tersebut. Bila dia hidup di negeri dengan bid’ah yang mewabah, maka dia wajib mengetahui kebenaran. Bila dia saudagar di sebuah wilayah yang mana riba dipraktikkan, maka dia wajib mempelajarinya untuk menghindarinya.

 

Dan seyogianya seseorang juga mempelajari iman kepada kebangkitan, surga, dan neraka.

 

Jelaslah dari apa yang kami katakan bahwa yang dimaksud dengan menuntut ilmu yang merupakan fardhu ain itu adalah ilmu yang berkaitan dengan kewajiban setiap individu.

 

[ilmu yang Termasuk Fardhu Kifayah]

 

Ilmu yang fardhu kifayah, adalah semua ilmu yang dibutuhkan dalam rangka tegaknya urusan kehidupan, seperti ilmu pengobatan (kedokteran). Ilmu ini penting, karena tubuh perlu tetap terjaga kesehatannya. Kemudian ilmu hisab (berhitung), ia diperlukan untuk membagi warisan, wasiat, dan yang sepertinya.

 

Seandainya sebuah negeri tidak memiliki orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu ini, maka mereka berdosa. Bila satu orang sudah menunaikannya, maka ia sudah cukup, dan kewajiban tersebut gugur atas yang lainnya.

 

Jangan merasa kaget dengan ucapan kami bahwa ilmu pengobatan dan hisab termasuk fardhu kifayah, karena dasar-dasar pencaharian juga termasuk fardhu kifayah, seperti pertanian, pembuatan kain bahkan bekam. Karena seandainya sebuah negeri tidak memiliki tukang bekam saja, niscaya tidak sedikil dari mereka yang sakit, karena Allah yang menurunkan penyakit, Dia juga yang menurunkan obatnya dan mengajak untuk menggunakannya. Adapun mendalami detail-detail ilmu pengobatan dan ilmu hisab, maka ia termasuk perkara lebih yang sudah cukup.

 

Sebagian ilmu termasuk ke dalam kategori mubah, seperti ilmu tentang syair yang tidak mengandung keburukan dan ilmu sejarah peristiwa. Sebagian ilmu termasuk ilmu yang tercela seperti ilmu sihir, rajah-rajah, dan ilmu tipuan.

 

Adapun ilmu syar’i maka semuanya terpuji dan ia terbagi menjadi ushul (dasar) dan furu’ (cabang), pengantar dan penyempurna.

 

Ushul adalah kitab Allah, Sunnah Rasulullah, ijma’ umat dan atsar para sahabat. Furu’ adalah makna yang dipahami dan dimengerti akal pikiran dari ushul di atas sehingga lafazh yang diucapkan dapat dimengerti dan dipahami, dan lain sebagainya. Sebagaimana dapat dipahami dari sabda Nabi

 

“Seorang hakim tidak boleh memutuskan hukum (vonis) dalam keadaan marah,” bahwa hakim juga tidak boleh memutuskan hukum (vonis) dalam kondisi lapar.

 

Ilmu-ilmu pengantar adalah ilmu yang boleh berfungsi sebagai alat, seperti ilmu nahwu dan bahasa, keduanya adalah ilmu alat untuk memahami Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah.

 

Sedangkan ilmu-ilmu penyempurna adalah seperti ilmu qira ‘at dan makhraj huruf, seperti ilmu tentang biografi rawi-rawi hadits, ‘adalah (kelurusan pribadinya) dan keadaan mereka. Semua itu termasuk ilmu syar’i dan semuanya terpuji.

 

PASAL

 

Adapun ilmu muamalat hamba kepada Tuhannya, adalah ilmu tentang keadaan-keadaan hati, seperti rasa takut, harapan, ridha, jujur, ikhlas, dan lainnya. Dengan ilmu inilah para ulama terangkat derajatnya, dengan mewujudkannya nama-nama menjadi masyhur seperti Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asySyafi’i, dan Imam Ahmad.

 

Martabat orang-orang yang diberi julukan fuqaha dan ulama jatuh dari kedudukan yang tinggi karena mereka menyibukkan diri dengan bagian luar ilmu tanpa membawa jiwa mereka untuk masuk ke dalam hakikatnya dan mengamalkan intisarinya. Engkau bisa melihat seorang ahli fikih membahas masalah zhihar, li‘an, perlombaan dan memanah lalu menghadirkan cabang-cabang yang memakan waktu panjang, padahal tidak satu pun masalah yang dibahasnya dibutuhkan. Di saat yang sama dia sama sekali tidak menyinggung masalah ikhlas, tidak memperingatkan perkara riya’’, padahal perkara ini adalah fardhu ain atasnya, karena melalaikannya sama dengan mencelakakan dirinya, sementara yang pertama adalah fardhu kifayah. Seandainya dia ditanya tentang alasan tidak melakukan diskusi dalam perkara ikhlas dan riya’’, niscaya dia tidak dapat menjawabnya, namun saat dia ditanya tentang alasan menyibukkan diri dalam perkara li’an dan memanah, maka dia akan menjawab bahwa ia adalah fardhu kifayah. Dia telah berkata benar, namun ada satu hal yang tidak dia ketahui, yaitu bahwa ilmu hisab juga termasuk fardhu kifayah, lalu mengapa dia tidak menyibukkan diri dengannya? Jiwa tertarik kepadanya karena sasarannya adalah riya’’ dan sum’ah dan ia terwujud dengan perdebatan bukan dengan ilmu hisab.

 

[Pergeseran Makna Sejumlah Terminologi ilmu]

 

Ketahuilah, ada beberapa istilah yang telah diganti dan diubah, maknanya digeser pada makna-makna yang tidak dimaksudkan oleh as-Salaf ash-Shalih.

 

Di antaranya adalah istilah fikih. Orang-orang mengubah makna fikih dengan menyempitkan kandungannya. Mereka mengkhususkannya dengan ilmu tentang masalah-masalah furu’ dan illat-illat (alasan) nya. Padahal kata fikih, pada generasi awal digunakan untuk menggambarkan ilmu tentang jalan menuju akhirat, kuatnya pengetahuan tentang detail-detail penyakit hati dan perusak amal perbuatan, serta menggambarkan rendahnya dunia, kuatnya perhatian terhadap nikmat akhirat dan rasa takut yang mendominasi hati. Karena itu al-Hasan alBashri berkata, “Orang yang fakih hanyalah orang yang zuhud di dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, senantiasa beribadah kepada Tuhannya, menahan diri tidak mencederai kehormatan kaum Muslimin, menjaga diri dari harta mereka dan tulus (memberikan kebaikan buat) mereka.”

 

Penggunaan istilah fikih oleh ulama Salaf lebih dominan untuk ilmu akhirat, karena ia tidak mencakup perkara fatwa secara khusus, akan tetapi ia mencakupnya secara umum dan komperehensif. Sehingga jelas bahwa penyempitan makna ini adalah tipuan untuk mendorong manusia sekadar mengetahui ilmu fatwa secara lahir dan berpaling dari ilmu muamalah akhirat.

 

Kata kedua: Ilmu. Kata ilmu dahulu digunakan untuk ilmu tentang Allah, ayat-ayatNya; yakni nikmat-nikmat dan perbuatan-perbuatanNya pada hamba-hambaNya. Selanjutnya orang-orang menyempitkannya dan menggunakannya secara umum bahwa orang yang berilmu adalah orang yang mendebat dalam masalah-masalah fikih walaupun yang bersangkutan bodoh di bidang tafsir dan hadits.

 

Kata ketiga: Tauhid. Kata ini dulunya merupakan isyarat agar engkau mengetahui bahwa segala urusan adalah dari Allah sehingga engkau tidak lagi menoleh kepada sebab dan sarana. Hal itu membuahkan tawakal dan ridha, namun sekarang kata ini digunakan untuk ilmu kalam di bidang ushul, hal itu termasuk kemungkaran dalam pandangan ulama Salaf.

 

Kata keempat: Tadzkir dan dzikir. Allah berfirman,

 

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Azd-Dzariya’t: 55).

 

Dan Nabi bersabda,

 

“Bila kalian melewati kebun surga, maka masuklah.” Para saliabat bertanya, “Apa itu kebun surga?” Nabi menjawab, “Majelis-majelis dzikir (peringatan), “

 

Selanjutnya orang-orang mengubahnya menjadi kisah-kisah dan majelis-majelis yang berisi jauh dari perkataan yang lurus (dongeng) dan tipu muslihat (cerita yang mengada-ada).

 

Barangsiapa memasukkan kisah orang-orang terdahulu ke dalam nasihatnya, maka hendaknya dia menyadari bahwa kebanyakan yang dikisahkan dalam hal itu tidaklah shahih, sebagaimana mereka menceritakan bahwa Nabi Yusuf telah membuka ikatan celananya, bahwa Nabi Yusuf juga melihat Ya’qub menggigit tangannya, bahwa Nabi Dawud memerintahkan Uriya’ untuk terjun di medan perang sehingga dia gugur. Kisah semacam ini sangat membahayakan orang-orang yang mendengarnya.

 

Dongeng dan cerita yang mengada-ada termasuk di antara yang paling berbahaya bagi orang-orang awam, karena mengandung penyebutan cinta, persenggamaan, dan pedihnya perpisahan, padahal kebanyakan hadirin adalah orang-orang lemah akal yang hati mereka dipenuhi oleh hawa nafsu dan menyukai sesuatu yang menyimpang. Hal itu tidak menggerakkan kecuali sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa mereka, akibatnya api hawa nafsu berkobar, lalu meluapkannya, dan semua itu adalah kerusakan.

 

Terkadang dongeng bualan itu mengandung klaim-klaim kecintaan kepada Allah, padahal hal ini adalah mudarat besar, beberapa orang petani meninggalkan sawah ladang mereka (dan tidak mengurusinya) dan selanjutnya sibuk menyebarkan hal-hal seperti ini.”

 

Kata kelima: Hikmah. Hikmah adalah ilmu dan mengamalkannya.

 

Ibnu Qutaibah berkata, “Seseorang tidak dianggap sebagai orang vang bijak (ahli hikmah) sebelum dia menggabungkan ilmu dan amal.” Padahal istilah orang bijak di zaman ini (dipakai serampangan) hingga bahkan diberikan kepada tabib dan ahli nujum.

 

PASAL [Kadar Ilmu yang Terpuji]

 

Ketahuilah, bahwa ilmu yang terpuji terbagi menjadi dua:

 

Pertama: Terpuji sampai puncak tertingginya, semakin banyak semakin lebih utama dan lebih bagus. Ilmu ini adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan hikmahNya dalam menetapkan akhirat sebagai balasan dunia. Ilmu ini adalah dituntut (wajib) secara dzat, dan menjadikannya sebagai sarana kepada kebahagiaan akhirat. Ilmu ini adalah samudera yang tidak bisa dijangkau kedalamannya, sedangkan orang-orang hanya berkutat pada pesisir dan pantainya, mengambil sebatas apa yang mereka mampu ambil.

 

Kedua: Ilmu yang tidak terpuji darinya kecuali dalam kadar tertentu, yaitu ilmu yang telah kami sebutkan termasuk ke dalam fardhu kifayah. Setiap ilmu darinya terdapat kadar minimal, kadar pertengahan, dan kadar mendalami.

 

Maka jadilah satu dari dua orang: Orang yang menyibukkan diri dengan diri sendiri atau orang yang memikirkan orang lain setelah mengurusi dirinya. Jangan menyibukkan diri dengan sesuatu yang memperbaiki orang lain sebelum engkau memperbaiki dirimu sendiri. Sibukkanlah dirimu dengan memperbaiki membersihkan batinmu dari sifat-sifat tercela, seperti tamak, hasad, riya’” dan ujub sebelum engkau memperbaiki lahirmu. Hal ini akan hadir insya Allah pada pembahasan seperempat yang membinasakan. Bila engkau belum mampu merampungkan semua itu, maka jangan menyibukkan diri dengan perkara-perkara fardhu kifayah, karena di kalangan masyarakat tidak sedikit orang yang melakukan hal tersebut. Orang yang mencelakakan dirinya demi memperbaiki orang lain adalah orang bodoh, seperti orang yang di dalam bajunya ada kalajengking, namun dia malah sibuk mengusir lalat dari orang lain.

 

Bila engkau sudah rampung mengurusi dan membersihkan dirimu —hal ini memerlukan waktu yang panjang maka silakan menyibukkan diri dengan perkara-perkara fardhu kifayah, tetapi perhatikanlah prinsip “bertahap” dalam hal ini.

 

Mulailah dengan kitab Allah, kemudian Sunnah Rasulullah, kemudian dengan ilmu-ilmu al-Qur‘an, berupa tafsir, nasikh dan mansukh, muhkam dan niutasyabili dan seterusnya.

 

Demikian juga dalam perkara as-Sunnah, kemudian silakan menyibukkan diri dengan furu’ dan ushul fikih. Demikian pula ilmu-ilmu lainnya, selama umurmu masih ada dan waktumu longgar.

 

Jangan menghabiskan umurmu untuk satu disiplin ilmu karena ingin mengetahui detail-detailnya, karena ilmu itu luas sedangkan umur terbatas. Ilmu-ilmu ini hanyalah alat untuk meraih sebuah tujuan, dan sesuatu yang menjadi alat bagi sebuah tujuan semestinya tidak melupakan apa yang menjadi tujuan itu sendiri.

 

PASAL

 

[Adanya Pengaburan dalam Menyamakan Perdebatan dengan Musyawarah Para Sahabat dan Dialog Ulama Salaf]

 

Ketahuilah, bahwa perdebatan yang dilakukan dalam rangka mengalahkan (memperlihatkan keunggulan) dan berbangga-banggaan adalah sumber akhlak tercela, pelakunya tidak selamat dari kesombongan, karena dia merendahkan orang-orang yang kalah darinya. Pelakunya merasa ujub kepada dirinya, karena dia merasa lebih tinggi dari rekan-rekannya. Pelakunya tidak selamat dari riya’” karena banyak tujuannya di hari ini adalah agar keunggulannya diketahui orang-orang, lisan melontarkan sanjungan dan pujian kepadanya, yang bersangkutan menghabiskan umurnya untuk ilmu-ilmu yang membuatnya memenangkan perdebatan yang tidak berguna di akhirat, seperti memperbaiki kata-kata dan menghafal hal-hal unik.

 

Diriwayatkan dalam hadits dari Nabi  bahwa beliau bersabda,

 

“Manusia paling berat siksanya di Hari Kiamat adalah orang berilmu namun ilmunya tidak bermanfaat baginya.”

 

Bab

 

ADAB-ADAB PENCARI ILMU, PENGAJAR, DAN PENYAKIT-PENYAKIT ILMU, BERIKUT KETERANGAN TENTANG ULAMA SU’ DAN ULAMA AKHIRAT

 

Seyogianya pencari ilmu memulai dengan membersihkan jiwanya dari akhlak-akhlak tercela dan sifat-sifat buruk; karena ilmu adalah ibadah hati.

 

Dia harus menghilangkan perkara-perkara yang menyibukkan, karena bila konsentrasi sudah bercabang, ia tidak sanggup mengetahui hakikat ilmu.

 

As-Salaf mendahulukan (lebih memprioritaskan) ilmu di atas segala sesuatu.

 

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau baru menikah di atas umur 40 tahun.

 

Seorang budak wanita dihadiahkan kepada Abu Bakar bin alAnbari, manakala budak tersebut menemuinya, dia sedang memikirkan sebuah permasalahan sehingga dia gagal menemukan jawaban dari masalah tersebut, lalu dia berkata, “Bawalah dia ke penjual budak.” Wanita tersebut bertanya, “Dosa apa yang telah aku lakukan?” Dia menjawab, “Tidak ada, hanya saja hatiku tersibukkan denganmu. Orang sepertimu tidak seharusnya menghalangiku dari ilmu.”

 

Pencari ilmu patut menyerahkan kendali dirinya kepada gurunya seperti orang sakit yang memasrahkan dirinya kepada seorang dokter, bertawadhu’ kepadanya dan berusaha berkhidmat kepadanya semaksimal mungkin.

 

Ibnu Abbas memegang pijakan pelana tunggangan Zaid bin Tsabit sambil berkata, “Seperti inilah kita diperintahkan untuk memperlakukan para ulama.”

 

Bila seorang pencari ilmu menyombongkan diri, enggan mengambil ilmu dari orang yang belum memiliki popularitas keunggulan, maka dia adalah orang bodoh, karena hikmah adalah barang hilang dari seorang Mukmin, di mana pun dia menemukannya, maka sepatutnya dia mengambilnya. Hendaknya pencari ilmu meninggalkan pendapatnya karena pendapat gurunya, karena kesalahan guru lebih berguna bagi pencari ilmu daripada kebenaran dirinya.

 

Ali  berkata, “Sesungguhnya di antara hak seorang ulama atasmu adalah hendaknya engkau mengucapkan salam kepada hadirin secara umum, dan mengkhususkannya dengan penghormatan, lalu duduk di depannya, jangan menunjuk di depannya dengan tanganmu, jangan memberi isyarat dengan matamu, jangan banyak bertanya kepadanya, jangan membantunya menjawab, jangan merajuknya bila dia sedang malas, jangan meminta pendapat bila dia menolak, jangan memegang bajunya bila dia bangkit, jangan menyebarkan rahasianya, jangan menggibah seseorang di depannya, jangan mencari-cari kesalahannya, bila dia salah, maka maafkanlah, jangan berkata kepadanya, ‘Aku mendengar fulan berkata begini.’ Jangan pula berkata, ‘Aku mendengar fulan mengucapkan berbeda dengan ucapanmu.’ Jangan membicarakan ulama lain di depannya, jangan bosan menjadi muridnya dalam waktu yang panjang, jangan menolak untuk berkhidmah kepadanya. Bila dia mempunyai hajat yang harus ditunaikan, maka dahuluilah orang-orang dalam menunaikannya, karena dia ibarat pohon kurma yang tinggal menunggu waktu sebagian darinya jatuh kepadamu.

 

Pencari ilmu di awal langkahnya patut menjauhi mendengar perbedaan pendapat orang-orang, karena hal itu dapat membingungkan akalnya dan menumpulkan pikirannya. Dia patut mengambil yang terbaik dari segala sesuatu, karena umur tidak cukup panjang untuk menguasai semua ilmu, kemudian memberikan mayoritas waktunya kepada ilmu-ilmu yang paling mulia, yaitu ilmu yang berkaitan dengan akhirat yang dengannya keyakinan direngkuh sebagaimana ia telah direngkuh oleh Abu Bakar ash-Shiddiq sehingga Rasulullah mengakui hal itu padanya, beliau bersabda,

 

“Abu Bakar tidak mengungguli kalian dengan banyak puasa dan shalat, akan tetapi dengan sesuatu yang bersemayam dalam dadanya.”

 

Ini adalah kewajiban-kewajiban pencari ilmu.

 

[Peran dan Kewajiban Pendidik dan Pembimbing]

 

Seorang guru memikul beberapa peran dan kewajiban.

 

Di antaranya, menyayangi anak-anak didiknya, memperlakukan mereka sebagai anak-anaknya sendiri, tidak mencari upah dalam upayanya mentransfer ilmu kepada mercka, tidak bertujuan mendapatkan pujian dan balasan, sebaliknya dia mengajar dalam rangka mencari Wajah Allah. Tidak memandang dirinya berjasa kepada para muridnya, sebaliknya keutamaan adalah milik mereka, sebab mereka telah menyiapkan hati mereka untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan menanam ilmu di dalamnya. Mereka ibarat orang yang meminjamkan ladang bagi siapa yang menanamnya, maka seorang guru tidak patut mencari upah kecuali dari Allah semata. Ulama Salaf sendiri menolak menerima hadiah dari para murid (mereka).

 

Di antaranya, hendaknya tidak kikir dalam menasihati penuntut ilmu, memperingatkannya dari akhlak-akhlak buruk dengan bahasa halus sebisa mungkin bukan menjelek-jelekkannya; karena hal itu merobek hijab kewibawaan.

 

Di antaranya, hendaknya memperhatikan kemampuan pemahaman dan kadar akal penuntut ilmu, tidak menyampaikan kepadanya apa yang belum dia pahami dan belum dikuasai oleh akalnya. Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Aku diperintahkan untuk berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka.”

 

Ali  berkata, “Sesungguhnya di sini” ada ilmu, seandainya aku menemukan orang-orang yang mau membawanya.”

 

Asy-Syafi’i ule berkata,

 

Apakah aku menebarkan mutiara dalam kerumunan unta

Apakah aku menyusun kata-kata indah bagi penggembala domba

Siapa memberikan ilmu kepada orang-orang bodoh, dia menyia-nyiakannya

Dan siapa menghalang-halanginya dari orang-orang yang berminat, dia berbuat zhalim.

 

Di antaranya, hendaknya seorang pendidik mengamalkan ilmunya; perkataannya tidak mendustakan perbuatannya. Allah  berfirman,

 

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab?” (Al-Baqarah: 44).

 

Ali berkata, “Keburukan dan malapetaka menimpaku karena dua orang: Orang berilmu yang melanggar dan orang bodoh yang tekun beribadah.”

 

PASAL

PENYAKIT-PENYAKIT ILMU, BERIKUT KETERANGAN TENTANG ULAMA SU’ DAN ULAMA AKHIRAT

 

Ulama su’ adalah para ulama yang menjadikan ilmu sebagai alat untuk mendapatkan kenikmatan dunia dan meraih kedudukan di tengah-tengah manusia. Abu Hurairah  meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya hanya dicari karena Wajah Allah, tetapi dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta dunia, maka dia tidak akan mencium aroma surga di Hari Kiamat.”

 

Dalam hadits lain beliau bersabda,

 

“Barangsiapa menuntut ilmu untuk menyaingi para ulama dan mendebat orang-orang bodoh, atau memalingkan wajah manusia kepadanya, maka dia di neraka.”

 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Dan masih banyak hadits lain dalam masalah ini. Sebagian ulama Salaf berkata, “Orang yang paling besar penyesalannya saat mati adalah ulama yang lalai (menyia-nyiakan ilmunya).”

 

Ketahuilah, bahwa kewajiban yang dibebankan di pundak orang yang berilmu adalah hendaknya dia menegakkan perintah dan larangan. Dia tidak harus menjadi orang zuhud atau berpaling dari halhal yang mubah, hanya saja dia patut meminimalkan diri dari dunia sebisa mungkin, sebab tidak semua badan bisa menerima yang sedikit; karena manusia memang bertingkat-tingkat kemampuannya.

 

Diriwayatkan bahwa makanan Imam Sufyan ats-Tsauri  bermutu bagus, dan beliau berkata, “Hewan yang tidak diberi makan yang baik, ia tidak bekerja dengan bagus.”

 

Imam Ahmad bin Hanbal adalah orang yang sabar menghadapi kesulitan penghidupan (rizki) sekalipun menghadapi perkara besar.

 

Maka tabiat manusia memang berbeda-beda tingkatan (kesanggupannya).

 

Di antara sifat ulama akhirat adalah mereka menyadari bahwa dunia itu remeh, bahwa akhirat itu mulia, dunia dan akhirat adalah istri dengan madunya. Para ulama akhirat mengutamakan akhirat, perbuatan mereka tidak bertentangan dengan perkataan mereka, kecenderungan mereka tertuju kepada ilmu yang bermanfaat di akhirat, menjauhi ilmu yang manfaatnya sedikit demi mementingkan ilmu yang manfaatnya agung. Sebagaimana diriwayatkan dari Syaqiq al-Balkhi bahwa dia pernah berkata kepada Hatim, “Engkau sudah menyertaiku sekian lama, apa yang telah engkau pelajari?” Dia menjawab, “Delapan masalah:

 

Pertama: Aku memperhatikan manusia, dan ternyata setiap orang mempunyai orang yang dicintainya. Bila sudah tiba di kuburan, maka keduanya berpisah, maka aku menjadikan kecintaanku pada kebaikankebaikanku agar ia senantiasa bersamaku hingga dalam kubur.

 

Kedua: Aku membaca Firman Allah,

 

‘Dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.’ (An-Nazi’at: 40), maka aku berupaya keras agar jiwaku melawan hawa nafsu, sehingga ia bersemayam di atas ketaatan kepada Allah.

 

Ketiga: Aku melihat orang yang mempunyai sesuatu yang berharga, maka dia akan menjaganya, kemudian aku memperhatikan Firman Allah

 

‘Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sist Allah adalah kekal.’ (An-Nahl: 96), maka setiap aku mempunyai sesuatu yang berharga, aku memberikannya kepada Allah agar ia tetap terjaga di sisiNya.

 

Keempat: Aku melihat orang-orang berlomba-lomba dalam urusan harta, kedudukan, dan kemuliaan, padahal ia bukan apa-apa, lalu aku memperhatikan Firman Allah ,

 

‘Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.’ (Al-Hujurat: 13), maka aku berusaha bertakwa agar menjadi orang mulia di sisi Allah.

 

Kelima: Aku melihat orang-orang saling dengki, lalu aku memperhatikan Firman Allah us,

 

‘Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.’ (Az-Zukhruf: 32), maka aku meninggalkan sifat dengki.

 

Keenam: Aku melihat manusia saling bermusuhan, lalu aku memperhatikan Firman Allah,

 

‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ta musuh(mu).’ (Fathir: 6), maka aku tidak memusuhi manusia dan (sebaliknya) menjadikan setan sebagai musuh satu-satunya.

 

Ketujuh: Aku melihat manusia merendahkan diri mereka dalam mencari rizki, maka aku memperhatikan Firman Allah,

 

‘Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang membert rizkinya.’ (Hud: 6),

 

maka aku menyibukkan diriku dengan apa yang menjadi hak Allah atasku dan meninggalkan hakku di sisiNya.

 

Kedelapan: Aku melihat mereka bertawakal (mengandalkan) perdagangan, pekerjaan, dan kesehatan tubuh mereka, maka aku bertawakal kepada Allah.”

 

Di antara sifat ulama akhirat lainnya adalah bahwa mereka menahan diri dari para sultan (penguasa), menjaga jarak dalam bergaul dengan mereka.

 

Hudzaifah berkata,

 

“Jauhilah tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya, “Apa itu?” Beliau menjawab, “Pintu-pintu para penguasa. Salah seorang di antara kalian datang kepada penguasa lalu dia membenarkannya dalam kebohongan dan mengatakan apa yang tidak ada padanya.”

 

Sa’id bin al-Musayyib berkata,

 

“Bila engkau melihat seorang alim keluar masuk menuju para penguasa, maka waspadailah dia, karena dia adalah maling.”

 

Sebagian ulama Salaf berkata,

 

“Sesungguhnya engkau tidak mendapatkan dunia (harta) para penguasa sedikit pun melainkan mereka mendapatkan dari agamamu yang lebih besar daripada itu.”

 

Di antara sifat ulama akhirat yang lain adalah tidak terburu-buru dalam berfatwa, tidak berfatwa kecuali dengan apa yang dipastikan kebenarannya. Ulama Salaf saling menolak memberikan fatwa sehingga pertanyaan itu kembali lagi kepada orang pertama.

 

Abdurrahman bin Abu Laila berkata, “Di masjid ini aku sempat mendapatkan (berjumpa dengan) 120 orang sahabat Rasulullah, tidak seorang pun dari mercka yang ditanya tentang hadits atau fatwa kecuali dia berharap saudaranya yang menjawabnya.”

 

Kemudian keadaan sekarang telah berubah dengan munculnya orang-orang yang mengaku berilmu, mereka berani menjawab masalah-masalah yang seandainya ia sodorkan kepada Umar bin al-Khaththab, niscaya dia akan mengumpulkan para sahabat yang ikut Perang Badar untuk meminta pendapat mereka.

 

Di antara sifat mereka adalah hendaknya mayoritas kajian mereka terfokus kepada ilmu amal perbuatan, yaitu tentang apa yang merusaknya, memperkeruh hati dan memicu was-was, karena bentuk luar amal memiliki kemiripan dan mudah, sebaliknya yang sulit adalah membersihkannya. Dasar agama adalah menjaga diri dari keburukan, dan hal ini tidak terwujud kecuali bila dia mengetahuinya.

 

Di antara sifat mereka adalah mengkaji rahasia-rahasia amal-amal syar’i, memperhatikan hikmah-hikmahNya, tetapi bila tidak mampu mengetahui alasan hukum (dan hikmahnya), maka cukup dengan berserah diri kepada syariat.

 

Di antara sifat mereka adalah mengikuti para sahabat dan tabi’in terpilih dan menjauhi semua bid’ah.

 

Ketahuilah, bahwa thaharah mempunyai empat tahapan:

 

Pertama: Menyucikan lahir dari hadats, najis, dan kotoran.

 

Kedua: Menyucikan anggota tubuh dari dosa dan kemaksiatan.

 

Ketiga: Menyucikan hati dari akhlak tercela dan sifat buruk.

 

Keempat: Menyucikan hati (niat yang tersembunyi) dari selain Allah.

 

Yang akhir inilah tujuan tertinggi. Barangsiapa bashirah (mata hati) nya kuat, niscaya ia dapat meraihnya. Barangsiapa yang bashirahnya buta, maka dia hanya memahami tahapan thaharah yang pertama saja. Engkau bisa melihatnya menghabiskan banyak waktunya yang mulia hanya untuk beristinja’ dan mencuci baju secara berlebih-lebihan, karena dia mengira -padahal itu hanyalah was-was dan kurangnya ilmubahwa thaharah yang dituntut hanyalah thaharah seperti ini. Dia tidak mengetahui sirah orang-orang terdahulu yang menghabiskan waktu mereka dalam rangka menyucikan hati dan bersikap gampang dalam urusan lahir. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar bahwa beliau pernah berwudhu dari bejana milik seorang wanita Nasrani. Mereka hampir tidak mencuci tangan mereka dari sisa makanan, mereka shalat di atas tanah, berjalan tanpa alas kaki dan beristijmar (bersuci dari buang hajat) hanya dengan batu saja.

 

Kondisi saat ini sudah sampai pada suatu kaum yang mereka menamakan kebodohan sebagai kebersihan, engkau melihat banyak waktu mereka habis dalam rangka memperbagus lahir, sedangkan batin mereka lapuk berlumut kesombongan, bangga diri (ujub), kebodohan, riya’’ dan kemunatikan yang paling busuk. Seandainya mereka melihat orang yang hanya beristijmar dengan batu, atau berjalan di atas tanah tanpa alas kaki, atau orang yang shalat di atas tanah tanpa alas, atau berwudhu dari gerabah, niscaya mereka akan mengingkarinya dengan keras, menjulukinya dengan orang kotor dan menolak makan bersamanya. Lihatlah bagaimana mereka menjadikan kesederhanaan yang merupakan bagian dari iman,” sebagai kotoran dan kebodohan sebagai kebersihan, membalik perkara, yang mungkar menjadi ma’ruf dan yang ma’ruf menjadi mungkar. Tetapi barangsiapa yang maksudnya dalam bersuci adalah kebersihan tanpa boros air, tidak meyakini bahwa mengeunakan banyak air adalah dasar agama, maka perbuatan itu bukan merupakan kemungkaran, sebaliknya ia adalah perbuatan baik. Silakan merujuk buku-buku fikih bila Anda ingin mengetahui hadats dan najis, karena tujuan buku ini adalah adab dan perilaku.

 

[Menghilangkan Kotoran]

 

Menghilangkan kotoran terbagi menjadi dua:

 

Pertama: Kotoran yang patut dibersihkan, scperti kotoran dan noda yang ada di kepala, dianjurkan dibersihkan dengan mandi (keramas), menyisir dan meminyakinya untuk menghilangkan kekusutan. Demikian juga, kotoran yang ada pada telinga dan hidung, semua itu dianjurkan untuk dibersihkan.

 

Bersiwak dan berkumur untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada lidah dan gigi. Demikian juga membersihkan kotoran di sela-sela lipatan jari tangan. Kotoran yang menempel di seluruh anggota badan akibat keringat dan debu jalanan; dihilangkan dengan mandi.

 

Boleh masuk tempat pemandian (air hangat untuk umum zaman dahulu), karena bisa menghilangkan kotoran dengan maksimal, karena para sahabat Rasulullah juga memasukinya. Akan tetapi siapa yang masuk, hendaknya menjaga auratnya agar tidak dilihat dan disentuh orang lain. Orang yang memasukinya selayaknya mengingat panasnya api neraka saat merasakan kehangatannya, karena seharusnya pikiran seorang Mukmin selalu berkelana menjelajahi perkara dunia, lalu dengannya dia mengingat akhirat, sebab yang mendominasi seorang Mukmin adalah perkara akhirat, setiap bejana akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Perhatikanlah seandainya sebuah tempat yang ramai dimasuki oleh tukang kain, tukang kayu, tukang bangunan dan tukang tenun. Engkau melihat tukang kain akan memperhatikan tilamnya dan menaksir harganya, tukang tenun melihat kepada kain tenunan, tukang kayu melihat ke atap rumah dan tukang bangunan melihat ke tembok. Demikian pula seorang Mukmin, bila dia melihat kegelapan, maka dia teringat kegelapan alam kubur. Bila mendengar suara yang menakutkan, maka dia teringat tiupan sangkakala. Bila melihat kenikmatan, dia teringat kenikmatan surga. Bila melihat siksa, maka dia teringat azab neraka.

 

Makruh masuk pemandian (umum) menjelang matahari terbenam dan di antara Maghrib dan Isya, karena waktu tersebut adalah waktu setan bergentayangan.

 

Bentuk kedua dari membersihkan kotoran adalah bagian-bagian yang patut dibuang seperti mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan memotong kuku. Makruh mencabut uban dan dianjurkan untuk disemir.

 

Tahapan fhaharah lainnya akan hadir di bagian seperempat yang membinasakan dan yang menyelamatkan insya Allah.

 

PASAL

[Kitab Rahasia-Rahasia Shalat dan Perkara-Perkara Penting yang Berkaitan dengannya]

 

Shalat adalah tiang agama dan merupakan ketaatan yang utama. Ada banyak hadits dan masyhur tentang keutamaan shalat.

 

[Keutamaan Khusyu’]

 

Di antara adab terbaik dalam shalat adalah khusyu’. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidaklah seorang Muslim yang mendapatkan waktu shalat fardhu, lalu dia membaguskan wudhu, khusyu’ dan rukuknya, kecuali ia merupakan pelebur dosa-dosanya yang telah lalu selama dosa besar tidak dilakukan, dan hal itu berlaku sepanjang masa.”

 

Juga dari Utsman dari Nabi, bahwa beliau bersabda,

 

 

“Barangsiapa shalat dua rakaat, yang dia tidak berbicara kepada dirinya (kiusyu’) di dalanmya, maka dosa-dosanya yang telah berlalu diampuni,”

 

Ibnu az-Zubair berdiri dalam shalatnya, beliau seperti batang pohon karena khusyu’nya, dia sujud lalu burung-burung hinggap di punggungnya, karena menyangkanya fondasi dinding. Suatu hari beliau shalat di Hijir Isma’il, lalu batu terlontar di depannya dan menyeret sebagian bajunya, tapi beliau sedikit pun tidak bergeming.

 

Maimun bin Mihran berkata, “Aku tidak pernah sekalipun melihat Muslim bin Yasar menengok dalam shalatnya. (Suatu ketika) salah satu sudut masjid roboh, orang-orang pasar panik, namun dia yang sedang shalat di masjid, sama sekali tidak menengok.”

 

Bila Ali bin al-Husain berwudhu, wajahnya pucat, maka beliau ditanya, “Mengapa engkau selalu (pucat) begitu saat berwudhu?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian di depan siapa aku hendak berdiri (untuk shalat)?”

 

[Syarat-Syarat Batiniah dari Amal-amal Hati]

 

Ketahuilah, bahwa shalat mempunyai rukun-rukun, wajib-wajib, dan sunnah-sunnah. Ruhnya adalah niat, ikhlas, khusyu’ dan kehadiran hati. Shalat mengandung dzikir-dzikir, munajat, dan perbuatan-perbuatan. Tanpa kehadiran hati, tujuan dari dzikir dan munajat tidak akan tercapai. Karena bila ucapan yang tidak mengungkapkan apa yang ada di dalam jiwa, maka seperti igauan. Demikian juga tidak dapat menyampaikan tujuan dari perbuatan, karena bila tujuan dari berdiri adalah khidmat, tujuan rukuk dan sujud adalah pengagungan dan kerendahan, lalu hati tidak hadir, maka tujuannya tidak akan tercapai. Bila sebuah perbuatan menyimpang dari tujuannya, maka ia hanya sekadar bentuk yang tidak berarti. Allah berfirman,

 

“Daging-daging unta dan darahinya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapt ketakwaan dari kamulah yang dapat niencapainya.” (Al-Hajj: 37).

 

Intinya adalah bahwa yang sampai kepada Allah adalah perkara yang menguasai hati, sehingga ia mendorong untuk melakukan perintah-perintah yang dituntut kepadanya. Jadi kehadiran hati dalam shalat adalah keharusan, walaupun peletak syariat memaklumi kelalaian yang datang tiba-tiba, karena kehadiran hati di awal berlaku hukumnya untuk selanjutnya.

 

[Makna-Makna Batiniah yang Menjadikan Shalat Menjadi Hidup]

 

Makna-makna batin yang menjadikan shalat menjadi hidup berjumlah banyak:

 

Di antaranya adalah kehadiran hati, sebagaimana yang telah kami jelaskan, maknanya, menghilangkan perkara yang mencampurinya. Pemicunya adalah semangat tinggi, karena bila semangatmu terhadap suatu perkara tinggi, niscaya hatimu pasti hadir secara otomatis. Maka tidak ada cara menghadirkan hati selain memfokuskan konsentrasi kepada shalat. Fokusnya konsentrasi terkadang menguat dan terkadang melemah sesuai dengan kadar kuatnya iman kepada akhirat dan remehnya dunia. Bila engkau merasakan hatimu tidak hadir dalam shalat, maka sadarilah bahwa sebabnya adalah lemahnya iman, maka berusahalah untuk menguatkannya.

 

Makna kedua: Usaha memahami makna ucapan, karena itu adalah unsur yang penting dalam menghadirkan hati. Karena bisa saja hati hadir bersama lafazh tetapi bukan bersama makna, maka patut mengarahkan pikiran untuk memahami makna dengan menepis bisikan-bisikan yang menyibukkan dan memutus sebab-sebabnya, karena bila sebab-sebab tersebut tidak diputus, maka pikiran tidak akan berpaling darinya.

 

Sebab tersebut bisa bersifat lahir, yaitu sesuatu yang melenakan pendengaran dan penglihatan, dan bisa juga bersifat batin dan ini yang lebih berat. Seperti orang yang didera oleh tumpukan kesedihan di lembah-lembah kehidupan dunia, pikirannya tidak terbatas hanya di satu bidang saja, menundukkan pandangan tidak cukup baginya, karena apa yang terjadi di dalam hati sudah cukup menyibukkannya.

Obatnya: Bila sebab tersebut bersifat lahir, maka dengan memutuskan apa yang menyibukkan pendengaran dan penglihatan, mendekat ke kiblat, memandang ke tempat sujud, menjauhi tempat-tempat yang berhias, dan tidak membiarkan perkara yang menyibukkan indranya. Ketika Nabi shalat sementara di depannya ada anbijaniyalt” (pakaian) yang memiliki corak-corak, beliau melepaskannya dan bersabda,

 

“Sesunggulinya ini melalaikanku dari shalatku tadi.”

 

Bila sebab tersebut bersifat batin, maka cara mengatasinya adalah memaksa kembali kepada apa yang dibaca dalam shalat dan menyibukkan diri dengannya, menyiapkan diri untuk itu sebelum shalat dengan menyelesaikan kesibukan-kesibukannya, berusaha memfokuskan hatinya, memperbarui ingatan dirinya terhadap akhirat, ketegangannya berdiri di hadapan Allah, dan kengerian Hari Kiamat. Bila pikiran belum juga tenang dengan itu, maka hendaknya dia menyadari bahwa dia sedang memikirkan apa yang dia sukai dan gandrungi, maka hendaklah dia membuang hawa nafsu tersebut dan memutuskan gangguan-gangguan tersebut.

 

Ketahuilah, bila penyakit sudah bercokol dengan kuat, maka yang berguna melawannya hanyalah obat yang kuat pula. Bila penyakit kuat, maka ia akan menarik orang yang shalat, dan orang yang shalat juga berusaha menariknya sehingga terjadi tarik-menarik sampai selesai shalat. Perumpamaan hal ini adalah seperti seorang laki-laki yang berteduh di bawah pohon hendak menenangkan pikirannya, namun kicau burung-burung mengacaukannya, sementara tangannya memegang sebilah kayu untuk mengusirnya, pikirannya belum tenang namun burung-burung itu sudah kembali sehingga mereka menyibukkannya lagi. Dikatakan kepadanya, “Apa yang terjadi padamu tidak akan terhenti, bila engkau ingin bebas, maka tebanglah pohon itu.” Demikian juga pohon hawa nafsu, bila ia sudah membumbung tinggi dan dahandahannya bercabang, maka pikiran-pikiran akan tertuju kepadanya seperti burung-burung yang tertarik kepada pohon dan lalat tertarik kepada tempat kotor. Akibatnya umur yang berharga habis hanya untuk mengusir apa yang tidak bisa terusir, dan sebab hawa nafsu yang menghadirkan pikiran-pikiran ini adalah cinta kepada dunia.

 

Dikatakan kepada Amir bin Abd Qais, “Apakah jiwamu membisikimu dengan perkara dunia kepadamu dalam Shalat?” Dia menjawab, “Ujung anak tombak berkelebatan menusukku adalah lebih aku sukai daripada aku mendapati hal itu.”

 

Ketahuilah, bahwa memutuskan cinta dunia dari hati adalah sesuatu yang sulit, menghilangkan secara total terasa berat, maka hendaknya diarahkan dengan sungguh-sungguh kepada apa yang memungkinkan darinya, dan yang memberikan pertolongan dan taufik hanyalah Allah semata.

 

Makna Ketiga: Mengagungkan Allah dan merasakan kemuliaanNya. Ini muncul dari dua perkara: Mengenali keagungan dan kebesaran Allah dan mengenali kerendahan jiwa kita (di hadapan Allah) dan jiwa kita diperhamba. Dari dua pengetahuan ini muncul ketundukan dan kekhusyu’an.

 

Di antaranya adalah sikap raja’ (berharap). Berharap (raja’) memiliki makna lebih dari sekadar rasa takut; berapa banyak orang yang menghormati seorang raja, dia takut kepadanya karena mencemaskan kemarahannya sebagaimana dia juga berharap kebaikannya.

 

[Rincian tentang Apa yang Patut Hadir dalam Hati pada Setiap Rukun dan Syaratdari Bacaan serta Gerakan Shalat]

 

Seseorang hendaklah berharap pahala dengan shalatnya, sebagaimana dia takut hukuman bila melalaikannya.

 

Orang yang shalat hendaklah menghadirkan hatinya pada setiap bagian shalatnya. Bila mendengar panggilan muadzin, hendaknya mengumpamakannya dengan panggilan Kiamat dan menyingsingkan lengan baju untuk segera memenuhinya. Merenungkan dengan apa dia menjawab dan bagaimana badannya hadir. Bila dia menutup auratnya (untuk menghadiri shalat), hendaklah dia mengetahui bahwa maksud darinya adalah menutupi aib-aib pada tubuhnya dari pandangan manusia, hendaklah dia mengingat aurat batin dan aib hatinya yang tidak diketahui kecuali oleh Allah dan tidak ada yang bisa menutupinya dariNya, dan yang dapat menghapus aib-aib batin itu adalah penyesalan, rasa malu, dan rasa takut (kepadaNya).

 

Bila menghadap kiblat, maka dia telah memalingkan wajahnya dari segala arah menuju arah Baitullah, maka (hendaklah seseorang menyadari bahwa) mengarahkan hatinya kepada Allah adalah lebih patut dari itu. Sebagaimana seseorang tidak mungkin menghadap ke arah Ka’bah kecuali dengan meninggalkan arah-arah yang lain. Demikian juga dengan hati, ia tidak menghadap kepada Allah kecuali dengan meninggalkan selain Allah.

 

Bila engkau bertakbir, wahai orang yang shalat, maka hatimu jangan mendustakan lisanmu, kecuali bila dalam hatimu terdapat sesuatu yang lebih besar daripada Allah, maka saat itu engkau berdusta. Maka berhati-hatilah, jangan sampai hawa nafsumu lebih besar; dengan bukti bahwa engkau lebih mementingkannya di atas ketaatan kepada Allah.

 

Bila engkau membaca ta’awwudz, maka sadarilah bahwa isti’adzah adalah berlindung kepada Allah, bila engkau tidak berlindung dengan hatimu, maka ucapanmu itu sia-sia. Maka berusahalah memahami makna apa yang engkau baca, hadirkan hatimu dengan penuh pemahaman terhadap Firman Allah,

 

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Fatihah: 2).

 

Resapilah kelembutan Allah pada FirmanNya,

 

“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Fatihah: 3).

 

Renungkanlah keagunganNya pada Firman Allah,

 

“Yang menguasai Hari Pembalasan.” (Al-Fatihah: 4). Demikian seterusnya dengan apa yang engkau baca. 

 

Kami meriwayatkan dari Zurarah bin Aufa bahwa dia membaca dalam shalatnya, Surat al-Muddatstsir, dan ketika sampai ayat,  “Apabila sangkakala telah ditiup,” maka dia tersungkur menjadi mayat. Hal itu tidak lain kecuali karena dia membayangkan kondisi tersebut, maka akibatnya dia pun meninggal saat itu juga.

 

Rasakanlah tawadhu’ dalam rukukmu, tambahan kehinaan dalam sujudmu, karena engkau telah meletakkan jiwa pada tempatnya, engkau mengembalikan cabang ke asalnya dengan bersujud di atas tanah yang darinya engkau tercipta. Pahamilah makna dzikir-dzikirnya dengan penuh perasaan dan penghayatan.

 

Ketahuilah, bahwa menunaikan shalat dengan syarat-syarat batin ini merupakan sebab bersihnya hati dari karat dan noda, dan diraihnya cahaya-cahaya padanya yang dengannya seorang hamba dapat menyingkap keagungan Tuhan yang disembahnya dan membuka rahasia-rahasiaNya,

 

“Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-Ankabut: 43)

 

Adapun orang yang menunaikan shalat secara lahir tanpa maknamaknanya, maka dia tidak akan melihat apa pun darinya, sebaliknya dia mengingkari keberadaannya.

 

PASAL

 

ADAB-ADAB YANG BERKAITAN DENGAN SHALAT JUM’AT DAN HARI JUM’AT

 

Adab-adab tersebut berjumlah kurang lebih lima belas:

 

Pertama: Hendaknya bersiap-siap sejak dari hari Kamis dan maJam Jum’at dengan membersihkan diri, mencuci baju, dan menyiapkan segala kebutuhannya.

 

Kedua: Mandi di hari itu, sebagaimana yang diajarkan oleh beberapa hadits dalam ash-Shahihain dan lainnya. Waktu yang paling utama untuk mandi adalah sesaat sebelum berangkat ke Shalat Jum‘at.

 

Ketiga: Menghias diri dengan membersihkan tubuh, memotong kuku, bersiwak, dan lain-lainnya sebagaimana yang sudah disebutkan pada pembahasan menghilangkan kotoran, memakai wewangian dan menggunakan pakaian terbaik yang dimilikinya.

 

Keempat: Berangkat di awal waktu kepadanya dengan berjalan kaki. Orang yang berangkat ke masjid, hendaknya berjalan dengan tenang dan khusyu’, berniat i’tikaf di sana sampai dia keluar darinya.

 

Kelima: Hendaknya tidak melangkahi pundak orang-orang, tidak memisahkan dua orang kecuali bila ada celah yang kosong dan melangkah di antara dua orang untuk mengisi tempat yang kosong tersebut.

 

Keenam: Hendaknya tidak lewat di depan orang yang sedang shalat.

 

Ketujuh: Berusaha mendapatkan shaf pertama, kecuali bila melihat atau mendengar suatu kemungkaran, maka memilih tempat di belakang memiliki alasan yang dibenarkan.

 

Kedelapan: Hendaknya menghentikan shalat dan dzikir manakala imam telah keluar menuju mimbar, menyibukkan diri dengan menjawab muadzin kemudian menyimak khutbah.

 

Kesembilan: Hendaknya melaksanakan shalat sunnah ba’diyah Jumiat, bisa dua rakaat, bisa juga empat rakaat, bisa pula enam rakaat.

 

Kesepuluh: Berusaha tetap tinggal di masjid sampai Ashar, bila sampai Maghrib, maka tentu lebih utama.

 

Kesebelas: Mencari saat yang mulia yang ada di Hari Jum‘at dengan menghadirkan hati dan selalu berdzikir.

 

Mengenai saat tersebut, ada perbedaan pendapat. Pada hadits yang diriwayatkan sendiri oleh Muslim dari Abu Musa disebutkan bahwa

 

saat tersebut adalah antara duduknya imam sampai selesai shalat.”

 

Hadits lain menunjukkan bahwa saat tersebut di antara selesainya imam dari khutbah sampai shalat ditunaikan.’

 

Hadits lain menunjukkan bahwa saat tersebut adalah saat-saat terakhir (menjelang Maghrib) ba’da Shalat Ashar.”

 

Dalam hadits Anas Nabi bersabda,

 

“Carilah ia (saat mulia dan mustajab tersebut) antara shalat Ashar sampai terbenam matahari.”‘

 

Abu Bakar al-Atsram berkata, “Hadits-hadits (tentang waktu mulia dan terkabulnya doa di Hari Jum’at) ini tidak terlepas dari dua sisi: Ada kemungkinan sebagian darinya lebih shahih dari sebagian yang lain. Ada kemungkinan saat tersebut berpindah-pindah waktunya seperti berpindah-pindahnya malam lailatul qadar di sepuluh malam akhizr.

 

Kedua belas: Memperbanyak shalawat kepada Nabi di Hari Jumi’at. Diriwayatkan dari beliau bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa bershalawat kepadaku di Hari Jum’at sebanyak 80 kali, maka Allah mengampuni dosanya selama 80 tahun.”

 

Bila mau maka shalawat kepada beliau bisa ditambah dengan doa untuk beliau, seperti dengan mengucapkan,

 

“Ya Allah, berikanlah kepada Muhammad al-wasilah, keutamaan, dan derajat yang tinggi. Bangkitkanlah beliau kepada maqam mahmud (kedudukan terpuji) yang Engkau janjikan kepadanya. Ya Allah, balaslah jasa baik Nabi kami atas kami dengan balasan yang pantas baginya.”

 

Hendaknya pula menambahkan istighfar di samping shalawat, karena ia dianjurkan pada hari itu.

 

Ketiga belas: Hendaknya membaca Surat al-Kahfi. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Maukah kalian aku sampaikan sebuah surat yang keagungannya memenuhi antara langit dan bumi dan bagi penulisnya pahala seperti itu. Barangsiapa membacanya di Hari Jum’at, maka diampuni dosanya antara Jum’at tersebut dengan Jum’at yang lainnya ditambah tiga hari. Barangsiapa membaca lima ayat terakhir darinya saat hendak tidur, maka Allah membangkitkannya di bagian malam mana pun yang dia ingin.” Mereka menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Surat al-Kahfi.”

 

Diriwayatkan dalam hadits lain bahwa barangsiapa membacanya di hari atau malam Jumi’at, maka dia dijaga dari fitnah.

 

Dianjurkan memperbanyak membaca al-Qur’an di Hari Jumi‘at, mengkhatamkan al-Qur’an di Hari Jum’at atau di malam Jumi’at bila memungkinkan.

 

Keempat belas: Hendaknya bersedekah di Hari Jum’at dengan apa yang mungkin, dan hendaknya sedekahnya di luar masjid. Dan dianjurkan pula shalat tasbih di Hari Jum‘at.

 

Kelima belas: Hendaknya menjadikan Hari Jum’at untuk amalamal akhirat dan menahan diri dari kesibukan-kesibukan dunia.

 

PASAL

TENTANG SHALAT-SHALAT SUNNAH (AN-NAWAFIL)

 

Ketahuilah, bahwa shalat selain shalat fardhu terbagi menjadi tiga: Sunnah, mustahab, dan tathawwu’. Maksud kami dengan sunnah adalah shalat yang dinukil dari Nabi bahwa beliau menjaganya seperti shalat rawatib yang mengiringi shalat fardhu dan shalat witir.

 

Maksud kami dengan mustahab adalah shalat yang keutamaannya ditetapkan oleh hadits namun tidak dinukil dari beliau bahwa beliau menjaganya, seperti shalat saat masuk rumah dan hendak meninggalkannya.

 

Maksud kami dengan tathawwu’ adalah selain itu yang mana tidak ada hadits yang menetapkannya, hanya saja seorang hamba bertathawwu’ dengan mengerjakannya.

 

Ketiga bentuk ini disebut an-Nawafil (shalat-shalat sunnah), karena makna kata ,adalah tambahan, dan ini adalah tambahan di samping shalat fardhu.

 

Ketahuilah, bahwa tathawwu’ badan yang paling utama adalah shalat. Macam-macam an-Nawafil dan keutamaannya masyhur dan disebutkan dalam buku-buku fikih, kami menyebutkan darinya shalat tasbih, karena shalat ini terkadang belum diketahui sifatnya oleh sebagian kaum Muslimin. Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda kepada al-Abbas,

 

“Wahai paman, maukah engkau aku bert, maukah engkau aku ajari…,” lalu beliau menyebutkan hadits selengkapnya sampai,

 

“Shalatlah empat rakaat, di setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan surat, jika telah menyelesaikan bacaan, maka ucapkanlah di awal rakaat saat engkau masih berdiri,

 

‘Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah dan tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Allah Mahabesar,’

 

sebanyak lima belas kali kemudian rukuklah dan bacalah ia (doa di atas) sebanyak sepuluh kali, lalu angkat kepalamu dan bacalah ia sebanyak sepuluh kali, lalu bersujudlah dan bacalah ia sebanyak sepuluh kali, lalu angkat kepalamu dan bacalah ia sebanyak sepuluh kali, lalu bersujudlah dan bacalah ia sebanyak sepuluh kali, lalu angkat kepalamu dan bacalah sebanyak sepuluh kali sebelum kamu berdiri. Semuanya berjumlah tujuh puluh lima dalam satu rakaat. Dan engkau melakukan itu dalam empat rakaat. Bila engkau bisa melakukannya sekali dalam sehari, maka lakukanlah. Bila tidak maka lakukanlah sekali dalam sepekan, jika engkau tidak bisa maka sekali dalam sebulan. Bila tidak bisa maka lakukanlah sekali dalam sebulan, bila engkau tidak bisa maka sekali setiap tahun, bila tidak bisa maka sekali seumur hidup.”

 

PASAL

 

[Waktu-Waktu Terlarang untuk Shalat]

 

Shalat tathawwu’ tidak boleh dilakukan di waktu-waktu yang dilarang mendirikan shalat, dan ini berlaku untuk shalat yang tidak mempunyai sebab, seperti shalat tasbih, karena larangan untuk shalat padanya cukup tegas sementara semua ini lemah sehingga tidak kuat mengimbanginya. Adapun shalat yang mempunyai sebab seperti tahiyatul masjid, shalat kusuf, istisqa’ dan sepertinya maka ada dua riwayat.

 

Dan ketahuilah, bahwa larangan untuk shalat di waktu-waktu larangan yang berjumlah tiga mempunyai rahasia-rahasia (hikmahhikmah):

 

Pertama: Agar tidak menyerupai para penyembah matahari.

 

Kedua: Agar tidak sujud kepada tanduk setan, sebab matahari terbit diiringi oleh tanduk setan, bila matahari naik, maka tanduk tersebut berpisah darinya, bila matahari di atas kepala, maka ia menyertainya lagi, bila sudah tergelincir maka ia berpisah darinya, bila ia hampir terbenam maka ia mengiringi lagi dan bila ia terbenam maka ia berpisah darinya.

 

Ketiga: Orang-orang yang berjalan menuju alam akhirat selalu menjaga ibadah, menekuni ibadah dengan pola yang sama menyebabkan kejenuhan, bila sesaat dilarang maka akan memicu semangat, sebab jiwa menyukai apa yang dilarang, maka seseorang dilarang shalat di waktu larangan tetapi tidak dilarang melakukan ibadah yang lain seperti membaca al-Qur’an dan tasbih. Maka hendaknya orang yang beribadah berpindah dari satu keadaan ke keadaan lainnya, sebagaimana shalat terbagi ke dalam beberapa perbuatan, berdiri, duduk, rukuk, dan sujud. Wallahu a’lam.

 

Zakat adalah salah satu bangunan Islam, Allah menyandingkannya dengan shalat, Dia berfirman,

 

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 43, 83, 110; an-Nisa’: 77, an-Nur: 56 dan al-Muzzammil: 20).

 

Adapun jenis-jenis, bagian-bagian dan sebab-sebab kewajiban zakat adalah perkara yang jelas dan masyhur dalam buku-buku fikih, kami di sini hanya menyebutkan sebagian syarat dan adab.

 

[Menunaikan Zakat, Syarat-Syaratnya yang Zahir dan yang Batin]

 

Di antara syarat-syaratnya adalah hendaknya orang yang berzakat membayar dengan harta yang sudah ditetapkan oleh teks dalil, dan tidak menggantinya dengan nilai atau harganya menurut pendapat yang shahih. Pihak yang membolehkan menggantinya dengan harga hanya mempertimbangkan sisi memenuhi kebutuhan semata, padahal memenuhi kebutuhan bukan merupakan maksud zakat secara keseluruhan, akan tetapi hanya sebagian, sebab kewajiban-kewajiban syara’ itu terbagi menjadi tiga bagian:

 

Pertama: Ta’abbud murni (hak Allah), seperti melempar jamarat, apa yang diinginkan oleh peletak syariat darinya adalah sekadar ujian agar hamba melaksanakannya, sehingga terlihat penghambaan hamba dengan melakukan sesuatu yang sisi maknanya (hikmahnya) tidak dipahami, sebab sesuatu yang maknanya dipahami, tabiat mendorong dan membantunya untuk mengerjakannya, sehingga nilai murni ibadah padanya tidak nampak jelas, berbeda dengan apa yang kami sebutkan.

 

Kedua: Kebalikan dari yang pertama (hak hamba), yaitu perbuatan yang tujuannya bukan ibadah akan tetapi hak manusia semata, seperti membayar utang, mengembalikan barang yang diambil dengan gasab (merampas) dan yang sepertinya, niat dan perbuatan tidak menjadi pertimbangan, sebaliknya dengan cara apa pun hak tersebut sampai kepada pemiliknya, maka tujuannya sudah terwujud dan perintah syariat sudah gugur karena sudah terlaksana. Dua bagian ini tidak bisa digandengkan.

 

Ketiga: Hak yang bergandengan (hak Allah dan hak hamba) yang dimaksudkan dua perkara sekaligus, yaitu ujian bagi orang yang mukalaf dan menunaikan hak hamba. Padanya terkumpul sisi ta’abbud melempar jumrah dan bagian mengembalikan hak. Dalam kondisi ini makna yang paling cermat tidak patut dikesampingkan, yaitu makna ta‘abbud, karena kemungkinan besar makna yang lebih cermat inilah yang lebih penting. Dan zakat termasuk bagian ini, bagian orang miskin termasuk ke dalam pintu menutupi kebutuhan, sedangkan maksud syara’ adalah ta’abbud dengan membatasi diri hanya pada harta yang telah ditetapkan oleh teks dalil. Dan dengan pertimbangan ini, zakat menjadi sejalan dengan shalat dan haji. Wallahu a’lam.

 

PASAL

DETAIL ADAB-ADAB BATIN DALAM ZAKAT

 

Ketahuilah, bahwa orang yang menginginkan akhirat patut memahami adab-adab zakat berikut:

 

Pertama: Memahami maksud dari zakat, yaitu tiga perkara: Pertama, ujian kepada orang yang mengaku mencintai Allah dengan mengeluarkan apa yang dicintainya. Kedua, membersihkan diri dari sifat kikir yang mencelakakan. Dan ketiga, mensyukuri nikmat harta.

 

Kedua: Membayarnya secara rahasia, karena cara ini lebih menjauhkannya dari riya’’ dan sum’ah, sebaliknya menampakkannya merendahkan orang miskin. Bila khawatir dituduh tidak membayar zakat, maka silakan memberi orang fakir yang tidak sungkan menerima di depan khalayak secara terbuka dan tetap memberi selainnya secara rahasia.

 

Ketiga: Jangan merusaknya,

 

“dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-Baqarah: 264).

 

Yang demikian itu karena bila seseorang melihat dirinya telah berbuat baik kepada orang miskin, berjasa atasnya dengan pemberiannya, maka tidak tertutup kemungkinan hal tersebut terjadi pada dirinya. Tetapi seandainya seseorang merenung, niscaya dia akan tahu bahwa ternyata orang miskin juga telah berbuat baik kepadanya dengan menerima hak Allah yang bagi orang yang berzakat merupakan pembersih. Di samping itu, bila dia menyadari bahwa pembayaran zakatnya merupakan wujud syukurnya atas nikmat harta, maka tidak ada lagi jasa baik darinya kepada orang miskin, tidak patut merendahkan orang fakir karena kefakirannya, karena keutamaan (kemuliaan) bukan dengan harta dan keutamaan tidak akan berkurang karena tidak ada harta.

 

Keempat: Menganggap pemberiannya itu kecil, karena orang yang menganggap besar perbuatannya dia akan merasa ujub dengannya. Ada yang berkata, ‘”Kebaikan tidak sempurna kecuali dengan tiga perkara: Pertama, dengan menganggapnya kecil, kedua, dengan menyegerakannya dan ketiga, dengan menutupinya.”

 

Kelima: Memilih dari hartanya apa yang paling halal, paling bagus, dan paling dicintainya.

 

Harus yang halal, adalah karena 

 

” Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Mahabaik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik.”

 

Yang paling bagus, karena Allah telah berfirman,

 

“Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya.” (Al-Baqarah: 267).

 

Orang yang berzakat patut mempertimbangkan dua perkara dalam hal ini:

 

Pertama: Hak Allah dengan mengagungkanNya, karena pemilihan yang terbaik paling patut diberikan kepada Allah. Seandainya seseorang menyuguhkan kepada tamunya makanan yang buruk, niscaya akan menyesakkan dada sang tamu.

 

Kedua: Hak diri sendiri, karena apa yang dia berikan adalah apa yang akan dia petik esok hari di Hari Kiamat, maka sudah sepatutnya memilih yang lebih bagus untuk dirinya.

 

Dan yang paling dicintai, adalah karena Firman Allah,

 

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintat.” (Ali Imran: 92).

 

Ibnu Umar, bila sangat mencintai sesuatu, maka beliau bertaqarrub kepada Allah (dengan menyedekahkannya). Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah singgah di al-Juhfah, saat itu beliau sedang sakit. Beliau berkata, “Aku ingin sekali makan ikan.” Maka keluarganya mencarikannya, mereka hanya mendapatkan sedikit ikan. Lalu istrinya memasaknya untuknya dan menyuguhkannya, tiba-tiba seorang miskin datang, maka Ibnu Umar berkata, “Ambillah.” Maka keluarganya berkata kepadanya, “Subhanallah, engkau sudah melelahkan kami. Kami masih punya yang lain untuk diberikan kepada orang itu.” Dia menjawab, “Justru karena Abdullah mencintainya.”

 

Diriwayatkan bahwa seorang pengemis berdiri di pintu ar-Rabi’ bin Khutsaim, dia berkata, “Beri dia gula.” Keluarganya menjawab, “Roti lebih bermanfaat baginya.” Dia berkata, “Celaka kalian, beri dia gula, karena sesungguhnya ar-Rabi’ menyukai gula.”

 

Keenam: Mencari orang-orang baik sebagai penerima sedekah. Mereka adalah orang-orang dengan kriteria khusus dari delapan golongan secara umum. Sifat-sifatnya adalah:

 

Sifat pertama: Takwa. Hendaknya seseorang mengkhususkan zakatnya untuk orang-orang yang bertakwa, karena hal itu membantu mereka untuk tetap berkonsentrasi kepada Allah.

 

Amir bin Abdullah bin az-Zubair memilih para ahli ibadah saat mereka sedang sujud, dia datang kepada mereka membawa kantong berisi dinar dan dirham, lalu dia meletakkan di sandal-sandal mereka, hingga mereka merasakan hal itu walaupun tidak mengetahui tempatnya. Amir ditanya, “Mengapa engkau tidak mengirimkannya kepada mereka?” Dia menjawab, “Saya tidak suka wajah mereka memerah saat melihat utusanku atau saat bertemu denganku.”

 

Sifat kedua: IImu. Memberikan zakat kepada ulama membantu ilmu dan menyebarkan agama, karena hal itu dapat membantu memperkokoh syariat.

 

Sifat ketiga: Hendaknya penerima termasuk orang yang meyakini bahwa segala kenikmatan adalah dari Allah semata, tidak menoleh kepada sebab-sebab kecuali apa yang dianjurkan kepadanya untuk berterima kasih kepadanya. Adapun orang yang terbiasa memuji saat diberi, maka dia akan mencela saat tidak diberi.

 

Sifat keempat: Menjaga diri sekalipun miskin, menutupi hajatnya, memendam keluh kesah, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.” (Al-Bagarah: 273).

 

Orang-orang seperti mereka tidak akan didapati dalam daftar zakat dan sedekah kecuali setelah dicari dan bertanya kepada setiap penduduk tentang keadaannya.

 

Sifat kelima: Hendaknya dia berkeluarga atau sakit atau memikul utang. Orang ini termasuk orang-orang yang tertahan oleh sesuatu sehingga tidak mampu bekerja, memberikan sedekah (zakat) kepadanya seakan membuka ikatan yang menahannya.

 

Sifat keenam: Hendaknya dia termasuk kerabat dan mempunyai hubungan rahim, karena sedekah kepada mereka adalah sedekah sekaligus menyambung silaturahim. Orang yang mempunyai dua sifat tersebut atau lebih, maka memberinya lebih utama.

 

PASAL

ADAB-ADAB PENERIMA ZAKAT

 

Penerima zakat harus dari delapan golongan (yang berhak menerima zakat). Dalam hal ini mereka mempunyai adab-adab yang patut mereka jaga:

 

Pertama: Memahami bahwa Allah ss menetapkan pembayaran zakat kepadanya untuk menutupi kebutuhannya dan menjadikan pikirannya fokus terhadap satu hal, yaitu mencari ridha Allah.

 

Kedua: Berterima kasih kepada pemberi, memuji dan mendoakannya, namun hendaknya hal itu sebatas berterima kasih kepada sebab, karena

 

“Barangsiapa tidak berterima kasih kepada orang lain, berarti dia tidak bersyukur kepada Allah.”

 

Sebagaimana hal itu tercantum dalam hadits. Dan termasuk bentuk berterima kasih adalah tidak meremehkan pemberian sekalipun hanya sedikit, tidak mencelanya dan menutupi aib yang ada padanya, sebagaimana kewajiban pemberi adalah merasa bahwa pemberiannya tidak besar, maka demikian juga kewajiban penerima, merasa bahwa apa yang diterimanya adalah besar. Semua itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar bahwa nikmat adalah dari Allah. Adapun orang yang tidak melihat perantara sebagai perantara, maka dia adalah orang jahil, yang mungkar adalah melihat perantara sebagai asal (sumber nikmat).

 

Ketiga: Melihat apa yang diberikan kepadanya, bila bukan dari harta yang halal, maka dia tidak menerimanya sama sekali, karena mengeluarkan harta orang lain bukanlah zakat. Bila harta tersebut adalah harta syubhat, maka sebaiknya tidak menerima, kecuali bila terpaksa. Barangsiapa kebanyakan pemasukannya adalah harta haram, lalu dia mengeluarkan zakat sementara pemiliknya tidak mengetahui untuk apa dikeluarkan, maka difatwakan agar dia menyedekahkannya, maka orang fakir boleh menerimanya sesuai dengan kebutuhannya manakala keadaan terasa sempit baginya dan tidak mampu mendapatkan yang bersih.

 

Keempat: Menjaga diri dari syubhat pada kadar harta yang diterimanya, dengan hanya mencrima kadar yang dibolehkan (mubah) baginya, tidak menerima lebih dari kebutuhannya. Bila dia berutang, maka hanya mengambil sejumlah utangnya, bila dia seorang prajurit perang, maka dia hanya mengambil sesuai dengan hajatnya. Bila dia menerima dengan alasan kemiskinan, maka dia menerima sesuai dengan kebutuhannya tanpa memperkaya diri. Semua itu kembali kepada ijtihadnya, dan bentuk kehati-hatian adalah meninggalkan apa yang diragukan.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang kadar kecukupan yang membuat seseorang dilarang menerima zakat. Pendapat yang shahih adalah memiliki kadar harta yang mencukupi (kebutuhan) secara terusmenerus melalui perniagaan atau keterampilan atau sewa-menyewa tanah atau selainnya. Bila seseorang hanya mempunyai kadar yang memenuhi sebagian hajatnya, maka dia menerima bagian yang menggenapinya. Bila dia tidak mempunyai itu, maka dia mengambil apa yang mencukupinya.

 

Hendaknya hanya menerima kadar kecukupan selama satu tahun, tidak lebih. Satu tahun menjadi pertimbangan, karena bila ia berlalu, maka tiba masa menerima kembali, bila dia menerima lebih, maka berarti dia mempersempit hak fakir miskin yang lain.

 

PASAL

SEDEKAH SUNNAH, KEUTAMAAN, DAN ADAB-ADABNYA

 

Keutamaan sedekah sunnah banyak dan masyhur:

 

Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya sendiri?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, tidak seorang pun dari kami kecuali lebih mencintai hartanya sendiri.” Nabi bersabda, ” Sesungguhnya harta seseorang adalah apa yang dinafkahkan (semasa hidupnya) dan harta alili warisnya adalah apa yang dia simpan.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Barangsiapa bersedekah seberat biji kurma dari hasil usaha yang baik, dan tidak akan naik kepada Allah kecuali yang baik sajamaka sesungguhnya Allah menerimanya dengan Tangan kananNya kemudian mengembangkannya untuknya sebagaimana salah seorang di antara kalian memelihara anak kudanya, sehingga sedekah itu menjadi seperti gunung.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Sesungguhnya sedekah memadamkan murka ar-Rabb dan menjaga dari kematian buruk.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya sedekah adalah yang membebaskan kalian dari neraka.”

 

Dari Buraidah  dari Rasulullah bahwa beliau bersabda,

 

“Tidaklah seseorang mengeluarkan sesuatu dari sedekah sehingga ia (sedekah itu) melepaskannya dari jepitan 70 setan.”

 

Diriwayatkan bahwa seorang rahib beribadah selama 60 tahun dalam biaranya. Suatu hari dia turun dengan membawa sepotong roti, lalu seorang wanita menghadangnya dan memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya yang menggiurkan, lalu rahib tersebut terjatuh ke dalam pelukannya, ajal kematian datang sementara ia dalam kondisi tersebut. Pada saat seperti itu seorang pengemis datang, maka rahib itu memberinya sepotong roti yang dibawanya dan akhirnya dia mati. Amal 60 tahun dihadirkan, diletakkan di atas salah satu daun timbangan dan kesalahannya di daun yang lainnya, maka kesalahannya lebih berat, lalu sepotong roti dihadirkan dan diletakkan bersama amalnya, maka ia mengalahkan berat kesalahannya.

 

Dalam hadits yang hanya diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

Diriwayatkan dari Aisyah ,

 

“Bahwasanya orang-orang menyembelih seekor kambing, lalu Nabi bertanya, ‘Apa yang tersisa darinya?’ Aisyah menjawab, ‘Yang tersisa hanyalah sampilnya (paha depan).’ Rasulullah bersabda, ‘Yang tersisa adalah semuanya kecuali sampilnya (paha depan)’.”

 

Adapun adab-adabnya, maka sama dengan adab-adab zakat. Para ulama berbeda pendapat, apa yang lebih utama bagi orang miskin, menerima zakat atau menerima sedekah? Ada yang berkata dari zakat lebih utama. Ada yang berkata dari sedekah lebih utama.

 

Sedangkan tentang sedekah paling utama adalah sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah – bahwa beliau berkata, Rasulullah ditanya,

 

“Sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Kamu bersedekah sementara kamu masih sehat, mencintai harta, takut miskin dan ingin kaya. Dan jangan menunda sampat ‘ketika nyawa telah sampai di kerongkongan (sakaratul maut).’ (Al-Wagqi’ah: 83), lalu kamu berkata, ‘(Berikan) untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian.’ Padahal hartanya itu telah menjadi milik fulan.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Ketahuilah, bahwa puasa mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh selainnya, yaitu penyandarannya kepada Allah 4 di mana Dia berfirman,

 

“Puasa itu untukKu dan Aku yang membalasnya.”

 

Penyandaran ini cukup memberinya kemuliaan sebagaimana alBait (Ka’bah) mendapatkan kemuliaan dengan disandarkan kepada Allah dalam FirmanNya,

 

“Sucikanlah rumahKu.” (Al-Hajj: 26).

 

Puasa diberi keutamaan karena dua perkara:

 

Pertama: Ia adalah rahasia dan merupakan amal batin, manusia tidak melihatnya dan tidak dimasuki oleh riya’’.

 

Kedua: Ia mengalahkan musuh Allah (yaitu setan), karena senjata musuh Allah itu adalah hawa nafsu dan syahwat yang akan menjadi kuat dengan makan dan minum. Selama lahan hawa nafsu dan syahwat itu subur, maka selama itu setan akan hilir mudik ke tempat tersebut, sebaliknya meninggalkan hawa nafsu dan syahwat (dengan berpuasa) mempersempit jalan-jalan bagi mereka.

 

Banyak dalil yang menunjukkan keutamaan puasa dan ia adalah masyhur.

 

PASAL

SUNNAH-SUNNAH PUASA

 

Dianjurkan sahur dan mengakhirkannya. (Sebaliknya disunnahkan) menyegerakan berbuka dan berbuka dengan makan kurma.

 

Dianjurkan bermurah hati di bulan Ramadhan, melakukan kebaikan, banyak bersedekah dalam rangka meneladan Rasulullah

 

Dianjurkan tadarus al-Qur‘an, i’tikaf di bulan Ramadhan khususnya di sepuluh akhir darinya dan meningkatkan ibadah pada bulan tersebut.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Aisyah , beliau berkata,

 

“Bila Nabi memasuki sepuluh malam yang akhir (di bulan Ramadhan), beliau mengencangkan ikatan kain beliau, menghidupkan malam, dan membangunkan keluarga beliau.”

 

Ulama menyebutkan dua makna dari kata  (mengencangkan ikatan kain beliau):

 

Pertama: Meninggalkan (menjauhi) istri.

 

Kedua: Kinayah untuk kesungguhan dan menyingsingkan lengan baju dalam beramal.

 

Mereka berkata, “Nabi bersungguh-sungeguh di sepuluh akhir Ramadhan karena berharap berjumpa lailatul qadar.”

 

RAHASIA-RAHASIA DAN ADAB-ADAB PUASA

 

Puasa mempunyai tiga tingkatan: Puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus dari yang khusus.

 

Puasa umum adalah menahan perut dan kelamin dari memenuhi hawa nafsunya.

 

Puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, dan anggota badan lainnya dari dosa-dosa.

 

Puasa khusus dari yang khusus adalah puasa hati dari keinginan yang rendah, pikiran yang menjauhkan dari Allah, menahannya dari selain Allah secara total. Puasa ini memerlukan penjelasan yang hadir bukan di sini.

 

Di antara adab puasa khusus adalah menundukkan pandangan dan menjaga lisan dari mengucapkan kata-kata yang menyakiti, berupa kata-kata yang haram atau makruh atau kata-kata yang tidak berguna serta menjaga anggota tubuh lainnya.

 

Dalam hadits dari riwayat al-Bukhari bahwa Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makanan dan minumannya.”

 

Adabnya yang lain adalah tidak mengisi penuh perut dengan makanan di malam hari, sebaliknya hanya makan sebatas kebutuhan, karena,

 

“Tidaklah anak cucu Adam mengisi bejana yang lebih buruk daripada perut.”

 

Bila di awal malam sudah kenyang, maka orang tersebut tidak dapat mengambil manfaat di sisa malamnya. Demikian pula, bila dia kenyang saat sahur, maka dia tidak mengambil manfaat dari waktunya sampai menjelang Zhuhur, karena banyak makan menyebabkan kemalasan dan menjadikan badan terasa berat. Tujuan dari puasa terlewatkan dengan banyak makan, karena yang dimaksud darinya adalah supaya dia merasakan kelaparan dan meninggalkan syahwatnya.

 

[Puasa Tathawwu’ (Sunnah) dan Urutan-Urutannya]

 

Adapun puasa tathawwu’, ketahuilah bahwa dianjurkannya berpuasa lebih ditekankan pada waktu-waktu yang utama. Di antaranya:

 

Sebagian, ada dalam setiap tahun, seperti puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, puasa Arafah, Asyura’, sepuluh Dzul Hijjah dan Muharram.

 

Sebagiannya ada yang terulang setiap bulan seperti awal bulan, tengah, dan akhirnya. Barangsiapa berpuasa di awal bulan, tengah, dan akhirnya, dia melakukan kebaikan, hanya saja yang paling utama adalah menjadikan 3 hari yaitu ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15).

 

Sebagian lagi, ada yang terulang setiap pekan, yaitu Senin dan Kamis.

 

Puasa tathawwu’ yang paling utama adalah puasa Dawud, yaitu berpuasa satu hari dan berbuka satu hari, dan hal itu menyatukan tiga makna:

 

Pertama: Jiwa mendapatkan haknya saat berbuka dan meraih ibadahnya saat berpuasa. Inilah keadilan, sebab ia menyatukan apa yang menjadi hak dan kewajibannya.

 

Kedua: Hari berbuka adalah hari syukur dan hari puasa adalah hari sabar. Iman terdiri dari dua bagian syukur dan sabar.

 

Ketiga: Hal itu lebih sulit bagi jiwa dalam bermujahadat, karena saat ia sudah terbiasa dengan suatu keadaan, tiba-tiba dialihkan pada keadaan yang lain.

 

Adapun puasa sepanjang waktu, maka dalam hadits yang hanya diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Qatadah bahwa Umar bertanya kepada Nabi,

 

“Bagaimana dengan orang yang berpuasa sepanjang waktu?” Beliau menjawab, “Dia tidak berpuasa dan tidak berbuka.” Atau beliau bersabda,

 

“Dia belum berpuasa dan belum berbuka”

 

Hadits ini dibawa kepada orang yang terus-menerus berpuasa, termasuk di hari-hari yang dilarang untuk berpuasa. Adapun bila dia berbuka di dua hari raya dan di hari-hari tasyriq, maka tidak mengapa. Hisyam bin Urwah meriwayatkan bahwa bapaknya berpuasa terusmenerus dan Aisyah juga melakukannya. Anas bin Malik berkata, “Abu Thalhah berpuasa terus setelah Rasulullah wafat selama 40 tahun.”

 

Ketahuilah, bahwa barangsiapa diberi kecerdikan, maka dia mengetahui tujuan dari puasa, sehingga dia membawa dirinya pada kadar yang tidak melemahkannya dari amal yang lebih utama darinya. Ibnu Mas’ud tidak banyak berpuasa, dia berkata, “Bila aku berpuasa, maka aku tidak bisa banyak shalat padahal aku memilih shalat daripada puasa.”

 

Sebagian dari mereka bila berpuasa, maka dia tidak banyak membaca al-Qur’an, maka dia jarang berpuasa sehingga mampu banyak membaca al-Qur‘an, dan semua manusia lebih mengetahui kondisi dirinya dan apa yang baik baginya.”

 

[Persiapan Amal Lahiriah Sejak Awal Keberangkatan]

 

Barangsiapa hendak berangkat haji, hendaknya memulainya dengan taubat, mengembalikan hak-hak (orang yang di tangannya) yang diambilnya secara zhalim, membayar utang-utang, menyiapkan nafkah bagi siapa yang harus dinafkahinya sampai dia pulang, mengembalikan titipan yang ada padanya.

 

Membawa harta halal yang cukup sebagai bekal keberangkatan dan kepulangannya tanpa harus menyedikitkannya yang memungkinkannya untuk membawa bekal yang mencukupi dan dapat menyantuni

 

orang-orang fakir. Membawa apa yang diperlukannya seperti siwak, sisir, kaca cermin, dan botol celak.”

 

Bersedekah sebelum berangkat. Bila menyewa tukang unta, maka hendaknya dia menyampaikan kepadanya semua yang hendak dia bawa, sedikit atau banyak. Seseorang pernah berkata kepada Ibnul Mubarak, “Aku titip surat ini dan sampaikan kepada fulan.” Dia menjawab, “Aku minta izin dulu kepada tukang unta.”

 

Hendaklah mencari kawan seperjalanan yang shalih, mencintai kebaikan dan membantu dalam kebaikan, bila dia lupa, maka rekannya mengingatkannya, bila dia ingat, maka rekannya membantunya, bila hatinya sumpek, maka dia menenteramkannya. Hendaknya sekelompok orang mengangkat seseorang sebagai pemimpin mereka, yaitu orang yang paling baik akhlaknya dan paling lembut kepada kawan-kawannya. Pemimpin diperlukan karena pendapat orang berbeda-beda, sehingga ia tidak bisa ditata tanpa kepemimpinan. Seorang pemimpin harus bersikap Iembut kepada jamaahnya, memperhatikan kemaslahatan mereka, dan menjadikan dirinya sebagai tameng bagi mereka.

 

Orang yang musafir hendaklah membaguskan kata-katanya, memberi makan (kepada yang membutuhkan), dan memperlihatkan akhlak mulia; karena perjalanan mengeluarkan apa-apa yang tersimpan dalam dada. Barangsiapa dalam keadaan safar -secara umum memicu kegelisahania berakhlak baik, maka dalam keadan tidak safar, akhlaknya akan lebih baik lagi.

 

Ada yang berkata, “Bila seseorang dipuji oleh orang-orang yang berinteraksi dengannya berkaitan dengan harta dalam keadaan tidak safar dan dipuji rekan-rekannya dalam keadaan safar, maka janganlah kalian ragu akan kebaikannya (keshalihannya).”

 

Hendaklah mengucapkan selamat tinggal kepada rekan-rekan dan saudara-saudaranya yang ditinggalkannya, meminta doa mereka, meninggalkan kotanya pagi Hari Kamis, shalat dua rakaat di rumah sebelum berangkat, menitipkan keluarga dan hartanya kepada Allah, menggunakan doa-doa dan dzikir-dzikir yang ma‘tsur saat keluar rumah, naik kendaraan, dan turun darinya. Doa dan dzikir tersebut masyhur di banyak buku tentang manasik haji. Demikian juga seluruh manasik lainnya seperti: ihram, thawaf, sa’i, wukuf di Arafah dan amal-amal haji lainnya, dalam melakukan semua itu, hendaknya membaca doa-doa, dzikir-dzikir, dan adab-adab yang ma‘tsur. Semua itu sudah disebutkan dalam buku-buku fikih, silakan membacanya.”

 

PASAL

ADAB-ADAB BATINIAH DAN ISYARAT KEPADA RAHASIA-RAHASIA HAJI

 

Ketahuilah, bahwa engkau tidak akan sampai kepada Allah kecuali dengan berkhidmat kepadaNya secara murni dan utuh. Para rahib dahulu menyepi di gunung-gunung mencari ketenangan bersama Allah, lalu Allah menjadikan haji sebagai semacam rahbaniyah bagi umat ini.

 

Di antara adab-adabnya adalah memfokuskan hajinya dari unsur perdagangan yang menyibukkan hatinya dan memecah konsentrasinya, agar bisa fokus kepada ketaatan kepada Allah, tidak mengapa berpenampilan kusut, berdebu, dan kumal, serta tidak memperbanyak perhiasan (penampilan).

 

Hendaknya tidak mengendarai unta yang berpelana (khusus penumpang) kecuali kalau ada udzur, seperti orang yang tidak bisa naik unta untuk membawa barang dan perbekalan, karena Nabi berhaji dengan mengendarai unta yang di bawah pelananya terdapat barang bawaan beliau.”

 

Dalam hadits Jabir dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah membanggakan jamaah haji kepada para malaikat, Allah berfirman, ‘Lihatlah hamba-hambaKu, mereka datang kepadaKu dengan kusut dan berdebu, ‘dari segenap penjuru yang jauh.’ (Al-Hajj: 27); Aku menjadikan kalian sebagai saksi bahwa Aku telah mengampuni mereka’.”

 

Allah telah memuliakan dan mengagungkan rumahNya, menetapkannya sebagai tujuan ibadah hamba-hambaNya, menetapkan daerah sekitarnya sebagai tanah haram sebagai pengagungan kepadanya dan menjadikan padang Arafah bagaikan lapangan di depan halamannya.

 

Ketahuilah, bahwa pada setiap perbuatan ritual haji mengandung peringatan bagi orang yang mau ingat dan pelajaran bagi siapa yang mau mengambil pelajaran.

 

Di antaranya: Saat mengumpulkan bekal, hendaknya jamaah haji mengingat amal shalih yang merupakan bekal akhirat, waspada agar amal shalihnya tidak rusak oleh riya’’ dan sum’ah, sehingga amal tersebut tidak menemaninya dan tidak berguna baginya, ibarat makanan basah yang basi di awal perjalanan, saat pemiliknya membutuhkannya ia sudah rusak sehingga ia kebingungan. Saat meninggalkan negerinya, masuk ke padang pasir dan menyaksikan jalan-jalan di bukit, hendaknya dengan itu dia mengingat akan keluarnya dia dari alam dunia melalui pintu kematian menuju pintu Kiamat dan peristiwa-peristiwa menyeramkan yang terjadi di antara keduanya.

 

Di antaranya: Saat berihram dengan melepaskan pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian ihram, hendaknya dia mengingat kain kafannya, bahwa dia akan bertemu dengan Tuhannya dengan pakaian yang berbeda dengan pakaian penduduk dunia. Saat bertalbiyah, hendaknya mengingat bahwa dirinya menjawab panggilan Allah, karena Dia telah berfirman,

 

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji.” (Al-Hajj: 27).

 

Hendaknya berharap agar Allah menerima ibadah hajinya, dan (sebaliknya) khawatir Allah menolaknya. Bila jamaah haji tiba di daerah tanah haram, hendaknya berharap mendapatkan keamanan dari hukuman, khawatir tidak termasuk ke dalam rombongan orang-orang dekat (dengan Allah), dan hendaknya harapannya lebih dominan, karena kemurahan Allah sangat luas; hak orang yang berziarah dijaga dan perlindungan orang yang memohon perlindungan tidak tersia-siakan.

 

Di antaranya: Saat melihat Ka’bah, Baitullah al-Haram, hendaknya meresapi keagungannya dalam hatinya, bersyukur kepada Allah karena telah memasukkannya ke dalam rombongan tamu-tamuNya. Meresapi kebesaran thawaf di sekelilingnya, karena thawaf adalah shalat.

 

Saat mengusap Hajar Aswad, hendaknya meyakini bahwa dia berbai’at kepada Allah untuk mematuhiNya dengan tekad bulat untuk memenuhi bai’at tersebut. Saat bergelayutan dengan kiswah Ka’bah dan menyandarkan diri di Multazam, hendaknya mengingat dirinya adalah pelaku dosa yang kembali kepada Tuhannya dan bahwa yang dia cintai adalah dekat.

 

Sebagian dari mereka bersenandung,

 

Kiswah rumahMu mendatangkan aman dariMu, dan saya menggelayutinya, memohon perlindungan Sang Pencipta

Manakala menggelayayutinya karena takut dari neraka

Saya yakin, Engkau tak akan mendekatkanku ke neraka

Inilah saya di depan rumahMu, pada kami Engkau berkata,

‘Tunaikanlah haji,’ sungguh Engkau berwasiat baik pada tetangga.

 

Di antaranya: Saat menunaikan sa’i di antara Shafa dan Marwah, hendaknya merenungkan dua daun timbangan dan posisinya di padang mahsyar Kiamat di antara keduanya atau hilir mudiknya seorang hamba ke pintu istana Maharaja dengan memperlihatkan khidmat yang tulus dengan harapan meraih curahan rahmatNya dan terpenuhinya hajatnya.

 

Adapun wukuf di Arafah, perhatikanlah manusia yang begitu banyak yang berdesak-desakan, suara mereka gaduh dan bahasa mereka berbeda-beda, saat itu ingatlah padang Kiamat (Padang Mahsyar) dan berkumpulnya manusia di tempat tersebut dan harapan setiap orang agar bisa selamat.

 

Bila engkau melempar jumrah-jumrah, maka niatkanlah dengan itu menjalankan perintah, memperlihatkan kerendahan dan penghambaan, hanya sebatas menjalankan tanpa ada ambisi dari dalam jiwa.

 

Tentang Madinah, saat Anda melihatnya dari kejauhan, ingatlah bahwa ia adalah negeri yang Allah pilih untuk NabiNya, Allah memerintahkan beliau untuk hijrah ke sana dan menjadikannya sebagai bumi pemakamannya.

 

Kemudian tataplah di depanmu jejak telapak kaki Rasulullah #§ saat engkau keluar masuk di sana, resapilah kekhusyu’an dan ketenangannya. Bila engkau hendak ziarah ke makam beliau,” maka hadirkanlah hatimu untuk mengagungkan kedudukan beliau, merasakan kewibawaannya, resapilah wujud beliau yang mulia dalam benakmu. Hadirkanlah hati untuk mengingat tingginya kedudukan beliau dalam hatimu kemudian berikanlah salam kepada beliau.

 

Dan ketahuilah, bahwa beliau mengetahui kehadiran dan ucapan salammu, sebagaimana hal itu ditetapkan dalam hadits.”

 

Keutamaan paling agung bagi al-Qur’an, bahwanya ia adalah kalam Allah. Allah memuji al-Qur‘an dalam banyak ayat, sepert FirmanNya,

 

“Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi.” (Al-An’am: 92 dan 155).

 

“Sesungguhnya al-Qur‘an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9).

 

“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur-an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.” (Fushshilat: 42).

 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadits Utsman bin Affan bahwa Nabi bersabda,

 

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur‘an dan mengajarkannya. “

 

Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapa mereka?” Beliau menjawab, “Para ahli al-Qur’an; mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang khususNya (kepercayaanNya).”

 

Diriwayatkan oleh an-Nasa‘i. Dalam hadits lain Nabi bersabda,

 

“Allah tidak akan mengazab hati yang memahami al-Qur-an.”

 

Dari Abdullah bin Amr dari Nabi beliau bersabda,

 

“Dikatakan kepada orang yang gemar membaca al-Quran, ‘Bacalah, naiklah, dan tartilkanlah sebagaimana kamu mentartilkannya di dunia, karena kedudukanmu adalah di akhir ayat yang kamu baca’.”

 

Dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Dari Buraidah dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya al-Qur-an akan menemui orang yang membaca (dan mengkajinya) di Hari Kiamat saat dia dibangkitkan dari kuburnya seperti seorang laki-laki yang pucat. Al-Qur an bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu mengenaliku?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak mengenalmu.” Al-Qur an berkata, ‘Aku adalah sohibmu, al-Qur’an, yang telah membuatmu kehausan di siang hari dan membuatmu begadang di malammu. Sesungguhnya setiap saudagar di belakang perniagaannya, dan sesungguhnya aku hari ini bagimu di belakang semua perdagangan.’ Lalu dia diberi kekuasaan dengan tangan kanannya dan kekekalan dengan tangan kirinya, dipasangkan di kepalanya mahkota kehormatan, bapak ibunya diberi pakaian dua jubah yang nilainya tak tertandingt oleh dunia. Keduanya berkata, ‘Dengan apa kami diberi pakaian ini?’ Maka dikatakan, ‘Karena anakmu gemar membaca (mempelajari) al-Qur-an.’ Kemudian dikatakan, “Bacalah dan naiklah di tangga-tangga dan kamar-kamar surga.’ Maka dia terus naik selama dia membaca, baik dia membaca dengan cepat atau secara tartil.”

 

Tbnu Mas’ud berkata, “Hamilul Qur’an (yang mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an), hendaknya malamnya dikenal dengan (gemar shalat malam) saat orang-orang tidur, siangnya (gemar berpuasa sunnah) saat orang-orang tidak berpuasa, kesedihannya saat orang-orang bergembira ria, tangisannya saat orang-orang tertawa, diamnya saat orang-orang berbicara banyak dan khusyu’nya saat orang-orang menyombongkan diri.”

 

Hamilul Quran tidak patut menjadi orang yang kasar, lalai, berteriak-teriak, dan emosional.

 

Al-Fudhail berkata, “Hamilul Quran adalah pembawa panji Islam, tidak patut melakukan hal-hal yang sia-sia bersama orang yang melakukannya, lalai bersama orang yang lalai, bermain-main bersama orang yang bermain-main; sebagai suatu pengagungan bagi Allah.

 

Tidak patut menggantungkan hajatnya kepada orang lain, sebaliknya hendaklah hajat-hajat manusia bergantung kepadanya.

 

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu Rabbul Izzah, aku berkata, ‘Ya Rabb, wasilah apa yang paling dekat yang digunakan oleh orang-orang yang mendekat kepadaMu?! Dia menjawab, ‘FirmanKu wahai Ahmad.’ Maka aku berkata, ‘Ya Rabbi, dengan pemahaman atau tanpa pemahaman?’ Dia menjawab, ‘Dengan pemahaman dan tanpa pemahaman’.”

 

PASAL

ADAB-ADAB MEMBACA AL-QUR AN

 

Pembaca al-Qur’an hendaklah dalam keadaan wudhu, memperhatikan adab, menunduk, tidak bersila, tidak bersandar dan tidak duduk sebagaimana duduknya orang yang sombong.

 

Keadaan paling utama adalah membaca dalam shalat dengan berdiri dan dilakukan di masjid.

 

Untuk kadar membaca, kebiasaan as-Salaf berbeda-beda dalam hal ini, di antara mereka ada yang mengkhatamkannya dalam sehari semalam, di antara mereka ada yang mengkhatamkan beberapa kali dalam sehari semalam, di antara mereka ada yang mengkhatamkan dalam tiga hari, di antara mereka ada yang mengkhatamkan dalam seminggu, di antara mereka ada yang mengkhatamkan dalam sebulan karena dia sibuk menadaburinya atau menyebarkan ilmu atau mengajarkannya atau ibadah lainnya yang bukan membaca al-Qur‘an atau karena usaha dunia lainnya.

 

Perkara yang paling patut adalah kadar yang tidak menghalangi seseorang dari perkara-perkara yang penting, tidak menyakiti badannya, dan tidak melewatkan tartil dan pemahaman.

 

Ibnu Abbas berkata, “Aku membaca al-Bagarah dan Ali Imran dengan tartil dan menadaburinya, lebih aku sukai daripada membaca seluruh al-Qur’an dengan cepat.”

 

Barangsiapa memiliki sela waktu, maka hendaknya dia memanfaatkannya untuk banyak membaca agar meraih banyak pahala. Utsman khatam membaca al-Qur‘an dalam satu rakaat witir.

 

Asy-Syafi’i mengkhatamkannya sebanyak 60 kali di bulan Ramadhan.

 

Untuk kelangsungan, hendaknya sebatas kemampuan sebagaimana yang telah kami isyaratkan. Sebagian dari mereka menganjurkan bila mengkhatamkan di siang hari untuk mengkhatamkannya pada dua rakaat shalat Fajar atau sesudahnya. Bila mengkhatamkan di malam hari hendaknya dalam dua rakaat Maghrib atau sesudahnya. Khatam di awal siang atau di awal malam.

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Barangsiapa mengkhatamkan al-Qur an, maka dia mempunyai doa mustajab.”

 

Anas apabila mengkhatamkan al-Qur’an, maka beliau mengumpulkan keluarganya dan berdoa.

 

PASAL

 

Dianjurkan membaguskan bacaan, bila tidak mempunyai suara yang bagus, maka mengusahakan membaguskannya semampunya. Sedangkan membaca dengan intonasi nada, maka as-Salaf menyatakannya makruh.

 

Dianjurkan membacanya dengan sirr. Dalam sebuah hadits disebutkan,

 

“Keutamaan membaca al-Qur ‘an secara sirr dibandingkan membaca secara terang-terangan adalah seperti keutamaan sedekah rahasia dibandingkan sedekah terang-terangan.”

 

Tidak mengapa mengcraskan bacaan dalam keadaan tertentu dengan tujuan yang benar, mungkin untuk mematangkan hafalan atau untuk menghilangkan kemalasan atau kantuk atau membangunkan orang yang sangat mengantuk.

 

Hukum membaca dalam shalat, kadar bacaan dalam shalat fardhu, kapan mengeraskan dan memelankan, maka masalah tersebut ada dalam buku-buku fikih.

 

Barangsiapa mempunyai mushaf, maka dianjurkan membaca ayat-ayat ringan perharinya agar al-Qur‘an tidak terabaikan.

 

[Amal-Amal Batin Terkait dengan Membaca al-Qur‘an]

 

Orang yang membaca al-Qur’an yang agung hendaklah melihat (merenungi) kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya dengan menyampaikan makna-makna kalamNya kepada pemahaman mereka. Hendaknya mengetahui bahwa apa yang dia baca bukan ucapan manusia. Hendaknya merasakan keagungan Yang berfirman yaitu Allah dan menadaburi kalamNya, karena menadaburinya adalah tujuan membaca, bila tadabur tidak terwujud kecuali dengan mengulang-ulang ayat, maka ulangilah. Abu Dzar meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau pernah shalat malam mengulang-ulang satu ayat,

 

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu.” (Al-Ma‘idah: 118).

 

Tamim ad-Dari shalat malam dengan membaca satu ayat,

 

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih.” (Al-Jatsiyah: 21).

 

Hal yang sama dilakukan oleh ar-Rabi’ bin Khutsaim di suatu malam.

 

Orang yang membaca al-Qur’an juga hendaklah berusaha memahami dan mengerti setiap ayat sesuai dengan kepantasannya, dan berusaha merenungkannya, dan bila dia membaca Firman

 

“Allah Yang telah menciptakan langit dan bun.” (Al-An’am: 1), hendaknya dia mengetahui keagunganNya, membayangkan KuasaNya pada segala sesuatu yang dilihatnya. Bila dia membaca Firman Allah,

 

“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.” (Al-Waqi’ah: 58), hendaknya dia memikirkan setetes air yang bagian-bagiannya mirip, bagaimana ia terbagi menjadi daging dan tulang, urat dan otot dan bentuk-bentuk yang berbeda-beda, ada kepala, tangan dan kaki? Kemudian sifat-sifat mulia yang terlihat padanya seperti pendengaran, penglihatan, akal, dan lainnya. Hendaknya dia merenungkan semua keajaiban-keajaiban ini.

 

Bila dia membaca keadaan orang-orang yang mendustakan, hendaknya merasakan ketakutan terhadap azab Allah manakala dia lalai menjalankan perintahNya.

 

Hendaknya orang yang membaca al-Qur’an membuang hal-hal yang menghalanginya untuk memahami, misalnya setan memberikan khayalan bahwa dia belum benar membaca hurufnya, belum sesuai makhrajnya, lalu pembaca mengulanginya sehingga setan berhasil memalingkannya dari usaha untuk memahami.

 

Termasuk penghalang, orang yang membaca al-Qur an terus-menerus melakukan dosa atau melakukan kesombongan atau memperturutkan hawa nafsu. Semua itu mewariskan kegelapan dan karat dalam hati, ia seperti karat pada kaca cermin, menghalangi beningnya kebenaran. Hati ibarat cermin, sedangkan hawa nafsu ibarat karat, makna-makna al-Qur’an ibarat bayangan yang terlihat melalui cermin, melatih hati untuk mengusir hawa nafsu ibarat lap bagi cermin.

 

Orang yang membaca al-Qur-an hendaklah mengetahui bahwa dirinya adalah tujuan lawan bicara dan objek ancaman al-Qur-an. Tujuan kisah di dalamnya bukan sebagai bahan pembicaraan dan berita semata akan tetapi sebagai ibrah, hendaknya dia memperhatikan hal ini. Sehingga dalam kondisi tersebut dia membacanya seperti seorang hamba yang berakad mukatabah dengan majikannya untuk sebuah tujuan. Hendaknya dia memperhatikan akad perjanjian dan melakukan konsekuensinya. Perumpamaan orang yang durhaka bila dia membaca al-Qur’an dan mengulangnya adalah seperti orang yang membaca surat raja berulang kali namun dia berpaling dari kerajaannya dan apa yang tertuang dalam surat. Dia hanya mempelajarinya namun menyelisihi perintah-perintahnya, seandainya dia tidak mempelajari ditambah dengan menyelisihi, niscaya dia lebih jauh untuk dihina dan dimurkai.

 

Hendaknya melepaskan diri dari daya dan kekuatan dirinya, tidak memandang dirinya dengan mata puas dan menyucikan diri. Karena barangsiapa melihat dirinya dengan mata kekurangan, maka hal itu menjadi sebab baginya untuk mendekat.

 

Ketahuilah bahwa tidak ada ibadah yang dilakukan dengan lidah setelah membaca al-Qur‘an yang lebih utama daripada berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah, mengangkat hajat-hajat melalui doa-doa yang tulus kepadaNya. Keutamaan dzikir ditunjukkan oleh Firman Allah

 

“Ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (Al-Baqarah: 152).

 

Juga Firman Allah

 

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (Ali Imran: 191).

 

Dan juga Firman Allah,

 

” Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (Nama) Allah.” (AlAhzab: 35).

 

Dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhinya Allah berfirman, ‘Aku bersama hambaKu selama dia mengingatKu dan kedua bibirnya bergerak menyebutKu.”

 

[Keutamaan Majelis-Majelis Dzikir]

 

Dalam Shahih Muslim dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat memayungi mereka, ketenangan turun kepada mereka dan Allah menyebut (membanggakan) mereka di kalangan para malaikat di sisiNya.”

 

Dalam hal ini terdapat hadits-hadits yang banyak yang tersebut dalam fadha ‘il a’mal (keutamaan-keutamaan amal).

 

Dari Abu Hurairah  dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidaklah suatu kaum duduk di satu majelis lalu mereka bubar tanpa berdzikir Allah, kecuali mereka bubar dari seperti bangkai keledai, dan majelis tersebut bagi mereka adalah penyesalan di Hari Kiamat.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Tidaklah suatu kaum duduk di sebuah majelis, yang mereka tidak berdzikir kepada Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi, kecuali ia menjadi penyesalan bagi mereka di Hari Kiamat.”

 

Tentang keutamaan doa, Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidaklah ada sesuatu pun yang lebih mulia di hadapan Allah daripada doa.”

 

“Ibadah paling mulia adalah doa.”

 

“Barangsiapa tidak memohon kepada Allah, maka Allah marah kepadanya.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Mintalah karunia kepada Allah, karena sesungguhnya Allah menyukai bila diminta.”

 

[Adab-Adab Berdoa]

 

Doa mempunyai adab-adab, di antaranya memilih waktu-waktu yang mulia seperti hari Arafah dalam setahun, bulan Ramadhan, hari Jum‘at, dan malam hari waktu sahur. Termasuk waktu yang mulia adalah di antara adzan dan iqamat, setelah shalat fardhu, saat hujan turun, saat perang di jalan Allah, saat mengkhatamkan al-Qur‘an, saat sujud, saat berbuka dan saat hati sedang konsentrasi atau sedang ketakutan.

 

Sebenarnya kemuliaan waktu kembali kepada kemuliaan kondisi, karena waktu sahur adalah waktu bersihnya hati dan konsentrasinya, saat sujud adalah saat merendahkan diri.

 

Di antara adab doa adalah berdoa menghadap kiblat, mengangkat kedua tangannya kemudian mengusapkan keduanya ke wajahnya, memelankan suaranya dalam berdoa.

 

Di antara adabnya adalah memulai doa dengan dzikir kepada Allah, membaca shalawat kepada Nabi dan tidak memaksakan doa bersajak.

 

Di antara adabnya, yaitu adab batin, dan ia merupakan adab sumber terkabulnya doa yaitu taubat dan mengembalikan hak-hak (yang diambil secara zhalim) kepada pemiliknya.

 

KITAB URUTAN WIRID-WIRID DAN PENJELASAN TERPERINCI MAKNA MENGHIDUPKAN MALAM]

 

PASAL WIRID DAN KEUTAMAANNYA, SERTA PEMBAGIAN IBADAH SESUAI DENGAN WAKTU-WAKTU

 

Ketahuilah, bila seseorang benar-benar telah mengenal Allah, membenarkan janjiNya, menyadari umurnya yang pendek, maka wajib baginya meninggalkan kelalaian dengan umur yang pendek ini. Ketika seseorang hanya melakukan satu bentuk amalan (secara terus-menerus) maka ia akan jenuh, maka termasuk bijak bila seseorang beralih dari satu amalan menuju amalan yang lainnya. Allah berfirman,

 

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepadaNya dan bertasbihlah kepadaNya pada bagian yang panjang di malam hari.” (Al-Insan: 25-26).

 

Hal ini dan yang sepertinya yang disebutkan dalam ayat-ayat menunjukkan bahwa salah satu jalan menuju Allah adalah menjaga dan mengisi waktu dengan wirid-wirid secara berkesinambungan. Allah berfirman,

 

“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin memgambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (Al-Furqan: 62),

 

yakni mengganti salah satu darinya sesudah yang lain, agar apa yang terlewatkan padanya bisa digantikan pada yang lainnya tersebut.

 

JUMLAH WIRID-WIRID MALAM DAN SIANG HARI, SERTA URUTANNYA

 

Wirid siang ada tujuh, dan wirid malam ada enam. Kami menyebutkan keutamaan setiap wirid, fungsinya, dan hal-hal yang berkenaan dengannya.

 

Wirid Pertama: Di awal siang, antara terbit fajar kedua sampai terbit matahari, ini adalah waktu yang baik, Allah bersumpah dengannya dalam FirmanNya,

 

“Dan demi shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing.” (At-Takwir: 18).

 

Hendaknya seseorang yang menginginkan kebaikan, bila bangun dari tidurnya, dia berdzikir kepada Allah dengan membaca,

 

“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan hanya kepadaNya kebangkitan kembali.”Ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahith al-Bukhari.

 

Dalam Shahith Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud beliau berkata,

 

“Bila Rasulullah berada di waktu sore, beliau membaca, ‘Kami dan segala kerajaan adalah milik Allah, segala puji adalah bagi Allah, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua puji-pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (At-Taghabun: 1). Ya Rabbi, aku memohon kebaikan dari apa yang ada di malam ini dan kebaikan dari apa yang sesudahnya, Aku berlindung kepadaMu dari keburukan malam int dan keburukan apa yang sesudahnya. Ya Rabbi, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan buruknya usia tua. Ya Rabbi, aku berlindung kepadaMu dari siksa api neraka dan azab kubur.’Dan bila berada di pagi hari maka beliau membaca, ‘Kami dan segala kerajaan adalah milik Allah…’,” dan seterusnya.

 

Juga membaca,

 

“Dengan menyebut Nama Allah, yang dengan NamaNya tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang bisa memudaratkan, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Tiga kali.

 

(Juga membaca,)

 

“Aku rela Allah sebagat Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi dan utusan.” Selesai Shalat Shubuh, dia membaca saat masih melipat kakinya (duduk) sebelum berbicara,

 

‘Kami dan segala kerajaan adalah milik Allah, segala puji adalah bagi Allah, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu basiNya, hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua puji-pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (At-Taghabun: 1). Ya Rabbi, aku memohon kebaikan dari apa yang ada di malam ini dan kebaikan dari apa yang sesudalinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan malam ini dan keburukan apa yang sesudahnya. Ya Rabbi, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan buruknya usia tua. Ya Rabbi, aku berlindung kepadaMu dari siksa api neraka dan azab kubur.’ Dan bila berada di pagi hari maka beliau membaca, ‘Kami dan segala kerajaan adalah milik Allah…’,” dan seterusnya.

 

Juga membaca,

 

“Dengan menyebut Nama Allah, yang dengan NamaNya tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang bisa memudaratkan, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Tiga kali.

 

(Juga membaca,)

 

“Aku rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi dan utusan.”

 

Selesai Shalat Shubuh, dia membaca saat masih melipat kakinya (duduk) sebelum berbicara,

 

“Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan bagiNya segala puji, yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” Dibaca 10 kali.

 

Membaca sayyidul istighfar,

 

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau menciptakanku dan aku adalah hambaMu, aku di atas perjanjian dan janjiMu sebisaku. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan apa yang aku kerjakan, aku mengakui nikmatMu kepadaku, aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku; karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.””

 

Juga membaca, 

 

“Kami berada di pagi ini di atas fitrah Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kami Muhammad dan ajaran bapak moyang kami Ibrahim ‘sebagai seorang yang lurus (hanif) lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.’ (Ali Imran: 67).”

 

Lalu berdoa,

 

“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan pelindung segala urusanku, perbaikilah duniaku yang padanya aku mencari penghidupan, perbaikilah akluratku yang kepadanya aku kembali, jadikanlah hidup ini sebagai penambah segala kebaikan dan kematian nanti sebagai istirahatku dari segala keburukan”™

 

Kemudian berdoa dengan doa Abu ad-Darda’,

 

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, ‘tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau.’ (Al-Anbiya’: 87), kepadaMu aku bertawakal, dan Engkau adalah ‘Tuhan yang memiliki Arasy yang agung.’ (At-Taubah: 129). Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak terjadi, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Aku tahu ‘bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu.’ (Ath-Thalaq: 12). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari keburukan diriku dan dari keburukan segala hewan yang Engkau-lah ‘yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.’ (Hud: 56).”

 

Doa-doa ini tidak patut tidak dihafal oleh seorang Muslim yang menginginkan kebaikan.

 

Sebelum berangkat Shalat Shubuh, hendaklah shalat sunnah dulu di rumahnya, lalu berangkat ke masjid dan mengucapkan,

 

“Ya Allah, sesunggulnya aku memohon kepadaMu dengan hak orang-orang yang memohon atasmiu,’’° dan dengan hak berjalanku int, sesungguhnya aku tidak berangkat dengan keangkuhan dan kesombongan, tidak karena riya’’ dan tidak pula sum’ah, aku berangkat karena takut kepada murkaMu dan mencari ridiaMu. Aku memohon kepadaMu agar melindungiku dari neraka dan mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”

 

Bila masuk masjid, maka hendaknya mengucapkan apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya bahwa Nabi bersabda,

 

“Bila salah seorang di antara kamu masuk masjid, maka hendaknya dia membaca shalawat kepada Nabi kemudian mengucapkan, ‘Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmatMu bagiku,’ dan bila dia keluar hendaknya membaca, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon karuniaMu'”

 

Kemudian berusaha mencari (dan mendapatkan) shaf awal, dan sambil menunggu shalat jamaah, (dianjurkan) berdoa dengan doa-doa dan dzikir-dzikir yang telah disebutkan.

 

Bila sudah usai Shalat Shubuh, dianjurkan untuk tetap duduk di tempatnya sampai terbit matahari. Anas  meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa Shalat Shubuh dengan berjamaah, kemudian duduk berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah tle sampai matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat, maka pahalanya seperti pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”

 

Hendaknya membagi waktunya untuk empat amalan: doa, dzikir, membaca al-Qur’an, dan merenung.

 

Hendaknya melakukan apa yang memungkinkan, berusaha menepis godaan-godaan dan kesibukan-kesibukan yang memalingkannya dari kebaikan sehingga bisa mengisi waktunya, hendaknya pula merenungkan nikmat Allah, karena hal itu mendorongnya untuk mensyukurinya secara sempurna.

 

Wirid Kedua: Antara terbit matahari sampai waktu dhuha. Hal itu dengan berlalunya tiga waktu di siang hari, karena siang terdiri dari dua belas waktu (jam), tiga adalah seperempatnya. Ini adalah waktu yang mulia, di sana ada dua kebaikan:

 

Pertama, Shalat Dhuha.

 

Kedua, pekerjaan yang berkaitan dengan orang lain seperti menjenguk orang sakit atau mengantarkan jenazah atau menghadiri majelis ilmu atau menunaikan hajat seorang Muslim. Bila tidak melakukan apa pun darinya, maka hendaknya menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an dan berdzikir.

 

Wirid Ketiga: Dari waktu dhuha sampai matahari condong ke barat, pekerjaan di waktu ini adalah empat bagian di atas dan ditambah dengan dua perkara:

 

Pertama, mencari rizki dan penghidupan, datang ke pasar. Bila dia seorang pedagang, maka hendaknya berdagang dengan kejujuran dan amanah. Bila scorang pekerja, maka hendaknya bekerja dengan tulus dan lemah Iembut, tidak melupakan dzikir kepada Allah di sela-sela kesibukannya dan hendaknya merasa cukup sekalipun hanya sedikit,

 

Kedua, tidur qailulah (sejenak), karena ia membantu qiyamul lail, sebagaimana sahur membantu berpuasa di siang hari. Bila tidur, maka hendaknya berusaha bangun sesaat sebelum matahari condong ke barat sehingga bisa bersiap-siap sebelum masuk waktu Zhuhur.

 

Ketahuilah, bahwa malam dan siang terdiri dari 24 jam, seimbang bila sepertiganya untuk tidur, yaitu 8 jam. Siapa yang tidur kurang dari itu, maka dia beresiko tubuhnya tidak seimbang, tapi (sebaliknya) siapa yang tidur lebih dari itu, maka menjadikannya pemalas. Bila sudah tidur lebih dari itu di malam hari, maka tidak ada alasan untuk tidur di siang hari, sebaliknya apa yang kurang darinya bisa disempurnakan di waktu siang.

 

Wirid Keempat: Antara matahari condong ke barat sampai selesai Shalat Zhuhur. Ini adalah wirid siang paling pendek, namun paling utama. Di waktu ini, saat muadzin memanggil, orang yang mendengarnya hendaklah mengucapkan seperti yang dia ucapkan, kemudian bangkit shalat empat rakaat. Dianjurkan baginya untuk memanjangkannya, karena saat itu pintu-pintu langit dibuka, kemudian Shalat Zhuhur dengan segala sunnahnya, kemudian shalat tathawwu’ empat rakaat.

 

Wirid Kelima: Waktui setelah itu sampai Ashar, di waktu ini dianjurkan menyibukkan diri dengan dzikir, shalat dan berbagai macam kebaikan. Di antara amal paling utama adalah menunggu shalat setelah shalat.

 

Wirid Keenam: Bila waktu Ashar masuk sampai matahari menguning, di waktu ini tidak ada shalat selain empat rakaat di antara adzan dengan iqamat, kemudian shalat Ashar yang fardhu, kemudian menyibukkan diri dengan empat bagian yang telah disebutkan pada wirid pertama. Yang paling utama adalah membaca al-Qur‘an diiringi dengan tadabur dan pemahaman.

 

Wirid Ketujuh: Dari matahari mulai menguning sampai terbenam, ini adalah waktu mulia.

 

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Mereka (para ulama) lebih mengagungkan waktu petang daripada pagi.”

 

Dianjurkan di waktu ini untuk bertasbih dan khususnya istighfar.

 

Dengan datangnya Maghrib, selesailah wirid siang, selanjutnya seorang hamba seyogianya memperhatikan keadaannya dan menghisab dirinya. Sebuah fase kehidupan telah berlalu dari umurnya, hendaknya dia menyadari bahwa umur hanyalah hari-hari yang keseluruhannya akan habis dengan habisnya satu per satu.

 

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Wahai Bani Adam, sesungguhnya engkau hanyalah hari-hari, bila harimu berlalu maka sebagian darimu turut berlalu.”

 

Hendaknya dia memikirkan apakah harinya itu sama dengan harinya kemarin? Bila dia melihat kebaikan yang banyak telah terkumpul di siangnya, maka hendaknya bersyukur kepada Allah atas taufikNya, bila sebaliknya maka hendaknya bertaubat dan bertekad memperbaiki kekurangan di malam hari, karena,

 

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114).

 

Hendaknya bersyukur kepada Allah atas kesehatan tubuhnya, umur yang tersisa yang dengannya dia bisa memperbaiki apa yang kurang. Beberapa orang dari as-Salaf menganjurkan agar satu hari tidak berlalu kecuali ia diakhiri dengan sedekah, mereka berusaha melakukan kebaikan sebisa mungkin.

 

WIRID-WIRID MALAM HARI

 

Wirid Pertama: Sejak matahari terbenam sampai waktu Isya. Bila matahari terbenam, maka seorang Muslim mendirikan shalat Maghrib dan menghidupkan antara Maghrib dengan Isya (dengan dzikir dan amal-amal shalih).

 

Diriwayatkan dari Anas , tentang Firman Allah,

 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.” (As-Sajdah: 16), bahwa ayat ini turun berkaitan dengan para sahabat Rasulullah, yang mereka shalat di antara Maghrib dengan Isya.

 

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Barangsiapa shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib, di mana dia tidak mengucapkan keburukan di antaranya, maka ia menyamai tbadah 12 tahun.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.!”

 

Wirid Kedua: Dari lenyapnya mega berwarna merah sampai waktu tidur, dianjurkan shalat di antara adzan dan iqamat semungkinnya, dan hendaknya membaca, Surat as-Sajdah dan al-Mulk.

 

“Rasulullah tidak tidur sebelum membaca keduanya.”

 

Dalam hadits lain dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah  bersabda,

 

“Barangsiapa membaca Surat al-Waqi’ah setiap malam, maka dia tidak ditinipa kemiskinan.”

 

Wirid Ketiga: Shalat witir sebelum tidur, kecuali siapa yang biasa bangun untuk shalat malam, maka menundanya adalah lebih utama baginya. Aisyah berkata,

 

“Dari setiap malam Rasulullah pernah shalat witir di awal malam, tengahnya dan akhirnya, dan witir beliau berakhir di waktu sahur.” Muttafaq alaih.

 

Dan sesudah usai shalat witir mengucapkan,

 

“Mahasuci Maharaja yang Mahaqudus.” Tiga kali.

 

Wirid Keempat: Waktu tidur. Kami memasukkannya ke dalam wirid, karena bila adab-adabnya diperhatikan, niatnya diluruskan, maka ia menjadi ibadah yang diharapkan berpahala.

 

Mul’adz berkata,

 

“Sesungguhnya aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana aku berharap pahala dari bangunku.”

 

Di antara adab tidur adalah hendaknya tidur dalam keadaan suci, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Aisyah

 

“Bahwasanya bila Rasulullah hendak tidur saat beliau sedang junub, maka beliau berwudhu sebagaimana wudhu beliau untuk shalat.”

 

Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata, “Sesungguhnya di saat tidur, arwah dibawa naik ke langit lalu ia diperintahkan untuk sujud di depan Arasy, arwah yang suci akan bersujud di sekitar Arasy, dan arwah yang tidak suci, maka akan sujud jauh dari Arasy.”

 

Di antara adabnya adalah bertaubat sebelum tidur, karena barangsiapa membersihkan lahirnya, patut pula membersihkan batinnya, karena bisa jadi dia mati dalam tidurnya ini.

 

Di antaranya, hendaknya membuang dari hatinya semua kedengkian terhadap setiap Muslim, tidak mempunyai keinginan untuk menzhaliminya, tidak bertekad melakukan keburukan bila bangun.

 

Di antaranya, tidak tidur sedangkan dia mempunyai sesuatu yang diwasiatkan kecuali wasiat tersebut tertulis di sisinya, berdasarkan hadits dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Umar dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidak hak (tidak benar) bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang dia wasiatkan yang dia melewati dua malam, kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya.”

 

Seyogianya menyiapkan tempat tidur dengan tidak berlebih-lebihan agar merasakan kenikmatan, karena hal itu menambah nyenyak. Pernah sebuah alas tidur disiapkan untuk Nabi, maka beliau bersabda,

 

“Menikmati (empuknya) kasur ini telah menghalangi shalatku malam tadi.”

 

Hendaknya tidak tidur sebelum merasakan kantuk berat. Para ulama Salaf tidak tidur sebelum kantuk mengalahkan mereka.

 

Di antara adabnya adalah menghadap kiblat, mengucapkan doa yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih, tidur dengan posisi miring ke sisi kanan. Di antara keterangan dalam masalah ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi  bahwa beliau bersabda,

 

“Bila salah seorang di antara kalian berangkat ke tempat tidurnya, maka hendaknya dia mengibaskannya dengan kain sarungnya (yang menjadi selimutnya) bagian dalam, karena dia tidak tahu apa yang terjadi sesudahnya.”

 

Dan bila meletakkan lambungnya, maka hendaknya mengucapkan,

 

“Dengan NamaMu ya Rabbi aku meletakkan lambungku dan denganMu pula aku mengangkatnya. Bila engkau mengambil jiwaku, maka rahmatilah ia, bila Engkau melepaskannya, maka jagalah ia sebagaimana engkau menjaga hamba-hambaMu yang shalih.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Juga dalam ash-Shahihain dari hadits Aisyah

 

“Bahwa bila Nabi berangkat ke tempat tidurnya setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangan beliau kemudian meniup pada keduanya dan membaca pada keduanya, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas, kemudian mengusapkan keduanya ke bagian tubuh beliau yang terjangkau. Beliau memulai dari kepala dan wajah serta tubuh bagian depan. Beliau melakukannya tiga kali.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits al-Bara’ bin Azib  bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Bila engkau hendak mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat, kemudian tidurlah pada bagian badanmu yang kanan, kemudian bacalah,

 

‘Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepadaMu, menghadapkan wajahku kepadaMu, memasrahkan urusanku kepadaMu, menyandarkan punggungku kepadaMu, karena berharap kepadaMu dan takut kepadaMu. Tidak ada tempat berlindung dan tempat keselamatan dariMu kecuali kepadaMu. Aku beriman kepada kitabMu yang Engkau turunkan dan kepada NabiMu yang Engkau utus.’

 

Sesungguhnya bila engkau mati pada malammu itu, maka engkau mati di atas fitrah, bila engkau mendapatkan pagi, maka engkau mendapatkan kebaikan,”

 

Dari Ali, bahwasanya Rasulullah bersabda kepada beliau dan Fathimah,

 

“Bila kalian berdua berangkat tidur atau pergi ke pembaringan kalian berdua, maka bertasbihlah 33 kali, bertahhmidlah 33 kali dan bertakbirlah 34 kali, itu lebth baik bagi kalian berdua daripada pembantu.” Muttafaq alaih.

 

Juga hadits Abu Hurairah saat beliau menjaga zakat bulan Ramadhan yang masyhur, dalam hadits terscbut disebutkan bahwa setan berkata kepada beliau,

 

“Bila engkau beranjak ke tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi, karena sesungguhnya akan senantiasa ada penjaga dari Allah bagimu, dan setan tidak akan mendekatimu.” Lalu Abu Hurairah menyampaikan kepada Rasulullah, maka beliau bersabda, “Ketahuilah bahwa dia jujur kepadamu padahal dia adalah pendusta tulen.”

 

Dalam Shahih Muslim bahwa bila Nabi berbaring di tempat tidur beliau, beliau membaca,

 

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum, mencukupi kami dan memberi kami tempat berlindung; berapa banyak orang yang tidak mempunyai pencukup dan pelindung.”

 

Bila bangun untuk shalat Tahajjud, maka hendaknya mengucapkan doa Rasulullah,

 

“Ya Allah ya Tuhan kami, bagiMu segala puji, hanya Engkau-lah yang mengurusi langit dan bumi serta siapa yang ada padanya. BagiMu segala puji, Engkau adalah cahaya langit dan bumi serta siapa yang ada padanya. BagiMu segala puji, Engkau adalah penguasa langit dan bumi dan siapa yang ada padanya. BagiMu segala puji, Engkau adalah al-Hagq, janjiMu adalah hag, pertemuan denganMu adalah hag, surga adalah haq, neraka adalah hagq, para nabi hag, Muhammad hagq, Kiamat juga haq. Ya Allah, kepadaMu aku berserah diri, kepadaMu aku beriman, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku kembali, denganMu aku melawan, kepadaMu aku berhakim, maka ampunilah dosa yang telah aku lakukan dan dosa lalai dalam beribadah, dosa yang aku sembunyikan dan dosa yang aku perlihatkan.”

 

Dalam sebuah riwayat (ada tambahan),

 

“… dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku, Engkau adalah yang mendahulukan, Engkau adalah yang mengakhirkan, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.” Muttafaq alaih.

 

Hendaknya berusaha agar kata-kata terakhirnya sebelum tidur adalah dzikir kepada Allah dan awal kata-kata yang terucap di lidahnya setelah bangun juga dzikir kepada Allah, dua tanda ini termasuk iman.

 

Wirid Kelima dari dzikir-dzikir malam hari: Masuk dengan berlalunya setengah malam pertama sampai malam menyisakan seperenamnya. Dan ini adalah waktu yang mulia.

 

Abu Dzar -berkata,

 

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah ‘Shalat malam apa yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘(Setelah lewat) tengah malam atau tengah malam, dan hanya sedikit yang melakukannya’.”

 

Diriwayatkan bahwa Nabi Dawud berkata,

 

“Wahai Rabbku, kapan aku bangkit shalat untukMu?” Lalu Allah mewahyukan kepadanya, “Hai Dawud, jangan shalat di awal malam dan jangan pula di akhirnya, akan tetapi shalatlah di tengah malam sehingga engkau menyendiri denganKu dan Aku menyendiri denganmu, dan angkatlah (sampaikanlah) hajat-hajatmu kepadaKu.”

 

Bila bangun untuk bertahajjud, (disunnahkan) membaca 10 ayat akhir dari surat Ali Imran, sebagaimana yang diriwayatkan dalam ashShahihain bahwa Nabi melakukannya.’

 

Kemudian membaca doa-doa Nabi yang sudah dijelaskan saat bangun tidur di malam hari.

 

Kemudian membuka shalatnya dengan dua rakaat ringan, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah – dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Bila salah seorang di antara kalian bangun shalat malam, maka hendaknya dia memulai dengan dua rakaat yang ringan.” Diriwayatkan oleh Muslim.

 

Kemudian shalat dua rakaat dua rakaat. Jumlah rakaat paling banyak yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau shalat malam dengannya adalah 13 rakaat dengan witir, dan paling sedikit adalah 7 rakaat.’

 

Wirid Malam yang Keenam: Seperenam yang akhir, dan ini adalah waktu sahur. Allah berfirman,

 

“Dan di akhir-aklur malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariya’t: 18). Dalam hadits,

 

“Sesungguhnya bacaan seseorang di akhir malam dihadiri (oleh para malaikat).”

 

Thawus pernah datang kepada seorang laki-laki di waktu sahur, orang-orang berkata, “Dia tidur.” Thawus berkata, “Aku tidak menyangka seseorang tidur di waktu sahur.”

 

Bila sudah menyelesaikan shalat di waktu sahur, hendaknya memohon ampun kepada Allah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau melakukan hal itu.

 

PASAL

PERBEDAAN WIRID SESUAI DENGAN PERBEDAAN KEADAAN

 

Ketahuilah bahwa orang yang berjalan menempuh jalan akhirat tidak luput dari enam keadaan; boleh jadi dia adalah ahli ibadah, atau seorang ulama, atau seorang penuntut ilmu, atau pejabat pemerintah, atau pekerja mencari nafkah untuk keluarganya, atau orang yang tenggelam dalam cinta kepada Allah dan menyibukkan diri denganNya dari selainNya.

 

Pertama: Ahli ibadah, yaitu orang yang memutuskan segala kesibukan untuk beribadah. Orang ini mengamalkan wirid-wirid yang kami sebutkan. Bisa jadi apa yang dilakukannya tidaklah sama. Keadaan ahli ibadah dari kalangan salaf tidaklah sama, di antara mereka ada yang cenderung kepada membaca al-Qur‘an, sehingga dia bisa mengkhatamkan sekali dalam sehari atau dua atau tiga kali khatam. Di antara mereka ada yang memperbanyak tasbih. Di antara mereka ada yang memperbanyak shalat. Dan di antara mereka ada yang memperbanyak thawaf di Ka’bah.

 

Bila ada yang berkata, “Lalu apa wirid yang paling utama untuk diberi waktu paling banyak?” Ketahuilah bahwa membaca al-Qur’an dalam shalat dengan berdiri dengan menadaburinya mengumpulkan semuanya, tetapi menjaga hal ini mungkin tidak mudah, maka yang lebih utama berbeda-beda dengan perbedaan masing-masing orang. Tujuan wirid adalah membersihkan dan menyucikan hati, hendaknya setiap Muslim melihat apa yang menurutnya paling berpengaruh pada dirinya lalu melakukannya, dan bila merasa jenuh, maka ia bisa berpindah kepada yang lain.

 

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Bila hati tenang saat berdiri, maka jangan rukuk, bila ia tenang saat rukuk maka jangan sujud.”

 

Kedua: Ulama, yaitu yang memberi manfaat bagi manusia melalui fatwanya, atau pengajarannya, atau tulisannya, atau nasihatnya. Urutan wiridnya tidak sama dengan wirid ahli ibadah, karena dia butuh menelaah kitab-kitab, menulis, memberi faedah, sekalipun semua itu menghabiskan waktunya, ia adalah kesibukan paling utama setelah perkara-perkara yang fardhu. Maksud kami dengan ilmu yang didahulukan atas ibadah adalah ilmu yang mengajak kepada akhirat dan membantu meniti jalan ke akhirat.

 

Yang lebih utama bagi seorang ulama adalah membagi waktunya, karena menghabiskan waktu untuk ilmu membuat jiwa tidak tahan:

 

Hendaklah setelah Shubuh hingga terbit matahari menyibukkan diri dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang kami sebutkan, kemudian setelah terbit matahari sampai dhuha untuk memberikan faedah dan mengajar, bila tidak ada murid yang belajar, maka dia menggunakan waktunya untuk mengkaji ilmu, karena (itu adalah waktu) beningnya hati setelah berdzikir dan sebelum menyibukkan diri dengan urusan dunia itu membantu dalam mencermati permasalahan.

 

Kemudian dari tengah hari sampai Ashar untuk menulis dan menelaah, tidak meninggalkan hal itu kecuali pada saat makan atau bersuci atau shalat fardhu atau tidur qailulah.

 

Dari Ashar sampai matahari menguning dengan mendengar apa yang dibacakan kepadanya berupa tafsir atau hadits atau ilmu yang berguna.

 

Dari matahari menguning sampai terbenam matahari dengan menyibukkan diri dengan istighfar dan tasbih.

 

Maka wirid pertamanya adalah perbuatan lidah, yang kedua adalah perbuatan hati dengan tafakur, yang ketiga adalah amal perbuatan mata dan tangan dengan membaca dan menulis, yang keempat setelah Ashar untuk pendengaran agar mata dan tangan istirahat, karena menelaah dan menulis ba’da Ashar mungkin kurang baik bagi mata.

 

Untuk malam, pembagian waktu padanya yang paling bagus adalah pembagian asy-Syafi’i, beliau membagi malam menjadi tiga, sepertiga pertama untuk menulis ilmu, kedua untuk shalat, dan ketiga untuk tidur. Untuk musim panas, mungkin dia tidak bisa melakukannya, kecuali bila dia sudah banyak tidur di siang hari.

 

Ketiga: Penuntut ilmu. Mencari ilmu lebih utama daripada menyibukkan diri dengan dzikir dan ibadah nafilah. Untuk urutan wirid, penuntut ilmu sama dengan ulama, akan tetapi saat ulama memberi faedah, penuntut ilmu mencari faedah, saat ulama menulis, dia menyibukkan diri dengan mencatat dan mengutip. Bila ia termasuk orang awam, maka kehadirannya di majelis-majelis dzikir, ilmu dan nasihat adalah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan wirid-wirid sunnah.

 

Keempat: Pejabat pemerintah seperti juga kepala negara, hakim atau orang yang ditugasi mengurusi urusan kaum Muslimin, dia menunaikan hajat-hajat kaum Muslimin dan tujuan-tujuan mereka sesuai dengan ajaran syariat dengan keikhlasan adalah lebih utama daripada wirid-wirid di atas, karena ia adalah ibadah yang luas manfaatnya. Di siang hari yang bersangkutan cukup melakukan hal-hal yang wajib, kemudian sisanya untuk hal-hal lebih dari itu, dan cukup baginya mengamalkan wirid-wirid di malam harinya.

 

Kelima: Pekerja. Orang yang harus memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, dia tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah, sebaliknya dia menyibukkan diri dalam usaha dengan tetap berdzikir, bila sudah mendapatkan kadar yang cukup, maka baru menyibukkan diri dengan wirid-wirid.

 

Keenam: Orang yang tenggelam dalam cinta kepada Allah. Wirid orang ini setelah hal-hal yang wajib adalah kehadiran hati bersama Allah, ia menggerakkannya kepada wirid yang diinginkannya.

 

Lebih dari itu semua, hendaklah tiap orang selalu mengamalkan wiridnya, berdasarkan sabda Nabi,

 

“Amal yang paling Allah cintai adalah yang dilakukan terus-menerus sekalipun sedikit,”

 

Dan ciri khas amal Nabi sendiri adalah berkesinambungan.

 

BAB QIYAMUL LAIL DAN KEUTAMAANNYA, SEBAB-SEBAB YANG MEMBANTU UNTUK MENEGAKKAN QIYAMUL LAIL DAN HAL-HAL YANG BERKENAAN DENGANNYA

 

Allah berfirman (menyebutkan salah satu sifat orang yang beriman kepada ayat-ayatNya),

 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.” (As-Sajdah: 16). Dan Nabi bersabda,

 

“Lakukanlah shalat malam, sesungguhnya ia adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, ia mendekatkan kepada Rabb kalian, mendatangkan ampunan bagi keburukan-keburukan dan mencegah dari perbuatan dosa.”

 

Dan terdapat banyak hadits lain tentang keutamaannya.

 

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Aku tidak menemukan sesuatu dari ibadah yang lebih kuat daripada shalat di tengah malam.” Beliau ditanya, “Mengapa orang-orang yang bertahajjud adalah orang-orang yang memiliki wajah yang paling bagus?” Beliau menjawab, “Karena mereka menyendiri dengan Allah Yang Rahman, maka Dia memberi mereka cahayaNya.”

 

PASAL SEBAB-SEBAB YANG MEMBANTU UNTUK MENEGAKKAN QIYAMUL LAIL

 

Ketahuilah bahwa giyamul lail tidak mudah kecuali atas orang yang diberi taufik untuk melakukannya dengan syarat-syarat yang memudahkannya baginya. Di antara sebab-sebab tersebut ada yang Jahir dan ada juga yang batin.

 

Di antara sebab yang lahir, adalah tidak banyak makan. Sebagian dari syaikh berkata, “Wahai para murid, jangan banyak makan dan minum, karena jika demikian, kalian akan banyak tidur dan merugi.”

 

Di antaranya adalah tidak melelahkan diri di siang hari dengan pekerjaan-pekerjaan berat.

 

Di antaranya, berusaha tidur gailulah di siang hari, karena ia membantu giyamul lail.

 

Di antaranya menjauhi dosa-dosa. Ats-Tsauri berkata, “Aku gagal giyamul lail lima bulan karena suatu dosa yang aku lakukan.”

 

Dan untuk hal-hal yang membantu dari sisi batin, di antaranya adalah kebersihan hati kepada kaum Muslimin, bersih dari bid’ah dan berpaling dari perkara dunia yang tidak berguna.

 

Termasuk di antaranya adalah rasa takut (kepada Allah) yang menguasai hati dan tidak berangan-angan panjang.

 

Di antaranya adalah mengetahui keutamaan giyamul lail.

 

Di antara pendorong paling mujarab untuk itu adalah cinta kepada Allah, dan kekuatan iman bahwa bila dia shalat, berarti dia

 

bermunajat kepada Tuhannya, bahwa Dia hadir di depannya dan menyaksikannya, maka munajat ini membuatnya shalat dengan lama.

 

Abu Sulaiman berkata, “Orang-orang yang shalat pada malam-malam mereka lebih merasakan kenikmatan daripada orang-orang yang bermain-main dalam permainan mereka. Dan kalau bukan karena malam, niscaya aku tidak ingin tinggal di dunia.”

 

Dalam Shahih Muslim dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya di malam hari ada suatu waktu, yang tidaklah seorang hamba Muslim mendapatkannya dalam keadaan memohon kebaikan (dari perkara dunia dan akhirat) kepada Allah padanya, kecuali Allah memberikan apa yang dimintanya itu kepadanya, dan hal itu setiap malam.”

 

[Cara Membagi Bagian-Bagian Malam]

 

Menghidupkan malam terbagi menjadi beberapa tingkatan:

 

Pertama: Menghidupkan sepanjang malam. Yang seperti ini diriwayatkan dari sejumlah ulama Salaf.

 

Kedua: Menghidupkan setengah malam. Ini juga diriwayatkan dari sejumlah ulama Salaf, jalan terbaik untuk cara ini adalah tidur sepertiga pertama dan seperenam yang akhir darinya.

 

Ketiga: Menghidupkan sepertiga malam, tidur di setengah malam yang pertama dan seperenam akhir, dan ini adalah cara Nabi Dawud.

 

Dalam ash-Shahihain (Nabi bersabda),

 

“Shalat yang paling Allah cintai adalah shalat Nabi Dawud, di mana beliau tidur setengah malam, bangun sepertiganya, dan tidur seperenamnya.”?

 

Tidur di akhir malam lebih bagus, sebab ia menghilangkan bekas kantuk dari wajah di pagi hari dan meminimalkan kepucatan wajah karena kurang tidur.

 

Keempat: Menghidupkan seperenam atau seperlima malam. Yang paling utama dari cara ini adalah dilakukan di setengah yang akhir. Sebagian dari mereka berkata, yang paling utama adalah seperenam malam yang akhir.

 

Kelima: Tidak memperhatikan semua ini, karena bisa jadi hal ini sulit baginya.

 

Kemudian ada dua cara untuk apa yang dilakukannya ini:

 

Pertama: Menghidupkan awal malam sampai kantuk datang lalu tidur, bila bangun maka shalat, bila tidak maka terus tidur, cara ini lumayan sulit dan ini juga adalah cara yang dilakukan sebagian as-Salaf.

 

Dalam ash-Shaluhain dari hadits Anas beliau berkata,

 

“Kami tidak berkehendak melihat Rasulullah shalat di malam hari kecuali kami melihatnya. Kami tidak berkehendak melihat Rasulullah tidur di malam hari kecuali kami melihatnya.”

 

Umar – biasa shalat malam sekuatnya, hingga saat akhir malam tiba, beliau membangunkan keluarga beliau, “Shalat, shalat.”

 

Adh-Dhahhak berkata, “Aku mendapatkan suatu kaum, mereka merasa malu kepada Allah di gelap malam karena banyak tidur.”

 

Kedua: Tidur di awal malam, bila tidurnya dirasa cukup, maka orang bersangkutan bangun dan shalat di sisa malamnya. Sufyan atsTsauri berkata, “Itu hanya sekali tidur saja, bila aku bangun, maka aku tidak tidur lagi.”

 

Keenam: Menghidupkan malam dengan kadar empat atau dua rakaat. Kami meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Shalatlah di sebagian malam; shalatlah empat rakaat, shalatlah dua rakaat.”

 

Dalam Sunan Abi Dawud, Rasulullah bersabda,

 

“Barangsiapa bangun malam hari dan membangunkan istrinya, lalu keduanya shalat bersama dua rakaat, maka malam itu keduanya dicatat termasuk di antara, ‘Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah’.” (Al-Ahzab: 35.)

 

Thalhah bin Musharrif memerintahkan keluarganya agar shalat malam, dia berkata, “Shalatlah dua rakaat, karena sesungguhnya shalat di malam hari meleburkan dosa-dosa.”

 

Ini adalah cara membagi malam, maka hendaknya setiap Muslim memilih apa yang dianggapnya mudah untuk dirinya. Bila sulit baginya bangun di tengah malam, maka tidak sepatutnya melewatkan antara Maghrib dengan Isya dan wirid di waktu sahur, sehingga dia menghidupkan awal dan akhir malam, dan ini adalah tingkatan ketujuh.

 

PASAL

 

Orang yang mendapatkan kesulitan untuk bersuci di malam hari, baginya shalat dirasa berat, maka hendaknya duduk menghadap kiblat dan berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah es dan berdoa semampunya, bila tidak duduk maka dengan berbaring. Barangsiapa mempunyai wirid di malam hari lalu dia tertidur sehingga ia terlewatkan, maka hendaknya melakukannya di waktu dhuha, hal ini disebutkan dalam hadits.

 

Barangsiapa sudah terbiasa bangun malam, hendaknya berhati-hati agar tidak meninggalkannya. Dalam ash-Shahihain bahwa Rasulullah bersabda kepada Abdullah bin Amr

 

“Jangan seperti fulan, dia dulu (biasa) bangun malam lalu dia meninggalkannya.”

 

PASAL

MALAM-MALAM DAN HARI-HARI UTAMA

 

Malam-malam yang dikhususkan dengan tambahan keutamaan yang dianjurkan menghidupkannya, berjumlah lima belas malam. Tidak patut bagi siapa yang berharap akhirat untuk melewatkannya, karena bila seorang pedagang menyia-nyiakan kesempatan meraih laba, lalu kapan dia meraihnya?

 

Malam-malam tersebut adalah tujuh malam di bulan Ramadhan:

 

Malam 17, malam yang paginya adalah Perang Badar.

 

Enam sisanya adalah malam-malam ganjil dari sepuluh akhir bulan Ramadhan, karena di malam-malam tersebut terdapat lailatul gadar yang dicari.

 

Untuk delapan malam yang lain adalah: malam pertama Muharram, malam Asyura’, malam pertama bulan Rajab, malam nisfu Rajab, malam dua puluh tujuh dari Rajab, karena ia adalah malam Mi’raj, malam nisfu Sya’ban, malam Arafah dan dua malam hari Raya. Dalam malam-malam tersebut terdapat riwayat yang menetapkan shalat-shalat, namun tidak ada satu pun riwayat yang shahih.”

 

Untuk hari-hari yang utama ada sembilan belas: Hari Arafah, Hari Asyura’, hari dua puluh tujuh Rajab, ini adalah hari pertama turunnya Jibril kepada Nabi,“ hari tujuh belas Ramadhan, pada hari ini terjadi perang Badar, hari nisfu Sya’ban, Hari Jum‘at, dua hari Raya, hari-hari yang diketahui yaitu sepuluh pertama Dzul Hijjah, hari-hari yang terhitung yaitu hari-hari tasyriq.

 

Di antara hari-hari mulia dalam seminggu adalah Hari Senin, Kamis, ayyamul bidh, padanya terdapat keutamaan besar yang disebutkan dalam keutamaan-keutamaan puasa.

 

Akhir Kitab Wirid, akhir Seperempat Ibadah, dan hanya Allah yang memberikan taufik.

 

Adab makan, sebagian darinya dilakukan sebelum makan, sebagian darinya saat makan, dan sebagian yang lain sesudah makan.

 

Adab-Adab Sebelum Makan:

 

Di antaranya, Membasuh kedua tangan sebelum makan, sebagaimana dalam hadits,“ karena tangan tidak steril dari kotoran.

 

Di antaranya, meletakkan makanan di atas alas yang tergelar di atas lantai, hal ini lebih dekat kepada contoh perbuatan Rasulullah daripada meletakkannya di atas meja makan, dan cara tersebut lebih dekat kepada sikap tawadhu.

 

Di antaranya, duduk di atas tikar dengan menegakkan kaki kanannya dan bersandar di atas kaki kirinya. Juga berniat dengan makannya agar kuat menjalankan ketaatan kepada Allah, sehingga dengan itu dia menjadi orang taat dengan makanannya, bukan sekadar menikmati makanan semata, dan tanda niat ini adalah makan secukupnya, tidak sampai kenyang.

 

Nabi bersabda,

 

“Tidaklah anak cucu Adam mengisi bejana yang lebih buruk daripada perut, Cukuplah bagi anak cucu Adam beberapa suapan yang dengannya dia dapat menegakkan tulang sulbinya, bila memang harus (makan banyak), maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.”

 

Di antara konsekuensi niat ini adalah tidak menjulurkan tangan ke makanan kecuali dia dalam keadaan lapar, dan mengangkat tangan sebelum kenyang. Barangsiapa melakukan hal ini, maka dia hampir tidak membutuhkan dokter.

 

Di antaranya, ridha dengan rizki yang ada, tidak meremehkan yang sedikit darinya, berusaha memperbanyak tangan atas makanan, baik dari keluarga dan anak-anaknya.

 

Adab-Adab Saat Makan:

 

Di antaranya, memulai dengan basmalah di awal makan dan hamdalah di akhir makan.

 

Makan dengan tangan kanan, memperkecil suapan dan mengunyah dengan baik, tidak mengambil suapan baru sebelum menelan makanan yang di mulut dan tidak mencela makanan.

 

Di antaranya, makan makanan yang dekat dengan dirinya, kecuali bila makanan bermacam-macam seperti buah-buahan. Hendaklah makan dengan menggunakan tiga jari, bila ada suapan yang jatuh, maka hendaklah memungutnya.

 

Di antaranya, tidak meniup makanan yang panas, tidak mengumpulkan kurma dengan bijinya dalam satu wadah, tidak mengumpulkannya di telapak tangannya, sebaliknya mengeluarkannya dari mulut ke punggung telapak tangannya kemudian membuangnya. Demikian yang dilakukan untuk buah yang mempunyai daging dan biji, dan tidak minum air saat sedang makan, karena hal ini lebih bagus dari sisi kesehatan.

 

Di antara adab minum adalah memegang bejana dengan tangan kanan, memperhatikan isinya sebelum meminumnya, meneguk dan tidak menenggak. Diriwayatkan dari Ali bahwa dia berkata, “Teguklah air minum dan janganlah menenggaknya, karena penyakit limpa berasal dari sana.” Tidak minum berdiri, dan mengambil napas tiga kali.

 

Dalam ash-Shahihain bahwa Nabi mengambil napas tiga kali saat minum.” Maksudnya adalah menjauhkan bejana dari mulutnya lalu mengambil napas, dan bukan menarik napas saat bejana menempel di mulutnya.

 

Adab-Adab Sesudah Makan:

 

Di antaranya, berhenti makan sebelum kenyang dan menjilat jari-jari, membersihkan nampan dengan mengambil remahan-remahan padanya dan bertahmid kepada Allah. Dalam sebuah hadits dari Nabi # bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah benar-benar meridhai seorang hamba, dia makan suatu makanan lalu dia memujiNya karenanya, atau minum suatu minuman lalu memujiNya karenanya.”

 

Membasuh tangannya dari lemak sisa-sisa makanan.

 

PASAL

ADAB-ADAB TAMBAHAN SAAT MAKAN BERSAMA

 

Di antaranya, tidak memulai makan bila di antara hadirin ada yang lebih patut didahulukan, karena usianya lebih tua, atau memiliki keutamaan, kecuali bila dia adalah orang yang diikuti (diteladan).

 

Hendaknya tidak diam saat makan, sebaliknya berbicara dengan ucapan baik, saling bercerita tentang orang-orang shalih, dalam masalah makan dan lainnya.

 

Di antaranya, hendaknya masing-masing mendahulukan rekannya, jangan membuat rekannya sampai berkata kepadanya “makanlah”, sebaliknya bersikap biasa dan tidak memaksakan diri untuk berpurapura malu.

 

Di antaranya, tidak melihat kepada rekan-rekannya saat makan agar mereka tidak malu.

 

Di antaranya, tidak melakukan sesuatu yang menjijikkan bagi orang lain, tidak mengibaskan tangannya di nampan, tidak menyorongkan kepalanya di atas nampan saat mengangkat suapan ke mulutnya. Bila mengeluarkan sesuatu dari mulutnya hendaknya membuangnya, memalingkan mukanya dari makanan dan mengambilnya dengan tangan kirinya, tidak memasukkan suapan yang berlemak ke dalam cuka dan sebaliknya, karena orang lain mungkin tidak menyukainya, dan tidak memasukkan sisa suapan ke dalam kuah.

 

PASAL

 

[Adab Menyuguhkan Makanan kepada Teman dan Saudara yang Berkunjung]

 

Dianjurkan menyuguhkan makanan kepada saudara-saudara (seiman). Diritwayatkan dari Ali bahwa dia berkata, “Aku mengumpulkan rekan-rekanku untuk makan lebih aku sukai daripada memerdekakan budak.”

 

Khaitsamah membuat kue dan makanan yang lezat, lalu dia mengundang Ibrahim dan al-A’masy, dia berkata, “Makanlah, sengaja aku membuatnya untuk kalian.”

 

Menyuguhkan apa yang ada tanpa memaksakan diri, tidak bertanya kepada mereka sebelum menyuguhkan, sebaliknya menyuguhkan tanpa bertanya, dan termasuk memaksakan diri adalah menyuguhkan semua makanan yang dimilikinya.

 

Di antara adab orang yang berkunjung adalah hendaknya tidak meminta makanan tertentu, bila diminta memilih untuk memilih dua makanan, maka hendaknya memilih yang paling mudah, kecuali bila tuan rumah berbahagia bila dia meminta dan tidak merepotkannya untuk memenuhinya. Asy-Syafi’i bertamu kepada az-Za’farani, laki-laki ini setiap harinya menulis resep makanan di secarik kertas lalu menyerahkannya kepada pembantunya untuk disiapkan baginya, lalu asy-Syafi’i mengambil kertas dan menambahkan makanan yang dia ingin, lalu az-Za’farani berbahagia karena itu.

 

PASAL

[Datang kepada Orang-Orang yang Sedang Makan]

 

Tidak patut bagi seseorang saat dia mengetahui ada beberapa orang yang sedang makan untuk ikut serta dengan mereka. Bila dia datang di saat mereka sedang makan lalu mereka mempersilakannya untuk ikut makan, maka hendaknya dia melihat, bila dia tahu bahwa mereka mengajaknya makan karena malu kepadanya, maka jangan makan, bila dia mengetahui bahwa mereka memintanya karena mereka senang dia ikut makan, maka silakan makan. Barangsiapa masuk rumah temannya dan dia tidak ada, sementara dia tahu dan yakin kalau dia makan, maka temannya akan berbahagia, maka silakan makan.

 

PASAL

[Adab Mengundang Makan]

 

Di antara adabnya adalah mengundang orang-orang yang bertakwa bukan orang-orang fasik (gemar maksiat). Sebagian salaf berkata, “Jangan makan kecuali makanan orang yang bertakwa dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”

 

Hendaknya mengundang orang-orang fakir bukan orang-orang kaya dan tidak melalaikan kerabat, karena meninggalkan mereka menyebabkan kesedihan dan putusnya silaturahim. Memperhatikan prioritas rekan-rekan dan kenalan-kenalannya. Mengundang bukan untuk saling menyombongkan diri dan berbangga, tetap mengamalkan sunnah untuk memberi makan orang lain, mengambil hati saudara-saudaranya, membahagiakan orang-orang beriman, tidak mengundang orang yang diketahuinya sulit untuk hadir, dan bila dia hadir pun, maka dia merasa terganggu oleh hadirin karena suatu sebab.

 

Di antara adab memenuhi undangan, bila undangan walimah pengantin, maka memenuhinya adalah wajib di hari pertama, bila selainnya, maka boleh. Kemudian hendaknya tidak mengkhususkan memenuhi undangan orang-orang kaya saja dan menolak undangan orang-orang miskin, tidak menolak menjawab undangan karena sedang berpuasa, tapi tetap hadir. Bila puasanya adalah sunnah dan dia mengetahui bahwa bila dia berbuka, maka hal itu membahagiakan saudaranya, maka hendaklah dia berbuka. Bila makanannya haram, maka janganlah memenuhinya, demikian juga bila di sana ada kemungkaran, seperti tikar yang haram atau bejana yang haram atau scruling atau gambar makhluk hidup. Demikian juga bila orang yang mengundang adalah orang zhalim atau fasik, atau ahli bid’ah, atau orang yang mengundang dalam rangka berbangga-bangga.

 

Hendaknya pula tujuannya menjawab bukan sekadar makan, akan tetapi mengamalkan sunnah, memuliakan saudaranya yang beriman, berniat menjaga diri dari prasangka buruk, karena bila dia menolak, bisa saja ada yang menuduhnya sombong.

 

Hendaknya bersikap tawadhu’ saat hadir, tidak memposisikan diri sebagai pengendali. Bila tuan rumah menunjuknya untuk duduk di suatu tempat, maka hendaknya tidak memilih yang lain, tidak banyak melihat ke arah tempat makanan dikeluarkan, karena hal itu tanda ketamakannya dalam urusan makan.

 

PASAL

 

Menghadirkan makanan mempunyai lima adab: Pertama: Menyegerakan; karena hal ini termasuk memuliakan tamu.

 

Kedua: Menyuguhkan buah-buahan sebelum yang lainnya, karena hal itu lebih bagus dari sisi kesehatan.

 

Allah berfirman,

 

“Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (Al-Waqi’ah: 20-21).

 

Kemudian yang terbaik setelah buah adalah daging, khususnya yang dipanggang, kemudian makanan terbaik setelah daging adalah daging yang dilapisi adonan (tsarid) kemudian manisan, makananmakanan yang enak ini ditutup dengan minum air dingin, dan kesempurnaannya adalah dengan mengguyur tangan dengan air hanya di akhir makan.

 

Ketiga: Menyuguhkan segala macam makanan yang ada.

 

Keempat: Tidak terburu-buru mengangkatnya, sebaliknya membiarkannya agar para hadirin menikmatinya kemudian meninggalkannya.

 

Kelima: Menyuguhkan kadar yang cukup, karena kurang dari kadar cukup mencederai muruah.

 

Hendaknya menyisihkan bagian keluarga sebelum menyuguhkannya. Bila tamu hendak berpamitan, hendaknya menyertainya sampai pintu rumah, karena itu termasuk sunnah dan termasuk memuliakan tamu. Termasuk kesempurnaan memuliakan tamu adalah memperJihatkan wajah berseri, berkata-kata baik saat masuk dan meninggalkan ruang makan.

 

Untuk tamu, hendaknya pulang dengan jiwa yang lapang sekalipun ada kekurangan dari tuan rumah, karena hal itu termasuk kemuliaan akhlak dan tawadhu’, tidak pulang kecuali dengan kerelaan dan jzin tuan rumah, memperhatikan hatinya selama bertamu.

 

[Faedah-Faedah Menikah]

 

Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa menikah dianjurkan, didorong kepadanya, banyak mengandung keutamaan dan mendatangkan faedah-faedah:

 

Di antaranya adalah melahirkan anak, karena salah satu tujuan menikah adalah menjaga keturunan. Ia mengundang kecintaan Allah karena usaha untuk memenuhinya agar jenis manusia tetap ada. Di dalamnya juga mengundang cinta Rasulullah dengan memperbanyak umat yang karena itu beliau berbangga. Di dalamnya juga mengandung keberkahan melalui doa anak shalih dan syafa’at dari anak bila dia mati saat masih kecil.

 

Di antara faedah menikah adalah menjaga diri dari setan dengan menepis dorongan hawa nafsu, menenangkan jiwa dan menenteramkannya dengan bergaul dengan istri.

 

Di antaranya, melapangkan hati dari kesibukan mengurus rumah, tidak perlu memasak, menyapu rumah, membersihkan tikar, mencuci piring dan menyediakan fasilitas hidup di rumah sendiri, karena kebanyakan dari hal-hal ini sulit dilakukan olch seseorang bila dia sendiri, seandainya dia sendiri yang melakukannya maka waktunya banyak terbuang untuk itu, akibatnya waktu bekerjanya dan waktu untuk ilmu menyempit. Wanita shalihah adalah pembantu dalam urusan agama dari sisi ini, karena perbedaan sebab-sebab ini merupakan kesibukan tersendiri bagi hati.

 

Di antara faedahnya, melatih jiwa, mendidiknya untuk memperhatikan dan memimpin, menunaikan hak-hak keluarga, bersabar atas akhlak mereka, sabar menghadapi keburukan mereka, berusaha memperbaiki mereka, membimbing mereka ke jalan agama, bersungguh-sungguh dalam mencari harta yang halal untuk mereka, serta mendidik anak-anak. Semua perbuatan ini adalah perbuatan yang memiliki keutamaan besar, karena ia adalah pengayoman dan kepemimpinan. Keutamaan memperhatikan keluarga adalah besar, yang menolak memikulnya hanyalah orang yang takut tidak bisa menunaikannya dengan sebaik-baiknya, padahal memikul beban berat keluarga dan anak-anak adalah ibarat jihad di jalan Allah.

 

Dalam Shahih Muslim dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk (memerdekakan) sahaya, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin dan dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu; yang paling utama darinya adalah yang engkau infakkan kepada keluargamu.”

 

PASAL

[Rintangan dalam Pernikahan]

 

Dalam pernikahan terdapat banyak rintangan, di antaranya:

 

Pertama, dan ini yang paling kuat: Ketidakmampuan mencari harta yang halal. Ini tidak ringan, terkadang kepala rumah tangga menjulurkan tangannya kepada sesuatu yang bukan haknya.

 

Kedua: Kegagalan menunaikan hak-hak istri, tidak sabar menghadapi akhlak buruk dan gangguan mereka. Hal ini bahaya, sebab suami adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas mereka.

 

Ketiga: Keluarga dan anak-anak menyibukkannya dari mengingat Allah, siang dan malam hanya bermain-main dengan mereka saja, hati sama sekali tidak memikirkan akhirat dan beramal untuknya.

 

Ini adalah beberapa kumpulan rintangan dan faedah-faedah menikah. Maka hukum terhadap satu orang apakah baginya lebih utama menikah atau membujang, itu kembali kepada pertimbangan semua berbagai rintangan dan faedah di atas. Orang yang berjalan kepada akhirat, hendaknya menimbang diri di depan perkara-perkara di atas, jika rintangan bisa diatasi dan faedah-faedahnya bisa diwujudkan; dia memiliki harta halal dan berakhlak mulia, ditambah dia adalah seorang pemuda yang memerlukan penyaluran hawa nafsunya, sendirian, tidak mempunyai orang yang mengurusi rumah tangga, maka tanpa diragukan bahwa menikah lebih utama baginya. Sebaliknya jika faedah-faedah tidak terwujud, yang ada justru rintangan, maka tidak menikah lebih utama. Ini berlaku bagi orang yang tidak membutuhkan menikah, jika dia membutuhkan, maka harus dipenuhi.

 

PASAL

[Sifat-Sifat Laki-Laki dan Wanita yang Bisa Membuat Hidup Menjadi Baik]

 

Hidup menjadi sebuah kenikmatan manakala istri memiliki beberapa karakteristik:

 

Pertama: Agama. Ini adalah dasar pokok, berdasarkan sabda Nabi

 

“Hendaklah kamu memilih wanita yang beragama.”

 

Jika istri tidak taat beragama, maka dia akan merusak agama suaminya dan membuatnya malu. Bila dia pencemburu, maka suami masuk ke dalam ujian dan kehidupan yang keruh selamanya.

 

Kedua: Berakhlak mulia, karena mudarat wanita yang berakhlak buruk lebih banyak daripada manfaatnya.

 

Ketiga: Memiliki fisik yang bagus. Ini juga yang dicari, karena dengannya suami bisa menjaga diri, dan karena itu laki-laki yang melamar dianjurkan melihat kepada wanita yang dilamarnya. Ada beberapa orang yang tidak mencari kecantikan dan tidak bertujuan mencari kesenangan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal ui memilih menikahi seorang wanita yang cacat matanya daripada saudarinya yang sehat matanya; namun hal seperti ini jarang dan tabiat manusia adalah sebaliknya.

 

Keempat: Maharnya yang ringan. Sa’id bin al-Musayyib iis menikahkan anak perempuannya dengan mahar hanya dua dirham.

 

Umar berkata, “Janganlah bermahal-mahal dalam urusan mahar wanita.”

 

Sebagaimana wanita dimakruhkan meminta mahar mahal, laki-laki juga tidak patut bertanya tentang harta calon istri. Ats-Tsauri berkata, “Bila ada seorang laki-laki menikah dan sebelumnya dia berkata, ‘Wanita itu punya apa?’ Maka ketahuilah bahwa dia itu maling.”

 

Kelima: Perawan, karena Rasulullah menganjurkan hal itu, sebab cinta dan keramahannya kepada suami lebih besar daripada janda, sehingga mengundang kasih sayang. Sebab tabiat manusia biasanya lebih senang pada cinta pertama. Hal ini juga, menjadikan cinta suami kepadanya lebih sempurna, dan karena tabiat laki-laki cenderung tidak menyukai wanita yang telah disentuh oleh orang lain.

 

Keenam: Berpotensi banyak anak.

 

Ketujuh: Nasab, yakni berasal dari keluarga yang taat beragama dan shalih.

 

Kedelapan: Wanita jauh (yang bukan kerabat dekat).

 

Dan sebagaimana laki-laki yang hendak menikah patut melihat kepada calon istrinya, demikian juga wali wanita, patut memperhatikan agama, akhlak dan kondisi calon menantunya, sebab seorang wanita mirip sahaya dengan menikah, jika wali menikahkannya dengan laki-laki fasik atau ahli bid’ah, maka dia telah melakukan kejahatan atas anak perempuannya dan atas dirinya sendiri.

 

Seorang laki-laki berkata kepada al-Hasan “Kepada siapa aku menikahkan anak perempuanku?” Beliau menjawab, “Kepada orang yang bertakwa kepada Allah, bila dia mencintainya, maka dia memuliakannya dan bila tidak menyukainya pun dia tidak akan menzhaliminya.”

 

PASAL

ADAB MEMPERGAULI PASANGAN DAN MEMPERHATIKAN KEWAJIBAN SUAMI DAN KEWAJIBAN ISTRI

 

Bagian Pertama: Suami Wajib Memperhatikan Keseimbangan dan Adab dalam dua belas perkara:

 

Pertama: Walimah, dan ia suatu yang sangat dianjurkan.

 

Kedua: Berakhlak baik terhadap istri, bersabar terhadap keburukan istri karena kurangnya akal mereka. Dalam hadits shahih,

 

“Saling berwasiatlah kalian untuk berbuat baik kepada para istri, sebab mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk paling bengkok adalah yang paling atas. Bila engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya. Bila engkau membiarkannya, maka ia tetap bengkok, maka hendaknya kalian saling berpesan untuk berbuat baik kepada para istri.”

 

Ketahuilah bahwa tidak termasuk akhlak yang baik menghentikan gangguan istri, akan tetapi bersabar terhadapnya, sabar menghadapi kemarahan dan emosinya, dalam rangka meneladan Rasulullah.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Umar bahwa para istri Nabi kadang membantah beliau dan bahkan pernah salah seorang di antara mereka mendiamkan beliau satu hari satu malam. Dan hadits ini masyhur.

 

Ketiga: Bersenda gurau dan mencumbunya, Nabi  pernah balapan lari dengan Aisyah dan beliau bergurau dengan para istri beliau. Beliau bersabda kepada Jabir

 

“Mengapa bukan gadis (yang kamu nikahi); (tingga) kamu mencumbuinya dan dia mencumbuiniu”

 

Keempat: Hendaknya semua itu ada takarannya, tidak bergurau berlebihan dengan istri sehingga wibawanya jatuh di depannya, sebaliknya harus seimbang.

 

Kami meriwayatkan dari Umar bahwa beliau mencela salah satu pegawainya, lalu istri Umar berbicara kepada beliau tentang hal ini. Istri Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuatmu marah kepada fulan?” Umar menjawab, “Hai wanita musuh Allah, apa urusanmu dengan fulan? Kamu hanya mainan yang dimainkan kemudian ditinggalkan.”

 

Kelima: Sederhana dalam cemburu, yaitu tidak melalaikan dasar-dasar kemuliaan yang dikhawatirkan muncul keburukannya bila diabaikan, tetapi tidak pula berlebih-lebihan dalam berburuk sangka. Nabi melarang suami pulang kepada istrinya di malam hari.”

 

Keenam: Sederhana dalam memberi nafkah, tidak boros dan tidak kikir. Suami juga tidak boleh mementingkan diri sendiri dengan makanan yang enak, karena hal itu menimbulkan dada sesak.

 

Ketujuh: Orang yang menikah harus belajar hukum-hukum haid sehingga dengannya dia tahu memperlakukan istri yang sedang haid. Suami juga harus menanamkan akidah yang benar kepada istri, membuang bid’ah darinya bila ada, mengajarinya hukum-hukum shalat, haid dan istihadhah, suami mengajarinya bahwa bila darah haid berhenti sesaat menjelang terbenam matahari yang cukup untuk melaksanakan satu rakaat, maka dia harus melaksanakan Zhuhur dan Ashar. Bila darahnya berhenti sebelum Shubuh dengan kadar waktu yang cukup untuk melaksanakan satu rakaat, maka dia harus mengqadha’ Maghrib dan Isya, karena perkara ini hampir tidak diperhatikan oleh kaum wanita.

 

Kedelapan: Bila seseorang beristri lebih dari satu, dia harus berlaku adil di antara mereka, adil dalam menginap dan memberi nafkah, bukan dalam rasa cinta dan hubungan suami-istri (jimak); karena hal itu tidak mampu dilakukan olch suami. Bila suami hendak safar dan mengajak salah seorang di antara mereka, maka suami mengundinya, siapa yang mendapatkan undian, maka dialah yang ikut berangkat bersamanya.

 

Kesembilan: Nusyuz. Bila istri melakukan nusyuz, maka suami mendidiknya dan memaksanya agar menaatinya, hanya saja suami patut mendidiknya secara bertahap, dengan memberikan nasihat dan ancaman. Jika belum berhasil, maka bisa dengan meninggalkannya di ranjang, membelakanginya dengan punggungnya atau menjauhi tempat tidurnya dan tidak berbicara kepadanya kurang dari tiga hari. Bila tidak berguna maka boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakiti, yaitu pukulan yang tidak membuat berdarah dan tidak memukul wajah.

 

Kesepuluh: Adab hubungan intim suami-istri. Dianjurkan memulai dengan membaca basmalah, berpaling dari arah kiblat, menutupi diri dan istri dengan kain, tidak telanjang bulat, memulai dengan cumbuan, pelukan, dan ciuman. Di antara ulama ada yang menganjurkan hubungan suami-istri di hari Juma’t. Bila suami sudah merampungkan hajatnya, maka hendaknya dia memberi kesempatan istri untuk merampungkan hajatnya, karena puncak orgasme istri mungkin lamban.

 

Di antara adabnya, bila istri sedang haid lalu suami hendak mencumbuinya, maka hendaknya dia menutup daerah antara pinggang dengan lututnya dengan kain, dan suami tidak boleh menggauli istri saat haid, tidak boleh juga menggauli duburnya.

 

Bila suami hendak mengulang jimak (dalam satu malam), maka hendaknya dia membasuh kemaluannya dan berwudhu.

 

Di antara adab, saat junub hendaknya tidak memotong rambutnya, tidak memotong kukunya dan tidak mengeluarkan darah (bekam/ fashdu) dalam keadaan junub. Sedangkan melakukan azl (mengeluarkan mani di luar rahim) adalah mubah tetapi makruh.

 

Kesebelas: Adab-adab melahirkan ada enam:

 

Pertama: Tidak berbahagia berlebihan atas lahirnya anak laki-laki dan bersedih berlebihan saat lahir anak perempuan, karena dia tidak tahu mana yang lebih baik baginya.

 

Kedua: Mengumandangkan adzan di telinga bayi saat lahir.

 

Ketiga: Memberinya nama yang bagus. Dalam Shahih Muslim disebutkan,

 

“Sesungguhnya nama kalian yang paling Allah cintai adalah Abdullah dan Abdurrahman.”

 

Barangsiapa mempunyai nama yang tidak baik, maka dianjurkan untuk menggantinya, Nabi telah mengubah sejumlah nama sahabat. Beliau tidak menyukai nama Aflah, Nafi’, Yasar, Rabah, Barakah, karena saat ditanyakan, “Apakah pemiliknya memang demikian?” Ternyata tidak.

 

Keempat: Melakukan aqiqah, untuk laki-laki dua ekor domba dan perempuan satu ekor saja.

 

Kelima: Menahniknya dengan kurma atau sesuatu yang manis.

 

Keenam: Mengkhitan.

 

Kedua belas: Yang berkaitan dengan suami, yaitu talak adalah perkara halal yang dibenci oleh Allah. Suami makruh menalak istri tiba-tiba tanpa kesalahan dari istri. Istri juga tidak boleh menyebabkan suami mengeluarkan kata talak. Bila suami hendak menjatuhkan talak, hendaknya memperhatikan empat perkara:

 

Pertama: Menalaknya dalam masa suci yang belum digauli, agar masa iddahnya tidak panjang.

 

Kedua: Hendaknya hanya menalaknya dengan satu talak, agar memungkinkan merujuknya bila menyesal.

 

Ketiga: Menjatuhkan talak dengan lembut dengan memberinya hadiah untuk menghiburnya. Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali bahwa dia mentalak istrinya dan memberinya sepuluh ribu dirham, maka istri berkata, “Hadiah yang tidak banyak dari kekasih yang berpisah dariku.”

 

Keempat: Tidak membuka rahasianya. Dalam hadits shahih dalam Shahih Muslim disebutkan,

 

“Sesungguhnya termasuk orang dengan kedudukan paling buruk di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah seorang laki-laki yang berduaan dengan istrinya dan istrinya berduaan dengannya (melakukan simak) kemudian dia menyebarkan rahasianya.”

 

Diriwayatkan dari sebagian orang-orang shalih bahwa dia hendak menalak istrinya, lalu dia ditanya, “Apa yang membuatmu hendak menalaknya?” Dia menjawab, “Orang berakal tidak merobek rahasia istrinya.” Manakala dia menalaknya, dia ditanya, “Mengapa kamu menalaknya?” Dia menjawab, “Apa urusanku dengan wanita yang bukan lagi istriku?”

 

Semua ini adalah kewajiban suami.

 

Bagian Kedua: Kewajiban-Kewajiban Istri Terhadap Suami Dari Abu Umamah beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda,

 

“Kalau seseorang boleh sujud kepada seseorang, niscaya aku memerintahkan istri bersujud kepada suaminya.”

 

Hal itu karena besarnya hak suami atasnya.

 

Dalam bab ini terdapat banyak hadits yang menegaskan besarnya hak suami atas istri dan hak-hak suami atas istri berjumlah banyak, yang terpenting adalah dua perkara:

 

Pertama: Menutup dan menjaga diri.

 

Kedua: Qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada).

 

Dua perkara inilah yang dipegang teguh para wanita di kalangan as-Salaf. Bila suami berangkat dari rumah, keluarganya berpesan kepadanya, “Jangan mencari usaha haram, kami kuat menahan lapar tetapi tidak kuat di neraka.”

 

Di antara kewajiban istri untuk suami adalah tidak melalaikan harta suami, bila istri memberi makan dengan izin suami, maka baginya pahala seperti pahala suami, bila tanpa ridhanya, maka suami mendapat pahala sedangkan istri menanggung dosa.

 

Bapak ibu seorang wanita patut mendidiknya sebelum suaminya membawanya agar dia mengetahui adab suami-istri. Seorang wanita patut berdiam diri di rumahnya, menekuni pekerjaan rumahnya, tidak banyak ngerumpi dengan tetangganya, menjaga kehormatan diri saat suaminya tidak ada, menjaga suami saat suami ada atau tidak, berusaha membahagiakannya dalam segala kondisi, tidak mengkhianatinya pada diri dan hartanya, tidak mengizinkan orang yang dibenci suami untuk menginjak tikarnya, tidak mengizinkan orang masuk ke rumahnya kecuali dengan izinnya, hendaknya perhatiannya adalah memperbaiki urusannya dan mengatur rumahnya, berkhidmat kepada rumahnya dalam segala yang memungkinkannya, mendahulukan hak suami atas hak diri dan hak seluruh kerabatnya.

 

Akhir Kitab Nikah.

 

Ketahuilah bahwa Allah dengan kelembutan hikmahNya, menjadikan dunia ini sebagai usaha dan mata pencaharian, terkadang untuk dunia dan terkadang untuk akhirat. Di sini kami menyebutkan dan menjelaskan adab-adab berniaga, pekerjaan dan berbagai bentuk mata pencaharian dan sebab-sebabnya.

 

PASAL

KEUTAMAAN DAN ANJURAN MENCARI RIZKI

 

Allah berfirman

 

“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (An-Naba’: 11).

 

Allah menyebutkannya dalam konteks sebagai nikmat. Allah berfirman,

 

“Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (Al-A’raf: 10).

 

Allah menjadikannya nikmat dan memerintahkan agar disyukuri. Allah berfirman,

 

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Al-Bagarah: 198).

 

Dalam hadits bahwa Nabi bersabda,

 

“Mencari (rizki) yang halal adalah jihad.”‘

 

“Sesungguhnya Allah benar-benar mencintai hamba yang mencari nafkah,”‘

 

Dalam Shahih al-Bukhari bahwa Nabi bersabda,

 

“Seseorang tidaklah makan suatu makanan yang lebih baik daripada makanan hasil kerjanya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.”

 

Dalam hadits lain disebutkan,

 

“Bahwa Zakariya’ adalah seorang tukang kayu.”

 

Ibnu Abbas berkata, “Nabi Adam adalah petani, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, Nabi Ibrahim dan Nabi Luth petani, Nabi Shalih pedagang, Nabi Dawud pandai besi, Nabi Musa, Nabi Syu’aib dan Nabi Muhammad bin Abdullah adalah penggembala.” Untuk atsar, diriwayatkan bahwa Luqman al-Hakim berkata kepada putranya, “Putraku, jadikanlah usaha halal sebagai penolongmu, seseorang tidak jatuh miskin kecuali dia ditimpa tiga perkara: Kelemahan pada agamanya, kelemahan pada akalnya, dan lenyapnya kehormatannya. Yang lebih parah adalah perendahan orang-orang terhadapnya.” Imam Ahmad bin Hanbal ditanya, “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki berpangku tangan di rumahnya atau masjidnya dan dia berkata, ‘Aku tidak bekerja, rizkiku akan datang sendiri’.” Beliau menjawab, “Dia adalah laki-laki bodoh, apakah dia tidak mendengar sabda Nabi,

 

“Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.”

 

Nabi bersabda saat menyinggung burung,

 

“Berangkat pagi dengan perut kosong dan pulang sorenya dengan perut kenyang.”

 

Para sahabat Nabi berniaga di darat dan laut, bekerja mengurusi kebun kurma mereka dan mereka adalah teladan.

 

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Ibadah bagi kami bukan berarti engkau menekuk kedua kakimu sementara orang lain berlelah-lelah untukmu, akan tetapi mulailah dengan berusaha, carilah dua potong rotimu dan setelahnya beribadahlah.”

 

Bila ada yang berkata, Abu ad-Darda’ berkata, “Aku menekuni perdagangan dan ibadah namun keduanya tidak bisa digabungkan, maka aku memilih ibadah.” Kami menjawab, kami tidak berkata bahwa perdagangan merupakan tujuan utama, akan tetapi sarana agar tidak menggantungkan diri kepada orang lain, mencukupi keluarga, memberikan kelebihan kepada saudara. Adapun bila tujuan utamanya adalah harta itu sendiri dan mengumpulkannya, membanggakannya dan seperti itu, maka itulah yang tercela.

 

Kemudian hendaknya akad (transaksi) yang dengannya menjadi mata pencahariannya menyatukan empat perkara: Keabsahan, keadilan, kebaikan, dan belas kasih di atas agamanya.

 

[Pilar-Pilar Akad Usaha]

 

Pilar Pertama: Keabsahan

 

Bila akadnya adalah jual beli, maka ia mempunyai tiga rukun: yang melakukan akad, obyek akad, dan lafazh akad.

 

Pertama: Untuk pelaku akad, hendaknya pedagang tidak bermuamalah dengan orang gila, sebab orang gila bukan mukalaf, sehingga jual belinya tidak sah, tidak bermuamalah dengan budak kecuali bila dia mengetahui bahwa dia diizinkan oleh majikannya, demikian juga anak kecil, kecuali bila bapaknya atau walinya mengizinkan, sehingga dia seperti budak yang diizinkan. Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa akad anak kecil tidak sah. Bagi kami, muamalah dengan orang buta adalah sah, sah juga jual belinya, tetapi menurut Imam asy-Syafi’i tidak sah.

 

Adapun orang-orang zhalim dan orang yang sebagian besar hartanya adalah harta haram, maka tidak patut bermuamalah dengannya, kecuali pada bagian yang diketahui bahwa ia halal.

 

Kedua: Objek akad, yaitu harta yang hendak dipindahkan kepemilikannya. Di antaranya, tidak boleh menjual anjing sebab ia hakikatnya najis. Untuk baghal dan keledai, maka menjualnya boleh, baik kita berpendapat bahwa keduanya najis atau suci. Tidak sah menjual serangga, menjual alat musik gambus dan seruling, gambar makhluk hidup (patung) yang terbuat dari tanah basah dan yang sepertinya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan, baik secara kenyataan maupun secara syariat. Untuk yang pertama seperti burung di udara, budak yang kabur dan yang sepertinya, untuk yang kedua seperti barang tergadaikan, menjual budak perempuan yang mempunyai anak kecil tanpa anaknya atau anak tanpa ibunya, hal ini dilarang, diserahterimakan dari sisi syariat.

 

Ketiga: Lafazh akad, yaitu ijab dan qabul, bila yang kedua mendahului yang pertama, maka jual beli tidak sah menurut salah satu riwayat, dan sah menurut riwayat yang lain, baik dengan kata kerja lampau maupun dengan kata perintah. Bila kedua belah pihak berakad dengan saling memberi dan menerima, maka zahir ucapan Ahmad adalah sah.

 

Al-Qadhi Abu Ya’la berkata, “Cara tersebut tidak sah kecuali untuk barang-barang yang kurang berharga. Ini adalah pendapat paling netral, maksudku hendaknya cara serah terima tanpa kata-kata hanya diberlakukan untuk barang-barang yang remch bukan yang berharga, dan hal itu sejalan dengan kebiasaan yang berlaku demikian. Allah melarang riba dengan keras, maka seorang Muslim patut waspada agar tidak terjatuh ke dalamnya. Riba terbagi menjadi dua: Riba fadhl dan riba nasi ah. Patut mengetahui barang-barang yang berlaku padanya hukum riba. Perlu juga mengetahui syarat-syarat jual beli salam, tjarah, syirkah, karena mata pencaharian tidak luput dari akad-akad tersebut.”

 

PASAL

Pilar Kedua: Keadilan

 

Maksud kami dengan menjauhi kezhaliman dalam bermuamalah adalah apa yang merugikan orang lain, dan ia terbagi kepada apa yang mudaratnya umum dan apa yang mudaratnya khusus.

 

Yang pertama, yakni yang mudaratnya umum: Menimbun barang, hal itu dilarang karena memicu kenaikan harga dan menjadikan langka bahan makanan pokok bagi masyarakat. Caranya adalah membeli barang dalam jumlah besar saat harga mahal, lalu menunggu kenaikan harga. Jika barangnya adalah dari hasil panen sendiri, lalu dia menyimpannya, maka ini bukan menimbun. Demikian juga bila dia membeli saat lapang dan murah dengan cara yang tidak mempersulit orang-orang. Secara umum makruh berniaga bahan makanan pokok, sebab ia adalah pilar utama kehidupan manusia.

 

Yang kedua, yaitu yang mudaratnya khusus (terbatas), misalnya memuji suatu barang dengan sifat yang tidak dimiliki oleh barang tersebut atau menyembunyikan sebagian cacatnya sehingga merugikan pembeli. Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa curang kepada kami, maka dia bukan termasuk dari kami.”

 

Ketahuilah bahwa berbuat curang dalam jual beli hukumnya haram, juga dalam pekerjaan. Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang menambal kain sehingga tidak diketahui, maka beliau menjawab, “Barangsiapa menjualnya, maka dia tidak boleh menyembunyikan (tambahan tersebut).”

 

Pedagang harus memenuhi timbangan, dan ini bisa diwujudkan dengan berusaha (merelakan) dengan memberatkan (menambah) bila menjual dan mengurangi saat membeli. Bila penjual makanan ternak mencampur dengan kerikil kemudian menakarnya, maka dia telah berbuat curang, demikian juga tukang daging yang mencampurnya dengan tulang yang tidak biasa ada padanya.

 

Nabi melarang najasy, yaitu menawar harga tinggi namun tidak ingin membelinya dalam rangka menipu pembeli lain. Nabi #8 juga melarang tashriya’h.’”

 

PASAL

Pilar Ketiga: Berbuat Baik dalam Muamalah Allah memerintahkan,

 

“Berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 90.)

 

Termasuk berbuat baik adalah mempermudah jual beli, tidak menipu pembeli terkait dengan laba yang melebihi kebiasaan yang berlaku umum. Adapun dasar mengambil laba, maka ia diizinkan, karena tujuan jual beli adalah laba, akan tetapi patut memperhatikan kadar kepatutan. Bila pembeli memberikan harga lebih tinggi dari harga umum karena keinginannya dan kebutuhannya kepada barang yang tinggi, maka sepatutnya penjual tidak mengabulkannya, hal itu termasuk berbuat baik.

 

Termasuk berbuat baik, bila hendak meminta pembayaran atau menagih utang, dianjurkan mempermudah, bisa dengan memotong sebagian, bisa dengan memperpanjang (menunda) tempo, bisa dengan memberikan kelapangan dan terkadang tidak memintanya membayar kontan.

 

Termasuk berbuat baik adalah mencrima pembeli yang hendak membatalkan, karena yang membatalkan hanyalah orang-orang yang memikul kerugian karena membcli. Hadits-hadits menetapkan keutamaan hal-hal di atas dan bahwa pelakunya mendapatkan pahala dan balasan baik.

 

PASAL

Pilar Keempat: Sikap Belas Kasih Seorang Pedagang kepada Agamanya dalam Perkara yang Khusus Baginya dan Mencakup Akhiratnya

 

Seorang pedagang tidak patut disibukkan oleh niaganya dari kehidupan akhiratnya, sebaliknya dia harus memperhatikan agamanya. Serius memperhatikan agama terwujud dengan memperhatikan enam perkara:

 

Pertama: Berniat baik dalam berdagang. Hendaknya seseorang melakukan bisnis (perdagangan dengan niat) agar tidak meminta-minta, tidak berharap kepada manusia, memenuhi kewajiban menghidupi keluarga, agar dengan itu dia termasuk mujahidin, dan juga berniat memberikan kebaikan kepada kaum Muslimin.

 

Kedua: Berdagang dan bekerja dengan tujuan menunaikan salah satu fardhu kifayah, sebab bila berkarya dan berniaga ditinggalkan, maka kehidupan akan terhenti. Namun patut diperhatikan bahwa di antara usaha berkarya ada yang penting dan ada juga yang tidak diperlukan, sebab ia berkenaan dengan aspek perhiasan atau mencari kenikmatan semata. Maka hendaknya menyibukkan diri dengan berkarya yang penting, sebab bila dia menunaikannya, maka dia telah mencukupi hajat penting kaum Muslimin, hendaknya menjauhi pekerjaan pengrajin logam, pemahat, memperindah bangunan dengan cat dan segala yang berkaitan dengan keindahan, karena itu adalah makruh.

 

Termasuk kemaksiatan adalah menjahit baju sutra bagi laki-laki. Makruh menjadi tukang jagal, karena ia membuat hati keras, makruh menjadi tukang bekam atau tukang sapu karena bersentuhan dengan benda najis, dan termasuk di antaranya adalah tukang samak.!”

 

Tidak boleh menerima upah karena mengajarkan al-Qur an, menunaikan ibadah, dan perkara-perkara fardhu kifayah.’”

 

Ketiga: Hendaknya pasar dunia tidak menghalang-halanginya dari pasar akhirat. Pasar akhirat adalah masjid, maka hendaklah seseorang menjadikan paginya sampai masuk pasar untuk akhiratnya, terus menjaga wirid. As-Salaf ash-Shalih yang berprofesi sebagai saudagar menjadikan pagi dan sore mereka untuk akhirat dan tengahnya untuk berdagang, bila dia mendengar adzan Zhuhur dan Ashar, hendaknya meninggalkan perniagaan untuk menyibukkan diri dengan shalat fardhu.

 

Keempat: Senantiasa berdzikir kepada Allah di pasar, menyibukkan diri dengan tasbih dan tahlil.

 

Kelima: Hendaknya tidak berambisi berniaga dan berdagang di pasar; tidak menjadi orang pertama yang masuk pasar dan orang terakhir yang meninggalkannya.

 

Keenam: Tidak hanya menjauhi yang haram, lebih dari itu menjauhi perkara-perkara syubhat dan hal-hal meragukan, tidak berhenti pada fatwa, akan tetapi meminta fatwa kepada hatinya, menjauhi sesuatu yang mengganjal dalam hati.

 

KEWAJIBAN MEMPERHATIKAN HALAL DAN HARAM

 

Ketahuilah, bahwa mencari rizki halal adalah kewajiban setiap Muslim. Banyak orang bodoh yang menyatakan bahwa yang halal sudah tidak ada, “Tidak ada yang tersisa dari yang halal kecuali air sungai Eufrat, ramput dan tumbuhan, selain itu telah dirusak oleh muamalah-muamalah yang rusak.” Manakala hal ini terjadi pada mereka dan mereka menyadari bahwa mereka memerlukan makan, maka mereka memperlebar perkara syubhat dan haram. Ini termasuk kebodohan dan minimnya ilmu, karena dalam hadits an-Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi bersabda,

 

“Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas dan di antara keduanya adalah perkara-perkara syubhat.”

 

Ketika pernyataan bid’ah mercka tersebut telah menyebar mudaratnya, keburukannya sudah menjalar ke ranah agama, maka kerusakan yang menutupinya harus dibongkar dengan memberikan pencerahan tentang perbedaan antara yang halal, yang haram, dan yang syubhat.

 

Kami menjelaskan masalah ini dalam beberapa bagian:

 

Bagian Pertama: Keutamaan Mencari yang Halal, Celaan terhadap yang Haram, dan Tingkatan Halal dan Haram Allah berfirman,

 

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.” (Al-Mu’minun: 51).

 

 (yang baik-baik) di sini adalah yang halal. Allah memerintahkan hal itu sebelum beramal. Allah uw juga berfirman mencela yang haram,

 

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188).

 

Dan banyak ayat-ayat lainnya.

 

Dari Abu Hurairah -, ia berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Mahabaik, tidak menerima kecuali yang baik…” Al-Hadits, sampai kepada,

 

“Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh (safar), yang menjadikan kusut dan berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil berkata, ‘Ya Rabbi, ya Rabbi,’ sementara makanannya haram, minumannya haram, bajunya haram, dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan?” Diriwayatkan oleh Muslim. Dan ini diriwayatkan tidak hanya dalam satu hadits.

 

Diriwayatkan bahwa Sa’ad memohon kepada Rasulullah agar menjadi orang yang doanya mustajab, maka beliau menjawab,

 

“Makanlah yang halal, niscaya doamu mustajab.”

 

As-Salaf sangat memperhatikan dan mencermati yang halal. Abu Bakar pernah memakan sesuatu yang syubhat, maka beliau memuntahkannya.’”

 

PASAL

TINGKATAN HALAL DAN HARAM

 

Ketahuilah bahwa semua yang halal adalah baik, akan tetapi sebagiannya lebih baik dari yang lain. Semua yang haram adalah buruk, akan tetapi sebagiannya lebih buruk dari sebagian yang lain. Sebagaimana seorang tabib menyatakan bahwa setiap yang manis adalah bersifat panas, akan tetapi dia berkata, “Ini panas pada tingkatan pertama, ini pada tingkatan kedua, ini ketiga dan ini keempat.” Hal yang sama berlaku pada yang haram. Yang diambil dengan akad yang rusak adalah haram, akan tetapi ia tidak sederajat dengan yang dirampas dengan kekuatan, karena merampas lebih buruk, sebab ia menyakiti orang lain, meninggalkan jalan syariat dalam mencari kehidupan, sedangkan akadakad rusak tidak mengandung selain meninggalkan jalan ubudiyah saja.

 

Demikian juga yang diambil secara zhalim dari orang fakir, atau orang shalih, atau anak yatim, lebih buruk dan lebih berat daripada yang diambil dari orang kuat, atau orang kaya, atau orang fasik.

 

PASAL

[Tingkatan Wara’]

 

Wara’ mempunyai empat tingkatan:

 

Tingkatan pertama: Tingkatan meninggalkan semua yang ditetapkan keharamannya oleh fatwa; hal ini tidak memerlukan contoh.

 

Tingkatan kedua: Wara’ dari semua syubhat yang tidak wajib dijauhi, akan tetapi dianjurkan, sebagaimana disebutkan di bagian syubhat-syubhat, dan termasuk ke dalam bagian ini adalah sabda Nabi

 

 

“Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu.”

 

Tingkatan ketiga: Bersikap wara’ dari sebagian yang halal karena takut terjatuh ke dalam yang haram.

 

Tingkatan keempat: Bersikap wara’ dari segala sesuatu yang bukan karena Allah; ini adalah wara’ shiddiqin. Contohnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya an-Naisaburi  bahwa dia pernah minum obat, lalu istrinya berkata kepadanya, “Alangkah bagusnya bila engkau berjalan-jalan sedikit di sekitar rumah agar obat tersebut bereaksi.” Dia menjawab, “Jalan-jalan seperti ini tidak aku kenal sepanjang tiga puluh tahun terakhir.” Laki-laki ini tidak pernah berniat berjalan-jalan seperti ini yang berkaitan dengan agama, maka dia menolak melakukan, ini termasuk wara’ yang detail.

 

Realitasnya bahwa sikap wara’ mempunyai titik awal dan titik akhir, di antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan kehati-hatian, semakin ketat seseorang menghisab dirinya, semakin cepat dia menyeberangi titian dan semakin ringan punggungnya. Kedudukan di akhirat bertingkat-tingkat sesuai perbedaan tingkatan wara’, sebagaimana tingkatan neraka bagi orang-orang zhalim tidak sama menurut tingkatan yang haram. Bila engkau mau tingkatkanlah kehati-hatian, bila engkau mau maka ambillah keringanan; namun jiwa tetap dalam kehati-hatian dan beban atasnya ringan.

 

Bagian Kedua: Tingkatan-Tingkatan Syubhat dan Pembedaannya dari yang Halal dan yang Haram

 

Hadits an-Nu’man bin Basyir menetapkan tiga bagian tersebut, yaitu halal, haram, dan apa yang ada di antara keduanya. Yang muskil di antara keduanya, yang tidak diketahui oleh banyak orang yaitu syubhat.

 

Kami ingin menyingkap tabir darinya, kami katakan, halal secara mutlak yaitu sesuatu yang zatnya tidak berkaitan dengan sifat yang menjadikannya haram secara hakiki. Tidak pula yang sebab mendapatkannya mempunyai kemungkinan haram atau makruh. Contohnya, air hujan sebelum menjadi milik orang lain.

 

Sedangkan yang haram secara murni adalah sesuatu yang memiliki sifat yang diharamkan seperti keras pada khamar, najis pada kencing, atau didapatkan melalui sebab yang dilarang seperti mendapatkannya melalui kezhaliman dan riba.

 

Dua sisi ini sama-sama jelas, diikutkan dengan keduanya, perkara-perkara yang mempunyai hakikat yang melekat padanya.

 

Namun ada kemungkinan berubah hukumnya. Kemungkinan ini tidak mempunyai sebab yang jelas yang menunjukkannya. Hewan buruan darat dan laut halal, hanya saja ada kemungkinan orang yang berburu kijang atau ikan, telah menangkapnya lalu hewan tersebut lepas dari tangannya. Kemungkinan seperti ini tidak akan terjadi pada air hujan yang turun dari ketinggian. Menganggap ada kemungkinan seperti pada hewan buruan adalah wara’ ahli waswas, sebab itu hanya praduga yang sangat lemah tanpa ada bukti. Seandainya ada bukti yang menunjukkan kepadanya, misalnya dia melihat luka pada kijang yang tidak mungkin terjadi padanya kecuali setelah kijang tersebut ditangkap seperti luka ditempel besi panas dan ada kemungkinan juga selainnya, maka inilah tempat wara’ yang benar.

 

Batasan syubhat adalah sesuatu yang padanya terdapat pertentangan dua keyakinan yang muncul dari konsekuensi dua keyakinan tersebut.

 

Contoh-contoh syubhat banyak, yang paling utama dua contoh:

 

Contoh Pertama: Keraguan pada sebab yang menghalalkan atau mengharamkan. Bagian ini terbagi menjadi empat macam:

 

  1. Kehalalannya (zatnya) diketahui dari sebelumnya, kemudian terjadi keraguan pada sebab yang menghalalkan. Syubhat ini wajib dijauhi, tidak boleh menuruti syubhat ini. Misalnya buruan yang telah dia lukai namun ia terjatuh ke dalam air dan dia menemukannya sudah mati tanpa diketahui apakah ia mati karena luka atau air? Ini haram, karena hukum asalnya haram.

 

  1. Mengetahui kehalalan namun meragukan yang menyebabkan haram, maka asalnya halal dan hukumnya halal. Misalnya seekor burung terbang, lalu seorang laki-laki berkata, “Bila burung itu adalah gagak, maka istriku tertalak.” Yang lain berkata, “Bila bukan gagak, maka istriku tertalak.” Kemudian perkaranya rancu (tidak jelas), maka kami tidak memutuskan pengharaman pada kedua contoh di atas, namun sikap wara’ menuntut kedua orang itu mentalak istri masing-masing.

 

  1. Hukum dasarnya adalah haram lalu datang sesuatu yang menuntut penghalalan dengan dugaan yang kuat, ini diragukan sekalipun kehalalan lebih dominan. Misalnya pemburu memanah hewan buruannya dan hewan tersebut hilang dari pantauannya, kemudian dia menemukannya sudah mati dan pada tubuhnya tidak ada bekas luka apa pun selain anak panahnya, zahir hewan ini halal, karena bila sebuah kemungkinan tidak berpijak pada bukti maka dihukumi waswas. Adapun bila dia melihat bekas hantaman atau luka lain bukan darinya, maka ini diindukkan kepada yang pertama (yakni, harus ditinggalkan).

 

  1. Kehalalannya diketahui, namun ada dugaan kuat sisi yang mengharamkan karena juga dianggap sebagai dugaan yang kuat menurut syariat. Misalnya ijtihad seseorang yang menyatakan najisnya salah satu dari dua bejana berpijak pada sebuah indikasi yang menguatkan dugaannya. Maka hal itu menjadikan airnya haram diminum sebagaimana tidak boleh untuk berwudhu.

 

Contoh Kedua: Yang haram bercampur dengan yang halal hingga menjadi musykil (tidak jelas). Bagian ini terbagi menjadi beberapa bagian:

 

  1. Bila daging satu bangkai bercampur dengan daging satu hewan sembelihan atau dengan sepuluh hewan sembelihan dan bilangan terbatas lainnya. Permisalannya seperti kesamaran antara saudarinya dengan wanita-wanita lain, maka ini adalah syubhat yang wajib dijauhi.

 

  1. Yang haram dan terbatas bercampur dengan yang halal yang tak terbatas. Misalnya saudarinya atau sepuluh saudara susuannya sulit dibedakan dengan kaum wanita di sebuah kota besar. Hal ini tidak mengharuskannya tidak menikahi wanita penduduk kota tersebut, sebaliknya dia boleh menikahi wanita yang dia kehendaki. Sebab mengharamkannya menimbulkan kesulitan yang besar. Demikian juga orang yang mengetahui bahwa hartanya tercampur dengan bagian harta yang haram. Hal ini tidak mengharuskannya meninggalkan jual beli dan makan, karena hal itu menyulitkan. Rasulullah dan para sahabat mengetahui bahwa di antara manusia ada yang bermuamalah dengan riba,’” tetapi mereka tidak meninggalkan dirham-dirham secara total. Pada zaman Nabi ada tameng dicuri namun beliau tidak menolak membeli tameng, maka menjauhi bagian ini adalah termasuk wara’ karena waswas.

 

  1. Haram yang tidak terbatas bercampur dengan halal yang tidak terbatas, seperti hukum harta di zaman kita ini. Mengambil sesuatu darinya tidak haram karena percampuran ini kecuali bila pada harta tersebut terdapat indikasi (jelas) yang menunjukkan bahwa harta tersebut termasuk yang haram. Seperti harta yang diterima dari penguasa yang zhalim. Jika tidak ada indikasi, maka meninggalkannya adalah wara’ sekalipun tidak haram, karena sudah diketahui pada zaman Rasulullah dan para khalifah sesudah beliau bahwa hasil penjualan khamar, dirham-dirham riba, penggelapan harta rampasan perang bercampur dengan harta secara umum. Para sahabat mendapati perampasan di Madinah dan transaksi orang-orang zhalim namun mereka tidak meninggalkan transaksi di pasar. Seandainya hal tersebut dihukumi tidak sah, niscaya segala pintu muamalah tertutup, kefasikan mendominasi manusia. Namun hukum asal harta adalah halal. Bila hukum asal bertentangan dengan dugaan dan dugaan ini tidak ditunjang oleh indikasi, maka kembali pada hukum asal, sebagaimana yang kami katakan berkaitan dengan tanah jalanan dan bejana orang-orang musyrikin.

 

Umar pernah berwudhu dari bejana milik seorang wanita Nasrani, padahal mereka makan babi, minum khamar dan tidak menjaga diri dari najis. Para sahabat juga memakai kulit yang disamak dan pakaian yang dicelup pewarna.

 

Barangsiapa memperhatikan keadaan para tukang samak dan para tukang celup kain, maka dia akan mengetahui bahwa mereka bergelut dengan najis. Buktinya mereka tidak menjaga diri kecuali dari najis yang terlihat semata atau najis yang mempunyai bekas. Adapun dugaan yang diambil dari mengembalikan dugaan lemah pada realitas kehidupan, maka para sahabat tidak menganggapnya sedikit pun. Bila ada yang berkata, para sahabat mempermudah dalam urusan bersuci dan menjaga diri dalam masalah syubhat haram, lalu apa bedanya? Kami menjawab, bila maksudmu bahwa mereka shalat dengan membawa najis maka ini tidak benar, bila maksudmu adalah bahwa mereka menjaga diri dari segala najis yang wajib dihindari, maka ini benar. Adapun wara’ mereka dalam perkara syubhat, maka ia termasuk menahan diri dari sesuatu yang tidak mengapa karena takut terjatuh kepada sesuatu yang tidak baik. Padahal jiwa manusia cenderung (suka) kepada harta berbeda dengan najis, maka para sahabat menahan diri dari yang halal sekalipun ketika hal itu menyibukkan hati mereka dari Allah. Wallahu a’lam.

 

Bagian Ketiga: Meneliti, Bertanya, Mendesak, Mengabaikan dan Situasinya

 

Ketahuilah, manakala makanan dihidangkan kepadamu atau sebuah hadiah diberikan kepadamu atau engkau hendak membeli sesuatu dari seseorang, maka engkau tidak berhak berkata, “Ini belum aku pastikan kehalalannya, karena itu aku ingin menelitinya.”

 

Engkau juga tidak patut tidak meneliti sama sekali, karena bertanya dalam rangka meneliti terkadang wajib, terkadang haram, terkadang dianjurkan, dan terkadang makruh.

 

Kaidah umum dalam masalah ini adalah bahwa yang memicu seseorang bertanya adalah keraguan. Dan ini terjadi dari sesuatu yang berkaitan dengan harta atau dengan pemilik harta.

 

Sedangkan yang berkaitan dengan pemilik harta, maka seperti orang yang tidak dikenal, yaitu orang yang tidak ada indikasi bahwa dia berbuat zhalim seperti berseragam tentara, tidak juga ada indikasi bahwa dia adalah orang shalih seperti berbaju layaknya ulama dan ahli zuhud, dalam kondisi ini tidak patut bertanya bahkan tidak boleh. Karena hal ini mencederai kehormatan seorang Muslim dan menyakitinya; tidak boleh dikatakan kepada orang tersebut, “Masih diragukan.” Karena yang diragukan adalah sesuatu yang memicu kebimbangan dengan adanya indikasi, misalnya wajahnya adalah wajah bangsa Turki dan orang-orang badui yang terkenal berbuat zhalim dan membegal. Bermuamalah dengannya boleh, karena tangan menunjukkan kepemilikan, sementara indikasi-indikasi tersebut lemah, namun meninggalkannya termasuk wara’.

 

Kemudian yang berkaitan dengan harta, adalah seperti yang haram bercampur dengan yang halal, sebagaimana bila karung-karung makanan hasil rampasan (merampok) diletakkan di pasar lalu penduduk pasar membelinya. Orang yang membeli di kota tersebut dari pasar tersebut tidak harus bertanya apa yang dibeli, kecuali bila diketahui bahwa mayoritas apa yang ada di tangan mereka adalah haram, dalam kondisi ini wajib bertanya. Sebaliknya bila kebanyakan darinya tidak haram, maka meneliti hanya sebatas wara’ yang tidak wajib. Hal yang sama kami katakan pada seseorang yang mempunyai harta yang halal yang bercampur dengan yang haram, sebagaimana bila dia adalah saudagar yang menjalankan akad-akad yang shahih namun dia juga bermuamalah dengan riba. Apabila sebagian besar hartanya haram tidak boleh menerima hadiahnya dan jamuan makannya kecuali setelah meneliti. Bila diketahui bahwa yang diambil dari arah yang halal, maka boleh. Jika tidak, maka ditinggalkan, jika yang haram lebih sedikit, maka yang diambil adalah dengan menganggapnya syubhat dan sikap wara’ adalah dengan meninggalkannya.

 

Ketahuilah bahwa bertanya hanya terjadi karena adanya keraguan. Tidak ditinggalkan kecuali bila perkara yang membawa pada keraguan sudah hilang. Pihak yang ditanya bukan orang yang dicurigai, namun bila dia orang yang dicurigai, dan engkau mengetahui bahwa dia mempunyai maksud tertentu di balik kehadiranmu atau pemberian hadiahnya, maka kata-katanya tidak boleh dipercaya, dan hendaklah ia bertanya kepada orang lain.

 

Bagian Keempat: Cara Bertaubat Melepaskan Diri dari Kezhaliman Terkait dengan Harta

 

Ketahuilah bahwa barangsiapa bertaubat sementara di tangannya terdapat harta yang bercampur (yang halal dan yang haram), maka dia harus memilah yang haram dan mengeluarkannya. Jika hakikat keharamannya diketahui maka urusannya tidak sulit. Jika bercampur dan membuat rancu, bercampur dengan barang semisalnya seperti biji-bijian, uang, dan minyak serta kadarnya diketahui, maka dia menyisihkan kadar tersebut, bila muskil maka hendaklah memilih di antara dua cara:

 

Pertama: Mengambil dugaan yang kuat.

 

Kedua: Mengambil apa yang diyakini, dan ini adalah wara’.

 

Mengeluarkan harta yang haram, jika harta tersebut mempunyai pemilik, maka wajib dikembalikan kepadanya atau kepada ahli warisnya. Jika harta tersebut mempunyai pertambahan dan hasil (laba), maka dia mengembalikannya bersama tambahannya. Jika tidak ada jalan untuk mengetahui pemiliknya, dia juga tidak mengetahui apakah ia sudah mati dan meninggalkan ahli waris atau tidak? Maka hendaknya dia menyedekahkannya. Jika ia berasal dari harta fai’ dan harta yang ditujukan untuk kepentingan kaum Muslimin, maka harta tersebut digunakan untuk pembangunan jembatan, masjid, memperbaiki jalanjalan Makkah (misalnya) dan segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin yang melewatinya.

 

Masalah: Bila di tangan seseorang terdapat harta halal dan harta syubhat, hendaknya memilih yang halal untuk dirinya, mendahulukan makanan dan pakaiannya dengan yang halal tersebut ketimbang membayar upah tukang bekam, membeli minyak dan menyalakan lampu. Dasar hal ini adalah sabda Nabi tentang upah tukang bekam,

 

“Berikan saja sebagai (belanja) makanan kepada unta yang mengairi (ladangmu).”

 

Jika seseorang memiliki bapak dan ibu yang memegang harta haram, hendaknya menolak makan bersama mereka. Jika hartanya adalah syubhat, maka menyiasatinya dengan halus, bila keduanya tidak menerima, maka ia bisa makan sedikit saja.

 

Diriwayatkan bahwa ibunda Bisyr al-Hafi pernah memberi Bisyr sebiji kurma, maka Bisyr memakannya kemudian Bisyr naik ke lantai atas dan mengeluarkannya kembali.

 

Bagian Kelima: Bergaul dan Berhubungan dengan Para Penguasa; Apa-Apa yang Halal dari Berbaur dengan Mereka, dan Apa-Apa yang Berkaitan dengannya

 

Ketahuilah bahwa orang yang menerima harta dari penguasa, maka harus memperhatikan sumber harta penguasa, dari mana berasal? Bagaimana sifat yang karenanya dia berhak, kadar yang diterima, dan apakah dia memang berhak?

 

Beberapa orang dari as-Salaf menolak, dan di antara mereka ada yang menerima lalu menyedekahkannya.

 

Untuk zaman ini, menahan diri lebih patut, karena jalan menerimanya sudah diketahui (penuh dengan hal-hal syubhat bahkan jelas haram), kemudian ia tidak diberikan kecuali melalui jalan kerendahan; meminta dan diam tanpa mengingkari.

 

Sebagian as-Salaf tidak menerima, mereka beralasan bahwa orang lain tidak mengambil, alasan ini tidak tepat, karena seandainya dia menerima, maka dia menerima haknya, sementara orang lain adalah orang yang dizhalimi dan harta tersebut bukan milik bersama.

 

PASAL

[Pergaulan dengan Penguasa yang Zhalim, yang Halal dan yang Haram]

 

Ketahuilah bahwa engkau mempunyai tiga keadaan di depan para penguasa dan pegawai yang zhalim:

 

Pertama: Engkau mendatangi mereka dan ini adalah yang terburuk. Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa mendatangi pintu-pintu penguasa, maka dia terfitnah,”

 

“Tidaklah seorang hamba semakin mendekat kepada penguasa kecuali dia semakin menjauh dari Allah.”

 

Hudzaifah berkata, “Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya, “Apa itu tempat-tempat fitnah?” Beliau menjawab, “Pintupintu penguasa, salah seorang di antara kalian datang kepada seorang penguasa, lalu membenarkan kebohongannya dan berkata padanya (memujinya dengan) sesuatu yang tidak ada padanya.”

 

Sebagian penguasa berkata kepada sebagian ahli zuhud, “Mengapa engkau tidak datang kepada kami?” Dia menjawab, “Aku takut bila engkau mendekatkanku, maka engkau akan membuatku terfitnah (tergoda), tapi bila engkau menjauhkanku, maka engkau menghalangiku. Engkau tidak memiliki apa yang aku inginkan, dan aku tidak memiliki apa yang membuatmu takut. Yang datang kepadamu hanyalah orang yang hendak mencukupkan dirinya dari selainmu, sementara aku sudah merasa cukup darimu dengan Yang membuatmu lebih kaya daripadaku.”

 

Atsar-atsar ini menjelaskan makruhnya bergaul dengan para penguasa, di samping itu orang yang masuk ke penguasa berisiko mendurhakai Allah, bisa dengan perbuatannya atau kata-katanya atau diamnya.

 

Dengan perbuatan, masuk kepada penguasa biasanya ke tempattempat hasil rampasan. Sekiranya tempat tersebut bukan tempat hasil rampasan, namun biasanya apa yang ada di bawahnya atau tenda atau sejenisnya yang memayunginya berasal dari harta yang haram, mengambil manfaat hal itu adalah haram. Sekiranya semua itu halal, maka tetap ada kemungkinan dia terjatuh ke dalam hal-hal yang dilarang lainnya, bisa dalam bentuk sujud kepadanya atau berdiri untuk menghormatinya, membantunya, bertawadhu’ karena kekuasaannya yang menjadi alat kezhalimannya. Tawadhu’ kepada orang zhalim adalah maksiat, bahkan orang yang bertawadhu’ kepada sesecorang karena kekayaannya bukan karena hal lain yang menuntutnya bertawadhu’, maka dua pertiga agamanya telah hilang, lalu bagaimana bila bertawadhu!’ kepada orang zhalim? Mencium tangannya adalah maksiat, kecuali pada saat takut atau untuk seorang pemimpin yang adil atau ulama yang berhak diperlakukan demikian. Adapun selain yang kami sebutkan, maka tidak boleh kecuali hanya sebatas salam.

 

Dengan perkataan, bisa berupa mendoakan orang zhalim, atau menyanjungnya, atau membenarkan perkataan batilnya atau dengan anggukannya atau dengan wajah yang berbinar, atau memperlihatkan kecintaan, loyalitas dan kerinduan bertemu dengannya, harapan kuat agar dia tetap berkuasa, karena masuk kepada penguasa tidak hanya sebatas salam, sebaliknya berbicara dan pembicaraannya merambah kepada hal-hal yang kami sebutkan.

 

Dalam sebuah atsar dikatakan,

 

“Barangsiapa mendoakan orang zhalim tetap berkuasa, maka dia suka bila Allah didurhakai.”

 

Tidak boleh mendoakannya kecuali dengan mengucapkan, “Semoga Allah memperbaikimu atau membimbingmu.” Atau yang sepertinya.

 

Dengan diam, saat melihat permadani-permadani sutra, bejanabejana perak, pakaian yang haram di badan para pelayan berupa sutra dan lainnya, lalu dia diam. Barangsiapa melihat sesuatu dari hal tersebut dan dia diam, maka dia bersekutu dengannya dalam dosa itu. Demikian pula bila dia mendengar perkataan buruk, dusta, makian, dan cacian, mendiamkan semua ini adalah haram, karena dia wajib beramar ma’ruf dan nahi mungkar.

 

Bila engkau katakan, dia takut terhadap dirinya, bila dia diam maka dimaklumi. Kami katakan, Tidak salah, namun bukankah dia tidak perlu menemuinya sehingga tidak terjatuh pada perkara yang tidak boleh kecuali karena suatu udzur. Karena jika dia tidak menemui dan tidak menyaksikan, maka dia tidak wajib melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Setiap orang yang mengetahui kemungkaran di suatu tempat, dirinya mengetahui bahwa bila dia hadir, dia tak sanggup mengingkarinya, maka dia tidak bolch datang.

 

PASAL

 

Bila dia bisa selamat dari apa yang telah kami sebutkan di atas, jauh sekali, karena dia tetap tidak selamat dari kerusakan yang menyusup ke dalam hatinya, karena dia melihat bagaimana penguasa hidup dalam kenikmatan dengan leluasa, lalu dia meremehkan nikmat Allah, kemudian selainnya akan menirunya dan bergaul dengan penguasa, sehingga dengan perbuatannya dia memperbanyak barisan orang-orang zhalim.

 

Diriwayatkan bahwa Sa’id bin al-Musayyib pernah diajak membai’at al-Walid dan Sulaiman, keduanya adalah putra Abdul Malik, maka Sa’id bin al-Musayyib menjawab, “Aku tidak membai’at dua orang selama siang malam masih silih berganti.” Orang-orang berkata, “Masuklah dari pintu ini dan keluarlah dari pintu ini.” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah, sehingga tidak ada seorang pun yang mengikutiku.” Maka beliau dicambuk 100 kali dan diberi pakaian kasar.

 

Berdasarkan apa yang kami jelaskan, maka tidak boleh datang kepada para penguasa zhalim kecuali dengan dua udzur:

 

Pertama: Pemaksaan dari mereka, bila tidak dipenuhi, maka dia mengkhawatirkan dirinya.

 

Kedua: Datang untuk melaporkan kezhaliman dari seorang Muslim, boleh dengan syarat tidak berkata dusta, tidak memuji, tidak meninggalkan nasihat yang mungkin diterima. Ini adalah hukum berkaitan dengan datang (kepada penguasa).

 

Keadaan kedua: Penguasa datang berkunjung kepadanya, maka menjawab salam harus. Adapun berdiri dan menghormati, maka tidak haram membalas penghormatannya dengan penghormatan, karena dengan memuliakan ilmu dan agama, dia berhak dipuji, sebagaimana dengan kezhaliman dia berhak dicela. Bila penguasa datang sendiri dan dia memandang untuk berdiri dalam rangka menghargai agama, maka ia lebih patut. Bila penguasa datang bersama rombongan, maka menjaga kewibawaan para petinggi di mata rakyat lebih patut dan lebih bagus, tidak mengapa berdiri dengan niat ini. Namun bila dia mengetahui bahwa hal itu tidak menimbulkan kerusakan pada rakyat dan tidak mendapatkan hukuman karena kemarahan penguasa, maka tidak menghormati dengan tidak berdiri lebih bagus.

 

Kemudian dia wajib menasihati penguasa, memberitahukan keharaman perbuatannya yang tidak dia ketahui. Adapun memberitahukan tentang diharamkannya kezhaliman dan minum khamar, maka hal itu tidak berguna. Sebaliknya dia memperingatkan penguasa agar tidak melakukan kemaksiatan, selama dia tahu bahwa peringatannya berdampak terhadap hatinya, dia membimbingnya kepada kemaslahatan. Jika dia mengetahui sebuah jalan syariat yang dengannya bisa menjauhkan diri dari penguasa zhalim, maka dia menyampaikan kepadanya.

 

Keadaan Ketiga: Menjauhi penguasa, tidak melihat mereka dan mereka tidak melihatnya, pada bagian ini terdapat keselamatan. Kemudian dia patut membenci kezhaliman mereka, tidak suka bertemu dengan mereka, tidak menyanjung mereka, tidak mencari-cari berita tentang keadaan mereka, tidak mendekatkan diri dengan orang-orang yang mempunyai hubungan dengan mereka, menyesali apa yang tidak terwujud karena berpisah dengan mereka, sebagaimana sebagian dari mereka berkata, “Antara diriku dengan para raja hanya sehari saja: hari yang telah berlalu, maka mereka tidak merasakan kelezatannya. Aku dan mereka sama-sama khawatir terhadap hari esok, akan tetapi hanya hari ini, lalu apa yang boleh terjadi di hari ini?”

 

Masalah: Bila penguasa mengirimkan uang kepadamu untuk dibagikan kepada orang-orang fakir dan harta tersebut milik seseorang, maka tidak halal mengambilnya. Jika tidak mempunyai pemilik, maka dia menyedekahkannya sebagaimana yang telah dijelaskan, dan dibagikan kepada fakir miskin.

 

Di antara ulama ada yang menolak mengambilnya. Bila kebanyakan harta penguasa adalah haram, maka tidak boleh bermuamalah dengan mereka.

 

Apa yang dibangun oleh para penguasa zhalim berupa jembatan, masjid, dan penampungan air (waduk), maka perlu dilihat, jika fasilitas tersebut dibangun di atas lahan orang (pemilik tanpa ganti rugi), maka tidak boleh melewatinya kecuali darurat. Jika tidak diketahui pemiliknya, maka boleh melewatinya, dan sikap wara’ dalam hal ini adalah menghindarinya. Wallahu a’lam.

 

[Keutamaan Persahabatan dan Persaudaraan]

 

Ketahuilah bahwa persahabatan adalah buah dari akhlak yang baik, (sebaliknya) perpecahan adalah buah dari akhlak yang buruk. Akhlak yang baik menjadikan saling mencintai dan menyayangi, akhlak yang buruk menghasilkan saling membenci dan membelakangi. Keutamaan akhlak yang baik tidak samar bagi kita dan banyak hadits menunjukkan hal itu.

 

Dalam hadits Abu ad-Darda’ dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin di Hari Kiamat daripada akhlak yang baik.”” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya.

 

Dalam hadits lain,

 

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat majelisnya kepadaku di Hari Kiamat adalah orang yang paling bagus akhlaknya, dan (sebaliknya) orang yang paling aku benct dan paling jauh majelisnya dariky di Hari Kiamat adalah orang yang paling buruk akhlaknya.”

 

“Nabi ditanya tentang sebab paling banyak yang memasukkan manusia ke surga, beliau menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik’.”

 

[Makna Persaudaraan karena Allah]

 

Tentang cinta karena Allah, disebutkan dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari Nabi bersabda,

 

“Tujuh golongan akan dinaungi Allah di bawah naunganNya di hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya… (dan di antaranya), dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah; keduanya berkumpul karena itu dan berpisah juga karena Allah.”

 

Dalam hadits lain, Allah  berfirman,

 

“CintaKu pasti untuk orang-orang yang saling mencintai karena Aku, cintaKu pasti untuk orang-orang yang saling memberi karena Aku, cintaKu pasti untuk orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku.”‘

 

Dalam hadits lain,

 

“Simpul tali iman paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”

 

Dan hadits-hadits lain dalam masalah ini berjumlah banyak.

 

[Makna Benci karena Allah]

 

Ketahuilah bahwa barangsiapa mencintai karena Allah, maka dia membenci karena Allah. Jika engkau mencintai seseorang karena dia taat kepada Allah, jika dia mendurhakai Allah maka engkau membencinya karena Allah. Karena siapa yang mencintai karena suatu sebab, maka dia membenci dengan adanya lawan sebab tersebut. Bila pada seseorang ada sifat yang terpuji dan sifat yang tidak disukai, maka engkau mencintainya dari satu sisi dan membencinya dari sisi yang lainnya. Sepantasnya engkau mencintai seorang Muslim karena keislamannya dan membencinya karena kemaksiatannya, sehingga muamalahmu dengannya adalah muamalah pertengahan, tidak terikat dan tidak terlepas. Kesalahan yang terjadi padanya dan diketahui dia telah menyesalinya, maka dalam kondisi ini sebaiknya menutupi dan merahasiakannya. Jika dia terus melakukan kemaksiatan, maka harus menampakkan kebencian dengan berpaling dan menjauh darinya, mengucapkan kata-kata tegas sesuai dengan berat dan ringannya kemaksiatan yang dilakukannya.

 

[Tingkatan Orang-Orang yang Dibenci karena Allah dan Tata Cara Bermuamalah dengan Mereka]

 

Ketahuilah bahwa orang yang menyelisihi perintah Allah terbagi menjadi:

 

Pertama: Orang kafir. Jika dia kafir harbi (yang memerangi kaum Muslimin), maka dia berhak dibunuh dan diperbudak, tidak ada penghinaan selain itu. Jika kafir dzimmi, maka tidak boleh menyakitinya kecuali dengan berpaling darinya, mengucilkannya dan memaksanya ke jalan paling sempit, dan tidak memulai mengucapkan salam kepadanya. Bila dia mengucapkan salam, maka dijawab, wa’alaikum. Lebih baik tidak bergaul dan makan bersamanya. Termasuk makruh merasa gembira dan lapang dengannya seperti dengan kawan.

 

Kedua: Ahli bid’ah. Bila dia menyeru kepada bid’ahnya dan bid’ahnya menjadikan kafir, maka urusannya lebih berat daripada kafir dzimmi, karena tidak ditetapkan atasnya untuk membayar jizyah dan tidak diberi toleransi dengan akad dzimmanh. Jika bid’ahnya tidak menyebabkan kafir, maka urusannya antara dia dengan Allah tentu Jebih ringan daripada urusan orang kafir. Namun perintah mengingkarinya lebih keras daripada mengingkari orang kafir, sebab keburukan orang kafir tidak menular dan perkataannya tidak diperhatikan. Berbeda dengan ahli bid’ah yang menyeru kepada bid’ahnya, dia menyangka apa yang diserukannya adalah kebenaran, sehingga dia merupakan sebab tersesatnya manusia, maka keburukannya menular. Maka memperlihatkan kebencian kepadanya, permusuhan, perendahan, pengingkaran bid’ahnya, dan usaha menjauhkan manusia darinya harus lebih keras.

 

Sedangkan ahli bid’ah yang awam yang tidak bisa menyerukannya, tidak ditakutkan diikuti, maka perkaranya lebih ringan. Sebaiknya menasihatinya dengan lembut, sebab hati orang awam mudah berbolakbalik. Bila nasihat tidak berguna dan berpaling darinya membuatnya memandang bid’ahnya buruk, maka ditekankan untuk berpaling darinya. Namun bila diketahui bahwa hal itu tidak berdampak karena tabiatnya yang kaku dan akidahnya yang kokoh dalam hatinya, maka berpaling lebih baik. Karena bila bid’ah tidak disampaikan keburukannya, maka ia akan merebak di antara manusia dan kerusakannya menyebar.

 

Ketiga: Pelaku maksiat didorong oleh perbuatannya bukan karena meyakini kebolehannya, jika kemaksiatannya mengganggu orang lain seperti kezhaliman, merampas, kesaksian palsu, gibah, namimah dan yang sepertinya, maka yang lebih bagus adalah berpaling darinya, tidak bergaul dengannya dan tidak berinteraksi dengannya. Demikian juga, ketentuan bagi orang yang menyeru kepada kerusakan, seperti orang yang mencampurbaurkan kaum laki-laki dan perempuan, menyediakan sarana-sarana mabuk bagi orang-orang rusak. Orang seperti ini patut direndahkan, diisolir, dan dijauhi. Adapun orang yang fasik hanya pada dirinya sendiri dengan minum khamar atau berzina atau mencuri atau meninggalkan kewajiban, maka perkaranya lebih ringan. Akan tetapi manakala dia tertangkap basah saat melakukannya, dia harus dilarang dengan cara yang membuatnya jera. Jika nasihat lebih berguna baginya, maka itu sudah cukup, namun bila tidak, maka dijatuhi hukuman yang keras. PASAL SIFAT-SIFAT YANG DISYARATKAN PADA ORANG YANG ENGKAU PILIH MENJADI TEMAN

 

Kami meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Seseorang berada di atas agama sahabatnya, maka hendaknya salah seorang di antara kalian melihat siapa yang dijadikan sahabatnya.”

 

Ketahuilah bahwa tidak semua orang layak dijadikan sebagai teman. Orang yang dijadikan sebagai sahabat patut memiliki sifat-sifat dan perangai-perangai tertentu yang mendorong orang lain untuk bersahabat dengannya. Kriteria-kriteria tersebut menyesuaikan dengan faedah-faedah yang dicari dari persahabatan, bisa bersifat dunia seperti mencari harta dan kedudukan atau hanya sekadar keinginan untuk merasa nyaman dengan perbincangan dan pertemuan, ini bukan tujuan kami. Bisa bersifat agamawi dan padanya terkumpul tujuan-tujuan yang bermacam-macam:

 

Di antaranya, mengambil faedah ilmu dan amal.

 

Di antaranya, mengambil manfaat dari suatu kedudukan untuk melindungi diri dari gangguan orang yang mengotori hati dan menghalang-halangi ibadah.

 

Di antaranya, mengambil faedah dari harta agar tercukupi sehingga tidak perlu mengambil waktu untuk mencari makan.

 

Di antaranya, meminta bantuannya dalam perkara-perkara penting, sehingga ia menjadi peneguh dalam musibah dan kekuatan dalam segala keadaan.

 

Di antaranya, mengharapkan syafa’‘at di akhirat, sebagaimana sebagian salaf berkata, “Perbanyaklah saudara, karena setiap Mukmin mempunyai syafa’at.”

 

Ini adalah faedah-faedahnya, setiap faedah menuntut adanya syarat yang faedah tidak akan terwujud tanpanya.

 

Secara umum, orang yang engkau pilih sebagai sahabat sebaiknya mempunyai lima sifat: Yaitu hendaklah dia seorang yang berakal,

 

berakhlak baik, bukan fasik, bukan ahli bid’ah dan tidak ambisius terhadap dunia.

 

Orang yang berakal; ini adalah modal utama, berkawan dengan orang dungu tidak membawa kebaikan. Dia ingin memberimu manfaat, tetapi justru menimpakan mudarat. Maksud kami dengan orang berakal adalah orang yang memahami perkara sebenarnya, bisa dengan sendirinya, bisa pula bila dipahamkan, maka dia memahami.

 

Orang yang berakhlak baik; ini harus, karena terkadang orang berakal dikalahkan oleh amarah atau hawa nafsunya lalu dia menurutinya, sehingga tidak ada kebaikan padanya.

 

Bukan orang yang fasik, karena orang seperti ini tidak takut kepada Allah, orang yang tidak takut kepada Allah tidak dijamin (bebas pengaruh) keburukannya dan tidak bisa dipercaya.

 

Bukan ahli bid’ah, karena berkawan dengannya dikhawatirkan menularkan bid’ahnya.

 

Umar bin al-Khaththab berkata, “Carilah sahabat-sahabat yang dapat dipercaya, niscaya engkau hidup dalam naungan mereka. Mereka adalah perhiasan di saat makmur dan peneguh di saat ujian. Letakkan perkara saudaramu dalam posisi terbaik, hingga datang apa yang membuatmu benci darinya. Jauhilah musuhmu, waspadailah temanmu kecuali teman yang tepercaya (amanah). Tidak ada orang yang dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Jangan berkawan dengan orang yang gemar berbuat maksiat, karena dia bisa menularkan kedurhakaan kepadamu. Jangan membuka rahasiamu kepadanya, mintalah pendapat dalam urusanmu kepada orang-orang yang takut kepada Allah.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Seburuk-buruk teman adalah teman yang engkau perlu berkata kepadanya, ‘Sebutlah aku dalam doamu.’ Engkau hidup bersamanya untuk mengambil hatinya atau engkau perlu menyampaikan udzur.”

 

 

Beberapa orang datang kepada al-Hasan yang sedang tidur, sebagian dari mereka makan buah-buahan di rumahnya, saat dia bangun, dia berkata, “Semoga Allah merahmatimu, inilah perbuatan saudara.”

 

Abu Ja’far berkata kepada rekan-rekannya, “Apakah salah seorang di antara kalian memasukkan tangannya ke dalam saku saudaranya dan mengambil apa yang dia ingin?” Mereka menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Maka kalian tidak bersaudara seperti yang kalian nyatakan.”

 

Diriwayatkan bahwa Fath al-Mushili datang kepada seorang temannya bernama Isa at-Tammar, tetapi dia tidak mendapatkannya (karena Isa sedang tidak di rumah), Fath berkata kepada pelayannya, “Bawa ke sini dompet saudaraku.” Pelayan itu membawanya, lalu Fath mengambil dua dirham. Isa kemudian pulang ke rumah, pelayannya menyampaikan kepadanya apa yang terjadi, maka Isa berkata kepada pelayannya itu, “Kalau kamu benar, maka kamu merdeka.” Setelah dia melihat ternyata memang benar, maka dia pun merdeka.

 

PASAL

HAK-HAK SAUDARA YANG HARUS DIPENUHI SESEORANG

 

Hak pertama: Menunaikan dan memenuhi hajatnya, dan itu bertingkat-tingkat.

 

Paling rendah adalah menunaikan hajat manakala diminta dan mampu, namun dengan tetap dengan raut kebahagiaan dan wajah berbinar.

 

Yang pertengahan adalah menunaikan hajat tanpa diminta.

 

Yang paling tinggi adalah mendahulukan hajat saudara atas hajat diri. Sebagian as-Salaf masih memperhatikan keluarga saudaranya dan memenuhi hajat mereka hingga 40 tahun setelah wafatnya. Hak kedua: Hendaklah lisan terkadang diam dan terkadang berbicara. Diam, artinya adalah diam dengan tidak membicarakan aib-aibnya, baik saat dia ada maupun saat dia tidak ada. Diam dengan tidak membantah, mendebat, dan bersilat lidah. Diam dengan tidak bertanya tentang sesuatu perkara yang tidak disukainya. Jika bertemu tidak bertanya, “Hendak kemana,” karena bisa jadi dia tidak ingin memberitahu kepadanya. Menyembunyikan rahasianya walaupun seandainya persahabatannya sudah terputus. Tidak membicarakan keburukan rekan-rekan dan keluarganya. Tidak menyampaikan ucapan buruk orang lain yang disampaikan kepadanya.

 

Hendaklah diam dari segala sesuatu yang tidak disukai temannya, kecuali jika memang harus berbicara dalam rangka amar ma’ruf dan nahi mungkar serta tidak menemukan keringanan untuk diam; karena menyampaikan hal itu kepadanya merupakan kebaikan dari segi makna.

 

Sadarilah bahwa jika engkau mencari orang yang bersih dari segala aib, maka engkau tidak akan mendapatkannya. Orang yang kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, maka dialah yang dicari.

 

Ibnul Mubarak berkata, “Seorang Mukmin mencari-cari udzur, sedangkan orang munafik mencari-cari kesalahan.”

 

Al-Fudhail berkata, “Kegagahan adalah memaafkan kesalahankesalahan saudaranya.”

 

Jangan berburuk sangka kepada saudaramu, berusahalah membawa perbuatannya kepada sisi yang baik selama hal tersebut memungkinkan.

 

Nabi bersabda,

 

“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.”

 

Ketahuilah bahwa berburuk sangka menyeret kepada mematamatai yang dilarang. Menutupi dan melupakan kekeliruan termasuk sifat orang-orang beragama.

 

Ketahuilah bahwa iman seseorang tidak akan sempurna hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri. Tingkatan persaudaraan paling minimal adalah hendaknya seseorang memperlakukan saudaranya sebagaimana dia ingin saudaranya itu memperlakukannya. Tidak disangsikan bahwa engkau berharap saudaramu menutupi auratmu, diam dari keburukan-keburukanmu. Jika engkau melakukan hal yang sebaliknya, maka dia akan marah kepadamu, lalu bagaimana engkau berharap sesuatu darinya padahal engkau sendiri tidak pernah melakukannya untuknya?

 

Jika engkau berharap orang lain bersikap obyektif kepadamu padahal engkau sendiri tidak bersikap demikian, maka engkau termasuk ke dalam Firman Allah,

 

“(Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Al-Muthaffifin: 2-3).

 

Pemicu keengganan menutup aib dan cela orang dan sekaligus mendorong membukanya adalah hasad dan dengki.

 

Ketahuilah, bahwa di antara sebab paling kuat dalam memicu hasad dan dengki di antara saudara adalah perdebatan, yang memicunya hanyalah keinginan memperlihatkan keistimewaan, keutamaan yang lebih, dan kecerdasan akal, serta merendahkan pihak yang kalah. Barangsiapa mendebat saudaranya, maka dia telah menganggapnya bodoh dan dungu atau menganggapnya lalai dan lupa, tidak memahami sebuah perkara sebagaimana mestinya. Semua itu adalah penghinaan yang dapat membuat dada bergemuruh dan menanamkan permusuhan, ia adalah lawan dari persaudaraan.

 

Hak keempat: Hak lisan dengan berbicara. Persaudaraan menuntut diam dari hal yang tidak disukai dan menuntut berbicara dengan apa-apa yang disukai, bahkan ini lebih sesuai dengan hak persaudaraan. Karena orang yang hanya diam saja berarti lebih pantas berteman dengan ahli kubur. Tujuan persaudaraan hanyalah mengambil faedah dari mereka bukan berlepas diri dari mereka. Diam berarti menahan diri dari apa-apa yang menyakitkan. Maka seorang saudara Muslim hendaklah mencari kecintaan saudaranya dengan perkataannya, menanyakan keadaannya, menanyakan apa yang terjadi padanya, menampakkan kesibukan hati karenanya, dan memperlihatkan kebahagiaan dengan kebahagiaan saudaranya.

 

Dalam ash-Shahih dari riwayat at-Tirmidzi,’

 

“Apabila salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya, maka hendaknya memberitahukan kepadanya,”

 

Di antaranya memanggilnya dengan nama yang paling dia cintai. Umar bin al-Khaththab berkata,

 

“Ada tiga perkara yang dapat menjadikan cinta saudaramu tulus: Hendaklah engkau mengucapkan salam kepadanya saat bertemu, melapangkan majelis untuknya, dan memanggilnya dengan nama yang paling dia cintai,”

 

Di antara hak saudara dengan lisan adalah memujinya dengan kebaikan-kebaikan yang memang dimilikinya bagi orang yang senang dengan pujian. Demikian juga memuji anak-anak, keluarga dan perpuatan-perbuatannya, termasuk akhlaknya, akalnya, penampilannya, ilmunya, tulisannya dan segala sesuatu yang membahagiakannya tanpa dusta atau berlebih-lebihan.

 

Demikian juga menyampaikan pujian orang lain kepadanya dengan memperlihatkan kebahagiaan di depannya, sebab menyembunyikan hal itu termasuk hasad yang tulen.

 

Di antaranya adalah berterima kasih kepadanya atas apa yang dia Jakukan untukmu, membela di belakangnya jika dia dijadikan sasaran keburukan, karena hak persaudaraan adalah menyingsingkan lengan baju untuk menjaga dan membela.

 

Dalam hadits shahih,

 

“Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya, tidak (boleh) menzhaliminya dan tidak menelantarkannya.”

 

Barangsiapa tidak membela kehormatannya, maka dia telah menelantarkannya.

 

Dalam hal ini engkau mempunyai dua timbangan:

 

Pertama, bayangkan bahwa apa yang dikatakan tentangnya juga bisa dikatakan tentangmu ketika dia hadir, maka hendaklah engkau berkata apa yang engkau ingin dia mengatakannya.

 

Kedua, bayangkan bahwa dia ada di balik dinding mendengarmu, jika hatimu tergerak untuk menolongnya saat dia ada, maka sepatutnya kamu bergerak juga untuk menolongnya saat dia tidak ada. Barangsiapa tidak ikhlas dalam bersaudara maka dia munafik.

 

Di antaranya adalah mengajarkan dan memberikan nasihat. Hajat saudaramu kepada ilmu tidak lebih rendah daripada hajatnya kepada harta. Jika engkau kaya ilmu, maka hiburlah dia dengan ilmu dan bimbinglah. Hendaklah engkau menasihatinya secara rahasia. Perbedaan antara nasihat dan menjelek-jelekkan adalah merahasiakan dan menyuarakan, sebagaimana perbedaan antara mudarah (mengambil hati) dan mudahanah (menjilat) adalah tujuannya untuk menutup mata (tidak mau tahu). Jika engkau menutup mata demi keselamatan agamamu dan karena engkau melihat kebaikan saudaramu adalah dengan cara itu, maka engkau berusaha mengambil hatinya. Namun jika engkau menutup mata karena kepentingan dirimu, terwujudnya ambisimu, dan keselamatan kedudukanmu, maka engkau adalah penjilat.

 

Di antaranya adalah memaafkan kesalahan. Jika kesalahannya pada agamanya maka berlemah lembutlah dalam menasihatinya sebisa mungkin. Jangan membiarkannya dengan tidak menasihatinya dan tidak mencegahnya, jika dia menolak nasihat halus, maka bisa dengan bersikap tegas kepadanya.

 

Hak kelima: Berdoa untuk saudara saat masih hidup dan sesudah meninggal dunia dengan doa kebaikan sebagaimana untuk dirimu sendiri.

 

Dalam Shahih Muslim dari hadits Abu ad-Darda’ bahwa Nabi bersabda,

 

“Doa seorang Muslim untuk saudaranya yang tidak sedang bersamanya dikabulkan. Di samping kepalanya ditugaskan seorang malaikat untuknya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, malaikat yang ditugaskan tersebut berkata, ‘Amin dan engkau juga mendapat yang sepertinya’ .”

 

Abu ad-Darda’  banyak mendoakan saudara-saudaranya, dan beliau menyebut nama-nama mereka.

 

Ahmad bin Hanbal pernah mendoakan enam orang di waktu sahur.

 

Untuk doa setelah meninggal dunia, Amr bin Huraits berkata, “Apabila seorang hamba berdoa untuk saudaranya yang sudah meninggal dunia, maka malaikat membawanya ke kuburnya, dia berkata, ‘‘Wahai penghuni kubur yang asing, ini ada hadiah untukmu dari saudaramu yang mencintaimu’.”

 

Hak keenam: Setia dan ikhlas. Makna setia adalah tetap mencintai sampai meninggal dunia, setelah dia meninggal dunia, maka cintanya untuk anak-anak dan kawan-kawannya. Nabi memuliakan seorang wanita tua seraya bersabda,

 

“Wanita itu sering datang kepada kami saat Khadijah masih hidup, dan sesungguhnya kesetiaan menjaga perjanjian termasuk iman.”

 

Termasuk setia hendaknya sikap tawadhu’nya kepada saudaranya tidak berubah, sekalipun kedudukannya tinggi, kekuasaannya melebar dan kedudukannya terhormat.

 

Ketahuilah bahwa tidak termasuk setia; menyetujui sahabatnya dalam perkara yang menyelisihi agama. Imam asy-Syafi’i bersahabat dengan Muhammad bin Abdul Hakam, dia mendekatkan diri kepadanya dan mendatanginya. Manakala ajal mendatangi asy-Syafi’i, dia ditanya, “Wahai Abu Abdullah, sesudahmu kami duduk (menuntut ilmu) kepada siapa?” Muhammad bin Abdul Hakam yang saat itu berada di sisi kepalanya menyodorkan dirinya dengan harapan Imam asy-Syafi’i menunjuknya, namun asy-Syafi’i berkata, “Abu Ya’qub al-Buwaithi.” Maka Muhammad bin Abdul Hakam bersedih, padahal Muhammad sudah mengambil madzhab darinya, namun al-Buwaithi lebih dekat kepada zuhud dan wara’, maka asy-Syafi’i menasihati kaum Muslimin dan meninggalkan kepura-puraan, akibatnya Ibnu Abdul Hakam meninggalkan madzhab asy-Syafi’i dan beralih ke madzhab Maliki.

 

Termasuk setia hendaklah tidak mendengar perkataan orang lain atas temannya, tidak berkawan dengan lawan temannya.

 

Hak ketujuh: Meringankan, tidak memaksakan dan tidak membebani. Maksudnya tidak membebani saudaranya sesuatu yang memberatkannya, sebaliknya menghibur hatinya dari hajat-hajat dan pekerjaan-pekerjaannya, tidak memanfaatkan kedudukan dan hartanya, tidak membebaninya untuk memperhatikan keadaannya, menunaikan hak-haknya dan bertawadhu’ kepadanya. Sebaliknya tujuannya bersaudara adalah mencintai Allah semata, mengambil keberkahan melalui doanya, bergembira dengan perjumpaan dengannya, menjadikannya sarana yang membantu agamanya, mendekatkan diri kepada Allah les dengan menunaikan hak-haknya. Di antara bentuk meringankan yang sempurna adalah dia berusaha menghilangkan rasa malu dari saudaranya sebagaimana dirinya tidak merasa malu atas dirinya sendiri.

 

Ja’far bin Muhammad berkata, “Saudaraku yang paling berat adalah orang yang memaksakan dirinya untukku dan aku harus berhati-hati darinya. Sedangkan yang paling ringan atas hatiku adalah saudaraku yang jika aku bersamanya, maka seperti aku sendiri.”

 

Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa yang tidak memaksakan diri, maka kasih sayangnya langgeng.”

 

Dan di antara kesempurnaan perkara ini adalah hendaknya engkau melihat jasa baik saudaramu terhadapmu dan bukan jasamu terhadap mereka, engkau memosisikan dirimu terhadap mereka dalam posisi pelayan.

 

PASAL

[Adab-Adab Pergaulan dan Berkumpul dengan Berbagai Macam Manusia]

 

Di akhir bab ini kami ingin menyebutkan sejumlah adab pergaulan dengan manusia.

 

Termasuk kebaikan dalam bergaul adalah menjaga kewibawaan tanpa menyombongkan diri, bertawadhu’ tanpa menghinakan diri, bertemu dengan kawan dan lawan dengan wajah rela tanpa merendahkan diri kepada mereka dan tanpa takut kepada mereka, menjaga diri di majelismu dengan tidak menggenggam kedua tangan, mengupil, banyak meludah dan menguap.

 

Dengarkan orang yang berbicara kepadamu, jangan memintanya mengulangi. Jangan berbicara dengan membanggakan diri, baik dengan anak dan hamba sahaya perempuanmu. Jangan berhias seperti wanita. Jangan merendahkan diri seperti hamba sahaya. Takut-takutilah keluargamu tanpa kekerasan. Bersikaplah lembut kepada mereka tanpa kelemahan. Jangan bercanda dengan budak laki-laki dan perempuanmu karena wibawamu bisa jatuh. Jangan sering-sering menoleh ke belakang.

 

Jangan bergaul dengan penguasa. Jika engkau melakukannya, maka waspadailah dosa dan gibah, jagalah rahasianya, waspadailah senda gurau di sisinya, jangan bersendawa dan membuang sisa makanan yang terselip di antara gigimu di depannya. Jika dia mendekatkanmu kepadanya, maka berhati-hatilah kepadanya. Jika dia membiarkanmu maka jangan merasa aman dari perubahan sikapnya atasmu, bersikaplah lembut kepadanya seperti kamu bersikap lembut kepada anak-anak, ucapkan apa yang dia sukai. Jangan datang kepadanya saat dia bersama keluarganya dan orang-orang dekatnya.

 

Jauhilah teman di meja makan saja, jangan menganggap hartamu lebih mulia daripada kehormatanmu. Jika engkau datang ke suatu majelis, maka duduklah dengan cara yang paling dekat dengan tawadhu’, jangan duduk di jalan. Jika engkau duduk di jalan, maka tundukkanlah pandangan mata, tolonglah orang yang dizhalimi, beri petunjuk orang yang tersesat, jangan meludah ke arah kiblat dan jangan pula ke arah kananmu, akan tetapi ke kiri atau di bawah kakimu yang kiri. Berhati-hatilah bergaul dengan orang-orang awam, jika engkau melakukannya, maka tutuplah matamu dari keburukan akhlak yang terjadi di antara mereka, jangan ikut-ikutan dalam pembicaraan mereka, jangan banyak bercanda, karena bisa menyebabkan orang berakal tidak menyukaimu saat bercanda dan orang bodoh akan berani terhadapmu karena bercanda.

 

BAB

HAK-HAK MUSLIM, KERABAT, TETANGGA, HAMBA SAHAYA, DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGANNYA

 

Di antara hak-hak seorang Muslim adalah hendaknya engkau mengucapkan salam saat bertemu, memenuhi undangannya, mengucapkan,; “Semoga Allah merahmatimu” saat dia bersin [dan dia mengucapkan hamdalah, menjenguknya saat sakit, menghadiri jenazahnya bila dia meninggal dunia, memenuhi sumpahnya, menasihatinya bila dia memintanya kepadamu, menjaganya di belakangnya saat dia tidak ada, mencintai untuknya apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri, membenci untuknya apa yang engkau benci untuk dirimu sendiri. Semua masalah-masalah ini tercantum dalam atsar-atsar (hadits-hadits shahih).

 

Di antaranya tidak menyakiti seorang Muslim dengan perkataan dan perbuatan, bertawadhu’ kepada kaum Muslimin, tidak menyombongkan diri terhadap mereka, tidak mendengarkan gosip yang beredar terkait dengan sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain, dan tidak menyampaikan gosip dari sebagian kepada sebagian yang lain.

 

Di antaranya, tidak memboikot saudara yang dikenalnya lebih dari tiga hari, berdasarkan hadits masyhur dalam masalah ini.”

 

Dalam hadits lain dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidak halal bagi seorang Mukmin memboikot (mendiamkan) seorang Mukmin lainnya lebih dari tiga hari; bila tiga hari sudah berlalu, lalu dia bertemu dengannya, maka hendaknya mengucapkan salam kepadanya, bila dia menjawab salam, maka keduanya sama-sama mendapatkan pahala, bila dia tidak menjawab, maka Muslim yang memberi salam sudah bebas dari dosa mendiamkan. “

 

Ketahuilah bahwa mendiamkan yang dimaksud di sini hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia. Adapun untuk hal-hal yang berkaitan dengan agama, maka memboikot ahli bid’ah, pengusung hawa nafsu, dan pelaku dosa patut berjalan terus selama mereka belum menampakkan taubat dan kembali ke jalan yang benar.

 

Di antaranya, berbuat baik kepada setiap Muslim semampunya, tidak masuk kepada seorang Muslim kecuali dengan izinnya, meminta izin tiga kali, bila diizinkan baru dia masuk, bila tidak, maka pulang.

 

Di antaranya, berakhlak kepada orang lain dengan akhlak yang baik, hal itu dengan memperlakukan setiap orang sesuai dengan kepantasannya, karena bila dia menyampaikan ilmu kepada orang bodoh, menyampaikan fikih kepada orang yang suka bermain-main, dan menyampaikan kata-kata bijak kepada orang dungu, maka dia justru mengganggunya dan menyusahkan diri sendiri.

 

Di antaranya, menghormati para guru (ustadz), menyayangi anak-anak, bersikap lemah lembut dan memasang wajah berseri-seri di depan semua orang, menepati janji kepada mereka, memperlakukan orang dengan obyektif, tidak mendatangi mereka kecuali dengan cara yang dia ingin mereka mendatanginya.

 

Al-Hasan berkata, “Allah mewahyukan kepada Nabi Adam empat kalimat. Dia berfirman, ‘Empat kalimat tersebut adalah kumpulan perkara bagimu dan bagi anakmu: satu untukKu, satu untukmu, satu antara diriKu dengan dirimu, dan satu antara dirimu dengan manusia. Satu untukKu adalah engkau menyembahKu dan tidak mempersekutukanKu dengan sesuatu pun. Satu untukmu adalah amal perbuatanmu, Aku membalasnya saat engkau sangat memerlukannya. Satu antara diriKu dengan dirimu adalah kamu berdoa dan Aku mengabulkan’.”

 

Yang antara dirimu dengan manusia, adalah pergaulilah mereka dengan cara yang engkau ingin mereka mempergaulimu.

 

Di antaranya, lebih menghormati para tokoh.

 

Di antaranya, mendamaikan dua kelompok dan menutupi aib dan cela kaum Muslimin.

 

Ketahuilah bahwa barangsiapa memperhatikan bagaimana Allah menutupi para pendosa di dunia, niscaya dia akan mengikuti kelembutanNya. Allah menetapkan kesaksian dalam urusan zina dengan empat orang saksi adil, mereka semua menyaksikannya sebagaimana masuknya batang pengoles celak ke dalam wadahnya dan hal ini sangat sulit. Bila kemurahanNya di dunia demikian, maka kemurahan tersebut lebih patut diharapkan di akhirat.

 

Di antaranya, menghindari perbuatan yang menimbulkan kecurigaan demi menjaga hati manusia, sehingga mereka tidak berburuk sangka dan lisan mereka tidak terjatuh ke dalam gibah.

 

Di antaranya, membantu kaum Muslimin yang mempunyai hajat dengan meminta tolong kepada orang yang mempunyai kedudukan, berusaha memenuhi hajat-hajat mereka.

 

Di antaranya, memulai mengucapkan salam kepada setiap Muslim sebelum berbicara dengannya, dan termasuk sunnah adalah berjabat tangan. Diriwayatkan dari Anas dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidaklah dua orang Muslim bertemu, lalu salah seorang dari keduanya menjabat tangan yang lainnya kecuali Allah patut menghadiri doa mereka berdua dan tidak memisahkan tangan keduanya sebelum mengampuni keduanya.”

 

Dalam hadits lain.

 

“Bila seorang Mukmin berjabat tangan dengan seorang Mukmin, maka seratus rahmat turun kepada keduanya, sembilan puluh sembilan untuk yang paling ceria akhlaknya dari mereka berdua.”

 

Tidak mengapa mencium tangan orang yang mempunyai kedudukan mulia dalam agama, tidak mengapa berpelukan. Mengenai memegang pijakan pelana untuk menghormati para ulama, maka Ibnu Abbas «#% melakukannya kepada Zaid bin Tsabit «#, berdiri dalam rangka memuliakan orang-orang mulia adalah baik. Adapun membungkuk dilarang (sekalipun untuk menghormati).

 

Di antaranya, menjaga kehormatan jiwa dan harta saudara yang Muslim dari tindakan zhalim orang lain, membela, dan menolongnya.

 

Di antaranya, jika diuji dengan pelaku keburukan, maka sebaiknya tetap bersikap baik kepadanya sekaligus berhati-hati berdasarkan hadits Aisyah

 

Muhammad bin al-Hanafiyah berkata, “Tidaklah bijak orang yang tidak bergaul dengan cara yang baik dengan orang yang harus dipergauli sehingga Allah memberikan jalan keluar darinya.”

 

Menjauhi keakraban dengan orang-orang kaya, sebaliknya dengan orang-orang miskin dan berbuat baik kepada anak-anak yatim.

 

Di antaranya, menjenguk orang yang sakit dari mereka.

 

Di antara adab orang yang menjenguk adalah meletakkan tangannya ke tubuh orang yang sakit, bertanya kepadanya tentang keadaannya, duduk tanpa berlama-lama, memperlihatkan kelembutan, mendoakannya dengan kesembuhan dan menundukkan pandangan dari hal-hal yang tidak patut dilihat di tempat dia menjenguknya.

 

Orang sakit dianjurkan melakukan apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Utsman bin Abu al-Ash bahwa dia mengadukan rasa sakit di tubuhnya kepada Nabi sejak dia masuk Islam, maka Rasulullah bersabda kepadanya,

 

“Letakkan tanganmu di atas bagian tubuhmu yang terasa sakit dan ucapkan, ‘Dengan nama Allah,’ sebanyak 3 kali, lalu lanjutkan dengan mengucapkan, ‘Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan KuasaNya dari keburukan apa yang aku rasakan dan aku khawatirkan,’ sebanyak 7 kali.”

 

Dan di antara adab-adab orang sakit secara global adalah bersabar dengan baik, tidak banyak mengeluh dan mengadu, banyak-banyak berdoa dan bertawakal kepada Allah.

 

Di antaranya, mengantarkan jenazah mereka dan mengunjungi kubur mereka.

 

Tujuan dari mengantar adalah menunaikan hak kaum Muslimin dan mengambil pelajaran.

 

Al-A’masy berkata, “Kami pernah menghadiri jenazah, dan kami tidak tahu harus bertakziah kepada siapa, karena seluruh hadirin bersedih.”

 

Tujuan ziarah kubur adalah mendoakan, mengambil pelajaran, dan melunakkan hati.

 

Di antara adab mengantarkan jenazah berjalan kaki, khusyu’, tidak berbicara, memperhatikan mayit, memikirkan mati, dan menyiapkan diri untuknya.

 

[Hak-Hak Tetangga]

 

Mengenai hak-hak tetangga, ketahuilah bahwa tetangga mempunyai hak lebih di samping hak persaudaraan Islam. Tetangga mempunyai hak sebagai Muslim dan ada hak tambahan. Dalam hadits disebutkan,

 

“Sesungguhnya tetangga itu ada tiga: Tetangga dengan satu hak, tetangga dengan dua hak, dan tetangga dengan tiga hak. Tetangga dengan tiga hak adalah tetangga Muslim sekaligus kerabat, baginya hak tetangga, hak Islam dan hak kerabat. Tetangga dengan dua hak adalah tetangga Muslim, untuknya hak Islam dan hak tetangga. Sedangkan tetangga dengan satu hak adalah tetangga musyrik.”

 

Ketahuilah bahwa hak tetangga bukan sekadar tidak menyakitinya saja, sebaliknya bersikap lemah lembut dan bersabar menahan gangguannya, memulainya dengan kebaikan, memulai memberi salam kepadanya, tidak berbicara panjang lebar dengannya, menjenguknya bila sakit, menghiburnya bila mendapatkan musibah, mengucapkan selamat saat berbahagia, memaafkan kesalahannya, tidak melongok ke rumahnya, tidak menyulitkannya dengan meletakkan kayu di atas dindingnya, tidak membuang air ke talangnya, tidak membuang tanah ke halamannya, tidak memperhatikan apa yang dia bawa ke rumahnya, menutup auratnya yang terbuka, tidak menguping pembicaraannya, menundukkan pandangan dari istrinya dan memperhatikan kebutuhan keluarganya saat dia tidak ada.

 

PASAL HAK-HAK KERABAT DAN SILATURAHIM

 

Hak-hak kerabat dan rahim, disebutkan dalam hadits shahih dari hadits Aisyah bahwa Nabi bersabda,

 

“Rahim tergantung di Arasy, ia berkata, ‘Barangsiapa menyambungku, maka Allah menyambungnya (dengan kebaikan dan berkah). Barangsiapa memutuskanku, maka Allah memutuskannya (dari kebaikan dan berkah)’.”

 

Dalam hadits lain dalam Shahih al-Bukhari,

 

“Orang yang menyambuneg silaturahim bukan orang yang membalas kebaikan, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim adalah orang yang bila kerabatnya memutuskan tali rahim dengannya, maka dia menyambungnya.”

 

Hadits-hadits lain dalam Shahih Muslim,

 

“Bahwa seorang laki-laki berkata, ‘Wahat Rasulullah, aku mempunyai kerabat, aku menyambung hubungan dengan mereka namun mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka namun mereka berbuat tidak baik kepadaku. Aku bersikap santun kepada mereka namun mereka berlaku bodoh kepadaku.’ Nabi menjawab, ‘Bila apa yang engkau katakan benar, maka seolah-olah kamu menyumpalkan abu panas ke mulut mereka, dan Allah akan senantiasa menolongmu atas mereka selama engkau demikian’.”

 

Makna hadits ini bahwa laki-laki tersebut ditolong atas mereka, pernyataan mereka atasnya dengan hak kekerabatan telah terputus, sebagaimana seseorang tidak dapat berbicara karena mulutnya tersumpal abu panas. Hadits-hadits dalam tema silaturahim banyak dan masyhur. Demikian pula hak-hak kedua orangtua, khususnya hak ibu.

 

[Hak-Hak Anak]

 

Untuk hak-hak anak, ketahuilah, manakala tabiat orangtua cenderung kepada anak, maka hal itu tidak memerlukan penegasan kepada orangtua untuk berbuat baik kepada anak, hanya saja terkadang hawa nafsu bapak terhadap anak lebih mendominasi sehingga bapak tidak mendidik dan mengajari anak. Alla telah berfirman

 

“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,.” (At-Tahrim: 6).

 

Para ahli tafsir berkata, “Makna ayat adalah; didiklah dan ajarkanlah adab kepada mereka.”

 

Bapak patut memberi nama anaknya dengan nama yang bagus, menyembelih agigah untuknya, bila anak telah berumur tujuh tahun, bapak memerintahkannya agar shalat dan mengkhitannya, dan bila sudah dewasa menikahkannya.

 

[Hak Hamba Sahaya]

 

Hak hamba sahaya adalah memberinya makan, memberinya pakaian, tidak membebaninya lebih dari kemampuannya, tidak memandangnya rendah, memaafkan kesalahannya, hendaknya mengingat kesalahan diri sendiri lalu memaafkan dengan harapan Allah memaafkannya.

 

Bab

UZLAH (MENGASINGKAN DIRD)

 

PASAL

[Adab-Adab Uzlah]

 

Orang-orang berbeda pendapat, mana yang lebih utama, berbaur dengan masyarakat atau mengasingkan diri (untuk beribadah)? Keduanya tidak bebas dari sisi positif dan sisi negatif. Mayoritas orang-orang yang zuhud memilih uzlah.

 

Di antara yang memilih uzlah adalah Sufyan ats-Tsauri, Ibrahim bin Ad-ham, Dawud ath-Tha‘i, al-Fudhail, Bisyr al-Hafi, dan lainnya.

 

Di antara yang memilih berbaur dengan masyarakat adalah Sa’id bin al-Musayyib, Syuraih, asy-Sya’bi, Ibnul Mubarak, dan lainnya.

 

Setiap kelompok mempunyai hujjah masing-masing, kami menyebutkan sebagian di antaranya.

 

[Hujjah Pihak Pertama]

 

Hujjah pihak pertama adalah hadits dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Sa’id yang berkata,

 

“Rasulullah pernah ditanya, ‘Siapa manusia yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seorang laki-laki yang berjihad dengan jiwa dan hartanya dan seorang Mukmin (yang mengasingkan diri) di sebuah celah gunung, yang dia menyembah Tuhannya dan meninggalkan orang-orang dari keburukannya’ .”

 

Dalam hadits Ugbah bin Amir , beliau berkata, Aku pernah bertanya,

 

“Wahai Rasulullah, apa itu keselamatan?” Beliau menjawab, “Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu lega (betah), dan tangisilah kesalahanmu.”

 

Umar bin al-Khaththab berkata,

 

“Ambillah bagian kalian dari uzlah.”

 

Sa’ad bin Abu Waqqash berkata,

 

“Sungguh aku berangan-angan seandainya antara diriku dengan manusia ada pintu dari besi, tak seorang pun berbicara kepadaku dan aku tidak berbicara kepada mereka sampai aku bertemu Allah.”

 

Ibnu Mas’ud berkata,

 

“Jadilah sumber-sumber ilmu, lampu-lampu malam hari, tikar rumah, berhati teguh (dalam beribadah), berpakaian sederhana, dikenal di kalangan penduduk langit dan samar bagi penduduk bumi.”

 

Abu ad-Darda’ berkata,

 

” Sebaik-baik tempat ibadah seorang Muslim adalah rumahnya, dia menjaga lisan, kemaluan, serta pandangan matanya. Hindarilah duduk-duduk di pasar, karena ia melalaikan dan membuat sia-sia.”

 

Dawud ath-Tha’i : berkata, “Larilah dari orang-orang sebagaimana kamu berlari dari singa.”

 

Abu Muhalhal  berkata, “Sufyan ats-Tsauri memegang tanganku dan membawaku ke Jubbanah, lalu dia menjauh dariku ke suatu sudut, dia menangis dan berkata, ‘Wahai Abu Muhalhal, jika engkau bisa tidak bergaul dengan seseorang dari penduduk zamanmu, maka Jakukanlah, hendaknya keinginanmu hanyalah memperbaiki peralatan (rumahmu)’.”

 

[Hujjah Pihak Kedua]

 

Hujjah pihak yang memilih (mengutamakan) berbaur di tengah masyarakat, di antaranya adalah sabda Nabi,

 

“Orang Mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada yang tidak bergaul dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka.”??

 

Pihak ini juga berhujjah dengan dalil yang lemah yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah ini, di antaranya Firman Allah,

 

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” (Ali Imran: 105). ini makna yang lemah, karena maksudnya adalah perbedaan pendapat dan madzhab pada dasar syariat.

 

Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi

 

“Tidak boleh mendiamkan (sesama Muslim) lebih dari tiga malam.”

 

Pihak ini berkata, uzlah adalah memboikot secara total, ini lemah, karena maksudnya adalah mendiamkan, tidak memberi salam dan pergaulan sebagaimana biasanya.

 

PASAL

SISI-SISI POSITIF DAN NEGATIF DARI UZLAH SERTA YANG BENAR DARI SISI KEUTAMAANNYA

 

Ketahuilah, bahwa perbedaan pendapat dalam hal ini sama dengan perbedaan pendapat mereka tentang keutamaan menikah dan membujang. Kami telah menyebutkan bahwa hal itu berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan pribadi masing-masing. Kami juga mengatakan hal yang sama di sini. Kami menyebutkan terlebih dulu enam faedah uzlah, di antaranya:

 

Faedah Pertama: Berkonsentrasi beribadah, merasa tenteram dengan bermunajat kepada Allah, hal itu membutuhkan konsentrasi dan konsentrasi ini tidak terwujud dengan pergaulan. Uzlah adalah wasilah untuk itu, khususnya ketika memulai.

 

Seorang bijak ditanya, “Mengapa mereka memilih zuhud dan berkhalwat?” Dia menjawab, “Demi merasakan ketenteraman dengan Allah.”

 

Uwais al-Qarni berkata, “Aku tidak melihat seseorang pun yang mengetahui Tuhannya lalu dia merasa tenteram dengan selainNya.” Ketahuilah bahwa barangsiapa dimudahkan mendapatkan ketenangan dengan Allah melalui dzikir yang berkesinambungan atau mengenal Allah melalui tafakur terus-menerus, maka berkonsentrasi untuk itu lebih utama daripada segala sesuatu yang berkaitan dengan pergaulan manusia.

 

Faedah Kedua: Melepaskan diri dari berbagai kemaksiatan yang biasanya dihadapi seseorang dalam pergaulan, ada empat kemaksiatan, di antaranya:

 

1). Gibah. Kebiasaan manusia adalah berkumur-kumur dan memamah kehormatan orang lain. Jika engkau bergaul dengan mereka dan menyetujui perbuatan mereka, maka engkau berdosa dan berisiko mendapatkan murka Allah. Jika diam, engkau turut serta di dalamnya, karena orang yang mendengar gibah adalah salah satu pihak yang melakukan gibah. Jika engkau mengingkari, mereka marah dan menggibahmu, maka engkau menambah gibah di atas gibah, bahkan bisa jadi mereka mencaci maki.

 

2). Amar ma’ruf dan nahi mungkar. Jika bergaul dengan manusia, engkau tidak terlepas dari fenomena kemungkaran. Jika diam, engkau durhaka kepada Allah. Jika mengingkari, kemungkinan mendapatkan berbagai bentuk kemudaratan, sedangkan uzlah mengandung keselamatan dari semua itu.

 

3). Riya’’. Penyakit kronis yang sangat sulit dihindari adalah riya’’. Perkara pertama yang terjadi di balik pergaulan adalah menampakkan kerinduan untuk bertemu dengan mereka dan hal itu tidak luput dari dusta; bisa karena dasarnya demikian, bisa juga karena tambahan. As-Salaf ash-Shalih berhati-hati dalam menjawab, “Bagaimana keadaanmu pagi ini. Bagaimana keadaanmu sore ini?” Sebagaimana sebagian mereka menjawab saat ditanya dengan pertanyaan di atas, “Kami mendapatkan pagi dalam keadaan lemah dan penuh dosa, kami makan rizki kami dan menunggu ajal kami.” Ketahuilah, bahwa bila seseorang bertanya kepada saudaranya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” namun tidak didasari karena kasih sayang dan cinta kasih, maka hal itu adalah pemaksaan diri dan riya’’. Bisa saja dia bertanya dengan hati yang penuh dengan kebencian dan hasad yang disebabkan karena kehidupannya yang buruk. Sementara uzlah membebaskan semua itu, karena barangsiapa bertemu dengan manusia dan tidak berakhlak dengan akhlak mereka, maka mereka akan membencinya, merasa berat bergaul dengannya dan menggibahnya. Agama mereka lenyap bersamanya, sedangkan agama dan dunianya justru lenyap dalam kesibukan membalas mereka.

 

4). Tabiat akan mencuri akhlak buruk mereka. Ini adalah penyakit terpendam, sedikit orang-orang berakal waspada terhadapnya apalagi orang-orang lalai. Hal itu terjadi pada orang yang bergaul dengan orang fasik walau hanya beberapa saat dan batinnya mengingkarinya. Hanya saja seandainya dia membandingkan dengan sebelum bergaul dengannya niscaya dia merasakan perbedaan kebenciannya terhadap kerusakan, karena kerusakan bisa menjadi ringan bagi tabiat manusia dengan seringnya seseorang bergaul dengannya, pengaruh dan perasaan beratnya mulai mengendur. Semakin sering seseorang menyaksikan dosa-dosa besar pada orang lain, dia semakin menganggap remeh dosa-dosa kecil pada dirinya. Ini persis sebagaimana bila seseorang memperhatikan zuhud dan ibadah ulama Salaf, maka dirinya merasa bukan apaapa, merasa ibadahnya remeh, sehingga hal itu mendorongnya untuk bersungguh-sungguh. Dengan makna cermat ini terungkaplah rahasia ucapan seseorang, “Saat orang-orang shalih disebut, maka turunlah rahmat.”

 

Di antara bukti hilangnya sesuatu beban dari jiwa karena ia terjadi dan disaksikan berulang-ulang: Jika kaum Muslimin melihat seorang Muslim tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka mereka memandangnya melakukan pelanggaran berat, bahkan mungkin memandangnya sebagai orang Kafir, di saat yang sama mereka mungkin melihat orang-orang yang menunda shalat dari waktunya, namun mereka tidak mengingkarinya seperti mereka mengingkari orang yang tidak puasa, padahal meninggalkan satu shalat merupakan kekufuran. Tidak ada sebabnya kecuali karena shalat adalah ibadah yang berulang-ulang, banyak yang meremehkannya. Demikian juga bila seorang ahli fikih memakai baju sutra atau memakai cincin emas, niscaya Orang-orang akan mengingkarinya dengan keras, namun ketika mereka menyaksikan orang-orang melakukan gibah, maka mereka sama sekali tidak menganggapnya berat, padahal gibah lebih berat daripada memakai sutra. Akan tetapi karena seringnya dia mendengar dan menyaksikan orang-orang yang melakukannya, maka perasaan buruk terhadapnya hilang dari hati. Perhatikanlah poin-poin penting ini dan waspadalah bila bergaul dengan manusia, karena engkau hampir tidak melihat dari mereka kecuali apa yang membuatmu semakin berambisi kepada dunia dan semakin lalai dari akhirat, maksiat menjadi ringan bagimu, keinginanmu untuk melakukan kKetaatan melemah. Jika kamu menemukan majelis yang Nama Allah disebut padanya, maka jangan menyia-nyiakannya, karena itu adalah anugerah yang berharga.

 

Faedah Ketiga: Melepaskan diri dari fitnah-fitnah dan perselisihanperselisihan, menjaga agama agar tidak terjerumus ke dalamnya, karena semua negeri tidak pernah bersih dari fanatisme dan perselisihan, sementara orang yang beruzlah dari mereka akan selamat.

 

Abdullah bin Amr meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau menyebutkan fitnah-fitnah dan menyifatinya, beliau bersabda,

 

“Apabila engkau melihat janji-janji manusia sudah tidak bisa dipegang, amanah mereka melemah, lalu mereka seperti begini”, -beliau menggenggam dua tangan-. Aku bertanya, ” Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Nabi menjawab, “Tetaplah di rumahmu, jagalah lisanmu, ambil yang engkau ketahui, tinggalkan apa yang engkau ingkari, engkau harus berpegang kepada urusan pribadimu dan tinggalkan perkara orang banyak.”

 

Hadits-hadits semakna dengan hadits ini juga banyak.

 

Faedah Keempat: Membebaskan diri dari keburukan manusia. Mereka menyakitimu, dengan gibah, adu domba (namimah), prasangka buruk, kecurigaan, dan ambisi-ambisi dusta. Barangsiapa bergaul dengan orang-orang, maka dia tidak bisa lepas dari orang yang hasad, musuh dan keburukan-keburukan lain yang didapatkan dari orang-orang yang dikenalnya, sedangkan uzlah membebaskan seseorang dari semua itu, sebagaimana sebagian dari mereka berkata,

 

“Musuh dari teman mengambil manfaat

Maka jangan memperbanyak teman

Karena kebanyakan penyakit yang engkau lihat

Berawal dari makanan atau minuman.”

 

Umar berkata,

 

“Uzlah mengandung ketenangan dari rekan-rekan buruk.”

 

Ibrahim bin Ad-ham berkata, “Jangan berteman dengan orang yang tidak engkau ketahui dan ingkarilah siapa yang engkau ketahui.”

 

Seorang laki-laki berkata kepada saudaranya, “Bolehkah aku menyertaimu dalam ibadah haji.” Dia menjawab, “Biarkan kami hidup dalam perlindungan Allah yang menutupi kami, kami khawatir sebagian dari kita saling melihat sesuatu yang membuat kita saling membenci karenanya.”

 

Ini adalah faedah lain dari uzlah (mengasingkan diri), yaitu tetap tertutupinya agama, muru ah, dan aib-aib lainnya.

 

Faedah Kelima: Keinginan manusia terhadapmu terputus dan sebaliknya keinginanmu terhadap mereka juga terputus.

 

Keinginan mereka terhadapmu terputus; karena ridha manusia adalah tujuan yang tidak bisa diraih. Orang yang memutuskan diri dari mereka tidak tamak terhadap pesta-pesta perjamuan mereka dan selainnya.

 

Dikatakan, “Barangsiapa yang tidak menginginkan apa yang dimiliki seluruh manusia, maka mereka semua ridha kepadanya.”

 

Sedangkan terputusnya keinginanmu dari mereka; karena barangsiapa melihat kepada perhiasan dunia, maka ambisinya akan tergerak, kuatnya ambisi menimbulkan ketamakan. Dalam banyak ketamakannya, dia tidak melihat kecuali kegagalan sehingga dia merasa rugi.

 

Dalam hadits dikatakan,

 

“Lihatlah kepada orang yang di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang di atas kalian; karena sesungguhnya hal itu lebih membuatmu untuk tidak meremehkan nikmat Allah kepada kalian.”

 

Dan Allah berfirman,

 

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia.” (Thaha: 131).

 

Faedah Keenam: Membebaskan diri dari orang-orang pandir dan dungu, tidak perlu menghadapi akhlak keras mereka, karena bila seseorang merasa terganggu dengan orang-orang yang payah, maka dia akan menggibah mereka, bila mereka menyakitinya dengan mencelanya, maka dia akan membalas, maka itu akan menyeret pada kerusakan agama seseorang, dan uzlah menyelamatkan dari semua ini.

 

PASAL

SISI NEGATIF UZLAH

 

Ketahuilah bahwa di antara tujuan-tujuan agama dan dunia ada yang diperoleh dengan bantuan orang lain, dan hal itu tidak terwujud kecuali dengan berbaur dengan masyarakat.

 

Di antara sisi positif berbaur adalah belajar dan mengajar, memberi dan mengambil manfaat, mengajarkan adab dan beradab, menenangkan dan menerima ketenangan, mendapatkan pahala dengan menunaikan hak-hak orang lain, membiasakan diri bertawadhu’, mengambil faedah melalui pengamatan terhadap kehidupan, dan mengambil ibrah darinya. Ini adalah faedah-faedah berbaur dengan masyarakat. Rinciannya sebagai berikut:

 

Faedah Pertama: Terwujudnya interaksi belajar dan mengajar. Kami sudah menyebutkan keutamaan-keutamaan menuntut ilmu dan mengajar dalam Kitab Ilmu. Untuk orang yang telah belajar hal-hal yang wajib dan dia melihat dirinya tidak mungkin mendalami ilmu-ilmu dan menyibukkan diri dengan ibadah, maka silakan beruzlah. Namun bila dia mampu menguasai ilmu-ilmu syariat, maka uzlah baginya sebelum dia belajar adalah puncak kerugian.

 

Karena itu ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata, “Tafaqquh (dalamilah agama) dulu baru beruzlah, ilmu adalah dasar agama, tidak ada kebaikan uzlah dari orang awam.”

 

Sebagian ulama ditanya, “Apa pendapatmu tentang uzlah orang bodoh (orang yang awam)?” Dia menjawab, “Itu adalah kerusakan dan malapetaka.” Dia ditanya, “Bagaimana dengan ulama?” Dia menjawab, “Apa urusanmu dengannya? Biarkan saja, ia mempunyai sepatu dan kantong minumnya, dia mendatangi air, memakan daun-daunan sampai dia bertemu dengan Pemiliknya.'”

 

Kemudian tentang mengajar, ia berpahala besar bila niatnya lurus, namun manakala niatnya adalah mencari kedudukan dan memperbanyak pengikut, maka itu adalah kebinasaan agama. Keterangan tentangnya telah hadir dalam Kitab Ilmu. Yang banyak terjadi di zaman ini adalah niat yang tidak baik dari orang-orang yang belajar, sehingga agama menjadikan jauh orang-orang seperti mereka. Namun bila menemukan orang yang benar-benar mencari ilmu karena Allah dan mendekatkan diri kepadaNya dengan ilmu, maka tidak boleh menyingkir darinya, tidak boleh menyembunyikan ilmu, tidak patut terkecoh dengan ucapan orang yang berkata, “Kami belajar ilmu untuk selain Allah, namun ilmu tersebut tidak mau kecuali untuk Allah.” Karena kata-katanya ini mengisyaratkan kepada ilmu-ilmu al-Qur‘an, hadits, ilmu tentang sirah para nabi dan para sahabat. Itu semua mengandung ancaman dan peringatan. Salah satu sebab menumbuhkan rasa takut kepada Allah, karena kalaupun ia tidak berdampak sekarang, maka akan berdampak kelak. Sedangkan ilmu kalam dan ilmu tentang perselisihan ulama, ia tidak mendorong orang yang berharap dunia berubah menjadi berharap Allah, sebaliknya pemiliknya akan terus mengharapkan dunia sampai akhir hayatnya.

 

Faedah Kedua: Memberi dan mengambil manfaat (dari orang banyak). Mengambil manfaat dari orang banyak adalah melalui muamalah dan usaha. Orang yang memerlukan hal itu harus meninggalkan uzlah. Adapun orang yang memiliki rizki yang membuatnya gana’ah (merasa cukup), maka uzlah lebih utama baginya, kecuali bila dia bekerja dengan niat bersedekah, maka hal ini lebih utama daripada uzlah. Jika uzlah memberi faedah dapat mengenal Allah dan memberinya ketenangan dengan ilmu dan bashirah, bukan atas dasar ilusi dan khayalan semu yang rusak, maka uzlah lebih utama.

 

Sedangkan memberi manfaat, yakni mendatangkan manfaat bagi orang lain, baik dengan harta atau badan untuk menunaikan hajat-hajat mereka. Barangsiapa mampu melakukan hal itu dengan tetap menjaga batasan-batasan syariat, maka hal itu lebih baik daripada uzlah bila tidak menyibukkan dirinya saat uzlah kecuali dengan shalat-shalat nafilah dan amal-amal jasmaniah. Bila dia termasuk orang yang terbuka baginya jalan kepada amal perbuatan hati melalui dzikir atau bertafakur, maka hal itu tidak tertandingi sama sekali.

 

Faedah Ketiga: Mengajarkan adab dan beradab. Maksud kami adalah melatih diri menghadapi orang lain, berusaha bersabar menahan gangguan mercka, menahan ambisi jiwa dan mengalahkan hawa nafsu. Ini lebih utama daripada uzlah bagi orang yang akhlaknya belum terlatih.

 

Patut dipahami bahwa melatih diri bukan merupakan tujuan dasar, sebagaimana yang dimaksud dari melatih hewan tunggangan, akan tetapi maksud darinya adalah menjadikannya sebagai kendaraan yang dinaiki untuk mencapai tujuan. Badan adalah kendaraan yang digunakan untuk berjalan menuju akhirat, namun ia mempunyai hawa nafsu yang bila tidak dikendalikan, maka ia bisa memberontak dan mencampakkan pengendaranya di jalan. Barangsiapa menyibukkan sepanjang waktunya dengan melatih diri, maka dia seperti orang yang menghabiskan waktunya untuk melatih hewan kendaraannya dan sama sekali tidak mengendarainya, tidak mengambil manfaat kecuali menghindari gigitan dan tendangannya, memang itu juga berfaedah, namun bukan tujuan terbesar. Seorang rahib ditanya, “Wahai rahib.” Dia menjawab, “Aku bukan rahib, aku hanyalah anjing penggigit, aku menahan diriku agar tidak menggigit manusia.” Ini bagus bagi siapa yang hendak menggigit, namun tidak semestinya hanya sebatas itu.

 

Adapun mengajarkan adab, yaitu mendidik orang lain, hal ini juga mempunyai kemungkinan disusupi oleh rintangan seperti yang terjadi pada menyebarkan ilmu sebagaimana yang telah kami jelaskan.

 

Faedah Keempat: Menenangkan dan menerima ketenangan. Bisa jadi ia dianjurkan seperti merasa tenang bersama ahli fatwa, bisa juga bertujuan mengistirahatkan hati dari beban kesendirian. Mencari ketenangan di sebagian waktu patut dengan sesuatu yang tidak merusak sisa waktunya, hendaknya berusaha menjadikan topik pembicaraan saat bertemu adalah perkara-perkara agama.

 

Faedah Kelima: Mendapatkan pahala dan mendatangkan pahala (untuk orang lain). Untuk yang pertama adalah dengan menghadiri jenazah, menjenguk orang sakit, menghadiri akad-akad, undanganundangan, dan dalam semua itu mengandung pahala-pahala dari sisi membahagiakan hati seorang Mukmin.

 

Dan mendatangkan pahala untuk orang adalah dengan membuka pintu rumahnya bagi orang-orang untuk bertakziah, mengucapkan selamat atau menjenguknya, karena dengan itu mereka mendapatkan pahala, jika dirinya termasuk ulama, maka dia dapat mengizinkan mereka mengunjunginya (dan itu juga pahala).

 

Akan tetapi patut menimbang pahala berbaur ini dengan sisi-sisi negatifnya, lalu memilih uzlah atau berbaur, dan kebanyakan as-Salaf memilih uzlah dibanding berbaur.

 

Faedah Keenam: Tawadhu Ini tidak terlaksana dengan kesendirian, karena bisa jadi kesombongan menjadi sebab dia memilih uzlah. Seperti tidak menghadiri perkumpulan karena tidak memuliakan dan mengutamakan orang lain, dan bisa jadi dia menolak bergaul dengan orang-orang karena merasa dirinya lebih tinggi daripada mereka dan lainnya.

 

Tanda orang yang mempunyai sifat tersebut adalah suka dikunjungi dan tidak suka mengunjungi, berbahagia bila penguasa dan orang-orang awam mendekat kepadanya, berkerumun di pintu rumahnya, dan mencium tangannya. Uzlah dengan sebab ini adalah kebodohan, karena tawadhu’ tidak merendahkan derajat orang mulia.

 

Bila engkau mengetahui faedah dan keburukan dari uzlah, lalu engkau menghukuminya dengan mutlak dengan mengedepankan salah satunya melalui penetapan dan penafian secara umum maka ini keliru, seyogianya melihat orang per orang dan keadaannya, teman-teman dan keadaannya, faktor untuk bergaul dengannya, apa yang terluput karena bergaul lalu dibandingkan yang terluput dengan yang diraih, saat itu kebenaran akan menjadi jelas dan diketahui mana yang lebih utama.

 

Imam asy-Syafi’i berkata, “Menutup diri dari manusia menimbulkan permusuhan, membuka diri lebar-lebar menghadirkan keburukan, maka tempatkan dirimu di antara keduanya.”

 

Barangsiapa menyebutkan selain ini, maka dia keliru, karena beliau hanya mengabarkan tentang keadaannya, maka tidak boleh dijadikan sebagai hukum umum atas orang lain yang berbeda keadaannya.

 

[Adab-Adab Uzlah]

 

Bila ada yang bertanya, Apa adab-adab uzlah?

 

Kami menjawab, Hendaknya orang yang beruzlah berniat menahan keburukan dirinya dari manusia, kemudian mencari keselamatan dari keburukan orang-orang yang buruk, kemudian mengatasi dampak negatif karena tidak menunaikan hak-hak kaum Muslimin, kemudian memfokuskan semangat untuk beribadah kepada Allah selama-lamanya. Ini adalah adab-adab yang jelas.

 

Hendaknya saat menyendiri menjaga ilmu dan amal, dzikir dan tafakur, dengan itu dia memetik buah uzlah. Melarang orang-orang untuk sering-sering datang kepadanya dan mengunjunginya, agar waktunya tidak terganggu. Menahan diri dengan tidak bertanya tentang keadaan orang lain, tidak memasang telinga untuk mendengar gosip yang beredar dan apa yang dikerjakan oleh orang lain, karena semua jtu bisa tertanam dalam hati sehingga muncul saat shalat. Masuknya berita ke dalam telinga sama dengan jatuhnya benih ke tanah, hendaknya mencukupkan diri dengan kehidupan yang sederhana, karena bila tidak, maka ia akan membuatnya meninggalkan uzlah untuk bergaul kembali dengan orang lain.

 

Sabar menghadapi gangguan manusia, tidak menggubris pujian kepadanya karena uzlahnya, tidak pula menggubris celaan terhadapnya karena tidak bergaul, karena hal itu berdampak terhadap hati sehingga bisa menghentikan langkahnya untuk berjalan ke akhirat.

 

Hendaknya mempunyai teman yang shalih yang menghiburnya saat-saat merasakan lelah dalam beribadah, karena hal itu membantunya di saat-saat yang lain.

 

Sabar saat uzlah tidak terwujud kecuali dengan memutus ambisi dunia. Ambisinya tidak akan terputus kecuali dengan angan-angan yang pendek. Hendaknya membayangkan bila mendapati pagi hari, dia tidak mendapati sore hari. Bila mendapati sore hari, dia tidak mendapati pagi hari, maka sabar dalam satu hari terasa mudah baginya.

 

Hendaknya banyak-banyak mengingat mati, kesendirian dalam kubur, saat hatinya terasa sumpek dengan kesendiriannya. Hendaknya menyadari bahwa orang yang belum dapat mewujudkan perkara di dalam hatinya yang dengannya dia dapat mengingat dan mengenal Allah, maka dia tidak akan kuat memikul beratnya beban kesendirian dalam kubur. Dan barangsiapa merasa tenang dengan dzikir dan mengenal Allah, maka kematian akan menjadi temannya, sebab kematian tidak menghancurkan tempat ketenangan dan ma’rifat, sebagaimana Allah berfirman tentang para syuhada,

 

“Bahkan mereka itu hidup di sist Tuhannya dengan mendapat rizki.” (Ali Imran: 169).

 

Setiap orang yang berkonsentrasi untuk Allah dalam berjihad melawan dirinya adalah syahid, sebagaimana dalam ucapan sebagian sahabat, “Kami pulang dari jihad kecil menuju jihad besar.’

 

Safar adalah sarana untuk melepaskan diri dari sesuatu yang hendak dijauhi atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

 

Safar terbagi menjadi dua: safar dengan badannya dari sebuah negeri dan safar dengan perjalanan hati dari kedudukan yang paling rendah menuju kerajaan langit, ini adalah safar paling mulia.

 

Orang yang berdiri di atas sebuah kondisi, yang dia tumbuh di atasnya semenjak lahir, stagnan di atas taklid kepada nenek moyang, maka biasanya berada di atas derajat yang rendah, merasa cukup dengan kedudukan yang nista, dan rela menukar sesuatu yang luas seluas langit dan bumi dengan penjara yang sempit lagi gelap. (Seorang penyair berkata),

 

Aku tidak melihat sesuatu pada aib-aib manusia

 

Seperti kekurangan orang yang mampu menyempurnakan.

 

Hanya saja ketika seseorang meremehkan risiko safar ini maka ia masuk ke dalam bahaya besar. Jejak perjalanannya akan terhapus.

 

Safar badan terbagi menjadi beberapa macam, mempunyai berbagai faedah sekaligus rintangan besar, pembahasan ini hampir sama dengan pembahasan antara uzlah dan berbaur, dan kami sudah menyebutkan jalan yang harus dipilih.

 

Faedah-faedah yang mendorong untuk safar tidak terlepas dari lari menyelamatkan atau mencari tujuan. Lari menyelamatkan diri bisa karena perkara yang membahayakan urusan dunia seperti penyakit tha’un (wabah pes) yang mewabah di sebuah negeri, atau takut fitnah, atau perselisihan, atau mahalnya harga. Bisa juga karena perkara yang membahayakan agama seperti orang yang diuji di negerinya dengan kedudukan, atau harta, atau sebab-sebab hidup, yang semua itu menghalanginya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah tt, lalu dia memilih mengasingkan diri dan meninggalkan ketenaran, meninggalkan kedudukan dan kelapangan hidup, seperti orang yang diseru kepada bid’ah atau memegang jabatan yang pekerjaannya tidak halal untuk dilakukan, maka dia menghindarinya dengan melarikan diri darinya.

 

Safar untuk mencari tujuan yang diinginkan bisa mencari dunia seperti harta dan kedudukan atau mencari agama seperti ilmu tentang perkara agamanya atau akhlak pada dirinya atau ayat-ayat Allah di muka bumiNya. Jarang ada orang yang terkenal dengan ilmunya yang didapatkannya dari zaman sahabat . sampai zaman kita ini, kecuali dia mendapatkan ilmu dengan safar atau dia melakukan safar karenanya.

 

Adapun ilmu tentang akhlak dan jiwanya, ini juga penting, karena berjalan menuju akhirat tidak mungkin terwujud kecuali dengan memperbagus dan memperbaiki akhlak. Safar disebut safar karena (secara makna asal katanya) yaitu menyingkap akhlak.

 

Secara umum, jika seseorang berada di negeri sendiri tidak terlihat sisi-sisi keburukan akhlaknya, karena akhlaknya sudah terbiasa dengan tabiat yang sudah umum ditemui, tapi jika seseorang memikul beban berat safar, maka ia dipalingkan dari kebiasaannya, diuji dengan beban berat keterasingan, keburukan di dalam dirinya akan tersingkap, dan aib-aib dirinya akan terlihat.

 

Berkaitan dengan ayat-ayat Allah di buminya, maka menyaksikannya memberikan berbagai faedah bagi orang yang membuka pandangannya.

 

Di sana ada

 

“Bagian-bagian yang berdampingan”, (Ar-Ra’d: 4),

 

di sana ada gunung-gunung, daratan-daratan, padang pasir dan lautan, berbagai macam hewan dan tumbuhan, tidak ada sesuatu pun Kecuali ia bersaksi menetapkan keesaan Allah, bertasbih dengan lisan yang tiada henti yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang

 

“menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaf: 37).

 

Maksud kami dengan pendengaran di sini adalah pendengaran batin, dengannya lisanul hal (fenomena yang ditunjukkan oleh keadaan) dapat diketahui, di mana tidak ada makhluk sekecil zarah sekalipun di Jangit dan di bumi kecuali ia mempunyai berbagai macam kesaksian yang menetapkan keesaan Allah.

 

Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa di antara faedah safar adalah menghindari jabatan dan kedudukan serta berbagai macam persoalan, karena agama tidak sempurna kecuali dengan hati yang tidak memikirkan selain Allah. Tidak bisa dibayangkan bahwa hati manusia tidak memikirkan kepentingan duniawi dan kebutuhan primer. Akan tetapi yang dapat dilakukan adalah meringankan diri darinya dan meminimalisirnya. Orang yang meringankan dirinya dari ukuran duniawi mendapatkan keselamatan dan orang yang memperberat dirinya mendapat kebinasaan. Orang yang meringankan dirinya adalah orang yang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya.

 

PASAL

 

Di antara safar ada safar mubah seperti safar untuk rekreasi dan jalan-jalan. Adapun berkelana di muka bumi tanpa tujuan dan tidak menuju ke suatu tempat, maka itu dilarang.

 

Kami meriwayatkan dari hadits Thawus bahwa Nabi bersabda,

 

“Tidak ada kerahiban, membujang, dan berkelana (tanpa tujuan) dalam Islam.”

 

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Berkelana bukan ajaran Islam sedikit pun, bukan perbuatan para nabi dan bukan pula orang-orang shalih.”

 

Karena safar mengacaukan hati, maka seorang yang mencari akhirat tidak seyogianya melakukan safar kecuali untuk menuntut ilmu atau bertemu dengan syaikh yang diteladan perilakunya.

 

Safar mempunyai adab-adab yang makruf dan tersebut dalam buku-buku manasik haji dan lainnya.

 

Di antaranya, mulai dengan mengembalikan hak-hak orang lain, membayar utang, menyiapkan nafkah orang-orang yang wajib dinafkahinya dan mengembalikan amanah titipan.

 

Di antaranya, memilih teman perjalanan yang shalih, berpamitan dengan keluarga dan rekan-rekan.

 

Di antaranya, shalat istikharah, dan berangkat pada hari Kamis pagi.

 

Di antaranya, jangan berjalan sendiri, lebih banyak berjalan di malam hari, tidak melupakan doa-doa dan dzikir-dzikir bila sampai ke suatu tempat singgah atau naik ke dataran tinggi atau menuruni lembah.

 

Di antaranya, membawa serta kebutuhannya seperti siwak, sisir, cermin, kotak celak, dan lainnya.”’

 

PASAL

YANG HARUS DIPERHATIKAN OLEH MUSAFIR

 

Seorang musafir hendaklah berbekal untuk dunia dan akhirat. Membawa bekal dunia seperti makanan dan minuman serta apa yang dibutuhkan. Tidak patut berkata, “Aku berangkat dengan bertawakal, maka aku tidak membawa bekal.” Ini adalah kedunguan, karena berbekal tidak mencederai tawakal.

 

Untuk bekal akhirat adalah ilmu yang dia perlukan dalam bersuci, shalat dan ibadahnya, mengetahui keringanan dalam safar seperti bolehnya menggashar, menjamak shalat, dan berbuka (tidak berpuasa), masa mengusap khuffain dalam safar, tayamum dan shalat nafilah (sunnah) di atas kendaraan yang berjalan. Semua itu tersebut dalam bukubuku fikih dengan syarat-syaratnya.

 

Orang musafir patut mengetahui hal-hal yang bisa berubah karena safar, yaitu ilmu tentang kiblat dan waktu, karena hal itu lebih ditegaskan dalam safar daripada saat tinggal di daerah asal.

 

Mencari petunjuk kiblat dengan bintang-bintang, matahari, rembulan, angin, air, gunung-gunung, dan kumpulan bintang-bintang galaksi sebagaimana yang sudah dijelaskan di tempatnya, dan seluruh wajah gunung dianggap menghadap kiblat.”

 

Untuk kumpulan bintang-bintang, di awal malam terbentang di atas pundak kiri orang yang shalat menghadap ke arah kiblat, kemudian kepalanya berbelok sehingga di akhir malam berada di atas pundak kanannya, kumpulan bintang galaksi ini disebut dengan pelita-pelita langit.”

 

Mengetahui waktu-waktu shalat, sangatlah diperlukan. Waktu Zhuhur masuk dengan tergelincirnya matahari, caranya hendaknya musafir menegakkan sebatang kayu yang lurus, memberinya tanda pada ujung bayangan dan memperhatikannya, bila dia melihatnya masih kurang, maka waktu Zhuhur belum masuk, bila mulai bertambah maka matahari sudah tergelincir dan waktu Zhuhur masuk, ini adalah awal waktu Zhuhur dan akhirnya adalah saat bayangan benda sama panjangnya dengan benda itu sendiri.

 

Kemudian masuk waktu Ashar dan waktu akhirnya adalah saat bayangan dua kali panjang benda.

 

Dari Imam Ahmad diriwayatkan bahwa akhir waktunya adalah selama matahari belum menguning, kemudian habis waktu ikhtiari, sisanya adalah waktu boleh sampai terbenam matahari, sisa waktu lainnya sudah diketahui.

 

Ketahuilah bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan poros agama paling besar. Tugas inilah yang ditugaskan Allah ketika mengutus para nabi. Seandainya amar ma’ruf dan nahi mungkar ditiadakan, niscaya agama akan punah, muncul berbagai kerusakan, dan negeri-negeri akan binasa.

 

[Kewajiban Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar]

 

Allah berfirman,

 

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104).

 

Ayat ini menetapkan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah bukan fardhu ain, karena Allah berfirman,   “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat,” dan tidak berfirman, “Jadilah kalian semua orang-orang yang beramar ma’ruf.” Bila tugas ini sudah dilaksanakan oleh kaum Muslimin dalam jumlah yang cukup, maka ia gugur dari yang lain, namun keberuntungan hanya diraih oleh orang-orang yang menjalankannya secara langsung. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar.

 

Dari an-Nu’man bin Basyir, beliau berkata, Aku mendengar

 

Rasulullah bersabda,

 

“Perumpamaan orang yang menegakkan batasan-batasan Allah (yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar) dengan orang yang melanggarnya, adalah seperti suatu kaum yang mengendarai perahu, sebagian dari mereka mendapatkan tempat di bagian bawah, tempat paling sulit dan paling buruk, sebagian lain mendapatkan tempat di atasnya. Orang-orang yang mendapatkan tempat di bawah, bila hendak mengambil air, mereka melewati orang-orang yang ada di atas mereka dan mengganggu mereka, maka mereka berkata, ‘Seandainya kita membuat lubang pada bagian kita, lalu kita bisa mengambil air darinya dan tidak menggangeu orang-orang di atas.’ Bila penumpang perahu membiarkan mereka melakukan itu, maka mereka semua akan tenggelam semuanya, tapi bila mereka mencegah mereka, maka mereka selamat semuanya,”

 

PASAL

TINGKATAN MENGINGKARI KEMUNGKARAN DAN SEBAGIAN HADITS TENTANGNYA

 

Dalam hadits masyhur dari riwayat Muslim bahwa Nabi bersabda, 

 

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu maka dengan lisannya, bila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah iman yang paling lemah.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Jihad yang paling utama adalah mengatakan kalimat hag di depan penguasa yang zhalim.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Bila kalian melihat umatku takut mengatakan kepada orang zhalim, ‘Kamu zhalim’, maka telah disampaikan selamat tinggal bagi mereka.”

 

Abu Bakar berdiri, beliau memuji Allah dan menyanjungNya, kemudian berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini,

 

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imran: 105).

 

Dan kita juga mendengar Rasulullah bersabda,

 

“Apabila orang-orang melihat kemungkaran kemudian mereka tidak mengubahnya (mencegahnya), maka hampir saja Allah akan menimpakan azabNya kepada mereka semua.”

 

Dan juga dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Kalian benar-benar beramar ma’ruf dan bernahi mungkar atau (kalau tidak) Allah akan menguasakan orang-orang buruk di antara kalian atas orang-orang baik kalian, lalu orang-orang baik kalian berdoa dan tidak dikabulkan.”

 

PASAL

RUKUN, SYARAT, TINGKATAN, DAN ADAB AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR, SERTA HAL-HAL YANG BERKENAAN DENGANNYA

 

Ketahuilah bahwa rukun amar ma’ruf dan nahi mungkar ada empat: 

 

Rukun Pertama: Hendaknya Orang yang Melakukannya Muslim, Mukalaf, dan Mampu

 

Ini adalah syarat diwajibkannya mengingkari. Anak-anak mumayyiz berhak mengingkari kemungkaran, diberi pahala karena itu, namun belum wajib atasnya.

 

Untuk sifat ‘adalah (istiqamah dan terbebas dari kefasikan) orang yang mengingkari kemungkaran, sebagian ulama menetapkannya sebagai syarat, mereka berkata, “Orang fasik tidak berhak berharap pahala (dengan perbuatan seperti ini).”

 

Pendapat ini berdalil dengan Firman Allah,

 

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri.” (Al-Baqarah: 44).

 

Dan mereka tidak mempunyai hujjah dari ayat ini.

 

Sebagian ulama mensyaratkan orang yang mengingkari kemungkaran harus mendapatkan izin dari pemimpin atau wakilnya (yakni pemerintah atau yang berwenang). Mereka tidak membolehkan penegakan amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada setiap anggota masyarakat. Ini adalah pendapat rusak, karena ayat-ayat dan dalil-dalil bersifat umum, menunjukkan bahwa siapa yang melihat kemungkaran lalu dia mendiamkannya, maka dia durhaka, mengkhususkan masalah dengan adanya izin dari pemimpin adalah penetapan hukum tanpa dalil.

 

Termasuk perkara yang aneh dari orang-orang Rafidhah bahwa mereka menambahkan di samping itu, “Tidak boleh menegakkan amar ma’ruf sebelum imam yang ma’shum muncul.” Mereka itu adalah orang-orang yang paling hina untuk berbicara. Untuk menjawab mereka dikatakan, bila mereka datang kepada hakim menuntut hak-hak mereka, maka dikatakan kepada mereka, ‘Membantu kalian adalah amar ma’ruf dan mengambil hak-hak kalian dari tangan orang yang menzhalimi kalian adalah nahi mungkar, waktunya belum tiba karena imam yang ma’shum belum muncul.”

 

Bila ada yang berkata, Dalam penegakan amar ma’ruf terdapat penetapan kekuasaan dan wewenang atas orang yang dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, orang kafir tidak berhak menegakkan amar ma’ruf terhadap orang Islam, walaupun itu kebenaran. Semestinya tidak menetapkan amar ma’ruf bagi setiap rakyat kecuali dengan wewenang dari penguasa.

 

Kami menjawab, Orang kafir dilarang (menegakkan amar ma’ruf atas orang Islam) karena pada tindakan tersebut terdapat wewenang dan kemuliaan. Adapun setiap individu kaum Muslimin berhak atas kemuliaan tersebut berdasar agama dan ilmu.

 

[Tingkatan-Tingkatan Penegakan Nahi Mungkar]

 

Ketahuilah bahwa penegakan amar ma’ruf dan nahi mungkar mempunyai lima tingkatan:

 

Pertama: Memberi tahu (mengenalkan).

 

Kedua: Nasihat dengan kata-kata yang lembut.

 

Ketiga: Celaan dan kata-kata keras. Celaan bukan kata-kata keji, akan tetapi kami katakan kepadanya, “Dasar bodoh, dungu, tidakkah kamu takut kepada Allah” Dan yang sepertinya.

 

Keempat: Melarang dengan kekuatan seperti menghancurkan alatalat maksiat dan menumpahkan khamar.

 

Kelima: Mengancam dan menakut-nakuti dengan pukulan atau langsung memukulnya sehingga dia meninggalkan perbuatannya. Tingkatan inilah yang membutuhkan peran penguasa, berbeda dengan tingkat-tingkat sebelumnya, karena bila tanpa ada peran penguasa, ditakutkan memicu fitnah.

 

Kebiasaan as-Salaf secara kontinu adalah menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap para penguasa dan menetapkan kesepakatan mereka bahwa perkara ini tidak memerlukan izin penguasa.

 

Bila dikatakan, Apakah amar ma’ruf dan nahi mungkar ditetapkan bagi anak terhadap bapak, budak terhadap majikan, istri terhadap suami, rakyat terhadap pemimpin?

 

Kami menjawab, Dasar wewenang ditetapkan untuk mereka semuanya dan kami sudah menetapkan amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi lima tingkatan.

 

Anak mempunyai hak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar untuk dua tingkatan yang pertama, yaitu memberitahu dan kedua, yaitu nasihat dan wejangan dengan lembut. Dia juga berhak atas tingkatan kelima, mematahkan alat musik, menumpahkan khamar dan yang sepertinya. Tingkatan ini juga berlaku pada budak dan istri sekali pun.

 

Untuk rakyat terhadap penguasa, maka perkaranya lebih berat daripada anak, maka rakyat hanya mempunyai hak memberitahu dan nasihat.

 

Disyaratkan orang yang mengingkari kemungkaran adalah orang yang mampu mengingkari. Untuk orang yang tidak mampu, maka dia hanya mempunyai pengingkaran dengan hati. Gugurnya kewajiban tidak hanya berlaku pada kelemahan secara fisik, akan tetapi termasuk ke dalamnya takut ditimpa perkara yang dibenci, hal itu termasuk ke dalam tidak mampu.

 

[Syarat-Syarat Penegakan Nahi Mungkar]

 

Bila mengetahui bahwa pengingkaran terhadap kemungkaran tidak berguna, maka amar ma’ruf nahi mungkar terbagi menjadi empat keadaan:

 

Pertama: Mengetahui bahwa kemungkaran dapat dihilangkan dengan perkataan atau perbuatannya tanpa menimbulkan dampak buruk, dalam kondisi ini wajib mengingkari.

 

Kedua: Mengetahui bahwa perkataannya tidak berguna, bila dia berbicara maka dia justru akan dipukul (misalnya); dalam kondisi ini tidak wajib atas yang bersangkutan.

 

Ketiga: Mengetahui bahwa pengingkarannya tidak berguna, akan tetapi tidak ada dampak buruk yang ditakutkan menimpanya, dalam kondisi ini tidak wajib karena tidak berguna. Dianjurkan untuk memperlihatkan syiar-syiar Islam dan mengingatkan urusan Agama.

 

Keempat: Mengetahui bahwa dirinya ditimpa dampak buruk, akan tetapi kemungkaran lenyap karena perbuatannya, misalnya dia menghancurkan alat musik, menumpahkan khamar dan dia tahu bahwa setelah itu dia dipukul, dalam kondisi ini tidak wajib, akan tetapi tetap dianjurkan, berdasarkan sabda Nabi dalam hadits,

 

“Sebaik-baik jihad adalah mengatakan kalimat haq di depan penguasa yang zhalim.”

 

Tidak ada perbedaan pendapat mengenai bolehnya seorang Muslim menyerang barisan musuh kafir sendirian dan berperang melawan mereka sekalipun dia tahu akan terbunuh. Tetapi bila dia tahu bahwa dia tidak menimpakan kerugian apa pun atas mereka, seperti orang buta yang menjerumuskan dirinya di tengah-tengah barisan, maka hal itu haram. Demikian juga bila seseorang melihat orang fasik sendirian dengan memegang botol khamar tetapi di tangannya ada sebilah pedang, dia tahu bila dia menegurnya karena minum khamar maka dia menebaskan pedang itu ke lehernya, maka tidak boleh melakukannya, karena perbuatannya tidak memberikan dampak berarti baginya, justru dirinya yang menjadi korban. Dianjurkan baginya mengingkari bila dia mampu melenyapkan kemungkaran dan perbuatannya memberikan dampak baik seperti orang yang menyerang barisan orang kafir dan sepertinya.

 

Bila orang yang mengingkari kemungkaran mengetahui bahwa dirinya akan dipukul bersama rekan-rekannya, maka amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak boleh. Sebab dia tidak mampu menolak kemungkaran kecuali dengan menimbulkan kemungkaran lain, dan hal itu sama sekali tidak termasuk ke dalam kemampuan. Maksud kami dengan mengetahui dalam perkara-perkara di atas adalah dugaan kuat. Barangsiapa menyangka secara kuat bahwa dirinya akan ditimpa kesulitan, maka tidak wajib mengingkari, bila dia menduga secara kuat tidak ditimpa, maka wajib. Yang menjadi pertimbangan bukan kondisi penakut, bukan pula orang pemberani yang tak kenal rasa takut, akan tetapi pertimbangannya adalah orang yang bertabiat lurus dan berperangai jujur. Maksud kami dengan dampak buruk adalah pembunuhan atau pemukulan, demikian juga perampasan harta, dipermalukan di depan khalayak dan wajah dihitamkan, sedangkan sekadar celaan dan makian, maka ia bukan alasan untuk diam, sebab orang yang menegakkan amar ma’ruf dan bernahi mungkar secara umum akan mendapatkan hal itu.

 

Rukun Kedua: Hendaknya Objek Pencegahan Kemungkaran adalah Kemungkaran yang Ada Saat Itu dan Nampak

 

Makna mungkar ialah bahwa sesuatu yang dilarang dalam syariat, kemungkaran lebih umum daripada kemaksiatan, karena siapa yang melihat anak kecil atau orang gila minum khamar, maka dia harus menumpahkan khamarnya dan mencegahnya. Demikian juga bila dia melihat orang gila berzina dengan wanita gila atau hewan, dia harus mencegahnya.

 

Ucapan kami, ‘Ada saat itu’, berarti tidak mencakup orang yang selesai dari minum khamar dan yang sepertinya. Ini bukan wewenang orang per orang. Ucapan kami tersebut juga tidak mencakup apa yang mungkin terjadi lagi sesudahnya, seperti orang yang diketahui dari indikasi perbuatannya bahwa dia akan minum khamar lagi malam ini, tidak ada tindakan nahi mungkar atasnya kecuali dalam bentuk nasihat.

 

Ucapan kami, ‘Nampak’, tidak mencakup orang yang menutupi kemaksiatannya di rumahnya dan mengunci pintunya, tidak boleh memata-matainya, kecuali bila ada sesuatu yang nampak oleh orang yang ada di luar rumah seperti suara seruling dan alat musik. Barangsiapa yang mendengarnya boleh masuk dan menghancurkan alat-alat tersebut, bila bau khamar tercium, maka pendapat yang lebih kuat adalah boleh mengingkarinya.

 

Disyaratkan dalam mengingkari kemungkaran, hendaknya kemungkaran tersebut sudah diketahui, bukan sesuatu yang masih menjadi titik ijtihad, segala sesuatu yang pintu ijtihad masih terbuka tidak ada nahi mungkar terhadapnya. Penganut madzhab Hanafi tidak ber

 

hak mengingkari pengikut madzhab asy-Syafi’i yang makan sembelihan yang tidak disebutkan basmalah. Sebaliknya pengikut madzhab asy-Syafi’i tidak boleh mengingkari penganut madzhab Hanafi yang minum sedikit abidz yang tidak memabukkan.

 

Rukun Ketiga: Pelaku Kemungkaran yang Diingkari Seorang manusia, tidak harus mukalaf sebagaimana yang telah , kami jelaskan sebelumnya bahwa anak-anak dan orang gila pun bila melakukan kemungkaran, juga harus diingkari.

 

Rukun Keempat: Penegakan Amar Ma’’ruf dan Nahi Mungkar Itu Sendiri dan ia mempunyai tingkatan-tingkatan dan adabadab:

 

Tingkatan Pertama: Seseorang mengetahui adanya kemungkaran dengan jelas. Maka tidak patut baginya memasang telinganya ke rumah orang lain untuk mendengar suara gitar, tidak pula mengendus-endus untuk mencium bau khamar, tidak pula meraba apa yang telah ditutupi dengan kain untuk mengetahui bentuk seruling, tidak pula menginterogasi para tetangga agar mereka memberitahu apa yang terjadi. Tapi seandainya ada dua orang adil mengabarkan kepadanya bahwa fulan minum khamar, maka saat itu dia boleh masuk dan mengingkari.

 

Tingkatan Kedua: Memberitahu; karena orang yang tidak mengetahui melakukan sesuatu perbuatan dan menyangka bukan kemungkaran. Bila dia mengetahui, dia meninggalkannya, maka dia patut diberi tahu dengan lembut. Kepadanya dikatakan, “Tidak ada manusia yang lahir dalam keadaan berilmu, kami sendiri dulu adalah orang-orang bodoh tentang perkara-perkara syariat sebelum para ulama mengajari kami, mungkin kampungmu tidak mempunyai ulama.” Demikian, dia diperlakukan dengan lembut sehingga dia mengetahui tanpa menyakiti. Barangsiapa menghindari risiko diam dari kemungkaran dan menggantinya dengan risiko menyakiti seorang Muslim padahal itu tidak diperlukan, maka dia seperti mencuci darah dengan kencing.

 

Tingkatan Ketiga: Melarang melalui wejangan dan nasihat serta menakut-nakuti dengan Nama Allah, menyampaikan dalil-dalil ancaman, menyampaikan kisah hidup para ulama Salaf kepadanya. Semua itu dilakukan dengan kasih sayang dan kelembutan tanpa kekerasan dan kemarahan. Di sini ada sebuah kesalahan besar yang patut dihindari, yaitu seorang ulama saat dia memberitahu, dia merasa dirinya mulia dengan ilmunya dan memandang orang lain rendah dengan kebodohannya.

 

Permisalan hal tersebut seperti orang yang menyelamatkan orang lain dari api namun dia membiarkan dirinya terbakar. Perbuatan tersebut adalah puncak kebodohan, kehinaan besar, dan teperdaya oleh setan. Oleh karena itu, ada timbangan dan standar dalam masalah ini. Seyogianya seseorang yang melakukan nahi mungkar menguji dan memperhitungkan dirinya dengan standar tersebut, yaitu ketika ada orang yang meninggalkan kemungkaran karena dirinya sendiri atau karena telah dicegah orang lain (pihak ketiga), lebih dia sukai daripada pencegahan yang dilakukannya. Apabila pengingkaran tersebut terasa berat dan susah bagi dirinya, selain itu, dia berharap ada orang lain yang melakukannya, perhatikanlah bahwa faktor pendorongnya adalah agama (maka hendaknya dia melakukan nahi mungkar). Jika sebaliknya, maka dia mengikuti hawa nafsu. Dia ingin menampakkan kemuliaannya dengan cara melakukan pengingkaran. Hendaknya dia takut kepada Allah dan memeriksa dirinya terlebih dahulu.

 

Dawud ath-Tha‘i pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang datang kepada para penguasa lalu dia memerintahkan yang ma’ruf kepada mereka dan melarang mereka dari yang mungkar?” Beliau menjawab, “Aku mengkhawatirkan cambuk atasnya.” Dikatakan kepada beliau, “Dia kuat menanggungnya.” Dia menjawab, “Aku mengkhawatirkan pedang atasnya.” Dikatakan kepadanya, “Dia kuat menanggungnya.” Dia menjawab, “Aku mengkhawatirkan penyakit kronis atasnya, yaitu ujub.”

 

Tingkatan Keempat: Celaan dan sikap keras dengan perkataan yang keras dan berat. Cara ini digunakan manakala orang bersangkutan tidak mengindahkan cara-cara lunak, terlihat padanya tandatanda ngotot untuk terus melakukan dan merendahkan wejangan dan nasihat. Maksud kami dengan celaan, bukan kata-kata keji dan dusta, akan tetapi kita berkata kepadanya misalnya, “Hai orang fasik, orang dungu, orang bodoh, apakah engkau tidak takut kepada Allah?” Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Ibrahim

 

“Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakalt kaniu tidak memahami?” (Al-Anbiya’: 67).

 

Tingkatan Kelima: Mengubah dengan tangan seperti menghancurkan alat-alat musik, menumpahkan khamar, dan mengusir seseorang dari rumah yang dirampasnya. Untuk tingkatan ini memiliki dua adab:

 

1). Hendaknya tidak mengubah secara langsung selama dia bisa memaksa pelaku kemungkaran meninggalkan kemungkarannva sendiri, bila dia bisa memaksanya meninggalkan tanah yang dighasab, maka tidak patut menyeretnya atau mendorongnya.

 

2). Mematahkan alat-alat hingga tidak bisa digunakan lagi dan tidak lebih dari itu. Dalam menumpahkan khamar misalnya diupayakan tanpa memecahkan bejananya, bila tidak bisa kecuali dengan melempar bejananya dengan batu dan yang sepertinya maka dia boleh melakukan. Harga bejana tersebut tidak wajib dia ganti. Jika pemilik khamar menutupi dengan badannya, maka dia boleh memukulnya agar bisa mendapatkan khamar lalu menumpahkannya. Jika khamar dalam botol yang berleher sempit, bila dia harus menumpahkannya, maka hal itu membutuhkan waktu dan orang-orang fasik mempunyai kesempatan untuk merebutnya dari tangannya, maka dia boleh memecahkannya, karena udzur tersebut. Demikian juga bila waktu habis untuk menumpahkannya, kesibukannya sendiri terbengkalai karena itu, maka dia boleh memecahkannya apabila tidak takut kepada orang-orang fasik.

 

Jika dikatakan, Mengapa tidak boleh memecahkan bejana sebagai peringatan keras? Demikian juga menyeret kakinya untuk mengeluarkan seseorang dari rumah yang dirampas sebagai peringatan keras?

 

Kami jawab: Hal seperti itu hanya boleh bagi penguasa dan bukan hak rakyat orang per orang, karena sisi ijtihad masih samar.

 

Tingkatan keenam: Mengancam dan menakut-nakuti, seperti dengan mengucapkan, “Tinggalkan perbuatanmu itu, bila tidak maka aku akan melakukan ini dan ini terhadapmu.” Hal ini patut dikedepankan daripada pemukulan bila memang memungkinkan.

 

Adab dalam tingkatan ini adalah jangan mengancam dengan sesuatu yang tidak boleh dilakukan, misalnya dengan berkata, “Aku akan merampok rumahmu, aku akan menawan istrimu.” Karena bila dia berkata demikian secara serius maka hal itu haram, bila tidak maka dia dusta.

 

Tingkatan ketujuh: Memukul dengan tangan, kaki dan sebagainya tanpa mengacung-acungkan senjata, hal itu boleh untuk rakyat orang per orang dengan syarat darurat dan sebatas dibutuhkan, bila kemungkaran sudah ditinggalkan, maka harus berhenti.

 

Tingkatan kedelapan: Seseorang tidak mampu mengingkari sendiri, akan tetapi dia memerlukan teman-teman yang membawa senjata, karena bisa jadi orang fasik juga mengumpulkan rekan-rekannya dan menyeret kepada peperangan, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa kondisi seperti ini memerlukan peran serta pemimpin, sebab ia membawa kepada fitnah-fitnah dan merebaknya kerusakan. Ada juga yang berpendapat, tidak perlu izin pemimpin.

 

PASAL

[Adab-Adab Orang yang Menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar]

 

Kami telah menyebutkan adab-adab orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar secara terperinci dan globalnya adalah tiga sifat pada orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar.

 

Pertama: Mengetahui titik-titik ditegakkannya amar ma’ruf dan nahi mungkar, batasan-batasannya dan tempat-tempatnya, sehingga dia bisa membatasi diri pada batasan-batasan Syariat.

 

Kedua: Wara’, karena dia mungkin mengetahui suatu perkara namun tidak mengamalkannya karena suatu maksud.

 

Ketiga: Akhlak yang baik. Ini adalah dasar agar bisa menahan diri, karena bila amarah tersulut maka ilmu dan wara’ tidak cukup untuk memadamkannya, selama di dalam jiwa tidak ada akhlak yang baik.

 

Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar kecuali orang yang lembut dalam memerintah, lembut pula dalam melarang; santun dalam memerintah, santun pula dalam melarang; dan memahami dalam memerintah, memahami pula dalam melarang.”

 

Di antara adabnya adalah meminimalkan ketergantungan kepada orang lain dan memutuskan ambisi dari manusia, yang bisa menyebabkannya membiarkan kemungkaran. Diriwayatkan dari sebagian ulama Salaf bahwa dia mempunyai seekor kucing, setiap hari dia mengambil sedikit potongan kelenjar dari tetangganya yang seorang tukang daging untuk kucingnya. Suatu hari dia melihat kemungkaran pada tukang daging tersebut, lalu dia masuk rumah dan mengusir kucingnya sendiri, kemudian dia datang kepada tetangganya dan mengingkari kemungkarannya, maka tetangga itu berkata, “Setelah ini aku tidak memberimu apa pun untuk kucingmu.” Dia menjawab, “Aku tidak mengingkarimu kecuali setelah mengusir kucing itu dan tidak lagi berharap kepadamu.”

 

Ini sikap yang benar, karena siapa yang tidak memutuskan ketergantungan kepada manusia dari dua perkara, maka dia tidak mampu untuk mengingkari mereka:

 

Pertama: Pemberian yang mereka berikan kepadanya.

 

Kedua: Kerelaan dan sanjungan mereka kepadanya.

 

Sikap lemah lembut dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah suatu keharusan, Allah  berfirman,

 

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44).

 

Diriwayatkan bahwa Abu ad-Darda’ pernah melewati seorang laki-laki yang melakukan dosa sementara orang-orang mencelanya, maka beliau berkata, “Seandainya orang itu ada di bibir sumur, apakah kalian menyelamatkannya sehingga tidak terjatuh ke dalamnya?” Mereka menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Maka jangan mencaci saudara kalian, pujilah Allah yang telah membersihkan kalian dari dosa yang dia lakukan.” Mereka bertanya, “Kita membencinya?” Beliau menjawab, “Aku hanya membenci perbuatannya, bila dia meninggalkannya, maka dia adalah saudaraku.”

 

Seorang anak muda berjalan menyeret kainnya, lalu rekan-rekan Shilah bin Asyyam hendak mengucapkan kata-kata mereka kepadanya dengan keras, maka Shilah berkata, “Biarkan aku yang melakukannya.” Kemudian dia memanggil anak muda tersebut dan berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, aku ada perlu denganmu.” Dia bertanya, “Apa?” Dia berkata, “Aku berharap kamu mau menaikkan kainmu.” Dia menjawab, “Baik, dengan senang hati.” Maka dia menaikkan kainnya. Maka Shilah berkata kepada rekan-rekannya, “Ini lebih baik daripada apa yang kalian lakukan, seandainya kalian mencaci dan menyakitinya, niscaya dia akan mencaci kalian.”

 

Al-Husain diundang ke sebuah walimah pernikahan, dia disuguhi bejana perak yang berisi manisan kurma dan minyak samin, maka dia mengambilnya dan menuangkannya ke sepotong roti dan memakannya, maka seorang laki-laki berkata, “Orang ini mengingkari kemungkaran dengan diamnya.”

 

BAB KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN YANG BIASA TERJADI DALAM KEHIDUPAN DAN AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNGKAR KEPADA PARA PENGUASA

 

Kami menyebutkan dua pasal dalam hal ini:

 

Pasal Pertama:

 

Ketahuilah bahwa kemungkaran-kemungkaran yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari tidak mungkin dihitung. Hanya saja kami mengisyaratkan sebagian darinya sebagai petunjuk atas yang semisal dengannya. Di antaranya:

 

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN DI MASJID

 

Di antara perkara yang sering disaksikan di masjid adalah pelaksanaan shalat yang buruk dengan meninggalkan tumakninah rukuk dan sujud. Demikian juga perkara-perkara yang merusak keabsahan shalat berupa najis yang tidak terlihat pada baju orang yang shalat atau tidak menghadap kiblat disebabkan oleh kegelapan atau ketidaktahuan.

 

Di antaranya, kesalahan dalam membaca al-Qur‘an. Orang beri’tikaf menyibukkan diri dengan mengingkari hal-hal seperti ini adalah lebih utama daripada shalat nafilah yang dilakukannya.

 

Di antaranya, para muadzin memanjangkan lafazh adzan dengan melampaui batasan kalimatnya.

 

Di antaranya, khatib memakai baju sutra atau pedang yang berlapis emas.

 

Di antaranya, tukang cerita di masjid yang menceritakan kedustaan dan hal-hal yang dilarang seperti menyibukkan diri dalam perdebatan yang memicu fitnah dan yang sepertinya.

 

Di antaranya, campur baur antara kaum laki-laki dengan wanita, ini patut diingkari.

 

Di antaranya, mengadakan halaqah-halaqah di Wari Jum’at untuk menjual obat, makanan, jampi-jampi, hadirnya para pengemis, melantunkan syair dan yang sepertinya. Di antara ini semua ada yang haram dan ada yang makruh.

 

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN DI PASAR

 

Di antaranya, dusta dalam mencari laba, dan menutupi cacat barang. Barangsiapa berkata, “Aku membeli barang ini dengan harga sepuluh dan hanya mengambil laba satu dirham.” Padahal dia berdusta, maka dia orang fasik.

 

Barangsiapa mengetahui keadaan barang, maka dia harus menyampaikan kepada pembeli, bila mendiamkan demi menjaga penjual, maka dia turut berkhianat. Demikian juga bila dia mengetahui aib, dia harus menjelaskannya kepada pembeli, demikian juga perbedaan pada timbangan dan ukuran. Barangsiapa mengetahuinya, maka wajib mengubahnya, bisa sendiri atau dengan melaporkannya kepada pemerintah (yang berwenang) sehingga dia yang bertindak.

 

Di antaranya, syarat-syarat transaksi yang rusak, muamalah riba, jual beli alat-alat musik, gambar-gambar makhluk hidup dan semacamnya.

 

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN Di JALANAN

 

Di antaranya, membangun kios-kios yang bersambung dengan bangunan-bangunan orang lain, menonjolkan teras ke jalan, menanam pohon yang bisa mempersempit jalan dan menyusahkan orang yang lewat. Meletakkan kayu dan bahan makanan di jalan sesaat sebelum memindahkannya ke dalam rumah, maka boleh, karena semua orang membutuhkan hal itu.

 

Di antaranya, mengikat hewan-hewan tunggangan di jalan yang dapat mempersempit badan jalan dan mengganggu orang-orang yang lalu lalang, hal ini wajib dilarang, kecuali hanya sebatas kebutuhan untuk turun atau untuk mengendarai.

 

Di antaranya, membebani hewan angkut dengan beban di luar batas kemampuannya, menyapu sampah ke jalanan, membuang kulit semangka di jalan atau membuang air talang ke jalan yang mengkhawatirkan membuat orang terpeleset. Sedangkan air hujan, maka ia adalah wewenang pemerintah; setiap individu hanya bisa saling menasihati.

 

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN DI PEMANDIAN UMUM

 

Di antaranya, gambar hewan di pintu kamar pemandian atau di dalamnya, untuk menghilangkannya cukup dengan menghapus wajahnya sehingga tidak terlihat bentuknya. Barangsiapa tidak mampu mengingkari, maka tidak boleh masuk kecuali darurat dan hendaknya mencari pemandian yang lain.

 

Di antaranya, membuka aurat dan melihat aurat orang lain, tukang pijat membuka paha dan apa yang di bawah pusar atau membersihkannya atau memegang aurat.

 

Di antaranya, memasukkan tangan dan bejana yang terkena najis ke dalam air yang sedikit. Bila orang yang melakukannya adalah penganut madzhab Maliki, maka tidak diingkari. Akan tetapi disikapi dengan kata-kata lembut, kepadanya dikatakan, “Engkau bisa tidak menggangguku dengan tidak membuat air itu najis.”

 

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN DALAM PERJAMUAN

 

Di antaranya, menggunakan karpet sutra bagi laki-laki, asap yang dibakar pada tempat yang terbuat dari emas atau perak, minum pada bejana emas dan perak, menggunakan air kembang pada bejana emas dan perak. Demikian juga memasang kain kelambu yang bergambar makhluk hidup, mendengar nyanyian dan alat musik. Kaum wanita melihat para pemuda yang dikhawatirkan memicu fitnah, semua itu adalah kemungkaran yang wajib diubah. Barangsiapa tidak mampu mengubahnya, maka dia harus keluar meninggalkannya.

 

Gambar makhluk hidup pada bantal atau karpet, bukan merupakan kemungkaran. Demikian juga tempat tidur dari sutra dan emas untuk wanita boleh. Tapi tidak ada keringanan untuk membuat lubang di telinga anak perempuan untuk memasang anting-anting dari emas, karena melukai dan menyakiti, tidak boleh”, padahal kalung dan gelang sudah cukup. Membayar orang untuk melakukan hal itu tidak boleh dan upah yang diambil haram.

 

Di antaranya, adanya ahili bid’ah di antara para tamu yang mengajak kepada bid’ahnya, tidak boleh menghadirinya kecuali orang yang mampu membantah bid’ahnya. Jika ahli bid’ah tidak berbicara, maka boleh hadir dengan menampakkan kebencian kepadanya dan berpaling darinya. Bila di sana ada pelawak yang mengucapkan kata-kata keji dan dusta, maka tidak boleh hadir, bila hadir maka wajib mengingkari. Apabila hanya sekadar gurau tanpa dusta dan tanpa kata-kata keji, maka dibolehkan, selama tidak banyak, kalau menjadikannya sebagai profesi kebiasaan, maka tidak boleh.

 

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN YANG UMUM

 

Barangsiapa merasa yakin di pasar ada kemungkaran yang terusmenerus atau di saat tertentu dan dia mampu mengubahnya, maka dia tidak boleh meninggalkan hal itu dengan hanya duduk-duduk saja di rumahnya, dia harus keluar, bila dia mampu mengubah sebagian, maka dia harus melakukannya.

 

Sepatutnya seorang Muslim memulai dengan dirinya, memperbaikinya dengan menjaga kewajiban-kewajiban dan meninggalkan halhal haram. Kemudian mengajari keluarga dan kerabatnya, kemudian menyebar kepada tetangganya dan masyarakat sekitarnya kemudian penduduk kotanya kemudian ke skala yang lebih lebar sampai ujung dunia. Bila yang lebih dekat sudah menunaikannya maka yang lebih jauh tidak wajib. Jika tidak, maka setiap orang yang mampu, wajib melakukannya.

 

Pasal Kedua: Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar kepada Para Penguasa

 

Kami sudah menyebutkan tingkatan-tingkatan amar ma’ruf. Yang boleh darinya untuk para penguasa adalah dua tingkatan, yang pertama: Memberitahu dan menasihati. Untuk kata-kata yang keras misalnya dengan berkata, “Wahai orang zhalim, wahai orang yang tidak takut kepada Allah.” Apabila hal itu memicu fitnah yang keburukannya bisa menimpa orang lain, maka tidak boleh. Jika tidak dikhawatirkan kecuali atas dirinya, maka boleh menurut jumhur ulama. Namun aku sendiri berpendapat tidak melakukannya, karena tujuannya adalah menghilangkan kemungkaran, sementara hal itu menjadikan penguasa melakukan kemungkaran lebih besar daripada kemungkaran yang ingin dia lenyapkan. Hal itu karena yang dekat dengan para penguasa adalah penghormatan. Jika mereka mendengar dari salah seorang rakyat, “Wahai orang fasik”, maka para penguasa itu menganggapnya sebagai penghinaan besar dan mereka tidak akan tinggal diam.

 

Imam Ahmad ils berkata, “Jangan melawan penguasa, karena pedangnya terhunus. Adapun apa yang terjadi dari ulama Salaf yang mereka mengkritik keras para penguasa, maka hal itu karena para penguasa masih menghargai para ulama, bila para ulama itu mengucapkan, maka secara umum para penguasa bisa menerimanya.”

 

[Beberapa Contoh dan Kisah dari Nasihat-Nasihat Ulama Salaf kepada Para Khalifah dan Penguasa]

 

Aku telah mengumpulkan nasihat-nasihat para ulama Salaf kepada para khalifah dan penguasa dalam kitab al-Mishbah al-Mudhi-. Dari sana aku memilih beberapa di antaranya:

 

 Sa’id bin Amir berkata kepada Umar bin al-Khaththab “Sesungguhnya aku menasihatimu dengan kata-kata yang merupakan kumpulan dan ajaran Islam. Takutlah kepada Allah dalam memperlakukan manusia dan jangan takut kepada manusia dalam kaitan hak-hak Allah. Hendaknya perkataanmu tidak bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya perkataan terbaik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan. Cintailah untuk kaum Muslimin, yang dekat dan yang jauh apa yang kamu cintai untuk dirimu dan keluargamu. Terjunlah dalam kepedihan menuju kebenaran yang engkau mengetahuinya dan jangan takut dijalan Allah kepada celaan orang lain” Umar bin al-Khaththab bertanya, “Siapa yang mampu melakukan itu wahai Abu Sa’id?” Dia menjawab, “Orang yang lehernya dikalungkan beban kepemimpinan sebagaimana yang dikalungkan pada lehermu.”

 

Qatadah berkata, Umar bin al-Khaththab keluar dari masjid bersama al-Jarud, tiba-tiba seorang nenek tua berdiri di tengah jalan. Umar mengucapkan salam kepadanya dan dia menjawabnya atau wanita itu yang mengucapkan salam dan Umar menjawab salamnya. Kemudian wanita tua itu berkata, ‘Wahai Umar, dulu aku mengenalmu saat kamu masih Umair [Umar kecil,] di pasar Ukazh yang gemar berkelahi dengan anak-anak, waktu berlalu dan engkau sudah bernama Umar, waktu berlalu dan engkau dipanggil Amirul Mukminin. Bertakwalah kepada Allah dalam mengayomi rakyat, dan ketahuilah, barangsiapa takut terhadap kematian, maka dia pasti takut tak sempat berbuat baik.” Maka Umar menangis, maka al-Jarud berkata, “Wahai wanita, engkau telah berani terhadap Amirul Mukminin dan membuatnya menangis.” Maka Umar berkata, “Biarkan wanita itu, apakah engkau belum tahu siapa dia? Dia adalah Khaulah binti Hakim yang ucapannya didengar Allah dari atas langit yang tujuh. Demi Allah, Umaar lebih patut mendengar kata-katanya.”

 

Seorang laki-laki tua dari al-Azd masuk menemui Mu’awiyah dan berkata, “Wahai Mu’awiyah, bertakwalah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa pada setiap hari yang keluar dan pada setiap malam yang datang kepadamu tidaklah menambah kecuali semakin jauh dari dunia dan semakin dekat menuju akhirat. Di belakangmu ada yang mengejarmu dan engkau tidak bisa lolos darinya. Sebuah rambu (batas akhir) telah dipancangkan untukmu dan engkau tidak akan melewatinya. Betapa cepat engkau sampai ke rambu itu dan betapa dekat pengejar itu menyusulmu. Sesungguhnya apa yang kita berada di atasnya saat ini akan lenyap, sementara apa yang kita berjalan menujunya abadi.

 

Jika baik maka baik pula kesudahannya, bila buruk maka buruk pula kesudahannya.”

 

Sulaiman bin Abdul Malik datang di Madinah, dia tinggal tiga hari di sana. Dia berkata, “Apakah di sini sudah tidak ada seorang Jaki-laki yang pernah bertemu dengan sahabat-sahabat Rasulullah yang bisa berbincang dengan kami?” Seseorang menjawab, “Seorang Jaki-laki bernama Abu Hazim.” Maka Sulaiman memintanya agar diundang. Sulaiman berkata kepada Abu Hazim, “Abu Hazim, mengapa engkau menjauh dariku?” Abu Hazim menjawab, “Menjauh bagaimana yang engkau maksud?” Sulaiman berkata, “Para tokoh Madinah datang kepadaku namun engkau tidak.” Abu Hazim menjawab, “Antara diriku dengan dirimu tidak saling kenal sehingga karena itu aku datang kepadamu.” Sulaiman berkata, “Laki-laki tua ini benar. Wahai Abu Hazim, mengapa kami membenci mati?” Abu Hazim menjawab, “Karena kalian membangun dunia kalian dan merobohkan akhirat kalian, maka kalian tidak ingin berpindah dari apa yang dibangun kepada apa yang roboh.” Sulaiman berkata, “Engkau benar wahai Abu Hazim. Bagaimana manusia akan menghadap kepada Allah is?” Abu Hazim menjawab, “Orang yang baik seperti orang yang bepergian jauh dan lama yang pulang kepada keluarganya dengan penuh bahagia dan suka cita. Kalau orang buruk maka seperti budak yang kabur yang diseret kepada majikannya, khawatir dan takut.” Maka Sulaiman menangis dan berkata, “Duhai sekiranya aku tahu bagaimana dengan kami ini di sisi Allah wahai Abu Hazim?” Abu Hazim menjawab, “Timbanglah dirimu dengan kitab Allah, engkau akan mengetahui apa yang akan engkau dapatkan di sisi Allah.” Sulaiman berkata, “Wahai Abu Hazim, bagaimana aku mengetahui hal itu dari kitab Allah?” Abu Hazim menjawab, “Pada Firman Allah,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Al-Infithar: 13-14).

 

Sulaiman berkata, “Wahai Abu Hazim, di mana rahmat Allah?” Abu Hazim menjawab,

 

“Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56).

 

Sulaiman berkata, “Wahai Abu Hazim, siapa manusia paling cerdas?” Abu Hazim menjawab, “Orang yang berbicara dengan hikmah dan mengajarkannya kepada manusia.” Sulaiman bertanya, “Lalu siapa manusia yang paling bodoh?” Abu Hazim menjawab, “Orang yang menjerumuskan dirinya ke dalam hawa nafsu orang lain dan dia zhalim, dia menjual akhiratnya dengan dunia orang lain.” Sulaiman bertanya, “Abu Hazim, doa apa yang paling mujarab?” Abu Hazim menjawab, “Doa orang-orang yang merendahkan diri.” Sulaiman berkata, “Sedekah apa yang paling utama?” Abu Hazim menjawab, “Usaha bersedekah oleh orang yang minim harta.” Sulaiman berkata, “Abu Hazim, apa pendapatmu tentang keadaan kami saat ini?” Abu Hazim menjawab, “Maafkan aku, aku tidak bisa menjawab.” Sulaiman berkata, “Anggaplah sebagai nasihat yang engkau berikan.” Abu Hazim berkata, “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengambil perkara ini secara paksa tanpa musyawarah kaum Muslimin dan kesepakatan pendapat mereka, maka mereka menumpahkan darah dalam rangka mencari dunia kemudian mereka meninggalkan dunia. Duhai gerangan, apa yang mereka ucapkan dan apa yang diucapkan kepada mereka?” Sebagian orang dekat Sulaiman berkata, “Kata-katamu sungguh buruk wahai bapak tua.” Abu Hazim menjawab, “Engkau dusta, sesungguhnya Allah telah mengambil janji atas para ulama untuk menjelaskan kepada manusia dan tidak menyembunyikan.” Sulaiman berkata, “Wahai Abu Hazim, bersamalah dengan kami agar engkau bisa mendapatkan (kebaikan) dari kami dan kami mendapatkan (kebaikan) darimu.” Abu Hazim menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari hal itu.” Sulaiman bertanya, “Mengapa?” Abu Hazim menjawab, “Aku takut cenderung kepada kalian, maka aku akan didera

 

“(siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati.” (Al-Isra’: 75).

 

Sulaiman berkata, “Beri aku nasihat.” Abu Hazim menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, jangan sampai Dia melihatmu ketika Dia melarangmu dan tidak mendapatimu ketika memerintahkanmu.” Sulaiman berkata, “Wahai Abu Hazim, doakan kebaikan untukku.” Maka Abu Hazim berkata, “Ya Allah, jika Sulaiman adalah waliMu, maka mudahkanlah dia menuju kebaikan, jika bukan, maka peganglah ubun-ubunnya kepada kebaikan.” Sulaiman berkata kepada pembantunya, “Ambil 100 dinar.” Lalu Sulaiman berkata, “Terimalah ini wahai Abu Hazim.” Abu Hazim menjawab, “Aku tidak membutuhkannya, karena aku khawatir ini adalah upah dari apa yang telah engkau dengarkan dariku.” Sepertinya Sulaiman takjub kepada Abu Hazim. Az-Zuhri berkata, “Dia adalah tetanggaku 30 tahun yang lalu, aku tidak berbicara kepadanya apa pun.” Abu Hazim berkata, “Karena engkau melupakan Allah, maka engkau melupakanku.” Az-Zuhri berkata, “Engkau mencelaku?” Sulaiman berkata, “Tidak, justru engkau yang mencela dirimu sendiri. Apakah engkau lupa bahwa tetangga mempunyai hak atas tetangganya?” Abu Hazim berkata, “Manakala Bani Israil berjalan di atas kebenaran, maka para penguasa membutuhkan ulama dan para ulama menjauh dari mereka demi agama mereka. Manakala hal itu dilihat oleh orang-orang rendahan, maka mereka mulai mempelajari ilmu itu, lalu mereka membawanya kepada para penguasa dan orang-orang berkumpul di atas kemaksiatan. Akibatnya mereka jatuh dan tertunduk, seandainya para ulama menjaga agama dan ilmu mereka, niscaya para penguasa segan kepada mereka.” Az-Zuhri berkata, “Sepertinya kamu menyindirku?” Abu Hazim menjawab, “Seperti yang engkau dengar.”

 

Dikisahkan bahwa seorang Arab pedalaman (badui) datang kepada Sulaiman bin Abdul Malik-, dia berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku akan mengatakan suatu perkataan kepadamu, terimalah sekalipun engkau tidak menyukainya karena di belakangnya ada apa yang engkau inginkan bila engkau sudi menerimanya.” Sulaiman menjawab, “Katakan.” Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau dikelilingi oleh orang-orang yang membeli duniamu dengan agama mereka, ridhamu dengan amarah Tuhan mereka, takut kepadamu dalam hak-hak Allah dan tidak takut kepada Allah berkaitan dengan hak-hakmu, menghancurkan akhirat dan memakmurkan dunia, tunduk kepada dunia. Maka jangan mempercayai mereka pada apa yang Allah amanatkan kepadamu, karena mereka tidak memperhatikan amanat selain menyia-nyiakan dan umat kecuali kerendahan, padahal engkau bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan dan mereka tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, jangan memperbaiki dunia mereka dengan merusak akhiratmu, sesungguhnya manusia paling merugi adalah orang yang menjual akhiratnya dengan dunia orang lain.” Sulaiman berkata, “Engkau benar-benar telah menghunus lisanmu yang ternyata lebih tajam daripada pedangmu.” Dia menjawab, ‘Tidak salah wahai Amirul Mukminin, untuk kebaikanmu bukan untuk keburukanmu.” Sulaiman bertanya, “Adakah hajat pada dirimu yang hendak engkau sampaikan kepada kami?” Dia menjawab, “Kalau khusus untuk diriku bukan umum sebagaimana masyarakat banyak maka tidak.” Kemudian dia bangkit dan keluar. Sulaiman berkata, “Mengagumkan, betapa mulia asal-usulnya, betapa kuat hatinya, betapa derasnya lidahnya, betapa jujur niatnya dan betapa bersih jiwanya. Demikian seharusnya kemuliaan dan akal.”

 

Dikisahkan bahwa Umar bin Abdul Aziz dle berkata kepada Abu Hazim, “Beri aku wejangan.” Abu Hazim menjawab, “Berbaringlah kemudian jadikanlah (pikirkanlah) kematian di kepalamu, kemudian lihatlah apa yang engkau inginkan pada dirimu saat itu, siapkanlah ia dari sekarang, dan apa yang kamu benci untuk dirimu saat itu, tinggalkanlah ia dari sekarang.”

 

Muhammad bin Ka’ab pernah berkata kepada Umar bin Abdul Aziz  “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dunia adalah salah satu pasar. Dari sana orang-orang keluar membawa apa yang memudaratkan dan bermanfaat bagi mereka. Berapa banyak orang yang telah tertipu olehnya seperti apa yang kita alami sekarang ini, sehingga kematian datang kepada mereka dan menyadarkan mereka. Mereka meninggalkannya dalam keadaan tercela, karena mereka tidak mengambil apa pun darinya sebagai bekal akhirat esok dan mereka juga tidak menyiapkan tameng dari apa yang mereka benci. Harta yang mereka kumpulkan dibagi oleh orang-orang yang tidak berterima kasih kepada mereka, mereka kembali kepada Allah yang tidak membiarkan mereka. Sudah sepantasnya bagi kita wahai Amirul Mukminin melihat amal-amal mereka di mana kita berharap bisa seperti mereka lalu kita berusaha seperti mereka padanya. Kita juga patut melihat amal-amal yang kita takutkan atas mereka, selanjutnya kita menahan diri darinya. Bertakwalah kepada Allah, bukalah pintu-pintu, permudah pengawalan, bantulah orang yang terzhalimi dan kembalikanlah hak-hak orang-orang yang diambil secara zhalim. Tiga perkara, barangsiapa memilikinya, maka dia menyempurnakan iman kepada Allah  jika dia ridha, maka keridhaannya tidak memasukkannya ke dalam kebatilan, jika dia marah maka amarahnya tidak mengeluarkannya dari kebatilan, dan jika dia berkuasa, maka dia tidak mengambil apa yang bukan menjadi haknya.”

 

Atha bin Abu Rabah datang kepada Hisyam bin Abdul Malik. Hisyam menyambutnya dan berkata, “Apa hajatmu wahai Abu Muhammad?” Saat itu Hisyam bersama para tokoh yang sedang berbincang, maka mereka diam. Atha’ mengingatkan Hisyam terkait dengan santunan negara untuk penduduk al-Haramain. Hisyam berkata, “Baik. Petugas, tulis santunan untuk orang-orang Makkah dan orang-orang Madinah.” Kemudian Hisyam berkata, “Abu Muhammad, masih ada hajat yang Jain?” Atha’ mengingatkannya dengan orang-orang Hijaz, Najed, dan orang-orang perbatasan. Maka Hisyam melakukan apa yang dia katakan, sehingga Atha’ mengingatkannya agar berbuat baik kepada ahli dzimmah dan tidak membebani mereka melebihi batas kemampuan mereka. Hisyam pun juga menyanggupinya. Kemudian di akhir perbincangan, Hisyam bertanya, “Masih ada hajat?” Atha’ menjawab, “Ada wahai Amirul Mukminin, bertakwalah kepada Allah pada dirimu, karena engkau diciptakan sendiri, mati sendiri, dibangkitkan sendiri, dihisab sendiri, tak seorang pun, demi Allah, dari mereka yang engkau lihat ini yang akan bersamamu.” Maka Hisyam menangis dan Atha~ meninggalkan tempat. Manakala dia sampai di pintu, seorang laki-laki menyusulnya dan memberinya sebuah kantong, isinya tidak diketahui, bisa dirham dan bisa juga dinar. Laki-laki itu berkata, “Amirul Mukminin memberimu ini.” Atha’ berkata,

 

“Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan.” (AIAn‘am: 90).

 

“Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’ara’: 127).

 

Kemudian dia keluar dan demi Allah dia tidak minum seteguk air pun atau lebih dari itu.”

 

Dari Muhammad bin Ali, dia berkata, “Aku pernah hadir di majelis al-Manshur, di antara mereka ada Ibnu Abu Dziib. Gubernur Madinah kala itu adalah al-Hasan bin Zaid. Orang-orang Ghifar datang, mereka mengadukan sebagian sikap al-Hasan bin Zaid kepada al-Manshur, maka al-Hasan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tanyakanlah tentang mereka kepada Ibnu Abu Dzi’ib.” Maka al-Manshur bertanya kepadanya tentang mereka. Maka Ibnu Abu Dzi’ib menjawab, “Aku bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang yang menghancurkan kehormatan orang-orang.” Maka Abu Ja’far (al-Manshur) berkata kepada orang-orang Ghifar, “Kalian sudah dengar?” Maka orang-orang Ghifar itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bertanyalah kepada Ibnu Abu Dziib tentang al-Hasan bin Zaid.” Maka al-Manshur bertanya kepadanya dan dia menjawab, “Aku bersaksi bahwa dia memimpin bukan di atas kebenaran.” Maka al-Manshur berkata, “Engkau mendengar sendiri wahai al-Hasan.” Al-Hasan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tanyakanlah kepadanya tentang dirimu.” Maka al-Manshur bertanya kepadanya, “Apa yang engkau katakan tentang diriku?” Dia menjawab, “Maafkan aku wahai Amirul Mukminin, aku tidak bisa menjawab.” A]Manshur menegaskan, “Demi Allah, katakan!” Maka dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau telah mengambil harta ini bukan dari jalannya yang haq dan memberikannya pada orang-orang yang tidak berhak.” Lalu al-Manshur meletakkan tangan di tengkuk Ibnu Abu Dziib dan berkata, “Demi Allah, kalau bukan karena aku, niscaya orang-orang Persia, Romawi, Dailam dan at-Turk sudah memegang ini darimu.” Ibnu Abu Dzi‘ib menjawab, “Abu Bakar dan Umar sudah memimpin, keduanya memimpin dengan kebenaran, membagi (kekayaan negara) dengan adil dan keduanya sudah memegang tengkuk (menundukkan) orang-orang Persia dan Romawi.” Maka Abu Ja’far membiarkannya, lalu berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak tahu engkau jujur, niscaya aku membunuhmu.” Dia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku lebih tulus menyampaikan kebaikan daripada anakmu, al-Mahdi.”

 

Dari al-Auza’i  beliau berkata, “Saat aku sedang berada di pesisir pantai, al-Manshur mengutus orang memintaku menghadap, maka aku datang. Manakala aku tiba, aku mengucapkan salam, dia memintaku duduk, kemudian dia berkata, ‘Apa yang membuatmu lamban wahai al-Auza’i?’ Aku menjawab, ‘Apa yang engkau inginkan dariku wahai Amirul Mukminin?’ Dia menjawab, ‘Aku ingin mengambil kebaikan dari kalian, menimba faedah dari kalian’.” Aku berkata, “Perhatikanlah wahai Amirul Mukminin, jangan sampai engkau mendengar sesuatu yang baik kemudian engkau tidak mengamalkannya.” Maka ar-Rabi’ menghardiknya dan tangannya meraba pedangnya, maka al-Manshur menghardiknya dan berkata, “Ini majelis diskusi bukan majelis hukuman.” Maka aku menjadi tenang dan bisa berbicara dengan santai. Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Makhul menyampaikan kepadaku dari Athiyah bin Busr bahwa dia berkata, Rasulullah bersabda,

 

‘Pemimpin mana pun yang mati dalam keadaan berlaku curang terhadap rakyatnya, maka Allah mengharamkan surga atasnya.’

 

Wahai Amirul Mukminin, engkau sedemikian sibuk dengan orang-orang khususmu schingga melalaikan orang-orang umum yang telah menjadi rakyatmu, yang berkulit merah atau hitam, yang Muslim atau yang kafir, setiap orang berhak bagian keadilan atasmu. Lalu bagaimana dengan dirimu bila sekelompok orang dari mereka bangkit di belakang sekelompok yang lain, tidak seorang pun dari mereka kecuali dia mengadukan ujian yang telah engkau timpakan kepadanya dan kezhaliman yang engkau giring kepadanya? Wahai Amirul Mukminin, Makhul menyampaikan kepadaku dari Ziyad bin Jariya’h dari Habib bin Maslamah,

 

‘Bahwasanya Rasulullah mempersilakan seorang laki-laki pedalaman untuk membalas terhadap diri beliau karena luka lecet yang beliau timpakan kepadanya tanpa sengaja, yang Jibril datang kepada beliau dan berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah ls tidak mengutusmu sebagai orang yang sombong dan angkuh.’ Maka Nabi memanggil laki-laki pedalaman itu dan beliau bersabda kepadanya, ‘Silakan ambil hakmu dariku. Lalu laki-laki pedalaman itu berkata, ‘Aku sudah menghalalkan bagimu, aku siap korbankan bapak dan ibuku demi engkau, aku tidak akan pernah melakukan hal ini selamanya, sekalipun engkau telah melakukannya terhadap diriku.’ Maka beliau mendoakannya dengan kebaikan.’

 

Maka wahai Amirul Mukminin, tundukkanlah dirimu untuk dirimu sendiri, ambillah jaminan keamanan baginya dari Tuhanmu. Wahai Amirul Mukminin, bila kerajaan itu abadi untuk orang-orang sebelummu, niscaya ia tidak berpindah ke tanganmu, demikian juga ia tidak abadi bagimu sebagaimana ia juga tidak abadi bagi orang lain. Wahai Amirul Mukminin, leluhurmu menafsirkan ayat ini,

 

‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ (Al-Kahfi: 49), beliau berkata, ‘Yang kecil adalah senyuman dan yang besar adalah tertawa, lalu bagaimana dengan apa yang dikerjakan oleh tangan dan diucapkan oleh lidah?’

 

Wahai Amirul Mukminin, telah sampai kepadaku bahwa Umar bin al-Khaththab # berkata, ‘Seandainya seekor domba mati di pinggir sungai Tigris karena tersia-siakan, niscaya aku takut akan diminta pertanggungjawaban tentangnya,’ lalu bagaimana dengan orang yang tidak mendapatkan keadilanmu padahal dia ada di sekitarmu? Wahai Amirul Mukminin, leluhurmu menafsirkan ayat ini,

 

‘Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu.’ (Shad: 26), beliau berkata, ‘(Maknanya), apabila dua orang yang berseteru duduk di depanmu dan kamu cenderung kepada salah satu dari keduanya, maka jangan berharap dalam jiwamu untuk memberikan hak kepadanya, sehingga menang terhadap seterunya tersebut, akibatnya Aku mencabutmu dari kenabianKu, kemudian engkau tidak menjadi khalifahKu. Hai Dawud, Aku menjadikan utusan-utusanKu kepada hamba-hambaku seperti penggembala unta, karena mereka mengetahui bagaimana menggembala dan memimpin dengan lemah lembut, sehingga bisa merawat yang sakit dan membawa yang kurus ke padang rumput dan mata air.’

 

Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya engkau telah diuji dengan suatu urusan yang seandainya ia ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, niscaya mereka akan menolak dan khawatir memikulnya. Wahai Amirul Mukminin, Yazid bin Jabir menyampaikan kepadaku dari Abdurrahman bin Abu Amrah al-Anshari bahwa Umar bin al-Khaththab mengangkat seorang Jaki-laki dari kalangan Anshar sebagai amil zakat. Beberapa hari Umar melihatnya belum juga berangkat. Umar bertanya kepadanya, ‘Apa yang membuatmu belum juga berangkat menunaikan tugasmu? Apakah engkau tidak tahu bahwa engkau mendapatkan pahala para mujahid di jalan Allah?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Umar bertanya, ‘Bagaimana demikian?’ Dia menjawab, ‘Karena telah sampai kepadaku sabda Rasulullah

 

‘Tidaklah seorang pemimpin memegang sebagian dari urusan manusia kecuali di Hari Kiamat dia datang dengan tangan terbelenggu ke lehernya, dia akan diberhentikan di jembatan Jahanam, jembatan tersebut berguncang yang membuat setiap anggota tubuhnya jatuh dari tempatnya, kemudian ia dikembalikan lalu dihisab, bila dia baik maka dia selamat dengan kebaikannya, sebaliknya bila dia buruk maka jembatan tersebut jebol dan dia terjatuh ke dalam neraka selama 70 tahun.’

 

Umar bertanya, ‘Dari siapa engkau mendengar hadits itu?’ Dia menjawab, ‘Dari Abu Dzar dan Salman’ Lalu Umar memanggil keduanya dan bertanya kepada keduanya, keduanya menjawab, ‘Benar, kami mendengar dari Rasulullah.’ Umar berkata, ‘Duhai Umar, lalu siapa yang memegang kepemimpinan dengan apa yang ada padanya?’ Maka Abu Dzar berkata, ‘Orang yang Allah potong hidungnya dan tempelkan pipinya di tanah.’ Maka al-Manshur mengambil kain dan menutupkannya pada wajah dan dia menangis sesenggukan sampai aku pun ikut menangis. Kemudian aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, leluhurmu al-Abbas pernah meminta kekuasaan Makkah atau Tha’if atau Yaman, maka Nabi bersabda kepadanya, ‘Wahai pamanku, satu jiwa engkau selamatkan lebih baik daripada kekuasaan yang tidak engkau hitung (hinggakan).’

 

Ini adalah nasihat Nabi kepada paman beliau dan bentuk kasih sayang beliau kepadanya. Nabi juga mengabarkan kepadanya bahwa beliau tidak bisa membantunya sedikit pun, yang Allah telah mewahyukan kepadanya,

 

‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.’ (AsySyu’ara’: 214).

 

Lalu beliau bersabda,

 

‘Wahai Abbas, wahai Shafiyah, wahai Fathimah, sesungguhnya aku tidak bisa membantu kalian dari hukuman Allah sedikit pun, bagiku amalku dan bagi kalian amal kalian.’

 

Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Tidak bisa menegakkan kehidupan manusia kecuali orang yang berakal lurus, tidak takut di jalan Allah terhadap celaan orang lain…” dia (al-Auza’i) menyebutkan perkataan selengkapnya kepada al-Manshur.

 

Kemudian dia (al-Auza’i) melanjutkan, “Itu adalah sebuah nasihat dan as-salamu alaikum.” Kemudian dia bangkit. Al-Manshur bertanya, “Hendak ke mana?” Dia menjawab, “Ke tempat tinggalku wahai Amirul Mukminin bila engkau memperkenankan.” Al-Manshur berkata, “Aku mengizinkanmu, aku berterima kasih atas nasihatmu, aku menerimanya dengan tulus, Allah Dzat yang memberi taufik menuju kebaikan, menolong menujunya, kepadaNya aku memohon pertolongan, kepadaNya aku bertawakal, Dia adalah Pencukupku dan sebaik-baik tempat bergantung, jangan membiarkanku tanpa nasihat seperti ini darimu, karena engkau adalah orang yang kata-katanya dapat diterima dan nasihatnya tidak ada keraguan.”

 

Dia berkata, “Aku lakukan insya Allah.” Lalu al-Manshur memberinya harta sebagai bekal kepergiannya namun dia tidak menerimanya, dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, saya tidak patut menjual nasihatku dengan harta dunia.” Maka al-Manshur mengetahui kepergiannya dan tidak kuasa menahannya.

 

Manakala ar-Rasyid menunaikan ibadah haji, salah seorang pengawalnya berkata kepadanya, “Hai Amirul Mukminin, Syaiban juga menunaikan ibadah haji.” Maka dia berkata, “Minta dia datang kepadaku.” Maka mereka membawa Syaiban. Ar-Rasyid berkata, “Wahai Syaiban, berilah aku nasihat.” Syaiban berkata, “Amirul Mukminin, aku orang yang tidak fasih berbicara, aku tidak bisa bahasa Arab dengan baik. Datangkan kepadaku orang yang memahami kata-kataku sehingga aku bisa berbincang dengannya.” Lalu seorang laki-laki didatangkan kepadanya. Syaiban berkata dengan bahasa Nabathi, “Katakan kepada Amirul Mukminin, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya apa yang menakut-nakutimu sebelum engkau tiba di tempat yang aman lebih tulus nasihatnya bagimu daripada orang yang memberimu keamanan sebelum engkau tiba di tempat yang engkau takuti’.” Dia bertanya, “Maksudnya apa?” Dia menjawab, “Katakan, ‘Wahai Amirul Mukminin, orang yang berkata kepadamu, ‘Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya engkau bertanggung jawab atas umat ini. Allah menyerahkan mereka kepadamu dan mengamanatkan urusan mereka kepadamu, engkau bertanggung jawab, maka berlaku adillah pada rakyat, berbagilah dengan adil dan berangkatlah bersama pasukan, bertakwalah kepada Allah pada dirimu.’ Inilah yang menakut-nakutimu, bila engkau tiba di tempat aman, maka engkau benar-benar aman. Ini lebih tulus nasihatnya daripada orang yang berkata, ‘Kalian adalah keluarga yang diampuni, kalian adalah kerabat Nabi # dan dalam naungan syafa’atnya.’ Orang itu terus menjaminmu aman sampai engkau tiba di tempat yang engkau takuti dan engkau pun celaka’.” Maka ar-Rasyid menangis sampai orang-orang di sckitarnya merasa kasihan kepadanya. Kemudian dia berkata, “Teruskan.” Syaiban menjawab, “Itu sudah cukup.”

 

Dari Alqamah bin Martsad dia berkata, “Manakala Umar bin Hubairah tiba di lrak, dia mengundang al-Hasan dan asy-Sya’bi, keduanya ditempatkan di sebuah rumah, keduanya tinggal di sana selama kurang lebih sebulan, kemudian Jbnu Hubairah datang kepada keduanya dan duduk dengan hormat di depan keduanya, dia berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin Yazid bin Abdul Malik menulis sebuah surat kepadaku, aku tahu bahwa melaksanakan isinya sama dengan kebinasaan. Jika aku menaatinya, maka aku mendurhakai Allah. Jika aku tidak mematuhinya, maka aku menaati Allah. Menurut kalian apakah aku mempunyai alasan yang dibenarkan seandainya aku mengikutinya?” Al-Hasan menjawab, ‘Wahai Abu Amr, jawablah panggilan al-Amir.’ Maka asy-Sya’bi berbicara, dia berkata lunak cenderung kepada pendapat Ibnu Hubairah, seolah-olah dia memakluminya. Maka Ibnu Hubairah bertanya kepada al-Hasan, ‘Bagaimana pendapatmu wahai Abu Sa’id?’ Maka al-Hasan menjawab, ‘Wahai Umar bin Hubairah, sudah dekat saatnya kedatangan seorang malaikat dari malaikat-malaikat Allah, keras dan kasar, tidak mendurhakai perintah Allah, dia mengeluarkanmu dari luasnya istanamu ke sempitnya kuburmu. Wahai Umar bin Hubairah, bila engkau bertakwa kepada Allah, maka Dia akan melindungimu dari Yazid bin Abdul Malik dan sebaliknya Yazid bin Abdul Malik tidak mampu menjagamu dari Allah. Wahai Umar bin Hubairah, jangan merasa aman bila Allah melihatmu sedang melakukan perbuatan yang sangat buruk dalam rangka mematuhi Yazid bin Abdul Malik, akibatnya Dia bisa menutup ampunanNya di depanmu. Wahai Umar bin Hubairah, sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang dari generasi pertama umat ini, mereka berpaling dari dunia padahal ia datang kepada mereka lebih keras daripada keinginan kalian kepadanya padahal ia menjauh dari kalian. Wahai Umar bin Hubairah, sesungguhnya aku memperingatkanmu terhadap sebuah pertemuan yang Allah telah memperingatkanmu tentangnya, Dia berfirman,

 

‘Orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.’ (Ibrahim: 14).

 

Wahai Umar bin Hubairah, bila engkau bersama Allah dengan menaatiNya, niscaya Dia mencukupkanmu dari Yazid bin Abdul Malik, sebaliknya bila engkau bersama Yazid bin Abdul Malik dalam mendurhakai Allah, maka Allah akan menjadikanmu bersandar kepadanya.’ Maka Umar bin Hubairah menangis lalu berdiri sambil terus menangis.

 

Esok harinya tiba, keduanya diizinkan pulang dan diberi hadiah. Hadiah al-Hasan lebih banyak daripada hadiah asy-Sya’bi. Kemudian asy-Sya’bi keluar ke masjid dan berkata, ‘Wahai manusia, barangsiapa di antara kalian bisa mementingkan Allah cls di atas makhlukNya, maka silakan melakukan. Demi Allah yang jiwaku berada di TanganNya, aku bukan tidak tahu apa yang diketahui oleh al-Hasan, tetapi aku mencari muka Ibnu Hubairah, maka Allah menjauhkanku darinya’.”

 

 Muhammad bin Wasi’  datang kepada Bilal bin Abu Burdah di suatu hari yang panas, saat itu Bilal ada di sebuah rumah, di sisinya terdapat air dingin. Maka dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, bagaimana menurutmu rumah kami ini?” Muhammad menjawab, “Rumah yang bagus, namun surga lebih bagus dan mengingat neraka membuat lupa darinya.” Bilal bertanya, “Apa pendapatmu tentang takdir?” Muhammad menjawab, “Tetangga-tetanggamu adalah penghuni kubur, pikirkanlah mereka, memikirkan mereka membuatmu tidak sempat memikirkan takdir.” Bilal berkata, “Berdoalah untukku.” Muhammad menjawab, “Apa yang engkau lakukan dengan doaku? Sementara di pintumu ada ini dan ini, mereka berkata bahwa engkau menzhalimi mereka, doa mereka diangkat sebelum doaku. Jangan berbuat zhalim, dan engkau tidak membutuhkan doaku.”

 

Ini adalah beberapa nasihat ulama kepada para penguasa. Barangsiapa ingin tambahan maka silakan membuka kitab al-Mishbah al-Mudhi .

 

Demikianlah jalan dan kebiasaan yang ditempuh oleh para ulama dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar, mereka tidak mempedulikan kemarahan para penguasa karena mereka mendahulukan hak Allah thls di atas sikap ketakutan kepada mereka. Hanya saja para penguasa masih mengakui hak ilmu dan keutamaannya, maka mereka bisa menerima pahitnya nasihat para ulama kepada mereka. Sekarang, dalam hemat saya lebih baik menjauh dari penguasa, bila bertemu pun, maka cukup dengan kata-kata dan nasihat yang lunak.

 

Dan hal itu mempunyai dua sebab:

 

Pertama: Berkaitan dengan orang yang memberi nasihat sendiri, yaitu maksudnya yang tidak baik dan kecenderungannya kepada dunia dan riya’’, sehingga nasihatnya tidak ikhlas.

 

Kedua: Berkaitan dengan penerima nasihat, cinta dunia sudah menyibukkan banyak orang sehingga mereka melupakan akhirat, mereka mengagungkan dunia sehingga hal itu melupakan mereka untuk menghormati ulama, seorang Mukmin tidak patut menghinakan dirinya.

 

Ini adalah akhir kitab amar ma’ruf dan nahi mungkar dan sebelum itu penulis menyebutkan sebuah kitab tentang as-Sama’ (mendengar nyanyian) dan al-Wajd (cinta), kami sebutkan sebagian darinya secara ringkas.

 

[KITAB AS-SAMA’ (MENDENGAR NYANYIAN) DAN AL-WAJD (CINTA)]

 

PASAL HUKUM MENDENGAR NYANYIAN

 

Ketahuilah bahwa yang kami maksudkan dengan as-Sama’ adalah mendengar nyanyian. Ini termasuk sarana iblis paling besar untuk merusak hati. Dengannya iblis menipu banyak ulama dan ahli zuhud sekalipun, terlebih orang awam. Sampai-sampai mereka mengaku hatinya hadir bersama Allah saat mendengar nyanyian yang berdendang. Mereka mengira kegembiraan hati dan goyangannya yang diakibatkan nyanyian adalah sebuah wajd (cinta) yang berkenaan dengan akhirat.

 

Bila engkau ingin mengetahui kebenaran, maka lihatlah generasi pertama umat ini. Adakah Rasulullah dan para sahabat beliau melakukan hal itu? Kemudian lihatlah kepada perkataan para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para fuqaha umat ini seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, mereka semuanya mencela nyanyian, sampai-sampai Imam Malik berkata, “Bila seseorang membeli hamba sahaya wanita dan ternyata dia adalah seorang penyanyi, maka dia berhak mengembalikannya.” Imam Malik juga ditanya tentang nyanyian, maka beliau menjawab, “Hanya orang-orang fasik yang melakukannya.”

 

Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak dan seorang hamba sahaya wanita penyanyi, dan anak tersebut harus menjual hamba sahaya karena kebutuhan? Maka Ibnu Hanbal menjawab, “Dijual sebagai hamba sahaya biasa bukan sebagai hamba sahaya penyanyi.” Imam Ahmad ditanya, “Kalau dijual sebagai penyanyi maka harganvya bisa 30 ribu, tetapi bila sebagai hamba sahaya biasa maka hanya berharga 20 ribu.” Imam Ahmad menjawab, “Harus dijual sebagai hamba sahaya biasa.”

 

Para ulama fikih sepakat melarang keras nyanyian. Di kalangan ulama muta akhkhirin ada Abu ath-Thayyib ath-Thabari, salah seorang pembesar madzhab asy-Syafi’i, beliau menyusun sebuah kitab dan di dalamnya beliau melarang nyanyian dengan keras.

 

Hanya orang-orang yang terfitnah yang membolehkannya. Mereka berkata (berdalih), “Sebagian salaf membolehkannya. Ahmad bin Hanbal dis pernah mendengar ucapan penyanyi dan berkata, ‘Ini tidak mengapa’.”

 

Orang yang berfatwa membolehkan harus memperhatikan apa itu sebenarnya; karena itu tidak lain kecuali syair-syair zuhud dan yang sepertinya tanpa memukul gendang atau alat musik yang membuat bergoyang, tidak ditambah dengan tepuk tangan dan tarian.

 

Dibawa pada makna inilah hadits Aisyah’ tentang dua anak perempuan yang menyanyi di depannya, mereka menyanyikan apa yang terjadi pada orang-orang Anshar dalam perang Bu’ats, dan nyanyian keduanya tidak membuat bergoyang.

 

Sudah maklum bahwa di kalangan generasi pertama umat ini belum ada rebana, simbal, seruling, dan syair yang lembut yang dibuat-buat oleh orang-orang yang datang sesudah mereka. Semua ini membangkitkan dan menggugah hawa nafsu yang terpendam dalam jiwa, lalu orang bodoh menyangka bahwa hal itu berkaitan dengan akhirat; mana mungkin?

 

Bila mereka berkata, “Ini termasuk permainan yang dibolehkan, kita bersantai-santai dengannya.” Akan tetapi mereka menyangkanya sebagai ibadah. Mereka menamakan bergoyang yang dipandang buruk oleh akal sebagai kecintaan (kepada Allah). Padahal bergoyang melahirkan sesuatu yang tidak halal berupa merobek pakaian dan bergerak sempoyongan seperti mabuk, dan semua itu jauh dari kehidupan as-Salaf dan tidak samar bahwa ia menyimpang dari jalan yang benar. Tidak sepantasnya manusia menjatuhkan dirinya dalam kesalahan.

 

Sesungguhnya kecintaan kepada Allah yang benar adalah kecintaan hati saat mendengar bacaan al-Qur‘an dan nasihat yang baik, saat itu muncul dari dalam hati rasa takut terhadap ancamanNya, kerinduan untuk mendapatkan janjiNya, dan penyesalan atas kelalaian. Semua gerakan batin ini mengharuskan ketenangan lahir bukan malah bergoyang-goyang dan bertepuk tangan. Al-Qur‘an, nasihat yang baik, dan syair-syair zuhud masih sangat luas sehingga kita sama sekali tidak perlu menghadirkan hati ke pintu Allah dengan menyebut Salma dan Su’da (dalam nyanyian). Kami tidak memungkiri bila di sebagian syair tersebut terdapat makna yang benar, namun kebanyakan darinya mengajak hati untuk cenderung kepada hawa nafsu dunia.

 

Perumpamaan orang yang ingin mengambil akhirat darinya adalah seperti orang yang berkata, “Aku melihat kepada yang baik sehingga aku mengagumi buatan Yang Mahakuasa.” Orang seperti ini telah keliru jalan, karena saat direnungkan, apa yang ditimbulkan oleh syahwat dan hawa nafsu justru mengotori pikiran dan menyibukkannya, karena itu kami tidak membolehkannya. Kami katakan, “Perhatikanlah apa yang jernih yang tidak ada noda yang mengeruhkannya, yaitu Firman Allah,

 

“Maka apakah mereka tidak melihat kepada langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya.” (Qaf: 6).

 

Siapa yang berkata, “Apa yang berpengaruh pada orang lain tidak berpengaruh terhadap diriku, dan tabiatku tidak terpacu kepada hawa nafsu.” Maka orang ini menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan tabiat, maka pernyataannya tidak perlu dilihat. Aku sudah membongkar semua keburukan ini secara mendalam dalam kitabku yang berjudul Talbis Iblis, maka aku tidak memandang perlu berpanjang-panjang di sini. Wallahu a’lam.

 

Bab

ADAB KEHIDUPAN DAN AKHLAK-AKHLAK KENABIAN

 

Ketahuilah bahwa adab-adab lahir adalah tanda bagi adab-adab batin. Gerak-gerik anggota badan adalah buah dari apa yang ada di dalam hatinya. Amal perbuatan adalah hasil dari akhlak, adab adalah percikan pengetahuan, rahasia hati adalah akar dan sumber perbuatan. Cahaya hati adalah apa yang memancar melalui perbuatan lahiriah, sehingga menghiasi dan memperindahnya.

 

Barangsiapa yang hatinya tidak khusyu’ maka anggota tubuhnya juga tidak khusyu’. Barangsiapa yang dadanya bukan pelita cahaya Ilahiyah, maka lahirnya tidak akan memancarkan keindahan adab nabawiyah.

 

Kami telah menyebutkan beberapa adab yang tidak perlu diulang lagi di sini. Karena itu dalam bab ini kami membatasi diri pada adab dan akhlak Rasulullah #8 sehingga kami bisa menyatukan antara kumpulan adab dan kekuatan iman dengan menyaksikan akhlak-akhlak beliau yang mulia yang satu akhlaknya saja sudah menunjukkan bahwa beliau adalah makhluk yang paling mulia, paling tinggi kedudukannya, dan paling agung derajatnya, lalu bagaimana dengan keseluruhannya?

 

Aisyah ditanya tentang akhlak beliau, maka dia menjawab,

 

 

” Akhlak beliau adalah al-Qur an; beliau marah karena al-Qur’an marah, beliau ridha karena al-Qur-an ridha.”

 

Dan karena akhlak beliau telah sempurna, Allah  menyanjung beliau dengan FirmanNya,

 

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4). Mahasuci Allah yang telah memberi kemudian memujji.

 

Berikut Ini adalah Sekumpulan Akhlak dan Sifat Beliau yang Mulia:

 

– Rasulullah adalah orang yang paling santun, paling dermawan, dan paling penuh kasih.

 

– Beliau menjahit sandal sendiri, menambal baju dan membantu pekerjaan rumah keluarga beliau.

 

– Beliau lebih malu daripada anak gadis di dalam pingitannya.

 

– Beliau menjawab undangan hingga undangan hamba sahaya sekalipun, menjenguk orang sakit, berjalan sendiri, berkendara dan membonceng seseorang, menerima, memakan dan membalas hadiah, tidak makan sedekah, (dan saking sederhananya hidup beliau) pernah beliau tidak memiliki kurma paling jelek sekalipun untuk mengganjal perut beliau, tidak pernah kenyang oleh roti gandum selama tiga hari berturut-turut.

 

– Beliau pernah mengikat perutnya dengan batu untuk menahan lapar.

 

– Beliau makan apa yang ada, tidak pernah mencela suatu makanan sekalipun.

 

– Beliau tidak makan dengan bersandar (berbaring) dan beliau makan apa yang ada di dekatnya.

 

– Makanan yang paling beliau sukai adalah daging, bagian kambing yang paling beliau sukai adalah sampil, sayuran yang paling beliau sukai adalah labu, kuah yang paling beliau sukai adalah cuka, dan kurma yang beliau sukai adalah ajwah.

 

– Beliau memakai pakaian yang tersedia, terkadang dengan kain burdah, hibarah dan terkadang jubah wol.

 

– Terkadang beliau mengendarai unta, terkadang bagal, terkadang keledai dan terkadang berjalan tanpa alas kaki.

 

– Beliau menyukai wewangian dan membenci bau yang tidak sedap.

 

– Beliau memuliakan orang-orang mulia, mendekatkan orang-orang berkedudukan, tidak berlaku kasar kepada seorang pun, menerima alasan orang lain, bergurau namun tidak berkata kecuali yang benar, tertawa tanpa terbahak-bahak, tidak ada waktu beliau yang berlalu tanpa amal karena Allah atau perbuatan yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan diri.

 

– Tidak pernah melaknat seorang wanita atau pembantu sekalipun, tidak pernah memukul seseorang dengan tangannya sekalipun, kecuali bila beliau dalam keadaan berjihad di jalan Allah. Beliau tidak membalas untuk diri beliau sendiri, kecuali bila batasan-batasan Allah dilanggar.

 

– Beliau tidak diminta memilih antara dua perkara kecuali beliau memilih yang lebih mudah dari keduanya, kecualijika perbuatan dosa atau pemutusan silaturahim, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya.

 

– Anas berkata,

 

“Aku melayani Nabi selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata kepadaku, ‘Ah’, sama sekali. Beliau juga tidak pernah berkata karena sesuatu yang aku lakukan, ‘Mengapa kamu melakukannya?’ Dan beliau tidak pernah berkata karena aku tidak melakukan, ‘Mengapa kamu tidak melakukannya?'”

 

– Di antara sifat beliau yang disebutkan dalam Taurat adalah Muhammad adalah Rasulullah, hambaKu yang terpilih, tidak kasar, tidak keras, tidak berteriak di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan bersikap lapang dada.

 

– Diantara akhlaknya, beliau memulai mengucapkan salam kepada siapa yang ditemui, dan jika beliau harus pergi untuk sebuah keperluan, maka beliau sabar bersamanya sehingga orang tersebut yang meninggalkan tempat (lebih dahulu), dan tidak seorang pun yang menjabat tangan Nabi lalu beliau melepaskan tangannya kecuali orang tersebut yang melepaskannya.

 

– Beliau duduk di majelis di tempat yang beliau dapatkan, bercampur dengan para sahabat seolah-olah beliau adalah salah seorang dari mereka. Jika orang asing datang, dia tidak mengetahui beliau sehingga dia harus bertanya tentang beliau.

 

– Banyak diam, bila berbicara maka beliau tidak berbicara cepat, sebaliknya beliau berbicara dengan pelan dan mengulanginya agar dipahami.

 

– Beliau memaafkan sekalipun mampu membalas, tidak menghadap seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya.

 

– Beliau adalah manusia yang paling jujur kata-katanya, tepat memenuhi janji, paling lembut sifatnya, paling baik pergaulannya. Barangsiapa melihat sepintas, maka dia akan segan kepada beliau. Barangsiapa bergaul dengan beliau, maka dia mencintai beliau. Bila para sahabat berbicara tentang urusan dunia, maka beliau berbicara bersama mereka, mereka memperbincangkan urusan jahiliyah dan mereka tertawa namun beliau hanya tersenyum.

 

– Beliau adalah orang yang paling berani. Sebagian sahabat berkata, “Bila perang berkecamuk dengan sengit, maka kami berlindung dengan Rasulullah #s.”

 

– Beliau tidak jangkung dan tidak pula pendek, tetapi sedang.

 

– Beliau berkulit bersih, tidak coklat.

 

– Berambut bagus, tidak lurus dan tidak keriting, rambut beliau sampai daun telinga.

 

– Kening beliau lebar, alis beliau melengkung, kedua matanya indah, berbulu mata lentik, berhidung mancung, pipinya empuk, jenggotnya lebat, lehernya seperti leher boneka, berdada lapang, perut dan dadanya rata, telapak tangannya lebar, kedua pergelangan tangannya panjang, telapak tangannya lebih lembut dari sutra.

 

Di Antara Mukjizat Beliau:

 

Barangsiapa menyaksikan kehidupan beliau, mendengar berita tentang beliau yang mencakup akhlak, perbuatan, adab, tindakan beliau demi kemaslahatan manusia, petunjuk beliau yang baik dalam merinci ajaran-ajaran syariat yang orang-orang cerdas dan orang-orang fasih tidak mampu menangkap makna-makna yang cermat sepanjang umur mereka, niscaya dia tidak meragukan lagi bahwa semua itu tidak beliau dapatkan dengan belajar. Semua itu tidak bisa dibayangkan kecuali dengan pemberian dan pertolongan dari atas langit dan kekuatan Nahiyah. Semua itu tidak mungkin dilakukan oleh pembual atau pendusta, sebaliknya sifat-sifat dan kehidupan beliau merupakan bukti yang jelas atas kejujuran beliau.

 

Di antara mukjizat beliau dan bukti paling nyata adalah alQur‘an yang mulia yang seluruh makhluk tidak mampu mendatangkan yang sepertinya. Mukjizat setiap nabi berlalu dengan kewafatannya, sementara al-Qur an ini tetap abadi selamanya.

 

Di antara mukjizat beliau, terbelahnya rembulan, terpancarnya air dari jari-jari beliau, memberi makan orang-orang dalam jumlah banyak dengan makanan yang sedikit, beliau melempar beberapa kerikil dan mengenai banyak orang, tonggak pohon kurma merintih kepada beliau seperti unta hamil, beliau mengabarkan hal-hal ghaib lalu ia terjadi sebagaimana yang beliau ucapkan, beliau mengembalikan mata Qatadah dengan tangan beliau, sehingga mata itu menjadi lebih baik daripada sebelumnya, dan juga meludahi mata Ali yang sedang sakit dan sembuh seketika.

 

Dan masih banyak lagi mukjizat-mukjizat beliau yang tersebar dan tidak mungkin dapat disembunyikan. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua untuk meneladan akhlak-akhlak dan sifat-sifat beliau, sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Mengabulkan doa,

 

“Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.” (Ash-Shaffat: 182, dan al-An’am: 45).

 

Ketahuilah bahwa anggota tubuh manusia yang paling mulia adalah hatinya. Hatilah yang mengetahui Allah, yang beramal untukNya, yang berusaha menujuNya, yang mendekatkan dan mengetahui apa yang ada di sisiNya. Sebaliknya anggota badan hanyalah para pengikut dan pelayan bagi hati. Hati menggunakannya seperti para raja menggunakan bawahannya. Barangsiapa mengetahui hatinya, maka dia mengetahui Tuhannya, kebanyakan manusia tidak mengetahui jiwa dan hatinya sendiri,

 

“Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24). Allah menghalangi hati manusia dengan menutupinya sehingga ia tidak mengenal Allah dan tidak merasa diawasi olehNya. Mengenal Allah dan Sifat-sifatNya oleh hati adalah dasar agama dan landasan bagi jalan orang-orang yang berjalan kepada akhirat.

 

PASAL

[Setan Menguasai Hati dengan Rasa Waswas]

 

Ketahuilah bahwa hati dengan dasar fitrahnya menerima hidayah, dengan syahwat dan hawa nafsu yang dititipkan padanya, ia menyimpang dari hidayah tersebut. Saling tarik menarik antara bala tentara malaikat dengan bala tentara setan terus berlangsung hingga hati terbuka untuk salah satu dari keduanya sehingga ia pun kokoh dan mantap bersemayam di sana. Yang kedua mampu menerobos sekadar merampas, sebagaimana Firman Allah,

 

“Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi.” (An-Nas: 4).

 

Ia adalah setan yang apabila manusia mengingat Allah, maka ia bersembunyi. Jika terjadi kelalaian, maka ia datang. Bala tentara setan tidak terusir dari hati kecuali dengan berdzikir kepada Allah. Tidak ada tempat bagi setan selama masih ada dzikir.

 

[Perincian Jalan-Jalan Masuk Setan ke dalam Hati]

 

Ketahuilah bahwa hati itu seperti benteng dan setan adalah musuh yang ingin menyusup ke dalam benteng, memiliki dan menguasainya. Tidak mungkin dapat menjaga benteng kecuali dengan menjaga pintu-pintunya. Orang yang tidak mengetahuinya tidak mungkin menjaga pintu-pintu tersebut. Dan tidak dapat mencegah setan kecuali mengetahui pintu-pintunya. Jalan-jalan masuk dan pintu-pintu setan adalah sifat-sifat hamba itu sendiri, dan itu berjumlah banyak. Di sini kami akan menyebutkan pintu-pintu besar yang merupakan jalan-jalan utama yang tidak pernah sempit sebanyak apa pun bala tentara setan.

 

Di antara pintu-pintu masuk setan yang besar pada diri manusia adalah hasad dan ambisi. Bila seorang hamba ambisius dalam meraih sesuatu, maka ambisinya menjadikannya buta dan tuli, menutup cahaya bashirahnya (mata batinnya) yang dengan itu dia mengetahui jalan-jalan masuk setan.

 

Demikian juga bila seorang hamba memelihara sifat hasad, saat itu setan mempunyai peluang. Maka setan akan membuat indah di depan mata orang yang ambisius segala sesuatu yang mengantarkan kepada hawa nafsunya sekalipun mungkar atau keji.

 

Di antara pintu setan yang besar lainnya adalah amarah, syahwat, dan emosional. Amarah adalah bencana bagi akal, bila pasukan akal melemah, maka saat itu bala tentara setan akan menyerang dan mempermainkan manusia.

 

Diriwayatkan bahwa iblis berkata, “Bila seorang hamba mudah marah, maka kami membolak-baliknya seperti anak-anak membolakbalik bola.”

 

Di antara pintunya, suka menghias rumah, baju dan peralatan. Setan mengajak menghias rumah, memperindah atapnya dan dindingnya, menghias pakaian, perabotan, sechingga manusia akan kehilangan umurnya (waktunya) hanya untuk itu.

 

Di antara pintunya, kenyang, karena kenyang menguatkan syahwat dan menyibukkan dari ketaatan.

 

Di antara pintunya, tamak kepada orang lain. Barangsiapa tamak kepada seseorang, maka dia akan menyanjungnya secara berlebihan dengan sifat yang tidak dimilikinya dan menjilat terhadapnya, dan dia tidak akan beramar ma’ruf dan bernahi mungkar kepadanya.

 

Di antara pintunya, tergesa-gesa dan tidak berhati-hati. Nabi bersabda,

 

” Ketergesa-gesaan adalah dari setan dan ketenangan (penuh perhitungan) adalah dari Allah.”

 

Di antara pintunya, mencintai harta, jika ia bercokol dalam hati, maka ia merusaknya dan membuatnya mencari harta dari jalan yang tidak halal, membawanya untuk bakhil dan takut miskin, akibatnya dia enggan menunaikan hak-hak yang wajib.

 

Di antara pintunya, membawa orang-orang awam untuk bersikap fanatik kepada madzhab-madzhab dan tidak mengamalkan konsekuensinya.

 

Di antara pintunya, membawa orang-orang awam untuk memikirkan Dzat Allah dan Sifat-sifatNya, merenungkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal mereka sehingga membuat mereka justru raguragu terkait dengan dasar agama.

 

Di antara pintunya, buruk sangka terhadap kaum Muslimin. Barangsiapa memvonis seorang Muslim berdasarkan dugaan buruknya, maka dia akan merendahkannya dan melepaskan lidahnya untuk menggunjingnya, dan melihat dirinya lebih baik. Dugaan buruk hanyalah keluar dari penduga yang busuk, karena seorang Mukmin akan selalu mencari celah untuk mencari alasan yang memungkinkan bagi Mukmin lainnya, sedangkan orang munafik justru mencari-cari aib-aibnya.

 

Seseorang harus menjaga diri dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang menimbulkan kecurigaan pada dirinya.

 

Ini adalah keterangan singkat tentang jalan-jalan masuk setan (kepada diri manusia).

 

Terapi penyakit ini adalah menutup jalan-jalan tersebut dengan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Pembahasan tentang sifatsifat ini akan hadir secara terperinci, insya Allah.

 

Bila hati dibersihkan dari akar sifat-sifat tercela ini, maka yang tersisa bagi setan pada hati hanya sebatas melintas dan numpang lewat tanpa bersemayam, dan hal itu bisa diatasi dengan berdzikir kepada Allah csi dan memakmurkan hati dengan ketakwaan.

 

Permisalan setan seperti anjing lapar yang mendekat kepadamu, Jika engkau tidak memegang daging dan roti, maka ia akan menjauh darimu hanya dengan menghardiknya, namun jika engkau memegang roti dan daging dan ia lapar, maka sekadar kata-kata tidak akan membuatnya pergi. Demikian juga dengan hati yang tidak ada makanan setan, dengan sekadar dzikir, ia akan pergi menjauh.

 

Hati yang dikuasai oleh hawa nafsu, maka setan menyisihkan dzikir ke pinggiran hati sehingga dzikir tidak bersemayam kokoh di relung hatinya, karena tempat ini sudah diisi oleh setan.

 

Jika engkau ingin buktinya, maka perhatikanlah hal ini dalam shalatmu. Perhatikan bagaimana setan berbicara dengan hatimu mengingatkan pasar, hasil para pedagang, dan urusan-urusan dunia lainnya.

 

[Bisikan Hati Dimaafkan]

 

Ketahuilah bahwa bisikan hati itu dimaafkan, dan termasuk dalam hal ini, apa yang ingin engkau lakukan. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka ditulis satu kebaikan untuknya. Jika dia meninggalkannya karena suatu halangan, maka kita berharap ia diampuni, kecuali sudah menjadi tekad bulat, karena tekad berbuat salah adalah suatu dosa, dalilnya adalah sabda Nabi,

 

“Bila dua orang Muslim berhadap-hadapan dengan pedang mereka masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama di neraka.” Rasulullah ditanya, “Mengapa yang terbunuh juga masuk neraka?” Beliau menjawab, “Karena dia juga bertekad membunuh lawannya.”

 

Bagaimana tekad berbuat tidak diperhitungkan sementara amalamal itu tergantung niatnya? Bukankah kesombongan, ujub dan riya’” adalah perkara-perkara batin? Seandainya seseorang melihat wanita asing di atas kasurnya, dia menyangkanya istrinya lalu dia menggaulinya, maka dia tidak berdosa, bila dia melihat istrinya dan menyangkanya wanita asing lalu menggaulinya, maka dia berdosa. Semua ini berkaitan dengan tekad hati.

 

PASAL

[Cepatnya Hati Berbolak-Balik]

 

Diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi berdoa,

 

“Wahai Dzat yang membolak-balik hati, teguhkanlah hati kami di atas agamaMu.”

 

(Dalam hadits lain),

 

“Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan kepadaMu.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Perumpamaan hati adalah seperti bulu di tanah padang pasir yang dibolak-balik oleh angin,”

 

Ketahuilah bahwa hati terbagi menjadi tiga ditinjau dari keteguhannya di atas kebaikan, keburukan dan terombang-ambingnya ia di antara keduanya.

 

Pertama: Hati yang diisi dengan ketakwaan, disucikan dengan pendidikan, dibersihkan dari akhlak buruk, maka hati tersebut terbuka dorongan-dorongan kebaikan dari sumber yang tersembunyi, dan malaikat menolongnya dengan hidayah.

 

Kedua: Hati yang tercampakkan, sarat dengan hawa nafsu, dikotori oleh perbuatan-perbuatan busuk, dinodai oleh akhlak-akhlak tercela. Setan menguasai dengan kuat karena tempatnya luas, kekuatan iman melemah, hati dipenuhi oleh asap hawa nafsu, sehingga cahayanya tidak ada, seperti mata yang tertutup kabut, tidak mungkin melihat jelas, maka nasihat dan peringatan menjadi tidak berpengaruh.

 

Ketiga: Hati yang terbuka dengan dorongan hawa nafsu, ia mengajaknya kepada keburukan, namun dorongan iman segera menyusul dan mengajak kepada kebaikan.

 

Misalnya, setan menyerang akal, menguatkan dorongan hawa nafsu, dia berkata, “Tidakkah engkau melihat fulan dan fulan, bagaimana mereka membebaskan diri mereka dalam (memperturutkan) hawa nafsu?” Sampai dia menyebutkan beberapa nama ulama, maka jiwanya cenderung kepada setan, lalu malaikat menyerang setan dan berkata, “Bukankah orang yang celaka adalah orang yang tidak memikirkan akibat? Jangan terkecoh oleh kelalaian manusia terhadap diri mereka. Bagaimana menurutmu bila mereka berdiri di bawah terik matahari di musim panas sedangkan engkau mempunyai rumah yang dingin; apakah kamu berdiri bersama mereka atau masuk ke dalam rumah? Apakah engkau menyelisihi mereka dan memilih tidak berdiri di bawah terik matahari tetapi engkau tidak menyelisihi mereka dalam perkara yang bisa membawamu ke neraka?” Maka jiwanya cenderung kepada ucapan malaikat. Di antara kedua pasukan terjadi tarik ulur, sampai akhirnya yang lebih kuat akan menang dan menguasai hati, barangsiapa diciptakan untuk kebaikan, maka ia dimudahkan untuknya dan barangsiapa diciptakan untuk keburukan, maka ia dimudahkan untuknya.

 

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (Al-An’am: 125).

 

Ya Allah, berilah kami taufik kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai.

 

Kitab ini terbagi menjadi beberapa pasal.

 

Ketahuilah bahwa akhlak yang baik merupakan sifat para nabi dan para shiddiqin. Akhlak yang buruk adalah racun mematikan yang menyeret pemiliknya berjalan di atas jalan setan dan kepada penyakitpenyakit yang melenyapkan kemuliaan abadi. Kita patut mengetahui penyakit kemudian menyingsingkan lengan baju untuk mengobatinya. Di bawah ini kami menyebutkan beberapa penyakit, dan bagaimana mengobatinya secara global bukan terperinci; karena hal itu akan hadir secara jelas insya Allah.

 

Pasal Pertama:

 

Keutamaan Akhlak yang Baik dan Celaan Akhlak yang Buruk Sebagian darinya sudah disebutkan dalam Adab Persahabatan. Ketahuilah bahwa manusia telah membicarakan kebaikan akhlak

 

dengan menyuguhkan manfaat-manfaatnya, bukan hakikatnya. Mereka juga tidak menyebutkan seluruh manfaatnya, karena sebagian dari mereka menyebutkan apa yang terbetik dalam benak masing-masing.

 

Untuk membuka hakikat, maka kami katakan, akhlak yang baik sering dipakai bersama fisik yang bagus, sehingga dikatakan, “Fulan berakhlak baik dan berpenampilan bagus.” Yakni, baik lahir batin. Yang dimaksud dengan penampilan adalah bentuk luar, yang dimaksud dengan akhlak adalah bentuk batin. Hal itu karena manusia tersusun menjadi dua: jasad dan jiwa.

 

Jasad dapat diketahui dengan penglihatan mata, sementara jiwa dapat diketahui dengan bashirah (mata batin). Masing-masing dari keduanya memiliki rupa dan bentuk, bisa baik dan bisa pula buruk. Jiwa yang dapat diketahui dengan bas/tirali (mata batin) lebih agung kedudukannya daripada jasad yang dapat diketahui dengan mata kepala, karena Allah memang mengagungkan perkaranya. Dia berfirman, 

 

“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku….” (Shad: 71-72).

 

Allah menyatakan bahwa jasad dinisbatkan kepada tanah liat sedangkan ruh dinisbatkan kepadaNya. Akhlak adalah sebuah gambaran jiwa yang tertanam kuat, yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Bila perbuatan-perbuatan tersebut baik, maka dinamakan dengan akhlak yang baik, demikian pula sebaliknya.

 

[Akhlak dapat Diubah]

 

Sebagian orang yang dikalahkan oleh sifat malas yang enggan melatih jiwanya untuk berbuat baik, menyangka bahwa akhlak tidak mungkin diubah, sebagaimana bentuk lahir manusia yang juga tidak mungkin diubah.

 

Kami jawab, “Seandainya akhlak memang tidak bisa diubah, niscaya nasihat dan wasiat kebaikan menjadi tidak berarti apa pun. Bagaimana engkau memungkiri bila akhlak bisa diubah sementara kami melihat bahwa binatang buas bisa dijinakkan, anjing bisa diajari meninggalkan makan, kuda dididik berjalan dengan baik dan dikendalikan dengan baik pula, tetapi memang harus diakui bahwa ada tabiat yang mudah diubah menuju kebaikan dan ada pula yang sullit.

 

Adapun khayalan orang yang menyatakan bahwa apa yang sudah menjadi tabiat tidak akan berubah, maka ketahuilah bahwa yang dituntut bukan membuang sifat-sifat tersebut secara total, akan tetapi yang dituntut adalah melatih mengembalikan hawa nafsu ke tingkat keseimbangan, pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan. Untuk mencabutnya dan membuangnya secara total, tidak mungkin. Bagaimana ia harus dibuang secara total sementara hawa nafsu diciptakan sebagai sebuah kebutuhan dasar pada tabiat manusia? Bila keinginan untuk makan dibuang secara total, maka manusia akan binasa. Jika keinginan kepada istri dibuang habis, niscaya tidak ada keturunan. Jika amarah dibuang total, niscaya manusia tidak akan menolak apa yang dapat mencelakakannya.

 

Allah berfirman,

 

“Keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Fath: 29), dan sikap keras tidak keluar kecuali dari amarah, kalau amarah sudah tidak ada, maka jihad pun mati.

 

Allah  juga berfirman,

 

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali Imran: 134), dan Dia tidak berfirman, “Dan orang-orang yang tidak mempunyai amarah.” Yang dituntut dari keinginan untuk makan adalah keseimbangan, tidak rakus dan tidak pula terlalu sedikit.

 

Allah  berfirman,

 

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31).

 

Bila seorang syaikh pembimbing melihat muridnya cenderung marah dan berhawa nafsu, maka sebaiknya dia mencela keduanya secara keras untuk mengembalikannya pada titik keseimbangan.

 

Di antara petunjuk bahwa yang dimaksud dengan melatih adalah keseimbangan bahwa kedermawanan merupakan akhlak yang terpuji secara syar’i, dan sikap ini adalah sikap pertengahan antara kikir dan tabdzir. Allah menyanjung sifat ini dalam FirmanNya,

 

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak erlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan (pembelanjaan itu) di tengahngah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67).

 

Ketahuilah bahwa keseimbangan ini terkadang didapatkan melalui kesempurnaan fitrah sebagai sebuah anugerah dari Allah. Berapa banyak anak-anak yang sudah bertabiat sebagai orang yang jujur, pemurah dan santun, namun terkadang didapatkan melalui usaha dan itu adalah latihan dengan cara membawa jiwa untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada akhlak yang dimaksud. Barangsiapa ingin memiliki akhlak dermawan, maka dia memaksakan dirinya bederma dan memberi sehingga akhirnya ia menjadi tabiat dan akhlaknya.

 

Demikian juga orang yang ingin memiliki akhlak tawadhu’, dia harus berusaha keras melakukan perbuatan-perbuatan orang yang tawadhu’. Demikianlah dengan seluruh akhlak terpuji. Kebiasaan memiliki pengaruh padanya, sebagaimana seseorang yang berminat menjadi penulis, maka dia melatih dirinya menulis, atau ingin menjadi seorang fakih, maka dia melakukan apa yang dilakukan oleh para fuqaha sehingga hatinya terbiasa di atas sifat fikih. Tetapi jangan harap bisa melihat pengaruh latihan ini hanya dalam sehari atau dua hari, ia harus terus-menerus, sebagaimana jangan berharap tubuh bisa bertambah tinggi hanya dalam dua atau tiga hari; kebiasaan mempunyai efek yang besar.

 

Sebagaimana tidak patut meremehkan ketaatan walaupun terlihat sedikit, karena bila ia dilakukan dengan berkesinambungan, maka ia akan berpengaruh, demikian juga jangan meremehkan dosa yang terlihat sedikit.

 

Mengambil sebab-sebab keutamaan berpengaruh terhadap jiwa dan mengubah tabiatnya, demikian juga berkawan dengan kemalasan membuatnya menjadi kebiasaan, akibatnya adalah kegagalan meraih segala kebaikan.

 

Akhlak yang baik bisa diperoleh dengan berkawan dengan orang-orang baik. Tabiat adalah pencuri yang bisa mencuri kebaikan dan keburukan. Aku katakan, hal itu didukung oleh sabda Nabi,

 

” Seseorang berada di atas agama sahabatnya, maka hendaknya salah seorang di antara kalian memperhatikan dengan siapa dia bersahabat.”

 

Pasal hedua:

Cara Menata Akhlak

 

Engkau sudah mengetahui bahwa scimbang dalam akhlak merupakan kesehatan bagi jiwa, dan menyimpang darinya merupakan kelemahan dan penyakit. Ketahuilah bahwa mengobati jiwa sama seperti mengobati badan. Badan tidak diciptakan dengan kesempurnaan, ja menjadi sempurna dengan asupan makanan, maka demikian juga dengan jiwa, ia diciptakan dengan kekurangan namun bisa disempurnakan. Jiwa menjadi sempurna dengan membersihkan pembersihan dan penataan akhlak, serta menyuapinya dengan ilmu.

 

Bila badan sehat maka dokter hanya berusaha menjaga kesehatan tersebut, namun bila badan sakit, maka usaha dokter adalah mengembalikan kesehatan kepadanya. Demikian pula halnya dengan jiwa, bila ia suci, bersih dan tertata dengan akhlak yang mulia, maka yang patut diusahakan adalah menjaga dan mengupayakan tambahan kekuatan padanya, namun bila jiwa belum sempurna, maka yang patut dilakukan adalah berusaha meraihnya.

 

Penyebab penyakit tubuh tidak bisa diatasi kecuali dengan lawannya, seperti apabila penyebabnya adalah panas maka dilawan dengan dingin, apabila penyebabnya dingin, maka dengan panas, maka demikian juga dengan akhlak tercela yang merupakan penyakit hati, pengobatannya dengan lawannya, penyakit bodoh diobati dengan ilmu, penyakit kikir dengan bederma, penyakit angkuh dengan tawadhu’, penyakit ambisi dengan menahan diri dari hawa nafsu.

 

Orang yang sakit harus bersabar menelan pahitnya obat dan menahan diri dari hal-hal yang disukainya demi kesehatan badannya. Demikian juga dalam hal penyakit hati bahkan lebih utama, penderitanya harus menelan pahitnya mujahadat dan sabar memikul beratnya upaya dalam hal itu. Bila penyakit badan menyebabkan kematian, maka penyakit hati menyeret kepada azab yang abadi setelah kematian.

 

Barangsiapa mengobati jiwa orang-orang yang berjalan menuju akhirat, hendaklah tidak menerapkan latihan kepada mereka pada satu bidang secara khusus sebelum mengetahui akhlak dan penyakit mereka, karena pengobatan orang-orang sakit tidaklah sama. Jika melihat orang yang tidak mengetahui syariat, hendaklah dia mengajarinya. Jika melihat orang yang sombong, hendaklah dia mengajarkannya tawadhu’ atau Orang yang mudah marah, maka dia mengajarinya bersikap santun.

 

Kebutuhan mendesak orang yang melatih diri adalah kekuatan tekad. Bila dia maju mundur, maka keberhasilannya jauh. Bila merasakan tekad yang lemah pada dirinya, maka hendaknya bersabar, bila tekadnya menurun, maka hendaknya dia menghukumnya agar tidak menjadi kebiasaan, sebagaimana seseorang berkata kepada dirinya, “Engkau berkata sesuatu yang tidak penting, aku akan menghukummu dengan puasa setahun.”

 

Pasal hetiga:

Tanda-Tanda Penyakit Hati dan Kesembuhannya serta Cara Seseorang Mengetahui Aib-Aib Dirinya

 

Ketahuilah bahwa setiap anggota tubuh diciptakan untuk fungsi tertentu. Tanda bahwa anggota tubuh tersebut sakit adalah disfungsi atau anggota tersebut mengalami ketidakstabilan. Tangan yang sakit tidak bisa bekerja. Mata yang sakit tidak sanggup melihat. Hati yang sakit membuatnya tidak memerankan fungsi khusus yang ia diciptakan untuknya, yaitu ilmu, hikmah dan ma’rifah, mencintai Allah dan beribadah kepadaNya, mendahulukan semua itu atas segala keinginan.

 

Seandainya manusia mengetahui segala sesuatu tetapi dia tidak mengenal Allah, maka dia tidak mengetahui apa pun.

 

Tanda ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah mencintai. Barangsiapa mengenal Allah dengan baik, maka dia pasti mencintaiNya. Tanda cinta adalah tidak mendahulukan selainNya atasNya. Barangsiapa mengedepankan selainNya atas Allah, maka hatinya sakit, seperti perut yang lebih memilih makan tanah basah daripada roti, tidak lagi berselera terhadap roti, maka perut tersebut perut yang sakit.

 

Penyakit hati itu adalah suatu yang samar, pemiliknya mungkin tidak mengetahui, karena itu dia melalaikannya. Bila pun dia mengetahuinya, namun sulit baginya untuk bersabar menelan pahitnya obat, karena obatnya adalah menyelisihi hawa nafsu. Bila pun dia bisa menahan, namun tidak ada dokter yang ahli yang bisa mengobatinya, karena para dokter dalam masalah ini adalah para ulama. Sementara penyakit itu sendiri sudah menguasai mereka, dan dokter yang sakit jarang memperhatikan pengobatannya. Karena itu penyakitnya menjadi kronis, ilmu tentang hal ini mulai hilang, penyakit hati dan pengobatannya terlihat asing. Orang-orang melakukan amal-amal yang sepintas adalah ibadah, namun batinnya adalah kebiasaan semata. Ini adalah tanda dasar penyakit.

 

Adapun mengembalikan dan memulihkan setelah proses pengobatan, maka hendaknya dia melihat penyakitnya. Apabila penyakitnya adalah kekikiran, maka obatnya adalah memberikan harta tetapi tidak berlebihan yang bisa mencapai tingkat mubadzir, karena (jika demikian) akibatnya muncul penyakit baru, sehingga dia seperti orang yang mengobati kedinginan dengan panas yang berlebihan sehingga pasiennya mengalami panas berlebih sehingga menjadi penyakit baru; sebaliknya yang dituntut adalah keseimbangan.

 

Jika engkau ingin mengetahui keseimbangan, maka perhatikanlah dirimu. Jika mengumpulkan harta dan menahannya lebih nikmat bagimu dan lebih mudah daripada memberikannya kepada yang berhak, maka sadarilah bahwa akhlak bakhil telah menguasaimu, maka obatilah jiwamu dengan bederma. Jika memberi kepada yang berhak lebih nikmat bagimu dan lebih ringan bagimu daripada menahan, maka engkau telah dikuasai oleh sikap mubazir, maka kembalilah menjaga sikap menahan. Engkau patut terus memperhatikan dirimu. Menarik kesimpulan berkaitan dengan akhlakmu dengan perbuatan yang mudah dan perbuatan yang sulit, hingga ketergantungan hatimu terhadap harta terputus, sehingga hatimu tidak cenderung untuk memberikannya atau menahannya. Akan tetapi bagimu ia menjadi seperti air. Tidak perlu menahan atau memberikan karena hajat orang yang membutuhkan, maka semua hati yang sudah demikian, berarti ia telah

 

“menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara’: 89), dalam hal ini.

 

Hati harus selamat dari akhlak-akhlak lainnya, hingga ia sama sekali tidak memiliki ketergantungan dengan perkara dunia sedikit pun. Jiwanya meninggalkan dunia dalam keadaan tidak mempunyai keterkaitan dengannya, tidak menoleh kepadanya dan tidak pula merindukan sebab-sebabnya. Dan saat itu ia kembali kepada Tuhannya sebagai jiwa yang tenang.

 

Karena hakikat keseimbangan berada di antara dua sisi sangat samar, bahkan ia lebih lembut daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang. Tidak mengherankan bila orang yang bisa berjalan dengan baik di atas jalan lurus ini di dunia, dia bisa melewati jembatan di akhirat dengan baik pula; karena sulitnya istiqamah, maka hamba diperintahkan agar mengucapkan setiap hari beberapa kali,

 

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (Al-Fatihah: 6).

 

Barangsiapa tidak mampu istiqamah, maka paling tidak berusaha mendekat kepada istiqamah, karena keselamatan diraih dengan beramal shalih.

 

Amal-amal yang shalih tidak keluar kecuali dari akhlak-akhlak yang baik. Hendaknya setiap hamba memeriksa akhlak dan sifatnya, menyibukkan diri dengan pengobatan terhadap penyakitnya satu demi satu. Orang yang punya tekad kuat hendaknya bersabar atas beban berat perkara ini, karena akibatnya adalah manis, seperti anak yang disapih akan merasakan nikmat pasca penyapihan sekalipun saat disapih dia tidak menyukainya. Seandainya anak yang sudah disapih disodori susu ibunya, niscaya dia tidak menyukainya. Barangsiapa mengetahui pendeknya umur dibandingkan dengan umur kehidupan akhirat, maka dia akan rela memikul beban safar untuk beberapa hari untuk mendapatkan kenikmatan abadi tersebut. Saat pagi tiba, orang-orang memuji perjalanan pada malam hari.

 

[Cara Seseorang Mengetahui Aib-Aib Dirinya]

 

Ketahuilah bahwa bila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka Dia membuatnya melihat jelas aib-aib dirinya. Barangsiapa yang bashirah (mata batin)nya bagus, maka aib-aibnya tidak samar baginya. Bila penyakit sudah diketahui, maka pengobatan menjadi sangat memungkinkan, namun sayangnya kebanyakan manusia tidak mengetahui aib-aib diri mereka. Gajah di pelupuk mata tidak terlihat sementara kuman di seberang lautan terlihat dengan jelas.

 

Barangsiapa ingin mengetahui aib dirinya, maka dia memiliki empat cara:

 

Pertama: Duduk di depan seorang syaikh (guru) yang memiliki basiirah yang tajam terhadap aib-aib diri, yang akan membuka aib-aibnya kepadanya dan menyebutkan cara-cara pengobatannya. Syaikh seperti ini sudah jarang di zaman ini, barangsiapa yang menemukannya, maka dia menemukan seorang dokter yang ahli, tidak patut meninggalkannya.

 

Kedua: Mencari teman yang jujur, memiliki bashirah dan teguh beragama, menjadikannya sebagai pengawas terhadap dirinya dan memperingatkannya dari akhlak dan perbuatannya yang tidak baik.

 

Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab berkata,

 

 

“Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kami kepada aib-aib kami.”

 

Umar pernah bertanya kepada Salman manakala Salman datang kepadanya, maka Salman menjawab, “Aku mendengar bahwa engkau menggabungkan dua lauk saat makan, engkau juga mempunyai dua pakaian; pakaian malam dan pakaian siang.” Umar bertanya, “Apakah hanya itu yang engkau dengar?” Salman menjawab, “Ya.” Umar menjawab, “Dua perkara tersebut telah aku tinggalkan.”

 

Umar juga pernah bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah aku termasuk orang-orang munafik?” Hal ini karena orang yang semakin tinggi kesadarannya, maka dia semakin berhati-hati terhadap dirinya. Namun sayangnya teman dengan kriteria seperti ini sudah jarang ditemukan di zaman ini, karena jarang ada teman yang mau meninggalkan kepura-puraan lalu dia menyebarkan aib temannya atau meninggalkan hasad, karena dia hanya membatasi diri pada yang wajib.

 

Para ulama Salaf menyukai orang yang menunjukkan aib-aib mereka, sementara bagi kita saat ini secara umum, orang yang menunjukkan aib kita adalah orang yang paling kita benci.

 

Ini adalah bukti atas lemahnya iman. Akhlak yang buruk ibarat kalajengking, seandainya seseorang mengatakan kepada kita bahwa di balik baju kita ada kalajengking, niscaya kita akan sangat berterima kasih kepadanya lalu sibuk untuk membunuhnya, padahal bahaya akhlak buruk lebih besar keburukannya daripada kalajengking.

 

Ketiga: Mengetahui aib-aib diri dari lisan-lisan musuh, karena pandangan kebencian menampakkan keburukan, bisa jadi manfaat diambil dari musuh yang berseteru yang membuka aibnya lebih besar daripada manfaat yang diambil dari seorang kawan yang berpura-pura yang menyembunyikan aibnya.

 

Keempat: Bergaul dengan orang lain, maka apa yang terlihat tercela dari mereka, bisa dia jauhi.

 

PASAL

[Syahwat-Syahwat Jiwa]

 

Kami telah menyebutkan bahwa syahwat jiwa tidak diciptakan kecuali karena memiliki faedah. Jika tidak ada syahwat kepada makanan, niscaya tidak akan makan. Jika tidak ada syahwat kepada istri, maka keturunan akan terputus. Yang tercela darinya adalah syahwat yang tidak bermanfaat dan berlebih-lebihan, ada orang yang tidak memahami kadar ini, lalu mereka meninggalkan apa yang disukai oleh jiwa. Hal itu adalah kezhaliman terhadap jiwa dengan tidak memberikan haknya, karena jiwa mempunyai hak berdasarkan dalil sabda Nabi,

 

“Sesungguhnya jiwamu mempunyai hak atasmu.”

 

Sampai di antara mereka ada yang berkata, “Selama sekian tahun, aku ingin ini namun aku tidak memakannya.” Ini menyimpang dari yang halal, menyelisihi Sunnah Rasulullah, karena beliau juga makan seperti manisan, madu dan lainnya. Jangan melihat ahli zuhud yang minim ilmu, lalu dia mengharamkan hak jiwanya dengan menjauhi yang disukai secara total. Orang seperti itu lebih dekat kepada kezhaliman daripada keadilan. Sesuatu yang disukai ditinggalkan bila jalan mendapatkannya susah. Misalnya, untuk mendapatkannya harus melalui cara yang kurang patut, atau bila memakannya akan merusak tekadnya dan jiwanya akan terus menginginkannya, atau mengkhawatirkan kekenyangan yang berlebihan yang bisa memberatkannya dalam beribadah. Adapun memakannya di sebagian waktu untuk menguatkan diri, maka hal ini seperti obat bagi orang sakit, terpuji dan tidak tercela. Tidak mengapa bersikap lembut terhadap diri agar ia kuat menempuh perjalanan.

 

TANDA-TANDA AKHLAK YANG BAIK

 

Terkadang orang yang berjalan menuju akhirat sudah bersungguhsungguh melawan dirinya, sehingga dia sudah meninggalkan perbuatan keji dan kemaksiatan, kemudian dia mengira bahwa dirinya sudah menata akhlaknya dan sudah tidak memerlukan mujahadat. Padahal perkaranya tidak demikian, karena akhlak yang baik adalah rangkaian sifat orang-orang Mukmin. Allah menyifati mereka dalam FirmanNya,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Anfal: 2-3).

 

Allah  juga berfirman,

 

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, memuji (Allah), yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang Mukmin itu.” (At-Taubah: 112).

 

“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya, mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.” (Al-Mu’minun: 1-10).

 

“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (talah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka, Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kamu, jauhkan azab Jahanam dari kan, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.’ Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kamt istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya, dan surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepadaNya), padahal kamu sungguh telah mendustakanNya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)’.” (Al-Furqan: 63-77).

 

Barangsiapa yang sulit untuk mengidentifikasi keadaan dirinya, maka silakan menimbang dirinya dengan timbangan ayat-ayat di atas. Adanya semua sifat-sifat di atas pada dirinya merupakan tanda akhlak yang baik, hilangnya semua sifat tersebut adalah tanda akhlak yang buruk, adanya sebagian menunjukkan sebagian, dan selanjutnya hendaklah dia menyibukkan diri untuk menjaga yang sudah ada dan berusaha meraih apa yang belum ada.

 

Rasulullah telah menyifati orang-orang Mukmin dengan banyak sifat, dan beliau mengisyaratkan dengannya untuk berakhlak yang baik. Dalam ash-Shahihain dari hadits Anas bahwa Nabi bersabda,

 

“Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, tidaklah seorang hamba beriman hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya.”

 

Juga dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah  bahwa Nabi  bersabda,

 

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya berkata baik atau (kalau tidak) hendaklah dia diam.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”

 

Di antara akhlak yang baik adalah bersabar menerima gangguan orang lain. Dalam ash-Shahihain disebutkan,

 

“Bahwa seorang Arab badui menarik jubah Nabi dengan kasar sampat pinggirnya membekas pada leher beliau, kemudian berkata, ‘Ya Muhammad, perintahkan (petugas) agar aku diberi dari harta Allah yang ada padamu.’ Maka Nabi menoleh, kemudian tertawa kemudian memerintahkan agar oran g itu diberi.”

 

Bila kaumnya menyakiti beliau, maka beliau berdoa,

 

“Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahut.”

 

Dahulu bila anak-anak melempari Uwais al-Qarni dengan batu, maka dia berkata, “Saudara-saudaraku, bila memang harus, maka lemparilah aku dengan kerikil agar kakiku tidak berdarah sehingga dengan jtu kalian menghalangiku untuk bisa shalat.”

 

Ibrahim bin Ad-ham keluar menuju sebuah padang pasir, lalu seorang tentara bertemu dengannya, tentara itu bertanya, “Di mana perkampungan?” Lalu Ibrahim menunjuk ke kuburan, maka tentara tersebut memukul kepalanya hingga terluka, manakala tentara itu diberi tahu bahwa laki-laki yang dipukulnya adalah Ibrahim, dia mencium tangan dan kakinya, Ibrahim berkata, “Saat dia memukul kepalaku, aku memohon surga kepada Allah untuknya, karena aku mengetahui bahwa aku mendapatkan pahala karena pukulannya kepadaku, maka aku tidak ingin bagianku darinya adalah kebaikan sedangkan kebaikannya dariku adalah keburukan..”

 

Seorang shalih melewati sebuah gang, tiba-tiba seseorang melemparkan abu kepadanya dari atap, rekan-rekannya marah, namun dia justru berkata, “Orang yang berhak mendapatkan api lalu diganti dengan abu, maka sepatutnya dia tidak marah.”

 

Jiwa-jiwa tersebut telah ditundukkan melalui latihan, maka akhlaknya seimbang, dan batinnya dibersihkan dari noda-noda, maka ia membuahkan keridhaan kepada qadha’. Barangsiapa yang belum menemukan pada jiwanya sebagian dari perlakuan yang dirasakan oleh orang-orang itu, maka sepatutnya dia terus berlatih agar dia bisa mencapainya, semoga berhasil!!!

 

PASAL

MELATIH AKHLAK ANAK-ANAK DI AWAL PERTUMBUHAN

 

Ketahuilah bahwa seorang anak adalah amanat di tangan bapak ibunya. Hatinya adalah mutiara yang bening, menerima segala macam perlakuan. Jika dia dibiasakan di atas kebaikan, maka dia akan tumbuh di atas kebaikan. Kedua orangtuanya dan pendidiknya sama-sama mendapatkan pahalanya. Tetapi jika dibiasakan di atas keburukan, maka dia pun akan tumbuh di atasnya dan dosanya dipikul oleh walinya. Maka walinya harus menjaga, mendidik dan menatanya, mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman yang buruk, tidak membiasakannya bergaya hidup mewah, tidak membuatnya mencintai sebab-sebab perhiasan dan kemewahan, sehingga umurnya akan habis untuk mengejarnya.

 

Seyogianya memperhatikan masalah ini sedari kecil, (jika harus disusukan dan diasuh orang lain) tidak menyusukan dan mengasuhkannya kecuali kepada wanita shalihah yang berpegang teguh kepada agamanya dan makan yang halal, karena air susu dari harta yang haram tidak berkah. Bila tanda-tanda tamyiz mulai terlihat, yang pertama adalah rasa malu, dan hal itu merupakan tanda keunggulan, ia mengisyaratkan akal yang sempurna saat dewasa, maka rasa malunya itu dijadikan sebagai penunjang dalam rangka mendidiknya.

 

Sifat pertama yang bisa menguasainya adalah gemar makan, maka dia patut diajari adab-adab makan, patut di saat-saat tertentu dibiasakan hanya makan roti agar tidak terbiasa dengan lauk sehingga menganggapnya harus. Hendaklah dibiasakan bahwa makan banyak itu tidak baik, menyamakan banyak makan dengan hewan. Hendaklah pula dibiasakan berpakaian putih bukan yang warna-warni dan yang berbahan sutra, dipahamkan bahwa pakaian seperti itu adalah pakaian wanita atau banci. Lalu hendaklah dijauhkan dari anak-anak yang terbiasa hidup mewah, kemudian dikirim ke madrasah agar belajar al-Qur’an, hadits dan kisah-kisah mulia, agar tertanam dalam hatinya kecintaan kepada orang-orang shalih. Jangan menyuruh menghafal syair-syair (lagu-lagu) cinta,

 

Jika seorang anak memperlihatkan akhlak yang bagus dan perbuatan yang terpuji, maka sepatutnya diapresiasi, diberi hadiah yang membuatnya bersuka cita, disanjung di depan orang-orang. Jika dia menyelisihi sebagiannya pada sebagian keadaan, maka didiamkan dan tidak perlu dibuka. Jika dia mengulanginya maka dinasihati secara rahasia, ditakut-takuti bahwa bila masih melakukan, maka orang-orang akan mengetahui, tidak perlu banyak menyalahkan, karena hal itu membuatnya tidak menghargai, hendaknya menjaga wibawa pembicaraan dengannya.

 

Ibu patut membuat anaknya takut kepada bapak. Anak sebaiknya dilarang tidur siang, karena ia bisa membuatnya malas, tidak dilarang tidur malam, akan tetapi tanpa kasur yang empuk agar anggota badannya kokoh dan terbiasa di atas tempat tidur, pakaian, dan makanan yang kasar. Hendaklah dibiasakan berjalan, bergerak dan berolah raga agar tidak dikuasai oleh kemalasan. Dilarang membanggakan dirinya di depan rekan-rekannya dengan apa yang dipunyai oleh bapak ibunya atau membanggakan makanan dan pakaiannya. Dibiasakan tawadhu’ dan menghormati siapa yang bergaul dengannya. Dilarang mengambil sesuatu dari rekannya, diajari bahwa mengambil adalah kerendahan dan memberi adalah kemuliaan, dibuat benci kepada emas dan perak.

 

Dibiasakan agar tidak meludah di majelisnya, tidak membuang dahak, tidak menguap di depan orang lain, tidak meletakkan satu kaki di atas lainnya. Dilarang banyak berbicara, dibiasakan agar tidak berbicara kecuali menjawab, diajari mendengar yang baik saat orang lain yang lebih tua berbicara kepadanya. Berdiri mempersilakan orang yang lebih tua dan duduk di hadapannya.

 

Dilarang mengucapkan kata-kata buruk dan bergaul dengan orang yang biasa mengucapkan kata-kata buruk, karena menjaga anak-anak adalah menjaga mereka dari teman-teman buruk.

 

Jika saat keluar dari madrasah boleh diberi kesempatan untuk bermain-main dengan baik, sehingga dia bisa beristirahat dari beban pendidikan, sebagaimana dikatakan, “Istirahatkanlah hati, maka ia akan memahami pengajaran.”

 

Seyogianya diajari menaati dan menghormati kedua orangtuanya dan pengajarnya.

 

Bila sudah mencapai tujuh tahun maka dia diperintahkan untuk shalat, tidak dibolehkan meninggalkan bersuci, agar terbiasa. Ditakuttakuti dari dusta dan khianat, bila hampir baligh, maka beberapa perkara disampaikan kepadanya.

 

Ketahuilah bahwa makanan adalah obat. Maksudnya makanan dapat menguatkan tubuh untuk taat kepada Allah, bahwa dunia tidak kekal, kematian memutuskan kenikmatan dunia, ia menanti setiap waktu, orang yang berakal adalah orang yang berbekal untuk akhiratnya, bila pertumbuhannya baik, maka hal ini tertanam dalam hatinya seperti pahatan di atas batu.

 

Sahl bin Abdullah berkata, saat itu aku masih berumur tiga tahun, aku bangun malam melihat pamanku Muhammad bin Sawwar shalat. Suatu hari pamanku berkata kepadaku, “Tidakkah engkau mengingat Allah yang menciptakanmu?” Aku bertanya, “Apa yang harus aku baca?” Dia berkata, “Katakan dalam hatimu sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan bibirmu, ‘Allah bersamaku, Allah melihatku dan Allah menyaksikanku.’ Maka aku membacanya beberapa malam, kemudian aku mengabarkan kepadanya bahwa aku sudah mengucapkannya, maka dia berkata, “Bacalah sebelas kali setiap malam.” Maka aku mengucapkannya dan aku mulai merasakan manisnya, setahun setelah itu, pamanku berkata kepadaku, “Ingat-ingat apa yang kami ajarkan kepadamu dan jagalah sampai engkau mati.” Maka aku terus membacanya bertahun-tahun, aku merasakan kenikmatannya dalam hatiku. Kemudian pamanku berkata, “Sahl, barangsiapa yang Allah bersamanya, melihatnya dan menyaksikannya, apakah dia mendurhakainya? Jangan mendurhakai Allah.” Lalu aku berangkat ke madrasah, aku menghafal al-Qur-an dalam usia enam atau tujuh tahun, kemudian aku berpuasa setahun, makananku adalah roti gandum, kemudian setelah itu aku shalat malam setiap malam.

 

PASAL

[Syarat-Syarat Iradat (Kehendak) dan Mukadimah Mujahadat]

 

Ketahuilah bahwa barangsiapa menyaksikan akhirat dengan hatinya dengan penuh keyakinan, niscaya secara otomatis dia menginginkannya dan berzuhud terhadap dunia. Barangsiapa mempunyai manik-manik Jalu dia melihat mutiara yang mahal, maka dia tidak akan lagi berharap kepada manik-maniknya. Bila ada yang berkata kepadanya, “Jual manikmanik itu dengan mutiara.” Niscaya dia melakukannya dengan segera.

 

Ketahuilah bahwa siapa yang dibimbing oleh Allah untuk mengetahui hal itu, maka dia harus melatih dirinya dengan memenuhi syarat yang harus dilakukan, pembimbing yang mana dia harus berpegang teguh dengannya dan benteng yang dia harus berlindung kepadanya.

 

Syaratnya adalah menyingkirkan penghalang dengan meninggalkan dosa-dosa.

 

Pembimbing adalah seorang syaikh yang menunjukkan jalan agar engkau tidak diciduk oleh setan di tengah jalan.

 

Bentengnya adalah khalwat.

 

Tugas yang harus dia penuhi adalah menyelisihi hawa nafsu, banyak berdzikir dan sederhana dalam melakukan wirid.

 

Tujuan latihan adalah merasakan hatinya bersama Allah selamanya. Hal itu tidak mungkin diraih kecuali bila dia melepaskan selainNya dan tidak mungkin melepaskannya kecuali dengan mujahadat.

 

Ini adalah jalan latihan orang yang menginginkan akhirat dan fase-fasenya secara bertahap. Adapun rincian latihan untuk semua sifatnya, maka akan hadir insya Allah 

 

Syahwat perut termasuk di antara pembinasa paling besar. Karenanya Nabi Adam terusir dari surga. Dari syahwat perut muncul syahwat kemaluan dan ambisi kepada harta, dan itu kemudian diikuti oleh banyak penyakit; semuanya akibat dari rakusnya perut.

 

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,

 

 

“Orang Mukmin makan dengan satu perut, sedangkan orang kafir dengan tujuh perut.”

 

Dalam hadits lain (Nabi bersabda),

 

“Tidaklah anak cucu Adam mengisi bejana yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak cucu Adam beberapa suapan yang menegakkan tulang sulbinya. Bila memang harus, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.”

 

Uqbah ar-Rasibi  berkata, “Aku pernah datang kepada alHasan yang saat itu sedang makan, maka beliau berkata, ‘Kemari.’ Aku menjawab, ‘Aku sudah makan sampai aku tidak bisa makan lagi.’

 

Maka timpal beliau, ‘Subhanallah, apakah seorang Muslim makan sampai tidak bisa makan lagi?'”

 

Beberapa ahli zuhud berlebih-Iebihan dalam meminimalkan makan dan sabar menahan lapar, dan kami telah menjelaskan kekeliruan apa yang mereka lakukan itu di buku kami yang lain. Titik keseimbangan dalam makan adalah menghentikannya sekalipun masih berselera, dan keseimbangan yang baik adalah sebagaimana hadits Nabi di atas tadi: sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.

 

Makan secara seimbang menyehatkan badan dan menghilangkan penyakit. Hal itu dilakukan dengan cara tidak makan sebelum ingin, kemudian menghentikan saat masih ingin. Meminimalkan makan terus-menerus melemahkan kekuatan, beberapa orang hanya mau makan sedikit. Akibatnya mereka tidak kuat menjalankan kewajiban, karena bodoh, maka mereka mengira bahwa hal itu adalah keutamaan, padahal tidak demikian. Barangsiapa memuji lapar, maka dia hanya mengisyaratkan kepada keadaan yang kami sebutkan.

 

[Cara Melatih Mengekang Syahwat Perut]

 

Cara melatih diri mengekang syahwat perut, barangsiapa terbiasa kenyang, maka hendaknya dia mengurangi makannya sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu sampai pada batas pertengahan yang telah kami sebutkan. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah, yang lebih bagus adalah mengkonsumsi apa yang tidak menghalangi ibadah, menjadi sebab terjaganya kekuatan, orang yang memakannya tidak merasa lapar dan kenyang, saat itu badan menjadi sehat, terkumpul semangat, dan pikiran menjadi jernih. Ketika menambah makanan, maka menyebabkan banyak tidur, pikirannya lembek. Hal itu karena menumpuknya uap di dalam otak menghalangi akal untuk berpikir dan berdzikir serta menyebabkan penyakit lainnya.

 

[Penyakit Riya’’ dalam Kaitan Syahwat Perut]

 

Orang yang meninggalkan sebagian dari syahwat patut waspada dari penyakit riya’~ dalam hal itu. Sebagian dari mereka membeli syahwat (keinginannya) dan menggantungnya di rumahnya padahal dia zuhud terhadapnya, dia menutupi zuhud dengannya. Ini adalah zuhud dalam zuhud dengan menampakkan kebalikannya, dan ini adalah amal orang-orang siiddiqin, karena dia menelan dua gelas kesabaran, dan yang kedua adalah lebih pahit.

 

[Syahwat Kemaluan]

 

Untuk syahwat ini, maka ketahuilah bahwa syahwat ini diberikan kepada manusia untuk dua faedah:

 

Pertama: Menjaga terjaganya keturunan.

 

Kedua: Mendapatkan kenikmatan yang dengannya dia mengiaskan kenikmatan di akhirat. Karena jenis kenikmatan yang belum pernah didapatkan, maka tidak begitu diharapkan. Hanya saja jika syahwat ini tidak dikembalikan kepada titik keseimbangan, maka ia mendatangkan banyak gangguan dan ujian. Kalau bukan karena itu, niscaya wanita bukan merupakan perangkap setan.

 

Dalam hadits bahwa Nabi bersabda,

 

“Aku tidak meninggalkan pada manusia sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.”

 

Sebagian orang shalih berkata, “Jika seorang laki-laki menitipkan baitul mal kepadaku, aku yakin bisa menunaikan amanat kepadanya, tetapi seandainya dia mengamanatkan seorang hamba sahaya wanita yang berkulit hitam, lalu aku berduaan sesaat dengannya, aku tidak yakin terhadap diriku sendiri.”

 

Dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita; karena sesungguhnya pihak ketiganya adalah setan.”

 

Berlebih-lebihan dalam syahwat ini membawa seorang laki-laki mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya demi bersenang-senang dengan wanita dan ia pun membuatnya lupa akhirat, bisa membawanya kepada perbuatan-perbuatan keji, bisa menyeret pemiliknya kepada kecanduan yang merupakan syahwat paling buruk dan pemiliknya patut malu dengannya. Sebagian orang menjadi keranjingan harta, kedudukan, main judi, catur, alat musik dan lainnya karenanya, dan semua itu menguasai hati sehingga hati menjadi buta.

 

Pada awalnya menjauhi hal-hal ini mudah, namun kalau sudah memuncak, maka ia memerlukan pengobatan yang intensif. Itu pun kadang-kadang tidak berhasil, seperti mengarahkan hewan tunggangan untuk memasuki gerbang yang engkau inginkan, mudah saja memalingkannya dengan menarik kekangnya. Namun ketika penyakit bercokol kuat dalam hati, mengobatinya menjadi sulit seperti orang yang membiarkan hewan tersebut masuk dan melewati gerbang, kemudian dia buru-buru memegang ekornya dan menariknya ke belakang, dan betapa jauh perbedaan di antara keduanya.

 

Penyakit lisan banyak macamnya. Hati merasakannya manis dan didorong oleh tabiat. Tidak ada jalan selamat dari bahayanya, kecuali dengan diam. Kami akan menyebutkan dulu keutamaan diam, kemudian melanjutkannya dengan menyebutkan penyakit-penyakit lisan secara terperinci, insya Allah.

 

Ketahuilah bahwa diam dapat mengumpulkan hasrat keinginan dan memfokuskan pemikiran.

 

Dalam hadits bahwa Nabi bersabda,

 

“Siapa yang menjamin untukku apa yang di antara dua rahangnya dan apa yang di antara dua kakinya, maka aku menjamin surga baginya.’?”

 

Dalam hadits lain,

 

“Iman seorang hamba tidak lurus sehingga hatinya lurus dan hatinya tidak akan lurus sehingga lisannya lurus.”

 

Dalam hadits Mu’adz di bagian akhirnya Nabi bersabda,

 

“Tahanlah ini atasmu.” Maka aku berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami disiksa karena apa yang kami katakan?” Beliau menjawab, “Engkau kehilangan tbumu wahai Mu’adz, apakah ada yang membuat manusia terjatuh ke dalam neraka di atas wajahnya, -atau (kalau tidak salah) Nabi bersabda, di atas hidungnyakecuali hasil-hasil lidah mereka?'”

 

Dalam hadits lain,

 

“Barangsiapa menahan lidahnya, maka Allah menutupi auratnya.”

 

Ibnu Mas’ud berkata,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang berhak dipenjara dalam waktu yang lama daripada lidahku.”

 

Abu ad-Darda’ berkata,

 

“Penuhi hak dua telingamu daripada mulutmu, karena sesungguhnya enghau dibert dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara.”

 

Makhlad bin al-Husain berkata, “Aku tidak mengucapkan satu kalimat pun sejak lima puluh tahun yang aku ingin beralasan darinya.”

 

PENYAKIT-PENYAKIT PEMBICARAAN

Penyakit pertama: Berbicara sesuatu yang tidak penting

 

Ketahuilah bahwa barangsiapa mengetahui betapa berharganya waktu, dan merupakan modal utamanya, niscaya dia tidak akan membuangnya tanpa manfaat. Pengetahuan ini mengharuskan menjaga lisan dari perkataan yang tidak berguna, karena barangsiapa tidak mengingat Allah dan sibuk dengan apa yang tidak berguna, dia seperti orang yang mampu mengambil mutiara tetapi dia tidak mengambilnya, dia malah mengambil tanah kering; ini adalah kerugian sepanjang umur.

 

Dalam hadits shahih bahwa Nabi bersabda,

 

“Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan apa yang tidak penting baginya.”

 

Luqman al-Hakim pernah ditanya, “Sejauh apa hikmahmu?” Dia menjawab, “Aku tidak bertanya tentang apa yang aku sudah dicukupkan darinya, dan aku tidak berbicara sesuatu yang tidak penting bagiku.”

 

Diriwayatkan bahwa Luqman datang kepada Dawud yang sedang membuat baju perang, dia mengagumi apa yang dilihatnya, dia hendak bertanya namun hikmahnya menahannya, maka dia tidak bertanya, manakala Dawud selesai, dia bangkit dan memakai baju besi itu, kemudian dia berkata, “Baju besi yang bagus buat perang.” Maka Luqman berkata, “Diam adalah hikmah namun sedikit yang melakukannya.”

 

Penyakit kedua: Berbicara dalam kebatilan, yakni, membicarakan kemaksiatan, seperti membicarakan majelis knamar dan pertemuan orang-orang fasik.

 

Dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan satu kalimat yang membuatnya terperosok masuk ke dalam neraka lebih jauh daripada timur dengan barat.”

 

Tidak jauh berbeda dengannya adalah berbantah-bantahan dan berdebat, banyak membantah orang untuk menjelaskan kekeliruannya dan mengakui kesalahannya. Faktor pendorong untuk melakukan hal ini adalah merasa lebih tinggi.

 

Seseorang patut mengingkari kata-kata yang mungkar, menjelaskan sisi yang benar, bila diterima (maka itulah kebaikan), dan bila tidak maka tidak perlu berbantah-bantahan. Hal ini bila perkaranya berkaitan dengan agama, adapun bila berkaitan dengan perkara dunia, maka tidak ada alasan untuk berdebat. Obat penyakit ini adalah menghilangkan kesombongan yang mendorong seseorang untuk menampakkan kelebihannya. Berbantah-bantahan yang paling berat adalah pertikaian, ia lebih dari sekadar berbantah-bantahan.

 

Dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Laki-laki yang paling dibenci oleh Allah adalah yang paling keras penentangannya. “

 

Pertikaian yang kami maksud adalah pertikaian dengan kebatilan atau tanpa ilmu. Adapun orang yang berada di atas kebenaran, maka yang lebih baik adalah berpaling dengan meninggalkannya sebisa mungkin, karena hal itu membuat dada sempit, memicu amarah, menimbulkan hasad, dan menyeret-nyeret kehormatan.

 

Penyakit Ketiga: Memaksakan diri dalam berbicara; memfasihfasihkan dan memaksakan diri membuat sajak.

 

Dari Abu Tsa’labah, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di Hari Kiamat adalah orang yang paling buruk akhlaknya di antara kalian; orang yang banyak berbicara, orang yang bicara kasar dengan membuka mulut lebar-lebar, dan orang-orang yang mengejek orang lain.”

 

Tidak termasuk ke dalam sajak yang dibenci dan dibuat-buat adalah perkataan khatib, mengingatkan tanpa berlebih-lebihan dan anehaneh, karena tujuan dari hal itu adalah menggerakkan dan menggugah hati. Demikian juga lafazh-lafazh yang indah dan semacamnya.

 

Penyakit Keempat: Suka berkata-kata keji, cacian, jorok, dan yang sepertinya. Ini tercela dan dilarang, sumbernya adalah keburukan dan kebusukan.

 

Dalam hadits disebutkan,

 

“Jauhilah kata-kata keji (buruk); karena sesungguhnya Allah tidak menyukai kata-kata keji dan sengaja mengucapkan kata keji.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Surga haram atas setiap orang yang gemar berkata keji (buruk).”

 

Dalam hadits lain,

 

“Orang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berkata-kata keji, dan berkata jorok.”

 

Ketahuilah bahwa kata-kata keji dan jorok adalah ungkapan tentang hal-hal yang buruk dengan kata-kata yang langsung, kebanyakan digunakan untuk persetubuhan (berbau porno) dan hal-hal yang berkenaan dengannya. Orang-orang baik menjauhi ungkapan-ungkapan seperti ini dan menggantinya dengan kata-kata sindiran. Di antara penyakit lisan lainnya adalah nyanyian, dan pembicaraan tentangnya telah berlalu. Penyakit Kelima: Suka bersenda gurau. Sedikit darinya tidak mengapa bila memang benar. Nabi  terkadang bergurau tetapi beliau tidak berkata kecuali yang benar.”

 

Beliau pernah bersabda kepada seorang laki-laki,

 

“Wahai pemilik sepasang telinga.”

 

Nabi juga bersabda kepada orang lain,

 

“Kami akan mengangkutmu di atas anak unta betina.”

 

Nabi juga pernah bersabda kepada wanita tua,

 

“Wanita tua tidak masuk surga.” Kemudian beliau membaca, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.” (Al-Waqi’ah: 35-36).

 

Nabi juga pernah bersabda kepada seorang wanita,

 

“Suamimu adalah yang pada kedua matanya ada putihnya.”

 

Gurauan Nabi mengumpulkan tiga titik:

 

Pertama: Kebenaran.

 

Kedua: Kepada kaum wanita dan anak-anak serta laki-laki lemah yang memerlukan didikan.

 

Ketiga: Jarang. Maka siapa yang ingin bergurau terus-menerus tidak selayaknya beralasan dengan gurau Nabi tersebut, karena hukum sesuatu yang jarang tidak sama dengan hukum yang terus-menerus. Kalau ada orang yang duduk bersama orang-orang Habasyah memperhatikan permainan mereka siang dan malam dengan alasan bahwa Nabi berdiri dan mengizinkan Aisyah untuk melihat kepada mereka, maka orang tersebut melakukan kesalahan, karena Nabi tidak melakukannya terus-menerus. Berlebih-lebihan dalam gurau dan canda dilarang, karena ia menjatuhkan wibawa, menanamkan kebencian dan permusuhan. Untuk yang sedikit tidak mengapa seperti gurau Nabi, karena ia menunjukkan keakraban dan kebaikan jiwa.

 

Penyakit Keenam: Menghina dan mengejek, maksudnya merendahkan dan meremehkan, membuka aib dan kekurangan, sehingga mengundang tertawa. Hal itu bisa dengan menirukan kata-kata atau perbuatan, bisa juga dengan isyarat tangan atau mata, semua itu dilarang dalam syariat, larangannya disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Penyakit Ketujuh: Membuka rahasia dan menyelisihi janji, dusta dalam kata-kata dan sumpah, semua itu dilarang, kecuali dusta yang dibolehkan terhadap istri, saat perang, karena hal itu mubah.

 

Kaidahnya adalah bahwa semua tujuan yang terpuji, yang tidak mungkin diraih kecuali dengan dusta, maka ia boleh bila tujuan tersebut juga boleh. Jika tujuan tersebut adalah wajib, maka ia wajib, namun sebisa mungkin dusta wajib dijauhi.

 

Boleh melakukan tauriya’h? berdasarkan sabda Nabi,

 

“Sesungguhnya kata-kata tauriya’h menghindarkan dari dusta.”

 

Tauriya’h diucapkan saat diperlukan, bila tidak, maka makruh, karena mirip dengan dusta.

 

Di antara tauriya’h adalah apa yang kami riwayatkan dari Abdullah bin Rawahah bahwa dia menggauli hamba sahaya perempuannya, istrinya mengetahui lalu dia mengambil pisau kemudian datang dan mendapatinya sudah berdiri darinya. Istrinya bertanya, “Engkau melakukannya?” Dia menjawab, “Aku tidak melakukan apa pun.” Istrinya berkata, “Kamu harus membaca al-Qur‘an atau aku merobek perutmu dengan ini.” Maka dia bersenandung,

 

Di tengah-tengah kami ada Rasulullah yang membaca kitabNya

Bila kebaikan di waktu fajar terbelah dan terbit dengan terang

Bermalam menjauhkan pinggangnya dari tempat tidurnya

Manakala orang-orang kafir sedang tidur dengan pulasnya

Beliau menunjuki kami hidayah setelah kegelapan

Hati kami meyakininya, apa yang beliau sabdakan pasti terjadi.

 

Maka istrinya berkata, “Aku beriman kepada Allah dan mendustakan penglihatanku.”

 

Apabila an-Nakha’i dicari maka dia berkata kepada hamba sahayanya, “Carilah dia di masjid.”

 

Penyakit Kedelapan: Gibah. Al-Qur’an mengharamkannya, pelakunya disamakan dengan orang yang makan bangkai.

 

Dalam hadits disebutkan,

 

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian.”

 

Dari Abu Barzah al-Aslami, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah menggibah kaum Muslimin, jangan mencari-cari aurat (aib) mereka, karena barangsiapa mencari-cari aib mereka, maka Allah akan mencari aibnya, dan barangsiapa yang aibnya dicari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukannya (sekalipun) dia di dalam rumahnya.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Jauhilah gibah, karena ia lebih berat daripada zina. Seorang laki-laki mungkin berzina dan minum khamar kemudian dia bertaubat dan Allah menerima taubatnya, (tetapi) sesungguhnya pelaku gibah, Allah tidak mengampuninya sebelum korbannya memaafkannya.”

 

Ali bin al-Husain berkata,

 

“Jauhilah gibah, karena ia adalah lauk anjing-anjing manusia.”

 

Hadits-hadits dan atsar-atsar dalam hal ini berjumlah banyak.

 

Makna gibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia benci bila terdengar olehnya, baik berupa kekurangan pada tubuhnya seperti rabun, cacat satu mata, juling, botak, jangkung, pendek, dan yang sepertinya. Atau pada nasabnya seperti bapaknya orang Nibthi, atau orang India, atau fasik, atau rendah dan yang sepertinya. Atau pada akhlaknya seperti dia berakhlak buruk, kikir, sombong dan yang sepertinya. Atau pada bajunya seperti ekor bajunya panjang, lengan bajunya terlalu lebar, dan bajunya kotor.

 

Dalil dalam hal ini adalah bahwa Nabi ditanya tentang gibah, maka beliau menjawab,

 

“Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.” Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila apa yang aku katakan itu benar ada pada saudaraku?” Rasulullah menjawab, “Bila apa yang engkau katakan memang ada pada saudaramu, maka engkau sudah menggibahnya, bila tidak ada, maka engkau sudah menuduhnya secara keji (memfitnahnya).”

 

Ketahuilah bahwa semua pembicaraan yang dipahami darinya bahwa orang yang mengucapkannya bertujuan mencela, maka itu termasuk gibah, baik dengan kata-kata atau selainnya, seperti lirikan mata, isyarat, tulisan pena; karena pena adalah salah satu dari dua lisan.

 

Bentuk gibah paling buruk adalah gibah orang-orang yang berpura-pura zuhud lagi riya’’, misalnya menyinggung seseorang di tengah-tengah majelis mereka, lalu mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menguji kita dengan masuk kepada penguasa dan merendahkan diri untuk mendapatkan bagian dunia.” Atau mereka berkata, “Kami berlindung kepada Allah dari minimnya rasa malu.” Atau, “Kami memohon keselamatan kepada Allah.” Mereka itu menggabungkan antara celaan terhadap orang tersebut dan sanjungan kepada diri mereka.

 

Bisa jadi salah seorang dari mereka berkata manakala seseorang disebut di depannya, “Kasihan, dia diuji dengan penyakit besar, semoga Allah mengampuninya dan kami.” Dia menampakkan doa namun menyembunyikan maksudnya (yaitu mencela dan memburukkan aibnya).

 

Ketahuilah bahwa orang yang mendengar gibah adalah ikut serta dalam menanggung dosa gibah. Dia tidak terbebas dari dosa mendengarnya kecuali dengan mengingkari dengan kata-kata. Jika takut maka dengan hatinya. Jika dia mampu berdiri, atau memutus kata-katanya dengan kata-kata yang lain, maka dia harus melakukannya.

 

Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa yang (melihat) seorang Mukmin dihina di depannya padahal dia mampu menolongnya (tetapi dia diam), maka Allah akan menghinakannya di depan seluruh makhluk.”

 

Nabi juga bersabda

 

“Barangsiapa melindungt seorang Mukmin dari orang munafik yang mencelanya, maka Allah mengutus malaikat untuk menjaga dagingnya di Hari Kiamat dari api neraka.”

 

Amr bin Utbah melihat hamba sahayanya bersama seorang laki-laki yang sedang membicarakan orang lain, maka Amr berkata, “Celaka engkau, bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar keburukan sebagaimana engkau membersihkan dirimu dengan tidak mengatakannya; pendengar adalah sekutu pengucap. Dia melihat kepada keburukan yang ada dalam bejananya lalu dia menumpahkannya ke dalam bejanamu. Seandainya kata-kata orang bodoh dikembalikan ke mulutnya, niscaya orang yang mengembalikannya berbahagia sebagaimana orang yang mengucapkannya sengsara.”

 

Terdapat hadits-hadits tentang hak Muslim atas Muslim, ia sudah hadir dalam Kitab Persahabatan.

 

PASAL

SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG GIBAH DAN TERAPINYA

 

Sebab-sebab yang mendorong gibah berjumlah banyak.

 

Pertama, melampiaskan amarah, yakni sebuah sebab yang terjadi dari seseorang terhadap orang lain yang membuatnya marah, sehingga setiap kali amarahnya muncul, maka dia melampiaskannya dengan menggibahnya.

 

Kedua, menyetujui sikap kawan-kawan dan teman-teman, mencari muka dan membantu mereka. Apabila mereka merusak kehormatan orang lain, lalu orang ini melihat jika dia mengingkari mereka atau mengalihkan pembicaraan mereka, maka mereka akan menjauhinya dan membencinya. Sehingga dia membantu mereka dan menganggap bahwa hal itu termasuk dalam etika pergaulan.

 

Ketiga, keinginan mengangkat diri dengan merendahkan orang lain, misalnya dia berkata, “Fulan bodoh, pemahamannya lemah.” Atau yang seperti itu, tujuannya di balik itu adalah menampakkan keunggulan dirinya, memperlihatkan bahwa dia lebih pandai darinya.

 

Demikian juga hasad terhadap seseorang manakala orang tersebut disanjung, dicintai dan dihormati oleh masyarakat, maka dia mencederainya dalam rangka meruntuhkan sanjungan tersebut.

 

Keempat, main-main dan gurau, yaitu dengan menyebut orang lain dengan sesuatu yang membuat orang-orang tertawa dengan cara menirunya, sampai-sampai ada orang yang menjadikan hal ini sebagai profesi.

 

Untuk mengobati gibah, hendaknya pelakunya menyadari bahwa perbuatannya tersebut mengundang murka dan amarah Allah, bahwa kebaikannya akan disandarkan kepada korbannya. Jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan korban akan dipikulkan kepadanya. Barangsiapa mengingat-ingat semua ini, niscaya dia tidak melepaskan lisannya untuk gibah.

 

Jika hendak menggibah hendaknya melihat aib dirinya sendiri menyibukkan diri untuk memperbaikinya, hendaknya malu mencela orang lain padahal dirinya tercela. Sebagian dari mereka berkata,

 

Jika engkau mencela orang lain dengan sesuatu yang ada pada dirimu

Maka bagaimana orang yang matanya cacat satu mencela (mata) orang lain?

Jika engkau mencela orang lain dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka

Maka hal itu lebih berat di depan Allah dan di depan manusia.

 

Jika dia menyangka dirinya bebas dari aib, maka hendaknya menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah, tidak perlu mengotori diri dengan aib paling buruk yaitu gibah. Sebagaimana dia tidak rela orang lain menggibahnya, maka semestinya dia juga tidak rela menggibah orang lain.

 

Maka hendaknya setiap orang memperhatikan sebab yang mendorongnya melakukan gibah, berusaha semampunya untuk memutuskannya, karena obat suatu penyakit adalah dengan menghilangkan sebabnya. Kami sudah menyebutkan sebagian dari sebab-sebabnya, mengobati amarah dengan apa yang akan hadir dalam Kitab Amarah. Mengobati sikap mencari muka dengan mengetahui bahwa Allah marah terhadap siapa yang mencari ridha makhluk dengan murkaNya. Sebaliknya dia patut marah kepada rekan-rekannya, mengobati yang lainnya juga seperti ini.

 

PASAL

GIBAH BISA TERJADI DENGAN HATI, YAITU SU’U ZHAN (BURUK SANGKA) TERHADAP KAUM MUSLIMIN

 

Zhan (prasangka) adalah sesuatu yang jiwa manusia cenderung kepadanya dan hati mengarah ke sana. Engkau tidak berhak menduga buruk terhadap seorang Muslim, kecuali jika terjadi sebuah perkara yang jelas yang tidak memerlukan penjelasan lagi. Jika ada orang adil (jujur dan baik) mengabarkan kepadamu lalu hatimu cenderung membenarkannya, maka bisa dimaklumi, karena jika engkau mendustakan, maka engkau sudah berburuk sangka kepada pembawa berita. Tidak patut engkau berbaik sangka kepada seseorang dan berburuk sangka kepada orang lain. Sebaliknya engkau patut meneliti, adakah di antara keduanya hasad atau permusuhan? Sehingga muncul tuduhan disebabkan karena itu. Jika terlintas dugaan buruk terhadap seorang Muslim, maka engkau harus lebih memperhatikannya dan mendoakan kebaikan untuknya, karena hal itu membuat setan marah dan menjauhkannya darimu. Sehingga dia tidak membisikkan kepadamu pikiran buruk karena takut terhadap doa dan penjagaan yang engkau lakukan.

 

Apabila seorang Muslim melakukan kesalahan, maka nasihatilah ia secara rahasia.

 

Ketahuilah bahwa di antara akibat su’u zhan (buruk sangka) adalah memata-matai, karena hati tidak puas hanya dengan dugaan, sehingga ia ingin memastikan dan sibuk dengan memata-matai. Hal ini dilarang, karena hal tersebut merusak kehormatan seorang Muslim, seandainya ia tidak terbuka untukmu, maka hatimu lebih selamat bagi seorang Muslim.

 

ALASAN DIBOLEHKANNYA GIBAH DAN KAFARAT GIBAH

 

Ketahuilah bahwa yang dibolehkan dalam menyebutkan keburukan orang lain adalah untuk sebuah tujuan yang benar dalam syariat yang tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan gibah. Hal itu mengangkat dosa gibah. Tujuan-tujuan tersebut adalah:

 

Pertama: Kasus kezhaliman. Orang yang dizhalimi boleh menyebutkan orang yang menzhaliminya manakala dia mengadukannya kepada pihak yang berwenang mengambil haknya darinya.

 

Kedua: Saling tolong menolong dalam mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kezhaliman ke jalan yang benar.

 

Ketiga: Meminta fatwa. Misalnya seseorang berkata kepada mufti, “Fulan menzhalimiku atau mengambil hakku, lalu bagaimana cara mengambil hakku darinya?” Menyebut nama fulan secara langsung adalah mubah (boleh) dan yang lebih baik adalah dengan kata sindiran, misalnya dia berkata, “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang dizhalimi oleh bapak atau saudaranya?” Atau yang seperti itu.

 

Dalil dibolehkannya menunjuk dalam masalah ini adalah hadits Hindun (istri Abu Sufyan) manakala dia berkata kepada Nabi, “Abu Sufyan adalah laki-laki kikir.,..”‘ Dan Nabi tidak mengingkarinya.

 

Keempat: Memperingatkan kaum Muslimin. Misalnya engkau melihat seorang yang belajar fikih mendatangi ahli bid’ah atau fasik perulang-ulang, engkau khawatir dia ketularan, maka engkau boleh membuka keadaannya yang sebenarnya.

 

Demikian juga bila engkau tahu bila hamba sahayamu mencuri atau berbuat fasik, maka engkau boleh menyebutkannya kepada pembeli.

 

Demikian juga orang yang meminta pendapat karena hendak menikahkan atau menitipkan amanat, dia boleh menyebutkan apa yang diketahuinya dengan maksud menasihati orang yang meminta pendapat, bukan dengan maksud menjelek-jelekkannya, bila dia mengetahui bahwa dia hanya jera dengan kata-kata terbuka.

 

Kelima: Yang bersangkutan dikenal dengan julukan seperti pincang atau rabun, maka siapa yang menyebutkannya tidaklah berdosa, namun bila ada cara lain, maka itu lebih utama.

 

Keenam: Yang bersangkutan berbuat fasik secara terbuka, tidak menolak bila perbuatannya dibicarakan. Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Barangstapa membuang tabir rasa malu (pada dirinya), maka tidak (terhitung) gibah baginya (bila dibicarakan).”

 

Imam al-Hasan ditanya, “Orang fasik yang mengumumkan kefasikannya, bila aku menyebut apa yang ada padanya, apakah hal itu gibah?” Dia menjawab, “Tidak, karena dia tidak mempunyai kehormatan.”

 

Untuk kafarat gibah: Ketahuilah bahwa pelaku gibah telah melakukan dua kejahatan:

 

Pertama; berkaitan hak Allah, karena dia melakukan apa yang dilarang oleh Allah, maka kaffaramya adalah menyesal dan bertaubat.

 

Kedua; berkaitan dengan kehormatan makhluk. Bila gibah sudah sampai kepada korban, maka dia harus datang dan meminta maaf kepadanya dan memperlihatkan penyesalan atas perbuatannya.

 

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, baik terkait dengan harta atau kehormatan, maka hendaknya menemuinya lalu meminta dihalalkan (dimaafkan) sebelum dihisab yang dia tidak lagi memiliki dirham dan dinar, jika dia mempunyai kebaikan-kebaikan, maka sebagian darinya diambil dan diberikan kepada orang yang dizhaliminya, jika tidak maka keburukan orang yang dizhaliminya akan ditimpakan kepadanya.’

 

Bila gibah belum sampai kepada korban, maka sebagai ganti meminta maaf adalah memohonkan ampunan baginya, agar tidak mengabarkan sesuatu yang tidak diketahuinya yang bisa membuat dadanya menjadi sempit. Dalam hadits,

 

“Kafarat bila kamu menggibah seseorang adalah hendaknya kamu memohon ampunan baginya.”

 

Mujahid berkata, “Bila kamu memakan daging saudaramu, maka kaffaratnya adalah memujinya dan mendoakan kebaikan untuknya, demikian juga bila korban gibah sudah meninggal dunia.”

 

Penyakit Kesembilan dari penyakit lisan adalah: Namimah. Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi bersabda,

 

“Tidak akan masuk surga orang yang gemar (menyebar) namimah.”

 

Ketahuilah bahwa pada umumnya namimah digunakan untuk menukil perkataan seseorang, misalnya dia berkata, “Fulan berkata tentangmu begini dan begini.” Padahal namimah tidak hanya khusus dengan itu, akan tetapi batasannya adalah membuka apa yang tidak disukai untuk dibuka, baik perkataan atau perbuatan. Bahkan seandainya seseorang melihat orang lain mengubur hartanya sendiri lalu dia mengatakannya, maka ini juga namimah. Seseorang yang namimah dinukil kepadanya, seperti dikatakan kepadanya, “Fulan berkata ini dan ini tentangmu,” atau “melakukan ini dan ini terhadap hakmu”, atau yang seperti itu, maka dia menyikapinya dengan enam pilihan:

 

Pertama: Tidak mempercayai orang yang menyampaikannya, karena pelaku namimah adalah orang fasik yang kesaksiannya ditolak.

 

Kedua: Melarangnya dan menasihatinya.

 

Ketiga: Membencinya karena Allah, karena orang tersebut memang dibenci di sisi Allah.

 

Keempat: Tidak menduga saudaranya yang tidak hadir dengan dugaan buruk.

 

Kelima: Hendaknya apa yang diucapkan tidak membuatnya mencari-cari beritanya dan memata-matai, berdasarkan Firman Allah

 

“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (Al-Hujurat: 12).

 

Keenam: Hendaknya jangan sampai dia melakukan namimah sebagaimana orang yang dia larang.

 

Diriwayatkan bahwa Sulaiman bin Abdul Malik berkata kepada seorang laki-laki, “Aku mendengar bahwa engkau menjelek-jelekkan diriku, engkau berkata tentangku ini dan itu.” Laki-laki itu menjawab, “Aku tidak melakukan.” Sulaiman berkata, “Orang yang menyampaikan kepadaku adalah orang yang jujur.” Laki-laki itu berkata, “Orang ahli namimah tidak ada yang jujur.” Maka Sulaiman berkata, “Engkau benar. Pergilah dengan selamat.”

 

Yahya bin Abu Katsir berkata, “Pelaku namimah dapat merusak dalam satu hari apa yang tidak mampu dirusak oleh penyihir dalam sebulan.”

 

Dikisahkan bahwa seorang laki-laki menawar seorang budak, maka majikannya berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri kepadamu dari namimah dan dusta.” Maka dia menjawab, “Ya, engkau bebas dari keduanya.” Maka dia membelinya. Maka budak tersebut berkata kepada majikannya, “Istrimu berbuat keji, dia ingin membunuhmu.” Budak itu juga berkata kepada istri majikannya, “Suamimu hendak menikahi wanita lain dan mengangkat hamba sahaya wanita, bila engkau ingin aku membujuknya agar tidak menikah lagi dan tidak memiliki budak wanita, maka siapkan pisau cukur dan cukurlah rambutnya dari arah lehernya bila dia tidur.” Budak itu berkata kepada suami, “Istrimu ingin membunuhmu saat engkau tidur.” Maka suami itu pura-pura tidur, lalu istrinya datang dengan membawa pisau cukur hendak mencukurnya dari lehernya, maka suaminya langsung bangun dan membunuh istrinya, maka keluarga istri tidak terima dan membunuh si suami.

 

Penyakit Kesepuluh: Kata-kata orang yang memiliki dua lidah yang mondar-mandir di antara dua pihak yang berseteru, menukil kata-kata satu pihak kepada pihak yang lainnya, berbicara kepada masing-masing pihak dengan kata-kata yang disukai atau berjanji membantunya atau menyanjung satu pihak di depannya dan mencela yang lain.

 

Dalam hadits disebutkan,

 

“Sesungguhnya manusia paling buruk (paling jahat) adalah pemilik dua wajah yang datang kepada pihak ini dengan satu wajah dan datang kepada pihak yang lain dengan wajah lain.”

 

Ketahuilah bahwa hal ini berlaku bagi orang yang tidak terpaksa melakukan hal itu. Adapun bila dia terpaksa (dalam keadaan darurat) ketika bersikap lunak di depan penguasa, maka boleh.

 

Abu ad-Darda’ berkata, “Sesungguhnya kami menampakkan wajah berseri di depan suatu kaum, sekalipun hati kami melaknat mereka.”

 

Tetapi bila mampu memperlihatkan ketidaksetujuannya, maka harus.

 

Penyakit Kesebelas: Sanjungan. Ia memiliki beberapa sisi negatif, di antaranya ada yang berkaitan dengan orang yang menyanjung dan ada pula yang berkaitan dengan orang yang disanjung.

 

Penyakit orang yang menyanjung, mungkin berkata apa yang tidak dipastikan kebenarannya dan dia tidak mempunyai jalan untuk mengetahuinya. Misalnya dia berkata, “Dia adalah laki-laki wara’ dan ahli zuhud.” Terkadang menyanjung secara berlebih-lebihan yang menyeretnya kepada dusta, terkadang menyanjung orang yang sebenarnya patut dicela.

 

Diriwayatkan dalam hadits,

 

“Sesungguhnya Allah murka bila orang fasik disanjung.”

 

Al-Hasan berkata, “Barangsiapa mendoakan umur panjang kepada orang zhalim, maka berarti dia suka bila Allah didurhakai.”

 

Bagi orang yang disanjung, sanjungan bisa melahirkan kesombongan dan ujub dalam dirinya, maka keduanya dapat mencelakakan.

 

Karena itu manakala Nabi mendengar seseorang memuji orang lain, beliau bersabda,

 

“Celaka kamu, kamu telah memotong leher kawanmu.”

 

Dan hadits ini adalah hadits masyhur.

 

Kami meriwayatkan dari al-Hasan i bahwa beliau berkata, Umar sedang duduk dengan tongkat di tangan sementara orang-orang di sekeliling beliau, lalu al-Jarud datang, seorang laki-laki berkata (menyanjung), “Ini adalah sayyid Rabi’ah.” Umar dan orang-orang mendengarnya dan al-Jarud juga mendengarnya, manakala dia mendekat, Umar memukulnya dengan tongkat, maka dia berkata, “Ada apa antara diriku dengan dirimu wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab, “Ada apa? Apakah engkau tidak mendengarnya?” Dia menjawab, “Ya, aku mendengar. Lalu apa?” Umar berkata, “Aku khawatir sebagian darinya menancap dalam hatimu, maka aku ingin meringankannya darimu sehingga engkau tidak sombong.”

 

Hal itu karena bila seseorang disanjung, maka dia akan senang terhadap dirinya, dia mengira dirinya sudah baik, maka dia tidak akan lagi beramal, karena itu Nabi  bersabda, “Kamu telah memotong leher kawanmu.”

 

Jika sanjungan bebas dari penyakit-penyakit ini, maka tidak mengapa, Nabi sendiri pernah menyanjung Abu Bakar, Umar, dan para sahabat yang lainnya.°”

 

Orang yang disanjung patut berhati-hati dari penyakit sombong, ujub dan berhenti beramal. Tidak ada yang selamat dari penyakit-penyakit ini kecuali siapa yang mengetahui dirinya, merenungkan bahwa seandainya orang yang menyanjungnya mengetahui hakikat dirinya yang sebenarnya, niscaya dia tidak akan menyanjungnya.

 

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki shalih disanjung, maka dia berkata, “Ya Allah, mereka itu tidak mengetahui diriku dan Engkau-lah yang mengetahui tentangku.”

 

Penyakit Kedua Belas: Salah perkataan terkait dengan perkara agama, lebih-lebih yang berkaitan dengan Allah, dan yang mampu meluruskan lafazhnya hanyalah para ulama yang fasih. Barangsiapa ilmu atau kefasihannya tidak memadai, maka kata-katanya tidak selamat dari kekeliruan, akan tetapi Allah memaafkan kebodohannya.

 

Contoh dari hal ini adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi  bahwa beliau bersabda,

 

“Janganlah salah seorang di antara kalian berkata, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Akan tetapi hendaknya dia berkata, ‘Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu’.”

 

Hal itu karena athaf muthlaq mengandung makna persekutuan dan penyamaan. Tidak berbeda dengan hal ini pengingkaran beliau terhadap seorang khathib saat dia berkata,

 

“Barangsiapa mendurhakai keduanya, maka dia telah tersesat.” Maka Nabi bersabda, “Ucapkan, ‘Barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya’.”

 

Nabi juga bersabda,

 

“Janganlah salah seorang di antara kalian berkata, ‘Hambaku, laki-laki dan wanita.’ Karena kalian semua adalah hamba Allah, namun hendaknya dia berkata, ‘Ghulami dan jariya’ti’.”

 

An-Nakha’i berkata, “Jika seorang laki-laki berkata kepada orang lain, ‘Wahai keledai, wahai babi,’ maka akan dikatakan kepadanya di Hari Kiamat, ‘Apakah engkau melihatKu menciptakannya sebagai keledai. Apakah engkau melihatKu menciptakannya sebagai babi?”

 

Ini dan yang sepertinya masuk ke dalam perkataan yang tidak terbatas. Barangsiapa memperhatikan penyakit-penyakit lisan yang kami sebutkan, maka dia mengetahui bahwa bila dia melepaskan lidahnya, maka dia tidak akan selamat, (sehingga) saat itu dia akan mengetahui rahasia sabda Nabi,

 

“Barangsiapa diam, maka dia selamat.”

 

Karena penyakit-penyakit ini adalah sesuatu yang membinasakan yang ada di jalan orang yang berbicara, bila dia diam, maka dia selamat.

 

PASAL

 

[Penyakit Ketiga Belas:] Di antara penyakit lisan bagi orang awam adalah mereka bertanya (tentang apa-apa yang tidak perlu), tentang sifat-sifat Allah dan FirmanNya.

 

Ketahuilah bahwa setan memunculkan khayalan (ilusi) ke dalam benak orang awam, “Engkau berbicara di bidang ilmu, maka engkau termasuk ulama dan orang mulia,” maka setan terus membuatnya mencintai hal itu sehingga dia mengucapkan kata-kata yang merupakan kekufuran sedangkan dia tidak mengetahui.

 

Nabi bersabda,

 

“Hampir-hampir manusia bertanya dan bertanya sehingga mereka berkata, ‘Allah menciptakan makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?'”

 

Pertanyaan orang awam tentang ilmu-ilmu yang samar termasuk penyakit yang berbahaya. Keinginan mereka untuk membahas maknamakna sifat Allah termasuk perkara yang merusak mereka dan tidak memperbaiki mereka, karena yang wajib atas mereka adalah menerima. Seyogianya bagi orang awam adalah beriman kepada apa yang tercantum di dalam al-Qur’an kemudian menerima apa yang datang dari Rasulullah tanpa banyak bertanya, dan menyibukkan diri dengan ibadah. Jika mereka menyibukkan diri mengkaji rahasia-rahasia ilmu, maka apa yang mereka lakukan itu tidak berbeda dengan hewan ternak yang mengkaji rahasia raja.

 

Ketahuilah bahwa marah adalah gumpalan api. Saat manusia marah, dia menyerahkan uratnya untuk dikuasai setan yang terkutuk, yang dia berkata,

 

“Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf: 12 dan Shad: 76).

 

Sifat tanah adalah diam dan tenang, sementara sifat api adalah bergolak dan berkobar, bergerak dan berguncang.

 

Di antara akibat marah adalah dengki dan hasad.

 

Dan di antara hadits yang mencela marah adalah sabda Nabi kepada seorang laki-laki yang berkata kepada beliau,

 

“Beri aku wasiat.” Nabi menjawab, “Jangan marah.” Laki-laki itu mengulangi kata-katanya berulang kali dan beliau (berulang kali juga) menjawab, “Jangan marah.”

 

Dalam hadits lain bahwa Abdullah bin Amr + bertanya kepada Nabi

 

“Apa yang dapat menjauhkanku dari murka Allah ” Nabi menjawab, “Jangan marah.”

 

Dalam hadits yang disepakati keshahihannya olch al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Orang kuat bukan dengan kekuatan bergulat akan tetapi orang kuat adalah orang yang menguasai dirinya saat marah.”

 

Kami juga meriwayatkan (suatu riwayat yang menyebutkan) bahwa Dzul Qarnain pernah bertemu dengan seorang malaikat, maka dia berkata, “Ajari aku sebuah ilmu yang membuat iman dan keyakinanku bertambah.” Malaikat itu menjawab, “Jangan marah, Karena kesempatan setan paling mampu merusak anak Adam adalah saat dia marah. Tolaklah marah dengan menahannya, tenangkanlah ia dengan kelembutan. Jauhilah tergesa-gesa, karena jika engkau tergesa-gesa, maka engkau akan terluput dari bagianmu. Jadilah orang yang mudah dan lembut bagi orang dekat dan orang jauh, jangan menjadi orang yang sombong lagi keras kepala.”

 

Kami juga meriwayatkan (suatu riwayat) bahwa iblis (semoga Allah melaknatnya) menampakkan dirinya kepada Nabi Musa, lalu dia berkata, “Hai Musa, jauhilah emosi, karena aku mempermainkan orang yang emosional seperti anak-anak memainkan bola. Waspadailah juga wanita, karena aku tidak memasang perangkap yang lebih kuat daripada perangkap dengan wanita. Dan jauhilah sikap kikir, karena aku merusak orang yang kikir; dunia dan akhiratnya.”

 

Dikatakan, “Jauhilah marah, karena ia merusak iman seperti buah yang pahit merusak madu; marah adalah musuh akal.”

 

[Hakikat Marah]

 

Hakikat marah adalah mendidihnya darah dalam hati untuk melakukan pembalasan, maka bila seseorang marah, api amarah bergolak yang dengannya darah dalam hati menjadi mendidih, menyebar ke aliran darah, naik ke bagian atas tubuh, seperti air mendidih dalam bejana yang naik ke atas. Karena itu wajah, mata, dan kulitnya memerah, semua itu mengungkapkan warna darah yang merah yang ada di baliknya, seperti kaca yang menampakkan warna benda yang ada di baliknya. Darah akan reda manakala amarah ini terlampiaskan kepada orang yang lebih rendah darinya dan ia merasa berkuasa atasnya.

 

Bila marah bersumber dari orang yang lebih tinggi, dan tidak mampu melampiaskannya, maka hal itu menyebabkan darah tertahan dari permukaan kulit ke dalam hati sehingga ia merasakan kesedihan, karena itu warna kulitnya pucat. Bila marahnya terhadap sesuatu yang diragukan, maka darah antara bergolak dan tertahan, sehingga wajahnya memerah sekaligus pucat dan mengalami keguncangan. Membalas adalah sumber utama kuatnya amarah.

 

Manusia berdasar kekuatan amarah terbagi menjadi tiga tingkat: keras, lemah, dan tengah-tengah.

 

Yang pertama, tidak terpuji karena ia menyingkirkan akal dan agama untuk mengaturnya. Sehingga dalam kondisi tersebut seseorang tidak bisa berpikir, mempertimbangkan dan memutuskan dengan baik.

 

Yang kendor juga tercela, karena hal itu membuktikan bahwa pemiliknya tidak memiliki semangat membela dan ghirah. Barangsiapa tidak mempunyai amarah sama sekali, maka dia gagal dalam melatih dirinya, karena melatih diri itu harus terwujud melalui penguasaan amarah atas hawa nafsu. Sehingga seseorang mampu marah terhadap diri saat diri cenderung kepada hawa nafsu yang rendah. Hilangnya amarah seperti ini tercela, maka seseorang patut berada di antara kedua sisi ekstrem ini.

 

Ketahuilah, bila api amarah berkobar dengan kuat, maka ia membutakan pemiliknya dan membuatnya tuli dari semua nasihat, karena amarah naik ke otak lalu ia menutup sumber-sumber pikiran. Bahkan bisa merembet kepada sumber-sumber perasaan sehingga ia menggelapkan matanya sehingga tidak melihat dengan matanya. Dunia menjadi hitam di wajahnya. Otaknya menjadi seperti gua yang di dalamnya dinyalakan api. Udaranya sumpek hitam, suasananya panas, penuh dengan asap. Ada cahaya lemah lalu ia padam, sehingga kaki tidak bisa melangkah dengan tegak, kata tidak terdengar padanya, tidak terlihat bayangan padanya, hingga dia tidak mampu memadamkan api. Demikianlah yang dilakukan oleh amarah terhadap hati dan otak, bisa jadi amarahnya naik dan akhirnya membunuh pemiliknya sendiri.

 

Di antaranya dampak amarah pada penampilan lahir adalah perubahan rona kulit, bergetarnya anggota badan dengan keras, keluarnya perbuatan-perbuatan di luar kontrol, perubahan pada tubuh bahkan bertingkah seperti perbuatan orang-orang gila. seandainya orang yang marah melihat dirinya saat marah, betapa buruknya dia, niscaya dia mencemooh keadaan tersecbut pada dirinya, dan sudah dimaklumi bahwa keadaan batinnya lebih buruk lagi.

 

PASAL

 

SEBAB-SEBAB BERGEJOLAKNYA MARAH DAN TERAPI MARAH

 

Engkau sudah mengetahui bahwa obat setiap penyakit adalah dengan mencegah sumbernya dan menghilangkan sebab-sebabnya.

 

Di antara sebab-sebab amarah adalah sifat ujub, bergurau, berdebat, berseteru, berkhianat, ambisi tinggi terhadap kelebihan harta dan kedudukan; semua itu adalah akhlak rendah dan tercela dalam syariat. Setiap sifat di atas harus diatasi dengan lawannya; berusaha mencegah sumber-sumber marah dan memutuskan sebab-sebabnya.

 

Apabila marah terjadi, maka ia bisa diatasi dengan beberapa tindakan, di antaranya:

 

Pertama: Merenungkan berita yang menetapkan keutamaan menahan amarah, memaafkan, bersikap santun dan sabar, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki-laki meminta izin menghadap kepada Umar dan Umar mengizinkan. Laki-laki itu berkata kepada Umar, “Wahai Ibnul Khaththab, demi Allah, engkau tidak memberi banyak kepada kami dan engkau tidak memutuskan di antara kami dengan adil.” Umar marah dan berniat menimpakan sesuatu yang buruk terhadapnya, lalu al-Hurr bin Qais berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah berfirman kepada NabiNya,

 

‘Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh,’ (Al-A’raf: 199), dan orang ini termasuk orang-orang yang bodoh.”

 

Maka demi Allah, amarah Umar langsung padam begitu mendengar ayat tersebut, karena Umar adalah laki-laki yang sangat patuh kepada Firman Allah.

 

Kedua: Hendaknya seseorang mengkhawatirkan dirinya dengan hukuman Allah yaitu dengan berkata kepada dirinya, “Kuasa Allah atasku lebih besar daripada kuasaku atas orang ini, bila aku melampiaskan amarahku terhadapnya, maka siapa yang menjaminku bahwa Allah tidak menurunkan amarahNya kepadaku di Hari Kiamat, padahal saat itu aku sangat membutuhkan maaf.”

 

Allah berfirman di sebagian kitab,

 

“Wahai anak cucu Adam! Ingatlah Aku saat engkau marah, maka Aku mengingatmu saat Aku marah, dan Aku tidak memurkaimu di antara orang-orang yang Aku murkai,”

 

Ketiga: Hendaknya menyadari akibat dari permusuhan dan pembalasan, karena musuh juga akan menyingsingkan lengan bajunya dalam menghancurkan kehormatannya dan akan gembira dengan musibah yang menimpanya, karena manusia tidak luput dari musibah. Maka hendaknya dia menakut-nakuti dirinya dengan hal itu di dunia, bila dia tidak takut dari akhirat. Inilah yang disebut dengan penguasaan hawa nafsu atas amarah, dan tidak ada pahala untuknya, karena ia hanya mendahulukan sebagian kepentingan di atas kepentingan yang | lain, kecuali bila akibatnya adalah perubahan terhadap sebuah perkara yang membantunya mewujudkan urusan akhirat, maka dengan hal tersebut dia diberi pahala.

 

Keempat: Hendaknya membayangkan buruknya penampilan dirinya saat marah, sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya. Saat itu dia menyerupai anjing galak dan serigala yang sangar, dan bahwa pada saat itu dia jauh dari akhlak para nabi dan para ulama, agar hal itu mendorongnya untuk meneladan mereka.

 

Kelima: Merenungkan sebab yang membuatnya marah. Misalnya jika sebab marahnya adalah godaan setan yang berkata, “Bila engkau tidak marah maka hal itu menunjukkan bahwa engkau lemah, hina, rendah, berjiwa kerdil, dan engkau menjadi rendah di mata orang-orang”, maka hendaknya dia berkata kepada dirinya, “Engkau keras dan tidak mau mengalah sekarang, sedangkan engkau tidak keras menolak kehinaan di Hari Kiamat saat orang yang engkau marahi itu memegang tanganmu dan membalasmu di sana? Engkau takut menjadi hina dan rendah di depan manusia tetapi engkau tidak takut menjadi rendah dan hina di hadapan Allah, para malaikat, dan para nabi.”

 

Orang yang marah patut menahan amarahnya, karena sikapnya itu akan mengangkat kedudukannya di sisi Allah. Apa urusan diri dengan manusia? Bukankah dia suka bila dialah yang akan berdiri di Hari Kiamat saat diserukan, “Hendaknya berdiri,

 

 

“Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (An-Nisa’: 100)

 

“Maka tidak ada yang bangkit kecuali orang yang memaafkan.” Hal ini dan yang sepertinya patut engkau tanamkan dalam hatimu.

 

Keenam: Hendaknya disadari bahwa amarahnya hanya karena sesuatu yang bergejolak sesuai dengan keinginan Allah bukan keinginannya, lalu bagaimana dia mendahulukan keinginannya di atas keinginan Allah? Semua itu berkaitan dengan hati.

 

Berkaitan dengan tindakan yang bisa dilakukan (untuk meredam marah), maka hendaknya orang yang marah bersikap tenang, mengucapkan ta’awwudz, mengubah keadaan (posisinya) jika berdiri, maka duduk, jika duduk, maka berbaring. Kita juga diperintahkan untuk berwudhu saat marah. Berkaitan dengan perkara ini, banyak hadits yang menyebutkannya.

 

Hikmah berwudhu saat marah dijelaskan oleh hadits sebagaimana yang ditiwayatkan oleh Abu Wa‘il yang berkata,

 

“Kami sedang bersama Urwah bin Muhammad, lalu seorang laki-laki berbicara kepadanya, maka dia sangat marah, lalu dia bangkit dan berwudhu, kemudian dia datang dan berkata, bapakku menyampaikan kepadaku dari kakekku, Athiyah -seorang sahabatdia berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya marah itu dari setan, sesungguhnya setan diciptakan dari api dan api hanya dipadamkan oleh air, maka bila salah seorang di antara kalian marah, hendaknya dia berwudhu.”

 

Saat marah, dianjurkan untuk duduk dan berbaring, karena dengan itu seseorang mendekat ke tanah yang darinya dia diciptakan, mengingat asal-usulnya sehingga membuatnya merendah. Bisa jadi pula duduk dan berbaring diperintahkan untuk membuatnya bertawadhu’ dengan kerendahannya, karena marah berasal dari kesombongan. Ini ditunjukkan oleh hadits Abu Sa’id dari Nabi bahwa beliau menyebutkan marah dan bersabda,

 

“Barangsiapa merasakan sebagian dari (rasa marah) itu, maka hendaknya menempelkan pipinya ke tanah.”

 

Disebutkan, al-Mahdi marah terhadap seseorang, lalu dia meminta cemeti, manakala Syabib melihat amarahnya yang memuncak dan orang-orang tertunduk tanpa berkata-kata, dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jangan membuat Allah marah dengan apa yang lebih besar daripada apa yang membuatNya marah untuk DiriNya.” Maka al-Mahdi berkata, “Lepaskan dia.”

 

PASAL

MENAHAN AMARAH

 

Allah  berfirman,

 

“Orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali Imran: 134).

 

Allah menyebutkan sifat ini dalam konteks sanjungan (terhadap orang-orang yang bertakwa). Dan Rasulullah  bersabda,

 

“Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu melampiaskannya, maka Allah memanggilnya (pada Hari Kiamat) di depan seluruh makhluk sehingga Dia mengizinkannya untuk memilih bidadari yang dikehendakinya.”

 

Diriwayatkan dari Umar bahwa beliau berkata,

 

” Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka dia tidak akan melampiaskan amarahnya. Barangsiapa takut kepada Allah, maka dia tidak akan melakukan apa saja yang diinginkannya. Dan kalau bukan karena Hari Kiamat, niscaya (yang terjadi adalah) selain apa yang kalian lihat.”

 

PASAL

KESANTUNAN

 

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Ilmu itu hanya (bisa diraih) dengan belajar dan kesantunan itu adalah dari usaha bersikap santun.”

 

“Carilah ilmu dan carilah di samping ilmu ketenangan dan kesantunan, bersikaplah lunak kepada orang yang kamu ajari dan kepada orang yang kamu belajar kepadanya, janganlah menjadi ulama-ulama yang sombong, karena orang-orang bodoh akan mengalahkan kalian.”

 

Nabi bersabda kepada Asyaj Abdu Qais,

 

“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang Allah dan RasulNya cintai: Kesantunan dan penuh perhitungan.”

 

Seorang laki-laki mencaci Ibnu Abbas, dan setelah orang itu menyudahi perkataannya, Ibnu Abbas berkata, “Ikrimah, lihatlah, adakah orang tadi mempunyai hajat yang bisa kita bantu selesaikan?” Maka laki-laki itu pun tertunduk malu.

 

Seorang laki-laki mengucapkan kata-kata yang keras (pedas) di depan Mu’awiyah, maka seseorang berkata kepada Mu’awiyah, “Mengapa engkau tidak menghukumnya?” Beliau menjawab, “Sungguh aku malu bila kesantunanku hilang karena kesalahan dari salah seorang rakyatku,.”

 

Mu’awiyah juga pernah membagi tikar dari kulit, lalu beliau mengutus sescorang untuk memberi seorang laki-laki tua Damaskus, naniun laki-laki ini tidak menyukainya, hingga utusan itu bersumpah akan memukul kepala Mu’awiyah, utusan tersebut datang kepada Mu’awiyah dan menyampaikan hal itu kepadanya. Maka Mu’awiyah berkata, “Penuhilah nazarmu dan perlakukan Jaki-laki tua itu dengan lemah lembut.”

 

Seorang sahaya milik Abu Dzar mematahkan kaki kambing milik beliau, maka Abu Dzar bertanya, “Siapa pelakunya?” Budak itu menjawab, “Aku, sengaja agar engkau marah dan memukulku, maka engkau akan berdosa.” Maka Abu Dzar menjawab, “Aku akan membuat setan yang menghasutmu marah.” Lalu Abu Dzar memerdekakannya.

 

Seorang laki-laki mencaci Adi bin Hatim sementara beliau hanya diam, dan saat laki-laki itu menyudahi kata-katanya, Adi berkata, “Bila masih ada yang belum dikatakan, maka silakan lanjutkan sebelum anak-anak muda kampungku datang, karena bila mereka mendengar apa yang engkau katakan tadi kepada tetua mereka, niscaya mereka tidak akan menerimanya.”

 

Suatu malam khalifah Umar bin Abdul Aziz masuk masjid, karena gelap, Umar tersandung seorang laki-laki yang sedang tidur, maka laki-laki itu terjaga dan berkata, “Apakah engkau gila?” Umar menjawab, “Tidak.” Namun para pengawalnya hendak menghukum laki-laki itu. Maka Umar berkata, “Tahan, dia hanya bertanya kepadaku, ‘Apakah aku gila?’ Dan aku menjawab, ‘Tidak’.”

 

Seorang laki-laki bertemu dengan Ali bin al-Husain, lalu dia mencaci beliau, maka para budak Ali mengerubungi laki-laki itu. Ali berkata, “Tahan.” Kemudian Ali mendekatinya dan berkata, “Apa yang tidak engkau ketahui tentang perkara kami adalah lebih banyak. Adakah engkau punya hajat yang bisa kami bantu?” Maka laki-laki itu malu, lalu Ali memberinya selembar kain khamisah yang dipakainya dan seribu dirham. Setelah itu laki-laki tersebut berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah keturunan Rasulullah.”

 

Seorang laki-laki berkata kepada Wahb bin Munabbih, “Fulan mencacimu.” Dia menjawab, “Apakah setan tidak mendapatkan pesuruh selainmu?”

 

PASAL

MEMAAFKAN DAN BERSIKAP LEMBUT

 

Ketahuilah bahwa memaafkan adalah engkau mempunyai hak lalu menggugurkannya dan tidak menuntut hak qishash atau ganti rugi. Memaafkan berbeda dengan kesantunan dan bukan menahan amarah. Allah   berfirman (menyebutkan salah satu sifat orang-orang bertakwa),

 

“Dan memaafkan (kesalahan) orang.” (Ali Imran: 134).

 

Dan Allah es juga berfirman,

 

“Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (Asy-Syura: 40).

 

Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi bersabda,

 

“Sedekah tidak membuat harta berkurang, Allah tidak menambah bagi seorang hamba dengan maafnya kecuali kemuliaan dan seseorang tidak bertawadhu’ karena Allah kecuali Allah meninggikan (derajat)nya.”

 

Dari Uqbah bin Amir beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Hai Ugqbah, maukah engkau aku beritahu tentang akhlak penduduk dunia dan akhirat yang paling utama? Engkau menyambung (silaturahim) siapa yang memutuskan (hubungan dengan)mu, memberi siapa yang tidak memberimu, dan memaafkan siapa yang menzhalimimu, “

 

Diriwayatkan bahwa seorang penycru akan berseru di Hari Kiamat,

 

“Hendaknya orang yang pahalanya dijamin oleh Allah bangkit.” Maka tidak ada yang bangkit kecuali orang yang memaafkan orang yang menzhaliminya.

 

Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan mencintai kelembutan; Dia memberi karenanya apa yang tidak Dia berikan karena sikap kasar.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Aisyah dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah  mencintai kelembutan dalam segala urusan.”

 

Dalam hadits yang lain, “Barangsiapa tidak diberi sifat kelembutan, maka dia terhalang mendapatkan kebaikan.”

 

BAB DENGKI DAN HASAD

 

Ketahuilah bahwa amarah yang dipendam karena tidak mampu melampiaskan saat itu juga, ia akan kembali ke dalam hati, tertahan di sana dan menjadi dengki.

 

Tandanya adalah kebencian terhadap seseorang, merasakannya sebagai beban dan berusaha menjauh darinya. Dengki adalah akibat marah, dan hasad termasuk akibat dengki.

 

Dari az-Zubair bin al-Awwam, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyusup kepada kalian: hasad dan kebencian.”

 

Dalam ash-Shahihain dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Janganlah kalian saling membenci, jangan saling memutuskan hubungan, jangan saling hasad, dan jangan saling membelakangi (saling mengacuhkan), jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

 

Dalam hadits lain dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

” Sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”

 

Dalam hadits lain bahwa Nabi bersabda,

 

“Akan muncul dari lorong ini seorang laki-laki penduduk surga.” Lalu seorang laki-laki muncul, dia ditanya tentang amalnya, dia menjawab, “Sesungguhnya aku tidak menyimpan dalam diriku kecurangan dan hasad terhadap seorang pun dari kaum Muslimin atas (kelebihan) kebaikan yang Allah berikan kepadanya.”

 

Kami meriwayatkan bahwa Allah berfirman,

 

“Orang yang hasad adalah musuh nikmatKu, murka terhadap keputusanKu, dan tidak rela terhadap pembagianKu di antara hamba-hambaKu.”

 

Ibnu Sirin berkata, “Aku tidak hasad kepada seorang pun dalam urusan dunia, karena bila dia termasuk penduduk surga, maka bagaimana aku hasad terhadapnya dalam urusan dunia sementara dia masuk surga. Bila dia termasuk penghuni neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam urusan dunia sementara dia masuk neraka.”

 

Iblis berkata kepada Nabi Nuh, “Jauhilah sikap hasad; karena yang membuatku seperti ini adalah hasad.”

 

Dan ketahuilah bahwa jika Allah us melimpahkan sebuah nikmat kepada saudaramu, maka sikapmu terhadapnya ada dua kemungkinan:

 

Pertama: Engkau membenci nikmat tersebut dan berharap ia lenyap, inilah hasad.

 

Kedua: Engkau tidak berharap ia lenyap dan tidak membenci keberadaannya, namun engkau berharap sepertinya, inilah qibthah (iri yang terpuji).

 

Penulis berkata, Aku katakan, Ketahuilah bahwa aku belum menemukan sescorang yang memaparkan pembicaraan dalam tema ini sebagaimana scharusnya, maka aku harus membukanya.

 

Aku katakan, Ketahuilah bahwa jiwa manusia diciptakan dengan tabiat mencintai kedudukan. Jiwanya tidak suka bila ada selainnya yang lebih tinggi darinya. Bila ada, maka hal itu memberatkannya dan dia tidak menyukainya, dia berharap ia lenyap sehingga sama sepertinya. Hal ini tertanam dalam tabiat manusia.

 

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi, bahwa beliau bersabda,

 

“Ada tiga perkara yang tidak seorang pun selamat darinya: praduga, thiyarah, dan hasad. Aku akan sampaikan kepada kalian jalan keluar darinya: jika engkau memiliki praduga, maka jangan memastikan kebenarannya, jika engkau bertathayyur, maka teruslah melakukan (urusanmu), dan jika engkau hasad, maka jangan berbuat zhalim.”

 

Mengobati hasad, bisa dengan menerima qadha’ (ketentuan Allah), bisa juga dengan zuhud terhadap dunia, dan sesekali dengan memperhatikan kesedihan dunia dan hisab akhirat yang berkaitan dengan nikmat tersebut, sehingga bisa menghibur diri dengannya. Tidak mengucapkan dan mewujudkan bisikan hasad yang ada di dalam jiwa. Jika hal-hal ini diupayakan, maka apa yang ada di dalam jiwanya tidak merugikannya.

 

Untuk orang yang hasad kepada seorang nabi karena kenabiannya, lalu dia berharap nabi tersebut tidak menjadi nabi atau hasad terhadap ulama karena ilmunya, maka dia berharap kenabian atau ilmu tersebut lenyap dari yang bersangkutan, maka dia tidak diberi udzur sama sekali, hanya jiwa kafir atau busuk yang bertabiat demikian.

 

Adapun bila seseorang ingin menyaingi rekan-rekannya, ingin mengetahui apa yang belum mereka ketahui, maka dia tidak berdosa karena itu, karena dia sama sekali tidak berharap apa yang mereka miliki lenyap, dia hanya ingin lebih tinggi dari mereka agar bagiannya di sisi Tuhannya lebih besar, sebagaimana bila dua orang budak yang berlomba dalam berkhidmat kepada majikan mereka, salah seorang dari keduanya ingin menyaingi yang lainnya. Allah esi berfirman,

 

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin: 26).

 

Dalam ash-Shahthain dari hadits Ibnu Umar dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara: seorang laki-laki yang Allah beri (hafalan dan penguasaan) al-Qur an, lalu dia mengamalkannya dalam shalat di siang dan malam hari, dan seorang laki-laki yang Allah beri harta lalu dia menginfakkannya dalam kebenaran siang dan malam.'”

 

Hasad mempunyai sebab-sebab:

 

Pertama; permusuhan, takabur, ujub, ambisi kepemimpinan, jiwa yang buruk dan kikir.

 

Kedua dan ini yang lebih berat; permusuhan dan kebencian. Barangsiapa disakiti oleh seseorang karena suatu sebab dan orang itu menyelisihi kepentingannya, maka hatinya akan membencinya, dan tertanam kedengkian dalam hatinya. Kedengkian itu mendorongnya untuk menuntut dan membalas dendam. Jika musuhnya tertimpa musibah, maka dia bersuka cita, menyangkanya sebagai balasan dari Allah terhadapnya. Jika dirinya yang tertimpa maka hal itu menyedihkannya. Hasad mendatangkan kebencian dan permusuhan, keduanya tidak terpisahkan.

 

Yang bisa dilakukan oleh orang yang bertakwa adalah hendaklah tidak berbuat zhalim, dan hendaklah ia membenci hal itu dalam dirinya. Adapun orang yang membenci seseorang lalu kebahagiaan dan kesedihannya atas orang tersebut sama berat baginya, maka hal ini tidak mungkin.

 

Adapun takabur, jika sebagian temannya mendapatkan harta atau kedudukan, lalu dia takut teman tersebut menyombongkan diri terhadap dirinya lalu dia tidak kuasa menghadapi kesombongannya atau yang mendapatkannya adalah orang yang lebih rendah darinya, dan dia tidak mampu menghadapi kesombongan dan kedudukan yang sama. Hasad seperti ini mirip dengan hasad orang-orang kafir terhadap Rasulullah Allah berfirman,

 

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa al-Qur an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Tha‘if) ini?'” (Az-Zukhruf: 31).

 

Allah juga berfirman terkait dengan (omongan sebagian orang-orang terhadap) orang-orang Mukmin,

 

“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?” (Al-An’am: 53).

 

Allah berfirman dalam ayat lain,

 

“Mereka berkata, ‘Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami’.” (Yasin: 15).

 

Dan Allah juga berfirman,

 

“Dan sungguh jika kamu sekalian menaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi.” (Al-Mu’minun: 34).

 

Mereka heran dan menolak bila derajat kerasulan diraih oleh manusia seperti mereka, maka mereka pun hasad terhadap beliau.

 

Sedangkan cinta kedudukan dan kepemimpinan, misalnya adalah seorang laki-laki ingin menjadi yang nomor satu sehingga tak tersaingi dalam bidang tertentu; jika cinta sanjungan menyelimuti hatinya, maka sanjungan memicu suka citanya, bahwa dia adalah satu-satunya di zamannya atau satu-satunya di masanya di bidang tersebut. Jika dia mendengar ternyata di negeri lain ada orang yang setara dengan dirinva, maka dia bersedih, berharap orang lain itu mati atau nikmat yang dimilikinya berupa ilmu atau keberanian atau ibadah, atau keahlian, atau harta kekayaan, atau selainnya lenyap dan hal itu tidak lain kecuali ambisi memimpin sendiri dengan klaim tak tersaingi.

 

Dahulu para pembesar Yahudi mengingkari pengetahuan tentang Nabi dan tidak mau beriman kepadanya karena mereka merasa takut hilangnya kepemimpinan mereka.

 

Mengenai keburukan dan kekikiran jiwa terhadap hamba-hamba Allah, engkau bisa mendapatkan sebagian manusia tidak menyibukkan dirinya dengan kesombongan dan kedudukan, namun jika disampaikan kepadanya kebaikan hidup seorang hamba Allah karena nikmat-nikmatNya kepadanya, maka hal itu memberatkan hatinya. Jika kehidupan orang lain yang guncang, terbelakang, dan susah disampaikan kepadanya, maka dia justru bersuka cita. Dia selalu berharap orang lain tertinggal, bakhil dengan nikmat Allah kepada hamba-hambaNya, seolah-olah orang lain mendapatkan nikmat Allah dari kerajaan dan kepemilikannya.

 

Sebagian ulama berkata, “Orang yang pelit dengan harta dirinya disebut dengan bakhil, sedangkan orang yang pelit dengan harta orang lain disebut dengan syahih (kikir). Dia kikir dengan nikmat Allah kepada hamba-hambaNya yang antara mereka dengannya tidak ada permusuhan dan hubungan. Hal itu tidak mempunyai pemicu kecuali jiwa yang buruk dan tabiat yang hina. Mengobati penyakit ini sangatlah berat, karena tidak mempunyai sebab yang bersifat insidental sehingga bisa diatasi. Akan tetapi sebabnya adalah tabiat yang buruk yang sulit untuk dihilangkan.

 

Itulah sebab-sebab hasad.

 

PASAL

 

[Sebab Banyaknya Hasad di Antara Rekan dan Teman]

 

Ketahuilah bahwa banyaknya hasad yang terjadi di antara orang-orang karena banyaknya sebab hasad yang kami sebutkan. Hal itu biasanya terjadi di antara rekan, sekutu, saudara dan sepupu, karena sebab saling hasad adalah adanya kepentingan masing-masing, yang, saling bertentangan, hal ini saling menjauh dan saling membenci.

 

Karena itu engkau melihat seorang ulama hasad terhadap ulama lain tidak terhadap ahli ibadah, ahli ibadah juga hasad terhadap ahli ibadah tidak terhadap ulama, pedagang hasad terhadap pedagang, tukang sepatu hasad terhadap tukang sepatu bukan terhadap tukang kain; kecuali jika ada sebab yang lain, karena kepentingan tukang sepatu berbeda dengan kepentingan tukang kain.

 

Sumber permusuhan adalah perebutan satu kepentingan, sementara satu kepentingan tidak mengumpulkan dua orang yang berjauhan, karena tidak ada ikatan hubungan antara dua orang di dua negeri. Maka antara keduanya tidak terjadi saling hasad, kecuali orang yang terlalu ambisius meraih kedudukan. Orang seperti ini akan hasad terhadap siapa pun di dunia ini yang sama-sama memiliki apa yang dibanggakannya.

 

Sumber semua itu adalah cinta dunia, dunia menjadikan sempit bagi orang-orang yang bersaing.

 

Sedangkan akhirat, tidak ada kesempitan padanya, karena barangsiapa ingin mengetahui Allah, para malaikatNya, para nabiNya, kerajaan bumi dan langitNya, tak seorang pun yang hasad terhadapnya_ manakala dia mengetahui hal itu, karena pengetahuan tidak pernah menjadi sempit bagi orang-orang yang mengetahui. Suatu perkara yang bisa diketahui oleh jutaan orang, dan orang senang jika ada orang lain yang mengetahuinya, karena itu di kalangan para ulama agama tidak terjadi saling hasad, karena tujuan mereka adalah mengetahui Allah dan ini adalah samudera luas yang tidak ada kesempitan padanya. Tujyuan mereka adalah kedudukan di sisi Allah yang sama sekali tidak sempit di sisiNya, karena nikmat Allah paling agung adalah nikmat pertemuan denganNya dan hal itu terjadi tanpa saling berebut dan tanpa saling mendorong, sebagian orang yang melihat Allah tidak akan menghalangi sebagian yang lainnya. Sebaliknya kebahagiaan semakin bertambah dengan banyaknya jumlah mereka. Hanya saja ketika tujuan para ulama adalah harta dan kedudukan, saat itu terjadilah hasad di antara mereka.

 

Perbedaan antara ilmu dan harta: harta tidak berada di tangan seseorang selama ia tidak berpindah dari tangan orang lain, sedangkan ilmu bersemayam dalam hati ulama, dapat berpindah ke hati orang lain melalui taklim tanpa meningyalkan hatinya dan ia tidak akan habis. Barangsiapa membiasakan dirinya merenunykan keagungan dan kebesaran serta kerajaan Allah, maka dia mempunyai nikmat yang paling lezat, Karena tidak ada yang merebut dan menghalanginya darinya, schingga dalam hatinya tidak lahir hasad terhadap seorang makhluk pun, karena bila orang lain mengetahui apa yang diketahui, hal itu tidak mengurangi kenikmatannya.

 

Engkau sudah tahu bahwa tidak ada hasad kecuali ketika terjadi persaingan dalam kepentingan-kepentingan yang tidak bisa memenuhi semua pihak, karena itu engkau tidak melihat orang-orang saling berdesak-desakan untuk melihat bintang-bintang di langit, karena ufuknya sangat luas, memenuhi semua pandangan mata. Karena itu jika engkau menyayangi dirimu, maka carilah kenikmatan yang tidak diperebutkan, kelezatan yang tidak keruh, dan hal itu tidak ada di dunia kecuali dalam ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mengetahui keajaiban penciptaanNya, dan hal itu tidak juga diraih dengan hanya mengetahui. Apabila engkau tidak merindukan ma’rifatullah, tidak merasakan kelezatannya, keinginanmu padanya tidak kuat, maka engkau bukan seorang laki-laki, karena ia hanya milik laki-laki sejati. Hal itu karena kerinduan ada setelah merasakan, barangsiapa tidak merasakan maka tidak mengetahui, barangsiapa tidak mengetahui maka ia tidak akan merindukan, barangsiapa tidak merindukan maka dia tidak akan mencari, barangsiapa tidak mencari maka dia tidak mendapatkannya dan barangsiapa tidak mendapatkan, maka dia termasuk orang-orang yang gagal (terhalang).

 

[Terapi Hasad]

 

Ketahuilah bahwa hasad termasuk penyakit hati yang besar, dan penyakit hati (amumnya) hanya bisa diobati dengan ilmu dan amal.

 

Ilmu yang berguna bagi penyakit hasad adalah hendaknya engkau mengetahui hakikat hasad, bahwa sebenarnya ia adalah mudarat atasmu dalam agama dan dunia, tidak merugikan agama dan dunia orang yang engkau hasadi. Sebaliknya dia mengambil manfaat, kenikmatan tidak akan lenyap dari orang yang engkau hasad terhadapnya. Seandainya engkau tidak beriman kepada hari kebangkitan, maka cukuplah kecerdikanmu membimbingmu untuk menjauhi hasad, karena ia menyakiti hati dan tidak bermanfaat, lalu bagaimana bila engkau mengetahui bahwa ia menyerct pada azab akhirat?

 

Keterangan dari ucapan kami, “Hasad tidak merugikan agama dan dunia orang yang engkau hasadi, sebaliknya dia mengambil manfaat dari agama dan dunia dari hasadmu.” Karena kenikmatan yang Allah takdirkan untuknya pasti akan berlangsung sampai batas waktu yang Allah tetapkan, tidak merugikannya di akhirat, karena dia tidak berdosa dengan itu. Sebaliknya dia mengambil manfaat, karena dia engkau zhalimi, lebih-lebih bila engkau mengeluarkan hasadmu dalam bentuk kata-kata dan perbuatan.

 

Adapun manfaatnya di dunia, karena tujuan penting manusia adalah membuat musuhnya bersedih dan tidak ada siksaan di dunia yang lebih besar daripada siksaan hasad yang engkau rasakan.

 

Jika engkau merenungkan apa yang kami katakan di atas, maka engkau mengetahui bahwa dirimu adalah musuh bagi jiwamu sendiri, di saat yang sama, ia adalah sekutu bagi musuhmu. Orang (pendengki) sepertimu adalah seperti orang yang melempar musuhnya dengan batu supaya mengenai anggota tubuhnya yang vital dan dia mati, namun. batu tersebut meleset dan malah memantul dan mengenai mata kanannya sendiri dan mencungkilnya, maka dia semakin kesal, dia mengulangi melempar dengan batu yang lebih besar, namun batu itu memantul mengenai matanya yang kiri dan membuatnya buta. Maka dia semakin marah, lalu dia melempar ketiga kalinya, batu itu memantul dan memecahkan kepalanya, sementara musuhnya selamat sambil tertawa. Ini adalah obat-obat alami, bila manusia merenungkannya, maka api hasad dalam hatinya akan padam.

 

Sedangkan amal yang bermanfaat adalah dengan melakukan lawan dari bisikan rasa hasad, jika ia terdorong untuk membenci dan mencederai orang yang dihasadi, maka dia memaksa dirinya untuk menyanjung dan memujinya. Jika ia membawanya untuk sombong, maka dia memaksa dirinya untuk bertawadhu’. Jika ia mendorongnya untuk menahan kebaikan darinya, maka dia memaksakan dirinya untuk semakin meningkatkannya. Beberapa orang dari ulama Salaf, saat mereka mendengar bahwa ada orang yang menggibah mereka, maka mereka malah memberinya hadiah.

 

Ini adalah obat-obat hasad yang sangat mujarab, namun sangat pahit, tapi di antara yang memudahkan untuk meminumnya adalah hendaknya disadari bahwa bila semua yang engkau inginkan tidak terwujud, maka inginkan apa yang dapat terwujud. Ini adalah obat keseluruhan. Wallahu a’lam.

 

[KITAB MENYIKAPI DUNIA]

 

BAB CELAAN TERHADAP DUNIA

 

Banyak ayat dalam al-Qur‘an yang mulia yang mencela dunia, sekaligus mengajak untuk zuhud darinya dan membuat perumpamaan tentangnya, seperti Firman Allah

 

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah, ‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?'” (Ali Imran: 14-15).

 

Juga Firman Allah

 

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185).

 

Juga Firman Allah,

 

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (ujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumt itu telah sempurna keindahannya, dan memakat (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (Yunus: 24).

 

Juga Firman Allah

 

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, serta perhiasan.” (Al-Hadid: 20).

 

Juga Firman Allah

 

“Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 35).

 

Dan juga Firman Allah

 

“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (An-Najm: 29).

 

Dan juga hadits-hadits. Dalam ash-Shahthain dari hadits al-Mustaurid bin Syaddad  beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Perumpamaan dunia dengan akhirat adalah seperti salah seorang di antara kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka silakan melihat apa yang menempel saat ditarik kembali?”

 

Dalam hadits lain,

 

“Dunia adalah penjara orang Mukmin dan surga orang kafir.” Diriwayatkan oleh Muslim.

 

Dalam hadits yang lain,

 

“Seandainya dunia setara dengan satu sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya Allah tidak memberi orang kafir seteguk air pun untuk minum darinya.”

 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Dalam hadits lain,

 

“Dunia ini dilaknat; apa yang ada di dalamnya dilaknat, kecuali apa yang ditujukan untuk Allah darinya.”

 

Abu Musa meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa mencintai dunianya, maka dia mengorbankan akhiratnya, dan (sebaliknya) barangsiapa mencintai akhiratnya, maka dia mengorbankan dunianya; harena itu dahulukanlah apa yang abadi di atas apa yang fana.”

 

Imam al-Hasan al-Bashri pernah menulis surat yang panjang kepada Umar bin Abdul Aziz tentang celaan terhadap dunia, dia berkata,

 

“Amma ba’du, sesungguhnya dunia adalah rumah (persinggahan dalam) perjalanan, bukan rumah untuk bermukim. Nabi Adam diturunkan ke dunia sebagai hukuman, maka berhati-hatilah wahai Amirul Mukminin, siapa yang mengumpulkan dunia maka ia akan meninggalkannya, siapa yang tidak mengambilnya maka ia mengalami kesusahan. Ia merendahkan siapa yang memuliakannya, memiskinkan siapa yang mengumpulkannya, seperti racun yang dimakan oleh siapa yang tidak mengetahuinya, ia pun mati. Berhati-hatilah terhadap kehidupan yang sangat melalaikan, sangat menipu dan sangat memperdaya. Jadilah orang yang paling berbahagia di dalamnya sekaligus paling berhati-hati terhadapnya, kebahagiaannya bercampur dengan kesedihan, kejernihannya bercampur dengan kekeruhan. Seandainya Allah Yang Mencipta tidak mengabarkan apa pun tentangnya, tidak membuat perumpamaan baginya, niscaya sudah cukup membangunkan orang tidur, mengingatkan orang lalai, lalu bagaimana bila Allah telah menurunkan peringatanNya dan memberikan nasihatNya tentangnya, ia tidak memiliki nilai dan harga di sisiNya, Allah tidak melihatnya sejak Dia menciptakannya. Kunci-kunci kekayaannya telah ditawarkan kepada Nabi kita Muhammad, dan hal itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi Allah sedikit pun, namun beliau menolaknya, beliau tidak ingin mencintai apa yang dibenci oleh Penciptanya, atau mengangkat apa yang direndahkan oleh Pemiliknya. Allah melipatnya dari orang-orang shalih sebagai pilihan, dan membentangkannya bagi musuh-musuhNya sebagai tipuan. Apakah orang yang teperdaya olehnya, mampu mendapatkannya menyangka bahwa dia dimuliakan dengannya? Dia lupa terhadap apa yang Allah lakukan kepada Nabi Muhammad saat beliau mengikat batu di perutnya (karena lapar).’! Demi Allah, tidak ada seorang manusia yang dunia dibentangkan baginya dan dia tidak takut bahwa ia merupakan tipu daya terhadapnya kecuali orang tersebut sudah berkurang akalnya dan lemah pikirannya. Dunia tidak ditahan dari seorang hamba, lalu dia tidak menyangka bahwa dia diberi pilihan padanya kecuali akalnya telah berkurang dan pendapatnya lemah.”

 

Malik bin Dinar berkata, “Waspadailah tukang sihir, karena ia telah menyihir hati para ulama.” Maksudnya adalah dunia.

 

Di antara perumpamaan dunia:

 

Yunus bin Ubaid berkata, “Dunia itu seperti orang tidur, lalu dia bermimpi indah dan bermimpi buruk, saat itulah dia terjaga.”

 

Sama dengan ini adalah ucapan mereka, “Manusia tidur, bila mereka mati maka mereka bangun.” Maknanya mereka bangun oleh kematian karena sadar bahwa di tangan mereka tidak ada bekal apa pun dari apa yang mereka andalkan dan banggakan.”

 

Diriwayatkan bahwa Nabi Isa melihat dunia dalam bentuk wanita tua ompong dengan segala perhiasannya. Maka dia berkata kepadanya, “Berapa kali engkau menikah?” Dia menjawab, “Tak terhitung.” Nabi Isa bertanya, “Semuanya mati meninggalkanmu atau menalakmu?” Dia menjawab, “Tidak satu pun, sebaliknya aku membunuh mereka semua.” Isa berkata, “Betapa sialnya para suamimu yang tersisa, bagaimana mereka tidak mengambil pelajaran dari suami-suamimu terdahulu, bagaimana engkau membunuh mereka satu demi satu dan mereka sama sekali tidak mewaspadaimu?”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata, “Dunia akan dihadirkan di Hari Kiamat dalam bentuk seorang wanita tua, pucat dan keriput, taringnya menonjol, ruapanya sangat buruk, dia memperhatikan orang-orang. Lalu diserukan kepada mereka, ‘Apakah kalian mengenalinya?’ Mereka menjawab, ‘Kami berlindung kepada Allah agar tidak mengenalinya.’ Lalu diserukan kepada mereka, ‘Dia adalah dunia yang dahulu kalian perebutkan, karenanya kalian memutuskan silaturahim, karenanya kalian saling hasad, saling membenci, dan kalian tertipu.’ Kemudian ia dicampakkan ke dalam Neraka Jahanam, lalu ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, mana para pengikut dan pemujaku.’ Maka Allah berfirman, ‘Susulkan para pengikut dan pemujanya dengannya’’.”

 

Dari Abu al-Ala’, beliau berkata, “Aku bermimpi bertemu seorang wanita tua yang memakai segala macam perhiasan. Orang-orang mengerumuninya dan takjub kepadanya, mereka melihat kepadanya. Aku berkata, ‘Celaka engkau, siapa dirimu?’ Dia menjawab, ‘Apakah engkau tidak mengenalku?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Dia berkata, ‘Aku adalah dunia.’ Aku berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari keburukanmu.’ Dia berkata, ‘jika engkau ingin terjaga dari keburukanku, maka bencilah dirham’.”

 

Sebagian dari mereka berkata, “Aku melihat dunia dalam mimpi dalam bentuk wanita tua yang ompong dan buruk rupa.”

 

Perumpamaan-perumpamaan lain:

 

Sadarilah bahwa engkau berada di antara tiga keadaan:

Keadaan yang engkau bukan apa-apa, yaitu sebelum engkau ada.

Keadaan lain yaitu dari saat kematianmu hingga kehidupan kekal abadi yang tidak berakhir.

Dirimu mempunyai wujud setelah ia keluar dari tubuhmu, bisa di surga atau di neraka, yaitu kekekalan selamanya.

 

Di antara kedua keadaan ini adalah keadaan tengah, yaitu waktu kehidupanmw di dunia. Perhatikan kadarnya dan bandingkan dengan dua keadaan di atas, maka engkau mengetahui bahwa umur dunia lebih sedikit daripada kedipan mata.

 

Barangsiapa melihat dunia dengan mata ini, maka dia tidak akan cenderung kepadanya dan tidak mempedulikannya; bagaimana hariharinya berlalu dalam kesulitan dan kesempitan atau dalam kelapangan dan kemewahan. Karena itu Rasulullah tidak meletakkan bata di atas bata dan kayu di atas kayu. Beliau bersabda,

 

“Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaanku dengan dunia hanyalah seperti pengendara yang istirahat siang di bawah pohon, kemudian dia berangkat lagi dan meninggalkannya.”

 

Nabi Isa berkata, “Dunia adalah jembatan, seberangilah ia dan jangan membangun di atasnya.”

 

Ini adalah perumpamaan yang jelas, karena kehidupan dunia ini hanya jembatan semata menuju akhirat, buaian adalah rukun pertama di awal jembatan, liang lahad adalah rukun kedua di akhir jembatan, di antara manusia ada yang telah berjalan setengah jembatan, ada yang dua pertiganya dan ada juga yang tinggal selangkah lagi sementara dia tetap lalai. Apa pun, yang jelas menyeberangi adalah keharusan. Barangsiapa berhenti untuk membangun di atas jembatan, menghiasinya dan malas untuk menyeberangi sampai ujungnya, maka dia sangat bodoh dan dungu.

 

Ada yang berkata, perumpamaan pencari dunia adalah seperti peminum air laut, semakin dia minum, semakin dia haus sampai dia mati kehausan.

 

Sebagian salaf berkata kepada rekan-rekannya, “Pergilah bersamaku, aku ingin memperlihatkan dunia kepada kalian.” Lalu dia membawa mereka ke tempat sampah, dia berkata, “Lihatlah buah-buahan mereka, ayam mereka, madu mereka dan minyak samin mereka.”

 

Perumpamaan lain:

 

Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa dia berkata, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya perumpamaanku, perumpamaan kalian dan perumpamaan dunia adalah seperti suatu kaum yang melewati padang pasir yang berdebu, hingga saat mereka di tengah-tengahnya, mereka tidak tahu mana yang lebih panjang, jarak yang sudah ditempuh atau jarak yang masih tersisa, saat itu mereka kehabisan bekal dan kendaraan, mereka berada di tengah-tengah padang pasir tanpa bekal dan kendaraan, mereka yakin akan mati. Saat mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba seorang lelaki berjubah datang kepada mereka dengan kepalanya yang meneteskan air. Mereka berkata, ‘Laki-laki ini baru saja mendatangi sumber air dan sepertinya ia tidak jauh.’ Manakala laki-laki itu tiba di depan mereka, dia berkata, ‘Wahai orang-orang, bagaimana keadaan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Seperti yang engkau lihat.’ Dia berkata, ‘Bagaimana bila aku tunjukkan kalian kepada sumber air yang mengalir dan kebun yang hijau, kira-kira apa yang akan kalian lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan mematuhi kata-katamu.’ Dia menjawab, ‘Janji dan sumpah kalian dengan Nama Allah.’ Maka mereka memberikan janji setia mereka kepadanya dan tidak mendurhakainya sekalipun. Lalu laki-laki itu membawa mereka kepada mata air dan kebun yang hijau, dia tinggal bersama mereka untuk beberapa waktu, kemudian dia berkata kepada mereka, ‘Hai orang-orang, saatnya untuk melanjutkan perjalanan.’ Mereka bertanya, ‘Ke mana?’ Dia menjawab, ‘Ke mata air yang tidak seperti mata air kalian, ke kebun yang tidak seperti kebun kalian.’ Kebanyakan dari mereka menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak pernah menemukan ini sehingga kami menyangka bahwa kami tidak akan pernah menemukannya, apa yang kita lakukan terhadap kehidupan yang lebih baik dari ini?’ Sekelompok kecil dari mereka berkata, ‘Bukankah kalian sudah berjanji dan bersumpah dengan Nama Allah untuk laki-laki ini agar kalian tidak mendurhakainya? Di awal pembicaraannya dia berkata jujur, demi Allah, dia pasti jujur di akhir kata-katanya.’ Lalu sebagian dari mereka berangkat mengikuti laki-laki tersebut, sisanya memilih tinggal, tiba-tiba musuh datang singgah di sana dan menyerang mereka dan mereka pun tertawan atau terbunuh.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Musa, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan apa yang dengannya Allah mengutusku adalah seperti seorang laki-laki yang datang kepada kaummnya dan berkata, ‘Wahai orang-orang, sesungguhnya aku melihat pasukan dengan kedua mataku, dan aku adalah pembawa peringatan murni, selamatkan diri kalian’. Sebagian kaumnya mematuhinya, di mana mereka menyelamatkan diri saat malam, mereka bergerak perlahan, dan mereka pun selamat. Sekelompok lainnya mendustakannya, mereka tetap berada di tempat mereka sampai pagi, tiba-tiba musuh menyerang, mereka membinasakan dan membunuh mereka. Itulah perumpamaan orang yang menaatiku, dia mengikuti apa yang aku bawa dan perumpamaan orang yang mendurhakai dan mendustakan kebenaran yang aku bawa.”

 

PASAL

HAKIKAT DUNIA APA YANG TERCELA DAN APA YANG TERPUJI DARINYA

 

Tidak sedikit orang mendengar celaan terhadap dunia secara mutlak, maka mereka meyakini bahwa isyarat tersebut tertuju kepada apa yang ada yang diciptakan untuk berbagai manfaat, maka mereka pun berpaling dari makanan dan minuman yang memberikan maslahat kehidupan. Allah telah meletakkan dalam jiwa setiap manusia kecenderungan kepada apa yang bermanfaat baginya, setiap kali ia berhasrat, mereka selalu mengekangnya karena mereka menyangka bahwa itulah zuhud yang dimaksud, karena ketidaktahuan mereka terhadap hak jiwa, dan inilah yang diamalkan oleh kebanyakan orang-orang zuhud. Mereka melakukan hal itu karena minim ilmu, sementara kami menyuarakan kebenaran tanpa memihak, kami berkata,

 

[Hakikat Dunia dengan Segala Kesibukannya]

 

Ketahuilah bahwa dunia adalah ungkapan untuk harta benda yang disediakan bagi manusia. Di sana ada bagian bagi manusia, ia adalah bumi dan apa yang ada di atasnya, karena bumi adalah tempat tinggal manusia, apa yang di atasnya adalah pakaian, makanan, minuman dan pernikahan. Semua itu adalah asupan bagi penggerak tubuhnya yang berjalan menuju Allah, dia tidak hidup tanpa sarana-sarana tersebut, seperti unta yang tidak akan pernah tiba di Makkah lalu pemiliknya menunaikan ibadah haji kecuali dengan makanan dan minuman yang cukup. Barangsiapa makan darinya dalam kadar yang diperlukan dan yang diperintahkan, maka dia terpuji. Barangsiapa mengambil melebihi hajatnya, maka kerakusan akan menerkamnya dan dia terjatuh ke dalam celaan. Sikap rakus dalam mengambil dunia tidak mempunyai alasan yang membenarkan, karena ia mengeluarkan pemiliknya dari apa yang bermanfaat menuju yang mudarat, menyibukkan seseorang untuk mencari akhirat sehingga tujuannya terlewatkan. Ia seperti orang yang sibuk memberi makan untanya, memberinya minum dan berdandan berganti-ganti pakaian dan dia lupa bahwa rekan-rekannya sudah berjalan meninggalkannya, tinggal dia sendiri di gurun pasir, dia dan untanya menjadi mangsa hewan buas.

 

Tidak juga ada alasan yang membenarkan untuk tidak mengambil apa yang dibutuhkan, karena unta tidak akan kuat berjalan kecuali dengan makanan dan minuman yang cukup. Jalan selamat adalah jalan tengah, yaitu mengambil dunia dalam kadar yang cukup untuk meniti jalan, bila memang jiwa menginginkannya, maka memberikan apa yang diinginkan oleh jiwa kepadanya akan membantunya dan itu berarti menunaikan haknya.

 

Imam Sufyan ats-Tsauri dalam beberapa kesempatan menyantap makanan yang nikmat (berkelas), bahkan kadang dalam perjalanan jauh (safar) beliau membawa faludzaj.

 

Ibrahim bin Adham juga makan makanan yang enak pada beberapa kesempatan dan dia berkata, “Bila ada, maka kami makan layaknya kaum laki-laki. Bila tidak ada, maka kami bersabar sebagaimana sabarnya kaum laki-laki pula.”

 

Silakan memperhatikan sirah Rasulullah dan para sahabat beliau, mereka tidak berlebih-lebihan dalam mengejar dunia tetapi juga tidak melupakan hak-hak jiwa.

 

Hendaklah seseorang memperhatikan hak jiwa yang disukainya, jika memberikan kepadanya akan menjaganya, menegakkannya, memperbaikinya dan menggiatkannya dalam berbuat baik, maka hendaknya jangan menghalang-halangi haknya. Namun jika memenuhinya hanya sebatas melampiaskan hawa nafsu dan tidak berkait dengan hal-hal yang kami sebutkan di atas, maka hal itu tercela, dan di sinilah sikap zuhud itu dituntut.

 

KITAB CELAAN TERHADAP SIFAT KIKIR, DAN CELAAN SERTA PUJIAN TERHADAP HARTA

 

CELAAN TERHADAP SIFAT KIKIR, AMBISI, DAN TAMAK; CELAAN DAN PUJIAN TERHADAP HARTA; SANJUNGAN KEPADA QANA’AH, MURAH HATI, DAN SEMACAMNYA

 

Ketahuilah bahwa harta tidak tercela dari hakikat zatnya. Akan tetapi harta tercela karena berkaitan dengan manusia. Hal tersebut bisa jadi berupa ambisinya yang kuat terhadapnya atau mengambilnya dari jalan yang tidak halal atau menahan hak yang terkait dengannya atau membelanjakannya bukan di jalannya atau dalam rangka berbanggabangga. Karena itu Allah berfirman,

 

“Bahwa harta dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan).” (Al-Anfal: 28, At-Taghabun: 15).

 

Dalam Sunan at-Tirmidzi dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Dua ekor serigala lapar yang dilepaskan pada domba tidak lebih merusak daripada merusaknya ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam agamanya.”

 

As-Salaf ash-Shalih takut terhadap fitnah harta.

 

Dahulu Umar bin al-Khaththab ketika melihat kemenangankemenangan dalam penaklukan-penaklukan, maka beliau menangis, beliau berkata,

 

“Tidaklah Allah menahan (harta benda) ini dari NabiNya  dan Abu Bakar karena Allah menghendaki keburukan bagi mereka dan Dia memberikannya kepada Umar karena menghendaki kebaikan darinya.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Dirham ibarat kalajengking, jika engkau tidak mampu meruqyahnya, maka jangan mengambilnya. Jika ia menyengatmu, engkau bisa mati oleh racunnya.” Dia ditanya, “Apa ruqyahnya?” Dia menjawab, “Mengambilnya dari jalan yang halal dan membelanjakannya sesuai tempatnya.” Dia berkata, “Ada dua musibah bagi seorang hamba pada hartanya ketika mati yang manusia tidak mendengar seperti keduanya.” Dia ditanya, “Apa itu?” Dia menjawab, “Diambil semua darinya dan ditanya semua tentangnya.”

 

PUJIAN TERHADAP HARTA

 

Kami telah berkata bahwa harta tidak dicela dari zatnya. Sebaliknya, sepatutnya ia dipuji, karena ia adalah sarana mewujudkan kebaikan dunia dan akhirat. Allah menamakannya dengan al-khair (kebaikan) dan ia adalah penopang bagi manusia. Allah berfirman,

 

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (An-Nisa’: 5).

 

Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Tidak ada kebaikan bagi siapa yang tidak ingin mengumpulkan harta dari jalan halal. Dengan harta dia tidak meminta-minta kepada orang lain, dengan harta dia menyambung rahimnya dan menunaikan haknya.”

 

Abu Ishaq as-Sabi’i berkata, “Mereka melihat bahwa kelapangan hidup membantu agama.”

 

Sufyan berkata, “Di zaman kita ini, harta adalah senjata orang-orang beriman.”

 

Kesimpulannya, harta seperti ular, ia beracun namun juga memiliki penawar, penawarnya adalah berbagai macam faedahnya sedangkan bencananya adalah racunnya. Barangsiapa memahami keduanya, dia bisa menghindari keburukannya dan mengambil kebaikannya.

 

Adapun faedahnya terbagi menjadi faedah dunia dan faedah Agama.

 

Faedah dunia, semua manusia mengetahuinya, karena itu mereka berebut dalam mencarinya.

 

[Faedah-Faedah Harta dari Segi Agama]

 

Faedah harta dari segi agama, terbatas pada tiga macam:

 

Pertama: Membelanjakannya untuk diri sendiri, baik untuk ibadah seperti haji dan jihad, atau untuk membantu beribadah seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan hajat-hajat hidup dasar lainnya, karena bila hajat-hajat ini tidak terpenuhi, maka hati tidak bisa berkonsentrasi untuk agama dan ibadah. Perkara yang suatu ibadah tidak terwujud kecuali dengannya, maka perkara tersebut juga bernilai ibadah. Mengambil dunia secukupnya untuk membantu agama termasuk faedah harta dari segi agama. Bermewah-mewahan dan mengambil lebih dari kebutuhan tidak termasuk dalam kategori ini, karena ia termasuk bagian dunia.

 

Kedua: Apa yang dia berikan kepada orang lain. Ini terbagi menjadi empat bagian:

 

Bagian pertama: Sedekah, dan keutamaan-keutamaan sedekah sangat banyak dan sudah maklum.

 

Bagian kedua: Muruah. Maksud kami dengan istilah ini adalah memberikan harta kepada orang-orang kaya dan orang-orang terpandang dalam jamuan pertemuan, hadiah, memberi bantuan dan yang sepertinya. Ini juga termasuk faedah dari segi agama, karena dengannya seorang hamba mendapatkan saudara dan teman.

 

Bagian ketiga: Menjaga kehormatan, seperti memberikan harta untuk meredam cibiran para penyair, hinaan orang-orang bodoh, memutuskan lisan mereka dan menahan keburukan mereka. Ini juga termasuk faedah dari segi agama, karena Nabi bersabda,

 

“Apa yang dengannya seseorang menjaga kehormatannya adalah sedekah.”

 

Hal ini karena ia dapat menghalangi orang lain dari dosa gibah, menjaga kata-kata yang bisa memicu permusuhan yang terkadang semangat balas dendam membawa kepada sikap melanggar batasan syariat.

 

Bagian keempat: Sebagai upah pelayanan, karena pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh seseorang dalam rangka menyiapkan sarana hidupnya banyak, seandainya seseorang menanganinya sendiri, niscaya waktu akan habis dan membuatnya tidak bisa menempuh jalan akhirat dengan berpikir dan berdzikir, yang keduanya merupakan kedudukan paling tinggi bagi orang yang menempuh jalan akhirat. Barangsiapa tidak mempunyai harta, maka dia harus melayani dirinya sendiri. Pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lain dan tujuanmu terpenuhi dengan itu, bila engkau mengerjakannya sendiri maka engkau merugi, karena kesibukanmu untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dikerjakan oleh orang lain dalam bentuk ilmu, amal, dzikir, dan pikir, adalah lebih besar.

 

Ketiga: Apa yang tidak diberikan kepada seseorang akan tetapi untuk kemaslahatan umum seperti membangun masjid, jembatan, dan wakaf-wakaf.

 

Ini adalah faedah-faedah harta dari segi agama selain yang berkaitan dengan bagian dunia seperti supaya tidak meminta-minta, merendahkan diri, mendapatkan kemuliaan di mata manusia, kehormatan di hati manusia, dan kewibawaan.

 

[Bencana Harta dari Segi Agama]

 

Mudarat dan bencana harta, ia juga terbagi menjadi: agama dan dunia.

 

Dari segi agama ada tiga macam:

 

Pertama: Pada umumnya harta menyeret kepada kemaksiatan, karena barangsiapa merasa punya kemampuan untuk berbuat dosa, maka pendorongnya akan muncul kepadanya. Harta adalah salah satu sarana kemampuan yang (bisa) mendorong pemiliknya melakukan kemaksiatan. Sebaliknya bila seseorang sudah berputus asa dari ke~ maksiatan, maka pendorongnya kepadanya tidak akan bangkit. Tidak sedikit engkau mendapati kemaksiatan, pelakunya adalah orang yang memiuliki kemampuan harta. Lalu ia menjatuhkan diri pada apa yang dia ingini sehingga ia binasa. Apabila bersabar, ia merasakan beratnya kesabaran karena ia memiliki kemampuan harta. Maka itulah sebabnya fitnah kemakmuran lebih berat daripada ujian kemiskinan.

 

Kedua: Harta mendorong orang untuk bermewah-mewah dalam perkara yang mubah, sehingga ia menjadi adat dan kebiasaan. Selanjutnya tidak bisa hidup tanpanya dan bisa jadi untuk mempertahankannya dia rela terjatuh ke dalam usaha syubhat, menceburkan diri ke dalamnya, lalu naik pada kepura-puraan dan kemunafikan, karena orang yang banyak harta akan banyak bergaul dengan manusia dan pergaulan itu tidak bersih dari kemunafikan, permusuhan, hasad, dan gibah, semua itu termasuk kebutuhan dalam rangka memperbaiki (mengurusi) harta.

 

Ketiga: Tidak seorang pun yang luput dari hal ini, yaitu harta melupakannya dari mengingat Allah. Inilah penyakit kronis, karena asal ibadah adalah dzikir kepada Allah, merenungkan keagungan dan kebesaranNya, dan hal itu memerlukan hati yang fokus.

 

Seorang tuan tanah siang malam memikirkan pertengkaran para petani yang bekerja padanya, mengawasi mereka dan menghadapi pengkhianatan mereka, memikirkan pertikaian dengan tetangganya terkait dengan sumber air dan batas tanah serta dengan para pegawai pemerintah berkaitan dengan pajak dan pengawasan terhadap pelanggaran bangunan dan lain-lainnya.

 

Seorang saudagar siang malam memikirkan pengkhianatan rekanannya, kelalaiannya dalam bekerja, dan penyia-nyiaan hartanya.

 

Demikian juga harta-harta yang lainnya, termasuk pemilik harta simpanan memikirkan bagaimana menjaganya dan mengkhawatirkan keselamatannya.

 

Dan barangsiapa mempunyai makanan kebutuhan pokok setiap harinya maka dia selamat dari semua itu.

 

[Keburukan Harta dari Segi Dunia]

 

Hal ini belum termasuk rasa takut, sedih, gelisah, galau, dan lelah yang harus dipikul oleh pemilik harta di dunia.

 

Maka penawar racun harta adalah mengambil kadar secukupnya dan memberikan sisanya pada jalan-jalan kebaikan. Selain ini, maka harta adalah racun dan penyakit.

 

CELAAN TERHADAP AMBISI DAN TAMAK SERTA SANJUNGAN KEPADA SIKAP QANA’AH DAN MENERIMA APA ADANYA

 

Ketahuilah bahwa kemiskinan itu terpuji, tetapi hendaklah orang yang miskin itu gana’ah, menutup sikap tamak kepada orang lain, tidak melihat apa yang ada di tangan mereka, tidak ambisius dalam mengumpulkan harta bagaimana pun caranya. Semua itu hanya mungkin, bila yang bersangkutan merasa cukup dengan kadar kebutuhan dasar berupa makan dan minum.

 

Dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-Ash bahwa Rasulullah bersabda,

 

 

“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rizki yang cukup, dan Allah membuatnya qana’ah dengan apa yang Dia berikan kepadanya.”

 

Nabi Sulaiman bin Dawud berkata, “Kami sudah mencoba hidup seluruhnya, yang lembut dan yang keras, maka kami mendapatkannya cukup bagian minimal saja.”

 

Dalam hadits Jabir dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Qana’ah adalah harta yang tidak akan habis.”

 

Abu Hazim berkata, “Tiga perkara, barangsiapa memilikinya, maka akalnya sempurna: siapa yang mengenali dirinya, menjaga lisannya, dan gana’ah dengan apa yang Allah rizkikan kepadanya.”

 

Sebagian ahli hikmah membaca, “Engkau senantiasa mulia selama engkau berselimut dengan sikap qana’ah.”

 

Tentang ambisi; ini telah dilarang oleh Rasulullah dalam sabda beliau,

 

“Hai manusia, perbaguslah dalam mencari (rizki), karena seorang hamba hanya mendapatkan apa yang telah dituliskan baginya.”

 

Nabi juga melarang sikap tamak dalam sabda beliau,

 

“Kumpulkanlah keputusasaan terhadap harta yang ada di tangan manusia,”

 

Sebagian dari mereka berkata, “Apabila tamak ditanya, ‘Siapa bapakmu?’ Dia menjawab, ‘Keraguan terhadap takdir.’ Bila dia ditanya, ‘Apa pekerjaanmu?’ Dia menjawab, ‘Mencari kerendahan.’ Jika dia ditanya, ‘Apa tujuanmu?’ Dia menjawab, ‘Kegagalan’.”

 

Dikatakan, “Tamak merendahkan pemimpin dan tidak berharap (harta orang) memuliakan orang miskin.”

 

TERAPI MENGATASI SIKAP AMBISI DAN TAMAK SERTA JALAN YANG BISA DITEMPUH UNTUK MERAIH SIFAT QANA’AH

 

Ketahuilah bahwa obat ini tersusun dari tiga rukun: sabar, ilmu, dan amal. Totalnya adalah lima perkara:

 

Pertama: Sederhana dalam hidup dan bersikap irit dalam belanja. Barangsiapa ingin qana’ah, maka seyogianya dia menutup diri dari pintupintu pengeluaran sebisa mungkin, menempatkan dirinya pada posisi semestinya, merasa cukup dengan makanan apa pun dan sedikit lauk, sepasang pakaian, dan melatih dirinya di atas itu. Jika dia mempunyai keluarga, maka dia berusaha membiasakan mereka dengan kadar ini.

 

Nabi bersabda,

 

“Tidak kesusahan bagi orang yang bersikap sederhana.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Perencanaan adalah setengah penghidupan.'”

 

Dalam hadits lain,

 

“Tiga perkara yang menyelamatkan: takut kepada Allah tts dalam keadaan sendirian dan terang-terangan, sederhana dalam keadaan kaya dan miskin, dan bersikap adil saat ridha dan marah.”

 

Kedua: Bila memiliki harta yang mencukupi, maka seseorang tidak terlalu cemas terhadap masa depan, hal itu terbantu dengan tidak berangan-angan jauh, juga yakin bahwa rizkinya akan datang kepadanya dengan pasti, maka hendaknya mengetahui bahwa setan hanya menakut-nakutinya dengan kemiskinan.

 

Dari Ibnu Mas’ud dari Rasulullah bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril) membisikkan ke dalam jiwaku bahwa sebuah jiwa tidak mati sebelum dia genap (menyelesaikan) ajal dan rizkinya, maka bertakwalah kepada Allah dan baguskanlah dalam mencari (rizki), jangan sampai terlambatnya rizki mendorong kalian untuk mencarinya dengan mendurhakai Allah karena apa yang ada di sisi Allah tidak didapatkan kecuali dengan ketaatan kepadaNya.”

 

Bila sebuah pintu yang diharapkan mendatangkan rizki tertutup, maka tidak perlu cemas, karena dalam hadits,

 

“Allah menolak memberi rizki kepada hambaNya yang Mukmin kecuali, ‘dari arah yang tiada disangka-sangkanya’.” (Ath-Thalaq: 3).

 

Ketiga: Hendaknya menyadari bahwa qana’ah memberikan kemuliaan merasa cukup dan sebaliknya ketamakan dan ambisi mendatangkan kehinaan. Qana’ah hanyalah bersabar dari hal-hal yang syubhat dan bersifat sekunder, tetapi ia menghasilkan pahala akhirat. Barangsiapa tidak mementingkan kemuliaan dirinya di atas hawa nafsunya, maka akalnya lemah dan imannya kurang.

 

Keempat: Hendaknya banyak memikirkan kenikmatan yang diberikan kepada orang-orang Yahudi, Nasrani, orang-orang rendahan dan orang-orang dungu dari mereka. Kemudian melihat kehidupan para nabi, para kekasih Allah dan orang-orang shalih, mendengar katakata mereka dan membaca sejarah mereka. Kemudian meminta akalnya memilih antara meniru orang-orang rendahan atau manusia pilihan di sisi Allah. Ini akan meringankan beban sabar di atas yang sedikit dan qana’ah dengan yang sederhana, bila dia menikmati makan, maka hewan makan lebih banyak, bila dia menikmati wanita, maka burung jantan lebih sering daripada dirinya.

 

Kelima: Hendaknya memahami bahwa mengumpulkan harta mengandung risiko berbahaya, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam bencana harta. Hendaklah pula melihat pahala kemiskinan. Hal itu terwujud dengan selalu memandang kepada yang lebih rendah dalam urusan dunia dan ke atasnya dalam urusan agama, sebagaimana hadir dalam hadits dari riwayat Muslim bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Lihatlah orang yang berada di bawah kalian, dan janganlah kalian melihat orang yang berada di atas kalian, yang demikian itu lebih patut agar kalian tidak menganggap remeh nikmat Allah kepada kalian.”

 

Pilar segala urusan adalah sabar dan pendek angan-angan. Hendaknya setiap orang menyadari bahwa kesabarannya di dunia hanyalah hari-hari yang sedikit dalam rangka kenikmatan abadi, seperti orang sakit yang sabar meminum obat yang pahit karena berharap sembuh.

 

PASAL

[Keutamaan Murah Hati]

 

Bagi siapa yang tidak meraih banyak harta, dia patut menggunakan gana’ah sebagai senjatanya, tetapi bagi siapa yang diberi banyak harta, dia patut bersikap murah hati, mengutamakan dan berbuat kebajikan, karena murah hati termasuk akhlak para nabi dan ia adalah salah satu sumber keselamatan.

 

Dari Jabir dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Jibril  berkata, ‘Allah  berfirman, Islam adalah agama yang Aku ridhai untuk DiriKu, tidak ada yang memperbaikinya selain murah hati dan akhlak yang baik, maka muliakanlah ia dengan keduanya selama kalian berkawan (berpegang) dengannya’.”

 

Dalam hadits lain dari Ibnu Abbas  dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Maafkanlah kesalahan-kesalahan orang dermawan, karena Allah memegang tangannya (membimbingnya) setiap kali dia tergelincir (melakukan kesalahan).”

 

Dalam hadits lain,

 

“Surga adalah rumah orang-orang yang dermawan, dan wali Allah tidak diberi tabiat kecuali kedermawanan.”

 

Dari Anas dari Rasulullah bahwa beliau bersabda,

 

“Orang mulia dari umatku tidak masuk surga karena ibadah dan puasa, akan tetapi mereka memasukinya dengan kemurahan jiwa, kebersihan dada, dan tulus (memberi kebaikan) kepada kaum Muslimin.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Hendaklah kalian membuat kebaikan (untuk orang lain), karena ia mencegah kematian buruk.”

 

Ibnu as-Sammak berkata, “Aku heran kepada orang yang membeli budak dengan hartanya dan tidak membeli orang-orang merdeka dengan perbuatan baiknya.”

 

KISAH-KISAH PARA DERMAWAN

 

Diriwayatkan secara shahih

 

“Bahwa Nabi  adalah orang yang lebih dermawan dalam kebaikan y daripada angin yang berembus.”

 

Dan Nabi tidak pernah diminta sesuatu pun lalu beliau menjawab, “Tidak.”

 

Seorang laki-laki meminta kepada beliau, maka beliau memberinya domba sebanyak antara dua gunung, lalu laki-laki itu pulang kepada kaumnya dan berkata,

 

“Wahai kaum, masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad memberi dengan pemberian orang yang tidak takut miskin.”

 

Dikatakan dalam suatu riwayat bahwa Utsman mempunyai piutang yang ditanggung oleh Thalhah sebanyak lima puluh ribu dirham, lalu dia keluar ke masjid, lalu Thalhah berkata kepada Utsman, “Uangmu sudah siap, silakan menerimanya.” Utsman berkata, “Ia untukmu wahai Abu Muhammad sebagai bantuan untuk menjaga muruahmu.”

 

– Seorang laki-laki Arab badui datang kepada Abu Thalhah, lalu orang itu meminta dan mengenalkan diri dengan hubungan rahim. Abu Thalhah berkata, “Sesungguhnya hubungan rahim ini, tak seorang pun sebelummu yang meminta kepadaku dengannya.” Lalu Abu Thalhah memberi 300 ribu dirham.

 

– Urwah berkata, “Aku melihat Aisyah  membagikan 70 ribu padahal beliau sendiri menambal jubahnya.”

 

– Diriwayatkan bahwa Aisyah  membagi dalam satu hari 180 ribu dirham kepada orang-orang, lalu tatkala sore tiba, dia berkata, “Pelayan, hidangkan buka puasaku.” Maka pelayan membawa roti dengan minyak. Maka Ummu Darrah berkata kepadanya, “Mengapa engkau tidak menyisihkan satu dirham saja dari apa yang engkau bagi hari ini untuk membeli daging berbuka.” Aisyah menjawab, “Kalau saja engkau mengingatkanku, niscaya aku lakukan.”

 

– Abdullah bin Amir membeli rumah Khalid bin Uqbah yang berada di dekat pasar dengan harga 90 ribu dirham. Ketika malam tiba, Abdullah mendengar keluarga Khalid menangis. Maka Abdullah bertanya kepada keluarganya, “Mengapa mereka?” Mereka menjawab, “Mereka menangisi ramah mereka.” Maka Abdullah berkata, “Pelayan, datanglah kepada mereka dan katakan kepada mereka bahwa rumah dan uang semuanya buat mereka.”

 

– Seorang laki-laki mengirimkan permintaan kepada Abdullah, “Seseorang memberi resep obat untuk minum susu sapi, maka tolong kirimkan kepadaku sapi yang bisa aku minum susunya.” Maka Abdullah mengirimkan 700 ekor sapi lengkap dengan penggembalanya dan dia berkata, “Kampung yang sapi-sapi ini digembalakan adalah untukmu.”

 

– Ali bin al-Husain datang kepada Muhammad bin Usamah bin Zaid saat dia sakit, maka Muhammad menangis, Ali bertanya, “Ada apa denganmu?” Muhammad menjawab, “Aku memikul utang.” Ali bertanya, “Berapa?” Dia menjawab, “Lima belas ribu dinar atau sekian belas ribu dinar.” Ali berkata, “Aku yang menanggungnya.”

 

– Seorang laki-laki datang kepada Ma’an dan meminta sesuatu kepadanya, maka Ma’an berkata kepada pelayannya, “Pelayan, unta anu dan seribu dinar.” Lalu dia memberikannya kepada laki-laki itu padahal dia tidak mengenalnya.

 

– Dan sampai riwayat kepada kami dari Ma’an bahwa seorang, penyair berdiri beberapa lama dan dia tidak berkenan menemuinya. Dia berkata kepada pelayannya, “Jika gubernur masuk ke kebun, maka beri tahu aku.” Manakala gubernur masuk ke kebun, pelayan mempberitahukannya. Lalu seorang penyair menulis sebuah bait di atas papan kayu dan melemparkannya ke dalam air yang mengalir ke dalam kebun, manakala Ma’an melihatnya, dia mengambilnya dan di sana tertulis,

 

‘Wahai kedermawanan Ma’an, sampaikan hajatku kepada Ma’an Aku tak mempunyai perantara kepada Ma’‘an selain dirimu.’

 

Maka Ma’an bertanya, “Siapa yang menulis ini?” Lalu penulisnya dipanggil. Ma’‘an berkata, “Apa yang engkau katakan?” Lalu dia mengulangnya. Maka Ma’an memberinya sepuluh kantong yang berisi masing-masing seribu atau (kadang) sepuluh ribu dirham. Orang itu pun mengambilnya dan gubernur meletakkan kayu papan tersebut di bawah permadaninya. Hari kedua, dia mengeluarkan kayu dari bawah permadani dan membacanya, lalu dia memanggil laki-laki yang menulisnya, lalu dia memberinya seratus ribu dirham yang lain. Laki-laki itu mengambilnya, dia meninggalkan tempat dengan perasaan takut dipanggil kembali sehingga uangnya diminta kembali, maka dia pun pergi. Di hari ketiga, Ma’an membaca bait tersebut, dia meminta agar laki-laki yang menulis dipanggil namun dia sudah pergi. Maka dia berkata, “Patut bagiku untuk memberinya sehingga di rumahku tidak tersisa satu dirham atau satu dinar pun.”

 

– Qais bin Sa’ad bin Ubadah jatuh sakit, saudara-saudaranya tidak kunjung menjenguknya, maka dia bertanya-tanya, seseorang menyampaikan kepadanya, “Mereka malu karena utang mereka kepadamu.” Maka Qais berkata, “Allah menghinakan harta yang menghalangi saudara untuk saling berkunjung.” Kemudian dia memerintahkan seseorang untuk mengumumkan, “Barangsiapa memikul utang yang harus dilunasi kepada Qais, maka utang tersebut bebas.” Maka tangga rumahnya patah saking banyaknya orang yang menjenguknya.

 

– Seorang laki-laki menemui Sa’id bin al-Ash meminta sesuatu padanya, maka Sa’id membcrinya seratus ribu dirham, lalu orang tersebut menangis. Sa’id bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Dia menjawab, “Aku menangisi bumi jangan sampai ia memakan orang sepertimu.” Maka Sa’id memberinya seratus ribu lagi.

 

PASAL HAKIKAT KIKIR DAN CELAAN TERHADAPNYA

 

Dari Abu Sa’id, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Dua sifat yang tidak terkumpul pada diri seorang Mukmin: kekikiran dan akhlak yang buruk.”

 

Nabi  juga bersabda,

 

“Kekikiran dan iman tidak akan terkumpul dalam hati seorang hamba selamanya.”

 

Dalam Shahih Muslim dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari sifat pengecut dan bakhil.”

 

Jabir meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda kepada Bani Salimah, “Siapa sayyid (tokoh utama) kalian?” Mereka menjawab, “Jad bin Qais, sayangnya kami melihat dia seorang yang bakhil.” Nabi bersabda, “Adakah penyakit yang lebih parah daripada kebakhilan? Sayyid kalian adalah Bisyr bin al-Bara’ bin Ma’rur.”

 

Ini lebih shahih daripada riwayat yang menyebutkan Amr bin al-Jamuh, dan sebagian rawi lainnya keliru dengan berkata, “Al-Bara’ bin Ma’rur.” Karena laki-laki ini wafat sebelum hijrah.

 

Kemudian dari Nabi  bahwa beliau bersabda,

 

“Tiga perkara yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman (ujub) seseorang terhadap dirinya.”

 

Al-Khaththabi berkata, “Kata  (kikir) lebih dalam maknanya daripada kata  (bakhil).

 

Salman al-Farisi berkata, “Jika orang dermawan meninggal dunia, maka bumi dan para malaikat penjaga berkata, ‘Ya Rabbi, maafkanlah hambaMu di dunia karena kemurahan hatinya.’ Bila orang kikir mati, maka mereka berkata, ‘Ya Allah, halangilah hamba ini dari surga sebagaimana dia menghalangi hamba-hambaMu dari harta yang Engkau berikan kepadanya di dunia’.” Sebagian ahli hikmah berkata, “Harta orang yang bakhil diwarisi oleh musuhnya.” Seorang Arab badui menyifati seorang laki-laki, dia berkata, “Dia begitu kecil di mataku karena besarnya dunia di matanya.” Seorang Arab badui mencela suatu kaum, dia berkata, “Mereka berpuasa dari kebaikan dan berbuka di atas perbuatan keji.”

 

KISAH ORANG-ORANG KIKIR

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Al-Hajib termasuk di antara orang-orang yang memiliki kedudukan agung di kalangan orang-orang Arab, sayangnya dia kikir. Dia tidak menyalakan api di malam hari. Dia tidak ingin ada yang melihat lalu mengambil manfaat dari cahaya apinya. Jika dia butuh, dia menyalakan apinya, begitu dia melihat orang mengambil cahaya darinya, maka dia langsung mematikannya.”

 

Dikatakan, Marwan bin Abu Hafshah termasuk manusia paling kikir, dia keluar hendak menemui al-Mahdi. Istrinya berkata kepadanya, “Apa jatahku atasmu bila engkau pulang membawa hadiah?” Dia menjawab, “Bila aku diberi seratus ribu dirham, maka aku memberimu satu dirham.” Ternyata dia hanya diberi enam puluh ribu dirham, maka dia memberi istrinya empat daniq.

 

Dikatakan dalam suatu riwayat, ada sebagian orang yang kikir, kaya dan berharta banyak, dia selalu meneliti secara detail, suatu hari dia membeli sesuatu, dia memanggil buruh panggul, dia bertanya kepada kuli, “Berapa biaya membawa semua ini?” Dia menjawab, “Satu habbah.” Dia berkata, “Aku akan rugi.” Kuli berkata, “Adakah yang lebih kurang dari habbah? Aku tidak tahu harus berkata apa.” Dia berkata, “Dengan satu habbah kami membeli wortel, kami duduk dan memakannya bersama.”

 

PASAL KEUTAMAAN MENDAHULUKAN ORANG LAIN

 

Ketahuilah bahwa kemurahan hati dan kebakhilan bertingkattingkat.

 

Derajat tertinggi dari kemurahan hati adalah mendahulukan orang lain, yaitu engkau memberikan hartamu sekalipun engkau membutuhkannya.

 

Derajat kebakhilan paling berat adalah kebakhilan seseorang terhadap dirinya sekalipun dia membutuhkan, tidak sedikit orang bakhil yang menahan harta, dia sakit dan tidak berobat, menginginkan sesuatu namun tidak memenuhinya karena kikir.

 

Berapa jauh perbedaan antara orang yang kikir terhadap dirinya sekalipun membutuhkannya dengan orang yang mementingkan orang Jain walaupun dirinya membutuhkan. Akhlak adalah karunia yang Allah letakkan di mana Dia berkehendak.

 

Tidak ada lagi tingkatan kedermawanan di atas sifat mendahulukan orang lain. Allah telah memuji para sahabat Rasulullah dengan akhlak ini. Allah berfirman,

 

“Dan mereka mendahulukan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9).

 

Sebab turun (asbab nuzul) ayat ini adalah kisah Abu Thalhah , manakala dia memberikan makanannya dan makanan anak-anaknya kepada orang lain padahal dia dan mereka membutuhkannya, kisahnya masyhur.

 

Dalam perang Yarmuk, Ikrimah bin Abu Jahal, Suhail bin Amr, al-Harits bin Hisyam dan beberapa orang dari Bani al-Mughirah gugur sebagai syahid, (dan sebelum wafat) seseorang mendatangi mereka hendak memberi minum saat mereka sedang sekarat, mereka menolak minum sebelum saudaranya minum sehingga mereka semuanya mati tanpa minum. Ikrimah diberi air, dia melihat kepada Suhail bin Amr yang melihat kepadanya, maka Ikrimah berkata, “Biar dia dulu yang minum.” Lalu Suhail melihat kepada al-Harits yang melihat kepadanya, maka dia berkata, “Beri dia dulu.” Setiap orang dari mereka mementingkan saudaranya, maka mereka semuanya mati tanpa ada yang minum, lalu Khalid melewati mereka dan dia berkata, “Aku siap mengorbankan diriku untuk kalian.”

 

Seorang sahabat Rasulullah diberi kepala kambing, dia berkata, “Saudaraku lebih membutuhkannya daripada diriku.” Maka dia memberikannya kepadanya, namun orang itu memberikannya kepada orang lain, sampai kepala kambing itu berputar di tujuh rumah dan kembali lagi kepada orang pertama.

 

Abdullah bin Ja’far keluar melihat-lihat tanah miliknya, lalu beliau singgah di sebuah kebun milik suatu kaum. Di sana ada seorang budak hitam yang sedang bekerja, makanan budak tersebut disediakan, saat dia hendak makan, tiba-tiba seekor anjing masuk ke dalam kebun, anjing itu mendekat kepada budak hitam, budak tersebut melemparkan sepotong roti, maka anjing itu memakannya, kemudian budak itu melempar potongan kedua dan anjing itu memakannya, kemudian budak itu melempar potongan ketiga dan anjing itu memakannya sementara Ibnu Ja’far melihatnya. Maka dia mendekat dan berkata, “Fulan, berapa banyak jatah makanmu dalam sehari?” Dia menjawab, “Seperti yang engkau lihat.” Ibnu Ja’far bertanya, “Lalu mengapa engkau memberikannya kepada anjing itu?” Dia menjawab, “Daerah ini bukan daerah anjing, maka anjing itu sepertinya datang dari jauh, dia lapar, maka aku tidak ingin menolaknya.” Ibnu Ja’far bertanya, “Lalu apa yang engkau lakukan?” Dia menjawab, “Menahan lapar hari ini.” Ibnu Ja’far berkata kepada dirinya, “Aku disalahkan karena banyak memberi, ternyata budak ini lebih murah hatinya daripada diriku.” Lalu Abdullah membeli kebun sekaligus peralatannya, dia membeli budak itu, memerdekakannya dan memberikan kebun tersebut kepadanya.”

 

Beberapa orang miskin berkumpul di sebuah tempat, mereka memiliki beberapa potong roti yang tidak cukup untuk mereka semuanya, maka mereka memotong-motongnya, memadamkan lampu dan duduk untuk makan, manakala lampu dinyalakan, ternyata roti itu tetap seperti sebelumnya, tak seorang pun makan karena mementingkan orang lain.

 

Pasal

[Batasan Murah Hati dan Bakhil serta Hakikat Keduanya]

 

Orang-orang telah berbicara tentang batasan bakhil dan murah hati. Ada yang berpendapat bahwa batasan bakhil adalah menahan kadar harta yang wajib diberikan (dikeluarkan). Orang yang menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, maka dia bukan bakhil. Ini belum cukup, karena orang yang tidak memberi keluarganya kecuali kadar yang ditetapkan oleh hakim kemudian mempersempit mereka dengan menolak menambahkan satu suapan atau satu biji karma, maka dia termasuk orang-orang bakhil. Yang benar adalah orang yang terbebas dari bakhil terwujud dengan menunaikan perkara yang wajib dalam syariat dan sesuai dengan muruah disertai hati yang lapang dalam memberi.

 

Perkara yang wajib dalam syariat adalah zakat dan nafkah keluarga.

 

Sesuai dengan muruah adalah tidak mempersempit dan tidak meneliti hal-hal kecil, karena hal itu buruk, sekalipun hal itu juga berbeda-beda sesuai keadaan dan personal, bisa jadi bagi orang kaya hal itu buruk namun tidak bagi orang miskin, buruk bagi seseorang mempersempit keluarganya dan kerabatnya serta tetangganya tetapi bagi orang asing bisa jadi tidak. Orang bakhil adalah orang yang menahan apa yang sepatutnya tidak ditahan, bisa dari sisi hukum syariat atau tuntutan muruah. Barangsiapa menunaikan kewajiban syariat dan tuntutan muruah, maka dia telah terbebas dari kebakhilan, akan tetapi belum dianggap dermawan selama belum memberi lebih dari itu.

 

Sebagian dari mereka berkata, “Orang yang dermawan adalah orang yang memberi tanpa mengungkit-ungkit.” Ada juga yang berkata, “Orang dermawan adalah orang yang berbahagia bila memberi.”

 

[Terapi Sifat Bakhil]

 

Ketahuilah, bahwa sebab bakhil adalah cinta harta. Cinta ini mempunyai dua sebab:

 

Pertama: Cinta hawa nafsu yang untuk mewujudkannya memerlukan harta disertai dengan panjang angan-angan. Bila dia beranganangan pendek namun bercabang-cabang, maka hal itu sama dengan angan-angan panjang.

 

Kedua: Mencintai harta itu sendiri. Sebagian orang mempunyai harta yang mencukupi sisa hidupnya, seandainya dia hanya membatasi pada apa yang berjalan menurut kebiasaannya. Dia memiliki ribuan dirham, dia sudah tua, tidak mempunyai anak, kemudian dia tetap tidak mau membayarkan apa yang menjadi kewajibannya, tidak pula bersedekah yang manfaatnya dia ambil sendiri, dia tahu bahwa jika dia mati, maka hartanya akan berpindah ke tangan musuhnya atau hilang jika tertimbun, maka hal ini adalah penyakit yang sulit disembuhkan.

 

Misalnya, seorang laki-laki mencintai orang lain, manakala utusan orang yang dicintainya itu datang kepadanya, dia mencintai si utusan dan melupakan yang mengutusnya, dia bersibuk diri dengan utusan. Dinar adalah utusan dan sarana yang dapat mengantarkan kepada hajat, lalu mencintai dinarnya dan mclupakan hajat-hajatnya, ini adalah kebinasaan yang payah.

 

Ketahuilah bahwa obat setiap penyakit adalah dengan melawan sebabnya. Cinta hawa nafsu diobati dengan sabar dan qana’ah. Penyakit panjang angan-angan diobati dengan memperbanyak mengingat mati.

 

Kecenderungan hati kepada anak diobati dengan meyakini bahwa Allah yang menciptakannya, menciptakan rizkinya bersamanya, tidak sedikit orang yang tidak mewarisi apa pun menjadi lebih baik kehidupannya daripada orang yang mendapatkan warisan. Hendaknya seseorang berhati-hati meninggalkan harta bagi anaknya dan anak tersebut datang kepada Allah dengan membawa keburukan. Jika anaknya adalah orang shalih, maka Allah menjaganya, jika dia fasik, maka semestinya tidak ditinggali harta yang bisa membantunya berbuat kefasikan. Baca berulang-ulang apa yang kami tulis tentang celaan terhadap kebakhilan dan sanjungan kepada kemurahan hati.

 

Ketahuilah bahwa bila hal-hal yang dicintai di dunia ini banyak, maka banyak pula musibah dengan kehilangannya. Barangsiapa menyadari sisi negatif harta, maka dia tidak merasa nyaman kepadanya. Barangsiapa tidak mengambil darinya kecuali sebatas kebutuhannya dan dia menyimpannya untuk hajatnya, maka dia tidak bakhil. Wallahu a’lam.

 

Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah riya’~ dan syahwat yang samar.”

 

Syahwat yang samar ini, para ulama besar sekalipun kadang tidak mampu menyingkap bahaya-bahayanya, lebih-lebih ahli ibadah pada umumnya. Dan penyakit ini menimpa para ulama dan para ahli ibadah yang menyingsingkan lengan bajunya untuk meniti jalan akhirat. Hal itu karena saat mereka berhasil mengalahkan hawa nafsu dan menyapihnya dari syahwat, mercka membawa jiwa mereka secara paksa menuju sebab-sebab ibadah. Maka ia sudah tidak berharap lagi kepada kemaksiatan lahir yang terjadi dari anggota badan, maka ia tidak perlu memperlihatkan ilmu dan amal, menemukan jalan keluar dari beban berat mujahadat dalam kenikmatan mendapat ridha manusia dan pandangan mereka kepadanya dengan kewibawaan dan pengagungan. Sehingga jiwanya mendapatkan kenikmatan besar, dan meninggalkan kemaksiatan menjadi mudah baginya. Salah seorang dari mereka menyangka dirinya ikhlas kepada Allah padahal namanya tertulis dalam daftar orang-orang munafik. Ini adalah tipu daya besar, tak ada yang selamat darinya kecuali orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

 

Karena itu, dikatakan, perkara terakhir yang keluar dari kepala orang-orang shiddigin adalah cinta kedudukan. Bila hal ini adalah penyakit berbahaya dan merupakan jaring setan paling besar, maka sudah sepatutnya bila kami menjelaskan sebab, hakikat, dan macam-macamnya.

 

[Celaan terhadap Kemasyhuran dan Tersebarluasnya Reputasi (Nama Baik), dan Keutamaan Tidak Dikenal Orang (Sebagai Orang yang Bertakwa)]

 

Ketahuilah bahwa sumber kehormatan adalah kecintaan tersebarnya reputasi baik dan kemasyhuran. Ini adalah bahaya besar. Keselamatan ada pada ketidakterkenalan. Orang-orang baik hendaklah tidak menjadikan kemasyhuran sebagai tujuan, mereka sama sekali tidak mencarinya dan tidak mencari sebab-sebabnya. Jika ia terjadi dari sisi Allah (sebagai cobaan), maka mereka berlari menghindarinya, mereka lebih memilih ketidakterkenalan.

 

Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau keluar dari rumah, lalu beberapa orang mengikuti beliau, maka beliau menoleh kepada mereka dan bertanya, “Atas dasar apa kalian mengikutiku? Demi Allah, seandainya kalian mengetahui di atas apa aku menutup pintuku, niscaya tidak ada orang yang mengikutiku.”

 

Dalam lafazh lain, beliau berkata, “Kembalilah, karena ia adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah bagi yang diikuti.”

 

Abu al-Aliyah, apabila dikerumuni oleh lebih dari empat orang, maka dia akan berdiri.

 

Jika jumlah hadirin dalam halaqah Khalid bin Ma’dan banyak, maka dia berdiri dan pergi, karena dia tidak ingin terkenal.

 

Az-Zuhri berkata, “Kami tidak melihat zuhud pada suatu perkara yang lebih minim daripada zuhud dalam perkara kedudukan, kami melihat seorang laki-laki rela meninggalkan makanan, minuman, dan harta, tetapi begitu ada yang berusaha merebut kedudukannya, maka dia bangkit membela.”

 

Seorang laki-laki berkata kepada Bisyr al-Hafi, “Beri aku wasiat.” Beliau menjawab, “Jangan menjadi orang terkenal, baguskanlah makananmu.” Beliau melanjutkan, “Manisnya iman tidak dirasakan oleh seorang laki-laki yang di dunia ini ingin dikenal oleh manusia.”

 

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Umar bin Sa’ad datang kepada bapaknya Sa’ad bin Abu Waqqash yang saat itu sedang bersama domba-dombanya di luar Madinah. Manakala Sa’ad melihatnya dari jauh, dia berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan pengendara itu.” Manakala Umar datang, dia berkata, “Wahai bapakku, engkau mau menjadi orang Arab badui yang berkutat dengan domba-dombamu sementara orang-orang memperebutkan kedudukan di Madinah?” Maka Sa’ad memukul dadanya dan berkata, “Diam, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah  bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, kaya, dan tidak dikenal.”

 

Dari Abu Umamah berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya orang dekat yang paling utama (membanggakan) di sisiku adalah seorang Mukmin yang berharta sedikit, mempunyat bagian (banyak) dari shalat, beribadah kepada Tuhannya dengan baik, menaatiNya di waktu rahasia, tidak diketahui oleh manusia, tidak ditunjuk dengan jari-jari, rizkinya cukup dan dia sabar di atas itu.” Kemudian beliau memukulkan tangannya lalu bersabda, ” Kematiannya disegerakan, orang yang menangisinya sedikit dan kekayaan (yang ditinggalkannya) tidak banyak.”

 

Ini adalah hadits hasad.

 

Ibnu Mas’ud  berwasiat kepada rekan-rekannya, beliau berkata, “Jadilah kalian sumber-sumber ilmu, lampu-lampu petunjuk, menetap di dalam rumah, pelita malam, banyak bertaubat dan beristighfar, berpakaian sederhana, dikenal di langit namun tidak dikenal di antara penduduk bumi.”

 

Bila ada yang berkata, “Hal ini mengandung keutamaan ketidaktenaran dan celaan terhadap kemasyhuran, lalu adakah kemasyhuran yang lebih besar daripada kemasyhuran para nabi dan para ulama?” Kami menjawab, “Yang tercela adalah manakala manusia mencarinya. Adapun bila ia datang dari Allah tanpa dicari, maka tidak tercela. Hanya saja keberadaannya merupakan fitnah atas orang-orang lemah, karena orang lemah adalah seperti orang yang akan tenggelam dan tidak mahir berenang. Jika seseorang bergelayut kepadanya, maka dia tenggelam dan menenggelamkan orang lain. Berbeda dengan orang yang ahli renang, bergelayutnya orang-orang yang hendak tenggelam justru menjadi sebab keselamatan mereka.”

 

PASAL

[Makna Takhta (Kedudukan) dan Hakikatnya]

 

Ketahuilah bahwa takhta dan harta adalah dua pilar kehidupan dunia. Makna harta adalah memiliki materi yang dapat diambil manfaatnya. Makna takhta adalah menguasai hati yang dituntut mengagungkan dan menaatinya serta mengaturnya.

 

Takhta adalah tegaknya kedudukan dalam hati manusia, yaitu adanya keyakinan hati manusia terhadap kesempurnaan sifat pada orang bersangkutan; bisa karena ilmunya, atau ibadahnya, atau nasab, atau kekuatannya, atau ketampanannya, atau selain itu, yang diyakini oleh manusia sebagai kesempurnaan. Sejauh mana mereka meyakini hal itu padanya, maka sejauh itu pula hati mereka akan tunduk, patuh, memuji, berkhidmat, dan menghormatinya.

 

Hal ini menjelaskan bahwa takhta disukai secara tabiat. Ia bahkan lebih dicintai daripada harta, karena pada dasarnya harta tidak berkaitan dengan kepentingan secara langsung, ia hanya sebagai sarana menuju apa yang diinginkan. Harta dan takhta sama-sama sebagai sebab, sehingga sama-sama dicintai, namun takhta lebih kuat daripada harta.

 

[Cinta Kedudukan; yang Terpuji dan yang Tercela]

 

Ketahuilah bahwa di antara kedudukan ada yang terpuji dan ada yang tercela. Sudah maklum bahwa manusia memerlukan harta karena dia harus makan, minum, berpakaian, dan lainnya. Dia juga memerlukan kedudukan sebagai tuntutan hidup bersama manusia, karena manusia pasti membutuhkan penguasa yang melindunginya, teman yang membantunya, pelayan yang melayaninya. Mencintai hal itu tidak tercela, karena kedudukan hanyalah sarana kepada tujuantujuan, maka ia seperti harta.

 

Intisari hal ini adalah hendaknya harta dan kedudukan tidak dicintai secara zatnya. Bila seseorang berusaha menegakkan kedudukannya atas dasar kapasitas yang dimilikinya dan untuk tujuan yang benar seperti ucapan Yusuf,

 

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55), atau hendak menyembunyikan salah satu aib dari aib-aibnya agar kedudukannya tidak jatuh, maka hal tersebut mubah. Namun bila dia mencari kedudukan karena mereka menyangkanya mempunyai ilmu, kebersihan hati dan nasab, padahal tidak, maka hal itu dilarang.

 

Demikian juga seseorang yang membaguskan shalat di depan orang-orang agar mereka menyangkanya shalat dengan khusyu’, maka dia adalah orang yang riya’ dengan perbuatannya itu, tidak boleh menarik hati dengan kebohongan sebagaimana tidak boleh memiliki harta dengan penipuan.

 

TERAPI PENYAKIT CINTA KEDUDUKAN

 

Ketahuilah bahwa siapa yang hatinya diliputi cinta kedudukan, maka tujuannya terbatas pada perhatian manusia, berhasrat mendekatkan diri kepada mereka, menonjolkan diri di depan mereka, perkataan dan perbuatannya senantiasa selalu menarik sisi-sisi yang mendongkrak kedudukannya di mata mereka. Dan, itu adalah bibit kemunafikan dan sumber kerusakan, karena siapa pun yang mencari kedudukan di depan manusia, maka dia harus berpura-pura kepada mereka dengan menampakkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Ini kemudian akan menyeret kepada riya’” dalam ibadah dan terjerumus ke dalam hal-hal yang haram dalam upaya untuk mencuri hati.

 

Itulah sebabnya Rasulullah menyerupakan cinta harta dan kedudukan yang merusak agama dengan dua ekor serigala ganas yang dilepaskan pada sekawanan domba.

 

Jika demikian, maka cinta kedudukan termasuk sesuatu yang membinasakan, wajib diobati, dan pengobatannya tersusun dari ilmu dan amal.

 

Untuk yang pertama, ilmu, hendaknya mengetahui bahwa sebab yang membuatnya cinta kedudukan adalah kemampuannya menguasai manusia, raga dan jiwa mereka, dan hal itu bila selamat dan bersih maka di akhirnya adalah kematian. Maka sepatutnya dia merenungkan pada dirinya bahaya-bahaya dan sisi-sisi negatif yang dipikul oleh para pemilik kedudukan di dunia. Panah hasad tertuju kepadanya, dan orang-orang yang hasad kepadanya menjadikannya sebagai sasaran mereka, maka engkau melihat mereka ketakutan terus-menerus akan lenyapnya kedudukan, berusaha menghindari perubahan kedudukan mereka dalam hati.

 

Hati lebih mudah berbalik daripada bejana yang bergolak mendidih, menyibukkan diri dengan memperhatikan hal itu merupakan kesedihan yang disegerakan, mengeruhkan nikmat kedudukan. Apa yang diharapkan di dunia tidak setara dengan apa yang dikhawatirkan, lebih-lebih bila melihat kepada apa yang akan lenyap di akhirat, ini dari sisi ilmu.

 

Untuk pengobatan dari sisi amal, menggugurkan kedudukan dari hati manusia dengan perbuatan-perbuatan yang mengharuskan hal itu, sebagaimana diriwayatkan bahwa sebagian raja hendak mengunjungi seorang ahli zuhud, manakala raja sudah dekat kepadanya, ahli zuhud meminta makanan, sayuran dan susu, dia makan dengan lahapnya, memasukkan suapan besar ke mulutnya, manakala raja melihatnya, maka jatuhlah kedudukan ahli zuhud di matanya.

 

Manakala Ibrahim an-Nakha’i diminta untuk menjadi hakim, dia memakai kain merah dan duduk di pasar.

 

Ketahuilah bahwa terputusnya seorang ahli zuhud dari manusia mewariskan kedudukan baginya di mata mereka, tapi bila ahli zuhud takut terhadap fitnah itu, maka hendaknya dia bergaul dengan mereka dengan cara yang selamat, berjalan di pasar, membeli dan membawa kebutuhannya sendiri, memutuskan harapannya kepada mereka, dan dengan itu tujuannya terwujud.

 

Bisyr al-Hafi duduk bersama tukang minyak wangi dan mereka sama sekali tidak menjaga simbol-simbol orang-orang zuhud seperti di zaman ini.

 

PASAL

[Terapi Penyakit Cinta Pujian dan Benci Celaan]

 

Ketahuilah bahwa kebanyakan manusia binasa karena takut celaan manusia dan cinta sanjungan mereka, sehingga seluruh aktivitas mereka hadir scsuai dengan ridha manusia dengan harapan mendapatkan sanjungan dan karena takut terhadap celaan. Maka ini juga termasuk yang membinasakan, dan ia wajib diobati.

 

Jalannya adalah hendaknya kita melihat sifat yang mendatangkan pujian. Bila pada dirimu sifat terscbut memang ada, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: sifat yang membahagiakan seperti ilmu dan wara’, atau sifat yang tidak patut dibanggakan seperti kedudukan dan harta.

 

Untuk yang pertama (ilmu dan kebersihan hati), hendaknya pemiliknya mewaspadai penutup hidupnya, karena ketakutan terhadap akhir hidup akan menyibukkannya dari kebahagiaan karena pujian. Kemudian bila engkau berbahagia karenanya dengan harapan mendapatkan husnul khatimah, maka hendaklah kebahagiaanmu adalah karena karunia Allah kepadamu dengan ilmu dan ketakwaan, bukan karena pujian manusia.

 

Untuk yang kedua (kedudukan dan harta), yaitu pujian karena harta dan kedudukan. Berbahagia karena itu seperti berbahagia dengan tumbuhan bumi yang tidak lama lagi akan menguning; tidak berbahagia karena hal itu kecuali orang yang lemah akalnya. Bila engkau tidak mempunyai sifat yang karenanya engkau dipuji, namun engkau tetap berbahagia, maka kebahagiaanmu adalah kegilaan yang parah.

 

Kami sudah menyebutkan sisi-sisi negatif pujian dalam kitab “Penyakit-penyakit Lisan”. Tidak sepatutnya engkau berbahagia karenanya, justru sebaliknya engkau patut membencinya, sebagaimana as-Salaf ash-Shalih juga membencinya dan marah terhadap pelakunya.

 

Pengobatan (terapi) terhadap penyakit benci celaan bisa dipahami dari pengobatan terhadap cinta pujian, karena ia adalah sebaliknya. Ungkapan singkat dalam masalah ini adalah lebih kurang sebagai berikut:

 

[Terapi terhadap Rasa Benci akan Celaan Orang]

 

Sesungguhnya orang yang mencelamu, bisa jadi dia jujur pada apa yang dikatakannya, sehingga tujuannya adalah menasihatimu, maka sepatutnya engkau menganggapnya sebagai jasa baik, tidak perlu marah, karena dia telah menunjukkan aib-aibmu kepadamu (yang harus segera engkau perbaiki).

 

Jika tujuannya bukan menasihati, dia telah melakukan kejahatan terhadap agamanya sendiri dan memberimu manfaat dengan perkataannya, karena dia telah menunjukkan kepadamu apa yang sebelumnya belum engkau ketahui dan menyebutkan kekeliruan yang engkau lupakan.

 

Jika dia berdusta atasmu dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, maka sepatutnya engkau memikirkan tiga perkara:

 

Pertama: Bila engkau selamat dari aib tersebut, engkau tetap tidak selamat dari aib yang sepertinya. Aib yang Allah tutupi darimu lebih banyak, maka bersyukurlah kepada Allah yang tidak membuka aibaibmu dan menghindarkannya darimu serta mengingatkan sesuatu yang engkau terbebas darinya.

 

Kedua: Hal itu adalah kafarat bagi dosa-dosamu.

 

Ketiga: Dia telah melakukan kejahatan terhadap agamanya sendiri, mengundang murka Allah, maka sepatutnya engkau memohon ampunan kepada Allah untuknya, sebagaimana diriwayatkan bahwa seorang laki-laki memukul kepala Ibrahim bin Adham sampai terluka, namun Ibrahim mendoakannya semoga Allah mengampuninya. Dia berkata, “Karena aku ingin mendapatkan pahala dari perbuatannya, maka aku tidak patut membuatnya memikul dosa karenaku.” Kisah ini telah disebutkan dalam pembahasan Tanda-tanda Akhlak yang Baik.

 

CELAAN TERHADAP RIYA’’

 

Celaan terhadap riya’’ disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, di antaranya adalah Firman Allah

 

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’.” (Al-Ma’un: 4-6). Dan Firman Allah,

 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110).

 

Dan dari as-Sunnah, diriwayatkan dari Nabi  sebagaimana yang beliau riwayatkan dari Tuhannya bahwa Dia berfirman,

 

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukanKu dengan selainKu padanya, maka amalan tersebut untuk selainKu tadi dan Aku berlepas diri (anti) darinya.”

 

Dalam hadits lain bahwa Rasulullah bersabda,

 

” Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik kecil?” Beliau menjawab, “Riya’. Allah akan berfirman kepada mereka di Hari Kiamat apabila membalas manusia dengan amal-amal mereka, ‘Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ untuk mereka di dunia, adakah kalian memperoleh kebaikan pada mereka?”

 

Bisyr al-Hafi berkata, “Mencari dunia dengan seruling lebih aku sukai daripada mencarinya dengan agama.”

 

[Hakikat Riya’’ dan Apa yang Dijadikan Objek Riya’’]

 

Ketahuilah bahwa riya’’ diambil dari (penglihatan), sedangkan sum’ah dari (pendengaran). Pelaku riya’’ memperlihatkan kepada orang lain sesuatu yang dengannya dia mencari kedudukan di kalangan mereka. Riya’’ terbagi menjadi beberapa macam:

 

Pertama: Riya’’ dalam agama, dan ini juga terbagi menjadi beberapa macam:

 

Pertama: Riya’’ dengan anggota badan dengan memperlihatkan kelemahan dan kepucatan untuk memperlihatkan bahwa hal itu karena sungguh-sungguh dalam beribadah dan rasa takut kepada akhirat. Demikian juga memperlihatkan rambut yang kusut untuk memperlihatkan bahwa dia sibuk dalam urusan agama, sehingga tidak sempat merapikan rambutnya.

 

Mirip dengan ini, merendahkan suara, mata yang sayu, dan bibir yang kering, hal itu bertujuan untuk memperlihatkan bahwa dia selalu berpuasa.

 

Karena itu Nabi Isa putra Maryam berkata, “Bila salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaknya dia meminyaki dan menyisir rambutnya.” Hal itu karena orang yang berpuasa ditakutkan terserang penyakit riya’’. Ini adalah (bentuk) riya’’ dari arah badan bagi ahli agama.

 

Sedangkan riya’’ ahli dunia, maka dengan mereka menampakkan kegemukan, kulit yang cerah, penampilan yang ideal, ketampanan, dan tubuh yang bersih.

 

Kedua: Riya’’ dengan penampilan seperti menunduk saat berjalan, membuat tanda sujud di kening, berpakaian kasar, memakai pakaian dari wol, sering menyingsingkan lengan baju, memendekkan lengan, membiarkan baju kotor tanpa dicuci. Termasuk dalam hal ini memakai baju tambalan dan pakaian biru®’’ meniru orang-orang sufi, padahal dada mereka sama sekali tak terisi dengan sifat-sifat mereka. Termasuk dalam hal ini memakai kain penutup di atas surban agar orang-orang memandangnya karena ciri khasnya tersebut.

 

Mereka ini juga bertingkat-tingkat. Di antara mereka ada yang mencari kedudukan di sisi orang-orang baik dengan menampakkan zuhud melalui pakaian yang tertambal, kasar dan kotor, tujuannya agar disangka demikian. Seandainya orang ini diminta memakai pakaian tengah-tengah yang bersih yang dipakai oleh as-Salaf ash-Shalih, niscaya hal itu baginya adalah seperti akan disembelih, dia takut orang-orang akan berkata, “Dulu dia ahli zuhud, namun sekarang dia meninggalkannya.”

 

Di antaranya, ada yang bertujuan agar bisa diterima di kalangan orang-orang shalih dan di kalangan ahli dunia, yaitu para raja, para gubernur, dan para saudagar. Seandainya dia memakai pakaian yang bagus, niscaya mereka tidak diterima oleh para ahli al-Qur’an (penuntut ilmu) atau orang-orang shalih, seandainya mereka memakai pakaian tambalan, niscaya mereka dihina oleh para raja dan orang-orang kaya. Mereka hendak menggabungkan antara ahli dunia dengan ahli agama, supaya mereka semua bisa menerimanya. Orang-orang itu mencari kain-kain yang lembut, pakaian-pakaian yang halus dan sarung yang mahal lalu memakainya, hingga harga terendah pakaian salah seorang dari mereka sama dengan harga pakaian orang kaya, warna dan bentuknya adalah warna pakaian orang-orang berada. Dengan ini mereka mencari tempat di sisi kedua kubu.

 

Bila mereka diminta memakai pakaian kasar, atau kotor, maka hal itu bagi mereka seperti akan disembelih. Mereka takut harga diri mereka jatuh di mata para raja dan orang-orang kaya. Seandainya mereka diminta untuk memakai pakaian yang lembut, kain katun putih yang mahal atau yang sepertinya niscaya hal itu dianggap berat atas mereka, karena mereka takut kedudukan mereka di mata orang-orang shalih akan merosot. Setiap orang riya’’ dengan penampilan tertentu, pasti akan merasa berat untuk meninggalkannya dan berpindah kepada yang lebih rendah atau yang lebih tinggi, karena takut dicela.

 

Untuk ahli dunia, riya’’ mereka adalah dengan memakai pakaianpakaian yang mahal, kendaraan-kendaraan yang mahal, berbagai macam penunjang penampilan dalam berbusana, tempat tinggal dan peralatan rumah. Di rumah (mungkin) mereka memakai pakaian kasar, namun mereka sama sekali tidak ingin dilihat dengan pakaian tersebut.

 

Ketiga: Riya’’ dengan perkataan. Riya’’ ahli agama melalui nasihat, peringatan, menghafal hadits-hadits dan atsar-atsar dalam rangka memperlihatkan kemahiran, ilmu yang mengalir dan besarnya perhatian terhadap kehidupan as-Salaf, menggerakkan kedua bibir untuk berdzikir di depan orang lain, memperlihatkan kemarahan terhadap kemungkaran yang terjadi di tengah-tengah manusia, merendahkan suara dan melunakkannya saat membaca al-Qur’an, untuk menunjukkan bahwa dia membacanya dengan kesedihan dan rasa takut atau yang sepertinya.

 

Untuk ahli dunia, riya’’ kepada mereka adalah dengan menghafal syair-syair, peribahasa-peribahasa, perkataan-perkataan yang fasih atau yang sepertinya.

 

Keempat: Riya’’ dengan amal perbuatan, seperti orang shalat yang memanjangkan berdirinya, memanjangkan rukuk dan sujud, memperlihatkan khusyu’ dan yang sepertinya, demikian juga dengan puasa, perang, haji, sedekah, dan lain-lainnya.

 

Untuk ahli dunia, riya’’ mereka adalah dengan cara berjalan yang membusungkan dada, kepala tegak, menggerakkan kedua tangan, mendekatkan langkah kaki, memegang ujung kain, membentangkan kedua bahu untuk menunjukkan bahwa dia terhormat.

 

Kelima: Riya’’ dengan teman-teman dan tamu-tamu, misalnya orang yang memaksakan diri untuk mengundang seorang ulama atau ahli ibadah agar dikatakan bahwa fulan dikunjungi oleh ulama fulan, lalu orang-orang baik mendatanginya dan mengambil berkah kepadanya. Demikian juga orang yang bersikap riya’’ dengan banyaknya syaikh agar dikatakan bahwa fulan telah bertemu banyak syaikh, mengambil faedah dari mereka lalu dia berbangga dengan itu.

 

Inilah sejumlah perkara yang ahli riya’’ bersikap riya’’ dengannya, dengan itu mereka mencari kedudukan dan kehormatan di hati manusia.

 

Di antara mereka ada yang hanya mencari kedudukan. Berapa banyak ahli ibadah yang menyendiri di gunung, rahib yang menutup diri di biara dengan tidak berharap sama sekali kepada manusia, akan tetapi dia hanya ingin kedudukannya mulia.

 

Di antara mereka ada yang bertujuan harta. Dan di antara mereka ada yang bertujuan sanjungan dan nama baik.

 

Bila ada yang berkata, apa hukum riya’’? Haram, makruh atau mubah?

 

Kami menjawab, “Perlu dirinci, karena riya’’ bisa dalam ibadah dan bisa juga di selainnya. Bila riya’’ dalam ibadah maka ia haram, siapa yang berbuat riya’’ dalam shalat, sedekah, haji dan lainnya, maka dia durhaka dan berdosa, karena tujuannya bukan Allah, padahal yang berhak disembah hanyalah Allah semata, maka pelaku riya’’ ini masuk ke dalam murka Allah.

 

Untuk selain ibadah, maka ia seperti mencari harta sebagaimana yang telah disebutkan, tidak haram dari sisi bahwa dia mencari kedudukan dalam hati manusia, akan tetapi sebagaimana harta bisa dicari melalui sebab-sebab yang haram dan penipuan, maka demikian juga perkaranya dengan kedudukan, sebagaimana mencari sedikit harta, yaitu kadar yang dibutuhkan adalah terpuji, maka demikian juga dengan kedudukan, dan inilah yang diminta oleh Yusuf dalam ucapannya,

 

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55).

 

Kami tidak berkata bahwa mencari kedudukan itu haram walaupun banyak, kecuali bila ia membawa pemiliknya kepada apa yang tidak dibolehkan, sebagaimana yang telah kami paparkan dalam perkara harta.

 

Luas (tinggi)nya kedudukan tanpa berambisi mencarinya, tanpa kesedihan saat ia pergi, maka tidak ada mudarat padanya, karena tidak ada kedudukan yang lebih luas daripada kedudukan Rasulullah #§ dan para ulama agama sesudah beliau. Akan tetapi memfokuskan upaya untuk meraih kedudukan adalah kekurangan dalam agama, namun tidak dikatakan haram.

 

Membaguskan pakaian yang dipakai oleh seseorang saat dia menemui manusia, agar orang-orang melihatnya, demikian juga berpenampilan baik untuk mereka tidak bisa dikatakan bahwa itu dilarang.

 

Tujuan di balik itu bisa jadi berbeda-beda, kebanyakan orang tidak ingin terlihat dengan pandangan mata merendahkan dirinya dalam kondisi apa pun.

 

Dalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan (sekalipun) seberat biji zaraht.” Maka seorang laki-laki berkata, ” Sesunggulinya orang suka bila bajunya bagus dan sandalnya juga bagus.” Rasulullah bersabda, ” Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan; kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”

 

Di antara manusia ada yang berusaha memperlihatkan nikmat Allah pada dirinya dan Rasulullah memang telah memerintahkan hal itu.

 

PASAL

[Tingkatan-Tingkatan Riya’’]

 

Ketahuilah bahwa sebagian pintu riya’’ lebih berat dari sebagian yang lainnya; karena riya’’ memang bertingkat-tingkat:

 

Pertama: Ini yang paling berat dan paling besar, yaitu beribadah tanpa bermaksud mencari pahala sedikit pun, seperti orang yang shalat di tengah-tengah manusia, yang seandainya dia sendiri, maka dia tidak shalat.

 

Kedua: Tujuannya adalah pahala dan disertai riya’’, tujuan pahalanya sangat tipis, yang seandainya dia sendiri, maka dia tidak melakukannya, maka ini dekat dengan macam yang pertama di atas, dan keduanya sama-sama dimurkai oleh Allah.

 

Ketiga: Tujuan pahala dan riya’’ seimbang, bila salah satu dari keduanya tidak diiringi yang lain, maka ia tidak mendorongnya untuk beramal, maka ini merusak seukuran dengan amal shalih yang dilakukannya, dan dia tidak selamat dari dosa.

 

Keempat: Penglihatan manusia terhadapnya menguatkan semangatnya, seandainya tidak ada seorang pun yang tahu, dia tidak meninggalkan ibadah, dia diberi pahala atas niatnya yang benar dan dihukum atas niatnya yang rusak.

 

Mirip dengan ini, riya’’ pada cara ibadah bukan pada dasar ibadah, seperti orang yang shalat, tujuan semula adalah memendekkan rukuk dan sujud, tidak memanjangkan bacaan, namun saat orang-orang melihatnya, maka dia melakukan semua itu. Ini termasuk riya’’ yang dilarang, karena ia mengandung pengagungan kepada makhluk, akan tetapi tingkatan ini berada di bawah riya’’ pada dasar ibadah.

 

RIYA’’ SAMAR YANG LEBIH SAMAR DARIPADA SUARA LANGKAH SEMUT HITAM

 

Ketahuilah bahwa riya’’ terbagi menjadi riya’’ jelas (riya’ jaliy) dan riya’’ samar (riya’’ khafiy).

 

Riya’’ yang jelas adalah riya’’ yang mendorong dan menggerakkan amal perbuatan, lebih samar sedikit dari ini adalah riya’’ yang tidak mendorong untuk beramal dengan sendirinya, akan tetapi ia meringankan amal perbuatan yang dengannya mengharap Wajah Allah, seperti orang yang terbiasa shalat tahajud di malam hari namun hal itu terasa berat baginya, tetapi saat ada tamu di rumahnya, maka dia giat dan mudah mengerjakannya.

 

Lebih samar dari itu adalah riya’’ yang tidak mempengaruhi amal perbuatan dan tidak pula memudahkannya, sekalipun demikian ia tersimpan dalam hati. Jika ia tidak mendorong beramal, maka yang bersangkutan tidak mungkin mengetahuinya kecuali dengan tanda-tandanya, dan tandanya yang paling jelas adalah bahwa dirinya bergembira bila orang-orang mengetahui ibadahnya. Berapa banyak hamba yang sebenarnya ikhlas, mengikhlaskan amal perbuatannya, tidak bermaksud riya’’ bahkan dia membenci amal perbuatannya terlaksana di atas riya’’. Akan tetapi manakala orang lain mengetahui amal perbuatannya, maka dia gembira dan merasa senang dengannya, hatinya merasa ringan dengan beratnya ibadah. Kegembiraan seperti ini menunjukkan adanya riya’’ samar yang seandainya hatinya tidak menoleh kepada manusia, niscaya tidak muncul kegembiraan saat orang-orang mengetahui ibadahnya. Hendaknya yang bersangkutan mengetahui bahwa riya’’ tersembunyi dalam hati seperti api tersembunyi dalam batu pemantik. Ketika manusia mengetahui ibadahnya, maka muncullah kegembiraan dan suka cita, kemudian bila dia terus merasa gembira dengan itu, dia tidak menghadapinya dengan kebencian, bahkan bisa mungkin mendorong melakukan gerakan yang ringan dan bisa saja dia berusaha agar orang-orang mengetahui ibadahnya, memperlihatkan dengan tanda isyarat bukan terang-terangan.

 

Bisa jadi dia menyembunyikan, tidak berhasrat untuk menampakkan dengan perkataan, baik secara langsung maupun dengan bahasa isvarat. Akan tetapi dengan penampilannya seperti memperlihatkan keloyoan, wajah pucat, suara lemah, kedua bibir kering, bekas air mata, mengantuk yang menunjukkan panjangnya tahajud di malam hari.

 

Lebih samar dari itu, dia menyembunyikan, dia tidak ingin ibadahnya diketahui orang lain. Akan tetapi bila dia bertemu orang-orang, dia ingin mereka memulai dengan memberi salam kepadanya, menyambutnya dengan wajah berseri dan penghormatan, lebih giat dalam menunaikan hajatnya, memudahkannya dalam bermuamalah, melapangkan jalannya, dan bila ada yang tidak menunaikan semua itu dengan baik, maka merasa berat hati, seolah-olah jiwanya menuntut dihormati atas ketaatan yang telah disembunyikannya.

 

Ketika suatu ibadah yang dilakukan tidak mempunyai pengaruh yang berkaitan dengan orang lain sebagaimana jika ibadah tersebut tidak dilakukan, maka tidak serta merta dia bersih dari noda riya’’ yang samar. Semua itu bisa mengurangi pahala dan tak ada yang selamat darinya kecuali para shiddigqin.

 

Kami meriwayatkan dari Wahb bin Munabbih bahwa seorang ahli ibadah berkata kepada rekan-rekannya, “Kita sudah meninggalkanharta dan anak-anak karena takut kelaliman. Akan tetapi kita tetap khawatir jika perkara kita ini akan disusupi dengan kelaliman yang justru lebih besar daripada kelaliman yang melanda para pemilik harta dengan harta mereka. Wujudnya, saat salah seorang dari kita bertemu dengan orang lain, dia ingin orang itu menghormatinya karena agamanya. Jika dia mempunyai hajat, maka dia ingin orang lain menunaikannya karena agamanya. Jika dia membeli sesuatu maka dia ingin harganya dimurahkan karena agamanya.” Ini terdengar oleh raja mereka, maka sang raja mendatanginya dengan rombongan pengawalnya, tanah lapang dan gunung penuh sesak dengan orang-orang, maka ahli ibadah itu berkata, “Apa ini?” Seorang rekannya menjawab, “Baginda Raja.” Maka sang ahli ibadah berkata kepada rekannya, “Hidangkan makanan.” Maka rekannya menyiapkan sayuran, kismis, dan umbut pepohonan. Maka ahli ibadah itu mulai menjejali mulutnya dan makan dengan sangat lahapnya, lalu raja berkata, “Mana ahli ibadah itu?” Mereka menjawab, “Itu, sedang makan.” Raja bertanya, “Bagaimana dirimu?” Dia menjawab, “Sama dengan orang lain.” Raja berkata, “Orang ini tidak mempunyai kebaikan.” Maka raja langsung meninggalkan tempat. Ahli ibadah berhata, “Segala puji bagi Allah yang telah memalingkannya dariku dalam keadaan dia mencelaku’.”

 

Orang-orang ikhlas senantiasa takut terhadap riya’’ yang samar. Mereka berusaha menyembunyikan amal shalih mereka dari pandangan dan pengetahuan orang lain, mereka berusaha keras menyembunyikannya lebih keras daripada usaha manusia dalam menyembunyikan perbuatan buruk mereka. Semua itu dengan harapan agar amal mereka bisa menjadi ikhlas, agar Allah memberikan balasan kepada mereka di Hari Kiamat karena keikhlasan mereka tersebut.

 

Noda-noda riya’~ yang samar berjumlah banyak, sulit untuk dihitung. Bila seseorang merasakan perbedaan antara ibadahnya yang dilihat orang lain dengan yang tidak dilihat, maka padanya terdapat cabang riya’’, akan tetapi tidak semua noda riya’’ tersebut membatalkan pahala amal dan merusak amal perbuatan, karenanya di sini harus dirinci.

 

Jika dikatakan, “Tak seorang pun bisa terlepas dari rasa senang bila ibadahnya diketahui, apakah semua itu tercela?”

 

Kami menjawab, “Rasa senang terbagi menjadi terpuji dan tercela. Senang yang terpuji bila tujuannya adalah menyembunyikan ketaatan dan keikhlasan karena Allah. Akan tetapi manakala orang-orang mengetahui, maka dia menyadari bahwa Allah-lah yang membuat orang-orang mengetahui dan memperlihatkan perbuatan baiknya, maka dia senang kepada kebaikan Allah, perhatian dan penglihatanNya. Dia menutupi ketaatan dan kemaksiatan, lalu Allah memperlihatkan ketaatannya dan menyembunyikan kemaksiatannya, tidak ada kebaikan yang lebih besar daripada menutupi keburukan dan menampakkan kebaikan, maka kegembiraannya karena hal itu, bukan karena orang-orang memujinya dan karena dia mendapatkan kedudukan dalam hati manusia, atau dia menyadari bahwa ditampakkannya kebaikan oleh Allah dan ditutupinya keburukan olehNya di dunia menunjukkan bahwa Allah akan melakukan hal yang sama di akhirat, karena terdapat hadits yang menetapkan makna ini.

 

Tetapi kalau kegembiraannya terhadap ibadahnya yang diketahui orang-orang yang karena dengan itu dia mendapatkan kedudukan dalam hati mereka sehingga mereka menyanjungnya, mengagungkannya dan menunaikan hajat-hajatnya, maka ini makruh tercela.”

 

Jika ada yang berkata, Lalu bagaimana dengan hadits Abu Hurairah yang beliau berkata, seorang laki-laki berkata,

 

“Ya Rasulullah, seorang laki-laki melakukan suatu amal dan dia merahasiakannya, lalu bila diketahui maka dia mengaguminya.” Rasulullah menjawab, “Baginya dua pahala: pahala rahasia dan pahala terang-terangan.”

 

Kami menjawab, Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Sebagian ulama menafsirkannya, maknanya adalah dia takjub kepada sanjungan orang-orang kepadanya dengan kebaikannya, berdasarkan sabda Nabi,

 

“Kalian adalah saksi-saksi Allah di bumi.”

 

Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Dzar , beliau berkata, Rasulullah pernah ditanya,

 

“Hai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda tentang seorang laki-laki yang melakukan suatu amalan dan orang-orang memujinya karena itu?” Beliau menjawab, “Itu adalah berita gembira (bagi) seorang Mukmin yang disegerakan.'”

 

Adapun bila dia mengaguminya agar orang-orang mengetahui kebaikannya dan memuliakannya karena itu, maka ini adalah riya’’.

 

PASAL

AMAL YANG GUGUR PAHALANYA OLEH RIYA’’ DAN YANG TIDAK GUGUR

 

Apabila riya’’ datang kepada seorang hamba, maka tidak luput dari kemungkinan riya’’, baik datang setelah ibadah atau sebelumnya.

 

Apabila kegembiraan karena perbuatannya muncul setelah ibadah tersebut selesai tanpa usaha untuk memperlihatkan, maka ini tidak menggugurkan pahala amal perbuatan, karena ibadah sudah dikerjakan di atas jalur keikhlasan, maka apa yang terjadi sesudahnya tidak berpengaruh terhadapnya, lebih-lebih bila dia tidak memaksakan diri untuk memperlihatkannya atau membicarakannya.

 

Adapun bila dia membicarakannya dan memperlihatkannya setelah selesai ibadah, maka ini dikhawatirkan, dan biasanya saat dia melakukan amal tersebut, memang hatinya tidak murni dari riya’’, kalaupun selamat dari riya’’ maka pahalanya gugur; karena antara perbuatan rahasia dengan terang-terangan terdapat tujuh puluh derajat.

 

Sedangkan bila riya’’ hadir sebelum ibadah usai, seperti shalat yang dimulai di atas keikhlasan, bila sekadar senang, maka ia tidak berdampak buruk terhadapnya, akan tetapi bila riya’’ mendorong beramal (bertindak), misalnya memanjangkan shalatnya agar dilihat, maka ini menggugurkan pahala.

 

Kemudian riya’’ yang berbarengan dengan ibadah, misalnya seseorang memulai shalat dengan tujuan riya’’, bila dia menyelesaikan shalatnya di atas itu, maka shalatnya tidak dianggap, bila dia menyesali perbuatannya, maka yang patut baginya adalah mengulanginya lagi. Wallahu a’lam.

 

Bab

TERAPI RIYA’ DAN CARA MENGOBATI HATI DARINYA

 

Engkau sudah mengetahui bahwa riya’’ menggugurkan pahala amal perbuatan, penyebab datangnya murka Allah, dan termasuk perkara yang membinasakan, maka bila keadaannya demikian, engkau patut menyingsingkan lengan baju untuk menghilangkannya.

 

Ada dua langkah untuk menghadapinya: Pertama, mencabut akar dan pangkalnya yang darinya tumbuh cabang-cabang. Kedua, menolak apa yang terlintas darinya saat itu juga.

 

Pertama: Ketahuilah bahwa sumber riya’’ adalah cinta kedudukan dan takhta, jika hal ini dirinci, maka kembali kepada tiga dasar, yaitu cinta pujian yang menyenangkan, menghindari celaan yang menyakitkan, dan tamak terhadap apa yang ada di tangan orang lain.

 

Ini diperkuat oleh hadits dalam ash-Shahihain dari Abu Musa, dia berkata, Seorang laki-laki datang kepada Nabi, dia berkata,

 

“Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu tentang seorang laki-laki yang berperang karena keberaniannya, seorang lagi berperang karena fanatisme, dan seorang lagi berperang karena riya’’; siapa dari mereka yang berperang di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, maka dialah yang berperang di jalan Allah.”

 

Makna ucapannya, “Berperang karena keberanian”, yakni, agar diingat dan dipuji. Ucapannya, “Berperang karena fanatisme”, yakni, tidak suka jika kalah atau terhina. Ucapannya, “Berperang karena riya’” yakni, agar kedudukannya dikenal. Inilah syahwat kedudukan dan status dalam hati manusia.

 

Bisa jadi sescorang tidak berhasrat kepada pujian, akan tetapi dia takut akan celaan seperti scorang pengacut di tengah-tengah para pemberani, dia teguh tidak kabur agar tidak dicecla, seperti misalnya seseorang mungkin berani berfatwa tanpa ilmu agar tidak dicela bodoh.

 

Ketiga perkara inilah yang mendorong riya’’.

 

Obatnya: Manusia hanya menginginkan dan berharap sesuatu karena dia menyangkanya baik dan berguna baginya, bisa untuk saat ini atau untuk masa depan. Bila dia mengetahui bahwa perkara tersebut nikmat untuk sekarang namun membahayakan untuk masa depan, maka mudah baginya untuk menjauhinya dan memutuskan keinginannya. Seperti orang yang mengetahui bahwa madu adalah nikmat, tetapi jika jelas baginya ada racun pada madu tersebut maka dia akan meninggalkannya. Demikian cara mengatasi keinginan di sini, yaitu hendaknya engkau mengetahui mudarat yang terkandung di dalamnya. Jika seseorang mengetahui bahaya riya’’, hilangnya kebaikan hati karenanya, hilangnya kedudukan mulia di akhirat, dan berisiko mendapat murka, kehinaan, dan azab Allah, serta ancaman tercerai-berai tujuannya yang dirasakan di dunia karena mengikuti kehendak hati manusia, maka dia akan meninggalkan riya’” dan tidak memedulikan ridha manusia. Karena ridha manusia adalah tujuan yang tak akan pernah terwujud. Sesuatu yang membuat ridha sekelompok orang, akan membuat sekelompok lainnya marah. Barangsiapa mencari ridha manusia dengan murka Allah, maka Allah akan memurkainya dan membuat manusia memurkainya. Kemudian apa tujuan yang diidam-idamkannya bila orang-orang memujinya, mementingkan celaan Allah demi mendapatkan pujian mereka? Pujian mereka tidak menambah rizki dan umur, tidak berguna baginya di hari yang dia sangat membutuhkannya. Demikian juga celaan mereka, untuk apa dikhawatirkan? Celaan manusia sama sekali tidak merugikannya, tidak menyegerakan ajalnya, tidak menunda rizkinya, karena semua manusia adalah lemah,

 

“dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (Al-Furqan: 3).

 

Jika seseorang menancapkan hal ini dengan kuat dalam hatinya, maka keinginannya untuk riya’~ melemah. Dia akan menghadapkan hatinya kepada Allah, karena orang yang berakal tidak akan pernah berminat kepada apa yang merugikannya dan manfaatnya minim.

 

Adapun tamak kepada apa yang ada di tangan manusia, maka ia dihilangkan dengan keyakinan bahwa Allah-lah yang menundukkan hati untuk memberi atau tidak memberi. Tidak ada pemberi rizki selainNya. Barangsiapa berharap kepada manusia, maka dia tidak selamat dari kerendahan dan kegagalan. Jika dia mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia tidak selamat dari jasa baik orang dan kehinaan, karena itu bagaimana dia meninggalkan apa yang ada di sisi Allah dengan harapan dusta dan keyakinan rusak?

 

Di antara obat riya’ yang mujarab adalah membiasakan diri menyembunyikan ibadah, menutup pintu saat melakukannya sebagaimana pintu-pintu keburukan ditutup. Tidak ada obat yang lebih manjur terhadap penyakit riya’’ melebihi menyembunyikan kebaikan. Pada awalnya memang berat, perlu mujahadat, tapi bila dia mampu sabar untuk sesaat dengan memaksa diri, maka beban beratnya akan sirna, dan Allah akan membantunya. Seorang hamba hendaklah berjuang dan Allah yang memberinya taufik.

 

Kedua: Menolak riya’’ yang terlintas saat beribadah. Ini juga perlu dipelajari. Barangsiapa memerangi nafsunya, mencabut benih-benih riya’’ dari hatinya dengan sikap qana’ah dan merendahkan dirididepan orang lain, menganggap remeh pujian dan celaan mereka, maka setan tidak akan membiarkannya saat beribadah. Akan tetapi dia melawan angan-angan riya’’ dalam pikirannya. Jika dalam benaknya terbetik keinginan agar ibadahnya dilihat dan diketahui orang, maka dia membuangnya dengan berkata, “Apa urusanmu dengan manusia, mereka tahu atau tidak, Allah tetap mengetahui keadaanmu, lalu apa faedah selain Allah mengetahui?”

 

Jika jiwanya terdorong untuk mendapatkan sanjungan, maka hendaknya mengingat bahaya riya’’ yang mengundang murka Allah, sehingga keinginan tersebut disambut dengan kebencian terhadap murka Allah. Keinginan agar orang-orang mengetahui menggugah hawa nafsu untuk riya’’, sedangkan mengetahui dampak buruk riya’” memunculkan kebencian kepadanya.

 

RUKHSAH (KERINGANAN) MEMPERLIHATKAN IBADAH DAN MENYEMBUNYIKAN DOSA, SERTA DIBENCINYA MENYELIDIKI DOSA ORANG LAIN DAN DIBENCINYA MENCELA MEREKA KARENANYA

 

Pertama: Rukhsah dalam memperlihatkan ibadah. Ketahuilah bahwa merahasiakan amal perbuatan mengandung faedah ikhlas dan selamat dari riya’’, sementara menampakkannya mengandung faedah bisa diikuti dan memotivasi orang lain melakukan kebaikan.

 

Di antara amal perbuatan, ada yang tidak bisa disembunyikan, seperti haji dan jihad.

 

Orang yang memperlihatkan amal perbuatannya patut mengawasi hatinya, agar tidak disusupi oleh riya’’ yang samar, tujuannya agar perbuatannya diteladan. Namun bagi orang yang lemah tidak patut menipu dirinya dengan itu, karena orang lemah adalah seperti orang yang tidak mahir berenang, dia melihat beberapa orang tenggelam, dia kasihan kepada mereka, dia mendatangi mereka dan mereka bergelayut kepadanya, maka mereka tenggelam dan dia pun turut tenggelam.

 

Adapun orang yang kuat dan ikhlasnya sempurna, manusia tidak berarti di matanya, pujian dan celaan mereka baginya sama saja, maka tidak mengapa memperlihatkan amalnya, karena memotivasi pada kebaikan (yakni agar diteladan) adalah juga kebaikan.

 

Hal ini diriwayatkan dari sebagian as-Salaf ash-Shalih. Mereka memperlihatkan sebagian amal baik mereka agar diteladan, sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian dari mereka saat sakaratul maut kepada keluarganya, “Jangan menangisiku, aku tidak pernah mengucapkan kesalahan sejak aku masuk Islam.”

 

Abu Bakar bin Ayyasy berkata kepada anaknya, “Jangan bermaksiat kepada Allah di ruang ini, karena di sini aku telah mengkhatamkan al-Qur‘an sebanyak 12 ribu kali.”

 

Banyak sekali ucapan seperti ini dari mereka. Wallahu a’lam.

 

[Rukhsah dalam Menyembunyikan Dosa, Dibencinya Menyelidiki Dosa Orang Lain dan Dibencinya Mencela Mereka karenanya]

 

Kedua: Rukhsah dalam menyembunyikan dosa. Bisa jadi ada orang menyangka bahwa menyembunyikan dosa adalah riya’’, padahal tidak demikian. Orang yang benar yang tidak melakukan riya’’, saat dia terjatuh ke dalam dosa, maka dia berhak menutupinya, karena Allah membenci terlihatnya kemaksiatan dan mencintai menutupinya.

 

Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa melakukan sebagian dari dosa-dosa buruk ini, maka hendaknya menutup dirinya dengan penutupan Allah.”

 

Orang seperti ini sekalipun dia durhaka dengan melakukan dosa, namun hatinya tidak terlepas dari cinta kepada apa yang Allah cintai dan hal ini timbul dari kuatnya iman. Hendaklah ia membenci dosa-dosanya terlihat oleh orang lain, dan ini adalah bentuk kebenaran imannya. Termasuk dalam hal ini membenci celaan orang lain terhadapnya karena hal itu menyibukkan hati dan akalnya dari ketaatan kepada Allah, karena tabiat manusia merasa sakit saat dicela, dan dengan alasan yang sama pula sepatutnya dia membenci pujian bila ia menyibukkan dari Allah, memfokuskan hatinya dan memalingkannya dari berdzikir kepadaNya, karena ini juga termasuk kekuatan iman.

 

PASAL

[Masalah Meninggalkan Ketaatan karena Takut Riya’’ dan Menyusupnya Penyakit-Penyakit]

 

Meninggalkan ketaatan karena takut riya’’, bila pendorong melakukan ketaatan bukan agama, maka hal itu memang patut ditinggalkan, karena ia adalah maksiat dan bukan ketaatan.

 

Bila pendorong untuk itu adalah agama, hal itu karena Allah tl secara ikhlas, maka tidak patut meninggalkan amal perbuatan, karena pendorongnya adalah agama.

 

Demikian juga bila meninggalkan amal karena takut ada yang berkata bahwa dia melakukannya karena riya’’, maka tidak patut meninggalkannya karena itu termasuk tipu daya setan.

 

Ibrahim an-Nakha’i iis berkata, “Jika setan datang kepadamu saat engkau sedang shalat, lalu dia berkata, ‘Engkau riya’’.’ Maka panjangkanlah shalatmu.”

 

Adapun apa yang diriwayatkan dari sebagian ulama Salaf bahwa mereka meninggalkan ibadah karena takut riya’’ sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha’i bahwa seseorang datang kepadanya saat dia sedang membaca al-Qur‘an, lalu dia menutup mushaf dan menghentikan bacaannya, dia berkata, “Jangan sampai orang ini melihatku membaca setiap waktu”, maka hal ini karena mereka merasakan ada dorongan untuk membaguskan ibadah dalam jiwa mereka sehingga mereka meninggalkannya.

 

PASAL SEMANGAT SEORANG HAMBA DALAM BERIBADAH YANG BENAR DAN YANG SALAH KARENA DILIHAT ORANG LAIN

 

Seseorang mungkin bermalam bersama orang-orang yang rajin shalat tahajjud, mereka shalat di sebagian besar malamnya, sedangkan kebiasaan orang tersebut hanya shalat beberapa saat saja, lalu dia mengikuti mereka. Atau mereka berpuasa, maka dia ikut berpuasa. Kalau bukan karena mereka maka semangat tersebut tidak hadir, bisa saja ada yang menyangka bahwa hal ini termasuk riya’’, padahal tidak demikian secara mutlak, akan tetapi perlu dirinci.

 

Setiap Mukmin mencintai ibadah kepada Allah, akan tetapi di depannya ada beberapa penghalang, kelalaiannya terkadang menyergapnya. Bisa jadi menyaksikan orang lain menjadi sebab lenyapnya kelalaian dan terangkatnya penghalang tersebut. Jika seseorang di rumahnya, dia bisa tidur di atas ranjangnya yang empuk bersama istrinya, namun jika dia bermalam di tempat yang asing, hal-hal yang menyibukkan tersebut tidak ada. Akan muncul dalam dirinya dorongan untuk melakukan kebaikan, di antaranya adalah menyaksikan para ahli ibadah. Bisa pula seseorang sulit untuk berpuasa di rumahnya karena makanannya banyak, lain halnya bila dia berada di tempat lain. Dalam kondisi seperti ini setan melangkah ke depan untuk menghalang-halangi ketaatan, dia justru berkata, “Bila engkau melakukan tidak seperti biasa, maka engkau pelaku riya’’.” Kata-kata setan ini jangan diindahkan, akan tetapi seseorang patut melihat kepada tujuannya dalam dadanya dan tidak menoleh kepada bisikan setan.

 

Untuk menguji keadaannya dengan mengumpamakan seseorang di suatu tempat, dia melihat mereka, namun mereka tidak melihatnya. Jika dia melihat dirinya dermawan dalam beribadah maka itu karena Allah, jika tidak maka kedermawanannya adalah riya’’, dan kiaskan yang lain dengannya.

 

Ini adalah penyakit riya’~ secara umum. Jadilah orang yang waspada terhadapnya, periksalah niatmu, karena riya’’ lebih samar daripada suara langkah semut hitam. Seorang yang berjalan kepada Allah patut memaksa hatinya bersikap qana’ah dengan pengetahuan Allah dalam segala ketaatannya.

 

[Apa yang Patut Dilakukan oleh Orang yang Menghendaki Akhirat Sebelum dan Sesudah Beramal]

 

Orang yang bisa qgana’ah menerimanya hanyalah orang yangtakut dan berharap kepada Allah. Dan tidak patut membuat dirinya berputus asa dari keikhlasan dengan berkata, “Hanya orang-orang kuat yang mampu ikhlas, aku termasuk orang-orang yang mencampur aduk.” Kemudian dia tidak bersungguh-sungguh meraih keikhlasan. Jika orang kuat memerlukan, maka orang yang masih mencampur aduk keikhlasan (dengan riya’‘) lebih memerlukan.

 

Ibrahim bin Ad-ham berkata, “Aku mengambil pelajaran dari seorang rahib bernama Sam’an, aku datang ke biaranya, aku berkata kepadanya, “Sejak kapan engkau berada di biaramu ini?” Dia menjawab, ‘Tujuh puluh tahun.” Aku bertanya, “Apa makananmu?” Dia menjawab, “Satu kacang polong setiap malam.” Aku bertanya, “Apa yang menyemangati hatimu sehingga satu kacang polong cukup bagimu?” Dia balik bertanya, “Engkau melihat biara yang berada di bawah kakimu?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Dalam setiap satu tahun, mereka datang kepadaku sehari saja, mereka menghiasi biaraku, berkeliling di sekitarnya dan mengagungkanku dengan itu, setiap kali aku merasa berat untuk beribadah, aku mengingat kemuliaan di hari itu, maka aku mau memikul beban berat setahun demi kemuliaan sehari; maka engkau wahai Muslim, bersabarlah menahan beban berat sesaat demi kemuliaan abadi.”

 

Maka pengetahuan itu bersemayam dalam dadaku. Dia melanjutkan, “Mau aku tambah?” Aku menjawab, “Baik.” Dia berkata, “Turunlah dari biara.” Maka aku turun, dia memperlihatkan kepadaku sebuah nampan yang berisi 20 butir kacang polong dan memberikannya kepadaku, kemudian dia berkata, “Masuklah ke rumah itu. Mereka telah melihat apa yang aku tunjukkan kepadamu.” Maka aku masuk, aku melihat orang-orang Nasrani sudah berkumpul, mereka berkata, “Wahai Muslim, apa yang diberikan oleh sang rahib kepadamu?” Aku menjawab, “Sebagian dari makanannya.” Mereka berkata, “Apa yang akan engkau lakukan terhadapnya, kami lebih berhak, juallah.” Aku berkata, “Dua puluh dinar.” Mereka langsung membayarnya, maka aku kembali kepada sang rahib, dia berkata kepadaku, “Engkau salah, seandainya kamu menawarkannya dengan harga dua puluh ribu, mereka pasti akan membayarnya. Ini adalah kemuliaan siapa yang tidak menyembahNya, lalu lihatlah bagaimana kemuliaan yang menyembahNya. Wahai Muslim, fokuslah dalam beribadah kepada Tuhanmu.”

 

Hal ini membuktikan bahwa jiwa yang merasakan mulianya keagungan di dalam hati, mendorongnya untuk berkhalwat. Ini adalah penyakit besar. Tanda keselamatan darinya adalah hendaknya manusia dan hewan adalah sama saja baginya, amalnya adalah amal orang yang merasa sendiri di muka bumi, bila ada godaan-godaan yang melintas, maka dia berusaha menepisnya. Wallahu a’lam.

 

Kitab ini terdiri dari dua pasal:

 

Pasal Pertama: Celaan terhadap Sikap Sombong

 

Allah berfirman,

 

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar.” (Al-A’raf: 146).

 

Dan Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (An-Nahl: 23).

 

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah bersabda,

 

” Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan (sekalipun) seberat biji zarah.”

 

Dalam ash-Shahihain dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Api neraka berkata, ‘Aku diistimewakan dengan (dihuni oleh) orang-orang yang sombong’.”

 

Dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Orang-orang sombong dan angkuh akan dibangkitkan di Hari Kiamat dalam bentuk semut kecil, yang akan diinjak-injak oleh manusia karena hinanya mereka di hadapan Allah.”

 

Sufyan bin Uyainah ils berkata, “Barangsiapa bermaksiat karena dorongan syahwat, maka berharaplah taubatnya diterima, karena Nabi Adam melakukan dosa karena dorongan keinginan nafsunya, maka dia diampuni. Namun bila kemaksiatannya karena sombong, maka khawatirlah dia terlaknat, sebab iblis durhaka karena sombong, maka dia dilaknat.”

 

Dalam ash-Shahihain bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Barangsiapa menyeret kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya di Hari Kiamat.” Maka Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi kain sarungku menjulur kecuali bila aku terus menariknya.” Maka Rasulullah bersabda, “Engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sombong.”

 

[Hakikat dan Penyakit Sombong]

 

Ketahuilah bahwa sombong adalah akhlak batin yang membuahkan amal perbuatan, kemudian terlihat melalui anggota badan. Sifat ini adalah menilai dirinya berada di atas orang lain, maksudnya melihat dirinya berada di atas kesempurnaan melebihi orang lain, ketika itulah seseorang dianggap sombong.

 

Dengan hal ini, sombong berbeda dengan ujub, karena ujub tidak membutuhkan orang lain (untuk memiliki sifat ini). Seandainya seseorang diciptakan sendirian, maka dapat digambarkan bahwa dia memiliki sifat ujub namun tidak dapat digambarkan bahwa dia mempunyai sifat sombong, kecuali bila dia bersama orang lain dan dia menilai dirinya di atas orang lain. Manakala seseorang melihat dirinya dengan mata pengagungan, maka dia akan merendahkan dan menghina orang lain. Sifat orang yang sombong ini, dia melihat orang lain seperti melihat keledai; bodoh dan rendah.

 

Penyakit sombong sangat besar. Orang-orang yang berilmu pun bisa binasa karenanya, dan sifat ini jarang terpisah dari ahli ibadah, ahli zuhud, dan ahili ilmu.

 

Bagaimana penyakit ini tidak berbahaya, sementara Nabi telah mengabarkan,

 

” Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan (sekalipun) seberat biji zarah.”

 

Kesombongan menjadi penghalang masuk surga karena sifat ini menghalangi seorang hamba dari akhlak orang-orang beriman. Pemiliknya tidak akan mampu mencintai untuk orang-orang Mukmin apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri, tidak mampu bertawadhu’, tidak “ kuasa membuang dengki, hasad dan marah, tidak kuasa menahan amarah dan menerima nasihat, tidak lepas dari penghinaan kepada orang lain dan menggibah mereka; tidak ada akhlak tercela kecuali mudaratnya kembali kepadanya.

 

Di antara bentuk kesombongan yang paling buruk adalah apa yang menghalangi untuk menimba ilmu, menerima kebenaran, dan tunduk kepada kebenaran.

 

Pelaku kesombongan mungkin sudah tahu, tetapi hatinya tidak mau diajak menerima kebenaran, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Dan mereka mengingkarinya karena kelaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (An-Naml: 14).

 

(Allah juga berfirman),

 

“Dan mereka berkata, ‘Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita Guga)?'” (Al-Mu’minun: 47).

 

(Dan Allah juga berfirman),

 

“Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga.” (Ibrahim: 10).

 

Dan banyak ayat yang semakna. Ini adalah kesombongan atas Allah dan RasulNya.

 

Telah dijelaskan bahwa kesombongan atas manusia adalah dengan merendahkan mereka dan merasa dirinya lebih tinggi dari mereka. Hal itu juga menyeret kepada kesombongan di depan perintah Allah, sebagaimana kesombongan iblis atas Nabi Adam membuatnya menolak melaksanakan perintah Allah agar sujud kepadanya.

 

Rasulullah telah mendefinisikan sombong dalam sabda beliau, “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Makna “merendahkan orang lain” adalah meremehkan dan menghina mereka.

 

PASAL

 

[Derajat-Derajat Ulama dan Ahli ibadah dalam Penyakit Sombong]

 

Ketahuilah bahwa para ulama dan ahli ibadah terbagi menjadi tiga derajat berkaitan dengan penyakit sombong. Pertama: Kesombongan bersemayam dalam hati, pemiliknya melihat dirinya lebih baik daripada orang lain, hanya saja dia tetap bersungguh-sungguh dan bertawadhu’. Orang seperti ini dalam hatinya tertanam pohon kesombongan, hanya saja dia berusaha memangkas dahan-dahannya.

 

Kedua: Kesombongan terlihat dalam perbuatan-perbuatannya, merasa lebih tinggi dalam majelis, menyaingi rekan-rekannya, tidak menerima bila ada yang lalai dalam menunaikan haknya. Engkau melihat ada ulama memalingkan wajahnya dari manusia karena sombong, seolah-olah mereka tidak ada, ahli ibadah memasang wajah cemberut di depan orang-orang seolah-olah mereka adalah kotoran, dua orang ini sama-sama bodoh terhadap adab yang Allah mendidik NabiNya saat Dia berfirman kepada beliau,

 

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, dari orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara’: 215).

 

Ketiga: Menampakkan kesombongan melalui kata-katanya seperti saling berbangga dan membanggakan diri, menyucikan diri dan menceritakan kehidupan dalam konteks saling membanggakan terhadap orang lain.

 

[Perkara-Perkara Dunia yang Membuat Orang Sombong]

 

Menyombongkan diri bisa karena nasab (keturunan). Orang yang mempunyai nasab terpandang akan merendahkan orang yang tidak bernasab sama dengannya sekalipun orang yang direndahkan lebih “ bagus amal perbuatannya.

 

Ibnu Abbas berkata, “Seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, ‘Aku lebih mulia darimu’, padahal tak seorang pun lebih mulia dari yang lain kecuali dengan takwa, Allah berfirman,

 

‘Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu’.” (Al-Hujurat: 13).

 

Kesombongan juga bisa karena harta, kecantikan, kekuatan, banyaknya pendukung, dan faktor-faktor yang sepertinya.

 

Kesombongan karena kecantikan sering terjadi di kalangan kaum wanita, menyeret mereka untuk merendahkan, menyingkap aib, dan menggibah orang lain.

 

Kesombongan dengan pendukung dan pengikut terjadi di antara para raja dengan saling membanggakan banyaknya bala tentara, dan di antara para ulama dengan banyaknya murid.

 

Secara umum, apa pun yang bisa diyakini sebagai kesempurnaan, bila ia bukan kesempurnaan dalam dirinya, maka ia mungkin dijadikan sebagai sebab untuk menyombongkan diri, sampai-sampai orang fasik menyombongkan diri dengan banyaknya minum dan berbuat dosa, karena dia menyangkanya sebagai kesempurnaan.

 

[Akhlak Orang-Orang yang Tawadhu’ dan Perbuatan-Perbuatan yang Menampakkan Pengaruh Tawadhu’ dan Takabur]

 

Ketahuilah bahwa kesombongan terlihat pada sifat-sifat seseorang, seperti: memalingkan wajah, memandang dengan merendahkan, menundukkan kepala, duduk bersila sambil bersandar. Terlihat juga dalam kata-katanya, termasuk dalam suara dan intonasinya, serta cara memaparkan kalimatnya. Terlihat juga pada cara berjalannya, duduk, berdiri, gerakan, diam, dan segala aktivitasnya.

 

Termasuk sifat orang yang sombong adalah dia ingin orang-orang berdiri untuknya.

 

Berdiri terbagi menjadi dua:

 

Pertama: (Orang-orang) berdiri di hadapannya sementara dia duduk, ini terlarang. Rasulullah bersabda,

 

“Barangsiapa ingin orang-orang berdiri untuknya, maka silakan memilih tempat duduknya di dalam neraka.”

 

Ini adalah adat istiadat orang-orang ajam dan orang-orang sombong.

 

Kedua: Berdiri saat ada orang datang. As-Salaf ash-Shalih hampir tidak pernah melakukan hal ini.

 

Anas berkata,

 

“Tidak ada orang yang lebih kami cintai melebihi Rasulullah, dan bila mereka melihat beliau, mereka (para sahabat) tidak berdiri untuk beliau karena mereka tahu beliau tidak menyukainya.”

 

Para ulama berkata, “Dianjurkan berdiri untuk bapak ibu, pemimpin yang adil, dan orang-orang mulia lainnya. Hal itu sudah menjadi syiar di antara orang-orang mulia. Bila seseorang tidak melakukannya kepada orang yang layak diperlakukan demikian, maka dia bisa dituduh menghinanya dan tidak memperhatikan haknya, sehingga hal itu memicu kebencian.”

 

Hal ini dianjurkan bagi orang yang berdiri, namun tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang dihormati dengan cara itu membencinya dan melihat dirinya tidak patut diperlakukan demikian.

 

Di antara sifat orang yang sombong adalah dia tidak berjalan kecuali orang lain yang bersamanya berjalan di belakangnya.

 

Di antaranya, tidak mau mengunjungi siapa pun karena sombong.

 

Di antaranya, menolak bila ada orang yang duduk atau berjalan di sisinya.

 

Anas meriwayatkan, dia berkata,

 

“Budak wanita dari penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah, dan membawa beliau untuk keperluannya.”

 

Ibnu Wahb berkata, “Aku pernah duduk di sisi Abdul Aziz bin Abu Rawwad. Pahaku menyentuh pahanya, maka aku menjauhkan diriku darinya, maka dia memegang bajuku dan menariknya sambil berkata, “Mengapa kalian melakukan terhadapku apa yang kalian lakukan kepada orang-orang sombong, sungguh aku tidak mengetahui seorang laki-laki yang lebih buruk dariku.”

 

Di antaranya, enggan melakukan kesibukan di rumahnya (membantu keluarga). Ini menyelisihi contoh yang dilakukan oleh Rasulullah

 

Di antaranya, menolak membawa barang yang dibeli di pasar ke rumahnya padahal Rasulullah membeli sesuatu sendiri dan membawanya sendiri.

 

Abu Bakar memanggul sendiri kain ke pasar untuk dijual. Umar – membeli daging dan menentengnya sendiri dengan tangannya ke rumahnya.

 

Ali membeli kurma dan membawanya sendiri dalam sebuah kain, lalu seseorang berkata kepada beliau, “Biar aku yang membawanya.” Maka Ali menjawab, “Pemilik barang lebih patut membawanya.”

 

Suatu hari Abu Hurairah pulang dari pasar, dan beliau memanggul sendiri seikat kayu, padahal saat itu beliau adalah wakil gubernur Marwan, maka beliau berkata kepada seorang laki-laki, “Beri jalan kepada gubernur.”

 

Barangsiapa ingin membuang takabur dan menghiasi diri dengan akhlak tawadhu’ maka silakan menelaah sirah Rasulullah dan telah disebutkan dalam Kitab Adab-Adab Profesi dan Bekerja Mencari Rizki.

 

TERAPI KESOMBONGAN DAN USAHA MERAIH SIKAP TAWADHU’

 

Ketahuilah bahwa takabur termasuk sikap yang membinasakan, dan mengobatinya adalah fardhu ain. Engkau bisa mengambil dua langkah untuk mengobatinya:

 

Langkah Pertama: Mencabut akarnya dan memotong dahannya, hal itu dengan mengenal dirinya sendiri dan mengenal Tuhannya; karena bila seseorang mengenal dirinya dengan benar, maka dia akan tahu bahwa dia lebih rendah dari semua yang rendah. Cukup baginya melihat kepada asal-usul wujudnya setelah ketiadaan, yaitu dari tanah. Kemudian dari setetes air mani yang keluar dari keluarnya air seni, kemudian dari segumpal darah, kemudian segumpal daging, dan menjadi sesuatu yang ada setelah sebelumnya hanya benda mati yang tidak mendengar dan tidak melihat, tidak merasa dan tidak bergerak, diawali dengan kematian sebelum kehidupan, kelemahan sebelum kekuatan dan kemiskinan sebelum kecukupan.

 

Allah telah mengisyaratkan hal ini dalam FirmanNya,

 

“Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani. Allah menciptakannya lalu menetapkan ketentuan takdirnya. Kemudian Dia memudahkan jalannya.” (Abasa: 18-20).

 

Dan juga FirmanNya,

 

“Karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2).

 

Allah menghidupkannya setelah kematian, membaguskan bentuknya dan mengeluarkannya ke dunia, mengenyangkan dan menghilangkan dahaganya, memberinya pakaian, petunjuk, dan kekuatan.

 

Makhluk yang awalnya seperti itu, lalu dari sisi apa dia menyombongkan dan membanggakan diri?

 

Hanya saja seandainya kehidupannya terus berlangsung sesuai dengan keinginannya, niscaya kesombongannya akan menemukan jalannya, bahkan bisa jadi dia dikuasai oleh berbagai unsur yang saling bertentangan dan penyakit-penyakit yang berbahaya. Saat susunan tubuhnya sudah sempurna, tiba-tiba ia melemah dan hancur, tidak memiliki apa pun untuk dirinya, tidak manfaat dan tidak pula mudarat, saat dia mengingat sesuatu, tiba-tiba dia melupakannya, menikmati sesuatu namun ia menjerumuskannya, menginginkan sesuatu namun tidak mendapatkannya, kemudian dia tidak menjamin dirinya karena kehidupannya bisa direnggut sewaktu-waktu.

 

Ini adalah keadaan tengahnya dan sebelumnya adalah keadaan awalnya.

 

Akhir keadaannya, kematian yang mengembalikannya sebagai benda mati seperti sebelumnya, dimasukkan ke dalam tanah, menjadi bangkai busuk, anggota-anggota tubuhnya hancur, tulang-tulangnya lapuk, cacing memakan tubuhnya, kembali menjadi tanah yang darinya bejana tanah dibuat, bangunan didirikan darinya. Kemudian setelah berlangsung dalam waktu yang lama, bagian-bagiannya yang berserakan itu disatukan, dihadirkan di padang Kiamat, dia melihat bumi yang berubah, gunung-gunung yang bergerak, langit terbelah, bintang-bintang berjatuhan, matahari tergulung, keadaan mencekam, Neraka Jahim bergolak dan lembaran catatan amal dibagi-bagikan, dikatakan kepadanya,

 

“Bacalah kitab (catatan amal)mu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (Al-Isra’: 14), lalu dia akan bertanya, “Apa kitabku?” Maka dikatakan kepadanya, “Dahulu saat engkau hidup di dunia, engkau berbahagia dan menyombongkan diri dengan kenikmatannya, ada dua malaikat yang ditugaskan kepadamu untuk menulis apa yang engkau katakan dan engkau lakukan, yang sedikit dan yang banyak, saat duduk dan berdiri, makan dan minum. Engkau sudah lupa semua itu padahal Allah mencatatnya, maka kemarilah untuk menghadapi hisab atasnya, siapkanlah jawaban, bila tidak, maka engkau akan digiring ke neraka.”

 

Lalu dengan alasan apa orang yang demikian keadaannya menyombongkan diri? Bila dia masuk ke dalam neraka, maka hewan lebih baik darinya, karena hewan dikembalikan menjadi tanah. Orang yang keadaannya demikian, dia sendiri tidak bisa memastikan apakah kesalahannya diampuni, lalu bagaimana dia bisa menyombongkan diri? Siapa yang bebas dari dosa yang karenanya dia berhak untuk dihukum? Perumpamaannya tidak lain kecuali seperti seorang laki-laki yang melakukan kejahatan terhadap raja, karenanya dia patut dicambuk seribu kali, dia dipenjara untuk dikeluarkan lalu dicambuk, dia menunggu saat-saat hukuman, apakah menurutmu orang yang seperti ini akan menyombongkan diri? Bukankah dunia hanyalah penjara, bukankah dosa-dosa akan mendatangkan hukuman?

 

Adapun mengenal Tuhannya, maka cukup baginya merenungkan tanda-tanda Kuasa Allah dan keajaiban-keajaiban makhlukNya, maka dia akan melihat keagungan dan mengenalNya dengan jelas. Ini adalah obat yang akan mencabut pokok kesombongan.

 

Di antara terapi praktis adalah bersikap tawadhu’ kepada Allah dan kepada hamba-hambaNya. Hal itu dengan selalu mempraktikkan akhlak orang-orang yang bertawadhu’. Tclah disebutkan sebelumnya tentang kehidupan Rasulullah dan ketawadhu’an dan akhlak mulia yang beliau berada di atasnya.

 

Langkah kedua: Menundukkan kesombongan yang muncul karena sebab-sebab tertentu.

 

Barangsiapa tertimpa kesombongan karena nasab, hendaknya mengetahui bahwa hal itu sama dengan membanggakan kesempurnaan orang lain, kemudian hendaknya dia melihat bapak dan kakeknya; bapaknya tercipta dari setetes air hina dan kakeknya sudah menjadi tanah.

 

Barangsiapa tertimpa kesombongan karena kecantikannya, hendaknya melihat hatinya dengan pandangan orang yang berakal, jangan hanya melihat lahirnya layaknya hewan.

 

Barangsiapa tertimpa kesombongan karena kekuatannya, hendaknya mengetahui bahwa seandainya ada uratnya yang sakit, niscaya dia akan lebih lemah daripada orang yang lemah, demam satu hari menyedot kekuatannya yang baru bisa pulih dalam beberapa hari. Seandainya duri menusuk kakinya, niscaya dia tidak bisa berjalan, seandainya biji kacang hijau masuk ke telinganya, niscaya membuatnya gelisah.

 

Barangsiapa menyombongkan diri karena kekayaannya, bila dia memperhatikan orang-orang Yahudi, maka mereka lebih kaya darinya, celaka untuk sebuah kehormatan yang sebelumnya telah direbut oleh orang-orang Yahudi, diambil maling dalam sesaat lalu pemiliknya berubah menjadi hina.

 

Barangsiapa menyombongkan diri karena ilmunya, hendaknya mengetahui bahwa hujjah Allah atas orang yang berilmu lebih tegas daripada atas orang yang tidak tahu, hendaknya merenungkan risiko besar yang dihadapinya, risikonya lebih besar dari orang lain, sebagaimana kedudukannya lebih tinggi daripada orang lain.

 

Hendaknya dia mengetahui bahwa kesombongan tidak patut kecuali bagi Allah semata. Bila dia menyombongkan diri, maka dia dimurkai dan dibenci oleh Allah, Allah ingin dia bertawadhu’. Demikianlah, semua sebab kesombongan diobati dengan lawannya dan mempraktikkan tawadhu.

 

[Tujuan Melatih Diri Meraih Akhlak Tawadhu’]

 

Ketahuilah bahwa akhlak ini sama seperti akhlak-akhlak lainnya, ada dua sisi yang berseberangan dan ada yang tengah.

 

Sisi yang cenderung berlebihan disebut dengan takabur.

 

Sisi yang cenderung kurang disebut dengan kehinaan dan kerendahan.

 

Yang tengah-tengah adalah tawadhu’. Inilah yang terpuji, yaitu merendahkan hati tapi tidak terhina dan sebaik-baik urusan adalah tengah-tengahnya. Barangsiapa berusaha menyaingi rekan-rekannya, maka dia takabur. Barangsiapa berusaha mengalah dari mereka, maka dia telah bersikap tawadhu’, karena dia telah meletakkan sesuatu sesuai kadarnya. Bila seorang tukang sepatu atau semisalnya menemui seorang alim ulama, kemudian tukang sepatu itu bersandar pada tempat duduknya atau dia mempersilakan tukang sepatu duduk di atas tempat duduknya, kemudian dia memberikan sandal (sepatunya) untuk diperbaiki dan berjalan mengiringinya hingga ke pintu, maka hal ini adalah kerendahan dan kehinaan, ia tidak terpuji, sebaliknya yang terpuji adalah yang seimbang, memberikan hak kepada setiap yang berhak. Tawadhu’ kepada orang umum adalah dengan berlemah-lembut dalam bertanya dan berkata-kata, memenuhi undangannya, berusaha memenuhi hajatnya, tidak mengecilkannya, dan tidak meremehkannya. Wallahu a’lam.

 

Pasal Kedua: Celaan terhadap Sifat Ujub

 

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Saat seorang laki-laki tengah berjalan dengan mengenakan dua helai kain burdahnya dengan segala rasa ujub pada dirinya, tiba-tiba Allah membenamkannya ke dalam tanah, maka dia meronta-ronta di sana sampai Hari Kiamat.”

 

Nabi juga bersabda,

 

“Tiga perkara yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman (ujub) seseorang terhadap dirinya.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata,

 

“Kebinasaan ada pada dua perkara: ujub dan berputus asa.”

 

Ibnu Mas’ud menggabungkan keduanya karena kebahagiaan tidak diraih kecuali dengan mencari dan menyingsingkan lengan baju. Orang yang berputus asa tidak akan mencari dan orang yang ujub menyangka bahwa dirinya sudah mendapatkan sehingga tidak berusaha.

 

Mutharrif dite berkata, “Aku melewati malam dengan tidur dan pagi hari aku menyesal lebih aku sukai daripada melewati malam dengan shalat namun paginya aku menjadi orang yang ujub.”

 

[Penyakit Ujub]

 

Ketahuilah bahwa sifat ujub menyeret kepada sikap sombong, karena ujub adalah salah satu sebab kesombongan. Ujub menimbulkan kesombongan dan kesombongan menimbulkan banyak keburukan, ini terhadap sesama makhluk.

 

Sedangkan kepada Khaliq, ujub dengan ketaatan adalah buah dari perasaan bahwa ibadahnya sudah banyak dan besar, maka dia merasa berjasa kepada Allah uw atas apa yang dilakukannya, dia lupa nikmatNya dengan bimbinganNya, buta terhadap penyakit ujub yang merusak amal perbuatannya sendiri.

 

Orang yang memeriksa perusak amal adalah orang yang khawatir amalnya tidak diterima, bukan orang yang sudah puas kepadanya dan mengaguminya.

 

[Hakikat Ujub dan Sifat Jemawa serta Batasannya]

 

Ujub hanya terjadi karena merasa ilmu dan amalnya telah sempurna. Bila hal itu ditambah dengan melihat dirinya mempunyai hak atas Allah, maka itu adalah jemawa. Ujub terjadi dengan merasa apa yang dilakukannya sudah besar, sedangkan jemawa berarti mengharuskan datangnya balasan, misalnya dia menerka doanya dikabulkan, tidak akan ditolak.

 

PASAL

TERAPI PENYAKIT UJUB

 

Ketahuilah bahwa Allah adalah pemberi nikmat dengan menciptakanmu hingga engkau menjadi ada, juga menciptakan amal perbuatanmu, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk ujub kepada perbuatannya, tidak juga bagi ulama dengan ilmunya, yang cantik dengan kecantikannya, yang kaya dengan kekayaannya; karena semua itu adalah karunia Allah, manusia hanyalah penerima nikmat yang tercurah dariNya, dan bahwa dia sebagai penerima merupakan nikmat yang lain.

 

Bila engkau mengatakan bahwa engkau mendapatkan ilmu dengan kemampuanmu, tidak tergambarkan keberadaan ilmu kecuali dengan keberadaanmu dan adanya usaha, keinginan, dan kemampuanmu, maka kami menjawab, dari mana kemampuanmu itu? Semua itu adalah dari Allah, bukan darimu. Bila beramal harus dengan kemampuan, maka kemampuan adalah kuncinya dan kunci ini ada di Tangan Allah os. Barangsiapa tidak diberi kunci, maka dia tidak bisa beramal, sebagaimana bila engkau duduk di depan brankas yang terkunci, engkau tidak bisa mengambil isinya kecuali engkau diberi kuncinya.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari Nabi bersabda,

 

“Amal salah seorang di antara kalian tidak serta merta memasukkannya ke dalam surga.” Mereka berkata, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Nati menjawab, “Ya, tidak juga aku, kecuali bila Allah melimpahkan kepadaku ralimat dan karunia dariNya.”

 

[Macam-Macam Sifat Ujub dan Rincian Terapinya]

 

Ketahuilah bahwa ujub terjadi karena sebab-sebab yang mengantarkan pada takabur. Hal tersebut sudah disebutkan sebelumnya dan pengobatannya.

 

Di antaranya adalah ujub karena nasab. Orang yang merasa bernasab terpandang merasa bisa selamat dengan kemuliaan leluhurnya. Terapinya adalah hendaklah dia mengetahui bahwa bila dia menyelisihi leluhurnya dan dia menyangka bisa menyusul mereka, maka dia bodoh. Bila dia meneladan mereka, mereka tidak bersikap ujub, mereka merasa khawatir dan merasa rendah. Mereka menjadi mulia karena ketaatan dan sifat-sifat terpuji, bukan dengan nasab itu sendiri. Allah  berfirman,

 

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13).

 

Nabi bersabda,

 

“Wahai Fathimah, aku tidak bisa membantumu dari hukuman Allah sedikit pun.”

 

Bila engkau katakan, Orang yang mulia berharap kerabatnya memberikan syafa’at kepadanya. Maka kami menjawab, Setiap Muslim pasti mengharapkan syafa’at, namun bisa jadi seorang baru mendapatkan syafa’at setelah dibakar api neraka, dan bisa jadi dosanya lebih kuat (lebih besar) sehingga syafa’at tidak mampu menyelamatkannya.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Tlurairah bahwa Nabi  bersabda,

 

“Jangan sampai aku melthat salah seorang di antara kalian di Hari Kiamat memikul unta yang melenguh, dia berkata, ‘Ya Rasulullah, tolonglah aku. ‘ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiuliki kuasa sedikit pun untuk (membebaskanmu dari hukuman Allah); aku sudah menyampaikan (peringatan) sebelumnya kepadamu’.”

 

Orang yang bergelimang dosa karena mengandalkan syafa’at adalah seperti orang sakit yang terkena penyakit komplikasi karena mengandalkan dokter yang ahli dan perhatian. Ini adalah kebodohan, karena pengobatan seorang dokter hanya berguna untuk sebagian penyakit, bukan seluruhnya.

 

Untuk lebih jelasnya, lihatlah para sahabat Rasulullah yang mulia. Mereka adalah orang-orang yang takut akan akhirat, maka bagaimana orang-orang yang tidak setara dengan mereka justru mengandalkan syafa’at orang lain?

 

Di antaranya ujub karena pendapat yang keliru, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik.” (Fathir: 8).

 

Pengobatan penyakit ini lebih sulit daripada pengobatan selainnya, karena bila seseorang ujub dengan pendapatnya dan meyakininya benar, maka dia tidak akan mau mendengar nasihat orang lain. Bagaimana dia meninggalkan sesuatu yang diyakininya keselamatan? Pengobatannya adalah dengan selalu mencurigai pendapatnya, tidak terkecoh olehnya, kecuali bila pendapatnya ditunjang oleh nash pasti dari al-Qur’an atau as-Sunnah atau dalil agli yang memenuhi syaratsyarat sebagai dalil. Hal ini tidak akan diketahui kecuali dengan bergaul dengan ahli ilmu dan mengkaji al-Qur’an dan as-Sunnah secara intensif.

 

Sebaiknya bagi orang yang tidak mampu memfokuskan umurnya untuk mempelajari ilmu agar tidak terjun ke dalam ranah perbedaan pendapat, cukup baginya meyakini akidah secara global, yaitu bahwa Allah Esa, tidak ada sekutu bagiNya (dalam rububiyah, asma~ dan sifat, dan sebagai yang berhak disembah),

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).

 

Dan meyakini bahwa Rasulullah adalah benar dalam apa yang beliau bawa, beriman kepada apa yang disebutkan oleh al-Qur’an tanpa mempersoalkan dan membahasnya secara mendalam, meluangkan waktunya untuk melakukan ketakwaan dan menunaikan ibadah. Bila dia tetap masuk ke dalam ranah perbedaan pendapat, dan berhasrat meraih apa yang tidak mungkin diraihnya, maka dia akan binasa.

 

Di antara manusia ada yang teperdaya oleh kehidupan dunia. Mereka berkata, “Kontan lebih baik daripada yang tertunda.” Yang kontan adalah dunia dan yang tertunda adalah akhirat. Inilah titik kerancuan, karena yang kontan tidak lebih baik daripada yang tertunda kecuali bila ia sepertinya. Sudah dimaklumi bahwa umur manusia dibandingkan dengan masa kehidupan akhirat hanyalah satu bagian dari jutaan bagian sampai napas lepas dari kandung badan sekalipun. Maksud orang yang berkata bahwa yang kontan lebih baik daripada yang tertunda adalah bila yang tertunda sama seperti yang kontan. Dan ini adalah tipu daya pada diri orang-orang kafir.

 

Orang-orang yang bergelimang dosa sekalipun akidah mereka lurus, mereka menjadi sekutu orang-orang kafir dalam ghurur (teperdaya oleh dunia) ini, karena mereka mementingkan dunia atas akhirat, hanya saja urusan mereka lebih mudah daripada urusan orang-orang kafir, dasar iman mereka menghalangi mereka untuk diazab selamanya.

 

Di antara pelaku dosa ada yang teperdaya, dia berkata, “Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, kami hanya bersandar kepada kemurahan Allah.”

 

Di antara mereka ada yang terkadang teperdaya oleh kemuliaan leluhur mereka.

 

Para ulama berkata, “Barangsiapa berharap sesuatu, maka dia mencarinya, barangsiapa takut dari sesuatu, maka dia menjauh darinya, barangsiapa berharap ampunan tetapi dia terus berbuat dosa, maka dia teperdaya.”

 

Hendaknya diketahui bahwa siksa Allah sangat keras sekalipun rahmatNya juga luas. Allah telah memutuskan untuk mengekalkan orang-orang kafir di dalam neraka, sekalipun kekufuran mereka tidak merugikan Allah, secbagaimana Allah menurunkan penyakit-penyakit dan ujian-ujian kepada hamba-hambaNya sekalipun Dia kuasa untuk mengangkatnya dari mereka. Kemudian Allah menakut-nakuti kita dengan siksaNya, lalu bagaimana kita tidak takut?

 

Rasa takut akan siksaan dan harapan akan rahmat Allah adalah dua perkara yang mendorong untuk beramal shalih. Sedangkan apa yang tidak mendorong untuk beramal, maka itulah ghurur.

 

Hal ini bisa dijelaskan dengan mengatakan bahwa harapan kebanyakan manusia membuat mereka enggan beramal dan melakukan kemaksiatan.

 

Yang aneh bahwa generasi pertama umat ini adalah orang-orang yang beramal dan sekaligus takut (akan azab Allah), lalu orang-orang di zaman ini merasa aman ditambah dengan kelalaian dan merasa nyaman. Apakah orang-orang di zaman ini mengetahui kemurahan Allah yang tidak diketahui para nabi dan orang-orang shalih?!

 

Bila perkara mulia ini bisa diraih hanya dengan angan-angan, lalu mengapa orang-orang generasi pertama berlelah-lelah dan banyak menangis? Bukankah Ahlul Kitab dicela oleh Allah dalam FirmanNya,

 

“Mereka mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata, ‘Kami akan diberi ampun’,” (Al-A’raf: 169) karena alasan yang sama?

 

Sedangkan orang yang tertipu oleh keshalihan leluhurnya, tidakkah dia membaca kisah Nabi Nuh dengan anak beliau,“ Nabi Ibrahim dengan bapak beliau dan Nabi Muhammad dengan ibu beliau?”

 

Mirip dengan hal ini orang-orang yang teperdaya dengan ketaatan dan kemaksiatan, hanya saja yang kemaksiatannya lebih banyak, lalu mereka menyangka bahwa kebaikan mereka lebih kuat. Salah seorang dari mereka bersedekah dengan satu dirham dan di saat yang sama merampas hak orang lain berlipat ganda. Bisa jadi apa yang disedekahkan berasal dari hasil rampasan tersebut, lalu dia mengandalkan sedekah itu. Orang seperti ini tidak lain kecuali seperti orang yang meletakkan satu dirham di salah satu daun timbangan dan seribu dirham di daun timbangan yang lain kemudian dia berharap yang satu dirham lebih berat.

 

Di antara mereka ada yang mengira bahwa ketaatannya lebih banyak daripada kemaksiatannya. Penyebabnya adalah dia menghitung-hitung jumlah kebaikannya tetapi tidak menghisab keburukankeburukannya dan tidak memeriksa dosa-dosanya, yang seperti ini bagaikan orang yang memohon ampun kepada Allah dan bertasbih kepadaNya 100 kali dalam sehari, kemudian seharian dia menggibah kaum Muslimin dan berbicara dengan apa yang tidak diridhai Allah. Lalu dia melihat keutamaan tasbih dan istighfar tanpa melihat kepada azab karena gibah dan perkataan yang haram.

 

PASAL

[Jenis-Jenis Orang yang Teperdaya oleh Dunia dan Macam-Macamnya dari Setiap Golongan]

 

Ghurur (teperdaya) biasanya terjadi pada empat golongan manusia: para ulama, ahli ibadah, orang-orang sufi, dan orang-orang kaya.

 

Pertama: Ghurur (Teperdaya)nya Para Ulama

 

Para ulama yang terjangkit penyakit ini di antara mereka ada beberapa kelompok:

 

Di antara mereka, ada yang menguasai ilmu-ilmu syar’i dan kecerdasan yang baik, namun mereka tidak memperhatikan anggota badannya, tidak menjaganya dari kemaksiatan dan tidak membawanya untuk selalu taat, mereka teperdaya oleh ilmu mereka. Mereka menyangka memiliki kedudukan di sisi Allah. Seandainya orang-orang ini melihat dengan mata bashirah, niscaya mereka mengetahui bahwa tujuan dari ilmu muamalah hanyalah untuk diamalkan, dan tanpa amal ia tidak mempunyai nilai. Allah ets berfirman,

 

“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan fiwa itu.” (AsySyams: 9).

 

Dan Allah tidak berfirman, “Sungguh beruntung orang yang belajar bagaimana menyucikannya.”

 

Bila setan membacakan kepadanya keutamaan-keutamaan ahli ilmu, maka hendaknya dia mengingat apa yang hadir tentang ahli ilmu yang pendosa seperti Firman Allah,

 

“Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).” (Al-A’raf: 176).

 

(Juga seperti Firman Allah es),

 

“Seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (Al-Jumu’ah: 5).

 

Di antara mereka, ada ahli ilmu yang menguasai ilmu dan amal lahir dengan baik, namun mereka tidak memeriksa hati mereka untuk membuang sifat-sifat tercela darinya seperti takabur, hasad, riya’’, dan ambisi untuk selalu yang tertinggi dan meraih popularitas. Mereka ini menghiasi lahir mereka namun melalaikan batin. Mereka lupa bahwa Rasulullah telah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa (paras) dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.”

 

Mereka memperhatikan amal perbuatan namun tidak memperhatikan hati, padahal hati adalah pokok; karena tidaklah ada yang selamat,

 

“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara: 89).

 

Perumpamaan mercka seperti scorang laki-laki yang menanam tanaman. Kemudian ia tumbuh diikuti dengan rumput-rumput yang menganggunya, dia membersihkan rumput namun hanya dengan memotong batang dan dahannya namun meninggalkan akarnya, maka akar yang dibiarkan itu justru akan semakin kuat (hingga mudah tumbuh kembali).

 

Di antara mereka, ada yang mengetahui bahwa akhlak-akhlak batin ini tercela, hanya saja mereka memiliki sifat ujub terhadap diri mereka. Mereka menyangka diri mereka sudah bersih darinya, merasa kedudukan mereka di sisi Allah sudah tinggi sehingga tidak mungkin terserang Oleh penyakit ini, karena yang terserang hanyalah orang-orang awam, bukan orang yang telah mencapai

 

“sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (An-Najm: 30).

 

Bila muncul tanda-tanda takabur dan kesombongan pada salah seorang dari mereka, maka dia akan berkata, “Ini bukan takabur, ia hanya upaya mencari kemuliaan agama, memperlihatkan kemuliaan ilmu, dan merendahkan ahli bid’ah. Seandainya aku memakai pakaian yang sederhana, duduk di majelis orang-orang umum, maka musuh, agama akan mengolok-olok, mereka berbahagia dengan kerendahanku dan kerendahanku adalah kerendahan Islam.”

 

Orang seperti ini lupa bahwa iblis telah menipunya dengan hal tersebut. Buktinya Nabi dan para sahabat tetap bertawadhu’, mereka memilih (hidup) miskin dan sederhana.

 

Kami meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab saat beliau datang ke Syam, beliau melewati genangan air, maka beliau turun dari unta beliau, melepaskan khuf (alas kaki) beliau dan menentengnya sendiri dengan tangannya, beliau masuk ke dalam air padahal beliau bersama unta beliau. Maka Abu Ubaidah berkata kepada beliau, “Sungguh, pada hari ini engkau telah melakukan sesuatu (perbuatan tidak pantas) yang besar menurut penduduk negeri ini.” Maka Umar menepuk dada Abu Ubaidah sambil menjawab, “Hus, seandainya yang berkata demikian adalah orang lain wahai Abu Ubaidah. Dahulu kalian adalah orang-orang yang paling hina dan rendah, lalu Allah memuliakan kalian dengan RasulNya, maka bagaimana pun kalian mencari kemuliaan dengan selain (ajaran) Nya, Allah akan merendahkan kalian.”

 

Dalam riwayat lain, Manakala Umar datang ke Syam dengan mengendarai unta beliau, orang-orang menyambutnya. Seseorang berkata kepada beliau, “Gantilah untamu dengan kuda pacu untuk bertemu dengan para tokoh dan pembesar negeri ini.” Maka Umar menjawab, “Aku tidak melihat kalian dari sini, akan tetapi perkaranya adalah dari sini beliau sambil menunjuk ke langitberikan jalan untaku.”

 

Kemudian yang mengherankan, orang yang teperdaya mencari kemuliaan dunia dengan pakaian-pakaian mahal, kuda-kuda mewah dan semacamnya, lalu bila dalam benaknya terlintas rasa riya’~ maka dia akan berkata, “Tujuan dari penampilanku ini adalah ilmu dan amal, agar orang-orang meniruku dan mereka bisa terbimbing menuju agama.” Kalau memang itu tujuannya, niscaya dia juga akan berbahagia bila mereka terbimbing menuju agama oleh orang lain, karena siapa yang bertujuan memperbaiki manusia, maka dia akan berbahagia bila mereka menjadi baik, tanpa mempersoalkan hal itu terwujud dari tangan siapa. Demikian juga orang yang mengunjungi penguasa dan mendekatkan diri kepadanya, dia bertawadhu’ kepadanya dan memujinya, dia berkata, “Tujuanku dengan ini agar bisa memberi bantuan kepada orang-orang Muslim atau menghilangkan mudarat darinya.” Allah mengetahui, bila ada orang lain yang juga diterima di sisi penguasa, maka ia merasa berat hati.

 

Sebagian orang teperdaya sampai membawanya mengambil harta yang haram lalu berkata (pada dirinya), “Harta ini tak bertuan, ia untuk kemaslahatan kaum Muslimin dan engkau adalah salah seorang pemimpin mereka.” Lalu dia teperdaya dengan godaan samar ini dari sudut pandangnya kepada dirinya sendiri, bisa jadi dia adalah seorang dajjal dengan ucapannya, “Harta ini tak bertuan.” Akibatnya harta yang halal tercampur dengan harta yang haram dan hal itu tetap tidak menghalangi keharamannya, bisa jadi dia tahu dari siapa dia mengambil harta tersebut.

 

Di antara mereka, ada yang menguasai ilmu, mereka menyucikan anggota badan mereka dan menghiasinya dengan berbagai ketaatan, mereka juga memeriksa hati mereka dengan membersihkannya dari riya’’, takabur, hasad, dan lainnya. Akan tetapi di sudut hati mereka masih ada godaan-godaan samar dari setan dan tipu muslihat jiwa namun mereka tidak menyadari itu dan melalaikannya. Engkau melihat salah seorang dari mereka menghabiskan malam dengan tidak tidur dan siang dengan kelelahan dalam mengumpulkan ilmu dan menyusunnya serta membaguskan kalimat-kalimatnya, dia melihat bahwa pendorongnya untuk itu adalah keinginan untuk meninggikan agama Allah. Namun bisa jadi pendorongnya adalah mencari nama dan kemasyhuran. Bisa jadi dalam penyusunannya tidak luput dari sanjungan kepada diri sendiri, bisa secara langsung dengan tulisan yang panjang lebar, bisa secara tersirat dengan merendahkan orang lain untuk menjelaskan bahwa dirinya lebih unggul daripada orang lain dan lebih banyak ilmunya. Hal ini dan yang sepertinya termasuk aib yang samar, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang-orang cerdik dan tidak bebas darinya selain orang-orang kuat. Tidak ada harapan bagi orang-orang lemah seperti kita, kecuali derajat paling minimal, yaitu hendaknya seseorang mengenal aib dirinya dan berusaha memperbaikinya.

 

Barangsiapa yang berbahagia dengan kebaikannya dan merasa buruk dengan keburukannya, maka urusannya masih bisa diharapkan, berbeda dengan orang yang menyucikan dirinya, dia mengira dirinya termasuk makhluk terpilih.

 

Ini adalah ghurur (teperdaya)nya orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu yang penting. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang hanya rela dengan ilmu-ilmu yang tidak penting bagi mereka dan meninggalkan yang penting?

 

Di antara mereka, ada yang hanya membatasi diri pada ilmu fatwa di pengadilan dan perselisihan, rincian-rincian muamalah dunia yang berlaku di antara manusia dalam rangka menata kehidupan. Di sisi yang lain bisa jadi mereka telah menyia-nyiakan amal lahiriah dan melakukan sebagian kemaksiatan berupa gibah dan melihat apa yang tidak halal, berjalan kepada apa yang tidak dibolehkan, tidak menjaga hati mereka dari takabur, hasad, riya’’ dan semua yang membinasakan; mereka ini adalah orang-orang yang tertipu dari dua sisi:

 

Pertama, dari sisi amal perbuatan, dan kedua, dari sisi ilmu.

 

Mereka seperti orang sakit yang mempelajari resep obat lalu dia mengulang-ulang dan mengajarkannya. Tidak hanya demikian, bahkan mereka seperti orang yang sakit paru-paru bengkak dan hampir mati tetapi dia masih sibuk mengajarkan obat penyakit darah istihadhah dan mengulang-ulangnya, ini adalah puncak ketertipuan.

 

Sebab tertipunya adalah keutamaan fikih yang dia ketahui dalam dalil naqli, karena dia tidak tahu bahwa hakikat fikih adalah berilmu tentang Allah, mengetahui Sifat-sifatNya yang membuat kita berharap dan membuat kita takut, agar hati merasa takut dan berharap sehingga akan muncul sikap takwa kepada Allah.

 

Allah  berfirman,

 

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122).

 

Ilmu yang merealisasi peringatan bukanlah ilmu ini, karena tujuan ilmu tersebut adalah menjaga harta dengan syarat-syarat muamalah, menjaga badan dengan harta, serta menolak pembunuhan dan pelanggaran.

 

Harta di jalan Allah adalah alat sedangkan badan adalah kendaraan.

 

Ilmu yang penting adalah mengetahui bagaimana meniti jalan kepada Allah, menyingkirkan rintangan-rintangan hati yang merupakan sifat-sifat tercela. Inilah tabir antara hamba dengan Allah.

 

Perumpamaan orang yang hanya membatasi dirinya pada ilmu tersebut seperti orang yang berangkat menunaikan ibadah haji dan dia hanya mempelajari cara memelihara kantong air dan khuf, tidak diragukan bahwa hal itu juga penting, akan tetapi itu bukan bagian apa pun dari haji.

 

Di antara mereka, ada yang hanya membatasi diri pada ilmu perselisihan, yang penting baginya adalah berdebat, memaksa dan membantah, menolak kebenaran demi mendapatkan kemenangan, ini lebih buruk dari yang disebutkan sebelumnya.

 

Seluruh rincian perdebatan dalam fikih adalah bid’ah yang tidak dikenal oleh as-Salaf. Adapun dalil-dalil hukum yang mencakup ilmu tentang madzhab, yaitu al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, dan pemahaman terhadap makna-makna keduanya. Adapun siasat perdebatan untuk mematahkan argumentasi lawan, membantah balik, menetapkan dalil yang rusak dan susunan kalimat serta membuat lawan menyerah, maka ia dibuat hanya untuk meraih kemenangan dan memaksa lawan.

 

Kelompok yang lain, mereka menyibukkan diri dengan ilmu kalam dan perdebatan dalam masalah hawa nafsu dan membantah orang-orang yang menyclisihinya.

 

Kemudian mereka terbagi menjadi dua kelompok: tersesat dan benar. Yang pertama adalah yang menyeru kepada selain as-Sunnah, yang kedua adalah yang mengajak kepada as-Sunnah, dan ghurur bisa menimpa mereka semua.

 

Adapun yang tersesat, ghurur mereka jelas. Adapun yang benar maka ghururnya dari sisi ia mengira bahwa perdebatan termasuk perkara paling penting, ibadah paling utama dalam agama Allah ul. Mereka menyangka bahwa agama seseorang tidak sempurna selama dia tidak mengkaji. Mereka menyangka bahwa barangsiapa membenarkan Allah dan RasulNya tanpa mengkaji dalil, maka imannya tidak sempurna. Karena pernyataan rusak ini mereka menghabiskan umur mereka dalam mempelajari ilmu berdebat dan mengkaji berbagai pendapat, maka bashirah mereka menjadi buta, mereka tidak melihat generasi awal umat ini. Nabi sudah bersaksi bahwa mereka adalah manusia terbaik, mereka sudah mengetahui banyak bid’ah dan hawa nafsu, tetapi mereka tidak menggadaikan umur dan agama mereka demi perselisihan dan perdebatan. Mereka tidak menyibukkan diri dengan hal tersebut sehingga tidak memperhatikan hati dan anggota badan mereka. Bahkan mereka tidak berbicara kecuali karena tuntutan membantah kesesatan, bila mereka melihat orang yang bersikukuh berbuat bid’ah, maka mereka akan mengucilkannya tanpa berdebat dan berselisih.

 

Diriwayatkan dalam hadits,

 

” Suatu kaum tidak akan tersesat setelah petunjuk, kecuali karena mereka diberi (kepandaian) berdebat.”

 

Kelompok lain, menyibukkan diri dengan memberi nasihat. Martabat mereka yang paling tinggi adalah orang yang berbicara tentang akhlak jiwa dan sifat-sifat hati berupa rasa takut kepada Allah, harapan, sabar, syukur, tawakal, zuhud, yakin, dan ikhlas. Bila membicarakan sifat-sifat tersebut, mereka menyangka bahwa mereka adalah ahlinya. Padahal mereka tidak menghiasi diri dengannya. Mereka mengajak kepada Allah namun mereka justru berlari dari Allah, mereka adalah orang-orang yang paling tertipu.

 

Di antara mereka, ada yang meninggalkan metode yang wajib dalam memberi nasihat dan menggantinya dengan kata-kata aneh dan kalimat-kalimat kedustaan yang keluar dari kaidah syariat dan akal dalam rangka mencari kemasyhuran.

 

Di antara mereka, ada yang menghadirkan syair-syair pertemuan dan perpisahan, tujuan mereka adalah memancing emosional dan tangis hadirin sekalipun dengan tujuan yang batil, mereka adalah setan-setan manusia.

 

Kelompok lain, menghabiskan waktu mereka dalam mendengar hadits, mengumpulkan riwayat-riwayatnya, sanad-sanad yang langka dan tinggi. Keinginan salah seorang dari mereka hanyalah berkeliling dunia dan bertemu dengan para syaikh sehingga dia bisa berkata, “Aku meriwayatkan dari fulan, aku bertemu fulan, aku mempunyai sanad yang, tidak dimiliki oleh orang lain.”

 

Kelompok lain, menyibukkan diri dengan ilmu nahwu, ilmu bahasa dan syair, lalu mereka mengklaim bahwa mereka adalah ulama umat, mereka habiskan umur mereka untuk mempelajari nahwu dan bahasa sampai masalah-masalah detail. Seandainya mereka berakal, niscaya mereka mengetahui bahwa siapa yang menyia-nyiakan umurnya untuk mengetahui bahasa orang-orang Arab seperti orang yang membuang umurnya untuk mengetahui bahasa orang-orang at-Turk; perbedaannya hanyalah pada satu titik, bahasa Arab adalah bahasa syariat.

 

Mempelajari ilmu bahasa, cukup pada ilmu tentang kata-kata asing (gharib), gharib al-Qur’an dan gharib hadits. Kadar cukup dari nahwu apa yang memperbaiki lisan (ucapan). Adapun mendalami sampai ke batas yang tidak pernah habis, maka hal itu menyibukkan diri dari apa yang lebih baik dan lebih wajib.

 

Perumpamaan mendalami di bidang ini adalah seperti orang yang menghabiskan umurnya untuk memperbaiki makhraj huruf dalam al-Qur’an dan mencukupkan diri dengannya. Ini adalah ghurur, karena maksud dari huruf adalah makna, huruf adalah wadah dan alat. Barangsiapa perlu minum obat untuk menyembuhkan sakit kuningnya lalu dia malah menyibukkan diri mencari gelas yang bagus untuk minum, maka dia teperdaya.

 

Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil segala sesuatu sesuai hajatnya yang pokok bukan yang lain, lalu mengamalkannya, bersungguh-sungguh padanya, dan bersungguh-sungguh dalam membersihkannya dari noda-noda, inilah tujuannya.

 

Kelompok lain, mereka sangat tertipu; mereka menggunakan siasat dalam menunaikan hak orang lain, mereka menyangka bahwa hal itu bermanfaat bagi mereka, padahal sebenarnya itu adalah ketertipuan. Bila seorang suami memaksa istrinya untuk menggugurkan hak-haknya, maka suami tetap tidak bebas dari tanggung jawab antara dirinya dengan Allah.

 

Demikian juga, seorang yang menunaikan zakat harta di akhir haul (tahun) kepada istrinya, dia memberikannya sebagai siasat untuk menggugurkan kewajiban zakat. Demikian pula berlaku pada siasatsiasat lainnya.

 

Kedua: Ghurur (Teperdaya)nya Ahli Ibadah dan Amal

 

Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok:

 

Ada kelompok yang melalaikan kewajiban-kewajiban dan menyibukkan diri dengan amal-amal sunnah dan fadha‘il, bahkan terkadang mereka berlebih-lebihan dalam menggunakan air sampai terjatuh ke dalam sikap waswas dalam wudhu. Engkau melihat salah seorang dari mereka tidak mau menerima air yang dihukumi suci dalam syariat, justru mendatangkan asumsi-asumsi najis yang jauh. Namun hal tersebut tidak diberlakukan pada makanannya. Seandainya kehati-hatian ini beralih dari air ke makanan, niscaya ia lebih dekat kepada jalan hidup as-Salaf ash-Shalih. Umar berwudhu dari bejana wanita Nasrani sekalipun ada kemungkinan najis, dan di saat yang sama Umar meninggalkan berbagai hal yang halal karena khawatir terjatuh ke dalam yang haram.

 

Diriwayatkan secara shahih dari Nabi bahwa beliau pernah berwudhu dari kantong air milik wanita musyrik.

 

Kemudian di antara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam memakai air, memperlama wudhu sampai shalat berlalu dan waktunya habis.

 

Di antara mereka ada yang dikuasai oleh waswas saat takbiratul thrani sampai-sampai dia menjadi masbuk satu rakaat karena itu.

 

Di antara mereka ada yang memaksakan diri mengeluarkan huruf sesuai makhrajnya saat membaca al-Fatihah dan dzikir-dzikir shalat lainnya, sangat berhati-hati dalam perkara tasydid dan membedakan antara dhad dengan zha~ melebihi kebutuhan dan yang seperti itu. Ia fokus dengan hal tersebut sehingga tidak memikirkan yang lain, lalai dari makna al-Qur’an dan tidak mengambil pelajaran darinya. Ini termasuk bentuk ghurur paling buruk, karena manusia (di zaman as-Salaf) tidak pernah memaksakan diri mewujudkan makhraj huruf dalam membaca al-Qur’an kecuali apa yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

 

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang membawa surat kepada penguasa, dia menunaikan pesan surat dengan memperindah kata-kata sesuai makhrajnya dan mengulang-ulanginya, di saat yang sama dia tidak memahami maksud surat tersebut dan tidak memperhatikan etika majelis, betapa patutnya bila orang ini diusir dan disuruh keluar.

 

Kelompok lain, teperdaya dengan bacaan al-Qur’an. Mereka membacanya dengan cepat, bahkan mengkhatamkannya dua kali sehari. Lidah salah seorang dari mereka mengalirkan al-Qur’an namun hatinya mengembara di lembah-lembah angan, tidak merenungkan makna-makna al-Qur‘an, tidak mengambil pelajaran-pelajarannya, tidak berhenti pada perintah-perintah dan larangan-larangannya. Orang ini teperdaya, karena dia mengira bahwa tujuan al-Qur‘an hanya sebatas dibaca saja.

 

Perumpamaan orang ini adalah seperti hamba sahaya yang menerima surat dari majikannya yang berisi larangan dan perintah, dia sama sekali tidak berusaha memahami dan mengamalkan, akan tetapi dia hanya menghafalnya dan mengulang-ulangnya, dia menyangka bahwa itulah yang dituntut darinya, padahal dia menyelisihi perintah dan larangan tuannya.

 

Di antara mereka ada yang menikmati bacaan al-Qur’an tetapi berpaling dari maknanya. Orang ini patut memeriksa hatinya, apakah ia menikmatinya karena alunan lagunya atau suara atau maknanya?

 

Kelompok lain, teperdaya dengan puasa dan memperbanyak berpuasa, namun mereka tidak menjaga lidah mereka dari gibah dan ucapan-ucapan yang tak berguna. Juga tidak menjaga perut mereka dari yang haram saat berbuka, tidak melindungi hati mereka dari riya’’.

 

Di antara mereka ada yang teperdaya dengan haji, berangkat haji tanpa membebaskan diri dari hak-hak orang lain, masih memikul utang dan tidak meminta izin kepada pihak pemilik utang. Tidak menyiapkan bekal yang halal, terkadang mereka melakukan hal itu untuk haji sunnah, dan dalam perjalanan mereka menyia-nyiakan ibadah dan kewajiban, tidak bisa menyucikan badan dan pakaian, tidak menjaga diri dari perkataan keji dan pertikaian. Meskipun demikian, mereka tetap menyangka bahwa mereka berada di atas kebaikan, mereka benar-benar teperdaya.

 

Kelompok lain, beramar ma’ruf dan bernahi mungkar namun melupakan diri sendiri.

 

Di antara mereka ada yang menjadi imam di masjid, bila ada orang yang mengimami dan dia lebih wara’ dan lebih berilmu, maka hatinya terasa berat.

 

Di antara mereka ada muadzin dan menyangka bahwa ia karena Allah, bila dia tidak hadir lalu orang lain yang adzan, maka ia merasa berat hati, dia berkata, “Beraninya dia merebut kedudukanku.”

 

Di antara mereka ada yang tinggal di Makkah atau Madinah namun hatinya terikat dengan negerinya, agar orang-orang berkata, “Fulan lama tinggal di Makkah dan Madinah.” Kemudian dia tinggal di sana namun hatinya berharap mendapatkan kotoran manusia (yakni zakat dan sedekah), dan dia mungkin mendapatkannya, mengumpulkannya namun dia bersikap kikir dengannya. Sehingga terkumpul padanya berbagai perkara yang membinasakan.

 

Tidak ada amal perbuatan kecuali ia mempunyai penyakit yang merusak. Barangsiapa tidak mengetahuinya, maka dia terjatuh ke dalamnya. Barangsiapa ingin mengetahuinya, maka silakan menelaah kitab kami ini. Silakan membaca penyakit riya’’ dalam ibadah: puasa, shalat, dan semua bentuk ibadah pada bab-bab yang sudah tersusun dalam buku ini. Tujuan kami sekarang adalah memberikan isyarat pada kumpulan-kumpulan yang telah berlalu.

 

Kelompok lain, zuhud dalam harta, menerima makanan dan pakaian yang sangat sederhana, rela tinggal di masjid, mereka menyangka telah meraih derajat ahli zuhud, namun ambisi mereka adalah kedudukan dan kekuasaan, mereka meninggalkan satu dari dua perkara yang paling mudah dan mengambil satu dari dua perkara yang membinasakan.

 

Kelompok lain, bersungguh-sungguh menjaga amalan-amalan sunnah namun tidak memperhatikan amalan wajib. Salah seorang dari mereka berbahagia bisa shalat Dhuha dan shalat malam, namun untuk shalat wajib tidak pernah melaksanakannya di awal waktu, dia lupa sabda Rasulullah sebagaimana yang beliau riwayatkan dari Rabb beliau,

 

“Orang-orang yang mendekatkan diri kepadaKu tidaklah mendekatkan diri dengan sesuatu yang menyamai pahala melaksanakan apa yang Aku wajibkan atas mereka.”

 

Ketiga: Ghurur (Teperdaya)nya Orang-Orang Sufi

 

Yang tertipu dari mereka sejumlah kelompok.

 

Di antara mereka ada yang teperdaya dengan penampilan, ucapan, dan pakaian, mereka meniru orang-orang sufi dari sisi penampilan luar, tanpa melelahkan diri mereka dalam melatih dan menempa diri, kemudian mereka berkumpul memperebutkan yang haram, yang syubhat, dan harta para penguasa, sebagian dari mereka memakan kehormatan yang lain bila mereka berbeda tujuan. Ghurur orang-orang ini sangat jelas.

 

Perumpamaan mereka adalah seperti wanita tua, dia mendengar nama para petarung dan pejuang pemberani tertulis di daftar peserta perang. Setiap orang dari mereka menjelajah berbagai negeri. Lalu wanita tua itu berhasrat melakukan apa yang mereka lakukan. Dia memakai baju perang, menutup kepalanya dengan topi baja, mempelajari syairsyair perang yang menggugah semangatnya, mempelajari penampilan dan semua sifat-sifat mereka, kemudian dia melangkah ke markas pasukan, namanya pun ditulis dalam deretan para petarung. Saat tiba pemeriksaan, dia diperintahkan untuk menanggalkan baju perang dan topi bajanya untuk diketahui dan diuji keberaniannya. Manakala semuanya sudah dilepaskan, ternyata secorang wanita tua pesakitan. Maka dikatakan kepadanya, “Engkau datang menghina raja dan para panglima. Tangkap wanita ini dan campakkan dia di kawanan gajah.” Maka hal itu dilakukan terhadapnya.

 

Demikianlah keadaan orang-orang yang mengklaim tasawuf di Hari Kiamat saat topeng mereka disingkap, dihadapkan kepada Hakim Agung yang melihat ke dalam hati, bukan kepada pakaian yang compang-camping.

 

Kelompok lain, mengklaim ilmu ma’rifat, menyaksikan al-haq, melampaui berbagai derajat dan keadaan, dekat dengan Allah. Namun mereka tidak mengetahui perkara-perkara tersebut kecuali hanya sekadar nama. Engkau melihat salah seorang dari mereka mengulangulangnya dan mengira bahwa itu adalah ilmu tertinggi yang dimiliki orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian. Mereka memandang rendah para fuqaha, ahli hadits, dan ulama-ulama lainnya. Apalagi kepada orang awam, sampai-sampai sebagian orang awam rela berguru kepada mereka dalam waktu yang lama, menerima dari mereka katakata indah dan mengulang-ulangnya seolah-olah dia membaca lafazh wahyu dan dalam semua itu mereka merendahkan seluruh ulama dan ahli ibadah. Dia mengatakan bahwa mereka tertutup dari Allah, hanya dirinyalah yang sampai ke derajat al-haq, dan dirinya termasuk orang-orang dekat kepada Allah. Padahal di sisi Allah dia termasuk orang-orang durjana dan munafik. Sementara di kalangan manusia, mereka termasuk orang-orang bodoh lagi dungu, tidak menguasai ilmu dan tidak menata akhlak, tidak memeriksa hati selain mengikuti hawa nafsu dan menghafal igauan (ocehan).

 

Di antara mereka, ada yang menolak syariat, menolak hukumhukum agama, menyamakan yang halal dengan yang haram. Bahkan ada yang berkata, “Allah tidak butuh kepada amal perbuatanku, lalu mengapa aku berlelah-lelah?”

 

Di antara mereka, ada yang berkata, “Tidak ada nilai bagi amal perbuatan anggota badan, karena yang dipandang adalah hati. Hati kami sudah penuh dengan cinta kepada Allah, menggapai ma’rifatNya, kami menjalani dunia hanya dengan raga kami, sementara hati kami beri’tikaf di hadirat ar-Rabb. Kami melampiaskan nafsu syahwat hanya sebatas lahir bukan dengan hati.” Mereka ini mengaku telah meninggalkan derajat orang-orang awam, tidak perlu menata jiwa dengan amal-amal anggota badan, bahwa syahwalt tidak menghalangi mereka dari jalan Allah karena kekuatan mereka padanya, bahkan mereka mengangkat derajat mereka di atas para nabi, karena para nabi menangisi satu kesalahan bertahun-tahun.

 

Bentuk-bentuk ghurur (teperdaya)nya para pemuja kehidupan permisif (yakni, pengikut tarekat yang tidak lagi mengenal halal haram), tak terhitung jumlahnya. Semua itu adalah kekeliruan dan waswas, setan telah menipu mereka dengannya, karena mereka sudah menyibukkan diri dengan mujahadat sebelum memantapkan ilmu, tanpa meneladan seorang syaikh yang berilmu, kuat agamanya lagi shalih untuk diteladan.

 

Di antara mereka, ada kelompok yang melampaui jalan ini, mereka sibuk bermujahadat, memulai meniti jalan, terbuka bagi mereka pintu ma’rifat. Manakala mereka mulai mengenal dasar-dasar ma’rifat, mereka takjub mengaguminya, berbahagia dengannya. Perkara yang aneh membuat mereka takjub, lalu hati mereka terikat kepadanya dengan selalu menoleh kepadanya dan memikirkannya, bagaimana pintunya terbuka bagi mereka dan tertutup dari orang lain. Semua itu adalah ghurur, karena keajaiban-keajaiban jalan Allah tidak mempunyai akhir. Seandainya seseorang hanya berdiri pada satu keajaiban saja dan terikat dengannya, maka dia akan menghentikan langkahnya padanya, tidak akan pernah sampai pada tujuan. Perumpamaannya adalah seperti orang yang hendak bertemu raja, di depan istananya dia melihat kebun dengan bunga-bunganya yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya, lalu dia berdiri mengaguminya sampai kesempatan bertemu raja hilang.

 

Keempat: Ghurur (Teperdaya)nya Orang-Orang Kaya

 

Mereka terdiri dari beberapa kelompok:

 

Ada kelompok, yang bersungguh-sungguh membangun masjidmasjid, madrasah-madrasah, pos-pos penjagaan, jembatan-jembatan dan apa yang terlihat olch manusia. Lalu mereka menuliskan namanya di sana agar ia dikenang, jejak peninggalannya masih ada setelah dia mati, lalu seandainya salah seorang dari mereka diminta berinfak satu dinar tanpa menulis namanya di sana, niscaya hal itu memberatkannya. Kalau bukan karena dia mencari muka manusia dan bukan Wajah Allah, niscaya hal itu tidak memberatkannya, karena Allah mengetahuinya, baik dia menulis namanya atau tidak.

 

Di antara mereka, ada yang menginfakkan uangnya untuk memperindah masjid, menghiasinya dengan berbagai pahatan yang dilarang dan menyibukkan orang-orang shalat, karena yang dituntut dalam shalat adalah khusyu’ dan kehadiran hati. Sementara apa yang dia lakukan justru merusak hati orang-orang yang shalat. Bila harta yang dia berikan untuk itu adalah harta haram, maka itu lebih ghurur lagi.

 

Malik bin Dinar berkata, “Seorang laki-laki datang ke sebuah masjid, lalu dia berdiri di pintu lalu berkata, ‘Orang (berdosa) sepertiku tidak patut masuk rumah Allah.’ Maka dia ditulis di tempatnya sebagai seorang shiddiq.”

 

Dengan ini semestinya masjid diagungkan, yaitu seseorang melihat dirinya bila masuk masjid justru malah mengotorinya dengan melakukan kejahatan terhadap masjid, bukan malah melihat pengotoran masjid dengan yang haram atau dengan hiasan dunia sebagai jasa besar yang harus Allah balas. Ghurur orang sepertiiniadalah dari sisi dia melihat yang mungkar sebagai yang ma’ruf.

 

Kelompok lain, mengumpulkan harta dan menahannya karena kikir, kemudian menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah badan yang tidak membutuhkan biaya, seperti puasa, shalat, mengkhatamkan alQuran. Mereka ini adalah orang-orang yang tertipu, karena kekikiran adalah sifat yang membinasakan dan ia sudah menyelimuti hati mereka. Mereka harus mencabutnya dengan mengeluarkan (menginfakkan) harta, mereka sibuk dengan keutamaan-keutamaan yang tidak wajib atas mereka.

 

Perumpamaan mereka seperti orang yang di dalam bajunya menyusup seekor ular lalu dia malah sibuk memasak obat untuk sakit kuning.

 

Di antara mereka, ada yang enggan kecuali membayar zakat saja. Itu pun dengan harta yang mutunya rendah, atau memberikannya kepada orang miskin yang melayaninya, atau menunaikan hajatnya, atau orang yang dia perlukan di masa datang, atau orang yang dia punya kepentingan terhadapnya.

 

Di antara mereka, ada yang menycrahkannya kepada seorang tokoh untuk dibagi-bagikan, tujuannya adalah meraih kedudukan di samping sang tokoh dan sang tokoh membantu hajatnya. Semua itu merusak niat baik dan pemiliknya teperdaya karena dia mencari dengan ibadah kepada Allah balasan dari selainNya.

 

Kelompok lain dari orang-orang kaya dan lainnya, teperdaya dengan menghadiri majelis dzikir (majelis ilmu). Mereka menyangka hanya sekadar hadir sudah menggugurkan kewajiban beramal dan mengambil pelajaran. Padahal tidak demikian, majelis dzikir memiliki keutamaan karena memotivasi untuk berbuat kebaikan. Setiap perkara yang menjadi sarana kepada perkara yang lain, apabila tidak mengantarkan pada tujuan perkara tersebut, maka ia tidak berguna. Terkadang salah seorang dari mereka mendengar peringatan yang menakutkan, maka dia hanya menjawab, “Ya Salam, selamatkanlah,” atau “Aku berlindung kepada Allah.” Dan dia menyangka bahwa hal itu sudah cukup.

 

Perumpamaan orang seperti ini adalah seperti orang sakit yang datang kepada para tabib, dia mendengar apa yang terjadi, atau orang lapar yang hadir di depan tukang masak yang menjelaskan resep makanan kemudian dia sendiri pergi. Apa manfaatnya? Demikian juga mendengar ajakan kepada kebaikan namun tidak diamalkan. Semua nasihat yang tidak mengubah sifat dan perbuatanmu, maka ia adalah hujjah yang akan melawarunu.

 

Bila dikatakan, “Engkau menyebutkan pintu-pintu ghurur (ketertipuan) yang hampir tak ada orang yang selamat darinya.”

 

Kami menjawab, “Pilar akhirat berpijak di atas satu makna, yaitu meluruskan hati. Semua orang mampu melakukannya kecuali orang yang niatnya tidak benar, karena bila seseorang memperhatikan perkara akhirat sebagaimana dia memperhatikan perkara dunia, niscaya dia mampu meraihnya. As-Salaf ash-Shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik telah mewujudkannya.”

 

Berikut ini ada tiga perkara yang dapat membantu menghindari ghurur.

 

Pertama: Akal. Ini adalah sumber cahaya yang dengannya manusia mengetahui hakikat segala sesuatu.

 

Kedua: Ma’rifat, yang dengannya seseorang mengenal dirinya, Tuhannya, dunia dan akhiratnya.

 

Dalam Kitab Cinta, Membedah dan Menyingkap Keajaiban Hati, Tafakur, dan Kitab Syukur terdapat isyarat-isyarat tentang sifat jiwa dan sifat keagungan Allah.

 

Untuk mengetahui dunia dan akhirat bisa dibantu dengan apa yang disebutkan dalam Kitab Menyikapi Dunia dan Kitab Mengingat Kematian.

 

Bila sudah mengenal perkara-perkara tersebut, maka dari hati yang terisi dengan ma’ rifatullah (mengenal Allah) akan memancar cinta kepada Allah, dari ma’rifatul akhirah (mengenal hakikat akhirat) akan muncul cinta dan keinginan kuat kepadanya, dan dari mengenal hakikat dunia akan tumbuh keinginan kuat untuk menjauh darinya, sehingga urusannya yang paling utama adalah apa yang mengantarkannya menuju Allah dan bermanfaat baginya di akhirat. Bila keinginan ini telah mengalahkan dunia dalam hati, maka niatnya dalam segala urusan akan lurus dan semua ghurur tertepis darinya.

 

Bila cinta Allah telah mendominasi hatinya karena ma’rifatnya kepadaNya dan kepada dirinya, maka dia memerlukan perkara selanjutnya:

 

Ketiga: Ilmu. Yang kami maksud dengan ilmu adalah ilmu tentang tata cara meniti jalan kepada Allah dan rintangan-rintangannya, ilmu tentang apa yang mendekatkan kepadaNya dan membimbingnya, dan semua itu ada dalam kitab kami ini.

 

Dari seperempat ibadah dan adat kebiasaan dapat diketahui apa yang diperlukannya dan apa yang tidak diperlukannya, lalu mendidik diri dengan adab syariat.

 

Dari seperempat yang membinasakan diketahui segala rintangan yang menghadang di jalan kepada Allah, yaitu sifat-sifat tercela pada manusia.

 

Dari seperempat yang menyelamatkan diketahui sifat-sifat terpuji yang harus diletakkan sebagai pendobrak sifat-sifat tercela.

 

Bila seseorang sudah menguasai semua itu, maka dia bisa berhati-hati terhadap berbagai bentuk ghurur yang telah kami isyaratkan di atas. Wallahu a’lam.

 

Bila seseorang telah melakukan semua itu, maka dia patut waspada agar tidak teperdaya oleh setan yang mengajaknya kepada ke. pemimpinan, sebagaimana dia juga dikhawatirkan merasa aman dari siksa Allah.“

 

Karena itu, dikatakan, “Orang-orang yang ikhlas berada dalam bahaya besar.”

 

Menjelang kematian Imam Ahmad, setan datang kepada beliau dan berkata, “Engkau telah terluput dariku.” Beliau menjawab, “Tidak, belum.”

 

Rasa takut tidak patut berpisah dari hati para wali (kekasih) Allah selamanya.

 

Kami memohon kepada Allah keselamatan dari ghurur dan mendapat husnul khatimah. Sesungguhnya Dia,

 

“Amat dekat (rahmatNya) lagi memperkenankan (doa hambaNya).” (Hud: 61).

 

Ini akhir pembahasan ghurur dan dengan ini selesai Seperempat yang Membinasakan. Kita melangkah ke Seperempat yang Menyelamatkan.

 

Ketahuilah bahwa dosa-dosa adalah tutup dari apa yang dicintai, dan menyingkirkan perkara yang menjauhkan dari perkara yang dicintai adalah wajib.

 

Hal itu terwujud dengan ilmu, penyesalan, dan tekad. Bila seseorang tidak mengetahui bahwa dosa-dosa merupakan sebab yang menjauhkannya dari apa yang dicintainya, maka dia tidak menyesalinya, tidak merasa bersalah karena telah menempuh jalan yang semakin menjauhkan. Bila ia tidak merasa bersalah, maka ia tidak akan kembali.

 

Allah memerintahkan bertaubat, Dia berfirman,

 

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31.)

 

Allah berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (At-Tahrim: 8)

 

Dan Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222).

 

Nabi bersabda,

 

“Wahai manusia, bertaubatlah kepada Tuhan kalian, sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah seratus kali dalam sehari.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Mas’ud  bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Allah benar-benar lebih berbahagia dengan taubat hambaNya yang Mukmin daripada seorang laki-laki di padang pasir yang tandus lagi mematikan, dia bersama kendaraannya yang di atasnya ada makanan dan minumannya. Dia kemudian tidur (di suatu persinggahan) lalu bangun dan kendaraannya itu telah hilang, dia mencarinya sampai kehausan, kemudian dia berkata dalam dirinya sendiri, ‘Sebaiknya aku kembali ke tempat semula, aku akan tidur sampai aku mati.’ Dia meletakkan kepalanya di atas lengannya bersiap-siap mati, tiba-tiba dia terbangun dan kendaraannya berada di depannya, dan di atas pungeungnya (masih utuh) bekal, makanan, dan minumannya; maka Allah lebih berbahagia dengan taubat hambaNya yang Mukmin daripada orang ini yang mendapatkan (kembali) kendaraannya.”

 

Banyak hadits yang membahas masalah ini. Ijma’ para ulama menetapkan kewajiban taubat, karena dosa-dosa adalah pencelaka, menjauhkan pelakunya dari Allah, maka wajib berlari darinya sesegera mungkin.

 

[Kewajiban Bertaubat dan Keutamaannya]

 

Taubat wajib secara terus-menerus, karena manusia tidak bersih dari kemaksiatan. Seandainya anggota badannya bebas dari kemaksiatan, maka hatinya tetap tidak bersih dari keinginan untuk berbuat dosa. Bila seandainya ia bersih dari itu, maka ia tetap tidak luput dari waswas setan dengan menyusupkan pikiran-pikiran yang bermacammacam yang melalaikannya dari mengingat Allah. Seandainya dia juga bebas darinya, maka dia tetap tidak lepas dari kelalaian dan keterbatasan dalam mengetahui Allah, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatanNya. Semua itu adalah kekurangan, tak ada seorang pun yang selamat darinya, sekalipun tentu saja manusia berbeda-beda dalam kadar ini, sedangkan pada dasarnya, maka itu adalah pasti.

 

Inilah sebabnya Nabi bersabda,

 

“Sesungguhnya terkadang hatiku terhalangi, maka aku memohon ampun kepada Allah tujuh puluh kali dalam sehari semalam.”

 

Karena itu Allah memuliakan beliau dengan FirmanNya,

 

“Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (Al-Fath: 2).

 

Untuk selain Nabi, bagaimana keadaannya? Bila sebuah taubat memenuhi syarat-syaratnya, maka ia benar dan diterima. Allah berfirman

 

“Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya.” (Asy-Syura: 25).

 

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Sesungeulinya Allah menerima taubat seorang hamba selama napasny belum sampai di tenggorokan.”

 

Dan banyak hadits lain dalam masalah ini.

 

PASAL MACAM-MACAM DOSA

 

Ketahuilah bahwa manusia mempunyai banyak akhlak dan sifat, akan tetapi pemicu dosa terfokus pada empat sifat.

 

Pertama: Sifat-sifat rububiyah. Dari sifat ini muncul kesombongan dan kebanggaan, cinta sanjungan dan pujian, kehormatan dan ingin menguasai dan sepertinya. Ini adalah dosa-dosa yang membinasakan, dan sebagian manusia melalaikannya dan tidak memandangnya sebagai dosa.

 

Kedua: Sifat-sifat setan. Muncul darinya hasad, kezhaliman, tipu daya, muslihat, makar, kecurangan, kemunafikan, memerintahkan kepada kerusakan dan sepertinya.

 

Ketiga: Sifat-sifat hewan. Muncul darinya kerakusan dan ambisi menuntaskan syahwat perut dan kemaluan, darinya lahir zina, homoseks dan melakukan pencurian, mengambil harta demi memenuhi hawa nafsu.

 

Keempat: Sifat-sifat hewan buas, yang muncul darinya amarah, kedengkian, menyerang manusia dengan memukul dan membunuh, serta mengambil harta mereka.

 

Sifat-sifat ini mempunyai fase-fase dalam fitrah. Sifat hewan adalah sifat yang mendominasi pertama kali, kemudian disambung dengan sifat hewan buas, dan bila kedua sifat ini sudah terkumpul, maka keduanya akan menyetir akal untuk melakukan sifat-sifat setan berupa makar, menipu dan tipu muslihat, kemudian sesudah semua itu adalah sifat-sifat rububiyah (berlagak seperti tuhan).

 

Ini adalah biang dan sumber dosa-dosa, kemudian dosa-dosa memancar dari sumber-sumber ini ke anggota tubuh, sebagian ada dalam hati seperti kekufuran, bid’ah, kemunafikan, memendam keburukan, sebagian ada di mata, sebagian ada di pendengaran, sebagian ada di lisan, sebagian ada di perut dan di kemaluan, sebagian ada di kedua tangan dan kedua kaki, sebagian ada di sekujur tubuh. Tidak ada tuntutan untuk merinci semua ini karena ia sudah jelas.

 

Kemudian dosa-dosa itu terbagi menjadi dua: dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia dan dosa-dosa antara hamba dengan Allah. Dosa-dosa yang pertama lebih berat, untuk yang kedua harapan dimaafkan dan diampuni sangat terbuka, kecuali bila ia adalah dosa syirik, semoga Allah melindungi kita semua, karena inilah dosa yang tidak Allah ampuni.

 

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Catatan-catatan dosa di sisi Allah ada tiga: catatan dosa yang tidak Allah pedulikan apa pun itu, catatan dosa yang tidak Allah tinggalkan sedikit pun, dan catatan dosa yang tidak Allah ampuni. Catatan dosa yang tidak Allah ampuni adalah syirik, Allah berfirman, ‘Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga.’ (Al-Ma‘idah: 72). Catatan dosa yang Allah tidak pedulikan apa pun itu adalah dosa hamba antara dia dengan Allah, Allah mengampuni dan memaafkan bila Dia berkehendak. Dan catatan dosa yang tidak Allah tinggalkan sedikit pun adalah kezhaliman manusia, sebagian mereka atas sebagian yang lain, qishash tidak bisa tidak.”

 

[Pembagian Lain]

 

Ketahuilah bahwa dosa-dosa juga terbagi menjadi kaba‘ir (dosadosa besar) dan shagha ‘ir (dosa-dosa kecil), banyak pendapat dalam hal ini dan hadits-hadits berbeda-beda dalam menetapkan jumlah dosadosa besar.

 

Hadits-hadits shahih yang menetapkannya ada lima:

 

Pertama: Hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,

 

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Mereka bertanya, “Apa saja itu wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh orang yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan perang, dan menuduh wanita baik-baik, beriman dan lengah (berbuat keji).”

 

Kedua: Hadits Ibnu Mas’ud,

 

“Bahwasanya Nabi ditanya, ‘Dosa apa yang paling besar?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu.’ Orang tersebut bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu.’

 

Orang tersebut bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menzinai istri tetanggamu! “

 

Ketiga: Hadits Abdullah bin Amr bahwa Nabi bersabda,

 

“Dosa-dosa besar adalah mempersekutukan Allah dan mendurhakai kedua orangtua.”

 

Keempat: Sabda Nabi

 

Maukah kalian aku beritahu dosa-dosa besar yang paling besar? Yaitu perkataan dusta.” Atau beliau bersabda, ” Kesaksian palsu.

 

Kelima: Hadits Abu Bakrah bahwa dosa-dosa besar disinggung di depan Rasulullah, maka beliau bersabda,

 

“Mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orangtua.” Saat itu beliau sedang berbaring lalu beliau duduk, beliau bersabda, “Ketahuilah, kata-kata dusta dan kesaksian palsu.” Beliau terus mengulang-ulangnya sampai kami berkata, “Seandainya beliau diam.” , Para ulama banyak berbeda pendapat tentang dosa-dosa besar, dan hadits-hadits yang menyebutkan dosa-dosa besar di atas tidak untuk membatasi. Barangkali peletak syariat berkehendak menyebutkannya secara umum agar orang-orang senantiasa mewaspadai dosa-dosa. Tetapi jenis-jenis dosa besar dapat diketahui melalui hadits-hadits dan diketahui juga dosa besar yang paling besar.

 

Sedangkan untuk dosa kecil yang paling kecil, tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Para ulama telah berbicara tentang jumlah dosadosa besar. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata, “Ada empat.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau berkata, “Ada tujuh.”

 

Ibnu Abbas bila dia mendengar ucapan Ibnu Umar bahwa ia ada tujuh, beliau berkata, “Lebih dekat kepada tujuh puJuh daripada tujuh.”

 

Abu Shalih berkata dari Ibnu Abbas “Dosa besar adalah dosa yang mewajibkan hukuman had di dunia.”

 

Dari Ibnu Mas’ud bahwa dosa-dosa besar itu disebutkan di awal an-Nisa~ sampai kepada,

 

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya.” (An-Nisa’: 31).

 

Sa’id bin Jubair dan lainnya berkata, “Dosa-dosa besar adalah semua dosa yang Allah ancam dengan neraka.”

 

Abu Thalib al-Makki berkata, “Dosa-dosa besar itu tujuh belas, aku mengumpulkannya dari beberapa hadits:

 

Empat dalam hati, yaitu: syirik, bersikukuh di atas kemaksiatan, berputus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari siksa Allah.

 

Empat pada lisan: kesaksian palsu, menuduh wanita yang baikbaik (berzina), sumpah ghamus (palsu), dan sihir.

 

Tiga untuk perut: minum khamar, memakan harta anak yatim secara zhalim, dan memakan riba.

 

Dua pada kemaluan: zina dan homoseksual.

 

Dua pada tangan: membunuh dan mencuri.

 

Satu pada kedua kaki yaitu melarikan diri dari medan perang.

 

Satu pada seluruh tubuh, yaitu durhaka kepada kedua orangtua.

 

Ini masih mungkin ditambah dan dikurangi, karena memukul anak yatim dan menyiksanya lebih berat daripada memakan hartanya. Wallahu a’lam.

 

PASAL

DERAJAT DI AKHIRAT BERDASARKAN KEBAIKAN DAN KEBURUKAN DI DUNIA

 

Ketahuilah bahwa manusia memiliki tingkatan berbeda-beda di akhirat sebagaimana mereka juga berbeda-beda di dunia. Mereka terbagi menjadi empat golongan: pertama, orang-orang yang celaka, kedua, orang-orang yang disiksa, ketiga, orang-orang yang selamat, dan keempat, orang-orang yang beruntung.

 

Sebagai perumpamaan, saat seorang raja menyerang dan menguasai sebuah daerah. Dia membunuh sebagian penduduknya, menyiksa sebagian lainnya dan tidak membunuhnya, melepaskan sebagian yang lain, mereka adalah yang selamat dan mengangkat sebagian yang lain dan mereka adalah orang-orang yang beruntung. Bila raja tersebut adil, maka dia tidak membagi mereka demikian kecuali karena mereka memang berhak, dia tidak membunuh kecuali orang yang ingkar terhadap hak raja dan menentang kepemimpinannya, tidak menyiksa kecuali orang yang tidak berkhidmat dengan baik kepada raja sekalipun mengakui kerajaannya, tidak melepaskan kecuali orang yang mengakui kerajaannya dan tidak melalaikan, dan tidak mengangkat kecuali orang yang menghabiskan umurnya untuk melayani dan mendukungnya.

 

Setiap orang dari golongan-golongan di atas berbeda-beda kenikmatan maupun siksaannya sesuai dengan keadaan mereka. Hal ini ditetapkan oleh hadits tentang berjalannya manusia di atas jembatan (ash-Shirath) di atas Jahanam. Di antara mereka ada yang berjalan seperti kilat menyambar,“! di antara mereka ada yang mendekam di neraka selama tujuh ribu tahun,“ dan antara sesaat dengan tujuh ribu tahun itu juga ada perbedaan tingkatan yang banyak.

 

Untuk perbedaan siksa dari sisi beratnya, maka tidak ada batas bagi yang paling keras, sedangkan yang paling rendah adalah penyiksaan dengan mempersulit hisab, sebagaimana seorang raja bisa saja menghukum sebagian pegawainya yang tidak melaksanakan tugas dengan baik dengan mempersulit pertanggungjawabannya kemudian memaafkan, bisa saja dia mencambuk dengan cemeti atau menyiksa dengan selainnya dari berbagai bentuk hukuman.

 

Demikian juga derajat orang-orang yang berbahagia dalam kenik-~ matan juga berbeda-beda, semua perkara ini diketahui secara mendasar melalui dalil-dalil nagli dan cahaya ma’rifat.

 

Dari sisi perincian, kami berkata, setiap orang yang menanamkan akar iman dalam hatinya dengan baik, menjauhi dosa-dosa besar, menunaikan kewajiban-kewajiban dengan baik, dia hanya melakukan dosa-dosa kecil yang tercecer dan tidak terus-menerus melakukannya, maka orang seperti ini berpeluang besar baginya untuk dimaafkan. Al-Qur’an telah menyatakan bahwa menjauhi dosa-dosa besar (akan) melebur dosa-dosa kecil.

 

Orang ini mungkin bersama orang-orannñññn. ng mengetahui tidak terbatas, karena samudera ma’rifat tidak bertepi, orang-orang menyelaminya menurut kadar kekuatan mereka, derajat ashhabul yamin paling tinggi adalah derajat paling rendah orang-orang yang didekatkan. Dan ini adalah keadaan orang yang menjauhi dosadosa besar dan menunaikan kewajiban-kewajiban.

 

Orang yang melakukan suatu dosa besar atau melalaikan salah satu rukun Islam, bila dia bertaubat secara nasuha (tulus) sebelum dekat ajalnya, maka dia masuk ke dalam golongan yang tidak melakukan, karena

 

“orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa.”

 

Sebagaimana pakaian yang dicuci bersih seperti pakaian yang tidak terkena noda.

 

Bila pelaku dosa besar mati sebelum bertaubat, maka perkaranya berbahaya, karena bisa jadi kematiannya dalam keadaan terus-menerus berbuat dosa besar sehingga ia menjadi sebab bagi berguncangnya iman, selanjutnya dia mendapatkan su ‘ul khatimah, lebih-lebih bila imannya hanya sebatas taklid, ia mungkin kacau hanya dengan kebimbangan dan khayalan yang paling kecil sekalipun. Sementara orang yang mengetahui lagi meyakini lebih mungkin tidak terkena su‘ul khatimah. Kemudian siksaan mayit yang belum bertaubat sesuai dengan buruknya dosa besar yang dilakukannya dan lamanya dia melakukannya secara terus-menerus. Kemudian orang-orang awam yang bertaklid masuk surga sedangkan orang-orang yang mengetahui dengan penuh keyakinan menempati derajat tertinggi.

 

Derajat para hamba di akhirat yang kami sebutkan di atas merupakan hukum yang sebabnya jelas, tidak berbeda dengan kesimpulan seorang dokter terhadap seorang penderita penyakit bahwa dia akan mati dan tidak bisa diobati, penderita lain relatif ringan dan pengobatannya mudah. Semua itu adalah dugaan yang secara umum tidak salah, tidak tertutup kemungkinan juga jiwa penderita yang dinyatakan mati oleh dokter kembali lagi tanpa sepengetahuan dokter. Sebaliknya juga penderita penyakit ringan bisa didatangi ajalnya dari arah yang tidak diketahuinya. Hal itu karena rahasia Allah yang tersembunyi. Dalam roh orang-orang hidup terdapat sisi ketidakjelasan karena sebab-sebab yang telah ditetapkan oleh Peletaknya. Kekuatan daya nalar manusia tidak sanggup membuka tabir hakikatnya. Demikian juga keselamatan dan kecelakaan di akhirat mempunyai sebab-sebab yang tersembunyi, kekuatan manusia tidak mampu menelaahnya. Orang yang berbuat kemaksiatan walaupun banyak bisa jadi dimaafkan. Orang yang taat walaupun ketaatannya yang lahir banyak juga bisa jadi mendapatkan murka, karena perkaranya adalah ketakwaan dan ketakwaan ada dalam hati, sementara keadaan-keadaan hati terkadang tidak diketahui oleh pemiliknya sendiri, alih-alih orang lain.

 

Orang-orang yang selamat; yang kami maksud dengan selamat adalah selamat saja, tidak termasuk bahagia dan beruntung. Mereka adalah orang-orang yang tidak berkhidmat, yang dengan itu mereka berhak diangkat, dan tidak pula melalaikan, yang dengan itu mereka berhak untuk dihukum. Keadaannya seperti orang-orang gila yaitu: anak orang-orang kafir (mati sebelum dewasa), orang-orang yang belum tersentuh dakwah sehingga mereka tidak mengetahui, tidak ada pengingkaran, tidak ada ketaatan, tidak ada kemaksiatan, mereka layak untuk berada di al-A’raf.

 

Dan orang-orang yang beruntung, mercka adalah orang-orang yang mengetahui, mereka adalah orang-orang yang didekatkan yang bersegera dalam kebaikan, mereka adalah orang-orang yang tidak

 

“mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacammacam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata.” (As-Sajdah: 17), keinginan kuat mereka bukan surga, akan tetapi bertemu Allah dan melihat kepadaNya.

 

Mereka seperti seorang yang mencintai, dalam kondisi itu dia lalai terhadap dirinya, tidak merasakan apa yang terjadi pada raganya, tidak ada pikiran selain kepada yang dicintainya, mereka adalah orang-orang yang meraih kebahagiaan yang belum pernah terlintas dalam hati manusia. Kadar ini cukup dalam menjelaskan pembagian derajat sesuai dengan kebaikan-kebaikan.

 

PASAL SEBAB-SEBAB YANG MENJADIKAN DOSA KECIL MENJADI BESAR

 

Ketahuilah bahwa dosa kecil menjadi besar dengan beberapa sebab.

 

Di antaranya: Senantiasa melakukannya terus-menerus.

 

Dalam hadits Ibnu Abbas dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidak ada dosa kecil bila dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar bila disertai istighfar (memohon ampunan).”

 

Ketahuilah bahwa ampunan terhadap dosa besar yang telah berlalu dan tidak diikuti dengan dosa besar semisalnya, lebih diharapkan untuk mendapat ampunan daripada terhadap dosa kecil yang dilakukan oleh hamba secara terus-menerus.

 

Perumpamaan hal ini seperti tetesan-tetesan air yang jatuh ke atas sebuah batu secara terus-menerus, ia akan meninggalkan bekas padanya. Seandainya tetesan-tetesan itu dikumpulkan dan dituang sekaligus, maka ia tidak membekas apa pun. Karena itu Rasulullah bersabda,

 

“Amalan yang paling Allah cintai adalah yang dilakukan terus-menerus sekalipun sedikit.“

 

Di antara yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar adalah meremehkannya, karena bila seorang hamba merasa dosanya besar, maka dosa itu kecil di sisi Allah ul. Sebaliknya manakala hamba merasa dosanya kecil, maka ia besar di sisi Allah, karena perasaan bahwa suatu dosa itu besar berawal dari kebencian dan ketidaksukaan terhadapnya.

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Seorang Mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang berada di kaki gunung, dia takut gunung itu akan menimpanya, sedangkan orang fajir melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu dia mengibaskan tangannya begini, maka lalat itu pun terbang” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dosa terasa besar dalam hati seorang Mukmin hanyalah karena dia mengetahui keagungan Allah tts. Bila dia melihat kepada siapa dia durhaka, maka dia melihat dosa kecil itu besar.

 

Dalam riwayat al-Bukhari dari Anas , beliau berkata, “Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan-perbuatan yang di mata kalian lebih lembut daripada rambut, tetapi di zaman Rasulullah, kami memandangnya termasuk dosa-dosa yang membinasakan.”

 

Di antara sebabnya adalah berbahagia melakukan dosa kecil dan berbangga diri dengannya. Seseorang misalnya berkata, “Tidakkah engkau melihat bagaimana aku merobek kehormatan fulan dan membuka aibnya sehingga dia malu?” Atau seorang saudagar berkata, “Tidakkah engkau melihat bagaimana aku bisa menjual barang palsu, bagaimana aku menipu dan mengibulinya?” Dengan ini dan yang sepertinya dosa kecil menjadi besar.

 

Di antaranya, meremehkan kemurahan Allah dengan menutupi dosanya, menunda azab dariNya, sementara dia tidak menyadari bahwa hal itu merupakan murka Allah agar dosanya semakin bertambah.

 

Di antaranya, melakukan dosa kemudian menceritakannya kepada orang lain. Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,

 

“Setiap umatku diampunt kecuali pelaku dosa yang terang-terangan, termasuk melakukan dosa terang-terangan adalah seseorang melakukan sesuatu di malam hari, pagi tiba dan Allah menutupi dosanya, lalu dia berkata, ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan (dosa) ini dan itu.’ Allah telah menutupi dosanya di malam hari, tetapi dia sendiri yang membongkarnya di pagi hari.”

 

Di antaranya, bila pelaku dosanya adalah seorang ulama yang diikuti, bila dia melakukan dosa, maka dosanya besar, misalnya dia memakai baju sutra, atau dia mendatangi orang-orang zhalim tanpa mengingkari kezhaliman mereka, atau mengumbar lidahnya terhadap kehormatan orang lain, atau menyibukkan diri dengan ilmu yang tujuamnya hanya kedudukan seperti ilmu debat. Semua ini adalah dosa-dosa yang bisa terjadi pada seorang ulama yang diikuti, yang bersangkutan mati namun keburukannya masih menyebar di dunia. Maka beruntunglah seseorang yang bila mati, maka dosa-dosanya juga mati.

 

Dalam hadits, Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka ta menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.”

 

Seorang ulama memikul dua tugas:

 

Pertama: Meninggalkan dosa.

Kedua: Menyembunyikannya bila melakukan.

 

Sebagaimana dosa scorang ulama bertambah bila keburukannya diikuti orang lain, maka kebaikan mercka juga bertambah bila kebaikannya diikuti orang lain.

 

Seyogianya seorang ulama bersikap sederhana dalam pakaian dan nafkahnya, cendcrung (melihat) ke bawah, karena orang-orang melihat kepadanya.

 

Seorang ulama patut menjaga diri pada perkara-perkara yang dia bisa diikuti orang lain, karena ketika ia keluar masuk kepada penguasa dan menumpuk harta dunia lalu orang-orang mengikutinya, maka dia memikul dosanya, bisa jadi dia selamat tetapi orang-orang yang mengikutinya tidak paham bagaimana dia bisa selamat.

 

Kami meriwayatkan bahwa seorang raja memaksa rakyatnya makan daging babi, seorang ulama dihadapkan. Pengawal raja berkata kepadanya, “Aku menyembelih anak kambing, maka makanlah.” Daging itu disuguhkan kepadanya namun dia tetap menolak makan, maka raja memerintahkan agar dia dipenggal. Algojo berkata kepadanya, “Aku sudah berkata kepadamu bahwa ini adalah daging kambing.” Maka dia berkata, “Lalu orang-orang yang mengikutiku, bagaimana mereka bisa mengetahui keadaanku?”

 

PASAL

SYARAT-SYARAT TAUBAT

 

Ketahuilah bahwa taubat adalah ungkapan penyesalan yang melahirkan tekad dan tujuan. Penyesalan itu menelurkan ilmu bahwa dosa-dosa adalah penghalang antara seorang manusia dan Dzat yang dicintainya.

 

Penyesalan menyakitkan hati ketika berpisah dengan kekasihnya. Tandanya adalah kesedihan berkepanjangan dan tangisan. Siapa yang merasakan sebuah hukuman yang turun menimpa anaknya atau seseorang yang dicintainya, maka dia akan menangis panjang, musibahnya berat, lalu adakah yang lebih seseorang cintai dari dirinya sendiri? Lalu adakah hukuman lebih berat selain api neraka? Adakah sebab yang paling kuat yang menyebabkan turunnya hukuman selain dosa-dosa? Siapa penyampai berita yang lebih akurat daripada Rasulullah? Seandainya seseorang diberi tahu oleh seorang dokter bahwa sakit anaknya tidak bisa disembuhkan, maka saat itu juga dia akan sangat bersedih, padahal anaknya tidak lebih dicintainya daripada dirinya, padahal seorang dokter tidak lebih tahu daripada Allah dan RasulNya, padahal kematian tidak Iebih keras daripada api neraka, padahal sakit tidak lebih mengantarkan pada kematian daripada kemaksiatan yang mendatangkan murka Allah dan karenanya seseorang terancam api neraka.

 

Orang yang bertaubat seyogianya meneliti adakah shalat yang tertinggal atau shalat tidak memenuhi syaratnya, misalnya dia melakukannya dengan baju yang terkena najis atau dengan niat yang tidak benar, semuanya itu digadha nya.

 

Demikian juga bila dia memiliki utang puasa atau zakat atau haji atau kewajiban lainnya, semuanya diqadha’, memeriksa dan memperbaiki semua itu.

 

Untuk kemaksiatan-kemaksiatan, dia seyogianya memeriksa setiap maksiat yang dilakukannya atau dilihatnya sejak usia baligh, bila dosa tersebut antara dirinya dengan Allah, maka taubat darinya adalah menyesalinya dan memohon ampun kepada Allah.

 

Kemudian melihat kadar dosa-dosanya, maka dia mencari kebaikan yang sesuai untuk setiap maksiat yang dikerjakannya, melakukan kebaikan sesuai dengan kadar keburukan. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114).

 

Dan Nabi bersabda,

 

“Ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia menghapusnya.”

 

Contoh dari apa yang kami katakan, mendengar nyanyian dilebur dengan mendengar al-Qur’an dan majelis dzikir, menyentuh mushaf tanpa bersuci dilebur dengan memuliakannya dan banyak membacanya, bila bisa menulis mushaf dan mewakafkannya, maka silakan. Minum khamar dilebur dengan sedekah dalam bentuk minuman halal, demikianlah, ikuti jalan yang berlawanan, karena penyakit diobati dengan lawannya, ini adalah hukum antara engkau dengan Allah.

 

Untuk kezhaliman terkait dengan manusia, ini juga kemaksiatan kepada Allah karena Allah melarang menzhalimi sesama. Seseorang yang menzhalimi orang lain melakukan larangan Allah, maka pelakunya memperbaikinya dengan menyesal dan bertekad meninggalkan hal yang sama di hari kemudian, melakukan kebaikan-kebaikan yang berlawanan dengan kezhaliman-kezhaliman tersebut sebagaimana di bagian pertama. Bila dia menyakiti orang lain, maka dia meleburnya dengan berbuat baik kepada mereka. Bila merampas harta orang lain, maka dia melebur dengan bersedekah dari harta yang halal. Bila mencederai kehormatan mereka, maka dia meleburnya dengan sanjungan seperti sanjungan kepada orang yang taat beragama, membunuh dilebur dengan memerdekakan budak.

 

Ini yang berkaitan dengan hak Allah, bila dia sudah melakukan hal ini, maka ia belum cukup sehingga dia membebaskan dirinya dari hak-hak manusia. Hak-hak manusia bisa berkait dengan jiwa, atau harta, atau kehormatan, atau menyakiti hati.

 

Untuk yang pertama, yaitu karena membunuh; bila dia membunuh karena tidak sengaja, maka dia membayar diat kepada yang berhak, bisa dari dirinya sendiri atau dari agilah (kerabat dekat)nya. Bila membunuh dengan sengaja, maka dia wajib digishash dengan syaratsyaratnya, dia harus menyerahkan dirinya kepada wali korban, bila wali korban berkenan, maka dia menuntut hukuman mati, bila berke; nan maka memaafkannya, tidak boleh menyembunyikan perkaranya. Berbeda bila dia berzina, atau mencuri, atau minum khamar, atau melakukan dosa yang mewajibkan hukuman had atasnya. Untuk dosa-dosa ini dia tidak harus membukanya sebagai syarat taubat, sebaliknya dia patut menutupi dirinya, bila perkaranya diadukan kepada pemimpin sehingga pemimpin menegakkan hukuman had atasnya, maka hal itu sudah tepat, taubatnya sah, diterima di sisi Allah, dalilnya adalah kisah Ma’iz dan wanita Ghamidiyah.

 

Demikian juga had gadzaf (menuduh wanita-wanita baik berbuat keji), harus memberlakukan hukum yang berhak ditimpakan padanya.

 

Yang kedua: Hak manusia yang berkenaan dengan harta misalnya merampas, khianat, penipuan dalam muamalah; hak-hak ini wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan membebaskan diri darinya.

 

Hendaknya orang yang bersangkutan menulis kepada para pemilik hak, menunaikan hak-hak mereka kepada mereka, meminta kehalalan dari mereka. Bila hak-hak tersebut berjumlah banyak yang dia tidak kuasa menunaikannya, maka dia menunaikan apa yang mampu darinya dan tidak ada jalan baginya kecuali memperbanyak kebaikan sebagai persiapan menghadapi gishash dari pemilik hak kelak di Hari Kiamat. Bila belum cukup, maka keburukan-keburukan mereka diambil dan dibebankan kepadanya.

 

Ini adalah hukum hak-hak yang ditetapkan dalam tanggungan dan harta-harta yang ada, bila di tangannya ada harta dari hak-hak tersebut, dia tidak mengetahui pemiliknya atau ahli warisnya, maka dia menyedekahkannya untuknya. Bila yang halal bercampur dengan yang haram, maka dia berusaha mengetahui kadar haram dan menyedekahkannya.

 

Yang ketiga: Kejahatan terhadap kehormatan dan menyakiti hati. Hendaknya pelakunya mencari setiap orang yang pernah menjadi korbannya dan meminta maafnya dengan membeberkan kadar kejahatannya, karena meminta kehalalannya secara umum tidak cukup, karena bila korban mengetahui bisa jadi dia tidak rela memaafkannya, kecuali bila kejahatan disebutkan akan sangat menyakitinya seperti menyebutkan aibnya yang tersembunyi atau berzina dengan hamba sahaya perempuannya. Bila demikian, maka hendaknya berusaha bersikap lembut dan berbuat baik kepadanya kemudian meminta maaf secara umum, namun semua itu tetap menyisakan hak yang akan dituntut di Hari Kiamat. Demikian juga siapa yang meninggal dunia dari mereka, perkaranya sudah lewat, tidak bisa diperbaiki kecuali dengan kebaikankebaikan yang banyak, sebagai persiapan tuntutan di Hari Kiamat dan tidak ada keselamatan kecuali bila kebaikan lebih banyak.

 

PASAL

 

Di antara syarat taubat yang benar adalah tekad untuk tidak mengulangi dosa yang sama atau dosa semisal di hari mendatang, dengan tekadnya yang benar-benar bulat.

 

Seperti orang sakit yang mengetahui bahwa buah tertentu memperparah sakitnya, maka dia bertekad kuat tidak akan makan buah tersebut selama dia sakit, tekad terscbut harus bulat saat taubat, sekalipun tetap terbuka kemungkinan hawa nafsu kembali mengalahkannya di masa datang. Siapa yang tekadnya belum bulat saat taubat maka dia belum bertaubat dan hal itu tidak mungkin terwujud dari orang yang bertaubat di awal mula proses taubatnya kecuali dengan uzlah (mengasingkan diri), diam, menyedikitkan makan dan tidur, meraih makanan yang halal, meninggalkan makanan dan pakaian yang mengandung syahwat dan syubhat.

 

Sebagian dari mereka berkata, “Barangsiapa jujur dalam meninggalkan hawa nafsu, berusaha melawan diri padanya tujuh kali, niscaya dia tidak diuji dengannya. Barangsiapa bertaubat dari sebuah dosa dan istiqamah selama tujuh tahun, maka dia tidak akan mengulanginya selamanya.”

 

MACAM-MACAM MANUSIA TERKAIT DENGAN TAUBAT YANG BERKESINAMBUNGAN

 

Dalam urusan taubat, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:

 

Tingkatan Pertama: Orang bertaubat yang istiqamah di atas taubatnya sampai akhir hayatnya. Dia memperbaiki kekeliruan dalam hidupnya, tidak ada niat untuk mengulangi dosa-dosanya, kecuali kesalahan-kesalahan kecil yang secara umum manusia tidak terlepas darinya. Inilah istiqamah dalam taubat dan pemiliknya adalah orang yang sabiq bil khairat (terdepan dalam kebajikan).

 

Taubat ini disebut dengan taubat nasuha, jiwanya disebut dengan nafsul muthma ‘innah. Mereka ini juga memiliki tingkatan berbeda-beda. Di antara mereka ada yang hawa nafsunya tenang di bawah tekanan ma’rifat, sehingga tidak ada perlawanannya, di antara mereka ada yang jiwanya masih mengajak sementara pemiliknya terus berjuang melawannya.

 

Tingkatan Kedua: Orang bertaubat yang meniti jalan istiqamah, menjalankan pokok-pokok ketaatan dan menjauhi sumber-sumber dosa besar dan perbuatan keji, hanya saja dia tidak terlepas dari dosa-dosa yang menimpanya, bukan karena sengaja, akan tetapi ia menimpanya dalam langkah kehidupannya tanpa ada tekad sebelumnya untuk melakukannya. Setiap kali dia melakukan, maka dia mencela dirinya, menyesal dan berusaha menjauhi sebab-sebabnya. Ini adalah jiwa lawwamah, karena jiwa seperti ini menyebabkan dirinya tercela, mencela pemiliknya atas keadaan-keadaan tercela yang menjadikannya sebagai sasaran. Ini adalah derajat yang tinggi juga, sekalipun lebih rendah dari yang pertama. Ini adalah keadaan orang-orang yang bertaubat pada umumnya, karena sudah tercampur dalam bahan dasarnya yaitu tanah liat, maka sulit berlepas darinya. Akan tetapi usaha maksimalnya adalah menjadikan kebaikannya lebih dominan dibanding keburukannya, sehingga timbangan kebaikannya lebih berat, kebaikannya melebihi keburukannya. Adapun daun timbangan keburukan harus kosong sama sekali, maka tidak mungkin.

 

Mereka ini mendapatkan janji baik dari Allah, karena Allah berfirman,

 

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas, ampunanNya.”(An-Najm: 32), dan kepada tingkatan ini sabda Nabi mengisyaratkan,

 

“Sesungguhnya Allah mencintai seorang Mukmin yang terfitnah namun selalu bertaubat.”

 

Tingkatan Ketiga: Orang bertaubat dan istiqamah di atas itu untuk beberapa waktu lamanya, kemudian hawa nafsu mengalahkannya sehingga dia melakukan sebagian dosa, karena dia kalah oleh hawa nafsunya. Hanya saja orang ini masih melakukan ketaatan secara terusmenerus dan meninggalkan dosa-dosa, padahal dia mampu melakukannya dan hawa nafsunya mengajak kepadanya, dia hanya kalah di depan satu atau dua dosa, dia berharap seandainya Allah memberinya kemampuan untuk meninggalkannya dan mencukupinya dari keburukannya, selesai melakukan dosa dia menyesali, berjanji dalam hatinya bertaubat dari dosa tersebut, jiwa ini disebut dengan jiwa mas‘ulah, pemiliknya termasuk orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka,

 

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk,” (At-Taubah: 102).

 

Orang seperti ini dari sisi dia masih menjaga ketaatan dan membenci apa yang dilakukan, masih diharapkan, berdasarkan Firman Allah,

 

“Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.” (At-Taubah: 102).

 

Tetapi akibat akhirnya berisiko dari sisi sikap menunda dan mengundur-undur. Bisa jadi dia mati sebelum bertaubat, karena bagaimanapun, amal-amal itu tergantung dengan penutupnya. Orang seperti ini dikhawatirkan penutup hidupnya, karena setiap jiwa mungkin mati kapan saja. Maka hendaknya setiap orang mengawasi napasnya dan berhati-hati agar apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi.

 

Tingkatan Keempat: Bertaubat dan beristiqamah di atasnya kemudian dia mengulangi dosa-dosa, tenggelam di dalamnya tanpa ada niat untuk bertaubat lagi darinya, tanpa menyesali perbuatannya. Orang ini termasuk orang-orang yang mempertahankan dosa. Inilah jiwa ammarah bis su’, yang memerintah kepada keburukan. Orang seperti ini ditakutkan su’ul khatimah baginya.

 

Bila orang ini mati di atas tauhid, maka dia masih diharapkan keluar dari api neraka, sekalipun setelah masa tertentu di dalamnya. Tidak tertutup kemungkinan dia tercakup ke dalam keumuman ampunan, karena sebab yang tersembunyi yang tidak diketahui. Hanya saja mengandalkan hal ini tidak patut, karena siapa yang berkata, “Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Pemaaf, kekayaanNya luas, kemaksiatanku tidak merugikanNya,” kemudian engkau melihatnya menyeberangi lautan untuk mencari dinar. Seandainya dikatakan kepadanya, “Bila Allah memang Maha Pemurah, maka duduklah di rumahmu, siapa tahu Dia memberimu rizki,” niscaya dia akan membodohkan orang yang berkata itu kepadanya, dia akan berkata, “Rizki itu dengan berusaha.” Maka kepadanya dikatakan, “Demikian juga keselamatan, ia juga dengan usaha yaitu takwa.”

 

PASAL

[Apa yang Patut Segera Dilakukan oleh Orang yang Bertaubat]

 

Kami telah menyebutkan bahwa orang yang bertaubat seyogianya melakukan kebaikan-kebaikan sebagai lawan dari keburukan-keburukan yang dilakukannya, agar kebaikan itu melebur dan merontokkan keburukan. Kebaikan-kebaikan pelebur ini bisa dengan hati, lidah dan anggota badan, sesuai dengan keburukan. Yang dengan hati seperti menundukkan hati dan merendahkannya (kepada Allah). Untuk yang dengan lidah seperti pengakuan terhadap dosa dan kezhaliman, misalnya dengan berkata, “Rabbi, aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku.”

 

Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidaklah seorang laki-laki melakukan suatu dosa lalu dia berwudhu dan membaguskan wudhunya kemudian shalat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah mengampuninya.”

 

Untuk anggota badan, maka dengan ketaatan, sedekah, dan berbagai bentuk ibadah.

 

PASAL

OBAT TAUBAT DAN CARA MENGATASI TERUS-MENERUS BERBUAT DOSA

 

Ketahuilah bahwa orang yang tidak mengetahui penyakit, maka dia tidak mengetahui obatnya, karena obat tidak berarti kecuali melawan sebab-sebab penyakit. Sesuatu tidak akan gugur kecuali dengan lawannya, sebab terus-menerus berbuat dosa adalah kelalaian dan hawa nafsu. Kelalaian dilawan dengan ilmu dan hawa nafsu dihadapi dengan kesabaran dalam memangkas sebab-sebab yang menggerakkan hawa nafsu.

 

Lalai adalah pangkal dosa-dosa, maka tidak ada obat untuk bertaubat kecuali adonan yang dibuat dari manisnya ilmu dan pahitnya kesabaran, seperti minuman sokanjabin yang merupakan paduan dari gula yang manis dengan cuka yang asam yang dapat mengobati penyakit kuning.

 

Para dokter untuk penyakit ini adalah para ulama, karena ia adalah penyakit hati yang lebih banyak daripada penyakit raga. Hal itu karena beberapa hal:

 

Pertama: Penderita tidak mengetahui kalau dirinya sakit.

 

Kedua: Karena akibat penyakit ini tidak terlihat di dunia ini. Berbeda dengan penyakit raga, akibatnya adalah mati, ia terlihat dan tabiat manusia ingin menghindarinya, sedangkan apa yang sesudah mati tidak dilihat, sehingga keinginan menjauh dari dosa lumayan lemah sekalipun pelakunya mengetahuinya. Karena itu engkau melihatnya bersandar kepada kemurahan Allah untuk urusan penyakit hati ini, tetapi untuk penyakit raga dia mengobatinya tanpa bersandar (kepada Allah).

 

Ketiga: Ini adalah penyakit kronis, tidak adanya dokter, karena para dokter dalam masalah ini adalah para ulama, sementara di zaman-zaman ini mereka juga sakit, karena penyakit yang membinasakan adalah cinta dunia dan penyakit ini sudah mendominasi para dokter sendiri, mereka tidak mampu memperingatkan manusia dari penyakit ini karena mereka takut akan dikatakan kepada mereka, “Lalu mengapa kalian mengajak kepada kebaikan dan kalian melupakan diri kalian sendiri?” Karena sebab inilah penyakit semakin menyebar dan obatnya semakin sulit dicari.

 

Bila dikatakan, “Lalu apa yang patut dilakukan oleh orang yang menasihati manusia?” Kami menjawab, “Jawaban pertanyaan ini panjang, hanya saja kami mengisyaratkan amal-amal yang berguna dalam hal ini yang terbagi menjadi empat macam:

 

Pertama: Hendaknya memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang menakut-nakuti para pelaku dosa, hadits-hadits dan atsar-atsar tentang hal tersebut diselingi dengan pujian bagi orang-orang yang bertaubat.

 

Kedua: Kisah para nabi, as-Salaf ash-Shalih dan musibah-musibah yang menimpa mereka akibat dari dosa-dosa seperti Nabi Adam yang diusir dari surga karena kemaksiatannya. Apa yang terjadi pada Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Yusuf, al-Qur’an tidak menyebutkan kisah-kisah mereka kecuali agar diambil pelajarannya.

 

Di antara kebahagiaan mereka, mereka disegerakan atas hukuman tersebut, sementara orang-orang yang sengsara diberi penangguhan tersebut,

 

 

“Supaya bertambah-tambah dosa mereka.” (Ali Imran: 178), sebab

 

“Sungguh azab di akhirat itu lebih berat.” (Thaha: 127).

 

Kisah-kisah seperti ini sepatutnya terus disampaikan di telinga orang-orang yang terus-menerus melakukan dosa, karena ia sangat mujarab dalam menggerakkan dorongan-dorongan emosional untuk bertaubat.

 

Ketiga: Hendaknya mereka disadarkan bahwa disegerakannya hukuman di dunia sangat mungkin, semua musibah yang menimpa hamba disebabkan oleh kejahatannya. Terkadang seorang hamba meremehkan perkara akhirat tetapi dia lebih takut hukuman-hukuman dunia karena kebodohannya yang sangat, akibat buruk dosa bisa saja terjadi di dunia, karena itu Nabi bersabda,

 

“Sesungguhnya seorang hamba terhalang dari rizkinya karena dosa yang dilakukannya.”

 

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah dan aku melihat dampaknya pada tingkah laku keledai dan pelayanku.”

 

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Mimpi adalah hukuman; seseorang tidak tertinggal dari satu shalat kecuali karena suatu dosa yang dilakukannya.”

 

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Bila seorang Mukmin melakukan suatu dosa, maka dosa itu meninggalkan sebuah titik (noda) hitam dalam hatinya, bila dia bertaubat, meninggalkan dosa, dan memohon ampunan, maka hatinya kembali bersih, bila dosanya bertambah, maka titik hitam itu bertambah sampai ia menutupi hatinya, itulah arraan yang Allah sebutkan dalam FirmanNya, ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.’ (Al-Muthaffifin: 14).”

 

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Al-Hasan dls berkata, “Kebaikan adalah cahaya bagi hati, kekuatan bagi raga, sementara keburukan adalah kegelapan bagi hati dan pelemah bagi tubuh.”

 

Keempat: Mengingat berbagai hukuman untuk setiap dosa, misalnya minum khamar, zina, membunuh, takabur, hasad, dan gibah.

 

Hendaknya seseorang menjadi seorang dokter yang mengetahui obat, tahu cara meraciknya, karena seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi dan berkata,   “Berilah aku wasiat.”

 

Nabi menjawab, “Jangan marah.”

 

Laki-laki lain datang dan berkata,   “Berilah aku wasiat.”

 

Nabi menjawab, “Janganlah engkau mengharap apa yang ada di tangan manusia.”

 

Sepertinya Nabi menangkap tanda-tanda amarah pada laki-laki pertama dan tanda-tanda ketamakan pada laki-laki kedua.

 

Apa yang kami sebutkan ini adalah cara mengatasi kelalaian, yang tersisa adalah cara mengatasi syahwat. Cara pengobatannya diambil dari apa yang telah kami paparkan dalam Kitab Melatih Jiwa, dan harus bersabar, karena orang sakit, dia sakit berkepanjangan karena dia mengonsumsi apa yang mendatangkan kemudaratan, yang membuatnya melakukan adalah kuatnya hawa nafsu kepadanya atau tidak peduli mudaratnya. Harus menahan pahitnya kesabaran. Demikian juga mengobati syahwat kepada kemaksiatan, seperti seorang pemuda yang dikuasai hawa nafsu, sehingga dia tidak kuasa menjaga sepasang matanya, hatinya dan anggota badannya lalu dia pun berusaha melampiaskan hawa nafsunya. Seyogianya dia mengingat peringatanperingatan keras yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, bila takutnya memang benar, maka dia akan menjauh dari sebab-sebab yang membangkitkan hawa nafsunya.

 

Faktor yang membangkitkan hawa nafsu dari luar adalah munculnya apa yang diinginkan dan melihatnya. Obatnya adalah lapar dan puasa terus-menerus, semua itu tidak terwujud kecuali dengan kesabaran, dan kesabaran tidak terwujud kecuali dengan rasa takut dan rasa takut tidak terwujud kecuali dengan ilmu dan ilmu tidak terwujud kecuali dengan basirah. Langkah pertama adalah menghadiri majelis-majelis ilmu, mendengar dengan hati yang bersih dari berbagai kesibukan, kemudian merenungkan apa yang disampaikan, maka akan muncul rasa takut, sabar akan menjadi mudah, dorongan-dorongan untuk sembuh terbuka dan di balik semua itu adalah taufik dari Allah yang Maha Haq.

 

Bila dikatakan, Mengapa manusia melakukan dosa padahal dia tahu akibat dosa buruk?

 

Kami menjawab, Ada beberapa sebab:

 

Di antaranya, hukuman dosa tidak selalu hadir saat itu juga.

 

Di antaranya, bila seorang Mukmin melakukan dosa, maka dia pasti bertekad untuk bertaubat, dijanjikan kepadanya bahwa taubat menghapus perbuatan buruknya, sementara panjang angan-angan mendominasi tabiat manusia, maka dia akan selalu menunda taubat, karena dia berharap taubat, maka dia pun terjatuh ke dalam dosa.

 

Di antaranya, bahwa dia berharap ampunan Allah.

 

Pengobatan terhadap sebab-sebab ini adalah hendaknya dia memikirkan bahwa segala sesuatu yang pasti datang adalah dekat, kematian bisa datang kapan pun. Sementara sikap menundanya diobati dengan memikirkan bahwa kebanyakan lolongan penghuni neraka adalah karena menunda. Orang yang menunda, membangun suatu perkara yang tidak kekal, padahal siapa yang menjamin dia terus kekal di dunia? Kalaupun masih hidup, maka bisa jadi dia tidak mampu melewati hari esok, sebagaimana dia mampu meninggalkannya hari ini. Bukankah yang membuatnya tidak mampu meninggalkan saat ini adalah kekuatan hawa nafsu yang besok pun akan tetap bersamanya juga? Bahkan hawa nafsu ini akan semakin bercokol kuat bila terus diulang, dari sini orang-orang menunda celaka, karena mereka mengira ada perbedaan di antara dua perkara yang sama. Perumpamaan orang yang menunda seperti seseorang yang dituntut mencabut sebuah pohon, dia melihat pohon itu kuat, tidak tercabut kecuali dengan kesulitan yang berat, maka dia berkata dalam hatinya, “Biar aku tunda setahun lagi kemudian aku akan mengulang mencabutnya.” Dia tidak sadar bahwa sebuah pohon yang dibiarkan akan semakin bercokol kuat, sementara semakin bertambah umur manusia semakin bertambah pula kelemahannya.

 

Sungguh mengherankan saat dia merasa lemah padahal dia sebenarnya mampu melawannya dalam kondisi kelemahan hawa nafsunya, lalu bagaimana dia berharap menang saat dia sudah lemah sementara hawa nafsunya semakin kuat?

 

Adapun berharap ampunan dari Allah, maka ampunan Allah adalah sesuatu yang tidak mustahil, hanya saja selayaknya manusia itu mengambil langkah pasti.

 

Perumpamaan orang ini seperti seorang laki-laki yang menginfakkan seluruh hartanya lalu dia membiarkan diri dan keluarganya dalam keadaan miskin papa. Dia berharap kepada Allah menunjukkan kepadanya harta karun, hal ini memang tidak mustahil, hanya saja pelakunya dinamakan orang dungu. Wallahu a’lam.

 

Bagian Pertama: Keutamaan Sabar, Hakikat, MacamMacamnya, dan Semisalnya

 

Allah  menyebutkan sabar dalam al-Qur‘an kurang lebih pada sembilan puluh tempat. Dan Allah menisbatkan kepada sabar kebaikan dan derajat yang baik sebagai buahnya. Allah  berfirman,

 

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.” (As-Sajdah: 24).

 

Allah juga berfirman,

 

“Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” (Al-A’raf: 137).

 

Allah juga berfirman,

 

“Dan sungguh Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96).

 

Dan Allah ul berfirman

 

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10).

 

Tidak ada ibadah yang mendekatkan kepada Allah kecuali kadar pahala dan perhitungannya sudah ditentukan kecuali sabar. Dan karena puasa termasuk sabar, maka Allah berfirman,

 

“Puasa itu untukKu dan Aku yang akan membalasnya.”

 

Allah berjanji kepada orang-orang yang sabar bahwa mereka bersamaNya. Allah juga mengumpulkan kebaikan-kebaikan untuk orang-orang yang sabar yang hal itu tidak Dia lakukan untuk selain mereka, Allah berfirman,

 

“Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 157).

 

Dan banyak ayat dalam masalah ini.

 

Sedangkan hadits-hadits, di antaranya dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Sa’id dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Seseorang tidaklah diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Kedudukan sabar bagi tman adalah seperti kedudukan kepala bagi badan.”

 

Al-Hasan  berkata, “Sabar adalah salah satu simpanan kekayaan kebaikan, Allah  hanya memberikannya kepada hamba yang mulia di sisiNya.”

 

Sebagian orang bijak menyimpan secarik kertas di sakunya, dia membacanya setiap saat, di sana tertulis,

 

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam (penglihatan) Mata Kami.” (Ath-Thur: 48).

 

[Hakikat dan Makna Sabar]

 

Ketahuilah bahwa sabar termasuk karakterisitk manusia, tidak dibayangkan ada pada hewan-hewan karena kekurangannya dan dominasi hawa nafsu atasnya tanpa sesuatu sebagai penyeimbangnya. Sabar juga tidak ada pada para malaikat, karena kesempurnaan mereka, karena para malaikat sudah dibersihkan untuk merindukan hadirat Rabbaniah, tidak dibekali hawa nafsu yang memalingkan darinya sehingga mereka memerlukan sesuatu untuk menghadapi apa yang menghalanginya dari hadirat Allah yang Mahaagung.

 

Sedangkan manusia, dia diciptakan di awal penciptaannya sebagai anak-anak yang kurang seperti halnya hewan, tidak diciptakan padanya kecuali dorongan untuk makan yang merupakan kebutuhannya. Kemudian muncul dorongan untuk bermain dan berhias, kemudian dorongan untuk menikah dan dia tidak mempunyai kekuatan sabar untuknya. Bila akal bergerak dan kuat, maka akan terlihat dasar-dasar cahaya hidayah sejak usia mumayyiz yang akan tumbuh berkembang setahap demi setahap sampai usia dewasa, seperti munculnya cahaya Shubuh sampai matahari muncul di ufuk. Hanya saja hidayah terbatas tidak membimbing kepada kemaslahatan akhirat. Bila ia diikat dengan ilmu tentang syariat, maka akan muncul dorongan yang berkaitan dengan akhirat dan senjatanya menjadi banyak, hanya saja tabiat manusia mengajak kepada apa yang disukainya sementara dorongan syariat dan akal mencegahnya. Sehingga terjadi perang di antara kedua sisi, medan perang ini adalah hati hamba. Maka sabar ibarat teguhnya dorongan agama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Bila ia kuat sehingga dapat mengalahkan hawa nafsu, maka dia masuk ke dalam golongan orang-orang yang sabar. Bila ia lemah dan kalah oleh hawa nafsu, tidak sabar melawannya, maka dia masuk ke dalam golongan pengikut setan. Bila sabar adalah keteguhan dorongan agama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu, maka peperangan macam ini hanya dimiliki oleh Bani Adam.

 

PASAL

 

[Pembagian Sabar dari Sisi Tinjauannya]

 

Ketahuilah bahwa sabar terbagi menjadi dua:

 

Pertama: Sabar jasmani seperti memikul kesulitan oleh badan, seperti memikul amal-amal yang berat, ibadah-ibadah yang sulit atau selainnya.

 

Kedua: Sabar rohani, yaitu sabar dari dorongan tabiat dan desakan hawa nafsu. Bila sabar menahan syahwat perut dan syahwat kemaluan, maka disebut iffah. Bila sabar dalam perang, maka disebut keberanian. Bila sabar menahan amarah, maka disebut kesantunan. Bila sabar menghadapi musibah yang menyedihkan, maka disebut dada lapang. Bila sabar menyembunyikan sesuatu, maka disebut menjaga rahasia. Bila sabar dengan kehidupan yang berlebih, maka disebut zuhud. Bila sabar dengan kehidupan yang sedikit, maka disebut qana’ah.

 

Adapun dalam menghadapi musibah, maka hanya disebut dengan sabar. Dari apa yang kami sebutkan, diketahui bahwa kebanyakan akhlak iman masuk ke dalam sabar sekalipun nama-namanya berbedabeda sesuai dengan kaitannya.

 

[Kondisi yang Menuntut Bersabar dan Tak Ada Satu Keadaan pun yang Hamba Tidak Membutuhkan Sabar]

 

Ketahuilah bahwa tidak ada satu keadaan pun yang seorang hamba tidak memerlukan sabar. Hal itu karena segala apa yang dihadapinya di dunia ini tidak luput dari dua macam:

 

Pertama: Apa yang sejalan dengan harapannya. Misalnya Kesehatan, keselamatan, harta, kedudukan, anak-anak, kerabat, dan pengikut yang banyak, serta segala bentuk kenikmatan dunia. Seorang hamba tetap memerlukan sabar dalam semua ini. Tidak boleh cenderung kepadanya, tidak tenggelam dalam menikmatinya, karena tetap harus memperhatikan hak Allah pada hartanya dengan berinfak, dan badannya dengan membela (menolong) kebenaran.

 

Bila seorang hamba tidak mengontrol diri sehingga dia tenggelam dalam kenikmatan dan cenderung kepadanya, maka hal itu akan menyeretnya kepada kesombongan dan keangkuhan, sehingga sebagian orang bijak berkata, “Seorang Mukmin bersabar saat menghadapi cobaan dan tidak ada yang dapat bersabar dalam mencari rizki kecuali orang yang shiddiq.”

 

Abdurrahman bin Auf berkata, “Kami diuji dengan kesulitan maka kami bersabar, lalu kami diuji dengan kemudahan tetapi kami tidak bisa sabar.” Karena itu Allah berfirman,

 

“Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.” (Al-Munafiqun: 9).

 

Allah juga berfirman,

 

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan.” (Al-Anfal: 28).

 

Dan Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At. Taghabun: 14).

 

Seorang laki-laki sejati adalah orang yang sabar dalam mencari rizki, sabar ini bersambung dengan syukur. Kesabaran tersebut tidak terwujud kecuali dengan menunaikan hak-hak syukur. Bersabar dj atas kelapangan sangatlah berat, karena ia terikat dengan kemampuan. Orang yang lapar lebih kuat menahan laparnya karena tidak ada makanan daripada ketika makanan lezat ada di depan matanya.

 

Kedua: Apa yang tidak sejalan dengan keinginannya. Ini terbagj menjadi tiga macam:

 

Pertama: Bersabar dalam ketaatan. Seorang hamba memerlukan kesabaran dalam hal ini, karena tabiat jiwa tidak menyukai penghambaan.

 

Di antara ibadah ada yang tidak disukai karena malas seperti shalat, ada yang dibenci karena kikir seperti zakat, dan ada yang dibenci karena keduanya seperti haji dan jihad.

 

Dalam bersabar menjalani ketaatan, seorang yang berjalan menuju akhirat membutuhkan sabar dalam tiga kondisi. Pertama, sebelum beribadah, yaitu meluruskan niat, ikhlas, dan bersabar dari kotorankotoran riya’’. Kedua, saat sedang beribadah, yaitu hendaknya tidak lalai dari Allah saat beribadah, tidak bermalas-malasan dalam mewujudkan adab-adab dan sunnah-sunnah, berusaha senantiasa sabar dari faktor-faktor lemahnya ibadah sampai selesai ibadah. Dan ketiga, pasca ibadah, yaitu sabar dengan tidak menyebarluaskannya, tidak menampakkannya karena riya’’ dan sum’ah, serta segala sesuatu yang membatalkan amalnya. Barangsiapa tidak bersabar setelah sedekah dengan menahan diri dari mengungkit-ungkit dan menyakiti, maka dia sendiri yang menggugurkannya.’

 

Kedua: Bersabar dari kemaksiatan dan betapa butuhnya seorang hamba kepadanya.

 

Bila perbuatan termasuk perbuatan yang mudah dilakukan seperti kemaksiatan lisan berupa gibah, dusta, berdebat, dan lainnya, maka sabar terhadapnya lebih berat. Engkau mungkin melihat seseorang mengingkari orang lain yang memakai kain sutra, namun sepanjang siang lidahnya menggibah, barangsiapa tidak menguasai lidahnya dalam percakapan, maka dia tidak akan mampu bersabar, yang bisa menyelamatkannya hanyalah mengasingkan diri (uzlah).

 

Ketiga: Perkara yang tidak termasuk ke dalam pilihan seperti musibah, misalnya kematian orang yang dicintai, kerusakan harta, butanya mata, sakit, dan ujian-ujian lainnya. Sabar di bidang ini termasuk derajat tertinggi, sebab sandarannya adalah keyakinan.

 

Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan baginya, niscaya Dia menimpakan musibah kepadanya.”

 

Mirip dengan macam ini adalah sabar terhadap gangguan orang lain, seperti orang yang menyakiti dengan perkataan atau perbuatan, atau tindak pidana terhadap jiwa atau harta, sabar dalam hal ini adalah dengan tidak melakukan pembalasan.

 

Sabar terhadap gangguan manusia termasuk derajat tertinggi. Allah berfirman,

 

“Tika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali Imran: 186).

 

Allah  berfirman,

 

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.” (Al-Hijr: 97).

 

Dan Allah juga berfirman,

 

“Akan tetapi jika kamu bersabar, sungguh itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nahl: 126).

 

Diriwayatkan dari Nabi  bahwa beliau bersabda,

 

“Sabar ada tiga: Sabar menghadapi musibah, sabar menjalani ketaatan dan sabar meninggalkan kemaksiatan. Barangsiapa bersabar menghadapi musibah sehingga dia menerimanya dengan kesabaran yang baik, maka Allah menulis untuknya tiga ratus derajat, antara satu derajat dengan yang lainnya adalah seperti antara langit dan bumi. Barangsiapa bersabar dalam menjalani ketaatan, maka ditulis baginya enam ratus derajat, antara satu derajat dengan derajat yang lainnya adalah seperti antara dasar bumi dengan ujung akhir Arasy. Barangsiapa bersabar meninggalkan kemaksiatan, maka Allah menulis untuknya sembilan ratus derajat, antara satu derajat dengan derajat lainnya seperti antara dasar bumi sampai ujung akhir Arasy dua kali.”

 

Hadits-hadits tentang keutamaan sabar sangat banyak, di antaranya apa yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain dari Aisyah , beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang Muslim kecuali Allah melebur kesalahannya karenanya hingga duri yang menusuknya sekalipun.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Tidaklah seorang Muslim ditimpa kelelahan, kepenatan, duka, kesedihan, gangguan dan kegalauan hingga duri yang menusuknya sekalipun kecuali dengan itu Allah melebur kesalahan-kesalahannya.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dalam hadits lain,

 

“Ujian senantiasa menimpa seorang Mukmin atau Mukminah pada raga, harta, dan anaknya, sehingga dia bertemu dengan Allah tanpa membawa satu kesalahan pun.”

 

Dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash beliau berkata, aku pernah bertanya,

 

“Ya Rasulullah, siapa manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi kemudian orang-orang shalih, kemudian orang-orang yang seperti mereka lalu yang seperti mereka, seseorang diuji menurut kadar agamanya, bila agamanya kokoh, maka ujiannya ditambah, bila agamanya lemah, maka diringankan darinya. Ujian senantiasa menimpa seorang hamba sehingga dia berjalan di bumi tanpa menanggung suatu kesalahan pun.”

 

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”

 

Kami juga meriwayatkan dari Nabi #bahwa beliau bersabda,

 

“Allah berfirman, ‘Bila Aku mengirimkan musibah kepada seorang dari hamba-hambaKu pada raga, atau harta, atau anaknya, kemudian dia menerimanya dengan kesabaran yang bagus, maka Aku malu menegakkan timbangan untuknya di Hari Kiamat, atau membeberkan buku catatan amal untuknya’ “

 

 

PASAL

[Adab-Adab Sabar]

 

Di antara adabnya, hendaklah bersabar ketika pertama kali musibah terjadi, berdasarkan sabda Nabi

 

“Sesungguhnya sabar itu hanya ketika pertama kali (musibah menimpa).”

 

Hadits shahih.

 

Di antara adabnya adalah istirja’ saat musibah terjadi, berdasarkan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Muslim.”

 

Di antara adabnya adalah anggota badan dan lisan tenang. Menangis boleh. Sebagian ahli hikmah berkata, “Keluh kesah tidak mengembalikan yang hilang, justru hanya membahagiakan orang yang hasad.”

 

Termasuk sabar yang baik adalah tidak menampakkan dampak musibah yang menimpanya, seperti yang dilakukan oleh Ummu Sulaim istri Abu Thalhah saat anak laki-lakinya meninggal dunia. Hadits ini masyhur dan diriwayatkan dalam Shahih Muslim.

 

Tsabit al-Bunani wie berkata, “Abdullah, anak Mutharrif meninggal dunia, lalu Mutharrif keluar kepada kaumnya dengan baju yang bagus dan dia meminyaki rambutnya, maka kaumnya marah, mereka berkata, ‘Abdullah meninggal dunia tetapi engkau malah berbaju bagus dan meminyaki kepalamu?’ Dia menjawab, ‘Apakah aku harus bersedih sementara Tuhanku telah menjanjikan kepadaku tiga perkara, dan setiap perkara darinya lebih aku cintai daripada dunia dan segala isinya. Allah berfirman,

 

‘Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un;’ mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.’ (Al-Baqarah: 156-157).

 

Mutharrif berkata, ‘Tidak ada sesuatu pun yang akan diberikan kepadaku di akhirat, sekalipun hanya segelas air, kecuali aku berharap ia diambil dariku di dunia’.”

 

Shilah bin Asyyam dalam sebuah peperangan bersama anaknya, dia berkata, “Anakku, majulah dan berperanglah sehingga aku bisa berharap pahala kepada Allah denganmu.” Anaknya maju berperang sehingga dia gugur, lalu Shilah menyusul berperang sehingga gugur, lalu kaum wanita berkumpul kepada istrinya, Mu’adzah al-Adawiyah, tapi dia berkata (menyambut mereka), “Selamat datang bila kalian datang untuk mengucapkan selamat kepadaku, namun bila kalian datang untuk selain itu, maka pulanglah kalian.”

 

Bila musibah mungkin disembunyikan, maka menyembunyikannya termasuk nikmat Allah yang tersembunyi.

 

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Bila seorang hamba sakit, maka Allah mengutus dua malaikat kepadanya, Dia berfirman, ‘Lihatlah apa yang dia ucapkan kepada orang-orang yang menjenguknya.’ Bila dia memuji Allah saat mereka datang kepadanya, maka keduanya melapor kepada Allah dan Dia lebih mengetahui, maka Allah berfirman, ‘Bagi hambaKu, bila Aku mewafatkannya, maka Aku memasukkannya ke dalam surga, bila Aku menyembuhkannya, maka Aku akan menggantinya dengan daging yang lebih baik dari dagingnya, darah yang lebih baik dari darahnya dan Aku melebur kesalahan-kesalahannya’.”

 

Ali berkata,

 

“Termasuk mengagungkan Allah dan mengetahui hakNya adalah engkau tidak mengeluhkan sakitmu dan tidak menyebut-nyebut musibahmu.”

 

Al-Ahnaf berkata, “Aku buta sejak lebih dari empat puluh tahun, namun aku tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun.”

 

Seorang laki-laki berkata kepada Imam Ahmad, “Bagaimana kabarmu wahai Abu Abdullah?” Beliau menjawab, “Baik, dalam keselamatan.” Orang itu bertanya lagi, “Engkau demam tadi malam?” Imam Ahmad menjawab, “Bila aku berkata kepadamu bahwa aku sehat, maka itu sudah cukup bagimu, jangan membawaku kepada apa yang tidak aku sukai.”

 

Syaqigq al-Balkhi  berkata, “Barangsiapa mengadukan musibah yang menimpanya kepada selain Allah, maka dia tidak akan pernah merasakan manisnya ketaatan kepada Allah dalam hatinya selamanya.”

 

Sebagian orang bijak berkata, “Termasuk simpanan kekayaan kebaikan adalah menyembunyikan musibah, mereka dahulu berbahagia dengan musibah karena melihat pahalanya.”

 

Kisah-kisah dari mereka dalam hal ini masyhur, di antaranya:

 

Riwayat yang menyebutkan bahwa manakala Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz wafat, Umar memakamkannya, meratakan kuburnya, kemudian dia berdiri. Orang-orang mengerumuninya, Umar berkata, “Semoga Allah merahmatimu wahai anakku, engkau adalah anak yang berbakti kepada bapakmu. Demi Allah, sejak aku dikaruniai dirimu oleh Allah, aku berbahagia denganmu, tetapi tidak, demi Allah, aku tidak pernah lebih berbahagia kepadamu dan lebih berharap bagian pahalaku di sisi Allah padamu sejak aku meletakkanmu di kubur yang Allah menjadikanmu di dalamnya.”

 

Bila dikatakan, Bila yang dimaksud dengan sabar adalah tidak membenci musibah, maka manusia tidak memiliki kemampuan untuk itu, bila berbahagia dengan musibah sebagaimana yang engkau ceritakan, maka ia lebih sulit lagi.

 

Kami menjawab, Sabar hanya terjadi saat yang diinginkan tidak terjadi dan yang dibenci terjadi, dan seseorang tidak dilarang dari hal yang berada di luar kemampuannya, yaitu kesedihan hati. Akan tetapi yang dilarang adalah apa yang termasuk ke dalam usaha, misalnya merobek saku, menampar pipi, berkata-kata dengan lisan. Adapun apa yang kami sebutkan bahwa sebagian dari mereka malah berbahagia, maka hal itu adalah kebahagiaan syar’i bukan tabiat, karena tabiat tetap tidak menyukai musibah.

 

Misalnya, seorang laki-laki sakit, dokter menyarankannya minum sebuah ramuan untuk sakitnya, dia berusaha mencarinya, mengeluarkan uang untuk itu, manakala dia mendapatkannya, dia berbahagia dengan itu, dia meminumnya dengan harapan sembuh dari sakitnya. Adapun tabiatnya maka dia tetap tidak suka meminumnya sama sekali. Seandainya seorang raja berkata kepada laki-laki miskin, “Setiap kali aku memukulmu dengan tongkat Iunak ini, aku memberimu seribu dinar.” Niscaya si miskin akan terus berharap dipukul, bukan karena pukulan tersebut tidak menyakitinya, akan tetapi karena seribu dinar yang didapatkannya sebagai akibatnya, sekalipun dia lelah karena dipukul. Demikian juga as-Salaf ash-Shalih, mereka melihat pahalanya, sehingga sakitnya ujian terasa ringan bagi mereka.

 

PASAL

OBAT SABAR DAN APA-APA YANG DAPAT MEMBANTU UNTUK BERSABAR

 

Ketahuilah bahwa Allah yang menurunkan penyakit juga menurunkan obatnya dan menjanjikan kesembuhan. Sekalipun sabar itu berat, namun mewujudkannya sangat mungkin, yaitu dengan resep gabungan antara ilmu dengan amal. Dari kedua perkara ini (ilmu dan amal shalih) obat-obat untuk penyakit hati diramu. Setiap penyakit membutuhkan ilmu dan amal yang sesuai dengannya. Bila penyakit berbeda, maka berbeda juga pengobatannya, karena makna pengobatan adalah melawan sakit.

 

Kami berikan sebuah contoh, kami katakan, “Bila seseorang memerlukan sabar dari syahwat jimak, dorongan ini mengalahkannya sehingga dia tidak mampu menguasai hati, mata, dan kemaluannya, maka pengobatannya adalah dengan tiga perkara:

 

Pertama: Berpuasa terus-menerus, dan berbuka hanya dengan sedikit makanan.

 

Kedua: Memangkas sebab-sebab yang mendorongnya. Hawa nafsu ini bergejolak dengan melihat, melihat menggerakkan hati, dan hati menggerakkan hawa nafsu. Obatnya adalah uzlah (mengasingkan diri), lalu berhati-hati terhadap pandangan mata, jangan sampai tertuju kepada gambar-gambar yang menggugah hawa nafsu, karena pandangan mata adalah anak panah iblis yang beracun, yang bisa mencegahnya adalah menutupnya atau berlari menjauh.

 

Ketiga: Menghibur diri dengan sesuatu yang mubah yang sejenis dengan apa yang diinginkan, hal itu dengan menikah. Di balik semua yang haram yang diinginkan oleh tabiat manusia terdapat hal sejenis yang mubah sebagai jalan keluar darinya. Ini adalah pengobatan paling tinggi pada kebanyakan orang, karena memutuskan asupan makanan akan melemahkan dan syahwat itu sendiri tidak bisa dipadamkan dengan selain itu.

 

Manusia patut membiasakan dirinya bermujahadat. Bila seseorang membiasakan dirinya menyelisihi hawa nafsu, maka dia bisa mengalahkannya kapan dia ingin.

 

Ketahuilah, bahwa bentuk sabar dan mujahadat paling berat adalah menahan batin dari pembicaraan jiwa. Hal itu terasa berat bagi siapa yang berkonsentrasi dan beruzlah, karena waswas akan terus menariknya. Tidak ada pengobatan untuk hal ini kecuali dengan memutuskan berbagai ketergantungan, memfokuskan satu tujuan, mengarahkan pikiran kepada kerajaan langit dan bumi, serta keajaiban makhluk Allah serta semua pintu ma’rifat Allah, hingga semua itu bisa menguasai hatinya, maka dan kesibukan tersebut akan menepis godaan dan waswas setan. Bila dia tidak mempunyai perjalanan batin, maka tidak ada yang menyelamatkannya kecuali wirid-wirid yang berkesinambungan berupa membaca al-Qur’an, dzikir, dan shalat. Di samping itu, dia perlu memaksa hati untuk hadir, karena memikirkan dengan batin mengharuskan kehadiran hati bukan hanya wirid-wirid lahir, hal inilah yang mungkin didapatkan dengan mengusahakan dan mengupayakannya.

 

Adapun kadar apa yang tersingkap, sejauh mana karunia Allah  yang mengucur kepadanya dalam bentuk keadaan dan perbuatan, maka hal itu seperti hewan buruan, sesuai dengan bagian rizki yang sudah ditetapkan. Terkadang usaha sedikit tetapi hasil buruannya banyak dan terkadang sebaliknya, usahanya panjang namun hasil buruannya tidak banyak. Sandaran di balik upaya tersebut adalah tarikan dari ar-Rahman yang berhadapan dengan amal-amal jin dan manusia. Hal tersebut bukan pilihan hamba, akan tetapi pilihannya hanya sebatas membuka tarikan tersebut dengan mencampakkan tarikan-tarikan dunia dari hatinya, karena yang ditarik olehnya menuju, 40) ina Jari “tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (At-Tin: 5), tidak ditarik ke “Illiyyin.” (Al-Muthaffifin: 18). Setiap orang yang berambisi terhadap dunia adalah orang yang tertarik kepadanya, memutuskan ketergantungan yang menariknya. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi

 

“Sesungguhnya Tuhan kalian di hari-hari masa kehidupan kalian mempunyai rahmat-rahmat yang berembus, maka hendaklah kalian mencarinya.”

 

Yang patut kita lakukan adalah mengosongkan wadah dan menunggu turunnya rahmat, seperti orang yang mengolah lahan dan mencabuti rumputnya, menaburkan benih di sana. Semua itu tak berguna tanpa hujan dan dia sendiri tidak tahu kapan Allah menurunkan hujan, kecuali bila dia percaya kepada karunia Allah J bahwa Dia tidak akan melewatkan satu tahun tanpa hujan, maka demikian juga tidak ada waktu dalam setahun, dalam sebulan, dan dalam sehari yang bebas dari tarikanNya dan embusan rahmatNya.

 

Seyogianya seorang hamba membersihkan hatinya dari rumput hawa nafsu, menaburkan padanya benih keinginan dan keikhlasan, menyiapkannya untuk menerima embusan angin rahmat, sebagaimana harapan terhadap hujan di musim semi saat awan mendung terlihat sangat kuat. Demikian juga penantian terhadap embusan rahmat itu di waktu-waktu yang mulia, saat konsentrasi terfokus dan hati sedang giat seperti hari Arafah, hari Jum’at dan di bulan Ramadhan. Cita-cita dan embusan-embusan napas adalah sebab diturunkannya rahmat Allah dengan hikmah dan takdirNya.

 

Bagian Kedua: Hakikat Syukur dan Keutamaannya, Berikut Mengingat Nikmat Allah, Bagian-Bagiannya dan Hal-Hal yang Semisal

 

Allah berfirman,

 

“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 145).

 

Allah  juga berfirman,

 

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (An-Nisa’: 147).

 

Allah  juga berfirman,

 

“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (Saba’: 13).

 

Allah memastikan tambahan (nikmat) dengan syukur, Allah  berfirman,

 

“Sungguh jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Ibrahim: 7), bersamaan dengan itu, Allah menggantungkan banyak hal selainnya kepada kehendakNya, seperti FirmanNya,

 

“Maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki.” (At-Taubah: 28).

 

Dan FirmanNya,

 

“Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadaNya, jika Dia menghendaki.” (Al-An’am: 41).

 

Juga Firman Allah,

 

“Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendakiNya.” (Al-Baqarah: 212, Ali Imran: 37, an-Nur: 38 dan asy-Syura: 19).

 

Dan Firman Allah,.

 

“Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” (An-Nisa’: 48, 116).

 

Dan Firman Allah,

 

“Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendakiNya.” (At-Taubah: 15).

 

Manakala iblis mengetahui keutamaan syukur, dia berkata mencela manusia,

 

“Dan Engkau (ya Allah) tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 17).

 

Diriwayatkan bahwa Nabi  shalat malam sampai kedua kaki beliau bengkak, maka Aisyah berkata kepada beliau,

 

“Mengapa engkau melakukan ini sementara Allah telah mengampuni ‘dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.’ (Al-Fath: 2)?” Maka beliau bersabda, ” Maka apakah aku tidak boleh menjadi ‘hamba (Allah) yang banyak bersyukur.’ (Al-Isra’: 3)

 

Dari Mu’adz , beliau berkata,

 

“Rasulullah pernah bersabda kepadaku, ‘Sesungguhnya aku mencintaimu, maka ucapkanlah, ‘Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir (mengingat dan menyebut)Mu, bersyukur kepadaMu, dan beribadah kepadaMu dengan baik’.”

 

PASAL

[Definisi dan Hakikat Syukur]

 

Syukur bisa dengan hati, lisan, dan anggota badan.

 

Bersyukur dengan hati yaitu dengan berniat melakukan kebaikan dan menyembunyikannya dari semua manusia.

 

Bersyukur dengan lisan yaitu dengan memperlihatkan syukur kepada Allah dengan mengucapkan tahmid.

 

Bersyukur dengan anggota badan yaitu dengan menggunakan nikmat-nikmat Allah untuk ketaatan kepadaNya, tidak menggunakannya untuk bermaksiat kepadaNya.

 

Di antara syukur sepasang mata yaitu hendaknya menutup aib setiap Muslim yang engkau lihat, di antara syukur sepasang telinga hendaknya menutup aib yang engkau dengar, semua ini termasuk syukur atas anggota-anggota tersebut.

 

Syukur dengan lisan yaitu dengan menampakkan ridha kepada Allah, hal ini diperintahkan. Rasulullah bersabda,

 

“Membicarakan nikmat-nikmat Allah adalah syukur dan meninggalkannya adalah kufur.”

 

Diriwayatkan bahwa ada dua orang Anshar bertemu, salah satu dari keduanya mengucapkan, “Bagaimana pagi harimu?” Temannya menjawab, “Alhamdulillah.” Lalu Nabi bersabda, “Ucapkanlah seperti ini, “

 

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mengucapkan salam kepada Umar bin al-Khaththab, maka Umar menjawab salamnya, kemudian Umar bertanya kepadanya, “Bagaimana kabarmu pagi ini?” Dia menjawab, “Saya memuji Allah.” Umar berkata, “Inilah yang aku ingin dengar.”

 

As-Salaf ash-Shalih saling bertanya di antara mereka, dan tujuan mereka untuk menampakkan syukur kepada Allah. Sehingga orang yang bersyukur menjadi orang yang taat, demikian pula orang yang membicarakannya.

 

Abu Abdurrahman al-Hubuli  berkata, “Bila seorang laki-laki mengucapkan salam kepada saudaranya, dia bertanya kepadanya,’Apa kabarmu?’ Lalu saudaranya menjawab, ‘Aku memuji Allah kepadamu.’ Maka malaikat yang di kirinya berkata kepada malaikat yang di kanannya, ‘Bagaimana engkau menulisnya?’ Dia menjawab, ‘Aku menulisnya termasuk orang-orang yang memuji Allah’.” Maka Abu Abdurrahman al-Hubuli bila ditanya, “Apa kabarmu?” Maka dia menjawab, “Aku memuji Allah kepadamu dan kepada seluruh makhlukNya.”

 

PASAL

[Membedakan Antara Apa yang Dicintai dan yang Dibenci Allah]

 

Ketahuilah bahwa bersyukur dan meninggalkan kufur tidak terwujud kecuali dengan mengetahui apa yang Allah cintai, karena makna syukur adalah menggunakan nikmat pada apa yang Allah cintai dan makna kufur adalah sebaliknya, bisa dengan tidak menggunakannya atau bisa pula dengan menggunakannya pada apa yang Allah benci.

 

Ada dua sumber untuk membedakan apa yang Allah cintai dengan apa yang Allah benci.

 

Pertama: Sam’i dan sandarannya adalah ayat-ayat.

 

Kedua: Basirah (mata) hati, yaitu melihat dengan mata perenungan. Yang kedua ini sulit dan tidak mudah, karena itu Allah mengutus para rasul, dengan mereka Allah memudahkan jalan-jalan bagi manusia. Mengetahui hal itu dibangun di atas pengetahuan tentang seluruh hukum syariat pada perbuatan-perbuatan manusia. Barangsiapa tidak mengetahui hukum-hukum syariat pada setiap perbuatannya, maka dia sama sekali tidak akan bisa menunaikan hak syukur.

 

Untuk yang kedua ini, yaitu melihat dengan mata perenungan, maksudnya adalah mengetahui hikmah Allah pada setiap makhlukNya ada, karena Allah tidak menciptakan makhluk di alam ini kecuali ada hikmah padanya. Di balik hikmah ada tujuan dan tujuan inilah yang dicintai.

 

Hikmah tersebut terbagi menjadi hikmah jelas dan hikmah tersembunyi.

 

Hikmah yang jelas, seperti alam semesta; matahari diciptakan adalah agar terwujud siang dan malam, sehingga 

 

“siang untuk mencari penghidupan.” (An-Naba‘: 11), dan malam untuk istirahat. Gerak-gerik akan mudah saat melihat (siang hari) dan ketenangan mudah tercapai saat tertutup (malam hari). Dan ini di antara hikmah matahari secara global, bukan seluruh hikmahnya, demikian juga perlu mengetahui hikmah mendung dan turunnya hujan.

 

Adapun hikmah penciptaan bintang-bintang, maka hal tersebut tersembunyi, tidak diketahui oleh setiap makhluk, bisa jadi mereka mengetahui sebagian dari hikmahnya, misalnya sebagai perhiasan langit.

 

Seluruh bagian alam tidak luput dari hikmah, sekecil apa pun. Demikian juga anggota tubuh hewan. Di antaranya ada yang hikmahnya diketahui secara jelas seperti mata untuk melihat, tangan untuk melakukan pekerjaan dan kaki untuk berjalan.

 

Adapun anggota-anggota batin seperti empedu, ginjal dan hati, urat-urat, saraf-saraf, rongga-rongganya, lunak dan kerasnya, maka tidak semua orang mengetahui hikmahnya, dan orang-orang yang mengetahuinya hanya mengetahui kadar yang sedikit bila dibandingkan dengan ilmu Allah. Barangsiapa menggunakan sesuatu untuk suatu kepentingan yang bukan kepentingan yang menjadi tujuan Allah menciptakan sesuatu itu, dan bukan dengan cara yang dimaksud, maka dia telah kufur kepada nikmat Allah padanya. Barangsiapa memukul orang lain dengan tangannya tanpa alasan yang benar, maka dia telah kufur kepada nikmat Allah pada tangannya, karena ia diciptakan untuk mencegah apa yang dapat menyakiti diri dan mengambil apa yang bermanfaat, bukan untuk menyakiti orang lain dengannya. Demikian juga dengan mata, bila pemiliknya melihat apa yang diharamkan, maka dia telah kufur kepada nikmatnya dan juga nikmat matahari, karena mata dapat melihat dengan bantuan cahayanya, mata dan matahari diciptakan untuk digunakan melihat apa yang berguna dalam urusan agama dan dunia, menjaga dari apa yang berbahaya dalam urusan dunia dan agama.

 

Ketahuilah bahwa yang menjadi tujuan penciptaan makhluk, penciptaan dunia, dan sarana-sarananya, adalah agar makhluk menggunakannya sebagai sarana untuk bisa sampai kepada Allah, dan sampai kepada Allah ini tidak terwujud kecuali dengan mencintaiNya,. merasa tenteram denganNya di dunia, dan menjauhi tipu daya dunia. Tidak ada ketenteraman kecuali dengan senantiasa berdzikir. Tidak ada kecintaan kecuali dengan ma’rifat yang dipetik dari senantiasa berpikir. Tidak mungkin berpikir dan berdzikir secara berkesinambungan kecuali dengan terpeliharanya raga, dan raga tidak hidup kecuali dengan bumi, air dan udara; semua itu adalah demi raga, dan raga adalah kendaraan bagi jiwa, dan yang pulang kepada Allah adalah

 

“jiwa yang tenang.” (Al-Fajr: 27), dengan ibadah dan ma’rifat yang panjang, karena itu Allah berfirman,

 

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” (Adz-Dzariya’t: 56).

 

Barangsiapa memakai sesuatu bukan untuk ketaatan kepada Allah, maka dia telah kufur kepada nikmat Allah pada seluruh sarana yang dibutuhkannya, karena dia melakukan kemaksiatan tersebut.

 

Kami sebutkan satu contoh dari hikmah yang tersembunyi tidak terlalu samar agar dapat diambil pelajaran darinya, diketahui jalan syukur dan kufur terhadap nikmat-nikmat tersebut. Kami katakan,

 

Di antara nikmat-nikmat Allah adalah penciptaan dirham dan dinar, yang keduanya adalah pilar penyangga hidup. Keduanya hanyalah barang tambang yang tidak ada manfaatnya dari sisi bendanya. Akan tetapi manusia membutuhkan keduanya dari sisi karena seluruh manusia memerlukan banyak barang untuk makan, minum, pakaian, kendaraan dan hajat-hajat lainnya. Terkadang seseorang tidak bisa memenuhi apa yang dibutuhkan tetapi dia memiliki apa yang tidak dia butuhkan, seperti orang yang memiliki minyak wangi za’faran dalam jumlah tertentu dan dia memerlukan unta sebagai kendaraannya. Sementara orang lain mempunyai unta dan bisa jadi dia tidak memerlukannya dan dia memerlukan minyak wangi za’faran, maka keduanya dituntut oleh hajat untuk saling menukar yang menuntut penentuan kadar pembayaran, karena pemilik unta tidak akan melepas untanya untuk mendapatkan minyak za’faran seluruhnya karena tidak ada kesesuaian harga antara za’faran dengan unta sehingga bisa dibayarkan semisalnya dari sisi timbangan dan bentuknya.

 

Demikian juga siapa yang membeli rumah dengan pakaian, atau hamba sahaya dengan sepatu khuf, atau tepung dengan keledai; semua ini, tidak ada kesepadanan harga antara keduanya, maka Allah menciptakan dirham dan dinar sebagai penengah antara harta-harta lainnya sehingga harta-harta tersebut diukur dengan keduanya, maka dikatakan unta ini seharga seratus, minyak wangi za’faran dengan jumlah sekian berharga seratus, sehingga terwujud kesamaan di antara keduanya. Kesamaan di antara keduanya ini terwujud dengan (perantara) emas dan perak, karena tujuan kepemilikan atas keduanya bukan pada emas dan perak, karena bila tujuan itu ada pada emas dan perak, niscaya urusan hidup tidak teratur. Allah menciptakan keduanya sehingga keduanya beredar di tengah-tengah manusia dan menjadi penengah di antara harta-harta dengan setara, menjadikan keduanya bernilai dari sisi zatnya dan menjadikan standar yang sama atas hartaharta lainnya. Barangsiapa yang memiliki keduanya, maka seolah-olah memiliki segala sesuatu.

 

Bila engkau telah mengetahui hikmah keduanya, maka siapa pun yang melakukan tindakan pada keduanya yang menyelisihi maksud keduanya, tidak sesuai dengan hikmah keduanya, berarti dia telah kufur kepada nikmat Allah pada keduanya. Barangsiapa menimbunnya, maka dia telah menggugurkan fungsinya dan menggugurkan hikmah yang ada pada keduanya. Dia seperti orang yang memenjarakan seorang hakim di tengah-tengah kaum Muslimin sehingga dia tidak bisa mengadili berbagai perkara karenanya, karena dia telah menyia-nyiakan keduanya dan mencegah peredarannya di tengah-tengah manusia. Manakala banyak manusia tidak mampu membaca tulisan-tulisan Ilahi yang tertulis dalam lembaran-lembaran alam semesta dengan alur Ilahi yang tidak terbaca dengan mata telanjang akan tetapi dengan mata basirah, maka Allah mengabarkan kepada mereka dengan sebuah Firman yang mereka dengar melalui utusanNya, Allah berfirman,

 

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah: 34).

 

Barangsiapa membuat bejana dari emas dan perak, maka dia telah kufur kepada nikmat Allah pada keduanya, karena orang ini lebih buruk keadaannya daripada orang yang menimbunnya. Permisalannya seperti penduduk sebuah negeri yang memerintahkan pemimpin mereka untuk menenun, menyapu, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan orang-orang rendahan. Hal itu karena besi, tembaga, tembikar, dan lainnya bisa menggantikan fungsi emas dan perak dalam menampung benda-benda cair, dan benda-benda tersebut tidak bisa menggantikan fungsi emas dan perak sebagai nilai dari berbagai macam barang. Barangsiapa tidak memahami hikmah ini dengan rahmat Ilahiah, maka dikatakan kepadanya,

 

“Barangsiapa minum dari bejana emas dan perak, maka sesungguhnya dia mendidihkan api Neraka Jahanam dalam perutnya.”

 

Demikian juga orang yang bermuamalah dengan riba pada dirham (perak) dan dinar (emas), dia telah mengeluarkan dari fungsi keduanya, ini adalah contoh dari hikmah yang tersembunyi dari hikmah-hikmah emas dan perak.

 

Seyogianya engkau menimbang syukur dan kufur nikmat dengan contoh ini pada segala urusanmu selainnya, dalam gerak dan diammu, ucapanmu dan diammu pada setiap perkara yang terjadi darimu, syukur atau sebaliknya yaitu kufur; yang sebagian manusia menyebutnya dengan makruh dan sebagian lagi menyebutnya haram.

 

Di antaranya adalah bahwa Allah menciptakan dua tangan untukmu, dan menjadikan salah satunya lebih kuat dari yang lain, dengan kekuatan lebih itu ia berhak mendapatkan sisi lebih dan kemuliaan atas yang lain. Allah yang memberimu dua tangan yang dibutuhkan sesuai dengan pekerjaan, sebagian darinya pekerjaan yang mulia seperti mengambil mushaf, sebagian lagi pekerjaan yang rendah seperti menghilangkan najis. Bila engkau mengambil mushaf dengan tangan kiri dan menghilangkan najis dengan tangan kanan, maka engkau telah menyelisihi maksud; engkau memperlakukan yang mulia untuk sesuatu yang rendah, berarti engkau telah menzhaliminya.

 

Demikian juga pada sepasang kaki, bila memulai dengan yang kiri ketika memakai sepatu, maka kamu menzhalimi yang kanan, karena sepatu adalah pelindung kaki. Silakan mengiaskan yang lain dengannya.

 

Demikian juga kami katakan, “Barangsiapa yang mematahkan dahan pohon bukan karena alasan yang penting dan tujuan yang benar, maka dia telah menyelisihi hikmah dari penciptaan pohon, karena ia diciptakan untuk dimanfaatkan. Bila mematahkannya dengan tujuan yang benar maka tidak mengapa, tapi bila seseorang melakukan hal itu pada hak milik orang lain, maka dia zhalim sekalipun dia membutuhkan kecuali dengan izin pemiliknya.”

 

PASAL

HAKIKAT NIKMAT DAN BAGIAN-BAGIANNYA

 

Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan disebut dengan nikmat. Akan tetapi nikmat hakiki adalah kebahagiaan akhirat, menamakan selainnya sebagai nikmat adalah bentuk kelonggaran. Semua perkara bila disandarkan kepada kita terbagi menjadi empat bagian.

 

Pertama: Bermanfaat di dunia dan di akhirat sekaligus, seperti ilmu dan akhlak mulia; inilah nikmat hakiki.

 

Kedua: Berbahaya di dunia dan di akhirat; inilah musibah dalam arti sesungguhnya.

 

Ketiga: Bermanfaat saat ini namun berbahaya untuk masa datang, seperti mengumbar hawa nafsu dan mengikuti syahwat; ini adalah musibah bagi orang-orang yang mengetahui, sementara orang bodoh memandangnya sebagai nikmat.

 

Misalnya orang lapar menemukan madu yang beracun, dia menganggapnya nikmat bila dia tidak tahu. Bila dia tahu maka dia sadar bahwa itu adalah kematian.

 

Keempat: Berbahaya saat ini namun bermanfaat untuk masa datang, ia adalah nikmat bagi orang-orang yang berakal dan musibah bagi orang-orang bodoh.

 

Misalnya, obat yang sangat pahit rasanya saat ini namun menyembuhkan dari berbagai penyakit untuk masa depan. Anak kecil yang belum tahu, saat dia diminta meminumnya, maka dia menyangkanya musibah, sementara orang yang berakal memandangnya nikmat. Demikian juga saat seorang anak memerlukan bekam, bapaknya mengajaknya dan memerintahkannya karena bapaknya melihat harapan kesembuhan di balik itu. Sementara ibu berusaha mencegah karena cinta dan kasih sayangnya kepadanya, karena ibu tidak mengetahui kemaslahatan yang ada di belakangnya, seorang anak mengikuti pendapat ibunya karena kebodohannya dan lebih cenderung kepadanya bukan kepada bapaknya, malah memandang bapaknya sebagai musuh. Seandainya anak ini sudah berakal, niscaya dia mengetahui bahwa sesungguhnya ibu adalah musuh batin dalam bentuk kawan, sebab tindakannya yang menghalangi bekam menyeretnya kepada penyakit-penyakit yang lebih berat daripada berbekam. Teman yang bodoh lebih berbahaya daripada musuh yang berakal, semua manusia adalah teman dirinya, akan tetapi jiwa adalah kawan yang bodoh, karena itu ia melakukan apa yang tidak dilakukan oleh musuh.

 

PASAL

BANYAKNYA NIKMAT ALLAH, DATANG SILIH BERGANTI TAK TERHITUNG DAN TAK TERHINGGA

 

Ketahuilah bahwa nikmat terbagi menjadi nikmat yang merupakan tujuan yang dicari secara zatnya dan nikmat yang dicari demi tujuan lain.

 

Yang dicari sebagai tujuan adalah kebahagiaan akhirat. Intisarinya kembali kepada empat perkara, keabadian tidak ada kefanaan padanya, kebahagiaan tidak ada kesedihan padanya, ilmu tidak ada kebodohan padanya, kekayaan tidak ada kemiskinan sesudahnya. Ini adalah kebahagiaan sejati.

 

Yang dicari demi tujuan lain adalah sarana-sarana menuju kebahagiaan di atas. Ia terbagi menjadi empat:

 

Yang pertama dan paling tinggi, adalah nikmat-nikmat jiwa seperti iman dan akhlak yang baik.

 

Kedua, nikmat-nikmat badan berupa kekuatan, kesehatan, dan lainnya.

 

Ketiga, nikmat-nikmat yang meliputi badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga. .

 

Keempat, sebab-sebab yang mengumpulkannya dengan perkara yang sesuai dengan berbagai keutamaan berupa hidayah, bimbingan, pengarahan, dan pertolongan. Semua ini adalah nikmat-nikmat besar.

 

Bila dikatakan, Bagaimana jalan akhirat memerlukan nikmatnikmat luar pada harta, kedudukan, dan sepertinya?

 

Kami menjawab, Harta, kedudukan dan Jain-lainnya adalah seperti sayap yang mubah, dan sebagai alat yang digunakan untuk meraih suatu tujuan.

 

Harta, bila pencari ilmu tidak mempunyai bekal harta yang cukup, maka dia seperti orang yang masuk ke medan perang tanpa senjata, karena dia akan menghabiskan waktunya untuk mencari makan, hal itu menyibukkannya dari ilmu, dzikir, berpikir, dan lain-lainnya.

 

Lalu kedudukan, dengannya seseorang dapat menolak kehinaan dan kezhaliman orang terhadap dirinya, karena manusia tidak luput dari musuh yang menyakitinya dan orang zhalim yang mengganggunya, sehingga menyibukkan hatinya. Padahal hati adalah modal utamanya; dan kesibukan-kesibukan ini bisa ditepis dengan kedudukan dan kemuliaan.

 

Kemudian kesehatan, kekuatan, umur panjang dan sepertinya adalah nikmat, karena ilmu dan amal tidak terealisasi tanpa semua itu.

 

Nabi bersabda,

 

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu padanya: kesehatan dan waktu luang.”

 

“Manakala beliau ditanya, ‘Siapa manusia yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya’ .”

 

Harta dan kedudukan, sekalipun keduanya merupakan nikmat, tetapi kami telah menyebutkan mudarat keduanya dan keduanya tidak tercela secara mutlak.

 

Sedangkan petunjuk, pengarahan, bimbingan dan pertolongan, maka tidak samar bahwa semua ini merupakan nikmat paling agung. Tidak seorang pun yang tidak membutuhkan taufik dari Allah, karena itu ada yang berkata,

 

Bila tidak ada pertolongan Allah kepada si pemuda maka kebanyakan perkara yang merugikannya adalah usahanya sendiri.

 

PASAL

 

[Contoh yang Menunjukkan Banyak Nikmat Allah  Datang Silih Berganti Tak Terhitung dan Tak Terhingga]

 

Ketahuilah bahwa kami sudah menyebutkan sejumlah nikmat Allah, dan kami telah menetapkan bahwa kesehatan badan adalah salah satu nikmat pada tingkatan kedua. Bila kita hendak menyebutkan secara terperinci sebab-sebab yang mewujudkan nikmat ini, niscaya kita tidak akan sanggup. Akan tetapi salah satu sebab kesehatan adalah makan. Kami akan menyebutkan beberapa contoh sebab yang dengannya makan terjadi dengan sempurna sebagai isyarat bukan secara terperinci.

 

[Nikmat-Nikmat Allah pada Penciptaan Perangkat Indrawi]

 

Kami katakan, “Di antara nikmat Allah kepadamu yaitu Dia menciptakan indra perasa, alat penggerak dalam mencari makan. Lihatlah penyusunan hikmah Allah pada panca indra, alat intuitif.

 

Yang pertama adalah indra perasa. Inilah indra pertama yang diciptakan pada makhluk hidup. Tingkatan paling rendahnya adalah merasakan apa yang menempelnya, lebih dari itu tentu lebih sempurna. Engkau perlu menyentuh (meraba) untuk dapat mengetahui apa yang jauh darimu, maka Allah menciptakan untukmu indra penciuman yang dengannya engkau dapat mencium bau dari jauh. Akan tetapi engkau tidak tahu dari mana bau itu, lalu engkau harus berputar-putar untuk menemukan bau yang engkau cium. Bisa jadi engkau tidak menemukannya, maka Allah menciptakan untukmu indra penglihatan yang dengannya engkau dapat mengetahui benda yang jauh darimu. Engkau mengetahui arahnya dan bisa menuju ke sana. Hanya saja bila Allah tidak menciptakan untukmu kecuali ini tentu engkau adalah makhluk yang kurang, karena dengan itu engkau tidak mengetahui apa yang ada di balik dinding dan tabir. Bisa jadi musuh menyerangmu dari balik tabir, mendekat kepadamu sebelum engkau menyingkap tabir, sehingga engkau tidak berhasil menyelamatkan diri, maka Allah menciptakan untukmu pendengaran sehingga dengannya engkau mengetahui suara-suara dari balik tabir saat ada gerakan. Ini pun belum cukup seandainya Allah tidak menciptakan indra perasa, karena dengannya engkau mengetahui apa yang sesuai denganmu dan apa yang membahayakanmu. Berbeda dengan pohon, setiap cairan yang disiramkan ke akarnya tidak dirasakan kemudian diserapnya dan bisa jadi cairan itu malah menjadi sebab kematiannya. Kemudian Allah memuliakanmu dengan sifat yang lain yang lebih mulia dari semuanya, yaitu akal, dengannya engkau mengetahui makanan dan manfaatnya, mengetahui apa yang berbahaya bagimu di masa yang akan datang, dengannya engkau mengetahui cara memasak makanan, resepnya dan menyediakan bahan-bahannya. Lalu engkau mengambil manfaat darinya dengan memakannya yang merupakan sebab kesehatanmu. Ini adalah faedah paling rendah dari akal dan hikmah teragung darinya agar dengannya kamu mengetahui Allah.

 

Panca indra yang kami sebutkan, adalah sebagian dari perangkat intuisi dalam tubuh kita. Jangan sangka bahwa kami telah menyebutkan semuanya dalam hal ini, penglihatan adalah satu indra, sementara alatnya adalah mata yang disusun dari sepuluh lapisan yang berbedabeda, sebagian darinya zat-zat lembab, sebagian selaput-selaput yang bermacam-macam. Setiap lapisan dari sepuluh lapisan itu memiliki sifat, bentuk, ciri, wujud, penataan, dan susunan. Seandainya satu lapisan darinya atau satu sifat darinya tidak berfungsi, niscaya penglihatan juga tidak berfungsi. Seluruh dokter tidak mampu mengobatinya. Ini baru satu indra, silakan engkau menganalogikan indra pendengaran dan indra-indra lainnya. Hal itu tentu tidak akan cukup dipaparkan hanya dalam beberapa jilid, lalu bagaimana pendapatmu dengan sekujur badan?

 

[Bentuk-Bentuk Nikmat di Balik Penciptaan Iradah (Kehendak)]

 

Kemudian setelah itu, lihatlah kepada penciptaan kehendak dan kesanggupan (kuasa) dan alat-alat penggerak yang termasuk bentukbentuk nikmat. Seandainya Allah menciptakan penglihatan untukmu sehingga dengannya engkau mengetahui makanan, tetapi Allah tidak menciptakan dalam tabiatmu dorongan kepadanya atau nafsu selera yang menggugahmu untuk bergerak, niscaya penglihatan hanya sebatas penglihatan. Berapa banyak orang sakit yang melihat makanan, yang itu sangat berguna baginya, dia sama sekali tidak mau menyantapnya karena nafsu makannya hilang. Maka Allah menciptakan untukmu nafsu makan dan meletakkannya dalam tubuhmu seperti alarm yang memaksamu untuk menyantap makanan.

 

Kemudian seandainya nafsu makan ini tidak juga reda saat kadar makanan yang disantap sudah cukup, niscaya engkau berlebih-lebihan dan bisa mencelakakan dirimu sendiri. Maka Allah menciptakan untukmu ketidakinginan kepada makanan ketika kenyang sehingga engkau meninggalkannya. Demikian juga yang terjadi pada nafsu kepada lawan jenis dalam rangka menjaga keturunan.

 

[Nikmat Allah yang Menciptakan Kesanggupan (Kemampuan) dan Alat-Alat Penggerak]

 

Kemudian Allah menciptakan anggota tubuh untukmu yang merupakan alat penggerak dalam menyantap makanan dan lainnya. Di antaranya adalah kedua tangan. Keduanya terdiri dari banyak persendian, sehingga bisa bergerak leluasa, mengulur dan membengkok dan tidak seperti kayu keras yang tidak bisa dibelokkan.

 

Kemudian Allah menjadikan ujung tangan, yaitu telapaknya, lebar, membaginya lima bagian, yaitu jari-jari, menjadikannya berbeda-beda dari sisi panjang dan pendek, meletakkannya dalam dua sisi. Ibu jari berada di sisi dan berputar kepada jari-jari lainnya. Seandainya jari-jari menyatu dan menempel, niscaya fungsinya tidak maksimal. Kemudian Allah menciptakan kuku dan meletakkannya di ujung jari agar jari menjadi kuat dengannya. Dengannya, engkau bisa memungut bendabenda kecil yang tidak bisa engkau lakukan dengan jari.

 

Anggaplah engkau telah mengambil makanan dengan tangan, itu belum cukup sebelum masuk ke dalam perut. Maka Allah membuat untukmu mulut dan sepasang rahang, Allah menciptakannya dari dua tulang, di sana Allah menyusun gigi-gigi, membaginya sesuai dengan kebutuhan makanan, ada yang memotong seperti gigi seri, ada yang mematahkan seperti gigi taring, ada yang menggiling seperti gigi geraham. Allah menjadikan rahang bawah bergerak secara teratur sementara rahang atas tetap dan tidak bergerak. Perhatikanlah keajaiban-keajaiban ciptaan Allah ini, semua penggilingan yang dibuat manusia, batu atasnya bergerak dan batu bawahnya diam, kecuali penggilingan yang Allah buat, yang bawah bergerak bukan yang atas, sebab bila yang atas ikut bergerak, niscaya ia berisiko terhadap anggota-anggota yang ada padanya.

 

Kemudian perhatikanlah bagaimana Allah memberimu nikmat lidah, dapat bergerak di segala sudut mulut, mengembalikan makanan dari tengah ke gigi menurut kebutuhan seperti sendok yang menyuplai makanan ke penggilingan, di saamping pada lidah juga terdapat kekuatan berbicara.

 

Anggaplah engkau memotong-motong makanan dan mencampurnya saat ia kering, maka engkau tidak akan mampu menelannya ke tenggorokan kecuali dengan bantuan pembasah.

 

Lihatlah bagaimana Allah menciptakan mata air di bawah lidah yang menyuplai mulut dengan air ludah, ia keluar sesuai dengan kebutuhan sehingga makanan bisa dilunakkan.

 

Kemudian makanan yang sudah dikunyah dan dicampur ini, siapa yang akan memasukkannya ke dalam perut dari mulut? Tidak mungkin menggunakan tangan, maka Allah menciptakan pangkal tenggorokan sebagai jalan makanan dan minuman, Allah menjadikan pangkalnya bertingkat-tingkat yang akan terbuka (secara otomatis) untuk mengambil makanan, kemudian ia tertutup dan menekan mendorong makanan, maka makanan turun melalui kerongkongan menuju ke perut. Bila makanan sudah masuk ke dalam perut, roti dan buah yang sudah terpotong-potong, tidak langsung menjadi tulang, daging, dan darah dalam bentuk tersebut sebelum diolah secara sempurna, maka Allah menjadikan perut dalam bentuk (fungsi) bejana sebagai tempat makanan, ia menampungnya dan menutup pintunya selanjutnya makanan diolah dengan panas yang diambil dari empat organ lain, yaitu hati dari sisi kanannya, limpa dari sisi kirinya, lemak penutup perut dari depannya dan daging tulang sulbi dari belakangnya. Maka makanan itu matang dan menjadi bahan cair yang satu yang bisa terserap ke rongga-rongga aliran darah kemudian darinya makanan menuju hati dan bersemayam padanya yang kemudian kembali dimatangkan lagi, kemudian disebar ke seluruh anggota tubuh, sehingga yang tersisa adalah ampas yang dibuang.

 

Bila kami membicarakan masalah ini secara terperinci niscaya akan panjang.

 

Pada manusia terdapat otot-otot dan aliran-aliran darah yang tidak terhitung, bermacam-macam besar dan kecilnya, lunak dan kerasnya, tidak ada sesuatu pun darinya kecuali terdapat hikmah. Semua itu dari Allah, seandainya urat yang diam bergerak dan urat yang bergerak diam, maka engkau akan mati wahai orang Iemah.

 

Lihatlah nikmat-nikmat Allah kepadamu agar hal itu mendorongmu untuk bersyukur. Sungguh engkau tidak mengetahui nikmatnikmat Allah kecuali nikmat makan yang merupakan nikmat paling rendah, kemudian engkau tidak mengetahuinya kecuali ketika engkau lapar lalu makan. Hewan juga tahu bahwa jika lapar lalu makan, lelah lalu istirahat, melampiaskan nafsu lawan jenisnya. Bila engkau tidak mengetahui dirimu kecuali seperti yang diketahui oleh keledai, lalu bagaimana engkau menunaikan kewajiban syukur kepada Allah? Keterangan singkat yang kami isyaratkan ini hanya setetes dari samudra nikmat-nikmat Allah, silakan menganalogikan yang lainnya dengannya.

 

Nikmat-nikmat Allah yang kita ketahui dan diketahui oleh makhluk dibandingkan dengan nikmat yang tidak mereka ketahui lebih sedikit daripada setetes air dari samudra. Allah berfirman,

 

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Ibrahim: 34 dan an-Nahl: 18).

 

PASAL

[Nikmat-Nikmat Allah pada Bahan Pokok Makanan]

 

Ketahuilah bahwa bahan pokok makanan itu banyak dan bermacam-macam, Allah mempunyai keajaiban-keajaiban yang tak terhingga dalam penciptaannya.

 

Bahan pokok makanan terbagi menjadi makanan, obat-obatan, buah-buahan, dan lainnya.

 

Kami akan berbicara tentang sebagian makanan. Bila engkau mempunyai sedikit gandum, engkau memakannya, ia habis dan engkau masih merasa lapar, maka engkau sangat memerlukan sebuah pekerjaan yang bisa mengembangkannya sehingga menjadi berlipat ganda sehingga cukup memenuhi kebutuhanmu, yaitu dengan menanamnya, menaburkannya ke tanah yang mengandung air, airnya ini bercampur dengan tanah sehingga ia menjadi lumpur, kemudian tanah dan air saja tidak cukup, sebab bila tanah dibiarkan apa adanya dan keras, maka gandum tidak tumbuh sebab tidak ada udara, maka biji-biji gandum harus di Ietakkan di tanah yang gembur yang udara bisa masuk ke dalamnya, kemudian udara ini tidak bergerak sendiri ke sana, ia memerlukan angin untuk menggerakkannya dan meniupnya dengan kuat ke permukaan tanah sehingga ia menyusup ke dalamnya, kemudian semua itu belum cukup, ia masih memerlukan panas musim semi dan musim panas, sebab bila udara sangat dingin, maka ia tidak tumbuh (dengan baik).

 

Kemudian lihatlah kepada air yang dibutuhkan dalam pertanian ini, bagaimana Allah menciptakannya? Allah memancarkan mata air dan mengalirkan sungai-sungai darinya, karena sebagian tanah adalah dataran tinggi yang tidak tersentuh air, maka Allah mengirimkan awan kepadanya, meniupkan angin kepadanya agar dengan izinNya mencakup seluruh bagian alam, ia adalah awan mendung yang berat, kemudian Allah menurunkannya dengan deras ke bumi saat dibutuhkan.

 

Lihatlah bagaimana Allah menciptakan gunung-gunung sebagai penyimpan air, lalu mata air memancar darinya secara bertahap, seandainya ia memancar sekaligus, niscaya akan menyebabkan banjir, tanaman dan lainnya akan rusak binasa.

 

Lihatlah bagaimana Allah menciptakan matahari dan menundukkannya dengan jaraknya yang jauh dari bumi, menghangatkan bumi di satu waktu dan tidak di lain waktu, agar ada dingin saat dibutuhkan dan ada panas saat diperlukan.

 

Allah menciptakan bulan dan menjadikan kelembaban sebagai ciri khasnya, sebagaimana Allah menjadikan kehangatan sebagai ciri khas matahari, ia mematangkan buah-buahan dengan ketentuan dari Allah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Lihatlah semua bintang yang Allah ciptakan di langit, ia ditundukkan oleh Allah untuk sebuah faedah, sebagaimana ditundukkannya matahari dan bulan. Setiap benda tersebut tidak luput dari hikmah-hikmah yang banyak, yang kekuatan manusia tidak mampu menghitungnya. Demikian juga matahari dan bulan, pada keduanya terdapat hikmah-hikmah lain selain apa yang telah kami sebutkan yang tidak terhingga.

 

Karena tidak semua makanan bisa ditemukan di semua tempat, Allah menyediakan para pedagang, Allah menanamkan pada diri mereka keinginan untuk mengumpulkan uang, padahal biasanya ia tidak berguna bagi mereka sedikitpun, karena mereka hanya sebatas mengumpulkan harta. Bisa jadi kapal mereka tenggelam sehingga harta mereka ikut tenggelam atau dicegat perampok yang merampas harta mereka atau mereka mati di perantauan, maka harta mereka disita oleh penguasa, kemungkinan terbaik adalah harta tersebut berpindah ke tangan ahli waris mereka padahal mereka, adalah musuh yang paling keras permusuhannya bila mereka menyadari.

 

Lihatlah bagaimana Allah menanamkan harapan dan kelalaian pada mereka sehingga mereka merasakan tantangan berat dalam mencari laba saat menyeberangi lautan dan melintasi daerah-daerah berbahaya, mereka membawa makanan dan berbagai hajat dari ujung barat dan ujung timur kepadamu.

 

[Sebab yang Memalingkan Manusia dari Bersyukur]

 

Ketahuilah bahwa tidak melalaikan manusia dari kewajiban syukur kecuali karena kebodohan dan kelalaian. Karena kebodohan itu mereka terhalangi untuk mengetahui berbagai macam nikmat. Mensyukuri nikmat-nikmat tidak akan terwujud kecuali setelah mengetahuinya. Kemudian bila mereka mengetahui nikmat-nikmat, maka mereka mengira bahwa mensyukurinya adalah cukup dengan ucapan lisan salah seorang dari mereka, “Alhamdulillah dan puji syukur bagi Allah.” Mereka tidak mengetahui bahwa makna syukur adalah menggunakan nikmat dalam rangka menyempurnakan hikmah sesuai tujuannya, yaitu ketaatan kepada Allah.

 

Lalai dari nikmat-nikmat Allah mempunyai sebab-sebab.

 

Pertama: Manusia, karena kebodohan mereka sendiri, tidak menganggap apa yang mereka peroleh dalam segala keadaan hidup sebagai nikmat, dan karena itu mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat yang telah kami sebutkan di atas, karena itu terjadi umum untuk seluruh manusia, diberikan cuma-cuma kepada mereka pada segala keadaan mereka. Seseorang tidak melihatnya sebagai sebuah kekhususan yang diberikan kepadanya sehingga dia tidak menganggapnya sebagai nikmat. Engkau melihat mereka tidak mensyukuri nikmat udara, padahal seandainya leher mereka dicekik sesaat sehingga udara tidak bisa masuk ke dalam tubuh mereka, niscaya mereka mati. Seandainya mereka ditahan dalam sumur, atau pemandian, niscaya mereka mati dalam kecemasan. Bila salah seorang dari mereka diuji dengan sesuatu darinya, kemudian selamat, maka dia baru melihatnya sebagai nikmat Allah yang patut disyukuri. Ini adalah puncak kebodohan, karena syukur mereka harus menunggu diambilnya nikmat dari mereka terlebih dahulu kemudian dikembalikan lagi kepada mereka di sebagian keadaan, Padahal nikmat-nikmat di segala keadaan lebih patut untuk disyukuri. Maka engkau tidak melihat orang yang melihat mensyukuri nikmat penglihatan kecuali pada saat dia sudah buta. Bila penglihatannya dikembalikan, maka dia merasakan nikmat. Dia mensyukurinya dan menganggapnya sebagai nikmat. Dia seperti budak buruk yang selalu dicambuk, bila cambukan dihentikan sesaat, maka dia berterima kasih dan menganggapnya sebagai nikmat. Bila sama sekali tidak dicambuk, maka kesombongan menguasainya dan enggan bersyukur. Manusia tidak bersyukur kecuali atas apa yang menjadi miliknya di masa datang secara khusus bisa karena sisi banyak dan sedikitnya. Mereka melupakan seluruh nikmat Allah kepada mereka.

 

Sebagian orang miskin mengadukan kemiskinannya kepada sebagian orang berilmu. Si miskin memperlihatkan kesedihannya yang mendalam atas keadaannya. Maka orang berilmu itu bertanya kepadanya, “Maukah engkau mempunyai sepuluh ribu dirham tapi buta?” Dia menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Maukah engkau mempunyai sepuluh ribu dirham tapi bisu?” Dia menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Maukah engkau mempunyai dua puluh ribu dirham tapi kedua tangan dan kakimu terpotong?” Dia menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Maukah engkau mempunyai sepuluh ribu dirham tapi gila?” Dia menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Apakah engkau tidak malu mengadu kepada Allah sementara engkau mempunyai kekayaan seharga lima puluh ribu?”

 

Dikisahkan bahwa sebagian orang miskin ditimpa kemiskinan yang sangat sehingga dia hampir berputus asa, dalam mimpi dia melihat seseorang berkata kepadanya, “Engkau mau kehilangan Surat alAn’‘am dan engkau mendapatkan seribu dinar?” Dia menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Surat Hud?” Dia menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Surat Yusuf?” Dia menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Engkau masih mengeluh sementara engkau mempunyai seratus ribu dinar?” Maka ketika pagi tiba dia berbahagia.

 

Ibnu as-Sammak datang kepada ar-Rasyid untuk memberi nasihat, lalu ar-Rasyid menangis kemudian meminta segelas air, maka Ibnu asSammak berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seandainya engkau tidak bisa meminumnya kecuali harus menebusnya dengan dunia dan segala isinya, adakah engkau berkenan menebus?” Ar-Rasyid menjawab, “Ya.”

 

Maka dia berkata, “Silakan engkau meminumnya semoga Allah melepaskan dahagamu, semoga Allah memberkahimu padanya.” Manakala ar-Rasyid minum, Ibnu as-Sammak berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seandainya engkau tidak bisa membuang minuman tadi (dari dirimu dengan buang air kecil) kecuali harus menebusnya dengan dunia dan segala isinya, adakah engkau berkenan melakukannya?” Dia menjawab, “Ya.” Maka Ibnu as-Sammak berkata, “Lalu apa yang engkau lakukan dengan sesuatu yang segelas air lebih baik darinya?”

 

Hal ini membuktikan bahwa nikmat Allah kepada hamba berupa segelas air saat dia haus lebih besar daripada memiliki dunia dan isinya, kemudian dimudahkannya keluar hadats juga termasuk nikmat paling besar.

 

Ini adalah keterangan singkat tentang nikmat khusus.

 

Ketahuilah bahwa tidak ada seorang hamba pun bila dia mencermati dengan baik kecuali dia akan melihat padanya terdapat banyak sekali nikmat Allah yang tidak dimiliki oleh kebanyakan manusia. Meskipun ada juga nikmat yang semua manusia memilikinya seperti nikmat akal, tidak ada seorang hamba kecuali dia ridha kepada Allah pada akalnya, meyakini dirinya adalah orang yang paling berakal, dan bersama itu dia tidak pernah meminta akal kepada Allah; bila memang itu adalah keyakinannya, maka dia wajib bersyukur kepada Allah atas nikmat ini.

 

Di antaranya, akhlak, tidak ada seorang hamba pun kecuali dia melihat aib-aib yang tidak disukainya pada orang lain, akhlak-akhlak yang dicelanya, dia melihat dirinya terlepas dari akhlak buruk tersebut, maka dia patut bersyukur kepada Allah atas hal itu. Allah membaguskan akhlaknya dan menguji orang lain dengannya.

 

Di antaranya, tidak ada seorang pun kecuali dia mengetahui perkara-perkara batinnya dan hal-hal yang tersembunyi dalam hatinya yang hanya dia yang mengetahuinya. Seandainya penutupnya disingkap darinya sehingga ada orang yang mengetahui, niscaya dia akan malu, bagaimana bila seluruh manusia mengetahuinya? Lalu mengapa dia tidak bersyukur kepada Allah yang telah menutupi keburukan-keburukannya dengan baik. Dia menampakkan yang baik dan menyembunyikan yang buruk.

 

Kita turun ke derajat yang lebih umum dalam masalah ini. Tidak ada seorang hamba pun kecuali Allah telah memberinya anugerah berupa banyak hal terkait dengan bentuk tubuhnya, atau akhlak-akhlaknya, atau sifat-sifatnya, atau keluarganya, atau anaknya, atau tempat tinggalnya, atau negerinya, atau kawannya, atau kerabatnya, atau siapa yang dicintainya; seandainya hal itu diambil dan diganti dengan apa yang telah diberikan kepada orang lain, niscaya dia tidak akan menerimanya. Hal ini seperti Allah menjadikannya orang beriman bukan orang kafir, makhluk hidup bukan benda mati, manusia bukan binatang, laki-laki bukan perempuan, sehat bukan sakit, sempurna bukan cacat; semua ini adalah keistimewaan.

 

Bila seseorang tidak rela menukar keadaannya dengan keadaan orang lain, misalnya dia tidak mengetahui orang lain yang menerima keadaannya untuknya sebagai ganti dari keadaan dirinya, bisa dalam perkara yang umum, bisa jadi pada perkara tertentu, maka sesungguhnya Allah mempunyai nikmat-nikmat yang tidak Dia berikan kepada siapa pun dari hamba-hamba selainnya. Bila dia rela menukar keadaan dirinya dengan keadaan sebagian orang saja, maka silakan melihat orang-orang yang diberi nikmat-nikmat yang orang lain ingin seperti mereka. Bisa dipastikan dia akan melihat mereka lebih sedikit jumlahnya daripada selain mereka. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang keadaannya lebih rendah daripada dirinya, jauh lebih banyak daripada orang-orang yang lebih tinggi darinya, lalu mengapa dia melihat kepada orang-orang yang di atasnya dan tidak melihat orang-orang yang di bawahnya?

 

Dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Bila salah seorang di antara kalian melihat kepada orang-orang yang dilebihkan atasnya dalam harta dan bentuk fisiknya, maka hendaklah dia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya dari orang-orang yang dilebihkan dari dirinya itu.”

 

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafazh berikut,

 

“Lihatlah orang yang berada di bawah kalian, dan janganlah kalian melihat orang yang berada di atas kalian, yang demikian itu lebih patut agar kalian tidak menganggap remeh nikmat Allah kepada kalian.”

 

Barangsiapa mencermati keadaan dirinya, memeriksa nikmat Allah yang khusus padanya, niscaya dia akan menemukan pada dirinya nikmat-nikmat Allah yang berjumlah besar, khususnya adalah nikmat khusus iman, al-Qur‘an, ilmu, as-Sunnah, kemudian waktu luang, kesehatan, keamanan, dan lainnya.

 

Diriwayatkan dalam sebuah hadits,

 

“Barangsiapa (bisa) membaca al-Qur-an, maka dia seorang yang kaya.”

 

Dalam suatu lafazh,

 

“Al-Qur‘an adalah kekayaan yang tidak ada kemiskinan sesudahnya dan tidak ada kekayaan tanpanya.'”

 

Dalam hadits yang lain,

 

“Barangsiapa yang aman di tengah keluarganya, sehat jasmaninya, memiliki makanan harinya, maka seolah-olah dunia dengan segala isinya terkumpul untuknya.”

 

Seorang penyair berkata, Bila makanan pokok datang untukmu

Kesehatan dan juga keamanan

 

Tetapi engkau masth bersedih

 

Maka kesedihan tidak akan pernah meninggalkanmu.

 

Bila dikatakan, Apa obat hati yang lalai dari bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah?

 

Kami menjawab, Hati yang terjaga dan melihat selalu memperhatikan hikmah di balik semua bentuk nikmat Allah. Adapun hati yang dungu yang tidak memandang nikmat sebagai nikmat kecuali sesudah mendapatkan ujian, maka jalan bagi pemiliknya adalah selalu melihat orang yang berada di bawahnya, melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Hendaklah mereka mengunjungi rumah sakit untuk melihat berbagai macam penyakit yang menimpa mereka, kemudian merenungkan kesehatan dan keselamatannya. Melihat kepada para penjahat yang dihukum mati, tangan dan kaki mereka dipotong dan mereka dihukum berat. Hal ini membuatnya bersyukur kepada Allah atas keselamatan dirinya dari hukuman-hukuman tersebut. Atau datang ke kuburan sehingga dia mengetahui bahwa perkara yang paling diinginkan oleh orang mati adalah dikembalikan ke dunia agar siapa yang dahulu bermaksiat bisa memperbaiki dan siapa yang dahulu taat bisa menambah ketaatannya, karena Hari Kiamat adalah  “hari pengumpulan (untuk dihisab).” (At-Taghabun: 9). Bila seseorang melihat kuburan dan mengetahui apa yang paling diinginkan penghuni kubur, hendaknya mengarahkan sisa umurnya dalam ketaatan kepada Allah dan bersyukur kepadaNya yang telah memberinya tempo, kemudian menggunakan umur untuk mengumpulkan bekal sebagai persiapan akhirat, karena untuk inilah umur diberikan.

 

Di antara obat bagi hati yang lalai dan jauh dari syukur adalah hendaknya menyadari bahwa bila nikmat tidak disyukuri, maka ia akan lenyap.

 

Al-Fudhail berkata, “Kalian harus senantiasa bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, karena jarang ada suatu nikmat yang lepas dari tangan seseorang lalu ua kembali lagi kepada mereka

 

PASAL

BERKUMPULNYA SABAR DAN SYUKUR PADA SAAT YANG SAMA

 

Mungkin engkau berkata, Engkau telah menyebutkan bahwa pada setiap yang ada terdapat nikmat Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa ujian tidak ada sama sekali, lalu apa makna sabar? Bila ujian itu ada, lalu apa makna syukur atas ujian? Bagaimana sabar dan syukur berkumpul? Karena sabar itu pasti merasakan rasa sakit dan syukur berarti kebahagiaan, berarti keduanya berlawanan?

 

Ketahuilah, bahwa ujian itu ada sebagaimana nikmat juga ada. Tidak semua ujian harus dihadapi dengan sabar, misalnya kekufuran, ia adalah ujian dan tidak ada artinya bersabar di atasnya. Demikian juga kemaksiatan-kemaksiatan, hanya saja orang kafir tidak menyadari bahwa kekufurannya adalah ujian. Seperti orang yang sakit namun tidak merasakannya karena dia pingsan, orang yang bermaksiat mengetahui kemaksiatannya, maka dia harus meninggalkan kemaksiatan. Semua ujian yang manusia mampu menolaknya tidak diperintahkan untuk bersabar di atasnya. Seandainya seseorang menolak minum sekalipun dia kehausan sehingga dia tersiksa karena itu, perbuatannya ini tidak diperintahkan, sebaliknya dia harus menghilangkan hausnya. Sabar hanya berlaku untuk sakit yang seorang hamba tidak mampu menghilangkannya. Jadi sabar di dunia kembali kepada sesuatu yang bukan merupakan ujian secara mutlak, sebaliknya ia bisa menjadi nikmat dari satu sisi. Dari sini, maka mungkin terkumpul padanya kewajiban syukur dan kewajiban sabar. Misalnya kekayaan, ia bisa menjadi sebab kebinasaan seseorang seperti dia menjadi sasaran pembunuh demi merebut hartanya, demikian juga halnya dengan kesehatan, tidak ada kenikmatan dunia kecuali ia bisa berubah menjadi ujian.

 

Sesuatu bisa menjadi ujian bagi seorang hamba, namun ia bisa menjadi nikmat. Misalnya ketidaktahuan manusia terhadap ajalnya. Seandainya dia mengetahui ajalnya, maka kehidupannya menjadi keruh, kesedihannya berkepanjangan. Demikian juga ketidaktahuan seseorang terhadap apa yang dipendam oleh orang lain terhadapnya, karena bila dia mengetahui, maka kesedihan, kebencian, rasa irinya akan berkepanjangan, hidupnya sibuk dengan melampiaskan dendam. Demikian juga ketidaktahuan seseorang terhadap sifat-sifat tercela pada orang lain, karena bila dia mengetahuinya, maka dia akan membenci dan menyakitinya, hal itu adalah siksaan atasnya. Di antaranya adalah tidak diketahuinya Hari Kiamat, lailatul qadar, waktu mustajab di Hari Jum’at, semua itu adalah nikmat, karena ketidaktahuan ini menggugah dorongan untuk mencari dengan sungguh-sungguh. Ini adalah sisi-sisi nikmat Allah pada ketidaktahuan, lalu bagaimana pada pengetahuan?

 

Kami telah katakan bahwa pada setiap yang ada terdapat nikmat Allah, sampai-sampai rasa sakit bisa menjadi nikmat bagi penderitanya, bisa juga menjadi nikmat bagi orang lain, seperti kesakitannya orang-orang kafir menghadapi siksa api neraka di akhirat. Ia adalah nikmat bagi para penghuni surga, karena bila tidak ada orang-orang yang diazab, niscaya orang-orang yang meraih nikmat tidak merasakan kenikmatan mereka. Kebahagiaan para penghuni surga meningkat bila mereka menyaksikan penderitaan para penghuni neraka, bukankah engkau melihat bahwa penduduk dunia tidak begitu senang dengan cahaya matahari padahal mereka sangat membutuhkannya karena ia ada untuk semua orang? Mereka juga tidak senang dengan melihat bintang langit, padahal ia lebih bagus daripada segala tumbuhan, karena ia umum, karena itu mereka tidak merasakannya, tidak senang karenanya. Bila benar ucapan kami, sesungguhnya Allah tidak menciptakan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat hikmah dan nikmat, bisa untuk seluruh manusia, bisa untuk sebagian dari mereka. Dalam penciptaan ujian oleh Allah juga mengandung nikmat, bisa untuk pihak yang diuji dan bisa juga untuk orang lain, maka pada diri hamba terkumpul kewajiban syukur dan sabar dalam segala kondisi, tidak dikatakan bahwa ia adalah ujian mutlak dan tidak pula nikmat mutlak, karena seseorang mungkin berbahagia dengan sesuatu dari satu sisi dan bersedih dari sisi yang lain, maka saat sedih dia bersabar dan saat berbahagia dia bersyukur.

 

Ketahuilah bahwa pada setiap kemiskinan, penyakit, ketakutan, dan ujian di dunia, terdapat lima perkara yang karenanya orang yang berakal patut untuk berbahagia dan mensyukurinya.

 

Pertama: Setiap musibah dan penyakit yang menimpamu tidak menutup kemungkinan lebih berat dari itu, karena apa yang ditetapkan oleh Allah dalam takdirNya tidak berakhir, seandainya Allah memberatkannya atas seorang hamba, apa yang bisa menghalangiNya? Maka bersyukurlah karena ia tidak lebih besar.

 

Kedua: Musibah tidak menimpa agama. Umar bin al-Khaththab berkata,

 

“Tidaklah aku ditimpa ujian kecuali Allah de meletakkan empat kenikmatan padanya bagiku, yaitu: tidak menimpa agamaku, tidak lebth berat, aku tidak terhalangi untuk ridha terhadapnya, dan aku bisa berharap pahala karenanya.”

 

Seorang laki-laki berkata kepada Sahl bin Abdullah, “Maling pernah masuk ke dalam rumahku dan mengambil barangku.” Maka Abdullah menjawab, “Bersyukurlah kepada Allah, seandainya setan masuk ke dalam hatimu lalu dia merusak imanmu, apa yang bisa engkau lakukan? Barangsiapa berhak mencambukmu dengan seratus kali, lalu dia hanya mencambukmu sepuluh kali, maka engkau patut berterima kasih kepadanya.”

 

Ketiga: Tidak ada hukuman kecuali ia mungkin ditunda sampai di akhirat, sementara musibah-musibah dunia mungkin dihibur sehingga ia menjadi ringan, sebaliknya musibah akhirat terjadi terus-menerus. Seandainya ia tidak terus-menerus, maka tetap tidak ada jalan untuk meringankannya. Maka barangsiapa yang hukumannya disegerakan di dunia, maka dia tidak dihukum untuk kedua kalinya, sebagaimana dalam sebuah hadits dari Nabi menyatakan demikian.’

 

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya,

 

“Pada segala apa yang menimpa seorang Muslim menjadi pelebur baginya, sampai musibah yang menimpanya atau duri yang menusuknya.”

 

Keempat: Musibah ini sudah tertulis (ditetapkan) atasnya di Ummul Kitab, ia pasti akan terjadi padanya dan ia sudah terjadi, maka yang bersangkutan bisa merasa santai darinya, dan ini adalah nikmat.

 

Kelima: Pahalanya lebih banyak darinya, karena musibah-musibah dunia adalah jembatan menuju akhirat, seperti anak kecil yang terkadang dilarang untuk bermain, karena seandainya dia dibiarkan terus bermain, niscaya ia tidak terdidik dan tidak belajar, maka sepanjang hayatnya dia menjadi orang yang merugi. Demikian juga keluarga, kerabat dan anggota badan, ia bisa menjadi sebab kecelakaannya. Orang-orang kafir di Hari Kiamat berharap menjadi orang-orang gila dan anak-anak, mereka tidak menggunakan akal mereka untuk agama Allah, maka tidak ada sebuah sebab yang ada pada seorang hamba kecuali bisa dibayangkan bahwa ia mengandung kebaikan dari sisi agama. Maka seorang hamba harus berbaik sangka kepada Allah, mencari kebaikan pada apa yang ditimpakan kepadanya lalu bersyukur kepada Allah atasnya, karena hikmah Allah luas. Dia lebih mengetahui kemaslahatan hamba-hambaNya daripada hamba-hamba itu sendiri. Besok seorang hamba akan bersyukur kepada Allah atas ujian bila mereka mengetahui balasannya, sebagaimana anak kecil setelah dia baligh akan berterima kasih kepada guru dan bapaknya atas didikannya, karena dia telah melihat buahnya.

 

Ujian adalah pendidikan dari Allah, bentuk kasih sayangNya kepada hamba-hambaNya yang lebih sempurna dan lebih lengkap daripada seorang perhatian bapak kepada anak-anaknya.

 

Dalam hadits,

 

“Allah tidaklah menetapkan sesuatu ketetapan bagi hambaNya yang beriman kecuali ia adalah kebaikan baginya.”

 

Ketahuilah bahwa pangkal kesalahan yang membinasakan adalah cinta dunia, dan pangkal dari sebab-sebab keselamatan adalah menjauh darinya dengan hati. Mengucurnya kenikmatan-kenikmatan sesuai dengan keinginan tanpa dicampuri dengan ujian dan musibah menyeret hati untuk condong dan tenteram dengan dunia. Bila banyak musibah menimpa, maka hati akan gelisah dengan dunia dan tidak cenderung kepadanya, sehingga dunia menjadi penjara baginya. Keselamatannya darinya adalah tujuan utama seperti orang yang dipenjara terbebas darinya.

 

Adapun rasa sakit, maka ia adalah sesuatu yang mendasar, hal ini setara dengan kesenanganmu kepada orang yang membekammu atau memberimu obat yang mujarab tanpa meminta bayaran. Engkau merasa sakit dan merasa senang, engkau sabar di atas rasa sakit dan berterima kasih atas sebab kesenanganmu. Barangsiapa mengetahui hal ini, maka bisa tergambarkan bila dia bersyukur atas ujian. Tetapi barangsiapa tidak beriman bahwa pahala musibah lebih banyak dari musibah, maka tidak bisa tergambarkan akan bersyukur atas musibah.

 

Diriwayatkan bahwa seorang Arab pedalaman menghibur Ibnu Abbas karena kematian bapaknya, dengan berkata,

 

Bersabarlah, kami akan bersabar bersamamu, sesungguhnya kesabaran rakyat terletak pada kesabaran pemimpin mereka

 

Kesabaranmu sesudah al-Abbas adalah lebih baik bagimu

 

Dan Allah lebih baik darimu bagi al-Abbas.

 

Maka Ibnu Abbas berkata, “Tidak seorang pun menghiburku dengan kata-kata yang lebih baik darinya.”

 

Telah disebutkan sebelum ini berbagai bentuk ujian dan pahala sabar atasnya.

 

[Keutamaan Nikmat di Atas Ujian]

 

Bila ada yang berkata, Hadits-hadits tentang keutamaan sabar menunjukkan bahwa ujian di dunia lebih baik dari-pada kenikmatan, apakah hal ini berarti kita boleh meminta ujian kepada Allah?

 

Kami menjawab, Tidak ada alasan untuk itu, dalam hadits dari riwayat Anas ,

 

“Bahwa Rasulullah menjenguk seorang laki-laki dari kaum Muslimin yang keadaannya seperti anak burung. Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu pernah berdoa atau meminta sesuatu?’ Dia menjawab, ‘Ya. Aku pernah berdoa, ‘Ya Allah, apa yang dengannya Engkau akan menghukumku di akhirat, maka segerakanlah (menimpakan)nya atasku di dunia.’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Subhanallah, kamu tidak akan mampu, kamu tidak akan sangeup, mengapa kamu tidak berdoa, ‘Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungi kami dari neraka?” (Al-Baqarah: 201).”

 

Dari hadits Anas juga bahwa seorang laki-laki berkata,

 

“Wahai Nabi Allah, doa apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Mintalah maaf dan keselamatan kepada Allah di dunia dan di akhirat.” Kemudian dia datang lagi esok harinya, lalu dia berkata, “Doa apa yang paling utama?” Nabi menjawab, “Mintalah maaf dan keselamatan kepada Allah di dunia dan di akhirat.” Kemudian dia datang lagi di hari ketiga, maka Nabi bersabda, “Mintalah maaf dan keselamatan kepada Allah di dunia dan di akhirat; karena bila kamu diberi maaf dan keselamatan di dunia dan akhirat, maka kamu beruntung.”

 

Dalam ash-Shahihain diriwayatkan bahwa Nabi bersabda,

 

“Berlindunglah kepada Allah dari beban berat ujian, sulitnya kesengsaraan, buruknya ketentuan takdir, dan olok-olokan musuh karena musibah (yang menimpa).”

 

Mutharrif  berkata, “Aku diberi afiat dan bersyukur lebih aku cintai daripada diuji lalu bersabar.”

 

PASAL

MANA YANG LEBIH UTAMA, BERSABAR ATAU BERSYUKUR

 

Orang-orang berbeda pendapat, apakah sabar lebih utama daripada syukur atau sebaliknya? Dalam hal ini ada pembicaraan panjang yang disebutkan oleh penulis.

 

Intisari pembicaraan adalah bahwa sabar dan syukur memiliki derajat yang bertingkat-tingkat:

 

Tingkatan sabar paling minimal adalah tidak mengeluh walaupun tidak menyukainya. Setelahnya adalah ridha, dan ini adalah kedudukan di atas sabar. Setelah tingkatan ridha adalah bersyukur atas musibah.

 

Tingkatan syukur banyak, rasa malu seorang hamba karena mengucurnya nikmat-nikmat Allah atasnya adalah syukur. Menyadari kurang bersyukur adalah syukur. Mengetahui akan kemurahan Allah yang besar dan Dia menutup aib-aibnya adalah syukur. Mengakui bahwa nikmat-nikmat berasal dari Allah bukan karena hamba-hamba memang berhak adalah syukur. Mengetahui bahwa mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah syukur. Bertawadhu dengan baik dan merendahkan hati padanya adalah syukur, berterima kasih kepada perantara kenikmatan adalah syukur, berdasarkan sabda Nabi ,

 

” Tidak bersyukur kepada Allah siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia. “

 

Tidak merasa berat dan beradab dengan baik di depan pemberi nikmat adalah syukur. Menerima kenikmatan-kenikmatan dengan baik dan menganggapnya besar sekalipun kecil adalah syukur.

 

Perbuatan dan perkataan yang masuk ke dalam cakupan syukur dan sabar tidaklah terhingga, terdiri dari tingkatan yang bermacammacam. Lalu bagaimana mungkin mengglobalkan keterangan bahwa salah satunya lebih utama daripada yang lain?

 

Akan tetapi kami katakan bila sabar dibandingkan dengan syukur yang berarti membelanjakan harta dalam ketaatan, maka syukur lebih utama, karena ia juga mengandung sabar, ia menunjukkan kebahagiaan terhadap nikmat Allah, memikul beban memberikan harta kepada orang miskin dan tidak membclanjakannya kepada kesenangan yang mubah. Dengan pertimbangan ini syukur lebih utama daripada sabar.

 

Bila syukur harta dengan tidak menggunakannya dalam bermaksiat, akan tetapi membelanjakannya dalam kesenangan yang mubah, maka sabar dalam kondisi ini lebih utama daripada syukur. Orang miskin yang sabar lebih utama daripada orang berharta tetapi dia menahan hartanya dan hanya membelanjakannya untuk hal-hal mubah, karena si miskin berjuang melawan dirinya dan bersabar dengan baik atas ujian dari Allah ols.

 

Semua keterangan yang menetapkan keutamaan sabar atas syukur, maksudnya hanyalah tingkatan secara khusus. Karena yang langsung dipahami manusia dari nikmat harta dan kekayaan serta wujud syukur adalah ucapan seseorang, “Alhamdulillah.”

 

Jadi sabar yang dijadikan pijakan oleh orang-orang awam lebih unggul daripada syukur dengan pemahaman di atas.

 

Bila engkau mencermati makna yang kami sebutkan, maka engkau mengetahui bahwa masing-masing pendapat mempunyai sisi alasan di sebagian keadaan. Terkadang orang miskin lebih utama daripada orang kaya yang bersyukur sebagaimana yang dijelaskan. Terkadang juga orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang sabar, yaitu orang kaya yang melihat dirinya seperti orang miskin yang tidak menahan harta kecuali kadar yang cukup, sementara sisanya dia belanjakan pada jalan-jalan kebaikan atau menahannya dengan yakin dirinya menyimpan untuk orang-orang yang membutuhkan. Dia hanya menunggu kesempatan, bila sudah tiba, dia memberikannya kepada mereka. Bila dia memberikan, dia memberikan bukan untuk mendapatkan kedudukan dan bukan pula jasa baik. Ini lebih utama daripada orang miskin yang sabar.

 

Wallahu Subhanahu wa Ta’ala a’lam.

 

Ketahuilah bahwa harapan dan rasa takut kepada Allah adalah sepasang sayap. Dengan keduanya orang-orang yang dekat kepada Allah terbang menuju derajat yang terpuji. Sepasang kendaraan yang dengannya mereka menempuh jalan menuju akhirat melewati segala rintangan yang sulit. Maka diperlukan penjelasan tentang hakikat, keutamaan, dan sebab-sebab keduanya, serta hal-hal yang berkenaan dengan keduanya. Kami membagi pembahasan menjadi dua bagian:

 

Pertama untuk harapan dan kedua untuk rasa takut.

 

[Hakikat Harapan kepada Allah]

 

Ketahuilah bahwa harapan kepada Allah termasuk kemuliaan orang-orang yang menuju akhirat dan keadaan orang-orang yang mencari akhirat. Suatu sifat disebut maqam bila ia tetap dan tegak. Bila hanya sebatas sifat yang cepat lenyap, maka disebut dengan hal (keadaan), sebagaimana kuning terbagi menjadi: kuning asli seperti kuning emas, kuning yang cepat lenyap seperti kuning pucat, dan kuning di antara keduanya seperti kuning karena sakit. Demikian juga, sifat-sifat hati, seperti pembagian tersebut, yang tidak tetap disebut dengan hal karena menghalangi hati.

 

Ketahuilah bahwa apa yang engkau suka dan yang engkau benci terbagi menjadi ada saat ini dan ada di masa lalu. Yang pertama disebut dengan fakta, kenyataan, dan realitas. Yang kedua dinamakan kenangan.

 

Bila dalam benakmu terlintas sesuatu di masa datang, ia menguasai hatimu, maka hal itu dinamakan penantian atau prediksi, bila yang ditunggu adalah sesuatu yang diinginkan, maka itulah harapan dan bila sebaliknya, maka itulah rasa takut.

 

Harapan adalah kesenangan untuk menungyu sesuatu yang dicintai, akan tetapi apa yang ditunggu tersebut harus memiliki sebab yang bisa mendatangkannya. Bila sebab tersebut tidak diketahui bisa mendatangkan harapan atau tidak, maka itu adalah angan-angan, karena ia menunggu tanpa adanya sebab. Harapan dan rasa takut hanya untuk sesuatu yang memungkinkan, kalau untuk sesuatu yang pasti, maka tidak perlu, maka engkau tidak berkata, “Aku berharap matahari terbit dan takut jika terbenam.” Karena hal ini bersifat pasti saat terbit dan terbenam, akan tetapi engkau berkata, “Aku berharap hujan turun dan aku takut ia berhenti.”

 

Manusia mengetahui bahwa dunia adalah ladang bagi akhirat, hati bak tanah ladang. Iman seperti benih di atasnya, sementara ketaatanketaatan seperti proses membersihkan dan menyucikan tanah, seperti sungai atau saluran air yang menyuplai air kepadanya.

 

Hati yang diliputi oleh dunia adalah seperti tanah lembab dan asin yang tidak menumbuhkan benih. Sementara Hari Kiamat adalah hari memanen. Seseorang tidak memanen kecuali apa yang dia tanam. Tanaman tidak tumbuh kecuali orang yang menaburkan benih iman dan sangat jarang iman bermanfaat bila hati busuk dan akhlak buruk, sebagaimana benih juga tidak tumbuh di tanah yang lembab dan asin.

 

Hendaklah harapan seorang hamba kepada ampunan dikiaskan kepada harapan seorang petani, siapa yang mencari tanah yang subur, menaburkan benih yang baik, tidak rusak dan busuk, kemudian menyiraminya dengan air saat diperlukan, membersihkan tanah dari duri, rumput dan apa yang merusak tanaman, kemudian duduk menunggu karunia Allah agar berkenan menghindarkan halilintar dan hawa penyakit, sampai tanaman tersebut tiba masa panennya, maka inilah yang disebut dengan menunggu dan berharap yang sebenarnya.

 

Berbeda bila benih tersebut ditaburkan di tanah yang bergaram, keras dan tinggi sehingga tidak terjangkau air dan pemiliknya sama sekali tidak memperhatikannya kemudian dia tetap menunggu saat panen, maka penantiannya bukan harapan, akan tetapi kedunguan dan teperdaya.

 

Bila dia menebarkan benih di tanah yang baik tetapi tidak berair dan dia hanya menunggu air hujan, maka penantiannya disebut dengan angan-angan dan bukan harapan.

 

Jadi, kata harapan (raja’) hanya tepat dipakai untuk menanti sesuatu yang disukai, yang didahului dengan sebab-sebab yang dilakukan seorang hamba, tidak tersisa kecuali sebab yang berada di luar jangkauannya, yaitu karunia Allah yang dapat menghindarkan berbagai penghalang dan perkara yang merusak. Bila seorang hamba menaburkan benih iman, menyiraminya dengan air ketaatan, membersihkan hati dari duri akhlak yang tercela lalu menunggu karunia Allah agar meneguhkannya di atas itu sampai mati dan mendapatkan husnul khatimah yang membawanya kepada ampunan, maka penantiannya adalah sebuah harapan yang terpuji yang mendorongnya untuk terus menjaga ketaatan dan menegakkan konsekuensi iman sampai mati. Namun bila dia membiarkan benih iman dengan tidak menyiraminya dengan air ketaatan, atau membiarkan hati dijejali oleh akhlak-akhlak tercela, tenggelam dalam mencari kenikmatan dunia, kemudian dia menunggu ampunan, maka ini adalah kedunguan dan teperdaya. Allah berfirman,

 

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata, ‘Kami akan diberi ampun’.” (Al-A’raf: 169).

 

Dan Allah mencela orang yang berkata,

 

“Dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. (AlKahfi: 36).

 

Syaddad bin Aus meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Orang yang pintar adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk sesudah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan menggantungkan angan-angan (kosong) kepada Allah.”

 

Ma’ruf al-Karkhi  berkata, “larapanmu mendapat rahmat Allah yang tidak engkau taati adalah kehinaan dan kebodohan.” Karena itu Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah.” (Al-Baqarah: 218).

 

Makna ayat, mereka adalah orang-orang yang memang berhak untuk berharap, maksudnya bukan pengkhususan adanya harapan, karena selain mereka juga berharap itu.

 

Ketahuilah bahwa berharap itu terpuji, karena ia mendorong untuk beramal, sementara berputus asa itu tercela, karena ia memalingkan dari ilmu, karena siapa yang sudah mengetahui bahwa tanah bergaram, mata air sangat dalam, benih tidak tumbuh, maka dia tidak akan mengurusi tanah tersebut dan tidak perlu berlelah-lelah dalam merawatnya.

 

Khauf (rasa takut), ia bukan lawan raja’ akan tetapi rekannya sebagaimana akan dijelaskan insya Allah.

 

Keadaan raja’ membuka jalan kesungguhan dalam beramal, beristiqamah di atas ketaatan dalam kondisi bagaimana pun. Di antara buahnya adalah kenikmatan saat menghadap terus-menerus kepada Allah, kenikmatan saat bermunajat kepadaNya, bersikap sopan dalam upaya mendekatkan diri kepadaNya. Keadaan tersebut pasti akan terlihat pada siapa pun yang berharap kepada seorang raja atau seorang pembesar, lalu bagaimana ia tidak terlihat berharap kepada Allah Bila ia tidak terlihat maka ia merupakan indikator bahwa tingkat harapan ini belum terwujud. Barangsiapa yang berharap kebaikan tanpa tanda-tanda tersebut, maka dia adalah orang yang teperdaya.

 

PASAL

KEUTAMAAN BERHARAP KEPADA ALLAH

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Allah berfirman, ‘Aku sesuai prasangka hambaKu kepadaKu’.” Dalam riwayat lain,   “Maka hendaklah seseorang berprasangka sesukanya terhadapKu.”

 

Dalam hadits lain dari riwayat Muslim, bahwa Nabi  bersabda,

 

“Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.”

 

Allah  mewahyukan kepada Nabi Dawud

 

“Cintailah Aku, cintai siapa yang mencintaiKu, dan jadikanlah Aku dicintai oleh makhlukKu.” Beliau berkata, “Ya Rabbi, bagaimana aku menjadikanMu dicintai oleh makhlukMu?” Allah berfirman, “Sebutlah Aku dengan pembicaraan yang baik lagi bagus, dan sebutlah nikmat-nikmat dan kebaikankebaikanKu.” Dari Mujahid , beliau berkata, “Seorang hamba diperintahkan untuk dimasukkan ke neraka, dia berkata, ‘Ini bukan prasangkaku.’

 

Allah bertanya, ‘Lalu apa prasangkamu?’ Dia menjawab, ‘Engkau mengampuniku.’ Maka Allah berfirman, ‘Lepaskan dia’.”

 

PASAL

OBAT HARAPAN DAN SEBAB YANG MEWUJUDKANNYA

 

Ketahuilah bahwa obat harapan ini dibutuhkan oleh dua orang:

 

Pertama: Orang yang sudah dikalahkan oleh rasa putus asa sehingga dia meninggalkan ibadah.

 

Kedua: Orang yang dikalahkan oleh ketakutan sehingga dia merugikan diri dan keluarganya.

 

Untuk pendurhaka yang tertipu dan berangan-angan kepada Allah dengan tidak mau beribadah, maka yang patut untuk orang ini hanyalah rasa takut, karena obat berharap untuknya berubah menjadi racun, sebagaimana madu adalah kesembuhan bagi orang yang kedinginan tetapi ia tidak baik bagi orang yang kepanasan.

 

Karena itu orang yang memberi nasihat orang lain harus bersikap lembut, memperhatikan letak penyakit, mengobati setiap penyakit sesuai dengan kondisinya. Untuk zaman ini tidak selayaknya menggunakan sebab-sebab harapan terhadap manusia, sebaliknya yang digunakan adalah sebab-sebab yang membuat orang takut. Orang yang memberi nasihat menyebutkan keutamaan sebab-sebab harapan bila tujuannya adalah menarik kecenderungan hati, bukan untuk mengobati orang-orang sakit.

 

Ali – berkata,

 

“Ulama adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah dan (tetapi) juga tidak membuat mereka merasa aman dari azab Allah.”

 

Bila engkau sudah mengetahui hal ini, maka ketahuilah bahwa di antara sebab-sebab harapan ada yang dengan cara i’tibar (merenungi ayat-ayat Allah) dan ada yang dengan cara akhbar (merenungi hadits-hadits Nabi).

 

Adapun i’tibar, hendaknya merenungkan semua nikmat Allah yang telah kami paparkan dalam Kitab Syukur, bila sescorang mengetahui kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya di dunia, hikmahNya yang mengagumkannya pada fitrah manusia, bahwa kasih sayang Ilahi senantiasa memayungi hamba-hambaNya dalam segala kemaslahatan dunia mereka. Dia tidak membiarkan mereka kehilangan peluang untuk meningkatkan derajat di dunia, lalu bagaimana Dia membiarkan menggiring mereka menuju kebinasaan abadi? Karena bila Allah mengasihi di dunia, maka Dia juga mengasihi di akhirat, sebab yang menata kedua alam itu hanyalah Dia.

 

Untuk merenungkan ayat-ayat dan hadits-hadits, di antaranya adalah Firman Allah

 

“Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya’.” (Az-Zumar: 53).

 

Juga Firman Allah

 

“Dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi.” (Asy-Syura: 5).

 

Allah juga mengabarkan bahwa Dia menyiapkan api neraka untuk musuh-musuhNya, dan dengan api neraka ini Allah menumbuhkan rasa takut pada para waliNya. Allah  berfirman,

 

“Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah mereka pun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hambahambaNya dengan azab itu.” (Az-Zumar: 16).

 

Allah  juga berfirman,

 

“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Ali Imran: 131).

 

Allah juga berfirman,

 

“Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyalanyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).” (Al-Lail: 14-16).

 

Dan Allah berfirman,

 

 “Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka lalim.” (Ar-Ra’d: 6).

 

Dan dari hadits-hadits, antara lain apa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, beliau berkata, Aku mendengar Rasu-lullah bersabda,

 

“Sesungguhnya iblis berkata kepada Tuhannya, ‘Demi keperkasaan dan keagunganMu, aku akan selalu menyesatkan anak manusia selama roh masih ada pada mereka.’ Maka Allah menjawab, ‘Demi keperkasaan dan keagunganKu, Aku akan selalu mengampuni mereka selama mereka memohon ampun kepadaKu’.”

 

Kemudian dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah  bersabda,

 

“Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan kaum yang berbuat dosa, lalu mereka memohon ampun kepadaNya dan Dia mengampuni mereka.” Diriwayatkan oleh Muslim.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Aisyah bahwa Nabi bersabda, “Lakukanlah yang benar, berusahalah untuk mendekati yang benar, dan bergembiralah, sesungguhnya amal seseorang tidak dapat memasukkannya ke dalam surga.” Mereka berkata, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga aku, hanya saja Allah meliputiku dengan rahmatNya.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi bersabda,

 

“Allah berfirman di Hari Kiamat, ‘Wahai Adam, bangkitlah dan kirimkan rombongan neraka.’ Adam menjawab, ‘Aku penuhi panggilanMu, demi menaatiMu dan semua kebaikan ada di TanganMu. Ya Rabbi, apa rombongan neraka?’ Allah berfirman, ‘Sembilan ratus sembilan puluh sembilan dari seribu.’ Saat itu anak yang baru lahir langsung beruban, ‘dan gugurlah segala kandungan wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sebenarnya tidak mabuk, akan tetapt azab Allah itu sangat keras’, (Al-Hajj: 2). Maka itu terasa berat atas orang-orang sehingga wajah mereka berubah.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, siapa satu orang itu?” Nabi menjawab, “Dari Ya’juj dan Ma juj sembilan ratus sembilan puluh sembilan dan yang satu orang adalah dari kalian.” Maka orang-orang berkata, “Allahu Akbar.” Nabi bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku berharap kalian menjadi seperempat penghuni surga. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap kalian menjadi sepertiga penghuni surga. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap kalian menjadi setengah penghuni surga.” Maka orang-orang bertakbir. Maka Nabi bersabda, “Saat itu perbandingan kalian dengan manusta adalah seperti sehelai bulu putih di badan sapi hitam atau seperti sehelai bulu hitam di badan sapi yang putih.”

 

Lihatlah bagaimana nash-nash tersebut mendatangkan ketakutan, begitu hati sudah merasa takut, maka datanglah kelembutan. Bila hati merasa tenteram kepada hawa nafsu, maka ia harus ditakut-takuti, bila sudah sangat gelisah, maka ia patut ditenangkan agar seimbang.

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Di Hari Kiamat, Allah akan mengampuni dengan ampunan yang tak terbayangkan dalam benak manusia.”

 

Diriwayatkan bahwa seorang Majusi meminta izin kepada alKhalil Nabi Ibrahim untuk menjadi tamunya, namun Nabi Ibrahim tidak menerimanya. Nabi Ibrahim berkata, “Bila engkau masuk Islam, maka aku menerimamu.” Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Ibrahim, “Hai Ibrahim, sudah sembilan puluh tahun Aku memberinya makan di atas kekufurannya.” Maka Ibrahim mengejar laki-laki itu dan menyampaikan apa yang terjadi, laki-laki itu kagum kepada kasih sayang Allah dan (akhirnya) masuk Islam.

 

Ini adalah sebab-sebab yang dengannya roh harapan dihadirkan ke dalam hati orang-orang yang takut lagi khawatir. Adapun orang-orang dungu lagi angkuh, maka tidak patut diperdengarkan sebagian darinya kepada mereka, sebaliknya kepada mereka diperdengarkan apa yang akan kami hadirkan pada sebab-sebab rasa takut, karena kebanyakan manusia tidak menjadi baik kecuali dengan itu, seperti budak berakhlak buruk yang tidak bisa bertindak lurus kecuali dengan pukulan tongkat.

 

[Hakikat Khauf (Takut kepada Allah)]

 

Ketahuilah bahwa rasa takut ialah ungkapan rasa sakit hati dan ketidaknyamanan karena kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan di masa yang akan datang.

 

Misalnya, orang yang berbuat kejahatan terhadap seorang raja kemudian dia ditangkap, dia takut dihukum mati, tetapi ada kemungkinan dimaafkan. Kekhawatiran hatinya timbul sesuai dengan sebab yang diketahuinya dijatuhi hukuman mati, beratnya kejahatan dan dampaknya terhadap raja. Rasa takut ini melemah sesuai dengan sebab yang lemah. Terkadang rasa takut timbul bukan karena sebab kejahatan, akan tetapi karena sifat orang yang ditakuti, kebesaran, dan keagungannya. Karena dia mengetahui bahwa seandainya Allah (hendak) membinasakan alam semesta, maka Dia mampu, tak ada yang kuasa mencegahNya. Takutnya seseorang kepada Allah berdasarkan pengetahuannya terhadap aib-aib dirinya, keagungan Allah, dan ketidakbutuhanNya terhadap makhlukNya, dan bahwa Dia

 

“tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya.” (Al-Anbiya’: 23).

 

Orang yang paling takut adalah orang yang paling mengetahui dirinya dan Tuhannya, karena itu Nabi bersabda,

 

“Aku adalah orang yang paling mengetahui di antara kalian tentang Allah dan aku juga yang paling takut kepadaNya.”

 

Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28).

 

Bila pengetahuan tentang dirinya dan Allah sempurna, maka ia berpengaruh kuat kepada rasa takut, maka pengaruhnya akan mengalir ke dalam hati, kemudian tampak pada anggota badan dan sifat, yang terlihat pada badan yang kurus, wajah yang pucat, menangis dan pingsan, bahkan bisa menyeret kepada kematian, terkadang bisa naik ke otak dan merusaknya.

 

Adapun dampaknya terhadap anggota badan, dengan menahan diri dari kemaksiatan dan memaksanya berbuat ketaatan, memperbaiki apa yang kurang di masa lalu dan mempersiapkan diri untuk masa depan. Sebagian dari mereka berkata, “Barangsiapa takut, maka dia akan berjalan di malam hari.”

 

Ada yang berkata, “Orang takut bukanlah orang yang menangis, akan tetapi orang yang takut adalah orang yang meninggalkan apa yang dia berkuasa atasnya.”

 

Di antara buah rasa takut kepada Allah, mengekang hawa nafsu, mengeruhkan kenikmatan, kemaksiatan yang disukai oleh orang lain menjadi sesuatu yang dibenci olehnya, seperti madu menjadi sesuatu yang dibenci bagi siapa yang menginginkannya bila dia tahu di dalamnya terdapat racun, maka hawa nafsu terbakar oleh rasa takut, anggota badan tertata dengan baik, hati merendah dan tunduk. Takabur, dendam, dan hasad menjauh darinya. Ja dikuasai oleh kecemasan karena rasa takutnya, melihat bahaya akibatnya sehingga ia tidak memikirkan selainnya, tidak mempunyai kesibukan kecuali muraqabah, muhasabah, mujahadah, memperhitungkan napas dan waktu, menghisab jiwa pada pikiran, langkah dan perkataan. Keadaannya seperti keadaan orang yang berada dalam cengkeraman binatang buas yang ganas, dia tidak tahu apakah binatang tersebut bisa sedikit lengah darinya sehingga dia bisa lolos atau dia malah menerkamnya dan memangsanya. Tidak ada kesibukan selain apa yang terjadi pada dirinya. Kekuatan muraqabah dan muhasabah tergantung dengan kekuatan khauf (rasa takut) dan kekuatan rasa takut juga tergantung dengan kekuatan pengetahuan tentang keagungan Allah, Sifat-sifatNya, aib-aib diri dan bahaya serta risiko yang akan dihadapinya kelak.

 

Tingkatan khauf yang paling rendah terlihat dampaknya pada amal perbuatan, yaitu meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Bila dia menolak sesuatu yang membuka peluang kepada yang haram (sekalipun tidak sampai kepada haram) disebut wara’. Bila hal itu ditambah dengan konsentrasi dan menyibukkan diri dengannya dari perkara-perkara hidup yang tidak penting, maka itu adalah shidq (iman yang jujur dan benar).

 

PASAL

 

[Tingkatan Rasa Takut kepada Allah dan Perbedaannya dari Sisi Kuat dan Lemahnya]

 

Ketahuilah bahwa rasa takut adalah cambuk Allah, dengannya Dia menggiring hamba-hambaNya untuk selalu istiqamah di atas ilmu dan amal agar meraih derajat kedekatan kepada Allah.

 

Rasa takut mempunyai sisi berlebih-lebihan, sisi seimbang, dan sisi kelalaian. Yang terpuji adalah yang seimbang, ia seperti cambuk bagi hewan ternak, karena yang baik bagi hewan ternak adalah menyiapkan cemeti untuk mereka. Akan tetapi berlebih-lebihan dalam memukul juga tidak terpuji, sebagaimana orang yang lemah, rasa takutnya juga tidak terpuji, yaitu seperti rasa takut yang terlintas dalam benak saat mendengar ayat atau sebuah sebab yang menakutkan dan hal itu membuatnya menangis, namun bila sebab tersebut menghilang dari perasaan, maka hati kembali lalai. Ini adalah rasa takut lemah yang hampir tidak bermanfaat dan tidak berguna. Ia seperti batang lemah yang digunakan untuk mencambuk hewan yang kuat sehingga ia tidak menyakitinya sama sekali, tidak menggiringnya ke tempat yang dituju dan tidak layak digunakan untuk melatihnya. Inilah yang mendominasi seluruh manusia kecuali orang-orang yang berilmu dan para ulama; maksudku adalah orang-orang yang mengetahui Allah dan ayat-ayatNya, keberadaan mereka ini sudah langka. Adapun orang-orang yang berpenampilan seperti ulama, maka mereka adalah orang-orang yang paling jauh dari rasa takut kepada Allah.

 

Bagian pertama dari rasa takut, yaitu rasa takut yang berlebihlebihan, ia adalah rasa takut yang kuat dan melampaui batas kewajaran, sehingga ia mencapai titik putus asa dan tidak punya harapan. Ini tercela, karena mencegah dari amal perbuatan, bisa membawa kepada penyakit, kelinglungan dan kematian. Hal itu tidak terpuji; karena sesuatu yang ditujukan untuk sesuatu yang lain maka yang terpuji darinya adalah yang bisa menyampaikan kepada tujuan dan maksud, (namun) apa yang tidak menyampaikan atau malah melampaui, maka itu tercela.

 

Faedah rasa takut adalah menumbuhkan sikap waspada, wara’, takwa, mujahadah, berpikir, dzikir, beribadah dan sebab-sebab lainnya yang menyampaikan kepada Allah Uls, semua itu menuntut (adanya) kehidupan di samping kesehatan badan dan akal yang lurus. Bila ada sesuatu yang mencederai hal itu, maka itu tercela.

 

Bila ada yang berkata, Lalu apa pendapatmu tentang orang yang mati karena rasa takut kepada Allah?

 

Kami menjawab, Karena kematiannya dalam keadaan tersebut dia mendapatkan sebuah kedudukan yang tidak diraih seandainya dia mati dalam keadaan bukan karena rasa takut. Hanya saja, seandainya dia hidup dan menaiki tangga-tangga ma’rifat dan muamalah, maka hal itu lebih utama, karena kebahagiaan paling mulia adalah umur yang panjang dalam ketaatan kepada Allah, maka semua yang menjadikan sia-sia umur, akal, dan kesehatan adalah kekurangan dan kerugian.

 

MACAM-MACAM RASA TAKUT

 

Ketahuilah bahwa kedudukan orang-orang yang takut kepada Allah berbeda-beda. Di antara mereka ada yang hatinya dikuasai oleh ketakutan terhadap kematian sebelum bertaubat, di antara mereka ada yang takut kepada istidraj dengan berbagai nikmat atau takut menyimpang dari jalan istiqamah, di antara mereka ada yang takut kepada su ul khatimah dan lebih tinggi dari ini adalah khauf kepada takdir yang mendahului, karena khatimah adalah cabang darinya. Allah mengangkat siapa yang Dia kehendaki tanpa wasilah dan menurunkan siapa yang Dia kehendaki tanpa wasilah,

 

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya.” (Al-Anbiya‘: 23).

 

Dan (dalam hadits Qudsi) Allah berfirman,

 

“Mereka ini di surga dan Aku tidak peduli, dan mereka ini di neraka dan Aku juga tidak peduli.”

 

Di antara macam orang-orang yang takut adalah orang yang takut sakaratul maut dengan segala kedahsyatannya atau takut kepada pertanyaan Munkar dan Nakir, atau takut kepada siksa kubur. Di antara mereka ada yang takut saat-saat berdiri berhadapan dengan Allah, takut dari pertanyaan di Hari Kiamat, takut kepada saat menyeberangi ashShirath, takut dari neraka dan siksanya, atau kegagalan masuk surga, atau terhalangi tidak bisa melihat Allah semua sebab ini tidak disukai dan menakutkan.

 

Yang paling tinggi adalah takut terhalangi sehingga tidak dapat melihat kepada Allah, ini adalah takut orang-orang yang meraih derajat ma’rifat (mengenal Allah) dan yang sebelumnya adalah takut ahli ibadah dan ahli zuhud.

 

PASAL

KEUTAMAAN KHAUF DAN RAJA’, DAN APA YANG SEYOGIANYA LEBIH DOMINAN

 

Keutamaan segala sesuatu kembali kepada peranannya dalam mewujudkan kebahagiaan, yaitu bertemu Allah dan mendekat kepadaNya. Setiap yang membantu tujuan ini adalah keutamaan. Allah berfirman,

 

“Dan orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya mendapatkan dua surga.” (Ar-Rahman: 46).

 

Allah juga berfirman,

 

“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Al-Bayyinah: 8).

 

Dalam satu hadits, dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Bila kulit seorang hamba merinding karena takut kepada Allah, maka dosa-dosanya berguguran darinya seperti dedaunan berjatuhan dari pohon yang kering.”

 

Dalam hadits lain,

 

“Allah tidak murka kepada orang yang di dalam dirinya ada rasa takut (kepadaNya).”

 

Nabi bersabda,

 

“Allah berfirman, ‘Demi Keperkasaan dan KeagunganKu, Aku tidak mengumpulkan dua ketakutan pada hambaKu, dan Aku tidak mengumpulkan padanya dua rasa aman; bila dia merasa aman dariKu di dunia, maka Aku menakuti-nakutinya pada Hari Kiamat, bila dia takut kepadaKu di dunia, maka Aku memberinya keamanan pada Hari Kiamat’ “

 

Dari Ibnu Abbas dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka selamanya: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga-jaga di jalan Allah.”

 

[Mana yang Lebih Utama, Lebih Dominan Rasa Takut atau Harapan, atau Keduanya Seimbang?]

 

Ketahuilah bahwa ucapan seseorang, “Mana yang lebih baik, takut atau berharap?” adalah seperti pertanyaan, “Apa yang lebih penting, roti atau air?

 

Jawabannya, Roti bagi orang yang lapar lebih baik, sedangkan air bagi orang haus lebih baik. Bila seorang hamba lapar dan haus sekaligus, maka dilihat kepada apa yang lebih kuat, bila keduanya sama, maka keduanya sama. Khauf dan raja’ adalah sepasang obat bagi hati, faedah keduanya menyesuaikan dengan penyakit yang ada. Bila yang mendominasi hati adalah perasaan merasa aman dari azab Allah, maka takut lebih utama. Demikian juga bila seorang hamba dikuasai oleh kemaksiatan-kemaksiatan. Namun bila seorang hamba cenderung berputus asa dan minim harapan, maka berharap lebih utama. Bisa juga dikatakan secara mutlak, takut lebih utama, sebagaimana dikatakan roti lebih utama daripada sekanjabin,” karena roti adalah obat bagi rasa lapar sementara sekanjabin untuk penyakit kuning. Rasa lapar lebih dominan dan lebih banyak, lebih butuh roti dari sisi pertimbangan ini. Hal itu karena banyak manusia yang berbuat kemaksiatan dan teperdaya.

 

Bila kita melihat tempat rasa takut dan harapan, maka yang kedua lebih utama, karena ia berawal dari samudra rahmat Allah, sementara khauf dari samudra amarahNya.

 

Untuk orang yang bertakwa, yang lebih utama baginya adalah seimbang antara takut dan harapan, karena itu dikatakan, seandainya takut dan harapan seorang Mukmin ditimbang, niscaya keduanya berimbang.

 

Sebagian as-Salaf berkata, “Seandainya di Hari Kiamat diserukan, ‘Silakan semua orang masuk ke dalam surga kecuali satu orang,’ niscaya aku takut satu orang tersebut adalah aku. Seandainya diserukan, ‘Hendaklah masuk neraka semua manusia kecuali satu orang saja’, niscaya aku berharap akulah satu orang itu.”

 

Hal ini hanya patut bagi orang Mukmin yang bertakwa.

 

Bila ada yang berkata, Bagaimana rasa takut dan harapan bisa berimbang dalam hati seorang Mukmin padahal kakinya di atas ketakwaan, semestinya raja nya lebih kuat?

 

Kami menjawab, Seorang Mukmin tidak bisa memastikan amalnya benar (dan diterima). Dia seperti orang yang menaburkan benih dan belum mencoba benih yang sama sebelumnya di tanah yang asing. Benih itu adalah iman, syarat-syarat kebenarannya cukup rumit. Tanah itu adalah hati, sifat-sifat buruknya yang tersembunyi, dan sifat-sifat kemunafikan, sementara sisi-sisi tersembunyi darinya cukup samar. Halilintar adalah ketakutan sakaratul maut, di saat itulah keyakinan bisa goyah, semua itu mengharuskan khauf. Bagaimana seorang Mukmin tidak takut sementara Umar bin al-Khaththab bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah aku termasuk orang-orang munafik?” Beliau takut dirinya tidak mengetahui keadaan dirinya dengan baik dan aibnya tertutup dari matanya. Rasa takut yang terpuji adalah rasa takut yang mendorong kepada amal perbuatan dan membangunkan hati sehingga tidak condong kepada dunia.

 

Dan di saat ajal datang, maka yang lebih baik bagi seseorang adalah harapan, karena rasa takut adalah seperti cemeti yang menggugah untuk beramal sedangkan saat ajal menjemput, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk beramal. Saat itu orang tidak bisa mengambil faedah selain memutuskan urat jantung hatinya, sebaliknya raja’ dalam kondisi ini menguatkan hatinya dan membuatnya tenang untuk bertemu dengan Tuhannya. Seseorang tidak patut meninggalkan dunia kecuali dalam keadaan mencintai Allah, mencintai pertemuan denganNya, dan berbaik sangka kepadaNya.

 

Sulaiman at-Taimi berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya saat ajal menjemputnya, “Sampaikan keringanan-keringanan kepadaku, semoga aku bertemu Allah dalam keadaan berbaik sangka kepadaNya.”

 

PASAL

TERAPI YANG BISA MENUMBUHKAN RASA TAKUT KEPADA ALLAH

 

Rasa takut terwujud dengan dua cara, salah satunya lebih tinggi daripada yang lain. Misalnya, seorang anak sedang di rumah, seekor ular atau hewan pemangsa masuk, ada kemungkinan dia tidak takut kepadanya. Bahkan ada kemungkinan dia menjulurkan tangannya untuk mengambilnya dan bermain-main dengannya, tetapi bila saat itu bapaknya ada dan dia berlari darinya, maka anak itu akan mengikuti bapaknya, dia takut meniru bapaknya. Takut bapak karena dia mengetahui sedangkan takut anak karena dia tidak mengetahui, ia hanya meniru bapaknya.

 

Bila engkau mengetahui hal ini, maka ketahuilah bahwa takut kepada Allah tegak di atas dua tingkatan:

 

Tingkatan Pertama: Takut kepada siksaNya. Ini adalah takut kebanyakan manusia, ini adalah buah iman kepada surga dan neraka, bahwa keduanya adalah balasan atas ketaatan dan kemaksiatan. Rasa takut ini melemah disebabkan melemahnya iman atau kuatnya kelalaian.

 

Kelalaian bisa diangkat dengan berdzikir dan berpikir tentang azab akhirat, bertambah dengan melihat kepada orang-orang yang takut, bergaul dengan mereka dan membaca kisah-kisah mereka.

 

Tingkatan kedua: Takut kepada Allah, dan ini adalah takut para ulama yang berilmu tentang Allah. Allah et berfirman,

 

“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap Diri (siksa)Nya.” (Ali Imran: 28, 30).

 

Sifat-sifat Allah mengharuskan rasa takut dan segan, dan mereka ini takut jauh dan terhalang dari Allah.

 

Dzun Nun berkata, “Takut kepada api neraka dibandingkan takut tidak berjumpa dengan Allah seperti setetes air di tengah samudra.”

 

Manusia pada umumnya mempunyai bagian dari rasa takut ini, akan tetapi hanya sekadar meniru, ia seperti takutnya seorang anak kepada ular, hanya meniru bapaknya. Karena itu rasa takut tersebut lemah. Sesungguhnya keyakinan yang dibangun di atas taklid secara umum lemah, kecuali bila musyahadalmya kuat yang membangkitkannya untuk terus kontinu, konsisten menjaga konsekuensinya dengan memperbanyak ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Bila seorang hamba naik ke tangga ma’rifat kepada Allah lebih tinggi, maka dia akan takut kepadaNya secara otomatis. Dia tidak membutuhkan sebuah terapi untuk menghadirkan rasa takut pada hatinya, karena dia sudah merasa takut dengan sendirinya.

 

Tetapi barangsiapa yang rasa takutnya lemah, maka dia patut mengobati dirinya dengan mendengar hadits-hadits dan atsar-atsar. Menelaah keadaan dan perkataan orang-orang yang takut. Membandingkan akal dan kedudukan mereka dengan kedudukan orang-orang yang hanya berharap dan teperdaya. Tidak ragu lagi bahwa meneladan orang-orang yang takut adalah lebih layak, karena mereka adalah para nabi, para ulama, dan para wali.

 

Dalam Shahih Muslim dari hadits Aisyah , beliau berkata,

 

“Rasulullah pernah dipanggil untuk menghadiri jenazah anak kecil dari kaum Anshar. Maka aku berkata, ‘Ya Rasulullah, beruntung anak ini, seekor burung kecil dari burung-burung kecil surga, keburukan tidak menemuinya dan dia belum (pernah) melakukannya.’ Rasulullah menjawab, ‘Mungkin selain itu wahai Aisyah? Karena sesungguhnya Allah telah menciptakan penghuni untuk surga, dan Allah menciptakan mereka untuknya saat mereka masth ada di tulang sulbi bapak mereka, dan Allah juga telah menciptakan penghuni untuk neraka, dan Allah menciptakan mereka untuknya saat mereka masih ada di tulang sulbi bapak mereka’ .”

 

Salah satu ayat yang unik karena secara lahir adalah harapan padahal sejatinya ancaman adalah Firman Allah

 

“Dan sesungeulinya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82).

 

(Perhatikanlah bagaimana) Allah menggantungkan ampunan kepada empat perkara yang mewujudkannya tidaklah mudah. Di antara ayat-ayat yang mengundang rasa takut adalah Firman Allah,

 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.” (Al-Ashr: 1-2), kemudian Allah menyebutkan empat syarat sesudahnya, dengannya keselamatan dari kerugian bisa terwujud.

 

Allah  juga berfirman,

 

“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiaptiap jiwa petunjuk (bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dariKu, ‘Sesungguhnya akan Aku penuhi Neraka Jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama’.” (As-Sajdah: 13).

 

Sudah maklum bila seandainya urusan hidup itu terjadi begitu saja tanpa ada takdir Allah sebelumnya, niscaya manusia akan melebarkan sayap mereka untuk membuat tipu muslihat. Apa yang sudah berlalu di masa lalu, maka tidak bisa dijangkau, hanya ada satu sikap menghadapinya yaitu pasrah. Seandainya Allah tidak menyayangi orang-orang yang mengenalNya dan menghibur hati mereka dengan harapan, niscaya rasa takut sudah menghanguskan hati mereka. Abu ad-Darda berkata, “Tidak seseorang merasa aman imannya tidak dicabut darinya saat mati, kecuali iman tersebut akan dicabut darinya.”

 

Manakala Sufyan ats-Tsauri wie menghadapi ajal kematian, beliau menangis, lalu seorang laki-laki berkata kepada beliau, “Wahai

 

Abu Abdullah, aku melihatmu banyak dosa.” Maka beliau mengambil sesuatu dari tanah dan berkata, “Demi Allah, dosa-dosaku lebih remeh bagiku daripada ini, akan tetapi aku takut iman akan diambil dariku sebelum aku mati.”

 

Sahl wale berkata, “Orang yang menginginkan akhirat takut diuji dengan kemaksiatan, sedangkan orang yang berilmu tentang Allah takut diuji dengan kekufuran.”

 

Dikisahkan bahwa seorang nabi mengadukan kemiskinan dan kepapaan hidup kepada Allah, maka Allah mewahyukan kepadanya, “Hai hambaKu, apakah engkau tidak ridha bila Aku menjaga hatimu dari kekufuran kepadaKu sehingga engkau meminta dunia kepadaKu?” Maka dia mengambil tanah dan meletakkannya di atas kepalanya dan

 

berkata, “Baik ya Rabbi, aku ridha, maka jagalah aku dari kekufuran.”

 

Bila orang-orang yang berilmu tentang Allah tetap takut kepada su-ul khatimah padahal iman mereka kuat, lalu bagaimana bisa orang-orang lemah tidak takut?

 

Su ul khatimah mempunyai sebab-sebab yang mendahului kematian, seperti bid’ah, kemunafikan, takabur dan sifat-sifat tercela lainnya, karena itu as-Salaf ash-Shalih sangat takut kepada kemunafikan.

 

Sebagian dari mereka berkata, “Seandainya aku mengetahui diriku terbebas dari kemunafikan, niscaya hal itu lebih baik daripada hari yang matahari terbit padanya.”

 

Maksud mereka bukan kemunafikan akidah, akan tetapi kemunafikan amal perbuatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih,

 

“Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara berdusta, bila berjanji menyelisihi, dan bila dipercaya berkhianat.”

 

[Makna Su ‘ul Khatimah (Penutup Hidup yang Buruk)]

 

Swul khatimah terbagi menjadi dua tingkatan:

 

Pertama, dan ini yang lebih besar, yaitu hati dikuasai oleh keraguan atau pengingkaran saat sakaratul maut dan kesulitannya, semoga Allah menjaga kita semua. Dan hal ini akan menyebabkan azab yang terus-menerus.

 

Kedua, dan ini lebih rendah, yaitu memurkai takdir, memperbincangkannya dengan penolakan atau melakukan kezhaliman dalam wasiat atau mati dalam keadaan perbuatan dosa.

 

Diriwayatkan bahwa godaan setan kepada bani Adam, tidak lebih berat daripada saat sakaratul maut, dia berkata kepada teman-temannya, “Ini kesempatan kalian, bila ia lepas hari ini, maka kalian tidak akan bisa mendapatkannya selama-lamanya.”

 

Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau mengucapkan doa,

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari setan yang menggangguku (merusak imanku) saat kematian.”

 

Al-Khaththabi berkata, “Hal itu terjadi saat setan menguasai seseorang dalam kondisi demikian, lalu ia menyesatkannya, menghalangi antara dirinya dengan taubat, atau mencegahnya dari pembebasan perbuatan aniaya, atau menjadikannya berputus asa dari rahmat Allah, atau membuatnya membenci kematian sehingga dia tidak rela kepada Qadha’ Allah.”

 

Sebab-sebab yang menyeret kepada su’ul khatimah tidak bisa disebutkan secara rinci, akan tetapi mungkin bisa disebutkan poinpoinnya. Su’ul khatimah dengan keraguan dan pengingkaran, maka sebabnya adalah bid’ah, maknanya adalah meyakini pada Dzat Allah atau sifat-sifat atau perbuatan-perbuatanNya dengan keyakinan yang menyelisihi yang haq (benar), bisa karena taklid, bisa juga karena pendapatnya yang salah. Saat tabir terangkat menjelang wafat, terlihatlah kesalahan apa yang diyakininya, maka dia menyangka bahwa semua yang diyakininya tak berdasar.

 

Barangsiapa meyakini pada Allah dan Sifat-sifatNya dengan keyakinan yang global sesuai dengan jalan as-Salaf tanpa berlebih-lebihan dalam membahas, maka dia jauh dari risiko buruk ini, insya Allah.

 

Su’ul khatimah di atas kemaksiatan, sebabnya adalah lemah iman secara mendasar. Hal ini membuatnya terbenam dalam kemaksiatan dan kemaksiatan itu sendiri memadamkan cahaya iman. Bila iman melemah, maka melemah juga cinta kepada Allah ts. Bila sakaratul maut tiba, maka imannya akan semakin melemah karena yang bersangkutan merasa akan berpisah dengan dunia, karena sebab yang membawanya kepada su’ul khatimah ini adalah cinta dunia, kecenderungan kepadanya disertai dengan lemahnya iman yang berarti lemahnya cinta kepada Allah. Barangsiapa merasakan hatinya lebih dikuasai oleh cinta kepada Allah daripada cinta dunia, maka dia lebih jauh dari bahaya ini. Barangsiapa yang mati di atas cinta kepada Allah, maka dia datang kepadaNya sebagai hamba yang berbuat baik yang merindukan majikannya, maka dia akan pulang dengan bahagia dan suka cita, lebih dari itu dia berhak untuk dimuliakan.

 

Sebaliknya barangsiapa yang rohnya meninggalkan raganya dalam keadaan yang dalam benaknya terbetik pengingkaran kepada Allah atas perbuatanNya, atau menyelisihiNya, maka dia berpulang kepada Allah sebagai orang yang pulang dengan dipaksa, dan dia berhak untuk dihukum.

 

Barangsiapa menginginkan jalan keselamatan, maka dia akan menjauhi sebab-sebab kebinasaan, hanya saja pengetahuan tentang bolak-baliknya hati dan kelabilannya membuat gelisah hati orang-orang yang takut.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar melakukan perbuatan penghuni neraka padahal sebenarnya dia adalah penduduk surga, dan sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar melakukan perbuatan penduduk surga padahal sebenarnya dia adalah penghuni neraka.”

 

Diriwayatkan bahwa bila roh hamba naik ke langit, maka para malaikat berkata, “Subhanallah, hamba ini selamat dari setan. Duhai gerangan dirinya, bagaimana dia selamat?”

 

Bila engkau mengetahui makna su “ul khatimah, maka waspadailah sebab-sebabnya, siapkanlah perbekalan yang patut untuknya, jangan menunda-nunda persiapan, karena umur tidak panjang, setiap embusan napasmu berpotensi menjadi penutup hidupmu, karena pada saat itu rohmu mungkin dicabut dan manusia akan mati di atas keadaan yang dia hidup di atasnya, dan dibangkitkan di atas keadaan yang dia mati di atasnya.

 

Ketahuilah bahwa engkau tidak bisa mempersiapkan bekal yang memadai kecuali bila engkau gana’ah dengan apa yang menegakkan kehidupanmu dan meninggalkan hal-hal yang tidak diperlukan.

 

Kami akan menyebutkan kisah orang-orang yang takut kepada Allah, dengan harapan bisa mengikis sebagian kekerasan dari hatimu, karena engkau pasti tahu bahwa para nabi dan para wali lebih berakal darimu. Renungkanlah bagaimana ketakutan mereka yang sangat, semoga dengan itu engkau tergerak untuk menyiapkan dirimu.

 

RASA TAKUT PARA MALAIKAT KEPADA ALLAH

 

Allah berfirman tentang sifat mereka,

 

“Mereka takut kepada Rabb mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (An-Nahl: 50).

 

Kami meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang urat leher mereka gemetaran karena takut kepadaNya.” Al-Hadits.

 

Dan telah sampai riwayat kepada kami bahwa di antara malaikat pemikul Arasy ada yang meneteskan air mata seperti sungai, bila mengangkat kepalanya, maka dia berkata, “Mahasuci Engkau, Engkau tidak ditakuti dengan sebenar-benarnya.” Maka Allah berfirman, “Akan tetapi orang-orang yang bersumpah dengan Namaku secara dusta tidak mengetahui hal itu.”

 

Dari Jabir berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Di malam aku diisra’kan, aku melihat Jibril  seperti bejana kulit yang usang karena takut kepada Allah

 

Kami mendengar bahwa Jibril pernah datang kepada Nabi  dengan menangis, maka Nabi  bertanya kepadanya,

 

“Apa yang membuatmu menangis?” Dia menjawab, “Air mataku tidak pernah mengering sejak Allah menciptakan Neraka Jahanam, karena aku takut mendurhakaiNya lalu Dia mencampakkanku ke dalamnya.”

 

Dari Yazid ar-Raqasyi  bahwa dia berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat di sekitar Arasy, air mata mereka mengalir seperti sungai-sungai sampai Hari Kiamat, mereka miring seperti ditiup angin karena takut kepada Allah. Maka Allah berfirman kepada mereka, ‘Wahai malaikat-malaikatku, apa yang membuat kalian takut padahal kalian ada di sisiKu?’ Mereka menjawab, ‘Ya Rabbi, seandainya penduduk bumi mengetahui kemuliaan dan keagunganMu sebagaimana yang kami ketahui, niscaya mereka tidak merasakan nikmatnya makanan dan minuman, mereka tidak nyenyak tidur di kasur mereka, niscaya mereka akan keluar ke padang pasir berteriak seperti sapi melenguh’.”

 

Muhammad bin al-Munkadir dsl berkata, “Manakala api neraka diciptakan, hati para malaikat terbang dari tempatnya, tetapi manakala Adam diciptakan, hati mereka kembali.”

 

Diriwayatkan bahwa manakala iblis melakukan perbuatannya, Jibril dan Mikail menangis, maka Allah mewahyukan kepadamu, “Tangisan apa ini?” Keduanya menjawab, “Ya Rabb, kami tidak merasa aman dari azabMu.” Allah berfirman, “Demikianlah hendaknya kalian.”

 

RASA TAKUT PARA NABI  KEPADA ALLAH

 

Wahb berkata, “Nabi Adam menangis menyesali surga selama tiga ratus tahun, dia tidak pernah menengadahkan wajahnya ke langit sejak melakukan kesalahan.”

 

Wuhaib bin al-Ward berkata, “Manakala Allah menegur Nuh karena anaknya, Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Hud: 46).

 

Maka Nabi Nuh menangis selama tiga ratus tahun sehingga di bawah kedua matanya terbentuk seperti selokan kecil karena air mata.”

 

Abu ad-Darda’ berkata, “Saat Nabi Ibrahim berdiri melaksanakan shalat, dari dadanya terdengar dari jauh bunyi seperti bejana mendidih karena takut kepada Allah.”

 

Mujahid berkata, ‘“Manakala Nabi Dawud melakukan kesalahan, dia sujud kepada Allah selama empat puluh hari sehingga dari tanah tempat dia sujud tumbuh sayuran yang menutupi kepalanya dari air matanya. Kemudian beliau berseru, ‘Ya Rabbi, kening sudah terluka, air mata sudah mengering dan Dawud tidak mengulang apa pun dari kesalahannya.’ Maka diserukan, ‘Apakah kamu lapar sehingga harus diberi makan, atau sakit sehingga harus di-sembuhkan, atau dizhalimi sehingga harus ditolong.’ Maka dia menangis dengan suara tangisan yang mengguncang segala sesuatu yang tumbuh. Dan saat itulah beliau diampuni.”

 

Ada vang berkata, “Orang-orang menjenguk Nabi Dawud  karena mereka menyangkanya sakit, padahal beliau tidak sakit, beliau demikian karena takut kepada Allah.”

 

Nabi Isa bila mengingat kematian, maka kulitnya meneteskan darah (karena takut kepada Allah).

 

Yahya bin Zakariya’ menangis sehingga gigi gerahamnya terlihat, lalu ibunya mengambil gumpalan bulu (wol) dan menempelkannya di kedua pipinya.”

 

RASA TAKUT NABI KITA KEPADA ALLAH

 

Dari Aisyah berkata,

 

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah 28 tertawa terbahak-bahak sampai aku melihat bagian dalam di tenggorokan beliau, beliau hanya tersenyum. Dan bila beliau melihat awan atau angin, maka hal itu terbaca dari wajah beliau. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, bila orang-orang melihat awan, mereka bersuka cita karena mereka berharap hujan, tetapi aku melihatmu bila engkau melihatnya tidak berbahagia.’ Beliau menjawab, ‘Wahai Aisyah, siapa yang menjamin untukku bahwa ia bukan azab? Ada kaum yang diazab dengan angin, ada kaum yang melihat azab, mereka berkata, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami’.’ (Al-Ahqaf: 24).” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

(Disebutkan dalam hadits lain), “Rasulullal a shalat dan (kadang) dari dadanya terdengar bunyi gemuruh seperti bejana mendidih karena menangis.

 

RASA TAKUT PARA SAHABAT KEPADA ALLAH

 

Kami meriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq bahwa beliau memegang lidah beliau dan berkata, “Ini yang menjerumuskanku ke dalam neraka.” Beliau berkata, “Aduhai gerangan, andai saja aku adalah tanaman yang dipetik lalu dimakan.” Hal ini juga diucapkan oleh Thalhah, Abu ad-Darda’ dan Abu Dzaar.

 

Umar bin al-Khaththab pernah mendengar ayat dan sesudahnya beliau sakit beberapa hari sampai dijenguk. Suatu hari beliau mengambil segenggam tanah dari bumi dan berkata, “Seandainya aku adalah tanah ini, seandainya aku bukan,   ‘sesuatu yang dapat disebut?’ (Al-Insan: 1), seandainya ibuku tidak pernah melahirkanku.” Di pipi Umar terdapat dua garis hitam karena seringnya beliau menangis. Utsman berkata, “Seandainya bila aku mati, aku tidak di-bangkitkan kembali.”

 

Abu Ubaidah bin al-Jarrah berkata, “Seandainya aku adalah domba yang disembelih oleh keluargaku, mereka makan dagingku dan minum kuahku.”

 

Imran bin al-Hushain berkata, “Seandainya aku adalah abu,  ‘yang diterbangkan oleh angin.’ (Al-Kahfi: 45).”

 

Hudzaifah – berkata, “Seandainya aku mempunyai seseorang yang mengurusi hartaku, kemudian aku menutup pintu sehingga tak seorang pun datang sampai aku mati.”

 

Di pipi Ibnu Abbas ada bekas seperti tali sandal karena air mata. Aisyah berkata, “Seandainya aku, ‘menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ (Maryam: 23).”

 

Ali berkata, “Demi Allah, sungguh aku melihat sahabat-sahabat Nabi Muhammad, aku tidak melihat hari ini sesuatu yang sama dengan mereka, mereka mendapatkan pagi dalam keadaan kusut yang berdebu, di antara mata mereka seperti lutut kambing, mereka melewati malam hari   ‘dengan bersujud dan berdiri (untuk Tuhan mereka).’ (Al-Furqan: 64), membaca Kitab Allah, mereka menggunakan kening dan kaki mereka secara bergantian, bila pagi tiba lalu mereka mengingat Allah, maka mereka miring seperti pohon ditiup angin kencang, air mata mereka menetes sehingga ia membasahi baju mereka. Demi Allah, seolah-olah mereka bermalam dalam keadaan lalai.”

 

RASA TAKUT PARA TABI’IN DAN SETELAH MEREKA KEPADA ALLAH

 

Harim bin Hayyan berkata, “Demi Allah, seandainya aku adalah sebatang tanaman yang dimakan oleh unta kemudian melemparkanku menjadi kotoran, dengan itu aku tidak bersusah payah menghadapi hisab di Hari Kiamat, sesungguhnya aku takut musibah besar.”

 

Bila Ali bin al-Husain berwudhu, maka wajahnya berubah pucat, dia ditanya, “Mengapa dirimu?” Dia menjawab, “Kalian tahu kepada siapa aku akan menghadap?”

 

Muhammad bin Wasi’ menangis sepanjang malam seakan tiada henti.

 

Umar bin Abdul Aziz , bila mengingat kematian, maka beliau menggigil seperti burung kehujanan, beliau menangis sampai air matanya membasahi jenggotnya. Suatu malam beliau menangis, maka keluarganya ikut menangis. Manakala air mata mereka berhenti, Fathimah (istri beliau) bertanya, “Aku korbankan bapak dan ibuku untukmu wahai Amirul Mukminin, kenapa engkau menangis?” Dia menjawab, “Aku teringat saat orang-orang bubar dari hadapan Allah, maka  ‘segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.’ (Asy-Syura: 7).” Kemudian beliau menangis lagi dan pingsan.

 

Manakala al-Manshur hendak datang ke Baitul Maqdis, dia mampir kepada seorang rahib yang pernah disinggahi oleh Umar bin Abdul Aziz. Al-Manshur berkata, “Katakan kepadaku apa yang membuatmu kagum kepada Umar.” Dia menjawab, “Suatu malam dia bermalam di loteng kamarku yang terbuat dari marmer, tiba-tiba aku merasakan air menetes dari lubang air, lalu aku naik, ternyata dia sedang sujud, dan air matanya mengalir melalui lubang air tersebut.”

 

Kami bahkan meriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Fath al-Mushili bahwa keduanya menangis darah.

 

Ibrahim bin Isa al-Yasykuri berkata, “Aku pernah datang kepada seorang laki-laki di Bahrain yang telah mengasingkan diri dari orang-orang dan menyibukkan dirinya, aku menyebutkan sebagian urusan akhirat dan kematian kepadanya, maka dia menangis tersedu-sedu sampai meninggal dunia.”

 

Misma’ berkata, “Aku pernah menyaksikan Abdul Wahid bin Zaid memberikan nasihat, maka di hari dan majelis tersebut ada empat orang yang meninggal dunia.”

 

Yazid bin Martsad adalah orang yang banyak menangis, dia berkata, “Demi Allah, seandainya Allah mengancamku akan memenjarakanku di kamar mandi, maka sudah sepatutnya bila aku menangis tiada henti, lalu bagaimana sementara dia mengancamku akan memenjarakanku di neraka bila aku bermaksiat kepadaNya?”

 

As-Sarri as-Saqathi berkata, “Setiap hari aku melihat hidungku karena takut wajahku menghitam.”

 

Inilah gambaran ketakutan para malaikat, para nabi, para ahli ibadah dan para wali kepada Allah, maka kita semestinya lebih takut dari mereka, bukan takut karena banyaknya dosa akan tetapi dengan kebersihan hati dan kesempurnaan ma’rifat. Kita merasa aman karena kebodohan menguasai kita dan hati kita yang sudah sedemikian keras. Hati yang bening akan tersentuh oleh sesuatu yang menakutkan serendah apa pun, sedang-kan hati yang beku akan menolak semua nasihat.

 

Sebagian as-Salaf berkata, aku berkata kepada seorang rahib, “Beri aku wasiat.” Dia berkata, “Bila engkau mampu, jadilah seperti seorang laki-laki yang dikepung oleh hewan buas dan hewan berbisa, dia takut dan berhati-hati, dia takut lalai sehingga akan dimangsa atau lupa sehingga dia akan disengat, dia ketakutan.” Aku berkata, “Tolong tambah lagi.” Dia berkata, “Orang yang haus cukup dengan air sekadarnya.”

 

Apa yang disebutkan oleh rahib ini tentang gambaran seorang laki-laki yang dikelilingi hewan buas dan binatang berbisa adalah hakikat keadaan seorang Mukmin. Siapa yang melihat batinnya dengan cahaya basirah, maka dia melihat dirinya dikelilingi oleh hewan buas atau binatang berbisa, seperti amarah, kedengkian, hasad, takabur, ujub, riya’’ dan lain-lainnya. Bila dia lalai, maka mereka semuanya akan memangsa atau menyengatnya. Hanya saja mereka tidak dapat dilihat dengan matanya. Bila tabir itu terangkat dan dia diletakkan di dalam kubur, maka dia akan melihat ular dan kalajengking akan menyengatnya, dan semua itu adalah sifat-sifat tercelanya yang ada saat ini. Barangsiapa hendak membunuh dan mengalahkannya sebelum mati, maka lakukanlah. Bila tidak, hendaknya bersiap-siap untuk menerima racunnya di dalam hatinya, terlebih bagian luar tubuhnya.

 

Wassalam. Akhir Kitab Rasa Takut kepada Allah.

 

Ketahuilah bahwa cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan dan membencinya adalah dasar setiap ketaatan. Celaan terhadapnya telah disebutkan pada Seperempat yang Membinasakan. Sekarang kami akan menjelaskan keutamaan membencinya dan zuhud padanya, karena ia adalah pangkal keselamatan. Terputus dari dunia bisa jadi karena dunia menjauhinya, ini disebut dengan kefakiran dan bisa juga dengan seorang hamba menjauh darinya, ini disebut dengan zuhud. Setiap dari keduanya memiliki derajat dalam meraih kebahagiaan dan bagian dalam membantu merengkuh keberuntungan dan keberhasilan. Kami menjelaskan kefakiran dan zuhud, tingkatan keduanya, bagianbagian keduanya dan hal-hal yang berkenaan dengannya dalam dua bagian berikut:

 

Bagian Pertama: Kefakiran

 

[Hakikat Kefakiran, Perbedaan Kondisi Orang Fakir dan Derajat-Derajatnya yang Tinggi]

 

Ketahuilah bahwa orang fakir adalah orang yang membutuhkan sesuatu. Setiap yang ada selain Allah adalah fakir, karena dia memerlukan kelangsungan hidup dan hal itu berasal dari karunia Allah.

 

Adapun kefakiran hamba kepada berbagai macam kebutuhannya tidak terhitung. Di antara hajat-hajatnya ada yang bisa diraih dengan harta, kemudian bisa digambarkan lima keadaannya saat dia membutuhkan:

 

Pertama: Seandainya harta datang kepadanya, maka dia tidak menyukainya dan merasa terganggu olehnya. Dia lari darinya karena membencinya, takut menghadapi keburukan dan kesibukannya; pemilik keadaan ini disebut dengan orang zuhud.

 

Kedua: Dia tidak berhasrat kepadanya namun dia berbahagia dengan mendapatkannya, tidak membencinya dan tidak merasa terganggu olehnya; pemilik keadaan ini disebut dengan orang yang ridha (dengan yang ada).

 

Ketiga: Keberadaan harta baginya lebih dia sukai daripada ketiadaannya, karena dia senang kepadanya. Akan tetapi kesenangannya ini tidak menggerakkannya untuk memintanya, sebaliknya bila harta itu datang begitu saja tanpa diminta, maka dia menerimanya dan berbahagia karenanya. Bila dalam mencarinya harus berlelah-lelah, maka dia tidak suka menyibukkan diri dengannya; pemilik keadaan ini disebut dengan orang yang gana’ah.

 

Keempat: Dia tidak mencari karena memang tidak mampu, padahal sebenarnya dia berhasrat kepadanya. Seandainya ada jalan untuk mencarinya dengan berlelah-lelah, maka dia akan mencarinya; pemilik keadaan ini disebut dengan orang yang berhasrat kuat.

 

Kelima: Dia dituntut untuk mencari harta seperti orang yang lapar yang tidak memiliki apa yang dimakan dan seperti orang yang telanjang yang tidak memiliki apa yang dipakai. Orang ini disebut dengan orang terpaksa, bagaimana pun keinginannya dalam mencari; kuat atau Jemah.

 

Dari kelima keadaan di atas, yang paling tinggi adalah yang pertama, yaitu zuhud. Setelahnya ada keadaan lain yang lebih tinggi, yaitu ada dan tidak adanya harta baginya adalah sama saja, bila ada maka dia tidak berbahagia, bila tidak ada maka dia tidak terganggu, sebagaimana yang kami riwayatkan dari Aisyah bahwa harta datang kepada beliau dalam dua karung, lalu beliau langsung membaginya di hari itu, maka hamba sahayanya berkata kepadanya, “Mengapa engkau tidak menyisakan satu dirham dari apa yang engkau bagi untuk makanan berbuka kita?” Aisyah menjawab, “Mengapa engkau tidak mengingatkanku?”

 

Barangsiapa yang keadaannya demikian, seandainya dunia dengan segala isinya ada di tangannya, niscaya ia tidak berdampak buruk baginya, karena dia memandang harta ada di dalam perbendaharaan Allah, bukan di tangannya.

 

Pemilik keadaan ini patut diberi nama mustaghni (cukup), karena dia tetap sama, baik pada saat harta ada atau tidak. Bila orang yang zuhud pada dunia tidak mencintai harta, baik ketika ada atau tidak ada, maka dia dalam puncak kesempurnaan.

 

Ahmad bin Abu al-Hawari berkata kepada Abu Sulaiman adDarani, “Malik bin Dinar berkata kepada al-Mughirah, ‘Pulanglah ke rumah dan ambillah zakat yang telah engkau berikan kepadaku, sesungguhnya setan menggodaku bahwa maling telah mengambilnya.’ Abu Sulaiman berkata, ‘Ini termasuk zuhud lemah, dia sudah zuhud pada dunia, tidak mengapa dia mengambilnya’.”

 

Berlari menjauh dari harta dan berzuhud padanya untuk orang-orang lemah adalah kesempurnaan, adapun untuk para nabi yang kuat, maka ada dan tidaknya adalah sama. Terkadang orang kuat memperlihatkan diri menjauh dari harta agar orang-orang lemah mengikutinya dalam meninggalkannya. Wallahu a’lam.

 

PASAL

KEUTAMAAN ORANG FAKIR DAN KEUTAMAAN KEFAKIRAN ATAS KEKAYAAN

 

Dalam beberapa ayat Allah us berfirman dalam konteks menyanjung orang-orang fakir,

 

” (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah.” (Al-Baqarah: 273).

 

Allah berfirman,

 

“Bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman. (Al-Hasyr: 8).

 

Hadits-hadits berjumlah banyak, di antaranya sabda Nabi

 

“Aku berdiri di pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang fakir, hanya saja para pemilik harta tertahan.”

 

Dan selengkapnya hadits tersebut, hadits ini diriwayatkan dalam ash-Shahihain. Juga dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,

 

“Ya Allah, jadikanlah rizki keluarga Muhammad adalah makanan pokok saja.”

 

Juga dalam ash-Shahihain dari hadits Aisyah beliau berkata,

 

“Keluarga Muhammad sejak datang ke Madinah tidak pernah kenyang roti gandum tiga malam berturut-turut sampai beliau wafat.”

 

Dalam Shahili Muslim dari hadits Umar , beliau berkata,

 

“Sungeuh aku melihat Rasulullah, seharian bolak-balik berbaring dengan perut beliau karena beliau tidak mendapatkan kurma jelek sekalipun (untuk mengisi perut beliau).”

 

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Orang-orang fakir dari kaum Mukminin akan masuk surga lima ratus tahun sebelum orang-orang kaya di antara mereka.”

 

At-Tirmidzi berkata, “Hadits shahih.” Nabi bersabda kepada Aisyah

 

“Janganlah engkau bergaul dengan orang-orang kaya.”

 

Nabi juga bersabda,

 

“Seorang hamba akan dihadirkan di Hari Kiamat lalu Allah menjelaskan alasanNya kepadanya sebagaimana seorang laki-laki beralasan di depan kawannya di dunia. Allah berfirman, ‘Demi kemuliaan dan keagunganKu, Aku tidak menjauhkan dunia darimu karena remehnya dirimu di sisiKu, akan tetapi karena kemuliaan yang Aku sediakan untukmu. Wahai hambaKu, keluarlah ke barisan-barisan ini, siapa yang memberimu makan atau pakaian karena berharap WajahKu, maka peganglah tangannya dan dia untukmu’ “

 

Dikatakan kepada Nabi Musa, “Bila engkau melihat kefakiran datang, maka katakanlah kepadanya, ‘Selamat datang wahai syi’ar orang-orang shalih.’ Bila engkau melihat kekayaan datang, maka katakanjah, ‘Dosa yang hukumannya disegerakan’.”

 

Abu ad-Darda’ berkata, “Hisab pemilik dua dirham lebih berat daripada hisab pemilik satu dirham.”

 

Orang-orang fakir berada di depan orang-orang kaya di majelis Imam ats-Tsauri.

 

Seorang laki-laki datang kepada Ibrahim bin Ad-ham il dengan membawa sepuluh ribu dirham dan Ibrahim tidak mau menerimanya, dia berkata, “Maukah engkau menghapus namaku dari daftar orang-orang fakir. Aku tidak akan melakukannya.”

 

Nabi bersabda,

 

“Beruntung orang yang diberi hidayah kepada Islam, penghidupannya cukup, dan qana’ah menerima apa yang Allah berikan untuknya.”

 

Kami sudah membahas gana’ah, celaan terhadap ketamakan dan ambisi dalam Kitab Celaan terhadap Harta, sehingga tidak perlu diulang di sini dan hal itu tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan kesabaran yang kuat.

 

[Perbandingan Keutamaan antara Orang Kaya dan Orang Fakir]

 

Perbandingan keutamaan antara orang kaya dan orang fakir, maka zahir dalil-dalil naqli menunjukkan keutamaan orang fakir, tetapi masalah ini membutuhkan perincian.

 

Kami katakan, Perbandingan dan perbedaan ini hanya tergambar terjadi keraguan dan perselisihan pada orang fakir yang sabar dan tidak berambisi, dengan orang kaya yang bersyukur yang membelanjakan hartanya dalam kebaikan, atau antara orang fakir yang berambisi dan orang kaya yang berambisi. Tidak diragukan lagi, bahwa orang fakir yang qana’ah lebih utama daripada orang kaya yang berambisi dan menahan hartanya. Orang kaya yang menginfakkan hartanya dalam kebaikan lebih utama daripada orang miskin yang berambisi. Bila orang kaya menikmati harta dalam hal-hal yang mubah maka orang fakir yang qana’ah lebih utama.

 

Tabir yang patut dibuka dalam masalah ini adalah suatu perkara yang merupakan sarana menuju perkara yang lain, tidak dimaksudkan wujudnya, maka sepatutnya dilihat tujuannya, karena dengannya keutamaannya akan terlihat. Dunia tidak buruk dari sisi wujudnya. Ia bisa menjadi buruk bila menjadi penghalang untuk menuju Allah tls, kefakiran juga tidak dituntut dari sisi wujudnya. Akan tetapi karena dengan kefakiran berarti hilanglah penghalang (kepada Allah) dan tidak menyibukkan seseorang dari Allah.

 

Berapa banyak orang kaya yang tidak disibukkan dari Allah oleh kekayaannya, seperti Nabi Sulaiman, demikian juga Utsman dan Abdurrahman bin Auf. Sebaliknya berapa banyak orang miskin yang disibukkan oleh kemiskinannya dari tujuannya. Kemiskinan memalingkannya dari cinta dan kesukaan kepada Allah. Yang menyibukkannya adalah cinta dunia, karena perkara yang satu ini tidak berkumpul bersama cinta Allah, karena orang yang mencintai sesuatu pasti akan sibuk dengannya, baik saat berpisah atau saat bertemu, bahkan kesibukannya saat berpisah bisa lebih banyak.

 

Dunia adalah kekasih orang-orang lalai, orang yang tidak mendapatkannya akan sibuk memburunya, yang berkuasa atasnya akan sibuk menjaganya dan tenggelam dalam menikmatinya.

 

Bila engkau memandang perkara ini dengan pertimbangan lebih, maka orang fakir lebih jauh dari bahaya, karena fitnah (ujian) kelapangan lebih berat daripada fitnah kesulitan. Termasuk keterjagaan adalah saat engkau tidak mendapatkan (fitnah). Hal itu merupakan tabiat anak manusia kecuali sedikit dari mereka. Maka syariat hadir mencela kekayaan dan mengutamakan kefakiran, dan perkara yang menunjukkan keutamaannya telah disebutkan sebelumnya.

 

Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Dua orang Mukmin bertemu di pintu surga; seorang Mukmin kaya dan seorang Mukmin fakir di dunia. Lalu orang fakir dimasukkan ke dalam surga tetapi Mukmin kaya ditahan sampai waktu yang Allah kehendaki, kemudian dia dimasukkan ke dalam surga, dia bertemu dengan Mukmin fakir. Mukmin fakir bertanya kepadanya, ‘Saudaraku, apa yang membuatmu tertahan? Demi Allah, engkau tertahan dalam waktu yang membuatku khawatir.’ Dia menjawab, ‘Saudaraku, aku tertahan sesudahmu dalam keadaan yang menakutkan dan tidak menyenangkan, aku tidak sampai kepadamu sehingga aku mengeluarkan keringat yang seandainya diminum oleh seribu unta yang makan daun-daun yang asam, niscaya unta-unta itu meninggalkannya dalam keadaan kenyang (puas minum)’.”

 

Ketahuilah bahwa berpisah dengan sesuatu yang dicintai itu berat. Bila engkau mencintai dunia, maka engkau akan membenci bertemu Allah. Engkau akan berpulang kepadaNya dalam keadaan tidak suka karena engkau berpisah dengan apa yang engkau cintai. Siapa pun yang berpisah dengan orang yang dicintainya, maka rasa sakitnya sesuai dengan kadar cinta dan kesukaan kepadanya, maka sepatutnya engkau mencintai Allah yang tidak akan berpisah darimu dan jangan mencintai dunia yang pasti engkau tinggalkan.

 

PASAL

ADAB ORANG FAKIR DALAM KEFAKIRANNYA

 

Hendaklah tidak membenci ujian Allah yang dianugerahkanNya kepadanya yaitu kefakirannya.

 

Lebih tinggi dari hal ini, hendaklah dia ridha dan berbahagia, bertawakal kepada Allah, dan bergantung kepadaNya. Sebaliknya, bila mengadu kepada manusia dan tidak mengadu kepada Allah, maka kefakiran itu adalah hukuman atasnya, Tidak sepatutnya memperlihatkan keluh kesah, sebaliknya yang patut adalah memperlihatkan sikap menjaga ifah (kehormatan diri) dan bersabar.

 

Allah  berfirman, 

 

“Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.” (Al-Baqarah: 273).

 

Orang fakir seyogianya tidak merendahkan diri kepada orang kaya karena kekayaannya, tidak pula berhasrat untuk bergaul dengannya.

 

Dia juga patut tidak berhenti beribadah karena kefakirannya, tidak kikir berinfak dengan apa yang lebih dari kebutuhannya, karena itu adalah usaha (sedekah) orang yang pas-pasan.

 

Abu Dzar pernah bertanya,

 

“Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Usaha (sedekah) orang yang sedikit harta kepada orang fakir secara rahasia.”

 

ADAB ORANG FAKIR DALAM MENERIMA PEMBERIAN

 

Bila harta datang kepadanya tanpa meminta, maka seyogianya dia melihat pemberian tersebut dari tiga sisi: sisi harta itu sendiri, tujuan pemberi, dan tujuannya dalam menerima.

 

-Dari sisi harta itu sendiri, hendaknya harta bebas dari segala bentuk syubhat, bila ada syubhat padanya, maka jangan diterima. Tingkatan syubhat, apa yang wajib dan dianjurkan untuk dijauhi, telah disebutkan dalam Kitab Halal dan Haram.

 

– Dari sisi kedua, yaitu tujuan pemberi, tidak lepas dari beberapa kemungkinan berikut:

 

Pertama: Mencari hubungan baik yaitu hadiah. Ini tidak mengapa menerimanya, bila ia bukan suap dan tidak membuatnya berutang jasa.

 

Kedua: Tujuan pemberi adalah pahala. Ini adalah zakat dan sedekah, dalam kondisi ini hendaknya dia melihat kepada sifat-sifat dirinya, apakah dia berhak atau tidak? Bila tidak tahu jawabannya, maka ini adalah syubhat. Bila harta tersebut adalah sedekah, orang yang memberi hanya memberi karena pertimbangan agamanya, hendaknya melihat kepada batinnya. Bila dia menyimpan kemaksiatan secara rahasia, dia mengetahui bahwa seandainya pemberi mengetahui hal itu niscaya tabiatnya akan menjauh darinya dan tidak akan mendekatkan diri kepada Allah dengan memberikan sedekah kepadanya, maka hendaknya dia tidak menerima, sebagaimana bila pemberi memberinya karena dia menyangkanya seorang ulama dan ternyata bukan.

 

Ketiga: Tujuan pemberi adalah riya’’, sum’ah dan agar dikenal, maka sepatutnya dia menolak tujuannya yang rusak ini dengan tidak menerimanya. Sebab bila dia menerimanya, maka dia membantunya di atas tujuannya yang rusak tersebut.

 

Dari sisi ketiga, yaitu tujuan dalam menerima, hendaknya melihat apakah dia membutuhkannya atau tidak? Bila tidak maka tidak boleh menerima. Bila memerlukan dan harta tersebut bebas dari syubhat dan mudarat yang telah kami sebutkan, maka yang lebih utama adalah menerimanya, berdasarkan sabda Nabi  kepada Umar bin al-Khaththab

 

“Apa yang datang kepadamu dari hartamu ini sementara engkau tanpa ketamakan dan tanpa meminta, maka terimalah, dan apa yang tidak, maka janganlah melelahkan dirimu.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dalam hadits lain,

 

“Barangsiapa yang didatangkan suatu pemberian baik dari saudaranya tanpa ketamakan dan tanpa memiuta, maka hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya; karena sesungguhnya itu adalah rizki yang Allah bawa kepadanya.”

 

PASAL

HARAMNYA MEMINTA-MINTA TANPA ALASAN DARURAT DAN ADAB ORANG FAKIR YANG TERPAKSA MEMINTA

 

Ketahuilah bahwa ada banyak hadits yang melarang memintaminta dan ada juga hadits-hadits yang memberikan keringanan.

 

Di antara yang memberikan keringanan, seperti sabda Nabi,

 

“Orang yang meminta mempunyai hak, sekalipun dia datang dengan mengendarai seekor kuda.”

 

Di sebagian hadits disebutkan,

 

“Berilah peminta walaupun hanya dengan kaki (hewan potong) yang dibakar.”

 

Seandainya meminta itu haram (secara mutlak), maka tidak boleh memberi orang lain pertolongan untuk melakukan permusuhan (secara mutlak). Memberi pemberian adalah bentuk pertolongan.

 

Sedangkan hadits-hadits yang melarang, (di antaranya) Ibnu Umar wi berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Salah seorang di antara kalian terus-menerus meminta-minta sehingga dia bertemu dengan Allah sementara tidak tersisa di wajahnya sepotong daging pun.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dalam ash-Shahihain juga bahwa Nabi menyinggung sikap menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, maka beliau bersabda,

 

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”

 

Tangan di atas adalah tangan yang memberi dan tangan di bawah adalah yang meminta.

 

Dalam hadits Ibnu Mas’ud bahwa Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa meminta-minta padahal dia mempunyai harta yang mencukupinya, maka perbuatannya itu akan hadir di Hari Kiamat sebagai bekas cakaran atau bekas luka di wajahnya….” Al-Hadits dan ini adalah hadits hasan.

 

Dalam masalah ini, banyak hadits lain.

 

Untuk menjelaskan hal ini kami berkata, meminta-minta pada dasarnya haram, karena tidak bebas dari tiga perkara:

 

Pertama: Berkeluh kesah.

 

Kedua: Merendahkan diri dan “seorang Mukmin tidak patut melakukan itu

 

Ketiga: Menggangyu orang yang diminta pada umumnya.

 

Meminta-minta dibolehkan dalam keadaan darurat dan hajat penting yang mendekati darurat. Perkara yang darurat, adalah seperti orang yang lapar yang takut sakit atau mati, seperti orang yang tidak punya pakaian meminta apa yang menutupi auratnya.

 

Adapun orang yang memiliki hajat dengan hajat penting seperti orang yang mempunyai jubah atasan dan tidak mempunyai bawahan di musim dingin, dia sangat terganggu oleh udara dingin, sekalipun tidak mencapai batas darurat. Demikian juga orang yang mampu berjalan namun dengan kesusahan, boleh meminta untuk menyewa kendaraan, namun tidak meminta-minta lebih utama baginya.

 

Orang yang memiliki roti dan dia memerlukan lauk, dia boleh meminta sekalipun makruh. Demikian juga bila dia meminta tandu di atas punggung unta padahal dia bisa duduk tanpanya.

 

Sepatutnya dalam meminta seperti ini menampakkan syukur kepada Allah, bukan meminta sebagai orang yang membutuhkan, dia berkata, “Aku sudah merasa cukup dengan apa yang aku miliki, tetapi jiwaku menuntutku.” Dengan ini dia tidak termasuk ke dalam berkeluh kesah.

 

Sepatutnya meminta kepada bapaknya, atau kerabatnya, atau temannya yang dengan itu harga dirinya tidak jatuh di matanya, atau orang dermawan yang menyiapkan hartanya untuk kebaikan, sehingga dengan itu dia tidak terhina.

 

Bila ada yang memberi, sedangkan dia mengetahui bahwa orang tersebut memberi karena malu, maka dia tidak boleh menerima, wajib mengembalikannya kepada pemiliknya.

 

Orang fakir hanya boleh meminta sebatas hajatnya, rumah untuk tempat tinggal, pakaian yang menutup auratnya, dan makanan yang menegakkan tulang sulbinya.

 

Di dunia ini dia patut memperhatikan hal-hal sebatas kadar kecukupan tanpa berlebih-lebihan dalam hal itu, Bila dia mengetahui bahwa ada orang yang setiap harinya meminta, maka dia tidak boleh meminta lebih dari makanannya untuk sehari semalam. Bila khawatir tidak ada yang memberinya atau khawatir tidak bisa meminta maka boleh meminta lebih.

 

Secara umum dia tidak boleh meminta lebih dari kadar kecukupan untuk setahun, kepada makna inilah hadits yang menetapkan kadar kecukupan dengan lima puluh dirham dibawa. Jumlah ini cukup bagi orang sendirian yang hidup sederhana untuk setahun, kalau untuk orang yang berkeluarga, maka tidak cukup.

 

TINGKATAN KEADAAN ORANG YANG MEMINTA-MINTA

 

Bisyr al-Hafi berkata, “Orang fakir ada tiga:

 

Pertama, orang fakir yang tidak meminta, bila diberi pun, dia tidak menerima, ini termasuk kalangan spiritualitas.

 

Kedua, orang fakir yang tidak meminta, namun bila diberi, dia menerima, ini termasuk orang yang menjaga kesucian diri.

 

Ketiga, orang fakir yang bila membutuhkan dia meminta, maka kafarat permintaannya adalah kejujurannya dalam meminta.”

 

Syaikh Jamaluddin berkata, “Kesimpulannya, jika orang fakir mampu menutupi kebutuhannya tanpa meminta, maka dia tidak boleh meminta. Jika tanpa meminta mengantarkan pada kesulitan, maka perhatikan, bila sepertinya tidak kuasa dipikulnya namun tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya, maka dia boleh meminta namun meninggalkannya adalah keutamaan baginya, bila sepertinya tidak kuasa dipikulnya (dan dikhawatirkan membahayakan dirinya), maka wajib meminta.”

 

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa lapar dan tidak meminta hingga dia mati, maka dia masuk neraka.”

 

Bagian Kedua: Hakikat Zuhud, Keutamaan, Tingkatan Tingkatan, Macam Macamnya dan Hal Hal yang Semisalnya

 

[Hakikat Zuhud]

 

Ketahuilah bahwa zuhud terhadap dunia adalah kedudukan yang mulia dari orang-orang yang berjalan menuju akhirat. Zuhud adalah memalingkan keinginan dari sesuatu kepada apa yang lebih baik darinya. Sesuatu yang dia berpaling darinya itu haruslah sesuatu yang memang patut disukai dilihat dari sisi yang lain. Maka barangsiapa berpaling dari sesuatu yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki secara zatnya, maka dia bukan orang zuhud, seperti orang yang tidak mau makan tanah, dia bukan zuhud.

 

Secara umum sebutan zuhud dikhususkan bagi orang yang meninggalkan dunia. Barangsiapa zuhud terhadap segala sesuatu selain Allah, maka dialah ahli zuhud yang sempurna. Barangsiapa zuhud terhadap dunia disertai dengan keinginannya kepada surga dan kenikmatannya, maka dia juga adalah ahli zuhud, walaupun kedudukannya lebih rendah dari yang pertama.

 

Ketahuilah bahwa zuhud bukan sekadar meninggalkan harta, memberikannya dengan kemurahan hati, (menunjukkan) kemampuan mengambil hati manusia. Akan tetapi zuhud adalah meninggalkan dunia karena mengetahui kerendahannya dibandingkan dengan nilai akhirat.

 

Barangsiapa mengetahui bahwa dunia seperti es yang dapat mencair dan akhirat seperti mutiara yang langgeng, maka hasratnya untuk menjual dunia dengan akhirat akan menguat, hal ini ditunjukkan oleh Firman Allah,

 

“Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa’.” (An-Nisa’: 77).

 

Dan Firman Allah

 

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96).

 

[Keutamaan Zuhud]

 

Di antara keutamaan zuhud adalah Firman Allah

 

“Dan janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya.” (Thaha: 131).

 

Nabi bersabda, 

 

“Barangsiapa mendapatkan pagi sementara pikiran utamanya adalah dunia, maka Allah akan menceraiberaikan urusannya, mencecerkan harta miliknya, dan menjadikan kefakirannya di depan kedua matanya, dunia tidak mendatanginya kecualt apa yang telah Allah tulis baginya. Barangsiapa mendapatkan pagi sementara pikiran utamanya adalah akhirat, maka Allah akan menyatukan pikirannya, menjaga harta miliknya, dan menjadikan kekayaannya di dalam hatinya, serta dunia akan mendatanginya dalam keadaan tunduk.”

 

Al-Hasan berkata, “Manusia dibangkitkan dalam keadaan telanjang kecuali ahli zuhud.”

 

Beliau juga berkata, “Beberapa orang memuliakan dunia, maka dunia menyalib mereka di sebatang kayu, maka rendahkanlah dunia. Keadaan paling menenangkan adalah bila engkau merendahkannya.”

 

Al-Fudhail berkata, “Semua keburukan diletakkan di sebuah rumah dan kuncinya adalah cinta dunia. Kebaikan juga diletakkan di sebuah rumah dan kuncinya adalah zuhud terhadap dunia.”

 

Sebagian as-Salaf berkata, “Zuhud terhadap dunia mengistirahatkan hati dan badan, sedangkan berharap dunia memperbanyak kegelisahan dan kesedihan.”

 

PASAL

TINGKATAN-TINGKATAN ZUHUD DAN MACAM-MACAMNYA

 

(Tingkatan Pertama); di antara manusia ada yang zuhud terhadap dunia padahal dia menginginkannya, akan tetapi dia melawan jiwanya. Ini disebut dengan orang yang berusaha zuhud, ini adalah langkah awal zuhud.

 

Tingkatan kedua: Zuhud terhadap dunia secara suka rela, jiwanya tidak memaksanya untuk itu, hanya saja dia melihat dan menaruh perhatian pada zuhudnya, dia hampir takjub dengan dirinya. Dirinya menganggap telah meninggalkan sesuatu yang berharga untuk sesuatu yang lebih besar, sebagaimana dia meninggalkan satu dirham untuk mendapatkan dua dirham, ini juga masih kurang.

 

Tingkatan ketiga: Ini yang tinggi. Zuhud secara suka rela, benarbenar zuhud. Dia tidak memandang dirinya meninggalkan sesuatu, karena dia menyadari bahwa dunia bukanlah apa-apa, seperti orang yang meninggalkan secarik kain dan mengambil mutiara. Dia tidak memandangnya sebagai jual beli, karena dunia di depan kenikmatan akhirat lebih rendah daripada secarik robekan kain dibanding mutiara. Ini adalah kesempurnaan dalam zuhud.

 

Ketahuilah bahwa orang yang meninggalkan dunia seperti orang yang tertahan di gerbang raja oleh seekor anjing, lalu dia melemparkan sepotong roti sehingga anjing itu sibuk menyantapnya dan dia masuk dengan bebas dan mendekat kepada raja. Apakah dia melihat telah berjasa kepada raja hanya dengan sepotong roti yang dilemparkannya kepada anjing sementara dia bisa menemuinya?

 

Setan adalah anjing di depan pintu Allah, yang menghalanghalangi manusia untuk memasukinya, padahal pintu itu selalu ter-buka tanpa penghalang, sementara dunia seperti sepotong roti. Barangsiapa meninggalkannya untuk bisa mendapatkan kedudukan di sisi raja, apakah dia masih menoleh kepadanya? Kemudian perbandingannya, maksudku apa yang didapatkan oleh setiap orang dari dunia walaupun dia hidup,   “seribu tahun.” (Al-Baqarah: 96), dibandingkan dengan kenikmatan akhirat lebih sedikit daripada sesuap roti di depan kerajaan dunia, karena yang fana tidak dapat dibandingkan dengan yang abadi, lalu bagaimana bila masa hidup itu pendek dan kenikmatan dunia ternyata hanya keruh?

 

Macam-macam zuhud dari sisi apa yang diinginkan, terbagi menjadi tiga derajat:

 

Derajat Pertama: Zuhud agar selamat dari siksa, hisab dan ketakutan-ketakutan yang akan dihadapi manusia; ini adalah zuhud orang-orang yang takut.

 

Derajat Kedua: Zuhud karena berharap pahala dan kenikmatan yang dijanjikan, ini adalah zuhud orang-orang yang berharap, mereka ini meninggalkan kenikmatan karena berharap kenikmatan.

 

Derajat Ketiga: Ini yang tinggi, yaitu tidak zuhud terhadap dunia agar terbebas dari penderitaan dan bukan pula karena berharap mendapatkan kenikmatan, akan tetapi ia zuhud dalam rangka bisa bertemu Allah. Ini adalah zuhud orang-orang muhsinin dan orang-orang yang mengenal Allah. Kenikmatan melihat Allah dibandingkan dengan kenikmatan-kenikmatan surga seperti kenikmatan meraih dan menguasai kerajaan dunia dibandingkan dengan kenikmatan memiliki seekor burung kecil dan mempermainkannya.

 

PASAL

RINCIAN ZUHUD TERKAIT DENGAN PERKARA YANG MENJADI TUNTUTAN HIDUP YANG POKOK

 

Kebutuhan dasar utama ada tujuh: makanan, pakaian, tempat tinggal dan perkakasnya, pernikahan, harta, dan kedudukan.

 

Adapun yang pertama: Makanan. Ketahuilah bahwa keinginan orang zuhud terhadap makanan hanya sebatas menghilangkan rasa lapar yang sesuai dengan badannya, tanpa bermaksud mencari kenikmatan.

 

Dalam hadits disebutkan,

 

“Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu bukanlah orang-orang yang tenggelam dalam kenikmatan.”

 

Aisyah berkata kepada Urwah,

 

“Tiga kali hilal terbit kepada kami (dua bulan), selama itu di rumah Rasulullah tidak dinyalakan api.” Urwah bertanya, “Bibi, lalu dengan apa kalian hidup?” Aisyah menjawab, “Dengan aswadain: kurma dan air.”

 

Banyak hadits dalam masalah ini.

 

Jumhur ahli zuhud memilih makanan yang kasar, tapi di antara mereka ada yang tidak sanggup, seperti ats-Tsauri yang makanannya bagus, terkadang dia membawa bekal dalam kantongnya berupa daging panggang dan faludzaj (kue manis dari adonan tepung dan madu).

 

Secara umum orang yang zuhud hanya memakan apa yang dibutuhkan oleh tubuhnya, tidak sampai menghayati kenikmatannya. Hanya saja badan manusia tidak sama, di antara mereka ada yang tidak sanggup dengan makanan yang kasar.

 

Sebagian manusia mungkin menyimpan bekal yang halal sebagai makanan pokoknya dan hal itu tidak mengeluarkannya dari kategori zuhud. As-Sabti ws misalnya, bekerja dari Sabtu ke Sabtu dan menyimpan hasilnya sebagai bekal hidupnya.

 

Dawud ath-Tha‘i mewarisi dua puluh dinar, dia membelanjakannya dalam masa dua puluh tahun.

 

Kedua: Pakaian. Orang yang zuhud membatasi diri pada apa yang dapat melindungi tubuhnya dari panas dan dingin serta menutup aurat. Tidak mengapa memperhatikan penampilan yang lusuh menjadi populer (dengan keanehan). Dahulu kebanyakan baju orang as-Salaf berbahan kasar, tapi kemudian memakai kain kasar menjadi aneh.

 

Diriwayatkan dari Abu Burdah bahwa dia berkata,

 

” Aisyah menunjukkan kepada kami kain yang tertambal dan kain sarung yang kasar, lalu beliau berkata, ‘Rasulullah wafat dengan mengenakan sepasang kain ini’,” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dari al-Hasan ail berkata, “Umar berkhutbah sebagai khalifah dengan kain sarung yang tambalannya mencapai dua belas.”

 

Ketiga: Tempat tinggal. Ahli zuhud dalam perkara ini terbagi menjadi tiga derajat:

 

Yang paling tinggi: Tidak menentukan tempat khusus untuk dirinya, merasa cukup dengan sudut masjid seperti ashhabus suffah.”

 

Yang tengah: Menentukan tempat khusus untuk dirinya seperti gubuk dari pelepah kurma atau dari kayu dan yang sepertinya.

 

Yang paling rendah adalah membangun kamar permanen.

 

Bila seseorang menginginkan tempat tinggal yang lapang dan atap yang tinggi, maka dia telah melewati batas zuhud dalam tempat tinggal. Rasulullah wafat dan beliau tidak meletakkan bata di atas bata (tidak memiliki rumah permanen).

 

Al-Hasan berkata, “Bila aku masuk rumah-rumah istri Rasulullah, maka aku (dapat) menjangkau atapnya (karena rendahnya).”

 

Dalam hadits disebutkan,

 

“Sesungguhnya seorang Muslim benar-benar diberi pahala dalam setiap sesuatu yang dinafkahkannya kecuali sesuatu yang dia letakkan di tanah ini.”

 

Ibrahim an-Nakha’i berkata, “Bila bangunan sudah mengelilinginya, maka tidak ada dosa dan tidak ada pahala.”

 

Secara umum semua sarana kepada sebuah hajat tidak patut melebihi batas zuhud.

 

Keempat: Perkakas rumah. Orang yang zuhud seyogianya membatasi diri pada bejana dari tanah liat, menggunakan satu bejana untuk hajat-hajatnya, makan dengan satu piring dan minum darinya. Barangsiapa memiliki alat-alat dalam jumlah banyak atau perkakas-perkakas mahal, maka dia keluar dari kategori zuhud.

 

Silakan melihat sirah Rasulullah. Dalam Shahih Muslim dari hadits Umar bin al-Khaththab beliau berkata,

 

“Aku pernah masuk kepada Rasulullah yang saat itu sedang tidur di atas sebuah tikar, ternyata tikar itu membekas di pinggang beliau, lalu aku melihat kotak (penyimpanan) Rasulullah, dan aku hanya mendapatkan setumpuk kecil gandum kurang lebih satu sha’.”

 

Dalam riwayat al-Bukhari,

 

“Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu yang bisa dilihat.”

 

Hadits ini masyhur dalam Shahih Muslim.

 

Ali berkata, “Aku menikah dengan Fathimah sementara alas tidur yang kami punyai hanyalah selembar tikar kulit domba. Malam hari kami tidur di atasnya. Siang hari kami gunakan untuk mencari makan buat unta, aku tidak mempunyai orang yang membantuku selainnya. Fathimah pernah membuat adonan, hingga pernah ubunubunnya menyentuh pinggir nampan karena kelelahan.”

 

Seorang laki-laki masuk rumah Abu Dzar, dia menengok kanan kiri di ramahnya, maka dia berkata, “Wahai Abu Dzar, aku tidak melihat perkakas dan barang di rumahmu.” Dia menjawab, “Kami punya rumah lain, ke sanalah kami mengirim barang-barang bagus kami.” Dia berkata, “Engkau harus tetap mempunyai barang selama engkau di sini.” Maka Abu Dzar berkata, “Sesungguhnya pemilik rumah tidak membiarkan kami di sini.”

 

Kelima: Pernikahan. Bukan berarti tidak zuhud jika seseorang menikah dan memiliki banyak istri.

 

Sahl bin Abdullah berkata, “Rasulullah mencintai wanita.”

 

Ali termasuk di antara sahabat yang paling zuhud, tetapi beliau menikah dengan empat wanita dan mempunyai belasan sahaya wanita.

 

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Setiap yang menyibukkanmu dari Allah berupa keluarga, harta, dan anak, maka ia pembawa sial.”

 

Penjelasan bab ini, kami katakan, Barangsiapa yang mempunyai dorongan kuat kepada lawan jenis dan dia khawatir terhadap dirinya, maka dia harus menikah. Adapun orang yang tidak khawatir, apakah menikah untuknya lebih utama atau beribadah? Para ulama berbeda pendapat. Orang-orang dalam masalah ini tidak sama. Di antara mereka ada yang bertujuan menikah agar mendapatkan keturunan dan bisa berusaha secara halal untuk keluarganya, yang seperti ini tidak mencederai agamanya dan tidak mengacaukan hatinya, sebaliknya menikah dapat memfokuskan konsentrasinya, menahan pandangannya, dan menenangkan pikirannya. Ini adalah puncak keutamaan dan keadaan ini sama dengan kehidupan Rasulullah, juga kehidupan Ali dan orang-orang yang berjalan di jalan mereka. Tidak perlu menaruh perhatian pada pendapat pihak yang menganggap bahwa zuhud harus meninggalkan kenikmatan menikah, karena hal itu masih dalam cakupan dan mengikuti tujuan.

 

Sebagian as-Salaf memilih menikah dengan wanita kurang cantik sekalipun bisa menikah dengan wanita cantik. Ini mengandung kemungkinan bahwa yang kurang cantik ini lebih cenderung kepada agama, nafkahnya lebih sedikit, urusan perkaranya mudah, lain halnya dengan yang cantik, ia dapat mengacaukan hati, menyibukkannya, menginginkan nafkah yang banyak, namun mungkin juga tidak demikian.

 

Malik bin Dinar berkata, “Salah seorang di antara kalian sengaja menikah dengan wanita kembang desanya, lalu istrinya berkata,

 

‘Aku ingin kain sutra yang bagus.’ Maka terlepaslah agamanya.”

 

Keenam: Harta. Ja adalah kebutuhan mendasar dalam hidup, orang yang zuhud membatasi diri dengan apa yang mencukupinya saja. Di antara orang-orang shalih ada yang sibuk berdagang dan tujuannya adalah menjaga diri tidak meminta-minta.

 

Bila Hammad bin Salamah ii membuka tokonya dan telah mendapatkan dua biji (yang dia butuhkan), maka dia menutupnya.

 

Sa’id bin al-Musayyab  berdagang minyak, dan dia meninggalkan empat ratus dinar. Dia berkata, “Aku meninggalkannya hanya untuk menjaga kehormatan dan agamaku.”

 

Ketujuh: Kedudukan. Seseorang patut mempunyai kedudukan dan wibawa walaupun hanya di hati pembantunya. Kesibukan ahli zuhud dengan zuhud membuka kedudukan dalam hati baginya, maka sepatutnya dia berhati-hati dari keburukannya.

 

Secara umum hajat-hajat mendasar bukan termasuk (kecenderungan kepada) dunia. Tidak sedikit as-Salaf ash-Shalih didatangi oleh harta yang halal dan mereka berkata, “Kami tidak mengambilnya, kami takut ia akan merusak agama kami.”

 

PASAL

TANDA-TANDA ZUHUD PADA DIRI SEORANG HAMBA

 

Mungkin engkau mengira bahwa orang yang meninggalkan harta adalah ahli zuhud, padahal tidak demikian, meninggalkan harta dan memperlihatkan kesederhanaan mudah bagi siapa yang ingin disanjung dengan zuhud. Berapa banyak rahib tidak meninggalkan kuilnya, makan hanya sedikit, padahal yang mendorongnya adalah ingin dipuji sebagaimana sudah dijelaskan dalam Kitab Riya’’.

 

Yang diperlukan adalah zuhud terhadap harta dan kedudukan yang lebih dari kebutuhan, sehingga sempurnalah zuhud pada dirinya. Pertama kali mengenal zuhud adalah perkara yang sulit.

 

Ibnul Mubarak berkata, “Zuhud paling utama adalah menyembunyikan zuhud.”

 

Seyogianya masalah ini disandarkan pada tiga tanda:

 

Pertama: Hendaknya tidak berbahagia dengan yang ada dan tidak bersedih atas apa yang hilang, sebagaimana Allah berfirman,

 

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya engkau jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya engkau jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu.” (Al-Hadid: 23).

 

Ini adalah tanda zuhud terhadap harta.

 

Kedua: Hendaknya menganggap sama antara orang yang mencela dan memujinya, ini adalah tanda zuhud terhadap kedudukan.

 

Ketiga: Hendaknya ketenangannya hanya dengan Allah, yang mendominasi hatinya adalah manisnya ketaatan.

 

Cinta dunia dan cinta Allah dalam hati manusia seperti air dan udara dalam gelas, bila air masuk, maka udara keluar, keduanya tidak akan berkumpul.

 

Sebagian orang zuhud ditanya, “Ke mana zuhud membawa mereka?” Dia menjawab, “Kepada kedekatan dengan Allah.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Dunia seperti pengantin wanita, siapa yang mencarinya, maka ia akan menjadi tukang sisir baginya, sementara orang yang zuhud akan menghitamkan wajahnya, mencabuti rambutnya, dan membakar bajunya. Dan orang yang mengenal Allah akan menyibukkan diri denganNya dan meninggalkannya (dunia).”

 

Ini yang kami ingin tulis tentang hakikat zuhud dan ketentuanketentuannya.

 

Karena zuhud tidak terwujud kecuali dengan tawakal, maka kami akan mulai menjelaskannya, insya Allah.

 

KEUTAMAAN TAWAKAL

 

Allah berfirman,

 

“Hendaklah hanya kepada Allah saja orang-orang Mukmin ber-tawakal.” (Ali Imran: 122 dan 160; al-Ma‘idah: 11, at-Taubah: 51, Ibrahim 11, al-Mujadilah: 10 dan al-Mumtahanah: 13).

 

Allah  juga berfirman,

 

“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3).

 

Dalam hadits Nabi menyebutkan tujuh puluh ribu orang dari umat beliau yang akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab, beliau bersabda,

 

“Mereka adalah orang-orang yang tidak berobat dengan besi panas, tidak meminta dirugyah, tidak bertathayyur dan hanya kepada Tuhan merekalah mereka bertawakal.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dari Umar bin al-Khaththab beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda,

 

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberi rizki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rizki kepada burung, yang berangkat di pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang.”

 

Di antara doa Nabi,

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon taufik kepadaMu kepada amalamal yang Engkau cintat, tawakal yang benar kepadaMu, dan prasangka yang baik kepadaMu.”

 

[Hakikat Tauhid yang Merupakan Dasar Tawakal]

 

Tawakal dibangun di atas tauhid dan tauhid memiliki beberapa tingkatan:

 

Pertama: Hati membenarkan keesaan Allah yang diterjemahkan dengan

 

“Tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah.” (Ash-Shaffat: 35, Muhammad: 19), semata,

 

“Tiada sekutu bagiNya.” (Al-An’am: 163),

 

“Hanya Allah-lah yang mempunyat semua kerajaan dan semua pujipujian; dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (At-Taghabun: 1).

 

Maka membenarkan ucapan ini, tetapi tanpa mengetahui dalil, adalah keyakinan orang-orang awam.

 

Kedua: Melihat hal-hal yang berbeda-beda, tetapi dia melihat semuanya berasal dari Yang Maha Esa, ini adalah derajat orang-orang yang dekat dengan Allah.

 

Ketiga: Bila basirah manusia telah tersingkap bahwa tidak ada pelaku kecuali Allah, maka dia tidak melihat kepada selainNya, hanya kepadaNya dia takut, berharap, percaya, dan bertawakal, karena Dialah satu-satunya pelaku sejati. Mahasuci Allah, sementara selainNya tunduk kepadaNya, sehingga untuk menumbuhkan tanaman dia tidak bersandar kepada hujan, untuk turunnya hujan tidak bersandar kepada awan, untuk berlayarnya perahu tidak bersandar kepada bertiupnya angin, karena bersandar kepada semua itu adalah kebodohan terhadap hakikat berbagai perkara. Barangsiapa mengetahui hakikat, maka dia mengetahui bahwa angin tidak berhembus dengan sendirinya, akan tetapi ada yang menghembuskannya, bersandarnya hamba dalam keselamatan kepada angin tidak berbeda dengan seorang hamba yang ditangkap untuk dihukum mati, lalu raja menulis surat, memaafkannya dan melepaskannya, lalu hamba tersebut sibuk berterima kasih kepada kertas dan surat pengampunan sang raja, dia berkata, “Kalau bukan karena pena yang dengannya surat ini ditulis, niscaya aku tidak selamat.” Maka dia melihat keselamatannya karena pena bukan Karena penulis pena, ini adalah puncak kebodohan. Barangsiapa mengetahui bahwa pena tidak berkait dengan hukum dari sisi zatnya, maka dia akan berterima kasih kepada penulisnya bukan pena. Kekuasaan sang Khalik kepada semua makhluk lebih besar daripada kekuasaan penulis atas pena, Mahasuci Allah yang telah meletakkan sebab, yang

 

“Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Hud: 107).

 

PASAL

KEADAAN TAWAKAL, PRAKTIKNYA, DAN DEFINISINYA, SERTA HAL-HAL YANG SEMISALNYA

 

Ketahuilah bahwa tawakal ( ) diambil dari kata wakalah ( ). Dikatakan dalam bahasa Arab,   yang berarti fulan menyerahkan urusannya kepada fulan, artinya, dia bersandar kepadanya dalam urusan tersebut.

 

Tawakal ialah menyandarkan hati kepada pihak yang diserahi. Seseorang tidak (dikatakan) bertawakal kepada orang lain kecuali bila dia meyakini bahwa pada dirinya ada tiga perkara, yaitu: kepedulian (belas kasih), kekuatan, dan hidayah.

 

Bila engkau telah mengetahui hal ini, maka silakan qiyaskan tawakal kepada Allah dengannya.

 

Bila dalam hatimu sudah tertanam bahwa tidak ada yang berbuat selain Allah, engkau meyakini di samping itu bahwa ilmu Allah, kodrat dan rahmatNya sempurna, bahwa di balik kodratNya tidak ada kodrat, di balik ilmuNya tidak ada ilmu, di balik rahmatNya tidak ada rahmat, maka hatimu pasti akan bersandar hanya kepadaNya dan ia tidak menoleh kepada selainNya dengan alasan apa pun. Dan bila engkau belum merasakan hal ini dalam jiwamu, maka sebabnya adalah satu dari dua perkara berikut:

 

Pertama: Lemahnya keyakinanmu terhadap salah satu dari perkara-perkara di atas.

 

Kedua: Hatimu memang masih lemah dan guncang karena ketakutan masih menguasainya. Hal itu disebabkan oleh kecemasan yang mendominasinya, karena hati bisa saja guncang dengan adanya kecemasan di dalamnya dan menuruti kecemasan tersebut, walaupun tidak mengurangi keyakinan. Barangsiapa hendak minum madu lalu seseorang menyamakannya dengan kotoran manusia, maka bisa jadi tabiatnya menolaknya dan dia batal meminumnya.

 

Seandainya orang berakal diminta bermalam bersama mayit dalam kubur atau satu ranjang atau satu rumah, niscaya tabiatnya akan menolak sekalipun dia yakin saat itu bahwa dia mayit, benda mati, padahal pada waktu bersamaan tabiatnya tidak menolak dari bendabenda mati lainnya. Hal itu karena rasa takut dalam hati, itu adalah sebuah kelemahan yang manusia jarang terlepas darinya, terkadang perasaan tersebut bisa menguat sehingga menjadi penyakit, sampaisampai dia takut berada di rumah sendirian sekalipun semua pintu sudah dikunci rapat.

 

Karena itu tawakal tidak terwujud kecuali dengan kekuatan hati dan kekuatan keyakinan sekaligus. Bila engkau sudah mengetahui makna tawakal, dan mengetahui keadaan yang disebut tawakal, maka ketahuilah bahwa keadaan tersebut dari sisi kuat dan lemahnya terbagi menjadi tiga tingkatan:

 

Tingkatan Pertama: Apa yang kami katakan, yaitu seseorang percaya penuh kepada Allah #lé dengan jaminan dan pemeliharaanNya, keadaannya seperti dia percaya penuh kepada orang yang dia percaya mengurus masalahnya.

 

Tingkatan Kedua: Ini lebih kuat, keadaannya kepada Allah seperti keadaan seorang anak kecil kepada ibunya, dia tidak mengenal selain ibunya, tidak merasa tenang kecuali dengannya, tidak bersandar kecuali kepadanya, bila terjadi sesuatu, maka perkara pertama yang terbetik dalam pikirannya dan kata pertama yang terucap oleh lisannya adalah, “Ibu.”

 

Barangsiapa yang menghamba hanya kepada Allah, memperhatikan dan bersandar hanya kepadaNya, maka dia mencintaiNya seperti seorang anak mencintai ibunya, maka orang ini adalah orang yang bertawakal dalam arti sebenarnya.

 

Perbedaan tingkatan ini dari tingkatan pertama, orang ini bertawakal dengan semaksimal mungkin. Dia tidak berpaling kepada selain pihak yang dijadikan sandaran (Allah), dan tidak ada tempat di hatinya untuk selainNya. Adapun yang pertama, dia bertawakal sebagai taklif (pembebanan) dan mencari keuntungan. Tidak mencurahkan tawakal sepenuhnya bahkan dia dapat saja berpaling darinya. Hal itu dikarenakan ada sesuatu yang memalingkan perhatiannya dari pihak yang dijadikan sandaran yang menyibukkan dirinya.

 

Tingkatan Ketiga: Ini lebih tinggi dari kedua tingkatan sebelumnya, yaitu keadaan seseorang di depan Allah seperti keadaan mayit di tangan orang yang memandikannya. Tidak berpisah dariNya, hanya saja dia tidak melihat dirinya sebagai mayit, hal ini berbeda dengan keadaan anak kecil bersama ibunya, bila dia takut, maka dia akan kembali kepada ibunya, menangis dan bergelayut pada bajunya.

 

Keadaan-keadaan ini ada pada manusia, hanya saja untuk memiliki tawakal seperti ini secara berkesinambungan agak sulit, khususnya yang ketiga.

 

PASAL

SEBAGIAN AMAL ORANG-ORANG YANG BERTAWAKAL

 

Sebagian orang mungkin menyangka bahwa makna tawakal tidak perlu berusaha dengan raga, tidak mengatur dengan hati, hanya telentang di atas tanah seperti kain usang dan seperti daging teronggok di atas alas. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh, dan ini haram dalam syariat.

 

Syariat telah menyanjung orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal hanya dapat terlihat pada aktivitas hamba dan upayanya mewujudkan cita-citanya. Usaha hamba, bisa dalam rangka mencari manfaat yang hilang seperti mencari penghidupan atau menjaga yang sudah ada seperti menyimpan, bisa dalam rangka menepis mudarat yang belum terjadi seperti melawan orang yang menyerangnya atau mengangkat mudarat yang sudah terjadi seperti berobat saat sakit. Aktivitas-aktivitas hamba tidak terlepas dari empat bagian berikut:

 

Bagian pertama: Dalam rangka mewujudkan manfaat. Sebabsebab untuk mendapatkan manfaat terbagi menjadi tiga derajat:

 

Derajat pertama: Sebab yang dipastikan, seperti sebab yang berkaitan dengan akibat dengan takdir dan kehendak Allah sangat erat kaitannya, tidak akan menyelisihinya. Misalnya, makanan di depanmu saat sedang lapar, lalu engkau tidak menyentuhnya dan berkata, “Aku bertawakal dan syarat tawakal adalah meninggalkan usaha, mengambil makanan adalah usaha, demikian juga mengunyah dan menelannya adalah usaha.” Ini benar-benar bukan tawakal sama sekali, karena bila engkau menunggu Allah menjadikanmu kenyang tanpa makan atau membuat makanan itu bergerak sendiri kepadamu atau memerintahkan malaikat agar mengunyahnya dan memasukkannya ke dalam perutmu, maka engkau bodoh terhadap Sunnah Allah.

 

Demikian juga bila engkau tidak menanam lalu engkau berharap Allah menumbuhkan tanaman tanpa benih, atau berharap istrimu melahirkan tanpa engkau menyentuhnya, semua itu gila. Tawakal dalam kondisi ini bukan meninggalkan usaha, akan tetapi tawakal padanya dengan ilmu dan tindakan.

 

Dengan ilmu, maksudnya engkau mengetahui bahwa Allah menciptakan makanan, tangan, sebab-sebab dan kekuatan bergerak dan bahwa Dia-lah yang memberimu makan dan minum.

 

Dan dengan tindakan, maksudnya hendaknya hati dan sandaranmu adalah karunia Allah, bukan kepada tangan dan makanan, karena bisa saja tanganmu lumpuh dan tidak bisa bergerak, bisa saja Allah mengirimkan orang lain yang merebut makananmu, maka menjulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.

 

Derajat kedua: Sebab yang tidak dipastikan, akan tetapi secara umum akibat tidak bisa terwujud tanpanya. Seperti orang yang meninggalkan kota, keluar menuju padang pasir yang tidak dilalui oleh manusia kecuali jarang, tidak membawa bekal apa pun, orang ini seperti orang yang coba-coba terhadap Allah. Perbuatannya itu dilarang, dia harus membawa bekal karena hal itu diperintahkan, karena Rasulullah melakukan perjalanan dan beliau membawa perbekalan, bahkan beliau juga menyewa seorang penunjuk jalan.

 

Derajat ketiga: Mengambil sebab yang diduga menyampaikan pada akibat tanpa keyakinan kuat. Seperti orang yang meletakkan rencana yang detail terkait dengan cara-cara mencari penghidupan. Bila tujuannya benar dan perbuatannya tidak keluar rel syariat, maka dia tidak keluar dari lingkaran tawakal. Hanya saja dia mungkin termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berambisi dunia bila dia mencari hal-hal melebihi kebutuhan.

 

Meninggalkan usaha tidak termasuk tawakal sama sekali, itu hanyalah perbuatan para pengangguran yang memilih berleha-leha dengan alasan tawakal.

 

Umar berkata, “Orang yang bertawakal adalah orang yang menabur benih di tanah dan bertawakal kepada Allah.”

 

Bagian kedua: Melakukan sebab dengan menyimpan. Barangsiapa mendapatkan bahan makanan yang halal, usaha mendapatkan semisalnya menyibukkan dirinya sehingga tidak bisa memusatkan pikirannya, maka menyimpannya tidak mengeluarkannya dari kategori tawakal, khususnya bila dia berkeluarga.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Umar bin al-Khaththab bahwa Nabi menjual pohon kurma Bani an-Nadhir dan menyimpan makanan pokok untuk keluarga beliau selama setahun.

 

Bila ada yang berkata, Rasulullah pernah melarang Bilal untuk menyimpan?

 

Kami menjawab, Orang-orang fakir di sisi beliau seperti tamu, maka tidak seyogianya menyimpan, karena jika demikian mereka akan kelaparan. Keadaan Bilal dan orang-orang ahli shuffah sepertinya tidak sesuai untuk menyimpan. Bila mereka menyelisihi ini, maka ia tercela dengan pengakuan dusta untuk menyimpan yang halal.

 

Bagian ketiga: Mclakukan sebab untuk menolak mudarat. Tidak termasuk syarat tawakal meninggalkan sebab yang menolak mudarat. Tidak boleh tidur di daerah yang penuh dengan hewan buas, atau di aliran sungai, atau di bawah dinding yang hendak roboh; semua itu dilarang.

 

Di antara perkara yang tidak menggugurkan tawakal adalah memakai baju perang dari besi, menutup pintu dan mengikat unta dengan tambang. Allah berfirman,

 

“Dan hendaklah mereka menyandang senjata mereka.” (An-Nisa’: 102).

 

Seorang laki-laki datang kepada Nabi, dia berkata,

 

“Wahai Rasulullah, aku menambatkannya dan bertawakal atau aku melepaskannya dan bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikat (dulu) dan tawakal.”

 

Bertawakal pada seluruh perkara tersebut hendaklah disandarkan kepada yang memberikan akibat, bukan kepada sebab, sehingga dia ridha kepada segala sesuatu yang Allah putuskan atasnya. Bila barangnya dicuri, lalu dalam benaknya tebersit seandainya barang itu disimpan, atau dia mulai mengeluh terhadap apa yang terjadi, maka dia telah jauh dari tawakal.

 

Hendaknya seseorang mengetahui bahwa takdir adalah seperti seorang dokter baginya, bila dokter menyuguhkan makanan, maka dia berbahagia, dia berkata, “Dia memberiku makan karena dia tahu bahwa makanan ini bermanfaat bagiku.” Sebaliknya, dia juga berbahagia, dia berkata, “Dia tahu bila makanan ini tidak baik bagiku, maka dia tidak memberiku.”

 

Ketahuilah bahwa barangsiapa meyakini kasih sayang Allah seperti orang sakit meyakini seorang dokter yang ahli dan penuh kasih, maka tawakalnya kepada Allah tidak benar. Bila barangnya dicuri, maka dia menerima takdir dan menghalalkannya sebagai bentuk kasih sayang kepada kaum Muslimin.

 

Ada seseorang mengadu kepada seorang ulama bahwa dirinya dibegal di tengah jalan, hartanya dirampas, maka ulama tersebut berkata kepadanya, “Bila keprihatinanmu kepada keadaan sebagian kaum Muslimin; bagaimana di tengah-tengah mereka ada yang melakukan hal seperti itu, tidak lebih besar daripada keprihatinanmu dengan hartamu yang dirampas itu, maka engkau tidak tulus kepada kaum Muslimin.”

 

Bagian keempat: Usaha menghilangkan mudarat, seperti mengobati penyakit dan sebagainya.

 

Ketahuilah bahwa sebab yang menghilangkan mudarat terbagi menjadi tiga:

 

Pertama: Sebab yang dipastikan, seperti air yang menghilangkan haus, roti yang menghilangkan lapar. Meninggalkan bagian ini tidak termasuk tawakal sedikit pun.

 

Kedua: Sebab yang diduga kuat, seperti fashdu (mengeluarkan darah kotor dari pembuluh darah vena), bekam, minum pencahar, dan yang sepertinya. Ini tidak bertentangan dengan tawakal, karena Rasulullah berobat? dan juga memerintahkan berobat.

 

Banyak kaum Muslimin berobat namun di antara mereka ada juga yang tidak melakukannya dengan alasan tawakal.

 

Abu Bakar ash-Shiddiq ditanya, “Apakah engkau berkenan bila kami memanggil seorang tabib untukmu?” Beliau menjawab, “Seorang tabib sudah melihatku.” Beliau ditanya, “Lalu apa katanya?” Beliau berkata, “Sesungguhnya aku melakukan apa yang aku inginkan.”

 

Penulis berkata, “Pendapat yang kami kuatkan adalah pendapat yang menyatakan bahwa berobat lebih baik dan kami menafsirkan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar bahwa beliau sudah berobat kemudian menahan diri setelah obat itu berguna padanya, atau beliau mengetahui ajalnya sudah dekat melalui tanda-tandanya.”

 

Ketahuilah bahwa obat-obatan adalah sebab-sebab yang ditundukkan dengan izin Allah.

 

Ketiga: Sebab yang diduga lemah, seperti kay (menempelkan bagian yang sakit dengan besi panas). Ini mengeluarkan dari kategori tawakal, karena Nabi menyifati orang-orang yang bertawakal bahwa mereka tidak meminta kay.“

 

Sebagian ulama membawa makna kay dalam sabda Nabi,

 

“Mereka tidak melakukan kay,” dengan menempel besi panas yang biasa mereka lakukan di masa jahiliah. Mereka melakukan itu dan meminta ruqyah dalam keadaan sehat karena takut sakit, karena Nabi hanya meruqyah setelah turunnya penyakit,°© dan beliau juga pernah mengobati As’ad bin Zurarah dengan kay.

 

Adapun keluh kesah orang sakit, dapat mengeluarkan seseorang dari kategori tawakal. As-Salaf membenci rintihan orang sakit, karena itu termasuk ungkapan keluh kesah.

 

Al-Fudhail dls berkata, “Aku berharap sakit tanpa ada orang-orang yang menjenguk.”

 

Seorang laki-laki berkata kepada Imam Ahmad, “Bagaimana kabarmu?” Imam menjawab, “Baik.” Laki-laki itu berkata, “Malam tadi engkau demam?” Imam menjawab, “Bila aku berkata bahwa aku dalam keadaan baik, maka jangan menyeretku keluar kepada apa yang tidak aku inginkan.”

 

Bila orang yang sakit menjelaskan keadaannya kepada dokter, maka hal itu tidak masalah. Seorang dari as-Salaf melakukan hal itu, dia berkata, “Aku hanya menjelaskan kodrat Allah pada diriku.” Mungkin juga dia menjelaskannya kepada seorang murid dalam rangka meneguhkannya di atas ujian dan melihat hal itu sebagai nikmat, maka dia menjelaskannya sebagaimana dia menjelaskan kenikmatan sebagai ungkapan syukur kepadanya dan itu bukan merupakan keluh kesah. Kami telah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda,

 

” Sesungguhnya aku merasakan sakit seperti sakit dua orang dari kalian.”

 

Akhir pembahasan Tawakal.

 

Ketahuilah bahwa cinta kepada Allah merupakan tujuan tertinggi dalam derajat orang-orang yang berjalan menuju akhirat. Tidak ada kedudukan setelah mengetahui cinta kecuali itu adalah salah satu buahnya dan salah satu cabangnya, seperti rindu, rasa dekat, dan ridha. Tidak ada kedudukan sebelum cinta kecuali merupakan mukadimahnya, seperti: taubat, sabar, zuhud, dan semacamnya.

 

[Dalil-Dalil Syariat tentang Cinta Hamba kepada Allah]

 

Ketahuilah bahwa umat ini sepakat bahwa mencintai Allah dan RasulNya adalah kewajiban, dan di antara dalil-dalil wajibnya cinta adalah Firman Allah

 

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya.” (Al-Ma‘i. dah: 54).

 

Dan Firman Allah

 

“Adapun orang-orang yang beriman, mereka sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).

 

Ini adalah dalil yang menetapkan cinta kepada Allah sekaligus menetapkan perbedaan padanya. Dalam hadits shahih bahwa seorang laki-laki bertanya tentang Kiamat kepada Nabi, maka beliau balik bertanya kepadanya,

 

“Apa yang engkau siapkan untuknya?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak menyiapkan banyak shalat dan banyak puasa, hanya saja aku mencintai Allah dan RasulNya.” Maka Rasulullah bersabda, “Seseorang akan bersama dengan siapa yang dia cintai, dan engkau bersama siapa yang engkau cintai.”

 

Kaum Muslimin tidak berbahagia sesudah masuk Islam seperti kebahagiaan mereka mendengar sabda beliau ini.

 

Diriwayatkan bahwa malaikat maut datang kepada Nabi Ibrahim al-Khalil untuk mencabut rohnya, maka Nabi Ibrahim bertanya, “Adakah engkau melihat kekasih mematikan kekasihnya?” Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Adakah orang yang mencintai membenci bertemu dengan orang yang dicintainya?” Maka Nabi Ibrahim berkata, “Wahai malaikat maut, lakukanlah.”

 

Al-Hasan al-Bashri its berkata, “Barangsiapa mengenal Tuhannya, maka dia mencintaiNya. Barangsiapa mencintai selain Allah bukan karena dinisbatkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohannya dan kurang mengenaliNya. Adapun mencintai Rasulullah maka hal itu hanya karena cinta kepada Allah. Demikian juga cinta para ulama dan orang-orang yang bertakwa, karena apa yang dicintai oleh yang dicintai pastilah suatu yang dicintai. Bahkan apa yang dilakukan oleh yang dicintai juga dicintai, utusan yang dicintai juga dicintai. Semua itu kembali kepada cinta asal, tidak ada yang dicintai secara hakiki di kalangan para pemilik basirah kecuali Allah ul, tidak ada yang berhak dicintai kecuali Dia.

 

[Yang Berhak Dicintai Hanya Allah Semata]

 

Penjelasan masalah ini kembali kepada beberapa sebab:

 

Sebab Pertama: Seseorang mencintai dirinya, keberadaannya, kesempurnaannya dan kelanggengan wujudnya, dan dia membenci sebaliknya berupa kebinasaan, ketiadaan dan kekurangan. [ni adalah tabiat semua makhluk hidup, tidak mungkin terlepas darinya. Hal ini menuntut ketinggian cinta kepada Allah, karena bila manusia mengenal Allah, maka secara pasti dia mengetahui bahwa keberadaan, kelangsungan, dan kesempurnaan dirinya berasal dari Allah. Allah-lah yang menciptakan semua untuknya, yang mengadakan dirinya setelah sebelumnya dia tidak ada. Seandainya bukan karena karunia Allah yang telah mengadakan dirinya, dirinya masih kurang sempurna, jika Allah tidak memberikannya karunia berupa kesempurnaan. Karena itu al-Hasan al-Bashri berkata, “Barangsiapa mengenal Tuhannya, maka dia mencintaiNya. Barangsiapa mengenal dunia maka dia zuhud padanya.”

 

Bagaimana mungkin dapat digambarkan seseorang mencintai dirinya sendiri dan tidak mencintai Tuhannya yang menjadi sumber keberadaan dirinya?

 

Sebab kedua: Secara tabiat, manusia mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya, mengasihinya, dan membantunya, bersedia membelanya dan melawan musuhnya, membantunya dalam segala urusannya; Orang seperti ini tentu dia cintai. Bila seseorang mengetahui dengan benar, maka dia akan mengetahui bahwa yang berbuat baik kepadanya adalah Allah semata, kebaikanNya tidak terbatas, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Ibrahim: 34 dan an-Nahl: 18).

 

Kami telah menyebutkan sebagian darinya dalam Kitab Syukur, kami jelaskan bahwa kebaikan dari orang lain hanya digambarkan sebagai perantara, sejatinya yang berbuat baik adalah Allah.

 

Penjelasannya begini: anggaplah ada seorang laki-laki yang memberikan seluruh hartanya dan apa yang dimilikinya kepadamu, dia mempersilakanmu bertindak terhadapnya sesukamu, maka engkau mengira bahwa kebaikan ini darinya, padahal tidak demikian, karena kebaikannya hanya terwujud dengan hartanya, kekuasaan atas hartanya, dorongan hatinya untuk memberikan harta. Tapi siapa yang telah memberinya nikmat penciptaannya, hartanya, keinginan, dan pendorong-pendorongnya? Siapa yang menjadikannya mencintaimu, memalingkan wajahnya kepadamu, menanamkan dalam dirinya bahwa kebaikan agama dan dunianya adalah dengan berbuat baik kepadamu, yang kalau bukan karena itu, maka dia tidak akan memberimu. Seolah-olah dia dipaksa untuk menyerah, tidak sanggup menyelisihinya. Allah Yang Mahabaiklah yang memaksanya dan menundukkannya untukmu. Dia seperti bendahara seorang pemimpin yang pemimpin itu memerintahkannya untuk menyampaikan hadiahnya kepada seseorang, bendahara tersebut tidak dianggap telah berbuat baik dengan menyerahkan hadiah pemimpin, karena dia memang harus mematuhi atasannya itu. Seandainya pemimpin membiarkan dirinya, niscaya dia tidak memberikannya. Demikian juga setiap orang yang berbuat baik, seandainya Allah membiarkan dirinya, niscaya dia tidak memberikan sedikit pun dari hartanya sebelum Allah menanamkan pendorong dalam dirinya untuk memberi, menyadarkannya bahwa bagian dirinya adalah pada harta yang diberikan, sehingga dia pun memberikannya. Maka sepatutnya orang yang mengenal tidak mencintai kecuali Allah, karena kebaikan dari selain Allah adalah mustahil.

 

Sebab Ketiga: Orang baik itu sendiri -sekalipun kebaikannya tidak sampai kepadamudicintai dalam tabiat manusia. Bila engkau mendengar seorang raja di negeri yang jauh, dia berilmu, adil, ahli ibadah, santun kepada rakyat dan pengasih kepada mereka, maka engkau akan mencintainya, engkau akan menemukan kecenderungan dalam dirimu kepadanya. Hal ini adalah cinta kepada orang baik dari sisi dia sebagai orang baik, apalagi bila orang baik ini berbuat baik kepadamu. Inilah yang membangkitkan cinta kepada Allah dan konsekuensinya tidak mencintai selainNya kecuali bila selainNya itu mempunyai hubungan sebab dengan Allah. Karena Allah adalah pihak yang telah berbuat baik kepada semua makhluk dengan menciptakan mereka, menyempurnakan mereka dengan anggota-anggota tubuh dan sarana-sarana yang menjadi hajat mendasar dan kelengkapan mereka, serta nikmatnikmat lainnya yang tidak terhingga, sebagaimana Allah  berfirman,

 

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Ibrahim: 34 dan an-Nahl: 18).

 

Maka bagaimana selainNya dianggap baik padahal dia hanyalah satu kebaikan dari kebaikan-kebaikan Allah? Siapa yang memahami ini, maka dia tidak akan mencintai selain Allah.

 

Demikian juga, barangsiapa memiliki sifat ilmu, atau mampu, atau bersih dari sifat-sifat tercela, maka hal itu mengundang raga cinta. Sifat-sifat para shiddiqin yang dicintai oleh hati manusia sebagai sebuah tabiat kembali kepada ilmu mereka tentang Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya dan syariat-syariat para nabiNya dan juga kembali kepada kemampuan mereka dalam menata diri mereka dan membersihkannya dari akhlak-akhlak tercela dan buruk. Karena sifat-sifat seperti inilah para nabi dicintai, namun bila engkau membandingkan sifat-sifat ini di depan sifat-sifat Allah, maka engkau akan mendapatkannya tak terlihat dibanding sifat-sifat Allah dle.

 

Berkaitan dengan ilmu,; ilmu orang-orang dahulu (generasi-generasi awal) dan orang-orang yang datang kemudian berasal dari ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, sehingga

 

“tidak ada yang tersembunyi dariNya seberat zarah pun yang ada di langit dan tidak pula yang ada di bumi.” (Saba: 3).

 

Allah berbicara kepada semua makhluk,

 

“Dan tidaklah engkau diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85).

 

Seandainya penduduk langit dan bumi berkumpul untuk   “mengetahuinya dengan sempurna” mengungkap ilmu Allah dan hikmahNya terkait dengan rincian penciptaan seekor semut atau nyamuk, niscaya mereka tidak akan bisa mengungkap sepersepuluh dari sepersepuluhnya sekalipun.

 

“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya.” (Al-Baqarah: 255).

 

Dan kadar yang sangat sedikit yang diketahui oleh seluruh makhluk berasal dari ilmuNya yang Dia ajarkan kepada mereka. Keunggulan ilmu Allah atas ilmu seluruh makhluk berada di luar batas, objek-objek ilmu Allah tidak berujung.

 

Dan berkaitan dengan sifat kodrat (mampu), ini juga sifat kesempurnaan. Bila engkau menyandingkan kodrat seluruh makhluk dengan kodrat Allah, maka engkau mengetahui bahwa manusia yang paling besar kekuatannya, paling luas kekuasaannya, paling agung dayanya, paling besar kemampuannya dalam mengatur diri dan orang lain sekalipun, kodrat maksimal orang ini hanya sebatas pada sebagian dari sifat-sifat dirinya. Dia hanya mampu menguji sebagian orang dalam sebagian urusan, namun di samping semua itu, dia sendiri tidak memiliki untuk dirinya mudarat dan manfaat, tidak pula

 

“untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkit-kan,” (Al-Furqan: 3), bahkan tidak mampu menjaga sepasang matanya dari kebutaan, lidahnya dari kebisuan, sepasang telinganya dari ketulian, badannya dari sakit, tidak berkuasa atas benda terkecil di langit. Kodratnya atas dirinya dan orang lain bukan berasal dari dirinya, akan tetapi dari Allah, Dia-lah yang menciptakan dirinya, menciptakan kodratnya, menciptakan sebab-sebabnya dan menyediakannya untuknya. Sekiranya Allah mengirimkan seekor nyamuk kepada raja paling berkuasa dan orang paling kuat, niscaya nyamuk tersebut bisa membinasakannya, hamba tidak mempunyai kodrat selain dari Tuhannya.

 

Allah berfirman tentang raja paling agung, Dzul Qarnain,

 

“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi.” (Al-Kahfi: 84).

 

Segala kekuasaan dan kerajaannya hanya dari pemberian Allah. Seluruh ubun-ubun makhluk ada dalam kodrat dan genggamanNya. Bila Allah membinasakan mereka semuanya, maka hal itu tidak mengurangi kerajaan dan kekuasaanNya sedikit pun. Bila Allah menciptakan makhluk-makhluk seperti mereka seribu kali, maka hal itu tidak menambah kekuasaanNya, tidak ada yang berkuasa selain Allah, bagiNya kesempurnaan, keagungan, kebanggaan, kesombongan, kekuasaan dan kemenangan. Bila digambarkan dirimu mencintainya karena kodratnya (kemampuannya) yang sempurna dan ilmunya yang agung, maka hanya Allah yang berhak menyandang itu. Tidak ada pengudusan dan penyucian yang sempurna kecuali hanya bagiNya semata. Dia-lah yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya, yang tunggal yang tidak ada lawan bagiNya, tempat bergantung seluruh makhluk yang tidak ada pesaing bagiNya, Mahakaya yang tidak mempunyai hajat, yang   “berbuat apa yang dikehendakiNya.” (Ali Imran: 40 dan al-Hajj: 18),  “menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya.” (AlMa‘idah: 1), tidak ada yang menolak keputusanNya, tidak ada yang mengoreksi ketetapanNya, yang Maha Mengetahui, yang

 

“tidak ada yang tersembunyi dariNya seberat zarah pun.” (Saba’: 3),

 

“di bumi ataupun di langit.” (Yunus: 61).

 

Orang-orang yang mengenalNya dengan sempurna mengakui kelemahan dalam mengenalNya, Dia-lah yang berhak untuk dicintai dengan sempurna tanpa patut untuk dibagi sama sekali.

 

PASAL

KENIKMATAN PALING MULIA DAN PALING TINGGI ADALAH MA’RIFATULLAH DAN MELIHAT WAJAHNYA YANG MULIA, DAN KENIKMATAN INI TIDAK AKAN TERGANTIKAN OLEH SELAINNYA KECUALI BAGI SIAPA YANG TIDAK MENDAPATKANNYA

 

Ketahuilah bahwa kenikmatan mengikuti jangkauan kemampuan. Manusia memiliki sejumlah kekuatan dan insting (garizah). Setiap kekuatan dan insting mempunyai kenikmatan. Insting ini tidak diciptakan secara sia-sia, akan tetapi karena satu perkara yang merupakan tuntutan tabiat.

 

Insting makan diciptakan untuk usaha mendapatkan makanan yang merupakan penopang untuk tetap hidup. Kenikmatan penglihatan dan pendengaran bertugas melihat dan mendengar.

 

Dalam hati juga ada insting yang bernama nur (cahaya) ilahi yang terkadang disebut dengan akal, disebut juga basirah batin, disebut juga cahaya iman dan keyakinan. Insting ini diciptakan agar dengannya pemiliknya mengetahui hakikat seluruh perkara sesuai dengan tabiatnya, tuntutan tabiatnya adalah ilmu dan ma’rifat, itulah kenikmatannya.

 

Tidak samar lagi bahwa ilmu dan ma’rifat, sekalipun terkait dengan perkara remeh adalah sesuatu yang membahagiakan. Barangsiapa dinisbatkan kepada kebodohan walaupun dalam urusan remch, ia akan bersedih. Hal itu karena besarnya kenikmatan ilmu dan kesempurnaan diri yang dirasakannya. Ilmu termasuk sifat-sifat terbaik dan puncak kesempurnaan, karena itu manusia merasa tenang dengan tabiatnya bila dipuji cerdas dan berilmu luas. Kemudian kenikmatan ilmu cocok tanam dan menjahit tidak seperti kenikmatan ilmu tentang politik raja dan mengatur urusan rakyat, kenikmatan ilmu syair dan nahwu tidak seperti kenikmatan ilmu tentang Allah, para malaikatNya, kerajaan langit dan bumi, karena kenikmatan ilmu sesuai dengan kemuliaan ilmu itu sendiri dan kemuliaan ilmu sesuai dengan kemuliaan objeknya. Dengan ini, diketahui dengan jelas bahwa mengenal Allah adalah pengetahuan yang paling nikmat dan paling mulia. Kemuliaannya sesuai dengan kemuliaan objeknya. Bila di antara objek-objek ilmu ada yang lebih sempurna, lebih mulia dan lebih agung, maka ilmu tentangnya adalah ilmu yang pasti paling nikmat dan paling mulia.

 

Masalahnya, adakah di alam wujud ini sesuatu yang lebih mulia, lebih tinggi, lebih besar, lebih sempurna dan lebih agung dari Pencipta segala sesuatu, penyempurnanya, penghiasnya, yang memulai dan yang mengembalikannya, yang mengatur dan yang menatanya? Bisakah dibayangkan adanya sebuah pertemuan yang lebih mulia, lebih indah, lebih bagus, lebih sempurna dan lebih agung daripada pertemuan ilahiah yang keagungan, kemuliaan, kesempurnaan, dan keajaiban perkaranya tidak bisa dilukiskan oleh siapa pun?

 

Maka seyogianya engkau mengetahui bahwa kenikmatan mengenal Allah lebih kuat dari segala bentuk kenikmatan yang dirasakan oleh panca indra, karena makna-makna batin lebih kuat bagi para pemilik kesempurnaan daripada kenikmatan lahir. Seandainya seseorang diminta memilih antara makan ayam yang gemuk dan kue empuk yang manis dengan kenikmatan memimpin, mengalahkan musuh, dan berkuasa, bila cita-cita orang tersebut rendah, hatinya mati, hawa nafsu hewannya kuat, maka dia akan memilih daging ayam dan kue empuk, sebaliknya bila cita-citanya tinggi dan akalnya sempurna, maka dia akan memilih yang kedua, dia bisa menahan rasa lapar dan bersabar di atas itu berhari-hari. Dipilihnya kepemimpinan merupakan bukti bahwa ia lebih nikmat daripada makanan makanan yang enak.

 

Bila nikmat kepemimpinan merupakan kenikmatan yang lebih kuat bagi siapa yang cita-citanya tinggi, maka kenikmatan mengenal Allah, melihat rahasia-rahasia perkara ilahiah tentu lebih nikmat daripada kepemimpinan yang merupakan kenikmatan tertinggi bagi manusia secara umum. Dan ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang telah mencicipi kedua kenikmatan tersebut. Sehingga tidak disangsikan bila ia mengajaknya untuk menyendiri, menyepi, berpikir, dan berdzikir, berenang dalam lautan ma’rifat, meninggalkan kekuasaan, memandang makhluk tidak berharga, karena dia menyadari bahwa kekuasaannya tidak abadi dan pendukung kepemimpinannya juga tidak abadi, selalu dicampuri dengan hal-hal yang mengeruhkannya dan diputuskan oleh kematian. Sementara yang berharga baginya adalah ma’ rifatullah, menelaah sifat-sifat dan perbuatan-perbuatanNya, tatanan kerajaanNya, karena semua itu bersih dari persaingan dan hal-hal yang mengotorinya, sangat lapang bagi siapa yang mendatanginya, tidak sempit bagi mereka. Orang yang mengenalNya senantiasa meniliknya di

 

“Surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (Ali Imran: 133), menikmati kebun-kebunnya, memetik buah-buahnya dan minum langsung dari sumber-sumbernya. Semua itu terjamin tidak pernah berakhir, sebab ia memang abadi dan kekal, kematian tidak memutusnya, karena kematian tidak menghancurkan tempat pengetahuan kepada Allah, sebab tempatnya adalah roh. Sesungguhnya kematian hanyalah mengubah keadaannya, tetapi tidak menghancurkannya.

 

Orang-orang yang mengenal Allah memiliki derajat bertingkattingkat dan berbeda-beda di sisi Allah. Tingkatan derajat mereka tidak terbatas. Perkara-perkara ini tidak diketahui kecuali dengan kecenderungan hati, hikayah dalam hal ini tidak memberi manfaat besar. Kadar ini menyadarkan dirimu untuk meyakini bahwa ma’rifatullah adalah kenikmatan yang paling lezat, tidak ada kenikmatan di atasnya.

 

Karena itu Sulaiman ad-Darani berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba, ketakutan mereka terhadap neraka dan harapan mereka kepada surga tidak menyibukkan mereka dari Allah,” lalu bagaimana mungkin dunia menyibukkan mereka dariNya?”

 

Sebagian sahabat (murid) Ma’ruf bertanya kepadanya, “Apa yang melecutmu untuk beribadah?” Dia diam tidak menjawab. Maka sahabatnya bertanya kembali, “Mengingat mati?” Dia menjawab dengan bertanya, “Mati apa?” Rekannya kembali bertanya, “Mengingat kubur?” Dia menjawab, “Kubur apa?” Sahabatnya kembali bertanya, “Takut neraka dan berharap surga?” Dia menjawab, “Apa semua ini? Sesungguhnya semua ini bisa didapatkan oleh seorang raja. Bila engkau mencintainya, maka ia membuatmu melupakan semua itu, bila antara dirimu dengan DiriNya ada ma’rifat, maka ia mencukupimu dari semua itu.”

 

Ahmad bin al-Fath berkata, “Aku bertemu dengan Bisyr bin alHarits dalam mimpi, aku berkata kepadanya, ‘Apa kabar Ma’ruf alKarkhi?’ Dia menggelengkan kepalanya kemudian berkata, ‘Mana bisa, antara diriku dengan dirinya terdapat hijab. Sesungguhnya Ma’ruf tidak beribadah kepada Allah karena merindukan surga dan tidak pula karena takut neraka, akan tetapi dia menyembah Allah karena merindukanNya, maka Allah mengangkatnya ke Rafiqul A’la, hijab antara dirinya denganNya diangkat’.”

 

Bila cinta Allah sudah tertanam dalam hati seorang hamba, maka hatinya akan tenggelam di dalamnya sehingga tidak lagi menoleh kepada surga dan tidak takut kepada neraka,’” karena dia sudah mencapai kenikmatan yang di atasnya tidak ada lagi kenikmatan. Sebagian dari mereka berkata,

 

Mengacuhkannya lebih besar dari nerakaNya

Kontinu melaksanakannya lebih nikmat dari surgaNya.

 

Maksudnya adalah kenikmatan hati dalam ma’rifatullah, bahwa ia lebih tinggi dan lebih diutamakan daripada kenikmatan makan, minum dan pernikahan, surga adalah tempat kenikmatan indra sementara kenikmatan hati ada pada perjumpaan dengan Allah saja.

 

Ketahuilah bahwa kenikmatan melihat kepada Allah di akhirat mengalahkan kenikmatan ma’rifat di dunia. Sunnatullah menetapkan bahwa selama jiwa terhalang oleh sifat-sifat ragawi, tuntutan-tuntutan hawa nafsu dan didominasi oleh sifat-sifat kemanusiaan, maka ia tidak akan mencapai derajat musyahadah, bahkan kehidupan ini adalah hijab darinya secara otomatis seperti pelupuk mata yang menghalangi mata untuk melihat.

 

Penjelasan tentang mengapa ia menjadi penghalang panjang pembahasannya. Bila hijab ini sudah tersingkap karena kematian, yang tersisa adalah jiwa yang masih terkotori oleh dunia. Bila penduduk surga masuk surga, maka mereka telah bersih dari apa-apa yang mengeruhkan, lalu al-Haq menampakkan DiriNya kepada mereka sesuai dengan kadar sejauh mana mereka mengenaliNya di dunia.

 

Siapa pun yang tidak mengenal Allah di dunia, maka dia tidak melihatNya di akhirat. Allah tidak menampakkan diri kepada seseorang selama orang tersebut tidak mendekat kepadaNya di dunia. Seseorang tidak memanen kecuali apa yang ditanamnya, seseorang tidak mati kecuali di atas apa dia hidup. Barangsiapa mendekat kepada Allah dengan ma’rifat, maka dialah yang akan mengambil kenikmatan darinya. Hanya saja ma’rifat ini akan berubah menjadi penyaksian tanpa ada hijab, maka kenikmatannya akan semakin meningkat dan kehidupan (yang sesungguhnya) adalah kehidupan akhirat,

 

 

“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan.” (Al-Ankabut: 64).

 

Kehidupan akhirat sesuai dengan kadar ma’rifat, karena itu hadits berkata,

 

” Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.”

 

Hal itu karena ma’rifat hanya menjadi sempurna dan banyak serta meluas pada umur yang panjang melalui berpikir dan berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah yang berkesinambungan, senantiasa bermiujahadah, memutuskan segala ketergantungan terhadap dunia, dan berkonsentrasi mencarinya.

 

Dari apa yang kami paparkan engkau dapat mengetahui makna cinta, makna kenikmatan ma’rifat, makna ru’yat (melihat) dan kenikmatannya, dan lebih nikmat dari segala kenikmatan bagi orang-orang yang telah meraih kesempurnaan (iman).

 

PASAL

SEBAB-SEBAB YANG MENGUATKAN CINTA KEPADA ALLAH, PERBEDAAN TINGKATAN CINTA MANUSIA, DAN SEBAB-SEBAB TERBATASNYA PEMAHAMAN MAKHLUK TENTANG MA’RIFATULLAH

 

Ketahuilah, bahwa manusia yang paling berbahagia dan paling baik kehidupannya di akhirat adalah orang yang paling kuat cintanya kepada Allah. Karena arti akhirat adalah datang menghadap kepada Allah dan meraih kebahagiaan dengan perjumpaan denganNya. Betapa besar kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang mencintai bila dia datang kepada orang yang dicintainya setelah memendam kerinduan yang lama, bisa melihatnya tanpa terhalangi dan terkotori. Namun kenikmatan ini sesuai dengan cinta, semakin kuat cinta, semakin tinggi kenikmatannya.

 

Pokok cinta tidak terpisah dari setiap Mukmin, karena ia tidak terlepas dari pokok ma’rifat. Adapun kekuatan cintanya dan dayanya mengendalikan diri, maka hal ini tidak dipunyai oleh banyak orang, dan hal itu hanya diraih dengan dua perkara:

 

Pertama: Memutuskan ketergantungan-ketergantungan kepada dunia, membuang cinta selain Allah dari hati. Salah satu sebab lemahnya cinta Allah adalah kuatnya cinta dunia. Berkurangnya kesukaan seorang hamba dengan Allah kembali kepada sejauh mana kesukaan hamba kepada dunia. Dunia dan akhirat ibarat dua istri yang dimadu. Jalan memutuskan ketergantungan terhadap dunia dari hati adalah meniti jalan zuhud, selalu berpegang kepada kesabaran, tunduk kepada keduanya dengan tali kekang khauf dan raja’ dan jalan-jalan yang telah kami sebutkan seperti taubat, sabar, syukur, zuhud, khauf, dan lainnya.

 

Sebab kedua: Kuatnya ma’rifatullah. Bila ma’rifatullah ini sudah terwujud, maka akan diikuti oleh cinta. Dan yang bisa mengantarkan kepada ma’rifat ini, setelah memutuskan segala kesibukan dunia dari hati, hanyalah pikiran yang jernih, berdzikir yang berkesinambungan, menyingsingkan lengan baju dalam mencari ma’rifat dan mencari petunjuk dengan perbuatan-perbuatan Allah. Hasil dari perbuatan Allah paling minimal adalah bumi dan apa yang ada di atasnya, di samping para malaikat dan kerajaan langit.

 

Matahari sekalipun bentuknya terlihat kecil, namun ukurannya setara dengan bumi seratus enam puluh kali lebih, lihatlah kecilnya bumi di depannya, kemudian lihatlah kepada kecilnya matahari di depan gugusan antariksa alam ini yang tertata padanya dan di langit keempat, dan langit keempat ini adalah kecil dibanding langit-langit lain di atasnya, kemudian langit-langit yang tujuh dibanding Kursi (Allah) seperti gelang besi yang dicampakkan di padang pasir dan Kursi dibanding Arasy juga demikian.

 

Kemudian lihatlah manusia yang diciptakan dari tanah yang merupakan bagian dari bumi. Lihatlah hewan-hewan lainnya, betapa kecilnya mereka di depan bumi. Hewan terkecil yang engkau ketahui adalah nyamuk. Perhatikanlah dengan akal yang terjaga, bagaimana Allah menciptakannya dalam bentuk seperti gajah yang merupakan hewan paling besar, ditambah dengan dua sayap. Lihatlah bagaimana Allah membuka pendengaran dan penglihatannya, menciptakan organ dan saluran pencernaan dalam tubuhnya, mengatur segala kondisinya, memberinya kekuatan menghisap, menolak (makanan yang tidak enak) dan mencerna. Lihatlah bagaimana Allah membuatnya terbang saat mencari mangsa dan menjadikan untuknya belalai yang tajam yang dengannya ia menghisap darah.

 

Lihatlah lebah saat menghisap kembang dari pucuknya dan bagaimana ia menjauhi benda-benda yang kotor. Mereka taat kepada ratunya, sampai-sampai ratu membunuh lebah yang kembali kepadanya yang sebelumnya telah makan yang kotor. Bagaimana mereka memilih bentuk segi enam, tidak membangun rumah segi empat atau bulat atau segi lima, akan tetapi segi enam karena segi ini memiliki kekhususan, karena bentuk paling luas dan paling memuat banyak adalah melingkar dan apa yang mirip dengannya, sementara segi empat meninggalkan sisi-sisi yang tidak berguna. Seandainya mereka membangunnya dalam bentuk bulat, niscaya di bagian luar rumah masih ada celah-celah yang sia-sia, karena bila bentuk-bentuk yang melingkar dikumpulkan maka ia tidak terbentuk saling topang satu dengan yang lainnya, maka tidak ada sebuah bentuk yang memiliki sudut-sudut yang memiliki daya tampung mendekati bentuk bulat kemudian isinya saling mendukung setelah ia terkumpul tidak menyisakan celah kecuali segi enam. Lihatlah bagaimana Allah mengilhamkan hal itu kepada mereka dengan bentuknya yang kecil dan kelemahannya. Ambillah pelajaran dari sebagian kecil kekhususan hewan-hewan kecil ini, karena dengan melihat kepadanya dan kepada yang seperti ini, ma’rifatullah bisa bertambah dan cinta bisa meningkat.

 

[Sebab Perbedaan Tingkatan Cinta Manusia]

 

Ketahuilah bahwa manusia sama-sama memiliki dasar cinta, akan tetapi mereka berbeda-beda dalam tingkatan cinta karena perbedaan ma’rifat mereka. Kebanyakan manusia tidak mempunyai ma’ rifatullah kecuali sebatas nama-nama dan sifat-sifat yang tertangkap oleh telinga mereka. Sementara orang yang mengetahui dan memiliki basirah dapat mengungkap rincian ciptaan Allah sehingga dia menyaksikan apa yang mencengangkan akalnya, sehingga keagungan Allah dalam hati semakin meningkat, cintanya pun bertambah. Ma’rifat ini, yaitu mengetahui keajaiban-keajaiban ciptaan Allah membawanya pada samudra yang tak bertepi.

 

[Sebab Terbatasnya Pemahaman Makhluk tentang Ma’rifatullah]

 

Ketahuilah, barangsiapa membuat sesuatu, maka apa yang dibuatnya menunjukkan wujud pembuatnya, dan juga menunjukkan ilmu, kehidupan, dan kodratnya secara jelas lagi nyata, sekalipun sifat-sifat ini tidak diketahui dengan sebagian panca indra. Maka wujud Allah, kodrat, ilmu, dan Sifat-sifatNya yang lain secara otomatis dipersaksikan (dibuktikan) dengan segala sesuatu yang kita saksikan berupa batu, pohon, tanah, tumbuhan, hewan, bumi, langit, bintang, daratan, serta lautan, bahkan saksi pertama adalah diri dan jasad kita, perubahan keadaan kita, pergantian keadaan hati kita dan segala fase gerakan dan diam kita.

 

Semua yang ada di alam semesta ini adalah saksi-saksi yang berbicara, dalil-dalil yang membuktikan adanya Penciptanya, Pengaturnya, Penatanya dan Penggeraknya, juga menunjukkan IlmuNya, Kodrat, Kehidupan, Kasih Sayang, Hikmah, Keagungan dan KemuliaanNya. Setiap makhluk terkecil sekalipun melalui keadaannya menyatakan bahwa keberadaannya tidak terjadi dengan sendirinya, bahwa ia memerlukan pihak yang mengadakannya. Hanya saja akal kita dalam mengetahui “hadirat ilahiah”, seperti kelelawar di siang hari, karena lemahnya penglihatannya, ia hanya melihat di malam hari, tidak di siang hari. Dia tidak bisa melihat di siang hari bukan karena kesamarannya, sebaliknya karena saking jelasnya, kuatnya sinar dan lemahnya penglihatan si kelelawar. Demikian juga akal kita lemah untuk mengetahui hadirat Ilahiah. Mahasuci Allah yang menutupi DiriNya dengan cahaya nurNya, tersembunyi dari penglihatan dan pandangan. Inilah sebab keterbatasan pemahaman manusia dari ma’rifatullah.

 

Di samping itu, benda-benda yang ada bersaksi tentang keberadaan Allah. Hal itu sudah diketahui oleh manusia saat masih kanakkanak sebelum akalnya hadir secara sempurna. Kemudian kekuatan akal ini mulai menguat sedikit demi sedikit, sementara yang bersangkutan tenggelam dengan cita-citanya, sibuk dengannya, dia sudah merasa tenang dan terbiasa dengan apa yang diketahuinya, karena lamanya interaksi ini dapat menghilangkan pengaruhnya dari hati.

 

Di samping itu, bila seseorang melihat secara tiba-tiba hewan atau tanaman yang aneh atau perbuatan dari perbuatan-perbuatan Allah yang ajaib dan di luar kebiasaan, maka lidahnya akan mengucapkan kekagumannya, dia akan berkata, “Subhanallah, subhanallah.” Sementara selama ini dia menyaksikan dirinya, seluruh anggota tubuhnya dan seluruh hewan yang sudah biasa, semuanya adalah saksi-saksi yang berbicara secara pasti, namun manusia tidak merasakan kesaksiannya karena sudah terbiasa dengannya dalam waktu yang lama.

 

Seandainya ada seorang anak yang lahir dalam keadaan buta, di saat dia mencapai usia akil baligh, tiba-tiba kabut yang menutupi kedua matanya tersingkap, maka pandangannya menebar ke langit, bumi, pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan sekaligus, niscaya dia khawatir akalnya akan terkagum-kagum karena ketakjubannya yang dahsyat dengan melihat keajaiban-keajaiban itu dan bersaksi tentang Penciptanya. Sebab-sebab seperti ini dan yang sepertinya, ditambah dengan berkubang dalam (memperturutkan) hawa nafsu adalah yang menutup jalan di depan manusia untuk mengambil cahaya ma’rifat dan berenang di samudranya yang luas. Wallahu a’lam wa ahkam.

 

PASAL

MAKNA RINDU KEPADA ALLAH

 

Pembicaraan dan penetapan cinta dengan bukti-buktinya telah disebutkan sebelumnya. Rindu adalah salah satu buah dari kecintaan. Barangsiapa mencintai sesuatu, maka dia akan merindukannya.

 

Ketahuilah bahwa kerinduan tidak bisa digambarkan kecuali dengan suatu perkara yang bisa diketahui dari satu sisi namun dari sisi lain bisa saja tidak diketahui. Perkara yang tidak diketahui sama sekali, maka ia tidak mungkin dirindukan. Pengetahuan yang sempurna adalah dengan melihat langsung, dan hal ini hanya terwujud di akhirat.

 

Ketahuilah bahwa perkara-perkara Ilahiah tidak berujung, yang diketahui oleh hamba hanya sebagian darinya, selain itu adalah perkaraperkara yang tidak berujung. Orang yang mengenal Allah mengetahui bahwa wujud dan keberadaan perkara-perkara itu adalah objek ilmu Allah, dan apa yang tidak terjangkau oleh ilmunya jauh lebih banyak daripada apa yang diketahuinya. Sehingga seorang hamba akan terus merindukan untuk mendapatkan sumber ma’rifat (ilmu tentang Allah), dan kerinduan pertama akan berakhir di alam akhirat dengan melihat, berjumpa, dan menyaksikan secara langsung, dan (karena itu), hati orang yang merindu tidak akan pernah tenang di dunia.

 

Ibrahim bin Ad-ham is adalah salah seorang di antara mereka yang memiliki rindu mendalam. Suatu hari beliau berkata, “Ya Rabbi, jika Engkau memberi salah seorang yang mencintaiMu sesuatu yang menenangkan hatinya sebelum bertemu denganMu, maka berikanlah hal tersebut kepadaku. Sungguh kegalauan telah mendera diriku.”

 

Ibrahim berkata, “Kemudian aku melihat Allah dalam mimpi, Dia berfirman, ‘Wahai Ibrahim, apakah kamu tidak malu kepadaKu, kamu memintaKu memberimu sesuatu yang menenangkan hatimu sebelum kamu bertemu denganKu? Apakah hati orang yang merindu bisa tenang sebelum bertemu dengan orang yang dicintainya?’ Maka aku berkata, ‘Ya Rabbi, aku telah tersesat jalan dalam mencintaiMu, maka aku tidak tahu apa yang aku ucapkan’.”

 

Kerinduan yang bergolak seperti ini akan tenang di akhirat. Adapun selain itu dari hal-hal yang diketahui oleh Allah, maka tidak ada ujungnya, ia tidak dapat ditangkap dan tidak diketahui oleh hamba. Hamba hanya sibuk dengan kenikmatan dari apa yang nampak baginya. Kenikmatan dan kelezatan senantiasa bertambah sehingga hamba tersebut meninggalkan perasaannya karena sibuk dengan kerinduan kepada apa yang ada di balik itu, kadar dari cahaya basirah ini membuka hakikat kerinduan dan makna-maknanya.

 

Di antara dalil naqli adalah apa yang diriwayatkan bahwa Rasulullah mengajarkan sebuah doa untuk seorang laki-laki, beliau memintanya mengajarkannya kepada keluarganya setiap hari, doa itu adalah,

 

“Ya Allah, aku memohon kepadaMu keridhaan sesudah ketetapan Qadha’, kenikmatan hidup sesudah mati, kenikmatan melihat kepada WajahMu, dan kerinduan bertemu denganMu.”

 

Dalam Taurat Allah berfirman,

 

“Kerinduan orang-orang baik untuk bertemu denganKu telah berlalu (dalam waktu) yang panjang, sementara Aku lebih rindu untuk bertemu mereka.”

 

Di antara apa yang Allah wahyukan kepada sebagian hambaNya, “Sesungguhnya Aku mempunyai hamba-hamba, mereka mencintaiKu dan Aku mencintai mereka, mereka merindukanKu dan Aku merindukan mereka, mereka mengingatKu dan Aku mengingat mereka. Bila engkau mengambil jalan mereka, maka Aku mencintaimu, bila engkau melenceng dari jalan mereka, maka Aku memurkaimu.” Sang hamba itu berkata, “Ya Rabb, apa tanda mereka?” Dia berfirman, “Mereka memperhatikan bayangan di siang hari seperti seorang penggembala yang penyayang memperhatikan domba-dombanya, mereka merindukan terbenamnya matahari seperti burung merindukan sarangnya saat matahari terbenam. Bila malam telah menutupi mereka, kegelapan datang, kasur-kasur digelar, setiap pencinta berdua dengan orang yang dicintainya, mereka menegakkan kaki-kaki mereka, meletakkan kening mereka di tanah, mereka bermunajat kepadaKu dengan FirmankKu, mendekatkan diri kepadaKu dengan kenikmatan-kenikmatanKu, ada yang berteriak dan ada yang menangis, ada yang merintih dan ada yang mengadu, ada yang berdiri dan ada yang duduk, ada yang rukuk dan ada yang sujud. Demi kedua MataKu, apa yang mereka pikul demi Aku, demi PendengaranKu, apa yang mereka rasakan demi cintaKu.”

 

PASAL

CINTA ALLAH KEPADA HAMBA, MAKNANYA DAN TANDA-TANDA CINTA HAMBA KEPADA ALLAH

 

Mengenai cinta Allah kepada seorang hamba, maka ketahuilah bahwa banyak dalil al-Qur-an yang mendasarinya, seperti Firman Allah

 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222).

 

Juga Firman Allah

 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur.” (Ash-Shaf: 4).

 

Allah juga memberitahukan bahwa Dia tidak akan mengazab hamba yang dicintaiNya, karena Allah membantah siapa yang mengklaim bahwa dia adalah kekasihNya dengan FirmanNya,

 

“Katakanlah, ‘Maka mengapa Allah menyjiksa kalian karena dosa-dosa kalian?'” (Al-Ma‘idah: 18).

 

Dan Allah mengampuni dosa karena kecintaanNya, Allah berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Ali Imran: 31).

 

Dalam hadits shahih dari riwayat Abu Hurairah dari Rasulullah bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘HambaKu terus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya’ .” Al-Hadits, dan ini adalah hadits masyhur.

 

Di antara tanda cinta Allah kepada hamba adalah sebagaimana sabda Nabi,

 

“Sesungguhnya bila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan mengujinya.”

 

Di antara tanda cinta Allah kepada hamba-hambaNya yang paling kuat adalah perencanaan yang baik untuknya, mendidiknya dari sejak kanak-kanak di atas tatanan terbaik, menuliskan iman dalam hatinya, menyinari akalnya, lalu dia mengikuti segala sesuatu yang mendekatkan dirinya kepadaNya, dan menjauhkannya dari apa yang menjauhkannya dariNya, kemudian memperhatikannya dengan memudahkan urusan-urusannya tanpa merendahkan diri kepada makhluk, meluruskan lahir dan batinnya, menjadikan pikirannya fokus ke satu tujuan, lalu bila cinta bertambah, maka ia menyibukkannya dari segala sesuatu.

 

Adapun cinta hamba kepada Allah, maka ketahuilah bahwa cinta ini diklaim oleh setiap orang. Betapa mudahnya mengklaim, tetapi betapa jarang makna cinta yang hakiki. Maka seseorang tidak patut terkecoh olch tipu daya setan dan tipu daya jiwa manakala ia mengklaim mencintai Allah, selama dia belum mengujinya dengan tanda-tandanya dan menuntutnya dengan bukti-bukti. Di antara tanda-tandanya adalah mencintai pertemuan dengan Allah di surga, karena tidak dapat digambarkan hati mencintai sesuatu kecuali bila ia berharap bertemu dan melihatnya. Hal ini tidak menafikan kebencian kepada kematian, karena orang Mukmin (secara alamiah) membenci mati sementara bertemu Allah terjadi sesudah mati.

 

Di antara as-Salaf ada yang mencintai mati, di antara mereka ada juga yang membencinya, bisa karena lemahnya cinta, atau karena cintanya masih tercampur dengan cinta kepada dunia, atau karena dia melihat dosa-dosanya sehingga dia ingin hidup untuk bertaubat.

 

Di antara mereka ada yang melihat dirinya baru di tangga pertama cinta, sehingga dia tidak menyukai kematiannya disegerakan sebelum menyiapkan diri untuk bertemu Allah. Dia seperti seseorang yang mendengar kedatangan orang yang dicintainya. Dia berharap ditunda sesaat agar bisa menyiapkan rumahnya dan menyediakan segala sarananya, lalu dia menyambutnya sebagaimana yang diinginkan, hati fokus dari segala sesuatu yang menyibukkannya, beban tanggungannya ringan. Kebencian karena sebab ini tidak bertentangan dengan kesempurnaan cinta. Tanda orang ini adalah dia terus beramal dan berkonsentrasi dalam rangka bersiap diri.

 

Di antara tanda cinta adalah mendahulukan apa yang dicintai Allah atas apa yang dicintai dirinya, lahir dan batin, tidak memperturutkan hawa nafsu, menjauhi sebab-sebab kemalasan, selalu taat kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah-ibadah sunnah.

 

Barangsiapa mencintai Allah, maka dia tidak akan mendurhakaiNya, sekalipun kedurhakaan tidak menafikan dasar cinta, akan tetapi menafikan kesempurnaannya. Berapa banyak manusia mencintai kesehatan tetapi dia malah makan apa yang membahayakan. Hal itu disebabkan karena pengetahuan terkadang melemah dan hawa nafsu terkadang menguat, sehingga (konsekuensinya) ia lemah dalam menunaikan hak cinta. Hal ini ditunjukkan oleh hadits an-Nu’aiman bahwa beliau dibawa kepada Rasulullah lalu beliau menghukumnya dengan hukuman had, sampai suatu hari dia dibawa kepada Nabi dan beliau menegakkan hukuman had atasnya, lalu seorang laki-laki melaknatnya dan berkata, “Betapa seringnya dia dibawa ke sini.” Maka Rasulullah bersabda,

 

“Jangan melaknatnya, karena sesungguhnya dia mencintai Allah dan RasulNya.”

 

Kemaksiatannya tidak mengeluarkannya dari cinta, akan tetapi dari kesempurnaan cinta.

 

Di antara tandanya adalah senantiasa berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah. Lisannya tidak berhenti sesaat pun menyebutnya, hatinya tidak kosong darinya, karena barangsiapa mencintai sesuatu maka dia akan banyak menyebutnya secara otomatis dan menyebut apa yang berkenaan dengannya, maka tanda cinta kepada Allah adalah mencintai dzikir kepadaNya, mencintai al-Qur’an yang merupakan FirmanNya dan mencintai (dan mengikuti sunnah) Rasulullah.

 

Allah berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Ali Imran: 31).

 

Sebagian as-Salaf berkata, “Aku pernah merasakan manisnya munajat, aku selalu membaca al-Qur‘an, kemudian aku merasa jenuh sesaat dan meninggalkannya, maka aku bermimpi, Allah berfirman kepadaku,

 

Bila engkau mengaku mencintaiKu

lalu mengapa meninggalkan KitabKu

Apakah engkau tidak merenungkan

teguran lembutKu yang ada padanya?

 

Di antara tandanya adalah ketenangannya dalam berkhalwat dengan Allah, bermunajat kepadaNya, membaca KitabNya, selalu shalat tahajud, memanfaatkan keheningan malam, jornihnya waktu dari segala macam ketergantungan hati terhadap dunia, karena tingkatan cinta minimal adalah menikmati khalwat dengan Yang dicintainya dan merasakan kelezatan bermunajat kepadaNya.

 

Diriwayatkan bahwa seorang ahli ibadah beribadah kepada Allah di sebuah hutan belantara dalam masa tertentu, dia melihat seckor burung yang membuat sarang di sebuah dahan pohon sebagai rumah-~ nya dan tempat mengerami telurnya, lalu dia berkata, “Seandainya aku mengubah tempat ibadahku menghadap ke pohon itu, aku bisa menikmati kicauan burung tersebut.” Maka dia melakukannya, maka Allah mewahyukan Kepada nabi mereka, “Katakanlah kepada fulan si ahli ibadah, ‘Engkau merasa tenang dengan makhluk? Aku akan menurunkan derajatmu yang kamu tidak akan mendapatkannya dengan amalmu selamanya’.”

 

Jadi tanda cinta adalah ketenangan sempurna dengan munajat kepada Yang dicintaiNya, kenikmatan sempurna dengan berkhalwat dan mengesampingkan segala hal yang mengeruhkan khalwatnya.

 

Bila cinta dan munajat sudah mendominasi, maka khalwat dan munajat menjadi kebahagiaan yang menepis segala kesedihan. Bahkan cinta dan ketenangan akan menyelimuti hatinya, sehingga dia tidak lagi paham urusan-urusan dunia selama ia tidak terulang-ulang di telinganya, seperti orang yang sedang mabuk rindu dan mabuk kepayang.

 

Di antara tandanya adalah menyesali dzikir kepada Allah yang terlewatkan, menikmati ketaatan tanpa merasa berat, bebannya tidak terasa lagi.

 

Tsabit al-Bunani iw berkata, “Aku memikul beban berat shalat selama dua puluh tahun dan sesudahnya aku mengenyam kenikmatannya selama dua puluh tahun.”

 

Al-Junaid berkata, “Tanda cinta adalah semangat yang terus-menerus, selalu beribadah, semangatnya melemahkan tubuhnya, tetapi bukan hatinya.”

 

Semua ini adalah contohnya di alam nyata yang bisa disaksikan. Orang yang mencintai tidak pernah merasa berat untuk berusaha mewujudkan keinginan orang yang dicintainya, merasakan kenikmatan dalam hatinya dengan berkhidmat kepadanya sekalipun berat bagi raganya. Cinta tersebut mengalahkan segalanya, barangsiapa orang yang dicintainya Icbih dia cintai daripada kemalasan, maka dia akan meninggalkan kemalasan demi melayaninya, bila lebih dicintainya daripada harta, maka dia meninggalkan harta demi cintanya.

 

Di antara tandanya, hendaknya menjadi orang yang lemah lembut kepada hamba-hamba Allah dan mengasihi mereka, sebaliknya bersikap keras kepada musuh-musuh Allah, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29).

 

Tidak mengindahkan celaan orang lain di jalan Allah, tidak pula dipalingkan oleh sesuatu pun untuk marah (dalam) membelaNya.

 

Ini adalah tanda-tanda cinta yang bila terkumpul pada diri seseorang, maka cintanya sempurna, minumannya di akhirat jernih. Tetapi barangsiapa mencampur cintanya dengan cinta kepada selain Allah, maka dia mendapatkan kenikmatan di akhirat sesuai dengan kadar cintanya, minumannya bercampur dengan minuman orang-orang yang dekat, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. Dan campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (Al-Muthaffifin: 23-28).

 

Yang murni dibalas dengan yang murni dan yang bercampur dibalas dengan yang bercampur.

 

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8).

 

Di antara tandanya, hendaknya rasa cintanya berada di antara ketakutan dan pengagungan,™ karena takut tidak bertentangan dengan cinta. Orang-orang yang mencintai secara khusus memiliki ketakutanketakutan berkaitan dengan rasa cinta yang tidak dimiliki oleh selain mereka, sebagian lebih berat dari sebagian yang lain, yang pertama adalah takut dipalingkan, lebih berat darinya adalah takut terhalangi dan lebih berat lagi adalah takut dijauhkan.

 

Dan di antara tandanya, menyembunyikan cinta, tidak mengklaim kecintaannya. Berusaha tidak menampakkan cinta dan rindu demi mengagungkan Yang dicintai, memuliakanNya, merasa takut dan menjaga rahasiaNya, karena cinta adalah salah satu rahasia Yang dicintai. Terkadang orang yang mencintai tidak sadar sehingga tanpa sengaja cintanya terlihat darinya. Yang seperti ini dimaklumi, sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian dari mereka,

 

Barangsiapa hatinya bersama orang lain, bagaimana keadaannya?

 

Dan barangsiapa rahasianya di pelupuk matanya, bagaimana dia menyimpan?

 

PASAL

MAKNA RASA KEDEKATAN DENGAN ALLAH DAN RIDHA KEPADA QADHA

 

Ketahuilah bahwa barangsiapa merasakan ketenangan karena dekat (dengan Yang dicintainya), maka keinginannya hanya pada khalwat dan menyendiri, karena ketenangan dengan Allah berarti tidak nyaman dengan selainNya, sehingga yang paling berat bagi hati adalah segala sesuatu yang menghalanginya untuk berkhalwat.

 

Abdul Wahid bin Zaid berkata, Aku pernah berkata kepada seorang rahib, “Aku melihatmu menyukai khalwat.” Dia menjawab, “Seandainya aku merasakan manisnya khalwat, niscaya aku merasa tidak nyaman dengan dirimu.” Aku bertanya, “Kapan hamba merasakan manisnya khalwat dengan Allah?” Dia menjawab, “Bila cinta sudah tumbuh dengan jernih, maka interaksi pun jernih.” Aku berkata, “Kapan cinta jernih akan tumbuh?” Dia menjawab, “Bila pikiran berkumpul lalu ia menjadi satu fokus dalam ketaatan.”

 

Bila ada yang bertanya, Apa tanda ketenangan (dengan Allah)?

 

Ada yang menjawab, Tandanya yang khusus adalah dada terasa sempit dari pergaulan dengan makhluk dan tidak nyaman dengan mereka, bila dia bergaul dengan mereka, maka dia seperti orang asing yang menyendiri, raganya bersama mereka namun hatinya tidak.

 

[Makna Memohon dan Merengek Sebagai Bush dari Pengaruh Kuat Ketenangan karena Dekat dengan Allah]

 

Ketahuilah, bila ketenangan (karena dekat) dengan Allah berlangsung terus-menerus, mendominasi dan menguasainya, maka hal tersebut menjadikannya memohon dan merengek. Merengek dengan bersandar kepada yang dicintai melebihi yang sewajarnya dikarenakan kerinduannya kepada yang dicintainya. Terkadang caranya kurang bagus, karena mengandung kelancangan dan sikap kurang sopan yang mungkin saja dilakukan oleh orang yang telah meraih ketenangan dekat dengan Allah. Adapun bila dilakukan oleh orang yang tidak memahami kedudukan tersebut, maka bisa menyeret pemiliknya kepada jurang kekufuran. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hafsh bahwa pada suatu hari saat dia sedang berjalan, dia bertemu dengan seorang laki-laki yang linglung, Abu Hafsh bertanya kepadanya, “Ada apa dengan dirimu?” Dia menjawab, “Keledaiku hilang dan aku tidak memiliki harta selainnya.” Maka Abu Hafsh berdiri dan berkata, “Demi KemuliaanMu, aku tidak (akan) melangkah satu langkah pun selama Engkau tidak mengembalikan keledainya.” Maka keledai itu pun muncul.

 

Diriwayatkan dari Barkh yang seorang ahli ibadah, bahwa dia meminta hujan, dia berkata, “Ya Rabbi, Engkau tidak dituduh kikir, berikan apa yang ada di sisiMu, hujanilah kami saat ini juga.”

 

Tidak mustahil hal ini dimaklumi dari sebagian orang dan tidak dari sebagian yang lain.

 

[Makna Ridha kepada Qadha’ Allah, Hakikat, dan Keutamaannya]

 

Ridha kepada Qadha’ Allah us termasuk derajat paling tinggi dari orang-orang yang didekatkan, dan termasuk buah cinta, hakikatnya samar, urusan di dalamnya tidak diketahui kecuali bagi siapa yang memahaminya dari Allah.

 

Di antara keutamaan ridha adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi bersabda,

 

“Bila Allah menginginkan kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia menjadikannya ridha kepada apa yang Dia takdirkan kepadanya.”

 

Allah mewahyukan kepada Nabi Dawud,

 

“Wahai Dawud, sesungguhnya engkau tidak akan bertemu denganKu dengan membawa pahala suatu amal yang lebih Aku ridhai dari dirimu dan tidak pula lebih menggugurkan dosa-dosamu, dibanding ridha terhadap ketetapan Qadha’Ku.”

 

Ali bin Abi Thalib melihat kepada Adi bin Hatim yang sedang bersedih, Ali bertanya kepadanya, “Wahai Adi, mengapa aku melihatmu bersedih begitu?” Adi menjawab, “Apa yang menghalangiku untuk tidak bersedih? Anak-anakku terbunuh dan kedua mataku buta.” Ali berkata, “Wahai Adi, barangsiapa ridha kepada ketetapan Allah yang berlaku padanya, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa tidak ridha kepada Qadha’ yang berlaku padanya, maka amalnya gugur.”

 

Abu ad-Darda’  datang kepada seorang laki-laki yang hendak dijemput ajalnya, dan orang itu mengucapkan hamdalah (memuji Allah), maka Abu ad-Darda’ berkata, “Engkau benar, sesungguhnya Allah cinta bila Qadha’nya diterima.”

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Allah dengan keadilan dan ilmuNya menjadikan kebahagiaan dan ketenangan pada keyakinan dan keridhaan, dan (sebaliknya) menjadikan kesedihan dan kegelisahan pada keraguan dan kemarahan.”

 

Al-qamah  berkata mengenai Firman Allah,

 

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (At-Taghabun: 11),

 

“Maksudnya adalah musibah yang menimpa seseorang, lalu dia mengetahui bahwa ia dari sisi Allah, maka dia menerima dan rela.”

 

Abu Mu’awiyah al-Aswad berkata mengenai Firman Allah,

 

“Akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97), “Yakni, ridha dan gana’ah.”

 

Dikisahkan bahwa seorang nabi mengadukan kelaparan dan kemiskinan kepada Tuhannya selama sepuluh tahun, namun keinginannya tidak dikabulkan, kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Berapa banyak engkau mengeluh? Demikianlah permulaanmu di sisiKu di Ummul Kitab (al-Lauhil Mahfuzh) sebelum Aku menciptakan langit dan bumi, demikianlah apa yang ditetapkan untukmu darikKu, demikianlah Aku memutuskan atasmu sebelum Aku menciptakan dunia. Apakah kamu mau Aku mengulang penciptaan dunia demi dirimu? Atau kamu ingin Aku mengganti apa yang Aku takdirkan untukmu sehingga apa yang kamu cintai di atas apa yang Aku cintai dan apa yang kamu ingin di atas apa yang Aku ingin? Demi kemuliaan dan keagunganKu, bila hal ini masih belum bersemayam dengan kuat dalam hatimu sekali lagi, maka Aku akan menghapus namamu dari daftar para nabi.”

 

Dalam Zabur Nabi Dawud disebutkan, “Tahukah engkau siapa yang paling cepat melewati jembatan (shirath) di atas Jahanam? Yaitu orang-orang yang rela kepada hukumKu dan lidah mereka basah dengan berdzikir kepadaKu.”

 

Nabi Dawud berkata, “Ya Rabbi, siapa hambaMu yang paling Engkau benci?” Allah menjawab, “Hamba yang meminta pilihan kepadaKu dalam suatu urusan, Aku memilih untuknya namun dia tidak rela.”

 

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidak ada kebahagiaan yang tersisa bagiku kecuali pada tempat-tempat takdir.”

 

Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya, “Apa yang engkau inginkan?” Beliau menjawab, “Apa yang Allah tetapkan.”

 

Al-Hasan wie berkata, “Barangsiapa ridha kepada apa yang diberikan kepadanya, maka Allah akan mencukupkannya dan memberkahinya dengannya. Barangsiapa tidak ridha, maka Allah tidak mencukupkannya dan tidak memberkahinya padanya.”

 

Abdul Wahid bin Zaid  berkata, “Ridha adalah pintu Allah yang paling agung, surga dunia, dan tempat istirahat para ahli ibadah.”

 

Sebagian dari mereka berkata, “Tidak datang ke akhirat orang yang lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang ridha kepada Allah dalam keadaan apa pun; barangsiapa diberi sifat ridha, maka dia mencapai derajat paling utama.”

 

(Dikisahkan bahwa) seorang laki-laki badui berada di pagi hari, sementara banyak untanya mati, maka dia berkata,

 

Tidak, demi Allah yang diriku adalah hamba yang menyembahNya

 

Kalau bukan karena olok-olokan para musuh yang menyimpan kedengkian

 

Niscaya aku tidak berbahagia bila unta-untaku masih berada di kandangnya

 

Dan bahwa sesuatu yang Allah putuskan tidak terjadti.

 

PASAL

[Hakikat Ridha, dan Gambarannya dalam Perkara yang Bertentangan dengan Keinginan]

 

Ridha dapat saja terjadi pada perkara yang bertentangan dengan keinginan. Penjelasannya, bila seseorang jatuh sakit, dia merasakan dan mendapati rasa sakitnya, akan tetapi dia ridha bahkan berharap dengan kesadarannya rasa sakit itu bertambah sekalipun tabiatnya tidak menyukainya. Hal itu karena rasa sakit mengantarkannya kepada pahala. Misalnya seseorang mencari tukang bekam atau fashdu (totok darah), dia mengetahui hal ini menyakitkan, namun dia rela dan menginginkannya, mengikuti apa yang dilakukan oleh tukang bekam.

 

Demikian juga orang yang bersafar mencari keuntungan, dia merasakan lelahnya safar, tetapi keinginannya untuk mendapatkan hasil dari perjalanannya membuat kelelahan itu menjadi kenikmatan dan dia rela menjalaninya. Orang yang ditimpa ujian dari Allah dan dia mempunyai keyakinan, maka dia berharap pahala lebih dari apa yang hilang darinya, sehingga dia ridha terhadap apa yang menimpanya, bersyukur kepada Allah karenanya. Bahkan bisa jadi ia merasa senang karena mencintai apa yang diinginkan oleh Dzat yang dicintainya. Sehingga rasa sakit hilang karena tingginya gelora cintanya. Ini tidak aneh, seorang laki-laki yang sedang berperang saat dia marah atau takut, dia terluka tanpa merasakannya, dia tidak mendapatkan rasa sakitnya dalam kondisi itu. Hal itu karena hatinya asyik, bila hati asyik dengan suatu urusan, maka pemiliknya tidak merasakan hal lainnya, dan ini benar-benar ada di alam nyata.

 

Al-Junaid berkata, “Aku bertanya kepada Sari, ‘Apakah orang yang mencintai merasakan rasa sakit ujian?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Dan kami telah meriwayatkan dari banyak orang yang tertimpa musibah bahwa mereka berkata, ‘Seandainya jasad kami dipotong satu persatu, maka hal itu tidak menambah bagi kami selain cinta’.”

 

Dan telah disinggung bahwa cinta yang luar biasa melenyapkan rasa sakit dan ia mungkin terjadi pada cinta di antara sesama makhluk, sebagaimana sebagian dari mereka mengisahkan, dia berkata, “Seorang laki-laki tetangga kami mempunyai seorang sahaya wanita yang dicintainya, sahaya ini sakit, laki-laki itu duduk membuat bubur, saat dia mengaduk bejana, sahaya itu berkata, ‘Aduh.’ Laki-laki itu terkejut dan sendok pengaduk jatuh dari tangannya, tanpa sadar dia mengaduk bejana dengan tangannya sampai jari-jarinya melepuh dan dia tidak menyadari.”

 

Hal ini didukung oleh kisah kaum wanita yang melihat Nabi Yusuf, yang memotong jari-jari mereka tanpa merasakan sakit. Dari apa yang kami katakan ini, jelaslah bahwa ridha kepada apa yang bertentangan dengan keinginan bukan sesuatu yang mustahil. Bila hal itu mungkin terjadi terkait dengan makhluk dan kepentingan mereka, maka ia lebih mungkin untuk Allah dan kepentingan akhirat, dan kemungkinan hal itu dari tiga sisi:

 

Pertama: Ilmu seorang Mukmin bahwa apa yang diatur oleh Allah lebih baik daripada apa yang diaturnya sendiri.

 

Nabi bersabda,

 

“Tidaklah suatu ketetapan ditetapkan olelt Allali bagi seorang Mukmin, kecuali itu lebih baik baginya

 

Dari Makhul, beliau berkata, “Aku mendengar ibnu Umar  berkata, ‘Sesungguhnya seorang laki-laki meminta pilihan kepada Allah lalu Allah memilihkan untuknya namun dia malah marah, tetapi begitu dia melihat akibatnya, dia pun melihat bahwa pilihan Allah lebih baik untuknya’.”

 

Dari Masruq, beliau berkata, “Seorang laki-laki dari pedalaman mempunyai seekor anjing, keledai, dan ayam. Ayam membangunkan untuk shalat, keledai mengangkut air dan tenda mereka, sedangkan anjing menjaga mereka. Lalu serigala datang dan memangsa ayam, mereka bersedih tetapi laki-laki itu berkata, ‘Semoga ini adalah kebaikan.’ Kemudian serigala datang lagi dan membedah perut keledai, mereka bersedih dan laki-laki itu berkata, ‘Semoga ini adalah kebaikan.’ Kemudian anjingnya juga mati, tapi laki-laki itu berkata, ‘Semoga ini adalah kebaikan.’ Suatu hari mereka melihat, ternyata orang-orang di sekitar mereka sudah ditawan tetapi tidak dengan mereka, orang-orang di sekitar mereka ditawan karena mereka mempunyai harta dan hewan yang berteriak gaduh, sementara kaum laki-laki itu sudah tidak punya apa pun, anjing, keledai, dan ayam mereka sudah mati.”

 

Dari Sa’id bin al-Musayyab, beliau berkata, “Luqman berkata kepada putranya, ‘Anakku, tidak ada sesuatu pun yang menimpamu, baik engkau menyukainya atau membencinya, kecuali engkau harus menanamkan dalam hatimu bahwa hal itu adalah baik bagimu.’ Anaknya menjawab, ‘Untuk yang satu ini, aku belum bisa memberikannya kepadamu tanpa aku mengetahui apa yang engkau katakan bahwa ia sebagaimana yang engkau katakan.’ Luqman berkata, ‘Anakku, Allah telah mengutus seorang nabi, marilah kita pergi kepadanya, dia mempunyai keterangan tentang apa yang aku katakan kepadamu.’ Anaknya menjawab, ‘Mari kita pergi kepadanya.’ Luqman mengendarai keledai dan anaknya juga mengendarai keledai. Keduanya membawa bekal yang mencukupi, kemudian keduanya berjalan berhari-hari siang dan malam. Mereka tiba di sebuah padang pasir, mereka bersiap-siap dan memasukinya, kemudian mereka mengarunginya selama yang Allah kehendaki bagi keduanya untuk mengarunginya sampai siang meninggi, panas menyengat, air dan bekal telah habis, keledai keduanya mulai kelelahan, maka keduanya turun dan berjalan kaki. Saat keduanya dalam situasi demikian, Luqman melihat ke depan, beliau melihat bayangan dan asap, maka dia berkata dalam hati, ‘Bayangan itu adalah pepohonan dan asap itu adalah perkampungan dan orang-orang.’ Saat keduanya sedang demikian, tiba-tiba kaki anak Luqman menginjak tulang dan menembus telapak kakinya dari bagian bawah sampai bagian atas, dia tersungkur pingsan, Luqman menoleh, dia melihat anaknya tersungkur di atas tanah, beliau segera merangkulnya dan mencabut tulang dengan giginya, beliau membelah surbannya dan membalut kaki anaknya dengannya, Luqman melihat wajah anaknya, dia menangis dan air matanya jatuh ke pipi anaknya, maka dia terjaga dari pingsannya, dia melihat bapaknya yang menangis, dia berkata, ‘Ayah, engkau menangis padahal sebelumnya engkau berkata bahwa hal ini baik bagiku. Bagaimana bisa demikian sementara engkau menangis? Bekal dan air telah habis, tinggal engkau dan aku di sini.! Maka Luqman menjawab, ‘Tangisanku wahai anakku, maka aku berharap bisa menebusmu dengan segala milikku di dunia, akan tetapi aku adalah ayah, aku mempunyai kasih sayang seorang ayah. Untuk ucapanmu, ‘Bagaimana ini baik bagiku.’ Maka bisa jadi apa yang dijauhkan darimu lebih besar daripada apa yang menimpamu dan sebaliknya bisa jadi apa yang menimpamu lebih ringan daripada apa yang dijauhkan darimu.’ Saat keduanya berbincang, Luqman melihat ke depan, ternyata dia tidak melihat bayangan dan asap, maka dia berkata dalam hati, ‘Aku tidak melihat apa pun.’ Kemudian dia berkata, ‘Aku telah melihat, mungkin Tuhanku telah melakukan sesuatu dengan apa yang aku lihat.’ Saat Luqman berpikir tentang apa yang terjadi, dia melihat seseorang datang mendekat di atas punggung seekor kuda berwarna hitam putih dengan pakaian putih, menerjang angin, Luqman memperhatikannya dengan kedua matanya sehingga laki-laki itu berada di dekatnya, tibatiba laki-laki itu menghilang, kemudian terdengar teriakan, ‘Engkau Luqman?’ Luqman menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Apa yang diucapkan oleh anakmu yang bodoh itu?’ Luqman bertanya, ‘Engkau siapa wahai hamba Allah, aku mendengar kata-katamu dan tidak melihat dirimu?’ Dia menjawab, ‘Aku Jibril, tidak ada yang bisa melihatku kecuali malaikat yang dekat atau nabi yang diutus, kalau bukan karena itu niscaya engkau melihatku. Lalu apa yang diucapkan oleh anakmu yang bodoh itu?’ Luqman balik bertanya, ‘Apakah engkau belum tahu?’ Jibril menjawab, ‘Aku tidak tahu sama sekali tentang urusan kalian berdua, hanya saja para malaikat penjaga kalian berdua datang kepadaku dan Allah telah memerintahkanku untuk membenamkan kota itu, apa yang ada di dalamnya termasuk siapa yang ada di sana, para malaikat penjaga kalian berdua itu mengabarkan kepadaku bahwa kalian berdua hendak ke kota itu, maka aku berdoa kepada Tuhanku agar menahan kalian berdua dariku selama yang Dia kehendaki, maka Tuhanku menahan kalian dariku dengan apa yang menimpa anakmu, kalau bukan karena apa yang menimpa anakmu, niscaya engkau dan anakmu ikut terbenam bersama orang-orang yang terbenam.’ Lalu Jibril mengusapkan tangannya ke kaki anak Luqman dan dia pun langsung bisa berdiri, lalu Jibril mengusapkan tangannya ke kantong makanan mereka, maka ia pun terisi penuh makanan, kemudian Jibril mengusap kantong air, maka ia pun terisi penuh dengan air, kemudian Jibril membawa keduanya berikut keledai keduanya sebagaimana burung terbang, ternyata keduanya sudah berada di ramah yang mereka berdua pergi darinya selama beberapa hari, siang dan malam.”

 

Kedua: Ridha menerima rasa sakit karena berharap pahala di baliknya, dan kami telah menjelaskan tentang seseorang yang rela dibekam dan disayat, dan minum obat yang pahit karena berharap kesembuhan.

 

Ketiga: Ridha kepadaNya bukan karena ada maksud di baliknya, akan tetapi karena itu adalah keinginan orang yang dicintainya, sesuatu yang paling nikmat baginya adalah sesuatu yang disukai oleh orang yang dicintainya sekalipun suatu itu mencelakakan dirinya. Sebagian dari mereka berkata, “Luka tidak terasa sakit bila dia ridha kepada kalian.”

 

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa cinta bisa menguasai seseorang sehingga membuatnya tidak merasakan sakit. Barangsiapa tidak mendapatkan hal ini pada dirinya, maka tidak patut baginya mengingkarinya. Dia tidak mendapatkannya, karena sebabnya memang tidak terwujud pada dirinya, yaitu cinta yang dalam (luar biasa). Barangsiapa tidak merasakan manisnya cinta, maka dia tidak merasakan keajaiban-keajaibannya. Saya bersumpah, wajar bila orang yang tidak bisa mendengar akan mengingkari kenikmatan alunan lagu, maka demikian juga barangsiapa kehilangan hati, maka dia akan mengingkari kenikmatan-kenikmatan ini, karena tempatnya hanyalah hati.

 

Pasal

[Doa Tidak Bertentangan dengan Ridha]

 

Ketahuilah bahwa doa tidak bertentangan dengan ridha, demikian juga benci terhadap kemaksiatan-kemaksiatan, benci para pelakunya dan sebab-sebabnya serta upaya memberantasnya.

 

Allah menetapkan doa sebagai ibadah bagi kita kepadaNya, Allah menyanjung sebagian hambaNya dengan FirmanNya,

 

“Dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (Al-Anbiya’: 90).

 

Rasulullah sendiri berdoa, demikian juga para nabi dan orang-orang shalih.

 

Dan tentang pengingkaran terhadap kemaksiatan-kemaksiatan dan tidak meridhainya, maka Allah juga telah menetapkan sikap ini sebagai ibadah bagi kita. Allah justru mencela orang yang ridha terhadap kemaksiatan, demikian juga membenci orang-orang kafir dan orang-orang fajir serta pengingkaran terhadap mereka. Banyak dalil dari al-Qur’an dan hadits dalam hal ini.

 

Bila dikatakan, Hadits-hadits menetapkan kita harus ridha kepada keputusan Allah, bila kemaksiatan terjadi tanpa keputusan dari Allah, maka mustahil, bila terjadi dengan keputusan Allah, maka membencinya sama dengan membenci keputusan Allah, lalu bagaimana menyatukan di antara kedua kondisi ini?

 

Ketahuilah bahwa ini termasuk perkara yang masih rancu di kalangan orang-orang yang cekak pemahamannya terhadap rahasia ilmu, sehingga sebagian orang memahaminya keliru. Mereka melihat bahwa diam dengan tidak mengingkari kemungkaran merupakan salah satu dari bentuk ridha dan mereka menamakannya dengan akhlak yang baik. Padahal itu adalah kebodohan tulen. Kami katakan, Ridha dan benci adalah dua kata yang berlawanan bila dihadapkan pada satu perkara yang, sama, dari arah yang sama, dan pada sisi yang sama pula. Namun bila engkau ridha terhadap sesuatu dari satu sisi dan membencinya dari sisi lain, maka hal itu tidak bertentangan. Musuhmu mati, ternyata dia juga menjadi musuh dari musuhmu yang lain yang berusaha membunuhmu. Engkau sedih akan kematiannya karena dia adalah musuh dari musuhmu. Namun, di sisi lain engkau juga senang karena dia juga musuhmu. Demikian juga kemaksiatan, ia memiliki dua sisi. Dari sisi Allah, hal tersebut merupakan pilihan dan kehendakNya, engkau ridha terhadapNya dari sisi ini sebagai penyerahan kerajaan kepada pemilik kerajaan sejati. Dari sisi hamba, kemaksiatan tersebut merupakan usaha dan sifatnya, tanda bahwa dia dibenci oleh Allah dan dimurkai di sisiNya, Dia melingkupinya dengan scbab-scbab yang membuatnya jauh dan dimurkai, dari sisi ini dia munykar dan tercela.

 

Namun hal ini mungkin tidak terbuka kecuali dengan contoh. Kita asumsikan ada orang yang dicintai. Dia berkata di depan orang yang mencintainya, “Aku ingin mengetahui siapa yang mencintaiku dan siapa yang membenciku. Aku akan meletakkan sebuah standar yang benar, yaitu aku akan memukul fulan dengan keras sehingga menjadikannya mencaciku. Bila dia mencaciku, maka aku akan membencinya dan menjadikannya sebagai musuh, siapa pun yang mencintai fulan, maka aku tahu bahwa dia adalah musuhku dan siapa yang membencinya, maka aku tahu bahwa dia adalah kawanku dan orang yang mencintaiku.” Kemudian dia melakukannya, lalu terjadilah cacian yang menjadi sebab kebencian, kemudian terwujud kebencian yang menjadi sebab permusuhan, maka sudah sepatutnya bila orang yang benar-benar mencintainya untuk berkata, “Tindakanmu yang memukul dan menyakiti fulan, aku menyukainya. Itu adalah pikiran, tindakan, dan perbuatanmu, namun caciannya kepadamu berdasarkan tuduhanmu kepadanya, itu adalah permusuhan darinya kepadamu, aku tidak menyukainya berdasarkan tuduhanmu kepadanya, karena semestinya dia bisa bersabar dan tidak mencaci.” Demikian juga saat Allah menciptakan hawa nafsu pendorong kepada kemaksiatan pada diri hamba dan Dia membenci sang hamba karena kedurhakaannya.

 

Maka wajib atas setiap hamba yang mencintai Allah untuk membenci siapa yang Allah benci, memusuhi siapa yang Allah musuhi dan menjauhkannya dari hadiratNya, walaupun Dia yang menetapkan dengan kekuasaan dan kodratNya bahwa dia memusuhi dan menyelisihiNya, karena orang tersebut adalah orang yang dijauhkan dan terusir. Orang yang dijauhkan dari amal-amal kebaikan, patut dibenci oleh semua Orang yang mencintai. Hal itu untuk menyesuaikan keinginan Dzat Yang mereka cintai dengan menampakkan amarah terhadap orang yang dimurkai dan dijauhkan oleh Dzat yang mereka cintai.

 

Dengan ini jelaslah maksud dari apa yang ditetapkan oleh dalildalil tentang Allah dan cinta karena Allah, sikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir, berlebih-lebihan dalam membenci mereka tetapi tetap ridha akan keputusan Allah dari sisi hal tersebut sebagai keputusan Allah. Semua ini digali dari rahasia takdir yang tidak ada keringanan dalam menyebarkannya, yaitu bahwa kebaikan dan keburukan sama-sama masuk ke dalam kehendak dan keinginan Allah, hanya saja keburukan adalah kehendak yang dibenci dan kebaikan adalah kehendak yang diridhai.

 

Yang lebih patut bagi hamba adalah menahan diri dan beradab dengan adab syariat, berdiri di atas keadaan yang Allah menjadikannya sebagai ibadah, yaitu menggabungkan antara sikap ridha kepada keputusan Allah dan membenci kemaksiatan kepadaNya. Wallahu a’lam.

 

[Menutup Kitab Ini dengan Kalimat yang Beraneka Ragam yang Berkaitan dengan Mahabbah yang Bermanfaat]

 

Hal-hal yang berkaitan dengan cinta:

 

  1. Diriwayatkan bahwa Allah ulS pernah mewahyukan kepada Nabi Dawud, “Seandainya orang-orang yang berlari dariKu mengetahui bagaimana Aku menunggu mereka, kelembutanKu kepada mereka dan kerinduanKu kepada taubat mereka, niscaya mereka akan mati karena merindukanKu dan anggota tubuh mereka akan terputus karena mencintaiKu. Hai Dawud, ini adalah kehendakKu pada orang-orang yang berlari dariKu, lalu bagaimana keinginanKu pada orang-orang yang datang kepadaKu? Wahai Dawud, bila seorang hamba merasa tidak membutuhkanKu, maka saat itulah dia paling membutuhkanKu, keadaan yang paling mulia di sisiKu adalah saat seorang hamba kembali kepadaKu.”

 

  1. Seorang wanita ahli ibadah berkata, “Demi Allah, aku sudah bosan dengan hidup ini. Seandainya aku menemukan kematian yang dijual niscaya aku membelinya, karena aku merindukan Allah dan ingin berjumpa denganNya.” Dia ditanya, “Apakah engkau sudah yakin kepada amalmu?” Dia menjawab, “Tidak, akan tetapi karena aku mencintaiNya dan aku berbaik sangka kepadaNya. Apakah menurutmu Allah akan mengazabku sementara aku mencintaiNya?”

 

BAB NIAT, IKHLAS, DAN JUJUR

 

Ketahuilah bahwa orang-orang yang memiliki hati melalui basirah iman dan cahaya al-Qur’an mengetahui bahwa kebahagiaan tidak diraih kecuali dengan ilmu dan ibadah. Seluruh manusia celaka kecuali orang-orang yang berilmu, orang-orang yang berilmu celaka kecuali orang-orang yang beramal, orang-orang yang beramal celaka kecuali orang-orang yang ikhlas, dan orang-orang yang ikhlas pun berada dalam bahaya besar.

 

Amal tanpa niat hanya kelelahan, niat tanpa ikhlas adalah riya’’, ikhlas tanpa ilmu adalah debu yang beterbangan. Allah berfirman,

 

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).

 

Duhai gerangan, bagaimana sebuah niat bisa lurus dari orang yang tidak mengetahui hakikat niat? Atau bagaimana orang yang berusaha mengikhlaskan niat bila dia tidak memahami hakikat ikhlas? Bagaimana orang yang ikhlas menuntut dirinya untuk jujur bila dia tidak mewujudkan maknanya?

 

Maka tugas pertama atas setiap hamba yang ingin menaati Allah adalah mengetahui (berilmu tentang) niat pertama kali, agar dia mendapatkan ilmunya kemudian meluruskannya dengan amal perbuatan setelah memahami hakikat kejujuran dan keikhlasan, yang keduanya merupakan sarana bagi hamba untuk meraih keselamatan.

 

Kami menjelaskan tema ini dalam tiga pasal.

 

Pasal Pertama: Hakikat Niat, Keutamaan, dan Hal-Hal yang Berkaitan dengannya

 

Allah berfirman,

 

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan dt petang hari, sedang mereka menghendaki WajahNya.” (AlAn’am: 52).

 

Dan yang dimaksud dengan menghendaki di sini adalah niat. Dari Umar bin al-Khaththab, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda,

 

‘Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung niat dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin dia dapatkan atau seorang wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa dia berhijrah’ .”

 

Dari Abu Musa beliau berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang berperang karena keberanian, berperang karena fanatisme, dan berperang karena riya’’; siapa dari mereka yang berperang di jalan Allah?’ Rasulullah  menjawab, ‘Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, maka dialah yang berperang di jalan Allah’.”Diriwayatkan dalam ash-Shahihain. Dari Jabir berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sungguh kalian meninggalkan orang-orang di Madinah, yang kalian tidak menyeberangi sebuah lentbah dan tidak meniti sebuah jalan kecuali mereka ikut serta bersama kalian merath pahala; karena sakit yang menahan mereka.” Diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari meriwayatkannya dari hadits Anas.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abbas dari Nabi  bahwa beliau bersabda,

 

“Barangsiapa ingin melakukan suatu kebaikan lalu dia tidak melakukannya, maka ditulis untuknya satu kebaikan.”

 

Kemudian dari Abu Kabsyah al-Anmari beliau berkata, Rasulullah  bersabda,

 

“Perumpamaan umat ini adalah seperti empat orang: (pertama), seorang laki-laki yang Allah beri harta dan ilmu, dia mengamalkan ilmu dalam (membelanjakan) hartanya sehingga menginfakkannya di jalannya yang hagq, (kedua), seorang laki-laki yang Allah beri ilmu tapi tidak diberi harta, lalu dia berkata, ‘Seandainya aku mempunyat harta seperti dia niscaya aku melakukan seperti apa yang dia lakukan.’ Rasulullah bersabda, “Pahala keduanya sama.” (Ketiga), seorang laki-laki yang Allah beri harta dan tidak memberinya ilmu, dia membelanjakannya secara salah, menginfakkannya bukan di jalannya yang haq. (Keempat), seorang laki-laki yang tidak Allah beri ilmu dan harta, lalu dia berkata, ‘‘Seandainya aku mempunyai apa yang dia punyai, niscaya aku melakukan seperti apa yang dia lakukan.’ Rasulullah bersabda, “Dosa keduanya sama,

 

Abu Imran al-Jauni  berkata, “Para malaikat naik membawa amal-amal, lalu Allah memanggil, ‘Buang buku catatan itu.’ Maka para malaikat berkata, ‘Wahai Rabb kami, dia berkata baik dan kami menulisnya di atasnya.’ Allah berfirman, ‘Dia tidak menginginkan WajahKu dengan amalnya.’ Lalu Allah memanggil dengan berfirman, ‘Tulislah untuk fulan begini dan begini’, dua kali. Malaikat berkata, ‘Ya Rabb, dia belum melakukannya.’ Allah berfirman, ‘Dia sudah berniat melakukannya’.”

 

Umar bin al-Khaththab berkata,

 

“Sebaik-baik amal adalah menunaikan apa-apa yang Allah fardhukan, menjaga diri dari apa yang Allah haramkan, dan niat yang benar terhadap apa yang ada di sisi Allah.”

 

Sebagian dari mereka berkata, “Tunjukkan kepadaku sebuah amal yang akan senantiasa aku amalkan karena Allah.” Maka dikatakan kepadanya, “Niatkan kebaikan, karena dengan itu engkau senantiasa beramal walaupun tidak melakukan. Niat akan beramal walaupun tidak ada amal, karena barangsiapa berniat shalat malam lalu dia tidur, maka ditulis untuknya pahala niatnya sekalipun dia tidak melakukannya.”

 

Dalam hadits disebutkan,

 

“Tidaklah seorang laki-laki menyisihkan waktu di malam hari untuk berdiri shalat, lalu dia tertidur darinya, kecuali ditulis baginya pahala shalatnya, dan tidurnya adalah sedekah yang dianugerahkan untuknya (dari Tuhannya).”

 

Dalam hadits lain,

 

“Niat seorang Mukmin lebih baik daripada amalnya.”

 

Niat, keinginan, dan tujuan adalah ungkapan yang memiliki makna yang sama.

 

[Perincian Amal-Amal yang Berkaitan dengan Niat]

 

Ketahuilah bahwa amal-amal terbagi menjadi tiga:

 

Bagian Pertama: Kemaksiatan. Niat tidak mengubah keadaannya, seperti orang yang membangun masjid dengan uang haram dengan tujuan baik, niat baiknya tidak berpengaruh, karena tujuan baik dengan keburukan adalah keburukan baru, karena kebaikan hanya diketahui melalui syariat, lalu mana bisa keburukan menjadi kebaikan, sama sekali tidak mungkin!

 

Ketahuilah bahwa para penguasa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan membangun masjid-masjid dan madrasah-madrasah dengan harta haram, seperti para ulama su’ yang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengajarkan ilmu kepada orang-orang bodoh dan para penjahat yang disibukkan dengan kefasikan. Bila mau mempelajari ilmu, maka mereka adalah para penyamun di jalan Allah, mereka hanya berambisi merebut dunia dan mengikuti hawa nafsu. Akibat buruk mereka kembali kepada siapa yang mengajari mereka, karena dia mengetahui buruk dan rusaknya niat mereka.

 

Termasuk dalam hal ini para tukang cerita mempelajari ceritacerita, tujuan kebanyakan dari mereka sudah diketahui. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan dunia, mengambil harta bagaimana caranya, maka mengajari mereka sama dengan membantu kerusakan.

 

Engkau sudah mengetahui bahwa ketaatan bisa berubah menjadi kemaksiatan karena tujuan (niat). Adapun kemaksiatan, maka tidak bisa berubah menjadi ketaatan dengan niat sama sekali. Sebaliknya bila ada tujuan buruk yang digabungkan dengannya, maka dosanya berlipat dan akibat buruknya menjadi besar.

 

Bagian kedua: Ketaatan. la terikat dengan niat berkaitan dengan keabsahan dan keutamaannya yang berlipat ganda.

 

Berkaitan dengan keabsahan hendaknya seseorang meniatkannya sebagai ibadah kepada Allah tidak yang lain, bila niatnya adalah riya’’, maka ia berubah menjadi kemaksiatan.

 

Dan berkaitan dengan keutamaan yang berlipat ganda, maka dengan banyaknya niat yang baik; karena satu ketaatan bisa diniatkan dengan kebaikan yang banyak, sehingga setiap niat yang bersangkutan mendapatkan pahala, karena setiap niatnya adalah kebaikan, kemudian setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh.

 

Misalnya, duduk di masjid. Ini adalah ketaatan dan bisa diniatkan kebaikan yang banyak, di antaranya niat masuknya adalah menunggu shalat, beri’tikaf, dan menahan anggota badan, karena i’tikaf adalah menahan diri. Niat yang lain, menepis berbagai kesibukan yang memalingkan dari Allah dengan duduk di masjid, berdzikir kepada Allah dengan duduk di masjid tersebut, dan hal-hal yang sepertinya. Ini adalah jalan-jalan memperbanyak niat, maka silakan mengiaskannya pada ketaatan-ketaatan yang lain, karena tidak ada satu ketaatan pun kecuali mengandung banyak niat kebaikan.

 

Bagian ketiga: Hal-hal mubah. Tidak ada sesuatu yang mubah kecuali bisa diikuti dengan satu atau beberapa niat kebaikan, sehingga menjadi kebaikan yang mendekatkan kepada Allah dan dengannya yang bersangkutan meraih derajat tinggi. Betapa meruginya siapa yang melalaikannya dan sekadar melakukannya (tanpa diiringi niat kebaikan) seperti hewan.

 

Seorang hamba tidak patut meremehkan apa yang tebersit dalam hatinya, setiap langkah dan pandangan mata, semua itu akan ditanyakan tentangnya di Hari Kiamat, mengapa dia melakukannya dan apa tujuannya?

 

Misal dari sesuatu yang mubah dengan niat ibadah adalah menggunakan wewangian. Berniat dengan itu berarti mengikuti sunnah, menghormati masjid, menghilangkan bau tidak sedap yang mengganggu orang-orang di sekitarnya. Asy-Syafi’i berkata, “Barangsiapa harum aroma tubuhnya, maka akalnya akan bertambah (terang).”

 

Demikian juga merawat kepala dapat menambah kecerdikan dan memudahkannya untuk mengetahui hal-hal penting dalam agamanya.

 

Sebagian as-Salaf berkata, “Sungguh aku sangat suka menghadirkan niat kebaikan pada segala urusanku hingga dalam makan, minum, tidur, dan masuk ke dalam WC.” Semua itu bisa dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, karena segala sesuatu yang menjadi sebab badan yang schat dan hati yang bersih, termasuk hal-hal penting dalam agama. Barangsiapa makan dengan tujuan menguatkan diri untuk beribadah, menikah dengan tujuan menjaga agamanya dan menghibur hati keluarganya, serta mendapatkan anak yang beribadah kepada Allah sesudahnya, maka dia mendapatkan pahala karena semua itu. Maka janganlah engkau meremehkan setiap perbuatan dan ucapanmu. Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Luruskanlah niatmu sebelum engkau melakukan apa yang ingin engkau lakukan dan jangan lupa pula, perhatikanlah niatmu ketika meninggalkan suatu perkara.

 

[Niat Tidak Termasuk ke Dalam Pilihan]

 

Ketahuilah bahwa niat adalah dorongan dan kecenderungan jiwa kepada perkara yang terlihat sebagai maslahat untuknya, bisa untuk saat ini atau untuk masa depan. Mungkin sebagian orang bodoh mendengar apa yang kami wasiatkan, yaitu membaguskan niat, maka dia akan mengucapkan sebelum makan, “Aku berniat makan karena Allah.” Saat hendak membaca, “Aku berniat membaca karena Allah.” Dia menyangka bahwa itu adalah niat padahal tidak demikian, karena niat adalah dorongan hati. Ia mengalir melalui jalan yang merupakan pertolongan dari Allah dan niat tidak masuk ke dalam pilihan. Terkadang mudah di satu waktu dan terkadang tidak terlaksana di lain waktu. Biasanya niat hanya mudah bagi orang yang hatinya cenderung kepada agama bukan dunia.

 

Manusia dalam urusan niat terbagi menjadi beberapa bagian:

 

Di antara mereka ada yang amalnya terhadap ketaatan sebagai respons dari dorongan rasa takut.

 

Dan di antara mereka ada yang amalnya terhadap ketaatan sebagai respons dari dorongan berharap.

 

Ada tingkatan yang lebih tinggi dari dua kelompok di atas, yaitu melakukan ketaatan di atas niat mengagungkan Allah karena Dia memang berhak untuk ditaati dan disembah, dan ini tidak mudah bagi orang yang berhasrat kepada dunia. Ini adalah niat paling mulia dan paling tinggi. Hanya sedikit orang yang memahaminya, apalagi mewujudkannya. Pemilik tingkatan ini tidak pernah melewatkan dzikir kepada Allah dan memikirkan keagunganNya karena cintanya kepadaNya.

 

Ahmad bin Khadhrawaih menceritakan bahwa dia pernah melihat Allah dalam mimpinya, Dia berfirman kepadanya, “Semua manusia meminta (sesuatu) dariku sedangkan Abu Yazid memintaKu (DiriKu).”

 

Yang ingin kami jelaskan, bahwa di antara niat-niat yang ada tidak sama tingkatannya. Barangsiapa didominasi oleh salah satu darinya, bisa jadi tidak mudah baginya untuk berpindah kepada selainnya. Barangsiapa niat (ketaatan) hadir dalam perkara mubah tetapi tidak hadir dalam amalan sunnah yang memiliki keutamaan, maka yang mubah lebih utama dan nilai keutamaan berpindah kepada yang mubah.

 

Misalnya, seseorang makan dan tidur dengan niat untuk menguatkan diri dalam beribadah dan mengistirahatkan raganya. Saat itu tidak ada niat untuk shalat dan puasa, maka makan dan tidurnya lebih utama. Bahkan seandainya dia merasa jenuh dengan banyaknya ibadah yang dilaksanakannya, dia mengetahui bila menghibur diri dengan sesuatu yang mubah sesaat, lalu semangatnya untuk beribadah kembali pulih, maka itu lebih utama daripada beribadah dalam kondisi tersebut (tanpa melakukan perkara mubah).

 

Ali berkata,

 

“Istirahatkanlah hati dan carilah hikmah unik untuknya, karena hati terkadang merasa jenuh sebagaimana raga.”

 

Sebagian dari mereka berkata, “Istirahatkanlah hati, maka engkau akan memahami dzikir.”

 

Ini adalah masalah-masalah cermat yang tidak diketahui kecuali melalui pergaulan dengan para ulama. Seorang tabib mahir bisa saja mengobati orang yang demam dengan daging, sekalipun daging mengandung unsur panas, sementara orang yang ilmu pengobatannya dangkal melihatnya sebagai kesia-siaan, padahal tujuan tabib mahir tadi adalah menguatkan tubuhnya sehingga ia kuat menghadapi proses pengobatan. Demikian juga orang yang mahir dalam peperangan, mungkin dia mundur dari lawannya sebagai sebuah taktik untuk menjebaknya di sebuah jalan kecil. Jalan menuju Allah adalah perang melawan setan dengan menata hati, maka orang yang memahami dan diberi taufik meniti jalan tersebut dengan berbagai macam taktik yang dirasakan aneh oleh orang-orang lemah, padahal sepatutnya mereka tidak merasa aneh terhadap sesuatu yang tidak mereka kuasai, sebaliknya seharusnya mereka menyerahkan perkara kepada orang-orang yang mengetahui sampai mereka mengetahui rahasia-rahasianya atau mendapatkan derajat tersebut.

 

Pasal Kedua: Ikhlas, Keutamaan, Hakikat, dan TingkatanTingkatannya

 

Allah a berfirman,

 

” Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya.” (Al-Bayyinah: 5).

 

Dan Allah berfirman,

 

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 3), dan ayat-ayat lain yang senada.

 

Nabi bersabda kepada Mu’adz,

 

“Ikhlaskanlah agamamu, niscaya sedikit amal sudah cukup bagimu.”

 

Anas berkata, “Di Hari Kiamat para malaikat datang membawa lembaran-lembaran yang tersegel, maka Allah berfirman, ‘Buang ini dan terima ini.’ Para malaikat berkata, ‘Demi kemuliaanMu, kami tidak menulis kecuali apa yang terjadi.’ Allah berfirman, ‘Ini untuk seJainKu dan hari ini Aku hanya menerima amal-amal yang (dikerjakan) untukKu’.”

 

Dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya para malaikat membawa naik amal perbuatan hamba, lalu mereka membanyakkannya dan mengembangkannya, maka Allah mewahyukan kepada mereka, ‘Kalian adalah para pencatat amal hambaKu sedangkan Aku adalah pengawas atas apa yang ada dalam jiwanya, sesungguhnya hambaKu tidak ikhlas dalam amal-amalnya itu, maka letakkan ia di sijjin.’Lalu mereka membawa naik amal seorang hamba, mereka merasa amal itu sedikit, maka Allah mewahyukan kepada mereka, ‘Kalian adalah penulis amal hambaKu, sedangkan Aku adalah pengawas atas apa yang ada dalam jiwanya, maka lipatgandakanlah ia dan tulislah di illiyyin’.”

 

Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa beliau berkata, “Ada sebuah pohon yang disembah selain Allah, seorang laki-laki datang kepadanya dan berkata, ‘Aku akan menebang pohon ini.’ Lalu dia datang untuk menebangnya karena marah karena Allah, lalu setan dalam bentuk manusia menghadangnya, setan berkata, ‘Hendak ke mana?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Ke pohon yang disembah selain Allah itu, aku hendak menebangnya.’ Setan berkata, ‘Bila engkau tidak menyembahnya, lalu apa ruginya dirimu bila orang lain menyembahnya?’ Laki-laki menjawab, ‘Aku akan menebangnya.’ Setan berkata, ‘Aku memberimu sebuah tawaran yang lebih baik, jangan menebangnya dan engkau akan mendapatkan dua dinar per hari di bawah bantalmu.’ Laki-laki itu bertanya, ‘Siapa yang menjamin?’ Setan menjawab, ‘Aku yang menjamin.’

 

Laki-laki itu pulang, pagi hari dia melihat dua dinar di bawah bantalnya, tetapi esok hari dia tidak ada apa pun, maka dia bangkit dengan marah hendak menebangnya, maka sctan menghadang jalannya dalam wujud manusia, dia bertanya, ‘Hendak ke mana?’ Dia menjawab, ‘Menebang pohon yang disembah selain Allah.’ Setan berkata, ‘Engkau dusta, engkau tidak akan pernah bisa menebangnya.’ Laki-laki itu maju hendak menebangnya, tetapi setan membantingnya dan mencekiknya sampai hampir mati, lalu setan berkata, ‘Tahukah engkau siapa aku?’ Lalu dia menceritakan siapa dirinya. Setan berkata, ‘Pertama kali engkau datang karena marah demi Allah, maka aku tidak punya jalan terhadapmu, lalu aku menipumu dengan dua dinar dan engkau meninggalkan pohon itu, manakala engkau kehilangan dua dinar, engkau kembali datang untuk membela dua dinar, maka aku bisa mengalahkanmu’.”

 

Ma’ruf al-Karkhi pernah memukul dirinya dan berkata, “Wahai jiwa, ikhlas dan selamatkanlah dirimu.”

 

Abu Sulaiman berkata, “Beruntunglah siapa yang hanya satu langkahnya selamat dari cela, dia tidak berharap dengannya kecuali Allah.”

 

Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki berpenampilan wanita, dia hadir di sebuah walimah dan pesta kaum wanita, suatu hari dia hadir di sebuah pertemuan khusus kaum wanita. Tiba-tiba seseorang dari mereka kehilangan mutiara, maka mereka berteriak, “Tutup semua pintu, kita akan menggeledah.” Maka mereka menggeledah satu persatu sampai tinggal seorang wanita dan laki-laki tersebut, maka laki-laki itu berdoa kepada Allah dengan ikhlas, dia berkata, “Bila aku selamat dari aib memalukan ini, maka aku tidak akan pernah mengulangnya.” Maka mutiara ditemukan pada wanita yang bersamanya, lalu mereka berteriak, “Bebaskan wanita merdeka itu, kami sudah menemukan mutiaranya.”

 

HAKIKAT IKHLAS

 

Ketahuilah bahwa segala sesuatu dapat tercampuri oleh selainnya, bila ia bersih dari campuran dan jernih darinya, maka itulah yang disebut dengan murni (ikhlas).

 

Lawan ikhlas adalah syirik, barangsiapa tidak ikhlas, maka dia musyrik, hanya saja syirik terbagi menjadi beberapa derajat.

 

Ikhlas dalam tauhid adalah lawan dari syirik dalam ilahiah (ubudiyah).

 

Syirik, ada yang jelas dan ada yang samar, demikian juga ikhlas, kami telah menjelaskan derajat-derajat riya’’ pada pembahasan yang telah lewat. Sekarang kita berbicara tentang seseorang yang melakukan amal dengan tujuan mendekatkan diri, hanya saja dorongan ini bercampur dengan dorongan lain, bisa dari riya’’ atau dari ambisi-ambisi jiwa lainnya.

 

Misalnya seseorang berpuasa dengan tujuan memanfaatkan sisi diet yang terwujud dengan puasa di samping dia berniat beribadah. Atau memerdekakan budak agar bisa terbebas dari nafkahnya dan keburukan akhlaknya. Atau menunaikan ibadah haji dalam rangka memperbaiki kondisinya melalui perjalanannya. Atau dalam rangka terbebas dari keburukan yang mengancamnya. Atau berperang demi menekuni hobi berperang dan mempelajari taktik-taktiknya. Atau shalat malam dengan tujuan menepis rasa kantuk karena dia ingin menjaga barangnya atau keluarganya. Atau mempelajari ilmu dalam rangka memudahkan mencari harta, atau menyibukkan diri dengan mengajar agar berbahagia dengan kenikmatan berbicara dan yang seperti ini. Bila pendorongnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, namun di samping itu ada sebagian dari tujuan-tujuan di atas sehingga amal perbuatan menjadi lebih ringan karenanya, maka amalnya telah keluar dari lingkaran ikhlas.

 

Sangat sedikit perbuatan dan ibadah seorang manusia yang terbebas dari perkara-perkara tersebut. Karena itu dikatakan, “Barangsiapa sepanjang umurnya, amalannya selamat walaupun hanya sesaat, mampu ikhlas karena mengharap Wajah Allah, maka dia selamat.” Hal itu karena sulitnya ikhlas dan sulitnya membersihkan hati dari nodanoda di atas, karena orang yang ikhlas adalah orang yang tidak terdorong oleh apa pun selain mendekatkan diri kepada Allah.

 

Sahal pernah ditanya, “Apa yang paling berat bagi jiwa manusia?” Dia menjawab, “Ikhlas, karena ia tidak memiliki bagian padanya.”

 

[Noda-Noda yang Mengotori Ikhlas]

 

Ketahuilah bahwa noda-noda yang mengotori ikhlas bermacam-macam. Ada yang jelas dan ada yang samar. Kami telah menyebutkan tingkatan-tingkatan riya’’ pada tempatnya. Di antara riya’’ ada yang lebih samar daripada semut hitam, silakan membuka kembali di sana. Alhasil, selama orang yang beramal masih membedakan antara dilihat manusia dan ketika dilihat hewan tengah melakukan amal, maka dia sudah keluar dari kemurnian ikhlas. Tidak ada yang selamat dari setan kecuali siapa yang menikmati anugerah dan berbahagia dengan penjagaan dan taufik dari Allah.

 

Dikatakan, Dua rakaat dari orang yang berilmu lebih utama daripada tujuh puluh rakaat dari orang jahil. Maksud orang berilmu adalah orang yang mengetahui perusak-perusak amal yang samar, sehingga dia bisa menghindarinya, sedangkan orang jahil hanya melihat ibadah secara lahir. Satu girath emas yang diterima oleh ahlinya lebih baik daripada satu dinar yang diterima oleh orang yang tidak berpengalaman lagi dungu.

 

PASAL

HUKUM AMAL YANG DICAMPURI (RIYA’ ATAU SUM’AH) DAN APAKAH BERHAK MENDAPATKAN PAHALA?

 

Amal yang tujuannya hanya untuk riya’’, maka ia menjadi dosa bagi pelakunya bukan pahala, dan ia adalah sebab hukuman, sebagaimana amal yang ikhlas karena mengharap Wajah Allah adalah sebab pahala, tidak ada yang samar pada dua bagian ini, yang perlu dikaji adalah amal yang tercampur dengan noda riya’~ dan ambisi-ambisi jiwa.

 

Orang-orang berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah amal seperti ini berhak mendapatkan pahala, atau sebaliknya hukuman, atau tidak berakibat apa pun? Hadits-hadits dalam hal ini tampak seperti ada pertentangan.

 

Yang jelas bagi kami dalam masalah ini -dan ilmu hanyalah milik Allah-, hendaknya kita lihat kuatnya pendorong. Bila faktor pendorong dari sisiagama setara dengan faktor pendorong dari sisi jiwa, maka keduanya saling berlawanan dan sama-sama gugur, amalnya tidak bernilai pahala dan tidak pula bernilai dosa. Bila faktor pendorong riya’’ lebih kuat, maka ia berbahaya dan mengundang hukuman, sekalipun hukumannya lebih rendah daripada hukuman orang yang beramal karena murni riya’’. Bila faktor pendorong agama lebih kuat, maka dia mendapat pahala sesuai dengan kadar kekuatan yang melebihinya.

 

Allah  berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada kebajikan walaupun sebesar zarah, niscaya Allah akan melipatgandakannya.” (An-Nisa’: 40).

 

Apa yang kami katakan di atas ditunjang oleh ijma’ umat, bahwa barangsiapa menunaikan ibadah haji dengan membawa perdagangan, maka hajinya tetap sah dan dia mendapatkan pahala, padahal hajinya dicampuri dengan keinginan jiwa. Hanya saja bila penggerak dasar adalah haji, maka perjalanan tidak luput dari pahala. Demikian pula dengan orang yang berangkat berperang, dia bermaksud berperang dan mendapat harta rampasan. Tujuan mendapat harta rampasan hanya mengikuti, maka dia tetap mendapatkan pahala, akan tetapi tidak sama dengan pahala orang yang tidak bertujuan mendapat harta rampasan perang sama sekali. Wallahu a’lam wa ahkam.

 

Pasal Ketiga: Hakikat dan Keutamaan Jujur

 

Dari Abdullah bin Mas’ud beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Hendaklah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga, seorang laki-laki senantiasa jujur dan berusaha menjaga kejujuran sehingga dia ditulis sebagai orang yang jujur di sisi Allah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

 

Bisyr al-Hafi is berkata, “Barangsiapa bermuamalah dengan Allah dengan jujur, maka dia merasa asing dari manusia.”

 

Ketahuilah bahwa kata jujur bisa digunakan untuk beberapa makna:

 

Pertama: Jujur dalam berkata. Setiap hamba harus menjaga katakatanya, tidak berbicara kecuali dengan jujur. Jujur dalam berkata adalah bentuk jujur paling jelas dan paling menonjol. Seorang hamba hendaklah menjauhi kata-kata bermakna ganda, karena itu adalah saudara tiri dari dusta kecuali dalam keadaan darurat dan dituntut oleh kemaslahatan di sebagian kondisi. Bila hendak berperang, maka Nabi

menyembunyikannya agar beritanya tidak tercium oleh musuh sehingga mereka bersiap-siap untuk memerangi beliau.

 

Nabi bersabda,

 

“Bukan orang yang dusta siapa yang berusaha memperbaiki hubungan antara dua orang, lalu dia berkata baik atau menyampaikan yang baik.”

 

Perlu diperhatikan makna kejujuran yang terkandung pada lafazh-lafazh yang digunakan untuk bermunajat kepada Tuhannya seperti Firman Allah

 

“Aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menctptakan langit dan bumi.” (Al-An’am: 79).

 

Bila hatinya berpaling dari Allah dan sibuk dengan dunia, maka dia dusta.

 

Kedua: Jujur dalam niat dan keinginan. Ini kembali kepada ikhlas, bila amalnya dicampuri oleh sebagian ambisi jiwa, maka gugur niatnya yang jujur (benar), bisa jadi dia dusta sebagaimana dalam hadits tentang tiga orang, yaitu orang berilmu, qari’, dan mujahid, manakala qari’ berkata, “Aku membaca al-Qur‘an… dan seterusnya, Allah mendustakannya dalam niat dan keinginannya bukan dalam bacaannya, demikian juga kedua temannya yaitu orang yang berilmu dan mujahid.

 

Ketiga: Jujur dalam tekad dan jujur dalam menepatinya.

 

Jujur dalam tekad seperti seseorang berkata, “Bila Allah memberiku harta, maka aku akan menyedekahkan seluruhnya.” Ini adalah tekad yang bisa jadi jujur dan bisa jadi ragu-ragu.

 

Jujur dalam menepatinya seperti seseorang jujur dalam tekadnya, jiwanya bermurah hati dengan janjinya, karena memang tidak sulit bila hakikat keinginannya terwujud, tekadnya semakin meningkat dan hawa nafsunya terkalahkan, karena itu Allah berfirman,

 

“Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.” (Al-Ahzab: 23).

 

Allah  juga berfirman dalam ayat lain,

 

“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karuniaNya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (At-Taubah: 75-77).

 

Keempat: Jujur dalam amal perbuatan, yaitu hendaknya antara batin dan lahirnya sama, sehingga lahirnya tidak menampakkan khusyu’ dan yang sepertinya namun batinnya menyembunyikan perkara sebaliknya.

 

Mutharrif ti berkata, “Bila batin dan lahir seorang hamba sama, maka Allah berfirman, ‘Ini adalah hambaKu yang sebenarnya’.”

 

Kelima: Jujur pada keluhuran-keluhuran agama. Ini adalah derajat tertinggi, seperti jujur (benar) dalam takut dan berharap, zuhud dan ridha, cinta dan tawakal, karena perkara-perkara ini memiliki dasar-dasar yang istilah-istilah tersebut berpijak padanya, kemudian ia mempunyai tujuan dan hakikat. Orang yang berusaha mewujudkan kejujuran adalah orang yang meraih hakikat kejujuran tersebut.

 

Jika kejujuran sudah mendominasi dan hakikatnya telah sempurna, maka orang bersangkutan disebut orang jujur. Allah  berfirman,

 

“Akan tetapi sesungguhnya kebayikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya).” (Al-Baqarah: 177).

 

Allah  juga berfirman,

 

” Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15).

 

Kami beri contoh untuk khauf (rasa takut kepada Allah). Lalu kami katakan, “Tidak ada seorang hamba pun yang beriman kepada Allah kecuali dia takut kepada Allah dengan ketakutan yang memang pantas disebut takut, sekalipun dia tidak mencapai derajat hakiki.” Bukankah engkau melihatnya, manakala dia takut kepada penguasa, bagaimana dia pucat dan gemetar karena takut apa yang dikhawatirkannya terjadi? Kemudian dia takut kepada api neraka dan tidak ada apa pun dari hal itu yang terlihat pada dirinya saat melakukan kemaksiatan. Karena itu Amir bin Abdu Qais berkata, “Aku takjub akan surga, orang yang mencarinya bisa tidur, dan aku juga takjub akan neraka, orang yang takut kepadanya juga bisa tidur.”

 

Mewujudkan sifat-sifat tersebut dalam perkara-perkara ini adalah sesuatu yang sangat berharga. Puncak dari suatu kedudukan tidak akan diperoleh sehingga diperoleh kesempurnaan. Akan tetapi setiap hamba mendapatkan bagian sesuai dengan keadaannya, bisa lemah dan bisa juga kuat, bila ia kuat maka pemiliknya dinamakan orang yang jujur. Bila Allah mengetahui kejujuran pada diri hamba, maka Dia akan mendengarnya, orang yang jujur dalam perkara-perkara ini sulit, bisa jadi seorang hamba jujur pada sebagian dan tidak pada sebagian. Di antara tanda kejujuran adalah menyembunyikan musibah dan seluruh ketaatan, tidak suka bila manusia mengetahuinya.

 

[KITAB MUHASABAH (INTROSPEKSI DIRI) DAN MURAQABAH (MENUMBUHKAN RASA SENANTIASA DIAWASI OLEH ALLAH)]

 

MUHASABAH DAN MURAQABAH

 

Allah  berfirman,

 

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kalian terhadap Diri (siksa)Nya.” (Ali Imran: 30).

 

Allah berfirman,

 

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun, pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al-Anbiya’: 47).

 

Allah berfirman,

 

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya’; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Al-Kahfi: 49).

 

Dan Allah berfirman,

 

“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 6).

 

Ayat-ayat di atas dan yang sepertinya memberikan gambaran dahsyatnya hisab di akhirat. Orang-orang yang memiliki basirah menyadari bahwa yang bisa menyelamatkan mereka dari kesulitan-kesulitan ini hanya muhasabah terus-menerus terhadap diri sendiri dan muraqabah dengan jujur. Barangsiapa menghisab dirinya di dunia, maka hisabnya di akhirat akan ringan dan tempat kembalinya akan baik. Barangsiapa melalaikan muhasabah, maka kerugiannya berlangsung terus-menerus.

 

Mereka mengetahui bahwa yang bisa menyelamatkan diri mereka hanyalah ketaatan. Di sisi lain, Allah telah memerintahkan mereka untuk bersabar dan senantiasa bersiap siaga, Allah berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu).” (Ali Imran: 200), sehingga mereka menggembleng diri pertama kali dengan musyarathah (menetapkan syarat atas jiwanya) kemudian muraqabah kemudian muhasabah kemudian mu’aqabah (menghukum diri) kemudian mujahadah kemudian mu’atabah (mencela diri bila tidak juga taat). Mereka mempunyai enam derajat dalam muragabah, asalnya adalah muhasabah, akan tetapi setiap hisab terwujud sesudah musyarathah dan muraqabah; bila terjadi kerugian, maka akan diikuti oleh mu’atabah dan mu’agabah. Semua ini perlu dijelaskan.

 

Kedudukan Pertama: Musyarathah (Menetapkan Syarat)

 

Ketahuilah bahwa seorang pedagang bekerja sama dengan rekanannya dalam berdagang demi meraih laba, dia menetapkan syarat dan memperhitungkannya. Demikian juga akal, ia memerlukan peranan jiwa dan menetapkan tugas atasnya, menetapkan syarat atasnya, membimbingnya ke jalan keberuntungan kemudian tidak lalai dalam mengawasinya, karena mungkin terjadi pengkhianatan dan keteledoran dalam mengelola modal. Kemudian setelah selesai, dia patut menghisabnya dan menuntutnya untuk memenuhi apa yang telah disyaratkan atasnya. Sesungguhnya laba perniagaan (dengan Allah) ini adalah Surga Firdaus tertinggi. Menghisab dengan cermat terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting daripada menghisab laba dunia. Sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang yang teguh hati beriman kepada Allah dan Hari Akhir, agar tidak lalai dari menghisab dirinya, mengawasinya dengan ketat dalam gerak-gerik, diam, dan waktunya; karena setiap napas kehidupan adalah mutiara yang sangat mahal yang tidak tergantikan.

 

Bila seorang hamba telah selesai dari Shalat Shubuh, seyogianya menyendiri sejenak dengan hatinya untuk mengawasi jiwanya. Dia berkata kepada jiwanya, “Aku tidak punya modal kecuali umur, bila modal habis maka perdagangan tidak bisa diharapkan, apalagi laba. Ini adalah hari baru yang Allah masih memberiku kesempatan. Dia menunda ajalku, melimpahkan nikmatNya kepadaku. Seandainya Allah mematikanku, niscaya aku berharap dikembalikan ke dunia sehingga aku bisa beramal shalih. Wahai jiwa, anggaplah dirimu sudah mati kemudian dikembalikan, maka jangan dan jangan menyia-nyiakan hari ini. Sadarilah bahwa satu hari adalah dua puluh empat jam.” Seorang hamba setiap harinya diberi dua puluh empat laci yang tertata, lalu satu laci darinya dibuka untuknya, dia melihatnya dipenuhi dengan cahaya dari kebaikan-kebaikan yang dilakukannya di saat tersebut, maka dia sangat berbahagia dengan melihat cahaya tersebut. Seandainya kebahagiaan itu dibagikan kepada penduduk neraka, niscaya ia akan menakjubkan mereka sehingga mereka melupakan penderitaan siksanya. Lalu laci lainnya dibuka, ternyata ia hitam legam, bau busuknya menyebar dan kegelapannya menutupinya, ini adalah saat dia mendurhakai Allah padanya, dia sangat ketakutan dan merasa hina. Seandainya ia dibagikan kepada penghuni surga, niscaya akan merusak kenikmatan mereka. Lalu laci lain dibuka untuknya dan ternyata ia kosong, tidak ada sesuatu yang memburukkannya dan tidak pula membahagiakannya, ini adalah saat dia tidur atau lalai atau sibuk dengan sesuatu yang mubah, dia menyesal atas kekosongannya padahal semestinya dia bisa mendapatkannya seperti orang yang mampu meraih laba besar bila dia melalaikannya sehingga ia terlepas.

 

Di atas hal tersebut laci-laci waktunya disodorkan kepadanya sepanjang umurnya, maka dia berkata kepada jiwanya, “Berusahalah hari ini untuk mengisi lacimu, jangan membiarkannya kosong, jangan cenderung kepada kemalasan, santai dan istirahat, karena engkau akan kehilangan kesempatan meraih derajat illiyin yang diraih oleh orang lain.”

 

Sebagian dari mereka berkata, “Anggap saja orang yang berbuat buruk dimaafkan, bukankah dia telah kehilangan pahala orang-orang yang berbuat baik?” Ini adalah wasiatnya untuk dirinya terkait dengan waktu-waktunya.

 

Kemudian melanjutkan dengan wasiat lainnya terkait dengan tujuh anggota tubuhnya, yaitu mata, telinga, lisan, perut, kemaluan, tangan, dan kaki, menyerahkan wewenang kepada jiwa karena ia adalah penggembala dan pelayannya dalam perniagaan yang kekal ini, yang dengan anggota tubuh tersebut aktivitasnya dapat terealisasi. Kemudian ia memberi tahu jiwanya bahwa pintu Jahanam ada tujuh, sama dengan jumlah anggota badan tersebut, ditetapkannya tujuh pintu sama dengan jumlah tujuh anggota ini, maka dia berwasiat kepada jiwa agar menahannya dari berbagai kemaksiatan.

 

Berkaitan dengan mata, dengan menjaganya agar tidak melihat apa yang tidak halal baginya, atau melihat seorang Muslim dengan mata merendahkan, atau melihat hal-hal yang tidak diperlukan. Menyibukkannya dengan apa yang membuat perniagaannya meraih keuntungan, yaitu: melihat keajaiban makhluk Allah yang diciptakan untuknya sebagai pelajaran melihat amal kebaikan agar bisa meneladannya, melihat kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah #¢, membaca buku-buku hikmah untuk menggali nasihat dan faedahnya.

 

Demikian pula seyogianya memberikan wasiat kepada setiap anggota badannya yang sesuai dengannya, khususnya lidah dan perut. Kami telah menyebutkan bahaya-bahaya lisan. Lalu hendaknya pemiliknya menyibukkannya dengan tujuan penciptaannya berupa dzikir dan mengingatkan, mengulang ilmu dan pengajaran, membimbing hamba-hamba Allah ke jalan Allah, menjembatani dua pihak yang berselisih untuk mendamaikan mereka, dan kebaikan-kebaikan lainnya.

 

Berkaitan dengan perut, hendaknya pemiliknya memaksanya meninggalkan sikap rakus, menjauhi syubhat dan syahwat, mencukupkan diri sebatas kebutuhan pokok, menetapkan syarat atas dirinya bila ia menyelisihi hal itu, maka dia akan menghukumnya dengan menahan keinginan perutnya sehingga terhalang mendapatkan lebih banyak dari apa yang didapatkan dengan hawa nafsunya.

 

Demikian juga semua anggota badan. Perincian hal ini panjang. Demikian juga ketaatan dan kemaksiatan yang disembunyikan oleh anggota badan.

 

Kemudian melanjutkan wasiatnya pada fungsi ibadah yang terulang sehari semalam, pada amal-amal sunnah yang mampu dilakukan dan mendorongnya untuk memperbanyaknya.

 

Ini adalah syarat-syarat yang diperlukan setiap hari sampai jiwa seseorang terbiasa dengan hal tersebut. Sehingga ia tidak memerlukan persyaratan lagi. Akan tetapi pada setiap harinya tidak luput dari perkara yang mempunyai hukum baru, yang Allah mempunyai hak atasnya. Hal tersebut sering terjadi pada orang yang menyibukkan diri dengan amalan-amalan duniawi, berupa kekuasaan, perdagangan atau selainnya. Jarang sekali ada hari kecuali padanya terjadi perkara baru yang menuntutnya untuk menunaikan hak Allah, maka dia harus menetapkan syarat atas jiwanya agar beristiqamah di atasnya dan tunduk kepada kebenaran.

 

Dari Syaddad bin Aus beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Orang yang pintar adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk sesudah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan menggantungkan angan-angan (kosong) kepada Allah.”

 

Umar bin al-Khaththab berkata,

 

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, bersiap-siaplah menghadapi pertemuan akbar, ‘Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah).’ (Al-Haqqah: 18).”

 

Kedudukan Kedua: Muraqabah (Merasa Senantiasa Diawasi Allah) Bila seseorang berwasiat kepada jiwanya dan menetapkan syarat-syarat sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, maka tiada yang tersisa kecuali muraqabah dan pengawasan terhadap jiwanya.

 

Dalam hadits shahih tentang tafsir ihsan saat Rasulullah ditanya tentangnya, beliau menjawab,

 

“Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya, bila engkau tidak melihatNya, maka Dia melihatmu.” Dikisahkan bahwa asy-Syibli datang kepada Abu al-Husain anNuri yang sedang duduk dan diam, anggota tubuhnya tidak ada yang bergerak. Maka asy-Syibli bertanya kepadanya, “Dari mana engkau belajar muragabah dan ketenangan seperti ini?” Dia menjawab, “Seekor kucing milik kami, bila hendak menangkap buruannya, maka dia berjaga-jaga di mulut lubang tikus, sampai-sampai sehelai bulunya pun tidak bergerak.”

 

Seyogianya seseorang mengawasi dirinya sebelum beramal dan ketika beramal, apakah yang menggerakkannya adalah ambisi jiwa atau yang menggerakkannya adalah Allah secara khusus? Bila karena Allah, maka dia meneruskannya, bila tidak, maka dia meninggalkannya; inilah ikhlas.

 

Al-Hasan  berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti pada keinginannya, bila karena Allah, maka dia meneruskan, bila karena selain Allah, maka dia mengurungkannya.”

 

Ini adalah muraqabah seorang hamba dalam ketaatan, yaitu hendaknya dia ikhlas dalam melakukannya. Sedangkan muraqabahnya dalam kemaksiatan, maka dengan bertaubat, menyesal, dan meninggalkannya. Muragabahnya dalam perkara mubah adalah dengan mempertimbangkan adab dan mensyukuri kenikmatan, karena dia tidak Juput dari nikmat Allah yang patut disyukuri, sebagaimana dia juga tidak lepas dari ujian yang harus dihadapi dengan sabar, semua itu termasuk muragqabah.

 

Wahb bin Munabbih  berkata, “Dalam (catatan) hikmah keluarga Nabi Dawud tertulis, ‘Wajib bagi orang yang berakal tidak disibukkan dari empat waktu, yaitu: waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya, waktu untuk menghisab dirinya, waktu untuk saudarasaudaranya yang menunjukkan aib-aibnya dan mereka berkata jujur kepada dirinya, dan waktu untuk memberikan kepada jiwa kenikmatannya yang halal, bukan haram’.”

 

Satu waktu yang akhir adalah penunjang bagi waktu-waktu yang lain, beristirahat untuk mengumpulkan kekuatan. Waktu yang dia sibuk dengan makan dan minum, hendaknya tetap tidak kosong dari amal yang termasuk amal terbaik yaitu berdzikir dan berpikir, karena makanan yang disantapnya mengandung keajaiban-keajaiban yang bila dia memikirkannya, maka jauh lebih utama daripada banyak amal anggota badan.

 

Kedudukan Ketiga: Muhasabah (Introspeksi atau Evaluasi) Sesudah Beramal

 

Allah  berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18).

 

Ayat ini adalah isyarat kepada muhasabah sesudah amal, karena itu Umar bin al-Khaththab berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”

 

Al-Hasan berkata, “Seorang Mukmin adalah pemimpin bagi jiwanya, menghisab dirinya.”

 

Beliau juga berkata, “Seorang Mukmin menghadapi sesuatu yang menakjubkannya, maka dia berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku menginginkanmu, dan engkau termasuk kebutuhanku. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak punya cara mendapatkanmu, mana mungkin, antara diriku dengan dirimu terdapat penghalang.’ Kemudian ia meninggalkannya tanpa pertimbangan, lalu berkata kepada dirinya, ‘Aku tidak menginginkannya, apa urusanku dengannya? Demi Allah, aku tidak akan kembali kepadanya selamanya insya Allah’.”

 

Sesungguhnya orang-orang beriman adalah suatu kaum yang diikat kuat oleh al-Qur’an, ia menghalangi mereka dari apa yang membinasakan mereka. Sesungguhnya orang Mukmin adalah tawanan di dunia, yang berusaha membebaskan lehernya, dia tidak merasa aman dari apa pun sebelum bertemu Allah, dia mengetahui bahwa pendengarannya harus dipertanggungjawabkan, demikian juga dengan penglihatan, lidah serta anggota-anggota tubuhnya yang lain, semuanya menuntut tanggung jawab.

 

Ketahuilah bahwa sebagaimana seorang hamba seyogianya menyisihkan waktunya di awal siang untuk menetapkan syarat atas dirinya, selayaknya dia juga menyisihkan waktunya di penghujung siang untuk menuntut dirinya, mengevaluasinya atas segala sesuatu yang terjadi pada hari itu, sebagaimana yang dilakukan seorang pedagang di dunia terhadap rekannya di akhir tahun, atau bulan, atau hari.

 

Makna muhasabah adalah hendaknya seorang hamba melihat modal, laba, dan ruginya, agar dia mengetahui apakah bertambah atau berkurang. Modal dalam agamanya adalah amalan wajib, labanya adalah amalan sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah kemaksiatan. Pertama kali yang dilakukan adalah menghisab amalan wajibnya, bila melakukan kemaksiatan, maka dia menghukumnya dan menyesalinya untuk meraih apa yang terlewatkan.

 

Dikisahkan, Taubah bin ash-Shimmah berada di Raqqah, dia seorang yang (disiplin) menghisab dirinya. Suatu hari dia menghisab dirinya, ternyata umurnya sudah mencapai enam puluh tahun, dia menghitung hari-harinya, ternyata dua puluh satu ribu lima ratus hari, maka dia berteriak, ‘Duhai celaka diriku, aku bertemu Allah dengan membawa dua puluh satu ribu lima ratus dosa? Bagaimana jika per harinya ada sepuluh ribu dosa?’ Kemudian dia pingsan dan tidak bangun lagi selamanya, lalu orang-orang mendengar suara yang berkata, ‘Mengagumkan, dia berlari menuju Firdaus yang tinggi’.”

 

Demikianlah hendaknya seorang hamba menghisab dirinya atas napas-napasnya, atas kemaksiatan hati dan anggota badannya setiap saat. Seandainya setiap kali seseorang melakukan kemaksiatan dia meletakkan sebuah batu di rumahnya, niscaya rumahnya akan penuh dengan batu dalam waktu yang singkat, tetapi dia meremehkan dalam menjaga diri dari dosa padahal ia dicatat,

 

“Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.” (Al-Mujadilah: 6).

 

Kedudukan Keempat: Mu’aqabah (Menghukum) Diri atas Kelalaiannya

 

Ketahuilah bahwa orang yang menginginkan akhirat, bila dia menghisab dirinya dan melihat keteledoran atau melakukan suatu kemaksiatan, maka tidak selayaknya ia meremehkannya, karena bila demikian maka akan ringan baginya untuk berkawan dengan dosa-dosa, sulit menyapihnya. Dia layak menghukum dirinya dengan hukuman yang mubah, sebagaimana dia boleh menghukum istri dan anaknya.

 

Diriwayatkan dari Umar bahwa beliau pernah keluar ke sebuah kebun miliknya, lalu beliau kembali dan orang-orang sudah Shalat Ashar, maka beliau berkata kepada dirinya, “Aku hanya pergi ke kebunku dan aku kembali sementara orang-orang sudah shalat Ashar? Kebunku aku sedekahkan untuk orang-orang miskin.” Al-Laits berkata, “Padahal Umar (hanya) ketinggalan shalat berjamaah.”

 

Kami meriwayatkan dari Umar bahwa sebuah urusan menyibukkannya dari Shalat Maghrib hingga terlihat dua bintang, manakala Umar usai melaksanakan shalat, beliau memerdekakan dua budak.

 

Dikisahkan bahwa Tamim ad-Dari tidur di suatu malam tanpa bangun untuk Shalat Tahajud sampai pagi, maka beliau bangun setahun penuh, tidak tidur, sebagai hukuman atas apa yang dilakukannya.

 

Hassan bin Sinan melewati bangunan tingkat dua, dia bertanya, “Kapan ini dibangun?” Kemudian dia kembali kepada dirinya dan berkata, “Engkau bertanya sesuatu yang tidak penting bagimu. Aku akan menghukummu dengan puasa setahun.” Lalu beliau pun berpuasa.

 

Untuk hukuman-hukuman selain itu yang tidak halal, maka seseorang tidak boleh melakukannya.

 

Misalnya apa yang dikisahkan bahwa seorang laki-laki Bani Israil meletakkan tangannya di paha seorang wanita, maka (hukuman dirinya) dia meletakkannya di api sampai lumpuh.

 

Laki-laki lain membelokkan langkahnya menghampiri seorang wanita, lalu dia berhenti dan dia berpikir, “Apa yang ingin aku lakukan?” Manakala dia hendak mengembalikan langkahnya, dia berkata, “Tidak bisa, kaki keluar untuk bermaksiat kepada Allah, ia tidak boleh pulang bersamaku.” Maka dia (memotongnya) lalu meninggalkannya sampai habis oleh hujan dan angin.

 

Laki-laki lain melihat kepada seorang wanita, maka dia mencongkel matanya.

 

Semua ini haram, hanya boleh dalam syariat mereka. Sebagian pemeluk agama kita ada yang melakukan hal ini, kebodohanlah yang membuat mereka melakukannya, sebagaimana dikisahkan dari Ghazwan az-Zahid bahwa dia melihat seorang wanita, maka dia menampar matanya sampai bengkak.

 

Kami meriwayatkan dari salah seorang di antara mereka bahwa dia sedang junub dan saat itu udara sangat dingin, dia maju mundur untuk mandi, maka (sebagai hukuman dirinya) dia bersumpah tidak mandi kecuali dengan bajunya yang tambal-tambal, tidak melepasnya dan tidak memerasnya, padahal baju itu sangat tebal, beratnya lebih dari dua puluh ritl.

 

Ini adalah kebodohan, seseorang tidak patut melakukan tindakan ini terhadap dirinya. Aku sudah menyebutkan banyak kisah dari para ahli ibadah yang bodoh dalam kitabku, Talbis Iblis.

 

Kedudukan Kelima: Mujahadah (Memaksa Diri agar Terbiasa Giat Beribadah)

 

Bila seorang hamba menghisab dirinya, ketika dia melihatnya melakukan kemaksiatan, maka sepatutnya dia menghukumnya sebagaimana sudah dijelaskan. Bila dia melihatnya bersantai-santai karena malas pada suatu amal keutamaan atau pada satu wirid, maka dia patut mendidiknya dengan memberatkan tugas atasnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia tertinggal dari shalat berjamaah, maka dia menghidupkan sepanjang malam itu dengan shalat sunnah.

 

Bila jiwanya tidak patuh melaksanakan wirid, maka dia melawannya dan memaksanya sebisa mungkin.

 

Ibnul Mubarak berkata, “Sesungguhnya orang-orang shalih, jiwa mereka mematuhi mereka dalam kebaikan secara spontan, sementara jiwa kami hanya patuh saat dipaksa.”

 

Di antara sarana yang membantu untuk membiasakannya adalah menyimak kisah orang-orang yang giat beribadah, keutamaan mereka, dan juga berkawan dengan mereka untuk mengambil teladan dari mereka.

 

Sebagian dari mereka berkata, “Bila aku sedang malas beribadah, maka aku melihat ke wajah Muhammad bin Wasi’ dan kesungguhannya, maka aku melakukannya dalam seminggu.”

 

Amir bin Abdu Qais shalat seribu rakaat per hari. Al-Aswad bin Yazid berpuasa sampai tubuhnya lemah dan pucat.

 

Masrug menunaikan haji dan dia tidak tidur kecuali dalam keadaan sujud.

 

Dawud ath-Tha‘i minum air bercampur remahan roti sebagai pengganti roti dan dia membaca lima puluh ayat di antara itu.

 

Kurz bin Wabarah mengkhatamkan al-Qur‘an tiga kali dalam sehari.

 

Umar bin Abdul Aziz dan Fath al-Maushili menangis mengeluarkan air mata darah.

 

Dahulu ada empat puluh orang Shalat Shubuh dengan wudhu Shalat Isya.

 

Abu Muhammad al-Jariri tinggal di Makkah selama setahun, dia tidak tidur dan tidak berbicara, tidak bersandar ke dinding, tidak menjulurkan kakinya, maka Abu Bakar al-Kattani berkata, “Dengan apa engkau mampu melakukan?” Dia menjawab, “Allah mengetahui kejujuran batinku, maka Dia membantuku pada lahirku.”

 

Orang-orang datang kepada Zahlah, seorang wanita ahli ibadah, mereka memintanya bersikap lembut kepada dirinya sendiri, maka dia menjawab, “Ia hanyalah hari-hari perlombaan, barangsiapa kehilangan sesuatu hari ini, maka dia tidak mendapatkannya esok. Demi Allah wahai saudara-saudara, aku akan terus shalat selama kakiku mampu menahan tubuhku, aku akan berpuasa selama hidupku dan aku akan menangis selama air mataku masih tersisa.”

 

Barangsiapa ingin melihat perjalanan hidup mereka, bertamasya di kebun mujahadah mereka, maka silakan membaca kitabku Shifah ash-Shahwah, maka dia akan melihat kisah-kisah mereka yang akan membuatnya merasa di depan mereka seperti orang mati, bahkan ada kisah para wanita ahli ibadah yang akan membuat dirinya tidak ada apa-apanya ketika mendengarnya.

 

Kedudukan Keenam: Mu’‘atabah (Mencela) dan Menyalahkan Diri

 

Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Barangsiapa memarahi dirinya karena Allah, maka Allah mengamankan dirinya dari murkaNya.”

 

Anas berkata, Aku mendengar Umar bin al-Khaththab, yang saat itu masuk ke sebuah kebun, sementara antara diriku dengan dirinya adalah pagar kebun, beliau berkata, “Umar bin al-Khaththab Amirul Mukminin, bagus, bagus, engkau harus bertakwa kepada Allah wahai Ibnu al-Khaththab atau Allah akan mengazabmu.”

 

Al-Bakhtari bin Haritsah berkata, “Aku datang kepada seorang ahli ibadah, di depannya ada api yang telah dinyalakannya, dan dia mencerca dirinya, dan terus demikian sampai dia meninggal dunia.”

 

Sebagian dari mereka berkata, “Bila orang-orang shalih disebut, maka betapa jauh dan rendahnya diriku.”

 

Ketahuilah bahwa musuh bebuyutanmu adalah jiwamu sendiri yang ada di antara kedua sisi tubuhmu. Sesungguhnya jiwa diciptakan menyuruh kepada keburukan, cenderung kuat kepada kejahatan, sementara engkau telah diperintahkan untuk menyucikan dan menyapihnya dari sumber-sumber keburukannya, menggiringnya dengan rantai paksaan agar menyembah Tuhannya, bila engkau membiarkannya, maka ia akan menjadi binal dan lepas, sesudah itu engkau tidak akan bisa menguasainya. Bila engkau selalu menegurnya, maka kami berharap ia menjadi jiwa yang tenang, maka jangan lalai untuk selalu mengingatkannya. Jalanmu adalah memperhatikannya, menetapkan kebodohan dan kedunguannya, dan engkau katakan kepada jiwamu, “Wahai jiwa, betapa bodohnya dirimu, engkau mengaku cerdik padahal engkau adalah orang yang paling bodoh dan dungu. Tidakkah engkau mengetahui bahwa engkau berjalan mungkin ke surga atau mungkin neraka?”

 

Orang yang tidak tahu ke mana di antara keduanya ia berjalan, bagaimana bisa main-main? Bisa jadi ajal menjemputnya hari ini atau besok. Berkatalah kepada jiwamu, “Tidakkah engkau tahu bahwa apa yang datang itu dekat dan bahwa kematian datang tiba-tiba tanpa perjanjian?” Kematian tidak mengenal umur, setiap napas bisa menjadi napas terakhir secara tiba-tiba. Bila mati tidak datang tiba-tiba, maka sakit bisa datang tiba-tiba, dan ia menyeret kepada maut.

 

Berkatalah kepada jiwamu, “Wahai jiwa, mengapa engkau tidak bersiap-siap menghadapi maut sementara ia dekat? Wahai jiwa, bila keberanianmu berbuat maksiat kepada Allah karena keyakinanmu bahwa Allah tidak melihatmu, maka betapa besar kekufuranmu, bila engkau mengetahui bahwa Allah mengetahui dirimu, maka betapa besar kedunguanmu dan betapa rendah rasa malumu. Apakah engkau mampu memikul siksaNya? Cobalah sesaat dengan duduk di atas tungku atau letakkan jarimu di atas api. Wahai jiwa, bila penghalangmu untuk berbuat ketaatan adalah cinta hawa nafsu, maka carilah hawa nafsu akhirat yang bersih dari pengeruh, ingatlah, terkadang satu suapan mengha-~langi suapan-suapan berikutnya.”

 

Katakan kepada jiwamu, “Apa yang engkau katakan tentang akal yang sakit? Seorang dokter menasihatinya agar berpuasa minum selama tiga hari agar bisa minum selama umur hidupnya? Apa konsekuensi akal dalam menunaikan hak syahwat? Sabar selama tiga hari dan selanjutnya adalah kenikmatan sepanjang hayat atau menuntaskan hawa nafsunya saat itu dan selanjutnya adalah sakit seumur hidup? Bila seluruh umurmu dibandingkan dengan keabadian yang merupakan masa kenikmatan penghuni surga, atau siksa penduduk neraka, maka ia lebih pendek daripada tiga hari dalam seluruh umurmu, bahkan lebih pendek bila dibandingkan dengan umur dunia. Duhai gerangan diriku, apakah derita sabar di atas hawa nafsu lebih lama dan lebih panjang atau derita di dasar terbawah api neraka? Barangsiapa tidak mampu sabar memikul beban mujahadah, bagaimana dia bisa mampu menghadapi siksa akhirat? Adakah cinta kedudukan telah menyibukkanmu? Apakah engkau tidak mengetahui bahwa setelah enam puluh tahun atau kurang lebih dari itu engkau sudah tidak ada lagi, termasuk orang-orang yang mempunyai kedudukan bagimu. Tidakkah engkau berminat meninggalkan dunia karena rendahnya para pemburunya, begitu melelahkan dan takut akan kefanaan yang cepat? Apakah engkau rela menukar kedudukan di sisi Rabbul alamin dengan barisan sandal untuk berkawan dengan orang-orang dungu? Kebanyakan bekal sudah habis, yang tersisa dari usia hanya tetesan, bila engkau berusaha menyusul, niscaya engkau menyesali apa yang telah hilang, lalu bagaimana bila engkau menambahkan yang akhir kepada yang pertama? Beramallah di hari-hari yang pendek ini untuk hari-hari yang panjang, siapkan jawaban untuk pertanyaan, tinggalkan dunia ini dengan suka rela sebelum dipaksa, barangsiapa kendaraannya adalah malam dan siang, maka dia akan terbawa berjalan sekalipun tidak berjalan. Pikirkanlah nasihat ini, bila ia tidak berpengaruh terhadapmu, maka menangislah atas apa yang menimpamu, sumber air mata adalah lautan rahmat.”

 

[KITAB TAFAKUR (BERPIKIR DAN MERENUNG)]

 

BAB TAFAKUR

 

[Keutamaan Tafakur]

 

Allah memerintahkan bertafakur dan bertadabur terhadap KitabNya yang mulia. Allah menyanjung orang-orang yang berpikir dalam FirmanNya

 

“Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia’.” (Ali Imran: 191).

 

Allah juga berfirman,

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Ar-Ra’d: 3, ar-Rum: 21, az-Zumar: 42, dan al-Jatsiyah 13).

 

Dari Abdullah bin Umar bin al-Khaththab, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Tafakurilah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian bertafakur pada Dzat Allah.”

 

Abu ad-Darda’ berkata, “Berpikir sesaat lebih baik daripada shalat semalam suntuk.”

 

Wahb bin Munabbih  berkata, “Tidaklah seseorang berpikir lama kecuali dia telah memahami, dia tidak memahami kecuali telah mengetahui dan dia tidak mengetahui kecuali telah mengamalkan.”

 

Bisyr al-Hafi  berkata, “Seandainya manusia merenungkan keagungan Allah, niscaya mereka tidak akan mendurhakaiNya.”

 

Berkaitan dengan Firman Allah,

 

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar.” (Al-A’raf: 146).

 

Al-Firyabi berkata, “Maknanya, Aku (Allah) menghalangi hati mereka sehingga tidak memikirkan perintahKu.”

 

Dawud ath-Tha‘i tis berada di atap di malam purnama, dia merenungkan kerajaan langit dan bumi, tiba-tiba dia jatuh ke rumah tetangganya, dia bangkit telanjang dengan pedang di tangan. Manakala tetangganya melihatnya, dia berkata, “Wahai Dawud, apa yang menjatuhkanmu?” Dia menjawab, “Aku tidak merasakan apa-apa.” Yusuf bin Asbath ists berkata, “Dunia tidak diciptakan untuk dilihat, akan tetapi agar digunakan untuk melihat akhirat.”

 

Sufyan kencing darah karena tafakurnya yang mendalam.

 

Abu Bakar al-Kattani berkata, “Ketakutan saat terjaga dari kelengahan, terputusnya ambisi jiwa, dan gemetar karena takut tertinggal lebih utama daripada ibadah jin dan manusia.”

 

JALAN DAN BUAH PEMIKIRAN

 

Ketahuilah bahwa berpikir bisa berlaku pada urusan agama dan bisa berlaku pada perkara yang berkaitan dengan selainnya. Yang kami inginkan adalah yang berkaitan dengan agama. Penjelasannya panjang. Hendaknya seseorang melihat empat perkara: Ketaatan, kemaksiatan, sifat yang membinasakan, dan sifat yang menyelamatkan. Janganlah engkau melalaikan diri dan jangan pula melupakan sifat-sifat yang menjauhkan dan yang mendekatkanmu kepadaNya.

 

Setiap orang yang menginginkan akhirat seyogianya mempunyai lembar catatan yang menulis kumpulan sifat yang membinasakan, kumpulan sifat yang menyelamatkan, kumpulan ketaatan, dan kumpulan kemaksiatan dan setiap harinya dia menyodorkannya kepada dirinya.

 

Cukup baginya memperhatikan sepuluh sifat yang membinasakan, bila dia selamat darinya, maka dia selamat dari selainnya, yaitu: kikir, takabur, ujub, riya’~, hasad, amarah yang berlebihan, tamak dalam makanan, tamak dalam urusan hubungan suami istri, cinta harta, dan cinta kedudukan.

 

Demikian pula memperhatikan sepuluh sifat yang menyelamatkan, yaitu: menyesali dosa, sabar menghadapi ujian, ridha kepada ketetapan, syukur atas nikmat, seimbang antara khauf (rasa takut) dengan raja (harapan), zuhud pada dunia, ikhlas dalam beramal, berakhlak bagus terhadap orang lain, cinta Allah és, dan khusyu’.

 

Semuanya dua puluh sifat, sepuluh tercela dan sepuluh terpuji. Bila dia terbebas dari satu sifat tercela, maka dia bisa mencentang di lembaran catatannya, tidak perlu merenungkannya, bersyukur kepada Allah karena telah menjauhkan darinya, dan hendaknya dia mengetahui bahwa hal itu tidak terwujud kecuali dengan taufik dan pertolongan Allah. Kemudian melanjutkan sembilan lainnya, demikianlah hendaknya dia melakukan sehingga mencentang semuanya. Hal yang sama dia lakukan pada sifat-sifat yang menyelamatkan, bila dia hanya memiliki satu saja seperti taubat dan menyesal, maka dia mencentangnya dan menyibukkan diri dengan yang lainnya. Ini dibutuhkan oleh orang yang sungguh-sungguh menginginkan akhirat.

 

Adapun kebanyakan orang yang termasuk ke dalam golongan orang-orang shalih, maka seyogianya mereka mencatat dalam lembaran mereka kemaksiatan lahiriah, misalnya: makan syubhat, melakukan gibah dan namimah, berdebat, menyanjung diri, berlebih-lebihan dalam mencintai wali dan memusuhi musuh, mencari muka dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar, karena kebanyakan orang yang memasukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang shalih tidak terlepas dari beberapa bentuk dari sejumlah kemaksiatan ini pada anggota tubuhnya. Bila anggota badan tidak bersih dari dosa, maka tidak mungkin bisa memakmurkan dan menyucikan hati.

 

Setiap kelompok manusia dikuasai oleh sebagian dari perkaraperkara ini, maka hendaknya dia memcriksa dan merenungkannya.

 

Misalnya seorang alim yang wara’, secara umum dia tidak terlepas dari sikap menampakkan diri dengan ilmunya, mencari popularitas nama yang baik, bisa dengan mengajar atau memberi nasihat. Barangsiapa melakukan hal ini, maka dia telah terjun ke dalam fitnah besar. Yang tidak bisa selamat darinya kecuali para shiddiqin. Terkadang ilmu membawa pemiliknya pada kecemburuan, layaknya kecemburuan kaum wanita, hal ini karena bersemayamnya sifat-sifat yang membinasakan dalam relung hatinya. Orang yang berilmu tersebut menyangka dirinya bersih darinya, padahal dia tertipu olehnya.

 

Barangsiapa merasakan keberadaan sifat-sifat ini dalam dirinya, maka dia harus beruzlah dan menyendiri agar namanya tidak dikenal, sehingga tidak dimintai fatwanya. Para sahabat menolak berfatwa, setiap dari mereka berharap saudaranya yang lain yang berfatwa. Dalam kondisi itu dia patut menjaga diri dari setan-setan manusia, karena mereka bisa saja berkata, “Apa yang engkau lakukan menjadi sebab tergerusnya ilmu.” Maka hendaknya dia menjawab, “Agama Islam tidak memerlukanku, bila aku mati, Islam tidak akan roboh, tetapi aku tetap butuh untuk memperbaiki hatiku.” Hendaknya pikiran seorang alim terfokus pada sifat-sifat yang tersembunyi ini dalam hatinya. Kami memohon kepada Allah agar memperbaiki hati kita yang rusak dan membimbing kita kepada apa yang diridhaiNya.

 

Pasal

[Bagaimana Menafakuri Makhluk Allah]

 

Telah disebutkan sebelumnya sabda Nabi

 

“Tafakurilah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian bertafakur pada Dzat Allah.”

 

Bertafakur pada Dzat Allah adalah perkara terlarang, karena akal manusia tidak bisa menjangkaunya, karena Allah lebih agung untuk dijangkau oleh daya akal dengan tafakur atau digambarkan oleh hati,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).

 

Adapun tafakur pada makhluk-makhluk Allah dls, al-Qur’an menyebutkan dorongan tersebut seperti Firman Allah,

 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumt, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190)

 

Dan Firman Allah

 

“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi’.” (Yunus: 101).

 

Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah manusia yang diciptakan dari setetes air, maka hendaknya manusia memikirkan dirinya, karena pada penciptaannya terkandung keajaiban-keajaiban yang membuktikan keagungan Allah. Seandainya seseorang menggunakan umurnya untuk merenungkannya, niscaya dia tidak mendapatkan lebih dari sepersepuluh dari sepersepuluhnya, lalu bagaimana bila dia melalaikannya? Allah memerintahkan manusia untuk merenungkan dirinya, Dia berfirman,

 

“Dan (juga) pada dirimu sendiri; maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (Adz-Dzariya’t: 21).

 

Telah disebutkan dalam Kitab Syukur keterangan tentang sebagian dari penciptaan manusia, silakan merujuknya kembali.

 

Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah batu-batu mulia yang terpendam di gunung, barang-barang tambang, emas, perak, pirus (batu permata yang berwarna hijau kebiru-biruan atau biru kehijau-hijauan) dan sebagainya, demikian juga minyak bumi, batu api (korek), aspal, dan lainnya.

 

Di antara tanda-tanda kebesaranNya adalah lautan luas lagi dalam yang ada di penjuru bumi yang merupakan pecahan dari samudra yang mengelilingi scluruh bumi. Scandainya bagian bumi yang terbuka yang mencakup padany pasir dan gunung-gunung disatukan lalu dibandingkan dengan permukaan bumi berupa lautan, niscaya ia seperti pulau kecil di tengah-tengah samudra besar. Dan di laut terdapat berbagai macam keajaiban-keajaiban yang jauh lebih mengagumkan daripada apa yang dapat kita saksikan di daratan.

 

Lihatlah bagaimana Allah menciptakan mutiara dan membentuknya bulat di tempatnya di bawah air, lihatlah bagaimana Allah menumbuhkan merjan (manik-manik dari batu karang merah) untuk dibuat perhiasan pada batu karang di bawah air, demikian juga selainnya berupa ikan paus dan lain-lainnya yang diberikan oleh laut.

 

Lihatlah kepada keajaiban-keajaiban bahtera, bagaimana Allah menjadikannya terapung di atas air dan menjalankannya di atas laut melalui hembusan angin.

 

Lebih ajaib lagi dari itu adalah air. Ia adalah sumber kehidupan bagi segala sesuatu yang ada di muka bumi, hewan dan tumbuhan. Seandainya seorang hamba membutuhkan seteguk air tetapi dia tidak mendapatkannya kecuali dengan membelinya dengan segala harta benda dunia, seandainya dia memiliki semua itu, niscaya dia akan melakukannya. Kemudian bila dia sudah meminumnya dan dia tidak bisa membuangnya (buang air kecil), niscaya dia akan mau membayarnya dengan semua kekayaan bumi ini untuk bisa mengeluarkannya. Maka seorang hamba janganlah melalaikan nikmat ini.

 

Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah udara, sebuah materi yang lembut yang tidak terlihat kasatmata, kemudian lihatlah kekuatan dan kedahsyatannya. Lihatlah keajaiban-keajaiban udara, apa yang terlihat di sana berupa awan, petir, halilintar, hujan, salju, embun, bola api, guntur dan keajaiban-keajaiban lainnya. Lihatlah burung yang bertasbih dengan sayap-sayapnya di udara sebagaimana hewan laut juga bertasbih di dalam air.

 

Kemudian lihatlah langit, kebesarannya, bintang-bintang, matahari dan rembulannya, di sana tidak ada planet kecuali padanya Allah mempunyai hikmah; pada warna, bentuk dan tempatnya.

 

Lihatlah juga pergantian siang dengan malam dan sebaliknya, lihatlah bagaimana matahari berjalan, bagaimana ia berbeda-beda di musim dingin dan panas, musim semi dan musim gugur.

 

Dikatakan, Besar matahari sama dengan seratus enam puluh kali lebih dari bumi. Planet paling kecil di langit sama seperti delapan kali ukuran bumi. Bila ini satu planet lalu lihatlah banyaknya jumlah planet dan lihatlah langit yang di sana planet-planet berada dan bagaimana matamu melihatnya sekalipun ia kecil. Yang ajaib adalah ketika masuk ke rumah orang kaya yang indah dan dihiasi oleh sepuhan emas, engkau terkagum-kagum tiada henti dan terus mengingatnya, sementara engkau melihat ke sebuah rumah besar, melihat bumi Allah, atapnya, keajaiban-keajaiban, benda-benda ciptaanNya dan keindahan lukisanNya namun engkau tidak membicarakannya, hatimu tidak melihatnya, engkau tidak memikirkan bangunan Penciptamu. Sungguh engkau telah melupakan dirimu dan Tuhanmu, engkau hanya sibuk dengan perut dan syahwat kemaluanmu. Kelalaianmu seperti seekor semut yang keluar dari sarangnya yang hanya sebuah lubang di dinding istana raja, lalu dia bertemu dengan temannya dan dia berbicara dengannya tentang rumahnya, bagaimana dia membangunnya dan apa yang dikumpulkan di dalamnya dan tidak menyinggung istana raja dan apa yang ada di dalamnya. Demikianlah engkau dalam kelalaianmu, engkau tidak mengetahui langit kecuali apa yang diketahui oleh semut dari atap rumahmu.

 

Ini adalah penjelasan mengenai perkara yang berkutat pada pikiran orang-orang yang mau memikirkan. Usia manusia terbatas sementara ilmu tidak menjangkau kecuali sebagian makhluk, hanya saja bila engkau ingin lebih banyak lagi mengetahui keajaiban-keajaiban makhluk, maka pengetahuanmu tentang keagungan Yang Maha Menciptakan lebih sempurna. Pikirkanlah apa yang kami sebutkan di sini dan apa yang telah kami tulis di Kitab Syukur. Barangsiapa memperhatikan semua perkara ini ditinjau dari sisi makhluk-makhluk tersebut adalah perbuatan dan ciptaan Allah, maka dia akan mengetahui kebesaran dan keagungan Allah. Sebaliknya barangsiapa yang melihat secara sempit dari sisi pengaruh sebagian terhadap sebagian yang lain, bukan dari sisi keterkaitannya dengan Peletak sebab, maka dia pasti celaka. Kami berlindung kepada Allah dari sumber kesalahan orang-orang bodoh dan kecenderungan kepada sebab-sebab kesesatan. Kami tidak melihat faedah dari tafakur pada apa yang tidak bisa kita lihat seperti malaikat dan jin, karena itu kami meninggalkannya dan hanya menjelaskan apa yang telah engkau baca ini. Wallahu a’lam.

 

[KITAB MENGINGAT KEMATIAN DAN SESUDAHNYA]

 

BAB MENGINGAT KEMATIAN, APA YANG AKAN DIHADAPI SESUDAHNYA, DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGANNYA

 

Ketahuilah bahwa orang yang tenggelam dalam tipu daya dunia, hatinya bisa dipastikan lalai dari kematian, sehingga dia tidak mengingatnya. Bila mengingatnya, maka dia membencinya dan berusaha lari darinya. Kemudian manusia terbagi menjadi tiga, yaitu: orang yang tenggelam (berkubang) di dalamnya, orang yang bertaubat yang memulai (berusaha meninggalkan), dan orang yang berilmu tentang Allah dan berhenti darinya.

 

Orang yang berkubang dalam kenikmatan dunia, dia tidak mengingat kematian, bila pun dia mengingatnya, maka hal itu karena penyesalannya atas dunianya (yang terluput) dan sibuk mencelanya. Bagi orang seperti ini, mengingat kematian hanya semakin menjauhkannya dari Allah.

 

Orang yang bertaubat, dia memperbanyak mengingat kematian dalam rangka menumbuhkan rasa takut dari hatinya, sehingga dia bisa bertaubat dengan sempurna, terkadang dia membenci kematian karena takut mati sebelum menyempurnakan taubat atau sebelum menyiapkan bekal cukup. Orang seperti ini dapat dimaklumi bila dia membenci mati, dengan ini dia tidak termasuk ke dalam sabda Nabi

 

“Barangsiapa membenci bertemu Allah, maka Allah membenci bertemu dengannya.”

 

Dia membenci bertemu Allah karena keterbatasan dan kelalaiannya, seperti orang yang tidak segera menyambut orang yang dicintainya karena sibuk menyiapkan diri untuk menyambutnya dalam penampilan yang diterimanya, maka hal ini tidak dianggap sebagai pembenci mati. Tanda orang ini adalah bahwa dia selalu bersiap-siap untuknya, tidak ada kesibukan baginya kecuali itu, bila tidak maka dia tergolong kelompok pertama.

 

Adapun orang yang berilmu tentang Allah, dia selalu mengingat kematian karena ia adalah saat bertemu dengan kekasih, dan dia tidak melupakan saat pertemuan itu. Orang ini biasanya justru merasakan lambatnya kematian, dia menginginkannya agar bisa terbebas dari alam para pendurhaka dan berpindah ke sisi Rabbul alamin, sebagaimana sebagian dari mereka berpantun, “Pucuk dicinta, ulam pun tiba.”

 

Jadi, orang yang bertaubat bisa dimaklumi saat dia membenci mati, sementara orang yang berilmu tentang Allah dimaklumi saat dia berharap mati, dan yang lebih tinggi dari keduanya adalah siapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah, sehingga dia tidak memilih mati atau hidup untuk dirinya, karena apa yang paling dicintainya adalah apa yang paling dicintai oleh Tuhannya. Orang seperti ini dengan cinta dan loyalitasnya yang tinggi telah mencapai derajat berserah diri dan ridha; ini adalah maksud dan tujuan.

 

Apa pun, mengingat kematian mengandung pahala dan keutamaan, bahwa orang yang tenggelam dalam dunia terkadang mengambil faedah dari mengingat kematian dalam bentuk menjauh dari dunia, karena mengingatnya akan merusak dan memperkeruh kenikmatan.

 

Bab

 

KEUTAMAAN MENGINGAT KEMATIAN

 

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.”

 

Dari Anas bahwa seorang laki-laki disebut di depan Nabi, maka mereka memujinya dengan baik, maka Nabi bersabda,

 

“Bagaimana teman kalian itu mengingat kematian?” Mereka menjawab, “Kami hampir tidak mendengarnya mengingat kematian.” Nabi bersabda, “Sesungguhnya rekan kalian tidak di (surga) sana.”

 

Dan dari Ibnu Umar bahwa Nabi ditanya,

 

“Siapakah Mukmin yang paling cerdik?” Nabi menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan orang yang paling baik persiapannya untuk apa yang sesudahnya; mereka itulah orang-orang yang cerdik,”

 

Imam al-Hasan al-Bashri til berkata, “Kematian menyingkap aib dunia, orang yang berakal tidak membiarkan suatu kebahagiaan padanya. Tidaklah seorang hamba membiasakan hatinya mengingat kematian kecuali dunia menjadi kecil baginya, segala apa yang ada padanya menjadi remch.”

 

Bila Ibnu Umar mengingat kematian dan Kiamat, maka beliau mengegigil ketakutan seperti burung kena hujan. Setiap malam beliau mengumpulkan para fuqaha, mereka mengingat kematian kemudian menangis seolah-olah ada seorang jenazah di depan mereka.

 

Hamid al-Qaishari berkata, “Setiap orang dari kita yakin pasti akan mati, tetapi kami tidak melihatnya bersiap-siap untuk menghadapinya. Setiap orang dari kita yakin adanya surga, namun kami tidak melihat orang beramal untuknya. Setiap orang dari kita yakin adanya neraka, namun kami tidak melihat orang yang takut kepadanya. Lalu di atas apa kalian berbahagia? Apa yang kalian tunggu? Kematian? Ia adalah perkara pertama dari perkara-perkara Allah yang datang kepada kalian dengan kebaikan atau keburukan. Saudara-saudara, berjalanlah kepada Tuhan kalian dengan baik.”

 

Syumaith bin Ajlan berkata, “Barangsiapa meletakkan kematian di depan kedua matanya, maka dia tidak memedulikan sempit dan lapangnya kehidupan dunia.”

 

[Jalan Mewujudkan Mengingat Kematian]

 

Ketahuilah bahwa bahaya kematian besar, manusia melalaikannya karena minimnya mereka mengingat dan memikirkannya. Siapa yang mengingatnya dari mereka hanya mengingatnya dengan hati yang lalai, karena itu mengingat kematian tidak berdampak apa pun padanya. Jalan dalam hal ini adalah hendaknya seorang hamba mengosongkan hatinya untuk mengingat kematian yang ada di depannya, seperti orang yang hendak melakukan perjalanan melewati padang pasir yang ekstrem, atau mengarungi lautan, yang ada dalam pikirannya hanyalah itu. Jalan paling berdampak baginya adalah mengingat orang-orang sepantarannya dan rekan-rekannya yang telah mendahuluinya, hendaknya mengingat kematian mereka dan bahwa mereka sudah dikubur di bawah tanah.

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi pelajaran dengan orang lain.”

 

Abu ad-Darda’  berkata, “Bila orang-orang mati disebut, maka jadikanlah dirimu (seakan) salah satu dari mereka.”

 

Dan hendaknya seorang hamba sering pergi ke kuburan, bila hatinya merasa tenang kepada urusan dunia, maka hendaknya dia langsung berpikir bahwa dia akan berpisah darinya, dan hendaknya memendekkan angan-angannya.

 

[Keutamaan Pendek Angan-Angan] Diriwayatkan dari Ibnu Umar  bahwa beliau berkata, Rasulullah pernah memegang kedua pundakku dan bersabda,

 

“Jadilah di dunia ini seolah-olah engkau adalah orang asing atau orang yang numpang lewat.”

 

Dan Ibnu Umar berkata,

 

“Bila sore tiba maka jangan menunggu pagi, bila pagi tiba maka jangan menunggu sore, manfaatkan kesehatanmu untuk sakitmu dan hidupmu untuk kematianmu.” Dalam hadits lain,

 

“Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah hawa nafsu dan panjang angan-angan; hawa nafsu menyesatkan dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan melupakan akhirat.”

 

Dari al-Hasan, beliau berkata, Rasulullah bersabda kepada para sahabat beliau,

 

“Apakah kalian semua ingin masuk surga?” Mereka menjawab, “Ya wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Pendekkanlah angan-angan kalian, tetapkanlah ajal di depan mata kalian, dan malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya.”

 

Dari Abu Zakariya’ at-Taimi, dia berkata, saat Sulaiman bin Abdul Malik sedang berada di Masjidil Haram, sebuah batu yang dipahat dibawa kepadanya, dia meminta seseorang membacanya, ternyata isinya, “Wahai Bani Adam, seandainya engkau mengetahui apa yang tersisa dari ajalmu, niscaya engkau tidak akan berangan-angan panjang, engkau akan berhasrat menambah amalmu, engkau akan meninggalkan ambisimu dan daya upayamu. Penyesalanmu akan menyambutmu seandainya kakimu telah terpeleset, keluarga dan kaummu menyerahkanmu, anak dan nasabmu berpisah denganmu, engkau tidak kembali ke dunia, dan kebaikanmu juga tidak bertambah, beramallah untuk Hari Kiamat, hari kerugian dan penyesalan.”

 

[Sebab Penyakit Panjang Angan-Angan dan Terapinya]

 

Ketahuilah bahwa sebab munculnya panjang angan adalah dua hal: pertama, cinta dunia, dan kedua, kebodohan.

 

Adapun cinta dunia, bila manusia sudah merasa tenang dengannya, dengan kenikmatan, kelezatan, dan keindahannya, maka berat bagi hatinya untuk berpisah dengannya, sehingga hatinya tidak mau diajak berpikir tentang kematian yang menjadi sebab perpisahan dengan dunia. Barangsiapa membenci sesuatu, maka dia menolaknya dari dirinya, manusia sibuk dengan angan-angan batil, manusia selalu memberikan angan kepada jiwanya dengan apa yang sejalan dengan kemauannya yaitu tetap hidup di dunia. Apa yang dibutuhkan di dunia berupa harta, keluarga, tempat tinggal, rekan-rekan, dan segala sarana dunia, maka hatinya berkonsentrasi pada pikiran ini saja, sehingga ia tidak lagi mengingat kematian dan tidak bisa memperkirakan bahwa ia sudah dekat. Bila kematian terbetik dalam hatinya di sebagian keadaan dan dia memerlukan persiapan untuk menghadapinya, maka dia menunda-nunda dan memberikan janji kepada dirinya, dia berkata, “Hari-hari masih panjang di depanmu, hingga engkau tua kemudian bertaubat.” Bila sudah tua maka dia berkata, “Engkau belum tua.” Bila sudah tua maka dia berkata, “Engkau belum membangun rumah ini, mengisi tanah ini atau dia belum pulang dari perjalanan ini.” Dia terus menunda dan mengulur, tidak bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan sebuah kesibukan kecuali menyempurnakannya berkaitan dengan sepuluh kesibukan. Demikian sedikit demi sedikit, menunda satu hari demi satu hari, menyibukkan diri dengan satu kesibukan sesudah kesibukan sampai ajal menjemputnya di saat yang tidak dia duga sebelumnya, maka sesudahnya hanya penyesalan panjang.

 

Kebanyakan teriakan kesakitan penghuni neraka adalah karena, “Nanti dulu.” Mereka berkata, “Duhai betapa meruginya aku karena nanti dulu’.” Asal semua angan-angan ini adalah cinta dunia dan merasa tenang kepadanya, lalai dari sabda Nabi

 

“Cintailah siapa yang engkau kehendaki, karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya.”

 

Sebab kedua adalah kebodohan, manusia mengandalkan masa mudanya, saat muda, kematian masih jauh. Mengapa orang yang patut dikasihani ini tidak memikirkan bahwa bila para sesepuh daerahnya dihitung, niscaya jumlah mereka kurang dari sepersepuluh, mereka sedikit karena kematian di masa muda sering terjadi. Sebelum seorang tua mati, terlebih dulu seribu anak-anak dan pemuda mendahului. Seseorang terkadang mengandalkan kesehatannya, dia tidak mengetahui bahwa kematian datang secara tiba-tiba, bila bukan kematian maka sakit bisa datang kapan saja, bila sudah sakit maka kematian tidak berada jauh. Seandainya seseorang berpikir dan mengetahui bahwa kematian tidak memiliki waktu khusus, bisa di musim panas atau dingin, bisa di musim semi atau gugur, siang atau malam, tidak juga memandang umur tertentu, bisa anak muda, bisa orang tua, bisa orang dewasa atau selainnya, niscaya hal itu akan berat baginya dan bersiap-siap untuk mati.

 

PASAL

[Tingkatan Manusia Terkait dengan Panjang atau Pendeknya Angan-Angan]

 

Manusia berbeda-beda dalam perkara panjang dan pendeknya angan-angan dengan perbedaan yang banyak. Di antara mereka ada yang berharap hidup sampai tua renta. Di antara mereka ada yang angan-angannya tidak terputus. Dan di antara mereka ada yang pendek angan-angan.

 

Diriwayatkan dari Abu Utsman an-Nahdi bahwa dia berkata, “Aku mencapai seratus tiga puluh tahun, tidak ada sesuatu pun kecuali aku melihatnya berkurang, kecuali angan-anganku, ia tetap seperti semula.”

 

Dikisahkan tentang pendek angan-angan bahwa seorang istri Habib Abu Muhammad berkata, Abu Muhammad berkata kepadaku, “Bila aku mati hari ini, maka mintalah fulan untuk memandikanku dan melakukan ini dan ini, engkau sendiri lakukanlah ini dan ini.” Istrinya ditanya, “Apakah dia bermimpi?” Dia menjawab, “Demikian dia berkata setiap harinya.”

 

Dari Ibrahim bin Sibth berkata, Abu Zur’ah berkata kepadaku, “Aku katakan sebuah ucapan yang tidak aku katakan kepada siapa pun selainmu, aku tidak keluar dari masjid sejak dua puluh tahun, maka jiwaku menyampaikan kepadaku untuk kembali kepadanya.”

 

Sebagian dari mereka ditanya, “Mengapa engkau tidak membersihkan pakaianmu?” Dia menjawab, “Urusan kematian itu lebih cepat dari itu.”

 

Dari Muhammad bin Abu Taubah, dia berkata, “Ma’ruf mengumandangkan iqamat untuk shalat, kemudian dia berkata kepadaku, ‘Majulah.’ Maka aku menjawab, ‘Bila aku menjadi imam bagi Kalian untuk shalat ini, maka aku tidak akan menjadi imam kalian untuk shalat lainnya.’ Ma’ruf berkata, ‘Engkau masih berharap bisa shalat yang lain? Kami berlindung kepada Allah dari panjang angan-angan, karena ia menghalang-halangi amal terbaik’.”

 

Ini adalah keadaan para ahli zuhud terkait dengan pendek anganangan, semakin pendek angan semakin bagus amal, karena yang bersangkutan memperkirakan dirinya mati hari ini, maka dia bersiap-siap sebagai orang mati, bila sore tiba maka dia bersyukur kepada Allah atas keselamatan dan dia memperkirakan bahwa dia mati malam ini, maka dia bersegera untuk beramal.

 

[Bersegera dalam Beramal dan Bahaya Menunda-Nunda]

 

Syariat mendorong untuk beramal dan bersegera melaksanakannya. Dalam Shahih al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dia berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Dua nikmat, banyak orang merugi pada keduanya: kesehatan dan waktu luang.”

 

Dan juga dari Ibnu Abbas  bahwa Rasulullah bersabda kepada seorang laki-laki untuk menasihatinya,

 

“Gunakanlah lima kesempatan sebelum (muncul) lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, kesehatanmu sebelum sakitmu, kekayaanmu sebelum kemiskinanmu, waktu luangmu sebelum kesibukanmu, dan kehidupanmu sebelum matimu.”

 

Umar berkata,

 

“Perlahan-lahan dalam segala urusan adalah baik kecuali urusan akhirat.”

 

Al-Hasan  berkata, “Sungguh aneh suatu kaum, mereka diminta berbekal, dipanggil untuk berangkat, yang awal dan yang akhir ditahan tetapi mereka tetap duduk bermain-main saja.”

 

Suhaim mantan hamba sahaya Bani Tamim wale berkata, “Aku duduk kepada Abdullah bin Abdullah, lalu dia memendckkan shalatnya kemudian menghadap kepadaku dan berkata, “Istirahatkan aku (jangan sibukkan aku) dengan hajatmu sebab aku sedang berlomba.” Aku bertanya, “Berlomba dengan siapa?” Dia menjawab, “Malaikat maut.” Dia ini shalat seribu rakaat setiap hari.

 

Mereka bersegera beramal manakala kondisi memungkinkan.

 

Ibnu Umar bangun di waktu malam, wudhu kemudian shalat kemudian dia menggigil seperti burung kena hujan, kemudian dia bangkit berwudhu lagi kemudian menggigil seperti burung kemudian dia bangun shalat, hal ini terjadi berulang-ulang.

 

Umair bin Hani bertasbih sebanyak seribu tasbih per hari.

 

Abu Bakar bin Ayyasy berkata, “Aku mengkhatamkan al-Qur’an di sudut ini sebanyak delapan belas ribu kali.”

 

PASAL

 

MENGINGAT DAHSYATNYA KEMATIAN DAN KONDISI APA YANG DIANJURKAN PADA SAAT ITU

 

Ketahuilah bahwa seandainya di depan seorang hamba yang miskin tidak ada musibah dan ujian besar selain kematian, niscaya hal itu sudah cukup untuk mempersulit kehidupannya, mengurangi kebahagiaannya dan pikirannya kepadanya panjang. Yang mengherankan adalah seandainya manusia sedang berada pada kenikmatan yang paling besar, tetapi dia juga menunggu kehadiran seorang tentara yang akan memukulnya lima kali, niscaya hal ini sudah merusak dan memperkeruh kenikmatannya. Padahal di setiap saat dia menantikan kehadiran malaikat maut yang akan mencabut nyawanya, tetapi dia tidak pernah mengingat hal ini, tidak ada penyebab bagi hal ini selain kebodohan dan tipu daya.

 

Ketahuilah bahwa kematian lebih berat daripada tebasan pedang. Orang yang ditebas dengan pedang akan meminta tolong dan berteriak karena kehidupannya masih ada bersamanya. Adapun orang mati ketika kematiannya, maka suaranya terputus karena sakitnya yang luar biasa, karena kesulitan mencapai puncaknya, menguasai hatinya dan setiap relungnya. Semua anggota badannya tidak lagi memiliki kemampuan, tidak lagi memiliki kekuatan untuk meminta bantuan. Dia berharap kalau saja dia mampu mengurangi penderitaannya dengan merintih, teriak, dan minta tolong. Roh ditarik dari seluruh urat nadi, setiap anggota tubuhnya mati secara perlahan, pertama kaki, kedua telapak kakinya kemudian kedua betisnya kemudian kedua pahanya hingga mencapai tenggorokan, saat itulah pandangannya kepada dunia dan penghuninya terputus, pintu taubat ditutup di depan matanya, karena Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah menerima taubat dari seorang hamba selama napas belum di tenggorokan (sakaratul maut).”

 

Diriwayatkan bahwa dua malaikat yang ditugasi mendampingi seorang hamba memperhatikannya saat kematiannya. Bila hamba tersebut shalih, maka keduanya akan menyanjungnya, keduanya berkata, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.” Bila dia buruk maka keduanya berkata, “Semoga Allah tidak membalasmu dengan kebaikan.”

 

Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah menugaskan dua malaikat pada seorang hamba yang mencatat amalnya, bila hamba itu meninggal dunia, maka keduanya berkata, ‘Dia telah mati, adakah Engkau mengizinkan kami naik kembali ke langit?’ Kata beliau, Allah berfirman, ‘Sesungguhnya langitKu penuh dengan malaikat-malaikatKu yang bertasbih menyucikan NamaKu.’ Keduanya berkata, ‘Adakah Engkau mengizinkan kami tinggal di bumi?’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya bumiKu pun penuh dengan makhlukKu yang bertasbth menyucikan NamaKu.’ Maka keduanya berkata, ‘Lalu di mana kami tinggal?’

 

Allah berfirman, ‘Berdirilah di atas kubur hambaKu, bertasbihlah, bertakbirlah, bertahlillah, dan tulislah hal itu untuk hambaKu sampai Hari Kiamat’.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Ubadah bin ash-Shamit berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya bila seorang Mukmin didatangi oleh kematian, dia diberi kabar gembira dengan ridha dan pemuliaan Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang lebih dia cintai daripada apa yang ada di depannya. Adapun penghuni neraka yang menutup hidupnya dengan keburukan, maka dia diberi kabar buruk dengannya sementara dia dalam keadaan ketakutan tersebut.”

 

As-Salaf ash-Shalih takut kepada su’ul khatimah (penutup hidup yang buruk) dan kami sudah menyebutkan hal ini dalam Kitab Rasa Takut kepada Allah dan ia patut disebut (diingat kembali) tempat ini. Kami memohon kepada Allah Yang Mahamulia agar merahmati kita dengan rahmatNya yang

 

“meliputi segala sesuatu.” (Al-A’raf: 156), mengasihi dan menutup hidup kita dengan kebaikan, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Mahamulia.

 

Perkara yang dianjurkan saat menghadapi kematian: hendaknya hati berbaik sangka kepada Allah, dan lisan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketenangan termasuk di antara indikasi kasih sayang Allah, dan merupakan tanda bahwa yang bersangkutan melihat kebaikan.

 

Diriwayatkan bahwa roh seorang Mukmin keluar secara perlahan merembes seperti keringat.

 

Dianjurkan pula menalkin orang yang tengah sakaratul maut dengan la ilaha illallah, sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim,

 

“Talkinlah orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dengan ‘La ilaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah)’.”

 

Orang yang menalkinnya hendaknya bersikap lembut kepada calon mayit, tidak memintanya berulang-ulang. Dalam hadits lain disebutkan,

 

“Hadirilah orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian, talkinlah mereka dengan la ilaha illallah, sampaikan berita gembira surga kepada mereka, karena orang yang santun lagi mengetahui, laki-laki atau perempuan kebingungan saat menghadapi kejadian hebat itu, dan sesungguhnya iblis, musuh Allah paling dekat kepada hamba dalam kondisi tersebut.” Al-Hadits. Dan dalam hadits shahih,

 

“Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.”

 

Dan diriwayatkan bahwa Nabi menjenguk seorang laki-laki yang sedang menghadapi kematian, beliau bertanya,

 

“Bagaimana engkau mendapati jiwamu?” Dia menjawab, “Aku berharap kepada Allah dan takut akan dosa-dosaku.” Rasulullah bersabda, “Keduanya tidaklah terkumpul dalam hati seorang Mukmin dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah memberinya apa yang diharapkannya dan mengamankannya dari apa yang dia takuti.”

 

Berharap (ar-Raja’) saat menjelang ajal lebih utama, karena rasa takut adalah cemeti penggiring dan saat mati pandangan mata terhenti, maka sepatutnya bersikap lunak kepada diri, karena setan datang dalam kondisi tersebut dan berusaha membuat hamba murka kepada Allah atas apa yang terjadi pada dirinya, menakut-nakutinya terhadap apa yang ada di depannya, maka berbaik sangka adalah senjata paling ampuh dalam menolak musuh ini.

 

Sulaiman at-Taimi berkata kepada anaknya sesaat sebelum kematian menjemput, “Anakku, sampaikan berbagai rukhsah kepadaku, semoga aku bertemu Allah dalam keadaan aku berbaik sangka kepadaNya.”

 

Bab

MENGINGAT WAFAT RASULULLAH DAN PARA KHULAFA’ RASYIDIN

 

Ketahuilah bahwa,

 

“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21), yaitu pada segala keadaan beliau. Sudah dimaklumi bahwa tidak ada makhluk yang lebih Allah cintai daripada beliau, namun begitu, Allah tidak menunda kematian beliau saat ajal beliau sudah tiba.

 

Beliau juga mengalami ujian berat ketika kematian tiba. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari hadits Aisyah bahwa dia berkata,

 

“(Saat ajal menjelang) di depan Rasulullah ada bejana kecil dari kulit, atau bejana besar, yang di dalamnya ada air, beliau memasukkan tangan beliau ke dalam air tersebut, beliau mengusapkannya ke wajah beliau seraya bersabda, ‘La ilaha illallah, sesungguhnya kematian mempunyai kesulitankesulitan berat’.”

 

Dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Anas beliau berkata,

 

“Manakala sakit Nabi semakin parah, beliau didera oleh beban yang sangat berat, maka Fathimah berkata, ‘Betapa berat penderitaanmu wahati ayahku.’ Maka beliau bersabda kepadanya, ‘Ayahmu tidak akan mengalami kesulitan berat lagi setelah hari ini’.”

 

Ibnu Mas’ud berkata, Kami berkumpul di rumah ibunda kami, Atsyah wes, Rasulullah melihat kepada kami, maka kedua mata beliau meneleskan air mata, beliau mienyampaikan ajal dirinya kepada kami, beliau bersabda, “Selamat datang, semoga Allah menghidupkan kalian dengan keselamatan, semoga Allah menjaga kalian, memperhatikan kalian, mengumpulkan kalian, menolong kalian, memberi taufik kepada kalian, memberi manfaat kepada kalian, meninggikan kalian, dan menyelamatkan kalian. Aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allah, semoga Allah senantiasa berbuat baik kepada kalian, aku menyerahikan kalian kepadaNya sesudahku.”

 

Kami berkata, “Ya Rasulullah, kapan ajalmu?”

 

Beliau menjawab, “Sudah dekat, tempat kembali adalah kepada Allah, ke Sidratul Muntaha, surga sebagai tempat abadi dan Firdaus yang tertinggi.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, dengan apa kami mengafanimu?”

 

Beliau menjawab, “Bila kalian berkenan maka dalam pakaianku ini atau dengan hullah dari Yaman atau kain putih.”

 

Kami berkata, “Ya Rasulullah, siapa yang menshalatkanmu?” Dan kami menangis. Beliau menjawab, “Perlahanlah, Allah merahmati kalian dan membalas kebaikan kalian kepada Nabi kalian dengan kebaikan. Bila kalian memandikanku dan mengafaniku, maka letakkan aku di atas pembaringanku ini di pinggir kuburku, kemudian keluarlah dariku sesaat, karena yang pertama kali menshalatkanku adalah khalil dan habibku Jibril kemudian Mika ‘il kemudian Israfil kemudian malaikat maut kemudian malaikat-malaikat yang banyak. Kemudian masuklah kalian kepadaku secara bergelombang lalu ucapkan shalawat kepadaku dan salam, jangan menyakitiku dengan sanjungan dan gumaman, hendaknya yang memulai menshalatkanku adalah laki-laki dari keluargaku kemudian wanita-wanita mereka kemudian sesudah itu kalian, kemudian sampaikan salam kepada sahabatku yang tidak hadir sekarang dan kepada siapa yang mengikutiku di atas agamaku ini sampai Hari Kiamat. Ketahuilah bahwa aku menjadikan kalian sebagai saksi bahwa aku sudah mengucapkan salam kepada siapa pun yang masuk ke dalam Islam,”

 

Jibril datang kepada Nabi tiga hari sebelum beliau wafat, dia berkata, “Hai Muhammad, sesunggulinya Allah mengutusku kepadamu, Dia bertanya kepadamu tentang sesuatu yang Dia lebih mengetahuinya darimu, Dia berfirman, ‘Bagaimana keadaanmu?'” Nabi menjawab, “Hai Jibril, aku bersedih, aku mendapatkan kesulitan.” Kemudian Jibril datang lagi di hari berikutnya, dia mengulangi kata-katanya kemarin dan Nabi menjawab dengan jawaban yang sama, kemudian Jibril datang lagi di hari ketiga, dia mengulangi kata-katanya sebelumnya dan Nabi menjawab dengan jawaban yang sama, tibatiba malaikat maut meminta izin, lalu Jibril berkata, “Hai Ahmad, ini malaikat maut meminta izin kepadamu, dia tidak pernah meminta izin kepada seorang manusia pun sebelum dan sesudahmu.” Beliau menjawab, “Izinkan dia.” Maka malaikat maut masuk dan berdiri di depan beliau, dia berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku kepadamu dan memerintahkanku agar mematuhimu. Bila engkau memerintahkanku mencabut nyawamu, maka aku lakukan. Bila engkau memerintahkanku membiarkannya, maka aku biarkan.” Rasulullah bersabda, “Engkau melakukan itu wahai malaikat maut?” Dia menjawab, “Aku diperintahkan untuk mematuhimu.” Jibril berkata, “Hai Ahmad, Allah merindukanmu.” Maka beliau bersabda, “Malaikat maut, lakukan apa yang ditugaskan kepadamu.” Jibril berkata, “Salam untukmu wahai Rasulullah, ini adalah akhir keberadaanku di bumi, hajatku di dunia ini hanyalah engkau.”

 

Rasulullah wafat dengan menyandarkan dirinya ke dada Aisyah dengan kain selempang yang lusuh dan kain sarung yang kasar.

 

Lalu Fathimah bangkit menyebutkan kebaikan-kebaikan bapaknya, dia berkata, “Duhai ayahku, beliau memenuhi Tuhan yang memanggilnya. Duhai ayahku, Surga Firdaus tempatnya. Duhai ayahku, kami menyampaikan kematiannya kepada Jibril. Duhai ayahku, betapa dekatnya dia kepada Tuhannya.” Selesai Rasulullah dimakamkan, Fathimah berkata, “Anas, apakah jiwa kalian merasa enak saat meluruhkan tanah ke jasad Rasulullah?”

 

Abu Bakar  menyenandungkan syair,

 

Manakala aku melihat Nabi kita tergolek

Rumah yang lapang terasa sempit bagiku

Sangat khawatir seperti orang linglung dan bingung

Tulang-tulangku seolah-olah hancur luluh

Celaka dirimu, apakah bisa selamat padahal kekasihmu telah terkubur

Dan engkau tinggal sendirian dan engkau merugi

Seandainya diriku sudah tiada sebelum kematian sahabatku

Sudah dimasukkan di bawah tanah dengan bebatuan di atasku.

 

WAFAT ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ

 

Abu al-Malih meriwayatkan bahwa saat kematian datang kepada Abu Bakar, beliau mengirim utusan membawa wasiat kepada Umar, beliau berkata, “Aku menyampaikan sebuah wasiat kepadamu, bila engkau berkenan menerimanya dariku. Sesungguhnya Allah mempunyai hak di malam hari yang tidak Dia terima di siang hari, dan sesungguhnya Allah mempunyai hak di siang hari yang tidak Dia terima di malam hari. Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan sunnah sebelum amalan wajib dikerjakan. Timbangan “orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya” akan berat di akhirat, karena di dunia mereka mengikuti kebenaran dan karena beratnya beban kebenaran atas mereka. Maka sudah sepatutnya bila timbangan yang mana kebenaran diletakkan di atasnya menjadi berat. Sebaliknya timbangan  “orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,” akan ringan di akhirat, karena mereka mengikuti kebatilan dan ringannya kebatilan itu atas mereka di dunia, sudah sepatutnya bila timbangan di mana kebatilan diletakkan di atasnya menjadi ringan.

 

Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah menurunkan ayat harapan di samping ayat ancaman dan ayat ancaman di samping ayat harapan? Hal itu agar seorang hamba berharap sekaligus takut, tidak mencampakkan dirinya ke dalam kebinasaan dan tidak berharap tanpa alasan yang hak kepada Allah. Bila engkau menjaga wasiatku ini, maka tidak akan ada sesuatu pun yang belum datang yang lebih engkau cintai daripada kematian, dan engkau memang pasti mati. Bila engkau menyia-nyiakan wasiatku ini, maka tidak akan ada sesuatu pun yang belum datang yang paling engkau benci daripada kematian dan engkau pasti mati, engkau tidak bisa menghindarinya.”

 

Dikatakan, Manakala Abu Bakar menghadapi kematian, Aisyah datang dan mengucapkan bait ini,

 

Aku bersumpah, apa guna kekayaan bagi seseorang

 

Bila dada menyempit dan tenggorokan tersumbat.

 

Maka Abu Bakar membuka penutup wajahnya dan berkata, “Bukan begitu, akan tetapi ucapkanlah,

 

‘Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.’ (Qaf: 19).

 

Lihatlah dua lembar pakaianku ini, cucilah keduanya dan kafanilah aku dengan keduanya, orang hidup lebih berhak memakai yang baru daripada orang mati.”

 

WAFAT UMAR BIN AL-KHATHTHAB

 

Dari Ibnu Umar, dia berkata, “Kepala Umar (bapakku) di pangkuanku setelah ditikam dan karenanya beliau wafat. Umar berkata, “‘Letakkan pipiku di tanah.’ Aku menjawab, ‘Apa bedanya bagimu, di atas pangkuanku atau di atas tanah?’ Aku menyangka dia berkata begitu karena kesal, maka aku tidak melakukan ucapannya. Dia berkata, ‘Letakkan pipiku di atas tanah, tidak ada ibu bagimu. Celaka diriku dan celaka ibuku bila Tuhanku tidak merahmatiku’.”

 

Diriwayatkan bahwa setelah Umar ditikam dan digotong ke rumah beliau, orang-orang datang memujinya, seorang anak muda datang dan berkata, “Berbahagialah wahai Amirul Mukminin dengan kabar gembira dari Allah. Engkau adalah sahabat Rasulullah, engkau memiliki jasa untuk Islam sebagaimana yang telah aku ketahui, engkau memimpin dan berlaku adil, kemudian meraih mati syahid.” Maka Umar menjawab, “Aku berharap hal ini seimbang bagiku, bukan kebaikan untukku dan bukan keburukan atasku.” Kemudian Umar berkata, “Abdullah bin Umar, pergilah ke Aisyah Ummul Mukminin, katakan kepadanya, ‘Umar mengucapkan salam kepadamu.’ Jangan berkata Amirul Mukminin, karena hari ini aku bukan lagi pemimpin. Katakan kepadanya, ‘Umar bin al-Khaththab meminta izin untuk dimakamkan bersama dua sahabatnya’.” Lalu Ibnu Umar berangkat, mengucapkan salam kepada Aisyah dan meminta izin. Ibnu Umar masuk dan melihatnya duduk menangis. Ibnu Umar berkata, “Umar mengucapkan salam kepadamu, dia meminta izin untuk dimakamkan di sisi dua sahabatnya.” Aisyah menjawab, “Sebenarnya aku menginginkan hal ini untuk diriku, tetapi hari ini aku benar-benar akan mendahulukannya atas diriku sendiri.”

 

Ibnu Umar pulang, orang-orang berkata, “Abdullah bin Umar sudah tiba.” Maka Umar berkata, “Sandarkan aku.” Maka seorang laki-laki menyandarkannya. Umar bertanya, “Apa yang engkau bawa?” Ibnu Umar menjawab, “Apa yang engkau harapkan wahai Amirul Mukminin, Aisyah mengizinkan.” Umar berkata, ‘Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih aku cintai daripada itu. Bila aku mati, maka angkatlah aku kemudian ucapkan salam, katakan, ‘Umar bin al-Khaththab meminta izin.’ Bila dia memberi izin maka masukkanlah aku, bila tidak maka kuburkan aku di kuburan kaum Muslimin.”

 

Dalam riwayat Muslim dari al-Miswar bin Makhramah bahwa Umar berkata,

 

“Demi Allah, seandainya aku mempunyai emas yang memenuhi bumi, niscaya aku menebus diriku dari siksa Allah sebelum aku melihatnya.”

 

Dalam riwayat lain, Umar berkata,

 

“Demi Allah, seandainya aku mempunyai dunia dari ujung timur sampai ujung barat, niscaya aku akan menggunakannya untuk menebus diriku dari kengerian Hari Kiamat.”

 

WAFAT UTSMAN BIN AFFAN

 

Na‘ilah binti al-Farafishah, istri Utsman berkata, “Sehari sebelum Utsman dibunuh, dia sedang berpuasa, saat berbuka puasa tiba, dia meminta air putih kepada orang-orang namun mereka tidak memberinya, maka dia tidur dan belum berbuka, di waktu sahur, aku datang ke beberapa tetangga melewati atap-atap yang bersambung, aku meminta air putih kepada mereka, mereka memberiku air dalam sebuah kantong kecil, maka aku membawanya kepadanya, aku menggerak-gerakkannya lalu dia bangun, aku berkata, “Ini air putih.” Beliau mengangkat kepalanya, beliau melihat ternyata fajar sudah terbit, maka beliau berkata, “Hari ini aku berpuasa. Sesungguhnya dahulu Rasulullah pernah melihatku melalui atap ini dan beliau membawa air putih, beliau bersabda,

 

‘Minumlah wahai Utsman.’

 

Maka aku minum sampai hausku hilang, kemudian beliau bersabda, 

 

‘Tambah lagi.’

 

Maka aku minum sampai aku puas. Kemudian beliau bersabda,

 

‘Sesungguhnya orang-orang akan membangkang kepadamu, bila engkau memerangi mereka, maka engkau menang, dan bila engkau membiarkan mereka, maka engkau akan berbuka puasa di sisi kami’.”

 

Na‘ilah berkata, “Lalu para pembangkang menyerang di hari itu dan membunuh beliau.”

 

Dari al-Ala’ bin al-Fudhail dari bapaknya, dia berkata, “Manakala orang-orang membunuh Utsman, mereka menggeledah lacinya, mereka menemukan sebuah kotak yang tertutup, mereka membukanya, mereka melihat sebuah wadah kecil berisi kertas yang di sana tertulis,

 

“Ini adalah wasiat Utsman. Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Utsman bin Affan bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, bahwa surga adalah haq, bahwa neraka juga adalah haq,

 

‘Bahwasanya Allah akan membangkitkan semua orang di dalam kubur.’ (Al-Hajj: 7).

 

‘Hari yang tak ada keraguan padanya. Scsungguhnya Allah tidak menyalahi janji.’ (Ali Imran: 9).

 

Di atasnya kita hidup dan di atasnya pula kita mati, di atasnya kita akan dibangkitkan kembali insya Allah.”

 

WAFAT ALI BIN ABU THALIB

 

Dari asy-Sya’bi, dia mengatakan, Manakala Ali ditikam, beliau berkata, “Apa yang dilakukan orang-orang terhadap orang yang menikamku?” Mereka menjawab, “Kami sudah menangkapnya.” Dia berkata, “Beri dia makan dari makananku dan minuman dari minumanku. Bila aku hidup maka aku akan menetapkan keputusanku padanya, bila aku mati maka tebaslah dengan sekali tebasan dan tidak lebih.”

 

Kemudian beliau meminta al-Hasan untuk memandikannya, beliau berkata, “Jangan bermahal-mahal dalam urusan kafan, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda,

 

‘Jangan bermahal-mahal dalam urusan kafan, karena sesungguhnya ia akan cepat ditanggalkan.”

 

Bawalah aku dengan berjalan sedang, tidak tergesa-gesa dan tidak berlambat-lambat; bila baik maka kalian menyegerakanku kepadanya, bila sebaliknya maka kalian telah melepaskanku dari pundak kalian.”

 

Diriwayatkan bahwa pada malam yang Ali ditikam, Ibnu at-Tayyah datang kepada beliau saat fajar sudah terbit untuk membangunkan beliau shalat, saat itu Ali masih tidur dan badan beliau masih terlihat berat, dia kembali lagi dan Ali masih seperti itu, dia datang lagi untuk ketiga kalinya, maka dia bangkit dan berjalan, dia berkata (pada dirinya),

 

Kencangkan ikat pinggangmu untuk menghadapi kematian

Karena kematian pasti menjemputmu

Jangan gundah dengan kematian

Sehalipun ia tiba di halamanmu.

 

Manakala Ali tiba di pintu kecil di sana, Abdurrahman bin Muljam menyerang dan menikam beliau.

 

KALIMAT-KALIMAT YANG DINUKIL DARI SEJUMLAH SAHABAT DAN SELAINNYA KETIKA MENGHADAPI KEMATIAN SERTA PEMBAHASAN ZIARAH KUBUR DAN SELAINNYA

 

Manakala kematian mendatangi al-Hasan bin Ali «#6, beliau berkata, “Bawa kasurku ke teras rumah.” Maka beliau dikeluarkan, lalu beliau berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku berharap pahala kepadaMu karena diriku, sesungguhnya aku tidak pernah ditimpa oleh rasa sakit yang seperti ini.”

 

Dan kami sudah menyebutkan kata-kata yang diucapkan oleh para khalifah yang empat.

 

Diriwayatkan bahwa saat ajal Mu’adz bin Jabal datang, beliau berkata, “Lihatlah, apakah pagi sudah tiba?” Seseorang melihat dan menjawab, “Belum.” Sesaat setelah itu seseorang berkata kepada beliau, “Sudah pagi.” Maka Mu’adz berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari malam yang paginya adalah (menuntun) ke neraka.” Kemudian beliau berkata, “Selamat datang kematian, pengunjung tak terlihat yang datang, pucuk dicinta ulam pun tiba. Ya Allah, sesungguhnya aku takut kepadaMu dan hari ini aku mengharapkanMu. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak mencintai dunia dan kekal di sana untuk menggali sungai dan menanam pohon, akan tetapi untuk panas yang panjang, bangun malam di musim dingin, melawan waktu, bergaul dengan para ulama dengan bertekuk lutut di halagah-halaqah dzikir.”

 

Abu Muslim berkata, “Aku menjenguk Abu ad-Darda’ saat sedang menghadapi sakaratul maut, dia berkata, ‘Adakah seorang laki-laki memperhatikan keadaanku saat ini. Adakah seorang laki-laki yang beramal untuk hari yang aku hadapi ini. Adakah seorang laki-laki yang beramal untuk saatku ini?” Kemudian beliau pun wafat.

 

Salman al-Farisi menangis menjelang wafat, maka beliau ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab, “Rasulullah berpesan kepada kami agar bekal kami adalah seperti bekal seorang pengendara, sementara di sekelilingku ada bekal-bekal seperti ini.”

 

Dikatakan bahwa di sekcliling beliau hanya ada sebuah bejana untuk mencuci baju, sebuah nampan untuk makan dan sebuah wadah untuk berwudhu.

 

Al-Muzani meriwayatkan, dia berkata, “Aku datang kepada Imam asy-Syafi’i saat beliau sakit yang akhirnya wafat. Aku berkata, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” Beliau menjawab, “Pagi ini aku hendak meninggalkan dunia, berpisah dengan rekan-rekan, menghadapi balasan buruknya amalku, meminum gelas kematian, menghadap kepada Allah, aku tidak tahu apakah rohku menuju surga sehingga aku berbahagia atau ke neraka sehingga aku berduka.” Kemudian beliau berkata,

 

Manakala hatiku keras dan jalan-jalan usahaku menyempit

Aku menjadikan harapanku kepada maafMu sebagai tangga

Dosaku terasa besar, tetapi saat aku membandingkannya

Dengan maafMu ya Rabbi, maka maafMu lebih besar

Engkau selalu memaafkan dosa dan Engkau senantiasa

Bermurah hati dan memaafkan sebagai karunia dan kemurahan.

 

[Keadaan Kubur dan Perkataan Mereka tentangnya]

 

Dikatakan, Abu ad-Darda’ pernah duduk di kuburan, lalu ditanya tentang perbuatannya itu, maka beliau menjawab, “Aku duduk bersama suatu kaum yang mengingatkanku tentang ke mana aku akan berpulang, dan bila aku pergi maka mereka tidak menggibahku.”

 

Maimun bin Mihran is berkata, “Aku pernah keluar bersama Umar bin Abdul Aziz ke kuburan. Manakala beliau melihatnya, beliau menangis, kemudian memandangku dan berkata, ‘Wahai Maimun, ini adalah kubur leluhur keluarga besar Bani Umayyah, seolah-olah mereka tidak pernah bersama penduduk dunia dalam kenikmatan dan kehidupan mereka. Tidakkah engkau melihat mereka telah mati, hukuman telah menimpa mereka, ujian telah mencengkeram mereka, jasad mereka sebagai tempat bagi cacing-cacing tanah.’ Kemudian beliau menangis dan berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun telah diberi nikmat lalu terpendam dalam kubur ini lalu dia dijamin aman dari azab Allah.”

 

[Ziarah Kubur, Mendoakan Mayit, dan Hal-Hal yang Berkaitan dengannya]

 

Dianjurkan ziarah kubur, karena Nabi bersabda,

 

“Lakukanlah ziarah kubur, karena sesungguhnya ia dapat mengingatkan kalian akan akhirat.”

 

Barangsiapa ziarah kubur, hendaknya menghadap ke mayit, membaca sesuatu dari al-Qur‘an dan menghadiahkannya kepada mayit, dan hendaknya ziarah dilakukan di Hari Jum’at.

 

Diriwayatkan bahwa manakala Ashim al-Jahdari wafat, seorang laki-laki dari keluarganya bertemu dengannya dalam mimpi dua tahun setelah kematiannya. Dia bertanya, “Bukankah engkau sudah mati?” Ashim menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Di mana kamu?” Ashim menjawab, “Demi Allah, aku berada di kebun dari kebun-kebun surga. Aku dan beberapa rekan-rekanku berkumpul setiap malam Jum’at dan pagi harinya kepada Abu Bakar bin Abdullah al-Muzani mendengar berita-berita kalian.” Dia bertanya, “Jasad kalian atau roh kalian?” Ashim menjawab, “Mana mungkin, jasad kami sudah hancur, akan tetapi roh-roh kami yang bertemu.” Dia bertanya, “Adakah kalian mengetahui ziarah kami kepada kalian?” Ashim menjawab, “Ya, sore Hari Jum’at, seluruh Hari Jum’at dan Hari Sabtu sampai terbit matahari.” Dia bertanya, “Mengapa tidak setiap hari?” Ashim menjawab, “Karena kemuliaan dan keagungan Hari Jum’at.”

 

Utsman bin Sawad ath-Thufawi, yang ibunya adalah seorang wanita ahli ibadah, sampai dijuluki rahib wanita berkata, manakala ajal menjemputnya dia mengangkat kepalanya ke langit, dia berkata, “Wahai bekal, wahai simpananku, wahai Tuhan tempat aku bergantung dalam hidup dan sesudah matiku, jangan biarkan aku setelah mati, jangan buat aku takut dalam kuburku.” Lalu dia mati, maka aku mengunjunginya setiap Jum’at dan mendoakannya, memohon ampun untuknya dan untuk penghuni kubur. Suatu malam aku bertemu dengannya dalam mimpi. Aku bertanya kepadanya, “Ibu, bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “Putraku, sesungguhnya kematian adalah kesulitan yang berat, aku alhamdulillah ada dalam barzakh yang baik, kenikmatan dibentangkan, sutra halus dan tebal dihamparkan sampai hari kebangkitan.” Aku bertanya, “Adakah ibu mempunyai hajat?” Dia menjawab, “Ya, teruskanlah apa yang engkau lakukan, sesungguhnya aku berbahagia dengan ziarahmu di Hari Jum’at bila engkau datang dari keluargamu. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Wahai rahib wanita, inilah anakmu sudah datang.’ Maka aku berbahagia dan demikian juga orang-orang mati di sekitarku.”

 

Dari Anas bin Manshur, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang selalu menghadiri dan menshalatkan jenazah. Sore tiba, dia berdiri di pintu kuburan, dia berkata, ‘Semoga Allah menenangkan ketakutan kalian, merahmati keterasingan kalian, memaafkan kesalahan-kesalahan kalian dan menerima kebaikan-kebaikan kalian.’ Dia hanya mengucapkan kalimat itu tidak lebih. Laki-laki yang berdoa itu berkisah, suatu sore aku tidak datang ke kuburan untuk mendoakan sebagaimana yang aku lakukan sebelumnya, saat aku tidur, aku melihat banyak orang, mereka datang kepadaku. Aku bertanya, ‘Siapa kalian dan apa hajat kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah penghuni kubur itu, sesungguhnya engkau terbiasa memberikan hadiah kepada kami.’ Aku bertanya, ‘Apa itu?’ Mereka menjawab, ‘Doa-doa yang engkau ucapkan.’ Aku berkata, ‘Aku akan melakukannya lagi.’ Maka sesudah itu aku tidak pernah meninggalkannya.

 

Basysyar bin Ghalib berkata, “Aku bertemu dengan Rabi’ah dalam mimpi, aku banyak mendoakannya, dia berkata kepadaku, ‘Basysyar, hadiah-hadiahmu datang kepada kami di atas nampan-nampan cahaya, ditutup dengan kain sutra.” Aku berkata, ‘Bagaimana demikian?’ Dia menjawab, ‘Demikianlah doa orang-orang hidup bila mereka mendoakan orang-orang mati lalu doa tersebut dijawab, doa itu diletakkan di atas nampan-nampan cahaya dan ditutupi dengan kain sutra, kemudian diberikan kepada mayit yang didoakannya. Kepadanya dikatakan, ‘Ini adalah hadiah fulan kepadamu’.”

 

PASAL

[Hakikat Kematian, Apa yang Didapati di Alam Kubur Sampai Sangkakala Ditiup]

 

Yang ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits bahwa hakikat maut adalah berpisahnya roh dari jasad. Setelah itu, roh tetap hidup, bisa disiksa, bisa diberi nikmat, karena roh bisa merasakan sakit dengan sendirinya dengan berbagai bentuk kesedihan dan kegundahan, sebagaimana ia bisa merasakan nikmat dengan berbagai bentuk kebahagiaan dan suka cita tanpa berkaitan dengan jasad, apa yang menjadi sifat roh dengan sendirinya, ia tetap bersamanya setelah roh meninggalkan jasad. Semua sifat roh yang melalui perantara anggota maka ia berhenti dengan kematian jasad sampai roh dikembalikan ke jasad, dan tidak tertutup kemungkinan roh dikembalikan ke jasad di alam kubur, tidak mustahil juga hal itu ditunda sampai hari kebangkitan. Allah lebih mengetahui keputusanNya atas hamba-hambaNya.

 

Makna kematian adalah roh tidak lagi mengatur raga dan raga tidak lagi sebagai alat roh. Seseorang direnggut dari harta dan keluarganya ke alam lain yang berbeda dengan alam ini. Jika seseorang mempunyai sesuatu di dunia yang membahagiakan dan menenteramkannya, maka dia akan sangat menyesalinya setelah kematian. Jika dia tidak berbahagia kecuali dengan dzikir kepada Allah dan tenteram denganNya, maka kenikmatannya akan besar dan kebahagiaannya sempurna, manakala dia berkhalwat dengan Dzat yang dicintainya, menyingkirkan berbagai penghalang dan kesibukan, karena segala kesibukan dunia adalah menyibukkan dari dzikir kepada Allah.

 

Dengan kematian, mayit mengetahui apa yang tidak dia ketahui saat hidup, sebagaimana orang yang terjaga mengetahui apa yang tidak dia ketahui saat dia tidur. Manusia dalam keadaan tidur, bila mereka mati maka mereka terjaga. Perkara pertama yang diketahuinya adalah kebaikan (amal-amal)nya yang bermanfaat baginya dan keburukankeburukan yang merugikannya. Hal itu tertulis dalam sebuah kitab yang dilipat dalam rahasia hatinya. Dia disibukkan oleh kesibukan-kesibukan dunia sehingga dia tidak sempat menengoknya. Manakala dunia sudah terputus, maka terbukalah semua amal perbuatannya. Tidaklah melihat keburukan kecuali dia menyesalinya dengan penyesalan yang seandainya dia diminta menjebloskan diri ke dalam api untuk melepaskan diri darinya, niscaya dia melakukannya, semua itu terbuka baginya saat dia mati. Ini adalah kepedihan-kepedihan yang menyerang pelaku dosa sebelum dimakamkan. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

 

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa roh tidak lenyap dengan kematian adalah Firman Allah,

 

“Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” (Ali Imran: 169).

 

Masruq berkata, Kami pernah bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud, lalu beliau berkata, “Roh mereka ada di dalam perut burung hijau yang memiliki lampu-lampu (sangkar) yang tergantung di Arasy, beterbangan di surga sesukanya, kemudian kembali ke lampu-lampu (sangkar) itu…” dan seterusnya.

 

Dan Allah berfirman,

 

“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras’.” (Ghafir: 46).

 

Ayat ini menetapkan bahwa mereka disiksa setelah kematian.

 

Dalam ash-Shahihain dari Ibnu Umar, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya bila salah seorang dari kalian mati, maka tempat duduknya ditampakkan kepadanya di pagi dan sore hari. Bila dia termasuk penghuni surga, maka dia termasuk penghuni surga. Bila dia termasuk penduduk neraka, maka dia termasuk penduduk neraka, dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah tempat dudukmu sampai Allah membangkitkanmu di Hari Kiamat’.”

 

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bila seseorang mengetahui keburukan-keburukannya, maka dia akan menyesalinya dan merasa sangat sedih sekali. Adapun orang Mukmin, maka Abdullah bin Umar berkata, “Perumpamaan orang Mukmin saat napasnya keluar seperti seorang laki-laki dalam penjara lalu dia dikeluarkan darinya, lalu dia berkelana di muka bumi, hilir mudik di atasnya.” Ini benar, karena seorang Mukmin pasca kematiannya melihat sendiri karunia dan kemuliaan Allah yang bila dibandingkan dengan dunia seperti penjara, sehingga dia seperti orang yang ditahan di sebuah ruangan gelap lalu dibuka baginya sebuah pintu menuju sebuah kebun yang sangat luas dengan berbagai macam pohon, maka dia tidak ingin kembali ke dunia seperti dia tidak mau kembali ke perut ibunya.

 

Mujahid ils berkata, “Sesungguhnya seorang Mukmin diberi kabar gembira dengan keshalihan anaknya sesudahnya, maka dia berbahagia dengan itu.”

 

PASAL

MENGINGAT KUBUR

 

Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

‘Kubur adalah satu kebun dari kebun-kebun surga atau satu jurang dari jurang-jurang neraka.”

 

Diriwayatkan juga dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Kubur berkata kepada mayit saat dia diletakkan di dalamnya, ‘Celaka engkau wahai anak Adam, apa yang telah menipumu? Apakah engkau tidak tahu bahwa aku adalah rumah kegelapan, rumah kesendirian, dan rumah (yang penuh) ulat-ulat (belatung)?’

 

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id yang berkata, “Rasulullah masuk ke tempat shalatnya, beliau melihat orang-orang yan sedang tertawa, maka beliau bersabda,

 

“Seandainya kalian banyak mengingat pemutus kenikmatan (kematian), niscaya ia akan menyibukkan kalian dari apa yang aku lihat. Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, kematian, karena tidak ada hari yang datang kepada kubur kecuali ia berkata, ‘Aku adalah rumah keterasingan, aku adalah rumah kesendirian, aku adalah rumah tanah, aku adalah rumah ulat (belatung).’ Bila hamba Mukmin dikubur, maka kubur berkata kepadanya, ‘Selamat datang dan silakan. Ketahuilah bahwa engkau adalah orang yang berjalan di atasku yang paling aku cintai, ternyata hari ini engkau diserahkan kepadaku dan engkau kembali kepadaku, engkau akan melihat apa yang aku lakukan untukmu.’ Maka ia melebar sejauh mata memandang, lalu dibukakan untuknya satu pintu ke surga. Dan bila hamba durjana atau kafir dimakamkan, maka kubur berkata kepadanya, ‘Tidak ada selamat datang dan tidak ada silakan untukmu. Ketahuilah bahwa di antara orang yang berjalan di atasku kamulah orang yang paling aku benci, ternyata hari ini engkau diserahkan kepadaku dan engkau kembali kepadaku, engkau akan melihat apa yang aku lakukan untukmu.’ Maka ia menyempit sehingga tulang-tulang rusuknya bersilangan, Rasulullah mengisyaratkan dengan jari-jari beliau, beliau memasukkan (menyilangkan) sebagian ke sebagian yang lain.” Beliau melanjutkan, “Lalu dikirimkan kepada tujuh puluh ular besar, yang seandainya satu dari mereka menyemburkan ke dunia niscaya tidak ada satu pun yang bisa tumbuh selama dunia masih tegak, lalu dia memangsa dan menggigitnya sampai Allah memutuskan hisab manusia.” Rasulullah bersabda, “Kubur adalah satu kebun dari kebun-kebun surga atau satu jurang dari jurang-jurang neraka,”

 

Ka’ab  berkata, “Bila laki-laki shalih diletakkan di kuburnya, amal-amal shalihnya, yaitu: shalat, puasa, haji, jihad dan sedekah membelanya. Malaikat-malaikat azab datang dari arah kedua kakinya, maka shalat berkata, ‘Menjauhlah darinya, tidak ada jalan bagi kalian atasnya, dia sudah menggunakanku untuk berdiri panjang dalam shalat.’ Lalu malaikat-malaikat azab datang dari arah kepalanya, maka puasa berkata, ‘Tidak ada jalan bagi kalian atasnya, dia sudah berpuasa denganku (dalam waktu) lama.’ Mereka datang dari arah jasadnya, maka haji dan jihad berkata, ‘Menjauhlah darinya, dia telah melelahkan dirinya dan badannya, berhaji dan berjihad di jalan Allah, tidak ada jalan bagi kalian atasnya.’ Lalu mereka mendatanginya melalui kedua tangannya, maka sedekah berkata, ‘Berapa banyak sedekah yang diberikannya oleh kedua tangannya ini sehingga ia diletakkan di Tangan Allah demi meraih WajahNya, tidak ada jalan bagi kalian kepadanya.’ Maka dikatakan kepadanya, ‘Sclamat, engkau baik saat hidup dan baik pula saat mati.’ Lalu malaikat-malaikat rahmat datang, mereka menggelar permadani ke surga dan kain dari surga, kuburnya dibentangkan sejauh mata memandang, sebuah lampu dari surga didatangkan sebagai penerangan sampai Allah membangkitkannya dari kuburnya.”

 

Dari Anas bin Malik bahwa Nabi bersabda,

 

“Sesungguhnya bila hamba diletakkan di dalam kuburnya lalu rekanrekannya meninggalkannya, hingga dia mendengar derap sandal mereka, dua malaikat mendatanginya dan mendudukkannya. Keduanya berkata kepadanya, “Apa yang engkau ketahui tentang laki-laki itu, Muhammad?’ Orang Mukmin akan menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa beliau adalah hamba Allah dan utusanNya.’ Maka keduanya berkata, ‘Lihatlah kepada tempat dudukmu di neraka, Allah telah menggantinya dengan tempat duduk di surga.’ Lalu dia melihat keduanya sekaligus. Sedangkan orang durjana atau munafik, dia ditanya, ‘Apa yang engkau ketahui tentang laki-laki itu?’ Dia menjawab, ‘Tidak tahu, aku hanya mengucapkan apa yang diucapkan oleh orang-orang.’ Maka dikatakan kepadanya, ‘Engkau tidak tahu dan engkau juga tidak membaca?’ Kemudian dia dipukul dengan godam besi di antara kedua telinganya, maka dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh segala sesuatu selain jin dan manusia,” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dalam ash-Shahihain juga dari hadits Asma binti Abu Bakar dari Nabi  bahwa beliau bersabda,

 

“Telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji dalam kubur kalian seperti atau beliau bersabda, mendekati fitnah al-Masih ad-Dajjal, ditanyakan, ‘Apa yang engkau ketahui tentang laki-laki itu?’ Orang Mukmin akan menjawab, ‘ Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba dan utusan Allah…’.” Al-Hadits dan seterusnya.

 

Dari Ibnu Abbas beliau berkata, “Manakala jenazah Sa’ad bin Mu’adz dikeluarkan dan kami meratakan tanah di atasnya, Rasulullah memandang kepada kami lalu bersabda,

 

“Tidak ada seorang manusia pun kecuali dia mendapatkan himpitan (ujian) dalam kuburnya, bila ada orang yang selamat darinya, maka orang itu adalah Sa’ad bin Mu’‘adz….”“ Al-Hadits.

 

Dari Abdullah ash-Shan’‘ani Zi beliau berkata, “Aku bertemu Yazid bin Harun dalam mimpi empat malam sesudah wafatnya, aku bertanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Dia menerima kebaikan-kebaikanku dan memaafkan kesalahan-kesalahanku.’ Aku bertanya, ‘Lalu apa sesudah itu?’ Dia menjawab, ‘Bukankah yang datang dari yang Mahamulia adalah kemuliaan, Dia mengampuni dosa-dosaku dan memasukkanku ke dalam surga.’ Aku bertanya, ‘Dengan apa engkau mendapatkan apa yang engkau dapatkan?’ Dia menjawab, ‘Majelis-majelis dzikir, aku menyuarakan kebenaran, aku jujur dalam berkata, aku shalat malam panjang dan kesabaranku dalam kemiskinan.’ Aku berkata, ‘Munkar dan Nakir itu haq adanya?’ Dia menjawab, ‘Ya, demi Allah yang tidak ada tuhan yang haq kecuali Dia, keduanya mendudukkanku dan bertanya kepadaku siapa tuhanmu, apa agamamu dan siapa nabimu? Aku mengibaskan jenggot putihku dari tanah, aku menjawab, ‘Orang sepertiku ditanya? Aku adalah Yazid bin Harun al-Wasithi, di dunia enam puluh tahun aku mengajar orang-orang.’ Maka salah satu dari keduanya berkata, ‘Dia berkata benar, dia Yazid bin Harun. Silakan tidur seperti pengantin, tidak ada ketakutan atasmu sesudah hari ini’.”

 

Al-Marrudzi berkata, “Aku bertemu Imam Ahmad bin Hanbal dalam mimpi di sebuah kebun dengan dua jubah kebesaran berwarna hijau, di kepalanya ada mahkota dari cahaya, tiba-tiba dia berjalan dengan cara yang tidak aku kenal sebelumnya. Aku berkata, ‘Wahai Ahmad, ini cara berjalan apa? Aku tidak pernah melihat engkau melakukannya sebelumnya?’ Dia menjawab, ‘Ini adalah berjalannya para pelayan di Darus Salam.’ Aku bertanya, ‘Lalu mahkota apa yang aku lihat di kepalamu itu?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Tuhanku memanggilku dan menghisabku,  dengan hisab yang mudah,’ Dia memberiku pakaian dan memberiku serta mendekatkanku sementara aku melihat kepadaNya, lalu Dia memasangkan mahkota ini, Dia berfirman kepadaku, ‘Wahai Ahmad, ini adalah mahkota kemuliaan yang Aku pasangkan kepadamu sebagaimana engkau telah berkata bahwa al-Qur’an adalah FirmankKu, bukan makhluk’.”

 

PASAL

 

KEADAAN MAYIT DARI WAKTU TIUPAN SANGKAKALA HINGGA MENETAP DI SURGA ATAU NERAKA

 

Kami telah menjelaskan kengerian alam kubur, dan lebih berat dari itu adalah tiupan sangkakala, kebangkitan, hisab, timbangan dan shirath (jembatan di atas Neraka Jahanam). Ini adalah peristiwa-peristiwa yang menakutkan yang wajib diimani dan patut dipikirkan panjang. Iman kepada Hari Akhir tidak bersemayam kokoh di hati kebanyakan orang. Seandainya seseorang tidak pernah menyaksikan reproduksi hewan, kemudian dikatakan kepadanya, “Ada pencipta yang menciptakan dari setetes air yang menjijikkan ini makhluk seperti bentuk manusia, berakal dan berbicara”, niscaya tabiatnya tidak akan membenarkannya. Pada penciptaannya yang mengandung berbagai keajaiban terlebih pada kebangkitan dan pengembaliannya. Bagaimana mungkin orang menyaksikan proses reproduksi dari awal bisa memungkiri hal itu berasal dari Kuasa dan Hikmah Allah? Bila imanmu lemah, maka kuatkanlah dengan melihat penciptaan pertama, karena penciptaan kedua sama sepertinya bahkan lebih mudah. Bila imanmu kuat, maka buatlah hatimu merasakan peristiwa-peristiwa menyeramkan itu, perbanyaklah bertafakur dan merenunginya, sehingga hal itu mendorongmu untuk bersungguh-sungguh dan menyingsingkan lengan baju (untuk beribadah).

 

Perkara pertama yang mengetuk telinga orang-orang mati adalah suara Israfil ketika meniup sangkakala. Bayangkan dirimu, terbangun terbelalak terkejut dan berjalan menuju panggilan. Allah berfirman,

 

“Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.” (Yasin: 51).

 

Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Bagaimana aku bisa menikmati (dunia) sementara petugas sangkakala sudah menundukkan keningnya dan menyiapkan pendengarannya, dia menunggu perintah meniup sangkakala, maka dia pun meniup?” Kaum Muslimin berkata, “Ya Rasulullah, apa yang harus kami ucapkan?” Beliau menjawab,

 

“Ucapkan, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.’ (Ali Imran: 173), dan kami bertawakal kepada Allah’ .”

 

Kemudian lihatlah bagaimana manusia dibangkitkan di Hari Kiamat, mereka digiring sesudah dibangkitkan dalam keadaan tidak beralas kaki dan telanjang menuju Padang Mahsyar, lembah yang tidak ada gundukan yang bisa dijadikan persembunyian oleh seseorang.

 

Dalam ash-Shahihain Nabi bersabda,

 

“Manusia akan dibangkitkan di Hari Kiamat di atas bumi yang putih beluim diinjak seperti tepung roti putih yang tak ada tanda bagi seorang pun padanya.”

 

Kemudian pikirkanlah berdesak-desakannya manusia, dekatnya matahari ke kepala mereka dan derasnya keringat ditambah dengan hati yang ketakutan. Dalam hadits disebutkan bahwa keringat setiap orang

 

“sesuai dengan kadar amalnya.”

 

Renungkanlah, wahai orang yang pantas dikasihani, tentang pertanyaan Tuhanmu kepadamu, tentang amal perbuatanmu tanpa perantara. Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Manusia akan dihadapkan di Hari Kiamat sebanyak tiga kali, dua kali yang pertama adalah perdebatan dan memberikan alasan (terhadap amal perbuatan). Untuk yang ketiga, lembaran-lembaran (catatan amal) beterbangan, ada yang mengambil dengan tangan kanannya dan ada yang mengambil dengan tangan kirinya.”

 

Dari Abu Barzah  beliau berkata, Rasulullah  bersabda,

 

“Kedua kaki seorang hamba tidak akan beranjak sehingga dia ditanya tentang umurnya, untuk apa dia menghabiskannya, tentang ilmunya, apa yang dia amalkan dengannya, tentang hartanya, dari mana dia mendapatkannya dan ke mana menginfakkannya, dan tentang tubuhnya untuk apa dia menggunakannya,

 

Dari Shafwan bin Muhriz, dia berkata, “Aku sedang memegang tangan Ibnu Umar ui, tiba-tiba seorang laki-laki menghadang, dia berkata, ‘Bagaimana engkau mendengar Rasulullah bersabda tentang perbincangan Allah dengan hambaNya di Hari Kiamat?’ Ibnu Umar menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mendekatkan orang Mukmin, Dia meletakkan samping Dirinya dan menutupinya dari orang-orang, lalu Dia menetapkan dosa-dosanya. Allah berfirman, ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini? Apakah engkau mengetahui dosa ini? Apakah engkau mengetahui dosa int?’ Hingga saat dia mengakui dosa-dosanya dan dia melihat dirinya celaka, Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menutupimu di dunia dan hari ini Aku mengampunimu.’ Kemudian buku kebaikannya diberikan kepadanya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, maka ‘Para saksi akan berkata, ‘Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka.’ Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang lalim.’ (Hud: 18).” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Juga dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Sa’id, dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sebuah jembatan dibentangkan di atas Jahanam, dan aku adalah orang pertama yang melewati.”

 

Dalam ash-Shahihain dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Jembatan didatangkan, lalu diletakkan di atas dua tebing Jahanam.” Orang-orang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu jembatan (yang dimaksud)?” Beliau menjawab, “(Jembatan) licin yang membuat orang yang melewatinya terpeleset, padanya terdapat pengait-pengait, penjepit-penjepit, dan besi-besj berduri, orang-orang beriman melewatinya seperti kedipan mata, seperti petir yang menyambar, seperti angin, seperti larinya kuda pilihan dan unta. Ada yang selamat dengan diselamatkan, ada yang selamat namun tergores, sehingga yang terakhir di antara mereka ditarik dengan tertatih-tatih.”

 

NERAKA JAHANAM -SEMOGA ALLAH MELINDUNGI KITA DARINYA

 

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, Suatu hari kami bersama Rasulullah, tiba-tiba kami mendengar suara benda jatuh, Nabi bertanya,

 

“Tahukah kalian apa itu?” Kami menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Itu adalah suara batu yang dilepaskan ke Jahanam tujuh puluh tahun yang lalu, sekarang ia sampai di dasarnya.” Diriwayatkan oleh Muslim.

 

Dalam ash-Shalihain dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Api kalian ini yang dinyalakan anak cucu Nabi Adam adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian api Neraka Jahanam.” Mereka berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah, ia sudah cukup membakar.” Beliau bersabda, “Api neraka itu ditambahkan lagi dengan enam puluh sembilan bagian, semuanya (masing-masing) seperti panasnya (api neraka).”

 

Dalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Hari itu Neraka Jahanam dihadirkan dengan tujuh puluh ribu tali kekang, setiap tali kekang diseret oleh tujuh puluh ribu malaikat.”

 

Dari Abu ad-Darda’, beliau berkata, “Kelaparan ditimpakan kepada penghuni neraka, ia setara dengan azab yang sedang mereka rasakan, lalu mereka melolong-lolong meminta makan, maka mereka diberi makan

 

 

“nohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (Al-Ghasyiyah: 6-7).

 

Lalu mereka melolong-lolong lagi, mereka diberi makan dengan makanan  “yang menyumbat di kerongkongan “(Al-Muzzammil: 13), lalu mereka teringat bahwa mereka mendorong makanan tersedak dengan minum, maka mereka meminta minum, maka mereka diberi minum air mendidih, dikirim kepada mereka dengan pengait-pengait dari besi, saat sudah dekat kepada mereka, ia ditumpahkan ke wajah mereka, manakala ia sudah masuk ke dalam perut mereka, ia memutuskan apa yang ada di dalam perut mereka, maka mereka meminta kepada para penjaga “Jahanam” agar

 

“mohonkanlah kepada Tuhan kalian supaya Dia meringankan azab dari kami barang sehari.” (Ghafir: 49),

 

maka mereka menjawab,

 

‘Dan apakah belum datang kepada kalian rasul-rasul kalian dengan membawa keterangan-keterangan?’ Mereka menjawab, ‘Benar, sudah datang’. Penjaga-penjaga Jahanam berkata, ‘Berdoalah kalian.’ Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.’ (Ghafir: 50).

 

Maka mereka berkata, ‘Mintalah kepada Malik,’ maka mereka berkata,

 

‘Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.’ Dia menjawab, ‘Kalian akan tetap tinggal (di neraka ini).’ (Az-Zukhrutf: 77),

 

maka mereka berkata,

 

‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya (dan kembalikanlah kami ke dunia), maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalim.’ (Al-Mu’minun: 107).

 

Maka Allah berfirman,

 

‘Allah berfirman, ‘Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kalian berbicara denganKu,’ (Al-Mu’minun: 108). Saat itu mereka tidak lagi berharap kebaikan apa pun, mereka mulai bernapas sengsara, berteriak menyesal dan celaka.”

 

Renungkanlah ular-ular dan kalajengking-kalajengking Neraka Jahanam. Dalam hadits disebutkan bahwa ular-ularnya adalah seperti leher unta yang panjang, sedangkan kalajengking-kalajengkingnya adalah seperti keledai-keledai yang berpelana.

 

Dari al-Hasan diriwayatkan bahwa api neraka memakan mereka tujuh puluh ribu kali, kemudian mereka kembali seperti sedia kala.

 

Ketahuilah bahwa keadaan dan pembicaraan tentang Jahanam sangatlah panjang, yang paling ringan semestinya sudah cukup untuk membuat takut. Bila engkau beriman kepada semua ini, maka bangunkanlah dirimu, takutlah kepada apa yang ada di depanmu, karena Allah tidak menggabungkan dua ketakutan pada seorang hamba. Maksud kami dengan takut bukan kecengengan kaum wanita, menangis sesaat Jalu tidak beramal, akan tetapi maksud kami adalah takut yang mengeremmu berbuat kemaksiatan dan mendorong kepada ketaatan. Adapun takut orang-orang dungu yang hanya sebatas mendengar hal-hal yang menakutkan lalu mereka berkata, “Kami memohon pertolongan kepada Allah, kami berlindung kepada Allah. Ya Rabbi, selamatkanlah.” Padahal mereka masih terus melakukan perbuatan-perbuatan buruk, setan mencemooh mereka sebagaimana dicemoohnya orang yang diserang hewan buas yang ganas sementara dia berada di samping benteng, namun dia tidak masuk ke dalam benteng dan tidak meninggalkan tempatnya dan hanya bergumam, “Aku berlindung kepada Allah darinya.”

 

PASAL

 

Jadilah engkau di dunia ini orang yang mencintai Rasulullah, bersungguh-sungguh dalam memuliakan Sunnah beliau, semoga beliau berkenan memberimu syafa’at di Hari Kiamat. Beliau mempunyai syafa’at yang dengannya beliau mendahului seluruh nabi, beliau memohon kepada Allah agar mengentaskan para pelaku dosa besar dari umat beliau., Perbanyaklah saudara-saudara dari kalangan orang-orang shalih, karena setiap Mukmin mempunyai syafa’at, janganlah kemuliaanmu membuatmu berleha-leha dan menamakannya berharap, karena siapa yang berharap sesuatu, dia (mesti) mencarinya. Jauhilah kezhaliman, karena barangsiapa masih tersangkut dengan hak orang lain dan dia mati sebelum mengembalikannya, maka para pemiliknya akan mengepungnya di Hari Kiamat, ini berkata, “Dia menzhalimiku.” Ini berkata, “Dia menghinaku.” Ini berkata, “Dia tetangga buruk.” Ini berkata, “Dia mencurangiku.” Maka tidak ada keselamatan dari tangan mereka, bila engkau membayangkan bebas, maka dikatakan,

 

“Tidak ada kezhaliman pada hari ini.” (Ghafir: 17).

 

Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Orang-orang beriman selamat dari api neraka di Hari Kiamat, mereka ditahan di sebuah jembatan di antara surga dan neraka, sebagian mereka menuntut hak yang belum terselesaikan di dunia dari sebagian lain, hingga saat mereka sudah dibersihkan dan disucikan, maka mereka diizinkan masuk surga.”

 

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,

 

“Tahukah kalian siapakah orang bangkrut di antara kalian?” Mereka menjawab, “Orang bangkrut dari kami adalah orang yang tidak mempunyat uang dan harta benda.” Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang di Hari Kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun dia datang dan sebelumnya pernah mencaci ini, menuduh yang ini (berbuat keji), makan harta ini (secara haram), menumpahkan darah ini dan memukul ini; maka (orang) ini mengambil dari kebaikannya, dan yang ini dari kebaikannya. Bila kebaikan-kebaikannya habis sebelum dia menunatkan apa yang harus ditunaikannya, maka kesalahan-kesalahan mereka diambil dan dipikulkan kepadanya, kemudian dia dimasukkan ke dalam neraka.”

 

Dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Hak-hak pasti ditunaikan kepada para pemiliknya di Hari Kiamat sampai hak domba tak bertanduk akan ditunaikan kepadanya dari domba bertanduk.”

 

Hadits-hadits ini seluruhnya ada dalam kitab-kitab shahih. Perhatikanlah, semoga Allah memberimu taufik, sejauh mana ketulusan amal kebaikanmu, karena ada kemungkinan ia rusak karena riya’~ dan gibah. Bila ia tulus maka lawanmu mengambilnya, maka bangunlah untuk dirimu, jangan membuang-buang waktumu. Orang bodoh adalah orang yang mementingkan kenikmatan sesaat dan membeli azab yang abadi. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan taufikNya.

 

SIFAT SURGA -SEMOGA ALLAH MEMBERIKAN KARUNIANYA UNTUK KITA

 

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, kami berkata,

 

“Wahai Rasulullah, sampaikan kepada kami tentang surga, dari apa bangunannya?” Beliau menjawab, “Bata emas, bata perak, adukannya adalah misk yang sangat harum, kerikilnya adalah yaqut dan batu mutiara, tanahnya adalah za’ faran, barangsiapa memasukinya, maka dia mendapatkan kenikmatan dan tidak akan pernah sengsara, kekal tidak mati, bajunya tidak pernah usang, dan usia mudanya tidak akan fana,”

 

Dalam hadits Usamah bin Zaid, dari Nabi, bahwa suatu hari beliau menyinggung tentang surga, lalu beliau bersabda,

 

“Adakah orang yang menyingsingkan lengan bajunya untuk (meraih) nya? Ia demi Tuhan Ka’bah, adalah tumbuh-tumbuhan yang berbau harum, cahaya yang bersinar, sungai yang mengalir, istri yang tidak mati, dalam kebahagiaan dan kenikmatan, dan tempat tinggal yang abadi.” Mereka berkata, “Kami adalah orang-orang yang menyingsingkan lengan baju untuk (menggapai)nya wahai Rasulullah.” Nabi menjawab, “Ucapkanlah, ‘Insya Allah’ “

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah  bahwa beliau berkata,

 

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Aku menyiapkan bagi hambahambaKu yang shalih: kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik dalam hati manusia’.”

 

Dalam ash-Shahihain juga dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,

 

“Golongan pertama yang masuk surga dalam rupa rembulan di malam purnama, kemudian orang-orang sesudah mereka dalam rupa bintang yang bersinar sangat terang di langit; mereka tidak kencing, tidak buang hajat besar, tidak meludah, tidak berdahak, sisir-sisir mereka adalah emas, aroma mereka adalah misk, asap wewangian mereka adalah dari gaharu, istri-istrt mereka adalah al-hur al-‘in, dalam rupa laki-laki yang sebaya, dalam bentuk bapak manusia, Adam, dengan tinggi enam puluh hasta.”

 

Dalam riwayat lain,

 

 

“Setiap dari mereka mempunyai dua istri, tulang betis keduanya terlihat dari balik daging karena keindahannya, tidak ada perselisihan dan kebencian di antara mereka, hati mereka seperti hati yang satu, mereka bertasbih (memuji dan menyucikan Nama) Allah pagi dan petang.”

 

Dari Abu Musa al-Asy’ari berkata, Rasulullah bersabda, 

 

“Ada dua surga dari perak; bejana keduanya dan berikut isinya, dan ada dua surga dari emas; bejana keduanya dan berikut isinya. Antara mereka dengan melihat Tuhan mereka hanyalah jubah kesombongan di depan WajahNya di Surga ‘Adn.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Musa juga dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kemah dari mutiara yang berongga, luasnya enam puluh mil, di setiap sudut darinya ada keluarga namun mereka tidak melihat yang lain, orang Mukmin berkeliling mengunjungi mereka,”

 

Ketahuilah, bahwa nikmat surga disebutkan secara terperinci oleh Allah di banyak ayat al-Qur’an, kemudian Allah mengumpulkannya di beberapa ayat, di antaranya adalah Firman Allah,

 

“Di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata.” (Az-Zukhruf: 71).

 

Juga Firman Allah  “Mereka tidak ingin berpindah darinya.” (Al-Kahfi: 108).

 

Kemudian Allah menambahkan di atas itu dengan FirmanNya,

 

“Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata.” (As-Sajdah: 17).

 

Sifat-sifat surga masih banyak, kami merasa cukup dengan apa yang telah kami sebutkan. Nikmat tertinggi di surga adalah melihat Allah. Dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ditanya,

 

“Wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita?” Beliau menjawab, “Apakah kalian perlu berdesak-desakan untuk melihat rembulan di malam purnama tanpa awan?” Mereka menjawab, ” Tidak.” Beliau bersabda, ” Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti itu.”

 

Bab

LUASNYA RAHMAT ALLAH

 

Kami menutup kitab ini dengan memaparkan luasnya rahmat Allah dengan harapan kita mendapatkan karuniaNya, karena kita tidak memiliki amalan yang dengannya kita layak berharap maaf, akan tetapi kita berharap rahmat dan kemurahan Allah.

 

Allah  berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.’ Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az-Zumar: 53).

 

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Manakala Allah menyelesaikan penciptaan makhluk, Dia menulis dalam sebuah kitab dan ia ada di sisiNya di atas Arasy, ‘Sesungguhnya rahmatKu mengalahkan murkaKu’.”

 

Diriwayatkan dalam ash-Shahihain. Dari Abu Hurairah dari Nabi  bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mempunyai seratus rahmat, Allah menurunkan darinya satu rahmat di antara manusia, jin, hewan melata dan binatang; dengannya mereka saling mengasihi, dengannya mereka saling menyayangi, dan dengannya hewan buas mengasihi anaknya, sementara Allah menunda yang sembilan puluh sembilan, dengannya Allah menyayangi hamba-hambaNya (yang Mukmin) di Hari Kiamat.”

 

Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Pengasih; barangsiapa ingin melakukan suatu kebaikan lalu dia tidak melakukannya, maka ditulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya, maka ditulis baginya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat. Dan barangsiapa ingin melakukan suatu keburukan lalu dia tidak melakukannya, maka ditulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya, maka ditulis baginya satu keburukan atau Allah menghapusnya. Dan tidak ada yang celaka atas Allah kecuali orang yang benar-benar celaka.”

 

Dari Abu Dzar, beliau berkata, Rasulullah bersabda, Allah berfirman,

 

“Barangsiapa melakukan satu kebaikan, maka baginya sepuluh kelipatannya atau Aku tambahkan. Barangsiapa melakukan suatu keburukan, maka ‘balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.’ (Asy-Syura: 40), atau Aku mengampuni. Barangsiapa mendekat kepadaKu satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Barangsiapa mendekat kepadaKu satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu depa. Barangsiapa datang kepadaKu dengan berjalan biasa, maka Aku datang kepadanya dengan berjalan cepat.”

 

Dari Abu Hurairah  dari Nabi bahwa beliau bersabda, 

 

“Bahwa ada seorang hamba melakukan suatu dosa, dia berkata, ‘Ya Rabbi, aku melakukan dosa, ampunilah aku.’ Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘HambaKu mengetahui bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan membalasnya, Aku telah mengampuni hambaKu.’ Waktu berlalu sesuai dengan kehendak Allah, lalu hamba itu melakukan dosa lagi, dia berkata, ‘Ya Rabbi, aku melakukan dosa, ampunilah aku.’ Allah berfirman, ‘HambaKu mengetahui bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan membalasnya, Aku telah mengampuni hambaKu.’ Waktu berlalu sesuai dengan kehendak Allah, hamba itu melakukan dosa lagi, dia berkata, ‘Ya Rabbi, aku melakukan dosa, ampunilah aku.’ Allah berfirman, ‘HambaKu mengetahui bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa; Aku menjadikan kalian sebagai saksi bahwa sesungguhnya Aku mengampuni hambaKu, maka silakan dia melakukan apa yang dia kehendaki’.”

 

Semua hadits ini adalah hadits-hadits yang shahih.

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Umar bin al-Khaththab, beliau berkata,

 

“Para tawanan digiring kepada Rasulullah, dan di antara mereka ada seorang wanita yang berjalan berkeliling, lalu dia melihat seorang anak kecil, maka dia mengambilnya dan mendekapkannya ke perutnya, lalu dia menyusuinya, maka Rasulullah bersabda, ‘‘Menurut kalian apakah ibu itu akan (tega) membuang anaknya ke dalam api?’ Kami menjawab, ‘Demi Allah, tidak.’ Rasulullah bersabda, ‘Sungguh, Allah lebih sayang kepada hamba-hambaNya daripada ibu itu kepada anaknya’.””

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Dzar dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Tidaklah seorang hamba mengucapkan, ‘La ilaha illallah,’ kemudian dia mati di atas itu, kecuali dia masuk surga.” Maka aku berkata, “Sekalipun dia berzina dan mencuri?” Rasulullah menjawab, “Sekalipun dia berzina _ dan mencuri, sekalipun dia berzina dan mencuri, sekalipun dia berzina dan mencuri,” dan pada kali keempat, Nabi bersabda, “Sekalipun Abu Dzar tidak menyukainya. “

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Itban bin Malik, dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi neraka siapa yang mengucapkan, ‘La ilaha illallah,’ yang dengan itu dia mencari Wajah Allah.”

 

Dalam ash-Shahihain dari hadits Anas bin Malik dari Nabi bahwa beliau bersabda,

 

“Akan keluar dari neraka siapa saja yang mengucapkan, ‘La ilaha illallah,’ sementara dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji jawawut, akan keluar dari neraka siapa yang mengucapkan, ‘La ilaha illallah,’ sementara dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji gandum, dan akan keluar dari neraka siapa yang mengucapkan, ‘La ilaha illallah,’ sementara dalam hatinya terdapat kebaikan seberat sebiji zarah.”

 

Dari Abu Musa berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Di Hari Kiamat, tidak ada seorang Mukmin pun kecuali orang Yahudi atau Nasrani dihadirkan dan diserahkan kepadanya seraya dikatakan, ‘ Ini adalah tebusanmu dari api neraka’.”

 

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah memanggil seorang laki-laki dari umatku di depan seluruh manusia di Hari Kiamat, lalu Dia membentangkan senibilan puluh sembilan lembar catatan amal, satu lembarnya sejauh mata memandang, Allah berfirman, ‘‘Adakah engkau mengingkari sesuatu dari ini. Apakah para malaikat pencatatKu menzhalimimu?’ Dia menjawab, ‘Tidak, ya Rabbi.’ Allah bertanya, ‘Apakah engkau memiliki alasan atau kebaikan?’ Laki-laki itu terdiam, dia menjawab, ‘Tidak, ya Rabbi.’ Allah berfirman, ‘Ada, engkau mempunyai satu kebaikan di sisi Kami. Tidak ada kezhaliman atasmu hari ini.’ Maka Allah mengeluarkan sebuah kartu yang berisi, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.’ Allah berfirman, ‘Hadirilah timbanganmu.’ Laki-laki itu berkata, ‘Apa yang bisa dilakukan oleh kartu ini di depan lembaran-lembaran itu?’ Dikatakan kepadanya, ‘Engkau tidak dizhalimi.’ Lalu lembaran-lembaran itu diletakkan di satu daun timbangan dan kartu itu diletakkan di daun timbangan yang lain, maka lembaran-lembaran itu terangkat dan kartu tersebut berat, dan tidak ada sesuatu pun yang bisa lebth berat di depan Nama Allah.”

 

Al-Fudhail bin Iyadh és melihat kepada lantunan tasbih (dzikir) dan tangisan orang-orang di hari Arafah, maka beliau berkata, “Bagaimana menurut kalian, seandainya ada seorang laki-lakidatang kepada _ mereka meminta satu danig,” apakah mereka menolaknya?” Mereka menjawab, “Tidak.” Maka beliau berkata, “Demi Allah, ampunan di sisi Allah lebih murah daripada pemberian satu danig oleh seseorang dari mereka kepada peminta.”

 

Dari Ibrahim bin Ad-ham il, beliau berkata, “Suatu malam yang gelap dan hujan, aku thawaf, aku terus thawaf sampai waktu sahur, kemudian aku mengangkat kedua tanganku ke langit, aku berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu agar menjagaku dari semua yang Engkau benci.’ Tiba-tiba aku mendengar suara di angkasa, ‘Engkau meminta penjagaan (agar tidak berbuat dosa)? Semua makhlukKu memintanya, bila Aku menjagamu (hingga engkau tidak melakukan kesalahan) lalu kepada siapa Aku memberikan karunia (ampunan)?”

 

Hadits-hadits ini ditambah dengan apa yang kami sebutkan dalam Kitab Pengharapan memberikan berita gembira kepada kita berupa kemurahan Allah, luasnya rahmat, dan kedermawananNya. Kita berharap kepada Allah agar tidak memperlakukan kita sesuai dengan apa yang berhak untuk kita, dan agar membcrikan karuniaNya kepada kita yang sesuai dengan kemurahanNya. Kita memohon ampun kepada Allah dari kata-kata kita yang tidak sesuai dengan perbuatan-perbuatan kita, dari segala kepura-puraan yang kita buat di depan manusia, setiap ilmu dan amal yang tujuannya adalah manusia, kemudian ia dicampuri oleh apa yang mengeruhkannya. Kita memohon kemurahanNya dengan kemurahanNya, kita memohon karuniaNya dengan karuniaNya, sesungguhnya Allah  “amat dekat (rahmatNya) lagi memperkenankan (doa hambaNya).” (Hud: 61).  “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 45), dengan pujian yang banyak, baik, dan penuh berkah, sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Tuhan kami,” sebagaimana yang sesuai dengan kemuliaan WajahNya. Shalawat dan salam yang banyak kepada Sayyidina Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau sampai Hari Kiamat.