Kitab Mutammimah Jurumiyah Dan Terjemah [PDF]

بسم الله الرحمن الرحيم
dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
segala puji bagi Allah dan sholawat dan salam semoga atas junjungan kita Muhammad dan atas keluarganya dan sahabatnya semuanya

 وبعد فهذه مقدمة في علم العربية متممة لمسائل الأجرومية
dan setelah itu, lalu ini adalah subuah pembuka dalam ilmu bahasa arab yang menyempurnakan masalah-masalah al-jurumiyah

تكون واسطةً بينها وبين غيرها من المطولات
yang menjadi perantara antara jurumiyah dan antara kitab kitab yang besar

نفع الله بها كما نفع بأصلها في الحياة وبعد الممات
semoga Allah memberi manfaat terhadap kitab ini seperti Allah memberi manfaat terhadap aslinya di kehidupan dan setelah mati

الكلام هو اللفظ المفيد بالوضع 
kalam adalah lafadz yang memberi faidah dalam peletakan

واقل ما يتألف من اسمين نحو: زيد قائم او من فعل واسم نحو قام زيد
kalam yang paling sedikit itu tersusun dari dua isim, seperti zaidun qoimun. atau dari fiil dan isim seperti qoma zaidun

والكلمة قول مفرد وهي اسم وفعل وحرف
kalimat adala ucapan yang mufrad yaitu isim, fiil dan huruf

فالاسم يعرف بالإسناد إليه، وبالخفض وبالتنوين وبدخول الألف واللام وحروف الجر 
isim bisa diketahui dengan isnad ilaih, jer, tanwin, masuknya alifa dan lam da huruf jer

والفعل يعرف بقد والسين وسوف وتاء التأنيث
fiil bisa diketahui dengan qod sin saufa dan ta’ ta’nis

وهو ثلاثة أنواع: ماضٍ ويعرف بتاء التأنيث الساكنة نحو: قامت وقعدت 
dan fiil itu tiga macam: madli dan bisa diketahui dengan ta ta’nis seperti qomat dan qoadat

ومنه نعم وبئس وليس وعسى على الأصح
dan termasuk madli itu ni’ma, bi’sa, laisa dan asa menurut pendapat yang lebih ashoh

ومضارع يعرف بدخول لم عليه نحو لم يقمْن
dan mudlori’ itu bisa diketahui dengan masuknya lam seperti lam yaqumna

ولابد في أوله من إحدى الزوائد الأربع وهي: الهمزة والنون والياء والتاء، يجمعها قولك: نأيت
dan harus di awal mudlori terdapat salah satu tambahan empat: yaitu hamzah, nun, ya’ dan ta’ yang terkumpulkan dalam ucapanmu: na’aitu

ويضم أوله إذا كان ماضيه على أربعة أحرف؛ دحرج يُدحرج، أكرم يُكرم وفرّح ُيفرح، وقاتل يُقاتل
dan awal mudlori’ didlommah jika madlinya itu empat huruf seperti dakhroja yudakhriju, akrama yukrimu, farraha yufarrihu, qotala yuqotilu

ويفتح في ما سوى ذلك، نحو نصر يَنصر، وانطلق ينطلق، واستخرج يستخرج
dan difathah selain tersebut seperti nasoro yansuru, intolaqo yantoliqu, istakhroja yastakhriju

وأمر يعرف بدلالته على الطلب وقبوله ياء المخاطبة المؤنثة نحو: قومي واضربي
dan amar bisa diketahui dengan maknanya terhadap permintaan dan perimaanya ya’ muannas mukhatabah seperti qumi idrribi 

ومنه هات وتعال على الأصح
dan termasuk amar adalah hata dan taala menurut pendapat yang lebih shohih

والحرف ما لا يصلح معه دليل الاسم ولا دليل الفعل كهل وفي ولم
dan huruf itu kalimat yang tidak layat dalil isim dan dalil fi’il bersamanya seperti hal, fi dan lam

 

Definisi I’rab

 

I’rab adalah perubahan akhir kata karena.berbagai amil yang masuk padanya, baik perubahan itu secara lafzhi atau tagdiri. Contoh:

  1. Perubahan akhir kata secara lafzhi

    – Zaid telah membaca Algur-an.

    — Saya melihat Zaid sedang berdiri.

     – Saya bertemu Zaid di mesjid.

  1. Perubahan akhir kata secara tagdiri

   – Pemuda takut kepada Tuhannya.

   — Saya melihat pemuda sedang berpidato.

   – Saya kagum dengan pemuda yang giat.

 

Macam-macam P’rab dan Pembagiannya

 

Macam-macam I’rab itu ada empat, yaitu Rafa’, Nashab, Jer dan Jazam. Prab-i’rab tersebut yang bisa masuk pada isim hanya tiga, yaitu Rafa”, Nashab dan Jer. Sedangkan Y’rab Jazam, tidak bisa masuk pada isim. Adapun I’rab-i’rab yang bisa masuk pada fiil, juga ada tiga, yaitu Rafa’, Nashab dan Jazam. Sedangkan I’rab Jer, tidak bisa masuk pada fil.

Contoh

 

Definisi Bina’ dan Macam-macamnya

 

Bina’ (mabni) adalah tetapnya keadaan akhir kata dalam harakat atau sukun (jika akhir suatu kata itu diharakati dhammah, maka selamanya harus didhammah, tidak bisa dikasrah, difathah atau disukun, sekalipun dimasuki amil yang berbeda-beda).

 

Macam-macam Bina” (mabni) ada empat, yaitu:

 

  1. Dhammah, contoh .
  2. Fathah, contoh:
  3. Kasrah, contoh:
  4. Sukun, contoh:

 

Isim yang Mu’rab dan Isim yang Mabni

 

Isim ada dua bagian:

  1. Isim Mu’rab, yaitu hukum isim yang asli. Isim mu’rab adalah isim yang huruf akhirnya bisa berubah-ubah akibat amil-amil yang masuk padanya, baik secara lafzhi, seperti: dan atau secara  taqdiri (perkiraan), seperti kata  dan :

 

  1. Isim Mabni, yaitu hukum isim yang tidak asli (cabang). Isim mabni adalah isim yang huruf terakhirnya tidak bisa berubah-ubah, meskipun ada berbagai amil yang masuk padanya. Sebagaimana:
  2. Isim Dhamir Muttasil dan Munfashil, seperti:
  3. Isim Syarat, seperti:
  4. Isim Istifham, seperti:
  5. Isim Isyarah, seperti:
  6. Isim Fiil, seperti:
  7. Isim Maushul, seperti:

 

Isim yang Dimabnikan

Di antara isim yang mabni itu ada yang mabni sukun, seperti    mabni fathah, seperti:   : mabni kasrah, seperti:    mabni dham, seperti:   Pada dasarnya, mabni itu adalah mabni

 

Fiil yang Mu’rab dan Fiil yang Mabni

 

Fiil itu ada dua macam, yaitu: 1. Fiil Mabni, ia adalah hukum asli fiil: dan 2 Fiil Mu’rab, ia adalah hukum tidak asli fiil (cabang). Fiil yang Mabni

 

Fiil yang mabni ada dua macam, yaitu:

  1. Fiil Madhi. Ia dimabnikan fat-hah, kecuali jika bertemu dengan wawu jamak, maka ia dimabnikan dhammah. Contoh: Atau jika bertemu dengan dhamir rafa’ mutaharrik. Contoh:. lain-lain.

 

  1. Fiil Amar. Ia dimabnikan sukun. Contoh: dan. . Kecuali jika bertemu dengan dhamir tatsniyah, dhamir jamak dan dhamir mu’annats mukhathabah, maka dimabnikan membuang nun (  ).

Contoh:

    asalnya  

     asalnya

    asalnya

 

Jika berupa fiil yang mu’tal?, maka dimabnikan membuang huruf illat.

Contoh:

     asalnya     dari fiil madhi

     asalnya      dari fill madhi

     asalnya.     dari fiil madhi

 

Fiil yang Mu’rab

 

Fiil yang mu’rab adalah fil mudhari’ dengan syarat tidak bertemu secara langsung dengan nun jamak mu ‘annats dan tidak bertemu dengan nun taukid.

Contoh:

    — Dia (laki-laki) memukul.

    — Dia (laki-laki) takut (khawatir).

 

Apabila fiil mudhari’ itu bertemu secara langsung dengan nun jamak mu’annats, maka dihukumi mabni dan dimabnikan sukun. Contoh:

 

Apabila fiil mudhari’ itu bertemu dengan nun taukid, maka dihukumi mabni dan dimabnikan fat-hah. Contoh:

 

Alasan fiil mudhari” bisa Mu’rab

 

Fiil mudhari’ bisa dihukumi mu’rab, disebabkan menyamai isim’”.

 

Hukum Kata Huruf (Partikel)

 

Adapun kata huruf, maka semuanya adalah mabni. Mabninya huruf itu adakalanya sukun, seperti:    adakalanya dhammah, seperti:  ,  , adakalanya fat-hah, seperti:  , dan adakalanya kasrah, seperti: 

 

 

I’rab Rafa’ itu mempunyai empat tanda, yaitu: Dhammah ( ) | merupakan tanda asli, Wawu ( ), Alif (  ) dan Nun (.  ). Wawu. alif dan nun itu merupakan pengganti dhammah.

 

Tempat Tiap-tiap Tanda

 

  1. Dhammah

Dhammah menjadi tanda Prab Rafa” bertempat pada empat tempat, yaitu:

  1. Isim Mufrad, baik yang munsharif maupun ghairu munsharif. Contoh:

 

  1. Jamak Taksir, baik yang munsharif maupun ghairu munshanif. Contoh:

 

  1. Jamak Mu’annats Salim atau yang disamakan dengannya. Contoh:

 

  1. Fiil Mudhari yang akhirnya tidak bertemu sesuatu. Contoh:

 

  1. Wawul (. )

 

  1. Dhammah “

Dhammah menjadi tanda I’rab Rafa” bertempat pada empat tempat, yaitu:

  1. Isim Mufrad, baik yang munsharif maupun ghairu munsharif. Contoh:

 

  1. Jamak Taksir, baik yang munsharif maupun ghairu munshanif. Contoh:

 

  1. Jamak Mu’annars Salim atau yang disamakan dengannya. Contoh:

 

  1. Fiil Mudhari yang akhirnya tidak bertemu sesuatu. Contoh:

 

  1. Wawu

 

Wawu ( ) menjadi tanda i ‘rab rafa’ itu bertempat pada dua tempat, yaitu:

  1. Jamak Mudzakkar Salim, dan yang serupa dengannya. Contoh:

– Dan hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman.

 

Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian.

 

  1. Al-Asma’ As-Sirtah, yaitu Abuuka, Akhuuka, Hamuuka, Fuuka, Hanuuka dan Dzu maalin. Contoh dalam kalam:

Berkata ayah mereka

 

Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya lebih dicintai ayah kami.

 

Mertuamu telah datang.

 

Ini mulutmu.

 

Itu imanmu.

 

Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan.

 

  1. Alif

Alif (  ) menjadi tanda i’rab rafa’ bertempat pada Isim Tatsniyah. dan yang disamakan dengannya.

Contoh:

— Dua orang laki-laki telah berkata. 

 

– Sesungguhnya bilangan pada sisi Allah adalah 12 bulan.

 

-Lalu memancarlah darinya 12mata air.

 

  1. Nun (. )

Nun () menjadi tanda i’rab Rafa’ bertempat pada Fiil M udhari ‘ yang bersambung dengan:

 

  1. Alif Tatsniyah Contoh:

 

  1. Wawu Jamak. Contoh:

 

  1. Ya’ Mu’annats Mukhathabah. Contoh:

 

BAGAN

 

 

Penjelasan Istilah Penting Isim Mufrad adalah isim yang kandungan maknanya satu, seperti:             sebuah rumah.

 

Isim Tatsniyah adalah isim yang kandungan maknanya dua, dengan ada tambahan Alif dan Nun (.  ) atau ya’ dan Nun (.  ) seperti:  — dua buah kitab.

 

Jamak Taksir adalah isim yang kandungan maknanya lebih dari dua (banyak) dan bentuknya berubah dari bentuk mufradnya, seperti: jamak dari   

 

Jamak Mudzakkar Salim adalah isim yang menunjukkan arti laki-laki lebih dari dua (banyak) dengan tambahan Wawu dan Nun (. ) atau           Ya’ dan Nun (. ), seperti:     jamak dari     

 

Jamak Mu ‘annats Salim adalah isim yang menunjukkan arti perempuan lebih dari dua (banyak) dengan tambahan Alif dan Ta’ (.  ) ,   seperti:   .

 

Asmaul Khamsah, artinya isim lima, yaitu          

 

Af’alul Khamsah, artinya fiil lima, yaitu fiil Mudhari’ yang bersambung dengan Alif Tatsniyah. Wawu Jamak, dan Ya’ Mu ‘annats Mukhathabah.

 

Contoh:

 

I’rab Nashab itu mempunyai lima tanda, yaitu: Fat-hah, merupakan tanda asli. Alif, Kasrah, Ya’ dan membuang Nun. Empat tanda terakhir ini sebagai pengganti Fat-hah.

 

Tempat Tiap-tiap Tanda

 

  1. Fat-hah

Fat-hah menjadi tanda i’rab nashab itu bertempat pada tiga tempat, yaitu:

 

  1. Isim Mufrad, baik yang munsharif maupun yang ghairu munsharif. Contoh:

 

  1. Jamak Taksir, baik yang munsharif maupun yang ghairu munsharif. Contoh:

 

c, Fiil Mudhari’ yang dimasuki amil nashab dan tidak bersambung dengan alif, wawu atau ya’ mu’annats mukhathabah. Contoh: :

 

  1. alif

 

Alif  menjadi tanda I’rab Nashab bertempat pada Al-Asma’ As-Sittah. Contoh:      dan

 

  1. Kasrah

Kasrah menjadi tanda I’yab Nashab sebagai ganti fat-hah, bertempat pada Jamak Mu ‘annars Salim dan yang disamakan dengannya. Contoh:         dan

 

  1. Ya (. )

 

Ya’ (  ) menjadi tanda I’rab Nashab itu bertempat pada dua tempat, yaitu:

  1. Isim Tatsniyah dan yang disamakan dengannya. Contoh: dan

 

  1. Jamak Mudzakkar Salim, dan yang disamakan dengannya. Contoh: dan

 

  1. Membuang Nun (. )

 

Membuang Nun () (. ) menjadi tanda I’rab Nashab itu bertempat pada Af’alul Khamsah. Contoh:    

            — Melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat.

 

   — Dan berpuasa lebih baik bagi kalian dan.  .

 

Keterangan:

Kata  itu asalnya   , karena ia berkedudukan nashab, dinashabkan amil nashab , maka nunnya dibuang sebagai tanda I’rab Nashab.

 

Kata    itu asalnya     , karena ia berkedudukan nashab, dinashabkan amil nashab  , maka nunnya dibuang sebagai tanda I’rab Nashab. 

 

Kata   itu asalnya     , karena berkedudukan nashab, dinashabkan amil nashab  . maka nun/  nya dibuang sebagai tanda I’rab Nashab.

 

I’rab Jer itu mempunyai tiga tanda, yaitu: Kasrah sebagai tanda yang asli, ya’ dan fat-hah, dua tanda yang terakhir ini sebagai pengganti kasrah.

 

Tempat Tiap-tiap Tanda

 

  1. Kasrah Kasrah menjadi tanda I’rab Jer bertempat pada tiga tempat, yaitu:
  2. Isim Mufrad yang munsharif.

 Contoh:     dan   

  1. Jamak Taksir yang munsharif.

Contoh:

  1. Jamak Mu’annats Salim, dan yang disamakan dengannya.

 Contoh:     dan   

 

  1. Ya’

 

Ya’ (    ) menjadi tanda I’rab Jer itu bertempat pada tiga tempat, yaitu:

  1. Al-Asmaus Sittah,

contoh:

  1. Isim Tatsniyah, dan yang disamakan dengannya,

contoh:       dan

  1. Jamak Mudzakkar Salim, dan yang disamakan dengannya.

Contoh:

 

  1. Fat-hah

 

Fat-hah menjadi tanda I’rab Jer itu bertempat pada isim yang tidak menerima tanwin, baik isim mutrad atau jamak taksir. Contoh:

 

   = Dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim dan Ismail 

 

   =Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik.

 

            = Dari gedung-gedung yang tinggi

 

Kecuali apabila isim yang tidak menerima tanwin tersebut diMudhafkan atau dimasuki Al (    ), maka ditandai dengan kasrah Contoh:

 

   = Dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

   = Sedangkan kalian beriktikaf di dalam mesjid.

 

I’rab Jazam itu mempunyai dua tanda, yaitu sukun, sebagai tanda asli dan membuang, sebagai tanda pengganti sukun.

 

Tempat Tiap-tiap Tanda

 

  1. Sukun Sukun menjadi tanda I’rab Jazam bertempat pada Fiil Mudhari’ yang sahih akhirnya, yang tidak bersambung dengan sesuatu. Contoh:

 

 “Dan Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak seorang pun yang setara dengan Dia”.

 

  1. Membuang

 

Membuang menjadi tanda I’rab Jazam itu bertempat pada dua tempat, yaitu:

  1. Fiil Mudhari’ yang huruf terakhirnya berupa huruf illat. Huruf illat itu adalah Alif, Wawu dan Ya’. Contoh:

  — Dan tidak takut (kepada siapa pun), selain kepada Allah.

 

   = Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah.

 

   — Dan barangsiapa yang ditunjukkan Allah.

 

  1. Fi’il yang ketika rafa’ ditandai dengan Nun (AP’alul Khamsah). Contoh:

            — Jika kamu berdua bertobat.

 

            — Jika kalian bersabar dan bertawakal.

 

    = Dan janganlah kamu khawatir dan    Janganlah (pula) bersedih hati.

 

Penjelasan:

Kata     dalam kalimat    bentuk asalnya adalah    , kemudian Alif (.   )nya dibuang sebagai tanda I’rab Jazam.

 

Kata     dalam kalimat    , bentuk asalnya adalah      kemudian Wawu (.   )nya dibuang sebagai tanda I’rab Jazam .

 

Kata      dalam kalimat     bentuk asalnya adalah       kemudian Ya’ (     ) nya dibuang sebagai tanda I’rab Jazam.

 

Kata  dalam kalimat    , bentuk asalnya adalah    , kemudian Nun (    )nya dibuang sebagai tanda I’rab Jazam, karena ia fiil mudhari’ yang bertemu dengan alif tatsniyah.

 

Kata    dalam kalimat     , bentuk asalnya adalah     , kemudian Nun (.  )nya dibuang sebagai tanda I’rab Jazam, karena ia fi’il mudhari’ yang bersambung dengan Wawu (.   ) jamak.

 

Kata   dalam kalimat      bentuk asalnya adalah      kemudian Nun (.   )nya dibuang, sebagai tanda I’rab Jazam, sebab ia berupa fiil mudhari’ yang bersambung dengan ya (.    ) mu’annats mukhathabah.

 

 

Semua kata yang mu’rab, yang telah disebutkan di atas, terbagi menjadi dua bagian, sebagian dii’rab dengan harakat dan sebagian lagi dii’rab dengan hurut.

 

Kata yang Tanda I’rabnya Menggunakan Harakat

 

Kata yang tanda i’rabnya menggunakan harakat itu add empat, yaitu:

  1. Isim Mufrad
  2. Jamak Taksir.
  3. Jamak Mu’annats Salim.
  4. Fiil Mudhari’ yang huruf terakhirnya tidak bertemu sesuatu.

 

Semua kata tersebut ketika rafa’ ditandai dengan dhammah, nashab dengan fat-hah, jer dengan kasrah dan dijazamkan dengan tanda sukun.

 

Ada tiga hal yang dikecualikan dari ketentuan tanda i’rab tersebut di atas, yaitu:

  1. Isim yang tidak menerima tanwin (ghairu munsharif), baik berbentuk mufrad atau jamak taksir. Isim itu ketika jer ditandai dengan fat-hah, selama tidak mudhaf dan tidak dimasuki al ( ).
  2. Jamak Mu’annats Salim, ketika nashab ditandai dengan kasrah.
  3. Fiil Mudhari’ yang huruf terakhirnya berupa huruf illat, ketika jazam ditandai dengan membuang huruf illat itu.

 

Kata yang Tanda I’rabnya Menggunakan Huruf 

 

Kata yang tanda I’rabnya menggunakan huruf ada empat, yaitu:

  1. Isim Tatsniyah dan yang disamakan dengannya.
  2. Jamak Mudzakkar Salim dan yang disamakan dengannya.
  3. Al-Asma’ As-Sittah.
  4. Al-Amtsilah Al-Khamsah (Al-Af’al Al-Khamsah).

 

I’rab Isim Tatsniyah

 

Adapun Isim Tatsniyah ketika rafa?, ditandai dengan huruf alif’, ketika nashab dan jer ditandai dengan ya’ yang huruf sebelumnya difat-hah dan sesudahnya dikasrah.

 

Isim yang disamakan dengan Isim Tatsniyah

 

Kata-kata yang disamakan dengan Isim Tatsniyah adalah:     dan    untuk    dan    , disyaratkan mudlaf-pada dhamir. Contoh:

 

Apabila kata    dan   dimudhafkan pada isim zhahir, maka memakai alif dalam tiga keadaan (rafa”, nashab dan jer), dan tanda i’rabnya berupa harakat yang diperkirakan ada pada alif. Contoh:

 

I’rab Jamak Mudiakkar Salim

 

Jamak Mudzakkar Salim itu ketika rafa” ditandai dengan wawu, ketika nashab dan jer ditandai dengan ya’, yang huruf sebelum ya’ dikasrah dan sesudahnya difat-hah.

 

Kata yang disamakan dengan jamak mudzakkar Salim

 

Kata yang disamakan dengan Jamak Mudzakkar salim adalah :

 

Contoh dalam kalimat:

 

I’rab Al-Asma’ As-Sittah

 

Al-Asma’ As-Sittah ketika rafa’ ditandai dengan Wawu, Nashab dengan Alif, dan Jer dengan ya’ dengan syarat :

 

  1. Mudhat. Contoh:

 

Apabila mandiri (tidak mudhat), maka tanda I’rabnya menggunakan harakat yang jelas. Contoh:

 

  1. Tidak mudhaf pada ya”. Apabila mudhaf pada ya”, maka tanda i’rabnya berupa harakat yang diperkirakan sebelum ya”. Contoh: Kata dalam kalimat di atas ber-i’rab rafa’, dan tanda rafa’ nya berupa dhammah yang diperkirakan (ditakdirkan) ada pada sebelum ya.

 

  1. Harus Mukabbar, tidak di-tashghir. Apabila ditashghir, maka tanda y’rabnya menggunakan harakat yang jelas. Contoh:

 

  1. Berbentuk Mufrad. Apabila berbentuk tatsniyah atau Jamak”, maka tanda i’rabnya seperti tanda I’rab Isim Tatsniyah dan Jamak.

 

Kata Hanu ( &.   ) dibaca nagis, artinya huruf akhirnya yang menjadi tanda i’rabnya itu dibuang dan diganti dengan harakat. Contoh:    asalnya   — Wawu yang menjadi tanda i’rab rafa” dibuang, sehingga menjadi    Adapun alamat i’rabnya berubah menjadi harakat dhammah. :

 

            asalnya          alif” yang menjadi tanda i’rab nashab dibuang, sehingga menjadi     Adapun tanda i’rab berubah menjadi harakat fat-hah.

 

   asalnya       . Ya’ yang menjadi tanda I’rab Jer dibuang sehingga menjadi Adapun tanda i’rabnya berubah menjadi harakat kasrah.

 

Oleh karena itu, pengarang kitab Al-Jurumiyyah dan penulis-penulis kitab tata bahasa Arab lainnya, tidak menganggap kata Hanu (.  ) sebagai Al-Asma’ As-Sittah, mereka hanya mengenal Al-Asma’ AlKhamsah.

 

I’rab Al-Amtsilah Al-Khamsah

 

Al-Amtsilah Al-Khamsah (dalam istilah lain disebut Al-Af’al AlKhamsah), yaitu setiap fiil mudhari’ yang bersambung dengan dhamir alif tatsniyah, seperti:       atau dhamir wawu jamak, seperti:            dan dhamir ya” Mu’annats Mukhathabah, seperti:     , Itu ketika rafa’ ditandai dengan huruf nun (.  ) dan ketika nashab dan jazam ditandai dengan membuang huruf nun (.   ).

 

Kesimpulan:

 

Di atas telah dijelaskan, bahwa tanda-tanda i’rab itu ada empat belas. Empat di antaranya merupakan tanda asli, yaitu dhammah untuk I’rab rafa’ fat-hah untuk I’rab nashab, kasrah untuk I’rab jer dan sukun untuk i’rab jazam. Sedangkan yang sepuluh merupakan tanda cabang, sebagai pengganti tanda-tanda asli tersebut. Tiga pengganti dhammah, empat pengganti fat-hah, dua pengganti kasrah dan satu pengganti sukun.

 

Sesungguhnya tanda-tanda i’rab yang bersifat pengganti itu terjadi pada tujuh bab, yaitu:

 

  1. Bab Isim yang tidak menerima tanwin.
  2. Bab Jamak Mu’annats Salim.
  3. Bab Fiil Mudhari’ yang huruf terakhirnya berupa huruf illat.
  4. Bab Isim Tatsniyah.
  5. Bab Jamak Mudzakkar Salim.
  6. Bub Al-Asma’ As-Sittah.
  7. Bab Al-Amtsilah (Al-Af’al) Al-Khamsah.

Tiga harakat tanda i’rab (dhammah, fat-hah dan kasrah) itu dikirakirakan pada isim yang mudhaf pada Ya’ Mutakallim. Contoh:

            Kata   adalah terdiri dari   dan ya (.  ) . Ia beri’rab rafa’, dan tanda rafa’nya berupa harakat dhammah yang dikira-kirakan pada huruf mim (.  ) .    

 

Kata (.  ) disini terdiri dari dan ya” (.  ) Ia beri’rab nashab, dan tanda nashabnya berupa harakat fat-hah yang dikira-kirakan pada huruf mim

 

   Kata    di sini terdiri dari (.  ) dan ya (.  ) Ia beri’rab jer, dan tanda jernya berupa harakat kasrah yang dikirakirakan pada huruf mim (.  )

 

Isim Mu’rab yang akhirnya berupa alif lazimah itu disebut Isim Maqsur dan I’rabnya berupa harakat yang dikira-kirakan, seperti isim yang mudhaf pada ya’ mutakallim. Contoh:

 

Tanda i’rab rata” dengan dhammah dan tanda i’rab jer dengan kasrah itu harus dikira-kirakan, apabila berada pada Isim Mangush, yaitu isim mu’rab, yang akhirnya berupa ya” lazimah dan huruf sebelumnya dikasrah. Contoh:

 

Tetapi hakarat fat-hah, tanda i’rab nashab harus ditampakkan, karena harakat ini terbilang enteng. Contoh:

 

I’rab Fiil Mu’tal

 

Tanda i’rab rafa’ dengan dhammah dan tanda i’rab nashab dengan fat-hah itu harus dikira-kirakan, apabila ada pada fiil yang mu’tal alif. Contoh:

 

Sedangkan dhammah apabila ada pada fiil mu’tal wawi dan ya’i, itu harus dikira-kirakan. Contoh:

 

Adapun ketika fat-hah, harus ditampakkan. Contoh:

 

 

Isim yang tidak menerima tanwin, yaitu isim yang mengandung dua illat (sebab) dari sembilan illat atau mengandung satu illat, yang kekuatannya sama dengan dua illat. Illat (sebab) sembilan itu adalah Jamak, Wazan fiil, Adal, Ta’nis, Ta’rif, Tarkib, Alif dan Nun tambahan, “Ajam dan Sifat. Semua illat. tersebut terkumpul dalam syair:

 

  1. Jamak

 

Jamak berlaku sebagai illat isim ghairu munsharif dengan syarat berbentuk sighat muntaha jumu’, yaitu jamak yang mengikuti wazan: .

  1. contoh:
  2. contoh: dan

 

Illat ini adalah illat yang pertama dari dua illat yang dapat mencegah dengan sendirinya terhadap masuknya tanwin pada isim, dan yang mempunyai kekuatan seperti dua illat.

 

  1. Wazan Fiil

 

Maksud Wazan Fiil adalah isim yang wazannya sama dengan wazan yang khusus berlaku untuk fiil, seperti kata:  dengan ditasydid.  mimnya:           dengan mabni majhul, atau    dan fiil-fiil madhi yang lainnya, yang didahului oleh hamzah washal, jika digunakan sebagai nama sesuatu.

 

Atau isim itu didahului oleh huruf yang biasa ditambahkan pada fiil, sehingga isim tersebut sama dengan fiil dalam hal wazannya, seperti: Permulaan kata ini berupa Alif (.  ) yang menjadi permulaan fiil mudhari’.

 ya’ (. )

 ta’ (.  )

 nun (. )

 

  1. Adal

 

Adal adalah isim yang keluar dari sighat aslinya, adakalanya secara tahqiq (sesungguhnya), seperti kata:

 

   asalnya

   asalnya  

   asalnya

   asalnya

 

hingga adad (bilangan) sepuluh. Sesungguhnya kata-kata tersebut perubahan dari lafal-lafal adad (bilangan) pokok yang diulang-ulang.

 

Contoh:

   asalnya adalah

   asalnya adalah

   asalnya adalah

   asalnya adalah

 

Adakalanya secara taqdiri” (perkiraan), seperti nama-nama yang mengikuti wazan          , Seperti:             dan    Sebenarnya, nama-nama tersebut ketika populer tidak memakai tanwin, padahal dalam kata-kata tersebut tidak ada illat yang jelas selain alamiyyah, maka para ahli tata bahasa Arab memperkirakan, bahwa kata-kata tersebut adal (perubahan) dari kata:        ,           dan

 

  1. Ta’nits

 

Ta’nits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: Ta’nits dengan alif, ta’nits dengan ta’ dan ta’nits dengan makna:

  1. Ta’nits dengan Alif

 

Ta ‘nits dengan alif itu dapat mencegah isim menerima tanwin secara mutlak, baik alif ta”nits itu maqshurah, seperti kata: , atau alif ta’nits itu mamdudah, seperti kata:        dan    .

 

Illat ta’nits dengan alif ini adalah illat kedua yang mampu mencegah isim menerima tanwin, yang kekuatannya sama dengan dua illat.

 

  1. Ta’nits dengan Ta

 

Ta’nits dengan Ta’ itu dapat mencegah isim menerima tanwin, jika bersamaan alamiyyah, baik alam (nama) laki-laki, seperti:   atau :     perempuan, seperti:

 

  1. Ta’nits Maknawi

 

Adapun Ta’nits Maknawi itu seperti Ta’nits dengan ta”, yaitu bisa mencegah isim menerima tanwin, jika beserta alamiyyah. Tetapi dengan syarat isim tersebut lebih dari tiga huruf, seperti:   ,  atau terdiri dari tiga huruf, dan yang tengah hidup, seperti  atau mati dan ajam Seperti , atau Isim yang diubah dari mudzakkar ke mu’annats, sebagaimana jika ada seorang perempuan diberi nama Zaid.

 

Apabila syarat-syarat tidak terpenuhi, seperti kata        dan     maka boleh ditanwin dan boleh tidak. Tetapi lebih baik tidak ditanwin.

 

  1. Ta’rif

 

Ta’rif yang dimasukkan di sini adalah Alamiyyah. Alamiyyah ini dapat mencegah isim menerima tanwin, dengan syarat bersamaan dengan:

  1. Wazan Hil. Contoh:
  2. Adal. Contoh:
  3. Ta’nits. Contoh:
  4. Tarkib Mazji. Contoh:
  5. Alif dan Nun. Contoh:
  6. Ajam. Contoh:

 

  1. Tarkib Mazji

 

Tarkib yang dimaksudkan di sini adalah Tarkib Mazji yang diakhiri dengan selain kata waihin (.  ), seperti  Tarkib Mazji ini dapat mencegah isim menerima tanwin, jika bersamaan dengan Alamiyyah.

 

‘7. Tambahan Alif dan Nun

 

Alif dan Nun tambahan itu dapat mencegah isim menerima tanwin apabila bersamaan dengan:

  1. Alamiyyah. Contoh: .
  2. Wastiyyah yang tidak menerima ta’. Contoh:

 

  1. Ajam

 

Ujmah atau “Ajam maksudnya adalah kata yang berasal dari bahasa asing, seperti:        ,.   ,.   dan semua nama para nabi itu adalah bahasa asing, kecuali empat, yaitu Nabi Muhammad, Shalih, Syu’aib dan Hud: Semoga Allah swt. melimpahkan rahmat kepada mereka semua.

 

“Ujmah atau Ajam dapat mencegah isim menerima tanwin itu, disyaratkan:

  1. Keberadaan isim itu menjadi nama dalam bahasa asing asal isim tersebut. Karena itu, kata: dan sejenisnya, tetap ditanwin.

 

  1. Keberadaan isim itu lebih dari tiga huruf. Karena itu, kata: dan , tetap ditanwin, meskipun keduanya ajam dan menjadi nama.

 

  1. Sifat (Wasfiyyah)

 

Adapun sifat atau wasfiyyah itu dapat mencegah isim menerima tanwin, dengan Syarat beserta salah satu dari tiga illat, yaitu:

  1. Adal, sebagaimana dijelaskan pada bahasan terdahulu tentang kata:
  2. Alif dan Nun, dengan syarat sifat tersebut ikut wazan yang Mu’annatsnya tidak ikut wazan contoh:   Kata           itu mu’annatsnya   . Sedangkan kata    itu menerima tanwin, meskipun sifat ada alif dan nun-nya, sebab mu’annats kata ini adalah    , ikut wazan  
  3. Wazan Fiil dengan syarat sifat tersebut mengikuti wazan dan mu’annatsnya tidak memakai ta’. Contoh: Kata    itu mu’annatsnya     . Sedangkan kata   , itu  , menerima tanwin, meskipun sifat ikut wazan  , sebab mu’annatsnya , ada ta”-nya.

 

Boleh memberi tanwin pada isim yang mestinya tidak ditanwin, sekadar untuk penyesuaian irama bacaan, seperti bacaan Imam Nafi”. Contoh:    dan    , atau karena kepentingan dalam syair.

 

 

Pembagian Isim

Isim ditinjau secara umum dan khusus itu ada dua, yaitu: Nakirah dan Makrifat.

 

  1. Isim Nakirah

Isim Nakirah, merupakan isim yang asli, yaitu setiap isim yang umum, mencakup segala macam jenisnya dan tidak tertentu, seperti:

  = Seorang laki-laki.

  = Seekor kuda.

  = Sebuah kitab (buku). Untuk lebih mudah dimengerti dapat dikatakan, bahwa Isim Nakirah, adalah setiap isim yang bisa dimasuki alif dan lam (   ), seperti:

            menjadi

            menjadi

            menjadi

 

Atau setiap isim yang menduduki posisi isim yang layak menerima alif dan lam (   ), seperti kata:            yang bermakna memiliki (.  ).

 

Kata   yang berarti orang yang mempunyai adalah isim nakirah yang tidak bisa menerima al, tetapi berstatus seperti kata   yang dapat menerima al, menjadi   . Contoh dalam kalimat:

 

   = Orang yang berilmu telah datang. Kalimat ini sama           dengan .

 

  1. Isim Makrifat

Isim Makrifat itu ada enam macam, yaitu:

  1. Isim Dhamir, merupakan isim yang paling makrifat
  2. Isim Alam.
  3. Isim Isyarah.
  4. Isim Mausthul.
  5. Isim yang dimasuki Al.
  6. Isim yang mudhaf pada salah satu isim makrifat tersebut.

 

ISIM DHAMIR

Definisi Dhamir

 

Mudhmar dan Dhamir adalah dua nama yang dipergunakan sebagai kata ganti orang pertama (mutakallim), seperti   (saya), kata ganti orang kedua (mukhathab), seperti   (engkau) atau kata ganti orang ketiga (ghaib), seperti          (dia).

 

Pembagian Dhamir

 

Dhamir itu terbagi menjadi dua, yaitu dhamir mustatir (tersimpan) dan dhamir bariz (tampak).

 

  1. Dhamir Mustatir

Dhamir Mustatir adalah dhamir yang tidak tampak bentuk lafalnya. Ketidak tampakannya itu adakalanya wajib, seperti dhamir yang diperkirakan pada:

 

– Fiil Amar Mufrad Mudzakkar. Contoh:   dan

– Fiil Mudhari’ yang didahului ta” untuk orang kedua tunggal dan Mudzakkar. Contoh:   dan  

– Fil Mudhari” yang didahului alif, untuk orang pertama tunggal.   Contoh:    dan   

– Mudhari” yang didahului nun untuk orang pertama jamak. Contoh:

 

Adakalanya juga ketidaktampakannya itu bersifat jawaz, seperti dhamir yang diperkirakan ada pada susunan kata:

            = Zaid berdiri.

            = Hindun berdiri.

 

Dhamir Mustatir itu pasti berkedudukan rafa” sebagai fail atau naibul fail. Contoh:

            = Zaid sedang membaca Algur-an.

            = Algur-an itu sedang dibacakan.

 

  1. Dhamir Bariz

 

Dhamir Bariz adalah dhamir yang bentuk lafalnya tampak. Dhamir Bariz itu terbagi menjadi dua, yaitu Murtashil dan Munfashil.

 

Dhamir Muttashil

 Dhamir Muttashil adalah dhamir yang tidak boleh diletakkan di permulaan kalimat dan tidak boleh berada sesudah huruf  , Seperti ta” (.  )yang ada pada lafal:    dan kaf (.  ) pada lafal:

 

Dhamir Munfashil

 

Dhamir Munfashil adalah dhamir yang dapat dijadikan permulaan kalimat dan boleh jatuh sesudah huruf  , Seperti ucapan:

  = Saya seorang mukmin.

  = Tidak ada yang berdiri, kecuali saya.

 

Pembagian Dhamir Muttashil

 

Dhamir Muttashil itu terbagi menjadi tiga, yaitu: Dhamir Muttashil yang beri ‘rab rafa’, dhamir Muttashil yang beri ‘rab nashab dan dhamir muttashil yang beri ‘rab jer.

 

  1. Dhamir Muttashil yang Beri’rab Rafa’

Dhamir mutaashil yang beri’rab rafa” itu seperti dalam contoh-contoh – berikut:

  — Saya telah memukul.

  — Kami telah memukul.

  — Kamu (laki-laki) telah memukul.

  — Kamu (perempuan) telah memukul.

   – Kamu berdua telah memukul.

   – Kamu semua (laki-laki) telah memukul.  

   — Kamu semua (perempuan) telah memukul.          

   — Dia (laki-laki satu) telah memukul.

   — Dia (perempuan satu) telah memukul.

    – Mereka berdua (laki-laki) telah memukul.

   — Mereka berdua (perempuan) telah memukul.

   — Mereka (laki-laki) telah memukul.

            — Mereka (perempuan) telah memukul.

 

  1. Dhamir Muttashil yang Beri’rab Nashab

Dhamir Muttashil yang beri’rab nashab itu, seperti tersebut dalam contoh-contoh berikut:

   — Dia telah memuliakan saya.

   — Dia telah memuliakan kami.

   — Dia telah memuliakan kamu (laki-laki).

   — Dia telah memuliakan kamu (perempuan).  

    — Dia telah memuliakan kamu berdua.

   — Dia telah memuliakan kamu (laki-laki) banyak.

   — Dia telah memuliakan kamu (perempuan) banyak.

    – Dia telah memuliakannya (laki-laki).

    — Dia telah memuliakannya (perempuan). |

    — Dia telah memuliakan mereka berdua.

     — Dia telah memuliakan mereka (laki-laki).

    — Dia telah memuliakan mereka (perempuan).

 

  1. Dhamir Muttashil yang Beri’rab Jer Dhamir Muttashil yang beri ‘rab jer itu sama dengan dhamir muttashil yang beri’rab nashab, hanya saja dhamir muttashil yang beri’rab jer, pasti dimasuki huruf jer, untuk membedakan dengan dhamir muttashil yang beri’rab nashab. Contoh:

 

Pembagian Dhamir Munfashil

 

Dhamir Muntashil itu terbagi menjadi dua, yaitu dhamir munfashil yang beri ‘rab rafa’ dan dhamir munfashil yang beri ‘rab nashab.

 

  1. Dhamir Munfashil yang Beri’rab Rafa’

Dhamir Muntashil yang beri’rab rafa’ itu ada dua belas kata, yaitu:

    – Saya (kata ganti orang pertama tunggal).

     — Kita (kata ganti orang pertama jamak).

     — Kamu (kata ganti orang kedua laki-laki tunggal).

     -Kamu (kata ganti orang kedua perempuan tunggal).

     – Kamu (kata ganti orang kedua laki-laki/perempuan tatsniyah atau dua).

      — Kalian (kata ganti orang kedua laki-laki jamak).

     – Kalian (kata ganti orang kedua perempuan jamak).

   – Dia (kata ganti orang ketiga laki-laki tunggal).

    -Dia (kata ganti orang ketiga perempuan tunggal).

   — Mereka (kata ganti orang kedua laki-laki perempuan tatsniyah).

      — Mereka (kata ganti orang kedua laki-laki jamak).

     – Mereka (kata ganti orang kedua perempuan jamak).

 

Semua dhamir munfashil tersebut di atas, apabila berada di permulaan kalimat, maka statusnya menjadi mubtada Contoh:

            – Aku-lah Tuhan kalian.

   – Kami adalah orang-orang yang mewarisi.

    -Engkau adalah penolong kami

    – Dia (Allah) adalah Tuhan kami.

 

  1. Dhamir Munfashil yang Beri’rab Nashab

Dhamir Munfashil yang beri’rab nashab itu ada dua belas kata, yaitu:

    – Kepadaku.

    – Kepada kami.

    – Kepadamu (laki-laki satu).

    – Kepadamu (perempuan satu).

    – Kepadamu berdua.

    – Kepada kalian (laki-laki).

    – Kepada kalian (perempuan).

    – Kepadanya (laki-laki satu).

     – Kepadanya (perempuan satu).

    – Kepada mereka berdua.

    – Kepada mereka (laki-laki banyak).

    -Kepada mereka (perempuan banyak)

 

Semua dhamir muntfashil yang beri’rab nashab tersebut, pasti statusnya dalam kalimat menjadi Maf’ul Bih (objek penderita), seperi . Contoh lengkapnya sebagai berikut:

 

            – Kepada saya Muhammad men hormat.

            – Kepada kami Muhammad menghormati

            – Kepadamu (laki laki) Muhammad menghormati.

     – Kepadamu (perempuan) Muhammad menghormati.

    – Kepadamu berdua Muhammad  menghormati.

    – Kepada kalian (laki-laki) Muhammad menghormati.

     – Kepada kalian (perempuan) Muhammad menghormati,

      – Kepadanya (laki-laki) Muhammad menghormati.

      – Kepadanya (perempuan) Muhammad menghormati.

      – Kepada mereka berdua Muhammad menghormati.

       – Kepada mereka (laki-laki banyak) Muhammad menghormati.

       – Kepada mereka (perempuan banyak) Muhammad menghormati.

 

Posisi Dhamir Muttashil dan Munfashil ketika. Berkumpul

 

Apabila masih dapat menggunakan dhamir muttashil, maka tidak boleh menggunakan dhamir munfashil. Karena itu, kalimat     (saya telah berdiri) tidak boleh digunakan, sebab masih dapat menggunakan susunan     (saya telah berdiri). Susunan kalimat     tidak boleh digunakan, sebab masih dapat menggunakan dhamir muttashil dalam .    , susunan kalimat:    . Kecuali susunan kalimat.   . dan      itu boleh diungkapkan dengan susunan      dan

 

Hukum Harakat Akhir Kata Dhamir

 

Semua lafal dhamir di atas, hukumnya mabni, tidak ada yang mu’rab.

 

 

Isim Alam itu ada dua macam, yaitu:

Pertama: Alam Syakhash, yaitu isim yang dibuat untuk nama sesuatu tertentu secara khusus dan tidak mencakup lainnya, seperti:

            – Zaid (nama orang laki-laki).

      – Fatimah (nama orang perempuan).

      – Mekah (nama kota).

      – Syadzqam (nama unta).

       – Qaran (nama kabilah).

 

Kedua: Alam Jenis, yaitu isim yang dibuat untuk nama suatu jenis tertentu di antara beberapa jenis, seperti kata:

     – Sebagai nama dari surga.

     – Sebagai nama dari musang.

      – Sebagai nama dari serigala.

 

Dalam hal makna, alam jenis ini seperti isim nakirah, karena ia bersifat umum dalam jenisnya. Siapa pun, setiap kali melihat singa   , boleh mengungkapkan dengan kalimat:

      – Ini Usamah sedang datang.

 

Pembagian Alam

 

Alam itu juga terbagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Alam Isim, seperti yang telah disebutkan di atas. Contoh: dan lain-lain.
  2. Alam Kunyah, yaitu setiap nama yang didahului oleh kata: atau . Contoh:

    — Sebutan nama seorang laki-laki.

    — Sebutan nama seorang perempuan.

     – Sebutan nama singa.

     – Sebutan nama kalajengking.

  1. Alam Laqab, yaitu sebutan atau nama yang mengandung nilai pujian atau pelecehan. Contoh:

 – Perhiasan orang-orang ahli ibadah.

 

   – Itik.

            – Hidung unta

 

Dua Alam ketika Berkumpul

 

Apabila Alam Isim dan Alam Lagab berkumpul, maka menurut pendapat yang benar, alam laqab wajib diakhirkan. Contoh:

 

(Zaid, Zainul Abidin telah datang).

 

I’rab alam lagab tersebut mengikuti i’rab alam isim, kecuali jika keduanya mufrad. Apabila keduanya mufrad, maka alam isim wajib  dimudhafkan pada alam laqab. Contoh:      

 

Apabila ada Alam Kunyah berkumpul dengan Alam Isim, maka tidak ada aturan harus tertib, begitu juga jika Alam Kunyah berkumpul dengan Alam Laqab. Contoh:

 

    atau 

 

    atau   

 

Pembagian Alam dari Segi Bentuk Lafal

 

Alam dilihat dari segi lafalnya itu terbagi menjadi dua, yaitu Mufrad, seperti:    ,    dan Murakkab.

 

Murakkab itu ada tiga, yaitu:

  1. Murakkab Idhafi, seperti: dan.
  2. Murakkab Maqi, seperti: , ,    ,
  3. Murakkab Isnadi, seperti: dan

 

 

  1. Isim Isyarah untuk Sesuatu

Isim Isyarah adalah kata yang digunakan untuk menunjuk sesuatu (kata petunjuk), yaitu:

            – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang mufrad dan mudzakkar.

   – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang muftrad dan mu’annats.

   – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang mufrad dan mu’annats.

            – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang mutrad dan mu’annats.

   – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang mufrad dan mu’annats.

            – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang mutrad dan mu’annats. ,

   – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang tatsniyah mudzakkar ketika rafa. .

  – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang tasniyah mu’annats ketika  rafa”.

   – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang tatsniyah mudzakkar . ketika nashab dan jer.

            – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang tatsniyah mu’annats . ketika nashab dan jer.

            – (ini), untuk menunjuk sesuatu yang jamak, baik mudzakkar maupun mu’annats. Ia dibaca panjang menurut orang-orang Hijaz dan dibaca pendek menurut orang-orang Tamim.

 

Huruf Tambahan Pada Isim Isyarah

 

  1. Tambahan Ha’ Tanbih Ha’ Tanbih itu boleh masuk pada semua Isim Isyarah tersebut di atas, seperti:

    menjadi

    menjadi

    menjadi

    menjadi

    Menjadi

    Menjadi

    Menjadi

 

  1. Tambahan Kaf

Apabila sesuatu yang ditunjuk itu berjarak jauh, maka perlu menambahkan huruf kaf pada lafal-lafal Isim Isyarah tersebut. Kaf tambahan ini berlaku seperti kaf isim dhamir, berubah-ubah menurut sesuatu yang ditunjuk. Contoh:

   untuk sesuatu yang mufrad mudzakkar. .

            untuk sesuatu yang mufrad mu’annats.

            untuk sesuatu yang tatsniyah mudzakkar mu’annats.

            untuk sesuatu yang jamak mudzakkar.

            untuk sesuatu yang jamak mu’annuts.

 

  1. Tambahan Lam

Isim Isyarah yang mendapat tambahan kaf tersebut, boleh ditambahi dengan lam sebelum kaf. Contoh:

   menjadi

    menjadi

    menjadi

    menjadi

     menjadi   

 

Tambahan Jam ini tidak boleh masuk pada isim isyarah yang untuk tatsniyah dan jamak. 

            tidak boleh

            tidak boleh

            tidak boleh ,

 

Sedangkan Kaf, boleh masuk pada isim-isim isyarah yang untuk tatsniyah dan jamak, hanya untuk menunjuk sesuatu yang jauh. Contoh: ,  ,   dan . Begitu juga ketika masuk pada isim – isyarah yang untuk mutfrad, jika didahului oleh ha’ tanbih, seperti:    menjadi

 

  1. Isim Isyarah Untuk Tempat

 

Isim Isyarah untuk tempat yang dekat adalah:

    = disini

    = disini

 

Sedangkan Isim Isyarah untuk menunjuk tempat yang sedang adalah:

   = disitu

            = disitu

 

Adapun untuk menunjuk tempat yang Jauh adalah:

            — di sana

            — di sana

           — di sana

           — di sana

 

Isim Maushul adalah isim yang membutuhkan Silah dan Aid. Isim Maushul itu ada dua macam, yaitu Maushul Nash dan Maushul Musytarak.

  1. Isim Maushul Nash

 

Isim Maushul Nash itu ada delapan kata, yaitu:

            untuk mufrad mudzakkar.

            untuk mufrad mu’annats.

            untuk tatsniyah mudzakkar yang rafa’.

            untuk tatsniyah mu’annats yang rafa’.

            untuk tatsniyah mudzakkar yang nashab dan jer.

            untuk tatsniyah mu’annats yang nashab dan jer.

            untuk jamak mudzakkar.

            untuk jamak mudzakkar.

            Kadang-kadang kata diucapkan   ketika rafa’.   untuk jamak mu’annats.

            Kadang-kadang ya’nya dibuang, sehingga menjadi      untuk jamak mu’annats.

            Kadang-kadang ya’nya dibuang, sehingga menjadi      untuk jamak mu’annats.  .

 

Contoh-contoh Isim Maushul Nash dalam kalimat adalah sebagai berikut:

 

  1. Isim Maushul Musytarak

 

Isim Maushul Musytarak itu ada enam lafal, yaitu:     dan   . Enam Isim Maushul ini berlaku untuk mufrad, tatsniyah, jamak, mudzakkar dan mu’annats.

 

Penggunaan Isim Maushul Musytarak Man  (. ) dan Maa (.  )

 

Isim Maushul  itu digunakan untuk yang berakal, dan   untuk yang tidak berakal. Contoh untuk  sebagai berikut:

            – Orang laki-laki yang datang kepadamu  mengagumkanku.

            – Orang perempuan yang datang kepadamu mengagumkanku.

            – Dua orang laki-laki yang datang kepadamu mengagumkanku.

            – Dua orang perempuan yang datang kepadamu mengagumkanku.

            – Orang-orang laki-laki yang datang kepadamu mengagumkanku.

     – Orang-orang perempuan yang datang kepadamu mengagumkanku.

 

Contoh Isim Maushul   dalam kalimat, dapat dilihat dalam jawaban ucapan Orang yang mengatakan:

            – Saya membeli seekor keledai jantan.

            – Saya kagum pada seekor keledai Jantan yang kamu beli.

            – saya membeli seekor keledai betina. Jawabnya:

– Saya kagum pada seekor keledai betina yang kamu beli.

– Saya membeli dua ekor keledai jantan. Jawabnya.

– Saya kagum pada dua keledai jantan yang kamu beli.

– Saya membeli dua keledai betina. Jawabnya. – Saya kagum pada dua keledai betina yang kamu beli.

– Saya membeli keledai-keledai jantan. Jawabnya.

– Saya kagum pada keledai-keledai Jantan yang kamu beli.

– Saya membeli keledai-keledai betina. Jawabnya.

– Saya kagum pada keledai-keledai betina yang kamu beli.

 

Kadang pemakaian isim maushul    tersebut dibalik, artinya  yang semula untuk sesuatu yang berakal, dipakat untuk yang tidak berakal. Contoh dalam Alqur-an:

 

– Maka sebagian dari hewan  (arti kata ) itu ada yang berjalan di aras perutnya.

 

Sedangkan , yang semula untuk sesuatu yang tidak berakal, dipakai untuk yang berakal. Contoh dalam Alqur-an:

— Apa yang menghalangi kamu sujud pada sesuatu (arti kata yang maksudnya Adam) yang telah Aku ciptakan dengan tangan-Ku?

 

Penggunaan Isim Maushul Ayyun, Dzu, Dza dan Al

 

Empat isim maushul musytarak lainnya, yaitu:   dan Ji digunakan untuk sesuatu yang berakal dan yang tidak berakal. Contoh:

   – Orang/hewan (baki-laki/jantan) yang berdiri mengagumkan saya.

    – Dua orang/hewan (laki-laki/jantan) yang  berdiri mengagumkan saya.

– Orang/hewan (perempuan betina) yang  berdiri mengagumkan saya.

– Dua orang/hewan (perempuan/betina)  yang berdiri mengagumkan saya.

– Orang-orang/hewan-hewan (laki-laki/ . jantan) yang berdiri mengagumkan saya.

– Orang-orang/hewan-hewan (perempuan/ betina) yang berdiri mengagumkan saya.

 

Syarat Al Sebagai Isim Maushul

 

 Al (  ) berlaku sebagai isim maushul dengan syarat, apabila Al itu berada pada isim fail atau isim maf’ul, seperti:

    sama dengan    – yang memukul.

    sama dengan    – yang dipukul.

 

Contoh:

– Sesungguhnya orang laki-laki yang membenarkan dan orangorang perempuan yang membenarkan.

– Dan atap yang ditinggikan (langit).

– Dan laut yang didalam tanah’nya ada api.

 

Syarat Isim Maushul Dzu (.  )

 

Adapun Dzu (    ) itu berlaku sebagai isim maushul hanya khusus dalam dialek orang-orang Thayyi .

 

Mereka biasa berkata: –

– Telah datang kepadaku orang laki-laki yang berdiri.

– Telah datang kepadaku orang perempuan yang berdiri.

– Telah datang kepadaku dua orang lakilaki yang berdiri.

 – Telah datang kepadaku dua orang “ perempuan yang berdiri.

– Telah datang kepadaku mereka (orang-orang laki-laki) yang berdiri.

– Telah datang kepadaku mereka (orang-orang perempuan) yang berdiri.

 

Syarat Isim Maushul Dza

 

 Syarat Dza (  ) menjadi Isin Maushul, adalah harus didahului oleh maa istifham.

  1. Maa( ) istifham, Seperti:

 -Apa yang mereka nafkah-kan?

 

  1. Man ( )istifham, seperti:

– Siapa yang telah datang ke-padamu?

 

  1. Tidak di-mulgha-kan, artinya dza itu masih berfungsi, dengan cara memperkirakan susunan , dan sebagai satu isim. Contoh:

– Apa yang telah kamu perbuat?

 

Shilah dan ‘Aid

 

Semua Isim Maushul itu membutuhkan Shilah dan ‘Aid yang berada sesudahnya.

 

Shilah dan Macam-macamnya

 

Shilah adalah jumlah (kalimat) atau Syibhul Jumlah (yang serupa kalimat), yang jatuh sesudah Isim Maushul. Shilah itu adakalanya berupa:

  1. Jumlah (Kalimat)

Shilah yang berupa jumlah atau kalimat itu adakalanya terdiri dari:

  1. Fiil dan Fail. Contoh:

 

Telah datang orang yang telah berdiri ayahnya.

 

Segala puji milik Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami.

  1. Mubrada’ dan Khabar. Contoh:

 

Telah datang orang yang ayahnya berdiri.

 

Yang mereka perselisihkan tentang hal ini.

 

Keterangan:

Kata   dalam kalimat   adalah Isim Maushul. Sedangkan Shilah-nya adalah jumlah yang terdiri dari fiil dan fail, yaitu: 

 

Kata   dalam kalimat   adalah Isim Maushul. Sedangkan Shilah-nya adalah jumlah yang terdiri dari Mubtada’ dan Khabar, yaitu:  .

 

  1. Syibhul Jumlah

Shilah Syibhul Jumlah itu ada tiga, yaitu:

 

  1. Zharaf. Contoh: .

 

Apa yang di sisi kalian akan lenyap.

  1. Jer Majrur. Contoh:

 

– Telah datang orang yang di dalam rumah.

 

– Dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya.

 

Zharaf dan Jer Majrur apabila berkedudukan menjadi Shilah, berhubungan dengan fiil yang dibuang secara wajib. Perkiraan atau takdir fiil tersebut adalah kata:

  1. Sifat Sharihah. Maksudnya adalah isim fail dan isim maf’ul. Shilah yang berupa sifat Sharihah ini khusus untuk isim maushul Al (. ). Contoh:

 

‘Aid

 

“Aid adalah dhamir yang sesuai dengan isim maushul dalam mufrad, tatsniyah atau jamaknya serta mudzakkar dan mu’annatsnya, sebagaimana tersebut dalam contoh-contoh yang telah lalu. Misalnya:

 

– Telah datang orang (laki-laki satu) yang ayahnya berdiri.

– Telah datang orang (laki-laki dua) yang ayahnya berdiri.

– Telah datang orang (laki-laki banyak) yang ayahnya berdiri.

– Telah datang orang (perempuan satu) yang ayahnya berdiri.

– Telah datang orang (banyak perempuan) yang ayahnya berdiri.

– Telah datang kepadaku orang (laki-laki satu) yang mempunyai harta.

– Telah datang kepadaku orang (laki-laki dua) yang mempunyai harta.

– Telah datang kepadaku (laki-laki banyak) yang mempunyai harta.

– Telah datang kepadaku (perempuan satu) yang mempunyai harta.

– Telah datang kepadaku (perempuan banyak) yang mempunyai harta.

 

Dhamir   ,  ,  dan  , baik yang ada pada kata   atau   itu disebut ‘Aid dan harus sesuai dengan isim maushul sebelumnya.

 

‘Aid itu kadang-kadang dibuang. Contoh:

 

“Kami pasti menarik dari tiap-tiap golongan, siapa di antara mereka yang sangat durhaka.”

 

Dalam ayat tersebut sebenarnya ada ‘aid yang dibuang, yang takdirnya adalah:

 

“Dia (Allah) mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian perlihatkan.”

 

Dalam ayat tersebut sebenarnya ada “aid yang dibuang, takdirnya  adalah:

 

”Dan dia minum dari apa yang kalian minum.”

 

Dalam ayat di atas sebenarnya ada “aid yang dibuang, takdirnya adalah:

 

Isim Makrifat dengan Al (    )

 

Kata yang dimakrifatkan dengan huruf makrifat adalah kata yang dimasuki Al (   ), Al (    ) itu ada dua bagian, yaitu:

  1. AL ‘Ahdiyyah.
  2. A(d’) Jinsiyyah.

 

Al ‘Ahdiyyah dan Macamnya

 

Al ‘Ahdiyyah itu adakalanya:

  1. Lil ‘Ahdi Adz-Dzikri, yaitu Al yang memberi pengertian, bahwa kata yang dimasukinya menunjukkan arti yang sama dengan kata yang sama, yang disebutkan sebelumnya. Contoh:

 

Di dalam kaca yang kaca itu.

  1. Lil ‘Ahdi Adz-Dzihni, yaitu Al yang memberi pengertian, bahwa maksud kata yang dimasuki itu sudah dimaklumi. Contoh:

 

Ketika mereka berdua berada di dalam gua. Semua orang maklum, bahwa gua yang dimaksud adalah sebuah lubang yang berada di Gunung Tsur.

  1. Lil ‘Ahdi Al-Hudhur, yaitu Al yang memberi pengertian, bahwa kata yang dimasukinya sedang tiba (terjadi). Contoh:

 

Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan agamamu.

Maksud hari ini adalah hari yang sedang terjadi, ketika kalimat itu disebutkan, yaitu hari Arafah.

 

Al Jinsiyyah

 

Al (. ) Jinsiyyah itu adakalanya:

  1. Li Ta’rifil Mahiyah, yaitu untuk memastikan hakikat (inti) kata yang dimasukinya. Contoh:

 

Dan Kami jadikan sesuatu hidup dari air.

  1. Li Istighragil Afrad, yaitu untuk mencakup semua individu suatu jenis. Contoh:

 

Dan manusia dijadikan bersifat lemah.

Maksud   adalah tiap-tiap manusia itu bersifat lemah.

  1. Li Istighraqi Khashaishil Afrad, yaitu untuk mencakup individuindividu tertentu. Contoh:

 

  Engkaulah orang laki-laki yang berilmu.

 

Al Zaidah Al (. ) itu kadang-kadang berfungsi sebagai Zaidah atau tambahan, seperti Al yang masuk pada isim maushul, masuk pada kata   atau       dan lain-lainnya. Al yang Zaidah itu tidak dapat menjadikan makrifat.

 

Mengganti Lam pada Al dengan Mim

 

Lam (.  ) huruf   menurut dialek suku Himyar itu kadangkadang diganti mim (   ). contoh:

   asalnya  (Tidak baik, berpuasa dalam keadaan bepergian).

 

Isim yang Mudhaf pada Isim Makrifat

 

Isim yang mudhaf pada salah satu dari lima isim makrifat tersebut dihukumi makrifat juga. Contoh:

 

– Pelayanku (kata mudhaf pada isim dhamir )

– Pelayanmu (kata  mudhaf pada isim dhamir )

– Pelayannya (kata  mudhaf pada isim dhamir )

– Pelayan Zaid (kata  mudhaf pada isim dhamir )

– Pelayan ini (kata mudhaf pada isim isyarah )

– Pelayan orang yang ayahnya berdiri  (kata  mudhaf pada isim maushul )

– Pelayan si laki-laki (kata  mudhaf pada ‘ kata yang ada Al (  )-nya.

 

Isim yang dibaca rafa’ itu ada sepuluh, yaitu:

  1. Fail. Contoh:
  2. Maf’ul yang tidak disebut failnya (Naibul Fail). Contoh:
  3. Mubtada’. Contoh:
  4. Khabar. Contoh:
  5. Isim dan saudara-saudaranya. Contoh:
  6. Isim Af’alul Muqarabah. Contoh:
  7. Isim huruf yang serupa huruf . Contoh:
  8. Khabar dan saudara-saudaranya. Contoh: ,
  9. Khabar huruf ” yang berfungsi menafikan jenis. Contoh:
  10. Tabi’ (kata yang menganut) isim yang dibaca rafa”, yang berjumlah empat, yaitu:
  11. Naat. Contoh:
  12. “Athaf. Contoh:
  13. Taukid. Contoh:
  14. Badal. Contoh:

 

 

Fail adalah isim yang dibaca rafa’, yang jatuh sesudah fiil atau kata yang ditakwil sebagai fiil. Fail itu ada dua, yaitu: Fail Isim Zhahir dan Fail Isim Dhamir.

 

Fail Isim Zhahir

Fail yang Zhahir adalah fail yang tampak terdiri dari Isim Zhahir. Contoh:

– Ali berdiri.

– Dua laki-laki berkata.

–   Orang-orang yang mengemukakan uzur datang.

– Hari ketika manusia berdiri.

– Pada hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman.

– Ayah mereka berkata.

 

Kata    , dan   adalah fail isim zhahir, yang jatuh sesudah fiil madhi.

 

Kata   dan   adalah fail isim zhahir, yang jatuh sesudah fiil mudhari”.

 

Fail Isim Dhamir Fail Mudhmar adalah fail yang terdiri dari isim dhamir. Contoh:   dan  

 

Semua isim dhamir yang berupa: (yang tersimpan pada kata dan.  itu statusnya menjadi fail yang didahului oleh fiil madhi

 

Adapun fail yang didahului oleh kata yang ditakwil sebagai fill, sebagaimana dalam contoh:

– Apakah dua Zaid berdiri. (

– Yang berbeda-beda warnanya.

 

Kata   dalam kalimat   berstatus menjadi fatl yang didahului oleh isim yang ditakwil sebagai fiil, yaitu kata:  

 

Kata   dalam kalimat    berstatus menjadi fail yang didahului oleh isim yang ditakwil sebagai fill, yaitu kata:  

 

Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Fail

 

Fail itu mempunyai beberapa hukum, antara lain:

 

  1. Tidak boleh dibuang, sebab fail adalah pokok kilimat (pelaku), baik fail itu berupa isim zhahir, seperti: atau berupa isim dhamir, seperti . Apabila tidak tampak, maka fail berupa dhamir mustatir. Contoh:

 

  1. Tidak boleh mendahului fiilnya. Apabila ada lafal yang zhahirnya menjadi fail yang mendahului fiilnya, maka harus menakdirkan fail berupa dhamir mustatir. Sedangkan isim, yang mendahului fiil tadi, mungkin berstatus sebagai mubrada’ atau fail yang fiiinya dibuang. Contoh: Kata menjadi mubtada’, sedangkan   menjadi khabar. Adapun fail fiil   , berupa dhamir mustatir.

 

Kata   adalah berstatus menjadi fail dari fiil yang dibuang, yang bentuknya seperti fiil yang ada pada sesudahnya. Hal demikian ini disebabkan huruf syarat itu tidak dapat masuk pada mubtada’.

 

Hukum Fiil Fail

 

Di antara hukum yang berkaitan dengan fail adalah:

  1. Fiil dari Fail itu harus tetap mufrad, meskipun failnya berupa tatsniyah atau jamak. Contoh:

 

Sebagian masyarakat Arab ada yang memberi tanda tatsniyah dan jamak. Apabila failnya berupa tatsniyah atau jamak, maka mereka berkata:

 

— Dua (orang bernama) Zaid berdiri.

— Tiga (orang bernama) Zaid berdiri.

— Wanita-wanita bernama Hindun berdiri.

 

Kata  diberi tanda tatsniyah berupa alif, karena failnya tatsniyah.

 

Kata  diberi tanda jamak berupa wawu, karena failnya berupa   jamak mudzakkar, dan kata  diberi tanda jamak mu’annats berupa nun, karena failnya terdiri dari jamak mu’annats.

 

Dialek seperti di atas disebut dialek Akaluni Al-Baraghits, karena kalimat ini populer di kalangan mereka. Dialek ini pernah pula dipakai dalam sebuah hadis:

 

“Malaikat-malaikat yang bertugas di malam hari dan malaikat-malaikat yang bertugas di siang hari, silih berganti menjaga kalian.”

 

Sebenarnya alif, wawu dan nun adalah huruf-huruf yang menunjukkan tatsniyah dan jamak. Sedangkan yang menjadi fail adalah kata-kata yang jatuh sesudahnya.

 

  1. Fil dari Fail itu harus diberi tanda mu’annats, berupa ta’ mati pada akhir fiil madhi dan berupa ta’ mudhoro’ah pada awal fiil mudhari’, apabila fail berupa mu’annats hakiki. Contoh:

– Hindun telah berdiri,

– Hindun sedang berdiri.

 

Boleh tidak memasang tanda mu’annats pada fiil fail yang mu’annats majazi, seperti:

– Matahari telah terbit.

 

Salat mereka di sekitar Baitullah, hanyalah siulan belaka.

 

Kata  dan adalah Mu’annats Majazi, bukan Mu’annats Hakiki. Oleh sebab itu, fiilnya yang berupa dan   tidak perlu diberi ta’ tanda Mu’annats.

 

Adapun hukum fail tatsniyah dan jamak mudzakkar salim atau jamak Mu’annats itu, seperti hukum fail yang mufrad. Yakni, tidak perlu diberi tanda tatsniyah atau jamak. Contoh:

 

– Dia Zaid telah berdiri.

– Zaid banyak telah berdiri.

– Dua wanita muslimah telah berdiri.

– Wanita-wanita muslimah telah berdiri.

 

Sedangkan Jamak Taksir, hukumnya seperti kata yang Mu’annats Majazi, yakni fiilnya boleh diberi tanda mu’annats dan boleh tidak. Contoh:

– Orang-orang laki-laki telah berdiri.

– Orang-orang laki-laki telah berdiri.

– Orang-orang yang bernama Hindun telah berdiri.

– Orang-orang yang bernama Hindun telah berdiri.

 

 Posisi Fail dalam Kalimat

 

Di antara hukum yang berkaitan dengan fail adalah, bahwa yang asal fail itu berada sesudah fiilnya, sebelum maf’ul. Contoh:

 

Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.

 

Tetapi kadang-kadang fail itu jatuh sesudah maf’ul secara jaiz. Contoh:

 

Dan sesungguhnya telah datang kepada kaum Fir’aun ancaman-ancaman.

 

Kata   dalam contoh di atas berstatus sebagai fail, yang posisinya berada sesudah maf’ul, berupa kata . Bahkan ada pula yang wajib jatuh sesudah maf’ul. Contoh:

 

Harta kami telah merintangi kami.

 

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya.

 

Kata   dalam contoh pertama adalah fail yang jatuh sesudah maf’ul, berupa dhamir   pada kata

 

Kata   dalam contoh kedua adalah menjadi fail yang wajib jatuh sesudah maf’ul, berupa kata:

 

Kadang-kadang fail dan fiilnya itu jatuh sesudah maf’ul. Dalam kata lain, maf’ul itu kadang ada yang mendahului fiil dan fail secara jawaz dan ada yang secara wajib. Contoh:

 

Sebagian rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.

 

Maka, tanda-tanda kekuasaan Allah yang manakah yang kalian ingkari?

 

Kata dalam ayat pertama di atas, berkedudukan sebagai maf’ul, yang mendahului fiil dan failnya, berupa dan   .

 

Sedangkan   dalam ayat kedua di atas berkedudukan sebagai maf’ul yang wajib mendahului fail dan fiilnya, berupa kata   . Sebab Isim Syarat dan Istifham itu berhak berada pada permulaan kalimat.

 

Maf’ul yang tidak disebut failnya adalah isim yang dibaca rafa’ , yang failnya tidak disebutkan dan isim tersebut menempati tempat fail. Karena itu, ia berubah menjadi rafa’ yang semula nashab dan menjdai pokok kalimat, yang semula hanya sebagai pelengkap, sehingga tidak boleh dibuang dan tidak boleh mendahului fiilnya.

 

Ketentuan Fiil Maf’ul yang Tidak Disebut Failnya

 

  1. Maf’ul yang tidak disebutkan failnya, apabila berupa mu’annats, maka fiilnya harus diberi tanda mu’annats. Contoh:

 

-Hindun telah  dipukul

– Apabila bumi digoncangkan.

 

Kata dan di atas berkedudukan sebagai Maf’ul yang failnya tidak disebutkan. Karena ia mu’annats, maka fiilnya wajib diberi tanda mu’annats, berupa .

 

  1. Maf’ul yang tidak disebutkan failnya itu, apabila berupa tatsniyah atau jamak, maka fiil tidak boleh diberi tanda tatsniyah atau jamak (harus tetap mufrad). Contoh:

 

– Dua orany bernama Zaid telah dipukul.

– Orang-orang bernama Zaid telah dipukul.

 

Nama Lain Maf’ul yang Tidak Disebut Failnya

 

Maf’ul yang tidak disebutkan failnya itu dinamakan juga Naibul Fail. Istilah Naibul Fcil ini lebih baik dan lebih singkat.

 

Bentuk Fiil Naibul Fail

 

Fiil Naibul Fail disebut Fiil Mabni Maf’ul, Fiil Mabni Majhul dan Fiil Isim yang tidak disebutkan failnya.

 

Bentuk Fiil Naibul Fail apabila berupa fiil madhi, maka huruf permulaannya harus didhammah dan huruf sebelum akhir dikasrah, seperti:  Apabila berupa fiil mudhari”, maka huruf permulaannya didhammah dan huruf sebelum akhir difathah, seperti 

 

Kata  itu huruf pertamanya berupa   yang didhammah, dan huruf sebelum akhir berupa   dikasrah.

 

Kata    itu huruf pertamanya berupa   didhammah, dan huruf sebelum akhir berupa  difathah.

 

Apabila fiil madhi yang dimabnikan majhul itu huruf pertamanya berupa ra’ tambahan, maka harus didhammah beserta huruf yang kedua, seperti:   Apabila huruf pertama fiil madhi tersebut berupa hamzah washal, maka huruf pertama dan ketiga harus didhammah, seperti:

 

Kata  itu fiil madhi yang didahului oleh ta’. Oleh karena itu, ketika dimabnikan majhul, maka hurufnya yang pertama, berupa £ dan hurufnya yang kedua berupa ‘Ain harus didhammah, kemudian huruf sebelum akhir, yaitu  dikasrah.

 

Kata  dan  adalah fiil madhi yang didahului oleh Hamzah Washal . Oleh karena itu, ketika dimabnikan majhul, maka huruf.yang pertama, berupa hamzah dan hurufnya yang ketiga, berupa  , atau  harus didhammah. Kemudian huruf yang sebelum akhir berupa  dan , harus dikasrah. 

 

Apabila fiil madhi yang dimabnikan majhul itu ain flilnya berupa huruf illat, maka hurufnya yang pertama dikasrah dan ain fiilnya diganti dengan ya’, seperti asalnya   asalnya .

 

Bacaan kasrah huruf pertama tersebut boleh dibaca Isymam, yaitu bacaan antara kasrah dan dhammah. Boleh juga huruf yang pertama.  didhammah dan “ain fiilnya diganti dengan wawu, seperti:   menjadi   dan   menjadi

 

Pembagian Naibul Fail

 

Naibul Fail itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu Zhahir dan Mudhmar. Naibul Fail Zhahir adalah Naibul Fail yang terdiri dari Isim Zhahir. Contoh:

– Apabila dibacakan Al-Our’an.

– Telah dibuat perumpamaan.

– Telah diputuskan perkara.

– Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta.

– Orang-orang yang telah berbuat dosa diketahui .

 

Sedangkan Naibul Fail Mudhmar adalah Naibul Fail yang terdiri dari Isim dhamir. Contoh:

 

Lafal-lafal yang Dapat Dijadikan Naibul Fail .

 

Ada empat kata yang dapat dijadikan Naibul Fail, yaitu:

  1. Maf’ul Bih. Contoh: menjadi
  2. Zharaf. Contoh: menjadi
  3. Jer Majrur. Contoh:
  4. Mashdar. Contoh:

 

Dua Maf’ul yang Hendak Dijadikan Naibul Fail

 

Apabila ada fiil yang Mwa’addi pada dua maf’ul, dan hendak dijadikan Naibul fail, maka salah satunya saja yang dijadikan Naibul Fail, sedangkan maf’ul yang satunya lagi tetap dibaca nashab sebagai maf’ul. Contoh:

 

Tujuan Membuat Susunan Naibul Fail

 

Sebab-sebab membuang fail dan menempatkan Naibul Fail sebagai penggantinya, adalah sebagai berikut:

  1. Failnya telah diketahui. Contoh:
  2. Failnya tidak diketahui. Contoh:
  3. Adanya rasa takut pada fail. Contoh:
  4. Untuk merahasiakan. Contoh:
  5. Tidak perlu menyebutkan. Contoh:

 

 

 

Mubtada”

 

Mubtada’ adalah isim yang dibaca rafa’, yang sepi dari amil-amil lafzhi.

 

Pembagian Mubtada’

 

Mubrada’ itu ada dua bagian, yaitu: Zhahir dan Mudhmar. Mubtada ‘ Mudhmar adalah mubtada’ yang terdiri dari isim dhamir munfashil, contoh:

 

– Dia (laki-laki satu) adalah orang yang alim.

-Mereka berdua (laki-laki) adalah dua orang yang alim.

– Mereka banyak (laki-laki) adalah orang-orang yang alim.

– Dia (perempuan satu) adalah orang yang alim.

– Mereka berdua (perempuan) adalah dua orang yang alim.

-Mereka banyak (perempuan) adalah orang-orang yang alim.

– Kamu (laki-laki satu) adalah orang yang alim.

– Kamu berdua (laki-laki) adalah dua orang yang alim.

– Kamu semua (laki-laki) adalah orang-orang yang alim.

– Kamu (perempuan saru) adalah orang yang alim.

– Kamu berdua (perempuan) adalah dua orang yang alim.

– Kamu semua (perempuan) adalah orang-orang yang alim.

– Saya seorang laki-laki’/perempuan adalah orang yang alim.

– Kami laki-laki adalah orang-orang yang alim.

– Kami perempuan adalah orang-orang yang alim.

 

Sedangkan mubrada’ isim zhahir itu ada dua bagian, yaitu:

  1. Mubtada’ yang mempunyai khabar. Contoh:

 

  1. Mubtada’ yang hanya mempunyai isim yang dirafa’kan, yang menduduki tempat khabar. Mubtada’ yang demikian ini adalah mubtada’ yang terdiri dari isim fail atau isim maf’ul, yang didahului oleh istifham atau nafi. Contoh:

 

Kata   dalam kalimat   , adalah mubtada”, sedangkan kata  adalah fail yang menempati tempat khabar.

 

Kata   dalam kalimat   dalah mubtada’, sedangkan kata   adalah naibul fail yang menempati tempat khabar.

 

Syarat-Syarat Mubtada’

 

Mubtada’ itu tidak boleh terdiri dari isim Nakirah, kecuali ada musawwigh (sebab). Musawwigh itu banyak, di antaranya:

  1. Mubtada’ Nakirah itu didahului oleh naft atau istifham. Contoh:

 

Kata dan  meskipun isim nakirah, tapi boleh dijadikan mubtada” , sebab didahului oleh nafi berupa dan istifham berupa

 

  1. Mubtada’ Nakirah itu disifati. Contoh:

 

Kata   adalah nakirah, meskipun demikian boleh dijadikan mubtada’, sebab disifati kata 

 

  1. Mubtada’ Nakirah itu dimudhafkan. Contoh:

 

Kata   adalah isim nakirah dan berkedudukan sebagai mubtada’, meskipun nakirah, tetapi ia mudhaf pada

 

  1. Mubtada’ Nakirah itu jatuh sesudah khabar yang berupa zharaf atau jer majrur. Contoh:

 

Kata  dalam contoh pertama berkedudukan sebagai mubtada’, meskipun ia isim nakirah, sebab jatuh sesudah khabarnya, yang terdiri dari zharaf, berupa   .

 

Kata   dalam contoh kedua berkedudukan sebagai Mubrada’, meskipun ia isim nakirah, sebab jatuh sesudah khabarnya, yang terdiri dari jer majrur, berupa  

 

Kadang-kadang Mubrada’ itu berupa Masdar Muawwal, yakni dari  dan   , contoh:

 

Kata   yang terdiri dari   dan fiil mudhari’   itu disebut Masdar Muawwal, kedudukannya adalah menjadi Mubrada’. Kata itu bisa dijadikan Masdar Shorih, yaitu: 

 

Khabar

 

Khabar adalah bagian yang menyempurnakan pengertian kalimat bersama mubrada’. Dengan kata lain, khabar adalah bagian yang menyempurnakan arti mubtada’

 

Pembagian Khabar

 

Khabar itu ada dua bagian, yaitu khabar mufrad dan khabar ghairu mufrad.

  1. Khabar Mufrad. Khabar Mufrad adalah khabar yang tidak terdiri dari jumlah dan tidak pula terdiri dari Syibhul Jumlah. Contoh:

– Zaid adalah berdiri

– Dua Zaid adalah berdiri keduanya

– Beberapa Zaid adalah berdiri semua.

– Zaid adalah saudaramu.

 

Kata  dalam contoh tersebut di atas adalah khabar mufrad.

 

  1. Khabar Ghairu Mufrad.

Khabar ghairu mufrad adalah khabar yang terdiri dari jumlah atau syibhul jumlah.

 

Khabar jumlah itu adakalanya terdiri dari:

  1. Jumlah (kalimat) ismiyah. Contoh:

– Zaid itu hamba perempuannya hilang

– Pakaian takwa, itulah yang lebih baik.

– Katakanlah Dia-lah, Allah Yang Maha Esa .

 

Kata  dalam contoh pertama adalah mubtada ‘. Khabarnya   berupa kalimat  Kata menjadi mubtada’ yang khabarnya . Susunan kalimat mubtada’ dan khabar ini menjadi khabar mubtada’ 

 

Gabungan kata (susunan mudhaf dan mudhaf ilaih) adalah menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat   . Kata  menjadi mubtada’ yang khabarnya adalah . Susunan kalimat yang terdiri dari mubtada’ dan khabar ini, menjadi khabar mubtada’   .

 

Kata dalam contoh ketiga adalah menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat . Kata menjadi mubtada’ yang khabarnya  . Susunan mubtada” dan khabar ( ) ini menjadi kkabar dari mubtada’

 

  1. Jumlah (kalimat) fi’liyah. Contoh:

– Zaid, telah berdiri ayahnya.

– Dan Tuhanmu menciptakan apa yang

– Dia kehendaki.

– Dan Allah menyempitkan dan N melapangkan rezeki.

– Allah itu mewafatkan jiwa.

 

Kata   dalam contoh ke-1 berkedudukan menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat yang terdiri dari fiil dan fail, yaitu: 

 

Kata dalam contoh ke-2 berkedudukan menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat yang terdiri dari fiil dan fail, serta maf’ul, berupa kalimat:  

 

Kata dalam contoh ke-3 berkedudukan menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat yang terdiri dari fiil dan fail, yaitu:

 

Kata   dalam contoh ke-4 berkedudukan menjadi mubrtada’. Khabarnya berupa kalimat yang terdiri dari fiil dan fail, yaitu:

 

Khabar itu harus mengandung dhamir yang berhubungan dengan mubtada’.

 

Adapun Khabar Syibhul Jumlah itu ada dua, yaitu:

  1. Zharaf. Contoh:

– Zaid berada di sampingmu.

– Pergi itu besok.

– Kafilah itu berada di bawah kalian.

 

Kata  dalam contoh ke-1 berkedudukan sebagai mubrada’.

 

Khabarnya terdiri dari Zharaf Makan (keterangan tempat), yaitu:

 

Kata dalam contoh ke-2 berkedudukan sebagai mubtada’. Khabarnya terdiri dari Zharaf Zaman (keterangan waktu): yaitu:

 

  1. Jar Majrur. Contoh:

– Zaid berada di rumah.

– Segala puji milik Allah.

 

Zharaf dan Jar Majrur itu apabila berkedudukan menjadi khabar, maka pasti berhubungan dengan kata yang dibuang, yang perkiraannya berupa kata:  atau

 

Syarat Khabar yang Terdiri dari Zharaf Zaman

 

Zharaf zaman (keterangan waktu) itu tidak boleh menjadi khabar dari mubtada’ yang terdiri dari isim dzar. Karena itu, tidak boleh ada kalimat seperti: 

 

Zharaf zaman itu hanya boleh menjadi khabar dari mubtada’ yang berupa isim ma’ani, seperti:

– Puasa itu pada hari ini.

– Berangkat itu pada esok hari.

 

Adapun ungkapan para ahli nahwu yang berbunyi:  , itu perlu ditakwil menjadi  

 

Khabar dalam Kalimat

 

Khabar itu boleh lebih dari satu, sedangkan mubrtada’nya tetap satu, contoh:

 

– Zaid adalah seorang penulis dan penyair.

 

Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, yang mempunyai arasy, Maha Mulia lagi Maha Kuasa melakukan apa yang dikehendakiNya.

 

Kata   dalam contoh pertama adalah menjadi mubtada’, yang khabarnya lebih dari satu, yaitu:  dan  .

 

Dhamir   dalam ayat di atas berkedudukan sebagai mubrada’, yang khabarnya terdiri dari beberapa kata, yaitu:

 

Posisi Khabar dalam Kalimat .

 

Posisi khabar itu aslinya berada setelah mubrada’, sebagaimana dalam contoh-contoh di atas. Tetapi, kadang-kadang khabar itu boleh mendahului mubtada’. Contoh:

– Di dalam rumah ada Zaid.

 

Kadang-kadang khabar itu wajib mendahului mubtada’nya, contoh:

– Di mana Zaid?

– Di sisimu, hanyalah Zaid.

– Ataukah pada hati mereka terdapat kunci-kuncinya?

– Di rumah ada seorang laki-laki.

 

Kata   dalam contoh ke-1 berkedudukan sebagai khabar yang mendahului mubtada’nya, yaitu:   Tujuan mendahulukan khabar dalam kalimat ini adalah untuk mentakhsis.

 

Kata   dalam contoh ke-2 berkedudukan sebagai khabar dari mubtada’ is . Khabar dalam susunan kalimat ini wajib mendahului mubtada”, sebab ia terdiri dari kata yang wajib berada di permukaan, karena terdiri dari istifham atau kata tanya.

 

Kata  dalam contoh ke-3 berkedudukan menjadi khabar dari mubtada’ . Khabar dalam susunan kalimat ini wajib mendahului mubtada’, karena mubtada’ mengandung dhamir yang kembali pada khabar.

 

Kata yag dalam contoh ke-4 berkedudukan sebagai khabar dari mubtada’ . Khabar dalam susunan kalimat seperti ini, harus mendahului mubtada’, sebab dalam kalimat ini mubtada’ terdiri dari Isim Nakirah dan khabar terdiri dari jar majrur.

 

Membuang Mubtada’ dan Khabar

 

Kadang-kadang mubtada” itu dibuang. Begitu pula khabar, kadangkadang juga dibuang secara jaiz. Contoh:

 

Kata  di atas berkedudukan sebagai mubtada’, yang khabarnya dibuang, berupa kata . Sedangkan kata berkedudukan sebagai khabar yang mubtada’nya dibuang, berapa kata: 

 

Adapun asal susunan kalimat di atas adalah:

 

Khabar yang Wajib Dibuang

 

Khabar itu wajib dibuang, apabila berada:

  1. Sesudah kata Contoh:

– Kalau tidak karena kalian, pasti kami menjadi orang-orang yang beriman.

 

Kata dalam ayat di atas berkedudukan sebagai mubtada’ yang khabarnya wajib dibuang, sebab jatuh sesudah kata.  Takdir susunan kalimat tersebut adalah:

 

  1. Sesudah Qosam (sumpah) yang jelas.

Contoh:

–  Demi umurmu, sesungguhnya mereka adalah…

 

Kata   berkedudukan sebagai mubtada’ yang khabarnya wajib dibuang, sebab terdiri dari kata sumpah atau qosam.

Asal susunan kalimat tersebut secara lengkap adalah:

 

  1. Sesudah Wawu Maiyyah. Contoh: Setiap yang berprofesi serta profesinya.

 

Susunan   itu berkedudukan sebagai mubtada’ yang khabarnya wajib dibuang, berupa kata   , karena jatuh sesudah Wawu Maiyyah.

 

  1. Sebelum Hal, yang tidak pantas dijadikan khabar. Contoh:

 

 Pukulanku pasti mengenai Zaid, apabila dia berdiri.

 

Susunan  berkedudukan sebagai mubtada’ yang khabarnya wajib dibuang, berupa kata   , Sebab jatuh sebelum kata yang berkedudukan sebagai Hal (keterangan keadaan), yang apabila kata itu dijadikan khabar tidak pantas.

 

Macam-macam Amil yang Masuk pada Mubtada’ dan Khabar

 

Amil yang masuk pada mubtada’ dan khabar itu disebut Amil Nawasikh. Sedangkan Amil Nawasikh yang masuk pada mubtada’ dan khabar itu ada tiga, yaitu:

 

Pertama, amil yang merafa ‘kan mubtada’ dan menashabkan khabar, yaitu berupa  dan saudara-saudaranya, huruf-huruf yang disamakan dengan   fiil-fiil Muqarabah.

 

Kedua, amil yang menashabkan mubtada’ dan merafa’kan khabar, yaitu berupa   dan saudara-saudara serta  Nafi Jinsi.

 

Ketiga, amil yang menashabkan mubtada’ dan khabar sekaligus, yaitu berupa dan saudara-saudaranya.

 

 

Kaana (. ) dan saudara-saudaranya itu merafa’kan mubtada’, karena serupa dengan fail. Selanjutnya, ia disebut sebagai isimnya dan menashabkan khabar, karena serupa dengan Maf’ul. Selanjutnya, ia disebut sebagai khabarnya. Contoh:    

 

Kata.   sebelum dimasuki  berkedudukan sebagai mubtada  Setelah dimasuki   , berubah menjadi isim   , tidak lagi disebut mubtada’. Sedangkan kata   sebelum dimasuki  , berkedudukan sebagai khabar dan dibaca rafa”. Tetapi setelah dimasuki   ia berubah menjadi khabar dan barus dibaca nashab. Bentuk susunan kalimat tersebut sebelum dimasuki  adalah:

 

Pembagian Kaana (.  ) dan Saudara-saudaranya dalam Beramal

 

Fiil-fiil ini (Kana dan saudara-saudaranya) dalam beramal terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Beramal merafa’kan mubtada’ dan menashabkan khabar tanpa syarat, yaitu: .
  2. contoh:
  3. , Contoh:
  4. contoh:
  5. contoh:
  6. contoh:
  7. contoh:
  8. contoh:
  9. contoh:

 

  1. Beramal dengan syarat didahului oleh nafi, nahi atau doa, yaitu:
  2. , contoh:

– Dan mereka senantiasa berselisih.

 

“Hai, temanku, bersiap-siaplah kamu, dan ingatlah selalu akan mati, karena lupa mati itu merupakan kesesatan yang nyata.

 

– Semoga hujan selalu menyiramimu.

 

  1. contoh: Hasan selalu membaca pelajaran-pelajarannya.
  2. , contoh: Kami akan tetap menyembah patung anak sapi ini.
  3. contoh: Orang-orang Islam selalu berpuasa pada bulan Ramadhan.

 

  1. Beramal dengan syarat didahului oleh Ma ( ) Mashdariyyah ZharJiyyah, yaitu: , contoh: Selama akui masih hidup.

 

Ma (. ) yang menyertai   ini disebut Mashdariyah, karena ia  . , ditakdirkan sebagai mashdar, yaitu: . Kalau diperkirakan menjadi .Ma (.  ) tersebut disebut zharfiyyah, sebab menjadi ganti zharaf berupa kata . Jadi, ditakdirkan menjadi Posisi Khabar Kaana (   ) dan Saudara-saudaranya dalam Kalimat

 

Khabar Kana dan saudara-saudaranya itu boleh diletakkan di tengahtengah antara kana dan isimnya, contoh:       Adalah hak kami menolong orang-orang yang beriman.

 

Kata adalah khabar Kana, yang posisinya di antara   dan isimnya, yaitu:     Bentuk asal susunan tersebut adalah:

 

“Bertanyalah kepada orang-orang, jika engkau tidak mengetahui tentang saya dan mereka. Sebab, tidaklah sama antara orang yang mengetahui”

 

dan orang yang tidak mengetahui.”

 

Kata dalam separo syair di atas berkedudukan sebagian Ia berada di antara lafal dan isimnya, yaitu kata   Kalau menurut bentuk asal susunan adalah:

 

Khabar Kana ( ) dan saudara-saudaranya itu bahkan boleh mendahului Kana (  ) dan saudara-saudaranya itu sendiri, kecuali Laisa (   ) dan Daama (   ). Contoh: . Orang yang alim adalah Zaid.

 

Bentuk asli susunan kalimat di atas adalah:  Adalah Zaid orang yang alim.

 

Amal Tashrif Kana dan Saudara-saudaranya

 

Tashrifan Kana (   ) dan saudara-saudaranya, seperti bentuk mudhari ‘, amar, mashdar dan isim fail dari Kana dan saudara-saudaranya Itu dapat beramal sebagaimana bentuk madhi-nya. Contoh:

  1. Dari fiil mudhari’ Kana: Supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman.
  2. Dari ftil amar Kana:

– Katakanlah, jadilah kalian batu atau besi.

  1. Dari mashdar Kana:

– Telah menggembirakanku keberadaan Ali sebagai siswa yang giat.

  1. Dari isim fail Kana:

– Dan tidaklah semua orang yang menampakkan manis mukanya itu adalah saudaranya, jika dia tidak menolongmu.

  1. Dari isim maf’ul Kana:

– Muhammad itu dijadikan orang yang mulia.

 

Kana dan Saudaranya yang Tidak Mempunyai Khabar

 

Kana (   ) dan saudara-saudaranya itu bisa diberlakukan sebagai Fiil Tam, artinya tidak mempunyai khabar, kecuali zaala ( ), faria   dan laisa (    ). Ketiga saudara Kana ini selalu diberlakukan sebagai fiil naqis (mempunyai isim dan khabar), contoh: .

 

 “Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan, maka berilah tempo sampai dia dalam keadaan lapang.”

 

“Maka bertasbihlah kepada Allah, ketika kalian berada di waktu petang dan ketika kalian di waktu pagi.”

 

Kana (  ) dalam contoh pertama itu berfungsi sebagai fiil tam, karena itu ia hanya mempunyai isim, yaitu kata  , tidak memiliki khabar.

 

Kata   dan   dalam contoh kedua itu berfungsi sebagai Jiil tam, karena itu kata  dan   itu hanya mempunyai isim, berupa dhamir dan tidak memiliki khabar.

 

Ketentuan yang Berlaku pada Kana secara Khusus .

 

Kana (.  ) itu memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh saudara-saudaranya. Di antara keistimewaan kana adalah:

  1. Boleh diberlakukan sebagai tambahan (tidak berarti apa-apa), dengan syarat lafalnya berbentuk madhi dan berada di tengah kalimat. Contoh:

– Betapa bagus si Zaid.

 

Kana (   ) dalam kalimat tersebut adalah tambahan. Susunan kalimat tersebut sama dengan

  1. Kana ( )dan isimnya boleh dibuang, sedangkan khabarnya masih tetap ada. Biasanya berada sesudah dan  Syarthiyyah. Contoh:

– Carilah, walaupun berupa cincin dari besi.

 

Kata   dalam kalimat di atas dibaca nashab, karena berkedudukan sebagai khabar kana (  ) yang telah dibuang bersama isimnya. Asal susunan kalimat tersebut adalah:

 

– Apabila amalnya baik, maka balasannya baik, dan apabila amalnya buruk, maka balasannya buruk.

 

Kata  dalam kalimat di atas dibaca nashab, karena berkedudukan sebagai khabar kana (.  ) yang telah dibuang bersama isimnya. Asal susunan kalimat tersebut adalah:

 

  1. Nun lafal kana (. ), ketika mudhari” boleh dibuang, apabila beri’rab Jazem dan tidak bertemu dengan huruf mati serta tidak bertemu dhamir muttashil yang beri’rab nashab. Contoh:

– Dan aku bukanlah seorang pezina.

– Dan janganlah engkau bersempit dada.

– Dan jika ada kebaikan sebesar dzarrah.

 

Kata   dalam contoh pertama berasal dari kata . Kata  dalam contoh kedua dan ketiga berasal dari kata:   

 

Huruf yang Serupa dengan Laisa (.  )

 

Adapun huruf-huruf yang disamakan dengan laisa ada empat, yaitu:  , Maa  , Laa (. ), In (   ) dan Laata (    ).

 

1 Syarat Maa bisa beramal Laisa

 

Adapun huruf maa (   ) menurut orang Hijaz itu bisa beramal seperti laisa (   ) dengan syarat: – 

 

  1. Tidak bersamaan dengan in ( ).
  2. Khabar maa tidak didahului oleh huruf Illaa ( ).
  3. Khabar maa tidak mendahului isim-nya.
  4. Ma’mul khabar maa tidak mendahului isimnya, kecuali jika ma tersebut terdiri dari zharaf atau jar majrur.

 

Contoh maa (. ) yang memenuhi syarat-syarat tersebut adalah:

– Tidaklah Zaid pergi.

– Bukanlah ini seorang manusia.

– Bukanlah istri mereka itu, ibu mereka.

 

Maa (  ) yang Tidak Memenuhi Syarat .

Apabila maa  () itu disertai in ( ), maka tidak bisa beramal seperti laisa. Contoh:

– Tidaklah Zaid berdiri.

 

Demikian juga apabila khabarnya didahului huruf Illaa (.  ). Contoh:

– Muhammad itu tidak lain, kecuali seorang rasul.

 

Termasuk juga apabila khabar maa (  ) mendahului isimnya. Contoh:

 

– Tidaklah orang yang berdiri itu Zaid.

 

Begitu pula maa (. ) tidak bisa beramal seperti laisa, apabila ma’mul khabar tidak berupa zharaf dan mendahului isimnya. Contoh:

– Zaid tidak memakan makanan.

 

Apabila ma ‘mul khabar terdiri dari zharaf, maka maa ( ) tetap bisa beramal seperti laisa, contoh:

– Zaid tidak duduk di sisimu.

 

Kata   adalah menjadi isim maa, dan khabarnya berupa kata   Sedangkan kata   adalah ma’mul   . Asal susunan kalimat di atas adalah:  

 

Menurut orang-orang Tamim, maa (  ) itu tidak bisa beramal seperti amal /aisa, meskipun telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.

 

  1. Syarat Laa ( ) Bisa Beramal Seperti. Laisa

 

Adapun Laa (   ) menurut orang-orang Hijaz, itu bisa beramal   seperti Laisa (   ) dengan syarat-syarat yang ada pada maa ( ) dan ditambah satu syarat lagi, yaitu isim dan khabarnya harus berupa Isim Nakirah. Contoh:

– Tidak ada laki-laki yang lebih mulia daripada kamu.

 

Amal laa (  ) ini umumnya.sering terdapat dalam syair. Contoh:

 

“Bersabarlah, karena tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang kekal, dan tidak ada tempat berlindung yang dapat menyelemarkan diri dari apa yang telah diputuskan Allah.”

 

Kata   dalam separo pertama syair di atas, berkedudukan sebagai isim laa (   ), sedang khabarnya berupa kata Kau Keduanya nakirah.

 

Kata  dalam separo kedua syair tersebut, berkedudukan sebagai isim laa (   ), sedang khabarnya berupa kata  . Keduanya adalah nakirah.

 

  1. Syarat In ( ) Beramal seperti Laisa (“153 )

 

Adapun In (   ) nafi itu bisa beramal seperti amal Jaisa, menurut penduduk Aliyah, dengan syarat-syarat yang berlaku pada lafal maa (  ), baik isimnya terdiri dari isim makrifat atau nakirah. Contoh:

– Tidaklah Zaid itu berdiri.

 

Ada ungkapan yang populer di kalangan penduduk Aliyah, yang berbunyi:

 

“Tidaklah seseorang itu lebih baik daripada orang lain, kecuali sebab kesehatannya.”

 

  1. Syarat Laata ( ) Beramal seperti Laisa (. )

 

Adapun lafal Laata (   ) itu bisa beramal seperti amal Laisa, (   ) dengan syarat isim dan khabarnya berupa lafal dan salah satu isim atau khabarnya dibuang, tetapi umumnya yang dibuang adalah isimnya. Contoh:

-Kemudian mereka meminta tolong, padahal waktu-waktu itu, bukanlah saat untuk melarikan diri.

 

Kata   dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai khabar Laata (.  ), sedangkan isimnya dibuang, yang berupa kata   Susunan aslinya adalah:

 

Kalimat di atas boleh juga dibaca:   Dengan merafa kan kata   , karena berkedudukan sebagai isim Laara (   ), sedangkan khabarnya dibuang. Susunan aslinya adalah:

 

 Al-Af’al Al-Muqarabah

 

Al-Af’al Al-Muqarabah itu ada tiga bagian, yaitu:

  1. Fiil yang digunakan untuk menunjukkan dekatnya khabar. Lafalnya yaitu : dan  
  2. Fiil yang digunakan untuk mengharapkan terjadi peristiwa yang terkandung dalam khabar. Lafalnya yaitu: dan
  3. Fiil yang digunakan untuk menunjukkan pengertian memulai atau kesiapan. Fiil seperti ini jumlahnya banyak, antara lain:

 

Amal Al-Af’alul Muqarabah

 

Al-Af’al Al-Muqarabah tersebut bisa beramal seperti kaana (   ), yaitu merafa’kan mubtada’ sebagai isimnya dan menashabkan khabar sebagai khabarnya. Hanya saja khabar Al-Af’al Al-Muqarabah itu harus terdiri dari fiil mudhari’ yang jatuh sesudahnya, dan umumnya merafa’ kan isim dhamir yang merujuk pada isimnya. 

 

Hampir saja kemiskinan itu menjadi kekafiran.

 

Kata    dalam contoh pertama berkedudukan sebagai isim kaada,  dan khabarnya berupa fiil mudhari’  , yang mengandung dhamir yang merujuk pada kata 

 

Kata   dalam contoh kedua berkedudukan sebagai isim   (bentuk mudhari’ kata   ), dan khabarnya berupa fiil mudhari’   yang mengandung dhamir yang merujuk pada kata  

 

Hukum Memasukkan An (  ) pada Khabar AI-Af’al Al-Muqarabah

 

Khabar Al-Af’al Al-Muqarabah itu harus dimasuki kata an       apabila fiil. Muqarabah berupa  dan . Contoh:

-Pantas Zaid berdiri.

– Hampir saja langit menurunkan hujan

 

Kata   dalam contoh pertama berkedudukan menjadi khabar Fiil muqarabah   , Sedangkan isimnya adalah kata

 

Kata dalam contoh kedua berkedudukan menjadi khabar Fiil muqarabah , Sedangkan isimnya adalah kata Apa Apabila Af’alul Mugarabah berupa kata  , maka khabarnya tidak boleh dimasuki   (. ). Contoh:

– Dan mulailah keduanya menutupinya.

 

Kata  , berkedudukan menjadi khabar fiil mugarabah , sedangkan isimnya berupa Dhamir Mustatir.

 

Apabila fiil mugarabah itu berupa kata dan maka umumnya khabarnya dimasuki An (  ). Contoh:

– Mudah-mudahan Allah memberi kemenangan.

– Hampir orang itu terjerumus pada perbuatan yang dilarang.

 

Sedangkan fiil muqarabah  dan  khabarnya itu umumnya tidak dimasuki An (  ) Contoh:

 

– Dan hampir saja mereka tidak melakukan perintah itu.

 

“Hampir saja hati ini hancur, karena sedih, ketika para pengadu domba itu mengatakan, bahwa Hindun sangat marah.”

Inna (.   ) dan saudara-saudaranya itu beramal me-nashab-kan mubrada’ menjadi isimnya dan merafa’kan khabar menjadi khabarnya.

 

Saudara-saudara Inna dan Maknanya

 

Inna dan saudara-saudaranya itu ada enam, yaitu:

 

  1. Inna/Anna ( ), keduanya untuk mengukuhkan (taukid) hubungan antara subjek dan predikat. Contoh:

– Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

-Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Tuhan yang hak.

 

  1. Ka-anna ( ) untuk menyerupakan pengertian yang dikukuhkan. Contoh:

– Sepertinya Zaid itu singa.

 

  1. Laakinna ( ) untuk Istidrok (menyebutkan suatu kata sesudah kalimat yang mendahuluinya, untuk meniadakan suatu pengertian yang diduga ada, atau menetapkan adanya suatu pengertian yang diduga tidak ada). Contoh:

– Zaid itu pemberani, tetapi kikir.

 

  1. Laita ( ) untuk menunjukkan pengertian famanni, yaitu mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Contoh:

– Andai masa muda itu kembali lagi.

 

  1. La’alla ( ), untuk menunjukkan pengertian tarajji, yaitu mengharapkan s-suatu yang diinginkan. Contoh:

 

– Mudah-mudahan Zaid itu datang.

 

Selain itu La’alla juga menunjukkan pengertian rawaqqu’, yaitu mengenai terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Contoh:

– Barangkali Amar celaka.

 

Posisi Khabar Inna dan Saudara-saudaranya dalam Kalimat

 

Khabar Inna (            ) dan saudara-saudaranya tidak boleh mendahului inna dan saudaranya serta tidak boleh berada di tengah-tengah antara inna dan isimnya, kecuali jika khabarnya berupa zharaf atau jar majrur.Contoh:

– Sesungguhnya di sisi kami ada belenggu-belenggu.

 

Kata adalah menjadi khabar inna. Ia boleh berada di tengah antara inna dan isimnya, yaitu kata  , karena  adalah zharaf.

 

– Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat pelajaran.

 

Kata   adalah menjadi khabar inna. Ia boleh berada di tengah antara inna dan isimnya, yaitu kata  , karena   adalah

 

Hamzah         harus dibaca kasrah

 

Hamzah lafal   itu harus dikasrah, apabila:

  1. Inna (. ) berada di permukaan kalimat. Contoh:

– Sesungguhnya Kami telah menurunkan Algur-an pada malam Lailatul Qadar.

 

  1. Inna (. ) jatuh sesudah lafal yang menjadi pembuka kalimat. Contoh:

 – Ingat, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah khawatir.

 

  1. Inna ( ) jatuh sesudah lafal . Contoh:

– Saya duduk di tempat Zaid benar-benar duduk.

 

  1. Inna ( ) jatuh sesudah Qosam. Contoh:

– Demi Kitab yang menjelaskan, sesungguhnya Kami telah menurunkannya.

 

  1. Inna ( ) jatuh sesudah kata Qalla. Contoh: .

– Isa berkata: Sesungguhnya saya adalah hamba Allah.

 

6: Khabar Inna ( ) dimasuki huruf Lam Ibtida’. Contoh:

– Dan Allah mengetahui, bahwa sesungguhnya engkau benar-benar utusan-Nya.

– Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya orang-orang munafik benar-benar pendusta.

 

Hamzah  Harus Dibaca Fathah

 

Hamzah         itu harus difathah, apabila:

  1. Anna ( ) berkedudukan sebagai fail. Contoh: .

– Apakah belum cukup bagi mereka, bahwa sesungguhnya Kami telah menurunkan …

 

  1. Anna (. ) berkedudukan sebagai naibul fail. Contoh:

“Katakanlah: Telah diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya sekumpulan jin telah mendendengarkan Alqur-an.”

 

  1. Anna ( ) berkedudukan sebagai maf’ul. Contoh:

– Padahal kamu tidak takut, bahwa sesungguhnya kamu , mempersekutukan Allah.

 

  1. Anna ( ) berkedudukan sebagai mubtada’. Contoh:

 

“Di antara tanda-tanda-Nya, bahwa sesungguhnya engkau melihat bumi kering tandus.”

 

  1. Anna ( ) dimasuki huruf jar. Contoh:

– Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak.

 

Hamzah   Boleh Dibaca Fathah atau Kasrah

 

Hamzah boleh dikasrah atau difathah, apabila:

  1. Berada sesudah fa’ ( ) jawab. Contoh:

 

“Barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian dia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Kata dalam ayat tersebut boleh dibaca Artinya, hamzah   boleh dibaca fathah dan boleh dibaca kasrah.

 

  1. Berada sesudah Idzaa ( ) fujaiyyah. Contoh:

 

Hamzah dalam kalimat di atas, boleh difathah dan boleh dikasrah, karena jatuh sesudah huruf    fujaiyyah.

 

  1. Berada pada tempat yang memberi pengertian ta’lil. Contoh:

– Kami menyembah-Nya, karena sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.

– Kupenuhi panggilan-Mu karena sesungguhnya segala puji dan nikmat itu milik-Mu.

 

Hamzah  dalam kalimat di atas. boleh dibaca kasrah dan boleh dibaca fathah.

 

Memasukkan Lam Ibtida’ pada Kata Sesudah Inna ( )

 

Lam Ibrida’ itu boleh masuk pada kata yang berada sesudah huruf   Inna (yang hamzahnya dibaca kasrah). Kata sesudah Inna yang boleh uimasuki Lam Ibrida’ itu adalah:

 

  1. Khabar Inna yang diakhirkan dan mutsbar. Contoh:

– Sesungguhnya Tuhan sangat cepat siksaan-Nya.

– Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

  1. Isun Inna yang jatuh sesudah khabarnya. Contoh:

– Sesungguhnya pada yang demikian itu  terdapat pelajaran.

 

Kata adalah isim inna, yang jatuh sesudah khabarnya, yaitu   kata

 

  1. Dzamir Fashl. Contoh:

– Sesungguhnya ini adalah kisah yang nyata.

 

Kata   dalam ayat di atas berkedudukan menjadi isim  Kata adalah dhamir fashl yang dimasuki lam ibrida’. Sedangkan  kata berkedudukan sebagai khabar inna.

 

  1. Ma’mul khabar yang mendahului khabar inna itu sendiri. Contoh:

– Sesungguhnya Zaid adalah orang yang memukul Amar.

 

Kata  , berkedudukan sebagai isim inna. Kata  adalah ma’mul (maf’ul) kata   , yang berkedudukan sebagai khabar inna. Asal  susunan kalimat tersebut adalah:

 

Menambahkan Huruf , pada Inna dan Saudaranya

 

Inna dan saudara-saudaranya itu boleh ditambah maa (  ) zaidah dan amalnya menjadi batal. Artinya, Inna dan saudaranya yang dimasuki maa (4 ) itu tidak bisa beramal, kecuali Laita ( ), boleh beramal dan boleh tidak beramal. Contoh: 

 

– Hanya Allah-lah, Tuhan Yang Maha Esa.

– Seakan-akan Zaid berdiri.

– Terapi Zaid berdiri.

– Barangkali Zaid berdiri.

 

Kata  ,   dan   dalam contoh-contoh tersebut, berasal dari   dan Ia yang dimasuki maa (  ) zaidah. Karena itu, tidak beramal menashabkan mubtada’ dan merafa” kan khabar.

 

Adapun Laita (   ), meskipun dimasuki maa (. ), maka ia tetap boleh beramal menashabkan mubtada’ dan merafa’ kan khabar atau tidak beramal. Contoh:

– Seandainya Zaid berdiri.

 

Kata   dibaca nashab menjadi isim , dan menjadi khabarnya. Kata : dalam contoh ini masih tetap beramal.

 

Boleh juga tidak beramal, dan kata   dibaca rafa”, sehingga susunannya menjadi

 

Hukum Mentakhfif Nun Inna ( )

 

Inna (   ) itu boleh ditakhfif nunnya. artinya nun inna itu disukun, tidak ditasydid. Apabila inna itu di-takhftf, maka yang paling banyak tidak beramal dan sedikit sekali yang masih beramal. Contoh yang di-takhfif, yang tidak beramal:

– Sesungguhnya setiap orang yakin. ada penjaganya.

 

Huruf dalam ayat di atas berasal dari   yang di-takhfif. Ia tidak lagi beramal menashabkan mubtada”. Karena itu, kata sesudahnya tetap dibaca rafa’.

 

Contoh  yang di-takhfif dan tetap beramal:

 

Kata dibaca nashab menjadi isim in ( ) yang mukhaffa dari  

Hal yang demikian itu menurut qiraat orang yang mentakhfif dan , yang terdapat dalam dua ayat di atas.

 

Apabila hal yang dimaksud di-muhmal-kan (meniadakan pengamalan in), maka khabarnya wajib disertai lam ibrida’.

 

Hukum Mentakhfif Nun Anna (  )

 

Anna ( ) yang difathah hamzahnya itu, nun-nya boleh di-rakhfif menjadi An (   ) dan masih tetap beramal, dengan syarat:

  1. Isimnya harus berupa dhamir sya-an yang dibuang.
  2. Khabarnya berupa jumlah atau kalimat. Contoh:

 

Huruf dalam kalimat di atas berasal dari   , yang tetap beramal. Adapun isimnya berupa dhamir sya-an yang telah dibuang, sedangkan khabarnya berupa jumlah atau kalimat.

 

Hukum dan yang Di-takhfif Nun-nya

 

Ka-anna ( ) itu nun-nya boleh di-rakhfif dan masih tetap beramal. Dalam keadaan yang demikian ini, isimnya boleh dibuang dan boleh disebutkan. Contoh:

 

“Seakan-akan seekor kijang itu memanjat pohon berduri yang lebat daunnya.”

 

Kata  adalah dari   , yang nun-nya di-takhfif dan ia masih . tetap beramal. Kata  adalah isim

 

Adapun Laakinna ( ) apabila di-nun-nya di-takhftf, maka tidak bisa beramal.

 

Laa ( ) Nafi Jinsi

 

Adapun Laa (  ) Nafi Jinsi yang dimaksud di sini adalah meniadakan semua jenis secara pasti. Contoh: 

 

– Tidak seorang laki-laki pun di dalam rumah.

 

Amal Laa (  ) Nafi Jinsi

 

Laa (  ) nafi jinsi itu bisa beramal seperti amal inna ( ), yaitu menashabkan mubtada’ menjadi isimnya dan merafa’kan khabar menjadi khabarnya, dengan syarat:

  1. Isim dan khabarnya terdiri dari isim nakirah.
  2. Isimnya sambung langsung dengannya.

 

Apabila isim laa ( ) berupa kata yang mudhaf atau serupa dengan mudhaf, maka hukum isim  Itu mu’rab dan dibaca nashab. Contoh:

– Tidak ada seorang pun yang berilmu terkutuk.

– Tidak ada seorang pendaki gunung pun  hadir.

 

Pengertian Serupa Mudhaf

 

Pengertian serupa mudhaf ialah isim yang berhubungan dengan isim lain yang menyempurnakan maknanya. Apabila isim laa (  ) mufrad, maka dimabnikan menurut alamat nashabnya ketika mu’rab.

 

Penpertian mufrad dalam bab ini sama dengan pengertian mufrad dalam Bab Munada, yaitu kata yang tidak mudhaf dan tidak serupa dengan mudhaf, meskipun berupa tatsniyah atau jamak.

 

Apabila isim laa (  ) berupa isim mufrad atau jamak taksir, maka harus dimabnikan fathah. Contoh:

– Tidak ada seorang laki-laki pun datang.

– Tidak ada orang-orang laki-laki datang.

 

Apabila isim laa ( ) berupa isim tatsniyah atau jamak mudzakkar salim, maka dimabnikan pada huruf ya”. Contoh:

– Tidak ada dua laki-laki dalam rumah.

– Tidak ada orang-orang laki-laki berdiri di pasar.

 

Apabila isim laa (   ) berupa jamak. mu’annats salim, maka dimabnikan kasrah. Contoh:

– Tidak ada orang-orang perempuan Islam Io datang.

 

Boleh juga dimabnikan fathah.

 

Apabila laa (  ) itu diulang atau disebut dua kali dalam satu kalimat, seperti   , maka isim Laa (. ) yang pertama boleh dibaca fathah atau rafa”.

 

Apabila isim laa (   ) yang pertama dibaca fathah, maka isim laa (  ) yang kedua boleh dibaca fathah, nashab dan rafa”. Contoh:

  1. Dibaca fathah keduanya:

 

  1. Dibaca fathah dan nashab:

 

  1. Dibaca fathah dan rafa’:

 

Apabila isim laa (   ) yang pertama dibaca rafa’, maka isim laa (   ) yang kedua boleh dibaca rafa’ dan fathah. Contoh:

  1. Dibaca rafa’ keduanya:
  2. Dibaca rafa’ dan fathah:

 

Hukum Isim yang Di-athaf-kan pada Isim Laa (  )

 

Apabila ada isim di-arhaf-kan pada isim laa (  ) tanpa mengulang laa (  ), maka isim laa ( ) yang nakirah itu wajib difathah.

 

Sedangkan isim yang di-athaf-kan padanya boleh dibaca rafa’ dan nashab. Contoh:

  1. Dibaca rafa’:

 

  1. Dibaca nashab:

 

Hukum Na’at Isim Laa (  )

 

Apabila Isim Laa yang mufrad disifati dengan isim yang mufrad dan antara sifat dan yang disifati tidak ada pemisah, maka sifat atau na’al isim laa tersebut boleh dibaca fathah, nashab dan rafa’. Contoh:

 

  1. Contoh sifar isim laa yang dibaca fathah:

 

  1. Contoh sifat isim laa yang dibaca nashab:

 

  1. Contoh sifat isim laa yang dibaca rafa’:

 

Apabila antara sifat dan isim yang disifati terdapat pemisah atau isim yang menyifati itu ghairu mufrad, maka isim yang menyifati isim laa ini boleh dibaca rafa’ dan nashab. Contoh sifat dan yang disifati terpisah:

  1.  
  2.  

 

Kata   dalam contoh di atas berkedudukan sebagai isim laa. Kata   adalaah sifat dari kata Sedangkan kata adalah khabar laa yang memisah antara isim laa dan isim yang menyifatinya.

 

Contoh sifat yang ghairu mufrad.

  1.  
  2.  

 

Kata  dalam contoh di atas berkedudukan menjadi isim laa   adalah sifat ghairu mufrad dari (. ). Kata   adalah sifat dari isim laa, sedangkan kata adalah khabar laa. Hukum Khabar Laa (  )

 

Apabila khabar laa tidak diketahui, maka harus disebutkan, sebagaimana dalam contoh-contoh yang telah disebutkan dan seperti sabda Nabi saw.:

– Tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah.

 

Apabila khabar laa itu telah diketahui, maka biasanya dibuang. Contoh:

 

Kata  adalah isim laa. Khabarnya dibuang, karena telah diketahui, yaitu kata . Asalnya

 

Kata  adalah isim laa. Khabarnya dibuang, karena telah diketahui, yaitu  . Kalau disebutkan, maka menjadi:

 

Kata   adalah isim laa, khabarnya dibuang, karena telah diketahui, yaitu . Kalau disebutkan, maka menjadi

 

Laa ( y ) yang Tidak Beramal

 

Apabila ada laa (  ) masuk pada isim makrifat atau antara laa (  ) dan isimnya terdapat pemisah, maka Jaa tidak bisa beramal. Sedangkan kata yang jatuh sesudahnya, harus dibaca rafa’ menjadi mubtada’ atau khabar dan laa harus diulang. Contoh:

– Tidak ada Zaid di dalam rumah dan tidak ada pula Amer.

 

 Kata  dalam contoh di atas adalah isim makrifat yang jatuh sesudah /aa. Ia tidak boleh dibaca fathah menjadi isim laa, tetapi ia  harus dibaca rafa’ menjadi mubtada’ yang khabarnya berupa kata 

 

– Di dalam rumah tidak ada seorang laki-laki pun-dan tidak ada pula seorang perempuan.

 

Kata   adalah kata yang berada di antara laa dan isim-nya, yaitu kata  . Karena itu, laa tidak beramal. Adapun kata sesudahnya ye di-Irab menjadi khabar dan   menjadi mubtada’, sedangkan laa harus diulang.

 

 Amal Zhanna dan Saudara-saudaranya

 

Zhanna dan saudara-saudaranya itu dapat masuk pada mubtada’ dan khabar, setelah ia memiliki fail, sehingga dapat berfungsi menashabkan mubtada dan khabar tersebut sebagai maf’ul-nya.

 

Saudara Zhanna dan Macam-macamnya

 

Zhanna dan saudaranya itu ada dua macam, yaitu:

  1. Af’alul Qulub (fiil-fiil yang menunjukkan arti pekerjaan yang dilakukan oleh hati), yaitu:
  2. berasal dari Menyangka/mengira.
  3. berasal dari Menyangka/mengira/yakin.
  4. berasal dari Menyangka/yakin.
  5. berasal dari Yakin/menyangka.
  6. berasal dari Yakin/menyangka.
  7. berasal dari   Menyangka.
  8. berasal dari Yakin.
  9. berasal dari Menduga.
  10. berasal dari Menyangka.
  11. (fiil yang ghairu mutasharrif).
  12. berasal dari Mendapati.
  13. berasal dari Menyangka. 
  14. berasal dari Yakin
  15. berasal dari Mengetahui.

 

Contoh dalam kalimat sebagai berikut:

– Saya menyangka Zaid berdiri.

 

Asal kalimat di atas sebelum dimasuki adalah  . Setelah dimasuki , adalah  kata  yang dibaca rafa’ sebagai mubtada’ dan kata yang juga dibaca rafa’ sebagai khabar, berubah dibaca nashab menjadi maful

 

Asal kalimat di atas sebelum dimasuki   adalah  . Setelah dimasuki . , maka kata  yang dibaca rafa’ sebagai mubtada’ dan kata  yang juga dibaca rafa” sebagai khabar, berubah dibaca nashab menjadi maf’ul  yang dalam hal ini berarti “yakin”. Contoh:

Saya kira Zaid orang yang berilmu.

 

Asal kalimat di atas sebelum dimasuki  adalah   , setelah dimasuki , maka   , yang dibaca rafa’ sebagai mubrada’ dan kata yang juga dibaca rafa’ sebagai khabar, berubah dibaca nashab menjadi maf’ul kata yang dalam hal ini berarti “mengira”.

 

— Saya menduga Amar menampakkan diri.

 

Asal kalimat di atas sebelum dimasuki adalah  : Setelah dimasuki , maka yang dibaca rafa’ sebagai mubtada’ dan kata yang juga dibaca rafa’ sebagai khabar, berubah dibaca nashab menjadi maf’ul  , yang dalam hal ini berarti “menyangka”.

 

Sesungguhnya mereka mengira siksaan itu jauh (mustahil), dan kami yakin, itu adalah dekat.

Kata  . dalam kalimat   bermakna “menyangka”. Sedangkan kata dalam kalimat   bermakna “yakin”.

 

– Maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka beriman.

– Maka ketahuilah, bahwa sesungguh| nya tidak ada Tuhan selain Allah.

– Engkau menduga aku lanjut usia, padahal aku tidak lanjut usia.

 

Zhanna ( ), Ra’aa ( ) dan Alima (   ) yang Tidak Berarti Menyangka

 

Apabila Zhanna ( ) bermakna “menuduh”, Ra’aa   bermakna “melihat” dan Alima (  ) bermakna “mengetahui”, maka fiil-fiil tersebut hanya membutuhkan pada satu maf’ul, sehingga tidak bisa beramal, sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Contoh:

– Saya telah menuduh Zaid.

– Saya telah melihat Zaid.

– Saya telah mengetahui permasalahan.

 

  1. Af’alut Tashyir, maksudnya adalah fiil-fiil yang menunjukkan arti mengubah sesuatu dari satu sifat ke sifat yang lain, seperti:
  2. . Contoh: – Lalu Kami jadikaninya debu yang beterbangan.
  3. Contoh: – Agar mereka dapat mengembalikan kalian pada kekafiran sesudah kalian beriman.
  4. . Contoh: – Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya.
  5. . Contoh: – Saya jadikan tanah itu keramik.
  6. . Contoh: – Allah telah menjadikan aku tebusanmu.

 

Hukum-hukum yang Berkaitan dengan   dan Saudaranya

 

Perlu dipahami, bahwa fiil-fiil bab ini, yaitu dan saudara-saudaranya, mempunyai tiga hukum. Yaitu:

  1. Bisa beramal, yaitu hukum yang asal dan berlaku untuk semua saudara
  2. Tidak beramal secara lafzhi (lafal) dan mahal (makna), karena lemahnya amil, disebabkan posisinya di tengah atau di akhir. Contoh:

 

Hukum tidak mengamalkan zhanna (  ) di sini tidak wajib. Boleh juga ia beramal, seperti:

 

Tetapi membatalkan amal zhanna dan saudaranya yang posisinya dalam kalimat berada di akhir, itu lebih baik daripada menetapkan amalnya. Sedangkan menetapkan amal zhanna dan saudaranya yang posisinya dalam kalimat berada di tengah, itu lebih baik daripada membatalkan amalnya. Contoh:          dan    

 

Apabila zhanna dan saudaranya itu berada di awal, artinya mendahului mubtada’ dan khabar, maka tidak boleh dibatalkan amalnya. Tetapi menurut orang-orang Kufah boleh, seperti:

 

  tidak boleh 

  1. Tidak beramal secara lafzhi, tetapi beramal secara makna, disebabkan ada huruf-huruf yang memiliki hak menjadi permulaan kalimat sesudah zhanna dan saudara-saudaranya, seperti:
  2. Lam ibrida’. Contoh:

 

– Saya menduga Zaid benar-benar berdiri.

  1. Maa Nafi. Contoh:

 

– Sesungguhnya kamu mengetahui, berhala-berhala itu ridak dapat berbicara.

  1. Laa Nafi. Contoh:

 

– Saya telah mengetahui, Zaid tidak berdiri dan tidak berdiri pula Amar.

  1. In Nafi. Contoh:

 

– Saya telah mengetahui, demi Allah Zaid tidak berdiri.

  1. Hamzah Isrifham. Contoh:

 

– Engkau mengetahui, apakah Zaid berdiri ataukah Amar?

  1. Salah satu maf’ulnya berupa isim istifham. Contoh:

 

– Engkau telah mengerti yang mana ayahmu di antara mereka.

 

Membatalkan amal zhanna dan saudaranya secara lafzhi saja, tidak maknanya, hukumnya wajib, apabila terdapat huruf-huruf yang berhak menjadi permulaan kalimat, seperti tersebut di atas.

 

Saudara Zhanna yang Tidak Boleh Dibatalkan Amalnya

 

Saudara zhanna dari Af’alut Tashvir dan Af’alul Qulub yang jamid itu tidak bisa dibatalkan amalnya, Af’alul Qulub yang jamid itu ada dua, yaitu  dan . Keduanya dalam bentuk amar. Sedangkan yang lain, bisa berbentuk mudhari’, amar dan lainnya, kecuali   yang selalu menetapi bentuk madhi.

 

Tashrif Zhanna dan Saudaranya Bisa Beramal seperti Madhinya

 

Tashrif zhanna dan saudara-saudaranya itu mempunyai hukum seperti bentuk madhi-nya, sebagaimana telah disebutkan di atas sebagian contoh-contohnya.

 

Hukum Membuang Maf’ul Zhanna dan Saudaranya

 

Maf’ul zhanna dan saudara-saudaranya itu, boleh dibuang keduanya atau salah satunya, karena ada dalil. Contoh:

– Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dulu kalian katakan?

 

Kata adalah bentuk mudhari” dari kata , Saudara zhanna yang muta’addi pada dua maf’ul. Tetapi kedua maf’ulnya dalam ayat di atas dibuang. Bentuk susunan lengkapnya adalah:   Dhamir  sebagai maf’ul pertama dan kata sebagai maf’ul kedua yang dibuang.

 

Contoh membuang satu maf’ul ialah:

– Saya kira Zaid

 

Kalimat di atas diucapkan sebagai jawaban orang yang bertanya:

– Siapa orang yang berdiri menurut  perkiraanmu?

 

Asal jawaban di atas adalah:

-Saya kira Zaid berdiri.

 

Kemudian kata KAS yang berkedudukan sebagai maf’ul kedua dibuang, karena ada dalil (tanda) berupa kata   yang disebut dalam pertanyaan.

 

Kata Sami’a (  ), Apakah Termasuk Saudara Zhanna “)

 

Penyusun kitab Al-Ajjurumiyyah menganggap kata sami’a ( ) sebagai saudara zhanna (   ) mengikuti pendapat Imam Al-Akhfasy , dan orang-orang yang sependapat dengannya. Maf’ul kedua kata ini, harus berupa jumlah (kalimat) yang didengarnya. Contoh:

– Saya mendengar Zaid berkata

– Kami mendengar seorang pemuda mencela berhala-hala ini.

 

Adapun menurut mayoritas ulama ahli nahwu, bahwa kata  adalah fiil yang muta’addi (membutuhkan) pada satu maf’ul, apabila satu maf’ul berupa isim makrifat, maka jumlah atau kalimat sesudahnya berkedudukan sebagai Hal (keterangan keadaan) dan apabila berupa isim Nakirah sebagaimana dalam ayat di atas, maka jumlah itu berkedudukan menjadi sifat. :

Isim-isim yang dibaca nashab itu ada 15, yaitu:

  1. Maf’ul Bih. Contoh:

 

– Saya telah membaca majalah.

  1. Al-Munada. Contoh:

 

Hai, Abdullah.

  1. Mashdar (Maf’ul Murlag). Contoh:

 

Dan Allah berbicara kepada Musa secara langsung.

  1. Zharaf Zaman. Contoh:

 

Saya telah berpuasa pada bulan Ramadhan.

  1. Zharaf Makan. Contoh:

 

Saya relah duduk di depan rumah.

 

  1. Maf’ul Liajlih. Contoh:

 

Saya telah berdiri karena menghormat.

  1. Maful Ma’ah. Contoh:

 

Janganlah engkau mencegah kejelekan serta melakukannya.

 

  1. Al-Musyabbah bil Maf’ul. Contoh:

 

Hasan adalah orang yang luhur akhlaknya.

 

  1. Hal. Contoh:

 

Pak guru datang dengan naik kendaraan.

  1. Tamyiz. Contoh:

 

Saya memiliki sembilan puluh kambing.

  1. Khabar Kaana. Contoh:

 

Manusia adalah umat yang satu.

  1. Khabar huruf yang disamakan dengan Laisa. Contoh:

 

Tidaklah ini manusia.

  1. Isim Inna. Contoh:

 

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

  1. Isim Laa nafi jinsi. Contoh:

 

Tidak ada penuntut ilmu itu terkutuk.

  1. Tabi’, yaitu kata yang mengikuti kata sebelumnya, yang dibaca nashab, yang akan diterangkan pada bab berikutnya. Contoh:

 

Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.

Definisi

 

Maf’ul Bih ialah isim yang menjadi sasaran pekerjaan (objek penderita). Contoh:

  1. – Saya telah memukul Zaid.
  2. – Saya telah menaiki kuda.
  3. – Takutlah kamu semua kepada Allah.
  4. – Mereka menegakkan shalat.

 

Pembagian Maf’ul Bih

 

Maf’ul Bih terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Zhahir dan Mudhmar. Maf’ul Bih Zhahir adalah Maf’ul Bih yang terdiri dari Isim Zhahir, sebagaimana dalam contoh di atas: Adapun Maf’ul Bih Mudhmar ada dua bagian, yaitu:

  1. Terdiri dari Dhamir Murtashil, contoh:

 

  1. – Ia datang kepada dia (laki-laki). Sebagai fiil, fail-nya, berupa dhamir mustatir (yang disimpan pada lafal)   , sedang dhamir hu (  ) sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada mereka berdua. Dhamir tb adalah sebagai maf’ul bih-nya, sedang fiil dan fail-nya sama dengan yang berada pada nomor satu.

 

  1. – Ia datang kepada mereka (laki-laki). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – ia datang kepada dia (perempuan). Dhamir 15 adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada mereka (perempuan). Dhamir an adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada kamu (laki-laki), Dhamir ka ( ) adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada kamu berdua. Dhamir adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada kamu sekalian (laki-laki) Dhamir ‘ adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada kamu (perempuan). Dhamir ki ( ) adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada kamu sekalian (perempuan). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada saya. Dhamir ya’ ( ) dalam lafal  adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. – Ia datang kepada kami/kita. Dhamir naa (. ) adalah sebagai maf’ul bih-nya.

 

  1. Terdiri dari Dhamir Munfashil, contoh:

 

  1. (Kepada dia (laki-laki) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih mugoddam  (yang didahulukan dari fiil dan failnya), lafal   adalah fiil, sedangkan lafal  sebagai fail.

 

  1. (Kepada mereka berdua, Muhammad menghormati). Dhamir (. ) adalah sebagai maf’ul bih.

 

  1. (Kepada mereka (laki-laki) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.

 

  1. (Kepada dia (perempuan) Muhammad menghormati), Dhamir   adalah sebagai maf’ul bih.

 

  1. (Kepada mereka (perempuan) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai muf’ul bih.

 

  1. (Kepada kamu (laki-laki) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.

 

  1. (Kepada kamu berdua, Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.

 

  1. (Kepada kamu sekalian (laki-laki) Muhammad menghormati). Dhamir sebagai maf’ul bih.

 

  1. (Kepada kamu (perempuan) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.

 

  1. (Kepada kamu sekalian (perempuan) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.

 

  1. (Kepada saya Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.

 

 

BAGAN

 

  1. (Kepada kami/kita Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.

 

Posisi Maf’ul Bih dalam Kalimat

 

Posisi maf’ul bih yang asal dalam kalimat itu jatuh sesudah fail. Contoh:

– Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.

 

Tetapi kadang-kadang dibolehkan mendahului fail. Contoh: )

– Musa telah memukul Sa’da.

 

Kadang-kadang juga ada yang wajib mendahului fail-nya. Contoh:

– Bunga itu telah menghiasi pohonnya.

 

Kata dalam contoh di atas dibaca nashab, berkedudukan sebagai maf’ul bih yang harus mendahului fail-nya, yaitu kata

 

Sebab, fail dalam kalimat ini mengandung dhamir yang kembali pada maf’ul bih.

 

Kadang-kadang maf’ul bih itu mendahului fiil dan fail. Contoh:

 

Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah nyata kesesatan bagi mereka.

 

Kata   dalam ayat di atas dibaca nashab, berkedudukan sebagai maf’ul bih yang mendahului fiil dan fail-nya.

 

Nama-nama mana saja yang kamu seru, Dia mempunyai nama-nama terbaik.

 

Kata   dalam ayat di atas dibaca nashab, berkedudukan menjadi maf’ul bih yang mendahului fiil dan failnya. Fiil-nya berupa kata   dan fail-nya berupa dhamir mustatir.

 

Maf’ul Bih yang Dibuang Amilnya

 

Di antara maf’ul bih itu ada yang amilnya boleh dibuang secara jawaz dan ada yang secara wajib. Contoh maf’ul bih yang amilnya boleh dibuang adalah:

 

Dalam firman Allah:

 

“Dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, apakah yang diturunkan Tuhan kalian? Mereka menjawab: (Dia menurunkan) kebaikan.”

 

Kata dalam ayat di atas dibaca nashab, berkedudukan sebagai maf’ul bih yang amilnya dibuang. Asalnya adalah  . Sedangkan Maf’ul bih yang amilnya wajib dibuang itu terdapat pada tujuh tempat. Tetapi dalam bab ini hanya disebutkan dua tempat saja, yaitu:

 

  1. Pada Bab Isyrighal. Pada dasarnya isyrighal ialah mendahulukan isim dan mengakhirkan amil (fiil atau sifat) yang disibukkan dengan beramal pada dhamir isim yang mendahuluinya itu. Contoh:

 

Zaid, pukullah dia olehmu.

 

Zaid, sayalah yang memukulnya, sekarang atau besok.

 

Zaid, telah saya pukul pembantunya.

 

Dan tiap-tiap manusia, telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya.

 

Semua isim yang berada di permulaan dalam contoh-contoh di atas, dinashabkan oleh fiil yang wajib dibuang, yang dijelaskan oleh fiil yang jatuh sesudahnya. Bentuk susunan asli kalimat-kalimat di atas adalah sebagai berikut:

 

Pukullah Zaid, pukullah dia.

 

Saya orang yang memukul Zaid, saya orang yang memukulnya, sekarang atau besok.

 

Saya telah menghina Zaid, saya telah memukul pelayannya.

 

Kami telah menetapkan tiap-tiap orang, kami telah menetapkan amal perbuatannya pada lehernya.

 

Di antara maf’ul bih yang amilnya wajib dibuang adalah munada’ Contoh:

– Hai, Abdullah.

 

Bentuk susunan asli munada’ di atas adalah: 

– Saya memanggil Abdullah.

 

Fiil dan failnya, yaitu kata   , dibuang dan diganti dengan huruf nida’ yaa ( ), sehingga menjadi 

 

 

 

Macam-macam Munada

 

Munada itu ada lima macam, yaitu:

  1. Munada Mufrad “Alam.
  2. Munada Nakirah Magshudah.
  3. Munada Nakirah Ghairu Maqshudah.

4, Munada Mudhaf.

  1. Munada Syibhul Mudhaf.

 

Hukum I’rab Munada

 

Hukum Munada Mufrad “Alam dan Nakirah Magshudah itu dimabnikan menurut alamat rafa’nya. Artinya, dimabnikan apabila terdiri dari isim mufrad, jamak taksir, jamak mu’annats salim atau tarkib maqji.

 

Contoh Munada Mufrad “Alam terdiri dari:

 

  1. Isim Mufrad, ialah :
  2. Jamak Taksir, ialah:
  3. Jamak Mu’annats Salim, ialah:
  4. Tarkib Mazji, ialah:

 

Contoh Munada Nakirah Maqshudah yang terdiri dari:

  1. Isim Mufrad, ialah:
  2. Jamak Taksir, ialah:
  3. Jamak Mu’annats Salim, ialah:

 

Apabila munada mufrad “alam itu terdiri dari isim tatsniyah, maka harus dimabnikan atas alif dan dimabnikan atas wawu, apabila terdiri dari jamak mudzakkar salim.

 

Contoh Munada Mufrad “Alam yang terdiri dari:

  1. Isim Tatsniyah, ialah:
  2. Jamak Mudzakkar Salim, ialah:

 

Contoh Munada Nakirah Magshudah yang terdiri dari:

  1. Isim Tatsniyah, ialah:
  2. Jamak Mudzakkar Salim, ialah:

 

Adapun hukum tiga munada lainnya, yaitu: Munada Nakirah ghairu Maqshudah, Munada Mudhaf dan Muriada Syibhul Mudhaf, harus dibaca nashab. Contoh:

  1. Munada Nakirah Ghairu Magshudah, ialah:

 

– Hai, laki-laki, tuntunlah tanganku.

  1. Munada Mudhaf, ialah:

 

– Hai, Abdullah.

  1. Munada Syibhul Mudhaf, ialah:

 

– Hai, orang yang tampan.

– Hai, orang yang mendaki gunung.

– Wahai, Yang Maha Penyayang kepada . hamba.

 

Pengertian Syibhul Mudhaf dan Mufrad dalam Bab Munada

 

Pada Bab Laa Nafi Jinsi telah diterangkan pengertian Mufrad yang dimaksud dalam Bab Munada.

 

Yang dimaksud mufrad dalam Bab Munada, adalah kata yang tidak mudhaf dan tidak serupa dengan mudhaf.

 

Hukum Munada yang Mudhaf pada Ya’ Mutakallim

 

Apabila ada munada di mudhafkan pada Ya’ Mutakallim, maka boleh dibaca dengan enam bacaan, yaitu:

  1. Membuang ya’ mutakallim dan cukup dengan harakat kasrah. Contoh:

– Hai, hamba-hamba-Ku. Asalnya:

– Hai, kaumku. Asalnya:

 

  1. Menetapkan ya’ mutakallim dalam keadaan sukun. Contoh:

– Hai, hamba-hamba-Ku.

 

  1. Menetapkan ya’ mutakallim dalam keadaan fathah. Contoh:

– Hai, hamba-hamba-Ku yang telah berlebihan.

 

  1. Mengganti harakat kasrah dengan harakat fathah dan mengganti ya’ mutakallim dengan alif. Contoh:

– Betapa menyesal aku. Asalnya adalah:

 

  1. Membuang alif dan cukup dengan harakat fathah. Contoh:

– Hai, pembantuku.

 

  1. Membuang alif dan huruf yang semula kasrah diganti dengan dhammah, seperu dialek yang digunakan sebagian orang Arab. Contoh:

 

Mereka membaca firman Allah:    dengan bacaan:  

 

Hukum Munada yang Terdiri dari   /   yang Mudhaf pada Ya’ Mutakallim

 

Apabila munada mudhaf itu mudhaf pada ya’ mutakallim, seperti   kalimat:   maka ya’ mutakallim harus tetap ada dan diberi harakat fathah atau sukun, kecuali jika kata tersebut berupa  maka boleh dibaca dengan empat bacaan, yaitu:

  1. Ya’ mutakallim dibuang dan huruf mim-nya di-kasrah. Contoh:

   asalnya:

   asalnya:

 

  1. Ya’ mutakallim dibuang dan huruf mim-nya di-fathah. Contoh:

   asalnya:

 

Dua bacaan di atas diikuti oleh para ahli Oiraah Sab’ah, sebagaimana mereka membaca kalimat tersebut dalam firman Allah:

   asalnya:

 

  1. Ya” mutakallim tidak dibuang. Contoh:

 

“Hai, anak ibuku, hai, saudara kandungku! Engkau telah menggantikan aku untuk waktu yang lama (tak tertentu).”

 

4 Mengganti ya’ mutakallim dengan alif. Contoh:

 

“Hai, putri pamanku! Janganlah engkau mencelaku. Tidurlah, jangan kosongkan darimu tempat tidurku sehari pun. “

 

(kata   dalam syair di atas adalah:   ).

 

 

 

Definisi Maf’ul Mutlaq

 

Maf’ul Muthlag adalah mashdar pelengkap yang mengukuhkan amilnya, menjelaskan macam atau bilangannya. Contoh mashdar yang mengukuhkan makna amil-nya adalah:

 

– Dan Allah telah berbicara kepada Musa, dengan pembicaraan langsung.

 

Kata dalam ayat di atas adalah mashdar yang disebutkan untuk . mengukuhkan makna amilnya, yaitu kata:

– Saya memukul Zaid dengan pukulan yang sebenarnya.

 

Contoh mashdar yang menjelaskan macam (jenis) makna amilnya adalah:

– Lalu Kami azab mereka, seperti azab dari yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa.

 

Kata dalam ayat di atas adalah mashdar, yang disebutkan untuk menjelaskan jenis atau sifat siksaan.

– Saya telah memukul Zaid, seperti pukulan penguasa.

 

Kata   dalam contoh di atas adalah mashdar, yang disebutkan untuk menjelaskan jenis atau sifat pukulan terhadap Zaid.

 

Contoh mashdar yang menjelaskan bilangan makna amilnya adalah:

– Lalu mereka berdua dibenturkan sekali bemuran.

 

Kata   dalam ayat di atas adalah mashdar, yang disebutkan untuk menjelaskan jumlah (bilangan) pekerjaan amil. ,

– Saya memukul Zaid dengan dua kali . pukulan.

 

 Pembagian Maf’ul Muthlag

 

Maf’ul Muthlag itu ada dua, yaitu lafzhi dan maknawi.

 

Maf’ul muthlag lafzhi adalah maf’ul muthlag yang lafalnya sama dengan lafal fiilnya, seperti dalam contoh-contoh di atas.

 

Maf’ul muthlag maknawi adalah maf ul muthlag yang terdiri dari kata yang maknanya sama dengan makna fiilnya. Contoh:

-Saya telah duduk dengan duduk yang sebenarnya.

 

Kata   adalah kata mashdar yang berkedudukan sebagai maf’ul muthlag. Karena kata   maknanya sama dengan makna fiilnya, yaitu   , maka disebut maf’ul muthlag maknawi.

 

Pengertian Mashdar

 

Mashdar adalah isim yang menunjukkan arti kejadian, yang berasal dari fail. Definisi mashdar yang mudah dipahami adalah kata yang jatuh pada urutan ketiga dalam tashrif, yaitu sesudah fiil madhi dan fiil mudhari’. Contoh:

  1. (fill madhi)
  2. (fiil mudhari)
  3. (mashdar).

 

Kata-kata yang Boleh Dibaca Nashab Menjadi Maf’ul Muthlag

 

Ada beberapa kata yang dibaca nashab menjadi maf’ul muthlag, meskipun kata tersebut bukan mashdar. Kata tersebut hanya sebagai pengganti mashdar, seperti kata   dan   yang dimudhafkan pada mashdar, Adad (bilangan) dan nama-nama alat. Contoh:

– Janganlah kalian terlalu cenderung.

 

Kata Kedalam ayat di atas dibaca nashab, karena (menggantikan mashdar) sebagai maf’ul muthlag.

– Seandainya dia mengada-adakan sebagian perkatan atas nama Kami ………

 

Kata   dalam ayat di atas dibaca nashab, karena (menggantikan mashdar) sebagai maf’ul muthlag.

– Maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan.

 

Kata   dalam ayat di atas adalah termasuk adad (bilangan). Ia dibaca nashab, karena (menggantikan mashdar) sebagai maf’ul muthlag. Sedangkan kata dibaca nashab sebagai tamyiz.

– Saya telah memukulnya dengan cambuk (tongkat).

 

Kata   dalam kalimat di atas dibaca nashab, karena mengganti kedudukan mashdar sebagai maf’ul muthlag. Susunan aslinya adalah:

– Saya telah memukulnya dengan pukulan cambuk atau tongkat.

 

Kemudian kata  dibuang dan digunakan kata   yang berarti alat pemukul.

 

 

 

 

Definisi Maf’ul Fih (Zharaf)

 

Maf ul fih disebutkan juga dengan Zharaf Zaman (keterangan waktu) dan Zharaf Makan (keterangan tempat).

 

Zharaf Zaman

 

Zharaf Zaman (keterangan waktu) adalah isim yang menunjukkan arti masa (waktu) yang dibaca nashab dengan memperkirakan makna  yang artinya pada atau dalam, seperti lafal:

 

– Pada hari ini.

– Pada malam ini.

– Pagi hari.

– Waktu pagi.

– Waktu sahur.

– Besok.

– Waktu Isyak.

– Waktu subuh.

– Waktu sore.

– Selamanya.

– Selamanya.

– Ketika.

– Dalam setahun.

– Dalam sebulan.

– Dalam seminggu.

– Sesaat.

 

Zharaf Makan

 

Zharaf Makan (keterangan tempat) adalah isim yang menunjukkan arti tempat, yang dibaca nashab dengan memperkirakan makna lafal  (. ), seperti lafal:

 

– Di depan.

– Di belakang.

– Di depan.

– Di belakang.

– Diatas.

– Di bawah.

– Di sisi.

– Beserta,

– Di hadapan.

– Di muka.

– Di hadapan.

– Disana.

– Di sini

 

Hukum Zharaf Zaman

 

Semua isim yang menunjukkan arti waktu, maka boleh dibaca nashab menjadi maf’ul fih secara mutlak, baik yang mukhtash, ma’dud atau Pengertian Mukhtash, Ma’dud dan Mabham 

 

Pengertian mukhtash yang kami maksud di sini adalah semua lafal yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, yang menggunakan kata tanya (kapan). Contoh:

— Hari Kamis.

 

Dalam susunan kalimat: .

 

Saya puasa pada hari Kamis. Sebagai jawaban dari pertanyaan:

 

– Kapan engkau berpuasa?

 

Pengertian Ma’dud yang kami maksud di sini adalah setiap lafal yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, yang menggunakan kata   tanya (berapa)”, seperti kata ”  (seminggu)” dan  (sebulan)”, dalam kalimat:

– Saya beri’tikaf selama seminggu.

 

Sebagai jawaban dari pertanyaan:

– Berapa lama engkau menetap/beri ‘tikaf? “

 

Pengertian Mubham yang dimaksud di sini adalah semua lafal yang tidak dapat digunakan sebagai jawaban dari pertanyaan. Contoh:

– Saya telah duduk sesaat/seketika.

 

Huruf Zharaf Makan

 

Isim-isim yang menunjukkan arti tempat itu, tidak semuanya bisa dibaca nashab menjadi zharaf (maf’ul fih), kecuali tiga jenis saja, yaitu:

  1. Mubham, sebagaimana nama-nama enam arah, yaitu:

– Di atas.

– Di bawah.

– Di kanan.

– Dikiri. ‘

– Di depan.

– Di belakang.

 

  1. Menunjukkan ukuran jarak, seperti:

– Mil.

– Farsakh (3 mil).

– Satu pos.

 

Contoh dalam kalimat:

– Saya berjalan satu mil.

 

  1. Isim makan yang dikeluarkan dari mashdar amilnya, seperti: , dan lain-lain. Contoh:

– Saya duduk di tempat duduk Zaid.

 

Kata   dalam kalimat di atas adalah “isim makan (menunjukkan arti tempat)”, yang musyrag (dikeluarkan) dari mashdar amilnya, yaitu .

 

Contoh lain adalah firman Allah swt.:

 

“Dan sesungguhnya Kami dulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya) …. “

 

Kata “   “ dalam ayat di atas adalah isim makan (menunjukkan arti tempat), yang berakar dari kata “   “.

 

Hukum Isim Makan yang Tidak Menetapi Syarat Menjadi Zharaf

 

Selain isim makan yang tiga di atas, tidak boleh dibaca nashab menjadi zharaf (maf’ul fih). Karena itu, tidak boleh membuat kalimat seperti berikut:

 

Isim yang menunjukkan arti tempat, yang tidak memenuhi syarat dijadikan zharaf ini, harus dijarkan dengan huruf jar “   “, sehingga susunan di atas menjadi:

 

atau  

 

Adapun ucapan yang biasa diungkapkan oleh orang Arab, seperti:

 

 maka kata   dan ,  yang dibaca nashab itu bukan karena sebagai zharaf, tetapi nashab sebab naz’ul khafidh (membuang huruf jar). 

 

 

 

 

Definisi Maf’ul Min Ajlih

 

Maf’ul Min Ajlih disebut juga dengan Maf’ul Li-Ajlih dan Maf’ul Lah. Maf’ul Min Ajlih adalah isim yang dibaca nashab, yang disebutkan untuk menjelaskan sebab atau alasan terjadinya perbuatan. Contoh:

-Zaid berdiri karena menghormati amer.

 

Kata “   “ dalam kalimat di atas dibaca nashab sebagai Maf’ul Min Ajlih, yakni menerangkan sebab berdirinya Zaid.

-Saya ingin menjumpaimu, karena mencari kebaikanmu.

 

Kata “   “ dalam kalimat di atas adalah bentuk mashdar yang dibaca nashab, karena kedudukannya sebagai Maf’ul Min Ajlih, yakni menjelaskan sebab fiil atau perbuatan ingin menjumpai.

 

Syarat Maf’ul Min Ajlih

 

Maf’ul Min Ajlih itu disyaratkan:

 

  1. Terdiri dari Mashdar.
  2. Tunggal waktu (zaman)nya. Yakni, waktu pekerjaan yang terdapat pada fiil atau amil itu sama dengan waktu pekerjaan yang terdapat pada Maf’ul Min Ajlih.
  3. Tunggal pelakunya. Yakni, pelaku yang melakukan pekerjaan yang terdapat pada fiil (amil) itu sama dengan pelaku yang melakukan pekerjaan pada Maf’ul Min Ajlih.

 

 Sebagaimana yang disebutkan pada dua contoh di atas, dan seperti firman Allah:

 

“Dan janganlah kalian semua membunuh anak-anak kalian, karena takut kemiskinan.”

 

“Mereka yang menafkahkan hartanya karena mencari ridha Allah.”

 

Hukum Isim yang Tidak Memenuhi Syarat Dijadikan Maf’ul Min Ajlih

 

Tidak diperbolehkan membuat susunan kalimat seperti: , karena waktu yang ada pada fiil   (saya bersiap-siap) dan waktu pekerjaan yang ada pada Maf’ul Min Ajlih, tidak sama.

 

Tidak diperbolehkan juga membuat susunan kalimat   karena pelaku yang ada ada pada fiil tidak sama dengan pelaku yang ada pada Maf’ul Min Ajlih (. . )itu.

 

Oleh sebab itu, maka kata yang dibaca nashab dalam contoh di atas, harus dijarkan dengan huruf jar   , sehingga menjadi:

– Saya telah bersiap-siap untuk pergi.

– Saya datang kepadamu, karena cintamu kepadaku.

 

Contoh yang dijarkan dengan

– Seorang perempuan neraka, sebab kucing.

 

Contoh yang dijarkan dengan   : .

– Janganlah kalian membunuh anak-anakmu, karena takut miskin.

 

Contoh yang dijarkan dengan

“Maka sebab kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka makanan-makanan yang baik, yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka. ” .

 

 

Definisi Maf’ul Ma’ah

 

Maf’ul Ma’ah adalah isim yang dibaca nashab, yang disebutkan sesudah wawu yang bermakna ma’a (serta), untuk menjelaskan bahwa “dilakukannya suatu pekerjaan adalah bersamaan dengan isim tersebut, dan jatuh sesudah jumlah fi ‘liyah atau ismiyah yang mengandung makna ful.

 

Contoh Maf’ul Ma’ah yang didahului oleh jumlah fi’liyah:

– Pemimpin itu datang bersamaan dengan para prajurit.

– Air itu telah merata bersama kayu.

 

Contoh Maf’ul Ma’ah yang didahului oleh jumlah ismiyah, yang mengandung makna fiil:

– Saya berjalan bersamaan Sungai Nil.

 

Penjelasan:

  1. Contoh pertama ( ) menunjukkan, bahwa pekerjaan ”datang” yang dilakukan oleh raja itu bersamaan dan beriringan dengan para prajurit. Artinya, kedatangan raja itu diiringi para prajurit. Dalam arti yang datang hanya raja, sedangkan para prajurit tidak ikut datang.

 

  1. Contoh kedua (. ) menunjukkan, bahwa saya yang melakukan pekerjaan berjalan adalah bersamaan dan beriringan dengan Sungai Nil, dalam arti bahwa yang berjalan adalah saya. Sedangkan Sungai Nil tidak ikut berjalan, hanya saja saya berjalan selalu beriringan dengan tepi Sungai Nil.

 

Hukum Isim yang Jatuh Sesudah Wawu

 

Hukum isim yang jatuh sesudah wawu itu ada tiga, yaitu:

  1. Wajib dibaca nashab menjadi maf’ul ma’ah, seperti dalam dua contoh terakhir di atas, yaitu: dan serta dalam contoh lainnya:

– Janganlah engkau melarang berbuat jelek serta melakukannya.

-Zaid meninggal dunia bersamaan dengan matahari terbit.

-Maka bulatkanlah keputusan kalian, serta simpanlah sekutu-sekutu kalian.

 

  1. Lebih baik dibaca nashab menjadi maf’ul ma’ah daripada di-arhafkan. Contoh:

– Aku telah berdiri bersama Zaid.

 

Kata dalam contoh di atas adalah jatuh sesudah wawu. Ia dibaca nashab menjadi maf’ul ma’ah itu lebih tepat daripada dibaca rafa’, athaf pada dhamir. Sebab, arhaf pada dhamir muttasil tanpa memisah dengan dhamir munfashil itu merupakan suatu cacat. Jadi, kalau kata   di-athaf-kan, maka susunan kalimatnya seharusnya berbunyi:         Oleh karena kalimat di atas tidak ada pemisah dhamir munfashil, maka kata yang jatuh sesudah wawu, yaitu kata   dibaca nashab.

 

  1. Lebih baik di-athaf-kan pada kata sebelumnya daripada dibaca nashab sebagai maf’ul ma’ah. Contoh:

– Pemimpin dan para prajurit telah datang.

– Zaid dan Amer telah datang.

 

Kata yang jatuh sesudah wawu dalam dua kalimat di atas, yaitu kata dan  lebih tepat dibaca rafa’, athaf pada kata sebelumnya, karena huruf wawu yang asal adalah untuk mengarthafkan.

 

Sifat-sifat yang Menyerupai Isim Fail

 

Lafal yang menyerupai maf’ul bih, adalah sifat-sifat yang menyerupai isim fail yang muta’addi pada satu maf’ul. Contoh:

 – Zaid orang yang tampan wajahnya.

 

Yaitu dengan dimashabkan lafal wajhu-nya. Adapun pembahasan : selengkapnya, akan diterangkan nanti.

 

 

Definisi Haal

 

Haal (keterangan keadaan) adalah isim yang dibaca nashab, yang menjelaskan keadaan fail atau maf’ul, atau keduanya yang belum jelas. Contoh Haal yang menerangkan keadaan fail:

– Zaid datang dengan naik kendaraan.

 

Kata “   “ dalam kalimat di atas dibaca nashab, karena menjadi Haal atau menerangkan keadaan fail (Zaid) ketika datang.

– Maka Musa keluar dari kota itu dengan rasa takut.

 

Kata “   “« dalam ayat di atas dibaca nashab, karena menjadi Haal atau menerangkan keadaan fail berupa dhamir mustatir (Musa) ketika keluar dari kota Mesir.

 

Contoh Haal yang menerangkan keadaan maf’ul:

– Saya menunggang kuda dengan berpelana.

 

Kata “   dalam kalimat di atas dibaca nashab, karena berkedudukan menjadi Haal, yakni menerangkan keadaan maf’ul, yaitu . kata

– Kami mengutusmu kepada segenap manusia dengan menjadi rasul.

 

Kata“   “ dalam ayat di atas dibaca nashab, karena menjadi Haal, yakni menerangkan keadaan maf’ul yang berupa dhamir”   “.

 

Contoh Haal yang menerangkan keadaan fail dan maf’ul:

– Saya bertemu Abdullah dengan naik kendaraan.

 

Kata “  “ dalam contoh di atas dibaca nashab, menjadi Haal,  menerangkan keadaan maf’ul dan fail.

 

Syarat-syarat Haal

 

Haal itu disyaratkan:

  1. Terdiri dari Isim Nakirah. Apabila ada Haal terdiri dari Isim Makrifat, maka bars di-takwil-kan nakirah. Contoh:

– Zaid datang dengan sendirian.

 

Kata “   “ dalam kalimat di atas dibaca nashab menjadi haal. Karena ia isim makrifat, maka harus di-takwil nakirah. Takwil-nya adalah:

– Zaid datang dengan sendirian.

 

  1. Terdiri dari Isim Musytaq. Apabila ada haal terdiri dari Isim Jamid, maka harus di-takwil musytag. Contoh:

– Gadis itu tampak dengan bulan (bagaikan bulan).

 

Kata “  “ adalah isim jamid. Dalam kalimat di atas dibaca nashab menjadi haal. Karena tidak memenuhi ketentuan, maka harus di-takwil musytaq, sehingga susunannya menjadi:

 

Kata  di-takwil dengan 

– Saya tidak menjualnya dengan timbang terima.

 

Kata   dalam contoh di atas dibaca nashab menjadi haal. Karena kata tersebut jamid, sedangkan haal itu harus berupa kata musytaq, maka kata yang jamid tersebut harus di-rakwil menjadi  , musytaq. Takwil adalah

 

– Masuklah kalian dengan seorang-seorang.

 

Kata “  “ dalam kalimat di atas dibaca nashab menjadi haal.   Karena kata “   “ itu jamid, sedangkan haal itu harus musytaq, maka harus di-takwil menjadi musytag. Takwil   adalah .

 

  1. Jatuh sesudah kalimat yang sempurna. Artinya, haal itu tidak termasuk bagian pokok kalimat, tetapi bukan berarti kalimat yang sempurna tadi tidak memerlukan haal, dengan dalil firman Allah:

– Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong.

 

Syarat-syarat Shahibul Haal

 

Shahibul Haal (kata yang diterangkan keadaannya) itu harus terdiri dari isim makrifat, sebagaimana dalam contoh-contoh di atas. Tetapi ada juga Shahibul Haal terdiri dari isim Nakirah, sebab ada Musawwigh (hal yang membolehkan). Di antara perkara yang membolehkan Shahibul Haal berupa isim nakirah adalah:

 

  1. Mendahulukan haal dan mengakhirkan shahibul haal. Contoh:

– Di dalam rumah itu terdapat seorang laki-laki dalam keadaan duduk.

 

Kata “   “ adalah shahibul haal (yang diterangkan keadaannya). Sedangkan kata adalah haal (yang menerangkan keadaan Shahibul haal).

 

Kata adalah nakirah, mestinya yang menjadi Shahibul haal itu harus makrifat. Tetapi dalam susunan di atas boleh, sebab posisi haal mendahului shahibul haal-nya yang nakirah.

 

  1. Di-takhsish dengan cara meng-idhafat-kan pada kata lain. Contoh:

– Dalam empat hari yang genap.

 

Kata   dalam ayat di atas menjadi shahibul haal, yang haal-nya berupa kata . Shahibul haal tersebut (   ) adalah nakirah, tetapi di-takhsish dengan cara mudhaf pada kata .

 

  1. Didahului oleh Nafi. Contoh:

 

Dan Kami tidak membinasakan suatu negeri pun, kecuali setelah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan.

 

Kata   dalam ayat di atas adalah nakirah dan menajdi shahibul haal yang haal-nya adalah kalimat   Kata   meski-pun nakirah, boleh menjadi shahibul haal, sebab jatuh sesudah huruf nafi (  ).

 

  1. Di-takhsish dengan sifat. Contoh:

 

“Dan setelah datang kepada mereka sebuah kitab dari Allah (Alguran) yang membenarkan.”

 

Kata   dalam ayat di atas adalah nakirah dan menjadi Shahibul Haal yang haal-nya berupa kata   Kata   tersebut meskipun nakirah, boleh menjadi Shahibul Haal, sebab telah di , takhsish dengan sifat

 

 Macam-macam Haal

 

Haal itu ada yang mufrad, sebagaimana dalam contoh-contoh di atas. Ada pula yang berupa zharaf, jer majrur dan jumlah.

 

Contoh haal yang terdiri dari zharaf ialah:   lihat bulan  

– Saya melihat bulan dalam keadaan di antara mendung.

 

Kata   adalah zharaf makan yang berkedudukan menjadi haal dari kata Contoh haal yang terdiri dari jer majrur ialah:

– Maka Qarun keluar kepada kaumnya dengan kemegahannya.

 

Kata   dalam ayat di atas adalah jar majrur yang berkedudukan sebagai haal dari dhamir mustatir pada lafal Contoh haaL yang terdiri dari jumlah ialah:

  1. Jumlah Ismiyah:

 

 Pak guru datang sedangkan para siswa tidak ada.

 

  1. Jumlah Fi’liyah:

 

Seorang siswi datang dengan naik kendaraan.

 

Haal yang berupa jumlah khabariyyah (kalimat berita) itu mengandung rabith berupa:

 

  1. Wawu ( ) dan dharnir. Contoh:

 

Mereka pada keluar dari rumah-rumah mereka, sedang mereka itu, berjumlah ribuan.

 

Kalimat   adalah jumlah ismiyah yang berkedudukan sebagai haal dari shahibul haal berupa dhamir mustatir pada kata  Antara haal dan shahibul haal di sini dihubungkan dengan rabirth berupa wawu (  ) dan dhamir yang kembali (rujuk) pada shahibul haal.

 

  1. Dhamir. Contoh:

 

Turunlah kamu semua, sebagian kalian menjadi musuh sebagian yang in.

 

  1. Wawu ( ). Contoh:

 

Jika ia sungguh dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat).

 

Kalimat dalam kalimat di atas adalah jumlah ismiyah yang menjadi haal dari shahibul haal (  ). Haal dan shahibul haal dalam klalimat dihubungkan dengan rabith berupa wawu (  )saja.

 

Sedangkan dhamir  dalam kalimat di atas tidak dapat dianggap sebagai rabirh, karena tidak kembali pada shahibul haal.

 

Definisi Tamyiz

 

Tamyiz ialah isim (nakirah) yang dibaca nashab, yang menjelaskan dzat atau nisbat yang masih samar.

 

Tamyiz Dzat

 

Dzat yang masih mubham (samar), yang perlu diberi tamyiz itu ada empat, yaitu:

 

  1. Adad (bilangan). Contoh: :

 

– Saya telah membeli dua puluh pelayan.

– Saya memiliki sembilan puluh kambing.

 

Kata dan dalam dua kalimat di atas adalah ‘adad (bilangan), yang masih perlu penjelasan. Agar maksud ‘adad tersebut jelas, maka didatangkan isim sesudahnya, yang disebut tamyiz. Kata yang menjadi tamyiz dalam kalimat pertama adalah . Sedangkan dalam kalimat kedua adalah . Tamyiz Dzat yang menjelaskan bilangan seperti ini disebut Tamyiz “Adad.

 

  1. Takaran atau ukuran, Contoh:

 

-Saya telah membeli segenggam gandum.

– Saya telah membeli dua kati samin.

– Saya telah membeli sejengkal tanah.

 

Kata  . (segenggam),   (dua kati) dan   (sejengkal), semuanya menunjukkan arti takaran dan ukuran yang perlu penjelasan. Agar maksud kata-kata yang masih samar tersebut jelas, maka perlu adanya kata yang menjelaskan, yang disebut Tamyiz.

 

Tamyiz dalam kalimat pertama adalah   , Tamyiz dalam kalimat kedua adalah dan tamyiz dalam kalimat ketiga adalah 

 

  1. Serupa takaran (timbangan). Contoh:

 

– Seberat dzarrah, berupa kebaikan.

 

Kata   (seberat dzarrah) menunjukkan arti serupa takaran (timbangan), yang juga perlu penjelasan. Agar maksud kata tersebut jelas, maka diperlukan tamyiz. Tamyiz dalam kalimat tersebut berupa kata:   :

 

  1. Cabang Tamyiz. Contoh:

 

– Ini adalah cincin besi.

– Ini adalah pintu jati.

– Ini adalah jubah sutera.

 

Tamyiz Nisbat

 

Tamyiz yang menjelaskan ketidakjelasan nisbat itu adakalanya muhawwal (pindahan dari sesuatu) dan adakalanya ghairu muhawwal (tidak pindahan dari apa pun).

 

Tamyiz nisbat yang muhawwal (pindahan) itu adakalanya pindahan dari:

 

  1. Fail. Contoh:

– Zaid bercucuran keringatnya.

 

Kata dalam kalimat di atas asalnya adalah dibaca rafa’, berkedudukan sebagai fail. Kemudian dipindah (diubah) menjadi Tamyiz. 

 

Asal kalimat di atas adalah

– (Tubuh) Bakar penuh lemak.  

 

Kata   dalam kalimat di atas asalnya adalah dibaca rafa’, berkedudukan sebagai fail, kemudian dipindah (diubah) menjadi tamyiz.

 

Asal kalimat di atas adalah  

 – Muhammad baik jiwanya.

 

Kata  dalam kalimat di atas:  asalnya dibaca rafa’ menjadi fail, kemudian dipindah (diubah) menjadi Tamyiz. Asal kalimat di atas   adalah 

 

– Dan kepalaku penuh uban.

 

  1. Maf’ul. Contoh:

 

Dan Kami jadikan bumi memancarkan mataairnya.

 

Kata dalam contoh di atas asalnya berkedudukan menjadi maf’ul bih, kemudian dipindah (diubah) menjadi tamyiz. Kalimat itu asalnya 

 

  1. Selain fail dan maf’ul. Contoh:

 

– Saya lebih banyak daripada kamu hartanya.

 

Kata dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai tamnyiz, pindahan dari mubrada’. Susunan asalnya adalah  .

 

– Zaid lebih mulia daripada ayahnya.

 

Asal kalimat di atas adalah:

 

– Ayah Zaid lebih mulia daripadamu

– Zaid lebih tampan daripadamu wajahnya.

 

Asal kalimat di atas adalah:

 

– Wajah Zaid lebih tampan daripadamu.

 

Contoh tamyiz yang tidak berasal dari apa pun (bukan pindahan) dari suatu, ialah:

– Bejana itu penuh airnya.

– Betapa baik dia menunggang kuda.

 

Syarat-syarat Tamyiz

 

Tamyiz itu harus terdiri dari Isim Nakirah dan harus jatuh sesudah kalimat yang sempurna. Sebagaimana haal, seperti yang telah diterangkan pada haal.

 

Amil yang Menashabkan Tamyiz

 

Amil yang menashabkan Tamyiz Dzat adalah dzat yang di-tamyizi itu sendiri. Sedangkan yang menashabkan Tamyiz Nisbar ialah fiil yang disandari, yang berada sebelumnya. Contoh:

 

Dalam contoh di atas, yang menashabkan kata yang menjadi tamyiz (   ) adalah lafal   (yang berkedudukan sebagai dzar yang ditamyizi). 

 

Dalam contoh di atas, yang menashabkan kata yang menjadi tamyiz (  ) adalah fiil   .

 

Posisi Tarnyiz dalam Kalimat

 

Tamyiz itu tidak boleh mendahului amil-nya secara mutlak, baik amilnya berupa fiil mutasharrif atau jamid. Tidak boleh membuat susunan sebagai berikut:

 

 

 

Definisi Mustatsna

 

Istitsna’ (pengecualian) ialah mengeluarkan kata yang jatuh sesudah illaa (  ) atau salah satu dari saudara illaa, dari bukum kalimat sebelumnya, baik secara positif atau negatif.

 

Kata Untuk Mengecualikan

 

Huruf Istirsna’ atau kata untuk mengecualikan itu ada delapan, yang terbagi menjadi empat kelompok, yaitu:

  1. Terdiri dari huruf, yaitu:
  2. Terdiri dari isim, yaitu:
  3. Terdiri dari fiil, yaitu:
  4. Terdiri dari kata yang bisa disebut fiil dan bisa juga disebut huruf yaitu:

   dan

Kata itu boleh dibaca atau 

 

Hukum Mustatsna dengan Illaa (  ) pada Kalimat Tam Mujab

 

Hukum mustarsna (kata yang dikecualikan) yang jatuh sesudah huruf Isritsna “laa (  )itu wajib dibaca nashab, apabila berada pada kalimat Tam Mujab, baik istitsna’ itu muttasil atau munqathi ‘.

 

Kalimat Tam, artinya kalimat yang menyebutkan Mustatsna Minhu.

 

Kalimat Mujab, artinya kalimat yang tidak didahului oleh naft atau yang menyerupai nafi.

 

Kalimat Tam Mujab adalah kalimat yang menyebutkan Mustatsna Minhu dan tidak didahului oleh nafi atau yang serupa dengan nafi.

 

Contoh:

 

Kemudian Mereka meminumnya, kecuali beberapa orang ……

 

Kata   dalam ayat di atas berkedudukan sebagai Mustarsna (yang dikecualikan). Ia wajib dibaca nashab, sebab berada pada kalimat   Mujab, yaitu kalimat yang menyebutkan Mustatsna Minhu, dalam hal ini, berupa dhamir wawu dan tidak ada huruf nafi-nya.

 

Kaum itu telah berdiri, kecuali Zaid. Kata   dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna (yang dikecualikan). Ia wajib dibaca nashab, sebab berada di kalimat Tam Mujab. Kalimat yang menyebutkan Mustatsna Minhu, berupa kata   dan tidak didahului oleh nafi’.

 

– Orang-orang telah keluar, kecuali Amar.

 

Kata   dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna (yang dikecualikan). Ia wajib dibaca nashab, sebab berada di kalimat Tam Mujab, yaitu kalimat yang menyebutkan mustatsna minhu berupa kata     dan tidak didahului oleh nafi’.

 

Pengertian Istirsna’ Muttashil ialah apabila mustatsna (kata yang dikecualikan) itu jenis daripada mustatsna minhu, sebagaimana contoh di atas.

 

Pengertian Istitsna’ Mungathi’ ialah apabila mustarsna (yang dikecualikan) itu di luar jenis mustatsna minhu, seperti:

 

Kaum itu telah berdiri, kecuali seekor keledai. 

 

Kata   dalam kalimat tersebut berkedudukan sebagai mustatsna ? “ dan disebut Istitsna’ munqathi ‘, sebab  , (keledai), bukan jenis mustatsna minhu   (kaum).

 

Hukum Mustatsna dengan   pada Kalimat Tam Ghairu Mujab

 

Apabila Mustatsna itu bertempat pada kalimat ram ghairu mujab, yaitu kalimat yang menyebutkan mustatsna minhu, tetapi didahului oleh nafi atau yang serupa dengan nafi, maka mustarsna itu boleh dibaca sama dengan mustatsna minhu sebagai badal, dan boleh dibaca nashab. Contoh:

 

-Kaum itu tidak berdiri, kecuali Zaid.

 

Kata   dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna. Ta boleh dibaca rafa’ sebagai badal mustatsna minhu, yaitu kata   yang juga dibaca rafa’. Boleh juga dibaca nashab, sebab mustatsna ini berada pada kalimat tam ghairu mujab, yakni kalimat istitsna’ yang menyebutkan mustatsna minhu, yaitu kata   tetapi didahului oleh nafi, yaitu 

 

– Janganlah kamu menjumpai kaum itu, kecuali Zaid. ..

 

Kata   dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai  mustatsna. Ta boleh dibaca sama dengan mustatsna minhu, yaitu jer, boleh juga dibaca nashab, sebab ia berada pada kalimat tam ghairu mujab, yakni kalimat istirsna’ yang menyebutkan mustatsna minhu, yaitu kata  , tetapi didahului oleh lafal yang serupa dengan nafi, yaitu  nahi.

 

Apabila mustatsna yang bertempat pada kalimat tam ghairu mujab tersebut berupa Muttashil, maka lebih baik dibaca sama dengan mustatsna minhu dengan status sebagai badal. Contoh:

 

– Mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.

 

Kata   dalam ayat di atas berkedudukan sebagai mustatsna yang bertempat pada kalimat tam ghairu mujab dan berupa murtashil. Oleh sebab itu, yang lebih baik dibaca rafa’ sebagai badal dari mustatsna minhu, yang berupa dhamir jamak dan dibaca rafa”.

 

Pengertian syibhun naft (serupa dengan nafi) ialah Nahi dan Istifham. Contoh:

 

– Dan janganlah seseorang di antara kalian yang tertinggal, kecuali istrimu.

 

Susunan kalimat /stitsna’ tersebut disebut kalimat tam ghairu mujab, sebab mustatsna minhu disebut dan didahului oleh kata yang serupa nafi,   yaitu nahi (larangan) berupa  yang masuk pada kata

 

– Siapakah yang berputus ada dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.

 

Susunan kalimat /stirsna’ di atas disebut kalimat tam ghairu mujab, sebab mustatsna minhu disebutkan dan didahului oleh lafal yang serupa nafi, yaitu istifham

 

Apabila mustatsna yang berada di kalimat tam ghairu mujab itu berupa mungathi’, maka wajib dibaca nashab, menurut orang-orang Hijaz. Contoh:

 

– Mereka tidak memiliki keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali mengikuti prasangka belaka.

 

Sedangkan menurut orang-orang Tamim, sebaiknya dibaca nashab, tetapi boleh juga dibaca seperti mustatsna minhu-nya. Contoh:

 

Kaum itu tidak berdiri, kecuali seekor keledai.

atau

Kaum itu tidak berdiri, kecuali seekor keledai.

 

Hukum Mustatsna dengan  pada Kalimat Naqish

 

Mustatsna yang jatuh sesudah huruf illaa, apabila bertempat pada kalimat Naqish, yaitu kalimat istitsna’ yang tidak menyebutkan musiatsna minhu, maka wajib dibaca menurut kebutuhan amil, seperti sebelum Si tidak ada. Isritsna yang demikian ini, disebut istitsna’ mufarraqh.

 

Syarat Istitsna’ mufarraqh ialah harus berada di kalam yang ghairu mujab, yakni kalimat yang didahului oleh nafi. Contoh:

 

Tidak berdiri kecuali Zaid.

 

Saya tidak melihat, kecuali Zaid. ra

 

Saya tidak bertemu, kecuali dengan Zaid.

 

Kata   dalam contoh pertama berkedudukan sebagai mustatsna. Ia wajib dibaca rafa’, sesuai kebutuhan amil   yang membutuhkan fail.

 

Kata   dalam contoh kedua berkedudukan sebagai mustatsna. Ia wajib dibaca nashab, sesuai kebutuhan amil   yang membutuhkan maf’ul.

 

Kata   dalam contoh ketiga berkedudukan sebagai mustatsna. Ia dibaca jer, sesuai dengan kebutuhan amil , yang mutaaddi dengan bantuan -huruf jer.

 

Contoh lain, seperti tersebut dalam firman Allah swt.:

 

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul.

 

Janganlah kalian semua mengatakan tentang Allah, kecuali yang benar.

 

Dan janganlah kalian mendebat ahli kitab, kecuali dengan cara yang baik.

 

Kata   dalam ayat pertama berkedudukan sebagai mustatsna yang wajib dibaca rafa’ sebagai khabar, sebab kalimat tersebut ada mubtada’-nya, yaitu   yang perlu khabar.

 

Kata   dalam ayat kedua berkedudukan sebagai mustatsna, yang wajib dibaca nashab sebagai maf’ul, sebab kalimat tersebut ada fiil dan fail-nya, yaitu   , yang membutuhkan maf’ul.

 

Kata  dalam contoh ketiga berkedudukan sebagai mustatsna, yang harus dibaca jer, dijerkan huruf , sebab kata sebelumnya memang membutuhkannya.

 

Hukum Mustatsna dengan   dan  

 

Hukum mustatsna yang jatuh sesudah ghairu (   ) dan siwaa   itu harus dibaca jer menjadi mudhaf ilaih. Sedangkan kata dan itu sendiri harus dibaca sesuai dengan i’rab mustatsna dengan illaa (   ). Kalau bertempat pada kalimat tam mujab harus dibaca nashab, kalau berada di kalimat tam ghairu mujab boleh nashab atau mengikuti i’rab mustatsna minhu dan jika berada pada kalimat manfi nagish dibaca menurut kebutuhan amil.

 

Contoh:   pada kalam tam mujab:

 

Kaum telah berdiri, selain Zaid.

 

Kaum telah berdiri, selain Zaid.

 

Kata   dalam ada kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna yang wajib dibaca jer menjadi mudhaf ilaih kata   . Sedangkan kata   dibaca nashab, karena berada pada kalam tam mujab.

 

Contoh   pada kalam tam ghairu mujab:

 

Kaum tidak berdiri, selain Zaid.

 

Kaum tidak berdiri, selain Zaid.

 

Kata  pada kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna yang wajib dibaca jer menjadi mudhaf ilaih  .

 

Sedangkan   dan   sendiri boleh dibaca nashab dan boleh dibaca sama dengan mustatsna minhu, sebagai badal-nya.

 

Contoh  pada kalam manfi nagish:

 

Tidak berdiri kecuali Zaid.

 

Saya tidak melihat, selain Zaid.

 

Saya tidak bertemu selain dengan Zaid.

 

Kata   pada ketiga kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna yang wajib dibaca jer menjadi mudhaf ilaih

 

 Sedangkan   dan  ,pada kalimat pertama dibaca rafa’, karena amil   membutuhkan ma’mul marfu’ (fail). Pada kalimat kedua dibaca nashab, karena amil   membutuhkan maf’ul dan pada kalimat ketiga dijerkan dengan

 

Hukum Mustatsna dengan

 

Mustatsna yang jatuh sesudah huruf isritsna’  dan .  wajib dibaca nashab menjadi khabarnya. Contoh:

 

Kaum itu telah berdiri, bukan Zaid.

 

Kaum itu telah berdiri, bukan Zaid.

 

Kata yang dalam dua kalimat di atas dibaca nashab menjadi khabar

 

Hukum Mustatsna dengan dan

 

Mustatsna yang jatuh sesudah adat Istisna’”   dan   itu, boleh dibaca jer dan nashab. Contoh:

 

Kaum telah berdiri kecuali Zaid atau Kaum telah berdiri kecuali Zaid.

 

Apabila kata yang jatuh sesudah   dibacajer, berarti   dianggap sebagai huruf jer dan apabila kata yang jatuh sesudah tiga kata tersebut dibaca nashab, maka  dianggap sebagai fiil. Hanya saja menurut Imam Syibawaih, semua kata yang jatuh sesudah   selalu dibaca jer.

 

Menambah Huruf Ma (   ) Sebelum   dan

 

Kata   dan   itu boleh dimasuki huruf ma   , apabila   dan   dimasuki huruf ma (   ), maka kata yang jatuh sesudahnya wajib dibaca nashab. Contoh:

 

Kaum itu telah berdiri, kecuali Zaid.

 

Ingatlah, segala sesuatu selain Allah, pasti binasa.

 

Sedangkan lafal   itu tidak boleh dimasuki huruf ma ( ).

 

 

 

 

 

Isim-isim lain yang dibaca nashab adalah:

  1. Khabar Kaana ( ) dan saudara-saudaranya.
  2. Khabar huruf yang serupa dengan Laisa ( ).
  3. Khabar Af’alul Muqarabah.
  4. Isim Inna ( ) dan saudara-saudaranya.
  5. Isim Laa( ) nafi jinsi.

 

Semuanya telah diterangkan pada Bab Isim-Isim yang Dibaca Rafa”. Adapun tentang Tabi’, insya Allah akan diterangkan.

 

 

Isim-isim yang dibaca jer itu ada tiga, yaitu:

  1. Isim yang dijerkan dengan huruf.
  2. Isim yang dijerkan dengan idhafah.
  3. Isim yang dibaca jer karena mengikuti isim yang dibaca jer.

 

I Isim yang Dibaca Jer

 

Isim yang dibaca jer karena huruf, adalah tiap-tiap isim yang dimasuki oleh huruf jer:     dan.

 

Pembagian Huruf Jer

 

Huruf Jer yang Masuk pada Isim Zhahir dan Dhamir

 

Tujuh huruf jer yang pertama, yaitu:   dan  bisa masuk pada isim zhahir dan isim dhamir, seperti dalam contoh:

 

Darimu dan dari Nuh.

 

 Hanya kepada Allah kamu semua kembali.

 

Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.

 

Sesungguhnya kalian melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).

 

Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.

 

Dan di atas punggung binatang-binatang ternak dan di atas perahu.

 

Dan di dalam surga terdapat segala yang disukai hati.

 

– Dan di bumi ada tanda-tanda kekuasaan Allah.

 

– Berimanlah kepada Allah.

 

– Berimanlah kalian kepada-Nya.

 

– Milik Allah-lah segala yang ada di langit.

 

– Milik-Nya-lah apa saja yang ada di langit.

 

Huruf Jer yang Masuk pada Isim Zhahir Sedangkan tujuh huruf jer terakhir, yaitu:   dan   khusus mengjerkan isim zhahir saja, tidak bisa masuk pada isim dhamir. Huruf jer yang hanya bisa mengjerkan isim zhahir ini terbagi menjadi empat, yaitu:

 

  1. Mengjerkan isim zhahir secara umum, yaitu: dan Contoh:

– Zaid seperti singa.

– Malam itu malam kesejahteraan sampai fajar terbit.

– Saya makan ikan hingga kepalanya.

– Demi Allah.

– Demi Yang Maha Pengasih.

 

  1. Khusus masuk isim zhahir yang berupa lafal Allah dan Rabbi yang mudhaf pada kata   atau ya’ mutakallim. Huruf jer yang demikian adalah , contoh:

–  Demi Allah.

– Demi Tuhan Ka’bah.

– Demi Tuhanku.

 

Jika  masuk pada isim zhahir selain isim zhahir tersebut, dihukumi janggal. Contoh:

– Demi Yang Maha Pengasih.

– Demi kehidupanmu.

 

  1. Khusus masuk pada isim yang menunjukkan arti waktu, yaitu: dan . Contoh:

– Saya tidak melihatnya sejak hari Jumat.

– Saya tidak melihatmu sejak dua hari.

 

  1. Khusus masuk pada isim nakirah, yaitu . Contoh:

– Banyak laki-laki di rumah.

 

Kadang-kadang   masuk pada dhamir ghairu mufrad mudzakkar (kata ganti orang ketiga tunggal laki-laki) disertai penjelasan berupa Tamyiz sesudahnya. Contoh:

– Banyak sekali pemuda itu.

 

Membuang Huruf Jer  dan Menetapkan Amalnya

 

Huruf Jer  itu kadang-kadang dibuang dan masih tetap beramal (berpengaruh) pada kata sesudahnya. Biasanya sesudah:

  1. Wawu ( ). Contoh:

 

Dalam syair tersebut ada  , yang dibuang sesudah huruf wawu , (  ) dan amalnya masih tetap. Asalnya:

  1. Fa’ (9 ). Contoh:

 

Dalam syair tersebut ada   yang dibuang sesudah huruf fa’ ( ) dan amalnya masih tetap. Asalnya:

 

  1. Bal ( ), tetapi jarang terjadi. Contoh:

 

Dalam syair tersebut ada yang dibuang sesudah huruf Bal   . ( ) dan amalnya masih tetap. Asalnya:

 

Membuang dan menetapkan amalnya tanpa didahului oleh huruf-huruf tersebut sangat jarang terjadinya. Seperti dalam syair:

 

“Banyak (sering) sekali aku berhenti di bekas-bekas reruntuhan rumah kekasihku, hampir saja usiaku kuhabiskan untuknya.”

 

Menambahkan Huruf Maa (. ) pada Huruf Jer

 

Huruf Maa (  ) itu boleh ditambahkan pada huruf jer:   dan huruf-huruf tersebut tetap beramal mengjerkan kata yang . dimasukinya. Contoh:

 

Huruf Maa (  ) itu juga boleh ditambahkan pada huruf jer   dan   , dan menurut umumnya tidak bisa beramal lagi. Biasanya, keduanya masuk pada kalimat. Contoh:

 

“Dia saudara yang mulia, tidak pernah membuatku sedih, di kala peperangan, seperti pedang Amer yang tidak pernah mengecewakannya tentang pukulan-pukulannya.”

 

“Banyak sekali sudah aku selesaikan lugas keilmuan, sehingga dapat mengangkat bajuku ………”

 

Tetapi kadang-kadang masih tetap bisa beramal. Contoh:

 

“Banyak sekali pukulan pedang yang berkilau dan tusukan tombak di sekitar kota Basra.” 

 

“Kami membela tuan kami, sedangkan kami mengerti, bahwa dia sama dengan manusia lain, yang kadang teraniaya dan kadang menganiaya.”

 

II Al-Idhafah (Mudhaf dan Mudhaf Ilaih)

 

Isim yang dibaca jer karena /dhafah, seperti dalam susunan kata:

– Pelayan Zaid.

 

Susunan di atas disebut susunan Idhafah. Susunan Idhafah itu mesti  terdiri dari mudhaf (   ) dan mudhaf ilaih (   ).

 

Ketentuan-Ketentuan Mudhaf

 

Mudhaf itu harus dibebaskan dari tanwin, Nun Tatsniyah, Nun Jamak dan Al . Contoh:

– Pelayan Zaid.

– Dua pelayan Zaid.

– Para sekretaris Amer.

 

Susunan pertama, berasal dari   dan   . Setelah digabungkan, maka tanwin kata   harus dibuang.

 

Susunan kedua, berasal dari   dan   . Setelah digabungkan, maka nun tatsniyah pada kata   harus dibuang.

 

Susunan ketiga, berasal dari  dan   . Setelah digabungkan, maka nun jamak pada kata   harus dibuang.

 

Pembagian Idhafah dari Segi Makna

 

Susunan /dhafah ditinjau dari segi maknanya, terbagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Mengandung arti lam (. milik). Contoh:

– Pelayan Zaid. Artinya: Pelayan milik Zaid.

– Baju Bakar. Artinya: Baju milik Bakar.

 

  1. Mengandung arti Min ( ). Contoh:

– Kain sutera. Artinya: Kain dari bahan sutera.

– Pintu kayu. Artinya: Pintu terbuat dari bahan kayu.

– Cincin besi. Artinya: Cincin terbuat dari bahan besi.

 

Mudhaf ilaih dalam susunan kata di atas (  )  itu boleh dibaca nashab menjadi tamyiz, sebagaimana telah diterangkan pada Bab Tamyiz. Boleh juga dibaca rafa”, mengikuti mudhaf, sehingga Susunan tersebut menjadi:

 

  1. Mengandung arti . Contoh:

 

– Tetapi tipu daya di waktu malam.

 -Wahai, kedua temanku di dalam penjara.

 

Pembagian Idhafah dari Segi Pengaruh pada Mudhaf

 

  1. Idhafah Lafihiyyah

 

Susunan idhafah itu ada dua, yaitu Lafzhiyyah dan Maknawiyyah. Idhafah Lafzhiyyah itu dibatasi dua perkara, yaitu:

  1. Mudhaf berupa isim sifat.
  2. Mudhaf ilaih berupa ma’mul isim sifat yang menjadi mudhaf.

 

Pengertian isim sifat di sini adalah isim fail, isim maf’ul dan sifal musyabbahah.

 

Contoh yang mengandung isim fail.

– Orang yang memukul Zaid.

 

Contoh yang mengandung isim maf’ul:

– Orang yang pembantunya dipukul.

 

Contoh yang mengandung isim sifat musyabbahah:

– Orang yang tampan wajahnya.

 

Idhafah Lafzhiyyah itu tidak memberikan pengaruh pada mudhaf dalam Ta’rifatau Takhsish. Idhafah lafazhiyyah ini hanya memberi faedah Takhfif (meringankan bacaan). Idhafah lafazhiyyah disebut juga dengan idhafah ghairu mahdhah.

 

  1. Idhafah Maknawiyyah

 

Idhafah Maknawiyyah ialah idhafah yang tidak mengandung dua perkara dalam idhafah lafzhiyyah di atas (mudhaf tidak terdiri dari isim sifat dan mudhaf ilaih tidak menjadi ma ‘mul mudhaf),   atau salah satunya, artinya mudhaf bukan isim sifat, meskipun mudhaf  ilaih-nya menjadi ma ‘mul mudhaf, seperti   atau mudhaf terdiri dari isim sifat, tetapi mudhaf ilaih-nya tidak menjadi ma’mul mudhaf, seperti: 

 

Idhafah Maknawiyyah disebut juga dengan idhafah mahdhah dan dapat mengubah status mudhaf yang nakirah menjadi makrifat, apabila mudhaf Ilaih terdiri dari isim makrifar, seperti  dan mentakhsish  mudhaf, jika mudhaf ilaih terdiri dari isim nakirah,seperti   Kata   dalam susunan   adalah isim nakirah yang menjadi makrifat sebab mudhaf pada isim makrifat, berupa kata:

 

Sedangkan kata   dalam susunan   adalah isim   nakirah, yang menjadi terbatas pengertiannya karena mudhaf pada isim  nakirah  

 

I’rab Mudhaf Ilaih

 

Prab mudhaf ilaih itu selalu jer, dijerkan oleh mudhaf, bukan karena susunan idhafah. Adapun i’rab mudhaf itu tergantung kedudukannya dalam kalimat.

 

Isim  yang dibaca jer sebab mengikuti kata sebelumnya, insya Allah akan dibahas dalam Bab Tawabi .

 

 

 

Pembagian Fiil dan Hukumnya

 

Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan, bahwa fiil itu ada tiga macam, yaitu Madhi, Amar dan Mudhari’. Fiil Madhi dan Amar, keduanya mabni. Sedangkan fiil yang mu’rab hanya fiil mudhari’, apabila tidak bersambung dengan Nun ( ) Jamak Muannats dan Nun Tauhid.

 

I’rab yang Masuk pada Fiil

 

Di atas juga telah dijelaskan, bahwa i’rab telah , Di yang dapat masuk pada fii Itu ada tiga, yaitu: i’rab Rafa’, I’rab Nashab dan I’rab Jazem. 

 

I’rab Fiil Mudhari’

 

Apabila uraian di atas telah dipahami, maka /’rab itu khusus masuk pada fiil mudhari ‘, artinya hanya fiil mudhari -lah yang harakat akhirnya bisa berubah-ubah. Fiil mudhari ‘ itu tidak lepas dari salah satu tiga i’rab, yaitu:

  1. Rafa’, apabila tidak dimasuki amil nashab dan amil jazem.
  2. Nashab, apabila dimasuki amil nashab.
  3. Jazem, apabila dimasuki amil jazem.

 

Amil Nashab Pembagian Amil Nashab

 

Amil yang bisa menashabkan fiil mudhari’ itu terbagi menjadi dua, yaitu: Amil yang mampu menashabkan dengan sendirinya dan amil yang dapat menashabkan dengan bantuan An ( ) yang disimpan sesudahnya:

 

Amil Nashab yang Menashabkan dengan Sendirinya

 

Amil Nashab yang dapat menashabkan fiil mudhari’ dengan sendirinya itu ada empat, yaitu:

 

  1. An( ), apabila tidak didahului oleh kata atau Contoh:

 

Apabila An ( ) didahului oleh kata , seperti kalimat   , maka huruf An (   ) berarti berasal dari huruf Anna ( . ), yang di-takhfif dan isimnya berupa dhamir sya’n yang   . dibuang. Bentuk asalnya adalah:

 

Sedangkan fiil   mudhari’ yang dimasukinya (.  ) dan failnya berkedudukan sebagai khabar , sebagaimana telah diterangkan pada Bab Amil Nawasikh.

 

Apabila An ( ) didahului oleh atau saudaranya, maka hukum An ( ) ada dua, boleh dihukumi sebagai amil nashab dan boleh juga dihukumi sebagai yang berasal dari yang ditakhfif. Contoh:

 

  1. Lan ( ). Contoh:

 

  1. Kay ( ) Mashdariyyah, yaitu Kay yang didahului oleh huruf , baik secara lafzhi atau tagdiri (tampak atau tidak). Contoh:

– Supaya kalian tidak berduka cita.

– Saya datang kepadamu, agar kamu memuliakanku.

 

Apabila tidak memperkirakan adanya  , maka Kay (   ) dikategorikan Kay huruf jer, sedangkan fiil sesudahnya yang dibaca nashab, dinashabkan oleh huruf An (  ) yang tersimpan secara wajib sesudahnya. Contoh:      takdirnya

 

  1. Idzan ( ) dengan ketentuan sebagai berikut: Fiil yang jatuh sesudahnya menunjukkan waktu akan datang. b. Antara /dzan dan fiil sesudahnya, bersambung langsung, atau . terpisah oleh Qasam atau Laanafi.

 

Contoh yang bersambung langsung:

– Kalau begitu saya akan memuliakanmu.

 

Contoh yang terpisah oleh Uasam:

– Kalau begitu, demi Allah  saya akan memuliakanmu.

 

Contoh yang terpisah oleh Laa nafi:

– Kalau begitu, saya tidak akan mengecewakanmu.

 

Amil Nashab yang Beramal dengan Bantuan An (  )

 

Bagian kedua amil nashab adalah amil nashab yang dapat menashabkan fiil mudhari’ dengan bantuan An (  ) secara tersimpan. Amil Nashab seperti ini terbagi menjadi dua, yaitu: Menashabkan dengan bantuan An yang tersimpan secara jawaz dan ada yang secara wajib.

  1. Amil Nashab dengan Menyimpan An Secara Jawaz

 

Bagian pertama, yaitu amil nashab yang menashabkan fil mudhari’ dengan bantuan An (  ) yang tersimpan secara jawaz ada lima:

  1. Lam Kay ( J). Contoh:

– Dan kita diperintah, agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.

 

  1. Wawu ( ). Contoh:

– Memakai baju yang tebal kumal dan hatiku senang.

 

  1. Fa’ (@ ). Contoh:

– Seandainya tidak karena menanti orang yang miskin, lalu aku menyenangkannya ……..

 

  1. Tsumma ( ). Contoh:

– Sesungguhnya saya dan kasus pembunuhan saya terhadap Sulaika, yang kemudian saya bayar dendanya ….

 

  1. Au ( ). Contoh:

 

“Dan tidak mungkin bagi manusia diajak bicara oleh Allah, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di balik tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat).”

 

  1. Amil Nashab dengan Menyimpan An Secara Wajib

 

Bagian kedua dari amil nashab yang beramal dengan bantuan huruf An yang tersimpan secara wajib itu ada enam, yaitu:

 

  1. Kay ( ) huruf jer. seperti vang pernah diterangkan.

 

  1. Lam ( ) Juhud. Contoh:

 

Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka.

 

  1. Haraa ( ), apabila fiil yang dimasukinya mengandung arti akan datang. Contoh:

 

Hingga Musa kembali kepada kami.

 

  1. Au ( ) berarti sampai/kecuali. Contoh:

 

“Saya Ini apabila menekan tombak mereka, maka saya mematahkan pepangannya, kecuali tombak mereka dalam keadaan lurus.”

 

  1. Fa’ ( ) Sababwwvah yang didahului oleh nafi murni atau rhalab. Contoh:

– Mereka tidak dibinasakan, sehingga mereka mati. 

 

Dan janganlah kamu melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu.

 

  1. Wawu ( ) Ma’iyyah yang didahului oleh nafi murni atau thalab. Contoh:

 

“Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kalian, serta belum nyata orang-orang yang sabar.”

 

Janganlah kamu memakan ikan serta minum susu.

 

 

 

 

Amil jazem, yaitu amil yang menjazemkan fiil mudhari’ itu ada delapan belas dan terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menjazemkan satu fiil dan bagian kedua menjazemkan dua fiil.

 

Amil Jazem yang Menjazemkan Satu Fiil :

 

Bagian pertama dari amil jazem, yakni yang menjazemkan satu fiil itu ada tujuh, yaitu:

  1. Lam ( ), contoh:

 

  1. Lammaa ( ), contoh:

 

  1. Alam ( ), contoh:

 

  1. Alammaa ( ), contoh:

 

  1. Lam ( ) ‘Amar (lam yang menunjukkan arti perintah dan doa), contoh:

 

  1. Laat | ) Nahi (Laa yang menunjukkan arti larangan) dan Laa doa, contoh:

 

  1. Tholab (tuntutan), apabila fa’ ( ) yang ada pada fiil mudhari’ sesudahnya gugur dan dimaksudkan sebagai jawaban tuntutan tersebut, contoh::

 

Kata dalam kalimat di atas adalah fiil mudhari’ yang  didahului oleh tholab, yaitu ! . Fiil mudhari’  tersebut dii’rab jazem dengan alamat membuang huruf ilat wawu. Yang menjazemkan adalah tholab tersebut.

 

Amil Jazem yang Menjazemkan Dua Fiil

 

Bagian kedua dari amil jazem, yakni amil jazem yang menjazemkan dua fiil itu ada sebelas, yaitu:

  1. Int ( ), contoh:

 

  1. Maa ( ), contoh:

 

  1. Mant ( ), contoh:

 

  1. Mahmaa ( ), contoh:

 

  1. Idzmaa ( ), contoh:

 

  1. Ayyun ( ), contoh:

 

  1. Mataa ( ), contoh:

 

  1. Ayyaana (. ), contoh:

 

  1. Ainamaa (. ), contoh:

 

  1. Annaa (. ). contoh:

 

  1. Haitsumaa ( ), contoh:

 

Amil jazem yang berjumlah sebelas tersebut, semuanya adalah isim, kecuali In ( ) dan Idzmaa (. ), keduanya adalah huruf, Fiil Syarat dan Fiil Jawab

 

Fiil mudhari’ pertama yang dijazemkan oleh amil jazem yang menjazemkan dua fiil itu disebut fiil syarat dan fiil mudhari’ yang kedua disebut fiil jawab atau jaza’.

 

“Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu ….”

 

Kata  dalam kalimat di atas adalah fiil mudhari’ pertama yang dijazemkan oleh In ( ). Fiil ini disebut fiil syarat, sedangkan kata :  adalah ftil mudhari’ kedua yang dijazemkan oleh  Fill kedua ini disebut flil jawab.

 

Ketentuan yang Berlaku untuk Jawab

 

Apabila jawab tidak sah jika dijadikan syarat, maka jawab harus disertai fa’ (  ), contoh:

 

Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”

 

Kata  dalam kalimat di atas adalah fiil syarat yang mesti memerlukan jawab. Dalam kalimat di atas yang menjadi jawab ,  adalah  kalimat ala jumlah arena kalimat jawab  tidak bisa dijadikan syarat, karena ia jumlah ismiyyah, maka harus disertai fa’ (  ), sebagaimana dalam ayat:

 

“.. Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku …..”

 

Kata dalam kalimat di atas adalah fiil syarat yang   memerlukan jawab. Dalam kalimat di atas yang menjadi jawab adalah  kalimat.” Karena kalimat jawab ini tidak bisa dijadikan  syarat, karena ia tholab, maka harus disertai fa’ ( ), sebagaimana dalam ayat:

 

“Dan apa saja kebaikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya ….”

 

Kata dalam kalimat di atas adalah fiil syarat yang memerlukan jawab. Dalam kalimat di atas yang menjadi jawab adalah kalimat yang didahului oleh huruf . Oleh karena itu, harus disertai fa” (), sebagaimana dalam ayat.

 

Atau disertai idzaa fujaiyyah, seperti:

 

“Dan apabila mereka ditimpa sesuatu musibah disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, ” Tiba-tiba mereka berputus asa.”

 

Huruf Jazem Selain yang Tersebut di Atas

 

 Pengarang kitab Al-Jurumiyah menerangkan, bahwa Kaifamaa   termasuk bagian amil jazem, contoh:

 

Bagaimanapun kamu mengerjakan, maka saya pun mengerjakan.

 

Pendapat yang mengatakan, bahwa Kaifamaa sebagai amil jazem adalah Mazhab Kufi, tetapi kami tidak menjumpai bukti dalam kalam Amutsal Arab. Kadang-kadang lafal idzaa “ah itu dapat menjazemkan, tetapi hanya dalam syair, seperti:

 

“Merasalah cukup engkau, selama Tuhanmu menyerahkan kekayaan kepadamu, Apabila engkau tertimpa musibah, maka bersabarlah.”

 

“Apabila engkau tertimpa musibah, maka mohonlah kecukupan, Dan kepada yang memberi segala kenikmatan, memohonlah. “

 

 

 

 

Definisi

 

Naat ialah kata yang musytag atau muawwal, yang menjelaskan kata yang diikutinya. Naat disebut juga sifat.

 

Pengertian Musytaq dan Muawwal

 

Yang dimaksud musytaq di sini adalah:

  1. Isim Fail, seperti:

 

  1. Isim Maf’ul, seperti:

 

  1. Sifat Musyabbahah, seperti:

 

  1. Isim Tafdhil, seperti:

 

Yang dimaksud muawwal di sini adalah:

  1. Isim Isyarah, seperti:

 

  1. Isim Mausul, seperti:

 

  1. Dzul berarti yang empunya, seperti:

 

  1. Isim-isim Nisbat, seperti:

 

  1. Jumlah (kalimat), dengan syarat kata yang diikutinya berupa isim nakirah, seperti:

 

  1. ‘Mashdar dengan bentuk Mufrad Mudzakkar, seperti:

 

Kata   dalam kalimat-kalimat di atas selalu menetapi bentuk Mufrad Mudzakkar, meskipun yang disifati (diikuti) Mufrad  Mudzakkar, seperti dalam contch pertama: Mufrad Muannats,   seperti:   dalam contoh kedua, Tatsniyyah Mudzakkar, seperti   dalam contoh ketiga, ataupun Jamak Taksir, seperti:   dalam contoh keempat

 

Hukum Naat Hakiki

 

Naat Hakiki (naat yang merafa’kan dhamir mustatir) itu mengikuti Man’ut (kata yang diikuti) dalam hal rafa’, nashab, jer, makrifat, nakirah, mudzakkar, muannats, mufrad, tatsniyah dan jamak. Contoh:

 

– Telah berdiri Zaid yang berakal.

 

– Aku telah melihat Zaid yang berakal.

 

– Aku relah bersua dengan Zaid yang berakal.

 

– Telah datang Hindun yang berakal.

 

– Aku telah melihat Hindun yang berakal.

 

– Aku telah bersua dengan Hindun yang berakal.

 

– Telah datang seorang laki-laki yang berakal.

 

– Aku relah melihat seorang laki-laki yang berakal.

 

– Aku telah bersua dengan seorang lakilaki yang berakal.

 

– Telah datang dua Zaid, yang keduaduanya berakal.

 

– Aku telah melihat dua Zaid, yang kedua-duanya berakal.

 

-Aku telah bersua dengan dua Zaid,  yang kedua-duanya berakal.

 

– Telah datang para Zaid, yang Semuanya berakal.

 

-Aku telah melihat para Zaid, yang Semuanya berakal.

 

– Aku telah bersua dengan para Zaid, yang semuanya berakal.

 

– Telah datang dua Hindun, yang kedua-duanya berakal.

 

– Aku telah melihat dua Hindun, yang kedua-duanya berakal.

 

– Aku telah bersua dengan dua Hindun, yang kedua-duanya berakal.

 

– Telah datang para Hindun, yang semuanya berakal.

 

– Aku telah melihat para Hindun, yang semuanya berakal.

 

– Aku telah bersua dengan para Hindun, yang semuanya berakal.

 

Hukum Naat Sababi

 

Apabila Naat itu merafa’ kan isim zhahir atau dhamir bariz (naat sababi), maka naat cukup mengikuti man’ut dalam hal i’rab, makrifat dan nakirah, tidak mengikuti man’ut dalam hal mudzakkar, muannats mufrad, tatsniyah dan jamak. Tetapi naat yang demikian diberi hukum seperti fiil.

 

Apabila fail naat itu muannats, maka naat harus muannats, meskipun man’ut (kata yang diikuti) mudzakkar, apabila fail mudzakkar, maka naat harus di-mudzakkar-kan, meskipun man ‘ut (kata yang diikuti) muannats, dan naat sababi ini harus menetapi bentuk mufrad, tidak boleh ditatsniyahkan atau dijamakkan. Contoh:

 

-Zaid yang ibunya berdiri telah datang.

 

Kata   dalam kalimat di atas berkedudukan menjadi naat yang merafa’ kan isim zhahir  (naat sababi). Ia mengikuti

 

  1. man’utnya ( ) dalam hal i’rab, makrifat dan nakirah-nya

 

Sedangkan muannats dan mudzakkarnya menyesuaikan dengan isim yang dirafa’kan, jika isim yang dirafa’kan naat itu muannats, maka naat ditandai muannats, seperti dalam contoh di atas. Apabila isim yang dirafa’kan naat itu mudzakkar, maka naat harus di-mudzakkarkan, seperti contoh di bawah ini:

 

– Hindun yang ayahnya berdiri telah datang.  

 

Kata  dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai naat yang merafa’kan isim zhahir (naat sababi). Ia mengikuti man ‘ut-nya ( ) dalam hal i’rab, makrifat dan nakirah-nya. Sedangkan muannats dan mudzakkarnya menyesuaikan dengan isim yang dirafa’kan. Karena dalam kalimat di atas, isim yang dirafa’kan naat berjenis mudzakkar, maka naat harus mudzakkar.

 

Kata  dalam dua kalimat yang terakhir berkedudukan  sebagai naat sababi. Ia tetap mufrad, meskipun man’ut dan isim yang dirafa’ kannya berupa tatsniyah dan jamak.

 

Tetapi Imam Syibawaih berpendapat: Apabila isim yang dirafa’kan naaf itu berupa jamak, seperti dalam contoh terakhir, maka sebaiknya naaf dijamakkan taksir, contoh:

 

Menjamakkan naat seperti dalam dua contoh di atas dengan jamak faksir itu lebih baik daripada memufradkannya. Dan memufradkannya itu lebih baik daripada menjamakkannya dengan jamak mudzakkar salim, contoh:

 

Demikian contoh-contoh naat yang merafa’kan isim zhahir, sedangkan contoh-contoh yang merafa’kan isim dhamir sebagai berikut:

 

Fungsi Naat dalam Kalimat

 

Fungsi naat dalam kalimat ialah:

  1. Mentakhsish kata yang diikuti (man’ut), jika man’ut berupa isim nakirah, seperti:

 

Saya lewat bertemu dengan seorang laki-laki yang saleh.

 

Kata dalam kalimat di atas adalah isim nakirah yang  disifati oleh kata . Kata ini menjadi sifat (naat)  . Berarti tidak semua laki-laki masuk, tetapi laki-laki yang saleh.

 

  1. Menjelaskan kata yang diikuti (man’ut), apabila man’ut berupa isim makrifat. Contoh: :

 

Zaid yang alim telah datang. :

 

  1. Memuji. Contoh:

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

  1. Mencela. Contoh:

 

 Saya berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

 

  1. Memohon belas kasihan. Contoh:

 

Ya, Allah, kasihanilah hamba-Mu yang miskin ini.

 

  1. Mengukuhkan (taukid). Contoh:

 

Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.

 

Hukum Naat Man’ut yang Sudah Diketahui Tanpa Naat ,

 

Apabila man’ut itu telah diketahui dengan jelas tanpa naat maka kata yang menjadi naat-nya boleh dibaca mengikuti man’ut atau memutus hubungan dengannya. Arti memutus hubungan di sini adalah merafa’kan naat sebagai khabar dari mubtada’ yang dibuang atau menashabkannya dengan fiil-fiil yang dibuang, contoh:

 

Lafal   adalah sudah maklum dan jelas, meskipun tanpa   naat. Sedangkan kata  dalam kalimat di atas menjadi naat  lafal . Naat yang demikian ini boleh dibaca menurut bacaan man’ut, boleh dibaca rafa’ menjadi khabar dari mubtada’ yang dibuang atau dibaca nashab sebab fiil yang dibuang.   

 

Menurut Imam Syibawaih, bahwa kata   di atas boleh dibaca jer mengikuti man’ut, yaitu lafal , boleh dibaca rafa’ menjadi khabar dari mubtada’ yang dibuang dan boleh dibaca nashab   dengan menakdirkan fiil

 

Hukum Naat yang Lebih dari Satu

 

 Apabila naat lebih dari satu dan man’ut-nya sudah jelas tanpa naal-naat tersebut, maka semua naat itu boleh dii’rab (dibaca) sama dengan i’rab man’ut, memutus hubungan dengan man’ut sama sekali, sebagian naat mengikuti man’ut dan sebagiannya tidak, dengan syarat naat yang mengikuti man’ut mendahului naat yang tidak mengikutinya. Tetapi, apabila man’ut tidak bisa diketahui, kecuali dengan menyebutkan naat-naat tersebut, maka semuanya wajib mengikuti man’ut. Apabila man’ut bisa diketahui dengan sebagian naat, maka sebagian naat yang lainnya boleh di-i’rab dengan salah satu dari tiga i’rab di atas.

 

 

 

Macam-macam ‘Athaf

 

Athaf itu ada dua macam, yaitu:

  1. ‘Athaf Bayan.
  2. ‘ Athaf Nasaq.

 

‘Athaf Bayan

 

‘Athaf Bayan ialah tabi’ (kata yang ikut) seperti halnya naat berfungsi menjelaskan matbu’ (kata yang diikuti)nya, jika terdiri dari isim makrifat dan untuk mentakhsish matbu’-nya, jika terdiri dari isim nakirah, seperti contoh:

 

– Telah bersumpah kepada Allah, Abu Hafash alias Umar.

 

Kata  dalam kalimat di atas menjelaskan maksud dari kata

 

-Ini cincin besi.

 

Kata   dalam kalimat di atas menjelaskan maksud kata   yang nakirah (umum).

 

Perbedaan antara naat dan ‘athaf bayan ialah ‘athaf bayan terdiri dari isim jamid yang tidak ditakwil musytaq, sedangkan naat terdiri dari isim musytaq atau isim jamid yang ditakwil musytaq.

 

Hukum ‘Athaf

 

‘Athaf, baik bayan maupun nasag itu harus sama dengan ma’thuf (yang di’athafi) dalam empat perkara dari sepuluh perkara, yaitu:

 

  1. Dalam segi i’rab-nya (rafa’, nashab atau jer).
  2. Dalam segi mudzakkar atau muannats-nya.
  3. Dalam segi makrifat atau nakirah-nya.
  4. Dalam segi mufrad, tatsniyah atau jamak-nya.

 

‘Athaf Bayan itu pada umumnya boleh dii’rabi sebagai badal kul min kulli.

 

‘Athaf Nasaq

 

‘Athaf Nasag ialah tabi’ (kata yang ikut) pada matbu’-nya (kata yang diikuti) yang memakai perantara salah satu dari sepuluh huruf sebagai berikut:

 

  1. Wawu( )
  2. Fa’ ( )
  3. Tsumma( )
  4. Hattaa ( )
  5. Am ( )
  6. Au ( )
  7. Immaa ( )
  8. Bal( )
  9. Laa ( )
  10. Laakin ( )

 

Fungsi Huruf-huruf ‘ Athaf

 

Tujuh huruf ‘athaf yang pertama ( dan ) itu berfungsi untuk menggabungkan kata yang di’athafkan (ma’thuf) dengan kata yang di’athafi (ma’thuf alaih) dalam segi i’rab dan makna. Sedangkan tiga huruf ‘athaf lainnya (   dan  ) berfungsi untuk menggabungkan ma’thuf dan ma’thuf alaih dalam segi i’rabnya. 

 

Apabila ma’thuf alaih dibaca rafa’, maka ma’thuf juga rafa’. Apabila ma’thuf alaih nashab, maka ma’thuf juga nashab, apabila ma ‘thuf alaih jer, maka ma’thuf juga jer, dan apabila ma’thuf alaih jazem, maka ma’thuf juga jazem, contoh:

 

– Benarlah Allah dan Rasul-Nya.

 

Kata , adalah ma’thuf (di’athafkan) pada kata   karena kata   (ma’thuf alaih atau yang di’athafi) rafa’, maka kata  , juga dirafa’kan. ,

 

Makna Tiap-tiap Huruf ‘Athaf

 

Arti huruf-huruf ‘athaf tersebut ialah:

  1. Wawu ( ) untuk muthlaqul jami’ (berkumpulnya ma’thuf dan ma’thuf alaih secara mutlak), contoh:

– Zaid dan Amar telah datang.

 

Dalam kalimat di atas diterangkan, bahwa Zaid dan Umar datang di suatu tempat, tanpa memperhatikan, apakah Zaid dulu atau Amar, bersamaan atau tidak.

 

  1. Fa’ ( ) untuk menunjukkan arti fartib (berurutan) dan ta’qib (susul-menyusul), contoh:

– Dia mematikannya, lalu menguburkannya.

 

 Kata    adalah fiil madhi berkedudukan menjadi ma’thuf   (di’athafkan) pada kata   yang juga fiil madhi,dengan perantara huruf ‘athaf  yang menunjukkan arti tertib atau berurutan, yakni setelah mematikan, lalu menguburkan.

 

  1. Tsumma ( ) untuk menunjukkan arti tertib (berurutan) dengan tenggang waktu beberapa lama. Contoh:

– Kemudian bila Dia menghendaki, maka dia membangkitkannya kembali.

 

  1. Hattaa ( ), huruf ‘athaf ini jarang dipakai, jika dipakai harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
  2. Lafal yang di’athafkan berupa isim zhahir.
  3. Lafal yang di’athafkan bagian dari yang di’athafi.
  4. Lafal yang di’athafi menjadi sasaran atau tujuan terakhir, contoh:

 

– Saya telah makan ikan hingga kepalanya.

 

Kata  dalam kalimat di atas dibaca nashab, ‘athaf pada kata   dengan perantara huruf ‘athaf ‘Athaf yang demikian ini telah memenuhi syarat di atas. Kata   boleh juga dibaca jer dengan memfungsikan sebagai huruf jer, sebagaimana telah diuraikan pada Bab Isim-isim yang Dibaca   Jer. Selain itu, kata   boleh dibaca rafa’ dengan memfungsikan sebagai ibtidaiyyah, sehingga kata  sesudahnya menjadi permulaan kalimat dan berkedudukan sebagai mubtada’, yang khabar-nya dibuang, susunannya adalah:

 

  1. Am ( ), untuk menunjukkan arti mencari ketegasan, jika jatuh sesudah hamzah yang masuk pada salah satu dua hal yang sama, contoh:

 

  1. Au ( ), untuk menunjukkan arti: – Takhyir (pilihan). Contoh:

– Kawinilah Hindun atau saudaranya.

– Pergaulilah ulama atau orang-orang yang zuhud.

 

Keraguan (ketidak jelasan) atau melebihkan, jika sesudah kalimat berita. Contoh:

 

– Kami berada di sini sehari atau setengah hari.

– Dan sesungguhnya kami atau kalian, pasti berada dalam kebenaran.

-Hendaklah kalian menjadi penganut Yahudi atau Nasrani.

 

  1. Immaa ( ), bermakna seperti Au ( ), baik sesudah kalimat perintah maupun kalimat berita. Contoh:

– Kawinilah Hindun atau saudaranya.

– Belajarlah fikih atau nahwu.

– Telah datang Zaid atau Amar.

 

Konon   dalam kalimat-kalimat di atas, bukan huruf yang – meng’athafkan kata sesudahnya pada kata sebelumnya yang  mengathafkan itu adalah huruf wawu ( ). Sedangkan huruf  adalah huruf tafshil, seperti dalam kalimat pertama.

 

  1. Bal ( ) menunjukkan arti idhrab dari pokok bahasan (pembetulan), contoh:

– Telah berdiri Zaid, bahkan Amer.

 

  1. Laakin ( ), untuk menunjukkan arti istidrak (pembetulan). Contoh:

– Saya tidak bertemu seorang laki-laki saleh, tetapi seorang lakilaki yang jahat.

 

  1. Laa ( ), untuk menunjukkan arti peniadaan hukum lafal sesudahnya, contoh:

– Telah datang Zaid, bukan Amer.

 

 

 

 

Definisi

 

Taukid adalah isim yang ikut pada isim sebelumnya, untuk menegaskan maksud sebenarnya dari isim yang diikuti.

 

Pembagian Taukid

 

Taukid itu ada dua macam, yaitu:

  1. Taukid Lafzhi.
  2. Taukid Maknawi

 

Taukid Lafzhi 

 

Taukid Lafzhi adalah taukid dengan cara mengulangi kata pertama, baik berupa:

  1. Isim, seperti:

 

  1. Fiil, seperti:

“Telah datang kepadamu telah datang kepadamu, orang-orang yang telah menyusulmu, maka berhentilah, berhentilah.”

 

  1. ‘ Huruf, seperti:

 “Tidak, aku tidak membuka percintaan Bitsnah, sesungguhnya dia telah mengadakan perjanjian-perjanjian denganku.”

 

  1. Kalimat, seperti:

Saya telah memukul Zaid, saya telah memukul Zaid.

 

Taukid Maknawi

 

Taukid Maknawi itu terdiri dari kata-kata yang telah dikenal, yaitu:

  1. Nafsun ( )
  2. ‘Ainun ( )
  3. Kullun ( )
  4. Jamii’un ( )
  5. ‘Aammatun ( ) .
  6. Kilaa ( )
  7. Kiltaa ( )

 

Syarat-syarat Taukid Maknawi

 

Taukid Maknawi itu harus mengandung dhamir yang cocok dengan kata yang ditaukidi dalam hal mufrad, tatsniyah, jamak, mudzakkar dan muannats. .

 

 Taukid Maknawi dengan kata   dan   itu boleh dirangkap atau digunakan keduanya untuk satu muakkad, dengan  . syarat kata  didahulukan, seperti:

 

Penggunaan Lafal-lafal Taukid Maknawi

 

Lafal (. ) dan (. ) itu harus digunakan mentaukidi kata yang mufrad, contoh:

 

Ali berpidato sendiri.

 

Lafal jamak dari dan jamak dari itu digunakan mentaukidi kata yang berbentuk tatsniyah dan jamak. Contoh:

 

Telah datang dua Zaid, mereka berdua sendiri.

 

Telah datang dua Zaid, mereka berdua sendiri.

 

Telah datang orang-orang yang bernama Zaid diri mereka sendiri.

 

Telah datang orang-orang yang bernama Zaid diri mereka sendiri.

 

Lafal   dan   digunakan untuk mentaukidi kata yang berbentuk mufrad dan jamak, tidak bisa digunakan untuk mentaukidi isim tatsniyah, contoh:

  1. Mufrad Mudzakkar:

 

– Telah datang pasukan tentara seluruhnya.

– Telah datang pasukan tentara seluruhnya.

– Telah datang pasukan tentara seluruhnya.

 

  1. Mufrad Muannats:

 

-Telah datang kabilah, semuanya.

– Telah datang kabilah, semuanya.

– Telah datang kabilah, semuanya.

 

  1. Jamak Mudzakkar:

 

– Telah datang para pejuang, seluruhnya.

– Telah datang para pejuang, seluruhnya.

– Telah datang para pejuang, seluruhnya.

 

  1. Jamak Taksir:

 

– Telah datang para lelaki, semuanya.

– Telah darang para lelaki, semuanya.

– Telah darang para lelaki, semuanya.

 

  1. Jamak Muannats:

 

-Telah datang para wanita, seluruhnya.

– Telah datang para wanita, seluruhnya.

– Telah datang para wanita, seluruhnya.

 

Lafal  dan   digunakan untuk mentaukidi isim tatsniyah, contoh:

 

-Telah datang dua Zaid, keduanya.

-Telah datang dua Zaid, keduanya.

 

Mentaukidi Kata yang Sudah Ditaukidi

 

Apabila ada kata yang sudah ditaukidi hendak ditaukidi, maka boleh memakai kata-kata sebagai berikut:

  1. diletakkan sesudah . contoh:

 

  1. , diletakkan sesudah , contoh:

 

  1. , diletakkan sesudah , contoh:

 

  1. , diletakkan sesudah   , contoh:

 

Kadang-kadang lafal taukid   dan itu  . digunakan tanpa didahului oleh lafal  , seperti:

– Dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.

 

Kadang-kadang lafal taukid  itu diikuti oleh lafal   dan , contoh:

 

Lafal   dan itu berarti sama.

 

Hukum Taukid

 

Taukid itu harus mengikuti muakkad (kata yang ditaukidi) dalam hal i’rab yang meliputi rafa’, nashab dan jer serta dalam hal makrifatnya. Menurut ulama Bashrah, isim nakirah itu tidak boleh ditaukidi dengan isim nakirah.

 

 

 

Definisi

 

Badal ialah tabi’ (yang ikut) yang menjadi sasaran hukum tanpa perantaraan. Apabila ada isim dijadikan badal isim atau fiil dijadikan badal fiil, maka isim atau fiil yang menjadi badal itu harus mengikuti mubdal minhu dalam semua i’rabnya.

 

Macam-macam Badal

 

Badal itu ada empat macam, yaitu:

  1. Badal Syai’ Min Syai’ atau Badal Kul Minal Kulli. Contoh:

– Telah datang Zaid, saudaramu.

 

Kata   dalam kalimat di atas adalah badal kul minal kulli dari kata . Yang dimaksud Zaid, yaitu saudaramu, bukan Zaid selain saudaramu.

 

“Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orangorang yang telah Engkau beri nikmat.” ,

 

Kata   adalah badal kul minal kulli dari kata   Maksud jalan yang lurus adalah jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. 

 

-Yaitu ke jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Dia-lah Allah.

 

  1. Badal Ba’dhu Minal Kulli (sebagian dari keseluruhan), baik sebagian tadi banyak atau sedikit. Contoh:

 

– Saya Makan roti, sepertiganya.

– Saya makan roti, separonya.

– Saya makan roti, dua pertiganya.

 

Kata   dalam kalimat-kalimat   atas menjadi badal ba’dhu minal kulli dari kata . Sebab kata-kata tersebut menunjukkan bagian dari roti. Badal ba’dhu minal kulli itu disyaratkan mengandung dhamir yang merujuk pada mubdal minhu, baik secara tegas sebagaimana dalam contoh-contoh di atas, maupun diperkirakan. Contoh:

 

“.. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah ……”

 

Kata  dalam ayat di atas sebagai badal ba’dhu minal kulli dari kata . Sebenarnya, dalam badal ini ada dhamir tersimpan yang merujuk pada kata berupa

 

  1. Badal Isytimal. Contoh:

– Zaid telah mengagumkan aku, ilmunya.

 

Kata dalam kalimat di atas menjadi badal isytimal dari mubdal minhu berupa  

 

Badal Isytimal itu harus mengandung dharnir yang merujuk pada mubdal minhu, baik dhamir itu disebutkan dengan jelas, seperti dalam contoh di atas, atau disamarkan. Contoh:

– Telah dibinasakan orang-orang yang membuat parit yang berapi.

 

Kata dalam ayat di atas menjadi badal isytimal dari mubdal minhu, berupa kata . Dalam kalimat itu sebenarnya ada dhamir yang dikira-kirakan, berupa   dalam kata

 

  1. Badal Mubayan. Badal ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
  2. Badal Ghalath.
  3. Badal Nisyan.
  4. Badal Idhrab.

Contoh:

– Saya telah melihat Zaid, eh kuda.

 

Jika engkau hendak mengucapkan:    lalu keliru   , kemudian menyebutkan kata  , sehingga   menjadi:   maka disebut badal ghalath. Apabila engkau mengucapkan:  – lalu engkau ketika mengucapkan teringat, bahwa yang kamu lihat adalah kuda, kemudian cepat-cepat engkau sebutkan kata  , sehingga menjadi  , maka disebut badal nisyan. Apabila pada mulanya kamu hendak memberitakan, bahwa kamu telah melihat Zaid, kemudian timbul dalam pikiran niat memberitakan, bahwa engkau melihat kuda, maka yang demikian ini disebut badal idhrab.

 

Badal dan Mubdal Minhu dari Fiil

 

(Fiil itu juga bisa dijadikan badal dari mubdal minhu yang berupa fiil juga), contoh:

  1. Badal Kullu Minal Kulli

“… Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (balasan atas) dosa-dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya ….”

 

Kata   dalam kalimat di atas menjadi badal kullu minal kulli dari mubdal minhu

 

  1. Badal Ba’dhu Min Kulli

“Jika kamu salat, sujud kepada Allah, maka Dia akan memberi rahmat kepadamu.”

 

 Kata   dalam kalimat di atas menjadi badal ba’dhu min kulli dari mubdal minhu

 

  1. Badal Isytimal

 

Kata   dalam kalimat di atas menjadi badal isytimal dari mubdal minhu

 

  1. Badal Ghalat

 

Yang menjadi badal ghalat berupa fiil dalam kalimat di atas adalah   .

 

Hukum Badal Isim Nakirah Untuk Isim Makrifat

 

Membuat badal dari isim nakirah, sedangkan mubdal minhu terdiri dari isim makrifat itu boleh, seperti dalam firman Allah: ”

 

 “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.”

 

Kata   dalam ayat di atas adalah nakirah dan menjadi badal   dari mubdal minhu yang terdiri dari isim makrifat, yaitu kata

 

 

Ketahuilah, bahwa pada dasarnya kata yang dapat beramal itu hanya fiil. Tetapi ada tujuh isim yang bisa beramal seperti amal fiil, yaitu: Mashdar, isim fail, shighat mubalaghah, isim maf’ul, sifat musyabbahah, isim tafdhil dan isim fiil.

 

  1. Amal Mashdar dan Syarat-syaratnya

 

Pertama adalah mashdar, dengan syarat tempatnya bisa ditempati oleh fiil bersama   atau , Contoh:

 

– Mengagumkan padaku pukulanmu pada Zaid.

 

Kata  dalam kalimat di atas dibaca nashab, karena menjadi maf’ul dari mashdar, yaitu kata . Kata itu bisa ..   ditempati oleh fiil bersama ( ) atau   , Sehingga menjadi:

 

atau   Mashdar dalam beramal itu terbagi menjadi tiga, yaitu:

 

  1. Di-mudhaf-kan pada salah satu ma’mul-nya, contoh:

– Seandainya Allah tidak menolak manusia.

 

Dalam kalimat di atas mashdar ( ) di-mudhaf-kan pada , ma’mul marfu’-nya, yaitu kata   sedangkan kata menjadi maf’ul-nya.

Dalam kaliamt di atas mashdar ( ) di-mudhaf-kan pada ma’mul manshub (maf’ul), yaitu kata   .

 

  1. Di-tanwin. Contoh:

 

Dalam kalimat di atas, mashdar ( ) memakai tanwin dan beramal seperti fiil, mempunyai fail dan maf’ul. Failnya  dibuang, berupa dhamir  yang ada pada kata “abi, fakdir-nya adalah   , sedangkan maf’ul-nya adalah kata  

 

  1. Diberi Al ( ). Contoh:

 

Dalam kalimat di atas, mashdar   bersamaan Al (  ) dan beramal menashabkan kata   menjadi maf’ul-nya. Amal mashdar yang disertai Al itu hukumnya syadz.

 

  1. Amal Isim Fail

 

Kedua, adalah isim fail, seperti:   dan lain-lainnya.

 

Syarat Amal Isim Fail

 

Apabila isim fail bersamaan dengan Al (  ), maka bisa beramal secara mutlak, tanpa Syarat, contoh:

– Ini orang yang memukul Zaid kemarin.

– Ini orang yang memukul Zaid sekarang.

– Ini orang yang memukul Zaid besok.

 

Apabila isim fail tidak bersamaan dengan Al ( ), maka harus memenuhi dua syarat:

 

  1. Mengandung makna sekarang atau akan datang.

 

  1. Didahului oleh nafi, istifham, dijadikan khabar atau menjadi sifat, contoh:
  2. Didahului oleh nafi:

Zaid bukanlah orang yang memukul Amar.

  1. Didahului oleh istifham:

Apakah Zaid orang yang memukul Amar.

  1. Dijadikan khabar: :

Zaid adalah orang yang memukul Amar.

 

  1. Menjadi sifat:

Saya bertemu dengan laki-laki yang memukul Amar.

 

III. Amal Sighat Mubalaghah

 

Ketiga, adalah sighat mubalaghah, yaitu tiap-tiap kata yang mengikuti wazan.

 

  1.  
  2.  
  3.  

4.

  1.  

 

Sighat mubalaghah ini seperti isim fail, apabila bersamaan dengan Al (  ), maka bisa beramal secara mutlak, tanpa syarat, contoh:

 

– Telah datang orang yang banyak memukul Zaid.

 

Tapi apabila tidak bersamaan dengan Al ( ), maka harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku pada isim fail, yang antara lain didahului oleh nafi, contoh:

 

-Zaid bukanlah orang yang banyak memukul Amar.

 

  1. Amal Isim Maf’ul

 

Keempat, adalah isim maf’ul, seperti  . Isim maf’ul ini beramal seperti fiil mabni majhul. Syarat-syarat amalnya, seperti syarat-syarat yang berlaku pada amal isim fail, contoh:

 

– Telah datang orang yang hambanya dipukul.

– Zaid adalah orang yang hambanya dipukul.

 

Kata dalam dua kalimat di atas menjadi naibul fail dari isim maf’ul 

 

  1. Amal Isim Sifat Musyabbahah

 

Kelima, adalah Isim Sifat Musyabbahah (diserupakan) dengan isim fail yang butuh pada satu maf’ul, seperti   Ma’mul (kata yang menjadi ‘sasaran amal) isim sifat musyabbahah itu mengalami tiga keadaan, yaitu:

  1. Rafa’, menjadi fail. Contoh:

 

Kata   dibaca rafa’ menjadi fail isim sifat musyabbahah

 

Kata dibaca rafa’ menjadi fail isim sifat musyabbahah

 

  1. Nashab, diserupakan maf’ul bih, apabila terdiri dari isim makrifat, contoh:

 

Kata  adalah isim makrifat, dibaca nashab — disamakan dengan maf’ul bih dari isim sifat musyabbahah

 

  1. Nashab, menjadi tarnyiz, apabila terdiri dari isim nakirah, contoh:

 

Kata   dalam kalimat di atas adalah isim nakirah yang dibaca nashab menjadi tamyiz dari isim sifat musyabbahah

 

  1. Jer, menjadi mudhaf ilaih. Contoh:

 

Syarat Ma’mul Isim Sifat Musyabbahah

 

Ma’mul (kata yang menjadi sasaran amal) isim sifat musyabbahah itu tidak boleh mendahului isim sifat musyabbahah dan harus mengandung dhamir yang kembali pada kata yang disifati oleh isim sifat musyabbahah, baik secara lafzhi atau maknawi, seperti:

 

  1. Amal Isim Tafdhil

 

Keenam, adalah isim tafdhil, seperti  . Isim tafdhil itu tidak bisa menashabkan kata menjadi maf’ul dan tidak boleh merafa’ kan isim zhahir, kecuali dalam masalah Al-Kuhlu (celak).

 

Batasan masalah Al-Kuhlu ialah susunan kata yang di dalamnya terdapat nafi yang sesudahnya terdapat isim jenis yang disifati dengan isim tafdhil, dan sesudahnya terdapat isim yang diungguli dengan dua sudut pandangan yang berbeda, seperti:

 

“Saya tidak pernah melihat seorang laki-laki yang di matanya terdapat celak yang lebih bagus (sedap dipandang) daripada celak yang ada di mata Zaid.”

 

Kata   dalam kalimat di atas adalah isim jenis yang jatuh sesudah nafi (  ) yang disifati dengan isim tafdhil   dan sesudahnya terdapat isim yang dibaca rafa’, yaitu   . Kata   dalam kalimat tersebut termasuk asing, karena tidak mengandung dhamir. Isim tafdhil ini bisa beramal pada tamyiz, seperti dalam firman Allah:

 

Aku lebih banyak daripada kamu dalam hal harta. Juga pada jer majrur dan zharaf, contoh:

 

– Zaid lebih mulia daripada kamu pada hari ini.

 

VII. Amal Isim Fiil

 

Ketujuh, adalah isim fiil.

 

Macam-macam Isim Fiil Isim fiil itu ada tiga macam, yaitu:

  1. Isim yang bermakna ffil amar, seperti:

   bermakna  (diamlah)  

  bermakna     (tahanlah)  

     bermakna  (kabulkanlah) 

 bermakna     (retapilah Zaid)  

     bermakna  (ambillah)  

 

  1. Isim yang bermakna fiil madhi, seperti:

  bermakna (jauh)

  bermakna (berpisah)

 

  1. Isim yang bermakna fiil mudhari’, seperti:

   bermakna (sedang sakit)

   bermakna (berkata “hus”) 

 

Amal Isim Fiil

Iism fiil itu beramal seperti fiil yang semakna dengannya, jika bermakna fiil madhi, maka isim fiil beramal seperti fiil madhi, jika bermakna fiil amar, maka isim fiil beramal seperti fiil amar dan jika bermakna fiil mudhari’, maka beramal seperti amal fiil mudhari’. Ma’mul (kata yang menjadi sasaran amal) isim fiil itu tidak boleh mendahului isim fiil. Isim fiil yang di-tanwin itu dihukumi nakirah. Sedang yang tidak di-tanwin dihukumi makrifat.

 

 

 

Definisi

 

Tanazu’ ialah adanya dua amil atau lebih di permulaan kalimat dan sesudahnya terdapat ma’mul (kata yang menjadi sasaran amal) satu atau lebih, yang diperlukan oleh amil-amil tadi, seperti firman Allah swt.:

“Berilah aku tembaga (yang mendidih), agar kutuangkan ke atas besi panas itu.”

 

Dalam kalimat di atas terdapat kata ( ), yang membutuhkan   kata   untuk dijadikan maf’ul-nya yang kedua, sementara itu kata   juga membutuhkannya untuk dijadikan maf’ul bih-nya. Inilah tanazu’ (rebutan kata) untuk menjadi objek amalnya. Dalam  kalimat di atas, amil kedua, yaitu kata yang beramal, .   sedangkan amil pertama, yaitu kata   , Cukup beramal pada   dhamir yang dibuang. Asalnya ialah  ,

 

Dalam kalimat di atas terdapat dua amil. Pertama adalah   membutuhkan kata . untuk dijadikan fail-nya   yang   , dan kedua adalah   yang juga membutuhkan kata        untuk dijadikan maf’ul-nya. Dalam kalimat ini kata  . beramal menashabkan menjadi maf’ul bih-nya.

 

Dalam kalimat doa shalawat di atas terdapat tiga amil, berupa   fiil   dan   , yang masing-masing membutuhkan   ma’mul   . Jadi,   menjadi rebutan tiga fiil tersebut.

 

Amil yang Berhak Beramal dalam Tanazu’

 

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama ahli nahwu, tentang beramalnya amil mana saja di antara amil-amil yang ada dalam suatu kalimat yang kamu kehendaki, yang diperdebatkan di kalangan . mereka hanyalah ami! mana yang lebih berhak beramal.

 

Para pakar ilmu nahwu di daerah Bashrah memilih mengamalkan amil kedua, karena kedekatannya dengan ma’mul.

 

Para pakar ilmu nahwu di daerah Kufah memilih mengamalkan amil yang paling awal, karena ia lebih dulu.

 

Apabila kamu mengamalkan amil yang pertama, maka kamu harus mengamalkan amil kedua pada dhamir yang merujuk pada isim yang diperebutkan. Contoh:

 

– Dua saudaramu telah berdiri dan mereka telah duduk.

 

Dalam kalimat di atas terdapat dua amil, yaitu fiil   dan   yang sama-sama membutuhkan ma’mul   . Tetapi   amil yang pertama, yaitu ps diprioritaskan beramal, yaitu   merafa’ kan   sebagai failnya. Karena itu, amil kedua  diberi kesempatan beramal merafa’kan dhamir yang merujuk pada kata   yang diperebutkan.

– Zaid memukul dan aku memuliakannya.  

 

Dalam kalimat di atas terdapat dua amil, yaitu fiil   yang membutuhkan kata   untuk dijadikan failnya dan fiil   yang juga membutuhkan kata  untuk dijadikan maf’ul bih. Tetapi amil yang pertama, yaitu fiil   lebih diprioritaskan, sehingga kata  , adalah menjadi fail dari amil , tersebut. Oleh sebab itu, amil yang kedua, yaitu  diberi kesempatan beramal pada dhamir yang merujuk pada kata   ,

 

berupa dhamir  sebagai maf’ul bih-nya. ‘

 

-Dua saudaramu memukulku dan aku memuliakan keduanya.

 

– Dua saudaramu bertemu aku dan bertemu dengan keduanya.

 

– Ya, Allah, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad, salam-Mu kepadanya dan berkah-Mu kepadanya.

 

Apabila yang kamu amalkan itu amil kedua, maka apabila amil yang pertama itu membutuhkan fail, maka harus disimpan. Contoh:

 

– Dua saudaramu telah berdiri dan telah duduk.

 

Apabila amil pertama tadi membutuhkan maf’ul atau kata yang dijerkan, maka dhamir yang diamalkannya harus dibuang. Seperti:

 

Asalnya

 

Asalnya

 

Definisi

 

Ta’ajjub (keheranan) ialah mengagungkan kelebihan sifat yang ada pada fail yang sebabnya tidak jelas.

 

Sighat (Bentuk Kata) Ta’ajjub Dalam Ilmu Nahwu

 

Ta ‘ajjub dalam ilmu nahwu itu memiliki dua sighat atau bentuk kata, yaitu:

  1. Contoh: “

– Alangkah baik si Zaid.

 

– Alangkah mulia si Zaid.

 

– Alangkah alim si Zaid.

 

Huruf dalam kalimat-kalimat di atas bermakna sesuatu yang besar (alangkah, betapa), kedudukannya dalam kalimat menjadi mubtada’. Fiil yang jatuh sesudahnya, yaitu   adalah fiil madhi yang mempunyai fail berupa dhamir yang wajib tersimpan, yang merujuk pada . Sedangkan isim sesudahnya adalah muta’ajjub minhu, dibaca nashab menjadi maf’ul bih. Jumlah fiil, fail dan maf’ul, berkedudukan sebagai khabar dari mubtada’

 

  1. Contoh:

– Alangkah baik si Zaid. Pa

 

– Alangkah mulia si Zaid.

 

Kata   dalam kalimat di atas adalah ikut wazan  , yaitu fiil yang bentuknya amar, tetapi maknanya adalah ta’ajjub dan di dalamnya tidak mengandung dhamir. Sedangkan   berkedudukan sebagai fail.

 

Susunan asal   adalah  . sebanding dengan kalimat  . Kemudian bentuknya diubah menjadi bentuk amar, sehingga menjadi   Bentuk kata seperti itu jika di-isnad-kan pada isim zhamir tampak jelek, maka ditambahkanlah huruf ba’ ( )  pada fail dan menjadi

 

 

 

Pembagian Lafal-lafal Bilangan

 

Ketahuilah, bahwa lafal-lafal bilangan itu ada tiga bagian.

 

  1. Lafal Bilangan yang Beraturan

 

Bagian pertama ialah lafal bilangan yang mengikuti kias (beraturan), artinya di-mudzakkar-kan jika ma’dud-nya mudzakkar dan di-muannats-kan jika ma’dud-nya muannats, yaitu bilangan:   (satu) dan (dua) dan bilangan ikut wazan Untuk mudzakkar harus dengan lafal mudzakkar, dan jika untuk muannats, juga dengan lafal muannats.

 

Contoh bilangan ikut wazan  untuk mudzakkar:  

  kesatu

 

  kedua

 

  ketiga

 

  keempat

 

  kelima

 

  keenam

 

  ketujuh

 

  kedelapan

 

  kesembilan

 

  kesepuluh

 

Contoh bilangan ikut wazan untuk muannats:

  kesatu

 

  kedua

 

  ketiga

 

  keempat

 

  kelima

 

  keenam

 

  ketujuh

 

  kedelapan

 

  kesembilan

 

  kesepuluh

 

Lafal-lafal bilangan tersebut, apabila dirangkai dengan lafal   bilangan   (puluhan) dan lainnya, maka tetap mengikuti kias, artinya harus mudzakkar bila ma’dud mudzakkar dan harus muannats bila ma’dud muannats.

 

Contoh lafal bilangan satuan yang dirangkai dengan puluhan untuk mudzakkar:

  sebelas

 

  dua belas

 

  tiga belas

 

  empat belas

 

  lima belas

 

  enam belas

 

  tujuh belas

 

  delapan belas

 

  sembilan belas

 

Contoh lafal bilangan satuan yang dirangkai dengan puluhan untuk mu’annats:

  sebelas

 

  dua belas

 

  tiga belas

 

  empat belas

 

  lima belas

 

  enam belas

 

  tujuh belas

 

  delapan belas

 

  sembilan belas

 

Contoh lafal bilangan yang ikut wazan   yang dirangkai dengan puluhan untuk mudzakkar:

   kesebelas 

 

   kedua belas

 

   ketiga belas

 

   keempat belas

 

   kelima belas

 

   keenam belas

 

   ketujuh belas

 

   kedelapan belas

 

   kesembilan belas

 

Contoh lafal bilangan yang ikut wazan yang dirangkai dengan puluhan untuk muannats:

   kesebelas 

 

   kedua belas

 

   ketiga belas

 

   keempat belas

 

   kelima belas

 

   keenam belas

 

   ketujuh belas

 

   kedelapan belas

 

   kesembilan belas

 

Demikian pula apabila dirangkai dengan   sampai  , contoh:

   dua puluh satu     dua puluh dua = untuk mudzakkar

 

 sampai bilangan   (sembilan puluh sembilan)

dua puluh satu dua puluh dua = untuk muannats ‘

 

sampai bilangan   (sembilan puluh sembilan).

 

yang kedua puluh satu untuk   yang kedua puluh dua  = untuk mudzakkar

 

sampai bilangan   (kesembilan puluh sembilan) :

 

yang kedua puluh satu.  yang kedua puluh dua = untuk muannats 

 

sampai bilangan   (yang kesembilan puluh sembilan).

 

  1. Lafal Bilangan yang Tidak Beraturan

 

Bagian kedua ialah bilangan yang tidak beraturan, artinya lafal bilangan harus di-muannats-kan, apabila ma’dud (yang dibilang) mudzakkar dan di-mudzakkar-kan apabila ma’dud muannats, baik ketika dalam bentuk satuan atau dirangkai dengan bilangan    sampai    .

 

Lafal bilangan bagian ini adalah:

 

  tiga

 

  empat

 

  lima

 

  enam

 

  tujuh

 

  delapan

 

  sembilan

 

Contoh ketika dalam keadaan sendirian (satuan):

–  tiga laki-laki

 

Lafal   di-muannats-kan, sebab ma’dud (yang dihitung),   kata yaitu kata   (mudzakkar).

– tiga perempuan

 

Lafal   di-mudzakkar-kan, sebab ma’dud (yang dihitung), yaitu kata   (muannats). Dalam firman Allah disebutkan:

–  Tujuh malam dan delapan hari.

 

Lafal dalam ayat di atas di-mudzakkar-kan sebab ma’dud-nya, yaitu kata jamak dari (muannats). Sedangkan lafal di-muannats-kan, karena ma’dud-nya,  yaitu kata jamak dari   adalah mudzakkar.

 

Contoh ketika dirangkai dengan lafal

– tiga belas orang laki-laki

– empat belas orang laki-laki

– lima belas orang laki-laki

– enam belas orang laki-laki

– tujuh belas orang laki-laki

– delapan belas orang laki-laki

– sembilan belas orang laki-laki

– tiga belas orang perempuan

– empat belas orang perempuan

– lima belas orang perempuan

– enam belas orang perempuan

– tujuh belas orang perempuan

– delapan belas orang perempuan

– sembilan belas orang perempuan

 

Contoh ketika dirangkai dengan lafal   dan:  

sampai

sampai

 

  1. Lafal Bilangan yang Dua Keadaan

 

Bagian ketiga adalah lafal adad (bilangan) yang mempunyai .  “ dua keadaan, yaitu lafal  . Apabila dirangkai dengan lafal adad lain, maka ia harus beraturan, artinya di-mudzakkkar-kan jika ma’dud mudzakkar dan di-muannats-kan, jika ma’dud muannats. Contoh:

 

sampai .

 

Apabila lafal adad   sendirian, tidak dirangkai dengan lafal adad lain, maka menjadi tidak mengikuti kias, artinya harus dimuannafs-kan jika ma’dud-nya mudzakkar dan di-mudzakkar-kan Jika ma’dud-nya muannats, contoh:

 

– sepuluh orang laki-laki.

– sepuluh orang perempuan.

 

 

 

Definisi

 

Waqaf ialah menghentikan pengucapan pada akhir lafal.

 

Cara-cara Waqaf

 

Cara wagaf pada kata yang ber-tanwin rafa’ dan jer adalah dengan membuang tanwin itu sendiri, seperti:

menjadi

Menjadi

 

Sedangkan cara wagaf pada kata yang ber-tanwin nashab adalah dengan mengganti tanwin tersebut dengan alif, seperti:

menjadi

 

Huruf yang harus diganti dengan alif ketika wagaf adalah nun ( ) huruf   dan nun taukid khafifah, seperti:

 menjadi

 menjadi

 menjadi 

 

Adapun cara wagaf pada isim mangush yang ber-tanwin rafa’ dan jer, ialah dengan membuang ya’, seperti:

 menjadi

 menjadi

 

Tetapi ada pula yang memperbolehkan menetapkan ya’.

 

Sedangkan cara wagaf pada isim manqush yang ber-tanwin nashab, maka tanwin harus diganti dengan alif, seperti:

, menjadi 

 

Apabila isim mangush tidak bertanwin, maka menurut pendapat yang tepat dalam keadaan rafa’ dan jer diwagafkan dengan menetapkan ya’ seperti:

 

 Atau dengan membuang ya’, seperti:

 

Apabila isim mangush yang tidak ber-tanwin, tersebut berkedudukan nashab, maka waqaf-nya harus menetapkan ya’, seperti:

 menjadi 

 

Cara Wagaf pada Kata yang Terdapat Ta’ Ta’nits

 

Apabila wagaf pada kata yang terdapat ta’ ta’nits, maka jika ta’ Itu mati, maka tidak ada perubahan, artinya wagaf-nya seperti pada ta’ yang mati itu, seperti  . Tetapi apabila ta’ hidup dan   berada pada jamak, seperti   , maka yang lebih tepat wagaf pada ta’ itu sendiri. Tetapi menurut sebagian ahli wagaf pada ha’ pengganti ta’. Apabila ta’ hidup dan bertempat pada isim mufrad, maka wagaf-nya pada huruf ha’, seperti:

 menjadi

 menjadi

 menjadi

 

Tapi ada juga salah seorang ahli Qiraah Sab’ah yang wagaf pada ta’, dalam firman Allah:

 

“Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat sekali kepada orang orang yang berbuat baik.”