Terjemah Nail al-Raja Sharah Safinah al-Naja

PENDAHULUAN

 

Pendahuluan

 

*Makna huruf (ba’) adalah untuk kebersamaan dengan disertai mengambil keberkahannya.

 

*Makna lafadz (Ism) diambil dari kata (sumuwwu) yang artinya adalah ketinggian.

 

*Makna lafadz (Allah) adalah nama bagi Dzat yang wajib adanya dan berhak atas seluruh kesempurnaan.

 

*Makna lafadz (ar-Rahman) adalah pemberi nikmat yang besar

 

* Makna lafadz (ar-Rahim) adalah pemberi nikmat yang kecil Makna basmalah adalah dengan kebersamaan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku mengarang kitabku ini agar mendapat keberkahannya.

 

Seorang pengarang memulai karangan bukunya dengan basmalah untuk mengikuti Al Qur’anul “Aziz dan mengamalkan sabda Nabi saw Artinya : “Setiap perkara yang penting dalam syari’at, namun tidak dimulai dengan basmalah maka perkara tersebut adalah kurang dan sedikit keberkahannya.”

 

Hukum membaca basmalah lima macam, yaitu :

 

  1. Wajib, seperti dalam shalat.

 

  1. Haram, pada perbuatan yang haram hukumnya, seperti saat meminum khamr.

 

3.Sunnah, ketika mengerjakan perbuatan yang penting dalam syari’at, seperti wudhu, mengarang kitab dan lain sebagainya.

 

  1. Makruh, ketika mengerjakan perbuatan yang makruh hukumnya, seperti melihat hal-hal yang makruh.

 

  1. Mubah, pada perbuatan yang mubah dan tidak ada keutamaan di dalamnya, seperti memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain.

 

* Makna (al-hamd) secara bahasa adalah pujian dengan lisan atas suatu hal baik yang dilakukannya tanpa paksaan seperti sifat santun dan dermawan. Sehingga sifat baik yang ada karena paksaan, seperti memang tercipta dalam keadaan indah, maka memujinya bukan termasuk al-hamd, bahkan hanya sekedar pujian. Contoh : saya memuji mutiara atas keindahannya.

 

* Makna (al-hamd) secara istilah adalah perbuatan yang menunjukkan keagungan pemberi nikmat, baik nikmat tersebut diterima oleh orang yang memujinya atau selainnya.

 

* Makna (syukur) secara bahasa seperti makna (al-hamd) secara istilah, yaitu perbuatan yang menunjukkan keagungan pemberi nikmat, baik nikmat tersebut diterima oleh yang bersyukur atau makhluk lainnya.

 

* Makna (syukur) secara istilah adalah usaha seorang hamba menggunakan segala nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya untuk apa nikmat tersebut sebenarnya diciptakan.

 

* Makna (rabb) adalah Pemilik, dan rabb mempunyai makna yang banyak selain itu.

 

* Makna (al-aalamun) adalah manusia, jin dan malaikat.

 

Makna hamdalah adalah pujian dengan lisan atas sesuatu yang indah tanpa paksaan dan dengan rasa pengagungan yang dikhususkan hanya untuk Allah Ta’ala Pemilik manusia, jin dan malaikat.

 

Sesungguhnya aku artikan makna hamdalah di atas sesuai makna (al-hamd) secara bahasa, karena itulah yang diminta dalam memulai sesuatu, bukan secara istilah sebagaimana ulama lain yang mengartikan.

 

Rukun hamdalah adalah lima, yaitu :

 

  1. Hamid, yaitu makhluk yang mengucapkan pujian.
  2. Mahmud, yaitu pemberi nikmat.
  3. Mahmud bih, yaitu lisan misalnya.
  4. Mahmud ‘alaih, yaitu nikmat
  5. Ucapan hamdalah, seperti perkataan . “Alhamdulillaah” atau “Zaid orang yang dermawan”.

 

Hamdalah terbagi menjadi empat bagian, yaitu :

  1. Pujian Pencipta terhadap diri-Nya, seperti pujian Allah terhadap diri-Nya sendiri. Allah Ta’ala berfirman :

 

Artinya : “Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (O.S. Al Anfaal : 40)

 

  1. Pujian Pencipta terhadap makhluk-Nya, seperti pujian Allah terhadap sebagian hamba-Nya. Allah swt berfirman :

 

Artinya : “Dia (Sulaiman) adalah sebaikbaik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (O.S. Shaad : 30)

 

  1. Pujian makhluk terhadap Pencipta, seperti pujian kita kepada Allah “Azza wa Jalla. Contoh, kita berucap : “Alhamdulillaah”.

 

  1. Pujian makhluk terhadap makhluk, seperti pujian kita kepada sesama. Contoh, kita katakan : “Sebaik-baik orang adalah Zaid.”

 

* Huruf (ha) kembali kepada Allah Jalla Jalaaluh.

* Makna (nasta-‘iin) adalah kami memohon pertolongan.

* Makna (umuur) adalah segala perkara dan keadaan.

* Makna (diin/agama) secara bahasa adalah ketaatan, ibadah dan balasan. Sedangkan secara syari’at artinya adalah segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya dari berbagai macam hukum. Kata sinonimnya adalah Islam dan Syari’ah.

* Makna keseluruhannya adalah kita memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi berbagai perkara dan keadaan dunia maupun agama, tidak memohon kepada selain-Nya.

* Makna (shalawat) adalah kasih sayang, kemudian jika shalawat itu dari Allah maka berupa rahmat, atau jika dari malaikat maka berupa istighfar, atau jika dari manusia maka berupa munajat dan do’a.

* Makna (salam) adalah penghormatan.

* Makna (sayyid) adalah pemimpin kaumnya atau orang yang banyak pengikut atau tentaranya, atau orang yang menjadi rujukan manusia ketika mereka mengalami kesulitan atau orang yang mempunyai sifat santun sehingga marahnya tidak membuat orang menjauhinya. Semua kriteria itu telah terkumpul pada Nabi Muhammad saw.

* Makna (Muhammad), dasarnya kata itu diungkapkan bagi orang yang banyak dipuji oleh manusia, karena terdapat pada dirinya banyak sifat-sifat yang terpuji. Sedangkan dalam hal ini, menunjukkan nama bagi junjungan kita dan nabi kita tercinta -shalawat dan salam baginya.

* (al-khaatim) -dengan lafadz ism faa-‘il-, berarti penyempurna, maknanya adalah penyempurna seluruh nabi, maka tidak ada nabi setelahnya. Boleh pula dibaca dengan difathahkan huruf ta’ nya, sebagaimana itulah yang biasa dibaca : (al-khaatam), yaitu seperti cincin yang berarti penghias.

* (an-nabiyyuun) merupakan lafadz jama’ dari kata nabi, yang artinya adalah seorang manusia, merdeka, laki-laki, terbebas dari segala sesuatu yang membuat orang lari darinya secara tabi’at dan dari kehinaan ayahnya atau kejahatan ibunya, yang mendapatkan wahyu berupa syari’at namun tidak diperintah untuk menyampaikannya.

 

Bila diperintah menyampaikannya maka termasuk nabi dan rasul. Maksud dari kata-kata : segala sesuatu yang membuat orang lari darinya secara tabiat, seperti lepra, belang, bukan termasuk sakit panas dan sebagainya.

 

Maksud dari kata-kata : kehinaan ayahnya adalah seperti ayahnya seorang tukang bekam atau tukang sampah (karena pekerjaan tersebut berkaiatan dengan najis dan kotor). Sedangkan kejahatan ibunya adalah perbuatan keji dan zina yang dilakukan.

 

Makna shalawat dan salam adalah semoga Allah merahmati Sayyiduna Muhammad, penyempurna para nabi, dengan rahmat yang diiringi dengan pengagungan dan penghormatan.

 

Imam Rafi’i rhm berkata : “Makna shalawat dan salam adalah Allah mengagungkan Nabi Muhammad di dunia dengan meninggikan sebutannya dan melanggengkan syari’atnya. Sedangkan di akhirat dengan pemberian syafa’at bagi umatnya, menggandakan pahalanya dan menunjukkan keutamaanya bagi seluruh makhluk melalui kedudukannya yang terpuji dan didahulukan atas seluruh mukminin.”

 

Beliau juga mengatakan : “Ini adalah perkara dari berbagai macam kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi saw, namun semua kenikmatan tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan yang dapat ditambahkan oleh Allah berkat do’a dari orang-orang yang bershalawat kepadanya.”

 

* Makna (aalihi) yaitu keluarga Nabi saw adalah mereka orangorang yang beriman dari bani Hasyim dan bani Muththalib. Itulah pendapat Imam Syafi’i ra.

 

* Makna (shahbihi) yaitu sahabat Nabi saw adalah mereka yang berkumpul dengan Nabi saw di bumi, beriman kepadanya dalam keadaan beliau saw masih hidup dan setelah diutus sebagai nabi. Ketahuilah, lafadz (shahb) merupakan lafadz jama’ dari kata (shaahib) yang secara bahasa artinya adalah orang yang di antara dirimu dengannya terdepat keterkaitan. Sedangkan secara istilah artinya adalah pengikut orang lain yang menempuh jalannya, seperti ash-haab Syafi’i ra yang berarti pengikutnya.

 

Tetapi yang dimaksud disini adalah sahabat Nabi saw sebagaimana yang kamu ketahui. Jumlah sahabat Nabi saw di hari wafatnya adalah 124.000 orang. Itulah pendapat Abu Zur’ah, namun pendapat tersebut dipermasalahkan oleh Zein Al Iragiy. Sedangkan Imam Rafi’i menjelaskan bahwa jumlah sahabat sebanyak 60.000 orang.

 

Sahabat yang terakhir kali meninggal adalah Abu Thufail Amir bin Waar-ilah Al Laitsy. Beliau ra meninggal di tahun ke seratus hijriyah.

 

Mereka semua, para sahabat, adalah orang yang baik dan terpercaya. Sahabat yang paling utama adalah sepuluh orang yang mendapat kabar gembira berupa surga, yaitu : Abubakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’d bin Abi Waggas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin “Awwam, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Abdurrahman bin Auf.

 

Sahabat yang paling utama dari sepuluh orang tersebut adalah para khulafa’ rasyidin. Mereka adalah empat orang yang terdahulu dan urutan keutamaan mereka sesuai urutannya dalam kekhalifahan.

 

Orang yang pertama kali memegang kekhalifahan setelah wafat Nabi saw adalah Abubakar ra dengan pemilihan dari kaum muhajirin dan anshar. Beliau ra memegang tampuk kekhalifahan selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari. Beliau ra wafat dalam usia 63 tahun. Kemudian kekhalifahan dipimpin oleh Umar bin Khaththab ra dengan pilihan Abubakar ra. Beliau ra memegang kekhalifahan selama sepuluh tahun enam bulan delapan hari. Beliau ra terbunuh sebagai syahid dalam usia 63 tahun. .

 

Kemudian Utsman bin Affan ra memegang kekhalifahan selama 12 tahun dengan voting hasil permusyawarahan orang-orang yang ditunjuk oleh Umar bin Khaththab ra. Beliau ra terbunuh sebagai syahid dalam usia 82 tahun.

 

Ali bin Abi Thalib kmw memegang tampuk kekhalifahan setelah itu selama empat tahun sembilan bulan dengan pembaiatan sebagian besar sahabat. Beliau ra terbunuh sebagai syahid dalam usia 63 tahun.

 

* Makna (ajma’iin) merupakan penekanan dari kata sebelumnya, yang artinya seluruhnya.

 

Makna kalimat di atas adalah semoga Allah merahmati keluarga Sayyiduna Muhammad dan sahabatnya secara keseluruhan dengan rahmat yang diiringi pengagungan dan penghormatan.

 

* Makna (al haul) adalah kekuatan

 

* Makna (al quwwah) adalah kemampuan

 

*Makna (al-aliyy) adalah Maha Tinggi, yang dimaksud adalah ketinggian maknawi bukan ketinggian tempat, karena Allah bersifat

 

* Maha Dahulu sedangkan tempat bersifat makhluk dan baru. Dia Allah telah ada sebelum adanya tempat, dan sekarang Dia berada sebagaimana dahulu kala telah ada.

 

* Makna (al-‘adhiim) adalah Maha Agung

 

Makna kalimat di atas adalah tidak ada kemampuan bagi setiap makhluk untuk melakukan apapun kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

 

Sebagian berpendapat bahwa maknanya adalah -dengan menyebutkan suatu riwayat hadits tidak ada kekuatan menjauhkan diri dari maksiat dan tidak ada kemampuan melakukan ketaatan kecuali dengan taufig Allah. Taufig adalah kemampuan seorang hamba untuk melakukan ketaatan.

 

* Makna (fashl) secara bahasa adalah penghalang antara dua hal. Secara istilah adalah suatu nama dari lafadz-lafadz tertentu yang menunjukkan makna tertentu, biasanya terdiri dari beberapa far’, mas-alah, tanbiih.

 

* Makna (rukun) secara bahasa adalah bagian sesuatu yang terkuat. Secara istilah adalah bagian dari sesuatu yang tidak dapat mencapai hakikatnya kecuali dengan rukun tersebut.

 

* Makna (Islam) secara bahasa adalah pasrah dan patuh. Secara istilah adalah tunduk dan patuh sesuai hukum-hukum syari’at.

 

Makna kalimat di atas adalah bahwa bagian-bagian yang menunjukkan hakikat Islam itu terdapat lima hal.

 

Ketahuilah, bahwa tidak sah seseorang masuk ke dalam agama Islam, kecuali dengan enam syarat, yaitu : berakal, baligh, tanpa paksaan, mengucapkan dua kalimat syahadat, terus menerus dalam mengucapkannya dan tertib antara dua kalimat syahadat.

 

* Makna (syahadat) adalah meyakini dan mempercayai

 

* Makna (ilaah) menurut kata dasarnya adalah sesuatu yang disembah, walaupun secara tidak benar. Tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah yang disembah dengan benar.

 

Makna kalimat di atas adalah, bahwa rukun Islam yang pertama yaitu meyakini dan mempercayai bahwa tidak ada yang patut disembah secara benar di alam semesta ini kecuali Allah, dan bahwasanya Sayyiduna Muhammad adalah utusan Allah bagi manusia dan jin menurut kesepakatan ulama, dan begitu pula bagi malaikat menurut pendapat yang kuat.

 

* Makna (iqamah) adalah melaksanakan secara terus menerus.

 

* Makna (shalat) secara bahasa adalah do’a. Sebagian berpendapat do’a secara mutlak, namun sebagian menyatakan do’a yang baik. Secara syari’at shalat berarti suatu hal yang biasanya terdiri dari ucapan dan perbuatan, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Makna kalimat di atas adalah, bahwa rukun Islam yang kedua yaitu melaksanakan shalat secara terus menerus dengan terpenuhi seluruh rukun dan syaratnya.

 

* Makna (iitaa-u) adalah mengeluarkan

 

* Makna (zakat) secara bahasa adalah tumbuh dan menyucikan. Secara syari’at adalah sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan sesuai ketentuan tertentu.

 

Makna kalimat di atas adalah, bahwa rukun Islam ketiga yaitu mengeluarkan zakat bagi orang yang mampu kepada orang-orang yang ada dari mereka yang berhak.

 

* Makna (shaum) secara bahasa adalah menahan diri, dan secara syari’at adalah menahan diri dari hal-hal tertentu sesuai ketentuan tertentu dan dengan niat tertentu.

 

* Makna (ramadhan) adalah nama bulan ke sembilan dari tahun hijriyah. Dinamakan semacam itu karena mereka tatkala ingin menetapkan nama-nama bulan bertepatan dengan cuaca yang sangat panas. Ramdha’ artinya tanah yang sangat panas.

 

Makna kalimat di atas adalah, bahwa termasuk rukun Islam yang ke empat adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa di setiap siang hari di bulan Ramadhan.

 

* Makna (hajj) secara bahasa adalah bermaksud, dan secara syari’at adalah bermaksud menuju rumah Allah dengan niat ibadah.

 

* Makna (istitha”) adalah bagi orang yang kuat dan mampu.

 

* Makna (sabiil) adalah jalan.

 

Makna kalimat di atas adalah, bahwa rukun Islam yang kelima adalah bermaksud menuju Ka’bah untuk melakukan ibadah haji bagi orang yang mempunyai bekal pulang dan perginya, dan mempunyai nafkah bagi orang-orang yang wajib dinafkahi olehnya selama dalam perjalanan, dan terdapat kendaraan jika jarak menuju Makkah dua marhalah (83km) atau lebih, dan terpenuhi pula syarat-syarat lain yang akan disebutkan dalam pembahasan berikut.

 

Sebagaimana haji itu wajib bagi yang terpenuhi syarat-syarat dj atas, diwajibkan pula melakukan umrah, yang secara bahasa artinya berziarah, dan secara syari’at artinya berziarah menuju rumah Allah dengan niat ibadah.

 

Iman secara bahasa adalah pembenaran, dan secara syari’at adalah tunduk dan patuhnya hati dalam menerima hal-hal pokok yang “ termasuk agama Muhammad saw.

 

Bagian pokok yang tidak dapat dinyatakan sebagai hakikat iman kecuali dengan keberadaannya ada enam hal.

 

Rukun iman yang pertama adalah beriman bahwa Allah swt itu ada, dan bahwasanya Allah itu Maha Esa baik dalam Dzat, sifat atau perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia-lah yang berhak disembah, wajib bagi-Nya segala kesempurnaan yang layak dengan Dzat-Nya yang Maha Tinggi dan mustahil bagi-Nya seluruh kekurangan.

 

Ketahuiah, bahwa wajib bagi mukallaf mengetahui keyakinan imannya terhadap Allah Ta’ala, yaitu sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz bagi-Nya, serta beriman atas segala sesuatu yang memang termasuk dalam sifat wajib, mustahil ataupun jaiz.

 

Sifat wajib bagi Allah ada 20 : wujud (ada), gidam (dahulu), baga’ (kekal), mukhalafah lil hawadits (berbeda dengan makhluk), giyamuhu binafsihi (berdiri sendiri), wahdaniyah (esa), gudrah (mampu), irodah (berkehendak), ilmu (mengetahui), hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashor (melihat), kalam (berbicara), kaunuhu gaadiron (Dzatnya Maha Mampu), kaunuhu muriidan (Dzatnya Maha Berkehendak), kaunuhu ‘aaliman (Dzatnya Maha Mengetahui), kaunuhu hayyan (Dzatnya Maha Hidup), kaunuhu samii-‘an (Dzatnya Maha Mendengar), kaunuhu bashiiron (Dzatnya Maha Melihat), kaunuhu mutakalliman (Dzatnya Maha Berbicara).

 

Sifat mustahil bagi Allah ada 20 -yang merupakan kebalikan sifat wajib-, yaitu : tidak ada, baru, hancur, sama dengan makhluk, membutuhkan yang lain, berbilang, lemah, terpaksa, bodoh, mati, tuli, buta, bisu, Dzatnya Lemah, Dzatnya Terpaksa, Dzatnya Bodoh, Dzatnya Mati, Dzatnya Tuli, Dzatnya Buta, Dzatnya Bisu.

 

Sifat jaiz bagi Allah hanya satu, yaitu melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Makna sifat wajib adalah sesuatu yang tidak tergambar oleh akal ketiadaannya. Sifat mustahil artinya sesuatu yang tidak tergambar oleh akal keberadaannya. Sifat Jaiz adalah sesuatu yang tergambar oleh akal keberadaannya dan ketiadaannya.

 

Malaikat adalah jama’ dari kata (malak). Mereka adalah makhluk yang tercipta dari cahaya, terbebas dari segala keburukan dan mampu berubah menjadi berbagai bentuk.

 

Rukun iman kedua adalah beriman dengan adanya malaikat Artinya hati tunduk dan patuh bahwa mereka para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak melanggar perintah Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Mereka adalah duta Allah yang menjembatani antara diri-Nya dengan makhluk, melakukan berbagai hal sesuai izin-Nya, benar terhadap berita yang mereka bawa, dan

 

jumlah mereka sangatlah banyak hingga tidak diketahui jumlahnya kecuali Allah Ta’ala.

 

Wajib pula beriman dengan sepuluh malaikat secara terperinci, mereka itu adalah :

 

  1. Jibril, penyampai wahyu. Dia adalah malaikat yang paling utama.
  2. Mikail, mendapat tugas menurunkan hujan. 3. Isrofil, bertugas meniup sangkakala di hari kiamat.
  3. Izroil, bertugas mencabut nyawa.
  4. Munkar
  5. Nakir, keduanya bertugas menanyai mayit dalam kuburnya.
  6. Ragib
  7. Atid, keduanya bertugas mencatat amal baik dan buruk.
  8. Ridwan, bertugas sebagai penjaga surga.
  9. Malik, bertugas sebagai penjaga neraka.

 

Rukun iman ketiga adalah beriman kepada kitab-kitab Allah. Artinya meyakini bahwa kitab-kitab tersebut merupakan firman Allah yang Maha Dahulu, terdapat pada Dzat-Nya, tidak terdiri dari huruf ataupun Suara, dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya adalah benar dan hag.

 

Kitab-kitab Allah berjumlah 104 kitab, diturunkan kepada Nabi Syits 50, diturunkan kepada Nabi Idris 30, Nabi Adam menerima 10 kitab, dan Nabi Ibrahim mendapat 10 kitab, Taurat kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, Injil kepada Nabi Isa, Al Furgon yaitu Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. 

 

(Rusul) artinya adalah para rasul, mereka adalah para nabi yang diperintahkan menyampaikan wahyu Allah.

 

Rukun iman yang ke empat adalah beriman kepada para rasul, artinya meyakini bahwa Allah telah mengutus mereka kepada umat agar mendapat petunjuk, menyempurnakan kehidupan dunia dan akhirat mereka. Allah menguatkan para rasul dengan mukjizat yang menunjukkan kebenaran mereka, dan mereka telah menyampaikan risalah Allah, menjelaskan apa yang harus dijelaskan bagi orang-orang mukallaf. Para rasul wajib dihormati dan tidak boleh dipisah-pisah antara mereka, dan mereka adalah orang yang terjaga dari perbuatan dosa kecil dan dosa besar.

 

Ketahuilah, bahwa jumlah rasul itu sebanyak 313, namun sebagian berpendapat jumlahnya adalah 315 rasul. Diwajibkan bagi seorang mukallaf beriman kepada 25 rasul di antara mereka secara terperinci yaitu : Adam, Idris, Nuh, Hud, Shaleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishag Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syu’aib, Musa, Harun, Ilyasa’, Daud, Sulaiman, Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Uzair, Isa dan Muhammad saw.

 

Sebagian menambahkan Dzulkifli, tetapi sebagian berpendapat ity adalah Ilyas, pendapat lain menyebukan itu adalah Zakaria, dan adz yang berpendapat lain.

 

Rasul yang paling utama di antara mereka adalah nabi ulul azmi, artinya nabi yang mempunyai kesabaran dalam menangggung kesulitan. Mereka ada lima rasul, tertulis dalam bait puisi berikut:

 

Artinya : “Muhammad, Ibrahim, Musa al-Kaliim Lalu Isa dan Nuh, mereka adalah ulul azmi, ketahuilah.”

 

Urutan kemuliaan yang ada pada mereka, rasul ulul azmi, sesuai urutan mereka dalam penyebutan di atas.

 

Seorang mukallaf wajib mengetahui keyakinannya terhadap para rasul -shalawat dan salam Allah bagi mereka-, yaitu sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz bagi mereka.

 

Sifat wajib bagi para rasul ada empat, yaitu shidig, tabligh, amanah dan fathonah. Sifat mustahil bagi para rasul ada empat pula, yang merupakan lawan sifat wajib, yaitu : bohong, merahasiakan, khianat dan bodoh. Sifat jaiz bagi para rasul hanya ada satu, yaitu mempunya! sifat manusiawi yang tidak menunjukkan kekurangan, seperti sakit ringan, tidak seperti sakit lepra atau belang, karena hal itu tidak boleh terjadi pada mereka.

 

Wajib pula bagi seorang mukallaf meyakini hal-hal yang berkaitan dengan Nabi kita Muhammad saw, yaitu meyakini bahwa beliau saw adalah seorang keturunan Arab dari kaum Quraisy, beliau saw berkulit putih kemerah-merahan, beliau saw adalah penutup para nabi dan rasul, beliau saw dilahirkan di Makkah dan diutus pula di sana, beliau saw hijrah ke Madinah dan meninggal serta dikuburkan di sana, dan syari’at beliau saw menghapus syari’at sebelumnya dan akan langgeng syari ‘atnya hingga hari kiamat.

 

Seyogyanya seseorang mengenal nasab beliau saw. Beliau saw adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qusaiy bin Kilab bin Murroh bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhor bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. :

 

Ibu beliau saw adalah Aminah bin Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhroh bin Kilab.

 

Beliau saw lahir tanggal 12 Rabi’ul Awwal di tahun gajah, dan beliau saw diutus pada tahun 41 menurut tahun gajah, setelah sempurna mencapai usia 40 tahun. Hijrahnya di tahun ke 13 dari sejak kenabian. Beliau saw wafat pada bulan Rabi’ul Awwa tahun ke sepuluh hijriyah sedangkan usianya 63 tahun.

 

Ayah beliau saw wafat sedangkan ibunya masih hamil dirinya. Sebagian mengatakan beliau saw berumur dua bulan. Ibunya wafat sedangkan beliau saw berumur 6 tahun. Beliau saw diasuh oleh kakeknya Abdul Muththalib yang kemudian wafat saat beliau saw berumur 8 tahun, lalu beliau saw diasuh oleh pamannya Abu Thalib, Istri-istri beliau saw ada 11 orang, dua di antaranya Wafa sebelum beliau saw, yaitu Khadijah binti Khuwailid dan Zainab bing Khuzaimah. Sembilan lainnya wafat setelah beliau saw, yaitu : Aisyah, Saudah, Hafshah, Maimunah, Ummu Habibah yang namanya adalah Ramlah, Zainab binti Jahsy, Ummu Salamah, Juwairiyah, Shafiyyah Budak-budaknya ada empat, di antaranya Mariyyah Qibthiyyah. Anak-anak beliau saw berjumlah tujuh, tiga laki-laki yang mereka wafat ketika kecil, yaitu Qasim, Ibrahim dan Abdullah. Empat di antaranya perempuan, mereka adalah : 1. Zainab, yang dikawin oleh Abul “Ash bin Rabi’. 2. Ruqayyah, dikawin oleh Utsman bin Affan. 3. Ummu Kultsum, dikawin oleh Utsman pula setelah wafat Rugayyah. 4. Fatimah, dikawin oleh Ali bin Abi Thalib ra.

 

Semua anak-anaknya dari Khadijah ra, kecuali Ibrahim, ibunya adalah Mariyyah Qibthiyyah.

 

Paman-paman beliau saw ada 11 orang, di antaranya adalah Hamzah, Abbas dan Abu Thalib. Bibi-bibi beliau saw ada 6 orang, yang di antaranya adalah Shafiyyah, ibu Zubair bin Awwam. Saudara laki-laki dari ibu Nabi saw ada tiga orang dan saudara perempuan dari ibu ada seorang.

 

Terdapat peperangan yang dihadiri oleh Nabi saw untuk melindungi dakwah Islam dan melawan orang-orang yang menentang, yang disebut dengan ghazwah. Itu sebanyak 27 kali, yang terpenting adalah enam, yaitu perang Badr al-Kubra, perang Uhud, perang Khandak, perang Hudaibiyah, perang Fathu Makkah dan perang Tabuk. Selain itu, terdapat sariyyah, yaitu peperangan yang tidak dihadiri oleh Nabi saw, yang terjadi sebanyak 35 kali. 

 

Hari akhir dimulai sejak kematian hingga tidak ada batasnya. Itulah yang disebut dengan hari kiamat. Dinamakan hari akhir karena tidak ada malam setelahnya.

 

Termasuk rukun iman yang kelima adalah beriman dengan adanya hari akhir. Artinya meyakini bahwa itu adalah benar adanya, dan apa yang terdapat di hari akhir adalah benar, seperti mizan atau timbangan amal, shirat, surga dan neraka. Begitu pula pertanyaan dua malaikat di dalam kubur, kenikmatan kubur dan adzabnya, serta berbagai perkara lain di alam barzakh, semua itu adalah benar.

 

Takdir adalah terwujudnya sesuatu sesuai batasan tertentu dan ketentuan tertentu baik dalam dzat ataupun perbuatannya.

 

Rukun iman yang ke enam adalah meyakini bahwa sesuatu itu terjadi sesuai ketentuan Allah, dan mustahil terjadi sesuatu yang

 

belum ditakdirkan oleh Allah. Baik dan buruk adalah sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah sebelum terciptanya makhluk, dan sesungguhnya segala sesuatu di alam semesta ini sesuai dengan qadha’, takdir dan kehendak Allah Ta’ala.

 

Makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallaah” yang telah disebut dalam rukun Islamadalah tidak ada yang patut disembah dengan benar kecuali Allah.

 

Pengarang mengaitkan lafadz “yang patut disembah” dengan ucapan “dengan benar”, karena sesuatu yang disembah jumlanya sangat banyak, seperti jin, bintang dan berhala.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB BERSUCI

 

Lafadz (‘alaamaat) merupakan jama’ dari kata (alaamah), yang artinya tanda, adalah sesuatu yang menunjukkan keberadaannya bila salah satu tanda-tanda itu tampak, namun tidak menunjukkan ketiadaannya bila salah satu dari tanda-tanda itu tidak tampak. Contoh, keluar air mani merupakan salah satu tanda baligh. Apabila seseorang keluar air mani maka menunjukkan bahwa dia telah baligh, namun bila ia tidak keluar air mani maka tidak dinyatakan belum baligh, karena bisa saja dinyatakan telah baligh dengan tanda-tanda yang lain,

 

seperti haid dan sempurna berusia 15 tahun. Baligh artinya telah mencapai batasan mukallaf. Tanda-tanda yang salah satunya menunjukkan bahwa manusia telah mencapai batasan mukallaf, -dengan tambahan syarat berakalida tiga macam, yaitu :

 

Salah satu tanda baligh adalah berlalu waktu bagi seorang anak laki-laki atau perempuan dari sejak keluar seluruh badannya waktu dilahirkan, 15 tahun hijriyah tepat.

 

Kata (ihtilaam) berasal dari lafadz (hulm) yang artinya sesuatu yang dilihat orang yang tidur dalam tidurnya. Tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah perkara khusus, yaitu keluarnya air mani.

 

Tanda kedua dari tanda-tanda baligh bagi seorang anak laki-laki dan wanita adalah keluarnya air mani setelah sempurna berumur 9 tahun hijriyah secara perkiraan.

 

Apabila air mani hendak keluar, namun ditahannya hingga kembali, seperti dipegang kemaluannya ketika air mani hendak keluar, maka dianggap tidak baligh menurut Ibnu Hajar, namun dibantah oleh Ramli dan dinyatakan telah baligh.

 

Haid secara bahasa adalah aliran, dan secara syari’at adalah darah alami yang keluar dari rahim seorang wanita yang paling dalam, dengan cara normal dan keluar pada waktu-waktu tertentu.

 

Tanda baligh yang ketiga bagi seorang wanita adalah keluarnya darah haid setelah berusia 9 tahun hijriyah secara perkiraan, maka diperbolehkan kurang dari 9 tahun yang tidak cukup masa haid dan masa suci, yaitu kurang dari 16 hari.

 

Pembahasan berikut ini berkaitan dengan syarat sahnya IStinja” dengan batu.

 

Istinja” secara bahasa adalah terputus, dan secara syari’at adalah menghilangkan najis yang tidak padat dan keluar dari kemaluan dan dibersihkan pada kemaluan dengan air atau batu.

 

Hukum beristinja’ ada lima macam, yaitu :

  1. Wajib, jika yang keluar berupa najis yang tidak padat.
  2. Sunnah, jika yang keluar berupa benda padat, seperti batu.
  3. Makruh, jika yang keluar berupa angin.
  4. Mubah, jika yang keluar berupa keringat.
  5. Haram, jika istinja’ dengan benda rampasan.

 

Cara yang paling utama dalam beristinja’ adalah menggunakan air dan batu bersamaan, dimulai dengan menggunakan batu lalu diikuti dengan air, maka sudah dinyatakan mendapat sunnah dengan menggunakan batu yang padat walaupun berupa najis.

 

Apabila hendak meringkas istinja dengan menggunakan salah satunya, maka air adalah lebih utama, karena air akan menghilangkan dzat dan bekas najisnya.

 

Apabila memulai istinja’ dengan air, dan ingin beristinja’ dengan batu setelahnya, maka hal itu tidak disunnahkan karena tidak ada faedahnya.

 

Syarat secara bahasa berarti tanda, dan secara syari’at adalah sesuatu yang menunjukkan ketiadaannya bila syarat itu tidak ada, namun tidak menunjukkan keberadaannya bila syarat itu ada.

 

Maksud batu disini adalah setiap benda padat yang suci, dapat menyerap dan tidak dihormati syari’at. Maka benda najis tidak dapat digunakan untuk istinja’, begitu pula benda yang tidak dapat menyerap karena kehalusannya atau kerapuhannya. Tidak dapat digunakan istinja pula benda yang dihormati syari’at, seperti buku-buku ilmu syari at, buku bahasa dan makanan.

 

Syarat sahnya istinja dengan batu -jika beristinja” hanya menggunakan batu saja-, ada delapan :

 

Syarat pertama sahnya istinja’ dengan batu adalah harus dilakukan dengan tiga kali usapan, tidak dapat kurang, sehingga jumlah batu bukanlah termasuk syarat.

 

Apabila mengusap dengan tiga sisi dari satu batu, atau mengusap dengan tiga usapan dari satu sisi dan satu batu, dengan cara dibasuh dan dikeringkan setelah setiap kali mengusap, semua cara itu diperbolehkan dan sah istinja’nya.

 

Maksud tempat di sini adalah bagian dubur yang tertutup ketika berdiri, kepala kemaluan laki-laki dan bagian dhahir kemaluan wanita.

 

Syarat kedua istinja’ dengan batu adalah orang yang beristinja harus dapat membersihkan tempat tersebut hingga tidak tersisa kecuali, bekas najis yang tidak dapat hilang kecuali dengan tembikar atau air Apabila setelah tiga usapan yang wajib ternyata tempat tersebut belum bersih, maka wajib ditambah usapannya hingga bersih.

 

Syarat ketiga sahnya istinja’ dengan batu adalah sesuatu yang keluar tidak mengering seluruhnya ataupun sebagian di antaranya, hingga tidak dapat diserap oleh batu. Najis yang keluar hendaklah masih basah atau kering yang masih dapat diserap oleh batu. 

 

Syarat keempat istinja’ dengan batu adalah najis yang keluar tidak berpindah dari tempatnya berada ketika keluar, walaupun belum melampui bagian dubur yang tertutup ketika berdiri dan kepala kemaluan laki-laki.

 

Syarat kelima istinja’ dengan batu adalah najis yang keluar tidak bercampur dengan benda yang bukan jenisnya, yaitu selain keringat. Apabila bercampur dengan selain jenisnya, walaupun setelah istinja’ dengan batu… maka wajib menggunakan air, baik benda yang bercampur itu basah, seperti air dan kencing, atau kering, baik najis seperti kotoran hewan atau suci seperti debu. Namun Imam Ramli berpendapat lain tentang benda yang bercampur jika kering dan suci, beliau mengatakan tetap sah istinja’nya.

 

Syarat keenam sahnya istinja’ dengan batu adalah kotoran najis tidak melebihi bagian dubur yang tertutup ketika berdiri dan air kencing tidak melebihi kepala kemaluan laki-laki dan tidak masuk bagian yang merupakan tempat masuknya kemaluan laki-laki bagi wanita.

 

Syarat ketujuh sahnya istinja’ dengan batu adalah najis yang keluar tidak terkena air, walaupun untuk menyucikannya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

 

Syarat kedelapan dari sahnya istinja’ dengan batu adalah batu yang digunakan untuk istinja’ suci, maka tidak sah jika menggunakan sesuatu yang najis atau benda yang terkena najis.

 

Kata (furudh) merupakan jama’ fardh yang secara bahasa berarti bagian dan kewajiban, dan secara syari’at berarti sesuatu yang mendapat pahala jika dilakukan dan berdosa jika ditinggalkan. Fardh merupakan salah satu dari tujuh hukum syari’at.

 

Kedua, sunnah, artinya sesuatu yang mendapat pahala jika dilakukar, dan tidak berdosa jika ditinggalkan.

 

Ketiga, haram, yaitu sesuatu yang mendapat pahala jika ditinggalkan karena melaksanakan perintah, dan berdosa jika dikerjakan.

 

Keempat, makruh, yaitu sesuatu yang mendapat pahala jika ditinggalkan karena melaksanakan perintah, dan tidak berdosa jika dilakukan.

 

Kelima, mubah, yaitu sesuatu yang tidak mendapat pahala jika dilakukan atau ditinggalkan, dan tidak berdosa pula jika dilakukan atau ditinggalkan.

 

Keenam, shahih -pengertiannya dalam ibadahadalah sesuatu yang dianggap cukup hingga tidak perlu diqadha’, -dan dalam masalah muamalahadalah sesuatu yang terjadi sesuai hukum syari’at.

 

Ketujuh, bathil atau fasid -yang pengertiannya dalam ibadahadalah sesuatu yang masih perlu diqadha’, -dan dalam masalah muamalahadalah sesuatu yang tidak sesuai hukum syari’at.

 

Wudhu secara bahasa adalah membasuh sebagian anggota tubuh, diambil dari kata (wadhoo-ah), yaitu kebaikan dan keindahan. Secara syari’at, wudhu adalah membasuh sebagian anggota tubuh tertentu dengan niat tertentu.

 

Rukun wudhu yang tidak dapat dicapai hakikat wudhu kecuali dengannya ada enam macam. Maka, yang dimaksud fardh disini adalah rukun-rukun tertentu.

 

Niat secara bahasa adalah bermaksud, dan secara syari’at adalah bermaksud sesuatu yang bersamaan dengan perbuatannya. Itulah hakikat niat.

 

Sedangkan hukum niat biasanya adalah wajib.

 

Tempat niat adalah di hati.

 

Waktu niat adalah awal setiap ibadah kecuali puasa. Sebagian berpendapat yang berkaitan dengan puasa bahwa keinginan puasa yang dihadirkan malam hari disetarakan kedudukannya dengan niat.

 

Cara niat itu berbeda-beda sesuai ibadah yang diniatkan. Syarat-syarat niat ada enam, yaitu orang yang berniat adalah muslim, mumayyiz, mengetahui apa yang diniatkan, tidak dikaitkan untuk memutuskan niat dengan sesuatu, tidak ada keraguan dalam memutuskan niat, dan yang dilakukannya termasuk pokok ibadah.

 

Maksud niat adalah membedakan antara kebiasaan dan ibadah, seperti duduk di masjid bisa diniatkan untuk i’tikaf atau beristirahat, dan membedakan pula tingkatan ibadah, seperti ibadah fardhu dari yang sunnah.

 

Awal fardhu wudhu adalah niat, yaitu orang yang berwudhu hendaklah berniat mengangkat hadats kecil, atau bersuci untuk shalat, atau fardhu wudhu, atau wudhu. Semua niat itu bisa dihadirkan jika ia bukan termasuk orang yang selalu berhadats, namun jika ia selalu berhadats maka hendaklah berniat diperbolehkan fardhu shalat atau semacamnya, dan tidak cukup jika berniat dengan niat-niat yang sebelumnya.

 

Niat harus dihadirkan bersamaan dengan basuhan pertama dari bagian wajah, sebagaimana yang telah diketahui penjelasannya.

 

Muka atau wajah adalah bagian tubuh yang panjangnya antarg tempat tumbuh rambut kepala hingga dagu, dan lebarnya antara dug

 

telinga. Dinamakan wajah itu sebagai muka karena digunakan untuk bertatap muka.

 

Fardhu wudhu yang kedua adalah membasuh wajah baik kulit dan rambutnya, maka wajib menyampaikan air ke bagian dalam (batin) rambut yang tebal atau tipis, kecuali bagian jenggot dan cambang laki-laki yang tebal, cukup dibasuh bagian dhahir saja.

 

Makna rambut yang tebal adalah rambut yang tumbuh hingga tidak terlihat kulitnya dari jarak pembicaraan biasa. Sedangkan makna rambut yang tipis adalah sebaliknya.

 

Bagian dhahir jenggot yang tebal, dimana wajib dibasuh saat wudhu adalah bagian rambut teratas yang sejajar wajahnya. Maka bagian yang berada di antara itu dan yang sejajar dengan dada termasuk batin yang tidak wajib dibasuh. Rambut yang terdapat di wajah ada 20 macam, yaitu :

  1. Ghamam, yaitu rambut yang tumbuh di dahi.
  2. & 3. Haajibaan (alis), yaitu dua rambut yang tumbuh di atas kedua mata.
  3. & 5. Khoddaan (pipi), yaitu dua rambut yang tumbuh di pipi, dinamakan sesuai nama tempat tumbuhnya.
  4. & 7. Sibaalaan, yaitu dua rambut yang tumbuh di ujung kumis.
  5. & 9. “Aaridhoon (cambang), yaitu dua rambut yang tumbuh di bagian bawah telinga yang menurun ke bawah hingga dagu.
  6. & 11. “Idzaaroon, yaitu dua rambut yang tumbuh di antara kepala dan cambang, yang sejajar dengan kedua telinga.

12, 13, 14, & 15. Ahdaab (Bulu mata), yaitu rambut yang tumbuh di kelopak mata.

  1. Lihyah (jenggot), yaitu rambut yang tumbuh di dagu.
  2. Syaarib (kumis), yaitu rambut yang tumbuh di bibir atas.
  3. ‘Anfagoh, yaitu rambut yang tumbuh di bibir bawah.
  4. & 20. Nafakataan, yaitu rambut yang tumbuh di bibir bawah, di antara ‘anfaqoh.

 

Tangan secara bahasa dari ujung jari hingga bahu, dan secara syari’at dalam masalah wudhu adalah dari ujung jari hingga di atas kedua siku. Sedangkan dalam masalah pencurian dan semacamnya, yang dimaksud tangan adalah dari ujung jari hingga tulang awal lengan yang sejajar ibu jari (yaitu telapak tangan).

 

Siku-siku adalah kumpulan dua tulang lengan atas dan lengan bawah.

 

Fardhu wudhu yang ketiga adalah membasuh kedua tangan dan bagian yang ada pada keduanya, seperti rambut, bisul dan kuku. Wajib menghilangkan penghalang yang ada pada keduanya, seperti kotoran yang melekat selain keringat, jika tidak susah menghilangkannya. Jika berupa keringat atau susah menghilangkar kotoran itu… maka diperbolehkan, begitu pula diperbolehkan adanya kulit bisul, walaupun mudah dihilangkan. Hukum semacam ini yang berlaku pada kedua tangan, juga berlaku pada anggota wudhu yang lain.”

 

Kepala adalah nama bagi sesuatu yang tinggi, namun yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang sudah dikenal. Makna mengusap adalah , sampainya basah.

 

Fardhu wudhu yang keempat adalah sampainya basah -walaupun tanpa adanya perbuatan dari pelaku, baik diusap atau dibasuh atau selainnya hingga terkena sebagian dari kulit kepala atau rambutnya, dengan syarat rambut itu tidak keluar dari batas kepala jika dijulurkan dari arah turunnya.

 

Apabila tangannya basah dan diletakkan di atas kain yang ada di kepalanya, lalu basah itu sampai ke kepala .. . maka dianggap telah mengusap kepalanya. Ibnu Hajar berkata : “Walaupun orang itu tidak bermaksud mengusap kepala”, namun Ramli berkata : “Harus ada maksud untuk mengusapnya”.

 

Mata kaki adalah tulang menonjol yang terdapat pada sendi betis dan telapak kaki.

 

Fardhu wudhu yang kelima adalah membasuh setiap kaki dengan kedua mata kaki dan belahannya. Wajib menghilangkan sesuatu yang terdapat pada belahan kaki, seperti lilin dan semacamnya jika tidak sampai ke bagian dalam daging.

 

Mengusap kedua sepatu : :

 

Diperbolehkan mengusap sedikit dari bagian dhahir atas sepatu sebagai ganti dari membasuh kedua kaki, bagi orang yang mugim berlaku selama sehari semalam, dan bagi musafir berlaku hingga tiga hari tiga malam, dengan syarat :

 

  1. Dipakai dalam keadaan suci yang sempurna.

 

  1. Sepatu itu kuat, yang memungkinkan digunakan berjalan untuk suatu keperluan.

 

  1. Sepatu itu dapat mencegah masuknya air dari lubang jahitan, Jika diguyurkan air di atasnya.

 

  1. Sepatu itu dalam keadaan suci.

 

5.Sepatu itu menutup bagian yang wajib dibasuh selain dari bagian atasnya, karena dari bagian atas tidak disyaratkan untuk — tertutup.

 

  1. Orang yang memakainya tidak terkena hadats besar.

 

  1. Tidak sedikitpun terbuka dari bagian kaki yang termasuk fardhu wudhu.

 

  1. Ikatan sepatunya tidak terlepas, walaupun bagian dari fardhu wudhunya tidak terlihat. Masa berlaku memakai sepatu dimulai dari akhir hadats secara mutlak setelah sepatu itu dipakai, itu menurut Ibnu Hajar. Sedangkan Imam Ramli berkata : “Dimulai dari awal hadats, jika hadats itu terjad dengan ikhtiarnya, seperti tidur dan menyentuh lain jenis. Dan dimulai dari akhir hadats, jika hadats itu terjadi tanpa ikhtiarnya, seperti buang air kecil.

 

Tertib adalah meletakkan sesuatu sesuai urutannya. Fardhu wudhu yang keenam adalah tertib, yaitu dahulukan niat yang dilakukan bersamaan dengan awal membasuh bagian wajah, lalu membasuh kedua tangan, lalu mengusap kepala, dan terakhir membasuh kedua kaki.

 

Apabila dilakukan tidak sesuai tertib yang ada, maka tidak sah wudhunya. Apabila seseorang membenamkan dirinya di dalam air – walaupun air itu sedikitdan berniat wudhu… maka sah wudhunya, walaupun tidak selama orang yang berwudhu seperti biasanya.

 

Itulah yang disebut dengan tertib tagdiri, yaitu tertib yang terjadi ketika seseorang membenamkan diri dalam air dengan diiringi niat wudhu. Sedangkan tertib hakiki adalah tidak mendahulukan anggota tubuh yang satu dengan anggota tubuh yang lain, ketika seseorang berwudhu seperti biasa.

 

Pengarang tidak berbicara tentang sunnah-sunnah wudhu dan makruh-makruhnya.

 

Sunnah-sunnah wudhu banyak sekali, di antaranya adalah:

 

Siwak, membasuh kedua telapak tangan, kumur, istinsyag, melakukan keduanya dalam satu kali pengambilan air, tiga kali dalam membasuh dan mengusap, mengusap seluruh kepala, mengusap kedua telinga dan lubang telinga, menyela-nyela jari tangan dan kaki, terus menerus, mendahulukan bagian kanan, memperpanjang ghurroh dan tahjiil, tidak meminta pertolongan ketika berwudhu.

 

Siwak secara bahasa berarti menggosok dan alatnya, secara syari’at adalah menggosok gigi dan sekitarnya dengan sesuatu yang kasar. Siwak mempunyai tiga rukun, pertama mustaak, yaitu orang yang bersiwak, kedua mustaak bihi, yaitu alat bersiwak, ketiga mustaak fiihi, yaitu mulutnya.

 

Makna kuwu’ (. ), yaitu tulang yang ada di ujung lengan dan sejajar ibu jari tangan, sedangkan yang sejajar dengan jari kelingking disebut kursuu’ (  ) dan yang berada di antara keduanya disebut rusgh (.  ).

 

Berkumur adalah memasukkan air ke dalam mulut. Istinsyag adalah memasukkan air ke dalam hidung.

 

Mengusap telinga yang disunnahkan dilakukan sebanyak 12 kali, yaitu tiga kali saat mengusap kepala, dan tiga kali setelahnya dengan cara telapak tangan mengusap bagian dhahir telinga.

 

Terus menerus adalah membasuh anggota tubuh yang kedua sebelum keringnya anggota tubuh pertama, dengan diperhitungkan pula keseimbangan udara, pembawaan tubuh dan musim.

 

Ghurroh adalah bagian yang tidak akan sempurna dalam kewajibannya membasuh wajah kecuali dengan membasuhnya pula. Tahjiil adalah bagian yang tidak akan sempurna dalam kewajibannya membasuh kedua tangan dan kaki kecuali dengan membasuhnya pula.

 

Makruh-makruh wudhu banyak sekali, di antaranya adalah :

 

Tidak berkumur dan tidak beristinsyag, mendahulukan bagian kiri, bersuci dari bekas wanita, membasuh dan mengusap lebih dan tiga kali secara yakin, dan kurang dari tiga kali, meminta pertolongan untuk membasuh anggota wudhunya tanpa adanya udzur, menyela.

 

nyela jenggot bagi seorang muhrim haji atau umrah menurut Imam Ramli, namun Ibnu Hajar tetap menyatakan itu termasuk sunnah, tapi dilakukan secara perlahan, berwudhu dari air menggenang, berlebihan dalam mengucurkan air. Hal itu menjadi haram jika berasal dari wakar atau milik orang lain yang tidak diketahui keridhoaannya.

 

Pasal ini meliputi tiga macam hukum niat, yaitu hakikatnya, tempatnya dan waktunya, dan menjelaskan makna tertib. Pembahasan semua ini telah dibicarakan sebelumnya, begitu pula disunnahkannya mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati.

 

Dalam makna niat disebutkan bersamaan dengan pekerjaannya, itulah niat secara syari’at, namun bila tidak bersamaan dengan pekerjaannya, bukanlah disebut sebagai niat tetapi disebut ‘azm atau keinginan.

 

Air adalah dzat cair yang lembut dan transparan, berwarna sesuai warna tempatnya dan Allah menghapuskan dahaga ketika meminumnya.

 

Dua gullah secara bahasa berarti dua bejanan yang besar. Secara syari at makna dua gullah adalah ukuran banyaknya air yang kira-kira mencapai 500 ritl baghdady atau kira-kira mencapai 562,5 ritl tarimiy (216 liter). Sedangkan ukurannya dalam tempat persegi, mempunyai panjang, lebar dan dalam 1/4 lengan (60 cm) dan dalam tabung tingginya 2,5 lengan (120cm) dan diameternya 1 lengan (50cm).

 

“Air itu terbagi menurut hukumnya menjadi dua bagian :

 

1.Air sedikit, yaitu air yang kurang dari dua qullah, air ini mempunyai batasan hukum tertentu.

  1. Air banyak, yaitu air yang mencapai dua gullah atau lebih, air ini mempunyai hukum tersendiri.

 

Air sedikit hukumnya adalah dinyatakan mutanajis jika sesuatu yang najis masuk ke dalamnya, walaupun sifat air tidak berubah. Hukum ini berlaku jika najisnya adalah najis yang tidak dimaafkan oleh syari’at dan airnya tidak mengalir dari atas.

 

Apabila masuk ke dalam air sedikit itu najis yang dimaafkan oleh syari’at, maka tidak berpengaruh, airnya tetap dinyatakan suci dan mensucikan. Najis yang dimaafkan contohnya adalah najis yang tidak terlihat oleh pandangan mata biasa, najis itu mutlak menurut Ramli, namun diberi syarat tidak termasuk najis mughalladhoh menurut Ibn, Hajar.

 

Contoh yang lain, seperti bangkai dari hewan yang darahnya tidak mengalir, ketika sebagian anggota tubuhnya dipatahkan saat masih hidup, yaitu sebangsa cecak dan yang lebih kecil darinya. Tetapi bangkai yang semacam ini dimaafkan dengan syarat tidak merubah sifat air dan tidak diletakkan di tempat air itu setelah matinya, kecuali terbawa angin atau hewan. Seorang ulama, al-Khathib menambahkan kecuali yang membawanya anak yang belum mumayyiz.

 

Apabila air yang sedikit itu mengalir dari atas dan mengenai najisnya … maka hukumnya air itu tidak dinyatakan mutanajis, kecuali jika berubah sifatnya atau bertambah banyaknya karena tercampur dengan najis atau tempat yang terkena aliran air itu tidak menjadi suci.

 

Perlu diketahui, hukum seluruh macam cairan (seperti susu, minyak dan madu) -baik sedikit atau banyakseperti hukum air yang sedikit dalam segala permasalahannya, kecuali cairan yang mengalir dari atas hukumnya seperti yang lain.

 

Hukum air banyak adalah tidak dinyatakan mutanajis hanya dengan masuknya najis ke dalam air tersebut, tetapi jika berubah rasanya atau warnanya atau baunya, walaupun perubahan itu sangat sedikit. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini, baik yang masuk ke dalamnya itu najis yang dimaafkan atau tidak.

 

Apabila air yang sudah berubah sifatnya itu karena masuk ke dalamnya najis, lalu perubahan sifat itu hilang dengan sendirinya atau diberi air ke dalamnya, walaupun air itu musta’mal atau mutanajis . .. maka dianggap telah suci. Namun tidak dianggap suci bila diberi minyak wangi kasturi atau za’faron.

 

Apabila masuk ke dalam air yang banyak itu suatu najis yang sama sifatnya dengan air -baik dalam rasa, warna dan baunyaseperti air kencing yang sudah tidak berbau… maka diperkirakan dengan sifatsifat yang keras, seperti warna tinta, bau kasturi dan rasa cuka. Bila diperkirakan akan berubah dengan salah satu sifatnya maka air itu dinyatakan mutanajis, dan jika dianggap tidak berubah sifatnya maka dinyatakan tidak mutanajis.

 

Apabila masuk ke dalam air -baik sedikit atau banyaksuatu benda yang suci, bercampur dan air itu tidak membutuhkannya, seperti za faron dan air mawar, hukumnya adalah bila terjadi perubahan sifat yang besar hingga sirna nama air itu maka tidak dapat digunakan untuk bersuci, namun air itu tetap suci sebagaimana terlihat secara dhahir.

 

Apabila yang masuk ke dalam air tersebut sesuatu yang suci dan tidak bercampur, artinya dapat dipisahkan, seperti kayu gahru dan minyak, atau air itu membutuhkannya seperti tempat menampung dan tempat mengalirnya, atau perubahan itu tidak besar sehingga nama air itu tetap ada… maka air tersebut tetap dinyatakan suci dan menyucikan.

 

Apabila yang masuk ke dalam air tersebut -baik sedikit atau banyak- sesuatu yang suci dan sesuai sifat air, seperti air mawar yang sudah tidak berbau, maka diperkirakan dengan berbagai sifat yang sedang, sepertj warna jus, rasa delima dan bau menyan. Bila diperkirakan berubah sifatnya dengan perubahan yang besar maka tidak diperbolehkan bersuci dengan memakai air itu, dan bila diperkirakan tidak berubah atau sedikit berubahnya maka boleh dipakai bersuci.

 

Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu, dan , secara syari’at adalah mengalirkan air pada seluruh badan dengan, niat tertentu.

 

Sebab-sebab seseorang wajib mandi bila terdapat salah satu di antara enam hal berikut.

 

Makna (iilaaj) disini adalah masuknya kepala kemaluan atau seukuran itu bagi orang yang tidak mempunyainya hingga ke bagian yang tidak wajib dibasuh saat mandi dari kemaluan wanita.

 

Sebab pertama seseorang wajib mandi adalah bila kepala kemaluan atau seukuran itu dari orang yang tidak mempunyainya masuk ke dalam kemaluan wanita (terjadi hubungan intim).

 

Imam Nawawi mengatakan : “Air mani dari seorang laki-laki yang sehat adalah air yang berwarna putih, kental, keluar secara bertahap dan bersamaan dengan syahwatnya, merasa nikmat ketika keluar, namun mengakibatkan Jemasnya anggota tubuh setelah itu, baunya seperti mayang kurma, mirip dengan bau adonan tepung ketika masih basah, dan seperti putih telur ayam jika telah kering.

 

Sebagian di antara sifat-sifat tersebut terkadang tidak didapati, padahal ia merupakan mani yang mewajibkan mandi. Namun prinsipnya adalah bila terdapat salah satu dari tiga sifat khusus berikut, yaitu :

 

  1. Keluar dengan syahwat serta mengakibatkan lemasnya tubuh.
  2. Baunya menyerupai bau mayang kurma.
  3. Keluarnya secara bertahap.

 

Kapan saja terdapat salah satu dari sifat-sifat di atas… maka itu adalah mani. Bila seluruh sifat di atas tidak didapati maka itu bukanlah air mani. Sedangkan air mani wanita adalah air yang berwarna kuning dan bersifat lembek.”

 

Hukum air mani adalah suci, dengan bagaimanapun sifatnya, hingga walau terlihat seperti darah murni.

 

Air madzi adalah air yang berwarna putih, lembek dan lengket, keluar ketika dalam keadaan bersyahwat, tanpa diiringi dengan syahwat, dan tidak keluar secara bertahap serta tidak mengakibatkan lemasnya tubuh.

 

Air wadi adalah air yang berwarna putih, kental dan keruh, tidak berbau, keluar setelah buang air kecil atau membawa barang yang berat. Kedua air di atas, yaitu air madzi dan wadi, termasuk najis dan membatalkan wudhu, namun tidak menyebabkan mandi wajib.

 

Sebab kedua mandi wajib adalah keluarnya air mani hingga terlihat pada dhahir kepala kemaluan laki-laki, dan bagian dhahir kemaluan seorang gadis serta bagian yang tampak dari kemaluan wanita yang telah menikah ketika jongkok.

 

Tetapi dengan satu syarat, yaitu air mani tersebut adalah air manj dirinya sendiri yang keluar pertama kali dari jalannya yang biasa, atau dari tempat yang terbuka di bawah tulang punggung laki-laki dan tulang rusuk wanita, sedangkan tempat aslinya tertutup dan air mani keluar bukan karena sakit. Bila tempat terbuka yang disediakan tidak berada di bawah keduanya … maka tidak wajib mandi dengan keluarnya air

 

mani itu dari tempat tersebut. Dan bila tempat yang disediakan itu berada tepat pada keduanya … maka wajib mandi menurut Ramli, dan tidak wajib menurut Ibnu Hajar. Apabila tempat aslinya tertutup dari sejak dilahirkan … maka wajib mandi dengan keluarnya air mani secara mutlak, baik dari mana saja lubang itu disediakan, walaupun keluar melalui lubang rongga tubuh menurut Ibnu Hajar, namun tidak menurut Ramli kaitannya dengan pembahasan yang terakhir ini.

 

Apabila seseorang ragu, apakah yang keluar itu air mani atau air madzi … maka boleh memilihnya, jika dianggap itu adalah air mani maka wajib mandi dan tidak dibasuh bagian yang terkena air tersebut, karena hukum air mani adalah suci, dan jika dianggap itu adalah air madzi, cukub baginya berwudhu dan membasuh bagian yang terkena air tersebut, karena secara hukum air madzi adalah najis.

 

Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, dinamakan nifas karena darah itu keluar setelah jiwa manusia (nafs) dilahirkan.

 

Makna haid telah dibahas sebelumnya.

 

Sebab ketiga dan keempat dari mandi wajib adalah adanya haid dan nifas, namun setelah keduanya berhenti dan hendak mengerjakan shalat atau semacamnya.

 

Sebab kelima mandi wajib adalah keluarnya janin -walaupun kering tidak ada darah yang keluaratau segumpal darah atau segumpal daging, dengan syarat adanya pernyataan bidan yang mengatakan bahwa itu adalah wujud manusia.

 

Bidan adalah seorang wanita yang menerima bayi ketika proses kelahiran.

 

Kematian adalah terpisahnya ruh dan jasad.

 

Sebab keenam mandi wajib adalah kematian seorang muslim, selain orang yang mati syahid. Bayi prematur yang tidak tampak tanda-tanda kehidupan, namun telah mencapai usia 4 bulan dari masa kehamilannya wajib dimandikan. Memandikan jenazah adalah fardhu kifayah bagi kaum muslimin.

 

Sebagaimana wajib mandi dengan adanya berbagai sebab yang disebutkan oleh pengarang kitab… disunnahkan mandi pula karena hal-hal berikut, yaitu mandi jum’at, waktunya dimulai sejak terbit fajar dan dikhususkan bagi orang-orang yang ingin menghadiri shalat jum’at, mandi  , dimulai waktunya sejak pertengahan malam kedua dan tidak dikhususkan bagi orang-orang yang ingin hadir shalat led mandi shalat Istisga’ dan gerhana, mandi bila orang kafir masuk Islam mandi setelah sadar dari gila dan pingsan. Ketiga hal terakhir menjag, sunnah bila tidak mengalami junub selama masa kekufurannya, mas, gilanya dan masa pingsannya, maka jika orang itu mengalami junuh sebelumnya wajib baginya mandi. Termasuk mandi sunnah pula adalah mandi setelah memandikan jenazah, kemudian sebab-sebah disunnahkan mandi yang terdapat dalam berbagai riwayat hadits tenty lebih banyak.

 

Bagian-bagian mandi -baik mandi wajib atau sunnah yang tidak dapat dicapai hakikatnya kecuali dengan bagian tersebut, ada dua hal,

 

Awal dari dua fardhu mandi adalah niat ketika pertama kali membasuh sebagian dari tubuhnya. Hendaklah orang yang junub berniat mengangkat hadats junubnya, wanita yang haid berniat mengangkat hadats haid atau nifas -jika tidak bermaksud maknanya secara syari atdan wanita nifas dapat berniat mengangkat hadats nifas atau haid -jika tidak bermaksud maknanya secara syari’at serta wanita yang melahirkan dapat berniat mengangkat hadats wiladah.

 

Cukup bagi seseorang untuk berniat semacam ini dari setiap mandi wajib yang dilakukannya, walaupun berbeda-beda sebabnya, yaitu :

 

Diharamkan melakukan hubungan intim jika kemaluan laki-laki mutanajis kecuali bagi orang yang selalu keluar air kencingnya atau terbiasa bahwa air akan melemaskan kemaluannya.

 

Syarat sahnya wudhu ada 10 hal, jika kurang satu darinya … maka tidak sah wudhunya. Itu semua termasuk syarat sah mandi pula, bahkan dua syarat awal merupakan syarat yang harus terpenuhi dalam setiap ibadah, dan syarat ketiga harus terpenuhi dalam setiap ibadah yang memerlukan thaharah.

 

Syarat pertama dari sahnya wudhu adalah orang yang berwudhu beragama Islam, maka tidak sah wudhu orang kafir. Telah kamu ketahui, bahwa ini merupakan syarat sah mandi pula, kecuali mandi seorang Wanita kafir yang telah selesai dari haidnya agar menjadi halal bagi suaminya yang muslim, maka mandinya dianggap sah, namun wajib diulangi jika telah masuk Islam.

 

Mumayyiz bagi seorang manusia adalah orang yang dapat memahami pembicaraan dan dapat menjawabnya, atau orang yang dapat makan sendiri, minum sendiri dan istinja sendiri, atau orang yang dapat membedakan antara yang kanan dan kiri, atau orang yang dapat membedakan antara kurma dan bara api. Itulah berbagai saat khitan dari kemaluan laki-laki, bagian yang terlihat dari kemaluan seorang gadis atau wanita yang telah menikah jika duduk buang hajat.

 

Tidak wajib membasuh hingga bagian batin dari kemaluan wanita atau bagian dalam hidung, dan tidak wajib pula membuka rambu yang menyatu dengan sendirinya, namun wajib membuka kepang rambut jika air tidak dapat sampai ke bagian batinnya kecuali dengan membukannya.

 

Sunnah-sunnah mandi banyak sekali, di antaranya adalah : berdiri, menghadap kiblat, wudhu, membaca basmalah, menyela-nyela bagian tubuh yang terlipat (seperti ketiak, perut yang buncit), menggosok tubuhnya saat mandi, membasuh hingga tiga kali, tertib saat mandi, yaitu dimulai dengan membasuh kedua telapak tangan, lalu kemaluan dan sekitarnya, lalu berkumur dan istinsyag, lalu berwudhu dengan wudhu yang sempurna dan berniat mengangkat hadats kecil, walaupun hadats kecil itu tidak ada pada dirinya. Kemudian menyela-nyela bagian tubuh yang terlipat, lalu mengguyurkan air di atas kepala, lalu bagian depan tubuhnya dari sisi kanan, lalu bagian belakang tubuhnya dari sisi kanan, lalu bagian tubuhnya dari sisi kiri dan terakhir bagian belakang tubuhnya dari sisi kiri.

 

Makruh-makruh mandi seperti makruh-makruh wudhu.

 

Perlu diketahui, bahwa orang yang sedang junub dimakruhkan tidur, berhubungan intim, makan dan minum sebelum berwudhu dan membasuh kemaluannya. Termasuk pula wanita yang telah berhenti haid atau nifasnya kecuali dalam masalah hubungan intim, karena hal itu termasuk haram hingga wanita itu mandi wajib.

 

Diharamkan melakukan hubungan intim jika kemaluan laki-laki mutanajis kecuali bagi orang yang selalu keluar air kencingnya atau terbiasa bahwa air akan melemaskan kemaluannya.

 

Syarat sahnya wudhu ada 10 hal, jika kurang satu darinya … maka tidak sah wudhunya. Itu semua termasuk syarat sah mandi pula, bahkan dua syarat awal merupakan syarat yang harus terpenuhi dalam setiap ibadah, dan syarat ketiga harus terpenuhi dalam setiap ibadah yang memerlukan thaharah.

 

Syarat pertama dari sahnya wudhu adalah orang yang berwudhu beragama Islam, maka tidak sah wudhu orang kafir. Telah kamu ketahui, bahwa ini merupakan syarat sah mandi pula, kecuali mandi seorang wanita kafir yang telah selesai dari haidnya agar menjadi halal bagi suaminya yang muslim, maka mandinya dianggap sah, namun wajib diulangi jika telah masuk Islam.

 

Mumayyiz bagi seorang manusia adalah orang yang dapat memahami pembicaraan dan dapat menjawabnya, atau orang yang dapat makan sendiri, minum sendiri dan istinja sendiri, atau orang yang dapat membedakan antara yang kanan dan kiri, atau orang yang dapat membedakan antara kurma dan bara api. Itulah berbagai pendapat tentang makna mumayyiz.

 

Syarat kedua dari syarat sah wudhu adalah orang yang berwudhy telah mumayyiz. Benar, kecuali thaharah anak yang belum mumayyi, untuk thawaf, para ulama menyatakan sah thaharahnya.

 

Kata (naqaa”) berarti bersih. tetapi maksudnya dalam hal ini adalah tidak sedang haid dan nifas.

 

Syarat ketiga dari syarat sah wudhu adalah tidak sedang haid dan , — nifas. Termasuk pula yang seperti keduanya adalah segala sesuatu yang membatalkannya, contoh keluarnya air kencing saat berwudhu. Begitu pula yang dibahas dalam masalah mandi, maka tidak sah mandi disertai keluarnya air mani atau haid atau nifas. Benar, terdapat pengecualian saat mandi dalam amalan haji, karena hal itu tetap disunnahkan, walaupun bagi wanita haid dan nifas.

 

Kata (basyaroh) berarti kulit,yaitu bagian dhahir kulit manusia. Syarat keempat dari syarat sah wudhu adalah tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air ke anggota tubuh, seperti kotoran yang ada di bawah kuku, jika itu bukan berasal dari keringat. Termasuk pula salep, tetapi minyak yang berujud cair masih diperbolehkan, walaupun air terasa tidak mengalir di atas anggota tubuh tersebut. Termasuk yang harus dibersihkan pula dari anggota tubuh adalah debu yang terdapat di badan, jika tidak sulit menghilangkannya, namun bila sulit hingga telah menjadi seperti bagian dari tubuhnya … maka masih diperbolehkan.

 

Syarat kelima dari syarat sah wudhu adalah tidak ada sesuatu pada anggota tubuh yang dapat merubah sifat air dengan perubahan yang besar hingga sirna nama air tersebut, seperti tinta dan za’faron. Apabil perubahan itu sedikit dan tidak merubah nama airnya… maka masih diperbolehkan.

 

Syarat keenam dari syarat sah wudhu adalah orang yang berwudhu mengetahui bahwa wudhu itu wajib hukumnya. Sehingga, bila merasa ragu dalam kewajibannya atau meyakini bahwa wudhu itu sunnah … maka tidak sah wudhunya.

 

Syarat ketujuh dari syarat sah wudhu adalah tidak berkeyakinan bahwa salah satu fardhu wudhunya dianggap sunnah. Maka seseorang harus dapat membedakan mana yang fardhu dan mana yang sunnah, atau berkeyakinan bahwa semua yang dianjurkan dianggapnya fardhu, atau dianggap sebagian termasuk fardhu dan sebagian yang lain termasuk sunnah, dengan syarat tidak bermaksud pada fardhu tertentu dianggapnya sunnah. Tidak ada perbedaan dalam seluruh gambaran di atas antara orang yang mengetahuinya dan orang yang tidak mengetahui menurut Ibnu Hajar, tetapi Ramli berbeda pendapat dalam masalah terakhir, Seraya berucap : “Itu tidak sah kecuali bagi orang yang tidak mengetahui.”

 

Air suci dan mensucikan adalah air mutlak, yaitu air yang tidak terikat dengan ikatan yang kuat menurut orang yang mengetahui keadaannya dari ahlinya. Maka air mutlak itu adalah air yang tidak mempunyai ikatan atau ada ikatan, namun dapat terlepaskan, seperti air laut dan air sumur. Sedangkan air yang mempunyai ikatan kuat, seperti air semangka dan semacamnya, tidak dapat digunakan untuk berwudhu.

 

Syarat kedelapan dari syarat sah wudhu adalah air yang digunakan untuk berwudhu merupakan air yang suci dan mensucikan, namun tidak disyaratkan kesucian air itu secara yakin ketika adanya keraguan, cukup prasangka bahwa air itu suci dan menyucikan, sebagaimana diperbolehkan menyangka adanya najis ketika tidak ada keraguan.

 

Syarat kesembilan dan kesepuluh dari syarat sah wudhu yang khusus bagi orang yang selalu berhadats adalah adanya keyakinan atau sangkaan telah masuk waktu shalat dan terus-menerus ketika berwudhu dan antara wudhu dengan shalatnya.

 

Terdapat lima tambahan dari syarat wudhu dan mandi selain yang telah disebutkan, yaitu :

  1. Menghilangkan najis ainiyah, yaitu najis yang masih terdapat warna, bau dan rasanya. Namun tidak disyaratkan untuk menghilangkan najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak ada bau, warna dan rasanya. Cukup dibasuh sekali saja bersamaan dengan wudhu yang dilakukan untuk mengangkat hadats.

 

  1. Mengalirkan air ke seluruh anggota wudhu.

 

  1. Terangkatnya hadats secara yakin sesuai ketentuan wudhu. (Maka tidak sah wudhu sedangkan dirinya tidak yakin berhadats dan setelah itu timbul keyakinan bahwa dirinya telah berhadats sebelumnya).

 

  1. Menghadirkan niat wudhu terus-menerus dalam hati, artinya tidak berpaling kepada hal lain selain yang diniatkan.

 

5.Tidak mengaitkan niat dengan sesuatu apapun, maka jika seseorang menyebutkan : “Saya berniat wudhu, insya Allah.” dan tidak bermaksud untuk mendapatkan keberkahan dari lafadz tersebut, maka tidak sah wudhunya.

 

Kata (nawaaqidh) merupakan jama’ dari kata (naaqidh), yaitu menghilangkan sesuatu hingga pokoknya. Tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah sebab-sebab yang membatalkan wudhu dengan adanya salah satu di antaranya. Dan sekiranya kita kembalikan kepada makna dhahirnya, akan menunjukkan hilangnya wudhu hingga pokoknya, maka akan menyebabkan pula batalnya shalat yang dilakukan saat itu. Sebab-sebab yang membatalkan wudhu bila terdapat salah satu dari empat hal berikut.

 

Hal pertama yang termasuk membatalkan wudhu adalah : keluarnya sesuatu dari qubul seseorang atau duburnya, baik yang keluar itu sesuatu yang biasa, seperti air kencing, kotoran, cairan pada kemaluan wanita yang keluar hingga batasan yang wajib dibasuh saat mandi, atau sesuatu yang tidak biasa, seperti cacing, darah dan batu, kecuali air mani seseorang yang keluar pertama kali dan tidak bercampur dengan mani lainnya, maka tiu tidak membatalkan wudhu, namun wajib mandi.

 

Apabila salah satu dari dua jalan pembuangan itu tertutup sejak lahir . . . maka akan membatalkan dengan keluarnya sesuatu dari tempat manapun lubang dibuat, selain yang keluar dari rongga tubuh menurut Ramli, namun Ibnu Hajar menyatakan tetap membatalkan wudhu walaupun keluar dari rongga tubuh.

 

Apabila salah satu dari dua jalan pembuangan itu tertutup tidak sejak lahir … maka tidak membatalkan kecuali jika keluar dari lubang di bawah lambung. Dan bila terbuka suatu lubang sedangkan aslinya tetap terbuka… maka tidak membatalkan bila sesuatu keluar darinya dimana pun lubang itu terbuka.

 

Akal secara bahasa berarti pencegah, dan secara syari’at disebut watak atau tabiat, dan diartikan dengan suatu sifat tabiat untuk mengetahui berbagai hal pokok dengan adanya panca indera. Dan dikenal dengan nama akal, karena akal mencegah seseorang dari berbuat keji.

 

Tidur adalah melonggarnya urat saraf otak yang disebabkan oleh kelembaban uap yang naik dari lambung.

 

Sebab kedua dari hal-hal yang membatalkan wudhu adalah hilangnya akal secara yakin dengan tidur atau gila atau pingsan atau ayan atau mabuk atau semacamnya.

 

Gila adalah penyakit yang menghilangkan perasaan di hati, namun masih disertai adanya kekuatan dan kemampuan bergerak.

 

Pingsan adalah penyakit yang menghilangkan perasaan di hati dengan disertai lemasnya anggota tubuh.

 

Ayan adalah penyakit menyerupai gila, yang menyebabkan seseorang yang terkena ayan menjatuhkan kepalanya ke tanah.

 

Mabuk adalah suatu kekurangan di akal seseorang dengan disertai goyangan tubuh dan melantur dalam ucapannya.

 

Sekilas Info :

 

Tidur dan pingsan tidak membatalkan wudhu para nabi, karena hati mereka tidak tidur, dan pingsan hanya menyebabkan lemasnya anggota tubuh mereka yang dhahir. Dan mustahil mereka para nabi terkena hal-hal yang menyebabkan hilangnya akal mereka selain tidur dan pingsan.

 

Makna (tamkiin) adalah tidak ada celah antara dirinya dan tempat duduknya.

 

Terdapat pengecualian dari sebab hilangnya akal karena tidur yang membatalkan wudhu, yaitu bila hilang akal karena tidur yang tidak ada celah antara dirinya dan tempat duduknya, maka tidak termasuk membatalkan wudhu, walaupun duduk dengan cara ihtibaa’ (duduk

 

sambil mengikatkan kedua kaki dan punggungnya dengan kain atau semacamnya)

 

Benar, jika seorang yang ma’sum atau dapat dipercaya memberi tahu bahwa dirinya telah batal wudhunya saat tidur tersebut … maka dianggap batal wudhunya menurut Ibnu Hajar, namun menurut Ramli akan membatalkan jika pemberitahuan itu hanya dari orang ma’sum.

 

Telah disebutkan pada pembahasan lalu bahwa (basyaroh) adalah dhahir kulit manusia.

 

Makna (kabiiroon) disini adalah dua orang yang telah mencapai batasan syahwat menurut orang-orang yang sehat tabiatnya. Kriteria syahwat itu adalah menegangnya kemaluan bagi laki-laki dan tertariknya hati bagi seorang wanita. Makna (ajnabiyyaan) yaitu seseorang yang tidak ada hubungan mahram, nasab, susuan atau perkawinan dengan yang lain.

 

Sebab ketiga dari hal-hal yang membatalkan wudhu adalah tersentuhnya secara yakin dua kulit laki-laki dan wanita -yang tidak ada hubunga mahram antara keduanya dan telah mencapai batasan syahwattersentuh tanpa penghalang.

 

Tidak ada perbedaan antara yang menyentuh dan yang disentuh, artinya kedua-duanya batal wudhu bila bersentuhan, dan tetap dinyatakan membatalkan wudhu, walaupun tersentuh dengan anak yang belum mumayyiz, cacat mental, dipaksa dan orang mati -batalnya wudhu hanya bagi yang hidup saja, serta anggota tubuh yang lumpuh baik dari yang menyentuh atau yang disentuh.

 

Termasuk kulit dalam hal ini adalah gusi dan lidah, namun rambut, gigi dan kuku tidak termasuk kulit. Ibnu Hajar menambahkan bahwa termasuk kulit pula adalah bagian dalam mata dan tulang yang terlihat, namun Ramli tidak menyetujui dalam dua masalah ini.

 

Tidak membatalkan wudhu bila tersentuh bagian tubuh yang terpotong kecuali jika lebih dari separoh bagian tubuh menurut Ibnu Hajar, sedangkan menurut Ramli jika telah disebut sebagai bagian tubuh seseorang.

 

Jika seorang yang dipercaya memberi tahu bahwa dirinya telah tersentuh lawan jenis, maka hal itu membatalkan wudhu menurut Ibnu Hajar, namun menurut Ramli tidak membatalkan.

 

Yang dimaksud dengan telapak tangan dan telapak jari adalah bagian yang tertutup jika kedua telapak tangan saling dipertemukan dengan adanya tekanan sedikit. Maka tidak termasuk bagian ujung jari dan yang berada di antara keduanya, sisi pinggir jari dan pinggir telapaknya.

 

Sebab keempat dari hal-hal yang membatalkan wudhu adalah memegang bagian dari qubul manusia, atau lingkaran duburnya dengan menggunakan telapak tangan atau telapak jari.

 

Dalam hal ini, membatalkan bagi yang memegangnya saja, dan termasuk membatalkan adalah memegang potongan kemaluan jika masih tampak bentuknya dan memegang tempat yang terpotong, namun tidak membatalkan jika memegang bagian yang terpotong ketika dikhitan.

 

Sekilas info :

 

Dapat diketahui dari pembahasan sebelumnya bahwa terdapat delapan macam perbedaan antara memegang dan menyentuh, yaitu :

 

Pertama, membatalkan orang yang memegangnya saja dan tidak membatalkan orang yang dipegang, berbeda dengan masalah menyentuh, sesungguhnya membatalkan keduanya, baik yang menyentuh atau yang disentuh.

 

Kedua, tidak disyaratkan dalam masalah memegang adanya perbedaan jenis kelamin, laki-laki dan wanita, berbeda dengan masalah menyentuh.

 

Ketiga, memegang bisa terjadi pada satu orang, sedangkan menyentuh tidak akan terjadi kecuali antara dua orang.

 

Keempat, memegang tidak dapat membatalkan kecuali dengan telapak tangan, berbeda dengan menyentuh yang dapat membatalkan dengan bagian kulit mana saja.

 

Kelima, memegang tidak dikhususkan bagi orang yang tidak ada hubungan mahram, berbeda dengan masalah menyentuh.

 

Keenam, memegang kemaluan yang terpotong membatalkan wudhu jika tampak bentuknya, berbeda dengan menyentuh anggota tubuh yang terpotong.

 

Ketujuh, memegang hanya dikhususkan pada kemaluan, berbeda dengan masalah menyentuh.

 

Kedelapan, memegang tidak dikaitkan dengan telah mencapai batasan syahwat, berbeda dengan masalah menyentuh.

 

Maksud batalnya wudhu adalah tidak berwudhu, walaupun sebelumnya tidak didahului adanya wudhu.

 

Diharamkan bagi seorang yang tidak berwudhu melakukan salah satu dari empat hal.

 

Empat hal yang dilarang bagi orang yang tidak berwudhu adalah melakukan salah satu berikut ini, yaitu :

  1. Shalat, baik fardhu atau sunnah, atau shalat jenazah, jika orang itu tidak selalu berhadats atau tidak mendapati air dan debu.

 

  1. Thawaf mengelilingi Ka’bah.

 

  1. Memegang mushaf dan kulitnya yang tersambung dengannya, begitu pula kulitnya yang terlepas darinya namun masih dinisbahkan kepada mushaf, dan kantongnya atau kotaknya atau gantungannya dengan syarat Al Qur’an berada di dalamnya pada tiga masalah terakhir.

 

  1. Membawa mushaf. Apabila seseorang membawa mushaf dan barang lainnya -walaupun berupa jarum- maka jika bermaksud membawa barang saja atau bersama dengan mushaf . .. maka diperbolehkan, atau bermaksud membawa mushaf saja … maka diharamkan, atau mutlak (tidak ada niat apapun)… maka tidak diharamkan menurut Ramli, berbeda dengan Ibnu Hajar.

 

Termasuk masalah shalat adalah yang semacamnya, seperti sujud syukur dan tilawah serta khutbah jum’at, maka ketiganya haram dilakukan bagi orang yang berhadats kecil (tidak berwudhu).

 

Orang yang junub adalah orang yang telah melakukan hubungan intim atau telah keluar air mani yang mewajibkan mandi -diambil dari kata (janabah) yang secara bahasa berarti jauh, dan secara syari’at adalah perkara maknawi yang terdapat di badan dan mencegah sahnya shalat.

 

Diharamkan bagi seseorang yang junub melakukan salah satu dari enam perkara.

 

Enam perkara yang diharamkan bagi seseorang yang dalam keadaan junub adalah empat perkara seperti yang diharamkan bagi orang yang tidak berwudhu, dan dua hal tambahan, yaitu :

 

Pertama, berada di dalam masjid, jika ia sebagai seorang muslim dan mukallaf, bukan seorang nabi atau ada udzur, seperti terkunci pintu masjid atau takut bila keluar dari masjid, maka wajib baginya segera tayammum dengan debu yang tidak masuk wagaf masjid.

 

Kedua, membaca Al Qur’an jika bermaksud tilawah saja atau disertai niat lain, namun tidak diharamkan jika bermaksud yang lain saja atau mutlak (tidak ada niat apapun).

 

Diharamkan dengan sebab adanya haid melakukan sebelas macam. Dan hukum yang berlaku pada haid juga berlaku pada nifas dalam pengertian larangannya.

 

Thalaq secara bahasa berarti terlepasnya ikatan, dan secara syari’at adalah terlepasnya akad nikah dengan lafadz thalaq dan yang semacamnya. Kata (muruur) berarti lewat, yaitu masuk dari pintu yang satu dan keluar dari pintu yang lain.

 

Makna (istimtaa) adalah melihat dan memegang tanpa adanya penghalang dengan syahwat, itulah pendapat yang kuat.

 

Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dengan sebab adanya haid, enam di antaranya sebagaimana yang dilarang bagi junub dan terdapat empat hal tambahannya, yaitu

 

Pertama, puasa.

 

Kedua, lewat di masjid jika khawatir mengotorinya. Itulah delapan hal yang dilarang bagi wanita haid tersebut.

 

Ketiga, thalaq, maka diharamkan bagi suami menceraikan istri yang sedang haid, jika istrinya telah dikumpuli dan memungkinkan adanya kehamilan. Sedangkan perceraian itu bukan thalaq khulu’ yaitu thalaq dari permintaan istri dengan memberikan sesuatu kepada suaminya. Dan perceraian itu tidak terjadi saat istri sedang hamil.

 

Keempat, melakukan pendahuluan jima’ antara pusar dan lututnya dengan melihat atau memegang tanpa adanya penghalang dengan syahwat. Hal itu juga dilarang bagi suami.

 

Semua larangan tersebut berlaku hingga wanita tersebut mandi atau tayammum, kecuali puasa dan thalaq, maka diperbolehkan dengan berhentinya darah haid.

 

Termasuk larangan bagi wanita haid adalah bersuci dengan niat ibadah, itulah larangan yang kesebelas. Bersuci dengan niat ibadah diharamkan sebelum berhentinya darah haid dan dihalalkan setelah berhentinya darah haid, walaupun sebelum mandi.

 

Sebagaimana diharamkan menceraikan istri yang sedang haid, diharamkan pula menceraikan istri yang sedang suci dan telah dikumpuli di masa itu sehingga memungkinkan adanya kehamilan, atau menceraikan istri dimasa haid yang sebelum masa suci tersebut dan juga bukan permintaan dari istri dengan memberikan sesuatu kepada suaminya.

 

Sebab secara bahasa berarti sarana untuk mencapai sesuatu, dan secara istilah adalah sesuatu yang menunjukkan keberadaannya bila sebab itu ada, dan menunjukkan ketiadaannya bila sebab itu tidak ada.

 

Tayammum secara bahasa berarti bermaksud, dan secara syari’at adalah menyampaikan debu ke wajah dan kedua tangan dengan syaratsyarat tertentu.

 

Sebab-sebab yang membolehkan tayammum ada tiga hal, dan sebagian ulama menjadikannya tujuh sebab, ditulis dalam bait puisi berikut ini :

 

Artinya : “Tidak ada air, takut, adanya keperluan dan atw hilang sakit yang memberatkan, adanya perban, dan luka di tubuhnya.”

 

Sebagian ulama menjadikan sebab tayammum ada lima, yaitu: tidak adanya air, takut untuk mencarinya, tidak mengetahui keberadaan air dan lupa, adanya keperluan lain, khawatir ada hal-hal yang membahayakan jika menggunakan air. Seorang ulama berucap : “Perincian sebab yang demikian inilah yang lebih utama.”

 

Ketahuilah, bahwa sebab yang membolehkan tayammum secara hakikat adalah lemah menggunakan air, baik secara kenyataan atau secara syariat. Dan sebab-sebab yang lain muncul karena adanya kelemahan tersebut.

 

Makna (faqd) artinya tidak ada.

 

Sebab pertama dari sebab-sebab tayammum adalah tidak adanya air, maka seorang muhdits (orang yang tidak berwudhu) dan junub jika yakin air itu tidak ada, walaupun melalui pemberitaan dari orang yang dipercaya menurut Ramli, berbeda dengan Ibnu Hajar.

 

Apabila orang yang muhdits dan junub menyangka adanya air, atau ragu atau bimbang … maka wajib mencarinya setiap kali tayammum setelah masuk waktu shalat, dengan cara memeriksa di rumah-rumah, kafilah, jika memungkinkan adanya air pada mereka, dan membayarnya kepada mereka harga air, kemudian memandang sekitarnya dari empat arah, jika berada di dataran yang lurus, dan bila perlu hendaklah berkeliling mencarinya sejarak batas jeritan, yaitu 300 lengan (150 meter).

 

Apabila yakin adanya air, dan berada di jarak dekat, yaitu 1,5 mil, atau 9000 lengan (4,5km) … maka wajib mencarinya. Namun bila air berada lebih jauh dari itu, yang disebut dengan jarak jauh … maka tidak wajib mencarinya.

 

Ketahuilah, tidak wajib mencari air secara mutlak (dalam jarak berapapun) kecuali dengan syarat tidak membahayakan diri, anggota badan, harta dan barang tertentu (anjing pelajar), walaupun bukan miliknya, dan tidak terpisah dari rombongan, walaupun tidak menakutkan baginya, dan tidak keluar waktu shalat.

 

Benar, jika yakin air itu berada dalam jarak jeritan (150m) atau jarak dekat (4,5km) … tidak disyaratkan beberapa hal, yaitu tidak membahayakan barang tertentu (anjing pelajar), harta yang wajib dibayarkan sebagai ganti air untuk bersuci, baik sebagai harganya atau upahnya. Begitu pula tidak disyaratkan tidak keluar waktu shalat jika yakin air itu ada di jarak jeritan (150m). 

 

Sebab kedua dari sebab-sebab tayammum adalah sakit yang telah ada atau akan terjadi, maka seorang muhdits dan junub diperbolehkan tayammum, jika takut menggunakan air akan membahayakan diri atau manfaat anggota tubuh atau lama masa sakit atau tambah rasa sakit atau terjadinya sesuatu yang sangat buruk, seperti perubahan warna dari hitam menjadi putih misalnya atau sebaliknya, atau kulitnya menjadi lembek atau keras atau berlubang atau tumbuh daging.

 

Tetapi disyaratkan pada permasalahan di atas terjadi pada anggota tubuh yang tampak saat bekerja, seperti wajah dan kedua telapak tangan, atau tidak menjadi aib atau cela bila terlihat orang lain.

 

Semua kekhawatiran tersebut berdasarkan pengalaman dan pemberitahuan dari orang yang dipercaya. Apabila keduanya tidak ada dan bimbang terjadinya sesuatu … maka diperbolehkan tayammum namun shalatnya digadha menurut Ibnu Hajar, sedangkan Ramli menyatakan wajib menggunakan air.

 

Apabila khawatir menggunakan air pada sebagian tubuhnya … maka wajib membasuh bagian anggota tubuh yang sehat dan orang yang muhdits dapat bertayammum sebagai ganti dari bagian anggota tubuh yang sakit di waktu yang seharusnya bagian anggota tubuh tersebut dibasuh, sedangkan bagi orang yang junub dapat tayammum kapan saja.

 

Apabila pada bagian anggota tubuh yang sakit terdapat penutup seperti perban dan semacamnya … maka wajib dilepas pada tiga gambaran, yaitu :

 

  1. Memungkinkan membasuh bagian yang sakit dengan air.

 

  1. Tidak memungkinkan hal tersebut, namun perban itu menutupi sebagian yang sehat . . . maka wajib dilepas untuk membasuh bagian anggota tubuh yang sehat.

 

  1. Perban itu berada di anggota yang wajib diusap saat tayammum (wajah dan kedua tangan), dan memungkinkan mengusap bagian yang di bawah perbannya dengan debu.

 

Makna (memungkinkan) itu adalah tidak khawatir akan terjadinya hal-hal di atas. Bila orang tersebut mengkhawatirkannya. . . maka tidak wajib dilepas, namun bagian yang sehat dibasuh dan mengusap bagian atas perban dengan air, lalu bertayammum sebagai ganti bagian di bawah perban yang tidak terkena air dan debu.

 

Dan diwajibkan mengulang shalat pada tiga gambaran, yaitu :

 

Pertama, perban berada di anggota tayammum, baik perban itu diletakkan dalam keadaan bersuci atau tidak, menutupi bagian yang sehat atau tidak.

 

Kedua, perban berada di selain anggota tayammum dan menutupi bagian yang sehat melebihi dari yang dibutuhkan, baik diletakkan dalam keadaan suci atau tidak.

 

Ketiga, perban berada di selain anggota tayammum dan menutupi bagian yang sehat secukupnya, dan diletakkan dalam keadaan berhadats.

 

Apabila tidak menutupi bagian yang sehat sedikitpun, dan perban tidak berada di anggota tayammum … maka tidak wajib diulang shalatnya, baik diletakkan dalam keadaan suci atau tidak. Begitu pula, tidak wajib mengulangi shalatnya, bila perban berada di selain anggota tayammum dan menutupi bagian yang sehat secukupnya, namun diletakkan dalam keadaan suci.

 

Itulah dua gambaran yang tidak wajib mengulangi shalat, sehingga bila digabungkan dengan tiga gambaran sebelumnya . .. maka permasalahan perban menjadi lima gambaran, tiga di antaranya wajib diulangi shalatnya, sedangkan dua gambaran lainnya tidak wajib diulangi shalatnya.

 

Makna (muhtaram) adalah diharamkan membunuhnya.

 

Sebab ketiga diperbolehkan tayammum adalah air dibutuhkan untuk menghilangkan haus hewan yang diharamkan membunuhnya, yaitu dikhawatirkan bila haus akan menyebabkan sakit atau semacamnya sebagaimana yang telah dibahas, baik hewan itu manusia atau selainya, baik miliknya sendiri atau milik orang lain, baik yang dikhawatirkan itu terjadi sekarang atau akan datang, walaupun ia mengira akan adanya air di tempat tersebut.

 

Termasuk sebab tayammum bahwa air dibutuhkan untuk menghilangkan rasa haus adalah bila air itu dibutuhkan untuk dijual atau memasak atau membayar utang atau membasuh sesuatu yang terkena najis. Bila seseorang memakai air itu untuk bersuci sedangkan air itu dibutuhkan untuk hal-hal diatas… maka thaharahnya dianggap sah.

 

Pernyataan ini adalah jawaban dari pertanyaan yang mungkin muncul, yaitu dapat dipahami bila pembahasan sebelum ini dikaitkan dengan hewan yang tidak boleh dibunuh, maka tayammum tidak dapat dilakukan dengan sebab air itu diperlukan untuk minum hewan yang boleh dibunuh, bahkan hendaklah memakai air itu untuk bersuci walaupun akan menyebabkan kematian hewan tersebut. Apakah hewan yang boleh dibunuh?

 

Hewan pertama yang termasuk boleh dibunuh adalah orang yang meninggalkan shalat setelah adanya perintah pemimpin, yaitu orang yang mengakhirkan shalat hingga seluruh shalat dilakukan di luar waktu, karena malas atau menganggap remeh.

 

Orang yang semacam ini disunnahkan untuk diminta bertaubat dan bila orang itu tidak mau bertaubat maka dibunuh sebagaimana hukum syariat mengaturnya. Hukum orang ini bila telah mati tetap dihukumi sebagai seorang muslim.

 

Apabila orang itu meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya … maka termasuk murtad, dan akan dibahas hukumnya.

 

Kedua, zaani muhshon, yaitu orang yang berakal, baligh, merdeka dan telah melakukan hubungan intim ketika baligh dan berakal dalam suatu pernikahan yang sah lalu berbuat zina. Hukumannya adalah dirajam hingga mati, dan wanita hukumnya seperti laki-laki.

 

Ketiga, murtad, yaitu setiap orang yang dianggap sah ucapan thalaqnya, yaitu mukallaf dan tanpa paksaan, memutuskan Islam dengan niat atau ucapan atau perbuatan yang menunjukkan kekufuran. Wajib diminta untuk bertaubat, sehingga bila bertaubat dengan kembali ke agama Islam akan dibiarkan namun bila enggan bertaubat . .. maka hukumnya seperti hukum kaum musyrikin.

 

Keempat, kafir harbiy, yaitu orang kafir yang tidak ada perjanjian damai dengan kaum muslimin. Berbeda dengan kafir dzimmiy, mu aahad dan mu-amman.

 

Kelima, anjing liar, walaupun ada manfaatnya, berbeda dengan anjing yang ada manfaatnya dan bukan liar… maka haram dibunuh. Apabila terdapat anjing yang tidak ada manfaat dan tidak ada pula madharratnya, maka Syaikhul Islam berkata : “Hewan itu adalah hewan yang boleh dibunuh.” Namun Ramli berbeda pendapat tentang hal tersebut.

 

Keenam, babi, walaupun bukan termasuk yang liar.

 

Maksud syarat disini adalah sesuatu yang harus dilakukan, karena sebagian yang disebut termasuk rukun.

 

Sesuatu yang harus dilakukan pada tayammum ada sepuluh macam. Sebagian yang belum disebutkan adalah tidak adanya air, baik secara kenyataan atau secara syari’at, tidak ada tujuan bermaksiat dalam perjalanan yang dilakukan, bila air dianggap secara syari’at tidak ada.

 

Syarat pertama tayammum adalah tayammum dilakukan dengan menggunakan debu, baik dalam warna apapun, walau terbakar dan tampak debunya atau tercampur cuka kering misalnya, walaupun berubah rasa, warna atau baunya. Diperbolehkan menggunakan tanah yang berdebu atau semacamnya yang tercampur tanah hingga yang dapat dijadikan sebagai obat, dan dapat pula dipakai tanah yang berdebu dalam bentuk kasar.

 

Namun tidak dapat digunakan untuk tayammum batu yang dihancurkan, debu kayu dan sesuatu dari debu yang tidak dapat menempel di anggota tubuh, karena sifat debu yang sangat halus. Benar, tayammum dianggap sah bagi seseorang yang di anggota tubuhnya terdapat kelembaban yang bersifat basah, seperti seseorang yang selalu keluar air mata atau keluar keringat.

 

Syarat kedua tayammum adalah debu yang digunakan untuk tayammum dalam keadaan suci. Tidak sah menggunakan debu yang ada di kuburan yang biasa digali dan diisi kembali, karena telah bercampur dengan jasad mayit. Tidak sah pula menggunakan debu yang terkena najis, seperti air kencing, walaupun telah kering.

 

Syarat ketiga tayammum adalah debu yang digunakan untuk tayammum bukan musta’mal, yaitu telah digunakan mengangkat hadats, baik yang ada di anggota tubuhnya atau terjatuh darinya, atau telah digunakan untuk menghilangkan najis, seperti debu musta’mal dari najis mughalladhoh.

 

Syarat keempat tayammum adalah debu yang digunakan untuk tayammum merupakan debu yang murni, tidak bercampur dengan tepung, cat atau semacamnya, walaupun sedikit.

 

Syarat kelima tayammum adalah bermaksud mengambil debu untuk tayammum, walaupun dilakukan orang lain dengan izinnya, walaupun orang itu anak kecil atau kafir atau wanita haid menurut Ramli, namun Ibnu Hajar tidak menyetujuinya. Dan harus ada niat dari orang yang memberi izin.

 

Syarat keenam dari tayammum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan dua kali pemindahan debu, tidak boleh kurang dari itu. Dimakruhkan lebih dari dua kali jika debu telah menyeluruh dengan dua kali tersebut pada bagian yang seharusnya diusap. Jika belum menyeluruh … maka wajib ditambah pengambilan debunya.

 

Syarat ketujuh dari tayammum adalah menghilangkan najis yang tidak dimaafkan dan terdapat di badan. Hal itu dilakukan sebelum tayammum jika memungkinkan. Namun jika tidak mungkin dilakukan . . . maka sah tayammumnya dengan adanya najis menurut Ibnu Hajar, namun menurut Ramli shalat dilakukan tanpa berwudhu dan tayammum. Dan wajib diqadha’ shalatnya menurut dua pendapat tersebut.

 

Syarat kedelapan dari tayammum adalah berusaha dengan berijtihad mencari arah kiblat sebelum tayammum jika tidak diketahui arahnya. Maka tidak sah tayammum sebelum ijtihad mencari kiblat, ini menurut Ibnu Hajar, sedangkan Ramli menyatakan bahwa hal ini tidak termasuk syarat tayammum.

 

Syarat kesembilan dari tayammum adalah dilakukannya tayammum setelah yakin atau menyangka telah masuk waktu shalat yang ingin dilakukan dengan tayammum tersebut.

 

Waktu shalat kedua pada jama’ tagdim akan masuk bila telah dikerjakan shalat pertama, sehingga tayammum dilakukan setelah shalat pertama, bukan sebelumnya. Sehingga bila telah masuk waktu yang kedua sebelum shalat kedua ini dikerjakan maka tayammumnya batal. Sedangkan tayammum untuk melakukan shalat qadha’ ketika ia mengingatnya, dan tidak sah tayammum yang akan digunakan untuk shalat nadzar yang berkaitan dengan waktu kecuali setelah masuk waktunya.

 

Tayammum untuk shalat jenazah dilakukan setelah mayit itu dimandikan, namun makruh bila belum dikafani, sedangkan untuk shalat sunnah yang punya batas waktu tayammum dilakukan setelah masuk waktunya, dan untuk shalat sunnah yang punya sebab maka tayammum dilakukan setelah masuk waktu yang diperbolehkannya. Maka tayammum untuk tahiyyatul masjid dilakukan setelah masuk masjid, dan untuk shalat istisqa’ atau gerhana dilakukan setelah terkumpulnya orang-orang jika ingin shalat bersama mereka… dan jika tidak . . . maka tayammum dilakukan setelah terputusnya hujan pada shalat istisqa’ dan ketika awal perubahan bentuk matahari atau bulan pada shalat gerhana. Sedangkan untuk shalat sunnah mutlak, maka tayammum dilakukan kapan saja kecuali di waktu yang dilarang atau sebelum waktu tersebut, namun berniat melakukan shalat di waktu yang dilarang.

 

Yang dimaksud fardhu di sini adalah fardhu ‘ain, baik shalat lima waktu atau yang dinadzarkan, baik shalat atau lainnya, seperti thawaf .fardhu, baik yang qadha’ atau bukan. Syarat kesepuluh tayammum adalah hendaknya tayammum dilakukan setiap kali fardhu “ain, maka tidak dapat digabungkan dua shalat fardhu dengan satu kali tayammum, begitu pula antara dua thawaf fardhu dan antara shalat fardhu dengan thawaf fardhu, semua itu tidak dapat digabungkan dengan satu kali tayammum.

 

Tidak termasuk fardhu ‘ain adalah fardhu kifayah dan sunnah, maka diperbolehkan dengan satu kali tayammum untuk melakukan berapapun banyaknya fardhu kifayah dan sunnah dengan disertai fardhu ‘ain.

 

Benar, terdapat pengecualian, yaitu khutbah jum’at, hukumnya fardhu kifayah, namun termasuk fardhu “ain dalam masalah ini. Ibnu Hajar membolehkan tayammum dengan niat untuk khutbah jum’at digunakan untuk shalat jum’at, namun hal itu dibantah Ramli.

 

Termasuk pengecualiaan dari fardhu ‘ain adalah tayammum sebagai ganti mandi wajib bagi seorang wanita agar dapat melakukan hubungan intim dengan suaminya. Itu hukumnya adalah fardhu, namun dalam hal ini digolongkan sunnah.

 

Fardhu-fardhu tayammum atau rukun-rukunnya yang merupakan bagian dari hakikat tayammum ada lima hal.

 

Makna (nagl) adalah memindahkan. Fardhu tayammum yang pertama adalah memindahkan debu dari tanah atau semacamnya menuju anggota tubuh yang akan diusap.

 

Fardhu tayammum yang kedua adalah niat agar diperbolehkan segala sesuatu yang membutuhkan tayammum, seperti shalat dan memegang mushaf.

 

Apabila seseorang berniat agar diperbolehkan melakukan shalat fardhu . . . maka diperbolehkan dengan tayammum tersebut untuk melakukan shalat fardhu, sunnah dan lainnya, seperti memegang mushaf atau semacamnya. Contoh niatnya adalah :

 

Artinya : “Saya berniat tayammum agar diperbolehkan shalat fardhu.”

 

Apabila berniat agar diperbolehkan melakukan shalat atau thawaf atau shalat jenazah. . .maka diperbolehkan dengan tayammum tersebut segala sesuatu selain shalat fardhu ‘ain, kecuali khutbah jum’at tidak dapat dilakukan pula dengan tayammum tersebut menurut Ramli, namun berbeda menurut Ibnu Hajar. Contoh niatnya adalah :

 

Artinya : “Saya berniat tayammum agar diperbolehkan shalat.”

 

Apabila berniat agar diperbolehkan melakukan memegang mushaf atau semacamnya … maka diperbolehkan dengan tayammum tersebut melakukan segala sesuatu selain shalat dan thawaf. Contoh niatnya adalah :

 

Artinya : “Saya berniat tayammum agar diperbolehkan memegang mushaf”

 

Apabila seseorang berucap dalam niatnya : “Saya berniat agar diperbolehkan segala sesuatu yang membutuhkan tayammum. . .maka dijadikan niatnya itu menuju tingkat yang paling rendah.

 

Diharuskan membarengkan niat sejak memindahkan debu dan terus dihadirkan hingga mengusap sebagian dari wajahnya. Bila niat itu hilang sebelum mengusap wajahnya maka dinyatakan batal, namun bila dihadirkan kembali niatnya saat itu pula maka dianggap cukup menurut Ramli, berbeda dengan Ibnu Hajar. Cukup bagi seseorang memperbarui niatnya jika berhadats setelah memindahkan debu dan sebelum mengusap wajah.

 

Fardhu tayammum yang ketiga adalah mengusap wajah. Kita telah membahas batasan wajah pada bab wudhu, namun tidak wajib menyampaikan debu ke tempat tumbuhnya rambut, walaupun tipis rambutnya, bahkan hal itu tidak disunnahkan.

 

Fardhu tayammum yang keempat adalah mengusap kedua tangan hingga siku-siku. Dan menurut pendapat madzhab Syafi’i yang lalu, mengusap tangan itu hingga kedua telapak tangan saja, dan itulah pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi rhm.

 

Cara mengusap kedua tangan : jari-jari tangan kiri selain ibu jari diletakkan di punggun jari tangan kanan selain ibu jarinya pula, sehingga ujung jari tangan kanan tidak melebihi jari telunjuk tangan kirinya, lalu jari-jari tangan kiri itu diusapkan pada tangan kanannya hingga sampai di telapak tangan kanan .. . maka ujung jari tangan kiri digenggamkan pada ujung lengan kanannya, dan terus diusapkan hingga menuju siku-siku. Kemudian diputar telapak tangan kirinya menghadap bagian batin lengannya, dan diusap hingga mencapai telapak tangan kiri dengan ibu jari tetap terangkat. Setelah itu ibu jari kiri mengusap ibu jari kanan.

 

Kemudian, dilakukan semacam itu terhadap tangan kirinya, dan sunnah mengusap salah satu telapak tangan dengan telapak tangan yang lain, karena fardhu kedua telapak tangannya telah diusap saat mengambil debu setelah mengusap wajah.

 

Fardhu tayammum yang kelima adalah tertib antara mengusap wajah dan mengusap kedua tangan, baik untuk mengangkat hadats kecil atau hadats besar. Jika tidak tertib, yaitu mengusap kedua tangan lalu mengusap wajah… maka yang sah hanya mengusap wajah saja. Tidak diwajibkan tertib dalam pengambilan debunya, tetapi disunnahkan. Maksudnya adalah pengambilan debu yang pertama untuk mengusap wajah dan yang kedua untuk mengusap kedua tangan.

 

Pengarang tidak berbicara tentang sunnah-sunnah tayammum, dan itu banyak sekali, diantaranya adalah :

 

Bersiwak, itu dilakukan sebelum mengambil debu, membaca basmalah, mendahulukan bagian yang kanan, terus menerus dalam melakukan tayammum, maka bagian tubuh yang diusap diperkiran sebagai bagian yang dibasuh, mengurangi debu yang ada di kedua telapak tangannya, merenggangkan jari-jari ketika mengambil debu, menghadap kiblat, dan segala sesuatu yang termasuk sunnah wudhu dan memungkinkan dilakukan saat tayammum, maka itu termasuk sunnah tayammum, kecuali melakukan usapan hingga tiga kali.

 

Pengarang menulis dengan kata (mubthilaat) bukan dengan kata (nawaagidh) karena mencontoh pengikut Syafi’i yang menulis dengan kata tersebut.

 

Segala sesuatu yang membatalkan tayammum adalah bila terdapat salah satu dari tiga hal berikut, namun kamu akan mengetahui dari apa yang akan kami sebutkan bahwa yang membatalkan tayammum lebih dari itu.

 

Hal pertama yang termasuk membatalkan tayammum adalah bila terdapat sesuatu yang membatalkan wudhu. Ini berlaku bila tayammum dilakukan untuk mengangkat hadats kecil. Apabila seseorang melakukan tayammum untuk mengangkat hadats besar . . . maka tayammumnya tidak batal bila terdapat hal-hal yang membatalkan wudhu. Dalam keadaan semacam ini, diharamkan baginya segala hal yang diharamkan bagi orang yang terkena hadats kecil saja, karena dianggap membatalkan terhadap hadats kecilnya, sedangkan terhadap hadats besarnya dianggap tidak membatalkan.

 

Makna murtad dalam hal ini adalah memutuskan Islam, baik secara hakikat maupun hukumnya.

 

Hal kedua yang termasuk membatalkan tayammum adalah memutuskan Islam secara hakikat, yaitu muncul dari seseorang yang dianggap sah ucapan thalaqnya, atay secara hukum, yaitu muncul dari seorang anak kecil yang belum baligh.

 

Murtad termasuk membatalkan tayammum, namun .tidak membatalkan wudhu, karena tayammum merupakan thaharah yang lemah, hanya sekedar meminta izin untuk diperbolehkan ibadah, dan hal itu tidak dapat dilakukan bila disertai dengan murtad. Berbeda dengan wudhu yang merupakan thaharah yang kuat.

 

Makna (tawahhum) pada dasarnya adalah sangkaan, tetapi yang dimaksud disini adalah termasuk ragu.

 

Hal ketiga yang membatalkan tayammum adalah munculnya sangkaan atau keraguan adanya air -bagi orang yang bertayammum karena tidak adanya air-, seperti melihat fatamorgana atau awan mendung. Dan termasuk sangkaan atau keraguan adalah bila yakin mengetahui adanya air.

 

Hal ini berlaku bila tidak terdapat penghalang, baik sebelum atau bersamaan, seperti binatang buas, dahaga atau terdengar ucapan yang mengatakan, “Saya mempunyai untuk seseorang air.” Tetapi bila penghalang itu bersifat belakangan, seperti terdengar ucapan, “Saya mempunyai air untuk seseorang.” Maka hal ini tetap membatalkan.

 

Pembahasan di atas, semuanya itu bila muncul sangkaan atau keraguan di luar shalat, namun bila sedang berada di dalam shalat .. . maka sangkaan atau keraguan tidak membatalkan shalat. Sedangkan bila yakin adanya air, maka terdapat perincian dalam masalah ini, yaitu jika shalat tersebut masih perlu diqadha’, seperti berada di tempat yang biasanya ada air… maka shalatnya batal. Dan jika shalat tersebut tidak perlu diqadha’, seperti berada di tempat yang tidak biasa ada air atau keadaan sama… maka tidak batal tayammumnya, tetapi disunnahkan memutuskan shalat, jika waktu masih ada agar shalat dapat dikerjakan dengan berwudhu.

 

Maksud tempat -yang dikatakan jarang atau biasa tidak ada air atau keadaan samaadalah tempat melakukan tayammum menurut Ibnu Hajar, sedangkan menurut Ramli adalah tempat shalat.

 

Temasuk yang membatalkan tayammum adalah kemampuan membayar harga air tanpa adanya penghalang seperti hutang, dan hilangnya sebab yang membolehkan tayammum -walaupun sedang melakukan shalat yang tidak perlu diqadha’bukan hanya sekedar sangkaan hilangnya sebab tersebut.

 

Sesuatu yang berubah menjadi suci dari dzat najis melalui cara istihaalah -yaitu perubahan sesuatu dari satu sifat menuju sifat yang lain tanpa mengurangi dzatnyaada tiga macam, dan pada bagian yang ketiga masih perlu dipertimbangkan selanjutnya.

 

Termasuk sesuatu yang berubah sifatnya adalah darah, karena ia berubah menjadi susu, misk (minyak wangi kasturi) dan mani, sehingga menjadi suci. Dan akan dijelaskan makna najis pada pasal yang berikutnya.

 

Kharmr secara bahasa adalah sesuatu yang diambil dari jus anggur, dinamakan semacam itu karena menutup akal sehatnya. Secara syari’at adalah segala sesuatu yang memabukkan, walaupun berasal dari madu atau kurma, dan tidak disebut sebagai khamr kecuali dalam bentuk cair.

 

Hal pertama dari tiga macam dzat najis yang berubah menjadi suci adalah khamr jika berubah menjadi cuka dengan sendirinya, artinya tidak ada benda lain yang mencampurinya.

 

Apabila dicampuri dengan benda lain… maka bisa saja berupa benda najis atau suci. Apabila campuran itu berupa benda najis maka khamr yang berubah menjadi cuka dinyatakan tetap najis, walaupun benda najis itu diangkat sebelum menjadi cuka dan tidak ada yang terlepas sedikitpun.

 

Apabila campuran itu berupa benda suci dan diangkat sebelum menjadi cuka serta tidak ada yang terlepas sedikitpun … maka khamr yang menjadi cuka dinyatakan menjadi suci, namun bila diangkat setelah menjadi cuka atau diangkat sebelumnya dan terlepas sedikit darinya … maka cuka itu dinyatakan tetap najis.

 

Ibnu Hajar mengatakan dimaafkan adanya biji dan tangkai anggur, biji kurma dan kulitnya, namun Ramli dan al-Khathib berbeda pendapat mengikuti Syaikhul Islam.

 

Wadah dan penutupnya menjadi suci pula bersama dengan khamr. Dan tidak ada perbedaan mengenai hukum tersebut antara khamr yang boleh dibuang atau tidak.

 

Khamr yang tidak boleh dibuang adalah khamr yang diperas dengan maksud menjadi cuka atau tanpa maksud apapun. Sedangkan khamr yang boleh dibuang adalah khamr yang diperas oleh seorang muslim dengan maksud menjadi khamr, maka wajib dibuang sebelum menjadi cuka. Hukum akan berubah sesuai perubahan maksud setelah pemerasan. Apabila diperas oleh seorang kafir . . . maka termasuk khamr yang tidak boleh dibuang pula.

 

Bangkai adalah hewan yang mati tidak disembelih secara syari’at.

 

Samak adalah menghilangkan sisa yang ada di kulit, baik lemak atau bulunya dengan sesuatu yang pedas, walaupun najis. Pedas adalah sesuatu yang membakar seseorang dengan sifat pedasnya, seperti daun akasia.

 

Hal kedua dari tiga macam najis yang berubah menjadi suci adalah kulit bangkai jika disamak akan menjadi suci, baik dhahir ataupun batinnya.

 

Ibnu Hajar menyatakan makna dhahir kulit adalah bagian yang berada di hadapan seorang penyamak, sedangkan makna batin adalah bagian yang tidak dihadapi oleh penyamak dari salah satu sisinya atau yang berada di antara keduanya.

 

Ramli menyatakan makna dhahir adalah bagian yang tampak dari dua sisi, sedangkan makna batin adalah bagian yang tidak tampak.

 

Bulu yang berada di atas kulit tidak menjadi suci dengan disamak, kecuali sedikit, maka dianggap suci mengikuti kulitnya menurut Ibnu Hajar, sedangkan Ramli mengatakan tidak menjadi suci secara mutlak, namun dimaafkan jika tersisa sedikit.

 

Kemudian, kulit yang menjadi suci dengan disamak adalah kulit yang menjadi najis karena kematiannya, sehingga ketika hewan itu hidup kulitnya suci. Jika di masa hidupnya sudah dihukumi najis, seperti kulit anjing dan babi, serta keturunan keduanya atau salah satu di antaranya … maka tidak menjadi suci dengan disamak.

 

Hukum kulit bangkai setelah disamak seperti hukum baju yang terkena najis mutawashithoh, sehingga dapat disucikan dengan cara dibasuh seperti baju tersebut, namun tidak berpengaruh bekas samak setelah kulit itu dibasuh.

 

Hal ketiga dari tiga macam najis yang dapat berubah menjadi suci adalah najis yang berubah menjadi hewan, seperti bangkai jika telah menjadi cacing.

 

Sebagian ulama mempertimbangkan macam ketiga ini, dengan kemungkinan hewan tersebut tercipta di tempat bangkai bukan dari bangkai itu. Sebagian berucap : “Maka tidak layak hal itu diambil sebagai contoh dari pembahasan najis yang berubah menjadi suci.”

 

Najis secara bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan, dan secara syari at adalah segala sesuatu yang menjijikkan dan mencegah sahnya shalat, dimana tidak ada keadaan yang membolehkannya.

 

Sehingga, bilaada keadaan yang membolehkannyasseperti seseorang yang tidak mendapati air dan debu, sedangkan dirinya terkena najis, maka diperbolehkan baginya shalat untuk menghormati waktu dan harus diulang shalatnya. Begitu pula seseorang yang istinja’ dengan batu, sesungguhnya diperbolehkan shalat berjamaah dengan imam yang semacam itu, sedangkan bekas istinja’ masih dihukumi najis, namun dimaafkan.

 

Najis jika dipandang dari sisi hukumnya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :

 

* Mugalladhoh, dinamakan seperti itu karena berat hukumnya.

* Mukhaffafah, dinamakan seperti itu karena ringan hukumnya.

* Mutawashithoh, dinamakan seperti itu karena hukumnya berada di tengah-tengah antara mugalladhoh dan mukhaffafah.

 

Najis mugalladhoh adalah bagian pertama dari bagian-bagian najis, yaitu najisnya anjing dan babi, dan keturunan dari keduanya atau dari salah satu diantaranya dengan hewan yang suci.

 

Apabila anjing atau babi atau keturunan keduanya atau sesuatu dari kotoran salah satunya atau tersentuh apapun, sedangkan terdapat basah di salah satu pihak pada seluruh gambaran di atas .. . maka dinyatakan telah terkena najis mugalladhoh. Begitu pula bila ada sesuatu yang telah terkena najis mugalladhoh lalu tersentuh sesuatu yang lain .. . maka ketentuannya seperti yang sebelumnya. Hukum menyucikannya akan dijelaskan pada pembahasan berikut.

 

Najis mukhaffafah adalah bagian kedua dari bagian-bagian najis, yaitu air kencing bayi laki-laki yang tidak makan makanan pokok kecuali ASI dan belum mencapai dua tahun sempurna, sebagian ulama menyatakan secara perkiraan.

 

Maka sesuatu yang bukan termasuk ketentuan di atas termasuk najis mutawashithoh, seperti buang air besar bayi laki-laki, air kencing bayi perempuan, air kencing bayi laki-laki yang telah makan makanan pokok selain ASI, kecuali sesuatu yang dimakan untuk berobat, maka air kencingnya tetap dinyatakan najis mukhaffafah, atau bayi yang telah mencapai usia dua tahun, maka air kencingnya termasuk najis mutawashithoh. Begitu pula, bila seseorang ragu apakah bayinya telah mencapai dua tahun atau belum? Maka air kencingnya termasuk mutawashithoh, namun berbeda menurut Syubromullasiy yang mengatakan termasuk mukhaffafah.

 

Apabila satu tetes air kencing yang terpenuhi syarat-syarat najis mukhaffafah mengenai air sedikit, baik berubah sifatnya atau tidak, atau mengenai air banyak dan berubah sifatnya, lalu terkena sesuatu . .. maka berarti telah terkena najis mutawashithoh.

 

Najis mutawashithoh adalah bagian ketiga dari bagian-bagian najis, yaitu sisa najis yang lain -selain najis mugalladhoh dan mukhaffafah, seperti khamr, darah, nanah, bangkai selain bangkai manusia, ikan dan belalang, air kencing selain air kencing bayi laki-laki sebagaimana yang lalu, air madzi, wadi, kotoran manusia dan hewan, air susu dari hewan yang tidak boleh dimakan selain manusia.

 

Bagian tubuh dari hewan yang hidup hukumnya sesuai hukum bangkainya, baik suci atau najis, kecuali rambut hewan yang hidup dan boleh dimakan dan bulunya … maka itu termasuk suci, walaupun bangkainya najis.

 

Hukum najis mugalladhoh adalah sesuatu yang terkena najis tersebut dapat disucikan dengan tujuh kali basuhan, tidak kurang dari jitu, setelah dihilangkan dzat najisnya dan sifat-sifatnya, salah satu basuhan itu dicampur dengan debu yang terpenuhi syaratnya untuk tayammum.

 

Benar, cukup disini tanah yang lembab. Apabila dzat najis atau sifatnya tidak hilang kecuali pada basuhan keenam misalnya … maka dihitung sebagai basuhan pertama. Apa yang tersisa dari warna atau bau yang susah dihilangkan tidak berpengaruh.

 

Adanya syarat harus dicampur dengan debu bila yang terkena najis mugalladhoh itu bukan debunya, namun bila debu yang terkena najis . . . maka tidak disyaratkan pemakaian debu dalam salah satu basuhannya. Apabila yang terkena najis tersebut debu dan lainnya … maka wajib memakai campuran debu.

 

Afdhalnya, cara memakai debu dalam satu basuhan adalah debu dicampur air sebelum diletakkan pada tempat najis, dan diperbolehkan untuk meletakkan debu di tempat najis lalu diguyurkan air di atasnya atau sebaliknya.

 

Afdhalnya pula jadikan debu itu pada basuhan pertama selama tidak ada dzat dan sifat najisnya, lalu jadikan pada basuhan yang sebelum terakhir. Tidak dihitung basuhan dengan campuran debu kecuali setelah dihilangkan dzat najisnya, baik dzat tersebut akan hilang bersama aliran air yang bercampur debu atau tidak. Begitu pula tidak dihitung basuhan tersebut sebelum dihilangkan sifat najisnya, kecuali sifat tersebut akan hilang bersama aliran air yang bercampur debu.

 

Hukum najis mukhaffafah adalah cukup dalam menyucikan sesuatu yang terkena najis tersebut dengan dipercikkan air hingga menyeluruh.

 

Namun, tidak cukup hal tersebut kecuali tidak ada dzat atau sifat najis yang tidak dapat hilang dengan percikan tersebut, seperti terdapat dalam kitab “Tuhfah” dan “Nihayah”. Sedangkan dalam kitab “Fath” dan “Syarhul “Ubab” tidak disyaratkan hilangnya sifat najis.

 

lMakna (‘ainiyyah) adalah sesuatu yang dapat dipegang atau dilihat atau dirasa atau dibau. Makna (hukmiyyah) adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui sifat-sifatnya, sehingga tidak ada warna, bau dan rasanya, seperti yang telah disebutkan.

 

Hukum najis mutawashithoh berbeda sesuai pembagiannya, yaitu “ainiyyah dan hukmiyyah. Sesuatu yang terkena najis “ainiyyah tidak dapat disucikan kecuali jika hilang rasa, warna dan baunya. Bila sulit menghilangkan warna saja atau bau saja, yaitu tidak hilang setelah dibasuh tiga kali dengan digosok dan dikerik pada setiap kali basuhan, diberi pula semacam sabun … dan tidak dapat dihilangkan berdasarkan ucapan orang yang berpengalaman, dan hanya didapati penghilang sifat najis itu dalam jarak jeritan (150m) atau jarak dekat (4,5km) sesuai perincian yang lalu dalam pembahasan tayammum … maka sisa warna atau bau tersebut masih diperbolehkan. Dan bila sulit didapat penghilang sifat najis itu… maka tempat tersebut dianggap suci menurut pendapat yang kuat.

 

Masih adanya rasa dari sifat najis tersebut tidak diperbolehkan. Begitu pula bila masih ada warna dan bau secara bersamaan di tempat yang sama dan najis yang satu. Namun bila sifat tersebut sulit dihilangkan hingga harus dipotong … maka dimaafkan najis tersebut selama sulit dihilangkan. Dan bila telah mampu … maka wajib dihilangkan, akan tetapi tidak wajib mengulangi shalat yang dilakukan dengan najis tersebut.

 

Apabila terdapat sisa bau sabun setelah najis dihilangkan … maka menurut Thablawi diperbolehkan dan dianggap suci, namun Ramli berpendapat : “Tidak dianggap suci hingga basuhannya tidak tercium bau.”

 

Sesuatu yang terkena najis hukmiyyah cukup menyucikannya dengan mengalirkan air di atasnya sekali saja. Termasuk hukmiyyah dalam cara membersihkannya adalah najis ‘ainiyyah yang tidak tersisa kecuali bekasnya saja dan hilang dengan dialirkan air di atasnya. Dan telah dibahas hukum aliran air pada tempat najis pada bab air.

 

Paling sedikit masa haid adalah selama satu hari satu malam yaitu 24 jam, keluar darah terus-menerus. Hal itu didapat melaly pendataan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i ra, begitu pula tentang batasan paling banyak dan biasanya masa haid. Makna haid telah dibahas pada bab “tanda-tanda baligh”.

 

Biasanya masa haid itu selama enam hari atau tujuh hari beserta malamnya, baik darah itu keluar secara terus-menerus atau tidak, dengan syarat keseluruhannya tidak kurang dari 24 jam. Bila kurang dari 24 jam maka darah yang keluar dianggap istihadhoh. Masa bersih yang terjadi antara dua darah haid dihukumi haid pula.

 

Paling banyak masa haid itu adalah 15 hari dan 15 malam, baik darah itu keluar terus-menerus atau tidak, dengan syarat keseluruhan darah yang keluar tidak kurang dari 24 jam. Apabila lebih dari 15 hari maka lebih dari itu dianggap istihadhoh, sebagaimana jika keseluruhan darah yang keluar kurang dari 24 jam dihukumi isthadhoh pula.

 

Ketahuilah, waktu pertama kali seorang wanita haid jika telah berumur sembilan tahun hijriyah secara perkiraan, maka tidak berpengaruh jika kurang dari waktu yang cukup untuk masa haid dan masa suci (kurang dari 16 hari). Biasanya seorang wanita mengalami haid jika telah berumur 20 tahun dan tidak ada masa akhirnya. Apabil seorang wanita yang berumur kurang dari sembilan tahun secara perkiraan keluar darahnya maka dianggap istihadhoh.

 

Hukum istihadhoh adalah tidak mencegahnya untuk melakukan shalat, puasa dan sebagainya yang dilarang bagi wanita haid. Hendaklah wanita istihadhoh membasuh kemaluannya dan ditutup dengan pembalut, lalu berwudhu setelah masuk waktu shalat dan segera mengerjakan shalat. Apabila diundur pelaksanaannya tanpa ada maslahat shalat. . .maka seluruh perbuatan tersebut harus diulang. Dan wajib memperbarui segala hal yang telah disebutkan di atas dari membasuh kemaluan dan selanjutnya di setiap kali shalat fardhu, sebagaimana wajib pula berwudhu setiap kali shalat fardhu bagi wanita istihadhoh.

 

Paling sedikit masa suci yang merupakan pemisah antara dua masa haid adalah 15 hari 15 malam. Namun pemisah antara haid dan nifas dapat terjadi kurang dari itu, bahkan terkadang tidak ada masa suci di antara keduanya, seperti bila tersambung masa kelahirannya dengan akhir masa haidnya, tanpa adanya masa suci, karena menurut pendapat yang kuat bahwa seorang wanita hamil dapat pula mengalami masa haid.

 

Biasanya masa suci adalah sisa hari dalam satu bulan setelah dikurangi biasanya masa haid, sehingga jika masa haid enam hari… maka masa sucinya 24 hari, dan jika masa haidnya tujuh hari… maka masa sucinya 23 hari.

 

Paling banyak masa suci tida ada batasannya. Hal itu adalah kesepakatan ulama, karena terkadang seorang wanita sepanjang tahur tidak mengalami masa haid.

 

Paling sedikit nifas adalah segumlal darah, maka masa nifas paling sedikit adalah sejenak.

 

Biasanya masa nifas adalah 40 hari dan 40 malam, baik perhitungan malamnya maju atau mundur.

 

Paling banyak masa nifas adalah 60 hari dan 60 malam, baik perhitungan malamnya maju atau mundur.

 

Semua perincian di atas di dapat oleh Imam Syafi’i ra melalui pendataan yang dilakukannya.

 

Masa suci yang kurang dari 15 hari dan terdapat di antara masa kelahiran dan keluarnya darah atau antara darah yang ada di masa 60 hari. Apabila darah yang keluar melebihi 60 hari… maka itu termasuk istihadhoh.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB SHALAT

 

Udzur atau halangan yang tidak berdosa bagi seseorang yang mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya ada dua hal.

 

Hal pertama dari udzur shalat adalah tidur sebelum masuk waktu shalat secara mutlak, atau setelahnya sedangkan ia menyangka dapat bangun tidur sebelum sempitnya waktu shalat. Kemudian orang tersebut bangun setelah sempitnya waktu shalat, maka yang semacam ini tidak berdosa jika terlambat mengerjakan shalat. Dan tidak wajib diqadha’ shalatnya secara langsung.

 

Namun, bila orang tersebut tidur setelah masuk waktu shalat dan ja menyangka tidurnya akan menghabiskan waktu shalat, maka orang ini berdosa, pertama karena tidurnya, dan kedua karena mengerjakan shalat di luar waktunya jika tidurnya menghabiskan waktu. Dan wajib diqadha’ shalatnya secara langsung.

 

Disunnahkan membangunkan orang yang tertidur sebelum masuk waktu agar shalat dapat dilakukan di waktunya, sedangkan orang yang tidur setelah masuk waktu … maka wajib dibangunkan.

 

Hal kedua dari udzur shalat adalah lupa, namun dengan syarat bahwa lupanya itu tidak disebabkan oleh perbuatan yang dilarang, seperti masuk waktu shalat dan orang itu berniat melakukannya, Jalu tersibukkan dengan mempelajari suatu kitab atau pekerjaan dan semacamnya hingga keluar waktu shalat sedangkan ia lalai . . . maka orang itu tidak berdosa dan tidak wajib menggadha shalatnya secara langsung.

 

Jika terlupakan karena disebabkan oleh hal-hal yang dilarang, baik larangan haram -seperti judiatau larangan makruh -seperti main catur, maka itu bukan termasuk udzur … sehingga orang itu berdosa dan wajib diqadha’ shalatnya secara langsung.

 

Syarat sah shalat ada delapan macam, dan kamu akan ketahui bahwa itu jumlahnya lebih banyak.

 

Syarat wajib shalat ada enam, yaitu Islam, baligh, berakal, bersih dari haid dan nifas, sampainya dakwah Islam dan adanya panca Indera.

 

Syarat sah shalat yang pertama adalah orang yang shalat dalan keadaan suci dari hadats besar dan kecil, baik dengan air atau deh melalui syarat-syaratnya. Maka tidak sah orang yang shalat tanpa bersuci dengan adanya salah satu dari air atau debu. Sehingga bila disengaja dan tahu hukumnya … maka dianggap berdosa, dan jika, lupa . . . akan mendapat pahala sesuai niatnya. Apabila seseorang ‘ tidak mendapati air dan debu… maka shalat wajib dilakukan untuk, menghormati waktu dan diulang shalatnya.

 

Syarat sah shalat yang kedua adalah suci dari najis yang tidak dimaafkan pada pakaiannya, yaitu apa yang dibawa dan yang tersentuh bawaannya. Suci dari najis pula pada badannya, termasuk badan adalah bagian batin mata, mulut dan hidungnya. Suci dari najis pula pada tempatnya, yaitu bagian yang tersentuh badannya atau bawaannya.

 

Makna aurat dan pembagiannya akan dibahas nanti.

 

Syarat sah shalat yang ketiga adalah menutup aurat dengan sesuatu yang menyelimutinya dan dapat mencegah untuk mengetahui warna kulitnya dilihat dari jarak pembicaraan biasa bagi orang yang sedang pandangannya. Apabila penutup itu menampakkan bentuk tubuhnya -seperti celana yang ketatmaka masih diperbolehkan untuk shalat. Tiduk cukup dianggap menutup aurat jika sesuatu itu tidak ada dzatnya seperti kegelapan malam dan bekas pacar atau pewarna yang tidak dzatnya.

 

Apabila seseorang tidak mendapati sesuatu yang menutupi seluruh auratnya . . . maka dahulukan qubul dan duburnya, lalu bagian qubulnya. Dan bila tidak mendapati apapun .. . maka diperbolehkan mengerjakan shalat dalam keadaan telanjang dan tidak perlu diqadha’ shalatnya.

 

Syarat sah shalat yang keempat adalah menghadap dzat Ka’bah dengan bagian dadanya. Apabila seseorang shalat di dalam Ka’bah … maka wajib menghadap ke bangunan Ka’bah setinggi 2/3 lengan atau lebih, seperti pintunya yang tertutup atau ambang pintunya.

 

Terdapat pengecualian dalam berbagai permasalahan yang tidak disyaratkan menghadap kiblat ketika shalat, diantaranya adalah :

 

» Shalat sunnah dalam perjalanan yang diperbolehkan syari’at menuju suatu tempat, yang batasannya hingga tidak terdengar panggilan Jum’at (atau lebih), jika terpenuhi syarat-syarat gashr lainnya yang akan kita bahas nanti, kecuali jaraknya yang harus mencapai 83 km.

 

» Shalat yang dalam keadaan takut.

 

» Shalat yang diikutsertakan hukumnya dengan shalat dalam keadaan takut, seperti shalat yang tidak mampu menghadap kiblat karena sakit dan tidak ada seseorang yang menghadapkannya ke kiblat, atau orang yang sedang terombang-ambing di lautan, atau orang yang terikat di sebuah kayu misalnya, atau tersalib, maka shalat dapat dikerjakan sebisa mungkin dan diulang shalatnya, kecuali shalat yang dalam keadaan takut dan shalar sunnah di perjalanan.

 

Syarat sah shalat yang kelima adalah telah masuknya waktu shalz “jika termasuk shalat yang punya batasan waktusecara yakin atay sangkaan yang berdasarkan ijtihad.

 

Syarat sah shalat fardhu yang keenam adalah orang yang . mengerjakan shalat mengetahui bahwa shalat itu fardhu, maka tidak sah jika orang tersebut merasa ragu bahwa shalat itu fardhu.

 

Syarat sah shalat yang ketujuh adalah tidak meyakini bahwa salah satu fardhu tertentu dianggapnya sunnah, seperti membaca surat Al Fatihah dan ruku’. Apabila tidak ditentukan fardhunya yang dianggap sunnah maka masih diperbolehkan, seperti menganggap salah satu dari ruku’ atau sujud termasuk sunnah, tanpa ditentukan. Begitu pula jika menyatakan seluruh yang dianjurkan dalam shalat diyakininya sebagai hal yang fardhu, atau sebagian dianggap fardhu dan sebagian dianggap sunnah, tanpa ditujukan kepada fardhu tertentu yang dianggapnya sunnah, maka hal yang semacam ini masih diperbolehkan. Tidak ada perbedaan dalam masalah yang disebutkan di atas antar? orang alim dan awam menurut Ibnu Hajar, sedangkan Ramli sepakat tentang orang awam, namun orang alim harus dapat membedakan antara yang fardhu dengan yang sunnah atau meyakini seluruh perbuatannya termasuk fardhu.

 

Orang alim di sini adalah orang yang sibuk mempelajari ilmu dalam kurun waktu yang memungkinkan untuk dapat membedakan antara yang fardhu dengan yang sunnah, sedangkan orang awam adalah sebaliknya.

 

Syarat sah shalat yang kedelapan adalah menjauhkan diri dalam seluruh shalatnya dari segala hal yang membatalkannya. Hal-hal yang membatalkan shalat akan dibahas pada pembahasan berikut.

 

Terdapat beberapa hal lain yang termasuk syarat sah shalat, yaitu Islam, mumayyiz, mengetahui cara mengerjakannya, yaitu mengetahui ucapan, perbuatan dan tertibnya.

 

Hadats secara bahasa adalah sesuatu yang terjadi, dan secara syari’at mempunyai tiga makna, yaitu :

 

  1. Sebab yang menghentikan thaharah.

 

  1. Suatu perkara maknawi yang terdapat di anggota tubuh dan mencegah sahnya shalat, dimana tidak ada suatu keadaan yang membolehkannya.

 

  1. Suatu pencegah yang terjadi karena adanya beberapa sebab.

 

Tetapi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah makna yang pertama.

 

Sebab yang menghentikan thaharah ada dua macam, yaitu hadats kecil dan hadats besar, tidak ada yang diantara keduanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa junub bukanlah termasuk hadats kecil atay hadats besar, tetapi hadats sedang, sehingga hadats terbagi menjadi tiga macam.

 

Hadats kecil adalah hadats yang mewajibkan wudhu karenanya seperti hilang akal, keluarnya sesuatu selain mani dari dua jalan pembuangan.

 

Hadats besar adalah hadats yang mewajibkan mandi karenanya, seperti haid dan junub.

 

Aurat secara bahasa adalah suatu kekurangan, dan secara syari’at adalah sesuatu yang wajib ditutupi, itulah yang disebut oleh para ahli figih dalam hal ini, sedangkan dalam masalah nikah aurat adalah sesuatu yang haram dilihat.

 

Pengarang telah menyebutkan sebagian dari macam-macam aurat, diantara yang belum disebutkan adalah seluruh badan laki-laki bila dinisbahkan kepada wanita yang bukan mahramnya, maka laki-laki haram dilihat bagi mereka.

 

Aurat dipandang dari batasannya yang berbeda-beda bagi setiap orang dan setiap keadaan, terbagi menjadi empat bagian.

 

Pembagian aurat yang pertama adalah aurat laki-laki -yang wajib ditutupi dalam setiap keadaan, baik dalam shalat atau di luar shalat, dihadapan wanita yang bukan mahram atau tidakdan aurat budak wanita -yang wajib ditutupi agar sah shalatnyaadalah antara pusar dan lutut.

 

Apabila seorang wanita budak shalat di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, namun hanya menutupi antara pusar dan lututnya …maka shalatnya sah dan berdosa karena membuka aurat yang haram dilihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya.

 

Dan wajib menutupi sesuatu yang tidak akan sempurna kewajiban tersebut kecuali dengannya, yaitu sebagian dari pusar dan sebagian dari lutut. |

 

Pembagian aurat kedua adalah aurat wanita merdeka yang wajib ditutupi agar sah shalatnya adalah seluruh badannya hingga bagian dalam telapak kaki, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik dhahir atau batinnya, hingga tulang telapak tangan yang sejajar ibu jari, namun tulang tersebut wajib ditutupi. Termasuk wanita dalam masalah ini adalah seorang banci yang merdeka.

 

Pembagian aurat yang ketiga adalah aurat wanita merdeka dan budak wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya -baik secara nasab atau susuan atau perkawinan, yaitu seluruh badan hingga bagian wajah dan kedua telapak tangan. Maka wajib bagi wanita merdeka dan budak wanita menutupinya dan haram bagi lakilaki yang bukan mahramnya untuk melihat sedikitpun dari keduanya.

 

Termasuk keduanya dalam pembahasan ini adalah seorang banci, walaupun sebagai budak.

 

Pembagian aurat yang keempat adalah aurat wanita merdeka dan budak wanita di hadapan laki-laki yang masih mahramnya dan di hadapan sesama wanita -begitu pula bila sendirian, dan di hadapan budak laki-laki yang menjaga dirinya yang menjadi milik seorang wanita merdeka yang menjaga dirinya . .. adalah antara pusar dan lututnya.

 

Diharamkan bagi seorang wanita merdeka membuka bagian dari tubuhnya yang tidak tampak ketika bekerja di hadapan seorang wanita kafir.

 

Bagian yang membangun hakikat shalat ada 17, dengan thuma’ninah dihitung empat rukun, itulah yang tersebut dalam kitab “Raudhoh”, sedangkan pendapat yang kuat dalam kitab “Minhaj” dan “Muharror” serta banyak kitab Jain bahwa rukun shalat itu ada 13, dengan thuma’ninah dijadikan sebagai bagian dari rukun tersebut … alhasil thuma’ninah tetap harus dilakukan, perbedaan yang ada hanya perbedaan secara lafadz saja.

 

Rukun shalat yang pertama adalah berniat mengerjakannya melalui hati. Sehingga tidak cukup hanya ucapan dengan kelalaian ‘ hati. Tidak berpengaruh ucapan yang berbeda dengan apa yang ada di hati. Maka bila berniat di hatinya fardhu, sedangkan ucapannya berbeda, seperti berniat dhuhur dan yang diucapkan lisannya adalah ashar… maka yang dianggap adalah yang diniatkan hatinya. Niat mempunyai tingkatan-tingkatan yang nanti akan dibahas.

 

Dinamakan takbiratul ihram karena ucapan takbir tersebut menjadi sebab diharamkannya sesuatu yang sebelumnya halal, seperti makan, minum dan berbicara. Rukun shalat yang kedua adalah mengucapkan di awal shalat – takbir “Allaahu Akbar”. Tidak berpengaruh bila ada sela sedikit berupa tambahansifat Allah, yaitu lebih sedikit dari tiga kata, seperti : “Allaahur ” Rahiimu Akbar”, atau “Allaahur Rahmaanur Rahiimu Akbar”. Tidak berpengaruh pula adanya tambahan alif lam, seperti “Allaahul Akbar”, namun tidak boleh bila menyatakan : “Allaahu huwa Akbar”. Orang yang tidak mampu mengucapkannya dapat membacanya dengan terjemahan, tidak membaca dzikir lain yang mampu diucapkannya. Dia wajib mempelajarinya walaupun harus melakukan perjalanan jauh, jika mempunyai perbekalan yang sama ketentuanny, dalam perjalanan haji. Terdapat syarat-syarat mengucapkan takbirary ihram yang nanti akan dibahas.

 

Rukun shalat yang ketiga adalah berdiri bagi yang mampu dalan shalat fardhu dengan berbagai macamnya, seperti shalat lima waktu shalat yang dinadzarkan, dan shalat fardhu kifayah. Termasuk fardhy adalah shalat yang dalam bentuk fardhu, seperti shalat yang diulangi dan shalat anak yang belum baligh.

 

Diwajibkan seseorang menegakkan tulang punggungnya, dan bil tidak mampu … berdiri dapat dilakukan semampunya.

 

Sedangkan bila tidak mampu berdiri . . . maka wajib baginya duduk bagaimanapun cara yang dikehendakinya. Bila tidak mampu. .. makawa wajib baginya berbaring di sisi tubuhnya, dan menghadap kiblat wajib dilakukan dengan bagian depan tubuhnya, dan sunnah dengan wajahnya.

 

Apabila tidak mampu berbaring… maka wajib telentang, dan harus diangkat kepalanya sedikit agar dapat menghadap kiblat, dan bila tidak mampu menghadap kiblat dengan kepalanya, maka wajib menghadap kiblat dengan telapak kakinya. Ruku’ dan sujudnya dilakukan dengan menundukkan kepala, dan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya saat menundukkan kepala. Apabila tidak mampu melakukan semua itu . . . maka seluruh perbuatan shalat dilakukan dengan hatinya, maka yang wajib tetap harus dilakukan dan yang sunnah bisa dikerjakan. Begitu pula ucapan yang ada dalam shalat harus dibaca jika lisannya mampu digerakkan, yaitu menganggap dirinya bertakbir sambil berdiri, ruku dan begitu selanjutnya. Shalat yang semacam ini tidak wajib diulangi dan shalat tidak dapat lepas kewajibannya selama akal masih ada.

 

Berdiri akan menjadi tidak wajib bila orang tersebut secara kenyataan dianggap tidak mampu, maka menjadi tidak wajib pula berdiri bila secara syari’at dianggap tidak mampu, termasuk gambaran keadaaannya adalah :

 

* Tidak memungkinkan berobat kecuali dalam keadaan duduk atau telentang, maka shalat dilakukan seperti itu tanpa harus diulang.

 

* Jika seseorang khawatir akan jatuh bila shalatnya berdiri.

 

* Jika shalat berjamaah, maka ia tidak mampu berdiri, namun mampu berdiri bila shalat sendiri . . . maka diperbolehkan shalat berjamaah sambil duduk tanpa harus mengulangi shalatnya, walaupun shalat sendiri lebih baik.

 

Sedangkan bila shalat yang dikerjakan adalah shalat sunnah, maka berdiri saat mengerjakannya termasuk sunnah, bukanlah wajib. Sehingga diperbolehkan -walaupun ia mampu berdirimelakukan shalat sunnah sambil duduk dan berbaring, namun tidak boleh telentang bagi yang mampu berdiri. Orang yang shalatnya berbaring, sedangkan ia mampu berdiri haruslah kembali duduk untuk melakukan ruku’ dan sujudnya.

 

Rukun shalat yang keempat adalah membaca Al Fatihah sax berdiri atau keadaan lain bila tidak mampu berdiri. Membaca Aj Fatihah dilakukan di setiap rakaat, baik shalat fardhu atau sunnah, baik shalat sendiri atau sebagai imam atau makmum, selama tidak sebagai makmum masbuq.

 

Apabila tidak mampu membaca Al Fatihah . . . maka membaca tujuh ayat yang lain ayat-ayat Al Ouran, dan disunnahkan ayat-ayatnya yang tertib, dan disyaratkan huruf-hurufnya sebanyak huruf Al Fatihah, walaupun secara perkiraan.

 

Apabila tidak mampu membaca sebagian dari Al Ouran … maka membaca tujuh macam dzikir, seperti : “Subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar, wa laa haula wa laa guwwata illaa billaah, maa syaa-allaah, wamaa lam yasya’ lam yakun.” Tetapi huruf-hurufnya tidak menyamai huruf Al Fatihah, maka hendaklah menambahkannya hingga mencapai sebanyak huruf Al Fatihah, walaupun dengan mengulanginya. Termasuk dzikir adalah do’a.

 

Apabila tidak mampu melakukan semua itu … maka wajib diam selama bacaan Al Fatihah, walaupun secara perkiraan.

 

Terdapat syarat-syarat membaca Al Fatihah yang nanti akan dibahas.

 

Rukun shalat yang kelima adalah ruku’. Ruku’ secara bahasa adalah menunduk, dan secara syari’at adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin.

 

Inkhinas adalah membungkukkan pinggulnya, mengangkat kepalanya dan mengedepankan dadanya. Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya … maka batal shalatnya, atau jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa… maka tidak membatalkannya. Dan wajib baginya kembali menuju berdiri, lalu melakukan ruku’ yang sempurna, karena tidak cukup gerakan menuju ruku’ yang tujuannya inkhinas, dan termasuk syarat ruku’ adalah tidak bergerak menuju ruku’ untuk tujuan yang lain.

 

 

Rukun shalat yang keenam adalah thuma’ninah saat ruku’, yaitu seluruh anggota tubuh berada pada tempatnya, sehingga terpisah antara gerakannya menuju ruku’ dengan gerakannya mengangkat dari ruku nya.

 

I’tidal secara bahasa adalah istigomah, dan secara syari’at adalah kembalinya orang yang ruku’ menuju gerakan sebelum ruku’nya. Rukun shalat yang ketujuh adalah kembalinya orang yang shalat etelah ruku’ menuju gerakan sebelum ruku’. Disyaratkan tidak ada maksud selain i’tidal, dan tidak memperpanjang bacaannya saat i tidal melebihi dzikir yang disunnahkan hingga selamz bacaan Al Fatihah. Apabila seseorang memperpanjangnya dengan sengaja dan mengetahui hukumnya … maka batal shalatnya, kareng Vtidal termasuk rukun yang pendek. Sebagian besar ulama memilih bahwa i’tidal termasuk rukun yang panjang, sehingga diperbolehkan memperpanjang bacaannya.

 

Rukun shalat yang kedelapan adalah thuma’ninah ketika itidal sehingga terpisah antara gerakan mengangkat dari ruku’ dan gerakan menuju sujud.

 

Sujud secara bahasa berarti condong, sebagian berpendapat maknanya adalah merendah diri, dan secara syari’at berarti terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik berupa tanah atau lainnya. Itulah kriteria sujud yang disebutkan kebanyakan ulama. Sehingga meletakkan anggota tubuh yang lain termasuk syarat sujud. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh.

 

Rukun shalat yang kesembilan adalah sujud dua kali dalam setiap rakaatnya.

 

Terdapat syarat-syarat sujud yang nanti akan dibahas.

 

Rukun shalat yang kesepuluh adalah thuma’ninah saat sujud, sehingga terpisah antara gerakan setiap kali menuju sujud dengan gerakan mengangkat dari sujud.

 

Rukun shalat yang kesebelas adalah duduk di antara dua sujud. Syarat-syaratnya adalah :

 

  1. Tidak ada maksud lain ketika mengangkat dari sujud.

 

  1. Tidak memperpanjang bacaan dzikir yang disunnahkan hingga selama bacaan tasyahud yang paling pendek, karena duduk ini termasuk rukun yang pendek. Sebagian besar ulama memilih bahwa duduk termasuk rukun yang panjang, maka tidak berpengaruh bila diperpanjang sebagaimana i’tidal.

 

Rukun shalat yang keduabelas adalah thuma’ninah ketika duduk antara dua sujud, sehingga terpisah antara gerakan mengangkat dari sujud pertama dengan gerakan menuju sujud kedua.

 

Kata (tasyahud) pada dasarnya merupakan nama bagi dua kalimat syahadat, kemudian dijadikan sebagai tasyahud yang sudah dikenal ini karena terkandung di dalamnya dua kalimat syahadat.

 

Rukun shalat yang ketigabelas adalah membaca tasyahud yang dilakukan di akhir shalat. Bacaannya akan diketahui pada pembahasan berikut.

 

Disyaratkan bahwa tasyahud dibaca dengan bahasa Arab, dan bila tidak mampu maka boleh diterjemahkan sesuai riwayat yang ada saja. Disunnahkan dibaca secara tertib, kecuali bila tidak tertib akan mengubah makna … sehingga hal itu berpengaruh dan membatalkan shalat.

 

Terus menerus dalam membaca tasyahud merupakan hal yang wajib menurut Ramli, namun Ibnu Hajar mengatakan sunnah.

 

Disyaratkan dalam membaca tasyahud syarat-syarat lain yang terdapat dalam surat Al Fatihah yang nanti akan dibahas.

 

Apabila tidak mampu membaca tasyahud atau shalawat Nabi saw setelahnya … maka tidak wajib digantikan dengan yang lain menurut Ibnu Oasim, dan dinukilkan dari Ramli wajib digantikan dengan yang lain.

 

Rukun shalat yang keempatbelas adalah duduk saat membaca tasyahud akhir bagi yang mampu.

 

Rukun shalat yang kelimabelas adalah membaca shalawat atas Nabi saw pada tasyahud akhir, yaitu dibaca setelahnya. Tidak berpengaruh bila ada sela antara keduanya, baik berupa bacaan dzikir atau diam, walaupun lama. Disyaratkan dalam membaca shalawat seperti syaratsyarat yang terdapat dalam bacaan tasyahud. Bacaan shalawat yang paling pendek adalah :

 

Artinya : “Ya Allah, limpahkanlah shalawat bagi Muhammad.” Bacaan shalawat yang paling sempurna adalah :

 

Artinya : “Ya Allah! Limpahkanlahshalawatatas Muhammad, hambaMu dan Rasul-Mu, seorang nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad dan istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana telah Engkau beri shalawat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, seorang nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad dan istri-istrinya serta — keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberi keberkahan atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Di seluruh alam semesta Engkaulah yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”.

 

Rukun shalat yang keenambelas adalah mengucapkan salam.

 

Bacaan salam yang paling pendek adalah :

 

Artinya : “Keselamatan dari Allah semoga tetap atas kalian.” Dan bacaan salam yang paling sempurna adalah :

 

Artinya : “Keselamatan dan rahmat Allah semoga tetap atas kalian.”

 

Terdapat sepuluh syarat dalam mengucapkan salam, sebagian ulama telah menyusunnya dalam bait puisi berikut ini :

 

Artinya : “Syarat-syarat mengucapkan salam agar lepas dari shalat jika kamu inginkan ada sembilan maka sah tanpa ada bantahan (“arrif), (khoothib), (shil), (jma”) dan (waalin) serta (kun mustagbilan), kemudian selanjutnya (laa tagshid bihil khobara) dan (yjlis) lalu (asmi’ bihi nafsan), apabila telah sempurna maka itulah syarat-syarat yang tepat hingga dinyatakan sah.”

 

Makna (‘arrif) adalah tanda dari syarat pertama mengucapkan salam, yaitu adanya huruf alif lam pada kata (assalaam), tidak sah bila mengucapkan (salaamun ‘alaikum) | Makna (khoothib) adalah menunjukkan syarat kedua dari mengucapkan salam, yaitu adanya huruf kaaf sebagai orang yang diajak bicara. Maka tidak sah bila mengucapkan (assalaamu ‘alaih) atau semacamnya.

 

Makna (shil) menunjukkan syarat ketiga dari mengucapkan salam, yaitu menghubungkan satu kata dengan kata yang lain. Sehingga bila dipisahkan antara keduanya dengan suatu pembicaraan, maka tidaklah sah. Benar dianggap sah bila mengucapkan :

 

Artinya : “Keselamatan yang sempurna dari Allah semoga tetap atas kalian / Keselamatan yang baik dari Allah semoga tetap atas kalian.”

 

Makna (ijma”) adalah menunjukkan syarat keempat dari mengucapkan salam, yaitu adanya huruf mim yang menyatakan jama’ atau banyak. Maka tidak cukup bila mengucapkan (assalaamu “alaik)

 

Makna (waalin) menunjukkan syarat kelima mengucapkan salam yaitu terus menerus. Sehingga, bila diam lama secara mutlak atay pendek dengan niat memutuskan bacaan salam, maka tidaklah sah shalatnya.

 

Makna (kun mustagbilan) adalah menunjukkan syarat keenam dari mengucapkan salam, yaitu menghadap kiblat dengan dadanya.

 

Makna (laa tagshid bihil khobaraa) adalah menunjukkan syarat ketujuh dari mengucapkan salam, yaitu tidak bermaksud dengan salam tersebut memberikan suatu kabar saja, tetapi hanya pelepas shalat saja atau bermaksud keduanya atau mutlak.

 

Makna (ijlis) adalah menunjukkan syarat kedelapan dari mengucapkan salam, yaitu salam diucapkan dalam keadaan duduk.

 

Makna (asmi’ bihi nafsan) menunjukkan syarat kesembilan dari mengucapkan salam, yaitu memperdengarkan ucapan salam hingga dapat didengar oleh dirinya sendiri.

 

Syarat kesepuluh adalah tidak menambah atau mengurangi ucapan yang dapat mengubah makna. Dan harus diucapkan dengan bahasa Arab jika mampu, dan jika tidak maka dapat diterjemahkan.

 

Rukun shalat yang ketujuhbelas adalah tertib melaksanakan rukun-rukunnya sesuai yang disebutkan. Apabila tidak tertib antara rukun-rukun tersebut, yaitu mendahulukan suatu rukun bukan pada tempatnya, baik :

 

  1. Mendahulukan rukun perbuatan atas rukun perbuatan yang lain atau atas rukun ucapan, seperti sujud sebelum ruku’ atau melakukan ruku’ sebelum membaca Al Fatihah.

 

  1. Mendahulukan rukunucapan -selain salamatas rukun perbuatan atau atas rukun ucapan yang lain, seperti mendahulukan tasyahud atas sujud atau mendahulukan shalawat Nabi saw atas tasyahud.

 

  1. Mendahulukan salam bukan pada tempatnya.

 

Pada gambaran pertama, jika mengetahui hukumnya dan disengaja …maka batal shalatnya dan jika tidak maka tidak batal. Tetapi wajib baginya kembali pada gerakan yang didahulukan pada tempatnya jika belum melakukan gerakan tersebut yang sama pada rakaat berikutnya.

 

Sehingga bila telah melakukan gerakan yang sama pada rakaat berikutnya. . .maka dianggap telah menggantikan gerakan tersebut dan shalatnya dilanjutkan dengan menambah rakaat.

 

Pada gambaran kedua, bacaan yang didahulukan tidak dianggap telah dilakukan, maka harus diulang pada tempatnya, tidak ada perbedaan dalam hal ini antara orang yang disengaja dan mengetahui hukum dengan yang tidak.

 

Pada gambaran ketiga, membatalkan shalat jika mengetahui hukumnya dan disengaja, dan bila tidak maka tidak batal, dan ucapan salam dibaca pada tempatnya, walaupun ada jeda yang panjang.

 

Setiap keadaan di atas yang disebutkan dan tidak membatalkan shalat . . . disunnahkan sujud sahwi, kecuali pada gambaran yang terakhir, karena hilangnya kesempatan melakukan sujud sahwi jika telah mengucapkan salam, dan kecuali pula jika mendahulukan bacaan shalawat Nabi saw atas tasyahud, maka tidak disunnahkan baginya sujud sahwi.

 

Niat dipandang dari pembagiannya dalam shalat fardhu, shalat sunnah yang mempunyai batasan waktu dan sebab, dan shalat sunnah mutlak, terbagi menjadi tiga tingkatan. Dan telah disebutkan di sing sesuai tingkatannya yang lebih tinggi, yaitu :

 

Apabila shalat yang dikerjakan adalah shalat fardhu, walaupun berupa shalat nadzar atau fardhu kifayah atau shalat fardhu qadha’ atau shalat fardhu yang diulangi, maka wajib menyatakan tiga hal, yaitu :

 

  1. Maksud perbuatannya.

 

  1. Penentuan shalatnya, seperti subuh atau dhuhur misalnya.

 

  1. Niat fardhunya, walaupun shalat itu dilakukan oleh anak yang belum baligh menurut Ibnu Hajar, namun Ramli berpendapat lain. Cukup menyatakan niat (maktuubah) dan (mandzuurah) -dalam shalat nadzarsebagai ganti niat fardhu.

 

Contoh niat shalat fardhu :

 

Artinya : “Saya berniat shalat fardhu dhuhur / Saya berniat shalat dhuhur yang diwajibkan.”

 

Apabila shalat nadzar, maka contoh niatnya adalah :

 

Artinya : “Saya berniat shalat dhuha yang dinadzarkan.” Itulah tingkatan pertama dari tingkatan-tingkatan niat.

 

Apabila shalat yang dikerjakan adalah shalat sunnah yang punya batas waktu seperti shalat rawatib, shalat idul fitri dan idul adha, atau shalat sunnah yang punya sebab, seperti shalat istisqa’ dan “shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, maka wajib menyatakan dua hal, yaitu :

 

  1. Maksud perbuatan.
  2. Penentuan shalatnya, seperti sunnah gabliyah dhuhur atau “ badiyah dhuhur, sunnah idul fitri dan idul adha.

 

Tidak diwajibkan adanya niat sunnah tetapi disunnahkan. Contoh niat shalat sunnah yang punya batas waktu dan sebab :

 

Artinya : “Saya berniat shalat gabliyah dhuhur / Saya berniat shalat idul fitri / Saya berniat shalat gerhana.” Itulah tingkatan kedua dari tingkatan-tingkatan niat.

 

Apabila shalat yang dikerjakan adalah shalat sunnah mutlak “yaitu Shalat sunnah yang tidak punya batas waktu dan sebab, mak, wajib menyatakan satu hal saja, yaitu maksud perbuatan.

 

Contoh niat shalat sunnah mutlak :

 

Artinya : “Saya berniat shalat.”

 

Itulah tingkatan ketiga dari tingkatan-tingkatan niat.

 

Termasuk dalam shalat sunnah mutlak adalah shalat sunnah yang punya ikatan tertentu, yaitu shalat yang maksud dan tujuannya adalah adanya wujud shalat secara mutlak, bukan shalat yang bersifat khusus, seperti shalat sunnah tahiyyatul masjid, sunah wudhu, istikhoroh, sunnah thawaf, sunnah datang dari bepergian, shalat hajat dan shalat di suatu tempat yang belum ada seseorang yang beribadah kepada Allah disitu.

 

Maksud dari perbuatan yang harus disebutkan di setiap shalat, yaitu hendaklah orang yang shalat menyatakan di dalam hatinya ungkapan : “Usholli” yang artinya “Saya berniat shalat”. Adanya penentuan yang harus disebutkan di selain shalat sunnah mutlak, adalah orang yang shalat harus menyatakan di dalam hatinya .“Dhuhur” atau “Ashr” misalnya, atau “Sunnah dhuhur ba’diyah” atau “Idul Fitri” sebagaimana pembahasan yang lalu. Adanya niat fardhu yang harus disebutkan dalam shalat fardhu, dengan menyatakan dalam hatinya ungkapan : “Fardhan”. Seseorang dikatakan telah berniat menyatakan maksud dari perbuatannya dan penentuan serta niat fardhunya, bila mengucapkan di dalam hatinya pernyataan berikut ini :

 

Artinya : “Saya berniat shalat fardhu dhuhur.”

 

Syarat sah mengucapkan takbiratul ihram yang merupakan rukun kedua dalam shalat ada 16 syarat. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka tidak sah shalatnya. Sebagian ulama telah menyusunnya dalam bait puisi dan ditambahkan empat syarat lainnya, yaitu :

 

Syarat pertama takbiratul ihram adalah diucapkan dalam keadaan berdiri, jika shalat yang dikerjakan adalah shalat fardhu dan mampu, dengan mengucapkan takbir pada gerakan yang dianggap sah bacaan shalat.

 

Apabila shalat yang dikerjakan adalah shalat sunnah atau tidak mampu berdiri kelika mengerjakan shalat fardhu …. maka takbiratul Ihram diucapkan pada gerakan penggantinya, Syarat kedua takbiratul ihram adalah diucapkan dengan bahasa Arab -jika orang yang shalat itu mampu-, namun bila tidak mampu maka dapat diucapkan terjemahannya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan rukun shalat.

 

Syarat ketiga dan keempat takbiratul ihram adalah ucapannya harus dengan lafadz (Allah) dan lafadz (Akbar). Sehingga bila seseorang mengucapkan : “ar-Rahmaanu Akbar” atau “Allaahu A’dzam” atau “Allaahu Kabiir” … maka shalatnya tidak sah.

 

Syarat kelimatakbiratulihramadalah mendahulukanlafadz “Allaah”

 

atas “Akbar, maka tidak sah bila diucapkan : “Akbaru Allaah”.

 

Syarat keenam takbiratul ihram adalah tidak memanjangkan huruf hamzah pada lafadz “Allaah”. Apabila dibaca panjang, yaitu : “Aallaahu Akbar” … tidak sah takbirnya, karena maknanya menjadi suatu pertanyaan.

 

Diperbolehkan meniadakan hamzah pada lafadz “Allaah”, jika disambung dengan niat imam atau makmum, seperti ucapan berikut :

 

Usholli fardhodh dhuhri imamallaahu akbar / makmumallaahu akbar Syarat ketujuh takbiratul ihram adalah tidak memperpanjang huruf ba pada lafadz “Akbar”.

 

Apabila dipanjangkan, sehingga menjadi : “Akbaar” … tidak sah takbirnya, baik hamzahnya dibaca fathah atau kasrah. Karena jika dibaca fathah, itu merupakan bentuk jama’ dari kata (kabara), yang artinya genderang besar, dan jika dibaca kasrah, itu merupakan nama lain haid, sehingga orang yang mengucapkannya dengan sengaja dianggap kafir -semoga Allah melindungi kita.

 

Syarat kedelapan takbiratul ihram adalah tidak mentasydidkan bacaan huruf ba’ pada lafadz “Akbar”.

 

Apabila dibaca dengan tasydid … maka tidak sah takbirnya, dan suatu hal yang sudah diketahui bahwa tidak mungkin huruf ba’ dibaca tasydid kecuali huruf kaf dijadikannya berharakat.

 

Syarat kesembilan takbiratul ihram adalah tidak menambah huruf wau, baik dalam keadaan sukun atau berharakat di antara lafadz “Allaah” dan lafadz “Akbar”.

 

Tidak sah bacaan takbir bila diucapkan dengan menambah huruf wau sukun atau berharakat semacam ini, yaitu :

 

Syarat kesepuluh takbiratul ihram adalah tidak menambah huruf wau sebelum lafadz “Allaah”, dengan mengucapkan : .. “Ia, Apabila ditambah dengan huruf wau … maka tidak sah bacaan takbirnya, karena tidak kata sebelumnya yang dapat dihubungkan dengan lafadz takbir. Berbeda dengan ucapan salam yang dapat ditambahkan dengan huruf wau, karena adanya kata sebelumnya yang memungkinkan untuk dihubungkan dengan lafasdz salam.

 

Syarat kesebelas takbiratul ihram adalah tidak berhenti saat mengucapkan takbir antara lafadz “Allaah” dengan lafadz “Akbar” dengan berhenti yang lama secara mutlak atau pendek yang bermaksud memutuskan bacaan takbir. Apabila diam untuk bernafas… maka tidak berpengaruh, dan telah dijelaskan bahwa tidak berpengaruh pula pemisah dengan ditambah huruf alif lam atau sifat yang tidak panjang.

 

Syarat keduabelas takbiratul ihram adalah mengangkat suara ketik, mengucapkan takbir hingga didengar oleh dirinya sendiri seluruh huruf-hurufnya, dimana tidak ada pencegah untuk mendengarnya seperti suara gaduh atau semacamnya, cukup diangkat Suaranya sekiranya tidak ada penghalang dia akan mendengarnya.

 

Syarat ketigabelas takbiratul ihram adalah telah masuk waktu shalat fardhu dan shalat sunnah yang mempunyai batas waktu atau sebab.

 

Syarat keempatbelas takbiratul ihram adalah mengucapkannya dalam keadaan menghadap kiblat, ketika mengerjakan shalat yang disyaratkan menghadap kiblat.

 

Syarat kelimabelas takbiratul ihram adalah tidak salah dalam mengucapkan huruf-huruf yang ada pada takbiratul ihram.

 

Benar, tidak berpengaruh pengulangan huruf ro” pada lafadz “Akbar”, pengubahan huruf hamzah menjadi wau pada lafadz “Akbar bagi orang yang tidak mengetahui hukum.

 

Syarat keenambelas takbiratul ihram adalah makmum harus mengakhirkan seluruh ucapan takbirnya dari takbiratul ihram imam.

 

Apabila makmum membarengi imam dalam mengucapkan takbiratul ihram, walaupun pada sebagian dari ucapan takbir imam .. maka tidak sah takbir makmum.

 

Syarat sah pembacaan Al Fatihah yang merupakan rukun keempat shalat ada 10 syarat. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka tidak sah Al Fatihahnya.

 

Terdapat dua syarat yang belum disebutkan oleh pengarang, yaitu:

 

1.Membacanya dengan bahasa Arab, maka tidak boleh diterjemahkan bila tidak mampu membacanya. Begitu pula pengganti surat Al Fatihah yang berupa ayat-ayat Al Qur’an, namun boleh diterjemahkan dari bacaan dzikir dan do’a yang merupakan pengganti Al Fatihah.

 

  1. Tidak ada tujuan lain, maka harus diulang bacaannya jika berniat kepada seorang wali misalnya, dan tidak perlu diulang jika niat tersebut digabungkan dengan niat shalatnya.

 

Syarat membaca Al Fatihah yang pertama adalah tertib dalam membaca ayat-ayatnya, yaitu membacanya sesuai urutan yang ada.

 

Apabila mendahulukan suatu ayat, maka bila mengubah arti atau menghapus maknanya … batallah shalatnya jika mengetahui hukumnya dan disengaja, dan jika tidak maka hanya membatalkan bacaan Al Fatihahnya.

 

Bila tidak mengubah arti dan tidak menghapus maknanya… maka bacaan yang didahulukan tidak dianggap secara mutlak, begitu pula bacaan yang diakhirkan jika berniat ketika membacanya untuk menyempurnakan bacaan yang didahulukan, namun jika bermaksud memulai bacaannya maka dapat disempurnakan bila pemisahnya tidak panjang.

 

Syarat membaca Al Fatihah yang kedua adalah terus menerus dalam membaca lafadz-lafadznya, dengan tidak ada pemisah di antara ayat-ayat yang dibaca, walaupun berupa dzikir yang sedikit.

 

Benar, jika hal itu termasuk sunnah di dalam shalat maka masih diperbolehkan, seperti membaca amin, berdo’a meminta perlindungan atau meminta rahmat, sujud tilawah mengikuti imam dan membetulkan bacaan imam.

 

Syarat membaca Al Fatihah yang ketiga adalah memperhatikan huruf-hurufnya.

 

Apabila tidak terbaca satu huruf dari surat Al Fatihah, walaupun huruf hamzah, seperti ayat “an-‘amta” maka wajib baginya mengulangi kata tersebut dan yang setelahnya, selama jaraknya belum jauh atau selama belum ruku’. Sehingga, bila telah ruku’ … maka shalatnya batal.

 

Syarat Al Fatihah yang keempat adalah memperhatikan tasydid yang ada dalam surat Al Fatihah, yaitu dengan tidak dibaca biasa dari huruf tasydidnya.

 

Apabila tidak dibaca tasydidnya . . .maka bacaan lafadz tersebut dianggap batal.

 

Namun, bila membaca suatu huruf dengan tasydid sedangkan huruf itu tidak ada tasydidnya .. . maka hal itu tidak membatalkan shalatnya ataupun bacaannya, kecuali jika mengubah makna, maka hanya membatalkan bacaannya saja, baik disengaja dan tahu atau tidak, dan | akan membatalkan shalatnya jika tahu dan disengaja. |

 

Diam yang lama adalah diam yang melebihi dari diam untuk bernafas, sedangkan diam yang pendek adalah yang sebaliknya.

 

Syarat membaca Al Fatihah yang kelima adalah tidak diam ketika membacanya dengan diam yang lama secara mutlak -baik niat memutuskan bacaan atau tidakatau diam yang pendek dengan maksud memutuskan bacaan.

 

Pembahasan yang disebut dalam masalah diam yang lama, jika disengaja dan tanpa udzur, namun bila tidak disengaja atau untuk mengingat ayat yang selanjutnya atau karena gagap… maka hal itu masih diperbolehkan.

 

Syarat membaca Al Fatihah yang keenam adalah membaca seluruh ayat-ayatnya yang termasuk di antaranya -dan diantara semua Surat Al Qur’an kecuali surat At Taubahadalah basmalah.

 

Sedangkan surat At Taubah … maka haram dibaca di awalnya dan makruh dibaca di pertengahannya menurut Ibnu Hajar, dan menurut Ramli makruh di awalnya dan sunnah di pertengahannya. Dan sunnah membaca basmalah di pertengahan surat selain At Taubah menurut kesepakatan ulama, itulah yang dikatakan Ba “Asyan.

 

Dalam kitab “Bughyatul Mustarsyidiin” disebutkan :

 

“Para ulama berbeda pendapat tentang sunnah membaca basmalah di pertengahan surat, sedangkan yang dilakukan oleh salaf kita yang kita temui dari para ahli figih : mereka tidak mengucapkan basmalah kecuali di awal surat saja. Itulah yang tepat.”

 

Syarat membaca Al Fatihah yang ketujuh adalah tidak salah dalam membaca Al Fatihah hingga mengubah makna atau menghapus maknanya.

 

Termasuk mengubah makna adalah membaca huruf ta’ dengan dhommah atau kasrah dalam ayat : “an-‘amta”.

 

Dan termasuk menghapus makna adalah mengganti huruf mim yang kedua dengan huruf nun pada kata : “mustaqiim”, sehingga dibaca : “mustaqiin”.

 

Syarat membaca Al Fatihah yang kedelapan adalah membaca Al Fatihah dalam keadaan berdiri, jika shalat yang dikerjakan itu shalat fardhu dan mampu berdiri, namun jika tidak mampu berdiri… maka dibaca dalam keadaan semampunya yang merupakan pengganti berdiri. Dan telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

 

Syarat membaca Al Fatihah yang kesembilan adalah memperdengarkan pada dirinya seluruh huruf-huruf bacaan Al Fatihah, jika tidak ada penghalang seperti tuli atau suara gaduh, namun jika ada penghalang maka diangkat suaranya hingga sekiranya tidak ada penghalang niscaya ia dapat mendengarnya.

 

Syarat membaca Al Fatihah yang kesepuluh adalah tidak diselingi antara lafadz-lafadznya dengan ucapan yang tidak ada kepentingannya dalam shalat, jika disengaja dan tahu.

 

Namun bila lupa atau tidak tahu hukumnya maka tidaklah berpengaruh. Begitu pula bila ucapan tersebut ada kepentingannya di dalam shalat, maka masih diperbolehkan adanya ucapan tersebut.

 

Telah dijelaskan pembahasan tentang ucapan yang ada kepentingannya dalam shalat pada penjelasan syarat yang kedua.

 

Pasal ini meliputi pembahasan tentang jumlah tasydid yang ada dalam surat Al Fatihah, yaitu ada 14 tasydid, dan telah disebutkan huruf-huruf yang ada tasydidnya. Itu sudah cukup dhahir, tidak perlu adanya penjelasan.

 

Disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika shalat pada empat keadaan. Apabila mengangkat salah satu tangannya saja, hukumnya makruh. :

 

Keadaan pertama yang disunnahkan mengangkat kedua tangan adalah ketika takbiratul ihram, walaupun shalatnya dilakukan dalam keadaan berbaring.

 

Sunnah sudah didapat dengan bagaimanapun cara mengangkat kedua tangan. Dan sempurnanya adalah memulai mengangkat kedua tangan bersamaan dengan permulaan takbir dan berakhir mengangkat kedua tangan bersamaan dengan akhir takbir, sehingga memulai dan mengakhiri keduanya secara bersamaan.

 

Disunnahkan kedua tangan dalam keadaan terbuka (tidak memakai ( penutup sarung tangan dil), dihadapkan telapak tangan ke kiblat, sedikit direnggangkan jari-jarinya, ujung ibu jari sejajar dengan daun telinga bawah, dan ujung jari yang lain sejajar daun telinga atas, serta telapak tangan sejajar bahu.

 

Keadaan kedua yang disunnahkan mengangkat kedua tangan adalah ketika ruku’. Sunnah sudah didapat dengan bagaimanapun cara mengangkat kedua tangan.

 

Sempurnanya adalah mengangkat kedua tangan dimulai bersamaan dengan takbir. Apabila kedua telapak tangan sejajar bahu … mulai menundukkan badan, dan takbir diperpanjang bacaannya hingga sempurna ruku’.

 

Keadaan ketiga yang disunnahkan mengangkat kedua tangan adalah ketika i’tidal dari ruku’nya. Kedua tangan diangkat bersamaan dengan permulaan mengangkat kepalanya menuju berdiri. Apabila tegak berdiri… kedua tangan diluruskan.

 

Keadaan keempat yang disunnahkan mengangkat kedua tangan adalah ketika berdiri dari tasyahud awal. Kedua tangan mulai diangkat setelah sampai pada batasan minimal ruku’.

 

Syarat sah sujud di setiap shalat ada tujuh macam. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka tidak sah sujudnya.

 

Syarat pertama dari syarat-syarat sujud adalah sujud di atas tujuh anggota badan yang akan datang penjelasannya, yaitu dengan meletakkan di tempat sujudnya sebagian dari dahinya, sebagian dari setiap lututnya, sebagian dari setiap telapak tangannya, sebagian dari telapak jari tiap kakinya, walaupun satu jari dari setiap tangan dan kaki.

 

Disunnahkan tertib dalam meletakkan anggota tubuh yang disebutkan, yaitu meletakkan terlebih dulu kedua lututnya, lalu kedua tangannya lalu dahinya.

 

Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara dua pelipis, dan lebarnya antara rambut kepala dengan kedua alis. Sedangkan dua sisi yang ada di samping dahi disebut dengan kening.

 

Disunnahkan meletakkan kedua keningnya bersamaan saat sujud, namun tidak cukup bila kedua kening diletakkan di tempat sujud tanpa dahi diletakkan pula.

 

Syarat kedua dari syarat-syarat sujud adalah dahi harus dalam | keadaan terbuka, sehingga sebagian dari kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya.

 

Sedangkan anggota tubuh yang lain … sunnah terbuka tangan dan kedua kakinya, namun dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya.

 

 

Syarat ketiga dari syarat-syarat sujud adalah menekan bagian kepalanya, sehingga bila terdapat kapas di bawahnya akan tertekan.

 

Syarat keempat dari syarat-syarat sujud adalah tidak bergerak dengan maksud selain sujud.

 

Apabila terjatuh dari itidalnya menuju sujud secara terpaksa, maka hal itu tidak terhitung. Wajib baginya kembali menuju itidal agar dapat bergerak menuju sujud tidak ada maksud lain. Berbeda bila seseorang terjatuh saat bergerak menuju sujud atau ketika i’tidal setelah adanya tujuan untuk bergerak menuju sujud, maka hal itu tidaklah berpengaruh dan masih terhitung sebagai gerakan menuju sujud. –

 

Syarat kelima dari syarat-syarat sujud adalah tidak bersujud di atas sesuatu yang dibawanya dan bergerak mengikuti gerakannya. Hal itu akan membatalkan shalat jika ia tahu dan disengaja, dan jika tidak maka sujudnya harus diulang.

 

Apabila seseorang sujud sedangkan ia shalat dalam keadaan duduk, dan ia sujud di atas sesuatu yang tidak bergerak mengikuti gerakannya, namun sekiranya shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri, niscaya akan bergerak mengikuti gerakannya . . . maka tidak berpengaruh menurut Ibnu Hajar dan al-Khothib, sedangkan menurut Ramli tidak diperbolehkan.

 

Berbeda bila seseorang shalat di atas tempat tidurnya, yang bergerak mengikuti gerakannya, karena hal itu masih diperbolehkan. Begitu pula tidak berpengaruh bila sujud di atas sesuatu yang dibawa di tangannya, karena dianggap itu adalah sesuatu yang terpisah.

 

Syarat keenam dari syarat-syarat sujud adalah bagian pinggul tubuhnya dan yang disekitarnya harus lebih tinggi secara yakin dari bagian kepala dan bahunya.

 

Syarat ketujuh dari syarat-syarat sujud adalah thuma’ninah secara yakin. Apabila muncul keraguan setelah berpindah dari gerakan sujud, apakah telah thuma’ninah di dalam sujudnya atau belum? … maka wajib kembali menuju sujud secara langsung agar dapat melakukan thuma’ninah hingga menurut pendapat yang menyatakan bahwa thuma’ninah bukanlah termasuk rukun, sesungguhnya ia hanyalah gerakan yang mengikuti rukun tersebut, sebagaimana telah dibahas dalam rukun shalat.

 

Penutup : Anggota sujud ada tujuh, yaitu : dahi, bagian batin kedua telapak tangan, kedua lutut dan bagian batin jari kedua kaki.

 

Penutup ini meliputi pembahasan tentang anggota tubuh yang disyaratkan dalam sujud harus diletakkan pada tempat sujud. Ini adalah suatu hal yang telah diketahui, tidak perlu adanya penjelasan lebih lanjut.

 

Pengarang menjelaskan dalam pasal ini tempat-tempat tasydid yang ada dalam tasyahud dan disebutkannya, bahwa itu terdiri dari 21 tasydid, 16 di antaranya yang wajib dalam minimal tasyahud, dan lima diantaranya merupakan tambahan yang hukumnya sunnah. Semuanya sudah jelas tidak butuh penjelasan panjang lebar.

 

Dijelaskan dalam pasal ini tempat-tempat tasydid yang ada pada minimal bacaan shalawat atas Nabi saw yang dianggap sah dalam shalat, jumlahnya ada empat tasydid. Dan tasydid yang ada pada minimal bacaan salam yang dianggap sah sebagai pelepas shalat hanya ada satu saja, yaitu di huruf siin. Semua itu tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. |

 

Waktu-waktu shalat lima waktu ada lima macam, dan setiap macam mempunyai waktu tersendiri.

 

Dhuhur secara bahasa waktu setelah tergelincir matahari, dan secara istilah adalah nama shalat yang dikerjakan di waktu tersebut. Makna (zawal) adalah tergelincirnya matahari dari atas langit. Makna (dhill) atau bayangan secara bahasa adalah penutup, dan secara istilah adalah perkara yang tampak yang diciptakan oleh Allah untuk manfaat tubuh dan selainnya. Makna (istiwa”) adalah matahari berada di tengah langit.

 

Waktu dhuhur secara keseluruhan masuk dengan tergelincir matahari menuju arah barat, dan berakhir hingga bayangan sesuatu menyerupainya, selain bayangan yang ada ketika matahari istiwa’, yaitu berada di tengah langit.

 

Waktu dhuhur terbagi menjadi enam waktu, yaitu :

 

  1. Waktu fadhilah (utama), yaitu awal waktu.

 

  1. dan 3. Waktu jawaz (diperbolehkan shalat), yaitu hingga tersisa waktu yang cukup untuk melaksanakan shalat secara sempurna. Disebut pula waktu ikhtiar (pilihan), maka keduanya bergabung dalam satu waktu.

 

4.dan 5. Waktu dhoruroh (darurat), yaitu akhir waktu, jika penghalang telah hilang (haid atau gila) dan tersisa waktu hanya cukup untuk mengucapkan takbiratul ihram.

 

  1. Waktu udzur, yaitu waktu ashar bagi orang yang ingin menjama’ ta ‘khir.

 

Ashar secara bahasa adalah masa, dan secara istilah adalah shalat tertentu. Shalat ashar adalah shalat yang paling utama setelah shalat Jum’at. Waktu ashar secara keseluruhan masuk bila bayangan sesuatu menyerupainya dengan ditambah sedikit, dan keluar waktu ashar dengan terbenamnya seluruh lingkaran matahari.

 

Makna (syafag) adalah kemerahan, maka perkataan (al-ahmar) merupakan sifat penegasan agar lebih jelas.

 

Waktu maghrib secara keseluruhan masuk dengan terbenam seluruh lingkaran matahari, dan keluar waktunya dengan terbenam ufuk merah.

 

Waktu maghrib terbagi menjadi tujuh waktu, yaitu :

 

  1. Waktu fadhilah (utama), yaitu awal waktu.
  2. Waktu ikhtiar
  3. Waktu jawaz yang tidak makruh.
  4. Waktu jawaz yang makruh.
  5. Waktu haram.
  6. Waktu udzur.
  7. Waktu dhoruroh (darurat), penjelasannya seperti yang lalu.

 

Isya’ secara bahasa adalah nama dari awal waktu gelap, dan secara istilah adalah shalat tertentu.

 

Makna (fajrush shoodig atau fajar yang sesungguhnya) adalah fajar yang sinarnya melebar dari arah timur yang merata dari selatan ke utara.

 

Sedangkan (fajrul kaadzib atau fajar bohong) adalah fajar yang muncul sebelum fajr shoodig atau fajar yang sesungguhnya, sinarnya memanjang yang bagian atasnya lebih terang dari yang lainnya, dan biasanya gelap setelah itu. Waktu isya secara keseluruhan masuk dengan terbenamnya ufuk merah, dan berakhir dengan terbitnya fajar yang sesungguhnya. Waktu isya’ terbagi menjadi tujuh waktu, yaitu :

  1. Waktu fadhilah (utama), yaitu awal waktu.
  2. Waktu ikhtiar (pilihan), yaitu hingga sepertiga awal malam.

3.Waktu jawaz (diperbolehkan shalat) dan tidak makruh, yaitu hingga fajar bohong.

  1. Waktu jawaz dan makruh, yaitu hingga tersisa waktu yang tidak cukup untuk melaksanakan shalat dengan sempurna.
  2. Waktu haram.
  3. Waktu udzur.
  4. Waktu dhoruroh (darurat).

 

Subuh secara bahasa adalah awal siang, dan secara istilah adalah Shalat tertentu. Waktu subuh secara keseluruhan masuk dengan terbitnya fajar yang sesungguhnya, dan berakhir dengan terbitnya matahari. Waktu subuh terbagi menjadi enam waktu, yaitu :

  1. Waktu fadhilah (utama), yaitu awal waktu.

2.Waktu ikhtiar (pilihan), yaitu hingga waktu isfar, dimana seseorang dapat membedakan sesuatu yang dekat dengannya,

  1. Waktu jawaz (diperbolehkan shalat) dan tidak makruh, yaitu darj awal waktu hingga terbitnya warna kemerahan. Sehingga ketiga waktu ini masuk secara bersamaan dan keluar secara berurutan,
  2. Waktu jawaz dan makruh, yaitu dari terbitnya warna kemerahan hingga tersisa waktu yang tidak cukup untuk melaksanakan shalat dengan sempurna.
  3. Waktu haram.
  4. Waktu dhoruroh (darurat).

 

Ufuk terbagi menjadi tiga macam, yaitu :

  1. Ufuk merah, yang menunjukkan masih adanya waktu maghrib.
  2. Ufuk kuning
  3. Ufuk putih, keberadaan keduanya menunjukkan telah masuk waktu isya”.

 

Keduanya disebut dengan ufuk adalah suatu kiasan sedangkan ufuk merupakan hakikatnya.

 

Disunnahkan bagi seseorang yang ingin mengerjakan shalat isya’ agar bersabar hingga terbenam ufuk kuning dan ufuk putih, agar tidak masuk dalam perselisihan pendapat ulama.

 

Shalat yang tidak mempunyai sebab awal dan sebab yang berbarengan, yaitu shalat yang tidak punya sebab, seperti shalat sunnah mutlak, atau mempunyai sebab namun sebab akhir, seperti shalat istikhoroh dan shalat ihram. Hal itu diharamkan dan tidak sah bila dilakukan pada lima waktu, tiga di antaranya berkaitan dengan waktu, itulah yang disebut di bagian awal, sedangkan dua lainnya berkaitan dengan perbuatan, itulah yang disebut di bagian terakhir.

 

Shalat yang mempunyai sebab awal, seperti shalat qadha’, shalat yang dinadzarkan, shalat sunnah tahiyyatul masjid, sunnah wudhu, sunnah thawaf.

 

Shalat yang mempunyai sebab bersamaan, seperti shalat istisga’, shalat gerhana. Ibnu Hajar menjadikan keduanya sebagai shalat yang mempunyai sebab awal, sehingga mereka tidak melakukan kedua shalat itu di waktu yang dilarang.

 

Perlu diingat, bahwa semua larangan itu hanya berlaku di luar Makkah, sedangkan di Makkah tidak ada waktu yang dilarang secara mutlak.

 

Waktu pertama yang dilarang seseorang melakukan shalat adalah waktu matahari terbit, dan berlanjut larangan tersebut hingga matahar naik setinggi kira-kira tujuh lengan menurut pandangan mata kita.

 

Waktu kedua yang dilarang seseorang melakukan shalat adalah waktu matahari berada di tengah langit, dan berlangsung larangan itu hingga matahari tergelincir.

 

Pengecualian di waktu istiwa’ pada hari Jum’at, sesungguhnya tidak ada larangan di waktu tersebut, walaupun bagi orang yang tidak hadir shalat Jum’at.

 

Waktu ketiga yang dilarang seseorang melakukan shalat adalah waktu langit menguning, walaupun bagi orang yang belum shalat ashar, dan larangan itu berlangsung hingga terbenamnya matahari.

 

Waktu keempat yang dilarang seseorang melakukan shalat adalah setelah mengerjakan shalat subuh yang sah dan tidak perlu digadha bagi orang tersebut, dan berlanjut larangan itu hingga terbitnya matahari.

 

Waktu kelima yang dilarang seseorang melakukan shalat adalah setelah mengerjakan shalat ashar yang sah dan tidak perlu diqadha’ bagi orang tersebut, walaupun shalat ashar itu dilakukan di waktu dhuhur melalui jama’ tagdim, dan berlangsung larangan itu hingga terbenamnya matahari.

 

Pasal :

Diam di dalam Shalat ada enam tempat :

  1. Antara takbiratul ihram dan do’a iftitah.
  2. Antara do’a iftitah dan bacaan ta’awwudz.
  3. Antara bacaan ta’awwudz dan Al Fatihah.
  4. Antara akhir Al Fatihah dan amin.
  5. Antara amin dan bacaan surat.
  6. Antara bacaan surat dan ruku’.

 

Pasal ini meliputi penjelasan tentang diam yang disunnahkan ketika shalat, yaitu ada enam tempat, dan telah dijelaskan pula tempattempat tersebut. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

 

Semua diam tersebut selama bacaan tasbih “Subhaanallaah”, kecuali antara amin dan surat, maka disunnahkan bagi imam yang dikeraskan suaranya ketika shalat untuk memperpanjang waktu diam hingga selama bacaan Al Fatihah.

 

| Pasal :

Rukun yang wajib adanya thuma’ninah ada empat, yaitu:

  1. Ruku’.
  2. I’tidal.
  3. Sujud.
  4. Duduk antara dua sujud.

 

Thuma’ninah adalah diam setelah bergerak hingga seluruh anggota tubuh berada di tempatnya selama bacaan tasbih “Subhaanallaah”.

 

Pasal ini meliputi penjelasan tentang tempat-tempat yang wajib thuma’ninah, dan makna thuma’ninah tersebut. Pembahasan ini telah dibahas pada bab rukun shalat.

 

Makna (sahwu) secara bahasa adalah lupa, dan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah kekurangan yang ada di dalam shalat.

 

Beberapa hal yang merupakan sebab disunnahkan sujud sahwi di setiap shalat dan dalam sujud tilawah maupun sujud syukur, namun cidak disunnahkan pada shalat jenazah, ada empat sebab.

 

Sebab pertama dari berbagai sebab yang disunnahkan sujud sahwi bila terdapat salah satu di antaranya adalah meninggalkan salah satu yang termasuk ab’adh shalat yang akan dijelaskan pada bab berikutnya, atau meninggalkan satu kata atau satu huruf dari ab’adh tersebut, walaupun disengaja.

 

Sebab kedua dari berbagai sebab yang disunnahkan sujud sahwi bila terdapat salah satu di antaranya adalah mengerjakan -dalam keadaan lupa atau tidak tahusuatu perbuatan yang jika disengaja akan membatalkan shalat dan jika lupa tidak membatalkan, seperti makan sedikit, bicara sedikit dan menambah rukun perbuatan.

 

Sedangkan perbuatan yang tidak membatalkan, baik disengaja atau tidak, seperti menoleh, melangkah satu atau dua langkah dan selainnya, selain apa yang tergolong sebab ketiga . . . maka tidak disunnahkan sujud sahwi karenanya.

 

Sebab ketiga dari berbagai sebab yang disunnahkan sujud sahwi bila terdapat salah satu di antaranya adalah memindahkan rukun ucapan atau sebagian darinya, walaupun disengaja, selain takbiratul ihran dan salam, dibaca bukan pada tempatnya, seperti membaca Al Fatihah bukan pada tempatnya, seperti waktu ruku’, atau membaca tasyahug akhir bukan pada tempatnya, seperti waktu berdiri, atau membaca shalawat atas Nabi saw bukan pada tempatnya, seperti waktu sujud.

 

Termasuk rukun dalam pembahasan hukum ini adalah surat dan tasyahud awal. Sedangkan selain keduanya dari berbagai sunnah atay ab’adh yang dibaca bukan pada tempatnya terdapat perincian yang disebutkan dalam kitab-kitab yang luas.

 

Sedangkan mengucapkan takbiratul ihram dan salam bukan tempatnya, bila disengaja akan membatalkan shalat. 

 

Sebab keempat dari berbagai sebab yang disunnahkan sujud sahwi bila terdapat salah satu di antaranya adalah mengerjakan rukun perbuatan dari rukun-rukun shalat sedangkan ia ragu ketika mengerjakannya apakah itu sebagai tambahan, seperti seorang yang ragu dalam meninggalkan ruku’ atau sujud . . . maka wajib baginya melakukan ruku’ dan sujud, walaupun kemungkinannya itu adalah tambahan dan sunnah melakukan sujud sahwi.

 

Apabila muncul keraguan bahwa itu merupakan tambahan setelah dikerjakan, seperti ragu pada tasyahud akhir, apakah shalat yang dikerjakan itu empat rakaat atau lima? Maka tidak disunnahkan sujud sahwi karena keraguan tersebut.

 

Dinamakan ab’adh (bagian), karena ketika diminta untuk menambalnya dengan sujud, ab’adh tersebut menyerupai hakikat bagian shalat, yaitu rukun shalat.

 

Ab’adh shalat -yang telah kita jelaskan bahwa disunnahkan sujud sahwi jika meninggalkan salah satu di antaranya atau sebagiannyaada tujuh, yaitu :

 

Itu adalah jumlah ab’adh secara keseluruhan, sesuai apa yang diucapkan oleh Imam Syafi’i rhm dan pengikutnya, sehingga sebab itulah pengarang hanya menyebutkan ada tujuh. Namun secara terperinci, ab’adh shalat itu ada 20, yaitu :

 

  1. & 2. Qunut, dan berdiri saat gunut. :

 

  1. & 4. Membaca shalawat Nabi saw saat gunut, dan berdiri saat membacanya.

 

  1. & 6. Membaca salam bagi Nabi saw saat gunut, dan berdiri saat membacanya.

 

  1. & 8. & 9. & 10. Membaca shalawat atas keluarga Nabi saw, dan berdiri saat membacanya. Dan mengucapkan salam bagi mereka dan mengucapkannya saat berdiri.

 

  1. & 12. Membaca shalawat atas sahabat Nabi saw saat gunut, dan berdiri saat membacanya.

 

  1. & 14. Mengucapkan salam bagi mereka saat gunut dan berdiri saat mengucapkannya.

 

  1. & 16. Membaca tasyahud awal dan duduk saat membacanya.

 

  1. & 18. Membaca shalawat atas Nabi saw pada tasyahud awal dan duduk saat membacanya.

 

& 20. Membaca shalawat atas keluarga Nabi saw pada tasyahug akhir dan duduk saat membacanya.

 

Maksud tasyahud awal disini adalah lafadz yang wajib dibaca pada tasyahud akhir.

 

Pertama dan kedua dari ab’adh shalat yaitu tasyahud awal dan duduk saat membacanya.

 

Gambaran bagi seseorang yang meninggalkan duduk saja pada tasyahud awal sehingga disunnahkan sujud sahwi baginya adalah jika orang yang shalat tersebut tidak mampu membaca tasyahud, maka ia diminta untuk duduk selama bacaan tasyahud. Bila ia tidak duduk … maka ia telah meninggalkan duduk pada tasyahud awal saja.

 

Maksud shalawat atas Nabi saw disini adalah lafadz yang wajib dibaca setelah tasyahud akhir.

 

Ab’adh shalat yang ketiga adalah membaca shalawat atas Nabi saw pada tasyahud awal.

 

Ab’adh shalat yang keempat adalah membaca shalawat atas keluarga Nabi saw pada tasyahud akhir.

 

Gambaran disunnahkan sujud sahwi bagi orang yang peninggalkannya adalah bila seseorang yakin bahwa imamnya tidak membaca shalawat atas keluarga Nabi saw, dia mendengar bahwa imam hanya membaca : “Allaahumma sholli “alaa Muhammad”, “Assalaamu Alaikum”. Maka disunnahkan baginya sujud sahwi karena kelalaian jam.

 

Maksud gunut disini adalah gunut yang biasa dibaca, yaitu gunut shalat subuh dan witir pertengahan terakhir bulan Ramadhan. Ab’adh shalat yang kelima dan keenam adalah membaca gunut dan berdiri saat membacanya.

 

Gambaran keadaan seseorang yang disunnahkan sujud sahwi bila meninggalkan berdiri saja adalah bila orang yang shalat itu tidak mampu membaca gunut … maka ia diminta untuk berdiri selama bacaan gunut. Bila tidak berdiri, maka ia telah meninggalkan berdiri saat membaca gunut saja.

 

Ab’adh shalat yang ketujuh adalah membaca shalawat dan salam yang bagi Nabi saw, keluarga dan sahabatnya setelah gunut.

 

Maksud batal disini adalah segala hal yang dianggap tidak sah. Shalat, baik shalat fardhu atau sunnahakan dinyatakan batal bij, terdapat salah satu dari 14 hal berikut jika berada di tengah shalat, dan dianggap tidak sah bila bersamaan dengan permulaan shalat. Termasuk shalat dalam hal ini adalah sujud tilawah dan sujud syukur serta shalat jenazah.

 

Membatalkan shalat adalah dengan adanya hadats, baik hadats kecil atau hadats besar, walaupun tidak disengaja, walaupun dari orang yang tidak mendapati air dan debu, atau orang yang selalu berhadats selain hadatsnya yang selalu keluar. Itulah hal pertama dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk membatalkan shalat adalah bila terkena najis yang tidak dimaafkan pada badan atau bajunya, jika tidak disingkirkan secara langsung sebelum berlalu waktu minimal thuma’ninah.

 

Apabila telah disingkirkan sebelum itu, seperti najisnya kering dan pakaiannya dikibaskan secara langsung atau najisnya basah dan pakaian yang terkena najis dilemparkan tanpa memegang atau membawanya … maka shalatnya tidak batal.

 

Apabila disingkirkan dengan tangannya atau dengan tongkat yang terdapat najis padanya atau tangannya diletakkan pada tempat yang terkena najis .. . maka hal itu membatalkan shalatnya. Itulah hal kedua dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk membatalkan shalat adalah terbukanya sedikit dari sesuatu yang wajib ditutup dalam shalatnya, jika tidak ditutup secara langsung sebelum berlalu waktu minimal thuma’ninah, dan yang membuka penutup tersebut adalah angin. | Apabila yang membuka penutup aurat itu bukan angin, maka hal itu termasuk membatalkan shalat, walaupun ditutup secara langsung. Itulah hal ketiga dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk membatalkan shalat pula adalah berbicara dalam keadaan disengaja dan tahu bahwa hal itu diharamkan ketika shalat. Berbicara dengan dua huruf terus menerus walaupun tidak dipahami, atau terdiri dari satu huruf yang dibaca panjang, atau satu huruf yang dapat dipahami maknanya seperti kata ( ) yang berarti jagalah, dan ( ) yang berarti dengarkanlah, serta ( ) yang berarti tepatilah.

 

Apabila tidak disengaja, seperti keceplosan atau lupa bahwa dirinya sedang shalat atau tidak tahu hukumnya sedangkan ia termasuk orang yang dimaafkan, seperti orang yang baru masuk Islam atau tinggal di tempat yang jauh dari ulama, bila yang diucapkan termasuk sedikit, yaitu empat kata menurut Ibnu Hajar dan enam kata menurut Al-Oalyubi dan pengikutnya, maka tidak membatalkan shalat, bila yang diucapkan termasuk banyak, yaitu yang lebih dari itu maka membatalkan shalatnya secara mutlak.

 

Itulah hal keempat dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk membatalkan shalat adalah segala hal yang termasuk membatalkan puasa dengan disengaja dan tahu hukumnya, seperi memasukkan sesuatu ke dalam telinga misalnya, makan walaupun sedikit.

 

Apabila lupa atau tidak tahu hukumnya dan dimaafkan baginya seperti pembahasan yang lalu … maka tidak membatalkan shalatnya, kecuali jika ia mengunyah dengan tiga kali kunyahan secara terus menerus. Penjelasannya akan tiba nanti.

 

Itulah hal kelima dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Kata ( ) dhommah hamzahnya, berarti sesuatu yang dimakar sedangkan bila fathah hamzahnya, berarti kata benda dari kata kerja makan. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah yang pertama, sedangkan yang kedua akan dibahas hukumnya, karena termasuk gerakan yang banyak.

 

Termasuk membatalkan shalat adalah masuknya makanan yang banyak, walaupun bagi orang yang lupa. Termasuk hukum ini adala walaupun bagi orang yang tidak tahu hukumnya dan dimaafkan.

 

Perbedaan antara shalat dan puasa, dimana dianggap tidak membatalkan puasa makanan yang banyak bagi orang-orang yang jupa dan tidak tahu hukumnya, namun hal itu dianggap membatalkan shalat, karena shalat mempunyai gerakan yang teratur, sehingga makanan yang banyak memutuskan aturan gerakan shalat. Berbeda dengan puasa yang tidak punya aturan dalam gerakannya, karena puasa itu hanyalah menahan diri.

 

Itulah hal keenam dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk membatalkan shalat adalah melakukan gerakan yang ( banyak, walaupun bagi orang yang lupa dan tidak tahu hukumnya. Gerakan yang banyak itu adalah tiga kali gerakan atau lebih yang dilakukan secara terus menerus, dimana gerakan kedua menunjukkan lanjutan gerakan pertama dan gerakan ketiga menunjukkan lanjutan gerakan kedua. Baik dilakukan oleh satu anggota tubuh atau lebih, tetapi dengan syarat anggota tubuh itu termasuk anggota yang berat, seperti tangan, kaki, kepala dan rahang. Namun tidak membatalkan shalat bila yang bergerak itu adalah anggota tubuh yang ringan, seperti jari-jari saja yang bergerak, kelopak mata dan bibir, walaupun bergerak | berkali-kali dan terus menerus.

 

Tidak membatalkan shalat bila gerakan dari anggota tubuh yang berat itu dianggap sedikit, yaitu gerakan yang kurang dari tiga kali, walaupun terus menerus, atau gerakan yang menunjukkan tiga kali atau lebih namun tidak terus menerus.

 

Ini semua, jika tidak ada maksud bermain-main, sehingga dianggap membatalkan shalat secara mutlak, walaupun gerakan itu sedikit dan dari aggota tubuh yang ringan. Begitu pula, jika tidak bersifat darurg yang tidak bisa ditinggalkan, seperti menggaruk bagian tubuh yang gatal, maka dianggap tidak membatalkan shalat secara mutlak.

 

Itulah hal ketujuh dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk yang membatalkan shalat pula adalah melakukan lompatan, yaitu bergerak menundukkan seluruh badan. Gerakan lompatan pasti merupakan gerakan yang melampui batas.

 

Itulah hal kedelapan dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk yang membatalkan shalat pula adalah melakukan gerakan memukul yang melampui batas, yaitu pukulan yang menggerakkan seluruh badan. Termasuk pula dalam hal ini adalah tendangan yang melampui batas. Itulah hal kesembilan dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk membatalkan shalat adalah menambah rukun perbuatan dengan sengaja -dan tahu hukumnya-, seperti melakukan ruku tanpa mengikuti imam, membunuh ular misalnya, walaupun tanpa thuma’ninah dan tidak bergerak dengan tiga kali gerakan yang terus menerus.

 

Itulah hal kesepuluh dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk yang membatalkan shalat pula adalah makmum mendahului imam dengan dua rukun perbuatan -walaupun bukan termasuk rukun yang panjangdan terlambat dari imam dengan dua rukun perbuatan tanpa adanya udzur.

 

Gambaran mendahului imam adalah makmum bergerak menuju sujud sedangkan imam masih berdiri membaca surat misalnya, atau ruku sebelum imam, dan ketika imam ingin ruku makmum telah mengangkat dari ruku’nya, dan ketika imam ingin bergerak menuju itidal makmum telah sujud.

 

Gambaran terlambat dari imam adalah imam bergerak menuju sujud sedangkan makmum masih berdiri misalnya.

 

Udzur yang diperbolehkan dalam masalah mendahului imam adalah lupa atau tidak tahu hukumnya sedangkan ia dimaafkan syari at. Sedangkan udzur yang diperbolehkan dalam masalah terlambat dari imam adalah kedua hal diatas dan selainnya yang terhitung hingga 10 macam udzur yang disebutkan dalam kitab-kitab lain yang luas pembahasannya.

 

Apabila mendahului imam kurang dari dua rukun perbuatan maka tidak membatalkan shalat, namun termasuk haram jika mendahului imam dengan satu rukun. Begitu pula bila mendahului dengan sebagian rukun menurut Ramli, namun berbeda menurut Ibnu Hajar yang merupakan pendapat yang kuat adalah makruh saja. Itulah hal kesebelas dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk yang membatalkan shalat adalah berniat keluar dari shalat secara langsung atau setelah satu rakaat misalnya, walaupun berniat menuju shalat yang lain, karena hal itu berlawanan dengan kesungguhan niat yang disyaratkan dalam shalat. Inilah hal keduabelas dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk yang membatalkan shalat pula adalah mengaitkan keluar dari shalat dengan terjadinya sesuatu, walaupun tidak diketahui adanya hal tersebut ketika shalat atau itu merupakan suatu hal yang mustahil secara kebiasaan seperti terbang ke langit, namun tidak membatalkan bila hal itu mustahil secara akal, seperti terkumpulnya dua hal yang berlawanan, contoh panjang dan pendek pada sesuatu yang sama dan di waktu yang sama. Inilah hal ketigabelas dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Termasuk yang membatalkan shalat pula adalah ragu dalam niat keluar dari shalat, walaupun berniat keluar menuju shalat yang lain. Termasuk ragu dalam niat keluar dari shalat adalah ragu dalam melanjutkan shalatnya. Itulah yang disebutkan dalam pembahasan “hal-hal yang membatalkan shalat pada nomer yang keduabelas. Inilah hal keempatbelas dari berbagai hal yang membatalkan shalat.

 

Diwajibkan bagi seorang imam berniat sebagai imam saat takbiratul ihram pada empat shalat, yaitu :

  1. Shalat Jum’at.

2, Shalat yang diulangi.

  1. Shalat yang dinadzarkan berjamaah.
  2. Shalat jama’ taqdim karena hujan.

 

Apabila imam tidak berniat sebagai imam pada shalat-shalat tersebut … maka shalatnya tidak sah, kecuali shalat yang dinadzarkan berjamaah, maka shalat tersebut dianggap shalat sendiri dan berdosa karena meninggalkan nadzarnya.

 

Tidak wajib bagi imam untuk berniat sebagai imam di selain empat shalat tersebut, namun harus diniatkan bila ingin mendapat fadhilah berjamaah.

 

Apabila berniat di tengah shalatnya . . . maka akan mendapat fadhilah berjamaah sejak diniatkan.

 

Syarat sah shalat berjamaah antara makmum dan imam ada sebelas Syarat.

 

Syarat pertama dari syarat sah shalat berjamaah adalah makmum tidak mengetahui bahwa shalat imam batal dengan sesuatu yang disepakati oleh imam dan makmum, seperti hadats dan kafir.

 

Termasuk mengetahui batalnya imam adalah bila meyakini hal tersebut, walaupun tidak dihukumi batalnya shalat imam, seperti dua orang yang berijtihad dalam menentukan kiblat atau ada dua air dan dua baju, yang salah satunya suci dan yang lain mutanajis. Keduanya menghasilkan ijtihad yang berbeda, maka tidak sah berjamaah salah satu diantara keduanya dengan yang lain.

 

Syarat kedua dari syarat sah shalat berjamaah adalah makmum tidak berkeyakinan bahwa shalat imam perlu diqadha’, seperti seorang yang berhadats dan tidak ditemui air ataupun debu, walaupun makmum keadaannya sama dengan imam.

 

Syarat ketiga dari syarat sah shalat berjamaah adalah imam tidak sedang menjadi makmum ketika diikuti, karena mustahil ia menjadi seorang yang mengikuti dan diikuti pada waktu yang sama.

 

Apabila shalat berjamaah telah selesai dan berdiri makmum masbuq … maka diperbolehkan mengikutinya, walaupun dalam shalat jum’at menurut Ibnu Hajar, namun berbeda menurut Ramli.

 

Termasuk yakin imamnya sebagai makmum bila ragu apakah imamnya menjadi makmum, maka tidak boleh mengikutinya pula.

 

Apabila seseorang ragu pada dua orang yang shalat berjamaah, apakah yang menjadi imam orang ini atau orang itu… maka tidak sah berjamaah dengan salah satu di antara keduanya, kecuali jika

 

menyangka seorang diantaranya adalah imam setelah berijtihad menurut Ramli, berbeda menurut Ibnu Hajar.

 

Makna (ummi) secara bahasa adalah orang yang tidak bisa membaca dan menulis, dan secara istilah ahli figih adalah orang yang tidak dapat mengucapkan satu huruf dari surat Al Fatihah dengan baik.

 

Syarat keempat dari syarat sah shalat berjamaah adalah imam tidak diperbolehkan salah dalam mengucapkan satu huruf atau tasydid dari surat Al Fatihah, sedangkan makmum dapat mengucapkannya dengan baik, yaitu imam tidak mampu mengucapkannya sama sekali atau tidak dapat mengucapkannya sesuai makhraj hurufnya atau tidak dapat mengucapkan tasydidnya.

 

Apabila keadaan makmum sama seperti imam, yaitu tidak dapat mengucapkannya dengan baik, walaupun huruf yang digantinya berbeda, seperti salah satunya mengganti huruf (ra”) dengan (ghain) dan yang lain menggantinya dengan huruf (lam) . . . maka masih diperbolehkan berjamaah. Itulah yang dinamakan pelat, seperti orang yang selalu mengganti huruf dengan huruf yang lain.

 

Apabila seseorang mengidghamkan bukan di tempat idgham, seperti membaca (muttagiim) maka disebut dengan “arott”, yaitu orang yang tidak jelas bicaranya.

 

) Shalat berjamaah dinyatakan sah, namun makruh bila berjamaah dengan seseorang yang disebut dengan “tamtaam”, yaitu orang yang selalu mengulang huruf ta’ atau “fa’ffaa”, yaitu orang yang selalu mengulang huruf fa atau “wa ‘waa””, yaitu orang yang selalu mengulang huruf wau. Begitu selanjutnya pada huruf-huruf yang lain.

 

Dimakruhkan pula berjamaah dengan seorang imam yang salah dalam mengucapkan huruf-hurufnya tetapi tidak mengubah makna.

 

Syarat kelima dari syarat sah shalat berjamaah adalah makmum tidak boleh mendahului imam dalam tempat shalatnya, yaitu seluruh bagian penopang makmum tidak boleh mendahului sebagian dari apa yang menjadi penopang imam, dalam berdiri atau selainnya.

 

Makmum tidak boleh mendahului imam, bila makmum berdiri melalui tumitnya atau duduk melalui pantatnya atau berbaring melalui sisi miringnya atau telentang melalui kepalanya.

 

Apabila makmum sejajar dengan imam … maka termasuk makruh yang dapat menghilangkan pahala berjamaah dalam menyamai imam pada tempatnya saja. Begitu pula dikatakan pada setiap makruh yang disebabkan karena shalat berjamaah.

 

Syarat keenam dari syarat sah shalat berjamaah adalah makmum mengetahui -atau menyangkaperpindahan gerakan imam sebelum masuk pad rukun yang ketiga (tidak terlambat dua rukun perbuatan). Hal itu dapat dilakukan dengan melihat imam, atau melihat sebagian makmum atau mendengar suara imam atau suara penyampai imam, walaupun orang yang menyampaikan itu tidak sedang shalat. Ibnu Hajar mensyaratkan pada penyampai suara imam ini haruslah orang yang bukan fasig, sedangkan sebagian ulama berbeda pendapat. Mereka menyatakan : “Cukup orang fasig, jika diyakini kebenarannya.”

 

Syarat ketujuh dari syarat sah shalat berjamaah adalah terkumpulnya imam dan makmum -yaitu orang yang berada di belakangnya atau berada di salah satu sisinya, dan setiap dua shafentah di masjid atau di suatu tempat selain masjid yang tidak lebih jarak antara keduanya dari 300 lengan secara perkiraan.

 

Maka tidak berpengaruh lebih dari tiga lengan atau sekitarnya. Sehingga bila di dalam masjid, tidak berpengaruh jauhnya jarak, penghalang berupa bangunan jendela, pintu yang tertutup tanpa dipaku, walaupun tidak ada kuncinya, tetapi disyaratkan adanya kemungkinan untuk lewat dari tempat salah satunya menuju tempat yang lain, walaupun harus berjalan miring atau berpaling, yaitu dengan memalingkan punggungnya dari kiblat.

 

Namun bila berada di selain masjid disyaratkan jarak antara keduanya dekat sebagaimana yang disebutkan dan syarat-syarat lain seperti bila berada di masjid, dan ditambahkan syarat lain, yaitu tidak ada penghalang yang mencegah seseorang untuk lewat -seperti jendelaatau mencegah seseorang untuk memandang -seperti pintu yang tertutup-, dan disyaratkan adanya kemungkinan untuk lewat dari tempat salah satunya menuju tempat yang lain tanpa berjalan miring dan berpaling.

 

Masih diperbolehkan jarak yang jauh antara imam dan akhir shaf, walaupun mencapai beberapa mil, tetapi dengan syarat adanya kemungkinan makmum untuk mengikuti imamnya, dan tidak diperbolehkan makmum yang berada di shaf belakang mendahului makmum yang ada di depannya dalam gerakan shalatnya jika imam tidak terlihat.

 

Syarat kedelapan dari syarat sah shalat berjamaah adalah makmum berniat mengikuti imam atau siapa yang ada di mihrab atau niat berjamaah, dengan menyatakan “mugtadiyan” atau “mu’tamman” atau “ma’muuman” atau “jamaa’atan”, walaupun ketika berada di tengah shalatnya, namun hal itu dimakruhkan dan menghilangkan pahala shalat berjamaah, karena menjadikan dirinya sebagai pengikut setelah sebelumnya shalat sendiri.

 

Sekiranya seseorang bermaksud mengikuti imam dalam perbuatannya tanpa adanya niat dan lama menunggunya, maka batal shalatnya. Namun bila bersama-sama dalam perpindahan gerakan shalatnya atau sebentar dalam menunggunya atau lama tanpa adanya maksud mengikutinya, maka tidak membatalkan shalat.

 

Syarat kesembilan dari syarat sah shalat berjamaah adalah adanya kesamaan dalam aturan shalat imam dan shalat makmum dalam gerakan dhahirnya, walaupun berbeda jumlah rakaat atau niatnya … sehingga tidak sah shalat fardhu lima waktu berjamaah dengan shalat gerhana yang dilakukan dengan dua kali berdiri dan dua kali ruku’, atau dengan shalat jenazah. Begitu pula sebaliknya.

 

Benar, menurut Ibnu Hajar diperbolehkan berjamaah di akhir takbir shalat jenazah dan setelah sujud tilawah atau sujud syukur. Namun Ramli berbeda pendapat dan menyatakan tidak sah.

 

Begitu pula diperbolehkan berjamaah dengan seseorang yang melakukan shalat gerhana pada berdiri yang kedua di rakaat kedua menurut keduanya, namun Ibnu Hajar menyatakan tidak mendapat satu rakaat bersama imam, sedangkan Ramli menyatakan mendapat satu rakaat.

 

Syarat kesepuluh dari syarat sah shalat berjamaah adalah makmum harus mengikuti imam dalam perbuatan sunnah yang tampak berbeda bila tidak mengikutinya, baik dalam mengerjakannya atau meninggalkannya.

 

Apabila imam meninggalkan sujud tilawah sedangkan makmum sujud atau imam sujud tilawah dan makmum meninggalkan sujud atau imam meninggalkan tasyahud awal sedangkan makmum melakukan tasyahud … batallah shalat makmum

 

Benar, terdapat pengecualian, yaitu bila imam tasyahud dan makmum berdiri dengan sengaja … maka hal itu tidak membatalkan shalat makmum, karena ia berpindah dari hal yang wajib menuju yang wajib pula. Namun bila makmum berdiri karena lupa, maka wajib baginya kembali menuju duduk, dan bila tidak kembali batallah shalatnya.

 

Syarat kesebelas dari syarat sah shalat berjamaah adalah makmum harus mengikuti imam dalam hal tempat, perbuatan dan takbiratul ihramnya.

 

Telah dibahas tentang tempat pada syarat kelima dan ketujuh, dan tentang perbuatan pada bagian kesebelas dari hal-hal yang membatalkan shalat, karena dapat dipahami dari pembahasan tersebut bahwa wajib bagi makmum tidak boleh mendahului imam atau terlambat dari imam dengan dua rukun perbuatan tanpa adanya udzur.

 

Mengikuti imam dalam takbiratul ihram maknanya adalah seluruh ucapan takbiratul ihram makmum harus terlambat dari seluruh ucapan takbiratul ihram imam. Apabila membarengi takbiratul ihram imam atau membarengi sebagian darinya … maka tidak sah shalatnya.

 

Gambaran shalat berjamaah antara imam dan makmum tidak lepas dari salah satu di antara sembilan gambaran berikut :

 

Sembilan gambaran yang selalu ada salah satunya dalam shalat berjamaah terbagi menjadi dua, yaitu :

 

  1. Kelompok yang dianggap sah shalat jamaahnya
  2. Kelompok yang dianggap batal shalat jamaahnya.

 

Kelompok pertama, adalah gambaran yang keadaan imamnya sama dengan makmum atau lebih sempurna secara yakin. Itu terlihat pada lima gambaran :

 

  1. Seorang laki-laki mengikuti laki-laki, karena imam dan makmum dalam keadaan yang sama.
  2. Seorang wanita mengikuti laki-laki, karena imam lebih sempurna secara yakin.

3.Seorang banci mengikuti laki-laki, karena imam dalam satu keaadan lebih sempurna, jika banci itu hakikatnya adalah wanita, atau keadaannya sama, jika banci itu hakikatnya adalah laki-laki.

4.Seorang wanita mengikuti banci, karena imam dalam saty keadaan lebih sempurna jika banci itu hakikatnya adalah laki. laki, atau keadaannya sama jika hakikatnya banci itu adalah wanita.

5.Seorang wanita mengikuti wanita, karena keaadan imam dan makmum sama.

 

Kelompok kedua, adalah gambaran yang keadaan imamnya lebih kurang dari makmum secara yakin atau perkiraan. Itu terlihat pada empat gambaran :

 

  1. Seorang laki-laki mengikuti wanita, karena imam keadaannya lebih kurang dari makmum secara yakin.

 

  1. Seorang laki-laki mengikuti banci, banci itu lebih kurang dari laki-laki secara perkiraan, karena memungkinkan bahwa banci itu hakikatnya adalah wanita.

 

  1. Seorang banci mengikuti wanita, karena memungkinkan bahwa banci itu hakikatnya adalah laki-laki.

 

  1. Seorang banci mengikuti banci, karena adanya kemungkinan bahwa imam hakikatnya adalah wanita sedangkan makmum laki-laki.

 

Jama’ taqdim adalah mengerjakan shalat ashar di waktu dhuhur dan shalat isya’ di waktu maghrib, baik digashar atau sempurna shalatnya.

 

Syarat diperbolehkan jama’ tagdim karena perjalanan jauh bagi seorang musafir dan karena hujan bagi seorang mugim ada empat syarat. Ada tambahan tiga syarat yang belum disebutkan, yaitu :

  1. Masih tersisa waktu yang pertama.
  2. Shalat pertama dianggap telah sah.
  3. Mengetahui diperbolehkannya menjama’ shalat.

 

Sehingga secara keseluruhan menjadi tujuh syarat. Ibnu Hajar tidak setuju tambahan syarat yang pertama, sehingga menurut pendapatnya tidak berpengaruh masuknya waktu kedua sebelum selesainya shalat yang kedua, berbeda dengan pendapat yang menyatakan adanya syarat tersebut. –

 

Syarat pertama diperbolehkannya jama’ tagdim adalah memulai dengan shalat dhuhur jika ingin mendahulukan shalat ashar di waktu dhuhur, dan memulai dengan shalat maghrib jika ingin mendahulukan shalat isya” di waktu maghrib. Apabila dibalik .. . maka shalat yang didahulukan dianggap batal jika disengaja dan tahu, namun jika tidak disengaja dan tidak tahu, maka shalat yang didahulukan menjadi shalat sunnah mutlak.

 

Begitu pula bila shalat pertama ternyata batal… maka shalat yang kedua -yaitu ashar atau isya’menjadi shalat sunnah mutlak.

 

Hal itu berlaku bila ia tidak pernah meninggalkan shalat fardhu yang sama, sehingga bila ia pernah meninggalkan shalat fardhu yang sama … maka shalat tersebut menjadi shalat qadha’ dalam dua masalah terakhir.

 

Syarat kedua diperbolehkannya jama’ tagdim adalah berniat jama’ tagdim di shalat pertama, walaupun bersamaan dengan salam sebagai pembeda antara shalat jama’ tagdim yang diperbolehkan syari’at dengan yang lainnya. Dan paling utama adalah membarengkan niat ‘ jama’ tagdim dengan takbiratul ihram, agar tidak terjadi perbedaan pendapat.

 

Syarat ketiga diperbolehkannya jama’ tagdim adalah terus menerus antara mengerjakan shalat pertama dengan shalat kedua, artinya tidak terpisah antara keduanya dengan pemisah yang lama, yaitu waktu yang cukup untuk melaksanakan dua rakaat ringan yang seperti biasa dilakukan.

 

Maka tidak berpengaruh bila terpisah dengan wudhu, tayammum, mencari air sebentar, walaupun hal itu tidak diperlukan, waktu adzan dan igamah hingga sekiranya terpisah dengan semua itu … maka masih diperbolehkan selama pemisah itu tidak lama.

 

| Hendaklah mengerjakan shalat sunnah gabliyah dhuhur misalnya, jalu shalat fardhu dhuhur, lalu shalat fardhu ashar, lalu ba’diyab dhuhur, lalu gabliyah ashar.

 

Maksud udzur disini adalah perjalanan bagi orang musafir, dan hujan bagi orang yang mugim dan akan menjama’ tagdim.

 

Syarat keempat diperbolehkannya jama’ tagdim adalah adanya udzur yang membolehkan jama’ hingga sempurnanya takbiratul ihram yang kedua. Tidak disyaratkan adanya perjalanan ketika takbiratul ihram pertama, berbeda dengan hujan.

 

Karena hujan itu harus ada ketika takbiratul ihram pertama, dan salam dari shalat pertama dan terus ada hingga takbiratul ihram kedua, dan tidak berpengaruh bila terhentinya hujan di selain keadaan di atas. .

 

Syarat diperbolehkan jama’ ta’khir karena perjalanan jauh bagi seorang musafir, yaitu melaksanakan shalat dhuhur di waktu ashar, dan shalat maghrib di waktu isya”, ada dua syarat.

 

Sedangkan shalat jama’ ta’khir karena hujan, maka hal itu tidak diperbolehkan menurut syari’at.

 

Syarat pertama diperbolehkannya jama’ ta’khir adalah adanya niat ta’khir, sedangkan yang tersisa dari waktu dhuhur atau maghrib waktu yang cukup untuk melaksanakan shalat secara sempurna. Itu adalah pendapat Ramli, sedangkan Ibnu Hajar menyatakan : “Cukup niat jama’ ta’khir sebelum keluarnya waktu yang pertama walaupun hanya tersisa untuk mengerjakan satu rakaat.”

 

Apabila seseorang meninggalkan niat jama’ ta’khir di waktunya maka shalat pertama dilakukan di waktu kedua menjadi shalat qadha’, dan berdosa jika ia mengetahui hukumnya dan disengaja.

 

Syarat kedua diperbolehkannya jama’ ta’khir adalah adanya perjalanan hingga selesainya shalat kedua, yaitu shalat ashar atau isya’.

 

Apabila perjalanan itu tidak berlanjut, sehingga menjadi mugim di tengah shalatnya .. . maka shalat pertama -yaitu shalat dhuhur atau maghribmenjadi qadha’.

 

Penutup : Imam Nawawi dan ulama lainnya memilih pendapat bahwa orang yang sakit diperbolehkan melakukan jama’ tagdim bila terpenuhi syarat-syaratnya atau jama’ ta’khir bila terpenuhi syarat syaratnya. Kriteria sakit yang diperbolehkan jama’ adalah sakit yang memberatkan baginya untuk mengerjakan setiap shalat fardhu di waktunya hingga diperbolehkan duduk dalam shalat fardhu.

 

Oashar adalah mengerjakan shalat fardhu lima waktu yang empat rakaat menjadi dua rakaat.

 

Syarat yang diperbolehkan gashar bagi seorang musafir ada tujuh syarat. Terdapat empat syarat tambahan yang belum disebutkan, sehingga seluruhnya menjadi sebelas syarat, yaitu :

 

1.Adanya tujuan tempat tertentu walaupun hanya menunjuk arahnya, seperti india.

 

  1. Menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan niat gashar selama shalatnya, seperti niat menyempurnakan shalat dan ragu tentang niat gasharnya.

 

  1. Perjalanan yang dilakukan dengan tujuan yang benar, seperti haji dan dagang bukan sekedar bertamasya atau melihat-lihat.

 

  1. Telah melampaui batas kota di kota yang mempunyai batas atau melampui bangunan-bangunan jika tidak ada batas kota.

 

Maksud “marhalatain” adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum dan istirahat seperti biasa. Jarak perjalanan itu dalam hitungan adalah 84 mil hasyimiyah (83km)

 

Satu mil – 6000 lengan menurut pendapat yang kuat, namun Ibnu Abdil Bar mentashhih bahwa satu mil itu sama dengan 3500 lengan, hal itu disepakati oleh Samhudiy.

 

Syarat pertama diperbolehkannya gashar bagi seorang musafi, adalah perjalanan pergi yang dilakukan mencapai marhalatain (83km).

 

Maksud mubah disini adalah perjalanan yang tidak untuk maksiat, yaitu perjalanan yang diperbolehkan syari’at, sehingga meliputi perjalanan yang hukumnya :

 

  1. Wajib, seperti perjalanan membayar utang.

 

  1. Sunnah, seperti perjalanan silaturahmi.

 

  1. Mubah, seperti perjalanan dagang.

 

  1. Makruh, seperti perjalanan sendirian atau perjalanan untuk dagang kain kafan bagi orang mati.

 

Syarat kedua diperbolehkan gashar bagi seorang musafir adalah perjalanannya diperbolehkan syari’at menurut sangkaannya. Maka tidak diperbolehkan menggashar shalat bagi perjalanan maksiat, yaitu perjalanan yang diniati dari awal untuk maksiat atau diubah untuk maksiat setelah awalnya tidak untuk maksiat. Orang yang pertama dinamakan (“aashii bissafar) sedangkan yang kedua dinamakan (‘aashii bissafar fissafar).

 

Apabila bertaubat pada orang yang pertama . . . maka boleh menggashar jika sisa perjalanannya masih 83 km, atau orang yang kedua bertaubat … maka boleh menggashar secara mutlak.

 

Apabila seseorang bermaksiat ditengah perjalanan yang niatnya untuk berdagangmisalnya… maka diperbolehkan baginya menggashar.

 

Orang yang semacam ini disebut : (‘aashii fissafar).

 

Syarat ketiga diperbolehkan gashar bagi seorang musafir adalah mengetahui bahwa dirinya diperbolehkan gashar secara syari’at. | Sehingga bila melihat orang-orang menggashar, lalu ikut menggashar bersama mereka tanpa mengetahui hukumnya, maka tidak sah shalatnya.

 

Syarat keempat diperbolehkan gashar bagi seorang musafir adalah membarengkan niat gashar ketika takbiratul ihram secara yakin.

 

Niat menggashar shalat adalah menyatakan gashar atau kata yang sesuai maknanya seperti shalat safar (perjalanan) atau shalat dhuhur dua rakaat misalnya.

 

Syarat kelima diperbolehkan gashar bagi seorang musafir adalah shalat yang ingin digashar merupakan shalat yang berjumlah empat rakaat -yaitu dhuhur atau ashar atau isya’-. Shalat yang berjumlah dua rakaat atau tiga rakaat tidak bisa digashar, maka tidak boleh ( menggashar shalat maghrib menurut pendapat yang shahih.

 

Syarat keenam diperbolehkan gashar bagi seorang musafir adalah adanya perjalanan secara yakin pada seluruh shalatnya, dari awal hingga akhir shalat.

 

Sehingga, bila kapalnya telah sampai daerah yang tidak boleh baginya menggashar shalat atau ragu apakah kapalnya sudah sampai atau berniat mugim atau ragu dalam niat mugimnya … maka orang itu telah berdosa.

 

Syarat ketujuh diperbolehkan gashar bagi seorang musafir adalah tidak menjadi makmum pada sebagian shalatnya dengan seorang yang menyempurnakan shalatnya, walaupun ia mengira bahwa orang itu musafir atau terbukti setelah imam menyempurnakan shalatnya. Berbeda bila imam belum terbukti menyempurnakan shalatnya, namun batal di tengah shalat karena hadats atau terkena najis, maka ia diperbolehkan menggashar shalat, walaupun ia telah mengikutinya sejenak.

 

Termasuk orang yang menyempurnakan shalatnya adalah orang yang diragukan apakah musafir atau bukan, maka orang yang berjamaah dengannya harus menyempurnakan shalatnya, walaupun terbukti bahwa ia adalah musafir dan menggashar shalatnya.

 

Apabila menyangka bahwa orang itu adalah musafir, namun ragu apakah orang itu berniat gashar, maka diperbolehkan niat gashar, atau mengaitkan niatnya dengan orang tersebut dengan menyatakan : “Bila dia gashar, maka aku akan menggashar.” … maka diperbolehkan bagi orang yang semacam ini untuk menggashar, jika imam akhirnya menggashar shalatnya.

 

Syarat sah shalat jum’at yang merupakan tambahan dari syaratsyarat lain yang ada pada berbagai shalat ada enam syarat.

 

Pengarang tidak berbicara tentang syarat wajib jum’at, dan itu sda tujuh, yaitu : Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, sehat dan mugim.

 

Syarat pertama dari syarat sah shalat jum’at adalah dilakukan semuany -dengan khutbahnyapada waktu dhuhur. Maka tidak boleh memulai shalat atau khutbah disertai keraguan apakah waktunya masih tersisa atau tidak.

 

Bila keadaan semacam itu maka shalat jum’at yang dilakukan tidak sah. Apabila waktu tidak mencukupi untuk melaksanakanshalat beserta khutbah yang singkat, maka wajib mengerjakan shalat dhuhur.

 

Apabila seseorang ragu apakah waktu masih tersisa atau tidak, lalu ia berniat shalat jum’at jika waktu tersisa dan jika tidak maka ia berniat dhuhur, maka shalat dengan niat tersebut dianggap sah menurut Ramli, berbeda dengan Ibnu Hajar.

 

Syarat kedua dari syarat sah shalat jum’at adalah shalat jum’at harus didirikan di dalam batas bangunan suatu daerah, walaupun batas itu dari kayu atau bambu atau pelepah kurma, dan yang di antaranya dari setiap tempat tidak diperbolehkan bagi seorang yang ingin melakukan perjalanan untuk menggashar shalatnya.

 

Apabila sekelompok orang mendirikan kemah di suatu padang pasir… maka tidak sah shalat jum’at di perkumpulan kemah tersebut, namun wajib bagi mereka menghadiri shalat jum’at di suatu daerah jika mereka mendengar adzan dari tempat mereka dan jika tidak mendengarnya maka tidak wajib shalat jum’at.

 

Syarat ketiga dari syarat sah shalat jum’at adalah rakaat pertama dari shalat jum’at dikerjakan berjamaah.

 

Sehingga, bila mereka shalat jum’at berjamaah di rakaat pertama, lalu mereka niat berpisah di rakaat kedua, diselesaikan shalatnya sendiri-sendiri… sah shalat jum’atnya. Berjamaah hanya disyaratkan pada rakaat pertama, berbeda dengan jumlah, yang harus ada hingga selesai shalat jum’at.

 

Maka, bila batal satu orang di antara mereka, seperti berhadats sebelum salam … maka batal shalat semua orang, walaupun mereka telah salam dan pulang ke rumah mereka. (Hal ini bisa terjadi bila jumlah orang yang hadir. shalat jum’at hanya 40 orang, termasuk khotibnya) Sehingga terdapat ungkapan teka-teki, yaitu : “Ada satu orang yang berhadats di masjid, namun batal pula shalat orang yang ada di rumah!”

 

Mustauthin adalah orang yang tidak bepergian dari tempat mugimnya, baik di musim panas atau dingin kecuali untuk suatu keperluan, seperti dagang atau ziarah.

 

Syarat keempat dari syarat sah shalat jum’at adalah orang yang hadir shalat jum’at berjumlah 40 orang dari kelompok orang-orang yang wajib shalat jum’at.

 

Tidak berpengaruh terlambatnya makmum melakukan takbiratul ihram setelah ihramnya imam, dengan syarat mereka memungkinkan membaca Al Fatihah dan ruku’ sebelum imam mengangkat dari minimal gerakan ruku’, namun bila tidak terpenuhi syarat tersebut maka tidak sah shalat jum’atnya. (Ini juga berlaku bila yang hadir cuma 40 orang termasuk khotib) :

 

Tidak diwajibkan untuk mengakhirkan shalat dhuhur dari orangorang yang tidak terhitung dalam shalat jum’at dengan orang-orang yang terhitung dalam shalat jum’at, seperti yang terdapat dalam kitab “Tuhfah” dan “Nihayah” dan “Mughniy”, namun berbeda yang terdapat dalam kitab “Ii-‘aab” dan “Syarh Minhaj”.

 

Di dalam kitab “Busyrol Kariim” dan lainnya disebutkan : “Manusia yang ada di hari jum’at terbagi menjadi enam bagian, yaitu:

 

  1. Orang yang wajib, terhitung dan sah, yaitu orang yang terpenuhi syarat wajib shalat jum’at dan tidak ada udzur.

 

2.Orang yang tidak wajib, tidak terhitung dan sah, yaitu budak, musafir, anak kecil yang belum baligh, wanita dan orang yang tidak mendengar panggilan adzan.

 

  1. Orang yang tidak wajib, terhitung dan sah, yaitu orang yang ada udzurnya, seperti orang sakit.

 

  1. Orang yang wajib, tidak terhitung dan tidak sah, yaitu murtad.

 

  1. Orang yang wajib, tidak terhitung dan sah, yaitu orang yang mugim, namun bukan mustauthin, dan orang yang tinggal di luar daerah namun mendengar suara adzan dari daerah tersebut.

 

  1. Orang yang tidak wajib, tidak terhitung dan tidak sah, yaitu orang gila dan semacamnya.

 

Syarat kelima dari syarat sah shalat jum’at adalah tidak didahului atau dibarengi dengan jum’at lainnya di daerah tersebut, walaupun besar dan banyak masjid-masjidnya.

 

Hal ini berlaku bila tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan orang-orang di daerah tersebut, namun bila tidak ada tempat yang cukup luas untuk menampung orang-orang yang biasa hadir shalat jum’at atau ujung daerah itu saling berjauhan, yaitu suara adzan tidak sampai kepada mereka atau terpisah antara mereka dengan adanya peperangan. . .maka diperbolehkan didirikan shalat jum’at di beberapa tempat sesuai keperluan, dan yang lebih dari itu dianggap batal.

 

Barangsiapa yang ragu apakah termasuk yang terdahulu atau yang terlambat atau adanya beberapa shalat jum’at ini sesuai keperluan atau tidak . . . maka wajib mengulangi shalat jum’at jika hal itu memungkinkan, dan bila tidak… maka shalat dhuhur setelahnya.

 

Apabila ada yang mendahului sedangkan tidak sulit untuk mengumpulkan dalam satu tempat … maka yang dahulu dianggap sah dan yang setelahnya dianggap batal. Dan bila bersamaan … maka keduanya dianggap batal.

 

Ukuran terdahulu atau bersamaan adalah huruf ra’ dari takbiratul ihram imam, walaupun terlambat takbiratul ihram makmum setelah makmum di tempat lain. Itulah yang disebutkan dalam kitab “Busyrol Kariim”.

 

Syarat keenam dari syarat sah shalat jum’at adalah didahului dengan dua khutbah, dan tidak dijadikan setelah shalat, seperti ied, karena kedua khutbah ini merupakan syarat sehingga didahulukan, berbeda dengan khutbah lain yang hukumnya sunnah sehingga diakhirkan.

 

Bagian yang menyusun dua khutbah yang menjadi syarat shalat jum’at ada lima rukun.

 

Rukun pertama dari khutbah jum’at adalah mengucapkan hamdalah pada dua khutbah, ataupun kata-kata yang semacamnya dengan disandarkan kepada lafadz “Allah”. Contoh :

 

Artinya : “Segala puji bagi Allah / Hanya bagi Allah segala pujian / Pujian itu bagi Allah / Aku memuji Allah.”

 

Namun tidak dapat mewakili hamdalah ucapan-ucapan berikut ini, yaitu :

 

Artinya : “Tidak ada tuhan selain Allah / Bersyukur tu hanya untuk Allah / Segala puji bagi Dzat Yang Maha Pengasih.”

 

Rukun kedua dari khutbah jum’at adalah membaca shalawat atas Nabi saw pada dua khutbah. Contoh :

 

Artinya : “Ya Allah, limpahkanlah shalawat / Semoga Allah memberi shalawat / Aku bershalawat / Kami bershalawat / Shalawat atas Muhammad / Shalawat atas Ahmad / Shalawat atas Rasul saw.”

 

Namun tidak diperbolehkan membaca shalawat atas Nabi saw dengan lafadz-lafadz semacam ini, yaitu :

 

Artinya : “Semoga Allah merahmati Muhammad / Semoga Allah melimpahkan shalawat kepadanya.”

 

Takwa artinya menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya: Rukun ketiga dari khutbah jum’at adalah memberi wasiat takwa pada dua khutbah. Contoh :

 

Artinya : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah/ Taatlah kalian kepada Allah dan berhati-hatilah kalian terhadap siksa Allah.”

 

Tidak cukup bila sekedar mengingatkan untuk waspada terhadap dunia, namun harus berisi anjuran untuk taat atau ancaman dari maksiat.

 

Rukun keempat dari khutbah jum’at adalah membaca satu ayat yang sempurna dan dipahami dari Al Qur’an pada salah satu khutbah. Utamanya dijadikan di akhir khutbah pertama. Tidak cukup bila hanya sebagian ayat, kecuali jika panjang dan dapat dipahami menurut Ramli, namun berbeda dengan Ibnu Hajar.

 

Rukun kelima dari khutbah jum’at adalah berdo’a pada khutbah kedua dengan do’a yang bersifat ukhrowi bagi kaum mukminin, khususnya bagi yang hadir atau umumnya bagi seluruh kaum mukminin. Dalam kitab “Busyrol Kariim” disebutkan : “Selama tidak diniatkan untuk seluruh dosa kaum mukminin . . . karena hal itu diharamkan.”

 

Tidak cukup bila dikhususkan kepada orang-orang yang tidak hadir shalat jum’at, walaupun mereka berjumlah banyak. Sunnah menyebutkan kaum mukminah, dan berdo’a bagi pemimpin kaum muslimin dan tentara mereka.

 

Syarat dari setiap dua khutbah jum’at ada sepuluh macam.

 

Dan terdapat tambahan tiga syarat yang belum disebutkan, sehingga menjadi 13, yaitu :

 

  1. Laki-laki.
  2. Mendengarkan khutbah.
  3. Khutbah dilakukan di dalam batas bangunan daerahnya.

 

Sedangkan khutbah-khutbah yang lain (seperti khutbah ied, gerhana atau istisga”)… tidak disyaratkan kecuali memperdengarkan bukan mendengarkan, dan khatibnya harus laki-laki, dan rukun khutbah dibaca dengan bahasa Arab.

 

Syarat pertama dari khutbah jum’at adalah khotib suci dari hadats kecil dan hadats besar.

 

Apabila berhadats di tengah-tengah khutbahnya, maka harus bersuci dan memulai khutbahnya kembali, walaupun tidak lama jarak pemisahnya.

 

Syarat kedua dari khutbah jum’at adalah khotib dalam keadaan suci pada pakaian, badan dan tempatnya, dan hal-hal yang berkaitan dengannya -sesuai perincian yang ada pada syarat sah shalatdari najis yang tidak dimaafkan syari’at.

 

Syarat ketiga dari khutbah jum’at adalah menutup aurat bagi khotib, walaupun menurut pendapat yang kuat bahwa dua khutbah jum’at bukanlah pengganti dua rakaat dhuhur.

 

Syarat keempat dari khutbah jum’at adalah berkhutbah dalam keadaan berdiri jika mampu. Apabila tidak mampu … maka khutbah dapat dilakukan sambil duduk, dan bila tidak mampu duduk … maka dapat berbaring, namun lebih utama digantikan dengan yang lain.

 

Syarat kelima dari khutbah jum’at adalah khotib duduk di antara dua khutbah selama lebih dari thuma’ninah shalat. Utamanya duduk selama bacaan surat al-Ikhlas, dan sunnah bagi khotib untuk membacanya saat duduk. Apabila tidak duduk di antara dua khutbah maka dihitung satu khutbah.

 

Syarat keenam dari khutbah jum’at adalah terus menerus antara khutbah pertama dengan khutbah kedua, dan antara rukun-rukunnya, yaitu tidak ada pemisah yang lama yang tidak ada kaitan dengan khutbah selama dua rakaat ringan. Maka masih diperbolehkan adanya pemisah berupa nasihat di antara rukun-rukunnya, walaupun lama atau berupa bacaan ayat yang panjang, dimana terkandung nasihat di dalam ayat tersebut, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Tuhfah”.

 

Syarat ketujuh dari khutbah jum’at adalah terus menerus antara dua khutbah dengan shalat jum’at, yaitu mengucapkan takbiratul ihram shalat jum’at sebelum berlalu waktu sejak selesainya khutbah kedua yang cukup untuk melaksanakan dua rakaat ringan, seperti dalam pembahasan terus menerus antara dua shalat jama’ tagdim dalam perjalanan.

 

Syarat kedelapan dari khutbah jum’at adalah rukun-rukun khutbah diucapkan dengan bahasa Arab, walaupun khotib dan orang-orang yang mendengarkannya bukan orang Arab dan tidak memahami bacaan tersebut.

 

Apabila tidak ada orang yang dapat membacanya dan tidak adg waktu untuk mempelajarinya … maka diperbolehkan khutbah dengan bahasa apapun selain ayat Al Qur’an.

 

Apakah itu dianggap sah, walaupun orang-orang tidak memahaminya, seperti bahasa Arab atau lainnya? Ada dua pendapat, gatu menyatakan sah dan yang lain menyatakan tidak sah. Sedangkan ayat Al Qur’an, bila tidak bisa dibaca dengan bahasa Arab, maka dapat dibaca penggantinya seperti yang telah dijelaskan dalam surat AJ Fatihah ketika shalat.

 

Syarat kesembilan dari khutbah jum’at adalah khotib memperdengarkan rukun-rukun khutbahnya kepada 40 orang yang terhitung dalam shalat jum’at, yaitu dengna mengeraskan suaranya hingga 39 orang yang sempurna selain dirinya mendengar khutbah.

 

Maka harus mendengarkan dan memperdengarkan khutbah dengan usahanya, sehingga tidak sah bila ada suara gaduh yang mencegah untuk mendengarkan rukun khutbah.

 

Itulah pendapat Ibnu Hajar, sedangkan Ramli berbeda pendapat tentang mendengarkan khutbah. Ia berkata : “Cukup dalam mendengarkan khutbah dengan kemampuannya saja, dimana jika memperhatikan, niscaya akan mendengarkan, walaupun orang tersebut sibuk bicara dengan teman duduknya.”

 

Imam Qolyubi rhm berkata : “Tidak berpengaruh jika tidur.” Sedangkan tuli atau jauh dari khotib tentu berpengaruh menurut kesepakatan ulama. Apabila khotib tuli, maka tidak disyaratkan untuk memperdengarkan khutbah kepada dirinya sendiri, karena ia tahu apa yang diucapkan.

 

Tidak disyaratkan orang-orang yang mendengarkan khutbah dalam keadaan suci, tertutup aurat, berada di tempat shalat, di dalam batas kota atau batas bangunan, sebagaimana telah diketahui dari apa yang telah dijelaskan.

 

Syarat kesepuluh dari khutbah jum’at adalah dilakukan kedua khutbah tersebut setelah tergelincirnya matahari.

 

Apabila seseorang langsung berkhutbah tanpa melihat waktu dan ternyata telah masuk waktu… maka dianggap sah menurut ‘Asymawiy, sedangkan Ibnu Oasim berkata : “Tidak sah.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BABA JENAZAH

 

Kewajiban yang harus kita lakukan terhadap mayit seorang muslim -selain syahid, walaupun tenggelam, bunuh diri, bayi prematur yang lahir masih hidup, ada empat hal, yaitu memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan.

 

Semua akan dijelaskan secara terperinci nanti, namun ada yang kelima belum disebutkan, yaitu membawanya ke kubur.

 

Apabila semua ini dikerjakan oleh seorang di antara kita, walaupun belum mumayyiz, atau mayit memandikan dirinya sendiri, atau dimandikan oleh mayit lain sebagai bentuk karamah (kelebihan orang yang dekat kepada Allah)… maka yang lain tidak berdosa.

 

Apakah cukup bila yang memandikan itu adalah jin? Ramli berkata . “Cukup”, sedangkan Ibnu Hajar menyatakan : “Tidak cukup.”

 

Orang yang mati syahid haram dimandikan dan dishalatkan, namun “wajib dikafani dan dikuburkan.

 

Sedangkan mayit kafir boleh dimandikan, namun haram dishalatkan. Apabila orang kafir tersebut mu’aahad atau mu-amman atau dzimmiy (semua itu adalah orang kafir yang bukan memerangi kaum muslimin)… maka wajib dikafani dan dikuburkan.

 

Memandikan mayit minimalnya adalah meratakan seluruh badannya, baik rambut atau kulitnya, dengan air, artinya setelah menghilangkan najis ainiyah yang ada pada mayit. Sedangkan najis hukmiyah yang ada pada mayit, maka cukup dengan sekali aliran air untuk menghilangkan najis dan untuk memandikannya.

 

Tidak ada kewajiban niat untuk memandikan mayit, namun hanya disunnahkan saja.

 

Cara memandikan mayit yang sempurna adalah orang yang memandikan mengusap perut mayit dengan tangan kirinya dan sedikit ditekan, lalu membasuh dubur dan qubulnya disertai najis yang ada di sekitarnya dengan kain lap yang menutupi tangan kirinya.

 

Menghilangkan kotoran dari hidungnya, begitu pula dari giginya dengan kain lap yang lain. Setelah itu mewudhukan mayit dengan menghadirkan niat, seperti wudhu orang yang hidup.

 

Kemudian menggosok tubuhnya dengan sidr (sejenis sabun), dibasuh bagian kepala terlebih dahulu, lalu jenggotnyal, lalu bagian depan tubuhnya yang sisi kanan, lalu bagian depan tubuhnya yang sisi kiri, lalu bagian belakang sisi kanan, lalu bagian belakang sisi kiri, kemudian dihilangkan bekas sidr (sabun) dengan air dari ujung kepala hingga bawah kakinya.

 

Setelah itu membasuh seluruh tubuhnya tiga kali dengan air murni dicampuri sedikit kapur barus sebagai suatu hal yang sunnah.

 

Itulah makna dari apa yang disebutkan oleh pengarang kitab ini, sehingga terdapat lima kali basuhan.

 

Cara minimal memandikan mayit yang sempurna adalah mengguyurkan air murni sekali setelah bilasan untuk menghilangkan sidr (sabun), sehingga jumlahnya tiga kali basuhan.

 

Cara lain memandikan mayit dengan sebanyak lima kali basuhan adalah : pertama dengan sidr (sabun), kedua bilasan, ketiga dengan sidr (sabun), keempat bilasan, kelima dengan air murni.

 

Cara yang lebih utama dari lima kali basuhan adalah sebanyak tujuh kali basuhan, dan itu mempunyai tiga cara, yaitu :

 

  1. Pertama sidr (sabun), kedua bilasan, ketiga sidr (sabun), keempat bilasan, kelima, keenam, ketujuh dengan air murni.

 

  1. Pertama sidr (sabun), kedua bilasan, ketiga air murni, keempat dan kelima dengan sidr (sabun), keenam bilasan, ketujuh air murni.

 

  1. Pertama sidr (sabun), kedua bilasan, ketiga sidr (sabun), keempat bilasan, kelima sidr (sabun), keenam bilasan, ketujuh air murni. Cara yang lebih utama dari tujuh kali basuhan adalah sebanyak sembilan kali basuhan, dan itu mempunyai dua cara, yaitu :

 

  1. Pertama sidr (sabun), kedua bilasan, ketiga air murni, begitu selanjutnya hingga tiga kali dilakukan.

 

  1. Pertama sidr (sabun), kedua bilasan, ketiga sidr (sabun), keempat bilasan, kelima sidr (sabun), keenam bilasan, ketujuh, kedelapan dan kesembilan dengan air murni.

 

Sesungguhnya yang dianggap memandikan mayit dalam semua cara tersebut adalah yang menggunakan air murni.

 

Beberapa hal yang disunnahkan saat memandikan mayit adalah memandikan dalam ruang tersendiri, tidak masuk kecuali orang yang memandikan dan orang yang membantunya serta kerabat mayit, yaitu ahli waris terdekat, memandikan dengan gamis yang basah atau tipis, mayit diletakkan di tempat yang cukup tinggi, menggunakan air yang tidak panas, kecuali untuk suatu keperluan, seperti dingin atau kotor, wajahnya ditutup dengan kain, orang yang memandikan hendaklah tidak melihat selain auratnya kecuali sekedar diperlukan, sedangkan melihat aurat adalah haram.

 

Mengkafani mayit yang wajib kita lakukan minimalnya adalah bila dipandang dari sisi hak mayit yaitu kain yang menutupi tubuhnya dari sesuatu yang halal dipakai ketika ia masih hidup, walaupun dikafani dari harta orang lain. Jika dipandang dari sisi hak Allah Ta’ala… kain kafan itu berupa penutup aurat yang berbeda bila dilihat mayit itu laki laki atau perempuan, bukan dilihat dari budak atau merdeka. Maka mayat punya hak untuk menghapus kain yang melebihi dari penutup aurat menurut Ibnu Hajar, berbeda dengan Ramli.

 

Para piutang mempunyai hak untuk mencegah mayit itu dikafani dengan dua atau tiga kain kafan. Sedangkan ahli waris mempunyai hak untuk mencegah mayit itu dikafani lebih dari tiga kain kafan, namun tidak punya hak mencegah mayit itu dikafani dengan tiga kain kafan.

 

Apabila mayit itu adalah seorang yang sedang ihram haji atau umrah, maka haram ditutup kepalanya bila laki-laki dan wajahnya bila perempuan.

 

Mengkafani bagi laki-laki sempurnanya dengan tiga kain kafan, dengan setiap kafan menutupi seluruh tubuhnya, kecuali kepala lakilaki dan wajah wanita yang sedang ihram haji atau umrah, seperti yang telah dijelaskan.

 

Diharamkan bila kain kafan itu tidak dapat menutupi seluruh tubuhnya kecuali dengan paksaan.

 

Mengkafani dengan tiga kain kafan itu dianggap sempurna atau sunnah bila orang tersebut dikafani dengan harta orang lain atau ia mempunyai hutang yang menghabiskan harta warisnya, sehingga bila tidak semacam itu… maka wajib dikafani dengan tiga kain kafan.

 

Sempurnanya mengkafani wanita -termasuk pula banci-dengan lima kain kafan, yaitu :

 

  1. Qamis, seperti gamis orang yang hidup.
  2. Sarung, yaitu menutupiantara pusar dan lututnya, dan diletakkan di bawah gamis.
  3. Khimar, yaitu menutupi kepala, dan diletakkan setelah gamis.
  4. dan 5. Dua kain kafan yang menyelubungi seluruh tubuhnya.

 

Hal ini berlaku jika tidak ada ahli waris yang masih belum baligh atau tidak berakal, namun bila ada ahli waris yang semacam itu, maka tidak boleh dikafani kecuali dengan tiga kain kafan. Baa-asyan berkata : “Halini perlu diperhatikan, karena kebanyakan yang dilakukan orang tidak semacam ini.”

 

Kain kafan yang paling utama adalah berwarna putih, berupa kain katun. Kain yang baru lebih utama dari yang sudah dicuci, seperti yang disebutkan dalam kitab “Tuhfah”.

 

Kata (janazah/jinazah) dalam bahasa Arab berarti : nama bagi mayit yang ada dalam keranda, sedangkan (jinazah) berarti : nama bagi keranda yang terdapat mayit di dalamnya. Bagian yang menjadi bagunan pokok shalat jenazah ada tujuh rukun.

 

Rukun pertama shalat jenazah adalah niat, yaitu dengan menyatakan alah satu niat berikut ini :

 

Artinya : “Saya berniat shalat atas mayit ini fardhu kifayah.”

 

Artinya : “Saya berniat shalat atas siapa yang dishalatkan oleh imam fardhu.”

 

Artinya : “Saya berniat shalat atas siapapun yang hadir dari mayit kaum muslimin fardhu kifayah.”

 

Harus ada niat fardhu, walaupun orang yang shalat jenazah itu adalah wanita dan anak yang belum baligh. Dan tidak wajib niat fardhu itu dikaitkan dengan kifayah.

 

Rukun kedua shalat jenazah adalah empat kali takbir, termasuk yang pertama adalah takbiratul ihram.

 

Tidak berpengaruh jika takbir lebih dari empat kali, walaupur ja mengetahui hukumnya dan sengaja serta menganggapnya sebaga! yukun. Benar, jika meyakini batalnya shalat dengan adanya tambahar takbir karena tidak mengetahui hukumnya, maka hal itu berpengaruh dan membatalkan shalatnya.

 

Rukun ketiga shalat jenazah adalah berdiri bagi yang mampu, baik laki-laki atau anak kecil, atau banci atau wanita yang ikut shalat bersama laki-laki. Apabila tidak mampu berdiri… maka perinciannya telah disebutkan pada masalah berdiri dalam rukun shalat.

 

Rukun keempat shalat jenazah adalah membaca Al Fatihah setelah mengucapkan salah satu takbir, walaupun setelah takbir tambahan. Utamanya dijadikan setelah takbiratul ihram.

 

Apabila membaca Al Fatihah diakhirkan di selain yang pertama, maka bacaan Al Fatihah boleh didahulukan atau diakhirkan setelah dzikir yang seharusnya dibaca setelah takbir tersebut.

 

Apabila tidak mampu membaca Al Fatihah . . . maka dapat digantikan dengan yang lain sebagaimana dibahas pada rukun shalat.

 

Rukun kelima shalat jenazah adalah membaca shalawat atas Nabi saw dan diwajibkan setelah takbir kedua. Bacaan shalawat yang paling pendek adalah :

 

Artinya : “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad.”

 

Bacaan shalawat yang paling sempurna adalah :

 

Artinya : “Ya Allah! Limpahkanlah shalawat atas Sayyidina Muhammad dan atas keluarga Sayyidina Muhammad, sebagaimana telah Engkau beri shalawat atas Sayyidina Ibrahim dan keluarga Sayyidina Ibrahim. Dan limpahkanlah keberkahan atas Sayyidina Muhammad dan atas keluarga Sayyidina Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi keberkahan atas Sayyidina Ibrahim dan keluarga Sayyidina Ibrahim. Di seluruh alam semesta Engkaulah yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”.

 

Disunnahkan membaca hamdalah sebelumnya, dan do’a bagi kaum mukminin setelahnya, begitu pula menggabungkan salam dengan shalawat tersebut menurut sebagian ulama.

 

Rukun keenam shalat jenazah adalah membaca do’a bagi mayit khususnya dan wajib dibaca setelah takbir ketiga. Bacaan do’a yang paling pendek adalah suatu bacaan yang disebut sebagai do’a, seperti :

 

Artinya : “Ya Allah, rahmatilah dia.”

 

Apabila mayit adalah bayi, maka do’anya seperti do’a orang dewasa menurut Ibnu Hajar, sehingga sesuai pendapatnya tidak cukup membaca do’a yang dikhususkan bagi anak kecil yang akan disebutkan nanti do’anya. Tetapi Ramli menyatakan cukup dengan do’a tersebut.

 

Bacaan do’a yang sempurna yang dapat dibaca bagi mayit dewasa dan anak-anak, yaitu :

 

Artinya : “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang hidup dan mati di antara kami, orang-orang yang ada dan gaib di antara kami, orang-orang yang kecil dan dewasa di antara kami, laki-laki dan wanita di antara kami. Ya Allah, siapapun yang Engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah dalam keadaan Islam, dan siapapun yang Engkau matikan di antara kami maka matikanlah dalam keadaan iman. Ya Allah, jangan Engkau haramkan kami pahalanya dan Jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”

 

Dan setelah itu membaca do’a berikut bila yang meninggal adalah Orang dewasa :

 

Artinya : “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu, dan anak dari hamba-Mu, keluar dari wewangian dan luasnya dunia menuju kegelapan kubur dan segala sesuatu yang akan dihadapinya sedangkan pencintanya dan orang-orang yang dicintainya berada di dunia. Dulu dia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Engkau semata, tidak ada sekutu bagi-Mu, dan bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu. Dan Engkau lebih mengetahui keadaannya dari kami. Ya Allah, sesungguhnya dia singgah menemui-Mu dan Engkau adalah sebaik-baik tempat singgah. Ia dalam keadaan agir dan membutuhkan rahmat-Mu, dan Engkau tidak butuh untuk mengadzabnya. Kami telah datang mengharap kepada-Mu agar memberi syafaat kepadanya. Ya Allah, jika dia tergolong orang yang baik, maka tambahkan kebaikan baginya, dan jika dia tergolong orang yang buruk, maka hapuskanlah keburukannya. Pertemukanlah dia dan keridhoan-Mu dengan rahmat-Mu, jagalah ia dari fitnah kubur dan siksanya. Lapangkanlah kuburnya dan jauhkan bumi ini dari sesi tubuhnya, berikanlah keamanan dari adzab-Mu dengan rahmatMu hingga Engkau bangkitkan ia dalam keadaan aman menuju surga-Mu, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih di antara yang mengasihi.”

 

Itulah do’a yang dikumpulkan oleh Imam Syafi’i ra dari berbagai riwayat hadits, dan para ulama menganggapnya baik. Ibnu Hajar berkata :

 

“Dalam riwayat Mulim terdapat do’a yang panjang dari Nabi saw, dan tampaknya itu adalah do’a yang paling utama, yaitu :

 

Artinya: “YaAllah, ampunilahdia, berikanlah rahmat dan keselamatan baginya dan maafkanlah dia, muliakanlah kedudukannya, lapangkanlah tempat masuknya, basuhlah ia dengan air, salju dan embun, bersihkanlah dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau bersihkan baju putih dari kotoran, gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik dari tempat tinggalnya di dunia, juga keluarga yang lebih baik dari keluarga yang ia tinggalkan, juga pasangan yang lebih baik dari pasangan semasa di dunia, masukkanlah surga, lindungilah dari siksa kubur dan fitnahnya serta dari siksa api neraka”.

 

Beliau berkata : “Secara dhahir, bahwa yang dimaksudkan dengan penggantian keluarga dan istri adalah penggantian sifat bukan dzat.”

 

Dan bila mayit itu adalah anak kecil yang kedua orang tuanya muslim, maka hendaklah membaca do’a berikut :

 

Artinya : “Ya Allah, jadikanlah ia sebagai pahala yang didahulukan bagi kedua ora ng luanya, peninggalan, simpanan, nasihat, pelajaran dan pemberi syafaat bagi keduanya, beratkanlah timbangan amal keduanya, limpahkanlah kesabaran pada hati keduanya, janganlah Engkau beri fitnah kepada keduanya sepeninggalnya dan jangan Engkau haramkan pahalanya bagi keduanya.”

 

Rukun ketujuh shalat jenazah adalah mengucapkan salam sebagaimana shalat-shalat yang lain. Waktu salam adalah setelah takbir keempat. Tidak disunnahkan menambah (wabarakaatuh) pada ucapan salam menurut Ramli, namun berbeda pendapat Ibnu Hajar. Sebagian ulama memilih bahwa itu disunnahkan di seluruh shalat. Disunnahkan setelah takbir keempat dan sebelum salam membaca do’a bagi mayit. Diantaranya adalah do’a berikut ini :

 

Artinya : “Ya Allah, jangan Engkau haramkan kami pahalanya, dan jangan Engkau beri fitnah kami sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia.” Disunnahkan pula membaca shalawat atas Nabi saw dan do’a bagi kaum mukminin dan mukminat, serta membaca ayat berikut :

 

Artinya : “(Malaikat-malaikat) yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu. Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu, maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan ulah kemenangan yang besar.” (O.S. Al-Mu’min : 7-9)

 

Artinya : “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (O.S. Al Bagarah : 201)

 

Artinya : “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, Karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)”. (O.S. Ali Imran:8)

 

Minimal cara menguburkan yang dikatakan telah melakukan hal yang wajib dalam penguburan adalah adanya galian yang dapat mencegah bau mayit setelah dikebumikan dan menjaganya dari binatang buas yang akan menggali dan memakannya.

 

Tidak cukup adanya bangunan di atas kubur, namun masih memungkinkan digali kembali oleh binatang buas. Dan bila tidak dapat dicegah kecuali dengan didirikan bangunan di atasnya … maka hal itu menjadi wajib hukumnya.

 

Cara menguburkan yang sempurna adalah galian setinggi orang berdiri dan membentangkan tangannya ke atas. Itu berarti ukurannya adalah 4,5 lengan biasa.

 

Disunnahkan agar menambah panjang dan lebarnya yang cukup bagi orang yang menurunkan ke dalam kubur dan orang yang membantunya.

 

Orang dewasa ataupun anak-anak yang menjadi mayit adalah sama dalam ketentuan penguburannya.

 

Cara penguburan terbagi dua, pertama : (lahd) adalah membuat galian yang cukup untuk mayit di sisi kuburan yang bawah dan menghadap kiblat setelah digali setinggi orang yang berdiri dan membentangkan tangan ke atas. Kedua : (syaq) adalah membuat galian di tengah kubur, seperti sungai.

 

Cara mengubur dengan lahd adalah lebih utama dibandingkan dengan cara syag, jika tanahnya keras. Namun jika tanahnya tidak keras, maka syaq adalah lebih utama dari pada lahd.

 

Disunnahkan pipi mayit sebelah kanan diletakkan di atas tanah atau batu bata atau semacamnya setelah menyingkirkan kain kafan : yang menutupi wajahnya.

 

Wajib menghadapkan mayit muslim ke kiblat, walaupun janin di dalam perut ibu yang kafir, dan telah ditiupkan ruh ke dalam janin, namun tidak memungkinkan untuk menyelamatkan kehidupannya. Sehingga ibunya harus diarahkan membelakangi kiblat, karena wajah janin menghadap punggung ibunya.

 

Disunnahkan mayit dibaringkan pada sisi kanan tubuhnya, dan makruh bila pada sisi kirinya. Disandarkan wajah dan kedua kakinya ke tembok kubur, sedangkan bagian tubuh yang lain dijauhkan dari tembok tersebut, sehingga seperti gerakan orang yang ruku’. Sunnah pula punggungnya disandarkan dengan tanah atau batu bata, begitu pula di bawah kepalanya.

 

Mayit wajib digali kembali dari kuburnya bila terdapat salah satu dari empat hal berikut. Itu sesuai yang disebutkan pengarang, namun sesungguhnya mereka para ulama telah menyebutkan lebih banyak dari itu, diantaranya adalah :

 

Jika dikubur di tanah curian, atau dikafani dengan kain kafan curian, dan orang yang mempunyainya menuntut. Jika orang kafir dikubur di tanah haram, dan jika khawatir akan digali orang lain.

 

Dan diperbolehkan menggali kuburan jika khawatir terjadi banjir dan bila telah hancur dan menjadi debu.

 

Kuburan wajib digali kembali jika untuk dimandikan mayitnya, karena telah dikuburkan sedangkan mayit belum dimandikan. Hal itu harus dilakukan jika mayit belum berubah. Termasuk pula dalam hal ini adalah untuk ditayammumkan bila memang seharusnya mayit ditayammumkan. Inilah perkara kedua dari berbagai perkara yang wajib digali suatu kuburan karenanya.

 

Kuburan wajib digali pula bila untuk dihadapkan mayitnya ke kiblat, karena mayit telah itu dikuburkan dengan tanpa menghadap kiblat. Hal ini harus dilakukan jika mayit belum berubah pula. Inilah perkara kedua dari berbagai perkara yang wajib digali suatu kuburan karenanya.

 

Wajib digali pula suatu kuburan bila ada harta yang terkubur bersama mayit, walaupun sedikit, baik dari harta warisnya atau milik orang lain, walaupun orang tersebut tidak menuntutnya selama belum dimaafkan olehnya. Permasalahan ini bila harta tidak tertelan oleh mayit, bila tertelan maka tidak boleh digali jika harta itu miliknya sendiri atau milik orang lain dan tidak dituntut. Apabila orang tersebut mmenuntutnya, maka wajib digali dan dibelah tubuhnya untuk diambil dan diserahkan hartanya. Inilah perkara ketiga dari berbagai perkara yang wajib digali suatu kuburan karenanya.

 

Wajib digali kembali suatu kuburan bila seorang wanita Aikuburkan, sedangkan di dalam perutnya terdapat janin yang masih hidup. Syaratnya adalah jika dimungkinkan janin tersebut masih bisa hidup setelah dibelah perut ibunya, dan janin itu telah berumur enam bulan atau lebih. Bila keadaan semacam itu maka wajib dibelah perut ibunya dan diselamatkan janinnya, namun bila tidak memungkinkan untuk menyelamatkan janin, maka ibu tersebut dibiarkan tanpa dikuburkan hingga janin itu mati dan dikuburkan bersama ibunya. ‘ Inilah perkara keempat dari berbagai perkara yang wajib digali suatu kuburan karenanya.

 

Bantuan walaupun tanpa adanya permintaan bila dipandang dari hukum syari’atnya terbagi menjadi empat bagian, yaitu :

 

  1. Mubah, dikerjakan atau ditinggalkan sama keadaannya.

 

  1. Khulaful Aula, boleh dikerjakan atau ditinggalkan, namun ditinggalkan adalah lebih utama.

 

3.Makruh, boleh dikerjakan atau ditinggalkan, namun jika ditinggalkan karena melaksanakan perintah mendapat pahala.

 

  1. Wajib, dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan akan mendapat dosa.

 

Masih tersisa bagian yang kelima, yaitu bantuan yang bersifat Sunnah, seperti bermaksud untuk mengajari orang yang membantu dirinya, dan seperti menolong orang yang berdiri di shaf sendirian jika ia ditarik untuk berdiri bersamanya.

 

Bagian yang keenam adalah bantuan yang bersifat haram, seperti membantu orang untuk mengerjakan perbuatan haram.

 

Bantuan yang hukumnya mubah adalah menghadirkan air. Termasuk pula menghadirkan wadah dan timba. Hal ini tidak dapat dikatakan khilaful aula, karena terdapat riwayat dari apa yang terjadi pada Rasulullah saw. Inilah bagian pertama dari pembagian bantuan menurut syari at.

 

Bantuan yang hukumnya khilaful aula adalah bantuan dengan mengalirkan air bagi orang yang berwudhu misalnya, seperti orang yang mencuci bajunya.

 

Seorang ulama Syubromullasiy berkata : “Hendaklah wudhu yang semacam ini dari air kran, karena memang kran itu dipersiapkan untuk pemakaian yang semacam ini, tidak dapat digunakan untuk lainnya.”

 

Apabila seseorang meminta bantuan untuk diguyurkan air, maka lebih utama orang yang mengguyurkan itu berada di sebelah kiri orang yang berwudhu, karena hal itu lebih memungkinkan dan lebih baik dari segi adabnya.

 

Bantuan yang bersifat makruh adalah bantuan membasuh anggota tubuh orang yang berwudhu misalnya, selama tidak ada udzur.

 

Bantuan yang wajib hukumnya adalah membantu orang yang sakit jika ia tidak mampu, maka wajib bagi orang yang sakit untuk mendapatkan orang yang membantunya, walaupun dengan upah yang sewajarnya, jika ia mempunyai kelebihan sebagaimana yang disyaratkan dalam zakat fitrah, dan bila tidak mempunyai kelebihan maka diperbolehkan shalat dengan tayammum dan diulang shalatnya.

 

Apabila terdapat seseorang yang mau membantu dirinya untuk berwudhu tanpa upah … maka wajib diterima karena tidak ada hutang budi dalam perkara ini.

 

 

 

 

 

 

 

BAB ZAKAT

 

Telah dibahas dalam rukun Islam, bahwa zakat secara bahasa berarti tumbuh berkembang dan penyucian, sedangkan secara syari’at adalah sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan sesuai ketentuan tertentu.

 

Harta yang wajib dizakati oleh seorang muslim, merdeka, kepemilikan sempurna, pemiliknya tertentu dan yakin adanya, ada enam macam harta.

 

Orang kafir tidak ada kewajiban zakat selama masa kekufuran orang itu, sedangkan orang murtad bila kembali masuk Islam maka wajib dikeluarkan zakatnya selama masa murtad, dan bila tidak kembali masuk Islam maka tidak ada kewajiban zakat yang harus dikeluarkan dari harta itu, karena harta tersebut menjadi milik baitul mal sejak murtadnya, dan itu berarti pemiliknya bukanlah tertentu.

 

Seorang budak, tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat, karena budak itu tidak memiliki apapun, namun wajib bagi budak yang sebagian dari dirinya telah merdeka dari sebagian harta yang dimilikinya, karena sebagian yang lain milik tuannya.

 

Seorang budak mukatab, tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat, karena kepemilikan hartanya dianggap lemah, sedangkan syarat wajib zakat adalah kepemilikan harta yang sempurna. (Budak mukatab adalah budak yang mengadakan perjanjian kebebasan dirinya dengan tuannya dalam masa waktu tertentu dengan pembayaran tertentu).

 

Harta yang dimiliki oleh masjid, pondok, madrasah atau yang diwakafkan kepada orang-orang fakir tidak ada zakatnya, karena tidak dimiliki oleh orang tertentu, karena syarat wajib zakat adalah pemiliknya tertentu.

 

Janin yang mendapatkan harta warisan tidak wajib dizakati, karena belum yakin adanya, sedangkan syarat wajib zakat itu adalah yakin keberadaan pemiliknya. Sehingga bila janin tersebut lahir dalam keadaan mati … maka tidak wajib bagi ahli waris yang lain untuk mengeluarkan zakatnya.

 

Kata (na’am) berarti unta, sapi dan kambing.

 

Macam harta pertama yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah unta, sapi dan kambing. Syarat wajib zakat ternak itu adalah :

 

  1. Mencapai nishab,yaitu ukuran tertentu yang wajib dikeluarkan zakatnya.

 

  1. Berlalu satu tahun sempurna dan terus menerus dan harta itu berada dalam kepemilikannya. Benar, anak-anak yang lahir di pertengahan tahun dari hewan ternak yang telah mencapai nishab diikutkan perhitungan tahunnya dengan induknya.

 

  1. Diternakkan di tempat yang tidak ada pemiliknya. Tidak cukup bila hewan ternak itu menggembalakan dirinya sendiri, namun harus dari pemiliknya.

 

Nishab unta sebanyak lima, zakatnya satu kambing kibasy yang berumur satu tahun atau kambing kacang yang berumur dua tahun. Sepuluh unta zakatnya dua ekor kambing, 15 unta : 3 kambing, 20 unta : 4 kambing.

 

25 unta : zakatnya bintu makhodh, yaitu unta yang berumur satu tahun sempurna. 36 unta : zakatnya bintu labuun, yaitu unta yang berumur dua tahun. 46 unta : hiqqah, yaitu unta yang berumur tiga tahun. 61 unta : jadz’ah, yaitu unta yang berumur empat tahun. 76 unta : 2 bintu labuun. 91 unta : 2 higgah. 121 unta : 3 bintu labuun. 130 unta : higgah dan 2 bintu labuun. Kemudian, di setiap kelipatan 40 dari unta yang dimiliki, maka zakatnya satu bintu labuun dan di setiap kelipatan 50, maka zakatnya berupa satu hiqqah.

 

Nishab sapi sebanyak 30, zakatnya adalah tabii’ yaitu satu sapi jantan yang berumur satu tahun, atau tabii-‘ah, yaitu satu sapi betina yang berumur satu tahun. Bila sapi itu berjumlah 40, maka zakatnya berupa musinnah, yaitu sapi betina yang berumur dua tahun. Begitulah selanjutnya, di setiap kelipatan 30 atau 40, maka zakat yang harus dikeluarkan seperti yang telah disebutkan.

 

Nishab kambing adalah 40, zakatnya berupa satu kambing. Dan bila berjumlah 121 : zakatnya 2 kambing. 201 kambing : 3 kambing. 400 kambing : 4 kambing. Kemudian di setiap kelipatan 100 maka zakat yang harus dikeluarkan adalah satu kambing.

 

Maksud (nagdaan) adalah emas dan perak.

 

Macam kedua dari harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah emas dan perak. Syarat wajib zakat emas dan perak adalah :

 

  1. Berlalu selama satu tahun sempurna, dan harta itu masih dalam kepemilikannya, selama bukan termasuk tambang atau harta temuan.

 

  1. Mencapai nishab. Nishab emas : 20 mitsgal (84gram) sedangkan nishab perak : 200 dirham (596 gram)

 

Satu mitsgal itu sebanyak 1,5 gaflah yamaniyah, satu dirham itu sebanyak 1,2 gaflah yamaniyah.

 

Zakat harta emas dan perak yang harus dikeluarkan adalah sebanyak 2,5 %, kecuali harta temuan yang akan dijelaskan nanti.

 

Tidak ada zakat pada harta perhiasan yang hukumnya mubah, jika diketahui pemiliknya dan tidak ada maksud menyimpannya. Namun wajib dizakati bila perhiasan itu hukumnya makruh atau haram.

 

Maksud (mu’asysyaroot) adalah buah-buahan berupa kurma dan anggur, dan biji-bijian yang menjadi makanan pokok di masa bukan paceklik, seperti gandum, jagung dan beras. Macam ketiga dari harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah kurma, anggur dan biji-bijian yang menjadi makanan pokok di masa bukan paceklik.

 

Wajib mengeluarkan zakat tanaman ini bila telah mencapai nishab, yaitu satu kail berupa lima wasg. Sedangkan satu wasg itu sebanyak 60 sha”. Dan satu sha’ itu sebanyak lima mud nabawi dan beratnya 1600 rithl baghdadiy. (sekitar 720 kg)

 

Kurma dan kismis itu ukurannya dengan menggunakan takaran bila buah tersebut telah berubah menjadi kurma dan kismis, dan bila belum berubah maka diperhitungkan sejak berupa ruthob atau anggur.

 

Zakat tanaman yang diairi dengan tanpa bantuan -seperti diairi dengan hujan, maka yang dikeluarkan sebanyak 10 %, sedangkan tanaman yang diairi dengan bantuan -seperti diairi dengan hewan-, maka zakat yang dikeluarkan sebanyak 5 %.

 

Dagang adalah memutarkan harta dengan maksud mendapat keuntungan.

 

Macam keempat dari harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta perdagangan. Syarat wajib zakat harta perdagangan :

 

  1. Berupa barang
  2. Adanya niat berdagang
  3. Niat tersebut bersamaan dengan kepemilikan atau saat berada di majlis agad jual beli.
  4. Kepemilikan didapat melalui pertukaran, seperti jual beli, sewa menyewa dan mahr yang diniatkan untuk modal dagang, bukan didapat melalui warisan atau hadiah.
  5. Barang dagangan tidak berubah menjadi modal (emas, perak atau uang) di pertengahan tahunnya dan jumlahnya kurang dari nishab. Apabila hal itu terjadi . . . maka terputuslah hitungan tahun zakatnya.
  6. Tidak ada maksud menyimpannya di pertengahan tahun. Bila bermaksud menyimpannya, terputus pula hitungan tahun zakatnya. Bila barang tersebut dipakai tanpa ada niat untuk menyimpannya, maka hitungan tahun zakat tidak terputus.

7.Berlalu satu tahun sejak awal kepemilikan. Nishab tidaklah disyaratkan kecuali di akhir tahun.

 

Makna (‘ardh) adalah sesuatu yang bukan emas dan perak yang termasuk macam harta. Sedangkan (“arodh) adalah seluruh kesenangan dunia dari emas, perak dan lainnya. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah makna pertama.

 

Zakat perdagangan yang harus dikeluarkan adalah sebanyak 2,5% dari harga barang dagangannya. Maka barang yang ada dinilai dengan emas, perak atau mata uang yang yang dijadikan sebagai modal awalnya.

 

Apabila barang tersebut diperoleh dengan cara tukar menukar barang, maka dikeluarkan zakatnya berupa mata uang di daerahnya. Apabila mencapai nishab, maka dikeluarkan zakatnya 2,5 % Sehingga zakat perdagangan berkaitan dengan harga barangnya sedangkan zakat yang lain berkaitan dengan barangnya. PE —0 Makna (rikaaz) adalah sesuatu yang terpendam di tanah. Macam kelima dari harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta temuan. Syarat wajib zakat harta temuan adalah :

 

  1. Berupa emas atau perak.

 

  1. Mencapai nishab.

 

  1. Termasuk peninggalan zaman jahiliyah, yaitu sebelum diutusnya Sayyiduna Muhammad saw, dinamakan semacam itu karena banyaknya kebodohan mereka.

 

  1. Ditemukan di tempat yang tidak ada pemiliknya atau di suatu tempat, dimana dia yang pertama kali memiliki tempat tersebut Zakat yang wajib dikeluarkan dari harta temuan sebanyak 206 dan dikeluarkan secara langsung, sehingga tidak ada syarat menunggu hingga satu tahun kepemilikan.

 

Kata (ma’din) adalah sesuatu yang dikeluarkan dari suatu tempat, dimana Allah Ta’ala telah menciptakannya di dalamnya. Tempatny3 juga dinamakan (ma’din). Macam keenam dari harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta pertambangan.

 

Syarat wajib zakat pertambangan adalah :

 

  1. Berupa emas atau perak, maka tidak wajib zakat dari tambang batu permata, kristal atau besi misalnya.

 

  1. Mencapai nishab, dan tidak disyaratkan mencapai satu tahun sebagaimana telah dijelaskan.

 

Zakat yang harus dikeluarkan dari harta pertambangan adalah sebanyak 2,5 %

 

Sebagaimana diwajibkan zakat harta .. . maka diwajibkan pula zakat badan, yang dinamakan zakat fitrah, yaitu berupa satu sha’ (2,5kg / 3liter) makanan pokok di daerah tersebut bagi seseorang yang terpenuhi tiga syarat, yaitu :

 

  1. Islam.

 

  1. Mendapati waktu maghrib hari terakhir bulan Ramadhan.

 

  1. Mempunyai kelebihan dari apa yang dibutuhkan untuk makan dirinya dan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya pada hari ied dan malamnya, dan dari pakaian yang layak baginya, serta dari tempat tinggal dan pembantu yang dibutuhkannya.

 

Sebagaimana diwajibkan bagi seseorang untuk mengeluarkan zakat atas dirinya . . . diwajibkan pula bagi orang yang mendapati waktu maghrib hari terakhir bulan Ramadhan dari orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya yang termasuk kaum muslimin, seperti istri, Orang tua dan anak.

 

Zakat itu dibagikan kepada orang-orang yang ada dari delapan kelompok yang disebutka di dalam firman Allah Ta’ala, yaitu :

 

Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu ‘allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan ) budak, orangorang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (O.S. At Taubah : 60)

 

Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya, seperti orang yang butuh untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya sebanyak 10, dan tidak didapati dari harta atau pekerjaan yang layak baginya kecuali hanya 4 atau lebih sedikit dari itu… sehingga orang fagir ini diberi dengan pemberian yang mencukupi kebutuhan seumur hidupnya. Apabila orang tersebut bekerja… maka diberi sesuatu untuk membeli alat-alatnya atau berdagang … maka diberi sesuatu untuk menambab modalnya sehingga keuntungannya dapat mencukupi kebutuhannya: Apabila tidak mampu bekerja… maka diberi sesuatu untuk membel! sebidang tanah agar dapat dikelola atau disewakan atau dibeli oleh pemimpin.

 

Miskin adalah seorang yang mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya, namun tidak mencukupi. Seperti orang yang butuh untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya sebanyak 10, dan tidak mendapatkan dari hartanya atau usahanya kecuali lima, enam, tujuh, delapan atau sembilan … maka diberi sebagaimana yang diberikan kepada orang fagir dengan perincian yang telah disebutkan.

 

Amil adalah orang yang ditugaskan untuk mengambil zakat tanpa adanya upah, seperti orang yang keliling, penulis, penakar dan penimbangnya … maka mereka mendapat sesuai upah kerjanya.

 

Muallaf, terbagi menjadi empat bagian, yaitu :

 

  1. Orang yang lemah niatnya dalam Islam atau terhadap pemeluknya.

 

  1. Orang-orang yang mulia di kaumnya dan terdapat harapan bila mereka diberi zakat maka orang lain akan masuk Islam.

 

3.Orang yang memerangi pencegah zakat.

 

  1. Orang yang memerangi orang-orang kafir dan pemberontak di sekitarnya.

 

Namun, disyaratkan pada dua bagian yang terakhir, bahwa Pemberian terhadap mereka lebih mudah dari mengutus tentara, maka Mereka diberi sesuai pandangan pemimpin atau pemilik harta.

 

Riqaab, yang dimaksud adalah budak mukatab yang membuat berjanjian pembebasan dirinya dalam jangka waktu tertentu dengan bembayaran tertentu kepada tuannya, yang bukan pemberi zakatnya, maka diberi sebanyak hutang yang tidak mampu dibayarnya.

 

Ghaarim, yaitu orang yang berhutang bukan untuk maksiat, atau untuk maksiat namun telah bertaubat . . . maka diberi sesuai hutang yang tidak mampu dibayarnya. Barangsiapa berhutang untuk mendamaikan dua kelompok atau dua orang … maka dapat diberi zakat, walaupun dia mampu, agar dapat melunasi hutangnya.

 

Sabilillaah, yaitu orang yang berperang tanpa mendapat gaji … maka mereka diberi sekedar keperluan mereka dan keperluan keluarga yang ditinggalkan selama dalam peperangan hingga mereka kembali. Apabila perjalanan perang jauh atau mereka tidak mampu berjalan, maka disediakan bagi mereka tunggangan. Dan bila mereka tidak biasa membawa barang dan bekal mereka, maka disediakan pula kendaraan yang dapat memikulnya.

 

Ibnu Sabiil, yaitu orang yang dalam perjalanan atau akan melakukan perjalanan yang diperbolehkan syari’at… maka mereka diberi sekedar ongkos yang dapat menyampaikan tujuannya, jika mereka tidak memiliki harta di pertengahan jalannya, namun bila mereka memilikinya, maka diberi hanya sampai ke tempat hartanya. Dipersiapkan baginya kendaraan dan sesuatu untuk memikul barang dan bekalnya dengan syarat seperti yang sebelumnya.

 

Syarat dari setiap kelompok penerima zakat ini adalah :

 

  1. Merdeka sempurna.

 

  1. Muslim, kecuali bagi orang yang keliling mencari zakat dari kelompok amil, diperbolehkan dari orang kafir.

 

  1. Bukan termasuk bani Hasyim dan Bani Muththolib, serta bukan budak mereka. Benar, banyak ulama yang membolehkan pemberian zakat kepada mereka selama mereka tidak dapat dari harta rampasan perang, maka diperbolehkan mengikuti pendapat mereka untuk diamalkan secara pribadi bukan untuk difatwakan.

 

Zakat harta dan zakat fitrah harus dibagikan rata kepada setiap orang yang ada dari delapan kelompok tersebut. Seorang ulama Ibnu ‘Ujail dan Ashbahiy memfatwakan bahwa diperbolehkan untuk mengkhususkan pada satu kelompok, diperbolehkan memindahkan zakat ke tempat lain dan diberikan hanya kepada satu orang. Para ulama di masa akhir ini juga mengikuti pendapat ini, sehingga diperbolehkan mengikuti pendapat mereka dalam hal ini.

 

Inilah akhir penjelasan kami dari kitab “Safinatun Najah” yang dikarang oleh Allamah Syaikh Salim bin Abdullah bin Sa’d bin Sumair al-Hadhramiy -semoga Allah memberi manfaat kepada kami dengan | keberkahannyaAmin.

 

Syaikh al-Fadhil Muhammad Nawawi al-Jawi telah menambah pada kitab ini dengan beberapa pasal tentang puasa, karena hal itu sangat dibutuhkan dan banyak terjadi, maka kamipun ingin menjelaskan pula sebagai penyempurna faedah. Beliau rhm berkata :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB PUASA

 

Menyebutkan lafadz Ramadhan tanpa dikaitkan dengan lafadz (syahr, yang berarti bulan) tidak termasuk makruh menurut pendapat yang shahih. Kemudian telah dibahas pada rukun Islam, bahwa makna puasa secara bahasa adalah menahan diri, dan secara syari’at adalah menahan diri dari hal tertentu dengan niat tertentu.

 

Wajib berpuasa di bulan Ramadhan bagi yang menemui salah satu dari lima syarat berikut, dan ditambahkan dua hal yang belum disebutkan, sehingga menjadi tujuh syarat, yaitu :

 

Pertama, melihat tanda-tanda yang menunjukkan telah ditetapkannya bulan Ramadhan di tempat lain, seperti lampu yang dinyalakan di menara, terdengar suara genderang, sehingga mendapatkan keyakinan yang kuat.

 

Kedua, adanya pemberitahuan dari orang banyak yang melihat hilal, walaupun dari orang kafir atau mereka memberitahu bahwa telah ditetapkan bulan Ramadhan itu di suatu tempat yang sama tingkat penglihatan hilalnya.

 

Imam Ramli dan ayahnya menambah syarat kedelapan, yaitu wajib berpuasa bagi orang yang mengetahui hilal melalui hisab atau nujum. Begitu pula wajib berpuasa Ramadhan bagi orang yang mempercayai perhitungan hisab dan nujum. Ibnu Hajar berkata : “Tidak wajib berpuasa bagi keduanya, namun hanya diperbolehkan bagi keduanya saja. Perhitungan hisab dan nujum tidak cukup dijadikan dasar wajib puasa di bulan Ramadhan.”

 

Haasib adalah orang yang berpegangan pada perputaran bulan dalam menentukan perjalanannya. Munajjim adalah orang yang menganggap bahwa awal bulan itu dapat diketahui dengan tampaknya bintang tertentu.

 

Perkara pertama dari berbagai perkara, dimana wajib berpuasa | Ramadhan bila terdapat salah satu di antaranya adalah : sempurnanya bulan Sya’ban 30 hari. Hingga bila seseorang melihat hilal Sya’ban, namun tidak ditetapkan oleh Hakim, maka Ramadhan bagi orang tersebut adalah bila sempurna Sya’ban 30 hari sejak dari penglihatan hilal awal Sya’ban.

 

Hilal merupakan hal yang sudah diketahui, sesungguhnya tidak dinamakan hilal kecuali di malam pertama, kedua dan ketiga, lalu Setelahnya disebut bulan.

 

Perkara kedua dari berbagai perkara, dimana wajib berpuasa di bulan Ramadhan bila terdapat salah satu di antaranya adalah bila seseorang melihat hilal, walaupun orang itu fasig, maka wajib puasa bagi dirinya.

 

Makna (“adl syahadah / orang yang dipercaya kesaksiannya) adalah orang yang tidak berbuat dosa besar dan tidak terus menerus berbuat dosa kecil, taatnya lebih banyak dari maksiatnya, laki-laki, merdeka, berpikiran dewasa, berwibawa, sadar, dapat berbicara, mendengar dan melihat. Maka kesaksian tidak dapat diterima dari orang fasig, anak kecil, budak, wanita. Sedangkan orang yang dipercaya beritanya tidak disyaratkan harus merdeka atau laki-laki.

 

Perkara ketiga dari berbagai perkara, dimana wajib berpuasa di bulan Ramadhan bila terdapat salah satu diantaranya adalah adanya ketetapan dari hakim atau pemerintah melalui penglihatan hilal dari seorang yang dipercaya kesaksiannya, yang dilihat setelah maghrib jika penglihatannya tajam.

 

Makna (“adl riwayah / orang yang dipercaya beritanya) adalah orang yang terpenuhi syarat sebagai orang yang dipercaya kesaksiannya, selain merdeka dan laki-laki, sebagaimana telah kamu ketahui. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah orang yang tidak pernah dikenal dusta di hadapan pendengarnya.

 

Perkara keempat dari berbagai perkara, dimana wajib berpuasa di bulan Ramadhan bila terdapat salah satu diantaranya adalah adanya pemberitahuan dari orang yang tidak pernah dikenal berdusta bagi pendengarnya bahwa ia telah melihat hilal atau hilal telah ditetapkan di tempat lain yang sama tingkat penglihatan hilalnya, dengan syarat tidak meyakini kesalahan berita yang dibawanya. Dan adanya pemberitahuan tentang hal tersebut dari orang yang pernah dikenal berdusta bagi pendengarnya, jika ia meyakini kebenaran orang itu, walaupun orang tersebut fasig atau belum baligh.

 

Perkara kelima dari berbagai perkara, dimana wajib berpuasa di bulan Ramadhan bila terdapat salah satu diantaranya adalah adanya Perkiraan Ramadhan telah masuk waktunya melalui cara ijtihad bagi | Orang-orang yang tidak dapat memastikan antara bulan Ramadhan dengan bulan lainnya, seperti orang yang tertawan.

 

Kemudian, jika ternyata puasa itu tepat di bulan Ramadhan, maka termasuk bukan qadha’ atau setelahnya maka termasuk qadha’ atau ‘ebelumnya maka dianggap puasa sunnah, dan dia wajib berpuasa pada Waktunya jika dia masih bisa mendapati waktu bulan Ramadhan, namun jika tidak maka dia harus mengqadha’nya.

 

Syarat sah puasa -walaupun puasa sunnahbila terpenuhi empat hal pada orang yang berpuasa, yaitu :

 

Pertama, orang tersebut muslim, maka tidak sah puasa orang kafir dengan berbagai macam kekufuran.

 

Kedua, berakal, maka tidak sah puasa orang gila.

 

Ketiga, bersih dari haid dan nifas, maka wanita yang sedang haid dan nifas tidak sah puasanya, bahkan diharamkan menahan diri bagi keduanya dengan niat puasa, karena melakukan ibadah yang dianggap tidak sah oleh syari’at.

 

Keempat, mengetahui bahwa waktu tersebut diperbolehkan berpuasa, artinya bukan termasuk hari-hari yang dilarang berpuasa, yaitu :

 

  1. Hari raya idul fitri dan idul adha.
  2. Hari tasyrig.

 

Kedua waktu di atas berlaku larangan puasa secara mutlak, baik ada sebab ataupun tidak.

 

  1. Hari keraguan jika berpuasa tanpa adanya sebab. Hari keraguan adalah hari 30 Sya’ban jika orang-orang berbicara terlihat hilal di malam harinya, namun tidak seorang pun bersaksi, atau ada saksi yang ditolak kesaksiannya, seperti anak-anak, budak atau orang fasig.

 

  1. Separuh akhir bulan Sya’ban, jika udak menyambung dengan puasa sebelumnya dan tidak ada sebab untuk berpuasa.

 

Apabila ada sebab, seperti kebiasaan, nadzar, qadha’ atau denda puasa, maka diperbolehkan puasa di hari keraguan dan separuh akhir bulan Sya’ban.

 

Begitu pula bila menyambung dengan puasa sebelumnya, maka hal itu diperbolehkan pada separuh akhir bulan Sya’ban, yaitu dengan puasa di tanggal 15 nya dan terus berlanjut. Apabila terputus satu hari saja, walaupun karena udzur, seperti sakit, maka tidak diperbolehkan menyambung dengan puasa di hari berikutnya.

 

Syarat wajib puasa ada lima, jika terpenuhi seluruhnya maka wajib baginya berpuasa, namun bila salah satu syarat tidak ada maka tidak Wajib berpuasa.

 

Pertama, Islam, maka tidak wajib bagi orang kafir, namun beda dengan orang murtad, karena dahulunya dia sebagai muslim.

 

Kedua, Mukallaf, yaitu berakal dan baligh, sehingga tidak wajib | bagi anak yang belum baligh dan orang gila.

 

Ketiga, mampu secara nyata dan syari’at, maka tidak wajib bagi orang yang tidak mampu secara nyata, seperti orang yang lanjut usia atau sakit yang tidak dapat disembuhkan, dan tidak wajib bagi yang tidak mampu secara syari’at, seperti wanita haid atau nifas.

 

Keempat, sehat, maka tidak wajib puasa bagi orang sakit yang diperbolehkan tayammum, walaupun mungkin disembuhkan sehingga akan mampu di waktu mendatang.

 

Kelima, mugim, maka tidak wajib puasa bagi seorang musafir yang melakukan perjalanan jauh dan diperbolehkan syari’at.

 

Diwajibkan mengqadha’ puasa bagi orang murtad, wanita haid dan nifas, namun tidak wajib bagi orang kafir yang masuk Islam, anak kecil, orang gila yang tidak disengaja gilanya sebagaimana nanti akan dijelaskan.

 

Dengan apa yang telah dijelaskan dalam pembahasan ini, kamu akan mengetahui bahwa syarat keempat itu berbeda dengan syarat ketiga dan tidak bisa saling mewakili, sehingga harus disebutkan secara terperinci.

 

Rukun yang menunjukkan hakikat puasa ada tiga, yaitu :

 

Rukun puasa fardhu -walaupun nadzar atau qadha’ atau denda atau puasa anak yang belum balighyang pertama adalah niat berpuasa di setiap hari antara maghrib hingga terbit fajar yang sesungguhnya.

 

Apabila niat di malam pertama bulan Ramadhan untuk berpuasa satu bulan . . . maka hal itu tidak cukup kecuali hanya untuk hari pertama. Namun seyogyanya berniat semacam itu dengan maksud mengikuti pendapat Imam Malik, agar dinyatakan sah menurut pendapatnya puasa yang lupa niat di malam harinya.

 

Sedangkan puasa sunnah, seperti puasa enam hari Syawal, puasa Arafah, Tasu’a, dan “Asyuro … maka diperbolehkan niatnya di malam atau siang hari sebelum tergelincirnya matahari (waktu dhuhur) dengan syarat belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sebelumnya, seperti makan dan hubungan intim.

 

Rukun puasa -walaupun puasa sunnahyang kedua adalah meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti hubungan intim, muntah dengan sengaja, masuknya sesuatu ke dalam rongga tubuh dalam keadaan ingat bahwa dirinya sedang puasa, tanpa ada paksaan, mengetahui bahwa melakukan hal itu haram, atau tidak tahu tetapi tidak dimaafkan oleh syari’at.

 

Apabila melakukan salah satu dari yang telah disebutkan, sedangkan ia dalam keadaan semacam itu … maka tidak sah puasanya. Berbeda jika melakukannya dalam keadaan lupa bahwa ia sedang puasa, atau dipaksa atau tidak tahu yang mendapat udzur, yaitu baru masuk Islam atau berada di tempat yang jauh dari ulama.

 

Rukun puasa yang ketiga adalah orang yang berpuasa. Dan sesungguhnya orang yang berpuasa dihitung sebagai rukun seperti Yang ada dalam jual beli, karena keduanya adalah perkara yang tidak Ida wujudnya yang tampak, maka tidak memungkinkan keterkaitan puasa dan jual beli tanpa adanya orang yang berpuasa dan penjual atau pembeli. Berbeda dengan shalat, karena terdapat di dalam rukun-rukunnya gambaran shalat tersebut sehingga memungkinkan penggambarannya tanpa adanya wujud orang yang shalat, maka tidak tepat jika disebutkan orang yang shalat sebagai rukunnya.

 

Makna (kaffaroh / denda) berarti tertutup, karena dengan adanya kaffaroh / denda berarti menutup dosa. Tetapi yang dimaksud disini adalah pembebasan budak mukmin yang tidak ada aib atau cela sehingga kerjanya berkurang, lalu berpuasa dua bulan lamanya secara terus menerus bila tidak ada budak, lalu memberi makan kepada 60 orang miskin, yaitu memberikan kepada setiap orang diantara mereka satu mud (6 ons) bila tidak mampu berpuasa.

 

Makna (ta’ziir) secara bahasa adalah hukuman, dan secara syari’at adalah hukuman atas dosa yang biasanya tidak ada undang-undangnya ataupun dendanya. Namun dalam hal ini bukan termasuk yang biasanya, karena ada denda dan hukumannya.

 

Kewajiban mengqadha’ puasa, membayar denda yang paling besar dan menjalani hukuman akan terkena secara bersamaan pada orang yang terpenuhi sebelas syarat berikut, yaitu :

 

Pertama, orang tersebut laki-laki, maka tidak akan terkena denda bagi perempuan.

 

Kedua, hubungan intim itu membatalkan puasa, maka tidak terkena denda bila terjadi karena lupa atau dipaksa.

 

Ketiga, amalan yang menjadi tidak sah adalah puasa, sehingga tidak ada denda bagi orang yang membatalkan ibadah selain puasa karena hubungan intim tersebut, seperti i’tikaf.

 

Keempat, hubungan intim itu terjadi saat puasa di siang hari bulan Ramadhan, maka tidak terkena denda bagi orang yang berhubungan intim sehingga membatalkan puasa selain di bulan Ramadhan, seperti puasa qadha’.

 

Kelima, adanya keyakinan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan, sehingga tidak terkena denda bagi orang yang berpuasa Ramadhan dengan ijtihad, seperti berada di penjara sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lalu terjadi hubungan intim.

 

Keenam, batalnya puasa hanya karena hubungan intim, maka tidak | ada denda bila dibarengi dengan makan atau semacamnya sebelum berhubungan intim.

 

Ketujuh, orang yang melakukan hubungan berdosa karenanya, Maka tidak terkena denda bagi seorang musafir yang melakukan hubungan intim dengan niat mengambil keringanan, tidak pula pada anak kecil, dan orang yang mengira telah malam, lalu terjadi hubungan Intim, ternyata masih siang.

 

Kedelapan, dosa hubungan intim itu karena puasa. Sehingga ( tdak terkena denda bagi seorang musafir yang berzina dan berniat mengambil keringanan.

 

Kesembilan, dosa tersebut hanya karena puasa, maka seorang musafir yang berzina dan tidak ada niat mengambil keringanan tidak terkena denda.

 

Kesepuluh, hubungan intim itu membatalkan puasanya sendiri, maka tidak terkena denda bagi orang yang sakit dan tidak berpuasa atau musafir yang tidak berpuasa pula, lalu melakukan hubungan intim dengan seorang wanita yang berpuasa, sehingga membatalkan puasanya.

 

Kesebelas, hubungan intim membatalkan puasa satu hari penuh, sehingga tidak ada denda bagi orang yang hilang akal atau mati setelah hubungan intim sebelum maghrib.

 

Tersisa syarat yang keduabelas, yaitu tidak adanya keraguan, maka tidak terkena denda bagi seorang yang berhubungan intim sedangkan ja ragu apakah sudah masuk waktu malam.

 

| Lebih utama lafadz (taam) itu dihapus, karena disebutkan hanya mengikuti sebagian ulama yang berusaha tidak memasukkan wanita dalam pembahasan ini, karena wanita itu tidak terkena denda, sebabnya adalah wanita itu sudah dinyatakan batal puasanya dengan masuknya sebagian kepala kemaluan laki-laki ke dalam kemaluannya, sedangkan denda itu akan terkena jika terjadi hubugan intim yang disyaratkan masuknya seluruh kepala kemaluan laki-laki.

 

Hal ini akan membingungkan, karena jika seorang wanita dikumpuli dalam keadaan tidur atau lupa atau dipaksa, kemudian hilanglah keadaan tersebut setelah masuknya seluruh kepala kemaluan dengan sempurna dan wanita itu melanjutkan hubungan intim tanpa ada paksaan, maka akan menjadikan wanita itu terkena denda, karena puasanya batal dengan hubungan intim yang sempurna, padahal riwayat yang ada tidaklah semacam itu. Puasa wanita itu dianggap telah batal sehingga tidak ada denda yang diwajibkan kepadanya secara mutlak. Itulah yang disebutkan oleh Ibnu Hajar, Ramli, Syaikhul Islam dan alKhothib dan ulama lainnya.

 

Kata-kata di atas diambil secara langsung dari kitab “Syarh atTahrir” dan “Haasyiyah asy-Syarqaawi”, kecuali lafadz (fii ramadhan) Wakhirkan bukan pada tempatnya, seharusnya tertulis sebelum ucapan (fi sittati mawaadhi’a), sehingga dikhawatirkan timbulnya bemahaman yang salah.

 

Wajib bagi seseorang imsak (menahan diri, tidak makan dan minum) di bulan Ramadhan saja, bukan pada puasa qadha’, nadzar, dan denda, karena penghormatan terhadap waktu yang mulia dan agar menyerupai orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan. Hal itu diwajibkan pada enam orang, yang diungkapkan dalam satu kaidah, yaitu : “Setiap orang yang tidak diperbolehkan berbuka puasa sedangkan ia mengetahui kenyataan hari tersebut . . . maka wajib baginya menahan diri.”

 

Pertama, orang yang sengaja berbuka puasa -walaupun secara syari atsebagai hukuman dari kesalahannya.

 

Kedua, orang yang meninggalkan niat puasa di malam hari – walaupun lupa atau tidak tahujika puasa itu wajib baginya. Berbeda dengan anak yang masih kecil, maka tidak wajib menahan diri bila lupa niat. Syargawi berkata : “Diperbolehkan bagi orang yang lupa niat di malam hari mengikuti pendapat Abu Hanifah, sehingga berniat puasa di siang hari.”

 

Ketiga dan keempat, orang yang sahur menyangka masih malam atau berbuka menyangka telah maghrib, ternyata tidak sesuai sangkaan keduanya, karena menunjukkan secara hakikat adanya kekurangan pada dirinya jika sangkaan itu bukan hasil ijtihad, dan secara hukum menunjukkan kekurangan bila sangkaan itu merupakan hasil ijtihadnya.

 

Kelima, orang yang mendapati tanggal 30 Sya’ban -sedangkan ia termasuk wajib puasaternyata termasuk Ramadhan. Karena orang itu wajib berpuasa jika mengetahui keadaan yangsesungguhnya. Dituliskan disini dengan lafadz (30 Sya’ban) mengikuti kitab “Tahriir” dan tidak ditulis dengan (hari keraguan) sebagaimana disebutkan dalam kitab “Manhaj” dan kitab pokoknya padahal itu lebih ringkas, menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan (hari keraguan) dalam pembahasan ini sesuai dengan ulama yang mengartikan bahwa hari keraguan itu adalah tanggal 30 Sya’ban, baik orang membicarakan melihat hilal atau tidak. Berbeda dengan hari keraguan yang diharamkan berpuasa di saat itu. Itulah faedah yang diungkapkan oleh Syargawi dari Imam Ramli.

 

Keenam, orang yang berlebihan saat berkumur atau istinsyag, lalu airnya tertelan masuk. Termasuk pula berkumur atau istinsyag lebih dari tiga kali secara yakin.

 

Disunnahkan imsak terhadap lima orang yang disebutkan dalam kitab “Tahriir” dan kitab lainnya. Terungkap dalam kaidah : “Setiap orang yang boleh berbuka puasa sedangkan ia mengetahui kenyataan hari itu… maka disunnahkan imsak baginya, dan tidak wajib.” Mereka adalah : |

 

  1. Anak kecil jika baligh dalam keadaan tidak berpuasa.

 

  1. Orang gila jika sadar.

 

  1. Orang kafir jika masuk Islam.

 

  1. Musafir jika menjadi muqim setelah berbuka puasa.

 

  1. Orang sakit jika sembuh setelah tidak berpuasa.

 

Dimakruhkan bagi orang yang imsak untuk memakai siwak setelah nasuk waktu dhuhur, berlebihan dalam berkumur dan istinsyag. Dan tidak terkena denda apapun jika orang yang imsak itu melakukan halhal yang dilarang -seperti hubungan intimkecuali dosa, jika imsak itu Wajib baginya.

 

Puasa dinyatakan batal bila terdapat salah satu di antara tujuh hal berikut, yaitu :

 

Pertama, murtad, yaitu keluar dari agama Islam -semoga Allah melindungi kita darinyawalaupun sekejap, karena hal itu berlawanan dengan ibadah.

 

Kedua dan ketiga, haid dan nifas, walaupun sebentar pula.

 

Imam berkata : “Puasa dinyatakan tidak sah bila ada haid dan nifas, itu merupakan suatu perkara yang tidak dapat diambil hikmahnya, karena thaharah atau bersuci bukan termasuk syarat puasa.”

 

Keempat, melahirkan, walaupun tidak terlihat darah. Ini adalah pendapat yang kuat dalam kitab “Tahqiiq”. Berbeda yang ada dalamkitab “Majmu” yang menyatakan bahwa melahirkan tidak membatalkan puasa, karena diikutsertakan hukumnya seperti keluar air mani.

 

Kelima, gila, walaupun sebentar, karena hal itu berlawanan dengan jbadah.

 

Keenam dan ketujuh, pingsan dan mabuk, jika keduanya disengaja dan menyeluruh di siang hari. Sehingga tidak membatalkan jika tidak disengaja walaupun menyeluruh di siang hari, tidak membatalkan pula jika tidak menyeluruh di siang hari, walaupun disengaja.

 

Itulah yang dapat dipahami dari penjelasan kitab “al-Irsyad” karangan Ibnu Hajar, begitu pula yang terdapat dalam kitab “Tuhfah”. Sedangkan dalam penjelasan lainnya yang juga terdapat dalam kitab yang sama adalah : “Membatalkan puasa jika disengaja, baik pingsan atau mabuk, walaupun sebentar. Dan bila tidak disengaja maka akan membatalkan puasa jika menyeluruh di siang hari.”

 

Ramli mensyaratkan bahwa pingsan dan mabuk membatalkan puasa jika menyeluruh di siang hari, baik disengaja atau tidak.

 

Tidak berpengaruh tidur yang menghabiskan seluruh waktu siang harinya.

 

Masih tersisa empat hal dari berbagai hal yang membatalkan puasa dan belum disebutkan, yaitu :

 

1.Masuknya sesuatu ke dalam rongga tubuh melalui jalan yang terbuka.

 

  1. Muntah dengan sengaja.

 

  1. Keluarnya air mani dengan syahwat dan memegang secara lansung.

 

  1. Hubungan intim.

 

Hal itu semua akan membatalkan bila disengaja, tanpa paksaan dan tahu bahwa itu diharamkan.

 

Berbuka puasa di bulan Ramadhan dipandang dari segi hukum syari atnya terbagi menjadi empat macam, yaitu :

 

Pertama, hukumnya adalah wajib, yaitu berbuka puasa bagi wanita haid dan nifas. Bukanlah yang dimaksud wajib bagi keduanya melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, namun yang diharamkan adalah imsak dengan tujuan ibadah.

 

Kedua, hukumnya diperbolehkan, yaitu berbuka puasa bagi seorang musafir perjalanan jauh yang diperbolehkan syari’at, dengan syarat telah keluar dari bangunan atau batas kota sebelum fajar. Dan berbuka puasa bagi orang yang sakit, sehingga diperbolehkan tayammum, walaupun sengaja melakukan sebab sakitnya menurut Ibnu Hajar, namun berbeda menurut Ramli bila disengaja.

 

Kemudian, jika sakitnya terus-menerus, maka diperbolehkan tidak berniat di malam harinya, namun bila didapati sakit itu sebelum fajar maka tidak wajib niat, dan bila tidak didapati maka wajib niat, walaupun menurut perkiraannya penyakit itu akan kembali dalam waktu dekat, lalu jika sakit itu kembali … maka diperbolehkan berbuka puasa.

 

Hal itu berlaku bagi seseorang yang tidak khawatir bila berpuasa jkan menyebabkan dirinya diperbolehkan tayammum, karena keadaannya yang lemah setelah sakit, walaupun sakit itu tidak kembali lagi, namun bila khawatir atas hal tersebut maka diperbolehkan tidak berniat secara mutlak.

 

Orang yang sangat lapar atau sangat haus, hukumnya seperti orang sakit. Termasuk pula para pemanen, pemetik kurma, pembajak sawah, dengan syarat tidak memungkinkan mengakhirkan kerjaan hingga di bulan Syawal dan tidak dapat dilakukan di malam hari atau menyebabkan kekurangan yang tidak bisa ditanggung kerugiannya.

 

Ketiga, hukumnya tidak dapat disifati, yaitu berbuka puasa bagi Orang gila yang tidak disengaja gilanya.

 

Keempat, hukumnya haram, yaitu berbuka puasa dari qadha’ puasa Ramadahan yang diakhirkan hingga tersisa waktu yang sempit Sebelum datang Ramadhan berikutnya, padahal memungkinkan untuk Mmengqadha’ sebelumnya.

 

Apabila tidak memungkinkan untuk mengqadha’ sebelumnya, seperti terus dalam perjalanan atau sakit hingga datang Ramadhan berikutnya …maka tidak diharamkan yang semacam itu. Begitu pula tidak diharamkan jika terlambat karena lupa atau tidak tahu bahwa memperlambat qadha’ itu diharamkan, walaupun bagi orang yang berkumpul dengan ulama, karena hal itu termasuk permasalahan yang lidak banyak diketahui.

 

Fidyah adalah satu mud (6 ons) makanan pokok suatu dikeluarkan setiap hari bagi yang berkewajiban atasnya. Di daerah, Dibagikan kepada satu orang dari fagir atau miskin, maka satu mud tidak boleh diberikan kepada dua orang, namun diperbolehkan  beberapa mud diserahkan kepada satu orang.

 

Pembagian berbuka puasa bila dipandang dari Sisi kewajiban yang harus dilakukan, ada empat bagian Pula, seperti yang sebelumnya. 

 

Pertama, buka puasa yang mewajibkan karenanya qadha’ dan fdyah secara bersamaan. Terdapat dua macam, yaitu :

 

Macam pertama adalah buka puasa karena khawatir terhadap selainnya saja, seperti buka puasa untuk menyelamatkan hewan yang tidak boleh dibunuh, baik manusia atau bukan, miliknya atau milik orang lain, yang akan binasa. Termasuk pula buka puasa wanita hamil dan menyusui, jika khawatir membahayakan anak saja dengan kriteria yang menyebabkan seseorang boleh tayammum, walaupun anak itu bukan anak kandung wanita yang menyusuinya, dan walaupun tidak mendapatkan bayaran.

 

Sehingga bila khawatir terhadap dirinya sendiri atau dirinya dan orang lain, maka berbuka puasanya mewajibkan qadha’ saja. Begitu pula bila buka puasa untuk menyelamatkan harta, maka wajib qadha’ Saja jika harta itu miliknya. Itu menurut kesepakatan ulama, namun bila harta itu milik orang lain maka wajib qadha’ saja menurut Ramli, Damun menurut Ibnu Hajar wajib qadha’ dan fidyah.

 

Macam kedua, berbuka puasa dengan disertai memperlambat qadha’ puasa Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, padahal memungkinkan untuk menggadha sebelumnya.

 

Sehingga tidak ada kewajiban fidyah bila tidak memungkinkan untuk menggadha” sebelumnya, seperti terus dalam perjalanan atau ( Sakit hingga datang Ramadhan berikutnya.

 

Begitu pula bila memperlambat qadha’ namun ia tidak mengetahui bahwa memperlambat itu diharamkan. Bila orang itu berkumpul dengan ulama … maka wajib baginya qadha’ saja, dan bila mengetahui bahwa memperlambat qadha’ itu haram, namun tidak mengetahui adanya kewajiban membayar fidyah … maka hal itu tidak termasuk udzur, sehingga wajib baginya qadha’ dan fidyah secara bersamaan. Fidyah akan menjadi berlipat ganda sesuai dengan hitungan tahun yang tertunda qadha’nya.

 

Kedua, buka puasa yang mewajibkan karenanya qadha’ saja tanpa fidyah. Dan itu banyak macamnya, seperti buka puasa orang yang pingsan, orang yang lupa niat di malam hari, orang yang sengaja berbuka puasa tanpa hubungan intim. Termasuk pula orang yang meninggalkan niat puasa dengan sengaja.

 

Ketiga, buka puasa yang mewajibkan karenanya fidyah saja tanpa qadha’, yaitu buka puasa orang yang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa seumur hidupnya. Termasuk pula orang yang lumpuh atau orang sakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga akan mendapati kesusahan yang menyebabkan diperbolehkan tayammum bila ia berpuasa.

 

Keempat, buka puasa yang tidak mewajibkan apapun, baik qadha’ atau fidyah, yaitu buka puasa orang gila yang tidak disengaja gilanya. Syargawi berkata : “Termasuk pula dalam hal ini adalah buka puasa anak kecil dan orang kafir.”

 

“Oadha yang diwajibkan pada gambaran di atas sifatnya tidak harus secara langsung, kecuali orang yang berdosa karena buka puasanya, orang murtad dan orang yang meninggalkan niat di malam hari dengan disengaja menurut pendapat yang kuat. Itulah faedah yang diberikan oleh Golyubiy. Begitu pula bila waktu telah sempit sebelum datang Ramadhan yang berikutnya, yaitu tidak tersisa waktu kecuali beberapa hari yang cukup untuk mengqadha’ puasanya … maka wajib diqadha’ secara langsung.” Itulah akhir ucapan Syargawi.

 

Begitu pula wajib mengqadha’ puasa secara langung menurut pendapat yang kuat, jika hari keraguan terbukti bahwa itu termasuk Ramadhan.

 

Peringatan :

 

Diketahui dari apa yang telah disebutkan bahwa tiga bagian yang terakhir terhapus kata mudhofnya, yaitu lafadz (berbuka puasa). Sekiranya mengikuti apa yang ditulis dalam kitab rujukannya dan kitab yang menjelaskannya (syarhnya) serta kitab yang merincinya (haasyiyahnya) dalam pasal ini dan pasal yang selanjutnya. Tertulis pada bagian pertama : (dan itu untuk semua, seperti orang yang pingsan), dan pada bagian kedua : (dan itu untuk orang yang lanjut usia), dan pada bagian ketiga : (dan itu untuk orang gila). Maka hal itu akan lebih baik.

 

Sesuatu yang tidak membatalkan orang yang berpuasa dari berbagai dzat yang masuk ke rongga tubuh melalui jalan yang terbuka, ada tujuh macam. Ini adalah seperti pengecualiaan dari pernyataan bahwa segala scuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh melalui jalan yang terbuka akan membatalkan puasa. Pertama dari tujuh macam yang disebutkan adalah sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh karena lupa, tidak ingat sedang puasa.

 

Kedua, sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh karena tidak tahu bahwa hal itu termasuk membatalkan puasa, artinya bila dimaafkan syari at, seperti orang yang baru masuk Islam atau berada di tempat yang jauh dari ulama, atau sesuatu yang masuk itu merupakan masalah yang rumit, seperti memasukkan sesuatu ke dalam telinga.

 

Ketiga, sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh karena adanya paksaan.

 

Keempat, sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh dengan aliran ludah yang membawa sisa makanan yang ada diantara giginya, sedangkan ia tidak mampu mengeluarkannya. Tidak diwajibkan bagi seseorang sikat gigi di malam hari menurut pendapat yang kuat, walaupun ia mengetahui bahwa sisa makanan akan tertelan di siang harinya. Tetapi termasuk sunnah muakkad adalah melakukan sikat gigi di malam hari agar tidak berbenturan dengan pendapat lain.

 

Kelima, sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh berupa debu di jalan atau semacamnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada bedanya yang tertelan itu sedikit atau banyak, suci atau najis, sengaja membuka mulutnya atau tidak. Itulah pendapat Ramli, sedangkan Ibnu Hajar dalam kitab “Tuhfah” menyebutkan : “Sesuatu yang najis membatalkan puasa secara mutlak, sedangkan benda yang suci jika tidak disengaja maka dimaafkan baik sedikit atau banyak, dan jika disengaja maka hanya dimaafkan yang sedikit saja.

 

Keenam, sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh berupa debu tepung atau semacamnya. Perincian perbedaan pendapat pada permasalahan ini seperti pada permasalahan debu jalanan.

 

Ketujuh, sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh berupa lalat yang terbang atau semacamnya, seperti nyamuk, walaupun sengaja membuka mulutnya agar hewan itu masuk. Namun bila hewan itu dikeluarkan dengan sengaja akan membatalkan puasa, dan hal itu diperbolehkan jika khawatir akan membahayakan dirinya.

 

Termasuk yang tidak membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh berupa tempat buang air besar pada penderita bawasir jika masuk kembali, walaupun jari-jari tangan harus dimasukkan pula bersamanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB HAJJI

 

Kitab tentang hukum-hukum haji. Haji secara bahasa berarti bermaksud, dan secara syari’at adalah bermaksud menuju rumah Allah untuk beribadah.

 

Syarat wajib haji ada tujuh, yaitu :

  1. Muslim

 

  1. Baligh

 

  1. Berakal

 

  1. Merdeka Maka tidak wajib bagi seseorang yang tidak mempunyai sifat-sifat semacam ini.

 

  1. Mempunyai perbekalan, atau tempat perbekalannya jika hal itu diperlukan, terkadang hal itu tidak diperlukan, seperti orang yang tempat tinggalnya dekat dengan Makkah.

 

Disyaratkan pula adanya air di tempat-tempat yang biasa membawa air dengan harga yang sepantasnya.

 

6.Adanya kendaraan yang layak baginya, dengan membeli atau menyewanya. Ini berlaku jika antara orang tersebut dengan Makkah berjarak dua marhalah (83km) atau lebih, baik mampu berjalan atau tidak. Apabila jarak dengan Makkah kurang dari 83 km sedangkan ia mampu berjalan, maka wajib baginya haji tanpa kendaraan. Disyaratkan semua itu lebih dari hutangnya dan kebutuhan orangorang yang wajib dinafkahinya selama perjalanan pulang pergi, dan lebih pula dari tempat tinggal yang layak baginya dan budak yang layak baginya.

 

  1. Perjalanannya aman, menurut sangkaannya, sesuai kelayakan setiap tempat. Apabila seseorang merasa Udak aman bagi dirinya atau hartanya atau kehormatannya, maka tidak wajib haji. Dan ucapannya : (memungkinkan melakukan perjalanan) terdapat pada sebagian naskah. Maksudnya adalah masih ada waktu tersisa setelah tersedianya bekal dan kendaraan yang memungkinkan melakukan perjalanan menuju ibadah haji. Bila memungkinkan, tetapi untuk menempuh perjalanan 83 km dibutuhkan waktu beberapa hari (mempercepat perjalanan) maka tidak wajib haji, karena membahayakan diri.

 

Pasal : Rukun haji ada empat, yaitu :

 

Pertama, ihram disertai niat, yaitu niat memasuki ibadah haji.

 

Kedua, wuguf di Arafah, yang dimaksud adalah orang yang ihram haji hadir sebentar saja setelah tergelincirnya matahari di hari Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah dengan syarat orang yang wuguf tidak gila dan tidak pingsan. Waktu wuguf terus berlanjut hingga fajar hari raya kurban, yaitu tanggal 10 Dzulhjjjah.

 

Ketiga, thawaf, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, dengan menjadikan Ka’bah di sisi kirinya, dimulai dari Hajar Aswad, dan sejajar dengan seluruh tubuhnya ketika mengelilinginya. Apabila memulai thawaf tidak dari Hajar Aswad … maka tidak dihitung.

 

Keempat, sa’i, yaitu berjalan antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Syarat-syarat sa’i adalah : dimulai pertama kali dari bukit Shafa, dan diakhiri di bukit Marwah.

 

Berjalan dari Shafa menuju Marwah dihitung sekali, dan kembali dari Marwah menuju Shafa dihitung sekali pula.

 

Shafa adalah ujung gunung Abi qubais, sedangkan Marwah adalah nama tempat yang sudah dikenal di Makkah.

 

Masih tersisa dari rukun haji yang belum disebutkan adalah mencukur atau memotong rambut, jika kita anggap itu termasuk ibadah, dan itulah pendapat yang masyhur. Apabila kita katakan bahwa mencukur atau memotong rambut hanyalah menunjukkan telah masuk waktu diperbolehkannya larangan haji. . .maka keduanya bukan termasuk rukun.

 

Ihram harus didahulukan atas rukun-rukun yang lain.

 

Pasal :

Rukun umrah ada tiga macam, itulah yang tertulis pada Sebagian naskah, namun pada sebagian yang lain tertulis empat macam, yaitu :

 

Pertama, ihram.

 

Kedua, thawaf.

 

Ketiga, sa’i.

 

Keempat, mencukur atau memotong rambut, menurut salah satu pendapat. Itulah pendapat yang kuat seperti telah dijelaskan, sedangkan pendapat yang lain menyatakan tidak termasuk rukun umrah.

 

Pasal : Wajib-wajib haji selain yang termasuk rukun ada tiga macam, yaitu :

 

Pertama, ihram dari migat, yang dapat disebut dengan migat zamani dan migat makani.

 

Miqat zamani adalah migat waktu, jika berkaitan dengan haji, maka waktunya adalah bulan Syawal, Dzulga’dah dan 10 malam bulan Dzulhijjah. Sedangkan bila berkaitan dengan umrah, maka waktunya adalah sepanjang tahun merupakan waktu ihram umrah.

 

Migat makani adalah migat tempat. Dalam ibadah haji, migat orang yang mugim di Makkah adalah Makkah itu sendiri, baik orang itu berasal dari Makkah atau bukan. Sedangkan orang yang tidak mugim di Makkah, maka migat :

 

* Orang yang berasal dari Madinah al-Musyarrofah : Dzulhulaifah.

* Orang yang berasal dari Syam, Mesir dan Maghrob adalah Juhfah.

* Orang yang berasal dari Yaman adalah Yalamlam.

* Orang yang berasal dari Najd Hijaz dan Najd Yaman adalah Qarn.

* Orang yang berasal dari timur adalah Dzatu ‘irg.

 

Kedua dari wajib haji adalah melempar tiga jumroh, dimulai dari jumroh Kubro, lalu Wustho lalu jumroh Aqobah.

 

Melempar setiap jumroh sebanyak tujuh kali, satu per satu. Apabila melempar dua batu sekaligus… maka dihitung satu kali. Bila melempar dengan satu batu saja sebanyak tujuh kali… maka hal itu dianggap cukup. Disyaratkan bahwa melempar itu harus dengan batu, maka tidak sah bila menggunakan selain batu, seperti mutiara dan batu kapur.

 

Ketiga, mencukur atau memotong rambut. Utamanya bagi laki-laki adalah mencukur, sedangkan bagi wanita utamanya adalah memotong tambut.

 

Minimalnya adalah menghilangkan tiga rambut kepalanya, baik dicukur atau dipotong atau dicabut atau dibakar atau digunting. Apabila Seseorang tidak ada rambut dikepalanya, cukup dengan melewatkan bisau cukur di atas kepalanya. Tidak bisa digantikan dengan rambut Selain rambut kepalanya -seperti jenggot dan lainnyasebagai ganti tambut kepala.

 

Pasal : Sunnah-sunnah haji ada tujuh macam, yaitu :

 

Pertama, ifrad, yaitu mendahulukan haji atas umrah. Caranya adalah ihram haji terlebih dahulu dari migatnya dan menyelesaikan manasik haji, lalu keluar dari Makkah menuju tanah halal terdekat dan berihram umrah lalu menyelesaikan amalan umrahnya. Apabila dibalik cara mengerjakannya maka bukan termasuk ifrad.

 

Kedua, talbiyah. Disunnahkan memperbanyak membacanya selama ihram dan laki-laki mengeraskan suaranya. Lafadz talbiyah itu adalah :

 

Artinya : “Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku penuhi panggilanMu dan tidak ada sekutu bagi-Mu, sesungguhnya pujian, nikmat dan kerajaan hanya bagi-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu”.

 

Apabila telah selesai mengucapkan talbiyah, hendaklah membaca shalawat atas Nabi saw dan memohon kepada Allah Ta’ala surga dan keridhoan-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari siksa api neraka.

 

Ketiga, thawaf gudum, dikhususkan bagi orang yang naik haji masuk ke Makkah sebelum wuguf di Arafah. Sedangkan bagi orang yang berihram umrah, jika telah thawaf untuk umrahnya, maka dianggap cukup sebagai ganti thawaf gudumnya.

 

Keempat, bermalam di Muzdalifah. Disebutkan disini termasuk sunnah, itu menurut pendapat Raff’i, tetapi yang terdapat dalam kitab “Ziyaadatur Raudhoh” dan “Syarh Muhadzdzab” menyebutkan bahwa bermalam di Muzdalifah termasuk wajib haji.

 

Kelima, shalat sunnah thawaf, dilakukan setelah thawaf. Hendaklah dilakukan di belakang magam Ibrahim as. Bacaan shalat tidak dikeraskan suaranya jika dikerjakan siang hari dan dikeraskan jika dilakukan di malam hari.

 

Apabila tidak dapat dilakukan di belakang magam Ibrahim as, maka lakukan di Hijr Ismail as, lalu di masjid lalu dimana saja dari daerah haram Makkah atau selainnya, jika tidak dapat dilakukan shalat Sunnah thawaf di tempat-tempat tersebut.

 

Keenam, bermalam di Mina, itulah pendapat yang shahih menurut Rafi’i, namun Imam Nawawi menyatakan dalam kitab “Ziyaadatur Roudhoh” bahwa bermalam di Mina termasuk wajib haji.

 

Ketujuh, thawaf wada’. Thawaf wada dilakukan ketika ingin keluar dai Makkah untuk melakukan suatu perjalanan, baik haji atau tidak, perjalanan jauh atau dekat.

 

Apa yang disebut oleh pengarang tentang thawaf wada’ yang dianggapnya sebagai sunnah merupakan pendapat yang lemah, tetapi pendapat yang kuat menyatakan thawaf wada itu wajib.

 

Sebagaimana disebutkan dalam kitab “Syarh Muhadzdzab”, bahwa seorang lelaki ketika ihram wajib melepas diri dari pakaian, jahitannya dan ikatannya, serta dari selain pakaian, seperti sepatu dan sandal. Hendaklah memakai sarung dan selendang yang berwarna putih dan baru, bila tidak ada maka setidaknya yang bersih.

 

Pasal tentang hal-hal yang diharamkan ketika ihram, artinya larangan yang disebabkan ihram.

 

Hal-hal yang diharamkan bagi seorang yang ihram haji atau umrah ada sepuluh macam :

 

Pertama, memakai sesuatu yang berjahit, seperti gamis, baju luar dan sepatu, atau memakai sesuatu yang mengikat tubuhnya, seperti pakaian besi, atau yang menyelubungi tubuhnya, seperti kain bulu yang menyelubungi seluruh tubuhnya. Hal ini diharamkan bagi lakilaki

 

Kedua, menutup kepala atau sebagiannya bagi laki-laki, dengan sesuatu yang dianggap sebagai penutup, seperti infamah dan tanah. Apabila tidak dianggap sebagai penutup, maka hal itu tidaklah berpengaruh, seperti meletakkan tangannya di atas sebagian kepalanya dan menyelam di air serta bernaung di bawah tandu walaupun terkena kepalanya.

 

Diharamkan pula menutup wajah atau sebagiannya bagi wanita, dengan sesuatu yang dianggap sebagai penutup. Diwajibkan bagi wanita untuk menutup sebagian dari wajahnya yang tidak dapat diturup seluruh kepala kecuali menutup sebagian wajahnya. Dan Giperbolehkan bagi seorang wanita untuk memakai cadar yang diberi prak sehingga tidak menyentuh wajahnya secara langsung dengan Wemakai kayu atau semacamnya.

 

Seorang banci -sebagaimana yang dikatakan al Oodhi Abu Thoyyibdiperintahkan untuk menutup kepala dan memakai pakaian yang berjahir. Sedangkan kewajiban membayar fidyahnya, maka menurut pendapat sebagian besar ulama, jika menutup wajahnya atau kepalanya ia… tidak terkena fidyah karena masih adanya keraguan, dan jika Menutup keduanya … maka wajib terkena fidyah.

 

Ketiga, menyisir rambut, begitulah pengarang menganggapnya termasuk larangan. Tetapi yang disebutkan dalam kitab “Syarh Muhadzdzab”, bahwa itu adalah makruh. Begitu pula menggaruk rambut dengan kukunya.

 

Keempat, mencukur rambut, atau mencabutnya atau membakarnya. Yang dimaksudkan disini adalah menghilangkan rambut dengan cara apapun, walaupun lupa.

 

Kelima, memotong kuku, artinya menghilangkannya, baik kuku tangan atau kuku kaki, dengan cara dipotong atau selainnya. Kecuali jika sebagian kuku terkelupas dan ia merasa tertanggu . . . maka diperbolehkan memotong kuku yang terkelupas saja.

 

Keenam, memakai wangi-wangian, dengan bermaksud memakainya yang memang tujuannya adalah mendapatkan bau wangi tersebut, seperti minyak wangi kasturi dan kapur barus di pakaiannya, dengan cara menempelkannya sebagaimana biasa penggunaannya atau di badannya, baik bagian dhohir atau batinnya, seperti memakan wangiwangian. Ini berlaku bagi laki-laki dan wanita, orang itu mencium baunya atau tidak.

 

Apabila tidak ada maksud memakai wangi-wangian, seperti tertiup angin hingga minyak wangi jatuh menumpahi dirinya atau dipaksa memakainya, atau tidak tahu larangan tersebut atau lupa bahwa itu diharamkan . .. maka orang tersebut tidak terkena fidyah. Apabila Hubungan intim sebagaimana yang telah disebutkan akan membatalkan umrah yang dilakukan tersendiri. Sedangkan umrah yang masuk dalam ibadah haji giran, maka akan mengikuti ibadah hajinya, baik sah atau tidaknya.

 

Hubungan intim akan membatalkan ibadah haji, bila terjadi sebelum tahallul awal, baik setelah wuguf atau sebelumnya. Apabila terjadi setelah tahallul awal, maka tidak membatalkan hajinya.

 

Tidak ada yang dapat membatalkan ibadah haji kecuali jika terjadi hubungan intim pada kemaluan, maka tidak membatalkan bila hanya memegang secara langsung bukan pada kemaluannya.

 

Orang yang ihram haji atau umrah tidak keluar dari ibadah haji atau umrahnya, walaupun telah dinyatakan batal, namun wajib baginya menyelesaikan ibadah tersebut yang telah dihukumi tidak sah. Sebagian naskah tidak terdapat ucapan (fii faasidihi) yang berarti ibadah haji atau umrahnya yang dinyatakan batal, sehingga harus menyelesaikan amal-amal yang masih tersisa dan belum dikerjakan.

 

Barangsiapa terlewatkan wuguf di Arafah, baik karena udzur atau tidak, maka wajib tahallul dengan melakukan ibadah umrah, yaitu melakukan thawaf dan sa’i, jika belum melakukan sa’i setelah thawaf gudum. Dan wajib baginya mengqadha’ ibadah haji di tahun mendatang secara langsung, baik haji yang dilakukan itu wajib atau sunnah baginya.

 

Sesungguhnya wajib menggadha haji bila terlewatkan wuguf tersebut bukan karena tertahan. Apabila seseorang tertahan, dan ia mengetahui ada jalan lain selain itu maka wajib baginya melalui jalan tersebut, walaupun ia tahu akan terlambat.

 

Apabila orang tersebut yang terkena kewajiban qadha’ haji meninggal . . . maka tidak wajib digantikan untuk mengqadha’nya, menurut pendapat yang kuat.

 

Dan selain wajib mengqadha’, ia mempunyai kewajiban untuk berkorban bagi orang yang terlewatkan wuguf di Arafah.

 

Pada sebagian naskah, terdapat tambahan, yaitu : 

 

Barangsiapa meninggalkan rukun, maka tidak dapat lepas dari ihramnya hingga diselesaikan, dan tidak dapat ditambal dengan denda. Barangsiapa meninggalkan wajib haji maka akan terkena denda, dan akan dijelaskan pembahasannya nanti. Barangsiapa meninggalkan Sunnah-sunnah haji, maka tidak akan terkena kewajiban apapun. Tampaklah disini perbedaan antara rukun, wajib dan sunnah.

 

Macam-macam denda yang wajib dibayar ketika ihram haji atau umrah bila meninggalkan suatu hal yang wajib atau mengerjakan hal yang dilarang, ada lima macam, yaitu :

 

Pertama, denda yang wajib dibayar bila meninggalkan wajib haji, seperti ihram tidak dari migat. Dendanya harus dibayar secara tertib, maka wajib menyembelih satu ekor kambing yang sah untuk korban. Apabila tidak mendapatinya sama sekali atau ada dengan harga yang lebih dari biasanya, maka wajib berpuasa selama 10 hari, dengan tiga hari di masa haji, disunnahkan sebelum hari Arafah, maka berpuasa tanggal 6, 7 dan 8 Dzulhijjah, dan puasa tujuh hari ketika telah kembali menuju keluarga dan tempat tinggalnya. Tidak boleh berpuasa di tengah perjalanannya.

 

Apabila ingin mugim di Makkah… maka dapat berpuasa di sana, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Muharror”.

 

Apabila tidak berpuasa tiga hari di masa hajinya dan telah kembali, maka wajib berpuasa 10 hari, dan dipisahkan antara puasa tiga hari dengan puasa tujuh hari selama 4 hari dan masa perjalanan menuju pulang.

 

Apa yang disebutkan pengarang bahwa denda itu secara tertib, sesuai apa yang disebutkan dalam kitab “Raudhoh” dan aslinya, dan “Syarhul Muhadzdzab”. Tetapi yang ada dalam kitab “Minhaj” mengikuti kitab “Muharror”, bahwa dendanya secara tertib dan sesuai, maka wajib menyembelih kambing terlebih dahulu. Bila tidak mampu maka membeli makanan seharga kambing dan bershadagah dengan makanan tersebut. Bila tidak mampu, maka berpuasa sebanyak mud yang ada dari makanan itu dengan setiap mud satu hari.

 

Kedua, denda yang wajib dibayar bila mencukur dan bersifat kemewahan, seperti memakai wangi-wangian, minyak rambut. Mencukur itu entah seluruh kepalanya atau tiga rambut.

 

Denda ini bersifat pilihan, maka wajib menyembelih kambing yang Sah dalam berkorban atau puasa tiga hari atau bershadagah dengan liga sha” kepada enam orang miskin atau fagir, setiap orang mendapat Setengah sha’ dari makanan yang dikeluarkan dalam zakat fitrah.

 

Ketiga, denda yang wajib dibayar bila tertahan tidak dapat Menyelesaikan ibadah haji atau umrahnya setelah berihram, maka lapat melepaskan diri dengan niat tahallul, yaitu bermaksud keluar lari ibadah haji atau umrah yang tertahan. Dan menyembelih kambing ki tempat ia tertahan, dan mencukur kepalanya setelah itu.

 

Keempat, denda yang wajib dibayar karena membunuh hewan buruan. Dendanya bersifat pilihan antara tiga perkara. Jika hewan buruan itu ada yang serupa dengan hewan ternak dalam rupa dan bentuknya, pilihan pertama dari tiga perkara adalah menyembelih hewan ternak yang serupa dengan hewan buruan tersebut dan dishadagahkan kepada fagir miskin di daerah haram Makkah.

 

Bila membunuh burung unta, maka wajib mengeluarkan unta. Bila membunuh sapi liar atau keledai liar, maka gantinya adalah sapi. Bila membunuh rusa, maka wajib menggantinya dengan kambing kacang. Gambaran lain dari hewan buruan yang serupa dengan hewan ternak disebutkan dalam kitab-kitab yang lebih luas pembahasannya.

 

Pilihan kedua dari tiga perkara adalah menaksir harga dari hewan ternak yang serupa tersebut sesuai harga di Makkah ketika akan mengeluarkannya, lalu membeli makanan yang sah untuk zakat fitrah dari harga tersebut dan dishadagahkan kepada fagir miskin di daerah haram Makkah.

 

Pilihan ketiganya adalah berpuasa dari setiap mud itu satu hari. Dan bila tersisa dari makanan itu kurang dari satu mud ketika menakarnya, maka berpuasa satu hari sebagai gantinya.

 

Apabila hewan buruan itu tidak ada yang serupa dengannya dari hewan ternak, maka dapat memilih antara dua perkara, yaitu : bershadagah dengan makanan yang sesuai harga hewan buruan itu, atau berpuasa dari setiap mud itu satu hari. Dan bila tersisa dari makanan itu kurang dari satu mud ketika menakarnya, maka berpuasa satu hari sebagai gantinya.

 

Kelima, denda yang wajib dibayar karena hubungan intim, dari orang yang berakal dan mengetahui bahwa itu diharamkan, baik jima’ itu pada qubul atau dubur, sebagaimana penjelasan yang lalu.

 

Denda ini bersifat tertib, maka diwajibkan pertama kali menyembelih unta, baik jantan atau betina. Bila tidak didapati, maka gantinya adalah sapi, dar bila tidak didapati, maka menyembelih tujuh kambing.

 

Apabila tidak mendapatinya maka unta itu ditaksir harganya, sesuai harga Makkah ketika terkena kewajiban tersebut. Kemudian membeli makanan sesuai harga unta itu dan dishadagahkan kepada faqir miskin di daerah haram Makkah. Tidak ada ketentuan seberapa besar yang harus diberikan kepada setiap orang fagir. Apabila bershadagah dengan uang dirham, maka dianggap tidak sah.

 

Apabila tidak mendapati makanan, maka berpuasa dari setiap mud itu satu hari.

 

Ketahuilah bahwa penyembelihan hewan korban itu terbagi menjadi dua, yaitu :

 

Pertama, yang sebabnya adalah tertahan, maka tidak wajib dibawa menuju tanah haram Makkah, tetapi disembelih di tempat ia tertahan.

 

Kedua, yang sebabnya adalah meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan, maka penyembelihan hanya dikhususkan di tanah haram Makkah. Pengarang menyebutkan permasalahan ini dalam ucapannya :

 

Tidak sah penyembelihan dan pemberian makanan kecuali di tanah haram Makkah. Sedikitnya bisa dinyatakan sah bila daging hewan itu dibagikan kepada tiga orang miskin atau fagir. Sedangkan berpuasa, dapat dilakukan dimana saja ia inginkan, baik di tanah haram atau selainnya.

 

Tidak diperbolehkan membunuh hewan buruan yang ada di tanah haram Makkah, walaupun dipaksa untuk membunuhnya. Bila seseorang berihram lalu gila dan membunuh hewan buruan … maka tidak wajib menggantinya menurut pendapat yang kuat.

 

Dan tidak diperbolehkan pula memotong tanaman yang ada di tanah haram. Dan wajib mengganti tanaman yang besar dengan sapi, tanaman yang kecil dengan kambing. Semuanya sesuai sifat hewan korban.

 

Tidak diperbolehkan pula memotong dan mencabut tanaman yang ada di tanah haram, yang tidak ditanam oleh manusia, tetapi tumbuh sendiri. Sedangkan rumput yang telah mengering, maka boleh dipotong, namun tidak boleh dicabut.

 

Orang yang sedang tidak ihram dan orang yang sedang ihram dalam hukum tersebut sama, tidak ada bedanya.

 

Penutup :

 

Apabila seseorang melihat orang yang berpuasa ingin minum misalnya, maka jika orang itu bertagwa dan tidak menerjang hal-hal yang diharamkan secara langsung, maka lebih utama diingatkan. Bila orang itu kebiasaan hidupnya berlawanan dengan yang sebelumnya, maka wajib melarangnya. Itulah yang disebutkan oleh al-Jabbaniy dalam “Majmu’ah Baazarah” yang merupakan ringkasan fatwa Ibnu Hajar. Disebutkan pula dalam kitab “Bughyatul Mustarsyidiin” yang dikarang oleh guru besar kami, semoga Allah mencurahkan karunia di kuburnya dan mengembalikan kepada kami rahasia-rahasianya.

 

Ini adalah akhir dari apa yang telah dimudahkan oleh Allah berkaitan dengan pembicaraan atas permasalahan yang ada dalam kitab ini. Semoga Allah memberikan manfaat kepadaku dengan keberkahan dua pengarang kitab ini. Semoga Allah mengampuniku, kedua pengarang itu, kedua orang tuaku, anak-anaku dan pecintaku serta kaum mukminin seluruhnya. Amin.

 

Penulisan kitab ini di kota Tarim yang terjaga pada tahun 1336 hijriyah. Shalawat dan salam atas Sayyiduna Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

 

Sebagai penyempurna manfaat, ditambahkan pula bab haji yang dikutip dari “Matnu Abi Syujaa” dan dituliskan pula “Syarh Ibnu Qasim”, agar kitab ini mencakup seperempat bab. ibadah, dan Allah Swt yang memberikan Taufiq.